ANALISIS PREDASI POLIP KARANG OLEH Acanthaster planci TERHADAP TINGKAT KERUSAKAN TERUMBU KARANG DI PANTAI PULAU HARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
TEZZA FAUZAN H
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Predasi Polip Karang Oleh Acanthaster planci Terhadap Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Di Pantai Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014
Tezza Fauzan H NIM C251110301
RINGKASAN TEZZA FAUZAN H. Analisis Predasi Polip Karang Oleh Acanthaster planci Terhadap Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Di Pantai Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL. Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat dinamis, namun sangat sensitif dan rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kondisi dinamis terumbu karang ditandai dengan perubahan–perubahan yang terjadi dalam komunitas, serta adanya interaksi yang kuat antara biota karang dan biota penghuni terumbu lainnya serta kondisi abiotik lingkungan. Secara alami respon terumbu karang terhadap perubahan dan tekanan lingkungan adalah berusaha untuk bertahan dan menunjukkan gejala pemulihan sampai terbentuknya komunitas yang stabil kembali setelah mengalami kerusakan. Acanthaster planci atau dikenal sebagai Crown of Thorns Starfish merupakan salah satu jenis bintang laut pemakan karang yang berukuran relatif besar dan berduri banyak. Hewan ini tersebar di berbagai perairan yang ditumbuhi oleh beberapa jenis karang. Kepadatan populasi A. planci di daerah terumbu karang akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang. Kerusakan terumbu karang sebagai akibat dari aktivitas makan A. planci merupakan salah satu masalah paling serius dalam upaya konservasi terumbu karang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat predasi polip karang oleh Acanthaster planci terhadap tingkat kerusakan terumbu karang dalam memberikan status kondisi terumbu karang di Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para pengambil kebijakan untuk lebih proaktif dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang berkelanjutan di perairan Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara, serta dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di perairan Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan data, menunjukkan bahwa persentase penutupan karang hidup di perairan Pulau Hari lebih tinggi dibandingkan dengan persentasi penutupan karang mati. Persentasi penutupan karang hidup berkisar antara 40,36% hingga 66,32% dengan nilai rata-rata persentasi penutupannya pada masing-masing stasiun pengamatan adalah 57,79%. Dapat diketahui bahwa kepadatan A. planci pada masing-masing Titik pengamatan bervariasi, yaitu berkisar antara 0 - 13 ind/500m2, dengan nilai ratarata kepadatannya adalah 0,008 ind/m2. Kepadatan tertinggi A. planci ditemukan pada titik sebelah barat dengan nilai rata-rata yaitu 13,667 ind/500m2, titik sebelah selatan nilai rata-rata kepadatannya 3,333 ind/500m2, sedangkan nilai rata-rata kepadatan terendah A. planci ditemukan pada titik sebelah utara yaitu 0,667 ind/m2 Indeks predasi karang merupakan sebuah indikator yang dapat digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh predasi A. planci terhadap pertumbuhan karang. Indeks predasi karang tersebut akan berbanding lurus dengan persen predasi karang. Semakin tinggi persen predasi karang maka indeks predasinya
juga akan tinggi, begitu pula sebaliknya semakin rendah persen predasi karang, maka indeks predasi karang juga akan rendah. Titik sebelah selatan dan titik sebelah utara memiliki indeks predasi kurang dari nol, yaitu masing-masing sebesar -0,06094 dan-0,03782. Hal ini berarti bahwa tingkat predasi karang lebih rendah dibanding dengan tingkat pertumbuhan karang, dimana hal tersebut dibuktikan dengan kelimpahan A. planci pada masing-masing stasiun tersebut nilai rata-rata kepadatannya sebesar 0,005 ind/1000m2 dan 0,001 ind/1000m2. Endean (1987), mengatakan bahwa kehadiran A. planci dalam batasan normal yaitu kurang dari 0,014 ind/m2. Berbeda halnya dengan titik sebelah barat yang memiliki indeks predasi karang lebih dari nol, yaitu sebesar 1,952054. Hal ini berarti bahwa tingkat predasi karang lebih tinggi dibanding dengan tingkat pertumbuhan karang, dimana hal tersebut dibuktikan dengan kelimpahan rata-rata A. planci pada Titik sebelah Barat lebih dari 0,014 ind/m2, yaitu sebesar 0,020 ind/m2. Tingginya tutupan karang hidup pada terumbu karang di lokasi penelitian disebabkan karena populasi A. planci yang tidak terlalu tinggi, sehingga pemangsaan karang juga tidak terlalu tinggi. Jika populasi A. planci pada suatu ekosistem dalam status alami, maka tidak akan memberikan ancaman yang berarti terhadap ekosistem terumbu karang bahkan dapat menjaga keseimbangan ekologi di dalam ekosistem. Kata Kunci: Predasi, A. planci, terumbu karang, Pulau Hari
SUMMARY TEZZA FAUZAN H. The Analysis Of The Effect Of Coral Polyp Predation By Acanthaster planci Toward The Coral Reef Damage Level In The Waters Of Hari Island, South-East Sulawesi. Supervised by FREDINAN YULIANDA and MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL. The objective of this study is to analyze the level of coral’s polyps predation by Acanthaster planci on the level of coral reefs damage to providing status of coral reefs in Hari island, Southeast Sulawesi. The results of this study are expected to provide information for decision-makers to be more proactive in sustainable of the coral reefs resources management in Hari island, Southeast Sulawesi, so it can be used as a basis for consideration of the coral reef resources management in Hari island, Southeast Sulawesi. The coral reef is a very dynamic ecosystem but it is very sensitive and prone to environmental changing. The dynamic condition of coral reef is shown by the changes that happened in the community and the strong interactions between the reef biota and the reef-dwelling biota and the abiotic environmental conditions. If the environmental pressure persistently of coral reef while it regeneration is slow, it absolutely will be died. Acanthaster planci which is commonly known as the crown-of-thorns starfish preys on coral and is relatively large in size and has numerous thorns. This animal lives in various waters that are the habitat for corals. A high population of A. planci in a coral reef will have a negative effect on the life of the reef. Coral reef damage caused by predation by A. planci is one of the most serious problems in the effort to conserve coral reefs. The A. planci is one of the potential problems faced by coral reef management. Among the existing coral predators, the A. planci is the most dangerous when there is overpopulation, preying on almost all live coral species. Based on collected data, it has shown that the percentage of coverage for live coral in the waters of Hari Island is higher than dead coral. Covering percentage of live coral is between 40.36% - 66.32% with an average of 57.79%. The presence of A. planci is an ecological control for fast-growing coral. it can be seen that the density of A. planci in each observation point was different; ranging between 0 to 13 individuals/500m2 with an average of 0.008 individual/1000m2. The highest A. planci density was found in the Western Observation Point with an average of 13.667 individuals/500m2, followed by the Southern Observation Point with an average of 3.333 individuals/500m2, while the lowest density was found in the Northern Observation Point with an average of 0.667individuals/m2. The Coral Predation Index is an indicator that could be used to measure the effect of predation by A. planci on coral reef growth. The Coral Predation Index will be linear to the percentage of coral predation. The higher and higher of the percentage of coral predation, therefore predation index will be higher and in reverse. The Southern and Northern Observation Points had predation indexes of less than zero, i.e. -0.06094 and -0.03782, respectively. This means that the coral
predation index was lower than the coral growth rate. This is further supported by the population of A. planci in each observation point, 0.005 individuals/1000m2 and 0.001 individuals/1000m2, respectively. Endean (1987) stated that the presence of A. planci within normal limits is less than 0.014 individuals/m2. In the Western Observation Point showed a Coral Predation Index higher than zero, i.e. 1.952054. It means that the coral predation level was higher than the coral growth rate. This is supported by the average population density of A. planci in the Western Observation Point which was more than 0.014 individuals/m2; 0.020 individuals/m2 to be exact. Significance correlation among covering percentage of live-coral, predation percentage and population density of A. planci in the site of study is the increasing of coverage percentage of live-coral caused by decreasing of population density of A. planci. If the population of A. planci in a certain population is within the natural status, it will not pose a threat to the coral reef ecosystem, and can even maintain the ecological balance in the ecosystem. Keywords: Predation, A. planci, coral reef, Hari Island
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PREDASI POLIP KARANG OLEH Acanthaster planci TERHADAP TINGKAT KERUSAKAN TERUMBU KARANG DI PANTAI PULAU HARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
TEZZA FAUZAN H
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Analisis Predasi Polip Karang Oleh Acanthaster planci Terhadap Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Di Pantai Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, M.Sc dan Bapak Dr Ir Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc selaku pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku penguji luar komisi, Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada ayah(almarhum), ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayang yang telah kalian berikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman yang telah membantu terlaksananya penelitian ini selama dilapangan dan teman-teman SDP 2011 yang telah memberikan semangat dan dukungannya hingga Tesis ini selesai. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Tezza Fauzan H
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
vi
1 PENDAHULUAN……………………………………………………. Latar Belakang .................................................................................. Rumusan Masalah ............................................................................. Tujuan Penelitian .............................................................................. Manfaat Penelitian ............................................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi .............................................................................. Metode dan Analisis Data .................................................................. Prosedur Analisis Data .......................................................................
1 1 2 3 3 4 15 15 15 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kawasan Penelitian ............................................. Parameter Kualitas Air ..................................................................... Persentase Penutupan Karang ........................................................... Acanthaster planci dan Penurunan Tutupan Karang Keras .............. Indeks Predasi Karang ...................................................................... kelimpahan dan keanekaragaman ikan ............................................. Keterkaitan antara Persentasi Predasi Acanthaster planci dengan Kepadatan Acanthaster planci……………………………
19 19 19 23 25 28 29
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ....................................................................................... Saran .................................................................................................
32 32 32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
37
30
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Nilai pengukuran parameter kualitas air .................................................. Hubingan jumlah kehadiran individu A. planci dengan persen tutupan karang hidup ............................................................................... Persentase predasi A. planci terhadap persentase tutupan karang selama enam minggu ............................................................................... Status ekologi A. planci terhadap kondisi terumbu karang ....................
20 23 26 27
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Daur hidup A. planci ............................................................................... Peta lokasi penelitian ............................................................................... Ilustrasi teknik pengambilan data karang dengan menggunakan transek garis ............................................................................................. Ilustrasi teknik pengambilan dataikan dan organisme lain dengan menggunakan sensus transek sabuk ........................................................ Lokasi penelitian Pulau Hari Sulawesi Tenggara .................................... Persentasi penutupan karang ................................................................... Kepadatan A. planci pada masing-masing titik pengamatan ................... Gambar indeks predasi karang pada masing-masing titik pengamatan ... Grafik hubungan antara persen predasi dan kepadatan A. planci ............
6 15 16 16 19 24 25 28 31
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5
Kepadatan A. Planci ................................................................................ Persentase Tutupan Karang Hidup .......................................................... Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang ..................................... Pengambilan data Karang ........................................................................ Predasi A. planci ......................................................................................
38 38 38 39 39
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat dinamis, namun sangat sensitif dan rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kondisi dinamis terumbu karang ditandai dengan perubahan perubahan yang terjadi dalam komunitas, serta adanya interaksi yang kuat antara biota karang dan biota penghuni terumbu lainnya serta kondisi abiotik lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan sebagai akibat dari berbagai aktivitas manusia maupun oleh kejadian-kejadian alam telah memberikan dampak kerusakan bagi terumbu karang dalam skala luas. Secara alami respon terumbu karang terhadap perubahan dan tekanan lingkungan adalah berusaha untuk bertahan dan menunjukkan gejala pemulihan sampai terbentuknya komunitas yang stabil kembali setelah mengalami kerusakan (Obura dan Grimsditch 2009). Apabila tekanan lingkungan terjadi terus menerus, sedangkan daya pulihnya lambat, maka terumbu karang akan mengalami kematian. Acanthaster planci atau biasa dikenal sebagai Crown of Thorns Starfish merupakan salah satu jenis bintang laut raksasa dengan jumlah duri yang banyak sekali dan merupakan hewan pemakan karang. Hewan ini tersebar di berbagai perairan yang ditumbuhi oleh beberapa jenis karang. Kepadatan populasi bintang laut ini di daerah terumbu karang akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang. Kerusakan terumbu karang sebagai akibat dari aktivitas makan bintang laut ini merupakan salah satu masalah paling serius dalam upaya konservasi terumbu karang. Hal ini dikarenakan bintang laut ini dalam jumlah populasi yang besar dapat menyebabkan kematian karang keras dalam skala yang sangat luas. Bintang laut ini merupakan salah satu masalah besar yang potensial dihadapi di dalam pengelolaan terumbu karang. Di antara pemangsa karang yang ada, hewan ini adalah pemangsa karang yang paling berbahaya ketika terjadi peledakan populasi (outbreak), sehingga hampir seluruh karang hidup dimangsa oleh hewan ini. Menurut Moran (1990), setiap individu bintang laut ini dapat memangsa karang seluas 5–6 2 m /tahun. Jadi dapat dibayangkan seberapa luas kerusakan yang dapat ditimbulkan jika ribuan atau bahkan jutaan dari biota ini berada dalam ekosistem terumbu karang. Kerusakan terumbu karang akibat bintang laut ini telah dilaporkan di seluruh dunia, misalnya Jepang, Australia, Palau, Guam, Vanuatu, Papua, Vietnam dan Indonesia. Walaupun peledakan populasi hewan ini di Indonesia telah banyak dilaporkan secara lisan, publikasi tentang masalah ini masih sangat sedikit. Publikasi tentang organisme yang tersedia banyak berasal dari Jepang dan Australia. Di Great Barrier Reefs, Australia, berdasarkan sisa-sisa duri dan kerangka di dalam sedimen diperkirakan bintang laut ini telah muncul di terumbu sekitar 3350 tahun yang lalu, walaupun tidak ada bukti kuat bahwa telah terjadi peledakan populasi yang menghabisi karang di terumbu sebelum tahun 1960-an (Moran et al. 1986). Peledakan populasi bintang laut ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1962 di Green Island, Great Barrier Reefs. Peledakan populasi di Jepang pertama kali dilaporkan pada tahun 1969. Bintang laut ini diperkirakan mulai memasuki perairan Jepang pada
2
tahun 1957-58 dan melakukan pemangsaan karang yang serius sejak awal tahun 1970-an. Di Indonesia, kehadiran bintang laut ini telah dilaporkan sejak tahun 1970-an oleh para peneliti LIPI, misalnya di sekitar Ambon dan Kepulauan Seribu (Lane 1996). Kedua laporan tersebut menunjukkan adanya bintang laut ini dalam jumlah kecil atau dalam kondisi masih kecil. Peneliti LIPI lainnya, Darsono dan Sukarno, telah mengamati adanya populasi bintang laut ini di Kepulauan Seribu dari tahun 1991-1993 dan dilaporkan tidak ada peledakan populasi (Tomascik et al. 1997). Peledakan populasi baru suatu bintang laut ini terjadi pada tahun 1995, yang dilaporkan di dalam seminar, tetapi tidak dalam suatu publikasi. Publikasi ilmiah tentang kerusakan terumbu karang Indonesia akibat hewan ini baru dilakukan pada saat terjadi peledakan populasi di Kepulauan Banggai (Lane 1996). Pada tahun 1996 juga dijumpai adanya pemangsaan karang oleh bintang laut ini yang menghabiskan hampir seluruh karang di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat, dan Pantai Bama, Taman Nasional Baluran (Bachtiar 2006). Pada tahun 2005 peledakan populasi (outbreak) bintang laut ini dilaporkan terjadi di Pulau Kapoposang, Sulawesi Selatan (Yusuf 2008). Kondisi terumbu karang Pulau Hari secara umum memiliki kondisi yang baik setelah berkurangnya aktivitas pemboman yang dilakukan oleh masyarakat sekitar Pulau Hari, namun dari hasil pengamatan beberapa tahun terakhir terjadi pemutihan karang yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas predasi oleh bintang laut ini. Pada musim-musim tertentu, keberadaan hewan ini di perairan pulau tersebut sangat melimpah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jalur predasi pada koloni karang di perairan pulau tersebut. Kehadiran dalam batasan populasi normal merupakan hal yang umum di ekosistem terumbu karang. Jika kepadatan populasi lebih dari 14 individu/1000 m2, maka keberadaannya sudah mengancam terumbu karang (Endean 1987). Sebagai bentuk upaya pelestarian terumbu karang di Pulau Hari, maka diperlukan suatu kajian ilmiah mengenai status populasi bintang laut ini dan tingkat predasinya. Tingkat predasi bintang laut ini diamati untuk memberikan gambaran kecepatan pulih terumbu karang dibanding kerusakannya. Informasi populasi dan tingkat predasi yang diperoleh digunakan sebagai dasar pengelolaan terumbu karang di Pulau Hari. Rumusan Masalah Kepadatan populasi A. planci di daerah terumbu karang akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang. Pada kondisi alami, pemangsaan bintang laut ini dapat diimbangi oleh kemampuan pulih diri terumbu karang. Tingkat predasi organisme ini yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang sebelum mampu untuk pulih diri. Fenomena munculnya pemutihan terumbu karang di Pulau Hari telah ada sejak 5 tahun yang lalu (2008). Kondisi ini semakin meningkat hingga sekarang. Faktor utama penyebabnya adalah meningkatnya populasi bintang laut ini. Secara alamiah, hewan ini merupakan organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang. Namun bila dalam keadaan yang tidak terkontrol, hewan ini dapat menjadi ancaman
3
yang serius bagi kelangsungan kesehatan terumbu karang. Setelah ditelusuri lebih dalam factor munculnya fenomena tersebut, disebabkan oleh menurunnya predator alamiah dari bintang laut ini yaitu Ikan Napoleon dan Keong Raksasa (Giant Triton) di pulau tersebut. Kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh aktivitas makan hewan ini merupakan salah satu masalah yang paling serius dalam upaya pengelolaan terumbu karang. Berdasarkan pada keadaan tersebut, maka penelitian ini berupaya untuk mengetahui tingkat predasi polip karang dan kerusakan karang yang disebabkan oleh bintang laut ini di Pulau Hari, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat predasi polip karang oleh Acanthaster planci terhadap tingkat kerusakan terumbu karang dalam memberikan status kondisi terumbu karang di Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para pengambil kebijakan untuk lebih proaktif dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang berkelanjutan di perairan Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara, serta dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di perairan Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Acanthaster planci Sistematika Acanthaster planci Acanthaster memiliki tiga jenis dan dua anak jenis (subspesies) dari genus Acanthaster, yaitu: A. planci, yang tersebar secara luas pada kawasan Indo Pasifik, A. ellisii, spesies yang memiliki duri dan lengan yang pendek dan tersebar di kawasan Pasifik Timur, dan A.brevispinus, yang memiliki duri lebih pendek yang ditemukan di Filipina (Birkeland dan Lucas 1990). Sedangkan dua subspesies lainnya yaitu pada tahun 1962 Caso menemukan satu subspesies dari A. ellsii pseudoplanci dan pada tahun 1984 Jangoux dan Aziz memperkenalkan satu subspesies yang diberi nama A. brevispinus seychellesentis (Aziz 1995). Klasifikasi dari Acanthaster planci menurut Berkeland dan Lucas (1990): Kingdom : Animalia Phylum : Echinodermata Class : Asteroidea Ordo : Spinolisida Sub Ordo : Leptognathina Family : Acanthasteridae Genus : Acanthaster Spesies : Acanthaster planci Morfologi Achantaster planci Acanthaster planci memiliki bentuk tubuh yang unik. Tubuhnya berbentuk cakram dengan perut yang besar dan rata (Birkeland dan Lucas 1990). Spesies ini memiliki lengan dengan jumlah yang bervariasi antara 8 - 21 buah yang sangat lentur sehingga dapat membelit/melingkar segala bentuk koloni karang. Bintang laut ini mempunyai kemampuan untuk memutuskan lengannya bila diperlukan, hal ini diduga erat kaitannya dengan predasi terhadap bintang laut ini. Hampir sebesar 60% individu bintang laut ini dalam satu populasi dapat kehilangan salah satu atau lebih dari lengannya (Moran 1990). Acanthaster planci memiliki warna yang berbeda-beda tergantung pada lokasi dimana mereka berada. Misalnya, bintang laut ini ditemukan di Thailand memiliki warna merah dan abu-abu. Warna yang sama juga banyak ditemukan di Great Barrier Reef (Australia). Sedangkan di Hawaii, bintang laut ini berwarna hijau dan merah. Di Indonesia, bintang laut ini pada umumnya berwarna abu-abu, ungu, hijau dan biru (Moran, 1990). Ukuran bintang laut ini pada koloni karang tidak menentu, ukuran maksimal bintang laut ini yang ditemukan di Great Barrief Reef yakni 75 cm, namun ukuran normal dari populasi bintang laut ini yang paling sering ditumukan yakni 40 cm (Moran 1990).
5
Reproduksi dan Tahapan Daur Hidup Acanthaster planci Reproduksi Acanthaster planci memiliki 2 jenis kelamin yang terpisah yaitu jantan dan betina. Periode dan waktu pemijahan bintang laut ini dipengaruhi oleh suhu/temperatur, salinitas dan ketersediaan makanan dan berlangsung selama musim panas (Lucas 1987). Waktu pemijahan bintang laut ini tergantung pada letak geografi dimana A. planci hidup, di belahan utara, musim memijah terjadi pada bulan Mei - Juli, sedangkan di belahan bumi selatan, pemijahan terjadiantara bulan November - Januari (Suharsono 1998). Pemijahan A. planci berlangsung di luar tubuh atau disebut dengan fertilisasi eksternal dimana sel telur dan sel sperma dilepaskan ke dalam air. A. planci betina mampu menghasilkan sekitar 60 juta telur dalam 1 kali fase pemijahan. Pada saat pemijahan terjadi bintang laut ini akan mengeluarkan hormon pheromone yang berfungsi dalam merangsang bintang laut ini lainnya untuk mendekat dan melakukan pembuahan (Suharsono 1998). Acanthaster planci dapat melepaskan berjuta-juta telur dalam waktu seminggu pada musim panas di Great Barrier Reef Australia dan telur yang dilepaskan berbentuk larva planktonik. Setelah 21 minggu A. planci mulai memakan hewanhewan planktonik, coralline algae, dan epifit. Dalam waktu 4 sampai 5 bulan, bintang laut ini akan mengalami pertumbuhan dengan pertambahan jumlah lengan dan mulai memangsa polip karang (Endean 1969; Lucas 1973 dalam Dubinsky 1990). Tahapan Daur Hidup Acanthaster planci Jumlah terbesar dari spermatozoa dan oozit yang terdapat di Great Barrier Reef menunjukkan bahwa telah matang pada bulan November. Fase gametogenesis yang terjadi pada bulan November hingga Desember mengalami kemunduran kematangan gonad. Testis yang telah matang dan dilapisi berjuta-juta dinding sel yang merupakan tempat untuk memproduksi sperma sedangkan dalam ovarium hanya terdapat 1 sel telur yang matang (Birkeland dan Lucas 1990). Fase metamorfosa dimulai setelah brachiolaria berkembang menjadi juvenil sekitar 2 minggu. Juvenile bintang laut ini akan menempel di terumbu karang setelah mencapai diameter 10 - 20 mm. Juvenil bintang laut ini akan hidup di antara puing-puing karang dan nyaris tak terlihat sampai dengan umur 6 bulan (Suharsono 1998). Acanthaster planci memiliki daur hidup yang sama dengan asteroid lainnya. Larva bintang laut ini hidup bebas sebagai plankton yang disebut sebagai fase planktonik. Pada fase ini larva–larva bipinaria berkembang menjadi larva-larva brachiolaria kemudian akan mengalami metamorfosa atau fase perubahan bentuk selanjutnya akan hidup sebagai hewan dewasa. Acanthaster planci muda yang baru terbentuk pada awalnya hanya memilki 5 lengan dan dua pasang kaki tabung pada tiap-tiap lengan serta tidak memliki mulut (Birkeland dan Lucas 1990). Setelah 7 bulan bintang laut ini mulai mengalami pertambahan lengan sampai organisme ini mencapai ukuran dewasa. Bintang laut ini
6
akan menjadi individu dewasa setelah mencapai diameter tubuh sekitar 200 mm dengan jumlah lengan sekitar 17 buah (Lucas, 1987).
Gambar 1. Tahapan daur hidup A. planci (Birkeland dan Lucas 1990). Ekologi Acanthaster planci Habitat A. planci cenderung untuk hidup pada habitat yang cukup terlindung, yaitu daerah dimana bintang laut ini tidak dapat dengan mudah dihempaskan oleh ombak yang kuat atau terlempar keluar dari karang akibat arus yang kuat. Alasan inilah yang menyebabkan bintang laut ini cenderung untuk menghindari daerah perairan terbuka atau perairan yang dangkal, sehingga terumbu karang pada daerah tersebut seringkali luput dari pemangsaannya (Moran 1987). Bintang laut ini pada umumnya menyukai daerah terumbu karang dengan persentase tutupan karang yang tinggi, sedangkan anakan bintang laut ini lebih menyukai tempat yang terlindung dengan cara bersembunyi di bawah bongkahbongkah karang atau pecahan karang (Moran 1990). Bintang laut ini tersebar pada daerah terumbu karang di sepanjang kawasan Indo-Pasifik (Birkeland dan Lucas 1990). Perilaku Makan Bintang laut dewasa aktif mencari makan pada siang dan malam hari, sedangkan anakan bintang laut ini hanya makan pada waktu malam hari untuk menghindari predator (Suharsono 1998). Cara makan bintang laut ini cukup unik, yaitu dengan mengeluarkan isi perutnya melalui mulut dan kemudian ususnya akan menutupi permukaan koloni karang sehingga pencernaan terjadi di luar tubuh. Pada proses mencernaan makanan, bintang laut ini mengeluarkan suatu enzim dari pyloric caeca yang berfungsi sebagai
7
pemecah lemak. Proses ini membutuhkan waktu antara 4 – 6 jam (Suharsono 1998). Satu individu dewasa bintang laut ini dapat memangsa rata-rata 5 - 6 m2 koloni karang/tahun (Moran 1990). Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium dan di lapangan menunjukkan bahwa bintang laut ini cenderung tertarik pada koloni karang yang sebelumnya telah dimangsa oleh bintang laut ini yang lain (Birkeland dan Lucas 1990). Moran (1990) mengatakan bahwa bintang laut ini dapat bertahan tanpa makanan selama 6 - 9 bulan. Makanan utama bintang laut ini adalah karang keras namun A.planci juga dapat memangsa beberapa jenis organisme bentik lainnya, tergantung dari faktor ketersediaan makanan (Moran 1986 dalam Birkeland 1998). Suharsono (1998), menambahkan bahwa makanan bintang laut ini berbeda-beda, tergantung tingkat kedewasaan dan ukuran tubuh dari biota tersebut. Pada fase larva makanan bintang laut ini adalah fitoplankton (diatom dan dinoflagellata), sedangkan pada fase dewasa makanan utamanya adalah karang keras (Moran 1990). Aktivitas makan individu dewasa bintang laut ini menunjukkan adanya preferensi makanan terhadap jenis karang keras tertentu. Adanya preferensi makanan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain yaitu kondisi bintang laut ini, morfologi karang, dan ketersediaan makanan (Moran 1990). De’ath dan Moran (1998) mengatakan bahwa bentuk pertumbuhan karang juga turut mempengaruhi preferensi makanan dari bintang laut ini, bentuk pertumbuhan yang paling disukai pada semua genera karang adalah tabular dan yang kurang disukai adalah bentuk pertumbuhan masif. Lebih lanjut De’ath dan Moran (1998) mengemukakan bahwa dari hasil penelitian yang mereka lakukan di Great Barrier Reef, Australia, genera karang keras yang paling disukai untuk dimangsa oleh A. planci adalah dari genera Acropora dan yang paling tidak disukai adalah genera porites. Predator Acanthaster planci Seluruh permukaan tubuh bintang laut ini dilindungi duri-duri beracun yang jika diamati sepintas tidak mungkin ada yang memangsanya. Namun, sejak berbentuk telur hingga dewasa A. planci tidak pernah luput dari incaran predator (Suharsono 1998). Justru duri-duri beracun bintang laut ini dewasa akan berkurang. Oleh karena itu, bintang laut ini tergolong organisme yang mudah dimangsa oleh organisme yang dapat melokalisir mereka dan terlindung terhadap pertahanan mereka. Kepiting karang dan beberapa jenis ikan diketahui memangsa A. planci juvenil. Ada beberapa jenis ikan seperti ikan kerapu, ikan trigger dan ikan napoleon yang pernah diamati memakan A. planci dewasa. Ikan-ikan ini menghindari duri tubuh yang beracun dengan cara membalikan A.planci sehingga bagian bawah menghadap atas dan mudah dimangsa(Fraser et al. 2003). Biologi Zooxanthellae dan Karang Menurut Nybakken (1988), koloni karang adalah kumpulan dari berjuta-juta polip penghasil bahan kapur (CaCO3) yang memiliki kerangka luar yang disebut koralit. Pada koralit terdapat septum-septum yang berbentuk sekat-sekat yang dijadikan acuan dalam penentuan jenis karang.
8
Menurut Johan (2003), suatu koralit karang baru dapat terbentuk dari proses budding (percabangan) dari karang. Selain bentuk koralit yang berbeda-beda, ukuran koralit juga berbeda-beda. Perbedaan bentuk dan ukuran tersebut memberi dugaan tentang habitat serta cara menyesuaikan diri terhadap lingkungan, namun faktor dominan yang menyebabkan perbedaan koralit adalah karena jenis hewan karang (polip) yang berbeda-beda. Rangka luar terdiri dari kristal CaCO3 yang dihasilkan oleh epidermis pada setengah batang tubuh ke bawah dan telapak kaki. Proses sekresi CaCO3 menghasilkan rangka kapur berbentuk seperti mangkuk; polip tertanam di atasnya, dan tidak dapat berpindah tempat. Bagian dalam dari mangkuk karang terdapat sekatsekat kapur yang memijar, disebut skleroseptum.Masing-masing spesies mempunyai bentuk dan susunan sklerosepta yang khas, sehingga dapat dipakai untuk identifikasi. Pola karang batu ditentukan antara lain dengan pola pertumbuhan koloni itu sendiri dan oleh susunan polip dalam koloni (Suwignyo et al. 2005). Reproduksi Karang Proses reproduksi karang secara seksual dimulai saat spermatogenium dan oogenium berkembang menjadi gamet. Selanjutnya gamet yang sudah masak dilepas di dalam air, terjadi pembuahan internal atau eksternal menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi blastula, kemudian menjadi gastrula dan setelah itu menjadi planula. Planula yang diselubungi oleh silium akan berenang bebas. Apabila menemukan tempat yang cocok, planula akan menempel dan menetap dengan posisi bagian mulut berada di sebelah atas, sedangkan bagian pangkalnya mengeluarkan zat untuk memperkuat penempelannya, setelah karang melekat pada substrat maka ia akan mengalami perubahan struktur dan histologi. Klasifikasi Karang Karang termasuk dalam filum Cnidaria, yaitu organisme yang memiliki penyengat. Secara umum terdapat dua kelompok Cnidaria, yaitu Hydrozoa dan Anthozoa. Hydrozoa terdiri dari Millepora dan Stylasterina. Stylasterina biasanya kecil dan hidup di tempat yang tersembunyi di dinding gua dan bukan merupakan karang pembentuk terumbu. Anthozoa yang umum dikenal adalah: Stolonifera, contohnya Tubipora musica; Coenothecalia, contohnya Heliopora coeruela. Sclerectinia atau lebih dikenal sebagai karang keras yang meliputi jenis-jenis karang pembentuk karang utama. Menurut Veron (2000),karang diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Ordo : Sclerectinia (Madreporaria) Famili : Astrocoiniidae Ekologi Karang Faktor-faktor lingkungan mempunyai peranan terhadap zooxanthellae dan inangnya, yaitu binatang karang dalam hal pembatasan distribusi dan diversitasnya. Menurut (Borneman 1998), zooxanthellae ini merupakan sejenis mikroalga dari kelas
9
dinoflagellata yang bersimbiosis dengan hewan karang, yaitu hidup menempel pada polip karang. Untuk itu, pembahasan mengenai faktor lingkungan ini dipersamakan karena keduanya bersifat sinergis yang artinya pembatasan dan triger keduanya baik untuk pertumbuhan, makan dan sintasannya adalah sama. Ini berarti bahwa distribusi karang yang saat ini terinformasikan berdasarkan telaah dari berbagai aspek yang dikemukakan oleh Veron (1995) semakin menguatkan teori akan sifat sinergisme antar kedua biota tersebut. Atas dasar hal tersebut, saat ini para ilmuwan mempercayai bahwa eksistensi zooxanthellae dapat menerangkan diversitas genetik dari distribusi karang. Smith dan Buddemeier (1993), melaporkan ulasan terbarunya tentang efek perubahan lingkungan terhadap ekosistem terumbu karang. Berikut adalah beberapa telaah variabel fisik kimia perairan yang mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi distribusi karang beserta endosimbionnya. Suhu Suhu adalah peubah yang berperan dalam mengendalikan distribusi horizontal dari terumbu karang (Veron 1995). Sejak diawali penelitian oleh Dana (1843); Vaughan (1918 dan 1919); Davis (1928); Yonge (1940) kemudian berturut-turut Vaughan dan Wells (1943); Wells (1954a dan 1957); Stoddart (1969) yang kesemuanya itu dirangkum dalam Veron (1995); Rosen (1984), mengemukakan bahwa temperatur 18oC yang terus menerus dalam periode waktu tertentu diidentifikasi sebagai temperatur minimum air laut yang secara fungsional terumbu masih dapat bertahan hidup normal. Korelasi ini baru-baru ini diuji ulang dalam rentang temperatur dan dicatat di Jepang oleh Veron dan Minchin (1992) dan ditemukan benar. Temperatur rendah sering tercatat di lingkungan terumbu karang, tapi dalam sebagian kasus hanya ditemukan adanya kematian parsial (dimana bagian koloni karang mati) atau meliputi terumbu karang yang secara geologis merupakan hasil peninggalan lampau atau secara primer terdiri dari runtuhan yang tidak terkonsulidasi. Fluktuasi temperatur dalam jangka pendek di terumbu karang Teluk (Arab dan Parsia) (Coles dan Fadlallah, 1991) diketahui sebagai temperatur minimum. Semua karang akan mati jika terbuka sampai dengan tidak normal oleh pengaruh temperatur rendah yang abnormal, juga organisme lainnya. Sangat sedikit zooxanthellae karang diketahui dapat mentolerir temperatur di bawah 11oC pada kondisi alamiah. Oulastrea crispata di Semenanjung Noto Laut Jepang dapat mentolerir temperatur pada kira-kira 0oC (tidak diketahui dalam periode waktunya) dan nampaknya zooxanthellae tetap tinggal (Veron dan Minchin 1992). Siderastrea radians diketahui tercatat hidup dan toleran pada temperatur 4,5oC (Veron 1995). Sebagian besar informasi dari studi tentang toleransi pada temperatur rendah dilakukan di Selat Tanabe dan dekat Kushimoto Jepang Selatan; dimana species Acropora, Porites, Echinophyllia, Hydnophora dan Leptastrea mengalami tekanan secara fisiologis pada temperatur 9,4oC (Fukuda 1974 dalam Veron dan Minchin 1992). Studi ini ketika dikombinasikan dengan peneliti lain (Veron 1992) tentang distribusi regional, memperlihatkan bahwa terdapat kawasan-kawasan tertentu yang mempunyai perbedaan toleransi species karang terhadap temperatur minimum dan
10
bahwa kesuburan atau kekayaan species di kawasan marginal setidak-tidaknya mendapat setengah tekanan toleransi fungsionalnya dari temperatur yang menerpanya. Pada kisaran temperatur serupa juga ditemukan di Florida dan selatan Victoria Australia bahwa karang dengan jenis Plesiastrea versipora dan dua jenis Coscinarea dapat hidup dengan baik (Davis 1982; dan Burn 1985). Catatan tentang toleransi pada temperatur rendah, pada akhirnya bahwa karang dapat menyebar lebar baik dari segi taksonomi maupun secara geografis. Karang selalu mengalami kematian partial dan secara sekuensial akan mengalami pemulihan. Observasi yang relevan diperoleh bahwa sebagian besar penulis mengemukakan bahwa kematian terbesar terjadi di perairan dangkal, dimana udara dingin terjadi. Hubungan yang sama tepat antara ratarata temperatur minimum air laut permukaan dan mortalitas dapat dilihat di Kushimoto, dimana temperatur minimum rata-rata bulanan sekitar 15,3oC. Acropora hyacinthus sebagai species karang dominan di kawasan tersebut menderita meskipun tidak mengalami kematian saat temperatur menurun mencapai 13,7oC pada tahun 1980. Beberapa diantaranya mengalami pemutihan dan sebagian mati pada temperatur 13,4oC, kemudian kematian secara luas terjadi pada tahun 1984 saat temperatur mencapai 13,2oC (Misaki 1980 dalam Veron dan Minchin 1992). Dalam studi tersebut, temperatur kritis untuk bertahan hidup adalah 2oC di bawah rataan temperatur minimum bulanan. Kematian serupa akan dijumpai oleh species lain, dan studi juga memperlihatkan bahwa variasi kematian yang luas akan terjadi saat lamanya perubahan itu berlangsung. Kematian juga tidak hanya berkaitan dengan temperatur sebagai faktor pembatas distribusi karang. Kompetisi dengan makroalga (Crossland 1984), variasi aktivitas metabolik (khususnya kalsifikasi) (Crossland 1984), reproduksi; adalah juga akibat temperatur yang secara potensial berperan sebagai pembatas. Dari hal tersebut, kompetisi dengan makroalga nampaknya menyebabkan karang mengalami invasi terutama di lokasi lintang tinggi di Indo Pasifik dan mungkin juga terjadi pada lokasi lainnya. Kesimpulan yang dapat diutarakan dari catatan data di Jepang bahwa : a. 22,5% dari total diversitas species karang dapat mentolerir temperatur minimum 10,4oC. b. 27% dari total diversitas species karang dapat mentolerir temperatur minimum 13,2oC. c. 40% dari total diversitas species karang dapat mentolerir temperatur minimum 14,1oC. Data statistik ini mengabaikan penjelasan tentang frequensi dan lama waktu ditemuinya karang pada variasi temperatur, sehingga mereka secara konservative menunjukkan bahwa setengah dari semua karang mentolerir temperatur 14oC, juga bahwa setengah dari species sisanya mentolerir temperatur 4oC kurang dari temperatur minimum yang tercatat di lingkungan terumbu karang di Jepang. Ini adalah fakta yang kuat yang menunjukkan bahwa pembangunan terumbu tidak dibatasi oleh toleransi karang pada temperatur rendah. Pada saat hampir mati, sebagian besar pengaruh temperatur rendah pada karang adalah terhadap morfologinya.Beberapa species Acropora pada lintang ekstrim di Jepang berbentuk deretan bertingkat yang melebur tidak teratur dengan
11
plates-nya (tempat lekatan yang mati).Pembatasan pertumbuhan ini nampaknya merupakan bagian dari kematian partial dan pemulihannya. Veron dan Minchin (1992) mencatat bahwa pemulihan jenis tersebut dapat cepat melebihi pemulihan akibat bahaya Acanthaster. Di Tateyama (lokasi karang paling utara dunia) karang juga ditemukan; semua jenis kecuali Alveopora japonica yang tumbuh luar biasa, pertumbuhannya merata dalam bentuk encrusting dan beberapa (seperti Blastomosa wellsi) mempunyai perbedaan struktur corralite. Hal yang mirip terjadi pada karang yang hidup pada lintang tinggi di Australia juga mempunyai perbedaan morfologi serta struktur corralitenya, tetapi secara fisiologis tidak mengalami halangan atau tekanan dari faktor lingkungannya. Jika riset dilakukan tanpa rujukan bentuk koloni di kawasan lintang rendah, maka morfologi yang dijumpai menunjukkan keberadaan species karang di lintang tinggi dan jika mirip morfologinya di amphitropikal diyakini sebagai perpindahan tempat dari distribusi karang tropis. Bagaimanapun, morfologi ini memperlihatkan eksistensi dari subspecies secara geografik, walau satu jenis adalah secara primer ditentukan oleh lingkungan dari pada perbedaan genetik. Sedikit data yang tersedia tentang laju pertumbuhan karang pada temperatur rendah yang ekstrim. Rata-rata pertumbuhan dari jenis Acropora, diukur di Kushimoto dan subtropis Kuroshima masing-masing adalah 19 dan 99 mm/th (Veron dan Minchin 1992). Crossland (1984) menyimpulkan bahwa temperatur rendah merupakan determinan (penentu) primer, sedangkan cahaya merupakan determinan sekunder dari pertumbuhan dan kelangsungan hidup Acropora Formosa di Pulaupulau Houtman Abrolhos barat.Secara nyata karang-karang di pulau-pulau ini nampaknya tumbuh dengan melimpah dan merupakan tingkat produksi karbonat yang relatif tinggi seperti di terumbu karang tropis (Smith 1981). Tekanan temperatur panas tidak seperti tekanan yang dialami oleh karang pada temperatur dingin, yakni bukan merupakan fenomena pembatasan dispersi karang dan juga tidak merupakan pengaruh batas-batas lintang. Secara prinsipil, pengaruh temperatur panas menyebabkan breakdown (kerusakan) simbiosis karang dengan zooxanthellae yang diekspresikan dalam bentuk keluarnya zooxanthellae dari jaringan sel karang atau yang lebih dikenal dengan istilah (coral bleaching) pemutihan karang. Meskipun tekanan temperatur tinggi dapat terjadi di daerah terumbu karang lintang tinggi (seperti di Hawaii; Jokiel dan Coles 1990; di Bermuda Cook et al. 1990), namun hal itu cenderung terjadi dalam areal yang sempit di kawasan ekuator dan secara umum ini berkaitan dengan saat surut atau surut yang tidak normal. Pada skala biogeografi, tekanan temperatur panas selalu berkorelasi dengan fluktuasi cuaca harian yang mana El Nino Southern Oscillation (ENSO) telah diketahui pengaruhnya yang sangat penting (Guzman dan Cortes, 1992). Cahaya Kemampuan karang untuk membangun terumbu adalah dengan cara memanfaatkan energi dari cahaya matahari. Hal ini menjadi kunci bagi eksistensi pandangan teori terumbu karang yang modern dan juga bisa jadi untuk semua terumbu karang dalam skala geologi. Cahaya, bukan temperatur jelas sekali secara ekologis merupakan pembatas dari pada semua parameter fisika lingkungan, oleh
12
sebab itu nampaknya menunjukkan bahwa cahaya dapat menyebabkan pembatasan secara fisik terhadap biogeografi secara horizon. Kepentingan cahaya, dari kajian biogeografi dan evolusi adalah terkait dengan evolusi dari proses simbiosis karang dengan alga simbionnya yang berperan dalam pembangunan terumbu karang yang melampaui waktu evolusi itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut dan dalam peran cahaya, hal ini sinergis dengan adanya sedimentasi lingkungan, dimana pengaruhnya akan dapat menyebabkan hilang/tenggelamnya diversitas secara ekologis. Secara faktual dapat dinyatakan bahwa cahaya dapat berubah dengan lintang dari variasi musiman terhadap panjang hari dan kisaran efek dari sudut jatuhnya cahaya terhadap karang dan simbionnya (Campbell dan Aarup 1989) sebagaimana ketergantungannya dengan kedalaman. Kemungkinan pengaruh keberadaan cahaya terhadap distribusi karang pada berbagai kedalaman dan lintang mempunyai perbedaan kecil pada kecerahan perairan, temperatur, pertumbuhan musiman makroalga, kebutuhan cahaya yang specifik dari zooxanthellae dan mekanisme fotoadaptasi (adaptasi terhadap cahaya). Di Izu Jepang (35o LU) dan Pulau Lord Howe (31,5o LS) serta Pulau-pulau Houtman Abrolhos (28,5o LS) karang secara reguler ditemukan pada perairan jernih kedalaman 30 m dan kadang juga ditemukan di kedalaman 40 m dimana suatu substrat horizontal yang sesuai tersedia. Ketersediaan cahaya nampaknya tidak membatasi karang pada kedalaman tersebut. Pada kenyataannya efek dari keberadaan dari zooxanthellae oleh Veron (1995) diinformasikan bahwa zooxanthellae berubah dengan kedalaman secara signifikan pada Montastrea annularis. Oleh sebab itu dinyatakan bahwa kedalaman dan lintang membatasi distribusi zooxanthellae. Di tempat dalam dengan intensitas cahaya rendah tidak ditemukan terumbu karang. Kedalaman yang dalam berarti berkurangnya cahaya sehingga menyebabkan laju fotosintesis akan berkurang dan pada akhirnya kemampuan karang untuk membentuk kerangka juga akan berkurang. Kecepatan arus Pergerakan air juga sangat penting untuk transportasi unsur hara, larva dan bahan sedimen. Arus penting untuk pengelontaran untuk pencucian limbah dan untuk mempertahankan pola penggerusan dan penimbunan (Tomascik 1991). Penggerusan air dapat memberikan oksigen yang cukup, oleh sebab itu pertumbuhan karang lebih baik pada daerah yang mengalami gelombang yang besar daripada daerah yang tenang dan terlindung (Sukarno et al. 1983). Dari sekian banyak komponen limbah antara lain surfaktan, logam berat, bahan organik beracun dan bahan kimia, unsur hara nitrogen dan fosfor merupakan faktor yang paling menentukan kerusakan terumbu karang (Tomascik 1991). Peningkatan konsentrasi unsur hara akan memacu produktivitas plankton dan alga bentik. Hal ini diindikasikan dengan peningkatan chlorophyll-a dan kekeruhan, pada akhirnya memacu populasi hewan filter dan detritus feeder. Pengaruh peningkatan populasi fitoplankton dan kekeruhan, komposisi alga bentik serta toksisitas fosfat secara bersamaan dapat menurunkan jumlah karang (Connell dan Hawker 1992).
13
Salinitas Salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang karena adanya tekanan osmosis pada jaringan hidup. Salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar antara 30-330/00, oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup pada muara-muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam yang tinggi. Salinitas diketahui merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 34-360/00 (Kinsman 2004). Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, hingga kisaran salinitas bisa sampai 17,5-52,50/00 (Vaughan 1999; Wells 1994). Bahkan sering salinitas dibawah minium dan diatas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Bandengan, Jepara Jawa Tengah salinitas nol permil (00/00) untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpasan air sungai (Supriharyono 2000) dan di laguna Turneffe atoll, British Honduras yang salinitas mencapai 700/00 (Smith 1993). Kerusakan Karang Terjadinya degradasi terumbu karang seperti pemutihan karang (bleaching) sudah disugesti sebagai respon fisiologi karang untuk menduga tekanan lingkungan (Brown 1988 in Jones 1997). Karang mendapat keuntungan dari zooxanthellae berupa pewarnaan dari pigmen fotosintesis. Istilah bleaching digunakan untuk menjelaskan perubahan warna karang menjadi putih yang diikuti oleh penurunan zooxanthellae pada jaringan karang (Yonge, Nicholls 1931 in Jones 1997), kemudian berdampak pada penurunan suplai nutrisi dan energi ke polip karang. Selain itu pada pemutihan karang ditemukan juga adanya perbedaan signifikan rasio klorofil dan relokasi zooxanthellae dalam jaringan karang sehingga akan berbeda pembelahan sel pada kondisi alamiah maupun tertekan (Nganro 1992). Pemutihan karang yaitu menjadi pudar atau berwarna putih salju yang terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena tekanan manusia, yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya zooxanthella pewarna dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthella berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Brown et al. 1999; Fitt et al. 2001). Hilangnya alga simbiotiknya yang bernama zooxanthella yang banyak sekali hidup di jaringan karang atau hilangnya pigmen warna yang memberikan warna pada karang, dapat menyebabkan pemutihan pada karang.Tanpa zooxanthellae tersebut karang tidak dapat bertahan hidup lebih lama (Bryant et al. 1998). Zooxantehella memberikan warna pewarnaan pada terumbu karang, dari warna terang sampai gelap kecoklatan, tergantung pada kepadatan selnya. Bilamana ada pigmen lain dalam jaringan sel coral, maka warna kecoklatan akan tertutup oleh warna pigmen tadi menjadi warna biru, hijau, kuning atau warna ungu. Bila coral kehilangan zooxanthella, kerangka karang yang berwarna putih dapat dilihat melalui jaringan hewan itu yang transparan, menyebabkan coral tampak memutih. Pada jenis coral yang memiliki pigmen lain, bleached coral akan tampak warna flouresence, dan tidak tampak lagi warna coklat keemasan dari zooxanthellae (Oliver et. al. 2004).
14
Pemutihan dapat menjadi sesuatu yang biasa di beberapa daerah. Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan60-90% dari jumlah zooxanthella-nya dan zooxanthella yang masih tersisa dapat kehilangan 50-80% dari pigmen fotosintesisnya (Glynn 1996). Pemutihan karang (coral bleaching) merupakan faktor utama dari proses pengurangan dari karang sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya. Berawal dari tahun 1980-an, frekuensi dan penyebaran secara meluas terhadap peningkatan pemutihan karang mulai dikemukakan. Penyebaran bleaching, melibatkan daerah karang yang besar dan berkaitan erat dengan kematian karang secara masal yang dikaitkan dengan fenomena global yang termuk didalamnya pemanasan global (global warming) atau perubahan iklim dan peningkatan radiasi sinar ultra violet akibat penipisan ozon (Buchheim 2005). Akibat dari pemutihan sangat bervariasi. Pola pemutihan yang berbeda-beda dapat ditemukan dibeberapa koloni dari jenis yang sama, antara jenis yang berlainan di terumbu yang sama dan antara terumbu disuatu daerah (Brown 2000; Huppert dan Stone 1998; Spencer et al. 2000). Penyebabnya masih belum dapat diketahui, kemungkinan berbagai jenis tekanan alami atau gabungan dari beberapa tekanan menjadi pemicu bersama dengan variasi-variasi dari jenis zooxanthella dan kerapatan dalam koloni. Jenis zooxanthella yang berbeda dapat menghadapi tingkat tekanan yang berbeda pula dan beberapa zooxanthella telah menunjukan dapat beradaptasi kepada jenis-jenis karang tertentu, hal ini dapat menjelaskan variasi pemutihan pada suatu jenis karang (Rowan et al. 1997).
17
Analisis Data Persentasi Penutupan Karang Persentase penutupan terumbu karang bertujuan untuk melihat tingkat kerusakan karang yang dialami oleh suatu daerah terumbu karang. Presentasi penutupan karang ini untuk melihat kondisi fisik karang keras (hard coral). Persentase penutupan terumbu karang menggunakan rumus dibawah ini (English et al. 1994): Ci = li / L X 100% Keterangan : Ci = Persentase penutupan karang hidup li = Panjang total kategori substrat dasar (cm) L = Panjang transek (cm) Data persentase penutupan karang hidup yang diperoleh dikategorikanberdasarkan Gomez dan Yap (1988), yaitu: a. Buruk : 0 - 24,90 % b. Sedang : 25 - 49,90 % c. Baik : 50 - 74,90 % d. Sangat Baik : 75 - 100 % Ukuran tingkat kerusakan karang dilihat dari presentasi tutupan karang keras yang hidup di lokasi penelitian. Kepadatan Acanthaster planci Untuk menghitung kepadatan bintang laut ini maka digunakan rumus Krebs (1989). D = n/A D = Kepadatan Spesies (Ind/m2) n = Jumlah total Individu (individu) A = Luas total transek (m2) Kriteria kepadatan berdasarkan Endean (1987), yaitu dikategorikan alami jika kepadatannya kurang dari 14 ind/1000m2 (0,014 individu/m2) dan ancaman jika kepadatannya lebih dari 14 ind/1000m2. Status ekologi kepadatan dikelompokkan menurut titik pengamatan dan disajikan dalam bentuk grafik. Selain itu juga di analisis secara deskriptif dengan mengelompokkan status kepadatan bintang laut ini (alami dan ancaman) dan dihitung rata-rata penutupan karang hidupnya berdasarkan status kepadatan tersebut. Adapun hasilnya disajikan dalam bentuk grafik histogram.
Keterangan:
Persentasi Predasi Penentuan presentasi predasi A. planci di daerah terumbu karang bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh predasi A. planci terhadap kerusakan terumbu karang. Persentasi predasi A. planci merupakan selisih persentasi perbandingan awal tutupan karang dan akhir tutupan karang terhadap awal tutupan karang yang dinyatakan dengan persamaan :
20
Tabel 1. Nilai pengukuran parameter kualitas air Titik pengamatan Selatan
Suhu (oC) 29–31
Kecerahan (m) 8–9
Kecepatan Arus (m/s) 1,27 – 2,69
Salinitas (ppt) 30–33
Barat
29–31
8–9
0,63 – 1,64
29–31
Utara
29–31
9 – 10
1,04 – 2,39
29–31
pH 6,7– 7,5 7,47,5 6,8– 7,5
Nitrat (mg/l) 0,11–0,86
Phosphate (mg/l) 0,1–0,94
0,13-0,94
0,11-0,72
0,12–0,97
0,11-0,38
Suhu Suhu merupakan salah satu parameter yang terpenting bagi kehidupan organisme, karena suhu berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme maupun berkembangannya organisme air, khususnya terumbu karang. Menurut Nybakken (1992), suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme air, suhu air juga menentukan kehadiran dan aktivitas spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan dan penetasan juga menghambat pertumbuhan. Nilai suhu dari hasil pengukuran berkisar antara 29oC–31oC dengan nilai ratarata suhu dari seluruh titik pengamatan di perairan Pulau Hari setiap minggunya adalah 29,40C. Kisaran nilai tersebut masih mendukung pertumbuhan optimal dari terumbu karang. Hal ini didukung oleh pernyataan Reid et al. (2009), yang menyatakan bahwa suhu paling optimal bagi pertumbuhan karang berkisar antara 23oC–30oC. Kisaran nilai suhu setiap minggunya relatif konstan, hal ini disebabkan karena lokasi penelitian yang berada di perairan tropis dimana diketahui bahwa umumnya perubahan suhu di perairan tropis tidak terlalu besar bila dibandingkan perubahan suhu pada perairan subtropis. Kehidupan dan pertumbuhan terumbu karang ditentukam oleh kondisi suhu perairan sekitarnya. Itulah sebabnya keberadaan terumbu karang lebih banyak ditemukan di perairan tropis dibandingkan pada perairan subtropis. Kisaran nilai suhu tersebut sangat mendukung untuk kehidupan bintang laut ini. Menurut Bikerland and Lucas (1990), bahwa kisaran suhu yang optimal bagi bintang laut ini adalah 280C-330C, sehingga pada semua titik pengamatan ditemukan hewan ini. Suhu yang terlampau tinggi atau terlampau rendah akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bintang laut ini. Pada keadaan ekstrim, yaitu 140C dan 340C bintang laut ini akan mengalami tingkat kematian yang besar. Kecerahan Salah satu parameter kualitas air yang mempengaruhi kehidupan hewan karang ataupun biota laut lainnya adalah kecerahan. Kecerahan bagi kelangsungan hidup dan perkembangan terumbu karang sangat besar pengaruhnya. Mengingat hewan karang hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesis, sehingga memerlukan kecerahan yang tinggi agar cahaya lebih mudah masuk ke perairan (Supriharyono 2000). Intensitas cahaya sangat mempengaruhi kehidupan karang yaitu pada proses fotosintesis zooxanthellae yang produknya kemudian disumbangkan ke polip karang. Intensitas cahaya berhubungan
21
erat dengan kedalaman. Pada tempat yang lebih dalam dengan intensitas cahaya rendah tidak ditemukan terumbu karang. Kedalaman yang dalam berarti berkurangnya cahaya, sehingga menyebabkan laju fotosintesis akan berkurang dan pada akhirnya kemampuan karang untuk membentuk kerangka juga akan berkurang (Thamrin 2006). Hasil pengukuran kecerahan dengan menggunakan secchidish selama penelitian setiap minggunya di perairan Pulau Hari menunjukan tingkat kecerahan yang sangat tinggi. Cahaya yang masuk keperairan berkisar antara 8 m hingga pada kedalaman 10 m. Berdasarkan hal tersebut berarti tingkat kecerahan pada lokasi penelitian ini sangat mendukung untuk pertumbuhan karang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Thamrin (2006), yang menyatakan bahwa terumbu karang tumbuh dengan efektif pada kedalaman 10 m, hal ini disebabkan kebutuhan sinar matahari masih dapat terpenuhi pada kedalaman tersebut. Kecepatan Arus Menurut Thamrin (2006), arus atau gelombang penting untuk transportasi zat hara, larva, bahan sedimen dan oksigen, serta dapat membersihkan polip karang dari kotoran yang menempel. Itulah sebabnya karang yang hidup di daerah berombak dan berarus kuat lebih berkembang dibanding daerah yang tenang dan terlindung. Kecepatan arus permukaan perairan yang diperoleh selama penelitian antara lain adalah pada titk pengamatan sebelah Selatan berkisar antara 1,27 – 2,69 m/s, titik pengamatan sebelah Barat berkisar antara 0,63 – 1,64 m/s, sedangkan pada titik pengamatan sebelah Utara berkisar antara 1,04 – 2,39 m/s. Adapun nilai rata-rata kecepatan arus pada masing-masing titik pengamatan di perairan Pulau Hari, yaitu Sebelah Selatan 1,90 m/s, Sebelah Barat 1,12 m/s dan Sebelah Utara yaitu 1,71 m/s. Kecepatan arus merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan terumbu karang. Adanya arus akan memberikan suplai oksigen ke dalam air laut, menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang dan dapat memberikan makanan bagi terumbu karang (Nybakken 1992). Umumnya terumbu karang ditemukan tumbuh dan berkembang dengan baik pada perairan laut dengan kondisi kecepatan arus yang cukup besar. Namun, Endean (1987), mengemukakan bahwa pada umumnya bintang laut ini ditemukan pada lokasi-lokasi perairan dengan kecepatan arus yang lambat. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, titik sebelah Barat memiliki rata-rata nilai kecepatan arus yang paling lambat, yaitu 1,12 m/s sehingga bintang laut ini lebih banyak ditemukan pada lokasi tersebut dibandingkan dengan rata-rata nilai kecepatan arus pada titik sebelah Selatan dan Utara yang memiliki kecepatan arus yang lebih cepat, yaitu 1,90 m/s dan 1,71 m/s. Salinitas Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan hewan karang. Hasil pengamatan nilai salinitas di perairan Pulau Hari berkisar antara 29-33 ppt dengan nilai rata-rata salinitas pada masing-masing stasiun pengamatan, yaitu bagian Selatan 31,75 ppt, Sebelah Barat 30,50 ppt dan sebelah Utara 30,75 ppt. Pertumbuhan terumbu karang dipengaruhi oleh kondisi perairan di sekitarnya, salah satunya adalah salinitas perairan.
22
Nybakken (1992), mengatakan bahwa kondisi salinitas yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang berkisar antara 30-35 ppt. Nilai salinitas yang diperoleh pada masing-masing titik pengamatan tersebut masih menunjukkan kisaran yang normal untuk pertumbuhan terumbu karang. Sedangkan, Endean (1987), menyatakan bahwa umumnya A. planci lebih menyukai nilai salinitas yang lebih rendah yaitu antara 27-29 ppt. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bintang laut ini yang ditemukan pada titik sebelah Barat dibandingkan dengan titik sebelah Selatan dan Sebelah Utara. pH Nilai pH mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa suatu perairan. Setiap organisme mempunyai toleransi terhadap pH. Menurut Nybakken (1992), bahwa umumnya organisme perairan dapat hidup pada kisaran pH tidak kurang dari 6,7 dan tidak lebih dari 8,5. Selanjutnya dikatakan bahwa, penambahan suatu senyawa ke perairan hendaknya tidak menyebabkan perubahan pH menjadi lebih kecil dari 6,7 atau lebih besar dari 8,5. Berdasarkan hasil penelitian nilai pH pada setiap titik pengamatan terlihat adanya perbedaan yaitu pada titik sebelah Selatanberkisar antara 6,7 - 7,5, pada Sebelah Barat berkisar antara 7,4 – 7,5 dan pada bagian Utara berkisar antara 6,8 – 7,5. Kisaran tersebut masih mendukung keberadaan organisme di perairan Pulau Hari, khususnya terumbu karang. Thamrin (2006), menyatakan bahwa pH yang mendukung bagi kehidupan biota karang berkisar antara 6,5–8,5. Nitrat dan Fosfat Zat hara merupakan salah satu sumber bahan makanan (nutrien) bagi organisme perairan, khusunya nitrat dan fosfat dan merupakan salah satu indikator kesuburan perairan (Simajuntak, 2003). Nilai nitrat yang terukur berkisar antara 0,110,97 mg/l dengan nilai rata-rata 0,36 mg/l. Kandungan nitrat pada masing-masing stasiun pengamatan di perairan Pulau Hari beragam, namun secara keseluruhan kadar nitrat di perairan tersebut masih normal untuk wilayah tropis. Kandungan nitrat tersebut cukup tinggi, sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), bahwa kadar nitrogen yang lebih dari 0,2 mgh/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) unsur hara di perairan yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat. Alga dan tumbuhan air ini sangat mendukung eksistensi keberadaan organisme perairan lainnya sebagai sumber bahan makanan utama melalui proses fotosintesis. Beberapa jenis alga juga menjadi sumber makanan bagi predator karang, khususnya hewan ini. Kadar fosfat di perairan Pulau Hari selama penelitian berkisar antara 0,100,94 mg/l dengan nilai rata-rata 0,51 mg/l. Sama halnya dengan kandungan nitrat, variasi kadar fosfat pada masing-masing titik pengamatan terlihat beragam, namun secara kesluruhan kadar fosfat di perairan tersebut masih normal untuk wilayah tropis. Hal ini didukung dengan pernyataan Joshimura dalam Liaw (1969), yang menyatakan bahwa tingkat kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfatnya pada kisaran nilai anara 0,07-1,61 mg/l tergolong cukup subur.
23
Kondisi Tutupan Karang Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentasi penutupan karang keras (HC) lebih tinggi dibandingkan dengan persentasi penutupan karang mati (DC). Persentasi penutupan karang keras (HC) tertinggi pada titik sebelah Utara yaitu sebesar 66,15%, Sebelah Selatan yaitu 65,64% dan yang terendah pada sebelah Barat yaitu 41,62%. Persentasi penutupan karang mati (DC) tertinggi pada titik sebelah Barat yaitu sebesar 48,62%, Sebelah Selatan yaitu 19,33% dan terendah pada bagian Utara yaitu 13,14%. Adapun persentasi penutupan karang yang ditumbuhi alga (DCA) hanya ditemukan pada titik sebelah Selatan yaitu sebesar 0,2%. Persentasi penutupan komposisi lain juga, seperti other tertinggi ditemukan pada titik sebelah Barat yaitu sebesar 1,71%, Sebelah Utara 1,1% dan terendah ditemukan pada titik sebelah Selatan yaitu sebesar 0,4%. Sedangkan, persentasi penutupan abiotik tertinggi ditemukan pada titik sebelah Barat yaitu sebesar 8,03%, Sebelah Utara yaitu 6,25% dan terendah pada titik sebelah Selatan yaitu sebesar 5,58% (Gambar 6.). Sedangkan hubungan antara persentasi tutupan karang dan jumlah individu A. planci yang ditemukan di titik pengamatan menunjukkan hubungan yang positif (Tabel 2). Tabel 2. Hubungan jumlah kehadiran individu A. planci dengan persentase tutupan karang hidup Hubungan Jumlah Kehadiran Individu A. Planci dengan % Tutupan Karang hidup
Minggu
Selatan Individu
% Tutupan
0
1
65.64
II
2
IV
3 4
V Jumlah Kehadiran Individu
10
Titik Pengamatan Barat % Individu Tutupan
Utara Individu
% Tutupan
8
43.8
0
66.1
65.62
9
41.76
1
65.98
65.4
13
40.58
1
66.32
65.8
11
40.38
0
66.2
41
2
Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa persentase penutupan karang hidup di perairan Pulau Hari lebih tinggi dibandingkan dengan persentasi penutupan karang mati. Persentasi penutupan karang hidup berkisar antara 40,36% hingga 66,32% dengan nilai rata-rata persentasi penutupannya pada masing-masing stasiun pengamatan adalah 57,79%. Persentasi penutupan karang di perairan tersebut masih tergolong baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gomez dan Yap (1988) yang menyatakan bahwa persentasi penutupan karang hidup yang berkisar antara 50%74,90% tergolong baik.
24
Gambar 6. Persentasi Penutupan Karang Keras Beberapa bentuk pertumbuhan karang yang ditemukan di perairan Pulau Hari tersebut cukup beragam, antara lain ACB, CB, CE, CF, CM, CME, CMR, dan CSM. Adapun bentuk pertumbuhan yang paling mendominasi dari masing-masing Stasiun tersebut berdasarkan hasil pengamatan adalah ACB (Acrophora Branching). Hal ini sesuai dengan pernyatan Thamrin (2006), yang menyatakan bahwa Acrophora Branching (ACB) ditemukan tumbuh dan berkembang dengan baik pada perairan dengan kedalaman antara 3 – 7 meter atau < 10 m, karena keberadaan terumbu karang termasuk ACB sangat tergantung pada keberadaan atau intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Cahaya matahari yang cukup sangat diperlukan oleh terumbu karang untuk melakukan fotosintesis oleh zooxanthellae yang terdapat pada polip karang. Achantaster planci dan Penurunan Tutupan Karang Keras A. planci yang ditemukan di perairan Pulau Hari menunjukkan jumlah organisme yang berbeda-beda yang berimplikasi terhadap kepadatan organisme ini diantara ketiga titik pengamatan yaitu pada bagian selatan, utara dan barat selama 6 minggu pengamatan (Gambar 7).
26
Tabel 3. Persentasi predasi A. planci terhadap persentasi tutupan karang selama enam minggu (%) titik pengamatan Selatan Barat Utara
Minggu Ke- 2 0,030% 4,658% 0,182%
% penurunan Minggu Ke- 4 0,366% 7,352% -0,333%
Minggu Ke- 6 -0,244% 7,808% -0,151%
Ket.:( +) = penurunan ( - ) = tumbuh
Persentasi predasi bintang laut yang paling tinggi terdapat pada titik sebelah Barat dengan nilai 7,808%, sedangkan persentasi predasi bintang laut ini pada titik sebelah Selatan dan Utara lebih rendah, bahkan mengalami pertumbuhan yaitu masing-masing dengan nila -0,244% dan -0,151%. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diketahui bahwa ada korelasi antara kepadatan bintang laut ini terhadap persentasi tutupan karang hidup. Semakin tinggi kepadatan bintang laut ini maka persentasi tutupan karang hidup semakin rendah, begitupula sebaliknya semakin rendah kepadatan bintang laut ini maka persentasi tutupan karang hidup semakin tinggi. Status ekologi terhadap kondisi terumbu karang di perairan Pulau Hari untuk setiap titik pengamatan disajikan pada Tabel 4 (Endean 1987). zat kimia yang menarik komunitas bintang laut lainnya kearea terjadi pemangsaan, sampai akhirnya menjadi kelompok besar .A. planci adalah predator. karang yang dapat memangsa karang dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat. Menurut Moran (1990), satu individu bintang laut ini dewasa dapat memangsa rata-rata 5 – 6 m2 koloni karang/tahun. Dalam menentukan seberapa besar pemangsaan atau predasi bintang laut ini terhadap terumbu karang maka dianalisis dengan melihat selisih antara nilai persentasi tutupan awal karang hidup terhadap persentase tutupan akhir karang hidup yang dinyatakan dalam persen (Tabel 3.). Tabel 4. Status ekologi A. planci terhadap kondisi terumbu karang di Perairan Pulau Hari Minggu 0
2
4
6
Titik Pengamatan Selatan Barat Utara Selatan Barat Utara Selatan Barat Utara Selatan Barat Utara
Kepadatan (ind/500m2) 1 8 0 2 9 1 3 13 1 4 11 0
Status Ekologi Alami Mengancam Alami Mengancam Alami Alami Mengancam Alami Alami Mengancam -
27
Keberadaan bintang laut ini pada titik pengamatan sebelah Barat sudah mengancam keberadaan terumbu karang di daerah tersebut (Tabel 4). Padatnya populasi bintang laut ini pada titik pengamatan sebelah Barat tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan. Kondisi lingkungan pada titik pengamatan sebelah Barat sangat mendukung kehidupan bintang laut ini, misalnya kecepatan arus dan salinitas. Endean (1987), menyatakan bahwa bintang laut ini lebih menyukai perairan dengan kondisi kecepatan arus yang lambat dan kandungan salinitas yang rendah. Berdasarkan hasil pengamatan, menunjukkan bahwa titik pengamatan sebelah Barat memiliki kecepatan arus yang lebih lambat (1,12 m/s) dan kandungan salinitas yang lebih rendah (30,50 ppt) dibandingkan dengan sebelah Selatan dan Utara. Hal tersebut juga didukung berdasarkan data persentasi penutupan karang yang menunjukkan bahwa persentasi penutupan karang yang paling rendah yaitu pada titik pengamatan sebelah Barat dengan persentasi penutupan karang keras (HC), yaitu hanya sebesar 41,62%. Persentasi penutupan tersebut cukup rendah jika dibandingkan dengan persentasi penutupan karang keras (HC) pada titik pengamatan sebelah Selatan dan Utara, yaitu masing-masing sebesar 65,64% dan 66,15%. Demikian pula pada persentasi penutupan karang mati (DC) pada masing-masing stasiun pengamatan. Persentasi penutupan karang mati (DC) paling tinggi ditemukan pada titik pengamatan sebelah Barat, yaitu sebesar 48,62%, sedangkan Sebelah Selatan dan Utara memiliki persentasi penutupan karang mati (DC) yang cukup rendah jika dibandingkan dengan titik pengamatan sebelah Barat, yaitu masing-masing 19,33% dan 13,14%. Endean (1987), menyatakan bahwa gambaran kondisi terumbu karang tersebut sudah menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan bagi ekosistem terumbu karang di Pulau Hari, karena sudah berada pada status ekologi “mengancam”. Untuk melakukan pemulihan kembali (restorasi) terhadap kondisi terumbu karang di Pulau Hari perlu dilakukan berbagai upaya atau bentuk pengelolaan terhadap terumbu karang. Salah satunya adalah dengan membunuh sebanyak mungkin individu dewasa agar ridak memproduksi larva yang akan menyebar ke terumbu berikutnya. Pembunuhan bintang laut ini dapat dilakukan dengan membawanya ke darat atau membunuhnya di dalam air. Metode yang pertama, penyelam mengambil bintang laut ini sebanyak-banyaknya dengan menusuk bintang laut tersebut seperti menusuk sate. Cara ini dilakukan berulangkali dan bintang laut ini tersebut dibunuh di pantai. Cara yang kedua dilakukan dengan menggunakan suntikan yang didesain khusus. Penyelam menyuntikkan larutan sodium bisulfate atau kupri-sulfat ke dalam tubuh bintang laut ini. Biasanya bintang laut ini akan mati dalam beberapa hari setelah terkena suntikan sodium bisulfat. Dengan cara ini penyelam dapat menyuntik ratusan bintang laut ini dengan sekali penyelaman. Moran (1990) menyatakan metode penyuntikan dengan kupri-sulfat paling efektif, dapat membunuh 132 individu bintang laut ini dalam waktu satu jam.
29
Indeks predasi karang memiliki hubungan korelasi positif dengan persen predai karang. Hal ini dibuktikan dengan data persen predasi karang yang diperoleh juga menunjukkan bahwa titik pengamatan sebelah Barat memiliki persen predasi karang yang lebih tinggi dibanding dengan Sebelah Selatan dan Utara. Persentasi predasi bintang laut ini yang paling tinggi terdapat pada titik pengamatan sebelah Barat dengan nilai 7,808%, sedangkan persentasi predasi bintang laut ini pada titik pengamatan sebelah Selatan dan Utara lebih rendah, yaitu masing-masing dengan nilai -0,244% dan -0,151%.. Tingginya indeks predasi karang pada titik pengamatan sebelah Barat tersebut akan menghambat laju pertumbuhan karang. Selain itu juga, Rani, et al. (2010), menyatakan bahwa pemangsaan bintang laut ini terhadap terumbu karang akan menimbulkan sebuah masalah, karena apabila pemangsaan tersebut dalam jumlah populasi yang besar dapat menyebabkan kematian karang. Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang Jenis dan jumlah ikan karang di perairan Pulau Hari selama penelitian dijumpai sebanyak 84 spesies yang tercakup dalam 20 famili. Jenis ikan dari famili Pomacentridae merupakan ikan yang paling banyak dijumpai (dominan), yakni sebanyak 15 jenis, Labridae sebanyak 8 spesies; Achanturidae sebanyak 8 spesies; Chaetodonidae, Luthjanidae, Mullidae dan Serranidae masing-masing sebanyak 5 spesies; Apogonidae, Letrinidae dan Scaridae masing-masing sebanyak 4 spesies; Balistidae, Caesinidae, Nemipteridae dan Siganidae masing-masing sebanyak 3 spesies; Cirrithidae dan Pomachantidae masing-masing sebanyak 2 spesies; Carangidae, Ephippidae, Haemulidae dan Holocentridae masing-masing sebanyak 1 spesies. Banyaknya jumlah total individu pada titik pengamatan sebelah Selatan sebanyak 3709 ekor dengan indeks keanekaragaman jenis (H’) yaitu 5,7318; titik pengamatan sebelah Barat sebanyak 4370 ekor dengan indeks keanekaragaman jenis (H’) yaitu 5,2387 dan titik pengamatan sebelah Utara sebanyak 3474 ekor dengan indeks keanekaragaman jenis (H’) yaitu 5,8329. Sumadhiharga, et al. (2006), menyatakan bahwa baik dan buruknya kondisi terumbu karang dan lingkungannya sangat menentukan kelimpahan ikan karang yang menghuni perairan tersebut. Apabila kondisi terumbu karang dalam kondisi baik, maka kelimpahan ikan karangnya juga akan tinggi, begitu pula sebaliknya apabila kondisi terumbu karang dalam kondisi buruk, maka kelimpahan ikan karangnya juga akan rendah. Hasil pengamatan mengenai kondisi terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa persentase penutupan karang hidup di perairan Pulau Hari lebih tinggi dibandingkan dengan persentasi penutupan karang mati. Persentasi penutupan karang hidup berkisar antara 40,36% hingga 66,32% dengan nilai rata-rata persentasi penutupannya pada masing-masing stasiun pengamatan adalah 57,79%. Sesuai denga kriteria penilaian, maka persentasi penutupan karang di perairan tersebut masih tergolong baik, sehingga kelimpahan ikan karang pada lokasi perairan tersebut juga tinggi. A.planci merupakan hewan predator bagi karang, namun bukan berarti hewan tersebut tak memiliki predator bagi dirinya. Ikan napoleon merupakan salah satu
30
predator Acanthaster, ikan napoleon diyakini aktif mengkonsumsi telur dari bintang laut ini , jadi jika jumlah populasi ikan napoleon berkurang, habitat terumbu karang diduga akan mengalami ledakan populasi bintang laut ini , maka dari itu ikan napoleon dapat dinyatakan sebagai spesies kunci (Wiadnya 2011). Keterkaitan Antara Persentasi Predasi dengan Kepadatan Acanthaster planci Grafik hubungan antara persen predasi dengan kepadatan bintang laut ini pada titik pengamatan dapat dilihat bahwa grafik menunjukkan korelasi atau hubungan yang positif. Hal ini berarti, bahwa ketika kepadatan meningkat satu satuan maka persentase predasi akan akan meningkat sebesar 0.007. Hal ini menunjukkan korelasi yang signifikan hubungan antara kepadatan bintang laut ini dengan persentasi predasi, hubungan antara persentasi predasi bintang laut ini dengan kepadatan bintang laut ini sangat erat dengan nilai 0.978 dalam kondisi kepadatan bintang laut ini yang tinggi seperti pada titik pengamatan sebelah barat memperlihatkan suatu fenomena yang mengancam dan bisa menyebapkan dampak negatif terhadap kondisi terumbu karang. Semakin rendahnya tutupan karang hidup pada kondisi bintang laut ini dengan kepadatan lebih tinggi disebabkan karena adanya pemangsaan polip karang oleh bintang laut ini yang mengakibatkan kematian pada karang. Populasi hewan ini yang padat di daerah terumbu karang akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang. Organisme ini adalah predator karang yang dapat memangsa karang dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat. Menurut Moran (1990), satu individu Adapun status dewasa dapat memangsa rata-rata 5–6 m2 koloni karang/tahun.
Gambar 9. Grafik hubungan antara persen predasi dengan kepadatan A. planci Tingginya tutupan karang hidup pada terumbu karang di lokasi penelitian disebabkan karena populasi bintang laut ini yang tidak terlalu tinggi, sehingga pemangsaan karang juga tidak terlalu tinggi. Jika populasi bintang laut ini pada suatu ekosistem dalam status alami, maka tidak akan memberikan ancaman yang berarti terhadap ekosistem terumbu karang bahkan dapat menjaga keseimbangan ekologi di dalam ekosistem. Hal ini sesuai pendapat Bachtiar (2009), bahwa
31
pemangsaan karang oleh bintang laut ini yang dalam populasi rendah bersifat selektif dengan preferensi pada Pocilloporidae dan Acroporidae yang tumbuh cepat dan cenderung mendominasi ruang di terumbu. Pemangsaan selektif ini mempunyai dampak ekologi yang positif karena memberikan bantuan kepada karang yang tumbuh lambat untuk tetap tinggal di terumbu tersebut. Tetapi jika populasi bintang laut ini melebihi kemampuan karang untuk pulih kembali, maka yang terjadi adalah sebuah bencana kerusakan terumbu karang. Secara alamiah, A. planci pada tingkat larva merupakan makanan karang batu dan ikan-ikan karang seperti Chromis dimideatus. Pada stadium juvenile A. planci merupakan santapan empuk bagi ikan-ikan karang, udang, lobster. Pada tingkat dewasa diburu oleh sejenis cacing, ikan karang dari jenis Scaridae dan jenis molusca dari jenis Chronia tritonis. Kematian A. planci yang disebabkan oleh predator diperkirakan antara 5-6% (Suharsono 1991). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah spesies ikan Scaridae yang ditemukan di lokasi penelitian berjumlah 6 spesies, namun ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Hal ini disebabkan karena ikan jenis ini merupakan ikan-ikan target penangkapan nelayan yang tinggal di sekitar pulau tersebut. Dengan demikian secara alamiah di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan A. planci tidak mampu lagi dikontrol secara alamiah. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang lebih lanjut berupa pengendalian predator alami A. planci yaitu mengontrol ikan-ikan family Scaridae. Pengendalian berupa menggunakan alat tangkap ramah lingkungan (bubu dan pancing), pelarangan alat atau cara menangkap yang berbahaya (bom dan racun), dan pengaturan ukuran tangkap ikan khususnya predator A. planci.
32
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tingkat kerusakan terumbu karang yang paling Nampak di Pulau Hari ditemukan pada titik pengamatan bagian barat yang ditunjukkan dengan penurunan persentasi tutupan karang selama enam minggu pengamatan. Pada minggu pertama ditemukan tutupan karang hidup berada pada 43,8% setelah enam minggu kemudian, persentasi tutupan karangnya menurun menjadi 40,38%. Penurunan persentasi ini menunjukkan kondisi kerusakan terumbu karang yang sangat serius dan cepat. Penyebab utamanya adalah melimpahnya A. planci di titik pengamatan tersebut. Pengaruh A. planci di Pulau Hari terhadap kondisi terumbu karang terumbu karang menunjukkan kondisi yang sangat nampak, dimana indeks predasi tertinggi ditemukan di titik pengamatan sebelah barat dengan nilai 1,952054. Sedangkan di dua titik pengamatan yang lain yaitu selatan dan utara menunjukkan indeks predasi yang lebih rendah dengan nilai masing -0,06094 dan -0,03782. Keadaan indeks predasi yang tinggi tersebut juga didukung oleh jumlah kehadiran organisme A. placi di titik pengamatan dimana pada titik sebelah barat ditemukan sebanyak 41 individu A. planci. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan 2 titik pengamatan yang lainnya. Saran Kekurangan dari penelitian ini adalah tidak mencakup keseluruhan kondisi terumbu karang yang ada di Pulau Hari yang disebabkan oleh adanya pengaruh arus pasang surut yang sangat deras pada daerah-daerah tertentu sehingga hanya dilakukan pada tiga titik pengamatan yaitu sebelah barat, utara dan selatan. Selain itu, penelitian ini juga hanya dilakukan dalam selang waktu enam minggu pengamatan sehingga hanya memberikan gambaran kondisi terumbu karang dalam waktu tersebut. Sedangkan dari sisi individu A. planci hanya dilakukan perhitungan terhadap jumlah individu yang ditemukan namun tidak dilakukan pengukuran biomassanya. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lanjutan tentang penempatan titik-titik pengamatan yang dilakukan secara spasial dan temporal dan jangka waktu yang lebih panjang serta pengamatan terhadap A. planci dengan menghitung biomassanya. Pengaruh dari kelimpahan A. planci terhadap kerusakan terumbu karang merupakan hal yang harus diperhatikan oleh pengambil kebijakan. Karena berdasarkan hasil penelitian ini yang dilakukan dalam selama selang waktu enam minggu pengamatan terjadi penurunan persentasi terumbu karang yang cukup serius. Dengan demikian perlu adanya monitoring terhadap kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh A. planci secara terus-menerus untuk melihat perubahan yang dialami oleh terumbu karang tersebut. Pengelolaan yang perlu dilakukan terhadap kondisi terumbu karang yang ada di Pulau Hari kedepan adalah mempertahankan predator alami A. planci dan pengendalian secara teknis A. planci dengan cara menangkapnya dan membawanya ke darat.
33
DAFTAR PUSTAKA Aziz A. 1995. Beberapa Catatan Tentang Kehadiran Bintang Laut Jenis Acanthaster planci di Perairan Indonesia. Oseana Vol.XX, 2: 23-31. Jakarta. Bachtiar I. 2009. Bintang Laut Mahkota Duri (Acanthaster planci, Asteroidea). http://mycoralreef.wordpress.com. (Di akses 25 November 2013).
Baker A, Romanski AM. 2007. Multiple simbiotic partnerships are common in scleractinian corals, bat not in octocorals. Marine Ecology ProgressSeries Vol. 335: 237-242, 2007. Published April 16 © Inter-research 2013. www.int-res.com. Birkeland C, and Lucas JS. 1990. Acanthaster planci:Major Management problem of coral reef . Boston. CRC press Blank R.J, Trench R.K. 1985. Nomenclature of endosymbiotic dinoflagellates. Taxon 35:286–658. Borneman E. 1998. Getting Up-To-Date on Zooxanthellae. www.aquarium.net/ 0998/0998. Dikunjungi tanggal 16 Maret 2013. Brower, J.E., J.H. Zar. 1977. Field and laboratory methods for general ecology. Wm. C. Brown Company Publisher, Dubuque, Iowa. Brower J, Zar J, von Ende C. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Wm. C. Brown Publ. Bryant D, Burke L, McManus J, Spalding M. 1998. Reefs at Risk: A Map Based Indicator of Potential Threats to the World’s Coral Reefs. Worlds Resources Institute (WRI), Washington, D.C. 56pp. Available online:www.wri.org/indictrs/reefrisk.htm Burn TP, 1985, Hard coral distribution and cold water disturbances in South Florida : Variation with depth and location. Coral Reefs, 4:117-24 Campbell JW, Aarup T, 1989. Photosynthetically available radiation at high latitude. Limnol. Oceanogr. 34:1490-1499. Coles SL, Fadlallah YH, 1991. Reef coral survival dan mortality at low temperatures in arabian Gulf : a new species-specific lower temperature limits. Coral Reefs, 9 : 231-7. CRC (2003) Crown-of-thorns starfish in the Great Barrier Reefs: Current State of Knowledge. Cooperative Research Centers (CRC) Reef Research Center. Townsville, Australia Crossland CJ, 1984. Seasonal variation in the rates of calcification and productivity in the coral Acropora formosa on a high latitude reef. Mar. Ecol. Prog. Ser. 15 :135-140. Davis GE, 1982. A century of natural change in coral distribution in the dry Tortugas : a comparison of reef map from 1881 and 1976. Bull. Mar. Sci. 32:233-258. De’ath G, and Moran PJ. 1998. Factors affectingthe behafior of crown-of-thorns starfish (Acanthaster planci) on the Great Barrier reef. Feeding preferences.J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 220: 107-126. Effendi I. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
34
Endean R. 1987. Acanthaster planci Investation. pp. 299-237. In B. salvat (editor). Human Impact on Coral Reefs: Facts and Recommendations, Antenne Museum E.P.H.E. French Polynesia. Australia. English SC, Wilkinson, Baker V. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australia Institute of Marine Science. Townsvile. Fraser N. Crawford BR, Kusen J. 2003. Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri, Koleksi Dokumen Pesisir. USAID-ICRMP, Jakarta. 34 hal. Glinn MA. 1996. Innvative genus: A framework for relatingindividuan and organization intelligences to innovation Academy of Management Review Vol. 21(4) pp 1081-1111. Gomez ED, Halen TY. 1988. Monitoring Reef Condition. In: Eds.: R.A. Kenchington and B.E.T., Hudson. p.187-195. UNESCO. Jakarta. Guzman HM, Cortes J. 1989. Coral reef community structure at Cano Island, Pacific Costa Rica. Mar. Ecol. 10 : 23-41. Jos MC. 2009. Flexibility of the Coral alga Simbiosis in the Face of Climate Change : infestigating the adaptive bleaching hypothesis Printed by Ipskamp Drukkers, Enschede, The Netherlands. Lane DJW (1996) A crown-of-thorns outbreak in the eastern Indonesian Archipelago, February 1996. Coral Reefs 15:209-210 Liaw WK. 1969. Chemical and Biological Studies of fish Pond and Reservoir in Taiwan. Chinese America Joint Comission on Rural. Recontruction Fish, Series 7: 1-43. Lucas J. 1987. Life History. The Crown of Thorns Starfish, Australian Science Magazine, Issue 3. GBRMPA, Queensland Ludwig JA, Reynold, JF. 1988. Statistical Ecology. A. Primer on Method on Competing: Jhon Willey and Sons Manuputty A, Budiyanto A. 2000. Sebaran Spasial Karang Mati di Perairan Karimun Jawa, Jawa Tengah, Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan IPTEK Terumbu Karang Indonesia. COREMAP LIPI.22-23 Nop 1999. Moran PJ. 1990. The Acanthaster plancii (L.); Biographical Data. Coral Reefs 9; 9596. Moran PJ Reichelt RE Bradbury RH (1986) An assessment of the geological evidence for previous outbreaks. Coral Reefs 4:235-238 Nur 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang di Perairan Kecamatan Tomia Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. LPKL. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi (Edisi Terjemahan : M Edman, DG Bengen, Koesobiono). Gramedia. Jakarta. Obura D dan Grimsdich G. 2009. Resilience assessment of coral reefs: rapidassessment protocol for coral reefs, focusingon coral bleaching and thermal stress. IUCN resiliencesciencegroup working peper series 5. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology (3rd Eds). Philadelphia: Saundres Co.
35
Rani C, Yusuf S, Benedikta, F.D.S. 2010. Preferensi dan Daya Predasi Acanthaster planci terhadap Karang Keras. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin. Makassar. Reid C, Marshall J, Logan D, Kleine D. 2009. Coral Reefs and Climate Change. Coralwatch, The University of Queensland, Australia.272 Hal. Rosen BR. 1984. Reef coral biogeography and climate through the late Cainozoic : just islands in the sun or a critical pattern of islands. In. Brenchley P. (Ed.). Fossiles and Climate. John Wiley & Sons. New York. Rowan R, Powers DA. 1991. Molecular genetic identification of zymbiotic dinoflagellates (zooxanthellae). Mar. Ecol Prog. Ser. Vol 71 : 65-73 Rowan R, Knowlton N. 1995. Intraspecific divercity and ecological zonation in coral algal symbiosis. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States Of America. 92(7): 2850-2853. Simanjuntak M. 2003. Kadar Fosfat, Nitrat dan Silikat Kaitannya dengan Kesuburan di Perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Makalah. Seminar Nasional Kimia dan Kongres Nasional Himpunan Kimia Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 22 Februari 2006. Jakarta. Smith SV. 1981. The Houtman Albarhos Islands : carbon metabolism of coral reefs at high latitude. Limnol. Oceanogr. 26 : 612-21. Sumadhiharga OK, Djamali A, Badrudin M. 2006. Keanekaragaman Jenis Ikan Karang di Perairan Belitung Barat, Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal Ilmu Kelautan. 11(4): 201-209. Supriharyono 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. Hal: 1-24, 129. Sukarno M, Hutomo M, Moosa MK, Darsono P. 1983. Terumbu Karang di Indonesia: Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia, Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan. Jakarta : LIPI. Lembaga Oseonografi Nasional. Sudjana. 1989. Metoda Statistika. Cetakan ke-5. Bandung: Tarsito Suharsono. 1998. Kesadaran Masyarakat tentang Terumbu Karang (Kerusakan Karang di Indonesia). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi –LIPI, Jakarta. Suharsono. 1991. Bulu Seribu (Acanthaster planci). Oseana Vol. XVI Nomor 3: 1-7. Sutherland K.P et al. 2004. Disease and immunity in Caribbean and Indo-Pacific zooxanthellate corals. Marine Ecology Progress Series, Vol. 266: 273–302, 2004. Suwignyo S., dkk., 2005. Avertebrata Air. Jilid I. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm: 5556, 201. Thamrin. 2006. Karang: Biologi Reproduksi dan Ekologi. Penerbit Minamandiri Pres. Pekanbaru. 260 hlm. Tomascik T. 1991. Coral Reef Ecoystem Environmental Management Guidline. Jakarta: Kantor Mentri LH. Trench RK. 1979. The cell biology of plant animals symbiosis. Ann. Rev. Plant. Physiol. 30 : 485-531.
36
Veron JEN. 1995. Coral in space and time. Australian Institute of Marine Science Cape Ferguson, Townsville, Quensland. Veron JEN, Terence JD. 2000. Coral and Coral Communities of Lord Howe Island Part 30 Australian Institute of Marine Science. Townsville. 203-236 p. Wesmacott S, Kristian Teleki, Sue Wells, Jordan West. 2000. Pengelolaan terumbu karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis IUCN (The World Corservation Union) IUCN Publication Services Unit. Wilkinson CW, Linden O, Cesar H, Hodgson G, Rubens J, Strong A. 1999. Ecological and Socioeconomic Impacts of 1998 Coral Mortality in The Indian Ocean: An ENSO Impact and a Warning of Future Change? AMBIO 28 (2) : 188-196. Wilkinson CR. 2000. Status of coral reefs of the world : 2000. Australian Institute of Marine Science. Townsville, Australia. Wilkinson C. 2008. Starus of Coral Reefs of the World: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Centre, Townsville, Australia, 296 p. Wiadnya DGR. 2011. Bio-Ekologi ikan napoleon, Cheilinus undulatus (Rüppell, 1835) dan terumbu karang. 5 hlm. Zamani NP. 1995. Effects of environmental stress on cell division and other cellular parameters of zooxanthellae in the tropical symbiotic anemone Heteractis malu, Huddon and Shackleton. Ph.D. Thesis in tropical coastal management the Univ. of Newcastle upon tyne, UK., 261p
37
Lampiran
38
1. Kepadatan A. planci Waktu
Selatan
Minggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 6 jum. rata2
Barat
Utara
1 8 0 2 9 1 3 13 1 4 11 0 10 41 2 3.333333 13.66667 0.666667
2. Persentasi tutupan karang hidup
Minggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 6
1 65.64% 65.62% 65.4% 65.8%
titik pengamatan 2 43.8% 41.76% 40.58% 40.38%
3 66.1% 65.98% 66.32% 66.2%
3. Kelimpahan dan keanekaragan ikan karang Famili Pomacentridae
Jumlah Spesies 15
Labridae
9
Achanturidae
8
Chaetodonidae 5 Luthjanidae
5
Mullidae
5
Serranidae
5
Apogonidae
4
Letrinidae
4
Scaridae
4
Balistidae
3
Caesinidae
3
Nemipteridae
3
Siganidae
3
Cirrithidae
2
Pomachantidae 2 Carangidae
1
Ephippidae
1
Haemulidae
1
Holocentridae
1
40
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendari Sulawesi Tenggara, tanggal 17 September 1988 dari ayah Rafahu dan ibu Sunarti Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMAN 4 Kendari dan pada tahun yang sama memasuki Universitas Haluoleo (UHO), melalui jalur SPMB pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan, lulus pada tahun 2010. Penulis Berkesempatan melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Sekolah Pasca Sarajana IPB tahun 2011.