PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
IMAM BACHTIAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Indeks Resiliensi Ekosistem Dalam Pengelolaan Terumbu Karang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
Imam Bachtiar NIM C262070051
ABSTRACT IMAM BACHTIAR. Development of Ecosystem Resilience Index in Coral Reef Management. Under supervision of ARIO DAMAR, SUHARSONO, and NEVIATY P. ZAMANI. Global climate change is predicted to increasingly expose coral reef ecosystem to thermal stress, disturbances, and surprises. Ecological resilience is therefore becoming a very important ecosystem component that needs to be identified in coral reef management. Knowing ecological state of an ecosystem is a first step in planning an ecosystem based management, but practical method to assess ecological resilience of coral reef ecosystem is yet to be available. The existing methods demand to high expertise or high cost that are not available on many districts in Indonesia. The aim of the study was to develop an index for measuring quantitatively ecological resilience of coral reef ecosystem. The index was developed from a soil community resilience index of the Orwin and Wardle, with modification on the reference community and in the number of variables. Instead of using a control community, the coral reef resilience index uses a super or ideal coral reef, i.e. coral reef that has maximum values on all of its indicator variables. More than 2250 data obtained from 10 meter line intercept transect (LIT), all over Indonesia, were extracted to construct the “super” coral reef of Indonesia, as the index reference. The resilience index of coral reef ecosystem contains six indicator variables, i.e. coral functional group (CFG), unsuitable settlement substrate cover (USS), number of small-size coral colony (CSN), coral habitat quality (CHQ), coral cover (COC), and algae and other fauna cover (AOF). The resilience index has been proven to perform well to determined differences of coral reef resilience both spatially and temporally. The resilience index could be used to assess coral reef resilience at a scale of hundred meters to thousands kilometers, and could potentially be used to compare coral reef resilience globally. As the index was developed based on LIT data, the uses of index are very practical that nearly all districts in Indonesia have capabilities to carry out resilience assessment of coral reefs on their jurisdictions. Resilience assessment using data collected from 15 districts in 2009 showed that coral reefs at western region had generally higher average resilience indices than those at eastern region, and Sunda Shelf reefs had higher average resilience indices than coral reefs at Indian Ocean, Sulawesi-Flores, or Pacific Ocean. Four districts were found to have coral reefs with highest resilience indices, i.e. Bintan and Natuna (western region), and Wakatobi and Buton (eastern region). Following major disturbance, e.g. bleaching-related coral mass mortality in 1998, coral reef resilience indices could recover at the average rate between 0.044-0.066 per year in Indonesia. The index could also be used to assess and predict coral reef recovery. Coral reefs with high resilience indices are more likely to experience larger impact from the same disturbance, but they also have higher rate of recovery. Keywords: coral reef, resilience, recovery, index, management
RINGKASAN IMAM BACHTIAR. Pengembangan Indeks Resiliensi dalam Pengelolaan Terumbu Karang. Dibimbing oleh ARIO DAMAR, SUHARSONO, dan NEVIATY P. ZAMANI. Mengenali kondisi ekosistem merupakan langkah pertama dalam penyusunan rencana pengelolaan. Perubahan iklim global telah diprediksi akan mengakibatkan meningkatnya ancaman kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang. Pengelolaan terumbu karang tidak cukup lagi dengan memperbanyak wilayah inti tanpa penangkapan (no-take area), melainkan harus mampu memelihara kemampuan alami terumbu karang untuk pulih dari gangguan, yaitu resiliensi ekosistem. Pada saat ini, metode penilaian resiliensi ekosistem masih dalam tahap awal pengembangan. Teori resiliensi ekosistem sudah lama dikembangkan oleh para peneliti terumbu karang, sejak tahun 1970-an, tetapi penilaian terhadap resiliensi ekosistem masih belum banyak berkembang, sehingga teori resiliensi belum banyak dapat membantu pengelolaan terumbu karang. Pada ekosistem hutan, danau, dan sungai, penggunaan teori resiliensi dalam pengelolaan juga belum berkembang. Sekarang ada dua metode penilaian resiliensi terumbu karang, yaitu yang dikembangkan oleh Obura dan Grimsditch (2009) dan oleh Maynard et al. (2010). Kedua metode penilaian tersebut dianggap masih sulit diterapkan di Indonesia, karena kurangnya tenaga ahli dan dukungan finansial. Di Indonesia, banyak kabupaten yang memiliki terumbu karang luas tetapi tidak memiliki keahlian yang cukup untuk memahami kondisi terumbu karang di wilayah tersebut, dan tidak memiliki dana untuk melakukan kegiatan survei yang lengkap. Penelitian ini dimaksudkan untuk membuat metode penilaian resiliensi terumbu karang, yang praktis dan reliabel, yang dapat digunakan di seluruh kabupaten di Indonesia. Penilaian resiliensi terumbu karang dilakukan dengan sebuah indeks, yang merupakan modifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004). Modifikasi dilakukan dengan mengubah nilai yang digunakan sebagai acuan indeks dari komunitas kontrol menjadi komunitas super (ideal) dan menentukan peubah terumbu karang yang digunakan di dalam indeks. Penelitian ini menggunakan data multifaktor yang tersedia di P2O LIPI dari sekitar 2250 transek garis, panjang 10 meter, yang diambil di kawasan Samudra Hindia, Laut Natuna, Laut China Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Flores, serta Samudra Pasifik. Data tersebut memiliki rentang waktu 19922009. Dengan menggunakan analisis multifaktor BEST (Biological Environmental Stepwise) didapatkan enam peubah yang berperan penting di dalam pemulihan terumbu karang sebagai peubah indikator indeks, yaitu: a) Jumlah kelompok fungsional karang (CFG, coral functional group); b) Tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva karang (USS, unsuitable settlement substrate); c) Kualitas habitat karang (CHQ, coral habitat quality); d) Jumlah karang koloni kecil (CSN, coral small-size colony number); e) Tutupan karang (COC, coral cover);
f) Tutupan algae dan fauna lain (AOF, algae and other fauna cover). Keenam peubah tersebut diberi pembobotan berdasarkan sumbangan ragamnya terhadap ragam total. Besarnya sumbangan ragam ditentukan dengan menggunakan nilai pada komponen utama yang pertama (PC1) dari Principle Component Analysis (PCA). Terumbu karang yang menjadi acuan indeks adalah terumbu karang “super” di Indonesia, yaitu terumbu yang memiliki nilai maksimum dari keenam peubah indikator indeks. Terumbu karang “super” tersebut didesain berdasarkan nilai maksimum dan minimum setiap peubah dari 2250 transek di Indonesia. Dengan demikian terumbu karang “super” yang menjadi acuan indeks mempunyai ciri khusus, yaitu CFG=13, USS=0, CHQ=50, CSN=25, COC=100, AOF=0. Terumbu karang dengan ciri demikian tidak pernah ada di alam. Rumus indeks resiliensi (RI) yang diperoleh kemudian dikoreksi dengan konstanta tertentu sehingga secara teoritis akan menghasilkan indeks 0.000 dalam kondisi ideal terburuk dan menghasilkan indeks 2.130 dalam kondisi ideal terbaik. Rumus indeks resiliensi terumbu karang tersebut sebagai berikut: 0.56
213 0 1 13 0 13 0.42 0.43 0.52 0.20 0.10
250 0 1 50 0 50 225 0 1 25 0 25
2100 0 1 100 0 100 2100 0 1 100 0 0
2100 0 1 0.20 100 0 0
Indeks resiliensi terumbu karang yang disusun di dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi terumbu karang dalam berbagai skala spasial. Penilaian indeks dapat dilakukan dari skala puluhan meter hingga puluhan ribu kilometer. Pengukuran resiliensi terumbu karang dapat dilakukan pada satuan transek, tetapi penilaian resiliensi suatu terumbu karang membutuhkan banyak transek. Proporsi transek yang memiliki indeks resiliensi ≥1.000 sebesar 0.403%. Penilaian indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia menunjukkan bahwa semua rata-rata (±SD) indeks resiliensi terumbu karang di suatu lokasi pengamatan antara 0.067±0.032 sampai 0.976±0.107. Hasil uji coba dengan data tahun 2009, yang meliputi 15 kabupaten, menunjukkan bahwa terumbu karang di kawasan Indonesia bagian barat memiliki rata-rata indeks resiliensi lebih tinggi daripada di Indonesia bagian timur. Paparan Sunda memiliki rata-rata indeks resiliensi yang lebih tinggi daripada formasi geologis lainnya, yaitu Samudra Hindia, Sulawesi-Flores, dan Samudra Pasifik.
Di Indonesia empat kabupaten yang memiliki terumbu karang dengan rata-rata (±1SD) indeks resiliensi tertinggi, yaitu Bintan (0.718±0.019), Natuna (0.697±0.078), Wakatobi (0.615±0.025), dan Buton (0.599±0.031). Indeks resilensi ini juga dapat digunakan untuk menilai perubahan tingkat resiliensi terumbu karang secara temporal. Uji coba dengan menggunakan data tahun 2006 hingga 2009 diperoleh hasil bahwa terumbu karang di Mentawai dan Nias Selatan sedang mengalami peningkatan indeks yang kontinyu, sedangkan di kabupaten lain hanya mengalami perubahan indeks yang fluktuatif. Peningkatan indeks dengan laju 0.044-0.066 per tahun dapat terjadi pada masa pemulihan, sedangkan laju 0.015-0.026 per tahun merupakan fluktuasi tahunan. Perubahan fluktuatif indeks dapat terjadi dalam skala enam bulan Dengan menggunakan data pemantauan selama 13 tahun, di Kabupaten Sumbawa Barat, diketahui bahwa terumbu karang yang sedang dalam masa pemulihan, mengalami peningkatan indeks kontinyu dan lebih cepat daripada di luar masa pemulihan. Penelitian ini juga menemukan bahwa indeks resiliensi merupakan indikator ekologis yang sangat baik untuk menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan akut langsung, dengan Ŷ = -0.693 + 1.323X. Indeks resiliensi ini juga dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang (indeks per tahun), dengan persamaan regresi Ŷ = -0.280 + 0.492X. Indeks resiliensi terumbu karang yang dikembangkan di dalam penelitian ini relatif sangat praktis karena menggunakan data dari transek garis. Di Indonesia ribuan orang telah dilatih menggunakan metode ini. Hampir semua kabupaten di Indonesia diperkirakan sudah dapat menilai resiliensi terumbu karang di wilayahnya masing-masing dengan menggunakan indeks ini. Indeks resiliensi ini juga berpotensi digunakan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang antar negara, dan antar kawasan di seluruh dunia. Nilai acuan indeks adalah terumbu karang super di Indonesia, yang sudah dikenal sebagai pusat dari keanekaragaman karang dunia. Walaupun demikian, spekulasi ini masih harus dibuktikan. Peningkatan resiliensi terumbu karang dapat dilakukan dengan meningkatkan peubah indikator dari indeks resiliensi tersebut. Tutupan karang, jumlah kelompok fungsional, dan kualitas habitat merupakan tiga peubah yang berkaitan dengan terumbu karang yang resiliensinya tinggi. Penggunaan indeks resiliensi untuk tujuan penentuan prioritas pengelolaan sebaiknya dilengkapi dengan informasi tentang batas kedalaman maksimum pertumbuhan karang di lokasi tersebut. Terumbu karang yang hanya memiliki komunitas karang di tempat dangkal (<5 meter) tidak mencerminkan terumbu karang yang sehat sehingga menurunkan nilai proritas. Indeks resiliensi ini memiliki kekurangan dalam peubah CSN, jumlah koloni karang ukuran kecil. Penelitian mencari peubah untuk menduga potensi rekruitmen secara praktis di dalam transek garis sangat dibutuhkan untuk peningkatan akurasi dari indeks resiliensi ini. Kata kunci: indeks, resiliensi, pemulihan, terumbu karang, pengelolaan
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN INDEKS RESILIENSI EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
IMAM BACHTIAR
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ii
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. 2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si.
Penguji pada ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Jamaluddin Jompa 2. Prof. Dr. Dedi Soedharma
iii
LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi
:
Pengembangan Indeks Resiliensi Ekosistem Pengelolaan Terumbu Karang
Nama
:
Imam Bachtiar
NRP
:
C262070051
Dalam
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. Ketua
Prof. (R) Dr. Suharsono Anggota
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 23 Juni 2011
Tanggal Lulus: 18 Juli 2011
iii
iv
v
PRAKATA Alhamdulillah, disertasi ini akhirnya berhasil diselesaikan. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya yang tak terhingga kepada penulis dan keluarga. Tema disertasi tentang resiliensi merupakan hasil kegiatan International Coral Reef Symposium (ICRS), di Florida, USA, tahun 2008. Kesiapan P2O LIPI menyediakan data merupakan pintu pembuka yang paling penting ke arah penelitian indeks resiliensi ini. Penulis ingin berterima-kasih kepada Komisi Pembimbing: Dr. Ario Damar, Prof. Suharsono, dan Dr. Neviaty P. Zamani, serta Dr. Unggul Aktani (alm.), yang telah membimbing pelaksanaan penelitian ini. Prof. Mennofatria Boer memberikan keberanian kepada penulis untuk menyusun indeks resiliensi. Selama kuliah, penulis mendapatkan bantuan fasilitas, inspirasi, dan teman diskusi dari rekan-rekan kerja dan ilmuwan senior. Penulis ingin berterima kasih kepada Dr. M. Fedi A. Sondita dan Dr. Fredinan Yulianda (IPB); Prof. Agil Alaydrus, Drs. Karnan, M.Si., dan Dr. Harry Supriyanto (Universitas Mataram); Dr. M. Kasim Moosa dan Dr. Soekarno (LIPI); Dr. Terry J. Done (AIMS Townsville, Australia); dan Dr. Sangeeta Mangubhai (TNC Bali). Penulis juga sangat berterima-kasih kepada semua peneliti yang menghadiri diskusi/seminar rencana penelitian ini di Florida, terutama Prof. Pamela Hallock-Muller (USF St Petersburg); Dr. Brian D. Keller (NOOA); Dr. Ilse Kuffner (USGS); Dr. Robert Muller, Dr. Robert Ruzicka, Dr. Mike Collela (Florida FWC); Dr. Walter Japp (LLC Tampa Bay); dan Dr. Chris Bergh (TNC Florida Keys). Di dalam penelitian ini penulis mendapatkan sumbangan data dari P2O LIPI, CRITC COREMAP, Florida FWC, WCS Marine Program Bogor, dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Penulis sangat berterima-kasih kepada Prof. Suharsono (Kepala P2O); Ir. Anna Manuputty, M.Si. dan Djuwariah (CRITC COREMAP); Ir. Windy Prayogo dan Dr. Jorina Waworuntu (PT NNT). Semua mahasiswa S3 SPL angkatan 2007 merupakan teman diskusi dan pemberi semangat belajar, yaitu Dr. Amiruddin Taher, Dr. Nirmala A. Wijaya, Musaddun, Ahmad Bahar, Gladys Peuru, Riyadi Subur, Nurul Istiqomah, dan Abdul Syukur. Penulis juga berterima-kasih pada Dra. Ani Mariani (istri); Jasmine C.U. Bachtiar dan Naila T. Bachtiar (anak); atas kesabarannya memberikan waktu belajar kepada penulis. Penulis juga berterima-kasih atas iringan doa Muchid Ichsan-Sri Utami (orangtua) dan M. Anwar, BA-Asiah Syafii (mertua) selama penulis kuliah. Tidak semua orang yang membantu penulis dalam penelitian ini dapat disebutkan. Penulis ingin berterima-kasih pada semua yang belum disebut di halaman ini. Selama kuliah di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis mendapat dukungan finansial beasiswa BPPS (2007-2010) dan Sandwich-like Program (2009) dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, serta beasiswa penulisan disertasi (2010) dari COREMAP II Direktorat Jendral Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. PT NNT dan ISRS mensponsori kegiatan symposium ICRS di Florida. Bogor, Juli 2011 Imam Bachtiar
v
vi
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis, Imam Bachtiar, lahir di Jombang tanggal 17 Pebruari 1963 dari keluarga Muchid Ichsan-Sri Utami. Penulis mengalami pendidikan di SDN Mojoanyar (1969-1974), SMP Bhinandika Wonosalam (1975-1976), dan SMPP (SMAN2) Jombang (1978-1981). Pendidikan tinggi ditempuhnya di Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Surabaya (1981-1986), dan di Marine Biology Department, James Cook University of North Queensland, Townsville Australia (1992-1994). Sejak tahun 1988, penulis menjadi dosen tetap di Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Mataram. Penulis pernah menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Biologi (1995-1997) dan menjadi Ketua Pusat Penelitian Pesisir dan Laut (P3L) Universitas Mataram (2007-sekarang). Penulis mulai meneliti terumbu karang pada tahun 1988. Sejak tahun 1995, penulis menjadi anggota International Society for Reef Studies (ISRS). Penulis juga terdaftar sebagai kontributor dari beberapa buku UNEP (United Nations Environment Programme) berkaitan dengan Global International Waters Assessment (GIWA). Penulis pernah mengikuti sejumlah kegiatan ilmiah internasional, yaitu seminar, workshop, visiting scholar, dan short-course, ke luar negeri termasuk: Australia, Amerika Serikat, Canada, Thailand, dan Vietnam. Penulis melanjutkan kuliah di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa IPB penulis berkesempatan menyajikan poster pada International Coral Reef Symposium (ICRS) di Fort Lauderdale, Florida, USA. Penulis juga berkesempatan menjadi visiting scholar selama dua bulan lebih di College of Marine Sciences (CMS), University of South Florida (USF), St Petersburg, Florida. Selama kunjungan tersebut penulis melakukan presentasi tentang indeks resiliensi yang sedang disusun di CMS USF dan Florida FWC (Fish and Wildlife Comission), serta melakukan webinar di TNC (The Nature Conservancy) Florida Keys.
vii
viii
ix
DAFTAR ISTILAH akar cirri
: suatu akar dari persamaan ciri dari matriks. suatu skalar yang berkaitan dengan transformasi linear dari vektor ruang, yang mempunyai ciri matriks tida sama dengan nol, yang jika dikalikan dengan skalar sama dengan vektor yang diperoleh dari transformasi vektor tersebut (Merriam-Webster). suatu faktor yang mana eigenvektor (vektor ciri) berubah jika dikalikan dengan matriks kuadrat (Wikipedia).
domain atraksi
: ranah dari struktur komunitas yang dapat menjamin keberlanjutan fungsi ekosistem
fisiografi laut
: gambaran fisik dasar laut, yang berkaitan dengan proses geologis terjadinya laut.
gangguan
: puncak dari perubahan lingkungan yang melebihi variasi normal dari operasi ekosistem dan biasanya berasal dari luar ekosistem.
herbivore
: proses pemakanan makroalgae yang tumbuh di terumbu karang.
indeks
: suatu angka yang menunjukkan tingkatan relatif suatu kondisi (Oxford) suatu angka (rasio) yang berasal dari sejumlah observasi dan digunakan sebagai indikator atau ukuran (Merriam-Webster)
koefisien
: suatu angka yang berfungsi sebagai ukuran dari suatu karakter atau ciri (bahan, alat, proses) (MeriamWebster) suatu ukuran dari ciri khusus suatu benda dalam kondisi tertentu (Oxford) suatu angka yang terletak di depan dan mengalikan suatu kuantitas (Oxford)
peubah indicator
: peubah yang digunakan sebagai petunjuk tinggi rendahnya tingkat resiliensi.
pergantian fase
: perubahan komunitas terumbu karang secara (semi) permanen dari komunitas yang didominasi oleh karang menjadi komunitas yang didominasi oleh makroalgae, karang lunak, anemone atau lainnya.
resiliensi
: kemampuan ekosistem untuk kembali ke domain atraksi yang sama ketika mengalami gangguan.
ix
x resistensi
: kemampuan ekosistem untuk berubah) ketika terjadi gangguan.
bertahan
(tidak
tekanan (stress)
: perubahan lingkungan secara perlahan dan kontinyu, yang masih dalam rentangan variasi yang normal dan biasanya berasal dari dalam ekosistem.
vektor cirri
: suatu vektor yang tidak sama dengan nol dari suatu matriks kuadrat, yang jika dikalikan dengan matriks tersebut akan tetap proporsional dengan vektor asalnya (Wikipedia).
xi
DAFTAR SINGKATAN
AMC
:
algae macro cover; tutupan makro-algae, kelimpahan algae berdaging.
ALC
:
algae (total) cover; tutupan seluruh algae yang meliputi makroalgae, turf algae, dan algae berkapur.
AOF
:
algae and other fauna; tutupan algae total ditambah tutupan fauna lain.
BNT
:
Bintan
BTM
:
Batam
BTN
:
Buton
CAC
:
coral Acroporidae cover; tutupan karang Acroporidae.
CFG
:
coral functional group; jumlah kelompok fungsional karang, yang dihitung berdasarkan jumlah bentuk tumbuh (life-form) karang dalam transek.
CGR
:
coral genera richness; kekayaan genus karang, yang dihitung berdasarkan jumlah genus karang dalam transek.
CMC
:
coral massive cover; tutupan karang bentuk massif, misalnya Porites lobata, Goniastrea aspera, Montastrea annularis.
CMS
:
coral massive and submassive; tutupan karang masif ditambah tutupan karang sub-masif.
COC
:
coral cover, tutupan karang (total).
COREMAP :
coral reef rehabilitation and management programe.
COT
:
crown of thorns; bintang laut mahkota berduri, pemangsa karang.
CRITC
:
coral reef information and training center, pusat informasi dan pelatihan terumbu karang.
CSC
:
coral submassive cover; tutupan karang bentuk sub-masif, misalnya Psamocora digitata, Pavona clavus, Pocillopora verrucosa.
CSN
:
coral small-size number; jumlah koloni karang ukuran kecil, yaitu ≤10 cm yang diukur dari panjang transek.
xi
xii GBR
:
the Great Barrier Reef; gugusan terumbu karang yang terdapat di pesisir timur Australia.
IUCN
:
The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources, sebuah lembaga konservasi internasional
LGG
:
Lingga
MTW
:
Mentawai
NISEL
:
Nias Selatan
NOAA
:
National Oceanic and Atmospheric Administration
NTN
:
Natuna
OTF
:
other fauna; tutupan fauna lain yang biasanya terdiri atas echinodermata, karang lunak, kima dan molluska lain, zooanthidae, anemone, dan gorgonian.
P2O LIPI
:
Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
PKP
:
Pangkep
RJP
:
Raja Ampat
SHINDIA
:
Samudra Hindia
SLY
:
Selayar
SPASIFIK
:
Samudra Pasifik
SUFLO
:
Sulawesi-Flores
SUND
:
Sunda
TPT
:
Tapanuli Tengah (Tapteng)
WKTB
:
Wakatobi
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xv xvii xix
1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Manfaat Penelitian 1.4 Hipotesis 1.5 Kebaruan 1.6 Ruang Lingkup Penelitian 1.7 Rancangan Penelitian
1 1 8 8 10 10 12 12
2
FORMULASI INDEKS RESILIENSI 2.1 Pendahuluan 2.2 Metode Penelitian 2.2.1 Penentuan peubah indikator 2.2.2 Pengumpulan data 2.2.3 Analisis data 2.3 Hasil-hasil Penelitian 2.3.1 Penentuan peubah indikator 2.3.2 Perumusuan indeks 2.3.3 Indeks resiliensi dan tutupan karang 2.3.4 Klasifikasi indeks 2.4 Pembahasan 2.5 Kesimpulan
15 15 16 16 23 25 27 27 29 33 35 36 38
3
UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM PENILAIAN SPASIAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 3.1 Pendahuluan 3.2 Metode penelitian 3.2.1 Pengumpulan data 3.2.2 Analisis data 3.3 Hasil-hasil Penelitian 3.3.1 Indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia 3.3.2 Perbandingan peubah indikator indeks resiliensi 3.4 Pembahasan 3.5 Kesimpulan
39
xiii
39 41 41 42 43 43 49 53 60
xiv Halaman 4
UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 4.1 Pendahuluan 4.2 Metode Penelitian 4.2.1 Pengambilan data 4.2.2 Analisis data 4.3 4.3 Hasil-hasil Penelitian 4.3.1 Dinamika temporal indeks resiliensi 4.3.2 Dinamika temporal peubah indikator indeks 4.4 Pembahasan 4.5 Kesimpulan
61 61 62 62 63 64 64 70 76 79
UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG 5.1 Pendahuluan 5.2 Metode Penelitian 5.2.1 Pengumpulan data 5.2.2 Analisis data 5.3 Hasil-hasil Penelitian 5.3.1 Pemulihan terumbu karang dalam skala puluhan meter 5.3.2 Pemulihan terumbu karang dalam skala puluhan kilometer 5.4 Pembahasan 5.5 Kesimpulan
95 100
6
PEMBAHASAN UMUM 6.1 Indeks Resiliensi Terumbu Karang 6.2 Penggunaan Indeks dalam Pengelolaan Terumbu Karang 6.3 Kekurangan Indeks dan Arahan Pengembangannya
103 103 107 112
7
KESIMPULAN 7.1 Kesimpulan Umum 7.2 Saran-saran
115 115 116
5
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
81 81 82 82 85 86 86 92
117 129
xv
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Daftar pengujian hipotesis nol dan statistik yang digunakan
11
2
Daftar 11 calon peubah indikator resiliensi terumbu karang yang diperoleh dari kajian pustaka
17
3
Indeks korelasi antar calon peubah indikator resiliensi terumbu karang.
27
4
Hasil analisis BEST untuk pengurangan jumlah peubah indikator indikator
28
5
Nilai maksimum terumbu karang “super” yang menjadi acuan penghitungan indeks resiliensi terumbu karang
30
6
Hasil penggunaan PCA pada enam indikator resiliensi terumbu karang
31
7
Pembobotan indikator resiliensi terumbu karang dengan menggunakan nilai komponen pertama dari PCA
32
8
Klasifikasi indeks resiliensi terumbu karang ke dalam lima kategori
35
9
Perubahan rata-rata indikator indeks selama dua kurun waktu di kawasan timur Indonesia
74
10
Perubahan rata-rata indikator indeks selama dua kurun waktu di kawasan Indonesia Barat
75
11
Indeks resiliensi dan pemulihan terumbu karang di Sumbawa Barat
88
12
Tutupan karang dan pemulihan terumbu karang di Sumbawa Barat
91
13
Kebijakan pengelolaan untuk resiliensi terumbu karang.
xv
meningkatkan
indeks
109
xvi
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Diagram alir rancangan penelitian
13
2
Peta lokasi pengambilan data CRITC-COREMAP pada tahun 2009 (lingkaran merah), dan lokasi pengambilan data di luar COREMAP pada periode 1992-1998 (lingkaran kuning).
24
3
Indeks resiliensi terumbu karang dan hubungannya dengan tutupan karang (COC), tutupan makroalga dan fauna lain (AOF), serta tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva secara permanen (USS).
34
4
Perbandingan rata-rata indeks resiliensi terumbu karang antar formasi geologis.
44
5
Perbandingan rata-rata indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Timur.
46
6
Perbandingan kelas indeks resiliensi antar terumbu karang di kawasan Indonesia Timur.
47
7
Perbandingan rata-rata indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Barat.
48
8
Perbandingan proporsi indeks resiliensi antar terumbu karang di kawasan Indonesia Barat.
49
9
Perbandingan peubah indikator indeks resiliensi antar subkawasan (formasi geologis).
50
10
Perbandingan tiga peubah (CFG, USS, CHQ) indikator indeks resiliensi antar kabupaten, di kawasan timur dan barat Indonesia.
52
11
Perbandingan tiga peubah (CSN, COC, AOF) indikator indeks resiliensi antar kabupaten, di kawasan timur dan barat Indonesia.
53
12
Dinamika temporal rata-rata indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Timur.
65
13
Perubahan proporsi status resiliensi terumbu karang selama empat tahun di kawasan Indonesia Timur.
66
14
Perbedaan pola perubahan indeks antara terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi kategori baik dan baik sekali dengan yang kategori kurang dan buruk, di kawasan Indonesia Timur.
67
xvii
xviii Halaman 15
Dinamika indeks resiliensi terumbu karang di empat kabupaten di kawasan barat Indonesia.
68
16
Perubahan proporsi status resiliensi terumbu karang di empat kabupaten selama empat tahun, di kawasan Indonesia Timur.
69
17
Perbedaan pola perubahan indeks antara terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi awal kategori baik dan baik sekali dengan yang kategori kurang dan buruk, di kawasan Indonesia Timur.
70
18
Perbandingan dinamika peubah indikator indeks resiliensi dalam skala ribuan kilometer, atau antara kawasan timur dan barat Indonesia.
71
19
Dinamika rata-rata peubah indikator indeks resiliensi terumbu karang, di empat kabupaten kawasan Indonesia Timur, dalam empat tahun pengamatan.
72
20
Dinamika peubah indikator indeks resiliensi di empat kabupaten kawasan Indonesia Barat, dalam tiga tahun pengamatan.
73
21
Peta lokasi pengambilan data terumbu karang PT NNT, yang datanya digunakan di dalam penelitian ini.
83
22
Dinamika indeks resiliensi pada terumbu karang di perairan Sumbawa Barat.
87
23
Dinamika perubahan tutupan karang di lokasi penelitian, dalam periode Oktober 1997-April 2010.
90
24
Rekaman suhu air laut bulanan di Teluk Benete, dalam periode September 1999-September 2007.
90
25
Hasil analisis MDS terhadap indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat.
92
26
Dinamika rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat, April 1997 sampai April 2010.
93
27
Hasil analisis MDS terhadap tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat.
94
28
Dinamika rata-rata (±1SE) tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat, tahun 1997-2010.
94
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Penyusunan Rumus: Menghitung Nilai Faktor Koreksi (CF)
129
2
Analisis Statistik Bab 2
131
3
Protokol Penilaian Indeks Resiliensi Terumbu Karang
133
4
Analisis Statistik Bab 3
137
5
Analisis Statistik Bab 4
147
6
Analisis Statistik Bab 5
151
xix
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim global telah menempatkan terumbu karang berhadapan dengan sederet gangguan besar yang tidak dapat dihindari. Pemutihan karang karena suhu air laut yang meningkat diperkirakan akan semakin pendek siklusnya, dan akan menjadi peristiwa tahunan di kawasan Phuket dan the Great Barrier Reef (GBR) pada tahun 2030 (Hoegh-Guldberg 1999). Dengan frekuensi pemutihan karang secepat itu, sebagian besar populasi karang tidak cukup waktu untuk pulih kembali. Karang yang mampu berevolusi dengan cepat akan segera berhadapan dengan air laut yang suhunya tinggi dan semakin asam (Kleypas et al. 1999; Hoegh-Guldberg et al. 2007). Perubahan iklim global yang terjadi sekarang ini dikhawatirkan akan menjadi peristiwa kepunahan masal atau kiamat yang keenam di muka bumi (Veron 2010). Peningkatan dan pemeliharaan resiliensi ekosistem terumbu karang (ecosystem resilience), yaitu kemampuan ekosistem terumbu karang untuk menghadapi (mengabsorpsi) gangguan dan membangun kembali sistem yang didominasi karang (Hughes et al. 2007), merupakan satu-satunya upaya dalam pengelolaan terumbu karang untuk menghadapi gangguan yang terkait perubahan iklim global (Bellwood et al. 2004; Hoegh-Guldberg et al. 2007; Nystrom et al. 2008). Pengelolaan terumbu karang dapat mengurangi gangguan insani, sehingga resiliensi terumbu karang dapat ditingkatkan dan dijaga untuk menghadapi gangguan alami. Sebagai ekosistem alami, gangguan (disturbance, perturbation) merupakan bagian dari faktor yang telah membentuk dan meningkatkan ketahanan terumbu karang, sehingga pengelolaan terumbu karang perlu memahami tanggapan terumbu karang terhadap gangguan. Secara alami, terumbu karang memiliki resiliensi yang tinggi terhadap semua gangguan yang ada (Done 1992; Connell 1997), sehingga telah mampu bertahan selama ratusan juta tahun (Grig 1994). Tetapi dampak negatif kehadiran manusia di bumi dalam dua abad terakhir telah menyebabkan resiliensi terumbu karang terhadap gangguan yang ada semakin kecil (Jackson 1997; Jackson et al. 2001). Secara umum gangguan yang berskala kecil, yang lebih jarang terjadi dan bersifat akut akan lebih mudah diatasi oleh
2 ekosistem. Sebaliknya, gangguan yang skalanya besar, dengan frekuensi kejadian yang tinggi, atau yang bersifat kronis akan lebih sulit untuk dihadapi oleh ekosistem terumbu karang (Connell 1997). Jika gangguan insani yang kronis bersinergi dengan gangguan alami dengan frekuensi dan skala yang besar, maka dapat menyebabkan ekosistem kehilangan resiliensinya dan mengalami pergantian fase atau phase shift (sensu Done 1992; Hughes 1994), yaitu terumbu karang yang secara alami didominasi oleh komunitas karang berubah menjadi didominasi oleh komunitas makroalgae. Definisi resiliensi pertama kali dinyatakan oleh Holling (1973) sebagai ukuran ketahanan sistem dan kemampuannya mengabsorbsi perubahan dan gangguan dengan tetap menjaga hubungan antar populasi atau antar peubah pada kondisi yang sama. Holling dan Gunderson (2002) memberikan definisi resiliensi ekosistem sebagai besarnya gangguan yang dapat diterima sebelum sistem berubah strukturnya dengan berubahnya variabel dan proses yang mengendalikan perilakunya. Dengan mengadopsi definisi Holling, Folke et al. (2004) memberikan definisi umum resiliensi ekosistem sebagai
ukuran besarnya
gangguan yang dapat diterima oleh suatu sistem sebelum terjadi perubahan menjadi suatu kondisi (kestabilan) baru yang berbeda pengendalian struktur dan fungsinya. Holing juga membedakan antara resiliensi ekologis dengan resiliensi rekayasa (engineering). Definisi yang tersebut sebelumnya adalah resiliensi ekologis. Resiliensi rekayasa merupakan ukuran laju suatu sistem mencapai keseimbangan setelah gangguan berlalu. Resiliensi rekayasa ini dianggap tidak tepat untuk ekosistem yang memiliki kondisi keseimbangan yang banyak. Hughes et al. (2007) memberikan definisi yang khusus untuk resiliensi terumbu karang, yaitu kemampuan terumbu karang untuk menghadapi (mengabsorpsi) gangguan dan membangun kembali sistem yang didominasi karang. Walaupun semua definisi tersebut dapat menjelaskan arti dari resiliensi, teori resiliensi yang sudah terakumulasi belum dapat digunakan di dalam pengelolaan terumbu karang (Nystrom et al. 2008). Banyak penelitian mengungkapkan bahwa resiliensi ekosistem sangat berkaitan
dengan
kenakeragaman
hayati.
Keanekaragaman
yang
tinggi
menunjukkan ekosistem lebih resisten terhadap gangguan. Resistensi adalah
3 ketahanan suatu ekosistem terhadap gangguan, dan sulit dipisahkan dari resiliensi. Keanekaragaman hayati di tingkat genetik memberikan variasi tanggapan dari spesies yang sama terhadap gangguan yang sama. Karang yang bersimbiosis dengan zooxanthellae galur D dilaporkan lebih resisten terhadap pemutihan karang daripada yang bersimbiosis dengan galur A, B dan C (Glyn et al. 2001). Keanekaragaman hayati di tingkat spesies memberikan kekuatan kepada komunitas karang terhadap gangguan pemutihan karang dan pemangsaan oleh Achanthaster plancii atau Drupella. Kedua pemangsa karang tersebut memiliki preferensi terhadap karang jenis Acroporidae and Pocilloporidae (Moran 1990; Cumming 1999), sehingga dalam intensitas gangguan yang sedang anggota komunitas karang lainnya tidak terganggu oleh pemangsa karang tersebut. Karang Acroporidae dan Pocilloporidae juga mempunyai resistensi yang lebih rendah terhadap pemutihan karang dibandingkan karang dari famili yang lainnya (Brown & Suharsono 1990; Feingold et al. 2001; dan yang lainnya). Jika resistensi komunitas karang tinggi maka keanekaragaman dan kelimpahan karang yang tersisa setelah gangguan juga tinggi, sehingga pemulihan komunitas menyerupai kondisi sebelumnya juga lebih cepat. Keanekaragaman yang tinggi diperlukan untuk berlangsungnya prosesproses ekologis, tetapi resiliensi ekosistem tidak ditentukan oleh keanekaragaman spesies melainkan keanekaragaman fungsional (Peterson et al. 1998). Peran ekologis setiap anggota komunitas di dalam ekosistem dapat dikelompokkan ke dalam sejumlah kelompok fungsional. Kelompok fungsional komunitas karang dapat ditunjukkan oleh bentuk tumbuh koloninya. Secara konvensional, bentuk tumbuh karang dikelompokkan ke dalam 13 macam (English et al. 1994, 39). Walaupun masing-masing bentuk tumbuh dapat menyediakan fasilitas yang sama sebagai habitat, bentuk tumbuh tersebut mencerminkan derajat kompleksitas habitat yang berbeda-beda, sehingga merupakan kelompok fungsional yang berbeda. Suatu ekosistem dapat memiliki keanekaragaman spesies tinggi, tetapi jika ada satu kelompok fungsional penting yang tidak dapat berjalan fungsinya akan
menyebabkan
fungsi
ekosistem
terganggu.
Dampak
positif
dari
keanekaragaman di dalam fungsi ekologis terhadap fungsi ekosistem adalah dimungkinkannya terjadi penurunan keanekaragaman spesies oleh suatu gangguan
4 tanpa diikuti penurunan pada fungsi ekosistem (review in Srivastava & Vellend 2004). Di dalam kasus terumbu karang di Jamaica, misalnya, menghilangnya populasi penyu dan duyung tidak menyebabkan terjadinya pergantian fase, karena fungsi ekologisnya dapat digantikan oleh ikan herbivora (Jackson 1997). Resiliensi ekologis juga sangat ditentukan oleh keselingkupan atau redundansi spesies dalam suatu skala dan redundansi fungsi ekologis antar skala (Peterson et al. 1998). Redundansi di dalam (intra) skala ditunjukkan oleh banyaknya spesies yang menjalankan fungsi ekologis yang sama, misalnya karang berbentuk massif. Koloni karang berbentuk masif menyediakan habitat yang dapat dihuni oleh ikan-ikan Serannidae dan Lutjanidae yang berukuran besar. Karang masif tersebut dapat berasal dari Faviidae, Poritidae, atau yang lainnya. Sedangkan masing-masing famili karang tersebut terdiri atas banyak spesies. Redundansi antar skala ditunjukkan oleh adanya sejumlah spesies dengan ukuran koloni yang berbeda tetapi menjalankan fungsi yang hampir sama. Karang masif kecil dan karang masif besar berfungsi sama sebagai tempat sembunyi ikan-ikan dari pemangsanya dengan skala yang berbeda. Pemulihan ekosistem terumbu karang setelah berlalunya gangguan sangat tergantung pada memori ekologis ekosistem tersebut. Memori ekologis adalah komposisi dan distribusi organisme serta interaksinya dalam ruang dan waktu, termasuk pengalaman ‘life history’ dengan fluktuasi lingkungan (Nystrom & Folke 2001). Memori ekologis tersebut terdiri atas tiga komponen, yaitu warisan biologis dan struktural yang selamat dari gangguan (biological and structural legacy), organisme penghubung bergerak (mobile link), dan daerah pendukung (support area). Komponen pertama berfungsi sebagai memori internal, sedangkan komponen kedua dan ketiga berfungsi sebagai memori eksternal di dalam proses reorganisasi dan rekonstruksi ekosistem tersebut setelah gangguan. Komponen biologis dan struktural yang selamat dapat menjadi komponen yang paling penting dalam reorganisasi ekosistem terumbu karang. Ketika suatu ekosistem mengalami gangguan, maka kemampuan reorganisasi dan rekonstruksi sistem tersebut sangat tergantung pada keanekaragaman spesies yang masih tersisa. Komunitas yang tersisa menentukan arah suksesi komunitas baru yang terbentuk setelah gangguan berlalu, baik komunitas karang, komunitas ikan,
5 maupun komunitas biota lainnya. Semakin tinggi keanekaragaman komunitas yang tersisa akan semakin mirip struktur dan komposisi komunitas baru tersebut dengan komunitas sebelumnya. Struktur yang selamat dari terumbu karang memberikan dua fasilitas dalam suksesi terumbu karang. Pertama, struktur karang mati dapat menjadi tempat penempelan larva karang atau benthos yang lainnya. Jika struktur tersebut stabil, maka kolonisasi karang dan benthos lainnya dapat berjalan lebih cepat dan komunitas karang yang baru lebih cepat terbentuk. Kedua, struktur terumbu karang menyediakan habitat bagi ikan-ikan karang. Ikanikan herbivora dan invertivora merupakan komponen ekosistem yang penting dalam menentukan arah suksesi terumbu karang (Bellwood et al. 2004). Memori eksternal ekosistem, yaitu organisme penghubung yang bergerak (mobile link), dapat dibedakan sebagai kelompok yang bergerak pasif dan yang bergerak aktif (Nystrom & Folke 2001). Larva-larva karang, ikan, atau biota lainnya yang bergerak secara pasif dari satu terumbu ke terumbu lainnya merupakan komponen penghubung yang pasif. Komponen ini menyediakan suplai larva yang akan mengkolonisasi ruang terbuka akibat gangguan. Rekolonisasi terumbu karang melalui proses penyebaran larva ini sangat penting (Pearson 1981), karena ekosistem terumbu karang bersifat terbuka. Rekolonisasi akan memperkaya keanekaragaman hayati dan meningkatkan kelimpahan populasi. Pemulihan suatu terumbu karang sangat tergantung pada terumbu karang di sekitarnya, terutama bagi terumbu karang hilir (sink reef). Di dalam ekosistem yang bersifat terbuka, seperti terumbu karang, peranan organisme penghubung sangatlah besar. Hanya sebagian kecil larva karang yang diproduksi di suatu terumbu karang akan hidup menetap di habitat induknya. Larva karang mempunyai umur 23-244 hari (Graham et al. 2008), sehingga sebagian besar dari larva tersebut berpotensi hanyut oleh arus air laut dan kemudian hidup menetap di suatu terumbu karang yang lain. Penelitian genetika pada karang Goniastrea aspera menunjukkan bahwa karang di Okinawa Islands menerima larva dari karang di Kerama Islands, yang berjarak sekitar 50 km (Nishikawa & Sakai 2005). Kehadiran ikan herbivora dari terumbu lain juga sangat penting dalam proses suksesi terumbu karang. Intensitas herbivori yang rendah menyebabkan dominansi makroalgae atas komunitas karang (Hughes et al. 2007).
6 Ikan-ikan herbivora di terumbu karang terdiri atas empat famili, yaitu Achanthuridae, Scaridae, Siganidae dan Kyphosidae. Dari keempat famili tersebut, tiga famili yang pertama merupakan ikan herbivora utama. Russ (1984) yang melakukan survei herbivori pada sembilan terumbu karang di GBR, Australia, membatasi ikan herbivora pada famili Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Lizard Island, GBR, dan sekitarnya, kelimpahan ketiga ikan herbivora utama masing-masing adalah Achanthuridae (54%), Scaridae (31%) dan Siganidae (14%) (Meekan & Choat 1997). Di San Blas Islands, Panama, Meekan & Choat juga melaporkan pola yang serupa, walaupun ada satu lokasi dimana Kyphosidae
menunjukkan proporsi kelimpahan
yang sebanding dengan
Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Ambergris Caye, Belize, komposisi biomassa ikan herbivora berbeda dari Lizard Island dan San Blas Islands tersebut dengan Scaridae (65,4%) paling dominan diikuti oleh Acanthuridae (30,1%) dan Pomacentridae (4,5%) (Williams et al. 2001). Dalam skala puluhan atau ratusan kilometer, hewan herbivora yang berperan penting dalam herbivori dapat berbeda. Pada terumbu karang di Nymph Island dan Turtle Group, GBR, ikan Scarus rivulatus dilaporkan merupakan herbivora yang paling penting (Hoey and Bellwood 2008), sedangkan ikan Siganus canaliculatus dilaporkan merupakan ikan herbivora penting pada terumbu karang di Pioneer Bay, Orphues Island (Fox and Bellwood 2008). Jarak antara kedua lokasi tersebut ratusan kilometer. Sudah lama peneliti terumbu karang mencoba memahami resiliensi ekosistem terumbu karang. Pada saat ini pengetahuan tentang resiliensi terumbu karang seharusnya sudah cukup untuk melakukan sesuatu (Nystrom et al. 2008), sehingga teori resiliensi dapat segera digunakan di dalam praktek pengelolan terumbu karang. Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan tingkat resiliensi terumbu karang tersebut dibutuhkan kemampuan untuk mengenali lebih awal tingkat resiliensi terumbu karang. Pengukuran resiliensi terumbu karang merupakan langkah awal dalam penggunaan teori resiliensi di dalam pengelolaan terumbu karang. Metode untuk mengukur tingkat resiliensi terumbu karang, sayangnya, masih dalam tahap awal pengembangannya. Pada saat ini, tersedia dua metode untuk menilai resiliensi terumbu karang, Obura dan Grimsditch (2009) telah
7 membuat panduan penilaian resiliensi terumbu karang, yang dipublikasikan oleh IUCN (the International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources). Maynard et al. (2010) juga mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang. Kedua metode tersebut masih sulit diterapkan dalam skala besar di Indonesia, karena kurangnya dukungan financial dan kepakaran. Metode penilaian lain yang lebih mudah (praktis) dan murah sangat dibutuhkan agar dapat dilakukan oleh sebagian besar kabupaten di Indonesia. Di Indonesia, sebagian besar penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan metode transek garis, atau line intercept transect (LIT). Metode ini dikembangkan oleh Loya (1972, 1978) dan dibakukan oleh para peneliti terumbu karang ASEAN dan Australia sejak awal dekade 1990-an, misalnya P2O (Pusat Penelitian Oseanografi) LIPI di Indonesia dan PMBC (Phuket Marine Biological Center) di Thailand. Di Australia, metode LIT sudah diganti dengan metode transek video, video transect (VT). Metode LIT juga menjadi metode standar pada Proyek COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). Ribuan orang telah dilatih untuk menggunakan metode LIT tersebut, karena dapat digunakan baik untuk tujuan yang bersifat praktis (manajemen) maupun untuk tujuan publikasi ilmiah. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang dengan menggunakan LIT. Banyak data yang sebenarnya dapat diinterpretasikan dari metode LIT (Marsh et al. 1984) bahkan dalam bentuknya yang paling sederhana, tetapi jarang dilakukan oleh peneliti terumbu karang. Pada saat ini, data yang diinterpretasikan dari metode LIT pada umumnya hanya tutupan karang, tutupan makroalgae, dan kekayaan spesies karang. Tutupan karang yang tinggi menunjukkan kondisi terumbu karang yang baik. Kondisi sebaliknya diinterpretasikan pada tutupan makroalgae yang tinggi. Di dalam penelitian ini, data yang dikoleksi dari metode LIT dimanfaatkan secara maksimal untuk menilai resiliensi terumbu karang. Data tentang jumlah bentuktumbuh (life form) dan ukuran koloni karang, misalnya, selama ini sulit diinterpretasikan untuk keperluan pengelolaan terumbu karang. Demikian juga dengan data tentang tutupan karang massif dan submasif serta tutupan karang
8 Acroporidae. Keempat data tersebut akan terintegrasikan di dalam sebuah indeks untuk menilai resiliensi terumbu karang. Penelitian ini menjadi yang pertama mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang dengan data dari transek garis. Belum ada penilaian resiliensi terumbu karang yang menggunakan data dari transek garis, suatu metode penilaian terumbu karang yang paling umum digunakan di Indonesia dan kawasan negara-negara ASEAN (Association of South East Asian Nations).
1.2 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan indeks resiliensi ekosistem dalam pengelolaan terumbu karang. Tujuan umum tersebut dicapai melalui 4 (empat) tahap penelitian, yaitu: a) Penyusunan rumus (formulasi) indeks resiliensi ekosistem terumbu karang dengan menggunakan data dari transek garis (LIT). b) Uji coba penggunaan indeks untuk menilai resiliensi terumbu karang di Indonesia c) Uji coba penggunaan indeks untuk mengukur laju perubahan temporal indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia. d) Uji coba penggunaan indeks resiliensi untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang dari gangguan yang bersifat akut dan berdampak langsung.
1.3. Manfaat Penelitian Penilaian resiliensi terumbu karang merupakan langkah penting dalam pengelolaan pesisir terpadu (ICZM, Integrated Coastal Zone Management; atau ICM, Integrated Coastal Management). Pengukuran resiliensi terumbu karang menjadi salah satu alat dalam analisis resiko lingkungan (ERA, Environmental Risk Analysis) untuk implementasi pengelolaan yang berbasis ekosistem (EBM, Ecosystem-Based Management). Pendekatan EBM merupakan salah satu prinsip dasar di dalam penerapan ICM (Chua 2006, 94). Penelitian ini memiliki posisi yang sangat penting karena sudah waktunya teori resiliensi digunakan dalam implementasi pengelolaan terumbu karang (Nystrom et al. 2008).
9 Perencanaan pengelolaan terumbu karang seharusnya didasarkan pada 3 (tiga) kriteria (Done 1995), yaitu: 1) penilaian kawasan yang memiliki resiko tinggi, 2) penilaian resiko kehilangan (kerugian) secara kuantitatif, dan 3) penilaian kemampuan terumbu untuk pulih dalam arti suksesi dan biokonstruksi. Terumbu karang yang mempunyai nilai tinggi dan resiko tinggi mendapatkan prioritas yang tinggi dalam pengelolaan. Terumbu karang yang kerusakannya sulit tergantikan
juga
lebih
diprioritaskan.
Terumbu
karang
yang
peluang
pemulihannya tinggi akan mendapat prioritas yang tinggi pula dalam pengelolaan. Jika terumbu karang memiliki peluang pemulihan rendah, maka sulit untuk memberikan jaminan bahwa upaya dan biaya yang dicurahkan di dalam pengelolaan akan membuahkan hasil yang sepadan. Penilaian tingkat resiliensi terumbu karang merupakan kriteria ketiga dari perencanaan pengelolaan terumbu karang, yaitu penilaian peluang pemulihan terumbu karang. Tingkat resiliensi terumbu karang hendaknya merupakan salah satu komponen yang penting dalam pemilihan kawasan konservasi terumbu karang. Terumbu karang yang memiliki tingkat resiliensi lebih tinggi lebih berharga untuk dikonservasi daripada yang resiliensinya rendah. Sayangnya hingga saat ini belum ditemukan bagaimana resiliensi ekologis terumbu karang dapat dikenali atau diukur secara praktis. Pemilihan kawasan konservasi terumbu karang sebagian besar masih dilakukan secara konvensional didasarkan pada kelimpahan dan keanekaragaman komunitas karang dan komunitas ikan. Tetapi terumbu karang yang tutupannya baik dan jumlah spesies karang tinggi belum tentu mencerminkan resiliensi yang tinggi. Manfaat dari penelitian ini secara umum sebagai berikut: a) Indeks resiliensi terumbu karang sangat bermanfaat dalam pemilihan lokasi kawasan konservasi terumbu karang, dan penentuan zonasi dalam pengelolaan terumbu karang. Indeks resiliensi yang didapatkan dari penelitian ini akan menjadi salah satu indikator penentu di dalam perencanaan zonasi. b) Indeks resiliensi terumbu karang juga bermanfaat di dalam memilih pendekatan pengelolaan
yang diperlukan untuk memelihara atau
meningkatkan resiliensi terumbu karang. Komponen-komponen ekosistem
10 yang memiliki kontribusi besar terhadap indeks merupakan faktor yang harus ditingkatkan dalam memelihara atau meningkatkan resiliensi terumbu karang. c) Indeks resiliensi terumbu karang sangat penting untuk melakukan ERA (Environmental Risk Assessment) dalam kerangka ICM. Terumbu karang yang indeks resiliensinya rendah memiliki resiko yang lebih besar daripada yang resiliensinya tinggi. Terumbu karang di kawasan Asia Tenggara memiliki ancaman gangguan insani dan alami yang sangat besar (Burke et al. 2002).
1.4 Hipotesis Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan metode penilaian terumbu karang, khususnya indeks resiliensi terumbu karang. Tidak ada hipotesis yang akan diuji secara khusus. Penggunaan sejumlah statistik dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengkonfirmasi adanya perbedaan antara dua atau lebih kondisi dari penerapan indeks resiliensi (Tabel 1).
1.5 Kebaruan (Novelty) a) Rumus indeks resiliensi yang dikembangkan di dalam penelitian ini merupakan rumus yang baru untuk menilai resiliensi terumbu karang. Rumus yang dimodifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004) tersebut memiliki karakteristik yang jauh berbeda dari rumus awalnya, misalnya perubahan nilai acuan peubah indikator indeks dari komunitas kontrol dengan komunitas super dan ditambahkannya faktor koreksi. b) Penggunaan indeks resiliensi ekosistem untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang juga belum pernah dilakukan sebelumnya. Baik Obura dan Grimsditch (2009) maupun Maynard et al. (2010) keduanya tidak merumuskan model persamaan regresi untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang.
11 Tabel 1 Daftar pengujian hipotesis nol dan satistik yang digunakan. Hipotesis nol yang diuji 1) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antara kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Timur. 2) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar-fisiografi laut. 3) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. 4) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Barat. 5) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator indeks resiliensi antar-fisiografi laut. 6) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. 7) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Barat. 8) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. 9) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. 10) Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal indeks dengan dampak gangguan. 11) Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal indeks dengan pemulihan indeks. 12) Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang awal dengan dampak gangguan. 13) Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang awal indeks dengan pemulihan tutupan karang.
Statistik Uji t
Bab 3
Anova satu faktor Anova satu faktor Anova satu faktor Anosim
3
3
Anosim
3
Anosim
3
Anova dua faktor Anova dua faktor Anova satu faktor Anova satu faktor Anova satu faktor Anova satu faktor
4
3 3
4 5 5 5 5
c) Peubah CHQ, USS, dan AOF yang digunakan di dalam indeks juga merupakan peubah baru yang belum pernah digunakan peneliti lain untuk tujuan penilaian indeks resiliensi maupun untuk tujuan penilaian kondisi terumbu karang lainnya. d) Penggunaan data dari transek garis di dalam penilaian resiliensi terumbu karang juga belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian lain menggunakan penilaian pakar dan praktisi (Maynard et al. 2010), atau menggabungkan metode foto kuadrat dan transek titik dengan lima metode lainnya (Obura & Grimsditch 2009).
12 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyusun indeks resiliensi terumbu karang yang menggunakan data transek garis. Penggunaan transek garis dalam penilaian resiliensi terumbu karang sangat penting karena metode transek garis merupakan metode penilaian kondisi terumbu karang yang paling populer di Indonesia dan Asia Tenggara. Untuk memvalidasi kegunaan indeks, tiga uji coba indeks dilakukan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial dan temporal. Hasil utama yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Rumus penilaian indeks resiliensi terumbu karang. (2) Protokol penilaian indeks resiliensi terumbu karang. (3) Persamaan regresi untuk memprediksi pemulihan terumbu karang.
1.7. Rancangan Penelitian Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) tahapan, yang masing-masing dibahas di dalam bab yang terpisah. Tahapan yang paling lama waktunya adalah tahapan pertama, yang dapat dibagi lagi dalam lima sub-tahapan, yaitu: (a) penyaringan data, (b) modifikasi rumus indeks, (c) penentuan calon peubah indikator, (d) pemilihan peubah indikator, serta (e) pembobotan peubah indikator dan (f) penentuan faktor koreksi dan konstanta. Tahapan kedua hingga keempat merupakan validasi dari kegunaan indeks di dalam pengelolaan terumbu karang. Secara umum rancangan penelitian ini disajikan dalam Gambar 1. Tahapan pertama adalah penyusunan rumus atau formulasi indeks resiliensi, yang akan disajikan pada bab 2. Di dalam formulasi indeks tersebut digunakan data yang telah dikoleksi sebelumnya oleh P2O LIPI. Dalam tahapan ini digunakan data 1240 transek, yang berasal dari 540 transek di luar COREMAP dan 700 transek COREMAP tahun 2009.
13
Gambar 1. Bagan alir rancangan penelitian. IR=indeks resiliensi.
14
Tahapan kedua adalah uji coba penggunaan rumus indeks untuk membandingkan resiliensi terumbu karang di 15 kabupaten, yang menjadi lokasi proyek COREMAP. Penelitian ini merupakan validasi kegunaan indeks untuk membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial. Penelitian tahap kedua ini juga menggunakan data dari P2O LIPI yang dikoleksi untuk proyek COREMAP pada tahun 2009, yang berjumlah 649 transek. Penelitian tahap kedua ini ditulis di dalam bab 3. Tahapan ketiga yang disajikan pada bab 4 menggunakan sumber data yang sama dengan penelitian tahap kedua. Karena pada tahap ketiga ini bertujuan untuk melihat perubahan indeks resiliensi secara temporal, maka selain digunakan data COREMAP tahun 2009 juga digunakan data tahun 2008, 2007, dan 2006. Sebenarnya COREMAP pernah mengambil data pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi yang tersedia dalam bentuk LFT (life form table) dan TLT (taxon length table) paling awal adalah tahun 2006. Pada penelitian tahap keempat bertujuan mengkaji perilaku indeks dalam proses pemulihan terumbu karang. Kebutuhan akan data terumbu karang runut waktu dari transek permanen dengan kurun waktu lama, lebih dari 10 tahun, merupakan hal yang sulit dipenuhi oleh lembaga penelitian dan universitas di Indonesia. Kegiatan seperti itu mungkin pernah dilakukan oleh lembaga penelitian dan universitas, tetapi penyimpanan data yang baik masih menjadi masalah utama. Data dengan sifat demikian hanya dapat dipenuhi oleh perusahaan multinasional PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Penelitian tahap keempat disajikan dalam bab 5.
15
2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI 2.1. Pendahuluan Pengukuran kualitas suatu ekosistem merupakan tahapan yang sangat penting di dalam pengelolaan. Mengenali karakteristik dari suatu ekosistem merupakan langkah awal di dalam membuat rencana pengelolaan yang efektif. Salah satu komponen kualitas ekosistem terumbu karang adalah resiliensi, yaitu potensi pemulihan terumbu karang jika terjadi gangguan. Semakin tingginya ancaman terhadap kerusakan terumbu karang di era perubahan iklim global, membuat posisi resiliensi ekosistem semakin penting. Sayangnya, metode pengukuran resiliensi ekosistem tersebut masih dalam proses pengembangan. Di dalam awal bab ini perlu diklarifikasikan lebih dahulu tentang penggunaan kata ‘indeks’, ‘indikator’, dan‘peubah (variabel)’, yang akan banyak digunakan di dalam disertasi ini. Penggunaan istilah ‘indeks’ dan ‘indikator’ yang sangat bervariasi di dalam ekologi telah membingungkan dan multi-tafsir (Heink & Korawik 2010). Indeks dapat didefinisikan sebagai sebuah indikator ekologis yang secara kuantitatif mendeskripsikan kondisi dari suatu lingkungan atau ekosistem (Lin et al. 2009). Kompleksitas ekosistem yang disederhanakan di dalam sebuah indeks menuntut formulasi indeks tidak cukup hanya melibatkan sebuah peubah. Sebuah indeks disusun menggunakan sejumlah peubah yang terintegrasi di dalam sebuah rumus penghitungan indeks. Peubah yang digunakan di dalam penghitungan suatu indeks disebut sebagai peubah indikator indeks atau peubah indikator. Secara konvensional kondisi terumbu karang dinilai berdasarkan tutupan dan keanekaragaman spesies karang, serta kelimpahan dan keanekaragaman ikan terumbu karang (English et al. 1994). Data keanekaragaman karang seringkali kurang meyakinkan karena sedikitnya ahli taksonomi karang di Indonesia. Keanekaragaman spesies karang juga tidak dapat dianggap sebagai jaminan dari resiliensi terumbu karang. Keanekaragaman fungsional dapat lebih penting untuk menjalankan fungsi ekosistem daripada keanekaragaman komposisional (Peru & Doledec
2010).
Pentingnya
keanekaragaman
fungsional
ekosistem kehilangan spesies tanpa mengalami perubahan fungsi.
memungkinkan
16 Tutupan karang sebagai indikator kondisi terumbu karang sudah lama mendapat keluhan, misalnya Pearson (1981) dan Done (1988), tetapi belum ada penggantinya yang lebih baik. Kekurangan dari tutupan karang sebagai satusatunya indikator ekologis adalah tidak mencerminkan struktur komunitas dan kompleksitas habitat. Conservation International (CI) telah mengembangkan sebuah indeks untuk mengukur kualitas atau “kesehatan” terumbu karang yang disebut Reef Condition Index (RCI). RCI dihitung berdasarkan 10 peubah kerusakan terumbu karang dan tutupan karang. Kesebelas peubah tersebut diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kategori dan masing-masing diberi bobot, sebagai bonus atau penalti (Mckenna et al. 2002, p. 68). Penghitungan ini menghasilkan sebuah angka yang dianggap mencerminkan kondisi umum terumbu karang. Pengelompokan data tutupan karang dan penilaian peubah lain dilakukan dengan menggunakan skor skala 1-4. Pembulatan nilai peubah dengan skor membuat RCI menjadi indeks yang kurang sensitif terhadap perubahan komunitas. Penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun suatu rumus matematis yang dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi terumbu karang. Tingkat resiliensi terumbu karang dalam arti kecepatan komunitas karang pulih kembali dari gangguan, tidak dapat dinilai hanya dari tutupan karang. Indeks resiliensi yang akan dikembangkan didasarkan pada metode transek garis, sebuah metode yang sudah sangat popular digunakan di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
2.2 Metode Penelitian 2.2.1 Penentuan peubah indikator Berdasarkan kajian pustaka diperoleh 11 peubah yang dapat menjadi calon peubah indikator resiliensi terumbu karang. Kesebelas peubah tersebut mewakili 6 (enam) komponen atau faktor yang berperan besar di dalam pemulihan terumbu karang (Tabel 2), jika terjadi gangguan yang berdampak akut dan berkaitan langsung dengan kelulushidupan karang. Indeks resiliensi yang dikembangkan dirancang untuk mengukur secara kuantitatif kemampuan terumbu karang pulih kembali ketika mengalami gangguan kematian karang masal. Di dalam terumbu karang, komunitas karang
17 merupakan komponen utama pembentuk ekosistem terumbu karang, sehingga pemulihan komunitas karang merupakan indikator utama dari pemulihan terumbu karang. Tabel 2 Daftar 11 peubah indikator resiliensi terumbu karang yang diperoleh dari kajian pustaka.
Komponen A. Warisan biologis (Biodiversity)
B. Warisan struktural (Habitat complexity and substrate)
C. Biota yang datang (Mobile link, Recruitment) D. Produktivitas (Regimes)
E. Herbivori (Herbivory) F. Kualitas perairan (Water quality)
Peubah indikator 1) Kekayaan genus (CGR: coral genera richness) 2) Kekayaan kelompok fungsional (CFG: coral functional group) 3) Karang masif dan submasif (CMC dan CSC: coral massive and sub-massive covers) 4) Susbtrat yang tidak dapat dihuni (USS: unsuitable settlement substrate) 5) Jumlah kelas ukuran koloni (CSC: coral size classes) 6) Jumlah karang ukuran kecil (CSN: coral small-size number) 7) Karang (CCO: coral cover) 8) Algae (ALC: algal cover) 9) Fauna lain (OTF: other fauna cover) 10) Algae berdaging (AMC: macroalgal cover) 11) Karang Acropora (CAC: coral Acropora cover)
Unit/penjelasan jumlah genus jumlah bentuk tumbuh (life form) % tutupan CMC+CSC
% tutupan pasir (S) dan lumpur (SI) jumlah kelas, dengan interval 10 cm jumlah koloni kecil % tutupan karang % tutupan algae % tutupan OTF
% tutupan makroalgae (MA) % tutupan karang Acropora
Proses pemulihan kembali terumbu karang tersebut tergantung pada: (a) Warisan biologis, berupa karang yang selamat dari gangguan. Besar kecilnya warisan biologis tersebut ditentukan oleh keanekaragaaman hayati komunitas karang saat ini. Karang dari spesies tertentu, genus tertentu, atau dengan bentuk tumbuh tertentu lebih tahan terhadap gangguan daripada yang lainnya (Brown & Suharsono 1990; Gleason 1993; Marshall & Baird 2000; Ninio & Meekan 2002). Karang yang selamat dari gangguan dapat mempercepat rekolonisasi ruang yang terbuka, baik dari larva yang dihasilkan (Miller & Mundy 2003; Starger et al. 2010), dari rekruitmen secara vegetatif (Williams et al. 2008; Golbuu et al. 2007), maupun dari pertumbuhan karang tersebut.
18 Peubah indikator dari keanekaragaman hayati karang yang digunakan adalah keanekaragaman genus (CGR, coral genera richness), dan keanekaragaman bentuk tumbuh atau kelompok fungsional karang (CFG, coral functional groups). Keanekaragaman spesies tidak digunakan karena tingginya tingkat kesulitan identifikasi karang ke tingkat spesies di dalam air, dan kurangnya ahli taksonomi karang di Indonesia (Erdinger & Risk 2000). (b) Warisan struktural adalah bentuk fisik terumbu karang yang akan bertahan ketika terjadi gangguan. Warisan struktural ini berupa kompleksitas habitat dan substrat yang dapat ditumbuhi karang. Habitat yang kompleks dapat menjaga keanekaragaman ikan (Wilson et al. 2007) dan kelangsungan proses herbivori (Ledlie et al. 2007), serta meningkatkan rekruitmen karang (Petersen et al. 2005), sehingga sangat penting dalam pemulihan komunitas karang. Kompleksitas habitat terumbu karang biasanya diukur dengan indeks spasial (Rogers et al. 1983), indeks permukaan (Roberts & Ormond 1987), atau penilaian visual (Wilson et al. 2007). Di dalam penelitian ini, yang menggunakan data transek garis, ukuran kompleksitas habitat diperkirakan berdasarkan tutupan karang masif (CMC, coral massive cover) dan submasif (CSC, coral submassive cover).
Keduanya dapat dijadikan satu peubah
sebagai CMS (coral massive submassive). CMS, disamping memiliki kepadatan kerangka yang tinggi juga banyak dilaporkan merupakan kelompok yang tahan (resistant) terhadap gangguan (Gleason 1993; Ninio & Meekan 2002). Pada terumbu karang yang mengalami kematian masal, semua bentuk tumbuh karang yang lain akan segera menjadi pecahan karang (rubble) karena memiliki kepadatan kerangka kapur yang jauh lebih rendah. Kelimpahan CMS yang tinggi dapat menjamin ketersediaan habitat yang kompleks ketika terjadi gangguan kematian karang secara masal. Sayangnya kelimpahan CMS tidak hanya menunjukkan kompleksitas habitat yang tinggi tetapi juga berkaitan dengan kualitas air yang buruk, misalnya dekat sumber polusi dari daratan (Erdinger & Risk 2000). Hubungan antara kelimpahan CMS dengan resiliensi menjadi tidak linier, melainkan seperti parabola (kuadratis), sehingga tidak dapat secara langsung dijadikan sebagai peubah indikator dari resiliensi terumbu karang.
19 Sebagian struktur terumbu karang merupakan substrat keras yang stabil sehingga dapat ditumbuhi larva karang, tetapi sebagian lainnya tidak. Besarnya jumlah substrat yang dapat ditumbuhi oleh karang sulit diukur pada transek, karena sebagian substrat stabil tersebut sedang ditumbuhi dan tertutup oleh karang atau oleh biota lainnya. Di dalam penelitian ini peubah indikator yang digunakan adalah besarnya substrat yang tidak dapat digunakan larva karang untuk menempel dan tumbuh (USS, unsuitable settlement subsrate), sehingga tidak ditumbuhi karang atau benthos lainnya, yaitu tutupan pasir dan lumpur. Peubah indikator USS tersebut bersifat negatif terhadap potensi pemulihan karang sehingga memiliki tanda kurang (-) di dalam rumus indeks. Substrat pecahan karang, karang mati, dan batu kapur (rock) dapat berfungsi sebagai substrat penempelan larva karang ketika dalam kondisi stabil. Jika pecahan karang tersebut belum stabil saat ini, mereka akan menjadi stabil di lain waktu setelah banyak mendapat sedimentasi kapur perekat dari algae berkapur. (c) Komponen biota yang datang (mobile link) dapat berupa karang, ikan terumbu, maupun biota yang lainnya. Pemulihan komunitas karang sangat tergantung pada datangnya larva karang, yang menjadi faktor utama keterkaitan antar terumbu. Kedatangan ikan terumbu dan biota lain dapat menjadi bagian penting dari proses rekruitmen karang, tetapi tidak berpengaruh secara langsung pada pemulihan karang. Data rekruitmen karang tidak tersedia di dalam transek garis, sehingga digunakan pendekatan lain untuk mewakili rekruitmen karang, yaitu ukuran koloni karang. Di dalam penelitian ini rekruitmen karang diukur berdasarkan ukuran koloni karang di transek garis. Transek garis dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran koloni karang (Marsh et al. 1984), dengan menggunakan rumus tertentu. Ukuran koloni ditentukan sebagai panjang potongan transek (intercept chord) yang melintasi bagian koloni tersebut, karena penggunaan rumus yang rumit dianggap tidak praktis bagi pengelola (manajer) kawasan terumbu karang. Cara pendugaan yang praktis ini juga tidak berpengaruh pada hasil penelitian, karena tujuan utama penelitian bukan untuk mengetahui ukuran koloni karang.
20 Jika di suatu terumbu terjadi rekruitmen yang berkesinambungan maka struktur komunitas karang akan memiliki banyak ukuran koloni, atau rentangan ukuran koloni terkecil dengan terbesar lebar. Peubah indikator jumlah kelas ukuran koloni (CCS, coral colony size), dengan interval ukuran koloni 10 cm (panjang transek) digunakan untuk melihat kesinambungaan rekruitmen karang. Jumlah koloni pada kelas ukuran koloni yang terkecil (≤10 cm) dapat mencerminkan proses reskruitmen pada terumbu karang tersebut, sehingga dapat digunakan juga sebagai indikator dari rekruitmen karang. Secara konvensional, rekruitmen karang di habitat alami diukur berdasarkan jumlah anakan karang atau juvenile yang didefinisikan sebagai koloni karang berukuran ≥5 cm (Van Moorsel 1985; Golbuu et al. 2007), 2 dan 5 cm (Miller et al. 2000), 0.5-5.0 cm (McClanahan et al. 2005), dan 2-40 mm (Edmunds et al. 2004). Di dalam penelitian ini rekruitmen karang diestimasi berdasarkan jumlah koloni karang yang berukuran kecil (CSN, coral small-size number), yaitu yang mempunyai ukuran 1-10 cm panjang transek. Batasan ukuran koloni ini tidak memiliki makna secara biologis dan ekologis, tetapi dapat menunjukkan ada tidaknya proses rekruitmen karang di terumbu karang tersebut. (d) Produktivitas ekosistem juga merupakan faktor yang penting dari resiliensi terumbu karang. Kelimpahan karang (COC, coral cover) sudah lama dijadikan sebagai indikator utama kondisi terumbu karang. Walaupun hal ini tidak selalu efektif (Erdinger & Risk 2000), peneliti dan pengambil kebijakan belum melihat alternatif lain yang lebih baik dan praktis seperti peubah tutupan karang. Pada komunitas yang telah mengalami pergantian fase (phase shift), maka kelimpahan karang akan digantikan oleh makroalgae dan fauna lain, misalnya sponge, karang lunak, atau anemon (Hughes 1994; Fox et al. 2003; Tkachenko et al. 2007; Norstrom et al. 2009). Sebagai peubah indikator dari komunitas alternatif setelah hilangnya dominansi karang adalah kelimpahan makroalgae atau fauna lain. Baik makroalgae maupun fauna lain ternyata keduanya memiliki kelimpahan yang sedikit pada terumbu karang Indonesia, secara berurutan mempunyai rata-rata (±SD) adalah 2.18±7.61% dan 8.05±11.28%, dan rentangan 0-100% dan 0-
21 81.1%.
Nilai rata-rata yang kecil dengan rentangan yang sangat besar
merupakan indikasi peubah yang memiliki sumbangan ragam kecil. Jika kedua peubah tersebut digabungkan menjadi satu peubah indikator dari resiliensi terumbu karang, maka peubah tersebut masih kurang berpengaruh. Di antara lima kelompok algae yang paling dominan adalah algae turf (turf algae), yaitu kelompok algae yang berfilamen, tidak berdaging; yang memiliki rata-rata tutupan 18.93±19.99%. Algae berfilamen merupakan pesaing karang yang penting (Jompa & McCook 2003a, 2003b), disamping makroalgae. Agar biota dominan alternatif di terumbu karang menjadi peubah yang sebanding dengan tutupan karang, maka digunakan peubah indikator gabungan yang meliputi semua jenis algae dan fauna lain, dengan nama AOF (algae-other-fauna). Pada terumbu karang di Indonesia kelimpahan rata-rata AOF 30.57±24.24% dan rentangan 0-100%. Penggunaan semua jenis algae sebagai indeks kesehatan terumbu karang sudah pernah disarankan Bahartan et al. (2010). (e) Herbivori merupakan satu proses ekologis yang sangat penting pada resiliensi ekosistem terumbu karang. Herbivori merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat mengendalikan kelimpahan makroalgae. Jika pertumbuhan makroalgae tidak dikendalikan maka komunitas makroalgae akan segera mendominasi terumbu karang (Hughes et al. 2007). Dominansi makroalgae berdampak negatif pada komunitas karang batu. Herbivori menyediakan ruang kosong untuk penempelan larva karang. Herbivora yang besar tidak hanya mencabik makroalgae tetapi juga memarut dasar terumbu tempat tumbuhnya makroalgae. Bagian kapur terumbu yang terbuka akibat cabikan tersebut akan segera ditumbuhi oleh bakteri dan layak untuk menjadi tempat penempelan larva planula karang. Meskipun herbivori penting, penggunaan ikan herbivora sebagai peubah indikator resiliensi tidak mudah. Di dalam komunitas ikan herbivora, spesies yang berperan penting sangat tergantung pada komposisi komunitas makroalgae (Fox & Bellwood 2008; Hoey & Bellwood 2008). Herbivori yang sangat penting juga kadang diperankan oleh ikan yang umumnya dikelompokkan sebagai invertivora, misalnya Platax pinnatus di Orpheus Island (Bellwood et al. 2006). Redundansi peran ikan herbivora dengan
22 Diadema antillarum juga bervariasi antar lokasi (Carpenter 1990). Pengukuran intensitas herbivori lebih reliabel dilakukan pada dampak herbivori, yaitu kelimpahan makroalgae. Pada kondisi herbivori rendah komunitas makroalgae atau turf algae akan mempunyai kelimpahan yang tinggi (Littler et al. 2006), tergantung pada nutrient yang tersedia. Dengan menggunakan kelimpahan atau tutupan makroalgae (AMC, algae macro cover), pengukuran dampak herbivori lebih langsung dan datanya dapat diperoleh dari transek garis. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tutupan makroalgae (AMC) digabungkan dengan peubah yang lain menjadi AOF (algae dan faua lain). (f) Kualitas perairan merupakan komponen yang sangat penting di dalam resiliensi terumbu karang. Air yang keruh atau banyak sedimen merupakan tekanan lingkungan yang menurunkan resiliensi terumbu karang. Di dalam data transek garis, komponen yang dapat berkaitan dengan kondisi perairan yang baik adalah karang Acroporidae (Done 1982; Erdinger & Risk 2000). Disamping itu, Acroporidae juga mencerminkan kondisi resiliensi yang tinggi karena komunitas karang Acropora berkaitan dengan pemulihan tutupan karang yang cepat (Ninio & Meekan 2002; Wakeford et al. 2008). Pentingnya karang Acropora sebagai indikator dari indeks resiliensi ini sangat disarankan oleh Dr. Brian Keller, peneliti NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), suatu lembaga yang mengelola terumbu karang di Florida Keys. Sebaliknya, jika terjadi gangguan yang menyebabkan kematian masal karang, maka karang Acropora menjadi salah satu kelompok karang yang paling rentan (Brown & Suharsono 1990; Ninio & Meekan 2002). Kelimpahan karang Acropora yang terlalu tinggi menunjukkan kompleksitas habitat yang rendah. Kerangka karang Acropora yang sudah mati mudah patah dan menjadi puing pecahan karang, sehingga permukaan terumbu karang hampir menjadi rata kehilangan struktur tiga dimensi. Kelimpahan karang Acropora perlu dipadukan dengan kelimpahan karang masif dan submasif untuk menunjukkan kualitas perairan yang baik dan kompleksitas habitat yang tinggi.
23 Peubah indikator dari kedua kualitas terumbu karang tersebut dinamakan kualitas habitat karang (CHQ, coral habitat quality), yang merupakan akar kuadrat dari interaksi kelimpahan karang masif dan submasif dengan kelimpahan karang Acropora. Istilah karang masif dan submasif mengacu pada karang non-Acropora yang memiliki kerangka padat dengan bentuk tertentu. Secara teoritis nilai maksimum dari CHQ adalah 50%, yaitu ketika terumbu karang 50% tertutup oleh karang Acropora dan 50% sisanya tertutup oleh karang masif dan submasif. Peubah CHQ merupakan peubah baru yang menunjukkan kompleksitas habitat dan kualitas air, dengan satuan %. Keterangan: CAC=tutupan karang Acropora, CMC=tutupan karang masif, CSC=tutupan karang sub-masif. Adanya penggabungan peubah membuat jumlah peubah indikator resiliensi terumbu karang berkurang dari 11 menjadi 8 (delapan) peubah. Peubah ALC, AMC, dan OTF telah bergabung menjadi sebuah peubah baru AOF, yang juga melibatkan kelimpahan jenis-jenis algae yang lain (turf algae, coralline algae, algal assemblage, Hallimeda). Peubah kompleksitas habitat (CMC dan CSC) digabung dengan peubah kondisi perairan (CAC) menjadi peubah kualitas habitat CHQ. Dengan demikian peubah indikator dari resiliensi yang diteliti meliputi: CGR, CFG, CCS, CSN, USS, CHQ, COC, dan AOF.
2.2.2 Pengumpulan data Data yang digunakan di dalam penelitian ini seluruhnya adalah data yang telah dikoleksi oleh peneliti P2O LIPI, yang secara spasial terdistribusi pada sebagian besar wilayah perairan utama di Indonesia. Data tersebut telah dikoleksi di dalam program CRITC-COREMAP tahun 2009 dan di luar program COREMAP dalam periode 1992-1998. Data program COREMAP yang dikoleksi dengan metode LIT pada tahun 2009, meliputi seluruh 5 (lima) perairan ekoregion yang ada di Indonesia (Gambar 2).
24
Gambar 2. Peta lokasi pengambilan data CRITC-COREMAP pada tahun 2009 (huruf kapital), dan lokasi pengambilan data di luar COREMAP pada periode 1992-1998 (huruf kecil).
25 Data dari COREMAP meliputi sebagian besar perairan utama di Indonesia. COREMAP di Indonesia Barat dilaksanakan di 8 (delapan) kabupaten yang terdapat di 3 (tiga) propinsi, yaitu Natuna, Batam, Bintan, dan Lingga (Kepulauan Riau); Tapanuli Tengah, Nias, dan Nias Selatan (Sumatra Utara); serta Mentawai (Sumatra Barat). COREMAP di Indonesia Timur meliputi 7 (tujuh) kabupaten dari 4 (empat) propinsi, yaitu Pangkajene Kepulauan dan Selayar (Sulawesi Selatan); Buton dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara); Raja Ampat dan Biak (Papua Barat); serta Sikka (Nusa Tenggara Timur). Sebagian besar transek permanen diletakkan pada kedalaman 5 (lima) meter, dengan panjang 10 meter. Di sejumlah lokasi khusus, transek dibuat pada kedalaman kurang dari 5 (lima) meter, misalnya di Batam, Bintan, Lingga dan Buton, atau lebih dari 7 (tujuh) meter, misalnya di Wakatobi. Data P2O LIPI yang lama (1992-1998) berasal dari perairan Kepulauan Seribu, Selat Sunda, Papua, dan Karimunjawa. Data lama tersebut disamping melengkapi kondisi terumbu karang Indonesia secara temporal, juga secara spasial, yaitu data perairan Laut Jawa. Data lama ini juga mempunyai panjang transek 10 meter, tetapi kedalamannya pada satu lokasi sangat bervariasi antara 115 meter. Perbedaan kedalaman dianggap tidak mempengaruhi terhadap rumus yang akan dihasilkan karena indeks tersebut belum digunakan untuk membandingkan resiliensi antar kedalaman atau antar lokasi, melainkan untuk mendapatkan perbedaan ragam antar peubah indikator dari indeks resiliensi terumbu karang.
2.2.3 Analisis data Analisis data di dalam penelitian ini melibatkan pengukuran hubungan korelasional antar peubah indikator, pengurangan jumlah peubah, dan pemberian bobot setiap peubah di dalam indeks. Koefisien korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan korelasional antar peubah yang akan digunakan sebagai indikator indeks. Penghitungan koefisien korelasi menggunakan perangkat lunak MS Excell 2007. Peubah yang memiliki hubungan korelasional tinggi dipertimbangkan untuk dibuang salah satunya.
26 Pengurangan jumlah peubah indikator di dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik BEST (Biological-Environmental Step-wise). BEST adalah suatu analisis statistik multifaktor non-parametrik, yang digunakan untuk menguji hubungan
antara
matriks
kesamaan
peubah
biologis
dengan
matriks
ketidaksamaan peubah lingkungan, melalui permutasi matriks (Clark et al. 2008). BEST merupakan statistik non-parametrik sehingga tidak ada persyaratan asumsi distribusi normal dari data multifaktor yang akan dianalisis dengan alat ini. Selain untuk menguji hubungan antara peubah biologis dengan lingkungan yang bersifat multifaktor, BEST juga dapat digunakan untuk mengurangi jumlah peubah, baik biologis maupun lingkungan, dengan syarat koefisien korelasi antara kelompok peubah penuh dengan yang sudah dikurangi tidak lebih rendah dari 0.95 (Clark et al. 2008). Penghitungan BEST dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Primer 6 versi 6.1.13 (PRIMER-E Ltd., 2009). Pengurangan
jumlah
peubah
tidak
menggunakan
PCA
(Principle
Component Analysis) dan PFA (Principle Faktor Analysis) yang mengurangi jumlah peubah berdasarkan sumbangan setiap peubah terhadap ragam total. Kedua metode tersebut baik digunakan jika setiap peubah memiliki kepentingan dan kepraktisan yang sama. Baik PCA maupun PFA tidak mempertimbangkan hubungan korelasi antar peubah sehingga dapat muncul dua peubah yang memiliki koefisien korelasi tinggi yang keduanya mempunyai sumbangan ragam tinggi. Kedua peubah tersebut akan memberikan informasi yang sama, sehingga penggunaannya menyebabkan pengulangan (redundancy). Walaupun demikian, PCA tetap digunakan untuk pemberian bobot setiap peubah indikator. Primpas et al. (2010) menggunakan komponen pertama dari PCA untuk memberikan bobot pada lima peubah indikator eutrofikasi, dan mendapatkan bahwa indeks tersebut efisien untuk membedakan eutrofikasi perairan. Penelitian ini menggunakan metode yang sama untuk memberikan bobot berdasarkan
sumbangan
masing-masing
peubah
terhadap
ragam
total.
Penghitungan PCA berdasarkan matriks kesamaan (resemblance matrix) dengan menggunakan perangkat lunak Primer 6 versi 6.1.13, setelah data ditransformasi dengan y = log (x+1) dan dinormalisasikan. Hasil lengkap penghitungan dalam formulasi indeks dan analisis statistik disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
27 2.3 Hasil-hasil Penelitian 2.3.1 Penentuan peubah indikator Dari delapan peubah yang menjadi indikator indeks resiliensi terdapat sejumlah peubah yang memiliki koefisien korelasi tinggi. Sebagian besar pasangan peubah memiliki koefisien korelasi Pearson yang signifikan karena jumlah sampel yang besar (1240 transek). Hanya empat pasangan peubah yang menunjukkan koefisien korelasi tidak signifikan, yaitu AOF-CGR, AOF-CFG, CSN-CHQ, dan CSN-CCS. Pasangan peubah indikator yang memiliki koefisien korelasi agak tinggi dan tinggi, yaitu pasangan CFG-CGR dan COC-CCS yang memiliki koefisien korelasi secara berurutan 0.691 dan 0.833 (Tabel 3). CFG dan CGR mewakili komponen resiliensi yang sama, yaitu rekruitmen karang. Sedangkan CCS mewakili komponen yang berbeda dari COC. Penggunaan dua atau lebih peubah indikator yang memiliki koefisien korelasi tinggi dapat menyebabkan adanya pengulangan (redundansi) sehingga perlu dilakukan pengurangan peubah indikator indeks.
Tabel 3 Koefisien korelasi Pearson (r) antar peubah indikator resiliensi terumbu karang. N=1240 transek.
CGR CFG USS CHQ CCS CSN COC AOF
CGR 1.000 0.691 -0.224 0.299 0.343 0.512 0.511 0.046
CFG
USS
CHQ
CCS
CSN
COC
AOF
1.000 -0.277 0.550 0.382 0.443 0.526 0.023
1.000 -0.222 -0.287 -0.155 -0.389 -0.113
1.000 0.395 0.055 0.478 -0.100
1.000 0.015 0.833 -0.280
1.000 0.175 0.123
1.000 -0.313
1.000
Hasil analisis BEST dengan jumlah maksimum 7 (tujuh) peubah menghasilkan sejumlah pilihan, berupa deretan kombinasi peubah yang menjadi prioritas untuk dipertahankan (Tabel 4). Penggunaan analsis BEST di dalam pemilihan indikator dipadukan dengan pertimbangan lainnya, yaitu keterwakilan komponen dan kepraktisan penggunaan. Keterwakilan komponen mengacu kepada 6 (enam) komponen resiliensi ekosistem terumbu karang pada Tabel 2,
28 yaitu warisan biologis, warisan struktural, rekruitmen, produktivitas, kualitas air, dan herbivori. Jika pasangan peubah mewakili komponen yang sama, maka nilai kepraktisan menjadi pertimbangan utama. Jika pasangan peubah tersebut mewakili komponen yang berbeda maka keterwakilan komponen menjadi pertimbangan yang utama. Kepraktisan pengukuran adalah kemudahan dalam mengambil data dari transek garis dan kemudahan dalam mengekstrak data dari hasil cetakan perangkat lunak “life-form”. Dari segi kepraktisan tersebut pengambilan data kelompok fungsional (CFG) jauh lebih mudah daripada kekayaan genus (CGR). Peubah COC tidak dapat digantikan karena mewakili komponen rejim terumbu karang yang didominasi oleh komunitas karang. Sebaliknya peubah CCS (jumlah kelas ukuran koloni) mewakili komponen yang sama dengan peubah CSN (jumlah koloni kecil), yaitu jumlah rekruitmen karang, sehingga peubah CCS tidak digunakan sebagai peubah indikator indeks. Alasan lain pemilihan CSN adalah bahwa jumlah rekruitmen diketahui tidak berkorelasi dengan COC (Golbuu et al. 2007), sedangkan CCS mempunyai korelasi tinggi dengan COC. Tabel 4 Hasil analisis BEST untuk pengurangan jumlah peubah indikator. Kombinasi nomor 7 yang dipilih berdasarkan kemudahan pengukuran dan keterwakilan komponen. No. Jumlah Koefisien Kombinasi peubah Peubah peubah korelasi dikurangi CGR, USS, CHQ, CCS, CSN, COC, 1 7 0.992 CFG 2
7
0.991
3
7
0.990
4
7
0.988
5 6 7 8 9 10
6 6 6 6 6 7
0.974 0.973 0.973 0.971 0.970 0.969
AOF CFG, USS, CHQ, CCS, CSN, COC, CGR AOF CGR, CFG, USS, CHQ, CCS, CSN, COC AOF CGR, CFG, USS, CHQ, CSN, COC, CCS AOF
CGR, USS, CHQ, CSN, COC, AOF CGR, USS, CHQ, CCS, CSN, AOF CFG, USS, CHQ, CSN, COC, AOF CFG, USS, CHQ, CCS, CSN, AOF CHQ, CCS, CSN, USS, COC, AOF
CFG, CCS CFG, COC CGR, CCS CGR, COC CGR, CFG CGR, CFG, CHQ, CCS, USS, COC, CSN AOF
29 Berdasarkan
analisis
BEST
serta
pertimbangan
kepraktisan
dan
keterwakilan maka deretan indikator yang dipilih untuk digunakan adalah nomor urut 7, yang mengurangi peubah CGR dan CCS. Dengan pengurangan dua peubah tersebut masih dapat diperoleh hasil yang mendekati hasil asalnya, yaitu memiliki koefisien korelasi 0.973 dengan kondisi sebelum peubahnya berkurang. Peubah yang dipilih untuk menjadi indikator di dalam indeks resiliensi terumbu karang adalah: a) CFG: jumlah bentuk tumbuh (life-form) karang atau kelompok fungsional, b) USS: tutupan pasir dan lumpur, yaitu substrat yang tidak dapat ditumbuhi karang secara permanen. c) CHQ: kualitas habitat, yang merupakan penggabungan tutupan karang masif dan submasif (non-Acropora) dengan tutupan karang Acropora. d) CSN: jumlah koloni ukuran kecil (≤10 cm). e) COC: tutupan karang f) AOF: tutupan makroalgae dan fauna lain, yaitu tutupan alternatif terumbu karang ketika dominansi karang berkurang. 2.3.2
Perumusan indeks Indeks resiliensi yang dibangun di dalam penelitian ini merupakan
pengembangan atau modifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah yang dikembangkan oleh Orwin dan Wardle (2004). Modifikasi indeks tersebut dilakukan pada komunitas referensi dan peubah indikatornya. Di dalam Indeks Orwin dan Wardle, komunitas acuannya adalah komunitas kontrol, yaitu komunitas lokal yang tidak terkena dampak. Kelemahan dari referensi ini adalah indeks yang ditemukan tidak dapat diperbandingkan antar lokasi yang berjauhan, karena masing-masing lokasi memiliki komunitas acuan atau kontrol yang berbeda. Rumus indeks yang dimodifikasi (Orwin & Wardle 2004): | | 1 | | |
|
(1)
RSt=Resiliensi pada saat t, D0=perbedaan antara kondisi sebelum dan setelah gangguan di lokasi kontrol, Dx=perbedaan antara kondisi sebelum dan setelah gangguan di lokasi yang diteliti.
30 Indeks resiliensi terumbu karang menggunakan acuan komunitas terumbu karang yang ideal, atau terumbu karang “super”. Terumbu karang super adalah terumbu karang yang memiliki nilai maksimum pada setiap peubah yang menjadi indikator indeks resiliensi (rumus 2). Terumbu karang “super” tidak ada di dalam kenyataan karena merupakan konsep ideal. Dari keenam peubah indikator yang terpilih, nilai maksimum CSN yang ideal tidak diketahui sehingga ditentukan dari transek yang secara spasial dan temporal tersebar di seluruh perairan utama Indonesia (Tabel 5).
∑)$*+ |
| !"# $%|
!"# $%| & !"#' &
1(
(2)
Keterangan: RIj=Indeks Resiliensi pada transek j, Ximax=nilai maksimum untuk peubah Xi, Ximin=nilai minimum untuk peubah Xi, Xij=nilai peubah Xi dari transek j. Tabel 5 Nilai maksimum terumbu karang “super” yang menjadi acuan penghitungan indeks resiliensi terumbu karang. Panjang transek acuan 10 meter. Indikator
Satuan
CFG USS* CHQ CSN COC AOF*
kelompok % % koloni % %
Dari transek 0-10 0-100 0-36 0-23 0-96 0-100
Di dalam rumus Minimum Maksimum Simbol 0 13 ,+ ,100 0 0 50 , 0 25 ,. 0 100 ,/ 100 0 ,)
*Nilai maksimum USS dan AOF berlawanan arah dengan nilai maksimum indikator yang lain karena memberikan dampak negatif terhadap resiliensi terumbu karang.
Di dalam indeks, nilai minimum dan maksimum semua peubah, kecuali CSN, adalah nilai yang ideal, sehingga tidak dapat ditambah lagi. Nilai maksimum untuk peubah indikator CSN ditetapkan 25. Berdasarkan data dari sekitar 2100 transek di seluruh Indonesia, nilai maksimum CSN adalah 23 koloni, dengan nilai peluang 0.185%. Dengan penetapan nilai maksimum CSN sebesar 25 koloni dianggap sudah cukup untuk dijadikan referensi di dalam terumbu karang
31 ideal Indonesia, karena peluang menemukan CSN dengan nilai maksimum tersebut di bawah 0.046%. Dengan menggunakan nilai peubah pada terumbu karang super tersebut, maka rumus indeks menjadi rumus 3 berikut:
01
213 0 250 0 18 1 18 13 0 13 CFG 50 0 50 CHQ 225 0 2100 0
1 18 1 18 25 0 25 CSN 100 0 100 COC 2100 0 2100 0 1 18 1 18A 100 0 USS 0 100 0 AOF 0
(3)
Masing-masing peubah indikator indeks resiliensi memiliki kontribusi yang berbeda terhadap indeks. Peubah indikator yang memiliki variasi spasial lebih besar akan menghasilkan ragam yang besar pula sehingga lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. Peubah indikator yang sensitif tersebut sebaiknya memiliki bobot yang lebih tinggi agar indeks resiliensi memiliki sensitivitas yang tinggi. Hasil PCA memberikan bobot kepada masing-masing indikator sebagai berikut (Tabel 6 dan 7).
Tabel 6 Hasil penggunaan PCA pada enam peubah indikator indeks resiliensi terumbu karang.
Komponen Utama (PC) 1 2 3 4 5
Akar ciri 2.86 1.09 0.903 0.629 0.406
Ragam yang dijelaskan (%) 47.7 65.7 80.8 91.2 98.0
Komponen pertama dari PCA (PC1) di dalam Tabel 7 menjelaskan 47.7% ragam (variance) dari data. Komponen berikutnya hanya menjelaskan 18%, 15.1%, 10.4%, dan 8.6%. Penggunaan komponen pertama dalam pembobotan tersebut dapat menjelaskan hampir setengah dari ragam yang ada. Nilai atau koefisien dari masing-masing indikator di dalam komponen pertama merupakan sumbangan dari tiap indikator terhadap ragam total. Di dalam PC1 tersedia daftar
32 koefisien masing-masing peubah dengan dua arah vektor, yang ditunjukkan dengan tanda negatif atau positif (Tabel 7). Perbedaan tanda nilai menunjukkan perbedaan arah aksis dari vektor peubah tersebut. Nilai komponen pertama kemudian dijadikan sebagai bobot dari masing-masing indikator.
Tabel 7 Pembobotan indikator resiliensi terumbu karang dengan menggunakan nilai komponen pertama dari PCA. Nilai minus (-) pada koefisien sebagai tanda perbedaan arah sumbu (vektor) pada PCA. Peubah indikator CFG USS CHQ CSN COC AOF
Koefisien pada PC 1 -0.560 0.204 -0.423 -0.430 -0.520 0.103
Dengan memasukkan bobot setiap peubah indikator indeks resiliensi, maka rumus indeks resiliensi terumbu karang secara operasional menjadi rumus 4 berikut:
00.56 1
213 0 18 13 0 13 DE 250 0
0.42 1 18 50 0 50 225 0
0.43 1 18 25 0 25 G 2100 0
0.52 1 18 100 0 100 H 2100 0 0.20 1 18 100 0 I 0 2100 0 0.10 1 18A 100 0 HD 0
(4)
Adanya pembobotan tersebut menyebabkan modifikasi rumus Orwin dan Wardle (2004) tidak lagi menghasilkan nilai maksimum 1.000 dan minimum 0.000. Nilai indeks maksimum 1.930 pada kondisi ideal terbaik dan indeks minimum -0.200 pada kondisi ideal terburuk. Sebuah faktor koreksi (CF) diperlukan untuk menjadikan indeks resiliensi ini nilai minimum ideal tidak
33 negatif melainkan 0.000. Jika suatu traksek dipasang pada terumbu yang seluruhnya (100%) tertutup pasir atau lumpur atau keduanya, maka seharusnya nilai indeks resiliensi sama dengan 0.000 karena tidak ada harapan karang akan tumbuh kembali di lokasi tersebut. Faktor koreksi yang memenuhi harapan tersebut adalah CF = 0.200. Masuknya CF ke dalam rumus membuat nilai indeks secara teoritis antara 0.000 sampai 2.130. Rumus dari indeks resiliensi terumbu karang tersebut secara lengkap menjadi rumus 5 berikut:
00.56 1
213 0 18 13 0 13 DE
0.42 1
0.43 1
0.52 1 0.20 1 0.10 1
250 0 18 50 0 50 225 0 18 25 0 25 G
2100 0 18 100 0 100 H 2100 0 18 100 0 I 0
2100 0 18 0.20A 100 0 HD 0 (5)
2.3.3
Indeks resiliensi dan tutupan karang Indeks
yang
dikembangkan di dalam
penelitian
ini perlu
diuji
penggunaannya untuk membandingkan resiliensi terumbu karang, baik secara spasial maupun temporal (bab 3 dan 4). Terumbu karang yang memiliki nilai indeks resiliensi rendah mempunyai ciri-ciri: tutupan karang rendah, tutupan makroalgae dan fauna lain tinggi, tutupan pasir dan lumpur tinggi (Gambar 3). Kondisi sebaliknya akan menghasilkan indeks resiliensi yang tinggi. Dari 5 (lima) indeks resiliensi yang paling rendah, empat transek diantaranya terdapat di Pulau Nyamuk tahun 1992, sedangkan pada 5 (lima) indeks tertinggi dua transek berasal dari Natuna dan dua transek lagi dari Batam tahun 2009. Tutupan karang yang tinggi bukan jaminan indeks resiliensinya akan
34 tinggi pula, karena masih ada faktor-faktor lain yang berpengaruh pada resiliensi terumbu karang. Tetapi, tutupan pasir dan lumpur (USS) yang tinggi menjadi jaminan bahwa indeks resiliensinya akan rendah.
Gambar 3 Indeks resiliensi terumbu karang dan hubungannya dengan tutupan karang (COC), tutupan makroalga dan fauna lain (AOF), serta tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva secara permanen (USS). Secara teoritis nilai indeks resiliensi terumbu karang pada suatu transek berada di antara 0.000 sampai 2.130, tetapi data dari Indonesia menunjukkan nilai empiris indeks suatu transek maksimum 1.070 dan minimum 0.021. Jumlah transek yang memiliki indeks resiliensi lebih besar dari 1.000 sangat sedikit, yaitu 0.403%. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya nilai acuan terumbu karang “super” yang dijadikan sebagai referensi rumus indeks bermanfaat untuk membuat nilai maksimum indeks secara empiris mendekati 1.000. Pengukuran indeks memang didasarkan pada satu transek, tetapi penilaian indeks resiliensi terumbu karang tidak dapat dilakukan dengan satu transek saja. Penilaian resiliensi terumbu karang dilakukan pada sejumlah stasiun atau lokasi pemantauan. Setiap lokasi pemantauan, yang datanya digunakan dalam penelitian ini, minimal terdiri atas tiga transek. Di Indonesia, tidak satupun lokasi pemantauan terumbu karang yang memiliki nilai indeks rata-rata ≥1.000. Tiga stasiun atau lokasi pemantauan dengan nilai rata-rata (±SD) indeks tertinggi adalah 0.976±0.107 di Natuna, 0.927±0.145 di Batam, dan 0.901±0.114 di
35 Lingga. Sebuah stasiun pengamatan di Pulau Nyamuk, tahun 1992, memiliki ratarata indeks terendah 0.067±0.032. 2.3.4
Klasifikasi indeks Nilai indeks perlu diklasifikasikan untuk mempermudah komunikasi dan
interpretasi. Dengan mengacu pada kurva distribusi normal, nilai indeks resiliensi dapat dibagi menjadi 5 (lima) kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang, kurang, dan buruk (Table 8). Klasifikasi indeks ini untuk mempermudah para pengelola terumbu karang dalam melaporkan perubahan dan mengambil keputusan pengelolaan. Di Indonesia, data indeks resiliensi terumbu karang menunjukkan distribusi yang normal (rata-rata = 0.468, median = 0.469, N = 1240). Klasifikasi indeks dilakukan berdasarkan kurva distribusi normal dengan rata-rata indeks 0.468 dan simpangan baku (SD) 0.225.
Tabel 8 Klasifikasi indeks resiliensi terumbu karang ke dalam lima kategori, dengan lebar kelas 1 SD. Kategori A. Baik sekali (excellent) B. Baik (good) C. Sedang (fair) D. Kurang (poor) E. Buruk (bad)
Batas kelas ≥ 0.806 0.581 – 0.805 0.356– 0.580 0.131 – 0.355 ≤ 0.130
Klasifikasi nilai indeks tersebut tidak berkaitan langsung dengan pergantian fase. Di perairan Indonesia, pergantian dominansi karang ke dominansi makroalgae merupakan kejadian yang langka. Dari 1240 transek, yang digunakan dalam formulasi indeks, hanya 10 transek (0.806%) yang memiliki tutupan makroalgae di atas 50%. Di antara kesepuluh transek tersebut, 6 (enam) mempunyai indeks resiliensi dalam kategori buruk dan 4 (empat) lainnya masuk kategori resiliensi kurang.
2.4
Pembahasan Modifikasi dari rumus indeks resiliensi komunitas tanah Orwin dan Wardle
(2004) untuk mengukur resiliensi terumbu karang, menghasilkan indeks resiliensi
36 terumbu karang dengan acuan data nasional. Dengan acuan tersebut, mestinya dapat dibandingkan indeks resiliensi terumbu karang antar kabupaten, antar provinsi, dan antar wilayah di Indonesia, serta antar waktu. Hasil pengukuran indeks terhadap 1240 transek di Indonesia menunjukkan bahwa indeks resiliensi tersebut dapat memberikan hasil yang memuaskan (Gambar 3). Indeks bertambah dengan bertambahnya tutupan karang, dan berkurang jika terjadi sebaliknya. Tutupan pasir dan lumpur (USS) yang tinggi bertepatan dengan nilai indeks yang rendah. Terumbu karang dengan tutupan karang yang sama dapat memiliki indeks resiliensi yang berbeda. Indeks resiliensi terumbu karang ini dirancang untuk mengukur indeks dari suatu transek. Setiap transek menghasilkan sebuah nilai indeks. Penilaian indeks resiliensi terumbu karang membutuhkan banyak transek. Kehandalan indeks dalam menilai tingkat resiliensi suatu terumbu karang sangat tergantung dari rancangan pengambilan cuplikan (sampling design) dan pengambilan data di dalam transek. Semakin banyak transek yang digunakan maka presisi indeks akan semakin baik, sebagaimana alat pengambilan cuplikan lainnya. Penggunaan indeks ini sebaiknya mengikuti protokol pengambilan cuplikan terumbu karang dengan transek garis, sebagaimana yang telah dikembangkan dan dibakukan pada English et al. (1994, 1997). Protokol penilaian indeks disajikan pada Lampiran 3. Rata-rata indeks resiliensi pada suatu terumbu karang pada umumnya lebih kecil daripada 1.000. Penilaian resiliensi terumbu karang membutuhkan sejumlah transek yang dapat dianggap mewakili terumbu karang tersebut. Di suatu terumbu karang atau pulau, penilaian kondisi terumbu karang dilakukan minimal pada dua lokasi, dan di masing-masing lokasi terdiri atas sejumlah transek, yang dapat tersebar di beberapa kedalaman. Pengukuran indeks resiliensi dari setiap transek dapat menguntungkan karena kita dapat melihat ragam dari resiliensi suatu terumbu karang. Keuntungan dari acuan yang tinggi sebagai referensi indeks adalah indeks resiliensi ini dapat digunakan pada kawasan yang lebih luas. Jika terumbu karang di kawasan Philippines atau GBR tidak melampaui acuan standar di dalam indeks, maka indeks ini dapat digunakan di kawasan tersebut. Hanya ada satu peubah indikator yang memiliki peluang dilampaui oleh data lapang, yaitu CSN (jumlah
37 koloni ukuran kecil), walaupun peluang tersebut sangat kecil yaitu lebih kecil dari 0.00185 atau 0.185%. Di masa depan indeks ini diharapkan dapat diujicoba penggunaannya di kawasan Indo-Pasifik oleh para peneliti terumbu karang di kawasan tersebut. Indeks resiliensi yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan indeks resiliensi ekologis yang sangat praktis dan dapat digunakan oleh pengelola terumbu karang hampir di seluruh kabupaten di Indonesia. Pengukuran indeks resiliensi dilakukan dengan metode transek garis atau LIT (line intercept transect) yang diperkenalkan oleh Loya (1972, 1978), dan dibakukan sebagai metode standar penilaian kondisi terumbu karang di kawasan ASEAN dan Australia (English et al. 1994, 1997). Di Indonesia, terdapat 727 orang yang telah mendapat pelatihan
Metode
Penilaian
Kondisi
Terumbu
Karang
(MPTK)
yang
menggunakan metode transek garis melalui COREMAP (Suharsono 2008). Ratusan atau ribuan mahasiswa juga diperkirakan telah mendapat pelatihan semacam MPTK di bangku kuliah. Dengan bekal ketrampilan tersebut ditambah ketrampilan dasar mengoperasikan perangkat lunak MS Excell atau Lotus untuk menghitung rumus indeks, setiap kabupaten wilayah COREMAP memiliki kemampuan melakukan penilaian indeks resiliensi terumbu karang di wilayahnya masing-masing. Protokol penggunaan indeks disajikan pada Lampiran 3. Penelitian ini juga menyediakan klasifikasi resiliensi terumbu karang yang diharapkan dapat membantu para pengelola terumbu karang. Pembagian indeks resiliensi ke dalam lima kategori tersebut masih belum memberikan makna penting di dalam pengelolaan, selain menyatakan bahwa terumbu ini lebih resiliens daripada terumbu yang lain. Klasifikasi indeks resiliensi membutuhkan interpretasi yang lebih kongkrit berkaitan dengan waktu pemulihan terumbu karang. Misalnya, jika suatu terumbu karang mempunyai indeks resiliensi baik (0.594) maka terumbu tersebut dapat pulih kembali ke tingkat resiliensi awal dalam waktu X tahun ketika terjadi penurunan indeks sebesar Y. Interpretasi semacam itu akan sangat penting bagi pengelola terumbu karang di dalam pengambilan keputusan. Interpretasi indeks tersebut membutuhkan data runut waktu yang lama (sekitar 15 tahun) yang di dalamnya terjadi kematian masal,
38 dengan jumlah sampel yang cukup. Sayangnya, data yang dibutuhkan tersebut belum tersedia saat ini di Indonesia. Penggunaan peubah indikator USS, AOF, dan CHQ (kualitas habitat) ini diduga merupakan yang pertama di dalam pemantauan dan penilaian kondisi terumbu karang. Banyak pemantauan terumbu karang tidak membedakan antara substrat yang berupa pasir dan lumpur, atau substrat yang tertutup oleh algae atau terbuka, misalnya pemantauan terumbu karang di kawasan Florida dan Karibia. Program pemantauan yang mengambil data tutupan pasir dan lumpur juga tidak memasukkan peubah tersebut ke dalam analisisnya sebagai bagian dari kualitas terumbu karang. Tingginya tutupan karang Acropora serta tutupan karang masif dan submasif umumnya juga tidak mendapat perhatian dan interpretasi di dalam analisis kondisi terumbu karang. Kedua peubah tersebut menjadi bagian yang terpadu dari indeks resiliensi.
2.5 Kesimpulan Modifikasi indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004) menghasilkan indeks resiliensi terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang tersebut diukur berdasarkan enam peubah indikator, yang dapat secara praktis digunakan di dalam pengelolaan. Indeks resiliensi terumbu karang bertambah dengan meningkatnya tutupan karang, dan atau menurunnya tutupan makroalgae dan fauna lain. Nilai indeks tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu baik sekali, baik, sedang, kurang, dan buruk; walaupun interpretasi kategori tersebut masih belum dikembangkan. Penilaian indeks resiliensi terumbu karang tidak dapat dilakukan dengan satu transek, melainkan membutuhkan banyak transek dengan rancangan pengambilan cuplikan yang baik. Indeks resiliensi terumbu karang mempunyai nilai maksimum 2.130 dan minimum 0.000. Sangat sedikit transek (0.403%) yang mempunyai indeks ≥1.000. Di Indonesia, rata-rata indeks resiliensi di suatu lokasi atau terumbu karang ≤1.000. Berdasarkan data yang ada, rata-rata (±SD) indeks resiliensi di suatu lokasi pengamatan antara 0.067±0.032 sampai 0.976±0.107. Uji coba penggunaan indeks secara spasial dan temporal masih diperlukan untuk menilai reliabilitas indeks.
39
3 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM PENILAIAN SPASIAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 3.1 Pendahuluan Mengenali ekosistem merupakan tahapan pertama sebelum kita menyusun rencana pengelolaan terhadap ekosistem tersebut. Resiliensi suatu ekosistem atau resiliensi ekologis merupakan kualitas ekosistem yang sangat penting di dalam pengelolaan. Banyak peneliti telah mencoba menggunakan suatu pengukuran resiliensi ekosistem, terutama ekosistem hutan, dan memberikan saran pengelolaan berdasarkan tingkatan resiliensi ekosistem tersebut (di antaranya Moretti et al. 2006; Fischer et al. 2007). Semua peneliti tersebut menggunakan metode penilaian resiliensi yang berbeda-beda, sehingga hasil penelitian tidak dapat diperbandingkan jika penelitinya berbeda. Pada ekosistem terumbu karang, penilaian resiliensi ekologis belum banyak dilakukan karena metode atau cara pengukuran masih dalam pengembangan. Pada awalnya peneliti masih menggunakan kembalinya tutupan karang sebagai ukuran resiliensi (Berumen & Pratchett 2006; Ledlie et al. 2007; Smith et al. 2008). Metode tersebut tidak dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi sebelum datangnya gangguan. Pada akhir tahun 2009, IUCN telah mengembangkan suatu protokol pengukuran resiliensi terumbu karang yang melibatkan 61 peubah indikator, yang sebagian besar merupakan peubah ekologis dan sebagian lainnya merupakan peubah oseanografis fisik, sosial, dan manajemen (Obura & Grimsditch 2009). Tetapi, protokol tersebut tidak memberikan prosedur baku dalam analisis data sehingga setiap peneliti dapat menggunakan alat analisis yang berbeda. Jika hal ini yang terjadi maka tujuan utama untuk dapat membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial tidak tercapai. Maynard et al. (2010) memberikan cara pengukuran resiliensi yang melibatkan bukan hanya komponen ekologis, melainkan juga oseanografi fisik dan manajemen. Metode Maynard et al. memberikan sebuah angka akhir sebagai ukuran resiliensi. Penelitian di dalam bab ini berbeda dari keduanya karena memberikan penilaian yang lebih rinci tentang faktor resiliensi ekologis yang ada pada komunitas karang.
40 Sebuah indikator ekologis sebaiknya berupa sebuah angka, yang mudah diinterpretasikan oleh pengelola sumberdaya dan pembuat kebijakan. Indeksindeks ekologis yang lain, misalnya indeks keanekaragaman, indeks kesamaan dan indeks dominansi, merupakan indikator-indikator ekologis yang mudah digunakan dan diperbandingkan. Indeks-indeks tersebut telah banyak sekali bermanfaat di dalam mengidentifikasi status atau kondisi sumberdaya dan ekosistem yang dikelola. Penilaian resiliensi terumbu karang juga sebaiknya didasarkan pada sebuah angka indeks yang dihitung berdasarkan data dari banyak peubah (multifaktor). Penilaian indikator ekologis terumbu karang yang melibatkan banyak peubah yang diintegrasikan menjadi sebuah angka telah dilakukan oleh Conservation International (CI), yang dinamakan Reef Condition Index (RCI). Nilai RCI dihitung berdasarkan faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang dan tutupan karang. Penilaian semua peubah tersebut dilakukan dengan 4 (empat) kategori dan masing-masing diberi bobot, sebagai penambahan (bonus) atau pengurangan (penalty) (Mckenna et al. 2002, 68). Penghitungan ini menghasilkan sebuah angka yang dianggap mencerminkan kondisi umum terumbu karang. Pada saat ini, penggunaan RCI masih terbatas di dalam kalangan CI. Penelitian yang disajikan sebelumnya (bab 2) telah menghasilkan sebuah indeks yang dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi terumbu karang. Dengan menggunakan indeks tersebut, tingkat resiliensi terumbu karang seharusnya dapat diperbandingkan secara spasial. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji coba penggunaan indeks dalam penilaian resiliensi terumbu karang antar kawasan dan antar kabupaten. Terumbu karang dengan tingkat resiliensi yang tinggi seharusnya mendapat prioritas pengelolaan. Terumbu karang di Indonesia memiliki sejarah geologis yang sangat kompleks, sehingga menghasilkan tipe terumbu yang sangat banyak. Semua tipologi terumbu karang yang sekarang ada bahkan tidak cukup untuk mengklasifikasikan semua terumbu karang di Indonesia (Tomascik et al. 1997). Proses geologis yang tidak sama juga membuat perbedaan dalam usia terumbu karang di Indonesia. Terumbu karang di Samudra Hindia, di bagian utara BiakRaja Ampat dan Sulawesi terbentuk jauh lebih lama dibandingkan dengan di
41 Paparan Sunda. Paparan Sunda baru menjadi laut sekitar 8000 tahun yang lalu. Perbedaan dalam oseanografi dan fisiografi laut diperkirakan mempengaruhi ekologi terumbu karang, termasuk diantaranya tingkat resiliensi terumbu karang. Penelitian di dalam bab 3 ini bertujuan untuk menguji kegunaan indeks resiliensi di dalam menjawab pertanyaan: 1) Apakah ada perbedaan indeks resiliensi terumbu karang antar kawasan, antar fisiografi laut, dan antar kabupaten? 2) Terumbu karang dimanakah yang memiliki indeks resiliensi tinggi? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memvalidasi kegunaan indeks resiliensi dalam perbandingan spasial.
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Pengumpulan data Data yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan data transek garis (LIT) terumbu karang, sepanjang 10 meter. Data tersebut telah dikoleksi oleh P2O LIPI di dalam program CRITC-COREMAP, sebagaimana dijelaskan di dalam bab 2. Data yang digunakan di dalam validasi kegunaan indeks tersebut merupakan data dari COREMAP tahun 2009. Di setiap kabupaten wilayah COREMAP telah dipilih sejumlah stasiun atau lokasi pemantauan untuk dibuat transek permanen. Di setiap stasiun pemantauan dibuat 3 (tiga) buah transek sepanjang 10 meter dari roll-meter yang sama, sehingga ketiga transek tidak sepenuhnya merupakan unit sampel yang bebas (independent). Modifikasi semacam ini boleh saja digunakan untuk keperluan pengelolaan sumberdaya, walaupun secara statistik hal ini merupakan replikasi atau ulangan semu (pseudoreplication). Di dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana perbedaan tingkat resiliensi terumbu karang setiap kabupaten wilayah COREMAP, baik yang di kawasan Indonesia Barat maupun di Indonesia Timur. Pembandingan indeks resiliensi secara nasional tersebut untuk melihat sebaran spasial terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi tinggi, sebagai kawasan yang perlu mendapat perhatian lebih di dalam pengelolaan terumbu karang. Klasifikasi indeks resiliensi dilakukan dengan menggunakan interval kelas sebagaimana dideskripsikan pada bab sebelumnya, Tabel 8 (halaman 35).
42 3.2.2 Analisis data Indeks resiliensi akan dibandingkan secara spasial dalam tiga skala yang berbeda. Perbandingan antar kawasan di Indonesia (timur dan barat) untuk melihat perbedaan nilai indeks resiliensi dengan skala ribuan kilometer. Pembagian wilayah Indonesia menjadi dua kawasan menggunakan batas Selat Makasar dan Selat Lombok, karena kedua selat tersebut merupakan lokasi Garis Wallace dan juga salah satu lintasan utama Arlindo (Arus Lintas Indonesia, Indonesian Throughflow) (Murray & Arief 1988; Gordon et al. 1999). Masing-masing kawasan mewakili dua fisiografi laut, yaitu Biak-Raja Ampat (Samudra Pasifik) dan Sulawesi-Flores (Indonesia Timur), serta Paparan Sunda dan Samudra Hindia (Indonesia Barat). Perbandingan antar fisiografi laut (sub-kawasan) akan menunjukkan perbedaan indeks resiliensi terumbu karang dalam skala ratusan kilometer. Skala perbandingan yang terkecil adalah antar kabupaten, dimana nilai indeks resiliensi terumbu karang yang diperbandingkan mempunyai skala puluhan kilometer. Pembandingan indeks resiliensi antar fisiografi laut dilakukan karena terdapat pola pengelompokan lokasi yang khusus, terutama di kawasan Indonesia Barat. Fisiografi laut mempengaruhi perkembangan terumbu karang. Di antara fisiografi laut yang menjadi wilayah COREMAP, Paparan Sunda (Sunda Shelf) merupakan formasi yang paling muda, dengan usia sekitar 8000 tahun, ketika Laut Natuna mulai terendam air laut. Untuk keperluan tersebut, distribusi lokasi pengambilan data dibagi menjadi empat sub-kawasan berdasarkan fisiografi lautnya: a)
Samudra Pasifik (Biak-Raja Ampat)
b)
Sulawesi-Flores (Pangkep, Selayar, Buton, Wakatobi, Sikka)
c)
Paparan Sunda (Natuna, Bintan, Batam, Lingga)
d)
Samudra Hindia (Tapanuli Tengah, Nias, Nias Selatan, Mentawai).
Data yang digunakan di dalam penelitian ini tidak dirancang untuk perbandingan kualitas terumbu karang secara spasial. Data tersebut dirancang untuk membandingkan kualitas terumbu karang antar waktu di masing-masing lokasi, sebagai dampak dari kegiatan proyek. Karena itu, jumlah kabupaten dan lokasi tidak sama dalam setiap kawasan. Jumlah kabupaten di kawasan barat dan
43 timur adalah 8 (delapan) dan 7 (tujuh) kabupaten secara berurutan. Jumlah lokasi (stasiun) pemantauan di tiap kabupaten juga tidak sama, bervariasi antara 7-27 lokasi atau 21-80 transek. Kondisi jumlah sampel yang tidak proporsional tersebut membuat penggunaan statistik parametrik ANOVA dua faktor atau lebih tidak dapat dilakukan. ANOVA satu jalan tidak mensyaratkan jumlah replikasi yang sama, sehingga digunakan untuk perbandingan antar kawasan, antar sub-kawasan, dan antar kabupaten. Perbandingan pada ketiga skala tersebut dilaksanakan secara terpisah dengan ANOVA satu jalan. Jika ada perbedaan yang signifikan, analisis data kemudian dilanjutkan dengan Tukey Test untuk melihat lebih jauh kabupaten mana saja yang memiliki perbedaan. Disamping analisis terhadap data univariate berupa nilai indeks resiliensi, dilakukan juga analisis terhadap data multivatiate, yaitu data yang terdiri atas banyak peubah atau data multifaktor. Analisis multifaktor ANOSIM (Analysis of Similarity) digunakan membandingkan peubah indikator indeks (6 peubah) antar kawasan, antar fisiografi laut, dan antar kabupaten. ANOSIM merupakan analisis statistik non-parametrik yang menggunakan permutasi data multifaktor, yang fungsinya sama dengan ANOVA. Penggunaan ANOSIM juga tidak dapat dilakukan secara faktorial, karena perbedaan jumlah kabupaten antar kawasan dan antar fisiografi laut. Karena itu, penggunaan ANOSIM dilakukan terhadap masing-masing faktor (kawasan, fisiografi laut, dan kabupaten) secara sendirisendiri. Penghitungan statistik ANOSIM menggunakan perangkat lunak Primer 6 versi 6.1.13 (Primer-E Ltd. 2009). Sebelum analisis, data ditransformasi dengan logaritmik y = log (x + 1) dan dinormalisasi agar semua data mempunyai skala satuan yang sama. Penghitungan ANOVA menggunakan MS Excell 2007. Hasil analisis statistik disajikan pada Lampiran 4 (halaman 137).
3.3 Hasil-hasil Penelitian 3.3.1 Indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia Indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Timur lebih rendah daripada di Indonesia Barat. Terumbu karang di kawasan Indonesia Timur memiliki rata-rata (±SE) indeks resiliensi 0.494±0.011, sedangkan di kawasan
44 Indonesia
Barat
mempunyai
rata-rata
0.577±0.010.
Hasil
uji
statistik
menunjukkan bahwa perbedaan antara kedua kawasan tersebut signifikan (t test, t = 5.426, P < 0.001). Perbedaan yang signifikan juga dijumpai pada perbandingan rata-rata indeks resiliensi antar fisiografi laut (F = 75.863, P < 0.001). Di antara keempat fisiografi laut yang dibandingkan, terumbu karang di Paparan Sunda memiliki rata-rata indeks resiliensi yang paling tinggi (Gambar 4). Perbandingan ganda Tukey Test menunjukkan bahwa Paparan Sunda terpisah dari tiga fisiografi laut lainnya. Terumbu karang di Samudra Pasifik (Biak-Raja Ampat) dan Samudra Hindia mempunyai rata-rata indeks resiliensi yang relatif sama, sedangkan terumbu karang di Sulawesi-Flores lebih tinggi indeks resiliensinya daripada di Samudra Hindia.
Gambar 4 Perbandingan rata-rata (+1SE) indeks resiliensi terumbu karang antar fisiografi laut. Deretan paling bawah adalah hasil Tukey Test dengan α = 0.05. Su-Flo= Sulawesi-Flores.
45 Tingginya rata-rata indeks resiliensi terumbu karang di Paparan Sunda didukung tingginya indeks di Kabupaten Bintan dan Natuna. Di kawasan Indonesia Timur, terumbu karang dengan rata-rata indeks resiliensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Wakatobi dan Buton yang terletak di Sulawesi. Keempat kabupaten tersebut lebih tinggi daripada kabupaten lainnya dalam rata-rata indeks resiliensi terumbu karang. Tingginya indeks resiliensi di Bintan merupakan hasil yang sangat penting dicatat di dalam penelitian ini. Wakatobi yang memiliki resiliensi terumbu karang yang lebih tinggi dari Raja Ampat juga merupakan temuan penting lain yang mengklarifikasi persaingan antara kedua lokasi taman nasional laut terbaik di Indonesia tersebut untuk menjadi yang nomor satu. Di kawasan Indonesia bagian timur, terdapat pola khusus yang membedakan resiliensi terumbu karang di Selat Makasar (Pangkep) dengan di Laut Flores (Selayar, Wakatobi, Buton, Sikka), tetapi tidak di Samudra Pasifik (Raja Ampat, Biak). Dari Pangkep ke Selayar, kemudian Buton dan Wakatobi, rata-rata indeks resiliensi meningkat secara bertahap (Gambar 5). Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi tertinggi terdapat di Wakatobi yang diikuti kemudian oleh Buton. Peningkatan secara bertahap tersebut menarik untuk dihubungkan dengan pencarian titik tengah dari pusat keanekaragaman karang. Di Raja Ampat yang dikenal memiliki keanekaragaman ikan terumbu sangat tinggi, ternyata terumbu karangnya mempunyai rata-rata indeks resiliensi di bawah Wakatobi dan Buton. Perbedaan rata-rata indeks resiliensi pada 7 (tujuh) kabupaten tersebut signifikan (F = 13.391, P < 0.01). Hasil analisis Tukey Test menunjukkan bahwa Raja Ampat mempunyai rata-rata indeks resiliensi yang tidak berbeda secara signifikan dari Biak, Pangkep, dan Selayar (Gambar 5). Sikka secara signifikan memiliki rata-rata indeks resiliensi yang lebih rendah daripada kabupaten yang lain, sedangkan Wakatobi mempunyai rata-rata indeks yang lebih tinggi dari kabupaten lainnya kecuali Buton. Antara Buton dan Wakatobi tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi Buton memiliki indeks yang tidak berbeda dari Biak, Pangkep, dan Selayar. Di Raja Ampat terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi kategori baik (good), sedang (fair), dan kurang (poor) mempunyai proporsi yang hampir merata, yaitu secara berurutan 31%, 42%, dan 28% (Gambar 6). Tidak ada transek
46 yang memiliki indeks resiliensi baik sekali. Hal ini sangat berbeda dengan julukan kawasan ini sebagai “center of megabiodiversity”. Hanya ada dua stasiun atau lokasi pemantauan di Raja Ampat yang semua transeknya memiliki indeks resiliensi kategori baik, yaitu RJAL48 di Pulau Yangelo dan RJAL53 di Tanjung Nbngkes.
Gambar 5 Perbandingan rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Timur. Angka di atas grafik menunjukkan jumlah sampel (transek). Dilihat dari proporsi ketegori indeks resiliensi, terumbu karang di Wakatobi mempunyai proporsi kategori resiliensi baik dan baik sekali (excellent) paling tinggi, yaitu 58% (Gambar 6). Peringkat kedua dari tingkatan resiliensi terumbu karang di Indonesia Timur ditempati oleh Buton dengan 48% transek masuk ke
47 dalam kategori resiliensi baik dan baik sekali. Resiliensi tertinggi terumbu karang di Indonesia Timur tersebut ternyata masih lebih rendah dari Natuna, yang menjadi peringkat kedua terumbu karang di Indonesia Barat.
Gambar 6 Perbandingan proprsi kategori indeks resiliensi antar terumbu karang di kawasan Indonesia Timur. Angka di atas grafik menunjukkan jumlah transek (N) di masing-masing kabupaten. Di kawasan Indonesia bagian barat, terumbu karang di perairan Paparan Sunda atau Kepulauan Riau (Natuna, Bintan, Batam dan Lingga) umumnya memiliki tingkat resiliensi yang berbeda dengan terumbu karang di kawasan Samudra Hindia (Tapanuli Tengah, Nias, Nias Selatan dan Mentawai) (Gambar 7). Perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar kabupaten di dalam kawasan ini signifikan (F = 61.912, P < 0.001). Temuan ini sangat menarik karena terumbu karang di Paparan Sunda merupakan terumbu karang yang paling muda. Terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi tertinggi terdapat di Bintan dan Natuna. Perbandingan ganda dengan Tukey Test menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata indeks antara terumbu karang yang terletak di Paparan Sunda (perairan
48 Laut Natuna) dengan Samudra Hindia tersebut tidak sepenuhnya terpisah, karena dihubungkan oleh Tapanuli Tengah (Gambar 7). Bintan dan Natuna mempunyai rata-rata indeks resiliensi yang tertinggi, sedangkan Nias Selatan dan Mentawai sebaliknya memiliki rata-rata indeks yang terendah. Batam, Lingga dan Natuna memiliki rata-rata indeks yang tidak berbeda, walaupun Lingga dan Natuna mempunyai rata-rata indeks resiliensi yang lebih rendah daripada Bintan.
Gambar 7 Perbandingan rata-rata (+1SE) indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Barat. Angka di atas grafik menunjukkan jumlah sampel (transek). Di Kabupaten Bintan, sekitar 85% transek terumbu karang memiliki tingkatan resiliensi yang baik dan baik sekali (Gambar 8). Terumbu karang di Natuna menempati peringkat kedua dengan proprosi 77% dalam kondisi baik dan
49 baik sekali. Terumbu karang di Nias Selatan memiliki indeks resiliensi yang paling buruk, dengan 76% transek dalam tingkat resilensi yang kurang dan buruk.
Gambar 8 Perbandingan proporsi kategori indeks resiliensi antar terumbu karang di kawasan Indonesia Barat. Angka di atas grafik menunjukkan jumlah sampel (transek).
3.3.2 Perbandingan peubah indikator indeks (multifaktor) Hasil ANOSIM untuk faktor kawasan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah indikator indeks resiliensi terumbu karang antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur (Global R = 0.148, P < 0.05). Perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada peubah indikator indeks antar fisiografi laut (Global R = 0.194, P < 0.01). Perbandingan ganda antara keempat fisiografi laut tersebut menunjukkan, bahwa hanya perbandingan peubah indikator indeks antara Samudra Pasifik dan Sulawesi-Flores (Su-Flo) yang tidak memiliki perbedaan signifikan, seperti berikut:
50
Perbandingan antar sub-kawasan (fisiografi laut) menunjukkan bahwa terumbu karang di Paparan Sunda memiliki jumlah kelompok fungsional (CFG), tutupan karang (COC) dan kualitas habitat (CHQ) yang lebih baik daripada terumbu karang di sub-kawasan lainnya (Gambar 9). Sebaliknya, terumbu karang di Paparan Sunda mempunyai jumlah koloni ukuran kecil (CSN) yang lebih rendah daripada di lokasi lainnya. Terumbu karang di Samudra Hindia berbeda dari yang lain karena memiliki CHQ dam AOF yang lebih rendah.
Gambar 9 Perbandingan rata-rata (+1SE) peubah indikator indeks resiliensi antar sub-kawasan (fisiografi laut).
51 ANOSIM untuk faktor kabupaten dilakukan terpisah pada masing-masing kawasan, yaitu Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Perbedaan yang signifikan ditemukan pada perbandingan peubah indikator indeks resiliensi antar kabupaten, baik di kawasan Indonesia Barat (Global R = 0.161, P < 0.01) maupun kawasan Indonesia Timur (Global R = 0.315, P < 0.01). Hasil perbandingan ganda masingmasing kawasan sebagai berikut:
Keterangan: Rjp= Raja Ampat, Sly= Selayar, Pkp= Pangkep, Btn= Buton, Wktb= Wakatobi, NiSel= Nias Selatan, Tpt= Tapanuli Tengah, Lgg= Lingga, Btm= Batam, Bnt= Bintan, Ntn= Natuna
Kabupaten yang memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi tinggi, yaitu Wakatobi, Natuna, dan Bintan, mempunyai rata-rata peubah CFG dan COC yang lebih tinggi dari kabupaten lainnya. Di kawasan Indonesia Timur, Wakatobi memiliki peubah CFG yang sebanding dengan Natuna dan Bintan, yang terletak di kawasan Indonesia Barat (Gambar 10). Disamping kedua peubah indikator tersebut, Natuna dan Bintan menunjukkan rata-rata peubah CHQ yang tinggi pula (13.18% dan 9.93%), sedangkan Wakatobi memiliki rata-rata peubah CHQ yang lebih rendah (4.24%). Pada peubah CSN, Kabupaten Buton, Biak, dan Lingga menunjukkan jumlah koloni kecil yang paling besar. Terumbu karang yang indeks resiliensinya rendah, yaitu Sikka dan Nias Selatan, menunjukkan pola peubah indikator yang berbeda. Sikka mempunyai rata-rata peubah indikator CHQ yang sedang dan AOF yang tinggi (Gambar 10 dan 11), sedangkan Nias Selatan mempunyai rata-rata yang rendah pada semua (enam) peubah indikator. Di Nias Selatan, tutupan karang mati dan karang mati yang tertutup algae rata-rata (±SD) 34.66±28.66%. Walaupun keduanya
52 merupakan terumbu karang dengan indeks resiliensi terrendah, kondisi peubah indikator antar keduanya sangat berbeda. Tutupan AOF yang sangat tinggi di Sikka, yaitu 65.35%, dapat merupakan petunjuk telah terjadinya pergantian fase. Dari tutupan AOF tersebut, sebagian besar berupa tutupan algae berfilamen (turf algae), yaitu 53.13±25.83% (SD). Tutupan fauna lain (karang lunak, sponge) relatif sedikit, yaitu 11.46±13.74%.
Gambar 10 Perbandingan rata-rata (+1SE) tiga peubah indikator indeks resiliensi (CFG, CSN, CHQ) antar kabupaten, dan antar kawasan di Indonesia.
53
Gambar 11 Perbandingan rata-rata (+1SE) tiga peubah indikator indeks resiliensi (COC, USS, AOF) antar kabupaten, di kawasan timur dan barat Indonesia. 3.4 Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi yang dirumuskan pada bab 2 sebelumnya terbukti dapat membedakan tingkat resiliensi terumbu karang antar kawasan, antar fisiografi laut, dan antar kabupaten. Hasil ini memiliki implikasi bahwa indeks resiliensi tersebut juga dapat digunakan untuk membedakan resiliensi terumbu karang dalam skala yang lebih kecil, misalnya
54 antar stasiun pengamatan yang mempunyai skala puluhan atau ratusan meter. Dengan demikian indeks ini dapat digunakan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang dengan bermacam-macam skala spasial, dari puluhan meter hingga puluhan ribu kilometer. Membandingkan indeks resiliensi antar terumbu karang yang tersebar pada kawasan seluas Indonesia membutuhkan kehati-hatian di dalam membuat interpretasinya. Di dalam skala ribuan kilometer, gangguan alami terumbu karang dapat sangat berbeda jenis, intensitas, dan siklus kemunculannya. Adanya gangguan insani yang bekerja sinergis dengan gangguan alami akibat kurang efektifnya pengelolaan merupakan hal yang mudah dijumpai di kawasan Indonesia. Perbandingan indeks resiliensi di dalam penelitian ini juga perlu melihat informasi tentang pengambilan datanya. Penelitian ini menggunakan data yang diambil oleh orang lain dengan tujuan yang berbeda. Data yang digunakan dirancang untuk pemantauan kondisi terumbu karang antar waktu. Pengambilan data tidak dirancang untuk perbandingan secara spasial, sehingga kedalaman transek kadang diubah jika tidak sesuai dengan kondisi lokasi. Perbedaan kedalaman transek tersebut dapat menyebabkan bias dalam perbandingan indeks secara spasial. Dua peubah indikator yang ditemukan selalu dalam kondisi tinggi pada lokasi terumbu karang yang indeksnya tinggi, adalah tutupan karang (COC) dan jumlah kelompok fungsional (CFG). Kedua peubah indikator tersebut dijumpai tinggi di Kabupaten Wakatobi, Natuna, dan Bintan, serta tiga kabupaten lain di Paparan Sunda. Peubah CHQ yang tinggi juga berkaitan dengan terumbu karang yang indeks resiliensinya tinggi di Natuna dan Bintan. Tingginya peubah AOF, khususnya turf algae atau algae berfilamen, di Sikka membutuhkan pengamatan lebih mendalam. Kelimpahan algae berfilamen yang tinggi (>50%) menunjukkan kondisi terumbu karang yang mengalami pergantian fase (Bruno et al. 2009). Terumbu karang dengan kondisi tutupan algae berfilamen tinggi biasanya mempunyai kualitas air yang baik atau kandungan nutrien rendah dan kegiatan herbivori rendah akibat penangkapan ikan yang berlebih (Littler et al. 2006). Algae berfilamen merupakan pesaing karang yang
55 penting (Jompa & McCook 2003a, 2003b), dan dapat berpengaruh pada rekruitmen karang (Birrel et al. 2005). Tingginya indeks resiliensi di Paparan Sunda membutuhkan penjelasan khusus, karena terumbu karang di paparan ini merupakan terumbu karang yang paling muda di Indonesia. Secara fisiografis laut, Pulau Bintan, Batam, Natuna dan Lingga merupakan bagian dari Paparan Sunda (Sunda Shelf). Terumbu karang di Paparan Sunda merupakan terumbu yang masih baru dari usia geologis. Paparan ini menjadi lautan sekitar 8000 tahun yang lalu (Tomascik et al. 1997, 603), sehingga terumbu di sini termasuk kategori terumbu Holosin (Holocene reef). Terumbu karang di Tapanuli Tengah, Nias, Nias Selatan, dan Mentawai, merupakan terumbu karang oseanis di Samudra Hindia, yang berumur jauh lebih tua. Veron (2000, 37) membuat peta yang menunjukkan bahwa di selatan Pulau Sumatra telah ada terumbu karang sejak Era Jurasic, atau 206-144 juta yang lalu. Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi, dan Flores merupakan pulau tua yang bergerak menjauhi Antartika dan berada di kawasan tropis sekitar 30 juta tahun yang lalu, bersamaan dengan bergesernya Paparan Sahul ke utara. Usia 30 juta tahun tersebut sama dengan rata-rata usia genus karang di Indonesia (Veron 2000, 42). Terumbu karang yang lebih tua diharapkan memiliki indeks resiliensi yang lebih baik. Ditemukannya indeks resiliensi terumbu karang yang tinggi di Paparan Sunda setidaknya ada dua penjelasan. Pertama, penilaian indeks resiliensi di Paparan Sunda (selain Natuna) tidak dilakukan pada kedalaman yang sama dengan di lokasi lainnya. Hal ini disebabkan karena tujuan pengumpulan data transek garis bukan untuk perbandingan spasial, melainkan untuk perbandingan temporal. Kedua, di Paparan Sunda terumbu karang memiliki kedalaman maksimum pertumbuhan karang rendah, sehingga kelimpahan ikan target tidak cukup tinggi untuk menarik nelayan melakukan eksploitasi secara destruktif. Kurangnya kegiatan nelayan yang destruktif menyebabkan resiliensi terumbu karang di kawasan ini terpelihara dengan baik. Laporan CRITC-COREMAP menunjukkan bahwa di Kabupaten-kabupaten Bintan, Batam, dan Lingga (Paparan Sunda), sebagian besar transek permanen tersebut dibuat pada kedalaman 3 (tiga) dan 4 (empat) meter (CRITC 2007;
56 Cappenberg & Djuwariah 2008; Cappenberg & Salatalohi 2008; Cappenberg & Souhoka 2009). Penempatan transek yang baku adalah pada kedalaman 5 (lima) meter. Penempatan transek yang lebih dangkal ini disebabkan pada kedalaman 5 (lima) meter terumbu karang sudah tertutup sedimen pasir dan lumpur. Jika dilakukan penilaian pada kedalaman yang sama (5 meter), maka akan ditemukan indeks resiliensi yang sangat rendah di Paparan Sunda. Di kawasan timur Indonesia, kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Buton. Tingginya indeks resiliensi di Buton, yang menjadi nomor dua setelah Wakatobii, juga memiliki bias pada kedalaman transek. Kelimpahan ikan terumbu target lebih sulit diperbandingkan antar terumbu karang untuk mendukung penjelasan kedua. Kelimpahan yang tercatat dalam sensus visual bawah air merupakan kelimpahan ikan terumbu dengan kondisi tereksploitasi, bukan merupakan kelimpahan alami. Di dalam laporan pemantauan terumbu karang yang tersedia, kelimpahan ikan ditemukan tidak konsisten berkaitan dengan kedalaman maksimal pertumbuhan karang. Sebagai alternatif, keanekaragaman ikan terumbu karang berkaitan dengan kedalaman maksimal pertumbuhan karang. Di perairan Kabupaten Natuna yang memiliki kedalaman maksimal pertumbuhan karang 15 meter, keanekaragaman ikan terumbu adalah 204 spesies (26 suku) per 16 lokasi di Ranai dan Kelarik (Budiyanto & Cappenberg 2009), dan 133 spesies (22 suku) per 8 lokasi di Bungaran Barat (Cappenberg et al. 2009.). Ukuran transek sabuk pada sensus visual ikan adalah 350 m2, atau 70 x 5 m2, di setiap lokasi (stasiun) pengamatan. Keanekaragaman ikan terumbu di Natuna tersebut jauh lebih tinggi daripada di Paparan Sunda lainnya (selain Natuna) yang kedalaman maksimal pertumbuhan karang dangkal (3-4 meter), misalnya 99 spesies (21 suku) per 6 lokasi di Bintan Timur dan Numbing (Tuti & Salatalohi 2009), 157 spesies (23 suku) per 12 lokasi di Tambelan (Cappenberg & Djuwariah 2009), dan 72 spesies (18 suku) per 8 lokasi di Lingga Utara (Cappenberg & Salatalohi 2008). Keanekaragaman ikan terumbu di Biak lebih tinggi lagi, yaitu 212 spesies (25 suku) per 5 lokasi di Biak Timur dan 260 spesies (30 suku) per 7 lokasi di Padaido (Hukom & Suyarso 2009). Jika kaenekaragaman ikan terumbu tersebut dapat menunjukkan proporsi kelimpahan ikan (misal Wakatobi) dalam kondisi tanpa eksploitasi, maka eksploitasi yang
57 menguntungkan terjadi pada terumbu karang yang mempunyai kedalaman maksimal pertumbuhan karang tinggi (lebih dalam). Pada terumbu karang yang subur dengan kelimpahan ikan, maka eksploitasi nelayan juga akan tumbuh subur di sini. Pengelolaan terumbu karang yang lemah memungkinkan nelayan yang serakah menggunakan alat tangkap yang merusak, sehingga dalam kondisi eksploitasi tinggi peluang terjadinya kerusakan terumbu karang insani juga tinggi. Kerusakan
terumbu
karang
menurunkan
nilai
indeks
resiliensi
akibat
berkurangnya tutupan karang (COC), jumlah kelompok fungsional karang (CFG), atau peubah indikator yang lainnya. Kepulauan Wakatobi yang mewakili terumbu karang dengan resiliensi tertinggi di Indonesia Timur dapat menjadi referensi tentang terumbu karang yang ideal. Keempat pulau yang disurvei COREMAP memiliki rata-rata batas kedalaman pertumbuhan karang 30 meter. Di Pulau Wanci, Pulau Kadelupa, Pulau Tomia, dan Karang (Terumbu) Kapota masing-masing mempunyai batas kedalaman pertumbuhan karang secara berurutan 40, 30, 25, dan 30 meter (Budiyanto et al. 2009). Batas kedalaman pertumbuhan karang ini jauh melebihi batas kedalaman pada terumbu karang di seluruh Paparan Sunda. Kelimpahan ikan target 6000 ekor per 15 lokasi (Budiyanto et al. 2009). Kelimpahan ini sangat jauh melebihi kelimpahan ikan target di Bintan yang sekitar 3000 ekor per 24 lokasi (Tuti & Salatalohi 2009; Cappenberg & Salatalohi 2009; Cappenberg & Djuwariah 2009). Hasil penggunaan indeks resiliensi juga menunjukkan bahwa Kepulauan Raja Ampat memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi yang sedang, setara dengan Pangkep dan Selayar. Rendahnya indeks resiliensi terumbu karang di Raja Ampat dapat mengkonfirmasi tentang kemampuan indeks dalam membedakan terumbu karang yang resiliensinya baik dengan yang kurang baik. Kepulauan Raja Ampat sudah sangat terkenal sebagai salah satu kawasan yang memiliki terumbu karang terbaik di dunia. Kekayaan spesies karang, ikan terumbu karang dan molluska yang menakjubkan (outstanding) juga sering dikaitkan dengan kawasan ini (McKenna et al. 2002a, 20). Allen dan Erdman (2009) juga melaporkan bahwa terdapat 1320 spesies ikan terumbu di Raja Ampat. Sedangkan di kawasan laut terdekatnya, yaitu Pantai Fakfak-Kaimana dan Teluk
58 Cendrawasih, kekayaan spesies ikan terumbu berurutan 995 dan 877 spesies. Walaupun Kepulauan Raja Ampat merupakan salah satu yang terkaya dengan spesies ikan terumbu di dunia, indeks resiliensi terumbu karang termasuk sedang. Salah satu peubah indikator yang sangat menentukan nilai indeks resiliensi adalah tutupan karang (COC), disamping jumlah kelompok fungsional karang (CFG). Berdasarkan penilaian kondisi terumbu karang yang konvensional, tutupan karang di Raja Ampat memang pada umumnya dalam kategori sedang atau di bawah 50%. Prayudha et al. (2009) melaporkan di kawasan pulau-pulau Batangpele dari 5 (lima) stasiun pengamatan, 3 (tiga) stasiun mempunyai tutupan karang kategori sedang. Tutupan karang di dua stasiun lainnya masuk kategori jelek atau rusak. Di kawasan Pulau Waigeo Selatan, dari 7 (tujuh) stasiun pemantauan, 5 (lima) stasiun memiliki tutupan karang sedang, dan dua stasiun memiliki tutupan karang jelek atau rusak (Prayudha & Picasaw 2009). Rendahnya tutupan karang di kawasan Raja Ampat juga dilaporkan oleh McKenna et al. (2002b), yang dilakukan oleh sebuah lembaga konservasi internasional. Dari 45 lokasi dan 121 transek garis sepanjang 100 meter, hanya 10% transek yang mempunyai tutupan karang >50%, dengan rata-rata (±SD) tutupan karang 27.45±17.22%. Laporan McKenna et al. ini memperkuat status terumbu karang Raja Ampat yang memiliki tutupan karang relatif rendah. Hasil penelitian yang sama dari COREMAP juga menunjukkan bahwa kekayaan biota terumbu karang di Raja Ampat juga tidak istimewa dibandingkan Wakatobi. Di dalam survei COREMAP dlaporkan bahwa terdapat 71 spesies karang (11 suku) di kawasan Batangpele, dan 83 spesies karang (11 suku) di kawasan Waigeo selatan (Prayudha et al. 2009; Prayudha & Picasaw 2009). Kekayaan spesies ikan-ikan terumbu dilaporkan 183 spesies (27 suku) di Batangpele dan 219 spesies (30 suku) di Waigeo selatan. Terumbu karang Wakatobi memiliki kekayaan spesies karang sebanyak 154 spesies (16 suku) dan ikan terumbu 309 spesies (34 suku) (Budiyanto et al. 2009). Dengan demikian, kekayaan spesies karang dan ikan terumbu di Raja Ampat bukanlah yang paling istimewa di Indonesia. Jumlah stasiun pemantauan di kawasan Batangpele dan Waigeo selatan adalah 5 (lima) dan 7 (tujuh) stasiun, sedangkan di Wakatobi 12 stasiun. Peta kekayaan spesies karang hermatipik yang dibuat Veron (2002) juga
59 menunjukkan bahwa antara Raja Ampat dengan Natuna tidak berbeda. Pemetaan keanekaragaman karang P2O LIPI juga menunjukkan bahwa kekayaan genus karang di Raja Ampat (61) lebih rendah daripada Wakatobi dan Buton (65 dan 69) atau Pangkep (68) (Suharsono 2008). Hubungan antara tingkat resiliensi dengan kekayaan spesies di Raja Ampat lebih mudah dijelaskan jika data yang dibandingkan dari sumber yang sama, misalnya data dari CRITC-COREMAP yang digunakan di dalam penelitian ini. Indeks resiliensi dan kekayaan spesies ikan terumbu keduanya secara konsisten menunjukkan tingkatan kualitas terumbu karang yang sama di Kepulauan Raja Ampat. Masalah baru muncul ketika kita membandingkan dengan data yang berbeda, yaitu kekayaan spesies ikan terumbu dari Allen dan Erdman (2009) yang dibuat berdasarkan rekapitulasi banyak penelitian sejak tahun 1920-an ditambah hasil-hasil survei yang baru. Kedalaman penyelaman Allen dan Erdman disebutkan hingga 60 meter, sedangkan kedalaman survei dan pemantauan terumbu karang COREMAP hanya 5-12 meter. Semua stasiun pemantauan COREMAP di Raja Ampat mempunyai batas kedalaman partumbuhan komunitas karang hanya sampai 20 meter. Hal ini menjelaskan bahwa kedua data tersebut diambil dari kawasan yang sama di lokasi yang berbeda. Pengelolaan terumbu karang seharusnya diprioritaskan kepada terumbu karang yang lebih tua yang mendapat ancaman lebih tinggi (Done 1995). Dengan kedua kriteria tersebut, maka terumbu karang di perairan Samudra Hindia dan kawasan Indonesia Timur memiliki nilai prioritas yang lebih tinggi daripada terumbu di Paparan Sunda. Nilai indeks resiliensi sebaiknya merupakan salah satu pertimbangan penting di dalam penyusunan prioritas tersebut. Perbandingan indeks resiliensi lebih baik dilakukan pada kedalaman 10 meter, dimana kelimpahan (tutupan) dan keanekaragaman karang tinggi, contohnya di Raja Ampat dan Gili Indah Lombok (P2O LIPI, unpublished data). Pada kedalaman ini indeks resiliensi tidak hanya menunjukkan potensi pemulihan terumbu karang, tetapi juga kondisi terumbu karang secara umum. Terumbu karang di Paparan Sunda akan memiliki nilai indeks resiliensi yang rendah pada kedalaman 10 meter. Hasil uji coba ini menganjurkan bahwa kita perlu mencermati kedalaman transek garis yang digunakan dalam penilaian indeks resiliensi.
60 3.5 Kesimpulan Hasil uji coba penggunaan indeks dalam penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi terumbu karang dapat digunakan untuk menilai dan membandingkan tingkat resiliensi antar terumbu karang. Penilaian indeks resiliensi pada dasarnya dapat dilakukan pada semua kedalaman. Jika penilaian indeks resiliensi juga dimaksudkan untuk melihat kondisi terumbu karang secara umum, misalnya untuk tujuan prioritas konservasi, maka penilaian sebaiknya dilakukan pada kedalaman minimal 10 meter. Paparan Sunda mempunyai indeks resiliensi yang paling tinggi. Kabupaten Bintan dan Natuna yang keduanya di Paparan Sunda juga menunjukkan sebagai kabupaten dengan indeks resiliensi terumbu karang terbaik di kawasan Indonesia bagian barat. Di kawasan Indonesia bagian timur, terumbu karang di Wakatobi memiliki indeks resiliensi yang paling tinggi. Indeks resiliensi terumbu karang di Raja Ampat tidak banyak berbeda dari terumbu karang di Selayar dan Pangkep. Peubah tutupan karang (COC), jumlah kelompok fungsional karang (CFG), dan kualitas habitat (CHQ) berkaitan dengan indeks resiliensi yang tinggi. Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi rendah dapat memiliki tutupan algae dan fauna lain (AOF) yang tinggi, dapat juga memiliki semua peubah indikator yang rendah.
61
4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 4.1 Pendahuluan Indeks resiliensi yang diformulasikan di dalam bab 2 merupakan penilaian tingkat resiliensi terumbu karang sesaat, yaitu tingkat kemampuan terumbu karang saat itu untuk pulih kembali jika terjadi suatu gangguan pada terumbu tersebut. Resiliensi terumbu karang bersifat dinamis, berubah secara temporal, karena kondisi ekosistem juga bersifat dinamis. Tinggi rendahnya indeks resiliensi tersebut sangat berkaitan dengan sejarah dari terumbu karang yang sedang dinilai, yaitu tekanan dan gangguan yang sudah dan sedang dialami oleh terumbu karang tersebut. Terumbu karang yang baru saja mengalami gangguan akan memiliki indeks resiliensi yang telah menurun, lebih rendah daripada indeks sebelumnya, tergantung besarnya dampak gangguan terhadap peubah indikator indeks. Kehilangan tutupan karang dan kehilangan kelompok fungsional (bentuk tumbuh) karang mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan indeks resiliensi. Kedua komponen tersebut memiliki bobot terbesar di dalam rumus indeks. Indeks resiliensi tersebut secara
teoritis akan meningkat dengan
bertambahnya jarak waktu dari gangguan. Proses rekolonisasi dan reorganisasi yang terjadi setelah gangguan akan memulihkan kembali proses-proses ekologis di dalam ekosistem sehingga terumbu karang dapat menjalankan kembali fungsifungsi yang sama di dalam sistemnya. Pemulihan fungsi-fungsi sistem tersebut membutuhkan waktu, yang sangat relatif, tergantung pada dampak gangguan dan tingkat resiliensi terumbu karang tersebut. Pengelolaan terumbu karang perlu memahami pola perubahan indeks resiliensi secara temporal. Informasi tentang dinamika indeks dapat memberikan gambaran tentang prediksi kecenderungan yang akan terjadi, jika asumsi yang melandasinya kuat. Resiliensi merupakan kualitas atau karakter dari ekosistem yang dinamis. Perubahan ekosistem, baik yang bersifat degradasi maupun suksesi, diikuti pula perubahan tingkat resiliensinya.
62 Penelitian di dalam bab 4 ini bertujuan untuk menjawab tiga masalah yang berkaitan dengan uji coba penggunaan indeks resiliensi. 1) Bagaimanakah perubahan indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia secara temporal? 2) Peubah indikator indeks yang manakah yang paling banyak berubah ke arah lebih baik? 3) Peubah indikator indeks yang manakah yang paling banyak berubah ke arah lebih buruk?
4.2 Metode Penelitian 4.2.1 Pengambilan data Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data runut waktu (time series) yang sudah dikoleksi oleh P2O LIPI untuk program COREMAP, tahun 2006-2009. Data COREMAP tersebut ada dua jenis, yaitu data baseline yang tidak hanya menilai kondisi terumbu karang tetapi juga kondisi oseanografi fisik, dan data pemantauan terumbu karang yang meliputi tutupan benthos dan kelimpahan ikan terumbu. Sebagian data baseline yang belum dipublikasikan tidak dapat diakses karena masih tersebar di antara para peneliti. Semua data dikoleksi oleh peneliti P2O LIPI yang terlatih dan disupervisi. Penelitian untuk melihat dinamika indeks resiliensi secara temporal ini menggunakan 132 transek yang mempunyai pengamatan berulang selama tiga tahun. Jumlah transek ini relatif kecil mengingat pemantauan oleh COREMAP melibatkan lebih dari 650 transek. Kecilnya proporsi data yang digunakan mencerminkan sulitnya mendapatkan data runut waktu dari transek permanen di Indonesia. Data dari kawasan timur Indonesia meliputi data terumbu karang di kabupaten-kabupaten Wakatobi, Sikka, Raja Ampat, dan Biak; pada tahun 2006, 2007, dan 2009. Pada tahun 2008, COREMAP menggunakan metode lain di kawasan timur Indonesia yang tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan metode transek garis (LIT). Dari kawasan barat Indonesia, data terumbu karang runut waktu meliputi kabupaten-kabupaten Batam, Lingga, Mentawai, dan Nias;
63 pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Data tahun 2006 di kawasan Barat tidak tersedia. Selain terdapat lokasi yang kurang lengkap datanya pada tahun tertentu, sejumlah transek permanen yang dipantau dalam kurun waktu tersebut di atas juga tidak memiliki pasangan data yang runut. Transek-transek yang tidak lengkap datanya tersebut tidak digunakan di dalam penelitian ini. Karena itu jumlah sampel di dalam penelitian lebih sedikit dari sampel yang digunakan pada bab 2 dan 3, walaupun lokasi dan waktu pengambilan data sama. Sebagai data ‘sekunder’, yang tidak diambil sendiri oleh peneliti, maka kualitas data menjadi perhatian utama. Pembuatan transek permanen di dalam laut memiliki kesulitan tersendiri, terutama kesulitan menemukan kembali lokasi yang sama dan transek yang sama. Walaupun sekarang sudah ada teknologi GPS (global positioning systems) yang lebih akurat, transek yang ditinggalkan selama setahun tetap membutuhkan upaya yang besar untuk menemukannya kembali. Ada indikasi bahwa sebagian kecil transek tidak dapat ditemukan kembali, berdasarkan ketidak-konsistenan data pada transek yang sama, misalnya perubahan nilai USS yang terlalu besar (>25%). Jika terjadi hal seperti ini, maka data tersebut tidak digunakan di dalam analisis.
4.2.2 Analisis data Data dianalisis untuk membandingkan perubahan indeks antar waktu di tingkat kawasan dan kabupaten. Dengan demikian, desain analisis seharusnya ANOVA tiga faktor, atau ANOVA dua faktor dengan pengamatan berulang (repeated measurement). Data yang tersedia memang didesain untuk tujuan yang berbeda. Jumlah kabupaten antara kawasan timur dengan barat tidak sama, sehingga analisis dengan desain di atas tidak dapat dilakukan. Analisis data tetap dilakukan dengan menggunakan ANOVA karena kualitas yang dihasilkan oleh analisis tersebut. Data kawasan timur dengan kawasan barat dianalisis secara terpisah, dengan menggunakan ANOVA dua faktor: Waktu dan Lokasi (Kabupaten). Keduanya merupakan faktor yang tetap (fixed). Adanya perbedaan yang signifikan di dalam ANOVA akan dilanjutkan dengan Tukey Test untuk membandingkan rata-rata antar kabupaten atau waktu. Untuk memenuhi
64 persyaratan ANOVA dua faktor yang standar tentang keseragaman jumlah sampel, maka jumlah sampel yang paling kecil dijadikan sebagai acuan untuk mengurangi jumlah sampel yang berlebih. Pengurangan jumlah sampel dilakukan secara acak dengan menggunakan bilangan acak, yang tersedia pada MS Excell. Semua penghitungan statistik di dalam bab ini menggunakan perangkat lunak MS Excell 2007. Hasil lengkap analisis disajikan pada Lampiran 5 (halaman 145).
4.3 Hasil-hasil Penelitian 4.3.1 Dinamika temporal indeks resiliensi Di kawasan Indonesia Timur, dinamika temporal indeks resiliensi terumbu karang tidak menunjukkan perubahan yang signifikan antar waktu (F = 1.103, P > 0.05). Pengaruh interaksi antara waktu dan lokasi terhadap indeks resiliensi juga tidak signifikan (F = 0.854, P > 0.05). Perbedaan yang signifikan hanya ditemukan pada rata-rata indeks resiliensi antar kabupaten (F = 23.726, P < 0.01) sebagaimana yang sudah diuji pada bab 3 sebelumnya. Tidak adanya pengaruh waktu yang signifikan menunjukkan bahwa perubahan indeks antar waktu relatif kecil dibandingkan perbedaan indeks antar transek di dalam kabupaten pada waktu yang sama. Indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Wakatobi dan Sikka mengalami sedikit peningkatan yang tidak berarti dalam kurun waktu empat tahun, dari tahun 2006 sampai 2009 (Gambar 12). Di Kabupaten Raja Ampat dan Biak, indeks resiliensi juga relatif sama selama tiga tahun dengan fluktuasi menurun yang sangat kecil. Walaupun perubahan antar waktu tidak signifikan, pola dan laju perubahan indeks pada masing-masing kabupaten masih dapat diketahui secara kuantitatif. Laju perubahan indeks dapat digunakan sebagai dasar di dalam memprediksi laju pemulihan terumbu karang. Kenaikan indeks terbesar terjadi di Wakatobi dengan nilai 0.033 selama dua tahun, atau rata-rata 0.016 per tahun. Penurunan indeks resiliensi paling cepat terjadi di Raja Ampat dengan nilai 0.045 per tahun. Di dalam kurun waktu ini (2006-2009) tidak ada penjelasan tentang adanya gangguan yang besar, sehingga kenaikan maupun penurunan indeks dapat merupakan dampak dari tekanan atau sekedar variasi fluktuatif musiman atau tahunan.
65
Gambar 12 Dinamika temporal rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Indonesia Timur. Nomor dalam legenda menunjukkan besar sampel (jumlah transek). Dari keempat kabupaten tersebut, semuanya memiliki indeks resiliensi awal (tahun 2006) dalam kategori resiliensi sedang. Dengan demikian kita tidak dapat melihat adanya pengaruh indeks resiliensi awal terhadap laju pemulihan terumbu karang, yang diukur berdasarkan perubahan indeks resiliensi terumbu karang. Pada tahun 2009, rata-rata indeks resiliensi di Wakatobi telah meningkat ke dalam kategori baik. Perubahan proporsi kategori indeks di empat kabupaten kawasan Indonesia Timur tidak menunjukkan pola yang kontinyu, melainkan menunjukkan pola fluktuasi tahunan. Tidak ada kabupaten dengan terumbu karang yang mengalami peningkatan proporsi yang besar pada indeks kategori baik atau baik sekali (Gambar 13). Di Wakatobi, peningkatan proporsi terjadi pada indeks dengan ketegori baik dan baik sekali berurutan sebesar 2.98% dan 7.14% antara tahun 2007-2009. Dalam waktu yang sama di Biak terjadi peningkatan proporsi indeks kategori baik sebesar 13.16%.
66
Gambar 13 Perubahan proporsi status resiliensi terumbu karang selama empat tahun di kawasan Indonesia Timur. Tahun 2008 pemantauan dilakukan dengan metode lain (transek titik) sehingga datanya tidak digunakan. Dilihat dari kondisi indeks resiliensi di awal pengamatan, terdapat perbedaan kecenderungan antara terumbu karang dengan indeks resiliensi yang termasuk kategori tinggi dan rendah. Terumbu karang dengan indeks resiliensi kategori baik dan baik sekali mengalami penurunan pada tahun pertama dan relatif tidak berubah pada dua tahun berikutnya (Gambar 14). Terumbu karang yang memiliki
indeks
resiliensi
kategori
kecenderungan pertambahan indeks
kurang secara
dan
kontinyu
buruk dalam
menunjukkan tiga
tahun
pengamatan. Di kawasan Indonesia Barat, rata-rata indeks juga relatif tidak berubah selama dua tahun pengamatan (F = 1.437, P > 0.05), sebagaimana yang ditemukan di kawasan Indonesia Timur. Interaksi antara waktu dengan lokasi juga tidak
67 signifikan pengaruhnya (F = 1.592, P > 0.05). Perbedaan pada rata-rata indeks resiliensi antar kabupaten terbukti signifikan (F = 115.274, P < 0.01), sebagaimana yang sudah diketahui dan dibahas pada bab 3.
Gambar 14 Perbedaan pola perubahan rata-rata (±1SE) indeks antar lima kategori resilieni terumbu karang di kawasan Indonesia Timur. Nomor dalam legenda menunjukkan jumlah transek.
Di kawasan barat, indeks resiliensi terumbu karang memiliki dua arah kecenderungan, meningkat atau stabil. Di Kabupaten Nias dan Mentawai, indeks resiliensi terumbu karang cenderung meningkat (Gambar 15). Di Kabupaten Nias peningkatan yang relatif besar terjadi antara tahun 2007 dan 2009. Dalam kurun waktu yang sama, di Kabupaten Mentawai, peningkatan indeks resiliensi juga berlangsung terus dengan laju yang lebih kecil. Kedua kabupaten tersebut memiliki indeks resiliensi yang rendah dan terletak di perairan Samudra Hindia (Indian Ocean). Dua kabupaten yang lain, Kabupaten Batam dan Bintan, indeks resiliensi terumbu karang bergerak fluktuatif dan relatif stabil. Kedua kabupaten ini memiliki indeks resiliensi yang tinggi, dan keduanya terletak di perairan Laut Natuna.
68
Gambar 15 Dinamika rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di empat kabupaten di kawasan barat Indonesia. Angka di dalam legenda menunjukkan jumlah sampel. Di kawasan Indonesia Barat laju peningkatan indeks resiliensi lebih besar daripada di Indonesia Timur, sedangkan laju penurunan indeks hampir sama. Peningkatan indeks yang paling cepat terjadi di terumbu karang Kabupaten Nias dengan laju 0.044 dan 0.066 per tahun (Gambar 15), antara tahun 2007-2008. Penurunan indeks paling besar terjadi di Kabupaten Bintan dengan laju 0.058 per tahun. Laju peningkatan indeks di Nias tersebut empat kali lebih cepat daripada di Indonesia Timur, sedangkan laju penurunannya tidak jauh berbeda. Di Mentawai, indeks meningkat 0.026 dan 0.015 per tahun dalam dua tahun pemantauan tersebut. Dilihat dari proporsi kategori indeks, peningkatan proporsi terumbu karang dengan indeks resiliensi kategori baik dan baik sekali yang kontinyu terjadi di Kabupaten Nias (Gambar 16). Peningkatan dengan pola yang serupa, dengan laju yang lebih rendah, juga terjadi di Mentawai, khususnya pada indeks resiliensi kategori sedang dan baik. Pada dua kabupaten lainnya, Batam dan Bintan,
69 perubahan-perubahan proporsi kategori indeks yang terjadi lebih bersifat fluktuatif dan cenderung menurun secara perlahan.
Gambar 16 Perubahan proporsi status resiliensi terumbu karang di empat kabupaten selama empat tahun, di kawasan Indonesia Timur. Perubahan ke arah kualitas yang lebih baik terjadi di Nias dan Mentawai. Kondisi awal indeks resiliensi juga berkaitan dengan perbedaan perubahan indeks di Indonesia Barat. Terumbu karang dengan indeks resiliensi baik sekali menunjukkan penurunan pada tahun pertama pengamatan, kemudian relatif tetap pada tahun berikutnya (Gambar 17). Terumbu karang dengan indeks resiliensi kategori sedang dan baik tidak banyak berubah dalam dua tahun pengamatan. Tetapi terumbu karang dengan indeks resiliensi kategori kurang dan buruk menunjukkan peningkatan nilai indeks yang jelas pada tahun pertama yang diikuti dengan kondisi tidak banyak berubah sesudahnya.
70
Gambar 17 Perbandingan pola perubahan rata-rata (±1SE) indeks antara terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi awal berbeda, di kawasan Indonesia Barat.
4.3.2 Dinamika peubah indikator indeks resiliensi Dinamika peubah indikator dapat dilihat pada dua skala, dalam skala ribuan kilometer dan skala puluhan kilometer. Dalam skala ribuan kilometer, terumbu karang di Indonesia mempunyai dinamika peubah indikator resiliensi yang bervariasi antara di kawasan barat dengan di kawasan timur Indonesia, kecuali peubah CFG, CHQ, COC, dan USS yang memiliki pola perubahan relatif sama (Gambar 18). Dalam empat tahun terakhir, peubah CSN memiliki fluktuasi yang besar dengan pola yang berlawanan antara terumbu karang di kawasan Indonesia Timur dengan Indonesia Barat. Peubah AOF memiliki kecenderungan yang berlawanan antara kedua kawasan. Peubah AOF cenderung meningkat di Indonesia Timur, sebaliknya menurun secara kontinyu di Indonesia Barat. Peubah CFG dan COC mengalami fluktuasi yang paling kecil dan relatif stabil. Walaupun demikian kedua kawasan mempunyai kualitas yang berbeda pada kedua peubah tersebut. Sejak tahun 2006 sampai 2009, peubah CFG secara
71 konsisten lebih tinggi di terumbu karang kawasan timur, sedangkan peubah COC lebih tinggi di kawasan barat. Temuan ini sangat menarik karena mengkonfirmasi perbedaan keunggulan kedua kawasan di Indonesia.
Gambar 18 Perbandingan dinamika rata-rata (±1SE) peubah indikator indeks resiliensi dalam skala ribuan kilometer, atau antara kawasan timur dan barat Indonesia.
72 Dinamika peubah yang menjadi indikator indeks resiliensi juga sangat bervariasi dalam skala puluhan sampai ratusan kilometer (kabupaten). Pada skala kabupaten di kawasan timur Indonesia, peubah CHQ dan AOF dapat meningkat sekitar tiga kali dalam waktu dua tahun (2007-2009), misalnya CHQ di Sikka dan AOF di Raja Ampat (Gambar 19). Gambar 19 juga menunjukkan bahwa Wakatobi memiliki keunggulan pada peubah CFG dan COC, sedangkan Biak unggul pada peubah CSN.
Gambar 19 Dinamika rata-rata (±1SE) peubah indikator indeks resiliensi terumbu karang, di empat kabupaten kawasan Indonesia Timur, dalam empat tahun pengamatan.
73 Di kawasan Indonesia Barat, peubah CSN tetap merupakan peubah yang mengalami fluktuasi besar di semua kabupaten. Fluktuasi yang terbesar terjadi pada peubah AOF di Nias dan Mentawai, dimana AOF turun secara drastis (Gambar 20). Peubah CFG menjadi peubah pembeda dari ke-empat kabupaten, dengan nilai tertinggi dimiliki oleh Bintan diikuti Batam, Nias, dan Mentawai. Peubah COC yang mengalami fluktuasi kecil merupakan pemisah antara terumbu karang di Kepulauan Riau dengan di Samudra Hindia.
Gambar 20 Dinamika rata-rata (±1SE) peubah indikator indeks resiliensi di empat kabupaten kawasan Indonesia Barat, dalam tiga tahun pengamatan.
74 Perubahan peubah USS yang besar dapat menunjukkan pengamatan transek permanen yang bergeser dari lokasi sebelumnya. Kemungkinan lainnya yang jarang terjadi adalah adanya kolonisasi besar-besaran substrat berpasir oleh karang bentuk jamur, dari famili Fungidae, serta bertambahnya atau hilangnya substrat lumpur dan pasir. Tidak dijumpai perubahan USS lebih dari 5% per tahun di Indonesia baik di kawasan bagian timur maupun bagian barat (Gambar 19 dan 20). Di kawasan Indonesia bagian timur, perubahan peubah indikator indeks antar waktu bersifat sangat khusus pada masing-masing lokasi. Secara umum dalam kurun waktu empat tahun peubah indeks yang mengalami kenaikan tertinggi adalah AOF (15.28% per tahun) disusul COC (6.48% per tahun) dan CHQ (3.34% per tahun) (Tabel 9). Peubah yang mengalami penurunan besar adalah AOF (-12.65% per tahun), USS (-3.38% per tahun), dan COC (-3.67% per tahun). Komponen indeks lainnya relatif tidak banyak berubah. Tidak ditemukan pola umum dari perubahan komponen indeks resiliensi tersebut.
Tabel 9 Perubahan rata-rata peubah indikator indeks selama dua kurun waktu, pertama (setahun, 2006-2007) dan kedua (dua tahun, 2007-2009) di kawasan timur Indonesia. Angka di belakang nama lokasi menunjukkan kurun waktu pertama dan kedua. Tanda (-) berarti penurunan. Perubahan yang besar pada USS dapat menunjukkan pergeseran lokasi transek permanen. Lokasi, waktu Wakatobi, 1 Wakatobi, 2 Rajaampat, 1 Rajaampat, 2 Biak, 1 Biak, 2 Sikka, 1 Sikka, 2
CFG (kelompok) 0.18 0.45 -0.78 0.72 0.13 0.13 0.16 -0.05
Perubahan peubah indikator indeks CSN CHQ COC AOF (koloni) (%) (%) (%) -0.21 -1.94 1.05 -12.65 2.69 0.31 -1.08 19.01 0.64 -1.27 -3.67 6.56 0.08 0.93 6.26 30.57 -2.71 -0.18 6.48 -0.21 2.34 -0.70 -1.40 1.37 0.05 0.00 -1.65 2.39 -0.47 6.68 -2.25 4.08
USS (%) -1.72 0.04 -3.88 1.43 1.95 3.40 -2.66 -1.42
Di kawasan Indonesia bagian barat, dalam kurun waktu tiga tahun peubah indeks yang paling banyak mengalami kenaikan adalah AOF (9.66% per tahun),
75 disusul oleh COC (8.03% per tahun) (Tabel 10). Peubah yang mengalami penurunan sangat besar adalah AOF (-55.23% per tahun). Peubah lain yang mengalami penurunan paling besar adalah COC (-6.11% per tahun), dan USS (3.15% per tahun). Sedangkan peubah yang lainnya relatif stabil. Tabel 10 Perubahan rata-rata peubah indikator indeks selama dua kurun waktu, pertama (2007-2008) dan kedua (2008-2009), di kawasan Indonesia Barat. Angka di belakang nama lokasi menunjukkan kurun waktu pertama dan kedua. Tanda (-) berarti penurunan. Lokasi, waktu Batam 1 Batam 2 Bintan 1 Bintan 2 Nias 1 Nias 2 Mentawai 1 Mentawai 2
CFG (kelompok) -0.17 -0.07 -0.87 0.40 0.50 -0.20 0.70 -0.44
Perubahan peubah indikator indeks CSN CHQ COC AOF (koloni) (%) (%) (%) 1.85 -1.43 -6.11 -10.99 -0.35 0.19 4.52 6.44 -1.07 -2.58 5.35 -16.08 -2.07 -0.23 -5.30 9.66 3.03 0.02 2.84 2.58 -2.50 1.89 8.03 -55.23 2.78 -1.16 -3.07 2.68 -2.15 0.24 3.57 -45.35
USS (%) 1.83 -3.11 0.03 -0.09 -3.15 1.34 -2.19 2.29
Data yang tersedia menunjukkan bahwa setiap peubah indikator indeks tidak selalu mengalami kenaikan atau penurunan. Dalam waktu dua tahun (tiga tahun pengamatan) yang berurutan di lokasi yang sama, suatu indikator indeks dapat mengalami keduanya, peningkatan dan penurunan. Penggunaan rata-rata kenaikan peubah indikator indeks menjadi tidak relevan. Tutupan karang, misalnya, tidak selalu menunjukkan peningkatan setiap tahun. Jika pengukuran dilakukan ketika terumbu karang mengalami penurunan tutupan karang, maka dapat terjadi kesalahan kesimpulan tentang kondisi terumbu karang. Padahal sebenarnya penurunan tutupan karang itu merupakan fluktuasi antar waktu. Dinamika ekosistem terumbu karang memang sangat kompleks, dimana gangguan dan tekanan lingkungan berjalan bersama dengan proses-proses alami dalam suksesi, seperti predasi dan kompetisi.
76 4.4 Pembahasan Hasil penelitian di dalam bab ini menunjukkan, bahwa terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi tinggi mengalami fluktuasi kecil stabil atau ke arah penurunan indeks, sedangkan terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi rendah, cenderung mengalami peningkatan indeks dalam kurun waktu tertentu. Perbedaan dinamika indeks tersebut berkaitan dengan kondisi terumbu karang pada masa pemulihan dan masa pasca pemulihan. Walaupun secara umum indeks resiliensi cenderung stabil dalam kurun waktu tiga tahun, dinamika masing-masing peubah indikator indeks resiliensi relatif tinggi. Kenaikan dan penurunan nilai peubah indikator tidak menunjukkan pola yang sama, karena masing-masing terumbu karang memiliki kondisi lingkungan dan gangguan yang berbeda, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan dan penurunan nilai peubah indikator merupakan fluktuasi dari peubah tersebut secara temporal. Fluktuasi peubah indikator akan mengakibatkan dinamika di dalam nilai indeks resiliensi. Terumbu karang di Indonesia memiliki fluktuasi rata-rata indeks tahunan dengan kenaikan tertinggi 0.066 (di Nias tahun 2008), dan penurunan terbesar 0.058 (di Bintan pada tahun 2009). Fluktuasi ini merupakan data awal yang belum ada pembandingnya. Fluktuasi tersebut terjadi dalam kondisi terumbu karang yang sedang dalam pemulihan maupun yang sudah pulih. Angka fluktuasi ini sangat penting di dalam meramalkan pemulihan terumbu karang. Dengan laju pertambahan indeks yang cepat (0.066 per tahun), maka kenaikan indeks sebesar 0.100 dapat dicapai dalam waktu dua tahun. Jika suatu terumbu karang memiliki indeks resiliensi 0.600 kemudian turun menjadi 0.300 akibat suatu gangguan yang akut langsung, maka dapat diharapkan jika terumbu karang tersebut dapat pulih dalam waktu 5 (lima) tahun. Perkiraan kasar ini dengan asumsi bahwa kondisi lingkungan tidak banyak berubah dan tidak ada gangguan besar yang terjadi selama masa pemulihan tersebut. Walaupun demikian, perkiraan waktu pemulihan tersebut masih belum matang. Laju pertambahan indeks resiliensi terumbu karang akan berbeda pada kondisi terumbu karang yang sedang pulih dari gangguan, dengan terumbu karang yang sudah hampir mencapai nilai maksimum di lokasi tersebut. Di the Great
77 Barrier Reef (GBR), Australia, pertambahan tutupan karang dilaporkan berbeda pada terumbu karang yang mengalami gangguan bintang laut Achantaster plancii dengan yang tidak diserang A. plancii (Lourey et al. 2000). Tutupan karang merupakan peubah indikator indeks yang sangat penting, karena memiliki bobot yang besar dan keterkaitan dengan peubah indikator lainnya, seperti CFG, CHQ, dan CSN. Terumbu karang yang sedang dalam proses pemulihan akan mengalami kenaikan nilai indeks resiliensi yang lebih cepat dan kontinyu. Terumbu karang yang memiliki tingkat resiliensi tinggi dan relatif lebih konstan dalam kurun waktu yang lama dapat merupakan indikasi bahwa terumbu karang tersebut sudah melewati proses pemulihan. Terumbu karang di Nias memiliki karakteristik sebagai terumbu karang yang sedang mengalami proses pemulihan. Peningkatan nilai indeks lebih cepat daripada fluktuasi indeks biasa. Disamping itu, pertambahan nilai indeks berlangsung secara kontinyu selama tiga tahun pengamatan. Meskipun dampak gempa yang disertai tsunami tahun 2004 dan gempa tanpa tsunami tahun 2005 pada terumbu karang di Nias tidak secara jelas dideskripsikan, Siringoringo dan Salatalohi (2009) menyatakan bahwa terumbu karang di Nias dalam proses pemulihan. Terumbu karang di Mentawai juga menunjukan tipe yang serupa walaupun tidak sejelas terumbu karang di Nias. Buku laporan pemantauan terumbu karang di Kabupaten Mentawai tidak menyebutkan tentang adanya gangguan dan pemulihan terumbu karang (Makatipu & Ulumuddin 2009; Makatipu & Leatemia 2009). Di Mentawai, laju pertambahan indeks sebesar 0.015-0.026 per tahun, yang tidak jauh berbeda dengan pertambahan indeks di Wakatobi 0.016 per tahun. Dengan demikian, laju pertambahan indeks di Mentawai dapat dianggap merupakan angka pertambahan fluktuatif yang normal. Nilai pertambahan indeks di Nias, 0.044-0.066 per tahun, dapat digunakan sebagai nilai pertambahan indeks dalam masa pemulihan di Indonesia. Kenaikan indeks fluktuatif sebesar 0.016 per tahun merupakan peningkatan indeks yang relatif tinggi. Peningkatan tersebut setara dengan kenaikan peubah tutupan karang (COC) saja (CFG dan CSN tetap) sebesar 9%, dari tutupan awal 35%. Kenaikan tersebut juga dapat disetarakan dengan penambahan satu kelompok fungsional dari nilai CFG sebesar 4 (empat) kelompok, atau
78 penambahan 2 (dua) koloni karang ukuran kecil dari nilai CSN sebesar 4 (empat) koloni, atau penurunan AOF dari 50% menjadi 27%. Penurunan USS dari 50% menjadi 29% juga menghasilkan kenaikan indeks sebesar 0.010, Dilihat dari perubahan peubah indikator indeks resiliensi, maka peubah AOF merupakan peubah yang paling banyak berubah. Perubahan nilai AOF terutama disebabkan oleh perubahan tutupan turf algae, yaitu komunitas algae berfilamen yang mudah mengkolonisasi karang yang baru mati dan juga mudah hilang karena kompetisi eksklusi maupun herbivori. Algae berfilamen dapat menghalangi penempelan larva karang dan menyebabkan kematian anakan karang (Sato 1985; Birrel et al. 2005), sehingga merupakan penghalang atau bottle neck dari rekruitmen karang. Tingginya algae befilamen merupakan hasil kombinasi dari herbivori yang rendah dan nutrien yang rendah (Littler et al. 2006). Kelimpahan ikan herbivora yang rendah diduga terjadi di sebagian besar terumbu karang di Indonesia, tetapi negara kepulauan ini memiliki keanekaragaman herbivora yang tinggi. Anggota peubah AOF lain yang sangat penting adalah karang lunak (Alcyonacea). Karang lunak juga merupakan kompetitor dari karang yang berpotensi menghalangi rekruitmen karang (Sammarco et al. 1983; Maida et al. 1995; Atrigenio & Alino 1996). Karang lunak biasanya merupakan komunitas yang dominan pada terumbu yang rusak karena pengeboman ikan. Karang lunak tumbuh di atas pecahan karang dan menghambat rekruitmen karang. Peubah CSN merupakan indikator indeks yang banyak berfluktuasi baik di kawasan barat maupun timur Indonesia. Sebagai hewan klonal, fisiologi dan ekologi karang sangat tergantung pada ukuran koloninya. Reproduksi karang ditentukan oleh ukuran koloni (Soong 1993), demikian juga kelulushidupan karang (Hughes 1984). Koloni karang dengan ukuran 10 cm atau lebih kecil merupakan ukuran yang tidak stabil, mudah datang dari rektuitmen dan mudah mati karena mortalitasnya tinggi, sehingga peubah CSN mempunyai fluktuasi yang besar. Pertambahan tutupan karang (COC) maksimum di dalam penelitian ini menunjukkan laju yang tinggi. Dari delapan kabupaten yang diamati, laju pertambahan rata-rata tutupan karang maksimum adalah 8.03% per tahun di
79 Kabupaten Nias tahun 2008 dan 6.48% di Kabupaten Biak tahun 2006. Data dari lokasi di luar Indonesia menunjukkan bahwa penambahan rata-rata tutupan karang di Kenya 6.5 % dalam 4 (empat) tahun (McClanahan et al. 2005), di the Great Barrier Reef 2% per tahun pada terumbu yang tidak terganggu dan 4% pada terumbu yang sedang pulih dari gangguan (Lourey et al. 2000). Laju pertambahan tutupan karang di Indonesia tersebut adalah laju rata-rata maksimum per kabupaten, sedangkan data dari luar Indonesia tersebut adalah laju pertambahan tutupan karang rata-rata di suatu kawasan, sehingga tidak dapat diperbandingkan secara langsung. Peubah CFG dan CHQ merupakan indikator indeks yang tidak banyak berubah, kecuali CHQ di Kabupaten Sikka tahun 2009 yang bertambah 6.46% dalam satu tahun. Perubahan CFG umumnya tidak terpisah dari perubahan tutupan karang. Sedangkan CHQ akan meningkat jika terjadi peningkatan pada tutupan karang Acropora atau karang yang berbentuk masif dan submasif. Kehilangan tutupan karang dari ketiga kelompok karang tersebut akan menurunkan nilai CHQ. Di dalam bab 4 ini, dinamika indeks resiliensi dilihat dalam kurun waktu yang relatif singkat, 3-4 tahun, dimana perubahan indeks yang terjadi adalah fluktuatif. Dinamika indeks resiliensi dalam waktu yang lebih panjang dapat membedakan dinamika indeks dalam masa yang fluktuatif dengan masa pemulihan terumbu karang. Perubahan indeks resiliensi dalam waktu yang lebih panjang (13 tahun) akan disajikan pada bab 5.
4.5 Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi terumbu karang dapat digunakan untuk melacak dinamika temporal tingkat resiliensi terumbu karang, dalam kurun 3-4 tahun. Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi tinggi mengalami fluktuasi ke arah penurunan indeks atau stabil. Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi rendah, sebaliknya, cenderung mengalami peningkatan indeks dalam kurun waktu tertentu. Hal ini diduga berkaitan dengan masa pemulihan. Pada masa pemulihan, pertambahan rata-rata indeks resiliensi sekitar 0.044 sampai 0.066 per tahun, di Nias, Indonesia.
80 Dinamika peubah indikator indeks secara temporal tidak menunjukkan pola tertentu. Di antara peubah indikator indeks, peubah AOF (tutupan algae dan fauna lain) merupakan peubah yang paling besar mengalami penurunan (55.37% per tahun) dan juga kenaikan (9.66% per tahun). Terumbu karang di Nias mengalami peningkatan peubah COC (tutupan karang) rata-rata sebesar 8.03% per tahun, yang merupakan peningkatan rata-rata COC terbesar di lokasi COREMAP.
81
5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG 5.1 Pendahuluan Resiliensi suatu ekosistem merupakan ukuran besarnya potensi pemulihan ekosistem tersebut setelah terjadi gangguan. Pemulihan ekosistem terumbu karang setelah terjadinya gangguan belum mempunyai ukuran yang baku (standar). Ukuran yang paling banyak digunakan adalah kembalinya tutupan karang (Dollar & Tribble 1993; Tomascik et al. 1996; Lourey et al. 2000; Berumen & Pratchet 2006; Golbuu et al. 2007). Ukuran pemulihan yang lainnya meliputi pertumbuhan karang (Shinn 1975), struktur populasi atau ukuran koloni karang (Done 1988), tutupan dan struktur komunitas karang (Done et al. 1991; Smith et al. 2006), tutupan dan kekayaan spesies karang (Brown & Suharsono 1990). Pearson (1981) dalam kajiannya tentang pemulihan terumbu karang dari gangguan menginginkan adanya indeks pemulihan yang menggabungkan tutupan karang, indeks permukaan, rata-rata tinggi koloni, kekayaan spesies, dan indeks kesamaan. Sampai saat ini belum ada yang melakukan saran Pearson tersebut. Cara pengukuran pemulihan terumbu karang yang paling baru, yang diusulkan sebagai pengganti tutupan karang, adalah SARCC (size-adjusted rate of change of cover) yang diperkenalkan oleh Mumby dan Harborne (2010). Penghitungan SARCC menggunakan ukuran koloni disamping tutupan karang yang kemudian dianalisis dengan pendekatan simulasi Monte Carlo. Walaupun kesimpulan yang diambil tetap sama, dibandingkan dengan tutupan karang pada terumbu karang di perairan Caribbean, perbedaan antara di dalam dan di luar kawasan konservasi lebih jelas dengan menggunakan SARCC daripada tutupan karang. Pengunaan SARCC jauh lebih rumit daripada transek garis biasa, karena data diambil dengan video transect dan dianalisis dengan statistik multifaktor. Karena itu aplikasinya diperkirakan terbatas pada peneliti terumbu karang, bukan pengelola terumbu karang biasa. Jika persen tutupan karang hidup yang digunakan sebagai ukurannya, maka pemulihan terumbu karang dapat terjadi dalam skala kurang dari 10 tahun (Tomascik et al. 1996; Lovell & Sykes 2008). Tetapi jika pemulihan tersebut
82 diukur dari komposisi komunitas yang menyerupai kondisi sebelum gangguan, maka waktu pemulihan dapat lebih dari 25 tahun (Berumen & Pratchett 2006) atau bahkan ratusan tahun (Done 1995). Untuk mengganti koloni karang Porites yang berukuran diameter satu meter, misalnya, membutuhkan waktu sekitar 100 tahun. Di dalam penelitian ini, pemulihan terumbu karang akan dinilai berdasarkan indeks resiliensinya, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke indeks resiliensi sebelum gangguan. Dengan demikian, karang Porites yang mati dapat digantikan peran ekologisnya oleh karang dengan bentuk tumbuh yang sama (karang masif), misalnya Favia, Goniastrea, Goniopora dan sebagainya, yang fungsi ekologisnya sama tetapi pertumbuhannya lebih cepat. Penelitian di dalam bab ini dimaksudkan untuk menilai pemulihan terumbu karang dengan menggunakan indeks resiliensi. Peningkatan indeks resiliensi terumbu karang terjadi jika ada peningkatan pada tutupan karang (COC), jumlah kelompok fungsional (CFG), jumlah koloni ukuran kecil (CSN), atau perimbangan tutupan karang Acroporidae dengan karang masif dan submasif (CHQ). Pemulihan indeks juga dapat terjadi jika ada penurunan tutupan algae dan fauna lain (AOF) atau pengurangan tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva (USS). Walaupun cara ini berbeda dari yang disarankan Pearson (1981), pengukuran pemulihan dengan indeks resiliensi merupakan alternatif yang potensial digunakan oleh pengelola terumbu karang.
5.2 Metode Penelitian 5.2.1 Pengambilan data Data terumbu karang berasal dari data pemantauan lingkungan yang tersedia di sebuah perusahaan tambang tembaga-emas di Kabupaten Sumbawa Barat. Pemantauan tersebut dilakukan pada 6 (enam) transek permanen, yang tersebar di Teluk Benete (3 transek), Maluk (1 transek), dan Tanjung Amat (2 transek) (Gambar 21). Data runut waktu selama 13 tahun merupakan data yang sulit ditemukan di Indonesia. Data terumbu karang tersebut diduga merupakan satusatunya data runut waktu yang masih dapat diakses dengan kurun waktu lebih dari 10 tahun.
83
Gambar 21 Peta lokasi pengambilan data terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat. BN= Benete, TA= Tanjung Amat, MA= Maluk. Sebagai data sekunder yang tidak diambil sendiri oleh peneliti, data di dalam penelitian ini juga rentan terhadap tuntutan kualitas, sehingga informasi tentang data itu sendiri menjadi sangat penting. Data pemantauan terumbu karang tersebut diambil oleh peneliti (konsultan) yang berbeda-beda, sehingga memberi peluang terjadinya ketidak-konsistenan di dalam pencatatan (perekaman) kategori benthos. Sebagian besar data secara jelas membedakan antara kategori S (pasir), Si (lumpur) dan R (pecahan karang). Sebagian kecil lainnya, mencatat secara bersama-sama dua atau tiga kategori tersebut di dalam satu potongan transek sehingga masing-masing kategori tidak dapat dihitung secara tepat. Jika kategori S dicatat lebih awal, misalnya: S, R, dan Si, maka data akan dimasukkan ke dalam kategori S. Sebaliknya jika tercatat sebagai R, Si, dan S, maka data akan diolah sebagai kategori R.
84 Di dalam pemantauan tersebut, panjang transek permanen baku yang digunakan adalah 30 meter. Walaupun demikian, sebagian pengambilan data di transek permanen menggunakan panjang 20 meter atau 25 meter. Pengambilan data di bawah air memang tidak selalu dalam kondisi optimal. Dalam kondisi cuaca yang buruk yang mengakibatkan peneliti dalam kondisi yang kurang baik, maka pengambilan data dapat menjadi kurang cermat dan kurang akurat. Pada pemantauan September 2007, di Tanjung Amat 2, misalnya, pengambilan data dilakukan hanya dalam waktu 20 menit, sedangkan pengambilan data dari transek yang sama biasanya membutuhkan waktu 70-90 menit. Data yang dihasilkan dari pengambilan data 20 menit tersebut juga tidak konsisten dengan data sebelum dan sesudahnya. Data tersebut tidak digunakan di dalam analisis. Data runut waktu ini sebenarnya merupakan data yang ideal untuk penelitian ini, karena dalam kurun waktu pengambilan data terjadi gangguan yang besar, yaitu pemutihan karang yang berdampak pada kematian masal karang. Pemutihan karang tersebut terjadi pada akhir tahun 1997 hingga pertengahan pertama tahun 1998, di Indonesia. Akan tetapi, data dua pengamatan penting ketika terjadi gangguan, yaitu September 1997 dan April 1998, tidak tersedia sehingga tidak dapat secara pasti ditentukan kapan gangguan memiliki dampak perubahan pada indeks. Kelemahan lainnya adalah jumlah replikasi yang kurang untuk kebutuhan penelitian ini. Pemantauan pada transek permanen di Sumbawa Barat dilaksanakan dua kali setahun, setiap bulan Maret/April dan September/Oktober. Walaupun pengambilan data di transek permanen lebih sering dilakukan daripada di lokasi COREMAP, kasus peneliti tidak dapat menemukan kembali transek permanen karena hilang tanda-tandanya juga terjadi. Jika konsultan peneliti terumbu karang ditemani oleh staff perusahaan, maka transek yang baru dapat dibuat di lokasi yang hampir sama dengan transek permanen sebelumnya. Data primer terumbu karang diambil pada transek permanen yang sama di Sumbawa Barat, pada bulan April 2010. Data ini sebagai pelengkap dari data runut waktu yang telah tersedia sebelumnya. Hampir semua transek permanen tersebut dibuat pada kedalaman sekitar 5 (lima) meter. Transek permanen ditandai
85 dengan tonggak besi sepanjang satu meter, setiap 10 meter, dengan panjang transek 30 meter. Data suhu air laut juga merupakan data sekunder yang diperoleh dari dokumen pemantauan kondisi lingkungan di Teluk Benete. Data suhu air laut tersebut diambil menggunakan temperature data logger Starmon Mini (Star-Oddi Ltd), dengan akurasi 0.05OC, dari Oktober 1999-Oktober 2007. Data logger diletakkan di Teluk Benete pada kedalaman 5 meter. Pencatatan suhu oleh data logger dilakukan dengan frekuensi setiap 10 menit.
5.2.2 Analisis data Pemulihan terumbu karang dapat dilihat dari berbagai skala spasial, puluhan meter hingga ribuan kilometer. Semakin besar skala yang digunakan semakin besar ragam yang dijumpai. Kondisi terumbu karang umumnya memiliki ragam yang besar baik secara spasial maupun temporal. Interaksi antara kedua ragam tersebut menghasilkan ragam yang lebih besar, dengan bertambahnya skala yang digunakan. Somerfield et al. (2008) meneliti perubahan komunitas karang dari tahun 1996-2003 di Florida Keys. Dengan skala spasial ratusan kilometer dan skala temporal tujuh tahun, sulit menemukan pola umum pemulihan terumbu karang setelah kematian masal tahun 1998. Terumbu karang yang dikenal memiliki kondisi stabil ganda (multiple stable states), dapat mengalami pemulihan dengan arah ganda sehingga kondisi stabil baru dapat berbeda banyak dari kondisi awal, walaupun tutupan karang sebagai indikatornya. Di dalam penelitian ini, analisis data dilakukan pada dua skala, skala puluhan meter (transek) dan skala puluhan kilometer (kabupaten). Pemulihan terumbu karang didefinisikan sebagai kembalinya peubah terumbu karang (indeks resiliensi, tutupan karang) setelah gangguan kematian masal tahun 1998. Tingginya ragam antar transek di tingkat kabupaten mempersulit perbandingan antar waktu, sehingga definisi pulih dari gangguan menjadi tidak jelas. Pemulihan terumbu karang kemudian didefinisikan sebagai perubahan peubah terumbu karang mendekati kondisi sebelum gangguan. Kedekatan kondisi tersebut ditetapkan dengan statistik multifaktor non-metric Multi Dimensional Scalling (MDS) berdasarkan indeks kesamaan Bray Curtis. Analisis MDS dilaksanakan
86 dengan perangkat lunak Primer 6 versi 6.1.13 (Primer-E Ltd. 2009). Data runut waktu dari Kabupaten Sumbawa Barat ini tidak didesain untuk perbandingan antar lokasi, melainkan antar waktu, sebagaimana data COREMAP pada bab 4. Ketiga lokasi yang dipantau tidak memiliki jumlah sampel yang sama, sehingga pemulihan terumbu karang di tingkat transek tidak dapat dianalisis secara statistik. Analisis regresi linier sederhana dilakukan untuk memprediksi pemulihan terumbu karang, baik yang dinilai berdasarkan kembalinya indeks maupun tutupan karang. Analisis regresi dilakukan untuk melihat keterkaitan antara kondisi awal dengan dampak gangguan dan kondisi awal dengan laju pemulihan. Kedua macam regresi tersebut dilakukan pada 4 (empat) transek karena dua transek, yaitu Tanjung Amat 2 dan Maluk, menunjukkan perilaku yang jauh berbeda dari empat trasnek lainnya. Di Tanjung Amat 2 dan Maluk tidak terjadi penurunan tutupan karang ketika terjadi gangguan tahun 1998, yang menyebabkan kematian masal di kawasan lain. Hasil analisis statistik secara lengkap disajikan pada Lampiran 6, halaman 149.
5.3 Hasil-hasil Penelitian 5.3.1 Pemulihan terumbu karang dalam skala puluhan meter Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan indeks resiliensi yang sangat besar di antara pemantauan April 1997 dan September 1999 (Gambar 22). Data pemantauan September1997 dan April 1998 tidak tersedia lengkap sehingga bulan terjadinya penurunan indeks tidak dapat diperkirakan secara tepat. Peristiwa kematian masal karang akibat pemutihan karang pada tahun 1998 dianggap sebagai penyebab penurunan indeks tersebut. Penurunan indeks terjadi secara serentak di Teluk Benete (Benete 1, Benete 2, Benete 3), Tanjung Amat 1 dan Maluk. Di kedua lokasi terakhir, penurunan serentak terjadi lagi pada tahun 2000. Tanjung Amat 2 dan Maluk memiliki pola yang berbeda dari transek di lokasi lainnya. Penurunan drastis indeks tidak terjadi pada tahun 1998, tetapi terjadi pada tahun 2000.
87 Pada tahun 1998, penurunan indeks resiliensi paling besar terjadi di transek Benete 2, yaitu sebesar 0.535; sedangkan penurunan terkecil terjadi di Tanjung Amat 1 sebesar 0.032. Di Benete 2, setelah mengalami penurunan yang sangat tajam, indeks resiliensi dapat pulih kembali dalam waktu yang relatif singkat. Indeks resiliensi yang telah turun menjadi 0.389 (September 1998) dapat kembali lagi ke 0.931, pada bulan September 2001, atau dalam waktu tiga tahun.
Gambar 22 Dinamika indeks resiliensi terumbu karang pada 6 transek di perairan Sumbawa Barat, kurun waktu April 1997 sampai April 2010. Di Tanjung Amat 2 dan Maluk, indeks resiliensi terumbu karang memiliki dinamika yang berbeda dari lokasi lainnya. Dampak gangguan pada tahun 1998 sangat kecil, bahkan lebih kecil dari fluktuasi indeks setelah gangguan di transek tersebut. Di Tanjung Amat 2 dan Maluk, indeks resiliensi menurun tajam dari bulan April ke September tahun 2000. Perubahan drastis tersebut bersamaan dengan perubahan tutupan karang walaupun tidak ada data lain yang dapat menjelaskan faktor penyebabnya. Perubahan lokal seperti ini dapat terjadi akibat gangguan lokal, yang hanya dijumpai di Tanjung Amat 2 dan Maluk. Kedua lokasi tersebut berpotensi terpapar pada hempasan gelombang dari Samudra Hindia. Ketika terjadi gangguan yang menurunkan indeks resiliensi di semua lokasi pada tahun 1998, terumbu karang di Tanjung Amat 2 sedang mempunyai indeks
88 resiliensi yang rendah yaitu 0.288, atau dalam kategori kurang. Gangguan yang terjadi pada saat yang kritis dapat menyebabkan turunnya resiliensi sampai di bawah ambang tertentu sehingga ekosistem tidak mampu pulih kembali dan terjadilah pergantian fase. Di Tanjung Amat 2, indeks resiliensi hanya mengalami penurunan 0.031. Indeks tersebut kemudian meningkat menjadi 0.359 atau menjadi kategori sedang dalam enam bulan berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi sebesar 0.288 bukan termasuk nilai yang kritis, atau masih di atas ambang indeks untuk terjadinya pergantian fase. Tingginya indeks resiliensi awal berkaitan dengan besarnya dampak gangguan (Tabel 11). Gangguan yang sama memberikan dampak yang berbeda pada terumbu karang dengan indeks yang berbeda. Semakin tinggi indeks resiliensi semakin besar pula dampak penurunan indeks (R2 = 0.994, F = 332.692, P < 0.01). Hubungan kedua peubah tersebut menghasilkan persamaan regresi yang dapat digunakan untuk membuat prediksi dampak gangguan, Ŷ = -0.694 + 1.323X, dimana Ŷ=dampak gangguan atau besar penurunan indeks dan X=indeks resiliensi awal (sebelum gangguan).
Tabel 11 Indeks resiliensi dan pemulihan terumbu karang. Dampak gangguan diukur sebagai besarnya penurunan indeks. Laju pemulihan relatif dihitung berdasarkan besar indeks awal. Keterangan: *sebagai pencilan.
Transek
Benete 1 Benete 2 Benete 3 Tanjung Amat 1 Tanjung Amat 2* Maluk*
Indeks resiliensi awal 0.675 0.924 0.641 0.581 0.288 0.479
Dampak gangguan
Waktu pulih
0.188 0.535 0.142 0.094 0.032 0.044
5.5 3.0 5.0 4.5 0.5 1.0
(tahun)
Laju pemulihan per tahun Indeks Relatif (%) resiliensi 5.41 0.037 19.56 0.181 4.20 0.027 4.20 0.024 71.82 0.207 37.28 0.178
Pemulihan terumbu karang pasca gangguan dapat diukur dari pemulihan indeks resiliensi. Dengan menentukan kondisi awal adalah data pengamatan bulan April 1997 dan kondisi setelah gangguan adalah data bulan September 1998, maka waktu pemulihan ke kondisi indeks sebelum gangguan bervariasi antara 3.0 sampai 5.5 tahun (Tabel 11). Pemulihan indeks juga dapat dihitung sebagai
89 pemulihan relatif, yang dibandingkan dengan nilai awal indeks sebelum gangguan, dan pemulihan absolut, yaitu pertambahan nilai indeks dalam waktu tertentu. Di antara kedua macam pemulihan indeks, nilai pemulihan absolut lebih mudah digunakan di dalam pengelolaan. Pada terumbu karang dengan indeks resiliensi sangat baik (Benete 2) pemulihan dapat terjadi pada laju 0.178 per tahun. Pada terumbu karang dengan indeks kategori baik (Benete 1, Benete 3, Tanjung Amat 1) mempunyai laju pemulihan 0.024-0.037 per tahun. Secara umum, laju pemulihan indeks absolut berkaitan dengan besar indeks resiliensi awal, kecuali di Maluk dan Tanjung Amat 2 yang menunjukkan dampak gangguan yang kecil (Gambar 22). Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi terbesar mengalami laju pemulihan paling cepat. Terdapat hubungan regresi yang signifikan antara indeks resiliensi awal dengan laju pemulihan indeks (R2 = 0.959, F = 46.994, P < 0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi awal dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan (indeks per tahun), dengan model persamaan regresi Ŷ = -0.280 + 0.492X, dimana Ŷ=laju pemulihan indeks dan X=indeks resiliensi awal (sebelum gangguan). Penurunan drastis indeks resiliensi yang terjadi pada tahun 1998 juga bersamaan dengan penurunan tutupan karang (Gambar 23). Di transek Benete 1, Benete 2, Benete 3, dan Tanjung Amat 1, tutupan karang mengalami penurunan yang besar dalam kurun waktu April 1997 sampai September 1998. Hal ini memperkuat keterkaitan antara penurunan indeks dengan kematian masal karang akibat pemutihan karang. Rekaman suhu air laut yang tersedia, sayangnya, tidak meliputi kurun waktu tersebut sehingga tidak ada data suhu air laut di Selat Alas yang mendukung dugaan terjadinya peristiwa pemutihan karang akibat suhu tinggi yang ekstrim, yang menyebabkan kematian karang secara masal. Rekaman suhu air laut yang tersedia dalam kurun waktu September 1999-September 2007 menunjukkan tidak adanya suhu air laut yang ekstrim tinggi (Gambar 24). Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi tutupan karang sebesar >10% di Benete 1 dan Benete 2 (Gambar 23) dalam kurun waktu delapan tahun (1999-2007) tidak berhubungan dengan kematian karang yang berkaitan dengan bencana pemutihan karang.
90
Gambar 23 Dinamika tutupan karang pada 6 transek di lokasi penelitian, dalam kurun waktu April 1997 sampai April 2010. Pengambilan data dilakukan setiap enam bulan sekali.
Gambar 24 Rekaman suhu air laut bulanan di Teluk Benete, dalam periode September 1999-September 2007. Sebagaimana indeks resiliensi, tutupan karang awal juga berkaitan dengan besarnya dampak gangguan. Terumbu karang yang mempunyai tutupan karang lebih tinggi cenderung mengalami dampak yang lebih besar dari gangguan yang besarnya sama (Tabel 12). Hubungan regresi kedua peubah tersebut signifikan (R2 = 0.930, F = 26.714, P < 0.05). Model persamaan regresi yang dapat memprediksi dampak gangguan dari tutupan karang adalah Ŷ = -25.485 + 1.156X, dimana
91 Ŷ=dampak gangguan atau penurunan tutupan karang dan X=tutupan karang awal (sebelum gangguan). Dua transek, yaitu Tanjung Amat 2 dan Maluk, tidak mengalami dampak gangguan, karena tidak mengalami penurunan tutupan karang. Berbeda dengan indeks resiliensi, tutupan karang awal tidak mempunyai hubungan regresi yang signifikan dengan laju pemulihan tutupan karang (R2 = 0.572, F = 2.678, P > 0.05). Terumbu karang di Benete 3 dan Tanjung Amat 1 yang mempunyai tutupan karang hampir sama mengalami pemulihan dengan laju yang sangat berbeda (Tabel 12). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tutupan karang tidak dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang.
Tabel 12 Tutupan karang dan pemulihan terumbu karang di Sumbawa Barat. Dampak gangguan diukur sebagai besarnya penurunan tutupan karang. Laju pemulihan relatif dihitung berdasarkan besar tutupan awal.
Transek
Benete 1 Benete 2 Benete 3 Tanjung Amat 1 Tanjung Amat 2* Maluk
Tutupan karang awal (%) 40.60 71.36 30.88 30.52 1.48 15.04
Dampak gangguan (%) 18.35 57.51 18.33 3.87 Ta** Ta
Waktu pulih (tahun)
2.0 4.0 4.0 4.5 Ta Ta
Laju pemulihan per tahun Tutupan Relatif (%) karang (%) 23.71 9.63 20.41 14.56 32.26 9.96 4.48 1.37 Ta Ta Ta Ta
* Sebagai data pencilan. **Ta= tidak ada dampak, karena selisih antara kedua pengamatan negatif atau tutupan karang bertambah. Pemulihan tutupan karang dapat berlangsung sangat cepat di Sumbawa Barat. Laju pemulihan absolut atau pertambahan tutupan karang berkisar antara 1.37-14.56 % per tahun. Kecepatan pemulihan dalam bentuk pertambahan tutupan karang tertinggi terjadi di Benete 2 (Tabel 12). Laju terrendah terjadi di Tanjung Amat 1, yang disebabkan oleh gangguan lokal. Di lokasi tersebut, dampak gangguan tahun 1998 kecil, tutupan karang turun 3.87%. Setahun kemudian, tutupan karang sudah hampir pulih, yaitu 28.75%. Tutupan karang kemudian secara kontinyu turun 1.5 tahun sesudahnya sehingga pemulihan dari dampak gangguan tahun 1998 tertunda lama.
92 5.3.2 Pemulihan dalam skala puluhan kilometer Hasil analisis MDS pada indeks resiliensi menunjukkan bahwa terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat mempunyai perbedaan yang sangat besar antara April 1997 dan September 1998, yang menunjukkan adanya dampak gangguan (Gambar 25). Pemulihan terumbu karang dinilai berdasarkan kondisi sebelum gangguan, yaitu April 1997. Gambar 25 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu September 1998 sampai September 2000, indeks resiliensi terumbu karang berbeda jauh dari indeks resiliensi pada waktu pengamatan yang lainnya.
Gambar 25 Hasil analisis MDS terhadap indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat. Dengan mengacu pada kondisi sebelum gangguan adalah April 1997, maka kondisi indeks resiliensi yang paling dekat dengan kondisi sebelum gangguan adalah September 2003. Jika dampak gangguan pada indeks resiliensi terjadi pada pengamatan September 1998, dan kondisi pada bulan September 2003 dianggap sebagai pulihnya terumbu karang di Sumbawa Barat, maka waktu yang diperlukan adalah 5.0 tahun.
93 Dinamika rata-rata indeks resiliensi menunjukkan pola yang sama dengan hasil MDS. Pada bulan September 1998 terumbu karang mengalami penurunan rata-rata indeks (±SE) menjadi 0.426±0.038 dari sebelumnya 0.598±0.086 pada bulan April 1997 (Gambar 26). Di Kabupaten Sumbawa Barat rata-rata indeks memiliki ragam yang sangat besar sehingga sulit mengukur laju pemulihan dengan ketepatan (presisi) yang sedang. Jika ragam tersebut diabaikan, maka pemulihan indeks resiliesi terjadi pada bulan September 2003, ketika rata-rata indeks mencapai 0.649±0.075. Pemulihan rata-rata indeks tersebut membutuhkan waktu 5.0 tahun. Dengan galat baku yang sangat besar, laju pemulihan indeks rata-rata ini sekitar 0.051 per tahun.
Gambar 26 Dinamika rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat, April 1997 sampai April 2010. Analisis MDS pada tutupan karang menunjukkan pola yang serupa dengan indeks resiliensi. Tutupan karang pada kurun waktu September 1998 sampai April 2000 berada dalam kelompok yang sama, sebagai petunjuk bahwa pada kurun waktu tersebut terumbu karang sedang mengalami proses pemulihan akibat gangguan yang besar (Gambar 27). Kedekatan posisi titik April 1997 dengan September 2002 menunjukkan dekatnya persamaan tutupan karang di keenam transek antara sebelum dan sesudah gangguan, yang dapat diinterpretasikan
94 sebagai telah terjadinya pemulihan terumbu karang, dalam waktu 4 (empat) tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan tutupan karang sebagai ukuran pemulihan terumbu karang memberikan hasil yang lebih cepat daripada pemulihan indeks resiliensi.
Gambar 27 Hasil analisis MDS terhadap tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat. Dinamika rata-rata tutupan karang menunjukkan secara jelas adanya penurunan tutupan karang yang besar pada waktu antara tahun 1997 sampai 1998 (Gambar 28). Dampak dari gangguan tahun 1998 adalah terjadinya penurunan rata-rata (±SE) tutupan karang 12.72%, dari 31.65±9.38% (April 1997) menjadi 16.12±3.15% (September 1998). Proses pemulihan tutupan karang sudah terlihat enam bulan berikutnya. Tingginya ragam membuat definisi pemulihan tutupan karang menjadi kurang jelas. Secara umum, pemulihan tutupan karang berlangsung lebih cepat daripada pemulihan indeks resiliensi terumbu karang. Rata-rata tutupan karang tersebut telah kembali mencapai 28.84±4.37%, atau 91% dari tutupan karang sebelum
95 gangguan, pada bulan April 2000. Pada kondisi ini, laju pemulihan rata-rata tutupan karang 8.48% per tahun. Jika pemulihan tutupan karang didefinisikan mencapai kondisi yang sama atau melewati tutupan sebelum gangguan, maka pemulihan tutupan karang baru terjadi pada bulan September 2002, ketika ratarata tutupan karang mencapai 35.06±9.83%. Pemulihan tutupan karang terjadi dalam 4 (empat) tahun, dengan laju rata-rata 4.73% per tahun.
Gambar 28 Dinamika rata-rata (±1SE) tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat, tahun 1997-2010.
5.4 Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi dapat digunakan untuk menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang juga dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang, dalam skala puluhan meter. Sebagai pembanding, tutupan karang dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan, tetapi tidak dapat untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi merupakan alternatif penilaian pemulihan terumbu karang, yang lebih lengkap daripada tutupan karang. Pemulihan terumbu karang tercatat lebih lama jika dinilai dari indeks resiliensi dibandingkan dengan tutupan karang. Di Kabupaten Sumbawa Barat
96 pemulihan terumbu karang antara keduanya berbeda satu tahun. Penggunaan peubah tutupan karang sebagai indikator pemulihan terumbu karang dianggap tidak lagi memuaskan tujuan pengelolaan (Mumby & Harborne 2010; Graham et al. 2011). Hasil penelitian ini menyediakan alternatif untuk menggunakan indeks resiliensi sebagai acuan dalam menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang telah mengandung sejumlah peubah-peubah yang penting dalam resiliensi terumbu karang, sebagaimana yang diharapkan oleh Graham et al. dan juga peneliti lainnya. Gangguan pemutihan karang tahun 1998 membawa dampak penurunan indeks yang bervariasi sebesar 0.032-0.535. Tingkat penurunan indeks ini dapat menjadi acuan dampak dari suatu gangguan pemutihan karang yang sangat besar, karena terjadi secara global. Penggunaan indeks dalam pengukuran dampak gangguan belum pernah dilakukan sehingga tidak ada pembanding dari hasil penelitian lainnya. Indeks resiliensi yang digunakan di dalam penelitian ini terbukti tidak berselingkupan
dengan
resistensi,
yaitu
kemampuan
ekosistem
untuk
mempertahankan strukturnya dari gangguan. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa semakin tinggi indeks semakin besar pula kecenderungannya mengalami dampak yang lebih besar dari gangguan yang sama. Holling (1973) memberikan contoh populasi yang resiliensinya tinggi adalah hama tanaman pertanian. Ketika terjadi gangguan, populasi tersebut berkurang sangat cepat, demikian pula laju pemulihannya. Menguji kemampuan indeks resiliensi untuk memprediksi pemulihan ekosistem dari gangguan tunggal tidak mudah dilakukan di alam terbuka. Secara alami terumbu karang mengalami banyak gangguan dengan berbagai skala (Adjeroud et al. 2009), sehingga pemulihan setelah gangguan yang diteliti mendapat tambahan beban dari gangguan sesudahnya. Dengan demikian pemulihan ekosistem yang diteliti tidak hanya dari satu gangguan melainkan multi-gangguan yang sulit diprediksi. Fluktuasi indeks setelah tahun 1998 dapat dianggap sebagai indikasi terjadinya gangguan-gangguan kecil dalam kurun waktu tersebut, disamping faktor-faktor lainnya, misalnya perbedaan pengambil data.
97 Kedekatan hubungan antara indeks resiliensi dengan laju pemulihan ekosistem dapat diteliti secara eksperimental. Peristiwa pemutihan karang yang terjadi pada tahun 2010, merupakan awal yang baik untuk melakukan eksperimen alami dan mendapatkan hubungan regresi antara keduanya. Penggunaan data sekunder sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini merupakan langkah awal untuk membuat indeks resiliensi dan melihat hubungannya dengan pemulihan terumbu karang. Indeks yang dihasilkan telah terbukti dapat digunakan untuk mengukur pemulihan terumbu karang. Berdasarkan data yang tersedia kita dapat membuat ramalan secara kasar lama pemulihan terumbu karang. Dengan menggunakan nilai laju pemulihan rata-rata tersebut, kita dapat memperkirakan waktu yang diperlukan oleh terumbu karang untuk mencapai nilai indeks resiliensi yang sama dengan sebelum gangguan. Laju pemulihan indeks yang dihitung di dalam penelitian ini adalah laju pertambahan nilai indeks ketika terumbu karang baru saja mengalami gangguan. Laju pertambahan indeks tersebut dapat berbeda dengan perubahan indeks yang merupakan fluktuasi musiman atau tahunan. Dibandingkan dengan perubahan rata-rata indeks temporal di lokasi COREMAP yang dibahas pada bab 4, rata-rata laju peningkatan indeks resiliensi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat (0.051 per tahun) masih dalam kisaran rata-rata laju pertambahan indeks di Kabupaten Nias Selatan, yang merupakan laju tertinggi di wilayah COREMAP. Di Nias Selatan laju pemulihan rata-rata indeks resiliensi 0.044 dan 0.066 per tahun. Baik di Sumbawa Barat maupun Nias, keduanya adalah terumbu karang yang sedang mengalami proses pemulihan. Dengan demikian nilai pertambahan indeks 0.044 sampai 0.066 dapat dijadikan sebagai acuan laju pemulihan terumbu karang setelah mengalami gangguan. Di dalam proses pemulihan, rekolonisasi suatu ekosistem dapat terjadi dengan cepat pada ruang kosong yang terbuka akibat dampak gangguan. Di the Great Barrier Reef (GBR), Australia, pertambahan tutupan karang lebih cepat pada terumbu yang mengalami gangguan pemangsaan bintang laut duri seribu (COT, crown of thorns) daripada yang tidak terganggu (Lourey et al. 2000). Pada terumbu karang yang terserang COT, di GBR selatan, pertambahan tutupan karang 4% per tahun, dan hanya 2% pada terumbu yang tidak terserang COT.
98 Pertambahan tutupan karang (COC) yang terjadi lewat rekruitmen secara teoritis juga akan diikuti dengan jumlah koloni kecil (CSN), dan mungkin sekali juga oleh pertambahan jumlah kelompok fungsional CFG. Ketiga peubah tersebut akan meningkatkan nilai indeks resiliensi terumbu karang. Jika kolonisasi terumbu tersebut memiliki perimbangan yang baik antara karang massif dan submasif dengan karang Acropora, maka peningkatan indeks akan lebih cepat lagi karena terjadi peningkatan nilai CHQ. Pemulihan tutupan karang di Sumbawa Barat dapat berjalan dengan laju yang sangat cepat. Kecepatan pertambahan tutupan karang pada transek tunggal di Benete 2 mencapai 14.56% per tahun. Laju pemulihan rata-rata tutupan karang adalah 4.73 % per tahun di Sumbawa Barat. Laju rata-rata tersebut relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Tomascik et al. (1996) di bagian utara Pulau Gunung Api, Kepulauan Banda, yang mempunyai tutupan ratarata 61.6% dalam lima tahun. Laju peningkatan tutupan karang rata-rata di Banda tersebut merupakan laju pada masa pemulihan. Di Banda pemulihan karang terjadi di atas batu bekuan lava dari letusan Gunung Api. Kecepatan pertambahan tutupan karang tersebut sekitar 12.21% per tahun. Di Sumbawa Barat, laju pemulihan tutupan karang hampir sama dengan laju pemulihan di GBR yang dilaporkan Lourey et al. (2000), yaitu sekitar 4% pada terumbu karang yang telah mengalami gangguan. Pertambahan tutupan karang yang tinggi biasanya berkaitan dengan karang Acroporidae. Di GBR, median pertambahan tutupan karang famili Acroporidae 11% per tahun, sedangkan famili lainnya 2-3% per tahun (Thompson & Dolman 2010). Waktu pemulihan tutupan karang setelah kematian masal akibat pemutihan (bleaching) juga termasuk sangat cepat di Sumbawa Barat, dengan rentang waktu 2.0-4.5 tahun, dengan waktu pemulihan rata-rata 4.0 tahun. Pemulihan tutupan karang yang dilaporkan sangat cepat di Fiji dalam waktu 5 (lima) tahun, setelah kematian masal tahun 2000 (Lovell & Sykes 2008), dan di Ishigaki Island, Jepang, dalam waktu 4-6 tahun, setelah kematian masal karang tahun 1998 (Ohba et al. 2008). Ketiga kematian masal tersebut akibat dari pemutihan karang terkait peningkatan suhu yang ekstrim tinggi. Di GBR Australia, pemulihan tutupan karang dari gangguan pemangsaan COT berkisar antara 10-25 tahun (Lourey et al.
99 2000), sedangkan di Moorea, Society Islands pemulihannya 21 tahun (Berumen & Pratchet 2006). Pemulihan terumbu karang sangat tergantung pada dampak gangguan pada terumbu tersebut. Pembandingan waktu pemulihan saja tidak cukup untuk membuat kesimpulan tanpa melihat dampak gangguan. Keempat penelitian tersebut tidak mencantumkan data dampak gangguan dalam bentuk angka persentase penurunan tutupan karang. Dampak gangguan seringkali didiskripsikan dalam bentuk persentase karang yang mati atau yang memutih. Di terumbu karang Indonesia, pemulihan tutupan karang dapat lebih lambat daripada yang ditemukan di Sumbawa Barat. Di Kepulauan Seribu, pemulihan tutupan karang baru mencapai 50% dalam waktu lima tahun, dari gangguan pemutihan karang tahun 1983 (Brown & Suharsono 1990). Brown dan Suharsono menyajikan data tutupan karang awal sehingga dampak gangguan berupa penurunan tutupan karang dapat dihitung, yaitu 18-25%. Pemulihan tutupan karang di Kepulauan Seribu juga sulit dibandingkan dengan di Sumbawa Barat, karena proses pemulihan belum mencapai tingkat tutupan yang sama dengan sebelum gangguan. Secara teoritis, tingkat resiliensi suatu ekosistem berkurang dengan adanya tekanan dan gangguan. Jika tekanan dan gangguan tersebut demikian besar sehingga melewati nilai kritis (ambang) perubahan ekosistem, maka terjadilah pergantian fase atau rejim (Scheffer et al. 2002). Di dalam penelitian ini, nilai indeks resiliensi sebesar 0.288, misalnya di Tanjung Amat 2, masih belum merupakan titik kritis pergantian fase. Jika nilai kritis pergantian fase terlewati, indeks resiliensi terumbu karang tersebut tidak dapat kembali lagi ke arah yang lebih baik. Pergantian fase dari dominansi karang ke dominansi makroalgae merupakan sesuatu yang langka pada terumbu karang di Indonesia. Kejadian pergantian fase yang dilaporkan oleh Hughes (1994) memang banyak dianggap sebagai kejadian yang khusus (Bruno et al. 2009; Mumby 2009; Adjeroud et al. 2009), yang sulit ditemukan di lokasi lain. Sampai sekarang, definisi dari komunitas yang didominasi makroalgae juga masih belum jelas (Mumby 2009). Jika pergantian fase didefinisikan sebagai terumbu karang yang memiliki tutupan makroalgae di
100 atas 50% (Bruno et al. 2009), maka hanya 0.008% peluangnya terjadi di Indonesia (bab 4). Secara umum dapat dilaporkan bahwa dengan menggunakan indeks resiliensi terumbu karang kita dapat mengukur laju pemulihan terumbu karang. Pengukuran pemulihan dengan SARCC (Mumby & Harborne 2010) tidak dapat diperbandingkan karena perbedaan data, metode, dan tujuan penelitian. Penelitian lebih lanjut untuk membandingkan keduanya sangat penting dalam pencarian metode penilaian terumbu karang yang lebih praktis dan akurat. Di Sumbawa Barat, kurangnya replikasi atau cuplikan dapat membuat nilai perubahan indeks atau laju pemulihan terumbu karang menjadi berlebihan (overestimate) atau kekurangan (underestimate). Laju pemulihan indeks resiliensi yang sangat cepat dapat terjadi pada individu transek yang memiliki kondisi ideal. Jika pengamatan dilakukan dengan replikasi yang lebih banyak maka laju pemulihan yang ekstrim tinggi akan tereduksi di dalam laju pemulihan rata-rata, sehingga akan menjadi lebih meyakinkan. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menggunakan indeks resiliensi untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi secara umum waktu pemulihan terumbu karang yang dapat diharapkan ketika pengelolaan berjalan efektif. Metode penilaian resiliensi dari Obura dan Grimsditch (2009) dan Maynard et al. (2010) belum digunakan sampai sejauh indeks resiliensi di dalam penelitian ini.
5.5 Kesimpulan Indeks resiliensi terumbu karang yang dikembangkan di dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menilai pemulihan terumbu karang, serta memprediksi besarnya dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang. Di Sumbawa Barat kematian masal akibat pemutihan karang pada tahun 1998 membawa dampak pada penurunan indeks sebesar 0.094-0.535. Pemulihan indeks resiliensi terumbu karang dari gangguan tersebut membutuhkan waktu 5.0 tahun. Laju pemulihan indeks 0.044-0.066 per tahun dapat menjadi acuan prakiraan pada terumbu karang yang baru mengalami gangguan kematian karang secara masal.
101 Di Kabupaten Sumbawa Barat, dampak gangguan akut langsung terhadap indeks resiliensi terumbu karang dapat diprediksi dengan model persamaan regresi Ŷ = -0.693 + 1.323X, dimana X adalah indeks resiliensi awal (sebelum gangguan). Indeks resiliensi ini juga dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang (indeks per tahun), dengan menggunakan model persamaan regresi Ŷ = -0.280 + 0.492X, dengan X adalah indeks resiliensi awal. Ketepatan prediksi dari indeks resiliensi ini sangat penting diuji di dalam kondisi yang berbeda dari kondisi di bagian timur Selat Alas (Kabupaten Sumbawa Barat), agar dapat digeneralisasikan pada wilayah yang lebih luas.
102
103
6 PEMBAHASAN UMUM
6.1 Indeks Resiliensi Terumbu Karang Secara umum penelitian ini telah menghasilkan sebuah indeks yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat resiliensi terumbu karang. Indeks resiliensi tersebut merupakan cara baru untuk mengenali aspek penting lain dari kondisi terumbu karang, yang mengintegrasikan pentingnya tutupan karang, kualitas habitat, keanekaragaman kelompok fungsional, dan rekruitmen, serta ketersediaan substrat dan pesaing karang ke dalam sebuah angka tunggal. Indeks resiliensi terumbu karang ini merupakan kebaruan (novelty) di dalam ekologi terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang ini dibuktikan dapat digunakan untuk membandingkan tingkat resiliensi terumbu karang antar kabupaten dan antar wilayah (Indonesia Barat dan Timur). Dengan menggunakan indeks resiliensi ini kita dapat memetakan tingkat resiliensi terumbu karang secara nasional, dalam skala puluhan atau ribuan kilometer. Dengan adanya peta tersebut kita dapat melakukan prioritas pengelolaan secara nasional. Terumbu karang dengan tingkat resiliensi lebih tinggi sebaiknya lebih tinggi pula prioritasnya di dalam pengelolaan. Indeks ini juga dapat membantu untuk membedakan resiliensi terumbu karang di tingkat mikro, yaitu perbandingan antar stasiun (lokasi), dan makro, yaitu antar kabupaten atau proponsi dalam skala ratusan atau ribuan kilometer. Secara temporal, indeks ini berpotensi untuk digunakan memprediksi laju pemulihan terumbu karang. Regresi antara indeks resiliensi awal dengan laju pertambahan indeks terbukti signifikan. Berdasarkan model persamaan regresi dapat diprediksi berapa besar laju pemulihan indeks atau laju pertambahan indeks per tahun. Laju pertambahan indeks pada masa pemulihan lebih besar daripada masa fluktuatif setelah pemulihan. Persamaan regresi tersebut, sayangnya, masih dihitung berdasarkan data yang kecil, empat transek di satu kabupaten. Generalisasi dari model pemulihan tersebut ke lain kabupaten masih perlu dibuktikan di dalam penelitian berikutnya. Secara alami, terumbu karang memiliki
104 variasi spasial yang tinggi. Tingginya ragam (variance) data di alam menuntut jumlah cuplikan atau sampel yang lebih besar. Sedangkan ketersediaan data pemantauan runut waktu (time series) lebih dari 10 tahun sangat sedikit. Penambahan data runut waktu akan dapat mengurangi pengaruh data yang mempunyai simpangan besar, sehingga kita dapat menggunakan indeks resiliensi untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang dengan presisi yang lebih baik. Penggunaan indeks untuk menilai resiliensi terumbu karang juga sangat praktis, membutuhkan biaya yang standar dan keahlian yang sedang, sehingga dapat dilakukan oleh pengelola terumbu karang di Indonesia. Pengukuran indeks resiliensi dilakukan dengan metode transek garis atau LIT (line intercept transect), sebuah metode yang paling populer dilatihkan dan digunakan di Indonesia, dan negara-negara ASEAN lainnya (Erdinger & Risk 2000). Penghitungan indeks juga tidak membutuhkan statistik multifaktor (multivariate) sebagaimana indeks yang dikembangkan Obura dan Grimsditch (2009). Penghitungan indeks dapat dilakukan dengan perangkat lunak yang sangat umum, misalnya MS Excell atau Lotus. Diperkirakan terdapat lebih dari 1000 orang di Indonesia yang telah mendapat pelatihan metode penilaian terumbu karang (MPTK) dengan metode transek garis sebagaimana yang dibakukan di dalam English et al. (1994). Sebagian besar kabupaten di Indonesia diperkirakan dapat melakukan penilaian indeks resiliensi pada terumbu karang di kawasan masingmasing. Rumus penilaian indeks resiliensi dapat dengan mudah disesuaikan dengan panjang transek yang berbeda. Di dalam penelitian ini, indeks dihitung berdasarkan panjang transek garis 10 meter. Penggunaan panjang transek yang lain dapat digunakan dengan modifikasi pada nilai maksimum peubah indikator CSN (coral small-size number), karena hanya CSN yang nilai maksimumnya ditentukan oleh data lapang. Lima peubah lainnya nilai maksimumnya secara teoritis sudah tidak dapat bertambah lagi. CSN merupakan peubah yang aditif (additive) sehingga semakin panjang transek semakin banyak pula nilai CSN. Jika panjang transek garis yang digunakan dua kali lipat, atau 20 meter, maka nilai CSN maksimum yang dimasukkan ke dalam rumus adalah 2 x 25 koloni menjadi
105 50 koloni. Cara penyesuaian yang sama juga berlaku pada transek dengan panjang yang lain, misalnya transek 30 dan 50 meter mempunyai nilai maksimum CSN berurutan 75 dan 125 koloni. Indeks resiliensi yang dikembangkan di dalam penelitian ini nilainya akan menurun dengan adanya tekanan lingkungan atau gangguan. Pembandingan resiliensi terumbu karang secara spasial dengan gradient tekanan lingkungan dan gangguan yang berbeda juga dapat dilakukan secara langsung dengan indeks ini. Terumbu karang yang lebih dekat dengan sungai besar atau pemukiman penduduk akan berpeluang mempunyai indeks resiliensi yang lebih rendah. Rendahnya tutupan karang Acroporidae di perairan dekat daratan (Done 1982) akan memperkecil nilai CHQ dan menurunkan nilai indeks resiliensi. Terumbu karang yang jauh dari pemukiman juga cenderung memiliki indeks resiliensi yang rendah, terutama jika terumbu karang terdapat di lingkungan yang ideal sehingga mempunyai kelimpahan ikan terumbu yang tinggi. Hal ini disebabkan banyaknya gangguan langsung yang akut atau kronis, yaitu penangkapan ikan dengan bahan peledak. Dibandingkan dengan metode penilaian resiliensi yang baru dikembangkan oleh IUCN (Obura & Grimsditch 2009), indeks resiliensi ini jauh lebih praktis. Di dalam buku panduan IUCN tersebut terdapat 6 (enam) protokol untuk menilai dan mengukur 61 peubah, yang menjadi indikator resiliensi terumbu karang. Sebagian data diambil secara semi-kuantitatif dengan skala Likart 1-5, sebagian yang lain secara kuantitatif. Pengambilan data menggunakan bermacam-macam metode, yaitu foto kuadrat atau transek garis, transek sabuk, kuadrat, long swim, dan penilaian individu (personal judgment). Analisis dari data multifaktor tersebut tidak dirinci secara jelas karena diserahkan kepada lembaga yang berpartisipasi di dalam proyek penilaian resiliensi. Dengan pengambilan data yang sangat besar dan sangat kompleks dibutuhkan biaya yang besar dan keahlian yang tinggi. Tidak adanya protokol analisis data di dalam panduan IUCN membuat setiap peneliti dapat melakukan analisis yang berbeda dan menghasilkan angka yang berbeda pula. Dengan demikian, perbandingan resiliensi terumbu karang antar wilayah yang diinginkan oleh panduan tersebut hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang sama, yang dapat menyeragamkan cara analisis data. Sebaliknya,
106 indeks resiliensi di dalam penelitian ini menghasilkan sebuah angka yang dengan mudah dapat digunakan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial (antar lokasi, kabupaten, wilayah, negara) dan temporal. Dengan tersedianya sebuah angka final sebagai angka indeks, peneliti dapat menghitung dugaan rata-rata indeks dan mengetahui galat bakunya. Kompleksitas terumbu karang dan juga kompleksitas konsep resiliensi sendiri memang membutuhkan peubah indikator yang memadai. Walaupun demikian, tidak semua peubah indikator yang secara teoritis penting menunjukkan perbedaan atau variasi antar lokasi. Tidak semua peubah penting mempunyai sumbangan yang signifikan terhadap ragam total. Penggunaan peubah indikator perlu diseleksi dengan membuang peubah yang tidak penting, berdasarkan temuan data di lapang. Jika ada lebih dari satu peubah yang sama pentingnya dan mewakili komponen resiliensi yang sama, maka dapat dipilih yang lebih mudah dan murah pengukurannya. Seleksi peubah indikator tersebut tampaknya belum dilakukan di dalam panduan Obura dan Grimsdith (2009). Buku panduan tersebut baik untuk dilakukan oleh seorang kandidat doktor dengan dukungan dana sponsor lembaga internasional. Walaupun panduan IUCN jauh lebih lengkap dari indeks resiliensi di dalam penelitian ini, penggunaan panduan tersebut diperkirakan akan menemui banyak kesulitan finansial dan keahlian personil di Indonesia . Metode yang dikembangkan oleh Maynard et al. (2010) dapat menjadi pelengkap dari indeks resiliensi di dalam penelitian ini. Maynard dan koleganya menyusun panduan penilaian resiliensi terumbu karang berdasarkan pendapat, pengamatan, dan penilaian dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Hasil dari penilaian tersebut kemudian dijumlahkan menjadi sebuah angka sebagai ukuran resiliensi dari terumbu karang. Peubah yang digunakan sebagai indikator mencakup aspek ekologi, manajemen, dan oseanografi. Metode Maynard tidak mengikutsertakan peubah CFG, CHQ, CSN, dan USS. Indeks resiliensi ekologis yang dikembangkan di dalam penelitian ini dapat menunjang metode penilaian Maynard et al. yang kurang rinci dalam menilai peubah internal dari terumbu karang.
107 6.2 Penggunaan Indeks dalam Pengelolaan Terumbu Karang Tersedianya rumus indeks resiliensi akan mempermudah pengelola terumbu karang dalam mengambil kebijakan dan tindakan pengelolaan. Arah kebijakan pengelolaan dapat lebih difokuskan untuk meningkatkan resiliensi terumbu karang dengan meningkatkan nilai peubah indikator yang bersifat positif dan mengurangi nilai peubah indikator yang bersifat negatif terhadap nilai indeks. Peubah yang bersifat positif atau meningkatkan indeks adalah tutupan karang (COC), jumlah kelompok fungsional atau bentuk tumbuh karang (CFG), kualitas habitat (CHQ), dan jumlah koloni karang ukuran kecil (CSN). Dua peubah lainnya, USS (substrat tidak stabil) dan AOF (tutupan biota alternatif), bersifat negatif terhadap nilai indeks. Kabupaten Sikka, misalnya, memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi paling rendah di kawasan timur Indonesia. Dengan melihat nilai peubah indicator indeks dapat diketahui bahwa terumbu karang di Sikka mempunyai ratarata COC, CFG, dan CSN yang rendah. Tutupan USS juga rendah, sedangkan tutupan AOF sangat tinggi, yaitu rata-rata (±SD) 65.351±25.134%. Kebijakan yang dapat diambil untuk meningkatkan indeks sebaiknya difokuskan untuk mengurangi nilai tutupan AOF serta meningkatkan nilai COC, CFG, dan CSN. Pengkajian lebih lanjut pada data transek garis menunjukkan bahwa komponen AOF yang paling besar adalah tutupan algae berfilamen (turf algae), yaitu ratarata 53.036±25.826%, disusul oleh tutupan fauna lain (OTF) dengan rata-rata sebesar 11.464±13.737%. Rendahnya tutupan makroalgae merupakan indikasi bahwa terumbu karang di Sikka memiliki lingkungan perairan yang belum banyak tercemar nutrient (oligotrofik). Tingginya tutupan algae berfilamen menunjukkan perairan tersebut kekurangan hewan herbivora. Hewan herbivora yang utama adalah ikan-ikan herbivora, disamping hewan Echinoidea. Dengan melihat nilai rata-rata peubah indikator indeks resiliensi tersebut pengelola terumbu karang di Sikka dapat mengambil kebijakan yang lebih tepat. Kebijakan pengelolaan terumbu karang di Sikka sebaiknya diarahkan untuk mengurangi penangkapan ikan. Penangkapan ikan herbivora yang berlebihan biasanya menunjukkan kondisi perikanan yang sudah mengalami tangkap lebih (overfishing). Pada kondisi perikanan yang baik, target penangkapan ikan yang
108 utama adalah ikan karninova karena kelompok ikan tersebut mempunyai harga jual tinggi, misalnya ikan kerapu dan ikan kakap. Setelah kelimpahan ikan karnivora tidak lagi ekonomis dalam penangkapan, maka target penangkapan menurun ke tingkatan trofik di bawahnya yaitu ikan herbivora, misalnya ikan baronang dan ikan kakatua. Rendahnya kelimpahan ikan herbivora biasanya merupakan petunjuk bahwa perikanan di kawasan tersebut tidak lagi berkelanjutan (sustainable). Pengurangan penangkapan ikan herbivora dan penambahan kelimpahan hewan herbivora yang lain (Diadema sp.) dapat mengurangi kelimpahan algae berfilamen. Di kawasan barat Indonesia, Kabupaten Nias Selatan mempunyai terumbu karang dengan indeks resiliensi yang paling rendah. Sebagaimana di Sikka, terumbu karang di Nias juga memiliki nilai COC, CFG, dan CSN yang rendah. Berbeda dengan Sikka, nilai kualitas habitat (CHQ) terumbu karang juga rendah. Di Nias Selatan, nilai USS lebih tinggi daripada di Sikka dengan rata-rata (±SD) 12.081±14.214%. Nilai AOF di Nias Selatan lebih rendah dengan rata-rata 23.825±26.376%, yang sebagian besar berasal dari tutupan algae berfilamen (17.483±24.005%). Nias Selatan juga mempunyai tutupan karang mati (DC, dead coral) dan karang mati yang sudah tertutup algae (DCA, dead coral algae) yang tinggi dengan rata-rata 34.661±28.664%. Tutupan makroalgae dan algae berfilamen yang rendah menunjukkan perairan di Nias Selatan mempunyai nutrient yang rendah dengan kelimpahan hewan herbivora yang cukup untuk mengendalikan tutupan algae. Rendahnya COC, CFG, dan CSN merupakan akibat dari kematian karang secara masal, yang ditunjukkan oleh DC dan DCA yang tinggi. Rendahnya nilai CHQ yang disebabkan rendahnya tutupan karang Acroporidae (0.919%) menunjukkan bahwa kematian masal tersebut bersifat selektif yang menyerang karang Acroporidae. Upaya peningkatan resiliensi terumbu karang di Nias Selatan lebih tepat dimaksudkan untuk meningkatkan nilai COC, CFG, dan CSN. Dengan melihat kondisi yang ada, yaitu nutrient rendah, kelimpahan ikan herbivora cukup, serta tutupan pasir dan lumpur yang sedang; maka pemulihan terumbu karang secara alami masih dapat diharapkan di Nias Selatan. Rendahnya nilai CSN di Nias Selatan tidak berarti bahwa suplai larva karang atau rekruitmen karang rendah,
109 melainkan lebih disebabkan oleh kematian masal karang yang baru saja terjadi (DC dan DCA tinggi). Pengelolaan terumbu karang sebaiknya lebih banyak diarahkan untuk menjaga terumbu karang dari penyebab kerusakan yang insani, agar resiliensi terumbu karang dapat pulih kembali secara alami. Intervensi atau kebijakan pengelolaan yang dapat diperoleh dari indeks sangat tergantung dari kondisi terumbu karang. Terumbu karang yang indeks resiliensinya rendah, dengan tutupan karang (COC) yang rendah, dapat memiliki USS yang tinggi atau AOF yang tinggi. Kedua kondisi tersebut membutuhkan kebijakan yang berbeda (Tabel 13). Pada terumbu karang yang memiliki USS tinggi, penambahan susbtrat atau terumbu buatan dapat meningkatkan CSN, CFG, dan CHQ sekaligus mengurangi USS. Reef BallTM telah dibuktikan dapat meningkatkan tutupan dan rekruitmen karang (Bachtiar & Prayogo 2010). Hasil yang sama juga dilaporkan pada penggunaan terumbu buatan yang lain, misalnya Eco-block (Maekouchi et al. 2008), atau balok beton biasa (Bachtiar 2003a).
Tabel 13 Kebijakan pengelolaan untuk meningkatkan indeks resiliensi terumbu karang. Persoalan 1) AOF tinggi
2) USS tinggi 3) COC rendah
4) CHQ rendah
5) CFG rendah
Kondisi Turf algae tinggi Makroalgae tinggi Karang lunak tinggi Pasir dan lumpur tinggi AOF dan USS rendah AOF dan USS tinggi Acroporidae rendah Karang masif submasif rendah Acroporidae rendah Karang masif submasif rendah
Intervensi (kebijakan) herbivori ditingkatkan nutrien dikurangi, herbivori ditingkatkan pembersihan karang lunak terumbu buatan transplantasi karang Lihat 1) dan 2). pengurangan sumber sedimen terumbu buatan Lihat 4). Lihat 4).
Penggunaan indeks resiliensi untuk penentuan prioritas pengelolaan terumbu karang perlu dilengkapi dengan informasi tentang batas kedalaman pertumbuhan karang. Batas kedalaman karang tersebut memang tidak berkaitan langsung dengan resiliensi terumbu karang, sehingga tidak dapat dimasukkan ke
110 dalam rumus indeks resiliensi. Batas kedalaman tersebut merupakan faktor penting yang sering dilupakan di dalam banyak survei terumbu karang. Batas kedalaman pertumbuhan karang dapat menunjukkan kondisi perairan dan masa depan terumbu karang. Di kawasan perairan Kepulauan Riau, misalnya, banyak terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi tinggi dan tutupan karang yang tinggi pula. Sebagian besar terumbu karang di kawasan ini memiliki batas kedalaman maksimal pertumbuhan karang kurang dari 5 (lima) meter. Hal ini sangat berbeda dengan terumbu karang di Wakatobi yang mempunyai batas kedalaman maksimum pertumbuhan karang sekitar 30 meter. Jika indeks resiliensi tersebut digunakan bersama-sama dengan faktor batas kedalaman pertumbuhan karang, maka akan dapat diperoleh informasi yang lebih lengkap untuk membuat prioritas pengelolaan yang lebih tepat. Solusi dari perbedaan indeks resiliensi pada kedalaman yang berbeda adalah dengan menetapkan sebuah kedalaman baku untuk penilaian indkes resiliensi terumbu karang. Jika penilaian indeks resiliensi dilakukan pada kedalaman 10 meter, maka sebagian besar transek di kabupaten Bintan dan Batam akan memiliki indeks yang sangat rendah, karena pada kedalaman tersebut sebagian besar lokasi memiliki tutupan pasir dan lumpur (USS) yang sangat tinggi. Dengan menggunakan kedalaman baku ini, akan terlihat bahwa Paparan Sunda yang memiliki terumbu karang paling muda juga memiliki indeks resiliensi yang lebih rendah daripada terumbu karang yang lebih tua, misalnya Wakatobi dan Raja Ampat. Solusi ini hanya untuk membedakan nilai konservasi antara terumbu karang dengan menggunakan indeks resiliensi, bukan metode baku penilaian indeks. Penilaian indeks resiliensi sendiri dapat dilakukan pada semua kedalaman. Faktor sosial dan pengelolaan juga sangat penting untuk melengkapi indeks resiliensi ekologis yang dikembangkan di dalam penelitian ini. Metode penilaian resiliensi terumbu karang yang dikembangkan oleh Maynard et al. (2010) dapat melengkapi indeks resiliensi ekologis ini. Obura dan Grimsditch (2009) juga memasukkan faktor efektivitas pengelolaan dan tekanan penduduk di dalam pengukuran resiliensi terumbu karang. Metode analisis data yang diberikan oleh Maynard et al. jauh lebih praktis daripada statistik multifaktor yang diberikan oleh Obura dan Grimsditch. Penyusunan indeks ini memang untuk mengenali kondisi
111 ekologis ekosistem terumbu karang. Penggunaan indeks untuk pengelolaan membutuhkan juga faktor sosial, sehingga indeks ini perlu disinergikan dengan indeks yang lainnya. Indeks resiliensi ini mempunyai potensi atau kemungkinan untuk dapat digunakan di seluruh dunia. Indeks resiliensi tersebut dibuat dengan referensi kondisi ideal terumbu karang di Indonesia. Perairan laut Indonesia merupakan salah satu kawasan dengan terumbu karang terbaik di dunia. Kawasan Raja Ampat dan Wakatobi, misalnya, memiliki keanekaragaman spesies karang yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Papua New Guinea dan the Great Barrier Reef (Pet-Soede & Erdman 2003, 36). Veron (2002) juga memperkirakan bahwa seluruh wilayah Indonesia dan Filipina merupakan pusat keanekaragaman spesies karang tertinggi di dunia, dengan kisaran 500-564 spesies. Dengan asumsi bahwa referensi dari indeks resiliensi ini adalah terumbu karang yang terbaik di dunia, maka indeks tersebut semestinya dapat juga diaplikasikan di semua terumbu karang seluruh dunia. Walaupun demikian, spekulasi ini masih perlu dibuktikan dengan data dari negara-negara yang memiliki terumbu karang terbaik di wilayah tropis, terutama dari negara Filipina. Jika indeks tersebut digunakan utuk membandingkan terumbu karang di perairan Karibia dengan di perairan Indo-Pasifik, misalnya, maka indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Karibia akan jauh lebih kecil daripada yang di IndoPasifik. Tutupan karang umumnya kecil di kawasan Karibia, pada tahun 20012005 tutupan karang di bawah 30% kecuali Teluk Mexico 58% (Schutte et al. 2010). Jumlah kelompok fungsional karang di kawasan ini juga lebih rendah daripada di Indo-Pasifik (Bellwood et al. 2004). Perbedaan kondisi terumbu karang
ini
menimbulkan
pertanyaan
tentang
perlunya
setiap
kawasan
menggunakan referensi indeks tersendiri. Perbandingan tingkat resiliensi terumbu karang antar kawasan membutuhkan referensi yang sama. Dengan menggunakan indeks resiliensi ini, yang disusun dengan referensi kondisi terumbu karang Indonesia, perbandingan antara kedua kawasan dengan kondisi lingkungan yang berbeda tersebut dapat dilakukan. Jika ternyata kedua kawasan memiliki pola perubahan temporal indeks yang berbeda, maka perlu dilakukan perbedaan di
112 dalam interpretasi indeks, sedangkan nilai indeks tetap dihitung menggunakan rumus atau terumbu karang acuan yang sama. Penilaian resiliensi terumbu karang yang dilakukan dengan data transek garis, sebagaimana indeks resiliensi dalam disertasi ini, perlu dilengkapi dengan pengukuran faktor lingkungan. Kualitas perairan terumbu karang, misalnya, sudah dimasukkan ke dalam indeks melalui peubah kualitas habitat (CHQ). Kelimpahan karang Acropora dianggap mencerminkan perairan yang jernih dan jauh dari tekanan polusi daratan. Meskipun demikian, pengukuran kecerahan air yang menjadi bagian dari kualitas air masih perlu dilakukan, misalnya dengan alat sederhana seperti cakram Sechi. Pengukuran tersebut telah menjadi bagian dari pengukuran faktor lingkungan yang baku dalam penilaian kondisi terumbu karang (Engish et al. 1994). Pengukuran faktor lingkungan yang sama juga diperlukan dalam penilaian resiliensi terumbu karang.
6.3 Kekurangan Indeks dan Arahan Pengembangannya Kekurangan utama dari indeks resiliensi ini adalah disusun dengan asumsi, bahwa terumbu karang tetap mendapatkan suplai larva dengan kuantitas yang cukup setelah gangguan. Pada metode penilaian indeks resiliensi yang lain, data suplai larva diperoleh melalui pendapat pakar (Maynard et al. 2010) dan penilaian pribadi (Obura & Grimsditch 2009). Suplai larva sulit untuk diprediksi, karena larva yang ada sekarang dapat berubah kelimpahannya jika terjadi gangguan pada terumbu karang sumber. Di Indonesia, terumbu karang sumber yang menyuplai larva juga sulit ditentukan karena pemahaman yang masih kurang tentang siklus reproduksi karang dan perilaku arus laut. Karena itu, kedua metode tersebut juga memiliki kelemahan. Penyebaran larva tergantung pada waktu pemijahan dan arus laut. Karang pemijah mempunyai siklus reproduksi setahun sekali. Di Indonesia, siklus reproduksi tersebut belum banyak dipahami. Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemijahan satu populasi karang di Indonesia terentang dalam beberapa bulan, dengan satu puncak pemijahan yang diikuti oleh separuh dari populasi tersebut. Di Selat Lombok bagian timur karang pemijah Acropora cytherea dan A. nobilis memiliki puncak pemijahan bulan Pebruari-Maret, sedangkan karang
113 pemijah Hydnophora rigida mempunyai puncak pemijahan bulan OktoberNopember (Bachtiar 2001). Di perairan Karimun Jawa, karang Acropora aspera memijah pada bulan April (Munasik & Widjatmoko 2004), sedangkan 19 jenis karang lainnya memijah pada bulan Oktober-Nopember (review in Bachtiar 2003b). Kurangnya data tentang reproduksi karang menyebabkan kesulitan memetakan secara makro antara arus larva karang, sehingga dapat diperkirakan terumbu sumber dan terumbu penerima larva. Kekurangan indeks resiliensi yang lain adalah nilai indeks resiliensi belum dapat diinterpretasikan ke dalam kebijakan pengelolaan. Interpretasi dari indeks resiliensi ini masih perlu dikembangkan lagi berdasarkan konsekuensi ekologis dari nilai suatu indeks. Walaupun demikian, kekurangan indeks dalam hal interpretasi bukan monopoli dari indeks resiliensi di dalam penelitian ini. Metode pengukuran resiliensi yang dikembangkan oleh Obura dan Grimsditch (2009) dan Maynard et al. (2010) juga tidak memberikan cara interpretasi indeks maupun cara memprediksi pemulihan terumbu karang, berdasarkan indeks atau nilai indikator yang ditemukan. Indeks resiliensi komunitas tanah, baik yang dikembangkan oleh Orwin dan Wardle (2004) maupun indeks resiliensi yang lain, juga tidak menyinggung masalah laju pemulihan dan penggunaan indeks untuk memprediksi laju pemulihan. Indeks resiliensi di dalam penelitian ini masih lebih maju karena dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan dan dampak gangguan. Pengembangan indeks ini di masa mendatang juga membutuhkan peubah yang dapat menjadi indikator dari rekruitmen karang. Rekruitmen karang merupakan peubah yang sangat penting di dalam pemulihan terumbu karang. Di dalam indeks, rekruitmen diperkirakan berdasarkan jumlah koloni ukuran kecil (CSN). Walaupun secara statistik ukuran panjang transek dapat digunakan untuk memprediksi ukuran koloni karang (Marsh et al. 1984), sehingga jumlah koloni karang ukuran kecil dapat diperkirakan, penghitungan rekruitmen secara langsung akan lebih valid dan akurat. Pada terumbu karang yang sangat padat dengan makrobenthos, rekruitmen karang cenderung berkurang. Tidak ada ruang tersedia untuk penempelan larva. Karena itu, data rekruitmen karang yang penting dalam pemulihan karang adalah potensi rekruitmen, yang biasanya hanya diukur
114 menggunakan substrat penempelan (settlement plate). Dibutuhkan metode lain yang lebih praktis untuk dapat menghitung potensi rekruitmen karang di suatu terumbu karang ketika peneliti sedang mengambil data di transek garis. Indeks resiliensi ini akan lebih berguna jika dampak gangguan dapat diperkirakan secara kuantitatif. Besar gangguan akut langsung, seperti pemutihan karang karena kenaikan suhu, sudah dapat didefinisikan dalam ukuran derajat minggu panas (DHW, degree heating weeks). Jika terjadi gangguan sebesar 5 DHW, maka dapat diperkirakan akan terjadi pemutihan karang. Jika gangguan suhu tersebut meningkat menjadi sebesar 10 DHW, maka terjadi pemutihan karang yang menyebabkan kamatian masal. Dampak kuantitatif dari gangguan tersebut belum ada rumus penghitungannya. Dampak kuantitatif dapat dihitung menggunakan
penurunan
indeks
resiliensi,
atau
secara
konvensional
menggunakan penurunan tutupan karang. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengembangkan penghitungan besar penurunan indeks jika terjadi pemutihan masal yang disebabkan oleh suatu gangguan suhu sebesar 10 DHW. Pemutihan karang merupakan ancaman kerusakan terumbu karang yang sangat penting (Baker et al. 2008), sehingga merupakan tanggung-jawab para peneliti untuk berupaya menyelamatkan terumbu karang dari bencana tersebut.
115
7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasannya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Indeks resiliensi ekosistem yang dihasilkan di dalam penelitian ini dapat digunakan dalam pengelolaan terumbu karang, misalnya dalam penentuan prioritas pengelolaan, atau penentuan zona di wilayah konservasi. Secara teoritis indeks resiliensi terumbu karang per transek mempunyai nilai minimum 0.000 dan maksimum 2.130. Secara empiris, di perairan Indonesia rata-rata (±SD) indeks per lokasi pengamatan antara 0.067±0.032 sampai 0.976±0.107. 2) Indeks ini juga terbukti dapat membandingkan tingkat resiliensi terumbu karang secara spasial. Terumbu karang di Paparan Sunda memiliki resiliensi lebih tinggi daripada di Paparan Sahul, Sulawesi-Flores, dan Samudra Hindia. Bintan dan Natuna memiliki terumbu karang dengan resiliensi tertinggi di wilayah barat, sedangkan Wakatobi dan Buton tertinggi di wilayah timur Indonesia. 3) Indeks resilensi ini juga dapat digunakan menilai dinamika tingkat resiliensi terumbu karang secara temporal. Pada masa pemulihan, pertambahan rata-rata indeks resiliensi sekitar 0.044-0.066 per tahun, di Indonesia Perubahan indeks yang fluktuatif sebesar 0.015-0.026 dapat terjadi dalam setahun. Di antara peubah yang digunakan di dalam indeks, peubah AOF merupakan peubah yang paling besar fluktuasinya. 4) Indeks resiliensi terumbu karang dapat menjadi alternatif dalam menilai pemulihan terumbu karang. Besarnya dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang (indeks per tahun) dapat diprediksi dari nilai indeks resiliensi awal sebelum terjadinya gangguan. 5) Penilaian indeks resiliensi terumbu karang relatif mudah dan praktis karena didasarkan pada data transek garis atau yang kompatibel dengan metode tersebut.
116 6) Penilaian tingkat resiliensi suatu terumbu karang membutuhkan sejumlah transek yang dapat mewakili kondisi umum terumbu karang tersebut, sedangkan pengukuran indeks dilakukan pada setiap transek.
7.2 Saran-saran 1) Kabupaten Natuna dan Wakatobi perlu mendapatkan prioritas di dalam program pengelolaan terumbu karang nasional, karena memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi yang tinggi dan batas kedalaman pertumbuhan karang yang dalam.. 2) Penggunaan indeks resiliensi di dalam pengelolaan terumbu karang perlu dilengkapi dengan penilaian faktor batas kedalaman maksimal pertumbuhan karang. Faktor batas kedalaman tersebut untuk melengkapi penilaian kondisi terumbu karang, sehingga dapat dibedakan terumbu karang yang memiliki nilai konservasi tinggi dan rendah. 3) Pemantauan terumbu karang yang menggunakan metode selain transek garis perlu menyediakan data tentang ukuran setiap koloni karang, tutupan pasir dan lumpur, selain data yang sudah baku yaitu data tutupan karang dalam 13 kategori bentuk tumbuh (kelompok fungsional), tutupan total algae, dan fauna lain. Dengan penyesuaian data tersebut, maka resiliensi terumbu karang dapat dinilai dengan menggunakan indeks resiliensi terumbu karang. 4) Pengukuran potensi rekruitmen karang (CSN) yang lebih akurat tetapi praktis diperlukan di dalam penggunaan indeks resiliensi terumbu karang. 5) Penggunaan indeks ini secara global masih perlu diuji, terutama dengan data dari terumbu karang Filipina yang memiliki keanekaragaman hayati sama tingginya dengan Indonesia. 6) Penggunaan indeks resiliensi untuk memprediksi pemulihan terumbu karang perlu dikembangkan lebih lanjut dengan jumlah cuplikan yang lebih banyak.
117
DAFTAR PUSTAKA
Adjeroud M et al.. 2009. Recurrent disturbances, recovery trajectories, and resilience of coral assemblages on a South Central Pacific reef. Coral Reefs 28:775-780 Allen GR, Erdmann MV. 2009. Reef fishes of the bird’s head peninsula, West Papua, Indonesia. Check List 5(3): 587–628 Atrigenio MP, Alino PM. 1996. Effects of the soft coral Xenia puertogalerae on the recruitment of scleractinian corals. J Exp Mar Biol Ecol 203:179-189 Bachtiar I. 2001. Reproduction of three scleractinian corals (Acropora cytherea, A. nobilis and Hydnophora rigida) in eastern Lombok Strait, Indonesia. Indones J Mar Sci 21:18-27 Bachtiar I. 2003a. Recruitment of scleractinian corals after 28 months of concrete blocks deployment in the Marine Recreation Park Gili Indah, Lombok Barat. Indones J Mar Sci 8(1):58-63 Bachtiar I. 2003b. Reproduksi karang scleractinia: kajian pustaka. Biota 8(3):131134 Bachtiar I, Prayogo W. 2010. Coral recruitment on Reef BallTM modules at the Benete Bay, Sumbawa Island, Indonesia. J Coast Develop 13(2):119-125 Bahartan K et al. 2010. Macroalgae in the coral reefs of Eilat (Gulf of Aqaba, Red Sea) as a possible indicator of reef degradation. Mar Pollut Bull 60:759– 764 Baker AC, Glynn PW, Riegl B. 2008. Climate change and coral reef bleaching: An ecological assessment of long-term impacts, recovery trends and future outlook. Estuar Coast Shelf Sci 80: 435–471 Bellwood DR, Hughes TP, Folke C, Nyström M. 2004. Confronting the coral reef crisis. Nature 429:827-833 Bellwood DR, Hughes TP, Hoey AS. 2006. Sleeping functional group drives coral reef recovery. Curr Biol 16:2434–2439 Bengtsson J. 2002. Disturbance and resilience in soil animal communities. Eur J Soil Biol 38: 119−125 Berumen ML, Pratchett MS. 2006. Recovery without resilience: persistent disturbance and long-term shifts in the structure of fish and coral communities at Tiahura Reef, Moorea. Coral Reefs 25: 647–653
118 Birrel CL, McCook LJ, Willis BL. 2005. Effects of algal turfs and sediment on coral settlement. Mar Pollut Bull 51:408–414 Björk M, Short F, Mcleod E, Beer S. 2008. Managing Seagrasses for Resilience to Climate Change. Gland, Switzerland: IUCN. Bradt P, Urban M, Goodman N, Bissell S, Spiegel I. 1999. Stability and resilience in benthic macroinvertebrate assemblages: Impact of physical disturbance over twenty-five years. Hydrobiologia 403: 123–133 Broncano MJ, Retana J, Rodrigo A. 2005. Predicting the recovery of Pinus halepensis and Quercus ilex forests after a large wildfire in northeastern Spain. Plant Ecol 180:47–56 Brown B, Suharsono. 1990. Damage and recovery of coral reefs affected by El Nino related seawater warming in the Thousand Islands, Indonesia. Coral Reefs 8:163-170 Bruno JF, Sweatman H, Precht WF, Selig ER, Schutte VGW. 2009. Assessing evidence of phase shifts from coral to macroalgal dominance on coral reefs. Ecology 90(6):1478–1484 Budiyanto A, Cappenberg HAW. 2009. Monitoring Terumbu Karang Natuna (Ranai dan Kelarik). Jakarta: COREMAP II LIPI. Budiyanto A, Djuwariah, Ulumuddin YH. 2009. Monitoring Terumbu Karang Wakatobi. Jakarta: COREMAP II LIPI. Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Reefs at Risk in South East Asia.Washington: World Resources Institute. Burt J, Bartholomew A, Usseglio P. 2008. Recovery of corals a decade after a bleaching event in Dubai, United Arab Emirates. Mar Biol 154:27–36 Cappenberg HAW, Djuwariah. 2008. Monitoring Terumbu Karang Bintan (Pulau Mapur). Jakarta: COREMAP II LIPI. Cappenberg HAW, Salatalohi A. 2008. Monitoring Terumbu Karang Lingga (Lingga Utara). Jakarta: COREMAP II LIPI. Cappenberg HAW, Djuwariah. 2009. Monitoring Terumbu Karang Bintan (Pulau-pulau Tambelan). Jakarta: COREMAP II LIPI. Cappenberg HAW, Salatalohi A. 2009. Monitoring Terumbu Karang Bintan (Bintan Timur dan Pulau-pulau Numbing). Jakarta: COREMAP II LIPI. Cappenberg HAW, Budiyanto A, Suyarso. 2009. Monitoring Terumbu Karang Natuna (Bunguran Barat). Jakarta: COREMAP II LIPI.
119 Carpenter RC. 1990. Mass mortality of Diadema antillarum: II. Effects on population densities and grazing intensity of parrotfishes and surgeonfishes. Mar Biol 104:79-86 Carpenter C, Walker B, Anderies JM, Abel N. 2001. From metaphor to measurement: resilience of what to what? Ecosystems 4:765–781 Chua TE. 2006. The dynamics of integrated coastal management: Practical applications in sustainable coastal development in East Asia. Quezon City, Philippines: GEF/UNDP/IMO Regional Program for Building PEMSEA. 431pp. Clarke KR, Somerfield PJ, Gorley RN. 2008. Testing of null hypotheses in exploratory community analyses: similarity profiles and biotaenvironment linkage. J Exp Mar Biol Ecol 366:56–69 Connell JH, Hughes TP, Wallace CC. 1997. A 30-year study of coral abundance, recruitment, and disturbance at several scales in space and time. Ecol Monogr 67(4):461-488 Connell JH. 1997. Disturbance and recovery of coral assemblages. Coral Reefs 16, Suppl.: S101-S113 [CRITC] Coral Reef Information and Training Center. 2007. Baseline Ekologi Batam. Jakarta: CRITC-COREMAP II LIPI. Cumming RL. 1999. Predation on reef-building corals: multiscale variation in the density of three corallivorous gastropods, Drupella spp. Coral Reefs 18: 147-157 DeVantier LM, De’ath G, Turak E, Done TJ, Fabricius KE. 2006. Species richness and community structure of reef-building corals on the near-shore Great Barrier Reef. Coral Reefs 25:329–340 Dollar SJ, Tribble GW. 1993. Recurrent storm disturbance and recovery: a longterm study of coral communities in Hawaii. Coral Reefs 12:223-233 Done TJ. 1982. Patterns in the distribution of coral communities across the Central Great Barrier Reef. Coral Reefs 1:95-107 Done TJ. 1988. Simulation of recovery of pre-disturbance size in populations of Porites spp. damaged by the of thorns starfish Acanthaster plancii. Mar Biol 100: 51-61 Done TJ. 1992. Phase shifts in coral reef communities and their ecological significance. Hydrobiologia 247:121-132 Done TJ. 1995. Ecological criteria for evaluating coral reefs and their implications for managers and researchers. Coral Reefs 14:183-192
120 Done TJ, Dayton PK, Dayton AE, Steger R. 1991. Regional and local variability in recovery of shallow coral communities: Moorea, French Polynesia and central Great Barrier Reef. Coral Reefs 9:183-192 Donner SD, Skirving WJ, Little CM, Oppenheimer M, Hoegh-Guldberg. 2005. Global assessment of coral bleaching and required rates of adaptation under climate change. Global Change Biol 11:2251–2265 Edmunds PJ, Bruno JF, Carlon DB. 2004. Effects of depth and microhabitat on growth and survivorship of juvenile corals in the Florida Keys. Mar Ecol Prog Ser 278:115–124 English S, Wilkinson C, Baker V. editor. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville, Australia: Australian Institute of Marine Sciences.368pp. Erdinger EN, Risk MJ. 2000. Reef classification by coral morphology predicts coral reef conservation value. Biol Conserv 92:1-13. Feingold JS. 2001. Coral bleaching and mortality in Panama and Ecuador during the 1997-1998 El Nino Southern Oscillation event: spatial/temporal patterns and comparisons with the 1982-1983 event. Bull Mar Sci 69(1): 61-77 Folke C et al. 2004. Regime shifts, resilience, and biodiversity in ecosystem management. Annu Rev Ecol Evol Syst 35:557–81 Fox HE, Pet JS, Dahuri R, Caldwell RL. 2003. Recovery in rubble fields: longterm impacts of blast fishing. Mar Pollut Bull 46:1024–1031 Fox RJ, Bellwood DR. 2008. Remote video bioassays reveal the potential feeding impact of the rabbitfish Siganus canaliculatus (f: Siganidae) on an innershelf reef of the Great Barrier Reef. Coral Reefs 27:605–615 Friedlander AM, DeMartini EE. 2002. Contrasts in density, size, and biomass of reef fishes between the northwestern and the main Hawaiian islands: the effects of fishing down apex predators. Mar Ecol Prog Ser 230:253–264 Genkai-Kato M. 2007. Regime shifts: catastrophic responses of ecosystems to human impacts. Ecol Res 22:214–219 Gleason MG. 1993. Effects of disturbance on coral communities: bleaching in Moorea, French Polynesia. Coral Reefs 12:193 201 Glyn PW, Fong P. 2006. Patterns of reef coral recovery by the regrowth of surviving tissues following the 1997-98 El Niño warming and 2000, 2001 upwelling cool events in Panamá, eastern Pacific. Proc10th Int Coral Reef Symp; Okinawa, 28 June-2 July 2004: 624-630
121 Glyn PW, Mate JL, Baker AC and Calderon MO. 2001. Coral and coral reef responses to the 1997-1998 El Nino event on the Pacific coast of Colombia. Bull Mar Sci 69(1): 79-109 Golbuu Y et al. 2007. Palau’s coral reefs show differential habitat recovery following the 1998-bleaching event. Coral Reefs 26:319–332 Gordon AL, Susanto RD, Ffield AL. 1999. Throughflow within Makassar Strait. J Geophys Res Lett 26:3325-3328 Graham EM, Baird AH, Connolly SR. 2008. Survival dynamics of scleractinian coral larvae and implications for dispersal. Coral Reefs 27:529–539 Graham NAJ, Nash KL, Kool JT. 2011. Coral reef recovery dynamics in a changing world. Coral Reefs 30:283-294. Griffiths BS, Bonkowski M, Roy J, Ritz K. 2001. Functional stability, substrate utilization and biological indicators of soils following environmental impacts. Appl Soil Ecol 16:49–61 Grig RW. 1994. Editorials: Science management of the world's fragile coral reefs. Coral Reefs 13:1 Grimsditch GD, Salm RV. 2006. Coral Reef Resilience and Resistance to Bleaching. Gland, Switzerland: IUCN. 52pp. Guzman HM, Cortés J. 2007. Reef recovery 20 years after the 1982–1983 El Niño massive mortality. Mar Biol 151:401–411 Heink U, Kowarik I. 2010. What are indicators? On the definition of indicators in ecology and environmental planning. Ecol Indicators 10:584–593 Hoegh-Guldberg O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world’s reefs. Mar Freshw Res 50:839–866 Hoegh-Guldberg O et al. 2007. Coral reefs under rapid climate change and ocean acidification. Science 318:1737-1742 Hoey AS, Bellwood DR. 2008. Cross-shelf variation in the role of parrotfishes on the Great Barrier Reef. Coral Reefs 27:37–47 Holling CS. 1973. Resilience and stability of ecological systems. Annu Rev Ecol Syst 4:1-23 Holling CS, Gunderson LH. 2002. Resilience and adaptive cycles. In: Gunderson LH, Holling CS (eds.) Panarchy: Understanding Transformations in Human and Natural Systems. Washington: Island Press. Hlm. 25-62 Hughes TP. 1984. Population dynamics based on individual size rather than age: a general model with a reef coral example. Am Nat 123:778–795
122 Hughes TP. 1994. Catastrophes, phase shifts and large-scale degradation of Caribbean coral reef. Science 65:1547-1551 Hughes TP et al. 2007. Phase shifts, herbivory, and the resilience of coral reefs to climate change. Curr Biol 17:1–6 Hukom FD, Suyarso. 2009. Monitoring Terumbu Karang Biak. Jakarta: COREMAP II LIPI. Ibelings BW, Portielje R, Lammens EHRR, Noordhuis R, Van den berg MS, Joose W, Meijer ML. 2007. Resilience of alternative stable states during the recovery of shallow lakes from eutrophication: Lake Veluwe as a case study. Ecosystems 10:4–16 Jackson JBC. 1997. Reefs since Columbus. Coral Reefs 16, Suppl.:S23-S32 Jackson JBC et al. 2001. Historical overfishing and the recent collapse of coastal ecosystems. Science 293:629-628 Jompa J, McCook LJ. 2002. Effects of competition and herbivory on interactions between a hard coral and a brown alga. J Exp Mar Biol Ecol 271:25– 39 Jompa J, McCook LJ. 2003a. Contrasting effects of turf algae on corals: massive Porites spp. are unaffected by mixed-species turfs, but killed by the red alga Anotrichium tenue. Mar Ecol Prog Ser 258: 79-86 Jompa J, McCook LJ. 2003b. Coral–algal competition: macroalgae with different properties have different effects on corals. Mar Ecol Prog Ser 258: 87–95 Jones CG, Lawton JH, Shachak M. 1997. Positive and negative effects of organism as physical ecosystem engineers. Ecology 78 (7):1946-1957 Jones GP, McCormick MI, Srinivasan M, Eagle JV. 2004. Coral decline threatens fish biodiversity in marine reserve. Proc Natl Acad Sci USA 101(21):8251–8253 Kaunda-Arara B, Rose GA. 2004. Long-distance movements of coral reef fishes. Coral Reefs 23:410–412 Kleypas JA et al. 1999. Geochemical consequences of increased atmospheric carbon dioxide on coral reefs. Science 284:118-120. Ledlie MH, Graham NAJ, Bythell JC, Wilson SK, Jennings S, Polunin NVC, Hardcastle J. 2007. Phase shifts and the role of herbivory in the resilience of coral reefs. Coral Reefs 26:641–653 Lin T, Lin JY, Cui SH, Cameron S. 2009. Using a network framework to quantitatively select ecological indicators. Ecol Indicators 9:1114–1120 Littler MM, Littler DS, Brooks BL. 2006. Harmful algae on tropical coral reefs:
123 Bottom-up eutrophication and top-down herbivory. Harmful Algae 5:565– 585 Lourey MJ, Ryan DAJ, Miller IR. 2000. Rates of decline and recovery of coral cover on reefs impacted by, recovering from and unaffected by crown-ofthorns starfish Acanthaster planci: a regional perspective of the Great Barrier Reef. Mar Ecol Prog Ser 196:179-186 Lovell ER, Sykes H. 2008. Rapid recovery from bleaching events - Fiji Coral Reef Monitoring Network Assessment of hard coral cover from 19992007. Proc 11 th Int Coral Reef Symp, Ft. Lauderdale, Florida. 7-11 July 2008 (2):836-840 Loya Y. 1972. Community structure and species diversity of hermatypic corals at Eilat, Red Sea. Mar Biol 13:100-23 Loya Y. 1978. Plotless and transect methods. In: Stoddart DR, Johannes RE (editor) Coral Reefs: Research Methods. Paris: UNESCO. pp 197-217 Lundberg J, Moberg F. 2003. Mobile link organisms and ecosystem functioning: implications for ecosystem resilience and management. Ecosystems 6:87– 98 Maekouchi N et al. 2008. The “Eco-Block” as a coral-friendly contrivance in port construction. Proc 11th Int Coral Reef Sym; Ft. Lauderdale, Florida, 7-11 July 2008 (2): 1253-1257 Maida M, Sammarco PW, Coll JC. 1995. Effects of soft corals on scleractinian coral recruitment. I: Directional allelopathy and inhibition of settlement. Mar Ecol Prog Ser 121:191-202 Makatipu P, Leatemia F. 2009. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Mentawai (Pulau Sipora dan Pulau Siberut Selatan). Jakarta: COREMAP II LIPI. Makatipu P, Ulumuddin YI. 2009. Monitoring Terumbu Karang Kabupaten Mentawai (Samukop, Bosua dan Sikakap). Jakarta: COREMAP II LIPI. Maliao RJ, Turingan RG, Lin J. 2008. Phase-shift in coral reef communities in the Florida Keys National Marine Sanctuary (FKNMS), USA. Mar Biol 154:841–853 Marsh LM, Bradbury RH, Reichelt RE. 1984. Determination of the physical parameters of coral distributions using line transect data. Coral Reefs 2:175-180 Marshall PA, Baird AH. 2000. Bleaching of corals on the Great Barrier Reef: differential susceptibilities among taxa. Coral Reefs 19:155–163
124 Maynard JA, Marshall PA, Johnson JE, Harman S. 2010. Building resilience into practical conservation: identifying local management responses to global climate change in the southern Great Barrier Reef. Coral Reefs 29:381– 391 McClanahan TR. 2008. Response of the coral reef benthos and herbivory to fishery closure management and the 1998 ENSO disturbance. Oecologia 155:169–177 McClanahan TR, Maina J, Starger CJ, Herron-Perez P, Dusek E. 2005. Detriments to post-bleaching recovery of corals. Coral Reefs 24:230–246 McKenna SA, Allen GR, Suryadi S (eds). 2002a. A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. RAP Bulletin of Biological Assessment 22. Washington DC: Conservation International. McKenna SA, Boli P, Allen GR. 2002b. Conditions of coral reefs at the Raja Ampat Islands. In: McKenna SA, Allen GR, Suryadi S (eds.) “A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia”. Washington DC: Conservation International. hlm. 66-78 McLeod E, Salm RV. 2006. Managing Mangroves for Resilience to Climate Change. Gland, Switzerland: IUCN. 64pp. Meekan MG, Choat JH. 1997. Latitudinal variation in abundance of herbivorous fishes: a comparison of temperate and tropical reefs. Mar Biol 128:373383 Miller K, Mundy C. 2003. Rapid settlement in broadcast spawning corals: implications for larval dispersal. Coral Reefs 22:99–106 Miller MW, Weil E, Szmant AM. 2000. Coral recruitment and juvenile mortality as structuring factors for reef benthic communities in Biscayne National Park, USA. Coral Reefs 19:115-123 Mora C, Sale PF. 2002. Are populations of coral reef fish open or closed? Trends Ecol Evol 17:422-428 Moran PJ. 1990. Acanthaster planci (L.): biographical data. Coral Reefs 9:95-96 Moretti M, Duelli P, Obrist MK. 2006. Biodiversity and resilience of arthropod communities after fire disturbance in temperate forests. Oecologia 149:312–327 Mumby PJ. 2009. Phase shifts and the stability of macroalgal communities on Caribbean coral reefs. Coral Reefs 28:761–773 Mumby PJ, Harborne AR. 2010. Marine reserves enhance the recovery of corals on Caribbean reefs. PLoS ONE 5(1): e8657
125 Mumby PJ, Hastings A, Edwards HJ. 2007. Thresholds and the resilience of Caribbean coral reefs. Nature 450:98-1001 Munasik, Widjatmoko W. 2004. Reproduksi karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jawa Tengah: I. Gametogenesis. Indones J Mar Sci 9(4):211-216 Murray SP, Arief D. 1988. Throughflow into the Indian Ocean through the Lombok Strait, January 1985-January 1986. Nature 333: 444-447 Ninio R, Meekan MG. 2002. Spatial patterns in benthic communities and the dynamics of a mosaic ecosystem on the Great Barrier Reef, Australia. Coral Reefs 21:95–103 Nishikawa A, Sakai K. 2005. Genetic connectivity of the scleractinian coral Goniastrea aspera around the Okinawa Islands. Coral Reefs 24:318–323 Norström AV, Nyström M, Lokrantz J, Folke C. 2009. Alternative states on coral reefs: beyond coral–macroalgal phase shifts. Mar Ecol Prog Ser 376:295– 306 Nyström M, Folke C. 2001. Spatial resilience of coral reefs. Ecosystems 4:406– 417 Nyström M, Graham AJ, Lokrantz J, Norström AV. 2008. Capturing the cornerstones of coral reef resilience: linking theory to practice. Coral Reefs 27:795–809 Obura DO, Grimsditch G. 2009. Resilience Assessment of Coral Reefs – Assessment Protocol for Coral Reefs, Focusing on Coral Bleaching and Thermal Stress. IUCN working group on Climate Change and Coral Reefs. Gland, Switzerland: IUCN. 70 pages. Ohba H, Hashimoto K, Shimoike K, Shibuno T, Fujioka Y. 2008. Secondary succession of coral reef communities at Urasoko Bay, Ishigaki Island, the Ryukyus (southern Japan). Proc 11th Int Coral Reef Symp, Ft. Lauderdale, Florida. 7-11 July 2008 (1): 321-325 Orwin KH, Wardle DA. 2004. New indices for quantifying the resistance and resilience of soil biota to exogenous disturbances. Soil Biol Biochem 36:1907–1912 Pearson RG. 1981. Recovery and recolonization of coral reefs. Mar Ecol Prog Ser 4:105-122 Peru N, Doledec S. 2010. From compositional to functional biodiversity metrics in bioassessment: A case study using stream macroinvertebrate communities. Ecol Indicators 10:1025–1036
126 Petersen D, Laterveer M, Schuhmacher H. 2005. Innovative substrate tiles to spatially control larval settlement in coral culture. Mar Biol 146:937–942 Peterson G, Allen CR, Holling CS. 1998. Ecological resilience, biodiversity, and scale. Ecosystems 1:6–18 Pet-Soede L, Erdmann M. editor. 2003. Rapid Ecological Assessment Wakatobi National Park. Denpasar, Bali: Marine Program, WWF Indonesia. Prayudha B, Leatemia F, Picasaw J. 2009. Monitoring Terumbu Karang Rajaampat (Pulau-pulau Batangpele). Jakarta: COREMAP II LIPI. Prayudha B, Picasaw J. 2009. Monitoring Terumbu Karang Rajaampat (Waigeo Selatan). Jakarta: COREMAP II LIPI. Primpas I, Tsirtsis G, Karydis M, Kokkoris GD. 2010. Principal component analysis: Development of a multivariate index for assessing eutrophication according to the European water framework directive. Ecol Indicators 10:178–183 Roberts CM, Ormond RFG. 1987. Habitat complexity and coral reef fish diversity and abundance on Red Sea fringing reefs. Mar Ecol Prog Ser 41: 1-8 Rogers CS, Gilnack M, Fitz III HC. 1983. Monitoring of coral reefs with linear transects: A study of storm damage. J Exp Mar Biol Ecol 66(3):285-300 Russ GR. 1984. Distribution and abundance of herbivorous grazing fishes in the central Great Barrier Reef I: Levels of variability across the entire continental shelf. Mar Ecol Prog Ser 20:23–34 Rykiel EJ Jr. 1996. Testing ecological models: the meaning of validation. Ecol Modell 90:229-244 Sammarco PW, Coll JC, La Barre S, Willis B. 1983. Competitive strategies of soft corals (Coelenterata: Octocorallia): allelopathic effects on selected scleractinian corals. Coral Reefs 1:173-178 Sato M. 1985. Mortality and growth of juvenile coral Pocillopora damicornis (Linnaeus). Coral Reefs 4:27-33 Scheffer M, Westly F, Brock WA, Holmgren M. 2002. Dynamic interaction of societies and ecosystems-lingking theories from ecology, economy and sociology. In: Gunderson LH, Holling CS (eds.) Panarchy: Understanding Transformations in Human and Natural Systems. Washington: Island Press. hlm. 195-239 Schutte VGW, Selig ER, Bruno JF. 2010. Regional spatio-temporal trends in Caribbean coral reef benthic communities. Mar Ecol Prog Ser 402:115– 122
127 Shinn EA. 1976. Coral reef recovery in Florida and the Persian Gulf. Environ Geol 1:241-254 Siringoringo RM, Salatalohi A. 2009. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Nias (Lahewa, Tumbeherua ). Jakarta: COREMAP II LIPI. Smith LD, Gilmour JP, Heyward AJ. 2008. Resilience of coral communities on an isolated system of reefs following catastrophic mass-bleaching. Coral Reefs 27:197–205 Srivastava DS, Vellend M. 2004. Biodiversity-ecosystem function research: Is it relevant to conservation? Annu Rev Ecol Evol Syst 36:267–94 Starger CJ, Barber PH, Ambariyanto, Baker AC. 2010. The recovery of coral genetic diversity in the Sunda Strait following the 1883 eruption of Krakatau. Coral Reefs 29:547–565 Suharsono. 2008. Managing Indonesian coral reefs: Lessons from Coral Reef Rehabilitation and Management Program. Proc 11th Int Coral Reef Symp; Ft. Lauderdale, Florida, 7-11 July 2008 (2): 1159-1161 Thompson AA, Dolman AM. 2010. Coral bleaching: one disturbance too many for near-shore reefs of the Great Barrier Reef. Coral Reefs 29:637–648 Tkachenko KS, Wu BJ, Fang LS, Fan TY. 2007. Dynamics of a coral reef community after mass mortality of branching Acropora corals and an outbreak of anemones. Mar Biol 151:185–194 Tomascik T, van Woesik R, Mah AJ. 1996. Rapid coral colonization of a recent lava flow following a volcanic eruption, Banda Islands, Indonesia. Coral Reefs 15:169-175 Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. Tuti Y, Salatalohi A. 2008. Monitoring Terumbu Karang Bintan (Bintan Timur & Numbing). Jakarta: COREMAP II LIPI. Van Moorsel GWNM. 1985. Disturbance and growth of juvenile corals (Agaricia humilis and Agaricia agaricites, Scleractinia) in natural habitats on the reef of Curacao. Mar Ecol Prog Ser 24:99-112 Veron JEN. 2000. Corals of the World 1. Townsville: Australian Institute of Marine Sciences (AIMS) Veron JEN. 2002. Reef corals of the Raja Ampat Islands: Part 1. Overview of scleractinia. In: McKenna SA, Allen GR, Suryadi S (eds.) “A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia”. Washington DC: Conservation International. hlm. 26-28
128 Veron JEN. 2008. Mass extinctions and ocean acidification: biological constraints on geological dilemmas. Coral Reefs 27:459–472 Washington-Allen RA, Ramsey RD, West NE, Norton BE. 2008. Quantification of the ecological resilience of drylands using digital remote sensing. Ecology & Society 13(1): 33. [online] URL: http://www.ecology&society.org/vol13/iss1/art33/ Williams DE, Miller MW, Kramer KL. 2008. Recruitment failure in Florida Keys Acropora palmata, a threatened Caribbean coral. Coral Reefs 27:697–705 Williams ID, Polunin NVC, Hendrick VJ. 2001. Limits to grazing by herbivorous fishes and the impact of low coral cover on macroalgal abundance on a coral reef in Belize. Mar Ecol Prog Ser 222:187–196 Wilson SK, Graham NAJ, Polunin NVC. 2007. Appraisal of visual assessments of habitat complexity and benthic composition on coral reefs. Mar Biol 151:1069–1076 Xiao F, Ouyang H, Zhang Q, Fu B, Zhang Z. 2004. Forest ecosystem health assessment and analysis in China. J Geogr Sci 14(1):18-24
129
LAMPIRAN 1 PENYUSUNAN RUMUS: MENGHITUNG FAKTOR KOREKSI (CF) Rumus indeks didasarkan pada tiga kelompok tutupan terumbu di dalam transek garis, yaitu COC, AOF, dan USS; dengan ketentuan bahwa: COC+USS+AOF ≤ 100%. 213 0 18 13 0 13 DE 250 0
0.42 1 18 50 0 50 225 0 18
0.43 1 25 0 25 G 2100 0
0.52 1 18 100 0 100 H 2100 0 0.20 1 18 100 0 I 100 2100 0 0.10 1 18 DA 100 0 HD 100
00.56 1
Ada tiga kondisi ekstrim yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan rumus indeks: a) Kondisi superior: CFG = 13, CHQ = 50, CSN = 25, COC = 100; USS = 0, AOF = 0; b) Kondisi inferior 1: CFG = 0, CHQ = 0, CSN = 0, COC = 0, USS = 0, AOF = 100; c) Kondisi inferior 2: CFG = 0, CHQ = 0, CSN = 0, COC = 0, USS = 100, AOF = 0. Pada kondisi superior, maka indeks resiliensi (RI) mencapai titik maksimum, sedangkan pada kondisi inferior indeks mencapai titik minimum. Nilai indeks tidak boleh negatif, sehingga indeks minimum sama dengan 0.000. Rumus di atas disederhanakan menjadi: RI = A + CF Setelah indeks mendapat pembobotan,maka nilai indeks pada kondisi: a) Superior, A = A maks = 1.930
130 Lampiran 1 (lanjutan) b) Inferior 1, A = A min1 = -0.100 c) Inferior 2, A = A min 2 = -0.200. Agar nilai A
min
menedekati 0.000, maka diperlukan faktor koreksi (FK, CF), CF
= 0.200. Dengan penggunaan faktor koreksi, maka nilai indeks resiliensi (RI) dalam kondisi Superior, Inferior 1, dan Inferior 2 secara berurutan menjadi 2.130, 0.100, dan 0.000.
Rumus indeks resiliensi (RI) menjadi: 213 0
00.56 1 18 13 0 13 DE 250 0
0.42 1 18 50 0 50 225 0
0.43 1 18 25 0 25 G 2100 0
0.52 1 18 100 0 100 H 2100 0 18 0.20 1 100 0 I 100 2100 0 0.10 1 18 0.20A 100 0 HD 100
131
LAMPIRAN 2 ANALISIS STATISTIK BAB 2 1. Analisis BEST untuk pemilihan peubah BEST Biota and/or Environment matching Data worksheet Nama: Data3 Tipe data: Environmental Sample Pemilihan: Semua Variable Pemilihan: Semua Lembar kerja kesamaan Nama: Resem1 Tipe data: Distance Pemilihan: Semua Parameters Metode korelasi rangking: Spearman Metode: BIOENV Jumlah peubah maksimum: 7 Keserupaan: Analisia antar: Samples Ukuran keserupaan: D1 Euclidean distance Peubah 1 CGR 2 CFG 3 USS 4 CHQ 5 CCS 6 CSN 7 COC 8 AOF Hasil terbaik No.Vars 7 7 7 7 6 6 6
Corr. 0.993 0.991 0.990 0.990 0.977 0.975 0.974
Pemilihan 1, 3-8 2-8 1-4, 6-8 1-6, 8 1, 3, 4, 6-8 2-4, 6-8 1, 3-6, 8
132 Lampiran 2 (lanjutan). 6 6 7
0.971 2-6, 8 0.970 3-8 0.969 1-5, 7, 8
2. Analisis PCA untuk pembobotan peubah PCA
Principal Component Analysis Data worksheet Nama: Data4 Tipe data: Environmental Pemilihan sampel: Semua Pemilihan peubah: Semua Eigenvalues PC Eigenvalues 1 2.86 2 1.09 3 0.903 4 0.629 5 0.406
%Variasi 47.7 18.1 15.0 10.5 6.8
Kum.%Variasi 47.7 65.7 80.8 91.2 98.0
Eigenvectors (Coefficients in the linear combinations of variables making up PC's) Peubah PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 CFG -0.560 0.023 -0.117 -0.037 0.187 USS 0.204 0.642 -0.613 0.340 0.235 CHQ -0.423 -0.175 -0.003 0.805 -0.333 CSN -0.430 0.224 -0.388 -0.471 -0.573 COC -0.520 0.043 0.076 -0.101 0.667 AOF 0.103 -0.710 -0.674 -0.048 0.160
133
LAMPIRAN 3 PROTOKOL PENILAIAN RESILIENSI TERUMBU KARANG Protokol penilaian resiliensi terumbu karang pada dasarnya sama dengan protokol penggunaan transek garis dengan sedikit modifikasi, dan ditambah dengan protokol pengolahan data.
Alat yang dibutuhkan: 1) Alat selam SCUBA, 2 set 2) Alat pencatat data dalam air (slate atau waterproof paper) 3) Meteran pita bahan fiberglass 50 meter, 2 buah
Jumlah personil: 1) Dua orang penyelam, dengan keahlian mengenal bentuk tumbuh karang dan makrobenthos lain (benthic life form) di terumbu karang. 2) Seorang boatman, yang menunggu dan mengawasi penyelaman. 3) Seorang pengolah data di laboratorium (kantor), yang dapat bekerja dengan MS Excell atau Lotus.
Pengambilan data: 1) Buat transek sejajar dengan garis pantai pada kedalaman 5 meter, sebanyak 5 buah, dengan panjang transek 20 meter. 2) Jarak garis transek dengan terumbu 0-15 cm. 3) Jika karang masih dapat tumbuh di tempat yang lebih dalam, transek juga dibuat pada kedalaman 10 meter, dengan jumlah dan panjang yang sama. 4) Pengambilan data menggunakan 23 kategori tutupan terumbu karang yang dibakukan di dalam English et al. (1994, 1997). 5) Jika ada dua atau lebih koloni dari taxon atau bentuk tumbuh yang sama secara berurutan maka dicatat panjang transek setiap koloni.
134
Lampiran 3 (lanjutan). Analisis data: 1) Olah data transek garis seperti biasa sehingga diperoleh LFT (life form table) dan TLT (taxon length table). 2) Masukkan data tutupan dari karang total (COC), karang Acropora (CAC), karang massif (CMC), karang submasif (CSC), algae total (ALC), fauna lain total (OTF), pasir (S) dan lumpur (SI), serta jumlah kelompok fungsional (CFG), dan jumlah koloni karang ukuran kecil (≤10 cm). Hanya peubah CSN yang diambil dari TLT, 9 peubah lain diambil dari LFT. 3) Hitung nilai kualitas habitat (CHQ) dengan menggunakan Rumus 1, tutupan algae dan fauna lain (AOF=ALC+OTF), dan substrat yang tidak stabil (USS=S+SI). 4) Masukkan ke dalam spreadsheet nilai dari 6 peubah indikator indeks: CFG, USS, CHQ, CSN, COC, dan AOF. 5) Hitung nilai dari masing-masing penggalan rumus indeks, disebelah kanan data peubah, yaitu: ICFG, IUSS, ICHQ, ICSN, ICOC, dan IAOF; dengan menggunakan Rumus 2 sampai 7. 6) Hitunglah seluruh nilai indeks resiliensi terumbu karang (RI) dengan menggunakan Rumus 8. 7) Indeks resiliensi suatu terumbu karang adalah rata-rata indeks dari semua transek pada terumbu karang tersebut. Indeks resiliensi merupakan dugaan tingkat resiliensi suatu terumbu karang, sehingga penyajian rata-rata indeks disertai dengan SD (simpangan baku) atau SE (galat baku).
Rumus 1 Rumus 2 DE 0.56 1
213 0 18 13 0 13 DE
135 Lampiran 3 (lanjutan). Rumus 3 I 0.20 1
2100 0 18 100 0 I 0
Rumus 4 0.42 1 Rumus 5* G 0.43 1
250 0 18 50 0 50
250 0 18 50 0 50 G
Rumus 6 H 0.52 1
2100 0 18 100 0 100 H
Rumus 7
2100 0 HD 0.10 1 18 100 0 HD 0 Rumus 8
DE G H I HD 0.20 Keterangan: *Angka konstanta di dalam Rumus 5 (ICSN) mengikuti panjang transek. Jika panjang transek 10 meter, maka konstanta yang digunakan bukan 50 melainkan 25. Jika panjang transek 30 meter, maka konstanta yang digunakan 75.
Catatan: Penggunaan indeks resiliensi terumbu karang untuk tujuan seleksi kawasan konservasi sebaiknya dilakukan pada kedalaman 10 meter. Pada kedalaman ini, indeks resiliensi tidak hanya mencerminkan potensi pemulihan tetapi juga kondisi umum terumbu karang.
136
137
LAMPIRAN 4 ANALISIS STATISTIK BAB 3 1. Perbandingan rata-rata indeks resiliensi antar wilayah (barat dan timur) t-Test: Dua sampel dengan ragam sama.
Variable 1 Variable 2 0.4943 0.5772 0.0346 0.0439 299 399 0.0088 696 -5.4264 0.0000 1.6470 0.0000 1.9634
Mean Ragam Pengamatan Ragam Gabungan df t Stat P(T<=t) one-tail t tabel one-tail P(T<=t) two-tail t tabel two-tail
2. Perbandingan rata-rata indeks resiliensi antar fisiografis laut Anova: Satu Faktor Kelompok SAHUL SULA SUNDA HINDIA ANOVA Sumber ragam AntarKelompok Intra-Kelompok Total TUKEY TEST MS galat Rata-rata rangking Besar sampel
Jumlah 75 224 228 171
Total 35.701 112.086 155.708 74.601
SS
df
7.1546 21.8170 28.9716
3 694 697
0.0314 0.4363 171 D
Rata-rata 0.476 0.500 0.683 0.436
MS 2.3849 0.0314
Ragam 0.024 0.038 0.027 0.032
F 75.863
df error = 694 0.4760 75 A
0.5004 224 B
0.6829 228 C
Simbol A B C D
P 0.000
k=4
F tabel 2.688
138 Lampiran 4 (lanjutan).
Perbandingan Beda 0.2467 D-C 0.0641 D-B 0.0397 D-A 0.2069 A-C 0.0244 A-B 0.1825 B-C *NS=Tidak signifikan
SE
q
q 4,694 Inferensi 3.685 3.685 3.685 NS* 3.685 3.685 NS 3.685
0.0127 19.4484 0.0127 5.0362 0.0174 2.2890 0.0167 12.3987 0.0167 1.4572 0.0118 15.4773
3. Perbandingan rata-rata indeks resiliensi antar kabupaten di wilayah timur Indonesia Anova: Satu Faktor
Kelompok BIAK BUTON SELAYAR PANGKEP SIKKA RAJA4 WAKATO ANOVA Sumber ragam Antar-Kelompok Intra-Kelompok Total
Jumlah 39 21 33 80 45 36 45
SS 2.1584 7.8440 10.0024
TUKEY TEST MS galat = 0.0269 Rata-rata rangking 0.3337 Besar sampel 45 E
Ratarata 0.4907 0.5989 0.5361 0.5083 0.3337 0.4601 0.6154
Total 19.1385 12.5762 17.6925 40.6640 15.0167 16.5623 27.6936
df
MS 0.3597 0.0269
6 292 298
df error
0.4601 36 F
Simbol A B C D E F G
F 13.3914
P F tabel 2.06E-13 2.1297
= 292
0.4907 0.5083 39 A
Ragam 0.0212 0.0208 0.0235 0.0331 0.0247 0.0266 0.0280
80 D
k=7
0.5361
0.5989
0.6154
33 C
21 B
45 G
Perbandingan Beda SE q q 7,292 Inferensi E-G 0.2817 0.0306 9.1977 4.241 E-B 0.2652 0.0306 8.6575 4.241
139 Lampiran 4 (lanjutan). E-C 0.2024 E-D 0.1746 E-A 0.1570 E-F 0.1264 F-G 0.1553 F-B 0.1388 F-C 0.0761 F-D 0.0482 F-A 0.0307 A-G 0.1247 A-B 0.1081 A-C 0.0454 A-D 0.0176 D-G 0.1071 D-B 0.0906 D-C 0.0278 C-G 0.0793 C-B 0.0627 B-G 0.0165 *NS=Tidak signifikan
0.0266 0.0216 0.0254 0.0259 0.0259 0.0318 0.0279 0.0233 0.0268 0.0254 0.0314 0.0274 0.0226 0.0216 0.0314 0.0240 0.0266 0.0324 0.0306
7.6213 8.0847 6.1931 4.8760 5.9946 4.3617 2.7236 2.0738 1.1449 4.9175 3.4473 1.6564 0.7763 4.9599 2.8872 1.1609 2.9847 1.9390 0.5402
4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241 4.241
NS* NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS
4. Perbandingan rata-rata indeks resiliensi antar kabupaten di wilayah barat Indonesia Anova: Satu Faktor
Kelompok NTN BNT BTM LGG TPT NIAS NISSL MTW
ANOVA Sumber ragam AntarKelompok Intra-Kelompok Total
Jumlah 72 73 60 24 51 30 37 54
Total 50.2115 52.4045 37.8378 15.3467 28.4002 13.6533 11.6766 21.0712
Ratarata 0.6974 0.7179 0.6306 0.6394 0.5569 0.4551 0.3156 0.3902
SS
df
MS
7.6358 10.0685 17.7042
7 393 400
1.0908 0.0256
Ragam 0.0277 0.0273 0.0285 0.0145 0.0417 0.0200 0.0072 0.0225
Simbol A B C D E F G H
F 42.577 9
P
F crit
0.0000 2.0329
140 Lampiran 4 (lanjutan). TUKEY TEST MS galat Rata-rata rangking Besar sampel
0.02 7 0.31 6 37 G
Perbandingan Beda G-B 0.4023 G-A 0.3818 G-D 0.3239 G-C 0.3150 G-E 0.2413 G-F 0.2413 G-H 0.0746 H-B 0.3277 H-A 0.3072 H-D 0.2404 H-C 0.2404 H-E 0.1667 H-F 0.0649 F-B 0.2628 F-A 0.2423 F-D 0.1843 F-C 0.1755 F-E 0.1018 E-B 0.1610 E-A 0.1405 E-D 0.0826 E-C 0.0738 C-B 0.0872 C-A 0.0668 C-D 0.0088 D-B 0.0784 D-A 0.0579 A-B 0.0205 * NS=Tidak signifikan
df error 0.390 0.455 54 30 H F SE 0.0228 0.0229 0.0297 0.0237 0.0244 0.0278 0.0242 0.0203 0.0203 0.0212 0.0212 0.0221 0.0258 0.0245 0.0245 0.0310 0.0253 0.0260 0.0207 0.0207 0.0280 0.0216 0.0197 0.0197 0.0273 0.0266 0.0266 0.0187
410
0.557 51 E
k=8 0.63 0.631 9 0.697 0.718 60 24 72 73 C D A B
q 17.6130 16.6770 10.9177 13.3167 9.8720 8.6773 3.0895 16.1292 15.1206 11.3247 11.3247 7.5413 2.5183 10.7052 9.8704 5.9471 6.9354 3.9075 7.7947 6.8028 2.9475 3.4219 4.4234 3.3845 0.3224 2.9449 2.1755 1.0937
q 8,393 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363 4.363
Inferensi
NS*
NS
NS
NS NS NS NS NS NS NS
141
Lampiran 4 (lanjutan). 5. Perbandingan peubah indikator indeks resiliensi antar fisiografi laut ANOSIM Analysis of Similarities One-Way Analysis Lembar kerja kesamaan Nama: Resem2 Tipe data: Distance Pemilihan: Semua Nilai Faktor Faktor: FISIOGRAFI SULAWESI SAHUL HINDIA SUNDA Global Test Statistik sampel (Global R): .194 Tingkat signifikan statistik sampel: 0.1% Jumlah permutasi: 999 (Random sample from a large number) Jumlah statistik yang dipermutasi lebih atau kurang dari Global R: 0 Uji Pasangan Berganda Groups SULAWESI, SAHUL
R observasi -0.03
Sig. % 87
SULAWESI, HINDIA
0.244
0.1
SULAWESI, SUNDA
0.101
0.1
SAHUL, HINDIA
0.153
0.1
SAHUL, SUNDA
0.19
0.1
HINDIA, SUNDA
0.374
0.1
Permutasi mungkin Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak
Permutasi Jumlah aktual observasi 999 869 999
0
999
0
999
0
999
0
999
0
142 Lampiran 4 (lanjutan). 6. Perbandingan peubah indikator indeks resiliensi antar kabupaten di wilayah timur Indonesia ANOSIM Analysis of Similarities One-Way Analysis Lembar kerja kesamaan Nama: Resem4 Tipe data: Distance Pemilihan: Semua Nilai Faktor Faktor: KABUPATEN WAKATOBI BUTON SELAYAR PANGKEP SIKKA RAJA4 BIAK Global Test Statistik sampel (Global R): 0.161 Tingkat signifikan statistik sampel: 0.1% Jumlah permutasi: 999 (Random sample from a large number) Jumlah statistik yang dipermutasi lebih atau kurang dari Global R: 0 Uji Pasangan Berganda Groups WAKATOBI, BUTON WAKATOBI, SELAYAR WAKATOBI, PANGKEP WAKATOBI, SIKKA WAKATOBI, RAJA4*
WAKATOBI, BIAK
*RAJA4= Raja Ampat R Sig. Permutasi observasi level % mungkin 0.304 0.1 Sangat banyak 0.361 0.1 Sangat banyak 0.109 0.2 Sangat banyak 0.448 0.1 Sangat banyak 0.324 0.1 Sangat banyak 0.24
0.1
Sangat banyak
Permutasi Jumlah aktual observasi 999 0 999
0
999
1
999
0
999
0
999
0
143 Lampiran 4 (lanjutan). BUTON, SELAYAR
0.146
0.6
BUTON, PANGKEP
-0.048
80.6
BUTON, SIKKA
0.291
0.1
BUTON, RAJA4
0.162
0.4
BUTON, BIAK
-0.033
75.7
SELAYAR, PANGKEP
-0.005
53.4
SELAYAR, SIKKA
0.347
0.1
SELAYAR, RAJA4
0.014
18.9
SELAYAR, BIAK
0.169
0.1
PANGKEP, SIKKA
0.278
0.1
PANGKEP, RAJA4
0.041
14.3
PANGKEP, BIAK
0.031
16.4
SIKKA, RAJA4
0.228
0.1
SIKKA, BIAK
0.221
0.1
RAJA4, BIAK
0.164
0.1
Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak
999
5
999
805
999
0
999
3
999
756
999
533
999
0
999
188
999
0
999
0
999
142
999
163
999
0
999
0
999
0
7. Perbandingan peubah indikator indeks resiliensi antar kabupaten di wilayah barat Indonesia ANOSIM Analysis of Similarities One-Way Analysis Lembar kerja keserupaan Nama: Resem6 Tipe data: Distance Pemilihan: Semua
144 Lampiran 4 (lanjutan). Nilai Faktor Faktor: KABUPATEN TAPTENG MENTAWAI NIAS NIAS SEL NATUNA LINGGA BATAM BINTAN
Global Test Statistik sampel (Global R): 0.315 Tingkat signifikan statistik sampel: 0.1% Jumlah permutasi: 999 (Random sample from a large number) Jumlah statistik yang dipermutasi lebih atau kurang dari Global R: 0 Uji Pasangan Berganda *MTW= Mentawai Groups Statistik R Sig. observasi % TAPTENG, MTW* 0.129 0.1 TAPTENG, NIAS
0.032
16
TAPTENG, NISEL**
0.237
0.1
TAPTENG, NATUNA 0.428
0.1
TAPTENG, LINGGA
0.181
0.1
TAPTENG, BATAM
0.146
0.1
TAPTENG, BINTAN
0.383
0.1
MENTAWAI, NIAS
-0.032
83.9
MENTAWAI, NISEL
0.018
20
MTW, NATUNA
0.569
0.1
MTW, LINGGA
0.197
0.1
**NISEL= Nias Selatan Permutasi Permutasi mungkin aktual Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak Sangat 999 banyak
Jumlah observasi 0 159 0 0 0 0 0 838 199 0 0
145 Lampiran 4 (lanjutan). MTW, BATAM
0.253
0.1
MTW, BINTAN
0.522
0.1
NIAS, NISEL
0.204
0.1
NIAS, NATUNA
0.594
0.1
NIAS, LINGGA
0.438
0.1
NIAS, BATAM
0.247
0.1
NIAS, BINTAN
0.547
0.1
NISEL, NATUNA
0.702
0.1
NI SEL, LINGGA
0.504
0.1
NISEL, BATAM
0.445
0.1
NISEL, BINTAN
0.694
0.1
NATUNA, LINGGA
0.239
0.2
NATUNA, BATAM
0.299
0.1
NATUNA, BINTAN
0.022
0.8
LINGGA, BATAM
-0.038
77.9
LINGGA, BINTAN
0.192
0.3
BATAM, BINTAN
0.207
0.1
Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak Sangat banyak
999
0
999
0
999
0
999
0
999
0
999
0
999
0
999
0
999
0
999
0
999
0
999
1
999
0
999
7
999
778
999
2
999
0
146
147
LAMPIRAN 5 ANALISIS STATISTIK BAB 4 1. Perbandingan indeks antar waktu dan antar kabupaten antar waktu wilayah timur Indonesia
Anova: Two-Faktor With Replication TOTAL Wakatobi Jumlah Total Rata-rata Ragam
2006 18 10.5517 0.5862 0.0419
2007
2009
Total
18 18 54 11.1073 12.0321 33.6911 0.6171 0.6684 0.6239 0.0270 0.0268 0.0319
Biak Jumlah Total Rata-rata Ragam
18 7.5832 0.4213 0.0267
18 8.4339 0.4686 0.0194
18 54 8.9003 24.9173 0.4945 0.4614 0.0244 0.0236
Raja Ampat Jumlah Total Rata-rata Ragam
18 7.9545 0.4419 0.0398
18 7.1423 0.3968 0.0237
18 54 7.6082 22.7050 0.4227 0.4205 0.0254 0.0289
18 6.4671 0.3593 0.0238
18 6.4226 0.3568 0.0210
18 54 6.8380 19.7278 0.3799 0.3653 0.0382 0.0267
Sikka Jumlah Total Rata-rata Ragam Total Jumlah Total Rata-rata Ragam
72 32.5565 0.4522 0.0387
72 72 33.1061 35.3786 0.4598 0.4914 0.0318 0.0398
148 Lampiran 5 (lanjutan). ANOVA Sumber ragam Kabupaten Waktu Interaksi Intra Total
SS 2.0062 0.0622 0.0738 5.7498 7.8919
df 3 2 6 204 215
MS 0.6687 0.0311 0.0123 0.0282
F 23.7263 1.1030 0.4361
P 0.0000 0.3338 0.8542
F tabel 2.6489 3.0402 2.1432
2. Perbandingan indeks antar waktu dan antar kabupaten antar waktu wilayah barat Indonesia Anova: Two-Factor With Replication
2007
2008
Batam Jumlah 15 15 Total 9.8040 9.3416 Rata-rata 0.6536 0.6228 Ragam 0.0262 0.0156 Bintan Jumlah 15 15 Total 11.4592 11.3606 Rata-rata 0.7639 0.7574 Ragam 0.0221 0.0294 Nias Jumlah 15 15 Total 4.4909 5.7530 Rata-rata 0.2994 0.3835 Ragam 0.0055 0.0130 Mentawai Jumlah 15 15 Total 3.2247 5.0691 Rata-rata 0.2150 0.3379 Ragam 0.0156 0.0282
Total Jumlah Total Rata-rata Ragam
60 28.9788 0.4830 0.0708
60 31.5243 0.5254 0.0506
2009
Total
15 45 9.6083 28.7539 0.6406 0.6390 0.0182 0.0192 15 45 10.4857 33.3055 0.6990 0.7401 0.0267 0.0258 15 45 5.7261 15.9700 0.3817 0.3549 0.0100 0.0107 15 45 4.4984 12.7922 0.2999 0.2843 0.0150 0.0214
60 30.3185 0.5053 0.0454
149
Lampiran 5 (lanjutan).
ANOVA Sumber ragam Kabupaten Tahun Interaksi Intra Total
SS 6.5019 0.0540 0.1796 3.1586 9.8941
df 3 2 6 168 179
MS 2.1673 0.0270 0.0299 0.0188
F 115.2737 1.4373 1.5923
P F tabel 0.0000 2.6584 0.2405 3.0498 0.1522 2.1529
150
151
LAMPIRAN 6 ANALISIS STATISTIK BAB 5 1. Regresi antara nilai awal indeks dengan dampak gangguan Regression Statistics R berganda 0.9970 R kuadrat 0.9940 R kuadrat disesuaikan 0.9910 Galat baku 0.0190 Pengamatan 4 ANOVA
df Regresi Residual Total
Intersep Indeks awal
1 2 3 Koefisien -0.6936 1.3233
SS 0.1197 0.0007 0.1204
MS F 0.1197 332.6928 0.0004
Galat baku 0.0520 0.0726
t Stat -13.3287 18.2399
Signifikansi F 0.0030
P-value 0.0056 0.0030
2. Regresi antara nilai awal indeks dengan pemulihan indeks Regression Statistics R berganda 0.9565 R kuadrat 0.9148 R kuadrat disesuaikan 0.8722 Galat baku 0.0326 Pengamatan 4 ANOVA Regression Residual Total
Intercept Initial RI
df 1 2 3 Coefficients -0.2341 0.5783
SS 0.0228 0.0021 0.0250
MS F 0.0228 21.4761 0.0011
Galat baku 0.0895 0.1248
t Stat -2.6155 4.6342
Significance F 0.0435
P-value 0.1204 0.0435
152 Lampiran 6 (lanjutan). 3. Regresi antara nilai awal tutupan karang dengan dampak gangguan Statistik Regresi R berganda R kuadrat R kuadrat disesuaikan Galat baku Pengamatan
0.9322 0.8689
0.8361 9.3895 6
ANOVA
df 1 4 5
SS MS 2337.6483 2337.6483 352.6536 88.1634 2690.3019
Koeficien -9.5682 0.9065
Galat baku 6.7624 0.1760
Regresi Residual Total
Intersep Tutupan awal
F 26.5150
t Stat -1.4149 5.1493
Sig. F 0.0067
P-value 0.2300 0.0067
4. Regresi antara nilai awal tutupan karang dengan pemulihan tutupan karang Statistik Regresi R berganda R kuadrat R kuadrat disesuaikan Galat baku Pengamatan
0.9733 0.9474
0.9342 1.6044 6
ANOVA df Regresi Residual Total
Intersep Tutupan awal
1 4 5
SS 185.3750 10.2960 195.6710
Koefficien -2.2932 0.2553
MS 185.3750 2.5740
Galat baku 1.1555 0.0301
F 72.0185
t Stat P-value -1.9846 0.1182 8.4864 0.0011
Sig. F 0.0011
153 Lampiran 6 (lanjutan). 5. Analisis MDS pada indeks resiliensi terumbu karang MDS Non-metric Multi-Dimensional Scaling Lembar kerja kesamaan Nama: Resem2 Tipe data: Similarity Pemilihan: Semua Parameters Stress rumus Kruskal: 1 Stress minimum: 0.01 Konfigurasi 3-d terbaik (Stress: 0.09) Sampel 1 2 3 % 1997.3 -0.34 -0.11 -0.75 2.9 1998.9 1.46 0.46 -0.77 6.1 1999.3 1.60 0.81 0.32 1.6 1999.9 1.53 -0.45 -0.36 8.7 2000.3 1.03 -1.11 0.34 6.4 2000.9 0.53 -0.03 0.39 2.6 2001.3 0.17 -0.33 0.59 9.4 2001.9 0.13 0.73 -0.12 10.0 2002.9 -0.07 0.51 -0.54 5.5 2003.3 0.25 0.51 0.39 3.9 2003.9 -0.35 0.11 -0.54 1.7 2004.3 -0.72 0.47 -0.08 1.7 2004.9 -0.17 0.32 0.18 0.7 2005.3 -1.14 0.21 -0.38 2.6 2005.9 -0.31 0.18 0.04 1.6 2006.3 -0.38 0.62 0.31 4.1 2006.9 -0.73 0.51 0.51 9.2 2007.3 -0.85 0.00 -0.10 2.6 2007.9 -0.35 -0.20 0.40 6.3 2008.3 -0.25 -1.03 -0.73 2.6 2008.9 -0.65 -0.77 0.02 2.0 2009.3 -0.11 -0.23 0.23 3.3 2009.9 -0.12 -0.62 0.14 1.8 2010.3 -0.18 -0.54 0.51 2.6 Konfigurasi 2-d terbaik (Stress: 0.14) Sampel 1 2 % 1997.3 0.81 -0.24 9.6 1998.9 -1.82 0.34 8.2 1999.3 -1.72 0.94 2.5
154 Lampiran 6 (lanjutan).
1999.9 2000.3 2000.9 2001.3 2001.9 2002.9 2003.3 2003.9 2004.3 2004.9 2005.3 2005.9 2006.3 2006.9 2007.3 2007.9 2008.3 2008.9 2009.3 2009.9 2010.3
-1.68 -1.07 -0.56 -0.25 -0.11 0.13 -0.29 0.61 0.71 0.19 1.23 0.30 0.38 0.69 0.82 0.23 0.57 0.61 0.08 0.13 0.01
NILAI STRESS Ulangan 3D 1 0.09 2 0.09 3 0.11 4 0.09 5 0.09 6 0.09 7 0.09 8 0.09 9 0.09 10 0.09 11 0.09 12 0.11 13 0.09 14 0.11 15 0.09 16 0.09 17 0.09 18 0.09 19 0.09 20 0.09 21 0.09
-0.56 -1.22 -0.01 -0.31 0.67 0.72 0.48 0.02 0.44 0.30 0.24 0.18 0.57 0.70 0.10 -0.13 -1.27 -0.72 -0.17 -0.55 -0.51
8.5 5.3 3.0 4.2 4.7 5.5 3.4 6.7 1.5 1.1 2.5 1.2 3.0 7.1 3.4 3.0 5.0 3.3 2.3 1.3 3.8
2D 0.15 0.15 0.14 0.14 0.14 0.14 0.14 0.2 0.14 0.19 0.14 0.14 0.15 0.15 0.14 0.14 0.14 0.15 0.15 0.14 0.14
155 Lampiran 6 (lanjutan). 22 23 24 25
0.09 0.09 0.09 0.09
0.14 0.14 0.14 0.16
** = Jumlah maksimum iterasi yang digunakan 3-d : Stress minimum: 0.09 muncul 22 times 2-d : Stress minimum: 0.14 muncul 16 times
6. Analisis MDS pada tutupan karang MDS Non-metric Multi-Dimensional Scaling Lembar kerja kesamaan Nama: Resem2 Tipe data: Similarity Pemilihan: Semua Parameter Rumus stress Kruskal: 1 Stress minimum: 0.01 Konfigurasi 3-d terbaik (Stress: 0.07) Sampel 1 2 3 % 1997.3 -1.47 -1.67 0.07 4.5 1998.9 -1.63 1.02 0.16 4.8 1999.3 -1.52 0.43 -0.18 4.4 1999.9 -1.34 0.27 0.33 2.9 2000.3 -0.96 -0.68 -0.31 5.8 2000.9 -0.13 -0.03 0.79 3.1 2001.3 0.19 0.47 0.53 4.9 2001.9 -0.23 0.40 -0.04 5.7 2002.9 0.54 0.51 -0.40 4.1 2003.3 0.00 0.53 -0.17 3.9 2003.9 0.48 0.56 0.11 6.2 2004.3 0.22 0.19 -0.29 5.7 2004.9 0.10 0.15 -0.57 5.5 2005.3 0.23 -0.13 -0.22 1.3 2005.9 0.38 0.06 0.00 1.9 2006.3 0.40 0.13 -0.18 2.4 2006.9 0.36 -0.18 -0.63 2.8 2007.3 0.41 -0.19 -0.38 2.1
156 Lampiran 6 (lanjutan). 2007.9 2008.3 2008.9 2009.3 2009.9 2010.3
0.93 0.38 0.69 0.46 0.50 1.02
0.13 -0.52 -0.50 -0.45 -0.36 -0.14
0.59 0.22 0.42 -0.04 0.13 0.05
4.6 4.1 2.4 2.9 1.5 12.4
Konfigurasi 2-d terbaik (Stress: 0.12) Sampel 1 2 % 1997.3 -1.70 -1.70 7.7 1998.9 -1.83 1.04 3.1 1999.3 -1.63 0.37 4.1 1999.9 -1.35 0.52 2.8 2000.3 -1.01 -0.70 6.6 2000.9 0.00 0.72 15.0 2001.3 0.27 0.60 3.6 2001.9 -0.23 0.24 3.5 2002.9 0.56 0.29 7.5 2003.3 -0.07 0.24 3.1 2003.9 0.45 0.44 3.2 2004.3 0.17 -0.02 4.4 2004.9 -0.02 -0.19 3.5 2005.3 0.27 -0.18 1.3 2005.9 0.40 0.04 1.1 2006.3 0.33 0.01 1.3 2006.9 0.24 -0.46 3.0 2007.3 0.33 -0.32 0.7 2007.9 1.04 0.33 4.3 2008.3 0.63 -0.42 4.0 2008.9 0.92 -0.33 4.6 2009.3 0.59 -0.27 2.4 2009.9 0.66 -0.18 2.6 2010.3 0.98 -0.08 6.7 NILAI STRESS Ulangan 3D 1 0.07 2 0.07 3 0.07 4 0.07 5 0.07 6 0.07 7 0.07 8 0.07 9 0.07 10 0.07
2D 0.12 0.12 0.12 0.13 0.13 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12
157 Lampiran 6 (lanjutan). 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07
0.12 0.13 0.12 0.12 0.13 0.12 0.12 0.12 0.12 0.13 0.12 0.12 0.12 0.12 0.13
** = Jumlah maksimum iterasi yang digunakan 3-d : Stress minimum: 0.07 muncul 25 times 2-d : Stress minimum: 0.12 muncul 19 times