81
5 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS RESILIENSI DALAM MENILAI PEMULIHAN TERUMBU KARANG 5.1 Pendahuluan Resiliensi suatu ekosistem merupakan ukuran besarnya potensi pemulihan ekosistem tersebut setelah terjadi gangguan. Pemulihan ekosistem terumbu karang setelah terjadinya gangguan belum mempunyai ukuran yang baku (standar). Ukuran yang paling banyak digunakan adalah kembalinya tutupan karang (Dollar & Tribble 1993; Tomascik et al. 1996; Lourey et al. 2000; Berumen & Pratchet 2006; Golbuu et al. 2007). Ukuran pemulihan yang lainnya meliputi pertumbuhan karang (Shinn 1975), struktur populasi atau ukuran koloni karang (Done 1988), tutupan dan struktur komunitas karang (Done et al. 1991; Smith et al. 2006), tutupan dan kekayaan spesies karang (Brown & Suharsono 1990). Pearson (1981) dalam kajiannya tentang pemulihan terumbu karang dari gangguan menginginkan adanya indeks pemulihan yang menggabungkan tutupan karang, indeks permukaan, rata-rata tinggi koloni, kekayaan spesies, dan indeks kesamaan. Sampai saat ini belum ada yang melakukan saran Pearson tersebut. Cara pengukuran pemulihan terumbu karang yang paling baru, yang diusulkan sebagai pengganti tutupan karang, adalah SARCC (size-adjusted rate of change of cover) yang diperkenalkan oleh Mumby dan Harborne (2010). Penghitungan SARCC menggunakan ukuran koloni disamping tutupan karang yang kemudian dianalisis dengan pendekatan simulasi Monte Carlo. Walaupun kesimpulan yang diambil tetap sama, dibandingkan dengan tutupan karang pada terumbu karang di perairan Caribbean, perbedaan antara di dalam dan di luar kawasan konservasi lebih jelas dengan menggunakan SARCC daripada tutupan karang. Pengunaan SARCC jauh lebih rumit daripada transek garis biasa, karena data diambil dengan video transect dan dianalisis dengan statistik multifaktor. Karena itu aplikasinya diperkirakan terbatas pada peneliti terumbu karang, bukan pengelola terumbu karang biasa. Jika persen tutupan karang hidup yang digunakan sebagai ukurannya, maka pemulihan terumbu karang dapat terjadi dalam skala kurang dari 10 tahun (Tomascik et al. 1996; Lovell & Sykes 2008). Tetapi jika pemulihan tersebut
82 diukur dari komposisi komunitas yang menyerupai kondisi sebelum gangguan, maka waktu pemulihan dapat lebih dari 25 tahun (Berumen & Pratchett 2006) atau bahkan ratusan tahun (Done 1995). Untuk mengganti koloni karang Porites yang berukuran diameter satu meter, misalnya, membutuhkan waktu sekitar 100 tahun. Di dalam penelitian ini, pemulihan terumbu karang akan dinilai berdasarkan indeks resiliensinya, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke indeks resiliensi sebelum gangguan. Dengan demikian, karang Porites yang mati dapat digantikan peran ekologisnya oleh karang dengan bentuk tumbuh yang sama (karang masif), misalnya Favia, Goniastrea, Goniopora dan sebagainya, yang fungsi ekologisnya sama tetapi pertumbuhannya lebih cepat. Penelitian di dalam bab ini dimaksudkan untuk menilai pemulihan terumbu karang dengan menggunakan indeks resiliensi. Peningkatan indeks resiliensi terumbu karang terjadi jika ada peningkatan pada tutupan karang (COC), jumlah kelompok fungsional (CFG), jumlah koloni ukuran kecil (CSN), atau perimbangan tutupan karang Acroporidae dengan karang masif dan submasif (CHQ). Pemulihan indeks juga dapat terjadi jika ada penurunan tutupan algae dan fauna lain (AOF) atau pengurangan tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva (USS). Walaupun cara ini berbeda dari yang disarankan Pearson (1981), pengukuran pemulihan dengan indeks resiliensi merupakan alternatif yang potensial digunakan oleh pengelola terumbu karang.
5.2 Metode Penelitian 5.2.1 Pengambilan data Data terumbu karang berasal dari data pemantauan lingkungan yang tersedia di sebuah perusahaan tambang tembaga-emas di Kabupaten Sumbawa Barat. Pemantauan tersebut dilakukan pada 6 (enam) transek permanen, yang tersebar di Teluk Benete (3 transek), Maluk (1 transek), dan Tanjung Amat (2 transek) (Gambar 21). Data runut waktu selama 13 tahun merupakan data yang sulit ditemukan di Indonesia. Data terumbu karang tersebut diduga merupakan satusatunya data runut waktu yang masih dapat diakses dengan kurun waktu lebih dari 10 tahun.
83
Gambar 21 Peta lokasi pengambilan data terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat. BN= Benete, TA= Tanjung Amat, MA= Maluk. Sebagai data sekunder yang tidak diambil sendiri oleh peneliti, data di dalam penelitian ini juga rentan terhadap tuntutan kualitas, sehingga informasi tentang data itu sendiri menjadi sangat penting. Data pemantauan terumbu karang tersebut diambil oleh peneliti (konsultan) yang berbeda-beda, sehingga memberi peluang terjadinya ketidak-konsistenan di dalam pencatatan (perekaman) kategori benthos. Sebagian besar data secara jelas membedakan antara kategori S (pasir), Si (lumpur) dan R (pecahan karang). Sebagian kecil lainnya, mencatat secara bersama-sama dua atau tiga kategori tersebut di dalam satu potongan transek sehingga masing-masing kategori tidak dapat dihitung secara tepat. Jika kategori S dicatat lebih awal, misalnya: S, R, dan Si, maka data akan dimasukkan ke dalam kategori S. Sebaliknya jika tercatat sebagai R, Si, dan S, maka data akan diolah sebagai kategori R.
84 Di dalam pemantauan tersebut, panjang transek permanen baku yang digunakan adalah 30 meter. Walaupun demikian, sebagian pengambilan data di transek permanen menggunakan panjang 20 meter atau 25 meter. Pengambilan data di bawah air memang tidak selalu dalam kondisi optimal. Dalam kondisi cuaca yang buruk yang mengakibatkan peneliti dalam kondisi yang kurang baik, maka pengambilan data dapat menjadi kurang cermat dan kurang akurat. Pada pemantauan September 2007, di Tanjung Amat 2, misalnya, pengambilan data dilakukan hanya dalam waktu 20 menit, sedangkan pengambilan data dari transek yang sama biasanya membutuhkan waktu 70-90 menit. Data yang dihasilkan dari pengambilan data 20 menit tersebut juga tidak konsisten dengan data sebelum dan sesudahnya. Data tersebut tidak digunakan di dalam analisis. Data runut waktu ini sebenarnya merupakan data yang ideal untuk penelitian ini, karena dalam kurun waktu pengambilan data terjadi gangguan yang besar, yaitu pemutihan karang yang berdampak pada kematian masal karang. Pemutihan karang tersebut terjadi pada akhir tahun 1997 hingga pertengahan pertama tahun 1998, di Indonesia. Akan tetapi, data dua pengamatan penting ketika terjadi gangguan, yaitu September 1997 dan April 1998, tidak tersedia sehingga tidak dapat secara pasti ditentukan kapan gangguan memiliki dampak perubahan pada indeks. Kelemahan lainnya adalah jumlah replikasi yang kurang untuk kebutuhan penelitian ini. Pemantauan pada transek permanen di Sumbawa Barat dilaksanakan dua kali setahun, setiap bulan Maret/April dan September/Oktober. Walaupun pengambilan data di transek permanen lebih sering dilakukan daripada di lokasi COREMAP, kasus peneliti tidak dapat menemukan kembali transek permanen karena hilang tanda-tandanya juga terjadi. Jika konsultan peneliti terumbu karang ditemani oleh staff perusahaan, maka transek yang baru dapat dibuat di lokasi yang hampir sama dengan transek permanen sebelumnya. Data primer terumbu karang diambil pada transek permanen yang sama di Sumbawa Barat, pada bulan April 2010. Data ini sebagai pelengkap dari data runut waktu yang telah tersedia sebelumnya. Hampir semua transek permanen tersebut dibuat pada kedalaman sekitar 5 (lima) meter. Transek permanen ditandai
85 dengan tonggak besi sepanjang satu meter, setiap 10 meter, dengan panjang transek 30 meter. Data suhu air laut juga merupakan data sekunder yang diperoleh dari dokumen pemantauan kondisi lingkungan di Teluk Benete. Data suhu air laut tersebut diambil menggunakan temperature data logger Starmon Mini (Star-Oddi Ltd), dengan akurasi 0.05OC, dari Oktober 1999-Oktober 2007. Data logger diletakkan di Teluk Benete pada kedalaman 5 meter. Pencatatan suhu oleh data logger dilakukan dengan frekuensi setiap 10 menit.
5.2.2 Analisis data Pemulihan terumbu karang dapat dilihat dari berbagai skala spasial, puluhan meter hingga ribuan kilometer. Semakin besar skala yang digunakan semakin besar ragam yang dijumpai. Kondisi terumbu karang umumnya memiliki ragam yang besar baik secara spasial maupun temporal. Interaksi antara kedua ragam tersebut menghasilkan ragam yang lebih besar, dengan bertambahnya skala yang digunakan. Somerfield et al. (2008) meneliti perubahan komunitas karang dari tahun 1996-2003 di Florida Keys. Dengan skala spasial ratusan kilometer dan skala temporal tujuh tahun, sulit menemukan pola umum pemulihan terumbu karang setelah kematian masal tahun 1998. Terumbu karang yang dikenal memiliki kondisi stabil ganda (multiple stable states), dapat mengalami pemulihan dengan arah ganda sehingga kondisi stabil baru dapat berbeda banyak dari kondisi awal, walaupun tutupan karang sebagai indikatornya. Di dalam penelitian ini, analisis data dilakukan pada dua skala, skala puluhan meter (transek) dan skala puluhan kilometer (kabupaten). Pemulihan terumbu karang didefinisikan sebagai kembalinya peubah terumbu karang (indeks resiliensi, tutupan karang) setelah gangguan kematian masal tahun 1998. Tingginya ragam antar transek di tingkat kabupaten mempersulit perbandingan antar waktu, sehingga definisi pulih dari gangguan menjadi tidak jelas. Pemulihan terumbu karang kemudian didefinisikan sebagai perubahan peubah terumbu karang mendekati kondisi sebelum gangguan. Kedekatan kondisi tersebut ditetapkan dengan statistik multifaktor non-metric Multi Dimensional Scalling (MDS) berdasarkan indeks kesamaan Bray Curtis. Analisis MDS dilaksanakan
86 dengan perangkat lunak Primer 6 versi 6.1.13 (Primer-E Ltd. 2009). Data runut waktu dari Kabupaten Sumbawa Barat ini tidak didesain untuk perbandingan antar lokasi, melainkan antar waktu, sebagaimana data COREMAP pada bab 4. Ketiga lokasi yang dipantau tidak memiliki jumlah sampel yang sama, sehingga pemulihan terumbu karang di tingkat transek tidak dapat dianalisis secara statistik. Analisis regresi linier sederhana dilakukan untuk memprediksi pemulihan terumbu karang, baik yang dinilai berdasarkan kembalinya indeks maupun tutupan karang. Analisis regresi dilakukan untuk melihat keterkaitan antara kondisi awal dengan dampak gangguan dan kondisi awal dengan laju pemulihan. Kedua macam regresi tersebut dilakukan pada 4 (empat) transek karena dua transek, yaitu Tanjung Amat 2 dan Maluk, menunjukkan perilaku yang jauh berbeda dari empat trasnek lainnya. Di Tanjung Amat 2 dan Maluk tidak terjadi penurunan tutupan karang ketika terjadi gangguan tahun 1998, yang menyebabkan kematian masal di kawasan lain. Hasil analisis statistik secara lengkap disajikan pada Lampiran 6, halaman 149.
5.3 Hasil-hasil Penelitian 5.3.1 Pemulihan terumbu karang dalam skala puluhan meter Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan indeks resiliensi yang sangat besar di antara pemantauan April 1997 dan September 1999 (Gambar 22). Data pemantauan September1997 dan April 1998 tidak tersedia lengkap sehingga bulan terjadinya penurunan indeks tidak dapat diperkirakan secara tepat. Peristiwa kematian masal karang akibat pemutihan karang pada tahun 1998 dianggap sebagai penyebab penurunan indeks tersebut. Penurunan indeks terjadi secara serentak di Teluk Benete (Benete 1, Benete 2, Benete 3), Tanjung Amat 1 dan Maluk. Di kedua lokasi terakhir, penurunan serentak terjadi lagi pada tahun 2000. Tanjung Amat 2 dan Maluk memiliki pola yang berbeda dari transek di lokasi lainnya. Penurunan drastis indeks tidak terjadi pada tahun 1998, tetapi terjadi pada tahun 2000.
87 Pada tahun 1998, penurunan indeks resiliensi paling besar terjadi di transek Benete 2, yaitu sebesar 0.535; sedangkan penurunan terkecil terjadi di Tanjung Amat 1 sebesar 0.032. Di Benete 2, setelah mengalami penurunan yang sangat tajam, indeks resiliensi dapat pulih kembali dalam waktu yang relatif singkat. Indeks resiliensi yang telah turun menjadi 0.389 (September 1998) dapat kembali lagi ke 0.931, pada bulan September 2001, atau dalam waktu tiga tahun.
Gambar 22 Dinamika indeks resiliensi terumbu karang pada 6 transek di perairan Sumbawa Barat, kurun waktu April 1997 sampai April 2010. Di Tanjung Amat 2 dan Maluk, indeks resiliensi terumbu karang memiliki dinamika yang berbeda dari lokasi lainnya. Dampak gangguan pada tahun 1998 sangat kecil, bahkan lebih kecil dari fluktuasi indeks setelah gangguan di transek tersebut. Di Tanjung Amat 2 dan Maluk, indeks resiliensi menurun tajam dari bulan April ke September tahun 2000. Perubahan drastis tersebut bersamaan dengan perubahan tutupan karang walaupun tidak ada data lain yang dapat menjelaskan faktor penyebabnya. Perubahan lokal seperti ini dapat terjadi akibat gangguan lokal, yang hanya dijumpai di Tanjung Amat 2 dan Maluk. Kedua lokasi tersebut berpotensi terpapar pada hempasan gelombang dari Samudra Hindia. Ketika terjadi gangguan yang menurunkan indeks resiliensi di semua lokasi pada tahun 1998, terumbu karang di Tanjung Amat 2 sedang mempunyai indeks
88 resiliensi yang rendah yaitu 0.288, atau dalam kategori kurang. Gangguan yang terjadi pada saat yang kritis dapat menyebabkan turunnya resiliensi sampai di bawah ambang tertentu sehingga ekosistem tidak mampu pulih kembali dan terjadilah pergantian fase. Di Tanjung Amat 2, indeks resiliensi hanya mengalami penurunan 0.031. Indeks tersebut kemudian meningkat menjadi 0.359 atau menjadi kategori sedang dalam enam bulan berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi sebesar 0.288 bukan termasuk nilai yang kritis, atau masih di atas ambang indeks untuk terjadinya pergantian fase. Tingginya indeks resiliensi awal berkaitan dengan besarnya dampak gangguan (Tabel 11). Gangguan yang sama memberikan dampak yang berbeda pada terumbu karang dengan indeks yang berbeda. Semakin tinggi indeks resiliensi semakin besar pula dampak penurunan indeks (R2 = 0.994, F = 332.692, P < 0.01). Hubungan kedua peubah tersebut menghasilkan persamaan regresi yang dapat digunakan untuk membuat prediksi dampak gangguan, Ŷ = -0.694 + 1.323X, dimana Ŷ=dampak gangguan atau besar penurunan indeks dan X=indeks resiliensi awal (sebelum gangguan).
Tabel 11 Indeks resiliensi dan pemulihan terumbu karang. Dampak gangguan diukur sebagai besarnya penurunan indeks. Laju pemulihan relatif dihitung berdasarkan besar indeks awal. Keterangan: *sebagai pencilan.
Transek
Benete 1 Benete 2 Benete 3 Tanjung Amat 1 Tanjung Amat 2* Maluk*
Indeks resiliensi awal 0.675 0.924 0.641 0.581 0.288 0.479
Dampak gangguan
Waktu pulih
0.188 0.535 0.142 0.094 0.032 0.044
5.5 3.0 5.0 4.5 0.5 1.0
(tahun)
Laju pemulihan per tahun Indeks Relatif (%) resiliensi 5.41 0.037 19.56 0.181 4.20 0.027 4.20 0.024 71.82 0.207 37.28 0.178
Pemulihan terumbu karang pasca gangguan dapat diukur dari pemulihan indeks resiliensi. Dengan menentukan kondisi awal adalah data pengamatan bulan April 1997 dan kondisi setelah gangguan adalah data bulan September 1998, maka waktu pemulihan ke kondisi indeks sebelum gangguan bervariasi antara 3.0 sampai 5.5 tahun (Tabel 11). Pemulihan indeks juga dapat dihitung sebagai
89 pemulihan relatif, yang dibandingkan dengan nilai awal indeks sebelum gangguan, dan pemulihan absolut, yaitu pertambahan nilai indeks dalam waktu tertentu. Di antara kedua macam pemulihan indeks, nilai pemulihan absolut lebih mudah digunakan di dalam pengelolaan. Pada terumbu karang dengan indeks resiliensi sangat baik (Benete 2) pemulihan dapat terjadi pada laju 0.178 per tahun. Pada terumbu karang dengan indeks kategori baik (Benete 1, Benete 3, Tanjung Amat 1) mempunyai laju pemulihan 0.024-0.037 per tahun. Secara umum, laju pemulihan indeks absolut berkaitan dengan besar indeks resiliensi awal, kecuali di Maluk dan Tanjung Amat 2 yang menunjukkan dampak gangguan yang kecil (Gambar 22). Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi terbesar mengalami laju pemulihan paling cepat. Terdapat hubungan regresi yang signifikan antara indeks resiliensi awal dengan laju pemulihan indeks (R2 = 0.959, F = 46.994, P < 0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi awal dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan (indeks per tahun), dengan model persamaan regresi Ŷ = -0.280 + 0.492X, dimana Ŷ=laju pemulihan indeks dan X=indeks resiliensi awal (sebelum gangguan). Penurunan drastis indeks resiliensi yang terjadi pada tahun 1998 juga bersamaan dengan penurunan tutupan karang (Gambar 23). Di transek Benete 1, Benete 2, Benete 3, dan Tanjung Amat 1, tutupan karang mengalami penurunan yang besar dalam kurun waktu April 1997 sampai September 1998. Hal ini memperkuat keterkaitan antara penurunan indeks dengan kematian masal karang akibat pemutihan karang. Rekaman suhu air laut yang tersedia, sayangnya, tidak meliputi kurun waktu tersebut sehingga tidak ada data suhu air laut di Selat Alas yang mendukung dugaan terjadinya peristiwa pemutihan karang akibat suhu tinggi yang ekstrim, yang menyebabkan kematian karang secara masal. Rekaman suhu air laut yang tersedia dalam kurun waktu September 1999-September 2007 menunjukkan tidak adanya suhu air laut yang ekstrim tinggi (Gambar 24). Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi tutupan karang sebesar >10% di Benete 1 dan Benete 2 (Gambar 23) dalam kurun waktu delapan tahun (1999-2007) tidak berhubungan dengan kematian karang yang berkaitan dengan bencana pemutihan karang.
90
Gambar 23 Dinamika tutupan karang pada 6 transek di lokasi penelitian, dalam kurun waktu April 1997 sampai April 2010. Pengambilan data dilakukan setiap enam bulan sekali.
Gambar 24 Rekaman suhu air laut bulanan di Teluk Benete, dalam periode September 1999-September 2007. Sebagaimana indeks resiliensi, tutupan karang awal juga berkaitan dengan besarnya dampak gangguan. Terumbu karang yang mempunyai tutupan karang lebih tinggi cenderung mengalami dampak yang lebih besar dari gangguan yang besarnya sama (Tabel 12). Hubungan regresi kedua peubah tersebut signifikan (R2 = 0.930, F = 26.714, P < 0.05). Model persamaan regresi yang dapat memprediksi dampak gangguan dari tutupan karang adalah Ŷ = -25.485 + 1.156X, dimana
91 Ŷ=dampak gangguan atau penurunan tutupan karang dan X=tutupan karang awal (sebelum gangguan). Dua transek, yaitu Tanjung Amat 2 dan Maluk, tidak mengalami dampak gangguan, karena tidak mengalami penurunan tutupan karang. Berbeda dengan indeks resiliensi, tutupan karang awal tidak mempunyai hubungan regresi yang signifikan dengan laju pemulihan tutupan karang (R2 = 0.572, F = 2.678, P > 0.05). Terumbu karang di Benete 3 dan Tanjung Amat 1 yang mempunyai tutupan karang hampir sama mengalami pemulihan dengan laju yang sangat berbeda (Tabel 12). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tutupan karang tidak dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang.
Tabel 12 Tutupan karang dan pemulihan terumbu karang di Sumbawa Barat. Dampak gangguan diukur sebagai besarnya penurunan tutupan karang. Laju pemulihan relatif dihitung berdasarkan besar tutupan awal.
Transek
Benete 1 Benete 2 Benete 3 Tanjung Amat 1 Tanjung Amat 2* Maluk
Tutupan karang awal (%) 40.60 71.36 30.88 30.52 1.48 15.04
Dampak gangguan (%) 18.35 57.51 18.33 3.87 Ta** Ta
Waktu pulih (tahun)
2.0 4.0 4.0 4.5 Ta Ta
Laju pemulihan per tahun Tutupan Relatif (%) karang (%) 23.71 9.63 20.41 14.56 32.26 9.96 4.48 1.37 Ta Ta Ta Ta
* Sebagai data pencilan. **Ta= tidak ada dampak, karena selisih antara kedua pengamatan negatif atau tutupan karang bertambah. Pemulihan tutupan karang dapat berlangsung sangat cepat di Sumbawa Barat. Laju pemulihan absolut atau pertambahan tutupan karang berkisar antara 1.37-14.56 % per tahun. Kecepatan pemulihan dalam bentuk pertambahan tutupan karang tertinggi terjadi di Benete 2 (Tabel 12). Laju terrendah terjadi di Tanjung Amat 1, yang disebabkan oleh gangguan lokal. Di lokasi tersebut, dampak gangguan tahun 1998 kecil, tutupan karang turun 3.87%. Setahun kemudian, tutupan karang sudah hampir pulih, yaitu 28.75%. Tutupan karang kemudian secara kontinyu turun 1.5 tahun sesudahnya sehingga pemulihan dari dampak gangguan tahun 1998 tertunda lama.
92 5.3.2 Pemulihan dalam skala puluhan kilometer Hasil analisis MDS pada indeks resiliensi menunjukkan bahwa terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat mempunyai perbedaan yang sangat besar antara April 1997 dan September 1998, yang menunjukkan adanya dampak gangguan (Gambar 25). Pemulihan terumbu karang dinilai berdasarkan kondisi sebelum gangguan, yaitu April 1997. Gambar 25 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu September 1998 sampai September 2000, indeks resiliensi terumbu karang berbeda jauh dari indeks resiliensi pada waktu pengamatan yang lainnya.
Gambar 25 Hasil analisis MDS terhadap indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat. Dengan mengacu pada kondisi sebelum gangguan adalah April 1997, maka kondisi indeks resiliensi yang paling dekat dengan kondisi sebelum gangguan adalah September 2003. Jika dampak gangguan pada indeks resiliensi terjadi pada pengamatan September 1998, dan kondisi pada bulan September 2003 dianggap sebagai pulihnya terumbu karang di Sumbawa Barat, maka waktu yang diperlukan adalah 5.0 tahun.
93 Dinamika rata-rata indeks resiliensi menunjukkan pola yang sama dengan hasil MDS. Pada bulan September 1998 terumbu karang mengalami penurunan rata-rata indeks (±SE) menjadi 0.426±0.038 dari sebelumnya 0.598±0.086 pada bulan April 1997 (Gambar 26). Di Kabupaten Sumbawa Barat rata-rata indeks memiliki ragam yang sangat besar sehingga sulit mengukur laju pemulihan dengan ketepatan (presisi) yang sedang. Jika ragam tersebut diabaikan, maka pemulihan indeks resiliesi terjadi pada bulan September 2003, ketika rata-rata indeks mencapai 0.649±0.075. Pemulihan rata-rata indeks tersebut membutuhkan waktu 5.0 tahun. Dengan galat baku yang sangat besar, laju pemulihan indeks rata-rata ini sekitar 0.051 per tahun.
Gambar 26 Dinamika rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat, April 1997 sampai April 2010. Analisis MDS pada tutupan karang menunjukkan pola yang serupa dengan indeks resiliensi. Tutupan karang pada kurun waktu September 1998 sampai April 2000 berada dalam kelompok yang sama, sebagai petunjuk bahwa pada kurun waktu tersebut terumbu karang sedang mengalami proses pemulihan akibat gangguan yang besar (Gambar 27). Kedekatan posisi titik April 1997 dengan September 2002 menunjukkan dekatnya persamaan tutupan karang di keenam transek antara sebelum dan sesudah gangguan, yang dapat diinterpretasikan
94 sebagai telah terjadinya pemulihan terumbu karang, dalam waktu 4 (empat) tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan tutupan karang sebagai ukuran pemulihan terumbu karang memberikan hasil yang lebih cepat daripada pemulihan indeks resiliensi.
Gambar 27 Hasil analisis MDS terhadap tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat. Dinamika rata-rata tutupan karang menunjukkan secara jelas adanya penurunan tutupan karang yang besar pada waktu antara tahun 1997 sampai 1998 (Gambar 28). Dampak dari gangguan tahun 1998 adalah terjadinya penurunan rata-rata (±SE) tutupan karang 12.72%, dari 31.65±9.38% (April 1997) menjadi 16.12±3.15% (September 1998). Proses pemulihan tutupan karang sudah terlihat enam bulan berikutnya. Tingginya ragam membuat definisi pemulihan tutupan karang menjadi kurang jelas. Secara umum, pemulihan tutupan karang berlangsung lebih cepat daripada pemulihan indeks resiliensi terumbu karang. Rata-rata tutupan karang tersebut telah kembali mencapai 28.84±4.37%, atau 91% dari tutupan karang sebelum
95 gangguan, pada bulan April 2000. Pada kondisi ini, laju pemulihan rata-rata tutupan karang 8.48% per tahun. Jika pemulihan tutupan karang didefinisikan mencapai kondisi yang sama atau melewati tutupan sebelum gangguan, maka pemulihan tutupan karang baru terjadi pada bulan September 2002, ketika ratarata tutupan karang mencapai 35.06±9.83%. Pemulihan tutupan karang terjadi dalam 4 (empat) tahun, dengan laju rata-rata 4.73% per tahun.
Gambar 28 Dinamika rata-rata (±1SE) tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat, tahun 1997-2010.
5.4 Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi dapat digunakan untuk menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang juga dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang, dalam skala puluhan meter. Sebagai pembanding, tutupan karang dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan, tetapi tidak dapat untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi merupakan alternatif penilaian pemulihan terumbu karang, yang lebih lengkap daripada tutupan karang. Pemulihan terumbu karang tercatat lebih lama jika dinilai dari indeks resiliensi dibandingkan dengan tutupan karang. Di Kabupaten Sumbawa Barat
96 pemulihan terumbu karang antara keduanya berbeda satu tahun. Penggunaan peubah tutupan karang sebagai indikator pemulihan terumbu karang dianggap tidak lagi memuaskan tujuan pengelolaan (Mumby & Harborne 2010; Graham et al. 2011). Hasil penelitian ini menyediakan alternatif untuk menggunakan indeks resiliensi sebagai acuan dalam menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang telah mengandung sejumlah peubah-peubah yang penting dalam resiliensi terumbu karang, sebagaimana yang diharapkan oleh Graham et al. dan juga peneliti lainnya. Gangguan pemutihan karang tahun 1998 membawa dampak penurunan indeks yang bervariasi sebesar 0.032-0.535. Tingkat penurunan indeks ini dapat menjadi acuan dampak dari suatu gangguan pemutihan karang yang sangat besar, karena terjadi secara global. Penggunaan indeks dalam pengukuran dampak gangguan belum pernah dilakukan sehingga tidak ada pembanding dari hasil penelitian lainnya. Indeks resiliensi yang digunakan di dalam penelitian ini terbukti tidak berselingkupan
dengan
resistensi,
yaitu
kemampuan
ekosistem
untuk
mempertahankan strukturnya dari gangguan. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa semakin tinggi indeks semakin besar pula kecenderungannya mengalami dampak yang lebih besar dari gangguan yang sama. Holling (1973) memberikan contoh populasi yang resiliensinya tinggi adalah hama tanaman pertanian. Ketika terjadi gangguan, populasi tersebut berkurang sangat cepat, demikian pula laju pemulihannya. Menguji kemampuan indeks resiliensi untuk memprediksi pemulihan ekosistem dari gangguan tunggal tidak mudah dilakukan di alam terbuka. Secara alami terumbu karang mengalami banyak gangguan dengan berbagai skala (Adjeroud et al. 2009), sehingga pemulihan setelah gangguan yang diteliti mendapat tambahan beban dari gangguan sesudahnya. Dengan demikian pemulihan ekosistem yang diteliti tidak hanya dari satu gangguan melainkan multi-gangguan yang sulit diprediksi. Fluktuasi indeks setelah tahun 1998 dapat dianggap sebagai indikasi terjadinya gangguan-gangguan kecil dalam kurun waktu tersebut, disamping faktor-faktor lainnya, misalnya perbedaan pengambil data.
97 Kedekatan hubungan antara indeks resiliensi dengan laju pemulihan ekosistem dapat diteliti secara eksperimental. Peristiwa pemutihan karang yang terjadi pada tahun 2010, merupakan awal yang baik untuk melakukan eksperimen alami dan mendapatkan hubungan regresi antara keduanya. Penggunaan data sekunder sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini merupakan langkah awal untuk membuat indeks resiliensi dan melihat hubungannya dengan pemulihan terumbu karang. Indeks yang dihasilkan telah terbukti dapat digunakan untuk mengukur pemulihan terumbu karang. Berdasarkan data yang tersedia kita dapat membuat ramalan secara kasar lama pemulihan terumbu karang. Dengan menggunakan nilai laju pemulihan rata-rata tersebut, kita dapat memperkirakan waktu yang diperlukan oleh terumbu karang untuk mencapai nilai indeks resiliensi yang sama dengan sebelum gangguan. Laju pemulihan indeks yang dihitung di dalam penelitian ini adalah laju pertambahan nilai indeks ketika terumbu karang baru saja mengalami gangguan. Laju pertambahan indeks tersebut dapat berbeda dengan perubahan indeks yang merupakan fluktuasi musiman atau tahunan. Dibandingkan dengan perubahan rata-rata indeks temporal di lokasi COREMAP yang dibahas pada bab 4, rata-rata laju peningkatan indeks resiliensi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat (0.051 per tahun) masih dalam kisaran rata-rata laju pertambahan indeks di Kabupaten Nias Selatan, yang merupakan laju tertinggi di wilayah COREMAP. Di Nias Selatan laju pemulihan rata-rata indeks resiliensi 0.044 dan 0.066 per tahun. Baik di Sumbawa Barat maupun Nias, keduanya adalah terumbu karang yang sedang mengalami proses pemulihan. Dengan demikian nilai pertambahan indeks 0.044 sampai 0.066 dapat dijadikan sebagai acuan laju pemulihan terumbu karang setelah mengalami gangguan. Di dalam proses pemulihan, rekolonisasi suatu ekosistem dapat terjadi dengan cepat pada ruang kosong yang terbuka akibat dampak gangguan. Di the Great Barrier Reef (GBR), Australia, pertambahan tutupan karang lebih cepat pada terumbu yang mengalami gangguan pemangsaan bintang laut duri seribu (COT, crown of thorns) daripada yang tidak terganggu (Lourey et al. 2000). Pada terumbu karang yang terserang COT, di GBR selatan, pertambahan tutupan karang 4% per tahun, dan hanya 2% pada terumbu yang tidak terserang COT.
98 Pertambahan tutupan karang (COC) yang terjadi lewat rekruitmen secara teoritis juga akan diikuti dengan jumlah koloni kecil (CSN), dan mungkin sekali juga oleh pertambahan jumlah kelompok fungsional CFG. Ketiga peubah tersebut akan meningkatkan nilai indeks resiliensi terumbu karang. Jika kolonisasi terumbu tersebut memiliki perimbangan yang baik antara karang massif dan submasif dengan karang Acropora, maka peningkatan indeks akan lebih cepat lagi karena terjadi peningkatan nilai CHQ. Pemulihan tutupan karang di Sumbawa Barat dapat berjalan dengan laju yang sangat cepat. Kecepatan pertambahan tutupan karang pada transek tunggal di Benete 2 mencapai 14.56% per tahun. Laju pemulihan rata-rata tutupan karang adalah 4.73 % per tahun di Sumbawa Barat. Laju rata-rata tersebut relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Tomascik et al. (1996) di bagian utara Pulau Gunung Api, Kepulauan Banda, yang mempunyai tutupan ratarata 61.6% dalam lima tahun. Laju peningkatan tutupan karang rata-rata di Banda tersebut merupakan laju pada masa pemulihan. Di Banda pemulihan karang terjadi di atas batu bekuan lava dari letusan Gunung Api. Kecepatan pertambahan tutupan karang tersebut sekitar 12.21% per tahun. Di Sumbawa Barat, laju pemulihan tutupan karang hampir sama dengan laju pemulihan di GBR yang dilaporkan Lourey et al. (2000), yaitu sekitar 4% pada terumbu karang yang telah mengalami gangguan. Pertambahan tutupan karang yang tinggi biasanya berkaitan dengan karang Acroporidae. Di GBR, median pertambahan tutupan karang famili Acroporidae 11% per tahun, sedangkan famili lainnya 2-3% per tahun (Thompson & Dolman 2010). Waktu pemulihan tutupan karang setelah kematian masal akibat pemutihan (bleaching) juga termasuk sangat cepat di Sumbawa Barat, dengan rentang waktu 2.0-4.5 tahun, dengan waktu pemulihan rata-rata 4.0 tahun. Pemulihan tutupan karang yang dilaporkan sangat cepat di Fiji dalam waktu 5 (lima) tahun, setelah kematian masal tahun 2000 (Lovell & Sykes 2008), dan di Ishigaki Island, Jepang, dalam waktu 4-6 tahun, setelah kematian masal karang tahun 1998 (Ohba et al. 2008). Ketiga kematian masal tersebut akibat dari pemutihan karang terkait peningkatan suhu yang ekstrim tinggi. Di GBR Australia, pemulihan tutupan karang dari gangguan pemangsaan COT berkisar antara 10-25 tahun (Lourey et al.
99 2000), sedangkan di Moorea, Society Islands pemulihannya 21 tahun (Berumen & Pratchet 2006). Pemulihan terumbu karang sangat tergantung pada dampak gangguan pada terumbu tersebut. Pembandingan waktu pemulihan saja tidak cukup untuk membuat kesimpulan tanpa melihat dampak gangguan. Keempat penelitian tersebut tidak mencantumkan data dampak gangguan dalam bentuk angka persentase penurunan tutupan karang. Dampak gangguan seringkali didiskripsikan dalam bentuk persentase karang yang mati atau yang memutih. Di terumbu karang Indonesia, pemulihan tutupan karang dapat lebih lambat daripada yang ditemukan di Sumbawa Barat. Di Kepulauan Seribu, pemulihan tutupan karang baru mencapai 50% dalam waktu lima tahun, dari gangguan pemutihan karang tahun 1983 (Brown & Suharsono 1990). Brown dan Suharsono menyajikan data tutupan karang awal sehingga dampak gangguan berupa penurunan tutupan karang dapat dihitung, yaitu 18-25%. Pemulihan tutupan karang di Kepulauan Seribu juga sulit dibandingkan dengan di Sumbawa Barat, karena proses pemulihan belum mencapai tingkat tutupan yang sama dengan sebelum gangguan. Secara teoritis, tingkat resiliensi suatu ekosistem berkurang dengan adanya tekanan dan gangguan. Jika tekanan dan gangguan tersebut demikian besar sehingga melewati nilai kritis (ambang) perubahan ekosistem, maka terjadilah pergantian fase atau rejim (Scheffer et al. 2002). Di dalam penelitian ini, nilai indeks resiliensi sebesar 0.288, misalnya di Tanjung Amat 2, masih belum merupakan titik kritis pergantian fase. Jika nilai kritis pergantian fase terlewati, indeks resiliensi terumbu karang tersebut tidak dapat kembali lagi ke arah yang lebih baik. Pergantian fase dari dominansi karang ke dominansi makroalgae merupakan sesuatu yang langka pada terumbu karang di Indonesia. Kejadian pergantian fase yang dilaporkan oleh Hughes (1994) memang banyak dianggap sebagai kejadian yang khusus (Bruno et al. 2009; Mumby 2009; Adjeroud et al. 2009), yang sulit ditemukan di lokasi lain. Sampai sekarang, definisi dari komunitas yang didominasi makroalgae juga masih belum jelas (Mumby 2009). Jika pergantian fase didefinisikan sebagai terumbu karang yang memiliki tutupan makroalgae di
100 atas 50% (Bruno et al. 2009), maka hanya 0.008% peluangnya terjadi di Indonesia (bab 4). Secara umum dapat dilaporkan bahwa dengan menggunakan indeks resiliensi terumbu karang kita dapat mengukur laju pemulihan terumbu karang. Pengukuran pemulihan dengan SARCC (Mumby & Harborne 2010) tidak dapat diperbandingkan karena perbedaan data, metode, dan tujuan penelitian. Penelitian lebih lanjut untuk membandingkan keduanya sangat penting dalam pencarian metode penilaian terumbu karang yang lebih praktis dan akurat. Di Sumbawa Barat, kurangnya replikasi atau cuplikan dapat membuat nilai perubahan indeks atau laju pemulihan terumbu karang menjadi berlebihan (overestimate) atau kekurangan (underestimate). Laju pemulihan indeks resiliensi yang sangat cepat dapat terjadi pada individu transek yang memiliki kondisi ideal. Jika pengamatan dilakukan dengan replikasi yang lebih banyak maka laju pemulihan yang ekstrim tinggi akan tereduksi di dalam laju pemulihan rata-rata, sehingga akan menjadi lebih meyakinkan. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menggunakan indeks resiliensi untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi secara umum waktu pemulihan terumbu karang yang dapat diharapkan ketika pengelolaan berjalan efektif. Metode penilaian resiliensi dari Obura dan Grimsditch (2009) dan Maynard et al. (2010) belum digunakan sampai sejauh indeks resiliensi di dalam penelitian ini.
5.5 Kesimpulan Indeks resiliensi terumbu karang yang dikembangkan di dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menilai pemulihan terumbu karang, serta memprediksi besarnya dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang. Di Sumbawa Barat kematian masal akibat pemutihan karang pada tahun 1998 membawa dampak pada penurunan indeks sebesar 0.094-0.535. Pemulihan indeks resiliensi terumbu karang dari gangguan tersebut membutuhkan waktu 5.0 tahun. Laju pemulihan indeks 0.044-0.066 per tahun dapat menjadi acuan prakiraan pada terumbu karang yang baru mengalami gangguan kematian karang secara masal.
101 Di Kabupaten Sumbawa Barat, dampak gangguan akut langsung terhadap indeks resiliensi terumbu karang dapat diprediksi dengan model persamaan regresi Ŷ = -0.693 + 1.323X, dimana X adalah indeks resiliensi awal (sebelum gangguan). Indeks resiliensi ini juga dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang (indeks per tahun), dengan menggunakan model persamaan regresi Ŷ = -0.280 + 0.492X, dengan X adalah indeks resiliensi awal. Ketepatan prediksi dari indeks resiliensi ini sangat penting diuji di dalam kondisi yang berbeda dari kondisi di bagian timur Selat Alas (Kabupaten Sumbawa Barat), agar dapat digeneralisasikan pada wilayah yang lebih luas.