5 EFISIENSI DAN AKURASI PADA PROSES ANALISIS FOTO BAWAH AIR UNTUK MENILAI KONDISI TERUMBU KARANG 5.1 Pendahuluan Penggunaan metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transect (UPT) untuk menilai kondisi terumbu karang bisa menjadi salah satu metode alternatif selain beberapa metode lain yang telah dikenal dan dipakai dalam penelitian terumbu karang (Kenchington 1978, Loya 1978, Moll 1983, Mundy 1990, English et al. 1997, DeVantier et al. 1998, Sukmara et al. 2001, Long et al. 2004, Oliver et al. 2004, Hill and Wilkinson 2004, Lam et al. 2006, Alquezar and Boyd 2007, Leujak and Ormond 2007, Burt et al. 2008). Proses analisis foto hasil pemotretan bawah air merupakan bagian penting pada penggunaan metode UPT. Proses analisis foto bawah air juga dilakukan dalam penelitian dengan metode dan cara yang beragam (English et al. 1997, Hill and Wilkinson 2004, Alquezar and Boyd 2007, Leujak and Ormond 2007, Burt et al. 2008). Dalam beberapa literatur tidak disebutkan secara jelas bagaimana menganalisis foto yang dihasilkan dari pemotretan bawah air. English et al. (1997) pada petunjuk survey metode Permanent Quadrat dengan teknik fotografi, tanpa merinci lebih dalam, menghitung nilai luasan suatu koloni berdasarkan panjang dan lebar koloni tersebut. Hill and Wilkinson (2004) menentukan persentase tutupan dari foto yang dihasilkan dengan metode Permanent Photo Quadrat dengan cara menggunakan sampel titik dengan penempatan grid di atas kuadrat (tanpa menyebutkan berapa banyak titik dan grid yang dipakai), atau dengan cara mendigit foto (tanpa menyebut piranti lunak yang dipakai). Burt et al. (2008) untuk memantau pemulihan karang setelah peristiwa pemutihan karang (bleaching) di Dubai, Emirat Arab menganalisis foto menggunakan piranti lunak CPCe (Kohler and Gill 2006) menggunakan 50 sampel titik acak pada setiap frame foto hasil pemotretan pada luasan sekitar 0,25 m2. Leujak and Ormond (2007) berdasarkan penelitiannya di Ras Um Sidh, Sinai Selatan, Mesir,
60
selain dengan cara menghitung luasan setiap koloni karang, juga dengan cara menggunakan 100 sampel titik acak pada setiap frame foto yang dihasilkan dari luasan bidang sekitar 1m2, dimana foto tersebut dihasilkan dari jarak pemotretan sekitar 2 m dari substrat. Piranti lunak yang digunakan adalah Sigma ScanPro5. Alquezar and Boyd (2007) pada penelitiannya di the Great Barrier Reef, Australia, berdasarkan foto dengan luasan yang sama dengan Leujak and Ormond (2007) yaitu 1 m2 menganalisis foto dengan piranti lunak CPCe (Kohler and Gill 2006) menggunakan 20 titik yang dipilih secara acak pada setiap framenya. Adanya perbedaan-perbedaan jumlah titik acak yang dipilih dalam menganalisis setiap frame foto, ditambah dengan lokasi penelitian yang berada di luar Indonesia yang mungkin berbeda dengan kondisi terumbu karang di Indonesia, menjadi alasan perlunya dilakukan analisis foto bawah air yang pengambilan datanya menggunakan metode UPT dan dilakukan di perairan Indonesia. Dari analisis tersebut diharapkan dapat diperoleh teknik yang efisien dan akurat dalam proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu karang. 5.2 Bahan dan Metode 5.2.1 Tempat dan waktu penelitian Analisis data dilakukan berdasarkan pemilihan acak dari sepuluh lokasi penelitian yang dilakukan di Kepulauan Seribu Jakarta (Lampiran 2) pada Agustus 2008. Lokasi yang terpilih adalah Pulau Jukung dengan posisi koordinat stasiun penelitian yang dicatat dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) berada pada posisi: 106° 31,44’ BT; 05°3 4,10’ LS. 5.2.2 Metode pengambilan data Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan cara penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA. Metode penarikan sampelnya dilakuakn dengan menggunakan metode UPT yang teknis pelaksanaan di lapangan seperti yang telah diuraikan pada Bab 3 (Metodologi Penelitian).
61
Walaupun jarak antara kamera dengan dasar substrat telah ditentukan sekitar 60 cm dari dasar substrat dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom), tetapi luas area hasil pemotretan untuk setiap kamera belum tentu sama, tergantung ukuran lensa yang digunakan. Oleh karena itu, pada penelitian ini pengambilan foto bawah air dilakukan dengan menggunakan dua macam kamera yang berbeda. Dengan demikian juga bisa diketahui apakah penggunaan dua macam kamera dengan luas area hasil pemotretan yang berbeda akan memperoleh hasil analisis yang berbeda juga. Sebagai catatan, meskipun luas area pemotretan tidak mutlak ditentukan oleh penggunaan tipe kamera (karena bisa juga dengan merubah jarak pemotretan atau menggunakan pembesaran), tetapi dalam penelitian ini, untuk pelaksanaan penelitian di lapangan dengan tidak merubah-rubah pembesaran (zoom) dan juga untuk mempermudah istilah penyebutan, perbedaan luas area pemotretan disebutkan oleh tipe kamera yang digunakan. Kedua macam kamera digital yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: - Olympus µ720SW (selanjutnya hanya disebut SW) (Gambar 31), - Olympus Camedia C8080WZ (selanjutnya hanya disebut WZ) (Gambar 32).
Gambar 31 Kamera digital Olympus µ720SW; a. tanpa pelindung; b. dengan pelindung
Gambar 32 Kamera digital Olympus Camedia C8080WZ; a. tanpa pelindung; b. dengan pelindung
62
Kamera SW merupakan kamera saku tahan air yang mampu dipakai di bawah air hingga kedalaman 3 m. Untuk pemakaian bawah air yang kedalamannya lebih dari 3 m diperlukan peralatan tambahan berupa pelindung kamera (casing/housing) agar tahan terhadap tekanan dan rembesan air laut. Sedangkan kamera WZ merupakan kamera darat sehingga untuk pemakaian bawah air selalu diperlukan pelindung kamera untuk penggunaan bawah air. Resolusi maksimum kamera SW adalah 3072 x 2304 piksel, sedangkan pada kamera WZ sedikit lebih tinggi yaitu 3264 x 2448 piksel. Pemotretan dengan jarak 60 cm dari dasar dan tanpa pembesaran (zoom) dengan menggunakan kamera SW (lensa AF Wide zoom 6,71 mm) menghasilkan luas bidang pemotretan (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2 (Gambar 33a). Sedangkan bila menggunakan kamera WZ (lensa AF Wide zoom 7,1 mm) menghasilkan luas bidang pemotretan (58 cm x 44 cm) atau 2552 cm2 (Gambar 33b) atau sekitar 2 kali lebih luas cakupannya dibandingkan dengan hasil pemotretan kamera SW.
Gambar 33 Luas bidang pemotretan dengan kamera: a. Olympus µ720SW; b. Olympus Camedia C8080WZ 5.2.3 Analisis foto Foto-foto hasil pemotretan bawah air yang diperoleh dengan metode UPT kemudian dianalisis di ruang kerja dengan menggunakan komputer dan piranti lunak (software) CPCe (Kohler and Gill 2006). Piranti lunak ini bisa diunduh (download) secara bebas lewat internet. Dengan menggunakan CPCe ini, analisis foto dilakukan berdasarkan keseluruhan gambar (entire image) dari masing-
63
masing foto yang dihasilkan. Untuk panjang transek 70 m dengan pemotretan dimulai dari titik 1 m dan rentang jarang pemotretan 1 m, maka dihasilkan foto sebanyak 70 frame foto). Frame-frame tersebut masih berupa foto-foto yang harus dianalisis untuk mendapatkan data-data kuantitatif, yang selanjutnya masih perlu diolah untuk mendapatkan nilai-nilai seperti persentase tutupan. Untuk mendapatkan data-data kuantitatif berdasarkan foto-foto bawah air yang dihasilkan dari metode UPT ini, analisis data dilakukan terhadap setiap frame dengan cara: 1.
Menghitung luas area dari masing-masing kategori biota dan substrat. (Gambar 34).
2.
Pemilihan sampel titik acak (Gambar 35). Banyaknya titik acak (random point) yang dipilih dalam analisis ini yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 titik. Cara ini merupakan aplikasi dari penarikan sampel, dimana sebagai populasinya adalah semua biota dan substrat yang terdapat dalam foto, sedangkan sampelnya adalah titik-titik yang dipilih secara acak pada foto tersebut. Dengan cara ini, data yang dicatat hanyalah biota dan substrat yang berada tepat pada posisi titik yang telah ditentukan secara acak oleh software CPCe. Pada kedua macam cara pengambilan data tersebut diatas, untuk kelompok
biota khususnya karang keras (hard coral) dicatat pula nama jenisnya. Pencatatan nama karang keras diusahakan hingga tingkatan jenis (species) yang mengacu pada Veron (2000a, 2000b, 2000c).
Gambar 34 Perhitungan luas area dari masing-masing kategori
64
Gambar 35 Pemilihan sampel titik acak 5.2.4 Analisis data Berdasarkan proses analisis foto yang dilakukan terhadap setiap frame foto yang dilakukan, maka dapat diperoleh nilai persentase tutupan kategori untuk setiap frame dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: (1). Untuk foto yang dianalis dengan teknik menghitung luas area: 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 =
𝑙𝑙𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑥𝑥 100% 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓
(2). Untuk foto yang dianalisis dengan pemilihan sampel titik acak:
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 =
𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗ℎ 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑡𝑡𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑥𝑥 100% 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
Selain itu, untuk karang keras (HC) juga dihitung nilai keanekaragaman seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Piellou (J’) menggunakan rumus yang telah diuraikan pada Bab 3 ( Metodologi Umum Penelitian). Berdasarkan analisis foto yang dilakukan pada 70 frame dengan dua macam tipe kamera (SW dan WZ) dimana untuk setiap framenya digunakan delapan macam teknik analisis foto (sebagai perlakuan) yaitu: teknik menghitung luas bidang area dan teknik pemilihan sampel titik acak dimana banyaknya sampel titik acak yang dipilih yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60, maka tersedia =
65
70 x 2 x 8 = 1120 unit sampel. Dari data yang dihasilkan tersebut kemudian dilakukan beberapa analisis statistik baik yang bersifat grafis maupun statistik inferensi seperti uji statistik menggunakan Analisis Variansi (Analysis of Variance = anova) untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Neter et al. 1996). Anova dilakukan menggunakan program Minitab v16. Selain itu dilakukan pula teknik eksplorasi seperti Multi Dimensional Scaling (MDS) (Clarke and Warwick 2001) untuk melihat posisi masing-masing perlakuan dengan menggunakan Primer v5 (Clarke and Gorley 2001). 5.2.5 Efisiensi Untuk menentukan teknik mana yang lebih efisien maka digunakan analisis biaya dan waktu (cost and time analysis), meliputi biaya untuk peralatan kamera yang akan dipergunakan untuk pengambilan foto bawah air dan waktu saat proses analisis foto untuk penyimpanan data kedalam komputer. Biaya-biaya yang lainnya diasumsikan tidak berbeda. Semakin rendah biaya dan waktu yang digunakan, maka semakin efisien teknik tersebut. 5.2.6 Akurasi Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Bab 4 sebelumnya terbukti bahwa hasil yang diperoleh menggunakan metode UPT berdasarkan hasil pemotretan dengan kamera WZ tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode BT dan LIT (p>0,01). Oleh karena itu, pada penelitian ini diasumsikan bahwa analisis foto yang dihasilkan oleh kamera WZ (luas bidang pemotretan yang lebih luas dibanding kamera SW) dan dianalis menggunakan teknik menghitung luas area merupakan yang paling akurat. Dengan demikian hasil yang diperoleh dari kamera WZ dan dihitung dengan menggunakan teknik menghitung luas area (WZArea) dianggap sebagai kontrol untuk perlakuanperlakuan lainnya yang ingin diuji. Pertimbangan lainnya bahwa WZArea ditetapkan sebagai perlakuan kontrol adalah sebagai berikut: 1.
Analisis foto menggunakan cara menghitung luas area semua biota dan substrat yang berada dalam foto dianalogikan dengan melakukan sensus
66
terhadap biota dan substrat yang berada dalam foto tersebut. Analisis foto dengan teknik pemilihan sampel acak merupakan aplikasi dari teknik penarikan sampel, dimana diharapkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan sampel titik acak akan mendekati hasil yang diperoleh dengan cara menghitung luas area, yang dalam hal ini dianggap sebagai populasinya. 2.
Semakin besar sampel yang diambil, maka akan semakin mewakili populasi yang ingin digambarkan lewat sampel tersebut. Pengambilan foto dengan hasil pemotretan yang lebih luas bisa diartikan sampel yang diambil semakin besar. Sokal and Rohlf (1995) mendefinisikan akurasi sebagai kedekatan suatu
pengukuran atau nilai yang diperoleh terhadap nilai yang sesungguhnya. Oleh karena itu untuk menentukan keakurasian suatu teknik analisis foto (5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 sampel titik acak), hasil analisisnya dibandingkan dengan hasil perlakuan kontrol (WZArea). Semakin tinggi akurasi suatu teknik yang dipakai, maka akan semakin berdekatan posisinya dengan WZArea pada gambar hasil analisis MDS. 5.3 Hasil 5.3.1 Analisis biaya dan waktu Analisis biaya dan waktu meliputi biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian peralatan kamera bawah air serta waktu yang diperlukan untuk menganalisis foto hasil pemotretan bawah air. Hasil analisisnya berupa data kuantitatif berupa lembaran data (worksheet) yang tersimpan dalam komputer yang siap untuk diolah lebih lanjut. Semakin rendah biaya yang harus dikeluarkan serta semakin cepat waktu yang diperlukan untuk menganalis foto per framenya, maka semakin efisien teknik analisis yang dipergunakan. 5.3.1.1 Biaya peralatan kamera bawah air Biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian kamera bawah air tipe SW berikut pelindungnya relatif lebih murah dibandingkan dengan kamera tipe WZ berikut pelindungnya. Harga tipe kamera WZ berikut pelindungnya sekitar
67
sepuluh jutaan rupiah, atau sekitar dua setengah kali lebih mahal dibandingkan kamera SW beserta pelindungnya yang berharga sekitar empat jutaan rupiah. Dengan demikian, dari segi biaya, penggunaan kamera SW lebih efisien dibandingkan kamera WZ. Ukuran kamera SW yang lebih kecil juga mempermudah dalam pengoperasiannya di bawah air. Meskipun dari segi biaya penggunaan kamera SW lebih efisien dibanding kamera WZ, tetapi karena dalam penelitian ini penekanannya adalah ke luas bidang pemotretan (penyebutan tipe kamera hanya untuk mempermudah dalam penyebutan istilah luasan bidang pemotretan), maka untuk faktor biaya mungkin saja efisiensinya menjadi sama. Misalnya kamera yang digunakan tetap kamera SW yang memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibanding kamera WZ, tetapi jarak pemotretan di perjauh sehingga memiliki luas bidang pemotretan yang sama dengan yang dihasilkan kamera WZ. 5.3.1.2 Waktu analisis foto untuk penyimpanan data (data entry) Foto yang dihasilkan dari pemotretan bawah air (dari pemotretan dengan kamera SW dan WZ) dianalisis untuk masing-masing framenya dengan delapan teknik analisis foto yang berbeda yaitu dengan teknik menghitung luas bidang area dan teknik pemilihan sampel titik acak dimana banyaknya sampel titik acak yang dipilih yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 sampel titik acak. Lamanya waktu yang dibutuhkan (dalam menit) dalam menganalisis setiap frame foto (terdapat total 70 frame ) dengan menggunakan program CPCe sehingga diperoleh data kuantitatif
yang tersimpan dalam bentuk lembaran kerja (worksheet) dari
masing-masing perlakuan (berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan) ditampilkan pada Lampiran 9. Analisis pendahuluan menunjukkan bahwa data waktu yang diperlukan untuk analisis foto perlu ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma menggunakan bilangan dasar e (ln = natural logarithm). Hasil anova (Tabel 9) menunjukkan adanya perbedaan waktu yang diperlukan untuk menganalisis data dari setiap frame foto (p < 0,01). Keadaan seperti ini merupakan sesuatu yang wajar dan sering terjadi. Berdasarkan pengalaman selama menganalisis foto, semakin banyak jumlah kehadiran maupun keragaman biota dan substrat yang ada dalam suatu frame maka semakin lama waktu yang diperlukan. Sebagai
68
contoh misalnya, frame foto yang terdiri hanya pasir saja, pasti akan lebih cepat untuk dianalisis bila dibandingkan dengan frame foto yang terdiri dari beranekaragam jenis karang. Tabel 9
Nilai p terhadap waktu analisis foto frame berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (frame acak, faktor kamera acak dan faktor teknik tetap). Data ditransformasikan ke bentuk ln Sumber variasi Frame Kamera Teknik Kamera*Teknik
Selain itu,
Nilai p 0,000 0,985 0,000 0,009
hasil anova (Tabel 9) menunjukkan bahwa waktu yang
diperlukan untuk menganalisis foto tidak berbeda secara nyata pada analisis yang dilakukan terhadap hasil pemotretan dengan dua macam kamera yang berbeda (p > 0,01). Meskipun begitu, terlihat bahwa teknik analisis foto yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan analisis (p < 0,01) (Tabel 8). Gambar 36 menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk analisis foto akan meningkat dengan semakin banyaknya sampel titik acak yang dipilih untuk setiap frame foto, baik dari hasil pemotretan menggunakan kamera SW maupun WZ. Pada proses analisis foto yang dihasilkan dari kamera SW, waktu yang diperlukan untuk menganalisis foto menggunakan teknik menghitung luas area relatif tidak berbeda bila dibandingkan dengan waktu yang diperlukan dengan
teknik
pemilihan 60
sampel titik acak. Tetapi bila analisis datanya dilakukan berdasarkan hasil pemotretan menggunakan kamera WZ, maka waktu yang diperlukan untuk penyimpanan data dengan teknik menghitung luas area akan sedikit lebih lama dibandingkan dengan teknik
pemilihan 60 sampel titik acak (Gambar 36).
Adanya perbedaan tersebut ditunjukkan oleh nilai p < 0,01 untuk sumber variasi interaksi antara Kamera dan Teknik (Kamera*Teknik) (Tabel 9).
69
Gambar 36 Lamanya waktu analisis foto untuk penyimpanan data berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan. Data ditransformasi ke bentuk ln Hasil analisis MDS (Gambar 37) memperjelas hasil yang diperoleh dimana kelompok data yang berkode awalan ”SW” berhimpitan posisinya dengan kelompok data yang berkode awalan ”WZ” untuk setiap teknik analisis foto yang digunakan. Kedekatan tersebut semakin tampak jelas pada teknik pemilihan sampel titik lebih dari 30 dan teknik menghitung luas area. Selain itu juga terlihat bahwa pada penggunaan teknik pemilihan 60 sampel titik hampir berhimpit posisinya dengan penggunaan teknik menghitung luas area. Ini menunjukkan bahwa secara umum penggunaan kamera SW ataupun WZ tidak begitu mempengaruhi waktu untuk proses analisis foto. Waktu yang dibutuhkan untuk menganalisis frame foto menggunaan teknik pemilihan 60 sampel titik acak relatif sama bila menggunakan teknik menghitung luas area. Dengan demikian, dari segi efisiensi waktu analisis foto dapat disimpulkan bahwa pemilihan sampel acak sebanyak 70 titik acak atau lebih tidak lagi seefisien penggunaan waktu yang diperlukan untuk menganalisis data foto dengan teknik perhitungan luas area. Oleh karena itu, untuk proses analisis foto tidak disarankan menggunakan 70 sampel titik acak atau lebih untuk setiap framenya, meskipun pada program CPCe memungkinkan untuk memilih hingga 500 sampel titik acak.
70
Gambar 37 MDS berdasarkan tipe kamera dan teknik yang digunakan terhadap data lamanya waktu yang diperlukan untuk menganalisis foto (transformasi ln) menggunakan jarak Euclidean 5.3.2 Persentase tutupan biota dan substrat Hasil perhitungan persentase tutupan biota dan substrat yang dihasilkan dari pemotretan dua tipe kamera (kamera SW dan WZ) dengan delapan teknik analisis foto yang berbeda (teknik menghitung luas bidang area dan teknik pemilihan sampel titik acak dimana banyaknya sampel titik acak yang dipilih yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 sampel titik acak). Dalam hal ini, biota dan substrat dikelompokkan ke dalam lima kelompok besar yaitu, Karang keras (Hard Coral = HC), Karang mati (Dead Scleractinia = DS), Alga (Algae = ALG), Biota Lain (Other Fauna = OF) dan Abiotik (Abiotic = ABI). Persentase tutupan yang diperoleh untuk masing-masing kelompok berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan ditampilkan pada Lampiran 10 (kelompok HC), Lampiran 11 (kelompok DS), Lampiran 12 (kelompok ALG), Lampiran 13 (kelompok OF) dan Lampiran 14 (kelompok ABI). Hasil anova menunjukkan bahwa persentase tutupan yang dihitung dengan berbagai teknik analisis foto menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk kelompok HC, ALG, OF dan ABI (p < 5%), sedangkan untuk kelompok DS tidak berbeda nyata (p > 5%) (Tabel 10). Hasil MDS untuk melihat posisi masing-masing kombinasi perlakuan ditampilkan pada Gambar 38. Untuk kelompok HC dan ALG, persentase tutupan yang dihasilkan dengan teknik analisis foto menggunakan 5 sampel titik acak per frame (baik dengan kamera SW maupun WZ) tampak sangat berbeda sekali
71
dengan teknik lainnya. Untuk kelompok DS dan OF, terlihat bahwa semakin banyak sampel titik yang dipilih, maka akan semakin dekat posisinya dengan hasil yang diperoleh menggunakan perhitungan luas area. Untuk kelompok ABI, pemilihan 30 atau lebih sampel titik acak per framenya akan menghasilkan persentase tutupan ABI yang dekat dengan teknik menghitung luas area (Gambar 38). Tabel 10 Nilai p terhadap persentase tutupan biota dan substrat berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Frame acak, faktor Kamera acak dan faktor Teknik tetap). Data ditransformasikan ke bentuk arcsin akar pangkat dua Sumber variasi Frame Kamera Teknik Kamera*Teknik
HC 0,000 0,313 0,010 0,800
DS 0,000 0,088 0,505 0,391
Nilai p ALG 0,000 0,923 0,001 0,836
OF 0,000 0,039 0,012 0,836
ABI 0,000 0,633 0,007 0,828
Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pemilihan sampel titik yang lebih sedikit akan menyebabkan hasil yang lebih berbeda dengan perhitungan luas area. Padahal, penggunaan sampel titik acak dimaksudkan untuk menduga nilai persentase tutupan yang diperoleh dengan teknik perhitungan luas area. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan sampel 30 titik acak per frame sudah cukup akurat untuk menduga persentase tutupan kelompok biota dan substrat (HC, DS, ALG, OF dan ABI) sekaligus. Sedangkan bila hanya tertarik pada persentase tutupan HC saja, penggunaan 10 sampel titik acak per framenya sudah cukup.
Gambar 38 MDS untuk persentase tutupan kelompok biota dan substrat menggunakan jarak Euclidean pada data yang ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua
73
5.3.3 Keanekaragaman karang keras Hasil perhitungan nilai–nilai keanekaragaman karang keras seperti nilai jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Piellou (J’) ditampilkan pada Lampiran 15 (untuk S), Lampiran 16 (untuk H’) dan Lampiran 17 (untuk J’). Sebelum dilakukan anova, data jumlah jenis (S) karang keras yang dihitung pada setiap framenya dinormalkan distribusinya terlebih dahulu dengan mentransformasikannya ke dalam bentuk akar pangkat dua. Untuk data nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) tidak perlu ditransformasi. Hasil anova menunjukkan bahwa data jumlah jenis dan nilai indeks keaneragaman setiap framenya bervariasi, ditunjukkan oleh nilai p < 1% pada sumber variasi ”Frame” (Tabel 11). Tabel 11 Nilai p terhadap jumlah spesies karang keras (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Frame acak, faktor Kamera acak dan faktor Teknik tetap). Transformasi akar pangkat dua diterapkan pada data S Sumber variasi Frame Kamera Teknik Kamera*Teknik
S 0,000 0,001 0,000 0,077
Nilai p H’ 0,000 0,003 0,000 0,109
J’ 0,000 0,002 0,000 0,941
Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman karang pada setiap framenya bervariasi, dimana foto yang dihasilkan dengan kamera WZ cenderung lebih tinggi menggambarkan keanekaragaman karang yang terjadi di lokasi penelitian dibandingkan dengan foto yang dihasilkan kamera SW (p < 0,01) (Tabel 11, Gambar 39). Keadaan seperti ini cukup beralasan karena luasan foto yang dihasilkan oleh kamera WZ adalah dua kali lebih luas dibandingkan dengan foto yang dihasilkan kamera SW. Semakin besar luasan foto yang dihasilkan maka kemungkinan untuk menggambarkan keanekaragaman di suatu lokasi akan semakin besar pula.
74
Selain itu, semakin banyak sampel titik acak yang dipilih maka akan semakin dekat nilainya dengan hasil yang diperoleh menggunakan teknik menghitung luas area, meskipun perbedaannya masih tetap tinggi antara hasil yang diperoleh dengan teknik pemilihan sampel titik acak maksimum yang digunakan dalam penelitian ini (60 titik) dengan teknik menghitung luas area. (Gambar 39). Penggunaan lebih dari 60 titik kemungkinan akan menghasilkan sampel yang akurat, tetapi tidak lagi efisien dari segi waktu analisis foto (lihat hasil penelitian pada bagian analisis biaya dan waktu).
Gambar 39 MDS untuk jumlah spesies karang keras (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) menggunakan jarak Euclidean. Untuk data S, ditransformasi akar pangkat dua
Gambar 39 memperlihatkan bahwa posisi nilai S, H’ dan J’ antara teknik pemilihan sampel acak (baik kamera SW maupun WZ), teknik menghitung luasan area hasil pemotretan kamera SW dan teknik menghitung luasan area hasil pemotretan kamera WZ masih agak berjauhan. Berdasarkan asumsi yang
75
digunakan pada ”Metode Penelitian” untuk ”akurasi” maka dapat dikatakan bahwa analisis foto untuk menghitung nilai keanekaragaman (S, H’ dan J’) menggunakan teknik analisis sampel titik acak (≤ 60 titik) memiliki keakuratan yang rendah, termasuk juga bila menggunakan teknik perhitungan luas area berdasarkan hasil pemotretan dengan kamera SW. Jadi, keakurasian perhitungan nilai keanekaragaman (S, H’ dan J’) menggunakan teknik perhitungan luas area berdasarkan hasil foto dengan kamera yang luas bidang pemotretan lebih besar (kamera WZ), tidak dapat digantikan dengan menggunakan teknik sampel titik acak ataupun teknik perhitungan luas area menggunakan kamera SW (bidang pemotretan lebih kecil). 5.4 Pembahasan Seiring dengan perkembangan teknologi, baik teknologi kamera digital maupun teknologi komputer termasuk piranti lunaknya, membuat penggunaan foto bawah air menjadi salah satu alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang. Bila dulu sebelum adanya teknologi kamera digital, penggunaan kamera bawah air selain mahal dari segi peralatan, juga mahal dari segi pemrosesan fotonya. Lagipula foto yang diambil dengan kamera analog tidak langsung diketahui hasilnya, sehingga mungkin saja hasil foto yang diambil selama penelitian tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lain halnya dengan penggunaan kamera digital yang bisa langsung terlihat hasilnya. Bila hasil fotonya kurang baik, bisa langsung diulang seketika. Selain itu, penggunaan fotografi bawah air selain diyakini dapat mempercepat pengambilan data di lapangan, juga dapat sebagai foto dokumentasi. Untuk proses analisis foto, bila dulu sebelum berkembangnya piranti lunak untuk analisis foto, objek yang akan difoto diberi frame yang terbagi atas beberapa kotak kecil-kecil (grid) agar bisa diperkirakan luasan/persentase tutupannya (atau bila pemotretan tanpa menggunakan frame, maka persentase tutupan koloni dilakukan secara manual dari foto yang dihasilkan), kini terdapat beberapa piranti lunak untuk pemrosesan analisis fotonya. Piranti lunak yang dipakai antara lain Sigma Scan Pro, Image J ataupun CPCe. Sigma Scan Pro, merupakan piranti lunak komersil, yang harus dibeli untuk mendapatkannya.
76
Image J dan CPCe merupakan piranti lunak yang bisa diunduh (download) secara bebas. Image J, dapat digunakan untuk menghitung luas area, sedangkan CPCe selain dapat menghitung luas area juga dapat dipakai untuk pemilihan sampling titik. Menurut pengalaman penulis, penggunaan CPCe lebih mudah dibandingkan dengan Image J. Oleh karena itu, untuk proses analisis foto pada penelitian ini digunakan CPCe (Kohler and Gill 2006). Berdasarkan hasil yang diperoleh, secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan 30 sampel
titik acak
per framenya
sudah
cukup
untuk
mengetahui persentase tutupan dari semua kategori biota dan substrat secara sekaligus. Bila hanya tertarik pada persentase tutupan kelompok Karang mati (Dead Scleractinia = DS) saja, penggunaan lima sampel titik acak saja sudah cukup. Bila hanya ingin melihat persentase tutupan Karang keras (HC = Hard Coral), Alga (ALG), dan Biota lain (OF = Other Fauna) diperlukan sedikitnya 10 sampel titik acak, sedangkan bila ingin mengetahui persentase tutupan Abiotik
(ABI)
setidaknya
diperlukan
30
sampel
titik
acak.
Untuk
keanekaragaman, baik untuk jumlah jenis, nilai indeks keanekaragaman Shannon dan indeks kemerataan Pielou untuk karang keras sebaiknya menggunakan teknik menghitung luas area berdasarkan hasil foto kamera WZ yang memiliki luas bidang pemotretan yang lebih besar. Penggunaan 30 sampel titik acak untuk menilai persentase biota dan substrat agak berbeda dengan yang digunakan oleh Leujak and Ormond (2007) yang menggunakan 100 sampel titik acak, Alquezar and Boyd (2007) yang menggunakan 20 sampel titik acak serta Burt et al. (2008) yang menggunakan 50 sampel titik acak. Leujak and Ormond (2007) serta Burt et al. (2008) tidak mengulas alasan pemilihan dalam menentukan banyaknya sampel titik acak. Tetapi, sebenarnya bila diteliti lebih dalam, kedua macam pemilihan sampel titik acak (100 dan 50 titik) yang dilakukan kemungkinan hasilnya tidak akan berbeda bila dilakukan dengan hanya menggunakan 30 sampel titik acak. Penggunaan 50 atau 100 sampel titik acak memerlukan waktu analisis foto yang lebih lama bila dibandingkan hanya menganalisis 30 sampel titik acak. Jadi, berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, pemilihan 100 sampel titik acak tidak akan seefisien, terutama dari segi waktu analisis foto, bila dibandingkan dengan
77
menghitung luas area. Penggunaan sampel acak sebanyak 70 titik atau lebih sebaiknya dihindari (Gambar 34). Hasil yang diperoleh Alquezar and Boyd (2007), bila disimak mendalam kemungkinan juga tidak berbeda dengan yang diperoleh pada penelitian ini. Alquezar and Boyd (2007) menyebutkan bahwa penggunaan 50 sampel titik acak memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi dengan pertimbangan analisis waktu maka digunakan 20 sampel titik acak. Sebagai catatan, Alquezar and Boyd (2007), dalam penelitiannya tidak mengambil sampel titik antara 30 dan 50 titik, melainkan hanya membandingkan antara 5 , 10, 20 dan 50 sampel titik acak. Berdasarkan hasil penelitian ini, dengan pertimbangan efisiensi dan akurasi hasil yang diperoleh maka terdapat tiga pilihan proses analisis foto pada penggunaan metode UPT untuk menilai kondisi terumbu karang. Ketiga pilihan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Menggunakan 10 sampel titik acak per framenya dimana untuk setiap framenya dihasilkan dari foto dengan luas bidang pemotretan minimal (40 x 30) cm2. Merupakan pilihan bagi pengguna yang hanya ingin mengetahui kondisi umum terumbu karang karena yang ingin diketahui hanyalah persentase tutupan karang kerasnya saja (yang merupakan komponen utama penyusun terumbu karang), tanpa ketertarikan akan biota dan substrat yang lainnya. Pada pilihan ini, kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang keras juga tidak diperlukan, sehingga pilihan ini juga sangat cocok bagi pengamat yang memiliki kemampuan dasar (basic), dimana hanya bisa membedakan antara kelompok karang keras dan kelompok selain karang keras. Untuk mendapatkan foto dengan luas bidang pemotretan (40 x 30) cm2 tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kamera tipe SW dengan jarak pemotretan dari dasar substrat 60 cm dan tanpa menggunakan zoom. Penggunaan kamera WZ yang memiliki luas bidang pemotretan yang lebih besar dari yang dihasilkan kamera SW juga dimungkinkan meskipun tidak lebih efisien dalam segi biaya karena harga kameranya lebih mahal. Bila kamera SW maupun WZ tidak tersedia maka dapat juga digunakan kamera
78
tipe lain dengan cara mengatur zoom atau pun jarak pemotretan dari dasar sehingga luas bidang pemotretan yang dihasilkan uintuk setiap framenya minimal (40 x 30) cm2. 2.
Menggunakan 30 sampel titik acak per framenya dimana untuk setiap framenya dihasilkan dari foto dengan luas bidang pemotretan minimal (40 x 30) cm2. Pilihan ini diperuntukkan bagi pengguna yang hanya tertarik untuk mengetahui persentase tutupan kategori biota dan substrat, tanpa ketertarikan akan keanekaragaman jenis karang keras. Dalam hal ini, kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang keras tidak diperlukan. Adapun tipe kamera yang digunakan adalah kamera SW dengan jarak pemotretan dari dasar substrat 60 cm dan tanpa menggunakan zoom. Seperti halnya pada pilihan 1 di atas, penggunaan kamera WZ yang memiliki luas bidang pemotretan yang lebih besar dari yang dihasilkan kamera SW juga dimungkinkan meskipun tidak lebih efisien dalam segi biaya karena harga kameranya lebih mahal. Bila kamera SW maupun WZ tidak tersedia maka dapat juga digunakan kamera tipe lain dengan cara mengatur zoom atau pun jarak pemotretan dari dasar sehingga luas bidang pemotretan yang dihasilkan uintuk setiap framenya minimal (40 x 30) cm2.
3.
Menggunakan teknik menghitung luas area per framenya dimana untuk setiap framenya dihasilkan dari
foto dengan luas bidang pemotretan
minimal (58 x 44) cm2. Pada pilihan ini, pengguna selain ingin mengetahui persentase tutupan biota dan substrat, juga tertarik untuk mengetahui keanekaragaman karang keras di suatu lokasi penelitian. Pilihan ini sangat cocok bagi pengguna yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang keras. Adapun kamera yang dipergunakan adalah kamera WZ dengan jarak pemotretan dari dasar substrat 60 cm dan tanpa menggunakan zoom. Bila kamera WZ tidak tersedia dan hanya tersedia tipe kamera yang menghasilkan bidang pemotretan yang lebih kecil dibandingkan dengan kamera WZ (misal kamera SW), maka bisa dilakukan dengan mengatur jarak pemotretan
79
sedemikian hingga bidang hasil pemotretannya sama dengan kamera WZ. Misalnya dengan cara memperjauh jarak pemotretan terhadap substrat (lebih dari 60 cm). 5.5 Kesimpulan Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan akurasi hasil yang diperoleh serta dikaitkan dengan tujuan dari penelitian, maka teknik yang digunakan untuk analisis foto bisa dibagi ke dalam tiga pilihan. Pilihan ke-1 menggunakan 10 sampel titik acak, Pilihan ke-2 menggunakan 30 sampel titik acak, dan Pilihan ke-3 menggunakan perrhitungan luas area untuk setiap frame yang dianalisis. Luas minimal bidang pemotretan untuk setiap frame pada Pilihan ke-1 dan ke-2 adalah (40 x 30) cm2, sedangkan pada Pilihan ke-3 adalah (58 x 44) cm2. Pilihan ke-1 bertujuan hanya untuk mengetahui persentase tutupan karang keras saja, Pilihan ke-2 bertujuan untuk mengetahui persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat (kelompok HC, DS, ALG, OF dan ABI) yang berada dalam ekosistem terumbu karang, sedangkan kelompok ke-3 selain bertujuan ingin mengetahui persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat, juga tertarik untuk mengetahui keanekaragaman karang keras.