EVALUASI METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR UNTUK PENILAIAN KONDISI TERUMBU KARANG
GIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Evaluasi Metode Transek Foto Bawah Air untuk Penilaian Kondisi Terumbu Karang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2010 Giyanto C461060091
ABSTRACT GIYANTO. Evaluation of the Underwater Photo Transect Method for Assessing the Condition of Coral Reefs. Supervised by BUDHI HASCARYO ISKANDAR, DEDI SOEDHARMA, and SUHARSONO. The study to evaluate the Underwater Photo Transect (UPT) method as an alternative method for assessing the condition of coral reefs has been conducted in Kepulauan Seribu Jakarta in August 2008. The photos were taken at every 1 m interval, along 70 m transect length placed on the substratum parallel with the coastline at 3-5 m depth. Collecting data with other two methods, namely Belt Transect (BT) and Line Intercept Transect (LIT) were also applied at the same transect with UPT method for comparison study. The comparison study among those three methods (BT, LIT and UPT) indicated that the percentage cover for all benthic and substratum (Hard Coral, Dead Scleractinia, Algae, Other Fauna and Abiotic) were not significantly different. On the contrary, the values of hard coral diversity such as the number of species (S), Shannon’s diversity index (H’) and Piellou’s eveness index (J’) were significantly different for three methods. The higher value of S and H was found when BT method was applied, but the higher value of J’ was found when LIT method was applied. MDS analysis shows that the group occured due to the station, not the method. Therefore, even though the values of hard coral diversity were different among three methods, the UPT method could be used to compare the diversity of hard coral among stations. The study on efficiency and accuracy of photo analysis indicated that the technique of selecting 10 sample random point can be used to estimate the hard coral cover, and the technique of selecting 30 sample random point can be used to estimate the coverage of all group of benthic and substratum. Both techniques use photoes with the minimun image area = (40 x 30) cm2 for each frame. If the species of hard coral was recorded, the technique of calculating the area of benthic and substrate must be done based on photoes with the minimum image area = (58 x 44) cm2 per frame. The study on investigation the optimal of transect length indicated that treatment M (1m_1-10&21-30) was the optimal treatment to estimate the hard coral cover, and treatment C(1m_1-50m) was the optimal treatment to estimate the coverage of all group of benthic and substratum. If the species of hard coral was recorded, the treatment C can also be used for comparison study the diversity among all locations of study area. Treatment M (1m_1-10&21-30) use a (2 x 10 m) of transect length where the photoes are taken from frame-1 to frame-10, and frame-21 to frame-30. Treatment C (1m_1-50) use a 50 m of transect length where the photoes are taken from frame-1 to frame-50. The conclusion of this study is: the UPT method can be used as an alternative method for assessing the condition of coral reefs, with three option depend on the objectives of the research, and the various ability of human resources. Keywords: Underwater Photo Transect, Belt Transect, Line Intercept Transect, condition of coral reefs, coral reefs, photo analysis, transect length
RINGKASAN GIYANTO. Evaluasi Metode Transek Foto Bawah Air untuk Penilaian Kondisi Terumbu Karang. Dibimbing oleh BUDHI HASCARYO ISKANDAR, DEDI SOEDHARMA, dan SUHARSONO. Penelitian untuk mengevaluasi penggunaan metode Transek Foto Bawah Air (Underwater Photo Transect = UPT) sebagai metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang telah dilakukan di Kepulauan Seribu Jakarta pada Agustus 2008. Pada penggunaan metode UPT ini, pengambilan data dilakukan dengan cara pemotretan setiap rentang jarak 1 m pada sepanjang garis transek 70 m. Garis transek diletakkan sejajar garis pantai, dan berada pada kedalaman sekitar 3-5 m. Sebagai metode pembanding, pada garis transek tersebut juga dilakukan pengambilan data menggunakan metode Tansek Sabuk (Belt Transect = BT) dan Transek Garis Intersep (Line Intercept Transect = LIT). Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga metode yang dipakai (BT, LIT dan UPT) menghasilkan nilai yang relatif sama (p > 0,01) untuk menduga persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat (Karang keras = HC, Karang mati = DS, Alga = ALG, Fauna lain = OF, dan Abiotik = ABI) yang ada di dalam terumbu karang. Untuk nilai keanekaragaman karang keras seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’) dan indeks kemerataan (J’), hasilnya relatif berbeda (p<0,01) antara ketiga metode tersebut. Meskipun berbeda, dari analisis MDS menunjukkan pola kecenderungan pengelompokan berdasarkan stasiun penelitiannya, bukan pada metodenya sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai keanekaragaman karang keras yang dihitung berdasarkan nilai S, H’ dan J’ tetap bisa digunakan dan diperbandingkan hasilnya sepanjang metode penelitian yang digunakan sama. Kajian tentang efisiensi dan akurasi pada proses analisis foto yang datanya diambil dengan metode UPT menunjukkan bahwa proses analisis foto menggunakan teknik pemilihan 10 sampel titik acak dapat digunakan untuk mengetahui persentase tutupan karang keras (HC), sedangkan bila menggunakan teknik pemilihan 30 sampel titik acak dapat digunakan untuk mengetahui persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat sekaligus. Kedua teknik analisis foto yang digunakan tersebut dilakukan berdasarkan hasil pemotretan dengan luas bidang pemotretan (40 x 30) cm2 untuk setiap framenya. Bila datanya memasukkan nama jenis karang keras, maka untuk proses analisis fotonya menggunakan teknik menghitung luas area berdasarkan hasil pemotretan dengan luas bidang pemotretan (58 x 44) cm2. Kajian tentang optimalisasi panjang garis transek pada penggunaan metode UPT menunjukkan bahwa untuk menduga persentase tutupan karang keras (HC) bisa digunakan perlakuan M atau (1m_1-10&21-30), sedangkan untuk menduga persentase tutupan kelompok biota dan substrat sekaligus (HC, DS, ALG, OF dan ABI) digunakan perlakuan C atau (1m_1-50). Perlakuan C juga bisa digunakan untuk membandingkan keanekaragaman antar stasiun penelitian menggunakan nilai keanekaragaman seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Piellou (J’). Perlakuan M (1m_1-10&21-30) adalah perlakuan dengan panjang garis transek 2 x 10 m
dimana pengambilan foto dilakukan pada frame ke-1 hingga frame ke-10 dan frame ke-21 hingga frame ke-30. Sedangkan perlakuan C (1m_1-50) adalah perlakuan dimana panjang garis transek adalah 50 m dan pengambilan fotonya dilakukan mulai frame ke-1 hingga frame ke-50. Berdasarkan hasil kajian terhadap efisiensi dan akurasi pada proses analisis foto serta panjang transek optimal yang digunakan pada metode UPT, maka terdapat tiga pilihan penggunaan metode UPT, yaitu: 1. Pilihan UPT M_10titik. Pada pilihan ini digunakan panjang transek 2 x 10 m dimana pemotretan dilakukan pada frame ke-1 hingga ke-10 dan frame ke-21 hingga ke-30 dengan luas bidang pemotretan minimal 1200 cm2 untuk setriap framenya, dan teknik analisis foto menggunakan 10 sampel titik acak per framenya. Luas bidang 1200 cm2 per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom). Jika menggunakan kamera tipe lain, maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas bidang pemotretannya per framenya minimal = (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2. Pilihan ini dilakukan bila tujuan penelitian hanya untuk mengetahui persentase tutupan karang keras (HC) saja. Penggunaan metode UPT dengan pilihan ini jauh lebih efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan dengan metode BT dan LIT, dimana koefisien efisiensi antar metode UPT M_10titik : LIT : UPT adalah 1: 7,73: 29,96. Semakin efisien suatu metode, semakin kecil nilai koefisien efisiensinya. 2. Pilihan UPT C_30titik Pada pilihan ini digunakan panjang transek 50 m dimana pemotretan dilakukan mulai frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan minimal 1200 cm2 untuk setriap framenya, dan teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak per framenya. Luas bidang 1200 cm2 per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom). Jika menggunakan kamera tipe lain, maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas bidang pemotretannya per framenya minimal = (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2. Pilihan ini digunakan bila ingin mengetahui persentase tutupan kelompok biota dan substrat sekaligus, dimana biota dan substrat dikelompokkan kedalam lima kelompok yaitu Karang keras (HC), Karang mati (DS), Alga (ALG), Fauna lain (OF) dan Abiotik (ABI). Penggunaan metode UPT dengan pilihan ini juga masih lebih efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan dengan metode LIT dan BT, dimana koefisien efisiensi antar metode UPT C_30titik : LIT : BT adalah 1 : 2,81 : 10,91. Nilai koefisien yang lebih kecil menunjukkan bahwa metode tersebut lebih efisien. 3. Pilihan UPT C_Area Menggunakan panjang transek 50 m dimana pemotretan dilakukan mulai frame ke-1 hinga ke-50 dengan luas bidang pemotreatan minimal 2552 cm2 untuk setiap framenya, dan teknik analisis foto menghitung luas area. Luas bidang 2552 cm2 per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera WZ dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom). Jika menggunakan kamera tipe lain,
maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas bidang pemotretan per framenya minimal = (58 cm x 44 cm) = 2552 cm2. Pada pilihan ini, pengambilan data dilakukan hingga ke tingkat penamaan jenis karang keras. Tujuan yang ingin diperoleh dari pilihan ini adalah selain ingin mengetahui persentase tutupan masing-masing kelompok biota dan substrat, juga ingin membandingkan keanekaragaman karang keras (yang dihitung dengan nilai S, H’ dan J’) antara satu stasiun atau lokasi penelitian dengan stasiun atau lokasi penelitian yang lainnya. Penggunaan metode UPT dengan pilihan ini tidak lebih efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan dengan metode LIT. Meskipun begitu, penggunaan metode UPT dengan pilihan ini masih lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan metode BT. Perbandingan nilai koefisien efisiensi antar metode UPT, LIT dan BT adalah 1,09 : 1 : 3,88 dimana semakin kecil nilai koefisiennya maka semakin efisien metode tersebut. Meskipun begitu, penggunaan metode UPT C area ini tetap perlu dipertimbangkan untuk digunakan karena selain nilai koefisiennya yang tidak terlalu berbeda dengan metode LIT (hanya 9%), juga terbukti dapat mempersingkat waktu yang diperlukan untuk pengambilan data di lapangan. Singkatnya waktu pengambilan data di lapangan seringkali sangat bermanfaat saat melakukan kegiatan penyelaman, terutama pada saat kondisi perairan berarus dan berombak kuat yang mungkin saja dapat beresiko terhadap keselamatan jiwa penyelam. Kata Kunci: transek foto bawah air, transek sabuk, transek garis intersep, penilaian kondisi terumbu karang, terumbu karang, analisis foto, panjang transek
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
EVALUASI METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR UNTUK PENILAIAN KONDISI TERUMBU KARANG
GIYANTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji luar komisi pada: Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si. (Staf pengajar FPIK, IPB) 2. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. (Staf pengajar FPIK, IPB)
Ujian Terbuka :
1. Dr. Soekarno (Konsultan CRITC-COREMAP LIPI) 2. Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc. (Kepala Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin, Makassar)
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan - Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan – Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB, serta pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tempat dimana penulis bekerja, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan IPB. Disamping itu penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si (Ketua Komisi Pembimbing), Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA (Anggota Komisi Pembimbing) dan Prof. Dr. Suharsono (Anggota Komisi Pembimbing) atas kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah mengajarkan dan memberikan ilmunya kepada penulis, rekanrekan mahasiswa dan rekan-rekan di Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI atas diskusi, kerjasama, bantuan dan dukungannya selama ini, serta orangtua dan keluarga atas doa, kasih sayang, pengertian dan dukungan semangatnya. Tak lupa pula ucapan terima kasih ditujukan kepada semua pihak, yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuannya mulai dari selama penulis memulai kuliah di Program Doktor hingga penyelesaian akhir disertasi ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan semuanya dan selalu memberikan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua.
Bogor, Desember 2010
Giyanto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purworejo (Jawa Tengah) pada tanggal 30 Desember 1967 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara, dari pasangan Sarono Partodihardjo (Almarhum) dan Ruminah. Pendidikan Sarjana (S.Si.) ditempuh di Program Studi Statistika Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka, lulus tahun 1994. Pada tahun 1998, penulis mendapat beasiswa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melanjutkan kuliah program S2 (M.Sc.) pada Program Studi Ecological Marine Management (Ecomama) di Vrije Universiteit Brussel (VUB), Belgia dan lulus tahun 2000. Untuk menambah wawasan dalam bidang stastistika, pada tahun ajaran 1999/2000, atas biaya sendiri, penulis mengikuti perkuliahan program M.Sc. pada Program Studi Applied Statistics di Limburgs Universitair Centrum (LUC) (sekarang bernama Hasselt University) di Hasselt, Belgia. Karena kesibukan kuliah dan penulisan tesis di Ecomama (VUB), kuliah di LUC tersebut hanya bisa diikuti sekitar setengah tahun saja dan telah lulus beberapa mata kuliah. Pada tahun 2006, dengan beasiswa dari LIPI, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, IPB. Pendidikan non formal seperti mengikuti pelatihan juga pernah diikuti diantaranya ”Training course in Conservation and Sustainable Mangement of Coral Reefs” yang diselenggarakan pada Mei - Agustus 2001 di Okinawa, Jepang. ”Training workshop on Statistical analysis and interpretation of community data from ecology/environmental science, using PRIMER for Windows (v5)” yang diselenggarakan pada Februari 2003 di Plymouth, Inggris. Penulis bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI Jakarta sejak tahun 1987, yang sekarang berubah nama menjadi Pusat Penelitian Oseanografi (Puslit Oseanografi) - LIPI. Selama bekerja di Puslit OseanografiLIPI, penulis terlibat dalam beberapa penelitian bidang terumbu karang yang dilakukan di beberapa tempat di perairan Indonesia. Tulisan yang berjudul ”Efisiensi dan akurasi pada proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu karang” yang merupakan bagian dari disertasi ini telah diterbitkan pada jurnal ilmiah terakreditasi ”Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI)” pada Volume 36, No.1 April 2010.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
xxiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. xxvii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..
xxxi
DAFTAR SINGKATAN/ISTILAH ……………………………………... xxxiii 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1.1 Latar Belakang …………………………………………………….. 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………….. 1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 1.4 Hipotesis …………………………………………………………... 1.5 Manfaat Penelitian ………………………………………………… 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………… 1.7 Kerangka Pemikiran ………………………………………………. 1.8 Kebaruan …………………………………………………………...
1 1 6 7 7 7 8 10 17
2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 2.1 Terumbu Karang …………………………………………………... 2.2 Beberapa Metode Penilaian Kondisi Terumbu Karang …………... 2.2.1 Metode Transek Sabuk ……………………………………... 2.2.2 Metode Transek Garis dan Transek Garis Intersep ………...
19 19 22 22 23
3 METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………………… 3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian …………………………………… 3.3 Metode Pengambilan Data ………………………………………… 3.3.1 Penarikan sampel dengan metode Transek Sabuk …………. 3.3.1 Penarikan sampel dengan metode Transek Garis Intersep …. 3.3.3 Penarikan sampel dengan metode Transek Foto Bawah Air.. 3.4 Analisis Data ……………………………………………………….
25 25 27 27 28 29 30 31
4 PERBANDINGAN ANTARA METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR DENGAN TRANSEK SABUK DAN TRANSEK GARIS INTERSEP ……………………………………………………. 4.1 Pendahuluan ……………………………………………………….. 4.2 Bahan dan Metode ………………………………………………… 4.2.1 Tempat dan waktu penelitian ……………………………….. 4.2.2 Metode pengambilan data …………………………………... 4.2.3 Analisis data ……………………………………………….. 4.3 Hasil ……………………………………………………………….. 4.3.1 Analisis biaya dan waktu …………………………………… 4.3.2 Persentase tutupan …………………………………………..
35 35 36 36 37 38 41 41 45 xix
4.3.3 Keanekaragaman karang keras ……………………………... 4.4 Pembahasan ……………………………………………………….. 4.5 Kesimpulan ………………………………………………………...
51 55 58
5 EFISIENSI DAN AKURASI PADA PROSES ANALISIS FOTO BAWAH AIR UNTUK MENILAI KONDISI TERUMBU KARANG 5.1 Pendahuluan ……………………………………………………….. 5.2 Bahan dan Metode ………………………………………………… 5.2.1 Tempat dan waktu penelitian ……………………………….. 5.2.2 Metode pengambilan data …………………………………... 5.2.3 Analisis foto ………………………………………………… 5.2.4 Analisis data ………………………………………………... 5.2.5 Efisiensi …………………………………………………….. 5.2.6 Akurasi ……………………………………………………… 5.3 Hasil ……………………………………………………………….. 5.3.1 Analisis biaya dan waktu …………………………………… 5.3.2 Persentase tutupan biota dan substrat ………………………. 5.3.3 Keanekaragaman karang keras ……………………………... 5.4 Pembahasan ……………………………………………………….. 5.5 Kesimpulan ………………………………………………………...
59 59 60 60 60 62 64 65 65 66 66 70 73 75 79
6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR …………………………. 6.1 Pendahuluan ……………………………………………………….. 6.2 Bahan dan Metode ………………………………………………… 6.2.1 Tempat dan waktu penelitian ………………………………. 6.2.2 Teknik pengumpulan data ………………………………….. 6.2.3 Analisis foto ………………………………………………… 6.2.4 Analisis data ………………………………………………... 6.3 Hasil ……………………………………………………………….. 6.3.1 Analisis biaya dan waktu …………………………………… 6.3.2 Persentase tutupan biota dan substrat ………………………. 6.3.3 Keanekaragaman karang keras ……………………………... 6.4 Pembahasan ……………………………………………………….. 6.5 Kesimpulan ………………………………………………………...
81 81 81 81 81 82 82 83 83 89 95 100 102
7 PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………... 7.1. Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air ………………………………………………………………… 7.1.1 Pilihan UPT M_10titik ……………………………………... 7.1.2 Pilihan UPT C_30titik ……………………………………… 7.1.3 Pilihan UPT C_Area ………………………………………... 7.2 Keunggulan dan Kelemahan Metode Transek Foto Bawah Air Terhadap Metode Transek Sabuk dan Transek Garis ……………..
103
8 KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 8.1 Kesimpulan ………………………………………………………... 8.2 Saran ……………………………………………………………….
119 119 119
xx
103 105 107 109 117
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
121
LAMPIRAN ………………………………………………………………
125
xxi
DAFTAR TABEL Halaman 1 Lokasi penelitian beserta kode stasiunnya ................................................... 37 2 Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing metode ............. 42 3 Biaya perhari yang dikeluarkan dan nilai bobot untuk pengambilan dan pemasukan data berdasarkan metode penelitian yang digunakan ................ 42 4 Perhitungan koefisien biaya dan waktu untuk masing-masing metode penelitian (UPT, LIT, BT) ........................................................................... 45 5 Hasil anova untuk persentase tutupan HC (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua)................................................................... 47 6 Nilai p hasil anova pada data nilai keanekaragaman untuk sumber variasi Metode (BT, LIT dan UPT) ............................................................. 52 7 Nilai p hasil uji simultan Tukey pada perbandingan berganda antara metode BT, LIT dan UPT ............................................................................ 53 8 Keputusan dari uji simultan Tukey antara metode BT, LIT dan UPT ......... 53 9 Nilai p terhadap waktu analisis foto frame berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (frame acak, faktor kamera acak dan faktor teknik tetap). Data ditransformasikan ke bentuk ln .................................................................... 68 10 Nilai p terhadap persentase tutupan biota dan substrat berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Frame acak, faktor Kamera acak dan faktor Teknik tetap). Data ditransformasikan ke bentuk arcsin akar pangkat dua.............. 71 11 Nilai p terhadap jumlah spesies karang keras (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Frame acak, faktor Kamera acak dan faktor Teknik tetap). Transformasi akar pangkat dua diterapkan pada data S ................................................................................. 73 12 Daftar perlakuan terhadap panjang transek yang dianalisis ......................... 85 13 Hasil analisis biaya dan waktu pada penggunaan metode UPT dengan berbagai macam perlakuan........................................................................... 88
14 Hasil anova untuk persentase tutupan karang keras (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) ...................................... 89 15 Hasil anova untuk persentase tutupan karang mati (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) .............................................................. 91 16 Hasil anova untuk persentase tutupan alga (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) ................................................................... 92 17 Hasil anova untuk persentase tutupan fauna lain (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) .............................................................. 93 18 Interval kepercayaan 95% simultan Dunnett untuk persentase tutupan fauna lain ...................................................................................................... 94 19 Hasil anova untuk persentase tutupan abiotik (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) ................................................................... 95 20 Hasil anova untuk jumlah jenis (S) karang keras (data ditransformasi ke bentuk ln) ................................................................................................. 96 21 Interval kepercayaan 95% simultan Dunnett untuk jumlah jenis karang keras .................................................................................................. 96 22 Hasil anova untuk nilai indeks keanekaragaman (H’) .................................. 97 23 Interval kepercayaan 95% simultan Dunnett untuk nilai indeks keanekaragaman (H’) jenis karang keras...................................................... 98 24 Hasil anova untuk nilai indeks kemerataan jenis (J’) ................................... 99 25 Interval kepercayaan 95% simultan Dunnett untuk indeks kemerataan (J’) jenis karang keras .................................................................................. 99 26 Nilai rerata beserta simpangan baku terhadap nilai yang diperoleh dari perlakuan A dan C ...................................................................................... 101 27 Anova (untuk pengukuran berulang) pada data persentase tutupan HC yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT M_10titik. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua ............................. 106 28 Perhitungan koefisien efisiensi biaya dan waktu untuk metode UPT M_10titik, LIT dan BT ............................................................................... 107 29 Anova pada data persentase tutupan HC yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT C_30titik. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua .............................................................................. 108
xxiv
30 Nilai p pada uji t berpasangan untuk persentase tutupan kelompok DS, ALG, OF dan ABI yang diperoleh dengan metode LIT (panjang transek 70 m) dan metode UPT C_30titik. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua .................................................................. 108 31 Perhitungan koefisien efisiensi biaya dan waktu untuk metode UPT C_30titik, LIT dan BT ............................................................................... 109 32 Anova (untuk pengukuran berulang) pada data persentase tutupan HC yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT C_Area. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua ..................................... 110 33 Nilai p pada uji t berpasangan untuk persentase tutupan kelompok DS, ALG, OF dan ABI yang diperoleh dengan metode LIT (panjang transek 70 m) dan metode UPT C_Area. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua .............................................................................. 111 34 Nilai p hasil anova pada data nilai keanekaragaman untuk sumber variasi metode (BT, LIT dan UPT C_Area) .............................................. 112 35 Nilai p hasil uji simultan Tukey pada perbandingan berganda antara metode BT, LIT dan UPT .......................................................................... 112 36 Keputusan dari uji simultan Tukey antara metode BT, LIT dan UPT C_Area ....................................................................................................... 112 37 Perhitungan koefisien biaya dan waktu untuk masing-masing metode penelitian .................................................................................................... 115 38 Lamanya waktu pengambilan data di lapangan ......................................... 116
xxv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pengamat yang menggunakan peralatan selam SCUBA ............................... 4 2 Kerangka pemikiran penelitian .................................................................... 11 3 Diagram alir yang berisi keseluruhan tahapan pada penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang................................. 13 4 Diagram alir yang berisi tahapan pelaksanaan pada Tahap I ....................... 14 5 Diagram alir yang berisi tahapan pelaksanaan pada Tahap II ..................... 15 6 Diagram alir yang berisi tahapan pelaksanaan pada Tahap III .................... 16 7 Struktur karang (Veron 2000a) .................................................................... 20 8 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, Jakarta .................................... 26 9 Pita berskala (roll meter).............................................................................. 28 10 Pita berskala (roll meter) sepanjang 70 m yang diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman sekitar 3-5 m ........................................................... 28 11 Ilustrasi pengukuran panjang dan lebar maksimum dari koloni karang keras ………... ............................................................................................. 29 12 Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Sabuk (BT) ...... 29 13 Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Garis Intersep (LIT) …………... ........................................................................... 30 14 Pengambilan foto di lapangan dengan metode UPT; (a) Posisi pita berskala pada Frame 1 dan frame bernomer ganjil (b) Posisi pita berskala pada Frame 20 dan frame bernomer genap ................................... 31 15 Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Foto Bawah Air (UPT). .................................................................................................... 31 16 Perhitungan luas area dari masing-masing kategori. ................................... 39 17 Rerata lamanya waktu pengambilan data di lapangan beserta nilai simpangan bakunya per transek untuk masing-masing metode ................... 43 18 Rerata lamanya waktu pemasukan data per transek beserta nilai simpangan bakunya per transek untuk masing-masing metode ................... 44
19 Rerata persentase tutupan beserta nilai kesalahan baku masing-masing kelompok berdasarkan metode yang digunakan (n=10) ............................... 46 20 Persentase tutupan karang keras di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan tiga metode berbeda (BT, LIT dan UPT) .................. 47 21 Persentase tutupan karang mati di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan dua metode berbeda .................................................. 48 22 Persentase tutupan alga di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan dua metode berbeda ........................................................... 49 23 Persentase tutupan fauna lain di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan dua metode berbeda .................................................. 50 24 Persentase tutupan abiotik di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan dua metode berbeda ........................................................... 50 25 Jumlah jenis karang keras yang dijumpai selama penelitian dengan menggunakan tiga metode yang berbeda (BT, LIT, UPT) ........................... 51 26 Nilai H’ yang diperoleh di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan tiga metode yang berbeda (BT, LIT, UPT) ........................... 51 27 Nilai J’ yang diperoleh di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan tiga metode yang berbeda (BT, LIT, UPT) ........................... 52 28 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana stasiun sebagai faktor…… ..................................................................................................... 54 29 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana metode sebagai faktor…… ..................................................................................................... 55 30 Kesalahan dalam pengukuran pada metode BT ........................................... 56 31 Kamera digital Olympus µ720SW; a. tanpa pelindung; b. dengan pelindung ...................................................................................................... 61 32 Kamera digital Olympus Camedia C8080WZ; a. tanpa pelindung; b. dengan pelindung...................................................................................... 61 33 Luas bidang pemotretan dengan kamera: a. Olympus µ720SW; b. Olympus Camedia C8080WZ .................................................................. 62 xxviii
34 Perhitungan luas area dari masing-masing kategori .................................... 63 35 Pemilihan sampel titik acak ......................................................................... 64 36 Lamanya waktu analisis foto untuk penyimpanan data berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan. Data ditransformasi ke bentuk ln… .............................................................................................. 69 37 MDS berdasarkan tipe kamera dan teknik yang digunakan terhadap data lamanya waktu yang diperlukan untuk menganalisis foto (transformasi ln) menggunakan jarak Euclidean ......................................... 70 38 MDS untuk persentase tutupan kelompok biota dan substrat menggunakan jarak Euclidean pada data yang ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua .................................................................... 72 39 MDS untuk jumlah spesies karang keras (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) menggunakan jarak Euclidean. Untuk data S, ditransformasi akar pangkat dua ......................... 74 40 Rerata persentase beserta nilai kesalahan baku tutupan kelompok biota dan substrat yang dianalisis dengan berbagai perlakuan ............................. 90 41 Analisis MDS terhadap data tutupan karang hidup untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean ................................................................ 91 42 Analisis MDS terhadap data tutupan karang mati untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean. ............................................................... 92 43 Analisis MDS terhadap data tutupan alga untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean............................................................................................. 93 44 Analisis MDS terhadap data tutupan fauna lain untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean. ....................................................................... 94 45 Analisis MDS terhadap data tutupan abiotik untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean ........................................................................ 95 46 Analisis MDS terhadap jumlah jenis karang keras (data ditransformasi ke dalam bentuk ln) berdasarkan jarak Euclidean. ...................................... 97 47 Analisis MDS terhadap nilai indeks keanekaragaman (H’) jenis karang keras berdasarkan jarak Euclidean ............................................................... 98
xxix
48 Analisis MDS terhadap nilai indeks kemerataan (J’) jenis karang keras (data ditransformasi ke bentuk pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean. ................................................................................................... 100 49 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT C_Area) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana stasiun sebagai faktor.................................................................................. 113 50 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT C_Area) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana metode sebagai faktor ................................................................................. 114
xxx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Contoh pengelompokan kategori biota dan substrat ................................. 127 2 Posisi koordinat stasiun penelitian dimasing-masing pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta.......................................................................... 134 3 Lamanya waktu yang diperlukan baik untuk pengambilan data di lapangan maupun untuk pemasukan data dari masing-masing metode di setiap stasiun penelitian …………………………………………….. .. 135 4 Persentase tutupan masing-masing kelompok di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan metode yang digunakan (BT, LIT, UPT) …………………………………………………………………... ... 136 5 Frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan metode Transek Sabuk (BT = Belt Transect) ………………………………….. .. 137 6 Frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan metode Transek Garis Intersep (LIT = Line Intercept Transect) ........................... 142 7 Frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect)................ 145 8 Jumlah jenis (S), nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan nilai indeks kemerataan Piellou (J’) dari karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan metode pengambilan sampel yang digunakan ............................................................................. 149 9 Lamanya waktu (menit) analisis data setiap framenya untuk masingmasing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan.................... 150 10 Persentase tutupan kelompok karang keras (HC) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan ................................................................................... ............... 154 11 Persentase tutupan kelompok karang mati (DS) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan ....... 158 12 Persentase tutupan kelompok alga (ALG) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan ....... 162
13 Persentase tutupan kelompok fauna lain (OF) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan ....... 166 14 Persentase tutupan kelompok abiotik (ABI) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan ....... 170 15 Jumlah jenis karang keras (S) setiap framenya berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan..................................................... 174 16 Nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dari karang keras untuk setiap framenya berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan ……………………………………………………………… .. 178 17 Nilai indeks kemerataan Piellou (J’) dari karang keras untuk setiap framenya berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan ………….. ................................................................................ 182 18 Persentase tutupan masing-masing kelompok biota dan substrat di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan perlakuan .......................... 186 19 Jumlah jenis (S), nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan nilai indeks kemerataan Piellou (J’) dari karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan perlakuan .......................... 191 20 Persentase tutupan kelompok karang keras (HC) yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT (dengan pilihan M_10titik) ....... 194 21 Lamanya waktu (menit) untuk pemasukan data pada penggunaan metode UPT dengan pilihan M_10titik, C_30titik dan C_Area ................. 195 22 Persentase tutupan kelompok biota dan substrat (HC, DS, ALG, OF, ABI) yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT (dengan pilihan C_30titik)........................................................................................ 196 23 Persentase tutupan kelompok biota dan substrat (HC, DS, ALG, OF, ABI) yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT (dengan pilihan C_Area) .......................................................................................... 197 24 Frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian menggunakan metode UPT dengan pilihan UPT C_Area………………………………………………………198 25 Jumlah jenis (S), nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan nilai indeks kemerataan Piellou (J’) dari karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan metode pengambilan sampel yang digunakan (BT, LIT dan UPT C_Area)................................. 202
xxxii
DAFTAR SINGKATAN/ISTILAH ABI
: Abiotic = Abiotik, salah satu komponen di dalam ekosistem terumbu karang.
AIMS
: Australian Institute of Marine Science.
Akurasi : kedekatan suatu pengukuran atau nilai yang diperoleh terhadap nilai yang sesungguhnya. Akurat
: tepat, benar.
ALG
: Algae = Alga, salah satu komponen di dalam ekosistem terumbu karang.
Anova
: Analysis of Variance = analisis variansi = analisis ragam
BT
: Belt Transect = Transek Sabuk, merupakan salah satu metode untuk menilai kondisi terumbu karang.
CPCe
: Coral Point Count with Excel Extensions, nama piranti lunak.
Download (mengunduh) : mengambil file dari jaringan internet atau intranet dan menempatkannya ke komputer lokal. DS
: Dead Scleractinia = Karang mati, salah satu komponen di dalam ekosistem terumbu karang.
Efisien
: (1) tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya); (2) mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat.
GPS
: Global Positioning System.
Hardware (perangkat keras) : sebutan untuk bagian-bagian dari komputer yang dapat dilihat dan disentuh secara fisik (misal: monitor, layar, dan lain-lain). HC
: Hard Coral = Karang keras, salah satu komponen di dalam ekosistem terumbu karang.
Lifeform : bentuk hidup dari pertumbuhan karang keras, misalnya bercabang (branching), merayap (encrusting), masif (massive), dan sebagainya. LIT
: Line Intercept Transect = Transek Garis Intersep, merupakan salah satu metode untuk menilai kondisi terumbu karang.
MDS
: Multi Dimensional Scaling.
OF
: Other Fauna = Fauna lain, salah satu komponen di dalam ekosistem terumbu karang.
Optimal : (ter)baik; tertinggi; paling menguntungkan. PIT
: Point Intercept Transect = Transek Titik Intersep, merupakan salah satu metode untuk menilai kondisi terumbu karang.
Primer
: Plymouth Routines in Multivariate Ecological Research, nama suatu piranti lunak yang dikembangkan oleh PRIMER-E Ltd, Plymouth, Inggris.
REA
: Rapid Ecological Assessment, merupakan salah satu metode untuk menilai kondisi terumbu karang.
ROV
: Remotely Operated Vehicle, merupakan peralatan yang dirancang untuk penggunaan bawah air dimana gerakannnya dikontrol dari atas kapal. Peralatan tersebut berisi video untuk merekam gambar bawah air, dan dihubungkan dengan kabel-kabel ke komputer yang berada di atas kapal sehingga dapat dioperasikan dari atas kapal.
RRI
: Reef Resource Inventory, merupakan salah satu metode untuk menilai kondisi terumbu karang.
SCUBA : Self-Contained Underwater Breathing Apparatus = Perangkat Bernapas Bawah Air yang Berdiri Sendiri, mengacu penggunaan alat pernapasan bebas untuk berada bawah air dalam waktu lama baik untuk penyelaman rekreasi maupun penyelaman profesional. SE
: Standard Error = kesalahan baku.
Software (perangkat lunak) : program komputer yang berfungsi sebagai sarana interaksi antara pengguna dan perangkat keras komputer. Perangkat lunak dapat juga dikatakan sebagai 'penterjemah' perintah-perintah yang dijalankan pengguna komputer untuk diteruskan ke atau diproses oleh perangkat keras. Perangkat lunak ini dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu sistem operasi (misal: Microsoft Windows), program aplikasi (misal: Minitab, Primer, CPCe), dan tingkatan bahasa pemrograman (misal: Fortran). SW
: tipe kamera bawah air, Olympus µ720SW.
UPT
: Underwater Photo Transect = Transek Foto Bawah Air, merupakan sebuah metode yang dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu metode penelitian untuk menilai kondisi terumbu karang.
WZ
: tipe kamera, Olympus Camedia C8080WZ.
xxxiv
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang menyimpan kekayaan sumberdaya alam hayati yang melimpah, baik di darat maupun di laut. Salah satunya adalah terumbu karang (coral reef). Luas terumbu karang di seluruh dunia diperkirakan seluas 617.000 km2 (Smith 1978), dimana sekitar 14%nya berada di Indonesia (Tomascik et al. 1997, Ikawati et al. 2001). Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal yang sangat bernilai ekonomis bagi Indonesia (Sukarno et al. 1982). Dalam terumbu karang hidup berbagai macam biota laut yang merupakan sumber protein dari laut dan sumber bahan obat. Perpaduan yang harmonis antara karang keras (hard coral), yang merupakan komponen utama penyusun terumbu karang, dengan biota lainnya menjadikan terumbu karang sebagai ekosistem yang memiliki keindahan yang bernilai tinggi, yang sangat potensial sebagai daya tarik pariwisata. Selain itu, terumbu karang juga dikenal sebagai benteng alami yang berfungsi melindungi pulau dan pantai dari bahaya erosi yang disebabkan oleh gempuran ombak. Mengingat betapa pentingnya terumbu karang bagi Indonesia, maka pengelolaan yang bersifat lestari sangatlah diperlukan. Terlebih-lebih pada masa sekarang dimana laju pertumbuhan penduduk yang tinggi ditambah dengan sulitnya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjadikan tekanan pada daerah terumbu karang meningkat. Penambangan pasir laut dan karang sebagai bahan bangunan merupakan salah satu contoh yang bisa membahayakan kelestarian terumbu karang, bahkan bisa mengakibatkan tenggelam atau hilangnya pulau. Pulau Air Kecil dan Pulau Ubi Kecil yang terletak di Kepulauan Seribu, Jakarta merupakan beberapa contoh pulau yang telah tenggelam (Ongkosongo and Sukarno 1986, Stoddart 1986). Untuk dapat mengelola terumbu karang dengan baik, diperlukan penelitian dengan menggunakan suatu metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menilai kondisi terumbu karang. Penelitian itu bisa merupakan penelitian yang bersifat pengumpulan data dasar (baseline) yang ditujukan untuk lokasi-lokasi yang belum ada datanya, maupun penelitian yang bersifat pemantauan
2
(monitoring) untuk melihat bagaimana perubahan kondisi ekosistem terumbu karang di suatu lokasi setelah periode tertentu ataupun setelah perlakuan tertentu (misalnya setelah dijadikan daerah konservasi). Ada beberapa metode yang digunakan untuk menilai kondisi terumbu karang diantaranya : -
Manta tow (Kenchington 1978, English et al. 1997; Sukmara et al. 2001);
-
Spot check (Kenchington 1978);
-
Timed swims (Oliver et al. 2004);
-
Reef Resource Inventory (RRI) (Long et al. 2004);
-
Rapid Ecological Assessment (REA) (DeVantier et al. 1998)
-
Visual quadrat (Hill and Wilkinson 2004);
-
Quadrat transect (Oliver et al. 2004);
-
Permanent quadrat transect (English et al. 1997);
-
Belt transect (Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004);
-
Line transect (Loya 1978, Moll 1983);
-
Chain transect (Moll 1983, Hill and Wilkinson 2004);
-
Line Intercept Transect (LIT) (English et al. 1997; Mundy 1990; Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004);
-
Point Intercept Transect (PIT) (Hill and Wilkinson 2004; Lam et al. 2006);
-
Permanent photo quadrat (Hill and Wilkinson 2004);
-
Video transect (Hill and Wilkinson 2004, Lam et al. 2006);
-
Remotely Operated Vehicle (ROV) (Lam et al. 2006). Walaupun beberapa metode diantaranya memiliki nama yang berbeda
tetapi memiliki kemiripan pelaksanaan di lapangan, sehingga pada prinsipnya bisa dikelompokkan pada satu kelompok. Beragamnya metode yang digunakan dalam menilai kondisi ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari adanya kelemahan yang dikandung oleh suatu metode sehingga perlu digunakan metode lainnya yang dianggap mampu menutupi kelemahan metode tersebut. Kelemahan tersebut bisa dari segi teknis pelaksanaan di lapangan, kemampuan sumberdaya manusia, maupun besarnya anggaran biaya yang diperlukan untuk melakukan metode tersebut. Sebagai contoh misalnya: pengunaan metode Manta tow yang dapat menjangkau daerah penelitian yang lebih luas dengan waktu yang lebih
3
singkat, akan sulit dan berbahaya bila dilakukan pada daerah yang penuh dengan karang keras yang berbentuk masif (seperti bongkahan batu) berukuran besar. Untuk itu digunakan metode lainnya, misalnya metode LIT, walaupun dengan metode ini diperlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan metode Manta tow. Contoh lainnya, untuk melakukan metode LIT diperlukan seorang yang memiliki kemampuan menyelam. Karena kemampuan yang dimiliki pengamat hanya sebatas dapat berenang, maka metode yang digunakan adalah Timed swims atau RRI. Sayangnya, dengan menggunakan metode Timed swims atau RRI ini, data yang terambil tidak selengkap data yang bisa terambil dengan metode LIT, dimana pada data LIT diperoleh data keanekaragaman jenis dari karang keras (dan juga biota/substrat lainnya) yang dijumpai pada garis transek. Jadi kemampuan pengamat (kemampuan tingkat dasar, menengah dan ahli) dalam melakukan pengambilan data menjadi pertimbangan tersendiri dalam pemilihan metode yang digunakan. Hill and Wilkinson (2004) menyatakan bahwa perbedaan skala cakupan penelitian (broad scale, medium scale, fine scale) juga turut menentukan metode apa yang akan digunakan. Dari sekian banyak metode yang dipakai untuk menilai kondisi terumbu karang seperti yang disebutkan diatas, terdapat dua metode yang lebih dulu dikenal dan umum digunakan oleh para peneliti, yaitu: 1.
Transek Sabuk atau Belt transect (Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004).
2.
Transek Garis atau Line Transect (Loya 1978, Moll 1983); Metode ini kemudian dikembangkan oleh AIMS (Australian Institute of Marine Science) lewat
proyek
kerjasama
ASEAN-Australia,
dan
dikenal
sebagai
metode ”Line Intercept Transect (LIT)” (English et al. 1997, Mundy 1990, Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004). Nadon and Stirling (2006), berdasarkan 49 artikel pada 8 jurnal yang diterbitkan antara tahun 1990 dan 2001, menyebutkan bahwa metode Transek Sabuk digunakan sebesar 30%, atau sekitar 2 kali dari penggunaan metode Transek Garis (16%). Dalam penggunaan kedua metode ini, selain diperlukan keahlian dalam mengidentifikasi jenis karang, juga diperlukan keahlian menyelam dengan menggunakan peralatan SCUBA (Self-Contained Underwater
4
Breathing Apparatus) atau perangkat bernapas bawah air yang berdiri sendiri (Gambar 1).
Gambar 1 Pengamat yang menggunakan peralatan selam SCUBA Berlama-lama menyelam pada saat melakukan pengamatan atau penelitian bawah air dapat menyebabkan kelelahan fisik bagi penyelam. Apalagi bila saat penyelaman cuaca kurang bersahabat, dengan arus yang kuat dan ombak yang relatif besar. Belum lagi, resiko keracunan nitrogen (nitrogen narcosis yaitu meningkatnya tingkat nitrogen yang terlarut dalam darah yang diakibatkan oleh udara bertekanan tinggi yang dihirup selama penyelaman) yang dapat mempengaruhi fisik dan daya ingat (Baddeley et al. 1968, Hobbs and Kneller 2009), yang tentunya juga akan mempengaruhi data yang diperoleh. Selain daya tahan fisik yang mempengaruhi lamanya seseorang dalam melakukan penyelaman, faktor keterbatasan waktu dalam penyelaman karena terbatasnya udara dalam tabung selam, juga merupakan kendala yang tak bisa dihindarkan. Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan keluar agar dalam melakukan pengamatan bawah air, pengamat tak perlu berlama-lama melakukan penyelaman, tetapi tanpa kehilangan informasi atau data yang seharusnya diperoleh. Lam et al. (2006) menggunakan video bawah air (underwater video) untuk melakukan penelitian terumbu karang di Hongkong. Selain itu, Lam et al. (2006) juga menggunakan ROV, sebuah video yang digerakkan dengan remote dan dikontrol dari atas kapal sehingga tidak lagi diperlukan penyelam untuk pengambilan gambarnya. Penggunaan video, apalagi yang dilengkapi dengan ROV (Remotely Operated Vehicle) memerlukan biaya yang tinggi, dan adakalanya penggunaan
5
ROV sangat riskan dilakukan pada daerah-daerah tertentu terutama yang dasar perairannya tidak rata atau memiliki rugositas yang tinggi, dimana banyak dijumpai bongkahan-bongkahan karang berbentuk padat (masif). Benturanbenturan yang terjadi pada alat ROV bisa menyebabkan kerusakan pada alat tersebut. Oleh karena itu, penggunaan fotografi dengan kamera bawah air (underwater camera) ataupun kamera biasa yang diberi pelindung (casing) agar tahan terhadap tekanan dan rembesan air laut (selanjutnya disebut dengan metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transect) dirasa dapat menjadi salah satu pilihan sebagai pengganti penggunaan video. Beberapa pertimbangan lainnya yaitu: 1.
Harga kamera yang lebih murah dibandingkan dengan video.
Dengan
demikian, dari segi biaya akan lebih mudah dijangkau oleh banyak kalangan, termasuk kalangan pemerhati terumbu karang. 2.
Dengan biaya yang sama, gambar yang dihasilkan oleh kamera memiliki resolusi yang lebih tinggi (baik) dibandingkan dengan video. Walaupun dengan perkembangan teknologi, resolusi gambar yang dihasilkan video meningkat, tetapi harganya juga akan jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan harga kamera.
3.
Bagi beberapa penyelam, terutama penyelam pemula, penggunaan kamera lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan penggunaan video. Penggunaan fotografi dalam penelitian terumbu karang dimulai oleh
Connell pada 1973 dan 1976 (English et al., 1997) untuk memantau rekruitment, pertumbuhan dan kematian individu karang dalam luasan tertentu (Frame Kuadrat) dalam selang waktu tertentu. Penggunaan fotografi diyakini dapat mempercepat pengambilan data di lapangan, selain juga sebagai foto dokumentasi yang berguna dalam pemantauan jangka panjang rekruitment, pertumbuhan dan kematian karang. Dalam metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transect (UPT) ini, penggunaan fotografi tidak dilakukan pada suatu luasan kuadrat tertentu seperti pada English et al. (1997) yang menggunakan luasan (2 x 2) m2, melainkan dilakukan sepanjang titik-titik
6
tertentu pada garis transek. Teknis pelaksanaan di lapangan dari metode Transek Foto Bawah Air ini akan diuraikan lebih rinci pada Bab Metodologi Penelitian. 1.2 Perumusan Masalah Dalam melakukan pengamatan terumbu karang secara langsung di lapangan diperlukan kemampuan dasar menyelam dengan menggunakan peralatan SCUBA. Lamanya pengamatan dalam setiap kali penyelaman selain sangat dipengaruhi oleh ketersediaan udara dalam tabung udara yang dibawa selama menyelam, juga dipengaruhi oleh daya tahan fisik penyelam itu sendiri. Apalagi bila selama penyelaman, cuaca jelek seperti ombak besar dan arus kuat. Oleh karena itu, dalam melakukan pengamatan terumbu karang diharapkan pengamat tidak terlalu lama melakukan penyelamana saat pengambilan data. Pengambilan data menggunakan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) dapat mempersingkat waktu penyelaman karena pengambilan datanya dilakukan dengan cara melakukan pemotretan bawah air, dimana foto-foto hasil pemotretan tersebut baru dianalisis di darat (ruang kerja) dengan menggunakan komputer. Meskipun dapat mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan, terdapat beberapa permasalahan yang harus dihadapi sebelum menggunakan metode UPT ini untuk menilai kondisi terumbu karang. Permasalahan tersebut adalah: 1.
Bagaimana keakurasian dan tingkat efisiensi dari penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang dibandingkan dengan metode lainnya yang umum dipakai seperti pada metode Transek Sabuk (BT = Belt Transect) dan Transek Garis Intersep (LIT = Line Intercept Transect)?
2.
Teknik analisis macam apa yang diperlukan untuk menganalisis foto yang dihasilkan dari pemotretan bawah air dan berapa luas minimal bidang pemotretan yang diperlukan untuk setiap fotonya?
3.
Berapa banyak foto yang harus diambil dan berapa interval jarak pengambilan antara satu foto dengan foto berikutnya dalam garis transek agar hasil yang diperoleh tetap representatif untuk menilai kondisi terumbu karang di suatu lokasi pengamatan?
7
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) sebagai salah satu metode alternatif dalam penarikan sampel untuk menilai kondisi terumbu karang. Evaluasi yang dilakukan adalah: 1.
Menentukan apakah metode UPT dapat dipakai sebagai metode alternatif untuk penilaian kondisi terumbu karang. Hal ini dilakukan dengan uji perbandingan antara hasil yang diperoleh dari penggunaan metode UPT dan metode lain yang umum dipakai sebelumnya, yaitu metode Transek sabuk (BT=Belt Transect) dan Transek Garis Intersep (Line Intercept Transect)
2.
Jika ternyata metode UPT dapat dipakai untuk penilaian kondisi terumbu karang, maka evaluasi selanjutnya adalah menentukan teknik analisis foto yang efisien dan akurat serta panjang garis transek yang optimal pada penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang
1.4 Hipotesis Metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) merupakan metode alternatif yang dapat dipakai untuk menilai kondisi terumbu karang. Penggunaan metode UPT dapat mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan (yang dilakukan dengan penyelaman) dan lebih efisien penggunaannya dibandingkan dengan dua metode lain yang telah umum dan lebih dulu dikenal, yaitu metode Transek Sabuk (BT = Belt Transect) dan metode Transek Garis Intersep (LIT = Line Intercept Transect). 1.5 Manfaat Penelitian Penggunaan metode UPT untuk menilai kondisi terumbu karang sangat bermanfaat sekali bagi perkembangan penelitian terumbu karang di Indonesia, khususnya untuk pemantauan kondisi terumbu karang. Pengambil data lapangan tidaklah harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi karang di alam atau habitatnya. Sepanjang pengambil data dapat melakukan pemotretan bawah air dengan kualitas gambar yang bisa untuk dianalisis di komputer (sehingga tidak
8
memerlukan hasil foto yang artistik), sudah dirasa cukup dalam penelitian ini. Selain itu, karena pengambilan datanya dilakukan hanya dengan melakukan pemotretan bawah air, maka waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan data di lapangan menjadi lebih singkat. Pada kegiatan penyelaman yang dilakukan di laut yang sangat tergantung pada kondisi alam yang cuacanya sewaktu-waktu bisa berubah, perbedaan waktu yang sedikit saja kadang sangat bermanfaat sekali, baik dari segi efisiensi pengambilan data, maupun dari segi keselamatan dalam penyelaman. Lagi pula dengan semakin singkatnya waktu yang diperlukan untuk pengambilan data, tenaga yang diperlukan untuk penyelaman menjadi berkurang sehingga kelelahan fisik atau penyakit-penyakit yang mungkin timbul akibat penyelaman bisa ditiadakan atau diminimalisasi. Dari segi pengelolaan terumbu karang, waktu pengambilan data di lapangan yang semakin singkat memungkinkan area terumbu karang yang diteliti akan semakin bertambah banyak, dibandingkan dengan metode lain yang pengambilan data di lapangannya memerlukan waktu yang lebih lama. Dengan demikian maka data yang terkumpul akan semakin lengkap dan akan sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan ataupun instansi terkait dalam pengelolaan terumbu karang yang lestari. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penilaian kondisi terumbu karang yang umum dipakai adalah dengan mengelompokkan kondisi terumbu karang ke dalam beberapa kelompok, misalnya ”sangat baik”, ”baik”, ”cukup” atau pun ”kurang”. Pengelompokan tersebut dilakukan berdasarkan persentase tutupan karang kerasnya (hard coral) dikarenakan karang keras merupakan komponen utama penyusun terumbu karang. Meskipun begitu, data seperti persentase tutupan untuk biota selain karang keras termasuk abiotiknya, serta data jenis-jenis karang keras sebagai dasar perhitungan nilai indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan, sering juga diperlukan sebagai data pendukung dalam penilaian kondisi terumbu karang. Berdasarkan hal itu, maka dalam penulisan disertasi ini kategori biota dan substrat seperti dalam (English, et. al. 1997) dikelompokkan ke dalam lima kelompok yaitu kelompok :
9
1.
Karang keras (HC=Hard Coral), yang sering disebut sebagai ”karang” saja. Kelompok ini hanya untuk jenis karang yang dalam keadaan hidup, sehingga kadang disebut juga sebagai karang hidup (live coral). Bentuk karang yang keras dan menyerupai batu membuat kelompok ini kadang disebut juga sebagai karang batu (stony coral). Termasuk dalam kelompok ini adalah karang-karang baik dari marga ”Acropora” maupun ”Non-Acropora” yang memiliki bentuk hidup (lifeform) yang beragam seperti bercabang (branching), merayap (encrusting), lembaran (foliose),
masif, ataupun
bentuk yang lainnya. 2.
Karang mati (DS= Dead Scleractinia), terdiri dari karang yang baru mati (masih berwarna putih), dan karang mati yang telah ditumbuhi alga [karangnya sudah mati dan tidak berwarna putih lagi, tapi masih terlihat bentuknya dan belum banyak ditumbuhi oleh alga halus (turf algae)].
3.
Alga (ALG=Algae), merupakan kelompok yang terdiri dari makro alga (seperti alga dari marga Padina, Sargasum dan sebagainya), Coralline algae, Halimeda dan juga alga halus (turf algae) yang banyak tumbuh pada karang yang telah mati.
4.
Fauna lain (OF=Other Fauna), meliputi karang lunak (soft coral), Spons (sponge), gorgonian, dan biota laut lainnya seperti lili laut (crinoid), bulu babi (echinoid), dan sebagainya.
5.
Abiotik (ABI=Abiotic), seperti pasir, pecahan karang (rubble) dan komponen abiotik lainnya. Gambar ilustrasi dari masing-masing kelompok biota dan substrat disajikan
pada Lampiran 1. Untuk penamaan jenis karang keras mengacu kepada pada Veron (2000a, 2000b, 2000c). Jenis karang keras yang tidak bisa diidentifikasi langsung selama pengamatan, diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium. Untuk meminimalisasi kesalahan dalam pemberian nama jenis karang keras, maka pada penelitian ini dibantu oleh pengamat yang telah terbiasa melakukan pengambilan data di lapangan. Paling tidak, bila terjadi kesalahan dalam penamaan jenis, kesalahan terjadi secara konsisten sehingga tidak akan mempengaruhi hasil analisis yang dilakukan.
10
1.7 Kerangka Pemikiran Pada penelitian bawah air khususnya penelitian mengenai kondisi terumbu karang, terdapat beberapa masalah yang harus dihadapi. Masalah tersebut beranekaragam, mulai dari kondisi geografi seperti luasnya wilayah terumbu karang di Indonesia, kondisi cuaca atau perairan di lokasi penelitian, hingga masalah sumberdaya manusia yang mampu untuk melakukan penelitian tersebut. Memang terdapat banyak metode penelitian untuk menilai kondisi terumbu karang, tetapi pada umumnya memerlukan sumberdaya manusia yang mampu untuk melakukan penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA, selain juga mampu untuk melakukan penelitian terumbu karang. Seandainya tidak memerlukan kemampuan menyelam, seperti pada penggunaan peralatan ROV, biaya yang diperlukan sangat tinggi sehingga sangat sulit untuk dilaksanakan. Untuk melakukan penyelaman, diperlukan kemampuan fisik yang kuat, apalagi bila kondisi perairan yang kurang bersahabat untuk kegiatan penyelaman seperti ombak atau arus yang kuat. Selain itu, lamanya penyelaman juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan udara dalam tabung selam yang dibawa selama menyelam. Belum lagi aturan-aturan penyelaman yang harus ditaati seperti lamanya penyelaman maksimal dalam kedalaman tertentu untuk menghindari penyakit-penyakit yang mungkin timbul akibat penyelaman. Semakin lama kegiatan penyelaman dilakukan untuk mengambil data di suatu lokasi, maka akan semakin banyak pula biaya operasional yang dibutuhkan, terutama bila pengambilan datanya dilakukan di banyak lokasi. Oleh karena itu diperlukan suatu metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang dengan waktu penyelaman yang sesingkat mungkin untuk pengambilan datanya. Metode alternatif yang diusulkan adalah metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect). Kerangka
pemikiran tentang perlunya metode
alternatif, dalam hal ini metode UPT, untuk menilai kondisi terumbu karang disajikan pada Gambar 2.
11
Penggunaan metode penelitian untuk penilaian kondisi terumbu karang
Umumnya, metode yang ada memerlukan kemampuan menyelam menggunakan peralatan SCUBA, sehingga terdapat beberapa masalah yang harus dihadapi seperti: q perlu sumberdaya manusia yang mampu menyelam dan melakukan penelitian terumbu karang q perlu daya tahan fisik yang kuat untuk melakukan penyelaman q waktu penyelaman sangat tergantung pada kondisi cuaca atau perairan q lamanya penyelaman sangat tergantung pada kapasitas udara dalam tabung selam dan aturan-aturan dalam penyelaman untuk menghindari bahaya penyakit-penyakit yang mungkin timbul akibat penyelaman q semakin lama waktu yang diperlukan untuk kegiatan menyelam, semakin tinggi biaya operasional yang dibutuhkan.
Perlu metode alternatif dimana waktu pengambilan data di lapangan bisa dipersingkat Metode yang diusulkan: Metode Transek Foto Bawah Air (UPT=Underwater Photo Transect)
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
Pertanyaan
yang timbul kemudian adalah apakah penggunaan metode
UPT dapat dipakai sebagai metode alternatif dalam penilaian kondisi terumbu karang. Ada beberapa tahapan sebelum memutuskan bahwa metode UPT dapat dipakai sebagai metode alternatif untuk menilai terumbu karang. Tahap pertama (Tahap I) adalah melakukan kajian perbandingan hasil yang diperoleh dari metode UPT dengan hasil yang diperoleh dari metode lain yang umum dipakai. Dalam penelitian ini, kajian perbandingan dilakukan antara metode Transek Sabuk (Belt Transect = BT) dan metode Transek Garis Intersep (Line Intercept
12
Transect = LIT) dengan metode UPT. Terdapat dua kemungkinan yang terjadi dari perbandingan yang dilakukan tersebut yaitu: 1.
Kemungkinan pertama: apapun dari ketiga metode yang digunakan untuk menilai kondisi terumbu karang (UPT, LIT dan BT) akan memperoleh hasil yang tidak berbeda secara nyata. Bila ini terjadi, maka hipotesis yang diuraikan sebelumnya akan terjawab dimana penggunaan metode UPT merupakan salah satu metode pilihan selain metode LIT dan BT.
2.
Kemungkinan kedua: tidak semua metode (UPT, LIT dan BT) akan memberikan hasil yang sama untuk menilai kondisi terumbu karang. Bila ini terjadi, maka langkah selanjutnya adalah menyelidiki metode mana yang berbeda untuk menilai kondisi terumbu karang. Selanjutnya pada penggunaan metode yang hasilnya berbeda dengan metode lain tersebut dilihat apakah hasil yang diperoleh keduanya menunjukkan pola tertentu, atau terdapat korelasi antara keduanya. Bila ini terjadi, maka nilai dugaan dari satu metode tertentu akan dapat dipakai untuk memprediksi nilai yang diperoleh dengan metode yang berkorelasi dengan metode tersebut. Bila pada tahap pertama menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dengan
menggunakan metode UPT relatif tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode BT dan LIT, ataupun hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode UPT berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode BT dan LIT tetapi hasilnya memiliki pola tertentu atau korelasi yang kuat dengan metode UPT, maka dapat dilakukan tahap berikutnya yaitu Tahap II dan Tahap III. Tahap II merupakan tahapan untuk menentukan teknik analisis apa yang efisien tapi juga akurat untuk menganalisis foto yang dihasilkan dengan metode UPT. Setelah teknik tersebut ditemukan, maka dilanjutkan dengan Tahap III yaitu menemukan panjang garis transek yang optimal yang dibutuhkan untuk penarikan sampel dengan metode UPT. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari Tahap II dan Tahap III tersebut dapat ditentukan teknik analisis foto yang efisien dan akurat serta panjang garis transek yang optimal sehingga hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode UPT dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang. Gambar 3 merupakan diagram
13
alir untuk keseluruhan tahapan pada penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang, sedangkan Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6 merupakan diagram alir untuk Tahap I, Tahap II dan Tahap III.
Mulai
Tahap I: Kajian perbandingan antara metode UPT dengan metode BT dan LIT
Apakah bisa dilanjutkan ke Tahap selanjutnya? (Lihat Gambar 4)
Tidak
Selesai
Ya Tahap II: Menentukan teknik analisis yang efisien dan akurat untuk menganalisis foto pada metode UPT
Tahap III: Menentukan panjang garis transek yang optimal yang dibutuhkan untuk penarikan sampel dengan metode UPT
Berdasarkan hasil pada Tahap II dan Tahap III: Tentukan teknik analisis foto yang efisien dan akurat serta panjang garis transek yang optimal sehingga hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode UPT dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang
Selesai
Gambar 3 Diagram alir yang berisi keseluruhan tahapan pada penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang
14
Mulai Pengambilan data di lapangan (metode UPT, LIT dan BT)
Data lapangan BT
Data lapangan LIT
Data lapangan UPT
Hasil
Hasil
Hasil
Apakah antara pasangan metode: (i) UPT-LIT (ii) UPT-BT (iii) LIT-BT memiliki hasil yang sama? Tidak
Metode yang hasilnya berbeda dengan metode UPT
Apakah perbedaannya menunjukkkan pola tertentu (menunjukkan korelasi antar metode)?
Tidak
Kesimpulan: Hasil yang diperoleh kedua metode berbeda dan tidak menunjukkan korelasi antar keduanya
Tidak
Apakah hasilnya sama?
Ya
Kesimpulan: Hasil yang diperoleh ketiga metode sama
Ya
Metode yang hasilnya sama dengan metode UPT
Ya
Kesimpulan: Hasil yang diperoleh kedua metode sama
Tahap II Tentukan hubungan antar kedua metode yang berbeda
Kesimpulan: Hasil yang diperoleh kedua metode berbeda tetapi keduanya menunjukkan korelasi
Kesimpulan akhir: Metode UPT tidak layak dijadikan metode untuk menilai kondisi terumbu karang
Gambar 4 Diagram alir yang berisi tahapan pelaksanaan pada Tahap I
Selesai
15
Mulai
Pengambilan data lapangan: Lakukan dengan menggunakan dua tipe kamera yang berbeda, data diambil menggunakan metode UPT dengan panjang garis transek 70 m dan pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar pemotretan 1 m
Untuk setiap foto yang dihasilkan dari masing-masing kamera, lakukan analisis foto dengan teknik yang berbeda (8 perlakuan) yaitu: a. Menghitung luas area setiap kelompok biota dan substrat (1 perlakuan), b. Pemilihan sampel titik acak (7 perlakuan yaitu: 5, 10, 20,30,40,50,60 titik acak)
Tentukan perlakuan kontrol diantara 8 perlakuan yang dilakukan
Bandingkan hasil yang diperoleh setiap perlakuan dengan perlakuan kontrol
Tentukan teknik analisis yang efisien tetapi akurat untuk menilai kondisi terumbu karang
Tahap III
Gambar 5 Diagram alir yang berisi tahapan pelaksanaan pada Tahap II
16
Mulai
Pengambilan data lapangan: Lakukan dengan menggunakan tipe kamera WZ (yang memiliki bidang pemotretan yang lebih luas dibanding kamera SW), data diambil menggunakan metode UPT dengan panjang garis transek 70 m dan pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar pemotretan 1 m)
Lakukan analisis data untuk beragam panjang transek dan rentang jarak antara pemotretan (18 perlakuan) dimana analisis fotonya dilakukan menggunakan teknik menghitung luas area
Tentukan perlakuan kontrol diantara 18 perlakuan yang dilakukan
Bandingkan hasil yang diperoleh setiap perlakuan dengan perlakuan kontrol
Tentukan perlakuan yang optimal yang dibutuhkan untuk penarikan sampel dengan metode UPT
Selesai
Gambar 6 Diagram alir yang berisi tahapan pelaksanaan pada Tahap III
17
1.8 Kebaruan Terdapat beberapa kebaruan (novelties) dari penelitian ini, yaitu: 1. Metode pengambilan sampel untuk menilai kondisi terumbu karang yang disebut dengan nama metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect). Pada penggunaan metode UPT ini, pengambilan sampel dilakukan dengan cara melakukan pemotretan bawah air di setiap interval jarak 1 m sepanjang garis transek. Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 (sebagai ”Frame 1”), hingga meter ke-70 (sebagai ”Frame 70”). Frame bernomer ”ganjil” (1, 3, 5,...,69) diambil pada bagian sebelah kiri garis transek, sedangkan untuk frame dengan nomor genap (2, 4, 6,...,70) diambil pada bagian sebelah kanan garis transek. Penggunaan garis transek hanya sebagai garis bantu untuk mencegah kesalahan orientasi saat pemotretan, misalnya penentuan jarak antar frame, kedalaman dan arah. 2. Teknik analisis foto serta luas bidang hasil pemotretan per framenya (berkaitan dengan tipe kamera yang dipakai) yang menghasilkan nilai dugaan selain akurat juga efisien dalam kaitannya dengan penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang. 3. Panjang garis bantu transek yang optimal dalam penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama oleh hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Scleractinia), serta alga berkapur (calcareous algae) dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1986, White 1987). Tipe terumbu karang di Indonesia bisa dikelompokkan kedalam 4 kelompok yaitu fringing reef (terumbu karang tepi), barrier reef (terumbu karang penghalang), patch reef (takat/terumbu karang yang belum mencapai permukaan) dan atoll (terumbu karang cincin) (Suharsono 2007). Karang (coral), terbagi atas dua kelompok yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Karang hermatifik merupakan kelompok karang yang memiliki kemampuan menghasilkan terumbu, sedangkan karang ahermatifik merupakan kelompok karang yang tidak memiliki kemampuan menghasilkan terumbu. Karang, yang terdiri dari polip yang memiliki tentakel, merupakan hewan invertebrata. Tentakelnya bergerak di dalam air dan berfungsi sebagai alat penangkap makanan. Setiap polip mengeluarkan endapan kapur yang disebut skeleton, yang merupakan tempat tinggalnya. Ribuan polip tumbuh dan bergabung menjadi satu oleh skeletonnya membentuk koloni karang. Jadi, yang dimaksud dengan karang merupakan hewan polip karang beserta skeletonnya (Gambar 7). Carpenter et al. (1981) melaporkan bahwa ada hubungan yang erat antara persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan maupun keanekaragaman jenis ikan karang. Hutomo dan Adrim (1986) juga mendapatkan korelasi yang positif antara persentase tutupan karang hidup dengan keanekaragaman ikan karang. Berdasarkan kenyataan tersebut, beberapa pakar terumbu karang menilai kondisi terumbu karang di suatu lokasi berdasarkan dari persentase tutupan karang
hidupnya.
Sukarno
(1989)
menilai
kondisi
terumbu
karang
sebagai ”sangat baik” bila tutupan karang hidupnya lebih dari 75%, kondisi ”baik”
20
bila tutupan karang hidupnya 50% -75%), kondisi ”cukup” bila tutupan karang hidupnya 25% - 50%), dan dalam kondisi ”kurang” bila tutupan karang hidupnya kurang dari 25 %.
Gambar 7 Struktur karang (Veron 2000a) Sebaran terumbu karang tidak merata oleh karena adanya variasi faktor lingkungan yang mendukung dan ada faktor lingkungan yang menghambat pertumbuhan
dan
perkembangannya
(Suharsono
2007).
White
(1987)
menyatakan bahwa terumbu karang dapat hidup pada perairan dengan suhu diatas 18 °C, kedalaman lebih dangkal dari 50 m, salinitas antara 30-36 %o, laju sedimentasi rendah, perairan yang tak tercemar, perairan dengan sirkulasi arus, serta membutuhkan substrat yang keras untuk penempelan larva planula. Adanya pengaruh suhu untuk pertumbuhan karang (diatas 18 °C) menyebabkan penyebaran karang hanya terjadi pada daerah subtropis dan tropis, yaitu pada sekitar 30o LU - 30o LS. Suhu ideal untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25 °C – 29 °C (Pichon 1995). Adanya kenaikan suhu air laut di atas suhu normalnya, misalnya pada peristiwa El Nino, akan menyebabkan
21
pemutihan karang (coral bleaching), yaitu keadaan dimana karang kehilangan zooxanthellae, alga bersel tunggal yang hidup di dalam jaringan karang (Oliver et al. 2004) sehingga warna karang menjadi putih, dan bila berlanjut akan menyebabkan kematian karang. Kenaikan suhu air laut sebesar 3-4 oC diatas normal selama 6 minggu di Laut Jawa pada tahun 1983 menyebabkan kematian karang 80 hingga 90% (Suharsono 1998). Cahaya merupakan salah satu faktor pembatas bagi kehidupan karang sehingga karang (karang hermatifik) tidak tumbuh pada kedalamanan lebih dari 50 m. Hal ini disebabkan karena karang (karang hermatifik) hidup bersimbiosis dengan alga zooxanthellae, yang memerlukan cahaya matahari untuk proses fotosintesis. Air tawar dengan salinitas rendah dapat membunuh karang. Oleh karena itu karang tidak dijumpai di sungai ataupun muara sungai yang memiliki salinitas yang rendah. Percobaan yang dilakukan pada karang Pocillopora damicornis menunjukkan bahwa kecepatan respirasi menurun drastis pada saat salinitas diturunkan hingga 20%o, dan terhenti pada saat salinitas diturunkan hingga 10%o (Suharsono 1998). Tingginya sedimentasi menyebabkan penetrasi cahaya di air laut akan berkurang dan bisa menghambat zooxanthellae (alga yang bersimbiosis dengan karang) dalam melakukan proses fotosintesis. Butiran sedimen dapat menutupi polip karang, dan bila berlangsung lama bisa menyebabkan kematian karang. Oleh karena itu, karang tidak dijumpai pada perairan yang tingkat sedimentasinya tinggi. Arus dan sirkulasi air diperlukan dalam penyuplaian makanan berupa mikroplankton yang diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dan suplai oksigen dari laut lepas. Selain itu, arus dan sirkulasi air juga berperan penting dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material yang menempel pada pada polip karang. Tempat dengan arus dan ombak yang tidak terlalu besar merupakan tempat yang ideal untuk pertumbuhan karang. Tempat dengan arus dan ombak yang besar dapat mengganggu pertumbuhan karang, misalnya pada daerah-daerah terbuka yang langsung menghadap ke laut lepas, dengan ombak yang selalu besar sepanjang masa.
22
Karang memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual maupun seksual Suharsono 1984, Veron and AIMS 1995, Wikipedia 2010). Reproduksi aseksual dapat terjadi lewat pertunasan (budding), pembelahan (fission), fragmentasi, ataupun pemisahan polip dari skeleton (Sammarco 1982, Suharsono 1984, Veron and AIMS 1995, Wikipedia 2010). Dalam proses reproduksi seksual, dihasilkan larva karang yang disebut planula (Fadlallah 1983). Planula memerlukan substrat yang keras untuk menempel dan tumbuh. Planula tidak dapat menempel dengan baik pada dasar yang berpasir maupun lumpur. Jenis-jenis karang yang ditemukan di Indonesia hingga saat ini sebanyak 590 jenis yang termasuk dalam 82 marga karang, atau 80 % karang yang ada di dunia (Suharsono and Giyanto 2006, Suharsono 2007). Jenis-jenis karang yang mendominasi di hampir seluruh terumbu karang di Indonesia adalah berturutturut Acropora spp., Montipora spp. dan Porites spp. (Suharsono 2007). 2.2 Beberapa Metode Penilaian Kondisi Terumbu Karang Seperti telah disinggung sebelumnya (Bab 1 Pendahuluan), dari sekian banyak metode penelitian untuk menilai kondisi terumbu karang, terdapat dua metode yang banyak dipakai oleh para peneliti, yaitu: 1.
Transek Sabuk atau Belt transect (Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004).
2.
Transek Garis atau Line Transect (Loya 1978, Moll 1983). Metode ini kemudian dikembangkan oleh AIMS (Australian Institute of Marine Science) lewat
proyek
kerjasama
ASEAN-Australia,
dan
dikenal
sebagai
metode ”Line Intercept Transect (LIT)” (English et al. 1997, Mundy 1990, Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004). 2.2.1
Metode Transek Sabuk Transek sabuk atau Belt Transect (BT) diperlukan terutama untuk
mengetahui keberadaan dari jenis yang jarang dijumpai, atau pada peristiwa yang menarik untuk diselidiki seperti pada peristiwa pemutihan karang (coral bleaching), serangan Mahkota Berduri (Acanthaster planci) (Oliver et al. 2004).
23
Dengan transek sabuk bisa diketahui frekuensi kehadiran dari suatu jenis biota tertentu dalam luasan tertentu. Untuk dapat melakukan metode ini juga diperlukan kemampuan menyelam dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Teknis pengerjaan di lapangan adalah sebagai berikut: pita berskala (roll meter) dengan panjang tertentu diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman tertentu (misal 3 m) di masingmasing lokasi pengamatan yang telah ditentukan secara acak dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Semua karang keras yang berada pada jarak 1 m sebelah kiri dan 1 m sebelah kanan pita berskala tadi dicatat menggunakan kertas khusus untuk pencatatan bawah air (underwater paper). Selain itu, untuk setiap jenis karang keras diukur pula panjang dan lebar maksimumnya, sehingga dengan menggunakan rumus tertentu dapat dihitung luas bidang tutupan koloni dari jenis karang keras tersebut. Hill and Wilkinson (2004) menggunakan panjang transek 4 x 20 m dengan lebar transek 5 m. Sedangkan Oliver et al. (2004) menyebutkan bahwa transek sabuk yang efektif panjangnya berkisar antara 20-30 m dengan lebar 1 atau 2 m. 2.2.2 Metode Transek Garis dan Transek Garis Intersep Metode Transek Garis (Line transect) dikembangkan dari metode yang digunakan pada ekologi tumbuhan darat. Hal ini dikarenakan invertebrata yang berada dalam terumbu karang umumnya bersifat sesil (stationary) atau ruang gerak yang terbatas, mirip dengan komunitas tumbuhan darat (Loya 1978). Loya and Slobodkin (1971) dan Loya (1972) (dalam Loya 1978) menggunakan pertama kali metode transek garis untuk pengambilan sampel dalam mengkaji komunitas karang hermatifik dari segi komposisi jenis, zonasi dan pola keragaman dalam zona terumbu karang yang berbeda. Australian Institute of Marine Science (AIMS) lewat proyek kerjasama ASEAN-Australia, mengembangkan metode Transek Garis ini, dimana pengelompokan datanya berdasarkan bentuk hidup pertumbuhan dari biota dan dikenal sebagai metode Transek Garis Intersep atau Line Intercept Transect (LIT) (English et al. 1997). Dengan metode LIT ini, data pada tingkatan jenis untuk karang merupakan data tambahan, terutama bila pengambil data mampu
24
mengidentifikasi karang hingga ke tingkat jenis. Sedangkan bagi pengambil data tingkat pemula, pengambilan data bisa dilakukan cukup pada tingkatan pengelompokan data berdasarkan kategori bentuk hidup pertumbuhannya, sehingga kadang metode ini disebut dengan metode lifeform. Jadi, Transek Garis Intersep (LIT) merupakan modifikasi dari Transek Garis, dimana pengelompokan data pada metode LIT berdasarkan pada kategori lifeformnya. Untuk pengamat tingkat lanjut (expert), pencatatan data bisa sampai ke tingkat jenis (spesies) seperti halnya pada Transek Garis. Untuk dapat melakukan metode ini juga diperlukan kemampuan menyelam dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Teknis pelaksanaan di lapangan mirip dengan metode Transek Sabuk, dimana pita berskala (roll meter) dengan panjang tertentu diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman tertentu di masing-masing lokasi pengamatan yang telah ditentukan secara acak dengan menggunakan bantuan GPS (Global Positioning System). Kemudian, semua biota dan substrat yang berada tepat di bawah garis pita berskala tadi dicatat dengan ketelitian hingga 1 cm. Khusus untuk karang keras, jenis yang yang dijumpai di sepanjang garis transek juga dicatat. Sebagai catatan, penggunaan panjang ukuran transek yang dilakukan oleh masing-masing peneliti tidak baku dimana antara satu peneliti dengan peneliti lainnya berbeda-beda. Sebagai contoh pada penggunaan metode LIT, English et al. (1997) dan Hill and Wilkinson (2004) menggunakan panjang garis transek 20 m dengan minimal 5 kali ulangan pada setiap kedalaman 3 m dan 9-10 m, sedangkan Oliver et al. (2004) menggunakan panjang garis transek 25 m dengan ulangan minimal 3 kali pada dua zona kedalaman (kedalaman 1-4 m dan 5-10 m). Pada kondisi dimana habitat karang berupa koloni kecil (patchy), digunakan panjang garis transek yang lebih pendek (10 m) dengan ulangan yang lebih banyak (5 kali ulangan) (Oliver et al. 2004).
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2008 di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 8). Kepulauan Seribu merupakan gugus pulau-pulau yang terletak di perairan bagian utara kota Jakarta dan masuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya di Kepulauan Seribu dinyatakan bahwa persentase tutupan dan jumlah jenis karang keras yang dijumpai meningkat dengan meningkatnya jarak dari daratan Jakarta maupun dari daratan Pulau Jawa (dalam hal ini wilayah Jakarta dan Banten) (Moll and Suharsono 1986, DeVantier et al. 1998, Giyanto et al. 2006). Adanya peningkatan persentase tutupan dan jumlah jenis karang keras ini berkaitan dengan tingkat kecerahan perairan (tingkat penetrasi cahaya) dimana semakin ke arah utara, tingkat penetrasi cahayanya semakin bagus (Moll and Suharsono 1986, DeVantier et al. 1998, Giyanto et al. 2006). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka penelitian dilakukan di sepuluh pulau di Kepulauan Seribu mulai dari Pulau Tikus yang berada di bagian selatan hingga ke Pulau Hantu Kecil yang berada di bagian utara. Pulau Hantu Kecil disebut juga sebagai Pulau Pantara Kecil untuk menghilangkan kesan angker pada kata ”Hantu”. Pemilihan lokasi penelitian yang dimulai dari Pulau Tikus dilakukan dengan pertimbangan kejernihan perairan, dimana jarak pandang (visibility) di dalam air lebih dari 5 m. Pada penggunaan fotografi, kejernihan perairan sangat menentukan kualitas gambar yang dihasilkan karena kualitas gambar yang bagus dan jelas akan lebih mudah untuk dianalisis. Urutan lengkap ke sepuluh pulau yang menjadi lokasi penelitian, mulai dari bagian selatan hingga ke utara adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Pulau Tikus, Pulau Tidung, Pulau Air, Pulau Semak Daun, Pulau Kotok Besar,
26
6. 7. 8. 9. 10.
Pulau Panjang, Pulau Belanda, Pulau Putri, Pulau Jukung, dan Pulau Pantara Kecil (Hantu Kecil).
Posisi koordinat lintang dan bujur stasiun penelitian di masing-masing lokasi pulau disajikan pada Lampiran 2. Dalam hal ini, pemberian kode Stasiun dilakukan berdasarkan urutan pelaksanaan penelitian di lapangan.
Gambar 8 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, Jakarta
27
3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan dan peralatan penelitian yang digunakan selama pengambilan data di lapangan antara lain: -
perahu,
-
GPS (Global Positioning System),
-
peralatan selam SCUBA,
-
pita berukuran (roll meter) dengan ketelitian hingga 1 cm (Gambar 9),
-
kamera digital bawah air (underwater camera) atau kamera digital biasa yang diberi pelindung (casing) agar tahan terhadap rembesan air laut.
-
tongkat yang terbuat dari pipa paralon dengan panjang 60 cm.
-
alas tulis (slate) dan pensil,
-
kertas untuk menulis di bawah air (underwater paper).
3.3 Metode Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan dengan penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan pada bagian sebelumnya, maka metode penilaian kondisi terumbu karang yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Transek Sabuk atau Belt Transect (BT)
2.
Transek Garis Intersep atau Line Intercept Transect (LIT)
3.
Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transect (UPT) Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat garis transek dengan
menggunakan pita berskala (Gambar 9) sepanjang 70 m yang diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman dimana karang masih umum dijumpai, yaitu pada kedalaman antara 3-5 m (Gambar 10). Untuk keseragaman, garis transek ditarik sedemikian rupa sehingga posisi daratan berada pada sisi sebelah kiri garis transek. Pada setiap garis transek tadi, dilakukan pengambilan data untuk ketiga metode (BT, LIT dan UPT). Posisi koordinat (bujur dan lintang) setiap lokasi penelitian dicatat menggunakan alat GPS.
28
Gambar 9 Pita berskala (roll meter)
Gambar 10 Pita berskala (roll meter) sepanjang 70 m yang diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman sekitar 3-5 m 3.3.1 Penarikan sampel dengan metode Transek Sabuk Pada penarikan sampel menggunakan metode Transek Sabuk (BT) ini, data diambil dengan mencatat setiap biota dan substrat yang berada dalam rentang jarak 1 m sebelah kiri dan 1 m sebelah kanan garis transek. Semua jenis karang keras yang berada dalam area transek sabuk (luas area = 2 m x 70 m) dicatat panjang maksimum (P) dan lebar maksimum (L) dengan ketelitian hingga 1 cm (Gambar 11). Pencatatan nama jenis karang keras mengacu pada Veron (2000a, 2000b, 2000c. Untuk jenis karang keras yang tidak bisa diidentifikasi langsung selama pengamatan dilakukan, diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium. Gambar 12 merupakan ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Sabuk (BT).
29
Gambar 11 Ilustrasi pengukuran panjang dan lebar maksimum dari koloni karang keras
Gambar 12 Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Sabuk (BT)
3.3.1 Penarikan sampel dengan metode Transek Garis Intersep Pada penarikan sampel yang dilakukan dengan menggunakan metode Transek Garis Intersep atau LIT (English et al. 1997) ini, pengambilan data dilakukan dengan cara mencatat semua biota dan substrat yang berada tepat di bawah garis transek dengan ketelitian hingga 1 cm. Pencatatan kategori biota dan substrat berdasarkan English et al. (1997) (Lampiran 1). Khusus untuk karang keras juga dicatat nama jenisnya mengacu pada Veron (2000a, 2000b, 2000c). Untuk karang keras yang tidak bisa diidentifikasi nama jenisnya di lapangan, maka diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium. Gambar 13 merupakan ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Intersept Garis (LIT).
30
Gambar 13 Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Garis Intersep (LIT) 3.3.3 Penarikan sampel dengan metode Transek Foto Bawah Air Penarikan sampel dengan menggunakan metode Transek Foto Bawah Air (UPT) dilakukan dengan melakukan pemotretan bawah air menggunakan kamera digital bawah air atau kamera digital biasa yang dilengkapi dengan pelindung (casing) untuk pemakaian bawah air sehingga tahan terhadap rembesan air laut. Pada jarak sekitar 60 cm dari dasar substrat, pemotretan dilakukan di setiap rentang jarak 1 m sepanjang garis transek 70 m yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk menjaga keteraturan jarak pemotretan yang sejauh 60 cm dari substrat tersebut maka digunakan tongkat yang terbuat dari pipa paralon yang berukuran panjang 60 cm sebagai alat bantu. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek (bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” (Gambar 14a), dilanjutkan dengan pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” (Gambar 14b), dan seterusnya sehingga untuk panjang transek 70 m diperoleh 70 buah frame (”Frame 1” sampai dengan ”Frame 70”). Jadi untuk frame dengan nomor ganjil (1, 3, 5,...,69) diambil pada bagian sebelah kiri garis transek (Gambar 14a), sedangkan untuk frame dengan nomor genap (2, 4, 6,...,70) diambil pada bagian sebelah kanan garis transek (Gambar 14b). Untuk mudahnya, metode pengambilan data seperti ini disebut sebagai metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect). Gambar 15 merupakan ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Foto Bawah Air. Kotak-kotak yang bernomor pada Gambar 15 itu menunjukkan nomor framenya, sekaligus menunjukkan pada meter keberapa foto tersebut diambil pada garis transek. Untuk karang keras yang berukuran kecil atau tempatnya agak tersembunyi sehingga diduga akan sulit untuk
31
diidentifikasi dari foto, dapat dilakukan pemotretan kembali dengan jarak yang lebih dekat sebagai foto bantu untuk mengidentifikasi nama jenisnya. Identifikasi langsung di bawah air juga dapat dilakukan dengan mencatat nama beserta nomor framenya pada kertas khusus bawah air untuk mempermudah saat menganalisis foto. Jika masih dirasakan sulit, maka diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium. Jadi, penarikan sampel di lapangan dengan menggunakan metode UPT, datanya hanyalah berupa foto-foto hasil pemotretan bawah air. Selanjutnya fotofoto tersebut masih perlu dianalisis di darat (ruang kerja) dengan menggunakan komputer untuk mendapatkan data-data yang kuantitatif.
Gambar 14 Pengambilan foto di lapangan dengan metode UPT; (a) Posisi pita berskala pada Frame 1 dan frame bernomer ganjil (b) Posisi pita berskala pada Frame 20 dan frame bernomer genap
Gambar 15 Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode Transek Foto Bawah Air (UPT) 3.4 Analisis Data Dari data yang dikumpulkan dengan ketiga metode (LIT, BT dan UPT) seperti yang diuraikan sebelumnya dapat dihitung nilai frekuensi kehadiran dan persentase tutupan dari kelompok karang keras hidup. Selain itu juga dapat
32
dihitung nilai keanekaragaman karang keras, seperti jumlah jenis (S), nilai indeks keanekaragaman Shannon =H’ (Smith 1990, Huston 1995, Zar 1996, Clarke and Warwick 2001) dan indeks kemerataan Pielou=J’ (Zar 1996, Clarke and Warwick 2001). Indeks keanekaragaman Shannon yang kadang disebut juga sebagai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener atau indeks Shannon-Weaver (Zar 1996), dihitung menggunakan rumus: 𝑘𝑘
𝐻𝐻′ = − � 𝑝𝑝𝑖𝑖 . ln 𝑝𝑝𝑖𝑖 𝑖𝑖=1
dengan
p i = n i /N ; n i = frekuensi kehadiran jenis i N = total frekuensi kehadiran semua jenis
sedangkan indeks kemerataan (J’) dihitung menggunakan rumus:
dengan
H' max = ln S
𝐽𝐽′ =
𝐻𝐻′ 𝐻𝐻′𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
; S = jumlah jenis
Berdasarkan nilai-nilai yang diperoleh tersebut kemudian dilakukan beberapa analisis data statistik baik yang bersifat grafis maupun statistik inferensi seperti uji statistik yang disesuaikan dengan rancangan penelitiannya. Macam analisis data statistik yang digunakan pada setiap analisis data akan disinggung lebih spesifik di setiap bagian analisis data pada bab-bab berikutnya. Untuk analisis data dilakukan menggunakan beberapa piranti lunak (software) komputer seperti Microsoft Office Excel, Minitab, Primer dan CPCe. Sebelum dilakukan uji statistik, bila perlu data ditransformasikan terlebih dahulu agar memenuhi asumsi berdistribusi normal (Sokal and Rohlf 1995, Neter et al. 1996, Zar 1996). Analisis pendahuluan menggunakan metode transformasi BoxCox (Sokal and Rohlf 1995, Neter et al. 1996, Zar 1996) diterapkan pada data untuk menyelidiki transformasi yang sesuai sebelum dilakukan analisis lanjutan. Untuk data berupa persentase, sebelum dilakukan uji statistik data ditransformasi
33
ke bentuk transformasi arcsin akar pangkat dua atau p’=arcsin √p (Sokal and Rohlf 1995, Zar 1996). Selain itu dilakukan pula analisis MDS (Multi Dimensional Scaling) (Clarke and Warwick 2001) untuk melihat posisi masing-masing perlakuan dengan menggunakan piranti lunak Primer v5 (Clarke and Gorley 2001). Clarke (1993) menganalogikan rekonstruksi peta dunia sebagai penerapan dari MDS, dimana lokasi 39 kota besar di dunia yang dihasilkan dari analisis MDS dapat digambarkan dengan hampir sempurna berdasarkan jarak antara setiap pasangan kota tersebut. Pada analisis MDS dapat diketahui besarnya nilai Stress yang merupakan ukuran kesesuaian (goodness of fit) dari setiap posisi antar titik (perlakuan) yang digambarkan oleh Gambar 2-dimensi. Nilai stress > 0,3 menunjukkan bahwa titik-titik pada Gambar 2-dimensi yang dihasilkan dari analisis MDS diplot secara asal (arbitrary), sehingga titik-titik tersebut tidak menggambarkan posisi antar titik yang sebenarnya. Nilai stress < 0,1 menunjukkan bahwa Gambar 2dimensi yang dihasilkan sudah baik untuk menggambarkan posisi antar titik. Meskipun begitu, nilai stress < 0,2 juga masih dianggap berguna untuk melihat posisi antar titik (Clarke and Warwick 2001).
4 PERBANDINGAN ANTARA METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR DENGAN TRANSEK SABUK DAN TRANSEK GARIS INTERSEP 4.1 Pendahuluan Sampai dengan awal tahun 2000-an, penelitian dengan melakukan pemotretan bawah air masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan untuk melakukan pemotretan bawah air diperlukan biaya yang relatif mahal, baik dari segi biaya peralatan kamera maupun dari segi pemrosesan fotonya. Hasil pemotretannya pun belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Penggunaan kamera analog dengan kapasitas film yang terbatas untuk setiap roll-nya (+ 36 film saja) dirasakan sangat tidak praktis. Peneliti harus membatasi keinginannya untuk memotret hanya obyek-obyek yang sudah direncanakannya sebelum turun menyelam. Naik ke perahu setelah film habis untuk mengganti dengan roll film yang baru dimungkinkan meskipun tidak praktis dan juga mengandung resiko bagian dalam kamera terkena air laut. Selain itu, hasil foto kamera analog harus diproses dulu di laboratorium foto untuk dicetak di atas kertas khusus foto. Jadi, bila terjadi kesalahan teknis dalam pengambilan foto (foto kurang jelas gambarnya),
maka hilanglah kesempatan mendokumentasikan obyek, yang
berarti pula kehilangan informasi penting dalam penelitian. Perkembangan teknologi yang pesat pada teknologi kamera digital membuat penggunaan foto bawah air menjadi salah satu alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang. Penggunaan kamera analog yang digantikan dengan penggunaan kamera digital dirasa jauh lebih praktis bagi penggunanya. Kapasitas film yang bisa memuat ratusan foto, dan hasil fotonya yang bisa langsung dilihat beberapa detik setelah pemotretan menjadi nilai lebih dari kamera digital dibandingkan dengan kamera analog. Perkembangan teknologi komputer termasuk piranti lunaknya juga menambah kepraktisan dalam menganalisis foto bawah air. Bila dulu sebelum berkembangnya piranti lunak untuk analisis foto, objek yang akan difoto diberi frame yang terbagi atas beberapa kotak kecil-kecil (grid) agar bisa diperkirakan luasan/persentase tutupannya (atau bila pemotretan tanpa menggunakan frame, maka persentase tutupan koloni dilakukan secara
36
manual dari foto yang dihasilkan), kini terdapat beberapa piranti lunak untuk analisis fotonya. Piranti lunak yang dipakai antara lain Sigma Scan Pro, Image J ataupun CPCe. Metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transek (UPT) merupakan metode penelitian yang memanfaatkan perkembangan teknologi, baik teknologi kamera digital maupun teknologi komputer termasuk piranti lunaknya. Metode UPT ini diharapkan bisa menjadi salah satu metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah metode tersebut dapat dipakai untuk menilai kondisi terumbu karang. Oleh karena itu penggunaan metode UPT perlu dikaji lebih mendalam, termasuk melakukan kajian perbandingan antara hasil yang diperoleh menggunakan metode UPT dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode lain yang telah dikenal dan umum dipakai dalam penelitian penilaian kondisi terumbu karang. Misalnya dengan metode Transek Sabuk atau Belt transect (BT) (Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004) dan Transek Garis Intersep atau Line Intercept Transect (LIT) (English et al. 1997, Mundy 1990, Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004). Berdasarkan hal tersebut, maka pada bagian ini akan dilakukan kajian perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode UPT dengan metode BT dan UPT. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat menjawab pertanyaan tentang apakah penggunaan metode UPT dapat dipakai untuk menilai kondisi terumbu karang.
4.2 Bahan dan Metode 4.2.1 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di sepuluh lokasi penelitian di Kepulauan Seribu (Tabel 1). Untuk masing-masing lokasi penelitian dipilih satu stasiun, sehingga seluruhnya terdapat sepuluh stasiun penelitian. Urutan stasiun dilakukan berdasarkan urutan penelitian di lapangan. Posisi koordinat lintang dan bujur stasiun penelitian di masing-masing lokasi pulau disajikan pada Lampiran 2.
37
Tabel 1 Lokasi penelitian beserta kode stasiunnya Kode Stasiun ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Nama pulau Semak Daun Air Kotok Besar Panjang Pantara Kecil (Hantu Kecil) Jukung Belanda Putri Tidung Tikus
4.2.2 Metode pengambilan data Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan cara penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA. Untuk setiap stasiun penelitian, diletakkan garis transek dengan cara meletakkan roll meter sepanjang 70 m yang diletakkan pada kedalaman sekitar 3-5 m. Garis transek dipasang sejajar garis pantai. Selanjutnya dengan bantuan
garis transek
tersebut, dilakukan
pengambilan data menggunakan ketiga metode yang berbeda, yaitu metode BT, LIT dan UPT. Untuk metode BT, transek dilakukan pada bidang luasan 1 meter sebelah kiri dan 1 meter sebelah kanan sepanjang 70 m garis transek, sehingga luas bidang transek seluruhnya adalah (2 m x 70 m) = 140 m2. Semua karang keras yang berada di dalam luasan transek diukur panjang dan lebar maksimumnya. Untuk metode LIT, transek dilakukan sepanjang garis transek 70 m. Semua biota dan substrat yang berada tepat di bawah garis transek dicatat posisinya pada garis transek (transition) dengan ketelitian hingga 1 cm. Untuk metode UPT, pengambilan foto dilakukan setiap rentang jarak 1 m, dimulai dari meter ke-1 hingga meter ke-70. Kamera yang digunakan untuk pemotretan adalah kamera Olympus Camedia C8080WZ (selanjutnya hanya disebut sebagai kamera ”WZ” saja). Pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom) sehingga luas bidang pemotretan yang dihasilkan untuk setiap framenya sebesar (58cm x 44cm) atau 2552 cm2. Teknis
38
pelaksanaannya yang lebih rinci dari masing-masing metode telah diuraikan pada Bab 3 Metodologi Penelitian dari disertasi ini. Selain data lapangan yang diperoleh dari garis transek, lamanya waktu yang diperlukan untuk pengambilan data di lapangan juga dicatat. Lamanya waktu pengambilan data di lapangan (in situ), dan lamanya waktu pemasukan data ke dalam komputer (data entry) (ex situ) diperlukan untuk melihat tingkat efisiensi suatu metode terhadap metode yang lainnya. 4.2.3 Analisis data Data-data yang diambil dari lapangan belum berupa data-data yang siap pakai. Data-data tersebut perlu dimasukkan ke dalam komputer dan disimpan di dalam lembaran kerja (worksheet) yang siap untuk diolah lebih lanjut. Data mentah (row data) yang diperoleh pada pengambilan data menggunakan metode BT dan LIT merupakan data yang bisa langsung dimasukkan ke dalam komputer. Hal ini berbeda dengan pengambilan data menggunakan metode UPT dimana datanya masih dalam bentuk foto-foto yang masih perlu dianalisis di ruang kerja untuk mendapatkan data kuantitatif yang siap untuk dianalisis lebih lanjut. Jadi, pada penggunaan metode UPT lamanya waktu pemasukan data ke dalam komputer merupakan waktu untuk proses analisis foto, dimana data yang diambil dari lapangan yang masih berupa foto-foto dianalisis dengan menggunakan komputer. Foto-foto hasil pemotretan bawah air dianalisis menggunakan piranti lunak (software) CPCe (Kohler and Gill 2006). Piranti lunak ini bisa diunduh (download) secara bebas lewat internet. Analisis foto dilakukan berdasarkan keseluruhan gambar
(entire image) dari masing-masing foto dan dilakukan
dengan menggunakan teknik menghitung luas area (Gambar 16). Penggunaan panjang transek 70 m dengan pemotretan dimulai dari titik 1 m dan rentang jarang pemotretan 1 m akan menghasilkan foto sebanyak 70 frame foto. Selanjutnya persentase tutupan untuk setiap kategori biota dan substrat dihitung menggunakan rumus : 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 =
𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑥𝑥 100% 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓
39
Gambar 16 Perhitungan luas area dari masing-masing kategori.
Sedangkan persentase tutupan untuk data yang diperoleh dengan menggunakan metode LIT dihiung menggunakan rumus: 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 =
𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑥𝑥 100% 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡
Data yang diambil menggunakan metode BT berupa data panjang dan lebar
maksimum dari setiap jenis karang keras yang berada dalam luasan transek. Untuk menghitung persentase tutupan karang keras dalam suatu luasan transek, pertama-tama dihitung terlebih dahulu luas dari setiap jenis karang yang dijumpai. Pada umumnya bentuk karang dilihat dari permukaan (atas) menyerupai bidang elips, sehingga luas bidang setiap jenis karang diperkirakan menggunakan rumus luas bidang elips yaitu = ½P x ½L x π, dimana P = panjang maksimum; L = lebar maksimum; dan π = 3,14. Untuk kondisi dimana P = L maka bentuk bidangnya adalah lingkaran. Selanjutnya persentase tutupan karang hidup dihitung berdasarkan rumus: 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 =
𝑡𝑡𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑥𝑥 100% 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Untuk melihat efisiensi suatu metode ditentukan berdasarkan analisis biaya dan waktu (cost and time analysis) yaitu dengan mempertimbangkan faktor biaya dan waktu yang harus ditanggung akibat penggunaan metode yang dipilih. Total biaya dan waktu masing-masing metode lalu distandarisasikan dengan cara membaginya dengan nilai total biaya dan waktu yang terendah di antara ketiga
40
metode tersebut, dan nilainya disebut sebagai nilai koefisien efisiensi biaya dan waktu (ψ). Semakin efisien suatu metode, maka nilai ψ akan lebih rendah dibandingkan nilai ψ metode yang lainnya. Untuk uji perbandingan antara ketiga metode yang dipakai (BT, LIT dan UPT), digunakan analisis ragam (anova = analysis of variance) untuk rancangan percobaan dengan pengukuran berulang (repeated-measures experimental design) (Zar 1996), karena ketiga metode (perlakuan) diterapkan pada garis transek yang sama di masing-masing stasiun penelitian. Data yang dibandingkan adalah data persentase tutupan karang keras (HC). Sedangkan untuk kelompok yang lainnya yaitu karang mati (DS), alga (ALG), fauna lain (OF) dan abiotik (ABI), perbandingan hanya dilakukan untuk persentase tutupan yang diperoleh dari metode LIT dan UPT saja karena pada metode BT tidak mengukur kelompokkelompok tersebut. Pada metode BT, data yang diukur hanya panjang dan lebar maksimum karang keras (HC) saja. Uji yang digunakan untuk kelompok DS, ALG, OF dan ABI yaitu uji t berpasangan. Anova untuk rancangan percobaan dengan pengukuran berulang juga dilakukan terhadap data keanekaragaman karang keras seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’) dan indeks kemerataan (J’). Bila pada anova disimpulkan bahwa tidak semua data menghasilkan nilai dugaan yang sama, maka dilakukan uji perbandingan berganda menggunakan uji simultan Tukey (Neter
et al. 1996, Zar 1996). Uji ini dilakukan untuk
menemukan metode mana yang memiliki nilai dugaan yang sama ataupun nilai dugaan yang berbeda. Sebelum dilakukan uji statistik, untuk memenuhi asumsi data berdistribusi normal, bila perlu data ditransformasikan terlebih dahulu (Sokal and Rohlf 1995, Neter et al. 1996, Zar 1996). Metode transformasi Box-Cox (Sokal and Rohlf 1995, Neter et al. 1996, Zar 1996) diterapkan pada data untuk menyelidiki transformasi yang sesuai sebelum dilakukan pengujian. Untuk data berupa persentase, sebelum dilakukan uji statistik data ditransformasi ke bentuk transformasi Arcsin akar pangkat dua (p’ = arcsin √p) (Sokal and Rohlf 1995, Zar 1996). Selain itu, berdasarkan frekuensi kehadiran dari setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun penelitian, dilakukan analisis Multi Dimensional
41
Scaling (MDS) (Clarke and Warwick 2001) untuk melihat posisi dari masingmasing Metode ataupun Stasiun. Untuk anova dan uji perbandingan digunakan program Minitab v16, sedangkan analisis MDS menggunakan Primer v5 (Clarke and Gorley 2001).
4.3 Hasil 4.3.1 Analisis biaya dan waktu 4.3.1.1 Biaya Biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing metode dihitung berdasarkan saat melakukan: 1.
pengambilan data di lapangan, dan
2.
pemasukan data ke dalam komputer (data entry) sehingga siap untuk dianalisis lebih lanjut. Untuk metode UPT, waktu pemasukan data meliputi juga waktu analisis foto. Biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan oleh masing-masing metode
diasumsikan tidak berbeda satu dengan yang lainnya. Tabel 2 merupakan biaya yang harus dikeluarkan akibat penggunaan metode yang dipilih, baik saat pengambilan data di lapangan maupun saat pemasukan data ke dalam komputer. Besarnya biaya yang dikeluarkan mungkin bervariasi antar lokasi penelitian maupun standar pengupahan untuk personil. Untuk pekerjaan lapangan dimana harus dilakukan penyelaman, minimal diperlukan dua penyelam, dimana satu penyelam untuk meletakkan dan menggulung roll meter sebagai garis transek, sedangkan satu penyelam lagi melakukan penelitian menggunakan metode UPT, atau LIT atau pun BT. Tabel 2 memperlihatkan bahwa biaya per hari yang dikeluarkan saat pengambilan data di lapangan jauh lebih besar dibandingkan biaya per hari yang dikeluarkan saat pemasukan data. Perbandingan antara biaya per hari yang dikeluarkan saat pengambilan data di lapangan menggunaakan metode LIT dan BT terhadap biaya per hari saat pengambilan data di lapangan menggunaakan metode UPT serta biaya per hari saat pemasukan data (baik metode BT, LIT maupun UPT) adalah Rp. 2.300.000,- : Rp. 2.400.000,- : Rp. 300.000,- atau 7,7 :
42
8 : 1. Nilai perbandingan tersebut merupakan dasar pemberian bobot yang diberikan untuk masing-masing metode berdasarkan biaya per hari yang harus dikeluarkan (Tabel 3).
Tabel 2 Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing metode (i). Biaya yang harus dikeluarkan untuk pengambilan data di lapangan per hari a. Metode LIT dan BT - Sewa perahu
=
Rp.
800.000
,-
- Sewa 2 set peralatan selam @ Rp. 300.000,-
=
Rp.
600.000
,-
- Upah 2 penyelam/peneliti @ Rp.450.000,-
=
Rp.
900.000
,-
=
Rp.
2.300.000
,-
- Sama dengan biaya yang dikeluarkan metode LIT dan BT
=
Rp.
2.300.000
,-
- Sewa peralatan kamera bawah air
=
Rp.
100.000
,-
=
Rp.
2.400.000
,-
Total b. Metode UPT
Total
(ii). Biaya yang harus dikeluarkan untuk pemasukan data ke komputer per hari Metode UPT, LIT dan BT sama, yaitu: - Penggunaan ruangan kerja/komputer/listrik untuk input data
=
Rp.
100.000
,-
- Upah 1 orang/peneliti untuk data entry
=
Rp.
200.000
,-
=
Rp.
300.000
,-
Total
Tabel 3
Metode UPT LIT BT Metode UPT LIT BT
Biaya perhari yang dikeluarkan dan nilai bobot untuk pengambilan dan pemasukan data berdasarkan metode penelitian yang digunakan Biaya perhari yang harus dikeluarkan untuk: pengambilan data lapangan
pemasukan data
Rp.2.400.000,Rp.2.300.000,Rp.2.300.000,-
Rp. 300.000,Rp. 300.000,Rp. 300.000,-
Bobot (berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan per hari) untuk: pengambilan data lapangan
pemasukan data
8 7,7 7,7
1 1 1
43
4.3.1.2 Waktu Untuk ketiga metode yang digunakan (BT, LIT dan UPT), dilakukan analisis waktu yang dihitung berdasarkan lamanya waktu yang diperlukan untuk: 1.
Pengambilan data di lapangan Rerata lamanya waktu beserta nilai kesalahan baku (Standard Error) yang diperlukan untuk melakukan pengambilan data di lapangan dengan tiga macam metode yang berbeda untuk setiap transeknya (n=10) ditampilkan pada Gambar 17. Lamanya waktu pengambilan data yang tercepat yaitu dengan metode UPT yaitu sebesar ( 22,30 + 1,59) menit/transek, diikuti oleh metode LIT (65,90 + 3,93) menit/transek, dan selanjutnya metode BT (272,40 + 16,44) menit/transek. Pengambilan data di lapangan dengan metode UPT terlihat tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan pengambilan data menggunakan metode LIT, bahkan 12 kali lebih cepat dibandingkan dengan pengambilan data menggunakan metode BT.
Waktu per transek (menit)
Pengambilan data di lapangan 400 300 200 100 0
BT
LIT
UPT
Metode
Gambar 17 Rerata lamanya waktu pengambilan data di lapangan beserta nilai simpangan bakunya per transek untuk masing-masing metode 2.
Pemasukan data ke dalam komputer (data entry) sehingga siap untuk dianalisis lebih lanjut. Berbeda dengan lamanya waktu pengambilan data di lapangan, lamanya waktu yang diperlukan untuk memasukan data per transeknya dari data yang diperoleh menggunakan metode UPT memerlukan waktu yang
44
lebih lama dibanding kedua metode yang lain, yaitu sekitar delapan kali lamanya waktu yang dibutuhkan oleh metode LIT atau sekitar dua setengah kali waktu yang dibutuhkan oleh metode BT (Gambar 18). Hal ini dikarenakan data yang diperoleh dengan metode LIT dan BT sudah berupa data yang siap untuk disimpan ke komputer dalam bentuk lembar kerja (worksheet), sedangkan data yang diperoleh dengan metode UPT masih berupa foto yang harus dianalisis, baru selanjutnya dimasukkan ke dalam lembar kerja. Lamanya waktu pemasukan data (rerata + kesalahan baku) dengan metode BT, LIT dan BT berturut-turut adalah (217,2 + 10,48), (89,6 + 5,54) dan (734,10 + 16,42), menit per transek. Waktu tersebut termasuk
Waktu per trasnek (menit)
untuk memasukkan nama jenis karang keras. Pemasukan data
800 600 400 200 0
BT
LIT
UPT
Metode
Gambar 18 Rerata lamanya waktu pemasukan data per transek beserta nilai simpangan bakunya per transek untuk masing-masing metode Lamanya waktu yang diperlukan baik untuk pengambilan data di lapangan maupun untuk pemasukan data dari masing-masing metode di setiap stasiun penelitian, ditampilkan pada Lampiran 3. 4.3.1.3 Biaya dan waktu Koefisien efisiensi biaya dan waktu untuk masing-masing metode dihitung dengan cara mengalikan nilai bobot berdasarkan biaya yang dikeluarkan baik saat pengambilan maupun pemasukan data dengan lamanya waktu pengambilan dan pemasukan data. Selanjutnya dihitung rasio antar nilai-nilai yang diperoleh
45
tersebut, atau disebut sebagai nilai koefisien efisiensi biaya dan waktu (ψ). Nilai ψ dihitung dengan membagi nilai koefisien biaya dan waktu dari suatu metode dengan nilai terkecil dari nilai koefisien biaya dan waktu di antara ketiga metode (BT, LIT dan UPT). Hasilnya ditampilkan pada Tabel 4. Semakin kecil nilai ψ maka semakin efisien dari segi biaya dan waktu. Dari nilai ψ pada Tabel 4 ini, di antara ketiga metode yang diperbandingkan, tampak metode LIT lebih efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan metode UPT dan BT, sedangkan metode UPT lebih efisien dibanding metode BT. Efisiensi metode LIT 1,53 kali efisiensi metode UPT.
Tabel 4
Metode UPT LIT BT
Perhitungan koefisien biaya dan waktu untuk masing-masing metode penelitian (UPT, LIT, BT) Rerata lamanya waktu (menit) per transek untuk: pengambilan data lapangan
pemasukan data
22,3 65,9 272,4
734,1 89,6 217,2
Koefisien biaya dan waktu (waktu x bobot biaya) untuk: Metode
pengambilan data lapangan (a)
pemasukan data (b)
Total (a+b)
Rasio= ψ
UPT LIT BT
22,3 x 8 65,9 x 7,7 272,4 x7,7
734,1 x 1 89,6 x 1 217,2 x 1
912,50 597,03 2314,68
1,53 1,00 3,88
4.3.2 Persentase tutupan Kategori biota dan substrat dikelompokkan ke dalam lima kelompok yaitu kelompok Karang keras (Hard Coral = HC), Karang mati (Dead Scleractinia = DS), Alga (Algae = ALG), Fauna Lain (Other Fauna = OF) dan Abiotik (Abiotic = ABI). Persentase tutupan untuk kelompok HC dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT, sedangkan untuk empat kelompok yang lainnya hanya menggunakan kelompok LIT dan UPT. Rerata persentase tutupan masingmasing kelompok beserta nilai kesalahan bakunya (SE = standard error) berdasarkan metode yang digunakan, ditampilkan pada Lampiran 4 dan Gambar 19.
46
Secara umum terlihat bahwa untuk kelompok HC, nilai rerata yang diperoleh dengan metode UPT cenderung sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh metode BT dan LIT. Demikian juga pada DS dan OF dimana hasil yang diperoleh dengan metode UPT cenderung lebih rendah dibandingkan dengan metode LIT. Hal sebaliknya terjadi untuk kelompok ALG dan ABI dimana hasil yang diperoleh dengan metode UPT cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode LIT. Untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara hasil yang diperoleh dari metode yang berbeda maka dilakukan anova (untuk kelompok LC) dan uji t berpasangan (untuk empat kelompok yang lainnya). Transformasi arcsin akar pangkat dua dilakukan terhadap data persentase tutupan sebelum dilakukan anova maupun uji t berpasangan.
Gambar 19 Rerata persentase tutupan beserta nilai kesalahan baku masingmasing kelompok berdasarkan metode yang digunakan (n=10)
47
4.3.2.1 Karang keras (Hard Coral = HC) Persentase tutupan HC yang diperoleh di masing-masing stasiun penelitian dengan tiga macam metode yang berbeda ditampilkan pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 tersebut terlihat bahwa persentase tutupan HC bervariasi antar stasiun penelitian. Adanya variasi antar stasiun penelitian juga dibuktikan dengan nilai p yang rendah (p < 0,01) untuk variasi antar stasiun penelitian (Tabel 5). Adanya variansi antar stasiun menunjukkan bahwa data persentase tutupan yang ingin dibandingkan berdasarkan penggunaan metode dilakukan pada stasiun yang memiliki persentase tutupan karang keras yang beragam. Hasil anova juga menunjukkan bahwa meskipun metode yang dipergunakan berbeda, tetapi hasil yang diperoleh oleh ketiga metode tersebut untuk menduga nilai persentase tutupan karang keras relatif sama (p > 0,01) (Tabel 5). Karang keras (HC)
Tutupan (%)
60 40 BT
20
LIT UPT
0 ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10 Stasiun
Gambar 20 Persentase tutupan karang keras di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan tiga metode berbeda (BT, LIT dan UPT)
Tabel 5 Hasil anova untuk persentase tutupan HC (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) Sumber variasi Stasiun Metode Sesatan Total
Derajat bebas 9 2 18 29
Jumlah kuadrat 1460,65 12,00 23,23 1495,88
Rerata kuadrat 162,295 6,002 1,290
F
p
5,78 4,65
0,000 0,024
48
4.3.2.2 Karang mati (Dead Scleractinia = DS) Persentase tutupan kelompok DS di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung menggunakan metode UPT umumnya lebih rendah dibandingkan dengan yang dihitung menggunakan metode LIT (Gambar 21). Uji t untuk data berpasangan terhadap data persentase tutupan kelompok DS menghasilkan nilai p = 0,032 yang berarti bahwa persentase tutupan DS yang dihasilkan dengan kedua metode akan memberikan hasil yang relatif sama (p > 0,01).
Karang mati (DS) 5 Tutupan (%)
4 3 2 LIT
1
UPT
0 ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10 Stasiun
Gambar 21 Persentase tutupan karang mati di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan dua metode berbeda 4.3.2.3 Alga (Algae = ALG) Tutupan alga yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian terlihat bervariasi (Gambar 22). Pada umumnya persentase tutupan alga yang dihitung dengan metode LIT cenderung lebih tinggi dibanding dengan yang dihitung menggunakan metode UPT. Meskipun begitu, variasi yang terjadi di dalam stasiun akibat penggunaan 2 macam metode yang berbeda (LIT dan UPT) terlihat tidak signifikan (p > 0,01). Hal ini dibuktikan dengan nilai p = 0,085 pada uji t untuk data berpasangan terhadap data persentase tutupan kelompok ALG.
49
Alga (ALG)
Tutupan (%)
80 60 40 20
LIT UPT
0
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10 Stasiun
Gambar 22 Persentase tutupan alga di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan dua metode berbeda 4.3.2.4 Fauna lain (Other Fauna = OF) Fauna lain yang dijumpai di sepuluh stasiun penelitian tampak memiliki variasi yang tinggi antar stasiun penelitian. Variasi yang tinggi di dalam stasiun karena penggunaan dua metode yang berbeda (LIT dan UPT) sekilas juga tampak terutama pada ST02, ST04, dan ST05 (Gambar 23), dimana tutupan OF yang diperoleh menggunakan metode LIT cenderung lebih tinggi dibandingkan tutupan OF yang diperoleh menggunakan metode UPT. Meskipun secara grafis terlihat perbedaan yang mencolok, tetapi perbedaan paling tinggi hanya sekitar 5% dan terjadi di ST05. Hasil uji t berpasangan terhadap data persentase tutupan kelompok OF tidak dapat membuktikan bahwa hasil yang diperoleh dengan kedua metode (LIT dan UPT) berbeda secara signifikan (p > 0,01). Nilai p yang diperoleh pada uji t tersebut yaitu p = 0,033.
50
Fauna lain (OF)
Tutupan (%)
8 6 4 2
LIT UPT
0
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10 Stasiun
Gambar 23 Persentase tutupan fauna lain di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan dua metode berbeda 4.3.2.5 Abiotik (Abiotic = ABI) Nilai rerata persentase tutupan abiotik beserta kesalahan bakunya yang diperoleh dengan kedua metode ditunjukkan pada Gambar 24. Uji t berpasangan terhadap data persentase tutupan kelompok ABI memeperoleh nilai p = 0,104 yang berarti hasil yang diperoleh oleh kedua metode (LIT dan UPT) untuk menduga persentase tutupan abiotik tidak berbeda secara nyata (p > 0,01).
Abiotik (ABI)
Tutupan (%)
40
20
LIT UPT
0
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10 Stasiun
Gambar 24 Persentase tutupan abiotik di masing-masing stasiun penelitian yang dihitung dengan dua metode berbeda
51
4.3.3 Keanekaragaman karang keras Frekuensi kehadiran dari setiap jenis karang yang dijumpai di masingmasing stasiun penelitian berdasarkan metode penelitian yang digunakan ditampilkan pada Lampiran 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7. Berdasarkan data frekuensi kehadiran tersebut dihitung nilai keanekaragaman dari karang keras meliputi nilai S (jumlah jenis), H’ (indeks keanekaragaman jenis) dan J’(indeks kemerataan jenis), yang hasil perhitungannya ditampilkan pada Lampiran 8. Histogram untuk ketiga nilai keanekaragamanan tersebut ditampilkan pada Gambar 25, Gambar 26 dan Gambar 27.
Jumlah Jenis (S)
120 80 BT
40
LIT UPT
0 ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Stasiun
Indes Keanekaragaman (H')
Gambar 25 Jumlah jenis karang keras yang dijumpai selama penelitian dengan menggunakan tiga metode yang berbeda (BT, LIT, UPT) 6
4
2
BT LIT UPT
0 ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Stasiun
Gambar 26 Nilai H’ yang diperoleh di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan tiga metode yang berbeda (BT, LIT, UPT)
52
Indeks Kemerataan (J')
1.00
0.80 BT LIT UPT
0.60 ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Stasiun
Gambar 27 Nilai J’ yang diperoleh di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan tiga metode yang berbeda (BT, LIT, UPT)
Sebelum dilakukan anova, data ditransformasikan dahulu kedalam bentuk akar pangkat dua untuk nilai S dan H’, sedangkan untuk nilai J’ ditransformasikan ke dalam bentuk pangkat dua. Hasil anova menunjukkan bahwa tidak semua metode yang digunakan (BT, LIT dan UPT) akan memberikan nilai S, H’ dan J’ yang sama (p < 0.01) (Tabel 6). Tabel 6
Nilai p hasil anova pada data nilai keanekaragaman untuk sumber variasi Metode (BT, LIT dan UPT) Nilai keanekaragaman S’ = √S H’’ = √H’ J’’ = J’2
Nilai p 0,000 0,000 0,000
Nilai S yang dijumpai dengan menggunakan metode BT merupakan yang terbanyak, diikuti oleh metode UPT, baru kemudian metode LIT (Gambar 25, Tabel 7 dan Tabel 8). Sedangkan nilai H yang dihasilkan dengan metode BT juga merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan metode UPT dan LIT, sedangkan antara metode UPT dan LIT relatif tidak berbeda (p>0,01) (Gambar 26, Tabel 7 dan Tabel 8). Sebaliknya, nilai tertinggi untuk J’ diperoleh dengan metode LIT, kemudian BT dan yang terkecil UPT (Gambar 27, Tabel 7 dan Tabel 8).
53
Tabel 7
Nilai p hasil uji simultan Tukey pada perbandingan berganda antara metode BT, LIT dan UPT Nilai p
Uji perbandingan
√S
√H’
(J’)2
BT terhadap LIT BT terhadap UPT LIT terhadap UPT
0,000 0,000 0,000
0,000 0,000 0,027
0,001 0,004 0,000
Tabel 8 Keputusan dari uji simultan Tukey antara metode BT, LIT dan UPT Nilai
Keputusan
√S
µ BT > µ UPT > µ LIT µ BT > µ UPT = µ LIT µ LIT > µ BT > µ UPT
√H’ (J’)2
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut merupakan sesuatu yang mungkin saja terjadi. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan luasan pengambilan sampel yang tidak sama antar ketiga metode. Pada metode BT, ukuran pengambilan sampel adalah (2 x 70) m2 = 140 m2. Pada metode LIT, pengambilan sampel bukan berupa luasan bidang tetapi merupakan panjang garis dimana panjang garisnya adalah 70 m. Sedangkan pada metode UPT, luasan bidang yang diamati adalah = 70 x 2552 cm2 = 178640 cm2 = 17,864 m2 atau sekitar 0,128 kali luas bidang pengamatan dengan metode BT. Besarnya jumlah jenis yang dijumpai akan meningkat dengan semakin luasnya pengamatan (luas sampel), hingga pada suatu luasan tertentu, penambahan luas pengamatan tidak akan lagi merubah nilai S secara signifikan. Perubahan nilai S yang terjadi tentu saja akan mempengaruhi nilai H’ dan J’. Tingginya nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) pada metode BT kemungkinan disebabkan oleh bidang pengamatan yang lebih luas dibandingkan dengan metode LIT dan UPT. Pada pengamatan yang lebih luas, jenis-jenis karang keras termasuk jenis-jenis yang tidak dominan mungkin saja dapat dijumpai. Akibatnya, nilai indeks keanekaragaman Shannon akan meningkat. Sedangkan tingginya nilai indeks kemerataan Piellou (J’) pada metode LIT dibandingkan pada metode BT dan UPT kemungkinan disebabkan
54
oleh sedikitnya luas bidang yang diamati. Semakin kecil luas bidang pengamatan, perbedaan antara jenis karang keras yang dominan dengan yang tidak dominan kurang begitu terlihat jelas dibandingkan dengan bidang pengamatan yang lebih luas. Akibatnya, nilai indeks kemerataan Piellou (J’) akan semakin lebih tinggi pada luas bidang pengamatan yang lebih kecil (metode LIT). Analisis MDS yang dilakukan terhadap frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dihitung menggunakan nilai kemiripan Bray-Curtis (data ditransformasi ke akar pangkat dua dan distandarisasi) memperlihatkan bahwa pengelompokan yang terjadi lebih cenderung dikarenakan stasiun penelitiannya (Gambar 28), bukan karena metode yang digunakan (Gambar 29). Jadi, walaupun nilai-nilai keanekaragaman karang keras memperlihatkan hasil yang berbeda untuk setiap metode yang digunakan, tetapi perbandingan nilai-nilai keanekaragaman karang keras antar stasiun penelitian masih dimungkinkan bila metode yang digunakan sama.
Gambar 28 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana stasiun sebagai faktor
55
Gambar 29 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana metode sebagai faktor 4.4 Pembahasan Berdasarkan hasil yang diperoleh, penggunaan metode UPT menduga nilai persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat yang relatif sama (p > 0,01) dengan yang diperoleh menggunakan metode BT maupun LIT. Tetapi, perbedaan hasil antara ketiga metode tersebut terjadi pada nilai keanekaragaman karang keras (S, H’ dan J’). Penggunaan metode BT akan memberikan nilai S dan H’ yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan metode UPT maupun LIT. Sebaliknya, untuk nilai J’, penggunaan metode LIT memberikan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan metode BT dan UPT. Secara teoritis, banyaknya jenis karang keras (S) yang dijumpai akan semakin bertambah dengan semakin bertambahnya luas bidang pengamatan, hingga pada suatu luasan tertentu tidak akan lagi dijumpai jenis baru. Meningkatnya nilai S yang diperoleh tentunya akan mempengaruhi nilai H’ dan J’. Bila mengamati jumlah jenis karang keras yang dijumpai dengan menggunakan metode BT, dan membandingkannya dengan jumlah jenis karang keras yang dijumpai dengan menggunakan metode LIT maupun UPT, diperoleh selisih yang tinggi (Gambar 25). Hal ini mungkin disebabkan karena bidang pengamatan dengan kedua metode (LIT dan UPT) kurang mewakili (representatif) untuk menggambarkan luas bidang pengamatan seperti halnya
56
pada metode BT, terutama untuk mendeteksi nilai keanekaragaman jenis karang keras. Jadi, jika tujuan penelitian ingin mengetahui jumlah keanekaragaman jenis di suatu lokasi, tentunya data jumlah jenis tidak cukup hanya berdasarkan hasil yang diperoleh dari metode UPT. Penggunaan observasi bebas dengan mengamati jenis-jenis karang sepanjang garis transek tentunya akan bermanfaat untuk menambah data keanekaragaman karang keras pada suatu lokasi penelitian. Tetapi jika tujuannya hanya untuk melakukan kajian perbandingan antara satu stasiun dengan stasiun yang lainnya (misalnya dalam menyimpulkan bahwa suatu stasiun memiliki keragaman karang keras yang lebih tinggi dibandingkan stasiun yang lainnya), maka penggunaan metode UPT tetap dapat dipakai sebagai kajian perbandingan antar stasiun atau lokasi pengamatan, sepanjang stasiun yang diperbandingkan tersebut sama-sama menggunakan metode UPT yang sama. Beberapa bias pengukuran saat pengambilan data di lapangan dapat terjadi. Pada metode BT, kelebihan pencatatan (over estimate) mungkin saja terjadi saat menghitung panjang atau lebar maksimum suatu koloni karang, terutama pada koloni karang yang berbentuk bundar masif, dimana pengukurannya sedikit melengkung mengikuti bentuk karang yang bundar (Gambar 30). Padahal seharusnya pengukuran harus diproyeksikan tegak lurus ke atas/permukaan, seolah-olah bidang yang diamati merupakan bidang 2 dimensi yang dilihat dari permukaan.
Gambar 30 Kesalahan dalam pengukuran pada metode BT
57
Kelebihan pencatatan dengan metode BT juga mungkin saja terjadi bila kontur dasar terumbu karang tidak rata sehingga mungkin saja karang yang tumbuh pada bagian dasar yang lebih rendah dan berada tersembunyi di bawah karang yang lain ikut terukur pula. Padahal pengambil data harus menganggap bahwa bidang pengamatan merupakan bidang 2 dimensi, sehingga bila terdapat koloni karang yang tumbuh pada bagian yang tertutup oleh koloni karang diatasnya, pencatatan hanya dilakukan pada koloni karang yang menempati bagian atas saja. Luasnya bidang pengamatan pada metode BT memungkinkan juga bias karena tidak tercatatnya koloni-koloni karang yang berukuran kecil. Hal ini bisa disebabkan oleh rasa letih karena beban pekerjaan yang besar, ataupun karena pandangan pengamat lebih terkonsentrasi pada karang-karang yang berukuran besar sehingga karang-karang yang berukuran kecil tidak terlihat. Penggunaan metode LIT untuk menilai kondisi terumbu karang juga tidak terlepas dari beberapa kesalahan teknis di lapangan. Pencatatan lebih (over estimate) bisa terjadi saat garis transek menyinggung hanya bagian pinggir karang keras, tetapi dicatat seolah-olah karang keras tersebut berada tepat di bawah garis transek. Apalagi bila pada saat pengamatan kondisi perairan berombak atau berarus kuat, sehingga posisi garis transek berubah-ubah. Untuk itu, pengamat harus rajin-rajin mengingat posisi terakhir pencatatan datanya. Bias karena tidak tercatatnya karang keras pada pelaksanaan metode LIT bisa terjadi saat dimana dijumpai tutupan abiotik yang sangat luas, sepanjang garis transek. Mungkin saja pada kondisi seperti ini, karang-karang, terutama yang berukuran kecil yang kebetulan tepat berada di bawah garis transek luput dari pencatatan. Penggunaan metode UPT juga tidak luput dari kesalahan, terutama bila hasil foto yang dihasilkan kurang begitu jelas. Tidak jelasnya hasil foto bisa disebabkan karena saat pengambilan gambarnya bergoyang, perairan yang kurang jernih atau pun karang yang berada dalam bidang pemotretan memiliki ukuran koloni yang kecil. Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya selain pengambilan foto yang nantinya akan diproses, juga bisa dilakukan pengambilan foto lagi sebagai ”foto bantu”. Pada foto bantu ini, pemotretan koloni karang tersebut dilakukan kembali dari jarak yang lebih dekat atau bisa juga menggunakan
58
pembesaran (zoom) sehingga akan sangat membantu sekali saat proses analisis foto. Meskipun diantara ketiga metode yang diperbandingkan (BT, LIT dan UPT) metode LIT merupakan metode dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi (kecuali pada persentase tutupan kelompok Fauna Lain), namun penggunaan metode UPT tetap bisa dipertimbangkan sebagai metode alternatif untuk penilaian kondisi terumbu karang. Hasil yang diperoleh menggunakan metode UPT tidak berbeda dengan kedua metode yang lain (BT dan LIT) untuk menduga kelompok biota dan substrat. Pada analisis biaya dan waktu yang merupakan dasar untuk mengetahui efisiensi suatu metode, hanya mempertimbangan dari segi materi saja, tanpa mempertimbangkan faktor psikologis pengambil data yang melakukan penyelaman. Selain itu, faktor keamanan dan kenyamanan saat pengambilan data di lapangan, terutama pada saat kondisi perairan berombak juga tidak diperhitungkan. Berdasarkan-uraian-uraian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa metode UPT dapat digunakan untuk menilai kondisi terumbu karang. Dengan demikian, langkah selanjutnya adalah menentukan teknik analisis apa yang efisien tapi juga akurat untuk menganalisis foto yang dihasilkan dengan metode UPT. Tahap tersebut akan dibahas pada bab selanjutnya. 4.5 Kesimpulan Penggunaan metode UPT bisa dijadikan metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang. Meskipun nilai keanekaragaman karang keras yang diperoleh
dengan
menggunakan
metode
UPT
berbeda
dengan
nilai
keanekaragaman yang diperoleh menggunakan metode BT, namun hasil yang diperoleh dapat dipakai untuk membandingkan keanekaragaman karang keras antara satu lokasi dengan lokasi yang lainnya (bila sama-sama menggunakan metode UPT).
5 EFISIENSI DAN AKURASI PADA PROSES ANALISIS FOTO BAWAH AIR UNTUK MENILAI KONDISI TERUMBU KARANG 5.1 Pendahuluan Penggunaan metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transect (UPT) untuk menilai kondisi terumbu karang bisa menjadi salah satu metode alternatif selain beberapa metode lain yang telah dikenal dan dipakai dalam penelitian terumbu karang (Kenchington 1978, Loya 1978, Moll 1983, Mundy 1990, English et al. 1997, DeVantier et al. 1998, Sukmara et al. 2001, Long et al. 2004, Oliver et al. 2004, Hill and Wilkinson 2004, Lam et al. 2006, Alquezar and Boyd 2007, Leujak and Ormond 2007, Burt et al. 2008). Proses analisis foto hasil pemotretan bawah air merupakan bagian penting pada penggunaan metode UPT. Proses analisis foto bawah air juga dilakukan dalam penelitian dengan metode dan cara yang beragam (English et al. 1997, Hill and Wilkinson 2004, Alquezar and Boyd 2007, Leujak and Ormond 2007, Burt et al. 2008). Dalam beberapa literatur tidak disebutkan secara jelas bagaimana menganalisis foto yang dihasilkan dari pemotretan bawah air. English et al. (1997) pada petunjuk survey metode Permanent Quadrat dengan teknik fotografi, tanpa merinci lebih dalam, menghitung nilai luasan suatu koloni berdasarkan panjang dan lebar koloni tersebut. Hill and Wilkinson (2004) menentukan persentase tutupan dari foto yang dihasilkan dengan metode Permanent Photo Quadrat dengan cara menggunakan sampel titik dengan penempatan grid di atas kuadrat (tanpa menyebutkan berapa banyak titik dan grid yang dipakai), atau dengan cara mendigit foto (tanpa menyebut piranti lunak yang dipakai). Burt et al. (2008) untuk memantau pemulihan karang setelah peristiwa pemutihan karang (bleaching) di Dubai, Emirat Arab menganalisis foto menggunakan piranti lunak CPCe (Kohler and Gill 2006) menggunakan 50 sampel titik acak pada setiap frame foto hasil pemotretan pada luasan sekitar 0,25 m2. Leujak and Ormond (2007) berdasarkan penelitiannya di Ras Um Sidh, Sinai Selatan, Mesir,
60
selain dengan cara menghitung luasan setiap koloni karang, juga dengan cara menggunakan 100 sampel titik acak pada setiap frame foto yang dihasilkan dari luasan bidang sekitar 1m2, dimana foto tersebut dihasilkan dari jarak pemotretan sekitar 2 m dari substrat. Piranti lunak yang digunakan adalah Sigma ScanPro5. Alquezar and Boyd (2007) pada penelitiannya di the Great Barrier Reef, Australia, berdasarkan foto dengan luasan yang sama dengan Leujak and Ormond (2007) yaitu 1 m2 menganalisis foto dengan piranti lunak CPCe (Kohler and Gill 2006) menggunakan 20 titik yang dipilih secara acak pada setiap framenya. Adanya perbedaan-perbedaan jumlah titik acak yang dipilih dalam menganalisis setiap frame foto, ditambah dengan lokasi penelitian yang berada di luar Indonesia yang mungkin berbeda dengan kondisi terumbu karang di Indonesia, menjadi alasan perlunya dilakukan analisis foto bawah air yang pengambilan datanya menggunakan metode UPT dan dilakukan di perairan Indonesia. Dari analisis tersebut diharapkan dapat diperoleh teknik yang efisien dan akurat dalam proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu karang. 5.2 Bahan dan Metode 5.2.1 Tempat dan waktu penelitian Analisis data dilakukan berdasarkan pemilihan acak dari sepuluh lokasi penelitian yang dilakukan di Kepulauan Seribu Jakarta (Lampiran 2) pada Agustus 2008. Lokasi yang terpilih adalah Pulau Jukung dengan posisi koordinat stasiun penelitian yang dicatat dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) berada pada posisi: 106° 31,44’ BT; 05°3 4,10’ LS. 5.2.2 Metode pengambilan data Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan cara penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA. Metode penarikan sampelnya dilakuakn dengan menggunakan metode UPT yang teknis pelaksanaan di lapangan seperti yang telah diuraikan pada Bab 3 (Metodologi Penelitian).
61
Walaupun jarak antara kamera dengan dasar substrat telah ditentukan sekitar 60 cm dari dasar substrat dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom), tetapi luas area hasil pemotretan untuk setiap kamera belum tentu sama, tergantung ukuran lensa yang digunakan. Oleh karena itu, pada penelitian ini pengambilan foto bawah air dilakukan dengan menggunakan dua macam kamera yang berbeda. Dengan demikian juga bisa diketahui apakah penggunaan dua macam kamera dengan luas area hasil pemotretan yang berbeda akan memperoleh hasil analisis yang berbeda juga. Sebagai catatan, meskipun luas area pemotretan tidak mutlak ditentukan oleh penggunaan tipe kamera (karena bisa juga dengan merubah jarak pemotretan atau menggunakan pembesaran), tetapi dalam penelitian ini, untuk pelaksanaan penelitian di lapangan dengan tidak merubah-rubah pembesaran (zoom) dan juga untuk mempermudah istilah penyebutan, perbedaan luas area pemotretan disebutkan oleh tipe kamera yang digunakan. Kedua macam kamera digital yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: - Olympus µ720SW (selanjutnya hanya disebut SW) (Gambar 31), - Olympus Camedia C8080WZ (selanjutnya hanya disebut WZ) (Gambar 32).
Gambar 31 Kamera digital Olympus µ720SW; a. tanpa pelindung; b. dengan pelindung
Gambar 32 Kamera digital Olympus Camedia C8080WZ; a. tanpa pelindung; b. dengan pelindung
62
Kamera SW merupakan kamera saku tahan air yang mampu dipakai di bawah air hingga kedalaman 3 m. Untuk pemakaian bawah air yang kedalamannya lebih dari 3 m diperlukan peralatan tambahan berupa pelindung kamera (casing/housing) agar tahan terhadap tekanan dan rembesan air laut. Sedangkan kamera WZ merupakan kamera darat sehingga untuk pemakaian bawah air selalu diperlukan pelindung kamera untuk penggunaan bawah air. Resolusi maksimum kamera SW adalah 3072 x 2304 piksel, sedangkan pada kamera WZ sedikit lebih tinggi yaitu 3264 x 2448 piksel. Pemotretan dengan jarak 60 cm dari dasar dan tanpa pembesaran (zoom) dengan menggunakan kamera SW (lensa AF Wide zoom 6,71 mm) menghasilkan luas bidang pemotretan (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2 (Gambar 33a). Sedangkan bila menggunakan kamera WZ (lensa AF Wide zoom 7,1 mm) menghasilkan luas bidang pemotretan (58 cm x 44 cm) atau 2552 cm2 (Gambar 33b) atau sekitar 2 kali lebih luas cakupannya dibandingkan dengan hasil pemotretan kamera SW.
Gambar 33 Luas bidang pemotretan dengan kamera: a. Olympus µ720SW; b. Olympus Camedia C8080WZ 5.2.3 Analisis foto Foto-foto hasil pemotretan bawah air yang diperoleh dengan metode UPT kemudian dianalisis di ruang kerja dengan menggunakan komputer dan piranti lunak (software) CPCe (Kohler and Gill 2006). Piranti lunak ini bisa diunduh (download) secara bebas lewat internet. Dengan menggunakan CPCe ini, analisis foto dilakukan berdasarkan keseluruhan gambar (entire image) dari masing-
63
masing foto yang dihasilkan. Untuk panjang transek 70 m dengan pemotretan dimulai dari titik 1 m dan rentang jarang pemotretan 1 m, maka dihasilkan foto sebanyak 70 frame foto). Frame-frame tersebut masih berupa foto-foto yang harus dianalisis untuk mendapatkan data-data kuantitatif, yang selanjutnya masih perlu diolah untuk mendapatkan nilai-nilai seperti persentase tutupan. Untuk mendapatkan data-data kuantitatif berdasarkan foto-foto bawah air yang dihasilkan dari metode UPT ini, analisis data dilakukan terhadap setiap frame dengan cara: 1.
Menghitung luas area dari masing-masing kategori biota dan substrat. (Gambar 34).
2.
Pemilihan sampel titik acak (Gambar 35). Banyaknya titik acak (random point) yang dipilih dalam analisis ini yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 titik. Cara ini merupakan aplikasi dari penarikan sampel, dimana sebagai populasinya adalah semua biota dan substrat yang terdapat dalam foto, sedangkan sampelnya adalah titik-titik yang dipilih secara acak pada foto tersebut. Dengan cara ini, data yang dicatat hanyalah biota dan substrat yang berada tepat pada posisi titik yang telah ditentukan secara acak oleh software CPCe. Pada kedua macam cara pengambilan data tersebut diatas, untuk kelompok
biota khususnya karang keras (hard coral) dicatat pula nama jenisnya. Pencatatan nama karang keras diusahakan hingga tingkatan jenis (species) yang mengacu pada Veron (2000a, 2000b, 2000c).
Gambar 34 Perhitungan luas area dari masing-masing kategori
64
Gambar 35 Pemilihan sampel titik acak 5.2.4 Analisis data Berdasarkan proses analisis foto yang dilakukan terhadap setiap frame foto yang dilakukan, maka dapat diperoleh nilai persentase tutupan kategori untuk setiap frame dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: (1). Untuk foto yang dianalis dengan teknik menghitung luas area: 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 =
𝑙𝑙𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑥𝑥 100% 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓
(2). Untuk foto yang dianalisis dengan pemilihan sampel titik acak:
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 =
𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗ℎ 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑡𝑡𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑥𝑥 100% 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
Selain itu, untuk karang keras (HC) juga dihitung nilai keanekaragaman seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Piellou (J’) menggunakan rumus yang telah diuraikan pada Bab 3 ( Metodologi Umum Penelitian). Berdasarkan analisis foto yang dilakukan pada 70 frame dengan dua macam tipe kamera (SW dan WZ) dimana untuk setiap framenya digunakan delapan macam teknik analisis foto (sebagai perlakuan) yaitu: teknik menghitung luas bidang area dan teknik pemilihan sampel titik acak dimana banyaknya sampel titik acak yang dipilih yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60, maka tersedia =
65
70 x 2 x 8 = 1120 unit sampel. Dari data yang dihasilkan tersebut kemudian dilakukan beberapa analisis statistik baik yang bersifat grafis maupun statistik inferensi seperti uji statistik menggunakan Analisis Variansi (Analysis of Variance = anova) untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Neter et al. 1996). Anova dilakukan menggunakan program Minitab v16. Selain itu dilakukan pula teknik eksplorasi seperti Multi Dimensional Scaling (MDS) (Clarke and Warwick 2001) untuk melihat posisi masing-masing perlakuan dengan menggunakan Primer v5 (Clarke and Gorley 2001). 5.2.5 Efisiensi Untuk menentukan teknik mana yang lebih efisien maka digunakan analisis biaya dan waktu (cost and time analysis), meliputi biaya untuk peralatan kamera yang akan dipergunakan untuk pengambilan foto bawah air dan waktu saat proses analisis foto untuk penyimpanan data kedalam komputer. Biaya-biaya yang lainnya diasumsikan tidak berbeda. Semakin rendah biaya dan waktu yang digunakan, maka semakin efisien teknik tersebut. 5.2.6 Akurasi Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Bab 4 sebelumnya terbukti bahwa hasil yang diperoleh menggunakan metode UPT berdasarkan hasil pemotretan dengan kamera WZ tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode BT dan LIT (p>0,01). Oleh karena itu, pada penelitian ini diasumsikan bahwa analisis foto yang dihasilkan oleh kamera WZ (luas bidang pemotretan yang lebih luas dibanding kamera SW) dan dianalis menggunakan teknik menghitung luas area merupakan yang paling akurat. Dengan demikian hasil yang diperoleh dari kamera WZ dan dihitung dengan menggunakan teknik menghitung luas area (WZArea) dianggap sebagai kontrol untuk perlakuanperlakuan lainnya yang ingin diuji. Pertimbangan lainnya bahwa WZArea ditetapkan sebagai perlakuan kontrol adalah sebagai berikut: 1.
Analisis foto menggunakan cara menghitung luas area semua biota dan substrat yang berada dalam foto dianalogikan dengan melakukan sensus
66
terhadap biota dan substrat yang berada dalam foto tersebut. Analisis foto dengan teknik pemilihan sampel acak merupakan aplikasi dari teknik penarikan sampel, dimana diharapkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan sampel titik acak akan mendekati hasil yang diperoleh dengan cara menghitung luas area, yang dalam hal ini dianggap sebagai populasinya. 2.
Semakin besar sampel yang diambil, maka akan semakin mewakili populasi yang ingin digambarkan lewat sampel tersebut. Pengambilan foto dengan hasil pemotretan yang lebih luas bisa diartikan sampel yang diambil semakin besar. Sokal and Rohlf (1995) mendefinisikan akurasi sebagai kedekatan suatu
pengukuran atau nilai yang diperoleh terhadap nilai yang sesungguhnya. Oleh karena itu untuk menentukan keakurasian suatu teknik analisis foto (5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 sampel titik acak), hasil analisisnya dibandingkan dengan hasil perlakuan kontrol (WZArea). Semakin tinggi akurasi suatu teknik yang dipakai, maka akan semakin berdekatan posisinya dengan WZArea pada gambar hasil analisis MDS. 5.3 Hasil 5.3.1 Analisis biaya dan waktu Analisis biaya dan waktu meliputi biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian peralatan kamera bawah air serta waktu yang diperlukan untuk menganalisis foto hasil pemotretan bawah air. Hasil analisisnya berupa data kuantitatif berupa lembaran data (worksheet) yang tersimpan dalam komputer yang siap untuk diolah lebih lanjut. Semakin rendah biaya yang harus dikeluarkan serta semakin cepat waktu yang diperlukan untuk menganalis foto per framenya, maka semakin efisien teknik analisis yang dipergunakan. 5.3.1.1 Biaya peralatan kamera bawah air Biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian kamera bawah air tipe SW berikut pelindungnya relatif lebih murah dibandingkan dengan kamera tipe WZ berikut pelindungnya. Harga tipe kamera WZ berikut pelindungnya sekitar
67
sepuluh jutaan rupiah, atau sekitar dua setengah kali lebih mahal dibandingkan kamera SW beserta pelindungnya yang berharga sekitar empat jutaan rupiah. Dengan demikian, dari segi biaya, penggunaan kamera SW lebih efisien dibandingkan kamera WZ. Ukuran kamera SW yang lebih kecil juga mempermudah dalam pengoperasiannya di bawah air. Meskipun dari segi biaya penggunaan kamera SW lebih efisien dibanding kamera WZ, tetapi karena dalam penelitian ini penekanannya adalah ke luas bidang pemotretan (penyebutan tipe kamera hanya untuk mempermudah dalam penyebutan istilah luasan bidang pemotretan), maka untuk faktor biaya mungkin saja efisiensinya menjadi sama. Misalnya kamera yang digunakan tetap kamera SW yang memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibanding kamera WZ, tetapi jarak pemotretan di perjauh sehingga memiliki luas bidang pemotretan yang sama dengan yang dihasilkan kamera WZ. 5.3.1.2 Waktu analisis foto untuk penyimpanan data (data entry) Foto yang dihasilkan dari pemotretan bawah air (dari pemotretan dengan kamera SW dan WZ) dianalisis untuk masing-masing framenya dengan delapan teknik analisis foto yang berbeda yaitu dengan teknik menghitung luas bidang area dan teknik pemilihan sampel titik acak dimana banyaknya sampel titik acak yang dipilih yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 sampel titik acak. Lamanya waktu yang dibutuhkan (dalam menit) dalam menganalisis setiap frame foto (terdapat total 70 frame ) dengan menggunakan program CPCe sehingga diperoleh data kuantitatif
yang tersimpan dalam bentuk lembaran kerja (worksheet) dari
masing-masing perlakuan (berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan) ditampilkan pada Lampiran 9. Analisis pendahuluan menunjukkan bahwa data waktu yang diperlukan untuk analisis foto perlu ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma menggunakan bilangan dasar e (ln = natural logarithm). Hasil anova (Tabel 9) menunjukkan adanya perbedaan waktu yang diperlukan untuk menganalisis data dari setiap frame foto (p < 0,01). Keadaan seperti ini merupakan sesuatu yang wajar dan sering terjadi. Berdasarkan pengalaman selama menganalisis foto, semakin banyak jumlah kehadiran maupun keragaman biota dan substrat yang ada dalam suatu frame maka semakin lama waktu yang diperlukan. Sebagai
68
contoh misalnya, frame foto yang terdiri hanya pasir saja, pasti akan lebih cepat untuk dianalisis bila dibandingkan dengan frame foto yang terdiri dari beranekaragam jenis karang. Tabel 9
Nilai p terhadap waktu analisis foto frame berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (frame acak, faktor kamera acak dan faktor teknik tetap). Data ditransformasikan ke bentuk ln Sumber variasi Frame Kamera Teknik Kamera*Teknik
Selain itu,
Nilai p 0,000 0,985 0,000 0,009
hasil anova (Tabel 9) menunjukkan bahwa waktu yang
diperlukan untuk menganalisis foto tidak berbeda secara nyata pada analisis yang dilakukan terhadap hasil pemotretan dengan dua macam kamera yang berbeda (p > 0,01). Meskipun begitu, terlihat bahwa teknik analisis foto yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan analisis (p < 0,01) (Tabel 8). Gambar 36 menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk analisis foto akan meningkat dengan semakin banyaknya sampel titik acak yang dipilih untuk setiap frame foto, baik dari hasil pemotretan menggunakan kamera SW maupun WZ. Pada proses analisis foto yang dihasilkan dari kamera SW, waktu yang diperlukan untuk menganalisis foto menggunakan teknik menghitung luas area relatif tidak berbeda bila dibandingkan dengan waktu yang diperlukan dengan
teknik
pemilihan 60
sampel titik acak. Tetapi bila analisis datanya dilakukan berdasarkan hasil pemotretan menggunakan kamera WZ, maka waktu yang diperlukan untuk penyimpanan data dengan teknik menghitung luas area akan sedikit lebih lama dibandingkan dengan teknik
pemilihan 60 sampel titik acak (Gambar 36).
Adanya perbedaan tersebut ditunjukkan oleh nilai p < 0,01 untuk sumber variasi interaksi antara Kamera dan Teknik (Kamera*Teknik) (Tabel 9).
69
Gambar 36 Lamanya waktu analisis foto untuk penyimpanan data berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan. Data ditransformasi ke bentuk ln Hasil analisis MDS (Gambar 37) memperjelas hasil yang diperoleh dimana kelompok data yang berkode awalan ”SW” berhimpitan posisinya dengan kelompok data yang berkode awalan ”WZ” untuk setiap teknik analisis foto yang digunakan. Kedekatan tersebut semakin tampak jelas pada teknik pemilihan sampel titik lebih dari 30 dan teknik menghitung luas area. Selain itu juga terlihat bahwa pada penggunaan teknik pemilihan 60 sampel titik hampir berhimpit posisinya dengan penggunaan teknik menghitung luas area. Ini menunjukkan bahwa secara umum penggunaan kamera SW ataupun WZ tidak begitu mempengaruhi waktu untuk proses analisis foto. Waktu yang dibutuhkan untuk menganalisis frame foto menggunaan teknik pemilihan 60 sampel titik acak relatif sama bila menggunakan teknik menghitung luas area. Dengan demikian, dari segi efisiensi waktu analisis foto dapat disimpulkan bahwa pemilihan sampel acak sebanyak 70 titik acak atau lebih tidak lagi seefisien penggunaan waktu yang diperlukan untuk menganalisis data foto dengan teknik perhitungan luas area. Oleh karena itu, untuk proses analisis foto tidak disarankan menggunakan 70 sampel titik acak atau lebih untuk setiap framenya, meskipun pada program CPCe memungkinkan untuk memilih hingga 500 sampel titik acak.
70
Gambar 37 MDS berdasarkan tipe kamera dan teknik yang digunakan terhadap data lamanya waktu yang diperlukan untuk menganalisis foto (transformasi ln) menggunakan jarak Euclidean 5.3.2 Persentase tutupan biota dan substrat Hasil perhitungan persentase tutupan biota dan substrat yang dihasilkan dari pemotretan dua tipe kamera (kamera SW dan WZ) dengan delapan teknik analisis foto yang berbeda (teknik menghitung luas bidang area dan teknik pemilihan sampel titik acak dimana banyaknya sampel titik acak yang dipilih yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 sampel titik acak). Dalam hal ini, biota dan substrat dikelompokkan ke dalam lima kelompok besar yaitu, Karang keras (Hard Coral = HC), Karang mati (Dead Scleractinia = DS), Alga (Algae = ALG), Biota Lain (Other Fauna = OF) dan Abiotik (Abiotic = ABI). Persentase tutupan yang diperoleh untuk masing-masing kelompok berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan ditampilkan pada Lampiran 10 (kelompok HC), Lampiran 11 (kelompok DS), Lampiran 12 (kelompok ALG), Lampiran 13 (kelompok OF) dan Lampiran 14 (kelompok ABI). Hasil anova menunjukkan bahwa persentase tutupan yang dihitung dengan berbagai teknik analisis foto menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk kelompok HC, ALG, OF dan ABI (p < 5%), sedangkan untuk kelompok DS tidak berbeda nyata (p > 5%) (Tabel 10). Hasil MDS untuk melihat posisi masing-masing kombinasi perlakuan ditampilkan pada Gambar 38. Untuk kelompok HC dan ALG, persentase tutupan yang dihasilkan dengan teknik analisis foto menggunakan 5 sampel titik acak per frame (baik dengan kamera SW maupun WZ) tampak sangat berbeda sekali
71
dengan teknik lainnya. Untuk kelompok DS dan OF, terlihat bahwa semakin banyak sampel titik yang dipilih, maka akan semakin dekat posisinya dengan hasil yang diperoleh menggunakan perhitungan luas area. Untuk kelompok ABI, pemilihan 30 atau lebih sampel titik acak per framenya akan menghasilkan persentase tutupan ABI yang dekat dengan teknik menghitung luas area (Gambar 38). Tabel 10 Nilai p terhadap persentase tutupan biota dan substrat berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Frame acak, faktor Kamera acak dan faktor Teknik tetap). Data ditransformasikan ke bentuk arcsin akar pangkat dua Sumber variasi Frame Kamera Teknik Kamera*Teknik
HC 0,000 0,313 0,010 0,800
DS 0,000 0,088 0,505 0,391
Nilai p ALG 0,000 0,923 0,001 0,836
OF 0,000 0,039 0,012 0,836
ABI 0,000 0,633 0,007 0,828
Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pemilihan sampel titik yang lebih sedikit akan menyebabkan hasil yang lebih berbeda dengan perhitungan luas area. Padahal, penggunaan sampel titik acak dimaksudkan untuk menduga nilai persentase tutupan yang diperoleh dengan teknik perhitungan luas area. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan sampel 30 titik acak per frame sudah cukup akurat untuk menduga persentase tutupan kelompok biota dan substrat (HC, DS, ALG, OF dan ABI) sekaligus. Sedangkan bila hanya tertarik pada persentase tutupan HC saja, penggunaan 10 sampel titik acak per framenya sudah cukup.
Gambar 38 MDS untuk persentase tutupan kelompok biota dan substrat menggunakan jarak Euclidean pada data yang ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua
73
5.3.3 Keanekaragaman karang keras Hasil perhitungan nilai–nilai keanekaragaman karang keras seperti nilai jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Piellou (J’) ditampilkan pada Lampiran 15 (untuk S), Lampiran 16 (untuk H’) dan Lampiran 17 (untuk J’). Sebelum dilakukan anova, data jumlah jenis (S) karang keras yang dihitung pada setiap framenya dinormalkan distribusinya terlebih dahulu dengan mentransformasikannya ke dalam bentuk akar pangkat dua. Untuk data nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) tidak perlu ditransformasi. Hasil anova menunjukkan bahwa data jumlah jenis dan nilai indeks keaneragaman setiap framenya bervariasi, ditunjukkan oleh nilai p < 1% pada sumber variasi ”Frame” (Tabel 11). Tabel 11 Nilai p terhadap jumlah spesies karang keras (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Frame acak, faktor Kamera acak dan faktor Teknik tetap). Transformasi akar pangkat dua diterapkan pada data S Sumber variasi Frame Kamera Teknik Kamera*Teknik
S 0,000 0,001 0,000 0,077
Nilai p H’ 0,000 0,003 0,000 0,109
J’ 0,000 0,002 0,000 0,941
Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman karang pada setiap framenya bervariasi, dimana foto yang dihasilkan dengan kamera WZ cenderung lebih tinggi menggambarkan keanekaragaman karang yang terjadi di lokasi penelitian dibandingkan dengan foto yang dihasilkan kamera SW (p < 0,01) (Tabel 11, Gambar 39). Keadaan seperti ini cukup beralasan karena luasan foto yang dihasilkan oleh kamera WZ adalah dua kali lebih luas dibandingkan dengan foto yang dihasilkan kamera SW. Semakin besar luasan foto yang dihasilkan maka kemungkinan untuk menggambarkan keanekaragaman di suatu lokasi akan semakin besar pula.
74
Selain itu, semakin banyak sampel titik acak yang dipilih maka akan semakin dekat nilainya dengan hasil yang diperoleh menggunakan teknik menghitung luas area, meskipun perbedaannya masih tetap tinggi antara hasil yang diperoleh dengan teknik pemilihan sampel titik acak maksimum yang digunakan dalam penelitian ini (60 titik) dengan teknik menghitung luas area. (Gambar 39). Penggunaan lebih dari 60 titik kemungkinan akan menghasilkan sampel yang akurat, tetapi tidak lagi efisien dari segi waktu analisis foto (lihat hasil penelitian pada bagian analisis biaya dan waktu).
Gambar 39 MDS untuk jumlah spesies karang keras (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) menggunakan jarak Euclidean. Untuk data S, ditransformasi akar pangkat dua
Gambar 39 memperlihatkan bahwa posisi nilai S, H’ dan J’ antara teknik pemilihan sampel acak (baik kamera SW maupun WZ), teknik menghitung luasan area hasil pemotretan kamera SW dan teknik menghitung luasan area hasil pemotretan kamera WZ masih agak berjauhan. Berdasarkan asumsi yang
75
digunakan pada ”Metode Penelitian” untuk ”akurasi” maka dapat dikatakan bahwa analisis foto untuk menghitung nilai keanekaragaman (S, H’ dan J’) menggunakan teknik analisis sampel titik acak (≤ 60 titik) memiliki keakuratan yang rendah, termasuk juga bila menggunakan teknik perhitungan luas area berdasarkan hasil pemotretan dengan kamera SW. Jadi, keakurasian perhitungan nilai keanekaragaman (S, H’ dan J’) menggunakan teknik perhitungan luas area berdasarkan hasil foto dengan kamera yang luas bidang pemotretan lebih besar (kamera WZ), tidak dapat digantikan dengan menggunakan teknik sampel titik acak ataupun teknik perhitungan luas area menggunakan kamera SW (bidang pemotretan lebih kecil). 5.4 Pembahasan Seiring dengan perkembangan teknologi, baik teknologi kamera digital maupun teknologi komputer termasuk piranti lunaknya, membuat penggunaan foto bawah air menjadi salah satu alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang. Bila dulu sebelum adanya teknologi kamera digital, penggunaan kamera bawah air selain mahal dari segi peralatan, juga mahal dari segi pemrosesan fotonya. Lagipula foto yang diambil dengan kamera analog tidak langsung diketahui hasilnya, sehingga mungkin saja hasil foto yang diambil selama penelitian tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lain halnya dengan penggunaan kamera digital yang bisa langsung terlihat hasilnya. Bila hasil fotonya kurang baik, bisa langsung diulang seketika. Selain itu, penggunaan fotografi bawah air selain diyakini dapat mempercepat pengambilan data di lapangan, juga dapat sebagai foto dokumentasi. Untuk proses analisis foto, bila dulu sebelum berkembangnya piranti lunak untuk analisis foto, objek yang akan difoto diberi frame yang terbagi atas beberapa kotak kecil-kecil (grid) agar bisa diperkirakan luasan/persentase tutupannya (atau bila pemotretan tanpa menggunakan frame, maka persentase tutupan koloni dilakukan secara manual dari foto yang dihasilkan), kini terdapat beberapa piranti lunak untuk pemrosesan analisis fotonya. Piranti lunak yang dipakai antara lain Sigma Scan Pro, Image J ataupun CPCe. Sigma Scan Pro, merupakan piranti lunak komersil, yang harus dibeli untuk mendapatkannya.
76
Image J dan CPCe merupakan piranti lunak yang bisa diunduh (download) secara bebas. Image J, dapat digunakan untuk menghitung luas area, sedangkan CPCe selain dapat menghitung luas area juga dapat dipakai untuk pemilihan sampling titik. Menurut pengalaman penulis, penggunaan CPCe lebih mudah dibandingkan dengan Image J. Oleh karena itu, untuk proses analisis foto pada penelitian ini digunakan CPCe (Kohler and Gill 2006). Berdasarkan hasil yang diperoleh, secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan 30 sampel
titik acak
per framenya
sudah
cukup
untuk
mengetahui persentase tutupan dari semua kategori biota dan substrat secara sekaligus. Bila hanya tertarik pada persentase tutupan kelompok Karang mati (Dead Scleractinia = DS) saja, penggunaan lima sampel titik acak saja sudah cukup. Bila hanya ingin melihat persentase tutupan Karang keras (HC = Hard Coral), Alga (ALG), dan Biota lain (OF = Other Fauna) diperlukan sedikitnya 10 sampel titik acak, sedangkan bila ingin mengetahui persentase tutupan Abiotik
(ABI)
setidaknya
diperlukan
30
sampel
titik
acak.
Untuk
keanekaragaman, baik untuk jumlah jenis, nilai indeks keanekaragaman Shannon dan indeks kemerataan Pielou untuk karang keras sebaiknya menggunakan teknik menghitung luas area berdasarkan hasil foto kamera WZ yang memiliki luas bidang pemotretan yang lebih besar. Penggunaan 30 sampel titik acak untuk menilai persentase biota dan substrat agak berbeda dengan yang digunakan oleh Leujak and Ormond (2007) yang menggunakan 100 sampel titik acak, Alquezar and Boyd (2007) yang menggunakan 20 sampel titik acak serta Burt et al. (2008) yang menggunakan 50 sampel titik acak. Leujak and Ormond (2007) serta Burt et al. (2008) tidak mengulas alasan pemilihan dalam menentukan banyaknya sampel titik acak. Tetapi, sebenarnya bila diteliti lebih dalam, kedua macam pemilihan sampel titik acak (100 dan 50 titik) yang dilakukan kemungkinan hasilnya tidak akan berbeda bila dilakukan dengan hanya menggunakan 30 sampel titik acak. Penggunaan 50 atau 100 sampel titik acak memerlukan waktu analisis foto yang lebih lama bila dibandingkan hanya menganalisis 30 sampel titik acak. Jadi, berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, pemilihan 100 sampel titik acak tidak akan seefisien, terutama dari segi waktu analisis foto, bila dibandingkan dengan
77
menghitung luas area. Penggunaan sampel acak sebanyak 70 titik atau lebih sebaiknya dihindari (Gambar 34). Hasil yang diperoleh Alquezar and Boyd (2007), bila disimak mendalam kemungkinan juga tidak berbeda dengan yang diperoleh pada penelitian ini. Alquezar and Boyd (2007) menyebutkan bahwa penggunaan 50 sampel titik acak memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi dengan pertimbangan analisis waktu maka digunakan 20 sampel titik acak. Sebagai catatan, Alquezar and Boyd (2007), dalam penelitiannya tidak mengambil sampel titik antara 30 dan 50 titik, melainkan hanya membandingkan antara 5 , 10, 20 dan 50 sampel titik acak. Berdasarkan hasil penelitian ini, dengan pertimbangan efisiensi dan akurasi hasil yang diperoleh maka terdapat tiga pilihan proses analisis foto pada penggunaan metode UPT untuk menilai kondisi terumbu karang. Ketiga pilihan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Menggunakan 10 sampel titik acak per framenya dimana untuk setiap framenya dihasilkan dari foto dengan luas bidang pemotretan minimal (40 x 30) cm2. Merupakan pilihan bagi pengguna yang hanya ingin mengetahui kondisi umum terumbu karang karena yang ingin diketahui hanyalah persentase tutupan karang kerasnya saja (yang merupakan komponen utama penyusun terumbu karang), tanpa ketertarikan akan biota dan substrat yang lainnya. Pada pilihan ini, kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang keras juga tidak diperlukan, sehingga pilihan ini juga sangat cocok bagi pengamat yang memiliki kemampuan dasar (basic), dimana hanya bisa membedakan antara kelompok karang keras dan kelompok selain karang keras. Untuk mendapatkan foto dengan luas bidang pemotretan (40 x 30) cm2 tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kamera tipe SW dengan jarak pemotretan dari dasar substrat 60 cm dan tanpa menggunakan zoom. Penggunaan kamera WZ yang memiliki luas bidang pemotretan yang lebih besar dari yang dihasilkan kamera SW juga dimungkinkan meskipun tidak lebih efisien dalam segi biaya karena harga kameranya lebih mahal. Bila kamera SW maupun WZ tidak tersedia maka dapat juga digunakan kamera
78
tipe lain dengan cara mengatur zoom atau pun jarak pemotretan dari dasar sehingga luas bidang pemotretan yang dihasilkan uintuk setiap framenya minimal (40 x 30) cm2. 2.
Menggunakan 30 sampel titik acak per framenya dimana untuk setiap framenya dihasilkan dari foto dengan luas bidang pemotretan minimal (40 x 30) cm2. Pilihan ini diperuntukkan bagi pengguna yang hanya tertarik untuk mengetahui persentase tutupan kategori biota dan substrat, tanpa ketertarikan akan keanekaragaman jenis karang keras. Dalam hal ini, kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang keras tidak diperlukan. Adapun tipe kamera yang digunakan adalah kamera SW dengan jarak pemotretan dari dasar substrat 60 cm dan tanpa menggunakan zoom. Seperti halnya pada pilihan 1 di atas, penggunaan kamera WZ yang memiliki luas bidang pemotretan yang lebih besar dari yang dihasilkan kamera SW juga dimungkinkan meskipun tidak lebih efisien dalam segi biaya karena harga kameranya lebih mahal. Bila kamera SW maupun WZ tidak tersedia maka dapat juga digunakan kamera tipe lain dengan cara mengatur zoom atau pun jarak pemotretan dari dasar sehingga luas bidang pemotretan yang dihasilkan uintuk setiap framenya minimal (40 x 30) cm2.
3.
Menggunakan teknik menghitung luas area per framenya dimana untuk setiap framenya dihasilkan dari
foto dengan luas bidang pemotretan
minimal (58 x 44) cm2. Pada pilihan ini, pengguna selain ingin mengetahui persentase tutupan biota dan substrat, juga tertarik untuk mengetahui keanekaragaman karang keras di suatu lokasi penelitian. Pilihan ini sangat cocok bagi pengguna yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang keras. Adapun kamera yang dipergunakan adalah kamera WZ dengan jarak pemotretan dari dasar substrat 60 cm dan tanpa menggunakan zoom. Bila kamera WZ tidak tersedia dan hanya tersedia tipe kamera yang menghasilkan bidang pemotretan yang lebih kecil dibandingkan dengan kamera WZ (misal kamera SW), maka bisa dilakukan dengan mengatur jarak pemotretan
79
sedemikian hingga bidang hasil pemotretannya sama dengan kamera WZ. Misalnya dengan cara memperjauh jarak pemotretan terhadap substrat (lebih dari 60 cm). 5.5 Kesimpulan Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan akurasi hasil yang diperoleh serta dikaitkan dengan tujuan dari penelitian, maka teknik yang digunakan untuk analisis foto bisa dibagi ke dalam tiga pilihan. Pilihan ke-1 menggunakan 10 sampel titik acak, Pilihan ke-2 menggunakan 30 sampel titik acak, dan Pilihan ke-3 menggunakan perrhitungan luas area untuk setiap frame yang dianalisis. Luas minimal bidang pemotretan untuk setiap frame pada Pilihan ke-1 dan ke-2 adalah (40 x 30) cm2, sedangkan pada Pilihan ke-3 adalah (58 x 44) cm2. Pilihan ke-1 bertujuan hanya untuk mengetahui persentase tutupan karang keras saja, Pilihan ke-2 bertujuan untuk mengetahui persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat (kelompok HC, DS, ALG, OF dan ABI) yang berada dalam ekosistem terumbu karang, sedangkan kelompok ke-3 selain bertujuan ingin mengetahui persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat, juga tertarik untuk mengetahui keanekaragaman karang keras.
6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR 6.1 Pendahuluan Tahapan selanjutnya dari penggunaan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) adalah menemukan panjang garis transek yang optimal yang dibutuhkan untuk penarikan sampel dengan metode UPT. Hal ini perlu dilakukan untuk menyelidiki berapa panjang transek yang optimum dan pada rentang jarak berapa pengambilan foto sebaiknya dilakukan agar hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan penggunaan metode UPT seperti yang telah diuji hasilnya dengan metode BT dan LIT (Bab 4). Pada Bab 4 tersebut, metode UPT yang digunakan memiliki panjang transek 70 m, dengan pemotretan dilakukan setiap interval jarak 1 m, mulai dari meter ke-1 hingga meter ke-70. Jadi, pada penelitian ini, sebagai perlakuan kontrol adalah penggunaan metode UPT dimana pemotretan dilakukan sepanjang 70 m garis transek pada setiap rentang jarak 1 m dimulai dari meter ke 1. Perlakuan ini untuk selanjutnya disebut sebagai perlakuan A. 6.2 Bahan dan Metode 6.2.1 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di sepuluh pulau yang berada di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta pada bulan Agustus 2008. Lokasi pulau ditampilkan pada Lampiran 2. Kesepuluh pulau tersebut adalah Pulau Tikus, Pulau Tidung, Pulau Air, Pulau Semak Daun, Pulau Kotok Besar, Pulau Panjang, Pulau Belanda, Pulau Putri, Pulau Jukung, dan Pulau Pantara Kecil (Hantu Kecil). 6.2.2 Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode Transek Foto Bawah Air (Underwater Photo Transect = UPT), dimana pemotretan dilakukan sepanjang 70 m garis transek pada setiap rentang jarak 1 m dimulai dari meter
82
ke-1 hingga meter-70. Teknis pelaksanaannya telah diuraikan pada Bab 3 (Metodologi Penelitian). 6.2.3 Analisis foto Berdasarkan hasil yang diperoleh dari Bab 4 pada disertasi ini, maka analisis foto dilakukan dengan cara menghitung luas area berdasarkan foto hasil pemotretan menggunakan kamera WZ. Analisis foto menggunakan komputer dan piranti lunak (software) CPCe (Kohler and Gill 2006). Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk setiap frame foto menggunakan rumus: 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑒𝑒 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 =
𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑥𝑥 100% 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓
Berdasarkan nama jenis karang keras yang diperoleh untuk setiap framenya maka dapat dihitung nilai keanekaragaman karang keras, seperti jumlah jenis (S), nilai indeks keanekaragaman (H’) dan
indeks kemerataan Pielou (J’)
menggunakan rumus seperti pada Bab 3 (Metodologi Penelitian). 6.2.4 Analisis data Berdasarkan analisis foto yang dihasilkan per framenya, dapat dihitung rerata persentase biota dan substrat untuk macam-macam perlakuan transek seperti pada Tabel 12. Ada 18 perlakuan yang ingin diuji, dimana sebagai kontrolnya adalah perlakuan A (1m_1-70), yaitu pengambilan data hasil analisis foto bawah air yang difoto setiap rentang jarak 1 m dengan panjang garis transek 70 m. Uji statistik dilakukan menggunakan anova untuk Rancangan percobaan dengan pengukuran berulang (repeated-measures experimental design) (Zar 1996), dimana untuk setiap lokasi penelitian yang sama dianalisis dengan berbagai perlakuan. Anova dilakukan menggunakan program Minitab v16. Sebelum dilakukan uji statistik, bila perlu data ditransformasikan terlebih dahulu agar memiliki distribusi normal (Sokal and Rohlf 1995, Neter et al. 1996, Zar 1996). Metode transformasi Box-Cox (Sokal and Rohlf 1995, Neter et al. 1996,
83
Zar 1996) diterapkan pada data untuk menyelidiki transformasi yang sesuai sebelum dilakukan analisis lanjutan. Untuk data berupa persentase, sebelum dilakukan uji statistik data ditransformasi ke bentuk transformasi arcsin akar pangkat dua (p’ = arcsin √p) (Sokal and Rohlf 1995, Zar 1996). Bila hasil anova menunjukkan bahwa ada perlakuan yang menghasilkan nilai dugaan yang berbeda, dilakukan penyelidikan untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda dengan perlakuan kontrol dengan menggunakan interval kepercayaan Dunnet (Zar 1996). Selain itu dilakukan pula teknik eksplorasi seperti Multi Dimensional Scaling (MDS) (Clarke and Warwick 2001) untuk melihat posisi masing-masing perlakuan dengan menggunakan Primer v5 (Clarke and Gorley 2001). 6.3 Hasil 6.3.1 Analisis biaya dan waktu Pelaksanaan metode UPT dengan berbagai perlakuan seperti dalam Tabel 12 memiliki waktu yang bervariasi, baik untuk pengambilan data lapangan maupun pemasukan data (pada metode UPT meliputi proses analisis foto). Waktu untuk pengambilan data di lapangan dipengaruhi oleh: 1.
Jumlah frame foto yang diambil. Semakin banyak frame foto yang diambil, maka akan semakin lama waktu yang diperlukan untuk pengambilan data di lapangan. Hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya di Bab 4 menyatakan bahwa dalam penggunaan metode UPT memerlukan waktu sebesar 22,30 menit per transeknya (70 frame) atau 0,32 menit per framenya. Jadi, waktu untuk berenang sepanjang 1 meter dan mengambil foto 1 frame diperlukan waktu sebesar 0,32 menit.
2.
Panjang roll meter yang dipasang sebagai garis bantu dalam pengambilan data. Hal ini berkaitan dengan interval jarak tanpa pengambilan foto, karena akan terdapat tambahan waktu yang diperlukan untuk berenang menuju ke meter selanjutnya untuk pengambilan foto berikutnya. Misalnya pada perlakuan F (1m_1-20) dan K (1m_1-10&61-70) yang sama-sama menggunakan 20
84
frame. Bedanya dari kedua perlakuan ini adalah pada perlakuan F menggunakan roll meter sepanjang 20 m, sedangkan perlakuan
K
menggunakan 70 m. Pada perlakuan K, walaupun antara meter ke-11 hingga ke 60 tidak mengambil foto tetapi harus berenang sepanjang 40 m sehingga ada tambahan waktu pengerjaan di lapangan. Waktu normal yang diperlukan untuk berenamg sejauh 10 m (tanpa melakukan pemotretan) sekitar 1 menit atau 0,10 menit per meternya.
Sedangkan waktu untuk pemasukan data yang dilakukan di ruang kerja sangat tergantung pada jumlah frame yang akan dianalisis. Waktu untuk proses analisis foto dan pemasukan data seperti yang diuraikan di Bab 4 adalah 734,10 menit per transek (70 frame) atau 10,49 menit untuk setiap framenya. Untuk melihat tingkat efisiensi berdasarkan analisis biaya dan waktu, dihitung pula koefisien efisiensi untuk biaya dan waktu dengan cara menjumlahkan antara waktu pengamatan di lapangan dengan waktu untuk proses analisis foto, setelah masing-masing waktu tersebut dikalikan dengan bobot biaya. Perbandingan bobot biaya untuk pengambilan data di lapangan dengan bobot biaya untuk proses analisis foto adalah 8:1 (lihat pada uraian di Bab 4). Semakin rendah nilai koefisien efisiensinya (ψ) maka semakin efisien perlakuan tersebut ditinjau dari segi biaya dan waktu. Bila dibuatkan rangking efisiensi, maka perlakuan G merupakan perlakuan yang paling efisien dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan A yang merupakan perlakuan kontrol memiliki efisiensi paling rendah di antara perlakuan yang lainnya. Tabel 13 memperlihatkan perhitungan koefisien efisiensi biaya dan waktu dari masingmasing perlakuan, serta rangking antar perlakuan mulai dari yang memiliki efisiensi yang tertinggi hingga yang terendah.
Tabel 12 Daftar perlakuan terhadap panjang transek yang dianalisis
Kode
Perlakuan
Panjang roll meter
Panjang transek
Rentang jarak pemotretan (antar frame)
Nomor frame yang dianalisis
Jumlah frame dianalisis
A
1m_1-70
70
70 m
1m
1 s/d 70
70
Pemotretan dilakukan mulai meter ke 1 hingga meter ke-70 (frame 1 hingga frame 70) dengan rentang jarak antar frame 1 m.
B
1m_1-60
60
60 m
1m
1 s/d 60
60
Pemotretan dilakukan mulai meter ke 1 hingga meter ke-60 (frame 1 hingga frame 60) dengan rentang jarak antar frame 1 m.
C
1m_1-50
50
50 m
1m
1 s/d 50
50
Pemotretan dilakukan mulai meter ke 1 hingga meter ke-50 (frame 1 hingga frame 50) dengan rentang jarak antar frame 1 m.
D
1m_1-40
40
40 m
1m
1 s/d 40
40
Pemotretan dilakukan mulai meter ke 1 hingga meter ke-40 (frame 1 hingga frame 40) dengan rentang jarak antar frame 1 m.
E
1m_1-30
30
30 m
1m
1 s/d 30
30
Pemotretan dilakukan mulai meter ke 1 hingga meter ke-30 (frame 1 hingga frame 30) dengan rentang jarak antar frame 1 m.
F
1m_1-20
20
20 m
1m
1 s/d 20
20
Pemotretan dilakukan mulai meter ke 1 hingga meter ke-20 (frame 1 hingga frame 20) dengan rentang jarak antar frame 1 m.
G
1m_1-10
10
10 m
1m
1 s/d 10
10
Pemotretan dilakukan mulai meter ke 1 hingga meter ke-10 (frame 1 hingga frame 10) dengan rentang jarak antar frame 1 m.
Keterangan
Tabel 12 (lanjutan) Panjang roll meter
Panjang transek
Rentang jarak pemotretan (antar frame)
Nomor frame yang dianalisis
Jumlah frame dianalisis
1m_1-30& 41-70
70
2x30 m
1m
1 s/d 30 dan 41 s/d 70
60
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-30; dan meter ke-41 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar frame 1 m (frame 1 hingga frame 30; dan frame 41 hingga frame 70).
I
1m_1-20& 51-70
70
2x20 m
1m
1 s/d 20 dan 51 s/d 70
40
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-20; dan meter ke-51 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar frame 1 m (frame 1 hingga frame 20; dan frame 51 hingga frame 70).
J
1m_1-20& 31-50
50
2x20 m
1m
1 s/d 20 dan 31 s/d 50
40
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-20; dan meter ke-31 hingga meter ke-50 dengan rentang jarak antar frame 1 m (frame 1 hingga frame 20; dan frame 31 hingga frame 50).
K
1m_1-10& 61-70
70
2x10 m
1m
1 s/d 10 dan 61 s/d 70
20
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-10; dan meter ke-61 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar frame 1 m (frame 1 hingga frame 10; dan frame 61 hingga frame 70).
L
1m_1-10& 41-50
50
2x10 m
1m
1 s/d 10 dan 41 s/d 50
20
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-10; dan meter ke-41 hingga meter ke-50 dengan rentang jarak antar frame 1 m (frame 1 hingga frame 10; dan frame 41 hingga frame 50).
M
1m_1-10& 21-30
30
2x10 m
1m
1 s/d 10 dan 21 s/d 30
20
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-10; dan meter ke-21 hingga meter ke-30 dengan rentang jarak antar frame 1 m (frame 1 hingga frame 10; dan frame 21 hingga frame 30).
Kode
Perlakuan
H
Keterangan
Tabel 12 (lanjutan) Panjang roll meter
Panjang transek
Rentang jarak pemotretan (antar frame)
Nomor frame yang dianalisis
Jumlah frame dianalisis
1m_1-10& 31-40&61-70
70
3x10 m
1m
1 s/d 10; 31 s/d 40 dan 41 s/d 70
30
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-10; meter ke-31 hingga meter ke-40; dan meter ke-61 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar frame 1 m (frame 1 hingga frame 10; frame 31 hingga frame 40; dan frame 61 hingga frame 70).
O
1m_1-10& 21-30& 41-50
50
3x10 m
1m
1 s/d 10; 21 s/d 30 dan 41 s/d 50
30
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-10; meter ke-21 hingga meter ke-30; dan meter ke-41 hingga meter ke-50 dengan rentang jarak antar frame 1 m (frame 1 hingga frame 10; frame 21 hingga frame 30; dan frame 41 hingga frame 50).
P
1m_1-10& 21-30&41-50& 61-70
70
4x10 m
1m
1 s/d 10; 21 s/d 30; 41 s/d 50 dan 41 s/d 70
40
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-10; meter ke-21 hingga meter ke-30; meter ke-41 hingga meter ke-50; dan meter ke-61 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar frame 1 m (frame 1 hingga frame 10; frame 21 hingga frame 30; frame 41 hingga frame 50; dan frame 61 hingga frame 70).
Q
2m_2_2-70
70
70 m
2m
2, 4, 6, … , 66, 68, 70
35
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar frame 2 m (frame 2, frame 4, frame 6,…, frame 70).
R
5m_5_5-70
70
70 m
5m
5, 10, 15, … , 60, 65, 70
14
Pemotretan dilakukan mulai meter ke-5 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar frame 5 m (frame 5, frame 10, frame 15,…, frame 70).
Kode
Perlakuan
N
Keterangan
Tabel 13 Hasil analisis biaya dan waktu pada penggunaan metode UPT dengan berbagai macam perlakuan Waktu (menit) Pengambilan data (c=0,32a+0,10b)
analisis foto (d=10,49a)
Total biaya dan waktu (e=c+d)
Koefisien efisiensi biaya dan waktu (ψ)
Rangking efisiensi
0
22,30
734,10
912,50
7,00
18
60
0
19,11
629,23
782,14
6,00
16
50
0
15,93
524,36
651,79
5,00
15
Kode Perlakuan
Perlakuan
Jumlah frame (a)
Jarak renang (m) tanpa memotret (b)
A
1m_1-70
70
B
1m_1-60
C
1m_1-50
D
1m_1-40
40
0
12,74
419,49
521,43
4,00
11
E
1m_1-30
30
0
9,56
314,61
391,07
3,00
7
F
1m_1-20
20
0
6,37
209,74
260,71
2,00
3
G
1m_1-10
10
0
3,19
104,87
130,36
1,00
1
H
1m_1-30&41-70
60
10
20,11
629,23
790,14
6,06
17
I
1m_1-20&51-70
40
30
15,74
419,49
545,43
4,18
13
J
1m_1-20&31-50
40
10
13,74
419,49
529,43
4,06
12
K
1m_1-10&61-70
20
50
11,37
209,74
300,71
2,31
6
L
1m_1-10&41-50
20
30
9,37
209,74
284,71
2,18
5
M
1m_1-10&21-30
20
10
7,37
209,74
268,71
2,06
4
N
1m_1-10&31-40&61-70
30
40
13,56
314,61
423,07
3,25
9
O
1m_1-10&21-30&41-50
30
20
11,56
314,61
407,07
3,12
8
P
1m_1-10&21-30&41-50&61-70
40
30
15,74
419,49
545,43
4,18
13
Q
2m_2-70
35
35
14,65
367,05
484,25
3,71
10
R
5m_5-70
14
56
10,06
146,82
227,30
1,74
2
Catatan:
- Waktu normal yang diperlukan untuk berenang (tanpa melakukan pemotretan) = 1 menit/10m = 0,10 menit /m. - Rerata waktu pengambilan data lapangan per framenya = (22,30 menit/70 frame) = 0,32 menit /frame. - Rerata waktu memasukkan data ke komputer (waktu analisis foto) = 734,10 menit/70 frame= 10,49 menit /frame. Pemasukan data menggunakan teknik menghitung luas area dan untuk karang keras dimasukkan pula nama jenisnya.
89
6.3.2 Persentase tutupan biota dan substrat Biota dan substrat dikelompokkan ke dalam lima kelompok besar yaitu, Karang keras (Hard Coral = HC), Karang mati (Dead Scleractinia = DS), Alga (Algae = ALG), Biota Lain (Other Fauna = OF) dan Abiotik (Abiotic = ABI). Persentase tutupan untuk masing-masing kelompok tersebut di masing-masing stasiun penelitian yang dianalisis dengan berbagai perlakuan ditampilkan pada Lampiran 18, sedangkan nilai rerata beserta kesalahan baku (SE=standard error) ditampilkan pada Gambar 40. 6.3.2.1 Karang keras (HC) Hasil anova menunjukkan bahwa persentase tutupan karang keras (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) yang dihitung dengan berbagai macam perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,01) (Tabel 14). Ini menunjukkan bahwa apapun perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini, akan menduga persentase tutupan karang yang relatif sama.
Tabel 14 Hasil anova untuk persentase tutupan karang ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) Sumber variasi Lokasi Perlakuan Sesatan Total
Derajat bebas 9 17 153 179
Jumlah kuadrat 11128,3 83,9 1451,2 12663,4
Rerata kuadrat 1236,48 4,93 9,48
keras
(data
F
p
130,36 0,52
0,000 0,940
Meskipun perlakuan-perlakuan tersebut relatif sama dalam menduga nilai persentase tutupan karang keras, namun terlihat bahwa perlakuan G, F, K, L, dan R agak berbeda dengan perlakuan kontrol dan perlakuan-perlakuan lainnya. Sedangkan perlakuan lainnya terlihat mengelompok dalam satu kelompok dengan perlakuan A (Gambar 41).
Gambar 40 Rerata persentase beserta nilai kesalahan baku tutupan kelompok biota dan substrat yang dianalisis dengan berbagai perlakuan
91
Gambar 41 Analisis MDS terhadap data tutupan karang hidup untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean 6.3.2.2 Karang mati Hasil anova (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) (Tabel 15) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,01) untuk semua perlakuan. Meskipun hasil dugaan yang diperoleh untuk masing-masing perlakuan relatif tidak berbeda, namun beberapa perlakuan posisinya tampak agak berjauhan dengan perlakuan A. Sebaliknya, beberapa perlakuan seperti perlakuan B, C, D, H, N, O dan P tampak mengelompok dengan perlakuan A (kontrol) (Gambar 42)
Tabel 15 Hasil anova untuk persentase tutupan karang mati (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) Sumber variasi Lokasi Perlakuan Sesatan Total
Derajat bebas 9 17 153 179
Jumlah kuadrat 3629,74 61,71 828,91 4520,36
Rerata kuadrat 403,304 3,630 5,418
F
p
74,44 0,67
0,000 0,829
92
Gambar 42 Analisis MDS terhadap data tutupan karang mati untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean. 6.3.2.3 Alga Persentase tutupan alga yang diperoleh dengan metode UPT berdasarkan berbagai perlakuan menunjukkan hasil yang relatif sama. Hal ini ditunjukkan dari hasil anova dimana nilai p untuk sumber variasi ”Perlakuan” memiliki nilai yang lebih besar dari 0,01 (Tabel 16). Meskipun tidak ada perbedaan yang nyata, analisis MDS menempatkan hasil yang diperoleh dari perlakuan B, C, D, E, H, J dan Q berada dalam satu kelompok dengan perlakuan kontrol (A) (Gambar 43).
Tabel 16 Hasil anova untuk persentase tutupan alga (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) Sumber variasi Lokasi Perlakuan Sesatan Total
Derajat bebas 9 17 153 179
Jumlah kuadrat 6871,82 40,24 1324,83 8236,89
Rerata kuadrat 763,536 2,367 8,659
F
p
88,18 0,27
0,000 0,998
93
Gambar 43 Analisis MDS terhadap data tutupan alga untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean 6.3.2.4 Fauna lain Tabel 17 merupakan hasil anova yang dihitung dari data nilai persentase tutupan kelompok Fauna Lain dari penggunaan metode UPT dengan berbagai perlakuan. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua perlakuan akan menghasilkan nilai persentase tutupan Fauna Lain yang sama (p < 0,01). Tabel 17 Hasil anova untuk persentase tutupan fauna lain (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) Sumber variasi Lokasi Perlakuan Sesatan Total
Derajat bebas 9 17 153 179
Jumlah kuadrat 594,948 74,866 285,524 955,338
Rerata kuadrat 66,1054 4,4039 1,8662
F
p
35,42 2,36
0,000 0,003
Penggunaan interval kepercayaan 95% simultan Dunnett (Tabel 17) memperlihatkan bahwa perlakuan yang berbeda dengan perlakuan kontrol adalah perlakuan G. Pada Tabel 18 terlihat bahwa selisih hasil antara perlakuan G dan A (G-A) berada dalam interval nilai yang kurang dari nol, yang berarti perlakuan G menduga hasil yang lebih rendah dibandingkan perlakuan A (kontrol). Hasil MDS juga memperlihatkan bahwa perlakuan G tidak mengelompok secara jelas
94
dengan perlakuan lainnya, dan posisinya berada jauh dari perlakuan A (Gambar 44). Perlakuan B dan C tampak sangat berhimpit dengan perlakuan A.
Tabel 18 Interval kepercayaan 95% simultan Dunnett untuk persentase tutupan fauna lain Dunnett 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable AsinsqOF Comparisons with Control Level Perlakuan = A subtracted from: Perlakuan B C D E F G H I J K L M N O P Q R
Lower -1.566 -1.466 -1.455 -2.013 -3.170 -3.702 -2.111 -2.505 -1.849 -3.271 -2.381 -1.740 -1.879 -1.644 -1.991 -1.552 -1.675
Center 0.205 0.305 0.316 -0.242 -1.399 -1.931 -0.340 -0.734 -0.078 -1.500 -0.610 0.031 -0.108 0.127 -0.220 0.219 0.096
Upper 1.9763 2.0763 2.0873 1.5293 0.3723 -0.1597 1.4313 1.0373 1.6933 0.2713 1.1613 1.8023 1.6633 1.8983 1.5513 1.9903 1.8673
---+---------+---------+---------+--(----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*-----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (-----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) ---+---------+---------+---------+---3.2 -1.6 -0.0 1.6
Gambar 44 Analisis MDS terhadap data tutupan fauna lain untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean.
95
6.3.2.5 Abiotik Hasil anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) pada tutupan abiotik yang dihitung dengan berbagai macam perlakuan seperti yang terlihat pada Tabel 19. Hasil MDS terlihat bahwa beberapa perlakuan berdekatan posisinya terhadap perlakuan kontrol (A), kecuali perlakuan G yang posisinya agak berjauhan dengan perlakuan-perlakuan yang lainnya (Gambar 45). Tabel 19 Hasil anova untuk persentase tutupan abiotik (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua) Sumber variasi Lokasi Perlakuan Sesatan Total
Derajat bebas 9 17 153 179
Jumlah kuadrat 11678,3 224,3 2229,5 14132,1
Rerata kuadrat 1297,59 13,19 14,57
F
p
89,05 0,91
0,000 0,569
Gambar 45 Analisis MDS terhadap data tutupan abiotik untuk setiap perlakuan (data ditransformasi ke dalam bentuk arcsin akar pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean 6.3.3 Keanekaragaman karang keras Hasil perhitungan nilai keanekaragaman seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragamana Shannon (H’) dan indeks kemerataan Piellou (J’) untuk karang keras ditampilkan pada Lampiran 19. Sebelum dilakukan anova, data jumlah jenis (S) karang keras yang dihitung pada setiap perlakuan dinormalkan
96
distribusinya terlebih dahulu dengan mentransformasikannya ke dalam bentuk ln, sedangkan data indeks kemerataan Piellou (J’) ditransformasikan ke bentuk pangkat dua. Untuk data indeks keanekaragaman Shannon (H’) tidak perlu ditransformasi. 6.3.3.1 Jumlah jenis (S) Jumlah jenis yang dijumpai dari berbagai perlakuan tidak semuanya sama (p < 0,01) (Tabel 20). Interval kepercayaan 95% simultan Dunnet menunjukkan bahwa perlakuan B, C dan H relatif tidak berbeda untuk menduga nilai S (Tabel 21). Hasil MDS juga memperlihatkan psosisi ketiga perlakuan tersebut yang juga lebih dekat posisinya dengan perlakuan A (Gambar 46). Tabel 20 Hasil anova untuk jumlah jenis (S) karang keras (data ditransformasi ke bentuk ln) Sumber variasi Lokasi Perlakuan Sesatan Total
Derajat bebas 9 17 153 179
Jumlah kuadrat 7,853 11,165 1,384 20,401
Rerata kuadrat 0,873 0,657 0,009
F
p
96,46 72,61
0,000 0,000
Tabel 21 Interval kepercayaan 95% simultan Dunnett untuk jumlah jenis karang keras Dunnett 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable LnS Comparisons with Control Level Perlakuan = A subtracted from: Perlakuan B C D E F G H I J K L M N O P Q R
Lower -0.160 -0.238 -0.345 -0.466 -0.653 -1.070 -0.186 -0.377 -0.335 -0.768 -0.698 -0.677 -0.547 -0.487 -0.390 -0.431 -0.841
Center -0.0365 -0.1149 -0.2218 -0.3423 -0.5302 -0.9466 -0.0626 -0.2532 -0.2116 -0.6448 -0.5746 -0.5537 -0.4239 -0.3639 -0.2667 -0.3079 -0.7179
Upper 0.0868 0.0084 -0.0985 -0.2190 -0.4069 -0.8233 0.0608 -0.1299 -0.0883 -0.5215 -0.4513 -0.4304 -0.3006 -0.2406 -0.1434 -0.1846 -0.5945
-+---------+---------+---------+----(---*--) (---*--) (---*--) (--*---) (---*--) (---*--) (--*---) (---*--) (---*--) (---*--) (---*--) (--*---) (---*--) (---*--) (--*---) (--*---) (--*---) -+---------+---------+---------+-----1.05 -0.70 -0.35 0.00
97
Gambar 46 Analisis MDS terhadap jumlah jenis karang keras (data ditransformasi ke dalam bentuk ln) berdasarkan jarak Euclidean.
6.3.3.2 Indeks keanekaragaman (H’) Nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) yang diperoleh dari berbagai macam perlakuan tidak semuanya memberikan nilai yang relatif sama (p < 0,05) (Tabel 22). Rerata nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh dari perlakuan B, C, D, E, H, I, J dan P relatif tidak berbeda dengan perlakuan A (kontrol) (Tabel 23). Analisis MDS juga menempatkan posisi perlakuan-perlakuan tersebut dekat dengan perlakuan A (kontrol) (Gambar 47).
Tabel 22 Hasil anova untuk nilai indeks keanekaragaman (H’) Sumber variasi Lokasi Perlakuan Sesatan Total
Derajat bebas 9 17 153 179
Jumlah kuadrat 12,656 3,143 2,028 17,827
Rerata kuadrat 1,406 0,185 0,013
F
p
106,07 13,94
0,000 0,000
98
Tabel 23 Interval kepercayaan 95% simultan Dunnett untuk nilai indeks keanekaragaman (H’) jenis karang keras Dunnett 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable H Comparisons with Control Level Perlakuan = A subtracted from: Perlakuan B C D E F G H I J K L M N O P Q R
Lower -0.1504 -0.1883 -0.2231 -0.2586 -0.3314 -0.6357 -0.1600 -0.2278 -0.2178 -0.4842 -0.4127 -0.4025 -0.3734 -0.3065 -0.2722 -0.3076 -0.5071
Center -0.0011 -0.0391 -0.0738 -0.1093 -0.1821 -0.4864 -0.0107 -0.0785 -0.0685 -0.3349 -0.2634 -0.2532 -0.2241 -0.1572 -0.1229 -0.1583 -0.3578
Upper 0.1482 0.1102 0.0755 0.0400 -0.0328 -0.3371 0.1386 0.0708 0.0808 -0.1856 -0.1141 -0.1039 -0.0748 -0.0079 0.0264 -0.0090 -0.2085
-----+---------+---------+---------+(-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) -----+---------+---------+---------+-0.50 -0.25 0.00 0.25
Gambar 47 Analisis MDS terhadap nilai indeks keanekaragaman (H’) jenis karang keras berdasarkan jarak Euclidean
99
6.3.3.3 Indeks kemerataan jenis (J’) Hasil anova menunjukkan bahwa tidak semua perlakuan akan menduga nilai indeks kemerataan jenis karang keras yang sama (p < 0,05) (Tabel 24). Perlakuan B, C, D, H, J, P dan Q tidak berbeda secara nyata (p>0,05) dengan perlakuan A dalam menghitung nilai indeks kemerataan jenis karang keras (Tabel 25). Analisis MDS juga menempatkan posisi perlakuan-perlakuan tersebut berdekatan dengan perlakuan A (Gambar 68), dimana perlakuan H, B dan C merupakan 3 perlakuan yang paling dekat posisinya dengan A (Gambar 48).
Tabel 24 Hasil anova untuk nilai indeks kemerataan jenis (J’) Sumber variasi Lokasi Perlakuan Sesatan Total
Derajat bebas 9 17 153 179
Jumlah kuadrat 0,383 0,303 0,197 0,884
Rerata kuadrat 0,042 0,017 0,001
F
P
33,01 13,83
0,000 0,000
Tabel 25 Interval kepercayaan 95% simultan Dunnett untuk indeks kemerataan (J’) jenis karang keras Dunnett 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable J^2 Comparisons with Control Level Perlakuan = A subtracted from: Perlakuan B C D E F G H I J K L M N O P Q R
Lower -0.03521 -0.02433 -0.00118 0.02870 0.07283 0.11114 -0.03038 0.00896 -0.00196 0.04892 0.05145 0.04673 0.01043 0.01481 -0.00541 -0.00517 0.06811
Center 0.01137 0.02225 0.04540 0.07528 0.11941 0.15772 0.01620 0.05554 0.04462 0.09550 0.09802 0.09331 0.05701 0.06139 0.04117 0.04140 0.11469
Upper 0.05794 0.06883 0.09198 0.12186 0.16599 0.20430 0.06278 0.10212 0.09120 0.14208 0.14460 0.13989 0.10359 0.10797 0.08775 0.08798 0.16127
-----+---------+---------+---------+(------*-----) (-----*------) (-----*------) (------*-----) (------*------) (------*-----) (-----*------) (------*------) (-----*------) (------*-----) (------*------) (-----*------) (------*------) (------*-----) (------*------) (------*------) (-----*------) -----+---------+---------+---------+0.000 0.070 0.140 0.210
100
Gambar 48 Analisis MDS terhadap nilai indeks kemerataan (J’) jenis karang keras (data ditransformasi ke bentuk pangkat dua) berdasarkan jarak Euclidean. 6.4 Pembahasan Berdasarkan hasil yang telah diuraikan diatas terlihat bahwa dari perlakuan-perlakuan yang diuji, semua perlakuan tidak menunjukkan hasil yang berbeda untuk menentukan persentase tutupan karang keras dengan perlakuan A. Tetapi berdasarkan hasil MDS tidak disarankan untuk menggunakan perlakuan F, G, K, L dan R dikarenakan hasil yang diperoleh oleh kelima perlakuan tersebut dalam menduga nilai persentase tutupan karang keras cenderung berbeda dengan perlakuan A yang merupakan perlakuan kontrol. Diantara perlakuan sisanya, perlakuan M memiliki efisiensi yang tertinggi (Tabel 13). Perlakuan M adalah perlakuan (1m_1-10&21-30), yaitu pengambilan data dengan metode UPT dimana panjang transeknya adalah 2 x 10 m dan pengambilan foto dilakukan mulai meter ke-1 sampai ke-10 dan meter ke-21 sampai meter ke-30 dengan interval jarak antar foto 1 m. Perlakuan ini menggunakan hanya 20 frame foto untuk dianalisis. Nilai rerata persentase tutupan karang keras beserta kesalahan bakunya (n = 10) yang dihitung dengan perlakuan A adalah (29,74 + 3,85) dan M adalah (29,74 + 3,73).
101
Untuk menduga persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat sekaligus, dari hasil yang diperoleh yang telah diuraikan sebelumnya, perlakuan B, C dan H pada MDS terlihat selalu dekat posisinya dengan perlakuan A yang merupakan perlakuan kontrol. Diantara ketiga perlakuan tersebut, perlakuan C (1m_1-50) merupakan perlakuan yang memiliki efisiensi yang tertinggi (Tabel 13). Nilai rerata persentase tutupan masing-masing kelompok biota dan substrat beserta kesalahan bakunya (n = 10) yang dihitung dengan perlakuan A dan C ditampilkan pada Tabel 26. Perlakuan C, selain akurat untuk menduga semua kelompok biota dan substrat sekaligus (karena hasilnya relatif dekat dengan perlakuan kontrol) juga merupakan perlakuan yang optimal untuk menduga nilai-nilai keanekaragaman jenis karang keras seperti nilai S, J’ dan H’. Tabel 26 Nilai rerata beserta simpangan baku terhadap nilai yang diperoleh dari perlakuan A dan C Nilai yang dihitung Persentase tutupan - Karang keras (HC) - Karang mati (DS) - Alga (ALG) - Fauna Lain (OF) - Abiotik (ABI) Nilai keanekaragaman 1. S 2. H’ 3. J’
Perlakuan A
Perlakuan C
(29,74+3,85) (1,32+0,49) (50,65+3,42) (2,01+0,32) (16,41+3,34)
(30,22+3,69) (1,52+0,62) (51,51+3,77) (2,19+0,37) (14,71+3,60)
(65,40+4,29) (3,3421+0,848) (0,8210+0,0102)
(58,20+3,66) (3,3821+0,0841) (0,8346+0,0094)
Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, maka terdapat dua macam perlakuan yang optimal untuk diterapkan pada penggunaan metode UPT. Yang pertama adalah perlakuan M bila kemampuan sumberdaya manusia hanya mampu untuk membedakan mana yang kelompok karang keras dan mana yang bukan. Selain itu, penggunaan metode M juga bisa dipakai pada penelitian yang tujuannya hanya untuk mengetahui persentase tutupan karang keras saja tanpa ingin mengetahui persentase tutupan kelompok yang lainnya. Perlakuan optimal kedua yang bisa digunakan adalah perlakuan C. Perlakuan ini bisa digunakan bila ingin mengetahui tidak hanya persentase tutupan karang keras saja,
102
melainkan semua kelompok lainnya di dalam ekosistem terumbu karang. Bahkan dengan perlakuan C ini juga bisa digunakan untuk menghitung nilai-nilai keanekaragaman karang keras. Kecuali untuk nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’), meskipun hasilnya tidak sama dengan yang diperoleh dengan metode LIT dan BT, hasil nilai keanekaragaman (S, H’ dan J’) yang diperoleh dengan metode UPT dapat dipakai untuk membandingkan nilai keanekaragaman karang keras antar stasiun penelitian yang sama-sama menggunakan metode UPT untuk pengambilan sampelnya. 6.5 Kesimpulan Terdapat dua perlakuan yang optimal yang bisa diterapkan pada penelitian untuk menilai kondisi terumbu karang menggunakan metode UPT. Perlakuan pertama adalah perlakuan M (1m_1-10&21-30) yang dipakai hanya untuk mengetahui persentase tutupan karang keras saja tanpa tertarik untuk mengetahui persentase tutupan yang lainnya. Perlakuan kedua adalah perlakuan C (1m_1-50) yaitu perlakuan yang dipakai untuk mengetahui persentase tutupan semua kelompok (HC, DS, ALG, OF dan ABI) dalam ekosistem terumbu karang. Selain itu, perlakuan C ini bisa juga digunakan untuk menghitung nilai-nilai keanekaragaman di masing-masing stasiun penelitian, untuk selanjutnya dapat dipakai sebagai perbandingan keanekaragaman karang keras antar lokasi penelitian yang sama-sama menggunakan metode UPT untuk pengambilan datanya.
7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air Berdasarkan uraian pada Bab 4 tentang kajian perbandingan antara metode Transek Sabuk (BT = Belt transect), Transek Garis Intersep (LIT = Line Intercept Transect) dan Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect), dinyatakan bahwa metode UPT dapat dijadikan sebagai metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang. Pada kajian tersebut, metode UPT menggunakan panjang transek 70 m (sehingga terdapat 70 frame foto) dan analisis fotonya menggunakan teknik menghitung luas area berdasarkan hasil pemotretan dengan kamera WZ yang menghasilkan luas bidang pemotretan (58cmx44cm) = 2552 cm2 per framenya. Untuk metode BT menggunakan panjang transek 70 m dan lebar transek 2 m sehingga luas transeknya = (2x70) m2 = 140 m2. Sedangkan untuk metode LIT menggunakan panjang transek 70 m. Pada Bab 5 tentang efisiensi dan akurasi dari proses analisis foto dinyatakan bahwa ada tiga teknik yang dapat dipilih untuk analisis foto, tergantung pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu: 1.
menggunakan teknik pemilihan 10 sampel titik acak, untuk menduga hanya persentase tutupan karang keras;
2.
menggunakan teknik pemilihan 30 sampel titik acak, untuk menduga semua kelompok biota dan substrat sekaligus (kelompok HC, DS, ALG, OF dan ABI);
3.
menggunakan teknik menghitung luas area, untuk menduga semua kelompok biota dan substrat sekaligus serta menduga nilai keanekaragaman karang keras seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Piellou (J’) Pada pilihan 1 dan 2 diatas, untuk setiap frame yang dianalisis memiliki
luas bidang pemotretan (40 x 30) cm2 = 1200 cm2. Sedangkan pada pilihan 3 di atas, setiap frame yang dianalisis memiliki luas bidang pemotretan (58 x 44) cm2 = 2552 cm2.
104
Hasil yang diuraikan pada Bab 5 tentang optimalisasi panjang transek pada penggunaan metode UPT menunjukkan bahwa untuk menduga persentase tutupan karang keras (HC) bisa digunakan perlakuan M atau (1m_1-10&21-30), sedangkan untuk menduga persentase tutupan kelompok biota dan substrat sekaligus (HC, DS, ALG, OF dan ABI) digunakan perlakuan C atau (1m_1-50). Perlakuan C juga bisa digunakan untuk membandingkan keanekaragaman antar stasiun penelitian menggunakan nilai keanekaragaman seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Piellou (J’). Perlakuan M (1m_1-10&21-30) adalah perlakuan dengan panjang garis transek 2x10 m dimana pengambilan foto dilakukan pada frame ke-1 hingga frame ke-10 dan frame ke-21 hingga frame ke-30. Sedangkan perlakuan C (1m_1-50) adalah perlakuan dimana panjang garis transek adalah 50 m dan pengambilan fotonya dilakukan mulai frame ke-1 hingga frame ke-50. Meskipun pengambilan data pada perlakuan M sepanjang 2 x 10 m garis transek, namun harus dianggap sebagai satu kesatuan, bukan sebagai 2 replikasi sehingga data tersebut bukan sebagai replikasi semu (pseudo-replicates) (Hulbert 1984, Portier et al. 2000). Uji statistik menggunakan data yang mengandung replikasi semu dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan, dimana seolah-olah terjadi perbedaaan yang signifikan antar faktor yang diuji walaupun pada kenyataannya tidak ada pengaruh dari faktor tersebut (Portier et al. 2000). Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh tersebut maka untuk menilai kondisi terumbu karang dapat digunakan metode UPT dengan beberapa pilihan yaitu: 1.
UPT M_10titik.
2.
UPT C_30titik.
3.
UPT C_Area. Masing-masing pilihan tersebut akan diuraikan lebih rinci pada sub bab di
bawah ini, termasuk pengujian ulang hasil yang diperoleh dari setiap pilihan UPT tersebut dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode BT dan LIT, serta tingkat efisiensinya.
105
7.1.1 Pilihan UPT M_10titik Pilihan UPT M_10titik yaitu pengambilan sampel menggunakan metode UPT dengan perlakuan M (1m_1-10&21-30) dan teknik analisis foto menggunakan 10 sampel titik acak berdasarkan hasil foto dengan bidang luasan minimal 1200 cm2 per framenya. Luas bidang 1200 cm2 per frame dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom). Jika menggunakan kamera tipe lain, maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas bidang pemotretannya per framenya minimal = (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2. Pilihan ini dilakukan bila tujuan penelitian hanya untuk mengetahui persentase tutupan karang keras (HC) saja. Selain itu, pilihan ini juga bisa dilakukan bila kemampuan sumberdaya manusia yang ada sangat terbatas, dimana hanya bisa membedakan antara kelompok karang keras dan bukan kelompok karang keras. Jadi, dengan kemampuan sumberdaya manusia yang terbatas, penelitian tetap bisa dilakukan dengan hasil yang tidak berbeda nyata dengan hasil yang diperoleh dengan metode BT maupun LIT. Pada Bab 4, hasil anova membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0,01) antara persentase tutupan karang keras (HC) yang dihitung dengan metode BT, LIT dan UPT. Pada anova tersebut, metode UPT yang diuji menggunakan panjang transek 70 m dan fotonya dianalisis menggunakan teknik menghitung luas area. Bagaimana bila metode UPT yang digunakan menggunakan pilihan UPT M_10titik (perlakuan M dengan proses analisis foto menggunakan pemilihan 10 sampel titik acak)? Pengujian ulang menggunakan anova terhadap data persentase tutupan HC yang diperoleh menggunakan pilihan UPT M_10titik terhadap hasil yang diperoleh dengan metode BT dan LIT (Lampiran 20) juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan persentase tutupan HC yang diperoleh dengan metode BT, LIT maupun UPT M_10titik (p > 0,01) (Tabel 27). Jadi, untuk menduga persentase tutupan HC, bisa digunakan metode UPT menggunakan perlakuan M dengan teknik analisis foto menggunakan pemilihan 10 sampel titik acak.
106
Tabel 27
Anova (untuk pengukuran berulang) pada data persentase tutupan HC yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT M_10titik. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua
Sumber variasi Stasiun Metode Sesatan Total
Derajat bebas 9 2 18 29
Jumlah kuadrat 1434,13 7,70 84,27 1526,10
Rerata kuadrat 159,35 3,852 4,681
F
p
34,04 0,82
0,000 0,455
Adanya pengurangan panjang garis transek (yang berpengaruh terhadap banyaknya frame foto yang harus diambil dan dianalisis), serta penggunaan teknik analisis foto yang lebih sederhana dibandingkan dengan teknik menghitung luas area tentunya akan mengurangi lamanya waktu untuk pengambilan data di lapangan maupun lamanya waktu untuk proses analisis foto. Rerata lamanya waktu untuk pengambilan data di lapangan dengan menggunakan perlakuan M yaitu 7,4 menit (Tabel 13), sedangkan rerata lamanya waktu untuk proses analisis foto sebanyak 20 frame (perlakuan M) dengan menggunakan teknik pemilihan 10 sampel titik acak (tanpa perlu memasukkan data nama jenis karang keras) sebesar 18,3 menit per transeknya (Lampiran 21). Waktu yang diperlukan tersebut (18,3 menit/transek) jauh lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan perlakuan M yang analisis fotonya menggunakan teknik menghitung luas area serta nama jenis karang dimasukkan, yang memerlukan waktu sekitar 209,74 menit (Tabel 13). Berkurangnya waktu untuk pengambilan data di lapangan dan proses analisis foto tentunya akan meningkatkan efisiensi penggunaan metode UPT.
Perhitungan ulang nilai
koefisien efisiensi masing-masing metode (UPT M_10titik, LIT dan BT) ditampilkan pada Tabel 28. Ternyata, penggunaan UPT M_10titik jauh lebih efisien dibandingkan metode LIT dengan panjang garis transek 70 m atau pun metode BT dengan luas transek (2x70)m2 ditandai dengan nilai ψ yang terendah (Tabel 28).
107
Tabel 28 Perhitungan koefisien efisiensi biaya dan waktu untuk metode UPT M_10titik, LIT dan BT Rerata lamanya waktu (menit) per transek untuk: Metode
Keterangan pengambilan data lapangan
pemasukan data
UPT M_10titik
7,37
18,3
Perlakuan M; 10 sampel titik acak
LIT
65,9
89,6
Panjang transek=70 m
BT
272,4
217,2
Luas transek=(2x70) m2
Koefisien biaya dan waktu (waktu x bobot biaya) untuk: Metode
pengambilan data lapangan(a)
pemasukan data (b)
Total (a+b)
UPT M_10titik
7,4 x 8
18,3 x 1
77,26
Rasio= ψ 1,00
LIT
65,9 x 7,7
89,6 x 1
597,03
7,73
BT
272,4 x7,7
217,2 x 1
2314,68
29,96
7.1.2 Pilihan UPT C_30titik Pilihan UPT C_30titik yaitu pengambilan sampel menggunakan metode UPT dengan perlakuan C (1m_1-50) dan teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak berdasarkan hasil foto dengan bidang luasan minimal 1200cm2 per framenya. Luas bidang 1200 cm2/frame dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom). Jika menggunakan kamera tipe lain, maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas bidang pemotretannya per framenya minimal = (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2. Pada pilihan ini, penelitian ditujukan untuk mengetahui persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat (HC, DS, ALG, OF dan ABI) di dalam ekosistem terumbu karang secara sekaligus. Pencatatan datanya tidak perlu hingga ke nama jenis dari karang keras. Yang terpenting, datanya terkelompokkan ke dalam kelompok HC, DS, ALG, OF dan ABI. Data persentase tutupan HC yang dihitung dengan metode BT, LIT dan UPT C_30titik ataupun persentase tutupan DS, ALG, OF dan ABI yang dihitung dengan metode LIT dan UPT C_30titik ditampilkan pada Lampiran 22. Selanjutnya, pengujian statistik menggunakan anova dilakukan untuk membandingkan hasil persentase tutupan kelompok HC yang diperoleh menggunakan metode BT, LIT dan UPT C_30titik (perlakuan C dengan teknik pemilihan 30 sampel titik acak), serta
108
menggunakan uji t berpasangan untuk data persentase tutupan DS, ALG, OF dan ABI yang diperoleh dengan metode LIT dan UPT C_30titik. Hasil anovanya ditampilkan pada Tabel 29, sedang hasil uji t berpasangannya ditampilkan pada Tabel 30. Sebelum dilakuan uji, baik anova maupun uji t berpasangan, data ditrasnformasikan terlebih dahulu ke bentuk arcsin akar pangkat dua. Persentase tutupan HC yang diperoleh dengan UPT C_30titik relatif tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode BT dan LIT (p>0,01) (Tabel 29). Persentase tutupan kelompok DS, ALG, OF dan ABI yang diperoleh dengan metode UPT C_30titik juga relatif tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode LIT (p>0,01) (Tabel 30).
Tabel 29 Anova pada data persentase tutupan HC yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT C_30titik. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua Sumber variasi Stasiun Metode Sesatan Total
Derajat bebas 9 2 18 29
Jumlah kuadrat 1457,71 5,25 42,54 1505,50
Rerata kuadrat 161,968 2,623 2,363
F 68,53 1,1
p 0,000 0,351
Tabel 30 Nilai p pada uji t berpasangan untuk persentase tutupan kelompok DS, ALG, OF dan ABI yang diperoleh dengan metode LIT (panjang transek 70 m) dan metode UPT C_30titik. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua Kelompok Karang mati (DS) Alga (ALG) Fauna Lain (OF) Abiotik (ABI)
Nilai p 0,024 0,284 0,270 0,061
Penggunaan UPT C_30titik tentu akan lebih efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan dengan metode UPT yang menggunakan panjang garis transek 70 m dan proses analisis foto menggunakan teknik menghitung luas area seperti yang diuraikan pada Bab 4. Hal ini disebabkan karena berkurangnya panjang garis transek yang digunakan sehingga waktu untuk pengambilan data di
109
lapangan serta waktu untuk pemasukan data akan menjadi lebih singkat. Rerata lamanya waktu untuk pengambilan data di lapangan dengan menggunakan perlakuan C yaitu 15,93 menit (Tabel 13), sedangkan rerata lamanya waktu untuk proses analisis foto sebanyak 50 frame (perlakuan C) dengan menggunakan teknik pemilihan 30 sampel titik acak (tanpa perlu memasukkan data nama jenis karang keras) sebesar 84,8 menit per transeknya (Lampiran 21). Perhitungan ulang koefisien efisiensi biaya dan waktu untuk metode UPT C_30titik (perlakuan C dan teknik pemilihan 30 sampel titik acak per frame) dengan metode BT [luas transek = (2 x 70) m2] dan LIT (panjang transek 70 m) ditampilkan pada Tabel 31. Ternyata metode UPT C_30titik masih lebih efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan metode LIT dan BT, ditandai dengan nilai ψ yang lebih kecil.
Tabel 31 Perhitungan koefisien efisiensi biaya dan waktu untuk metode UPT C_30titik, LIT dan BT Rerata lamanya waktu (menit) per transek untuk: Metode
Keterangan
pengambilan data lapangan
pemasukan data
UPT C_30titik
15,93
84,8
Perlakuan C; 30 sampel titik acak
LIT
65,90
89,60
Panjang transek=70 m
BT
272,40
217,20
Luas transek=(2x70) m2
Koefisien biaya dan waktu (waktu x bobot biaya) untuk: Metode
pengambilan data lapangan(a)
pemasukan data (b)
Total (a+b)
UPT C_30titik
15,93 x 8
84.8 x 1
212,24
Rasio= ψ 1,00
LIT
65,9 x 7,7
89,6 x 1
597,03
2,81
BT
272,4 x7,7
217,2 x 1
2314,68
10,91
7.1.3 Pilihan UPT C_Area Pilihan UPT C_Area yaitu pengambilan sampel menggunakan metode UPT dengan perlakuan C (1m_1-50) dan teknik analisis foto menghitung luas area berdasarkan hasil foto dengan bidang luasan minimal 2552 cm2 per framenya.
Luas
bidang
2552
cm2/frame
dihasilkan
dari
pemotretan
menggunakan kamera WZ dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom). Jika menggunakan kamera lain, maka jarak
110
pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas bidang pemotretannya per framenya minimal = (58 cm x 44 cm) = 2552 cm2. Pengguna pada kelompok ini harus dapat mengidentifikasi nama jenis karang keras (HC). Pada pilihan ini, hasil yang diperoleh selain dapat digunakan untuk menduga persentase tutupan masing-masing kelompok biota dan substrat, juga dapat digunakan sebagai kajian perbandingan nilai keanekaragaman karang keras antar stasiun atau lokasi penelitian. Persentase tutupan untuk kelompok HC yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT C_Area, serta persentase tutupan DS, ALG, OF dan ABI yang dihitung menggunakan metode LIT dan UPT C_Area ditampilkan pada
Lampiran
23.
Selanjutnya,
berdasarkan
data
tersebut
(yang
ditransformasikan ke arcsin akar pangkat dua) dilakukan anova untuk rancangan percobaan dengan pengukuran berulang (repeated-measures experimental design) untuk membandingkan hasil persentase tutupan kelompok HC yang diperoleh menggunakan metode BT, LIT dan UPT C_Area, serta menggunakan uji t berpasangan untuk data persentase tutupan DS, ALG, OF dan ABI yang diperoleh dengan metode LIT dan UPT C_Area. Hasil anovanya ditampilkan pada Tabel 32, sedang hasil uji t berpasangannya ditampilkan pada Tabel 33. Persentase tutupan HC yang diperoleh dengan UPT C_Area tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode BT dan LIT (p > 0,01) (Tabel 32). Persentase tutupan kelompok DS, ALG, OF dan ABI yang diperoleh dengan metode UPT C_Area juga tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode LIT (p > 0,01) (Tabel 33). Tabel 32 Anova (untuk pengukuran berulang) pada data persentase tutupan HC yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT C_Area. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua Sumber variasi Stasiun Metode Sesatan Total
Derajat bebas 9 2 18 29
Jumlah kuadrat 1408,72 6,92 31,07 1446,71
Rerata kuadrat 156,524 3,458 1,726
F 90,68 2,00
p 0,000 0,164
111
Tabel 33 Nilai p pada uji t berpasangan untuk persentase tutupan kelompok DS, ALG, OF dan ABI yang diperoleh dengan metode LIT (panjang transek 70 m) dan metode UPT C_Area. Data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua Kelompok Karang mati (DS) Alga (ALG) Fauna Lain (OF) Abiotik (ABI)
Nilai p 0,146 0,011 0,063 0,946
Frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dijumpai di masingmasing stasiun baik dengan menggunakan metode BT dan LIT telah ditampilkan pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Sedangkan frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan metode UPT dengan pilihan UPT C_Area ditampilkan pada Lampiran 24. Berdasarkan frekuensi kehadiran setiap jenis karang tersebut bisa diperoleh nilai-nilai keanekaragaman karang keras seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragamana Shannon (H’), dan indeks keanekaragaman Pielou (J’) yang ditampilkan pada Lampiran 25. Untuk keanekaragaman karang keras, anova (untuk rancangan penelitian dengan pengukuran berulang) pada data S, H’ dan J’ ditampilkan pada Tabel 34. Sebelum anova dilakukan, data S dan H’ ditransformasikan ke bentuk akar pangkat dua, sedangkan data J’ ditransformasikan ke bentuk pangkat dua. Hasil anova menunjukkan bahwa tidak semua metode yang digunakan (BT, LIT dan UPT) akan memberikan nilai S, H’ dan J’ yang sama (p < 0.01) (Tabel 34). Jumlah jenis (S) yang dijumpai dengan menggunakan metode BT merupakan yang terbanyak, diikuti oleh metode UPT C_Area, baru kemudian metode LIT) (Tabel 35 dan Tabel 36). Sedangkan nilai H yang dihasilkan dengan metode BT juga merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan metode UPT C_Area dan LIT, sedangkan antara metode UPT C_Area dan LIT relatif tidak berbeda (p>0,01) (Tabel 35 dan Tabel 36). Sebaliknya, nilai tertinggi untuk J’ diperoleh dengan metode LIT, sedangkan antara metode BT dan UPT C_Area tidak berbeda (p>0,01) (Tabel 35dan Tabel 36).
112
Tabel 34 Nilai p hasil anova pada data nilai keanekaragaman untuk sumber variasi metode (BT, LIT dan UPT C_Area) Nilai keanekaragaman
Nilai p 0,000 0,000 0,000
√S √H’ (J’)2
Tabel 35 Nilai p hasil uji simultan Tukey pada perbandingan berganda antara metode BT, LIT dan UPT Uji perbandingan BT terhadap LIT BT terhadap UPT C_Area LIT terhadap UPT C_Area
√S 0,000 0,000 0,000
Nilai p √H’ 0,000 0,000 0,243
(J’)2 0,001 0,323 0,000
Tabel 36 Keputusan dari uji simultan Tukey antara metode BT, LIT dan UPT C_Area Nilai
Kesimpulan
√S
µ BT > µ UPT C_Area > µ LIT µ BT > µ UPT C_Area = µ LIT µ LIT > µ BT = µ UPT C_Area
√H’ (J’)2
Luas bidang pengamatan pada metode BT yang lebih luas dibandingkan dengan bidang pengamatan pada metode LIT maupun metode UPT C_Area, memungkinkan nilai S yang diperoleh dengan metode BT menjadi jauh lebih besar. Dengan semakin banyaknya jenis yang dijumpai (termasuk jenis-jenis yang
tidak
dominan/jarang
dijumpai),
menyebabkan
nilai
indeks
keanekaragaman Shannon (H’) pada penggunaan metode BT menjadi lebih besar pula. Sedangkan tingginya nilai indeks kemerataan Piellou (J’) pada metode LIT dibandingkan pada metode BT dan UPT kemungkinan disebabkan oleh kecilnya luas bidang yang diamati. Semakin kecil luas bidang pengamatan, perbedaan antara jenis karang keras yang dominan dengan yang tidak dominan menjadi kurang begitu terlihat jelas dibandingkan dengan bidang pengamatan yang lebih
113
luas. Akibatnya, nilai indeks kemerataan Piellou akan semakin lebih tinggi pada luas bidang pengamatan yang lebih kecil (metode LIT). Analisis MDS yang dilakukan terhadap frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dihasilkan dengan berbagai metode (BT, LIT dan UPT C_Area) yang dihitung menggunakan nilai kemiripan Bray-Curtis (data ditransformasi ke akar pangkat dua dan distandarisasi) memperoleh hasil yang tidak begitu berbeda dengan hasil yang diperoleh pada Bab 4. Analisis MDS memperlihatkan
bahwa
pengelompokan
yang
terjadi
lebih
cenderung
dikarenakan stasiun penelitiannya (Gambar 49), bukan karena metode yang digunakan (Gambar 50). Jadi, penggunaan metode UPT dengan pilihan UPT C_Area dapat digunakan untuk membandingkan nilai-nilai keanekaragaman (S, H’ dan J’) karang keras antar stasiun penelitian.
Gambar 49 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT C_Area) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana stasiun sebagai faktor
114
Gambar 50 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT C_Area) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana metode sebagai faktor Rerata lamanya waktu untuk pengambilan data di lapangan dengan menggunakan perlakuan C yaitu 15,93 menit (Tabel 12), sedangkan rerata lamanya waktu untuk proses analisis foto sebanyak 50 frame (perlakuan C) dengan menggunakan teknik menghitung luas area dan memasukkan data nama jenis karang keras sebesar 524,4 menit per transeknya (Lampiran 21). Perhitungan ulang koefisien efisiensi biaya dan waktu untuk metode UPT C_Area dengan metode BT [luas transek = (2 x 70) m2] dan LIT (panjang transek 70 m) ditampilkan pada Tabel 37. Ternyata metode UPT C_Area sedikit kurang efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan metode LIT, (ditandai dengan nilai ψ UPT C_Area > ψ LIT ), tetapi masih lebih efisien dibandingkan metode BT. Meskipun penggunaan metode UPT C_Area kurang efisien dibandingkan penggunaan metode LIT, tetapi sangat kecil yaitu hanya 0,09 atau 9 % saja (Tabel 37).
115
Tabel 37 Perhitungan koefisien biaya dan waktu untuk masing-masing metode penelitian Metode UPT
Rerata lamanya waktu (menit) per transek untuk: pengambilan data lapangan 15,93
Keterangan
pemasukan data 524,4
Perlakuan C; menghitung luas area
LIT
65,90
89,60
Panjang transek=70 m
BT
272,40
217,20
Luas transek=(2x70) m2
Metode UPT
Koefisien biaya dan waktu (waktu x bobot biaya) untuk: pengambilan data pemasukan data Total lapangan(a) (b) (a+b) 15,93 x 8 524,36 x 1 651.80
Rasio= ψ 1,09
LIT
65,9 x 7,7
89,6 x 1
597,03
1,00
BT
272,4 x7,7
217,2 x 1
2314,68
3,88
Dari tiga pilihan penggunaan metode UPT untuk menilai kondisi terumbu karang, pilihan 1 (UPT M_10titik) dan pilihan 2 (UPT C_30titik) memiliki tingkat efisiensi (dari segi biaya dan waktu) yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode LIT maupun metode BT. Sedangkan pada pilihan ketiga (UPT C_Area), agak kurang efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan metode LIT, tetapi masih lebih efisien dibandingkan metode BT. Jadi, bila penelitian yang dilakukan tidak sampai ke penamaan jenis karang keras, sebaiknya digunakan metode UPT dengan pilihan UPT M_10titik atau UPT C_30titik, tergantung pada nilai persentase tutupan kelompok apa yang ingin diketahui. Bila hanya ingin mengetahui persentase tutupan karang keras (HC) saja maka digunakan pilihan M_10titik, tetapi bila ingin mengetahui persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat sekaligus (HC, DS, ALG, OF dan ABI) dapat digunakan pilihan UPT C_30titik. Penggunaan metode UPT pilihan 3 (UPT C_Area) dimana data karang keras diambil hingga ke tingkat jenis, meskipun sedikit kurang efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan metode LIT, tetapi tetap dapat dipilih untuk digunakan dengan alasan sebagai berikut: 1.
Meskipun waktu untuk analisis foto pada UPT C_Area lebih lama dibandingkan dengan penggunaan metode LIT dan BT, tetapi waktu pengambilan data di lapangan dengan metode UPT C_Area jauh lebih singkat dibandingkan dengan penggunaan LIT, maupun BT (Tabel 38). Pada
116
lokasi penelitian yang daerahnya terpencil atau sulit dijangkau (remote area), penggunaan peralatan selam menjadi sesuatu hal yang sangat berharga sehingga diperlukan biaya yang jauh lebih mahal untuk dapat menggunakannya. Dengan mempersingkat waktu penyelaman, maka biaya operasional penelitian di lapangan akan menjadi lebih murah. Selain itu, pengambilan data di lapangan yang dalam hal ini dilakukan dengan penyelaman di laut, sangat tergantung sekali akan kondisi perairan ataupun kondisi cuaca seperti ombak yang besar, arus yang kuat, pengaruh pasang surut dan sebagainya. Pada suatu kondisi tertentu dimana cuaca yang bisa tiba-tiba berubah menjadi buruk, perbedaan beberapa menit saja dapat menjadi sangat berarti saat pengambilan data di lapangan. Sedangkan dalam kondisi cuaca normal, waktu yang relatif singkat dalam pengambilan data di lapangan (metode UPT C_Area) juga memberikan keuntungan tersendiri yaitu area yang diteliti akan menjadi lebih banyak dibandingkan dengan pengambilan data yang lebih lama memerlukan waktu di lapangan (metode LIT dan BT). Waktu analisis foto pada penggunaan UPT_C_Area yang lebih lama dibandingkan dengan metode LIT dan BT dapat disiasati dengan menambah personil untuk menganalisis foto, sehingga proses analisis foto bisa berlangsung lebih cepat. Penambahan personil untuk menganalisis foto memerlukan
penambahan
biaya
yang
lebih
sedikit
dibandingkan
penambahan personil untuk pengambilan data di lapangan. Tabel 38 Lamanya waktu pengambilan data di lapangan Metode BT LIT UPT perlakuan C UPT perlakuan M 2.
Lamanya waktu pengambilan data di lapangan (menit) 272,40 65,90 15,93 7,37
Perbedaan efisiensi antara penggunaan metode UPT C_Area dengan metode LIT sangat kecil yaitu hanya
0,09 atau 9 % saja. Perhitungan tingkat
efisiensi tersebut dihitung hanya dari segi biaya dan waktu baik yang diperlukan untuk pengambilan data di lapangan maupun pemasukan data di
117
ruang kerja. Sedangkan faktor psikologis dan juga faktor keselamatan kerja terutama saat pengambilan data di lapangan, yang sulit untuk dihitung secara materi (yang mungkin saja nilainya sangat bervariasi sekali tergantung seberapa besar kita menghargai keselamatan jiwa kita) tidak diperhitungkan. 3.
Pada penggunaan metode UPT (apapun pilihan yang digunakan), datanya aslinya tersimpan dalam bentuk foto yang juga berfungsi sebagai dokumen atau arsip yang sewaktu-waktu bisa dilihat kembali. Hal ini berbeda dengan data pada metode LIT dan BT, dimana bila terjadi kesalahan pencatatan data di lapangan akan sulit untuk mengeceknya kembali.
7.2 Keunggulan dan Kelemahan Metode Transek Foto Bawah Air Terhadap Metode Transek Sabuk dan Transek Garis Berdasarkan uraian di atas, dapat dicatat beberapa keunggulan dari penggunaan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) dibandingkan dengan penggunaan metode Transek Sabuk (BT = Belt Transect) dan Transek garis Intersep (LIT = Line Intercept Transect) yaitu: 1.
Penggunaan pilihan UPT M_10titik dan UPT C_30titik lebih efisien dari segi biaya dan waktu dibandingkan dengan metode BT dan LIT.
2.
Penggunaan metode UPT dapat mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan dibandingkan metode BT dan LIT.
3.
Penggunaan metode UPT lebih efisien, sehingga biaya pelaksaaan penelitian menjadi lebih murah.
4.
Pilihan pada penggunaan UPT dapat disesuaikan dengan tujuan atau pun kemampuan sumberdaya manusia yang tersedia.
5.
Data aslinya yang tersimpan dalam bentuk foto berfungsi sebagai dokumen atau arsip yang sewaktu-waktu bisa dilihat kembali. Selain keunggulan-keunggulan yang dimiliki metode UPT seperti yang
dijelaskan sebelumnya, terdapat pula kelemahan-kelemahan, antara lain: 1.
Tingkat kejernihan perairan sangat menentukan kualitas gambar hasil pemotretan dengan menggunakan metode UPT. Untuk mendapatkan hasil foto yang jelas, jarak pandang di bawah air minimal 3 m. Meskipun begitu,
118
jika penelitian hanya untuk mengetahui persentase tutupan karang keras (HC) saja, ataupun persentase tutupan kelompok biota dan substrat (HC, DS, ALG, OF dan ABI), pada kondisi perairan yang agak keruh (jarak pandang di bawah air kurang dari 3 m), kemungkinan besar metode UPT ini masih bisa dilakukan dengan baik sepanjang dari foto yang dihasilkan bisa dibedakan kelompok-kelompok tersebut. Tetapi jika data yang ingin diperoleh hingga ke tingkat jenis maka perlu usaha yang ekstra, yaitu dengan cara melakukan pemotretan dari jarak dekat sebagai ”foto bantu” untuk memudahkan dalam menganalisis foto. Biasanya, pada perairan yang keruh dengan jarak pandang hanya sekitar 30 cm saja, tidak banyak jenis karang keras yang dijumpai, misalnya seperti di Pulau Onrust ataupun Pulau Bidadari yang lokasinya berada di perairan Teluk Jakarta. 2.
Waktu analisis foto yang lebih lama terutama bila teknik analisis fotonya dilakukan dengan cara menghitung luas area dengan memasukkan juga nama karang keras hingga ke tingkat jenis. Lamanya waktu analisis foto ini bisa disiasati dengan penambahan jumlah personil untuk membantu melakukan proses analisis foto.
3.
Peran kamera terasa sangat penting sekali pada penggunaan metode UPT. Terjadinya kerusakan pada kamera saat penelitian sedang berlangsung mungkin saja terjadi. Untuk mengantisipasi hal ini, ada baiknya untuk membawa kamera cadangan sehingga bila terjadi kerusakan pada kamera yang satu, dapat digunakan kamera cadangan.
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Metode UPT dapat dipakai sebagai metode alternatif dalam menilai kondisi terumbu karang. 2. Proses analisis foto yang efisien dan akurat serta panjang garis transek yang optimal pada penggunaan metoda UPT untuk menilai kondisi terumbu karang dapat dibagi kedalam tiga pilihan tergantung pada tujuan dan kemampuan sumberdaya manusia yang tersedia. 3. Hasil yang diperoleh dari penggunaan metode UPT selain akurat juga efektif untuk menilai kondisi terumbu karang, serta dapat menekan biaya operasional pelaksanaan penelitian. 4. Data yang tersimpan dalam bentuk foto merupakan arsip yang sewaktu-waktu dapat dilihat kembali ataupun dipergunakan untuk keperluan penelitian yang lain. 8.2 Saran Beberapa saran yang bisa diberikan pada penggunaan metode UPT untuk menilai kondisi terumbu karang adalah sebagai berikut: 1. ”Foto bantu” berupa pemotretan di luar frame foto saat pengambilan data sebaiknya dilakukan karena akan sangat membantu dalam proses analisis foto. Pada perairan yang kurang jernih, sebaiknya dilakukan pemotretan ulang (sebagai foto bantu) dari jarak yang lebih dekat. 2. Bila tipe kamera SW atau WZ seperti yang digunakan pada penelitian ini tidak tersedia, maka disarankan menggunakan kamera tipe lain tetapi jarak pemotretan ataupun pembesaran (zoom) diatur sedemikian rupa sehingga luas bidang pemotretannya minimal sama dengan luas bidang pemotretan yang dihasilkan kamera SW dan WZ. 3. Untuk mengetahui kekayaan jenis sebaiknya dilengkapi dengan pengamatan koleksi bebas.
120
4. Pada saat ini proses analisis foto masih memerlukan waktu yang lama, oleh karena itu pengembangan software yang bisa mempercepat proses analisis data yang terintegrasi perlu dikembangkan. 5. Peran kamera pada penggunaan metode UPT sangat penting sehingga perlu kamera cadangan untuk mengantisipasi bila terjadi kerusakan pada saat pengambilan data di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Alquezar R, Boyd W. 2007. Development of rapid, cost effective coral survey techniques: tools for management and conservation planning. J Coast Conserv 11:105–119. Baddeley AD, DeFigueredo JW, Curtis JWH, Williams AN. 1968. Nitrogen narcosis and underwater performance. Ergonomics 11(2):157–164. Burt J, Bartholomew A, Usseglio P. 2008. Recovery of corals a decade after a bleaching event in Dubai, United Arab Emirates. Mar Biol 154:27-36. Carpenter KE, Miclat RI, Albaladejo VD, Corpuz VT. 1981. The influence of substrate structure on the local abundance and diversity of Philiphine reef fishes. Di dalam: Proc. 4th Int. Coral Reef Symp. Manila (2): 497-502. Clarke 1993. Non-parametric multivariate analyses of changes in community structure. Aust J Ecol 18: 117-143. Clarke KR, Gorley RN. 2001. PRIMER v5: User Manual/Tutorial. Plymouth: PRIMER-E. 91 hlm. Clarke KR, Warwick RM. 2001. Change in Marine Communities: An Approach to Statistical Analysis and Interpretation. Ed ke-2. Plymouth: PRIMER-E. 171 hlm. DeVantier LM, De’ath G, Done TJ, Turak E. 1998. Ecological assessment of a complex natural system: A case study from the Great Barrier Reef. Ecol Applications 8(2): 480–496. DeVantier L, Suharsono, Budiyanto A, Tuti J, Imanto P, Ledesma R. 1998. Status of coral communities of Pulau Seribu, 1985-1995. Di dalam: Soemodihardjo S, editor. Proc Coral Reef Evaluation Workshop Pulau Seribu, Jakarta Indonesia, 11-20 Sept 1995. Jakarta: UNESCO. hlm. 1-24. English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Ed ke-2. Townsville: AIMS. 390 hlm. Fadlallah YH. 1983. Sexual reproduction, development and larval biology in scleractinian corals. Coral reefs 2:129-150 Giyanto, Tuti Y, Budiyanto A.2006. Analisa pendahuluan kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu Jakarta pada tahun 2005. Di dalam:Tuti Y, Soemodihardjo S, editor. Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Monitoring dan Evaluasi Tiga Dasawarsa. Jakarta: LIPI Pr. hlm. 9-18. Hill J, Wilkinson C. 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs. Versi ke-1, A Resources for Managers. Townsville: AIMS. 117 hlm. Hobbs M, Kneller W. 2009. Effect of nitrogen narcosis on free recall and recognition memory in open water. Undersea & Hyperbaric Medicine 36(2), 73-81.
122
Hulbert SH. 1984. Pseudo replication and the design of ecological field experiments. Ecol Monogr 54:187-211. Huston MA. 1995. Biological diversity: the coexistence of species on changing landscapes. Cambridge: Cambridge Univ Pr. 681 hlm. Hutomo M, Adrim M. 1986. Distribution of reef fish along transects in Bay of Jakarta and Kepulauan Seribu. Di dalam: Brown BE, editor. Unesco report in marine science 40. Human induced damage to coral reefs. Paris: UNESCO. hlm. 135-156. Ikawati Y, Hanggarawati PS, Parlan H, Handini H, Siswodihardjo B. 2001. Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta: Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan. 200 hlm. Kenchington RA. 1978. Plotless and transect methods. Di dalam: Stoddart DR, Johannes RE, editor. Coral Reefs: Research Methods. Paris: UNESCO. hlm.149-161. Kohler KE, Gill M. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): a visual basic program for the determination of coral and substrate coverage using random point count methodology. Comput Geosci 32(9):1259-1269. Lam K, Shin PKS, Bradbeer R, Randall D, Ku KKK, Hodgson P, Cheung SG. 2006. A comparison of video and point intercept transect methods for monitoring subtropical coral communities. J Exp Mar Biol Ecol 333(1): 115-128. Leujak W, Ormond RFG. 2007. Comparative accuracy and efficiency of six coral community survey methods. J Exp Mar Biol Ecol 351:168-187. Long BG, Andrew G, Wang YG, Suharsono. 2004. Sampling accuracy of reef resource inventory technique. Coral Reefs 23:378-385. Loya Y. 1972. Community structure and species diversity of hermatypic corals at Eilat, Red Sea. Mar Biol 13:100-123. Loya Y. 1978. Plotless and transect methods. Di dalam: Stoddart DR, Johannes RE, editor. Coral Reefs: Research Methods. Paris: UNESCO. hlm. 197217. Loya Y, Slobodkin LB. 1971. The coral reefs of Eilat (Gulf of Eilat, Red Sea). Symp zool Soc London 28: 117-139. Moll H, Suharsono. 1986. Distribution, diversity and abundance of reef corals in Jakarta Bay and Kepulauan Seribu. Di dalam: Brown BE, editor. Unesco report in marine science 40. Human induced damage to coral reefs. Paris: UNESCO. hlm. 112-125. Moll H. 1983. Zonation and diversity of Scleractinia on reefs off S.W. Sulawesi, Indonesia. Alblasserdam: Drukkery Kanters B.V. 107 hlm. Mundy CN. 1990. Field and Laboratory investigations of the Line Intercept Transect technique for monitoring the effects of the Crown-of-thorns starfish, Acanthaster planci. Townsville: AIMS. 42 hlm.
123
Nadon MO, Stirling G. 2006. Field and simulation analyses of visual methods for sampling coral cover. Coral reefs 25:177-185. Neter J, Kunter MH, Nachtsheim CJ, Wasserman W. 1996. Applied Linear Statistical Models. Ed ke-4. Boston: Mc Graw Hill.1408 hlm. Nybakken JW. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Eidman M, Koesoebiono, Dietrich, Hutomo, Sukardjo, penerjemah; Jakarta: P.T. Gramedia. 325 hlm. Oliver J, Marshall P, Setiasih N, Hansen L. 2004. A global protocol for assessment and monitoring of coral bleaching. [Penang]: WorldFish Center and WWF Indonesia. 35 hlm. Ongkosongo OSR, Sukarno, 1986. Background to the study sites in the bay of Jakarta and Kepulauan Seribu. Di dalam: Brown BE, editor. Unesco report in marine science 40. Human induced damage to coral reefs. Paris: UNESCO. hlm. 56-79. Pichon M. 1995. Coral Reef Ecosystem. Encylopedia of Environmental Biology (1): 425-443. Portier KM, Fabi G, Darius PH. 2000. Chapter 2: Study Design and data analysis issues. Di dalam: Seaman JrW, editor. Artificial Reef Evaluation with Application to Natural Marine Habitats. Washington: CRC Pr. hlm. 21-50. Sammarco PW. 1982. Polyp bail-out: an escape response to environmental stress and a new means of reproduction in corals. Mar Ecol Prog Ser 10:57–65. Smith RL. 1990. Ecology and field biology. Ed ke-4. New York: HarperCollins. 922 hlm. Smith SV. 1978. Coral reef area and the contributions of reefs to processes and resources of the world’s oceans. Nature. 273 (2) : 225-228. Sokal, RR, Rohlf FJ. 1995. Biometry, The Principles and Practice of Statistics in Biological Research. Ed ke-3. New York: WH Freeman. 887 hlm. Suharsono. 1984. Reproduksi karang batu. Oseana IX(4): 116-123. Suharsono. 2007. Orasi pengukuhan Profesor Riset bidang Ilmu Oseanografi. Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI.112 hlm. Suharsono. 2008. Kesadaran masyrakat tentang terumbu karang (Kerusakan Karang di Indonesia). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. 77 hlm. Suharsono, Giyanto. 2006. A formulation approach to quantify the abundance of coral genera. Mar Res Indonesia 31:1-11. Sukarno, Hutomo M, Moosa MK, Darsono P. 1982. Terumbu karang di Indonesia. Sumber daya, permasalahan dan pengelolaannya. Jakarta: LON-LIPI. 112 hlm. Sukmara A, Siahainenia AJ, Rotinsulu C. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis-Masyarakat Dengan Metoda Manta Tow. Jakarta: Proyek Pesisir-CRMP Indonesia. 48 hlm.
124
Stoddart. 1986. Umbgrove’s islands revisited. Di dalam: Brown BE, editor. Unesco report in marine science 40. Human induced damage to coral reefs. Paris: UNESCO. hlm. 80-98. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of Indonesian Seas. Periplus, Java Book. VII (1): 144 –145. Veron JEN, AIMS. 1995. Corals in space and time: the biogeography and evolution of the Sceleractinia. Sydney: UNSW Pr. 321 hlm. Veron JEN. 2000a. Corals of the world. Vol 1. Townsville: AIMS. 463 hlm. Veron JEN. 2000b. Corals of the world. Vol 2. Townsville: AIMS. 429 hlm. Veron JEN. 2000c. Corals of the world. Vol 3. Townsville: AIMS. 490 hlm. Wikipedia. 2010. Coral. http://en.wikipedia.org/wiki/Coral [12 Agustus 2010]. White AT. 1987. Coral reefs: valuable resources of Southeast Asia. Manila: International Center for Living Aquatic Resources Management. 36 hlm. Zar JH. 1996. Biostatistical Analysis. Ed ke-2. New Jersey: Prentice-Hall. 662 hlm.
LAMPIRAN
127
Lampiran 1 Contoh pengelompokan kategori biota dan substrat 1.
Kelompok karang keras hidup (HC = Hard Coral)
Acropora acuminata
Acropora humilis
Acropora palifera
Acropora microphthalma
Millepora tenella
Seriatopora hystrix
Porites cylindrica
Echinopora horrida
128
Lampiran 1 (lanjutan)
Plerogyra simplex
Pachyseris rugosa
Pectinia lactuca
Pavona cactus
Echinopora lamellosa
Pachyseris speciosa
Turbinaria mesenterina
Lobophyllia hemprichii
129
Lampiran 1 (lanjutan)
Favites paraflexuosa
Lobophyllia corymbosa
Diploastrea heliopora
Leptoria phrygia
Goniopora lobata
Ctenactis echinata
Fungia horrida
Sandalolitha robusta
130
Lampiran 1 (lanjutan) 2. Kelompok karang mati (DS = Dead Scleractinia)
Karang yang baru mati
Karang yang baru mati
Karang yang baru mati
Karang yang baru mati
Karang mati yang telah ditumbuhi alga
Karang mati yang telah ditumbuhi alga
131
Lampiran 1 (lanjutan) 3. Kelompok alga (ALG = Algae)
Halimeda sp.
Caulerpa racemosa
Padina gymnospora
Sargassum sp.
Dictyota sp.
Alga halus (turf algae)
Turbinaria sp.
Alga halus (turf algae)
132
Lampiran 1 (lanjutan) 4. Kelompok fauna lain (OF = Other Fauna)
Crinoid (kiri) dan gorgonian (kanan)
Gorgonian
Ascidian
Sponge (Spon)
Gorgonian
Hydroid
Ascidian
Sponge (Spon)
133
Lampiran 1 (lanjutan)
Karang lunak (soft coral)
Karang lunak (soft coral)
Karang lunak (soft coral)
Anemon
5. Kelompok abiotik (ABI = Abiotic)
Pecahan karang (rubble)
Pasir (sand)
Pecahan karang (rubble)
134
Lampiran 2
Posisi koordinat stasiun penelitian dimasing-masing pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta Koordinat
Stasiun Nama pulau ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Semak Daun Air Kotok Besar Panjang Pantara Kecil (Hantu Kecil) Jukung Belanda Putri Tidung Tikus
Bujur Timur
Lintang Selatan
106° 33,97’ 106° 34,73’ 106° 31,87’ 106° 33,16’ 106° 31,81’ 106° 31,44’ 106° 36,14’ 106° 33,95’ 106° 28,39’ 106° 34,20’
05° 43,65’ 05° 45,61’ 05° 42,00’ 05° 38,82’ 05° 32,19’ 05° 34,10’ 05° 36,28’ 05° 35,47’ 05° 47,53’ 05° 51,54’
135
Lampiran 3
Lamanya waktu yang diperlukan baik untuk pengambilan data di lapangan maupun untuk pemasukan data dari masing-masing metode di setiap stasiun penelitian
(i). Lamanya waktu pengambilan data di lapangan (menit) Stasiun Lokasi ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Semak Daun Air Kotok Besar Panjang Pantara Kecil Jukung Belanda Putri Tidung Tikus
Rerata Kesalahan baku
BT
LIT
UPT
258 303 338 290 196 356 205 238 267 273
85 74 84 57 50 70 69 55 60 55
24 23 31 22 21 19 15 18 20 30
272,4 16,44
65,9 3,93
22,3 1,59
BT
LIT
UPT
208 212 262 234 165 272 185 191 223 220
114 100 112 91 67 98 94 72 83 65
753 716 768 789 709 751 795 669 757 634
217,2 10,48
89,6 5,54
734,1 16,42
(ii). Lamanya waktu pemasukan data (menit) Stasiun Lokasi ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Semak Daun Air Kotok Besar Panjang Pantara Kecil Jukung Belanda Putri Tidung Tikus
Rerata Kesalahan baku
Lampiran 4
Persentase tutupan masing-masing kelompok di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan metode yang digunakan (BT, LIT, UPT)
Stasiun
HC
DS
ALG
OF
ABI
BT
LIT
UPT
LIT
UPT
LIT
UPT
LIT
UPT
LIT
UPT
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
39,17 34,91 35,71 21,25 25,94 58,88 30,81 28,50 20,77 18,63
45,27 37,39 37,94 20,17 23,19 55,96 30,89 27,17 21,83 19,74
44,67 34,95 34,02 16,65 23,26 52,81 30,83 25,22 17,58 17,41
2,74 2,97 0,31 1,04 2,93 0,96 0,07 4,37 0,00 0,44
3,18 2,08 0,20 0,50 1,10 0,32 0,10 4,33 0,00 0,08
45,20 41,87 54,51 55,63 29,13 36,14 46,67 52,10 67,51 57,16
46,54 46,24 53,85 61,63 34,58 40,63 43,92 48,30 69,88 60,93
2,11 4,47 1,56 5,54 6,67 2,47 5,03 1,79 1,31 2,07
2,50 2,82 1,40 1,86 1,55 2,51 4,24 1,02 0,98 1,26
4,67 13,30 5,67 17,61 38,09 4,47 17,34 14,57 9,34 20,59
3,11 13,92 10,53 19,35 39,51 3,72 20,92 21,13 11,57 20,32
Rerata Kesalahan baku
31,46 3,75
31,95 3,82
29,74 3,85
1,58 0,49
1,19 0,48
48,59 3,53
50,65 3,42
3,30 0,61
2,01 0,32
14,57 3,19
16,41 3,34
Keterangan: 1. BT menggunakan panjang transek 70 m dan lebar transek 2 m, sehingga luas bidang pengamatan = (2x70) m2. 2. LIT menggunakan panjang transek 70 m. 3. UPT menggunakan panjang transek 70 m dan pemotretan diambil setiap 1 m, mulai meter ke-1 hingga meter ke-70.
137
Lampiran 5 Frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan metode Transek Sabuk (BT = Belt Transect) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Acanthastrea echinata
2
1
0
0
0
0
0
0
1
2
Acropora aspera
3
0
0
0
2
8
4
0
0
0
Acropora brueggemanni
0
0
0
0
7
1
0
2
0
0
Acropora carduus
5
0
0
0
0
0
6
0
0
0
Acropora cerealis
5
0
2
5
1
4
0
2
0
4
Acropora clathrata
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Acropora cytherea
6
2
1
4
3
12
1
1
9
6
Acropora digitifera
1
0
0
0
0
3
1
0
0
0
Acropora divaricata
10
13
6
7
6
15
1
2
2
1
Acropora echinata
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Acropora florida
14
3
5
3
5
10
1
3
11
1
Acropora formosa
4
1
0
1
20
2
2
8
0
1
Acropora gemmifera
6
1
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora humilis
9
2
10
13
1
3
6
2
12
3
Acropora hyacinthus
10
3
0
3
10
8
0
0
2
0
Acropora latistella
6
2
3
1
0
1
0
0
0
0
Acropora longicyathus
0
0
0
0
0
5
2
0
0
0
Acropora loripes
10
2
0
0
1
2
0
0
0
0
Acropora microphthalma
5
2
0
1
24
1
0
0
0
0
Acropora millepora
10
6
4
17
29
23
5
1
0
5
Acropora monticulosa
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora nasuta
7
5
1
10
14
1
4
0
1
0
Acropora palifera
0
2
0
0
3
0
1
0
0
0
Acropora paniculata
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Acropora prostrata
3
2
2
0
0
6
1
0
5
0
Acropora pulchra
3
0
0
0
3
6
0
0
0
1
Acropora samoensis
4
1
3
1
1
0
0
2
0
2
Acropora sarmentosa
2
3
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora secale
0
0
0
0
0
7
1
1
0
5
Acropora subglabra
3
0
2
0
0
1
1
9
0
0
Acropora tenuis
2
1
2
0
3
1
3
2
0
1
Acropora valida
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
Acropora verweyi
1
0
1
3
5
3
1
1
1
0
Acropora yongei
1
0
1
0
1
2
1
0
0
0
Acropora sp.
3
2
1
2
1
2
1
1
0
4
Alveopora catalai
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
Anacropora puertogalerae
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
Astreopora gracilis
3
0
3
1
0
0
0
1
3
1
Astreopora myriophthalma
4
2
5
3
0
2
0
1
3
4
Barabattoia amicorum
2
2
3
1
1
0
1
0
3
3
Caulastrea furcata
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
Coeloseris mayeri
9
16
18
20
1
33
3
0
9
11
Coscinaraea columna
2
0
0
1
1
0
0
0
0
0
Ctenactis crassa
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Ctenactis echinata
1
2
3
1
1
0
10
4
2
0
138
Lampiran 5 (lanjutan) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Cycloseris costulata
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Cyphastrea chalcidicum
21
40
31
43
23
18
6
14
11
16
Cyphastrea microphthalma
2
6
7
0
1
0
1
0
6
22
Cyphastrea serailia
9
12
23
19
7
9
5
7
6
15
Diploastrea heliopora
5
0
0
1
0
0
0
0
2
0
Echinopora gemmacea
2
5
2
3
0
1
5
2
0
1
Echinopora horrida
4
3
3
7
1
2
10
7
1
4
Echinopora lamellosa
1
12
19
13
6
17
26
3
6
3
Euphyllia ancora
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
Euphyllia glabrescens
1
1
15
1
0
17
9
1
5
16
Favia danae
0
0
0
3
0
1
2
2
0
0
Favia favus
3
1
1
0
0
0
0
1
1
0
Favia laxa
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
Favia maritima
0
0
1
0
0
0
0
0
5
3
Favia matthaii
0
1
6
6
1
6
1
0
16
9
Favia pallida
4
9
16
24
13
7
3
7
18
3
Favia rotumana
5
3
1
2
1
4
1
3
4
2
Favia rotundata
1
2
3
1
1
3
0
0
16
6
Favia speciosa
6
6
3
6
2
1
0
1
2
3
Favia stelligera
0
2
0
2
0
2
0
1
1
0
Favia veroni
1
1
6
0
0
0
1
1
0
0
Favia vietnamensis
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Favia sp.
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Favites abdita
1
1
2
3
1
1
0
1
4
1
Favites chinensis
1
1
0
2
0
0
0
0
0
0
Favites complanata
1
0
0
0
0
4
0
0
3
2
Favites flexuosa
0
3
0
0
1
0
1
0
10
0
Favites halicora
2
1
2
5
0
4
0
3
5
5
Favites paraflexuosa
1
1
2
3
0
1
0
0
0
2
Favites pentagona
3
0
4
0
1
0
0
0
0
0
Favites russelli
0
0
0
2
0
1
0
0
1
0
Favites sp.
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Fungia concinna
2
7
4
3
13
0
64
24
3
3
Fungia danai
3
0
0
0
1
1
3
3
1
0
Fungia fungites
3
1
0
0
2
1
17
7
2
0
Fungia paumotensis
3
5
0
1
3
0
40
80
1
2
Fungia repanda
0
0
0
0
8
0
16
0
0
3
Fungia sp.
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
Galaxea astreata
0
0
4
7
0
1
5
5
2
4
Galaxea fascicularis
13
15
26
17
10
32
4
5
6
13
Galaxea horrescens
0
0
0
0
0
0
0
2
0
1
Goniastrea edwardsi
7
2
28
16
4
6
2
3
9
3
Goniastrea favulus
9
8
3
5
1
0
0
2
12
3
Goniastrea palauensis
0
2
0
0
1
0
0
0
1
0
Goniastrea pectinata
2
12
14
11
1
9
4
5
14
15
Goniastrea ramosa
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Goniastrea retiformis
1
5
5
8
1
3
0
0
4
0
Goniastrea sp.
1
2
0
0
0
0
0
0
0
0
139
Lampiran 5 (lanjutan) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Goniopora columna
5
3
7
10
6
9
1
0
3
0
Goniopora djiboutiensis
1
0
4
2
0
2
1
0
0
0
Goniopora lobata
4
4
9
7
2
10
5
2
6
2
Goniopora minor
0
1
2
3
0
3
1
0
4
5
Goniopora stokesi
0
0
0
0
0
1
1
0
2
0
Goniopora tenuidens
1
0
0
0
0
0
0
2
0
0
Halomitra pileus
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Heliopora coerulea
7
4
3
4
4
2
2
1
0
0
Herpolitha limax
0
0
0
0
0
0
4
8
0
1
Herpolitha weberi
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Hydnophora exesa
1
0
2
0
0
10
1
0
11
2
Hydnophora microconos
0
1
3
3
0
2
0
0
0
0
Hydnophora pilosa
6
7
34
17
4
1
2
3
8
8
Hydnophora rigida
14
15
13
14
13
18
13
4
10
7
Leptastrea pruinosa
0
0
0
0
0
1
0
0
2
0
Leptastrea purpurea
3
0
3
0
4
0
0
0
14
0
Leptastrea transversa
5
1
6
4
1
3
0
1
5
11
Leptoria irregularis
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Leptoria phrygia
2
0
4
4
0
2
0
0
4
0
Lithophyllon undulatum
0
0
0
0
0
1
2
1
0
0
Lobophyllia corymbosa
1
0
0
3
0
0
0
0
0
0
Lobophyllia hataii
3
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Lobophyllia hemprichii
2
0
0
5
0
2
0
2
3
4
Merulina ampliata
1
0
0
3
1
1
2
6
1
2
Merulina scabricula
2
2
10
4
1
2
2
6
3
0
Millepora dichotoma
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
Millepora exesa
2
3
0
0
1
0
1
0
0
0
Millepora platyphylla
0
3
0
0
1
1
0
7
0
0
Millepora tenella
11
11
10
8
0
1
8
14
3
0
Montastrea curta
7
2
2
0
0
1
0
0
0
0
Montastrea valenciennesi
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
Montipora aequituberculata
4
1
0
0
0
13
0
0
0
0
Montipora caliculata
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Montipora capricornis
0
0
0
0
0
10
0
0
0
1
Montipora confusa
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Montipora crassituberculata
0
0
0
0
0
0
0
10
0
5
Montipora danae
0
0
1
1
1
0
1
0
5
0
Montipora digitata
2
13
7
2
7
25
3
0
3
3
Montipora foliosa
32
40
24
15
25
42
13
41
6
13
Montipora grisea
0
0
0
1
1
0
0
1
2
0
Montipora hispida
1
1
2
0
1
15
0
1
0
0
Montipora informis
8
5
28
24
10
37
1
6
28
25
Montipora millepora
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Montipora monasteriata
3
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Montipora nodosa
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Montipora peltiformis
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Montipora turgescens
2
3
0
0
3
2
0
1
0
4
Montipora undata
1
0
1
0
6
0
0
1
1
0
140
Lampiran 5 (lanjutan) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Montipora venosa
2
2
0
13
2
1
0
0
38
36
Montipora sp.
0
1
2
2
2
0
0
0
2
0
Mycedium elephantotus
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
Oulophyllia crispa
1
0
0
0
1
0
0
0
3
0
Oxypora crassispinosa
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Oxypora lacera
1
0
3
0
0
0
3
2
0
1
Pachyseris rugosa
6
2
1
4
0
0
2
4
2
2
Pachyseris speciosa
5
2
1
3
1
0
8
6
0
1
Pavona cactus
0
1
1
0
1
2
25
26
0
0
Pavona clavus
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
Pavona decussata
3
3
0
2
5
4
5
17
0
6
Pavona frondifera
1
0
0
0
2
2
0
0
0
0
Pavona varians
1
0
1
1
3
0
0
1
2
2
Pavona venosa
3
0
0
0
0
0
2
0
1
1
Pectinia alcicornis
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
Pectinia lactuca
3
0
0
0
0
1
4
6
0
1
Pectinia paeonia
0
0
0
0
0
0
1
4
0
0
Physogyra lichtensteini
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Platygyra daedalea
3
0
0
0
0
2
0
0
0
0
Platygyra lamellina
9
1
1
2
0
4
1
0
6
1
Platygyra pini
6
4
4
3
1
7
0
3
14
2
Platygyra sinensis
3
0
1
1
1
1
0
0
2
2
Plerogyra sinuosa
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Pocillopora damicornis
4
3
5
8
4
13
0
1
5
4
Pocillopora eydouxi
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
Pocillopora verrucosa
3
0
1
5
0
4
0
0
3
0
Podabacia crustacea
0
2
1
0
1
2
2
2
2
1
Polyphyllia talpina
2
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Porites annae
0
0
3
4
6
3
1
1
1
0
Porites cylindrica
17
32
28
19
9
11
22
30
1
14
Porites lichen
4
4
14
7
2
1
1
1
6
8
Porites lobata
6
11
22
4
18
1
0
2
12
19
Porites lutea
48
43
99
61
42
71
13
17
128
97
Porites negrosensis
0
0
8
2
2
2
0
0
0
0
Porites nigrescens
2
4
13
3
6
11
56
10
4
0
Porites rus
25
95
31
14
12
35
7
34
5
36
Porites solida
0
1
4
3
0
1
0
0
33
18
Porites sp.
4
0
0
0
7
0
0
0
0
0
Psammocora contigua
1
9
3
0
2
13
2
2
0
1
Psammocora digitata
0
1
0
3
0
5
1
2
0
0
Pseudosiderastrea tayami
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
Sandalolitha robusta
5
2
1
3
1
0
4
2
2
4
Scapophyllia cylindrica
1
0
0
1
0
0
0
0
0
1
Scolymia australis
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
Seriatopora hystrix
16
17
3
16
17
44
11
3
2
2
Stylocoeniella armata
0
2
0
0
0
0
1
0
0
1
Stylophora pistillata
7
0
4
16
0
6
0
3
0
0
Symphyllia agaricia
1
1
4
8
0
0
2
0
1
2
Symphyllia radians
16
2
8
2
0
1
0
0
3
7
141
Lampiran 5 (lanjutan) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Symphyllia recta
1
5
0
3
1
2
0
1
4
0
Symphyllia valenciennesi
0
0
2
0
0
0
1
0
1
1
Tubastrea faulkneri Turbinaria peltata
0 2
1 0
0 1
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
1 1
0 0
626
621
760
670
491
785
529
536
657
584
Total frekuensi kehadiran (N)
Keterangan: Frekuensi kehadiran dihitung berdasarkan penggunaan metode BT dengan panjang transek 70 m dan lebar transek 2 m, sehingga luas bidang pengamatan = (2x70) m2.
142
Lampiran 6
Frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan metode Transek Garis Intersep (LIT = Line Intercept Transect)
Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Acropora aspera
2
0
0
0
1
0
3
0
0
0
Acropora brueggemanni
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
Acropora carduus
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
Acropora cerealis
1
0
0
2
1
2
0
0
0
0
Acropora clathrata
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora cytherea
6
0
0
1
0
3
0
0
2
1
Acropora digitifera
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Acropora divaricata
6
3
2
1
3
8
0
1
1
0
Acropora florida
4
1
5
1
2
4
0
1
3
0
Acropora formosa
8
2
0
0
4
0
1
7
0
0
Acropora gemmifera
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora humilis
0
0
5
2
0
1
1
0
4
0
Acropora hyacinthus
1
1
0
0
3
1
0
0
0
0
Acropora latistella
4
2
3
1
0
3
0
0
0
0
Acropora longicyathus
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
Acropora loripes
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Acropora microphthalma
1
0
0
0
8
0
0
0
0
0
Acropora millepora
2
2
0
3
2
10
0
0
0
0
Acropora nasuta
4
2
1
3
1
1
0
0
0
0
Acropora prostrata
3
1
1
0
0
2
0
0
0
0
Acropora pulchra
3
0
0
0
4
3
0
0
0
0
Acropora sarmentosa
2
1
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora secale
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Acropora subglabra
3
0
0
0
0
0
1
1
0
0
Acropora tenuis
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Acropora verweyi
0
0
0
0
1
2
0
0
0
0
Acropora yongei
2
0
1
0
2
2
0
0
0
0
Acropora sp.
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
Alveopora catalai
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Anacropora puertogalerae
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Astreopora myriophthalma
1
0
2
0
0
0
0
0
0
1
Barabattoia amicorum
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Coeloseris mayeri
2
1
6
3
0
2
0
0
2
0
Ctenactis echinata
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Cyphastrea chalcidicum
14
17
20
9
1
5
2
1
3
6
Cyphastrea microphthalma
0
1
3
0
0
0
0
0
0
4
Cyphastrea serailia
3
3
3
1
0
3
0
0
0
2
Diploastrea heliopora
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Echinopora gemmacea
1
2
0
1
0
2
0
0
0
0
Echinopora horrida
0
0
1
1
0
1
1
4
0
0
Echinopora lamellosa
1
1
2
3
0
7
12
1
1
0
Euphyllia glabrescens
0
0
0
0
0
2
0
0
1
2
Favia favus
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
Favia matthaii
0
0
2
0
0
0
0
0
1
0
Favia pallida
1
1
5
3
1
1
1
1
2
2
Favia rotumana
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Favia rotundata
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
143
Lampiran 6 (lanjutan) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Favia speciosa
1
0
0
1
1
1
0
0
1
1
Favia veroni
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
Favites abdita
0
0
0
1
0
1
0
0
0
1
Favites complanata
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Favites flexuosa
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Favites halicora
3
2
2
0
0
1
0
0
1
0
Favites paraflexuosa
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Favites pentagona
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Fungia concinna
0
0
0
1
0
0
9
8
1
0
Fungia fungites
0
0
0
0
0
0
4
1
2
0
Fungia paumotensis
0
1
0
0
0
0
6
11
0
0
Fungia repanda
0
0
0
0
2
0
2
0
0
0
Galaxea astreata
0
0
0
1
0
1
1
1
1
1
Galaxea fascicularis
2
2
3
2
2
5
0
1
1
0
Goniastrea edwardsi
2
1
5
1
0
4
0
0
0
1
Goniastrea favulus
1
0
0
1
0
0
0
0
4
1
Goniastrea palauensis
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
Goniastrea pectinata
2
2
2
1
0
1
0
1
2
1
Goniastrea ramosa
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Goniastrea retiformis
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Goniopora columna
0
1
0
0
2
0
0
0
0
0
Goniopora lobata
0
2
1
2
1
1
2
1
0
0
Goniopora minor
0
1
2
1
0
0
0
0
0
0
Goniopora tenuidens
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Heliopora coerulea
3
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Herpolitha limax
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
Hydnophora exesa
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
Hydnophora pilosa
1
2
10
5
0
2
0
0
1
1
Hydnophora rigida
4
4
3
3
2
1
6
0
1
0
Leptastrea purpurea
2
0
1
0
0
0
0
0
1
0
Leptastrea transversa
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Leptoria phrygia
1
0
1
2
0
0
0
0
0
0
Lobophyllia hemprichii
2
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Merulina ampliata
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Merulina scabricula
0
0
1
0
0
0
0
3
0
0
Millepora exesa
4
2
0
0
0
0
0
0
0
0
Millepora platyphylla
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Millepora tenella
2
0
2
0
0
0
4
6
0
0
Montastrea curta
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Montipora aequituberculata
1
0
0
0
0
5
0
0
0
0
Montipora caliculata
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Montipora capricornis
0
0
0
0
0
9
0
0
0
0
Montipora confusa
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Montipora crassituberculata
0
0
0
0
0
0
0
2
0
1
Montipora danae
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
Montipora digitata
0
3
2
0
1
12
0
0
0
0
Montipora foliosa
10
8
2
2
3
13
0
17
1
0
Montipora hispida
1
1
0
0
0
1
0
1
0
0
Montipora informis
5
4
7
2
2
9
1
0
5
8
144
Lampiran 6 (lanjutan) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Montipora monasteriata
3
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Montipora turgescens
1
2
0
0
0
1
0
0
0
7
Montipora undata
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Montipora venosa
1
2
0
4
0
0
0
0
16
12
Montipora sp.
0
1
2
2
0
0
0
0
1
0
Oxypora lacera
0
0
2
0
0
0
1
0
0
0
Pachyseris rugosa
2
0
0
0
0
0
1
0
2
0
Pachyseris speciosa
5
1
0
1
0
0
4
0
0
0
Pavona cactus
0
0
0
0
0
0
16
16
0
0
Pavona clavus
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
Pavona decussata
0
1
0
1
0
1
1
1
0
0
Pavona frondifera
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Pavona varians
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
Pavona venosa
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Pectinia lactuca
0
0
0
0
0
0
3
1
0
0
Pectinia paeonia
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Platygyra daedalea
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Platygyra lamellina
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Platygyra pini
3
3
0
1
0
0
0
1
0
1
Platygyra sinensis
3
0
0
1
1
1
0
0
0
0
Pocillopora damicornis
0
0
0
1
0
0
0
0
2
0
Pocillopora eydouxi
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Pocillopora verrucosa
1
0
0
0
0
2
0
0
0
0
Porites annae
0
0
1
1
5
6
3
3
1
0
Porites cylindrica
6
11
10
4
2
3
9
9
1
3
Porites lichen
1
0
1
0
2
4
1
1
3
1
Porites lobata
5
9
14
3
3
3
0
0
4
5
Porites lutea
14
11
22
11
11
12
2
3
23
17
Porites negrosensis
0
0
2
1
1
0
0
0
0
0
Porites nigrescens
0
2
3
0
0
1
30
2
2
0
Porites rus
2
44
21
4
10
6
3
8
0
7
Porites solida
0
1
0
0
0
0
0
0
7
2
Psammocora contigua
0
0
1
0
0
1
1
0
0
0
Psammocora digitata
0
1
0
0
0
2
0
0
0
0
Sandalolitha robusta
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Seriatopora hystrix
3
4
1
2
1
5
0
0
1
0
Stylophora pistillata
1
0
2
2
0
2
0
0
0
0
Symphyllia agaricia
1
1
2
3
0
0
0
0
0
2
Symphyllia radians
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Symphyllia recta Turbinaria peltata
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 0
183
172
197
109
91
192
139
120
113
100
Total frekuensi kehadiran (N)
Keterangan: Frekuensi kehadiran dihitung berdasarkan penggunaan metode LIT dengan panjang transek 70 m
145
Lampiran 7
Frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian dengan menggunakan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect)
Jenis Acropora aspera Acropora brueggemanni Acropora carduus Acropora cerealis Acropora clathrata Acropora cytherea Acropora digitifera Acropora divaricata Acropora florida Acropora formosa Acropora gemmifera Acropora humilis Acropora hyacinthus Acropora latistella Acropora longicyathus Acropora loripes Acropora microphthalma Acropora millepora Acropora monticulosa Acropora nasuta Acropora palifera Acropora prostrata Acropora pulchra Acropora samoensis Acropora sarmentosa Acropora secale Acropora subglabra Acropora tenuis Acropora valida Acropora verweyi Acropora yongei Acropora sp. Alveopora catalai Anacropora puertogalerae Astreopora gracilis Astreopora myriophthalma Barabattoia amicorum Caulastrea furcata Coeloseris mayeri Ctenactis echinata Cyphastrea chalcidicum Cyphastrea microphthalma Cyphastrea serailia Diploastrea heliopora Echinopora gemmacea Echinopora horrida Echinopora lamellosa Euphyllia glabrescens Favia favus Favia laxa Favia maritima Favia matthaii
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
7 0 0 3 1 12 0 7 5 10 1 3 2 4 0 0 3 1 1 4 0 1 3 1 2 0 1 0 0 1 1 8 0 0 0 5 1 0 2 0 30 1 2 2 1 0 3 0 2 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 3 1 2 0 0 2 2 0 0 0 1 0 2 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 2 0 0 1 0 26 3 8 0 4 0 3 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 2 4 0 0 3 0 2 0 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 5 0 0 0 0 1 0 5 0 47 4 6 0 1 2 7 8 1 1 2 3
0 0 0 2 0 1 0 2 3 0 0 4 1 3 0 0 1 3 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 10 0 0 1 1 0 0 7 0 34 0 0 1 0 0 5 1 0 0 0 3
2 4 0 1 0 0 0 3 3 10 0 0 3 0 0 0 35 8 0 1 2 0 3 0 0 0 0 2 0 2 1 5 0 0 0 0 0 0 1 0 9 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2
0 1 0 1 0 8 4 11 7 0 0 2 5 4 0 1 7 18 0 2 0 3 10 0 0 1 4 0 0 3 3 13 1 1 0 0 0 0 12 0 17 0 5 0 4 0 17 10 0 0 0 7
6 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 4 0 0 0 0 2 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 3 0 0 0 0 0 1 1 6 3 0 0 0 2 3 22 3 0 0 0 1
0 0 0 1 0 0 0 0 1 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 1 0 3 0 0 0 2 0 0 0 4 3 0 2 0 0 2 1 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 2 0 2 2 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 2 2 4 0 0 0 2 2 1 0 0 7
0 0 0 2 0 1 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 2 1 0 0 0 6 3 7 0 0 2 0 3 0 0 0 8
146
Lampiran 7 (lanjutan) Jenis Favia pallida Favia rotumana Favia rotundata Favia speciosa Favia veroni Favia vietnamensis Favia sp. Favites abdita Favites chinensis Favites complanata Favites flexuosa Favites halicora Favites paraflexuosa Favites pentagona Favites russelli Favites sp. Fungia concinna Fungia danai Fungia fungites Fungia paumotensis Fungia repanda Fungia sp. Galaxea astreata Galaxea fascicularis Goniastrea edwardsi Goniastrea favulus Goniastrea palauensis Goniastrea pectinata Goniastrea ramosa Goniastrea retiformis Goniastrea sp. Goniopora columna Goniopora lobata Goniopora minor Goniopora stokesi Goniopora tenuidens Heliopora coerulea Herpolitha limax Herpolitha weberi Hydnophora exesa Hydnophora microconos Hydnophora pilosa Hydnophora rigida Leptastrea pruinosa Leptastrea purpurea Leptastrea transversa Leptoria irregularis Leptoria phrygia Lithophyllon undulatum Lobophyllia hataii Lobophyllia hemprichii Merulina ampliata Merulina scabricula Millepora dichotoma Millepora exesa
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
3 0 0 1 1 0 2 3 1 0 0 4 1 1 0 4 0 3 3 0 0 0 0 8 6 2 0 4 0 1 1 1 0 1 0 1 6 0 0 1 0 1 4 0 3 0 0 1 0 0 6 0 0 0 3
9 2 0 2 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 2 0 1 0 8 2 3 0 4 0 0 1 1 3 1 0 0 2 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4
21 3 3 0 1 1 0 11 0 0 0 6 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 18 0 0 11 0 0 0 5 2 2 0 0 0 0 0 0 0 8 6 0 2 1 1 1 0 0 0 0 4 1 0
17 2 0 4 0 0 0 5 0 0 0 3 4 0 1 0 0 0 0 1 0 0 4 6 13 1 0 3 0 1 0 3 4 3 0 0 3 0 0 0 0 1 6 0 0 4 0 3 0 0 5 2 1 1 0
3 4 1 2 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 7 2 0 3 1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 6 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 0 7 0 3 0 5 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 24 4 0 0 4 0 1 0 0 9 0 1 0 1 0 0 4 1 5 7 3 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 57 2 20 19 6 0 3 0 2 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 1 1 0 1 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
3 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 0 0 0 0 37 4 11 41 0 0 1 2 3 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 2 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0
4 6 2 3 0 0 0 1 0 4 2 3 0 0 2 0 3 1 0 0 0 1 0 2 1 1 0 6 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 3 0 0 5 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0
3 1 0 1 0 0 0 0 0 2 0 5 1 0 0 0 2 0 0 0 0 0 2 5 6 1 0 3 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 2 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
147
Lampiran 7 (lanjutan) Jenis Millepora platyphylla Millepora tenella Montastrea curta Montastrea valenciennesi Montipora aequituberculata Montipora caliculata Montipora capricornis Montipora confusa Montipora crassituberculata Montipora danae Montipora digitata Montipora foliosa Montipora hispida Montipora informis Montipora millepora Montipora monasteriata Montipora nodosa Montipora peltiformis Montipora turgescens Montipora undata Montipora venosa Montipora sp. Mycedium elephantotus Oxypora lacera Pachyseris rugosa Pachyseris speciosa Pavona cactus Pavona clavus Pavona decussata Pavona frondifera Pavona varians Pavona venosa Pectinia alcicornis Pectinia lactuca Platygyra daedalea Platygyra lamellina Platygyra pini Platygyra sinensis Pocillopora damicornis Pocillopora eydouxi Pocillopora verrucosa Porites annae Porites cylindrica Porites lichen Porites lobata Porites lutea Porites negrosensis Porites nigrescens Porites rus Porites solida Porites sp. Psammocora contigua Psammocora digitata Sandalolitha robusta Scolymia australis Seriatopora hystrix
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
0 9 0 0 1 0 0 0 0 0 1 42 1 18 1 0 0 1 1 1 0 16 0 0 3 9 0 0 0 1 0 1 0 0 2 1 3 1 2 0 3 0 13 4 15 27 0 1 6 0 4 0 0 0 0 7
0 2 1 2 1 0 0 0 0 0 3 28 0 6 0 0 0 0 3 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 15 8 9 32 0 0 75 1 0 1 0 1 0 7
0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 11 12 2 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 1 0 0 0 3 18 4 17 55 0 4 46 3 0 1 0 0 1 0
0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 0 29 0 0 0 0 0 0 10 1 0 0 2 3 0 0 2 0 0 0 0 0 0 2 2 1 0 0 0 4 14 7 1 38 2 3 14 1 0 0 0 0 2 6
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 10 0 7 0 0 0 0 0 3 1 4 0 0 0 0 0 2 2 1 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 29 2 17 2 14 2 1 38 0 0 0 0 0 0 10
0 1 1 0 8 0 23 0 0 0 28 81 1 46 0 0 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 1 2 2 0 8 0 1 28 3 36 8 46 0 13 23 1 0 3 2 0 0 27
0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 4 12 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 5 21 0 1 0 0 3 0 2 0 0 0 0 0 0 0 9 11 6 0 11 0 92 13 0 0 2 0 0 0 12
1 10 0 0 0 0 0 0 5 0 0 47 0 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 27 0 4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 12 19 3 3 12 0 18 15 0 0 1 0 1 0 1
0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 6 0 15 0 0 0 0 0 1 35 4 0 0 3 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 1 1 0 3 1 0 2 0 12 4 48 0 5 3 5 0 0 0 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 5 0 13 0 1 0 0 3 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 6 11 7 50 0 0 23 4 0 1 0 0 0 0
148
Lampiran 7 (lanjutan) Jenis Stylocoeniella armata Stylophora pistillata Symphyllia agaricia Symphyllia radians Symphyllia recta Symphyllia valenciennesi Total frekuensi kehadiran (N)
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
0 4 8 6 0 0
2 0 1 1 1 0
0 0 1 2 0 0
0 3 7 1 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 2 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 1 1
0 0 2 2 0 0
421
331
442
358
291
674
411
336
247
231
Keterangan: Frekuensi kehadiran dihitung berdasarkan penggunaan metode UPT dengan panjang transek 70 m dan pemotretan diambil setiap 1 m, mulai meter ke-1 hingga meter ke-70.
149
Lampiran 8
Stasiun ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Jumlah jenis (S), nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan nilai indeks kemerataan Piellou (J’) dari karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan metode pengambilan sampel yang digunakan S
H'
J'
BT
LIT
UPT
BT
LIT
UPT
BT
LIT
UPT
128 101 103 104 94 108 93 90 98 89
65 47 51 52 36 61 35 35 42 34
94 64 67 71 57 81 57 53 60 50
4,363 3,774 3,910 4,078 3,908 3,969 3,695 3,702 3,795 3,723
3,843 3,095 3,388 3,672 3,262 3,734 2,953 3,000 3,160 3,027
3,949 3,232 3,461 3,673 3,377 3,665 3,128 3,146 3,360 3,219
0,899 0,818 0,844 0,878 0,860 0,848 0,815 0,823 0,828 0,829
0,921 0,804 0,862 0,929 0,910 0,908 0,831 0,844 0,845 0,858
0,869 0,777 0,823 0,862 0,835 0,834 0,774 0,792 0,821 0,823
Keterangan: 1. BT menggunakan panjang transek 70 m dan lebar transek 2 m, sehingga luas bidang pengamatan = (2 x 70) m2. 2. LIT menggunakan panjang transek 70 m. 3. UPT menggunakan panjang transek 70 m dan pemotretan diambil setiap 1 m, mulai meter ke-1 hingga meter ke-70.
Lampiran 9
Lamanya waktu (menit) analisis data setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
1 2
1 2
1 3
2 4
4 6
5 8
8 12
10 13
14 15
1 1
1 2
2 4
3 6
5 7
7 10
9 12
11 17
3
1
2
3
5
8
12
16
19
1
3
5
7
8
13
15
18
4
2
3
5
6
7
12
14
15
2
2
4
7
7
10
13
16
5
2
3
4
4
6
9
12
12
1
2
3
4
5
7
10
14
6
1
2
4
5
8
9
12
10
1
2
4
4
6
8
10
12
7
1
2
4
5
7
10
12
12
1
2
3
6
7
9
12
14
8
2
3
4
4
7
10
14
13
1
2
3
5
6
9
13
14
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
9
2
3
4
7
7
11
12
14
2
2
4
7
8
11
14
16
10
2
2
4
8
8
9
13
17
2
3
5
7
8
11
16
20
11
1
3
4
7
8
11
15
16
1
2
3
5
7
10
13
14
12
1
2
2
3
4
5
6
5
1
2
3
3
4
5
6
7
13
1
2
2
2
4
5
5
6
1
2
2
4
4
5
6
9
14
1
3
3
6
6
8
10
9
1
2
3
4
6
7
9
8
15
2
3
5
5
7
9
12
13
1
2
4
5
6
8
10
11
16
1
1
2
4
5
5
6
6
1
2
3
4
5
6
8
9
17
2
3
3
3
6
7
9
8
1
2
3
4
5
6
8
10
18
1
3
4
6
7
9
13
12
2
2
3
5
7
9
10
15
Lampiran 9 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
19 20
1 1
2 2
4 3
4 4
5 5
6 7
7 8
7 5
1 1
2 2
3 3
3 4
4 4
5 5
21
2
3
4
5
6
8
11
8
1
2
3
3
6
7
9
10
22
2
2
5
6
7
10
15
18
2
3
4
6
7
9
12
20
23
1
3
5
7
8
8
10
14
2
2
4
6
7
9
13
17
24
2
2
4
4
8
9
12
12
1
2
3
5
7
8
10
12
25
1
1
2
2
3
5
7
7
1
2
2
3
5
5
6
7
26
1
1
1
2
3
4
4
4
1
1
2
2
3
3
4
6
27
1
1
2
2
3
3
4
4
1
1
2
2
3
3
4
5
28
1
1
1
3
5
5
6
7
1
2
2
3
3
4
5
10
29
1
1
3
3
4
4
6
4
1
2
3
4
5
6
6
4
30
1
2
4
5
6
8
12
13
1
2
3
5
8
9
10
16
31
1
2
4
4
6
8
10
9
1
2
3
4
5
7
8
8
32
1
1
2
3
5
5
8
7
1
3
4
4
4
7
8
8
33
1
2
2
3
3
4
6
5
1
1
2
2
3
4
5
5
34
1
2
3
4
6
7
12
9
1
2
3
4
6
7
10
11
35
1
2
3
6
7
10
12
13
1
3
4
4
7
9
10
14
36
1
1
2
3
4
6
9
7
1
2
4
6
6
7
10
10
37
2
2
4
6
7
8
11
7
1
2
3
4
5
7
10
8
38
1
1
3
4
5
6
10
8
1
2
3
4
5
7
11
8
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
6 7
5 5
Lampiran 9 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
39 40
1 2
2 2
3 4
5 5
5 5
7 6
10 7
12 7
1 1
2 2
3 3
5 3
5 5
6 7
9 8
12 9
41
1
2
4
4
6
9
12
12
1
2
3
4
6
8
12
12
42
1
2
4
5
5
6
8
8
1
2
3
4
6
7
9
10
43
1
2
3
4
5
6
8
7
1
2
2
3
5
6
7
8
44
1
2
4
4
6
7
12
10
1
2
3
4
7
9
11
13
45
1
2
3
5
7
9
12
12
1
2
4
6
6
7
9
8
46
1
2
4
4
5
7
12
15
1
2
3
5
6
9
11
13
47
1
2
3
4
5
7
10
11
1
3
5
6
7
9
11
13
48
1
1
3
5
6
8
11
8
1
2
3
4
5
7
9
11
49
1
2
3
3
4
5
7
9
1
2
3
5
5
6
7
8
50
1
1
2
3
4
6
7
7
1
2
2
3
4
5
6
7
51
1
3
4
6
6
8
11
13
1
2
3
4
7
8
10
14
52
1
2
3
3
6
9
11
8
1
1
3
4
6
8
11
10
53
1
2
4
5
6
7
11
10
1
3
4
5
6
7
9
12
54
1
2
3
4
6
10
15
12
1
2
3
6
7
10
14
15
55
1
1
2
3
5
8
11
7
1
2
2
4
5
7
9
9
56
1
1
2
3
5
6
8
5
1
2
2
3
4
6
7
5
57
1
2
3
4
6
7
10
14
1
1
2
4
5
6
9
15
58
1
2
3
4
6
7
9
11
1
2
3
4
6
7
8
11
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
Lampiran 9 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
59 60
1 1
1 2
2 3
4 4
5 4
7 6
8 8
6 8
1 1
1 2
2 3
4 3
5 4
6 6
61
1
2
2
4
5
6
9
6
1
2
3
4
5
6
9
7
62
1
2
3
4
6
9
12
7
1
2
3
5
6
8
10
9
63
1
2
3
3
5
5
6
5
1
1
2
4
5
6
8
6
64
1
2
3
4
7
8
9
9
1
2
3
6
6
7
8
8
65
1
2
3
5
5
7
10
12
1
2
4
5
6
9
12
12
66
1
2
4
5
7
8
9
13
1
3
3
4
5
7
9
10
67
1
2
4
6
6
7
11
11
1
2
4
6
7
8
11
14
68
1
2
3
5
6
7
11
11
1
2
4
4
7
8
11
13
69
1
1
3
3
4
5
8
6
1
2
3
5
5
6
8
8
70
1
2
4
4
5
6
9
12
1
2
3
5
6
8
9
12
Rerata
1,19
1,96
3,21
4,34
5,69
7,40
9,94
9,83
1,09
2,00
3,10
4,41
5,63
7,27
9,37
10,73
Kesalahan baku
0,05
0,08
0,11
0,15
0,16
0,24
0,33
0,43
0,03
0,06
0,09
0,14
0,15
0,22
0,30
0,45
Frame
Keterangan: pemasukan data berikut nama jenis dari karang keras.
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
8 9
6 7
Lampiran 10 Persentase tutupan kelompok karang keras (HC) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
1
100,00
90,00
90,00
96,67
92,50
92,00
95,00
87,91
80,00
90,00
85,00
93,33
82,50
88,00
91,67
85,94
2
80,00
90,00
75,00
76,67
75,00
66,00
71,67
65,40
80,00
70,00
70,00
73,33
80,00
76,00
75,00
65,61
3
80,00
60,00
75,00
70,00
72,50
74,00
65,00
56,76
60,00
70,00
65,00
53,33
60,00
70,00
68,33
56,00
4
80,00
40,00
60,00
53,33
55,00
52,00
48,33
42,08
80,00
40,00
50,00
50,00
65,00
40,00
58,33
44,39
5
80,00
80,00
95,00
90,00
82,50
90,00
93,33
85,00
80,00
80,00
80,00
83,33
82,50
80,00
80,00
80,78
6
60,00
80,00
80,00
86,67
90,00
72,00
75,00
74,72
60,00
70,00
75,00
73,33
60,00
76,00
73,33
72,94
7
60,00
50,00
35,00
50,00
65,00
66,00
56,67
50,45
80,00
70,00
60,00
63,33
62,50
60,00
63,33
60,69
8
80,00
70,00
65,00
73,33
55,00
80,00
66,67
65,20
80,00
60,00
65,00
70,00
80,00
74,00
83,33
71,27
9
80,00
70,00
90,00
86,67
90,00
88,00
88,33
86,20
100,00
90,00
95,00
90,00
72,50
88,00
85,00
83,99
10
80,00
80,00
95,00
73,33
90,00
82,00
86,67
86,68
80,00
100,00
90,00
90,00
90,00
88,00
85,00
84,81
11
100,00
90,00
100,00
90,00
95,00
96,00
96,67
88,99
80,00
90,00
80,00
90,00
92,50
92,00
93,33
85,38
12
100,00
100,00
100,00
100,00
97,50
98,00
98,33
99,40
100,00
100,00
95,00
93,33
97,50
98,00
96,67
96,94
13
0,00
10,00
5,00
6,67
7,50
8,00
6,67
5,97
20,00
10,00
25,00
20,00
22,50
24,00
13,33
17,64
14
80,00
80,00
85,00
80,00
80,00
82,00
86,67
80,35
80,00
60,00
95,00
76,67
82,50
72,00
80,00
76,75
15
60,00
50,00
60,00
63,33
65,00
56,00
65,00
54,65
80,00
70,00
75,00
66,67
60,00
68,00
68,33
63,88
16
100,00
100,00
100,00
100,00
97,50
98,00
98,33
97,62
100,00
80,00
95,00
86,67
97,50
94,00
96,67
95,80
17
80,00
70,00
60,00
80,00
80,00
64,00
75,00
68,91
80,00
90,00
75,00
53,33
67,50
72,00
73,33
73,24
18
60,00
40,00
45,00
43,33
45,00
52,00
48,33
39,16
40,00
50,00
40,00
53,33
45,00
56,00
43,33
38,84
Lampiran 10 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
19
80,00
80,00
85,00
86,67
92,50
86,00
90,00
86,92
100,00
100,00
95,00
90,00
97,50
96,00
93,33
88,59
20
100,00
100,00
100,00
96,67
97,50
98,00
98,33
97,95
100,00
100,00
95,00
93,33
97,50
98,00
100,00
98,54
21
40,00
50,00
55,00
50,00
50,00
46,00
43,33
44,65
40,00
80,00
65,00
43,33
55,00
52,00
71,67
50,59
22
80,00
90,00
75,00
70,00
55,00
66,00
76,67
65,06
60,00
80,00
50,00
66,67
85,00
72,00
81,67
70,69
23
40,00
30,00
25,00
46,67
57,50
48,00
40,00
35,88
60,00
40,00
60,00
56,67
45,00
42,00
43,33
41,67
24
60,00
80,00
70,00
56,67
67,50
58,00
58,33
52,15
40,00
60,00
80,00
70,00
65,00
56,00
68,33
56,84
25
0,00
0,00
10,00
3,33
2,50
6,00
6,67
4,48
20,00
0,00
5,00
6,67
17,50
10,00
15,00
10,71
26
0,00
0,00
5,00
6,67
2,50
2,00
3,33
2,17
0,00
0,00
10,00
6,67
5,00
6,00
3,33
2,65
27
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
20,00
10,00
5,00
3,33
2,50
4,00
5,00
3,99
28
0,00
20,00
5,00
3,33
15,00
14,00
18,33
6,70
0,00
30,00
10,00
13,33
7,50
4,00
6,67
8,51
29
20,00
30,00
40,00
40,00
40,00
32,00
30,00
39,27
20,00
30,00
25,00
40,00
42,50
36,00
38,33
32,38
30
40,00
50,00
75,00
60,00
47,50
64,00
51,67
52,53
20,00
70,00
60,00
60,00
62,50
64,00
50,00
54,58
31
40,00
50,00
25,00
23,33
30,00
40,00
35,00
30,93
60,00
20,00
30,00
36,67
20,00
34,00
31,67
31,18
32
0,00
20,00
5,00
6,67
20,00
10,00
16,67
10,54
0,00
10,00
30,00
13,33
7,50
10,00
20,00
9,48
33
20,00
20,00
10,00
16,67
12,50
28,00
23,33
13,53
40,00
50,00
25,00
30,00
15,00
22,00
23,33
18,97
34
80,00
60,00
80,00
53,33
67,50
70,00
71,67
59,60
80,00
80,00
85,00
70,00
57,50
60,00
51,67
51,93
35
60,00
60,00
60,00
63,33
72,50
54,00
61,67
54,74
80,00
70,00
45,00
60,00
57,50
70,00
66,67
54,48
36
100,00
90,00
100,00
100,00
100,00
98,00
100,00
94,01
100,00
80,00
80,00
100,00
92,50
92,00
93,33
91,25
37
80,00
70,00
60,00
56,67
35,00
58,00
45,00
41,15
20,00
40,00
25,00
36,67
30,00
40,00
43,33
35,17
38
60,00
60,00
65,00
70,00
72,50
70,00
61,67
62,18
100,00
60,00
65,00
76,67
75,00
58,00
65,00
60,28
Lampiran 10 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame 5
10
39
60,00
20,00
40
20,00
20,00
41
60,00
42
20
30
40
50
60
60,00
40,00
42,50
36,00
40,00
15,00
26,67
10,00
12,00
15,00
70,00
70,00
76,67
65,00
68,00
20,00
20,00
25,00
23,33
25,00
43
20,00
20,00
10,00
23,33
44
60,00
50,00
50,00
33,33
45
60,00
50,00
60,00
46
60,00
60,00
47
100,00
48
0,00
49
Teknik: Luas Area
Teknik: pemilihan sampel titik
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
29,15
40,00
40,00
50,00
46,67
25,00
34,00
26,67
31,41
14,34
20,00
30,00
15,00
6,67
20,00
20,00
21,67
13,44
63,33
52,30
60,00
40,00
55,00
50,00
75,00
56,00
53,33
51,30
26,00
26,67
25,51
60,00
30,00
70,00
43,33
40,00
40,00
33,33
35,68
17,50
12,00
11,67
10,99
40,00
10,00
15,00
16,67
25,00
22,00
20,00
11,31
60,00
46,00
48,33
34,17
40,00
60,00
40,00
40,00
52,50
52,00
31,67
38,72
60,00
67,50
64,00
68,33
55,25
60,00
50,00
45,00
56,67
45,00
50,00
46,67
46,14
50,00
63,33
77,50
64,00
70,00
50,81
60,00
60,00
65,00
56,67
62,50
60,00
58,33
45,99
50,00
70,00
60,00
67,50
60,00
66,67
63,18
80,00
80,00
80,00
73,33
72,50
78,00
80,00
71,44
20,00
5,00
10,00
22,50
12,00
25,00
15,71
20,00
10,00
25,00
20,00
17,50
18,00
20,00
12,23
100,00
50,00
30,00
30,00
30,00
36,00
28,33
29,35
20,00
20,00
30,00
40,00
50,00
18,00
23,33
28,76
50
0,00
10,00
20,00
30,00
25,00
40,00
25,00
22,35
0,00
30,00
25,00
16,67
20,00
18,00
21,67
20,85
51
80,00
80,00
85,00
73,33
75,00
70,00
80,00
68,88
20,00
50,00
40,00
50,00
52,50
60,00
68,33
60,75
52
80,00
40,00
60,00
60,00
60,00
46,00
53,33
47,57
40,00
70,00
45,00
50,00
65,00
50,00
58,33
50,22
53
20,00
40,00
70,00
60,00
55,00
62,00
58,33
58,29
60,00
70,00
60,00
60,00
72,50
60,00
55,00
57,50
54
40,00
80,00
55,00
46,67
65,00
68,00
73,33
58,24
80,00
60,00
70,00
80,00
55,00
64,00
66,67
60,33
55
20,00
30,00
50,00
50,00
52,50
56,00
56,67
48,08
60,00
50,00
40,00
70,00
45,00
58,00
50,00
48,83
56
60,00
60,00
50,00
53,33
55,00
60,00
60,00
56,73
20,00
80,00
65,00
70,00
52,50
66,00
55,00
54,54
57
100,00
90,00
70,00
93,33
80,00
82,00
76,67
76,81
100,00
60,00
85,00
86,67
85,00
84,00
78,33
77,19
58
60,00
70,00
85,00
70,00
65,00
88,00
71,98
80,00
70,00
70,00
66,67
82,50
74,00
75,00
71,25
78,33
Lampiran 10 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
59
40,00
10,00
40,00
26,67
42,50
42,00
30,00
28,91
80,00
50,00
45,00
36,67
37,50
32,00
40,00
33,39
60
80,00
80,00
95,00
86,67
100,00
94,00
86,67
87,28
100,00
100,00
80,00
86,67
80,00
88,00
81,67
81,63
61
20,00
20,00
20,00
33,33
27,50
30,00
21,67
23,72
20,00
10,00
15,00
23,33
32,50
20,00
20,00
21,06
62
60,00
90,00
75,00
80,00
77,50
76,00
86,67
77,80
100,00
70,00
80,00
86,67
82,50
82,00
76,67
75,49
63
20,00
20,00
20,00
10,00
22,50
22,00
15,00
12,75
0,00
10,00
25,00
23,33
20,00
18,00
13,33
14,94
64
20,00
30,00
45,00
43,33
57,50
42,00
43,33
42,06
40,00
40,00
45,00
60,00
47,50
46,00
58,33
45,71
65
60,00
60,00
40,00
50,00
47,50
50,00
48,33
42,29
60,00
50,00
60,00
40,00
52,50
56,00
45,00
48,14
66
100,00
70,00
75,00
76,67
72,50
66,00
83,33
72,57
100,00
70,00
80,00
80,00
77,50
90,00
81,67
81,92
67
100,00
90,00
85,00
80,00
85,00
88,00
85,00
83,88
100,00
90,00
90,00
90,00
90,00
88,00
86,67
83,89
68
80,00
80,00
85,00
90,00
92,50
96,00
91,67
84,42
80,00
80,00
85,00
86,67
82,50
76,00
86,67
78,56
69
80,00
80,00
65,00
80,00
77,50
76,00
63,33
67,60
80,00
80,00
80,00
63,33
65,00
72,00
78,33
62,89
70
20,00
70,00
60,00
50,00
50,00
52,00
56,67
50,32
40,00
30,00
65,00
56,67
70,00
54,00
60,00
54,16
Rerata
56,57
54,86
56,57
56,00
57,75
57,23
57,00
52,19
58,29
56,43
57,14
56,95
57,00
56,37
56,74
52,81
Kesalahan baku
3,88
3,40
3,51
3,35
3,30
3,23
3,31
3,24
3,75
3,32
3,13
3,11
3,15
3,17
3,20
3,10
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
Lampiran 11 Persentase tutupan kelompok karang mati (DS) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
6
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
7
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
8
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
9
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
11
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
12
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
13
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
14
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
15
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
16
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,99
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2,00
0,00
0,77
17
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
18
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Lampiran 11 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
19
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
20
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
21
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
22
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
23
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
24
0,00
0,00
5,00
3,33
5,00
2,00
8,33
2,99
0,00
0,00
5,00
0,00
2,50
2,00
3,33
5,23
25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
26
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
27
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
28
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
29
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
30
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
31
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
32
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
33
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
34
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
35
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
36
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
37
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
38
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Lampiran 11 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
39
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
5,00
0,00
0,00
2,00
8,33
2,00
40
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
41
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
42
0,00
0,00
0,00
0,00
5,00
0,00
1,67
0,60
0,00
10,00
0,00
0,00
0,00
2,00
1,67
0,46
43
0,00
10,00
0,00
3,33
0,00
4,00
1,67
1,29
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4,00
0,00
0,79
44
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
45
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
46
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
47
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
48
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
49
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
50
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
51
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
52
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
53
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
54
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
55
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
56
20,00
0,00
10,00
3,33
12,50
6,00
1,67
3,23
0,00
0,00
5,00
3,33
7,50
4,00
6,67
7,02
57
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
58
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Lampiran 11 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
59
20,00
10,00
5,00
10,00
12,50
8,00
0,00
8,41
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
6,22
60
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
61
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
62
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
63
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
64
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
65
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
66
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
68
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
69
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
70
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Rerata
0,57
0,29
0,29
0,29
0,50
0,29
0,21
0,25
0,00
0,14
0,21
0,05
0,14
0,23
0,29
0,32
Kesalahan baku
0,40
0,20
0,17
0,16
0,27
0,15
0,13
0,14
0,00
0,14
0,12
0,05
0,11
0,10
0,16
0,15
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
Lampiran 12 Persentase tutupan kelompok alga (ALG) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
1
0,00
10,00
10,00
3,33
7,50
8,00
5,00
12,09
20,00
10,00
15,00
6,67
15,00
12,00
8,33
13,20
2
20,00
10,00
25,00
16,67
17,50
22,00
23,33
27,75
20,00
20,00
30,00
20,00
17,50
10,00
18,33
27,27
3
20,00
40,00
25,00
30,00
27,50
26,00
35,00
43,24
40,00
30,00
35,00
46,67
40,00
30,00
31,67
44,00
4
20,00
60,00
40,00
46,67
45,00
44,00
50,00
53,95
20,00
60,00
35,00
50,00
30,00
58,00
38,33
53,11
5
20,00
20,00
5,00
10,00
17,50
10,00
6,67
15,00
20,00
20,00
20,00
16,67
17,50
20,00
20,00
19,22
6
40,00
20,00
20,00
13,33
10,00
28,00
25,00
25,11
40,00
30,00
20,00
23,33
37,50
20,00
25,00
26,83
7
40,00
50,00
65,00
50,00
35,00
34,00
41,67
49,55
20,00
30,00
30,00
36,67
35,00
36,00
36,67
38,57
8
0,00
10,00
15,00
16,67
12,50
8,00
11,67
16,33
20,00
20,00
10,00
6,67
5,00
10,00
6,67
15,72
9
20,00
20,00
10,00
10,00
10,00
10,00
10,00
12,12
0,00
10,00
5,00
10,00
22,50
12,00
10,00
14,71
10
20,00
20,00
5,00
26,67
10,00
18,00
13,33
13,32
20,00
0,00
10,00
10,00
7,50
12,00
15,00
15,19
11
0,00
0,00
0,00
3,33
5,00
2,00
1,67
9,42
0,00
10,00
15,00
10,00
5,00
8,00
6,67
13,68
12
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3,33
2,50
0,00
1,67
2,53
13
80,00
90,00
85,00
80,00
77,50
68,00
75,00
88,59
80,00
80,00
75,00
66,67
67,50
68,00
80,00
73,79
14
20,00
20,00
15,00
20,00
20,00
18,00
13,33
18,57
20,00
30,00
5,00
23,33
15,00
24,00
13,33
20,35
15
40,00
50,00
40,00
36,67
35,00
44,00
35,00
44,63
20,00
30,00
20,00
33,33
30,00
28,00
31,67
32,51
16
0,00
0,00
0,00
0,00
2,50
2,00
1,67
1,39
0,00
20,00
5,00
6,67
2,50
2,00
3,33
3,17
17
20,00
30,00
40,00
20,00
20,00
34,00
25,00
30,96
20,00
10,00
25,00
43,33
30,00
28,00
23,33
25,56
18
40,00
60,00
50,00
50,00
45,00
48,00
43,33
52,95
60,00
40,00
30,00
40,00
42,50
40,00
45,00
53,34
Lampiran 12 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
19
20,00
20,00
15,00
13,33
7,50
14,00
10,00
13,08
0,00
0,00
5,00
10,00
2,50
4,00
6,67
11,41
20
0,00
0,00
0,00
3,33
2,50
2,00
1,67
2,05
0,00
0,00
5,00
6,67
2,50
2,00
0,00
1,46
21
60,00
40,00
35,00
43,33
42,50
44,00
50,00
54,39
60,00
20,00
30,00
50,00
37,50
46,00
23,33
48,80
22
20,00
10,00
25,00
30,00
45,00
34,00
23,33
34,94
40,00
20,00
50,00
33,33
15,00
28,00
18,33
29,31
23
20,00
40,00
45,00
26,67
37,50
36,00
41,67
52,59
20,00
30,00
35,00
36,67
32,50
44,00
35,00
44,27
24
20,00
20,00
15,00
36,67
17,50
32,00
28,33
38,92
20,00
30,00
10,00
30,00
30,00
32,00
20,00
29,43
25
60,00
80,00
55,00
73,33
65,00
54,00
55,00
59,77
40,00
80,00
70,00
80,00
60,00
58,00
53,33
57,44
26
80,00
100,00
85,00
90,00
87,50
92,00
88,33
93,38
100,00
100,00
80,00
86,67
90,00
86,00
91,67
93,06
27
80,00
70,00
85,00
86,67
90,00
88,00
90,00
98,18
60,00
90,00
75,00
93,33
82,50
86,00
83,33
92,64
28
80,00
70,00
90,00
90,00
77,50
80,00
76,67
86,46
100,00
70,00
85,00
80,00
90,00
84,00
85,00
83,03
29
80,00
70,00
60,00
60,00
60,00
68,00
70,00
60,73
80,00
70,00
75,00
60,00
57,50
64,00
61,67
67,62
30
60,00
50,00
25,00
40,00
52,50
36,00
48,33
47,47
80,00
30,00
40,00
40,00
37,50
36,00
50,00
45,42
31
20,00
30,00
40,00
43,33
47,50
40,00
35,00
41,78
40,00
60,00
35,00
36,67
60,00
40,00
53,33
51,36
32
80,00
60,00
85,00
66,67
67,50
66,00
68,33
68,27
60,00
50,00
50,00
60,00
80,00
60,00
46,67
64,64
33
80,00
70,00
80,00
76,67
77,50
70,00
71,67
80,86
60,00
40,00
50,00
63,33
75,00
62,00
68,33
72,32
34
20,00
40,00
20,00
46,67
32,50
30,00
28,33
39,14
20,00
20,00
15,00
30,00
37,50
36,00
40,00
45,39
35
40,00
40,00
40,00
36,67
27,50
46,00
36,67
45,26
20,00
30,00
55,00
40,00
42,50
30,00
33,33
45,52
36
0,00
10,00
0,00
0,00
0,00
2,00
0,00
5,99
0,00
20,00
20,00
0,00
7,50
8,00
6,67
8,75
37
0,00
20,00
20,00
20,00
32,50
28,00
31,67
38,48
60,00
30,00
65,00
36,67
40,00
36,00
38,33
46,24
38
40,00
40,00
35,00
30,00
27,50
30,00
38,33
37,57
0,00
40,00
35,00
23,33
25,00
42,00
35,00
39,54
Lampiran 12 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
39
40,00
80,00
35,00
56,67
50,00
56,00
51,67
62,63
60,00
40,00
30,00
40,00
65,00
62,00
51,67
57,21
40
40,00
40,00
20,00
10,00
27,50
26,00
18,33
33,99
20,00
20,00
30,00
20,00
25,00
28,00
28,33
29,28
41
40,00
20,00
30,00
23,33
32,50
24,00
35,00
46,21
40,00
50,00
40,00
43,33
22,50
40,00
40,00
45,21
42
60,00
70,00
70,00
73,33
50,00
60,00
70,00
61,84
40,00
40,00
25,00
43,33
47,50
54,00
48,33
53,15
43
60,00
70,00
80,00
70,00
72,50
78,00
70,00
77,53
60,00
80,00
70,00
76,67
62,50
58,00
66,67
81,37
44
40,00
30,00
30,00
53,33
30,00
40,00
50,00
58,36
60,00
40,00
50,00
60,00
47,50
38,00
61,67
54,04
45
40,00
50,00
35,00
36,67
30,00
28,00
30,00
42,21
20,00
50,00
50,00
43,33
50,00
46,00
51,67
51,46
46
40,00
40,00
50,00
36,67
22,50
36,00
30,00
49,19
40,00
40,00
35,00
43,33
37,50
40,00
41,67
54,01
47
0,00
50,00
30,00
40,00
32,50
40,00
33,33
36,82
20,00
20,00
20,00
26,67
27,50
22,00
20,00
28,56
48
100,00
60,00
55,00
60,00
60,00
50,00
41,67
60,19
60,00
40,00
30,00
46,67
45,00
52,00
48,33
59,62
49
0,00
20,00
20,00
33,33
17,50
24,00
26,67
41,92
60,00
60,00
45,00
30,00
22,50
30,00
30,00
35,78
50
100,00
90,00
80,00
60,00
72,50
54,00
70,00
73,98
100,00
70,00
70,00
80,00
75,00
78,00
68,33
75,29
51
20,00
20,00
15,00
20,00
22,50
26,00
20,00
29,39
60,00
50,00
60,00
40,00
45,00
38,00
26,67
34,06
52
20,00
60,00
35,00
36,67
40,00
52,00
45,00
51,38
60,00
30,00
55,00
50,00
35,00
42,00
41,67
48,52
53
80,00
60,00
30,00
40,00
45,00
38,00
41,67
41,71
40,00
30,00
40,00
40,00
27,50
40,00
45,00
42,50
54
60,00
20,00
45,00
53,33
35,00
32,00
26,67
41,76
20,00
40,00
30,00
20,00
45,00
36,00
33,33
39,67
55
60,00
60,00
45,00
46,67
40,00
30,00
28,33
42,64
40,00
40,00
50,00
20,00
50,00
36,00
45,00
45,23
56
0,00
20,00
10,00
16,67
12,50
14,00
18,33
16,50
20,00
10,00
20,00
16,67
7,50
14,00
15,00
18,52
57
0,00
10,00
30,00
6,67
20,00
18,00
23,33
23,19
0,00
40,00
10,00
13,33
15,00
16,00
20,00
22,44
58
40,00
30,00
15,00
30,00
35,00
12,00
21,67
28,02
20,00
30,00
30,00
33,33
17,50
26,00
25,00
28,75
Lampiran 12 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
59
40,00
50,00
45,00
43,33
37,50
40,00
58,33
54,45
20,00
40,00
50,00
56,67
47,50
60,00
51,67
52,00
60
20,00
20,00
5,00
13,33
0,00
6,00
13,33
12,72
0,00
0,00
20,00
13,33
20,00
12,00
18,33
18,37
61
80,00
50,00
65,00
53,33
57,50
52,00
48,33
63,55
60,00
60,00
55,00
60,00
62,50
56,00
60,00
66,44
62
20,00
10,00
15,00
13,33
17,50
18,00
10,00
21,79
0,00
30,00
15,00
13,33
17,50
14,00
18,33
24,22
63
60,00
70,00
70,00
76,67
57,50
70,00
71,67
74,89
60,00
80,00
65,00
70,00
75,00
68,00
75,00
74,01
64
60,00
70,00
50,00
46,67
35,00
52,00
48,33
52,12
60,00
30,00
45,00
26,67
42,50
48,00
35,00
47,87
65
40,00
40,00
60,00
50,00
52,50
50,00
51,67
57,71
40,00
50,00
40,00
60,00
47,50
44,00
55,00
51,86
66
0,00
30,00
25,00
23,33
27,50
34,00
16,67
27,43
0,00
30,00
20,00
20,00
22,50
10,00
18,33
18,08
67
0,00
10,00
15,00
20,00
15,00
12,00
15,00
16,12
0,00
10,00
10,00
10,00
10,00
12,00
13,33
16,11
68
20,00
10,00
10,00
6,67
7,50
2,00
8,33
12,39
20,00
10,00
5,00
6,67
12,50
16,00
8,33
16,97
69
20,00
20,00
35,00
20,00
22,50
24,00
36,67
32,40
20,00
20,00
20,00
36,67
35,00
28,00
21,67
37,11
70
80,00
30,00
40,00
50,00
50,00
48,00
43,33
49,68
60,00
70,00
35,00
43,33
30,00
46,00
40,00
45,84
Rerata
36,29
38,57
35,71
36,67
34,61
35,17
35,48
41,56
35,14
36,14
34,86
36,48
36,00
35,89
35,55
40,63
Kesalahan baku
3,41
3,00
2,98
2,85
2,71
2,64
2,72
2,78
3,24
2,78
2,59
2,70
2,71
2,57
2,63
2,62
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
Lampiran 13 Persentase tutupan kelompok fauna lain (OF) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2
0,00
0,00
0,00
6,67
7,50
12,00
5,00
6,86
0,00
10,00
0,00
6,67
2,50
14,00
6,67
7,12
3
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4,00
0,00
0,71
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,53
5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
6
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,17
0,00
0,00
5,00
3,33
2,50
4,00
1,67
0,23
7
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
10,00
0,00
2,50
4,00
0,00
0,73
8
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
9
0,00
10,00
0,00
3,33
0,00
2,00
1,67
1,67
0,00
0,00
0,00
0,00
5,00
0,00
5,00
1,30
10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2,50
0,00
0,00
0,00
11
0,00
10,00
0,00
6,67
0,00
2,00
1,67
1,59
20,00
0,00
5,00
0,00
2,50
0,00
0,00
0,94
12
0,00
0,00
0,00
0,00
2,50
2,00
1,67
0,60
0,00
0,00
5,00
3,33
0,00
2,00
1,67
0,52
13
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
14
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
15
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,72
0,00
0,00
0,00
0,00
2,50
0,00
0,00
0,45
16
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
6,67
0,00
2,00
0,00
0,26
17
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2,00
0,00
0,13
0,00
0,00
0,00
3,33
2,50
0,00
3,33
1,20
18
0,00
0,00
5,00
6,67
10,00
0,00
8,33
7,89
0,00
10,00
30,00
6,67
12,50
4,00
11,67
7,82
Lampiran 13 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
19
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
20
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
21
0,00
10,00
10,00
6,67
7,50
10,00
6,67
0,96
0,00
0,00
5,00
6,67
7,50
2,00
5,00
0,61
22
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
23
40,00
30,00
30,00
26,67
5,00
16,00
18,33
11,53
20,00
30,00
5,00
6,67
22,50
14,00
21,67
14,06
24
20,00
0,00
10,00
3,33
10,00
8,00
5,00
5,94
40,00
10,00
5,00
0,00
2,50
10,00
8,33
8,50
25
0,00
0,00
0,00
0,00
2,50
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2,00
0,00
0,00
26
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
27
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
5,00
0,00
0,00
0,26
28
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
29
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
30
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
31
40,00
20,00
35,00
33,33
22,50
20,00
30,00
27,29
0,00
20,00
35,00
26,67
20,00
26,00
15,00
17,46
32
0,00
0,00
0,00
3,33
2,50
0,00
0,00
1,14
0,00
0,00
5,00
6,67
0,00
8,00
6,67
6,06
33
0,00
0,00
0,00
0,00
2,50
0,00
0,00
0,29
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2,00
0,00
0,37
34
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,26
0,00
0,00
0,00
0,00
5,00
4,00
8,33
2,68
35
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
36
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
37
20,00
10,00
20,00
23,33
32,50
14,00
21,67
20,36
20,00
30,00
10,00
26,67
30,00
24,00
18,33
18,59
38
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,17
Lampiran 13 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
39
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
40
40,00
10,00
40,00
30,00
30,00
34,00
31,67
24,70
40,00
40,00
35,00
50,00
20,00
28,00
25,00
33,78
41
0,00
10,00
0,00
0,00
2,50
8,00
1,67
1,49
0,00
10,00
5,00
6,67
2,50
4,00
6,67
3,49
42
0,00
0,00
0,00
0,00
2,50
0,00
0,00
0,18
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,12
43
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
44
0,00
20,00
20,00
13,33
10,00
14,00
1,67
7,46
0,00
0,00
10,00
0,00
0,00
10,00
6,67
7,24
45
0,00
0,00
5,00
3,33
2,50
8,00
1,67
2,54
20,00
0,00
5,00
0,00
5,00
4,00
1,67
2,40
46
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
47
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
48
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
49
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
50
0,00
0,00
0,00
10,00
2,50
6,00
5,00
3,67
0,00
0,00
5,00
3,33
5,00
4,00
10,00
3,86
51
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
52
0,00
0,00
5,00
3,33
0,00
2,00
1,67
1,06
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
8,00
0,00
1,26
53
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
54
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
55
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
56
20,00
20,00
30,00
26,67
20,00
20,00
20,00
23,54
60,00
10,00
10,00
10,00
32,50
16,00
23,33
19,92
57
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
5,00
0,00
0,00
0,00
1,67
0,37
58
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Lampiran 13 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
59
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
60
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
61
0,00
0,00
10,00
10,00
10,00
12,00
25,00
8,62
20,00
30,00
25,00
10,00
2,50
20,00
13,33
8,85
62
20,00
0,00
10,00
6,67
5,00
6,00
3,33
0,42
0,00
0,00
5,00
0,00
0,00
4,00
5,00
0,29
63
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
64
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
65
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
66
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
68
0,00
10,00
5,00
3,33
0,00
2,00
0,00
3,19
0,00
10,00
10,00
6,67
5,00
8,00
5,00
4,48
69
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
70
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Rerata
2,86
2,29
3,36
3,24
2,71
2,91
2,74
2,37
3,43
3,00
3,36
2,71
2,86
3,26
3,02
2,51
Kesalahan baku
1,10
0,71
1,03
0,90
0,78
0,75
0,84
0,70
1,29
0,98
0,91
0,91
0,80
0,77
0,71
0,70
Lampiran 14 Persentase tutupan kelompok abiotik (ABI) setiap framenya untuk masing-masing tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2,50
0,00
0,00
0,86
2
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,67
3,26
0,00
0,00
15,00
0,00
5,00
2,00
3,33
1,97
5
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
6
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
7
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
8
20,00
20,00
20,00
10,00
32,50
12,00
21,67
18,47
0,00
20,00
25,00
23,33
15,00
16,00
10,00
13,01
9
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
11
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
12
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
13
20,00
0,00
10,00
13,33
15,00
24,00
18,33
5,44
0,00
10,00
0,00
13,33
10,00
8,00
6,67
8,57
14
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,08
0,00
10,00
0,00
0,00
2,50
4,00
6,67
2,90
15
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
5,00
0,00
7,50
4,00
0,00
3,16
16
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
17
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
18
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Lampiran 14 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
19
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
20
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
21
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
22
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
23
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
24
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
25
40,00
20,00
35,00
23,33
30,00
40,00
38,33
35,75
40,00
20,00
25,00
13,33
22,50
30,00
31,67
31,85
26
20,00
0,00
10,00
3,33
10,00
6,00
8,33
4,45
0,00
0,00
10,00
6,67
5,00
8,00
5,00
4,28
27
20,00
30,00
15,00
13,33
10,00
12,00
10,00
1,82
20,00
0,00
20,00
3,33
10,00
10,00
11,67
3,11
28
20,00
10,00
5,00
6,67
7,50
6,00
5,00
6,84
0,00
0,00
5,00
6,67
2,50
12,00
8,33
8,46
29
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
30
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
31
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
32
20,00
20,00
10,00
23,33
10,00
24,00
15,00
20,06
40,00
40,00
15,00
20,00
12,50
22,00
26,67
19,81
33
0,00
10,00
10,00
6,67
7,50
2,00
5,00
5,32
0,00
10,00
25,00
6,67
10,00
14,00
8,33
8,34
34
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
35
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
36
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
37
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
38
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Lampiran 14 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
39
0,00
0,00
5,00
3,33
7,50
8,00
8,33
8,22
0,00
20,00
15,00
13,33
10,00
2,00
13,33
9,37
40
0,00
30,00
25,00
33,33
32,50
28,00
35,00
26,98
20,00
10,00
20,00
23,33
35,00
24,00
25,00
23,51
41
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
42
20,00
10,00
5,00
3,33
17,50
14,00
1,67
11,87
0,00
20,00
5,00
13,33
12,50
4,00
16,67
10,60
43
20,00
0,00
10,00
3,33
10,00
6,00
16,67
10,19
0,00
10,00
15,00
6,67
12,50
16,00
13,33
6,53
44
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
45
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
46
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
47
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
48
0,00
20,00
40,00
30,00
17,50
38,00
33,33
24,09
20,00
50,00
45,00
33,33
37,50
30,00
31,67
28,15
49
0,00
30,00
50,00
36,67
52,50
40,00
45,00
28,74
20,00
20,00
25,00
30,00
27,50
52,00
46,67
35,46
50
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
51
0,00
0,00
0,00
6,67
2,50
4,00
0,00
1,72
20,00
0,00
0,00
10,00
2,50
2,00
5,00
5,19
52
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
53
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
54
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
55
20,00
10,00
5,00
3,33
7,50
14,00
15,00
9,28
0,00
10,00
10,00
10,00
5,00
6,00
5,00
5,94
56
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
57
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
58
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Lampiran 14 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
59
0,00
30,00
10,00
20,00
7,50
10,00
11,67
8,22
0,00
10,00
5,00
6,67
15,00
8,00
8,33
8,39
60
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
61
0,00
30,00
5,00
3,33
5,00
6,00
5,00
4,11
0,00
0,00
5,00
6,67
2,50
4,00
6,67
3,64
62
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
63
20,00
10,00
10,00
13,33
20,00
8,00
13,33
12,35
40,00
10,00
10,00
6,67
5,00
14,00
11,67
11,05
64
20,00
0,00
5,00
10,00
7,50
6,00
8,33
5,82
0,00
30,00
10,00
13,33
10,00
6,00
6,67
6,42
65
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
66
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
68
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
69
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
70
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Rerata
3,71
4,00
4,07
3,81
4,43
4,40
4,57
3,63
3,14
4,29
4,43
3,81
4,00
4,26
4,41
3,72
Kesalahan baku
1,02
1,07
1,14
0,99
1,15
1,15
1,17
0,92
1,12
1,16
1,06
0,90
0,95
1,09
1,08
0,91
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
Lampiran 15 Jumlah jenis karang keras (S) setiap framenya berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
1
1
1
3
3
3
2
2
3
1
1
1
2
3
3
2
4
2
4
5
4
6
5
5
7
8
3
4
6
7
7
8
7
8
3
3
3
5
6
7
7
7
7
3
3
6
5
8
7
9
9
4
3
3
4
3
6
5
5
7
4
3
4
6
7
3
8
9
5
2
3
3
3
3
3
3
3
2
3
4
4
5
5
5
5
6
1
4
5
3
5
5
6
7
1
3
5
4
4
6
4
7
7
3
4
4
5
7
6
6
7
3
4
7
6
7
9
7
10
8
1
4
2
3
2
4
5
5
1
2
2
4
4
5
6
7
9
2
3
5
5
5
6
5
7
3
4
7
6
6
6
7
8
10
3
4
4
6
5
6
6
11
3
5
6
6
5
6
7
11
11
5
3
4
8
7
7
7
9
2
4
7
6
6
9
9
9
12
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
2
2
2
13
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
14
3
3
4
6
5
5
6
6
2
3
5
4
6
5
6
6
15
2
2
4
5
5
6
5
6
4
5
5
5
5
6
6
7
16
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
3
3
3
3
3
17
2
2
3
3
3
3
5
5
1
2
3
3
3
3
3
5
18
2
3
4
6
7
7
9
9
2
3
3
5
6
6
6
10
Lampiran 15 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
19
2
3
3
3
3
2
3
3
2
3
3
3
3
3
3
3
20
2
3
3
3
3
3
3
3
2
3
3
3
3
4
2
4
21
2
3
4
4
4
5
5
5
1
3
4
4
5
5
5
5
22
4
5
7
7
7
7
9
9
3
4
6
7
8
8
9
11
23
2
2
5
5
8
8
7
11
1
4
7
7
6
7
10
11
24
3
3
4
5
5
5
6
6
2
3
3
4
5
4
4
5
25
0
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
2
3
2
2
3
26
0
0
1
1
1
1
1
2
0
0
1
1
1
2
1
2
27
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
2
2
2
28
0
2
1
1
3
3
2
4
0
3
2
3
3
2
3
6
29
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
30
1
3
5
6
5
7
7
8
1
4
7
6
8
8
6
9
31
2
2
3
3
4
2
3
4
1
1
3
3
1
4
4
4
32
0
1
1
2
3
3
4
5
0
1
5
3
3
3
5
6
33
1
2
2
2
1
2
2
3
2
2
2
1
1
1
2
3
34
4
4
6
5
6
6
6
6
2
4
5
6
5
6
8
8
35
2
4
5
9
9
10
10
10
4
6
7
8
9
10
9
10
36
3
3
3
4
4
4
4
5
1
2
5
7
4
4
8
10
37
2
3
4
5
2
5
3
6
1
3
4
5
5
3
5
6
38
1
1
3
4
4
4
4
6
3
3
4
5
4
4
5
7
Lampiran 15 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
39
3
2
4
5
7
8
7
10
2
2
7
7
6
8
9
11
40
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
3
3
4
41
3
3
5
5
6
7
5
8
3
4
3
4
6
5
6
8
42
1
2
2
2
3
4
4
6
2
2
5
4
4
5
6
7
43
1
2
2
2
3
3
2
4
2
1
2
2
3
3
3
4
44
3
3
4
6
9
7
8
10
2
4
5
5
8
7
9
11
45
3
3
6
8
8
8
9
9
3
4
4
7
8
8
9
9
46
1
3
4
5
5
6
5
7
2
2
4
7
5
6
5
8
47
3
3
5
5
3
5
6
6
3
7
7
7
8
8
8
8
48
0
1
1
3
4
5
5
6
1
1
3
6
4
6
4
7
49
4
3
2
2
2
5
3
5
1
2
3
2
5
2
5
5
50
0
1
3
2
3
2
3
4
0
2
2
3
2
3
2
4
51
1
5
5
5
6
5
7
7
1
3
5
6
8
7
9
9
52
1
1
2
1
3
4
4
4
1
2
3
3
6
4
6
10
53
1
2
5
5
5
7
6
8
2
4
4
5
7
5
6
10
54
2
3
5
5
5
4
6
7
2
4
4
7
6
6
7
7
55
1
1
3
3
4
5
6
6
3
2
3
2
5
5
3
6
56
1
1
2
1
2
2
2
2
1
1
1
2
1
2
2
2
57
2
4
5
3
8
8
6
9
5
3
5
5
5
7
7
10
58
2
2
4
3
3
3
4
4
2
2
3
4
4
4
5
7
Lampiran 15 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
59
2
1
3
3
3
3
4
4
2
2
3
4
5
4
5
6
60
1
2
3
3
5
5
5
5
1
2
3
4
4
5
5
6
61
1
1
3
3
4
3
3
5
1
1
2
2
2
2
5
6
62
2
5
4
4
4
4
4
5
4
2
3
4
5
4
5
7
63
1
1
2
1
2
3
2
4
0
1
1
3
2
2
3
5
64
1
2
3
6
7
7
9
10
2
1
3
7
8
6
11
11
65
3
6
6
8
9
10
11
14
2
5
7
6
7
11
11
15
66
3
4
5
6
7
7
6
8
3
4
5
4
5
7
7
8
67
3
5
5
7
7
9
8
9
3
6
8
8
9
9
9
9
68
2
3
4
5
4
3
4
6
4
3
6
6
6
7
8
11
69
3
2
3
4
3
5
3
5
2
3
3
6
5
6
5
6
70
1
3
3
5
7
6
7
7
2
2
4
7
6
6
7
7
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
Lampiran 16 Nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dari karang keras untuk setiap framenya berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
1
0,000
0,000
0,426
0,299
0,248
0,105
0,152
1,099
0,000
0,000
0,000
0,154
0,271
0,216
0,091
1,386
2
1,386
1,523
1,171
1,485
1,460
1,519
1,618
1,907
1,040
1,277
1,673
1,637
1,810
1,735
1,728
1,907
3
1,040
0,868
1,402
1,295
1,675
1,443
1,649
1,946
1,099
0,956
1,411
1,424
1,558
1,652
1,746
2,164
4
1,040
1,040
0,983
0,777
1,373
1,426
1,291
1,768
1,386
1,040
0,940
1,488
1,376
0,824
1,610
2,045
5
0,562
0,736
0,879
0,866
0,730
0,973
0,852
1,099
0,562
0,736
0,987
0,759
0,814
0,929
1,143
1,609
6
0,000
1,213
1,461
0,973
0,995
1,089
1,093
1,906
0,000
0,796
1,170
0,663
1,199
1,011
0,848
1,906
7
1,099
1,332
1,277
1,459
1,682
1,614
1,626
1,906
1,040
1,352
1,820
1,590
1,714
2,137
1,796
2,210
8
0,000
1,277
0,540
0,576
0,474
0,496
0,861
1,561
0,000
0,451
0,271
0,912
0,414
0,492
0,679
1,889
9
0,562
0,956
1,226
1,272
1,299
1,387
1,151
1,834
0,950
1,215
1,589
1,351
1,471
1,335
1,355
1,992
10
1,040
1,213
1,120
1,531
1,415
1,260
1,437
2,398
1,040
1,359
1,475
1,413
1,232
1,304
1,633
2,398
11
1,609
1,061
1,345
1,810
1,598
1,579
1,570
2,098
0,562
1,311
1,787
1,595
1,566
1,877
1,892
2,107
12
0,500
0,500
0,423
0,451
0,507
0,533
0,527
0,693
0,000
0,325
0,576
0,257
0,540
0,445
0,294
0,693
13
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,500
0,637
0,349
0,562
0,662
1,099
14
1,040
0,736
1,253
1,306
1,048
1,051
1,100
1,748
0,562
1,011
1,209
1,023
1,207
1,195
1,196
1,748
15
0,637
0,673
1,127
1,430
1,274
1,438
1,279
1,609
1,386
1,550
1,395
1,445
1,422
1,611
1,366
1,768
16
0,500
0,325
0,423
0,500
0,471
0,410
0,455
0,637
0,000
0,662
0,436
0,619
0,699
0,555
0,736
0,950
17
0,562
0,410
0,566
0,345
0,447
0,463
0,755
1,609
0,000
0,530
0,730
0,463
0,522
0,411
0,689
1,475
18
0,637
1,040
1,215
1,525
1,532
1,764
1,769
2,084
0,693
0,950
0,974
1,160
1,565
1,489
1,492
2,187
Lampiran 16 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
19
0,693
0,974
0,869
0,791
0,744
0,686
0,800
1,099
0,673
0,943
1,013
0,826
0,782
0,843
0,865
1,099
20
0,500
0,898
0,687
0,886
0,800
0,919
0,868
1,099
0,673
0,943
0,839
0,876
0,789
0,786
0,596
1,386
21
0,693
1,055
1,034
1,235
1,122
1,295
1,419
1,609
0,000
1,040
1,091
1,231
1,417
1,532
1,482
1,561
22
1,386
1,465
1,709
1,791
1,643
1,766
1,929
2,047
1,099
1,255
1,609
1,726
1,923
1,847
1,938
2,260
23
0,693
0,637
1,609
1,253
1,575
1,827
1,545
2,338
0,000
1,386
1,820
1,624
1,533
1,769
2,038
2,342
24
1,099
0,900
1,195
1,318
1,353
1,206
1,410
1,642
0,693
1,011
0,602
1,061
1,421
0,968
0,943
1,414
25
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,693
0,956
0,500
0,349
1,040
26
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,562
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,637
0,000
0,451
27
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,693
0,637
0,693
28
0,000
0,693
0,000
0,000
1,011
1,079
0,586
1,386
0,000
1,099
0,693
1,040
1,099
0,693
1,040
1,748
29
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
30
0,000
1,055
1,081
1,565
1,383
1,608
1,709
1,992
0,000
1,277
1,748
1,648
1,796
1,710
1,438
2,068
31
0,693
0,500
0,950
0,956
1,075
0,500
0,832
1,386
0,000
0,000
1,011
0,908
0,000
1,115
1,149
1,386
32
0,000
0,000
0,000
0,693
1,082
1,055
1,280
1,609
0,000
0,000
1,561
1,040
1,099
1,055
1,445
1,792
33
0,000
0,693
0,693
0,673
0,000
0,410
0,257
1,055
0,693
0,500
0,500
0,000
0,000
0,000
0,410
1,099
34
1,386
1,242
1,488
1,277
1,583
1,513
1,676
1,667
0,562
1,213
1,395
1,555
1,436
1,469
1,740
1,894
35
0,637
1,242
1,358
1,983
1,983
2,223
2,050
2,220
1,386
1,748
1,889
1,923
1,994
2,092
2,021
2,211
36
0,950
0,849
0,791
1,168
1,192
1,178
0,944
1,561
0,000
0,562
1,300
1,485
0,965
1,131
1,341
2,206
37
0,562
1,004
1,119
1,313
0,683
1,134
0,887
1,733
0,000
1,040
1,332
1,367
1,424
1,010
1,334
1,735
38
0,000
0,000
1,012
1,182
1,266
1,061
1,108
1,643
0,950
1,099
1,266
1,398
1,262
1,202
1,209
1,799
Lampiran 16 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
39
1,099
0,693
0,983
1,445
1,778
1,879
1,886
2,168
0,693
0,693
1,887
1,810
1,696
1,936
2,101
2,274
40
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,637
0,693
0,562
0,639
0,925
1,386
41
1,099
0,956
1,433
1,353
1,512
1,589
1,198
1,907
1,099
1,386
0,916
1,270
1,296
1,166
1,460
1,972
42
0,000
0,693
0,500
0,683
0,802
1,091
1,103
1,733
0,637
0,637
1,438
1,220
1,163
1,263
1,400
1,834
43
0,000
0,693
0,693
0,410
0,956
1,011
0,598
1,277
0,693
0,000
0,637
0,673
0,898
0,916
0,868
1,280
44
1,099
0,950
1,168
1,696
1,979
1,738
1,886
2,245
0,693
1,330
1,494
1,424
1,882
1,832
1,983
2,209
45
1,099
0,950
1,705
1,937
1,822
1,790
1,873
2,146
1,099
1,332
1,149
1,809
1,706
1,799
1,789
2,146
46
0,000
1,011
1,221
1,129
1,335
1,410
0,951
1,846
0,637
0,451
1,157
1,789
1,297
1,438
1,185
1,992
47
0,950
0,950
1,376
1,330
0,915
1,389
1,444
1,733
1,040
1,906
1,804
1,775
1,562
1,790
1,716
2,043
48
0,000
0,000
0,000
1,099
1,149
1,561
1,338
1,733
0,000
0,000
0,950
1,792
1,277
1,677
1,237
1,834
49
1,332
0,950
0,451
0,349
0,287
0,961
0,678
1,561
0,000
0,693
1,011
0,562
1,263
0,687
1,128
1,561
50
0,000
0,000
1,040
0,349
0,943
0,199
0,803
1,386
0,000
0,637
0,500
1,055
0,377
1,061
0,540
1,386
51
0,000
1,386
1,313
1,534
1,559
1,307
1,564
1,831
0,000
1,055
1,560
1,430
1,752
1,756
1,713
2,098
52
0,000
0,000
0,451
0,000
0,566
0,937
0,700
1,330
0,000
0,410
0,684
0,485
0,799
0,499
1,138
2,254
53
0,000
0,562
1,369
1,165
1,430
1,472
1,084
1,972
0,637
1,352
1,199
1,330
1,417
1,053
1,305
2,168
54
0,693
0,900
1,499
1,332
1,358
1,199
1,409
1,846
0,693
1,330
1,240
1,771
1,601
1,541
1,675
1,894
55
0,000
0,000
0,802
0,628
1,145
1,129
1,129
1,581
1,099
0,500
0,900
0,549
1,274
1,134
0,730
1,581
56
0,000
0,000
0,325
0,000
0,305
0,245
0,215
0,693
0,000
0,000
0,000
0,191
0,000
0,229
0,305
0,693
57
0,673
1,311
1,270
0,974
1,655
1,429
1,294
2,045
1,609
1,011
1,452
1,162
1,287
1,467
1,572
2,154
58
0,637
0,598
0,885
1,012
0,644
0,847
0,927
1,330
0,693
0,410
0,759
1,033
1,063
0,800
0,991
1,889
Lampiran 16 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
59
0,693
0,000
1,082
0,900
1,055
0,983
1,120
1,332
0,562
0,673
1,099
1,295
1,529
1,212
1,421
1,733
60
0,000
0,377
0,633
0,619
1,042
0,858
0,817
1,609
0,000
0,325
0,463
0,774
0,582
0,580
0,889
1,792
61
0,000
0,000
1,040
0,802
1,121
0,628
0,790
1,609
0,000
0,000
0,637
0,410
0,429
0,325
1,099
1,748
62
0,637
1,523
1,265
1,268
1,313
1,368
1,291
1,609
1,332
0,410
1,072
1,199
1,208
1,029
1,369
1,946
63
0,000
0,000
0,562
0,000
0,530
0,760
0,637
1,386
0,000
0,000
0,000
0,956
0,562
0,349
0,900
1,609
64
0,000
0,637
1,061
1,484
1,730
1,583
1,936
2,187
0,693
0,000
0,849
1,561
1,685
1,265
1,753
2,227
65
1,099
1,792
1,733
1,772
2,114
2,155
2,271
2,525
0,637
1,609
1,864
1,748
1,823
2,180
2,218
2,599
66
1,055
1,154
1,229
1,519
1,526
1,223
1,292
2,020
0,950
1,352
1,332
0,918
0,895
1,499
1,141
1,973
67
1,055
1,427
1,313
1,456
1,367
1,183
1,560
2,098
0,950
1,735
1,735
1,944
2,028
1,876
1,801
2,069
68
0,562
0,900
1,141
1,184
1,106
0,883
1,061
1,696
1,386
0,900
1,200
1,280
1,430
1,260
1,323
2,232
69 70
1,040 0,000
0,377 0,796
0,859 0,824
1,108 1,081
0,579 1,366
1,060 1,232
0,710 1,410
1,475 1,894
0,562 0,693
1,040 0,637
0,703 0,937
1,407 1,476
1,278 1,278
1,111 1,291
1,070 1,523
1,677 1,887
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
Lampiran 17 Nilai indeks kemerataan Piellou (J’) dari karang keras untuk setiap framenya berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
1
0,000
0,000
0,388
0,272
0,226
0,151
0,219
1,000
0,000
0,000
0,000
0,222
0,246
0,197
0,131
1,000
2
1,000
0,946
0,845
0,829
0,907
0,944
0,831
0,917
0,946
0,921
0,934
0,841
0,930
0,834
0,888
0,917
3
0,946
0,790
0,871
0,722
0,861
0,741
0,847
1,000
1,000
0,870
0,787
0,885
0,749
0,849
0,794
0,985
4
0,946
0,946
0,709
0,708
0,766
0,886
0,802
0,908
1,000
0,946
0,678
0,830
0,707
0,750
0,774
0,931
5
0,811
0,670
0,800
0,788
0,665
0,886
0,776
1,000
0,811
0,670
0,712
0,548
0,506
0,577
0,710
1,000
6
0,000
0,875
0,908
0,885
0,618
0,677
0,610
0,980
0,000
0,725
0,727
0,478
0,865
0,564
0,611
0,980
7
1,000
0,961
0,921
0,907
0,864
0,901
0,907
0,980
0,946
0,975
0,935
0,888
0,881
0,972
0,923
0,960
8
0,000
0,921
0,779
0,525
0,684
0,357
0,535
0,970
0,000
0,650
0,391
0,658
0,299
0,306
0,379
0,971
9
0,811
0,870
0,762
0,790
0,807
0,774
0,715
0,943
0,865
0,876
0,816
0,754
0,821
0,745
0,696
0,958
10
0,946
0,875
0,808
0,855
0,879
0,703
0,802
1,000
0,946
0,845
0,823
0,788
0,766
0,728
0,839
1,000
11
1,000
0,966
0,970
0,870
0,821
0,811
0,807
0,955
0,811
0,946
0,918
0,890
0,874
0,854
0,861
0,959
12
0,722
0,722
0,610
0,650
0,732
0,768
0,761
1,000
0,000
0,469
0,831
0,371
0,779
0,642
0,424
1,000
13
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,722
0,918
0,503
0,811
0,954
1,000
14
0,946
0,670
0,904
0,729
0,651
0,653
0,614
0,976
0,811
0,921
0,751
0,738
0,674
0,743
0,668
0,976
15
0,918
0,971
0,813
0,889
0,791
0,802
0,794
0,898
1,000
0,963
0,867
0,898
0,883
0,899
0,762
0,908
16
0,722
0,469
0,610
0,722
0,679
0,592
0,657
0,918
0,000
0,954
0,629
0,563
0,636
0,505
0,670
0,865
17
0,811
0,592
0,515
0,314
0,407
0,422
0,469
1,000
0,000
0,764
0,664
0,422
0,475
0,374
0,627
0,917
18
0,918
0,946
0,876
0,851
0,787
0,906
0,805
0,948
1,000
0,865
0,887
0,721
0,874
0,831
0,833
0,950
Lampiran 17 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
19
1,000
0,887
0,791
0,720
0,677
0,990
0,728
1,000
0,971
0,859
0,922
0,752
0,712
0,768
0,787
1,000
20
0,722
0,817
0,626
0,806
0,728
0,837
0,790
1,000
0,971
0,859
0,764
0,797
0,718
0,567
0,860
1,000
21
1,000
0,960
0,746
0,891
0,810
0,805
0,882
1,000
0,000
0,946
0,787
0,888
0,881
0,952
0,921
0,970
22
1,000
0,910
0,878
0,920
0,844
0,907
0,878
0,932
1,000
0,906
0,898
0,887
0,925
0,888
0,882
0,943
23
1,000
0,918
1,000
0,778
0,757
0,878
0,794
0,975
0,000
1,000
0,935
0,835
0,855
0,909
0,885
0,977
24
1,000
0,819
0,862
0,819
0,841
0,750
0,787
0,916
1,000
0,921
0,548
0,765
0,883
0,699
0,680
0,879
25
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
1,000
0,870
0,722
0,503
0,946
26
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,811
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,918
0,000
0,650
27
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
1,000
0,918
1,000
28
0,000
1,000
0,000
0,000
0,921
0,982
0,845
1,000
0,000
1,000
1,000
0,946
1,000
1,000
0,946
0,976
29
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
30
0,000
0,960
0,671
0,874
0,859
0,826
0,878
0,958
0,000
0,921
0,898
0,920
0,864
0,823
0,803
0,941
31
1,000
0,722
0,865
0,870
0,776
0,722
0,758
1,000
0,000
0,000
0,921
0,826
0,000
0,804
0,829
1,000
32
0,000
0,000
0,000
1,000
0,985
0,960
0,923
1,000
0,000
0,000
0,970
0,946
1,000
0,960
0,898
1,000
33
0,000
1,000
1,000
0,971
0,000
0,592
0,371
0,960
1,000
0,722
0,722
0,000
0,000
0,000
0,592
1,000
34
1,000
0,896
0,830
0,793
0,883
0,845
0,935
0,931
0,811
0,875
0,867
0,868
0,892
0,820
0,837
0,911
35
0,918
0,896
0,844
0,902
0,903
0,966
0,890
0,964
1,000
0,976
0,971
0,925
0,908
0,908
0,920
0,960
36
0,865
0,773
0,720
0,843
0,860
0,850
0,681
0,970
0,000
0,811
0,808
0,763
0,696
0,816
0,645
0,958
37
0,811
0,914
0,807
0,816
0,985
0,705
0,808
0,967
0,000
0,946
0,961
0,849
0,885
0,920
0,829
0,968
38
0,000
0,000
0,921
0,852
0,913
0,765
0,800
0,917
0,865
1,000
0,913
0,869
0,910
0,867
0,751
0,924
Lampiran 17 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
39
1,000
1,000
0,709
0,898
0,914
0,904
0,969
0,942
1,000
1,000
0,970
0,930
0,946
0,931
0,956
0,948
40
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,918
1,000
0,811
0,582
0,842
1,000
41
1,000
0,870
0,890
0,840
0,844
0,817
0,744
0,917
1,000
1,000
0,834
0,916
0,723
0,724
0,815
0,948
42
0,000
1,000
0,722
0,985
0,730
0,787
0,796
0,967
0,918
0,918
0,893
0,880
0,839
0,785
0,781
0,943
43
0,000
1,000
1,000
0,592
0,870
0,921
0,863
0,921
1,000
0,000
0,918
0,971
0,817
0,834
0,790
0,923
44
1,000
0,865
0,843
0,946
0,901
0,893
0,907
0,975
1,000
0,959
0,928
0,885
0,905
0,942
0,902
0,921
45
1,000
0,865
0,951
0,932
0,876
0,861
0,852
0,977
1,000
0,961
0,829
0,930
0,820
0,865
0,814
0,977
46
0,000
0,921
0,880
0,701
0,830
0,787
0,591
0,949
0,918
0,650
0,835
0,919
0,806
0,803
0,736
0,958
47
0,865
0,865
0,855
0,826
0,833
0,863
0,806
0,967
0,946
0,980
0,927
0,912
0,751
0,861
0,825
0,983
48
0,000
0,000
0,000
1,000
0,829
0,970
0,831
0,967
0,000
0,000
0,865
1,000
0,921
0,936
0,892
0,943
49
0,961
0,865
0,650
0,503
0,414
0,597
0,617
0,970
0,000
1,000
0,921
0,811
0,785
0,991
0,701
0,970
50
0,000
0,000
0,946
0,503
0,859
0,286
0,731
1,000
0,000
0,918
0,722
0,960
0,544
0,966
0,779
1,000
51
0,000
0,861
0,816
0,953
0,870
0,812
0,804
0,941
0,000
0,960
0,969
0,798
0,842
0,903
0,780
0,955
52
0,000
0,000
0,650
0,000
0,515
0,676
0,505
0,959
0,000
0,592
0,622
0,442
0,446
0,360
0,635
0,979
53
0,000
0,811
0,851
0,724
0,888
0,756
0,605
0,948
0,918
0,975
0,865
0,826
0,728
0,654
0,728
0,942
54
1,000
0,819
0,931
0,827
0,844
0,865
0,786
0,949
1,000
0,959
0,894
0,910
0,894
0,860
0,861
0,973
55
0,000
0,000
0,730
0,571
0,826
0,702
0,630
0,882
1,000
0,722
0,819
0,792
0,792
0,705
0,664
0,882
56
0,000
0,000
0,469
0,000
0,439
0,353
0,310
1,000
0,000
0,000
0,000
0,276
0,000
0,330
0,439
1,000
57
0,971
0,946
0,789
0,887
0,796
0,687
0,722
0,931
1,000
0,921
0,902
0,722
0,800
0,754
0,808
0,935
58
0,918
0,863
0,639
0,922
0,586
0,771
0,669
0,959
1,000
0,592
0,691
0,745
0,767
0,577
0,616
0,971
Lampiran 17 (lanjutan) Kamera SW
Kamera WZ
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
59
1,000
0,000
0,985
0,819
0,960
0,895
0,808
0,961
0,811
0,971
1,000
0,934
0,950
0,874
0,883
0,967
60
0,000
0,544
0,576
0,563
0,647
0,533
0,508
1,000
0,000
0,469
0,422
0,558
0,420
0,360
0,553
1,000
61
0,000
0,000
0,946
0,730
0,809
0,571
0,719
1,000
0,000
0,000
0,918
0,592
0,619
0,469
0,683
0,976
62
0,918
0,946
0,913
0,915
0,947
0,987
0,931
1,000
0,961
0,592
0,976
0,865
0,750
0,743
0,851
1,000
63
0,000
0,000
0,811
0,000
0,764
0,691
0,918
1,000
0,000
0,000
0,000
0,870
0,811
0,503
0,819
1,000
64
0,000
0,918
0,966
0,828
0,889
0,814
0,881
0,950
1,000
0,000
0,773
0,802
0,810
0,706
0,731
0,929
65
1,000
1,000
0,967
0,852
0,962
0,936
0,947
0,957
0,918
1,000
0,958
0,976
0,937
0,909
0,925
0,960
66
0,960
0,832
0,764
0,848
0,784
0,629
0,721
0,971
0,865
0,975
0,827
0,662
0,556
0,770
0,586
0,949
67
0,960
0,887
0,816
0,748
0,702
0,539
0,750
0,955
0,865
0,968
0,834
0,935
0,923
0,854
0,820
0,942
68
0,811
0,819
0,823
0,736
0,798
0,804
0,765
0,946
1,000
0,819
0,670
0,714
0,798
0,647
0,636
0,931
69 70
0,946 0,000
0,544 0,725
0,782 0,750
0,799 0,671
0,527 0,702
0,659 0,688
0,646 0,724
0,917 0,973
0,811 1,000
0,946 0,918
0,640 0,676
0,785 0,759
0,794 0,713
0,620 0,720
0,665 0,783
0,936 0,970
Frame
Teknik: pemilihan sampel titik 5
10
20
30
40
50
60
Teknik: Luas Area
Lampiran 18 Persentase tutupan masing-masing kelompok biota dan substrat di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan perlakuan Kelompok HC
Kode Perlakuan
Perlakuan
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
A
1m_1-70
44,67
34,95
34,02
16,65
23,26
52,81
30,83
25,22
17,58
17,41
B
1m_1-60
41,65
37,05
36,54
17,38
22,99
52,17
32,27
28,55
18,91
18,24
C D
1m_1-50 1m_1-40
44,03 40,75
36,96 33,76
37,22 35,09
18,35 19,08
21,46 19,82
50,69 54,31
30,54 32,83
26,01 26,37
16,54 17,08
20,40 22,65
E
1m_1-30
37,73
35,10
38,96
20,17
19,14
59,15
28,84
30,21
16,46
21,25
F
1m_1-20
34,13
44,47
37,33
18,22
12,32
72,10
26,16
35,31
14,39
21,33
G
1m_1-10
34,82
52,23
38,59
13,03
10,68
70,64
15,33
41,80
10,88
17,22
H
1m_1-30&41-70
43,81
35,82
35,78
16,79
23,49
54,99
28,50
26,94
17,36
15,84
I
1m_1-20&51-70
40,20
37,19
31,68
15,31
20,04
55,05
28,86
29,27
17,29
15,63
J
1m_1-20&31-50
43,80
42,11
35,97
16,92
18,62
55,05
29,62
27,51
15,53
20,23
K L
1m_1-10&61-70 1m_1-10&41-50
48,79 45,98
37,28 51,01
28,74 42,16
12,66 14,24
17,79 19,34
63,66 53,44
18,76 18,35
23,51 33,18
10,25 12,64
14,81 14,31
M
1m_1-10&21-30
39,87
34,31
40,41
18,55
21,74
51,95
24,77
30,90
15,74
19,16
N
1m_1-10&31-40&61-70
49,12
34,76
32,71
16,46
19,15
55,69
27,43
20,63
13,14
18,82
O P
1m_1-10&21-30&41-50 1m_1-10&21-30&41-50&61-70
45,63 49,91
39,46 35,18
42,18 36,36
17,51 16,20
23,82 24,09
46,72 49,21
23,64 23,27
28,78 22,89
15,29 13,87
16,57 15,53
Q
2m_2-70
44,79
30,53
37,92
18,35
23,41
56,37
29,67
27,78
13,99
16,02
R
5m_5-70
30,40
34,47
44,13
20,95
35,31
54,35
35,63
23,42
22,34
16,71
Lampiran 18 (lanjutan) Kelompok DS
Kode Perlakuan
Perlakuan
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
A B
1m_1-70 1m_1-60
3,18 3,71
2,08 2,38
0,20 0,23
0,50 0,52
1,10 1,29
0,32 0,37
0,10 0,11
4,33 5,05
0,00 0,00
0,08 0,00
C D
1m_1-50 1m_1-40
3,56 3,86
1,56 0,87
0,28 0,08
0,63 0,78
1,53 1,76
0,19 0,20
0,14 0,11
5,77 6,48
0,00 0,00
0,00 0,00
E
1m_1-30
1,50
0,06
0,04
1,00
2,31
0,20
0,14
8,64
0,00
0,00
F
1m_1-20
0,21
0,09
0,06
0,00
3,46
0,04
0,21
12,96
0,00
0,00
G
1m_1-10
0,00
0,00
0,12
0,00
2,59
0,00
0,39
18,31
0,00
0,00
H
1m_1-30&41-70
1,89
1,87
0,19
0,57
1,27
0,34
0,11
5,05
0,00
0,09
I
1m_1-20&51-70
1,23
1,73
0,03
0,10
1,75
0,10
0,11
6,85
0,00
0,13
J
1m_1-20&31-50
3,42
1,95
0,34
0,03
1,91
0,10
0,17
7,20
0,00
0,01
K
1m_1-10&61-70
0,00
0,12
0,06
0,20
1,30
0,00
0,20
9,16
0,00
0,26
L
1m_1-10&41-50
1,16
2,16
0,58
0,00
1,59
0,06
0,32
10,60
0,00
0,01
M
1m_1-10&21-30
2,05
0,00
0,06
1,50
1,30
0,26
0,20
9,16
0,00
0,00
N
1m_1-10&31-40&61-70
3,65
1,19
0,11
1,13
0,91
0,07
0,13
6,10
0,00
0,18
O P
1m_1-10&21-30&41-50 1m_1-10&21-30&41-50&61-70
2,14 1,61
1,44 1,14
0,39 0,29
1,00 0,85
1,06 0,80
0,22 0,16
0,22 0,16
7,07 5,31
0,00 0,00
0,01 0,14
Q
2m_2-70
3,72
2,98
0,32
0,14
0,10
0,39
0,01
5,27
0,00
0,01
R
5m_5-70
6,98
3,70
0,72
1,22
1,85
0,00
0,03
8,46
0,00
0,02
Lampiran 18 (lanjutan) Kelompok ALG
Kode Perlakuan
Perlakuan
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
A B
1m_1-70 1m_1-60
46,54 48,77
46,24 43,99
53,85 52,11
61,63 62,36
34,58 32,37
40,63 40,76
43,92 42,49
48,30 51,76
69,88 69,31
60,93 61,60
C D
1m_1-50 1m_1-40
45,99 47,61
44,61 45,87
52,26 53,60
63,26 60,23
31,22 31,52
41,91 38,92
48,09 48,25
53,27 58,18
71,98 70,79
62,55 63,68
E
1m_1-30
52,19
42,61
52,74
56,32
35,43
36,56
48,66
52,39
73,97
62,80
F
1m_1-20
57,63
47,85
54,23
54,94
35,11
25,28
44,96
43,77
75,92
63,00
G H
1m_1-10 1m_1-30&41-70
54,97 48,65
46,26 44,67
53,64 53,46
53,48 59,91
49,46 37,05
26,78 39,73
50,60 43,40
35,14 43,77
75,05 71,31
66,73 60,03
I
1m_1-20&51-70
52,78
49,09
56,02
56,25
39,06
37,61
39,22
39,83
70,28
59,93
J
1m_1-20&31-50
47,15
47,73
52,88
64,31
30,01
37,61
46,10
49,19
72,45
62,59
K L
1m_1-10&61-70 1m_1-10&41-50
44,07 47,23
53,01 42,89
58,97 50,27
55,36 64,44
48,66 39,73
33,32 40,32
51,54 49,01
31,35 34,40
74,18 75,88
61,81 62,38
M
1m_1-10&21-30
48,14
39,19
51,71
56,28
42,76
42,94
53,33
52,38
72,56
64,57
N
1m_1-10&31-40&61-70
40,67
53,90
54,87
56,60
39,04
37,55
50,04
46,08
69,87
63,32
O P
1m_1-10&21-30&41-50 1m_1-10&21-30&41-50&61-70
45,26 42,23
39,30 44,42
50,11 53,65
62,65 61,30
38,50 40,84
46,58 44,90
51,36 51,64
46,14 41,50
73,95 73,79
62,39 61,01
Q
2m_2-70
45,44
49,82
51,89
61,58
31,50
36,85
45,52
45,90
72,42
61,52
R
5m_5-70
57,98
47,37
51,23
61,09
15,60
38,15
40,55
55,21
64,84
59,38
Lampiran 18 (lanjutan) Kelompok OF
Kode Perlakuan
Perlakuan
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
A B
1m_1-70 1m_1-60
2,50 2,76
2,82 3,13
1,40 1,59
1,86 2,11
1,55 1,48
2,51 2,71
4,24 4,34
1,02 1,15
0,98 0,96
1,26 1,06
C D
1m_1-50 1m_1-40
2,98 3,72
3,26 2,90
1,21 1,05
2,29 2,70
1,55 1,35
2,82 3,09
4,53 3,53
1,21 1,32
1,06 1,28
1,03 0,96
E
1m_1-30
3,72
2,13
1,31
2,93
1,04
1,48
2,55
1,68
0,84
1,24
F
1m_1-20
4,26
0,73
1,10
2,53
0,24
1,06
2,78
0,56
1,03
0,78
G
1m_1-10
3,75
1,13
0,70
3,71
0,00
0,99
1,19
0,43
1,24
0,72
H
1m_1-30&41-70
2,30
2,42
1,59
1,83
1,42
1,61
3,87
1,15
0,70
1,46
I
1m_1-20&51-70
2,77
1,22
1,49
1,66
0,89
2,93
3,15
0,55
0,90
1,31
J
1m_1-20&31-50
3,07
2,84
1,08
1,93
1,27
2,93
5,13
0,54
1,21
0,75
K
1m_1-10&61-70
2,36
1,04
0,48
2,04
0,98
1,18
2,40
0,34
1,14
1,62
L
1m_1-10&41-50
1,90
2,91
1,28
2,17
1,16
1,35
4,86
0,59
0,70
1,04
M
1m_1-10&21-30
3,20
3,03
1,21
3,72
1,32
1,67
1,64
2,17
0,84
1,44
N
1m_1-10&31-40&61-70
2,82
2,43
0,82
2,60
1,42
3,42
3,75
0,31
1,63
1,11
O P
1m_1-10&21-30&41-50 1m_1-10&21-30&41-50&61-70
2,15 1,85
3,59 2,93
1,43 1,14
2,69 2,11
1,66 1,73
1,68 1,60
3,94 3,85
1,70 1,33
0,61 0,72
1,41 1,69
Q
2m_2-70
1,91
3,20
1,57
2,64
1,72
3,00
4,32
0,46
1,34
1,42
R
5m_5-70
1,80
3,59
1,10
2,36
0,78
2,89
6,19
0,79
0,76
1,74
Lampiran 18 (lanjutan) Kelompok ABI
Kode Perlakuan
Perlakuan
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
A B
1m_1-70 1m_1-60
3,11 3,11
13,92 13,45
10,53 9,53
19,35 17,62
39,51 41,88
3,72 3,99
20,92 20,79
21,13 13,49
11,57 10,82
20,32 19,10
C D
1m_1-50 1m_1-40
3,45 4,06
13,61 16,59
9,04 10,18
15,47 17,21
44,25 45,54
4,40 3,48
16,71 15,28
13,74 7,64
10,42 10,85
16,01 12,71
E
1m_1-30
4,86
20,10
6,95
19,58
42,08
2,61
19,80
7,08
8,73
14,71
F
1m_1-20
3,78
6,87
7,29
24,31
48,87
1,52
25,89
7,39
8,65
14,89
G H
1m_1-10 1m_1-30&41-70
6,46 3,35
0,38 15,22
6,96 8,97
29,78 20,89
37,27 36,77
1,58 3,33
32,49 24,12
4,32 23,09
12,83 10,62
15,33 22,59
I
1m_1-20&51-70
3,02
10,78
10,78
26,68
38,26
4,31
28,67
23,49
11,53
23,00
J
1m_1-20&31-50
2,55
5,37
9,73
16,81
48,19
4,31
18,98
15,56
10,81
16,42
K L
1m_1-10&61-70 1m_1-10&41-50
4,78 3,73
8,54 1,03
11,75 5,71
29,74 19,16
31,27 38,18
1,85 4,83
27,11 27,46
35,65 21,23
14,43 10,77
21,49 22,26
M
1m_1-10&21-30
6,74
23,47
6,61
19,95
32,89
3,18
20,06
5,39
10,86
14,84
N
1m_1-10&31-40&61-70
3,74
7,72
11,48
23,20
39,49
3,27
18,65
26,88
15,36
16,57
O P
1m_1-10&21-30&41-50 1m_1-10&21-30&41-50&61-70
4,82 4,40
16,21 16,33
5,90 8,56
16,15 19,54
34,95 32,54
4,81 4,13
20,85 21,07
16,30 28,97
10,15 11,62
19,62 21,63
Q
2m_2-70
4,14
13,47
8,29
17,29
43,28
3,40
20,49
20,59
12,26
21,03
R
5m_5-70
2,84
10,87
2,82
14,38
46,46
4,60
17,61
12,12
12,07
22,16
Lampiran 19 Jumlah jenis (S), nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan nilai indeks kemerataan Piellou (J’) dari karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan perlakuan Nilai S
Kode Perlakuan
Perlakuan
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
A B
1m_1-70 1m_1-60
94 94
64 60
67 66
71 69
57 54
81 75
57 53
53 52
60 58
50 50
C D
1m_1-50 1m_1-40
83 77
51 46
60 50
65 58
51 44
71 63
50 48
48 39
54 52
49 47
E
1m_1-30
72
37
45
52
39
53
41
35
48
44
F
1m_1-20
63
31
36
39
33
48
39
28
37
34
G H
1m_1-10 1m_1-30&41-70
44 91
22 56
28 66
27 67
16 54
37 74
21 52
14 50
28 57
26 48
I
1m_1-20&51-70
78
47
53
53
44
68
48
37
47
37
J
1m_1-20&31-50
76
46
55
58
46
68
50
44
47
40
K L
1m_1-10&61-70 1m_1-10&41-50
49 55
33 28
39 47
38 40
26 30
51 51
34 29
19 31
33 31
28 31
M
1m_1-10&21-30
60
28
42
44
26
46
33
26
40
37
N
1m_1-10&31-40&61-70
58
44
44
51
33
61
45
26
40
32
O P
1m_1-10&21-30&41-50 1m_1-10&21-30&41-50&61-70
69 72
34 43
53 57
55 58
37 42
56 64
35 42
36 39
43 45
41 41
Q
2m_2-70
73
42
51
55
44
65
46
32
39
39
R
5m_5-70
40
28
29
39
29
49
27
27
29
24
Lampiran 19 (lanjutan) Nilai H’
Kode Perlakuan
Perlakuan
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
A B
1m_1-70 1m_1-60
3,949 3,985
3,232 3,161
3,462 3,445
3,673 3,628
3,377 3,312
3,665 3,669
3,128 3,240
3,146 3,150
3,360 3,364
3,219 3,246
C D
1m_1-50 1m_1-40
3,948 3,932
3,079 3,092
3,383 3,262
3,593 3,515
3,286 3,177
3,630 3,583
3,187 3,309
3,161 3,055
3,292 3,322
3,261 3,228
E
1m_1-30
3,944
3,007
3,207
3,544
3,056
3,485
3,298
3,037
3,284
3,257
F
1m_1-20
3,876
2,888
3,075
3,364
3,269
3,470
3,348
2,967
3,117
3,016
G H
1m_1-10 1m_1-30&41-70
3,583 3,964
2,596 3,180
3,032 3,459
3,031 3,730
2,623 3,346
3,332 3,633
2,833 3,093
2,401 3,137
3,039 3,334
2,878 3,230
I
1m_1-20&51-70
3,887
3,139
3,339
3,609
3,379
3,632
3,175
3,023
3,271
2,972
J
1m_1-20&31-50
3,890
3,007
3,359
3,514
3,424
3,632
3,234
3,194
3,187
3,086
K L
1m_1-10&61-70 1m_1-10&41-50
3,598 3,692
2,934 2,684
3,247 3,411
3,385 3,344
3,032 3,075
3,483 3,508
2,691 2,883
2,521 2,980
3,095 2,988
2,876 3,012
M
1m_1-10&21-30
3,786
2,803
3,258
3,402
2,642
3,407
3,069
2,849
3,256
3,208
N
1m_1-10&31-40&61-70
3,643
3,074
3,194
3,573
3,140
3,557
2,932
2,749
3,189
2,921
O P
1m_1-10&21-30&41-50 1m_1-10&21-30&41-50&61-70
3,830 3,808
2,845 3,017
3,431 3,462
3,560 3,635
2,976 3,174
3,531 3,572
2,933 2,817
3,050 3,049
3,218 3,213
3,268 3,237
Q
2m_2-70
3,841
2,932
3,303
3,607
3,258
3,642
3,023
2,987
2,821
3,217
R
5m_5-70
3,437
2,858
2,972
3,402
3,061
3,491
2,908
2,872
2,845
2,788
Lampiran 19 (lanjutan) Nilai J’
Kode Perlakuan
Perlakuan
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
A B
1m_1-70 1m_1-60
0,869 0,877
0,777 0,772
0,823 0,822
0,862 0,857
0,835 0,830
0,834 0,850
0,774 0,816
0,792 0,797
0,821 0,829
0,823 0,830
C D
1m_1-50 1m_1-40
0,893 0,905
0,783 0,808
0,826 0,834
0,861 0,866
0,836 0,839
0,852 0,865
0,815 0,855
0,817 0,834
0,825 0,841
0,838 0,838
E
1m_1-30
0,922
0,833
0,842
0,897
0,834
0,878
0,888
0,854
0,848
0,861
F
1m_1-20
0,935
0,841
0,858
0,918
0,935
0,896
0,914
0,891
0,863
0,855
G
1m_1-10
0,947
0,840
0,910
0,920
0,946
0,923
0,931
0,910
0,912
0,883
H
1m_1-30&41-70
0,879
0,790
0,825
0,887
0,839
0,844
0,783
0,802
0,825
0,834
I
1m_1-20&51-70
0,892
0,815
0,841
0,909
0,893
0,861
0,820
0,837
0,850
0,823
J
1m_1-20&31-50
0,898
0,785
0,838
0,865
0,894
0,861
0,827
0,844
0,828
0,836
K
1m_1-10&61-70
0,924
0,839
0,886
0,931
0,931
0,886
0,763
0,856
0,885
0,863
L
1m_1-10&41-50
0,921
0,806
0,886
0,907
0,904
0,892
0,856
0,868
0,870
0,877
M
1m_1-10&21-30
0,925
0,841
0,872
0,899
0,811
0,890
0,878
0,874
0,883
0,888
N
1m_1-10&31-40&61-70
0,897
0,812
0,844
0,909
0,898
0,865
0,770
0,844
0,865
0,843
O P
1m_1-10&21-30&41-50 1m_1-10&21-30&41-50&61-70
0,905 0,890
0,807 0,802
0,864 0,856
0,888 0,895
0,824 0,849
0,877 0,859
0,825 0,754
0,851 0,832
0,855 0,844
0,880 0,872
Q
2m_2-70
0,895
0,784
0,840
0,900
0,861
0,872
0,789
0,862
0,770
0,878
R
5m_5-70
0,932
0,858
0,883
0,929
0,909
0,897
0,882
0,871
0,845
0,877
194
Lampiran 20 Persentase tutupan kelompok karang keras (HC) yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT (dengan pilihan M_10titik) Stasiun
BT
LIT
UPT M_10titik
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10 Rerata Kesalahan baku
39,17 34,91 35,71 21,25 25,94 58,88 30,81 28,50 20,77 18,63 31,46 3,75
45,27 37,39 37,94 20,17 23,19 55,96 30,89 27,17 21,83 19,74 31,95 3,82
42,50 39,00 48,00 17,00 27,50 53,00 32,00 37,00 16,00 23,50 33,55 3,99
Keterangan: 1. BT menggunakan panjang transek 70 m dan lebar transek 2 m, sehingga luas bidang pengamatan = (2 x 70) m2. 2. LIT menggunakan panjang transek 70 m. 3. UPT M_10titik = UPT menggunakan perlakuan M dan analisis foto menggunakan teknik pemilihan 10 sampel titik acak (tanpa memasukkan nama jenis karang keras). Perlakuan M adalah perlakuan dimana panjang transek 2 x 10 m dan pemotretan
diambil setiap 1 m, yaitu meter ke-1 hingga meter ke-10 dan meter ke-21 hingga meter ke-30.
195
Lampiran 21 Lamanya waktu (menit) untuk pemasukan data pada penggunaan metode UPT dengan pilihan M_10titik, C_30titik dan C_Area Stasiun
M_10titik
C_30titik
C_Area
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
19 18 18 19 18 19 18 18 17 19
87 79 82 81 89 92 95 81 87 75
538 511 549 564 506 536 568 478 541 453
Rerata Kesalahan baku
18,3 0,2
84,8 2,0
524,4 11,7
Keterangan: 1. M_10titik = UPT menggunakan perlakuan M dan analisis foto menggunakan teknik pemilihan 10 sampel titik acak (tanpa memasukkan nama jenis karang keras). 2. C_30titik = UPT menggunakan perlakuan C dan analisis foto menggunakan teknik pemilihan 30 sampel titik acak (tanpa memasukkan nama jenis karang keras). 3. C_Area = UPT menggunakan perlakuan C dan analisis foto menggunakan teknik menghitung luas area dengan memasukkan nama jenis karang keras. Lamanya waktu untuk C_Area (50 frame yang dianalisis per transek) diperkirakan dari lamanya waktu pemasukan data pada Lampiran 3 (yang menganalisis 70 frame per transek), dengan cara mengalikan lamanya waktu pada Lampiran 3 dengan (50/70). Contoh: lamanya waktu pemasukan data untuk C_Area pada ST01=753x(50/70)=537,85 menit atau sekitar 538 menit. 4. Perlakuan M adalah perlakuan dimana panjang transek (2 x 10)
m dan pemotretan diambil setiap 1 m, yaitu pada meter ke1 hingga meter ke-10 dan meter ke-21 hingga meter ke-30. 5. Perlakuan C adalah perlakuan dimana panjang transek 50 m dan pemotretan diambil setiap 1 m, mulai meter ke-1 hingga meter ke-50.
Lampiran 22 Persentase tutupan kelompok biota dan substrat (HC, DS, ALG, OF, ABI) yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT (dengan pilihan C_30titik) Stasiun
HC
DS
BT
LIT
UPT C_30titik
LIT
ST01
39,17
45,27
47,53
2,74
ST02
34,91
37,39
41,33
ST03
35,71
37,94
42,47
ST04
21,25
20,17
ST05
25,94
ST06 ST07
ALG
UPT C_30titik
OF
ABI
LIT
UPT C_30titik
LIT
UPT C_30titik
LIT
UPT C_30titik
2,67
45,20
43,93
2,11
2,87
4,67
3,00
2,97
2,20
41,87
43,40
4,47
2,47
13,30
10,60
0,31
0,00
54,51
50,27
1,56
1,40
5,67
5,87
19,20
1,04
0,47
55,63
64,60
5,54
3,53
17,61
12,20
23,19
23,80
2,93
1,53
29,13
34,20
6,67
1,20
38,09
39,27
58,88
55,96
54,13
0,96
0,13
36,14
38,00
2,47
3,53
4,47
4,20
30,81
30,89
32,13
0,07
0,07
46,67
48,40
5,03
5,00
17,34
14,40
ST08
28,50
27,17
30,07
4,37
5,47
52,10
52,53
1,79
1,33
14,57
10,60
ST09
20,77
21,83
17,73
0,00
0,00
67,51
69,27
1,31
2,00
9,34
11,00
ST10
18,63
19,74
23,40
0,44
0,00
57,16
54,47
2,07
1,93
20,59
20,20
Rerata Kesalahan baku
31,46 3,75
31,95 3,82
33,18 3,98
1,58 0,49
1,25 0,56
48,59 3,53
49,91 3,48
3,30 0,61
2,53 0,39
14,57 3,19
13,13 3,31
Keterangan: 1. BT menggunakan panjang transek 70 m dan lebar transek 2 m, sehingga luas bidang pengamatan = (2 x 70) m2. 2. LIT menggunakan panjang transek 70 m. 3. UPT C_30titik = UPT menggunakan perlakuan C dan analisis foto menggunakan teknik pemilihan 30 sampel titik acak (tanpa memasukkan nama jenis karang keras). Perlakuan C adalah perlakuan dimana panjang transek 50 m dan pemotretan diambil setiap 1 m, mulai meter ke-1 hingga meter ke-50.
Lampiran 23 Persentase tutupan kelompok biota dan substrat (HC, DS, ALG, OF, ABI) yang dihitung menggunakan metode BT, LIT dan UPT (dengan pilihan C_Area) Stasiun
HC
DS LIT
ALG
UPT C_Area
LIT
OF
UPT C_ Area
LIT
ABI
BT
LIT
UPT C_Area
UPT C_ Area
LIT
UPT C_ Area
ST01
39,17
45,27
44,03
2,74
3,56
45,20
45,99
2,11
2,98
4,67
3,45
ST02
34,91
37,39
36,96
2,97
1,56
41,87
44,61
4,47
3,26
13,30
13,61
ST03
35,71
37,94
37,22
0,31
0,28
54,51
52,26
1,56
1,21
5,67
9,04
ST04
21,25
20,17
18,35
1,04
0,63
55,63
63,26
5,54
2,29
17,61
15,47
ST05
25,94
23,19
21,46
2,93
1,53
29,13
31,22
6,67
1,55
38,09
44,25
ST06
58,88
55,96
50,69
0,96
0,19
36,14
41,91
2,47
2,82
4,47
4,40
ST07
30,81
30,89
30,54
0,07
0,14
46,67
48,09
5,03
4,53
17,34
16,71
ST08
28,50
27,17
26,01
4,37
5,77
52,10
53,27
1,79
1,21
14,57
13,74
ST09
20,77
21,83
16,54
0,00
0,00
67,51
71,98
1,31
1,06
9,34
10,42
ST10
18,63
19,74
20,40
0,44
0,00
57,16
62,55
2,07
1,03
20,59
16,01
Rerata
31,46
31,95
30,22
1,58
1,36
48,59
51,51
3,30
2,19
14,57
14,71
Kesalahan baku
3,75
3,82
3,69
0,49
0,60
3,53
3,77
0,61
0,37
3,19
3,60
Keterangan: 1. BT menggunakan panjang transek 70 m dan lebar transek 2 m, sehingga luas bidang pengamatan = (2 x 70) m2. 2. LIT menggunakan panjang transek 70 m. 3. UPT C_Area = UPT menggunakan perlakuan C dan analisis foto menggunakan teknik menghitung luas area dengan memasukkan nama jenis karang keras. Perlakuan C adalah perlakuan dimana panjang transek 50 m dan pemotretan diambil setiap 1 m, mulai meter ke-1 hingga meter ke-50.
198
Lampiran 24 Frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian menggunakan metode UPT dengan pilihan UPT C_Area Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Acropora aspera
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora brueggemanni
0
0
0
0
3
1
0
0
0
0
Acropora carduus
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Acropora cerealis
2
0
0
1
1
0
0
1
0
2
Acropora clathrata
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora cytherea
9
0
0
1
0
6
0
0
1
1
Acropora digitifera
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
Acropora divaricata
3
3
2
1
3
7
1
0
2
0
Acropora florida
4
0
4
3
1
6
0
1
1
0
Acropora formosa
7
0
0
0
0
0
1
6
0
2
Acropora gemmifera
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora humilis
1
0
1
4
0
2
0
0
3
0
Acropora hyacinthus
2
2
0
1
2
3
0
0
0
0
Acropora latistella
3
2
1
3
0
0
0
0
0
0
Acropora longicyathus
0
0
0
0
0
0
4
0
0
0
Acropora loripes
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Acropora microphthalma
3
0
0
1
28
5
0
0
0
0
Acropora millepora
0
0
0
3
6
9
0
0
0
2
Acropora monticulosa
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora nasuta
3
0
1
3
1
1
2
0
0
0
Acropora palifera
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
Acropora prostrata
1
0
1
0
0
3
0
0
0
0
Acropora pulchra
3
0
0
0
3
10
0
0
0
0
Acropora sarmentosa
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Acropora secale
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Acropora subglabra
1
0
0
0
0
1
1
4
0
0
Acropora tenuis
0
0
1
0
2
0
0
0
0
2
Acropora valida
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Acropora verweyi
0
0
0
0
0
3
0
1
0
0
Acropora yongei
1
0
0
0
1
3
0
0
0
0
Acropora sp.
8
3
3
8
3
10
3
3
0
1
Anacropora puertogalerae
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Astreopora gracilis
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Astreopora myriophthalma
5
2
0
1
0
0
0
2
0
2
Barabattoia amicorum
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Caulastrea furcata
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Coeloseris mayeri
2
1
5
4
0
7
1
0
2
0
Ctenactis echinata
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
Cyphastrea chalcidicum
19
13
38
30
6
10
2
3
1
5
Cyphastrea microphthalma
1
3
4
0
0
0
0
0
2
3
Cyphastrea serailia
2
8
6
0
0
5
0
0
3
4
Diploastrea heliopora
2
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Echinopora gemmacea
1
3
1
0
0
3
1
0
0
0
Echinopora horrida
0
0
2
0
0
0
3
2
0
2
Echinopora lamellosa
3
2
5
2
2
10
20
1
2
0
Euphyllia glabrescens
0
0
7
1
0
8
2
0
2
2
199
Lampiran 24 (lanjutan) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Favia favus
1
1
1
0
0
0
0
1
1
0
Favia laxa
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Favia maritima
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
Favia matthaii
0
0
3
0
2
6
1
0
5
8
Favia pallida
2
5
14
16
2
5
1
1
4
3
Favia rotumana
0
1
3
2
3
0
0
2
4
1
Favia rotundata
0
0
2
0
1
0
0
0
1
0
Favia speciosa
1
1
0
3
2
0
0
0
3
1
Favia veroni
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
Favia vietnamensis
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Favia sp.
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Favites abdita
3
0
9
4
1
4
0
1
1
0
Favites chinensis
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Favites complanata
0
0
0
0
0
0
0
0
4
1
Favites flexuosa
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
Favites halicora
4
0
3
3
0
3
0
2
2
2
Favites paraflexuosa
1
1
0
4
0
0
0
0
0
0
Favites pentagona
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Favites russelli
0
0
0
1
0
1
0
0
2
0
Favites sp.
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Fungia concinna
0
1
0
0
0
0
50
17
0
2
Fungia danai
2
0
0
0
1
1
2
4
1
0
Fungia fungites
3
1
0
0
2
1
20
10
0
0
Fungia paumotensis
0
2
0
1
0
0
14
31
0
0
Fungia repanda
0
0
0
0
7
0
5
0
0
0
Fungia sp.
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
Galaxea astreata
0
0
0
4
0
0
2
1
0
2
Galaxea fascicularis
8
6
6
5
3
19
0
2
0
3
Goniastrea edwardsi
4
1
13
11
1
2
2
3
1
2
Goniastrea favulus
1
0
0
1
0
0
0
0
1
1
Goniastrea palauensis
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
Goniastrea pectinata
4
2
10
3
1
2
0
0
4
3
Goniastrea ramosa
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Goniastrea retiformis
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Goniastrea sp.
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Goniopora columna
1
1
5
1
1
0
0
0
1
0
Goniopora lobata
0
3
1
3
1
9
2
1
0
1
Goniopora minor
0
1
2
3
0
0
0
0
0
0
Goniopora stokesi
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Goniopora tenuidens
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Heliopora coerulea
5
2
0
3
1
1
1
2
0
0
Herpolitha limax
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Herpolitha weberi
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Hydnophora exesa
0
0
0
0
0
4
1
0
1
1
Hydnophora microconos
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Hydnophora pilosa
0
0
5
0
0
1
0
0
2
1
Hydnophora rigida
4
9
2
6
4
5
7
1
0
2
Leptastrea pruinosa
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
200
Lampiran 24 (lanjutan) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Leptastrea purpurea
3
0
1
0
0
0
0
0
4
0
Leptastrea transversa
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
Leptoria irregularis
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
Leptoria phrygia
1
0
1
3
0
0
0
0
0
0
Lithophyllon undulatum
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Lobophyllia hataii
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Lobophyllia hemprichii
4
0
0
5
0
0
0
1
1
0
Merulina ampliata
0
0
0
2
0
1
0
0
1
0
Merulina scabricula
0
0
1
0
0
1
0
1
0
0
Millepora dichotoma
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
Millepora exesa
3
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Millepora tenella
5
1
1
0
0
1
7
10
1
0
Montastrea curta
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Montastrea valenciennesi
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
Montipora aequituberculata
0
1
0
0
0
6
0
0
0
0
Montipora capricornis
0
0
0
0
0
10
0
0
0
0
Montipora confusa
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Montipora crassituberculata
0
0
0
0
0
0
0
3
0
1
Montipora danae
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Montipora digitata
1
3
10
0
3
15
4
0
0
0
Montipora foliosa
27
27
11
12
9
54
10
31
2
5
Montipora hispida
1
0
2
0
0
1
0
0
0
0
Montipora informis
12
5
9
24
5
29
3
1
9
13
Montipora millepora
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Montipora monasteriata
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Montipora peltiformis
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Montipora turgescens
0
0
0
0
0
0
0
1
0
3
Montipora undata
1
0
0
0
2
0
0
0
1
0
Montipora venosa
0
1
0
10
1
0
0
0
30
16
Montipora sp.
14
1
0
1
4
0
0
0
4
0
Mycedium elephantotus
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Oxypora lacera
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
Pachyseris rugosa
3
0
0
2
0
0
0
0
2
0
Pachyseris speciosa
8
1
0
3
0
0
4
0
0
0
Pavona cactus
0
0
0
0
0
0
17
20
0
0
Pavona decussata
0
0
0
2
1
1
1
4
0
0
Pavona frondifera
1
0
0
0
1
2
0
0
0
0
Pavona varians
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Pavona venosa
0
0
0
0
0
0
3
0
2
0
Pectinia alcicornis
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
Pectinia lactuca
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Platygyra daedalea
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Platygyra lamellina
1
0
1
1
0
2
0
0
1
0
Platygyra pini
1
1
0
0
2
1
0
0
1
2
Platygyra sinensis
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
Pocillopora damicornis
2
0
0
0
0
6
0
0
3
0
Pocillopora eydouxi
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
Pocillopora verrucosa
2
0
0
0
0
1
0
0
0
0
201
Lampiran 24 (lanjutan) Jenis
ST01
ST02
ST03
ST04
ST05
ST06
ST07
ST08
ST09
ST10
Porites annae
0
0
3
2
18
21
9
5
0
0
Porites cylindrica
9
11
16
11
2
3
11
18
0
5
Porites lichen
2
7
3
5
9
28
5
1
11
9
Porites lobata
11
9
15
1
1
8
0
1
4
7
Porites lutea
19
22
41
35
10
29
11
11
36
35
Porites negrosensis
0
0
0
2
2
0
0
0
0
0
Porites nigrescens
0
0
1
3
1
3
43
15
3
0
Porites rus
5
58
31
11
33
18
10
14
3
21
Porites solida
0
1
1
1
0
1
0
0
5
3
Porites sp.
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Psammocora contigua
0
1
1
0
0
3
2
1
0
1
Psammocora digitata
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Sandalolitha robusta
0
1
0
0
0
0
0
1
1
0
Scolymia australis
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Seriatopora hystrix
4
7
0
6
10
22
7
1
0
0
Stylophora pistillata
3
0
0
2
0
0
0
0
0
0
Symphyllia agaricia
5
1
1
6
0
0
0
0
1
2
Symphyllia radians
4
1
2
1
0
0
0
0
0
1
Symphyllia recta Symphyllia valenciennesi
0 0
1 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 1
0 0
308
245
323
302
212
456
309
247
189
193
Total frekuensi kehadiran (N)
Keterangan: UPT C_Area adalah penggunaan metode UPT dengan perlakuan C (menggunakan panjang transek 50 m dan pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan interval jarak pemotretan 1 m) dengan proses analisis foto mengggunakan teknik menghitung luas area.
202
Lampiran 25 Jumlah jenis (S), nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan nilai indeks kemerataan Piellou (J’) dari karang keras yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan metode pengambilan sampel yang digunakan (BT, LIT dan UPT C_Area) S Stasiun
H'
J'
BT
LIT
UPT C_Area
BT
LIT
UPT C_Area
BT
LIT
UPT C_Area
ST01 ST02
128 101
65 47
83 51
4,363 3,774
3,843 3,095
3,948 3,079
0,899 0,818
0,921 0,804
0,893 0,783
ST03
103
51
60
3,910
3,388
3,383
0,844
0,862
0,826
ST04
104
52
65
4,078
3,672
3,593
0,878
0,929
0,861
ST05
94
36
51
3,908
3,262
3,286
0,860
0,910
0,836
ST06
108
61
71
3,969
3,734
3,630
0,848
0,908
0,852
ST07
93
35
50
3,695
2,953
3,187
0,815
0,831
0,815
ST08
90
35
48
3,702
3,000
3,161
0,823
0,844
0,817
ST09 ST10
98 89
42 34
54 49
3,795 3,723
3,160 3,027
3,292 3,261
0,828 0,829
0,845 0,858
0,825 0,838
Keterangan: 1. BT menggunakan panjang transek 70 m dan lebar transek 2 m, sehingga luas bidang pengamatan = (2 x 70) m2. 2. LIT menggunakan panjang transek 70 m. 3. UPT C_Area menggunakan panjang transek 50 m dan pemotretan diambil setiap 1 m, mulai meter ke-1 hingga meter ke-50.