INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK WISATA BAHARI (SNORKELING DAN SELAM) DI PULAU KERA, PULAU LUTUNG DAN PULAU BURUNG DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG
ALDINO AKBAR
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK WISATA BAHARI (SNORKELING DAN SELAM) DI PULAU KERA, PULAU LUTUNG DAN PULAU BURUNG DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG
ALDINO AKBAR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK ALDINO AKBAR. Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh Unggul Aktani dan Fredinan Yulianda. Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung memiliki potensi ekosistem terumbu karang di perairannya yang belum diketahui dengan jelas. Belum tersedianya data mengenai ekosistem terumbu karang mungkin salah satu penyebab belum berkembangnya wisata bahari di Kecamatan Sijuk tersebut. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret – April 2006 tersebut bertujuan untuk mengetahui potensi ekosistem terumbu karang sebagai dasar untuk menentukan kesesuaian ketiga pulau tersebut menjadi objek wisata bahari untuk selam dan snorkeling. Pengamatan penutupan habitat dasar menggunakan metode visual transek kuadrat, jenis dan kelimpahan ikan karang menggunakan metode sensus visual dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Parameter fisika dan kimia perairan diukur secara insitu di tempat yang sama saat pengamatan karang dan ikan karang. Data hasil pengamatan di lapangan dianalisis dengan matriks kesesuaian wisata bahari menurut Bakosurtanal (1996). Tipe terumbu karang yang terdapat di perairan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung merupakan terumbu karang tepi (fringing reef). Kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut termasuk kategori sedang. Rata - rata penutupan karang hidup dari yang tertinggi sampai terendah terdapat di Pulau Burung, P. Lutung dan P. Kera. Jumlah spesies ikan karang di P. Kera dan P. Lutung cukup beragam, namun di P. Burung ditemukan paling beragam. Daerah tujuan utama untuk dikunjungi dan dikembangkan menjadi objek wisata bahari terdapat di Utara Pulau Kera, Barat dan Selatan Pulau Lutung dan Barat dan Selatan Pulau Burung. Hasil analisis kesesuaian wisata bahari untuk P. Kera, P. Lutung dan P. Burung secara berurutan adalah 660, 660 dan 692 yang berarti ketiga pulau tersebut cukup sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari. Namun, dari 12 stasiun yang diamati hanya terdapat 2 titik yang bisa dilakukan kegiatan selam yaitu di Barat P. Lutung dan Barat P. Burung dan lainnya hanya bisa dilakukan kegiatan snorkeling karena dibatasi oleh kedalaman perairan.
Judul Skripsi
: Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.
Nama Mahasiswa
: Aldino Akbar
NIM
: C24102061
Diketahui :
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Unggul Aktani NIP. 131956707
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.sc NIP. 131788596
Mengetahui : Dekan Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Tanggal Lulus : 12 Desember 2006
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK WISATA BAHARI (SNORKELING DAN SELAM) DI PULAU KERA, PULAU LUTUNG DAN PULAU BURUNG DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2006
ALDINO AKBAR C24102061
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua karunia yang telah diberikan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung”. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Unggul Aktani dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan hingga penyelesaian skripsi. 2. Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil sebagai dosen penguji tamu atas saran serta arahannya dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai ketua Program Pendidikan S-1 dan sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, terima kasih atas bimbingan dan arahannya hingga penyelesaian skripsi. 4. Ibu Ir. Niken T.M.P M.Si, selaku pembimbing akademik atas segala nasehat dan bimbingannya. 5. PEMKAB. Belitung atas bantuan dana untuk melaksanakan penelitian ini. 6. Dinas KESBANGLING dan PEMAS, Bang Lutfy, Bang Ramdan, Fachrizal Setiawan dan Belly yang telah membantu pengambilan data pada saat penelitian. 7. BAPPEDA Kabupaten Belitung atas bantuan data – data sekunder untuk penyelesaian penulisan skripsi. 8. Seluruh dosen dan staf karyawan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan serta Fakultas Periakanan dan Ilmu Kelautan. 9. Bapak, Ibu dan Adek tercinta yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis, dan 10. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Bogor, Januari 2007
Aldino Akbar
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xii
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 1.3 Tujuan ........................................................................................... 1.4. Manfaat ...........................................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Terumbu Karang.......................................................... 2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang ........................................................................ 2.3. Komunitas Ikan Karang ................................................................ 2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang........................................ 2.4.1 Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam ................ 2.4.2 Kerusakan Terumbu Karang Akibat Kegiatan Manusia ........ 2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata .......................................... 2.4.2.2. Karena kegiatan non-pariwisata................................... 2.5. Pariwisata Bahari ......................................................................... 2.6. Aspek Sosisal Ekoturisme............................................................. 2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata.........
1 3 3 3
4 5 10 13 13 14 14 15 17 19 21
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 3.2. Metode Pengambilan Sampel........................................................ 3.2.1. Penentuan Stasiun Pengamatan............................................. 3.2.2. Pengambilan Data Karang .................................................... 3.2.3. Pengambilan Data Ikan Karang ............................................ 3.2.4. Data Pendukung .................................................................... 3.3. Analisa Data .................................................................................. 3.3.1. Penutupan Habitat Dasar dan Indeks Mortalitas Karang ...... 3.3.2. Komunitas Ikan Karang ........................................................ 3.3.3. Analisis Data Kualitas Air .................................................... 3.3.4. Matriks Kesesuaian Untuk Pariwisata Bahari ......................
23 23 23 23 26 28 29 29 30 31 31
IV. PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian .................................................
vii
33
4.1.1. Kondisi Geografis dan Administrasi Wilayah ..................... 4.1.2. Topografi.............................................................................. 4.1.3. Kondisi Iklim dan Curah Hujan ........................................... 4.1.4. Sungai................................................................................... 4.1.5. Sosial, Ekonomi dan Budaya ............................................... 4.1.5.1. Penduduk..................................................................... 4.1.5.2. Agama dan tempat peribadatan................................... 4.1.5.3 Sarana perhubungan dan transportasi........................... 4.2. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ........................................... 4.2.1. Persen Penutupan dan IMK.................................................. 4.2.1.1. Persen penutupan dan IMK P. Kera............................ 4.2.1.2. Persen penutupan dan IMK P. Lutung ........................ 4.2.1.3. Persen penutupan dan IMK P. Burung........................ 4.2.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang .............................. 4.2.2.1. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Kera..................................................................... 4.2.2.2. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Lutung................................................................. 4.2.2.3. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Burung ................................................................ 4.2.3. Kondisi Komunitas Ikan Karang........................................... 4.2.3.1. Kondisi komunitas ikan karang di P. Kera.................. 4.2.3.2. Kondisi komunitas ikan karang di P. Lutung.............. 4.2.3.3. Kondisi komunitas ikan karang di P. Burung ............. 4.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan........................................... 4.3.1. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Kera...................... 4.3.2. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Lutung.................. 4.3.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Burung ................. 4.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Sebagai Objek Wisata Bahari ..... 4.4.1. Kesesuaian P. Kera Sebagai Objek Wisata Bahari .............. 4.4.2. Kesesuaian P. Lutung Sebagai Objek Wisata Bahari........... 4.4.3. Kesesuaian P. Burung Sebagai Objek Wisata Bahari .......... 4.5. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari .............................................. 4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Kera .................... 4.5.2. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Lutung ................ 4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Burung ................ 4.6. Persepsi Masyarakat dan Instansi-Instansi Pemerintah Terkait ... 4.6.1. Persepsi Masyarakat Desa Tanjung Binga........................... 4.6.2. Tanggapan Instansi-instansi Pemerintahan yang Terkait dengan Pengembangan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung .. 4.6.2.1. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung ....................................................................... 4.6.2.2. BAPPEDA Kabupaten Belitung ................................. 4.6.2.3. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Belitung ....................................................................... 4.6.2.4. Kecamatan Sijuk ......................................................... 4.6.2.5. Pemerintahan Desa Tanjung Binga.............................
viii
33 34 34 35 35 35 37 38 39 39 39 43 45 49 49 49 50 51 51 52 53 54 54 55 55 56 56 58 59 60 60 61 61 63 63 64 64 64 64 65 65
4.7. Manajemen Pengelolaan Pulau .................................................... 4.7.1. Pengelolaan P. Kera ............................................................. 4.7.2. Pengelolaan P. Lutung ......................................................... 4.7.3. Pengelolaan P. Burung .........................................................
66 66 68 69
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 5.2. Saran..............................................................................................
72 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
73
LAMPIRAN...............................................................................................
77
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
99
ix
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kategori bentuk pertumbuhan dan kodenya (English et al 1994)......................................................................
25
Tabel 2. Alat dan metode pengambilan data karang dan ikan karang........
27
Tabel 3. Parameter kualitas perairan yang diukur......................................
29
Tabel 4. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasar persen penutupan karang (Gomez dan Yap 1988).........
29
Tabel 5. Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari (snorkeling dan selam) (Modifikasi dari Bakosurtanal 1996).........................
32
Tabel 6. Komposisi penduduk Desa Tanjung Binga Bulan Maret 2006 ...................................................................................
36
Tabel 7. Jenis pekejaan dan jumlah tenaga kerja .......................................
36
Tabel 8. Sarana/prasarana perhubungan.....................................................
38
Tabel 9. Sarana perhubungan....................................................................
38
Tabel 10. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Kera ...........................................
40
Tabel 11. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Lutung .......................................
43
Tabel 12. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Burung.......................................
46
Tabel 13. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Kera ......................................... .
51
Tabel 14. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Lutung .....................................
52
Tabel 15. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Burung.....................................
53
Tabel 16. Nilai kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk wisata bahari……………………………………...…….…
56
x
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian (Sumber : BAPPEDA Kab. Belitung 2005)...........................................................................
24
Gambar 2. Pengambilan data ikan karang dengan metode pencacahan langsung (Sumber : English et al 1994) ................
27
Gambar 3. Piramida Penduduk Desa Tanjung Binga (Sumber: Monografi Desa Tanjung Binga 2005 Diolah)..........................
35
Gambar 4. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P. Kera ...................
41
Gambar 5. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P.Lutung ................
44
Gambar 6. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P. Burung ...............
47
Gambar 7. Peta titik-titik aktivitas wisata bahari di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung .........................................................
62
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Peta Sebaran Potensi Perikanan dan Kelautan (Sumber : BAPPEDA Kab. Belitung 2005)............................ 77 Lampiran 2. Kuisioner Untuk Masyarakat Sekitar .....................................
78
Lampiran 3. Kuisioner Untuk Instansi Pemerintahan Terkait ....................
79
Lampiran 4. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004.................................................................. Lampiran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Wisata Bahari.......................... Lampiran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut ...............................
80 80 81
Lampiran 5. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang................................ Lampiran 5.1. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Kera............................................................................. Lampiran 5.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Lutung......................................................................... Lampiran 5.1 Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Burung ........................................................................ Lampiran 6. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang................................ Lampiran 6.1. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang di P. Kera.............................................................................. Lampiran 6.2. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang di P. Lutung.......................................................................... Lampiran 6.3. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang di P. Burung ......................................................................... Lampiran 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan ..................................... Lampiran 7.1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Kera.................................................................................. Lampiran 7.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Lutung .............................................................................. Lampiran 7.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Burung ............................................................................. Lampiran 8. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari......................................... Lampiran 8.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Kera......................... Lampiran 8.1.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Kera Secara Umum ....................................................... Lampiran 8.1.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat Kera ................................................................................... Lampiran 8.1.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Kera...............................................................................
xii
84 84 84 85 86 86 87 88 91 91 91 92 93 93 93 93 93
Lampiran 8.1.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Kera............................................................................... Lampiran 8.1.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Kera............................................................................... Lampiran 8.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Lutung ..................... Lampiran 8.2.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Lutung Secara Umum ................................................... Lampiran 8.2.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Lutung ........................................................................... Lampiran 8.2.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Lutung ........................................................................... Lampiran 8.2.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Lutung ........................................................................... Lampiran 8.2.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Lutung ........................................................................... Lampiran 8.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Burung..................... Lampiran 8.3.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Burung Secara Umum................................................... Lampiran 8.3.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Burung .......................................................................... Lampiran 8.3.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Burung .......................................................................... Lampiran 8.3.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Burung .......................................................................... Lampiran 8.3.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Burung .......................................................................... Lampiran 9. Foto Pulau-pulau..................................................................... Lampiran 9.1. Foto P. Kera......................................................................... Lampiran 9.2. Foto P. Lutung ..................................................................... Lampiran 9.3. Foto Pantai di Selatan P. Burung.........................................
xiii
93 94 94 94 94 94 95 95 95 95 95 96 96 96 97 97 97 98
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Belitung merupakan bagian dari wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang juga merupakan wilayah kepulauan yang memiliki luas wilayah daratan 4.800 km2, luas laut 29.606 km2, luas wilayah pesisir 1.900 km2, panjang garis pantai 195 km dan jumlah pulau kecil sebanyak 189 buah (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). Setelah mengalami pemekaran, Pulau Belitung dibagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur. Kabupaten Belitung secara administratif memiliki luas wilayah 2.293,69 km2 yang terdiri dari 98 buah pulau dan terbagi menjadi 5 kecamatan yang memiliki wilayah daratan utama dan pulaupulau kecil di wilayah lautnya. Kabupaten Belitung merupakan wilayah kepulauan yang secara geografis dikelilingi oleh laut dan selat dengan kondisi daerah pesisir berupa hamparan pasir putih, bebatuan granit dengan mozaik nan indah dan deburan air laut yang jernih dengan terumbu karang dan pulau-pulau kecil. Maka dari itu, objek wisata yang telah ada dan dikembangkan lebih mengarah ke objek wisata pantai seperti pantai Tanjung Tinggi, pantai Tanjung Kelayang, Tanjung Pendam dan sebagainya. Batuan granit dapat ditemukan di perairan dangkal dan di pematang pantai yang tersusun secara alami. Pematang pantai lama dan sekarang dengan lebar 100 – 300 meter dapat dimanfaatkan untuk pembangunan hotel dan pondok peristirahatan serta restoran. Di perairan laut Kabupaten Belitung ditemukan 76 jenis ikan hias yang mewakili 18 suku. Bagi turis yang menyenangi olahraga selam, disarankan untuk melihat taman laut di Pulau Lengkuas, Pulau Kepayang dan Pulau Kembung. Kedua hal diatas merupakan potensi yang sangat menarik bagi turis yang senang menikmati pemandangan bawah laut (PPRTKIM 1995). Kecamatan Sijuk merupakan salah satu bagian yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Belitung yang memiliki 23 pulau yang dipisahkan oleh wilayah lautnya dari daratan utama. Kondisi pesisir Kecamatan Sijuk berupa hamparan pasir putih di sepanjang pantai diselingi bebatuan granit yang tersusun indah dan pemandangan matahari terbenam (sunset) di sore hari.
2
Pantai-pantai di Kecamatan Sijuk sudah sejak lama menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan domestik yang berasal dari berbagai daerah di Pulau Belitung. Jarak antara pulau-pulau yang terdapat di perairan Kecamatan Sijuk tersebut tidaklah berjauhan dari tempat wisata lainnya yang sudah umum seperti Tanjung Kelayang, Tanjung Tinggi dan Bukit Berahu, tetapi pulau-pulau tersebut dan perairannya belum dikembangkan menjadi objek wisata secara serius. Sampai saat ini objek wisata yang dikembangkan di Kecamatan Sijuk hanya sebatas wisata pantai saja dan belum ada pihak baik swasta maupun pemerintah yang tertarik untuk mengembangkan objek wisata bahari. Belum dikembangkannya objek wisata bahari di Kecamatan Sijuk antara lain disebabkan belum tersedianya data mengenai potensi terumbu karang dan ikan karang serta kondisi perairan di suatu wilayah yang spesifik untuk menjadi dasar penentuan bentuk wisata bahari yang akan dikembangkan. Peta master plan tentang etalase perikanan dan kelautan dalam BAPPEDA Kabupaten Belitung (2005) (Lampiran 1) memuat bahwa terdapat potensi terumbu karang di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk tersebut. Namun, belum diketahui jelas potensi terumbu karang yang dimaksud. Pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang terdapat di ketiga pulau tersebut saat ini hanya sebatas tempat untuk mencari ikan bagi nelayan setempat. Potensi tersebut mungkin bisa lebih dimanfatkan semisal menjadi objek wisata bahari khususnya untuk aktivitas snorkeling dan selam. Sehingga dirasakan perlu adanya suatu penelitian untuk mengungkap potensi bahari di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung tersebut khususnya yang terdapat di ekosistem terumbu karang, sehingga bisa diketahui kondisi ekosistem terumbu karang berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang, jenis dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di ketiga pulau tersebut untuk kemudian dianalisis keseuaiannya untuk dijadikan suatu objek wisata bahari khususnya untuk aktivitas snorkeling dan selam. Dengan adanya data tentang kondisi ekosistem terumbu karang yang terdapat di ketiga pulau tersebut, maka diharapkan akan dapat memberikan informasi dan masukan sebagai pertimbangan untuk membuat perencanaan pengembangan dan pengelolaan kawasan tersebut.
3
1.2. Rumusan Masalah Ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung, yaitu : 1. Belum diketahui potensi dan kondisi ekosistem terumbu karang yang berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang dan bentuk pertumbuhannya, serta jenis ikan karang dan kelimpahannya yang terdapat di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung. 2. Belum diketahui seberapa besar kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari (snorkeling dan selam).
1.3. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui potensi di ekosistem terumbu karang yang berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang dan bentuk pertumbuhannya, serta jenis dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di perairan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung. 2. Menganalisis kesesuaian potensi ekosistem terumbu karang P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk pemanfaatan wisata bahari khususnya untuk snorkeling dan selam.
1.4. Manfaat Hasil penelitian ini yaitu dapat diketahui persen penutupan terumbu karang, jenis terumbu karang dan bentuk pertumbuhannya serta jenis dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung di Kecamatan Sijuk sehingga diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk pembuatan perencanaan pengembangan wilayah tersebut khususnya untuk pengembangan wisata bahari untuk snorkeling dan selam.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA Inventarisasi menurut P3B Depdikbud (1989) yaitu pencatatan atau pendaftaran barang-barang milik atau pengumpulan data. Potensi yaitu kekuatan, kemampuan,
kesanggupan,
kekuasaan,
kemampuan
yang
mempunyai
kemungkinan untuk dikembangkan atau sesuatu yang dapat menjadi aktual. Menurut Nybakken (1988), terumbu karang adalah endapan - endapan masif yang penting dari kalsium karbonat terutama dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa inventarisasi potensi ekosistem
terumbu
karang
untuk
wisata
bahari
yaitu
mencatat
atau
mengumpulkan data berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang, jumlah bentuk pertumbuhan, jenis dan kelimpahan ikan karang serta kondisi perairan yang terdapat di suatu ekosistem terumbu karang yang bisa menjadi dasar untuk mengetahui seberapa besar kesesuaian dan kemungkinan suatu wilayah untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari.
2.1. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam di dunia. Sebanding dengan hutan hujan dalam keanekaragaman hayatinya dan merupakan sumber keuntungan ekonomi yang besar dari perikanan dan pariwisata, ekosistem terumbu karang adalah salah satu kepentingan dunia. Selain itu, karang memegang fungsi penting di negara - negara berkembang, khususnya di negaranegara kepulauan berkembang (Westamacott et al. 2000). Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa salah satu fungsi ekosistem terumbu karang yaitu sebagai penyedia kesempatan atau peluang untuk rekreasi, dan salah satu manfaat terumbu karang yang berkelanjutan yaitu sebagai wisata bahari yaitu wisata yang berorientasi cahaya matahari, laut dan pasir, snorkeling dan selam SCUBA merupakan daya tarik utama di banyak pulau di daerah tropis. Ironisnya, ekosistem terumbu karang di Indonesia, walaupun sangat penting untuk makanan dan penerimaan devisa dari pariwisata dan perikanan lepas pantai yang berasosiasi dengan karang, tidak dikelola dengan baik, sehingga hasilnya adalah terjadi
5
degradasi secara cepat. Dahuri et al. (2004) menyatakan bahwa daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir dan sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan, burung dan hewan-hewan lain. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa andalan utama kegiatan wisata bahari yang banyak diminati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi.
2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang Kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada kondisi lingkungan pesisir, seperti kebersihan, keunikan dan keindahan di lingkungan pantai, baik untuk dimanfaatkan maupun dinikmati oleh wisatawan. Andalan utama kegiatan wisata bahari yang banyak dinikmati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi (Supriharyono 2000). Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik pastinya harus didukung oleh kondisi perairan yang baik pula. Adapun parameter-parameter fisika dan kimia yang mempengaruhi kehidupan terumbu karang yaitu : ¾ Cahaya Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh Zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang, dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15 - 20 % dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air (Veron 1995). Keadaan awan di suatu tempat mempengaruhi pencahayaan pada waktu siang hari, kondisi ini
6
mempengaruhi pertumbuhan karang (Goreau dan Goreau 1959 dalam Supriharyono 2000). Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada kedalaman yang cukup dalam (Supriharyono 2000). Efek yang mungkin dari ketersediaan sinar pada kedalaman dan distribusi lintang dari karang sepertinya kecil dibandingkan dengan kecerahan perairan, temperatur, pertumbuhan musiman dari makroalga, cahaya spesifik yang dibutuhkan oleh Zooxanthellae dan mekanisme dari adaptasi terhadap cahaya. Karang umumnya terdapat pada perairan yang jernih sampai kedalaman 30 m dan kadang-kadang lebih dari 40 m dimana tersedia substrat horizontal yang cocok (Veron 1995). Menurut Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000), secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m. ¾ Suhu Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang. Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 22 - 29 oC. Batas maksimum dan minimum suhu berkisar antara 16 - 17 oC dan sekitar 36 oC (Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2000). Veron 1995 menyatakan bahwa temperatur minimal untuk karang adalah 18 oC, terus-menerus dalam periode waktu yang berlarut - larut telah diketahui sebagai temperatur minimum permukaan laut dimana fungsional karang-karang secara normal terekspos. Sangat sedikit karang berZooxanthellae yang diketahui dapat mentoleransi suhu di bawah 11 oC. Jokiel dan Coles (1977), Glynn (1984), Hoegh-Guldberg dan Smith dalam Veron (1995) menyatakan bahwa nilai pembatas dari temperatur tinggi dari pentingnya ekologi adalah mencapai maksimal 30 - 34 oC. Nilai maksimun ini bervariasi secara geografi dan waktu penyinaran, dimana toleransi lebih dari 2 oC lebih tinggi di daerah-daerah tropis dari pada di daerah temperate (Coles et al. 1976, Coles dan Jokiel 1977 dalam Veron 1995). Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap binatang karang lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrem, yaitu suhu maksimum atau minimum saja, namun lebih
7
karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level). Menurut Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) dalam Supriharyono (2000), perubahan suhu secara mendadak sekitar 4 – 6 oC di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikan. Suhu di perairan Kabupaten Belitung, pada bulan oktober 2005 secara keseluruhan berkisar antara 28,93 – 29,37 oC dengan rata-rata 29,12 oC. Nilai suhu pada lapisan permukaan (0 m), 5 m, dan 10 m masing-masing berkisar antara 28,97 – 29,37 oC dengan rata-rata 29,15 ºC; 28,97 - 29,25 ºC dengan rata-rata 29,13 ºC dan 28,93 - 29,18 ºC dengan rata-rata 29,06 ºC. Nilai rata-rata suhu di perairan Kabupaten Belitung yaitu 29,12 ºC (BAPPEDA Provinsi BangkaBelitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). ¾ Salinitas Binatang karang hidup pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36 ‰ (Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2000). Namun, pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam seperti run-off, badai dan hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17,5 - 52,5 ‰ (Vaughan 1919, Wells 1932 dalam Supriharyono 2000). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan diatas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai Bandengan, Jepara, Jawa Tengah salinitas nol permil (0 ‰) untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan air tawar sungai (Supriharyono 2000). Salinitas di perairan Belitung Barat pada Oktober 2005 berkisar antara 32,62 – 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,04 ‰. Nilai salinitas yang terendah (32,62 ‰) diperoleh di Stasiun 1 pada lapisan permukaan (0 m) dan tertinggi (33,32 ‰) di Stasiun 4 pada kedalaman 10 m. Nilai salinitas di perairan Belitung Barat pada lapisan permukaan (0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 32,62 – 33,26 ‰ dengan rata-rata 33,01 ‰; 32,62 – 33,29 ‰ dengan rata-rata 33,02 ‰ dan 33,00 – 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,11 ‰. Nilai rata-rata salinitas yaitu 33,04 ‰ lebih tinggi bila dibandingkan dengan di perairan Belitung Barat bulan Juni 2005 (31,37 ‰) (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI
8
Tanjungpandan 2005). Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000) mengatakan bahwa daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Sebagai contoh, Acropora dapat bertahan pada salinitas 40 ‰ hanya bertahan beberpa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan sampai salinitas 48 ‰. ¾ Sedimentasi Hubbard dan Pocock (1972), Bak dan Elgershuizen (1976), Bak (1978) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimen dapat langsung mematikan binatang karang, yaitu apabila sediment tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polip. Pengaruh tidak langsung dari sedimentasi adalah menurunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk fotosintesis Zooxanthellae dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang karang untuk untuk menghalau sediment tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985, Supriharyono 1986 dalam Supriharyono 2000). Perairan yang sedimentasinya tinggi atau keruh memiliki keanekaragaman karang dan tutupan karang hidup cenderung rendah. Loya (1976a) dalam Supriharyono (2000) menyatakan pada perairan Puerto Rico yang sedimentasinya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 3,0 - 15,0 mg/cm2/hari, keanekaragaman dan tutupan karang hidupnya relatif rendah dibandingkan dengan di daerah yang lebih jernih. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimentasi dapat disebabkan oleh pembangunan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktivitas pertanian dapat membebaskan sediment ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Laju sedimentasi biasanya bervariasi dari rendah ke tinggi, tergantung besar kecilnya dan kontinuitas aktivitas diatas serta musim. Suatu daerah yang tidak banyak menerima limpahan sediment dari sungai, seperti di daerah kepulauan, laju sedimentasinya cenderung rendah. Terkecuali ada aktivitas yang merangsang terbentuknya sediment, seperti pengerukan, pengeboman, badai dan sebagainya. Namun apabila perairan karang tersebut lokasinya berdekatan dengan muara sungai, yang pengelolaan lahan di atasnya buruk biasanya laju sedimentasinya tinggi, terutama di musim penghujan. Pomeroy et al. (1965) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa di daerah tropis ada kecenderungan bahwa sediment mengadopsi unsur-unsur hara
9
tanah. Hal ini menyebabkan perairan yang keruh oleh sediment menjadi subur, dan kondisi ini sering menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang. Walker dan Ormond (1982) dalam Supriharyono (2000) melaporkan bahwa adanya unsur-unsur hara yang terkontaminasi pada sediment di perairan karang Aqaba, Red Sea, menyebabkan pertumbuhan makro alga, terutama Ulva lactuca dan Enteromorpha clathrata. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman karang di perairan tersebut turun. Menurut Supriharyono (2000) unsur hara yang terikat pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga Ulva reticulata seperti yang terjadi di Pantai Bandengan Jepara. Makro alga tersebut mulai tumbuh pesat pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima sediment yang cukup tinggi dari perairan sungai di sekitarnya. Makro alga ini umumnya menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat seperti Acropora sp dan Montipora digitata. Kadar zat hara (fosfat, nitrat, nitrit, ammonia dan silikat) di perairan Belitung secara umum relatif tinggi, hal ini sangat dipengaruhi sumbangan limbah organik dari daratan serta proses pasang surut dengan terjadinya pengadukan masa air laut yang mengakibatkan naiknya zat-zat hara dari dasar perairan ke permukaan. Bila ditinjau dari kadar fosfat dan nitrat yang merupakan salah satu indikator kesuburan, maka perairan kabupaten Belitung masih baik untuk budidaya perikanan (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). ¾ pH Nilai pH suatu perairan dipengaruhi beberapa faktor, seperti aktivitas fotosintetis, terdapatnya anion dan kation serta suhu. Batas toleransi organisme akuatik terhadap nilai pH bervariasi tergantung pada suhu air laut, konsentrasi oksigen terlarut dan adanya anion dan kation (PESCOD 1978 dalam BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). pH dalam air laut relatif stabil dan biasanya berada dalam kisaran 7,5 – 8,4. Perairan yang produktif dan ideal bagi kehidupan biota akuatik adalah yang pH-nya berkisar antara 6,5 – 8,5. Batasan nilai pH yang diizinkan berkisar antara 7 – 8,5 (KLH 2004). Secara keseluruhan nilai pH di perairan Belitung, Oktober 2005 berkisar antara 8,02 – 8,24 dengan rata-rata 8,11. Nilai pH di perairan Belitung pada lapisan permukaan
10
(0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 8,02 – 8,17 dengan rata-rata 8,08; 8,04 – 8,21 dengan rata-rata 8,11 dan 8,08 – 8,24 dengan rata-rata 8,15. Nilai rata-rata pH tersebut (8,11 ‰) lebih rendah bila dibandingkan dengan di perairan Belitung Barat bulan Juni 2005 (8,17) (BAPPEDA Propinsi BangkaBelitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). ¾ Oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan berperan penting dalam pernafasan biota laut. Permasalahan akan timbul bilamana konsentrasi okaigen tersebut berubah sampai batas di luar batas angka normal dalam suatu perairan. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air laut bervariasi, di laut lepas bisa mencapai 7 ml/l sedangkan di wilayah pesisir konsentrasinya akan semakin berkurang. Dalam air laut permukaan konsentrasinya dipengaruhi oleh temperatur, semakin tinggi temperatur maka kelarutan gas akan semakin rendah. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut ini biasanya disebabkan oleh terjadinya perubahan kualitas perairan sebagai akibat banyaknya limbah yang kaya akan karbon organik mengalir ke dalam perairan. Besarnya konsentrasi oksigen terlarut di air laut yang memenuhi syarat untuk wisata bahari menurut KLH no. 51 tahun 2004 adalah sebesar >5 mg/l. Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut di perairan Belitung, bulan Oktober 2005 berkisar antara 3,91 – 4,65 ml/l dengan rata-rata 4,18 ml/l. Kadar oksigen terlarut di perairan Belitung pada lapisan permukaan (0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 4,01 – 4,65 ml/l dengan rata-rata 4,33 ml/l; 4,06 – 4,48 ml/l dengan rata-rata 4,19 ml/l dan 3,91 – 4,19 ml/l dengan rata-rata 4,02 ml/l (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).
2.3. Komunitas Ikan Karang Laut di daerah ekuatorial memiliki kondisi fisika-kimia yang sangat konstan sepanjang waktu di daerah karang. Peningkatan daerah permukaan dari dasar dan celah-celah dan gua-gua yang tak terhingga jumlahnya menyediakan tempat untuk bersembunyi untuk bermacam-macam invertebrata yang merupakan makanan dari ikan-ikan. Keberagaman, kelimpahan dan biomasa ikan meningkat dengan semakin kompleksnya habitat (Lowe-McConnel 1987). Warna ikan adalah yang
11
dilihat pertama dan yang paling diingat oleh penyelam-penyelam baru. Jika ikanikan karang tidak memiliki tanda corak dan pola yang sangat luar biasa cemerlang dan variasinya, hal tersebut tidak mungkin terjadi bahwa perjalanan pertama dengan masker dan snorkel di atas karang akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan, satu ingatan yang menarik kita lagi dan lagi ke perairan tropis. menyaksikan warna-warna indah dari mahluk yang bergerak cepat dengan tibatiba dan bercahaya cukup dapat dikatakan sebagai aktivitas yang sangat menarik (Wilson dan James 1985). Supriharyono (2000) menambahkan bahwa ikan-ikan karang biasanya mempunyai warna yang sangat indah, selain itu bentuknya sering unik, memberikan kesan tersendiri kepada wisatawan. Komunitas ikan di P. Burung dan P. Kelayang dalam kondisi baik, terlihat dati tingginya nilai E (indeks keseragaman) dan rendahnya C (indeks dominansi). Ditemukan 11 genus ikan di pulau Kelayang, nilai H’ (indeks keanekaragaman) untuk masing-masing pulau tergolong sedang. Diperkirakan bahwa lebih banyaknya genus ikan yang ditemukan di Pulau Kelayang disebabkan oleh kondisi habitat dasar atau penutupan karang yang lebih luas, karena meliputi 2 strata kedalaman (3 dan 6 m). Genus ikan yang paling umum dijumpai di setiap perairan
Kecamatan
Sijuk
adalah
Amblyglyphidodon,
Amphiprion
dan
Pomacentrus. Ketiga genus tersebut merupakan kelompok ikan mayor utama yang berasal dari satu famili yaitu Pomacentridae (betok laut). Hanya tiga genus ikan yang termasuk kelompok target, satu genus (Chaetodon) termasuk kelompok ikan indikator dan sisanya adalah ikan mayor utama (Tim Expedisi Zooxanthellae VII FDC-IPB 2002). Nybakken (1988) menyatakan bahwa ikan karang merupakan organisme yang sering dijumpai di ekosistem terumbu karang. Keberadaan mereka telah menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem yang paling banyak dihuni biota air. Ikan-ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu pada habitat yang disukai yaitu daerah yang banyak menyediakan makanan. Ikan-ikan karang ini memanfaatkan bentuk-bentuk terumbu karang untuk mempertahankan diri. Keberadaan ikan karang di perairan sangat tergantung pada kesehatan terumbu yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Hal ini dimungkinkan karena ikan karang hidup berasosiasi dengan bentuk dan jenis terumbu sebagai
12
tempat tinggal, perlindungan dan tempat mencari makan. Ikan karang secara relatif menetap hampir di seluruh hidup mereka. Sale (1978b) dalam Sale (1991) menyatakan bahwa ikan karang kecil (panjang kurang dari 30 cm) berbeda-beda dalam tingkat pergerakan, merupakan hal yang benar bahwa ikan-ikan karang lebih menetap dibandingkan dengan vertebrata lain yang seukuran. Alasan yang mendukung hal tersebut adalah ikan karang hidup di lingkungan yang sangat berstruktur yang dibuat oleh arsitektur yang kompleks dari karang-karang, dan lingkungan yang berbeda-beda dalam struktur dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam skala meter. Sale
(1991)
menyatakan
bahwa
Struktur
karang
yang
kompleks
menyediakan habitat fisik dan tempat berlindung yang mengakomodasi banyak ukuran kelas dan khususnya individu yang kecil dari invertebrata. Banyak spesies ikan yang mengambil hewan invertebrata yang khas di koloni karang, tumpukan patahan karang dan turf alga. Terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas ikan karang. Faktor yang pertama yaitu keberadaan karang hidup. Karang mati menyebabkan penurunan secara nyata jumlah spesies ikan dan individu-individu yang berasosiasi dengan terumbu. Terdapat tiga bentuk interaksi antara ikan dan karang, yaitu: Pertama, ada interaksi langsung antara struktur karang dan tempat berlindung, yang paling nyata pada ikan-ikan kecil. Kedua, adanya interaksi memakan yang layak melibatkan ikan-ikan karang dan biota-biota sesil, termasuk alga. Ketiga, adanya peranan dari struktur karang dan pola memakan dari pemakan plankton dan karnivor yang berasosisasi dengan karang. Goldman dan Talbot (1976) dalam Wilson dan James (1985) menyatakan bahwa secara keseluruhan di perairan karang di Pulau One Tree (Great Barrier Reef) biomasa ikan karnivor menguasai 3,4 kali ikan grazer, tetapi ikan karnivor tersebut juga biasa memakan invertebrate pada tingkat tropik ke-2 dan ke-3. biomasa di bagian leeward slope terdiri dari 4 kategori tropik kira-kira dalam jumlah yang sama, di laguna karang biomasa utama adalah pemakan invertebrata dasar dan grazer, dan di windward slope dan transisi ke dasar yang tidak berkarang biomasa yang utama adalah piscivores. Picivores ini akan tetapi, termasuk banyak spesies karnivor yang beristirahat di sana siang hari tetapi pergi
13
mencari makan pada malam hari, sehingga tidak ada contoh yang akurat dari jumlah ikan yang tersedia disokong oleh zona-zona tersebut.
2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang 2.4.1. Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam Diantara pergantian abad dan tahun 1962, 200 angin topan dan lebih dari 200 bencana besar badai tropis melanda Carribean, atau sekitar enam setengah badai setahun. Kenyataannya, habitat yang lebih dangkal yang paling terkena dampak, kemiringan yang dalam, terutama sekali sekitar dibawah 16 kaki adalah lingkungan yang paling stabil. Meskipun tidak ada badai yang memukul setiap karang, aksi gelombang yang keras merobohkan karang dan melukai ikan-ikan. Mungkin dampak merusak yang lebih serius daripada kerasnya badai secara langsung adalah perubahan yang lama dari suhu perairan dan tingkat salinitas. Suhu perairan di beberapa wilayah karang di Pasifik meningkat menjadi setinggi 31 oC, diatas tingkat toleransi karang, menjadikan penurunan yang cepat dari beberapa karang selama musim panas tahun 1983 (Wilson dan James 1985). Peledakan populasi dari bintang laut mahkota duri pemakan karang yang tidak dapat dijelaskan, setiapnya mampu melahap sekitar 2 kaki2 karang per hari berbaris sepanjang hamparan karang, memperingatkan peneliti laut di mana-mana. Tidak seperti badai, yang hanya merusak daerah yang lebih dangkal, bintang laut mahkota duri bisa mencapai area yang dalam dan merusak pada banyak kedalaman. Para peneliti tidak yakin mengapa penjangkitan bermula atau mengapa itu berakhir, tetapi banyak yang berpikir bahwa itu bukan merupakan penyakit yang parah yang paling ditakuti (Wilson dan James 1985). Memperparah dampak badai, karang di beberapa tempat kadang-kadang rusak karena surut yang tidak biasa yang mengekspos karang ke udara dan mengeringkan mereka. Di Teluk Elat, Laut Merah, surut yang tidak diharapkan pada tahun 1970 membunuh sekitar 80 sampai 90 persen terumbu karang di daerah yang datar.
14
2.4.2. Kerusakan Terumbu Karang Akibat Aktivitas Manusia 2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata Ancaman terhadap terumbu karang dari wisata bahari tidak hanya berhubungan dengan campur tangan manusia dengan biota yang sensitif, tetapi termasuk aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan konstruksi-konstruksi dan pembangunan di daratan. Wisata telah melibatkan degradasi dari banyak daerah terumbu karang, terutama di Asia Tenggara. Pengembangan pariwisata pada coral cays dan dampaknya terhadap terumbu karang sekitar menjadi masalah yang serius. Hal tersebut perlu diketahui bahwa coral cays yang terbuat dari bahanbahan yang berasal dari karang itu sendiri adalah fitur morfologi yang sangat dinamis yang berubah setiap pasang surut. Untuk mencegah proses erosi, pengembang membuat pelindung garis pantai dengan cara menghancurkan memindahkan terumbu karang yang mengelilingi pulau. Kegiatan ini tidak hanya menghancurkan terumbu karang itu sendiri, yang merupakan daya tarik wisatawan, tetapi juga mempercepat proses erosi pantai (Tomascik et al. 1997). Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata terhadap ekosistem terumbu karang menurut (Tomascik et al. 1997) yaitu : •
Kerusakan fisik secara langsung terhadap terumbu karang dan perbatasan garis pantai karena kegiatan konstruksi dan pengumpulan karang untuk konstruksi tersebut.
•
Peningkatan pemasukkan sedimen-sedimen dari kegiatan di daratan.
•
Peningkatan pemasukkan sedimen-sedimen dari kegiatan-kegiatan di laut.
•
Peningkatan pemasukkan aliran permukaan air tawar, nutrien-nutrien dan polutan-polutan yang lain dari pembersihan daratan, lapangan parkir, lapangan golf, jalan-jalan, bandara, dll.
•
Pemasukan bahan kimia beracun.
•
Peningkatan masukan nutrien dari pembuangan limbah cair.
•
Pemasukan polutan-polutan seperti gas, minyak, knalpot perahu, bahan-bahan antifouling, pestisida, dll.
•
Pemasukan minyak-minyak dan minyak dari aktivitas mandi (minyak untuk berjemur dan losion pelembab) di daerah yang memiliki pola sirkulasi terbatas.
15
•
Perubahan
pola
sirkulasi
karena
pekerjaan
pembangunan
pantai
(penghancuran karang, pengeboran, tempat berlabuh kapal/dok, pemecah gelombang, dll) •
Pengambilan karang dan kerang untuk souvenir.
•
Perusakan fisik secara langsung karena aktivitas rekreasi seperti berjalan di atas karang dan pembangunan galangan kapal.
2.4.2.2 Karena kegiatan non-pariwisata Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa aktivitas manusia yang berdampak negatif terhadap kondisi terumbu karang yaitu: •
Polusi minyak karena penambangan lepas pantai dan kapal minyak, menyebabkan degradasi terhadap karang dan organisme yang hidup di terumbu karang. Selain itu, petroleum hydrocarbon (PHC) mengganggu pertumbuhan karang, reproduksi, kemampuan mengkolonisasi, makan dan respon tingkah laku.
•
Sedimentasi dari penggalian, penambalan dan kegiatan konstruksi di pantai. Sediment yang terlalu banyak mungkin berdampak merugikan fungsi dan struktur komunitas terumbu karang melalui perubahan proses fisika, kimia dan biologi. Sediment meningkatkan kekeruhan pada kolom perairan yang mengurangi penetrasi cahaya dan fotosintesis Zooxanthellae, hal tersebut secara langsung berdampak pada produktivitas bersih dari karang. Sedimentasi juga menyebabkan penutupan terhadap karang dan organisme bentik lainnya. Sedimentasi yang tinggi berhubungan dengan penutupan karang hidup yang rendah, mengurangi recruitment karang baru dan pertumbuhan karang yang rendah. Sedimentasi juga mengurangi pertumbuhan dan reproduksi karang.
•
Sedimentasi
yang
dihasilkan
oleh
tambang
(tailing)
dari
kegiatan
penambangan di pantai memproduksi efek toksik secara langsung, menyebabkan
peningkatan
kekeruhan
dan
mengurangi
fotosintesisi
Zooxanthellae dan penutupan biota-biota bentik secara langsung. •
Erosi tanah dari daratan seperti perkebunan, penebangan hutan, jalan-jalan, pembangunan industri dan pemukiman menghasilkan peningkatan kekeruhan
16
dan sedimentasi, pemasukkan pestisida dan biosida yang lain, pemasukkan nutrien-nutiren. •
Pembuangan dari limbah industri, termasuk bahan-bahan dari desalinasi tanaman menyebabkan degradasi biologi secara umum melalui pemasukan biosida dan zat beracun yang lain serta perubahan kondisi alami lingkungan.
•
Pembuangan limbah cair menyebabkan eutropikasi melalui kelebihan pemasukan nutrien. Interfensi dan perubahan proses ekologi alam pada terumbu karang. Limbah cair yang mengandung klorin mungkin menyebabkan biota laut terekspos ringan sampai bahkan kronis akut. Klorin dalam limbah cair mungkin memproduksi keracunan kronis dan akut.
•
Pembuangan dari proses perikanan dan pertanian meningkatkan eutropikasi, pemasukan sediment dan biosida, pemasukan hama dan organisme penyebab penyakit.
•
Kegiatan perikanan yang merusak seperti menggunakan dinamit, trawl di atas karang,
muroami,
penggunaan
bahan
kimia/racun
dan
over-fishing
menyebabkan perusakan habitat secara umum, deplesi stok dan spesies. •
pengumpulan ikan-ikan untuk akuarium menggunakan racun dan teknik lain yang tidak sesuai menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan dalam keseimbangan ekosistem.
•
Kegiatan konstruksi di karang menyebabkan kerusakan habitat.
•
Pelepasan bahan kimia beracun dari daratan dan kapal menyebabkan kerusakan habitat.
•
Resuspensi sedimen laut oleh kendaraan laut dengan daya muat yang dalam menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan keseimbangan ekologi.
•
Pembuangan sampah padat (becak, tas plastik dll) menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan keseimbangan ekologis.
•
Penambangan karang dan pengumpulan pasir menyebabkan perusakan habitat, perubahan keseimbangan ekologi, deplesi stok dan spesies.
•
Pembuangan air tawar menyebabkan perusakan habitat dan kematian organisme karang atau tekanan fisiologi yang berat.
•
Pembuangan air ballast menyebabkan efek toksik secara langsung dan pemasukan organisme hama.
17
Yosephine dan Suharsono (1995) dalam Tomascik dkk. (1997), menyatakan bahwa keragaman karang dan penutupan karang di Pulau Kotok Besar telah menurun secara drastis sejak tahun 1985, sementara bahan-bahan dari pantai yang terapung-apung dan sampah dari daratan utama Jawa juga masyarakat setempat telah meningkat 10 kali.
2.5. Pariwisata Bahari Agenda 21 (1992) dalam Aryanto (2003) mengartikan pariwisata sebagai seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain. Pariwisata di Indonesia menurut UU Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidangnya. Dalam usaha pengembangannya, Indonesia wajib memperhatikan dampakdampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah sektor ekowisata dan pariwisata alternatif yang oleh Eadington dan Smith (1995) dalam Aryanto (2003) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya. Lindberg dan Hawkins (1993) menyatakan bahwa ekowisata adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial yang menggabungkan suatu komitmen yang kuat terhadap alam dan suatu rasa tanggungjawab sosial untuk menciptakan dan memuaskan keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan. Nugroho (2004) mendefinisikan ekoturisme adalah kegiatan perjalan wisata yang dikemas secara professional, terlatih dan memuat unsur pendidikan, sebagai suatu sektor/usaha ekonomi, yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Aryanto (2003) mengemukakan wisata pesisir dan bahari adalah bagian dari wisata lingkungan (ekoturisme). Sarwono Kusumaatmaja, mantan Menteri Negara Lingkungan hidup dan mantan Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan dalam
18
Aryanto (2003) berpendapat; selain sebagai bagian dari ekowisata, wisata pesisir dan bahari merupakan industri yang menjanjikan. Lebih lanjut wisata bahari ini merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan dan terjadi di lokasi atau kawasan yang didominasi perairan dan kelautan. Daya tarik itu mencakup perjalanan dengan moda laut; kekayaan alam bahari serta peristiwa-peristiwa yang diselenggarakan di laut dan di pantai, seperti misalnya lomba memancing, selancar, menyelam, lomba layar, olah raga pantai, dayung, upacara adat yang dilakukan di laut. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir dan bahari. Wisata bahari dalam PPRTKIM (1995) merupakan kumpulan dari segala bentuk wisata yang berhubungan dengan laut, mulai dari wisata di pesisir pantai, wisata di permukaan laut (berenang, snorkeling, berlayar, berselancar dan sebagainya) bahkan sampai wisata di dasar laut (selam, selam SCUBA). Agar dapat dinikmati, wisata bahari ini harus mempunyai tiga unsur pendukung, yaitu: objek, paket dan sarana wisata. Objek adalah tempat atau lokasi dimana keindahan alam dapat dinikmati. Paket wisata yaitu aktivitas-aktivitas seperti memancing, snorkeling, selam, parasailing. Sedangkan sarana yaitu kapal dll. Dibandingkan dengan wisata lain, wisata bahari mempunyai sifat spesifik, karena untuk dapat menikmatinya para wisatawan harus mempunyai persiapan khusus sebelumnya. Persiapan tersebut misalnya, untuk dapat melakukan selam SCUBA maka wisatawan harus mengikuti kursus atau pelatihan terlebih dahulu Menurut Spriharyono (2000), Daerah pantai yang mempunyai ekosistem terumbu karang, hewan-hewan laut yang beraneka ragam dan pantai pasir putih secara alamiah akan memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Namun pengembangan pariwisata bahari di suatu tempat apabila aktivitas wisatawannya tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah bagi daerah tersebut, seperti turunnya keanekaragaman hayati. Pemanfaatan suatu daerah konservasi untuk tujuan wisata yang dikelola oleh agen-agen pariwisata biasanya terlalu mementingkan keuntungan daripada harapan konservasi, yaitu pelestarian sumberdaya alam. Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka pelestarian sumberdaya alam laut, maka saat ini banyak dikembangkan konsep “Jumlah rendah tapi nilai tinggi”. Jumlah kunjungan wisata dibatasi, tidak perlu banyak akan tetapi kualitas wisatawan yang berkunjung diharapkan tinggi baik dari segi
19
keuangan maupun kepedulian terhadap lingkungan. Dengan kata lain konsep kunjungan wisata tersebut lebih diarahkan ke ekowisata laut daripada wisata massa. Walaupun konsep tersebut cenderung deskriminatif, hanya untuk orang kaya dan pendidikan tinggi saja yang menikmati kawasan konservasi, sedangkan masyarakat biasa cukup di lokasi wisata di luar kawasan konservasi, tetapi pelestarian alam diharapkan menjadi lebih terjaga. Agenda 21 (1992) dalam Nugroho (2004) menyatakan pengembangan program-program wisata di masa yang akan datang dipandu oleh prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Alam, sejarah, budaya dan sumberdaya lain untuk wisata dilestarikan untuk penggunaan yang berkelanjutan di masa yang akan datang, walaupun masih mendatangkan keuntungan untuk komunitas sekarang ini. b. Pengembangan wisata direncanakan dan diatur sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah lingkungan dan sosial budaya yang serius di daerah wisata. c. Kualitas lingkungan di daerah wisata dijaga dan diperbaiki sesuai kebutuhan. d. Kepuasan turis pada tingkatan yang tinggi dijaga sehingga tempat tujuan wisata dapat mempertahankan kemampuan pasar dan kepopuleran. e. Keuntungan dari wisata disebar luaskan kepada masyarakat.
2.6. Aspek Sosial Ekoturisme Nugroho (2004) menjelaskan bahwa aspek sosial menyajikan peran yang penting dalam mendukung kinerja sektor ekoturisme. Aspek sosial bukan hanya mengidentifikasikan pemangku kepentingan tetapi juga mengorganisasikannya sehingga menghasilkan manfaat (dan insentif ekonomi) yang optimal bagi masing-masing pemangku kepentingan. Stakeholder dalam ekoturisme meliputi siapapun yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sektor ekoturisme. Mereka adalah penduduk lokal, pemerintah, kelompok masyarakat nirlaba (LSM atau yang sejenis), sektor swasta dan wisatawan. Sektor ekoturisme mempertemukan dua atau lebih kultur yang berbeda. Wisatawan memperoleh pengalaman berharga dari kultur lokal, sementara penduduk lokal memainkan proses edukasi perihal lingkungan spesifik lokal dan mendapatkan penghasilan. Sinergi tersebut harus dapat dipelihara dengan dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif bagi
20
beroperasinya sektor swasta dan bantuan dari kelompok nirlaba. Dalam jangka panjang, pariwisata bergantung pada kualitas dari lingkungan. Tentu saja, kualitas dari lingkungan tersebut atau beberapa bagian dari lingkungan adalah seringkali merupakan daya tarik utama dari wisatawan. Sekarang ini, semua jenis wisatawan menjadi lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan yang terpolusi atau terdegradasi pada tujuan perjalanan mereka. Hal tersebut terjadi di beberapa tempat, jumlah wisatawan menurun karena masalah lingkungan. Penurunan dalam pariwisata tidaklah selalu disebabkan oleh wisata itu sendiri. Agaknya, itu adalah pola dari pertumbuhan industri, eksploitasi sumberdaya alam dan konsumsi, secara singkat, pembangunan yang tidak berkelanjutan yang mencirikan masyarakat zaman sekarang yang harus disalahkan (Ceballos-Lascurian 1996). Masyarakat yang tinggal sekitar atau di dekat daerah perlindungan seringkali dilupakan dalam pariwisata, pembangunan dan manajemen. Kadangkadang hal ini karena mereka tersebar dan terisolasi membuat komunikasi menjadi sulit. Dalam waktu yang lain pengembang yang menghindari meluangkan waktu dan usaha untuk menginformasikan kepada masyarakat lokal akan rencana pengembangan pariwisata tertentu, atau mencoba untuk mengesampingkan mereka untuk menghilangkan mereka dari keuntungan ekonomi yang diharapkan. Akan tetapi, kebutuhan akan masyarakat lokal harus diperhitungkan secra penuh, terutama sekali sejak mereka sering tergantung pada sumberdaya alam yang menarik perhatian turis pada daerah tersebut. Proses perencanaan harus memprakarsai pembangunan dari mekanisme yang menjamin bahwa masyarakat lokal harus menerima pembagian keuntungan dari pengembangan pariwisata. Tetapi yang paling utama, masyarakat lokal dirundingkan dalam hal tingkat dari pengembangan pariwisata yang mereka pikirkan adalah tepat dalam lingkungan mereka sekarang ini dan di daerah tersebut secara keseluruhan. Jika keterlibatan mereka tidak diminta, tentu saja ekoturisme akan mustahil (Ceballos-Lascurian 1996). Nugroho (2004) menguraikan peran masing-masing pemangku kepentingan di dalam ekoturisme sebagai berikut : 1. Pemerintah. Pemerintah memiliki peran strategis mengembangkan kebijakan sektor ekoturisme dan penunjangnya. Output dapat berupa kebijakan fiskal
21
meliputi perpajakan (dan tarif), infestasi dalam prasarana infrastruktur, dukungan aspek keamanan atau peningkatan profesional aparat pemerintah. 2. Sektor
swasta.
Sektor
swasta
adalah
pemangku
kepentingan
yang
mengoperasikan usaha ekoturisme. Sektor swasta menyediakan berbagai fasilitas dan akomodasi, informasi, produk wisata, tujuan wisata dan kualitas pelayanan, dengan tujuan agar menarik wisatawan dan memberikan kepuasan dan pengalaman yang berharga. 3. Pengunjung atau wisatawan. Pengunjung merupakan indikator terpenting keberhasilan pembangunan ekoturisme. Pengunjung dari luar daerah dapat menginjeksi aliran ekonomi lokal dan diharapkan dapat memberikan insentif bagi pengelolaan lingkungan yang lebih baik. 4. Penduduk lokal. Penduduk lokal berperan sebagai subjek dan objek dalam pengembangan ekoturisme. Mereka perlu diberikan kesempatan aktif mengolah dan menjual produk wisata yang dibutuhkan oleh wisatawan. Juga tidak ada salahnya, kerangka berfikir penduduk lokal digunakan untuk saran kebijakan. 5. Lembaga masyarakat. Lembaga domestik maupun internasional khususnya yang
profesional,
sama-sama
berfungsi
dalam
memfasilitasi
semua
kepentingan pemangku kepentingan seperti memberikan fungsi politis untuk mengangkat isyu-isyu kemiskinan, ketidakadilan dan dampak kerusakan lingkungan agar diperbaiki keadannya.
2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata Wisatawan mungkin bereaksi dengan banyak cara terhadap pemutihan dan terumbu karang yang rusak. Jika mereka menyadari pemutihan (dari media, mulut ke mulut, atau sumber informasi lain), mereka mungkin memilih untuk tidak mengunjungi daerah yang terpengaruh, hal mana yang menyebabkan penderitaan industri pariwisata di semua tingkat. Beberapa akan mengunjungi sekali dan tidak akan pernah datang lagi seperti yang sebelumnya. Mereka yang awam dengan olaraga selam dan snorkeling mungkin tidak menyadari permasalahan tersebut. Orang-orang ini dan yang tidak tertarik pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan terumbu karang, mungkin tetap mengunjungi daerah yang rusak tersebut.
22
Kemungkinan lainnya adalah wisatawan tetap mengunjungi daerah tersebut tetapi mereka tidak mengunjungi terumbu karang, sehingga dalam kasus ini industri selam dan snorkeling akan menderita. Kurang dari 5 % dari penyelam dan snorkeller di Zanzibar dan Mombasa yang diwawancarai berkata bahwa mereka tidak mau menyelam ataupun snorkeling karena pemutihan. Di Maldiva, 48 % turis yang diwawancarai berkata bahwa hal yang paling mengecewakan dari liburan mereka adalah karang yang mati. Akan tetapi, kedatangan turis naik berkesinambungan sebesar 8 % selama 1998 dan 1999, dengan 7 % selama 1996 dan 1997. kedatangan wisatawan yang terus meningkat ini sebagiannya adalah jenis wisatawan lain pengganti penyelam (Westamacott et al. 2000).
23
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka-Belitung. Wilayah yang diteliti mencakup P. Lutung, P. Kera dan P. Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga (Gambar 1). Pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan, pengambilan data primer dan sekunder serta analisa data. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Maret 2006 untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian dan mempersiapkan perlengkapan untuk pengambilan data. Pengambilan data ke lapangan dilaksanakan pada bulan April 2006. 3.2. Metode Pengambilan Sampel 3.2.1. Penentuan Stasiun Pengamatan Terdapat empat lokasi pengambilan data (stasiun) pada setiap pulau yang ditentukan berdasarkan empat arah mata angin (utara, selatan, barat dan timur) dengan bantuan GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui arah dan memplotkan masing-masing titik stasiun pengamatan. Maka, akan terdapat 12 stasiun pengamatan dari ketiga pulau yang diteliti dan diharapkan dapat mewakili kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut.
3.2.2. Pengambilan Data Karang Data karang diamati pada kedalaman 10 dan 3 meter atau sesuai dengan kondisi perairan di lapangan, kedalaman 10 m dianggap mewakili daerah yang dalam dan kedalaman 3 m dapat mewakili daerah yang dangkal. Pengambilan data dengan menggunakan alat SCUBA dengan menggunakan metode visual transek kuadrat, yaitu transek garis dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar garis pantai pada kedalaman 10 dan 3 m, kemudian diletakkan transek kuadrat berukuran 1 x 1 m diatas koloni-koloni karang yang dilewati oleh meteran tersebut dari titik 0 (nol) dengan interval 5 m sehingga didapatkan 9 transek kuadrat di setiap titik pengamatan.
Kemudian
persen
penutupan
karang
berdasarkan
pertumbuhannya (lifeform) diestimasi tiap transek serta dicatat jenis-
bentuk
24
25
karang yang termasuk ke dalam transek tersebut. Pengamatan biota pengisi habitat dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (Tabel 1) untuk mengetahui jenis dan jumlah bentuk pertumbuhan karang di daerah tersebut sesuai dengan parameter yang dibutuhkan pada matriks analisis kesesuaian untuk wisata bahari (snorkeling dan selam). Selain dari pada itu, pengamatan juga dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah genus yang terdapat di perairan ketiga pulau tersebut. Pencatatan jenis dan jumlah genus ini untuk mengetahui jenis-jenis dan jumlah genus karang yang terdapat di perairan ketiga pulau tersebut agar bisa memberikan informasi yang lebih banyak tentang daerah penelitian. Tabel 1. Kategori bentuk pertumbuhan dan kodenya (English et al. 1994) Kategori Karang Batu: Dead Coral Dead Coral with Algae Acropora
Non-Acropora
Kode
Keterangan
DC DCA
Baru saja mati, warna putih sampai putih kotor Karang mati yang masih tampak bentuknya tapi sudah ditumbuhi alga Sedikitnya 2 cabang. Cth: Acropora palmata, A. formosa Biasanya berupa pelat dasar dari bentuk Acropora yang belum dewasa Kokoh berbentuk bonggol/baji Percabangan tidak sampai 20. Cth: A. humilis, A. digitifera, A. gemmifera Pelat datar seperti meja Percabangan ± 20 Sebagian besar menempel pada substrat sebagai pelat laminar Karang menempel pada satu atau lebih titik, bentuk menyerupai daun Berbentuk bola atau batu besar/tanggul Membentuk kolom kecil, baji atau bonggol Soliter Karang api Karang biru, soliter
Branching
ACB
Encrusting
ACE
Submassive Digitate
ACS ACD
Tabular Branching
ACT CB
Encrusting
CE
Foliose
CF
Massive Submassive Mushroom Millepora Heliopora Tubipora
CM CS CMR CME CHL CTU
Fauna lain Soft Coral Sponges Zoanthids Others
SC SP ZO OT
Karang lunak
Ascidians, anemon, gorgonia, kima raksasa, timun laut, bulu babi, dll
Algae:
Bersambung...
26
Tabel 1. Lanjutan Kode
Kategori Algae Algal Assemblage Coraline Algae Halimeda Macroalgae Turf Algae Abiotik: Sand Rubble Silt Water Rock
AA CA HA MA TA
S R SI WA RCK
Keterangan Terdiri lebih dari satu spesies
Warna merah, coklat, dll Algae filamen yang lembut, sering ditemukan dalam wilayah damselfish Pasir Pecahan karang tak beraturan Lumpur Celah lebih dari 50 cm Tapakan karang termasuk kapur, batuan
3.2.3. Pengambilan Data Ikan Karang Pengamatan ikan karang menggunakan metode pencacahan langsung (visual census) pada transek garis yang sama untuk peletakan transek kuadrat pada pengamatan biota karang, yaitu transek garis yang dibentangkan sepanjang 50 m sejajar garis pantai dan menggunakan peralatan SCUBA. Setelah transek garis dibentangkan, stasiun pengamatan dibiarkan kembali sampai kondisi perairan menjadi seperti semula dan semua ikan-ikan karang yang lari dan bersembunyi pada saat pemasangan transek keluar dari tempat persembunyiannya. Pencatat data ikan karang berenang di atas transek garis sepanjang 50 m sambil mencatat seluruh spesies ikan dan kelimpahannya yang ditemukan sejauh 2,5 m ke kiri dan kanan transek (Gambar 2). Sensus dilakukan pada interval waktu antara jam 08:30 dampai 17:00 agar data ikan yang diambil merupakan ikan karang yang bersifat diurnal, karena waktu pelaksanaan sensus sangat berpengaruh terhadap jenis ikan. Identifikasi ikan karang berdasarkan Allen (1999), Lieske dan Myers (2001) dan Kuiter (1992).
27
Gambar 2. Pengambilan data ikan karang dengan metode pencacahan langsung (English et al. 1994) Tabel 2. Alat dan metode pengambilan data karang dan ikan karang Pengambilan data Karang
Alat - Satu set alat scuba
Metode Visual transek kuadrat
- Roll meter - Transek kuadrat 1 x 1 m - Sabak + Pensil - GPS Ikan karang
- Satu set alat scuba - Roll meter - Sabak + Pensil - GPS
Sensus Visual
28
3.2.4. Data Pendukung Data pendukung dalam penelitian didapatkan dengan cara observasi langsung ke lapangan, wawancara dan studi literatur. Parameter-parameter Fisika dan Kimia Perairan. Kegiatan ini meliputi pengumpulan data primer dengan cara mengamati dan melakukan pengukuran insitu pada parameter-parameter lingkungan yang diperlukan dalam penelitian ini. parameter lingkungan yang dimaksudkan yaitu : kecerahan, suhu, kecepatan arus, kedalaman perairan dan salinitas air laut. Wawancara. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang kawasan penelitian. Pencatatan data dilakukan melalui kuisioner dan wawancara langsung kepada masyarakat sekitar dan instansi-instansi terkait dengan pengembangan dan pengambil kebijakan di wilayah penelitian. Teknik yang digunakan dalam pengambilan data adalah metode judgment sampling, dimana sampel yang diambil diharapkan mampu menjawab pertanyaanpertanyaan yang terdapat dalam kuisioner ( Lampiran 2 dan 3). Iinstansi lain yang terkait diwawancarai sesuai dengan jumlah dan jenis informasi yang dibutuhkan. Responden dari wawancara ini adalah masyarakat yang menetap di Desa Tanjung Binga di sekitar kawasan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung, Masyarakat diharapkan mampu memenuhi kriteria dan point - point dalam kuisioner, karena melihat dan mengetahui kondisi di ketiga pulau tersebut secara langsung. Pemerintah dan instansi terkait diharapakan mampu menjadi komponen yang dapat melengkapi data- data yang diperlukan dalam penelitian ini. Studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian ini yaitu dengan cara mempelajari bukubuku penunjang, buku- buku laporan, penelitian - penelitian sebelumnya serta bentuk- bentuk artikel dan jurnal lainnya. Data yang akan dikumpulkan melaui studi pustaka ini meliputi peta lokasi, jumlah penduduk, kualitas perairan, ketersediaan air tawar, aksesibilitas, curah hujan, sistem pembuangan, musim, gelombang, industri, kegiatan perikanan dan proses-proses yang pernah terjadi.
29
Tabel 3. Parameter kualitas perairan yang diukur Parameter
Satuan
Alat
Kecerahan perairan
meter (m)
Secchi disc
Salinitas
permil (‰)
Refraktrometer
meter/detik (m/s)
Papan silang
meter (m)
Meteran/Tali berskala
Kecepatan arus Kedalaman perairan
0
Suhu pH
C
Thermometer raksa
-
pH stick
3.3. Analisis Data 3.3.1. Penutupan Habitat Dasar dan Indeks Mortalitas Karang Biota
habitat
dasar
yang
termasuk
ke
dalam
transek
kuadrat
dikelompokkan menurut bentuk pertumbuhannya. Setelah itu data diolah dengan menggunakan program “ImageJ” untuk mendapatkan persen penutupan karang. Tabel 4. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang (Gomez dan Yap 1988) Persentase Penutupan
Kriteria Penilaian
0 – 24,9
Buruk
25 – 49,9
Sedang
50 – 74,9
Baik
75 - 100
Memuaskan
Selain itu juga dilakukan perhitungan rasio kematian karang batu yang memperlihatkan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Rasio tersebut dihitung dengan rumus Indeks Mortalitas Karang (IMK) yang dikembangkan oleh Gomez dan Yap (1988):
Index Mortalitas =
penutupan karang mati penutupan karang mati + karang hidup
30
3.3.2. Komunitas Ikan Karang Untuk melihat kondisi hubungan antar kelompok spesies ikan karang dan untuk mengetahui kestabilan ekosistem digunakan analisa indeks-Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi. Indeks keanekaragaman (H’) digunakan untuk mengetahui keanekaragaman populasi organisme secara matematis agar mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah individu masing-masing spesies ikan dalam suatu komunitas (Odum 1971). Indeks keanekaragaman yang paling umum digunakan adalah indeks Shannon-Weaver (Odum 1971) dengan rumus: s
H ' = − ∑ pi ln pi i =1
Keterangan: H’ = indeks keanekaragaman s = jumlah spesies ikan karang pi = proporsi jumlah individu pada spesies ikan Logaritma natural (ln) digunakan untuk komunitas ikan karena ikan merupakan biota yang mobile (aktif bergerak), memiliki kelimpahan relatif tinggi dan preferensi habitat tertentu. Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas ikan. Semakin merata penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Rumus yang digunakan adalah (Odum 1971):
E=
H' H ' max
Keterangan: H’max = indeks keanekaragaman maksimum = ln s. Nilai indeks keseragaman dan nilai indeks keanekaragaman yang kecil biasanya menandakan adanya dominansi suatu spesies terhadap spesies-spesies lain. Dominansi suatu spesies yang cukup besar akan mengarah pada kondisi ekosistem atau komunitas yang labil atau tertekan, rumusnya (Odum 1971): s
C = ∑ (pi)2 i =1
31
3.3.3. Analisis Data Kualitas Air
Data kualitas perairan di sekitar ketiga pulau yang didapat secara primer maupun sekunder tersebut dibandingkan dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no.51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk wisata bahari dan biota laut (Lampiran 4), untuk mengetahui apakah kondisi perairan di ketiga pulau tersebut sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari.
3.3.4. Matriks Kesesuaian Untuk Pariwisata Bahari
Matriks kesesuaian disusun untuk melihat kesesuaian kawasan bagi pariwisata bahari. Masing-masing parameter dalam matriks kesesuaian ini memiliki skor dan bobot yang berbeda berdasarkan tingkat kepentingan terhadap pariwisata bahari. Kemudian kondisi di lapangan dihitung kelas kesesuaiannya menurut Bakosurtanal (1996). Kelas kesesuaian dibagi dalam empat kelas, yaitu: Kelas S1:
Sangat sesuai (Highly suitable) Daerah ini tidak mempunyai batas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukkan/tingkatan perlakuan yang diberikan.
Kelas S2:
Cukup sesuai (Moderately suitable) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukkan/tingkatan perlakuan yang diperlukan.
Kelas S3:
Sesuai Marginal (Marginally suitable) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas akan lebih meningkatkan masukkan/tingkatan perlakuan yang diberikan.
Kelas N:
Tidak sesuai (Not suitable) Daerah ini mempunyai pembatas permanent, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.
32
Tabel 5. Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari (snorkeling dan selam) Parameter Bobot S1 Skor Kecerahan 10 80-100 20 Perairan (%) Tutupan Komunitas 8 >75 16 Terumbu Karang (%) Lifeform 8 11-13 16 Karang Jenis Ikan 8 >166-100 16 Karang (spesies) Kecepatan 6 0-5 14 Arus (m/detik) Kedalaman 6 10-25 12 Perairan (m) ∑S1 94 Jumlah Sumber: Modifikasi dari Bakosurtanal (1996)
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
60-79
18
30-59
16
<30
2
50-75
14
25-50
12
<25
4
8-10
14
5-7
12
<5
4
70-100
14
>40-70
12
≤40
4
5-10
12
10-12
10
>12
2
5-10
12
2-5
12
<2
2
∑S2
84
∑S3
74
∑N
18
Keterangan: S1 = Sangat sesuai, dengan nilai >700-740 S2 = Cukup Sesuai, dengan nilai >620-700 S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai >360-620 N = Tidak sesuai, dengan nilai ≤360
33
IV. PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Kondisi Geografis dan Administrasi Wilayah Pulau Belitung secara geografis terletak pada 107o 08’ BT – 107o 58’ BT dan 02o 30’LS – 03o 15’ LS. Pada peta dunia, Pulau Belitung dikenal dengan nama BILLITON yang bergaris tengah timur – barat ± 79 km dan garis tengah utara – selatan ± 77 km dengan batas wilayah sebagai berikut (BAPPEDA KAB. Belitung dan BPS Tanjungpandan 2004) : -
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belitung timur
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan laut Jawa, dan
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar.
Batas-batas Kecamatan Sijuk secara administrasi adalah Laut Cina Selatan di bagian barat dan utara, Kecamatan Kelapa Kampit di bagian timur dan Kecamatan Tanjungpandan dan Kecamatan Badau di bagian selatan. Luas wilayah Kecamatan Sijuk adalah 452 km2 yang terdiri dari 8 desa yaitu Desa Batu Itam, Desa Terong, Desa Air Seruk, Desa Air Selumar, Desa Tanjung Binga, Desa Keciput, Desa Sijuk, dan Desa Sungai Padang. P. Burung, P. Kera dan P. Lutung terletak di Desa Tanjung Binga dengan luas 21, 80 km2 (Kecamatan Sijuk Dalam Angka 2003). Pulau Burung memiliki luas 0,80 ha, Pulau Kera 0,60 ha dan Pulau Lutung 0,50 ha (BAPPEDA Kabupaten Belitung 1994). Letak wilayah Kabupaten Belitung bila dilihat dari keterkaitan dengan tersedianya sinar dan panas matahari, menurut kriteria yang dikeluarkan oleh Deparpostel tahun 1999, sangat sesuai (skor 5, dengan rentang 1 – 5, dan 5 merupakan nilai tertinggi) untuk pengembangan wisata bahari karena terletak pada 0 – 10 oLS yang berarti selalu mendapat sinar dan panas matahari yang hampir konstan sepanjang tahun (Bakosurtanal 1996).
34
4.1.2. Topografi Daerah tertinggi di Kabupaten Belitung hanya 500 m dari permukaan laut yaitu di daerah Gunung Tajam. Sedangkan di daerah hilir terdapat beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, yakni : - Sebelah Utara oleh DAS Buding - Sebelah Selatan oleh DAS Pala dan Kembiri, dan - Sebelah Barat oleh DAS Brang dan Cerucuk. Keadaan tanah di Kabupaten Belitung pada umumnya didominasi oleh kwarsa dan pasir, batuan alluvial dan batuan granit. Menurut letaknya, batuan kwarsa dan pasir tersebar secara merata di seluruh wilayah kecamatan dengan luas total mencapai 266.865 ha atau 56,98 % dari luas Kabupaten Belitung. Batuan alluvial dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah kecamatan, dengan luas total seluruhnya mencapai 94.714 ha atau 20,22 % dari luas Kabupaten Belitung (BAPPEDA Kabupaten Belitung 2004).
4.1.3. Kondisi Iklim dan Curah Hujan Kondisi iklim dan curah hujan di Pulau Belitung sangat dipengaruhi oleh iklim benua Asia dan Australia karena terletak antara kedua benua tersebut. Selain itu, iklim tropis basah yang dikombinasi dengan bentuk kepulauan dari Kabupaten Belitung menyebabkan banyak terbentuk awan dan uap air laut. Dengan banyaknya terbentuk awan dan uap air laut, maka akan mempengaruhi tingginya curah hujan di tempat tersebut. (DKP Prop. Kep. Bangka Belitung 2005). Kabupaten Belitung mempunyai iklim tropis dan basah dengan variasi curah hujan bulanan pada tahun 2004 antara 0 mm sampai 867,5 mm dengan jumlah hari hujan antara 0 sampai 27 hari setiap bulannya. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai 867,5 mm. Temperatur rata-rata di Kabupaten Belitung bervariasi antara 21,5 oC sampai 32,9 oC, dengan kelembaban udara bervariasi antara 77 % sampai 93 % dan tekanan udara antara 1.009,4 mb sampai dengan 1.011,5 mb (BAPPEDA Kabupaten Belitung 2004). Temperatur rata-rata di Kabupaten Belitung yang bervariasi menyebabkan daerah tersebut memiliki skor 3 sampai 5 (dengan rentang 1 – 5, dan 5 merupakan
35
nilai tertinggi) atau dapat dikatakan sesuai untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari (Bakosurtanal 1996).
4.1.4. Sungai Kondisi topografi Pulau Belitung pada umumnya bergelombang dan berbukit-bukit telah membentuk pola aliran sungai di daerah ini menjadi pola sentrifugal, yaitu sungai - sungai yang ada berhulu di daerah pegunungan dan mengalir ke daerah pantai. Sedangkan daerah aliran sungai mempunyai pola aliran sungainya berbentuk seperti pohon.
4.1.5. Sosial, Ekonomi dan Budaya 4.1.5.1. Penduduk Penduduk Kecamatan Sijuk berdasarkan laporan perkembangan penduduk pada bulan Maret 2006, Desa Tanjung Binga merupakan desa yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dari 8 desa yang terdapat di Kecamatan Sijuk.
Piramida Penduduk Desa Tanjung Binga Bulan Maret 2006
100% 80% 60% 40% 20% 0%
Total Pddk
>61
136
51 sd 60
203
40 sd 50
679
26 sd 39
1079
18 sd 25
737
10 sd 17 <9
758 1143
Sumber : Monografi Desa Tanjung Binga 2005 Diolah
Gambar 3. Piramida Penduduk Desa Tanjung Binga
36
Tabel 6. Komposisi penduduk Desa Tanjung Binga Bulan Maret 2006 Luas ∑ KK ∑ RT Laki-laki Perempuan (Km2) Maret/2006 218 1.106 18 2.472 2.263 Sumber : Laporan Kependudukan Kecamatan Sijuk Bulan Maret 2006 Bulan/Tahun
Jumlah 4.735
Sebanyak 59,85 % dari total seluruh penduduk di Desa Tanjung Binga berusia ≥ 18 tahun (gambar 3) yang sudah termasuk ke dalam angkatan kerja. Potensi tenaga kerja tersebut merupakan suatu kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan di Desa Tanjung Binga. Proporsi antara Laki-laki dan Perempuan yang terdapat di Desa Tanjung Binga hampir seimbang (Tabel 6). Hal ini mengindikasikan bahwa Desa Tanjung Binga bisa menyediakan jumlah tenaga kerja yang hampir sebanding antara pria dan wanita yang merupakan salah satu modal yang dimiliki daerah tersebut dalam pembangunan. Tingkat pendidikan masyarakat Tanjung Binga yang sebagian besar masih rendah yaitu 83,33 % hanya sampai bangku sekolah dasar (data kuisioner), menyebabkan bila daerah tersebut dikembangkan menjadi kawasan wisata maka dikhawatirkan sebagian besar penduduknya menempati pekerjaan di tingkat bawah atau sebagai tenaga kerja kasar dan buruh dengan upah yang paling rendah diantara pekerjaan yang lainnya. Tabel 7. Jenis pekejaan dan jumlah tenaga kerja Pekerjaan
Jumlah (Org)
Nelayan
2225
Buruh Harian
318
Lain-lain
167
Pedagang
64
Pegawai Negeri
59
Pegawai Swasta
38
Petani
32
Pertukangan
28
TNI/Polri
1
Sumber : Monografi Desa Tanjung Binga 2005
37
Desa Tanjung Binga terletak langsung berhadapan dengan laut dan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Walaupun begitu, ada juga penduduk yang berprofesi di berbagai bidang pekerjaan seperti yang terdapat pada Tabel 7. Sarana perekonomian masyarakat yang terdapat di Desa Tanjung Binga yaitu 64 kios/warung dan 4 rumah makan/kedai (Koordinator Statistik dan Kantor Camat Sijuk 2003). Kios dan rumah makan tersebut murni dikelola oleh masyarakat setempat dan diharapkan bila nantinya P. Kera, P. Lutung dan P. Burung yang terdapat di Desa Tanjung Binga tersebut berkembang menjadi objek wisata bahari yang banyak didatangi pengunjung, maka kios dan rumah makan tersebut akan berkembang baik dari segi kualitas pelayanan ataupun kuantitasnya dalam rangka memberikan kemudahan kepada pengunjung dalam mendapatkan makanan dan kebutuhan lainnya. Dengan berkembangnya sarana perekonomian masyarakat yang berupa kedai dan warung tersebut, diharapkan akan meningkatkan dan membangkitkan kebudayaan masyarakat yang berupa masakan-masakan, jajanan dan kerajinan tangan asli dari daerah setempat karena telah tersedia banyak sarana untuk memasarkannya. Pengunjung dengan tingkat keuangan yang lebih bisa menginap atau makan di cottage-cottage yang terdapat di Desa Sijuk, karena letaknya yang tidak begitu jauh dari Desa Tanjung Binga sehingga bisa dicapai dalam waktu yang relatif singkat. Sampai saat ini terdapat beberapa perusahaan akomodasi di Kecamatan Sijuk, dua diantaranya adalah Kelayang Indah Cottages dan Restaurant, Cottages, Swimming Pool ”Bukit Berahu (Koordinator Statistik dan Kantor Camat Sijuk 2003).
4.1.5.2 Agama dan tempat peribadatan Penduduk Desa Tanjung Binga mayoritas beragama islam, hal ini bisa diketahui dari jumlah tempat peribadatan yang terdapat di desa tersebut yaitu 3 mesjid dan 1 surau dan tidak terdapat tempat peribadatan agama lain selain islam. Selain daripada itu, hanya terdapat satu lokal pekuburan orang islam (Pemkab Belitung Kecamatan Sijuk 2003).
38
4.1.5.3 Sarana perhubungan dan transportasi Sarana dan prasarana perhubungan di Desa Tanjung Binga untuk memperlancar
mobilitas
agar
dapat
menunjang
kegiatan
perekonomian
masyarakat tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Sarana/prasarana perhubungan Sarana/Prasarana
Jumlah
Jalan Aspal Kabupaten/Provinsi
15 km
Jalan Desa
5 km
Jembatan Desa
1 bh
Jembatan Kabupaten/Provinsi
1 bh
Darmaga
2 bh
Sumber : Monografi Desa Tanjung Binga (2005)
Sarana Perhubungan untuk mencapai Desa Tanjung Binga dari ibu kota kabupaten cukup memadai untuk mendukung pengembangan kegiatan pariwisata di daerah tersebut seperti yang tertera pada Tabel 9. Berdasarkan hasil survey, hanya diperlukan ± 20 menit untuk mencapai lokasi tersebut dengan lancar tanpa ada hambatan yang berarti seperti macet dll. Hanya saja sampai saat penelitian dilaksanakan, jalan yang melintasi pemukiman penduduk di sepanjang pesisir masih kurang lebar dan kondisinya tidak begitu bagus. Tabel 9. Sarana perhubungan Sarana
Jumlah (unit)
Mobil
51
Motor
576
Sepeda
902
Truk Perahu Motor/Bagan Kapal Motor TV
3 288 9 823 Bersambung...
39
Tabel 9. Lanjutan Sarana
Jumlah (unit)
Radio
25
Parabola
235
HT/SSB
53
Telefon
17
Wartel
1
Sumber : Monografi Desa Tanjung Binga 2005
Jumlah kendaraan bermotor bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berusia ≥18 tahun, maka terdapat sekitar 22,23 % penduduk yang memiliki kendaraan bermotor. Tetapi bila dibandingkan dengan jumlah keluarga, maka terdapat lebih dari separuh (56,96 %) keluarga di Desa Tanjung Binga memiliki kendaraan bermotor untuk transportasi darat. Hal tersebut menunjukkan bahwa cukup banyak kendaraaan bermotor yang tersedia di Desa Tanjung Binga untuk mempermudah mobilitas penduduk untuk menunjang aktivitas mereka.
4.2. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang 4.2.1 Persen Penutupan dan IMK 4.2.1.1. Persen penutupan dan IMK P. Kera Tipe terumbu karang di Pulau Kera dapat dikategorikan sebagai terumbu karang tepi (fringing reef). Menurut konsep Darwin tentang perkembangan karang, terumbu karang tepi secara relatif merupakan penempelan muda/awal ke daratan utama atau pulau-pulau tinggi dan merupakan bentuk dasar dari perkembangan terumbu penghalang dan atoll pada dasar yang surut (Hopley 1982 dalam Tomascik dkk. 1997). Terumbu karang tepi secara umum seperti panggung-panggung sempit yang berada pada jarak yang dekat dari pantai dan tidak terdapat laguna yang besar (Lieske dan Myers 2001). Ekosistem terumbu karang di P. Kera secara keseluruhan dapat dikatakan dalam kondisi sedang, yaitu dengan rata-rata penutupan karang hidup dari keempat stasiun yang diamati sebesar 25,04 %. Akan tetapi, nilai tersebut hampir mendekati kondisi buruk (< 24,9 %). Walaupun demikian, kondisi tersebut harus
40
mendapat perhatian yang serius, karena bila kita lihat dari penutupan karang mati yang hampir sama dengan penutupan karang hidup (Tabel 10). Kondisi tersebut bisa menjadi lebih parah bila terus dibiarkan, karena masyarakat setempat menyatakan bahwa setiap hari tempat tersebut selalu didatangi oleh nelayan untuk memancing cumi-cumi dan ikan, yang berarti pula bahwa setiap hari akan ada karang-karang yang rusak karena terkena jangkar perahu nelayan atau terinjakinjak pada saat pemasangan jaring. Tabel 10. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Kera Jenis Tutupan Karang Batu Karang Lunak Karang Mati Algae Biota Lain Abiotik IMK
Rata-Rata 25,04 ± 5,86 0,03 ± 0,05 23,36 ± 5,90 5,38 ± 9,58 0,55 ± 0,55 45,64 ± 17,84 0,48 ± 0,08
Kondisi ekosistem terumbu karang di perairan P. Kera berkisar dalam kondisi buruk sampai sedang (Gambar 4). Kondisi yang buruk terdapat di bagian barat dan di bagian selatan. Sedangkan ekosistem terumbu karang yang masih dalam kondisi sedang terdapat di sebelah timur dan di sebelah utara. Kerusakan ekosistem terumbu karang di P. Kera juga terlihat dari besarnya penutupan karang mati yang melebihi penutupan karang hidup kecuali pada bagian utara pulau. Keadaan ini juga makin diperjelas dengan penutupan abiotik yang lebih besar dari penutupan karang hidup kecuali di bagian timur. Rendahnya persen penutupan karang hidup di P. Kera penyebab utamanya adalah karena aktivitas manusia (anthrophogenic factor). Hal ini terlihat dari banyaknya karang mati yang ditumbuhi alga (DCA) yang sebagian besar pada karang masif dari genus Porites. Penduduk setempat menerangkan bahwa, dulunya banyak nelayan-nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan potassium yang dapat menyebabkan kematian pada karang, walaupun sekarang sudah tidak ditemukan lagi. Selain itu,-
41
42
tidak diketemukannya bintang laut mahkota duri yang dapat memakan hewan karang dengan cepat dalam waktu yang singkat di stasiun pengamatan menandakan bahwa rendahnya penutupan karang hidup utamanya bukan disebabkan oleh organisme biotik penghuni ekosistem terumbu karang lainnya. Hal lain yang mungkin menyebabkan rendahnya penutupan karang hidup yaitu substrat perairan di tempat tersebut adalah pasir putih halus, yang menyebabkan kurang tersedianya substrat yang cocok untuk penempelan larva karang. Fakta tersebut juga diperkuat dengan ditemukan penutupan makro alga dalam persentase yang relatif kecil, yang bisa menjadi kompetitor hewan karang dalam memperebutkan ruang dan cahaya. Nilai IMK dari empat stasiun yang diamati di P. Kera berkisar antara 0,37 – 0,52 dengan nilai rata-rata dari keempat stasiun tersebut sebesar 0,48. Tingginya nilai indeks kematian karang tersebut disebabkan oleh besarnya penutupan karang yang mati. Berdasarkan keterangan dari masyarakat setempat, besarnya penutupan karang mati tersebut lebih disebabkan oleh faktor antropogenik baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Kematian karang akibat kegiatan manusia yang disengaja yaitu penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan cara yang tidak ramah lingkungan, sehingga bisa menyebabkan kerusakan dan kematian karang. Dari nilai rata-rata IMK tersebut dapat dikatakan bahwa hampir separuh dari terumbu karang yang terdapat di perairan P. Kera telah menjadi karang mati sampai saat pengamatan dilakukan. Persen penutupan karang hidup di P. Kera menurut kriteria yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal tentang kesesuaian untuk wisata bahari, termasuk dalam kelas S3. sedangkan menurut kriteria yang dikeluarkan oleh Deparpostel tahun 1990, persen penutupan karang hidup di P. Kera hanya memiliki skor 2, dengan skor tertinggi adalah 5. Dari kedua kriteria tersebut dapat dikatakan bahwa ekosistem terumbu karang di P. Kera sesuai marginal untuk dijadikan objek wisata bahari berdasarkan penutupan karang hidup di tempat tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di perairan P. Kera sudah berada pada kondisi yang hampir tidak sesuai untuk dijadikan objek wisata bahari sehingga diperlukan usaha serius untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisinya agar menjadi sesuai untuk dikembangkan.
43
4.2.1.2. Persen penutupan dan IMK P. Lutung Tipe terumbu karang di P. Lutung sama seperti terumbu karang di P. Kera, juga termasuk ke dalam tipe terumbu tepi. Ekosistem terumbu karang di P. Lutung dapat dikatakan dalam kondisi sedang (Tabel 11), hal ini dapat dilihat dari ratarata persen penutupan terumbu karang dari keempat stasiun yang sebesar 32,79 %. Walaupun begitu, nilai indeks kematian karang rata-rata di P. Lutung yang sebesar 0,28 yang berarti dari seluruh penutupan karang batu 28 % berubah menjadi karang mati. Tabel 11. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Lutung Jenis Tutupan Karang Batu Karang Lunak Karang Mati Algae Biota Lain Abiotik IMK
Rata-Rata 32,79 ± 19,11 0,71 ± 1,17 9,63 ± 5,73 14,76 ± 27,45 0,88 ± 0,57 41,22 ± 15,71 0,28 ± 0,28
Kondisi ekosistem terumbu karang di P. Lutung bervariasi, mulai dari kondisi buruk di bagian timur, sedang di bagian barat dan bagian utara, serta kondisi baik di bagian selatan (Gambar 5). Sama seperti di perairan P. Kera, perairan P. Lutung pun juga merupakan tempat mencari ikan bagi nelayan nelayan dari penduduk di desa terdekat. Maka dari itu, kerusakan terumbu karang yang terdapat di tempat tersebut juga disebabkan oleh faktor yang sama dengan yang terjadi di P. Kera yaitu akibat kegiatan manusia. Masih terdapatnya terumbu karang dalam kondisi yang baik mungkin dikarenakan kerusakan yang terjadi di tempat tersebut tidak separah di tempat-tempat yang lain, sehingga sekarang ini kondisinya sudah membaik. Kemungkinan yang lain yaitu intensitas aktivitas penangkapan ikan di tempat tersebut lebih kecil bila dibandingkan tempat yang lain, sehingga kurang berdampak pada kerusakan terumbu karang. Kondisi terparah terdapat di wilayah timur, yaitu dengan persen penutupan karang batu sebesar 4,16 % dan persen penutupan makro alga yang paling tinggi diantara stasiun lainnya yaitu sebesar 63,40 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa-
44
45
pertumbuhan karang batu kalah bersaing dengan laju pertumbuhan makro alga di tempat tersebut. Substrat dasar perairan yang berupa pasir putih halus juga menyebabkan kurang tersedianya substrat untuk penempelan larva karang untuk tumbuh di daerah tersebut. Terdapat dua stasiun dari empat stasiun yang diamati yang memiliki IMK yang tergolong tinggi, yaitu di bagian utara sebesar 0,41 dan di bagian timur sebesar 0,65 (Gambar 5). Nilai IMK yang besar menunjukkan bahwa di kedua lokasi ini memiliki penutupan karang mati yang besar pula bila dibandingkan dengan penutupan karang hidup, bahkan di bagian timur, penutupan karang mati lebih besar dibandingkan penutupan karang hidup. Selain dari pada itu, di kedua lokasi ini penutupan abiotik lebih besar daripada penutupan karang hidup dan besarnya penutupan makro alga yang menjadi kompetitor bagi karang untuk mendapatkan ruang dan cahaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di sebelah timur dan utara P. Lutung lebih buruk dibanding di bagian barat dan selatan. Rata-rata penutupan karang hidup di perairan P. Lutung berkategori S3 dengan keterangan sesuai marginal. Sedangkan berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh Deparpostel (1990), kondisi terumbu karang tersebut hanya memiliki skor 2 dengan rentang skor 1 – 5 dan yang terbaik adalah 5. Berdasarkan kedua kriteria tersebut, dapat dikatakan bahwa secara umum ekosistem terumbu karang di P. Lutung kurang sesuai untuk dijadikan objek wisata bahari bila dilihat dari persen penutupan karang hidupnya saja. Tetapi, terdapat satu stasiun yang memiliki persen penutupan karang hidup dengan status S2 atau cukup sesuai dan skor 3, yaitu di sebelah selatan P. Lutung (Gambar 5) yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari untuk snorkeling dan selam.
4.2.1.3. Persen penutupan dan IMK P. Burung Seperti halnya terumbu karang di P. Kera dan P. Lutung, terumbu karang di P. Burung juga bertipe terumbu karang tepi. Kondisi ekosistem terumbu karang di P. Burung dapat dikatakan dalam keadaan sedang yaitu dengan rata-rata penutupan karang hidup sebesar 45,49 % dengan penutupan karang mati hanya 2,77 % (Tabel 12). Bila dilihat dari penutupan karang hidup dan karang mati,
46
dapat dikatakan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di P. Burung lebih baik dari pada P. Kera dan P. Lutung. Hal ini dapat dilihat dari penutupan karang hidup yang paling tinggi dan penutupan karang mati yang paling rendah dibandingkan kedua pulau lainnya. Tabel 12. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Burung Jenis Tutupan Karang Batu Karang Lunak Karang Mati Algae Biota Lain Abiotik IMK
Rata-Rata 45,49 ± 14,61 0,02 ± 0,04 2,77 ± 3,91 3,15 ± 6,91 0,76 ± 0,58 47,80 ± 8,68 0,07 ± 0,11
Persen penutupan karang batu di Pulau Burung berada dalam kisaran sedang sampai baik (Gambar 6). Daerah yang kondisi ekosistem terumbu karangnya dalam keadaan sedang yaitu di utara pulau pada kedalaman 3 m, bagian timur dan di bagian barat pada kedalaman 7 m. Di selatan dan barat pada kedalaman 3 m kondisi terumbu karangnya dalam keadaan baik. Bila dibandingkan dengan P. Kera dan P. Lutung, maka dapat dikatakan kondisi ekosistem terumbu karang di P. Burung lebih baik. Hal tersebut bisa diketahui dengan tidak adanya stasiun pengamatan yang terdapat penutupan karang hidup dengan kriteria buruk. Selain dari pada itu, hanya 2 titik pengamatan yang terdapat penutupan karang mati, yaitu di bagian barat (7 m) dan utara (3 m). Penutupan karang mati terdapat di kedua tempat tersebut diduga karena adanya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan potassium pada masa lampau. Kegiatan penangkapan tersebut hanya dilakukan di bagian barat dan utara karena daerah tersebut kurang mendapat pengawasan dari masyarakat setempat. Walaupun P. Burung sering dikunjungi oleh wisatawan, kapal-kapal mereka berlabuh di sebelah selatan dan timur pulau. Selain dari pada itu, pada saat musim angin kencang dan gelombang besar yaitu pada musim tare/utara dan musim barat, kapal-kapal nelayan berteduh atau berlindung di bagian timur dan selatan pulau, sehingga bagian barat dan utara tidak mendapatkan pengawasan dan memberikan kesempatan kepada nelayan-nelayan yang kurang bertanggung-
47
48
jawab untuk menangkap ikan dengan menggunakan bahan, peralatan dan cara yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Nilai rata-rata IMK di P. Burung bila kita bandingkan dengan kedua pulau lainnya, maka nilai tersebut merupakan yang paling kecil diantara ketiganya yaitu hanya sebesar 0,07. Hal ini dikarenakan hanya terdapat dua titik dari empat stasiun yang diamati yang memiliki penutupan karang mati yaitu di bagian barat pulau pada kedalaman 7 m dan di bagian utara pulau dengan kedalaman 3 m yang menyebabkan nilai rata-rata IMK di pulau tersebut menjadi kecil. Walaupun demikian, di perairan P. Burung ditemukan bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci), tepatnya di bagian timur. Meskipun hanya ditemukan satu ekor, tetapi hal tersebut merupakan pertanda bahwa terdapat predator karang yang dapat mengancaman ekosistem terumbu karang di tempat tersebut. Ancaman tersebut mungkin saja membesar, karena tidak ditemukannya predator utama Acanthaster planci tersebut yaitu sejenis gastropoda yang sering disebut “triton trumpet” (Charonia tritonis) waktu pengamatan dilakukan. Selain daripada itu, menurut keterangan penduduk setempat pada waktu musim angin kencang (musim barat) banyak nelayan dari luar (khususnya P. Raas) yang berlindung di tempat tersebut sampai berbulan-bulan, dan untuk makan mereka biasanya mengambil keong-keong yang ada di tempat tersebut untuk dijadikan lauk pauk, mungkin salah satunya triton trumpet tersebut. Persen penutupan karang hidup di P. Burung secara umum lebih baik daripada P. Kera dan P. Lutung, tetapi berdasarkan kriteria Bakosurtanal tahun 1996, rata-rata penutupan karang hidup di tempat tersebut termasuk dalam kriteria S3 atau sesuai marginal dan menurut kriteria Deparpostel tahun 1990, memiliki skor 3. Sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan persen penutupan karang hidupnya, ekosistem terumbu karang di P. Burung kurang sesuai untuk dijadikan objek wisata bahari untuk snorkeling dan selam, walaupun terdapat satu stasiun yang memiliki persen penutupan karang hidup yang termasuk ke dalam kelas S2 atau sesuai dan skor 3 yaitu di bagian selatan dan barat P. Burung yang memiliki potensi untuk dijadikan objek wisata bahari untuk snorkeling dan selam.
49
4.2.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang 4.2.2.1. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Kera Ekosistem Terumbu Karang di P. Kera terdiri dari 15 genus karang dan 7 tipe pertumbuhan di bagian barat, 9 genus dan 5 tipe pertumbuhan di bagian timur, 15 genus dan 8 tipe pertumbuhan di bagian utara, dan 14 genus dan 6 tipe pertumbuhan di bagian selatan pulau. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa terdapat 22 genus karang dengan 8 tipe pertumbuhan di P. Kera (Lampiran 5.1). Jumlah genus dan bentuk pertumbuhan ditemukan paling sedikit di sebelah timur (Gambar 4). Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor kedalaman, walaupun kedalaman perairan saat dilakukan pengamatan di P. Kera yang terdapat terumbu karang bisa dikatakan dangkal yaitu hanya sampai kedalaman 3 meter, kedalaman perairan yang paling dangkal saat melakukan pengamatan yaitu di sebelah timur. Mungkin hal ini yang mempengaruhi kurang beragamnya jenis dan bentuk pertumbuhan terumbu karang di tempat tersebut walaupun persen penutupan karang hidupnya tergolong sedang. Jumlah tipe pertumbuhan karang yang terdapat di perairan P. Kera dapat dikatakan beragam dan termasuk ke dalam kelas S2 atau cukup sesuai. bila ditinjau dari jumlah tipe pertumbuhan karangnya saja, maka dapat dikatakan ekosistem terumbu karang di tempat tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari. Hanya saja, dengan kondisi perairan yang dangkal dan persen penutupan karang yang bisa dibilang rendah, aktivitas wisata yang dapat dilakukan lebih cocok untuk snorkeling. Selain daripada itu, bisa juga untuk tujuan pendidikan bagi siswa-siswa sekolah untuk belajar mengenai biota-biota yang terdapat di terumbu karang.
4.2.2.2. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Lutung Ekosistem terumbu karang di P. Lutung ditemukan 23 genus dan 9 tipe pertumbuhan (Lampiran 5.2). Genus karang paling banyak ditemukan di bagian barat P. Lutung (Gambar 5), hal ini dikarenakan pengamatan dilakukan pada 2 titik dengan kedalaman berbeda yaitu 4 meter dan 2 meter, sehingga memungkinkan
ditemukan
lebih
banyak
jenis
karang
dan
bentuk
pertumbuhannya. Di bagian timur ditemukan jumlah genus dan bentuk
50
pertumbuhan yang paling sedikit dari keempat stasiun yang diamati, walaupun pengamatan dilakukan pada kedalaman 3 meter. Hal ini dikarenakan tingginya penutupan makro alga di tempat tersebut, sehingga membatasi tempat dan ruang untuk pertumbuhan terumbu karang serta substrat dasar yang berupa pasir putih halus kurang sesuai sebagai tempat penempelan larva karang dan tumbuhnya karang baru. Akibatnya, persen penutupan karang menjadi kecil dan jenis karang yang dapat tumbuh hanya sedikit serta bentuk pertumbuhannya pun kurang bervariasi. Jumlah bentuk pertumbuhan karang di perairan P. Lutung lebih banyak dibandingkan di P. Kera, tetapi jumlah tersebut juga masih termasuk dalam kelas S2 atau cukup sesuai. Hal tersebut juga berarti bahwa bila ditinjau dari jumlah bentuk pertumbuhan karangnya saja, perairan P. Lutung bisa dikatakan sesuai atau memiliki potensi untuk dijadikan objek wisata bahari. Tetapi, sama seperti kondisi di P. Kera, dengan kedalaman perairan yang dangkal dan persen penutupan karang hidup yang tergolong rendah, maka di lokasi tersebut lebih cocok untuk aktivitas snorkeling dan tujuan pendidikan.
4.2.2.3. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Burung Genus dan bentuk pertumbuhan karang paling banyak ditemukan di bagian barat P. Burung yaitu sebanyak 25 genus dengan 9 bentuk pertumbuhan (Gambar 6). Hal ini dikarenakan pengamatan di tempat tersebut dilakukan pada reef slope dengan dua kedalaman yaitu pada kedalaman 7 meter dan 3 meter sehingga memungkinkan untuk ditemukan lebih banyak jenis karang dan bentuk pertumbuhannya karena pengamatan dilakukan pada dua kedalaman. Menurut Tomascik et al. 1997, secara umum reef slope dianggap sebagai zona yang paling beragam dari karang dalam hal keragaman spesies dan bentuk pertumbuhan. Sedangkan daerah yang paling sedikit ditemukan jumlah genus dan bentuk pertumbuhan yaitu di bagian timur pulau dengan jumlah genus dan bentuk pertumbuhan sebanyak 11 genus dan 7 bentuk pertumbuhan (Lampiran 5.3). Bentuk pertumbuhan karang hidup di perairan P. Burung terdapat 11 tipe dan termasuk ke dalam kelas S1 atau sangat sesuai, ditambah dengan penutupan karang hidup yang lebih baik dari P. Kera dan P. Lutung serta terdapatnya
51
terumbu karang dari kedalaman 2 sampai 7 meter dengan kondisi yang sedang sampai baik, sehingga perairan P. Burung dapat dikatakan cukup sesuai untuk dijadikan objek wisata bahari untuk kegiatan snorkeling, dan selam serta tujuan pendidikan.
4.2.3. Kondisi Komunitas Ikan Karang 4.2.3.1. Kondisi komunitas ikan karang di P. Kera Komunitas ikan karang di perairan P. Kera terdiri dari 456 individu ikan dari 14 famili dan 53 spesies. Adapun famili-famili ikan yang ditemukan adalah Pomacentridae, Labridae, Apogonidae, Haemulidae, Serranidae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Lutjanidae, Bleniidae, Nemipteridae, Monacanthidae, Scaridae, Siganidae dan Mullidae. Secara lengkap jenis-jenis ikan karang beserta kelimpahannya yang terdapat di P. Kera disajikan di Lampiran 6.1. Tabel 13. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Kera Lokasi
Kedalaman
Barat Timur Utara Selatan
3m 1,5m 3m 2m
∑ Famili
∑ Species
∑ Individu
H'
E
C
7 12 11 12
22 26 33 30
100 119 137 100
2,34 2,82 2,72 3,02
0,77 0,87 0,78 0,89
0,19 0,08 0,11 0,07
Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E) paling tinggi serta indeks dominansi (C) paling rendah terdapat di Selatan P. Kera dibandingkan dengan dengan stasiun pengamatan yang lain. Hal ini berarti terdapat jenis ikan lebih beragam dengan jumlah nilai kepentingan untuk tiap spesies/ni (jumlah individu, biomas, produksi dsb) yang hampir merata untuk tiap spesies ikan sehingga menyebabkan rendahnya nilai C dan tidak ada satu atau beberapa spesies yang mendominansi di komunitas ikan karang di daerah tersebut (Tabel 13). Jumlah spesies ikan karang di perairan P. Kera termasuk dalam kelas S3 atau sesuai marginal menurut kriteria Bakosurtanal 1996, memiliki skor 3 berdasar kriteria Deparpostel 1990 dan dapat dikatakan keragamannya sedang.
52
Sehingga bisa disimpulkan perairan P. Kera kurang sesuai untuk dijadikan objek wisata bahari bila dilihat dari jumlah spesies ikan yang ditemukan saja.
4.2.3.2. Kondisi komunitas ikan karang di P. Lutung Kondisi komunitas ikan karang di perairan P. Lutung ditemukan 626 individu ikan yang terdiri dari 69 spesies dan 16 famili. Adapun famili-famili ikan yang
ditemukan
adalah
Labridae,
Pomacentridae,
Chaetodontidae,
Pomacanthidae, Serranidae, Nemipteridae, Apogonidae, Haemulidae, Lutjanidae, Siganidae, Bleniidae, Caesionidae, Kyphosidae, Mullidae, Scaridae dan Lethrinidae. Secara lengkap jenis-jenis ikan karang yang terdapat di perairan Pulau Lutung beserta kelimpahannya disajikan di Lampiran 6.2. Nilai H’ terendah dan C tertinggi terdapat di sebelah timur P. Lutung. Selain dari pada itu di tempat tersebut ditemukan jumlah famili, spesies dan individu paling rendah dari keempat stasiun yang diamati (Tabel 14). Hal tersebut dikarenakan habitat di tempat tersebut di dominasi oleh oleh makro alga dengan penutupan karang batu yang sangat kecil (Gambar 5). Kondisi tersebut mengakibatkan sedikitnya jenis dan jumlah ikan karang yang menempati habitat tersebut karena kurang tersedianya tempat untuk berlindung bagi ikan-ikan karang dan hanya menyediakan jenis makanan yang melimpah bagi ikan-ikan herbivor, sehingga menyebabkan jenis-jenis ikan tersebut saja yang menempati daerah tersebut yang berakibat kurang beragamnya jenis ikan karang di tempat tersebut. Tabel 14. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Lutung Lokasi
Kedalaman
Barat
4m 2m 3m 3m 2m
Timur Utara Selatan
∑ Famili 8 8 7 10 12
∑ Species
∑ Individu
31 34 15 33 40
115 103 48 139 221
H' 2,84 3,14 2,23 2,98 3,24
E
C
0,83 0,89 0,82 0,60 0,88
0,09 0,06 0,15 0,08 0,05
Jumlah spesies ikan karang yang ditemukan di perairan P. Lutung walaupun lebih banyak dibanding P. Kera, tetapi juga termasuk ke dalam kelas S3 atau sesuai marginal menurut kriteria Bakosurtanal (1996) dan memiliki skor 3
53
sesuai kriteria Deparpostel (1990). Berdasarkan dua kriteria di atas, maka dapat dikatakan bahwa perairan P. Lutung kurang sesuai untuk dijadikan objek wisata bahari bila hanya dilihat jumlah spesies ikan karang yang ditemukan.
4.2.3.3. Kondisi komunitas ikan karang di P. Burung Komunitas ikan karang di P. Burung terdiri dari 1461 individu ikan dari 19 famili dan 85 spesies. Adapun famili-famili ikan yang ditemukan adalah Labridae, Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Serranidae, Nemipteridae, Apogonidae, Haemulidae, Lutjanidae, Siganidae, Bleniidae, Caesionidae, Scaridae, Sphyraenidae, Monacanthidae (Lampiran 6.3). Indeks keseragaman terendah terdapat di barat P. Burung pada kedalaman 3 m, hal ini dikarenakan adanya beberapa jenis ikan memiliki jumlah individu yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang lain, sehingga menurunkan nilai keseragaman. Dari nilai indeks dominansi (C) terlihat bahwa dibandingkan dengan stasiun pengamatan yang lain, bagian barat pulau memiliki nilai yang paling tinggi yaitu sebesar 0,28 yang berarti di tempat tersebut terdapat dominansi lebih besar dibanding stasiun yang lain (Tabel 15). Tabel 15. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Burung Lokasi
Kedalaman
Barat
3m 7m 3m 3m 2m
Timur Utara Selatan
∑ Famili 10 19 8 12 11
∑ Species
∑ Individu
28 39 26 40 42
188 665 139 150 315
H' 2,37 2,01 2,30 3,15 3,02
E
C
0,71 0,55 0,71 0,85 0,81
0,20 0,28 0,18 0,07 0,08
Perairan P. Burung bila dilihat dari jumlah spesies ikan karang yang ditemukan termasuk ke dalam kelas S2 atau cukup sesuai (Bakosurtanal 1996) dan skor 3 (Deparpostel 1990 dalam Bakosurtanal 1996) atau dapat dikatakan lebih sesuai untuk dijadikan objek wisata bahari bila hanya ditinjau dari jumlah spesies ikan karang yang ditemukan dibandingkan P. Kera dan P. Lutung. Hal tersebut menunjukkan bahwa di perairan P. Burung terdapat potensi untuk
54
dikembangkan menjadi suatu objek wisata bahari baik untuk snorkeling, selam dan kegiatan lainnya.
4.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Data beberapa parameter fisika dan kimia perairan merupakan hasil olahan data primer berdasarkan hasil pengukuran langsung dilapangan. Data primer fisika dan kimia perairan hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat pada lampiran 6 untuk masing-masing pulau. Adapun parameter fisika yang diukur yaitu kecerahan, kecepatan arus, suhu dan kekeruhan (turbidity), sedangkan parameter kimia perairan yang diukur yaitu oksigen terlarut (DO), pH dan salinitas. Data hasil pengukuran tersebut akan dibandingkan dengan “Baku Mutu Air Laut Untuk Wisata Bahari dan Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut” berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 untuk mengetahui kesesuaian perairan tersebut menjadi objek wisata bahari dan sebagai tempat hidup biota laut secara umum.
4.3.1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Kera Parameter fisika dan kimia perairan di P. Kera (Lampiran 7.1) berdasarkan baku mutu air laut untuk wisata bahari menurut KepMen LH no.51 tahun 2004, dapat dikatakan memenuhi kriteria tersebut. Tetapi bila kita bandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut, maka terdapat satu parameter kimia yang tidak memenuhi kriteria tersebut, yaitu salinitas. Salinitas rata-rata di perairan P. Kera yaitu 32 ‰, adapun menurut baku mutu air laut untuk karang yaitu 33 - 34 ‰, akan tetapi diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5 % salinitas ratarata musiman. Kondisi salinitas tersebut mungkin turut menyebabkan rendahnya perentase penutupan karang hidup di perairan P. Kera tersebut. Menurut Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000) binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas 34 - 36 ‰. Namun, pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai 17,5 – 52,5 ‰ (Vaughan 1919 dan Wells 1932 dalam Supriharyono 2000).
55
4.4.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Lutung Perairan di P. Lutung dari hasil pengukuran beberapa parameter fisika dan kimia yang di lapangan (Lampiran 7.2) dapat dikatakan memenuhi kriteria untuk menjadi kawasan wisata bahari berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004. Hanya saja, seperti kondisi perairan di P. Kera, salinitas di periaran P. Lutung yang nilainya 31,6 ‰, lebih rendah dari persyaratan baku mutu air laut untuk biota laut. Berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 untuk karang yaitu 33 – 34 ‰. Namun Menurut Dahuri 2003, umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir pada salinitas 30 – 35 ‰, yang berarti perairan P. Lutung dapat dikatakan memenuhi kriteria sebagai tempat hidup biota laut secara umum.
4.4.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Burung Parameter fisika dan kimia perairan P. Burung dari hasil pengukuran di lapangan (Lampiran 7.3) bila dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk wisata bahari dan biota laut berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004, sama seperti kedua pulau lainnya, salinitasnya lebih rendah (31,4 ‰) dari standar yang ditentukan. Namun kondisi tersebut masih memenuhi persyaratan untuk hidupnya terumbu karang yaitu 30 – 35 ‰ (Dahuri 2003). Selain daripada itu, parameter lain yang tidak memenuhi standar baku mutu tersebut adalah kekeruhan perairan. Berdasarkan baku mutu, seharusnya kekeruhan < 5 ntu. Namun dari hasil pengukuran di lapangan, rata-rata kekeruhan di perairan P. Burung adalah 8,2 ntu. Bila kita perhatikan, terdapat perbedaan rata-rata salinitas antara tiga pulau yang diamati. Urutan salinitas dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu perairan P. Lutung, P. Kera dan P. Burung. Salinitas yang lebih rendah dari baku mutu air laut dan berbeda dari tiap pulau ini disebabkan oleh bermuaranya sebuah sungai di daerah pesisir Tanjung Binga. Bila diurut letak pulau tersebut berdasarkan jaraknya dari daratan utama, maka pulau yang paling dekat dengan daratan utama yaitu P. Burung, yang ke-2 P. Kera dan yang paling jauh adalah P. Lutung. Oleh karena itu salinitas di perairan P. Burung paling rendah karena letaknya yang paling dekat dengan daratan utama karena mendapat pengaruh paling besar dari masukan air tawar dari sungai yang bermuara tersebut yang
56
dapat menurunkan salinitas air laut disekitarnya. P. Burung memiliki kekeruhan yang paling besar diantara ketiga pulau tersebut, karena aliran sungai yang bermuara di pantai Tanjung Binga tersebut turut membawa partikel-partikel yang terlarut dan tersuspensi yang terbawa selama perjalanannya dari hulu ke muara. Akibatnya partikel-partikel yang terbawa tersebut dapat meningkatkan kekeruhan perairan di muara sungai dan menurunkan tingkat kecerahan perairan tersebut. P. Kera dan P. Lutung juga mendapat pengaruh dari sungai tersebut, tetapi tidak sebesar pengaruh yang terjadi di perairan P. Burung.
4.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Sebagai Objek Wisata Bahari Parameter-parameter yang dikaji untuk menentukan kesesuaian suatu kawasan menjadi kawasan wisata bahari menurut Bakosurtanal (1996) yaitu kecerahan perairan, tutupan terumbu karang, jumlah bentuk pertumbuhan karang, jumlah spesies ikan karang, kedalaman dasar laut, kecepatan arus perairan tersebut (Tabel 16). Aktivitas pariwisata bahari yang dimaksud yaitu selam dan snorkeling. Bobot dan skor diberikan pada masing-masing parameter berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruhnya terhadap kegiatan pariwisata bahari tersebut. Tabel 16. Nilai kesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk wisata bahari No
Parameter
1 2 3 4 5 6
Kecerahan Perairan (m) Tutupan Terumbu Karang (%) Lifeform Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Nilai Kesesuaian P. Kera P. Lutung P. Burung 200 200 200 96 96 96 112 112 128 96 96 112 72 72 72 84 84 84 660 660 692 S2 S2 S2
4.4.1. Kesesuaian P. Kera Sebagai Objek Wisata Bahari P. Kera dengan luas wilayah 0,60 Ha (BAPPEDA Kabupaten Belitung 1994) memiliki skor total 660 yang berarti perairan P. Kera cukup sesuai untuk menjadi kawasan wisata bahari. Terdapat 2 parameter yang termasuk ke dalam kelas S1 atau sangat sesuai yaitu jumlah kecerahan perairan dan kecepatan arus
57
yang mendukung daerah ini untuk menjadi kawasan wisata bahari. Faktor yang mungkin untuk diperbaiki untuk meningkatkan status perairan tersebut agar sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari adalah tutupan terumbu karang dan jumlah spesies ikan karang yang terdapat di perairan tersebut sehingga terasa kurang menarik bagi penyelam - penyelam yang berpengalaman dan wisatawan yang mengerti akan keindahan alam bawah laut. P. Kera memiliki batas-batas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan bila pulau tersebut akan dijadikan kawasan wisata bahari. Batasan permanen yang terdapat di perairan P. Kera yaitu berhubungan dengan kedalaman perairan. Dangkalnya perairan di pulau tersebut cocok untuk penyelam-penyelam pemula, tetapi kurang memberi tantangan kepada penyelam-penyelam yang sudah berpengalaman. Kegiatan wisata bahari yang mungkin dilakukan di perairan P. Kera yaitu snorkeling, karena keterbatasan berupa kedalaman yang dangkal serta kondisi ekosistem terumbu karang yang kurang bagus, sehingga kurang sesuai untuk menyelam di wilayah tersebut. Kegiatan lain yang mungkin dilakukan adalah yang berhubungan dengan pendidikan, seperti observasi lapang bagi siswa - siswi sekolah untuk mengenal biata-biota laut secara langsung di lapangan. Bila penilaian kesesuaian untuk wisata bahari kita lakukan di keempat titik pengamatan, maka akan didapatkan nilai kesesuaian di sebelah barat sebesar 516, di timur sebesar 520, di utara sebesar 596 dan di selatan sebesar 516 (Lampiran 8.1). Dari hasil penilaian di atas, dapat diketahui bahwa daerah yang memiliki nilai kesesuaian paling tinggi yaitu di sebelah Utara P. Kera. Tingginya nilai kesesuaian daerah Utara P. Kera tersebut dikarenakan penutupan karang batu hidup yang paling tinggi dan penutupan karang mati lebih rendah di antara stasiun-stasiun pengamatan yang lain. Selain daripada itu, jumlah spesies dan kelimpahan ikan karang juga paling tinggi ditemukan di tempat tersebut. Ditemukannya 15 Genus karang dengan bentuk pertumbuhan yang lebih banyak dibanding stasiun pengamatan yang lain dan persen penutupan biota bentik lain (Others/OT) di tempat tersebut merupakan penambah daya tarik bagi wisatawan yang akan bersnorkeling di wilayah tersebut. Dari kondisi yang telah dipaparkan di atas, wajar adanya bila wilayah utara dijadikan daerah unggulan atau tujuan
58
utama objek wisata bahari bagi wisatawan yang ingin melakukan kegiatan snorkeling di P. Kera.
4.4.2. Kesesuaian P. Lutung Sebagai Objek Wisata Bahari P. Lutung mempunyai luasan wilayah sebesar 0,50 Ha (BAPPEDA Kab. Belitung 1994). Analisis kesesuaian untuk pariwisata bahari di P. Lutung didapatkan nilai total 660 yang berarti perairan P. Lutung memiliki status cukup sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari. Dengan persen penutupan karang dan jumlah spesies ikan karang yang memiliki kelas yang sama dengan perairan P. Kera, maka dapat dikatakan parameter tersebut yang mungkin dirubah agar daerah ini sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari. P. Lutung memiliki batas-batas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan bila pulau tersebut akan dijadikan kawasan wisata bahari. Sama seperti P. Kera, batasan permanen yang terdapat di perairan P. Lutung yaitu kedalaman perairan, kecuali di bagian barat pulau (4 m). Maka kegiatan wisata bahari yang mungkin dilakukan ditempat tersebut yaitu snorkeling dan selam. Nilai kesesuaian keempat stasiun pengamatan untuk dijadikan objek wisata bahari di P. Lutung yaitu di sebelah barat sebesar 660, di timur sebesar 532, di utara sebesar 596 dan di selatan sebesar 612 (Lampiran 8.2). Dari penilaian keempat stasiun di atas, terlihat bahwa kesesuain tertinggi terdapat di sebelah Barat P. Lutung. Tingginya nilai kesesuaian di tempat tersebut antara lain dikarenakan tutupan karang batu hidup yang tergolong sedang dan ditemukannya jumlah spesies ikan karang yang paling banyak diantara stasiun - stasiun yang lain. Ditemukannya persen penutupan karang lunak yang lebih tinggi, penutupan karang mati yang paling rendah dan jumlah genus karang paling banyak dibanding stasiun yang lain serta terdapatnya terumbu karang sampai kedalaman 4 m memungkinkann lokasi tersebut dijadikan sebagai daerah tujuan utama bagi wisatawan yang ingin melakukan kegiatan menyelam di P. Lutung. Selain sebelah barat, masih terdapat satu lokasi lagi yang tidak kalah menarik bila kita berwisata bahari ke P. Lutung, yaitu di sisi selatannya. Persen penutupan karang batu hidup yang lebih tinggi dibanding daerah barat dan tergolong dalam kondisi baik, penutupan abiotik yang lebih rendah dan junlah bentuk pertumbuhan karang yang
59
lebih beragam dibandingkan sisi barat, sehingga sebaiknya tidak melewatkan daerah ini bila kita berwisata bahari ke P. Lutung. Perairan yang dangkal di sisi selatan tersebut yaitu hanya sampai 2 m menyebabkan aktivitas yang bisa dilakukan hanya snorkeling saja. Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa sisi Barat dan Selatan P. Lutung merupakan daerah andalan atau tujuan utama bila berwisata ke P. Lutung.
4.4.3. Kesesuaian P. Burung Sebagai Objek Wisata Bahari Hasil analisis data beberapa parameter berdasarkan Bakosurtanal (1996) untuk mengetahui kesesuaian suatu daerah untuk kegiatan pariwisata bahari, maka didapatkan nilai 692, yang berarti perairan P. Burung sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari. Selain memiliki 3 parameter yang memiliki kriteria S1 yaitu kecerahan perairan, jumlah bentuk pertumbuhan karang dan kecepatan arus, P. Burung juga memiliki jumlah spesies ikan karang yang termasuk dalam kategori S2 atau sesuai. Hal ini mungkin dikarenakan perairan P. Burung memiliki persen penutupan karang yang paling tinggi diantara ketiga pulau yang diamati, sehingga memungkinkan lebih banyak jenis ikan karang yang berasosiasi (Lowe-McConnel 1987). Walaupun perairan P. Burung yang memiliki luas daratan sebesar 0,80 Ha (BAPPEDA Kabupaten Belitung 1994) tersebut memiliki kondisi sedang dan termasuk ke dalam kriteria sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari, namun kondisi tersebut masih dapat ditingkatkan menjadi sangat sesuai dengan memperbaiki kondisi ekosistem terumbu karang di tempat tersebut. P. Burung memiliki batas-batas yang agak serius untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari yang masih terdapatnya daerah dengan kondisi terumbu karang yang kurang bagus dan mendekati kondisi jelek. Usaha yang diberikan terhadap pulau tersebut akan meningkatkan kelas kesesuaian dan mengurangi batas-batas tersebut. Kondisi perairan P. Burung yang tidak memiliki batasan yang serius untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari, memungkinkan dilakukannya aktivitas snorkeling dan selam di tempat tersebut. Kedalaman perairan yang terdapat terumbu karang yang bervariasi dengan kondisi ekosistem terumbu karang yang bervariasi pula memungkinkan dilakukannya diversifikasi kegiatan
60
wisata di daerah tersebut. Semisal di bagian barat yang memiliki terumbu karang sampai kedalaman 7 m diperuntukkan bagi penyelam yang sudah berpengalaman saja dan di tempat yang lain diperuntukkan bagi penyelam-penyelam pemula atau untuk kegiatan snorkeling dan berenang. Terdapatnya terumbu karang dengan kondisi baik di bagian selatan sampai kedalaman 2 m, memungkinkan lokasi tersebut menjadi tempat untuk observasi lapang bagi siswa-siswa sekolah untuk mengenal langsung biota-biota laut yang hidup di terumbu karang. Nilai kesesuaian di keempat titik pengamatan di P. Burung yaitu, di sebelah barat sebesar 656, di timur sebesar 580, di utara sebesar 580 dan di selatan sebesar 676 (Lampiran 8.3). Nilai kesesuaian terbesar terdapat di selatan pulau, hal ini dikarenakan penutupan karang batu hidup yang tergolong baik, tidak adanya penutupan karang mati dan jumlah spesies ikan karang yang cukup beragam di antara stasiun pengamatan yang lain. Namun keterbatasan kedalaman perairan yang hanya 2 m mengakibatkan kegiatan wisata bahari yang bisa dilakukan di lokasi tersebut hanya snorkeling saja. Selain aktivitas snorkeling, di perairan P. Burung juga bisa dilakukan aktivitas menyelam yaitu di bagian Barat Pulau, karena terumbu karang di lokasi tersebut terdapat sampai kedalaman 7 m. Selain dari pada itu, persen penutupan karang batu hidup yang tergolong baik, ditemukannya jumlah spesies ikan karang paling banyak di antara stasiun pengamatan yang lain menjadikan lokasi tersebut sebagai objek wisata yang menarik untuk kegiatan menyelam. Sehingga bisa dikatakan terdapat 2 lokasi di P. Burung yang bisa menjadi daerah tujuan utama aktivitas snorkeling, yaitu di bagian barat dan selatan pulau. Lokasi yang paling mungkin untuk dijadikan daerah tujuan utama untuk aktivitas selam yaitu di sebelah Barat P. Burung.
4.5. Titik-titik Aktivitas Wisata Bahari 4.5.1 Titik-titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Kera Kegiatan wisata bahari yang sesuai untuk dilakukan di P. Kera yaitu snorkeling. Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut adalah keberadaan terumbu karang yang hanya terdapat sampai kedalaman ± 3 m dan dangkalnya perairan. Selain daripada hal tersebut, penutupan karang hidup yang termasuk kriteria cukup sesuai, jumlah genus dan bentuk pertumbuhan karang termasuk
61
kategori cukup sesuai, jumlah jenis dan kelimpahan ikan karang yang tergolong sesuai marginal menyebabkan hasil penilaian matriks kesesuaian wisata bahari untuk P. Kera hanya termasuk ke dalam kriteria cukup sesuai. Kondisi perairan baik biotik maupun abiotik di P. Kera yang hampir sama menyebabkan aktivitas wisata bahari yang dapat di lakukan di P. Kera berdasarkan keempat titik pengamatan (utara, selatan, barat dan timur) yaitu snorkeling (Gambar 7).
4.5.2 Titik-titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Lutung Kondisi perairan yang beragam bila dilihat dari faktor biotik (penutupan karang hidup) di keempat titik pengamatan (utara, selatan, barat dan timur), merupakan daya tarik wisatawan untuk dapat melakukan snorkeling dan selam di perairan P. Lutung (Gambar 7). Di sebelah utara, terumbu karang ditemukan hanya sampai kedalaman ± 3 m menyebabkan aktivitas yang mungkin di lakukan di daerah tersebut adalah snorkeling. Di selatan pulau terdapat terumbu karang dengan kondisi baik (50,70 %), tetapi hanya sampai kedalaman ± 2 m, sehingga aktivitas yang mungkin di lakukan di daerah tersebut yaitu snorkeling. Di barat pulau, terumbu karang ditemukan sampai kedalaman ± 4 m, yang memungkinkan untuk dilakukannya snorkeling dan selam di daerah tersebut. Di timur pulau, karang batu ditemukan sampai kedalaman ± 3 m dengan persen penutupan buruk, terdapat makro alga dan substrat berupa pasir putih yang kurang menarik.
4.5.3. Titik-titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Burung Kegiatan wisata bahari yang mungkin dilakukan di P. Burung yaitu snorkeling dan selam. Snorkeling dapat dilakukan di utara, selatan, barat dan timur pulau, karena di tempat tersebut terdapat terumbu karang di perairan yang relatif dangkal. Aktivitas selam dapat dilakukan di barat pulau, karena terumbu karang ditemukan sampai kedalaman ± 7 m.
62
63
4.6. Persepsi Masyarakat dan Instansi-instansi Pemerintah Terkait 4.6.1. Persepsi Masyarakat Desa Tanjung Binga Hasil wawancara dan kuisioner terhadap 37 responden yang merupakan penduduk Desa Tanjung Binga, 100 % mengatakan setuju kalau seandainya P. Kera, P. Lutung dan P. Burung nantinya dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari. Dari keseluruhan masyarakat yang diwawancarai berpendapat bila nantinya kawasan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung dikembangkan menjadi suatu objek wisata maka akan berdampak posistif terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar pulau tersebut. Dampak posistif yang diharapkan oleh masyarakat tersebut adalah adanya peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil penyediaan jasa kepada pengunjung, selain itu akan terbuka lapangan kerja baru bagi penduduk setempat. Dengan dibangunnya sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan wisata tersebut desa mereka akan menjadi lebih bagus, dengan banyaknya pengunjung yang datang maka desa mereka akan menjadi ramai dan dagangan di toko/warung akan lebih laris sehingga akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Walaupun begitu, mereka mengharapkan pengembangan tersebut tidak mengganggu aktivitas masyarakat setempat seperti mengganggu tempat parkir perahu nelayan, menggusur tempat penjemuran ikan (parak) penduduk setempat. Khususnya P. Burung, biasanya selalu dikunjungi tiap minggu, namun paling ramai pada saat libur sekolah dan saat lebaran. Masyarakat setempat memberikan keterangaan pada kuisioner yang diajukan bahwa sejauh ini pemanfaatan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung oleh pengunjung yang bukan dari mayarakat setempat adalah sebagai tempat rekreasi yaitu bersantai-santai di pulau bersama teman atau keluarga, berenang di laut dan memancing. Sedangkan pemanfaatan oleh masyarakat setempat yaitu sebagai tempat memancing setiap hari, mencari kerang pada saat musim angin kencang dan gelombang besar serta mengambil daun pohon kelapa sebulan sekali untuk membakar bagian bawah kapal mereka agar tidak ditempeli teritip.
64
4.6.2. Tanggapan Instansi-instansi Pemerintahan yang Terkait dengan Pengembangan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung. Wawancara dilakukan terhadap 5 instansi Pemerintahan yang dianggap berkaitan dan berkepentingan untuk mengembangkan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung yang terdapat di Desa Tnajung Binga tersebut. Adapun instansi-instansi yang diwawancarai adalah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung, BAPPEDA Kab. Belitung, Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab. Belitung, Kecamatan Sijuk dan Pemerintahan Desa Tanjung Binga. Adapun hasil wawancara dari masing-masing instansi tersebut adalah sebagai berikut :
4.6.2.1. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung menyatakan bahwa belum ada pihak yang mengelola P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk dikembangkan. Sampai saat ini pun, Belum ada keterlibatan dari Dinas Perikanan dan Kelautan tersebut untuk mengembangkan ketiga pulau tersebut dan perairannya. Hal ini dikarenakan belum adanya rencana pengembangan ketiga pulau tersebut dari instansi ini.
4.6.2.2 BAPPEDA Kabupaten Belitung BAPPEDA Kabupaten Belitung menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada keterlibatan langsung maupun tidak langsung instansi tersebut untuk mengembangkan ketiga pulau tersebut dan perairannya. Sedangkan konsep, rencana, visi dan misi pihak BAPPEDA untuk mengembangkan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung adalah sesuai dengan tata ruang Kabupaten Belitung, yaitu daerah tersebut merupakan kawasan wisata.
4.6.2.3. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Belitung mengatakan bahwa kapasitas dinas tersebut hanya sebatas pembina bagi pihak pengembang atau pengelola. Karena sampai saat ini belum ada pihak yang mau mengembangkan dan mengelola daerah tersebut khususnya pada perairan di ketiga pulau tersebut, maka sejauh ini dinas belum terlibat langsung untuk
65
pengembangan, tetapi hanya melakukan pendataan. Adapun konsep, rencana pengembangan, visi dan misi dinas tersebut untuk menjadikan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung adalah menjadi daerah wisata bahari dan masuk ke dalam kawasan pariwisata.
4.6.2.4. Kecamatan Sijuk Kecamatan Sijuk yang diwakili oleh Bapak Camat menyatakan bahwa sejauh ini kurang ada keterlibatan pihak kecamatan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan dan pengelolaan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung. Konsep dan rencana pengembangan kecamatan terhadap ketiga pulau tersebut dan perairannya yaitu untuk dijadikan tempat rekreasi, penyelaman, renang dan memancing. Harapan dari pihak kecamatan terhadap pengembangan ketiga pulau tersebut yaitu agar dijadikan kawasan wisata bahari khususnya untuk selam dan memancing, sehingga dengan dikembangkannya daerah tersebut menjadi objek wisata maka akan memberikan dampak positif secara ekonomis dan sosial kepada masyarakat sekitar.
4.6.2.5. Pemerintahan Desa Tanjung Binga Pemerintahan Desa yang diwakili oleh Bapak Kepala Desa Tanjung Binga menyatakan bahwa seharusnya instansi yang mengembangkan dan mengelola P. Burung, P. Kera dan P. Lutung adalah Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung, sedangkan keterlibatan pemerintah desa hanya sebagai pemandu kegiatan tersebut. Pada saat ini, ketiga pulau tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hanya sebatas mengeksploitasi langsung sumberdaya hayati yang terdapat di kawasan tersebut seperti ikan, kerang dan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di pulau tersebut. Sedangkan sektor swasta belum mengambil bagian dalam pemanfaatan atau pengembangan dan pengelolaan di ketiga pulau tersebut dan perairannya. Adapun harapan dari Pemerintahan Desa Tanjung Binga yaitu agar perairan di P. Burung, P. Kera dan P. Lutung dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar pulau tersebut.
66
4.7. Manajemen Pengelolaan Pulau Modal utama untuk menarik wisatawan agar datang berkunjung ke suatu objek wisata alam adalah keindahan dan keaslian kondisi alam di lokasi objek wisata tersebut. Manajemen komprehensif atau manajemen multi tujuan dari sumberdaya laut adalah konsep baru dalam merespon untuk merubah hubungan antara manusia dan lingkungan laut (Kenchington 1988). Bila kita berbicara tentang wisata bahari khususnya untuk kegiatan snorkeling dan selam, maka tantangan terbesar dalam mengelola suatu objek wisata bahari adalah bagaimana menjaga kondisi perairan dan ekosistem terumbu karang agar tidak terdegradasi sedangkan yang kita hadapi adalah orang-orang yang memiliki tingkah laku dan keinginan yang berbeda-beda. Selain daripada itu, kondisi daratan dan masyarakat sekitar lokasi objek wisata juga harus menjadi perhatian karena segala aktivitas di daratan dan di laut akan turut mempengaruhi kondisi perairan khususnya ekosistem terumbu karang yang menjadi modal utama untuk menarik wisatawan. Bila perairan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata bahari, maka daerah tersebut akan bertambah banyak aktivitas dengan tujuannya masing - masing di tempat tersebut, maka sebaiknya daerah tersebut diatur dengan manajemen wilayah untuk penggunaan yang beragam. Manajemen wilayah untuk penggunaan yang beragam bertujuan untuk produksi air, kayu, ikan, invertebrata, kehidupan liar, padang rumput dan rekreasi di luar rumah yang berkelanjutan dengan orientasi utama konservasi terhadap alam untuk mendukung aktivitas ekonomi (meskipun zona spesifik mungkin juga dibuat di dalam area tersebut untuk mencapai tujuan spesifik konservasi) (Kenchington 1988).
4.7.1. Pengelolaan P. Kera Dangkalnya perairan P. Kera (Lampiran 9.1)menyebabkan aktivitas yang mungkin dilakukan di keempat titik pengamatan adalah bersnorkeling. Nilai kesesuaian di semua titik pengamatan menunjukkan pengembangan wisata bahari di P. Kera lebih sesuai dikembangkan di utara pulau tersebut. Tetapi bila kita lihat dari penutupan komunitas terumbu karang, penutupan tertinggi terdapat di bagian timur, sehingga daerah tersebut bisa juga dijadikan daerah tujuan untuk
67
bersnorkeling, karena tutupan komunitas terumbu karang yang tinggi biasanya menyajikan beragam bentuk dan warna yang indah dan merupakan pemandangan bawah air yang menarik untuk disaksikan. Sebaiknya dilakukan perbaikan kondisi ekosistem terumbu karang di sebelah Barat dan Selatan P. Kera, karena tutupan komunitas terumbu karang tersebut lebih rendah dari 2 daerah pengamatan yang lain, bahkan tutupan terumbu karang batu hidup di barat pulau kondisinya tergolong dalam kategori buruk. Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menetapkan wilayah tersebut sebagai daerah konservasi atau daerah perlindungan. Alan dan Angel (1988), menyatakan bahwa rencana dari daerah perlindungan mungkin memiliki tujuan pengeluaran pengaruh manusia untuk mengizinkan perawatan atau pembangunan kembali kondisi asli. Langkah nyata untuk meningkatkan tutupan terumbu karang hidup di daerah tersebut adalah dengan melakukan transplantasi terumbu karang, karena substrat dasar yang berupa pasir putih halus kurang cocok untuk penempelan larva karang, sehingga harus dengan bantuan dan usaha manusia. Dengan upaya tersebut diharapkan tutupan terumbu karang akan meningkat sehingga jumlah ikan karang yang berasosiasi pun akan semakin banyak (Sale 1991) dan pada akhirnya akan meningkatkan hasil tangkapan nelayan setempat. Perairan P. Kera
merupakan tempat penduduk Desa Tanjung Binga
menangkap ikan, sehingga perlu dibuat peraturan tentang penangkapan ikan di daerah tersebut terkait dengan dijadikannya sebagian perairan pulau sebagai tempat rekreasi dan sebagian lagi merupakan daerah yang dikonservasi. Dengan luas daratan pulau yang kecil, sebaiknya tidak dibangun sarana dan prasarana pendukung kegiatan wisata bahari seperti tempat peristirahatan dan sebagainya yang mengakibatkan pembukaan lahan dan berkurangnya jumlah vegetasi yang yang tumbuh di pulau tersebut. Berkurangnya jumlah vegetasi di daratan akan mengakibatkan proses erosi dari daratan akan semakin cepat yang akan menyebabkan bertambahnya sedimentasi dan kekeruhan perairan. Kekeruhan dan sedimentasi mengakibatkan terjadinya penutupan substrat, penutupan dan melebihi kemampuan membersihkan beberapa hewan yang makan dengan cara menyaring air, merubah distribusi vertikal hewan dan tumbuhan, mungkin menyerap dan membawa polutan lain (Kenchington 1988).Selain daripada itu,
68
segala aktivitas manusia di daratan akan menghasilkan limbah padat dan cair yang akan mencemari perairan dan pada akhirnya akan menyebabkan degradasi lingkungan khususnya terhadap ekosistem terumbu karang yang merupakan modal utama dari wisata bahari di P. Kera tersebut.
4.7.2. Pengelolaan P. Lutung Kondisi perairan P. Lutung (Lampiran 9.2) yang terdapat terumbu karang yang bervariasi mulai dari 2 m sampai 4 m menyebabkan aktivitas selam dan snorkeling dapat dilakukan di wilayah tersebut. Berdasarkan nilai kesesuaian, dapat dikatakan bahwa daerah barat P. Lutung paling sesuai untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari. Penutupan komunitas terumbu karang yang lebih baik di selatan pulau mengindikasikan bahwa wilayah tersebut juga potensial untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata bahari di P. Lutung. Namun karena kedalaman perairan yang terdapat terumbu karang hanya sampai 2 m menyebabkan lokasi tersebut lebih sesuai bila dikembangkan sebagai daerah tujuan untuk aktivitas snorkeling. Kondisi ekosistem terumbu karang di Utara P. Lutung tergolong sedang, namun dengan nilai IMK yang dapat dikatakan besar pula (0,41), sebaiknya wilayah tersebut dijadikan daerah konservasi untuk memperbaiki kondisi ekosistem terumbu karang di tempat tersebut dan agar kondisi yang sekarang tidak menjadi semakin buruk. Lokasi lain yang sebaiknya dijadikan daerah konservasi adalah bagian timur pulau. Walaupun tutupan komunitas terumbu karang di tempat tersebut besar, tetapi tutupan tersebut didominasi oleh makro alga dari genus Sargassum yang menyebabkan dasar perairan terlihat berwarna coklat kehitaman, sehingga dirasakan kurang menarik bila dijadikan objek wisata bahari. Substrat dasar yang berupa pasir putih halus menyebabkan harus adanya campur tangan manusia untuk meningkatkan tutupan terumbu karang batu di kedua lokasi tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut salah satunya dengan melakukan transplantasi terumbu karang. Dengan membaiknya kondisi ekosistem terumbu karang di tempat tersebut diharapkan semakin banyak ikan-ikan yang berasosiasi sehingga meningkatkan hasil tangkapan nelayan setempat. Dengan berubahnya status P. Lutung menjadi tujuan wisata dan daerah konservasi harus
69
dibuat regulasi agar menguntungkan bagi semua pihak, khususnya nelayan setempat yang mencari ikan di sekitar pulau tersebut. Selain daripada hal tersebut, masyarakat setempat harus diikutsertakan agar mereka merasa menjadi bagian dari kegiatan pariwisata dan konservasi tersebut, sebagai salah satu upaya untuk meminimalisir potensi-potensi konflik dengan masyarakat setempat. Alan dan Angel (1988), menyatakan bahwa manajemen terumbu karang pada dasarnya melibatkan beragam dan mengendalikan pengaruh penggunaan terumbu karang oleh manusia. Karena luasan P. Lutung yang tidak jauh lebih besar dari P. Kera sebaiknya pengelolaan yang dilakukan di daratan pulau juga sama, yaitu dengan tidak mendirikan sarana dan prasarana pendukung untuk wisata bahari. Hal tersebut didasari pertimbangan bahwa dengan adanya perubahan kondisi di daratan akan mengakibatkan perubahan di perairan P. Lutung tersebut seperti masuknya limbah padat dan cair ke perairan karena adanya aktivitas manusia di pulau yang akan mengakibatkan tercemarnya perairan dan terdegradasinya ekosistem terumbu karang di perairan pulau tersebut.
4.7.3. Pengelolaan P. Burung P. Burung memiliki daratan yang lebih luas dibanding P. Kera dan P. Lutung. Pantai dengan pasir putih terbentang dari sisi selatan ke timur dengan kemiringan yang landai (Lampiran 9.3) dipadu dengan batu-batu granit yang tertata secara alami bahkan terdapat batu granit yang tersusun membentuk kepala burung yang menyebabkan pulau tersebut diberi nama P. Burung yang memberikan keindahan tersendiri pemandangan di pantai pulau tersebut. Kondisi pantai yang indah tersebut merupakan suatu potensi lebih yang dimiliki P. Burung, sehingga selain wisata bahari yang dapat dikembangkan di perairannya, juga bisa dikembangkan wisata pantai di daratannya. Nilai kesesuaian tertinggi dari keempat titik pengamatan terdapat di barat pulau. Rata-rata penutupan komunitas terumbu karang yang mencapai 51,16 % dan tutupan terumbu karang hidup yang tergolong dalam kondisi baik menjanjikan pemandangan bawah air yang menarik bagi wisatawan yang menyelam dan bersnorkeling di lokasi tersebut. Kondisi terumbu karang yang termasuk dalam kategori baik juga
70
terdapat di selatan pulau. Namun, karena kedalaman perairan di lokasi tersebut hanya 2 m menyebabkan aktivitas yang dapat dilakukan untuk menikmati keindahan pemandangan bawah laut di tempat tersebut hanya dengan bersnorkeling. Tutupan terumbu karang hidup di Selatan dan Utara P. Burung termasuk dalam kategori sedang, namun sebaiknya di wilayah tersebut dijadikan kawasan konservasi untuk memperbaiki kondisi ekosistem terumbu karangnya. Salah satu aspek dari konservasi adalah adanya pemanfaatan (Yulianda 2004), untuk melaksanakan aspek tersebut maka dapat juga dijadikan tujuan wisata untuk kegiatan snorkeling di tempat tersebut bagi wisatawan yang ingin melihat dan mengetahui
aktivitas
transplantasi
dan
terumbu
karang
yang
sedang
ditrasnplantasi. Karena kedalaman perairan di lokasi tersebut hanya mencapai 3 m maka aktivitas yang sesuai untuk dilakukan adalah snorkeling. Namun sebaiknya yang diperbolehkan untuk melakukan snorkeling di tempat tersebut adalah penyelam-penyelam yang sudah berpengalaman, sehingga diharapkan tidak merusak terumbu karang yang ada di tempat tersebut. Kenchington dan Salvat (1988), menyatakan di daerah yang sering diselami, kerusakan kecil terhadap spesies karang dan biota karang lain yang rapuh yang disebabkan oleh penyelam bisa menjadi kerusakan yang berarti. Dari kondisi yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat ditentukan bahwa untuk pengembangan wisata bahari sebaiknya dilakukan di barat dan selatan pulau, sedangkan daerah timur dan utara sebaiknya dijadikan kawasan konservasi. Wisatawan yang datang berkunjung ke P. Burung dengan menggunakan kapal biasanya berlabuh di selatan dan timur pulau, sehingga perlu dibangun dermaga untuk mempermudah wisatawan-wisatawan tersebut mencapai daratan dan tidak perlu terjun berbasah-basahan dari kapal. Namun, pembangunan dermaga tersebut harus dilakukan studi sebelumnya agar tidak merusak ekosistem terumbu karang yang sudah ada dan di masa yang akan datang tidak menyebabkan degradasi lingkungan yang berarti di P. Burung. Pembangunan sarana atau prasarana
untuk
menambah
kenyamanan
para
wisatawan
sebaiknya
memperhatikan daya dukung pulau tersebut. Alan dan Angel (1988) menyatakan bahwa manajemen zona wisata dengan menggunakan area, diizinkan bila
71
konsisten konsisten terhadap daya dukung lingkungan area tersebut.
Selain
daripada itu, pembatasan jumlah pengunjung dan penanganan limbah yang dihasilkan akibat aktivitas pengunjung di atas pulau sebaiknya dilakukan dengan baik agar tidak mencemari dan menyebabkan degradasi lingkungan. Saat ini sudah terdapat kebun kelapa milik penduduk setempat dan vegetasi yang tumbuh dengan sendirinya di daratan P Burung. Namun, penambahan jumlah vegetasi adalah hal yang baik untuk dilakukan khususnya di selatan pulau. Penambahan jumlah vegetasi di selatan pulau dapat dilakukan karena di tempat tersebut jumlah vegetasinya lebih sedikit dibanding sisi-sisi pulau yang lain dan bisa dikatakan gersang. Dengan bertambahnya jumlah vegetasi di tempat tersebut akan membuat udara menjadi lebih sejuk karena cahaya matahari terhalang oleh dedaunan pohon-pohon yang tumbuh di tempat tersebut, sehingga diharapkan akan meningkatkan kenyamanan bagi wisatawan yang hendak bermain atau bersantai di pantai. Masyarakat setempat tidak boleh dikesampingkan untuk pengelolaan suatu daerah agar mereka merasakan keuntungan dari usaha pengelolaan tersebut sehingga
mereka
akan
mendukung
berjalannya
kegiatan
tersebut
dan
meminimalisir konflik yang mungkin terjadi. Perairan P. Burung juga merupakan tempat nelayan Desa Tanjung Binga menangkap ikan, sehingga perlu dibuat aturan untuk mensinergikan kepentingan - kepentingan yang terkait dengan P. Burung tersebut agar semua pihak merasa tidak dirugikan. Untuk mencapai titik penyelaman biasanya dengan menggunakan kapal-kapal yang menggunakan jangkar untuk menambatkannya. Jangkar-jangkar kapal tersebut dikhawatirkan akan merusak terumbu karang di tempat pemberhentian kapal tersebut, sehingga perlu dibangun tiang-tiang penambat atau tali berpelampung untuk menambatkan kapal-kapal tersebut. Cara tersebut juga bisa diterapkan terhadap nelayan-nelayan yang menangkap ikan di perairan P. Kera, Pulau Lutung dan P. Burung agar tidak ada lagi kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh jangkar kapal.
72
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung memiliki tipe terumbu karang yang tergolong terumbu tepi. Persen penutupan karang hidup di ketiga pulau tersebut termasuk ke dalam kategori sedang. Tipe pertumbuhan karang di P. Kera dan P. Burung tergolong sangat beragam, namun di P. Lutung hanya tergolong cukup beragam. Jumlah spesies ikan karang di P. Kera dan P. Lutung kurang beragam, tetapi di P. Burung tergolong cukup beragam. Kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk dijadikan kawasan wisata bahari termasuk dalam kelas cukup sesuai, karena sebagian besar wilayahnya memiliki batasan yang agak serius yaitu kedalaman perairan yang dangkal. Aktivitas snorkeling bisa dilakukan di semua titik pengamatan, tetapi aktivitas menyelam hanya bisa dilakukan di dua titik pengamatan yaitu sebelah Barat P. Lutung dan Barat P. Burung.
5.2. Saran Saran dari penelitian ini yaitu : 1. Sebaiknya modifikasi matriks dilakukan lebih baik lagi untuk mengurangi kelemahan-kelemahan seperti yang terdapat dalam penelitian ini atau menggunakan kriteria kesesuaian yang diakui secara internasional. 2. Penggunaan data sekunder sebaiknya jangan yang sudah terlalu lama karena kondisi dilapangan biasanya sudah berubah, lebih baik menggunakan data yang terbaru atau menggunakan data primer. 3. Untuk mempersingkat waktu dan meningkatkan ketelitian hasil pengambilan data karang dengan menggunakan metode transek kuadrat, akan lebih baik jika menggunakan metode foto transek kuadrat.
73
DAFTAR PUSTAKA
Alan TW dan Angel CA. 1988. Options For Management. in Kenchington RA dan Brydget ETH (ed) : Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta, Indonesia. pp. 37-46. Allen G. 1999. A Field Guide for Anglers and Divers : Marine Fishes of South-East Asia. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore. Aryanto R. 2003. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702): Environmental Marketing pada Ekowisata Pesisir : Menggerakkan Ekonomi Rakyat Daerah Otonom. Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 1996. Laporan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Kupang, Bakosurtanal. Cibinong. [BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Belitung. 1994. Penetapan Nama-Nama Pulau Dalam Klasifikasi Berkembang, Kurang Berkembang dan Tertinggal dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Belitung. BAPPEDA Kabupaten Belitung. [BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Belitung, Badan Pusat Statistik Tanjungpandan. Belitung Dalam Angka 2004. Tanjungpandan: BAPPEDA Kabupaten Belitung; 2004. [BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Belitung. Master Plan Etalase Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Belitung. Tanjungpandan: BAPPEDA Kabupaten Belitung; 2005. [BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan P2O-LIPPI Tanjungpandan. 2005. Laporan Akhir : Studi Potensi Sumberdaya Ikan dan Lingkungan Kelautan Kabupaten Belitung. BAPPEDA Kabupaten Belitung. Ceballos-Lascurian H. 1996. Tourism, Ecotourism and Protected Areas: The State of Nature-Based Tourism Around the World and Guidelines for It’s Development. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK xiv + 301 pp. Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dal Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
74
[DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung] Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2005. Laporan Pendahuluan: Studi Identifikasi Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Belitung dan Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. PT Wahana Prakarsa Utama.. English S, C Wilkinson, V Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australian Marina Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institut of Marine Science. Kenchington RA dan B Salvat. 1988. Man’s Threat to Coral Reefs. in Kenchington RA dan Brydget ETH (ed) : Coral Reef Management Hand Book 2nd edt. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta, Indonesia. pp. 23-28. Gomez ED dan HT Yap. 1998. Monitoring Reef Condition. Page: 187-195 in R. A. Kenchington dan B. E. T. Hudson (eds.), Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Kenchington RA. 1988. Issues and Achievement in Marine Resources Management. in Kenchington RA dan Brydget ETH (ed) : Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta, Indonesia. pp. 29-36. [KLH RI] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2004. Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari dan Biota Laut. KLH RI. Koordinator Statistik Kantor Desa Tanjung Binga. 2005. Monografi Desa Tanjung Binga 2005. Koordinator Statistik Kantor Desa Tanjung Binga. Koordinator Statistik Kecamatan Sijuk dan Kantor Camat Sijuk Kabupaten Belitung. 2003. Kecamatan Sijuk Dalam Angka 2003. Koordinator Statistik Kecamatan Sijuk dan Kantor Camat Sijuk Kabupaten Belitung. Kuiter RH. 1992. Tropical Reef Fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent Waters. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia Lienberg K dan DE Hawkins. 1993. Ekoturisme: Petunjuk Untuk Perencana dan Pengelola. The Ecotourisme Society. North Bennington, Vermont. Lieske E dan R Myers. 2001. Reef Fishes of the World. Periplus, Singapore.
75
Lowe RH dan Mc Connell. 1987. Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Cambridge University Press. New York. Nugroho I. 2004. Buku Ajar : Ecotourism. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang. Malang. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut; Suatu Pengantar Ekologi. H M Eidman, D G Bangen, H Malikusworo dan Sukristijono, penerjemah. Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecology Approach. PT Gramedia. Jakarta. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology (3th edition). W.B. Saunders Company. Philadelphia. Xiv = 574p. [P3B Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet 2 – Jakarta : Balai Pustaka. 1989. xix, 1090 hlm : 25 cm – (seri B P no 3658). [PPRTKIM] Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim. 1995. Pemantapan Keterpaduan dan Pendayagunaan Potensi Sumberdaya Manusia, Iptek dan Kelembagaan Kelautan Nasional Menuju Kemandirian. Di dalam: Geologi Pantai Pulau Belitung dan Peluang Sebagai Pulau Wisata Bahari di Masa Yang Akan Datang. Prosiding Seminar Kelautan Nasional. Jakarta, 15-16 September 1995. Bab III. Hlm 3-4. Pemerintah Kabupaten Belitung Kecamatan Sijuk. 2006. Laporan Perkembangan Kependudukan Kecamatan Sijuk Bulan Maret 2006. Pemerintah Kabupaten Belitung Kecamatan Sijuk. Sale PF. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press. Callifornia. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. x, 108 hlm 23 1/2 cm. Tim Expedisi Zooxanthelae VI. 2002. Laporan Ilmiah Expedisi Zooxanthellae VI: Kondisi dan Potensi Ekosistem Terumbu Karang Pantai Barat Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Fisheries Diving Club- Institut Pertanian Bogor. Bogor. XI + 52 hal. Tomascik T, AJ Mah, A Nontji dan MK Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas: Part Two. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.xiv. 643 - 1388 p. Veron J E N. 1995. Corals in Space and Time: Biogeografi and Evolution of the Scerectinia. UNSW Press. Sydney. Australia.
76
Westmacott S, Kristian Teleki, Sue Wells dan Jordan West. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Vii + 36 pp. Wilson R dan James Q. 1985.Watching Fishe and Behavior on Coral Reefs. Harper & Row Publisher. New York Yulianda F. 2004. Pedoman Analisis Penentuan Status Kawasan Konservasi Laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Sebaran Potensi Perikanan dan Kelautan
Sumber : BAPPEDA Kab. Belitung 2005
77
78
Lampiran 2. Kuisioner Untuk Masyarakat Sekitar
Nama
:
Jenis kelamin
: ( L/ P )
Umur
:
1. Karakteristik masyarakat Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Pendapatan/ bulan
:
Status dalam keluarga
:
Jumlah tanggungan
:
2. Keterlibatan masyarakat dengan wilayah penelitian Pengetahuan tentang Pulau Kera, Lutung & P. Burung
:
Kegiatan & frekuensi pemanfaatan perairan ke-3 pulau oleh masyarakat
:
a. ............................................................ b. ............................................................ c. ............................................................ Alasan melakukan kegiatan pemanfaatan tersebut :
Pengetahuan tentang ekosistem terumbu karang :
Pengetahuan tentang wisata
:
Setujukah bila Pulau Kera, Lutung dan P. Burung dijadikan kawasan ekowisata : (Y/T) Alasan
:
Harapan dari Bpk/Ibu/Sdr bila wilayah tersebut dijadikan kawasan ekowisata
:
79
Lampiran 3. Kuisioener Untuk Instansi Pemerintahan Terkait 1. Nama instansi
:
2. Nama Responden
:
3. Jabatan responden di instansi tsb : 4. Alamat instansi
:
5. Apakah sdr tahu instansi mana yang harus mengelola Pulau Kera, Lutung & P. Burung :
6. Keterlibatan instansi dengan daerah penelitian (Pulau Kera, Lutung & P. Burung) :
7.Apakah saudara tahu pemanfaatan Pulau Kera, Lutung & P. Burung oleh: a. Masyarakat
:
b. Swasta
:
6. Konsep atau rencanapengembangan Pulau Kera, Lutung & P. Burung yang sesuai dengan Visi Misi Sektoral Instansi :
7. Harapan dari Pengembangan yang akan dilaksanakan di Pulau Kera, Lutung & P. Burung :
8. Persetujuan bila Pulau Kera, Lutung & P. Burung dijadikan kawasan wisata bahari : (Y/T) Alasan
:
80
Lampiran 4. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no.51 Tahun 2004 Lampran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Wisata Bahari No 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1 2 3 4 5 6 7 8
Parameter FISIKA Warna Bau Kecerahana Kekeruhana Padatan terseuspensi totalb Suhuc Sampah Lapisan Minyak KIMIA pHd Salinitase Oksigen terlarut (DO) BOD5 Amoniak bebas (NH3-N) Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) Sulfida (H2S) Senyawa fenol PAH (poliaromatik hidrokarbon) PCB (poliklor bifenil) Surfaktan (detergen) Minyak dan Lemak Pestisidaf Logam terlarut Raksa (Hg) kromium heksavalen (Cr(Vl)) Arsen (As) Cadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Biologi
1
E Coliform (faecal)g
2
Coliform (total)g Radio Nuklida Komposisi yang tidak diketahui
1
Satuan Pt. Co m ntu mg/l o C ‰ mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Baku Mutu 30 tidak berbau >6 5 20 alami3(C) nihil1(4) nihil1(5) 7-8.5(d) alami3(e) >5 10 Nihil1 0.015 0.008 Nihil1 Nihil1 0.003 Nihil1
mg/l MBAS mg/l
0.001 Nihil1(f)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0.002 0.002 0.025 0.002 0.05 0.005 0.095 0.075
MPN/100 ml MPN/100 ml Bq/l
200(g) 1000(g) 4
81
Keterangan : 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional 3. Alami adalah kondisi sormal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim) 4. Pengamatan oleh manusia (visual) 5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0.01 mm a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0.2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman.
Lampiran 4.2. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut No 1
Parameter FISIKA Kecerahana
Satuan m
2 3 4
Kebauan Kekeruhana Padatan Tersuspensi Total
NTU mg/l
5 6
Sampah Suhuc
o
C
Baku Mutu Coral: > 5 Mangrove: Lamun: > 3 Alami3 <5 Coral : 20 Mangrove : 80 Lamun :20 Nihil1(4) Alami3c Coral: 28-32c
Bersambung...
82
Lampiran 4.2. Lanjutan No
Parameter
Satuan
7
Lapisan minyak5
-
1 2
KIMIA pHd Salinitas
‰
Oksigen terlarut (DO) BOD5 Ammonia total (NH3-N) Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) Sianida (CN-) Sulfida (H2S) PAH (Poliaromatik hidrokarbon)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
1 2 3 4 5 6
Senyawa fenol total PCB total (Poliklor bifenil) Surfaktan (detergen) Minyak & Lemak Pestisidaf TBT (Tributil tin)
mg/l µg/l mg/l MBAS mg/l µg/l µg/l
0,002 0,01 1 1 0,01 0,01
1 2 3 4 5 6 7 8
Logam terlarut : Raksa (Hg) Kromium heksavalen (Cr(VI) Arsen (As) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,001 0,005 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05 0,05
1 2 3
BIOLOGI Coliform (total)g Patogen Plankton
MPN/100ml sel/100 ml sel/100 ml
1
RADIO NUKLIDA Komposisi yang tidak diketahui
Bq/l
3 4 5 6 7 8 9 10
Baku Mutu Mangrove : 28-32c Lamun : 28-30c Nihil1(5)
7-8,5(d) Alami3(e) Coral : 33-34(e) Mangrove : s/d34(e) Lamun : 33-34(e) >5 20 0,3 0,015 0,008 0,5 0,01 0,003
1000(g) Nihil1 tidak bloom6
4
83
Keterangan : 1
Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2
Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional
3
Alami adalah kondisi sormal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)
4
Pengamatan oleh manusia (visual)
5
Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0.01 mm
6
Tidak bloom adalah tidak terjadi perubahan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri
7
TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman eufotik b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0.2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman.
84
Lampiran 5. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang Lampiran 5.1. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Kera Genus Karang Aropora Astreopora Ctenactis Cyphastrea Diploastrea Echinophylia Echinopora Favia Favites Fungia Galaxea Goniastrea Goniopora Lobophylia Merulina Montipora Pavona Pectinia Plerogyra Platygira Porites Turbinaria 22
Bentuk Pertumbuhan ACB ACT CB CE CF CM CMR CS
8
Lampiran 5.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Lutung Genus Karang Acropora Alveopora Astreopora Barabattoia Catalaphylia Cyphastrea Diploastrea Echinopora Favia Favites Fungia Galaxea Goniastrea Goniopora Lobophylia
Bentuk Pertumbuhan ACB ACD ACT CB CE CF CM CMR CS
Bersambung...
85
Lampiran 5.2. Lanjutan Genus Karang Merulina Montipora Pavona Pachyseris Pectinia Plerogyra Pocilopora Porites 23
Bentuk Pertumbuhan
9
Lampiran 5.3. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Burung Genus Karang Acropora Ctenactis Cyphastrea Diploastrea Echinophylia Echinopora Favia Favites Fungia Galaxea Goniastrea Goniopora Hydnophora Leptoria Leptoseris Lobophylia Merulina Montipora Pachyseris Pavona Pectinia Platygira Plerogyra Pocilopora Porites Sandalolitha 26
Bentuk Pertumbuhan ACB ACD ACT CB CE CF CM CMR CF CS CB
11
86
Lampiran 6. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang Lampiran 6.1. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang di P. Kera No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Famili Labridae
Pomacentridae
Apogonidae Haemulidae Serranidae Chaetodontidae Pomacanthidae Lutjanidae Bleniidae Nemipteridae
Spesies Halichoeres chloropterus Halichoeres richmondi Halichoeres marginatus Halichoeres vrolikii Choerodon anchorago Anampses meleagrides Hemigymnus melapterus Stethojulis trilineata Halichoeres purpurescens Amblyglyphidodon curacau Chromis ternatensis Stegastes fasciolatus Neopomacentrus violaceus Pomacentrus brachialis Dischistodus prosopotaenia Hemiglyphidodon plagiometopon Cheiloprion labiatus Neoglyphidodon melas Dischistodus perspicillatus Pomacentrus nagasakiensis Abudefduf vaigiensis Abudefduf sexfasciatus Abudefduf septemfasciatus Paraglyphidodon thoracotaeniatus Pomacentrus taeniometopon Amphiprion sandaracinos Amphiprion ocellaris Amblyglyphidodon aureus Pomacentrus chrysurus Abudefduf bengalensis Apogon aureus Apogon compressus Plectorhynchus chaetodontoides Labracinus melanotaenia Epinephelus ongus Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus Chaetodontoplus mesoleucus Pomacanthus sextriatus Lutjanus kasmira Salarias fasciatus Cirripectes castaneus Pentapodus trivittatus Scolopsis margaritifer Scolopsis lineatus
Barat 5 3 0 1 2 2 0 1 6 2 0 5 9 5 4 0 1 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 40 0 0 0 3 1 0 0 0 0 0 0 1 0
Timur 7 1 0 0 5 0 7 1 0 22 0 0 0 14 2 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 10 1 5 0 0 1 0 0 5 5 1 0 2 0 1 2 1 5
Utara 6 2 1 1 1 1 0 0 0 35 21 1 2 11 3 5 4 1 1 1 2 3 1 0 0 0 0 0 0 0 7 2 1 2 1 13 1 1 0 1 1 1 1 0 0
Selatan 11 2 0 1 2 3 5 0 0 19 3 4 0 0 2 4 0 6 2 0 0 0 0 5 1 2 5 0 0 0 0 1 0 0 2 1 4 1 1 1 1 0 4 1 0
Bersambung...
Total 29 8 1 3 10 4 14 1 1 82 26 5 7 34 12 13 4 8 5 2 2 10 1 5 1 2 5 10 4 5 7 43 2 2 3 22 11 3 1 4 2 2 7 3 5
87
Lampiran 6.1. Lanjutan No 46 47 48 49 50 Jumlah
Famili Monacanthidae Scaridae Siganidae Mullidae 14
Spesies Acreichthys tomentosus Chlorurus sordidus Siganus virgatus Siganus punctatus Upeneus tragula 53
Barat 3 0 0 0 0 100
Timur 1 2 2 8 1 119
Utara 2 0 0 0 0 137
Selatan 2 2 2 0 0 100
Total 8 4 4 8 1 456
Lampiran 6.2. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang di P. Lutung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Famili Labridae
Pomacentridae
Spesies Anampses Caeruleopunctatus Cheilinus fasciatus Cheilinus trilobatus Choerodon anchorago Diproctacanthus xanthurus Halichoeres chloropterus Halichoeres marginatus Halichoeres melanurus Halichoeres melanochir Halichoeres ornatissimus Halichoeres purpurescens Halichoeres richmondi Halichoeres scapularis Halichoeres trimaculatus Hemigymnus melapterus Lobroides dimidiatus Thalassoma lunare Thalassoma lutescens Stethojulis trilineata Amblyglyphidodon curacao Pomacentrus alexanderae Dischitodus persipicillatus Pomacentrus moluccensis Amphiprion oscellaris Chrysiptera caeruleopunctata Neoglyphidodon melas Neoglyphidodon oxyodon Dischistodus prosopotaenia Stegastes fasciolatus Pomacentrus tripunctatus Pomacentrus brachialis Pomacentrus chrysurus Amphiprion frenatus Stegastes moluccensis Abudefduf sexfasciatus Abudefduf vaigiensis Abudefduf septempasciatus
Barat 0 1 1 6 3 2 0 2 1 6 3 3 5 0 14 1 13 3 3 13 2 1 3 4 2 7 0 2 4 11 0 1 0 0 1 1 1
Timur 0 0 2 1 0 8 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0
Utara 0 1 2 4 1 3 6 0 0 0 2 5 0 0 2 3 2 0 0 16 0 0 0 0 0 2 0 1 5 28 2 2 1 12 1
Selatan 1 1 1 9 0 3 0 5 0 0 5 0 1 2 1 0 0 17 0 0 4 4 0 0 14 4 18 1 0 0 2 0 1 0 0
Bersambung...
Total 1 3 6 20 4 16 6 7 1 6 5 14 5 1 18 4 16 3 3 46 2 1 7 8 2 9 14 8 27 12 28 4 4 1 14 2 1
88
Lampiran 6.2. lanjutan No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 Jumlah
Famili
Chaetodontidae Pomacanthidae Serranidae
Nemipteridae
Apogonidae
Haemulidae Lutjanidae Siganidae Bleniidae Caesionidae Kyphosidae Mullidae Scaridae
Lethrinidae 16
Spesies Chromis notata Hemiglyphidodon plagiometopon Amblypomacentrus breviceps Pomacentrus nagasakiensis Stagastes albifasciatus Amblyglyphidodon ternatensis Neoglyphidodon thoracotaeniatus Pomacentrus lepidogenys Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus Pomacanthus sextriatus Chaetodontoplus mesoleucus Cephalopholis argus Labracinus cyclophthalmus Plectropomus leopardus Scolopsis margaritifer Scolopsis lineatus Pentapodus trivittatus Apogon compressus Apogon aureus Cheilodipterus singapurensis Plectorinchus chaetodontoides Lutjanus kasmira Lutjanus vitta Siganus puellus Cirripectes castaneus Caesio cuning Kyposus bigibbus Upeneus tragula Scarus globiceps Scarus ghobban Hipposcarus longiceps Gnathodentex aurolineatus 69
Barat 0 0 0 0 0 0 0 0 18 5 1 1 2 1 0 2 10 0 23 23 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 9 0 218
Timur 0 0 0 9 0 0 0 13 1 2 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 3 2 0 0 0 0 0 1 0 0 1 48
Utara 3 0 0 0 0 0 0 0 9 1 2 1 2 2 0 0 2 0 0 0 5 0 9 2 0 0 0 0 0 0 0 139
Selatan 19 3 3 1 11 9 8 0 13 3 1 2 0 0 1 2 0 3 0 2 14 0 4 0 0 0 19 8 1 0 0 0 0 221
Total 22 3 3 10 11 9 8 13 41 11 2 5 3 3 1 6 12 3 25 25 14 1 13 2 9 2 19 8 1 1 1 9 1 626
Lampiran 6.3. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang di P. Burung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Famili Pomacentridae
Spesies Amphiprion oscellaris Abudefduf vaigiensis Amblyglyphidodon curacau Abudefduf sexfasciatus Neoglyphidodon melas Pomacentrus brachialis Neopomacentrus violaceus Pomacentrus moluccensis Amphiprion frenatus
Barat 13 9 412 16 6 11 7 6 6
Timur 18 0 52 0 1 2 1 2 1
Utara 0 0 28 0 5 0 7 2 0
Selatan 13 0 41 10 2 2 0 3 2
Bersambung...
Total 44 9 533 26 14 15 15 13 9
89
Lampiran 6.3. Lanjutan No 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
Famili
Labridae
Chaetodontidae Caesionidae Lutjanidae Bleniidae Serranidae
Pomacanthidae
Spesies Chromis ternatensis Paraglyphidodon thoracotaeniatus Dischistodus prosopotaenia Amblyglyphidodon ternatensis Amphiprion sandaracinos Daschylus melanurus Chromis alpha Dischistodus perspicillatus Lepidozygus tapeinosoma Premnas biaculeatus Pomacentrus chrysurus Pomacentrus bankanensis Chromis atripectoralis Amphiprion clarkii Pomacentrus alexanderae Neoglyphidodon thoracotaeniatus Hemigymnus melapterus Halichoeres richmondi Thalassoma lunare Halichoeres melanurus Diproctacanthus xanthurus Cheilinus fasciatus Gomphosus varius Halichoeres urolikii Halichoeres Chloropterus Halichoeres purpurescens Anampses meleagrides Thalassoma lutescens Choerodon anchorago Labroides dimidiatus Oxycheilinus celebicus Halichoeres trimaculatus Epibulus insidiatus Cheilinus trilobatus Halichoeres marginatus Stethojulis trilineata Thalassoma hardwickei Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus Caesio cuning Pterocaesio tile Lutjanus kasmira Cirripectes castaneus Cephalopolis argus Labracinus melanotaenia Plectropomus areolatus Chaetodontoplus mesoleocus
Barat 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 84 21 2 7 8 5 2 6 1 1 1 7 0 0 2 1 0 1 0 0 0 1 1 23 4 43 4 8 1 2 2 0 7
Timur 0 17 2 8 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 0 2 1 3 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 1 0 0 0 0 0 0 0 1
Utara 0 18 3 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 2 0 0 3 4 1 0 1 1 0 3 2 6 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 6 2 3 0 4 0 0 6 1 1
Selatan 0 14 5 0 0 0 39 1 7 2 4 0 0 0 0 0 1 3 2 0 3 0 0 2 4 3 0 0 5 3 3 5 1 0 0 0 0 9 2 0 0 1 0 1 3 0 2
Bersambung...
Total 1 49 10 8 2 1 39 1 7 2 5 1 3 2 84 21 6 15 11 5 6 9 1 8 8 19 1 1 7 5 3 6 1 1 1 2 1 43 9 46 4 13 1 3 11 1 11
90
Lampiran 6.3. Lanjutan No 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 Jumlah
Famili
Nemipteridae
Scaridae
Apogonidae
Sphyraenidae Monacanthidae Siganidae Haemulidae Pseudochromidae Holocentridae Centriscidae Acanthuridae 19
Spesies Pomacanthus annularis Pomacanthus sexstriatus Scolopsis margaritifer Scolopsis trilineatus Scolopsis lineata Pentapodus trivittatus Hipposcarus longiceps Scarus prasiognathus Chlorurus sordidus Scarus bihoban Chlorurus perspicillatus Scarus bleekeri Scarus ghobban Apogon compressus Apogon aureus Apogon moluccensis Cheilodepterus lineatus Apogon bandanensis Apogon guamensis Sphyraena obtusata Acreichthys tomentosus Siganus virgatus Siganus argenteus Plectorhynchus chaetodontoides Labracinus melanotaenia Sargocentron rubrum Aeoliscus strigatus Zebrasoma scopas 85
Barat 1 1 3 1 0 0 0 0 1 0 0 0 2 9 49 0 0 31 3 0 0 0 0 0 3 7 7 1 853
Timur 0 0 1 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 139
Utara 0 0 3 0 1 1 6 0 9 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 7 1 0 0 0 0 150
Selatan 0 0 1 1 0 0 0 8 1 0 0 0 0 11 45 37 6 0 0 0 2 5 0 0 0 0 0 0 315
Total 1 1 8 2 1 1 8 8 11 1 1 1 2 30 94 37 6 31 3 1 2 8 7 1 3 7 7 1 1457
Lampiran 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Lampiran 7.1 Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Kera Parameter Fisika Kecerahan Kec arus Suhu Turbidity Kimia DO pH Salinitas
Barat 0m
Timur 3m
0m
Utara 1,5m
0m
Selatan 3m
0m
Rata-rata
2m
6,2 m 0,03 m/s 30,7 oC 29 oC 0 0
6,4 m 0,09 m/s 30,5 oC 30,5 oC 0 0
6,1 m 0,05 m/s 31,2 oC 29 oC 0 0
5.5 m 0,05 m/s 30,6 oC 30,5 oC 1 ntu 1 ntu
6,05 m ± 0,39 0,06 m/s ± 0,03 30,25 oC ± 0,81 0,25 ntu ± 0,46
5,23 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5,34 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5,28 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5,19 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5.24 mg/l ± 0.08 7,5 - 8 32 ‰ ± 0.00
5,12 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5,33 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5,26 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5,14 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
Lampiran 7.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Lutung Parameter Fisika Kecerahan Kec arus Suhu Turbidity Kimia DO pH Salinitas
0m
Barat 2m
31,2 oC 0
6.5 m 0,15 m/s 30,75 oC 0
5,49 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5,48 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
Timur 4m
0m
Utara 3m
0m
Selatan 3m
0m
2m
Rata-rata
29,5 oC 0
6,5 m 0,03 m/s 31,4 oC 30,8 oC 0 0
6,5 m 0,15 m/s 31,3 oC 30,7 oC 0 0
6,5 m 0,08 m/s 30,8 oC 30,5 oC 0 0
6,5 m ± 0 0, 10 m/s ± 0.06 30,77 oC ± 0.56 0
5,48 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5, 17 mg/l 7,5 - 8 31 ‰
5,5 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
4,98 mg/l 7,5 - 8 31 ‰
5.28 mg/l ± 0.25 7,5 - 8 31.6 ‰ 0.53
4,99 mg/l 7,5 - 8 31 ‰
5,48 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
4,98 mg/l 7,5 - 8 31 ‰
91
Lampiran 7.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Burung Parameter Fisika Kecerahan Kec Arus Suhu Turbidity Kimia DO pH Salinitas
0m
BARAT 3m
30,8 oC 6 ntu
5.5 m 0,08 m/s 30,2 oC 7 ntu
5,35 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5,72 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
TIMUR 7m
0m
UTARA 3m
0m
3m
SELATAN 0m 3m
Rata-rata
31,8 oC 9 ntu
5,5 m 0,07 m/s 30,4 oC 29,5 oC 9 ntu 6 ntu
5.3 m 0,13 m/s 30,3 oC 31,4 oC 9 ntu 9 ntu
5m 0,13 m/s 30,8 oC 30,6 oC 9 ntu 10 ntu
5,33 m ± 0,24 0,10 m/s ± 0,03 30,64 oC ± 0,67 8,2 ntu ± 1,48
5,70 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
6,67 mg/l 7,5 - 8 31 ‰
6,2 mg/l 7,5 - 8 31 ‰
6,5 mg/l 7,5 - 8 32 ‰
5,91 mg/l ± 0,74 7,5 - 8 31,4 ‰ ± 0,55
6,61 mg/l 7,5 - 8 31 ‰
6,11 mg/l 7,5 - 8 31 ‰
4,53 mg/l 7,5 - 8 31 ‰
92
93
Lampiran 8. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Lampiran 8.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Kera Lampiran 8.1.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Kera Secara Umum No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas TK (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 31,48 8 53 2-5 0,06
Kelas S1 S3 S2 S3 S3 S1
Skor 20 12 16 12 12 14
Nilai 200 96 112 96 72 84 660
S2
Lampiran 8.1.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Kera (S: 02035’202’’; E: 107037’10”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 19,09 7 22 3 0,03
Kelas S1 N S3 N S3 S1
Skor 20 4 12 4 12 14
Nilai 200 32 96 32 72 84 516
Skor 20 12 12 4 2 14
Nilai 200 96 96 32 12 84 520
Skor 20 12 14 4 12 14
Nilai 200 96 112 32 72 84 596
S3
Lampiran 8.1.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Kera (S: 02035’335’’; E: 107036’94”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 48,82 5 26 1,5 0,09
Kelas S1 S3 S3 N N S1 S3
Lampiran 8.1.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Kera (S: 02035’151’’; E: 107036’07”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 34,60 8 33 3 0,05
Kelas S1 S3 S2 N S3 S1 S3
94
Lampiran 8.1.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Kera (S: 02035’375”; E: 107037’04”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 23,42 6 30 2 0,05
Kelas S1 N S3 N S3 S1
Skor 20 4 12 4 12 14
Nilai 200 32 96 32 72 84 516
S3
Lampiran 8.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Lutung Lampiran 8.2.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Lutung Secara Umum No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas TK (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 49,17 9 69 2-5 0,10
Kelas S1 S3 S2 S3 S3 S1
Skor 20 12 14 12 12 14
Nilai 200 96 112 96 72 84 660
S2
Lampiran 8.2.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Lutung (S: 02035’283”; E: 107037’54”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 44,18 8 45 4 0,15
Kelas S1 S3 S2 S3 S3 S1
Skor 20 12 14 12 12 14
Nilai 200 96 112 96 72 84 660
Skor 20 14 4 4 12 14
Nilai 200 112 32 32 72 84 532
S2
Lampiran 8.2.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Lutung (S: 02035’279”; E: 107037’63”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 69,73 3 15 3 0,03
Kelas S1 S2 N N S3 S1 S3
95
Lampiran 8.2.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Lutung (S: 02035’283”; E: 107037’36”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 35,24 9 33 3 0,15
Kelas S1 S3 S2 N S3 S1
Skor 20 12 14 4 12 14
Nilai 200 96 112 32 72 84 596
Skor 20 14 14 4 12 14
Nilai 200 112 112 32 72 84 612
S3
Lampiran 8.2.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Lutung (S:02035’481”; E:107037’39”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 52,89 9 40 2 0,08
Kelas S1 S2 S2 N S3 S1 S3
Lampiran 8.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Burung Lampiran 8.3.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Burung Secara Umum No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas TK (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 93,89 49,43 11 85 5 - 10 0,10
Kelas S1 S3 S1 S2 S3 S1
Skor 20 12 16 14 12 14
Nilai 200 96 128 112 72 84 692
S2
Lampiran 8.3.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Burung (S: 02034’315”; E: 107037’45”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 78,57 51,16 9 51 7 0,08
Kelas S2 S2 S2 S3 S2 S1 S2
Skor 18 14 14 12 12 14
Nilai 180 112 112 96 72 84 656
96
Lampiran 8.3.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Burung (S: 02034’197”; E: 107037’10”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 48,53 7 26 3 0,07
Kelas S1 S3 S3 N S3 S1
Skor 20 12 12 4 12 14
Nilai 200 96 96 32 72 84 580
Skor 20 12 12 4 12 14
Nilai 200 96 96 32 72 84 580
Skor 20 14 14 12 12 14
Nilai 200 112 112 96 72 84 676
S3
Lampiran 8.3.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Burung (S: 02033’861”; E: 107037’50”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 43,99 7 40 3 0,13
Kelas S1 S3 S3 N S3 S1 S3
Lampiran 8.3.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Burung (S: 02034’016”; E: 107037’80”) No 1 2 3 4 5 6
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) Bentuk Pertumbuhan Karang Jumlah Ikan (spesies) Kedalaman Dasar Laut (m) Kecepatan Arus (m/detik) Jumlah Kelas Kesesuaian
Bobot 10 8 8 8 6 6
Kondisi 100 52,32 8 42 3 0,13
Kelas S1 S2 S2 S3 S3 S1 S2
97
Lampiran 9. Foto Pulau-pulau Lampiran 9.1. Foto P. Kera
Lampiran 9.2. Foto P. Lutung
98
Lampiran 9.3. Foto Pantai di Selatan P. Burung
99
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mengkubang, Belitung pada tanggal 05 April 1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Sahani Saleh dan Ibu Asmara. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Tanjungpandan. dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan Manajemen Sumberdya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif sebagai kepanitiaan lepas dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di fakultas maupun jurusan. Selain itu, penulis aktif pada salah satu organisasi kemahasiswaan yang bersifat semi otonom di lingkungan FPIK yaitu Fisheries Diving Club (FDC) sejak tahun 2003 dan dipercaya untuk menjabat sebagai koordinator bidang publikasi dan dokumentasi pada tahun 2005 dan ketua panitia kegiatan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) untuk beberapa SMU yang ada di Kabupaten Bogor. Di bidang akademik, penulis juga dipercaya untuk menjadi asisten pada mata kuliah Ikhtiologi (2004), Biologi Laut (2004), Ekologi Laut Tropis (2005) dan koordinator asisten Ikhtiologi (2006). Pada
tahun
2006
penulis
melaksanakan
penelitian
dengan
judul
“Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studinya di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan dinyatakan lulus pada tanggal 12 Desember 2006.