Eniarti B. Djohan, Mujiyani, Dewi Harfina Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia/ Eniarti B. Djohan, Mujiyani, Dewi Harfina. – Jakarta: COREMAP, 2002 xviii, 110 hlm, 22 cm
Seri Penelitian COREMAP-LIPI No. 8/2002 ISSN 1412-7245
1. Terumbu Karang 2. Pengelolaan I. Judul II. COREMAP-LIPI
3. Degradasi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Studi Kasus: Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua Editor : Eniarti B. Djohan
Desain isi : Nova Hendarto
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh COREMAP-LIPI.
GLOSSARY Akar bore
:
sejenis tumbuhan beracun, yang digunakan untuk menangkap ikan secara tradisional yang membuat ikan mabuk sementara.
Amos
:
sebutan untuk lobster (udang besar)
Apolo
:
keramba untuk meletak ikan sebelum dijual.
Arbone, irbone, kerui
:
sebutan untuk jenis karang-karang hidup.
Arsyam
:
alat untuk menangkap gurita pada masa air surut.
Bameti
:
Cara menangkap hasil-hasil laut seperti pia-pia, lola, gurita, cacing dan lain-lain pada masa air laut surut.
Bosen
:
sebutan untuk terumbu karang
Burdam
:
nama marga yang ada di Desa Dorehkar.
Faiban
:
sebutan untuk jenis ikan kakak tua
Gedi
:
sejenis sayuran yang ada di Pulau Runi.
Geha/Mansuaba
:
salah satu jenis ikan kerapu yang berwarna merah dengan bintik-bintik hitam ditubuhnya.
Gerapu
:
sebutan untuk Ikan Kerapu, yang ditangkap oleh masyarakat karena harganya tinggi dan banyak dijumpai di perairan Kepulauan Ayau.
Imbir
:
nama marga yang ada di Desa Dorehkar.
Inmaming
:
sebutan untuk Ikan Napoleon
Insonem
:
sebutan untuk cacing pasir.
Kaca molo
:
sebagai alat bantu penglihatan pada saat menyelam di dasar laut, berupa kaca mata yang terbuat dari plastik.
Kokos
:
fauna spesifik di Kepulauan Ayau, menyerupai koala memiliki mata yang besar dengan bulu halus dan lembut.
Lola
:
sebutan untuk jenis kerang-kerang yang memilki nilai jual cukup tinggi.
Ladum anyam
:
alat tangkap untuk lola
Mambrisau
:
Nama marga yang ada di Desa Dorehkar.
Mencari
:
menangkap atau memancing ikan di laut atau melaut
Menokok sagu
:
Menanam dan memelihara menghasilakan sagu
Meti
:
sebutan untuk air laut ketika surut
Papeda
:
sebutan untuk sagu
Petatas, Kabsi
:
sebutan untuk jenis tumbuhan seperti keladi.
pohon
sagu sampai
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
dengan
i
Pia – pia
:
jenis kerang-kerangan yang terdapat di pasir dan di dasar laut.
Ross
:
sebutan untuk salah satu jenis karang hidup berbentuk seperti bunga.
Rumbewas
:
nama marga yang ada di Desa Dorehkar.
Saisen
:
salah satu jenis ikan Kerapu berwarna merah.
Sasi
:
hak ulayat ata pengambilan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut. Umunya ada dua jenis sasi, yaitu sasi adat dan sasi gereja.
Semang
:
perahu nelayan yang digunakan menangkap ikan atau lobster
Senapan molo
:
Alat tangkap ikan terbuat dari kayu, sifatnya mematikan ikan yang bentuknya menyerupai ketapel.
Tongseng/indaf inroi
:
salah satu jenis Ikan Kerapu
Umpes
:
marga yang pertama yang masuk di Desa Dorehkar yang merupakan marga tetua.
Wam barek
:
sebutan untuk musim angin barat laut
Wam brawe
:
sebutan untuk musim angin selatan
Wam meres
:
sebutan untuk musim angin barat.
Wam si os
:
sebutan untuk musim angin utara
Wam urem
:
sebutan untuk musim angin timur
Waring
:
sejenis seruk yang berfungsi untuk mengangkat ikan setelah ditangkap.
ii
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Ringkasan Eksekutif Buku ini merupakan hasil penelitian sosial di masyarakat Dorehkar dalam rangka pengumpulan data dasar untuk pelaksanaan program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) di Kepulauan Ayau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif (survei terhadap 100 responden) dan kualitatif terhadap informan terpilih yang dianalisa secara deskritip analisis. Desa Dorehkar terletak di salah satu pulau di Kepulauan Ayau, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua. Gambaran umum desa dilihat dari sarana dan prasarana sosial-ekonomi yang ada masih sangat terbatas. Sarana transportasi umum yang ada tidak teratur, sehingga penduduk sering menggunakan perahu motor perorangan dengan ongkos sangat mahal; sekitar Rp. 40.000,- (PP) ke Kota Sorong. Situasi ini menghalangi penduduk dalam melaksanakan aktivitasnya. Begitupula sarana kesehatan hanya Pustu yang ditangani oleh seorang petugas kesehatan (Mantri) dengan obat-obatan terbatas. Bidan desa baru akan ada, karena yang terdahulu hanya dapat bertahan beberapa bulan dengan berbagai alasan. Sarana komunikasi yang ada hanya radio/ taperecorder, namun jaringan siaran tidak terjangkau sehingga hanya digunakan untuk mendengarkan musik. Kehidupan masyarakat Desa Dorehkar dipengaruhi oleh sistem kekerabatan patrilnial. Anak laki-laki setelah menikah akan mewarisi rumah orangtuanya dan akan tinggal dalam kelompok marga (keret) bapak. Keterikatan terhadap keluarga dan keret sangat berdampak terhadap aktivitas sosial maupun ekonomi masyarakat, yang lebih suka bekerja secara kelompok. Kegiatan sosial yang dikaitkan dengan adat terlihat pada upacara-upacara yang dilaksanakan akan melibatkan semua anggota keret. Begitupula dalam kegiatan ekonomi seperti melaut secara kelompok, lebih memilih untuk menyertakan sesama keret atau yang terikat hubungan kerabat. Untuk keluarga yang lebih kecil, saudara laki-laki mempunyai kewajiban tidak tertulis untuk membantu saudara perempuan atau orang tua bila mempunyai penghasilan lebih atau saat ada kegiatan, misalnya upacara dan membangun rumah. Kondisi sosial-ekonomi rumah tangga cenderung meningkat, terutama setelah adanya perubahan kehidupan dan pemikiran penduduk berkaitan dengan kebutuhan dan kesempatan yang ada. Bangunan rumah mengalami perubahan yang terlihat dengan berkembangnya bangunan permanen/semi permanen, dan meninggalkan rumah gaya lama yang terbuat dari pelepah/daun sagu atau daun kelapa. Makanan pokok penduduk adalah sagu dan ikan, namun sekarang lebih didominasi oleh beras. Jenis sayuran terbatas yang ada di pulau seperti daun dan bunga pepaya, daun ketela ubi rambat, dan daun jedi; kecuali bila ada yang membawa dari Sorong atau Kabare. Tingkat pendidikan penduduk secara umum masih rendah walaupun sejarah pendidikan cukup panjang, yang diawali dengan kegiatan misi Kristen Injiili di desa ini. Kondisi ini mulai berubah pada kelompok muda yang menunjukkan peningkatan, terutama setelah adanya sarana pendidikan sampai tingkat sekolah lanjutan pertama. Keberadaan sekolah ini turut memicu penduduk Kepulauan Ayau untuk menyekolahkan anak-anaknya, karena tidak memerlukan biaya tinggi seperti bila harus mengirim ke Kota Sorong.
1 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Lapangan pekerjaan penduduk didominasi oleh kegiatan yang berkaitan dengan laut sebagai nelayan, atau pengolahan ikan seperti pembuatan ikan asap dan ikan asin. Pekerjaan melaut didominasi oleh laki-laki, walaupun perempuan (isteri) sering turut namun hanya dianggap sebagai ‘pendamping’. Sedangkan kegiatan pasca panen dan kegiatan tambahan lain seperti membuat senat, sapu lidi dan minyak goreng merupakan dominasi perempuan. Teknologi yang digunakan pada setiap kegiatan masih sederhana, yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Dari hasil pekerjaan yang dilakukan sebuah rumah tangga, dalam satu bulan rata-rata mencapai Rp. 459.000,-, yaitu terendah Rp, 50.000,- dan tertinggi Rp. 2.200.000,-. Masuknya pengetahuan dan informasi baru dalam usaha ini turut merubah persepsi dan sikap penduduk dalam melaksanakan kegiatan melaut, misalnya pilihan jenis tangkapan dan teknologi yang digunakan. Dalam pengelolaan sumber daya laut mengalami perkembangan sesuai dengan permintaan pasar. Seperti teknologi penangkapan yang semula masih tradisional seperti panah dan tombak, telah berkembang menggunakan jaring dan pancing. Begitupula dengan pengelolaan pasca panen, yaitu ikan asin dan ikan asap, cenderung untuk membuat lebih baik agar dapat menghasilkan pendapatan lebih tinggi. Teknologi pemeliharaan ikan dengan keramba mulai berkembang walaupun masih dalam ukuran kecil, yang terbuat dari bekas jaring dan dibingkai dengan kawat dinamakan 'Apollo'. Pengetahuan tentang teknologi baru ini diperoleh dari interaksi dengan orang luar yang telah mempunyai teknologi pengelolaan sumber daya laut lebih baik. Pemasaran ikan berkembang dari sistem barter ke sistem uang tunai. Namun peran penduduk dalam pemasaran masih rendah, karena adanya pengusaha pengumpul ikan yang memanfaatkan situasi perdagangan ikan hidup di pasar internasional. Pedagang pengumpul telah bertindak sebagai pemegang monopoli pemasaran ikan di Dorehkar dan Kepulauan Ayau sekitarnya. Penduduk tidak mempunyai posisi tawar untuk memperoleh harga ikan yang pantas karena berbagai kendala, yaitu: 1) Tidak tersedianya tranportasi umum yang menghubungkan Desa Dorehkar dengan desa lainnya dan Kota Sorong berdampak terhadap sulitnya nelayan untuk memasarkan sendiri hasil tangkapannya, sehingga tidak efisien dan harga tidak dapat bersaing; 2) Tidak adanya informasi tentang harga ikan di pasar domestik maupun internasional yang menyulitkan nelayan dalam menentukan harga ikan. Penghasilan rumah tangga responden menunjukkan, bahwa kondisi sosialekonomi penduduk Desa Dorehkar telah mengalami peningkatan. Namun tampaknya peningkatan tersebut belum optimal dan tidak sesuai dengan usaha yang dijalankan, atau kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya laut di sekitar Kepulauan Ayau. Ada dua hal yang mempengaruhi keadaan tersebut, yakni: 1) Teknologi untuk produksi penangkapan, pengelolaan pasca panen dan pemasaran belum memadai, sehingga terjadi pemborosan terhadap sumber daya laut yang ada karena banyak yang mati sebelum dipasarkan; 2) Peran masyarakat dalam pemasaran belum optimal. Masyarakat masih menjadi ‘buruh’ yang tidak mempunyai posisi tawar. Tingkat degradasi lingkungan, khususnya terumbu karang, tidak semata disebabkan oleh perilaku penduduk yang mencari ikan namun lebih karena pengaruh dari luar. Masuknya perusahaan asing sekitar tahun 1992 – 1993 dan nelayan luar yang 2 Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
menggunakan cara-cara illegal dalam penangkapan ikan seperti penggunaan potasium, bom maupun trawl mendorong eksploitasi sumber daya laut yang cukup tinggi. Keadaan ini ditambah dengan perlakuan tidak adil dari pihak aparat keamanan maupun pemerintah terhadap masyarakat setempat, yang lebih berpihak kepada perusahaan penangkapan dari luar. Situasi ini dalam waktu singkat telah berdampak terhadap lingkungan perairan Kepulauan Ayau. Dari sisi masyarakat, kerusakan lingkungan lebih dipengaruhi oleh adanya obsesi mengambil ikan sebanyak-banyaknya untuk memperoleh penghasilan yang tinggi. Selain itu, adanya 'dorongan’ dari pengusaha pengumpul agar nelayan memperoleh tangkapan ikan dalam jumlah maximal, yaitu dengan memberi kemudahan bagi nelayan untuk meminjam uang atau peralatan melaut. Penduduk yang semula hanya melakukan penangkapan ikan secukupnya untuk keperluan konsumsi sehari hari, saat ini meningkatkan hasil tangkapannya untuk peningkatan ekonomi rumah tangga. Gambaran kehidupan sosial-ekonomi di masyarakat Dorehkar menunjukkan, walaupun kondisi ekonomi meningkat namun terjadi kecenderungan kerusakan sumber daya laut menurun. Hal ini terutama karena tidak adanya alternatif pemasaran dan posisi tawar bagi nelayan sehingga selalu menjadi kelompok yang dirugikan. Untuk memenuhi keinginan pengusaha yang seolah-olah ‘membantu’ meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat, tanpa disadari berpengaruh terhadap degradasi sumber daya laut karena harus mencari ikan-ikan tertentu sebanyak yang diinginkan pengusaha. Untuk mengatasi permasalahan ini, khususnya pelestarian sumber daya laut di Kepulauan Ayau, dapat didekati melalui tiga aspek yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Dorehkar. Ketiga aspek tersebut adalah aspek sosial-ekonomi, sosialbudaya dan kebijakan (policy) pemerintah atau masyarakat, yang mengikutsertakan berbagai stakeholders sesuai dengan pemahaman ‘win-win solution’. Mengacu kepada ketiga aspek tersebut, stakeholders yang dianggap perlu terlibat dalam setiap aspek antara lain adalah: 1) aspek sosial–ekonomi, yaitu pemerintah, aparat setempat, pengusaha, LSM, tokoh masyarakat, nelayan, ibu-ibu dan masyarakat; 2) aspek sosial–budaya, yaitu pemerintah, aparat setempat, guru, pendeta, pimpinan keret, pengusaha pengumpul dan masyarakat; 3) aspek kebijakan (policy), yaitu pemerintah bersama dinas terkait dan masyarakat.
3 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kondisi terumbu karang Indonesia mengalami penurunan sampai pada tingkat mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil penelitian P3O– LIPI, sebagian besar terumbu karang yang ada di wilayah perairan Indonesia, yaitu sekitar 70 persen, dalam keadaan rusak dengan berbagai tingkat kerusakan. Sisanya sekitar 24 persen dalam keadaan baik, dan hanya 6 persen yang masih sangat baik. Penyebab kerusakan tersebut adalah faktor alamiah dan perilaku manusia yang tidak bersahabat. Faktor alamiah, misalnya kejadian bencana alam El nino dan gempa yang terjadi di dasar laut, sedangkan kerusakan oleh perilaku manusia lebih beragam, antara lain: •
Penangkapan ikan dan biota terumbu karang lainnya yang berlebihan;
•
Penggunaan bahan peledak dan racun sebagai alat penangkapan sumber daya laut;
•
Pencemaran di daerah pesisir akibat dari pembangunan yang tidak terkendali, seperti penebangan hutan dan tumbuhan lain di sepanjang bantalan sungai;
•
Pengambilan dan penambangan karang sebagai bahan dasar kapur, bangunan, dan perhiasan atau souvenir lainnya.
Penurunan keberadaan terumbu karang tidak hanya berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ekosistim laut, namun juga berdampak terhadap kondisi ekonomi Indonesia baik di tingkat masyarakat nelayan maupun negara. Masyarakat nelayan, umumnya adalah rakyat kecil semakin terpuruk mengelola industri perikanan secara tradisional karena sulitnya memperoleh ikan atau sumber daya laut lainnya. Pada tingkat nasional, secara ekonomi kerusakan terumbu karang dapat mengakibatkan pemasukan devisa non migas menurun. Di sisi lain, pengelolaan sumber daya laut yang optimal akan menjadi sumber devisa cukup tinggi. Menurut Herman Cesar dari Bank Dunia, bahwa Indonesia akan mengalami kerugian sekitar US$ 46 juta dalam kurun waktu empat tahun apabila penggunaan racun skala besar dalam penangkapan ikan tidak diatasi. Kerugian mencapai US$ 86.000/km2 yang disebabkan penggunaan bahan peledak (Selamatkan Terumbu Karang, 1998:10). Untuk memperkecil dan mengatasi kerusakan terumbu karang agar tidak semakin parah, Pemerintah Indonesia memperkenalkan suatu program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang yang dikenal dengan nama COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). Tujuan dari program ini adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan usaha pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut tetap terpelihara. Keberhasilan dari program ini akan memperlihatkan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkesinambungan melalui pemanfaatan sumber daya laut sekitarnya. Pada dasarnya kegiatan COREMAP mengacu pada prinsip partisipasi aktif dari masyarakat yang dikenal dengan pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management), yaitu melalui program terpadu dari berbagai pihak. Dalam
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
5
pelaksanaannya, program ini mengunakan dua pendekatan, yaitu pengelolaan dari atas (top down) dan pengelolaan dari bawah (bottom up). Dalam perencanaan akan selalu berdasarkan asprirasi masyarakat setempat. Untuk keberlangsungan program ini sangat berkaitan dengan keberadaan pihak-pihak terkait (stakeholders) seperti masyarakat lokal, aparat pemerintah, pihak swasta, LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) dan lembaga terkait lainnya, baik kelompok yang terkena dampak negatif maupun positif. Mengacu kepada sasaran utama COREMAP, yaitu untuk melindungi dan merehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara lestari, maka telah ditetapkan lima komponen kegiatan COREMAP yang saling berkaitan (Selamatkan Terumbu Karang, 1998:12). Kelima komponen tersebut dianggap penting sebagai salah satu komponen kunci yang harus dilaksanakan agar tujuan program COREMAP terlaksana, yaitu: 1. Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat, yaitu upaya meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya peranan terumbu karang dan mengajak masyarakat untuk berperan aktif dan bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan terumbu karang secara lestari; 2. Pengelolaan berbasis masyarakat, antara lain kegiatan seperti: (a) membina masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif (budidaya SDL, pemandu wisata dan usaha kerajinan tangan) yang dapat meningkatkan pendapat masyarakat disertai dengan bantuan pendanaan sehingga tidak membebani masyarakat; (b) menerapkan pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara lestari; 3. Pengembangan kelembagaan, meliputi: (a) memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan, aparat keamanan, pemanfaat sumber daya dan pemerhati lingkungan; (b) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan dan teknik rehabilitasi terumbu karang; 4. Penelitian, Monitoring dan Evaluasi, didalamnya termasuk memantau kegiatan masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan terumbu karang; 5. Pengawasan dan penegakan hukum melalui kebijakan yang terkoordinasi. Untuk mencapai kelima komponen COREMAP di atas, terutama dalam merancang program dan jenis intervensi yang cocok untuk masyarakat, diperlukan berbagai data yang berkaitan dengan potensi sumber daya laut, kondisi sosio-ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang. Misalnya, teknologi yang dipakai dalam pemanfaatan (eksploitasi) sumber daya laut dan stakeholders yang terkait dengan eksploitasi tersebut. Di samping itu, diperlukan data berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya laut, aspirasi masyarakat dan kendala-kendala yang dihadapi.
6
Studi Kasus : Kam pung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Program COREMAP dilakukan di sepuluh propinsi terpilih, yaitu Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. Tahap pertama dari program ini telah berjalan di beberapa situs, baik di wilayah kepulauan maupun pulau daratan dari kesepuluh propinsi tersebut. Pada saat ini akan memasuki tahap kedua yang juga akan dilakukan pada beberapa situs dari beberapa propinsi di atas. Di antaranya adalah Propinsi Papua dengan mengambil situs di wilayah Kepulauan Ayau yang terletak di Lautan Pasific sebelah utara bagian barat Pulau Papua. Kepulauan Ayau termasuk dalam Distrik Waigeo Utara di Kabupaten Sorong, yang meliputi 14 pulau dengan luas daratan sekitar 781 hektar dengan hamparan terumbu karang sekitar 60.000 hektar (Achmad dkk., 1989:8). Dari empatbelas pulau-pulau tersebut, hanya empat pulau diantaranya yang berpenghuni yaitu Pulau Runi, Pulau Meosbekwan, Pulau Reni dan Pulau Runtum yang terdiri dari lima desa. Salah satu desa tersebut, yaitu Desa Dorehkar. Desa Dorehkar adalah desa yang menjadi fokus kajian buku ini. Desa Dorehkar dipilih berdasarkan pertimbangan, lautnya memiliki hamparan terumbu karang yang luas dan keanekaragam biota karang termasuk ikan. Keragaman biota karang di wilayah perairan Waigeo Barat telah diteliti oleh "pakar ikan" Gerald Allen yang menemukannya lebih dari 200 macam jenis ikan dan 122 jenis terumbu karang (Farid & Sryadi, 2001:10). Letaknya yang berdekatan dengan perairan Waigeo Barat memungkinkan Kepulauan Ayau atau Desa Dorehkar memiliki tingkat keanekaragaman jenis ikan dan terumbu karang yang tinggi pula. Kekayaan sumber daya laut tersebut menjadi daya tarik nelayan luar dari Desa Dorehkar atau pengusaha untuk mengeks ploitasinya. Pengeksplotasian secara besarbesaran dimulai tahun 1980-an ditandai dengan masuknya nelayan dari Hongkong dan Taiwan yang juga menyebabkan kerusakan ekosistim laut. Kerusakan tersebut disebabkan oleh penggunakan peralatan yang bersifat merusak. Perilaku nelayan ini sangat tidak mendukung pelestarian terumbu karang dan menunjukkan ketidakpahaman pentingnya terumbu karang serta ekosistim laut lainnya di masa mendatang. Oleh karena itu keberadaan COREMAP di Desa Dorehkar dan sekitarnya sangat diperlukan. 1.2. Tujuan Tujuan umum studi ini adalah untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Hasil dari studi diharapkan dapat menjadi masukan perancangan, pelaksanaan (pengimplementasian) dan pemantauan program COREMAP di Kepulauan Ayau, khususnya masyarakat Desa Dorehkar. Secara rinci ada lima tujuan khusus studi ini, yaitu: 1. Menggambarkan kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistimnya di wilayah Desa Dorehkar, termasuk di dalamnya potensi, pola pemanfaatan, teknologi yang dipakai, permodalan, pemasaran serta pengetahuan dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya. 2. Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisa kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut yang mengancam kelestarian terumbu karang maupun yang berpotensi untuk mengelolanya. Sisi lain agar dapat mengantisipasi potensi konflik kepentingan antar sesama stakeholders sebagai akibat adanya usaha konservasi dan pengelolaan terumbu karang.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
7
3. Mendeskripsikan kondisi sumber daya manusia Desa Dorehkar dan memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat antara lain dari keberadaan aset rumah tangga, kondisi perumahan, pendapatan dan pengeluaran, tabungan, dan hutang. 4. Memberikan masukan–masukan kepada para pengambil merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP.
kebijakan
dalam
5. Memberikan masukan untuk menyusun indikator-indikator yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk membandingkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah intervensi program COREMAP. Mengacu kepada tujuan COREMAP tersebut, maka keberadaan buku ini diperlukan sebagai pegangan untuk memberikan perspektif sosial dan agenda sosial dalam pelaksanaan program COREMAP agar dapat berjalan dengan baik. Kesemua itu sangat berarti bagi kelestarian terumbu karang dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa Dorehkar dan sekitarnya. 1.3.
Metodologi
1.3.1. Pemilihan Lokasi Studi ini dilaksanakan di salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kepulau Ayau, yaitu Desa Dorehkar. Daerah ini merupakan bagian dari daerah in-situ program COREMAP di Propinsi Papua selain Biak, yaitu Distrik Waigeo Utara. Pemilihan Kepulauan Ayau dengan pertimbangan, bahwa hampir 100 persen penduduknya sangat tergantung pada sumber daya laut dan mempunyai wilayah yang luas. Desa Dorehkar terpilih sebagai daerah kajian karena selain kegiatan ekonomi penduduknya banyak bergantung pada sumber daya laut, juga dengan pertimbangan tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi, sejarah penduduk, dan rencana pengembangan Desa Dorehkar menjadi ibukota Distrik Ayau. 1.3.2. Pengumpulan data Data yang dikumpulkan berasal dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei terhadap 100 rumah tangga terpilih dari 187 rumah tangga yang ada di Desa Dorehkar secara acak bertingkat (stratified random sampling). Setiap rumah tangga terdiri dari responden kepala rumah tangga atau yang mewakili dan responden individu terpilih yang berusia 15 tahun ke atas. Dalam pelaksanaan survei dilakukan oleh lima orang pewawancara terdiri dari guru sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama yang bertugas di Desa Dorehkar. Data primer dengan pendekatan kualitatif adalah dengan menggunakan pedoman wawancara terhadap beberapa stakeholders atau informan kunci (key informant) yang terkait, baik di daerah in-situ maupun di luar in-situ (Kota Propinsi), yang dipilih secara purposive. Teknik penelitian yang dipakai pada pendekatan kualitatif adalah wawancara mendalam, pengamatan (observation) dan diskusi kelompok terfokus (FGD). Kegiatan FGD dilakukan pada sekumpulan nelayan pengambil udang lobster. Stakeholders atau informan kunci yang berhasil diwawancara antara lain adalah: tauke pengumpul ikan, nelayan ikan, nelayan udang, tokoh pemuda, tokoh gereja, pengurus PKK, guru SD, guru SLTP, pembuat ikan asap, pembuat tikar dari batang sagu (senat), pembuat ikan asin, pedagang, penyewa kapal, sekretaris desa dan kepala desa. 8
Studi Kasus : Kam pung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Dalam pengumpulan data kualitatif hampir dipastikan dapat diwawancara semua unsur tokoh masyarakat dan informan yang telah ditentukan yang diharapkan dapat melengkapi data dari desa ini. Para informan diperoleh secara snowball dan hampir semua dapat ditemui, kecuali bila kebetulan informan tersebut sedang melaut atau tidak ada di tempat. Kondisi ini tidak dapat dihindari karena sarana transportasi dan lingkungan alam yang tidak mendukung untuk dapat diharapkan cepat ada di tempat. Untuk mengatasinya diperoleh informan pengganti atau yang menjadi wakil dari informan kunci tersebut, yang kebetulan dapat memberi informasi yang diharapkan. Permasalahan lain adalah berkaitan dengan kondisi sosial yang sedang terjadi di wilayah Papua saat ini. Banyak unsur masyarakat yang curiga jika penelitian ini mengharuskan mereka mendukung Negara Republik Indonesia. Rasa curiga dan takut membuat sebagian mereka ada yang enggan untuk dijadikan informan atau responden. Namun hal ini dapat diatasi oleh pewawancara dengan memberikan penjelasan, bahwa penelitian ini tidak akan membawa dampak apapun terhadap mereka. Ketidak tahuan masyarakat tentang adanya penelitian ini di Desa Dorehkar disebabkan ketidak harmonisan Kepala Desa dengan kelompok masyarakat lain sehingga masyarakat tidak memperoleh informasi yang jelas. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti dari Dinas Perikanan, Dinas Perhubungan, Pem erintah Daerah, instansi dan lembaga terkait lainnya. Adanya kendala waktu dan sulitnya ditemui sehingga peneliti tidak berhasil memperoleh data dari pengusaha yang mempunyai kegiatan ekspor ikan. Oleh karena itu, informasi yang berkaitan dengan ekspor sumber daya laut tidak dapat diperoleh langsung dari stakeholders terkait, namun diperoleh dari berbagai sumber yang berhubungan dengan stakeholders tersebut. 1.3.3.
Analisa data
Analisa data dilakukan dengan cara deskritip analisis. Pertama , mendeskripsikan gambaran realita kehidupan masyarakat nelayan Desa Dorehkar dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kedua, menganalisa fenomena-fenomena sosial yang ditemukan dari data primer maupun sekunder agar lebih memahami persoalan yang ada di masyarakat Dorehkar. Dengan melakukan cara ini, kajian tidak hanya menghasilkan ‘kulit’nya saja, namun juga di isi dengan ‘daging’ yang merupakan makna dari angka-angka yang ada pada data kuantitatif. Hasil analisa ini diperoleh suatu gambaran kehidupan dan permasalahan secara utuh yang ada di masyarakat nelayan Dorehkar, baik mengenai kondisi sosial, ekonomi maupun budaya. 1.4. Organisasi Penulisan Hasil dari studi ini adalah data dasar yang menggambarkan kehidupan masyarakat pulau di Desa Dorehkar, yang pada satu sisi adalah homogen namun di sisi lain heterogen karena terdiri dari beberapa marga (keret). Data dasar ini terdiri dari tujuh bagian, yaitu: 1. Pendahuluan, menguraikan latar belakang studi, peran COREMAP dalam konteks sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan metode dan analisa yang digunakan dalam penulisan laporan; 2. Profil Desa Dorehkar, menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian sebagai bagian dari in-situ kegiatan COREMAP. Oleh karena itu, pada bagian ini
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
9
tidak hanya diuraikan mengenai apa yang terlihat namun juga permasalahanpermasalahan berkaitan dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi dari masyarakat Desa Dorehkar. Gambaran ini penting agar dalam pelaksanaan program COREMAP seperti PBM (Pengelolaan Berbasis Masyarakat), dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, infrastruktur yang ada dengan mengantisipasi faktor-faktor yang diperkirakan dapat menghambat kelangsungan program, serta pelibatan masyarakat secara aktif dalam kegiatan PBM; 3. Pengelolaan Sumber daya Laut, menguraikan keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan sumber daya laut yang meliputi wilayah pengelolaan, teknologi pengelolaan dan hubungan kerja antara mereka yang terlibat dalam pengelolaan, pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya laut. 4. Produksi dan Pengelolaan Sumber daya laut, menguraikan hasil produksi sumber daya laut yang dikaitkan dengan teknologi penangkapan, pemanfaatan hasil produksi dan pengelolaan paska panen. 5. Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat, menguraikan aspek kesejahteraan masyarakat Desa Dorehkar dalam ruang lingkup rumah tangga. Bagian ini mendeskripsikan besarnya pendapatan dan pengeluaran, strategi dalam pengelolaan keuangan dan kondisi perumahan serta sanitasi lingkungan. 6. Degradasi Sumber Daya Laut dan Faktor-Faktor Berpengaruh, menguraikan dan mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan degradasi sumber daya laut dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal maupun eksternal; 7. Diskusi dan Rekomendasi, merupakan bagian akhir dari laporan ini yang diikuti dengan pemecahan isu-isu yang muncul melalui pendekatan sosio-budaya, sosio-ekonomi dan kebijakan yang ada.
10
Studi Kasus : Kam pung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Bab II Profil Lokasi 2.1
Keadaan Geografis
Di sebelah Selatan Ibukota Sorong, berbatasan dengan Negara Palau di Lautan Pasifik terdapat beberapa pulau yang termasuk dalam wilayah Indonesia disebut Kepulauan Ayau (di peta tertulis Kepulauan Ayu). Dalam struktur pemerintahan, Kepulauan Ayau masuk dalam wilayah Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong. Apabila dilihat dari sejarah masyarakatnya, wilayah ini adalah bagian dari kekuasaan Raja Ampat, yang dikenal dengan Kepulauan Raja Ampat1. Di antara kumpulan pulau yang masuk Kepulauan Ayau, ada empat pulau yang berpenghuni yaitu Pulau Runi, Pulau Meosbekwan, Pulau Rutum, dan Pulau Reni. Pada salah satu pulau tersebut terdapat Desa Dorehkar sebagai fokus kajian ini, yaitu Pulau Runi yang paling luas di antara pulau-pulau tersebut (lihat Peta 1: Kepulauan Ayau, Distrik Wageo Utara). Desa Dorehkar terletak di garis khatulistiwa yang melintasi Kepulauan Ayau, sehingga dipengaruhi oleh dua iklim yaitu musim panas dan musim penghujan. Musim panas berlangsung antara bulan Juni sampai Agustus, sedang musim penghujan terbagi atas dua masa yakni bulan Januari sampai Mei dan bulan September sampai Desember. Apabila dikaitkan dengan musim ikan, bulan September sampai Desember adalah musim banyak ikan dan bulan Juni sampai Agustus adalah musim ikan kurang naik (ikan sedikit) yang diikuti dengan kondisi cuaca yang buruk dan badai, sehingga pada musim tersebut nelayan sulit memperoleh ikan (lihat Matriks 2.1. mengenai musim penangkapan ikan di Dorehkar). Matriks 2.1. Masa Penangkapan Ikan di Masyarakat Nelayan Musim
Bulan
Keterangan
Angin Selatan (wam brawe)
Juli – Agustus
Dapat melaut, hasil tidak banyak karena masih adanya pengaruh angin timur
Angin Barat Laut (wam barek ) Angin Barat (wam meres) Angin Utara (wam sios)
September – Desember
Musim banyak ikan yang diawali pada akhir bulan September
Desember
Hanya berlangsung selama 8 hari
Januari – Maret
Ikan suilt diperoleh atau “kurang naik”
April – Juni
Angin sangat keras, perolehan ikan sedikit, bahkan tidak dapat melaut.
Angin Timur (wam urem)
Sumber: Wawancara mendalam pada penduduk Desa Dorehkar
1
Kepulauan Raja Ampat adalah wilayah geografis yang terdiri dari gugusan pulau yang terletak di antara daerah Kepala Burung Papua dan kepulauan Maluku Utara. Luas wilayah Kepulauan Raja Ampat sekitar 54.615 km2, terdiri dari sekitar 610 pulau (Mansoben, 1995:226)
11 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Pada awalnya Desa Dorekar, Meosbekwan dan Yenkawir merupakan satu wilayah dengan nama Desa Dorehkar. Pada tahun 1992 terjadi pemekaran desa menjadi tiga desa, yang alasannya dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu dari sisi pemerintah dan sisi masyarakat. Dari sisi pemerintah, dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk yang ada di Desa Dorehkar sehingga perlu dilakukan pemekaran. Namun dari masyarakat, khusus Desa Yenkawir, karena adanya ketidakcocokan antara kelompok marga (keret) yang ada di wilayah Dorehkar dan keret di wilayah Yenkawir karena persoalan hak ulayat tanah. Dalam bahasa lokal, Dorehkar berarti ‘telaga di tepi laut’ karena desa ini terletak di muara yang berbentuk telaga tempat nelayan biasa berlabuh dan meletakkan kerambah ikan. Desa ini berdampingan dengan Desa Yenkawir, yang pada mulanya merupakan bagian dari Desa Dorehkar. Desa Dorehkar dapat ditempuh dalam waktu 3 jam dari kota Distrik Kabare menggunakan perahu motor berkekuatan 40 PK, sedangkan dengan sampan (perahu daun) membutuhkan waktu antara 7 – 8 jam. Untuk menuju Kota Sorong menggunakan perahu berkekuatan 40 PK membutuhkan waktu 8 – 9 jam, sedangkan dengan kapal cepat dua mesin yang berkekuatan 240 PK dapat dicapai dalam waktu 5 jam. Bentuk Pantai Dorehkar adalah datar sampai ke laut lepas. Pada waktu air pasang kedalaman air antara 4 – 5 meter, namun bila surut (meti) antara 2 – 3 meter. Kondisi pantai sebelah timur masih bersih, namun pada bagian selatan sampai barat daya sangat kotor karena dekat dengan perumahan penduduk. Pada bagian timur telah terjadi abrasi sekitar 30 – 40 meter, yang dapat dilihat dengan bergesernya rumah penduduk serta banyaknya pohon mati masih berdiri di sekitar laut. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penduduk, kondisi ini terjadi sejak sekitar 3 – 5 tahun terakhir ini yang disebabkan dengan makin bertambahnya penduduk desa. Kondisi tanah Desa Dorehkar dapat dibagi atas dua jenis, yaitu berpasir yang berwarna putih dan tanah sedikit liat berpasir warna hitam. Jenis tanah yang berpasir terletak di perkampungan penduduk yang hanya dapat ditanami oleh pohon kelapa, sukun, tebu dan beberapa jenis tanaman lain yang dapat tumbuh pada jenis tanah berpasir. Tanah berwarna hitam terletak di bagian desa yang agak berbukit dan berbatu. Tanah jenis ini hanya digunakan untuk berkebun oleh sebagian besar penduduk dan termasuk dalam hak ulayat Keret Mambrisau. Meskipun luas tanah yang dapat ditanami jenis sayuran terbatas akibat kondisi tanah yang berbatu, ditambah dengan minimnya peralatan untuk mengolah tanah tersebut, namun masih sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan sayuran. Jenis tanaman yang dapat tumbuh, yaitu singkong (kasbi), ubi jalar dan keladi (petatas), pepay a dan pohon gedi. Dengan keterbatasan luas wilayah yang dapat ditanami dengan tumbuhan, sebagian penduduk ada yang berinisiatif untuk mengangkut tanah dari bukit ke rumah, diletakkan dalam ember atau baskom yang tidak terpakai untuk ditanami seperti daun bawang, serai, cabai (rica) dan kucai. Jenis tumbuhan tersebut dimanfaatkan untuk keperluan masak. Selain mengambil tanah untuk tumbuhan pot, penduduk juga mengambil batu-batuan yang ada di pegunungan sekitar Desa Dorehkar untuk membuat pondasi rumah. Batu gunung tersebut seperti karang, namun bebeda dengan karang laut. Menurut penduduk Dorehkar, selama batu gunung tersebut masih dapat memenuhi kebutuhan membangun rumah, maka mereka tidak perlu mengambil karang laut untuk pondasi rumah. Bahan dasar bangunan rumah yang diperoleh dari laut hanya pasir putih, yang digunakan untuk keperluan lantai rumah. Pasir putih tersebut diambil dari
12 Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Pulau Dua yang letaknya tidak jauh dari Desa Dorehkar, karena jenis pasirnya halus, putih dan bersih. 2.2. Kondisi SDA Sumber daya alam yang ada di Desa Dorehkar dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu sumber daya alam yang terdapat di darat dan di laut. Sumber daya alam di darat, baik flora maupun fauna, tidak terlalu beragam sesuai dengan kondisi alam dan geografis. Jenis tum buhan hanya terdapat di perkebunan dan pekarangan. Perkebunan di Desa Dorehkar terletak di sebelah barat dan daerah pegunungan, dengan jenis tumbuhan pokok adalah kelapa. Hasil tanaman kelapa tersebut diolah menjadi minyak dengan menggunakan teknologi sederhana untuk dipasarkan ke Kota Sorong. Jenis tumbuhan lainnya seperti pepaya, singkong (kasbi), talas, sukun, pisang, tebu dan jeruk nipis umumnya hanya sebagai tanaman pekarangan yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Begitupula dengan fauna di darat, baik fauna yang spesifik dari Desa Dorehkar maupun jenis binatang peliharaan tidak beragam. Fauna spesifik adalah beberapa jenis burung kakak tua dan burung nuri yang juga terdapat di daratan Papua, serta kokus. Kokus adalah binatang yang menyerupai koala, berbulu lembut dan halus, hidup di pepohonan. Jenis-jenis ternak peliharaan yang ada di desa ini adalah ayam dan babi. Kedua jenis ternak peliharaan ini ada yang dilepas dan ada yang selalu di kandangkan. Berbeda dengan sumber daya alam di darat, sumber daya laut menunjukkan keanekaragaman yang sangat tinggi, baik jenis ikan maupun fauna laut lainnya, seperti terumbu karang, rumput laut dan sebagainya. Setiap warga kepulauan memperoleh kebebasan untuk menangkap ikan yang terdapat di wilayah Kepulauan Ayau. Khusus untuk penangkapan lola dan udang lobster di sekitar Pulau Dua harus memiliki izin karena merupakan wilayah adat (sasi) Keret Mambrisau, seperti yang dikemukakan seorang informan: “...… semua warga kepulauan bebas mengambil ikan maming dan ikan lainnya, apa orang itu dari Desa Dorehkar, Yenkawir, Meosbekwan, Rutum dan Reni, karena semua karang sekeliling Kepulauan Ayau ada ikan maming, kerapu dan ikan karang lainnya. Sasi yang ada hanya untuk lola dan teripang yang ada di Pulau Dua punya Keret Mambrisau”. Kondisi laut yang bersih sangat menguntungkan masyarakat sebagai sumber ekonomi yang diandalkan, walaupun 5 – 10 tahun yang lalu kondisi laut di sekitar Kepulauan Ayau menunjukkan kecenderungan memburuk. Hal ini terlihat dari kondisi air laut yang mulai kotor, dan semakin sulitnya memperoleh ikan atau fauna laut lainnya, sehingga masyarakat terpaksa melaut sampai ke laut lepas. Dahulu pada saat air laut surut (meti) masyarakat dapat dengan mudah menangkap ikan-ikan di sekitar perairan desa. Keadaan tersebut berubah seiring dengan memburuknya lingkungan sekitar desa akibat sampah masyarakat dan munculnya nelayan pendatang yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap, seperti bom dan sianida. Sumber daya laut lain yang juga bernilai tinggi adalah teripang, lobster dan lola yang banyak dijumpai di laut sekitar Kabare, sekitar Pulau Moesbekwan, Pulau Rutum, Pulau Reni dan pulau yang berpenghuni yang terletak di sebelah barat Pulau Runi 13 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
(Pulau Urbabo dan Pulau Dua). Ketiga jenis fauna tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi apabila ditangkap dalam keadaan hidup. Cara penangkapannya pun masih tradisional, yaitu menyelam dengan menggunakan peralatan sederhana dan menggali pasir pada saat air surut (meti). Lobster yang telah ditangkap terlebih dahulu dipelihara dalam keramba khusus agar tetap hidup, sedangkan lola dan teripang ditanam di dalam pasir agar tetap memiliki kulit yang bercahaya sampai di tangan pembeli. Selain sumber daya laut di atas, ada beberapa jenis sumber daya laut lain yang sedang dikembangkan oleh sebagian penduduk desa, khususnya perempuan dan remaja laki-laki, yaitu rumput laut. Penduduk Dorehkar mulai melakukan budi daya ini sekitar 3 – 4 tahun yang lalu, namun aktivitas ini kurang memberikan hasil yang baik, baik mutu maupun kuantitasnya. Hal ini terjadi karena masyarakat kurang tekun dan merasa hasil ikan lebih memberi keuntungan yang besar dibandingkan rumput laut. Dengan kurangnya perawatan dan kondisi air laut yang panas mengakibatkan rumput laut hasil budaya tersebut terkena penyakit sehingga banyak yang mati dan tidak mencapai target penjualan. Akhirnya penduduk menganggap kegiatan rumput laut hanya merugi dilihat dari sisi waktu, tenaga dan biaya. Seperti yang diungkapkan seorang informan:”…..jadi sekarang kami malas mengerjakan kegiatan penanaman rumput laut”. Permasalahan lain dari rumput laut berkaitan dengan pelatihan yang diterima kurang terfokus dan kurang dipahami dengan baik karena disampaikan dalam waktu yang terbatas. Pada awalnya kegiatan ini diberikan oleh Dinas Perikanan kepada masyarakat dan ibu-ibu yang akan melakukan program lanjutan. Tahap pertama, adalah penanaman rumput laut dengan memberi tali dan bibit rumput laut kepada peserta, yang selanjutnya disuruh malakukan sendiri. Tahap kedua, diberikan program pembuatan agar-agar khusus kepada ibu-ibu namun tidak begitu berhasil. Sekitar tahun 1998 masuk pengusaha rumput laut (keturunan Cina), dan usaha ini tidak jalan karena apa yang dilakukan penduduk tidak mencapai target dalam jumlah maupun mutu yang diharapkan. Sekarang pengusaha tersebut mempunyai usaha ganda, yaitu pembeli rumput laut dan sumber daya laut lain seperti ikan napoleon dan ikan kerapu.
Ilustrasi 1: Jenis sumber daya laut di sekitar Desa Dorehkar 1. Ikan Napoleon/ikan Maming (innamen); 2. Ikan Kerapu/ikan Garopa (indaf) yang terdiri dari berbagai jenis kerapu (Tongseng/Indaf Inroi; Saisen; Geha/Mansuaba); 3. Udang Lobster (amos); 4. Bermacam jenis ikan seperti Bobara, Bolana Kakaktua (Faiban), Gutila dan lainnya; 5. Berbagai jenis karang seperti teripang dan lola; 6. Rumput laut. Sumber: Wawancara mendalam pada penduduk Desa Dorehkar Akhir-akhir ini banyak nelayan asing yang datang ke Kepulauan Ayau. Masuknya nelayan asing membuka mata masyarakat Kepulauan Ayau tentang keanekaragaman sumber daya laut yang dapat memberi keuntungan ekonomi rumah tangga dan banyak ditemui disekitarnya. Jenis ikan yang paling menguntungkan secara ekonomi adalah ikan Napoleon, ikan Kerapu, dan ikan Hiu. Usaha penduduk terfokus memburu dua jenis 14 Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
ikan Napoleon dan Kerapu. Usaha tersebut semakin meningkat dengan adanya usaha pengumpul ikan oleh tauke Cina. Penangkapan ikan Napoleon dan Kerapu banyak dilakukan secara tradisional, meskipun ada yang menggunakan beberapa cara baru agar ikan tetap segar sampai ketangan pengumpul. Ikan yang telah mati mempunyai nilai jual rendah atau bahkan ditolak oleh pengumpul. Khusus untuk ikan hiu, nelayan hanya menjual daging yang sudah diasap atau dikonsumsi untuk pesta sedangkan siripnya disimpan untuk dijual tersendiri karena harganya tinggi. 2.3. Kependudukan 2.3.1. Sejarah dan Jumlah Penduduk Penduduk Kepulauan Ayau pada umumnya berasal dari Kepulauan Biak yang datang secara bertahap ke beberapa tempat di pulau yang ada di sekitarnya; termasuk Kepulauan Ayau yang masuk wilayah kekuasaan Raja Ampat. Ada beberapa alasan kenapa dulu banyak orang Biak pindah ke Kepulauan Ayau dan sekitarnya. Antara lain karena perang suku di daerah asal (Biak) atau sekedar mampir setelah menyerahkan ‘upeti’ kepada Sultan Tidore. Versi kedua dilanjutkan dengan pengangkatan Dimara Usba Umpes (nenek moyang Keret Umpes) sebagai pimpinan dan pelindung (korandam ) dari keret-keret yang ada di Kepulauan Ayau yang masih termasuk wilayah kekuasaan Tidore. Keterlibatan Tidore ini tercerminkan dengan pernahnya Sultan Tidore mengunjungi wilayah ini sampai ke Desa Rauki di Pulau Besar Waigeo Utara dan bertemu dengan pimpinan kelompok Usba, yakni Dimara Usba Umpes. Kelompok Usba yang masuk ke Desa Dorehkar terdiri dari lima keret, yaitu Keret Umpes, Keret Rumbewas, Keret Mambrisau, Keret Imbir, dan Keret Burdam. Dalam perkembangan selanjutnya, Dimara Usba Umpes membagi wilayah Desa Dorehkar atas beberapa hak ulayat tempat menangkap ikan di sekitar Pulau Runi kepada keempat keret tersebut. Pembagian wilayah tersebut berdampak terhadap munculnya sasi untuk beberapa sumber daya alam yang dianggap menguntungkan dan terdapat di wilayah tersebut. Misalnya, Keret Mambrisau mengeluarkan sasi lola dan teripang yang ada di Pulau Dua kecuali bila apabila ada izin dari Keret Mambrisau yang memperbolehkan orang dari luar keret mengambil sumber daya laut yang ada di Pulau Dua. Pembagian wilayah ini juga tercermin dalam pengelompokan tempat tinggal dari setiap keret yang ada di Desa Dorehkar. Keret Rumbewas berada di sebelah utara, Keret Imbir mempunyai wilayah paling luas di sebelah timur, Keret Burdan, Keret Umpes dan Keret Mambrisau bertempat tinggal sejajar dari arah timur ke barat pada bagian selatan desa. Adanya pengelompokan wilayah ini tercermin pada nama dari setiap lokasi yang ada di desa ini, sehingga dengan hanya menyebutkan nama keret tertentu akan mudah ditemukan lokasi di mana seseorang tinggal (lihat Peta 2: Sketsa Lingkungan Desa Dorehkar). Berdasarkan data terakhir dari Distrik Waigeo Utara, Jumlah penduduk Desa Dorehkar ada 880 jiwa (442 laki-laki dan 438 perempuan) yang terdiri dari 238 KK. Namun data yang tercatat di Gereja, jumlah rumah tangga yang ada di Desa Dorehkar 187 KK. Perbedaan tersebut disebabkan tidak tersedianya catatan resmi penduduk desa, sehingga perubahan penduduk tidak tercatat sampai ke ibu kota distrik. Dilihat dari bentuk keluarga adalah berbentuk keluarga batih yang berdiam secara kelompok berdasarkan keret orang tua atau suami. 15 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
2.3.2. Mobilitas Mengacu kepada latar belakang sejarah penduduk Desa Dorehkar, mobilitas penduduk telah terjadi sejak lama yang akhirnya membentuk penduduk desa saat ini. Gerakan penduduk yang pertama masuk Kepulauan Ayau merupakan gelombang ketiga dari empat gelombang migran Biak yang masuk ke Kepulauan Raja Ampat 2, yaitu kelompok Usba yang berdiam di Desa Dorekar, Yenkawir, Meosbekwan, Rutum, dan Reni (Mambraku:1996:8-9). Di Desa Dorehkar, kelompok Usba yang terdiri dari lima keret mempunyai hak ulayat tanah tidak hanya di Desa Dorehkar, namun juga di salah satu desa yang ada di Pulau Waigeo bagian utara dan Pulau Meosbekwan. Perkembangan selanjutnya, ada dua alasan terjadinya mobilitas penduduk yang masuk Desa Dorehkar. Pertama, alasan pekerjaan atau tugas kedinasan yang mengharuskan mereka pindah ke desa ini, misalnya guru dan petugas kesehatan. Alasan kedua karena adanya hubungan perkawinan, yang secara adat isteri masuk dalam kelompok suami. Mobilitas penduduk keluar paling tinggi adalah antar desa yang masih masuk dalam lingkup distrik yang sama, yaitu ke Kabare, Rauke dan Meosbekwan. Khusus untuk Desa Rauke, seratus persen penduduknya berasal dari Desa Dorehkar yang berkerja sebagai petani kebun dan nelayan. Akhir-akhir ini, mobilitas penduduk Desa Dorehkar yang keluar desa lebih bertujuan untuk melanjutkan pendidikan di Kota Sorong atau kota lainnya di dalam dan di luar wilayah Papua. Pada umumnya, setelah menyelesaikan pendidikannya tidak kembali lagi karena memperoleh pekerjaan di rantau, atau bila perempuan menikah dengan pemuda luar Desa Dorehkar. Kondisi ini sangat berdampak terhadap sumber daya manusia yang tersedia di Desa Dorehkar. Namun di sisi lain, ada kebanggaan pada penduduk Dorehkar bila ada anggota masyarakatnya yang berhasil di luar desa seperti menjadi pegawai negeri. 2.3.3.
Matapencaharian
Matapencaharian utama penduduk Desa Dorehkar mempunyai kaitan dengan laut seperti mencari ikan dan pengelolaan pasca panen hasil laut. Dalam penangkapan ikan, teknik yang digunakan masih tradisional dan bervariasi sesuai dengan sumber daya laut yang akan diambil, misalnya menggunakan pancing, senapan molo dan bameti. Penggunaan alat-alat ini biasanya berbeda antara laki-laki dan perempuan, meski perbedaan ini tidak bersifat mutlak. Penangkapan ikan dengan alat pancing dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, senapan molo oleh laki-laki, sedangkan bameti khusus perempuan. Penangkapan ikan dengan pancing dilakukan dari atas perahu di tengah laut. Jenis tangkapan utama adalah ikan Kerapu, ikan Napoleon dan berbagai jenis ikan lain yang ada di perairan Kepulauan Ayau. Pada saat pergi melaut penduduk jarang yang berangkat sendiri, selalu bersama teman atau ditemani isterinya. Apabila perempuan yang memancing hanya sebatas sekitar pulau dan digunakan untuk konsumsi keluarga atau dibuat ikan asin dan asap untuk dijual ke Kota Sorong. Selain mencari ikan, perempuan biasa melakukan bameti di pasir pada saat air surut (meti) untuk mencari cacing (Insonem) dan gurita. Sedangkan anak-anak mencari kerang pasir untuk makan keluarga dan berbagai kerang mati untuk dijual ke Kota Sorong. Aktivitas ekonomi di 2
Berdasarkan wilayah kosentrasi permukiman, migran Biak yang masuk wilayah Kepulauan Raja Ampat dikategorikan ke dalam empat gelombang, yaitu: (1) kelompok Betew; (2) kelompok Kafdarun; (3) kelompok Wardo dan kelompok Usba; (4) kelompok Samber dan kelompok Numfor Doreh (Mambraku, 1996:5-9).
16 Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
sektor jasa perikanan misalnya ada rumah tangga yang menyewakan mesin dissel untuk kegiatan penangkapan ikan atau mencari udang. Jenis pekerjaan lain yang biasa dilakukan perempuan Desa Dorehkar namun masih berkaitan dengan pertanian adalah berkebun di sekitar pegunungan Pulau Runi dan budidaya rumput laut. Beberapa tahun yang lalu ada penduduk yang pergi berkebun sagu, kelapa dan sayuran di Pulau Besar (Pulau Waigeo bagian Utara), namun akhirakhir ini berkurang karena penduduk lebih suka membeli sagu dari penduduk Pulau Besar yang datang ke Dorehkar. Perubahan ini terjadi karena penduduk merasa lebih menguntungkan bila pergi mencari ikan dibanding menokok sagu atau berkebun. Aktivitas ekonomi lain yang juga biasa dilakukan perempuan adalah usaha rumah tangga seperti membuat minyak kelapa dan membuat tikar dari batang sagu (senat), pedagang pengumpul hasil pekerjaan penduduk Dorehkar untuk dijual ke Kota Sorong dan berdagang kebutuhan sehari-sehari dengan membuka warung khusus atau di rumah yang telah diketahui penduduk desa. Kegiatan di sektor jasa hanya pegawai negeri sipil (PNS) dengan aktivitas sebagai guru dan mantri kesehatan. Gambaran di atas juga tercermin dari data survei yang dilakukan, bahwa hampir 90 persen penduduk usia di atas 6 tahun (219 orang) mempunyai kegiatan utama sebagai nelayan. Dilihat berdasarkan jenis kelamin, kegiatan nelayan masih menjadi domain laki-laki karena perempuan hanya sekitar 32 persen yang mengaku mempunyai pekerjaan utama sebagai nelayan. Walaupun sebagian nelayan ada yang melaut bersama isteri, namun pada aktivitas tersebut isteri tetap dianggap sebagai pendamping atau pembantu dan bukan pekerja utama. Sebailknya, pekerjaan di bidang perdagangan dan pertanian adalah domain perempuan. Tabel 2.3.1 di bawah ini akan lebih memperjelas lapangan pekerjaan penduduk Desa Dorehkar menurut jenis kelamin. Tabel 2.3.1. Distribusi Penduduk Usia 6 Tahun Ke Atas Menurut Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin Pekerjaan Utama Nelayan keluarga Pedagang Petani PNS Tukang Kayu Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 132 63 (97.1 %) (75.9 %) 6 (7.2 %) 2 14 (1.5 %) (16.9 %) 1 (0.7 %) 1 (0.7 %) 136 83 (100.0 %) (100.0 %)
Total 195 (89.0%) 6 (2.7%) 16 (7.3%) 1 (0.5 %) 1 (0.5 %) 219 (100.0%)
Sumber : Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2001
17 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
2.3.4. Kualitas SDM Sejarah pendidikan di Desa Dorehkar cukup panjang, yang ditandai dengan adanya tugu peringatan masuknya Injili Kristus di Kui tanggal 10 Agustus 1934 oleh Gr. A. Awom. Kedatangan pendeta ini tidak hanya membawa Agama Kristen, namun juga memberikan pendidikan kepada anak-anak Pulau Runi dan pulau-pulau sekitarnya. Kegiatan pendidikan ini membutuhkan sarana pendidikan yang dimulai dengan pendirian Sekolah Rakyat (tahun 1936) atas biaya Yayasan Pendidikan Kristen (YPK Silo). Guru pertamanya adalah seorang pendeta asal Ambon bernama Y. Lewenissa, yang juga pendeta pekabaran injili. Adanya pendidikan di desa ini, secara tidak langsung merubah pola pikir masyarakat. Pada umumnya tingkat pendidikan penduduk adalah tamat sekolah dasar, namun cukup tinggi penduduk yang melanjutkan ke tingkat lanjutan. Berkembangnya sarana pendidikan di Dorehkar dengan berdirinya SLTPN 2 Distrik Waigeo Utara, lebih memotivasi penduduk untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP. Data yang pasti mengenai tingkat pendidikan penduduk Desa Dorehkar tidaklah ada, terutama mereka yang ada di luar desa, namun dari informasi yang diperoleh memperlihatkan meningkatnya penduduk yang melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tidak hanya ke kota-kota di wilayah Papua, bahkan ada yang memilih perguruan tinggi di luar Papua, seperti ke Kota Manado dan Jawa Timur. Pada umumnya mereka yang telah berhasil meningkatkan pendidikan di rantau tidak kembali, karena lebih memilih untuk bekerja di luar Desa Dorehkar. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sumber daya manusia yang ada di desa, yang mana tingkat pendidikan penduduk terbanyak adalah tidak tamat atau tamat sekolah dasar. Berdasarkan informasi dari guru sekolah dasar di Desa Dorehkar menyatakan, bahwa siswanya yang tidak dapat menamatkan sekolah dasar hanya mencapai 4 persen dan yang dapat melanjutkan ke sekolah lanjutan sekitar 25 persen. Putus sekolah umumnya terjadi pada kelas 1 dan kelas 4 ke atas. Alasan putus sekolah pada kelas 1 karena mengikuti orang tuanya berkebun (dusun sagu) di Desa Rauke (Pulau Waigeo). Kecenderungan yang terjadi pada anak laki-laki karena sering dibiarkan turut melaut, sedang anak perempuan terpaksa menikah di usia dini berdasarkan faktor adat yang berlaku. Namun pada masa ini pemaksaan bagi anak perempuan untuk menikah dini mulai berkurang. Tingkat pendidikan perempuan lebih rendah daripada tingkat pendidikan laki-laki. Terlihat dari kecilnya persentase perempuan yang menamatkan pendidikan di tingkat sekolah lanjutan. Di sisi lain, dengan keberadaan SLTP di Desa Dorehkar, membuka peluang yang besar bagi perempuan untuk berpendidikan lebih tinggi. Keadaan tersebut merupakan gambaran yang menjanjikan bagi peningkatan pendidikan perempuan di masa datang. Gambaran ini dapat dilihat pada Tabel 2.3.2. mengenai tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk usia 6 tahun ke atas.
18 Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Tabel 2.3.2. Distribusi Penduduk Berusia 6 Tahun Ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Belum/Tidak sekolah Belum/Tidak Tamat Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA + Total
Jenis Kelamin Perempuan 16 20 (7.3 %) (10.6 %) 72 78 (33.0 %) (41.5 %) 80 75 (36.7 %) (39.9 %) 36 10 (16.5 %) (5.3 %) 14 5 (6.4 %) (2.7 5) 218 188 (100.0 %) (100.0 %)
Laki -laki
Total 36 (8.9 %) 150 (36.9 %) 155 (38.2 %) 46 (11.3 %) 19 (4.7 %) 406 (100.0%)
Sumber : Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2001 Selain pendidikan formal, ada beberapa usaha yang dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Misalnya, pihak pemerintah bekerja sama dengan swasta untuk melaksanakan pelatihan berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Desa Dorehkar. Dengan swasta sebagai penyelenggara dan pihak pemerinta sebagai pelatih. Pihak pemerintah yang dilibatkan adalah Dinas Perikanan Kabupaten Sorong. Kegiatan pelatihan ini biasanya diikuti oleh masyarakat Desa Dorehkar dan Desa Yenkawir, namun tidak semua penduduk dan terbatas pada beberapa orang sebagai wakil desa. Jenis pelatihan yang pernah diberikan adalah: 1. Cara menggunakan kail dan umpan untuk penangkapan ikan agar memperoleh ikan secara baik sebagaimana diharapkan oleh konsumen; 2. Pelatihan cara menanam rumput laut; 3. Pelatihan membuat kue dari rumput laut yang dihasilkan penduduk, yaitu agaragar; 4. Pelatihan membuat sirup dari rumput laut (agar-agar). Tampaknya pelatihan-pelatihan yang diberikan kurang dimanfaati oleh peserta dengan berbagai alasan seperti kesulitan memperoleh bahan. Akan tetapi di luar alasan tersebut, para peserta kurang berminat atas pelatihan yang diberikan dengan anggapan kurang merasakan manfaatnya atau memberikan hasil secara nyata bagi ekonomi keluarga. Masyarakat umumnya tidak mengetahui, bahwa pelatihan yang diberikan adalah untuk peningkatan kreativitas yang diperkirakan dapat menambah penghasilkan dan meningkatkan gizi keluarga. Permasalahan ini terjadi dikarenakan pada saat pelatihan tidak diberikan penjelasan mengenai pemanfaatan pembuatan makanan tersebut, atau karena singkatnya waktu pelatihan.
19 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
2.3.5. Derajat Kesehatan Gambaran lingkungan Desa Dorehkar pada umumnya cukup bersih dan tertata berdasarkan keret-keret yang ada. Tempat-tempat yang kurang bersih adalah lokasi perumahan yang cukup padat, dibagian pantai bagian Selatan banyak bertebaran sampah berasal dari limbah rumah tangga. Akan tetapi, lingkungan rumah cukup bersih dengan WC dan tempat mandi yang terdapat di tempat-tempat khusus secara berkelompok. Air bersih untuk minum dan masak diperoleh dari sumur yang dibuat jauh dari MCK, karena bila dekat akan berdampak terhadap air yang akan diminum. Penduduk desa ini umumnya telah biasa meminum air yang dimasak terlebih dahulu. Kerbersihan lingkungan rumah juga berkaitan dengan letaknya dapur yang berbeda dengan rumah induk. Dapur terletak di luar bangunan sehingga asap waktu memasak tidak mengganggu anggota rumah yang tidak terlibat pada kegiatan masak. Sistim ini tentu saja merupakan salah satu cara untuk terhindar dari jenis penyakit yang berkaitan dengan pernafasan. Jenis penyakit yang sering dialami penduduk, dapat dibedakan berdasarkan usia, yaitu penyakit beri-beri (bengkak) dan malaria banyak dialami oleh orang dewasa, batuk dan sesak napas oleh anak-anak, dan kematian ibu-ibu pada saat melahirkan karena placenta tidak keluar. Di samping itu, ada beberapa jenis penyakit yang umum dialami para nelayan berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan, antara lain batuk, sakit telinga, sakit mata dan sebagainya. Namun biasanya penduduk tidak menyadari bahwa penyakitnya tersebut adalah dampak dari pekerjaan yang dilakukan, seperti menyelam mengambil udang dan ikan napoleon. Ketidaktahuan ini lebih dikarenakan tidak pernahnya diberikan informasi tentang penyakit-penyakit sebagai akibat dari kegiatan penyelaman. Ilustrasi 2: 10 Jenis penyakit yang pernah dialami nelayan : • Batuk • Telingan keluar air • Bahu/sakit rusuk bagian bawah • Kudisan • Luka tertusuk tulang ikan dan kena papeda laut • Sakit Mata • Panggul paha bengkak • Usus turun/sakit perut • Perut kembung • Keram/rheumatik Sumber : Buku Induk Puskemas Pembantu Desa Dorehkar, 2001 Dilihat dari kesadaran penduduk terhadap kesehatan cukup baik, begitupula dengan rasa percaya terhadap petugas kesehatan. Ini terlihat bila ada penyakit yang tidak dapat ditangani di Dorehkar mencoba mencari penanganan ke Puskesmas atau rumah sakit Kota Sorong. Kesadaran ini didukung dengan adanya ‘kartu sehat’ bagi keluarga miskin, namun dapat digunakan oleh hampir semua penduduk desa yang membutuhkan. Sampai saat ini mantri desa telah merujuk penduduk menggunakan ‘kartu sehat’ sebanyak tiga orang, yaitu untuk menjalani operasi hernia dan kencing batu. 20 Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
2.4. Sarana – Prasarana dan Aksesibilitas 2.4.1. Transportasi Letak Desa Dorehkar yang ada di tengah laut membutuhkan sarana transportasi kapal atau perahu sebagai alat penghubung antar pulau maupun antar kota kabupaten. Kapal reguler seperti ‘Batanta Ekspres’ sangat berharga bagi penduduk, karena merupakan satu-satunya alat transportasi antar pulau atau kabupaten. Pada awalnya kapal ini beroperasi satu kali sebulan, namun akhir-akhir ini dua bulan sekali dan itu pun hanya sampai Kota Distrik. Oleh karena itu, penduduk yang akan menyebrang pulau atau ke Kota Sorong harus menggunakan perahu sendiri atau menyewa bersama untuk tujuan yang sama. Biaya yang harus dibayar lebih tinggi dibanding dengan kapal reguler, sehingga penduduk lebih suka menunggu sampai kapal tesebut tiba. Begitupula sebaliknya, bila penduduk hendak kembali ke Desa Dorehkar harus menunggu sampai ada kapal reguler; walaupun jadwalnya tidak menentu. Ketidakjelasan jadwal dan langkanya transporatasi antar pulau, terutama ke Kota Sorong, sangat berdampak terhadap pendistribusian kebutuhan pokok penduduk seperti beras, gula, minyak bensin/solar, dan sabun. Dalam kondisi demikian, walaupun ada uang namun barang yang yang dibutuhkan tidak ada. Begitupula dengan kegiatan sosial lainnya seperti pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. Untuk kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti guru yang akan mengambil gaji harus menunggu sampai ada kapal atau perahu yang akan berangkan ke Kota Sorong. Begitupula dengan orang sakit yang harus dirujuk membutuhkan dana cukup tinggi untuk membayar bahan bakar ke rumah sakit tujuan, karena Puspesmas atau Pustu tidak memiliki perahu khusus membawa pasien rujuka. Oleh karena itu, penduduk sangat mengharapkan adanya transportasi umum secara tetap dan murah agar kebutuhan hidup dan sosial dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Alat transportasi yang digunakan untuk mencari ikan terdiri dari tiga jenis kapal, yaitu perahu tradisional (wai raswan) atau sampan (sema), perahu dengan menggunakan mesin 15 atau 40 PK, dan kapal bermuatan besar untuk mencari ikan jarak jauh. Jenis perahu tradisional atau sampan dimiliki oleh hampir seluruh rumah tangga karena merupakan alat pokok untuk mencari makan. Sedangkan perahu motor yang menggunakan mesin 15 atau 40 PK hanya dimiliki oleh 8 orang penduduk. Perahu motor digunakan untuk mencari udang atau ikan dengan jarak agak jauh dan memakan waktu 2 – 3 hari. Kapal bermuatan besar digunakan untuk mencari ikan di luar Kepulauan Ayau hingga Biak dan Kepulauan Mapia. Kapal-kapal jenis ini disewa oleh tauke Cina pengumpul ikan dari pengusaha kapal besar di Sorong. Para tauke ini membawa para nelayan berikut perahu penangkap ikan sampai lokasi penangkapan. Penggunaan kapal ini baru merupakan tahap percobaan bagi penduduk Desa Dorehkar dan sekitarnya, yaitu pada masa banyak ikan (September akhir – Desember 2001). 2.4.2. Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan yang ada di Desa Dorehkar sangat terbatas yaitu Puskesmas Pembantu (Pustu) yang dikelola oleh seorang mantri. Mantri ini sebelumnya berdinas di Dinas Kesehatan Sorong. Karena mendekati masa pensiun dia diberi tugas untuk memegang Pustu di Desa Dorehkar yang membawahi desa-desa lain di Kepulauan Ayau. Mantri ini berusaha melayani penduduk walaupun dengan keterbatasan fasilitas kesehatan yang dimiliki, namun untuk pelayanan kebidanan masih mengalami kendala. Para ibu umumnya merasa keberatan bila diperiksa dengan 21 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
petugas laki-laki, sedangkan posisi bidan desa masih kosong. Menurut rencana pada bulan Oktober 2002 akan datang bidan baru yang merupakan penduduk asli desa ini dan diharapkan akan dapat bertahan untuk menjalankan tugasnya. Petugas kesehatan lainnya adalah dukun terlatih yang khusus bertugas membantu ibu-ibu hamil sampai masa kelahiran. Di desa Dorehkar terdapat tiga orang dukun terlatih, yaitu dari Keret Burdan dan dua orang dari Keret Umpes. Untuk mengatasi permasalahan bidan desa, menurut rencana akan ada seorang bidan desa yang berasal dari desa ini. Pilihan terhadap bidan ini dengan harapan, agar dapat bertahan selama menjalankan tugasnya karena umumnya banyak yang tidak tahan mengingat lokasi yang terisolir . Di samping itu, masyarakat Dorehkar juga mempunyai kegiatan Posyandu meski dapat berjalan sesuai dengan jadwal. Tidak berjalannya kegiatan ini disebabkan oleh kesibukan ibu-ibu yang tidak dapat membawa anak-anaknya ke Posyandu, atau karena kegiatan itu sendiri tidak ada. Untuk desa ini ada lima kelompok Posyandu yang dikategorikan menurut keret yang ada di Dorehkar, yaitu Imbir, Burdan, Umpes, Mambrisau dan Rumbewas. Akses terhadap pelayanan kesehatan masih sulit dijangkau oleh penduduk. Kondisi Pustu yang serba terbatas, baik peralatan maupun obat-obatan, sangat menyulitkan penduduk untuk berobat. Kondisi ini didukung tidak adanya transportasi khusus untuk mencapai rumah sakit atau Puskesmas di kota distrik sehingga membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Kapal mungkin dapat dipinjam dari penduduk yang memilikinya, namun biaya untuk membeli minyak sangat tinggi yang disesuaikan dengan kebutuhan yang digunakan ke tempat tujuan. Oleh karena itu, walaupun penduduk telah sadar akan pentingnya kesehatan namun sulit terpenuhi karena lokasi yang sangat jauh dan kondisi alam yang tidak bersahabat. 2.4.3. Agama Sarana ibadah yang ada sesuai dengan kepercayaan yang dianut, yaitu Agama Kristen Injili, dipenuhi dengan adanya gereja di pusat desa. Bangunan gereja ada dua, yaitu bangunan lama dan baru. Bangunan lama telah ada sejak pekabaran Injili masuk Desa Dorehkar, namun karena sudah dianggap tidak layak maka dibangun gereja baru sekitar tahun 2001. Dana untuk pembangunan gereja baru diperoleh dari YKI Silo dan sumbangan penduduk serta pengusaha pengumpul ikan yang berada di desa. Struktur pengurus gereja terdiri dari ketua dan wakil ketua yang berwenang untuk pengaturan kegiatan gereja dan jemaatnya. Selain kegiatan sembahyang setiap minggu, gereja juga melaksanakan sekolah minggu bagi anak-anak sampai tingkat remaja. Sesuai dengan jumlah keret yang ada (lima keret), dibentuk pula perkumpulan sembahyangan berdasarkan keret yang mempunyai kegiatan sembahyang atau doa setiap minggu. Kegunaan perkumpulan ini juga sebagai wadah untuk membantu anggota yang mempunyai hajat seperti doa waktu meninggal, punya bayi, atau acara perkawinan. Dalam perkembangannya, kegiatan keagamaan juga merupakan sarana untuk berkumpulnya bapak-bapak, ibu-ibu dan remaja. Menurut mereka akan sangat mudah mengumpulkan penduduk melalui kelompok-kelompok keagamaan dibanding dengan kelompok sosial lainnya. Setiap penduduk menjadi anggota berdasarkan kategori golongan tersebut di atas, yaitu PWGKI (Persekutuan Wanita Gereja Kristen Injili), PAMGKI (Persekutuan Angkatan Muda Gereja Kristen Injili), PKBGKI (Persekutuan 22 Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Kaum Bapak Gereja Kristen Injili), PARGKI (Persekutuan Anak dan Remaja Gereja Kristen Injili). Kegiatan yang dilakukan oleh berbagai persekutuan diatas berkaitan dengan aktivitas keagamaan dan moral bagi remaja dan kadang-kadang diikuti dengan aktivitas sosial atau pensosialisasian program pemerintah untuk masyarakat. 2.4.4. Ekonomi Kegiatan ekonomi masyarakat Desa Dorehkar sebagian besar terkosentrasi pada satu kegiatan, yaitu perikanan. Kegiatan ekonomi seperti perdagangan hanyalah bersifat sampingan untuk menunjang kebutuhan rumah tangga. Terbatasnya gerak ekonomi masyarakat tercermin dengan terbatasnya sarana dan prasarana ekonomi yang ada di Desa Dorehkar, yang secara tidak langsung berdampak kurangnya masyarakat dalam memperoleh akses sarana ekonomi. Sarana dan prasarana yang berkaitan dengan perikanan hanya ada dermaga tempat kapal ditambatkan dan usaha pengumpul ikan yang dikelola oleh pengusaha dari Sorong. Sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan perdagangan tidak berdiri secara khusus berbentuk toko atau warung, tapi hanya dijual dalam rumah yang hanya diketahui oleh penduduk desa. Warung mempunyai omset cukup besar, jenis barang yang dijual lebih beragam yaitu dari kebutuhan rumah tangga, sekolah, sampai keperluan melaut. Berbeda dengan rumah-rumah yang punya usaha kecil-kecilan biasanya hanya menjual jenis tertentu saja. Misalnya, ada yang hanya menjual mie instan dan gula; ada yang menjual beras, gula, rokok, permen dan minyak untuk kapal; dan ada yang hanya menjual beras saja. Kelompok pedagang ini biasanya hanya diketahui oleh penduduk saja karena tidak ada tanda-tanda ada yang dijual di rumah tersebut. Jumlah warung yang ada di desa ini diperkirakan ada sekitar enam buah. 2.4.5. Pendidikan Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Dorehkar hanya dua, yaitu sekolah dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Sekolah dasar yang ada sekarang didirikan tahun 1936 atas inisiatif pendeta Kristen Injili dengan nama SD YPK Silo, yang mencakup anak-anak di Kepulauan Ayau. Setelah dibangunnya sekolah dasar INPRES di setiap desa, anak-anak yang bersekolah di SD YPK Silo umumnya hanya anak-anak Desa Dorehkar. Bangunan sekolah ini awalnya dibangun dari kayu besi dan beratapkan daun sagu, namun dibangun kembali dan mengganti atapnya dengan seng. Pada awalnya pengajar sekolah dasar ini adalah pendeta yang merangkap sebagai petugas di gereja, namun sekarang adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diperbantukan di sekolah swasta. Selama ini dana yang diperoleh dari pemerintah hanya mampu untuk keperluan alat tulis sekolah seperti kapur tulis dan kertas, sedangkan dana pembangunan sekolah diperoleh dari yayasan. Untuk kebutuhan operasional sekolah lainnya diperoleh dari SPP murid sebesar Rp. 1.000,-/bulan, dan uang pendaftaran murid baru Rp. 5.000,-. Dana tersebut dipergunakan untuk membeli buku, walaupun sebagian besar buku pelajaran telah diperoleh dari yayasan. Bantuan khusus yang diterima sekolah adalah buku koleksi perpustakan dari pemerintah dan perawatan sekolah dari Pemda. SLTP 2 Waigeo Utara mulai hadir dan beroperasi di Desa Dorehkar tahun 1999 dengan jumlah murid kelas I sebanyak 46 orang. Sekolah termasuk ke dalam wilayah cakupan Distrik Waigeo Utara, yang khusus diharapkan dapat menampung anak-anak 23 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
wilayah Kepulauan Ayau setelah tamat sekolah dasar. Di samping itu sebagai persiapan bila distrik baru yang melingkup desa-desa di Kepulauan Ayau berdiri. Bangunan sekolah dan fasilitas yang ada cukup memadai, kecuali prasarana untuk mengajar dan pelatihan siswa masih terbatas seperti buku teks pengajar dan buku perpustakaan sekolah. Selama tiga tahun berdiri, SLTPN 2 memiliki total murid sebanyak 94 murid, terdiri dari 44 orang murid laki-laki dan 50 orang murid perempuan. Jumlah murid kelas III sekarang mencapai 22 orang, sehingga lebih dari 50 persen putus murid di tengah jalan. Alasan putus sekolah untuk anak perempuan adalah karena menikah, sedangkan laki-laki adalah alasan bekerja. Daerah asal murid-murid melingkupi kelima desa yang ada di Kepulauan Ayau, yaitu Desa Yenkawir 10 orang, Desa Rutum 20 orang, Desa Reni 10 orang, Desa Meosbekwan 10 orang, dan Desa Dorehkar 44 orang. Pada umumnya mereka ini berasal dari keluarga nelayan. Keberadaan SLTP di desa ini merupakan akses yang penting bagi penyebaran informasi bagi generasi muda dalam pemahaman pengetahuan yang ada di sekitarnya. Misalnya pengetahuan tentang pemeliharaan dan pelestarian lingkungan serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu dalam usaha pemeliharaan dan pelestarian sumber daya laut yang mengitari tempat tinggalnya, maka keberadaan SLTP dan sarana pendidikan lain perlu menjadi perhatian agar dapat dijadikan sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat yang dimulai dari generasi muda di lingkungan sekolah. 2.5. Kelembagaan Sosial, Budaya dan Ekonomi Dalam rangka pelaksanaan kegiatan COREMAP, khususnya program PBM (Pengelolaan Berbasis Masyarakat) yang bertumpu pada partisipasi aktif masyarakat dapat berjalan secara efektif dan efisien, hendaknya keberadaan institusi/kelembagaan yang ada di desa tersebut turut dilibatkan. Oleh karena itu, salah satu dari kegiatan COREMAP adalah melakukan penguatan terhadap lembaga-lembaga yang ada di situs atau desa setempat. Ilustrasi 3: Penguatan kelembagaan adalah: Salah satu usaha meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga setempat untuk menangani pengelolaan sumber daya lokal melalui peningkatan sumber daya manusia (SDM) masyarakat setempat, fungsi serta peranan lembaga. (Eniarti Djohan, 1999:20)
Pada saat ini, kelembagaan yang masih berfungsi untuk masyarakat Desa Dorehkar hanyalah kelembagaan gereja dan kelembagaan adat. Kelembagaan pemerintah banyak yang tidak berfungsi, misalnya lembaga desa atau PKK sudah tidak berjalan dengan semestinya. Keadaan ini tercermin dari kondisi fisik gedung yang rusak dan tidak pernah dipergunakan, sehingga berdampak terhadap tidak adanya arsip atau data berkaitan dengan fungsi dan peran lembaga tersebut. Misalnya, untuk memperoleh 24 Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
data kependudukan lebih memungkinkan diperoleh dari lembaga gereja berdasarkan jemaat yang dikategorikan berdasarkan keret-keret di Desa Dorehkar. Dari tiga lembaga yang dianggap sebagai motor penggerak di masyarakat desa, yaitu sosial, budaya dan ekonomi, hanya lembaga sosial dan budaya yang terlihat berfungsi di masyarakat Desa Dorehkar. Lembaga sosial dan budaya dapat dikatakan sebagai suatu kesatuan, karena dalam konteks aktivitas berjalan bersama. Misalnya, aktivitas gereja akan dikaitkan dengan kelembagaan keret atau keberadaan dua lembaga ini dikaitkan dengan lembaga sasi sebagai kelembagaan budaya yang mengatur kehidupan ekonomi masyarakat Dorehkar dan sekitarnya. 2.5.1. Lembaga gereja Organisasi gereja di Desa Dorehkar ada dibawah organisasi ‘Gereja Kristen Injili’ yang masuk ke Kepulauan Ayau sekitar tahun 1934 melalui Dorehkar. Secara struktural, gereja ini berada di bawah Klasis GKI-Sorong sehingga pendeta yang khusus memberi bimbingan kepada umat pada acara-acara khusus didatangkan dari Klasis Sorong. Untuk dana operasional diperoleh dari iuran wajib anggota, yaitu mereka yang sudah menjalani acara sidi di gereja sebesar Rp. 1.000,- per-bulan. Dana tersebut digunakan untuk membayar jasa pelayanan pendeta yang memimpin acara di gereja atau kegiatan di luar gereja. Perincian dari dana anggota gereja tersebut adalah: 30 persen untuk Sinode di Kota Sorong, 30 persen untuk para clasis; dan sisanya untuk acara khusus seperti Hari Natal, Paskah, dan Perayaan Ulang Tahun Pekabaran Injili. Dalam pelaksanaan kegiatan gereja sehari-hari dipimpin oleh ketua dan wakil ketua pimpinan gereja, yang diikuti oleh kelompok anggota gereja berdasarkan jenis kelamin dan usia.
Ilustrasi 4: 4 kelompok masyarakat di bawah naungan gereja 1. 2. 3. 4.
PKBGKI : Persekutuan Kaum Bapak Gereja Kristen Injili PWGKI : Persekutuan Wanita Gereja Kristen Injili PAMGKI : Persekutuan Angkatan Muda Gereja Kristen Injili PARGKI : Persekutuan Anak dan Remaja Gereja Kristen Injili Sumber : Wawancara Mendalam dengan Sekretaris Desa Dorehkar Setiap kelompok melaksanakan kegiatan secara terpisah namun acaranya akan selalu terkait dengan kegiatan keagamaan. Biasanya acara kelompok dilakukan sebelum acara pokok atau misa hari Minggu di gereja. Misalnya, PARGKI (Persekutuan Anak dan Remaja Gereja Kristen Injili) setiap minggu melaksanakan sekolah minggu, PKBGKI (Persekutuan kaum Bapak Gereja Kristen Injili) melaksanakan pertemuan secara bergilir di rumah-rumah anggota dengan acara sembahyang atau penjelasan tentang kegiatan agama. Di samping empat kelompok di atas, terdapat pula kumpulan anggota gereja yang berdasarkan kesamaan keret atau marga. Perkumpulan ini terdiri dari lima kelompok sesuai dengan jumlah keret yang ada di Desa Dorehkar. Satu kali dalam seminggu setiap kelompok berkumpul melakukan sembahyangan bersama atau pada Hari Natal berkumpul sesudah acara di gereja. 25 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Keberadaan kelompok-kelompok gereja ini menunjukkan hal yang positif bagi persatuan masyarakat, karena keputusan-keputusan yang ada akan dikaitkan dengan kenyataan di masyarakat. Apabila terjadi perselisihan antar masyarakat, antar keret atau desa maka gereja bersama kelompoknya yang akan menyelesaikannya. Misalnya dalam menangani kasus hak ulayat tanah antara masyarakat Desa Dorehkar dan Desa Yenkawir. Oleh karena itu, keberadaan kelompok gereja ini dapat dianggap sebagai akses yang cukup signifikan untuk pengembangan program masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan pengembangan ekonomi. 2.5.2. Lembaga kerabat ‘keret’ Keret, yang dalam bahasa umum disebut marga merupakan suatu kelembagaan sosial yang mempunyai peran cukup kuat dalam mengatur kehidupan anggotanya. Bahkan secara luas turut berperan dalam pengaturan masyarakat desa, terutama aturan-aturan yang berkaitan dengan hubungan antar masyarakat seperti dalam perkawinan dan hak ulayat tanah dan laut. Kelima keret di Desa Dorehkar mempunyai hak dan kewajiban sama di masyarakat. Dalam pemanfaatan lahan, setiap anggota keret mempunyai hak yang sama namun tidak diperbolehkan memilikinya. Sedangkan dalam perkawinan, keret mempunyai peran penting mengingat sistim perkawinan yang berlaku adalah eksogam yaitu incest untuk melakukan perkawinan dalam satu keret. Setiap anggota keret diharapkan dapat memahami aturan-aturan yang ada, baik dalam pengaturan hak ulayat penggunaan lahan maupun agar memahami keberadan keret di lingkungan masyarakat Desa Dorehkar, agar tidak terjadi konflik internal antar keret atau sesama anggota keret. Misalnya dalam memahami aturan sasi yang ada di masyarakat, baik sasi adat maupun sasi gereja dan hubungan antara kedua sasi tersebut. Sasi adat sangat terkait dengan pola kebiasaan yang ada di masyarakat seperti upacara adat di atas kuburan leluhur, penggunaan jenis tanaman atau jenis fauna laut tertentu yang di sasi untuk memenuhi kebutuhan gereja melalui kelompok keret. Kelembagaan keret ini, selain mengatur anggotanya dalam pengelolaan lahan dan hasil laut dan hubungan kekerabatan dalam perkawinan, dapat juga dimanfaatkan dalam pensosialisasian program yang masuk desa ini. Dengan melalui kelompok keret akan lebih mudah mengumpulkan masyarakat, karena mereka akan mengikuti anjuran ketua yang biasanya adalah orang tertua atau yang dituakan dalam kelompok. Hal lain, adanya kelembagaan keret ini sedikit banyak dapat meredam konflik sosial yang mungkin terjadi karena adanya hubungan antar keret karena perkawinan. Sifat hubungan ini menciptakan hubungan kerabat baru yang harus saling menjaga keharmonisan. Melihat keberad aan lembaga sosial dan budaya yang ada di Desa Dorehkar, tampaknya kelembagaan gereja maupun kelembagaan kekerabat (keret) dapat dianggap berpotensi untuk pengembangan pelaksanaan program COREMAP, khususnya program ‘Pengelolaan Berbasis Masyarakat’ (PBM). Aktivitas penyadaran masyarakat dapat dilaksanakan setelah acara-acara keagamaan seperti di gereja dan kelompok-kelompok kecil yang ada di bawah naungan gereja. Begitupula dengan kelompok kekerabatan dapat dimanfaatkan sebagai wadah penyampaian informasi melalui anggota dari keret karena mereka mempunyai jadwal pertemuan yang cukup baik.
26 Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut Salah satu komponen COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) adalah pengelolaan terumbu karang yang berbasis masyarakat, agar sumber daya laut yang ada dapat dimanfaatkan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk secara berkesinambungan. Untuk pencapaian tujuan tersebut secara optimal namun tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang berarti, maka perlu diketahui bagaimana masyarakat setempat melakukan pengelolaan terhadap sumber daya laut yang ada di sekitarnya. Bagian ini menggambarkan dan membahas berbagai aspek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut di Desa Dorehkar, yaitu meliputi keterlibatan stakeholder, pengetahuan dan sikap masyarakat, wilayah pengelolaan, teknologi yang digunakan, serta hubungan kerja antara pengelola sumber daya laut. 3.1. Stakeholder Pengelolaan Sumber Daya Laut Stakeholder 1 yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya laut di Desa Dorehkar datang dari berbagai kalangan yang dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu pemerintah, pengusaha dan masyarakat yang sebagian besar adalah nelayan serta lembaga keagamaan (gereja). Peranan utama pemerintah dalam pengelolaan sumber daya laut adalah sebagai pembuat kebijakan dan mensosialisasikannya agar sumber daya laut yang ada dapat terjaga kelestariannya, dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pemerintah tersebut dituangkan dalam peraturan-peraturan di tingkat pusat, tingkat propinsi maupun Daerah Tingkat II Kabupaten. Adapun di tingkat masyarakat terdiri dari pemanfaatan sumber daya laut seperti pencarian sumber daya laut untuk dijual maupun konsumsi dan konservasi. Peranan pengusaha lebih kepada pemasaran hasil laut secara lebih luas dengan motivasi untuk mencari keuntungan. Ketiga komponen stakeholders tersebut juga terlihat dalam pengelolaan sumber daya laut di wilayah Papua, khususnya di masyarakat penelitian, yaitu Desa Dorehkar. Setiap stakeholders mempunyai peran masing-masing secara tertulis, maupun tidak tertulis dalam bentuk dokumen atau peraturan. Ketiga matriks di bawah ini akan menggambarkan peran masing-masing stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya laut di wilayah perairan Desa Dorehkar (lihat Matriks 3.1.1, 3.1.2 dan 3.1.3).
1
Stakeholder yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah institusi atau perseorangan yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya laut, baik yang berada di daerah penelitian maupun di luar daerah penelitian.
27 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Matriks 3.1.1 Keterlibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut No 1.
Lokasi Desa Dorehkar
Stakeholder Masyarakat nelayan
Kepentingan
Keterlibatan
•
Pengambilan SDL
• Memancing ikan kerapu, napoleon; • Menangkap lobster dengan jerat; • Menangkap ikan dengan menggunakan alat lainnya seperti jaring, tombak, jerat; • Menangkap ikan dengan menggunakan racun tradisional ‘akar bore’; • Mengumpulkan Lola, cacing laut, pia pia, teripang; • Mengambil batu karang untuk pembangunan rumah; • Mengambil pasir untuk lantai rumah.
•
Pengolahan ikan
Pembuatan ikan asin, ikan asap, cacing asap.
•
Penjual hasil tangkapan
• Penjualan ikan dalam keadaan hidup seperti ikan kerapu, napoleon dan lobster; • Menjual ikan asin, asap dan kerangkerangan.
2.
Desa sekitar dalam satu distrik
Penduduk
•
Konsumen ikan dari kampung Dorehkar
• Membeli ikan asin, asap dan cacing dengan barter; • Membeli ikan asin, asap dan cacing untuk konsumsi; • Membeli kerang kerangan untuk hiasan rumah atau mainan anak anak.
3.
Kab. Sorong
Penduduk
•
Konsumen ikan kampung Dorehkar
• Memenuhi kebutuhan restoran khusus ‘Sea Food’ • Mengkonsumsi berbagai jenis ikan dari Desa Dorehkar
4
Hongkong
Penduduk
•
Konsumsi ikan
•
28
Memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan restoran di Hongkong
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Matriks 3.1.2 Keterlibatan Pengusaha Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut No 1.
Lokasi Desa Dorehkar
Stakeholder Pengusaha pengumpul ikan kerapu dan napoleon
Kepentingan •
Usaha pemasaran untuk mencari keuntungan
Keterlibatan • • • •
2.
Kab Sorong
Pedagang
•
Pengusaha
•
Menjual untuk memenuhi kebutuhan hidup nelayan Usaha eksporimport untuk memperoleh keuntungan
• • • •
Membeli ikan dari nelayan kemudian dijual ke pengusaha lain untuk kepertluan eksport; Memberikan pinjaman uang; Menyediakan peralatan penangkapan ikan (mata kail); Memberi modal dan melakukan monopoli pembelian untuk penangkapan ikan ke pulau lain. Menyediakan kail; Menyediakan perbekalan melaut .
Eksport ikan kerapu, napoleon dan Lobster Membeli lobster untuk menu restoran
Matriks 3.1.3 Keterlibatan Pemerintah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut No 1.
2.
Lokasi Desa Dorehkar
Distrik
Stakeholder
Kepentingan
Keterlibatan
Aparat pemerintah desa
Meningkatkan kesejahteraan masyararakat
•
Mensosialisasikan peraturan dari pemerintah;
•
Penyelesaian konflik wilayah pengelolaan.
Aparat pemerintah distrik
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
•
Mensosialisasikan peraturan dari pemerintah; Penyelesaian konflik wilayah pengelolaan;
• •
3.
4.
Kab. Sorong
Jakarta
Distribusi bantuan penyuluhan untuk nelayan.
Pemda, Bappeda DPRD
Pembuat kebijakan pengelolaan sumber daya ikan
• •
Peraturan tentang usaha perikanan; Pengadaan sarana TPI (belum terlaksana);
Dinas pertanian
Meningkatkan pengetahuan masyarakat Pembuat kebijakan pengelolaan SDL
•
Penyuluhan budidaya rumput laut.
•
Undang Undang larangan penggunaan alat penangkap ikan ilegal (bom, racun, trawl); Izin usaha perikanan.
Pemerintah Pusat dengan depatemen terkait (mis: mentri negara kelautan dan mentri kehakiman)
•
29 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
3.2. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Laut Pengetahuan masyarakat yang berk aitan dengan pengelolaan sumber daya laut seperti jenis dan populasi serta tempat ekosistim laut dan sumber daya laut lain berada, merupakan hal penting dalam upaya pelestarian kekayaan laut yang ada di wilayah perairan. Begitupula dengan pengetahuan tentang kegunaan dari sumber daya laut dapat menumbuhkan kesadaran penduduk dalam menghindari perilaku yang menimbulkan kerusakan, dan dapat menjaga kelestarian ekosistim di dalamnya. Hal ini sangat penting mengingat ketergantungan penduduk yang besar terhadap sumber daya laut, sehingga kerusakan yang timbul seperti terumbu karang akan berpengaruh terhadap mata pencaharian penduduk. Berdasarkan studi yang dilakukan di Desa Dorehkar, ada beberapa hal yang akan dibicarakan pada bagian ini berkaitan dengan pengetahuan masyarakat tentang sumber daya laut dilihat dari (1) jenis sumber daya laut ikan maupun terumbu karang, (2) kegunaan terumbu karang, (3) dampak kerusakan terumbu karang, (4) kondisi terumbu karang dan sumber daya laut lainnya, (5) kebiasaan atau aturan tradisional tentang pengelolaan sumber daya laut; (6) aturan formal dalam pengaturan pengelolaan sumber daya laut. 3.2.1. Sumber Daya Laut Pada dasarnya, pengetahuan masyarakat Dorehkar tentang sumber daya laut yang ada di perairan sekitar Kepulauan Ayau cukup luas. Pola kehidupan sebagai orang pulau yang lahir dan dibesarkan di pulau, serta adanya keterikatan dengan laut sangat mempengaruhi pengetahuan kelautan yang dimilikinya. Laut tidak hanya tempat mencari makan, namun juga sebagai tempat bermain. Kedekatan dengan laut dan pengalaman yang didapatkan dari pola hubungan dengan laut terakumulasi dari hari kehari, sehingga menjadikan pengetahuan mereka tentang laut cukup luas. Berbagai jenis ekosistim laut masih banyak tersedia dan ditemukan di perairan Kepulauan Ayau, seperti beragam jenis ikan, karang, moluska maupun tumbuhan laut yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat diketahui, bahwa pengetahuan penduduk laki-laki, perempuan maupun anak-anak mengenai berbagai jenis ikan, terumbu karang dan sumber daya laut lainnya beserta nama lokal cukup tinggi. Misalnya, pada waktu diperlihatkan buku panduan lapangan ‘Nasib Terumbu Karang di Tangan Anda’ (COREMAP, 2001) pada anakanak dan ibu-ibu yang ditemui di pinggir pantai mengatakan, bahwa semua jenis ikan maupun terumbu karang yang tertera di dalam buku tersebut masih dapat ditemukan di perairan Kepulauan Ayau. Keberadaan berbagai jenis sumber daya laut tersebut dapat dilihat dengan adanya nama lokal seperti Gutila (Lencam), Bobara (ikan Kuwik), Innas (ikan Belanak), Uma (ikan Kulit Pasir), Innowes (ikan Samandar), Inmameng (ikan Napoleon) dan Insomen (cacing laut). Di samping itu, penduduk Desa Dorehkar juga mengenal nama lokal berbagai jenis terumbu karang yang hidup di sekitar perairan Kepulauan Ayau. Pada umumnya mereka mengetahui, bahwa yang dimaksud dengan terumbu karang sebagai ekosistim laut adalah Bosen, yaitu kumpulan dari bermacam macam jenis karang tempat berbagai jenis ikan seperti Kerapu, Napoleon dan lobster hidup. Nama dari berbagai jenis karang sangat beragam, di antaranya adalah Kerui, Ros, Arwan, Irbor dan Arbon. Namun berdasarkan data survei yang dilakukan terhadap 100 responden menunjukkan, bahwa sebagian besar masyarakat (86 persen) menyebut terumbu karang dengan nama Bosen. Nama-nama lain seperti di atas diungkapkan oleh sekitar 14 persen responden. 30
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Di antara keempat nama lain dari Bosen, terbanyak adalah Kerui yang disebut oleh sekitar 6 persen responden. Hal ini terlihat, bahwa ada pemahaman yang tumpang tindih antara terumbu karang dan jenis dari terumbu karang. 3.2.2. Manfaat Terumbu Karang Berdasarkan penelitian COREMAP terdahulu banyak disebutkan, bahwa manfaat terumbu karang antara lain adalah: (1) tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan, (2) mempunyai nilai ekonomi, perdagangan dan industri, (3) sumber berbagai bahan baku, (4) melestarikan keanekaragaman hayati, (5) melindungi pantai dari ombak dan badai, dan (6) obyek pariwisata (Deni Hidayati, 1999). Data survei terhadap penduduk Desa Dorehkar menunjukkan, bahwa keenam faktor tersebut muncul sebagai jawaban dari pernyataan yang diajukan. Namun yang paling diketahui penduduk, terumbu karang mempunyai nilai ekonomi, perdagangan dan industri dengan jawaban sebesar 61 persen. Jawaban kedua terbesar (50 persen) adalah sebagai tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan. Sedangkan pengetahuan responden terhadap manfaat terumbu karang lainnya masih kurang, khususnya yang berkaitan dengan pelestarian dan perlindungan sumber daya laut, yang terlihat dari jawaban responden di bawah 10 persen. Hal menunjukkan, bahwa pengetahuan masyarakat Desa Dorehkar terhadap manfaat terumbu karang terindikasi masih terbatas (lihat tabel 3.2.1) Tabel 3.2.1: Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Manfaat Terumbu Karang Manfaat Terumbu karang Mempunyai nilai ekonomi, perdagangan dan industri Tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan Sumber berbagai bahan baku Melestarikan keaneka ragaman hayati Melindungi pantai dari ombak dan badai Obyek pariwisata
Persentase 61,0 50,0 9,0 3,0 3,0 3,0
Sumber: Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2001 Hasil tersebut berbeda dengan informasi yang diperoleh dari wawancara mendalam kepada beberapa informan (baik laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak muda), di mana pengetahuan mereka tentang manfaat terumbu karang cukup luas. Informan tersebut menceritakan berbagai macam manfaat terumbu karang seperti tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan, nilai ekonomi dan perdagangan, melestarikan keanekaragaman hayati dan melindungi pantai dari ombak dan badai. Seperti yang diungkap seorang informan perempuan: “…….beberapa tahun yang lalu karang ini masih bagus, tanah tidak tererosi, pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang pantai masih banyak, antara rumah dengan pantai jaraknya masih jauh. Sekarang keadaan berubah, karena karang rusak maka ombak dari angin Barat maupun Selatan langsung menimpa pantai dan terjadi tanah longsor, pohon-pohon tumbang, sumber untuk mencari makan penduduk berkurang”. Ungkapan tersebut memperlihatkan, bahwa pengetahuan informan tentang kegunaan terumbu karang meliputi hampir semua faktor yang ditanyakan dalam survei, 31 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
kecuali yang berkaitan dengan obyek pariwisata, umumnya tidak diketahui oleh informan. Kemungkinan hal ini disebabkan di daerah penelitian tidak ada obyek wisata, sehingga mereka tidak mempunyai bayangan tentang kaitan objek wisata dengan terumbu karang. 3.2.3. Kerusakan Terumbu Karang Masuknya perusahaan ikan yang cukup besar pada tahun 1992, yang menggunakan bom dan sianida untuk menangkap ikan dianggap sebagai awal dari rusaknya terumbu karang yang ada di Kepulauan Ayau. Situasi tersebut berdampak terhadap berkurangnya hasil tangkapan ikan penduduk setempat, sehingga pengelola perusahaan tersebut diusir dari Kepulauan Ayau. Berdasarkan pengetahuan responden, pada umumnya mengatakan bahwa kerusakan terumbu karang akan berakibat terhadap dua hal yaitu berkurangnya jumlah dan jenis ikan (59 persen) dan turunnya nilai ekonomi dari hasil sumber daya laut yang diperoleh (34 persen). Tingginya jumlah responden yang mengatakan kedua akibat tersebut karena langsung dirasakan oleh penduduk Desa Dorehkar. Di sisi lain, responden yang mengetahui akibat rusaknya terumbu karang akan berdampak terhadap berkurangnya bahan baku dan merusak potensi pariwisata sangat kecil, masing-masing hanya satu orang. Hal ini disebabkan, karena responden tidak mempunyai pengalaman secara langsung tentang hal tersebut. Di daerah sekitar Kepulauan Ayau tidak ditemukan industri, baik yang di usahakan oleh penduduk maupun perusahaan yang menggunakan sumber daya laut sebagai bahan baku. Begitupula dengan pengetahuan rusaknya terumbu karang akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah pariwisata tidak banyak diketahui oleh penduduk. Untuk lebih jelasnya mengenai pengetahuan responden tentang akibat dari kerusakan terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 3.2.2. Tabel 3.2.2: Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Akibat Kerusakan Terumbu Karang Rusaknya Terumbu Karang Mengakibatkan Jumlah dan Jenis ikan berkurang Nilai ekonomi menurun Keaneka ragaman hayati berkurang Kerusakan pantai Bahan baku berkurang Merusak potensi pariwisata
Persentase 59,0 34,0 19,0 19,0 1,0 1,0
Sumber: Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang, COERMAP – LIPI, 2001 3.2.4. Kondisi Terumbu Karang Kedekatan masyarakat Dorehkar dengan laut berpengaruh pada pengetahuan masyarakat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di wilayah laut sekitar Kepulauan Ayau, termasuk diantaranya kondisi terumbu karang. Pengetahuan masyarakat tentang kondisi terumbu karang dipengaruhi oleh pengalaman yang terakumulasi selama bertahun-tahun, dan terdapat perbedaan di antara masyarakat dalam menilai kondisi terumbu karang saat ini. Berdasarkan survei, separuh dari jumlah responden mengatakan bahwa kondisi terumbu karang pada saat ini dalam keadaan baik. Kemudian, separuh responden lainnya mengatakan bahwa kondisi terumbu karang 32
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
kurang baik dan rusak. Meskipun terdapat perbedaan persepsi tentang kondisi terumbu karang namun dari jawaban responden tersebut mengindikasikan, bahwa telah terjadi penurunan kualitas dari terumbu karang. Perbedaan persepsi masyarakat tentang terumbu karang dipengaruhi oleh kontinuitas dalam melihat kondisi terumbu karang, seperti keterbatasan dalam melakukan penyelaman dan kelemahan pertanyaan dari survei ini yang menggunakan batas waktu (5 tahun) untuk melihat perubahan. Konsep batas waktu tersebut tidak dipunyai oleh sebagian besar masyarakat, kecuali anak muda yang telah berpendidikan. Pada umumnya responden hanya membandingkan kondisi terumbu karang pada saat ini dengan kondisi terumbu karang pada masa lalu yang pernah mereka ketahui, tanpa memperhatikan batas waktu lima tahun. Berdasarkan informasi beberapa informan setengah baya (usia 40 tahunan) yang sering melakukan penyelaman, dapat mengklarifikasi perbedaan persepsi tentang kondisi terumbu karang tersebut. Ada yang mengatakan, bila dibandingkan dengan lima tahun yang lalu kondisi terumbu karang saat ini lebih baik karena di beberapa lokasi terumbu karang sudah mulai tumbuh atau berkembang. Lima tahun yang lalu keadaan terumbu karang dalam keadaan rusak sebagai akibat dari penangkapan ikan yang menggunakan bahan-bahan ilegal seperti racun maupun bom yang terjadi sekitar tahun 1992 dan 1993. Namun demikian bila dibandingkan dengan keadaan sebelum tahun 1990 kondisi terumbu karang saat ini jauh berbeda, yang pada saat itu kondisinya masih utuh. Seorang informan mengatakan: ”……dulu terumbu karang masih bagus, ikan masih banyak kalau kita kepinggir pantai sudah langsung dapat menangkap ikan” . 3.2.5. Aturan Tradisioanal Dalam pengelolaan sumber daya laut, penduduk Dorehkar secara tradisional telah mempunyai nilai-nilai dan aturan tradisional yang dikenal sejak masa orang-orang tua dulu. Hal ini terindikasikan dengan adanya konsep konservasi sec ara tradisional seperti sasi, yang merupakan aturan tradisional untuk melindungi sumber daya laut agar dapat digunakan secara berkesinambungan. Dalam prakteknya, sasi adalah larangan untuk mengambil atau memanfaatkan jenis sumber daya laut tertentu dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Aturan tersebut sampai sekarang masih dijalankan meskipun ada kecenderungan semakin longgar. Jenis sumber daya laut yang akan disasi-kan biasanya ditentukan secara bersama oleh anggota kelompok masyarakat yang terlibat, kemudian akan disahkan oleh gereja. Jenis sumber daya yang umum di-sasikan adalah lola, teripang dan pia dengan kurun waktu pelarangan pemanfaatannya sekitar enam bulan, yang dapat diperpanjang bila dianggap masih diperlukan. Pada saat ini, pemberlakuan sasi oleh penduduk semakin melonggar yang dipengaruhi oleh permintaan akan beberapa jenis sumber daya laut tersebut meningkat dengan harga tinggi. Misalnya, harga lola pernah mencapai Rp. 150.000.- per kilogram. Oleh karena itu, akhir-akhir ini masyarakat bersepakat bahwa sasi hanya diberlakukan bila desa atau kelompok masyarakat yang ada di desa mempunyai program untuk pembangunan atau kesejahteraan umat. Misalnya ketika akan dilakukan pembangunan gereja yang belum sempurna, beberapa kelompok masyarakat memberlakukan sasi terhadap sumber daya alam yang dimiliki kelompok seperti kelapa dan lola. Pada saat penelitian ini dilakukan, masyarakat sedang memberlakukan sasi lola selama enam 33 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
bulan di wilayah pengelolaan Keret Mambrisau. Hasil penjualan lola yang diperoleh selama enam bulan digunakan untuk penyempurnaan bangunan gereja. Dalam pelaksanaan sasi tidak terdapat sanksi tertulis bagi mereka yang melanggar, namun masyarakat percaya bahwa siapa yang melanggar akan terkena musibah seperti sakit keras. Cara pengobatan bagi pelanggaran terhadap sasi harus dilakukan dengan pengakuan dosa dan pengampunan melalui gereja. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara sasi dan gereja karena setiap akan dilaksanakannya sasi selalu disahkan oleh gereja.
Ilustrasi 6: Pelaksanaan Sasi Adat untuk Gereja • Diawali dengan membawa persembahan untuk gereja, yaitu uang sebesar Rp. 50.000,- yang diserahkan kepada gereja untuk didoakan oleh majelis umat sebagai tanda lahan dan tumbuhan atau sumber daya alam tertentu ditutup atau di-sasi untuk semua orang. • Dilakukan upacara adat di makam dengan membawa pinang – sirih – kapur – rokok/tembakau. Bawaan tersebut diletakkan di atas kuburan nenek moyang mereka dengan dipimpin oleh anggota keret yang dianggap paling tua berdasarkan garis keturunan. • Jenis binatang laut yang dapat di sasi adalah lola, teripang dan piapia. Apabila jenis-jenis fauna laut tersebut tidak di-sasi maka siapa saja dapat mengambilnya; kecuali pada wilayah keret tertentu yang mempunyai hak sasi di daerah tersebut. • Penduduk Desa Dorehkar sangat mempercayai bahwa fauna laut ‘lola’ yang ada di karang-karang sekitar Dorehkar, khusus Pulau Dua, adalah milik Keret Mambrisau sehingga yang berhak mengambil hanya mereka yang berasal dari Keret mambrisau. • Mereka yang melanggar sasi akan mendapat musibah, misalnya ‘sakit’. Apabila orang tersebut ingin sembuh, dia harus mengakui perbuatan atau pelanggaran yang dilakukannya di gereja. Sumber :
34
Wawancara dengan Majelis Geraja Kristen Injili Papua di Desa Dorehkar
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
3.2.6. Pengetahuan Tentang Aturan Formal Dalam usaha untuk pengelolaan sumber daya laut yang akan lebih menguntungkan dan bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah di tingkat pusat maupun lokal telah menerbitkan beberapa peraturan. Di antaranya adalah peraturan mengenai pelarangan pengambilan batu karang dan penggunaan alat tangkap sumber daya laut yang dianggap merusak seperti bom, racun, pukat harimau atau trawl. Adanya aturan tersebut diketahui penduduk Desa Dorehkar berdasarkan informasi dari aparat desa maupun aparat pemerintah. Selain itu, pengusaha pengumpul yang berdomisili di Desa Dorehkar pun turut aktif dalam menginformasikan aturan pemerintah namun sangat terkait dengan kepentingannya. Misalnya, bila nelayan menggunakan sianida dalam penangkapan ikan akan berdampak terhadap tingginya resiko kematian sehingga mengakibatkan kerugian. Berdasarkan jawaban responden, pada umumnya (79 persen) mengetahui tentang adanya larangan penggunaan bom. Di antara yang mengetahui, 85 persen menyatakan setuju dengan adanya larangan tersebut. Adapun penduduk yang mengetahui larangan penggunaan sianida/racun untuk mengambil sumber daya ikan lebih rendah, yaitu sekitar 55 persen; di antaranya (75 persen) menyetujui adanya larangan tersebut. Bagi masyarakat Dorehkar yang mengungkapkan tidak setuju dengan adanya pelarangan-pelarangan dalam pengelolaan sumber daya laut tidak berarti setuju dengan dengan penggunaan bom atau sianida, namun lebih dikaitkan dengan persoalan ‘politik’. Kondisi ini disebabkan adanya penduduk yang masih apriori dengan kata ‘larangan pemerintah’. Apabila ada kata 'pemerintah' mereka langsung menyatakan tidak setuju. Dalam kaitannya dengan penggunaan bom dan sianida, masing-masing 64 persen dan 75 persen responden mengetahui bahwa pelanggar aturan tersebut akan mendapat sanksi hukuman. Namun mereka tidak mengetahui secara rinci bentuk jangka waktu hukuman atau sanksi yang akan diperoleh bagi pelanggarnya. Bahkan sebagian besar penduduk menentang penggunaannya dan sangat antusias untuk memberantas; terutama yang terjadi di Kepulauan Ayau. Aksi yang nyata dilakukan penduduk ketika seorang ‘bos’ perusahaan penangkap ikan yang menggunakan sianida untuk mengambil sumber daya laut diadili dan diusir dari perairan Kepulauan Ayau. Hal yang hampir sama juga dilakukan untuk pengguna bom yang diketahui oleh penduduk akan dikejar dan diusir dari perairan Ayau. Namun pengusiran terhadap pengguna bom sangat sulit karena dilakukan oleh nelayan dari luar secara sembunyi-sembunyi yang datang ketika penduduk sedang lengah.
35 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Ilustrasi 7: Kasus Pengguna Sianida Pernah terjadi ketika seorang ‘bos’ perusahaan ikan diadili di depan tetua adat menyangkal ketika didakwa melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan sianida. Untuk membuktikan bahwa cairan yang ditemukan oleh penduduk adalah racun sianida, maka sebagian cairan tersebut dimasukkan dalam gelas dan ‘bos’ tersebut disuruh meminumnya. Akhirnya dia mengaku menggunakan sianida karena disuruh oleh perusahaannya. Sebagai sanksi, dia diusir dan perusahaannya dibubarkan dari desa. Sumber : Wawancara dengan penduduk Desa Dorehkar Di sisi lain, meskipun penduduk menolak pemakaian sianida namun penggunaan racun dalam pengambilan ikan dan sumber daya laut lainnya cukup tinggi. Survei ini membuktikan, bahwa responden yang mengetahui adanya orang lain yang menggunakan racun sebesar 35 persen, sedangkan yang mengakui telah menggunakan racun selama mengambil sumber daya laut sekitar 23 persen. Racun yang digunakan berbentuk akar yang mempunyai kandungan racun disebut ‘akar bore’, yang telah digunakan masyarakat secara turun temurun. Menurut penduduk setempat kandungan racun dari akar bore tidak setinggi sianida sehingga tingkat kerusakan yang diakibatkannya relatif rendah, yang digunakan agar ikan menjadi pingsan. 3.3. Wilayah Pengelolaan dan Perubahannya. Wilayah pengelolaan sumber daya laut penduduk Desa Dorehkar telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini pada umumnya sangat berkaitan dengan kemampuan jangkauan penduduk terhadap suatu wilayah, penggunaan alat dan transportasi untuk melakukan kegiatan yang juga mengalami perubahan. Berdasarkan pengetahuan penduduk Desa Dorehkar, wilayah pengelolaan sumber daya laut mereka meliputi seluruh perairan Kepulauan Ayau. Penduduk Desa Dorehkar mempunyai akses untuk mengambil sumber daya laut yang ada di didalamnya tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Namun dalam kenyataannya, penduduk umumnya hanya melakukan pengambilan sumber daya laut di sekitar Desa Dorehkar. Penduduk yang melakukan pencarian ikan di perairan sekitar Pulau Runi dan lainnya hanya sebagian saja, terutama mereka yang mempunyai perahu motor. Kondisi ini karena pada umumnya penduduk Desa Dorehkar tidak mempunyai perahu motor, sehingga kemampuan jangkauan melaut terbatas. Mengacu kepada nilai-nilai yang ada di masyarakat, wilayah pengelolaan sumber daya laut adalah berdasarkan atas hak ulayat di mana batas kepemilikan berazaskan kelompok keret. Masing-masing keret mempunyai batas wilayah pengelolaan yang ditentukan berdasarkan oleh hak turun-temurun yang terbatas di sekitar Desa Dorehkar, yaitu sebelah utara bagian timur adalah hak Keret Imbir, sebelah Selatan Keret Umpes dan sekitar Pulau dua Keret Mambrisau. Khusus Keret Burdan, meskipun berdiam di
36
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Desa Dorehkar namun tidak mempunyai wilayah perairan di sekitar Dorehkar (lihat Peta 3: Sketsa pemahaman masyarakat tentang wilayah pengelolaan SDL). Berdasarkan batasan adat, kelompok Keret Burdan mempunyai wilayah pengelolaan di Desa Meosbekwan, sedangkan di Desa Dorehkar dianggap sebagai pendatang. Pada awal-awal adanya batasan wilayah ini terlihat secara jelas pada setiap kelompok. Setiap anggota keret lain yang akan mengambil sumber daya laut di wilayah yang bukan haknya harus meminta izin pada ketua keret dari wilayah yang bersangkutan. Namun saat ini praktek tersebut sudah tidak dijalankan lagi dan setiap penduduk dapat mengambil sumber daya laut di sekitar Desa Dorehkar, kecuali untuk sumber daya laut yang masuk dalam sasi. Hal ini mengindikasikan, bahwa pengelolaan wilayah yang mulanya berdasarkan atas hak ulayat telah bergeser pada sistim ‘open acces ’.
Ilustrasi 8: Pembagian wilayah kerja setiap keret di Desa Dorehkar • Wilayah karang sekitar Pulau Meosmandum adalah Keret Imbir dan Keret Rumbewas; • Wilayah karang sekitar Pulau Urbabo (Pulau Dua) adalah Keret Mambrisau; • Wilayah karang sekitar Pulau Meosbekwan adalah Keret Burdan. Sumber : Wawancara dengan Penduduk Desa Dorehkar Pengelolaan wilayah dan sumber daya laut yang cenderung ‘open acces’ ini pada kenyataannya masih menimbulkan persengketaan di antara penduduk. Pada saat penelitian ini ada sebagian wilayah Kepulauan Ayau (Pulau Dua) yang menjadi persengketaan, yaitu antara penduduk Desa Dorehkar dan Desa Yenkawir. Penduduk Yenkawir saat ini tidak mempunyai akses atas sumber daya laut maupun darat di Pulau Dua, meskipun secara geografis letak Pulau Dua ada di wilayah Desa Yenkawir. Kondisi ini tercipta karena Pulau Dua menurut batas adar merupakan hak milik keluarga Keret Mambrisau yang bertempat tinggal di Desa Dorehkar. Karena itu hanya penduduk Desa Dorehkar atas persetujuan Keret Mambrisau yang mempunyai akses untuk mengambil hasil laut dari pulau tersebut. Kepemilikan ini berdasarkan atas hak turun- temurun, karena keluarga Mambrisau diakui sebagai orang pertama yang telah menempati atau mengelola pulau tersebut. Penduduk Yenkawir menuntut, bahwa mereka juga berhak atas pulau tersebut atas dasar letak geografis Pulau Dua. Dikhawatirkan jika masalah ini tidak diselesaikan, maka pada masa yang akan datang akan terjadi konflik yang lebih terbuka antara penduduk Dorehkar dan Yenkawir. Dalam melihat asal mula persengketaan wilayah Pulau Dua, tampaknya ada dua persepsi yang muncul di tengah masyarakat. Pendapat pertama, persengketa dimulai dengan adanya pemekaran Desa Dorehkar menjadi tiga desa yaitu Dorehkar, Yenkawir dan Meosbekwan pada tahun 1992. Karena pemekaran desa, penduduk Yenkawir terpisah dari penduduk Dorehkar dan tidak lagi mempunyai akses terhadap Pulau Dua. Pendapat kedua, sebelum Desa Dorehkar dipecah telah terjadi konflik antara keret yang sekarang tinggal di Desa Dorehkar dan keret di Desa Yenkawir tentang pengelolaan 37 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Pulau dua. Untuk menghidari konflik yang terjadi secara terus menerus di dalam satu desa, maka desa tersebut dipecah sesuai dengan pengelompokan keret-keret. 3.4. Teknologi Pengelolaan Teknologi pengelolaan sumber daya laut di Desa Dorehkar telah berkembang, baik dilihat dari alat tangkap yang digunakan maupun teknologi pengelolaan pasca penangkapan. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan perdagangan ikan hidup di pasar internasional yang ditandai dengan kedatangan pengusaha luar dari dalam negeri maupun luar negeri di sekitar Kepulauan Ayau. Adanya peningkatan terhadap permintaan jenis ikan tertentu seperti kerapu, napoleon dan lobster dalam keadaan hidup berdampak terhadap perubahan teknologi yang lebih memadai dan memungkinkan untuk pengambilan ikan sesuai dengan permintaan pasar. Namun demikian, penggunaan alat tradisional atau sederhana masih digunakan oleh nelayan Dorehkar karena umumnya mereka mengambil ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ilustrasi 9: Teknologi Tradisional Biasa Digunakan Nelayan Dorehkar •
Tombak (kelawai) dan panah untuk menangkap ikan;
•
Arsyam , yaitu kayu yang ujungnya runcing untuk menangkap cacing dan gurita;
•
Ladum aryam, yaitu tali dengan mata kail yang diberi pemberat untuk menangkap tiram di dasar laut;
•
Linggis untuk mencukil lola dari karang;
•
Senapan molo dan kacamata molo untuk menangkap lobster.
Sumber : Wawancara mendalam dengan Penduduk Desa Dorehkar Perkembangan teknologi penangkapan ikan yang pesat mulai terjadi sekitar tahun 1992, yaitu bersamaan dengan masuknya pengusaha ikan dari dalam dan luar negeri serta pedagang ikan dari Menado di wilayah Kepulauan Ayau. Perusahaan besar dari Hongkong, selain mengumpulkan ikan dari nelayan juga melakukan penangkapan di Kepulauan Ayau. Pengusaha dan nelayan pendatang tersebut dalam melakukan kegiatannya menggunakan teknologi penangkapan baik yang tidak atau merusak lingkungan (bom, sianida, pukat harimau). Untuk masyarakat nelayan Dorehkar, pengetahuan teknologi penangkapan ikan dan pemeliharaan hasil tangkapan diperoleh dari nelayan pedagang asal Menado. Misalnya cara penangkapan ikan dengan menggunakan alat penyelam seperti kacamata molo, ruang untuk meletakkan ikan di perahu setelah ditangkap agar tetap hidup 2 dan pengelolaan pasca penangkapan. Kacamata molo3, yaitu alat menyelam mirip kaca 2
Untuk menampung ikan di perahu, badan perahu dibagi tiga bagian. Bagian tengah disekat (seperti bak) untuk menampung tangkapan ikan, bagian samping diberi lubang yang berfungsi untuk menampung air laut.
3
Kacamata molo adalah kacamata untuk menyelam hasil buatan sendiri yang merupakan tiruan dari kacamata nelayan pendatang. Kacamata ini terbuat dari plastic tebal, berbentuk lonjong, bingkai dari kayu atau fiberglass yang diperoleh
38
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
mata para penyelam namun dibuat secara sederhana yang digunakan untuk mengambil ikan atau sumber daya laut lainnya. Sebelum pengenalan teknologi ini, nelayan ketika menyelam tidak pernah menggunakan kacamata. Menggunakan kaca mata ini, penyelam dapat melihat keadaan di laut dan dapat melihat dengan jelas sasaran yang akan ditangkap untuk jangka waktu relatif lama, yakni sekitar lima menit. Dalam pengelolaan pasca penangkapan, khusus nelayan penangkap lobster, ikan kerapu dan ikan napoleon akan membuat tempat penampungan hasil tangkapan agar tetap hidup sampai dijual ke pengumpul. Alat pengumpul ikan kerapu dan napoleon disebut apolo karena bentuknya seperti pesawat apolo. Alat ini berbentuk keramba kecil yang dibuat dari bekas jaring murami, kemudian diberi bingkai kawat. Setiap nelayan penangkap sumber daya laut tersebut mempunyai apollo yang diletakkan di tepi pantai, yaitu pada bagian yang agak dalam agar bila air laut surut apolo tersebut masih teredam di air. 3.5.
Hubungan Kerja Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut
Dalam pengelolaan sumber daya laut dapat dilihat dari tiga kegiatan, yaitu hubungan kerja dalam penangkapan ikan, pengelolaan pasca panen dan pemasaran. Sistim hubungan kerja yang terjadi pada penduduk Desa Dorehkar pada ketiga kegiatan tersebut umumnya masih sangat sederhana. Seperti usaha penangkapan ikan masih dilakukan atas dasar kekeluargaan, baik bersifat keluarga batih maupun keluarga luas yang masih dalam lingkup satu fam atau keret. Hubungan yang bersifat keluarga batih di mana kegiatan penangkapan ikan dilakukan hanya melibatkan bapak, ibu dan anak anak yang belum menikah. Pada kenyataannya tidak harus melibatkan semua anggota keluarga, karena sangat tergantung dengan kapasitas perahu dan kesibukan masing-masing anggota. Dalam kegiatannya, kelompok ini tidak selalu bertujuan komersial karena hasil tangkapannya tidak hanya untuk dipasarkan namun juga untuk dikonsumsi. Cara penjualan hasil tangkapan dilakukan secara bersama antara suami-isteri, dan hasil penjualan diterima oleh isteri untuk kebutuhan keluarga. Berbeda dengan keluarga luas yang melibatkan kerabat dekat dalam satu keret; umumnya hanya dilakukan oleh laki laki sebanyak empat atau enam orang. Hubungan kerja ini sangat egaliter, artinya masing-masing anggota kelompok yang terlibat mempunyai hak dan kewajiban yang sama baik dalam pembagian kerja maupun pembagian hasil penjualan. Pada umumnya hasil yang didapat akan dibagi rata pada semua peserta yang terlibat setelah dikurangi dengan modal yang telah dikeluarkan, yaitu untuk sewa perahu dan kebutuhan selama melaut. Bentuk hubungan ini umumnya ditemukan pada bentuk usaha yang bersifat komersil seperti penangkapan udang, ikan napoleon dan kerapu. Jangkauan wilayah penangkapan relatif jauh dan memerlukan waktu cukup lama, yaitu sekitar empat sampai lima hari, sehingga akan menggunakan perahu motor. Pada waktu pemasaran terjadi pola hubungan antara penjual dan pembeli di mana penjual umumnya adalah nelayan, sedangkan pembeli adalah pengusaha pengumpul. Dalam pemasaran hasil ini terdapat ketimpangan hubungan kerja antara nelayan dan pengusaha pengumpul. Penjual, yang juga nelayan umumnya adalah bekas penampung air yang telah rusak, antara bingkai dan kaca dijalin dengan kawat halus. Walaupun dipakai terasa keras karena kaku, namun bagi para penyelam terasa bermanfaat pada waktu menyelam.
39 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
sebagai penentu harga tidak mempunyai posisi tawar karena harga ditentukan oleh pembeli yaitu pengusaha pengumpul yang satu-satunya di Desa Dorehkar. Situasi ini menunjukkan, bahwa nelayan tidak memegang hak monopoli karena tidak punya pilihan kepada siapa hasil sebagai nelayan dijual. Di samping itu, letak Desa Dorehkar yang terisolir, transportasi yang sulit, dan kurangnya informasi tentang harga ikan di pasaran domestik dan internasional, membuat nelayan harus menerima kenyataan sebagai kelompok yang tidak berdaya dalam menjual hasil tangkapannya. Kegiatan yang menganut pola hubungan kerja antara buruh dan majikan hanya ditemukan pada perusahaan pengumpul ikan yang memperkerjakan dua orang tenaga setempat sebagai buruh penjaga keramba dan penimbang ikan. Kedua orang ini mendapat gaji sebesar Rp. 600.000,- per bulan. Menurut pekerja ini, gaji yang yang diterima tidak memadai bila dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan karena mereka setiap hari berada ditengah laut untuk menjaga dan menimbang ikan. Rendahnya pola hubungan yang bersifat buruh dan majikan karena kegiatan ekonomi yang ada di Desa Dorehkar masih terbatas pada penangkapan ikan yang dilakukan secara tradisional, sedangkan kegiatan usaha seperti industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja belum ada. Namun pada akhir-akhir ini pola hubungan kerja nelayan di Dorehkar menunjukkan pergeseran dari sistim kekeluargaan dan hubungan antara penjual dan pembeli cenderung ke arah hubungan kerja antara buruh dan majikan. Kondisi ini dipengaruhi oleh permintaan ikan hidup di pasar internasional sehingga permintaan akan hasil sumber daya laut meningkat. Oleh karena itu, pengusaha ikan memanfaatkan kondisi tersebut untuk mengumpulkan ikan semaksimal mungkin. Apabila pengusaha pengumpul dapat mencapai target, yaitu sekitar lima ton ikan (Kerapu dan Napoleon) dalam tiga bulan maka pengumpul dapat langsung mengirimnya keluar negeri tanpa melalui pengusaha ekspor yang berada di Kota Sorong. Kapal pengangkut ikan akan mengambil hasil tangkapan tersebut untuk langsung dibawa ke Hongkong. Agar dapat memenuhi kebutuhan Pasar Hongkong, pengumpul mulai mengembangkan wilayah penangkapan ikan sampai ke Pulau Mapia di perairan Biak, yang diinformasikan masih banyak dijumpai ikan Napoleon dan Kerapu. Pengusaha pengumpul bekerja sama dengan aparat desa untuk merekrut kelompok nelayan yang mempunyai perahu motor, baik dari Desa Dorehkar atau desa-desa lain di sekitarnya agat bergabung melakukan penangkapan ikan di Pulau Mapia. Kepemilikan perahu motor salah satu syarat bagi nelayan yang hendak bergabung karena pengusaha tidak menyediakan pada saat nelayan melakukan kegiatan di wilayah tangkapan. Biaya perjalanan dari Dorehkar ke Pulau Mapia, sekitar 50 juta rupiah, ditanggung oleh pengusaha pengumpul yang telah diperhitungkan dengan keutungan yang akan diperoleh. Rincian biaya adalah untuk sewa kapal dari Dorehkar ke Kepulauan Biak 8,5 juta rupiah dan uang muka untuk nelayan yang terlibat. Aktivitas ini baru pertama kali dilakukan oleh kelompok nelayan di Kepulauan Ayau, khususnya untuk nelayan Desa Dorehkar, yang dimulai pada akhir September untuk sekitar dua bulan. Ada sepuluh kelompok nelayan yang bergabung dengan total nelayan sekitar duapuluh orang. Pola hubungan kerja antara nelayan dan pengusaha pengumpul tidak lebih sebagai hubungan penjual dan pembeli. Perbedaannya antara yang umum terjadi di pulau adalah diberlakukannya sistim uang muka bagi nelayan yang terlibat. Hal ini terjadi dengan pemikiran nelayan akan melaut untuk waktu lama, sehingga perlu mempersiapkan dana untuk keluarga yang ditinggalkan dan kebutuhan diperjalanan seperti beras dan rokok karena tidak disiapkan oleh pengusaha. beras, 40
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
rokok dan keperluan lainnya. Penerimaan uang muka akan diperhitungkan pada saat nelayan menerima hasil selama melaut bersama, yaitu total pendapatan dipotong dengan penerimaan uang muka pada saat akan berangkat. Rangkaian hubungan kerja seperti yang diterapkan pada kelompok ini, pada masa datang mungkin akan berkembang menjadi semacam hubungan kerja pola ‘patron klien’. Pada sistim ini, nelayan akan sangat terikat kepada pengusaha karena telah diberi modal awal seperti uang muka atau pemberian hutang lainnya. Pengusaha secara tidak langsung mempunyai hak monopoli atas apa yang dihasilkan oleh nelayan. Pada saat ini, pola hubungan kerja yang ada masih terbatas sebagai penjual dan pembeli, namun dengan diberi uang muka penjual telah mempunyai ikatan dengan pembeli. Kondisi ini tentu bila dibiarkan berkembang akan mengurangi kemerdekaan para nelayan. Para nelayan tersebut selamanya akan menjadi buruh karena sulit keluar dari ikatan pengusaha yang telah memberi pinjaman uang sebagai ikatan tidak tertulis. Pada akhirnya, nelayan Dorehkar tidak lagi menjadi tuan rumah dihalamannya sendiri, tidak mempunyai daya tawar dalam pemasaran dan harga maupun ikatan pekerjaan.
Ilustrasi 10: Pola Kerja Nelayan di Pulau Mapia • Masing-masing kelompok nelayan, setiap hari menangkap ikan menggunakan perahu motornya yang ditarik dengan kapal lebih besar dari tempat berlabuh ke lokasi penangkapan. Ini dilakukan untuk menghemat waktu dan tenaga para nelayan; • Kegiatan penangkapan ikan dilakukan satu hari, dan ketika kembali ke lokasi pengumpulan juga ditarik kembali oleh kapal pengantar; • Hasil tangkapan dikumpulkan dan ditampung di kapal lebih besar, dan setiap kelompok mempunyai tempat pengumpulan ikan; • Satu minggu sekali hasil tangkapan tersebut ditimbang, dan nelayan akan menerima uang hasil tangkapan setelah diperhitungkan dengan uang muka yang telah diterima. Sistim ini sama dengan yang dilakukan ketika di Desa Dorehkar, karena pengusaha masih khawatir ikan-ikan yang diambil mati sehingga dapat merugikan mereka. Sumber: Wawancara mendalam dengan Penduduk Desa Dorehkar
41 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab IV Produksi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut Usaha penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat Dorehkar sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar, yang cenderung kepada jenis sumber daya laut tertentu seperti ikan Kerapu, Napoleon dan Lobster. Sedangkan jumlah produksi tangkapan dipengaruhi oleh musim, kondisi sumber daya yang ada, serta alat tangkap yang digunakan. Bagian ini akan mengemukakan hal-hal yang berkaitan dengan produksi dan pengelolaan sumber daya laut, yang terdiri dari hasil produksi, teknologi penangkapan, pemanfaatan hasil dan pengelolaan pasca panen. 4.1. Produksi Sumber Daya Laut dan Teknologi Penangkapan Kepulauan Ayau masih mempunyai potensi sumber daya laut yang tinggi. Hal ini ditandai dengan masih mudahnya nelayan untuk memperoleh ikan atau sumber daya laut lainnya yang sangat beraneka ragam. Ikan dapat diperoleh sepanjang tahun meskipun pada musim paceklik (musim angin kencang) hasil yang diperoleh nelayan mengalami penurunan. Keanekaragaman ini dapat dilihat dari berbagai jenis kerang yang terdampar di tepi pantai. Kerang-kerang yang masih hidup, misalnya pia-pia diambil untuk konsumsi keluarga sehari hari. Banyaknya pia-pia terlihat dari kecepatan seorang anak perempuan mengumpulkannya, yaitu untuk sekitar 1,5 kilogram hanya diperlukan waktu sekitar 30 menit. Selain itu, bermacam jenis biota laut seperti yang tercantum dalam buku panduan COREMAP dapat ditemukan di perairan Kepulauan Ayau. Jenis produksi sumber daya laut yang dihasilkan oleh nelayan Dorehkar dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu Ikan karang dan ikan permukaan. Adapun ikan karang yang ditangkap oleh nelayan meliputi ikan Kerapu, ikan Napoleon, ikan Kakap, Lobster, Lola, Gurita, sedangkan Ikan permukaan adalah Lencam (Gutila), ikan Bobara (Kuwik), ikan Kakatua, ikan Belanak (Innas), ikan Kulit Pasir (Uma), ikan Samandar (Innowes) Sumber daya laut lain yang juga diproduksi oleh penduduk adalah cacing laut dan pia pia. Berbagai macam produksi sumber daya laut di sekitar perairan Desa Dorehkar, ada tiga jenis sumber daya laut utama yang menjadi andalan nelayan Dorehkar yaitu ikan Kerapu, ikan Napoleon dan Lobster (udang batu). Ketiga jenis sumber daya laut tersebut dianggap penting, masih tersedia cukup banyak, dapat diperoleh sepanjang tahun, sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan dapat dijadikan sumber kehidupan bagi masyarakat Dorehkar. Di luar ketiga jenis tersebut, sumber daya laut lain yang bernilai tinggi adalah teripang, lola dan pia-pia. Jenis ikan lainnya seperti ikan Bobara, ikan Kakaktua, ikan Samandar, ikan Kulit Pasir dan Bolana merupakan hasil tangkapan sampingan untuk diproduksi menjadi ikan asin dan ikan asap. Pada awalnya kedua produksi ini sebagai simpanan makanan bila tidak melaut karena cuaca buruk, namun akhir-akhir ini berkembang untuk dipasarkan. 43 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Sumber daya laut lain yang dapat dijadikan sumber ekonomi keluarga adalah rumah/kulit berbagai jenis kerang sebagai bahan dasar pembuat pajangan rumah atau permainan anak-anak. Namun industri rumah tangga dari bahan kulit kerang ini belum diusahakan secara professional walaupun bahan baku cukup tersedia. Produksi ikan sangat dipengaruhi oleh musim, dan meningkat sekitar dua kali lipat bahkan lebih pada bulan September sampai bulan Desember (masa panen nelayan). Pada bulan-bulan tersebut nelayan berusaha keras untuk mendapatkan ikan lebih banyak, yang hasilnya digunakan sebagai tabungan untuk masa paceklik. Seperti diungkapkan seorang informan: “…….saya melaut 5 hari dalam seminggu, berangkat pagi sebelum matahari terbit, pulang kira-kira pukul dua siang menggunakan perahu semang (perahu tanpa motor). Bulan ini (Agustus 2001), ratarata saya dapat mengumpulkan ikan Kerapu sekitar 7 kilogram dan ikan Napoleon 1 atau 2 ekor sehari. Bulan September nanti musim panen ikan, saatnya mendeapat ikan lebih banyak, biasanya meningkat sampai 2 kali lipat. Biasanya saya dapat ikan Kerapu sampai 20 kilogram sehari. Uang hasil penjualan ditabung untuk mengirim uang kuliah anak di Ujung Pandang”. Informasi yang pasti mengenai produksi sumber daya laut yang dihasilkan oleh Desa Dorehkar sulit diketahui, karena belum tersedianya data tertulis. Menurut pengusaha pengumpul yang merupakan satu satunya pembeli hasil tangkapan nelayan Desa Dorehkar mengatakan, bahwa pada bulan terakhir ini (masa paceklik) rata-rata pembelian ikan hidup dalam satu minggu terkumpul sekitar 700 kilogram, yang terdiri dari ikan Kerapu 600 kilogram dan ikan Napoleon 100 kilogram. Khusus untuk Lobster, dalam satu minggu diperkirakan menghasilkan sekitar 400 hingga 500 kilogram, yang dihitung berdasarkan jumlah armada penangkapan Lobster dikalikan dengan hasil yang diperoleh dalam satu minggu. Pada saat ini, Desa Dorehkar memiliki 20 perahu penangkapan Lobster, dan tujuh di antaranya adalah nelayan mingguan yang menggunakan perahu motor. Satu armada penangkapan dalam satu minggu dapat menghasilkan 40 hingga 50 kilogram, 13 perahu lainnya merupakan nelayan harian di mana satu hari dapat menangkap Lobster dua hingga tiga ekor (sekitar 3 kilogram per ekor). Perolehan produksi maupun pengolahan ikan sangat terkait dengan sistim teknologi yang digunakan. Makin tinggi teknologi yang digunakan, secara ekonomi produksi yang dihasilkan akan menunjukkan peningkatan. Teknologi penangkapan yang digunakan masyarakat Dorehkar masih tradisional dengan alat tangkap sederhana, walaupun pada beberapa jenis telah mengalami perkembangan. Perahu yang digunakan umumnya masih perahu tradisional yang terbuat dari kayu, disebut ‘semang’. Perahu ini umumnya belum dilengkapi dengan mesin, rata-rata hanya memuat dua sampai tiga orang karena tergantung dari ukuran perahu. Nelayan yang menggunakan perahu motor masih terbatas. Jumlah perahu yang menggunakan mesin hanya delapan buah, yang umumnya digunakan untuk untuk menangkap Lobster dengan kekuatan mesin 15 sam pai 25 PK (delapan orang) dan satu yang menggunakan mesin 40 PK. Kapal motor ini umumnya dapat memuat empat sampai lima orang. Terbatasnya
44
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
nelayan yang menggunakan perahu motor karena harganya terlalu mahal dan tidak terjangkau oleh penduduk. 1
Perahu Semang Beragamnya produksi sumber daya laut yang ada di perairan Kepulauan Ayau berpengaruh juga terhadap alat tangkap yang digunakan. Misalnya, tombak (kelawai) digunakan untuk menangkap ikan, arsyam digunakan untuk menangkap cacing, ladum aryam untuk menangkap tiram, dan linggis untuk mencongkel Lola. Jenis alat tangkap lain adalah pancing jaring (waring), jerat dan akar bore. Ikan yang ditangkap menggunakan tombak kondisinya mati, dan biasa digunakan untuk konsumsi rumah tangga atau sebagai kegiatan pasca panen untuk diolah menjadi ikan asin dan ikan asap. Sedangkan teknologi penangkapan dengan jaring, jerat dan akar bore digunakan untuk memperoleh produksi ikan dalam keadaan hidup seperti ikan Kerapu, ikan Napoleon dan Lobster. Teknologi Penangkapan Lobster Nelayan Dorehkar ada yang menangkap Lobster setiap hari dan ada pula dalam jangka satu minggu. Kegiatan harian dilakukan sekitar Pulau Dua yang dikenal banyak ditemui Lobster, yaitu antara jam 8.00 sampai jam 17.00 dengan menggunakan perahu semang tanpa motor. Adapun nelayan mingguan melakukan penangkapan secara berkelompok, yaitu empat hingga lima orang dengan menggunakan perahu motor. Jangkauan wilayah mereka lebih luas yang meliputi Pulau Dua dan sekitarnya. Kegiatan penangkapan dilakukan malam hari, sehingga mereka menginap tiga hingga empat hari di Pulau Dua. Usaha penangkapan Lobster ini membutuhkan biaya yang cukup besar, terutama kelompok nelayan yang melaut secara mingguan. Total pengeluaran mulai dari awal kegiatan sampai pemasaran di Kota Sorong sekitar 2 juta rupiah dengan perincian: • • •
Solar sekitar Rp. 300.000,- sampai Rp. 400.000,- (1 liter Rp. 1.000,-); Sewa perahu Rp. 700.000,- (1 hari Rp. 100.000,-); Batu batrei Rp. 90.000,- (2 kardus);
1
Penghasilan yang diperoleh terlihat relatif tinggi namun karena banyak digunakan untuk keperluan adat seperti mas kawin, biaya pesta perkawinan dan biaya sekolah anak di kota, maka penduduk sulit untuk dapat membeli perahu motor
45 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
• •
Kebutuhan makan Rp. 200.000,- (beras, rokok, korek api, bumbu masak); Sisanya biaya hidup ketika memasarkan di Kota Sorong.
Kelompok nelayan yang melaut untuk waktu satu minggu ini diperkirakan mendapat hasil kotor sekitar 6 juta rupah. Setelah dipotong dengan pengeluaran selama melaut, kelompok ini memperoleh hasil bersih sekitar 4 juta rupiah. Bila satu kelompok ada 5 orang, maka setiap orang akan memperoleh pendapatan Rp. 800.000,-. Cara penangkapan Lobster dengan menyelam untuk mengetahui lokasi banyak ditemukannya Lobster. Kemudian, di lokasi tersebut disebar akar bore sampai Lobster pingsan dan keluar dari persembunyiannya, sehingga mudah ditangkap. Bila penangkapannya tidak menggunakan akar bore, setelah lokasi persembunyiannya diketahui lalu dijerat pada bagian kaki depan Lobster dengan menggunakan alat penjerat yang disebut Denm Amos (jerat udang). Penggunaan alat ini agar hasil yang diperoleh sesuai dengan permintaan pasar, yaitu tidak dalam kondisi sudah mati.
Jerat Udang (Denm amos)
Selain kedua alat tersebut, digunakan pula kacamata molo dan senter. Kacamata molo merupakan alat bantu penyelam yang berfungsi agar kondisi dalam laut dapat terlihat dengan jelas, sehingga si penyelam dapat bertahan selama lima menit di dalam air. Alat ini sangat membantu mereka dan berpengaruh terhadap produksi Lobster yang dihasilkan nelayan. Hal ini karena nelayan Dorehkar belum menggunakan teknologi penyelaman yang ‘canggih’ seperti kompresor. Sedangkan senter berfungsi sebagai penerang pada saat mencari lokasi tempat udang bersembunyi; terutama nelayan yang menangkap Lobster malam hari. Lobster yang telah ditangkap sebelum dibawa ke Kota Sorong dipelihara pada box yang terbuat dari fibreglass. Cara ini biasanya digunakan oleh nelayan yang menangkap Lobster setiap hari, dan setelah dianggap cukup baru dibawa ke pembeli di Kota Sorong. Sistim ini juga berlaku bagi nelayan yang mencari Lobster secara mingguan, namun setelah empat sampai lima hari dari tempat penangkapan langsung ke Sorong. Hal ini karena Lobster hanya dapat bertahan sampai empat atau lima hari di dalam box.
46
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Ilustrasi 11 : Cara Penangkapan udang Lobster, Lola dan Teripang : • Alat yang digunakan adalah kaca molo, kalawai (tombak), senapan molo, arsyam, sarung tangan, ladum anyam, jepit dan senter. • Penangkapan udang dilakukan pada malam hari dengan menggunakan senter panjang oleh nelayan laki-laki. • Khusus udang lobster, untuk mendapat nilai tinggi harus ditangkap hidup-hidup karen pembeli atau pengumpul mengharapkan hidup. Karena itu dalam penangkapan 1/3 dari perahu ada yang dilubangi untuk meletakan udang agar tetap segar ketika dibawa ke Ota Sorong. • Lola dan Teripang banyak terdapat di karang-karang tertentu, yaitu di sebelah utara Pulau Runi sampai ke Pulau Urbabo (Pulau Dua) milik Keret Mambrisau. Kegiatan ini juga dilakukan oleh nelayan laki-laki dari keret tersebut yang memiliki sasi pengambilan SDL di pulau tersebut. Sumber: Wawancara mendalam dengan penduduk Desa Dorehkar Teknologi Penangkapan Ikan Kerapu dan Ikan Napoleon Penangkapan ikan Kerapu dan ikan Napoleon biasanya dilakukan dengan menggunakan perahu semang tanpa motor, sehingga jangkauan lokasi tangkapan terbatas di daerah karang sekitar Desa Dorehkar. Penangkapan dilakukan setiap hari, yaitu berangkat pagi hari sekitar pukul 05.00 dan kembali pukul 14.00 WIT. Biaya yang dikeluarkan oleh nelayan untuk kegiatan ini relatif murah, yaitu sekitar Rp. 10.000,untuk sekali melaut untuk nelayan yang berangkat sendiri. Perincian biaya adalah: rokok setengah bungkus Rp. 3.000,-; beras ½ kilogram Rp. 2000,-; mata kail lima buah Rp. 5.000,- yang dapat digunakan untuk satu bulan. Beras dimasak di atas kapal untuk makan siang Teknologi yang digunakan dalam penangkapan jenis ikan-ikan ini masih tradisional karena mereka harus hati-hati agar tetap punya nilai bila dijual. Beberapa jenis alat penangkapan ikan ini adalah pancing kail, jerat, kacamata molo atau kompresor bagi yang memilikinya dan akar bore. Penduduk beranggapan, bahwa bila menggunakan akar bore tidak menyalahi hukum karena sudah digunakan sejak masa nenek-moyang mereka. Pancing digunakan oleh nelayan yang melaut sendiri, sedangkan jaring digunakan mereka yang melaut secara berkelompok dan paling sedikit dua orang. Satu orang bertugas sebagai penyelam untuk mencari lokasi ikan yang biasanya berkumpul dibawah karang. Hasil tangkapan ikan Kerapu dan ikan Napoleon tidak dapat langsung dijual kepada pengumpul setiap hari, karena harus disimpan dulu oleh para nelayan sekitar satu minggu. Ikan tersebut dipelihara dalam keramba yang disebut dengan Apollo, yang diletakkan di perairan sepanjang pantai dan danau. Sistim ini dilakukan sebagai satu syarat dari pembeli atau pengumpul yang menginginkan ikan diterima dalam keadaan hidup dan sehat. Syarat ini harus ditepati agar ikan-ikan tersebut mempunyai nilai tinggi
47 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
secara ekonomi, karena bila pengumpul langsung menerima akan mengalami kerugian cukup tinggi yaitu selama satu minggu sekitar 20 persen. Permasalahannya, karena nelayan Dorehkar masih menggunakan alat tangkap yang sederhana seperti racun (akar bore). Tingkat kematian ikan makin bertambah karena teknologi penyimpanan ikan masih sederhana dan tidak adanya pengobatan bila ikan yang dipelihara sakit. Kondisi ini menyebabkan kerugian bagi nelayan yang berlanjut terhadap pemborosan sumber daya laut yang ada.
Ilustrasi 12: Cara Penangkapan Ikan Napoleon dan Ikan Kerapu • Alat yang digunakan adalah pancing kail nomor 60 dan 70, alat selam tradisional kaca molo atau kompresor; • Mula-mula penyelem mengintip ikan Napoleon atau ikan Kerapu dari atas permukaan laut dengan menggunakan pendah. Caranya, yaitu dengan melempar batu agar ikan tersebut takut dan masuk ke dalam celah-celah batu (lubang karang). Sementara itu penyelem menyuruh orang yang ada di atas semang (perahu) untuk menyiapkan akar bore (racun tradisional); • Penyelam membawa akar bore, menyelam menuju karang dan dimasukkan ke dalam lubang ikan tersebut. Ikan menjadi pusing kemudian keluar dari lubang karang (bosen), sehingga mudah ditangkap. Setelah ikan sadar lalu diangkat dan diletakkan pada tempat khusus di perahu yang diberi air agar ikan tetap hidup seperti semula. Penyelam yang menggunakan kaca molo umumnya dapat bertahan di dalam laut antara 5 – 10 menit.; • Setelah tiba di desa, ikan -ikan diletakkan pada tempat khusus seperti keramba kecil di sekitar danau yang disebut Appolo, yaitu sekitar satu minggu. Fungsi tempat sementara ini karena pengumpul tidak mau mengambil resiko bila ikan langsung diberikan padanya, karena takut ikan-ikan tersebut mati sebelum dijual ke importir ikan.
Sumber: Wawancara mendalam dengan pendudu k Desa Dorehkar 48
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Alat yang dipakai oleh para nelayan Dorehkar terlihat masih sederhana, namun tidak berarti alat tersebut ramah terhadap terumbu karang.berdasarkan pernyataan para informan, beberapa alat-alat yang dianggap dapat merusak terumbu karang adalah : •
Linggis, alat ini biasa digunakan untuk mencukil Lola yang menempel di karangkarang. Ketika digunakan untuk mengambil Lola, biasanya karang tempat Lola menempel juga terangkat.
•
Tokong, adalah kayu panjang yang digunakan untuk menjalankan perahu ketika air surut. Alat ini juga dapat memecahkan karang.
•
Akar bore, adalah sejenis akar yang beracun digunakan untuk menangkap ikan Napoleon, ikan Kerapu dan Lobster. Penggunan racun ini dapat menyebabkan matinya ikan-ikan lain yang tidak menjadi sasaran nelayan, yang dengan sendirinya mengurangi sumber daya laut yang ada.
•
Alat-alat berbentuk runcing lainnya yang terbuat dari besi seperti kelawai. Alat ini biasanya dapat juga memecahkan karang yang ada disekitar tempat penangkapan atau pencarian ikan atau sumber daya laut lainnya.
Di samping teknologi tradisional, terdengar juga nelayan yang menggunakan bom atau potas/sianida/racun. Penggunaan bom dan potas biasanya digunakan oleh nelayan pendatang yang mencari ikan di perairan Kepulauan Ayau. Menurut nelayan Dorehkar, bahwa dalam satu minggu dapat terdengar suara bom antara satu sampai dua kali. Namun demikian, bila penggunaan bom dan potas oleh nelayan pendatang dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan teknologi penangkapan ikan ini juga oleh nelayan setempat. 4.2. Pengelolaan Pasca Panen Produksi sumber daya laut yang utama adalah sebagai komoditi untuk perdagangan, baik dijual dalam keadaan hidup maupun diproses menjadi ikan asin dan ikan asap. Jenis sumber daya laut utama yang diperdagangkan dan menghasilkan pendapatan penduduk cukup tinggi adalah ikan Napoleon, ikan Kerapu dan Lobster. Sedangkan jenis ikan lainnya seperti ikan Kakaktua, Gutila, Bobara, Kuek dan Bolana dipasarkan terlebih dahulu diproses menjadi ikan asin atau ikan asap. Kegiatan pasca panen ini biasa dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga, yang diawali untuk konsumsi keluarga dan berkembang sebagai produksi sampingan yang menhasilkan uang. Selain ikan, sumber daya laut lain yang diproses adalah cacing yang juga diasap. Masing-masing keluarga bias memproduksi ketiga jenis tersebut, yang dalam satu bulan paling sedikit menghasilkan ikan asin satu karung plastik (sekitar 30 kilogram) dan cacing asap sekitar 10 ikat (satu ikat 5 ekor). Khusus ikan asap, data
49 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
produksi dari pembuatan ini masih sulit diketahui karena tidak semua keluarga Desa Dorehkar membuat ikan asap. Teknik pengelolaan pasca panen ini bervariasi dan tergantung pada jenis ikan atau ekosistim lainnya. Pembuatan ikan asin maupun ikan asap langsung dikerjakan setelah dari laut. Kegiatan ini telah dilakukan cukup lama, terutama oleh para ibu, namun tidak ada perkembangannya sampai saat ini, sehingga hasilnya dapat dikatakan kurang memuaskan. Pada ilustrasi di bawah ini dapat diikuti cara pembuatan ikan asin dan ikan asap. Ilustrasi 13 : Cara pembuatan ikan asap • Ikan hasil tangkapan di bersihkan sisiknya dan dikeluarkan isi perutnya • Dicuci bersih didalam loyang atau bakul • Membuat revek (para-para) dari batang pohon kelapa atau pelepah kelapa • Ikan yang telah dicuci diletakkan diatas para –para • Membuat api dengan dibawah para para dengan menggunakan kayu bakar, tempurung kelapa atau sabut kelapa (api diusahakan tidak menyala hanya mengeluarkan asap). • Ikan didiamkan diatas para-para yang diasapi dari bawah tersebut hingga ikan kering Cara pembuatan ikan asin •
Ikan hasil tangkapan dicuci dan dibersihkan isi perutnya kemudian dibelah • Diasinkan dengan cara menaburkan garam kasar hingga rata atau dilakukan dengan cara meredam ikan yang telah dibersihkan kedalam air garam selama kurang lebih 10 jam. • Setelah ikan terasa asin kemudian dijemur. • Penjemuran pada umumnya diletakan diatas para-para atau digantung yaitu dengan mengikat kepala ikan dengan tali rafia dan digantungkan dipinggir rumah. • Setelah ikan menjadi kering kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik dan disimpan sambil menunggu waktu untuk dijual atau dijadikan alat untuk barter. Sumber: Wawancara mendalam dengan ibu-ibu di Desa Dorehkar Dalam pembuatan ikan asin tidak membutuhkan biaya terlalu mahal karena bahan dasar selain ikan adalah garam. Seperti kegiatan rumah tangga lainnya, tenaga yang digunakan untuk pembuatan tidak dihitung sebagai pengeluaran karena dilakukan oleh anggota keluarga. Pembuatan ikan asin sebanyak 50 kilogram dibutuhkan garam sebanyak lima kilogram, yaitu seharga Rp. 5.000,-. Begitupula dengan ikan atau cacing 50
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
asap tidak membutuhkan biaya yang langsung dikeluarkan. Bahan dasar selain ikan hanya kayu bakar yang dibutuhkan untuk membuat asap. Kayu tersebut tidak dibeli karena dapat diambil dari kebun sendiri. Selain ikan asap dan ikan asin penduduk, pada umumnya penduduk Desa Dorehkar juga memproduksi cacing laut (Insomen) kering. Kegiatan ini juga dilakukan oleh perempuan. Cacing ini juga diasap, yang sebelumnya dibersihkan dengan dibelah untuk mengeluarkan pasir yang ada dalam perut. Kemudian cacing tersebut dicuci sampai bersih dan diletakkan di atas para-para untuk diasap. Setelah kering, kemudian dijemur diatas para-para sampai kering dan diikat sebanyak lima ekor untuk siap dijual. Teknologi pasca panen dari ketiga jenis produksi tersebut yang masih sangat sederhana dan tidak mempunyai standar tertentu sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil dari produksi tersebut. Sistim pengeringan yang tidak sempurna membuat ikan asin tidak dapat disimpan untuk waktu yang lama. Sedangkan ikan asap mempunyai bentuk dan penampilan kurang menarik karena dipotong tidak beraturan dengan warna yang tidak rata atau terlihat seperti hangus. Begitupula dengan rasanya yang kurang ‘sedap’ dan ketika dimasak menjadi keras (liat). Untuk itu diperlukan penanganan lebih lanjut seperti penyuluhan bagaimana membuat ikan asin dan ikan asap yang baik. Hal ini mengingat produksi ikan asin dan ikan asap dapat dijadikan alternatif penghasilan penduduk bila terjadi penurunan produksi sumber daya laut utama. 4.3. Pemasaran Produksi Sumber Daya Laut Penduduk Desa Dorehkar dalam memasarkan produksi sumber daya laut bervariasi karena tergantung pada jenis produksinya. Untuk tiga jenis sumber daya laut utama, yaitu ikan Kerapu, ikan Napoleon dan Lobster dipasarkan dalam keadaan hidup khusus untuk komoditi ekspor. Sedangkan pada tingkat lokal terbagi dua, ada yang hidup dan ada yang telah diproses. Produksi yang hidup adalah Lobster yang dipasarkan ke restoran-restoran di Kota Sorong, sedangkan yang melalui pemrosesan (ikan asing, ikan asap, cacing asap) dipasarkan pada tingkat lokal di sekitar Distrik Waegeo, bahkan sampai di Kota Sorong. Teknik pemasaran yang dilakukan penduduk masih sangat sederhana. Ada perbedaan cara pemasaran sumber daya laut untuk ikan Kerapu dan ikan Napoleon dengan Lobster. Ikan Kerapu dan ikan Napoleon dijual kepada pedagang pengumpul yang bermukim di Desa Dorehkar, sedangkan Lobster dijual langsung oleh nelayan ke pengusaha atau eksportir di Kota Sorong. Perbedaan ini terjadi karena usaha penangkapan Lobster oleh nelayan Dorehkar belum berkembang, sehingga hasilnya belum memadai untuk diambil oleh pengusaha pengumpul. 4.3.1. Cara Pemasaran Ikan Napoleon dan Ikan Kerapu Ikan hasil tangkapan nelayan setelah dipelihara selama satu minggu dibawa ke keramba milik pedagang pengumpul untuk ditimbang, kemudian dikumpulkan dalam keramba yang ada di tengah laut. Pengumpul menerima ikan-ikan tersebut satu kali dlam seminggu. Pada umumnya penjualan dilakukan bersama-sama antara suami dan isteri. Pembayaran dilakukan secara tunai setelah ikan-ikan ditimbang, dan biasanya hasil penjualan tersebut diterima dan disimpan oleh isterinya. Tahap berikutnya, pengusaha pengumpul yang ada di desa akan menjual ikan Kerapu dan ikan Napoleon ke pengusaha yang mempunyai izin eksport, umumnya 51 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
adalah pengusaha yang berlokasi di Kota Sorong. Dalam satu bulan sekali, pengusaha dari Sorong mengirimkan kapal untuk mengambil ikan tersebut dan langsung dikirim ke Hongkong. Jual beli ikan ant ara pengusaha pengumpul di desa dan pengusaha eksportir ikan dilakukan melalui komunikasi radio, sehingga pengusaha pengumpul tidak selalu bertemu. Dalam penentuan harga ikan dilakukan secara sepihak oleh pedagang pengumpul, sehingga nelayan tidak mempunyai posisi tawar dalam penentuan harga. Nelayan hanya dapat menyetujui harga yang ditetapkan oleh pengumpul, yaitu dengan menggunakan nilai dollar. Ini juga diungkapkan seorang informan: “…….harga ikan disesuaikan nilai dollar, jika nilai dollar naik, maka pengumpul akan menaikkan harga ikan. Kalau dollar turun harga ikan juga turun. Tapi harga ikan jarang sekali naik, harga jual ikan kepada pengumpul sama saja, kadang-kadang seringnya turun”. Rendahnya posisi tawar nelayan antara lain disebabkan karena pedagang pengumpul merupakan satu satunya pembeli yang ada di desa sehingga nelayan tidak mempunyai pilihan lagi tempat untuk menjual hasil tangkapan ikan. Untuk menjual ikan ke pengusaha yang berada di Kota Sorong resiko yang ditanggung oleh nelayan cukup besar. Transportasi umum yang memadai untuk membawa ikan tidak tersedia, dan untuk menyewa kapal memerlukan biaya cukup tinggi serta sulit mendapatkannya. Selain itu, nelayan pada umumnya tidak mempunyai informasi mengenai harga komoditi ikan di pasaran domestik maupun di pasaran internasioanal. Berdasarkan pengalaman peneliti, sangat sulit untuk mengetahui harga ikan yang sebenarnya baik dari sisi pengusaha (importir ikan) maupun dinas kelautan. Pengusaha di Kota Sorong hanya dapat menginformasikan harga ikan. Apabila persediaan ikan dipasaran internasional melimpah, maka harga ikan cenderung mengalami penurunan atau sebaliknya (lihat Matriks 4.3.1 tentang harga tiga sumber daya laut). Matriks 4.3.1. Harga Penjualan Nelayan Desa Dorehkar Terhadap Tiga Jenis Sumber Daya Laut Per Kilogram NO 1. 2 3. 4. 5. 6. 7.
JENIS SUMBER DAYA LAUT Kerapu Tongseng Kerapu Seising baby Kerapu super Kerapu ukuran up Napoleon Baby Napoleon ukuran up Napoleon super
NILAI HARGA Rp. 20.000,Rp. 6.000, Rp. 12.000,Rp. 17.000,Rp. 30.000,Rp. 30.000,Rp. 120.000,-
KETERANGAN Semua ukuran 0,6 kilogram 0,6 - 1,5 kilogram > 1,5 kilogram
Sumber: Wawancara mendalam dengan penduduk Desa Dorehkar Dalam pemasaran produksi, meskipun nelayan tidak mempunyai posisi tawar dalam penentuan harga, tidak berarti para nelayan selalu menurut pada pengumpul. Nelayan mempunyai posisi tawar pada saat penimbangan ikan. Jika penimbangan ikan yang dilakukan oleh pengumpul tidak sesuai dengan timbangan yang dilakukan oleh nelayan, mereka akan memprotes kecurangan tersebut. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar nelayan telah mempunyai alat penimbang di rumah masing-masing. 52
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
4.3.2. Cara Pemasaran Lobster Rantai pemasaran Lobster sangat sederhana. Lobster yang telah ditangkap oleh nelayan yang bekerja secara harian akan mengumpulkannya pada pedagang pengumpul yang orang setempat. Jika lobster telah terkumpul sekitar 40 hingga 50 kilogram akan dibawa ke Sorong untuk dijual kepada pengusaha eksportir atau restoran. Pedagang pengumpul akan mendapat bagian 20 persen dari harga jual. Sistim ini berbeda dengan nelayan yang bekerja secara mingguan, di mana pemasaran umumnya dilakukan oleh mereka sendiri. Setelah hasil penangkapan selama lima hari terkumpul (sekitar 40 kilogram) langsung dibawa ke Sorong untuk dijual ke pengusaha eksportir. Pengusaha eksportir mengirim Lobster yang telah dibeli dari nelayan ke berbagai daerah di Hongkong. Pedagang di Hongkong kemudian yang mendistribusikannya ke restoran maupun pedagang ikan lainnya. Dilihat dari tingkat harga Lobster sangat bervariasi karena tergantung pada jenis dan berat Lobster tersebut. Jenis Lobster hias Rp. 200.000,- per kilogram; Lobster Emas Rp. 100.000,- per kilogram, Lobster jenis bambu Rp. 80.000,- sampai Rp. 90.000,- per kilogram dan udang batu Rp. 50.000,- per kilogram. 4.3.3. Cara Pemasaran Ikan Asin, Ikan Asap dan Cacing laut Ikan asin, ikan asap dan cacing laut hanya dipasarkan untuk kebutuhan masyarakat lokal 2 maupun domestik3. Ketiga jenis produksi tersebut pada umumnya dipasarkan langsung kepada konsumen oleh masyarakat Dorehkar, yang merupakan kegiatan perempuan. Cara pemasaran pada masyarakat lokal biasanya dilakukan dengan sistim barter, yaitu dengan cara menukar hasil produksi pasca panen laut dengan produksi pertanian yang tidak dapat dihasilkan di Desa Dorehkar. Antara lain tanaman yang menjadi alat barter ikan asin dan ikan asap adalah pokok sagu, sagu, pisang atau pelepah sagu. Satu pohon sagu ditukar dengan ikan asin lima ikat, yang mana harga satu ikat ikan asin (dua ekor) adalah Rp 5.000,-. Sistim ini biasanya dilakukan dengan penduduk yang ada di desa sekitar Dorehkar, misalnya dengan penduduk Kota Distrik Kabare yang terletak di Pulau Waigeo Utara. Pemasaran melalui cara barter telah mengalami penurunan sejak para nelayan berkonsentrasi untuk menangkap ikan Kerapu dan Napoleon, yang langsung dijual kepada pengusaha pengumpul di Desa Dorehkar. Kunjungan ke desa tetangga untuk menukar hasil laut dengan hasil pertanian mulai berkurang, yang dulu biasa dilakukan setiap tiga bulan sekali ke Kabare untuk menokok sagu. Pada saat ini bahkan terjadi sebaliknya, penduduk Desa Kabare datang untuk memasarkan hasil pertaniannya kepada penduduk Dorahker karena mereka lebih suka membeli sagu yang langsung dapat dimasak. Sistim pemasaran ikan asin, ikan asap dan cacing untuk kebutuhan domestik dipasarkan sendiri oleh penduduk Dorehkar ke Kota Sorong. Kegiatan ini terutama dilakukan oleh perempuan, dan mereka tinggal di kota Sorong sekitar dua minggu sampai satu bulan; tergantung dengan hasil dagangan yang dibawa. Mereka mendirikan tenda berwarna biru di pasar dekat pelabuhan perahu, yang dikenal dengan ‘tenda biru’. Penduduk desa yang tidak dapat memasarkan produksinya sendiri, pada umumnya
2
3
Pengertian lokal adalah desa-desa yang terletak di Pulau Waigeo Utara dan mempunyai penghasilan pokok dari pertanian. Domestik adalah penduduk yang berdiam di Kota Sorong dan sekitarnya.
53 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
menitipkan dengan teman untuk dipasarkan. Hasil penjualan dipotong sebesar 20 persen untuk ganti biaya transportasi. Harga penjualan ikan asin dapat dikatakan murah, yaitu Rp. 5.000,- untuk satu gantung yang berisi 2 ekor dengan berat sekitar 1 kilogram. Harga ikan asap sangat tergantung pada jenis ikan, sedangkan Gurita asap dijual Rp. 10.000,- per ekor dan Insomen Rp. 1.000,- per ikat dengan jumlah lima ekor. Usaha sumber daya laut ini kurang memberikan keuntungan yang memadai, karena hasil didapat sebagian besar habis untuk transport. Biaya tranport pulang-pergi dari Dorehkar ke Sorong Rp. 20.000,per orang menggunakan kapal umum/PELNI. Namun sebagian penduduk setiap bulan masih melakukan kegiatan pemasaran ke Sorong. 4.3.4. Cara Pemasaran Teripang, Lola dan Kerang-kerangan Produksi sumber daya lain yang mempunyai nilai ekonomi adalah Teripang, Lola dan Kerang kerangan yang biasanya digunakan untuk hiasan. Sistim pemasaran langsung ke Sorong, di mana Lola dijual kepada pedagang China yang akan mengeksport ke Itali sebagai bahan dasar pembuatan kancing baju. Sedangkan teripang dan kerang kerangan dijual bersama ikan asin dan ikan asap. Di antara ketiga sumber daya di atas, harga lola paling mahal yaitu Rp. 50.000,per kilogram. Harga ini telah mengalami penurunan karena setahun yang lalu harga lola dapat mencapai Rp. 150.000,- per kilogram. Sedangkan harga teripang sangat terkait pada permintaan; apabila tinggi maka harga menjadi naik. Satu teripang ditukar dengan minuman coca cola satu box sekitar Rp 30.000.-. Sedangkan harga kerang-kerangan relatif murah, yaitu satu bagian yang terdiri bermacam-macam rumah kerang dihargai Rp 2000,-.
54
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Bab V Pendapatan Dan Kesejahteraan Masyarakat Pada bab-bab sebelumnya secara umum telah digambarkan pola kehidupan masyarakat Desa Dorehkar, pengelolaan, dan produksi sumber daya laut. Bagian ini lebih berfokus kepada persoalan kesejahteraan penduduknya di tingkat rumah tangga. Untuk itu ada beberapa aspek yang dilihat, yaitu aspek pendapatan dan pengeluaran, strategi dalam pengelolaan keuangan, kondisi perumahan serta sanitasi lingkungan. Keempat aspek tersebut merupakan indikator utama yang dapat mewakili dan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. 5.1. Pendapatan dan Pengeluaran 5.1.1. Pendapatan Gambaran pendapatan rumah tangga penduduk Desa Dorehkar diperoleh berdasarkan besarnya upah yang diperoleh dari suatu kegiatan utama dalam sebulan terakhir. Pada umumnya, pendapatan utama rumah tangga penduduk hingga saat ini masih sangat terkait dari hasil laut, yaitu 89 persen mempunyai pekerjaan utama sebagai nelayan. Hal ini karena sumber daya laut yang ada di sekitar perairan Kepulauan Ayau masih menjanjikan bagi perekonomian masyarakat. Jenis pekerjaan di luar kegiatan laut adalah sebagai petani ladang sebesar 7,4 persen. Pada kegiatan ini, kontribusi terbesar diberikan oleh perempuan (87,5 persen) yang dianggap sebagai pekerjaan sampingan dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Tinggi rendahnya pendapatan nelayan Desa Dorehkar sangat dipengaruhi oleh arah angin yang melintasi Kepulauan Ayau, yaitu angin Barat Laut dan angin Selatan atau Utara. Apabila musim angin Barat Laut yang disebut musim ikan merupakan masa panen ikan bagi masyarakat, sehingga pada saat itu pendapatan rumah tangga cenderung mengalami peningkatan dibanding dengan musim-musim lainnya. Sedangkan pada musim angin Selatan atau Utara membawa kondisi cuaca yang sangat tidak baik untuk melaut, sehingga pendapatan cenderung mengalami penurunan. Kondisi ini memberikan pengaruh yang signifikan bagi besarnya pendapatan rumah tangga. Berdasarkan survei terhadap 100 rumah tangga memperlihatkan, bahwa pendapatan rumah tangga penduduk Desa Dorehkar sangat bervariasi dengan perbedaan yang mencolok, yaitu terendah kurang dari Rp. 100.000,- dan tertinggi mencapai 2,2 juta rupiah. Apabila dilihat dari distribusi pendapatan rumah tangga, lebih dari setengah rumah tangga (59 persen) memiliki pendapatan kurang dari rata-rata pendapatan rumah tangga di desa tersebut, yaitu Rp. 491.000,-. Mayoritas rumah tangga (54 persen) mempunyai pendapatan antara Rp. 200.000,- hingga Rp. 600.000,-, dan hanya 3 persen rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas 1,4 juta rupiah1.
1
Pada saat penelitian berlangsung, pendapatan yang diperoleh masyarakat adalah pendapatan pada masa paceklik (musim angin kencang) sehingga tingkat pendapatan tersebut relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan pada masa panen.
55 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Distribusi pendapatan rumah tangga secara terperinci dapat di lihat pada Tabel 5.1.1 di bawah ini : Tabel 5.1.1. Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Rumah Tangga pada Bulan Agustus 2001 Pendapatan Rumah Tangga Persentase Kurang dari 200 ribu 19,0 200 – 399 ribu 24,0 400 – 599 ribu 30,0 600 – 799 ribu 11,0 800 – 999 ribu 4,0 1.000 – 1.199 ribu 5,0 1.200 – 1.399 ribu 4,0 Lebih dari 1,4 juta 3,0 Total 100,0 Sumber : Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang COREMAP – LIPI, 2001 Perkembangan peningkatan pendapatan masyarakat diawali dengan semakin lancarnya transportasi yang menghubungkan desa ke Kabare atau Kota Sorong pada tahun 1984, dan masuknya pengusaha pengumpul hasil laut seperti pengumpul Ikan Kerapu dan Napoleon. Munculnya pengusaha ikan sebagai pengumpul hasil tangkapan nelayan di Desa Dorehkar membuka jalan bagi masyarakat untuk memasarkan hasil tangkapannya dalam bentuk ikan segar atau hidup. Faktor lain adalah meningkatnya pengetahuan nelayan tentang cara pengangkapan ikan secara efektif dan bernilai jual dari nelayan pendatang yang masuk Desa Dorehkar pada tahun 1988. Kedua faktor ini turut memicu peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat Desa Dorehkar, yang awalnya tidak mengetahui cara memperoleh uang sehingga lebih sering menggunakan sistem barter. Perobahan ini terlihat dalam lima tahun terakhir, di mana pendapatan rumah tangga cenderung mengalami peningkatan. Kondisi ini karena pada tahun 1995 masyarakat mulai mengenal jenis spesis lain yang bernilai jual tinggi, yaitu ikan Napoleon. Pengetahuan ini berdampak terhadap pengeksplotasian sumber daya laut secara besar-besaran dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan. Gambaran ini terungkap dari apa yang diucapkan oleh informan YI dan JM di bawah ini: “………kondisi masyarakat desa jauh lebih baik dibandingkan sebelum tahun 1984, yang dapat dilihat dari mulai banyaknya keluarga membangun kembali rumahnya menjadi tembok (permanen)”. “..…..kondisi ekonomi masyarakat Desa Dorehkar sekarang lebih baik dibandingkan dulu, semenjak perusahaan mulai datang”. Berdasarkan jenis armada yang digunakan, nelayan Desa Dorehkar dapat dibedakan menjadi dua yaitu nelayan pengguna semang dan nelayan pengguna perahu motor. Pada umumnya nelayan pengguna semang adalah nelayan yang khusus melakukan penangkapan ikan Kerapu. Dalam kondisi alam yang memungkinkan, para nelayan tersebut akan melaut setiap hari atau sepanjang tahun. Besarnya pendapatan 56
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
yang dapat diperoleh oleh seorang nelayan pengguna semang selama satu minggu berkisar antara Rp. 200.000,- hingga satu juta rupiah pada musim panen (hingga bulan Agustus), namun dalam kondisi sulit atau musim angin kencang minimal pendapatan yang diperoleh adalah sekitar Rp. 200.000,- per bulan. Berbeda dengan nelayan pengguna perahu bermotor, yang umumnya adalah nelayan penangkap Lobster di sekitar laut Kepulauan Ayau. Para nelayan ini melaut secara berkelompok; terdiri dari empat hingga lima orang. Di antara mereka ada yang menggunakan perahu anggota kelompok, namun ada pula dengan cara menyewa kepada nelayan lain atau penyewa perahu motor yang digunakan selama tiga hingga lima hari. Tarif sewa perahu tidak tetap karena berdasarkan kesepakatan antara penyewa dan pemilik. Pendapatan yang diperoleh nelayan berkelompok ini sangat tergantung dari keuntungan bersih yang diperoleh, yaitu total hasil penjualan setelah dikurangi dengan biaya operasional seperti sewa kapal/motor, bahan bakar dan pengeluaran untuk konsumsi selama melaut. Besarnya pendapat seorang nelayan dalam satu kali loading diperkirakan mencapai antara Rp. 700.000,- hingga Rp. 900.000,-. Besarnya proporsi pembagian pendapatan adalah sama untuk setiap anggota kelompok karena menganut sistem pemerataan dalam pembagian upah. Sistem ini berlaku karena pada kelompok nelayan di Desa Dorehkar tidak mengenal adanya struktur kerja yang dinamakan anak buah kapal (ABK) dan pemilik kapal. Setiap anggota kelompok memiliki status dan hak yang sama, mengikuti azas kerja sama dan gotongroyong. Keluarga nelayan yang juga memiliki mesin motor, umumnya memperoleh pendapatan rumah tangga lebih besar atau di atas rata-rata pendapatan rumah tangga, yaitu sekitar Rp. 600.000,- hingga satu juta rupiah. Tingginya pendapatkan ini karena selain memperoleh dari hasil laut, juga dari biaya sewa mesin motor. Dalam realita, penduduk Dorehkar yang mengaku mempunyai pendapatan tambahan dari sewa motor sangat terbatas karena untuk memiliki motor berkekuatan 15 Pk dibutuhkan modal awal yang cukup besar, yaitu sekitar 16 juta rupiah. Gambaran ini menunjukkan, bahwa nelayan yang memiliki perahu motor relatif mempunyai pendapatan lebih besar dibandingkan nelayan yang tidak memilikinya. •
Pendapatan dan Jumlah ART Bekerja
Pendapatan rumah tangga dalam studi ini dilihat dari total pendapatan anggota rumah tangga yang bekerja dalam satu bulan terakhir. Oleh karena itu, besarnya pendapatan rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dan besarnya upah yang diterima masing-masing anggota rumah tangga. Secara normatif, semakin banyak anggota rumah tangga yang berkerja akan meningkatkan besarnya pendapatan rumah tangga. Fenomena ini terlihat pula pada kehidupan masyarakat Dorehkar, bahwa dari 19 rumah tangga yang anggota keluarganya bekerja hanya satu rumah tangga memperoleh pendapatan kurang dari Rp. 200.000,-. Tingkat pendapatan akan terlihat lebih tinggi pada rumah tangga yang anggota keluarganya bekerja dua orang atau lebih. Di antara rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga bekerja lebih dari dua orang (27 rumah tangga), sebesar 74,1 persen mempunyai pendapatan di atas Rp. 600.000,-. Kondisi ini menggambarkan, bahwa banyaknya jumlah anggota rumah tangga yang bekerja berkorelasi langsung dengan besarnya pendapatan rumah tangga (lihat Tabel. 5.1.2)
57 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Tabel 5.1.2. Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan dan Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Bekerja Pendapatan Rumah Tangga Kurang dari Rp. 200.000 Rp. 200.000 – Rp. 399.000 Rp. 400.00 – Rp. 599.000 Lebih dari Rp. 600.000 Total
Jumlah ART bekerja 1 orang ≥ 2 orang 11 8 57.9 % 42.1 % 9 15 37.5 % 62.5% 7 23 23.4 % 76.6 % 7 20 25.9% 74.1 % 34 66 34.0 % 66.0 %
Total 19 100.0 % 24 100.0 % 30 100.0 % 27 100.0 % 100 100.0 %
Sumber : Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang COREMAP – LIPI, 2001 5.1.2. Pengeluaran Pengeluaran rumah tangga yang dimaksud pada bagian ini adalah jumlah pengeluaran yang dikeluarkan dalam sebulan terakhir untuk kebutuhan anggota rumah tangga. Dalam hal ini, jenis pengeluaran dibedakan antara pengeluaran untuk pangan dan non pangan. Pengeluaran pangan meliputi jenis makanan yang umum digunakan penduduk, antara lain adalah beras/sagu, teh, gula, kopi, susu, terigu dan kebutuhan makan lainnya. Pengeluaran non pangan meliputi pengeluaran seperti sabun, rokok, pakaian, perlengkapan rumah tangga, biaya pendidikan, biaya kesehatan, perbaikan rumah, benda antik, keperluan adat dan lainnya. Pada saat penelitian berlangsung (Agustus 2001), total pengeluaran rumah tangga responden adalah antara kurang dari Rp. 50.000,- hingga 1,4 juta rupiah. Apabila dilihat rata-rata, total pengeluaran rumah tangga penduduk dalam satu bulan mencapai Rp. 361.000,-. Kondisi ini memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat mencolok dengan tingkat variasi yang cukup besar. Hal ini akan lebih jelas bila dilihat, bahwa rumah tangga yang memiliki total pengeluaran di bawah Rp. 361.000,- mencapai 30 persen, dan hanya 4 persen rumah tangga yang memiliki pengeluaran di atas satu juta rupiah. Tingginya tingkat pengeluaran rumah tangga umumnya bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun biasanya terjadi pada keluarga yang mempunyai anak bersekolah di luar desa, seperti Kota Sorong, Jayapura, Monokwari, bahkan luar Papua. Rumah tangga ini dituntut menghasilkan dana lebih untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, antara lain untuk biaya sekolah, tempat tinggal dan hidup. Untuk lebih jelasnya mengenai distribusi pengeluaran rumah tangga responden dapat di lihat pada Tabel 5.1.3.
58
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Tabel 5.1.3. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pengelompokan Total Pengeluaran Rumah Tangga pada Bulan Agustus 2001 Total Pengeluaran Rumah Tangga Kurang dari 100 ribu 100 – 199 ribu 200 – 299 ribu 300 – 399 ribu 400 – 499 ribu 500 – 599 ribu 600 – 699 ribu Lebih dari 700 ribu Total
Persentase 20,0 11,0 19,0 8,0 11,0 13,0 6,0 12,0 100,0
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2001 •
Pengeluaran Pangan
Pada umumnya pengeluaran rumah tangga penduduk Desa Dorehkar untuk keperluan pangan cukup besar. Kondisi ini lebih disebabkan, karena tingginya harga kebutuhan pangan di desa ini sebagai akibat sulitnya transportasi yang membawa barang-barang tersebut dari luar wilayah Kepulauan Ayau. Pengeluaran pangan yang rutin dikeluarkan rumah tangga adalah beras/sagu, gula, teh, kopi, dan susu. Terbatas nya jenis pengeluaran tersebut karena kebutuhan seperti sayur, lauk-pauk dan minyak dapat diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari hasil kebun dan hasil laut. Dari hasil survei menunjukkan, bahwa rata-rata rumah tangga mengeluarkan kebutuhan pangan 55 persen dari total pengeluaran. Gambaran ini memperlihatkan proporsi pengeluaran untuk pangan tidak berbeda dengan non pangan. Variasi untuk pangan berkisar antara Rp. 30.000,- hingga satu juta rupiah yang menggambarkan adanya keragaman cukup tinggi pada tingkat perekonomian masyarakat Dorehkar. Mayoritas rumah tangga (90 persen) mempunyai pengeluaran rumah tangga untuk pangan kurang dari Rp. 400.000,-, namun bila dilihat secara rata-rata dari total responden mencapai Rp. 200.000,-. Sedangkan distribusi pengeluaran responden terbesar untuk pangan adalah kurang dari Rp. 100.000,- mencapai 36 persen (lihat Tabel: 5.1.4). Tabel 5.1.4. Distribusi Rumah Tangga menurut Kelompok Pengeluaran Pangan dan Pengeluaran Non Pangan pada Bulan Agustus 2001 Kelompok Kurang dari 100 ribu 100 – 199 ribu 200 – 299 ribu 300 – 399 ribu 400 – 499 ribu Lebih dari 500 ribu Rata - Rata
Pengeluaran Pangan 36,0 17,0 28,0 9,0 5,0 5,0 Rp. 198.595
Pengeluran Non Pangan 51,0 11,0 17,0 9,0 7,0 Rp. 162.750
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang PPK-LIPI, 2001 59 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, penduduk dapat membeli langsung di Pasar Sorong atau dengan cara barter dengan penduduk lainnya pada satu desa atau desa lainnya. Faktor transportasi dan alam sangat berpengaruh terhadap kesempatan penduduk Dorehkar untuk membeli kebutuhan pangan di Sorong, sehingga hanya orang-orang tertentu dan ada kepentingan ke Sorong yang pergi. Penduduk yang lain hanya menitip dengan sedikit tambahan biaya untuk ongkos untuk orang yang dititipkan. Apabila cuaca memungkinkan, aktivitas ini dilakukan satu kali dalam sebulan untuk memenuhi kebutuhan selama satu bulan atau lebih. Jenis dan jumlah yang dibeli sangat tergantung dari keuangan dan kebutuhan mereka. Untuk menutup kekurangan biaya selama perjalanan, para ibu akan membawa hasil produksinya seperti sapu lidi, senat, ikan asin dan ikan asap, pia-pia dan lain-lain untuk dijual di Sorong. Cara lain adalah dengan melakukan barter, seperti hasil kebun kelapa dengan makanan lain (biskuit atau mie instant), hasil ternak (ayam atau telur) dengan perlengkap rumah tangga dan lainnya. Makanan pokok masyarakat Desa Dorehkar adalah sagu atau beras. Rumah tangga yang memiliki dusun sagu, yaitu di Desa Rauke, pada umumnya tidak membeli sagu sehingga dapat mengurangi pengeluaran untuk pangan; satu pohon dapat menghasilkan 10 buah tomang seberat 25 kilogram. Pada saat penelitian ini dilakukan, harga satu pohon sagu adalah Rp. 50.000,- dan harga satu tomang Rp. 25.000,- yang dapat dikonsumsi selama tiga minggu oleh satu rumah tangga yang beranggotakan lima atau enam orang. Beras dapat diperoleh di Kota Sorong, Distrik Kabare, atau warung yang ada di desa. Harga beras di desa ini mencapai Rp. 4.000,- per kilogram, sehingga hanya rumah tangga yang mempunyai pendapatan tinggi mampu mengkonsumsi beras. Rumah tangga yang beranggota lima sampai enam orang menghabiskan beras sebanyak satu kilogram untuk dua hari. Apabila dibandingkan antara kedua bahan pokok tersebut, maka pengeluaran satu bulan untuk konsumsi beras jauh lebih besar daripada sagu. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga, walaupun mempunyai dusun sagu, ada kecenderungan untuk membeli sagu mengingat waktu yang ada lebih baik digunakan mencari ikan. Adanya kebiasaan penduduk untuk minum teh manis di pagi dan sore hari mengakibatkan pengeluaran untuk kedua jenis bahan pangan ini cukup tinggi, yaitu satu kilogram gula hanya digunakan selama tiga hari. Kebutuhan pangan lainnya, seperti lauk-pauk, sayuran dan minyak, penduduk tidak perlu membeli karena semua dapat diperoleh dari laut maupun darat. Ikan yang merupakan lauk utama dengan mudah diperoleh dari perairan di sekitar desa, sayur walaupun dalam jenis yang terbatas ada di kebun, sedangkan minyak goreng diolah sendiri dari hasil kebun kelapa. Gambaran tersebut di atas memperlihatkan, bahwa pada umumnya pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pangan tidak beragam. Namun secara kuantitas untuk masing-masing jenis tersebut membutuhkan skala besar. Kasus di bawah ini memperlihatkan gambaran dari pengeluaran sebuah rumah tangga selama satu bulan.
60
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Ilustrasi 14 : Contoh Pengeluaran Rumah Tangga Dalam Satu Bulan Sebuah rumah tangga dari Keret Imbir dengan anggota keluarga lima orang (2 dewasa dan 3 anak-anak) dalam satu bulan mengeluarkan biaya untuk pangan sekitar Rp. 330.000,- dengan perincian: ♦ Beras 20 kilogram @ Rp. 4.000,-; ♦ sabun cuci 3 kaleng @ Rp. 5.000,- ; ♦ gula 10 kilogram @ Rp. 7.000,-; ♦ teh 6 bungkus @ Rp. 2.500, -; ♦ rokok surya 15 bungkus @ Rp 6.000,-; ♦ pinang 60 bungkus @ Rp. 1.000,-. Sumber: Wawancara mendalam dengan Penduduk Desa Dorehkar •
Pengeluaran Non Pangan
Pengeluaran non pangan yang umum dikeluarkan oleh penduduk Dorehkar antara lain biaya pendidikan, kesehatan dan upacara. Dalam satu bulan, rumah tangga responden mengeluarkan uang untuk keperluan non pangan rata-rata sekitar Rp. 162.750,- (Agustus 2001). Jumlah ini diambil dari rank rumah tangga yang tidak mengeluarkan sama sekali hingga 1 juta rupiah. Biaya terbesar dikeluarkan oleh rumah tangga yang mengeluarkan biaya untuk pendidikan anak-anaknya yang sekolah di luar Desa Dorehkar. Besarnya biaya untuk pendidikan sangat bervariasi. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), biaya per bulan yang harus dikeluarkan relatif kecil yaitu Rp. 1000,- per murid SD dan Rp. 7000,- per murid SLTP. Sedangkan biaya masuk sekolah yang dibayarkan pada awal sekolah adalah Rp. 15.000,- tingkat SD dan Rp. 30.000,- tingkat SLTP. Kedua lembaga ini telah ada di Desa Dorehkar, sehingga biaya pendidikan untuk tingkat tersebut masih terjangkau oleh masyarakat. Peningkatan biaya pendidikan terjadi bila anak melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Perguruan Tinggi yang tidak ada di Dorehkar atau Kepulauan Ayau. Untuk setingkat SLTA umumnya ke Kota Sorong dengan biaya sekitar Rp. 200.000,- hingga Rp. 300.000,- per bulan. Jumlah tersebut digunakan untuk iuran sekolah, sewa kamar (jika kost), biaya hidup dan kebutuhan sekolah lainnya. Gambaran ini menunjukkan, bahwa hanya rumah tangga tertentu saja yang mampu menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang pendidikan lebih tinggi dari tingkat SLTP. Selama satu bulan ini (Juli 2001) tidak ada responden yang mengeluarkan biaya untuk kesehatan. Hal ini selain karena tidak ada yang sakit, juga karena kurangnya perhatian penduduk terhadap kesehatan dan pemanfaatan mantri yang ada di Desa Dorehkar. Sakit seperti flu, batuk dan demam akan diobati dengan obat-obat yang umum ada di warung; ini pun dibeli bila benar-benar dibutuhkan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada, yaitu mantri, apabila penyakit yang diderita tidak menunjukan gejala kesembuhan atau muncul gejala lain dari penyakit yang dideritanya. 61 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Oleh karena itu, biaya kesehatan bagi penduduk Des a Dorehkar belum menjadi prioritas sehingga ada kecenderungan mereka tidak memperhitungkan sebagai pengeluaran pokok rumah tangga. Pengeluaran lainnya yang cukup besar meskipun tidak dikeluarkan setiap hari adalah biaya untuk adat seperti perkawinan, kelahiran bayi dan kematian. Setiap upacara diselenggarakan dalam beberapa hari yang membutuhkan biaya cukup besar, karena dari persiapan sampai akhir acara melibatkan anggota kerabat; khususnya satu keret. Contoh: untuk perkawinan pihak laki-laki harus memberikan mas kawin yang cukup tinggi yaitu ‘piring antik’ dalam jumlah yang cukup banyak dan semua biaya persiapan untuk upacara atau pesta perkawinan. Kesemua itu merupakan kewajiban yang harus disiapkan oleh pihak pengantin laki-laki, yang secara tidak langsung akan melibatkan semua keluarga besar baik dari keluarga inti maupun ‘keret’. Begitupula dengan pelaksanaan upacara adat kematian, sehingga sering baru dilaksanakan setelah biaya yang dibutuhkan telah mencukupi, baik dari pihak yang kemalangan maupun keluarga besar atau ‘keret’ mereka. Hubungan kekerabatan yang ada di masyarakat Dorehkar juga membentuk kewajiban-kewajiban tidak tertulis, yaitu untuk saling membantu sesama anggota ‘keret’ khususnya saudara sekandung. Misalnya dalam pembangunan rumah, saudara laki-laki atau orangtua pihak perempuan akan turut membantu karena adanya nilai di masyarakat bahwa saudara laki-laki berkewajiban untuk memperhatikan kehidupan saudara perempuannya. Apabila saudara perempuannya mempunyai kesulitan dan dia tidak membantu, maka akan dianggap ‘tidak tau adat’. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab pengeluaran kebutuhan non pangan menjadi besar dan sulit untuk dikendalikan. •
Pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga
Dalam struktur rumah tangga penduduk Desa Dorehkar, peran ibu-ibu pada umumnya tidak hanya dalam pengelolaan rumah tangga namun juga ekonomi. Pengaturan keuangan rumah tangga untuk keluarga maupun kegiatan usaha yang dijalankan rumah tangganya salah satu dari peran isteri, di samping kegiatan rutin rumah tangga. Paling tidak setiap pengeluaran keuangan diketahui isteri karena umumnya pendapatan yang diperoleh suami akan disimpan isteri. Mengingat pekerjaan yang dilakukan para suami adalah berisiko tinggi dilihat dari keselamatan maupun secara ekonomi, karena sangat tergantung dari cuaca, maka isteri pun harus membantu dari sisi ekonomi. Para isteri tidak hanya mengelola pendapatan yang diperoleh suami namun juga harus mencari usaha untuk mencukupi kebutuhan kehidupan rumah tangga mereka. Usaha yang dilakukan antara lain turut mencari ikan, membuat minyak goreng, membuat ikan asap dan ikan asin, membuat senat dan sapu lidi atau mengumpulkan kerang-kerang mati di pinggir pantai. Semua aktivitas ini dilakukan perempuan agar kehidupan ekonomi rumahtangganya dapat tercukupi. Dalam realita kehidupan rumah tangga, perempuan tidak hanya sebagai pengelola pendapatan yang diperoleh suami sebagai pencari nafkah ‘utama’ dalam keluarga. Perempuan mempunyai peran ganda, yaitu pelaksana kegiatan rumah tangga juga pengelola ekonomi rumah tangga. Kondisi ini tentu saja menambah beban isteri, karena tidak hanya mengelola ekonomi rumah tangga namun juga mencari nafkah untuk mencukupi kehidupan keluarganya. Ketidakadilan muncul, karena dalam masyarakat 62
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Dorehkar masih ada fenomena bahwa: “suami mencari nafkah, sedang isteri melakukan pekerjaan yang bersifat kerumahtanggaan dan mengatur keuangan”. Fenomena tersebut di atas tidak menunjukkan realita yang ada di masyarakat, karena kenyataannya perempuan tidak hanya membantu dalam pengelolaan ekonomi rumah tangga, namun terlibat langsung pada kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan bagi rumah tangga mereka. Sedangkan suami tetap berpegang pada fenomena tersebut, yaitu hanya bekerja untuk mendapatkan uang dan merasa ‘janggal’ bila melakukan kegiatan rumah tangga. Struktur kehidupan rumah tangga demikian memperlihatkan, bahwa masih ada ketimpangan jender karena pengkotakanpengkotakan pekerjaan namun kenyataannya peran perempuan lebih berat dibanding laki-laki; walaupun aktivitas yang dilakukan perempuan dianggap ringan dan sifatnya ‘membantu’. 5.2. Strategi dalam Pengelolaan Keuangan Strategi pengelolaan keuangan yang dimaksud adalah upaya atau usaha yang dilakukan rumah tangga dalam mengatur keuangan yang diperoleh. Pada masyarakat nelayan strategi ini sangat diperlukan karena sangat tingginya sifat ketergantungan penduduk terhadap alam yang terkadang baik, namun ada waktunya sangat tidak bersahabat. Kondisi ini juga berlaku pada masyarakat Dorehkar, dan upaya yang umum dilakukan adalah memiliki simpanan barang yang dianggap mempunyai nilai. Bagian ini akan menggambarkan strategi yang ada di masyarakat Dorehkar dalam pengelolaan pendapatan yang mereka peroleh. 5.2.1. Simpanan Survei terhadap 100 responden menunjukkan, bahwa tidak semua rumah tangga di Desa Dorehkar memiliki simpanan baik berupa uang maupun benda-benda yang dianggap berharga. Pada umumnya simpanan dimiliki oleh rumah tangga yang memiliki pendapatan lebih besar daripada pengeluaran. Responden yang mengaku mempunyai simpanan dalam enam bulan terakhir adalah sebesar 30 persen, yang di antaranya sekitar 88,4 persen mempunyai pendapatan lebih dari pengeluaran rumah tangga. Hal ini menunjukkan, bahwa masih terbatas rumah tangga yang menyimpan pendapatannya dengan pemikiran untuk mengatasi kesulitan keuangan rumah tangga. Seperti yang diungkapkan beberapa penduduk Desa Dorehkar: “...........kami sulit menabung, pengeluaran untuk adat besar. Apalagi kalau ada pesta keluarga. Bila satu keluarga mengadakan pesta semua keluarga ikut membantu bentuk materi maupun tenaga”. “….....tidak bisa nabung, uangnya habis dibagikan untuk orang tua, adik perempuan saya dan adik isteri saya. Jadi kalo dapat segitu cepat habisnya”. Bentuk tabungan yang umum dimiliki responden adalah uang tunai (90 persen) dan ternak (10 persen). Uang tersebut ditabung di rumah dengan alasan bila ada kebutuhan mendesak dapat dengan cepat dan mudah digunakan. Alasan lain karena tidak adanya akses untuk menabung pada lembaga keuangan seperti Kantor Pos atau Bank yang hanya terdapat di Kota Sorong. Kondisi ini tentu tidak efisien bila diperlukan 63 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
dengan segera. Menurut seorang informan, bahwa hanya sebagian kecil penduduk Dorehkar yang menabung di Bank, khususnya rumah tangga yang memiliki akses cukup luas untuk ke Kota Sorong. Penduduk yang menabung dalam bentuk ternak hanya dimiliki oleh beberapa rumah tangga, yang jenis dan jumlahnya pun sangat terbatas yaitu ternak ayam kampung dan babi. Ternak-ternak tersebut umumnya dijual setelah cukup usia jual atau ada kebutuhan yang mendesak. Khusus ternak babi dipasarkan langsung ke Sorong karena di Kota Sorong harganya relatif lebih tinggi daripada di desa. Sedangkan daging dan telur ayam dapat dijual pada masyarakat Dorehkar dan sekitarnya yang membutuhkan atau ditukar dengan apa yang dibutuhkan (sistem barter). Bentuk simpanan atau tabungan lain yang dimiliki penduduk adalah piring antik atau piring gantung, bahan dasar baju, kain batik dan peralatan rumah tangga. Piring antik atau piring gantung dan kain batik (kain sarung atau kain panjang) memiliki nilai yang cukup tinggi secara adat maupun ekonomi. Piring antik dan piring gantung berfungsi sebagai mas kawin, sedangkan kain batik merupakan pelengkap acara perkawinan yang umumnya dimiliki oleh setiap ibu rumah tangga. Barang-barang tersebut sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan rumah tangga karena dapat dijual atau digadaikan dengan cepat dan mudah. Apabila digadaikan, pada umumnya barang-barang tersebut digadaikan kepada keluarga dekat yang membutuhkan sesuai dengan nilai dan kesepatan kedua belah pihak tanpa ada pihak yang dirugikan. 5.2.2. Kesulitan Keuangan Kondisi ekonomi yang tidak konsisten karena pekerjaan yang tergantung dengan cuaca sangat berdampak terhadap kehidupan ekonomi rumah tangga penduduk Dorehkar. Hal ini terlihat dengan jawaban responden yang mengatakan, bahwa sebagian besar (77 persen) pada enam bulan terkahir ini mengaku pernah mengalami kesulitan keuangan. Kondisi ini dipengaruhi oleh musim angin kencang atau musim paceklik yang dialami nelayan pada bulan Agustus 2001 (satu bulan sebelum survei), sehingga pendapatan rumah tangga pun mengalami penurunan. Dari hasil survei ini menyatakan, bahwa 20 persen rumah tangga pada bulan yang sama mengalami minus pendapatan atau dengan kata lain memiliki pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Dalam mengatasi kesulitan keuangan, mayoritas responden (77,9 persen) meminjam kepada tetangga, lembaga gereja dan taouke pengumpul tanpa harus membayar bunga. Masih tingginya rasa tolong-menolong sesama tetangga, yang umumnya berasal dari satu keret, merupakan cara mudah untuk memperoleh pinjaman. Begitupula dengan kelembagaan geraja karena anggota jemaat dapat meminjam dengan mudah, namun jumlahnya sangat tergantung dengan kondisi keuangan kas gereja yang berasal dari anggota dan pengusaha pengumpul ikan. Taouke yang satu-satunya di Desa Dorehkar merupakan tumpuan baru bagi penduduk yang juga meminjamkan uang tidak dengan bunga. Prosedur peminjaman sangat mudah, cepat dan jumlahnya tidak terbatas, sehingga para nelayan paling suka meminjam kepadanya. Cara pengembalian dengan pemotongan langsung dari pendapatan yang diterima penjualan ikan pada saat penyerahan ikan untuk ditimbang. Besarnya potongan sangat tergantung dengan besar kecil pendapatannya. Sem akin besar pendapatan nelayan, maka semakin cepat pinjaman tersebut lunas. Namun bila 64
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
pendapatan lebih kecil daripada peminjaman maka nelayan tersebut terpaksa pulang tanpa membawa uang, dan sisanya akan dibiayar pada penjualan hasil tangkapan minggu berikutnya sampai seluruh pinjaman tersebut lunas. Cara ini bila dibiarkan, lambat laut akan menciptakan ketergantungan antara nelayan dengan pengusaha, yang akhirnya akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Upaya lain adalah dengan minta bantuan kepada keluarga lain (7,9 persen). Cara ini sering dilakukan oleh penduduk Dorehkar karena masih tingginya rasa tolongmenolong antara sesama kerabat, khususnya satu keret, sehingga setiap masalah yang dihadapi suatu rumah tangga akan diselesaikan bersama-sama. Contoh, rumah tangga R akan melakukan pesta perkawinan adat yang membutuhkan biaya tidak sedikit untuk mas kawin maupun pelaksanaan upacara. Untuk mengatasinya, seluruh keluarga akan ikut membantu baik dalam bentuk uang maupun tenaga agar pelaksanaan upacara dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan adat. Lihat Tabel 5.2.1. mengenai upaya yang dilakukan responden bila mengalami kesulitan keuangan. Tabel. 5.2.1. Distribusi Rumah Tangga Menurut Upaya yang Paling Sering Dilakukan untuk Mengatasi Kesulitan Keuangan Upaya Paling sering Dilakukan Pinjam tanpa bayar bunga Pinjam ke perorangan dgn membayar bunga Minta Bantuan keluarga Mengambil/menjual simpanan Mengadaikan barang Total
Persentase 73,7 6,6 7,9 3,9 3,9 100,0
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang PPK-LIPI, 2001 5.3. Pemilikan dan Penguasaan Aset Pemilikan aset adalah hak memiliki sarana produksi serta benda berharga lainnya, sedangkan penguasaan adalah hak memanfaatkan atau mengelola alat dan sarana produksi namun tanpa harus memiliki. Misalnya, hak ulayat wilayah tangkap hanya boleh dimanfaatkan oleh kelompok tertentu namun tidak boleh memiliki. Pada masyarakat Dorehkar tidak jelas perbedaan antara pemilikan dan penguasaan, karena semua aset seperti tanah dan wilayah tangkap tertentu adalah miliki keret sehingga mereka yang berasal dari keret yang sama dapat mengelolanya. Seperti rumah hanya bangunannya menjadi milik keluarga yang menempati, namun tanah adalah miliki keret mereka. Aset yang dianggap sebagai milik rumah tangga atau individu hanya sarana produksi yang digunakan untuk penangkapan ikan, yaitu perahu atau mesin disel untuk kapal. 5.3.1. Pemilikan Aset Produksi Perikanan Alat produksi yang umum dimiliki sebagian besar rumah tangga responden (91 persen) adalah perahu tanpa motor "semang" yang terdiri dari dua jenis, yaitu perahu layar dan perahu tandek. Perahu jenis kedua adalah perahu yang lebih sering digunakan sebagai sarana untuk menangkap ikan, sedangkan perahu layar hanya digunakan sebagai alat transportasi yang menghubungkan antar desa. Berdasarkan 65 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
hasil survei, hanya 3 persen rumah tangga yang mengaku memiliki perahu motor. Data ini tidak berbeda dari obsevarsi di lapangan dan wawancara terhadap beberapa orang penduduk, bahwa di Desa Dorehkas jumlah mesin disel ada delapan buah yang memiliki kekuatan 15 PK hingga 40 PK. Mesin tersebut disewakan kepada nelayan lainnya yang membutuhkan dengan sewa yang telah disepakati terlebih dahulu. Besarnya biaya untuk satu mesin antara Rp. 50.000,- hingga Rp. 200.000,- yang tergantung dengan kekuatan mesin dan kesepakatan antar penyewa dan pemilik. Mesin tersebut dapat digunakan selama tiga hingga tujuh hari. Dilihat dari kepemilikan alat tangkap ikan yang dimiliki oleh rumah tangga responden menunjukkan, bahwa umumnya masih menggunakan alat tradisioanl yaitu pancing (96 persen) dan senapan molo (80 persen), jaring (9 persen), ladum anyam (9 persen), jerat (6 peren), sumpit, kalawai dan arsyam (8 persen). Alat pancing merupakan alat utama yang digunakan untuk menangkap ikan Kerapu dan ikan Napoleon, sehingga pancing menjadi alat tangkap penting dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Jenis alat lainnya merupakan alat pendukung agar dapat meningkatkan hasil penangkapan baik secara kapasitas maupun jenis. Alat yang digunakan untuk menangkap ikan berbeda dengan untuk menangkap lobster, dan jenis moluska. Selain alat tangkap di atas, penduduk juga memiliki kacamata molo (78 persen) sebagai alat bantu pernafasan selama menangkap ikan dan udang. Alat bantu lainnya adalah waring (5 persen), yaitu alat untuk mengangkat hasil tangkapan ke bak penampung di perahu. Kemudian adalah keramba yang disebut Appolo (18 persen) untuk tempat menampung ikan sebelum diberikan kepada taouke pengumpul. Alat ini sangat mempengaruhi nilai produksi ikan yang diperoleh, karena pengumpul akan selalu menerima ikan hidup dan bila mati tidak mempunyai nilai jual. Kesemua alat tangkap dan alat pelengkap tersebut dibuat oleh penduduk/nelayan dari bahan-bahan yang sederhana dan dapat ditemukan di sekitar Desa Dorehkar, kecuali mata pancing dan benang pancing. 5.3.2. Pemilikan Aset Produksi Darat Pada umumnya penduduk Dorehkar memiliki pekarangan rumah dengan luas yang sama, yaitu sekitar 10 kali 10 meter. Pekarangan ini bila dimanfaatkan secara baik dapat menjadi aset rumah tangga, yaitu dikelola dengan tanaman bermanfaat yang dapat tumbuh pada jenis tanah Desa Dorehkar. Namun hal tersebut belum berjalan, kecuali dengan tanaman yang telah ada sejak dulu seperti kelapa dan sukun. Hal ini disebabkan belum adanya penyuluh atau penggerak kepada masyarakat tentang pemanfaatan pekarangan dengan jenis tanah di Dorehkar. Pada saat ini, sebagian penduduk memanfaatkan pekarangan hanya untuk beternak, yaitu babi dan ayam. Gambaran ini terlihat dari jawaban responden, bahwa sebesar 36 persen menggunakan pekarangan untuk ternak babi, terutama mereka yang tinggal di pinggir pantai, dan 21 persen beternak ayam kampung. Kedua jenis ternak tersebut memiliki cara pemeliharaan yang berbeda. Babi dipelihara dalam kandang, yang mana satu kandang untuk satu ekor babi dan makanan diberikan secara teratur. Berbeda dengan ayam yang dibiarkan bebas mencari makan di pekarangan. Perbedaan ini mengingat babi akan mempunyai nilai jual tinggi bila produksinya baik, dan semua itu sangat tergantung dengan pakan yang dimakan juga baik.
66
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Penduduk yang memanfaatkan pekarangan untuk tanaman, selain tumbuhan lama mulai muncul tanaman baru, terutama pada mereka yang sudah mempunyai inisiatif akan kebutuhan tanaman tersebut. Pada akhir-akhir ini mulai terlihat pekarangan rumah ditanami beberapa tanaman yang tidak membutuhkan banyak air seperti beberapa jenis tanaman hias, jeruk nipis, jambu air, tebu dan pisang. Tampaknya keinginan penduduk untuk memanfaatkan pekarangan telah ada, namun kondisi jenis tanah tidak memungkinkan. Ini terlihat dari usaha sebagian penduduk untuk mengambil tanah dari bukit yang diletakkan pada wadah seperti ember untuk ditanami tanaman yang dibutuhkan oleh rumah tangga, antara lain tanaman cabe, serei, daun seledri, daun bawang dan daun kucai. Aset darat lain adalah kebun kelapa yang ada di sekitar Pulau Runi dan kebun sagu di Desa Rauke. Gambaran ini terlihat dari jawaban responden, bahwa ada 69 persen yang memilki lahan pertanian. Hasil kebun kelapa dimanfatkan untuk kebutuhan rumah tangga dan ekonomi yang dapat dijadikan minyak goreng, sapu lidi maupun buah kepala. Lahan sagu umumnya diproduksi pada masa paceklik, yaitu masa sulit memperoleh ikan. Pada saat ini, kegiatan memproduksi sagu umumnya hanya untuk mengisi waktu karena tidak melaut dan memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga; walaupun ada juga yang menjual untuk menambah pendapatan rumah tangga. 5.3.3. Pemilikan Aset Lainnya Kepemilikan aset lain yang dimiliki sebagian besar penduduk adalah bangunan rumah. Hal ini, bahwa 96 persen responden mempunyai rumah sendiri, dan hanya 4 persen masih tinggal bersama orang tua. Rumah tersebut dibangun di atas tanah adat yang tidak dapat diperjualbelikan, karena hanya mempunyai hak guna bagi anggota kelompok yang masih dalam satu keret. Penggunaan tanah untuk dibangun rumah harus berdasarkan persetujuan dari para tetua kerek. Rumah yang telah dibangun dapat menjadi milik si pembangun, yang akan diturunkan kepada keturunan anak kandung laki-laki bila telah menikah. Benda lain yang dapat merupakan aset rumah tangga adalah barang eletronik dan emas. Responden yang memiliki elektronik sebesar 21 persen, yaitu televisi dan radio atau radio-taperecorder. Namun umumnya televisi banyak yang tidak dapat digunakan karena rusak atau tidak ada listrik, sehingga fungsinya berubah sebagai pajangan rumah. Untuk sebagian masyarakat, radio taperecorder menggunakan baterai untk mendengarkan musik karena siaran radio belum tertangkap di Desa Dorehkar. Hanya sebagian kecil responden mengaku memiliki emas, yang biasanya berbentuk anting-anting sebagai perhiasan anak perempuan. Aset lainnya yang secara sosial-ekonomi bernilai tinggi adalah piring antik, piring gantung dan guci yang dimiliki oleh 42 responden. Dalam adat masyarakat Dorehkar, piring antik, piring gantung dan guci merupakan syarat perkawinan (mas kawin) yang harus diserahkan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Harga satu piring gantung berkisar antara Rp. 80.000,- hingga Rp. 200.000,-, sedangkan piring antik mencapai 1 – 2 juta rupiah dan guci antik lebih tinggi. Tingginya nilai benda-benda tersebut karena sulit diperoleh sedangkan masyarakat membutuhkannya. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki barang tersebut berarti mempunyai simpanan yang dapat dijual bila dalam keadaan terdesak.
67 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
5.4. Kondisi Perumahan dan sanitasi Lingkungan 5.4.1. Kondisi Perumahan Kondisi fisik perumahan di Desa Dorehkar mulai membaik sejak tahun 1988 karena adanya bantuan dana INPRES untuk perumahan. Dana tersebut berupa uang yang dimanfaatkan masyarakat untuk membeli semen dan dibagikan kepada beberapa rumah tangga. Namun karena keterbatasan semen yang diperoleh, maka hanya dapat digunakan untuk pondasi dan dinding rumah. Biaya pembangunan rumah menjadi tanggung jawab masyarakat yang dilaksanakan secara swadaya dan gotong-royong. Meningkatnya pendapatan masyarakat turut merubah bentuk fisik rumah mereka. Ini terlihat dengan berkembangnya rumah tembok maupun setengah tembok, namun tetap mempertahankan adanya ruang tamu atau kamar tradisionil yang diberi pasir putih. Bentuk rumah di Desa Dorehkar terbagi menjadi dua bangunan, yaitu bangunan utama dan bangunan tambahan. Bangunan utama umumnya terdiri dari 1 ruang tamu dan 2 kamar tidur dengan penyekat yang jelas antar ruangan. Ventilasi udara cukup yang terdiri dari dua pintu di bagian muka dan belakang, serta satu buah jendela di setiap kamar tidur. Dinding rumah ada yang terbuat dari pelepah pohon sagu, beton atau kombinasi kedua jenis bahan tersebut, atap terbuat dari pelepah daun sagu atau asbes, sedangkan lantai diberi pasir atau plester semen. Bahan bangunan dari pohon sagu diperoleh dari dusun di Desa Rauke, sedangkan lainnya dibawa dari Sorong. Bangunan kedua berfungsi sebagai dapur dan ruang santai yang terletak di belakang bangunan utama, yaitu kira-kira berjarak 2 – 3 meter dari pintu belakang. Pada umumnya bangunan ini masih mempertahankan bentuk lama, yaitu dinding dan atap terbuat dari pelepah pohon sagu sedangkan lantai diberi pasir putih. Manfaat dari ruang ini adalah sebagai tempat istirahat dan berkumpul bersama keluarga. Pola kebiasaan tidur di pasir yang biasanya dilakukan di tepi pantai dipertahankan dengan menciptakan suasana tersebut di ruang ini. 5.4.2. Sanitasi Lingkungan Sarana air bersih baik dan cukup banyak, yang terlihat dari jumlah mata air yang terdapat di Desa Dorehkar. Air tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga (minum dan masak) karena kualitasnya yang jernih dan tidak berasa. Jumlah tempat mandi, cuci, dan WC umum (MCK) ada 11 tempat yang tersebar di kelima kerek . Kemudian, pada umumnya setiap satu atau dua rumah memiliki satu sumur sederhana, yaitu terbuat drum berdiameter ½ meter dengan kedalaman berkisar 3 hingga 4 meter. Pada awalnya air sumur hanya digunakan untuk masak dan mencuci perabotan rumah tangga karena untuk MCK ada tempat umum yang telah dibangun pemerintah. Namun ada penduduk yang memanfaatkan untuk mandi dengan membuat bilik kamar mandi sederhana dekat sumur tersebut. Untuk kemudahan mencuci piring dan makanan yang hendak dimasak, dekat sumur dan dapur dibuat tempat seperti rak tinggi terbuat dari kayu. Hal yang dipantangkan penduduk, bahwa dekat sumur ini tidak boleh ada WC yang dianggap dapat mengotori air bersih untuk minum. Keberadaan WC umum tampaknya kurang dimanfaatkan penduduk dan masih sering buang air besar dilakukan di tepi pantai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya kotoran manusia yang ditemukan di sekitar pantai. Tentu saja kondisi ini berdampak terhadap kebersihan lingkungan pantai. Apakah mungkin karena belum biasa berada di ruang tertutup, jauh dari tempat tinggal, atau jumlah WC terbatas yang mengakibatkan penduduk kurang memanfaatkan WC umum tersebut. 68
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Permasalahan lain adalah pembuangan limbah (sampah) rumah tangga yang terlihat jelas di sekitar pantai Desa Dorehkar. Masyarakat membuang sampah di pinggir Teluk Dorehkar atau pinggir pantai yang berpenghuni tanpa membakarnya terlebih dahulu. Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka sampah tersebut akan hanyut ke laut, yang pada akhirnya akan mencemarkan pantai di sebelah selatan. Sampah non organik lambat-laun akan dapat menyebabkan terganggunya ekosistem di sekitar pantai, termasuk sumber daya laut. Keanekaragaman hayati yang berkurang secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan masyarakat sekitar desa. Untuk mengatasi permasalah tersebut, maka perlu upaya penyadaran terhadap seluruh komponen masyarakat agar bersikap ramah lingkungan, yaitu dengan membakar limbah rumah tangganya. Sikap ramah lingkungan akan berdampak baik bagi kelangsungan hidup anak cucu mereka di masa mendatang. 5.4.3. Penerangan dan Bahan Bakar Penerangan rumah tangga sampai saat ini masih sangat bergantung dengan mesin disel yang dimiliki oleh setiap keret. Disel tersebut berfungsi sebagai pembangkit energi listrik yang dialirkan ke rumah penduduk, yaitu mulai pukul 6 sore hingga pukul 10 malam; siang hari tidak ada. Pembatasan waktu ini dikarenakan tidak tersedianya bahan bakar dalam jumlah yang memadai, di samping untuk menjaga agar mesin tidak cepat rusak. Apabila mesin disel rusak atau bahan bakar habis, maka penerangan di malam hari menggunakan lampu minyak. Kondisi ini tentu saja sangat berdampak, khususnya kepada anak bersekolah, yang tidak dapat belajar pada malam hari. Bahan bakar, yang umumnya digunakan masyarakat adalah minyak tanah dan solar. Bahan bakar tersebut diperoleh penduduk dari Kabare atau Sorong. Sulitnya transportasi berdampak terhadap tingginya harga minyak tanah, yaitu Rp. 1.500,- per liter atau kelipatan beberapa kali dari harga di Kota Sorong. Minyak tanah dimanfaatkan oleh rumah tangga untuk keperluan sehari-hari, seperti memasak dan penerangan lampu, sedangkan solar untuk pembangkit listrik (mesin disel) atau kapal bermotor. Kesulitan masyarakat dalam memperoleh bahan bakar membuat mereka harus membatasi dalam penggunaannya. Salah satu cara untuk mengatasi kesulitan tersebut, masyarakat membeli bahan bakar secara langsung di Sorong dalam jumlah jumlah besar. Keadaan ini berkesan terjadi penumpukan bahan bakar. Padahal ini merupakan upaya rumah tangga untuk memperkecil pengeluarannya terhadap bahan bakar.
69 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab VI Degradasi Sumber Daya Laut dan Faktor-Faktor Berpengaruh Pada bab sebelumnya telah banyak digambarkan dan dikaji persoalan sosialbudaya, ekonomi maupun lingkungan yang ada di masyarakat Desa Dorehkar. Dari sisi ekonomi terjadi peningkatan pendapatan penduduk, dari sisi sosial-budaya terjadi perubahan-perubahan pemikiran baik bersifat positif maupun negatif dalam memandang kehidupan saat ini. Sisi positif misalnya dalam memandang pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik bagi anak-anak, sisi negatif adanya kecenderungan merubah teknologi penangkapan ikan untuk mendapat hasil lebih. Bagian ini akan menggambarkan dan mengkaji permasalahan berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan sumber daya laut pada saat ini, baik internal maupun eksternal. 6.1. Kondisi Sumber Daya Laut Masuknya Perusahaan Ikan Greyfish sekitar tahun 1992 di masyarakat Kepulauan Ayau mempengaruhi perkembangan teknologi, yang secara tidak langsung berdampak terhadap keberadaan sumber daya laut di perairan Kepulauan Ayau. Perubahan tersebut tidak hanya berbentuk teknologi alat, namun juga teknologi pengetahuan yang berpengaruh terhadap persepsi dan sikap masyarakat Dorehkar dalam memandang keberadaan sumber daya laut di wilayahnya, yang secara ekonomi dianggap menguntungkan. Sejak saat itu, penduduk Desa Dorehkar mulai mencari inisiatif agar dapat memperoleh jenis-jenis fauna laut yang diperkirakan akan menguntungkan dan dicari pembeli. Tanpa disadari tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan berbagai jenis fauna laut tersebut dapat merusak fauna laut lainnya, misalnya terumbu karang, sebagai tempat fauna laut itu berdiam dan berkembang biak. Ada dua tujuan utama pemanfaatan sumber daya laut yang dilakukan masyarakat Dorehkar, yaitu konsumsi keluarga dan ekonomi. Sebelum masuknya pengetahuan tentang jenis-jenis ikan dan sumber daya laut lainnya yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di luar Kepulauan Ayau, penangkapan ikan sangat terbatas hanya untuk konsumsi keluarga atau dibuat ikan asin dan ikan asap untuk dijual di Kota Sorong. Jumlah ikan yang diambil untuk konsumsi keluarga sangat rendah dan tidak tertuju pada jenis tertentu karena tergantung dari ikan yang diperoleh. Namun bila dilihat dari frekuensi penggunaan cukup tinggi, karena hampir 100 persen penduduk Desa Dorehkar menggunakan ikan untuk konsumsi keluarga karena tidak ada pilihan lain yang dapat diperoleh di pulau ini. Sedangkan untuk tujuan ekonomis, beberapa jenis ikan diambil dalam skala besar yang mempunyai nilai ekonomis di pasaran lokal maupun internasional. Adanya perubahan persepsi mengenai pemanfaatan sumber daya laut turut mempengaruhi masyarakat dalam pengambilan ikan dan ekosistem lainnya, yang lebih bertujuan untuk komersil. Situasi ini memperlihatkan, bahwa ada kecenderungan di masyarakat Dorehkar untuk memanfaatkan sumber daya laut di sekitar perairan Ayau secara optimal untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga. Aktivitas ini tentunya sangat 71 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
berpengaruh terhadap kondisi ekologis terumbu karang, karena dalam pengambilannya menggunakan alat yang diperkirakan dapat merusak biota laut lainnya. Matriks 6.1 menggambarkan distribusi jenis sumber daya laut yang teridentifikasi menurut bentuk pemanfaatannya. Matriks 6.1: Distribusi Jenis Sumber Daya Laut yang Teridentifikasi dan Dimanfaatkan Masyarakat Sumber Daya Laut Ikan: - Kerapu (garopa) - Napoleon - Ekor kuning - Kuek - Hiu - Baronang - Kakak tua - Lobster
Pemanfaatan Konsumsi Dijual * * * * * * *
* * * * * * * *
Keterangan Ekspor & diasin Ekspor Daging dimakan, sirip dijual Diasin Diasin Ekspor & Restoran di Sorong
Karang: - Bosen * - Arwan * - Ros * - Kerui * - Arbone * - Irbor * Moluska: - Lola * * Kerang dijual, daging dimakan - Pia-pia * * Dimakan - Cacing * * Dikeringkan dan dijual - Gurita * * - Kima * * - Tripon * Total 17 20 Keterangan : ( * ) Dimakan atau Dijual ; ( - )Tidak dimakan atau tidak dijual Berbagai jenis sumber daya laut yang tertera di atas hanya sebagian dari ratusan jenis ikan dan terumbu karang yang ada di sekitar laut Kepulauan Ayau. Penduduk dengan mudah memperoleh ikan yaitu hanya dengan cara memancing tidak jauh dari pulau karena banyak dijumpai berbagai jenis ikan, sehingga mereka dapat memakan jenis ikan apa saja. Gambaran ini menunjukkan, bahwa sumber daya laut di Kepulauan Ayau dan sekitarnya relatif masih baik, walaupun menurut responden (59 persen) jumlah dan jenis ikan di wilayah Dorehkar cenderung berkurang. Kondisi ini makin jelas terutama sejak masuknya nelayan dan pengusaha asing mencari jenis ikan tertentu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tanpa disadari, kondisi ini mengubah pola pengetahuan penduduk mengenai jenis ikan dan sumber daya laut lainnya, yang secara tidak langsung merubah sikap penduduk terhadap pemilahan jenis ikan untuk dikonsumsi dan diperdagangkan. Para nelayan Dorehkar mulai berpikir untuk sedapat 72
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
mungkin tidak memakan sumber daya laut yang bernilai ekonomi tinggi seperti ikan Hiu, ikan Napolean, ikan Kerapu dan Lobster. Akibat dari tingginya permintaan terhadap beberapa jenis ikan dan sumber daya laut lainnya akhir-akhir ini mulai memperlihatkan dampak terhadap kondisi terumbu karang di sekitar perairan Ayau, karena jenis ikan tersebut umumnya hidup di laut air dalam yang penuh dengan terumbu karang. Apabila para nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak merusak karang, maka persoalan kerusakan terumbu karang tidak terjadi. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap penduduk Desa Dorehkar, kurang dari 50 persen mengatakan kondisi terumbu karang di perairan ini masih baik, 31 persen mengatakan kurang baik, dan 18 persen rusak (lihat Tabel 6.1). Tabel 6.1.: Distribusi Pengetahuan Tentang Kondisi Terumbu Karang Di Perairan Kepulauan Ayau Kondisi Terumbu karang
Presentase
Baik 48,0 Kurang baik 31,0 Rusak 18,0 Tidak tahu 3,0 Total 100,0 Sumber: Survei Data Dasar Apek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2001 Kondisi ini bila tidak diantisipasi sejak dini dan dilakukan tindakan untuk melestarikan dan memberdayakan masyarakat tentang pentingnya arti terumbu karang bagi kehidupan ekosistim laut, maka dampaknya sangat buruk terhadap kondisi pantai dan kehidupan masyarakatnya, contoh desa sebelah Selatan, sebagian pantainya telah terkena abrasi, yang terlihat dengan adanya pohon sukun tumbuh (mati tidak, hidup tidak ) pada jarak sekitar 50 hingga 100 meter dari pantai. Pada sisi pantai ini terlihat sangat kotor oleh buangan sampah, banyak dijumpai berbagai moluska hidup atau mati dan karang mati. Berbeda dengan sisi bagian Timur Laut yang masih bersih dengan pantai yang putih, air jernih dan selalu ada ombak menuju laut lepas, yaitu Lautan Pasifik. Di bagian ini tidak terlalu banyak dijumpai moluska maupun karang mati. Pada umumnya penangkapan ikan dan jenis moluska lainnya seperti ikan Napoleon, ikan Kerapu, Lobster, dan Lola masih menggunakan cara tradisional yaitu racun akar bore, pancing, senapan molo dan alat congkel semacam linggis. Cara-cara tersebut digunakan mengingat, bahwa pengusaha atau pembeli hanya ikan yang masih dalam keadaan hidup. Selain itu, sampai saat ini penduduk Dorehkar belum banyak mengetahui teknik penangkapan ikan yang lebih modern karena belum masuk di desa ini. Namun perlu diantisipasi keberadaan pengetahuan teknologi yang lebih ‘canggih’ dalam pengambilan sumber daya laut. Makin tinggi rasa keinginan nelayan untuk memperoleh hasil tangkapan lebih banyak, maka mereka kemungkinan akan mencoba dengan berbagai cara. Misalnya dengan meniru cara yang dilakukan oleh nelayan luar. Dilihat secara sepintas, cara pengambilan ikan dan moluska yang biasa dilakukan penduduk Dorehkar tidak merusak terumbu karang. Namun bila dikaji lebih mendalam, walaupun tingkat perusakannya tidak besar, jenis alat tangkap tradisional juga banyak yang merusak ekosistem laut. Penggunaan akar bore, yaitu sejenis racun 73 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
yang dapat membuat ikan-ikan tersebut pingsan untuk sementara waktu, dianggap tidak berbahaya bagi manusia. Namun tanpa disadari dapat membunuh ikan-ikan lain, terutama ikan kecil, karena tidak tahan dengan racun tersebut. Selain itu, pada saat melakukan kegiatan bameti mereka juga menggunakan linggis untuk mencungkil moluska tertentu berjalan di atas karang. Kegiatan ini tanpa disadari oleh penduduk dapat mematikan terumbu karang yang terinjak atau tercungkil linggis. Alat lain yang juga dapat merusak karang adalah pancing karena sering tersangkut di karang, sehingga ketika ditarik dengan paksa akan diikuti pula oleh karang. Situasi ini dapat mematikan karang tersebut, namun karena tingginya permintaan pasar kegiatan ini terus berlanjut. Tanpa disadari kerusakan terumbu karang pun akan bertambah. Hal ini berlaku pula pada pengguna tombak atau senapan molo, walaupun kapasitasnya kecil dapat merusak terumbu karang karena terkena alat-alat tersebut. 6.2. Faktor Internal Laut bagi masyarakat Desa Dorehkar merupakan sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dan merupakan kehidupan yang saling berkaitan antara manusia dan alam. Hubungan kedua ini menimbulkan pengetahuan, persepsi dan sikap terhadap kondisi dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan laut maupun manusia pendukungnya. Ada tiga faktor yang perlu diperhatikan bagi kelestarian atau kehancuran sumber daya laut dan ekosistim lain yang terkandung di wilayah perairan Desa Dorehkar. Faktor pertama adalah bersifat langsung, seperti yang diakibatkan oleh teknologi alat yang digunakan. Faktor kedua bersifat tidak langsung, yang dibentuk dalam opini manusia sehingga menyebabkan penduduk atau nelayan melakukan perusakan terhadap laut seperti adanya pengetahuan dan persepsi nelayan tentang perubahan yang terjadi berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut. Faktor ketiga adalah sangat terkait dengan alam, seperti terjadinya pengikisan pantai karena rusaknya hutan bakau dan gempa. Dalam kaitan dengan faktor manusia di tingkat internal, pelestarian maupun perusakan yang terjadi harus dilihat dari stakeholders yang terkait didalamnya. Pada tingkat Desa Dorehkar dan masyarakat sekitar Kepulauan Ayau, stakeholders yang terkait pada aktivitas pemanfaatan dan pelestarian sumber daya laut antara lain adalah nelayan, masyarakat, pengusaha pengumpul, aparat desa, pendidik, petugas gereja dan ibu rumah tangga. Kebutuhan ekonomi yang mendesak dengan peluang kesempatan yang terbatas karena yang ada hanya dari sumber daya laut serta ekosistim laut lainnya, membuat penduduk Dorehkar terobsebsi untuk mengambilnya tanpa mengindahkan kondisi sumber daya alam yang makin berkurang. Nelayan dan ibu rumah tangga termasuk stakeholders penting dalam kegiatan ini, yang tanpa disadari peluangnya cukup tinggi sebagai penyebab terjadinya degradasi sumber daya laut di perairan Kepulauan Ayau. Salah satunya adalah dalam penggunaan teknologi baik yang masih tradisional maupun modern yang diperoleh sejalan dengan perkembangan pengetahuan para nelayan. Antara lain alat yang dianggap dapat mengancam kelestarian sumber daya laut dan ekosistim lainnya adalah: • Alat tradisional seperti pancing, senapan molo, linggis, kalawai mandra (tombak bermata tiga), asyam (tusuk gurita), randafen (tali aco) untuk menangkap penyu dan denny amos (jerat udang) yang masih digunakan sampai saat. Penggunaan alat-alat 74
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
tersebut walaupun pada tingkat kerusakan yang rendah namun dibutuhkan karena sumber daya laut yang dicari umumnya berada di celah-celah terumbu karang. Bentuk alat-alat tersebut umumnya mempunyai mata runcing yang mengkait, sehingga bila tersangkut atau tidak kena sasaran dan mengena terumbu karang akan berdampak terhadap kerusakan terumbu tersebut. Kejadian ini tentu tidak hanya terjadi satu kali namun berulang kali, yang akhirnya berakibat fatal terhadap terumbu karang dan sumber daya laut lainnya. • Perubahan pengetahuan dan persepsi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya laut berdampak terhadap teknologi yang digunakan. Alat tangkap modern yang dianggap dapat merusak terumbu karang belum banyak digunakan para nelayan maupun penduduk Dorehkar lainnya. Dilihat perkasus dari survei dan pengamatan di lapangan, selama enam bulan terakhir ada beberapa responden telah menggunakannya, yaitu bom satu kasus dan pukat harimau (trawl) tiga kasus. Sedangkan pengguna akar bore (racun) atau sianida dalam enam bulan terakhir adalah sekitar 23 kasus. Khusus untuk akar bore, persepsi nelayan tidak sama dengan sianida dan telah lama digunakan masyarakat nelayan Kepulauan Ayau, sehingga secara tidak langsung mendorong nelayan untuk menggunakannya dalam penangkapan sumber daya laut tertentu yang bernilai tinggi dan dibutuhkan pasar. Pendapat ini dapat dianggap sebagai pengembangan opini untuk menghindarkan kekeliruan atau kesalahan persepsi tentang penggunaan ‘racun’ yang dikaitkan dengan pemahaman lokal atau kebiasaan yang ada selama ini. Masyarakat desa secara umum sangat berpeluang sebagai penyebab terjadinya proses degradasi sumber daya laut yang ada didalamnya. Misalnya perilaku yang ada di masyarakat Dorehkar dalam penggunaan plastik dan pembuangan sampah yang tidak terkontrol dengan baik sesuai pada tempatnya. Dampak dari situasi ini adalah terhadap kebersihan air laut yang dulu sangat bersih dan jernih terlihat kotor, sehingga mempengaruhi kondisi sumber daya laut yang ada di sekitar wilayah Dorehkar karena tercemar oleh polusi sampah-sampah tersebut. Untuk mengatasi persoalan ini, masyarakat sebagai stakeholders yang ada di desa diberdayakan untuk menjaga kebersihan lingkungan agar laut beserta isinya tetap terjaga. Pengusaha pengumpul yang ada di Desa Dorehkar adalah satu-satunya stakeholders yang mempunyai peran dalam perekonomian masyarakat desa tersebut. Keberadaannya dianggap membawa perobahan positif bagi penduduk karena dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan penduduk. Di samping tidak perlu menjual hasil tangkap ke Kota Sorong, maka para nelayan tidak perlu khawatir hasil tangkapnya akan busuk yang tidak menghasilkan apapun. Namun keberadaan pengumpul ini, walaupun tidak langsung, berdampak negatif terhadap sumber daya laut yang ada di Kepulauan Ayau. Kebutuhan pengusaha agar dapat memenuhi target permintaan pengusaha yang akan mengekspor jenis ikan tertentu (Napoleon dan Kerapu) berusaha mendorong nelayan untuk mendapatkan ikan sesuai dengan permintaan baik dalam jumlah maupun mutunya. Dampak dari dorongan-dorongan ini memacu nelayan untuk mengambil ikan tanpa memperhatikan lingkungan di mana ikan-ikan itu berada, yaitu terumbu karang yang dapat memelihara ikan tetap lestari. Dalam persoalan ini stakeholders pengumpul bila menginginkan tetap memperoleh hasil yang diharapkan, perlu dilibatkan agar tetap menjaga kelestarian alam beserta sumber daya yang ada di dalamnya. Petugas gereja, pendidik dan aparat desa adalah stakeholders diharapkan menjadi kelompok yang dapat membantu melestarikan terumbu karang beserta 75 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
ekosistim sumber daya laut lain yang ada di Kepulauan Ayau, khususnya di wilayah Desa Dorehkar. Petugas gereja dapat memulai pelestarian tersebut dalam bentuk ceramah-ceramah gereja atau pemberian sasi pada jenis sumber daya laut tertentu yang dianggap membahayakan lingkungan. Untuk pendidik dapat dilakukan melalui kurikulum sekolah dimulai pada tingkat sekolah dasar yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Pada kelompok pendidikan sangat terkait dengan kurikulum sekolah dan dinas terkait, yang sudah saatnya memperhatikan kondisi dan kebutuhan lokal. Aparat desa bila diberdayakan sangat mungkin untuk berperan dalam pelestarian terumbu karang, yaitu dengan meletakkan fungsi dan perannya sebagai pengawas untuk kepentingan kehidupan masyarakat yang ada di bawah pengawasannya. 6.3. Faktor Eksternal Di atas telah diungkapkan berbagai faktor internal yang menimbulkan berbagai permasalah dalam pengelolaan sumber daya laut, khusus di sekitar Kepulauan Ayau. Degradasi sumber daya laut tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor internal namun juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan keterlibatan orang luar dalam merubah pengetahuan atau persepsi masyarakat mengenai keberadaan sumber daya laut yang ada di dalamnya. Untuk mengetahui permasalahan yang ada, sebelumnya akan dilihat peraturan apa saja yang berlaku pada tingkat pusat, propinsi maupun daerah berkaitan dengan sumber daya laut, yang dilanjutkan persoalan perusakan sumber daya laut karena faktor-faktor dari luar Desa Dorehkar. 1. Peraturan Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya Laut Peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut untuk wilayah Kabupaten Sorong akan mengacu kepada peraturan yang ada di tingkat pusat. Pada dasarnya, peraturan-peraturan tersebut menghasilkan kebijakan yang akan ditempuh oleh Dinas Perikanan Propinsi dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut secara optimal dan berkesinambungan agar kesejahteraan masyarakat nelayan meningkat.
76
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Berdasarkan Undang-Undang Kementrian Perikanan dan Peraturan Dinas Perikanan yang ada dan berlaku umum, muncul beberapa keputusan bupati untuk mengatur pemanfaat sumber daya laut di wilayah Kabupaten Sorong. Antara lain peraturan atau SK Bupati yang muncul adalah: (1) pengaturan usaha perikanan di Kabupaten Sorong; (2) pengaturan PHP bagi perusahaan PMA/PMDN di Kabupaten Sorong; (3) pengaturan penangkapan Ikan Napoleon; (4) pelarangan penggunaan bahan peledak di tingkat distrik1. Ilustrasi 15 : Peraturan Perikanan Di Wilayah Kabupaten Sorong • Melarang penggunaan alat atau bahan yang dapat menyebabkan pencemaran dan kerusakan sumber daya perairan dan lingkungannya dalam kegiatan usaha perikanan; • Tidak menerbitkan izin usaha penangkapan ikan kerapu dan napoleon, kecuali bagi nelayan tradisional setempat; • Memberikan rekomendasi usaha pengumpulan ikan kerapu dan napoleon dengan persyaratan harus memiliki kelompok nelayan binaan yang berasal dari daerah setempat melalui bentuk kerja sama dalam pola PIR; • Melakukan pembatasan ukuran ikan napoleon yang boleh dikirim ke luar daerah baik antar pulau maupun ekspor, yaitu 1 – 3 kg. per-ekor; • Merekomendasikan penggunaan alat tangkap ikan dan udang yang ramah lingkungan; • Usaha perikanan di Kabupaten Sorong lebih diarahkan kepada budidaya laut untuk mengurangi dampak dari kegiatan penangkapan ikan sehingga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan tetap terjaga; • Membuat perangkat-perangkat hukum bidang perikanan sesuai dengan kewenangan daerah. a.l: SK Bupati tentang usaha perikanan di Kabupaten Sorong dan PHP bagi perusahaan PMA/PMDN di Kabupaten Sorong (Laporan Tahun 2000 Dinas Perikanan Kabupaten Sorong, halaman 1516)
Mengacu kepada peraturan-peraturan yang ada, pada dasarnya semua berbunyi sesuai dengan kehendak untuk pelestarian dan pengaturan sumber daya alam, khususnya laut yang ada di wilayah Kabupaten Sorong. Namun tampaknya perjalanan aturan-aturan yang ada tidak semua dapat berjalan dan dipahami oleh semua orang. Ini terlihat dengan masih banyaknya terjadi pelanggaran dalam penangkapan maupun pelaksanaan usaha sumber daya laut di wilayah Kabupaten Sorong. Apabila persoalan peraturan dan perundangan-undangan belum dapat berjalan dengan baik, maka akan sulit pemerintah daerah untuk berharap banyak kepada hasil sumber daya laut dalam rangka menghadapi otonomi daerah. Padahal sumber daya alam ini merupakan hal penting sebagai sumber devisa daerah yang akan mengangkat daerah menuju kemandirian. Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan bukan hanya banyaknya
1
SK Dirjen Perikanan no.1251/KPTS/KL 420/ll/98 tentang larangan menggunakan bahan peledak, racun, obat bius dan bahan kimia lainnya untuk penangkapan ikan. Peralatan yang boleh digunakan hanya peralatan tradisional seperti pancing, bubu dan Gillinet; SK Dirjen Perikanan No.330/DJ.663/96 tentang tata cara dan ukuran penangkapan ikan Napoleon; Surat edaran camat No.300/329/18 Nopember 1998 tentang pelarangan kepada setiap orang atau badan usaha dalam penangkapan ikan dengan menggunakan potassium, akar tuba dan bahan peledak lainnya.
77 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
undang-unadang dan peraturan namun bagaimana dalam pelaksanaan dan kualitas sumber daya manusia, baik mental maupun daya kerjanya. 2. Konflik Kepentingan Berkaitan Dengan Sumber Daya Laut Meningkatnya permintaan dari luar Desa Dorehkar terhadap beberapa jenis sumber daya laut (Ikan Napoleon, Ikan Kerapu, ikan hias dan biota laut lainnya) sejak sekitar 10 tahun ini sangat berdampak terhadap cara pengambilan sumber daya laut tersebut. Aturan-aturan yang ada umumnya hanya di kertas dan seringkali tidak dapat berjalan dengan baik. Begitupula dengan cara penangkapan ikan mulai terjadi penyimpangan dari peraturan yang ada, walaupun masyarakat desa sendiri mengetahui bahwa cara tersebut dilarang karena dapat merusak laut dan isinya. Namun tampaknya pengaruh masuknya kapal asing yang hendak mengambil jenis-jenis sumber daya laut tertentu serta desakan ekonomi membuat nelayan mulai tidak mengindahkan aturan dan pengetahuan yang baik mengenai sumber daya laut. Untuk masyarakat Kepulauan Ayau, khususnya Desa Dorehkar, kondisi ini makin nyata sejak adanya pengusaha dari Kabupaten Sorong yang bertindak sebagai pengumpul yang berdomisili di Desa Reni. Adanya aktivitas ini memacu penduduk Kepulauan Ayau untuk mengambil jenis ikan dan sumber daya laut lain yang dibutuhkan pengusaha, dan bernilai ekonomi tinggi. Penduduk yang dulu tidak membedakan jenis ikan apa yang dikonsumsi, sekarang mulai membatasinya karena lebih mengejar nilai rupiah daripada di makan; kecuali ikan-ikan tersebut setengah mati atau mati karena pengumpul tidak menerima. Meningkatnya permintaan terhadap sumber daya laut tersebut, khususnya ikan Napoleon dan ikan Kerapu, juga terlihat dengan bertambahnya para pengumpul ikan yang tidak hanya di Desa Reni namun juga ada di Desa Dorehkar. Setiap pengumpul mempunyai induk perusahaan di Kota Sorong karena biasanya mereka-mereka ini yang mempunyai izin usaha ekspor ke luar negeri, khususnya Hongkong. Perusahaan ini yang langsung mengambil ikan-ikan tersebut di tempat pengumpul (keramba) dengan kapal tangker dan langsung dibawa ke Hongkong. Dengan memegang izin usaha mereka dapat seenaknya mengangkut ikan-ikan tersebut tanpa diketahui lagi secara detil, berapa banyak jumlah ikan yang dibawa kecuali yang terlaporkan. Pengusaha pun waktu ditanya tidak memberi jawab dan mengembalikannya untuk bertanya ke dinas perikanan, karena data sudah di sana. Persoalan-persoalan yang muncul dengan keberadaan pengusaha-pengusaha ini sangat terlihat dalam kehidupan masyarakat dan kondisi sumber daya laut yang ada di Kepulauan Ayau. Penggunaan alat yang merusak lingkungan mulai muncul di tengah nelayan, walaupun tidak tinggi jumlahnya. Namun dengan adanya pengaruh nelayan luar yang memanfaatkan perairan Kepulauan Ayau sebagai wilayah tangkap (fishing ground), yang umumnya tidak mengindahkan kaidah-kaidah penangkapan ikan yang tidak merusak lingkungan, lama kelamaan akan berpengaruh kepada nelayan lokal. Apalagi pihak luar atau pengumpul mulai melakukan pengelompokan terhadap beberapa orang nelayan untuk melakukan penangkapan ikan bersama dengan modal dari pengumpul. Tanpa disadari aktivitas ini merusak pula pengetahuan para nelayan yang tadinya tidak menggunakan alat penangkapan modern dan merusak, mulai mencoba agar dapat menghasilkan ikan lebih banyak. Teknologi pukat harimau dan penggunaan bom, sianida dan sebagainya mulai merebak yang akhirnya merusak 78
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
perairan Kepulauan Ayau, khususnya terumbu karang, di mana ikan-ikan yang menjadi tujuan pengusaha tersebut berada. Persoalan lain yang muncul sebagai dampak masuknya pengetahuan dari luar adalah terhadap nelayan, yang mulai membuat kelompok-kelompok untuk dapat menghasilkan ikan lebih banyak. Selama ini pengelompokan nelayan dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan konflik di masyarakat, namun bila muncul kelompok yang dominan atau berusaha untuk mendapat hasil yang banyak tanpa mengindahkan kelompok lain akan muncul konflik-konflik di tengah nelayan. Hal ini akan mudah terjadi bila dipicu dengan kepentingan yang berlebihan dari pihak pengusaha, yang juga ada saling berlomba untuk dapat mengekspor lebih banyak di antara pengusaha. Kondisi ini perlu menjadi perhatian mengingat di masyarakat Desa Dorehkar sendiri ada konflik antara marga (keret) atau antara desa seperti Desa Dorehkar dan Desa Yenkawir.
79 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab VII Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian ini dilakukan di Desa Dorehkar, Distrik Sorong, Propinsi Papua, dengan tujuan untuk membuat data dasar sosial bagi pelaksanaan program COREMAP di wilayah tersebut. Hasil dari studi ini memperlihatkan, bahw a ada tiga aspek yang perlu diperhatikan bila akan melakukan suatu kegiatan atau program yang berkaitan dengan terumbu karang atau sumber daya laut, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi, sosial-budaya dan aspek kebijakan (policy dan regulasi). Aspek sosial-ekonomi yang menonjol antara lain mengenai pemasaran hasil produksi sumber daya laut yang ada menjadi monopoli pengusaha pengumpul, aspek sosialbudaya meliputi konservasi secara tradisional yang telah dijalankan oleh masyarakat Dorehkar serta pengetahuan tentang sumber daya laut. Adapun aspek yang berkaitan dengan kebijakan dan regulasi merupakan implementasi kebijakan pemerintah maupun masyarakat setempat yang belum mencapai sasaran. Aspek Sosial-Ekonomi Pada dasarnya peran penduduk Desa Dorehkar dalam pemasaran hasil produksi masih rendah, baik produksi utama seperti ikan Napoleon dan Kerapu maupun produksi tambahan seperti ikan asin, ikan asap dan senat. Pemasaran produksi utama lebih jelas karena adanya pengusaha pengumpul dari luar desa yang berdomisili sementara di desa ini. Pedagang pengumpul ini secara tidak disadari telah menjadi pemegang monopoli pemasaran ikan di Dorehkar dan desa sekitarnya. Ada tiga yang membuat penduduk tidak mempunyai posisi tawar dalam menentukan nilai ikan yang sesuai dengan harga ekspor, yaitu: 1) tidak adanya informasi tentang harga ikan di pasar domestik maupun internasional; 2) tidak adanya alternatif pemasaran di tempat lain karena tidak tersedianya alat tranportasi umum yang menghubungkan Desa Dorehkar dan desa lainnya maupun Kota Sorong, sehingga nelayan sulit untuk memasarkan hasil tangkapan secara efisien dengan harga bersaing; 3) tidak ada storage yang memadai untuk memelihara ikan segar sebelum dipasarkan. Pada saat ini para nelayan hanya mempunyai keramba sederhana buatan sendiri untuk keperluan pengusaha pengumpul. Hal ini sering menimbulkan kerugian dan pemborosan karena ikan yang telah ditangkap banyak yang mati sebelum dipasarkan. Untuk memecahkan persoalan ini diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak misalnya antara pemerintah, LSM, pejabat setempat, pengusaha dan masyarakat (termasuk nelayan, ibu-ibu dan ketua adat). Aktivitas yang perlu dilakukan agar usaha ini dapat berjalan sesuai dengan pemahaman ‘win-win solution’, yaitu: •
Pemerintah, dalam hal ini dinas perikanan bersama pengusaha memberikan informasi yang benar tentang harga ikan, baik dipasaran domestik maupun internasional, sehingga nelayan dapat memperoleh harga yang pantas ketika menjual kepada pengusaha yang mempunyai akses untuk eksport.
•
Pemerintah memfasilitasi nelayan dengan memberikan bimbingan dan mendorong penduduk untuk tidak hanya menjadi nelayan penangkap ikan, namun juga sebagai 81 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
nelayan pengusaha yang mampu untuk memasarkan sendiri hasil tangkapan ikan tanpa melalui pengusaha pengumpul. •
Membimbing penduduk untuk dapat saling bekerja sama secara berkelompok sehingga dapat mengelola sendiri perdagangan ikan. Permintaan ikan dari daerah lain tidak melalui pengusaha namun dapat langsung ditangani oleh nelayan setempat. Pemerintah, dalam hal ini dinas perikanan, dapat menginformasikan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai expotir ikan dan memberikan informasi tentang adanya permintaan sumber daya laut atau ikan dari pengusaha lokal maupun internasional sehingga penduduk dapat membuat jaringan pemasaran sendiri. LSM diperlukan untuk memberi pendampingan dalam usaha yang dilakukan oleh penduduk setempat.
•
Pemerintah memfasilitasi/menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh nelayan setempat seperti pengembangan teknologi pembuatan storage ikan segar (keramba) yang telah dilakukan oleh penduduk agar tingkat kematian ikan dapat dikurangi. Kerja sama pemerintah, LSM dan penduduk setempat diperlukan untuk pengembangan teknologi ini. Pemerintah dalam hal ini dinas perikanan memfasilitasi dengan memberikan bimbingan untuk pembuatan storage, LSM melakukan pendampingan sedangkan penduduk yang melakukan pengembangan keramba tersebut.
Adanya kecenderungan untuk mengeksploitasi sumber daya laut secara tidak terkendali oleh nelayan lokal maupun luar akan berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan nelayan. Kondisi ini tentu akan mempunyai cukup berarti terhadap kehidupan ekonomi nelayan, khususnya penduduk Desa Dorehkar dan sekitarnya. Apabila persoalan ini tidak diantisipasi secara dini, maka masa depan penduduk Desa Dorehkar dapat dikatakan ‘suram’ karena laut yang menjadi andalan hanya diambil tanpa memperhatikan kelanjutan dari ekosistim yang ada didalamnya. Untuk mengatasinya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni: •
Masyarakat, aparat desa dan dinas terkait perlu mengantisipasi kondisi tersebut dengan memfasilitasi penduduk pada usaha pengembangan budidaya ikan seperti ikan Kerapu dan jenis sumber daya laut lain yang bernilai tinggi. Misalnya, pemerintah mengkoordinir nelayan yang berbakat untuk belajar di daerah lain yang telah berhasil dalam mengembangkan ikan Kerapu maupun sumber daya laut lainnya. Mengingat pemahaman masyarakat baru pada tingkat melihat, mendengar, dan meniru, maka seharusnya pemerintah tidak hanya memfasilitasi pada awal kegiatan namun secara berkesinambungan. Untuk itu diperlukan keaktifan fasilitator dengan menggunakan prinsip ‘sekolah lapang’ atau pendampingan langsung di lapangan.
•
Hasil produksi sumber daya laut perlu dikembangkan agar lebih bervariasi tidak hanya terkonsentrasi pada tiga jenis sumber daya laut utama. Produsi ikan asin dan ikan asap mempunyai prospek cukup baik namun perlu ditingkatkan kualitasnya. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan pengetahuan tentang pembuatan ikan asin dan ikan asap yang effisien dan tahan lama. Pemerintah, LSM, masyarakat dan pengusaha sangat diperlukan oleh penduduk agar mencapai hasil yang optimal.
82
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Aspek Sosial-Budaya Masyarakat Dorehkar mempunyai pengetahuan yang luas tentang sumber daya laut, yang terlihat dengan dipunyainya nama-nama lokal dari ekosistim laut, pengetahuan tentang manfaat dan aktivitas yang dapat merusak terumbu karang, serta kalender penangkapan ikan. Pengetahuan ini diperoleh berdasarkan pengalaman yang terakumulasi dari keluarga dan lingkungan sosial di sekitarnya. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, para nelayan dapat mengidentifikasi dan mengungkapkan bahwa kondisi ekosistim di perairan Kepulauan Ayau, termasuk terumbu karang, telah mengalami penurunan secara kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu, mengingat kecenderungan menurunnya kondisi sumber daya laut yang ada, tampaknya pengetahuan yang dimiliki penduduk dapat dijadikan sebagai awal dari tindakan untuk melestarikan keberadaan terumbu karang beserta ekosistim lainnya di sekitar Desa Dorehkar atau Kepulauan Ayau. Pengetahuan yang diperkirakan bermanfaat perlu dilestarikan, agar generasi akan datang dapat menjaga kelestarian lingkungannya yang mempunyai nilai ekonomis maupun sosial bagi masyarakat pendukungnya. Untuk itu ada tiga pintu yang dapat digunakan, yaitu: •
Lembaga pendidikan yang mempunyai kurikulum bermuatan lokal baik pada tingkat dasar maupun sekolah lanjutan. Kurikulum yang diberikan dapat diawali dengan pengenalan tentang lingkungan laut sekitarnya dan kasus -kasus yang dapat merusak lingkungan, khususnya sumber daya laut yang dekat dengan kehidupannya. Misalnya dalam pelajaran menggambar di tingkat sekolah dasar dengan mengarahkan murid menggambarkan lingkungan laut dan sekitarnya. Pelajaran bahasa Indonesia dengan memberikan bimbingan kepada murid untuk membuat karangan/cerita tentang permasalahan yang berhubungan dengan kelautan.
•
Lembaga gereja dapat berpartisipasi pada saat sekolah minggu atau pertemuanpertemuan yang tidak bersifat keagamaan. Pada kesempatan tersebut, petugas agama dapat memberikan pendidikan lingkungan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan tingkat degradasi bila penduduk sekitarnya tidak menjaga lingkungan tersebut.
•
Lembaga adat yang dapat dikembangkan adalah kelembagaan sasi yang telah dikenal lama di masyarakat Dorehkar karena dapat dikatakan sebagai suatu tindakan konservasi dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayahnya, termasuk sumber daya laut. Namun tampaknya budaya sasi yang dilakukan belum effektif untuk menjaga kelestarian lingkungan, khususnya terumbu karang. Aktivitas sasi yang telah berjalan baru pada jenis tertentu seperti kelapa dan lola dengan tujuan untuk menghimpun dana masyarakat atau gereja. Di sisi lain, sasi juga dimanfaatkan oleh marga tertentu untuk dapat melindungi sumber daya tertentu yang punya nilai tinggi agar tidak diambil orang lain karena banyak terdapat di wilayah yang ditentukan sebagai wilayah kerja marga tersebut, kecuali ada izin dari ketua marga. Hal ini berdampak terhadap kelestarian lingkungan, karena kelompok marga yang merasa berhak atas wilayah tersebut berusaha mengeksploitasi sumber daya laut yang ada tanpa diusik orang lain.
Untuk mengatasi persoalan ini, mungkin perlu dilakukan revitalisasi pemahaman budaya sasi dan dikembangkan sesuai dengan tujuan yang lebih bermanfaat bagi pelestarian sumber daya alam, khususnya ekosistim laut, yang ada di sekitar wilayah Desa Dorehkar. Dalam pelaksanaannya dapat dikembangkan baik dari jenis sumber daya yang ada maupun lokasi akan diberlakukannya sasi dengan secara bergilir. Agar 83 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
tidak terjadi kesalahpahaman di antara masyarakat setempat dan sekitarnya, maka perlu melibatkan stakeholders yang ada di desa ini seperti pemimpin marga (keret), aparat desa, pengusaha pengumpul, dan gereja. Aspek Kebijakan (Policy) Penelitian ini menemukan ada dua macam kebijakan yang muncul di masyarakat Dorehkar, yaitu kebijakan pemerintah dan kebijakan di masyarakat. Kebijakan pemerintah pada dasarnya mengacu kepada aturan-aturan tertulis yang telah dikemas dari pemerintah pusat, tingkat propinsi dan kabupaten dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Hasil dari studi ini menunjukkan, bahwa implementasi dari kebijakan pemerintah yang menyangkut pengelolaan sumber daya laut belum mencapai sasaran, karena masih terjadi adanya penyimpangan terhadap peraturan yang telah dikeluarkan. Misalnya dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah izin penangkapan ikan hanya diberikan kepada penduduk setempat, namun dalam pelaksanaannya izin memang dipegang oleh penduduk lokal tapi usaha penangkapan dikendalikan oleh pengusaha pengumpul. Pemegang izin usaha hanya mendapatkan bayaran yang besarnya tidak menentu dan diserahkan pada kebijakan pengusaha, yang terkadang dapat dikatakan sebagai upah kerja karena dia juga bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini terjadi karena pemilik izin tidak mempunyai modal dan hubungan kerja (network ) serta pengetahuan untuk melakukan usaha agar dapat mencapai pada tingkat eksport atau pengusaha di Kota Sorong. Pada akhirnya penduduk setempat hanya bertindak sebagai ‘buruh’ yang semua aktivitasnya dikendalikan oleh pengusaha. Untuk mengatasi persoalan ini sudah seharusnya pemerintah mengkaji ulang peraturan yang ada dan disesuaikan dengan kondisi setempat karena setiap desa atau lokasi mempunyai aturan dan pengetahuan yang berbeda. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan monitoring dan evaluasi tentang pelaksanaan peraturan-peraturan yang ada dan mencoba menegakkan hukum bagi yang melanggar. Untuk mengatasi permasalahan kerusakan ekosistim laut, khususnya terumbu karang, sudah seharusnya pemerintah membuat aturan yang melarang pengusaha untuk membeli atau memperdagangkan sumber daya laut yang dilarang atau dilestarikan. Kebijakan lain yang perlu dipertimbangkan adalah memberi perhatian kepada masyarakat Dorehkar, walaupun jauh, untuk mencari solusi peningkatan ekonomi penduduk yang sesuai dengan sumber daya alam namun tidak berpretensi menghancurkan ekosistim laut yang akan berdampak jauh terhadap kehidupan mereka. Mengacu kepada persoalan di atas, sudah seharusnya pemerintah membuat kebijakan program yang tidak hanya ‘seumur jagung’ namun bermanfaat dan berkesinambungan sehingga program dapat dinikmati masyarakat. Paling tidak menunjukkan ada manfaatnya bagi masyarakat yang akan melaksanakan. Dalam pelaksanaan kebijakan program tersebut pemerintah seharusnya tidak berdiri sendiri namun membuat suatu jaringan dengan stakeholders terkait, misalnya dengan penyandang dana, pengusaha, tokoh masyarakat, aparat setempat, dinas terkait, masyarakat dan LSM. Selain itu pelaksanaan tentang peraturan pembatasan ukuran dalam pengambilan sumber daya laut belum optimal. Masyarakat masih mengambil sumber daya laut dengan ukuran yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
84
Studi Kasus : Kampung Dorehkar, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Daftar Pustaka Abdullah, Ahmad dkk. (1989). Laporan Survei Penilaian Potensi Sumber Daya Alam Laut Dalam Rangka Penetapan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Ajoe, Irian Jaya. Bogor: Proyek Pengembangan Kawasan Pelestarian Laut. BPPT. (2001). Papua Membangun Raja Ampat Berkembang Wawiay Sejahtera. Sorong Papua. COREMAP. (1998). Selamatkan Terumbu Karang Kita. Jakarta: LIPI. Djohan, Eniarti (1999). Potensi dan Kendala Dalam Pengelolaan Terumbu Karang: Pedoman Untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Desa Titawaai, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku). Jakarta:PT.Galaksi Perdana. Farid dan Sryyadi, (2001). Laporan Umum Hasil Penelitian RAP di Kepulauan Raja Ampat, Sorong, Irian Jaya. Jayapura: Conservasi Internation Indonesia Program Irian Jaya. Mambraku, Nomensen ST. (1996). Pemukiman Migran Biak Di Kepulauan Raja Ampat, Kabupaten Sorong (suatu reperkusi intervensi kemaritiman). Makalah disampaikan pada Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XIII (9 – 12 Juli 1996) di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang Pemerintah Kabupaten Sorong (2000). Laporan Tahunan 2000. Sorong: Dinas Perikanan Kabupaten Sorong.
85 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Peta
KEPULAUAN AYAU P. Abris P. Reni
P. Padarnker
P. Rutum
P. Apop
Samudera Pasifik
P. Kafot
P. Meosmandum P. Abidon
P. Ros
P. Tukan
P. Meosbekwan P. Dua
P. Dorekhar
Sumber: hasil pemetaan bersama dengan narasumber di Kepulauan Ayau
Gambar 2. Peta Wilayah Terumbu Karang di Desa Dorehkar
6 Hak atas karang (fishing ground) keret Mambrisau
Hak atas karang (fishing ground) masyarakat.
Yenkawir
P. Urbabo (P. Dua)
DesaYenkawir
P.
P. RUNI
5
3
7 Desa Dorhekar
Hak atas karang (fishing ground) Keret Umpes
4
Hak atas karang (fishing ground) Keret Imbir
1 2
u
Keterangan gambar: Nama-nama tempat sbg. tanda penguasaan Wilayah terumbu karang sekaligus sbg. Fishing spot keret: 1 : Tempat yg berhadapan langsung dg. Telaga dorey (Abor Saudorei) 2 : Tempat ke luar-masuk perahu (Abor Saukyup) 3 : Tempat berlabuh kapal asing pada masa lalu (Abor Sauinkeres) 4 : Tempat lahir seorang bayi (Abor Napmor) 5 : Batu besar (Abor Karubeba) 6 : Kumpulan karang di atas pasir (Abor Mamorikuan) 7 : Batu yg (menyerupai) bantal (Abor Kerui Afiak)
Batas ant Laut dangkal dgn laut dalam Batas wilayah penguasa bosen Pusat Desa Batas Desa Rumput luat
Sumber : Gambaran Pemahaman penduduk Desa Dorehkar yang diperoleh dari, hasil wawancara mendalam dengan salah satu penduduk keret Mambrisau
Peta
Penguasaan Wilayah Terumbu Karang Di Pulau Runi Menurut pemahaman masyarakat setempat Keterangan gambar: Nama-nama tempat sbg. tanda penguasaan wilayah terumbu karang sekaligus sbg. Fishing spot keret: 1 : Tempat yg berhadapan langsung dg. Telaga dorey (Abor Saudorei) 2 : Tempat ke luar-masuk perahu (Abor Saukyup) 3 : Tempat berlabuh kapal asing pada masa lalu (Abor Sauinkeres) 4 : Tempat lahir seorang bayi (Abor Napmor) 5 : Batu besar (Abor Karubeba) 6 : Kumpulan karang di atas pasir (Abor Mamorikuan) 7 : Batu yg (menyerupai) bantal (Abor Kerui Afiak)
U
Kawasan konflik antara Keret Mambrisau dg warga masy. Desa Meosbekwan
Hak atas karang (fishing ground) masy. Yenkawir
6 P. Urbabo (P. Dua)
Batas ant. laut dangkal dg laut dalam Batas wilayah penguasaan bosen Batas desa Pusat desa Rumput laut
Hak atas karang (fishing ground) keret Mambrisau
P. Runi 5
DesaYenkawir P. Urmasasi
Desa Dorhekar
4 Hak atas karang (fishing ground)
3
2 1
Sumber : hasil pemetaan bersama dengan narasumber di Kepulauan Ayau
Hak atas karang (fishing ground) keret Imbir
7
PETA LOKASI PENGEBOMAN DI SEKITAR PULAU RUNI Ð MENURUT PEMAHAMAN MASYARAKAT SETEMPAT Batas ant. laut dangkal dg laut dalam
ÐÐÐ Ð Ð ÐÐ ÐÐÐ
6 Hak atas karang (fishing ground) keret Mambrisau
ÐÐ Ð ÐÐ Ð Ð Ð
Batas wilayah penguasaan bosen Batas desa pengeboman Pusat desa
Rumput laut 1,2,3,4,5,6,7
Ð
Fishing spot Lokasi
Hak atas karang (fishing ground) masy. Yenkawir
P. Urbabo (P. Dua)
DesaYenkawir
P. Runi P. Urmasasi
5
U
Desa Dorhekar
ÐÐÐ Ð
7
Hak atas karang (fishing ground) 4 3
Sumber: hasil pemetaan bersama dengan narasumber di Kepulauan Ayau
2
Hak atas karang (fishing ground) keret Imbir
1
PETA DISTRIK WAIGEO UTARA KABUPATEN SORONG PROPINSI PAPUA
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Sorong, Propinsi Papua, 2000