42
BAB V PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KARIMUNJAWA DAN JEPARA
5.1. Pengelolaan Perikanan di Karimunjawa Sumber daya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat diakses secara terbuka. Potensi sumberdaya perikanan yang tinggi terutama di Karimunjawa mendorong banyak pihak ingin memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan sumberdaya perikanan di
Karimunjawa
yaitu, Nelayan Karimunjawa, Nelayan luar
Karimunjawa, Pemerintah Kabupaten Jepara, Pemerintah Desa Karimunjawa, dan Departemen Perikanan dan Kelautan. Dibutuhkan suatu sistem yang mengelola sumberdaya perikanan agar pemanfaatannya dapat dirasakan secara merata. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa dilakukan oleh beberapa pihak yaitu Balai Taman Nasional Karimunjawa, Pemerintah Desa yang bekerjasama dengan Nelayan Karimunjawa, Pemerintah Provinsi, dan Departemen Perikanan dan Kelautan. 5.1.1. Pengelolaan Perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa Pengelolaan perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dilakukan dengan membuat sistem zonasi. Sistem zonasi mengatur batas-batas wilayah
dalam
memanfaatkan
sumberdaya
perikanan.
Taman
Nasional
Karimunjawa dikelola berdasarkan sistem zonasi yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No.SK.79/IV/Set-3/2005 mengenai zonasi atau mintakat di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Di dalam kawasan ini terdapat 7 zona yaitu zona inti, perlindungan, pemanfaatan pariwisata, pemukiman, rehabilitasi, budidaya dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional maka dilakukan revisi terhadap zonasi yang telah ditetapkan dengan mengeluarkan Surat
Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
No.SK.28/IV-
SET/2012. Pembagian zonasi berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Tahun 2012 menetapkan terdiri dari delapan zona yaitu zona inti,
43
perlindungan bahari, pemanfaatan darat, pemanfaatan wisata bahari, budidaya bahari, religi dan sejarah, rehabilitasi dan perikanan Tradisional. Setiap zonasi memiliki deskripsi, tujuan dan aktivitas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. 1.
Zona Inti Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik
biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia dan mutlak
dilindungi
yang
berfungsi
untuk
perlindungan
keterwakilan
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Fungsi dan peruntukan zona inti adalah sebagai pengawetan perwakilan tipe ekosistem perairan laut yang khas/ alami/unik dan biota laut lainnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan dan merupakan bank plasma nutfah dari biota laut, untuk kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona inti meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan ekosistemnya. c. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan atau penunjang budidaya. d. Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan. Kegiatan-kegiatan
yang
dilarang
adalah
kegiatan
yang
dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti seperti: a. Mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. b. Sengaja maupun tidak sengaja melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, molusca, penyu dan biota laut baik hidup, mati atau bagian-bagiannya. c. Sengaja atau tidak sengaja menggali, mengganggu atau memindahkan setiap bagian atau komponen ekosistem perairan laut. d. Melakukan kegiatan wisata bahari. e. Melakukan penambangan pasir.
44
2.
Zona perlindungan Zona perlindungan adalah bagian taman nasional yang karena letak,
kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Sedangkan peruntukannya adalah sebagai wilayah untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya seta mendukung zona inti. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona perlindungan meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya. c. Pengembangan
penelitian,
pendidikan,
wisata
alam
terbatas,
pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya. d. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan populasi hidupan liar. e. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan wisata alam terbatas. Aktivitas atau kegiatan yang dilarang seperti : a. Mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona perlindungan serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. b. Sengaja maupun tidak sengaja melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, molusca, penyu dan biota laut lainya baik hidup, mati atau bagian-bagiannya. c. Melakukan penambangan pasir. 3.
Zona pemanfaatan perikanan tradisional Zona pemanfaatan perikanan tradisional adalah kawasan perairan yang
diperuntukkan sebagai daerah pemanfaatan perikanan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejahteraan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. aktivitas yang tidak diperbolehkan adalah semua kegiatan di zona inti dan Introduksi jenis biota serta penangkapan ikan yang menggunakan alat tidak ramah lingkungan (mourami, jaring pocong, jaring cantrang, sianida).
45
4. Zona pemanfatan pariwisata Zona ini adalah untuk pengembangan aktivitas wisata alam alam bahari maupun wisata alam lainnya, rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan pendidikan dan atau kegiatan penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona pemanfaatan pariwisata meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya c. Penelitian dan pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam. e. Pembinaan habitat dan populasi. f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. 5. Zona budidaya Zona yang diperuntukkan mendukung kepentingan budidaya perikanan seperti budidaya rumput laut, karamba jaring apung dan sebagainya oleh masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. Kegiatan yang diperbolehkan adalah budidaya rumput laut, karamba jaring apung dan sebagainya. 6. Zona rehabilitasi Zona yang diperuntukkan untuk kepentingan pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan ≥75%. Kegiatan yang diperbolehkan a. Kegiatan rehabilitasi guna pemulihan ekosistem di zona ini. b. Kegiatan pendidikan, penelitian, pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya. c. Pembinaan habitat dan populasi. 7. Zona Pemanfaatan darat Zona ini adalah untuk pengembangan aktivitas wisata alam alam bahari maupun wisata alam lainnya, rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan pendidikan dan atau kegiatan
46
penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona pemanfaatan pariwisata meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. c. Penelitian dan pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya. d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam. e. Pembinaan habitat dan populasi. f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. 8. Zona Religi, Budaya dan Sejarah Zona yang diperuntukkan untuk melindungi nilai-nilai hasil karya budaya, sejarah, arkeologi, maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian, pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius. Kegiatan yang diperbolehkan adalah a. Kegiatan perlindungan dan pengamanan. b. Pemanfaatan wisata alam, penelitian, pendidikan dan religi. c. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah serta keberlangsungan upacaraupacara ritual keagamaan/adat yang ada. Pelanggaran terhadap sistem zonasi dan penggunaan alat tangkap perikanan di Karimunjawa akan dikenakan sanksi sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990. Berdasarkan UU NO.5 Tahun 1990 Pasal 40, setiap orang yang melakukan tindakan kejahatan berupa kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan di kawasan zona inti, akan dikenakan sanksi berupa penjara paling lama sepuluh tahun dan denda berupa uang paling banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Setiap orang yang melakukan tindakan pelanggaran berupa mengambil, merusak, memusnahkan, menjual tumbuhan atau organisme yang dilindungi oleh Taman Nasional, akan dikenakan sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).
47
Tabel 12. Pembagian Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam Nomor :SK.28/IV-SET/2012 Tahun 2012. No. Pembagian Zona 1.
Zona Inti seluas 444,629 hektar, meliputi sebagian perairan Pulau Kumbang, Taka Menyawakan, Taka Malang, dan Perairan Tanjung Bomang.
2.
Zona Rimba seluas 1.451,767 hektar, meliputi Hutan Hujan Tropis, Dataran Rendah di Pulau Karimunjawa, dan Hutan Mangrove di Pulau Kemujan (Tanpa areal Legon Lele, areal Tracking Mangrove, dan areal makam Sunan Nyemplungan).
3.
Zona Perlindungan Bahari seluas 2.599, 770 hektar, meliputi perairan Pulau Sinto, Gosong Tengah, Pulau Bengkoang bagian utara, Pulau Cemara Besar bagian selatan, Pulau Menjangan Kecil, timur Pulau Nyamuk, Perairan Karang Kapal, Karang Besi bangian selatan, Krakal Besar bagian utara, Gosong Kumbang, Pulau Kembar dan Gosong Selikur.
4.
Zona Pemanfaatan Darat seluas 55,933 hektar, meliputi Pulau Menjangan Kecil, Pulau Cemara Besar, areal Legon Lele, areal Tracking Mangrove, areal Nyamplung Ragas.
5.
Zona Pemanfaatan Wisata Bahari seluas 2.733,735 hektar, meliputi perairan Pulau Menjangan Besar, perairan Pulau Menjangan Kecil, Perairan Pulau Menyawakan, Perairan Pulau Kembar, Perairan Pulau Tengah, Perairan Sebelah Timur Pulau Kumbang, Perairan Pulau Kumbang bagian selatan, Indonor, dan Perairan Pulau Cemara Besar bagian utara, Perairan Tanjung Gelam, Perairan Pulau Cemara Kecil bagian utara, Peraian Pulau Katang, Perairan Kerakal Besar bagian selatan, Perairan Kerakal Kecil, Perairan Pulau Cilik.
6.
Zona Budidaya Bahari seluas 1.370,729 hektar, meliputi Perairan Pulau Karimunjawa, Perairan Pulau Kemujan, Perairan Pulau Menjangan Besar, Perairan Pulau Parang dan Perairan Pulau Nyamuk, perairan Karang Besi bagian utara.
7.
Zona Religi Budaya dan Sejarah seluas 0,859 hektar, meliputi areal Makam Sunan Nyemplungan di Pulau Karimunjawa.
8.
Zona Rehabilitasi seluas 68,329 hektar, meliputi Perairan sebelah timur Pulau Parang, Perairan sebelah timur Pulau Nyamuk, perairan sebelah barat Pulau Kemujan dan perairan sebelah barat Pulau Karimunjawa.
9.
Zona Tradisional Perikanan seluas 102.899,249 hektar, meliputi seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan TN Karimunjawa.
Sumber: Data Primer, 2012
48
Perubahan sistem zonasi yang dilakukan Balai Taman Nasional mengakibatkan terciptanya batas-batas sistem zonasi yang baru (Gambar 6). Revisi sistem zonasi yang dilakukan oleh TNKJ untuk menyesuaikan kepentingan dari pusat dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Karimunjawa. Revisi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dilakukan dengan melibatkan masyarakat untuk memberikan pendapat mengenai sistem zonasi yang seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Hasil kesepakatan yang terbentuk dari masyarakat dengan Balai Taman Nasional yang kemudian dijadikan sebagai sistem Zonasi terbaru.
Gambar 6. Peta Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2012 5.1.2. Pengelolaan Perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah dalam Per.02/MEN/2011 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan berisi tentang pengaturan jalur-jalur pemanfaatan sumberdaya perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang merupakan undang-undang tentang Perikanan. Per.02/MEN/2011 menetapkan jalur-jalur penangkapan ikan menjadi 3 jalur, yaitu:
49
1. Jalur penangkapan ikan I yang terdiri dari Jalur penangkapan ikan IA meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah dan Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut. 2. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. 3. Jalur Penangkapan Ikan III meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II ( diatas 12 mil). Jalur penangkapan ikan di wilayah penangkapan perikanan di Indonesia ditetapkan berdasarkan
karakteristik kedalaman perairan.
Karakteristik
kedalaman perairan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Perairan dangkal (≤ 200 meter) yang terdiri dari: a.
WPP-NRI 571, yang meliputi Perairan Selat Malaka dan Laut Andaman;
b.
WPP-NRI 711, yang meliputi Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan;
c.
WPP-NRI 712, yang meliputi Perairan Laut Jawa;
d.
WPP-NRI 713, yang meliputi Perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; dan
e.
WPP-NRI 718, yang meliputi Perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor Bagian Timur.
2. Perairan dalam (> 200 meter) yang terdiri dari: a. WPP-NRI 572, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; b. WPP-NRI 573, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa sampai dengan sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor Bagian Barat;
50
c. WPP-NRI 714, yang meliputi Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; d. WPP-NRI 715, yang meliputi Perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; e. WPP-NRI 716, yang meliputi Perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera; dan f. WPP-NRI 717, yang meliputi Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik. Permen yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan pasal 22 sampai 31 mengatur alat- alat tangkap yang dapat digunakan di Karimunjawa, yaitu: 1.
Jaring insang tetap (Set gillnets (anchored))
dioperasikan dengan
menggunakan ukuran: a.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P ≤ 500 m, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III.
b.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P ≤ 1.000 m, menggunakan kapal motor berukuran >10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III.
2.
Jaring liong bun dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 8 inch, P tali ris ≤ 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran ≥ 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III.
3.
Jaring insang hanyut (Driftnets)
dioperasikan dengan menggunakan
ukuran: a.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 500 m, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III.
b.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 1.000 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III.
c.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III.
51
4.
Jaring insang lingkar (encircling gillnets)
dioperasikan dengan
menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 600 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB dan II. 5.
Jaring insang berpancang (fixed gillnets (on stakes)) bersifat statis dan pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 300 m, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA.
6.
Jaring klitik bersifat statis dan pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 500 m, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB.
7.
Bubu (pots) dioperasikan dengan jumlah bubu ≤ 300 buah, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor semua ukuran, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA, IB, dan II.
8.
Bubu
bersayap
(fyke
nets)
bersifat
statis
dioperasikan
dengan
menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1 inch; P tali ris ≤ 50 m, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA. 9.
Pancing ulur dioperasikan untuk semua ukuran kapal penangkap ikan, dan disemua jalur penangkapan ikan.
10. Pancing berjoran dioperasikan untuk semua ukuran kapal penangkap ikan, dan disemua jalur penangkapan ikan. a.
Jumlah pancing ≤ 800 mata pancing nomor 6, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III.
b.
Jumlah pancing ≤ 1.500 mata pancing nomor 6, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III.
c.
jumlah pancing ≤ 2.000 mata pancing nomor 6, menggunakan kapal motor berukuran ≥ 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III.
52
11. Pancing layang-layang dioperasikan dengan menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB 12. Panah dioperasikan dengan menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB Permen Departemen Perikanan dan Kelautan tidak hanya menetapkan alatalat tangkap yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa, tetapi juga mengatur alat-alat tangkap yang dilarang beroperasi, yaitu: 1. Pukat hela dasar dua kapal (pair trawls) 2. Nephrops trawl (nephrops trawls) 3. Pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls). 4. Pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls). 5. Pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls). 6. Pukat dorong. 7. Perangkap ikan peloncat (aerial traps). 8. Muro ami. 9. Scottish seines. 10. Pair seines. Pelanggaran
terhadap
penggunaan
alat
tangkap
dan
alat
bantu
penangkapan yang idak sesuai dengan tingkat selektifitas dan kapasitas alat penangkapan, jenis dan ukuran alat bantu tangkap, ukuran kapal perikanan, dan jalur penangkapan ikan akan dikenakan sanksi pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 100 dan Pasal 100C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan akan dikenakan denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). 5.1.3. Pengelolaan Perikanan oleh Pemerintahan Desa Pengelolaan perikanan yang diberlakukan oleh permerintah desa yaitu peraturan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan Nelayan Karimunjawa dengan
53
pemerintah desa yaitu pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan serta kearifan lokal. Isinya yang mengatur antara lain: 1.
Setiap nelayan kompresor tidak boleh mengganggu nelayan pancing
2.
Setiap nelayan kompresor setuju tidak mengambil ikan Sunuk Hitam selama-lamanya
3.
Setiap nelayan kompresor setuju tidak mengambil ikan Kerapu Batu serta ikan Kerapu Kertang pada bulan Nopember sampai pada bulan maret di setiap tanggal 18-29 Hijriah.
4.
Setiap nelayan kompresor bila melanggar dapat dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp. 2.000.000,00 ( dua juta rupiah) sampai dengan Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
5.
Setiap pedagang ikan tidak boleh membeli ikan Susuk Hitam selamalamanya dari tangkapan nelayan kompresor serta Kerapu Kertang dan Kerapu Batu, dari nelayan kompresor pada bulan nopember sampai dengan bulan Maret disetiap tanggal 18-29 Hijriah, dan apabila melanggar dapat dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp. 2.000.000,00 sampai dengan Rp. 5.000.000,00 (Lima juta rupiah) dan membuat pernyataan untuk tidak mengulanginya lagi.
6.
Potasium dilarang keras di wilayah Desa Karimunjawa, dan apabila diketahui Nelayan Karimunjawa menggunakan obat/potasium tersebut, dapat dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang yang berlaku.
7.
Semua nelayan tidak boleh melakukan pengambilan ikan di Zona Inti
8.
Hasil denda dapat digunakan untuk kegiatan umum dengan hasil musyawarah Sistem pengelolaan yang dilakukan oleh berbagai aktor di Karimunjawa
memiliki perbedaan. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ), Kabupaten Jepara, pemerintah Desa Karimunjawa dan Dinas Kelautan dan Perikanan disajikan dalam Tabel 13.
54
Tabel 13. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh berbagai aktor di Karimunjawa Kategori BTNKJ Desa Dinas Kelautan dan peraturan Karimunjawa Perikanan pengelolaan tangkap Kompresor dan Semua alat tangkap Alat Tangkap Alat yang ramah dengan yang dapat tradisional yang pancing. ramah Kompresor tidak lingkungan dan digunakan lingkungan. Alat boleh mengganggu disesuaikan dengan tangkap yang pancing. Potasium jalur-jalur tidak ramah dilarang. penangkapannya. seperti mourami, Pancing dan panah jaring pocong, cantrang dan sianida dilarang Zona Tradisional Di seluruh Jalur-jalur Wilayah perikanan, kawasan kecuali penangkapan. Tangkap kecuali zona inti, zona inti. perlindungan bahari dan rehabilitasi. Penjara atau Denda sebesar dua Denda paling banyak Sanksi pidana kurungan juta rupiah sampai dua ratus lima puluh dan denda dengan lima juta juta rupiah. berupa uang rupiah dan paling banyak membuat surat seratus juta pernyataan. rupah.
Pengelolaan sumberdaya perikanan di TNKJ yang dilakukan oleh berbagai aktor belum berjalan secara efisien. Peraturan yang ditetapkan oleh berbagai aktor belum dapat diaplikasikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Hal ini terbukti dengan masih adanya pelanggaranpelanggaran dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan seperti pelanggaran terhadap batas wilayah pemanfaatan dan penggunaan alat tangkap. Pelaksanaan peraturan yang tidak berjalan secara efien ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu. Pertama, kurangnya sosialisasi peraturan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak yang menetapkan peraturan sehingga pengetahuan masyarakat terhadap peraturan mini. Kedua, keinginan masyarakat untuk melakukan peraturan yang sudah ditetapkan juga rendah. Ketika diperhadapkan antara memenuhi kebutuhan hidup dan mematuhi peraturan, maka masyarakat
55
akan lebih memilih memenuhi kebutuhan hidup sekali pun harus melanggar peraturan. Ketiga, penegakan hukum yang lemah. Sosialisasi yang rendah dan keinginan masyarakat yang rendah untuk mematuhi peraturan dapat diatasi apabila terdapat sistem pengawasan terhadap peraturan yang kuat. Sistem penegakan hukum yang tegas dan kuat akan memaksa masyarakat untuk mau patuh dan menjalankan peraturan sebagaimana seharusnya.
5.2.
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Jepara
Pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepara lebih sederhana dibandingkan dengan TNKJ. Sumberdaya di Jepara hanya diatur oleh Nelayan Jepara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Jepara. 5.2.1. Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Jepara Nelayan Jepara memiliki peraturan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh Nelayan Jepara yaitu dengan menetapkan peraturan tidak tertulis antara Nelayan Jepara dengan nelayan lain. Peraturan tidak tertulis tersebut merupakan bentuk kesepakatan antara Nelayan Jepara dengan nelayan yang memiliki alat tangkap yang berbeda. Apabila terjadi sebuah insiden antara Nelayan Jepara dengan nelayan lain yang berbeda alat tangkap maka akan dilakukan penyelesaian dengan cara kekeluargaan. Tidak ada peraturan terlulis yang menjadi pedoman bagi Nelayan Jepara untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan di Jepara. 5.2.2. Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Jepara Pengelolaan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dilakukan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan dari pusat yaitu Peraturan Menteri dan Undang-Undang. Peraturan menteri yang berlaku dalam mengelola sumberdaya perikanan baik di Jepara maupun di Karimunjawa sama yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011. Peraturan tersebut mengatur tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Selain peraturan menteri, landasan hukum
56
yang mengatur pengelolaan perikanan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009. Berdasarkan Permen yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan pasal 22 sampai 31 diatur alat- alat tangkap yang dapat digunakan di Jepara, yaitu: 1.
Pukat cincin pelagis kecil dengan satu kapal , dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a.
Mesh size ≥1 inch dan tali ris atas ≤ 300 m, menggunakan rumpon dan lampu dengan total daya ≤ 4.000 watt, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II dan III
b.
Mesh size ≥1 inch dan tali ris atas ≤ 400 m, menggunakan rumpon dan lampu dengan total daya ≤ 8.000 watt, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III
c.
Mesh size ≥1 inch dan tali ris atas ≤ 600 m, menggunakan rumpon dan lampu dengan total daya ≤ 16.000 watt, menggunakan kapal motor berukuran ≥ 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III
2.
Pukat cincin grup pelagis kecil, dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a.
Mesh size ≥ 1 inch dan tali ris atas ≤ 600 m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III
b.
Mesh size ≥ 1 inch dan tali ris atas ≤ 800 m, menggunakan kapal motor berukuran ≥30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III
3.
Jaring lingkar tanpa tali kerut (without purse lines/Lampara) dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1 inch dan tali ris atas ≤ 150 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III
57
4.
Pukat tarik pantai (beach seines)
dioperasikan dengan menggunakan
ukuran Mesh size ≥ 1 inch dan tali ris atas ≤ 300 m, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalurpenangkapan ikan IA 5.
Pukat hela dasar berpalang (beam trawls)
dioperasikan dengan
menggunakan ukuran Mesh size ≥1 inch dan tali ris atas ≤10 m, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II dan III. 6.
Pukat labuh (long bag set net) bersifat statis dan pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a.
Mesh size ≥ 1 mm; tali ris atas ≤ 30 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB.
b.
Mesh size ≥ 1 mm; tali ris atas ≤ 60 m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB.
c.
Mesh size ≥ 1 mm; tali ris atas ≤ 90 m, menggunakan kapal motor berukuran ≥ 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB.
7.
Bagan tancap (shore-operated stationary lift nets) bersifat statis dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1 mm; P ≤ 5 m; dan L ≤ 5 m, menggunakan lampu dengan total daya ≤ 2.000 watt, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB. Pelanggaran terhadap penggunaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan
di Jepara akan dikenakan sanksi pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 100 dan Pasal 100C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan akan dikenakan denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pengelolaan perikanan di Jepara sama seperti yang terjadi di karimunjawa dari segi sosialisasi, kesadaran dan penegakan hukumnya masih lemah. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya Nelayan Jepara yang melakukan penangkapan ikan di TNKJ dengan menggunakan alat tangkap yang tidak tradisional. Selain itu,
58
masih dilakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap jalur-jalur tangkap yang sudah ditetapkan. Nelayan Jepara lebih memilih memenuhi kebutuhan hidupnya daripada mematuhi peraturan. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat untuk patuh terhadap peraturan juga masih rendah.
5.3. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Karimunjawa melibatkan banyak pihak termaksud masyarakat. Peraturan yang ditetapkan oleh Balai Taman Nasional dilakukan dengan kesepakatan bersama masyarakat. Nelayan Karimunjawa cukup memiliki peranan dalam menetapkan peraturan tenntang pemanfaatan perikanan di Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa berhak memasuki sumberdaya perikanan dan memanfaatkan sumberdaya atau melakukan tindakan produksi. Nelayan Karimunjawa juga berhak untuk menentukan aturan operasional dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan melalui penetapan peraturan berdasarkan kearifan lokal masyarakat Karimunjawa. Selain itu, Nelayan Karimunjawa juga diikutsertakan dalam menetapkan zonasi di Karimunjawa. Sumberdaya perikanan di Jepara diatur oleh Departemen Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara. Peraturan mengenai wilayah penangkapan, tehnik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan, bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan semuanya diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011. Peraturan dilakukan secara terpusat, sementara Nelayan Jepara hanya berhak untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Berdasarkan status kepemilikan sumberdaya menurut Ostorm and Scehlager (1990) dalam Satria (2002), Nelayan Karimunjawa memiliki hak pemanfaatan.