PERSEPSI DAN KAMPANYE KOMUNIKASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
TITANIA AULIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Persepsi dan Kampanye Komunikasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2015 Titania Aulia NRP I352120131
RINGKASAN TITANIA AULIA. Persepsi dan Kampanye Komunikasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan ARIF SATRIA. Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dikelola oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) di bawah pengawasan langsung dari Kementerian Kehutanan dengan sistem zonasi. Berdasarkan sistem zonasi, terdapat pembaharuan mengenai kebijakan dengan diperbaharuinya revisi pengelolaan TNKJ sesuai SK Dirjen PHKA Nomor 28/IV-Set/2012. Terkait dengan kebijakan yang terdapat di TNKJ, masih kurangnya koordinasi antara institusi pemerintahan. Selain itu, sosialisasi mengenai informasi arti penting konservasi dan zonasi serta sanksi pelanggaran dirasakan kurang efektif dan informatif diberikan kepada nelayan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan karakteristik sosial, tingkat kepercayaan, dan persepsi nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ, (2) menganalisis hubungan karakteristik sosial dan tingkat kepercayaan terhadap persepsi pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ, dan (3) menganalisis kampanye komunikasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ. Penelitian dirancang dengan kombinasi pendekatan kuantitatif yang menggunakan metode survai yang bersifat deskriptif korelasional dan pendekatan analisis isi deskriptif yang menggambarkan aspek-aspek dan karakteristik pesan. Penelitian dilaksanakan di kawasan TNKJ yang dipilih secara sengaja karena merupakan salah satu taman nasional laut yang telah memperbaharui revisi zonasi pada tahun 2012. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana sebanyak 46 orang nelayan responden. Analisis data meliputi tabulasi silang dan korelasi Rank Spearman dan Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah umur, pengalaman mengelola sumberdaya perikanan, dan tingkat kepercayaan. Persepsi nelayan terhadap zonasi, aturan, dan pemegang otoritas masih negatif , namun persepsi nelayan terhadap sanksi dapat dikatakan cukup efektif. Adapun tingkat kepercayaan nelayan terhadap BTNKJ masih rendah. Pihak BTNKJ telah berupaya untuk menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai media komunikasi dalam kampanye komunikasi. Namun demikian, kampanye komunikasi masih belum dapat dikatakan efektif karena masih dianggap kurang informatif karena terbatasnya komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh pihak BTNKJ serta belum sesuai dengan kebutuhan nelayan. Bila dikaitkan antara persepsi dan analisis pesan yang digunakan dalam kampanye komunikasi terdapat perbedaan terutama mengenai pemikiran jangka panjang dimana kampanye komunikasi memperhatikan tidak hanya pesan mengenai konservasi, tetapi juga untuk keberlangsungan hidup nelayan yang mengelola sumberdaya perikanan terutama dalam hal ekonomi. Kata kunci: pengelolaan sumberdaya perikanan, persepsi, kampanye komunikasi
SUMMARY TITANIA AULIA. Perception and Communication Campaign of Fisheries Resource Management in Karimunjawa National Park. Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO and ARIF SATRIA. Management of Karimunjawa National Park (KNP) managed by the Karimunjawa National Park Officer (KNPO) under the supervision of the Ministry of Forestry with the zoning system. Under the zoning system, there is the renewal of the policy with renewed revision management of KNP according to SK Director General of Nature Conservation No. 28 / IV-Set / 2012. Associated with the policies contained in KNP, there is still a lack of coordination between government agencies. In addition, information dissemination about the importance of conservation and zoning as well as sanctions for violations felt less effective and informative given to fishermen. The purpose of this study was to (1) describe the social characteristics, the level of trust, and perceptions of fishermen in the management of fisheries resources in the region of KNP, (2) analyze the correlation between social characteristics and the level of trust with perception of fisheries resources management in the area of KNP, and (3) analyze communication campaign in the fisheries resource management in the area of KNP. The study was designed with a combination approach using a quantitative survey method that is descriptive correlational and descriptive content analysis approach that described the aspects and characteristics of the message. The experiment was conducted in the area of KNP chosen deliberately because it is one of the national marine park that has been renewed its zoning revision in 2012. Sampling was taken randomly as many as 46 fishermen respondents. Data analysis used cross-tabulation and correlation of Rank Spearman and Chi-Square. The results showed the factors that influence the perception of the fishermen in the fisheries resource management were age, experience of fisheries resource management, and level of trust. Perception fishermen against zoning, rules, and authorities are still negative, but the perception of the fishermen of the sanctions can be quite effective. The level of trust, fishermen against BTNKJ were still low. Officers of KNP have sought to communicate information using various of communication media in communication campaign. However, the communication campaign still can not be said to be effective because it was still considered to be less informative because of the limited interpersonal communication conducted by the KNPO and not in represent with the needs of fishermen. When linked between perception and analysis of messages used in communication campaign, there were differences especially on long-term period where communication campaign attention not only messages about conservation, but also for the survival of fishermen who manage fisheries resource within economic terms.
Keywords: fisheries resource management, perception, communication campaign
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERSEPSI DAN KAMPANYE KOMUNIKASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
TITANIA AULIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Desember 2014-Januari 2015 adalah komunikasi lingkungan, dengan judul Persepsi dan Kampanye Komunikasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo Agung dan Bapak Dr Arif Satria selaku pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kepada Dr Ir Rilus A Kinseng yang bersedia menjadi penguji luar komisi dan Dr Ir Djuara P Lubis, MS selaku wakil dari program studi KMP. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Puji Prihatinningsih, MAppSc, Bapak Pranyoto, MP, Bapak Iwan Setiawan, SH, Mbak Anita Fahliza, SPi, dan staf-staf lainnya selaku staf konservasi Balai Taman Nasional Karimunjawa, pihak Desa Karimunjawa, Bapak Firman selaku staf Dinas Perikanan dan Kelautan Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa, Bapak Muslimin selaku staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Karimunjawa, dan Mas Jamal selaku staf LSM WCS yang telah membantu selama pengumpulan data dan memberikan masukan. Selain itu, penulis terima kasih juga disampaikan kepada keluarga, teman-teman satu bimbingan KMP dan S2 KMP 2012 IPB, rekan-rekan berbagi ilmu di Karimunjawa, dan para sahabat di komunitas Terminal Hujan atas segala doanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2015 Titania Aulia
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Konservasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Persepsi Komunikasi Lingkungan Konflik dalam Perspektif Komunikasi Upaya Penyelesaian Konflik Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis
5 5 6 7 8 10 12 14 15 16
3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Data dan Instrumentasi Definisi Operasional Uji Validitas dan Reliabilitas Pengumpulan Data Analisis Data
16 16 16 17 17 17 19 20 20
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Profil Taman Nasional Karimunjawa Profil Desa Karimunjawa Karakteristik Sosial Responden Nelayan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Karimunjawa Kepercayaan Pemetaan Pemangku Kepentingan
20 20 23 25 26 32 33
5 PERSEPSI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN Persepsi Nelayan terhadap Zonasi Persepsi Nelayan terhadap Aturan Persepsi Nelayan terhadap Pemegang Otoritas Persepsi Nelayan terhadap Sanksi Hubungan Karakteristik Sosial Responden terhadap Persepsi dalam Aspek Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Hubungan Kepercayaan Responden terhadap Persepsi dalam Aspek Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
42 42 44 48 50 51 53
6 KAMPANYE KOMUNIKASI Media Komunikasi Komunikasi Tatap Muka Keterkaitan Persepsi dengan Analisis Pesan Kampanye Komunikasi
53 54 68 69
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
72 72 73
DAFTAR PUSTAKA
74
LAMPIRAN
79
RIWAYAT HIDUP
88
DAFTAR TABEL 1 Register perkara Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2002-2010 2 Jumlah penduduk dan persentase menurut mata pencaharian di Desa Karimunjawa 3 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Karimunjawa 4 Jumlah dan persentase penduduk menurut karakteristik sosial responden di Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 5 Jumlah dan persentase responden nelayan menurut tingkat kepercayaan terhadap BTNKJ di Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 6 Akar masalah dan penyelesaian dalam konflik 7 Perbedaan aturan dalam undang-undang antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan 8 Jumlah dan persentase responden terhadap persepsi menurut zonasi di kawasan TNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 9 Aturan untuk zona larang tangkap berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (SK Dirjen PHKA) Nomor 28/IV-Set/2012 10 Jumlah dan persentase responden terhadap persepsi menurut aturan BTNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 11 Jumlah dan persentase responden nelayan terhadap persepsi menurut pemegang otoritas TNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 12 Jumlah dan persentase responden nelayan terhadap persepsi menurut aspek pengelolaan sumberdaya perikanan pada sanksi TNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 13 Nilai koefisien korelasi karakteristik sosial responden terhadap persepsi menurut aspek pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 14 Nilai koefisien korelasi tingkat kepercayaan terhadap persepsi menurut aspek pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 15 Program dan Kegiatan Kampanye RARE PRIDE di Taman Nasional Karimunjawa tahun 2011 16 Program dan Kegiatan Kampanye RARE PRIDE di Taman Nasional Karimunjawa tahun 2012 17 Analisis pesan media komunikasi pada Kampanye RARE PRIDE di Taman Nasional Karimunjawa tahun 2011 18 Keterkaitan persepsi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dengan media komunikasi dalam kampanye
22 24 25 25 32 35 39 43
44 45
48
50
52
53 54 65 65 70
2
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Model ekologi dalam proses komunikasi Hubungan kepekaan retorik terhadap gaya konflik Kerangka pemikiran Jumlah jenis tangkapan ikan di Karimunjawa tahun 2007-2011 Jumlah produksi perikanan tangkap di Karimunjawa tahun 2007-2013 Pemetaan pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ
9 13 16 29 30 34
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta zonasi Taman Nasional Karimunjawa 2 Hasil uji korelasi nonparametrik Rank Spearman di Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa 3 Hasil uji korelasi nonparametrik Chi-Square di Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa 4 Dokumentasi 5 Media komunikasi 6 Kesepakatan antara nelayan kompresor dan nelayan pancing
80 81 82 84 85 86
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kawasan konservasi perairan Indonesia memiliki luas sebesar 15.764.210,85 hektar (Dit. KKJI 2013), sehingga diperlukan upaya pengelolaan kawasan. Salah satu pengelolaan kawasan konservasi laut yang dilakukan oleh pemerintah berupa taman nasional laut yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam. Pengelolaan taman nasional laut dikelola oleh Balai Taman Nasional Laut di bawah pengawasan langsung dari Kementerian Kehutanan. Taman nasional dikelola dengan sistem zonasi berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 Butir 14. Menurut Dit. KKJI (2013), terdapat tujuh taman nasional laut di Indonesia dengan luas sebesar 4.043.541,3 hektar. Salah satu taman nasional laut yang terdapat di Pulau Jawa yang memiliki sumberdaya perikanan cukup besar adalah Taman Nasional Laut Karimunjawa yang memiliki luas sebesar 111.625,0 hektar meliputi 110.117,3 hektar kawasan perairan dan 1.507,7 hektar kawasan darat. Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dilakukan dengan sistem zonasi yang penetapannya dilakukan sepihak oleh pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (SK Dirjen PHKA) Nomor 127/Kpts/DJ-VI/1989. Pada tahun 2005, revisi zonasi telah dilakukan dengan dikeluarkannya SK Dirjen PHKA Nomor 79/IV/Set-3/2005 dan diperbaharui kembali dengan SK Dirjen PHKA Nomor 28/IV-Set/2012. Terkait dengan kebijakan, Yusuf (2007) menyatakan bahwa terdapat kelemahan dalam pengelolaan TNKJ, yaitu kurangnya keterpaduan koordinasi dan implementasi antar sektoral dalam pemanfaatan dan pengelolaan TNKJ. Hal ini dipertegas oleh Irnawati (2011) bahwa masing-masing instansi memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda dalam mengelola TNKJ. Kegiatan pemanfaatan yang ada di TNKJ masih ada yang belum sinergi dengan kegiatan konservasi. Peranan lembaga atau institusi pemerintahan yang terkait dengan upaya pengelolaan TNKJ belum optimal. Bila kebijakan dikaitkan dengan nelayan, dapat diketahui bahwa sebagian besar nelayan tidak pernah merasa terpengaruh dengan kebijakan BTNKJ dan sebagian besar sikap nelayan atas kebijakan TNKJ mengenai aktivitas penangkapan ikan dianggap biasa saja (netral). Kehadiran TNKJ dianggap sebagian besar nelayan tidak pernah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Tingkat kepatuhan nelayan di zona inti maupun zona perlindungan mengalami penurunan karena keterbatasan pengetahuan tentang konservasi dan zonasi, sehingga menimbulkan pelanggaran aturan. Bagi yang melanggar aturan akan diberikan sanksi dari BTNKJ berupa teguran, denda sampai penangkapan (Satria et al. 2013). Pada kebijakan berkaitan dengan penegakkan hukum disertai sanksi. Menurut Purwanti (2008), lemahnya penegakan hukum karena sosialisasi tentang pelanggaran-pelanggaran hukum di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah pesisir dan sanksi hukum belum ada. Mussadun (2012) juga memaparkan bahwa terkait dengan persepsi nelayan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di TNKJ adalah pentingnya penegakan hukum yang
2 diiringi dengan upaya pengawasan dan partisipasi masyarakat, serta didukung dengan kebijakan yang memperhatikan keseimbangan kesejahteraan nelayan dan kelestarian lingkungan. Pengelolaan sumberdaya perikanan juga terjadi di beberapa taman nasional laut di Indonesia, namun belum dapat memberikan dampak terhadap masayarakat. Sebagaimana diungkapkan dari temuan penelitian Sembiring et al. (2010) di Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC). Penetapan zonasi TNTC telah membatasi ruang gerak nelayan tradisional khususnya di zona inti yang merupakan “zona tabungan.” Hal ini menimbulkan konflik karena di zona inti terdapat hasil laut yang melimpah, sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi kawasan, ketidakpastian usaha dalam masyarakat, penghasilan menjadi menurun, dan adanya pelanggaran aturan yang dilakukan masyarakat, terutama dengan para nelayan dan pembudidaya. Begitu pula dengan penelitian Hanan (2010) di Taman Nasional Wakatobi, yang menyebutkan masih terdapat masyarakat yang memiliki persepsi negatif terhadap taman nasional sebagai bentuk pengusiran masyarakat dari wilayah kelola serta anggapan bahwa konservasi bertentangan dengan pembangunan daerah yang dimaknai sebagai aksi eksploitasi hasil untuk pendapatan asli daerah (PAD). Permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tidak hanya terjadi di taman nasional Indonesia, namun terjadi pula di kawasan konservasi laut luar Indonesia seperti hasil penelitian Castro dan Cruz (2009) di Taman Alam Parque Natural do Sudoeste Alentejano e Costa Vicentina Portugal mengungkapkan bahwa nelayan mempersepsikan hasil tangkapan menurun sejak mereka adanya kawasan konservasi dan adanya faktor polusi serta penggunaan alat tangkap jaring pukat yang dilakukan oleh nelayan lain. Kontrol serta penegakkan taman alam dianggap tidak cukup dan tidak efektif yang mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan dan meningkatnya usaha penangkapan ikan. Penelitian Trung Ho et al. (2012) di Taman Nasional Con Dao dan kawasan konservasi Laut Teluk Nha Trang Vietnam memaparkan, bahwa adanya kawasan konservasi menimbulkan dampak negatif terhadap mata pencaharian (permasalahan ekonomi) karena wilayah yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan, saat ini telah menjadi zona inti. Hasil penelitian Hamilton (2012) menyatakan, bahwa nelayan di Pulau Koh Rong Kamboja yang lebih tua menerima kawasan konservasi perairan, namun persepsi mereka (dan memungkinkan juga nelayan muda) dapat mejadi negatif jika implementasi kawasan konservasi perairan terjadi. Umur tidak mempengaruhi penerimaan nelayan Filipina di kawasan Teluk Sagad terhadap kawasan konservasi laut, namun sebesar 30% nelayan Filipina merasakan meningkatnya konflik dari terbentuknya kawasan konservasi perairan. Hasil penelitian Bennett dan Dearden (2013) menyatakan, bahwa persepsi nelayan terhadap Taman Nasional Laut Pesisir Andaman Thailand adalah tidak terdapat dampak dari adanya kawasan konservasi pada pendapatan atau rumah tangga jika aturan tidak ditegakkan dan kekhawatiran nelayan akan kehilangan akses untuk penangkapan ikan yang mengakibatkan peningkatan kemiskinan, menurunnya kesejahteraan, peningkatan konflik, dan menurunnya ketahanan pangan. Adanya kebijakan yang telah dibuat kawasan konservasi terutama mengenai zonasi dianggap berdampak negatif bagi nelayan. Padahal para nelayan menangkap ikan hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Secara umum
3 nelayan kurang memahami mengenai aturan dan lokasi garis batas (zona). Pihak pengelola kawasan konservasi laut dianggap kurang dalam menyampaikan informasi tersebut karena komunikasi antara pihak-pihak terkait tidak berjalan dengan baik. Informasi telah diberikan mengenai arti penting konservasi dan zonasi serta sanksi pelanggaran aturan untuk nelayan di sekitar kawasan Taman Nasional Karimunjawa, namun pada saat-saat tertentu, seperti saat sosialisasi. Adapun komunikasi dan koordinasi yang dilakukan masih terbatas dalam suatu pertemuan formal dan pemangku kepentingan lain kurang menanggapi. Lemahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) juga mempengaruhi proses pengelolaan yang partisipasif menjadi tidak berjalan dan sering berdampak pada munculnya ketidaksepahaman dan konflik dalam penggunaan perairan atau sumberdaya di antara para pemangku kepentingan (Purwanti 2008, Irnawati 2011). Kampanye komunikasi merupakan salah satu bentuk dalam penyampaian informasi yang sudah dilakukan di beberapa taman nasional laut Indonesia yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti kampanye di Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) pada tahun 2012 dan hasilnya terdapat perubahan pada pengetahuan nelayan mengenai manfaat zona inti. Dalam kampanye ini, digunakan media komunikasi sebagai saluran penyampai pesan, seperti papan pesan bergambar, jadwal imsakiyah Ramadhan, kaos kampanye, lagu konservasi, diskusi (tatap muka), kuis, dan sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian Perdana et al. (2014) dari kegiatan kampanye zona inti di TNKS, dikemukakan bahwa tingkat pemahaman masyarakat mengenai batas dan fungsi zona inti yang tergolong kurang sampai tidak paham sebanyak 52,5% dan tingkat kepedulian masyarakat terhadap konservasi di kawasan zona inti yang kurang peduli sampai tidak peduli sebesar 46,2%. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dikemukakan, baik di kawasan konservasi laut di Indonesia maupun luar Indonesia, permasalahan yang seringkali dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan konservasi laut di antara para pemangku kepentingan adalah kurangnya koordinasi antara pemangku kepentingan mengenai kebijakan dan persepsi nelayan yang negatif terhadap pengelolaan kawasan konservasi terutama yang menyangkut kebutuhan nelayan (ekonomi). Selain itu, kurangnya akses informasi mengenai kebijakan yang diberlakukan dalam kawasan konservasi. Perumusan Masalah Pengelolaan TNKJ (meliputi pengelolaan sumberdaya perikanan) didasarkan pada sistem zonasi. Pada tahun 2012 telah dilakukan revisi zonasi TNKJ yang bertujuan untuk menyempurnakan zonasi yang ada sebelumnya agar dapat mengakomodir berbagai kepentingan baik ekonomi, ekologi, perikanan, pariwisata serta hal lainnya yang lebih adaptif dengan peran serta aktif nelayan dan dukungan seluruh pemangku kepentingan (BTNKJ 2012b). Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, terjadi perbedaan persepsi antara nelayan dengan pemegang otoritas (pihak BTNKJ) terhadap zonasi, aturan, dan sanksi. Seyogyanya pihak BTNKJ terlebih dahulu melakukan kegiatan identifikasi kebutuhan nelayan setempat (need assessment) sebelum dilakukan sosialisasi tentang hal tersebut.
4 Sosialisasi yang diberikan BTNKJ, seperti halnya kampanye komunikasi, baik berupa komunikasi interpersonal (tatap muka) maupun melalui penggunaan media yang dapat diakses nelayan, dinilai nelayan dalam penyampaiannya masih dirasakan kurang informatif. Dengan demikian diperlukan komunikasi yang efektif di antara nelayan dan pemerintah (dalam hal ini BTNKJ, DKP Karimunjawa, UPT Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Karimunjawa, dan pemerintah desa) serta LSM untuk menyamakan persepsi antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Berdasarkan hal tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana karakteristik sosial, tingkat kepercayaan, dan persepsi nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ? 2. Bagaimana hubungan karakteristik sosial dan tingkat kepercayaan terhadap persepsi pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ? 3. Bagaimana kampanye komunikasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, yaitu untuk: 1. Mendeskripsikan karakteristik sosial, tingkat kepercayaan, dan persepsi nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ. 2. Menganalisis hubungan karakteristik sosial dan tingkat kepercayaan terhadap persepsi pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ. 3. Menganalisis kampanye komunikasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai strategi komunikasi yang menguntungkan untuk para pemangku kepentingan agar dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada di kawasan konservasi. 2. Masyarakat Hasil penelitian ini ditujukkan kepada para nelayan agar mampu untuk mengubah pola pikir menuju pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan (jangka panjang). 3. Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merancang kampanye komunikasi dengan menyesuaikannya sesuai kebutuhan dan melibatkan para pemangku kepentingan dari mulai perencanaan hingga evaluasi. 4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Penelitian ini diharapkan agar LSM dapat menjadi jembatan (liaison) bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan konservasi dan bersikap netral terhadap semua pihak.
5
2
TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Konservasi
Kawasan konservasi (protected area) adalah suatu areal darat dan atau laut yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan sumberdaya alam dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau upaya-upaya efektif lainnya. Marine protected area didefinisikan sebagai daerah intertidal atau subtidal beserta flora dan fauna, sejarah dan corak budaya dilindungi sebagai suaka dengan melindungi sebagian atau seluruhnya melalui peraturan perundangan. Definisi ini berasal dari World Wilderness Congress ke-4 dan diadopsi oleh IUCN dalam General Assembly pada tahun 1988 (Kelleher dan Kenchington 1992). Setiap kawasan konservasi di dunia bisa masuk ke dalam salah satu dari 6 (enam) kategori KK menurut IUCN. Ada 5 (lima) ketentuan dasar yang membedakan antara kategori satu dengan lainnya, ialah: (1) tujuan utama pembentukan KK; (2) tujuan tambahan/lain; (3) ciri khas yang ada dalam suatu KK; (4) perannya dalam konteks bentang alam/bentang laut; dan (5) keunikan yang terdapat dalam suatu KK. Taman Nasional termasuk ke dalam kategori II yang merupakan kawasan alamiah yang berukuran relatif besar, bertujuan untuk melindungi proses-proses ekologi, sebagai pelengkap dari karakteristik spesies dan ekosistem dari wilayah tersebut, juga sebagai lingkungan yang sesuai untuk kegiatan pendidikan, rekreasi ilmiah dan spiritual. Tujuan lain/tambahan dari kategori II, ialah: 1. Mengelola suatu wilayah (sealami mungkin) secara berkelanjutan, sebagai contoh dari wilayah fisiografi, komunitas biotik, sumber genetik dan proses alamiah yang belum terganggu. 2. Memelihara kesehatan dan fungsi ekologi dari populasi dan rakitan spesies asli pada kepadatan yang cukup untuk melindungi integritas ekosistem dan ketahanannya (resilience) dalam jangka panjang. 3. Memberikan kontribusi khususnya dalam usaha konservasi berbagai spesies, proses-proses ekologi secara regional dan jalur migrasi. 4. Mengelola kunjungan untuk tujuan: inspirasi, pendidikan dan rekreasi pada tingkat yang tidak menyebabkan degradasi biologis atau ekologis dari sumber daya alam. 5. Memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal (asli), termasuk pemanfaatan sumber daya secara subsisten, sepanjang hal ini tidak mempengaruhi tujuan utama pengelolaan. 6. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan ekonomi lokal melalui pariwisata. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 berisi tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Konservasi sumberdaya alam hayati diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Sementara itu, ekosistem sumberdaya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhinya.
6 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Nuitja (2010) menjelaskan, bahwa sumberdaya perikanan memiliki keanekaragaman hayati perairan yang sangat potensial, baik dalam jenis maupun habitatnya. Pada kawasan bagian barat banyak ditemukan muara sungai-sungai besar dan puluhan sungai kecil yang mempengaruhi kesuburan perairan laut di Paparan Sunda. Sumberdaya perikanan yang paling menonjol adalah berbagai jenis udang, kerang-kerangan, cumi-cumi, kepiting, dan sebagainya. Pengelolaan sumberdaya perikanan adalah kemampuan mengatur produk yang dihasilkan dari ikan yang berlangsung secara terus menerus dan dalam keadaan lestari. Tujuan dari pengelolaan sumberdaya perikanan adalah 1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari. 2. Menjaga sumberdaya perikanan tetap hidup dan berkembang serta dapat dimanfaatkan secara lestari. 3. Memelihara dan dapat memperbaiki ekosistem yang sesuai dengan kondisi awal habitat. Definisi pengelolaan perikanan menurut UU Nomor 45/2009 adalah semua upaya, termasuk proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakkan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah dan otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Ikan yang dimaksud dalam UU ini adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Kebutuhan pengelolaan sumberdaya ikan muncul karena adanya aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia. Oleh karena itu, pendekatan sosial ekonomi mendapat tempat yang penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan, selain pendekatan bioekologi dan teknologi (Nikijuluw 2005). Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh masyarakat merujuk pada konsep Ruddle (1999) dalam Satria (2009) yang mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan dari dimensi normatif, yaitu: 1. Batas wilayah: ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat. 2. Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap. 3. Hak: pengertian hak dapat mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan Ostrom dan Schlager. 4. Pemegang otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi. 5. Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan.
7 6. Pemantauan dan evaluasi: terdapat mekanisme pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan. Masyarakat yang dimaksud dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah nelayan. Nelayan didefinisikan sebagai orang atau komunitas orang yang secara keseluruhan atau sebagian hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan. Beberapa kelompok nelayan memiliki beberapa perbedaan dalam karakteristik sosial dan kependudukan yang dapat dilihat dari kelompok umur, pendidikan, status sosial, dan kepercayaan (Townsley 1998 dalam Widodo dan Suadi 2008). Nelayan menghadapi sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya ini menyebabkan nelayan mesti berpindahpindah untuk memperoleh hasil maksimal. Kondisi sumberdaya yang berisiko menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas, dan terbuka. Berdasarkan respons untuk mengantisipasi tingginya risiko dan ketidakpastian, nelayan dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu nelayan besar (large scale fishermen) yang dicirikan dengan besarnya kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armada dan berorientasi pada keuntungan serta nelayan kecil (small scale fishermen) yang beroperasi di daerah kecil yang tumpang tindih dengan kegiatan budidaya dan bersifat padat karya (Satria et al. 2002). Persepsi Menurut DeVito (1997), persepsi adalah proses yang menjadikan seseorang sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra manusia. Persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang diserap dan apa makna yang diberikan kepada seseorang ketika seseorang mencapai kesadaran. Litterer dalam Asngari (1984) berpandangan bahwa ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Pengalaman akan berperan pada persepsi orang tesebut. Persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta atau tindakan. Persepsi adalah inti dari komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti dari persepsi (Mulyana 2005). Persepsi disebut inti komunikasi karena jika persepsi tidak akurat, maka tidak akan mungkin dapat berkomunikasi dengan efektif. Persepsi menentukan dalam pemilihan suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antarindividu, semakin mudah dan semakin sering dalam berkomunikasi. Persepsi manusia terbagi dua, yaitu persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia. Persepsi terhadap manusia lebih sulit dan kompleks karena manusia bersifat dinamis. Menurut Severin dan Tankard (2011), persepsi dipengaruhi oleh sejumlah faktor psikologis, termasuk asumsi-asumsi yang didasarkan pada pengalamanpengalaman masa lalu, harapan-harapan budaya, motivasi (kebutuhan), suasana hati (mood), serta sikap. Gifford (1987) menyatakan bahwa persepsi manusia terhadap lingkungan dipengaruhi oleh karakteristik personal, karakteristik budaya, dan karakteristik fisik dari lingkungan itu sendiri. Pada karakteristik personal dijelaskan bahwa karakteristik dari individu akan dihubungkan dengan perbedaan
8 persepsi terhadap lingkungan. Hal ini akan melibatkan beberapa faktor antara lain kemampuan perseptual dan pengalaman atau pengenalan terhadap kondisi lingkungan. Kemampuan perseptual masing-masing individu akan berbeda-beda dan melibatkan banyak hal yang berpengaruh sebagai latar belakang persepsi yang ke luar. Pada konteks kebudayaan dihubungkan dengan tempat asal atau tempat tinggal seseorang. Budaya yang dibawa dari tempat asal dan tinggal seseorang akan membentuk cara yang berbeda bagi setiap orang dalam “melihat dunia”. Kondisi alamiah dari suatu lingkungan akan mempengaruhi persepsi seseorang yang mengamati, mengenal, dan berada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan dengan atribut dan elemen pembentuknya yang menghasilkan karakter atau tipikal tertentu akan menciptakan identitas bagi lingkungan tersebut. Komunikasi Lingkungan Komunikasi lingkungan (Cox 2010) didefinisikan sebagai bentuk dari tindakan simbolik dan dapat menjadi jelas jika dibandingkan dengan model komunikasi Shannon-Weaver yang hanya menjelaskan komunikasi manusia dengan cara menyampaikan informasi dari sumber ke penerima. Tidak seperti model Shannon-Weaver, tindakan simbolik diasumsikan bahwa bahasa dan simbol melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar menyampaikan pesan: mereka secara aktif membentuk pengertian kita, menciptakan makna, dan mengorientasikan kita kepada dunia yang lebih luas. Jika difokuskan pada tindakan simbolik, maka menekankan pengambilan penerimaan dari sudut pandang komunikasi manusia. Komunikasi lingkungan dapat didefinisikan sebagai saluran pragmatis dan konstitutif untuk pemahaman kita terhadap lingkungan maupun hubungan pada dunia yang alami; hal ini merupakan medium simbolik yang digunakan untuk mengkonstruksikan masalah lingkungan dan merundingkan tanggapan yang berbeda dari masyarakat mengenai alam. Komunikasi lingkungan memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu: 1. Komunikasi lingkungan adalah pragmatis. Hal ini berupaya untuk mengedukasi, menyiapkan, mengajak, memobilisasi, dan membantu untuk memecahkan masalah lingkungan. Pengertian instrumental komunikasi yang mungkin terjadi: upaya komunikasi dalam tindakan. Hal ini merupakan alat untuk memecahkan masalah dan perdebatan dan sering menjadi dari bagian kampanye pendidikan publik. 2. Komunikasi lingkungan adalah konstitutif. Komunikasi juga membantu untuk membenarkan atau menciptakan, representasi alam dan masalah lingkungan itu sendiri sebagai subyek pemahaman. Adanya pembentukan persepsi mengenai alam, komunikasi lingkungan dapat mengajak untuk menggambarkan hutan dan sungai sebagai ancaman atau peluang, menganggap sumberdaya alam untuk dieksploitasi atau pendukung sistem kehidupan yang sangat penting, dan sebagai sesuatu untuk ditaklukkan atau dihargai. Flor (2004) mendefinisikan komunikasi lingkungan sebagai aplikasi dalam pendekatan, prinsip, strategi, dan teknik komunikasi terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan. Komunikasi lingkungan merupakan hal yang penting untuk pertahanan dalam setiap sistem kehidupan, baik organisme, ekosistem, dan sistem sosial. Selain itu, komunikasi lingkungan juga mengikuti prinsip
9 komunikasi manusia bahwa tujuannya adalah saling pengertian. Komunikasi lingkungan dapat dilakukan dalam tiga tingkatan dalam masyarakat, yaitu individu, komunitas, dan nasional. Foulger (2004) dalam Jurin et al. (2010) menyatakan bahwa dalam komunikasi lingkungan terdapat model komunikasi yang dinamakan model ekologi dari proses komunikasi yang meliputi pembuat pesan-pengguna pesan dan pesannya. Perpindahan pesan dari pikiran membutuhkan bahasa dan media. Hubungan antara pembuat pesan dan pengguna pesan adalah dinamis, siklikal, dan beraneka macam sebagai makna yang dibentuk, dipertukarkan, dan dipengaruhi. Pembuatan dan penggunaan pesan terjadi bergantian dan sering secara bersamaan dilakukan pada individu. Berikut ini merupakan model ekologi dari proses komunikasi. menjadi pembuat pesan saat pembuat pesan membalas atau memberikan pesan
Pembuat pesan
membayangkan dan membuat
menggunakan, menemukan, dan mengembangkan
Pesan
mengamati ciri dan menginterpretasi Pengguna
Bahasa
pesan mempelajari, bersosialisasi
Media
memiliki perspektif dan hubungan dalam, dari, untuk dan tentang lingkungan
Gambar 1 Model ekologi dalam proses komunikasi (Foulger 2004 dalam Jurin et al. 2010) Kunci untuk memahami tindakan yang digambarkan pada model ekologi adalah konsep dari ‘instantitation’, yaitu membuat sesuatu yang nyata menjadi sesuatu yang abstrak. Makna dimulai dari dalam pikiran seseorang. Makna ini tidak berwujud hingga seseorang membuat pesan dengan menggunakan bahasa dan media. Sebagai seorang pembuat pesan, orang ini membuat sesuatu yang nyata menjadi sesuatu yang abstrak dari sebuah ide. Makna dibuat tidak berwujud. Foulger (2004) dalam Jurin et al. (2010) menyatakan bahwa bahasa dan media berkembang dari waktu ke waktu dan terdapat bagian dari pembuatan komunikasi. Penggunaan bahasa dan media meliputi keterampilan. Orang harus belajar bahasa dan media untuk dapat membuat dan menginterpretasi pesan. Orang ingin mengetahui bagaimana menggunakan bahasa dan media untuk berkomunikasi. Dalam dua fungsi komunikasi lingkungan yang dinyatakan oleh Cox sebelumnya, dapat diterapkan apabila berencana untuk membuat kampanye atau gerakan peduli lingkungan. Kampanye-kampanye atau gerakan-gerakan peduli
10 lingkungan akan membentuk persepsi manusia terhadap lingkungan. Terkait dengan kampanye, Rogers dan Storey (1987) dalam Rice dan Atkin (1989) mendefinisikan kampanye komunikasi publik sebagai 1) upaya yang disengaja, 2) untuk menginformasikan, membujuk atau memotivasi perubahan sikap, 3) secara relatif dapat dirumuskan dengan baik dan target sasaran yang besar, 4) secara umum untuk keuntungan non-komersial terhadap individu dan atau masyarakat keseluruhan, 5) khususnya diberikan dalam periode waktu, 6) melalui suatu cara atau diaturnya aktivitas komunikasi termasuk media massa, dan 7) seringkali dilengkapi oleh dukungan interpersonal. Namun demikian, banyaknya kampanye yang berlangsung masih jauh di bawah harapan, banyaknya aspek teori kampanye masih hanya sebagian yang mengerti dan banyaknya faktor (sering tidak terduga atau tidak terkontrol) yang dapat mempengaruhi arah, pelaksanaan, dan akibat dari kampanye. Karakteristik dari sumber pesan atau medium mempengaruhi keefektifan kampanye. Pengaruh karakteristik sumber dapat menjadi arah yang berlawanan dari yang diharapkan atau dapat menjadi konflik terhadap komponen pesan. Pesan dalam kampanye harus menjangkau bagian besar sesuai keinginan khalayak, tetapi pesan harus sesuai dengan kebutuhan individu dan harus berkontribusi terhadap tujuan khalayak. Pesan dalam kampanye tidak hanya terdapat pada berbagai macam saluran komunikasi yang dapat mudah diakses dan tepat untuk target sasaran, tetapi pesan juga harus memberikan informasi yang spesifik, memiliki pengertian, dan sikap yang mudah diakses, layak, dan mudah diterima secara budaya (Rice dan Atkin 1989). Media atau saluran komunikasi memiliki kekuatan dan memberikan pengaruhnya pada masyarakat. Media membentuk dan mempengaruhi pesan atau informasi yang disampaikan. Konflik dalam Perspektif Komunikasi Konflik “ada bilamana kegiatan yang bertentangan terjadi” (Deutsh 1973 dalam Gudykunst dan Kim 1997). Konflik tidak dapat dihindari dalam setiap hubungan yang berlangsung. Roloff (1987) dalam Gudykunst dan Kim (1997) membagi beberapa sumber konflik, yaitu 1) konflik terjadi saat orang salah menginterpretasikan tingkah laku satu sama lain, 2) konflik dapat muncul dari persepsi yang bertentangan, dan 3) konflik muncul saat orang tidak setuju tentang penyebab tingkah laku diri sendiri maupun orang lain. Menurut Pruitt dan Rubin (2011), konflik didefinisikan sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan yang terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Persepsi biasanya mempunyai dampak yang bersifat segera terhadap perilaku. Menurut Fisher et al. (2001), konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki, sasaran yang tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubunganhubungan manusia, yaitu sosial, ekonomi dan kekuasaan yang mengalami pertumbuhan, perubahan, dan konflik. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan tersebut, contohnya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumberdaya, serta kekuasaan yang tidak seimbang.
11 Definisi konflik lainnya yang mengilustrasikan hal penting mengenai bahasa walaupun bahasa tidak selalu menangkap atau mencerminkan kenyataan dinyatakan oleh Littlejohn dan Domenici (2007), yaitu konflik sebagai tujuan perselisihan (Lumsden dan Lumsden 2000). Pada definisi ini, persepsi memerankan peran yang penting dalam konflik. Keuntungan dari definisi ini adalah dapat menangkap kepercayaan budaya yang berkompetisi yang dilakukan oleh orang yang terlibat dalam konflik yang keduanya tidak dapat menang. Komunikasi merupakan medium tempat konflik dibuat dan dikelola. Cara kita berkomunikasi dengan orang lain sering membuat konflik, namun melalui komunikasi ini dapat juga mengelola konflik secara konstruktif atau destruktif. Hubungan konflik dapat terbuka atau berada di permukaan (konflik manifes) atau tertutup (konflik laten). Saat terjadi konflik terbuka, penanganan konflik dilakukan dengan cara menghindarinya. Faktanya, menghindari merupakan strategi yang banyak digunakan untuk membuat kesepakatan dalam konflik (Gudykunst dan Kim 1997). Terdapat dua tipe sumberdaya dalam konflik (Lulofs dan Cahn 2000), yaitu sumberdaya yang tidak nyata dan sumberdaya yang nyata. Sumberdaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumberdaya yang nyata dan langka berupa sumberdaya perikanan. Saat sumberdaya mengalami kelangkaan, konflik yang meliputinya lebih dari sekedar komunikasi interpesonal untuk penyelesaiannya. Menurut Fisher et al. (2001) terdapat empat tipe konflik yang masingmasing memiliki potensi dan tantangannya sendiri. Pertama, tanpa konflik, dalam kesan umum adalah lebih baik. Namun, setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika ingin agar keadaan ini terus berlangsung, kelompok atau masyarakat harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. Kedua, konflik laten yang bersifat tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Ketiga, konflik terbuka adalah yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Keempat, konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. Satria (2009) menjelaskan, dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi laut dimulai dari perumusan kebijakan, pelaksanaan hingga pengawasan dan pengendaliannya merupakan wewenang negara. Pemerintah yang memiliki peran sebagai agen pembangunan sekaligus agen pelindung sumberdaya alam dan lingkungan, tidak jarang menimbulkan konflik dengan masyarakat bahkan memberikan izin kepada swasta yang memungkinkan untuk mengakses, mengambil, bahkan melarang pihak lain mengambil sumberdaya yang ada. Derajat konflik cukup beragam dan sangat dipengaruhi oleh hak kepemilikan dari sumberdaya alam (property right). Menurut Lulofs dan Cahn (2000), teori struktural konflik berfokus pada situasi konflik dan memaparkan bagaimana perbedaan variabel dalam situasi yang mempengaruhi tingkah laku. Teori struktural menguji konflik sebagai sesuatu yang menghasilkan pada kondisi dari ciri hubungan dan membuat interaksi memungkinkan antara orang dalam suatu hubungan. Kemampuan teori struktural adalah untuk menjelaskan munculnya konflik tidak hanya dari faktor kepercayaan, ketidakpastian, dan kekuasaan, tetapi juga pengertian bagaimana bekerjasama
12 dalam situasi konflik. Dalam mengidentifikasi struktur konflik, kondisi situasional yang memberikan perkembangan pada interaksi konflik adalah kepercayaan, ketidakpastian, dan kekuasaan. Tiga variabel ini yang mempengaruhi hubungan antar orang, konteks sosial atau organisasi dalam konflik, isu yang muncul dalam konflik, dan kepentingan pihak dalam konflik. Variabel dengan dampak terbesar dalam kondisi konflik adalah banyaknya kepercayaan yang didapatkan dari orang lain. Kepercayaan adalah keyakinan saat seseorang melakukan kebaikan atau kejujuran untuk mempercayai individu, meyakini bahwa orang lain peduli melebihi keuntungan lain secara langsung yang orang lain terima sebagai hasil dari rasa peduli. Kepercayaan berkembang dari dialektika harapan dan ketakutan, yaitu keinginan untuk kedekatan memunculkan ketakutan dalam memberikan sesutau yang lebih dan memberikan rasa bergantung yang berlebihan. Kepercayaan berkembang tergantung pada aksi yang dilakukan, tetapi tetap pada keyakinan yang dibutuhkan. Dalam mempercayai individu cenderung untuk melihat kejadian yang negatif dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menstabilkan persepsi dan membuat konflik kurang mengancam. Pada penelitian Satria et al. (2013), urutan pihak-pihak yang dipercaya oleh nelayan di Karimunjawa dalam memberikan pesan-pesan konservasi adalah juragan, WCS, BTN, pemerintah desa, DKP, dan pihak-pihak lain. Pihak-pihak yang dipercaya dapat mengoptimalkan partisipasi nelayan, sedangkan lembaga lain hanya mengundang untuk hadir dan tidak pernah mendatangi nelayan. Alasan yang memunculkan konflik karena merasa ada nelayan yang tidak dilibatkan. Upaya Penyelesaian Konflik Suatu konflik dapat dianalisis dengan menggunakan alat analisis konflik. Fisher et al. (2001) memaparkan, bahwa salah satu alat analisis konflik adalah pemetaan konflik. Arti dari pemetaan konflik adalah sebuah teknik visual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik. Tujuan dari pemetaan konflik adalah untuk memahami situasi dengan baik, melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas, menjelaskan letak kekuasaan, memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi, melihat para sekutu yang potensial, mengeidentifikasi intervensi atau tindakan, dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan. Saat analisis konflik telah dilakukan, maka dibutuhkan upaya dalam penyelesaiannya. Lulofs dan Cahn (2000) menyatakan bahwa terdapat strategi konflik untuk mengatasi situasi konflik. tekanan seseorang terjadi dalam diri seseorang dan menunjukkan penurunan suatu emosi dan secara fisik. Tekanan hubungan terjadi di luar individu dan menunjukkan penurunan suatu hubungan. Pada Gambar 2 terdapat lima alternatif gaya komunikasi konflik yang bervariasi pada tingkatannya. Kolaborasi merupakan alternatif yang paling menguntungkan karena kolaborasi menurunkan suatu emosi dan tekanan fisik maupun pada tekanan hubungan. Penjelasan lima gaya konflik adalah sebagai berikut: 1. Avoidance Style Ciri utama gaya ini adalah perilaku yang tidak asertif dan pasif. Biasanya gaya ini mengalihkan perhatian dari konflik atau justru menghindari konflik. Kelebihan dari gaya ini adalah memberikan waktu untuk berfikir pada masingmasing pihak, apakah ada kemauan dari diri atau pihak lain untuk menangani
13
2.
3.
4.
5.
situasi dengan cara yang lebih baik. Kelemahan dari gaya ini adalah individu menjadi tidak peduli dengan permasalahan dan cederung untuk melihat konflik sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari dengan cara apa pun. Gaya ini biasanya justru mengarahkan pada konflik yang lebih parah. Accommodation Style Ditandai dengan perilaku non asertif namun kooperatif. Individu cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Competition Style Pada gaya kompetitif, individu cenderung agresif dan sulit untuk bekerjasama, menggunakan kekuasaan untuk melakukan konfrontasi secara langsung, dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk menyesuaikan tujuan dan keinginannya dengan orang lain. Gaya ini tidak kondusif untuk mengembangkan keakraban. Compromise Style Gaya kompromi dianggap lebih terbuka dibandingkan dengan avoidance, tetapi masalah yang terungkap tidak sebanyak gaya kolaboratif. Hal yang membedakan antara compromise style dengan collaborative style adalah waktu. Waktu yang dibutuhkan compromise style untuk menyelesaikan konflik lebih sedikit, namun solusi yang dihasilkan bisa jadi bukan solusi yang terbaik untuk semua. Collaboration Style Individu dengan collaborative style memiliki sikap asertif dan perhatian terhadap orang lain. Individu akan kelelahan karena gaya ini membutuhkan energi yang sangat besar untuk menyelesaikan konflik. Persoalan lainnya adalah gaya ini biasanya dilakukan seseorang yang memiliki kekuasaan dan terkadang menggunakan kekuasaan untuk memanipulasi orang lain.
High Accommodation
Avoidance
Compromise
Concern for Self
Collaboration
Low
Competition
Concern for Other
High
Gambar 2 Hubungan kepekaan retorik terhadap gaya konflik (Lulofs dan Cahn 2000)
14 Penelitian Terdahulu Hal yang mempengaruhi persepsi pada karakteristik sosial yang digunakan Hamilton (2012) di kawasan konservasi laut Kamboja dan Filipina, yaitu umur, pengalaman menangkap ikan, memiliki pekerjaan lain yang tidak berhubungan dengan menangkap ikan, agama, dan kepercayaan, sedangkan penelitian Szell dan Hallett IV (2013) di Taman Nasional Rezetat Rumania menggunakan umur, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Dalam karakteristik penangkapan ikan yang mempengaruhi persepsi Hamilton (2012) menggunakan panjang kapal, kekuatan kapal, dan metode penangkapan ikan, spesies yang ditangkap, dan operasi penangkapan ikan (dilihat dari jarak dari pantai dan waktu yang digunakan per minggu). Variabel yang digunakan untuk menguji persepsi dan penerimaan kawasan konservasi laut adalah umur, tipe alat penangkapan ikan yang digunakan, spesies yang ditangkap, pengelolaan penangkapan ikan yang diminati, dan pengalaman penangkapan ikan dalam kawasan konservasi laut. Hasil dari penelitian Hamilton (2012) adalah terdapat perbedaan yang signifikan dalam persepsi terhadap kawasan konservasi laut yang berdampak pada aktivitas penangkapan ikan antar kawasan; proporsi yang lebih besar pada nelayan Filipina menyatakan bahwa adanya kawasan konservasi laut tidak mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan dibandingkan nelayan Kamboja. Beberapa nelayan Filipina menyatakan bahwa adanya kawasan konservasi laut menimbulkan konflik berdasarkan pengalaman pribadi. Pada nelayan Kamboja, daerah dimana kawasan konservasi laut berada di tahap pra-pelaksanaan, tidak mengantisipasi konflik dari adanya kawasan konservasi laut, tetapi hanya di antara nelayan itu sendiri yang menunjukkan bagaimana ada atau tidak adanya kawasan konservasi laut dapat mengubah pendapat nelayan. Umur juga mempengaruhi respons nelayan Kamboja mengenai pengetahuan tentang setiap rencana perkembangan kawasan konservasi laut dengan umur rata-rata lebih besar (37,2 tahun) dengan nelayan yang tidak mengetahui rencana. Jenis alat tangkap yang dioperasikan tidak mempengaruhi penerimaan nelayan Kamboja terhadap kawasan konservasi laut, meskipun akan mempengaruhi jika nelayan Kamboja merasa kawasan konservasi laut akan mempengaruhi tangkapan ikan. Menurut McClanahan et al. (2008), semua nelayan di Taman Laut Pulau Mafia, Tanzania menyetujui bahwa panjang ikan minimum dan pembatasan alat tangkap sangat menguntungkan dan meningkatkan manfaat pada skala individu, masyarakat, dan pemerintah. Namun demikian, penduduk desa dan petugas pemerintah berbeda persepsi terhadap pengelolaan dasar wilayah, ruangan dan penutupan sementara, dan pembatasan spesies. Persepsi pembatasan pengelolaan dan manfaat hanya lemah berkorelasi dengan status sosial ekonomi penduduk desa, tetapi lebih kuat berkorelasi dengan kehidupan nelayan baik di dalam maupun di luar Taman Laut Pulau Mafia, Tanzania dan pilihan ekonomi keluarga nelayan. Persepsi paling negatif terhadap batasan ditemukan di desa-desa dekat penutupan industri penangkapan ikan, dimana terdapat ketergantungan terhadap sumberdaya laut dan angka yang tinggi dalam pekerjaan per rumah tangga, tetapi tidak menggantungkan hidupnya pada pertanian, peternakan dan pariwisata. Leleu et al. (2012) melakukan penelitian di kawasan konservasi laut, The Parc Marin de la Côte Bleue (PMCB), Perancis dimana terdapat dua kawasan zona larang tangkap (zona inti), yaitu Carry-le-Rouet dan Cap Couronne. Persepsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor independen efek zona larang tangkap,
15 seperti konteks sosial dari wilayah MPA, manajemen MPA atau perilaku keadilan oleh para pemangku kepentingan. Sejarah lokal dari pembentukan zona larang tangkap juga memiliki pengaruh terhadap persepsi nelayan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada persepsi negatif terhadap efek zona larang tangkap. Semakin dekat wilayah menangkap ikan ke zona larang tangkap, semakin positif persepsi nelayan. Persepsi positif juga akan meningkat jelas saat nelayan telah menghabiskan beberapa tahun untuk menangkap ikan di kawasan konservasi laut, yaitu 1:5 untuk < 10 tahun, 1:1 untuk 10-20 tahun dan 4:1 untuk > 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kurang lama dalam pengalaman menangkap ikan, semakin positif persepsi nelayan tentang zona larang tangkap dan ditegaskan oleh tingginya frekuensi penangkapan ikan di zona yang berdekatan dengan zona larang tangkap. Selain itu, persepsi juga ditentukan oleh spesies yang menjadi target nelayan. Persepsi positif hanya pada nelayan yang menangkap ‘sparids’ dan ‘rockfish’, sedangkan persepsi negatif pada nelayan yang menangkap ‘mullets’. Menurut Monintja et al. (2006), karakteristik sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat di perairan Laut Arafura dapat menjadi penghambat kelancaran penerapan manajemen lingkungan dan sumberdaya alam karena sebagian besar penduduk tergolong masyarakat yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kurang. Budaya masyarakat juga berperan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Nilai-nilai budaya berperan penting untuk menentukan persepsi dan orientasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kerangka Pemikiran Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tidak terlepas dari adanya perbedaan di antara para stakeholder terkait. Hal ini pun terjadi di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Menurut Gudykunst dan Kim (1997) dalam teori komunikasi, konflik dapat muncul dari persepsi yang bertentangan. Persepsi biasanya mempunyai dampak yang bersifat segera terhadap perilaku. Gifford (1987) menyatakan bahwa persepsi manusia terhadap lingkungan dipengaruhi oleh karakteristik personal, karakteristik budaya, dan karakteristik fisik dari lingkungan itu sendiri. Terdapat hubungan karakteristik personal (sosial), yaitu umur dan persepsi (Hamilton 2012 dan Leleu et al. 2012), tingkat pendidikan formal dan persepsi (Szell dan Hallett 2013), pengalaman mengelola sumberdaya dan persepsi (Leleu et al. 2012). Hal lainnya yang mempengaruhi persepsi adalah kepercayaan. Bennett dan Dearden (2013) mengungkapkan terdapat hubungan kepercayaan terhadap persepsi. Persepsi terhadap aspek pengelolaan sumberdaya perikanan (Ruddle 1999 dalam Satria 2009) difokuskan pada batas wilayah berupa zonasi, aturan, pemegang otoritas, dan sanksi. Persepsi nelayan lalu dikaitkan dengan kampanye komunikasi, sehingga dapat diketahui perbedaan yang terjadi antara persepsi nelayan dan pesan yang terdapat dalam kampanye.
16
Kampanye Komunikasi
Konflik
Karakteristik Sosial (X1): Umur (X1.1) Tingkat pendidikan formal (X1.2) Pengalaman dalam mengelola sumberdaya alam (X1.3) Pekerjaan sampingan (X1.4) Asal daerah (X1.5) Kepercayaan (X2) Keterangan:
Persepsi Nelayan terhadap Aspek Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa (Y1) Zonasi (Y1.1) Aturan (Y1.2) Pemegang otoritas (Y1.3) Sanksi (Y1.4)
: hubungan
Gambar 3 Kerangka pemikiran Hipotesis Hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara karakteristik sosial dan persepsi nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 2. Terdapat hubungan antara kepercayaan dan persepsi nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
3
METODE PENELITIAN Desain Penelitian
Penelitian dirancang dengan menggunakan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode survai yang bersifat deskriptif korelasional (Singarimbun dan Effendi 2008) dan pendekatan analisis isi deskriptif yang menggambarkan aspek-aspek dan karakteristik pesan (Eriyanto 2011). Hal ini untuk memperkaya data (kualitatif dan kuantitatif) dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) karena merupakan salah satu taman nasional laut yang telah memperbaharui revisi zonasi pada tahun 2012 dengan SK Dirjen PHKA Nomor 28/IV-Set/2012, sehingga dapat diketahui dampak yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pemilihan Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah karena lokasi yang dekat dengan Kantor Seksi Pengelolaan Taman
17 Nasional II Karimunjawa dan lokasi ini pernah terjadi konflik terbuka antara pihak swasta (pariwisata) yang menolak adanya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan BTNKJ, akibat adanya perbedaan persepsi antar kedua pihak tersebut. Hal ini menyebabkan kerusakan fisik pada bangunan kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional II Karimunjawa. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Januari 2015. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua individu (nelayan penangkap ikan) nelayan yang melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa. Unit analisis penelitian ini adalah individu (nelayan penangkap ikan) yang melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah dusun yang tidak menyukai BTNKJ dan dekat dengan kantor BTNKJ, yaitu Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa. Pengambilan sampel dilakukan dengan pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 46 orang nelayan responden. Data dan Instrumentasi Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden agar mendapatkan jawaban yang akurat dan wawancara mendalam kepada informan. Informasi dari sumber lain sebagai data pendukung atau untuk verifikasi. Pemilihan informan menggunakan teknik snowball sampling. Informan dalam penelitian ini adalah Camat Karimunjawa, aparat desa (petinggi, ketua RW, dan ketua RT), tokoh masyarakat, perwakilan instansi terkait (Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional I Kemujan dan stafnya, staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Karimunjawa), dan staf LSM Wildlife Conservation Society (WCS). Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, yaitu data dari Kecamatan Karimunjawa (Data Kecamatan Karimunjawa dalam Angka 2013), Kantor Desa Karimunjawa (data monografi desa), Balai Taman Nasional Karimunjawa (buku Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2007-2013 dan buku Zonasi Taman Nasional Karimunjawa tahun 2012), Kementerian Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara (Buku Saku Sektor Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara tahun 2012-2014), Dinas Perikanan dan Kelautan Karimunjawa (data jumlah jenis tangkapan ikan di Karimunjawa tahun 2007-2013, data jumlah produksi perikanan tangkap di Karimunjawa tahun 2007-2013, data jumlah kapal nelayan, dan dokumen kesepakatan antara nelayan kompresor dan nelayan pancing), serta dokumen-dokumen yang berhubungan dalam menunjang penelitian. Definisi Operasional Definisi operasional dalam suatu penelitian digunakan untuk mengetahui pengukuran suatu variabel, sehingga dapat diketahui baik buruknya pengukuran tersebut (Singarimbun dan Effendi 2008). Definisi operasional dan pengukuran peubah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik sosial merupakan ciri-ciri yang melekat pada setiap individu dalam suatu komunitas lokal. Peubah ini meliputi: umur, tingkat pendidikan
18 formal, tingkat pendidikan non formal, tingkat pendapatan, pengalaman dalam mengelola sumberdaya perikanan, dan asal daerah. (a) Umur adalah penghitungan dalam jumlah tahun sejak lahir sampai ulang tahun terdekat dengan waktu penelitian dilakukan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun). Pengukuran umur dikategorikan menjadi: (i) Rendah : 20-33 (ii) Sedang : 34-47 (iii) Tinggi : 48-61 (b) Pendidikan formal adalah lama pendidikan yang ditempuh di bangku sekolah yang dihitung dalam jumlah tahun. Pengukuran pendidikan formal dikategorikan menjadi: (i) Rendah : tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat (ii) Sedang : tamat SMP/sederajat (iii) Tinggi : tamat SMA/sederajat (c) Pengalaman dalam mengelola sumberdaya perikanan adalah lamanya individu dalam mengelola sumberdaya perikanan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun). Pengukuran pengalaman dalam mengelola sumberdaya perikanan dikategorikan menjadi: (i) Rendah : 8-22 (ii) Sedang : 23- 37 (iii) Tinggi : 38- 52 (d) Pekerjaan sampingan adalah pekerjaan lain yang tidak berhubungan dengan menangkap ikan. Pengukuran pekerjaan sampingan dikategorikan menjadi: (i) Tidak memiliki pekerjaan sampingan (skor 1) (ii) Memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemandu wisata (skor 2). (iii) Memiliki pekerjaan sampingan selain sebagai pemandu wisata (skor 3). (e) Asal daerah adalah budaya yang dibawa dari tempat asal dan tempat tinggal seseorang untuk membentuk cara yang berbeda bagi setiap orang dalam “melihat dunia”. Pengukuran asal daerah dikategorikan menjadi: (i) Karimunjawa (skor 1) (ii) Luar Karimunjawa (skor 2) 2. Kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat, yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Indikator dari kepercayaan adalah informasi yang diterima akurat, relevan, dan lengkap, serta mampu menjalin hubungan yang baik dengan pihak yang memberikan informasi dan mampu memenuhi kebutuhan. Pengukuran tingkat kepecayaan dikategorikan menjadi: (i) Rendah : skor 1 = 0-3 (ii) Sedang : skor 2 = 4-6 (iii) Tinggi : skor 3 = 7-9 3. Persepsi nelayan adalah penilaian dan pandangan nelayan terhadap dunia tempat hidupnya serta mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Pengukuran persepsi menggunakan skala likert untuk menentukan skor (Singarimbun dan Effendi 2008).
19 (a) Persepsi nelayan terhadap aspek pengelolaan sumberdaya perikanan berupa zonasi adalah penilaian dan pandangan nelayan terhadap kejelasan batas wilayah yang mengandung sumberdaya yang bernilai bagi nelayan yang berlaku di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Pengukuran persepsi nelayan terhadap zonasi menggunakan skala likert dengan dikategorikan sebagai berikut. (i) Merugikan : skor 1 (ii) Kurang menguntungkan : skor 2 (iii) Menguntungkan : skor 3 (b) Persepsi nelayan terhadap aspek pengelolaan sumberdaya perikanan berupa aturan adalah penilaian dan pandangan nelayan terhadap hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang yang dapat digunakan nelayan untuk melaut di kawasan Taman Nasional Karimunjawa (mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap). Pengukuran persepsi nelayan terhadap aturan menggunakan skala likert dengan dikategorikan sebagai berikut. (i) Banyak dan ketat : skor 1 (ii) Tidak terlalu banyak namun ketat : skor 2 (iii) Sedikit dan tidak ketat : skor 3 (c) Persepsi nelayan terhadap aspek pengelolaan sumberdaya perikanan berupa pemegang otoritas adalah penilaian dan pandangan nelayan terhadap organisasi atau lembaga yang bersifat formal maupun informal untuk mekanisme pengambilan keputusan dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Pengukuran persepsi nelayan terhadap pemegang otoritas menggunakan skala likert dengan dikategorikan sebagai berikut. (i) Tidak peduli dengan nelayan : skor 1 (ii) Kurang peduli dengan nelayan : skor 2 (iii) Peduli dengan nelayan : skor 3 (d) Persepsi nelayan terhadap aspek pengelolaan sumberdaya perikanan berupa sanksi adalah penilaian dan pandangan nelayan terhadap penegakkan aturan yang memerlukan sanksi, sehingga diketahui berjalan atau tidaknya suatu aturan yang berlaku di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Pengukuran persepsi nelayan terhadap sanksi menggunakan skala likert dengan dikategorikan sebagai berikut. (i) Tidak efektif : skor 1 (ii) Cukup efektif : skor 2 (iii) Efektif : skor 3 Uji Validitas dan Reliabilitas Suatu alat ukur dapat dikatakan sahih apabila alat ukur itu dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya ingin diukur (Singarimbun dan Effendi 2008). Apabila daftar pertanyaan digunakan sebagai instrumen pengukuran, maka kuesioner yang disusun harus mengukur apa yang ingin diukur. Jenis validitas yang digunakan adalah validitas isi, yaitu suatu alat ukur yang ditentukan dengan memasukkan semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep yang diukur. Untuk mendapatkan daftar pertanyaan/kuesioner yang mempunyai validitas tinggi, maka kuesioner disusun dengan cara
20 mempertimbangkan berbagai teori dan berkonsultasi dengan dosen pembimbing. Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment Pearson. Berdasarkan hasil uji validitas yang diujikan pada sepuluh orang responden diperoleh nilai sebesar 0.660-0.921. Reliabilitas adalah tingkat kemantapan yang menunjukkan tingkat suatu alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan, apabila alat itu dipakai dua kali atau lebih untuk mengukur gejala yang sama dengan hasil pengukuran yang konsisten (Singarimbun dan Effendi 2008). Uji reliabilitas menggunakan rumus Cronbach’s Alpha dengan penggunaan SPSS 20.00. Pada variabel kepercayaan menghasilkan nilai r sebesar 0.890 dan variabel persepsi menghasilkan nilai r sebesar 0.966. Hasil uji coba tersebut telah membuktikan bahwa kuesioner yang digunakan sebagai instrumen pengumpulan data sudah reliabel. Pengumpulan Data Pengumpulan data (Muljono 2012) dilaksanakan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode observasi, kuesioner, wawancara, dan dokumentasi. Observasi tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi juga mencakup pengamatan secara tidak langsung. Dalam observasi digunakan pencacatan (catatan harian) dan alat-alat mekanis (tape recorder) untuk memudahkan dalam mengingat suatu kejadian. Kuesioner disampaikan kepada responden untuk dijawab secara tertulis. Wawancara merupakan salah satu pengumpulan data dengan cara bertanya jawab langsung dengan responden dan informan. Dokumentasi merupakan cacatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Literatur-literatur yang relevan dimasukkan ke dalam kategori dokumen yang mendukung penelitian. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan inferensial. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat generalisasi hasil penelitian. Analisis data deskriptif dilakukan dengan menyajikan data melalui tabulasi silang. Teknik analisis inferensial digunakan untuk menganalisis data dengan membuat kesimpulan yang berlaku umum. Analisis statistik inferensial menggunakan korelasi Rank Spearman dan Chi-Square. Pengolahan data menggunakan bantuan piranti lunak (software) Microsoft Excel 2007 dan SPSS 20.0. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Profil Taman Nasional Karimunjawa Secara geografis Taman Nasional Karimunjawa terletak pada koordinat 5°40’39” - 5°55’00” LS dan 110°05’ 57” - 110°31’ 15” BT. Secara administratif kawasan ini terletak di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi
21 Jawa Tengah. Kawasan ini pada mulanya terdiri atas tiga desa yaitu Desa Karimunjawa, Desa Kemujan dan Desa Parang. Pada bulan Agustus 2011, Desa Nyamuk menjadi desa keempat yang diresmikan oleh Bupati Jepara. Taman Nasional Karimunjawa merupakan satu-satunya kawasan pelestarian alam perairan di wilayah Propinsi Jawa Tengah yang merepresentasikan keutuhan dan keunikan pantai utara Jawa Tengah. Luas Taman Nasional Karimunjawa adalah 111.625 hektar (BTNKJ 2012b). Pada awalnya, Gubernur Jawa Tengah mengusulkan Kepulauan Karimunjawa menjadi taman nasional laut dan sebagai daerah pengembangan wisata bahari di Kabupaten Jepara pada tanggal 26 Oktober 1982 melalui Surat Gubernur Jawa Tengah Nomor 556/21378. Pada tanggal 9 April 1986 berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 123/Kpts-II/1986 dijelaskan mengenai penunjukkan Karimunjawa dan perairan laut di sekitarnya seluas ±111.625 hektar yang terletak di Dati II Jepara Dati I Jawa Tengah sebagai cagar alam laut. Penunjukkan mintakaf pada Taman Nasional Laut Karimunjawa berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor 127/Kpts/DJ-VI/1989 pada tanggal 28 Desember 1989 dengan luas 110.468, 40 hektar yang memiliki empat zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona penyangga. Selama jangka waktu ini, para nelayan masih banyak yang melakukan kegiatan melaut di sekitar kawasan TNKJ karena kurangnya informasi yang diberikan dan keterbatasan dalam pengawasan yang dilakukan oleh BTNKJ. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 78/KptsII/1999 tanggal 22 Februari 1999 terdapat perubahan fungsi dari kawasan cagar alam Karimunjawa dan perairan sekitarnya seluas 111.625 hektar menjadi taman nasional dengan nama Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ). Luasan ini terdiri dari daratan Pulau Karimunjawa (1.285,50 hektar), daratan Pulau Kemujan (222,20 hektar), dan perairan (110.117,30 hektar). Penetapan kawasan pelestarian perairan disahkan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 74/Kpts-II/2001. Pada tahun 2004, dilakukan pertemuan kembali untuk membahas permasalah zonasi. Pada tanggal 30 Juni 2005, terdapat revisi zonasi TNKJ dengan perubahan empat zonasi menjadi tujuh zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona pemukiman, zona rehabilitasi, zona budidaya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Pada awalnya, nelayan Karimunjawa menganggap bahwa laut dapat dimanfaatkan sebebas-bebasnya di kawasan laut Karimunjawa (open access resources). Para nelayan pendatang mulai berdatangan dari berbagai daerah, baik menetap maupun hanya untuk mengambil ikan di sekitar kawasan Karimunjawa. Perubahan ini disebabkan oleh adanya perubahan secara ekonomi, sosial, dan ekologi di kawasan TNKJ. Pada tahun 2005, masih terdapat kasus pelanggaran, meskipun telah dilakukan rezonasi. Kasus pelanggaran yang terjadi, yaitu pengambilan ikan dan penyu, seperti yang ditemukan di perairan belakang Dusun Lego. Terdapat pengambilan satu ekor penyu sisik yang dimanfaatkan untuk konsumsi dan 23 ekor ikan napoleon wrasse yang dijual karena harganya yang tinggi. Selain itu, pada tahun 2007 di Karimunjawa, ditemukan tiga ekor penyu hijau yang dagingnya dimanfaatkan untuk konsumsi dan pembuatan opsetan penyu untuk diperjualbelikan. Adapula kasus lainnya yang sudah ditindaklanjuti dengan proses hukum pada Tabel 1 (BTNKJ 2012a).
22 Tabel 1 Register perkara Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2002-2010 No. Kasus Pelanggaran Proses Hukum Keterangan 1. Tindak pidana UU Nomor 9 Pasal 21, 3 orang Lokasi di menangkap ikan Tahun 1985 tersangka dikenai zona inti dengan menggunakan dan UU hukuman masing- kawasan potasium sianida Nomor 5 masing 5 (lima) perairan (apotas) di perairan Tahun 1990 bulan penjara dan TNKJ pada TNKJ. denda masingtanggal 12 masing Mei 2002. Rp 250.000,00 2. Tindak pidana UU Nomor 5 Pasal 21, Di perairan menangkap, membuTahun 1990 Tersangka wilayah nuh, melukai, memelidikenai hukuman konservasi hara, menyimpan dan 5 (lima) bulan TNKJ pada mengangkut dan penjara dengan tanggal 13 memperdagangkan denda Desember satwa yang dilindungi Rp 1.000.000,00 2004. oleh UU. Tindak pidana menangkap ikan di zona inti kawasan perairan TNKJ. 3. Pengambilan bagian UU Nomor 5 Pasal 21, Lokasi zona besi kapal tenggelam Tahun 1990 Tersangka perlindungan dan biota laut tentang dikenai putusan TNKJ pada dilindungi pada zona KSDHAE hukuman 8 bulan tanggal 16 perlindungan kawasan Pasal 33 ayat penjara dan denda Juli 2008. TNKJ. 3 dan pasal sebesar 21 huruf b Rp 500.000,00. Junto Pasal 40 ayat 2 Sumber: BTNKJ (2010b)
Kasus-kasus lain yang terjadi di sekitar kawasan TNKJ adalah penangkapan ikan dengan menggunakan jaring cantrang di kawasan konservasi TNKJ yang dilakukan oleh nelayan luar Karimunjawa pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2010 serta diberikan tindak pidana dan denda (BTNKJ 2012a). Pada tahun 2010 (BTNKJ 2010), saat diadakan operasi pengamanan gabungan yang dilaksanakan pada tanggal 18-24 Oktober 2010, nelayan yang bernama Ismanto, warga Dusun Lego, Desa Karimunjawa, telah melakukan operasi di Darmaga Barat Pulau Karimunjawa dengan menggunakan alat bantu berupa mesin kompresor dan segera dilakukan tindakan oleh pihak BTNKJ. Pada tahun 2010 juga dilakukan konsultasi publik untuk merancang revisi zonasi. Revisi zonasi dilaksanakan kembali karena zonasi pada SK Dirjen PHKA Nomor79/IV/Set-3/2005 dianggap sudah tidak sesuai dengan dinamika pembangunan di sekitar kawasan yang belum sepenuhnya mengakomodir berbagai kepentingan seperti ekologi, sosial ekonomi, pariwisata, perikanan, konservasi, sehingga jika dilakukan kembali, maka pengelolaan dapat berjalan
23 dengan baik dan berkesinambungan serta mendapat dukungan dari masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan yang ada. Oleh karena itu, konsultasi publik dilakukan bertahap dimulai dari tingkat kecamatan I, lalu dilanjutkan di tingkat desa. Konsultasi publik dilakukan kembali di tingkat kecamatan II oleh Muspika Kecamatan Karimunjawa, perwakilan utusan desa, dan tim fasilitator. Setelah itu, dilakukan konsultasi publik Kabupaten Jepara yang dihadiri SKPD terkait, baik Pemda Kabupaten Jepara maupun Pemda Provinsi Jawa Tengah. Pada tanggal 31 Oktober 2011 terdapat pembahasan revisi zonasi TNKJ yang telah terlaksana di Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung. Dalam revisi zonasi terdapat perubahan dari tujuh zonasi menjadi sembilan zona meliputi zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari, zona pemanfaatan darat, zona pemanfaatan wisata bahari, zona budidaya bahari, zona zona rehabilitasi, dan zona tradisional perikanan. Bersamaan dengan adanya konsultasi publik, terdapat program kerjasama antara BTNKJ, LSM WCS, dan LSM RARE pada tahun 2011 (RARE 2011). Program ini dinamakan Kampanye Bangga Karimunjawa dengan salah satu kegiatannya berupa SMS blast. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Selain itu, masyarakat dapat langsung memberikan masukan (saran) atau protes secara langsung melalui pesan. Hal ini bertujuan untuk melestarikan terumbu karang yang semakin rusak dan nelayan mampu memperoleh hasil laut secara optimal. SMS merupakan media kampanye yang sangat interaktif antara kampanye dengan masyarakat target kampanye. Pada tanggal 6 Maret 2012 telah disahkan revisi zonasi dengan adanya SK Dirjen PHKA Nomor 28/IV-Set/2012 dari tujuh zonasi menjadi sembilan zonasi (Dokumen BTNKJ). Namun demikian, pelanggaran masih terjadi pada tahun 2013 (BTNKJ 2014) meskipun telah dilakukan rezonasi. Pelanggaran ini terjadi saat ditemukan alat bantu penangkapan ikan berupa kompresor yang digunakan oleh nelayan setempat. Penangkapan ini dilakukan karena nelayan berada di sebelah barat Laut Taka Malang (zona inti). Profil Desa Karimunjawa Letak Geografis dan Keadaaan Alam Desa Karimunjawa merupakan desa yang termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa yang terletak di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Desa Karimunjawa memiliki luas wilayah sebesar 4.624 hektar dengan luas lahas sawah sebesar 12 hektar dan luas lahan kering 4.612 hektar. Desa Karimunjawa memiliki tiga dusun (Dusun Karimunjawa, Dusun Alang-alang, dan Dusun Cik Mas), 6 RW, dan 24 RT. Secara administratif, Desa Karimunjawa dengan batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Desa Kemujan, sebelah timur, selatan, dan barat berbatasan dengan Laut Jawa. Topografi desa berupa pesisir atau tepi laut dengan ketinggian wilayah dari permukaan laut sebesar kurang dari 500 meter. Jarak dari Desa Karimunjawa ke ibukota Kabupaten Jepara adalah 90 kilometer (BPS Kabupaten Jepara 2014).
24 Akses Akses menuju Karimunjawa menggunakan transportasi laut atau transportasi udara. Transportasi laut yang digunakan dari Jepara (Pelabuhan Kartini) menuju Karimunjawa adalah kapal motor pelan (KMP) Siginjai dengan waktu tempuh lima jam, serta kapal motor cepat (KMC) Kartini I dengan waktu tempuh empat jam dan KMC Express Bahari dengan waktu tempuh dua jam. Transportasi dari Semarang (Pelabuhan Tanjung Emas) menuju Karimunjawa dapat menggunakan KMC Kartini I. Sarana transportasi lain berupa transportasi udara dari Bandara Ahmad Yani Semarang menuju Bandara Dewadaru yang berada di Desa Kemujan. Transportasi darat yang dominan digunakan masyarakat setempat adalah sepeda motor (kendaraan roda dua). Begitupula bila ingin menuju Desa Kemujan dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor selama satu jam. Terkait dengan jalan di Desa Karimunjawa, sudah berbentuk aspal, namun jalan dalam kondisi baik hanya 2 km dan jalan dalam kondisi rusak sepanjang 20 km (Data Monografi Desa Karimunjawa 2014). Kondisi Sumberdaya Manusia Penduduk Desa Karimunjawa berjumlah 4.829 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 2.556 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 2.273 jiwa. Berdasarkan Tabel 2, mata pencaharian utama penduduk laki-laki Desa Karimunjawa adalah nelayan (59,44%) karena lokasi tempat pemukiman dekat dengan laut. Sebagian besar penduduk perempuan tidak memiliki mata pencaharian dan bekerja sebagai ibu rumah tangga karena mengandalkan suami sebagai tulang punggung, sehingga dapat dikatakan suami menjadi pencari nafkah tunggal. Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk menurut mata pencaharian di Desa Karimunjawa Mata pencaharian Petani pemilik tanah Petani penggarap tanah Nelayan Pengusaha sedang/besar Pengrajin/industri kecil Buruh bangunan Pedagang Pengangkutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Anggota TNI Pensiunan PNS/TNI Peternak sapi biasa Peternak kambing Peternak ayam Peternak itik/bebek Belum bekerja/tidak bekerja Jumlah
Jumlah (Jiwa) 11 17 1750 65 22 85 27 89 58 4 37 75 108 509 87 3129 4829
Persentase (%) 0.37 0.58 59.44 2.21 0.75 2.89 0.92 3.02 1.97 0.14 1.26 2.55 3.67 17.29 2.96 100.00
Sumber: Data Monografi Desa Karimunjawa (2014)
Mayoritas tingkat pendidikan penduduk Desa Karimunjawa jika dilihat pada Tabel 3 adalah belum atau tidak tamat SD (37,57%). Rendahnya tingkat
25 pendidikan disebabkan oleh sarana dan prasarana pendidikan relatif terbatas. Jumlah bangunan SD di Desa Karimunjawa mencapai 7 buah, namun belum diimbangi dengan jumlah bangunan SMP Negeri yang hanya sebanyak 1 buah, dan jumlah bangunan SMK Negeri sebanyak 1 buah (BPS Kabupaten Jepara 2014). Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih tergolong rendah, disamping faktor keterbatasan biaya. Laki-laki usia sekolah cenderung lebih memilih untuk bekerja sebagai nelayan. Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Karimunjawa Tingkat pendidikan Belum/tidak pernah sekolah Belum/tidak tamat SD SD SLTP SLTA Akademi Perguruan Tinggi Jumlah
Jumlah (Jiwa) 412 1420 1239 430 227 11 41 3780
Persentase (%) 10.90 37.57 32.78 11.38 6.01 0.29 1.08 100.00
Sumber: BPS Kabupaten Jepara (2014)
Karakteristik Sosial Responden Nelayan Karakteristik sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah umur, tingkat pendidikan formal, pekerjaan sampingan, pengalaman dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, dan asal daerah. Tabel 4 menggambarkan jumlah dan persentase karakteristik sosial dan ekonomi responden nelayan. Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk menurut karakteristik sosial responden di Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 Peubah n Umur Rendah (20-33 tahun) 15 Sedang (34-47 tahun) 25 Tinggi (48-61 tahun) 6 Tingkat pendidikan formal Rendah 41 Sedang 4 Tinggi 1 Pengalaman dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Rendah (8-22 tahun) 23 Sedang (23-37 tahun) 18 Tinggi (38-52 tahun) 5 Pekerjaan sampingan Tidak memiliki pekerjaan sampingan 17 Pemandu wisata 21 Pekerjaan lain (buruh bangunan, warung) 8 Asal daerah Karimunjawa 35 Luar Karimunjawa 11 Keterangan: n = jumlah
% 32.61 54.35 13.04 89.13 8.70 2.17 50.00 39.13 10.87 36.96 45.65 17.39 76.09 23.91
26 Pada Tabel 4 ditunjukkan, bahwa umur responden nelayan termasuk kategori sedang, yaitu antara 34-47 tahun. Pada kisaran umur ini, menurut ketentuan Badan Pusat Statistik, responden termasuk ke dalam usia produktif, sehingga secara fisik memungkinkan nelayan untuk bekerja secara optimal. Sebagian besar tingkat pendidikan formal responden termasuk kategori rendah dengan persentase sebesar 89,13%. Hampir seluruh nelayan di Karimunjawa memulai pekerjaan menjadi nelayan dimulai sejak berada di sekolah dasar. Nelayan responden turut membantu orang tua sejak kecil dan faktor lingkungan yang mendukung untuk bekerja. Kesadaran untuk meraih pendidikan tinggi masih rendah. Mayoritas nelayan memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemandu wisata sebesar 45,65% (Tabel 3). Pekerjaan sampingan dilakukan karena perkembangan pariwisata yang terus meningkat di Karimunjawa dan dapat menambah penghasilan, meskipun tidak terlalu besar dibanding melaut. Selain itu, pekerjaan ini dianggap menambah pengalaman karena adanya interaksi dengan wisatawan yang berasal dari luar Desa Karimunjawa. Sebanyak 50% nelayan memiliki pengalaman dalam mengelola sumberdaya perikanan selama 8-22 tahun (Tabel 4). Hal ini disebabkan oleh faktor usia yang masih muda. Selain itu, beberapa nelayan telah mencoba pekerjaan lain sebagai pengalaman, seperti bekerja di mebel, tukang bangunan, dan sebagainya. Pengalaman sebagai nelayan dalam rentang waktu tersebut telah memberikan pengetahuan berupa teknik penangkapan ikan, jenis-jenis ikan yang dapat ditangkap, dan musim penangkapan ikan. Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan diperoleh secara turun temurun, atau berasal dari sesama nelayan. Tabel 4 menunjukkan, bahwa sebagian besar nelayan responden (76,09%) berasal dari Karimunjawa. Namun demikian, sebagian besar latar belakang orang tua dari penduduk Karimunjawa berasal dari suku Jawa, Madura, Bugis, dan Buton yang bermigrasi ke Karimunjawa. Sebagian besar penduduk asli Karimunjawa sudah bermigrasi ke daerah lain. Selain itu, penduduk asli juga ada yang menikah dengan orang luar Karimunjawa dan bertempat tinggal di Karimunjawa. Berdasarkan latar belakang asal daerah orang tua, maka nelayan membuat komunitas berdasarkan tempat tinggal nelayan tersebut, seperti Dusun Benteng yang berasal dari Sulawesi Selatan. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Karimunjawa Nelayan Karimunjawa merupakan nelayan tradisional yang masih bergantung hidupnya pada alam dengan cara menangkap ikan di sekitar Perairan Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa masih menggunakan alat tangkap yang masih tradisional, meskipun sudah terbantu dengan teknologi dalam mencari ikan. Mayoritas alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Karimunjawa adalah pancing, jaring, speargun (tembak), dan bubu. Satu nelayan dapat memiliki lebih dari satu alat tangkap sesuai jenis ikan yang ditangkap dan musim tangkap. Beberapa nelayan terutama di Dusun Lego, Desa Karimunjawa masih menggunakan kompresor sebagai alat bantu untuk menyelam dalam mendapatkan ikan. Penggunaan alat bantu masih digunakan oleh nelayan tembak karena dapat mencapai kedalaman lebih dari 20 meter dan daya tahan di dalam air selama dua
27 jam. Sebagaimana diketahui, alat bantu ini dapat menggangu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan, namun belum ada pengganti dari alat bantu ini, sehingga masih digunakan. Nelayan tembak yang tidak menggunakan kompresor, mengandalkan kemampuan menyelam dengan kedalaman sampai 5 meter. Dalam menjalani pekerjaannya, ada nelayan tembak yang bekerja sendiri dan ada juga yang bekerja dalam kelompok. Namun demikian, nelayan kompresor harus bekerja sama membentuk kelompok agar terjamin keselamatannya. Terkait dengan alat tangkap berupa muroami (terbuat dari jaring, yang terdiri dari sayap dan kantong dan dalam pengoperasiannya dilakukan penggiringan ikan-ikan yang akan ditangkap agar masuk ke bagian kantong yang telah dipasang terlebih dahulu) sudah dipastikan tidak ada di Karimunjawa. Halini diperkuat peryataannya oleh Wiyono dan Kartawijaya (2012), bahwa alat tangkap muroami yang menjadi alat tangkap utama telah digeser oleh alat tangkap lain terutama tembak. Begitupula dengan penggunaan bom yang sudah tidak dipergunakan lagi untuk menangkap ikan. Namun demikian, masih terdapat nelayan yang menggunakan potasium. Menurut Bapak MH (28 tahun), potasium biasanya dapat dibeli di Semarang. Nelayan pengguna potasium hanya diketahui oleh teman-temannya yang bermatapencaharian sama, namun tidak mau melaporkannya ke pihak berwenang. Bila mengacu kepada aturan terbaru mengenai alat tangkap yang tidak ramah lingkungan menggantikan alat tangkap muroami adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/PERMEN-KP/2015 bahwa terdapat dua kelompok alat tangkap yang telah dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia, yaitu pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets). Teknologi dalam mencari ikan, sebagian besar nelayan pancing sudah menggunakan GPS dan fish finder untuk menangkap ikan. Peralatan GPS dan fish finder (Lampiran 4h dan 4i) digunakan karena jarak tempuh melaut hingga ratusan mil agar tidak kehilangan arah. Fungsi dari GPS adalah mengetahui posisi saat berada di laut, menentukan arah perjalanan, menandai tempat-tempat penting, seperti tempat yang banyak ikan, tempat kapal karam, tempat yang dangkal, dan sebagainya. Adanya GPS dapat menghemat BBM, karena arah perjalanan dapat ditentukan, sehingga kemungkinan untuk salah arah sangat kecil. Pada GPS dapat menyimpan data lokasi berupa koordinat. Alat fish finder berfungsi untuk membantu nelayan dalam mencari ikan. Hal ini didukung dalam penelitian Qureshi et al. (2014) bahwa GPS merupakan teknologi komunikasi dan informasi kedua yang penting dalam penggunaanya oleh responden sebagai alat bantu melaut selama aktivitas penangkapan ikan di laut. Informasi mengenai GPS dan fish finder didapatkan dari nelayan-nelayan cantrang yang berlabuh di pelabuhan jika cuaca sedang tidak baik untuk melaut. Para nelayan Karimunjawa yang membutuhkan alat-alat ini, pembelian dilakukan di Semarang atau Jakarta dengan cara menitipkan pada temannya atau melalui internet. Harga GPS sekitar Rp 500.000,00-Rp 700.000,00 sedangkan untuk fish finder dapat mencapai jutaan rupiah. Selama melaut di Karimunjawa untuk jarak dekat, hampir semua nelayan hanya menggunakan pengalaman dan firasat. Salah satu nelayan pancing, Bapak AD (36 tahun), menyatakan bahwa: “… kalau mau beli GPS atau fish finder bisa online, jadi tahu harganya. Harga bisa dibandingkan antara Jepara, Semarang, dan Jakarta. Biasanya pakai pos kalau mau barangnya sampai sini.”
28 Terkait dengan waktu penangkapan ikan oleh nelayan jaring dan pancing, dilakukan dari pukul 03.00-19.00 WIB selama 4-5 hari berada di laut dengan membawa perbekalan. Namun demikian, ada pula yang melakukannya dalam satu hari atau bahkan beberapa bulan. Nelayan tembak akan bekerja pada pukul 15.0007.00 WIB dan untuk terang bulan (saat bulan purnama) sekitar tanggal 10-17 dalam kalender Jawa, nelayan tidak akan menangkap ikan karena ikan-ikan tidak tidur akibat terangnya cahaya bulan. Bila menghubungkan dengan cuaca, nelayan yang akan melaut, mempertimbangkan kepergian untuk melaut sesuai firasatnya sendiri. Jika memungkinkan untuk melaut, maka nelayan akan melaut, meskipun cuaca tidak cerah (mendung) asalkan tidak ada gelombang tinggi. Pada musim barat atau baratan (pertengahan Desember-pertengahan Maret), para nelayan hanya dapat melaut di sekitar Perairan Karimunjawa atau bahkan tidak dapat melaut karena gelombang dapat mencapai 2,5-3 meter. Pada musim timur atau timuran (JuniAgustus), gelombang dapat mencapai 2-2,5 meter. Syahbandar memberlakukan aturan pada saat terjadi gelombang besar, nelayan tidak diperbolehkan untuk melaut. Akan tetapi, masih ada nelayan yang tetap melaut karena nelayan yakin untuk memperoleh ikan dan selamat sampai tujuan. Akibat pelanggaran tersebut, terdapat nelayan yang terdampar di suatu pulau dengan kondisi kapal yang hancur beserta isinya atau bahkan nelayan mati tenggelam. Hal ini dapat diketahui karena adanya sarana komunikasi berupa radio yang berada di kapal. Kapal-kapal penangkap ikan dari daerah lain (mayoritas dari Jawa Tengah dengan alat tangkap berupa cantrang) juga tidak dapat melaut dan berlabuh di pelabuhan Karimunjawa sampai gelombang tidak terlalu tinggi. Syahbandar setempat memberikan informasi yang berasal dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) agar nelayan segera berlabuh pada saat gelombang tinggi. Komunikasi berupa pesan tentang cuaca, gelombang laut, dan arah angin yang disampaikan oleh syahbandar relatif efektif untuk menyelamatkan para nelayan dari kondisi alam yang telah diprediksi. Para nelayan Karimunjawa tidak menyukai kehadiran nelayan cantrang karena nelayan cantrang sering menangkap ikan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Alat tangkap cantrang merupakan alat tangkap berbentuk jaring trawl yang berbentuk kantong terbuat dari jaring dengan dua panel dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring. Bentuk konstruksi cantrang tidak memiliki medan jaring atas, sayap pendek, dan tali selembar panjang. Ikan-ikan kecil dan ikan yang dilarang untuk ditangkap sering tertangkap oleh nelayan cantrang bahkan setelah tertangkap dan tidak sesuai dengan yang diharapkan, nelayan membuangnya ke laut. Selain itu, nelayan cantrang sering melanggar batas penangkapan ikan, sehingga memasuki kawasan Perairan Karimunjawa. Hal ini sempat menimbulkan amarah dengan para nelayan lokal sehingga terjadi konflik. Nelayan lokal sering mencatat nama kapal tersebut dan melaporkannya. Pihak Dinas Perikanan dan Kelautan Pelabuhan Perikanan Pantai (DKP P3) Karimunjawa menindaklanjuti dengan pengecekan ke lapangan atau melaporkan ke DKP yang terdapat di daerah asal para nelayan cantrang. Pelaporan ini berdasarkan catatan yang diberikan dari nelayan lokal. Pengelolaan sumberdaya perikanan terkait dengan aturan mengenai jenis ikan dan jumlah tangkapannya dapat diketahui bahwa para nelayan menangkap ikan dengan tidak melihat ukuran ikan dan jumlah tangkapan, kecuali untuk jenis
29 ikan dan biota laut yang dilarang. Jenis ikan yang dilarang ditangkap oleh BTNKJ adalah ikan napoleon atau ikan lemak, ikan lumba-lumba, ikan nemo atau ikan badut, ikan hiu martil, sedangkan biota laut yang tidak dapat ditangkap adalah penyu hijau dan penyu sisik, kima, akar bahar, dan sebagainya. Ikan napoleon, penyu, kima (kerang yang berukuran besar), dan kepala kambing memiliki harga jual yang tinggi, namun berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2009 telah dibahas mengenai pelarangan jenis ikan yang langka dan dilindungi untuk ditangkap. Mas PA (20 tahun), nelayan pancing dan jaring, mengungkapkan: “… masih ada nelayan yang ambil biota laut, seperti penyu, kima, dan kepala kambing tapi cuma untuk dimakan bukan untuk dijual dan dipakai untuk santapan pas acara kawinan dan hari raya. Ada juga nelayan yang nemuin 200 telur penyu, tapi sebagian saja yang dikasih ke BTNKJ (100 butir telur) buat ditukar jadi uang dan sisanya dijual. Kalau ada yang sengaja nangkap lumba-lumba, bisa nyurutin rezeki.” Bila nelayan tidak sengaja menangkap jenis ikan tersebut, maka akan dilepaskan ke laut kembali. Para nelayan masih merasa takut jika tidak sengaja tertangkap oleh pihak BTNKJ atau mitra masyarakat polhut. Bila satu sampai dua kali tertangkap, hanya diberi peringatan, namun pada penangkapan ketiga kali, maka akan dikenakan vonis hingga dibawa ke Semarang. Berikut ini merupakan jumlah jenis tangkapan ikan yang biasanya ditangkap oleh para nelayan.
Jumlah ikan dalam ribuan (kg)
300
Ekor kuning Tenggiri
250
Tongkol Kakap merah
200
Badong Cumi-cumi
150
Pisang-pisang
Layang
100
Baronang Teri
50
Campur
0
Betet
2007
2008
2009
2010
2011
Kerapu
Tahun Perikanan Pantai Karimunjawa (2014) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Pelabuhan
Gambar 4 Jumlah jenis tangkapan ikan di Karimunjawa tahun 2007-2011 Pada umumnya, para nelayan Karimunjawa menangkap jenis ikan yang laku di pasaran meliputi ikan tongkol, ikan tenggiri, ikan badong, ikan ekor kuning, ikan kakap merah, ikan pisang-pisang, ikan baronang, ikan kerapu, ikan kakak tua, dan sebagainya dan jenis ikan-ikan tersebut diizinkan untuk ditangkap. Namun sebelum dijual, para nelayan ini akan mengambil ikan yang proteinnya tinggi untuk dikonsumsi sendiri. Selain itu, jika terdapat jenis ikan yang tidak laku dijual di pasaran, biasanya akan dikonsumsi sendiri dan memberikannya kepada tetangga, seperti ikan selar, ikan layang, dan sebagainya. Jika nelayan menjual ikan-ikan tersebut, maka harga beli dari pengepul relatif rendah, sehingga nelayan tidak mendapatkan keuntungan. Jenis ikan yang paling banyak ditangkap dari tahun 2007-2011 adalah ikan ekor kuning. Berdasarkan Gambar 5 diketahui
30
Jumlah produksi ikan dalam ribuan (kg)
bahwa jumlah produksi ikan fluktuatif setiap tahunnya. Jumlah produksi paling tinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 771.990 kg dan paling rendah adalah 250.450 kg pada tahun 2012.
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa (2014) Tahun
Gambar 5 Jumlah produksi perikanan tangkap di Karimunjawa tahun 2007-2013 Jarak untuk melaut yang dapat dijangkau nelayan sekitar 30-45 mil (masih termasuk kawasan Perairan Karimunjawa) dan hanya sehari berada di laut, maka penjualan ikan dilakukan oleh nelayan Karimunjawa kepada pengepul di sekitar Karimunjawa. Harga sudah ditentukan oleh para pengepul Karimunjawa karena nelayan akan menjualnya kembali ke Jepara. Namun demikian, para pengepul ini ada juga yang menjualnya kepada pengepul di Semarang karena harganya yang relatif tidak dipermainkan daripada pengepul di Jepara. Permasalahannya adalah kapal pengangkut yang jarang pergi ke Semarang. Para nelayan juga dapat meminta es kepada pengepul untuk ikan yang akan dikonsumsi, sedangkan pengepul sendiri dapat membeli es batu di Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa atau tempat lain untuk mempertahankan kualitas ikan yang akan dikirim keesokan harinya. Namun demikian, pada musim barat atau musim timur, para pengepul terkadang harus menyimpan ikan lebih lama dalam box karena jika gelombang tinggi, maka kapal akan datang seminggu sekali, sehingga para pengepul harus memiliki stok es batu yang cukup. Selain itu, nelayan mendapatkan kerugian karena kualitas ikan yang semakin hari semakin menurun, sehingga harga jual menurun. Pada kawasan Karimunjawa, tidak ada tempat pelelangan ikan (TPI) sebagai tempat untuk menjual ikan karena para nelayan tidak dapat berhutang tanpa bunga dan tidak mendapatkan es tanpa harus membeli. Terdapat satu pengepul yang dianggap paling kaya di Karimunjawa karena selain membeli ikan dari nelayan, pengepul tersebut juga memiliki toko yang menjual bahan bakar minyak untuk kapal dan peralatan perikanan, serta memiliki kapal penyebrangan untuk menjual ikan ke Jepara dan dapat menampung hasil ikan nelayan lain yang sudah dijual kepada pengepul. Kapal tersebut memiliki kapasitas yang terbatas dan biaya angkut lebih tinggi dibandingkan menggunakan kapal Siginjai. Tingkat ketergantungan nelayan terhadap pengepul sangat tinggi.
31 Para nelayan yang melaut dan memiliki kapal sendiri harus mendaftarkan kapal perikanannya kepada syahbandar di Karimunjawa atau Jepara. Menurut data dari DKP P3 Karimunjawa tahun 2010, jumlah kapal yang berada di Karimunjawa sebesar 657 buah. Dalam hal berlayar, nelayan juga harus memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) sesuai UU Nomor 45 Tahun 2009 dan menurut Pasal 94A jika dipalsukan akan dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00. Selain itu, terdapat kartu nelayan yang berfungsi saat pembelian bahan bakar minyak untuk kapal (mendapatkan subsidi), namun tidak semua nelayan di Karimunjawa memiliki kartu nelayan karena keterbatasan informasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Karimunjawa. Bila nelayan tersebut melaut dengan jangkauan lebih dari 100 mil dan berada di laut sekitar 4-5 hari, biasanya akan dijual kepada pengepul di Jepara dengan menyiapkan box dan es batu untuk menaruh hasil-hasil tangkapannya. Harga satu balok es batu sekitar Rp 22.000,00 di Jepara. Untuk penggunaan solar, rata-rata sekitar 300-450 liter dan harga satu liter solar saat ini adalah Rp 9.000,00. Perbekalan yang dibawa dalam satu kapal mencakup bahan bakar minyak (solar), beras, galon berisi air mineral, rokok, kopi, boks ikan, dan es batu. Selain itu, ada juga nelayan yang membawa minuman keras untuk menghangatkan badan karena angin malam yang dingin. Namun demikian, ada juga yang meminum minuman keras setelah pulang dari melaut atau pada saat perayaan hari tertentu, seperti tahun baru. Pada umumnya, satu kapal diisi 3-4 orang anak buah kapal dan pembagian hasil tergantung kesepakatan bersama. Sebagian besar nelayan di Karimunjawa menggunakan sistem bagi hasil berdasarkan jumlah, seperti 2 bagian untuk kapal (kapal dan GPS) dan 4 bagian untuk kapten dan anak buah kapal (ABK). Namun, ada juga yang menggunakan pembagian hasil dibagi dua, yaitu satu bagian untuk kapal dan satu bagian untuk kapten dan ABK, misalkan hasil bersih mendapatkan Rp 5.000.000,00, maka dibagi dua, yaitu sebesar Rp 2.500.000,00. Bila jumlah orang adalah lima, maka masing-masing orang mendapatkan Rp 500.000,00. Oleh karena itu, jika perbekalan para nelayan tersebut mencapai Rp 7.000.000,00, maka nelayan harus mendapatkan penghasilan minimal Rp 10.000.000,00 pada saat melaut. Hal ini sesuai dalam penelitian Kinseng (2011) yang menyatakan bahwa masih terdapat penerapan sistem bagi hasil dari hasil tangkapan. Dari sistem bagi hasilnya, alat tangkap dogol dan rengge masih menerapkan sistem bagi dua, pemilik dan sawi atau sistem bagi tiga, pemilik mendapatkan dua bagian dan sawi satu bagian. Kesenjangan yang diterima antara pemilik dan sawi pada nelayan kecil juga lebih kecil karena seperti pe-dogol dan pe-rengge di Balikpapan, lebih bersifat teman sekerja atau co-worker. Banyak nelayan yang bekerja sendiri atau mempekerjakan orang lain dan seringkali masih keluarga sendiri atau teman. Terkait dengan kelompok-kelompok nelayan tangkap yang terdapat di Karimunjawa, sebagian besar baru dibentuk pada tahun 2014. Pembuatan kelompok ini dikarenakan adanya bantuan yang diberikan oleh DKP. Hingga saat ini, bantuan baru diberikan kepada kelompok-kelompok nelayan di Desa Karimunjawa, sehingga terjadi ketidakadilan di desa-desa lain. Kelompokkelompok nelayan di desa lain, seperti Desa Kemujan mengeluhkan mengapa hanya di Desa Karimunjawa saja yang mendapatkan bantuan, padahal nelayan
32 sudah mengajukan proposal beberapa kali dan sebagian besar kelompokkelompok nelayan tangkap Desa Kemujan terbentuk sejak tahun 2012. Bantuan dari DKP diberikan sesuai kebutuhan, seperti pemberian alat tangkap, boks untuk menaruh ikan, pelampung, dan sebagainya. Selain itu, para nelayan dapat meminjam dana bantuan kepada DKP dan mengembalikannya sesuai kesepakatan. Mayoritas kelompok-kelompok nelayan ini termasuk nelayan pancing dan jaring. Kelompok-kelompok yang telah dibuat sebelumnya sudah dianggap pasif (tidak berkembang), sehingga anggota-anggotanya membuat kelompok baru atau tidak ikut dalam kelompok. Kelompok yang pasif ini disebabkan karena ketua kelompok yang sudah tidak dapat memainkan peranannya kembali untuk mengatur kegiatan dalam kelompok tersebut atau faktor umur. Hal ini berbeda dengan kelompok nelayan tembak yang memiliki kelompok sendiri dalam melaut tanpa melibatkan peran DKP di dalamnya. Kelompok aktif yang berada di Desa Karimunjawa adalah Kelompok Bintang Laut (ketua: Bapak Marto), Kelompok Bintang Kejora (ketua: Bapak Bandi), dan Kelompok Sumber Barokah (ketua: Bapak Suhadi). Kelompok-kelompok ini dapat dikatakan kelompok pembangunan karena dibuat dalam rangka menuju pembangunan perikanan berkelanjutan. Kepercayaan Pada Tabel 5 menunjukkan nelayan responden sebesar 54,35% memiliki tingkat kepercayaan yang masih rendah terhadap BTNKJ. Komunikasi yang terjalin di antara BTNKJ dan nelayan juga dapat dikatakan tidak efektif karena pihak BTNKJ hampir tidak pernah berbaur dengan nelayan. Para nelayan berpandangan bahwa untuk dapat mempercayai pihak BTNKJ diperlukan adanya komunikasi yang baik di antara kedua belah pihak tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi kepada seluruh nelayan mengenai aturan-aturan yang dibuat oleh pihak BTNKJ, tidak hanya terbatas pada perwakilan nelayan saja. Selain itu, dapat juga dilakukan interaksi yang intensif berupa pertemuan rutin, baik formal maupun informal antara pihak BTNKJ dengan nelayan untuk membangun kepercayaan antar kedua belah pihak. Tabel 5 Jumlah dan persentase responden nelayan menurut tingkat kepercayaan terhadap BTNKJ di Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 Tingkat kepercayaan terhadap BTNKJ n % Rendah 25 54.35 Sedang 13 28.26 Tinggi 8 17.39 Jumlah 46 100.00 Menurut Satria et al. (2013), kepercayaan nelayan terhadap BTNKJ berada di urutan ketiga setelah juragan dan LSM Wildlife Conservation Society (WCS) dalam penyampaian upaya konservasi. Pada penelitian Bennett dan Dearden (2013) diungkapkan bahwa nelayan di sekitar kawasan konservasi Thailand sering tidak percaya terhadap pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Taman Nasional, Margasatwa, dan Konservasi Tanaman dan masyarakat dianggap lebih baik dalam melindungi kawasan. Ongare et al. (2013) juga memaparkan bahwa secara umum penduduk tidak mempercayai orang luar dan adanya batasan bahasa
33 yang membutuhkan penerjemah selama rencana dan penerapan komunikasi dan intervensi pendidikan. Ditinjau dari perspektif kepercayaan, orang yang dituakan dan pertemuan komunitas menjadi saluran komunikasi yang paling efisien karena adanya akses, keakraban, dan kurangnya hambatan bahasa (homofili). Berbeda pada hasil penelitian Jentoft et al. (2012), nelayan di Lira merasa percaya dan diberdayakan karena terdapat hubungan personal antara pemerintahan dan ilmuwan terkait dengan kawasan konservasi laut. Pemetaan Pemangku Kepentingan Persepsi memerankan peran yang penting dalam konflik, yaitu sebagai tujuan perselisihan (Lumsden dan Lumsden 2000 dalam Littlejohn dan Domenici 2007). Permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan yang terdapat di kawasan Taman Nasional Karimunjawa melibatkan para pemangku kepentingan yang berada di sekitarnya. Berikut ini merupakan pemetaan dari para pemangku kepentingan. Pemetaan pada Gambar 6, terdapat aparat kecamatan, aparat desa, dan tokoh masyarakat merupakan pihak yang memiliki hubungan dekat dengan BTNKJ dan DKP P3 Karimunjawa. Hubungan dekat berarti dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh pihak BTNKJ dan DKP P3 Karimunjawa diketahui oleh aparat kecamatan, aparat desa, dan tokoh masyarakat karena adanya peran penting dalam berlangsungnya suatu kegiatan. Terkait dengan DKP P3 Karimunjawa dan nelayan pancing terdapat suatu hubungan dengan adanya penyelenggaraan suatu program bantuan yang bermanfaat untuk nelayan pancing. Lembaga Swadaya Masyarakat WCS (Wildlife Conservation Society) merupakan aliansi dari BTNKJ (BTNKJ 2011) karena merupakan mitra Kementerian Kehutanan dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kesepakatan kerjasama kemitraan tersebut terdapat dalam Nota Kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 18 Juli 1997 yang telah diperpanjang kembali pada tahun 2009. Sampai dengan tahun 2011, berbagai program kegiatan telah dijalankan BTNKJ dan WCS-IP. Pada tahun 2012 (BTNKJ 2013), kemitraan tersebut diperpanjang kembali melalui Memorandum Saling Pengertian antara Dirjen PHKA Kementerian Kehutanan RI dengan WCS tentang Konservasi Hidupan Liar dan Habitatnya di Indonesia pada tanggal 30 Maret 2012. Nota kesepahaman telah ditindaklanjuti dengan penyusunan Rencana Kerja Teknis yang disahkan bulan September 2012. Program utama yang dilakukan oleh WCS di Karimunjawa adalah: 1. Penguatan kapasitas pengelola sumberdaya pesisir dan laut pada tingkat masyarakat, pemerintah lokal dan otoritas pengelolaan. 2. Mendukung pengelolaan kawasan Taman Nasional yang lebih efektif. 3. Mendukung penerapan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. 4. Memfasilitasi komunikasi dan berkoordinasi diantara pengelola, masyarakat, lembaga pemerintah, dan pihak lainnya. 5. Meningkatkan kegiatan-kegiatan penelitian mandiri dan bersama sebagai dasar bagi pengelolaan.
34
Nelayan tembak yang tidak memakai kompresor
Nelayan cantrang
Alat tangkap dan wilayah penangkapan sumberdaya perikanan
Aparat kecamatan, desa, tokoh masyarakat
Dinas Perikanan dan Kelautan Pelabuhan Perikanan Pantai (DKP P3) Karimunjawa
Nelayan pancing
Alat tangkap sumberdaya perikanan
Nelayan tembak yang memakai kompresor
Kebijakan Konservasi
Pemandu wisata
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ)
LSM Wildlife Conservation Society (WCS)
LSM RARE Keterangan:
= hubungan yang agak dekat = aliansi = konflik
Gambar 6 Pemetaan pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ RARE juga merupakan salah satu mitra Direktorat PHKA dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia. Pelaksanaan kerjasama dilandasakan pada Memorandum Saling Pengertian antara Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan RI dengan RARE Animal Relief Effort tentang Peningkatan Kapasitas Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia 30 Mei 2012. RARE merupakan lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan aktivitasnya untuk mengubah perilaku masyarakat di sekitar kawasan konservasi menggunakan pendekatan social marketing.
35 Berdasarkan hasil pemetaan pada Gambar 6, dapat diketahui bahwa pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik pengelolaan sumberdaya perikanan adalah nelayan kompresor, nelayan pancing, pemandu wisata dan BTNKJ, serta BTNKJ dan DKP. Konflik yang terjadi, yaitu konflik horizontal antara nelayan pancing dan nelayan kompresor, nelayan Karimunjawa dan nelayan cantrang, dan BTNKJ dan DKP. Selain itu, fungsi dari kampanye komunikasi yang dilakukan, baik dari pihak BTNKJ maupun kerjasama dengan LSM WCS dan RARE sebagai mitra, belum dapat dikatakan efektif. Berikut ini merupakan akar masalah yang terjadi, sehingga mengakibatkan konflik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Tabel 6 Akar masalah dan penyelesaiaan dalam konflik Akar masalah dalam Konflik Penyelesaian konflik konflik Konflik antara nelayan pancing dan nelayan tembak (baik yang tidak menggunakan alat bantu kompresor maupun menggunakan alat bantu kompresor) Konflik antara nelayan Karimunjawa dan nelayang cantrang
Perbedaan alat tangkap yang mengakibatkan perbedaan hasil tangkapan
Perundingan menghasilkan kesepakatan antara nelayan kompresor dan nelayan pancing pada tanggal 16 Maret 2011 di Balai Desa Karimunjawa
- Perbedaan alat tangkap yang mengakibatkan perbedaan hasil tangkapan - Memasuki batas wilayah perairan Karimunjawa untuk menangkap ikan
Konflik antara pemandu wisata dan Balai Taman Nasional Karimunjawa
Penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tidak jelas peruntukannya Tumpang tindih kebijakan
- Aturan Peraturan Menteri Nomor 2 tahun 2015 mengenai pelarangan penggunaan alat tangkap berupa cantrang dan trawl, namun belum ada upaya pengganti untuk alat tangkap tersebut - Melaporkan kejadian pelanggaran kepada pihak berwenang (kerjasama pihak BTNKJ dan DKP) Tidak dilakukan penarikan PNBP, setelah demonstrasi yang dilakukan pada bulan Oktober 2013 Tahun 2014, KKP mengambilalih semua taman nasional laut terutama TNKJ yang masih di bawah otoritas Kemenhut dengan menempuh jalur bilateral dengan Kemenhut dan menggunakan revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil sebagai dasar hukum, sehingga tidak ada lagi tumpang tindih kebijakan
Konflik antara Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Dinas Kelautan dan Perikanan
36 Konflik antara nelayan pancing dan nelayan tembak (baik yang tidak menggunakan alat bantu kompresor maupun menggunakan alat bantu kompresor) Konflik horizontal (nelayan pancing dan nelayan kompresor) termasuk ke dalam konflik terbuka karena berakar dalam dan sangat nyata, serta dalam kasus ini telah dilakukan tindakan untuk mengatasinya. Nelayan pancing (penggunaan alat tangkap pada Lampiran 5d, 5d, dan 5f) melaut di sekitar perairan kawasan TNKJ pada musim-musim tertentu terutama saat gelombang tinggi, sehingga tidak dapat melaut jauh. Berbeda dengan nelayan kompresor (penggunaan alat bantu pada Lampiran 5g) yang selalu melaut di sekitar kawasan TNKJ. Konflik ini terjadi saat nelayan pancing ingin menangkap ikan dan nelayan kompresor berada di bawah air yang tepatnya di bawah pancingan nelayan pancing, sehingga ikanikan lebih banyak yang terkena tembak daripada yang dipancing. Hal ini terjadi berulang kali, sehingga nelayan pancing melakukan pergerakan dengan diadakannya perundingan tanpa adanya fasilitator. Hasil dari perundingan menghasilkan kesepakatan antara nelayan kompresor dan nelayan pancing pada tanggal 16 Maret 2011 di Balai Desa Karimunjawa (Lampiran 6). Masing-masing pihak mengungkapkan pendapat dan persepsinya terkait permasalah mengenai alat tangkap. Hal ini tidak hanya untuk nelayan kompresor saja, tetapi juga untuk nelayan tembak yang tidak menggunakan kompresor. Nelayan tembak (penggunaan alat tangkap pada Lampiran 5c) juga tidak boleh mengganggu aktivitas yang dilakukan oleh nelayan pancing saat berada di laut untuk musim-musim tertentu. Nelayan tembak tidak dapat mengambil ikan sunuk hitam selama-lamanya serta tidak dapat mengambil ikan kerapu batu dan kerapu kertang pada bulan November sampai Maret setiap tanggal 18-29 Hijriah. Kasus ini didukung dalam penelitian Kinseng (2007) bahwa nelayan perengge tidak senang dengan adanya nelayan pedogol. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan nelayan pedogol lebih banyak daripada nelayan perengge (perbedaan alat tangkap). Gaya konflik antar nelayan ini termasuk compromise style karena waktu untuk menyelesaikan konflik lebih sedikit, namun solusi yang dihasilkan bisa jadi bukan solusi yang terbaik untuk semua. Berdasarkan hasil perundingan tersebut sebagian besar hasilnya diberlakukan untuk nelayan tembak, sedangkan untuk nelayan pancing tidak ada pelarangan atau ketentuan khusus. Bagi nelayan tembak, belum terdapat pengganti untuk alat tangkap tembak. Namun demikian, perundingan ini merupakan salah satu bentuk komunikasi yang mampu mengumpulkan kedua belah pihak yang bertikai untuk berdamai, sehingga permasalahan yang ada dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Konflik antara nelayan Karimunjawa dan nelayang cantrang Nelayan cantrang merupakan salah satu musuh terbesar bagi nelayan lokal di daerah manapun karena nelayan cantrang menggunakan alat tangkap berupa cantrang yang tidak ramah lingkungan. Jenis alat tangkap ini sering menangkap jenis ikan apapun bahkan kalau tidak sengaja, ikan-ikan kecil hingga ikan lumbalumba masuk ke dalam alat tangkap tersebut. Nelayan cantrang sering memasuki wilayah perairan Karimunjawa terutama pada musim barat dan musim timur untuk berteduh. Sebagian besar nelayan cantrang berasal dari Jawa Tengah.
37 Namun demikian, nelayan cantrang juga sering melewati tanda batas perairan Karimunjawa yang seharusnya nelayan cantrang tidak dapat mengakses kawasan tersebut untuk menangkap ikan. Aturan mengenai larangan bagi nelayan cantrang untuk tidak memasuki kawasan Perairan Karimunjawa terutama zona inti dianggap penting, sehingga dibutuhkan kerjasama antar nelayan dalam melarang nelayan cantrang yang memasuki kawasan. Hal ini turut membantu pihak berwenang dalam mengatasi pelanggaran. Sebagian besar nelayan merasakan adanya nelayan cantrang mengusik kehidupan nelayan Karimunjawa. Kapal nelayan cantrang lebih besar daripada nelayan Karimunjawa dengan jumlah ABK yang lebih besar. Pihak BTNKJ dan DKP turut mengambil andil dalam permasalahan ini dengan cara bila ada kapal nelayan cantrang yang memasuki wilayah Karimunjawa, maka nelayan yang melihat aktivitas penangkapan ikan tersebut, harus langsung melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Selain itu, nelayan Karimunjawa mencatat nama kapalnya. Hal ini telah disampaikan pada kampanye komunikasi dengan penggunaan berbagai media, namun terdapat kendala pada saat setelah pelaporan karena pihak tersebut tidak dapat langsung menuju ke lokasi kejadian, sehingga penanganan dilakukan oleh DKP daerah lain sesuai asal nelayan cantrang yang dilaporkan melewati batas.
Konflik antara pemandu wisata dan Balai Taman Nasional Karimunjawa Pariwisata di Karimunjawa semakin berkembang karena keindahan wisata alam bawah lautnya. Para wisatawan dapat melakukan snorkeling serta dapat memegang tumbuhan dan satwa laut. Namun demikian, hal inilah yang membuat kerusakan alam bawah laut karena kurangnya pengawasan dari para pemandu wisata yang menemani para wisatawan. Jumlah wisatawan tidak diimbangi dengan jumlah pemandu wisata, sehingga saat di bawah laut, wisatawan yang tidak mampu menyelam atau berenang, seringkali menginjak terumbu karang di sekitarnya. Sebagaimana diketahui bahwa terumbu karang merupakan habitat ikan terutama untuk bertelur. Jika terumbu karang tersebut rusak dan tidak dilakukan transplantasi terumbu karang, maka ikan-ikan tersebut akan kesulitan untuk berkembangbiak yang mengakibatkan jenis dan jumlah ikan semakin berkurang. Pihak BTNKJ sudah memberikan peringatan agar kawasan TNKJ dapat dilestarikan, akan tetapi tidak mudah untuk mengubahnya. Penambahan SDM untuk pemandu wisata belum dilakukan karena akan mempengaruhi pendapatan dari pihak pengelola pariwisata. Terkait dengan wisata, pada tahun 2013 telah diadakan kampanye komunikasi yang membahas zona pemanfaatan wisata. Media komunikasi yang digunakan meliputi SMS blast, kaos yang dibagikan kepada sasaran target, poster, baliho dan pertemuan kampung. Perbedaan dengan kampanye sebelumnya mengenai zona inti adalah adanya maskot yang diberi nama Mas Apu untuk kampanye yang artinya “Ambil Kerapu Sesuai Ukuran”. Dalam kampanye ini terdapat pesan kepada pelaku wisata untuk melakukan kegiatan wisata di zona pemanfaatan wisata dan pesan untuk nelayan Karimunjawa agar tidak memancing di zona tersebut. Slogan dalam kampanye ini adalah “Mata Dimanja, Laut Terjaga”. Tantangan dari kampanye ini adalah menjangkau tour operator wisata yang sudah banyak berkembang di Karimunjawa.
38 Dalam waktu yang bersamaan, terdapat konflik yang terjadi antara pengelola pariwisata yang melibatkan pemandu wisata dan pihak BTNKJ. Pada bulan Oktober 2013, Kantor Seksi Pengelolaan II Karimunjawa mengalami kerusakan akibat pelemparan batu yang dilakukan oleh demonstran. Para demonstran terdiri dari nelayan, para pedagang kaki lima, biro wisata, pemandu wisata, pemandu kapal, dan para pelaku wisata Karimunjawa. Demonstrasi berlangsung dari siang hari sampai sore hari. Terdapat oknum tertentu yang menghasut untuk melakukan demonstrasi terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akibat ketidakjelasan pengalokasian dana tersebut. Penarikan PNBP ini berupa tarif masuk wisatawan dalam negeri sebesar Rp 5.000,00 dan wisatawan mancanegara sebesar Rp 150.000,00 yang ditarik pada saat tiba di Pelabuhan Karimunjawa. Namun demikian, hal ini dapat diatasi dengan compromise style. Pihak yang melakukan perusakan telah memperbaiki kembali kantor BTNKJ dan PNBP tidak ditarik kembali oleh BTNKJ. Gaya konflik pada kasus ini termasuk ke dalam avoidance style. Para pelaku wisata lebih baik menghindari konflik dengan pihak BTNKJ karena kuatnya barang bukti dari pihak BTNKJ untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. Perbedaan persepsi mengenai PNBP telah mengarahkan pada konflik yang menghancurkan karena menganggap ketidakjelasan penggunaan PNBP. Konflik antara Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Dinas Kelautan dan Perikanan Konflik yang terjadi antara BTNKJ dan DKP adalah permasalahan kebijakan (konflik horizontal). Kementerian Kehutanan berlandaskan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan berlandaskan UU Nomor 45 Tahun 2009 yang sudah merupakan perubahan dari UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Namun, terdapat aturan lain dari KKP yang mendukung kawasan konservasi, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Berikut ini merupakan perbedaan berdasarkan Undang-undang tersebut. Pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa tidak dijelaskan secara spesifik untuk jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi pada UU Nomor 5 Tahun 1990. Berbeda dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 yang menjelaskan secara spesifik jenis ikan yang dilindungi agar tidak ditangkap oleh nelayan. Pada kegiatan yang dilarang, UU Nomor 5 Tahun 1990 berfokus pada pelarangan kegiatan dan perubahan fungsi zonasi, sedangkan UU Nomor 45 Tahun 2009 berfokus pada penggunaan alat tangkap dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak sumberdaya perikanan. Menurut Satria et al. (2006), terdapat perbedaan persepsi antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memperhatikan konservasi dan memelihara sumberdaya alam. Kementerian Kehutanan mengembangkan kebijakan konservasi berdasarkan perlindungan ekosistem yang memisahkan kawasan dan spesies dalam kategori yang dilindungi dan tidak dilindungi. Jenis spesies ikan hanya diklasifikasikan berdasarkan dilindungi dan tidak dilindungi, sedangkan kawasan penangkapan ikan, musim, dan ukuran ikan yang tidak dipertimbangkan dalam pengelolaan. Menurut
39 Kementerian Perikanan dan Kelautan, konservasi laut terlalu sederhana jika diperlakukan seperti itu karena Kementerian Perikanan dan Kelautan percaya bahwa pengelolaan daratan dan pengelolaan laut berbeda. Tabel 7 Perbedaan aturan dalam undang-undang antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan UndangUU Nomor 5/1990 UU Nomor 45/2009 undang (Kementerian Kehutanan) (Kementerian Kelautan dan Perbedaan Perikanan) Penggolongan Pasal 20 ayat 1 Pasal 7 ayat 6 tumbuhan dan Tumbuhan dan satwa Menteri menetapkan jenis satwa yang digolongkan dalam jenis: ikan yang dilindungi dan dilindungi a. Tumbuhan dan satwa kawasan konservasi perairan yang dilindungi untuk kepentingan ilmu b. Tumbuhan dan satwa pengetahuan, kebudayaan, yang tidak dilindungi pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, seperti ikan bersirip, udang, rajungan, kepiting, paus, lumbalumba, rumput laut, dan sebagainya Kegiatan yang Pasal 33 Pasal 9 dilarang (1) Setiap orang dilarang (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang memiliki, menguasai, dapat mengakibatkan membawa, dan/atau perubahan terhadap menggunakan alat keutuhan zona inti taman penangkapan dan/atau nasional. alat bantu penangkapan (2) Perubahan terhadap ikan yang mengganggu keutuhan zona inti taman dan merusak nasional sebagaimana keberlanjutan sumber dimaksud dalam ayat (1) daya ikan di kapal meliputi mengurangi, penangkap ikan di menghilangkan fungsi wilayah pengelolaan dan luas zona inti taman perikanan Negara nasional, serta menambah Republik Indonesia. jenis tumbuhan dan satwa (2) Ketentuan mengenai alat lain yang tidak asli. penangkapan dan/atau (3) Setiap orang dilarang alat bantu penangkapan melakukan kegiatan yang ikan yang mengganggu tidak sesuai dengan fungsi dan merusak zona pemanfaatan dan keberlanjutan sumber zona lain dari taman daya ikan sebagaimana nasional, taman hutan dimaksud pada ayat (1) raya, dan taman wisata diatur dengan Peraturan alam. Menteri.
40 Pengelolaan kawasan konservasi
Pasal 29 Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam Pasal 32 Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan
Lainnya
Tidak ada pengaturan mengenai alat penangkapan ikan, musim penangkapan ikan, ukuran atau berat jenis ikan yang boleh ditangkap
Pasal 13 Kawasan konservasi yang terkait dengan perikanan, antara lain adalah terumbu karang, padang lamun, bakau, rawa, danau, sungai, dan embun. Pemerintah dapat melakukan penetapan kawasan konservasi, antara lain sebagai suaka alam perairan, taman nasional perairan, taman wisata perairan, dan/atau suaka perikanan Pasal 7 ayat 1 Jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; jenis, jumlah, dan ukuran penempatan alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; ukuran atau berat minimumnya jenis ikan yang boleh ditangkap; jenis ikan yang dilarang untuk perdagangan, dimaksudkan, dan keluar dari wilayah Republik Indonesia
Luas Karimunjawa sebagian besar adalah lautan, sehingga perlu adanya kebijakan mengenai jenis dan ukuran ikan yang dapat ditangkap dan dilarang untuk ditangkap, alat tangkap yang ramah lingkungan, waktu atau musim dalam penangkapan ikan, dan sebagainya (UU Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 7). Kebijakan dari BTNKJ menekankan kepada kawasan yang harus dikoservasi dengan sistem zonasi tanpa mempertimbangkan isi yang terdapat di laut. Salah satu peraturan terbaru dari KKP yang berkaitan dengan jenis tangkapan adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/Permen-KP/ 2015 tentang penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan. Berdasarkan Pasal 3, lobster ditangkap dengan ukuran panjang karapas > 8 cm, kepiting dengan ukuran lebar karapas > 15 cm, dan rajungan dengan ukuran karapas > 10 cm. Aturan ini rencananya akan disosialisasikan kepada para nelayan di Karimunjawa. Bapak MR (57 tahun), nelayan pancing, mengemukakan mengenai perbedaan kebijakan yang diimplemetasikan kepada masyarakat:
41 “… sosialisasi antar aparat bentrok, namun tetap diterima oleh masyarakat dengan baik.” Dalam hal ini, nelayan merasa bimbang untuk mematuhi aturan karena dari kedua belah pihak memiliki aturan sendiri yang telah dijelaskan pada Tabel 13. Nelayan hanya mampu menerima aturan yang diberikan dari BTNKJ dan DKP, meskipun terkadang tidak menyukainya. Selain itu, masing-masing kementerian memberlakukan tidak hanya aturan, tetapi juga sanksi. Pada kawasan TNKJ, pemberian sanksi masih dilakukan oleh BTNKJ. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 40, sanksi dikenakan bagi pihak pelanggar aturan berupa pidana penjara dan denda tergantung dari kesalahan yang telah diperbuat. Namun demikian, bila ada nelayan dari luar Pulau Karimunjawa yang melanggar aturan, sebagian besar nelayan lokal melaporkannya kepada DKP P3. Selain perbedaan dalam aturan dan sanksi, terdapat persamaan pada pembuatan kegiatan. Pihak BTNKJ dan DKP merupakan mitra kerja, sehingga terdapat pembuatan program yang sama karena mengacu pada UU dan Peraturan Menteri, seperti pembuatan kelompok untuk pengawasan kawasan konservasi. Pada kawasan TNKJ terdapat Masyarakat Mitra Polhut (MMP) yang berasal dari masyarakat Karimunjawa dan dibentuk oleh BTNKJ untuk membantu Polhut. Tugas dari MMP adalah untuk mengawasi kawasan konservasi dari adanya pelanggaran, baik di darat (hutan) maupun di laut. Adapun Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Karimunjawa diinisiasi oleh DKP dan bekerjasama dengan MMP untuk membantu sebagai pengawas perikanan dalam melakukan fungsi pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab. Pokmaswas tidak bertanggung jawab terhadap pengawasan di hutan, seperti yang dilakukan oleh MMP. Berdasarkan fakta yang ada, pada bulan Maret 2009, Kemenhut sudah menyerahkan delapan kawasan konservasi laut kepada KKP. Pada tahun 2012, Kemenhut telah menolak untuk menyerahkan tujuh taman nasional laut kepada KKP. Penolakan ini dilayangkan melalui surat bernomor S.36/Menhut-IV/2012 pada 18 Januari 2012. Kemenhut membuka peluang untuk dilakukannya pengelolaan kolaboratif pada taman nasional yang diminta oleh KKP tanpa perlu pengalihan manajemen pengelolaannya (http://www.beritasatu.com/nusantara/ 33561-kemenhut-tolak-serahkan-tujuh-taman-laut.html). Perebutan taman nasional laut antara Kemenhut dan KKP masih berlanjut dengan diterbitkannya UU Nomor1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pernyataan mengenai tujuh taman nasional laut yang selama ini sudah dikelola dan dipertahankan oleh Kemenhut harus dialihkan kepada KKP (Sugiharto dan Fenny 2014). Tahun 2014, KKP telah berhasil menarik tujuh kawasan konservasi yang sudah melembaga menjadi taman nasional yang masih di bawah otoritas Kemenhut dengan menempuh jalur bilateral dengan Kemenhut dan menggunakan revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil sebagai dasar hukum yang kuat dalam menyelesaikan konflik dalam kewenangan pengelolaan (Dwiputra 2014). Akan tetapi, belum terjadi penyerahan pengelolaan kawasan
42 taman nasional hingga saat ini, meskipun sebagian besar pegawai sudah mulai memilih untuk tetap bertahan di Kemenhut atau pindah ke KKP. Ditinjau dari gaya konflik yang terjadi antara Kemenhut dan KKP termasuk ke dalam accommodation style karena Kemenhut yang awalnya tetap mempertahankan kawasan konservasi serta taman nasional laut untuk diserahkan kepada KKP, akhirnya Kemenhut melepaskan kekuasaannya. Perilaku dari Kemenhut ini dapat dikatakan non asertif namun kooperatif. Padahal Kemenhut membuka peluang untuk dilakukannya pengelolaan kolaboratif pada taman nasional kepada KKP tanpa perlu pengalihan dalam otoritas pengelolaannya.
5
PERSEPSI NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN Persepsi Nelayan terhadap Zonasi
Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) merupakan salah satu dari unit pelaksana teknis Kementerian Kehutanan yang bertugas sebagai pengelola kawasan Taman Nasional Karimunjawa yang dihadapkan pada berbagai tantangan yang menyangkut lingkungan, kelembagaan, dan masyarakat. Beberapa tugas yang dilakukan BTNKJ adalah menyelenggarakan fungsi penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional, pengelolaan kawasan taman nasional, dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional (BTNKJ 2012b). Terdapat revisi zonasi TNKJ dari tujuh zonasi menjadi sembilan zonasi berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor 28/IV-Set/2012, dan dalam penelitian ini difokuskan pada dua zona karena termasuk ke dalam zona yang dilarang untuk dimasuki, yaitu: 1. Zona inti seluas 444,629 hektar dengan lokasi sebagian perairan P. Kumbang, Taka Menyawakan, Taka Malang, dan Perairan Tanjung Bomang yang berfungsi untuk pengawetan perwakilan tipe ekositem perairan laut yang khas/alami/unik dan biota laut lainnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan dan merupakan bank plasma nutfah dari biota laut, untuk kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan penunjang budidaya. 2. Zona perlindungan bahari (untuk wilayah perairan) seluas 2.599,770 hektar dengan lokasi Perairan Pulau Sintok, Gosong Tengah, Pulau Bengkoang bagian utara, Pulau Cemara Besar bagian selatan, Pulau Cemara Kecil bagian utara, Pulau Geleang, Pulau Burung, perairan selatan Pulau Menjangan kecil, timur Pulau Nyamuk, Perairan Karang Kapal, Karang Besi bagian selatan, Krakal Besar bagian utara, Gosong Kumbang, Pulau Kembar dan Gosong Selikur berfungsi untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti. Luas pada zona inti tidak mengalami perubahan dari revisi zonasi tahun 2005, sedangkan luas zona perlindungan bahari mengalami peningkatan sebesar 12.059 hektar dimana tahun 2005 sebesar 2.587.711 hektar. Para nelayan telah
43 dilarang untuk memasuki zona larang tangkap ini. Namun demikian, tidak semua nelayan mengetahui kawasan-kawasan pada zona yang ditetapkan terutama zona inti dan zona perlindungan bahari. Masih terdapat nelayan yang menangkap ikan di kawasan zona inti dan zona perlindungan bahari. Meskipun dari berbagai pihak telah memberikan informasi terutama zona inti, namun nelayan terkadang tidak mempedulikannya. Selain itu, terdapat nelayan yang mengetahui zona inti, namun terkadang tidak mengetahui lokasinya karena terbatasnya informasi yang diberikan atau pura-pura tidak mengetahui. Zona yang dapat digunakan untuk nelayan melaut di sekitar kawasan TN Karimunjawa adalah zona tradisional perikanan. Pada tahun 2005 sesuai SK Dirjen PHKA Nomor 79/IV/Set-3/2005, luas zona tradisional perikanan adalah 103.883,862 hektar dan pada tahun 2012 sesuai dengan SK Dirjen PHKA Nomor 28/IV-Set/2012, zona ini memiliki luas 102.899,249 hektar dengan lokasinya meliputi seluruh perairan di luar zona yang ditetapkan. Terdapat penyempitan luas pada zona ini sekitar 984,613 hektar yang dapat dimanfaatkan nelayan pada revisi zonasi tahun 2012. Kejelasan batas wilayah untuk zona tradisional perikanan belum dapat diketahui. Pada Tabel 8 dipaparkan mengenai persepsi nelayan terhadap zonasi. Tabel 8 Jumlah dan persentase responden terhadap persepsi menurut zonasi di kawasan TNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 Persepsi responden nelayan terhadap zonasi n % Merugikan 24 52.17 Cukup merugikan 17 36.96 Menguntungkan 5 10.87 Jumlah 46 100.00 Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa persepsi responden termasuk merugikan. Persepsi responden terhadap zona inti adalah zona inti lebih luas daripada zona yang lain, zona inti dekat dari kawasan penangkapan ikan, sehingga hasil tangkapan berkurang, dan tidak terdapat tanda batas yang jelas (pelampung atau buoy yang berwarna merah) di sekitar kawasan zona inti. Sebagian besar nelayan mengetahui maksud dari pembuatan zona inti dan lokasi zona inti, namun setelah itu mengabaikannya. Bapak WD (35 tahun) selaku nelayan tembak menyampaikan: “… kalau zona inti diperluas, kasihan nelayan. Mau nangkap ikan dimana lagi. Apalagi nelayan tembak yang ngelaut di sekitar Karimunjawa.” Permasalahan lainnya adalah masih terdapat beberapa zona yang tidak diberitahukan karena dianggap tidak terlalu penting untuk diketahui oleh masyarakat. Hal terpenting bagi pihak BTNKJ adalah masyarakat tidak memasuki kawasan yang dilarang untuk dimasuki. Berdasarkan hasil wawancara, hampir seluruh nelayan masih menangkap ikan di sekitar zona perlindungan bahari karena pihak BTNKJ masih memfokuskan untuk penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai larangan untuk memasuki zona inti. Bagi nelayan yang mempersepsikan zona inti sebagai hal yang menguntungkan adalah adanya
44 pembuatan zona inti mampu melestarikan jenis ikan yang terdapat di kawasan TNKJ, sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan dan dapat dikelola oleh generasi selanjutnya. Bahkan salah satu nelayan pancing, Bapak MR (57 tahun), merasakan kebingungan dengan jumlah lokasi zona inti. Bapak MR mengemukakan: “… zona inti tadinya di tiga lokasi, tapi ko sekarang banyak. Tapi kalau tidak ada zona inti malah bahaya juga. Saya sudah lama tidak dapat informasi dari taman nasional.” Mengenai pernyataan tersebut, adanya informasi yang kurang didapatkan oleh Bapak MR. Salah satu penyebabnya adalah sosialisasi mengenai zona inti belum secara merata diberikan kepada masyarakat (nelayan). Lokasi zona inti dari tahun 2007 hingga saat ini masih berada di lokasi yang sama dan hanya terdapat perubahan pada luasannya. Pada tahun 2006, pihak BTNKJ melakukan sosialisasi kebijakan pengelolaan TNKJ. Menurut pihak BTNKJ, upaya untuk memberitahukan masyarakat mengenai zona yang dilarang untuk dimasuki terutama zona inti telah dilakukan dengan berbagai cara. Adanya zona inti diperuntukkan agar ikan dapat berkembangbiak dengan baik. Setelah ikan-ikan tersebut sudah besar, maka ikanikan tersebut akan keluar dari zona inti dan dapat ditangkap oleh para nelayan. Namun, tidak semua masyarakat mampu memahaminya. Masyarakat menganggap adanya zona inti yang dibentuk merupakan akal-akalan dari pihak BTNKJ. Selain itu, terumbu karang yang ada di kawasan tersebut dapat terjaga dari kerusakan akibat manusia. Penentuan lokasi zona inti pun tidak dilakukan sepihak oleh pihak Balai BTNKJ, tetapi adanya aspirasi dari perwakilan masyarakat dengan dilakukannya pertemuan. Persepsi Nelayan terhadap Aturan Aturan yang berlaku di kawasan TNKJ adalah aturan mengenai batas wilayah yang tidak dapat dimasuki oleh nelayan, jumlah tangkapan ikan, jenis dan ukuran ikan yang dapat ditangkap, penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, dan waktu atau musim penangkapan ikan. Aturan dibuat agar masyarakat dapat mematuhinya demi keberlanjutan hidup. Aturan larangan untuk memasuki zona inti dan zona perlindungan bahari beserta lokasi yang ditunjuk, telah dibahas sejak tahun 2010 dengan dilakukan konsultasi publik. Pelarangan dilakukan demi terjaganya kelestarian alam. Berikut ini merupakan aturan kegiatan yang dapat dilakukan dan kegiatan yang dilarang dalam revisi zonasi untuk zona larang tangkap. Tabel 9
Zonasi Zona Inti
Aturan untuk zona larang tangkap berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (SK Dirjen PHKA) Nomor 28/IV-Set/2012 Kegiatan yang dapat dilakukan 1. Perlindungan dan pengamanan oleh BTNKJ dan pihak terkait lainnya.
Kegiatan yang dilarang 1. Mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti serta menambah jenis tumbuhan dan
45 2. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 3. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan atau penunjang budidaya. 4. Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan.
2.
3.
4.
Zona Perlindungan Bahari
1. Perlindungan dan pengamanan. 2. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 3. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya. 4. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan populasi hidupan liar. 5. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan wisata alam terbatas. 6. Alur lalu lintas pelayaran umum.
5. 1.
2.
3.
satwa lain yang tidak asli. Sengaja maupun tidak sengaja melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, moluska, penyu dan biota laut lainnya baik hidup, mati atau bagian-bagiannya. Sengaja atau tidak sengaja menggali, mengganggu atau memindahkan setiap bagian atau komponen ekosistem perairan laut. Melakukan kegiatan wisata bahari. Melakukan penambangan pasir. Mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona perlindungan serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Sengaja maupun tidak sengaja melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, molusca, penyu dan biota laut lainnya baik hidup, mati atau bagian-bagiannya. Melakukan penambangan pasir.
Sumber: BTNKJ (2012b)
Tabel 9 telah dicantumkan mengenai aturan untuk zona larang tangkap berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor 28/IV-Set/2012, maka dalam Tabel 10 dapat diketahui persepsi responden nelayan terhadap aturan yang terdapat di kawasan BTNKJ. Berikut ini jumlah dan persentase responden terhadap persepsi menurut aturan BTNKJ. Tabel 10 Jumlah dan persentase responden terhadap persepsi menurut aturan BTNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 Persepsi responden nelayan terhadap aturan n % Banyak dan ketat 25 54.35 Banyak namun tidak ketat 19 41.30 Tidak banyak dan tidak ketat 2 4.35 Jumlah 46 100.00
46 Pada Tabel 10 dinyatakan, bahwa sebesar 54,35% responden menyatakan bahwa aturan yang terdapat di sekitar kawasan TNKJ banyak dan ketat. Bagi nelayan, aturan yang banyak dan harus dipatuhi serta ketatnya aturan tersebut mengakibatkan sebagian besar nelayan tersebut merasa terkekang untuk melaut di wilayah sendiri. Permasalahan lainnya adalah di dalam kawasan TNKJ, terdapat banyaknya aturan yang mengakibatkan nelayan tidak tahu harus mengikuti aturan yang mana, baik dari BTNKJ maupun DKP Karimunjawa. Salah satu nelayan tembak, Bapak AS (35 tahun) mengungkapkan hal terkait dengan aturan yang diberikan oleh BTNKJ: “… program mengenai zona inti dan adanya aturan tidak boleh melaut di zona inti sudah ok, namun penyampaiannya kurang bermasyarakat, lebay, bahasanya kaku, dan pegawai-pegawainya kurang sreg, sombong. Pihak BTNKJ hanya di kantor, jarang ada di lokasi.” Kurangnya interaksi yang dilakukan oleh pihak BTNKJ kepada masyarakat dalam membuat aturan yang disampaikan, diacuhkan begitu saja oleh masyarakat. Selain itu, informasi yang diberikan hanya terbatas pada orang-orang tertentu. Persepsi nelayan terhadap aturan adalah banyak karena terdapat aturan lain selain dari BTNKJ. Aturan-aturan tersebut mengenai jumlah tangkapan ikan, jenis ikan yang tidak diizinkan untuk ditangkap, penggunaan alat tangkap dan atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan, dan waktu atau musim penangkapan ikan diatur berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2009 di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal inilah yang membuat nelayan merasakan banyaknya aturan yang terdapat di kawasan TNKJ. Aturan yang berlaku tidak hanya diberikan oleh pihak BTNKJ, tetapi juga diberikan oleh DKP di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada UU Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 7, terdapat aturan yang membatasi jumlah tangkapan ikan. Hal ini berlaku terutama untuk nelayan-nelayan yang bermuatan besar bukan nelayan lokal. Akan tetapi, bagi nelayan pancing, hal ini menjadi masalah karena adanya nelayan kompresor yang menangkap ikan di bawah nelayan pancing. Umpan tidak termakan oleh ikan, tetapi ditembak oleh nelayan kompresor. Jumlah tangkapan nelayan kompresor lebih banyak daripada nelayan pancing. Oleh karena itu, dibuatlah kesepakatan bersama antara nelayan pancing dan nelayan kompresor (Lampiran 6), pada Bab III mengenai ketentuan khusus bahwa setiap nelayan kompresor tidak boleh mengganggu nelayan pancing. Jika terdapat pelanggaran, maka pelaku pelanggaran dapat diadili dengan musyawarah dan mufakat yang dilakukan secara terbuka untuk umum (merujuk pada Bab II tentang tata cara pelaksanaan). Mengenai jenis ikan yang tidak diizininkan untuk ditangkap oleh nelayan terdapat pada UU Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 7 ayat 6 mengenai jenis ikan yang dilindungi di kawasan konservasi perairan, seperti ikan napoleon, penyu, kimah, lumba-lumba, dan sebagainya. Bagi nelayan tembak, terdapat aturan khusus yang terdapat pada Lampiran 5a. Nelayan tembak tidak boleh menangkap ikan sunuk hitam dengan batas 38 cm, ikan kerapu macan dengan batas 35 cm, dan ikan kerapu lumpur dengan batas 50 cm. Aturan bagi nelayan kompresor terdapat pada Lampiran 6 di Bab III. Jenis ikan yang tidak boleh ditangkap nelayan kompresor adalah ikan sunuk hitam (tidak boleh diambil selama-lamanya) serta ikan kerapu
47 batu dan ikan kerapu kertang pada bulan November sampai bulan Maret setiap tanggal 18-29 Hijriah. Aturan mengenai penggunaan alat tangkap dan atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan dijelaskan dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 9. Alat tangkap yang dilarang untuk digunakan, seperti muroami, jaring pocong, jaring cantrang dan sianida. Pada Bab III di Lampiran 6 juga dijelaskan bahwa potasium dilarang untuk digunakan di Desa Karimunjawa. Dahulu, hampir sebagian besar nelayan terutama nelayan tembak pernah menggunakan bom dan potasium untuk menangkap ikan karena hasil tangkapan lebih banyak daripada hanya menggunakan alat tangkap tembak saja. Akan tetapi, sejak adanya aturan pelarangan untuk penggunaan bom dan potasium, hampir seluruh nelayan di Karimunjawa tidak menggunakan kembali. Para nelayan sudah sadar dengan penggunaan bom dan potasium akan merugikan diri sendiri. Adapun salah satu pernyataan disampaikan oleh salah satu nelayan pancing, Pak MM (27 tahun): “… dulu saya pernah pake bom dan potasium buat nangkap ikan tapi sekarang udah ga karena lingkungan cepat rusak dan ikan yang ditangkap semakin berkurang.” Larangan penggunaan bom, potassium, dan kompresor di sekitar kawasan TNKJ sudah dilakukan pihak BTNKJ dan Pemda Jepara dengan menggunakan papan informasi (Lampiran 5d) serta dilakukannya sosialisasi. Alat bantu penangkapan ikan yang dilarang dan tidak ramah lingkungan berupa kompresor sudah dilarang berdasarkan undang-undang. Pelarangan penggunaan kompresor belum dimasukkan ke dalam kesepakatan bersama (Lampiran 6) karena membutuhkan proses yang cukup memakan waktu. Waktu atau musim penangkapan ikan juga diatur dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 7h. Maksud dari pasal ini adalah penetapan pembukaan dan penutupan area atau musim penangkapan untuk memberi kesempatan bagi pemulihan sumber daya ikan dan lingkungannya. Pada puncak musim ikan bertelur, nelayan dilarang untuk menangkap karena jumlah ikan akan berkurang jika ditangkap terus menerus bahkan bisa sampai punah. Musim barat merupakan musim dimana ikan-ikan mulai bertelur. Pada bulan Juni-Juli merupakan musim timur dimana gelombang cukup tinggi, namun tidak terlalu tinggi dibandingkan musim barat. Musim timur juga terdapat ubur-ubur yang muncul ke permukaan, sehingga para nelayan harus berhati-hati jika tidak ingin tersengat terutama bagi nelayan tembak yang menyelam. Persepsi nelayan mengenai aturan yang ketat adalah aturan yang tetap dan tidak dapat diubah. Namun demikian, bila terdapat perubahan dalam aturan maka aturan tersebut menjadi lebih mendetail dari sebelumnya. Nelayan menganggap bahwa adanya aturan yang ketat dapat membatasi ruang gerak nelayan dalam mengelola sumberdaya perikanan. Aturan yang ketat dapat memberikan sanksi yang lebih besar, baik dari sanksi ekonomi maupun sanksi hukuman.
48 Persepsi Nelayan terhadap Pemegang Otoritas Pemegang otoritas untuk kawasan TNKJ adalah Balai TNKJ di bawah pengawasan langsung dari Kementerian Kehutanan. Dalam waktu dekat ini, BTNKJ direncanakan akan berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Para nelayan yang mengetahui informasi ini merasa senang dan berharap aturan yang dibuat tidak banyak dan ketat seperti yang terjadi saat ini. Berikut ini merupakan tabel mengenai persepsi nelayan terhadap BTNKJ sebagai pemegang otoritas di kawasan TNKJ. Tabel 11 Jumlah dan persentase responden nelayan terhadap persepsi menurut pemegang otoritas TNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 Persepsi responden nelayan terhadap pemegang otoritas n % Tidak peduli terhadap nelayan 26 56.52 Kurang peduli terhadap nelayan 18 39.13 Peduli terhadap nelayan 2 4.35 Jumlah 46 100.00 Tabel 11 menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap pihak BTNKJ, yaitu BTNKJ tidak peduli terhadap nelayan. Persepsi responden terhadap BTNKJ adalah BTNKJ memiliki kekuasaan dan wewenang yang kuat, tetapi belum mampu melibatkan masyarakat terutama nelayan untuk bekerja sama dalam mengelola kawasan TNKJ. Pihak BTNKJ hanya mengikutsertakan pihak-pihak tertentu saja untuk bekerja sama, seperti terbentuknya MMP. Pihak BTNKJ dianggap belum mampu memberdayakan masyarakat terutama nelayan di sekitar kawasan TNKJ. Patroli perairan yang dilakukan pihak BTNKJ sangat jarang karena bergantung pada bahan bakar minyak yang didapatkan. Patroli gabungan juga hanya dilakukan setahun dua kali. Patroli perairan biasa dilakukan menggunakan kapal patroli milik TNKJ dan juga kapal milik masyarakat yang tergabung dalam MMP. Pihak BTNKJ lebih sering berada di kantor atau mess daripada berbaur dengan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pihak BTNKJ melakukan tugasnya sebagai pengelola TNKJ dari hari Senin-Jum’at dan terkadang melakukan patroli di sekitar kawasan TNKJ, baik darat maupun laut pada hari libur. Saat BTNKJ melakukan patroli, menurut Mbak AT (30 tahun): “… nelayan takut kalau didekati oleh BTNKJ di laut karena nelayan menganggap telah melakukan pelanggaran dan akan ditangkap oleh BTNKJ. Padahal BTNKJ sedang patroli.” Salah satu kejadian yang dialami masyarakat, terjadi saat para nelayan sedang duduk-duduk dan mengobrol, pihak BTNKJ melewati nelayan, namun tidak ada percakapan atau saling menyapa di antara kedua belah pihak tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Bapak JM (43 tahun): “… saat pihak BTNKJ menggunakan motor, tidak pernah membunyikan klakson.”
49 Pernyataan yang disampaikan di atas merupakan salah satu pesan non verbal yang tidak digunakan oleh pihak BTNKJ. Membunyikan klakson dimaksudkan untuk menyapa masyarakat yang sedang berjalan atau duduk-duduk agar masyarakat dianggap dari bagian kawasan TNKJ. Pihak BTNKJ sebagai pemegang otoritas mempersepsikan dirinya sebagai pengelola kawasan TNKJ yang menjalankan tugas untuk melindungi kawasan konservasi. Tugas yang dilakukan oleh pihak BTNKJ memerlukan dukungan dari masyarakat sekitar kawasan karena masyarakat turut mengakses sumberdaya yang ada di kawasan TNKJ, baik darat maupun laut. Akan tetapi, pihak BTNKJ selalu dianggap musuh oleh masyarakat yang tidak menyukai keberadaan BTNKJ. Sebagaimana diketahui, TNKJ telah terbentuk sejak tahun 1986 dan hingga saat ini, permasalahan yang terjadi antara BTNKJ dan masyarakat terus berlanjut terutama hal yang berkaitan dengan pemenuhan hidup masyarakat sekitar kawasan TNKJ. Selain itu, LSM WCS turut membantu dalam mendukung pengelolaan kawasan TNKJ yang lebih efektif, meskipun LSM WCS berpihak kepada BTNKJ bukan kepada masyarakat karena adanya kesepakatan kerjasama kemitraan sejak tahun 1997. Hasil penelitian Bennett dan Dearden (2013) mendukung temuan penelitian yang ditunjukkan oleh pemegang otoritas di kawasan konservasi Thailand adalah Department of National Parks, Wildlife and Plant Conservation (DNP). Persepsi responden terhadap DNP adalah pengawasan DNP hanya di pulau-pulau saja, namun tidak terdapat pengontrolan di laut. Hal ini dibenarkan oleh salah satu atasan pengelola kawasan konservasi. Selain itu, pemimpin dalam komunitas ini ingin melakukan protes terhadap pembentukan kawasan konservasi dan bahkan membakar kantor taman nasional. Salah satu pihak LSM yang terdapat di kawasan tersebut mengatakan bahwa DNP salah dalam menggunakan otoritas. Pihak DNP tidak peduli dengan sumberdaya dan hanya bertindak seolah-olah memilikinya. Penelitian Trung Ho et al. (2012) juga menyatakan bahwa persepsi positif terhadap pemegang otoritas tergantung pada kebutuhan hidup yang dapat dipenuhi oleh pemegang otoritas. Komunitas lokal akan meningkatkan persepsi dan kesadaran mengenai isu lingkungan dan degradasi sumberdaya setelah mendapatkan pendidikan mengenai lingkungan dari pemegang otoritas kawasan konservasi. Namun demikian, persepsi positif terhadap pemegang otoritas tergantung pada kebutuhan hidup yang dapat dipenuhi oleh pemegang otoritas. Terkait permasalahan wilayah dalam hal pengawasan, telah terbentuk masyarakat mitra polisi kehutanan (MMP) untuk mengatasi kurangnya tenaga polisi kehutanan (Polhut). Pembentukan ini atas dasar partisipasi masyarakat yang mau menjaga kelestarian lingkungan, baik di darat maupun di laut. Adanya MMP merupakan salah satu bentuk dari aksi pemberdayaan masyarakat dari BTNKJ. Pembentukan MMP difasilitasi oleh BTNKJ dan bertujuan agar bila ada masyarakat yang mau melaporkan adanya tindak pelanggaran, dapat langsung menghubungi MMP tanpa harus menghubungi pihak BTNKJ. Pada tabel 7, telah diketahui adanya penyusunan dan pencetakan standar operasional prosedur pengamanan kawasan konservasi oleh MMP yang merupakan salah satu bentuk kampanye yang dilakukan oleh pihak BTNKJ. Hal ini didukung dalam penelitian Arias dan Sutton (2013) bahwa nelayan komersil akan melaporkan jika ada yang memasuki kawasan zona larang tangkap serta sangat penting (59%) dan sedang (40%) untuk mengukur kepatuhan dalam
50 zona inti di Taman Laut Great Barrier Reef. Terdapat nelayan komersil sebanyak 8%, mengetahui siapa saja yang masuk secara sengaja ke dalam zona inti. Selain MMP, terdapat pula Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Karimunjawa yang bekerja sama dengan MMP untuk membantu pengawas perikanan dalam melakukan fungsi pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab. Pembentukan Pokmaswas diaplikasikan dengan disepakati dan ditandatanganinya nota kesepakatan bersama oleh DKP Provinsi Jawa Tengah dan BTNKJ serta DKP Kabupaten Jepara. Tujuan dari Pokmaswas adalah mengawasi perikanan secara terpadu pada kawasan konservasi agar tetap terjaga dan terkendali kelestariannya. Adapula kegiatan operasi laut gabungan yang dilakukan antara pihak-pihak terkait lainnya selain BTNKJ dan DKP, yaitu Dit Polisi Air Polda Jateng. Kegiatan ini dilakukan dua kali dalam setahun. Persepsi Nelayan terhadap Sanksi Pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan, seperti memasuki kawasan zona inti, menangkap jenis ikan yang dilindungi, menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan sebagainya dapat dikenakan sanksi berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 40. Akan tetapi, masih terdapat peringatan jika melakukan pelanggaran hingga batas maksimal tiga kali. Peringatan ini tergantung dari kesalahan atas pelanggaran yang dilakukan dan biasanya hanya dikenakan sanksi ekonomi. Sanksi ekonomi yang dikenakan berupa denda uang dan penyitaan barang. Sanksi hukum berupa kurungan penjara yang dikenakan bila pelaku pelanggaran tidak jera dengan sanksi ekonomi yang diterapkan. Selain itu, sanksi hukum juga diterapkan bila pelanggaran yang dilakukan sudah fatal. Sanksi ekonomi dan sanksi hukum telah dilakukan BTNKJ tertera pada Tabel 1. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden nelayan terhadap persepsi menurut sanksi TNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 Persepsi responden nelayan terhadap sanksi n % Tidak efektif 13 28.26 Cukup efektif 24 52.17 Efektif 9 19.57 Jumlah 46 100.00 Tabel 10 menjelaskan bahwa persepsi responden terhadap sanksi termasuk cukup efektif dengan persentase sebesar 52,17 %. Persepsi responden bahwa pemberlakuan sanksi ekonomi dan sanksi hukum sudah cukup efektif untuk dilakukan. Nelayan merasa ketakutan karena sanksinya bersifat tegas, nyata, mengikat, dan memaksa. Nelayan tidak ingin melakukan pelanggaran terutama menyangkut hukuman pidana. Para nelayan Karimunjawa masih memikirkan keluarga karena jika melakukan pelanggaran, maka siapa yang akan memberikan nafkah untuk keluarganya dan keluarganya akan merasa malu. Namun demikian, masih terdapat pelanggaran yang terjadi di sekitar Perairan Karimunjawa, meskipun sudah mengetahui sanksi yang akan diberikan. Pada umumnya, pelanggaran ini dilakukan oleh nelayan luar Karimunjawa yang menggunakan cantrang (nelayan cantrang) dan bukan nelayan lokal.
51 Pemberian sanksi untuk permasalahan kompresor merupakan wewenang DKP bukan TNKJ sesuai dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 yang diperbaharui UU Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 9 yang berbunyi setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak berlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Penjelasan dari pasal tersebut adalah alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diantaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompresor dilarang untuk dimiliki, dikuasai, dibawa, dan/atau digunakan. Saat ini, pihak DKP belum mampu untuk melarang dan memberikan sanksi terhadap pengguna kompresor karena kawasan TNKJ ini masih termasuk ke dalam kawasan TNKJ di bawah Kementerian Kehutanan yang dikelola oleh BTNKJ. Oleh karena itu, pada saat sosialisasi hanya dijelaskan mengenai larangan untuk tidak menggunakan bom dan potassium yang diberikan sanksi. Permasalahan kompresor juga tidak dibahas terlalu detail dalam rapat yang diselenggarakan oleh DKP, meskipun sudah diketahui bahwa kompresor dapat merusak kesehatan. Selain itu, kompresor juga dapat merusak ekosistem di laut karena dapat menurunkan biomassa ikan. Kasus mengenai pemakaian kompresor yang menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian sudah diketahui oleh para nelayan, baik melihatnya secara langsung maupun tidak langsung. Ada beberapa nelayan yang sudah merasakan sendiri akibat pemakaian kompresor, namun tidak jera karena hasil tangkapan yang didapatkan menguntungkan nelayan kompresor. Pengguna kompesor sebagian besar berada di Kampung Lego, Desa Karimunjawa. Nelayan kompresor memiliki sanksi yang telah disepakati bersama (Lampiran 6) dan jika ada yang melanggar aturan, maka terlebih dahulu ditindaklanjuti oleh kelompok nelayan kompresor sebelum diberikan sanksi oleh pihak BTNKJ. Nelayan kompresor lebih baik mendapatkan sanksi dari kelompoknya daripada diberikan oleh pihak BTNKJ. Bapak SL (31 tahun), nelayan kompresor, menjelaskan tentang sanksi bagi kelompoknya: “… kalau ada yang salah, dikasih tahu (peringatan) terus bayar denda ke kelompok. Uangnya disimpan untuk kas kelompok dan biasanya digunakan jika ada yang kecelakaan.” Hal ini didukung dalam penelitian Arias dan Sutton (2013) bahwa nelayan komersial di Taman Laut The Great Barrier Reef percaya tentang hukuman bagi yang melanggar aturan jika tertangkap menangkap ikan di zona larang tangkap oleh pemegang otoritas, maka akan dilakukan penyitaan barang, peringatan, sidang pengadilan, atau bahkan dipenjara. Hubungan Karakteristik Sosial Responden terhadap Persepsi dalam Aspek Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Peubah pada karakteristik sosial yang digunakan untuk uji korelasi Rank Spearman adalah umur, tingkat pendidikan formal, dan pengalaman dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, sedangkan untuk karakteristik sosial
52 pekerjaan sampingan dan asal daerah menggunakan uji korelasi Chi-Square. Berikut pemaparan hasil nilai koefisien korelasi pada Tabel 13. Tabel 13 Nilai koefisien korelasi karakteristik sosial responden terhadap persepsi menurut aspek pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 Pemegang Peubah Zonasi Aturan Sanksi otoritas Karakteristik sosial: Umur Tingkat pendidikan formal Pengalaman mengelola sumberdaya perikanan Pekerjaan sampingan 1) Asal daerah 1)
0.311*
0.318*
0.423**
0.207
0.043
0.087
-0.028
0.408**
0.381**
0.454**
0.334*
0.042
0.112
0.549
0.043
0.604
0.377
0.106
0.330
-0.152
Keterangan: **nyata pada taraf α = 0.01; *nyata pada taraf α = 0.05
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan korelasi Rank Spearman (Tabel 13), diketahui bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara umur dan persepsi menurut zonasi (0.311) serta umur dan persepsi menurut aturan (0.318). Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara umur dan persepsi menurut pemegang otoritas (0.423). Semakin rendah umur seseorang, maka semakin negatif persepsinya terhadap zonasi, aturan, dan pemegang otoritas. Hamilton (2012) menyatakan bahwa umur yang semakin tua pada nelayan Kamboja menunjukkan dukungan terhadap kawasan konservasi dan bagi nelayan di Filipina, umur tidak berhubungan dengan persepsi terhadap kawasan konservasi. Pada pengalaman dalam mengelola sumberdaya alam, terdapat hubungan nyata dan positif antara pengalaman mengelola sumberdaya dan persepsi menurut sanksi (0.334). Selain itu, terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara pengalaman mengelola sumberdaya perikanan dan persepsi menurut zonasi (0.408), pengalaman mengelola sumberdaya perikanan dan aturan (0.381), serta pengalaman mengelola sumberdaya perikanan dan persepsi menurut pemegang otoritas (0.454). Semakin rendah pengalaman mengelola sumberdaya alam, semakin negatif persepsi para nelayan terhadap zonasi, aturan, pemegang otoritas, dan sanksi. Para nelayan yang belum lama melaut menyatakan bahwa tidak terlalu mempedulikan zona larang tangkap karena pernyataan nelayan bahwa ikan termasuk sumberdaya yang tidak akan habis. Penelitian Leleu et al. (2012) memberikan hasil yang berbeda bahwa semakin kurang lama dalam pengalaman menangkap ikan, semakin positif persepsinya tentang zona larang tangkap. Para nelayan Karimunjawa yang belum lama melaut mengakui bahwa aturan diperlukan, namun aturan yang ada saat ini terlalu banyak dan berlebihan. Begitupula dengan persepsi nelayan terhadap BTNKJ sebagai pemegang otoritas.
53 Pihak BTNKJ belum terlalu mempedulikan kehidupan nelayan sekitar karena tugas utamanya untuk melindungi kawasan konservasi. Pada peubah tingkat pendidikan formal, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara pekerjaan sampingan dengan persepsi terhadap zonasi, aturan, dan pemegang otoritas, dan sanksi. Ditinjau dari tingkat pendidikan formal bahwa sebagian besar responden nelayan memiliki tingkat pendidikan yang rendah sebesar 89,13%. Berdasarkan Tabel 13 juga dapat dilihat bahwa peubah pekerjaan sampingan dan asal daerah tidak terdapat hubungan dengan persepsi menurut aspek pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan korelasi Chi Square. Hal ini disebabkan oleh terdapat persaman persepsi pada peubah pekerjaan sampingan dan asal daerah. Hubungan Kepercayaan terhadap Persepsi dalam Aspek Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Peubah pada karakteristik sosial responden yang digunakan untuk uji korelasi Rank Spearman adalah kepercayaan. Berikut pemaparan hasil nilai koefisien korelasi (Tabel 14). Tabel 14 Nilai koefisien korelasi tingkat kepercayaan terhadap persepsi menurut aspek pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ, Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa, 2015 Pemegang Peubah Zonasi Aturan Sanksi otoritas Kepercayaan 0.583** 0.457** 0.642** 0.465** Keterangan: **nyata pada taraf α = 0.01
Pada Tabel 14, terdapat hubungan sangat nyata, positif, dan kuat antara peubah kepercayaan dan persepsi dalam aspek zonasi, aturan, pemegang otoritas, dan sanksi. Semakin rendah kepercayaan seseorang, maka akan semakin rendah persepsinya terhadap aspek zonasi, aturan, pemegang otoritas, dan sanksi. Dalam penelitian ini, mempercayai individu cenderung untuk melihat kejadian yang negatif pada jangka waktu yang singkat, sehingga tidak dapat menstabilkan persepsi dan membuat konflik dapat mengancam. Hal ini sesuai dengan penelitian Bennett dan Dearden (2013) bahwa terdapat hubungan kepercayaan tentang pemenuhan kehidupan dan hasil konservasi dengan persepsi pengelolaan dan pemerintahan.
6
KAMPANYE KOMUNIKASI
Kampanye komunikasi merupakan salah bentuk dari komunikasi lingkungan. Kampanye komunikasi diluncurkan sebagai bentuk respons pada isu, masalah, dan kebutuhan spesifik. Elemen terpenting dalam strategi kampanye komunikasi adalah pesan yang akan disampaikan untuk khalayak sasaran, sehingga tercapai tujuan yang diinginkan. Kampanye komunikasi merupakan suatu upaya yang disengaja untuk menginformasikan, membujuk atau memotivasi
54 perubahan sikap. Dalam kampanye ini, target sasarannya adalah para nelayan Karimunjawa yang mengelola sumberdaya alam. Kampanye ini berlangsung dalam periode waktu tertentu. Dalam penerapannya, kampanye komunikasi dapat menggunakan saluran komunikasi interpersonal atau komunikasi melalui media. Kampanye komunikasi ini memiliki tujuan yang jelas, yaitu untuk menyampaikan pesan melalui berbagai saluran komunikasi mengenai pelestarian dan perlindungan lingkungan di sekitar kawasan TNKJ. Kampanye yang telah dilakukan oleh pihak BTNKJ telah bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti LSM WCS, RARE, Pemerintah Daerah Jepara, dan Kecamatan Karimunjawa. Bentuk strategi dalam kampanye komunikasi diupayakan agar dapat bertindak sesuai dengan tujuan, yaitu mengembangkan strategi menyampaikan pesan melalui media dan komunikasi interpersonal. Hal penting lainnya adalah penyampaian mengenai manfaat jangka panjang untuk kehidupan nelayan dari adanya kampanye komunikasi yang disesuaikan dengan budaya nelayan. Media Komunikasi Pihak BTNKJ dalam melakukan kampanye komunikasi telah menggunakan media komunikasi (media cetak dan media elektronik) berupa pembuatan poster, brosur (leaflet), booklet, kalender, lagu, iklan layanan masyarakat melalui radio, video partisipatif hingga website. Bahasa yang digunakan dalam kampanye komunikasi adalah bahasa Indonesia karena dianggap bahasa nasional lebih mampu dipahami oleh khalayak sasaran. Sebagaimana diketahui bahwa pada Pulau Karimunjawa tidak semuanya dapat berbahasa Jawa dengan lancar, meskipun Pulau Karimunjawa termasuk kawasan Pulau Jawa. Pada tahun 2002 dan 2003 telah dibuat poster dan brosur masing-masing sebanyak 1.000 dan 2.000 eksemplar tentang informasi keanekaragaman hayati. Pembuatan website TNKJ dilakukan pada tahun 2003 sebagai upaya penyampaian informasi untuk khalayak yang ingin mengetahui mengenai TNKJ dan website TNKJ yang saat ini dikenal adalah http://tnkarimunjawa.dephut.go.id dan http://mdi-btnkj.net/. Pada tahun 2004, penyampaian informasi mengenai pengelolaan TNKJ dengan pembuatan brosur yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris masing-masing sebanyak 1.000 eksemplar, serta informasi mengenai wisata alam Karimunjawa dengan pembuatan brosur sebanyak 1.000 eksemplar. Pembuatan kalender 2005 juga dibuat pada tahun 2004 sebanyak 500 eksemplar. Pada tahun 2005, diterbitkan buletin yang bernama Nautilus dan sudah berkembang dalam bentuk cetak maupun online (BTNKJ 2008). Terdapat lokasi di Karimunjawa yang dapat diakses internet (Lampiran 5e) sehingga memudahkan nelayan dalam memperoleh infomasi. Akses internet biasanya digunakan oleh nelayan yang berusia muda. Manfaat dari tersedianya internet untuk nelayan adalah untuk menambah informasi atau sebagai sarana hiburan. Selain itu juga, internet lebih sering digunakan pada malam hari karena tidak adanya aliran listrik pada pagi sampai sore hari. Dalam penelitian Qureshi et al. (2014) ditunjukkan bahwa sebagian besar nelayan tidak menggunakan internet karena mayoritas nelayan tidak memiliki akses internet di rumah dan tempat kerja. Infrastruktur merupakan masalah utama untuk dalam penggunaan internet. Bentuk lain dari kampanye komunikasi adalah papan pengumuman atau papan informasi. Papan informasi merupakan media komunikasi secara tertulis
55 yang bertujuan untuk menyampaikan aturan-aturan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan TNKJ, seperti larangan mencemari kawasan TNKJ, pembuangan sampah sembarangan, dan mengambil hasil laut tanpa izin. Papan informasi ditulis dengan ukuran huruf yang dapat dibaca dari jarak jauh serta ditempatkan di sisi jalan dan tepi pantai agar mudah dilihat. Khalayak sasaran dari media komunikasi tersebut adalah masyarakat di sekitar kawasan TNKJ terutama nelayan dan wisatawan yang memasuki kawasan TNKJ. Pembuatan papan informasi bekerjasama dengan LSM Wildlife Conservation Society (WCS), Pemerintah Daerah Jepara, dan Kecamatan Karimunjawa. Pada tahun 2010, aksi kampanye komunikasi dilakukan oleh BTNKJ yang bekerjasama dengan LSM RARE dan WCS. Kawasan TNKJ terpilih menjadi salah satu lokasi pelaksanaan kampanye RARE Pride. Perjanjian kampanye antara BTKJ dengan RARE telah ditandatangani pada tanggal 27 April 2012. Manajer Kampanye RARE Pride melaksanakan Kampanye Bangga Karimunjawa pada periode tahun 2010-2012. Waktu pelaksanaan dari kampanye ini dimulai dari tahun 2011. Kegiatan Kampanye Pride terdapat pada Tabel 15. Tabel 15 Program dan Kegiatan Kampanye RARE PRIDE di Taman Nasional Karimunjawa tahun 2011 No. 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11.
12.
Program dan Kegiatan SMS blast Mengumpulkan nomor hp masyarakat Mengirimkan SMS blast ke masyarakat Memasang spanduk pemberitahuan kampanye di 3 desa Kampanye melalui kaos lokasi zona inti Kampanye melalui poster : Di Luar, Agar Aman Kampanye melalui stiker tanda batas zona inti Inhouse training fasilitator Kampanye melalui jadwal imsakiyah Romadhan Kampanye melalui umbul-umbul: Di Luar, Agar Aman Kampanye melalui spanduk nama toko dan warung Pembuatan Lagu Zona Inti Pertemuan dengan pemuda-pemudi Desa Karimunjawa Aransemen dan rekaman lagu Iklan layanan masyarakat di RRI Semarang Menggali ide cerita dari SPKP Kemujan Rekaman iklan layanan masyarakat Penyiaran iklan layanan masyarakat
13.
Simulasi over fishing pada peserta pelatihan transplantasi terumbu karang Pembuatan video partisipatif
14. 15. 16.
Kampanye melalui stiker nomor pelaporan Kampanye melalui lembar fakta Layar tancap Kampanye Bangga Karimunjawa
Sumber: BTNKJ (2012a)
Waktu Maret 2011 Maret 2011- sekarang April 2011 April 2011 Mei 2011 Juni 2011 Juli 2011 Agustus 2011 Agustus 2011 September 2011 September 2011 Oktober 2011 Juli 2011 September 2011 September- Oktober 2011 September 2011 Oktober-November 2011 Desember 2011 Desember 2011 Desember 2011
56 Tujuan dari kampanye tersebut adalah untuk mengubah perilaku pada tingkat komunitas untuk mencapai konservasi jangka panjang. Kegiatan dilaksanakan di seluruh kawasan TNKJ dengan target primer adalah nelayan usia produktif yang tersebar di Kecamatan Karimunjawa. Target sekundernya adalah penduduk non nelayan usia produktif yang berada di seluruh kawasan TNKJ. Pendanaan untuk program kampanye ini berasal dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BTNKJ (Syaifudin 2012). Upaya dalam kampanye komunikasi adalah untuk menjaga kelimpahan ikan karang, sehingga tidak mengalami penurunan dan nelayan dapat berhenti melakukan aktivitas perikanan di zona inti (Timur Karimunjawa, Taka Malang, Taka Menyawakan, dan Perairan Pulau Kumbang) dan melibatkan kelompok PAM Partisipatif untuk melakukan pengamanan di zona inti. Pemahaman mengenai zona inti dan perlunya zona inti sebagai cadangan sumberdaya perikanan di Karimunjawa harus lebih ditingkatkan untuk mencegah penangkapan ikan berlebihan dan peran kawasan tersebut dalam menyediakan sumber ikan yang berkelanjutan dengan limpahan ikan di luar kawasan itu. Prosedur operasi standar pengamanan partisipatif telah disusun, sehingga terdapat prosedur dan mekanisme pengamanan partisipatif yang jelas untuk memastikan nelayan luar tidak mengambil ikan di kawasan TNKJ, serta nelayan lokal mematuhi zona inti. Kepatuhan terhadap zona inti sebagai cadangan sumber daya perikanan yang menawarkan sumber pendapatan yang lebih berkelanjutan dalam jangka panjang dan memelihara keutuhan ekosistem laut. Program RARE Pride Campaign dianggap telah mampu mengubah masyarakat Karimunjawa dalam memandang zona inti sebagai salah satu upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengiriman pesan melalui short message service (SMS) dilakukan pertama kali dalam kegiatan program kampanye ini. Pesan awal pada SMS blast (Syaifudin 2012) yang dikirimkan kepada masyarakat di Karimunjawa adalah sebagai berikut. Ini adalah program Kampanye Bangga Karimunjawa. Melalui SMS ini anda akan mendapat informasi gratis seputar Karimunjawa. “Terumbu karang Karimunjawa terjaga, ikan melimpah, senyum masyarakat merekah”(Kampanye Bangga Karimunjawa). Pesan ini dikirimkan ke 786 nomor masyarakat Karimunjawa pada tanggal 31 Maret 2011 dan sekitar 41 orang yang membalas SMS. Beberapa tanggapan dari masyarakat yang merespons SMS tersebut antara lain sebagai berikut. a. “Kenapa kampanyenya hanya Karimunjawa? Kenapa Kemujan dan Parang tidak?”, b. “Apa yang dibanggakan lagi dari Karimunjawa?”, c. “Apakah Rasa Bangga Bisa Membuat Kenyang?” d. “Jangan cuma slogan” e. “Gak usah macam-macam pake kampanye, yang penting itu program nyata”, f. “Ini semua hanya rekayasa Balai Taman Nasional Karimunjawa”, dan g. “Sampai kapanpun aku tak sudi mematuhi zonasi Taman Nasional”. Sumber: Syaifudin (2012a)
57 Analisis balasan SMS yang diterima dari masyarakat (nelayan) dengan adanya SMS blast, yaitu: a. Interpretasi Karimunjawa adalah hanya Pulau Karimunjawa yang dikutsertakan dalam kampanye, tidak meliputi Pulau Kemujan dan Pulau Parang. Sebagaimana diketahui bahwa Kemujan dan Parang merupakan bagian dari Kepulauan Karimunjawa, sehingga kampanye juga dilakukan di pulau-pulau tersebut. b. Frase apa yang dibanggakan lagi dapat dimaknai bahwa tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari Karimunjawa (dapat ditinjau dari hasil perikanan dan pariwisata). c. Dalam pesan Apakah Rasa Bangga Bisa Membuat Kenyang?, secara implisit dapat dikatakan bahwa nelayan membutuhkan peningkatan ekonomi, bukan rasa bangga terhadap Karimunjawa. Program yang diberikan kepada masyarakat bukan mengenai rasa bangga, tetapi bagaimana cara untuk keberlangsungan hidup. d. Menurut pengalaman dari nelayan yang membalas pesan bahwa selama ini apa yang dilakukan oleh BTNKJ hanya slogan saja. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya agar slogan tersebut menjadi kenyataan. e. Program yang berjalan selama ini dianggap tidak nyata dalam bentuk apapun. Program yang diharapkan nelayan dapat dalam bentuk yang nyata, sehingga apapun nama dari program tersebut dapat memberikan manfaat bagi penerimanya. f. Makna dari ‘rekayasa’ dalam pesan ini bermakna negatif. Kegiatan yang diselenggarakan oleh BTNKJ hanya dianggap rancangan yang sengaja dibuat oleh BTNKJ agar BTNKJ dinilai baik di hadapan masyarakat. g. Nelayan yang membalas pesan Sampai kapanpun aku tak sudi mematuhi zonasi Taman Nasional bahwa tidak ingin mematuhi zonasi taman nasional. Hal ini dapat dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai zonasi dari BTNKJ dan atau adanya zonasi tidak menguntungkan bagi nelayan tersebut. Beberapa balasan SMS di atas, telah ditanggapi oleh pihak penyelenggara kampanye dengan cara diberikan penjelasan melalui SMS bahkan didatangi langsung secara personal. Pada tanggal 7 April 2011 dikirimkan kembali SMS dan hanya sekitar 38 orang yang memberikan perhatian dengan adanya SMS tersebut. Pesan yang dikirimkan, yaitu: Zona Inti bukan untuk membatasi, tetapi untuk menjaga TN. Karimunjawa tetap lestari. “Zona Inti terjaga, ikan melimpah, masyarakat sejahtera” (Kampanye Bangga Karimunjawa). Pada tanggal 14 April 2011 diadakan kuis dengan pertanyaan: Ada berapa dan dimana lokasi zona inti TN Karimunjawa? Penyelenggaraan kuis ini mendapatkan tanggapan dari 62 orang dengan mengirimkan SMS balasan (29 berupa jawaban salah, 22 berupa jawaban benar dan 11 bukan berupa jawaban). Berdasarkan paparan ini, khalayak sasaran Desa Karimunjawa sebesar 39,4% menganggap efektif (Syaifudin 2012). Ditinjau dari
58 penyebaran pesan melalui SMS blast dapat diketahui bahwa terdapat nomor handphone yang tidak aktif dan tidak semua masyarakat peduli dengan isi SMS tersebut terutama yang menyangkut zona inti. Pada hasil penelitian Widyatmoko et al. (2012), media komunikasi yang mampu menyampaikan efek komunikasi dua arah berupa SMS sebesar 35,5% dengan interval penerimaan SMS sebanyak 21-30 kali dalam Program Kampanye Zona Inti. Penggunaan SMS merupakan media kampanye yang dianggap sangat interaktif terhadap target kampanye. Akan tetapi, pada saat dilakukan penelitian ini, pengiriman SMS sudah tidak dilakukan karena pengiriman SMS hanya pada saat pelaksanaan kampanye dari tahun 2011 hingga tahun 2012. Kampanye komunikasi dibuat dalam bentuk poster dibagikan pada saat pertemuan, melalui tokoh-tokoh masyarakat, door to door oleh petugas BTNKJ, dan melalui anak-anak sekolah. Penyampaian melalui anak-anak sekolah adalah agar mereka mampu memberitahukan kepada orang tuanya yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Selain itu, jika mereka diikutsertakan untuk melaut, maka mereka mampu mengetahui lokasi zona inti dengan mengenal batas wilayahnya. Salah satu bentuk pesan dalam poster yang ingin disampaikan adalah jika ada nelayan yang sedang menangkap ikan di zona inti terutama nelayan luar Karimunjawa yang tidak mengetahui lokasi zona inti, maka nelayan yang melihatnya dapat melakukan empat hal dan disampaikan melalui nomor pelaporan yang tertera pada poster. Huruf kapital pada tulisan zona inti menandakan pentingnya untuk tidak memasuki kawasan tersebut. Berikut ini merupakan pesan yang terdapat dalam poster.
Buka Mata, Buka Hati SAMPAIKAN PADA KAMI Anda melihat aktivitas di Zona Inti? Anda melihat kapal dari luar Karimunjawa yang Menangkap ikan di kawasan Taman Nasional Zona Inti? Mari lakukan 4C: 1. Catat jenis kapalnya 2. Catat lokasinya 3. Catat kegiatan yang dilakukan 4. Catat waktu kejadiannya dan sampaikan pada kami di nomor: 085 327 9999 00
Bentuk lain dari kampanye komunikasi adalah kalender yang berfungsi untuk mengetahui informasi mengenai tanggal, hari, dan bulan dalam satu tahun. Pada kalender terdapat gambar yang cukup besar, sehingga menarik perhatian bagi nelayan yang melihatnya. Pesan dalam kampanye komunikasi pada kalender diletakkan di atas gambar agar memudahkan untuk dibaca. Kombinasi warna yang menarik perhatian juga mempengaruhi nelayan untuk melihat. Isi pesan pada
59 poster tersebut berupa larangan untuk tidak menggunakan alat tangkap yang merusak dan untuk tidak menangkap ikan di zona inti. Tindakan terhadap pelanggaran pada kelestarian lingkungan perlu dilakukan untuk melindungi sumberdaya perikanan agar terjaga keberlangsungan kehidupan saat ini dan masa mendatang. Berikut ini adalah contoh pesan pada dua kalender berbeda. Penyebab berkurangnya ikan di Karimunjawa adalah Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak dan Penangkapan Ikan di Zona Inti Menyampaikan adanya pelanggaran Kepada Petugas Taman Nasional Berarti ikut menjamin agar ikan selalu tersedia Untuk kehidupan kita semua sekarang dan nanti Penyelenggaraan kampanye melalui jadwal imsakiyah Ramadhan dilakukan karena sebagian besar khalayak sasaran adalah beragama Islam. Jadwal imsakiyah dianggap penting bagi umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah puasa, sehingga selain melihat jadwal tersebut, pesan mengenai zona inti diletakkan di tempat yang mudah dibaca oleh nelayan. Penulisan dengan huruf kapital pada tulisan di bawah ini merupakan penekanan pada informasi yang ingin disampaikan oleh pihak penyelenggara kampanye. Pesan pada kampanye ini memberitahukan jika ada yang melanggar aturan, maka nelayan yang melihatnya dapat berpartisipasi dengan cara melaporkannya kepada petugas TNKJ. Nelayan juga memiliki kewajiban untuk menjaga keberadaan pelampung yang menjadi batas dari zona inti. Batas zona inti ditandai dengan pelampung berwarna merah dan bertuliskan ZI. Berikut ini merupakan isi pesan pada jadwal imsakiyah tersebut. Di Luar, Agar Aman Mari Berpartisipasi Menjaga Zona Inti dengan Melaporkan Adanya Pelanggaran di Zona Inti dan Menjaga Pelampung Tanda Zona Inti Kampanye melalui stiker tanda batas zona inti telah dilakukan dengan menempel stiker ini di setiap rumah. Khalayak sasaran dari Desa Karimunjawa hanya sebesar 2% yang menganggap efektif (Syaifudin 2012). Tidak semua nelayan mengerti maksud dari penempelan stiker bahkan ada yang langsung mencabutnya. Menurut Bapak MT (30 tahun), nelayan pancing Karimunjawa: “… posisi zona inti pada peta seharusnya dikasih tahu, bukan cuma nempelin stiker di jendela rumah, makanya langsung saya copot.” Pada pembuatan lagu Patuhi Zona Inti dan Lokasi Zona Inti telah dibuat agar masyarakat mematuhi aturan untuk tidak masuk ke lokasi zona inti serta mengetahui dimana saja lokasi zona inti. Berikut ini merupakan lirik lagu Patuhi Zona Inti (https://www.youtube.com/watch? v=eSvQAjILCWc) dengan durasi 3 menit 28 detik.
60 Di Taman Nasional Karimunjawa, ada dua puluh dua pulaunya Laut yang jernih, terumbu karang yang indah Ikan berlimpah dan kekayaan alamnya Kini ikan semakin berkurang Hasil tangkapan juga berkurang… ooo… Kenapa itu bisa terjadi 2x Mari kita patuhi zona inti, menangkap ikan di luar zona inti Agar ikan selalu tersedia, untuk masa depan hidup kita Muroami tak akan beroperasi, kapal centrang pun telah pergi Itu pun belum cukup membuat ikan berlimpah kembali Kita harus mematuhi, mematuhi zona inti Ooo… zona inti Mari kita saling menjaga keindahan Karimunjawa Ooo… Karimunjawa Pesan yang hendak disampaikan dari lagu Patuhi Zona inti adalah bahwa para nelayan harus mematuhi zona inti dengan cara tidak menangkap ikan di dalam zona tersebut. Bila dilihat dari kondisi saat ini, ikan semakin berkurang dan hasil tangkapan pun terbatas, meskipun muroami sudah tidak digunakan dan kapal cantrang tidak memasuki kawasan TNKJ. Dampak dari upaya untuk mematuhi zona inti adalah ikan berlimpah beserta kekayaan alamnya, sehingga generasi selanjutnya masih dapat menikmati keindahan Karimunjawa. Lirik lagu Lokasi Zona Inti ditunjukkan di bawah ini (https://www.youtube.com/watch? v=dSuu1KSY90E) dengan durasi 3 menit 28 detik. Terkenal di sepanjang Pantai Utara Pulau Karimunjawa elok baharinya, Nelayan gembira, kaya hasil lautnya Tapi ingat-ingat, ada empat tempat yang harus dijaga Awas-awas jangan sampai merusaknya, zona inti namanya Yang pertama ada di Taka Malang Yang kedua ada di Taka Menyawakan Yang ketiga Perairan Pulau Kumbang Yang keempat ada di Tanjung Boma Empat lokasi zona ini telah ditandai Marilah menangkap ikan di luar zona inti Berpartisipasi menjaga zona inti Tak lupa bagi kita untuk selalu mengingatkan Kepada tetangga atau juga kepada teman Tuk menangkap ikan bukan di zona inti Mari jaga zona inti, biar lautnya lestari Ikan bisa tercukupi, untuk anak cucu nanti Zona inti terjaga, ikan jadi berlimpah Nelayan sejahtera, senyuman pun merekah Mari kita jaga zona inti Pada lagu Lokasi Zona Inti diketahui terdapat empat lokasi zona inti, yaitu Taka Malang, Taka Menyawakan, Perairan Pulau Kumbang, dan Tanjung Boma. Pesan dari lagu ini adalah saling mengingatkan kepada tetangga atau teman
61 sesama nelayan mengenai empat lokasi zona inti yang dilarang sebagai kawasan penangkapan ikan. Empat lokasi zona inti tersebut sudah ditandai dengan pelampung (buoy) agar mudah untuk dikenali sebagai kawasan yang dilarang untuk menangkap ikan. Zona inti harus dijaga oleh nelayan-nelayan Karimunjawa dari nelayan-nelayan yang ingin merusak kawasan TNKJ karena bila zona inti hilang, maka semakin berkurang sumberdaya perikanan setiap tahunnya. Aliran musik yang dibuat pada kedua lagu tersebut adalah dangdut karena mayoritas nelayan Karimunjawa menyukainya dan dangdut merupakan ciri khas Indonesia. Lagu yang bernuansa dangdut dipilih karena dinilai sesuai dengan budaya nelayan setempat, sehingga memudahkan pihak BTNKJ untuk memasukkan pesan mengenai zona inti. Kedua lagu ini dibuat agar para nelayan dapat mendengarkannya melalui handphone saat berada di laut. Lagu ini juga telah diformat dalam bentuk CD dan DVD. Menurut salah satu nelayan, Pak SP (47 tahun) mengenai lagu zona inti: “… lebih gampang diingat karena musiknya dangdut. Saya dapat lagunya dari teman. ” Pada sampul lagu terdapat gambar pelampung (buoy) yang bertuliskan TNKJ ZI 17 dan berwarna merah. Gambar ini merupakan batas untuk tidak memasuki zona inti (Lampiran 5b). Terkait dengan pelampung, pemasangannya telah dilakukan oleh pihak BTNKJ, namun banyak pelampung yang hilang. Pada tahun 2007 (BTNKJ 2008), pelampung batas zona hilang sebanyak enam buah di Taka Menyawakan (zona inti) dan lima buah di Gosong Tengah (zona perlindungan). Pada tahun 2011 (BTNKJ 2012a), juga terjadi kehilangan tanda batas di zona inti Perairan Taka Malang sebanyak satu buah, di Perairan Taka Menyawakan sebanyak empat buah, dan di Perairan Pulau Kumbang sebanyak tiga buah. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya hanyut terbawa arus (tali seling putus karena bergesekan dengan karang), diambil secara sengaja oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, dan sebagainya. Iklan layanan masyarakat yang disiarkan oleh RRI Semarang mengenai zona inti terdapat pada https://www.youtube.com/watch?v=OPPbjM78qmE dengan durasi 2 menit 45 detik. Iklan layanan masyarakat ini melibatkan tiga warga dari Karimunjawa sebagai pemain dan satu orang narator. Bentuk iklan layanan masyarakat ini dibuat tidak hanya dalam bentuk audio saja, namun juga dalam bentuk video. Berikut ini merupakan naskah dari iklan layanan masyarakat. Backsound Herman Bapak Ibu
: Lagu Jawa : Pak, saya takut loh / memang bener- bener ndak ngerti kalau itu dilarang // : Man / kan sudah saya beritahu / kalo itu dilarang // Seharusnya di luar / agar aman // : Loh / Bapak itu ngomong soal apa toh / Pak? // Kok / di luar aman / di luar aman // Eh / jangan-jangan ngajarin Herman yang tidak bener itu //
62 Bapak
Herman Bapak Herman Ibu Herman Ibu Bapak
Ibu Bapak
Bapak, ibu Backsound Narator
: (tertawa) Alah ibu ini loh / ikut-ikutan saja // Gini loh / Bu // Bapak sama Herman lagi ngomong soal zona inti / Taman Nasional Karimunjawa // : Iya / Bu // : Bukan seperti yang Ibu pikirkan // : Saestu/ Bu// Kemarin saya cari ikan dan tahunya sudah masuk zona inti // : Kok / tahu? // : Tahunya / saya sudah melewati pelampung- pelampung warna oranye yang bertuliskan ZI // Gitu loh / Bu // : Hmm // : Saya memang sudah ngingatkan ke Herman / dan juga tetangga / agar mencari ikan di luar zona inti // zona inti itu tempat berkembang biak berbagai jenis ikan / yang menghasilkan telur dan ikan / untuk daerah sekitarnya // Kalo ikan-ikan di zona inti ditangkapi / gimana nanti ikan-ikan di Karimunjawa / bisa habis // : Nah / di luar / agar aman / itu tadi apa toh / Pak? // : Di luar / agar aman / itu ajakan untuk semua / agar menangkap ikan di luar zona inti // Yang dimaksud aman di sini / untuk piring makan kita / Bu // Karena ikut menjaga agar ikan selalu tersedia serta aman / karena tidak diawasi dan dikejar- kejar petugas // Gitu loh / Bu // Hehe // : (tertawa) : Lagu Jawa : Zona inti bukan untuk membatasi // Menangkap ikan di luar zona inti / berarti ikut menjamin ikan selalu tersedia / untuk kehidupan kita sekarang dan nanti // Pesan layanan masyarakat ini disampaikan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa / Pemda Jepara / WCS dan RARE //
Program kampanye komunikasi yang lain berupa kampanye melalui stiker nomor pelaporan. Hal ini bertujuan sebagai sarana komunikasi apabila terdapat nelayan yang melanggar larangan memasuki kawasan zona inti, maka pihak yang melihatnya, diminta untuk melapor kepada BTNKJ melalui nomor yang tertera pada stiker tersebut (Lampiran 5c). Nomor handphone tersebut digunakan juga untuk menyampaikan informasi lainnya terkait permasalahan zonasi. Namun demikian, Bapak AS (35 tahun) mengungkapkan: “… nomor itu sudah tidak bisa digunakan buat mengirim pesan. Waktu itu saya coba mengirim untuk protes tapi tidak direspon sama taman nasional. Ditelepon juga tidak ada yg menjawab.”
63 Petugas stasiun radio yang terdapat di Pulau Karimunjawa hanya dapat berkomunikasi dengan para awak kapal yang melintasi Perairan Karimunjawa. Informasi yang diberikan meliputi cuaca, gelombang laut, dan arah angin bukan hiburan (Lampiran 5f). Kegiatan kampanye yang membuat iklan layanan masyarakat disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Syaifudin (2012) menyatakan bahwa pesan yang ingin disampaikan dalam kampanye ini meliputi lokasi zona inti, manfaatnya adanya zona inti, tanda batas zona inti yang bertuliskan ZI dan juga slogan kampanye “Di Luar, Agar Aman”. Durasi untuk iklan layanan masyarakat ini adalah 2 menit 45 detik dengan tiga kali penanyangan dalam satu hari selama satu bulan. Hasil dari penyiaran iklan layanan masyarakat ini kurang mendapatkan respon dari masyarakat terutama nelayan karena sebagian besar khalayaknya sudah tidak mendengarkan radio. Selain itu, terdapat pembuatan video partisipatif yang berisi berbagai pesan, yaitu mengenai lokasi zona inti, manfaat adanya tanda batas yang bertuliskan ZI di sekitar zona inti, penyebab overfishing atau menangkap ikan berlebih dan informasi pemasangan tanda batas. Video partisipatif hanya dibuat di Desa Karimunjawa dan Desa Kemujan, tanpa melibatkan desa-desa lainnya, sehingga menimbulkan perasaan ketidaksukaan terhadap penyelenggaraan kampanye ini. Adapun layar tancap Kampanye Bangga Karimunjawa memutarkan hasil dari video partisipatif ini. Berdasarkan kampanye yang telah dipaparkan, penggunaan radio yang memutar lagu Zona Inti dan pengiriman SMS blast menggunakan handphone masih dirasakan belum efektif. Akses terhadap media massa, seperti televisi dan radio hanya digunakan sebagai sarana hiburan, sedangkan akses internet hanya bagi yang mengerti dalam penggunaannya. Hal ini dikarenakan listrik yang terdapat di Karimunjawa dimulai dari pukul 18.00-06.00 WIB dengan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Akan tetapi, saat penelitian ini berlangsung, listrik hanya ada dari pukul 18.00-00.00 WIB dikarenakan terjadi kerusakan pada trafo. Berbeda dalam penelitian Ongare et al. (2013) yang menyatakan bahwa radio dan handphone (dari perspektif penyampaian) akan terlihat sebagai potensi yang tinggi untuk mengubah komunikasi yang dapat memperkenalkan inovasi untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam. Pulau Karimunjawa tidak seperti Pulau Jawa di daerah perkotaan yang mampu mengakses radio dan handphone dengan sinyal yang kuat. Pulau Karimunjawa memiliki akses yang terbatas akan hal tersebut. Program dan kegiatan Kampanye RARE PRIDE di TNKJ masih berlanjut di tahun 2012. Kegiatan Kampanye Bangga Karimunjawa menggunakan media komunikasi berupa kaos, SMS blast, kalender nomor pusat pelaporan TNKJ, dan baliho tentang nomor pusat pelaporan TNKJ. Kegiatan tersebut masih memfokuskan pesan mengenai zona inti, larangan menangkap ikan berlebih, tanda batas zona inti, dan melaporkan kepada petugas TNKJ bila ada yang melakukan aktivitas di sekitar zona inti. Kegiatan kampanye ini berakhir pada tahun 2012. Lalu, diadakan kampanye lain pada tahun 2013 mengenai pengambilan ikan kerapu sesuai dengan ukurannya serta zona pemanfaatan wisata. Nelayan menganggap apa yang dilakukan oleh BTNKJ pada tahun 2011-2012, hanya sekedar program yang tidak berkelanjutan. Setiap kampanye yang diselenggarakan oleh BTNKJ memiliki batas waktu tertentu dalam penyampaiannya, sehingga untuk kampanye mengenai zona inti masih dianggap
64 nelayan kurang informatif karena belum memanfaatkan media komunikasi yang telah dibuat. Faktor penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi kepada khalayak sasaran tentang ragam bentuk kampanye komunikasi yang telah dibuat. Adapun kegiatan kampanye pada tahun 2012 yang telah dilakukan oleh tim kampanye ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 16 Program dan Kegiatan Kampanye RARE PRIDE Karimunjawa tahun 2012 No. Program dan Kegiatan 1. Kampanye melalui kaos nomor pusat pelaporan TNKJ 2. Pengiriman SMS blast 3. Pembuatan kalender nomor pusat pelaporan TNKJ 4. Pembuatan baliho nomor pusat pelaporan TNKJ 5. Survey KAP pasca campaign (penelitian kuantitatif) 6. FGD pasca campaign (penelitian kualitatif) 7. Penyusunan dan pencetakan SOP pengamanan kawasan konservasi oleh MMP 8. Pembuatan dan penyerahan personal use (rompi) ke anggota kelompok MMP
di Taman Nasional Waktu Januari Januari-April Januari Februari-Maret Maret April Januari-Februari Maret
Sumber: BTNKJ (2013)
Kampanye lainnya yang dilakukan oleh BTNKJ diselenggarakan pada tahun 2011, bekerja sama dengan WCS dan Pemda Jepara. Kampanye ini membahas tentang aturan larangan penangkapan jenis dan ukuran ikan yang diberlakukan untuk nelayan tembak karena seringkali nelayan menembak dengan tidak mempedulikan jenis dan ukuran ikan. Salah satu bentuk kampanye yang dibuat adalah poster (Lampiran 5a). Berdasarkan kampanye ini, jika ada nelayan tembak yang melakukan pelanggaran, maka akan mendapatkan sanksi terlebih dahulu dari sesama nelayan tembak. Jika sudah melebihi batas, maka sanksi akan diberikan oleh BTNKJ. Nelayan Karimunjawa juga menganggap bahwa terdapat ketidakmerataan dalam penyampaian informasi padahal lokasi tempat tinggal berdekatan dengan kantor BTNKJ. Salah satu nelayan, Bapak MT (35 tahun) memberikan tanggapan: “… kebanyakan nelayan Telaga (nelayan dari Desa Kemujan) saja yang sering ikut rapat, dikasih undangan, anak emas taman nasional.” Terkait dengan kampanye mengenai isu lingkungan, dalam penelitian Widorini (2014) mengenai strategi komunikasi Earth Hour Solo dalam mengkampanyekan gaya hidup ramah lingkungan adalah menggunakan sukarelawan sebagai komunikator penyampai pesan kampanye dan juga sebagai pemberi contoh kampanye gaya hidup ramah lingkungan. Selain itu, isi pesan kampanye gaya hidup ramah lingkungan Earth Hour pada tahun 2013 adalah mengenai penghematan energi, 3R (reduce, reuse, dan recycle), sampah, dan menanam. Target sasaran dalam kampanye ini adalah pemerintahan, korporasi, media massa, dan masyarakat luas dengan menggunakan media massa terutama media online dan merchandise.
65 Analisis Pesan Kampanye Zona Inti Pada kampanye Zona Inti terdapat beberapa media komunikasi yang digunakan antara lain SMS, poster, kalender, jadwal imsakiyah, dan lagu. Bila ditinjau dari segi waktu, pelaksanaan kampanye pada tahun 2011diarahkan pada hal-hal yang berkaitan dengan zona inti, seperti lokasi zona inti, larangan memasuki zona inti, dan manfaat diberlakukannya zona inti untuk masyarakat nelayan. Pendekatan analisis isi menggunakan analisis isi deskriptif yang menggambarkan pesan aspek-aspek dan karakteristik suatu pesan. Fokus analisis isi adalah sumber, penerima, pesan, saluran, dan umpan balik. Pemberi pesan (sumber) adalah Manajer Kampanye RARE Pride beserta tim dan penerima pesan (khalayak sasaran) adalah semua nelayan yang berada di Karimunjawa. Pesan yang disampaikan berkaitan dengan zona inti dengan menggunakan berbagai macam media komunikasi, baik media cetak maupun media elektronik. Penyampaian pesan menggunakan Bahasa Indonesia karena beranekaragamnya etnis yang terdapat di Karimunjawa, sehingga Bahasa Indonesia dianggap bahasa yang paling mudah dipahami oleh khlayak sasaran. Adapun umpan baliknya berupa dilakukannya kampanye kembali pada tahun 2012 dengan memfokuskan pada informasi terkait nomor pelaporan jika ada yang melakukan pelanggaran. Bagi BTNKJ, permasalahan yang terdapat di kawasan TNKJ adalah mengenai masalah zona inti dengan isu lokasi zona inti, larangan memasuki zona inti, larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan pelaporan melalui nomor SMS jika ada yang memasuki zona inti. Kampanye komunikasi dibuat untuk menginformasi dan mengajak masyarakat nelayan agar lebih peduli terhadap lingkungan. Namun demikian, pembuat kampanye juga memikirkan keberlangsungan hidup nelayan. Tabel 17 Analisis pesan media komunikasi pada Kampanye RARE PRIDE di Taman Nasional Karimunjawa tahun 2011 Media komunikasi SMS blast
Analisis pesan SMS Pertama Pesan Isi pesan: ‘Ini adalah program Kampanye Bangga Karimunjawa. Melalui SMS ini anda akan mendapat informasi gratis seputar Karimunjawa. “Terumbu karang Karimunjawa terjaga, ikan melimpah, senyum masyarakat merekah” (Kampanye Bangga Karimunjawa).’ dengan menggunakan teknik informatif SMS kedua Pesan - Isi pesan: ‘Zona Inti bukan untuk membatasi, tetapi untuk menjaga TN. Karimunjawa tetap lestari. “Zona Inti terjaga, ikan melimpah, masyarakat sejahtera” (Kampanye Bangga Karimunjawa).’ dengan menggunakan teknik informatif
Kata-kata dalam media komunikasi Kampanye Bangga Karimunjawa, SMS, informasi gratis, ikan melimpah, senyum merekah
zona inti, bukan membatasi, ikan melimpah, masyarakat sejahtera, Kampanye Bangga Karimunjawa
66
Poster
Kalender
Pesan (isi pesan tertera pada halaman 39) - Inti pesan: pelanggaran yang terjadi harus dilaporkan langsung kepada pihak BTNKJ (teknik informatif) - Gambar dalam poster: langit berwarna oranye, laut berwarna biru, terdapat ikanikan dan terumbu karang, serta terdapat gambar petugas wanita Taman Nasional yang mengenakan seragam warna hijau dengan memegang handphone (didesain dalam bentuk kartun dan gambar relatif besar) Kalender ke-1 Pesan - Isi pesan: ‘Penyebab berkurangnya ikan di Karimunjawa adalah Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak dan Penangkapan Ikan di Zona Inti)’ dengan menggunakan teknik informatif - Pesan utama diletakkan di atas gambar agar memudahkan untuk dibaca dengan katakata yang mudah dipahami, namun pesan yang terletak di bawah kalender, hurufnya terlalu kecil untuk dibaca (isi pesan mengenai nomor pelaporan jika terdapat pelanggaran) - Penggunakan huruf kapital pada pesan menunjukkan bahwa hal tersebut penting untuk diingat dan diterapkan pada saat melaut - Gambar pada kalender: menampilkan anakanak SD di Karimunjawa yang menjuarai lomba mewarnai dengan latar belakang di sekitar pantai yang bernuansa warna biru serta gambar dan isi pesan ditonjolkan lebih besar daripada kalender Kalender ke-2 Pesan - Isi pesan: ‘Menyampaikan adanya pelanggaran kepada petugas Taman Nasional berarti ikut menjamin agar ikan selalu tersedia untuk kehidupan kita semua sekarang dan nanti)’ dengan menggunakan teknik informatif - Pesan utama diletakkan di atas gambar agar memudahkan untuk dibaca dengan katakata yang mudah dipahami, namun pesan yang terletak di bawah kalender, hurufnya terlalu kecil untuk dibaca (isi pesan mengenai nomor pelaporan jika terdapat pelanggaran)
melihat aktivitas di zona inti, melihat kapal di luar Karimunjawa, nomor pelaporan, Kampanye Bangga Karimunjawa
berkurangnya ikan, penggunaan alat tangkap yang merusak, zona inti, nomor pelaporan
pelaporan pelanggaran, menjamin ketersediaan ikan, nomor pelaporan
67
Jadwal imsakiyah
Lagu
- Gambar pada kalender: menunjukkan para nelayan yang sedang melakukan diskusi dan pelatihan transplantasi terumbu karang yang didesain bernuansa warna oranye Pesan - Isi pesan: ‘Di Luar Agar Aman. Mari Berpartisipasi Menjaga Zona Inti dengan Melaporkan Adanya Pelanggaran di Zona Inti dan Menjaga Pelampung Tanda Zona Inti.’ menggunakan teknik persuasif - Penggunakan huruf kapital pada pesan menunjukkan bahwa pentingnya nelayan untuk berpartisipasi dalam menjaga kelestarian Karimunjawa - Gambar dalam jadwal imsakiyah: latar belakang warna disesuaikan dengan gambar, seperti laut menggunakan biru tua dan biru muda yang menandakan tingkat kedalaman, pohon menggunakan warna hijau, perahu menggunakan warna coklat dan abu-abu, tanda batas zona inti (buoy) menggunakan warna oranye, dan papan zona inti menggunakan warna coklat muda Lagu Patuhi Zona Inti Pesan (lirik lagu tertera pada halaman 41) - Lagu Patuhi Zona Inti menjelaskan alasan mengapa harus mematuhi zona inti dan ajakan untuk menjaga kelestarian Karimunjawa (teknik persuasif). - Video ini menceritakan perjalan seorang wanita (wisatawan) menuju Karimunjawa dengan menggunakan kapal. Saat berkeliling di pulau, wanita ini sempat bertemu dengan nelayan, petugas BTNKJ di kantor STPN II Karimunjawa dan dilanjutkan dengan melakukan penyelaman. Lagu Lokasi Zona Inti Pesan (lirik lagu tertera pada halaman 42) - Lagu Lokasi Zona Inti menjelaskan empat lokasi zona inti dan ajakan untuk menjaga zona inti dengan cara tidak menangkap ikan di zona inti (teknik persuasif). - Latar belakang video mengambil lokasi Pelabuhan Kartini, Jepara menuju Pelabuhan Karimunjawa. Lalu, digambarkan pula kondisi perairan Karimunjawa, kapal-kapal nelayan yang melewatinya, alat tangkap yang digunakan, tempat penjualan ikan, dan pada akhir video terdapat beberapa warga Desa Karimunjawa dan dua petugas BTNKJ yang sedang menikmati alunan musik dari petikan gitar.
di luar agar aman, partisipasi, pelaporan pelanggaran, pelampung tanda zona inti
Karimunjawa, ikan dan hasil tangkapan berkurang, patuhi zona inti, menangkap ikan di luar zona inti, penggunaan alat tangkap yang merusak
empat lokasi zona inti, menangkap ikan di luar zona inti, partisipasi, menjaga zona inti
68 Iklan layanan masyarakat
Pesan (teks naskah dan narasi tertera pada halaman 43) - Terjadi miskomunikasi pada pesan ‘Di Luar, Agar Aman’ antara ibu yang mendengar selintas dengan bapak dan Herman. Penekanan kalimat ini artinya lakukan penangkapan ikan di luar zona inti agar tidak menjadi suatu masalah dengan petugas TNKJ. - Latar belakang video iklan layanan masyarakat mengambil lokasi di ruang tamu dalam sebuah rumah dengan diperankan oleh tiga warga.
di luar agar aman, zona inti, pelampung, menangkap ikan di luar zona inti , bukan untuk membatasi, menjamin ketersediaan ikan
Komunikasi Tatap Muka Bagi komunikator, penyampaian pesan yang efektif kepada nelayan dalam kampanye, tidak cukup hanya melalui saluran media komunikasi. Dalam hal ini, untuk mencapai tahapan kesadaran dan implementasi masih diperlukan komunikasi persuasif melalui pendekatan langsung (interpersonal) kepada nelayan. Hal ini ditinjau dari komunikasi lingkungan sebagai media pragmatis yang berupaya untuk mengedukasi, menyiapkan, mengajak, memobilisasi, dan membantu untuk memecahkan masalah lingkungan. Upaya penyadaran terhadap nelayan hanya dilakukan pada saat kampanye. Pada saat kampanye berakhir sesuai dengan waktu pelaksanaannya, nelayan tidak mengetahui keberlanjutan kampanye tersebut dan seolah-olah hanya menjadi objek kampanye. Dalam hal ini, masyarakat hanya dilibatkan pada saat pelaksanaan dan tidak semua masyarakat ikut berpartisipasi. Jika kampanye mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan dibuat oleh masyarakat Karimunjawa dengan difasilitasi oleh pemangku kepentingan terkait, maka dapat tercapai pesan yang akan disampaikan karena disesuaikan dengan kebutuhan yang dimulai dari mulai perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Penyelenggaraan focus group discussion (FGD) melibatkan peran pemangku kepentingan dan dilaksanakan pada tahun 2012. Hasil dari FGD tersebut adalah untuk mengetahui hasil dari kampanye sebelumnya berupa dampak pelaksanaan kampanye RARE Pride di kawasan TNKJ dan juga keefektifan dari penggunaan media (evaluasi). Hasil yang telah didapatkan digunakan untuk perbaikan kegiatan selanjutnya. Kegiatan FGD yang dilakukan di Desa Karimunjawa hanya melibatkan 10 orang dengan karakteristik pria dengan usia 25-45 tahun (Syaifudin 2012). Komunikasi persuasif telah dilakukan oleh LSM WCS hingga saat ini untuk mendekati nelayan kompresor (alat tangkap berupa tembak) di Kampung Lego. Pihak yang mendekati nelayan merupakan warga Desa Karimunjawa yang tergabung ke dalam LSM WCS. Hal ini dilakukan agar nelayan mau mendengarkan apa yang akan disampaikan dibandingkan orang luar yang memberitahukan informasi tersebut. Pihak BTNKJ belum dapat menangani permasalahan pemakaian kompresor, sehingga diserahkan kepada pihak LSM WCS selaku mitra kerja.
69 Pendekatan yang dilakukan oleh LSM WCS sering dilakukan untuk nelayan kompresor, tetapi tidak untuk nelayan jaring, pancing, maupun bubu. Komunikasi interpersonal juga terjalin di antara nelayan kompresor pengguna alat tangkap tembak di Kampung Lego. Informasi cepat menyebar dari mulut ke mulut antar nelayan setiap selesai melaut atau mengobrol (jagungan) di pinggir pantai bila cuaca cerah pada hari libur. Saat nelayan tidak sedang melaut, nelayan memperbaiki kapal, membuat dan atau memperbaiki alat tangkap (untuk jenis pancing, jaring, bubu, dan tembak) atau sekedar duduk dan mengobrol dengan sesama nelayan lainnya hingga bermain kartu atau meminum minuman keras. Komunikasi lingkungan juga berfungsi sebagai media konstitutif dimana terdapat pembentukan persepsi mengenai alam. Bagi nelayan, laut digambarkan sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan isinya (jenis ikan dan isi laut lainnya) dan tidak akan habis jika diambil secara terus menerus. Bagi pihak BTNKJ, alam dapat rusak dan akan habis sumberdayanya bila tidak dapat dikelola dengan baik. Sumberdaya perikanan akan habis jika tidak diseimbangkan antara manusia yang mengambil sumberdaya perikanan setiap hari dan ikan-ikan yang hanya berkembangbiak di waktu-waktu tertentu. Jika sumberdaya perikanan dikaitkan dengan terumbu karang, maka kondisi terumbu karang di Perairan Karimunjawa (Yusuf 2013), sebagian besar telah rusak yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam, seperti wisata laut, transportasi laut, serta laju pertumbuhan penduduk. Sebagaimana diketahui, bahwa terumbu karang dimanfaatkan sebagai habitat ikan. Jika sebagian besar telah rusak, maka ikan-ikan tersebut akan kesulitan untuk berkembangbiak yang mengakibatkan jumlah ikan menjadi berkurang. Adanya terumbu karang juga untuk berlindung berbagai spesies ikan maupun binatang laut lainnya. Keterkaitan Persepsi dengan Analisis Pesan Kampanye Komunikasi Analisis pesan digunakan untuk mengetahui kata-kata penting yang terdapat dalam suatu pesan. Pada Tabel 18 tertera analisis pesan dikaitkan dengan persepsi. Pada tabel tersebut telah terlihat perbedaan antara persepsi nelayan dan isi pesan dalam kampanye komunikasi. Perbedaan ini diakibatkan oleh nelayan yang lebih mengutamakan keberlangsungan hidup saat ini dan bergantung pada isi laut yang dapat diambil manfaatnya (faktor ekonomi), sehingga pemikiran nelayan lebih ke arah jangka pendek. Berdasarkan isi kampanye, dapat diketahui bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya dikaitkan dalam sudut pandang pelestarian lingkungan, tetapi juga untuk nelayan yang mengelola sumberdaya perikanan, sehingga terjadi keseimbangan antara manusia dan lingkungan (jangka panjang). Dalam hal ini, nelayan mempersepsikan zona inti sebagai zona yang lebih luas daripada zona tradisional perikanan (zona tangkap ikan). Zona tradisional perikanan adalah zona yang diperuntukkan untuk kepentingan pemanfaatan perikanan yang sudah berlangsung turun temurun oleh masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. Sebagaimana diketahui bahwa dalam kampanye yang dibuat dengan media komunikasi berupa lagu disampaikan mengenai letak empat lokasi zona inti tanpa menyebutkan luasnya. Jika mengacu pada SK Dirjen PHKA Nomor 28/IV-Set/2012, luas zona inti adalah 444,629 ha dan luas zona tradisional perikanan adalah 102.899,249 ha. Hal ini dapat dinyatakan bahwa persepsi nelayan tidak sesuai dengan fakta yang ada.
70 Tabel 18
Keterkaitan persepsi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pesan dalam media komunikasi pada kampanye Aspek dalam Pengelolaan Isi dalam Kampanye Media Persepsi Nelayan Sumberdaya Komunikasi Komunikasi Perikanan
Zonasi: zona inti
Merugikan: zona inti lebih luas daripada zona tradisional (zona penangkapan ikan), zona inti dekat dengan kawasan penangkapan ikan (membatasi), tidak terdapat tanda batas yang jelas (buoy) jangka pendek
Zona inti: menjaga zona inti agar lautnya lestari, ikan bisa tercukupi untuk anak cucu nanti serta menjaga pelampung tanda zona inti
SMS blast, poster, jadwal imsakiyah, lagu, iklan layanan masyarakat
jangka panjang
1 Aturan
Pemegang otoritas
Sanksi
Banyak dan ketat: larangan memasuki zona inti, larangan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan
jangka pendek Tidak peduli terhadap nelayan dan kurangnya pengawasan dari BTNKJ terhadap kawasan perairan Karimunjawa (TNKJ) jangka pendek Cukup efektif karena bersifat tegas, nyata, mengikat, dan memaksa (sanksi ekonomi, sanksi hukum)
- Peraturan dibuat untuk kehidupan semua, baik sekarang maupun nanti - Peraturan mengenai larangan adanya alat tangkap yang merusak mengakibatkan berkurangnya ikan di Karimunjawa jangka panjang
SMS blast, poster, kalender, jadwal imsakiyah, lagu, iklan layanan masyarakat
Peduli terhadap nelayan nelayan dapat menyampaikan pelanggaran kepada Petugas TNKJ dengan nomor pelaporan yang diberikan jangka panjang
Poster, kalender, jadwal imsakiyah
Tidak disebutkan dalam kampanye komunikasi
Tidak ada
71 Selain itu, nelayan mempersepsikan bahwa zona inti dianggap dekat dari kawasan penangkapan ikan padahal pemetaan untuk zona inti sudah dilakukan secara partisipatif dengan masyarakat, sehingga pada media komunikasi berupa SMS blast, poster, dan iklan layanan masyarakat dijelaskan bahwa zona inti bukan untuk membatasi nelayan dalam menangkap ikan. Nelayan mempersepsikan juga bahwa zona inti tidak memiliki tanda batas yang jelas (pelampung atau buoy yang berwarna merah) padahal terdapat pernyataan mengenai upaya untuk menjaga pelampung yang sudah ditempatkan di sekitar zona inti (media komunikasi berupa jadwal imsakiyah, lagu, dan iklan layanan masyarakat). Namun demikian, seiring berjalannya waktu, pelampung tersebut ada yang hanyut dan atau ada yang mencuri, sehingga tanda batas menjadi tidak jelas. Permasalahan zona inti berkaitan dengan keberlangsungan hidup nelayan serta kurangnya sosialisasi yang disampaikan oleh pihak BTNKJ karena sebagian informasi didapatkan dari teman sesama nelayan. Nelayan mempersepsikan aturan sebagai sesuatu yang banyak dan ketat karena aturan tidak hanya diberikan oleh BTNKJ, tetapi juga oleh DKP. Terkait dengan kampanye, aturan yang dibahas mengenai larangan memasuki zona inti dan larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Aturan ini terdapat dalam semua media komunikasi (SMS blast, poster, kalender, jadwal imsakiyak, lagu, dan iklan layanan masyarakat). Aturan yang dimasukkan dalam pesan melalui media komunikasi dimaksudkan agar para nelayan masih bisa menangkap ikan demi keberlangsungan hidup. Jika persepsi nelayan mengenai aturan dikaitkan dengan kampanye komunikasi, isi pesan dalam kampanye masih belum sesuai dengan kebutuhan nelayan yang menginginkan pembahasan aturan yang sederhana. Berdasarkan aturan yang telah diinformasikan kepada nelayan, Kepala Seksi Wilayah I Kemujan, Bapak IW (41 tahun) mengungkapkan: “… pihak BTNKJ hanya melaksanakan tugas yang diberikan. Banyaknya aturan yang dibuat dan tidak semua masyarakat mengerti pembuatan aturan tersebut, makanya BTNKJ dianggap musuh masyarakat. Pelanggaran juga masih terjadi di kawasan TNKJ.” Staf BTNKJ lainnya, Bapak KI (35 tahun) turut mengemukakan: “… kondisi saat ini, nelayan hanya mengandalkan laut untuk memenuhi kebutuhan. Nelayan belum memikirkan nasib generasi selanjutnya. Pola pikir dan tingkat kesadaran nelayan terhadap sumberdaya alam masih rendah. Sifat nelayan yang keras dan susah diatur, maka sulit memberitahukan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pelarangan penangkapan ikan di kawasan zonasi.” Permasalahan mengenai aturan zonasi, pihak dari LSM WCS, Mas JL (24 tahun) menyampaikan pula: “… dalam forum biasanya hampir semua nelayan yang dilibatkan melakukan aksi protes. Nelayan ingin tahu fungsi dan manfaat untuk nelayan seperti apa dengan diberlakukan aturan tentang zonasi.”
72 Terkait dengan larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, belum terdapat pemecahan masalah untuk menggantikan alat tangkap tersebut, seperti alat tangkap cantrang yang mampu mengambil sumberdaya perikanan secara berlebihan (over fishing). Alat tangkap cantrang tidak digunakan di Karimunjawa, namun nelayan Karimunjawa pernah menangkap nelayan cantrang yang masuk ke Perairan Karimunjawa dan menjadi permasalahan karena sumberdaya perikanannya diambil oleh pihak lain. Nelayan mempersepsikan pihak BTNKJ sebagai pemegang otoritas yang dianggap tidak peduli terhadap nelayan dan minimnya pengawasan yang dilakukan leh pihak BTNKJ di kawasan perairan TNKJ. Hal ini terbukti bila ada pelaporan mengenai pelanggaran tidak ditanggapi secara langsung, meskipun media komunikasi berupa poster, kalender, dan jadwal imsakiyah terdapat nomor pelaporan. Adanya permasalahan ini karena pihak BTNKJ membutuhkan waktu menuju lokasi kejadian, sehingga terjadi kesalahpahaman. Nomor pelaporan merupakan salah satu bentuk untuk mengantisipasi adanya pelanggaran yang terjadi di Perairan Karimunjawa terutama untuk nelayan cantrang yang hendak memasuki zona inti. Pihak BTNKJ dibantu oleh pihak DKP dan MMP karena bila tidak diberitahukan mengenai nomor pelaporan, nelayan akan merasa kesulitan kepada siapa nelayan dapat menghubungi bila terjadi pelanggaran. Selain itu, terdapat Pokmaswas yang merupakan bentukan DKP yang memiliki tugas sama seperti MMP, yaitu untuk mengawasi kawasan Perairan Karimunjawa karena Kelestarian sumber daya merupakan tanggung jawab bersama. Dalam kampanye komunikasi tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai sanksi akibat pelanggaran memasuki zona inti. Bila mencermati dalam iklan layanan masyarakat, hanya terdapat pernyataan secara implisit bahwa Pak Herman merasakan ketakutan karena telah melewati tanda batas zona inti (pelampung). Informasi mengenai sanksi telah diketahui oleh para nelayan yang didapatkan dari teman sesama nelayan dan atau tetangga. Kampanye ini tidak memberikan informasi mengenai sanksi secara ekplisit karena dapat dianggap sebagai suatu ancaman bagi para nelayan. Selain itu, para nelayan telah mengetahui bahwa sanksi bersifat tegas, nyata, mengikat, dan memaksa, baik dari segi sanksi ekonomi maupun sanksi hukum. Pandangan yang berbeda mengenai hal-hal yang berkaitan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan antara nelayan dan pihak pembuat kampanye bahwa pesan dalam kampanye belum sesuai dengan yang dibutuhkan oleh nelayan karena dianggap pesan yang disampaikan hanya untuk kepentingan pihak pembuat kampanye. Seharusnya nelayan dilibatkan dalam pembuatan kampanye tersebut.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Faktor yang mempengaruhi persepsi nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah umur, pengalaman mengelola sumberdaya perikanan, dan tingkat kepercayaan. Persepsi nelayan terhadap zonasi adalah merugikan. Pada persepsi nelayan terhadap aturan adalah banyak dan ketat yang
73 mencakup aturan tentang jumlah tangkapan ikan, jenis ikan yang tidak diizinkan untuk ditangkap, penggunaan alat tangkap dan atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan, serta waktu atau musim penangkapan ikan. Persepsi nelayan terhadap pemegang otoritas (pihak BTNKJ) adalah tidak peduli terhadap nelayan dan kurangnya pengawasan yang dilakukan. Persepsi nelayan terhadap sanksi adalah cukup efektif dengan sanksi yang bersifat tegas, nyata, mengikat, dan memaksa, baik dari sanksi ekonomi maupun sanksi hukum. Kampanye komunikasi telah dilakukan oleh pihak BTNKJ beserta pihak lainnya dengan khalayak sasaran adalah para nelayan. Bila dikaitkan antara persepsi dan analisis pesan dalam media komunikasi masih terdapat perbedaan. Persepsi nelayan masih cenderung negatif karena masih berorientasi jangka pendek, meskipun telah dilakukan kampanye yang berorientasi jangka panjang. Kampanye komunikasi yang dilakukan oleh BTNKJ dapat dikatakan belum efektif untuk penyampaian pesan tentang konservasi karena adanya perbedaan yang menganggap kampanye komunikasi hanya menyampaikan pesan mengenai isu lingkungan padahal demi keberlangsungan hidup nelayan dalam jangka panjang. Kelemahan kampanye komunikasi adalah kurangnya sosialisasi dari pihak BTNKJ kepada khalayak sasaran terutama dalam komunikasi interpersonal dan isi pesan dianggap belum memenuhi kebutuhan nelayan. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diberikan beberapa saran sebagai berikut: (1) Implikasi dari adanya pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan TNKJ berupa zonasi, aturan, pemegang otoritas, dan sanksi, maka diperlukan upaya yang mengarah pada komunikasi interaktif antara BTNKJ dan nelayan terutama nelayan yang termasuk kategori muda, dan nelayan yang memiliki pengalaman mengelola sumberdaya perikanan kurang lama, dan nelayan yang memiliki tingkat kepercayaan rendah terhadap BTNKJ. Pihak BTNKJ perlu membangun hubungan kepercayaan dan jalinan kerjasama yang baik. (2) Strategi komunikasi dalam mengatasi perbedaan antara nelayan dan pihak BTNKJ adalah menggunakan komunikasi interpersonal karena sebanyak apapun media komunikasi baik media cetak maupun elektronik dalam kampanye komunikasi, tidak akan mengubah persepsi nelayan tanpa adanya komunikasi interpersonal yang baik. Selain itu, perlu upaya penyadaran kepada nelayan secara persuasif dari pihak BTNKJ bahwa kelestarian lingkungan merupakan tanggung jawab bersama (jangka panjang) dan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup.
74
DAFTAR PUSTAKA Arias A, Sutton SG. 2013. Understanding recreational fishers’ compliance with no-take zones in the Great Barrier Reef Marine Park. ES [Internet]. [diunduh 16 Jun 2015]; 18(4):18-26. http://dx.doi.org/ 10.5751/ES-05872180418 [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. 2014. Kecamatan Karimunjawa dalam angka 2014. Jepara (ID): BPS Kabupaten Jepara. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2008. Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2007. Semarang (ID): Balai Taman Nasional Karimunjawa. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2010. Laporan tahunan Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2010. Semarang (ID): Balai Taman Nasional Karimunjawa. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2011. Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2010. Semarang (ID): Balai Taman Nasional Karimunjawa. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2012a. Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2011. Semarang (ID): Balai Taman Nasional Karimunjawa. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2012b. Zonasi Taman Nasional Karimunjawa tahun 2012, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Semarang (ID): Balai Taman Nasional Karimunjawa. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2013. Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2012. Semarang (ID): Balai Taman Nasional Karimunjawa. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2014. Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2013. Semarang (ID): Balai Taman Nasional Karimunjawa. Bennett NJ, Dearden P. 2013. Why local people do not support conservation: Community perceptions of marine protected area livelihood impacts, governance and management in Thailand. Marpol [Internet]. [diunduh 23 Sep 2013]; 44 (1): 107-116. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.marpol.2013. 08.017 Castro JJ, Cruz T. 2009. Marine conservation in a Southwest Portuguese National Park. ICS, SI 56, Proceedings of the 10th International Coastal Symposium [Internet]. [diunduh 22 Jun 2013]; 1 (1): 385-389. Tersedia pada: http://egeo.fcsh.unl.pt/ICS2009/_docs/ICS2009_Volume_I/385.389_J.J.Castro_IC S2009.pdf Cox R. 2010. Environmental communication and the public sphere, 2nd ed. California (US): SAGE Publications, Inc. DeVito JA. 1997. Komunikasi antarmanusia. Maulana A; penerjemah. Jakarta (ID): Proffesional Books. Judul asli: Human communication. [Dit. KKJI] Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. 2013. Informasi kawasan konservasi perairan Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
75 Dwiputra MA. 2014. Berebut taman nasional laut. [diunduh 10 Agust 2015]. Tersedia pada: http://m.maritimemagz.com/2014/11/08/berebut-tamannasional-laut Eriyanto. 2011. Analisis isi: Pengantar metodologi untuk penelitian ilmu komunikasi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Jakarta (ID): Kencana. Fisher S, Ludin J, Williams S, Abdi DI, Smith R, Williams S. 2001. Mengelola konflik: Keterampilan dan strategi untuk bertindak. Kartikasari SN, Tapilatu MD, Maharani R, dan Rini DN; penerjemah. Jakarta (ID): The British Council. Judul asli: Working with Conflict: Skills and Strategies for Action. Flor AG. 2004. Environmental communication: Principles, approaches and strategies of communication applied to environmental management. Philippines (PH): UP Open University. Gifford R. 2001. Environmental psychology: Principles and practice, 3rd ed. Boston (US): Allyn and Bacon Inc. Gudykunst WB, Kim YY. 1997. Communicating with strangers: An approach to intercultural communication, 3rd ed. New York (US): McGraw-Hill Companies, Inc. Hamilton M. 2012. Perceptions of fishermen towards marine protected areas in Cambodia and the Philippines. Bioscience Horizons [Internet]. [diunduh 21 Des 2013]; 5 (1): 1-24. doi: http://dx.doi.org/10.1093/biohorizons/hzs007 Hanan LOMS. 2010. Kajian strategi pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Irnawati R. 2011. Model pengembangan taman nasional laut: Optimalisasi Pengelolaan perikanan tangkap di Taman Nasional Karimunjawa [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jentoft S, Pascual-Fernandez JJ, Modino RDC, Gonzalles-Ramallal M, Chuenpagdee R. 2012. What stakeholders think about marine protected areas: Case studies from Spain. Human Ecology [Internet]. [diunduh 21 Des 2013]; 40 (2): 185-197. doi: http://dx.doi.org/10.1007/s10745-012-9459-6 Jurin RR, Roush D, Danter KJ. 2010. Environmental communication: Skills and principles for natural resource managers, scientists, and engineers, 2nd ed. Dordrecht (NL): Springer. Kartawijaya T, Anggraeni R, Yulianto I, Prasetia R, Ripanto, Jamaludin. 2012. Laporan monitoring: Aspek sosial ekonomi dalam pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa tahun 2011. Bogor: Wildlife Conservation SocietyIndonesia Program. Kelleher G, Kenchington R. 1992. Guidelines for establishing marine protected area. Switzerland (CH): IUCN. Kinseng RA. 2007. Konflik-konflik sumberdaya alam di kalangan nelayan di Indonesia. Sodality. 1 (1): 87-104. Kinseng RA. 2011. Konflik kelas nelayan di Indonesia: Tinjauan kasus Balikpapan. Bogor (ID): IPB Press. Leleu K, Alban F, Pelletier D, Charbonnel E, Letourneur Y, Boudouresque CF. 2012. Fishers’ perceptions as indicators of the performance of marine protected areas (MPAs). Marpol [Internet]. [diunduh 10 Apr 2014]; 36 (2): 414-422. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.marpol.2011.06.002
76 Littlejohn SW, Domenici K. 2007. Communication, conflict, and the management of differences. Illinois (US): Waveland Press, Inc. Lulofs RS, Cahn DD. 2000. Conflict: From theory to action. Boston (US): Allyn and Bacon Inc. McClanahan TR, Cinner J, Kamukuru AT, Abunge C, Ndagala J. 2008. Management preferences, perceived benefits and conflicts among resource users and managers in the Mafia Island Marine Park, Tanzania. Environmental Conservation [Internet]. [diunduh 10 Jun 2014]; 35 (4): 340350. doi: http://dx.doi.org/10.1017/S0376892908005250 McClanahan TR, Cinner JE, Abunge C, Rabearisoa A, Mahatante P, Ramahatratra F, Andrianarivelo N. Ecology and Society. 2014. Perceived benefits of fisheries management restrictions in Madagascar. ES [Internet]. [diunduh 16 Jun 2015]; 19(1): 5-15. doi: http://dx.doi.org/10.5751/ES-06080-190105 Monintja DR, Sularso A, Sondita MFA, Purbayanto A. 2006. Perspektif pengelolaan perikanan tangkap Laut Arafura. Bogor (ID): Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Muljono P. 2012. Metode penelitian sosial. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press. Mulyana D. 2005. Ilmu komunikasi: Suatu pengantar. Bandung (ID): PT Remaja Rosdakarya. Mussadun. 2012. Pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di Taman Nasional Karimunjawa [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nikijuluw VPH. 2005. Politik ekonomi perikanan: Bagaimana dan kemana bisnis perikanan. Jakarta (ID): PT Fery Agung Corporation (Feraco). Nuitja INS. 2010. Manajemen sumber daya perikanan. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press. Ongare D, Macharia A, Mwakaje A, Muchane M, Warui C, Mugoya C, Masiga C, Nikundiwe A, Muiti A, Wakibara J. 2013. Environmental communication: A review of information sources and communication channels for enhanced community based natural resource management in the Greater Mara Region of Kenya. JSD [Internet]. [diunduh 15 Okt 2013]; 7 (1): 65-74. doi: http://dx.doi.org/10.1177/0973408213495608 Pemerintah Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Perdana RC, Purwanti F, Hartoko A. 2014. Tingkat pemahaman masyarakat dan status ekosistem zona inti di Taman Nasional Kepulauan Seribu. DJM [Internet]. [diunduh 25 Agust 2015]; 4 (1): 116-124. Tersedia pada: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares/article/view/7822/7578 Pruitt DG, Rubin JZ. Teori konflik sosial. Soetjipto HP, Soetjipto SM; penerjemah. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar Offset. Judul asli: Social conflict: Escalation, stalemate, and settlement. Purwanti F. 2008. Konsep co-management Taman Nasional Karimunjawa [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Qureshi B, Pathan M, Pasha MA, Chandio FA, Keerio A, Chhachhar AR. 2014. Use of information and communication technology tools among fishermen in Malaysia. JAS [Internet]. [diunduh 10 Agust 2015]; 10 (9): 225-231.
77 Tersedia pada: http://www.jofamericanscience.org/journals/am-sci/am1009/ 030_26264am100914_225_231.pdf Rice RE dan Atkin C. 1989. Public communication campaign (2nd ed). Thousand Oaks, CA (US): Sage. Rogers EM, Kincaid DL. 1981. Communication networks: Toward a new paradigm for research. New York (US): The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. Sarwono SW. 2005. Psikologi sosial: Psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Satria A, Umban A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, et al. 2002. Menuju desentraliasi kelautan. Jakarta (ID): PT Pustaka Cidesindo. Satria A, Sano M, Shima H. 2006. Politics of marine conservation area in Indonesia: from a centralised to a decentralised system. IJESD. 5 (3): 240261. Satria A. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor (ID): IPB Press. Satria A, Purnomo AM, Aziziy A. 2013. Pengelolaan kawasan konservasi laut secara kolaboratif: Upaya menimbang peran institusi patron klien. Di dalam: Prastowo, Sulistiono, Agik S, Bambang HS, editor. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Institut Pertanian Bogor 2012, Buku 3 Bidang Sosial, Ekonomi, dan Budaya; 2012 Des 10-11; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): LPPM IPB. hlm 625-643. Sembiring E, Basuni S, Soekmadi R. 2010. Resolusi konflik pengelolaan Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Kabupaten Teluk Wondama. JMHT [Internet]. [diunduh 23 Jun 2013]; 16 (2): 84-91. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/42753/Edward%20 Sembiring.pdf Severin WJ, Tankard JW. 2011. Teori komunikasi: Sejarah, metode, dan terapan di dalam media massa. Hariyanto S; penerjemah. Jakarta (ID): Kencana. Judul asli: Communication theories: Origins, methods, and uses in the mass media. Singarimbun M, Effendi S. 2008. Metode penelitian survai. Jakarta (ID): LP3S. Sugiharto dan Fenny. 2014. Membonceng revisi, merebut kewenangan. [diunduh 10 Agustus 2015]. Tersedia pada: http://agroindonesia.co.id/index.php/ 2014/03/25/membonceng-revisi-merebut-kewenangan Syaifudin Y. 2012a. SMS blast merubah perilaku nelayan di TN Karimunjawa. Kalau tidak turun, nanti dimarahi pak kadus: geliat kepemimpinan kaum muda di kawasan konservasi. Wiratno, Nurman Hakim, editor. Jakarta (ID): Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam - Kementerian Kehutanan. Syaifudin Y. 2012b. Kampanye Taman Nasional Karimunjawa: Laporan pembelajaran kampanye. Semarang (ID): Balai Taman Nasional Karimunjawa. Szell AB, Hallett LF IV. 2013. Attitudes and perceptions of local residents and tourists toward the protected area of Retezat National Park, Romania. IJHSS [Internet]. [diunduh 21 Des 2013]; Special Issue 3(4): 18-34. Tersedia pada: http://ijhssnet.com/journals/Vol_3_No_4_Special_Issue_February_2013/ 3.pdf
78 Trung Ho TV, Cottrell A, Valentine P, Woodley S. 2012. Perceived barriers to effective multilevel governance of human-natural systems: An analysis of Marine Protected Areas in Vietnam. JPE [Internet]. [diunduh 13 Nov 2013]; 19 (1): 17-35. Tersedia pada: http://jpe.library.arizona.edu/volume_19/ thuho.pdf Widodo J, Suadi. 2008. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Widorini WY. 2014. Strategi komunikasi Earth Hour dalam kampanye gaya hidup ramah lingkungan. Jurnalkommas [Internet]. [diunduh 19 Agust 2015]. Tersedia pada: (http://www.jurnalkommas.com/docs/Paper% 20Jurnal%20Wahyu%20Yuliastuti%20W.pdf) Widyatmoko BM, Purwanti F, Suryanto A. 2012. Kepedulian masyarakat dan efektivitas kampanye zona inti di Taman Nasional Karimunjawa. DJM [Internet]. [diunduh 8 Mar 2015]; 1 (1): 1-6. Tersedia pada: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares/article/view/786/761 Wiyono ES dan Kartawijaya T. 2012. Perubahan strategi operasi penangkapan ikan nelayan Karimunjawa, Jawa Tengah. JTPK [Internet]. [diunduh 8 Maret 2015]; 3 (1): 65-74. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/66723/Perubahan%2 0Strategi%20Operasi%20%20........%20%28EKO%20SW%29.pdf?sequenc e=3 Yusuf M. 2007. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut kawasan Taman Nasional Karimunjawa secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yusuf M. 2013. Kondisi terumbu karang dan potensi ikan di Perairan Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara. Buletin Oseanografi Marina [Internet]. [diunduh 20 Mar 2015]; 2: 54-60. Tersedia pada: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/buloma/article/view/6940/56
79
LAMPIRAN
80
Lampiran 1 Peta zonasi Taman Nasional Karimunjawa
81 Lampiran 2 Hasil uji korelasi nonparametrik Rank Spearman di Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa a. Karakteristik sosial persepsi persepsi persepsi persepsi _zonasi _aturan _otoritas _sanksi
umur Spearman's umur rho
Correlation Coefficient Sig. (2tailed) N
1.000 .
0.311*
0.318* 0.423**
0.207
0.035
0.031
0.168
46
46
0.003
46
46
46
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
persepsi persepsi persepsi persepsi pendidikan _zonasi _aturan _otoritas _sanksi Spearman's pendidikan Correlation rho Coefficient Sig. (2tailed) N
1.000
0.043
0.087
-0.028
-0.152
.
0.775
0.567
0.856
0.313
46
46
46
46
46
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
persepsi persepsi persepsi persepsi pengalaman _zonasi _aturan _otoritas _sanksi Spearman's pengalaman Correlation rho Coefficient Sig. (2tailed) N
1.000 0.408** 0.381** 0.454** . 0.005 0.009 46
46
0.334*
0.002 46
0.023
46
46
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed) **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
b. Kepercayaan persepsi persepsi persepsi persepsi kepercayaan _zonasi _aturan _otoritas _sanksi Spearman's kepercayaan Correlation rho Coefficient
1.000 0.465** 0.490** 0.581** 0.673**
Sig. (2tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
. 0.001 46
46
0.001 46
0.000 46
0.000 46
82 Lampiran 3 Hasil uji korelasi nonparametrik Chi-Square di Dusun Karimunjawa, Desa Karimunjawa a. Pekerjaan sampingan terhadap persepsi zonasi Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 11.969a 14.025
df 4 4
Asymp. Sig. (2-sided) 0.018 0.007
4.131
1
0.042
46
a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .87
b. Pekerjaan sampingan terhadap persepsi aturan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 13.161a 14.184
df 4 4
Asymp. Sig. (2-sided) 0.011 0.007
2.530
1
0.112
46
a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .35
c. Pekerjaan sampingan terhadap persepsi pemegang otoritas Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 10.404a 11.172
df 4 4
Asymp. Sig. (2-sided) 0.034 0.025
0.360
1
0.549
46
a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .35
d. Pekerjaan sampingan terhadap persepsi sanksi Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 10.113a 10.437
df 4 4
Asymp. Sig. (2-sided) 0.039 0.034
4.114
1
0.043
46
a. 6 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.57
83 e. Asal daerah tehadap persepsi zonasi Value a
df 2 2
Asymp. Sig. (2-sided) 0.383 0.392
Pearson Chi-Square 1.921 Likelihood Ratio 1.872 Linear-by-Linear 0.269 1 0.604 Association N of Valid Cases 46 a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.43 f.
Asal daerah tehadap persepsi aturan Value df Asymp. Sig. (2-sided) a Pearson Chi-Square 3.235 2 0.198 Likelihood Ratio 3.615 2 0.164 Linear-by-Linear 0.780 1 0.377 Association N of Valid Cases 46 a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .48
g. Asal daerah tehadap persepsi pemegang otoritas Value df Asymp. Sig. (2-sided) a Pearson Chi-Square 2.665 2 0.264 Likelihood Ratio 2.595 2 0.273 Linear-by-Linear 2.606 1 0.106 Association N of Valid Cases 46 a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .48 h. Asal daerah tehadap persepsi sanksi Value df Asymp. Sig. (2-sided) a Pearson Chi-Square 2.783 2 0.249 Likelihood Ratio 2.569 2 0.277 Linear-by-Linear 0.951 1 0.330 Association N of Valid Cases 46 a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.15
84 Lampiran 4 Dokumentasi
b. Jaring
b. Bubu
c. Speargun (tembak)
d. Pancing bulu ayam
e. Pancing grandong
f. Pancing kili-kili
g. Alat bantu kompresor
h. GPS
i. Fish finder
j. Hasil tangkapan untuk k. Tempat penjualan untuk konsumsi sendiri ikan ke pengepul
l. Pembuatan kapal
85 Lampiran 5 Media komunikasi
b. Poster tentang aturan larangan penangkapan jenis dan ukuran ikan
b. Sampul lagu Zona Inti dalam bentuk CD dan DVD
c. Stiker nomor pusat pelaporan jika terjadi pelanggaran
d. Papan informasi
e. Spanduk lokasi akses internet
f. Radio
g. Patroli laut yang dilakukan BTNKJ
86 Lampiran 6 Kesepakatan antara nelayan kompresor dan nelayan pancing
87
88
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Titania Aulia dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Dr Ir Tatag Budiardi, MSi dan Dr Ir Kurnia Suci Indraningsih, MSi. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan studi di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Program Pascasarjana, IPB dengan memperoleh Beasiswa Unggulan (BU) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). Penulis aktif sebagai asisten praktikum Program Sarjana di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat sejak tahun ajaran 2009 hingga saat ini. Selain itu, penulis aktif dalam kegiatan pendidikan di Terminal Hujan Bogor sejak pertengahan tahun 2013.