46
ANALISIS KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK KAWASAN KONSERVASI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM Analysis of Territorial Waters Suitability for Marine Protected Areas (MPAs) on Fisheries Resources Management in Karimunjawa National Park with Ecosystem Approach
ABSTRAK Pengembangan kawasan konservasi di Indonesia semakin pesat dengan disahkannya UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan dan peraturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, serta berlakunya UU No. 27 tahun 2007 tentang Penelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan target kawasan konservasi laut (KKL) seluas 10 juta ha pada tahun 2010 dan 20 juta ha pada tahun 2020. Namun dalam penentuan dan pengelolaan KKL belum dilakukan secara efektif. Paper ini bertujuan penentuan zonasi perairan untuk KKL berbasis ekosistem di Taman Nasional Karimunjawa (TNK). Secara umum zonasi di KKL dapat dikelompokkan menjadi 3 zona, yaitu: zona inti atau zona perlindungan; (2) zona penyangga; dan (3) zona pemanfaatan. Sebagaimana yang diamanahkan dalam UU No. 5 Undang Undang Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 29 – 32, bahwa pengelolaan taman nasional sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi sangat membutuhkan upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem sumberdaya. Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Metode yang digunakan dalam paper ini adalah analisis spasial berbasis ekosistem untuk menentukan zonasi KKL dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di TNK. Ekosistem yang sangat berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di TNK adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesesuaian perairan TNK untuk kawasan konservasi berdasarkan luasan ekosistem mangrove 498 ha, luasan ekosistem lamun 319 ha dan luasan ekosistem terumbu karang 16.368 ha adalah seluas 17.185 ha. Luasan zona inti 2.111,07 ha (1,89%), zona perlindungan 26.836,12 ha (24,04%), zona penyangga 12.051,73 ha (10,8%), zona rehabilitasi 233,9 ha (0,21%), dan pemanfaatan terbatas seluas 70.395,18 ha (63,06%). Kata Kunci: SIG, KKL, ekosistem, sumberdaya perikanan, taman nasional
ABSTRACT The development of conservation areas in Indonesia is getting more rapidly after the legalized of Law No. 45 2009 on Fisheries and its Derivatives Regulation, i.e. Government Regulation No. 60 2007 on the Conservation of Fish Resources, and the enactment of Act No. 27 year 2007 on Coastal and Small Islands Management. Indonesia is committed to realizing the target of marine protected areas (MPAs), covering 10 million acres in 2010 and 20 million acres in 2020. However, in determination and management the MPAs themselves have not been carried out effectively.
47 This paper is aimed the determination of MPA-based zoning for aquatic ecosystems in Karimunjawa National Parks (KNP). In general, the MPAs zoning can be grouped into 3 zones, i.e.: the no-take zone or protection zone, (2) buffer zone, and (3) the utilization zone. As mandated in Act No. 5 / 1990 on Conservation of Natural Resources and the Ecosystems chapter 29-32, the management of national parks as a part of conservation areas need the protection, preservation and use of ecosystem resources. Protected areas are managed by the zoning system consisting of nucleus zones, utilized zones, and other zones as appropriate. The method used in this paper is ecosystem-based spatial analysis to determine the zoning of MPAs in the sustainable management of fisheries resources in Karimunjawa National Park (KNP). The ecosystems whose highly sgnificance in terms of fisheries resources management in TNK are mangrove ecosystems, seagrass ecosystems and coral reef ecosystems. The analysis revealed that the KNP suitability for conservation of mangrove ecosystems based on the extent of 498 ha, 319 ha area of seagrass ecosystems and the extent of 16,368 ha of coral reef ecosystems is an area of 17,185 ha. The extent of nucleus zone 2,111.07 ha (1.89%), protection zone 26,836.12 ha (24.04%), buffer zone 12,051.73 ha (10.8%), rehabilitation zone 233.9 ha (0.21%), and utilization zone 70,395.18 ha (63.06%). Keywords: GIS, MPAs, ecosystems, fisheries resources, national parks
PENDAHULUAN Lembaga Konservasi Dunia, International Union for the Conservation in Nature (IUCN) mendefinisikan kawasan konservasi laut adalah suatu area perairan intertidal atau subtidal yang berkaitan dengan ekosistem tumbuh-tumbuhan, fauna, corak budaya dan historis, yang dikuatkan dengan hukum atau peraturan lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan dan sekitarnya (Lunn dan Dearden 2006). Penyimpangan yang dilakukan dalam upaya penangkapan ikan disebabkan karena tidak adanya kejelasan area untuk konservasi stok ikan. Adanya tekanan yang cukup tinggi dan upaya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan akan mengganggu tujuan kawasan konservasi laut untuk menjaga biodiversitas ikan. Hal ini akan menimbulkan suatu konflik yang sangat mendasar bagi stakeholders (Jones 2006). Tingkat eksploitasi pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan di Taman Nasional Karimunjawa (TNK) mengakibatkan perubahan substansial ekosistem sumberdaya perikanan. Frid et al. 2005 menyimpulkan, bahwa upaya perlindungan terhadap sumberdaya perikanan dan ekosistemnya melalui pembatasan area dan waktu penangkapan merupakan tantangan bagi otoritas pengelola taman nasional. Upaya untuk melindungi sumberdaya ikan dengan pendekatan ekologis di suatu perairan dengan kawasan konservasi laut, tidak hanya berfungsi untuk
48 melindungi tempat hidup ikan, namun juga dengan mantap meningkatkan produktifitas pengelolaan perikanan (Robert et al. 2003). Hasil penelitian Bruce dan Eliot 2006 di Teluk Hiu Taman Nasional Laut Australia Selatan, menyatakan bahwa kemampuan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) memungkinkan
pengembangan
yang
bermanfaat
untuk
menyelidiki
hasil
dan
mengevaluasi alternatif keputusan. SIG berfungsi untuk menyimpan, membuka kembali dan meneliti berbagai jenis data dan informasi dengan cepat (Kairo et al. 2002). Model SIG merupakan suatu metoda sederhana untuk penetapan dan pengelolaan zona secara geografis.
Hannesson
(2007)
menggunakan
analisis
distribusi
geografis
untuk
menentukan zonasi produktifitas ikan berdasarkan sebaran temperatur di perairan Lautan Atlantik Timur Laut dan menyimpulkan adanya hubungan antara produktifitas ikan dengan kondisi
temperatur
suatu
perairan.
Kemampuan
Analisis
SIG
memungkinkan
pengembangan yang bermanfaat untuk menyelidiki hasil keputusan dan mengevaluasi alternatif (Bruce dan Eliot 2006). Produksi tangkapan ikan di TNK sangat tergantung dengan kualitas produktivitas primer lingkungan. Tingginya produktivitas primer lingkungan di TNK ditentukan oleh kualitas kondisi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang (Supriharyono 2000 dan Bengen 2002). Pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan berusaha untuk mengatur efek kumulatif aktivitas manusia (anthropogenik) terhadap ekosistem sumberdaya (Stelzenmuller et al. 2004 dan Mare 2005). UU No. 5 Undang Undang Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 29 – 32 mengamanahkan bahwa pengelolaan taman nasional sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi sangat membutuhkan upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem sumberdaya. Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Sumberdaya perikanan di TNK bersifat terbuka dan sangat dinamis, hal ini merupakan tantangan bagi pengelolaan sumberdaya tersebut. Kompleksitas permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan di TNK dipicu oleh konflik antar kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Permasalahan konflik yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa (TNK) adalah upaya untuk mengidentifikasi sumberdaya perikanan secara ekologis yang didukung dengan parameter fisik dalam penentuan status sumberdaya dengan upaya kepentingan stakeholders dalam pemanfaatan sumberdaya.
49 Kebutuhan suatu metoda rencana penetapan kawasan konservasi yang paling efektif sangat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan dalam memahami pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di TNK yang didukung dengan penentuan zonasi. Selama ini, Penetapan kawasan konservasi dilakukan dengan pendekatan pengelolaan multiple-use, sehingga menimbulkan berbagai macam kerancuan dalam mengidentifikasi batasan-batasan kawasan konservasi yang tidak jelas. Sampai saat ini, penataan zonasi kawasan TNK belum didukung dengan kelengkapan data dan informasi potensi sumberdaya alam dan ekosistemnya. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan peruntukkan potensi sumberdaya alam dan ekosistemnya. Sistem informasi geografis (SIG) mempunyai kemampuan aplikasi dalam melakukan analisa berbasis spasial. SIG mampu mengidentifikasi suatu areal perairan dengan jelas sebagai zona perlindungan ataukah sebagai zona pemanfaatan. Aplikasi SIG telah banyak digunakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Bruce and Eliot (2006) menyatakan, bahwa Teknik Analisa SIG telah digunakan dalam perencanaan dan proses evaluasi untuk pengembangan habitat perairan buatan, penilaian kualitas habitat suatu perairan, pemodelan aktivitas perikanan, dan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode analisis spasial untuk menentukan luasan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove, yang didukung dengan telaah dokumen hasil penelitian tentang potensi sumberdaya di TNK: (1) BTNK (Balai Taman Nasional Karimunjawa). 2004. Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Kerjasama BTNK dengan Pemda Kabupaten Jepara, WCS (Wildlife Conservation Society) dan Yayasan Taka. (2) DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan). 2006. Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kepulauan Karimunjawa. Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. (3) Marnane, MJ., RL. Ardiwijaya, JT. Wibowo, ST. Pardede, T. Kartawijaya, dan Y. Herdiana. 2005. Laporan Teknis Survei 2003-2004 di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Bogor: Wildlife Conservation Society-Marine Program Indonesia.
50 Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Integrasi penginderaan jauh dan SIG dapat memetakan kondisi sebaran ekosistem sumberdaya wilayah pesisir, sehingga dapat selalu dipantau perkembangan terjadinya perubahan ekosistem wilayah pesisir. Kemampuan SIG sebagai alat analisis sangat penting bagi pembuat keputusan untuk menyelidiki dan mengevaluasi hasil keputusan mereka secara interaktif. Data citra satelit yang digunakan adalah Citra Landsat ETM 7+ dengan acquisition pada tanggal 21 Januari dan 24 Maret 2003. Liputan awan hanya 5%, sehingga memudahkan dalam pembuatan peta digital. Pengolahan data peta citra tersebut dengan menggunakan software ErMapper melalui proses cropping data, pemulihan citra, penajaman citra, dan klasifikasi citra. Fusi multispektral dilakukan dengan memilih 3 kanal, yaitu merah, hijau dan biru (RGB). Seleksi fusi multispektral dilakukan berdasarkan nilai optimum index factor (OIF). Untuk analisis terumbu karang dan lamun digunakan komposit RGB 421 dan analisis penutupan lahan basah (mangrove) digunakan RGB 453. Hasil interpretasi citra satelit menghasilkan peta sebaran ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove dan selanjutnya data diolah dengan SIG software ArcView 3.3 untuk mengetahui luasan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove. Kemudian sistem zonasi dihasilkan dari overlay peta distribusi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dengan peta area penangkapan ikan (fishing ground) alat tangkap ikan di perairan TNK dan zonasi Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNK 2005). Dengan kriteria sebagai berikut: 1. Zona Inti: zona yang mempunyai ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dengan kualitas kepadatan tinggi dan sedang; tidak ada kegiatan penangkapan ikan; dan merupakan zona inti BTNK (2005). 2. Zona Perlindungan: zona yang mempunyai ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dengan kualitas kepadatan tinggi dan sedang; Kegiatan penangkapan ikan rendah; dan merupakan zona perlindungan BTNK (2005). 3. Zona Penyangga: zona yang mempunyai ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dengan kualitas kepadatan tinggi dan sedang; Kegiatan penangkapan ikan sedang; dan merupakan zona pariwisata dan budidaya BTNK (2005). 4. Zona Rehabilitasi: merupakan zona rehabilitasi BTNK (2005).
51 5. Zona Pemanfaatan: zona dengan Kegiatan penangkapan ikan tinggi; dan zona pemanfaatan BTNK (2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN Taman Nasional merupakan kawasan yang dirancang untuk mencegah eksploitasi sumberdaya yang berlebihan dan melindungi keutuhan ekologi, memberikan bantuan untuk kegiatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi yang berwawasan lingkungan. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Untuk memahami peranan sistem zonasi dalam pengelolaan taman nasional adalah dengan memahami fungsinya. Zonasi menurut UU RI no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, merupakan bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumbedaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai salah satu kesatuan dalam ekosistem wilayah pesisir. Sistem zonasi yang digunakan dalam taman nasional meliputi: (1) zona inti; (2) zona pemanfaatan terbatas; dan (3) zona lain sesuai dengan peruntukan kawasan. Kawasan
taman
nasional
dikelola
dengan
sistem
zonasi
sebagaimana
diamanahkan oleh UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya hayati dan Ekosistemnya pasal 32. Sistem zonasi tersebut terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Menurut Bengen (2002), Zona inti atau zona perlindungan mempunyai karakteristik tipe zona yang memiliki nilai konservasi tinggi, sangat rentan terhadap gangguan/ perubahan, aktivitas manusia sangat terbatas, tidak diperbolehkan untuk aktivitas eksploitasi sumberdaya. Zona pemanfaatan mempunyai karakteristik tipe zona yang masih mempunyai nilai konservasi tertentu, namun diperbolehkan untuk aktivitas pemanfaatan sumberdaya. Zona penyangga mempunyai karakteristik tipa zona sebagai penyangga zona inti, beberapa aktivitas pemanfaatan diperbolehkan dengan dibatasi dan tetap dikontrol, agar tidak mengganggu zona inti. Peraturan Pemerintah RI No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan pasal 9 menyebutkan bahwa penetapan kawasan konservasi berbasis ekologi harus memperhatikan keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya, habitat ikan langka, daerah pemijahan dan daerah pengasuhan ikan. Ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga habitat biota laut.
52 Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No SK.79/IV/Set-3/2005 tentang Revisi Zonasi/Mintakat Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa, bahwa zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa seluas 111.625 ha, dengan rincian sebagaimana ditunjukkan Tabel 9 dibawah ini.
Tabel 9. Luas Zonasi Taman Nasional Karimunjawa NO
ZONA 1 2 3 4 5 6 7
Zona Inti Zona Perlindungan Zona Pemanfaatan Pariwisata Zona Pemukiman Zona Rehabilitasi Zona Budidaya Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional TOTAL
Sumber:
LUAS (ha) 444.629 2,587.711 1,226.525 2,571.546 122.514 788.213 103,883.862 111,625.000
Persentase (%) 0.398 2.318 1.099 2.304 0.110 0.706 93.065 100.000
SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.79/IV/Set3/2005
Hasil revisi zonasi Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa menunjukkan masih berorientasi pada daratan, hal ini ditunjukkan dengan luasan zona perlindungan 2.587,711 ha masih didominasi oleh hutan tropis daratan di Pulau Karimunjawa. Upaya perlindungan yang masih menekankan pada daratan dan kurang memperhatikan perlindungan sumberdaya pesisir, akan berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya. Padahal potensi sumberdaya pesisir dan lautan di perairan Taman Nasional Karimunjawa harus dijaga kelestariannya sesuai dengan amanah Taman Nasional Karimunjawa sebagai bentuk kawasan kepulauan yang berstatus kawasan konservasi laut. Peta Gambar 8 menunjukkan bahwa zona inti (warna merah) dan zona perlindungan (warna kuning) sebagian besar terletak didaratan. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan zonasi yang dilakukan oleh BTNK masih berorientasi pada daratan.
53
Gambar 8. Peta Zonasi Taman Nasional Karimunjawa
54
Distribusi Sumberdaya Mangrove di TNK Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas primer yang tinggi dan mengandung detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi bagi larva ikan, udang dan biota lainnya (Dahuri 2003). Tingginya bahan organik di ekosistem hutan mangrove berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan/ pembesaran (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) bagi berbagai macam ikan dan biota lainnya (Supriharyono 2000). Mangrove dapat hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi sampai level diatas permukaan laut rata-rata. Berdasarkan hasil Kegiatan Inventarisasi Penyebaran Mangrove di TNK tahun 2002 ditemukan 44 spesies mangrove yang termasuk dalam 25 famili. Dalam kawasan pelestarian ditemukan 25 spesies mangrove sejati dari 13 famili dan 18 spesies mangrove ikutan dari 7 famili. Sedang di luar kawasan ditemukan 5 spesies mangrove ikutan dari 5 famili berbeda. Pada tingkat tiang dan pohon hutan mangrove di kawasan Pulau Karimunjawa dan Kemujan didominasi jenis Exoecaria agallocha sedang jenis yang penyebarannya paling luas adalah Rhizopora stylosa. Avicennia spp tumbuh di daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, sedangkan lebih kearah daratan didominasi oleh Rhizophora spp, Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. Klasifikasi hutan mangrove berdasarkan tegakannya terbagi menjadi 3, yaitu: (1) kerapatan rendah: kerapatan tajuk < 50%; (2) kerapatan sedang: kerapatan tajuk antara 40% – 70%; (3) kerapatan tinggi: kerapatan tajuk > 70% (Bakosurtanal 2001). Berdasarkan hasil analisis SIG (DKP 2006), distribusi ekosistem mangrove di TNK menyebar dibeberapa pulau, diantaranya: P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Parang, P. Nyamuk, P. Bengkoang, P. Menjangan besar, dan P. Menjangan Kecil. Kondisi hutan mangrove dengan kepadatan tinggi terdapat di P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Parang dan P. Bengkoang. Luasan ekosistem hutan mangrove untuk kerapatan rendah seluas 10 ha, kerapatan sedang 112 ha dan kerapatan tinggi 376 ha.
Distribusi Sumberdaya Lamun di TNK Sistem rhizoma perakaran lamun dan aktivitas fiksasi nitrogen menyebabkan daun-daun lamun menjadi lebat dan lamun dapat tumbuh dengan subur sebagai penopang produktivitas ekosistem lamun (Supriharyono 2000). Lamun dapat tumbuh di daerah pasang surut yang bersubstrat lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati dengan kedalaman 4 meter. Distribusi ekosistem lamun dipengaruhi oleh (1) kecerahan/
55 kedalaman; (2) temperatur; (3) salinitas; (4) substrat; dan (5) kecepatan arus perairan. Ekosistem lamun merupakan habitat yang sangat penting bagi komunitas ikan dan biota lainnya. Ada sekitar 360 spesies ikan berasosiasi dengan lamun (Dahuri 2003). Hasil Kegiatan Inventarisasi Penyebaran Mangrove di TNK tahun 2002 oleh BTNK, menemukan bahwa ekosistem lamun yang tersebar di seluruh perairan TNK sampai mencapai kedalaman 25 meter. Struktur komunitas lamun tersusun atas 9 spesies yaitu Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Thalassia hemprichi, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Halophila minor, Syringodium isoetilium, dan Thalassodensron ciliatum yang didominasi oleh genus Enhalus dan Thallasia (BTNK 2008). Lamun sering dijumpai tumbuh di perairan yang ada terumbu karangnya. Ekosistem terumbu karang dan lamun sulit untuk dipisahkan. Keduanya saling berinteraksi membentuk ekosistem perairan tropis yang unik. Terumbu karang memerlukan lamun sebagai filter air laut terhadap bahaya suspensi dari daratan, sementara terumbu karang berfungsi sebagai penahan gempuran ombak yang dapat menyebabkan tercabutnya akar-akar lamun. Berdasarkan hasil analisis SIG (DKP 2006), ekosistem lamun di TNK tersebar hampir disemua pulau, kecuali P. Batu. Ekosistem lamun dengan tingkat kepadatan tinggi terdapat di P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Sintok, P. Tengah, P. Kumbang dan P. Krakal Kecil. Luasan ekosistem lamun tutupan sedang 157 ha dan tutupan tinggi 162 ha.
Distribusi Sumberdaya Terumbu Karang di TNK Keberadaan
zooxanthella
dalam
polyp
binatang
karang
mampu
untuk
memproduksi atau memfiksasi karbon yang ada di perairan, sehingga ekosistem terumbu karang secara ekologis mempunyai nilai produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh: (1) kecerahan/ cahaya; (2) suhu; (3) salinitas; (4) sirkulasi perairan; dan (5) sedimentasi (Dahuri 2003). Terkadang ekosistem terumbu karang dapat dijumpai di perairan yang miskin unsur hara, namun dalam ekosistem terumbu karang sendiri mempunyai produktivitas tinggi, sehingga terumbu karang berfungsi sebagai penyubur perairan. Tingginya produktivitas ekosistem terumbu karang menjadi tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan/ pembesaran (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) bagi berbagai macam jenis ikan karang, sehingga produksi ikan karang di ekosistem terumbu karang sangat tinggi (Supriharyono 2000). Di perairan Indonesia
56 terdapat keanekaragaman ikan karang yang tinggi, yaitu 62 famili dan 592 spesies ikan karang (Dahuri 2003). Ekosistem terumbu karang di TNK mempunyai 3 tipe, yaitu: (1) terumbu karang pantai/ tepi (fringing reef), (2) terumbu karang penghalang (barrier reef), dan (3) taka (patch reef). Ekosistem terumbu karang di TNK terdiri atas 66 genera karang keras yang termasuk dalam 14 famili ordo scleractinian dan 3 ordo non sceractinian. Sedangkan jenis yang mendominasi ekosistem ini adalah genera Acropora dan Porites (Marnane et al. 2005). Lebih lanjut dinyatakan bahwa sampai dengan tahun 2006, persentase penutupan terumbu karang berkisar antara 7-69% dengan rata rata penutupan adalah 40%. Kekayaan spesies ikan karang yang berasosiasi dengan terumbu karang di TNK sebanyak 353 spesies ikan karang yang termasuk dalam 117 genus dan 43 famili (BTNK 2008). Klasifikasi Kondisi terumbu karang berdasarkan prosentase jumlah karang yang hidup: (1) kondisi sangat baik: 75% - 100%; (2) kondisi baik: 50% - 74%; (3) kondisi sedang: 25% - 49%; dan (4) kondisi buruk: kurang dari 25% (Bakosurtanal 2001). Hasil analisis SIG (DKP 2006), menunjukkan bahwa prosentase penutupan terumbu karang berkisar antara 37% sampai dengan 73%. Tingkat prosentase penutupan tinggi terdapat di P. Kembar, P. Gelaen, P. Burung, P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Bengkoang, P. Menyawakan, P. Cemara Besar, P. Cemara Kecil, P. Krakal Besar, P. Krakal Kecil dan P. Sintok, seadngkan tingkat prosentase penutupan sedang dan rendah berada di P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Parang, dan P. Kumbang. Luasan ekosistem terumbu karang untuk tutupan sedang 3.431 ha dan tutupan tinggi seluas 12.937 ha.
Proses Overlay Ekosistem
Kesesuaian
Kawasan
Konservasi
di
TNK
Berbasis
Semua peta tematik distribusi ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang dibuat data peta digital dengan bantuan software ArcView 3.3. Data digital tersebut dibangun berdasarkan basis data spasialnya kedalam format coverage. Kebutuhan Data meliputi peta-peta (coverage) sesuai dengan kriteria yang harus dipenuhi untuk kesesuaian kawasan konservasi di TNK berbasis pendekatan ekosistem. Masing-masing peta tematik distribusi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang, selanjutnya diproses overlay terhadap semua coverage. Hasil overlay sebaran ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dapat dilihat pada pada Gambar 9 berikut ini.
57
Sumber Peta: 1. Bakosurtanal 2. DKP 2006 Sumber:
Gambar 9 . Peta Sebaran Ekosistem Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang di TNK
DKP 2006
58 Hasil overlay peta distribusi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang menunjukkan bahwa kesesuaian perairan untuk kawasan konservasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di TNK berbasis ekosistem ditentukan oleh kondisi tingkat persentase penutupan terumbu karang, lamun dan kerapatan hutan mangrove. Luasan total ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove seluas 17.185 ha. Menurut Fauzi dan Anna (2005), hubungan antara luasan kawasan konservasi dengan manfaat ekonomi bersifat kuadratik. Luasan zona inti dan perlindungan akan meningkatkan nilai ekonomi pada kisaran luasan 40% dari total luasan kawasan konservasi. Jika melewati dari 40%, maka nilai ekonomi akan semakin menurun. Oleh karena itu, agar kawasan konservasi TNK mempunyai nilai ekonomi yang optimal diharapkan luasan untuk zona inti dan zona perlindungan seluas 6.874 ha (40%). Selebihnya yang 60% (10.311 ha) dimanfaatan untuk zona penyangga dan zona pemanfaatan sesuai dengan kebutuhan peruntukan budidaya, penangkapan ikan, wisata, dan lainnya.
Area Penangkapan Ikan (fishing ground) Nelayan di TNK Produksi perikanan di Indonesia didominasi oleh perikanan tangkap, kontribusinya mencapai 85% (Dahuri 2003). TNK merupakan salah satu daerah penangkapan perikanan artisanal penting di Laut Jawa, dengan keanekaragaman terumbu karang dan ikan karang yang tinggi. TNK merupakan salah satu kawasan yang dapat mewakili kondisi terumbu karang dengan kategori baik dari Kawasan Barat Indonesia (Mukminin dkk 2006). Keragaman
dan
biomasa
ikan
karang
di
TNK
didominasi
oleh
famili
Pomacentridae (betok laut), Labridae (wrasse), Chaetodontidae (kepe-kepe), Scaridae (ikan kakatua) dan Serranidae (kerapu). Sebagian besar spesies tersebut merupakan pemakan karang dan alga, sementara jumlah dan biomasa terendah adalah jenis ikan karnivora Serranidae (kerapu). Tekanan penangkapan ikan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap sumberdaya populasi ikan di TNK. Lokasi dengan keragaman ikan tertinggi di Karimunjawa adalah di P. Cemara Besar dan P. Sintok. Kedua lokasi ini merupakan daerah terumbu karang yang terisolasi terhadap penangkapan ikan yang lebih banyak dilakukan di daerah terumbu yang lebih dalam, tetapi isolasi ini memberikan perlindungan terhadap spesies ikan non-target (Marnane 2005).
59 Dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan, nelayan TNK menggunakan beberapa alat tangkap, diataranya adalah pancing, tonda, bubu, muroami, jaring, jaring pocong, pukat, dan panah. Pada Gambar 10 menunjukkan, bahwa nelayan Karimunjawa dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan meliputi seluruh kawasan ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove tidak ada yang selamat dari alat tangkap nalayan. Bahkan zona inti dan perlindungan yang seharusnya tidak diperbolehkan melakukan penangkapan ikan, ternyata dilanggar oleh para nelayan. Tekanan penangkapan ikan paling tinggi terjadi di sekitar ekosistem terumbu karang P. Karang, P. Nyamuk, P. Parang, P. Kumbang, P. Kembar, P. Burung dan P. Bengkoang seluas 87,94 km2 (8.794 ha). Sedangkan tekanan penangkapan sedang terjadi disekitar P. Menyawakan, P.Cemar Besar, P. Cemara Kecil, P. Karang Kapal, P. Menjangan Besar, dan P. Menjangan Kecil seluas 106,16 km2 (10.616 ha). Tekanan penangkapan rendah berada disekitar P. Krakal Kecil, P. Krakal Besar, dan P. Sintok seluas 318,23 km2 (31.823 ha).
60
405000
412500
420000
427500
435000
450000
442500
457500
9375000
0
4000
8000 m
P. Kembar
9367500
9367500
4000
9375000
N
P. Parang P.Bengkoang
P.Katang
P.Sintok Gosong Kumbang
P.Menyewakan P.Cemara Besar
P.Kemujan P.Mrico
P.Tengah P.Kecil
Gsng Cemara
P.Nyamuk
9360000
9360000
P.Kumbang
P.Karimunjawa P.Krakal Besar P.Krakal Kecil
P.Galeang
karang Kapal
P.Burung
Jalan Taman nasional Pemanfaatan ikan Rendah (318,23 km2) Sedang (106,16 km2) Tinggi (87,94 km2) 405000
Gambar 10.
412500
P.Menjangan KecilP.Menjangan Besar
9345000
9345000
9352500
9352500
P.Cemara Kecil
Sumber Peta: 1. Bakosurtanal 2. Balai Taman Nasional Karimunjawa 2005
Sumber: BTNK 2004
420000
427500
435000
442500
450000
457500
Peta Area Penangkapan Ikan dengan Alat Tangkap Pancing, Panah, Bubu, Jaring, Bagan Apung, Muroami dan Pukat
61 Analisis Penentuan Zonasi Untuk mengkaji penentuan zonasi kesesuaian perairan untuk kawasan konservasi digunakan penerapan kriteria perpaduan potensi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan di TNK. Kriteria yang digunakan dalam penentuan zonasi adalah sebagai berikut: 1. Zona Inti: zona yang mempunyai ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dengan kualitas kepadatan tinggi dan sedang; tidak ada kegiatan penangkapan ikan; dan merupakan zona inti BTNK (2005). 2. Zona Perlindungan: zona yang mempunyai ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dengan kualitas kepadatan tinggi dan sedang; Kegiatan penangkapan ikan rendah; dan merupakan zona perlindungan BTNK (2005). 3. Zona Penyangga: zona yang mempunyai ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dengan kualitas kepadatan tinggi dan sedang; Kegiatan penangkapan ikan sedang; dan merupakan zona pariwisata dan budidaya BTNK (2005). 4. Zona Rehabilitasi: merupakan zona rehabilitasi BTNK (2005). 5. Zona Pemanfaatan: zona dengan Kegiatan penangkapan ikan tinggi; dan zona pemanfaatan BTNK (2005).
Keterbatasan data dalam penelitian ini, hanya mampu mengidentifikasi distribusi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang secara global dengan kondisi kepadatannya. Sedangkan kondisi tingkat keanekaragaman spesies dan variasi habitat distribusi ekosistem secara rinci belum dapat diidentifikasi, sehingga hal ini berpengaruh terhadap hasil zonasi kesesuaian perairan yang bersifat global. Hasil akhir analisis SIG dari penentuan zonasi kesesuaian perairan di TNK untuk kawasan konservasi merupakan integrasi kondisi ekosistem dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan, secara detail luasan zonasi disajikan pada Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10. Luasan Zonasi Kesesuaian Perairan
62
Zona inti seluas 21,1107 km2 (2.111,07 ha) (1,89%) yang tersebar di P. Nyamuk, P. Kembar, P. Parang, Gosong Kumbang, P. Karimunjawa, P. Bengkoang dan P. Sintok. Sedangkan Zona Perlindungan seluas 268,3312 km2 (26.833,12 ha) (24,04%) yang menyebar di P. Nyamuk, P. Karang, P. Kembar, P. Parang, P. Kumbang, P. Krakal Besar, P. Krakal Kecil, Karang Kapal, Gosong Kumbang, P. Menyawakan, P. Bengkoang, P. Cemara Besar, P. Cemara Kecil, P. Galeang, P. Burung, P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil. P. Karimunjawa, P. Parang, P. Sintok, P. Tengah dan P. Kecil. Zona Penyangga seluas 120,5173 km2 (12.051,73 ha) (10,8%). Zona Rehabilitasi seluas 2,339 km2 (233,90 ha) (0,21%). Adapun Zona Pemanfaatan seluas 703,9518 km2 (70.395,18 ha) (63,06%) yang menyebar diseluruh perairan TNK.
Tabel 11. Perbandingan Luasan Zonasi Kesesuaian dengan Luasan Zonasi BTNK (2005)
ZONA
ZONASI LUAS (ha) Persentase (%) 2,111.07 1.89 26,833.12 24.04 12,051.73 10.80
Zona Inti Zona Perlindungan Zona Penyangga Zona Pemanfaatan Pariwisata Zona Budidaya Zona Rehabilitasi 233.90 Zona Pemanfaatan 70,395.18 Zona Pemukiman Jumlah 111,625.00
0.21 63.06 100.00
ZONASI BTNK 2005 LUAS (ha) Persentase (%) 444.63 0.40 2,587.71 2.32 1,226.53 788.21 122.51 103,883.86 2,571.55 111,625.00
1.10 0.71 0.11 93.07 2.30 100.00
Tabel 11 diatas menunjukkan, bahwa perbandingan Zona Inti pada zonasi kesesuaian seluas 2.111,07 ha (1,89 %) dengan zona inti pada zonasi BTNK (2005) seluas 444,63 (0,4 %) hampir 5 kali lipatnya. Sedangkan zona perlindungan 10 kali lipat lebih, zona penyangga 5 kali lipat lebih. Zonasi yang baru sudah mempertimbangkan perairan (area penangkapan ikan, ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang), sehingga zona inti dan zona perlindungan bertambah luas. Meskipun metode penetapan zonasi dalam penelitian ini masih bersifat global. Penetapan wilayah perairan sebagai zona inti dan zona perlindungan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan TNK sangat diperlukan sebagai wilayah kepulauan. Untuk lebih jelasnya, sebaran kesesuaian zonasi dapat dilihat pada Gambar 11 berikut.
63
Sumber Peta: 1. Bakosurtanal 2. Balai Taman Nasional Karimunjawa 2005
Gambar 11.
Peta Kesesuaian Zonasi Taman Nasional Karimunjawa
64 SIMPULAN DAN SARAN
Upaya perlindungan sumberdaya perikanan di TNK dengan kawasan konservasi melalui pendekatan ekosistem merupakan alternatif penetapan kawasan konservasi yang menawarkan solusi praktis untuk implementasi perlindungan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya perikanan di TNK yang sangat kompleks memerlukan
strategi
manajemen
yang
dipertanggungjawabkan
kepada
seluruh
stakeholders berkaitan dengan kepastian perlindungan ekologis sumberdaya secara terpadu di wilayah kepulauan. Ada tiga jenis sumberdaya dan ekosistemnya yang memiliki peranan sangat penting dalam penentuan zonasi TNK berbasis ekosistem, yaitu ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang. Kesesuaian kawasan konservasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di TNK berbasis pendekatan ekosistem menghasilkan kebutuhan alokasi manajemen sistem zonasi secara geografis di wilayah kepulauan. Hasil zonasi dengan mempertimbangkan sebaran ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang, sebaran area penangkapan seluruh alat tangkap yang beroperasi di perairan TNK dan sebaran zonasi BTNK (2005), maka didapatkan bahwa: (1)
Zona inti seluas 21,1117 km2 (2.111,07 ha)
(2)
Zona Perlindungan seluas 268,3312 km2 (26.833,12 ha)
(3)
Zona Penyangga seluas 120,5173 km2 (12.051,73 ha)
(4)
Zona Rehabilitasi seluas 2,339 km2 (233,90 ha); dan
(5)
Zona Pemanfaatan seluas 703,9518 km2 (70.394,61 ha)
Pengidentifikasian kawasan perairan yang berpotensi untuk kawasan konservasi sebagai habitat sumberdaya ikan dengan pendekatan ekosistem sangat mempengaruhi aktivitas pemanfaatan ruang di wilayah kepulauan, yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan waktu. Resolusi konflik mengenai ruang memerlukan penyelesaian bersama antar stakeholders yang terlibat. Desakan kebutuhan ekonomi yang terus menghimpit menyebabkan sebagian nelayan Karimunjawa tidak peduli dan tidak mau tahu keberadaan daerah-daerah perlindungan dan merasa tidak akan ada sanksi terhadap pelanggaran memasuki kawasan zona inti maupun zona perlindungan, karena pengawasan sulit dilaksanakan. Kalau pun ada pengawasan, pengawas tidak akan berani berbuat apa-apa kepada mereka. Masih rendahnya tingkat kepatuhan terhadap aturan zonasi, disebabkan oleh kurang intensif dan efektifnya sosialisasi dalam memberikan pemahaman yang benar
65 kepada nelayan. Disisi lain, adanya kekeliruan persepsi nelayan, bahwa sumberdaya ikan tak akan pernah habis. Kebijakan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
di
TNK
dalam
upaya
perlindungannya terhadap ekosistem sumberdaya perikanan (yang meliputi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang), seharusnya mengupayakan langkah-langkah penyelesaian yang baik penyebab konflik pemanfaatan dan pengalokasian sistem zonasi. Tantangan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan di TNK berbasis pendekatan ekosistem adalah konsistensi untuk menjaga ekosistem sumberdaya ikan (ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang) dari pemanfaatan dengan melakukan sistem zonasi berbasis ekosistem.
DAFTAR PUSTAKA
[BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 2001. Spesifikasi Teknis Penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Kelautan Spasial. ISSN 97996013-7-1. Cibinong: Pusat Survei Sumberdaya Alam BAKOSURTANAL. Bengen, DG. 2002. Sinopsis: Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan serta Prinsip Pengelolaannya. Cetakan ke-3. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertania Bogor. Bruce, EM., and IG. Eliot. 2006. A Spatial Model for Marine Park Zoning. Coastal Management 34:17–38. [BTNK] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Departemen Kehutanan, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, BTNK. [BTNK] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2008. Rencana strategis Balai Taman Nasional Karimunjawa 2010 – 2014. Semarang: Departemen Kehutanan, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, BTNK. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. [DEPHUT] Departemen Kehutanan Direktorat Bina Kawasan Pelestarian Alam. 1995. Pedoman Penetapan Zonasi Taman Nasional. Bogor. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kepulauan Karimunjawa. Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulaupulau Kecil, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
66
Fauzi, A. dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Frid, C, O. Paramor, and C. Scott. 2005. Ecosystem-based fisheries management: progress in the NE Atlantic. Marine Policy 29: 461–469. Hannesson, R. 2007. Geographical distribution of fish catches and temperature variations in the northeast Atlantic since 1945. Marine Policy 31: 32–39. Jones, PJS. 2006. Collective action problems posed by no-take zones. Marine Policy, 30: 143–156. Kairo, J., B. Kivyatu, and N. Koedam. 2002. Application of remote sensing end GIS in the management of mangrove forests within and adjacent to Kiunga marine protected area, Lamu, Kenya. Environment, Development and Sustainability 4: 153–166. Kartawijaya,T., R. Sulisyati, Mulyadi, dan Y. Syaifudin. 2007. Status Ekosistem di Taman Nasional Karimunjawa. Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Wildlife Conservation Society - Program Kelautan Indonesia. Bogor. Lunn, KE. and P. Dearden. 2006. Fishers’ Needs in Marine Protected Area Zoning: A Case Study from Thailand. Coastal Management, 34: 183–198. Mare, WK.de la. 2005. Marine ecosystem-based management as a hierarchical control system. Marine Policy 29: 57–68. Marnane, MJ, RL. Ardiwijaya, JT. Wibowo, ST. Pardede, T. Kartawijaya, dan Y. Herdiana. 2005. Laporan Teknis Survei 2003-2004 di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Bogor: Wildlife Conservation Society-Marine Program Indonesia. Mitchel, B., B. Setiawan, dan DH. Rahmi. 1997. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mukminin A, T. Kartawijaya, Y. Herdiana, dan I. Yulianto. 2006. Laporan Monitoring: Kajian Pola Pemanfaatan Perikanan di Karimunjawa (2003-2005). Bogor: Wildlife Conservation Society – Marine Program Indonesia. Robert CM, S. Andelman, G. Branch, RH. Bustamante, JC. Castilla, J. Dugan, B.S. Halpern, KD. Lafferty, H. Leslie, J. Lubchenco, D. Mcardle, HP. Possingham, M. Ruckelshaus, and RR. Warner. 2003. Ecological criteria for evaluating candidat sites for marine reserves. Ecological Applications, 13(1) Supplement, 2003, pp. S199–S214. Stelzenmuller V, F. Maynou, S. Ehrich, and GP. Zauke. 2004. Spatial Analysis of Twaite Shad, Alosa fallax (LACEPÈDE, 1803), in the Southern North Sea: Application of Non-Linear Geostatistics as a Tool to Search for Special Areas of Conservation. Internat. Rev. Hydrobiol, 89 (4): 337–351.
67
Sunyoto dkk. 2003. Laporan Kegiatan Inventarisasi dan Penyebaran Mangrove di Taman Nasional Karimunjawa 2002. Semarang: Balai Taman Nasional Karimunjawa. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Tropis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.