PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA JAWA TENGAH
RIRIN IRNAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK RIRIN IRNAWATI. 2007. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah. Dibimbing oleh Mulyono S. Baskoro dan Domu Simbolon. Kawasan Kepulauan Karimunjawa merupakan sebuah taman nasional di mana hampir 60,25% dari jumlah penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Zona untuk usaha penangkapan hanya terbatas pada zona pemanfaatan perikanan tradisional. Sehingga perlu upaya untuk menyelaraskan kepentingan perikanan tangkap yang ada di lokasi Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengevaluasi sistem zonasi yang ada di TNKJ, dan (2) menyusun prioritas pengembangan perikanan tangkap. Evaluasi sistem zonasi dan identifikasi keterpaduan kegiatan antar zona yang ada di Karimunjawa dilakukan secara deskriptif; pemilihan prioritas komoditas perikanan unggulan dan alat tangkap ideal yang menunjang perkembangan pariwisata bahari dirumuskan berdasarkan metode independent preference evaluation (IPE) dalam kaidah fuzzy group decision making (FGDM), di mana pembobotan terhadap masing-masing kriteria dilakukan dengan metode ordered weighted averaging (OWA). Kelayakan usaha dari kegiatan penangkapan ikan diketahui melalui analisis finansial dengan kriteria net present value (NPV), net benefit cost ratio (Net B/C), dan internal rate of return (IRR); dan untuk memilih alternatif prioritas pengembangan perikanan tangkap digunakan metode fuzzy analytical hierarchy process (fuzzy AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem zonasi yang ada saat ini sudah sesuai dan serasi dengan prinsip konservasi dan kebutuhan pemanfaatan berdasarkan fungsi dan luasan dari masing-masing zona. Hubungan antar zona yang ada di TNKJ memiliki keterkaitan yang erat, yaitu antara zona yang satu dengan zona yang lain memiliki hubungan keterpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa diarahkan pada: (a) pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan yang dapat menunjang sektor pariwisata bahari, yaitu dengan alat tangkap bubu dan pancing tonda untuk memanfaatkan komoditas unggulan perikanan tangkap Karimunjawa yaitu ikan kerapu, tongkol, dan cumicumi, (b) pembinaan masyarakat nelayan, (c) optimalisasi pemanfaatan pelabuhan perikanan, dan (e) peningkatan ketrampilan nelayan. Kata kunci: pengembangan, perikanan tangkap, Taman Nasional Karimunjawa
ABSTRACT RIRIN IRNAWATI. 2007. Development of Capture Fisheries in Karimunjawa National Park Central Java. Under supervision of Mulyono S. Baskoro and Domu Simbolon. Karimunjawa is a national park where more than 60,25% of people are fisherman. Zone for capture fisheries is limited to traditional fishery exploitation zone. Therefore the capture fisheries in Karimunjawa National Park should be adjusted to accommodate conservancy and marine tourism objectives. The objectives of the research are to: (1) evaluate the zoning system in Karimunjawa, and (2) establish development priority of capture fisheries in Karimunjawa. Evaluation and identification of relation among activities in different zones were conducted by descriptive method. Selection of fishery commodities and ideal fishing gears were performed using IPE method with FGDM for weight of criteria by using OWA method. Criteria applied to find out feasibility level were NPV, Net B/C, and IRR; and to compose development priority alternative of capture fisheries was carried out by fuzzy AHP. The existing zoning system has been compatible with conservation principles and requirement of exploiting based to function and size of each zones. Relation among zones shows inherent integrity. Development priority of capture fisheries in Karimunjawa were: (1) development fishing technology which environmental friendly that supports marine tourism, those are troll line and fish trap, (2) preparing fisherman society, (3) optimization the use of fishing port , and (4) improvement of fisherman skills. Keywords: development, capture fisheries, Karimunjawa National Park
PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA JAWA TENGAH
RIRIN IRNAWATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah
Nama Mahasiswa
: Ririn Irnawati
NRP
: C451060161
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Anggota
Diketahui,
Program Studi Teknologi Kelautan Ketua,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 19 Desember 2007
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
Ririn Irnawati NRP C451060161
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Kepulauan Karimunjawa Jepara Jawa Tengah merupakan wilayah taman nasional di mana kegiatan konservasi maupun kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan berlangsung di wilayah tersebut. Tesis dengan judul “Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah” bertujuan untuk mengevaluasi sistem zonasi yang ada di Karimunjawa dan menyusun prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, MSc dan Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, MSi sebagai komisi pembimbing atas arahan dan saran beliau berdua kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai dengan selesainya tesis ini, serta Bapak Dr. Mustaruddin selaku penguji luar komisi pada Ujian Tesis yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada nelayan-nelayan di Karimunjawa, BTNKJ, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Jepara, Dr. Agus Suherman, Slamet Riyanto SPi, Tangguh Asrondi, segenap anggota PCH Belakang, teman-teman TKL 2006, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis ini. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada orang tua: ayah Muslimin dan ibu Muta’adiyah, serta kakak-kakak tercinta atas segala bantuan, doa, kesabaran, dorongan, dan pengertian yang diberikan secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2008 Ririn Irnawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kendal Jawa Tengah pada tanggal 11 September 1983 dari ayah Muslimin dan ibu Muta’adiyah. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis di SD Muhammadiyah Truko (kini SD Islam Terpadu Truko) pada tahun 1996. Pendidikan menengah pertama diselesaikan di SLTP Negeri 1 Cepiring pada tahun 1999, kemudian lulus dari sekolah menengah umum pada tahun 2002 di SMU Negeri 1 Kendal. Pada tahun yang sama melalui Program Seleksi Siswa Berpotensi (PSSB) penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Diponegoro pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus strata satu pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan strata dua di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Kelautan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL................................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... xvii 1
2
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
Latar Belakang .................................................................................... Perumusan Masalah............................................................................ Tujuan Penelitian................................................................................. Manfaat Penelitian............................................................................... Hipotesis.............................................................................................. Kerangka Pemikiran ............................................................................
1 3 4 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
7
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3
Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................. Metode Penelitian ................................................................................ Metode Pengumpulan Data ................................................................. Metode Analisis Data........................................................................... 3.4.1 Sistem zonasi dan keterpaduan kegiatan antar zona................. 3.4.2 Pengembangan perikanan tangkap............................................
34 35 35 36 40 40
HASIL .......................................................................................................... 49 4.1 Kondisi Perikanan Tangkap................................................................. 4.1.1 Produksi perikanan .................................................................... 4.1.2 Perkembangan jumlah alat tangkap .......................................... 4.1.3 Kapal penangkap ikan ............................................................... 4.1.4 Nelayan...................................................................................... 4.2 Sistem Zonasi Taman Nasional Karimunjawa ..................................... 4.3 Keterpaduan antar Zona...................................................................... 4.4 Pemilihan Komoditas Unggulan........................................................... 4.5 Pemilihan Alat Tangkap Ideal .............................................................. 4.6 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap ................................................ 4.7 Prioritas Pengembangan Perikanan Tangkap .....................................
5
7 8 16 17 20 23 26 28 31
METODOLOGI ............................................................................................ 34 3.1 3.2 3.3 3.4
4
Potensi dan Produksi Perikanan Tangkap .......................................... Perikanan Tangkap ............................................................................. Pengembangan Perikanan Tangkap ................................................... Taman Nasional .................................................................................. Kepulauan Karimunjawa...................................................................... Evaluasi Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation) ............ Kelayakan Finansial ............................................................................ Fuzzy Analytical Hierarchy Process (Fuzzy AHP)............................... Penelitian Terdahulu yang Relevan.....................................................
49 49 49 50 51 51 57 60 61 62 63
PEMBAHASAN............................................................................................ 65 5.1 Kondisi Perikanan Tangkap................................................................. 65 5.2 Pemanfaatan Zonasi TNKJ.................................................................. 68 5.3 Pengembangan Perikanan Tangkap di Karimunjawa.......................... 82
5.3.1 Teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan ............... 5.3.2 Pembinaan masyarakat nelayan ................................................ 5.3.3 Pemanfaatan pelabuhan perikanan............................................ 5.3.4 Peningkatan ketrampilan nelayan............................................... 6
83 91 93 94
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 98 6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 98 6.2 Saran ................................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 99 LAMPIRAN ........................................................................................................ 103
DAFTAR TABEL Halaman 1
Pulau-pulau di Kepulauan Karimunjawa...................................................
21
2
Jenis, sumber, dan cara pengumpulan data primer ................................
37
3
Jenis, sumber, dan cara pengumpulan data sekunder.............................
39
4
Bobot kriteria pemilihan komoditas unggulan perikanan tangkap ............
44
5
Bobot kriteria pemilihan alat tangkap ideal...............................................
45
6
Jenis dan jumlah alat tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005 ............
50
7
Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 1996-2005 .........
50
8
Perkembangan jumlah nelayan di Karimunjawa tahun 1996-2005 ..........
49
9
Sistem zonasi dan luas masing-masing zona di TNKJ.............................
53
10 Kondisi ekosistem tiap zona .....................................................................
55
11 Kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang di kawasan TNKJ .................
58
12 Keterpaduan kegiatan antar zona ............................................................
59
13 Skala prioritas komoditas unggulan perikanan tangkap terpilih di Karimunjawa.............................................................................................
61
14 Perkembangan jumlah alat tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005 ...
61
15 Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Karimunjawa ........................
62
16 Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan bubu dan pancing tonda di Karimunjawa ...............................................................................
62
17 Hasil dan rangking skor akhir ...................................................................
63
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir penelitian..............................................................................
34
2
Diagram alir tahap penelitian pemilihan prioritas komoditas unggulan ....
41
3
Perkembangan produksi ikan di Karimunjawa .........................................
49
4
Peta zonasi Taman Nasional Karimunjawa..............................................
54
5
Keterpaduan antar zona yang ada di Karimunjawa..................................
60
6
Prioritas pengembangan perikanan tangkap............................................
64
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Pemilihan komoditas unggulan............................................................... 103
2
Pemilihan alat tangkap ideal................................................................... 105
3
Kelayakan usaha alat tangkap terpilih.................................................... 107
4
Proses perhitungan prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa ........................................................................................... 109
5
Dokumentasi penelitian .......................................................................... 110
DAFTAR ISTILAH Agregasi (Aggregation)
Penggabungan seluruh output gugus fuzzy menjadi sebuah output gugus fuzzy.
Alat Penangkap Ikan
Sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan.
Berkelanjutan
Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu di mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumber daya tersebut.
Biodiversity
Keanekaragaman hayati yang ada di dalam suatu habitat yang menunjukkan produktivitas suatu perairan.
By-catch
Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari hasil tangkapan yang didapatkan pada saat operasi penangkapan sebagai tambahan dari tujuan utama penangkapan (target spesies).
Consistency Ratio (CR)
Merupakan parameter yang digunakan dalam teknik AHP untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak.
Defuzzyfikasi
Pengubahan output fuzzy ke output yang bernilai tunggal (crisp).
Fuzziness
Kesamaran atau ketidak-jelasan, perihal ketidak-pastian (uncertainty) atau ketidak-jelasan yang berkenaan dengan deskripsi makna semantik dari kejadian, fenomena, pernyataan atau kata seperti “dingin”, “tinggi”, atau “tua”.
Fuzzyfikasi
Pengubahan input tunggal ke nilai linguistic yang sesuai.
Internal Rate of Return (IRR)
Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present value sama dengan nol.
Kapal Perikanan
Kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
Konservasi
Perlindungan dan pemakaian sumber daya alam (SDA) menurut prinsip yang menjamin keuntungan ekonomi sosial yang tertinggi secara lestari.
Konservasi SDA
Pengelolaan SDA yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana bagi sumber daya terbaharui dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Konservasi Sumber Daya Ikan (SDI)
Upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan SDI, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman SDI.
Masyarakat Nelayan
Orang yang memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi SDI.
Metode Fuzzy AHP
Suatu metode yang dikembangkan dari metode AHP dengan menggunakan konsep fuzzy pada beberapa bagian seperti dalam hal penilaian sekumpulan alternatif dan kriteria.
Nelayan
Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total biaya produksi.
Net Present Value Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu. (NPV) Pakar (expert)
Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu.
Pelabuhan Perikanan
Suatu tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan /atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi dan social, yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Pengelolaan Perikanan
Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi SDA, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Pengembangan
Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Perikanan
Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Perikanan Tangkap
Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Sumber Daya Ikan
Potensi semua jenis ikan.
Sumber Daya Perikanan
Terdiri dari SDI, sumber daya lingkungan serta sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan SDI.
Taman Nasional
Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi, berupa zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Unit Penangkapan Ikan
Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
Jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi penangkapan ikan, ekspor hasil perikanan, jumlah perahu atau kapal ikan yang beroperasi, nelayan atau tenaga kerja yang terserap, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) 2005, selama periode 2001–2004 produksi perikanan laut meningkat 4,36% per tahun, volume ekspor meningkat 25,04%, dan jumlah nelayan laut berkurang 2,81%. Pada kurun waktu tersebut PNBP juga meningkat mencapai US$ 2,14 milliar (DJPT 2005).
Jika dilihat
perkembangannya dari tahun ke tahun, pelaksanaan pembangunan perikanan yang dilaksanakan selama ini secara keseluruhan telah menunjukkan hasil yang nyata dan menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari semakin luas dan terarahnya usaha peningkatan produksi dari perikanan tangkap, yang telah meningkatkan pula konsumsi ikan, ekspor perikanan, pendapatan nelayan, memperluas lapangan kerja, serta dukungan bagi pembangunan industri serta menunjang pembangunan daerah. Untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di suatu perairan digunakan berbagai jenis alat penangkapan ikan yang biasanya telah dikembangkan oleh nelayan sendiri, maupun pemerintah dan lembaga peneliti selaku unsur pembina berdasarkan pertimbangan kondisi perairan, habitat dan tingkah laku ikan. Akan tetapi tidak sedikit dari alat tangkap tersebut telah menimbulkan berbagai problem baik sosial, lingkungan maupun sumber daya hayatinya. Karena itu penentuan alat tangkap yang sesuai dengan kondisi perairan yang sesuai prinsip konservasi dan daya dukung lingkungan sangat diperlukan agar diperoleh alat tangkap yang tepat guna di suatu wilayah, terutama di kawasan perairan yang menganut konsep konservasi dan keberlanjutan seperti taman nasional. Kepulauan Karimunjawa terletak di Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah. Daerah ini sangat berbeda dengan daerah yang lainnya. Kepulauan Karimunjawa dipisahkan oleh Laut Jawa dari Pulau Jawa, dan merupakan suatu kelompok pulau-pulau kecil yang berjumlah 27 pulau. Walaupun merupakan pulau-pulau kecil dan terpisah oleh lautan, Karimunjawa memiliki potensi perikanan yang besar, hal ini terlihat dari produksi perikanan pada tahun 2005
2
sebesar 92.022 kg, di mana produksi ini masih berada di bawah nilai potensi lestari Karimunjawa yaitu sebesar 167.734,45 kg (PPP Karimunjawa 2006). Jenis komoditas perikanan yang ada di Karimunjawa diantaranya ikan karang seperti: kerapu (Ephinephelus sp), lemak (Cheilinus undulatus), dan ekor kuning (Caesio eritrogaster); ikan pelagis seperti: layang (Decapterus sp), kembung (Rastrelliger spp), lemuru (Sardinella sp), teri (Stelophorus sp), tongkol (Euthynnus affinis), tenggiri (Scomberomorus sp); ikan yang lain seperti: sunuk atau sejenis lemak (Plectropomus sp) dan cumi-cumi (Loligo sp) (BTNKJ 2001). Komposisi alat tangkap yang ada pada tahun 2005 adalah jaring insang sebanyak 384 unit, pancing tonda sebanyak 612 unit, bubu sebanyak 2.128 unit, bagan apung sebanyak 114 unit, muroami sebanyak 38 unit, dan alat tangkap lain sebanyak 3 unit. Sedangkan komposisi armada penangkapan ikan pada tahun 2005, jumlah kapal motor sebanyak 855 buah, motor tempel sebanyak 130 buah, dan perahu layar sebanyak 10 buah (PPP Karimunjawa 2006). Sebagian besar masyarakat Karimunjawa berprofesi sebagai nelayan, di mana hampir 60,25% dari jumlah penduduknya adalah nelayan. Pada tahun 2005 jumlah nelayan mencapai 2.923 orang, yang terdiri dari juragan sebanyak 299 orang, dan pandega sebanyak 2.624 orang. Dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Jepara, Kecamatan Karimunjawa memiliki jumlah nelayan terbesar, yaitu pada tahun 2004 sebanyak 2.945 orang dari total nelayan seluruhnya sebanyak 12.382 orang. Nelayan di Kepulauan Karimunjawa dari tahun ke tahun sudah banyak mengalami perkembangan, khususnya dalam penggunaan mesin kapal yaitu dari perahu tak bermesin (perahu layar) ke perahu bermesin tempel atau perahu motor. Sekarang ini di Karimunjawa telah banyak nelayan yang menggunakan perahu atau kapal motor untuk melakukan aktivitas penangkapan (PPP Karimunjawa 2006). Wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa telah ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.78/Kpts-II/1999, yang berdasarkan SK Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) No. 79/IV/set-3/2005 dibagi menjadi 7 zona yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona pemukiman, zona rehabilitasi, zona budidaya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Dari ketujuh zona tersebut yang terbuka untuk usaha penangkapan ikan adalah zona pemanfaatan perikanan tradisional, selebihnya merupakan wilayah yang hanya dipergunakan untuk upaya atau kegiatan konservasi dalam usaha pelestarian
3
alam. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa jumlah penduduk yang menjadi nelayan mencapai lebih dari 60,25%, sementara zona untuk usaha penangkapan ikan hanya terbatas pada zona pemanfaatan perikanan tradisional. Hal ini merupakan salah satu titik penekanan dari penelitian ini, yaitu bagaimana kondisi zona yang ada dan menyelaraskan atau memadukan kepentingan perikanan tangkap yang dilakukan oleh mayoritas penduduk di lokasi Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) yang menganut aspek konservasi. Kawasan Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu taman nasional laut yang ada di Indonesia. Kawasan Karimunjawa memiliki perwakilan tipe ekosistem hutan tropis dataran rendah, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan kekayaan habitat berbagai jenis biota laut. Tidak hanya itu, keragaman etnis yang tinggal di beberapa pulau dan sosio kultural masyarakat semakin menambah uniknya kawasan Kepulauan Karimunjawa. Berbagai suku bangsa seperti: Jawa, Bugis, Madura, dan Bajau banyak dijumpai di Karimunjawa dan mereka sebagian besar menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Sebagai sebuah kawasan konservasi tentu berlaku sistem zonasi yang dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi aktivitas pemanfaatan secara sosial dan ekonomi serta proses konservasi. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian tentang “pengembangan perikanan tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah” penting dilakukan untuk mengembangkan dan memanfaatkan perikanan tangkap dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata di Karimunjawa. Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam penentuan kebijakan dalam rangka pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa untuk masa yang akan datang.
1.2 Perumusan Masalah Kepulauan Karimunjawa diresmikan sebagai kawasan konservasi dan wisata bahari pada tahun 1998 di bawah naungan Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ). Peresmian ini secara yuridis tidak mengganggu usaha eksploitasi sumber daya ikan (SDI) di perairan Karimunjawa, namun secara teknis terjadi persaingan antar upaya eksploitasi SDI, yang sampai saat ini kurang ramah lingkungan dengan upaya pengembangan pariwisata bahari dan keberadaan TNKJ sebagai daerah konservasi yang mutlak membutuhkan daya dukung lingkungan.
4
Kawasan TNKJ dibagi menjadi tujuh zona berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 79/IV/set-3/2005, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona pemukiman, zona rehabilitasi, zona budidaya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Dari ketujuh zona tersebut hanya zona pemanfaatan perikanan tradisional yang terbuka dan dapat digunakan untuk usaha pemanfaatan perikanan tangkap. Karimunjawa merupakan salah satu pusat perikanan yang diandalkan di Jawa Tengah, dengan sebagian besar penduduk (60,25%) berprofesi sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya perikanan, sehingga diperlukan upaya penyelarasan kepentingan kegiatan perikanan tangkap dengan kondisi lokasi Karimunjawa sebagai taman nasional yang lebih mengutamakan aspek konservasi. Selain itu, beragamnya masyarakat yang ada di Karimunjawa sehingga memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai lingkungan yang mereka tinggali. Di sisi lain keragaman budaya dan sumber daya yang dimiliki oleh Karimunjawa dapat menjadi daya tarik bagi pihak lain untuk menikmati dan memanfaatkan keindahan alam dan budaya bahari yang ada. Namun di sisi lain menimbulkan kompleksitas keterkaitan dalam mengembangkannya. Untuk itu perlu dievaluasi sistem zonasi yang berlaku di Karimunjawa agar tidak terjadi konflik antar pengelola zonasi, dan juga mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan yang ada di masing-masing zona, sehingga terjadi keterpaduan kegiatan antar zona yang dapat mendukung perkembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Sehingga pada akhirnya dapat terwujud keterpaduan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan di Karimunjawa dengan tetap mempertahankan aspek konservasi dan fungsi sumber daya perikanan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengevaluasi sistem zonasi yang ada di Karimunjawa. 2. Menyusun prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa: (1) Kontribusi pemikiran dalam pengembangan dan aplikasi metode penelitian dalam bidang perikanan tangkap di suatu kawasan taman nasional.
5
(2) Kontribusi pemikiran bagi pengelola TNKJ dalam menyusun keputusan dan kebijakan untuk pengelolaan TNKJ terkait dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang tepat guna. (3) Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditindaklanjuti sebagai dasar dalam penelitian yang terkait dengan penyusunan perangkat lunak atau software untuk sistem penunjang keputusan dalam pemanfaatan perikanan tangkap di kawasan taman nasional. (4) Sumber informasi untuk penelitian evaluasi kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan suatu wilayah perairan yang menganut prinsip konservasi.
1.5 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya sistem zonasi yang menganut azas keterpaduan memberikan kontribusi positif terhadap upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa.
1.6 Kerangka Pemikiran Wilayah Kepulauan Karimunjawa selain potensial akan sumber daya perikanan, juga memiliki potensi pariwisata air yang begitu indah, dari keadaan pantai yang masih alamiah, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan cagar alam. Sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No. 78/Kpts-II/1999 bahwa wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa ditetapkan menjadi taman nasional, yang berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 79/IV/set-3/2005 dibagi menjadi 7 zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona pemukiman, zona rehabilitasi, zona budidaya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Kepulauan Karimunjawa Jepara Jawa Tengah merupakan wilayah taman nasional di mana berbagai kegiatan berlangsung di wilayah tersebut, baik kegiatan konservasi maupun kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan. Salah satu kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan dilakukan dengan cara penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan ikan dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan nelayan dan pendapatan asli daerah (PAD), tetapi dapat juga memberikan tekanan terhadap kerusakan habitat lingkungan perairan dan konflik antar nelayan, jika dilakukan dengan metode dan alat yang tidak tepat dan tidak ramah lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan seleksi terhadap alat tangkap ikan yang ada untuk menentukan alat tangkap yang ideal untuk dikembangkan,
6
dan seleksi terhadap komoditas ikan unggulan yang dapat dikembangkan untuk menunjang perekonomian masyarakat nelayan dan peningkatan PAD. Berdasarkan uraian diatas, maka bagaimana cara untuk mengatasi hal tersebut, bagaimana cara merencanakan pengembangan perikanan tangkap Karimunjawa ke depan agar tidak lagi terjadi persaingan dan konflik antar nelayan serta mampu mengembangkan sektor pariwisata yang ada dengan tetap mempertahankan aspek konservasi dan keberlanjutan sumber daya. Dengan demikian, Kepulauan Karimunjawa dapat berfungsi dengan baik dan sesuai harapan, yaitu sebagai daerah penangkapan perikanan dan daerah konservasi. Untuk itu perlu dilakukan penyusunan prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa agar dapat berhasil guna secara optimal. Pengembangan usaha perikanan tangkap merupakan suatu proses atau aktivitas manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan tangkap dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan sebagai pihak yang secara langsung berperan dalam perikanan tangkap. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan antara lain dengan meningkatkan produksi hasil tangkapan dengan cara mengusahakan unit penangkapan yang produktif, efisien dan sesuai dengan kondisi wilayah setempat, serta tidak merusak kelestarian sumber daya perikanan yang ada. Kegiatan pengembangan perikanan tangkap meliputi pengembangan komoditas unggulan dan potensial, pengembangan teknologi penangkapan ikan yang efektif dan efisien, kelayakan usaha dari kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan, dan penyusunan prioritas pengembangan perikanan tangkap di Kepulauan Karimunjawa. Evaluasi sistem zonasi dan identifikasi keterpaduan kegiatan antar zona yang ada dilakukan dengan metode deskriptif; pemilihan komoditas perikanan unggulan dan alat tangkap ideal yang menunjang perkembangan pariwisata bahari dirumuskan berdasarkan metode independent preference evaluation (IPE) dalam kaidah fuzzy group decision making (FGDM), di mana pembobotan terhadap masing-masing kriteria dilakukan dengan menggunakan metode ordered weighted averaging (OWA); untuk mengetahui kelayakan usaha dari kegiatan penangkapan ikan digunakan analisis finansial dengan kriteria net present value (NPV), net benefit cost ratio (Net B/C), dan internal rate of return (IRR); dan untuk memilih alternatif prioritas pengembangan perikanan tangkap digunakan metode fuzzy analytical hierarchy process (fuzzy AHP).
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi dan Produksi Perikanan Tangkap Laut Indonesia memiliki luas kurang lebih 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumber daya, terutama sumber daya perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Potensi lestari SDI laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI), yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama atau wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia. Dari seluruh potensi SDI tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari, dan baru dimanfaatkan sebesar 4,4 juta ton pada tahun 2003 atau baru 85,94% dari JTB. Sedangkan dari sisi diversivitas, dari sekitar 28.400 jenis ikan yang ada di dunia, yang ditemukan di perairan Indonesia lebih dari 25.000 jenis (RPPK 2005). Sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki total lahan darat 1,9 juta km2 dan daerah perairan laut kurang lebih 5,8 juta km2, yang terdiri dari perairan teritorial dan kepulauan seluas 3,1 juta km2, serta perairan ZEEI seluas 2,7 juta km2. Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang cukup potensial untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, terutama sumber daya perikanan laut yang merupakan properti atau hak milik bersama, dengan potensi produksi sekitar 6,4 juta ton/tahun (Dahuri 2002). Kegiatan penangkapan ikan di laut masih menyumbangkan kontribusi terbesar yaitu sekitar 73,4% terhadap total produksi ikan di Indonesia yang pada tahun 2000 mencapai 4,77 juta ton. Mempertimbangkan potensi dan tingkat pemanfaatan SDI di Indonesia pada saat ini maupun kecenderungan permintaan pasar, maka dapat dikatakan bahwa usaha perikanan tangkap di Indonesia masih prospektif untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, terutama untuk pemanfaatan potensi sumber daya yang berada di wilayah timur Indonesia, perairan lepas pantai maupun ZEEI. Dengan upaya optimalisasi pemanfaatan potensi SDI tersebut, diharapkan dapat meningkatkan produksi ikan, membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha, mendorong tumbuhnya kegiatan pendukung dan penunjang, meningkatkan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional (DJPT 2005).
8
KOMNASKAJIKANLUT (2002) menyatakan bahwa potensi SDI di perairan laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun. Potensi tersebut meliputi ikan pelagis besar sebesar 1,17 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,61 juta ton, ikan demersal sebesar 1,37 juta ton, ikan karang konsumsi sebesar 0,15 juta ton, udang penaeid sebesar 0,09 juta ton, lobster sebesar 0,04 juta ton, dan cumicumi sebesar 0,03 juta ton. Dari potensi untuk penangkapan ikan di laut sebesar 6,4 juta ton/tahun (total allowable catch sebesar 5,12 juta ton/tahun) tersebut diatas, sampai dengan tahun 2002 baru dapat dimanfaatkan sekitar 4,1 juta ton atau 63,93%; sehingga masih terdapat peluang untuk pengembangan usaha penangkapan sekitar 1,2 juta ton per tahun.
2.2 Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah aktivitas atau kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap telah memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja nelayan sebanyak 3.476.200 jiwa dengan pengoperasian armada penangkapan sebanyak 474.540 unit, dan secara kumulatif dapat diperhitungkan lebih dari 12,5 juta penduduk Indonesia menggantungkan mata pencahariannya pada usaha perikanan tangkap secara langsung maupun usaha ikutannya. Data yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar (97,41%) dari usaha penangkapan ikan tersebut tergolong skala kecil dengan tingkat produktivitas dan efisiensi usaha yang relatif rendah. Apabila jumlah nelayan yang ada dipadukan dengan potensi SDI perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton per tahun dan JTB sebesar 5,22 juta ton per tahun, maka peluang produktivitas nelayan di Indonesia diperhitungkan rata-rata sebesar 1,35 ton per orang per tahun atau ekuivalen dengan 6,63 kg per orang per hari trip penangkapan ikan (lama melaut 200 hari dalam satu tahun) (DJPT 2005). Pembangunan sektor kelautan dan perikanan, termasuk didalamnya pembangunan sub sektor perikanan tangkap, menurut DJPT (2005) merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada: (1) peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya, (2) peningkatan
peran
sektor
pertumbuhan ekonomi,
perikanan
dan
kelautan
sebagai
sumber
9
(3) peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan, (4) pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, dan (5) peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya bahari bangsa Indonesia. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan nelayan yang memadai (Monintja 2000). Pembangunan perikanan tangkap dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha perikanan, yang diarahkan untuk meningkatkan konsumsi, penerimaan devisa, dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, diidentifikasikan bahwa tujuan pembangunan perikanan tangkap adalah: (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan; dan (2) menjaga kelestarian SDI dan lingkungannya. Sasaran pembangunan sub-sektor perikanan tangkap yang ingin dicapai menurut DJPT (2004) pada akhir tahun 2009 adalah: (1) tercapainya produksi perikanan tangkap sebesar 5,47 juta ton; (2) meningkatnya pendapatan nelayan rata-rata menjadi Rp. 1,5 juta/bulan; (3) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan menjadi US$ 5,5 milyar; (4) meningkatnya konsumsi dalam negeri menjadi 30 kg/kapita/tahun; dan (5) penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap (termasuk nelayan) sekitar 4 juta orang. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, yakni: (1) masyarakat atau sumber daya manusia (SDM); (2) sarana produksi; (3) usaha penangkapan: (4) prasarana pelabuhan; (5) unit pengolahan; dan (6) unit pemasaran (Monintja dan Yusfiandayani 2001).
10
(1) Masyarakat atau SDM Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikanan tangkap sangat dibutuhkan SDM yang cukup tangguh, handal dan profesional. Untuk memperoleh tenaga-tenaga yang trampil dalam penguasaan teknologi, maka sangat dibutuhkan pembinaan terhadap SDM yang merupakan langkah awal yang harus diperhatikan sehingga dalam pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan dapat berjalan secara optimal. (2) Sarana produksi Indikator utama dan merupakan penunjang ke arah berkembangnya usaha perikanan tangkap sangat bergantung pada fungsi sarana produksi yang tersedia. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan kapal, instalasi air tawar dan listrik serta pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. (3) Usaha penangkapan atau proses produksi Usaha penangkapan terdiri dari kapal, alat dan nelayan, aspek legal yang meliputi sistem informasi dan unit sumber daya yang terdiri dari spesies, habitat dan lingkungan fisik. (4) Prasarana pelabuhan Menurut
DJPT
(2004)
pelabuhan
perikanan
(PP)
adalah
pusat
pengembangan ekonomi ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran. PP berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. Sesuai dengan pasal 41 UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa PP mempunyai peranan penting dalam mendukung peningkatan produksi perikanan, memperlancar arus lalu lintas kapal perikanan, mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat
perikanan,
pelaksanaan
dan
pengendalian
SDI,
dan
mempercepat pelayanan terhadap kegiatan di bidang usaha perikanan. Mengingat sampai saat ini pembangunan PP sebagai prasarana perikanan telah banyak dilakukan, maka pembinaannya dilakukan secara ganda, yaitu meningkatkan pemanfaatan prasarana yang telah dibangun dan terus melanjutkan pembangunan di tempat-tempat lain yang strategis dan prospektif.
11
(5) Unit pengolahan Unit pengolahan terdiri dari handling atau penanganan, processing dan packaging. Unit pengolahan bertujuan untuk mempertahankan kualitas hasil
tangkapan
dengan
melakukan
penanganan
yang
tepat
dan
mengutamakan produksi selalu dalam keadaan higienis dan terhindar dari sanitasi. Pengolahan tersebut dapat dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern dengan menggunakan es, atau alat pendingin lainnya. (6) Unit pemasaran Pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Pembangunan perikanan tangkap ke depan dinilai cerah karena potensi dan prospek yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu : (1) luasnya perairan yang dimiliki (laut teritorial, laut nusantara dan ZEE), dan perairan umum (danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya); (2) potensi lestari ikan laut yang belum dikelola secara optimal; (3) potensi SDM nelayan yang melimpah yang belum dioptimalkan; (4) prospek pasar dalam dan luar yang cerah untuk produk-produk perikanan laut; (5) permintaan ikan untuk konsumsi dalam dan luar negeri sangat tinggi seiring meningkatnya jumlah penduduk; dan (6) kesadaran masyarakat akan pentingnya ikan sebagai bahan pangan yang aman, sehat dan bebas kolesterol sehingga masyarakat beralih dari mengkonsumsi red-meat menjadi white-meat (DJPT 2004). Menurut RPPK (2005) peluang pemanfaatan sumber daya perikanan meliputi: 1. Pengendalian perikanan tangkap di daerah-daerah padat nelayan dan daerah yang telah terindikasi mengalami tekanan penangkapan ikan secara berlebihan. 2. Rasionalisasi dan relokasi kegiatan penangkapan ikan dalam rangka mencari keseimbangan spasial pemanfaatan sumber daya perikanan. 3. Pengembangan perikanan tangkap di daerah yang masih rendah tingkat pemanfaatan sumber dayanya, termasuk ZEEI. 4. Promosi, inisiasi, dan pengembangan pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan internasional (high sea), utamanya di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
12
5. Pengembangan pemanfaatan sumber daya perikanan budidaya, dengan penekanan pada jenis-jenis yang memiliki nilai atau harga internasional yang tinggi. 6. Pengembangan budidaya perikanan jenis atau spesies untuk kebutuhan domestik, lokal, dan dalam negeri. 7. Pengembangan industri pengolahan perikanan yang diarahkan pada penciptaan nilai tambah dan penciptaan produk yang dapat bersaing di pasar global. 8. Pengembangan pemasaran ikan dan produk perikanan untuk memenuhi konsumsi ikan dalam negeri serta sebagai sumber devisa negara. Pemanfaatan peluang pengembangan tersebut didukung dengan jumlah tenaga kerja di bidang perikanan yang sampai tahun 2004 mencapai kurang lebih 6,0 juta orang. Dari sisi keterkaitan antar sektor, keberhasilan pembangunan sektor perikanan masih tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan sektor lain. Saat ini dukungan sektor terkait belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan, seperti dukungan permodalan, jaminan keamanan dan kepastian hukum, penataan ruang, pengendalian pencemaran, pembangunan infrastruktur, serta urusan kepelabuhanan (RPPK 2005). Kebijakan pembangunan perikanan tangkap menurut DJPT (2004) adalah: (1) menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri dalam negeri mulai dari penangkapan sampai ke pengolahan dan pemasaran, (2) rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan pada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal, dan (3) penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan. Menurut Monintja dan Yusfiandayani (2001), perikanan tangkap perlu dikelola dengan baik karena: (1) Perikanan tangkap berbasis pada sumber daya hayati yang dapat diperbaharui (renewable), namun dapat mengalami deplesi atau kepunahan. SDI memiliki kelimpahan yang terbatas sesuai carrying capacity habitatnya. (2) SDI dikenal sebagai sumber daya milik bersama (common property) yang rawan terhadap upaya penangkapan lebih (overfishing). (3) Pemanfaatan SDI dapat merupakan sumber konflik (di daerah penangkapan ikan maupun dalam pemasaran hasil tangkapan).
13
(4) Usaha penangkapan haruslah menguntungkan dan mampu memberi kehidupan yang layak bagi para nelayan dan pengusahaannya. Jumlah nelayan yang melebihi kapasitas akan menimbulkan kemiskinan para nelayan. (5) Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar nelayan menimbulkan kesenjangan dan konflik. (6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan subsektor lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut. Berbagai masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan di bidang perikanan tangkap antara lain: (1) usaha perikanan tangkap masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil, (2) tidak ada kepastian dalam hal produktivitas dan ketersediaan bahan baku, (3) maraknya IUU fishing baik oleh nelayan asing maupun nelayan domestik, sehingga beberapa jenis alat tangkap produktivitasnya menurun, (4) rendahnya kepastian hukum, (5) kurangnya insentif investasi, (6) keamanan kegiatan penangkapan di berbagai wilayah kurang kondusif, (7) banyaknya pungutan terhadap pelaku usaha, baik yang resmi ataupun yang tidak resmi (unpredictable), (8) bidang perikanan tangkap dipandang tidak bankable, (9) rendahnya kualitas SDM, (10) sarana dan prasarana daerah tertentu belum memadai, dan (11) tumpang tindihnya peraturan pusat dan daerah, terutama terkait dengan pungutan, retribusi, dan pajak pengusahaan perikanan (DJPT 2005). Perikanan tangkap masih berpeluang untuk dikembangkan, namun disatu sisi masih terdapat beberapa permasalahan pembangunan perikanan tangkap, antara lain (Barani 2004): (1) Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang belum kondusif untuk suatu kemajuan. (2) Struktur armada perikanan yang masih didominasi oleh skala kecil atau tradisional dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang rendah. (3) Masih timpangnya tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut lainnya. (4) Masih banyaknya praktek illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing, yang terjadi karena penegakan hukum (law enforcement) di laut masih lemah. (5) Belum memadainya dukungan sarana dan prasarana perikanan tangkap.
14
(6) Terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (seagrass beds), yang merupakan tempat (habitat) ikan dan organisme laut lainnya berpijah (spawning ground), mencari makan (feeding ground), atau membesarkan diri (nursery ground). (7) Masih rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan, terutama oleh usaha tradisional sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional (seperti hazard analysis critical control point atau HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya). (8) Lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen tentang jenis dan mutu komoditas perikanan. (9) Belum memadainya prasarana ekonomi dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu, terutama di luar Jawa dan Bali. Ada pula kendala yang sangat mempengaruhi tingkat pendapatan dari para nelayan menurut Barani (2004) antara lain: (1) Terjadinya degradasi dan kerusakan sumber daya perikanan dan lingkungan diakibatkan oleh kegiatan perikanan (destructive fishing) maupun kegiatan non perikanan (penambangan karang, pencemaran, penebangan mangrove, dan sebagainya). (2) Semakin meningkatnya kasus pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh kapal ikan berukuran besar yang secara langsung merugikan nelayan kecil. (3) Timbulnya konflik nelayan antar daerah dalam pemanfaatan fishing ground, terutama akibat dari pemahaman otonomi daerah yang berlebihan. (4) Terbatasnya prasarana pendukung sehingga menghambat kelancaran usaha nelayan. (5) Belum berkembangnya pola kemitraan usaha yang saling menguntungkan. (6) Produktivitas dan efisiensi usaha relatif masih rendah, terutama akibat dari skala usaha yang masih kecil maupun posisi marginal nelayan dalam pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Beberapa strategi perencanaan pengelolaan perikanan tangkap menurut Monintja dan Yusfiandayani (2001), antara lain:
15
(1) Pengikutsertaan nelayan dalam proses perencanaan merupakan suatu hal yang mutlak untuk mendapatkan dukungan yang kuat terhadap perencanaan pengembangan perikanan tangkap. Hal ini akan mempermudah proses law enforcement setiap kebijakan pengelolaan. (2) Implementasi
monitoring,
controlling
dan
surveillance
(MCS),
guna
pembentukan sistem informasi yang efektif dan akurat, untuk perencanaan pengelolaan SDI, serta untuk menjamin usaha penangkapan ikan yang berkelanjutan. (3) Code of conduct for responsible fisheries (FAO 1995) dalam artikel 10 tentang “Integrasi Perikanan ke dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir” terutama pada artikel 10.1 : (a) Negara harus menjamin pemberlakuan suatu kebijakan, hukum dan kerangka kelembagaan yang tepat, guna mencapai pemanfaatan sumber daya secara terpadu dan lestari, dengan memperhatikan kerawanan dari ekosistem pantai dan sifat sumber daya alam (SDA) yang terbatas dan kebutuhan dari masyarakat pesisir. (b) Mengingat penggunaan ganda dari wilayah pesisir, negara harus menjamin bahwa wakil dari sektor perikanan dan masyarakat penangkap ikan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan serta kegiatan lainnya yang terkait dalam perencanaan pengelolaan dan pembangunan wilayah pantai. (c) Negara harus membentuk sebagaimana layaknya, kelembagaan dan kerangka hukum untuk menentukan kemungkinan pemanfaatan sumber daya
pesisir
dan
untuk
mengatur
akses
terhadapnya,
dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat nelayan pesisir dan praktek-praktek kebiasaan untuk keselarasan terhadap pembangunan berkelanjutan. (d) Negara harus memfasilitasi pemberlakuan praktek-praktek perikanan yang dapat menghindarkan konflik antar pengguna sumber daya perikanan dan antara mereka dengan pengguna wilayah pesisir lainnya. (e) Negara harus mengusahakan penetapan prosedur dan mekanisme pada tingkat administrasi yang sesuai, guna menyelesaikan konflik di dalam sektor perikanan dan antara pengguna sumber daya perikanan dengan para pengguna wilayah pesisir lainnya.
16
2.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Pengembangan menurut DEPDIKBUD (1990) dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pengertian proses, cara, atau perbuatan mengembangkan. Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungan sosial yang disertai
dengan
meningkatkan
taraf
hidup
mereka.
Dengan
demikian
pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989). Monintja (1987) mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan nelayan, produk domestik bruto (PDB), devisa negara, gizi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, tanpa mengganggu atau merusak kelestarian sumber daya perikanan. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan usaha perikanan yakni aspek biologi, teknis (teknologi), ekonomis dan sosial-budaya. Aspek-aspek yang berpengaruh dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap di suatu kawasan konservasi antara lain: (1) Aspek biologi, berhubungan dengan sediaan SDI, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapan dan jenis spesies. (2) Aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat. (3) Aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak usaha terhadap nelayan. (4) Aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak terhadap pendapatan bagi stakeholders. Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka menurut Monintja (1987), teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat
17
menyerap banyak tenaga kerja, dengan pendapatan setiap nelayan memadai. Selanjutnya menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit serta produktivitas nelayan per tahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Upaya
pengelolaan
dan
pengembangan
perikanan
laut
di
masa
mendatang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan IPTEK. Tetapi dengan pemanfaatan IPTEK itu pulalah kita diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumber daya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi (Barus et al. 1991). Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu: (1) jika di tinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumber daya, (2) secara teknis efektif digunakan, (3) secara sosial dapat di terima masyarakat nelayan, dan (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Selanjutnya dikatakan bahwa satu aspek yang tidak dapat diabaikan adalah kebijakankebijakan dan peraturan pemerintah. Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuantujuan pembangunan umum perikanan, apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan Indonesia haruslah dapat: (1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak. (2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan. (3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi. (4) Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor. (5) Tidak merusak kelestarian SDI.
2.4 Taman Nasional Definisi Taman Nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, adalah merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi serta dapat dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, pengembangan budidaya,
18
rekreasi, dan pariwisata. Dalam pasal 30 disebutkan bahwa pengelolaan taman nasional adalah tercapainya tiga fungsi, yaitu: (1) perlindungan terhadap ekosistem kehidupan, (2) pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, dan (3) pelestarian pemanfaatan. Selain beberapa fungsi tersebut, taman nasional dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemanfaatan yang lestari. Sebagian wilayah taman nasional selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat melalui berbagai kegiatan, antara lain kegiatan perikanan, pertanian, dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang lain. Berdasarkan pada artikel 32 UU No. 5 tahun 1990, pengelolaan taman nasional berdasarkan pada sistem zonasi. Sistem zonasi meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona-zona lain yang dibutuhkan. Kebijakan pengelolaan taman nasional menyatakan bahwa: (1) Taman nasional sebagai kawasan konservasi alam mempunyai fungsi melindungi fungsi ekosistem, melestarikan keanekaragaman flora dan fauna, dan pemanfaatan secara terus menerus dari SDA. (2) Kegiatan yang diijinkan dalam kawasan taman nasional meliputi: penelitian, pendidikan, budaya, dan wisata alam. Semua kegiatan yang membawa dampak negatif terhadap fungsi ekosistem taman, merubah bentang darat secara permanen, atau berakibat pada ancaman punahnya spesies dilarang. (3) Pengelolaan taman nasional berdasarkan sistem zonasi, meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan secara intensif, dan zona-zona lain yang dibutuhkan. (4) Di dalam zona pemanfaatan secara intensif, fasilitas pariwisata dapat dibangun, dengan berdasarkan pada rencana pengelolaan dan masukan dari hasil analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). (5) Untuk tujuan wisata dan rekreasi, pemerintah menghembuskan isu dan mendorong masyarakat lokal untuk melakukan usaha pariwisata di zona pemanfaatan intensif taman nasional. (6) Partisipasi masyarakat dalam taman nasional harus ditingkatkan. Organisasi non pemerintah didorong untuk ikut dalam kegiatan lapangan, perencanaan dan pengelolaan taman. (7) Prosedur pemantauan dan evaluasi serta tindakan AMDAL diambil untuk menekan dampak negatif lingkungan yang potensial.
19
Penerapan sistem zonasi suatu kawasan laut yang dilindungi menurut UU No. 5 tahun 1990 dimaksudkan sebagai alat bantu pengelolaan yang berperan dalam: (1) Penentuan izin untuk pemanfaatan khusus atau terbatas pada areal atau daerah tertentu. (2) Penentuan perlindungan bagi spesies tertentu dengan melindungi hewan kritis atau habitat yang memungkinkan kehidupannya. (3) Pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan. (4) Mereduksi atau mengeliminasi potensi konflik. (5) Meningkatkan dukungan masyarakat lokal bagi keberadaan kawasan laut yang dilindungi dengan menempatkan aturan atau regulasi spesifik tentang aktifitas pemanfaatan pada setiap zona, yang dapat diterima oleh masyarakat setempat. Untuk mengoptimalkan peran alat bantu seperti yang digambarkan di atas, maka aspek-aspek penting yang harus termuat dalam suatu sistem zonasi menurut UU No. 5 tahun 1990 adalah: (1) Terdapatnya lokasi secara spasial dan temporal dalam suatu kawasan laut yang dilindungi yang secara jelas diperuntukkan bagi aktifitas pemanfaatan spesifik yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi spesies yang terancam punah, spesies yang memiliki kepentingan khusus (ekonomi atau lainnya) dan habitat-habitat penting. (2) Memungkinkan untuk melakukan kegiatan atau aktivitas pemanfaatan secara berkesinambungan yang dapat meminimalisasi konflik antar pengguna. (3) Terdapatnya informasi tentang sumber daya hayati yang mutlak ada di dalam suatu kawasan yang dilindungi, sebagaimana halnya dengan informasi tentang pemanfaatan sumber daya hayati tersebut. Prinsip dasar pengelolaan taman nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 harus berpedoman kepada: (1) Rencana kegiatan pengelolaan suatu kawasan taman nasional harus mengoptimalkan tiga misi, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, pemanfaatan secara lestari SDA dan ekosistemnya, eksploitasi, domestifikasi, dan berasaskan ekonomis. (2) Optimalisasi kegiatan konservasi terutama ditekankan untuk kepentingan hidrologi, keanekaragaman hayati, pelestarian ekosistem maupun SDA.
20
(3) Perlindungan pada ekosistem yang didalamnya terdapat biota endemik agar tidak punah. (4) Pengelolaan harus didasarkan pada sistem zonasi yang jelas dalam bentuk zona inti, zona perlindungan, dan zona pemanfaatan. (5) Pengembangan zona pemanfaatan bagi kepentingan masyarakat. (6) Diluar kawasan taman nasional bisa dikembangkan sebagai daerah penyangga dengan memfasilitasi kegiatan masyarakat. (7) Untuk mengetahui kemungkinan peningkatan adanya penekanan aktivitas masyarakat terhadap kawasan taman nasional senantiasa dikembangkan pola koordinasi dan komunikasi yang terstruktur dengan baik dengan berbagai stakeholders terkait.
2.5 Kepulauan Karimunjawa Kepulauan Karimunjawa secara geografis terletak 45 mil laut atau sekitar 83 km di barat laut Kota Jepara. Secara administratif wilayah ini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah yang secara geografis terletak antara 5o40’39’’-5o55’00’’ LS dan 110o05’57’’-110o31’15’’ BT (BTNKJ 2007). Kepulauan Karimunjawa merupakan gugusan pulau yang berjumlah 27 pulau (Tabel 1). Dari 27 pulau tersebut lima diantaranya telah dihuni penduduk, yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting. Karimunjawa merupakan sebuah kecamatan yang didalamnya terdapat 3 buah desa, yaitu Desa Karimunjawa, Desa Kemujan, dan Desa Parang, dengan wilayah dukuh sebagai berikut: (1) Desa Karimunjawa, meliputi dukuh: Karimunjawa, Kapuran, Legon Lele, Jati Kerep, Alang-alang, Cikmas, Kemloko, dan Genting. (2) Desa Kemujan, meliputi dukuh: Kemujan, Mrican, Telaga, Batu Lawang, Legon Gedhe, dan Legon Tengah. (3) Desa Parang, meliputi dukuh: Parang dan Nyamuk. Sejak tanggal 29 Februari 1988 Karimunjawa ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut melalui surat Menhut No.161/Menhut-II/1988 dan dikukuhkan melalui SK Menteri Kehutanan No.185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 dengan luas 111.625 ha yang terdiri daratan di Pulau Karimunjawa seluas 1.285,50 ha dan daratan di Pulau Kemujan seluas 222,20 ha, serta perairan disekitarnya seluas 110.117,30 ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.74/Kpts-II/2001 tentang penetapan sebagian kawasan TNKJ, perairan sekitar
21
seluas 110.117,30 ha dijadikan sebagai Kawasan Pelestarian Alam perairan (BTNKJ 2007). Tabel 1 Pulau-pulau di Kepulauan Karimunjawa No. A. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Desa, Nama Pulau KARIMUNJAWA Karimunjawa Menjangan Kecil Menjangan Besar Cemara Kecil Cemara Besar Menyawakan Geleang Burung Batu Genting*) Seruni*) Sambangan*)
B 13 14 15 16 17 18 19 20
KEMUJAN Cendekian*) Gundul*) Kemujan Tengah Cilik Bengkoang Mrico Sintok
1.626.00 13,00 4,50 1.501,50 4,00 2,00 79,00 1,00 21,00
22,85 0,18 0,06 21,10 0,06 0,03 1,11 0,01 0,30
C 21 22 23 24 25 26 27
PARANG Parang Nyamuk Kumbang Katang Kembar Krakal Kecil Krakal Besar
870,00 690,00 125,00 12,50 7,50 15,00 10,00 10,00
12,23 9,70 1,76 0,18 0.11 0,21 0,14 0,14
7.115,00
100,00
LUAS TOTAL DARATAN *) Tidak termasuk ke dalam TNKJ Sumber : BTNKJ 2007
Luas Pulau (ha) 4.619,00 4.302,50 56,00 46,00 1,50 3,50 21,00 24,00 1,00 0,50 135,00 20,00 8,00
% Luas Kawasan Darat 64,92 60,47 0,79 0,65 0,02 0,05 0,30 0,34 0,01 0,01 1,90 0,28 0,11
22
Topografi Kepulauan Karimunjawa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu perbukitan,
perbukitan
bergelombang,
dan
dataran
rendah.
Perbukitan
terbentang luas di Pulau Karimunjawa dengan ketinggian 200-500 m. Bertekstur kasar, berlereng terjal, dan disusun oleh batuan sedimen pra-tersier. Perbukitan bergelombang terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, dan Pulau Genting, dengan ketinggian 25-200 m, bertekstur halus hingga agak kasar, berlereng landai, dan disusun oleh batuan sedimen dan batuan gunung api. Gunung Walang dan beberapa gumuk (bukit kecil) merupakan tonjolan topografi pada daerah ini. Dataran rendah terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Genting, Pulau Menjangan, Pulau Cemara, Pulau Bengkoang, Pulau Geleang, dan Pulau Sintok dengan ketinggian antara 025 m. Penyusun substrat dataran rendah ini antara lain aluvium dan sedikit batuan gunung api atau batuan sedimen (BTNKJ 2001). Wilayah Kepulauan Karimunjawa mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin laut dengan suhu rata-rata 26-30oC. Suhu maksimum 34oC dengan suhu minimum 22oC. Kelembaban nisbi antara 70-85%, dan tekanan udara berkisar antara 1,012 mbar. Dalam satu tahun terdapat dua pergantian musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan musim pancaroba diantaranya. Musim kemarau (musim timur) terjadi pada bulan Juni-Agustus. Pada musim ini cuaca sepanjang hari cerah dengan curah hujan rata-rata <200 mm/bulan, rata-rata penyinaran matahari antara 70-80% setiap hari. Bulan kering terjadi pada Maret-Agustus dengan curah hujan sekitar 60 mm/bulan. Arah angin datang dari timur sampai tenggara dengan kecepatan 7-10 knot, kadang-kadang mencapai 16 knot lebih. Musim pancaroba pertama terjadi pada SeptemberOktober, pada periode ini angin didominasi dari barat dan barat laut, juga dari timur dan utara dengan kecepatan yang sangat bervariasi (BTNKJ 2001). Musim penghujan (musim barat) berlangsung antara November-Maret dengan curah hujan >200 mm/bulan dan angin dengan gelombang laut yang besar. Rata-rata penyinaran matahari 30-60% setiap harinya. Bulan Januari merupakan bulan terbasah dengan curah hujan 400 mm/bulan. Pada saat ini gelombang laut relatif besar, berkisar antara 0,40-1,25 m bahkan pada cuaca buruk di laut terbuka untuk terjadi gelombang tinggi hingga mencapai 1,7 m. Angin bertiup cukup kencang dengan arah bervariasi dari barat dan barat laut dengan kecepatan rata-rata 7-16 knot, dan dapat pula mencapai 21 knot. Setelah musim penghujan kemudian dilanjutkan dengan musim pancaroba kedua yang
23
biasa terjadi antara April-Mei, arah angin lebih bervariasi dari barat dan timur silih berganti dengan kecepatan rata-rata 4-10 knot (BTNKJ 2001). Keadaan salinitas TNKJ sebesar 28-35 ppm, derajat keasaman (pH) perairan pada umumnya alkalis. Keasaman tersebut disebabkan oleh tipe substrat dasar perairan yang merupakan paparan pasir dan terumbu karang, di mana kandungan garam biogenik khususnya kalsium cukup tinggi. Kecepatan arus permukaan berkisar antara 8-25 cm detik. Arus yang cukup kuat dijumpai di antara Pulau Karimunjawa dan Pulau Menjangan besar, sekitar Pulau Kembar, sekitar Pulau Krakal Kecil dan Pulau Krakal Besar, bagian timur Pulau Menyawakan, dan sekitar Pulau Bengkoang. Keadaan pasang surut berfluktuasi mencapai 92 cm. Pada umumnya dasar perairan mulai tepi sepanjang pulaupulau yang terdapat di Kepulauan Karimunjawa adalah pasir, kemudian ke tengah dikelilingi terumbu karang dari kedalaman 0,5-15 m. Sedangkan kedalaman perairan dengan perhitungan berpatokan pada jarak dari pantai antara 10-200 m berkisar antara 0,5-15 m (BTNKJ 2001).
2.6 Evaluasi Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation) Pengembangan sistem pengambilan keputusan (SPK) didasarkan pada pengembangan hubungan logis persoalan keputusan ke dalam suatu model matematik dan model informasi yang mencerminkan hubungan antar faktor yang terlibat. Analisis pada dunia nyata harus memperhitungkan faktor ketidakpastian yang bersifat inheren. Pada banyak kasus, ketidakpastian tidak sama dengan keacakan atau randomness, akan tetapi bersifat ambiguity dan vagueness atau fuzziness yang tidak dapat direpresentasikan secara matematis dalam teori peluang (Fedrizzi 1987). Tidak semua masalah dalam dunia nyata dapat dinyatakan secara eksak dengan derajat kebenaran pada selang [0,1], yaitu antara ya dan tidak. Hampir semua masalah mengandung ketidakpastian yang dinyatakan dengan kata-kata “mendekati”, “kira-kira”, “hampir”, “sedikit lebih besar dari”, “sedikit lebih kecil dari” yang kenyataannya sulit dikuantifikasi dalam besaran eksak, sehingga dinamakan fuzzy. Representasi himpunan fuzzy pada masalah antara “ya” dan “tidak” digunakan pendekatan seperti probabilistik (Yager and Pilev 1994). Proses pengambilan keputusan yang melibatkan penilaian atau pendapat berbagai pihak (stakeholder) atau ahli merupakan suatu perihal yang sangat penting, tetapi juga sulit. Perihal menjadi sangat rumit jika penilaian atau
24
pendapat setiap stakeholder atau ahli didasarkan kepada kriteria jamak. Persoalan proses pengambilan keputusan ini disebut sebagai multi expert (person) multi criteria decision making atau ME-MCDM (Yager 1993). Pada MEMCDM salah satu aspek yang penting adalah proses agregasi rating dan preferensi serta penggabungan pendapat dari setiap ahli atau stakeholder sehingga solusi yang diperoleh adalah yang paling diterima oleh kelompok secara keseluruhan. Teknik agregasi yang digunakan tergantung kepada apakah lingkungan keputusan bersifat deterministik, stokastik, possibilitik atau fuzzy, serta bentuk penilaian terhadap kriteria untuk setiap alternatif keputusan berupa numerik atau non numerik (linguistic label). Skala evaluasi atau penilaian adalah dalam bentuk label linguistic yang secara berturut-turut adalah sempurna (S7), sangat tinggi (S6), tinggi (S5), medium (S4), rendah (S3), sangat rendah (S2), dan tidak ada (S1) atau himpunan S = ( s1, s2, ..., s7) (Marimin et al. 1998). Untuk mengidentifikasi faktor atau kriteria digunakan metode ordered weighted averaging (OWA-Operators). Jika x adalah suatu keputusan yang terdiri atas beberapa alternatif A1, A2,...,An; dan n kriteria. Setiap kriteria Aj, Aj(X) Є (0,1) menunjukkan seberapa besar x memenuhi kriteria yang bersangkutan. Untuk menunjukkan suatu kisaran nilai, maka Aj(X) Є I. Fungsi keputusan menyeluruh dari derajat x yang memenuhi persyaratan kriteria diinginkan dinyatakan D(x) Є I. Salah satu faktor utama penentuan struktur fungsi agregasi adalah keterkaitan antar kriteria yang terlibat. Ada dua kasus ekstrim yaitu: (1) situasi yang diinginkan oleh semua kriteria dapat dipenuhi, maka disebut sebagai “and”operator, dan (2) situasi yang diinginkan salah satu kriteria dapat memuaskan semua pihak yang disebut “or”-operator (Yager 1988; Yager and Pilev 1994). Pada kasus (1), x harus memenuhi A1 dan A2 dan A3 ... dan An, yang diformulasikan dalam bentuk fungsi keputusan menyeluruh sebagai berikut: D(x)=T(A1(X), A2(X),..., An(Xn)), dan T adalah operator t-norms operator, yang memenuhi syarat commutative, monotonic, dan associative yang dibutuhkan sebagai operator agregasi. Yager (1988) menunjukkan salah satu implikasi dari sifat operator t-norm untuk semua aj (j=1, 2,..., n) dinyatakan: T (a1, a2, ..., an) < Min (a1, a2, ..., an) Untuk semua a Є I T(a,a) = a, menunjukkan sifat idempoten, dan T(I,a) = a, menunjukkan kondisi allness
25
Pada kasus (2), x memenuhi A1 atau A2 atau A3 ... atau An, yang dirumuskan dalam bentuk fungsi keputusan menyeluruh berikut: D(x) = S(A1 (x), A2 (x), ..., An(xn)) Keterangan: S adalah operator co-t-norms operator, yang memenuhi syarat sebagai operator agregasi, kecuali bahwa untuk semua aj (j=1, 2, ..., n) dinyatakan: S (a1, a2,..., an) < Min (a1, a2, ..., an), sehingga untuk semua a Є I, S (a,a) = a menunjukkan sifat idempoten dan S (0,a) = a, yang menunjukkan kondisi at least one. Pada persoalan ME-MCDM, proses agregasi berada pada posisi diantara kasus dua ekstrim tersebut. OWA-operator merupakan operator agregasi yang dengan mudah dapat melakukan penyesuaian atau menggabungkan diantara “and”-operator dan “or”-operator (Yager 1988; Yager and Pilev 1994). Operator OWA untuk a = (a1, a2, ..., an) dikaitkan dengan vektor pembobot W = (w1, w2,..., wn) sehingga wi Є [0,1], Σi wi = 1 didefinisikan sebagai suatu pemetaan F:1n
I (di mana I = [0,1]). Aspek yang fundamental dari operator
OWA adalah tahap re-ordering, di mana suatu argumen ai tidak dikaitkan dengan suatu pembobot wi tertentu, tetapi pembobot wi dikaitkan dengan suatu posisi urutan ke-i dari argumen tertentu (Filev and Yager 1998). Untuk melakukan evaluasi preferensi non-numerik secara bebas Yager (1993) merumuskan suatu metode komputasi non-numerik untuk proses pengambilan keputusan kelompok secara fuzzy. Metode komputasi dilakukan secara bertahap, yaitu (1) agregasi terhadap kriteria ganda, kemudian (2) agregasi terhadap semua pakar. (1) Agregasi Terhadap Kriteria Ganda Untuk melakukan agregasi terhadap kriteria ganda setiap proposal Pi, setiap pakar akan memberikan suatu himpunan yang terdiri dari n nilai, yaitu: [Pik (q1), Pik(q2),..., Pik(qn)] Keterangan: Pik (qj) adalah rating dari proposal ke-i pada kriteria ke-j oleh pakar ke-k. Pik (qj) adalah elemen dalam himpunan S. (qj) adalah tingkat kepentingan setiap kriteria, dengan skala penilaian label linguistic. Yager (1993) merumuskan formula agregasi kriteria sehingga didapatkan unit skor setiap proposal oleh setiap pakar sebagai berikut: Pik = Minj [Neg (I (qj)) vPik (qj)]
26
Formulasi tersebut menunjukkan bahwa kriteria yang memiliki tingkat kepentingan rendah mempunyai pengaruh yang kecil terhadap skor keseluruhan. Formulasi agregasi tersebut memenuhi kondisi pareto optimalitas, kebebasan terhadap alternatif tidak relevan, asosiasi yang positif bagi skor individual terhadap skor keseluruhan, non-dictatorship, dan simetri, yang harus dipenuhi untuk agregasi kriteria jamak atau ganda. (2) Agregasi Terhadap Semua Pakar Pada proses agregasi semua pakar dilakukan penentuan suatu fungsi agregasi Q yang menunjukkan generalisasi ide banyak pakar yang dibutuhkan untuk mendukung suatu keputusan. Untuk nilai Q(i) diambil dari skala S = {s1, s2, ..., sn}, di mana i merupakan nilai dari 1 sampai dengan m (Yager 1993). Yager (1993) menunjukkan bentuk khusus dari Q apabila skala S hanya dua yaitu: “tidak ada” dan “sempurna”. Jika diperlukan paling sedikit persetujuan m pakar untuk pengambilan keputusan, maka Q(i)=”tidak ada” untuk i < m, dan Q(i) = ”sempurna” untuk i > m. Jumlah titik penilaian q pada skala kardinal S dan jumlah pakar r adalah r = (1,2,...,k), maka untuk semua i = 0,1,2,...,r fungsi Q dapat digunakan rumus:
⎡
⎛ ⎝
Q(k) = Sb(k) dan b(k) = Int ⎢1 + ⎜ k *
⎣
q − 1 ⎞⎤ ⎟ r ⎠⎥⎦
Agregasi keputusan pakar dapat dirumuskan berdasarkan metode OWAoperator sebagai berikut: Pi = Maxj=1,...,r [Q(j) Λ Bj] B
Keterangan: Pi adalah agregasi pendapat gabungan pakar terhadap proporsal ke-i. Qj dapat dilihat sebagai petunjuk seberapa penting kelompok memandang jumlah pakar yang mendukung suatu nilai skor yang diputuskan. Bj adalah skor tertinggi ke-j diantara unit skor yang diberikan pakar untuk B
proporsal ke-i (Pik). [Q(j) Λ Bj] merupakan pembobot skor terbaik dari objek ke-j, dan terdapat B
sejumlah j pakar yang mendukung keputusan skor tersebut.
2.7 Kelayakan Finansial Kelayakan menurut Kadariah et al. (2002) adalah kajian yang dilakukan secara mendalam untuk menentukan apakah usaha yang akan dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang akan
27
dikeluarkan. Dengan kata lain kelayakan dapat diartikan bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan finansial dan nonfinansial sesuai dengan tujuan yang diinginkan, kelayakan juga diartikan akan memberikan keuntungan tidak hanya bagi perusahaan yang menjalankan usaha, tetapi juga bagi investor, kreditor pemerintah, dan masyarakat luas. Kelayakan finansial didasarkan pada analisis keuangan yang dihitung berdasarkan harga riil dari apa yang sebenarnya terjadi. Kriteria finansial yang digunakan adalah (Kadariah et al. 2002): (1) Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital (SOCC) sebagai discount factor. Rumus untuk menghitung NPV adalah: n
n
NPV = Σ (Bi – Ci) = Σ NB i=1 i=1 di mana: NB = Net Benefit = Benefit – Cost. C
= Biaya Investasi + Biaya Operasi.
Bi
= Benefit yang telah di-discount.
Ci
= Cost yang di-discount.
i
= Discount factor.
n
= Tahun (waktu).
B
Apabila dalam perhitungan NPV diperoleh nilai lebih besar dari nol atau positif maka proyek yang bersangkutan diharapkan menghasilkan tingkat keuntungan, sehingga layak diteruskan. Jika nilai hasil bersih lebih kecil dari nol atau negatif, maka proyek akan memberikan hasil yang lebih kecil dari pada biaya yang akan dikeluarkan atau akan merugi (ditolak). (2) Internal Rate of Return (IRR) IRR atau internal rate of return adalah suatu nilai tingkat bunga yang menunjukkan bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek. Dengan perkataan lain, IRR adalah nilai discount rate sosial yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Rumus untuk menghitung IRR adalah: IRR = i1 +
NPV1 NPV1 - NPV2
x ( i2 - i1)
28
di mana: i1 = tingkat bunga ke-1 i2 = tingkat bunga ke-2 NPV1 = nilai NPV ke-1 NPV2 = nilai NPV ke-2 Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (IRR>i), maka suatu perencanaan proyek dinyatakan layak untuk dilanjutkan, dan sebaliknya jiika IRR < i, maka proyek ditolak. (3) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) merupakan angka perbandingan antara present value dari total penerimaan bersih terhadap present value dari total biaya produksi. Net B/C dapat dihitung dengan rumus: Total Net Benefit Net B/C = Total Production Cost Jika Net B/C > 1 maka proyek dinyatakan layak, jika Net B/C = 1 maka proyek mencapai titik impas, dan jika Net B/C < 1, maka proyek dinyatakan tidak layak untuk dilanjutkan.
2.8 Fuzzy Analitycal Hierarchy Process (Fuzzy AHP) Dalam
proses
pengambilan
keputusan,
otak
manusia
mempunyai
karakteristik yang spesial yang mampu belajar dan menalar pada lingkungan yang samar (vague) dan kabur (fuzzy). Berbeda dengan model matematik formal dan logika formal yang memerlukan data kuantitatif dan tepat, otak manusia juga mampu untuk sampai kepada suatu keputusan yang didasarkan pada data yang tidak tepat dan kualitatif. Dengan kata lain, setiap pengambil keputusan dalam memberikan preferensinya terhadap suatu alternatif atau kriteria adalah bersifat fuzzy (Machfud 2001). Fuzzy AHP adalah modifikasi metode AHP dari Saaty tahun 1991 dan metode gugus fuzzy yang diperkenalkan oleh Zadeh tahun 1965 (Marimin 2005). Metode fuzzy AHP adalah suatu metode yang dikembangkan dari metode AHP dengan menggunakan konsep fuzzy pada beberapa bagian seperti dalam hal penilaian sekumpulan alternatif dan kriteria. Pendekatan dengan fuzzy AHP memberikan deskripsi yang lebih akurat dalam proses pengambilan keputusan (Kwong and Bai 2002; Ghotb and Warren 1995).
29
Menurut Kastaman (1999), beberapa keuntungan dari metode fuzzy AHP adalah: 1. Mampu mengatasi persoalan yang sifatnya kualitatif, yang terkadang membingungkan (fuzzy), contohnya: bagaimana menentukan suatu pilihan dari serangkaian alternatif pilihan yang didasarkan atas beberapa kriteria yang sifatnya kualitatif, misalnya: kenyamanan atau keindahan yang tolok ukur atau skala ukurannya relatif. AHP dalam hal ini menyediakan suatu skala yang mengukur hal-hal yang tak dapat dinyatakan secara jelas atau relatif sedemikian rupa sehingga skala ukuran yang sifatnya kualitatif dapat diperlakukan sebagaimana halnya data kuantitatif, dan untuk menghindari ketidakkonsistenan dalam perhitungan, pada proses analisisnya melibatkan metode perbandingan berpasangan. 2. Mengingat pada proses pemilihan alternatif dalam AHP didasarkan atas perbandingan secara berpasang-pasangan dari mulai tingkatan (level) kriteria terbawah menurut hirarki persoalan yang dirumuskan. Maka pada proses analisis ini terjadi pembobotan kriteria dan pemilihan alternatif berdasarkan kompetisi penuh. Dengan demikian tingkat dominasi kepentingan atau bobot masing-masing kriteria dapat ditentukan secara pasti. 3. Proses pengambilan keputusan dapat dilakukan secara kelompok maupun perorangan, tergantung dari banyak sedikitnya responden penilai. Oleh karena itu metode ini dapat dikatakan fleksibel dalam menjawab persoalan baik yang sifat keputusannya individual maupun kelompok. 4. Pengambilan keputusannya akan lebih objektif, karena metode ini mampu menampilkan alternatif selang kepercayaan yang berkaitan dengan tingkat objektivitas pengambilan keputusan. 5. Dengan AHP dimungkinkan untuk memperbaiki definisi suatu masalah dan mengembangkan keputusannya melalui pengulangan, bila pada saat tahap analisis terjadi kekeliruan atau adanya kekurangan yang perlu ditambahkan. 6. Metode AHP dapat mengakomodasikan pendapat setiap orang dan dalam proses pengambilan keputusannya dapat dilakukan baik berdasarkan penilaian (judgement) maupun konsensus. 7. Oleh karena dalam AHP dibuat suatu hirarki sistem, maka dalam proses analisis akan terlihat keterkaitan atau ketergantungan diantara satu elemen sistem dengan elemen sistem lainnya.
30
8. AHP menghitung konsistensi logis dari setiap penilaian yang digunakan dalam
menentukan
prioritas.
Sehingga
ketidakkonsistenan
dalam
perbandingan berpasangan diantara alternatif pilihan dapat dihindari. Contoh dari bentuk ketidakkonsistenan yang dimaksud misalnya: A > B, B > C, namun terjadi C > A. Konsistensi terjadi apabila A > B, B > C dan A > C. 9. Bias yang muncul pada saat pembobotan kriteria dapat dihilangkan karena adanya proses normalisasi bobot. Menurut Yudhistira dan Diawati (2000) pengembangan metode fuzzy AHP melalui empat tahap, yaitu: 1. Skoring alternatif dan kriteria Skoring yang dilakukan oleh pengambil keputusan dalam bentuk variabel linguistik seperti sangat jelek, sedikit jelek, sedang, sedikit bagus dan lainlain. Menurut Kastaman (1999), fuzzyfikasi pada metode fuzzy AHP adalah proses pengubahan nilai selang rating (berupa batas nilai) yang diberikan oleh penilai menjadi selang dalam bentuk bilangan fuzzy dengan maksud untuk menghilangkan ketidakkonsistenan nilai yang disebabkan selang rating dan bias setiap penilai. 2. Defuzzifikasi skor fuzzy Defuzzifikasi dilakukan untuk menentukan satu nilai dari skor fuzzy. Menurut Marimin (2005) defuzzifikasi merupakan suatu proses pengubahan output fuzzy ke output yang bernilai tunggal (crisp). Terdapat banyak metode defuzzifikasi, namun yang banyak digunakan adalah metode centroid dan maximum. Dalam metode centriod, nilai tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari centre of gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy. Sedangkan di dalam metode maximum, satu dari nilai-nilai variabel yang merupakan nilai kepercayaan maksimum gugus fuzzy dipilih sebagai nilai tunggal untuk variabel output. 3. Pembobotan Pembobotan dapat dilakukan berdasarkan teori Saaty, yaitu penyusunan bobot melalui penilaian pendapat dengan cara komparasi berpasangan, yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan, sehingga terdapat nilai tingkat kepentingan. Untuk mentransformasikan dari data kualitatif menjadi data kuantitatif digunakan skala penilaian sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka. Marimin (2004) menyatakan bahwa untuk menentukan nilai eigen
31
(eigenvector), dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu dengan manipulasi matriks dan persamaan matematik. 4. Rangking dan skor akhir Menentukan rangking dan skor akhir dapat digunakan set operasi yang memungkinkan sesuai dengan teori.
2.9 Penelitian Terdahulu yang Relevan Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai pengembangan perikanan tangkap diantaranya oleh Sultan (2004) yang melakukan penelitian dengan judul pengembangan perikanan tangkap di kawasan Taman Nasional Laut (TNL) Taka Bonerate, yang bertujuan secara umum untuk menyusun konsep pengembangan perikanan tangkap, dengan tujuan khusus untuk melakukan seleksi untuk memperoleh alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan, menentukan status sumber daya perikanan, menentukan pola pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan serta menentukan strategi dan menyusun prioritas strategi dalam pengembangan perikanan tangkap. Hasil penelitian menunjukkan jenis alat tangkap yang tergolong ramah lingkungan berdasarkan metode scoring adalah pukat simbulak (jaring insang hanyut), pancing tonda, pancing tangan, pancing cumi, rawai dasar, bubu labuh, rawai cucut, dan purse seine. Pemanfaatan sumber daya hiu di kawasan TNL Taka Bonerate masih pada tingkat optimum, sedangkan perikanan pelagis kecil, perikanan karang dan perikanan cumi-cumi telah melampaui nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) serta perikanan pelagis besar masih berada di bawah nilai MSY. Alokasi optimum pengembangan perikanan tangkap berdasarkan pendekatan goal programming di kawasan TNL Taka Bonerate adalah 31 unit pancing tonda, 18 unit purse seine, 292 unit rawai dasar, 101 unit pancing dasar, 16 unit rawai cucut, dan 8 unit pancing cumi-cumi. Pengalokasian armada penangkapan tersebut dapat menghasilkan total produksi sebesar 755 ton, keuntungan usaha Rp. 2.159.774.000, penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.330 orang, konsumsi ikan sebanyak 140,33 ton (31 kg/kapita/tahun), PAD sebesar Rp. 38.326.000, dan penerimaan devisa negara melalui ekspor hasil perikanan sebesar US$ 1,956,800. Urutan prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan perikanan tangkap di kawasan TNL Taka Bonerate berdasarkan analisis strength weakness opportunity and threat (SWOT) dan dilanjutkan dengan AHP berturut-turut adalah optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan
32
kesejahteraan melalui akses permodalan, peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan ketrampilan, peningkatan PAD dan perbaikan manajemen usaha penangkapan serta peningkatan jaringan informasi dan akses pasar. Kajian yang terkait dengan wilayah penelitian antara lain Suryanto (2000) yang melakukan penelitian tentang sistem zonasi pengelolaan taman nasional laut berdasarkan indeks kepekaan lingkungan (IKL) studi kasus di Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zonasi telah menggambarkan keserasian antar kegiatan konservasi, wisata alam, perikanan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga masingmasing zona menggambarkan keterkaitan antara penataan pemanfaatan lahan daratan dan perairan dengan cara meng-overlay-kan atribut-atribut penggunaan dan keadaan lahan, nilai IKL, dinamika hidro-oseanografi, daerah dan jalur penangkapan ikan serta kelayakan sosekbud didapatkan empat zonasi dengan masing-masing luasan, yaitu: (1) zona inti seluas 10.046,25 ha (9%), merupakan zona yang dilindungi dan tidak diperkenankan adanya kegiatan umum, terkecuali kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan penelitian yang mempunyai ijin, (2) zona perlindungan seluas 21.208,75 ha (19%), zona ini letaknya berbatasan dengan zona inti dengan pertimbangan bahwa zona ini diharapkan dapat berfungsi sebagai daerah pengaman bagi zona inti dan zona ini mempunyai potensi konservasi dan rekreasi terbatas, (3) zona pemanfaatan seluas 29.022,50 ha (26%), zona ini dimanfaatkan sebagai lokasi pariwisata dan pemanfaatan lainnya, namun aktivitas yang ada tetap mempertimbangkan unsur perlindungan dan pelestarian SDA, dan (4) zona penyangga seluas 51.347,50 ha (46%), merupakan daerah penahan (penyangga atau buffer zone) gangguan terhadap zona inti, perlindungan, pemanfaatan dan sesuai dengan peruntukkannya, pada zona ini kegiatan yang ada diarahkan pada pemanfaatan sumber daya secara terkendali seperti penangkapan ikan, budidaya laut, perkebunan yang menunjang kehidupan masyarakat kepulauan Karimunjawa. Pola pengelolaan TNKJ secara terpadu yaitu menyerasikan kegiatan perikanan, pariwisata, konservasi, dan kepentingan masyarakat, dengan jalan mengatur kembali pengelolaan sumber daya perikanan yang tidak sejalan dengan upaya konservasi dan merusak lingkungan, menetapkan ramburambu yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan wisata sesuai kaidah konservasi dan meningkatkan keberpihakan dan kepedulian kepada masyarakat setempat dengan meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat.
33
Kajian lain yang terkait dengan pendekatan yang dilakukan dalam metode penelitian diantaranya Suherman (2007), yang melakukan kajian rekayasa model pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC), melalui penentuan prioritas pengembangan fasilitas di PPSC dengan metode fuzzy AHP. Giyatmi (2005) mengkaji sistem pengembangan agroindustri perikanan laut: suatu sistem kajian kelayakan dan strategi pengembangan di Propinsi Jawa Tengah, yang melakukan pemilihan terhadap komoditas potensial perikanan laut dengan metode IPE dalam kaidah FGDM, dengan pembobotan masing-masing kriteria dengan menggunakan metode OWA.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi dan Produksi Perikanan Tangkap Laut Indonesia memiliki luas kurang lebih 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumber daya, terutama sumber daya perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Potensi lestari SDI laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI), yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama atau wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia. Dari seluruh potensi SDI tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari, dan baru dimanfaatkan sebesar 4,4 juta ton pada tahun 2003 atau baru 85,94% dari JTB. Sedangkan dari sisi diversivitas, dari sekitar 28.400 jenis ikan yang ada di dunia, yang ditemukan di perairan Indonesia lebih dari 25.000 jenis (RPPK 2005). Sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki total lahan darat 1,9 juta km2 dan daerah perairan laut kurang lebih 5,8 juta km2, yang terdiri dari perairan teritorial dan kepulauan seluas 3,1 juta km2, serta perairan ZEEI seluas 2,7 juta km2. Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang cukup potensial untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, terutama sumber daya perikanan laut yang merupakan properti atau hak milik bersama, dengan potensi produksi sekitar 6,4 juta ton/tahun (Dahuri 2002). Kegiatan penangkapan ikan di laut masih menyumbangkan kontribusi terbesar yaitu sekitar 73,4% terhadap total produksi ikan di Indonesia yang pada tahun 2000 mencapai 4,77 juta ton. Mempertimbangkan potensi dan tingkat pemanfaatan SDI di Indonesia pada saat ini maupun kecenderungan permintaan pasar, maka dapat dikatakan bahwa usaha perikanan tangkap di Indonesia masih prospektif untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, terutama untuk pemanfaatan potensi sumber daya yang berada di wilayah timur Indonesia, perairan lepas pantai maupun ZEEI. Dengan upaya optimalisasi pemanfaatan potensi SDI tersebut, diharapkan dapat meningkatkan produksi ikan, membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha, mendorong tumbuhnya kegiatan pendukung dan penunjang, meningkatkan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional (DJPT 2005).
8
KOMNASKAJIKANLUT (2002) menyatakan bahwa potensi SDI di perairan laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun. Potensi tersebut meliputi ikan pelagis besar sebesar 1,17 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,61 juta ton, ikan demersal sebesar 1,37 juta ton, ikan karang konsumsi sebesar 0,15 juta ton, udang penaeid sebesar 0,09 juta ton, lobster sebesar 0,04 juta ton, dan cumicumi sebesar 0,03 juta ton. Dari potensi untuk penangkapan ikan di laut sebesar 6,4 juta ton/tahun (total allowable catch sebesar 5,12 juta ton/tahun) tersebut diatas, sampai dengan tahun 2002 baru dapat dimanfaatkan sekitar 4,1 juta ton atau 63,93%; sehingga masih terdapat peluang untuk pengembangan usaha penangkapan sekitar 1,2 juta ton per tahun.
2.2 Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah aktivitas atau kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap telah memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja nelayan sebanyak 3.476.200 jiwa dengan pengoperasian armada penangkapan sebanyak 474.540 unit, dan secara kumulatif dapat diperhitungkan lebih dari 12,5 juta penduduk Indonesia menggantungkan mata pencahariannya pada usaha perikanan tangkap secara langsung maupun usaha ikutannya. Data yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar (97,41%) dari usaha penangkapan ikan tersebut tergolong skala kecil dengan tingkat produktivitas dan efisiensi usaha yang relatif rendah. Apabila jumlah nelayan yang ada dipadukan dengan potensi SDI perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton per tahun dan JTB sebesar 5,22 juta ton per tahun, maka peluang produktivitas nelayan di Indonesia diperhitungkan rata-rata sebesar 1,35 ton per orang per tahun atau ekuivalen dengan 6,63 kg per orang per hari trip penangkapan ikan (lama melaut 200 hari dalam satu tahun) (DJPT 2005). Pembangunan sektor kelautan dan perikanan, termasuk didalamnya pembangunan sub sektor perikanan tangkap, menurut DJPT (2005) merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada: (1) peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya, (2) peningkatan
peran
sektor
pertumbuhan ekonomi,
perikanan
dan
kelautan
sebagai
sumber
9
(3) peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan, (4) pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, dan (5) peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya bahari bangsa Indonesia. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan nelayan yang memadai (Monintja 2000). Pembangunan perikanan tangkap dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha perikanan, yang diarahkan untuk meningkatkan konsumsi, penerimaan devisa, dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, diidentifikasikan bahwa tujuan pembangunan perikanan tangkap adalah: (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan; dan (2) menjaga kelestarian SDI dan lingkungannya. Sasaran pembangunan sub-sektor perikanan tangkap yang ingin dicapai menurut DJPT (2004) pada akhir tahun 2009 adalah: (1) tercapainya produksi perikanan tangkap sebesar 5,47 juta ton; (2) meningkatnya pendapatan nelayan rata-rata menjadi Rp. 1,5 juta/bulan; (3) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan menjadi US$ 5,5 milyar; (4) meningkatnya konsumsi dalam negeri menjadi 30 kg/kapita/tahun; dan (5) penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap (termasuk nelayan) sekitar 4 juta orang. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, yakni: (1) masyarakat atau sumber daya manusia (SDM); (2) sarana produksi; (3) usaha penangkapan: (4) prasarana pelabuhan; (5) unit pengolahan; dan (6) unit pemasaran (Monintja dan Yusfiandayani 2001).
10
(1) Masyarakat atau SDM Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikanan tangkap sangat dibutuhkan SDM yang cukup tangguh, handal dan profesional. Untuk memperoleh tenaga-tenaga yang trampil dalam penguasaan teknologi, maka sangat dibutuhkan pembinaan terhadap SDM yang merupakan langkah awal yang harus diperhatikan sehingga dalam pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan dapat berjalan secara optimal. (2) Sarana produksi Indikator utama dan merupakan penunjang ke arah berkembangnya usaha perikanan tangkap sangat bergantung pada fungsi sarana produksi yang tersedia. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan kapal, instalasi air tawar dan listrik serta pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. (3) Usaha penangkapan atau proses produksi Usaha penangkapan terdiri dari kapal, alat dan nelayan, aspek legal yang meliputi sistem informasi dan unit sumber daya yang terdiri dari spesies, habitat dan lingkungan fisik. (4) Prasarana pelabuhan Menurut
DJPT
(2004)
pelabuhan
perikanan
(PP)
adalah
pusat
pengembangan ekonomi ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran. PP berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. Sesuai dengan pasal 41 UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa PP mempunyai peranan penting dalam mendukung peningkatan produksi perikanan, memperlancar arus lalu lintas kapal perikanan, mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat
perikanan,
pelaksanaan
dan
pengendalian
SDI,
dan
mempercepat pelayanan terhadap kegiatan di bidang usaha perikanan. Mengingat sampai saat ini pembangunan PP sebagai prasarana perikanan telah banyak dilakukan, maka pembinaannya dilakukan secara ganda, yaitu meningkatkan pemanfaatan prasarana yang telah dibangun dan terus melanjutkan pembangunan di tempat-tempat lain yang strategis dan prospektif.
11
(5) Unit pengolahan Unit pengolahan terdiri dari handling atau penanganan, processing dan packaging. Unit pengolahan bertujuan untuk mempertahankan kualitas hasil
tangkapan
dengan
melakukan
penanganan
yang
tepat
dan
mengutamakan produksi selalu dalam keadaan higienis dan terhindar dari sanitasi. Pengolahan tersebut dapat dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern dengan menggunakan es, atau alat pendingin lainnya. (6) Unit pemasaran Pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Pembangunan perikanan tangkap ke depan dinilai cerah karena potensi dan prospek yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu : (1) luasnya perairan yang dimiliki (laut teritorial, laut nusantara dan ZEE), dan perairan umum (danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya); (2) potensi lestari ikan laut yang belum dikelola secara optimal; (3) potensi SDM nelayan yang melimpah yang belum dioptimalkan; (4) prospek pasar dalam dan luar yang cerah untuk produk-produk perikanan laut; (5) permintaan ikan untuk konsumsi dalam dan luar negeri sangat tinggi seiring meningkatnya jumlah penduduk; dan (6) kesadaran masyarakat akan pentingnya ikan sebagai bahan pangan yang aman, sehat dan bebas kolesterol sehingga masyarakat beralih dari mengkonsumsi red-meat menjadi white-meat (DJPT 2004). Menurut RPPK (2005) peluang pemanfaatan sumber daya perikanan meliputi: 1. Pengendalian perikanan tangkap di daerah-daerah padat nelayan dan daerah yang telah terindikasi mengalami tekanan penangkapan ikan secara berlebihan. 2. Rasionalisasi dan relokasi kegiatan penangkapan ikan dalam rangka mencari keseimbangan spasial pemanfaatan sumber daya perikanan. 3. Pengembangan perikanan tangkap di daerah yang masih rendah tingkat pemanfaatan sumber dayanya, termasuk ZEEI. 4. Promosi, inisiasi, dan pengembangan pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan internasional (high sea), utamanya di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
12
5. Pengembangan pemanfaatan sumber daya perikanan budidaya, dengan penekanan pada jenis-jenis yang memiliki nilai atau harga internasional yang tinggi. 6. Pengembangan budidaya perikanan jenis atau spesies untuk kebutuhan domestik, lokal, dan dalam negeri. 7. Pengembangan industri pengolahan perikanan yang diarahkan pada penciptaan nilai tambah dan penciptaan produk yang dapat bersaing di pasar global. 8. Pengembangan pemasaran ikan dan produk perikanan untuk memenuhi konsumsi ikan dalam negeri serta sebagai sumber devisa negara. Pemanfaatan peluang pengembangan tersebut didukung dengan jumlah tenaga kerja di bidang perikanan yang sampai tahun 2004 mencapai kurang lebih 6,0 juta orang. Dari sisi keterkaitan antar sektor, keberhasilan pembangunan sektor perikanan masih tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan sektor lain. Saat ini dukungan sektor terkait belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan, seperti dukungan permodalan, jaminan keamanan dan kepastian hukum, penataan ruang, pengendalian pencemaran, pembangunan infrastruktur, serta urusan kepelabuhanan (RPPK 2005). Kebijakan pembangunan perikanan tangkap menurut DJPT (2004) adalah: (1) menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri dalam negeri mulai dari penangkapan sampai ke pengolahan dan pemasaran, (2) rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan pada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal, dan (3) penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan. Menurut Monintja dan Yusfiandayani (2001), perikanan tangkap perlu dikelola dengan baik karena: (1) Perikanan tangkap berbasis pada sumber daya hayati yang dapat diperbaharui (renewable), namun dapat mengalami deplesi atau kepunahan. SDI memiliki kelimpahan yang terbatas sesuai carrying capacity habitatnya. (2) SDI dikenal sebagai sumber daya milik bersama (common property) yang rawan terhadap upaya penangkapan lebih (overfishing). (3) Pemanfaatan SDI dapat merupakan sumber konflik (di daerah penangkapan ikan maupun dalam pemasaran hasil tangkapan).
13
(4) Usaha penangkapan haruslah menguntungkan dan mampu memberi kehidupan yang layak bagi para nelayan dan pengusahaannya. Jumlah nelayan yang melebihi kapasitas akan menimbulkan kemiskinan para nelayan. (5) Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar nelayan menimbulkan kesenjangan dan konflik. (6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan subsektor lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut. Berbagai masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan di bidang perikanan tangkap antara lain: (1) usaha perikanan tangkap masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil, (2) tidak ada kepastian dalam hal produktivitas dan ketersediaan bahan baku, (3) maraknya IUU fishing baik oleh nelayan asing maupun nelayan domestik, sehingga beberapa jenis alat tangkap produktivitasnya menurun, (4) rendahnya kepastian hukum, (5) kurangnya insentif investasi, (6) keamanan kegiatan penangkapan di berbagai wilayah kurang kondusif, (7) banyaknya pungutan terhadap pelaku usaha, baik yang resmi ataupun yang tidak resmi (unpredictable), (8) bidang perikanan tangkap dipandang tidak bankable, (9) rendahnya kualitas SDM, (10) sarana dan prasarana daerah tertentu belum memadai, dan (11) tumpang tindihnya peraturan pusat dan daerah, terutama terkait dengan pungutan, retribusi, dan pajak pengusahaan perikanan (DJPT 2005). Perikanan tangkap masih berpeluang untuk dikembangkan, namun disatu sisi masih terdapat beberapa permasalahan pembangunan perikanan tangkap, antara lain (Barani 2004): (1) Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang belum kondusif untuk suatu kemajuan. (2) Struktur armada perikanan yang masih didominasi oleh skala kecil atau tradisional dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang rendah. (3) Masih timpangnya tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut lainnya. (4) Masih banyaknya praktek illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing, yang terjadi karena penegakan hukum (law enforcement) di laut masih lemah. (5) Belum memadainya dukungan sarana dan prasarana perikanan tangkap.
14
(6) Terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (seagrass beds), yang merupakan tempat (habitat) ikan dan organisme laut lainnya berpijah (spawning ground), mencari makan (feeding ground), atau membesarkan diri (nursery ground). (7) Masih rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan, terutama oleh usaha tradisional sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional (seperti hazard analysis critical control point atau HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya). (8) Lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen tentang jenis dan mutu komoditas perikanan. (9) Belum memadainya prasarana ekonomi dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu, terutama di luar Jawa dan Bali. Ada pula kendala yang sangat mempengaruhi tingkat pendapatan dari para nelayan menurut Barani (2004) antara lain: (1) Terjadinya degradasi dan kerusakan sumber daya perikanan dan lingkungan diakibatkan oleh kegiatan perikanan (destructive fishing) maupun kegiatan non perikanan (penambangan karang, pencemaran, penebangan mangrove, dan sebagainya). (2) Semakin meningkatnya kasus pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh kapal ikan berukuran besar yang secara langsung merugikan nelayan kecil. (3) Timbulnya konflik nelayan antar daerah dalam pemanfaatan fishing ground, terutama akibat dari pemahaman otonomi daerah yang berlebihan. (4) Terbatasnya prasarana pendukung sehingga menghambat kelancaran usaha nelayan. (5) Belum berkembangnya pola kemitraan usaha yang saling menguntungkan. (6) Produktivitas dan efisiensi usaha relatif masih rendah, terutama akibat dari skala usaha yang masih kecil maupun posisi marginal nelayan dalam pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Beberapa strategi perencanaan pengelolaan perikanan tangkap menurut Monintja dan Yusfiandayani (2001), antara lain:
15
(1) Pengikutsertaan nelayan dalam proses perencanaan merupakan suatu hal yang mutlak untuk mendapatkan dukungan yang kuat terhadap perencanaan pengembangan perikanan tangkap. Hal ini akan mempermudah proses law enforcement setiap kebijakan pengelolaan. (2) Implementasi
monitoring,
controlling
dan
surveillance
(MCS),
guna
pembentukan sistem informasi yang efektif dan akurat, untuk perencanaan pengelolaan SDI, serta untuk menjamin usaha penangkapan ikan yang berkelanjutan. (3) Code of conduct for responsible fisheries (FAO 1995) dalam artikel 10 tentang “Integrasi Perikanan ke dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir” terutama pada artikel 10.1 : (a) Negara harus menjamin pemberlakuan suatu kebijakan, hukum dan kerangka kelembagaan yang tepat, guna mencapai pemanfaatan sumber daya secara terpadu dan lestari, dengan memperhatikan kerawanan dari ekosistem pantai dan sifat sumber daya alam (SDA) yang terbatas dan kebutuhan dari masyarakat pesisir. (b) Mengingat penggunaan ganda dari wilayah pesisir, negara harus menjamin bahwa wakil dari sektor perikanan dan masyarakat penangkap ikan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan serta kegiatan lainnya yang terkait dalam perencanaan pengelolaan dan pembangunan wilayah pantai. (c) Negara harus membentuk sebagaimana layaknya, kelembagaan dan kerangka hukum untuk menentukan kemungkinan pemanfaatan sumber daya
pesisir
dan
untuk
mengatur
akses
terhadapnya,
dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat nelayan pesisir dan praktek-praktek kebiasaan untuk keselarasan terhadap pembangunan berkelanjutan. (d) Negara harus memfasilitasi pemberlakuan praktek-praktek perikanan yang dapat menghindarkan konflik antar pengguna sumber daya perikanan dan antara mereka dengan pengguna wilayah pesisir lainnya. (e) Negara harus mengusahakan penetapan prosedur dan mekanisme pada tingkat administrasi yang sesuai, guna menyelesaikan konflik di dalam sektor perikanan dan antara pengguna sumber daya perikanan dengan para pengguna wilayah pesisir lainnya.
16
2.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Pengembangan menurut DEPDIKBUD (1990) dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pengertian proses, cara, atau perbuatan mengembangkan. Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungan sosial yang disertai
dengan
meningkatkan
taraf
hidup
mereka.
Dengan
demikian
pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989). Monintja (1987) mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan nelayan, produk domestik bruto (PDB), devisa negara, gizi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, tanpa mengganggu atau merusak kelestarian sumber daya perikanan. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan usaha perikanan yakni aspek biologi, teknis (teknologi), ekonomis dan sosial-budaya. Aspek-aspek yang berpengaruh dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap di suatu kawasan konservasi antara lain: (1) Aspek biologi, berhubungan dengan sediaan SDI, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapan dan jenis spesies. (2) Aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat. (3) Aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak usaha terhadap nelayan. (4) Aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak terhadap pendapatan bagi stakeholders. Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka menurut Monintja (1987), teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat
17
menyerap banyak tenaga kerja, dengan pendapatan setiap nelayan memadai. Selanjutnya menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit serta produktivitas nelayan per tahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Upaya
pengelolaan
dan
pengembangan
perikanan
laut
di
masa
mendatang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan IPTEK. Tetapi dengan pemanfaatan IPTEK itu pulalah kita diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumber daya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi (Barus et al. 1991). Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu: (1) jika di tinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumber daya, (2) secara teknis efektif digunakan, (3) secara sosial dapat di terima masyarakat nelayan, dan (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Selanjutnya dikatakan bahwa satu aspek yang tidak dapat diabaikan adalah kebijakankebijakan dan peraturan pemerintah. Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuantujuan pembangunan umum perikanan, apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan Indonesia haruslah dapat: (1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak. (2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan. (3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi. (4) Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor. (5) Tidak merusak kelestarian SDI.
2.4 Taman Nasional Definisi Taman Nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, adalah merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi serta dapat dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, pengembangan budidaya,
18
rekreasi, dan pariwisata. Dalam pasal 30 disebutkan bahwa pengelolaan taman nasional adalah tercapainya tiga fungsi, yaitu: (1) perlindungan terhadap ekosistem kehidupan, (2) pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, dan (3) pelestarian pemanfaatan. Selain beberapa fungsi tersebut, taman nasional dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemanfaatan yang lestari. Sebagian wilayah taman nasional selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat melalui berbagai kegiatan, antara lain kegiatan perikanan, pertanian, dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang lain. Berdasarkan pada artikel 32 UU No. 5 tahun 1990, pengelolaan taman nasional berdasarkan pada sistem zonasi. Sistem zonasi meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona-zona lain yang dibutuhkan. Kebijakan pengelolaan taman nasional menyatakan bahwa: (1) Taman nasional sebagai kawasan konservasi alam mempunyai fungsi melindungi fungsi ekosistem, melestarikan keanekaragaman flora dan fauna, dan pemanfaatan secara terus menerus dari SDA. (2) Kegiatan yang diijinkan dalam kawasan taman nasional meliputi: penelitian, pendidikan, budaya, dan wisata alam. Semua kegiatan yang membawa dampak negatif terhadap fungsi ekosistem taman, merubah bentang darat secara permanen, atau berakibat pada ancaman punahnya spesies dilarang. (3) Pengelolaan taman nasional berdasarkan sistem zonasi, meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan secara intensif, dan zona-zona lain yang dibutuhkan. (4) Di dalam zona pemanfaatan secara intensif, fasilitas pariwisata dapat dibangun, dengan berdasarkan pada rencana pengelolaan dan masukan dari hasil analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). (5) Untuk tujuan wisata dan rekreasi, pemerintah menghembuskan isu dan mendorong masyarakat lokal untuk melakukan usaha pariwisata di zona pemanfaatan intensif taman nasional. (6) Partisipasi masyarakat dalam taman nasional harus ditingkatkan. Organisasi non pemerintah didorong untuk ikut dalam kegiatan lapangan, perencanaan dan pengelolaan taman. (7) Prosedur pemantauan dan evaluasi serta tindakan AMDAL diambil untuk menekan dampak negatif lingkungan yang potensial.
19
Penerapan sistem zonasi suatu kawasan laut yang dilindungi menurut UU No. 5 tahun 1990 dimaksudkan sebagai alat bantu pengelolaan yang berperan dalam: (1) Penentuan izin untuk pemanfaatan khusus atau terbatas pada areal atau daerah tertentu. (2) Penentuan perlindungan bagi spesies tertentu dengan melindungi hewan kritis atau habitat yang memungkinkan kehidupannya. (3) Pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan. (4) Mereduksi atau mengeliminasi potensi konflik. (5) Meningkatkan dukungan masyarakat lokal bagi keberadaan kawasan laut yang dilindungi dengan menempatkan aturan atau regulasi spesifik tentang aktifitas pemanfaatan pada setiap zona, yang dapat diterima oleh masyarakat setempat. Untuk mengoptimalkan peran alat bantu seperti yang digambarkan di atas, maka aspek-aspek penting yang harus termuat dalam suatu sistem zonasi menurut UU No. 5 tahun 1990 adalah: (1) Terdapatnya lokasi secara spasial dan temporal dalam suatu kawasan laut yang dilindungi yang secara jelas diperuntukkan bagi aktifitas pemanfaatan spesifik yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi spesies yang terancam punah, spesies yang memiliki kepentingan khusus (ekonomi atau lainnya) dan habitat-habitat penting. (2) Memungkinkan untuk melakukan kegiatan atau aktivitas pemanfaatan secara berkesinambungan yang dapat meminimalisasi konflik antar pengguna. (3) Terdapatnya informasi tentang sumber daya hayati yang mutlak ada di dalam suatu kawasan yang dilindungi, sebagaimana halnya dengan informasi tentang pemanfaatan sumber daya hayati tersebut. Prinsip dasar pengelolaan taman nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 harus berpedoman kepada: (1) Rencana kegiatan pengelolaan suatu kawasan taman nasional harus mengoptimalkan tiga misi, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, pemanfaatan secara lestari SDA dan ekosistemnya, eksploitasi, domestifikasi, dan berasaskan ekonomis. (2) Optimalisasi kegiatan konservasi terutama ditekankan untuk kepentingan hidrologi, keanekaragaman hayati, pelestarian ekosistem maupun SDA.
20
(3) Perlindungan pada ekosistem yang didalamnya terdapat biota endemik agar tidak punah. (4) Pengelolaan harus didasarkan pada sistem zonasi yang jelas dalam bentuk zona inti, zona perlindungan, dan zona pemanfaatan. (5) Pengembangan zona pemanfaatan bagi kepentingan masyarakat. (6) Diluar kawasan taman nasional bisa dikembangkan sebagai daerah penyangga dengan memfasilitasi kegiatan masyarakat. (7) Untuk mengetahui kemungkinan peningkatan adanya penekanan aktivitas masyarakat terhadap kawasan taman nasional senantiasa dikembangkan pola koordinasi dan komunikasi yang terstruktur dengan baik dengan berbagai stakeholders terkait.
2.5 Kepulauan Karimunjawa Kepulauan Karimunjawa secara geografis terletak 45 mil laut atau sekitar 83 km di barat laut Kota Jepara. Secara administratif wilayah ini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah yang secara geografis terletak antara 5o40’39’’-5o55’00’’ LS dan 110o05’57’’-110o31’15’’ BT (BTNKJ 2007). Kepulauan Karimunjawa merupakan gugusan pulau yang berjumlah 27 pulau (Tabel 1). Dari 27 pulau tersebut lima diantaranya telah dihuni penduduk, yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting. Karimunjawa merupakan sebuah kecamatan yang didalamnya terdapat 3 buah desa, yaitu Desa Karimunjawa, Desa Kemujan, dan Desa Parang, dengan wilayah dukuh sebagai berikut: (1) Desa Karimunjawa, meliputi dukuh: Karimunjawa, Kapuran, Legon Lele, Jati Kerep, Alang-alang, Cikmas, Kemloko, dan Genting. (2) Desa Kemujan, meliputi dukuh: Kemujan, Mrican, Telaga, Batu Lawang, Legon Gedhe, dan Legon Tengah. (3) Desa Parang, meliputi dukuh: Parang dan Nyamuk. Sejak tanggal 29 Februari 1988 Karimunjawa ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut melalui surat Menhut No.161/Menhut-II/1988 dan dikukuhkan melalui SK Menteri Kehutanan No.185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 dengan luas 111.625 ha yang terdiri daratan di Pulau Karimunjawa seluas 1.285,50 ha dan daratan di Pulau Kemujan seluas 222,20 ha, serta perairan disekitarnya seluas 110.117,30 ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.74/Kpts-II/2001 tentang penetapan sebagian kawasan TNKJ, perairan sekitar
21
seluas 110.117,30 ha dijadikan sebagai Kawasan Pelestarian Alam perairan (BTNKJ 2007). Tabel 1 Pulau-pulau di Kepulauan Karimunjawa No. A. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Desa, Nama Pulau KARIMUNJAWA Karimunjawa Menjangan Kecil Menjangan Besar Cemara Kecil Cemara Besar Menyawakan Geleang Burung Batu Genting*) Seruni*) Sambangan*)
B 13 14 15 16 17 18 19 20
KEMUJAN Cendekian*) Gundul*) Kemujan Tengah Cilik Bengkoang Mrico Sintok
1.626.00 13,00 4,50 1.501,50 4,00 2,00 79,00 1,00 21,00
22,85 0,18 0,06 21,10 0,06 0,03 1,11 0,01 0,30
C 21 22 23 24 25 26 27
PARANG Parang Nyamuk Kumbang Katang Kembar Krakal Kecil Krakal Besar
870,00 690,00 125,00 12,50 7,50 15,00 10,00 10,00
12,23 9,70 1,76 0,18 0.11 0,21 0,14 0,14
7.115,00
100,00
LUAS TOTAL DARATAN *) Tidak termasuk ke dalam TNKJ Sumber : BTNKJ 2007
Luas Pulau (ha) 4.619,00 4.302,50 56,00 46,00 1,50 3,50 21,00 24,00 1,00 0,50 135,00 20,00 8,00
% Luas Kawasan Darat 64,92 60,47 0,79 0,65 0,02 0,05 0,30 0,34 0,01 0,01 1,90 0,28 0,11
22
Topografi Kepulauan Karimunjawa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu perbukitan,
perbukitan
bergelombang,
dan
dataran
rendah.
Perbukitan
terbentang luas di Pulau Karimunjawa dengan ketinggian 200-500 m. Bertekstur kasar, berlereng terjal, dan disusun oleh batuan sedimen pra-tersier. Perbukitan bergelombang terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, dan Pulau Genting, dengan ketinggian 25-200 m, bertekstur halus hingga agak kasar, berlereng landai, dan disusun oleh batuan sedimen dan batuan gunung api. Gunung Walang dan beberapa gumuk (bukit kecil) merupakan tonjolan topografi pada daerah ini. Dataran rendah terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Genting, Pulau Menjangan, Pulau Cemara, Pulau Bengkoang, Pulau Geleang, dan Pulau Sintok dengan ketinggian antara 025 m. Penyusun substrat dataran rendah ini antara lain aluvium dan sedikit batuan gunung api atau batuan sedimen (BTNKJ 2001). Wilayah Kepulauan Karimunjawa mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin laut dengan suhu rata-rata 26-30oC. Suhu maksimum 34oC dengan suhu minimum 22oC. Kelembaban nisbi antara 70-85%, dan tekanan udara berkisar antara 1,012 mbar. Dalam satu tahun terdapat dua pergantian musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan musim pancaroba diantaranya. Musim kemarau (musim timur) terjadi pada bulan Juni-Agustus. Pada musim ini cuaca sepanjang hari cerah dengan curah hujan rata-rata <200 mm/bulan, rata-rata penyinaran matahari antara 70-80% setiap hari. Bulan kering terjadi pada Maret-Agustus dengan curah hujan sekitar 60 mm/bulan. Arah angin datang dari timur sampai tenggara dengan kecepatan 7-10 knot, kadang-kadang mencapai 16 knot lebih. Musim pancaroba pertama terjadi pada SeptemberOktober, pada periode ini angin didominasi dari barat dan barat laut, juga dari timur dan utara dengan kecepatan yang sangat bervariasi (BTNKJ 2001). Musim penghujan (musim barat) berlangsung antara November-Maret dengan curah hujan >200 mm/bulan dan angin dengan gelombang laut yang besar. Rata-rata penyinaran matahari 30-60% setiap harinya. Bulan Januari merupakan bulan terbasah dengan curah hujan 400 mm/bulan. Pada saat ini gelombang laut relatif besar, berkisar antara 0,40-1,25 m bahkan pada cuaca buruk di laut terbuka untuk terjadi gelombang tinggi hingga mencapai 1,7 m. Angin bertiup cukup kencang dengan arah bervariasi dari barat dan barat laut dengan kecepatan rata-rata 7-16 knot, dan dapat pula mencapai 21 knot. Setelah musim penghujan kemudian dilanjutkan dengan musim pancaroba kedua yang
23
biasa terjadi antara April-Mei, arah angin lebih bervariasi dari barat dan timur silih berganti dengan kecepatan rata-rata 4-10 knot (BTNKJ 2001). Keadaan salinitas TNKJ sebesar 28-35 ppm, derajat keasaman (pH) perairan pada umumnya alkalis. Keasaman tersebut disebabkan oleh tipe substrat dasar perairan yang merupakan paparan pasir dan terumbu karang, di mana kandungan garam biogenik khususnya kalsium cukup tinggi. Kecepatan arus permukaan berkisar antara 8-25 cm detik. Arus yang cukup kuat dijumpai di antara Pulau Karimunjawa dan Pulau Menjangan besar, sekitar Pulau Kembar, sekitar Pulau Krakal Kecil dan Pulau Krakal Besar, bagian timur Pulau Menyawakan, dan sekitar Pulau Bengkoang. Keadaan pasang surut berfluktuasi mencapai 92 cm. Pada umumnya dasar perairan mulai tepi sepanjang pulaupulau yang terdapat di Kepulauan Karimunjawa adalah pasir, kemudian ke tengah dikelilingi terumbu karang dari kedalaman 0,5-15 m. Sedangkan kedalaman perairan dengan perhitungan berpatokan pada jarak dari pantai antara 10-200 m berkisar antara 0,5-15 m (BTNKJ 2001).
2.6 Evaluasi Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation) Pengembangan sistem pengambilan keputusan (SPK) didasarkan pada pengembangan hubungan logis persoalan keputusan ke dalam suatu model matematik dan model informasi yang mencerminkan hubungan antar faktor yang terlibat. Analisis pada dunia nyata harus memperhitungkan faktor ketidakpastian yang bersifat inheren. Pada banyak kasus, ketidakpastian tidak sama dengan keacakan atau randomness, akan tetapi bersifat ambiguity dan vagueness atau fuzziness yang tidak dapat direpresentasikan secara matematis dalam teori peluang (Fedrizzi 1987). Tidak semua masalah dalam dunia nyata dapat dinyatakan secara eksak dengan derajat kebenaran pada selang [0,1], yaitu antara ya dan tidak. Hampir semua masalah mengandung ketidakpastian yang dinyatakan dengan kata-kata “mendekati”, “kira-kira”, “hampir”, “sedikit lebih besar dari”, “sedikit lebih kecil dari” yang kenyataannya sulit dikuantifikasi dalam besaran eksak, sehingga dinamakan fuzzy. Representasi himpunan fuzzy pada masalah antara “ya” dan “tidak” digunakan pendekatan seperti probabilistik (Yager and Pilev 1994). Proses pengambilan keputusan yang melibatkan penilaian atau pendapat berbagai pihak (stakeholder) atau ahli merupakan suatu perihal yang sangat penting, tetapi juga sulit. Perihal menjadi sangat rumit jika penilaian atau
24
pendapat setiap stakeholder atau ahli didasarkan kepada kriteria jamak. Persoalan proses pengambilan keputusan ini disebut sebagai multi expert (person) multi criteria decision making atau ME-MCDM (Yager 1993). Pada MEMCDM salah satu aspek yang penting adalah proses agregasi rating dan preferensi serta penggabungan pendapat dari setiap ahli atau stakeholder sehingga solusi yang diperoleh adalah yang paling diterima oleh kelompok secara keseluruhan. Teknik agregasi yang digunakan tergantung kepada apakah lingkungan keputusan bersifat deterministik, stokastik, possibilitik atau fuzzy, serta bentuk penilaian terhadap kriteria untuk setiap alternatif keputusan berupa numerik atau non numerik (linguistic label). Skala evaluasi atau penilaian adalah dalam bentuk label linguistic yang secara berturut-turut adalah sempurna (S7), sangat tinggi (S6), tinggi (S5), medium (S4), rendah (S3), sangat rendah (S2), dan tidak ada (S1) atau himpunan S = ( s1, s2, ..., s7) (Marimin et al. 1998). Untuk mengidentifikasi faktor atau kriteria digunakan metode ordered weighted averaging (OWA-Operators). Jika x adalah suatu keputusan yang terdiri atas beberapa alternatif A1, A2,...,An; dan n kriteria. Setiap kriteria Aj, Aj(X) Є (0,1) menunjukkan seberapa besar x memenuhi kriteria yang bersangkutan. Untuk menunjukkan suatu kisaran nilai, maka Aj(X) Є I. Fungsi keputusan menyeluruh dari derajat x yang memenuhi persyaratan kriteria diinginkan dinyatakan D(x) Є I. Salah satu faktor utama penentuan struktur fungsi agregasi adalah keterkaitan antar kriteria yang terlibat. Ada dua kasus ekstrim yaitu: (1) situasi yang diinginkan oleh semua kriteria dapat dipenuhi, maka disebut sebagai “and”operator, dan (2) situasi yang diinginkan salah satu kriteria dapat memuaskan semua pihak yang disebut “or”-operator (Yager 1988; Yager and Pilev 1994). Pada kasus (1), x harus memenuhi A1 dan A2 dan A3 ... dan An, yang diformulasikan dalam bentuk fungsi keputusan menyeluruh sebagai berikut: D(x)=T(A1(X), A2(X),..., An(Xn)), dan T adalah operator t-norms operator, yang memenuhi syarat commutative, monotonic, dan associative yang dibutuhkan sebagai operator agregasi. Yager (1988) menunjukkan salah satu implikasi dari sifat operator t-norm untuk semua aj (j=1, 2,..., n) dinyatakan: T (a1, a2, ..., an) < Min (a1, a2, ..., an) Untuk semua a Є I T(a,a) = a, menunjukkan sifat idempoten, dan T(I,a) = a, menunjukkan kondisi allness
25
Pada kasus (2), x memenuhi A1 atau A2 atau A3 ... atau An, yang dirumuskan dalam bentuk fungsi keputusan menyeluruh berikut: D(x) = S(A1 (x), A2 (x), ..., An(xn)) Keterangan: S adalah operator co-t-norms operator, yang memenuhi syarat sebagai operator agregasi, kecuali bahwa untuk semua aj (j=1, 2, ..., n) dinyatakan: S (a1, a2,..., an) < Min (a1, a2, ..., an), sehingga untuk semua a Є I, S (a,a) = a menunjukkan sifat idempoten dan S (0,a) = a, yang menunjukkan kondisi at least one. Pada persoalan ME-MCDM, proses agregasi berada pada posisi diantara kasus dua ekstrim tersebut. OWA-operator merupakan operator agregasi yang dengan mudah dapat melakukan penyesuaian atau menggabungkan diantara “and”-operator dan “or”-operator (Yager 1988; Yager and Pilev 1994). Operator OWA untuk a = (a1, a2, ..., an) dikaitkan dengan vektor pembobot W = (w1, w2,..., wn) sehingga wi Є [0,1], Σi wi = 1 didefinisikan sebagai suatu pemetaan F:1n
I (di mana I = [0,1]). Aspek yang fundamental dari operator
OWA adalah tahap re-ordering, di mana suatu argumen ai tidak dikaitkan dengan suatu pembobot wi tertentu, tetapi pembobot wi dikaitkan dengan suatu posisi urutan ke-i dari argumen tertentu (Filev and Yager 1998). Untuk melakukan evaluasi preferensi non-numerik secara bebas Yager (1993) merumuskan suatu metode komputasi non-numerik untuk proses pengambilan keputusan kelompok secara fuzzy. Metode komputasi dilakukan secara bertahap, yaitu (1) agregasi terhadap kriteria ganda, kemudian (2) agregasi terhadap semua pakar. (1) Agregasi Terhadap Kriteria Ganda Untuk melakukan agregasi terhadap kriteria ganda setiap proposal Pi, setiap pakar akan memberikan suatu himpunan yang terdiri dari n nilai, yaitu: [Pik (q1), Pik(q2),..., Pik(qn)] Keterangan: Pik (qj) adalah rating dari proposal ke-i pada kriteria ke-j oleh pakar ke-k. Pik (qj) adalah elemen dalam himpunan S. (qj) adalah tingkat kepentingan setiap kriteria, dengan skala penilaian label linguistic. Yager (1993) merumuskan formula agregasi kriteria sehingga didapatkan unit skor setiap proposal oleh setiap pakar sebagai berikut: Pik = Minj [Neg (I (qj)) vPik (qj)]
26
Formulasi tersebut menunjukkan bahwa kriteria yang memiliki tingkat kepentingan rendah mempunyai pengaruh yang kecil terhadap skor keseluruhan. Formulasi agregasi tersebut memenuhi kondisi pareto optimalitas, kebebasan terhadap alternatif tidak relevan, asosiasi yang positif bagi skor individual terhadap skor keseluruhan, non-dictatorship, dan simetri, yang harus dipenuhi untuk agregasi kriteria jamak atau ganda. (2) Agregasi Terhadap Semua Pakar Pada proses agregasi semua pakar dilakukan penentuan suatu fungsi agregasi Q yang menunjukkan generalisasi ide banyak pakar yang dibutuhkan untuk mendukung suatu keputusan. Untuk nilai Q(i) diambil dari skala S = {s1, s2, ..., sn}, di mana i merupakan nilai dari 1 sampai dengan m (Yager 1993). Yager (1993) menunjukkan bentuk khusus dari Q apabila skala S hanya dua yaitu: “tidak ada” dan “sempurna”. Jika diperlukan paling sedikit persetujuan m pakar untuk pengambilan keputusan, maka Q(i)=”tidak ada” untuk i < m, dan Q(i) = ”sempurna” untuk i > m. Jumlah titik penilaian q pada skala kardinal S dan jumlah pakar r adalah r = (1,2,...,k), maka untuk semua i = 0,1,2,...,r fungsi Q dapat digunakan rumus:
⎡
⎛ ⎝
Q(k) = Sb(k) dan b(k) = Int ⎢1 + ⎜ k *
⎣
q − 1 ⎞⎤ ⎟ r ⎠⎥⎦
Agregasi keputusan pakar dapat dirumuskan berdasarkan metode OWAoperator sebagai berikut: Pi = Maxj=1,...,r [Q(j) Λ Bj] B
Keterangan: Pi adalah agregasi pendapat gabungan pakar terhadap proporsal ke-i. Qj dapat dilihat sebagai petunjuk seberapa penting kelompok memandang jumlah pakar yang mendukung suatu nilai skor yang diputuskan. Bj adalah skor tertinggi ke-j diantara unit skor yang diberikan pakar untuk B
proporsal ke-i (Pik). [Q(j) Λ Bj] merupakan pembobot skor terbaik dari objek ke-j, dan terdapat B
sejumlah j pakar yang mendukung keputusan skor tersebut.
2.7 Kelayakan Finansial Kelayakan menurut Kadariah et al. (2002) adalah kajian yang dilakukan secara mendalam untuk menentukan apakah usaha yang akan dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang akan
27
dikeluarkan. Dengan kata lain kelayakan dapat diartikan bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan finansial dan nonfinansial sesuai dengan tujuan yang diinginkan, kelayakan juga diartikan akan memberikan keuntungan tidak hanya bagi perusahaan yang menjalankan usaha, tetapi juga bagi investor, kreditor pemerintah, dan masyarakat luas. Kelayakan finansial didasarkan pada analisis keuangan yang dihitung berdasarkan harga riil dari apa yang sebenarnya terjadi. Kriteria finansial yang digunakan adalah (Kadariah et al. 2002): (1) Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital (SOCC) sebagai discount factor. Rumus untuk menghitung NPV adalah: n
n
NPV = Σ (Bi – Ci) = Σ NB i=1 i=1 di mana: NB = Net Benefit = Benefit – Cost. C
= Biaya Investasi + Biaya Operasi.
Bi
= Benefit yang telah di-discount.
Ci
= Cost yang di-discount.
i
= Discount factor.
n
= Tahun (waktu).
B
Apabila dalam perhitungan NPV diperoleh nilai lebih besar dari nol atau positif maka proyek yang bersangkutan diharapkan menghasilkan tingkat keuntungan, sehingga layak diteruskan. Jika nilai hasil bersih lebih kecil dari nol atau negatif, maka proyek akan memberikan hasil yang lebih kecil dari pada biaya yang akan dikeluarkan atau akan merugi (ditolak). (2) Internal Rate of Return (IRR) IRR atau internal rate of return adalah suatu nilai tingkat bunga yang menunjukkan bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek. Dengan perkataan lain, IRR adalah nilai discount rate sosial yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Rumus untuk menghitung IRR adalah: IRR = i1 +
NPV1 NPV1 - NPV2
x ( i2 - i1)
28
di mana: i1 = tingkat bunga ke-1 i2 = tingkat bunga ke-2 NPV1 = nilai NPV ke-1 NPV2 = nilai NPV ke-2 Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (IRR>i), maka suatu perencanaan proyek dinyatakan layak untuk dilanjutkan, dan sebaliknya jiika IRR < i, maka proyek ditolak. (3) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) merupakan angka perbandingan antara present value dari total penerimaan bersih terhadap present value dari total biaya produksi. Net B/C dapat dihitung dengan rumus: Total Net Benefit Net B/C = Total Production Cost Jika Net B/C > 1 maka proyek dinyatakan layak, jika Net B/C = 1 maka proyek mencapai titik impas, dan jika Net B/C < 1, maka proyek dinyatakan tidak layak untuk dilanjutkan.
2.8 Fuzzy Analitycal Hierarchy Process (Fuzzy AHP) Dalam
proses
pengambilan
keputusan,
otak
manusia
mempunyai
karakteristik yang spesial yang mampu belajar dan menalar pada lingkungan yang samar (vague) dan kabur (fuzzy). Berbeda dengan model matematik formal dan logika formal yang memerlukan data kuantitatif dan tepat, otak manusia juga mampu untuk sampai kepada suatu keputusan yang didasarkan pada data yang tidak tepat dan kualitatif. Dengan kata lain, setiap pengambil keputusan dalam memberikan preferensinya terhadap suatu alternatif atau kriteria adalah bersifat fuzzy (Machfud 2001). Fuzzy AHP adalah modifikasi metode AHP dari Saaty tahun 1991 dan metode gugus fuzzy yang diperkenalkan oleh Zadeh tahun 1965 (Marimin 2005). Metode fuzzy AHP adalah suatu metode yang dikembangkan dari metode AHP dengan menggunakan konsep fuzzy pada beberapa bagian seperti dalam hal penilaian sekumpulan alternatif dan kriteria. Pendekatan dengan fuzzy AHP memberikan deskripsi yang lebih akurat dalam proses pengambilan keputusan (Kwong and Bai 2002; Ghotb and Warren 1995).
29
Menurut Kastaman (1999), beberapa keuntungan dari metode fuzzy AHP adalah: 1. Mampu mengatasi persoalan yang sifatnya kualitatif, yang terkadang membingungkan (fuzzy), contohnya: bagaimana menentukan suatu pilihan dari serangkaian alternatif pilihan yang didasarkan atas beberapa kriteria yang sifatnya kualitatif, misalnya: kenyamanan atau keindahan yang tolok ukur atau skala ukurannya relatif. AHP dalam hal ini menyediakan suatu skala yang mengukur hal-hal yang tak dapat dinyatakan secara jelas atau relatif sedemikian rupa sehingga skala ukuran yang sifatnya kualitatif dapat diperlakukan sebagaimana halnya data kuantitatif, dan untuk menghindari ketidakkonsistenan dalam perhitungan, pada proses analisisnya melibatkan metode perbandingan berpasangan. 2. Mengingat pada proses pemilihan alternatif dalam AHP didasarkan atas perbandingan secara berpasang-pasangan dari mulai tingkatan (level) kriteria terbawah menurut hirarki persoalan yang dirumuskan. Maka pada proses analisis ini terjadi pembobotan kriteria dan pemilihan alternatif berdasarkan kompetisi penuh. Dengan demikian tingkat dominasi kepentingan atau bobot masing-masing kriteria dapat ditentukan secara pasti. 3. Proses pengambilan keputusan dapat dilakukan secara kelompok maupun perorangan, tergantung dari banyak sedikitnya responden penilai. Oleh karena itu metode ini dapat dikatakan fleksibel dalam menjawab persoalan baik yang sifat keputusannya individual maupun kelompok. 4. Pengambilan keputusannya akan lebih objektif, karena metode ini mampu menampilkan alternatif selang kepercayaan yang berkaitan dengan tingkat objektivitas pengambilan keputusan. 5. Dengan AHP dimungkinkan untuk memperbaiki definisi suatu masalah dan mengembangkan keputusannya melalui pengulangan, bila pada saat tahap analisis terjadi kekeliruan atau adanya kekurangan yang perlu ditambahkan. 6. Metode AHP dapat mengakomodasikan pendapat setiap orang dan dalam proses pengambilan keputusannya dapat dilakukan baik berdasarkan penilaian (judgement) maupun konsensus. 7. Oleh karena dalam AHP dibuat suatu hirarki sistem, maka dalam proses analisis akan terlihat keterkaitan atau ketergantungan diantara satu elemen sistem dengan elemen sistem lainnya.
30
8. AHP menghitung konsistensi logis dari setiap penilaian yang digunakan dalam
menentukan
prioritas.
Sehingga
ketidakkonsistenan
dalam
perbandingan berpasangan diantara alternatif pilihan dapat dihindari. Contoh dari bentuk ketidakkonsistenan yang dimaksud misalnya: A > B, B > C, namun terjadi C > A. Konsistensi terjadi apabila A > B, B > C dan A > C. 9. Bias yang muncul pada saat pembobotan kriteria dapat dihilangkan karena adanya proses normalisasi bobot. Menurut Yudhistira dan Diawati (2000) pengembangan metode fuzzy AHP melalui empat tahap, yaitu: 1. Skoring alternatif dan kriteria Skoring yang dilakukan oleh pengambil keputusan dalam bentuk variabel linguistik seperti sangat jelek, sedikit jelek, sedang, sedikit bagus dan lainlain. Menurut Kastaman (1999), fuzzyfikasi pada metode fuzzy AHP adalah proses pengubahan nilai selang rating (berupa batas nilai) yang diberikan oleh penilai menjadi selang dalam bentuk bilangan fuzzy dengan maksud untuk menghilangkan ketidakkonsistenan nilai yang disebabkan selang rating dan bias setiap penilai. 2. Defuzzifikasi skor fuzzy Defuzzifikasi dilakukan untuk menentukan satu nilai dari skor fuzzy. Menurut Marimin (2005) defuzzifikasi merupakan suatu proses pengubahan output fuzzy ke output yang bernilai tunggal (crisp). Terdapat banyak metode defuzzifikasi, namun yang banyak digunakan adalah metode centroid dan maximum. Dalam metode centriod, nilai tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari centre of gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy. Sedangkan di dalam metode maximum, satu dari nilai-nilai variabel yang merupakan nilai kepercayaan maksimum gugus fuzzy dipilih sebagai nilai tunggal untuk variabel output. 3. Pembobotan Pembobotan dapat dilakukan berdasarkan teori Saaty, yaitu penyusunan bobot melalui penilaian pendapat dengan cara komparasi berpasangan, yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan, sehingga terdapat nilai tingkat kepentingan. Untuk mentransformasikan dari data kualitatif menjadi data kuantitatif digunakan skala penilaian sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka. Marimin (2004) menyatakan bahwa untuk menentukan nilai eigen
31
(eigenvector), dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu dengan manipulasi matriks dan persamaan matematik. 4. Rangking dan skor akhir Menentukan rangking dan skor akhir dapat digunakan set operasi yang memungkinkan sesuai dengan teori.
2.9 Penelitian Terdahulu yang Relevan Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai pengembangan perikanan tangkap diantaranya oleh Sultan (2004) yang melakukan penelitian dengan judul pengembangan perikanan tangkap di kawasan Taman Nasional Laut (TNL) Taka Bonerate, yang bertujuan secara umum untuk menyusun konsep pengembangan perikanan tangkap, dengan tujuan khusus untuk melakukan seleksi untuk memperoleh alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan, menentukan status sumber daya perikanan, menentukan pola pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan serta menentukan strategi dan menyusun prioritas strategi dalam pengembangan perikanan tangkap. Hasil penelitian menunjukkan jenis alat tangkap yang tergolong ramah lingkungan berdasarkan metode scoring adalah pukat simbulak (jaring insang hanyut), pancing tonda, pancing tangan, pancing cumi, rawai dasar, bubu labuh, rawai cucut, dan purse seine. Pemanfaatan sumber daya hiu di kawasan TNL Taka Bonerate masih pada tingkat optimum, sedangkan perikanan pelagis kecil, perikanan karang dan perikanan cumi-cumi telah melampaui nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) serta perikanan pelagis besar masih berada di bawah nilai MSY. Alokasi optimum pengembangan perikanan tangkap berdasarkan pendekatan goal programming di kawasan TNL Taka Bonerate adalah 31 unit pancing tonda, 18 unit purse seine, 292 unit rawai dasar, 101 unit pancing dasar, 16 unit rawai cucut, dan 8 unit pancing cumi-cumi. Pengalokasian armada penangkapan tersebut dapat menghasilkan total produksi sebesar 755 ton, keuntungan usaha Rp. 2.159.774.000, penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.330 orang, konsumsi ikan sebanyak 140,33 ton (31 kg/kapita/tahun), PAD sebesar Rp. 38.326.000, dan penerimaan devisa negara melalui ekspor hasil perikanan sebesar US$ 1,956,800. Urutan prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan perikanan tangkap di kawasan TNL Taka Bonerate berdasarkan analisis strength weakness opportunity and threat (SWOT) dan dilanjutkan dengan AHP berturut-turut adalah optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan
32
kesejahteraan melalui akses permodalan, peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan ketrampilan, peningkatan PAD dan perbaikan manajemen usaha penangkapan serta peningkatan jaringan informasi dan akses pasar. Kajian yang terkait dengan wilayah penelitian antara lain Suryanto (2000) yang melakukan penelitian tentang sistem zonasi pengelolaan taman nasional laut berdasarkan indeks kepekaan lingkungan (IKL) studi kasus di Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zonasi telah menggambarkan keserasian antar kegiatan konservasi, wisata alam, perikanan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga masingmasing zona menggambarkan keterkaitan antara penataan pemanfaatan lahan daratan dan perairan dengan cara meng-overlay-kan atribut-atribut penggunaan dan keadaan lahan, nilai IKL, dinamika hidro-oseanografi, daerah dan jalur penangkapan ikan serta kelayakan sosekbud didapatkan empat zonasi dengan masing-masing luasan, yaitu: (1) zona inti seluas 10.046,25 ha (9%), merupakan zona yang dilindungi dan tidak diperkenankan adanya kegiatan umum, terkecuali kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan penelitian yang mempunyai ijin, (2) zona perlindungan seluas 21.208,75 ha (19%), zona ini letaknya berbatasan dengan zona inti dengan pertimbangan bahwa zona ini diharapkan dapat berfungsi sebagai daerah pengaman bagi zona inti dan zona ini mempunyai potensi konservasi dan rekreasi terbatas, (3) zona pemanfaatan seluas 29.022,50 ha (26%), zona ini dimanfaatkan sebagai lokasi pariwisata dan pemanfaatan lainnya, namun aktivitas yang ada tetap mempertimbangkan unsur perlindungan dan pelestarian SDA, dan (4) zona penyangga seluas 51.347,50 ha (46%), merupakan daerah penahan (penyangga atau buffer zone) gangguan terhadap zona inti, perlindungan, pemanfaatan dan sesuai dengan peruntukkannya, pada zona ini kegiatan yang ada diarahkan pada pemanfaatan sumber daya secara terkendali seperti penangkapan ikan, budidaya laut, perkebunan yang menunjang kehidupan masyarakat kepulauan Karimunjawa. Pola pengelolaan TNKJ secara terpadu yaitu menyerasikan kegiatan perikanan, pariwisata, konservasi, dan kepentingan masyarakat, dengan jalan mengatur kembali pengelolaan sumber daya perikanan yang tidak sejalan dengan upaya konservasi dan merusak lingkungan, menetapkan ramburambu yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan wisata sesuai kaidah konservasi dan meningkatkan keberpihakan dan kepedulian kepada masyarakat setempat dengan meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat.
33
Kajian lain yang terkait dengan pendekatan yang dilakukan dalam metode penelitian diantaranya Suherman (2007), yang melakukan kajian rekayasa model pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC), melalui penentuan prioritas pengembangan fasilitas di PPSC dengan metode fuzzy AHP. Giyatmi (2005) mengkaji sistem pengembangan agroindustri perikanan laut: suatu sistem kajian kelayakan dan strategi pengembangan di Propinsi Jawa Tengah, yang melakukan pemilihan terhadap komoditas potensial perikanan laut dengan metode IPE dalam kaidah FGDM, dengan pembobotan masing-masing kriteria dengan menggunakan metode OWA.
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-September 2007. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (FPIK IPB), sedangkan penelitian lapang dilakukan di Taman Nasional Karimunjawa Kecamatan Karimunjawa Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah. Diagram alir tahap penelitian disajikan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan penelitian maka terlebih dahulu dilakukan studi pustaka dan survei lapang, kemudian dilanjutkan dengan proses pengambilan data dan analisis data hingga pada akhirnya didapatkan kesimpulan.
Gambar 1 Diagram alir penelitian.
35
3.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yang bersifat studi kasus. Metode survei menurut Nazir (1988) adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Studi kasus atau penelitian kasus (case study) adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Nazir 1988). Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan hal yang bersifat umum.
3.3 Metode Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara), sedangkan data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain) (Indriantoro dan Supomo 1999). Jenis, sumber, dan cara pengumpulan data primer dan data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan bantuan responden. Responden untuk penelitian ini dikelompokkan dalam 2 jenis yaitu: responden nelayan dan pakar. (1) Responden nelayan. Nelayan yang ditetapkan sebagai responden adalah mereka yang berada dan tinggal di Pulau Karimunjawa, terdiri dari nelayan (pemilik dan atau nahkoda). Pengambilan sampel penelitian untuk responden nelayan adalah secara sampel random. Jumlah nelayan sebagai responden yaitu 100 responden untuk semua jenis alat tangkap yang digunakan. (2) Responden pakar. Responden pakar ini digunakan untuk menentukan dan menilai tingkat alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap, menentukan prioritas komoditas dan alat tangkap ideal di Karimunjawa. Dalam penentuan pakar digunakan kriteria sebagaimana disebutkan Marimin (2005) adalah sebagai berikut:
36
1) Praktisi, orang yang bekerja dan berpengalaman dalam bidang tertentu secara otodidak maupun terdidik secara akademis atau tidak melanjutkan karir di bidang akademis. 2) Ilmuwan, orang yang mempelajari dan mendalami pengetahuan tertentu lewat jalur formal (melalui pendidikan tinggi) dan memperdalam karirnya di bidang akademis (perguruan tinggi atau lembaga penelitian). Pakar yang melakukan penilaian terhadap alternatif komoditas unggulan, alat tangkap ideal dan fuzzy AHP dengan kriteria yang telah ditetapkan dipilih secara sengaja (purposive sampling) dengan kriteria mewakili setiap bidang keahlian sesuai bidang kajian (expert survey). Pakar yang dipilih adalah orangorang yang paham dengan masalah penelitian dan pengembangan perikanan tangkap sehingga dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang komprehensif mengenai perkembangan perikanan tangkap. Para pakar yang melakukan penilaian adalah akademisi, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara, nelayan, dan BTNKJ.
3.4 Metode Analisis Data Metode analisis data untuk mengevaluasi sistem zonasi yang ada dan untuk mengidentifikasi keterpaduan atau keterkaitan kegiatan dari masingmasing zona yang ada di Karimunjawa dilakukan dengan metode deskriptif. Analisis data dalam pemilihan komoditas unggulan dan alat tangkap ideal yang akan dikembangkan yang menunjang perkembangan pariwisata bahari dilakukan dengan menggunakan metode IPE dalam kaidah FGDM, di mana pembobotan kriteria dengan menggunakan metode OWA. Perhitungan kelayakan usaha dari usaha penangkapan ikan digunakan analisis finansial dengan kriteria: NPV, Net B/C, dan IRR. Pemilihan alternatif prioritas pengembangan perikanan tangkap yang tepat di Karimunjawa dilakukan dengan menggunakan metode Fuzzy AHP.
Tabel 2 Jenis, sumber, dan cara pengumpulan data primer No. 1.
Aspek Kajian Zonasi
2.
Keterpaduan kegiatan antar zona
3.
Perikanan tangkap a. Komoditas unggulan
Jenis Pembagian zona Kegiatan yang ada Nilai (potensi) yang ada di setiap zona Karakteristik masing-masing zona
Data Sumber Kepala atau pegawai BTNKJ Tokoh masyarakat Pakar dan stakeholders Dinas Perikanan dan Kelautan Dinas Tata Ruang
Metode Pengumpulan In-depth interview Kuisioner observasi
Jenis kegiatan Identifikasi lokasi Asset atau potensi biota SDI yang ada
Kepala atau pegawai BTNKJ Dinas Tata Ruang Bapeda Pakar dan stakeholders Dinas Pariwisata Dinas Perikanan dan Kelautan
In-depth interview Kuisioner observasi
Komposisi hasil tangkapan Harga ikan Kondisi ikan Ukuran ikan
Nelayan Bakul Pakar Akademisi Dinas Perikanan dan Kelautan
Wawancara Kuisioner Observasi
38
Tabel 2 (lanjutan) No.
Aspek Kajian b. Alat tangkap ideal
Jenis Jenis alat tangkap Ukuran Material Alat bantu Metode Jumlah ABK
c. Kelayakan Finansial
Harga kapal Harga alat tangkap Harga mesin Harga peralatan (alat bantu) Harga ikan per kg Biaya perbekalan Biaya perawatan Biaya penyusutan Waktu atau lama operasi
d. Prioritas pengembangan perikanan tangkap
Kebijakan tentang perikanan tangkap Peraturan perikanan tangkap
Data Sumber Nelayan Pakar Akademisi Dinas Perikanan dan Kelautan BTNKJ
Nelayan Pemilik kapal
Birokrasi Dinas perikanan Bapeda Akademisi BTNKJ
Metode Pengumpulan Wawancara Kuisioner Observasi
Wawancara Kuisioner
Wawancara Kuisioner
39
Tabel 3 Jenis, sumber, dan cara pengumpulan data sekunder No 1.
2.
Aspek Kajian Kondisi umum Taman Nasional Karimunjawa
Kondisi perikanan tangkap
Data Lokasi geografis Kondisi demografi Perekonomian Potensi perikanan Potensi wisata Lingkungan fisik laut Lingkungan fisik daratan Karakteristik pulau Kebijakan yang berlaku
Produksi perikanan Volume dan nilai produksi perikanan Jumlah dan jenis komposisi ikan hasil tangkapan Jumlah dan jenis alat tangkap Perkembangan jumlah kapal Perkembangan jumlah nelayan Jenis komoditi perikanan Daerah penangkapan Musim penangkapan
Sumber Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah Balai Taman Nasional Karimunjawa Instansi terkait dari daerah sampai dengan pusat Literatur (cetak dan elektronik)
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah Balai Taman Nasional Karimunjawa Tempat Pelelangan Ikan Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa Instansi terkait dari daerah sampai dengan pusat Literatur (cetak dan elektronik)
40
3.4.1 Sistem zonasi dan keterpaduan kegiatan antar zona Evaluasi sistem zonasi dan keterpaduan kegiatan antar masing-masing zonasi dilakukan dengan metode deskriptif. Menurut Nazir (1988), metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Bentuk evaluasi yang dilakukan terhadap sistem zonasi yang berlaku di TNKJ didasarkan pada tiga kriteria, yaitu (1) kriteria indikator keterkaitan, yaitu antar zona saling terkait, (2) kriteria luasan zona, dan (3) kriteria kebutuhan. Hasil dari pengolahan dan analisis data akan disajikan dalam bentuk tabel, gambar atau bagan.
3.4.2 Pengembangan perikanan tangkap Analisis pengembangan perikanan tangkap dilakukan terhadap semua kegiatan perikanan tangkap yang mendukung bagi pengembangan perikanan tangkap yang ada di kawasan TNKJ yang selaras dengan kepentingan konservasi dan wisata bahari sehingga tercipta keberlanjutan baik pada usaha perikanan tangkap maupun pada usaha konservasi dan pariwisata, sehingga kedepannya tidak hanya kegiatan perikanan yang bersifat komersial saja yang berkembang di Karimunjawa tetapi juga kegiatan perikanan rekreasional yang berkelanjutan. Pengembangan perikanan tangkap meliputi kegiatan pemilihan komoditas unggulan, pemilihan alat tangkap ideal, kelayakan usaha dari usaha perikanan tangkap, dan penyusunan prioritas pengembangan perikanan tangkap.
3.4.2.1 Komoditas unggulan dan alat tangkap ideal Pemilihan alternatif komoditas unggulan dan alat tangkap ideal didasarkan atas tiga komponen, yaitu sekumpulan alternatif pilihan, sekumpulan pakar yang melakukan penilaian, dan pengambil keputusan. Dengan demikian maka pemilihan komoditas unggulan dan alat tangkap ideal dapat dipandang sebagai permasalahan ME-MCDM. Penentuan komoditas unggulan dan alat tangkap ideal penting untuk dilakukan mengingat keberadaan komoditas unggulan dan alat tangkap dalam pengembangan perikanan tangkap adalah sebagai penentu keberlangsungan pengembangan perikanan tangkap dan sebagai sarana produksi perikanan untuk menjaga keberlangsungan pengembangan perikanan tangkap. Penyelesaian pemilihan komoditas unggulan dan alat tangkap ideal
41
dilakukan menurut cara yang telah dikembangkan oleh Yager (1993) dengan langkah-langkah yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram alir tahap penelitian pemilihan komoditas unggulan dan alat tangkap ideal. Penentuan Alternatif (1) Komoditas Unggulan Alternatif yang menjadi pilihan dalam penelitian ini adalah ikan-ikan yang terdapat di Karimunjawa yang ada dalam literatur (PPP Karimunjawa, Dinas Perikanan dan Kelutan Kabupaten Jepara) dan hasil observasi di lapangan. Alternatif pilihan komoditas perikanan yang akan dijadikan sebagai komoditas
42
unggulan dalam rangka pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa adalah: kerapu, tongkol, cumi-cumi, teri, lobster, ekor kuning, teripang, dan kakap merah. (2) Alat Tangkap Ideal Alternatif yang menjadi pilihan dalam penelitian ini adalah alat tangkap yang beroperasi di perairan Karimunjawa dan mendaratkan hasil tangkapan di PPP Karimunjawa serta hasil observasi di lapangan. Alternatif pilihan alat tangkap yang akan dijadikan sebagai alat tangkap ideal yang dapat menunjang perkembangan pariwisata bahari serta tetap memelihara aspek konservasi adalah: jaring insang (gillnet), pancing tonda (troll line), bubu (fish trap), dan bagan apung (floating liftnet). Penentuan Kriteria Penentuan prioritas komoditas unggulan dan alat tangkap ideal merupakan proses yang sangat penting mengingat keberadaan komoditas dan alat tangkap dalam pengembangan perikanan tangkap dapat menjadi penentu dan sarana keberlangsungan pengembangan perikanan tangkap. Penentuan komoditas unggulan dan alat tangkap ideal untuk pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa didasarkan pada beberapa kriteria. (1) Komoditas Unggulan Kriteria yang digunakan dalam pemilihan komoditas unggulan didasarkan pada lima kriteria (Monintja 1987), yaitu: (a) Harga jual dan kemudahan dalam pemasaran komoditas atau peluang pasar (nilai ekonomis komoditas = K1). (b) Jumlah hasil tangkapan (volume komoditas = K2). (c) Ketersediaan komoditas ikan sepanjang tahun (kontinuitas komoditas = K3). (d) Kesegaran ikan hasil tangkapan (mutu komoditas = K4). (e) Peluang komoditas untuk menjadi bahan untuk produk olahan ataupun produk yang lebih bernilai guna (peluang diversifikasi komoditas = K5). (2) Alat Tangkap Ideal Kriteria yang digunakan dalam pemilihan komoditas unggulan didasarkan pada enam kriteria (Monintja 1987), yaitu: (a) Ukuran alat tangkap sesuai dengan ukuran ikan sasaran (selektivitas tinggi = K1).
43
(b) Tidak merusak lingkungan jika dioperasikan dan memiliki dampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati (tidak destruktif terhadap habitat dan aman bagi biodiversity = K2). (c) Aman bagi nelayan (operator) yang menggunakannya (tidak membahayakan nelayan = K3). (d) Ikan hasil tangkapan dalam keadaan baik dan segar (menghasilkan ikan yang bermutu baik = K4). (e) Jumlah hasil tangkapan yang terbuang rendah (by-catch rendah = K5). (f) Aman bagi spesies ikan yang dilindungi atau terancam punah (tidak menangkap spesies yang dilindungi = K6). Penentuan Pakar Pakar yang melakukan penilaian terhadap alternatif komoditas unggulan dan alat tangkap ideal dengan kriteria yang telah ditetapkan dipilih secara sengaja (purposive sampling), yaitu orang-orang yang paham dengan masalah penelitian sehingga dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang komprehensif mengenai perkembangan perikanan tangkap. Penentuan Label Linguistic Linguistic labels preferensi fuzzy non numeric digunakan menurut teknik yang dikembangkan oleh Marimin et al. (1998). Dalam penelitian ini digunakan tujuh skala penilaian kriteria dengan label berderajat 7, yaitu: (1) P = Perfect atau Paling Tinggi
(S7)
(2) ST = Sangat Tinggi
(S6)
(3) T
(S5)
= Tinggi
(4) S = Sedang
(S4)
(5) R = Rendah
(S3)
(6) SR = Sangat Rendah
(S2)
(7) PR = Paling Rendah
(S1)
Penilaian Alternatif Berdasarkan Kriteria oleh Setiap Pakar Penilaian setiap alternatif komoditas perikanan dan alat tangkap ideal dilakukan oleh masing-masing pakar berdasarkan kriteria yang telah ditentukan menggunakan label linguistic sesuai dengan derajat penilaiannya. Tahap ini menghasilkan informasi nilai setiap pakar untuk setiap alternatif pilihan
44
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yang selanjutnya diagregasikan menurut kriteria dan menurut pakar menjadi suatu keputusan kelompok. Penentuan Bobot Kriteria Setiap kriteria dipertimbangkan memiliki tingkat kepentingan yang berbeda pengaruhnya dalam penilaian suatu alternatif komoditas unggulan dan alat tangkap ideal. (1) Komoditas Unggulan Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk pemilihan komoditas unggulan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Bobot kriteria pemilihan komoditas unggulan perikanan tangkap No.
Kriteria
Deskripsi
Agregat
1.
Nilai ekonomis
Harga jual dan kemudahan dalam pemasaran komoditas
Paling Tinggi
2. 3.
Volume Kontinuitas
Sangat Tinggi Sangat Tinggi
4. 5.
Mutu Peluang diversifikasi
Jumlah hasil tangkapan Ketersediaan komoditas ikan sepanjang tahun Kesegaran ikan hasil tangkapan Peluang komoditas untuk menjadi bahan untuk produk olahan
Sangat Tinggi Tinggi
Kriteria yang digunakan dalam pemilihan komoditas unggulan adalah nilai ekonomis, volume, kontinuitas, mutu, dan peluang diversifikasi. Berdasarkan pada penilaian para pakar terhadap kriteria dalam pemilihan komoditas unggulan perikanan tangkap di Karimunjawa diketahui bahwa nilai ekonomis mendapat nilai perfect atau paling tinggi, artinya faktor harga merupakan faktor yang paling penting dan tidak dapat diabaikan dalam pengembangan perikanan tangkap. Kriteria volume, kontinuitas, dan mutu mendapatkan derajat kepentingan sangat tinggi, artinya volume, kontinuitas, dan mutu komoditas merupakan faktor yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan dari kegiatan perikanan tangkap, di mana komoditas dapat diperoleh sepanjang tahun, dan berarti juga kesegaran dan keamanan konsumsi komoditas hasil tangkapan. Peluang diversifikasi mendapatkan bobot tinggi, artinya komoditas unggulan mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan komoditas yang tidak memiliki peluang diversifikasi. Hal ini penting untuk membuka peluang bagi komoditas untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk yang lebih bernilai dan berguna.
45
(2) Alat Tangkap Ideal Pembobotan masing-masing kriteria untuk pemilihan alat tangkap ideal disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Bobot kriteria pemilihan alat tangkap ideal No. 1. 2.
3. 4. 5. 6.
Kriteria Selektivitas tinggi
Deskripsi sesuai dengan
Ukuran ikan sasaran Tidak destruktif Tidak merusak lingkungan jika terhadap habitat dan dioperasikan dan dampak minimum aman bagi biodiversity terhadap keanekaragaman sumber daya hayati Tidak membahayakan Aman bagi operator (nelayan) yang nelayan menggunakannya Menghasilkan ikan Ikan dalam keadaan baik dan segar yang bermutu baik By-catch rendah Jumlah hasil tangkapan yang terbuang rendah Tidak menangkap Aman bagi spesies ikan yang spesies yang dilindungi dilindungi atau terancam punah
Agregat Paling Tinggi Sangat Tinggi
Sangat Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Tinggi
Berdasarkan pada penilaian pakar terhadap kriteria dalam pemilihan alat tangkap ideal diketahui bahwa selektivitas tinggi mendapatkan nilai perfect atau paling tinggi, yang berati bahwa ukuran alat tangkap merupakan kriteria utama dalam penentuan alat tangkap ideal, sehingga ikan-ikan yang tertangkap sesuai dengan ukuran jaring atau pancing dan diharapkan yang sudah mengalami pemijahan, sehingga keberlangsungan SDI dapat tetap terjaga. Kriteria tidak destruktif terhadap habitat dan aman bagi biodiversity, tidak membahayakan nelayan, dan menghasilkan ikan yang bermutu baik mendapatkan bobot sangat tinggi, yang berarti ketiganya sangat diperlukan dalam pengembangan alat tangkap menuju perikanan tangkap yang berkelanjutan dan bermutu tinggi. Tidak destruktif terhadap habitat dan aman bagi biodiversity berarti dengan penggunaan alat tangkap tersebut kondisi perairan akan tetap terjaga, terutama karena perairan Karimunjawa merupakan wilayah perairan berterumbu karang dan merupakan sebuah taman nasional sehingga harus memperhatikan prinsip konservasi, sehingga penggunaan alat tangkap yang baik akan tetap menjaga kelestarian terumbu karang dan tetap mempertahankan kelestarian ikan yang ada di perairan tersebut. Tidak membahayakan nelayan berarti alat tangkap tersebut aman pada saat dioperasikan, sehingga keselamatan nelayan dapat
46
lebih terjamin. Menghasilkan ikan yang bermutu baik berarti ikan hasil tangkapan dalam keadaan hidup atau segar sehingga diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi dari ikan tersebut. Untuk dua kriteria lainnya, yaitu by-catch rendah dan tidak menangkap spesies yang dilindungi mendapatkan nilai tinggi, artinya keduanya patut untuk diperhitungkan dalam pemilihan alat tangkap, yaitu bila alat tangkap tersebut dioperasikan, maka tidak banyak menangkap ikan-ikan yang tidak layak tangkap atau ikan-ikan non target, dan keberadaan spesies ikan yang dilindungi tetap aman dengan adanya pengoperasian alat tangkap tersebut. Agregasi Kriteria Agregasi kriteria dilakukan untuk menentukan nilai masing-masing pakar terhadap masing-masing alternatif, dengan menggunakan rumus: Pik = Minj [Neg (I (qj)) vPik (qj)] Di mana: Pik
= nilai alternatif ke-i oleh pakar ke-k
I (qj)
= bobot kriteria ke-j
V
= notasi maksimum
Pik (qj)
= nilai alternatif ke-i oleh pakar ke-j pada kriteria ke-k
Agregasi Pakar Agregasi pakar dilakukan untuk mengkombinasikan nilai masing-masing pakar terhadap alternatif yang dipilih, dengan menggunakan metode OWA (Yager 1988), yang dirumuskan dengan: Pi = Maxj=1,...,r [Q(j)ΛBj] B
Di mana: Pi = nilai agregasi pakar Q(j) = bobot nilai pakar ke-j Bj = pengurutan nilai dari besar ke kecil oleh pakar ke-j B
Λ = notasi minimum
3.4.2.3 Kelayakan finansial Kelayakan finansial dari usaha penangkapan dapat digunakan dalam pengambilan keputusan untuk pengembangan perikanan tangkap, diantaranya dilakukan melalui perhitungan kelayakan finansial menurut kriteria-kriteria kelayakan seperti biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, penyusutan, dan
47
penerimaan. Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan menggunakan kriteria NPV, Net B/C, dan IRR.
3.4.2.4 Prioritas pengembangan perikanan tangkap Analisis prioritas pengembangan perikanan tangkap digunakan untuk menentukan
alternatif
prioritas
pengembangan
perikanan
tangkap
di
Karimunjawa. Analisis prioritas pengembangan perikanan tangkap dilakukan dengan menggunakan teknik fuzzy AHP (Marimin 2004) dengan tahapan sebagai berikut: (1) Penentuan prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa yang didasarkan pada tiga tingkatan, yaitu fokus, kriteria, dan alternatif. (2) Penilaian atau skoring dengan menggunakan variabel linguistic. Absolutely-1 Very Strong
= elemen 2 mutlak lebih penting dari elemen 1. -1
= elemen 2 sangat jelas lebih penting dari elemen 1.
Strong-1
= elemen 2 jelas lebih penting dari elemen 1.
Weak-1
= elemen 2 sedikit lebih penting dari elemen 1.
Equal
= elemen 1 sama pentingnya dengan elemen 2.
Weak
= elemen 1sedikit lebih penting dari elemen 2.
Strong
= elemen 1 jelas lebih penting dari elemen 2.
Very Strong
= elemen 1 sangat jelas lebih penting dari elemen 2.
Absolutely
= elemen 1 mutlak lebih penting dari elemen 2.
(3) Fuzzyfikasi dengan menggunakan triangular fuzzy number (TFN). Bertitik tolak pada skala pairwise comparison Saaty, maka ditetapkan selang nilai TFN dari penilaian ini adalah: Absolutely-1 Very Strong
= (1/9, 1/9, 1/7) -1
= (1/9, 1/7, 1/5)
Strong-1
= (1/7, 1/5, 1/3)
Weak-1
= (1/5, 1/3, 1)
Equal
= (1/3, 1, 3)
Weak
= (1, 3, 5)
Strong
= (3, 5, 7)
Very Strong
= (5, 7, 9)
Absolutely
= (7, 9, 9)
(4) Defuzzyfikasi terhadap hasil fuzzyfikasi yang dilakukan dengan rata-rata geometrik. Tahap dari defuzzyfikasi adalah:
48
(a) menghitung rata-rata geometrik dari batas bawah (BB), batas tengah (BT), dan batas atas (BA) dari masing-masing pakar untuk mendapatkan nilai BB, BT, dan BA gabungan pakar.
BB
=
3
x
bbi
BT
=
3
x
bti
BA
=
3
x
bai
(b) Menghitung nilai tunggal (crisp) dari rata-rata geometrik. ____
____
____
Ncrisp = BB× BT × BA 3
(5) Membuat matriks kriteria dan menghitung bobot kriteria. Berdasarkan hasil perhitungan nilai tunggal (crisp) untuk kriteria dan alternatif terhadap masing-masing kriteria, kemudian dibuat matriksnya. Matriks ini digunakan untuk perhitungan bobot dengan cara memanipulasi matriks. (6) Menghitung nilai eigen dari alternatif terhadap masing-masing kriteria. Uji sensitifitas atau iterasi dilakukan hingga didapatkan kestabilan nilai eigen (nilai eigen sudah tidak berubah sampai empat desimal). (7) Menghitung consistency ratio (CR). CR dikatakan memiliki tingkat konsistensi yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan apabila bernilai lebih kecil atau sama dengan nol.
CR =
CI RI
CI =
( p − n) (n − 1)
Dimana : CI = consistency index RI = random index yang didapat dari tabel Oarkridge p
= nilai rata-rata consistency vector
n
= banyaknya alternatif atau kriteria
(8) Menentukan skor akhir dan rangking. Yaitu dengan mengalikan matriks nilai eigen dari alternatif dengan matriks bobot kriteria. Skor akhir yang diperoleh diurutkan dari yang terbesar sampai dengan yang terkecil (dari yang memiliki nilai tertinggi sampai yang memiliki nilai terendah).
4 HASIL 4.1 Kondisi Perikanan Tangkap 4.1.1 Produksi perikanan Perkembangan produksi ikan yang didaratkan di PPP Karimunjawa selama periode 1996-2005 disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan data produksi ikan yang didaratkan di PPP Karimunjawa dari tahun 1996-2005, dapat diketahui bahwa produksi ikan pada tahun 1996 mencapai 127.487 kg, kemudian terus mengalami penurunan hingga mencapai 30.016 kg pada tahun 1998. Pada tahun 1999 produksi ikan meningkat menjadi 57.102 kg kemudian kembali mengalami penurunan sampai dengan tahun 2001 hingga mencapai 48.663 kg. Pada tahun 2002 produksi ikan kembali meningkat menjadi 79.406 kg dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2005 produksi ikan mencapai 92.022 kg. Secara keseluruhan dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa selama 10 tahun terakhir produksi ikan tertinggi dicapai pada tahun 1996 yaitu sebesar 127.487 kg, dan produksi terendah terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 37.016 kg. 140000
Produksi (kg)
120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 3 Perkembangan produksi ikan di Karimunjawa.
4.1.2 Perkembangan jumlah alat tangkap Alat tangkap yang banyak dipergunakan oleh nelayan di Karimunjawa dan mendaratkan hasil tangkapan di PPP Karimunjawa diantaranya adalah jaring insang, pancing tonda, bubu, bagan apung, muroami, payang, dan alat tangkap lainnya. Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap yang ada di Karimunjawa selama periode 1996-2005 disajikan pada Tabel 6.
50
Tabel 6 Jenis dan jumlah alat tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005 Tahun 1996
Jaring Pancing Insang Tonda 22 170
Bubu 115
Bagan Muroami Payang Apung 77 0 0
Lainlain 9
Total 393
1997
20
170
115
77
0
0
9
391
1998
25
284
360
71
0
0
11
751
1999
36
473
600
71
0
0
11
1.191
2000
79
550
1.200
83
0
0
13
1.925
2001
98
680
1.600
87
2
0
9
2.476
2002
154
640
2.000
92
11
0
7
2.904
2003
227
650
2.000
96
18
2
7
3.000
2004
334
662
2.062
102
26
2
6
3.194
2005
384
612
2.128
114
38
0
3
3.279
Sumber : PPP Karimunjawa 2006
4.1.3 Kapal penangkap ikan Kapal penangkap ikan yang ada di Karimunjawa terdiri dari kapal motor, kapal motor tempel, dan perahu layar (perahu tanpa mesin yang digerakkan dengan layar dan dayung). Perkembangan jumlah kapal penangkap ikan selama tahun 1996-2005 di Karimunjawa disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 1996-2005 Motor Tempel 210
Besar
Perahu Layar Sedang
Kecil
Total
1996
Kapal Motor 0
54
69
45
378
1997
0
210
54
69
45
378
1998
32
183
40
55
45
355
1999
241
151
26
32
37
487
2000
553
113
21
26
29
742
2001
584
118
14
24
27
767
2002
639
120
3
13
23
798
2003
795
128
3
8
16
950
2004
699
115
0
5
10
829
2005
855
130
0
0
10
995
Tahun
Sumber : PPP Karimunjawa 2006
51
4.1.4 Nelayan Nelayan yang ada di Kepulauan Karimunjawa dibedakan menjadi dua tipe, yaitu juragan dan pandega. Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap dan kapal penangkapan ikan, sedangkan nelayan pandega atau nelayan penggarap adalah nelayan yang melakukan usaha atau kegiatan penangkapan ikan di laut. Perkembangan jumlah nelayan di Karimunjawa selama periode 1996-2005 menurut kelompok juragan dan pandega disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Perkembangan jumlah nelayan di Karimunjawa tahun 1996-2005 Tahun
Juragan
Pandega
Total
1996
488
1.608
2.096
1997
488
1.608
2.096
1998
374
1.861
2.225
1999
287
1.953
2.240
2000
244
2.131
2.375
2001
251
2.269
2.520
2002
262
2.318
2.580
2003
264
2.436
2.700
2004
761
2.148
2.945
2005
299
2.624
2.923
Sumber : PPP Karimunjawa 2006 4.2 Sistem Zonasi Taman Nasional Karimunjawa TNKJ dikelola berdasarkan sistem zonasi atau mintakat. Berdasarkan keputusan Dirjen PHKA No. 79/IV/set-3/2005 kawasan TNKJ dibagi menjadi 7 zona (Tabel 9 dan Gambar 4), yaitu: (1) Zona inti atau core zone, adalah zona yang mutlak dilindungi, karena didalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Tujuan penetapan zona inti adalah untuk memberikan perlindungan mutlak atas potensi utama ekosistem perairan laut dan habitat jenis biota perairan laut. Fungsi dan peruntukannya sebagai pengawet perwakilan tipe ekosistem perairan laut yang khas atau alami atau unik dan biota laut lainnya yang langka atau hampir punah, dan merupakan bank plasma nutfah dari biota laut, untuk kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan penunjang budidaya.
52
(2) Zona perlindungan atau preservation zone adalah zona yang diperuntukkan untuk melindungi zona inti, yang merupakan areal untuk mendukung upaya perlindungan spesies, pengembangbiakan alami jenis-jenis satwa liar, termasuk satwa migran serta proses-proses ekologis alami yang terjadi didalamnya. (3) Zona pemanfaatan pariwisata atau tourism zone adalah zona yang dikembangkan untuk kepentingan kegiatan wisata alam bahari dan wisata alam
lain
yang
ramah
lingkungan.
Pada
kawasan
tersebut
dapat
dikembangkan sarana prasarana rekreasi dan pariwisata alam yang ramah lingkungan dan konservatif melalui perizinan khusus. (4) Zona pemukiman atau settlement zone adalah zona yang diperuntukkan untuk kepentingan pemukiman masyarakat yang secara sah sudah ada sebelum kawasan ditetapkan, dengan memperhatikan aspek konservasi. (5) Zona rehabilitasi atau rehabilitation zone adalah zona yang diperuntukkan untuk kepentingan pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan. Fungsi dari zona rehabilitasi dalam rangka pemulihan kawasan yang rusak agar dapat dikembalikan kepada fungsi semula. Kegiatan rehabilitasi ekosistem terumbu karang diupayakan menggunakan bahan-bahan atau substrat sealami mungkin. (6) Zona budidaya atau marine culture zone adalah zona yang diperuntukkan untuk kepentingan budidaya perikanan seperti budidaya rumput laut, karamba jaring apung, dan lain-lain, oleh masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. (7) Zona pemanfaatan perikanan tradisional atau traditional fishery zone adalah zona yang diperuntukkan untuk kepentingan pemanfaatan perikanan yang sudah berlangsung turun temurun oleh masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. Aktifitas yang boleh dilakukan adalah pemanfaatan perikanan tradisional dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, kegiatan budidaya, dan karamba. Aktifitas yang tidak boleh
dilakukan
di
zona
pemanfaatan
perikanan
tradisional
adalah
penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan alat tangkap muroami, jaring ambai, pocong, cantrang, dan sianida.
53
Tabel 9 Sistem zonasi dan luas masing-masing zona di TNKJ No.
Zona
Luas (ha) (%) 444,63 0,40
1
Inti
2
Perlindungan
2.587,71
2,32
3
Pemanfaatan Pariwisata
1.226,53
1,10
4
Pemukiman
2.571,55
2,30
5
Rehabilitasi
122,51
0,11
6
Budidaya
788,21
0,71
7
Pemanfaatan Perikanan Tradisional Jumlah
103.883,86
93,07
111.625,00
100,00
Lokasi Sebagian perairan Pulau Kumbang, Taka Menyawakan, Taka Malang, dan Tanjung Bomang. Hutan tropis dataran rendah di Pulau Karimunjawa, dan hutan mangrove. Perairan Pulau Geleang, Pulau Burung, Tanjung Gelam, Pulau Sintok, Pulau Cemara Kecil, Pulau Katang, Gosong Selikur, dan Gosong Tengah. Perairan Pulau Menjangan Besar, Pulau Menjangan Kecil, Pulau Menyawakan, Pulau Kembar, Pulau Tengah, sebelah timur Pulau Kumbang, Pulau Bengkoang, Indonor, dan Karang Kapal. Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, dan Pulau Nyamuk. Perairan sebelah timur Pulau Parang, sebelah timur Pulau Nyamuk, sebelah barat Pulau Kemujan, dan sebelah barat Pulau Karimunjawa. Perairan Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Menjangan Besar, Pulau Parang, dan Pulau Nyamuk. Seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan TNKJ. Kawasan TNKJ
Penentuan lokasi yang merupakan bagian dari suatu zona didasarkan pada kondisi ekosistem yang menyusun lokasi atau zona tersebut, daya dukung lokasi terhadap zona yang dianut, fungsi lokasi sesuai dengan peruntukkan bagi fungsi zona, jarak dari pelabuhan perikanan Karimunjawa dan kelimpahan sumber daya yang ada di lokasi tersebut. Lokasi dan kondisi ekosistem tiap zona yang ada di TNKJ disajikan pada Tabel 10.
Gambar 4 Peta zonasi Taman Nasional Karimunjawa
54
55
Tabel 10 Kondisi ekosistem tiap zona No. 1.
2.
Zona, Lokasi Inti (meliputi perairan:) a. Pulau Kumbang
Kondisi Ekosistem Tingkat pemanfaatan SDA relatif rendah Memiliki ekosistem terumbu karang dan padang lamun Jarak dari pelabuhan terdekat + 4,62 km Lokasi masih terlihat dari pemukiman Sebagai tempat bertelurnya penyu Keterwakilan zona di wilayah barat Merupakan daerah pemijahan ikan
b. Taka Menyawakan
c. Tanjung Bomang
Tingkat pemanfaatan SDA relatif rendah Memiliki ekosistem terumbu karang dan padang lamun Jarak dari pelabuhan terdekat + 5,53 km Lokasi masih terlihat dari pemukiman Memiliki kekayaan jenis ikan karang yang tinggi
d. Taka Malang
Tingkat pemanfaatan SDA relatif rendah Merupakan lokasi kesepakatan dengan masyarakat Memiliki ekosistem terumbu karang Jarak dari pelabuhan + 4 km Merupakan daerah pemijahan ikan
Tingkat pemanfaatan SDA relatif tinggi Merupakan lokasi yang diusulkan masyarakat Memiliki ekosistem terumbu karang Jarak dari pelabuhan + 6,56 km Merupakan daerah pemijahan ikan
Perlindungan 1. Perairan di sekitar pulau: a. Cemara Kecil Tingkat pemanfaatan SDA relatif tinggi Termasuk lokasi yang diusulkan masyarakat Memiliki ekosistem terumbu karang dan seagrass Jarak dari pelabuhan terdekat + 6,25 km Lokasi masih terlihat dari pemukiman Memiliki tingkat biomassa ikan karang yang tinggi Tempat penyu mendarat dan bertelur b. Sintok
Tingkat pemanfaatan SDA relatif tinggi Termasuk lokasi yang diusulkan masyarakat Memiliki ekosistem terumbu karang dan seagrass Jarak dari pelabuhan terdekat + 6,25 km Lokasi masih terlihat dari pemukiman Memiliki tingkat biomassa ikan karang yang tinggi Tempat penyu mendarat dan bertelur
56
No.
Zona, Lokasi c. Geleang dan Burung
Kondisi Ekosistem Tingkat pemanfaatan SDA masih tinggi Memiliki ekosistem terumbu karang dan seagrass Jarak dari pelabuhan terdekat + 7,10 km Lokasi tidak terlihat dari pemukiman Kekayaan jenis karang termasuk kategori sedang Merupakan tempat hidup burung elang putih, sula-sula, dan junai mas Tempat bertelur penyu Merupakan daerah pemijahan ikan
d. Katang
e. Gosong Selikur
f. Gosong Tengah
g. Tanjung Gelam
Tingkat pemanfaatan SDA masih tinggi Memiliki ekosistem terumbu karang dan padang lamun Jarak dari pelabuhan terdekat + 2,15 km Lokasi masih terlihat dari pemukiman Merupakan daerah pemijahan ikan
2. Daratan a. Hutan hujan tropis dataran rendah b. Hutan mangrove Karimunjawa dan Kemujan
Tingkat pemanfaatan SDA masih rendah Memiliki ekosistem terumbu karang Jarak dari pelabuhan terdekat + 1,13 km Lokasi masih terlihat dari pemukiman Kekayaan jenis karang dan ikan karang termasuk kategori tinggi
Tingkat pemanfaatan SDA masih rendah Memiliki ekosistem terumbu karang Jarak dari pelabuhan terdekat + 5,75 km Lokasi masih terlihat dari pemukiman Kekayaan jenis karang dan ikan karang termasuk kategori sedang Persentase penutupan karang termasuk kategori sedang Tingkat pemanfaatan SDA masih tinggi Memiliki ekosistem terumbu karang Jarak dari pelabuhan terdekat + 2,75 km Lokasi masih terlihat dari pemukiman Kekayaan jenis karang dan ikan karang termasuk kategori sedang Persentase penutupan karang termasuk kategori sedang
Pengaturan tata air, jenis vegetasi flora dan fauna Memiliki fungsi ekologis sebagai peredam gelombang, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, penghasil detritus, daerah asuhan, daerah mencari makanan, daerah pemijahan ikan, udang, dan kerangkerangan
57
No. 3
4
Zona, Lokasi Pemanfaatan Pariwisata Menjangan Kecil, Menjangan Besar, Menyawakan, P. Kembar, P. Tengah, Bengkoang, Indonor, dan Karang Kapal Budidaya Perairan sekitar P. Karimunjawa, Kemujan, Menjangan Besar, Parang, dan Nyamuk
Kondisi Ekosistem
Hasil dari identifikasi potensi wisata dan beberapa literatur
Berdasarkan beberapa literatur mengenai lokasi yang layak dijadikan sebagai zona budidaya
5.
Pemanfaatan Perikanan Tradisional Seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan sebelumnya
6.
Pemukiman P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Parang, dan P. Nyamuk
7.
Rehabilitasi Perairan sebelah timur Pulau Parang, sebelah timur Pulau Nyamuk, sebelah barat Pulau Kemujan, dan sebelah barat Pulau Karimunjawa.
Sesuai dengan peruntukkan wilayah saat ini
Sesuai dengan peruntukkannya saat ini
4.3 Keterpaduan antar Zona Kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di semua zona adalah kegiatan pemantauan, penelitian dengan ijin, dan pemulihan lingkungan. Sedangkan kegiatan yang dilarang dilakukan di semua zona adalah pemasangan jangkar (kecuali
tempat-tempat
tertentu),
pengumpulan
spesies
yang
dilindungi,
perusakan habitat laut dan daratan, pembuangan sampah atau limbah (kecuali tempat yang telah ditentukan), pengambilan kayu bakar, penggunaan sianida, racun, hookah, atau bahan peledak untuk penangkapan ikan. Jenis-jenis kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang dilakukan di TNKJ disajikan pada Tabel 11 dan keterpaduan kegiatan antar zona yang ada disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 5.
58
Tabel 11 Kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang di kawasan TNKJ No.
1
2
Kegiatan
Zona Inti
Perlindungan
Diijinkan
Dilarang
Pemantauan, penelitian (ijin),
Semua kegiatan lain
pemulihan lingkungan.
dilarang
Wisata terbatas dengan ijin.
Semua kegiatan lain dilarang
3
Pemanfaatan
Wisata dengan ijin,
Semua kegiatan lain
wisata
pembangunan fasilitas untuk
dilarang
pengelolaan taman nasional. 4
Budidaya
Wisata, marikultur, budidaya,
Semua kegiatan lain
penangkapan ikan di tempat-
dilarang
tempat yang ditunjuk dengan alat tangkap kecil dan dengan pembatasan. 5
6
Pemanfaatan
Penangkapan ikan untuk
Semua kegiatan lain
Perikanan
rekreasi, untuk kebutuhan
dilarang, penangkapan
Tradisional
sehari-hari dan pelagis
spesies dasar laut,
komersial, dengan
Nautilidae, Sepiidae,
pembatasan jenis alat, spesies
Octodidae, dan invertebrata
yang dipanen, dan lokasi.
laut kecuali Loliginidae.
Penelitian dan pelatihan.
Semua kegiatan lain yang
Rehabilitasi
dilarang. 7
Pemukiman
Pemeliharaan binatang
Semua kegiatan lain yang
piaraan, pengambilan pasir
dilarang,
atau batu kapur, penggunaan
dilarang.
pestisida di rumah pertanian terbatas, dan kegiatankegiatan hidup sehari-hari lainnya.
dan
pendatang
59
Tabel 12 Keterpaduan kegiatan antar zona No. 1.
Zona Inti
Kegiatan Pemantauan, penelitian
Zona yang Terkait Semua zona
(ijin), pemulihan lingkungan.
2.
Perlindungan
Perlindungan spesies liar,
Pemanfaatan Pariwisata
wisata terbatas. 3.
Pemanfaatan
Wisata dengan ijin,
Budidaya (terbatas),
Pariwisata
pembangunan fasilitas
pemanfaatan perikanan
untuk pengelolaan taman
tradisional, pemukiman
nasional.
(terbatas), perlindungan (terbatas)
4.
Budidaya
Wisata, marikultur,
Pemanfaatan pariwisata,
budidaya, penangkapan
pemanfaatan perikanan
ikan di tempat-tempat yang
tradisional
ditunjuk dengan alat tangkap kecil dan dengan pembatasan.
5.
Pemanfaatan
Penangkapan ikan untuk
Pemanfaatan Pariwisata,
Perikanan
rekreasi, untuk kebutuhan
budidaya
Tradisional
sehari-hari dan pelagis komersial, dengan pembatasan jenis alat, spesies yang dipanen, dan lokasi.
6.
Rehabilitasi
Penelitian dan pelatihan.
Semua zona
7.
Pemukiman
Pemeliharaan binatang
Pemanfaatan pariwisata
piaraan, pengambilan pasir
(terbatas)
atau batu kapur, penggunaan pestisida di rumah pertanian terbatas, dan kegiatan-kegiatan hidup sehari-hari lainnya.
60
Gambar 5 Keterpaduan antar zona yang ada di Karimunjawa.
4.4 Pemilihan Komoditas Unggulan Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan prioritas komoditas unggulan, yaitu nilai ekonomis, volume, kontinuitas, mutu, dan peluang diversifikasi untuk masing-masing komoditas, maka diperoleh hasil bahwa komoditas unggulan perikanan tangkap Karimunjawa adalah ikan kerapu, tongkol, dan cumi-cumi (Tabel 13 dan Lampiran 1).
61
Tabel 13 Skala prioritas komoditas unggulan perikanan tangkap terpilih di Karimunjawa No.
Jenis Komoditas
Skala
1.
Kerapu (Ephinephelus sp)
Sangat Tinggi
2.
Tongkol (Euthynnus sp)
Sangat Tinggi
3.
Cumi-cumi (Loligo sp)
Sangat Tinggi
4.
Lobster (Panulirus sp)
Tinggi
5.
Teri (Stelophorus sp)
Tinggi
6.
Ekor kuning (Caesio sp)
Tinggi
7.
Teripang (Holothuria)
Tinggi
8.
Kakap merah (Lutjanus altifrontalis)
Tinggi
4.5 Pemilihan Alat Tangkap Ideal Berdasarkan data dari PPP Karimunjawa (2006) dipilih empat alternatif alat tangkap yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi alat tangkap ideal yang mampu mendukung perkembangan sektor pariwisata bahari di Karimunjawa berdasarkan jumlah perkembangan alat tangkap selama kurun waktu 10 tahun. Perkembangan jumlah alat tangkap menurut jenis alat tangkap yang ada di Karimunjawa selama periode tahun 1996-2005 dapat dilihat pada Tabel 14. Hasil pengujian alat tangkap ideal disajikan pada Tabel 15 dan Lampiran 2. Tabel 14 Perkembangan jumlah alat tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005 Tahun
Jaring Insang
Pancing Tonda
Bubu
Bagan Apung
1996
22
170
115
77
1997
20
170
115
77
1998
25
284
360
71
1999
36
473
600
71
2000
79
550
1.200
83
2001
98
680
1.600
87
2002
154
640
2.000
92
2003
227
650
2.000
96
2004
334
662
2.062
102
2005
384
612
2.128
114
Sumber : PPP Karimunjawa 2006
62
Tabel 15 Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Karimunjawa No.
Jenis Alat Tangkap
Skala
1.
Bubu (fish trap)
Sangat Tinggi
2.
Pancing Tonda (troll line)
Sangat Tinggi
3.
Jaring insang (gillnet)
Tinggi
4.
Bagan Apung (floating liftnet)
Tinggi
Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan alat tangkap ideal, diketahui bahwa alat tangkap ideal untuk dikembangkan di Karimunjawa dan mendukung sektor pariwisata bahari adalah alat tangkap bubu dan pancing tonda (Tabel 15), yang mempunyai bobot atau skala sangat tinggi. Kemudian diikuti oleh jaring insang dan bagan apung yang mendapatkan bobot tinggi.
4.6 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap Untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha perikanan tangkap perlu dilakukan analisis finansial. Kriteria yang digunakan adalah NPV, Net B/C, dan IRR. Penentuan layak atau tidaknya suatu usaha perikanan tangkap adalah dengan
cara
membandingkan
masing-masing
nilai
dengan
batas-batas
kelayakan, yaitu: NPV > 0; Net B/C > 1, dan IRR > 8%. Hasil kelayakan usaha terhadap alat tangkap terpilih disajikan pada Tabel 16. Arus pendapatan, biaya, serta perhitungan NPV, Net B/C, dan IRR dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 16 Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan bubu dan pancing tonda di Karimunjawa No.
Kriteria
1.
NPV
2.
Net B/C
3.
IRR
Bubu
Pancing Tonda
Rp. 26.176.834,00
Rp. 38.496.847,00
2,72
3,14
72,48%
64,68%
Hasil analisis kelayakan usaha menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap buba dan pancing tonda masih layak untuk diusahakan, karena berdasarkan hasil analisis finansial dengan discount rate 16% menunjukkan nilai NPV positif, Net B/C lebih besar dari satu, dan IRR diatas tingkat suku bunga yang wajar.
63
4.7 Prioritas Pengembangan Perikanan Tangkap Penentuan prioritas pengembangan perikanan tangkap yang dilakukan dengan pendekatan fuzzy AHP didasarkan pada tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah fokus prioritas pengembangan perikanan tangkap, tingkat kedua adalah kriteria atau aspek, dan tingkat ketiga adalah alternatif pengembangan perikanan tangkap. Fokus pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa adalah penentuan prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa. Kriteria pengembangan perikanan tangkap yang digunakan meliputi aspek SDM, SDA, SDI, sarana dan prasarana, nelayan, dan masyarakat sekitar. Alternatif pengembangan perikanan tangkap adalah dengan pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan sehingga mendukung pengembangan sektor pariwisata bahari, optimalisasi pemanfaatan pelabuhan perikanan sebagai prasarana pendukung dalam pengembangan perikanan tangkap, pembinaan masyarakat nelayan berkaitan dengan penguasaan suatu teknologi dalam pengelolaan sumber daya perikanan dengan cara-cara pemanfaatan SDA yang keberlanjutan dan tetap memperhatikan aspek konservasi, dan peningkatan ketrampilan nelayan untuk menciptakan tenaga-tenaga (SDM) yang berkualitas. Hasil perhitungan skor akhir dan rangking dari alternatif dan kriteria disajikan pada Tabel 17 dan Gambar 6. Proses perhitungan penentuan prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa disajikan pada Lampiran 4.
Tabel 17 Hasil dan ranking skor akhir No. 1. 2. 3. 4.
Alternatif Pengembangan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan Optimalisasi pemanfaatan pelabuhan perikanan Pembinaan masyarakat nelayan Peningkatan ketrampilan nelayan
Skor akhir 0,3599
Rangking 1
0,1840
3
0,2888 0,1673
2 4
64
Gambar 6 Prioritas pengembangan perikanan tangkap. Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa kriteria SDI memiliki bobot tertinggi, yaitu sebesar 0,2143, hal ini menunjukkan bahwa SDI memiliki peran yang sangat penting atau vital dalam mendukung keberlanjutan usaha perikanan tangkap di Karimunjawa. Kriteria kedua yaitu masyarakat sekitar dengan bobot 0,2129, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sekitar yang didominasi oleh nelayan, memiliki keterkaitan yang erat dalam menunjang keberlanjutan SDI. Pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa adalah pengembangan teknologi penangkapan ikan, hal ini terkait dengan kriteria yang memiliki bobot tertinggi juga, yaitu SDI dan masyarakat sekitar, sehingga strategi yang cocok adalah pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (Gambar 6 dan Tabel 17) sehingga diperoleh pengelolaan dan pemanfaatan perikanan tangkap yang berkelanjutan.
5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perikanan Tangkap Perikanan telah sejak lama dipahami sebagai salah satu sumber daya yang begitu besar yang dimiliki oleh Indonesia. Pada abad VII, misalnya, perdagangan laut, termasuk perikanan, telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini. Pada era kemerdekaan, kesadaran akan pentingnya mengelola SDI semakin mengemuka. Hal ini antara lain dituangkan dalam wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan menyangkut: (1) perjuangan Konsepsi Archipelago sesuai Deklarasi Juanda 13 Desember 1957, (2) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, dan (3) perikanan sebagai salah satu arus utama (mainstream) pembangunan nasional. Pada tahun 1961, bersama minyak bumi dan hasil hutan, perikanan dicanangkan sebagai salah satu penggerak ekonomi nasional seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun oleh Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas) (DJPT 2006). Salah satu sumber daya perikanan dan kelautan yang masih kurang mendapatkan perhatian adalah sumber daya pulau-pulau kecil. Dari 17.508 pulau yang ada di Indonesia, potensi pulau kecil diperkirakan mencapai 10.000 pulau (Kusumastanto 2003). Jika dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, maka pulau-pulau kecil dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru dan dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah dan antar kelompok sosial. Kepulauan Karimunjawa merupakan gugusan pulau kecil yang berjumlah 27 pulau. Karimunjawa memiliki sumber daya yang melimpah dengan didukung oleh kondisi ekosistem perairan yang terdiri atas terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yang tersebar hampir di seluruh perairan di Karimunjawa, yang merupakan habitat yang sangat baik untuk perkembangbiakan ikan. Penggunaan dan penguasaan teknologi penangkapan ikan yang semakin modern dan ketersediaan tenaga kerja yang melimpah sebagai nelayan memungkinkan Karimunjawa untuk dikembangkan sebagai pusat perikanan di Jawa Tengah. Kondisi perikanan tangkap di Karimunjawa dari segi produksi ikan selama tahun 1996-2005 mengalami fuktuasi, tetapi sejak tahun 2001 terus mengalami peningkatan (Gambar 3), hal ini didukung dengan perkembangan jumlah nelayan
66
yang sampai dengan tahun 2005 terus mengalami peningkatan hingga mencapai 2.923 orang (Tabel 8) dan peningkatan jumlah kapal penangkap ikan (Tabel 7), di mana banyak nelayan yang sudah meninggalkan perahu layar dan beralih menggunakan kapal motor dan motor tempel untuk melakukan penangkapan ikan sehingga dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh. Masyarakat Karimunjawa dalam melakukan penangkapan ikan masih menggunakan alat tangkap yang sederhana dan merupakan alat tangkap yang digunakan secara turun temurun, seperti pancing tonda, bagan apung, bubu, muroami, payang (pukat), rawai dasar, jaring kapal (jaring insang), dan alat tangkap lain (Tabel 6), dengan kapal motor yang berukuran < 15 GT dengan waktu melaut hanya satu hari sehingga hasil tangkapannya relatif hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hasil observasi di lapangan dan wawancara dengan nelayan, alat tangkap yang ada bukanlah alat tangkap yang semuanya dipergunakan di Karimunjawa, tetapi alat tangkap tersebut mendaratkan hasil tangkapannya di PPP Karimunjawa. Jenis alat tangkap yang berkembang di Karimunjawa pada dasarnya ada tiga buah, yaitu pancing tonda, bubu, dan bagan apung atau yang lebih dikenal dengan sebutan branjang. Jenis alat tangkap yang banyak terdapat di Karimunjawa adalah bubu (Tabel 6), hal ini karena kondisi perairan Karimunjawa yang memiliki dasar perairan berkarang, sehingga banyak nelayan yang menggunakan bubu untuk menangkap ikan-ikan karang, seperti ikan kerapu, napoleon, dan ekor kuning. Pancing tonda biasa digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis, seperti tongkol yang merupakan ikan sasaran utama dari pancing tonda. Sedangkan bagan apung atau branjang biasa dipergunakan untuk menangkap ikan teri. Nelayan-nelayan di Karimunjawa biasanya memiliki berbagai jenis alat tangkap, hal ini dilakukan agar para nelayan dapat tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan sepanjang tahun, sehingga meskipun terjadi pergantian musim yang berarti pergantian musim ikan pula, nelayan dapat tetap melakukan penangkapan ikan, dalam hal ini misalnya nelayan pancing tonda yang juga memiliki alat tangkap pancing lain, seperti pancing cumi-cumi dan pancing ulur. Penangkapan ikan karang dan ikan demersal juga banyak dilakukan dengan menggunakan kompresor hookah, sianida, potas, dan dinamit sehingga merusak ekosistem terumbu karang yang ada. Alat tangkap muroami juga mulai ada di Karimunjawa. Muroami yang ada di Karimunjawa merupakan alat tangkap
67
yang di bawa oleh nelayan pendatang dari Pulau seribu dengan ukuran kapal > 70 PK dan biasanya mereka berkelompok antara 10-14 orang, dengan ikan sasaran yaitu ekor kuning. Kegiatan alat tangkap muroami sering mengancam degradasi sumber daya perikanan yang ada di kawasan TNKJ dan sering menimbulkan konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan muroami, sehingga perlu adanya pengaturan dan pengawasan dari instansi atau pihak terkait mengenai masalah ini, atau dengan pemberian sanksi yang jelas dan berat terhadap penggunaan muroami serta pengenalan aturan-aturan lokal (local wisdom) terhadap nelayan-nelayan pendatang. Daerah operasi penangkapan ikan dengan alat tangkap muroami adalah daerah Karang Kapal, perairan sebelah timur Karimunjawa, Pulau Kemujan, Krakal Besar, Krakal Kecil, Nyamuk, Parang, Menyawakan, Bengkoang, Cemara, Cilik, Geleang, Burung, dan seruni. Di daerah-daerah tersebut perlu dilakukan pengawasan dengan ketat agar tidak dipergunakan sebagai daerah penangkapan bagi para nelayan muroami. Kondisi perikanan tangkap Karimunjawa yang masih menjanjikan untuk dikelola, kekayaan potensi sumber daya, dan keanekaragaman sosial budaya yang dimiliki oleh Karimunjawa memungkinkan untuk dilakukannya pola pembangunan yang sesuai dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tetap memegang teguh aspek kelestarian dan konservasi alam. Pemikiran pembangunan yang relevan untuk mengembangkan pulau kecil adalah membangun pulau kecil dengan berbasiskan pada kekuatan sumber daya lokal yang dimiliki, sehingga dapat mengembangkan perekonomian masyarakat lokal. Menurut Kusumastanto (2003), pengembangan pulau-pulau kecil dengan karakteristiknya memiliki beberapa kendala pembangunan, yaitu: (1) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal. SDM yang andal dan mau bekerja di lokasi tersebut sedikit. Luas pulau kecil itu bukan suatu kelemahan jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuninya tersedia di pulau yang dimaksud. Akan tetapi, begitu jumlah penduduk meningkat secara drastis, diperlukan barang dan jasa dari pasar yang jauh dari pulau itu, berarti biaya mahal. (2) Kesukaran dan ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi. Hal ini turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia.
68
(3) Ketersediaan SDA dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, yang pada gilirannya menentukan daya dukung sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni serta segenap kegiatan pembangunan. (4) Produktivitas SDA dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat. (5) Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Contohnya bidang pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau-pulau kecil. Di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat. Berdasarkan kondisi perikanan Karimunjawa yang telah dikemukakan diatas dan beberapa permasalahan pembangunan pulau-pulau kecil, bukan berarti pulau-pulau kecil ditinggalkan dan tidak dikembangkan, tetapi pola pemanfaatan, pengelolaan dan pembangunannya harus mengikuti prinsip-prinsip ekologis dan konservasi sebagai mana prinsip yang dianut oleh sebuah taman nasional. Kegiatan pengembangan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan perencanaan yang baik dan terarah agar hasil dari pengembangan dan pembangunannya dapat optimal dan berkelanjutan serta dapat meningkatkan kesejahteraan semua pihak yang ada di daerah tersebut, khususnya masyarakat nelayan sebagai pelaku utama perikanan tangkap dan mayoritas penduduk di Karimunjawa.
5.2 Pemanfaatan Zonasi TNKJ Wilayah Kepulauan Karimunjawa sebagian besar berupa gugusan pulau kecil yang dikelilingi oleh terumbu karang dan padang lamun, sebagian masih alami sehingga mempunyai kekayaan SDI yang tinggi di samping menyimpan keindahan alam bawah laut yang menawan. Hal ini memungkinkan bagi Karimunjawa untuk dipergunakan sebagai kawasan pemukiman dengan kehidupan masyarakat yang bertumpu pada kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan sebagai penopang utama kehidupan masyarakat. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian pendahuluan bahwa wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa telah ditetapkan menjadi taman nasional
69
melalui SK Menteri Kehutanan No.78/Kpts-II/1999, yang berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 79/IV/set-3/2005 dibagi menjadi tujuh zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona pemukiman, zona rehabilitasi, zona budidaya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional (Tabel 9). TNKJ telah mengalami dua kali revisi dalam penerapan sistem zonasi. Pada tahun 1998, TNKJ untuk pertama kalinya setelah ditetapkan sebagai taman nasional, dibagi menjadi 4 zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan, dan zona penyangga. Pada tahun 2001 untuk pertama kalinya dilakukan revisi terhadap sistem zonasi yang dianut oleh TNKJ menjadi delapan zona, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan wisata, zona pemanfaatan tradisional, zona pemanfaatan pelagis, zona khusus penelitian dan pendidikan, zona pemukiman tradisional, dan zona penyangga. Perubahan dari empat zona menjadi delapan zona dilakukan karena kondisi yang ada tidak memungkinkan untuk tetap dipertahankan menjadi empat zona karena tidak mendukung untuk kegiatan yang ada dan sudah tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya. Revisi tahun 2001 menambah beberapa zona, di mana untuk zona pemanfaatan dijabarkan lebih rinci sesuai dengan peruntukkan pemanfaatan yang dimaksud. Masing-masing zona pemanfaatan yang dijabarkan menjadi lebih rinci tersebut diantaranya adalah zona pemanfaatan wisata, pemanfaatan tradisional, dan pemanfaatan pelagis. Di samping itu pula, dilakukan penambahan zona yaitu zona khusus penelitian dan pendidikan serta zona pemukiman tradisional. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan ruang tersendiri terhadap kegiatan-kegiatan penelitian dan pendidikan, serta kegiatan penduduk dalam zona pemukiman tradisional. Sementara zona inti, zona rimba, dan zona penyangga tetap ada di dalam sistem zonasi tahun 2001. Revisi kedua terhadap sistem zonasi dilakukan pada tahun 2005, di mana di dalam sistem zonasi TNKJ dilakukan pengurangan jumlah zona yang ada menjadi tujuh zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona rehabilitasi, zona budidaya, zona pemukiman, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Di mana zona yang dihilangkan adalah zona penyangga. Dalam sistem zonasi tahun 2005 ini luasan masing-masing zona diatur berdasarkan kebutuhan untuk kegiatan di dalam zona dan peruntukkan zona. Perubahan jumlah zona dimaksudkan untuk pengefektifan fungsi masingmasing zona sehingga mempermudah dalam pengelolaannya. Wilayah yang dulu tidak termasuk ke dalam suatu zona kemudian dimasukkan menjadi kawasan
70
suatu zona diputuskan dan ditetapkan berdasarkan kondisi perkembangan ekosistem, jenis spesies yang dilindungi, dan kemudahan dalam pengelolaannya. Sistem zonasi untuk kawasan taman nasional digunakan untuk membagi kawasan taman nasional menjadi beberapa zona guna menentukan kebijakan pengelolaan secara tepat dan efektif di masing-masing zona untuk mencapai tujuan pengelolaan taman nasional sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, sehingga zonasi merupakan prasyarat mutlak keberadaan suatu taman nasional. Sistem zonasi suatu taman nasional merupakan bentuk penjabaran perencanaan pengelolaan, penataan dan pemanfatan zonasi untuk kepentingan konservasi dan pemanfaatan sosial ekonomi masyarakatnya. Penataan zonasi merupakan kondisi awal yang harus dipenuhi sebelum meningkat kepada proses pengembangan kawasan, pemanfaatan dan sistem pengelolaan yang efektif. Salah satu kebutuhan taman nasional
yang cukup
mendasar adalah penataan zonasi yang didasarkan kepada aspek yang menyeluruh, sehingga dalam pelaksanaannya mampu menjalankan fungsi kawasan pelestarian alam dan didukung secara penuh oleh seluruh pihak terkait termasuk masyarakat Karimunjawa sebagai pihak yang secara langsung berada di kawasan Karimunjawa. Sistem zonasi yang berlaku di TNKJ yang membagi TNKJ menjadi tujuh zona (Tabel 9 dan Gambar 4) lebih sesuai dan serasi dengan prinsip konservasi dan kebutuhan pemanfaatan, di mana keduanya saling terpadu dan saling mendukung satu sama lain. Pembagian, penataan, dan pemanfaatan setiap zona dimaksudkan untuk pengelolaan TNKJ agar sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya. Hal ini selaras dengan pendapat dari Sya’rani dan Suryanto (2006), yang menyatakan bahwa penataan sistem zonasi di Karimunjawa diharapkan tidak lagi didasarkan pada zona inti, penyangga dan pemanfaatan, tetapi penataan zonasi perlu dilakukan dengan pendekatan sistem pemanfaatan zona yang ada, yaitu menggunakan pendekatan kondisi kesesuaian wilayah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di Karimunjawa, sehingga dapat memberikan manfaat, bahwa pemanfaatan masing-masing wilayah dapat disesuaikan dengan daya dukung wilayahnya dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar wilayah karena dengan adanya penataan akan dapat memberikan
kejelasan
wilayah
dimanfaatkan secara terbatas.
yang
dapat
dimanfaatkan
atau
dapat
71
Zona inti yang memiliki luas 444,63 ha (0,40%) merupakan zona yang mutlak tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk kegiatan umum, kecuali kegiatan pemantauan, penelitian, dan pemulihan lingkungan (Tabel 9). Luasan zona inti memadai untuk dilakukannya kegiatan-kegiatan yang lebih bersifat penelitian dan konservasi, dengan tetap mempertahankan dan menjaga keaslian ekosistem yang ada. Zona perlindungan memiliki luas 2.587,71 ha (2,32%), hal ini sesuai dengan fungsi dari zona perlindungan, yaitu sebagai pelindung atau pengaman bagi zona inti. Zona perlindungan memiliki fungsi lain yang juga sangat vital, yaitu melindungi spesies atau satwa liar, sehingga membutuhkan ruang yang cukup untuk melakukan fungsi perlindungan tersebut. Luasan zona perlindungan juga harus mampu melindungi zona inti dan spesies langka sekaligus, sebagai satu kesatuan fungsi. Untuk itu luasan zona perlindungan yang lebih luas dari pada zona inti diharapkan dapat melindungi dan menjaga serta menyokong keaslian ekosistem yang ada di dalam zona inti. Zona pemanfaatan pariwisata seluas 1.226,53 ha (1,10%) dimaksudkan untuk kegiatan pariwisata yang bersifat konservatif. Luasan untuk kegiatan pariwisata sejauh ini sudah mencukupi, terutama karena kegiatan pariwisata yang dilakukan di Karimunjawa lebih banyak dilakukan di perairan-perairan (pariwisata bahari) yang sering kali juga banyak dilakukan di zona pemanfaatan perikanan tradisional (wisata air, penyelaman, pemancingan, snorkeling). Zona pemukiman memiliki luas 2.571,55 ha (2,30%). Penetapan luas zona pemukiman didasarkan pada wilayah yang didiami oleh penduduk Karimunjawa yang terpusat pada Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, dan Pulau Nyamuk, di mana pulau-pulau tersebut masuk ke dalam wilayah tiga desa yang ada di Karimunjawa, yaitu Desa Karimunjawa, Desa Kemujan, dan Desa Parang, serta berdasarkan perkembangan jumlah penduduk yang hingga tahun 2005 mencapai 9.054 jiwa. Sehingga luasan untuk zona pemukiman masih mencukupi untuk lokasi pemukiman penduduk dan sesuai dengan fungsinya. Zona rehabilitasi seluas 122,51 ha (0,11%). Pada dasarnya zona rehabilitasi berfungsi hampir sama dengan zona inti, yaitu untuk pemulihan lingkungan, terutama pemulihan terhadap ekosistem yang mengalami kerusakan. Zona rehabilitasi banyak memiliki wilayah perairan, terutama perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang, hal ini karena ekosistem terumbu karang sangat rentan terhadap kerusakan terutama akibat aktivitas atau kegiatan
72
manusia. Dengan adanya wilayah seluas 122,51 ha sebagai zona rehabilitasi diharapkan kegiatan pemulihan lingkungan dapat berjalan dengan lancar serta keberlanjutan sumber daya dan lingkungan dapat terus terjaga dan terpelihara dengan baik. Zona budidaya memiliki luas 788,21 ha (0,71%), luasan ini masih cukup untuk kegiatan perikanan budidaya yang ada di Karimunjawa, hal ini dikarenakan sampai sekarang kegiatan perikanan budidaya laut belum begitu berkembang di Karimunjawa. Zona budidaya berada di perairan di sekitar pulau-pulau yang terlindung dari terumbu karang serta gelombang dan arus yang besar sehingga sangat cocok untuk aktivitas budidaya laut. Penentuan lokasi dan luas zona budidaya juga telah sesuai dengan peruntukkan wilayah perairan yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut (Tabel 9 dan Tabel 10). Dari ketujuh zona pada sistem zonasi yang sekarang diterapkan di TNKJ, zona yang terbuka untuk usaha penangkapan ikan adalah zona pemanfaatan perikanan tradisional. Zona pemanfaatan perikanan tradisional memiliki luas 103.883,86 ha (93,07%), merupakan zona yang memiliki wilayah paling luas. Zona ini diperuntukkan untuk kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan perikanan dengan alat tangkap tradisional dan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan dan konservasi. Zona pemanfaatan perikanan tradisional meliputi seluruh perairan di luar zona yang berada di dalam kawasan TNKJ (Tabel 9). Luasan ini sesuai dengan fungsi zona dan kondisi masyarakat Karimunjawa yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan, yang berarti secara langsung sangat tergantung pada laut sebagai mata pencaharian utamanya. Luas zona ini juga mendukung terhadap perkembangan jumlah nelayan yang hingga tahun 2005 mencapai 2.923 jiwa. Wilayah zona pemanfaatan perikanan tradisional berada di luar zonazona lain tetapi masih berada di dalam wilayah atau kawasan taman nasional. Hal ini berarti perairan zona pemanfaatan perikanan tradisional tidak berada pada wilayah terumbu karang dan padang lamun yang dilindungi, sehingga mendukung untuk kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan pelagis. Ini memungkinkan bagi Karimunjawa untuk ke depannya lebih memprioritaskan pada kegiatan perikanan pelagis yang memiliki dampak minimal terhadap terumbu karang, padang lamun dan keragaman SDI, dengan alat tangkap tradisional dan telah dipergunakan secara turun temurun di Karimunjawa yaitu pancing tonda. Dengan adanya zona ini diharapkan para nelayan lebih
73
memanfaatkan perairan yang ada dengan tetap menganut konsep konservasi dan keberlanjutan SDI. Keterpaduan pengelolaan antara kegiatan pemanfaatan SDI dengan kegiatan konservasi berarti bahwa kegiatan pemanfaatan sumber daya yang ada harus menyesuaikan dengan kegiatan dan pengelolaan konservasi, karena aspek sumber daya bertumpu pada keberhasilan dari usaha konservasi. Pengelolaan konservasi juga harus mengakomodasikan dan mengedepankan kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dan pemberdayaan masyarakat nelayan sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi dan keberlanjutan sumber daya perikanan. Sistem zonasi yang diterapkan di TNKJ diharapkan dapat menyelaraskan kondisi Karimunjawa sebagai taman nasional dengan kepentingan penduduk yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Tumpang tindih antara perundangan dengan perijinan perikanan merupakan masalah penting, sehingga perlu koordinasi antar sektor dalam hal penataan ruang (zonasi) yang diterapkan di Karimunjawa seperti Pemerintah Daerah (Pemda) Kecamatan Karimunjawa, Pemda Kabupaten Jepara, Pemda Propinsi Jawa Tengah, Dinas Perikanan dan Kelautan, Bapeda, dan BTNKJ untuk memastikan kondisi dan zona dari TNKJ yang dapat dipergunakan untuk usaha penangkapan ikan dan yang tidak (konservasi), hal ini berkaitan dengan kondisi masyarakat lokal yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Penetapan hak pemanfaatan dan penangkapan ikan eksklusif juga perlu diberlakukan di perairan TNKJ pada zona pemanfaatan perikanan tradisional sehingga kegiatan perikanan tangkap oleh masyarakat nelayan setempat dapat terus dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian SDI dan keberadaan Karimunjawa sebagai sebuah taman nasional. TNKJ sebagai kawasan pelestarian alam memiliki fungsi yang kompleks yaitu sebagai daerah perlindungan dan pengamanan bagi sistem penyangga kehidupan
masyarakat
Karimunjawa,
pengawetan
keanekaragaman
jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan yang adil dan berkelanjutan. TNKJ harus melindungi fauna, flora, dan ekosistem yang ada serta menunjang pembangunan berkelanjutan dan tetap menjunjung tinggi prinsip konservasi. Koordinasi diperlukan dengan instansi-instansi pemerintah setempat, serta dengan masyarakat lokal, lembaga-lembaga penelitian, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sasaran khusus dari TNKJ adalah daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, mempunyai keunikan ekologis, memiliki nilai
74
jual wisata, lokasi migrasi biota dan pemijahan, memiliki biota komersial penting, dan daerah perlindungan hidrologis. Perlindungan diantaranya dilakukan dengan pengukuhan hukum atas sistem batas kawasan darat dan laut, penerapan suatu sistem zonasi di lapangan, penerapan suatu pengawasan efektif oleh staf BTNKJ yang termotivasi untuk menegakkan aturan (dengan dibentuknya seksi pengawas tiap desa), adanya aturan yang jelas yang menjamin perlindungan SDA, perlindungan dan menjaga fungsi tempat pemijahan ikan, serta perlindungan flora dan fauna di kawasan habitat alamnya. Secara
teknis
akan
sulit
untuk
melaksanakan
sistem
zonasi
di
Karimunjawa, hal ini karena titik-titik koordinat dan garis-garis batas memang dapat digambarkan pada peta, namun pada pelaksanaannya di laut tidak mungkin jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir dengan konflik, oleh karena itu diperlukan sosialisasi oleh pihak atau instansi yang berwenang mengenai batasan zonasi yang berlaku terutama terhadap para nelayan yang secara langsung melakukan kegiatan penangkapan di laut dan merupakan pelaku utama kegiatan perikanan tangkap di Karimunjawa. Sosialisasi sistem zonasi kepada masyarakat sangat diperlukan agar masyarakat mengerti dan mematuhi aturan-aturan yang diberlakukan di tiap-tiap zona sehingga kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat tidak merusak atau mengganggu kondisi zona tersebut. Hal ini khususnya sosialisasi kepada masyarakat nelayan sebagai pelaku utama kegiatan perikanan tangkap mengenai batas-batas zona yang dilindungi dengan zona yang diperbolehkan dilakukannya kegiatan penangkapan ikan, misalnya pada zona-zona dengan ekosistem terumbu karang (sekarang banyak yang masuk ke dalam wilayah zona inti, zona perlindungan, dan zona rehabilitasi) yang melarang segala aktivitas pemanfaatan, sehingga nelayan mengerti dan melaksanakan aturan zonasi serta tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan di daerah-daerah tersebut. Potensi ekosistem yang khas yang dimiliki Karimunjawa harus dikelola dengan baik agar tercipta keselarasan antara kepentingan pemanfaatan secara aktif dan kepentingan konservasi. Pola zonasi atau pemintakatan merupakan salah satu alternatif yang baik untuk kepentingan ini, di mana di dalam sistem zonasi terdapat wilayah inti yang harus dijaga kelestariannya dan menghilangkan segala campur tangan manusia pada wilayah tersebut, wilayah perlindungan yang digunakan sebagai wilayah yang dilindungi secara ketat, wilayah
75
pemanfaatan yang merupakan wilayah yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan secara aktif oleh penduduk dengan tetap menjaga kelestariannya. Karena itu dalam pengelolaan dan pemanfaatannya harus dengan perencanaan yang tepat dan ketat dengan tetap memegang konsep pemberdayaan masyarakat setempat, serta sesuai dengan fungsi dan daya dukung kawasan. Pengelolaan Kepulauan Karimunjawa sebagai taman nasional harus bertujuan untuk pelestarian SDA hayati dan ekosistemnya dengan prinsip keberlanjutan dan konservasi agar berfungsi sebagai kawasan perlindungan terhadap kehidupan masyarakat, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistem yang dimiliki, serta pengelolaan dan pemanfaatan secara lestari SDA hayati dan ekosistem secara optimal untuk kepentingan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, perikanan, dan pariwisata. Permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan TNKJ antara lain kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat yang masih rendah sehingga seringkali kurang mendukung dan memahami terhadap kawasan konservasi, belum sinergisnya kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang ada di TNKJ dengan kegiatan konservasi, masyarakat belum mengerti pola pengelolaan yang dilakukan, pengawasan yang dilakukan belum efektif, dan belum adanya peraturan khusus dalam bidang perikanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sya’rani dan Suryanto (2006) yang menyatakan bahwa hambatan dalam pengembangan kepulauan Karimunjawa diantaranya adalah zonasi yang ada belum efektif, karena kesenjangan kepentingan konservasi dan kepentingan pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi masyarakat, dan kemampuan pengendalian eksplorasi dan eksploitasi SDA terbatas . Untuk menangani berbagai permasalahan tersebut diperlukan koordinasi, komunikasi, dan kerjasama semua pihak yang terlibat (stakeholders) sehingga ada kesepahaman dalam visi dan misi dalam menterjemahkan permasalahan yang ada, sehingga akan lebih mudah dalam menentukan arah dan tujuan pengelolaan TNKJ ke depan. Dengan adanya persamaan visi dan misi serta pemahaman terhadap berbagai permasalahan yang ada diharapkan tidak terjadi tarik menarik kepentingan dan tumpang tindih kegiatan, melainkan keterpaduan kegiatan untuk mewujudkan fungsi kawasan konservasi dan sosial ekonomi yang seimbang dan serasi. Masyarakat lokal yang mendiami Karimunjawa adalah bagian yang tak terpisahkan dari subjek pembangunan, pemanfaatan dan pengelolaan TNKJ
76
sehingga diperlukan keterlibatan secara langsung dalam kegiatan pembangunan di TNKJ, yaitu sejak dilakukannya perencanaan hingga evaluasi, sehingga masyarakat dapat lebih menyadari tentang permasalahan yang dihadapi, selain itu akan menumbuhkan rasa memiliki. Karena itu dalam kegiatan pengelolaan dan pembangunan Kepulauan Karimunjawa yang mempunyai karakteristik dan potensi yang spesifik, diperlukan proses perencanaan yang cermat, mendalam dan berkelanjutan, sehingga visi yang perlu dibangun bersama adalah memanfaatkan potensi sumber daya yang ada dengan melestarikan fungsi ekosistem sesuai fungsi dan peruntukkannya sehingga dapat terjadi hubungan yang seimbang, serasi, dan selaras antara kegiatan manusia dan lingkungannya yang dapat mendukung bagi pembangunan berkelanjutan di wilayah Kepulauan Karimunjawa. Sistem zonasi di Kepulauan Karimunjawa pada akhirnya diharapkan dapat menyelaraskan antara kepentingan kegiatan pemanfaatan (sosial ekonomi) dengan kepentingan konservasi, meningkatkan efektifitas pengelolaan TNKJ, dan menjadi acuan dalam pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakankebijakan untuk mengembangkan Karimunjawa. Pengembangan perikanan tangkap Karimunjawa ke depan pada dasarnya merupakan suatu pembangunan perikanan tangkap yang berorientasi agribisnis. Sasaran akhir dari pengembangan perikanan tangkap Karimunjawa secara keseluruhan adalah meningkatkan pendapatan sekaligus kesejahteraan bagi masyarakat nelayan. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan langkahlangkah pengembangan perikanan tangkap yang mengutamakan keterpaduan baik dalam lingkup lintas sektoral maupun antar kegiatan antar zona. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat terwujud pengembangan perikanan tangkap Karimunjawa yang mantap dan efisien dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pengembangan perikanan tangkap semacam ini tidak lain adalah usaha pengentasan kemiskinan dan pengembangan wilayah pesisir dengan pemanfaatan berbagai sumber daya yang tersedia, melalui peningkatan produktivitas perikanan serta nilai tambah, dengan orientasi agribisnis. Sifat keterpaduan dalam pengembangan perikanan tangkap tersebut menghendaki koordinasi yang mantap, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu, dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik
77
lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencana kegiatan antar zona, sehingga pada akhirnya diharapkan diperoleh keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas (top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebih mantap. Kegiatan pemantauan, penelitian dengan ijin dan pemulihan lingkungan pada dasarnya difokuskan pada zona inti (Tabel 12), namun kegiatan ini dapat pula dilakukan di zona-zona yang lain yang ada di kawasan TNKJ. Keterkaitan kegiatan antar zona yang ada di TNKJ (Tabel 12) menunjukkan bahwa antara zona yang satu dengan zona yang lain memiliki hubungan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Zona inti merupakan zona yang harus terus dijaga sifat keaslian habitat dan ekosistemnya dan zona-zona yang lain harus mendukung upaya kelestarian zona inti. Zona perlindungan berfungsi dan diperuntukkan untuk melindungi dan mendukung zona inti, walaupun terbuka untuk kegiatan pariwisata, namun wisata yang dapat dilakukan di zona perlindungan pada umumnya terbatas, sejauh kegiatan yang dilakukan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem yang ada di dalam zona. Misalnya saja terbatas pada kegiatan snorkeling atau penyelaman untuk tujuan penelitian. Zona perlindungan dan zona pemanfaatan pariwisata memiliki keterkaitan dalam hal kegiatan pariwisata, namun kegiatan pariwisata di dalam zona pemanfaatan pariwisata dapat dilakukan dengan ijin tertentu dan terdapat fasilitas-fasilitas yang menunjang perkembangan pariwisata, sedangkan di dalam zona perlindungan diperbolehkan adanya wisata namun sifatnya terbatas. Zona pemanfaatan pariwisata selain memiiki keterkaitan dengan zona perlindungan, juga memiliki hubungan dengan zona budidaya, zona pemukiman, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Pada zona budidaya dan zona pemukiman, kegiatan pariwisata yang dilakukan sifatnya terbatas. Pada zona pemanfaatan perikanan tradisional sangat terbuka untuk dilakukannya kegiatan wisata, terutama kegiatan pariwisata bahari, yang merupakan daya tarik utama dari suatu kawasan kepulauan dengan kondisi perikanan tradisional dan kondisi perairan yang berupa terumbu karang dan padang lamun yang memiliki banyak keindahan ekosistem bawah laut dan keragaman spesies ikan karang, yang tentu saja memiliki daya tarik tinggi bagi wisatawan.
78
Kegiatan penangkapan ikan dapat pula dilakukan di dalam wilayah zona budidaya, yang berarti antara zona budidaya dan zona pemanfaatan perikanan tradisional memiliki keterkaitan kegiatan, walaupun kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan di zona budidaya sifatnya terbatas dengan alat tangkap dan tempat-tempat yang terbatas pula. Kegiatan penelitian dan pelatihan yang merupakan kegiatan pada zona rehabilitasi pada dasarnya dapat dilakukan di zona-zona yang lain. Zona-zona yang lain juga mendukung untuk dilakukannya kegiatan pelatihan dan penelitian serta tindakan rehabilitasi seperti yang ditetapkan pada zona rehabilitasi. Zona inti dan zona perlindungan merupakan zona yang memiliki keterkaitan sangat erat dengan zona rehabilitasi. Ketiga zona tersebut pada dasarnya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Zona perlindungan memiliki fungsi melindungi dan menyokong zona inti. Zona rehabilitasi berfungsi untuk mengembalikan dan memulihkan potensi dan kondisi ekosistem yang telah mengalami kerusakan agar dapat kembali kepada fungsi semula, terutama ekosistem terumbu karang yang telah banyak mengalami kerusakan, hal ini karena terumbu karang sangat rentan terhadap kerusakan terutama terhadap aktivitas manusia. Sehingga zona rehabilitasi sangat mendukung kegiatan yang dilakukan pada zona inti, dalam hal ini upaya menjaga keaslian dan kelestarian SDA dan lingkungan. Zona inti, zona perlindungan, dan zona rehabilitasi merupakan zona yang dilindungi dan terbatas untuk kegiatan atau aktivitas manusia. Hal ini karena ketiga zona tersebut berfungsi untuk memberikan perlindungan mutlak atas potensi utama ekosistem laut, habitat biota perairan laut, dan satwa liar yang terancam punah. Di samping itu, ekosistem yang menyusun ketiga zona tersebut adalah ekosistem terumbu karang yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan diketiga zona ini hanya kegiatan yang bersifat pemantauan, penelitian dan pemulihan lingkungan. Walaupun di zona-zona yang lain juga diperbolehkan adanya kegiatan tersebut, namun pada zona inti, perlindungan dan rehabilitasi ketiga kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama atau dominan, dan kegiatan lain dilarang. Pengelolaan kawasan yang meliputi tiga zona ini diawasi oleh pihak BTNKJ selaku penanggung jawab pengelolaan TNKJ. Zona pemanfaatan pariwisata, zona pemukiman, zona budidaya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional dikelola dengan menyertakan masyarakat sekitar zona yang merupakan penduduk Karimunjawa. Kegiatan pemanfaatan
79
baik yang bersifat ekonomi maupun sosial diperbolehkan sejauh tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Pada zona pemanfaatan pariwisata diperbolehkan untuk melakukan kegiatan yang bersifat rekreasional yang wajar dengan tetap memelihara lingkungan dan aspek konservasi, dalam hal ini kegiatan pariwisata yang dilakukan tidak merusak ekosistem yang ada. Zona budidaya difokuskan untuk kegiatan perikanan yang lebih bersifat marikultur. Pada zona budidaya diperbolehkan dilakukan aktivitas rekreasi namun sifatnya terbatas, dan kegiatan penangkapan dengan alat tangkap dan kondisi tertentu. Zona pemanfaatan perikanan tradisional terbuka untuk kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan setempat dengan alat tangkap tradisional dan dipergunakan secara turun temurun di Karimunjawa. Kegiatan perikanan tangkap dilakukan di zona pemanfaatan perikanan tradisional yang memiliki luas 103.883,86 ha (93%) di seluruh perairan yang berada di luar zona yang masih berada dalam kawasan TNKJ. Dengan adanya zonasi ini memberikan dampak negatif dan positif terhadap perkembangan perikanan tangkap yang ada. Dampak negatif adalah semakin berkurang atau menyempitnya areal penangkapan ikan karang karena sebagian besar daerah penangkapannya yang berupa terumbu karang dan padang lamun masuk ke dalam zona inti, perlindungan dan rehabilitasi, hal ini karena ekosistem terumbu karang telah banyak mengalami kerusakan dan spesies ikan karang tertentu (seperti kerapu dan napoleon) semakin menurun produksinya. Penangkapan biota-biota karang lainnya juga berkurang, misalnya lobster, teripang dan kima, sehingga berdampak pula pada penurunan pendapatan nelayan. Dampak positif diantaranya stok ikan terjaga kelestariannya karena ada kegiatan penangkapan di zona pemanfaatan perikanan tradisional dan ada kegiatan pelestarian stok di zona inti, perlindungan, dan rehabilitasi. Kondisi terumbu karang dan padang lamun yang berada pada zona inti, perlindungan, dan rehabilitasi yang menjadi daerah pemijahan ikan (spawning ground) dan daerah asuhan ikan (nursery ground) semakin terlindungi sehingga proses peremajaan dan pelestarian stok dapat berlangsung secara berkelanjutan. Penataan wilayah yang berekosistem terumbu karang ke dalam zona inti, perlindungan, dan rehabilitasi juga dimaksudkan untuk kegiatan penutupan daerah penangkapan dalam jangka panjang, hal ini terkait dengan usaha-usaha konservasi jenis ikan-ikan karang yang semakin menurun produksinya dan dalam usaha menghindari status kepunahan. Hal ini pada akhirnya diprioritaskan untuk
80
meningkatkan keragaman dan kelimpahan jenis ikan di zona inti, perlindungan, dan rehabilitasi. Oleh karena itu usaha penangkapan ikan di Karimunjawa lebih diarahkan pada pemanfaatan sumber daya pelagis, di mana dampak terhadap ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang ada di ketiga zona tersebut dapat tetap terjaga sesuai dengan peruntukkan ekosistemnya dan sekaligus dapat menunjang perkembangan sektor pariwisata bahari. Pengembangan Kepulauan Karimunjawa dilakukan dengan pengendalian kawasan lindung untuk menjamin kelestarian fungsinya, dan pemanfaatan zona yang sesuai dengan daya dukung dan peruntukkannya dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistemnya. Pada kawasan TNKJ diijinkan kegiatan pariwisata dan perikanan yang tidak mengganggu fungsi konservasi atau fungsi lindung dan kelestarian alam. Pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa perlu dilakukan dengan tetap memperhatikan keserasian antara kegiatan pemanfaatan perikanan dengan kegiatan konservasi, melalui penerapan sistem zonasi yang sesuai dengan karakteristik dan kegiatan yang dilakukan, keterkaitan kegiatan antar zona harus dapat mendukung bagi perkembangan kegiatan pemanfaatan baik pemanfaatan kegiatan perikanan maupun kegiatan pariwisata dengan tetap menjunjung tinggi aspek konservasi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan seperti terumbu karang, padang lamun dan mangrove, mengurangi gejala overfishing, serta mencegah konflik-konflik antar nelayan atau antar pemangku kepentingan (stakeholder). Pengembangan kegiatan perikanan tangkap di Karimunjawa harus lebih difokuskan pada pengembangan ikan kerapu, tongkol, dan cumi-cumi sebagai komoditas unggulan, serta alat tangkap bubu dan pancing tonda sebagai alat tangkap ideal yang ramah lingkungan sehingga tidak mengakibatkan degradasi lingkungan. Seiring dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), maka pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa dalam kaitannya dengan sistem zonasi maka perlu memperhatikan hak-hak kepemilikan laut (marine property rights) dalam pengelolaan perikanan tradisional, dan kearifankearifan lokal masyarakat tradisional (traditional wisdoms) yang masih hidup, serta pranata sosial tradisional lainnya yang mendukung perikanan tangkap berkelanjutan dan mendukung pariwisata bahari. TNKJ berfungsi untuk melindungi fauna, flora, dan ekosistem yang ada serta menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Koordinasi diperlukan
81
dengan instansi-instansi pemerintah setempat, serta dengan masyarakat lokal, lembaga-lembaga penelitian, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sasaran khusus dari TNKJ adalah daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, mempunyai keunikan ekologis, memiliki nilai jual wisata, lokasi migrasi biota dan pemijahan, memiliki biota komersial penting, dan daerah perlindungan hidrologis. Pengelolaan wilayah Kepulauan Karimunjawa merupakan upaya untuk pemanfaatan potensi sumber daya secara berkelanjutan, baik SDA maupun SDM yang ada di Karimunjawa. Potensi utama pemberdayaan wilayah Kepulauan Karimunjawa dapat dilakukan melalui pengembangan kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan pariwisata. Perencanaan program kegiatan di dalam kawasan
taman
nasional
dapat
dilakukan
melalui
pendekatan
zonasi.
Perencanaan secara terpadu dalam pembangunan wilayah meliputi aspek keruangan, sarana dan prasarana pendukung, kelembagaan, dan SDM. Untuk mengefektifkan pelaksanaan penataan sistem zonasi yang ada di Karimunjawa maka perlu dirumuskan aspek legalitas atau perangkat peraturan melalui pemerintah daerah, dengan melibatkan stakeholder terkait. Dengan dilaksanakannya hal ini diharapkan pengelolaan sumber daya yang dimiliki oleh Karimunjawa akan lebih tertata sesuai dengan kondisi pengembangan Karimunjawa saat ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan Karimunjawa. Secara prinsip dasar penataan wilayah kepulauan melalui pengembangan tata ruang sebagaimana disebutkan oleh Sya’rani dan Suryanto (2006) adalah didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: (1) aspek konservasi SDA, yang meliputi perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan, (2) aspek potensi SDA, meliputi potensi SDA laut (perairan) dan daratan (kepulauan) yang dapat dimanfaatkan sebagai potensi pengembangan kepariwisataan maupun sebagai potensi kajian ilmu pengetahuan, (3) aspek SDM, meliputi penduduk sebagai masyarakat yang telah berdiam menghuni Karimunjawa yang sekaligus sebagai penyangga dan pendukung keberadaan TNKJ, dan tenaga manusia yang akan mengelola, membina, dan mengembangkan kawasan TNKJ serta pengunjung atau wisatawan yang akan mengunjungi TNKJ, (4) aspek aksesibilitas, meliputi kemudahan dan keterjangkauan ke TNKJ dari pusat wilayah terdekat (Kabupaten Jepara atau Kota Semarang) atau kemudahan pencapaian antar pulau yang merupakan pusat-pusat ruang kegiatan, dan (5) aspek keseragaman kegiatan, yang meliputi kegiatan-kegiatan sejenis dan saling menunjang antar kegiatan
82
TNKJ termasuk kegiatan kepariwisataan maupun antara kegiatan TNKJ dengan kegiatan wilayah Kecamatan Karimunjawa.
5.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Karimunjawa Kepulauan Karimunjawa memiliki keragaman SDI, ekosistem dan budaya yang penting untuk menjadi kekuatan dalam membangun wilayah Karimunjawa. Kekuatan tersebut diantaranya Karimunjawa memiliki keunggulan wilayah yang tidak dimiliki oleh wilayah yang lain, seperti kekayaan sumber daya (terumbu karang, padang lamun, mangrove, ikan karang), dan pulau-pulau yang memiliki ekosistem yang beragam, serta keunggulan karakteristik kultural yang khas. Perikanan tangkap merupakan kegiatan utama mayoritas penduduk di Karimunjawa, hal ini terlihat dari jumlah penduduk yang menjadi nelayan lebih dari 50% dari total jumlah penduduk. Pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa lebih diarahkan pada perikanan tangkap yang dapat menunjang pariwisata bahari, di mana diharapkan ke depan bukan hanya perikanan yang bersifat komersial semata yang berkembang di Karimunjawa, tetapi juga perikanan yang bersifat rekreasional. Perikanan rekreasional memiliki peluang untuk dikembangkan di kawasan Karimunjawa, hal ini karena sektor pariwisata bahari memiliki masa depan yang menjanjikan untuk menunjang pembangunan perikanan dan kelautan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Kusumastanto (2003) bahwa sub-sektor pariwisata bahari merupakan sektor yang memiliki masa depan yang menjanjikan untuk menunjang kelautan. Objek-objek yang dapat menjadi potensi pariwisata bahari di Karimunjawa diantaranya wisata pantai, wisata pesiar, wisata alam, wisata olahraga, wisata memancing, dan wisata bisnis. Perkembangan pariwisata bahari di Karimunjawa diharapkan akan mampu menjadi multiplier effect
terhadap
ekonomi
masyarakatnya,
sehingga
berperan
dalam
mengentaskan kemiskinan nelayan dan penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Sistem pengembangan perikanan tangkap Karimunjawa merupakan suatu runtut kegiatan yang berkesinambungan mulai dari kegiatan di hulu sampai hilir, maka keberhasilan pengembangan perikanan tangkap ini sangat tergantung kepada kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai pada setiap simpul yang menjadi sub-sistemnya. Kegiatan di hulu antara lain terkait dengan SDI dan sarana penangkapan. Untuk itu beberapa hal penting untuk diperhatikan dalam
83
perencanaan pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa adalah penentuan prioritas pengembangan perikanan tangkap, penentuan alat tangkap ideal dan kelayakan finansialnya, serta penentuan komoditas unggulan. Prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa terdiri dari beberapa alternatif pengembangan perikanan tangkap, yaitu pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, pembinaan masyarakat nelayan, optimalisasi pemanfaatan pelabuhan perikanan, dan peningkatan ketrampilan nelayan.
5.3.1 Teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan Prioritas utama pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa adalah pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan dengan nilai bobot 0,3599 (Tabel 17 dan Gambar 6). Hasil ini sangat logis karena dengan pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, berarti kelestarian SDI dan ekosistemnya tetap terjaga sehingga keberlanjutan perikanan tangkap dapat diwujudkan di Karimunjawa, dan juga selaras dengan tujuan pengembangan perikanan tangkap Karimunjawa, yaitu perikanan rekreasional, di mana kegiatan perikanan tangkap yang ada dapat mengundang atau meningkatkan sektor pariwisata bahari yang menjadi andalan utama Kepulauan Karimunjawa yang mutlak membutuhkan daya dukung lingkungan. Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan yang sesuai dengan alat tangkap terpilih dari proses pemilihan alat tangkap ideal yang dilakukan yaitu alat tangkap bubu dan pancing tonda (Tabel 15). Peranan teknologi penangkapan sangat menentukan keberhasilan dalam memperoleh hasil tangkapan dengan kualitas ikan yang baik. Teknologi penangkapan dari berbagai alat tangkap yang digunakan haruslah sudah dipertimbangkan bahwa disain dan konstruksi alat tangkap telah memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan, sehingga kelestarian sumber daya akan tetap terpelihara dengan baik. Sehingga hal penting berikutnya yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa adalah alat tangkap yang relevan dengan komoditas unggulan dan kondisi wilayah Karimunjawa. Kondisi Karimunjawa yang spesifik dan memiliki potensi wisata yang bagus, maka idealnya alat tangkap yang dikembangkan adalah alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi.
84
Alat tangkap ideal berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan alat tangkap yang ideal yaitu selektivitas tinggi, tidak destruktif terhadap lingkungan dan aman bagi biodiversity, tidak membahayakan nelayan, menghasilkan ikan yang bermutu baik, minimum hasil tangkapan yang terbuang, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi adalah alat tangkap bubu dan pancing tonda (Tabel 15). Analisis finansial yang dilakukan terhadap usaha perikanan bubu dan pancing tonda menunjukkan bahwa usaha perikanan bubu dan pancing tonda masih layak untuk diusahakan (Tabel 16). Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai NPV positif, Net B/C sebesar lebih besar dari satu, dan IRR berada diatas tingkat suku bunga yang wajar, sehingga usaha perikanan bubu dan pancing tonda layak untuk terus diusahakan. Bubu biasa dioperasikan oleh dua orang, yaitu satu orang sebagai pemilik dan satu orang lainnya sebagai anak buah kapal (ABK), di mana biasanya ABK masih memiliki hubungan keluarga, dalam hal ini bisa anak, ponakan, kakak atau saudara. Usaha perikanan bubu mendapatkan nilai NPV sebesar Rp. 26.176.834,00. Sistem bagi hasil pada usaha perikanan bubu adalah 70:30, yaitu untuk pemilik mendapatkan bagian 70% dari nilai total, sedangkan untuk ABK mendapatkan bagian 30%. Sehingga dari nilai NPV pemilik mendapatkan bagian sebesar Rp. 1.832.378,40/orang/bulan dan ABK mendapatkan bagian sebesar Rp. 785.305,00/orang/bulan. Usaha perikanan tonda biasa dioperasikan oleh tiga orang, yaitu satu orang sebagai pemilik dan dua orang sebagai ABK, walaupun ada pula yang mengoperasikan dengan satu ABK. Usaha perikanan tonda mendapatkan nilai NPV sebesar Rp. 38.496.847,00, dengan sistem bagi hasil 50:25:25, yaitu 50% untuk pemilik, 25% untuk nahkoda dan 25% untuk ABK. Namun biasanya yang berlaku adalah 50% pemilik dan 50% dibagi sesuai dengan jumlah ABK, sehingga pemilik mendapatkan bagian sebesar Rp. 1.924.842,35/orang/bulan dan untuk ABK (2 orang) masing-masing mendapatkan bagian sebanyak Rp. 962.421,18/orang/bulan. Pendapatan per bulan yang diperoleh oleh nelayan di Karimunjawa sudah berada di atas nilai upah minimum regional (UMR) Propinsi Jawa Tengah, di mana UMR Jawa Tengah berdasarkan data dari Badan Penanaman Modal Jawa Tengah tahun 2007 rata-rata berkisar antara Rp. 515.000,00 sampai dengan Rp. 650.000,00. Pendapatan per bulan para nelayan sangat wajar apabila lebih tinggi dari nilai UMR yang ditetapkan atau dari tenaga kerja di darat, hal ini karena
85
beberapa pertimbangan atau alasan, diantaranya: (1) resiko pekerjaan nelayan di laut jauh lebih tinggi dari pada tenaga kerja yang bekerja di darat, (2) waktu kerja nelayan lebih banyak dari pada tenaga kerja di darat, (3) kurangnya komunikasi dengan anggota keluarga, dan (4) komponen karakteristik daerah tempat tinggal para nelayan. Sistem bagi hasil yang dilakuan oleh nelayan di Karimunjawa didasarkan pada kesepakatan atau perjanjian yang dibuat dan telah disepakati bersama antara pemilik dan jurumudi beserta pandeganya yaitu hasil kotor dikurangi seluruh biaya operasional melaut (perbekalan) maka didapatkan hasil bersih atau raman bersih. Dari hasil bersih itu kemudian dibagi sesuai dengan kesepakatan. Menurut pasal 1 UU Nomor 16 tahun 1964, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian bagi hasil adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha penangkapan ikan antara nelayan pemilik (juragan) dan nelayan penggarap (pendega) dimana masing-masing akan menerima bagian dari hasil usaha menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya. Kendati ada undang-undang tersebut yang telah mengatur tentang sistem bagi hasil, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di seluruh wilayah Indonesia masih memakai peraturan lokal yang telah disepakati bersama antara pemilik kapal dengan nelayan setempat. Selain sistem upah, di Jawa Tengah lebih banyak berlaku sistem bagi hasil antara nelayan juragan dan nelayan pandega yang komposisinya berkisar antara 50-60 untuk nelayan juragan dan 40-50 bagi nelayan buruh (pandega), yang diperhitungkan dari hasil bersih tangkapan ikan yang diperoleh dari tiap-tiap trip. Hasil bersih tersebut adalah raman kotor dikurangi dengan biaya eksploitasi, retribusi TPI, dan biaya-biaya lainnya yang berhubungan dengan kegiatan penangkapan. Keseluruhan bagian yang diterima oleh nelayan pandega dibagibagi lagi sesuai dengan jabatan dan pekerjaan yang ditangani selama operasi penangkapan ikan, sehingga masing-masing menerima bagian yang berbeda. Rendahnya bagian yang diterima oleh nelayan pandega disebabkan karena rendahnya posisi tawar nelayan buruh terhadap pemilik modal pada saat menetapkan sistem bagi hasil. Ini disebabkan karena kepemilikan modal nelayan buruh yang boleh dikata nol. Disamping itu masih ada pemahaman yang memandang bahwa modal investasi posisinya berada di atas tenaga kerja. Padahal, yang sebenarnya terjadi bahwa modal tidak akan menghasilkan produksi tanpa adanya buruh, demikian pula sebaliknya bahwa tenaga kerja tidak dapat melakukan produksi tanpa adanya modal (Bambang dan Suherman 2006).
86
Bubu dan pancing tonda merupakan alat tangkap terpilih dengan bobot sangat tinggi, hal ini sesuai dengan jenis komoditas unggulan perikanan tangkap yang akan dikembangkan di Karimunjawa yaitu ikan kerapu, tongkol, dan cumicumi. Komoditas unggulan perikanan tangkap berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan komoditas unggulan yaitu nilai ekonomis, volume, kontinuitas, mutu, dan peluang diversifikasi adalah ikan tongkol, kerapu, dan cumi-cumi. Ikan kerapu, tongkol, dan cumi-cumi mendapatkan bobot sangat tinggi, hal ini berarti ketiga jenis ikan tersebut dapat dijadikan komoditas unggulan perikanan tangkap di Karimunjawa (Tabel 13). Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, ikan kerapu merupakan hasil tangkapan dari alat tangkap bubu, sedangkan ikan tongkol dan cumi-cumi merupakan hasil tangkapan utama nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing tonda. Bubu biasa dipergunakan untuk menangkap ikan-kan karang, yang dalam hal ini ikan kerapu sebagai komoditas unggulan dengan bubu sebagai alat tangkap utama. Sedangkan pancing tonda biasa dioperasikan di luar pulau untuk menangkap ikan tongkol, dan cumi-cumi bila sedang musim cumi, karena pada umumnya nelayan di Karimunjawa memiliki alat tangkap lebih dari satu jenis. Para nelayan pancing tonda biasa memiliki pancing tangan (hand line) dan pancing cumi (squid jigging) di dalam kapalnya. Perikanan Bubu Karimunjawa Bubu merupakan alat tangkap yang banyak dipergunakan oleh nelayan di Karimunjawa untuk menangkap ikan kerapu dan ikan-ikan karang lainnya. Bubu merupakan alternatif utama penangkapan ikan kerapu dan ikan karang lainnya setelah adanya pelarangan penggunaan potas, sianida, bom, hookah, dan racun untuk penangkapan ikan karang karena banyak menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan padang lamun. Bubu yang banyak terdapat di Karimunjawa merupakan bubu dasar, karena biasanya dalam pengoperasiannya diletakkan di dasar perairan. Bahan yang digunakan untuk membuat bubu ada dua jenis, yaitu bambu dan kawat. Bubu bambu biasanya dibeli dari pembuat bubu yang sudah ahli dan terampil dalam membuatnya karena membutuhkan ketrampilan khusus yang biasanya diwariskan secara turun temurun. Bubu kawat biasanya dibuat sendiri oleh nelayan. Mereka cukup membeli bahan-bahannya saja kemudian dirangkai sendiri, hal ini dilakukan karena merangkai bubu kawat lebih murah dari pada membeli bubu kawat yang sudah jadi. Besar kecilnya ukuran bubu tergantung
87
kepada pembuat bubu, namun pada umumnya berukuran panjang 125 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 40 cm. Berdasarkan temuan, terdapat variasi bubu dari segi ukuran dan bahan yang digunakan, untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui ukuran dan jenis bahan yang sesuai dan ideal untuk dioperasikan di Karimunjawa yang menganut atau mengedepankan prinsip konservasi dan keberlanjutan sebagai sebuah taman nasional. Bubu yang ada di Karimunjawa mempunyai 3 bagian utama, yaitu: (1) Badan atau tubuh bubu Badan bubu umumnya terbuat dari anyaman bambu atau kawat yang berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 125 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 40 cm. (2) Lubang atau pintu tempat mengeluarkan hasil tangkapan Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada sisi bagian bawah bubu. Lubang ini berdiameter + 35 cm, posisinya tepat di belakang mulut bubu. Lubang ini dilengkapi dengan penutup. (3) Mulut bubu Mulut bubu berfungsi untuk tempat masuknya ikan yang terletak pada bagian depan bubu. Posisi mulut bubu menjorok ke dalam badan atau tubuh bubu dan berbentuk silinder. Semakin ke dalam maka diameter lubang bubu semakin kecil. Pada mulut bagian dalam melengkung ke bawah sepanjang 15 cm. Lengkungan ini berfungsi agar ikan yang sudah masuk ke dalam bubu akan sulit untuk meloloskan diri. Perahu yang digunakan dalam pengoperasian bubu biasa disebut oleh nelayan Karimunjawa dengan perahu jonson. Perahu hanya digunakan untuk mengangkut bubu ke daerah operasi dan mengangkut hasil tangkapan menuju darat. Pada umumnya perahu yang digunakan berukuran panjang 12 m, lebar 3 m, dan dalam 1 m. Pada pagi hari biasanya nelayan berangkat untuk mengambil ikan yang sudah tertangkap oleh bubu, sekaligus memasang kembali bubu di tempat semula atau dipindah ke tempat lain bila dirasa di tempat tersebut sudah tidak menguntungkan lagi. Daerah penangkapan untuk bubu pada umumnya berjarak 2-3 mil dari pantai, dengan kedalaman 5-20 m di dasar perairan yang berkarang. Operasi penangkapan dengan bubu diawali dengan memilih daerah penangkapan yang biasa dilakukan dengan menyelam (salah seorang nelayan), untuk memastikan lokasi yang menguntungkan untuk meletakkan bubu. Setelah cocok dengan
88
lokasi yang ada, maka bubu diletakkan secara perlahan dengan arah bubu berlawanan dengan arah arus agar ikan dapat tertarik untuk masuk ke dalam bubu yang biasa dipasang tanpa umpan. Bubu dikaitkan dengan pemberat yang berasal dari karang mati untuk menjaga agar bubu tidak hanyut terbawa arus. Kadang kala bubu ditutup agar tidak terlihat oleh ikan atau untuk mengelabuhi ikan, sehingga ikan mengira bubu sebagai tempat yang aman untuk bersembunyi. Untuk menandai adanya bubu di suatu perairan digunakan bendera yang dipasang satu meter dibawah permukaan air dan agar memudahkan pada saat pengambilan bubu. Adapula bubu yang dipasang di dasar dengan dikaitkan dengan tali yang ada di permukaan perairan. Bubu dapat dioperasikan sepanjang tahun, namun banyak nelayan yang menilai bahwa pada saat musim barat (September-Desember) hasil tangkapan bubu lebih banyak dari pada saat musim timur (Maret-Juli). Menurut nelayan musim puncak bubu terjadi pada bulan Desember-Januari. Target utama penangkapan dengan bubu adalah ikan kerapu, karena harganya tinggi. Di samping itu ada pula ikan lain yang juga tertangkap oleh bubu diantaranya ekor kuning (Caesio sp), semadar (Siganus sp), pisang-pisang (Caesio caerulurea), kuwe (Caranx sp), hijau (Cheilinus sp), dan mata besar (Pricanthus sp). Ikan-ikan yang tertangkap dengan bubu biasanya adalah ikan-ikan yang berukuran besar (dewasa), yang sesuai dengan ukuran bubu yang dipasang sehingga tingkat selektivitas bubu sangat tinggi karena ikan-ikan kecil tidak ikut tertangkap. Hal ini sangat baik untuk mendukung keberlanjutan perikanan karang. Kerusakan terumbu karang merupakan ancaman atau dampak terbesar dari pengoperasian bubu, karena pada saat proses pengoperasian atau peletakkan bubu di dasar perairan nelayan akan menginjak-injak terumbu karang sehingga menyebabkan kerusakan terumbu karang. Penggunaan karang untuk pemberat bubu juga akan mengancam keberlangsungan terumbu karang. Banyak nelayan yang menggunakan karang mati untuk pemberat, karena karang hidup akan sulit untuk diangkat, hal ini menunjukkan bahwa nelayan Karimunjawa menyadari arti pentingnya terumbu karang bagi keberlanjutan ekosistem perairan dan keberlangsungan hidup mereka sendiri. Penangkapan ikan kerapu dengan bubu saat ini masih diijinkan dilakukan di perairan yang berkarang karena nilai ekonomi komoditas dan bubu merupakan alat tangkap yang digunakan secara turun temurun oleh nelayan Karimunjawa dan dianggap sebagai alat tangkap yang tepat, namun kondisi dasar perairan
89
yang berupa terumbu karang yang sangat rapuh dan rawan terhadap tekanan suatu alat tangkap dan cara pengoperasiannya sehingga perlu digunakan metode penangkapan yang memperhatikan prinsip kehati-hatian dan kesadaran dari para nelayan yang tinggi dalam memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Penyuluhan dari pihak terkait mengenai tata cara pengoperasian bubu yang baik juga sangat diperlukan untuk mengurangi resiko kerusakan pada ekosistem terumbu karang. Teknik pengoperasian bubu hendaknya dilakukan di area atau daerah yang berada diantara dua karang, bukan diletakkan di atas terumbu karang. Penyelaman bisa dilakukan pada saat pengoperasian bubu dengan tanpa merusak karang (menginjak karang), atau dengan menggunakan tali bila nelayan sudah mengetahui tempat yang baik bagi bubu untuk diletakkan. Biasanya ikan karang akan beruaya di sekitar terumbu karang. Pengoperasian ini diharapkan tidak merusak terumbu karang. Untuk menjaga agar bubu tidak berpindah ke tempat lain karena arus atau gelombang, maka bubu perlu dijangkar atau diberi pemberat. Pemberat yang bisa digunakan misalnya batu atau pemberat buatan (cor pasir dan semen), sehingga dapat mengurangi kegiatan mengambil karang untuk pemberat bubu. Dengan peletakan bubu di luar karang (dengan diberi umpan), diharapkan ikan akan tertarik untuk mendekat ke arah bubu dan akhirnya masuk ke dalam bubu. Perikanan kerapu dengan bubu di Karimunjawa ke depan diharapkan lebih ditingkatkan pada upaya pembudidayaan kerapu, sehingga hasil tangkapan kerapu dari alat tangkap bubu dapat dibudidayakan dalam keramba apung hingga besar dan mampu memijah, sehingga kerapu memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan keberlanjutan SDI kerapu dapat terus terjaga di Karimunjawa. Hal ini juga didukung oleh sistem zonasi yang berlaku yang menyediakan zona khusus untuk kegiatan budidaya yaitu di dalam wilayah zona budidaya. Di samping itu, dengan adanya sistem budidaya kerapu diharapkan dapat membuka peluang pasar yang lebih luas lagi bagi perdagangan kerapu, sehingga nelayan bisa memperoleh harga jual yang sesuai dan layak, serta mampu menjaga kestabilan dan kontinuitas permintaan pasar terhadap ikan kerapu. Perikanan Pancing Tonda Karimunjawa Penangkapan dengan pancing tonda biasa dilakukan di perairan sekitar Pulau Parang, Taka Pesawat, Pulau Karimunjawa, Pulau Menyawakan, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting. Penentuan lokasi daerah penangkapan didasarkan
90
atas pengalaman dan kebiasaan nelayan. Ikan sasaran dari pancing tonda adalah tongkol. Musim penangkapan tongkol dibagi menjadi 3 musim. Musim puncak terjadi pada bulan September-Desember dengan hasil tangkapan yang besar, musim paceklik terjadi pada bulan Januari-Maret dengan hasil tangkapan yang cenderung menurun, musim sedang pada bulan April-Juli dengan intensitas hasil tangkapan yang tidak terlalu banyak tetapi cenderung meningkat dibandingkan pada bulan paceklik. Pancing tonda terdiri dari beberapa bagian, yaitu: (1) Tali utama Tali utama adalah tali yang menghubungkan mata pancing dengan perahu. Panjang tali bervariasi antara 15-20 m, dengan bahan dari nylon (diameter 0,45 mm). (2) Mata pancing Jenis mata pancing yang digunakan adalah pancing monel single hook, bentuk mata pancing berkait dengan bentuk shank lurus, dan nomor mata pancing 4-5. (3) Pemberat Pemberat berjumlah satu buah yang terbuat dari timah dengan berat 150 gram, panjang 5,3 cm, dan diameter 2,7 cm. (4) Swivel atau kili-kili Kili-kili adalah alat pemutar tali yang dipasang antara tali utama dengan mata pancing pada jarak antara 2-5 m dari mata pancing. Kili-kili dibuat dari bahan yang tahan karat agar tahan terhadap pengaruh air laut. Fungsi dari swivel adalah untuk mencegah agar tali utama tidak membelit dan tetap dalam posisi merentang pada saat ditarik oleh perahu dan untuk menghindari kusut dan putusnya benang akibat benang yang terpilin terus menerus. Pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa untuk masa depan disarankan untuk lebih mengembangkan perikanan pelagis dengan pancing tonda, hal ini karena pancing tonda dioperasikan di luar pulau yang berarti aman, jauh dan tidak merusak habitat dari terumbu karang, sehingga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya perikanan dapat terus terjaga. Ketrampilan nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap pancing tonda (termasuk pancing tangan dan pancing cumi-cumi) yang telah berpengalaman cukup lama, serta hasil tangkapan (tongkol dan cumi-cumi) yang nilainya cukup
91
tinggi dan mempunyai prospek pasar yang cerah sehingga memungkinkan bagi Karimunjawa untuk lebih mengembangkan perikanan pelagis. Nelayan-nelayan pancing tonda harus diberi pengarahan dan pelatihan mengenai cara-cara penanganan ikan di atas kapal, sehingga kondisi ikan hasil tangkapan dapat tetap terjaga kesegarannya. Misalnya saja dengan penggunaan es dalam palka ikan untuk menjaga kesegaran ikan yang berarti pula menjaga harga jual ikan agar tetap tinggi. Peragaman teknologi penangkapan ikan pelagis yang tetap menjaga aspek konservasi juga perlu diperkenalkan kepada nelayan untuk lebih meningkatkan hasil tangkapan. Pengenalan metode pengolahan ikan (metode pasca panen) menjadi produk yang lebih bernilai guna akan sangat menguntungkan bagi perkembangan perikanan tangkap sehingga diharapkan dapat lebih meningkatkan kesejahteraan nelayan, di samping membuka lahan pekerjaan baru bagi nelayan, sehingga nelayan tidak terpaku pada kegiatan perikanan tangkap semata. Pengembangan perikanan tangkap tidak terlepas dari pengembangan jenis dan jumlah unit penangkapan yang akan dikembangkan di suatu daerah. Karena keterbatasan informasi hasil tangkapan per upaya tangkapan minimal lima tahun terakhir sebagaimana disarankan oleh Sparre and Venema (Tinungki 2005, supardan et al. 2006, Murdiyanto 2004) sebagai salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk menduga suatu sumber daya di suatu wilayah, maka penelitian ini belum bisa merekomendasikan berapa banyak jumlah alat tangkap yang dapat digunakan. Sehingga ke depan sebaiknya Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara bekerja sama dengan PPP Karimunjawa secara rutin mendata atau mencatat dan begitu pula nelayan melaporkan hasil tangkapan, sehingga didapatkan data perkembangan hasil tangkapan per upaya tangkap untuk lima tahun ke depan. Selain itu bisa juga dilakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan akustik sehingga bisa didapatkan dugaan SDI.
5.3.2 Pembinaan masyarakat nelayan Pembinaan masyarakat nelayan berkaitan dengan penguasaan teknologi dalam pengelolaan sumber daya perikanan dengan cara-cara pemanfaatan yang berkelanjutan dan tetap memperhatikan aspek konservasi merupakan prioritas kedua dalam pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa dengan bobot 0,2888 (Tabel 17 dan Gambar 6). Pembinaan masyarakat nelayan dilakukan dengan pengenalan dan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ramah
92
lingkungan terpilih untuk memanfaatkan komoditas unggulan. Pembinaan nelayan dalam hal ini adalah pembinaan dalam penggunaan dan penguasaan teknologi penangkapan dalam pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan dengan cara-cara pemanfaatan SDA secara efisien dan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan. Masyarakat nelayan harus dibekali dengan pemahaman tentang berbagai ketrampilan pengelolaan sumber daya lingkungan berkaitan dengan cara-cara pemanfaatan SDA secara efisien dan berkelanjutan, dalam hal ini misalnya penggunaan alat tangkap yang tetap menjaga kelestarian lingkungan perairan karena Karimunjawa sebagai sebuah taman nasional di mana aspek konservasi merupakan hal yang wajib untuk selalu dijaga dan dipertahankan agar kondisi lingkungan tetap terjaga keasliannya. Penekanan penggunaan teknologi penangkapan disini adalah pemberdayaan teknologi tepat guna untuk kegiatan penangkapan ikan yang berbasis daerah, karena Karimunjawa sebagai kawasan konservasi sehingga alat tangkapnya harus sesuai dengan kaidah konservasi. Pemasyarakatan suatu teknologi penangkapan ikan harus dilakukan dalam rangka pengembangan pemanfaatan SDA dan peningkatan kualitas ketrampilan dan budaya masyarakat di kawasan Karimunjawa yang berjalan selama ini. Di samping itu kelestarian dan keberlanjutan lingkungan sangat penting untuk tetap dipertahankan, hal ini berati teknologi yang diterapkan harus memiliki sifat ramah terhadap lingkungan. Ketrampilan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dan lingkungan yang benar akan berguna bagi masyarakat nelayan untuk meningkatkan kualitas usaha dan meminimalkan pemanfaatan SDI yang kurang memperdulikan kaidah-kaidah kelestarian dan keberlanjutan, baik untuk SDI itu sendiri maupun bagi kelestarian lingkungan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kusumastanto (2003), bahwa pemasyarakatan suatu teknologi untuk masyarakat perikanan hendaknya difokuskan pada upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat melalui pengusaan, pengembangan dan penerapan teknologi dalam rangka optimasi pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya khususnya perikanan termasuk rehabilitasi habitat ikan yang sudah rusak, serta penguasaan dan penerapan teknologi penangkapan ikan seperti bahan dan peralatan yang produktif dan efisien serta berwawasan lingkungan bagi pengembangan perikanan rakyat. Selain itu pembinaan terhadap masyarakat nelayan dilakukan dalam hal pengenalan sistem zonasi yang berlaku di Karimunjawa, hal ini dimaksudkan agar nelayan lebih tertib dan menaati dalam hal pemanfaatan zona untuk
93
kegiatan penangkapan ikan, hal ini juga berkaitan dengan penertiban daerah penangkapan ikan yang sesuai dengan zonasi yang telah ditetapkan, tidak memasuki zona yang tidak terbuka untuk kegiatan penangkapan, seperti zona inti, zona pelindungan, dan zona rehabilitasi walaupun ketiga zona tersebut memiliki kekayaan ikan karang yang beragam karena wilayah perairannya mempunyai ekosistem terumbu karang dan padang lamun serta mangrove sehingga keberlanjutan sumber daya perikanan dapat terus terjaga.
5.3.3 Pemanfaatan pelabuhan perikanan Prioritas ketiga adalah optimalisasi pemanfaatan pelabuhan perikanan dengan bobot 0,1840 (Tabel 17 dan Gambar 6). Optimalisasi pemanfaatan pelabuhan perikanan merupakan upaya memanfaatkan pelabuhan perikanan agar dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap yang ada melalui upaya perbaikan dan pemeliharaan fasilitas pelabuhan perikanan sehingga aktivitas dan pelayanan pelabuhan dapat kembali berjalan dan meningkatkan jumlah kunjungan nelayan atau kapal perikanan untuk melakukan pendaratan hasil tangkapan, pelelangan, pemasaran ataupun pengisian perbekalan melaut. Pengoptimalan fungsi dan peranan pelabuhan perikanan sebagai pusat aktivitas nelayan akan sangat mendukung bagi proses penangkapan ikan, yaitu melalui pengaktifan kegiatan pelelangan ikan sehingga ikan hasil tangkapan yang selama ini selalu dijual kepada tengkulak dapat dilelang dengan harga yang lebih menguntungkan bagi nelayan. Dengan adanya kegiatan pelelangan yang rutin diharapkan dapat lebih meningkatkan geliat kegiatan perikanan tangkap di Karimunjawa, karena tidak hanya nelayan Karimunjawa saja yang melakukan kegiatan pelelangan, namun nelayan dari daerah-daerah lain yang melewati Karimunjawa dapat pula melakukan lelang atau kegiatan kepelabuhanan lainnya sehingga mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi bagi masyarakat di sekitar pelabuhan. Pemanfaatan dan fasilitas pelabuhan perikanan yang ada di Karimunjawa masih belum optimal dalam mendukung perkembangan usaha perikanan tangkap yang ada. Pelabuhan perikanan yang ada di Karimunjawa adalah pelabuhan perikanan kelas C atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) Karimunjawa. Hasil observasi menunjukkan bahwa PPP Karimunjawa dalam hal tingkat operasionalnya masih berada dibawah kapasitas yang ada. Kondisi ini
94
disebabkan antara lain oleh: kapasitas penyelenggaraan dan kondisi fasilitas yang ada belum mendukung untuk optimalnya fungsi pelabuhan perikanan. Proses pelelangan ikan juga tidak dilakukan lagi oleh PPP Karimunjawa, hal ini karena hampir semua nelayan yang melakukan penangkapan ikan langsung menjual hasil tangkapan kepada tengkulak. Dengan adanya pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan (TPI) bertujuan untuk mencari sebanyak mungkin pembeli potensial untuk membeli ikan hasil tangkapan nelayan pada tingkat harga yang menguntungkan bagi nelayan dan tanpa merugikan pedagang pengumpul atau bakul. TPI pada dasarnya bertujuan untuk memperlancar kegiatan penyelenggaraan lelang, mengusahakan stabilitas harga, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan, dan meningkatkan pendapatan daerah. Sehingga dengan optimalnya pelabuhan perikanan diharapkan juga dapat mendukung perkembangan usaha perikanan tangkap, yaitu pelabuhan perikanan sebagai sentra produksi perikanan tangkap, penyerapan tenaga kerja dan sumber pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat Karimunjawa yang berada di sekitar pelabuhan. Peran pemerintah daerah sangat penting dalam mendukung pemanfaatan pelabuhan perikanan, sehingga fungsi pelabuhan perikanan dapat optimal dalam mendukung usaha perikanan tangkap yang ada. Pelabuhan perikanan juga perlu untuk menerapkan standar sanitasi dan higinitas, baik untuk ikan-ikan yang didaratkan maupun terhadap sarana dan prasarana pelabuhan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar pelabuhan perikanan dapat menjadi pendukung perkembangan sektor pariwisata. Dengan kondisi pelabuhan perikanan yang bersih dan indah, diharapkan banyak orang yang akan berkunjung ke pelabuhan perikanan, baik untuk menikmati dan melihat aktivitas yang ada atau untuk membeli ikan hasil tangkapan nelayan. Keberadaan pelabuhan perikanan sangat penting untuk mendukung keberhasilan kegiatan perikanan tangkap. Hal ini berkaitan dengan fungsi pelabuhan perikanan yang menyediakan sistem informasi daerah penangkapan serta sarana dan prasarana pelabuhan untuk menyediakan informasi daerah penangkapan untuk para nelayan, sehingga keberhasilan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan akan menjadi lebih besar.
5.3.4 Peningkatan ketrampilan nelayan Peningkatan ketrampilan nelayan untuk menciptakan SDM yang terampil dan berkualitas mendapatkan bobot 0,1673 (Tabel 17 dan Gambar 6),
95
merupakan prioritas keempat dalam pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa. SDM yang berkualitas, terampil dan memiliki daya saing yang tinggi sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan dan persaingan bebas. Keterpurukan
ekonomi
yang
selama
ini
merupakan
bukti
kegagalan
pembangunan akibat rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi krisis ekonomi global. Agar potensi sumber daya perikanan dan kelautan mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian nasional, maka upaya peningkatan kualitas SDM sektor perikanan dan kelautan sangat penting untuk dilakukan, misalnya melalui peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA dan lingkungan secara berkelanjutan, kegiatan produksi perikanan, pengolahan dan pemasaran, peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan formal maupun informal untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan perubahan perilaku, dan penguatan kapasitas SDM untuk pengembangan kegiatan ekonomi lokal yang didasarkan pada sumber daya lokal, termasuk didalamnya SDM dan SDA-nya. Permasalahan yang paling mencolok dari masyarakat nelayan yang ada di kepulauan adalah ketergantungan pada alam atau musim. Ketergantungan pada musim sangat besar, misalnya pada musim penangkapan nelayan sangat sibuk, sementara pada saat paceklik mereka menganggur atau mencari kegiatan ekonomi lain. Akibatnya pendapatan nelayan cenderung berfluktuasi, begitu pula dengan pola hidupnya. Pada saat panen cenderung konsumtif, dan saat paceklik banyak terlibat utang pada rentenir atau tengkulak. Hal tersebut menunjukkan bahwa karakteristik struktur pelaku ekonomi yang beraktivitas pada perikanan tangkap di Karimunjawa sebagian besar merupakan nelayan kecil (small scale fisheries), dengan daerah operasi penangkapan ikan (fishing ground) terbatas, sangat tergantung pada SDI, dan mereka tidak memiliki peluang pekerjaan di luar perikanan dengan pendapatan yang rendah dan menggunakan kapal atau perahu yang berukuran kecil. Menurut Panayotou (1985) bahwa nelayan kecil dan tradisional yang memiliki karakteristik seperti dikemukakan diatas dapat diklasifikasikan sebagai nelayan artisanal (artisanal fisheries). Berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan nuansa baru bagi pembangunan di daerah, maka upaya pemanfaatan dan pengembangan berbagai potensi daerah, termasuk potensi sumber daya perikanan dan kelautan, mulai mendapat perhatian. Hendaknya
96
nasib nelayan artisanal diharapkan akan mendapat perhatian yang serius pula dari Pemerintah Daerah. Perhatian terhadap nasib nelayan artisanal untuk diberdayakan akan semakin kuat dengan keluarnya ketentuan UU No. 31 tahun 2004 (pasal 60) tentang Perikanan. Pemerintah daerah mendapatkan mandat dan wewenang yang semakin besar dalam mengelola sumber daya laut berdasarkan pada pasal 18 UU No. 32 tahun 2004. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud, meliputi: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
(b)
pengaturan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; (e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan (f) ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. Oleh karena itu pembinaan terhadap masyarakat nelayan sangat penting untuk dilakukan dalam rangka memberdayakan nelayan menjadi manusia yang lebih berkualitas dan terampil. Peningkatan ketrampilan nelayan diperlukan karena kesadaran nelayan Karimunjawa masih rendah, terutama karena ketrampilan yang dimiliki sangat terbatas. Misalnya ketrampilan dalam menentukan dan memilih daerah dan musim penangkapan ikan, sehingga diperlukan pengenalan untuk meningkatkan ketrampilan nelayan untuk mendeteksi daerah dan musim penangkapan. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan karena informasi lokasi dan musim penangkapan dapat diketahui lebih awal oleh nelayan dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Peningkatan ketrampilan nelayan juga diarahkan pada pengenalan berbagai alternatif aktivitas atau kegiatan sosial ekonomi yang baru dan lebih produktif tanpa meninggalkan kekayaan budaya yang ada dengan mengenalkan pada berbagai peluang usaha. Pengenalan peluang-peluang usaha diarahkan untuk menunjang pembangunan wilayah dan mengembangkan produk-produk turunan dari produk perikanan yang ada, sehingga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi. Pengenalan peluang usaha dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan percontohan. Pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan juga dapat berperan dalam memberikan dan memperkenalkan keahlian-keahlian alternatif sehingga nelayan tidak hanya terpaku pada kegiatan mencari ikan di laut tetapi juga mampu menciptakan usaha pasca produksi atau pasca panen untuk menghasilkan produk perikanan yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Hal ini
97
sebagaimana dikemukakan oleh Kusumastanto (2003) bahwa SDM pesisir harus diarahkan untuk mengenal alternatif kegiatan ekonomi lain dengan pengenalan berbagai peluang usaha. Pengembangan ketrampilan nelayan dapat pula dilakukan dengan pengembangan usaha alternatif pemanfaatan sumber daya perikanan dengan sistem rumpon atau atraktor yang mulai banyak berkembang di Indonesia. Misalnya untuk pemanfaatan ikan pelagis dapat dikembangkan sistem rumpon yang dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat Karimunjawa sehingga peluang keberhasilan operasi penangkapan ikan dapat menjadi lebih besar. Pengembangan atraktor untuk mengembangkan komoditas cumi-cumi juga dapat dimanfaatkan, karena berdasarkan wawancara dengan nelayan Karimunjawa cumi-cumi di Karimunjawa cukup melimpah dan belum diusahakan secara optimal. Karena itu dengan adanya atraktor cumi-cumi yang berfungsi untuk sarana atau tempat penempelan telur cumi-cumi diharapkan untuk masa mendatang Karimunjawa dapat mengembangkan perikanan cumi-cumi dengan budidaya cumi-cumi, di samping kondisi perairan Karimunjawa yang mendukung untuk pengembangan cumi-cumi, yaitu hampir seluruh perairan Karimunjawa memiliki ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang biasa dipergunakan oleh cumi-cumi untuk mencari makan, daerah asuhan dan tempat menempelkan telurnya.
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: (1) Sistem zonasi yang ada saat ini sudah sesuai dan serasi dengan prinsip konservasi dan kebutuhan pemanfaatan berdasarkan fungsi dan luasan masing-masing zona. (2) Hubungan antar zona yang ada di TNKJ memiliki keterkaitan yang erat, yaitu antara zona yang satu dengan zona yang lain memiliki hubungan keterpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. (3) Prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa diarahkan pada: (a) Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan yang dapat menunjang sektor pariwisata bahari, yaitu dengan alat tangkap
bubu
dan
pancing
tonda
untuk
memanfaatkan
dan
mengembangkan komoditas unggulan perikanan tangkap Karimunjawa yaitu ikan kerapu, tongkol, dan cumi-cumi. (b) Pembinaan masyarakat nelayan. (c) Optimalisasi pemanfaatan pelabuhan perikanan. (d) Peningkatan ketrampilan nelayan.
6.2 Saran Hal-hal yang perlu diperhatikan dari penelitian ini adalah: (1) Pengembangan kegiatan perikanan tangkap di Karimunjawa harus lebih difokuskan pada pengembangan ikan kerapu, tongkol, dan cumi-cumi sebagai komoditas unggulan, serta penggunaan alat tangkap bubu dan pancing tonda sebagai alat tangkap terpilih yang ramah lingkungan. (2) Perlu penelitian lebih lanjut mengenai ukuran, bahan dan metode operasi yang tepat, sehingga diperoleh informasi tentang bubu yang ideal untuk dioperasikan di Karimunjawa.
(3) Pengkajian dan penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui kapasitas penangkapan, sehingga diperoleh informasi jumlah alat tangkap bubu dan pancing tonda yang optimal untuk memanfaatkan sumber daya yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Bahari R. 1989. Peran Koperasi dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat. Pusat penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian. Hal 204-221. Bambang AN dan Suherman A. 2006. Analisis Tatacara Bagi Hasil Pada Usaha Perikanan Dogol di PPI Tegalsari Kota Tegal. Buletin PSP (15): 20-34. Barani HM. 2004. Model Pengelolaan Perikanan di Wilayah Padat Tangkap: Kasus Perairan Laut Sulawesi Selatan Bagian Selatan. [Ringkasan Disertasi]. Bogor: IPB. 26 hlm. Barus HR, M. Linting, N. Naamin, S. Ilyas, M. Badrudin, C. Nasution, EM. Amin, B. Gafa, dan Sarjana. 1991. Pedoman Teknis Peningkatan Produksi dan Efisiensi melalui Penerapan Teknologi Rumpon. Jakarta: Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 87 hlm. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2001. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Karimunjawa Periode 2002-2027. Semarang: BTNKJ Jawa Tengah. 164 hlm. [BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2007. Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2006. Semarang: BTNKJ. 100 hlm. Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pengembangan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: IPB. 233 hlm. [DEPDIKBUD] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1090 hlm. [DJPT] Ditjen Perikanan Tangkap. 2004. Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap. Makalah disampaikan pada rapat koordinasi relokasi nelayan tingkat nasional tahun 2004 tanggal 9-10 Desember 2004 di Hotel Ibis Mangga Dua Jakarta. Jakarta: Dirjen Perikanan Tangkap DKP. 4 hlm. [DJPT] Ditjen Perikanan Tangkap. 2005. Strategi Pengelolaan Kawasan Perikanan Terpadu di Sentra-Sentra Kegiatan Nelayan. Buletin Kawasan (13): 17-19. [DJPT] Ditjen Perikanan Tangkap. 2006. Laporan Tahunan Pembangunan Perikanan Tangkap Tahun 2006. Jakarta: DJPT DKP. 115 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome Italy. 41 p. Fedrizzi M. 1987. Introduction to Fuzzy Sets and Possibility Theory. Optimization Models using Fuzzy Sets and Possibility Theory. Holland: Reidel Publishing. 256 pp.
100
Filev D and Yager RR. 1998. On the Issue of Obtaining OWA Operator Weights. Journal Fuzzy Sets and System (94): 157-169. Ghotb F and Warren L. 1995. A Case Study Comparison of The Analytic Hierarchy Process And A Fuzzy Decision Methodology. The Engineering Economist Journal (40): 233-246. Giyatmi. 2005. Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut: Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Propinsi Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor: IPB. 225 hlm. Haluan J dan TW. Nurani. 1988. Penerangan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Bulletin PSP (2): 3-16. Indriantoro N dan Supomo B. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE. 276 hlm. Kadariah, L. Karlina, dan C. Gray. 2002. Evaluasi Proyek : Analisa Ekonomis. Edisi 2. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 184 hlm. Kastaman R. 1999. Pengembangan Metodologi Rekayasa Nilai (Value Engineering): Kasus Pemilihan dan Evaluasi Rancangan Traktor Tangan [Disertasi]. Bogor: IPB. 184 hlm. [KOMNASKAJIKANLUT] Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut. 2002. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Kerjasama Komnaskajikanlut dan FPIK IPB. 39 hlm. Kusumastanto T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 160 hlm. Kwong CK and H. Bai. 2002. A Fuzzy AHP Approach to The Determination of Importance Weights of Customer Requirement in Quality Function Deployment. Journal of Intelligent Manufacturing (13): 367-377. Machfud. 2001. Rekayasa Model Penunjang Keputusan Kelompok dengan Fuzzy-logic untuk Sistem Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri. [Disertasi]. Bogor: IPB. 219 hlm. Manurung VT, T. Pranadji., A. Mintoro., M.N. Kirom., Isetiaji., A. Murtiningsih dan Sugiarto. 1998. Laporan Hasil Penelitian Pengembangan Ekonomi Desa Pantai. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian. 230 hlm. Marimin, H. Umano, I. Hatono, and H. Tamura. 1998. Linguistic Labels for Expressing Fuzzy Preference Relations in Fuzzy Group Decision Making. Journal IEEE Transaction on System, Man, and Cybernatics (28): 205-218.
101
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. 197 hlm. Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor: IPB press dengan Program Pascasarjana IPB. 290 hlm. Monintja D. 1987. Beberapa Teknik Pilihan untuk Memanfaatkan Sumber Daya Hayati Laut di Indonesia. Buletin PSP (1): 14-25. Monintja D. 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 156 hlm. Monintja D. dan Yusfiandayani R. 2001. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Proceeding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Hal 56-65. Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai. Jakarta: COFISH Project. 200 hlm. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Edisi 1. Jakarta: Ghalia Indonesia. 622 hlm. Panayotou. 1985. Small-Scale Fisheries in Asia: an Introduction and Overview. Proceeding of Small-scale fisheries in Asia: socio-economic analysis and policy. Ottawa-Canada. IDRC. 283 pp. [PPP Karimunjawa] Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa. 2006. Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karimunjawa. Karimunjawa: PPP Karimunjawa. 80 hlm. [RPPK] Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. 2005. 4 hlm http://www.litbang.deptan.go.id/special/rppk/files/L2J1.pdf Suherman A. 2007. Rekayasa Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. [Disertasi]. Bogor: IPB. 261 hlm. Sultan M. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Taka Bonerate. [Disertasi]. Bogor: IPB. 174 hlm. Supardan A, Haluan J, Manuwoto, Soemokaryo S. 2006. Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Aplikasinya pada Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton. Buletin PSP (15):35-49. Suryanto A. 2000. Sistem Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Berdasarkan Indeks Kepekaan Lingkungan Studi Kasus di Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor: IPB. 315 hlm. Sya’rani L. dan Suryanto A. 2006. Gambaran Umum Kepulauan Karimunjawa. Semarang: Unissula Press. 171 hlm.
102
Tinungki GM. 2005. Evaluasi Model Produksi Surplus dalam Menduga Hasil Tangkapan Maksimum Lestari untuk Menunjang Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali. [Disertasi]. Bogor: IPB. 154 hlm. Yager RR. 1988. On Ordered Weighted Agregation Operators in Multi-criteria Decision Making. Journal IEEE Transaction on System, Man, and Cybernatics (18): 183-190. Yager RR. 1993. Non Numeric Multi-criteria Multi-Person Decision Making. Journal Group Decision and Negotiation (2): 81-93. Yager RR and DP. Pilev. 1994. Parameterized Andlike and Orlike OWA Operators. International Journal Genetic System (22): 297-316. Yudhistira T, Diawati L. 2000. The Development of Fuzzy AHP Using Nonadditive Weight and Fuzzy Score. Makalah Seminar The Indonesian Symposium on The Analytical Hierarchy Process (INSAHP) 2000. Jakarta: Lembaga Manajemen PPM. 10 hlm.
LAMPIRAN
103
Lampiran 1 Pemilihan komoditas unggulan Alternatif ada 8, yaitu: (1) Kerapu (2) Tongkol (3) Cumi-cumi (4) Lobster (5) Teri (6) Ekor kuning (7) Teripang (8) Kakap merah Kriteria ada 5, yaitu: (1) Nilai ekonomis komoditas (2) Volume komoditas (3) Kontinuitas komoditas (4) Mutu komoditas (5) Peluang diversifikasi komoditas Skala penilaian ada 7, yaitu: (1) P = Perfect atau Paling Tinggi (2) ST = Sangat Tinggi (3) T = Tinggi (4) S = Sedang (5) R = Rendah (6) SR = Sangat Rendah (7) PR = Paling Rendah Tingkat kriteria: Kriteria 1 (K1) = P Kriteria 2 (K2) = ST Kriteria 3 (K3) = ST Kriteria 4 (K4) = ST Kriteria 5 (K5) = T Pakar ada 4, yaitu: 1. Akademisi (P1) 2. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah (P2) 3. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara (P3) 4. Nelayan (P4)
104
Lampiran 1 (lanjutan)
Pakar
Pakar 1
Pakar 2
Pakar 3
Pakar 4
Alternatif Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 5 Alt 6 Alt 7 Alt 8 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 5 Alt 6 Alt 7 Alt 8 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 5 Alt 6 Alt 7 Alt 8 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 5 Alt 6 Alt 7 Alt 8
Kriteria 1 ST P P P ST P ST ST P ST ST P S ST T T T ST ST ST T T ST T T T T ST T T ST T
Kriteria Penilaian Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4 ST ST ST ST T T ST ST ST T T ST ST T T T T T T T ST T ST T ST ST ST ST ST ST T T ST S T P ST T S S S T S S ST T T T ST ST T ST T T T S ST T S ST ST ST T T T S ST S ST ST S T ST T S T ST T S S ST T T ST ST ST S T T S T T T ST ST S
Kriteria 5 ST ST ST ST ST T T ST ST ST T ST T T ST ST T ST T T S S S S T T S S T T S S
Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut: No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kode Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 5 Alt 6 Alt 7 Alt 8
Deskripsi Kerapu (Ephinephelus sp) Tongkol (Euthynnus sp) Cumi-cumi (Loligo sp) Lobster (Panulirus sp) Teri (Stelophorus sp) Ekor kuning (Caesio sp) Teripang (Holothuria) Kakap merah (Lutjanus sp)
Skala ST ST ST T T T T T
105
Lampiran 2 Pemilihan alat tangkap ideal Alternatif ada 4, yaitu: (1) Jaring insang (gillnet) (2) Pancing tonda (troll line) (3) Bubu (fish trap) (4) Bagan apung (floating liftnet) Kriteria ada 6, yaitu: (1) Selektivitas tinggi (K1). (2) Tidak destruktif terhadap habitat dan aman bagi biodiversity (K2). (3) Tidak membahayakan nelayan (K3). (4) Menghasilkan ikan bermutu baik (K4). (5) By-catch rendah (K5). (6) Tidak menangkap spesies yang dilindungi (K6). Skala penilaian ada 7, yaitu: (1) P = Perfect atau Paling Tinggi (2) ST = Sangat Tinggi (3) T
= Tinggi
(4) S = Sedang (5) R = Rendah (6) SR = Sangat Rendah (7) PR = Paling Rendah Tingkat kriteria: Kriteria 1 (K1) = P Kriteria 2 (K2) = P Kriteria 3 (K3) = P Kriteria 4 (K4) = ST Kriteria 5 (K5) = ST Kriteria 6 (K6) = P Pakar ada 4, yaitu: 1. Akademisi (P1) 2. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah (P2) 3. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupate Jepara (P3) 4. Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) (P4)
106
Lampiran 2 (lanjutan)
Pakar
Pakar 1
Pakar 2
Pakar 3
Pakar 4
Alternatif Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4 Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 4
Kriteria 1 P P ST R P P P R P P P R P P P R
Kriteria 2 S P ST R P P ST S P P ST S P P ST S
Kriteria Penilaian Kriteria Kriteria 3 4 P S P S P P S S ST S ST ST S P S S ST S S ST ST P S S ST S S ST ST P S S
Kriteria 5 S P P R T ST P S S ST P R S ST P S
Kriteria 6 S P P S S ST ST T T T ST S S ST ST T
Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut: No. 1 2 3 4
Kode Alt 1 Alt 2 Alt 3 Alt 8
Deskripsi Jaring insang (gillnet) Pancing tonda (troll line) Bubu (fish trap) Bagan apung (floating liftnet)
Skala T ST ST T
107 Lampiran 3 Kelayakan usaha alat tangkap terpilih (a) Bubu Keterangan A. Arus Masuk 1. Penerimaan Jumlah Arus Masuk B. Arus Keluar I. Investasi 1. Kapal 2. Mesin 3. Alat tangkap Jumlah investasi II. Biaya Tetap 1. Perawatan 2. Lain-lain Jumlah Biaya Tetap III. Biaya Variabel 1. Perbekalan 2. Solar 3. Minyak Tanah 4. Oli 5. Upah ABK Jumlah Biaya Variabel Jumlah Arus Keluar Net Benefit DF 16% PV NPV Net B/C IRR
0 0 0
Tahun Ke1 40.000.000 40.000.000
2 40.000.000 40.000.000
3 40.000.000 40.000.000
10.000.000 3.000.000 2.250.000 15.250.000
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0
500,000 0 500,000
500,000 0 500,000
500,000 0 500,000
0 0 0 0 0 0 15.250.000
2.500.000 11.875.000 2.750.000 300.000 6.000.000 23.425.000 23.925.000
2.500.000 11.875.000 2.750.000 300.000 6.000.000 23.425.000 23.925.000
2.500.000 11.875.000 2.750.000 300.000 6.000.000 23.425.000 23.925.000
-15.250.000 1 -15.250.000 26.176.834 2,72 72,48%
16.075.000 0,93 14.884.259
16.075.000 0,86 13.781.722
16.075.000 0,79 12.760.853
108 Lampiran 3 (lanjutan) (b) Pancing tonda Keterangan A. Arus Masuk 1. Penerimaan Jumlah Arus Masuk B. Arus Keluar I. Investasi 1. Kapal 2. Mesin 3. Alat tangkap Jumlah investasi II. Biaya Tetap 1. Perawatan 2. Lain-lain Jumlah Biaya Tetap III. Biaya Variabel 1. Perbekalan 2. Solar 3. Minyak Tanah 4. Oli 5. Upah ABK Jumlah Biaya Variabel Jumlah Arus Keluar Net Benefit DF 8% PV NPV Net B/C IRR
0 0 0
1 50.000.000 50.000.000
Tahun Ke2 3 50.000.000 50.000.000 50.000.000 50.000.000
4 50.000.000 50.000.000
5 50.000.000 50.000.000
3.000.000 5.000.000 18.000.000
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0
400,000 0 400,000
400,000 0 400,000
400,000 0 400,000
400,000 0 400,000
400,000 0 400,000
0 0 0 0 0 0 18.000.000
2.500.000 17.000.000 3.750.000 200.000 12.000.000 35.450.000 35.850.000
2.500.000 17.000.000 3.750.000 200.000 12.000.000 35.450.000 35.850.000
2.500.000 17.000.000 3.750.000 200.000 12.000.000 35.450.000 35.850.000
2.500.000 17.000.000 3.750.000 200.000 12.000.000 35.450.000 35.850.000
2.500.000 17.000.000 3.750.000 200.000 12.000.000 35.450.000 35.850.000
-18.000.000 1 -18.000.000 38.496.847 3,14 64,68%
14.150.000 0,93 13.101.852
14.150.000 0,86 12.131.344
14.150.000 0,79 11.232.726
14.150.000 0,74 10.400.672
14.150.000 0,68 9.630.252
10.000.000
109
Lampiran 4 Proses perhitungan prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa (1) Hasil perhitungan bobot kriteria No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kriteria Sumber daya manusia (SDM) Sumber daya alam (SDA) Sumber daya ikan (SDI) Sarana dan prasarana Nelayan Masyarakat sekitar
Bobot 0,1094 0,1366 0,2143 0,1416 0,1852 0,2129
(2) Hasil perhitungan nilai eigen alternatif untuk setiap kriteria No. 1.
2.
3.
4.
Alternatif
Nilai Eigen Alternatif untuk Setiap Kriteria K1 K2 K3 K4 K5 K6 0,5035 0,6268 0,1166 0,3149 0,2470 0,4879
Pengembangan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan Optimalisasi 0,3110 pemanfaatan pelabuhan perikanan Pembinaan 0,1166 masyarakat nelayan Peningkatan 0,0688 ketrampilan nelayan
0,0655
0,2769
0,1679
0,2354
0,0673
0,2461
0,3296
0,3378
0,3314
0,2938
0,0615
0,2769
0,1794
0,1862
0,1510
(3) Hasil perhitungan konsistensi kriteria dan alternatif No
Uraian
CI
RI
CR
1.
Kriteria
0,0595
1,24
0,0479
2.
Alternatif untuk kriteria 1
0,0147
0,90
0,0163
3.
Alternatif untuk kriteria 2
0,0431
0,90
0,0479
4.
Alternatif untuk kriteria 3
0,0646
0,90
0,0718
5.
Alternatif untuk kriteria 4
0,0261
0,90
0,0290
6.
Alternatif untuk kriteria 5
0,0827
0,90
0,0919
7.
Alternatif untuk kriteria 6
0,0361
0,90
0,0401
110
Lampiran 5 Dokumentasi penelitian
(1) Wawancara dengan nelayan Bubu.
(2) Pengoperasian bubu.
(3) Nelayan pancing tonda yang sedang tambat di dermaga PPP Karimunjawa.