SUMBERDAYA PERIKANAN TELUK BINTUNI PAPUA; Potensi, Masalah dan Upaya Pengelolaan Oleh Roni Bawole, Frans Wanggai, Yunus Abdullah, Ahmad Rochani dan Max J. Tokede (Universitas Negeri Papua, Provinsi Irian Jaya Barat, Manokwari)
Abstrak Produksi udang di Teluk Bintuni dengan menggunakan data produksi PT BMR memperlihatkan penurunan terus dari tahun 2000 – 2003 dengan tingkat penurunan produksi 31,10 % (7,80 % per tahun) atau 216.848 kg/tahun. Hasil tangkapan nelayan tradisional menunjukkan rata-rata produksi ikan sebesar 25.97 19.98 kg/trip. Produksi udang sebesar 4.58 4.37 kg/trip. Jumlah hasil tangkapan ini sangat dipengaruhi oleh periode pasang surut, gelombang yang berhubungan dengan musim di daerah ini (musim timur dan barat) dan angin serta kepemilikan alat tangkap. Penambahan jumlah upaya penangkapan yang ada memperlihatkan terjadinya penurunan hasil tangkapan bagi nelayan yang berada di Tanah Merah. Potensi sumberdaya udang yang berada pada lokasi tangkapan nelayan Tanah Merah hanya dapat mendukung upaya penangkapan sebanyak 70 nelayan/hari, dan lebih dari nilai tersebut produksi tangkapan cenderung menurun. Sebaliknynya, untuk hasil pendaratan udang di Saengga dan Onar menunjukkan peningkatan hasil tangkapan udang, sehingga upaya penangkapannya masih dapat ditambah. Rasionalisasi armada penangkapan dapat dikurangi dengan membatasi efisiensi unit penangkapan yang ada dengan syarat nelayan tradisional tidak meningkatkan upaya penangkapannya. Penutupan sementara daerah berfungsi sebagai daerah asuhan udang-udang muda (nursery to juvenile) dan daerah yang mempunyai beberapa individu dengan ukuran yang dikehendaki untuk ditangkap akan efektif untuk meningkatkan populasi udang. Penutupan musim dan daerah penangkapan akan efektif jika penangkapan dapat dialihkan ke daerah lain. Kata kunci: Sumberdaya Perikanan, Potensi, Masalah dan Upaya Pengelolaan, Teluk Bintuni.
PENDAHULUAN Ditinjau dari potensi sumber daya alam, kawasan pesisir pantai Teluk Bintuni memiliki kekayaan alam berlimpah terutama hutan, biota perairan, dan gas alam. Hutan dibedakan menjadi dua yakni hutan bakau, dan hutan campuran.
Biota perairan
terutama yang bernilai ekonomi tinggi adalah udang, ikan, dan kepiting. Gas alam yang telah ditemukan adalah LNG yang tersebar di bawah laut perairan Laut Teluk Bintuni di Distrik Arandai.
Sumber daya hutan dieksploitasi oleh 9 pemegang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) sejak tahun 1980-an. Cara Sitasi: Bawole R, Wanggai F, Abdullah Y, Rochani A, Tokede Mj. 2008. Sumberdaya Perikanan Teluk Bintuni Papua; Potensi, Masalah Dan Upaya Pengelolaan Dalam Prosiding Konferensi Nasional VI Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan tanggal 26 – 29 Agustus 2008 di Manado, hal 823 – 838. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia.
328
Delapan HPH memperoleh konsesi hutan campuran, dan 1 HPH lainnya yakni PT. Bintuni Utama Wood Industry (BUMWI) memperoleh konsesi hutan bakau seluas 137 000 hektar. Di antara 8 HPH yang memperoleh konsesi hutan campuran, terdapat 5 HPH yang masih tetap beroperasi hingga sekarang dengan luas areal konsesi 1 099 000 hektar yakni PT. Yotefa Sarana Timber, PT. Wukirasari, PT. Agoda Rimba Irian, PT. Teluk Bintuni Mina Agro, dan PT. Rimba Kayu Arthamas. PT. Agoda Rimba Irian dan PT. BUMWI disamping melakukan kegiatan eksploitasi produksi kayu, juga melakukan usaha industri perkayuan. PT. BUMWI melakukan usaha industri kayu lapis di tepi pantai Pulau Amutu, dan PT. Agoda Rimba Irian melakukan usaha industri kayu log di tepi pantai Kampung Tofoi. Biota perairan yang meliputi ikan dan udang serta kepiting telah dieksplotasi secara tradisional sejak generasi sebelumnya oleh penduduk kampung-kampung yang tersebar di pesisir pantai Teluk Bintuni. Eksploitasi produksi yang dilakukan oleh penduduk lokal generasi sekarang telah menunjukkan kecenderungan-kecenderungan ke arah usaha dengan corak yang lebih subsisten dan bahkan komersial, tetapi skala usahanya tetap kecil. Udang merupakan jenis biota perairan yang dieksploitasi secara besar-besaran oleh lima perusahaan berbadan hukum.
PT. Bintuni Mina Raya
merupakan perusahaan eksploitasi produksi udang yang terbesar, dan melakukan usha industri pembekuan udang di tepi pantai Wimro. Gas alam di kawasan Teluk Bintuni akan dikelola oleh BP-Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai Proyek LNG Tangguh.
Tujuan proyek LNG Tangguh
adalah untuk melakukan eksploitasi produksi gas alam dan melakukan kegiatan industri pengolahan gas alam menjadi LNG. Kegiatan proyek LNG Tangguh sekarang telah sampai pada tahapan prakonstruksi, dan selanjutnya berturut-turut akan memasuki tahapan konstruksi, tahapan operasional, dan tahapan pasca operasional. Jumlah tenaga kerja yang terbanyak diperlukan pada tahapan konstruksi yang akan berlansung selama 3 tahun yakni kurang lebih 5 000 orang tenaga kerja. Proyek LNG Tangguh pada tahapan operasional yang akan berlansung selama 40 tahun adalah memerlukan teknologi tinggi, sehingga pada tahapan ini jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan mengalami penurunan drastis yakni kurang lebih 350 orang tenaga ahli. Hal-hal tersebut di atas menandaskan tentang perikanan di Kawasan Teluk Bintuni memiliki posisi
329
strategis dalam upaya untuk mengembangkan perekonomian masyarakat lokal Kawasan Teluk Bintuni. Secara rinci tujuan operasional studi pengkajian perikanan berkelanjutan di Kawasan Teluk Bintuni dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi potensi sumber daya lokal yang berkaitan dengan kegiatan perikanan, meliputi potensi fisik, biologi, sosial, ekonomi dan budaya. 2. Memetakan secara spasial aktivitas nelayan tradisional dan nelayan komersil menurut lokasi penangkapan, alat tangkap, alat transportasi dan produksi tangkapan. 3. Merumuskan berbagai usulan pengembangan usaha perikanan berkelanjutan melalui upaya penyusunan rencana strategi Pengembangan Usaha Perikanan Berkelanjutan METODE SURVEI Survei dilaksanakan secara bertahap. Fase I dilaksanakan pada bulan Januari – Pebruari 2004 dan Fase II dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2004, dengan lokasi survei tersaji dalam Gambar 1. Proses pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data seperti metode historis dan observasi langsung, wawancara semi struktural, pengisian log-book tangkapan harian nelayan, kuesioner, dan pedoman wawancara. Sebanyak 15 kampung yang tersebar pada tiga distrik induk yakni Distrik Bintuni, Babo, dan Distrik Arandai sebagai lokasi studi pada fase I, dan 18 kampung yang juga tersebar pada tiga distrik tersebut sebagai lokasi studi pada fase II. Disamping kampung-kampung nelayan tersebut kegiatan pengumpulan dilakukan pada satu-satunya perusahaan komersial perikanan di Teluk Bintuni (PT. Bintuni Mina Raya, BMR) yang berkedudukan di Wimro. Proses penentuan kelompok responden diawali dengan kegiatan tim studi lapangan menemui kepala kampung untuk memyampaikan tujuan studi dan mengetahui jumlah nelayan. Dilanjutkan dengan mengidentifikasi nelayan yang aktif berdasarkan pengamatan langsung di tempat pendaratan ikan atau di pantai pada setiap kampung studi.
Indentifikasi nelayan aktif dilakukan selama pelaksanaan pengumpulan data
lapangan, sehingga pada akhir pengamatan diperoleh seluruh nelayan aktif yang selanjutnya dijadikan sebagai responden pada setiap kampung. Informan kunci ditentukan secara purposif dengan mempertimbangkan keterwakilan para pihak yang berkepentingan dengan kegiatan perikanan. Mereka ini 330
termasuk kepala kampung, pedagang pengumpul, ketua kelompok nelayan, kepala suku, dan kepala lembaga adat. Selanjutnya dari PT.BMR ditentukan berdasarkan jabatan yang menentukan operasional perusahaan.
Data informan kunci diperoleh dengan
wawancara semi struktural dan diskusi kelompok.
Jumlah responden pada fase I
sebanyak 135 responden dan pada fase II sebanyak 243 responden, dan log book yang terdistribusi sebanyak 583 pada fase I dan 807 pada fase II, dengan informan kunci sebanyak 43 orang. Log book dibagikan kepada sejumlah nelayan di semua kampung yang menjadi lokasi studi baik nelayan individu maupun kelompok. Jumlah log book disesuaikan dengan jumlah nelayan yang aktif. Log book selain berisi data hasil tangkapan harian juga memuat identitas masing-masing nelayan yang menyangkut jenis alat transportasi yang digunakan, jenis dan jumlah alat tangkap. Walaupun log book diberikan kepada kelompok, tetapi tetap berisi data individu nelayan. HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Sosial Ekonomi Hasil studi sosial-antropologi-budaya menunjukkan jumlah penduduk Kawasan Teluk Bintuni sebanyak 46.174 jiwa atau 10.461 keluarga.
Perbandingan jumlah
penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan ditunjukkan oleh rasio seks sebesar 1,143. Di antara 3.142 orang penduduk yang bekerja, terdapat 26 persen yang memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan. Jumlah suku yang bermukim di ketiga wilayah distrik lokasi studi diperhitungkan lebih dari 30 suku, termasuk sukusuku Masyarakat Papua. Di antara suku-suku ini yang dominan adalah Suku Sebyar, Suku Wamesa, Suku Jawa, Suku Bugis-Makasar, Suku Irarutu, Suku Simuri, Suku Sough, dan Suku Kuri. Suku-suku yang sejak masa lampau telah bermukim di Kawasan Teluk Bintuni adalah Suku Sebyar, Suku Wamesa, Suku Irarutu, Suku Simuri, Suku Sough, Suku Kuri, dan Suku Moskona. Berdasarkan dimensi waktu, kelompok suku ini selanjutnya hingga sekarang dikenal sebagai suku asli Kawasan Teluk Bintuni. Sebaran penduduk yang termasuk dalam ke tujuh suku asli ini dapat ditinjau dari aspek geografis dan aspek administratif pemerintahan. Dari aspek ekonomi, tingkat pendapatan nelayan di Kabupaten Teluk Bintuni berkisar dari Rp. 1.200.000,- sampai Rp. 5.370.000,- dengan rata-rata Rp. 2.063.000,331
per bulan. Alokasi pendapatan tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan subsisten (untuk memenuhi kebutuhan keluarga terhadap barang-barang kebutuhan yang tidak dapat dihasilkan sendiri).
Pemasaran sumberdaya perikanan di Kabupaten Teluk
Bintuni masih sangat terbatas dengan mekanisme sederhana, yaitu langsung dari produsen ke konsumen. Hal ini menyebabkan seluruh marjin pemasaran diterima oleh nelayan.
Permasalahannya adalah di satu pihak komoditas kepiting harus segera
dipasarkan dalam keadaan hidup, di lain pihak Kabupaten Teluk Bintuni sebagai penghasil kepiting mempunyai tingkat aksesibilitas yang rendah terhadap daerah lain dan sarana transportasi yang terbatas dan mahal. Komposisi biaya produksi menunjukkan bahwa variasi biaya yang lebih beragam terjadi pada penggunaan motor penggerak. Biaya produksi penggunaan motor penggerak mencapai 2 – 4 kali lebih besar daripada penggunaan perahu kole-kole dan perahu semang. Tetapi apabila dikaitkan dengan produksi yang diperoleh ternyata peningkatan biaya produksi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang sebanding, yang pada gilirannya mempengaruhi efisiensi penggunaannya. Secara umum usaha penangkapan udang di Kabupaten Teluk Bintuni berada pada taraf yang efisien (nilai R/C lebih besar 1). Namun demikian, dilihat penggunaan alat transportasi, penggunaan kole-kole dan perahu semang lebih efisien dibandingkan penggunaan motor penggerak.
Hal ini sebabkan penggunaan motor penggerak
membutuhkan bahan bakar banyak, sementara harga bahan bakar di Teluk Bintuni sangat mahal. Dari segi penggunaan alat transpor, nelayan ikan yang menggunakan perahu tanpa motor penggerak lebih efisien dibandingkan nelayan yang menggunakan perahu dengan motor penggerak. Aspek Teknologi Penangkapan Perkembangan teknologi penangkapan ikan dapat dikategorikan menurut tingkat penggunaan dan dimensi waktu, yaitu 1961 – 1980 aktivitas nelayan lebih berorientasi pada perikanan subsisten, 1981 – 2000 terjadi perkembangan teknologi penangkapan karena masuknya berbagai investor dan perhatian pemerintah di kawasan Teluk Bintuni, dan tahun 2000 – 2004 merupakan fase pengunaan teknologi penangkapan saat ini (current usage). Sebelum tahun 1981, pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh para nelayan masih menggunakan alat tangkap sederhana bersifat turun temurun. Dengan 332
perkembangan waktu, terjadi perubahan pemanfaatan jenis alat tangkap, tanpa meninggalkan alat tangkap tradisional tetapi jumlahnya semakin berkurang. Jenis alat tangkap yang digunakan tergantung jenis dan potensi sumber daya perikanan yang tersedia. Pada daerah-daerah yang potensi udangnya tinggi, maka berkembang jaring udang (trammel net); pada daerah yang memiliki potensi jenis kepiting dan ikan yang tinggi maka berkembang alat tangkap kepiting dan ikan sperti perangkap, sero dan jaring. Produksi udang di Teluk Bintuni dengan menggunakan data produksi PT BMR memperlihatkan penurunan terus dari tahun 2000 – 2003 dengan tingkat penurunan produksi 31,10 % (7,80 % per tahun) atau 216.848 kg/tahun. Tahun 2000 - 2001 terjadi penurunan sebesar 63.556,3 kg, dan tahun 2001 - 2002 sebesar 198.891,7 kg, serta Tahun 2002 - 2003 sebesar 399.007,0 kg. Hasil tangkapan nelayan tradisional menunjukkan rata-rata produksi ikan sebesar 25.97 19.98 kg/trip. Sedangkan produksi udang sebesar 4.58 4.37 kg/trip. Komposisi hasil tangkapan didominasi oleh ikan (8,025.50 kg), udang (1,901.10 kg), kepiting (230.20 kg) dan lobster (11.30 kg), dan kerang-kerangan (26.00 ekor). Dari penggunaan alat tangkap, trammel net memperlihatkan produksi tertinggi 2,878.10 kg, yang terdiri dari 1,259.00 kg ikan dan 1,619.10 kg udang, dibandingkan dengan alat tangkap lain (pancing, jala, dan jaring). Jumlah hasil tangkapan ini sangat dipengaruhi oleh periode pasang surut, gelombang yang berhubungan dengan musim di daerah ini (musim timur dan barat) dan angin serta kepemilikan alat tangkap. Jumlah hari operasi kegiatan penangkapan tradisional berkisar 3 sampai 5 hari/nelayan/minggu, dan dalam satu bulan sekitar 10 –18 hari/nelayan/bulan. Dalam kurun waktu tersebut, penangkapan udang/ikan yang paling baik adalah pada saat air laut bergerak surut setelah mengalami pasang atau saat surut bergerak menuju pasang. Hasil analisis data harian udang yang ada pada pedagang pengumpul (Tanah Merah, Saengga dan Onar) dari Februari 2003 hingga Januari 2004 menunjukkan bahwa penambahan upaya tangkap akan meningkatan hasil tangkapan.
Namun demikian
dengan penambahan jumlah upaya yang ada memperlihatkan terjadinya penurunan hasil tangkapan bagi nelayan yang berada di Tanah Merah. Potensi sumberdaya udang yang berada pada lokasi tangkapan nelayan Tanah Merah hanya dapat mendukung upaya 333
penangkapan sebanyak 70 nelayan/hari, dan lebih dari nilai tersebut produksi tangkapan cenderung menurun.
Sebaliknynya, untuk hasil pendaratan udang di
Saengga dan Onar menunjukkan peningkatan hasil tangkapan udang, sehingga upaya penangkapannya masih dapat ditambah. Permasalahan Dan Upaya Pengelolaan Secara singkat masalah utama dalam pembangunan perikanan berkelanjutan di Teluk Bintuni, adalah (1) sumber dana; (2) sumber daya alam; (3) prasarana umum atau infrastruktur ekonomi perikanan; (4) Kelembagaan; (5) Sumber daya manusia nelayan. Hasil analisis ranking permasalahan mendesak dalam penyelenggaraan pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di Teluk Bintuni disajikan pada Gambar 2. Permasalahan yang paling mendesak untuk diselesaikan dalam rangka pembangunan perikanan tangkap di Teluk Bintuni adalah permasalahan prasarana umum. Permasalahan berikutnya adalah permasalahan kelembagaan, disusul sumber daya manusia, sumber dana, dan sumber daya alam. Strategi Dan Upaya Pengembangan Mengatasi hambatan 1). Prasarana umum; Prasarana umum perlu dikembangkan untuk menunjang pengembangan perikanan yang berkelanjutan.
Khususnya dalan penyediaan air
tawar, tenaga listrik, dan sarana komunikasi. 2). Kapasitas kelembagaan; Dinas Kelautan dan Perikanan perlu diperkuat dengan sumber daya manusia yang memadai, sarana dan fasilitas yang cukup untuk melayani publik dengan baik. Selain itu pula perlu diperkuat program penyuluhan, dan pengadaan sistem informasi data statistik perikanan yang akurat dan relevan. 3). Sumber daya manusia; Hambatan pembangunan karena belum tersedianya sumber daya manusia di segala bidang dan strata cukup signifikan. Untuk itu program peningkatan kemampuan dan jumlah
sumber daya manusia yang mampu dan
trampil perlu diutamakan.
334
Gambar 2. Skor tingkat kepentingan permasalahan dalam rangka pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di Teluk Bintuni. Pengembangan perikanan Secara singkat hasil analisis berbagai pilihan program pengembangan perikanan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 3. Selengkapnya strategi pengembangan yang akan dilakukan dikelompokkan ke dalam program-program pengembangan seperti di bawah ini. 1. Pengembangan alat tangkap. Strategi pengembangan alat tangkap diarahkan pada peningkatan mutu dan atau jumlah produksi tangkapan.
Berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing
wilayah, peningkatan jumlah produksi tangkapan udang di Distrik Aranday dan Distrik Babo bagian Barat; peningkatan produksi tangkapan kepiting di Distrik Babo, Distrik Aranday dan Distrik Bintuni, peningkatan mutu dan jumlah produksi tangkapan ikan di Distrik Bintuni dan Distrik Babo Bagian Timur. Pengwilayahan komoditas seperti ini berguna untuk menetapkan jenis alat tangkap yang sesuai bagi masing-masing wilayah. Strategi pengembangan alat tangkap yang perlu dilakukan, terutama adalah mencari lembaga-lembaga kredit usaha perikanan, dan menyalurkannya dalam bentuk alat tangkap yang lebih baik dan sesuai keunggulan masing-masing wilayah operasi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. 335
2. Pengembangan perahu/kapal motor. Strategi pengembangan perahu/kapal motor diarahkan pada upaya untuk menunjang peningkatan jumlah produksi tangkapan udang di Distrik Aranday dan Distrik Babo Bagian Barat, dan untuk menunjang peningkatan mutu hasil produksi tangkapan ikan di Distrik Bintuni dan Distrik Babo Bagian Timur.
Dengan
menggunakan perahu/kapal motor yang lebih baik, para nelayan diharapkan dapat melakukan usaha penangkapan di perairan Teluk Bintuni sebagai habitat jenis-jenis ikan yang lebih bermutu. Sama dengan alat tangkap, strategi pengembangan perahu/kapal motor sama dengan alat tangkap yakni mencari lembaga-lembaga kredit usaha perikanan tangkap dan menyalurkannya dalam bentuk kredit perahu/kapal motor. 3. Pembentukan pasar Strategi pembentukan/pengembangan pemasaran hasil produksi tangkapan nelayan diarahkan pada pembukaan jaringan pasar potensial untuk produksi tangkapan udang dan kepiting di luar Kabupaten Teluk Bintuni. Khusus ikan, selain membuka jaringan pasar ikan kering di luar Kabupaten Teluk Bintuni, adalah menjajagi alternatif penggunaan hasil produksi tangkapan jenis-jenis ikan yang kurang memiliki nilai pasar lokal, tetapi jumlah hasil produksi tangkapannya senantiasa tinggi. Strategi pengembangan pemasaran hasil produksi tangkapan nelayan yang perlu dilakukan, terutama adalah : (a). Menggalakkan promosi dan menjajagi pasar-pasar potensial hasil produksi tangkapan udang di luar Papua, serta menjajagi pasar potensial hasil produksi tangkapan kepiting dan ikan kering di luar Kabupaten Teluk Bintuni. (b). Menggalakkan promosi dan menjajagi alternatif penggunaan jenis-jenis ikan yang bernilai pasar lokal rendah sebagai bahan baku industri. (c) Pengadaan sarana dan prasarana industri pengawetan hasil produksi tangkapan udang di setiap kampung nelayan udang. (d). Pengadaan sarana dan prasarana pemeliharaan kepiting sebelum diangkut ke pusat-pusat pasar kepiting di luar Kabupaten Teluk Bintuni.
336
4. Pengembangan prasarana pelabuhan Strategi pengembangan prasarana pelabuhan diarahkan pada upaya yang memudahkan pengelolaan hasil produksi tangkapan di tempat pendaratan ikan. Selain itu diarahkan pula pada upaya-upaya pengawetan hasil produksi tangkapan yakni melengkapi pelabuhan pendaratan ikan dengan coolstorage. Strategi pengembangan pelabuhan pendaratan ikan dan coolstorage yang perlu dilakukan, terutama adalah : (a). Membangun koordinasi antar Dinas Kelautan dan Perikanan dengan lembaga terkait seperti Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (BP3D), Dinas Perhubungan, dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Kabupaten Teluk Bintuni. (b). Mengembangkan program pembangunan dan pengembangan pelabuhan pendaratan ikan dan coolstorage secara terpadu antar lembaga pemerintah, dan berkelanjutan. (c ). Menghimpun dan membangun partisipasi perusahaan-perusahaan skala besar yang beroperasi di kawasan Teluk Bintuni untuk membangun infrastruktur ekonomi perikanan. 5. Pengembangan fasilitas pengolahan Strategi pengembangan fasilitas pengolahan hasil produksi tangkapan diarahkan pada pembangunan fabrik es balok. Es balok diperlukan nelayan untuk mengawetkan hasil produksi tangkapan selama perjalanan menjelajahi perairan dalam rangka melakukan kegiatan penangkapan. Sama seperti pengembangan pelabuhan pendaratan ikan, strategi pengembangan fabrik es dilakukan melalui program kerja terpadu antar lembaga pemerintah terkait. Selain itu dapat pula dilakukan melalui upaya menghimpun dan membangun partisipasi perusahaan-perusahaan skala besar yang beroperasi di Kawasan Teluk Bintuni.
337
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP
GOAL
KRITERIA
Suplai Protein
MASALAH (LIMITING FACTOR)
OPSI
Pendapatan Nelayan
Sumber Dana
Program Pengadaan Alat Tangkap
Program Pengadaan Perahu/Kapal
Profit Usaha
SDM
Program Pendidikan & Pelatihan
Devisa
SDA
PAD
Pajak
Kelembagaan
Pembangunan Prasarana Pelabuhan
Penyerapan Tenaga Kerja
Prasarana umum
Pembangunan Fasilitas Pengolahan (pabrik es, cold storage dsb)
Pembentukan Pasar (Pedagang, Collector dsb)
Gambar 3. Hirarki Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Teluk Bintuni
338
6. Pendidikan dan pelatihan Strategi pengembangan pendidikan dan pelatihan diarahkan pada upaya pengembangan sumber daya manusia nelayan.
Fokusnya adalah pada peningkatan
kemampuan nelayan untuk menerapkan teknologi perikanan tangkap yang lebih maju, dan manajemen usaha perikanan tangkap yang lebih profesional. Selain itu diarahkan pula pada peningkatan akses nelayan untuk memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan seperti bank. Strategi pengembangan sumber daya manusia nelayan yang perlu dilakukan, terutama adalah: (a) Mengembangkan wadah organisasi nelayan menjadi forum belajar teknologi dan manajemen usaha perikanan. (b) Menetapkan metode penyuluhan perikanan yang lebih sesuai dengan struktur sosial-ekonomi-budaya nelayan, sehingga lebih efektif dalam upaya transfer teknologi dan manajemen usaha perikanan. (c) Meningkatkan jumlah dan kualitas agen-agen pembaharuan perikanan, dan menumbuhkan semangat pengabdian mereka kepada masyarakat nelayan.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 1998. Rencana pengelolaan Kawasan Lindung Teluk Bintuni. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Studi Lingkungan – Universitas Cenderawasih Bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Propinsi Irian Jaya, Manokwari. __________, 2000. Studi Identifikasi Kawasan Terisolir Di Propinsi Irian Jaya. Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Irian Jaya, Manokwari. __________, 2001. Rencana Pengembangan Sektor Ekonomi Potensial Secara Terpadu di Kawasan Teluk Bintuni. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Manokwari-Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Manokwari. ___________, 2002. ANDAL Kegiatan Terpadu Eksploitasi Gas, Fasilitas LNG, Pelabuhan, Bandara, dan Pemukiman LNG Tangguh di Kabupaten Manokwari, Sorong dan Fakfak Provinsi Papua. ___________, 2003. Kajian Model-Model Mekanisme Pemberian Kompensasi Hak Masyarakat Adat Atas Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Tanah di Distrik 339
Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni. Pusat Penelitian Pemberdayaan Fiskal dan Ekonomi Daerah Universitas Papua Bekerjasama dengan Natural Resources Management, Manokwari. Anonimous, 1991 – 2002. Buku Tahunan Statistik Perikanan, Pemerintah Daerah Tingkat I Irian Jaya, Dinas Perikanan Daerah Jayapura. Naamin N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus Merguensis) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi. Pasca Sarjana IPB Bogor. Sumiono, B dan B.E. Priyono, 1998. Sumberdaya Udang Penaeid dan Krustase lain. Dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia (Widodo, Y, dkk., edts). Dirjen Perikanan Jakarta. URS, 2002. BP Tangguh Fishery Impacts and Their Mitigations; Implication for Resetlement. URS. 2001. Laporan Hasil Sensus Rumahtangga Desa Tanah Merah. Disajikan untuk Pertamina – BP, Proyek LNG Tangguh. URS. 2002. Laporan Hasil Sensus Rumahtangga Desa Saengga dan Onar. Disajikan untuk Pertamina – BP, Proyek LNG Tangguh. Zuwendra; Paul Erftemeijer; Gerald Allen, 1991. Inventarisasi Sumberdaya Alam Teluk Bintuni dan Rekomendasi Untuk Manajemen dan Konservasi. PHPA/AWBIndonesia. Bogor.
340