MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERKELANJUTAN BERBASIS REDD+ (Studi Kasus di Wilayah Pesisir Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan)
AGUS SADELIE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan Berbasis REDD+ adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 2011
Agus Sadelie NIM. C261030091
ABSTRACT AGUS SADELIE. Sustainable Coastal Resource Management Model Based on REDD+ (A Case Study in coastal region of Sembilang National Park, Banyuasin District). Under direction of TRIDOYO KUSUMASTANTO, CECEP KUSMANA and RIZALDI BOER. Indonesia as an archipelagic developing country is a highly vulnerable to direct of climate change. Sea level rise could cause flooding, even predicted to sink some small islands. Meanwhile, the majority (68%) of Indonesia's population live in coastal areas with low adaptive capacity to face global climate change and high pressure to deforestation and degradation, that’s why the coastal become more vulnerable. Therefore, it is needed a new coastal resource management strategy based on the adoption of climate change such as REDD+. This study aimed to design a model of coastal resource management based on REDD+, as well as measuring the level of avoided emission, as the basis for carbon crediting assessment of mangrove forest resources based on the principle of payment for ecosystem services. The method used is the analysis of dynamic systems which is carried out single case multi-level analysis with the procedure "SAVE DYNAMIC": Spatial, Allometric equation, Valuation of Economic followed by analysis of the best economic allocation, and simulation modeling with two scenarios : business as usual (BAU model) and carbon crediting (model CC). Reference emission level (REL) is determined based on historical emissions from deforestation and forest degradation of Indonesia 2003-2006, and a combination of remote sensing (spatial data) and ground survey. Meanwhile, the predictions of future changes in forest cover is determined by a combination of historical data and modeling approach with a predictor of the rate of population. The estimation of forest biomass into carbon done by converting forest inventory data on the scale of the plot with the allometric equation at a high level of detail (Tier 2-3). The results showed that the management of the CC model scenario in the Sembilang National Park (SNP) has the potential for avoided emission of 1.15 MtCO2 yr-1 with the value of carbon credits on average 11.50 million USD yr-1 (assuming a carbon price 10 USD tCO2-1). Meanwhile, cost of good sold of carbon is 8.05 USD tCO2-1. Utilization of carbon crediting options and sylvofishery option with NPV of 8,487.77 million USD (3.6 times > NPV BAU). This could encourage employment opportunities for 100,410 workers (11 times > model BAU). With the CC model scenarios reflect SNP as a region which capable of conduct carbon sink sequestration of CO2 emissions. In addition, SNP has a potential for terrestrial carbon 109.36 MtCO2 over 25 years of management commitment period or an average of 4.37 MtCO2 yr-1. Cumulatively in 2020 SNP area will contribute to the achievement of GHG emission reduction of 72.03 MtCO2. If the assumption of the calculation of national emissions of Indonesia in 2020 by 2.6 GtCO2, emission reduction will reach 26% amounting to 0.676 GtCO2. Thus it can be predicted that the SNP coastal able to contribute GHG emission reduction to total Indonesian Government commitment about 10.65% in 2020 or 2.77% to total Indonesian emissions potential. However, if the SNP management is done by the current (business as usual), predicted a carbon source region, because of the released CO2 emissions (3.16 MtCO2 yr-1) is greater than the terrestrial carbon that can be absorbed (0.21 MtCO2 yr-1). KEY WORDS: Sustainable, coastal resource management model, REDD+, dynamic system, save dynamic, carbon sink.
RINGKASAN AGUS SADELIE. Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan Berbasis REDD+ (Studi Kasus di Wilayah Pesisir Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Banyuasin). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, CECEP KUSMANA dan RIZALDI BOER. Pengelolaan sumberdaya pesisir memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia, khususnya bagi masyarakat pesisir yang menempati hampir 68% wilayah Indonesia berada di wilayah ini. Mayoritas dari populasi ini berada pada kantongkantong kemiskinan yang berkaitan langsung dengan degradasi ekosistem mangrove, yang berakibat wilayah pesisir rentan (vulnerable) terhadap perubahan iklim global. Dengan demikian diperlukan suatu upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan pemberdayaan masyarakatnya dalam hal peningkatan kapasitas adaptasi yaitu penyesuaian terhadap perubahan iklim itu. Sumberdaya pesisir khususnya ekosistem mangrove, memiliki fungsi dan peranan penting dalam kehidupan umat manusia, baik sebagai fungsi fisik, ekologis dan ekonomi. Dalam hal ini pengelolaan hutan mangrove merupakan hal penting, khususnya merehabilitasi dan mengkonservasi hutan mangrove untuk meningkatkan ketahanan (resilience) sistem pantai terhadap dampak perubahan iklim serta dapat menurunkan laju emisi CO2 di wilayah ini. Oleh karena itu, salah satu strategi pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) merupakan alternatif pengelolaan sumberdaya pesisir paling mutakhir untuk menurunkan laju emisi serta sekaligus juga merupakan alternatif pembangunan ekonomi baru dalam memanfaatkan potensi kredit karbon yang ada. Terdapat varian skema kredit karbon yang dapat dimanfaatkan pada saat ini. Salah satunya adalah melalui skema REDD+. REDD-plus merupakan kerangka kerja yang diperluas dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari atau peningkatan cadangan karbon hutan serta meningkatkan serapan emisi melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi. Tujuannya agar partisipasi untuk menerapkan REDD+ semakin luas, serta untuk memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang sudah berupaya melindungi kelestarian hutannya. Prinsip pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ ini didasarkan pada landasan hukum Peraturan Presiden (Prepres) No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor: 30/Menhut-II/2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), Permenhut Nomor: P.36/Menhut-II/2009 tentang tata cara perijinan usaha pemanfaatan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL). Kawasan hutan mangrove Taman Nasional Sembilang (TNS) di Provinsi Sumatera Selatan, memiliki potensi yang dapat dikelola dengan pendekatan kredit karbon dan dipilih sebagai lokasi penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk merancang model pengelolaan sumberdaya pesisir serta mengukur tingkat emisi CO2 yang dapat dihindarkan (avoided emission) sebagai basis penilaian carbon crediting sumberdaya hutan mangrove berdasarkan prinsip payment for ecosystem services. Pihak yang memperoleh manfaat dari layanan ekosistem akan membayar pihak pengelola ekosistem tersebut agar layanannya tetap terjaga secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya pesisir bersifat kompleks, dinamis dan rentan (vulnerable) terhadap berbagai konflik kepentingan. Dengan demikian diperlukan suatu
pengelolaan sumberdaya pesisir yang berasosiasi antar basis disiplin ilmu, adanya sinergitas secara komprehensif antara aspek sosial, ekonomi, serta dimensi-dimensi lingkungan dari pembangunan berkelanjutan. Rumusan kebijakan penting dilakukan agar pemanfaatan sumberdaya mencapai tingkat efisiensi yang diharapkan. Dua skenario pemanfaatan sumberdaya diajukan sebagai alternatif model pengelolaan sumberdaya pesisir: cara saat ini (business as usual; BAU) dan kredit karbon (carbon crediting; CC). Pengelolaan dengan cara saat ini seringkali menimbulkan spektrum dampak, deplesi sumberdaya, penurunan stok karbon terestrial serta meningkatnya laju emisi CO2. Pengelolaan berbasis kredit karbon diharapkan dapat membuka peluang terciptanya pembangunan secara berkelanjutan: perbaikan kualitas lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan antar generasi. Metode analisis pada studi ini adalah analisis sistem dinamik dengan bantuan pemograman I-Think® Ver. 6.1. Metode pengumpulan data dan analisis dilakukan secara singlecase multi level analysis dengan prosedur “SAVE DYNAMIC”: Spatial, Allometric equation, Valuation of Economic yang dilanjutkan dengan analisis alokasi ekonomi terbaik (the best economic allocation), serta simulasi pendekatan sistem dinamik dengan dua skenario business as usual (model BAU) dan skenario carbon crediting (model CC). Reference emission levels (REL) ditentukan berdasarkan data emisi historis dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia 2003-2006, serta kombinasi remote sensing (data spasial) dan ground survey. Prediksi perubahan tutupan hutan masa depan ditentukan berdasarkan gabungan data historis dan pendekatan modeling dengan prediktor laju populasi, kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak yang dapat mempengaruhi motivasi terjadinya tekanan penduduk terhadap TNS. Pendugaan biomassa hutan menjadi karbon dilakukan dengan mengkonversi data inventarisasi hutan pada skala plot dengan persamaan alometrik pada tingkat kerincian tinggi (Tier 23). Hasil penelitian pada komponen carbon accounting menunjukkan bahwa pengelolaan dengan skenario model CC di TNS memiliki potensi emisi CO2 terhindarkan (avoided emission) sebesar 1,15 MtCO2 th-1 dengan nilai kredit karbon rata-rata 11,50 juta USD th-1 (asumsi harga karbon 10 USD tCO2-1). Sementara itu biaya pokok penjualan dari karbon tersebut rata-rata sebesar 8,05 USD tCO2-1. Dengan skenario carbon crediting ini mencerminkan bahwa TNS merupakan kawasan carbon sink yang mampu mensekuestrasi emisi CO2. Apabila pengelolaan TNS dilakukan dengan cara saat ini (model business as usual), diprediksi merupakan kawasan carbon source, karena emisi CO2 yang dilepas lebih besar dari pada karbon terestrial yang dapat diserapnya. Tingkat emisi CO2 yang dihasilkan rata-rata sebesar 3,16 MtCO2 th-1. Dari jumlah tersebut sebesar 1,39 MtCO2 th-1 berasal dari deforestasi dan degradasi hutan pada kawasan TNS dan 1,77 MtCO2 th-1 berasal dari deforestasi dan degradasi hutan di frontier area (FA), sementara stok karbon yang dapat diserap rata-rata hanya sebesar 0,21 MtCO2 th-1. Indikator penggerak laju emisi CO2 tersebut bersumber dari yang direncanakan (planned deforestation) terutama di FA melalui kebijakan RUTR untuk pembangunan ekonomi. Sementara itu di kawasan TNS didominasi deforestasi dan degradasi hutan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) terutama faktor antropogenik seperti tekanan penduduk terhadap hutan serta faktor alam seperti kemarau panjang yang menyebabkan bencana kebakaran, maupun semakin menurunnya daya adaptasi tanaman terhadap kondisi lingkungannya. Stok netto total karbon di kawasan TNS dan FA terdapat kecenderungan membentuk pola kurva S-Shaped growth (contagion model). Pada awal periode komitmen (2010) secara akumulasi terdapat 73,98 MtCO2. Namun demikian karena
terdapat konsentrasi emisi CO2 di FA yang cukup besar selama periode komitmen, maka terjadi peluruhan karbon terestrial secara berkala dan mengalami titik kritis pada periode komitmen tahun 2012 menjadi sebesar 14,91 MtCO2. Hal ini terjadi karena adanya faktor konversi hutan secara masif di FA untuk ekspansi pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan sawit, pertambakan, pemukiman serta infrastruktur. Hasil penelitian lainnya menunjukkan daya serap mangrove terhadap karbon jauh lebih tinggi (227,3 tC ha-1) dari pada tanaman hutan lainnya seperti Acacia mangium (62,08 tC ha-1) atau Eucalyptus sp. (75,89 tC ha-1) yang ditanam di FA. Dengan adanya keterkaitan mangrove dan emisi CO2 ini, maka akan terjadi loop dengan ecosystem services sector pada komponen karbon (climate regulation). Demikian seterusnya secara kontinum berkoneksi dengan sektor lainnya. Hasil pada komponen carbon accounting menunjukkan bahwa pengelolaan dengan model CC di TNS memiliki potensi emisi CO2 terhindarkan (avoided emission) sebesar 1,15 MtCO2 th-1 dengan nilai kredit karbon rata-rata 11,50 juta USD th-1 (asumsi harga karbon 10 USD tCO2-1) dan menghasilkan Net Present Value (NPV) sebesar 8.487,78 juta USD (3,6 kali > NPV model BAU) yang dapat mendorong peluang kesempatan kerja sebesar 100.410 tenaga kerja (11 kali > model BAU). Biaya pokok penjualan (cost of goods sold) dari karbon tersebut teridentifikasi rata-rata sebesar 8,05 USD tCO2-1. Dengan skenario model CC ini mencerminkan bahwa TNS merupakan kawasan carbon sink yang mampu mensekuestrasi emisi CO2. Secara kumulatif pada tahun 2020 kawasan TNS dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian penurunan emisi GRK sebesar 72,03 MtCO2. Sementara itu, asumsi perhitungan nasional emisi Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,6 GtCO2 (DNPI 2009) dimana kebijakan penurunan emisi 26% adalah sebesar 0,676 GtCO2. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa kawasan pesisir TNS mampu memberikan kontribusi penurunan emisi GRK sekitar 10,65% terhadap total komitmen penurunan emisi GRK Pemerintah Indonesia pada tahun 2020 atau sekitar 2,77% dari prediksi potensi emisi Indonesia. Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ akan mencapai efisiensi optimum apabila opsi pemanfaatannya dialokasikan pada kegiatan rendah emisi karbon, seperti hutan wisata mangrove. Tingkat carbon removal kawasan TNS sangat tergantung pada tingkat emisi CO2 di FA. Tingkat perbandingan alokasi konversi hutan mangrove primer (Hmp, C:227,3 tC ha-1) di FA untuk hutan tanaman industri (Eucalyptus sp. C:75,9 tC ha-1) menunjukkan tingkat emisi CO2 yang dihasilkannya relatif lebih rendah (555,13 tCO2 ha-1) dibanding emisi karbon hasil konversi untuk tambak (833,43 tCO2 ha-1). Demikian halnya konversi pada hutan rawa sekunder (Hrs, C:77 tC ha-1) untuk hutan tanaman, emisi CO2 yang dihasilkannya sebesar 4,03 tCO2 ha-1 jauh lebih rendah dibanding untuk konversi tambak dengan emisi karbon sebesar 282,33 tCO2 ha-1. Berdasarkan scientific evidence hasil simulasi pada skenario model CC menunjukkan pola kriteria pareto optimum. Tingkat alokasi sumberdaya mangrove memberikan peningkatan benefit variabel sylvofishery, tetapi berdampak pada turunnya variabel karbon terestrial. Oleh karenanya basis pengambilan keputusan diantara dua opsi pemanfaatan pada skenario model CC harus didasarkan pada aspek efisiensi optimum pemanfaatan sumberdaya alam antara nilai ekonomi dan tingkat emisi CO 2 yang dihasilkannya. Aspek keberlanjutan ekologi dan prinsip keadilan dalam distribusi nilai jual jasa lingkungan untuk masyarakat merupakan dua aspek lainnya yang harus dipertimbangkan. Berdasarkan hal tersebut, kebijakan implementasi yang diperlukan adalah adanya pengaturan pemanfaatan lahan yang ketat dalam hal konversi hutan di FA dan memprioritaskan lahan-lahan marjinal untuk berbagai opsi pemanfaatan lahan yang rendah emisi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERKELANJUTAN BERBASIS REDD+ (Studi Kasus di Wilayah Pesisir Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan)
AGUS SADELIE
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi Dr. Ir. Ario Damar, MSc.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. Dr. Ir. Kirsfianti Ginoga, MSc.
Judul Disertasi
:
Nama NIM Program Studi
: : :
Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan Berbasis REDD+ Agus Sadelie C261030091 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan Berbasis REDD+, telah dipilih berdasarkan pertimbangan permasalahan kondisi lingkungan saat ini, oportunitas serta prospek potensi sumberdaya alam untuk kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang. Penelitian untuk disertasi ini dilakukan pada tahun 2009 dan 2010 di kawasan Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Disertasi ini telah berhasil diselesaikan atas dukungan dan kontribusi seluruh komisi pembimbing, kesediaan dan dedikasinya dalam memberikan arahan, bimbingan serta konsep-konsep yang telah digunakan pada substansi disertasi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. (Ketua Komisi Pembimbing), Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. (Anggota Komisi) dan Bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc. (Anggota Komisi). Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi dan Bapak Dr. Ir. Ario Damar, MSi yang telah berkenan sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, juga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. serta Ibu Dr. Ir. Kirsfianti Ginoga, MSc. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka atas saran-sarannya pada perbaikan disertasi ini. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi SPL-IPB diucapkan terima kasih atas saran-sarannya pada disertasi ini serta ilmu yang telah diberikan kepada penulis sejak duduk di bangku SMA Negeri I Bogor dan kuliah S1, S2 serta S3 di IPB, telah menjadi dasar pemahaman penulis dalam bidang statistika dan matematika. Juga kepada Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc. (Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) dan seluruh staf pengajar dan karyawan Program Studi SPL serta Sekolah Pasca Sarjana IPB diucapkan terima kasih. Karya ilmiah ini dihasilkan atas dukungan dan bantuan serta kerjasama berbagai pihak, untuk itu diucapkan terima kasih kepada Kepala Balai TNS dan para stafnya, kepada saudara Iwan Tri Cahyo Wibisono (Wetland Indonesia) dan rekan-rekan di CER INDONESIA dan EDECON yang telah membantu dalam pengolahan data dan pemetaan serta diskusi-diskusi yang sangat konstruktif. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Yatri Indah Kusumastuti serta anak-anak Fajri Ibnu Huda dan Fadhil Muhammad yang selalu memberikan doa dan inspirasi masa depan. Juga kepada seluruh keluarga diucapkan terima kasih atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan serta kesejahteraan masyarakat pesisir. Bogor, Desember 2011
Agus Sadelie
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 22 Januari 1962 dari ayah Sana Asmian (alm) dan ibu Tati Marta (alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB lulus pada tahun 1988. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB dan lulus pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan program doktor diperoleh pada tahun 2003/2004. Sejak tahun 1990 sampai saat ini penulis berwirausaha pada bidang perencanaan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dengan mendirikan beberapa lembaga riset dan pengembangan. Penulis juga merupakan salah satu pendiri CER INDONESIA yang berkiprah di bidang penelitian dan pengembangan karbon di Indonesia. Selama mengikuti program S3, penulis telah memperoleh penghargaan ”Prestasi Akademik Gemilang” Tahun Akademik 2003/2004 dari Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, tertuang dalam Piagam Penghargaan Nomor : 1858/K13.8/KM/2004 tanggal 20 April 2004. Karya tersebut merupakan bagian dari perjalanan penulis selama mengikuti program S3 di Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Yatri Indah Kusumastuti dan dikaruniai dua orang putra : Fajri Ibnu Huda (18 tahun) sedang menempuh pendidikan di Martin Luther Universität, Halle-Wittenberg, Jerman dan Fadhil Muhammad (14 tahun).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………… .….……………
xvii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………… .…………
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… .………
xxv
1
PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1.1 Latar Belakang ………………………………………………………. 1.2 Perumusan Masalah………………………………………………….. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ….…………………………………… 1.4 Kerangka Pemikiran …........…..….………………………………… 1.5 Definisi Operasional .......……..….………………………………… 1.6 Kebaruan (Novelty) ..........………………………….................………
1 1 6 7 8 12 16
2
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………. 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir ....……………………….. 2.2. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dalam Perspektif Ekonomi 2.3. Peranan Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya ..................... 2.4. Interaksi Eksosistem Mangrove dan Absorbsi Karbon ........................ 2.5. Perubahan Lingkungan Global dan REDD + ..................................... 2.6. Pendekatan Penilaian Sumberdaya .................................................. 2.7. Sistem dan Pemodelan ....................................................................... 2.8. Pendekatan Analisis Spasial ................................................................
17 17 27 33 37 45 51 55 64
3
METODOLOGI PENELITIAN …………………………………………. 3.1 Kerangka Pendekatan Penelitian .................……………………….. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................………………………….. 3.3 Metode Penelitian ...................................………………………….. 3.4 Jenis dan Sumber Data ............................………………………….. 3.5 Metode Pengumpulan Data ......................………………………….. 3.6 Metode Analisis Data ................................………………………….. 3.6.1 Analisis Data Spasial .......................................…………….. 3.6.2 Analisis Potensi Vegetasi .........…………………………….. 3.6.3 Analisis Fungsi Allometrik .........…………………………….. 3.6.3.1 Analisis Potensi Cadangan Karbon ........................ 3.6.3.2 Analisis Potensi Emisi Karbon .............................. 3.6.3.3 Analisis Reduksi Emisis Karbon ............................ 3.6.3.4 Asumsi Data .......................................................... 3.6.4 Analisis Kependudukan dan Tenaga Kerja...................... ......... 3.6.4.1 Analisis Tekanan Penduduk terhadap Lahan ........... 3.6.4.2 Analisis Pertumbuhan Penduduk dan Kesempatan Kerja ......................................................................... 3.6.5 Analisis Valuasi Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dalam Pemodelan Sistem Dinamik ....................…………… 3.6.5.1 Analisis Valuasi Ekonomi Penyerapan Karbon (Carbon Sequestration) ........................................... 3.6.5.2 Analisis Nilai Ekonomi Total dan Analisis Biaya
67 67 70 72 72 73 75 77 79 80 80 81 81 82 82 82 83 86 86
xiv
Manfaat .................................................................. 3.6.5.3 Analisis Alokasi Ekonomi Terbaik (the best economic allocation analysis) ................................. 3.6.6 Pendekatan Sistem Dinamik............................... ..…………… 3.6.6.1 Tahapan Pendekatan Sistem ……....................…… 3.6.6.2 Tahapan Pemodelan Sistem Dinamik ..............……
88
4
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN ………….…………………….…. 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian ……………..…………..……... 4.1.1 Batas Administrasi TNS ....................................…………….. 4.1.2 Kondisi Biofisik ..............................................…………….. 4.1.3 Kondisi Sosial Ekonomi .....................................…………….. 4.2 Perkembangan Pengelolaan TN Sembilang …...…………………... 4.3 Isu dan Permasalahan Lingkungan Pesisir ……...…………………...
103 103 103 103 112 123 125
5
LAJU HISTORIS KARBON SEKUESTRASI DAN LAJU EMISI CO2 DI WILAYAH PESISIR ………………………………...…………………... 5.1 Potensi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir .... 5.1.1 Tingkat Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir …… 5.1.1.1 Laju Historis Deforestasi dan Degradasi Hutan di Frontier Area ...................................................…… 5.1.1.2 Laju Historis Deforestasi dan Degradasi Hutan Mangrove di Kawasan TN Sembilang................…… 5.1.2 Potensi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir .............................................................................…… 5.1.2.1 Laju Historis Potensi Emisi CO2 di Frontier Area .... 5.1.2.2 Laju Historis Potensi Emisis CO2 di dalam Kawasan TN Sembilang .......................................................... 5.2 Indikator Penggerak Emisi Karbon di Wilayah Pesisir ......................
6
91 93 93 99
129 129 129 129 138 141 143 145 148
MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS REDD+ 153 6.1
Desain Sistem Pengelolaan Sumberdaya Pesisir .............................. 6.1.1 Struktur Model Business As Usual (Model BAU) ….…..…… 6.1.1.1 Struktur Submodel Penduduk Skenario BAU ......… 6.1.1.2 Struktur Submodel Emisi CO2 Skenario BAU ......… 6.1.1.3 Struktur Submodel Ekonomi Skenario BAU ......… 6.1.2 Struktur Model Carbon Crediting (Model CC) …….…..…… 6.1.2.1 Struktur Submodel Penduduk Skenario CC ......… 6.1.2.2 Struktur Submodel Emisi CO2 Skenario CC ......… 6.1.2.3 Struktur Submodel Ekonomi Karbon Skenario CC ... 6.1.3 Formulasi Model …....................................................…..…… 6.1.3.1 Formulasi Model Business As Usual (Model BAU) .. 6.1.3.2 Formulasi Model Carbon Crediting (Model CC) .... 6.1.4 Verifikasi dan Validasi Model .........................................…… 6.1.4.1 Verifikasi Struktur Model ……………………….... 6.1.4.2 Validasi Perilaku Model ........................................... 6.1.5 Sensitivitas Model ............................................................…… 6.2 Simulasi dan Optimasi Alternatif Pemodelan serta Akuntansi Karbon (Carbon Accounting) Pada Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ............. 6.2.1 Optimasi Pengelolaan Pesisir dan Akuntansi Karbon (Carbon Accounting) pada Model Business As Usual (Model BAU) …
154 155 155 156 157 158 158 160 162 164 164 167 175 176 178 179 182 183
xv
6.2.2
Optimasi Pengelolaan Pesisir dan Carbon Accounting pada Model Carbon Crediting (Model CC) ............................…… 6.3 Perbandingan Model Business As Usual dan Model Carbon Crediting Di Wilayah Pesisir ….....................................………………............... 6.4 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir TN Sembilang Wilayah Pesisir ….........................................………………............... 6.4.1 Kebijakan Sosial Politik …………………………….…..…… 6.4.2 Kebijakan Kelembagaan …...................................….…..…… 6.4.3 Kebijakan Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan ...…
194 208 212 214 216 219
KESIMPULAN DAN SARAN ……..............................................………... 7.1 Kesimpulan ......................................................................................... 7.2 Saran ...................................................................................................
223 223 227
……….............…………………………………………
229
LAMPIRAN ..........................................................................................................
237
7
DAFTAR PUSTAKA
xvi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Standar pengembangan proyek dan pemasaran karbon......................
36
xvii Halaman 2
Perkiraan global karbon yang tersimpan dalam biomasa mangrove............................................................................................
3
Estimasi total karbon organik dari sungai utama ke pesisir dunia...................................................................................................
44
4
Estimasi carbon source dan sink di ekosistem pesisir……….....…...
44
5
Sumber pendanaan internasional multilateral, bilateral dan swasta
50
6
Tipologi valuasi ekonomi dan teknik valuasi sumberdaya mangrove............................................................................................
54
7
Tujuan penelitian, jenis dan sumber data yang diperlukan ...............
73
8
Metoda pengumpulan data................................................................
74
9 10
Relevansi antara tujuan penelitian, teknik analisis serta hasil penelitian yang diharapkan (output)................................................... Klasifikasi nilai tekanan penduduk (TP)............................................
76 83
11
Data hipotetis manfaat ekosistem mangrove.....................................
89
12 13
Kondisi iklim di wilayah Taman Nasional Sembilang ...................... Zona vegetasi dan spesies indikator di kawasan TN Sembilang........
106 110
14
Sebaran pemukiman dan jumlah penduduk di dalam kawasan Taman Nasional Sembilang, Kecamatan Banyuasin II ....................
113
Sebaran penduduk di dalam dan di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang, Kecamatan Banyuasin II ................................
114
16
Isu dan permasalahan lingkungan pesisir di kawasan TN Sembilang
126
17
Pola tata guna lahan di frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada periode 2003-2006 .............................................................................
131
18
Perubahan historis tata guna lahan pada periode 2003-2006 di FA..
134
19
Laju historis perubahan deforestasi dan degradasi hutan pada periode 2003-2006 di frontier area...................................................
135
Laju historis deforestasi dan degradasi hutan pada periode 20032006 di wilayah pesisir TN Sembilang..............................................
138
Hasil pengukuran biomassa dan stok karbon pada berbagai tipe tutupan lahan di wilayah pesisir TN Sembilang dan sekitarnya ........
142
Perbandingan data stok karbon hasil penelitian dengan data hipotetik pada berbagai tipe ...............................................................
142
Laju historis potensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area (2003-2006) ............................
143
Laju historis potensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang................................................
146
25
Indikator penggerak emisi CO2 di wilayah pesisir TN Sembilang
149
26
Luas lahan minimal hidup layak (z) dan tekanan penduduk terhadap lahan (TP) di frontier area ..................................................
150
15
20 21 22 23 24
27
Data dan asumsi awal simulasi tutupan lahan di frontier area dan
41
xviii Halaman 28
29 30 31 32 33 34 35 36 37
38
39
40 41 42
43
44
45
di TNS ...............................................................................................
165
Data dan asumsi perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove serta persentase peluruhannya pada awal simulasi di frontier area (FA) dan di TNS .........................................................
166
Data dan asumsi hasil pengukuran kandungan biomassa dan karbon di TNS dan di frontier area pada berbagai variabel tutupan lahan ...
167
Data dan asumsi submodel penduduk pada skenario model carbon crediting .............................................................................................
167
Data dan asumsi submodel Emisi CO2 (lingkungan) pada skenario model carbon crediting (model CC) .................................................
169
Data dan asumsi biaya rencana pengelolaan submodel ekonomi pada skenario model carbon crediting (model CC) ........................
172
Identifikasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi Mangrove Carbon Crediting (MCC) ................................................. Identifikasi manfaat dan biaya pengelolaan hutan mangrove pada opsi tambak udang (Shrimp Sylvofishery; Sylfish) ........................... Sensitivitas perubahan harga karbon terhadap biaya pengelolaan pada skenario model carbon crediting .............................................
174 175 181
Perubahan tingkat laju populasi penduduk terhadap tingkat okupasi tambak di TNS ...................................................................................
181
Perubahan tutupan lahan akibat deforestasi dan degradasi hutan skenario model BAU di kawasan pesisir TN Sembilang dan di Frontier Area selama periode komitmen 25 tahun pengelolaan (ha).
184
Tingkat perbandingan opsi pemanfaatan hutan mangrove skenario model business as usual (BAU) di kawasan pesisir TN Sembilang pada periode komitmen 25 tahun .......................................................
185
Akuntansi stok (Stock accounting) karbon terestrial pada kawasan dilindungi (TNS) dan kawasan tidak dilindungi (frontier area) pada model BAU.........................................................................................
190
Akuntansi karbon (Carbon accounting) pada skenario model BAU di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) ........................................
191
Akuntansi karbon (Carbon accounting) pada skenario model BAU di Frontier Area (FA) ........................................................................ Perubahan tutupan lahan skenario model CC di kawasan pesisir TN Sembilang dan di Frontier Area selama periode komitmen 25 tahun pengelolaan ........................................................................................
192
196
Tingkat perbandingan opsi pemanfaatan hutan mangrove skenario model carbon crediting di kawasan pesisir TN Sembilang pada periode komitmen 25 tahun................................................................
198
Akuntansi stok (Stock accounting) pada kawasan dilindungi (TNS) dan kawasan tidak dilindungi (frontier area) pada skenario model CC ......................................................................................................
200
Akuntansi karbon (Carbon accounting) pada skenario model CC
xix Halaman 46 47 48
di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) ........................................
201
Akuntansi karbon (Carbon accounting) pada skenario model CC di kawasan pesisir yang tidak dilindungi (Frontier Area) .....................
202
Nilai jual jasa lingkungan (NJ2L) carbon crediting pengelolaan sumberdaya mangrove di kawasan TNS............................................
206
Emission reduction accounting hasil simulasi model BAU dan Model CC pada berbagai tipe tutupan lahan selama periode komitmen pengelolaan 25 tahun .......................................................
210
xx
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran ……………………………………………........
11
2
Tiga pilar pembangunan berkelanjutan didukung kerangka antar disiplin……………………………………………..............................
18
3
Diagram melintang wilayah pesisir kabupaten/kota ………………...
21
xxi Halaman 4
Tahapan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu dan berkelanjutan ……………………………………...............................
25
5
Alur kebijakan berdasarkan kajian ilmiah ……………......................
30
6
Biodiversity di ekosistem mangrove……………................................
39
7
Diagram konseptual tiga ekosistem utama yang mempengaruhi siklus karbon global ……………........................................................
43
8
Peningkatan permukaan air laut akibat pemanasan global .................
46
9
Proyeksi perubahan temperatur global.................................................
46
10
Taksonomi total economic value (TEV) .............................................
53
11
Sistem loop terbuka..............................................................................
56
12
Sistem loop tertutup.............................................................................
56
13
Kontrol dan Umpan Balik Sistem........................................................
58
14
Sistem umpan balik yang mencerminkan perilaku dinamik pertumbuhan penduduk........................................................................
58
15
Sistem kontrol umpan ke depan...........................................................
59
16
Kerangka pendekatan penelitian..........................................................
69
17
71
18
Peta batas wilayah penelitian di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.................................................................................. Ilustrasi bentuk jalur dan ukuran plot sampel di areal berhutan……..
19
Taksonomi valuasi ekonomi penyerapan karbon ................................
88
20
Tahapan pendekatan sistem dinamik………………………………...
94
21
Simplifikasi diagram lingkar (causal loop) model dinamik pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan REDD+ ...................
96
Diagram input-output sistem pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+ ...........................................................
98
22
75
23
Distribusi tipe pasang surut di sekitar Sumatera (WIIP 2001)..........
105
24
Zona iklim Sumatera ...........................................................................
105
25
Kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar Taman Nasional Sembilang ………………………………………………...
117
Produk domestik regional bruto Kabupaten Banyuasin atas dasar harga berlaku dan pertumbuhannya.....................................................
121
Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuasin menurut sektor....................................................................................................
121
28
Struktur ekonomi Kabupaten Banyuasin ………………………........
122
29
Pendapatan perkapita Kabupaten Banyuasin atas dasar harga berlaku dan pertumbuhannya...............................................................
123
26
27
30
Peta pola penggunaan lahan di frontier area (Kabupaten Banyuasin)
xxii Halaman pada tahun 2003...................................................................................
132
Peta pola penggunaan lahan di frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada tahun 2006 ..................................................................................
133
Deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area pada periode 2003-2006 (ha) .......................................................................
137
Deforestasi dan degradasi hutan di wilayah pesisir TN Sembilang periode 2003-2006 (ha)........................................................................
139
Perambahan fungsi hutan di wilayah pesisir TN Sembilang oleh masyarakat untuk pengembangan tambak ..........................................
140
Sebaran titik api (hot spot) yang terekam selama kebakaran hutan tahun 1997 .........................................................................................
141
Laju historis emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area pada periode 2003-2006 (tC th-1). ..................
145
Laju emisi deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang tahun 2003-2006 (tC th-1) ..................................................
146
Struktur submodel penduduk pengelolaan sumberdaya pesisir pada skenario model Business As Usual (model BAU)...............................
156
Struktur submodel emisi CO2 (Lingkungan) pada skenario model Business As Usual (model BAU).........................................................
157
Struktur submodel ekonomi karbon pada skenario model Business As Usual...............................................................................................
158
Struktur submodel penduduk pengelolaan sumberdaya pesisir pada skenario model Carbon Crediting (model CC)..................................
160
Struktur submodel emisi CO2 (Lingkungan) pengelolaan sumberdaya pesisir pada skenario Carbon Crediting (model CC) .....
161
Struktur submodel ekonomi karbon pengelolaan sumberdaya pesisir pada skenario Carbon Crediting (skenario model CC) .....................
163
44
Verifikasi hubungan antar variabel .....................................................
177
45
Validasi variabel populasi penduduk...................................................
178
46
Validasi variabel hutan mangrove primer ...........................................
179
47
Sensitivitas model peningkatan laju karbon terestrial pada skenario model business as usual dan skenario model carbon crediting ..........
179
Sensitivitas model pada beberapa perubahan tingkat harga karbon: (1) 10 USD tCO2-1, (2) 9 USD tCO2-1, (3) 8,05 USD tCO2-1.............
180
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
48
49
50
51
Sensitivitas model pada beberapa perubahan tingkat pertumbuhan populasi (r) terhadap okupasi areal tambak (1) r = 2,58% th-1, ( 2) r = 3,50% th-1, (3) r = 4,50% th-1......................................................... Tren dampak tekanan penduduk terhadap hutan mangrove untuk kebutuhan areal pertambakan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang............................................................................................. Tren dampak tekanan penduduk terhadap konversi hutan mangrove
181
187
xxiii Halaman 52 53 54
55 56 57
58 59 60
61
62
63
di luar kawasan TNS (frontier area).................................................... Deliniasi carbon accounting model BAU di kawasan pesisir TNS dan FA................................................................................................. Tren dampak pengelolaan mangrove model carbon crediting (with REDD+) terhadap berbagai tutupan lahan di pesisir TN Sembilang..
188 193 196
Perubahan stok karbon terestrial hutan mangrove TNS pada skenario model carbon crediting dan di frontier area pada skenario model business as usual ......................................................................
199
Perubahan stok karbon terestrial hutan mangrove tidak dilindungi di frontier area pada skenario model business as usual .......................
201
Perubahan stok karbon netto/emisi CO2 tutupan hutan tidak di frontier area (FA) pada skenario model business as usual ...............
203
Perubahan stok karbon netto hutan mangrove yang dilindungi (TNS) pada pada skenario model carbon crediting dan stok karbon netto pada berbagai tutupan lahan di frontier area pada skenario model business as usual ......................................................................
204
Deliniasi carbon accounting skenario model CC di kawasan pesisir TNS dan FA ……………………………………................................
205
Deliniasi emission reduction accounting pada skenario model CC dan model BAU di kawasan pesisir TNS dan FA............................... Perbandingan perubahan luas hutan mangrove primer (Hmp) di TNS pada skenario model carbon crediting (with REDD+) (dan skenario model business as usual (model BAU) ............................................... Perbandingan perubahan luas areal penggunaan lain (APL) di TNS pada skenario model carbon crediting (with REDD+) dan skenario model business as usual (withouth REDD+) .................................... Kecenderungan tingkat reduksi emisi CO2 di TNS pada skenario model carbon crditing (with REDD+) dan di frontier area pada skenario model business as usual (withouth REDD+) ...................... Mekanisme distribusi pembayaran REDD+ berdasarkan sumber dana yang digunakan (dimodifikasi dari Ginoga at al. 2010) .............
207
209
210
211 218
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5
Jenis ikan dan non-ikan yang tertangkap dengan alat mini trawl di Sungai Sembilang ………………………………………………….
238
Jenis ikan yang tertangkap dengan trammel net di perarian sekitar mangrove Taman Nasional Sembilang ……………........................
239
Jenis ikan yang tertangkap dengan kelong di perairan pesisir Taman Nasional Sembilang ……………………………………….
241
Perhitungan Estimasi Nilai z (luas lahan minimal untuk hidup layak) dan Tekanan Penduduk (TP) terhadap lahan ……………….
242
Formulasi submodel penduduk (Sosial) pada skenario model
xxv business as usual …………………………………………….................. 6 Formulasi submodel emisi CO2 (Lingkungan) pada skenario model business as usual ................................................................................. 7 Formulasi submodel ekonomi (without REDD+) pada skenario model business as usual ............................................................................... 8 Formulasi submodel penduduk (Sosial) pada skenario model carbon crediting …………………………………………….................. 9 Formulasi submodel emisi CO2 (Lingkungan) pada skenario model carbon crediting ………………………………………………… 10 Formulasi submodel ekonomi karbon (with REDD+) pada skenario model carbon crediting……………………………………… 11 Perubahan tutupan lahan (land cover change) pada model BAU ....
243 244 248 250 251 255 257
12 Analisis biaya manfaat pengelolaan sumberdaya pesisir TNS pada opsi pemanfaatan konservasi mangrove model BAU ......................
258
13 Analisis biaya manfaat pengelolaan sumberdaya pesisir TNS pada opsi pemanfaatan sylvofishery skenario model BAU........................
260
14 Stock accounting karbon terestrial pada kawasan dilindungi (TNS) dan kawasan tidak dilindungi (frontier area) pada skenario model BAU .................................................................................................
262
15 Carbon accounting pada skenario model BAU di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS)......................................................................
263
16 Carbon accounting pada skenario model BAU di Frontier Area (FA)..................................................................................................
264
17 Perubahan tutupan lahan (land cover change) pada model CC .......
265
18 Analisis biaya manfaat pengelolaan sumberdaya pesisir TNS pada opsi pemanfaatan carbon crediting skenario model CC ..................
266
19 Analisis biaya manfaat pengelolaan sumberdaya pesisir TNS pada opsi pemanfaatan sylvofishery skenario model CC .........................
267
20 Stock accounting pada kawasan dilindungi (TNS) dan kawasan tidak dilindungi (frontier area) pada skenario model CC................
268
21 Carbon accounting pada skenario model CC di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS)......................................................................
269
22 Carbon accounting pada skenario model CC di kawasan pesisir yang tidak dilindungi (Frontier Area) ..............................................
270
23 Nilai jual jasa lingkungan (NJ2L) carbon crediting pengelolaan sumberdaya mangrove di kawasan TNS ..........................................
271
24 Emission reduction accounting hasil simulasi model BAU dan Model CC pada berbagai tipe tutupan lahan selama periode komitmen pengelolaan 25 tahun ....................................................
272
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Paradigma pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada konsep
resource based industry, merupakan kebijakan yang tepat untuk membangun negara sebagai langkah antisipatif
dampak sistemik perubahan ekonomi global terhadap
perekonomian Indonesia. Salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan harapan perbaikan ekonomi di masa mendatang adalah pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Jika pengelolaan sumberdaya ini tidak dimanfaatkan secara bijaksana dan tidak berwawasn lingkungan, maka bencana akan terjadi bagi generasi mendatang. Paradigma ini perlu disertai instrumen kebijakan untuk dapat melakukan dorongan besar bagi pertumbuhan ekonomi berupa pilihan strategi pembangunan dan industrialisasi berbasis sumberdaya alam, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir diantaranya mangrove, lamun, terumbu karang. Hal ini penting untuk dilakukan, terutama sejalan dengan upaya pemberdayaan otonomi daerah serta pengembangan perekonomian perdesaan khususnya di wilayah pesisir. Indonesia sebagai paru-paru dunia memiliki sumberdaya alam cukup besar dengan luas daratan 187,9 juta ha diantaranya ± 137 juta ha (73%) merupakan hutan dan areal pengunaan lain (APL) ± 50,9 juta ha (27%), terdiri dari 13.487 pulau dengan panjang pantai ± 81.000 km. Selain itu juga memiliki 50 Taman Nasional (TN) dengan luas ± 12,5 juta ha diantaranya ± 3,7 juta ha merupakan hutan mangrove di kawasan pesisir. Namun demikian, kondisi sumberdaya alam tersebut saat ini sedang mengalami degradasi dan deforestasi. Fakta lain menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini ± 237 juta jiwa dimana 68% berada di kawasan pesisir dan mayoritas berada pada kantong-kantong kemiskinan dengan tingkat resiliensi rendah terhadap perubahan iklim serta sebagai faktor penggerak tekanan penduduk terhadap hutan mangrove. Selain adanya pengelolaan sumberdaya kurang terencana dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan, juga terdapat indikasi dimana masyarakat pesisir dari golongan tersebut melakukan perambahan hutan mangrove. Hal ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi sangat rentan (vurlnerable) terhadap perubahan iklim global. Ekosistem mangrove merupakan bagian dari blue carbon yaitu ekosistem yang dapat menyimpan karbon dalam ekosistem pesisir dan lautan. Ekosistem ini menjadi sangat penting bagi umat manusia, karena selain menyediakan sumberdaya alam sebagai sumber kehidupan, juga mampu menyerap emisi CO2 atmospherik ± 42%,
2
sementara ekosistem terestrial sekitar 56% dan lainnya 2% (Cook 2010). Berdasarkan hal tersebut, blue carbon dapat membuat kandungan CO2 di atmosfer menjadi berkurang dan mampu mengurangi terjadinya pemanasan global (global warming). Selain hutan mangrove, juga padang lamun, terumbu karang dan biota laut lainnya merupakan bagian dari blue carbon. Hasil penelitian terdahulu (DKP 2007) memprediksi bahwa
hutan mangrove Indonesia mampu menyerap 67,7 MtCO2 th-1,
padang lamun sebanyak 50,3 MtCO2 th-1, terumbu karang mampu menyerap 65,7 MtCO2 th-1, dan fitoplankton sebanyak 36,1 MtCO2 th-1. Secara keseluruhan potensi laut Indonesia mampu menyerap CO2
sebesar 219,8 MtCO2 th-1. Sumber lainnya
memprediksi dimana produktifitas primer penyerapan CO2 oleh perairan Indonesia sekitar 300 MtCO2 th-1 dan 3 MtCO2 th-1 diantaranya diendapkan (dideposit) ke dasar laut (PKSPL-IPB 2009). Terumbu karang Indonesia luas total ± 85.000 km2 saat ini mengalami degradasi: 41,78% rusak, 28,30 % kondisi sedang, 23,72% kondisi baik, dan hanya 6,20% kondisi sangat baik. Hal sama terjadi pada hutan mangrove, pada kurun waktu 1969-1980, sekitar satu juta ha hutan mangrove lenyap. Data lain menunjukkan pada periode 1982-1993 telah terjadi penurunan luas dari 5,21 juta ha menjadi 2,5 juta ha (Dahuri 2003). Dugaan lainnya bersumber dari World Mangrove Atlas tahun 1993 memprediksi
luas hutan mangrove Indonesia mencapai ± 4,25 juta ha. Saat ini luas
hutan mangrove Indonesia diprediksi ± 3,755 juta ha (Mardana 2003, Kusmana 2003, Dephut 2004). Dalam rangka mengurangi ekploitasi sumberdaya pesisir yang eksesif diperlukan
suatu
konsep
pengelolaan
terpadu
(Integrated
Coastal
Zone
Management/ICZM) dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) terhadap kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan serta sasaran pemanfaatan. Dengan demikian diharapkan dapat tercapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir akan membawa akibat perubahan ekosistem, oleh karena itu dalam pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana dan rasional serta terintegrasi dengan kawasan di sekitarnya, agar fungsinya dapat dipertahankan secara lestari untuk kepentingan generasi masa kini dan yang akan datang. Salah satu kawasan pesisir yang sampai saat ini belum dikelola secara optimal
3
adalah Taman Nasional Sembilang (TNS) di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan ini terletak di sepanjang pesisir timur Kabupaten Banyuasin
dan
merupakan suatu ekosistem hutan mangrove. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret 2003 ditetapkan menjadi TNS. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatera Selatan luas TNS sekitar 205,75 ribu ha.
Kawasan TNS sebelumnya adalah penggabungan dari
kawasan Suaka Margasatwa Terusan Dalam (29,25 ribu ha), Hutan Produksi Terbatas (HPT) Terusan Dalam (45,50 ribu ha), Hutan Lindung Sungai Sembilang (113,17 ribu ha) dan perairan (sekitar 17,83 ribu ha). Luas TNS saat ini telah ditetapkan menjadi 202.896,31 ha (Balai TNS 2009). Salah satu sumberdaya pesisir yang sangat penting di kawasan TNS adalah hutan mangrove, sehingga diperlukan suatu model pengelolaan yang optimal dan lestari. Keberadaan hutan mangrove TNS memiliki arti penting, karena selain berfungsi sebagai stabilisasi aspek fisik, biologi maupun ekonomi,
juga berfungsi sebagai
penyeimbang perubahan iklim wilayah pesisir timur Pulau Sumatera bagian selatan. Namun beberapa tahun terakhir
ini TNS mengalami tekanan berat yang dapat
berpengaruh terhadap sistem penyangga kehidupan. Adanya pemanfaatan hutan secara ilegal (illeggal logging) dan konversi hutan telah menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati (biodiversitas). Dengan adanya desakan kebutuhan dan penetrasi faktor luar akan mendorong masyarakat mengeksploitasi hutan dengan motif ekonomi, sehingga terjadi degradasi sumberdaya dan banyak dijumpai kondisi kawasan konservasi yang tidak sesuai lagi dengan status dan fungsinya. Dalam menjamin fungsi wilayah dan sumberdaya pesisir
sesuai dengan
peruntukannya, diperlukan suatu konsep penataan ruang (zonasi) yang terintegrasi serta pengelolaan yang tepat guna, baik pada zona perlindungan, zona pembinaan maupun pada zona pemanfaatan.
Sehingga dalam upaya pengembangan, pengelolaan dan
pengusahaan suatu kawasan pesisir diperlukan suatu model dinamik yang terintegrasi. Model rekayasa pengelolaan ini dimaksudkan sebagai landasan dan arahan dalam setiap kegiatan perencanaan zonasi kawasan serta pengelolaan hutan mangrove selama jangka waktu
pengusahaan,
berdasarkan
aspek
pelestarian
sumberdaya
alam
serta
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Salah satu kendala saat ini dalam pengelolaan TNS adalah masalah minimnya biaya pengelolaan yang masih sangat tergantung pada alokasi pembiayaan anggaran
4
pendapatan dan belanja negara (APBN). Padahal banyak sumber-sumber pendanaan lain untuk pengelolaan lingkungan yang dapat dimanfaatkan, baik dari sumber multilateral, bilateral maupun dari pihak NGO dan swasta. Dengan memanfaatkan sumber pendanaan tersebut, maka pengelolaan hutan mangrove di TNS dapat dilakukan secara lebih optimal dan lestari melalui kerjasama atau sistem pendanaan yang layak. Sistem
pendanaan
melalui
Protokol
Kyoto
menawarkan
mekanisme
pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM). Selain itu, juga hasil COP-13 di Bali tahun 2007 yang melahirkan komitmen bersama berupa bantuan dan insentif negara-negara maju bagi upaya penurunan emisi gas rumah kaca di negaranegara berkembang melalui pencegahan konversi dan degradasi hutan dan dikenal dengan konsep REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Estimasi potensi kredit karbon (voluntary market) melalui REDD di Indonesia saat ini sekitar 500 juta USD-2 milyar USD th-1 (World Bank 2009). Peluang lainnya adalah moratorium pembangunan hutan tanaman industri (2011-2012) antara pemerintah Indonesia dan Norwegia pada tahun 2010 terdapat peluang dana pengelolaan hutan sebesar 1 milyar USD. Sumber lainnya adalah Voluntary Carbon Standar (VCS) tahun 2007 terdapat empat kategori kegiatan untuk kredit karbon berkaitan dengan AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Uses). Keempat kategori tersebut yaitu: (1) Afforestation, Reforestation and Revegetation (ARR), (2) Agricultural Land Management (ALM), (3) Improved Forest Managament (IFM), dan (4) Pengelolaan sumberdaya alam berbasis REDD+. Sumber pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan karbon kehutanan secara umum berasal dari tiga sumber: (1) Non-open market, yaitu sumber dana publik (CSR nasional/internasional atau dana publik lainnya), (2) Standar market (voluntary market dan compliance market), yaitu sumber pendanaan dari pasar karbon (mekanisme Kyoto dan non-Kyoto), dan (3) Dana kerjasama bilateral dan multilateral yang diperuntukkan bagi dukungan pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim atau dana hibah untuk membantu negara berkembang dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan kegiatan REDD atau yang disebut dana Readiness dan investasi (Boer et al. 2009). REDD adalah suatu mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Sementara itu REDD+ adalah sebuah kerangka kerja REDD yang diperluas dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari
5
atau peningkatan cadangan karbon hutan melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi (CIFOR 2009). Tujuannya agar partisipasi untuk menerapkan REDD semakin luas, serta untuk memberikan penghargaan kepada negaranegara yang sudah berupaya melindungi hutannya. Berdasarkan permasalahan dan peluang tersebut, perlu digagas suatu model rekayasa sistem pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+. Sistem pengelolaan sumberdaya yang diharapkan tentunya melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk kesejahteraannya saat ini dan mendatang. Prinsip pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ ini didasarkan pada landasan hukum Peraturan Presiden (Prepres) No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor: 30/Menhut-II/2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), Permenhut Nomor: P.36/Menhut-II/2009 tentang tata cara perijinan usaha pemanfaatan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL). Model pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+ merupakan suatu pengkajian rekayasa ekosistem dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari atau peningkatan cadangan karbon hutan melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi. Pendekatan ini didasari oleh prinsip umpan balik (causal loop) antar subsistem penduduk (sosial), subsistem ruang hutan mangrove (sistem lingkungan), serta subsistem ekonomi berdasarkan ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL). Model pengelolaan ini merupakan salah satu strategi alternatif pembangunan ekonomi baru dalam memanfaatkan potensi kredit karbon yang ada. Pengelolaan kawasan mangrove sampai saat ini belum ada yang berbasis REDD+, baik pada kawasan konservasi maupun pada kawasan hutan produksi. Pengelolaan hutan mangrove di Sembilang misalnya, masih didasarkan pada sistem pengelolaan kawasan konservasi berupa Taman Nasional. Cara ini secara ekologi cukup baik, akan tetapi secara ekonomi kurang menguntungkan karena masih tergantung pada anggaran negara. Oleh karena itu perlu diintegrasikan dengan peluang yanga ada, yaitu berbasis REDD+. Salah satu karakteristik dari proses model pengelolaan tersebut adalah adanya bentuk pemodelan yang bersifat dinamis dan kuantitatif guna menghasilkan keputusan yang rasional, terukur dan transparan. Pemodelan yang diharapkan dalam pengelolaan
6
sumberdaya pesisir berkelanjutan ini adalah adanya suatu bentuk pengaturan pemanfaatan kawasan untuk mendapatkan hasil yang optimal dengan memperhatikan kelestarian stok sumberdaya alam yang ada. Sebagaimana yang pernah dikaji Kusumastanto (1995) dalam penyusunan suatu model dinamis dinyatakan bahwa selain faktor-faktor input-output yang dimasukan dalam model, diintroduksikan juga unsurunsur yang tidak bernilai pasar (non market value) dari lingkungan serta penilaian terhadap aspek-aspek sosial.
1.2
Perumusan Masalah Model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi semata telah menyebabkan turbulensi pada bidang ekonomi dan lingkungan. Berdasarkan data IPCC (2007) menunjukkan bahwa di Indonesia antara 1970-2004 telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 -1oC yang berdampak pada sistem alam dan biologis: penurunan produksi pangan yang dapat meningkatkan resiko bencana kelaparan,
peningkatan kerusakan pesisir akibat banjir dan badai,
meningkatnya sumber penyakit serta semakin merosotnya tingkat kualitas hidup umat manusia. Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir telah direspon Pemerintah Indonesia dengan komitmen penurunan emisi GRK secara sukarela sebesar 26% dan bila ada bantuan internasional dalam hal pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi maka penurunan tersebut akan ditingkatkan menjadi 41%. Dari manakah sumber mitigasi tersebut? Salah satu sumbernya adalah dari bagaimana model pengelolaan sumberdaya Taman Nasional yang ada di Indonesia dapat dikelola dan menguntungkan secara ekonomi, mandiri secara finansial serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Pemanfaatan
sumberdaya pesisir TNS secara faktual telah mengalami
deforestasi dan degradasi sumberdaya. Beberapa faktor penyebabnya antara lain diprediksi terjadi baik secara terencana (planned deforestation) berdasarkan alih fungsi RTRW maupun secara tidak terencana (unplanned deforestation),
seperti
adanya
kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam ilegal (illegal logging dan sebagainya), perambahan hutan oleh masyarakat sekitar serta permasalahan yang disebabkan oleh kondisi alam seperti kebakaran hutan. Selama tahun 1995-2000 diperkirakan 18% mangrove terdegradasi di sekitar Semenanjung Banyuasin (Balai TNS 2008). Apabila tidak ditangani sesegera mungkin, hal ini akan menyebabkan semakin meningkatnya
7
penetrasi terhadap kawasan TNS. Deforestasi dan degradasi hutan mangrove TNS akan semakin meningkat, sehingga dapat menimbulkan potensi emisi karbon di masa yang akan datang. Selain itu juga diprediksi telah terjadi pencemaran limbah domestik serta limbah berbagai kegiatan pemanfaatan hutan produksi di hulu (upland area) melalui sungai-sungai yang mengalir ke kawasan TNS dan mengakibatkan pendangkalan akibat proses sedimentasi di Teluk Sekanak dan Teluk Benawang, Pulau Betet, Pulau Alanggantang, Semenanjung Banyuasin serta perairan di sekitarnya. Upaya pendekatan telah dilakukan untuk mengurangi degradasi hutan mangrove diantaranya pembinaan terhadap masyarakat di sekitar zona penyanggah, serta pengaturan pengusahaan kawasan pada zona pemanfaatan. Namun demikian, mengingat belum adanya suatu konsep penataan, pengelolaan serta pengusahaan kawasan yang terintegrasi, khususnya pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan serta terbatasnya anggaran, maka beragam permasalahan yang dihadapi di kawasan ini akan terus berlanjut : eksploitasi dan konversi hutan mangrove melebihi daya regenerasinya serta limbah memasuki kawasan TNS melampaui batas kemampuannya (carrying capacity). Terlebih lagi di bagian timur dan berbatasan langsung dengan TNS akan dibangun pelabuhan internasional Tanjung Api-api. Limbah kapal yang keluar masuk kawasan diprediksi dapat mencemari perairan pesisir TNS. Atas dasar permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Sampai sejauhmana dapat dilakukan pengelolaan kawasan konservasi mangrove di wilayah pesisir agar dapat mandiri secara finansial ? 2) Sampai sejauhmana dapat dilakukan pembinaan terhadap masyarakat di luar kawasan TNS (frontier area) serta arah pemanfaatan tata ruang pesisir agar tidak terjadi carbon leakage di sekitarnya. 3) Model dinamik pengelolaan sumberdaya pesisir yang bagaimana yang dapat disusun untuk menata, mengelola dan mengusahakan sumberdaya wilayah pesisir, yang secara ekonomi harus efisien dan optimal, secara sosial budaya berkeadilan dan dapat diterima, serta secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungannya ? 1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini pada hakekatnya adalah untuk : 1) Menghitung tingkat potensi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir
8
2) Menganalisis indikator penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir 3) Menghitung kecenderungan dua model skenario business as usual (model BAU) dan model skenario carbon crediting (model CC) terhadap fenomena laju emisi CO2 serta keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+. 4) Menganalisis
implikasi
kebijakan
pengelolaan
sumberdaya
pesisir
dari
kecenderungan dua model tersebut kaitannya dengan ekonomi wilayah, upaya mitigasi serta kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap penurunan GRK 26% pada tahun 2020. Berdasarkan cakupan input, proses dan output, kedalaman metode deksripsi analisis ini diprioritaskan
untuk mendapatkan sejumlah input pada tingkat proses
pengolahan input dan output tertentu. Selain itu juga kajian lebih fokus pada mencari sejumlah input yang paling ideal untuk mendapatkan output yang lebih baik.
1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Dapat memberikan perspektif baru yang bermanfaat bagaimana seharusnya pengelolaan pesisir dapat diwujudkan sesuai dengan karakteristik alamnya, sehingga dapat tercapai pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan serta terhindar dari adanya konflik pemanfaatan di sekitar kawasan TNS. 2) Pada saatnya diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir khususnya pada kawasan Taman Nasional Sembilang, untuk dapat mengeliminasi berbagai konflik kepentingan serta menghindari deteriorisasi sumberdaya pesisir yang bersifat eksesif. 3) Pengelolaan hutan konservasi (mangrove) dapat dilakukan secara mandiri dalam pendanaan (self financing) melalui skenario kredit karbon (carbon crediting). 1.4
Kerangka Pemikiran Kerangka konsep
penelitian ini dibangun atas dasar visi dan kebijakan
pembangunan secara berkelanjutan, isu dan permasalahan serta adanya peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kesinambungan pengelolaan sumberdaya pesisir. Visi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan TNS merupakan tiga pilar tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai yaitu pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas
lingkungan
serta
peningkatan
kesejahteraan
antar
generasi.
Untuk
mengimplementasikan tiga pilar tersebut pada prinsipnya dapat dilakukan pada berbagai
9
sektor. Salah satunya adalah pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan berbasis REDD+. Pengelolaan dan pengusahaan sumberdaya wilayah pesisir sebagai salah satu basis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, pada kenyataannya masih sering kali dilakukan secara tidak terpadu dan tidak berkelanjutan. Eksploitasi terhadap sumberdaya alam masih sering dilakukan dengan melampaui batas kemampuan regenerasinya serta pencemaran terhadap lingkungan yang melebihi daya kapasitasnya. Sementara hasil yang dicapai belum memenuhi visi pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Pengelolaaan kawasan TNS selama ini telah memberikan manfaat ekologis, tetapi belum memberikan kontribusi secara signifikan, terutama terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah
dan
kesejahteraan
masyarakat
Kabupaten
Banyuasin.
Pada
kenyataannya saat ini seringkali terjadi berbagai permasalahan baik ekologis, sosial maupun ekonomi. Sebagai contoh masih maraknya pembalakan liar (illegal logging) dan konversi lahan, konflik kepemilikan lahan yang menjurus kepada konflik sosial serta masih banyaknya kantong-kantong kemiskinan di sekitar kawasan tersebut. Pengelolaan kawasan konservasi TNS saat ini didasarkan pada rencana strategi serta rencana zonasi yang sudah disusun. Namun demikian pengelolaan pada zona pemanfaatan sampai saat ini belum dilakukan secara optimal. Di beberapa kawasan tertentu (frontier area) masih ada indikasi dibangunnya obyek-obyek pengusahaan pesisir dengan mengkonversi sumberdaya yang ada (contoh: hutan primer dan hutan mangrove serta lahan gambut di atas kedalaman 3 meter) untuk berbagai kepentingan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan spektrum dampak yang luas terhadap berbagai aktivitas kehidupan. Dampak tersebut meliputi isu dan permasalahan subsistem ekonomi, subsistem lingkungan maupun subsistem sosial. Permasalahan ekonomi mencuat ke permukaan seperti belum optimalnya pola pemanfaatan investasi berdasarkan potensi sumberdaya alam dan potensi sumberdaya manusia
setempat. Rendahnya tingkat pendapatan serta masih terbatasnya mata
pencaharian alternatif.
Isu dan permasalahan ini diprediksi menimbulkan dampak
turunan juga terhadap permasalahan ekologis dan permasalahan sosial. Permasalahan ekologis muncul ketika terjadi konsep perencanaan dan penataan kawasan yang kurang integratif dengan lingkungan sekitarnya. Adanya konversi lahan yang tidak terencana seringkali menimbulkan dampak banjir, pencemaran lingkungan, kebakaran hutan serta isu global perubahan iklim. Sementara itu, permasalahan sosial
10
terjadi sebagai akibat rendahnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan serta kurang berorientasi pada masyarakat kelas bawah. Hal ini menimbulkan dampak rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, konflik sosial serta rendahnya kapasitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sangat rentan terhadap berbagai perubahan (Smith and Scherr 2002, Tacconi 2003, Kusmana 2003, FAO 2005). Dalam pengelolaan kawasan pesisir dan kawasan konservasi TNS,
selain
adanya berbagai masalah itu, juga terdapat sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan untuk keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Salah satunya adalah peluang pengelolaan kawasan konservasi berbasis REDD+. tentunya tidak semudah yang dibayangkan.
Pemanfaatan peluang ini
Ada berbagai ketentuan yang harus
dipenuhi, salah satunya adalah jaminan pengamanan kawasan dari kerusakan dan perambahan hutan. Pemanfaaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan memerlukan berbagai peluang peningkatan ekonomi, sosial dan sistem ekologi, serta
berbagai peningkatan
dalam kapasitas adaptif. Memperluas peluang untuk pengembangan sistem akan memberikan peningkatan pembangunan, sementara itu peningkatan kapasitas adaptif akan menambah daya resiliensi masyarakat secara berkelanjutan (Wollenberg et al. 2004, CIFOR 2008). Pendekatan ini sesungguhnya mencari kemajuan secara kontinum kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya secara efisien, sehingga kekayaan antar generasi (inter-generational equity) dapat terjamin. Mengacu pada isu dan permasalahan serta peluang yang dapat dimanfaatkan, diperlukan suatu penelitian komprehensif yang memadukan antara dinamika ekosistem, sistem ekonomi dan sistem sosial. Berbagai peluang tersebut memerlukan suatu tahapan penelitian untuk mendapatkan data dan informasi serta diperlukan teknik analisis yang tepat agar tujuan penelitian dapat tercapai. Mengingat tingkat kompleksitas permasalahan yang ada cukup tinggi, maka penelitian ini diperlukan pendekatan sistem dinamik. Pertimbangannya adalah bahwa pendekatan sistem dinamik mampu merepresentasikan korelasi
antar variabel yang
dikaji, mampu menggambarkan interaksi antar sistem, dan mampu mensimulasikan perilaku sistem apabila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Dengan pemodelan sistem dinamik ini diharapkan dapat menghasilkan model pengelolaan, manfaat sumberdaya serta rumusan-rumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+. Secara diagramatis, kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
11
Isu dan Permasalahan
Isu Subsistem Ekonomi Pola investasi pada zona pemanfaatan belum optimal Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat Rendahnya kontribusi TNS terhadap PDRB
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Isu Subsistem Lingkungan
Keragaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Isu Subsistem Sosial
Tujuan Penelitian
Renstra & Zonasi REDD+ Keragaan Kawasan Pesisir TNS (Eksisting)
Konversi lahan Illegal logging Kebakaran hutan Pencemaran lingkungan Isu global perubahan iklim
Tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah Konflik sosial pemanfaatan SD Tingkat pengangguran tinggi
Penelitian dengan Pendekatan Sistem Dinamik
Model Matematik Deterministik
Model Optimalisasi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Belum Komprehensif
Rencana Tata Ruang dan Keragaan Masyarakat di Frontier Area
Visi Pembangunan Berkelanjutan Pertumbuhan ekonomi Perbaikan Kualitas lingkungan Peningkatan kesejahteraan antar generasi
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Menghitung tingkat potensi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir Menganalisis indikator penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir Menghitung kecenderungan dua model skenario business as usual (model BAU) dan model skenario carbon crediting (model CC) terhadap fenomena laju emisi CO2 serta keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ Implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir serta kontribusinya terhadap penurunan GRK 26% pada tahun 2020.
12
1.5
Definisi Operasional Definisi operasional merupakan suatu petunjuk tentang bagaimana suatu
variabel dapat diukur. Untuk itu beberapa definisi operasional yang digunakan pada penelitian ini meliputi : 1) Model adalah suatu abstraksi dan penyederhanaan dari suatu sistem yang sesungguhnya, dalam hal ini adalah ekosistem Taman Nasional Sembilang (TNS). 2) Model Dinamik adalah suatu rancangan model sistem untuk menjelaskan suatu keadaan yang heterogen dimana peubah-peubahnya mengandung faktor waktu sehingga bersifat dinamis. 3) Model matematik, penyederhanaan dari sistem dengan menggunakan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). 4) Model
matematik
deterministik
adalah
suatu
model
matematik
dengan
menggunakan beberapa peubah yang ditentukan sebelumnya berdasarkan hasil penelitian. Jadi dalam hal ini ada tingkat kepastian (deterministik) pada beberapa peubah yang digunakan. 5) Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. 6) Pemodelan sistem adalah suatu rancangan model sistem sebagai alat penunjang keputusan untuk meningkatkan efektifitas pengambilan keputusan dalam perencanaan dan penataan ruang kawasan dan implementasi pengusahaan kawasan pesisir atau strategi berinvestasi. 7) Simulasi model adalah suatu aktivitas dimana pengkaji atau pengguna (user interface) dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem berdasarkan skenario, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya. 8) Pengelolaan adalah suatu upaya perencanaan, mengorganisasi, menggerakkan serta melakukan pengawasan terhadap obyek yang dikelolanya. 9) Sumberdaya alam adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh alam dan bermanfaat bagi kehidupan makhluk hidup. 10) Pesisir (dalam konteks pendekatan ekologis) adalah kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses dan dinamika laut seperti pasang surut, intrusi air laut; dan kawasan laut yang masih mendapat pengaruh dari proses dan dinamika daratan seperti sedimentasi dan pencemaran.
13
11) Pesisir (dalam konteks administrasi) adalah
wilayah yang secara administrasi
pemerintahan memiliki batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten/kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiganya (4 mil) untuk kabupaten/kota. 12) Pesisir (konteks perencanaan) adalah
wilayah perencanaan pengelolaan
sumberdaya yang difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola secara bertanggung jawab. 13) Pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan (dimensi ekologis) adalah cara mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah pesisir, agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. 14) Pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan (dimensi ekonomi) adalah mengelola segenap kegiatan pembangunan kegiatan
penggunaan
wilayah
pesisir
cara
dimana manfaat yang diperoleh dari serta
sumberdaya
alamnya
harus
diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk disekitarnya. Basis pengukuran didasarkan pada tingkat kemampuan membayar (willingness to pay) terhadap sumberdaya atau jasa-jasa yang dikonsumsi. 15) Pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan (dimensi sosial)
adalah cara
mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah pesisir dengan mereduksi kerentanan serta memelihara daya tahan sistem sosial budaya yang ada dalam masyarakat. 16) Pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu atau ICZM (Integrated Coastal Zone Management) adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir. 17) Pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya pesisir untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 18) Perdagangan karbon (carbon trading) adalah transaksi kredit karbon yang telah diverifikasi dalam bentuk sertifikat yang dihasilkan dari REDD
(reducing
emissions from deforestation and forest degradation). 19) REDD (reducing emissions from deforestation and forest degradation) adalah suatu mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.
14
20) REDD-plus adalah sebuah kerangka kerja REDD yang diperluas dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari atau peningkatan cadangan karbon hutan melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi agar partisipasi untuk menerapkan REDD semakin luas, serta untuk memberikan penghargaan kepada negara-negara yang sudah berupaya melindungi hutannya. 21) CDM, Clean Development Mechanism (CDM) yaitu mekanisme penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat dilakukan antara negara maju dan negara berkembang untuk menghasilkan Certified Emission Reduction (CER). 22) Deforestasi adalah perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan tanpa tegakan pohon. 23) Degradasi adalah suatu penurunan kualitas dari sumberdaya alam 24) Pool karbon/stok karbon (carbon pool)
adalah suatu sistem yang mempunyai
mekanisme untuk mengakumulasi atau melepas karbon. Contoh: biomassa hutan, produk-produk kayu, tanah dan atmosfer. 25) Penyerapan karbon (carbon sequestration)
adalah proses pengikatan CO2 di
atmosfer oleh tanaman berkhlorofil melalui fotosintesis kemudian menyimpannya dalam bentuk biomassa di berbagai bagian tanaman. 26) Emisi CO2 (karbon dioksida) adalah gas yang terdapat di atmosfer, dihasilkan sebagai produk sampingan dari pembakaran. Contoh: bahan bakar fosil dan biomassa yang membusuk atau terbakar. Karbon dioksida juga dapat dilepaskan ketika terjadi kegiatan konversi lahan dan kegiatan industri. 27) Rosot karbon (carbon sink) adalah media atau tempat penyerapan dan penyimpanan karbon dalam bentuk bahan organik, vegetasi hutan, laut dan tanah. 28) Pajak karbon (carbon tax) adalah biaya tambahan yang dibebankan pada konsumen yang melepaskan karbon ke atmosfer. 29) Payment for ecosystem services/PES (pembayaran atas jasa ekosistem) adalah suatu skema dimana pihak yang memperoleh manfaat dari layanan ekosistem akan membayar pihak yang mengelola ekosistem tersebut agar layanannya tetap terjaga dan berkelanjutan. 30) Zonasi adalah suatu proses pengaturan ruang menjadi zona-zona. 31) Zona Perlindungan adalah bagian dari kawasan lindung (dalam hal ini khususnya mangrove) yang mempunyai vegetasi relatif utuh dan berkembang biak secara
15
alami dengan berbagai satwa serta biota lain yang hidup dalam satu kesatuan ekosistem. Fungsinya adalah melindungi dan melestarikan keanekaragaman jenis vegetasi mangrove dan satwa beserta ekosistemnya. 32) Zona Penyangga adalah daerah di luar zona pemanfaatan yang memberi pengaruh terhadap zona inti sebagai daerah perlindungan. Fungsinya adalah melindungi zona inti dari gangguan alam berupa angin maupun gangguan manusia berupa pencemaran serta pelumpuran akibat aktivitas manusia. 33) Zona Pemanfaatan adalah bagian dari kawasan lindung yang memiliki ciri khas tertentu berupa jenis vegetasi dan satwa asli dan bukan asli yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan pengelolaan sumberdaya pesisir dan rekreasi sekaligus untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pelatihan serta pengembangan budaya setempat. Fungsinya adalah sebagai lokasi hutan wisata, obyek pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan serta pengenalan budaya lokal. 34) Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
1.6
Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari hasil penelitian ini, yaitu kebaruan terhadap ilmu pengetahuan dan
kebaruan terhadap penyelesaian suatu problematika di wilayah pesisir yang sangat kompleks. 1.
Kebaruan dalam konteks pengembangan teori adalah bahwa untuk keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dapat diaplikasikan pengelolaan berbasis REDD+, khususnya untuk mengantisipasi pengaruh perubahan iklim, membangun sumberdaya yang lestari serta mandiri secara finansial.
2.
Kebaruan dalam konteks metodologi analysis dengan prosedur Valuation of Economic,
adalah digunakannya metode multi level
“SAVE DYNAMIC” : Spatial Allometric equation, serta simulasi pendekatan sistem dinamik dengan dua
skenario, yaitu skenario model business as usual (model BAU) dan skenario model carbon crediting (model CC) untuk mengevaluasi berbagai aktivitas yang
16
dapat menyebabkan kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim merupakan hal baru dan belum pernah dilakukan di Indonesia. 3.
Penyusunan model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ merupakan suatu upaya untuk mempermudah dan mempercepat proses pengambilan keputusan guna penyusunan kebijakan di wilayah pesisir.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
2.1.1 Konsep Dasar Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan lahir dari pandangan-pandangan MalthusRicardo pada jamannya yang didadasarkan pada metodologi statis, maupun gagasangagasan yang bersumber pada pemikiran Meadows (Club of Rome) pada tahun 1972 yang didasarkan pada metodologi system dynamics. Basis pemikiran dari kedua aliran tersebut terletak pada masalah-masalah pokok yang menyangkut kehidupan manusia dalam konstelasi ekonomi dunia. Sampai saat ini belum ada definisi yang dapat diterima secara universal mengenai eksistensi pembangunan berkelanjutan. Konsep yang telah dikembangkan meliputi tiga poin utama : ekonomi, sosial dan lingkungan (lihat Gambar 2a) (Munasinghe 2003). Gambar 2 (a) menunjukkan setiap sudut berkorespondensi pada setiap domain (dan sebuah sistem) dan memiliki kekuatan pengendali (driving forces) serta tujuan. Ekonomi sebagai pengendali utama menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat, utamanya meningkatkan langsung dalam konsumsi barang dan jasa-jasa. Domain lingkungan fokus pada proteksi dari integritas sistem ekologi. Sementara itu domain sosial menegaskan pengayaan hubungan kemanusiaan, prestasi dari aspirasi kelompok dan individu, serta penguatan nilai-nilai dan kelembagaan. Gambar 2 (b) mengindikasikan bagaimana memunculkan sebuah kerangka “sustainomic” (sebagai contoh pengembangan ilmu pengetahuan), berasosiasi antar basis disiplin ilmu, bersinergi satu sama lain secara komprehensif dan eksis antara ekonomi, sosial, serta dimensi-dimensi lingkungan dari pembangunan berkelanjutan (OECD 2001; Munasinghe 2003; Cheung & Sumaila 2008). Pendekatan-pendekatan pembangunan berkelanjutan saat ini merupakan gambaran pengalaman pembangunan pada abad ke-20. Sebagai contoh: paradigma pembangunan selama periode 1950-an didominasi pertumbuhan, fokus utama pada peningkatan output ekonomi dan konsumsi. Pada periode 1960-an, pemikiran pembangunan beralih menuju pertumbuhan berkeadilan dan pemerataan, utamanya pada pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), serta mulai dikenalkannya prinsipprinsip efisiensi ekonomi (Scherr 2000). Sejak tahun 1970-an, dimensi lingkungan
18
dimunculkan sebagai kunci ketiga elemen pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 2003) • Pertumbuhan • Efisiensi • Stabilitas EKONOMI
• Kesejahteraan antar generasi • Kebutuhan dasar/matapencaharian
SOSIAL • Pemberdayaan • Inklusi/konsultasi • Tata kelola
Poverty Equity Sustainability Co-evolution
• Valuasi/internalisasi • Kejadian berbagai dampak
• Kesejahteraan antar generasi • Nilai-nilai/budaya
(a)
LINGKUNGAN • Resiliensi/biodiversitas • Sumberdaya alam • Polusi
Ekonomi
Sosial Lingkungan
Sustainomics Trans-disciplinary Knowledge Base
(b) Sumber : Diadaptasi dari Munasinghe (2003)
Gambar 2 Tiga pilar pembangunan berkelanjutan didukung kerangka antar disiplin.
Pembangunan berkelanjutan memerlukan : (1) Peluang-peluang peningkatan ekonomi, sosial dan sistem ekologi, dan (2) Peningkatan-peningkatan dalam kapasitas adaptif (Gunderson & Holling 2001; CIFOR 2008). Memperluas peluang untuk pengembangan sistem akan memberikan peningkatan pembangunan, sementara itu
19
peningkatan kapasitas adaptif akan menambah daya resiliensi
dan berkelanjutan
(Alfsen & Greaker 2007). Munasinghe (2003) menyatakan bahwa ketepatan definisi pembangunan berkelanjutan meninggalkan sesuatu yang ideal, ilusif dan bahkan mungkin saja sulit untuk mencapai tujuan. Sedikit ambisi, tetapi lebih fokus dengan strategi yang layak akan memperoleh “make development more sustainable”. Relevansi konsep tersebut dengan studi ini terletak pada bagaimana mencari kemajuan secara kontinum dalam kualitas hidup dengan memanfaatkan sumberdaya secara efisien, sehingga kesejateraan antara gerenerasi (inter-generational equity) dapat terjamin. Dalam perkembangannya, pembangunan ekonomi di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tanpa berwawasan lingkungan. Dengan pendekatan yang terlalu berorientasi economic growth, dikhawatirkan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan dapat mempercepat deplesi sumberdaya dan pencemaran lingkungan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan membahayakan kehidupan perekonomian itu sendiri. Dalam rangka upaya menghindari kemungkinan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, perlu dicari strategi baru guna menyempurnakan pembangunan yang terlalu berorientasi pada teori pertumbuhan ekonomi konvensional ke arah pembangunan berkelanjutan. Faham lain tentang pembangunan berkelanjutan
(sustainable development)
bersumber pada sebuah laporan yang berjudul Our Common Future, disusun pada tahun 1987 oleh Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development, WCED), komisi tersebut juga dikenal sebagai Brundtland Commission. Penafsiran tentang pembangunan yang berkelanjutan diartikan sebagai “daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi-generasi mendatang” (Djojohadikusumo 1994). Dalam konteks penelitian ini digagas suatu pemikiran bahwa pembangunan ekonomi berkelanjutan merupakan suatu usaha meningkatkan kemampuan generasi sekarang untuk memenuhi kebutuhannya (terutama kebutuhan dasar bagi golongan miskin dalam masyarakat), tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya pada tahap waktu yang bersangkutan. Hal ini berarti tidak ada pertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya. Kedua kebijakan itu harus
20
direncanakan dan dibina sedemikian rupa, sehingga keduanya dapat meningkatkan kesejahteraan manusia dalam lingkungan hidup yang memadai secara wajar. Pendapat lain muncul seperti yang dikemukakan Kusumastanto (2003) bahwa konsep pembangunan berkelanjutan memuat dua unsur pokok, yaitu : (1) Konsep kebutuhan khususnya kebutuhan pokok untuk mensejahterakan kaum miskin dan generasi mendatang, (2) Gagasan tentang keterbatasan yang bersumber pada keadaan teknologi dan organisasi sosial yang dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan. Konsep pemikiran terakhir ini sesungguhnya dilandasi dua aliran pemikiran : aliran ekonomi neoklasik (prinsip efisiensi) serta aliran ekonomi kelembagaan (prinsip kesejahteraan sosial). Basis pengambilan kebijakan pada regim ekonomi neoklasik terletak pada alokasi sumberdaya alam yang didasarkan pada prinsip alokasi ekonomi terbaik (the best economic allocation). Sementara itu basis pengambilan kebijakan pada regim ekonomi kelembagaan
didasarkan kepada pendekatan secara komprehensif
(holistic) dan multidisiplin. Dalam hal ini kepentingan individu dan publik tidak dapat saling terpisah serta hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik merupakan bagian dari pemikiran tentang kesejahteraan individu dan sosial.
2.1.2 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berkelanjutan Penetapan batas wilayah pesisir antara satu negara dengan negara lain berbedabeda, karena masing-masing negara memiliki karakteristik tersendiri. Akan tetapi terdapat suatu kesepakatan umum di dunia dimana wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan` PulauPulau Kecil, definisi wilayah pesisir yang digunakan adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Definisi tersebut mencakup tiga
batasan pendekatan yaitu : (1) pendekatan ekologi, (2)
pendekatan administrasi dan (3) pendekatan perencanaan (Adrianto 2006). Dalam konteks pendekatan ekologis, wilayah pesisir didefinisikan sebagai kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses dan dinamika laut seperti pasang surut, intrusi air laut; dan kawasan laut yang masih mendapat pengaruh dari proses dan dinamika daratan seperti sedimentasi dan pencemaran. Sementara itu, pendekatan administrasi membatasi wilayah pesisir sebagai wilayah yang secara administrasi pemerintahan memiliki batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten/kota
21
yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiganya (4 mil) untuk kabupaten/kota (lihat Gambar 3). Sedangkan dalam konteks pendekatan perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumberdaya yang difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola secara bertanggung jawab. Dalam konteks ekologis dan administratif, perencanaan pengelolaan wilayah pesisir merupakan alat penting untuk mengetahui dinamika masyarakat pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumberdaya pesisir dan lautan. Dengan adanya rencana pengelolaan pesisir yang sistematis itu, pengelolaan wilayah pesisir dan laut di suatu wilayah akan menjadi lebih efisien dalam konteks prosesnya untuk mencapai tujuan pembangunan.
Salah satu prinsip dasar penyusunan rencana
pengelolaan kawasan pesisir adalah prinsip keterpaduan dan prinsip aspiratif. Terpadu dalam konteks pendekatan komprehensif yang memadukan antara dinamika ekosistem dan sistem manusia, sedangkan aspiratif lebih pada pendekatan dari bawah dimana proses perencanaan wilayah pesisir dan laut dilakukan dengan melibatkan masyarakat pesisir sebagai subyek sekaligus obyek dari perencanaan itu sendiri (DKP 2009).
Batas ke arah darat
Batas ke arah laut
Batas tertentu secara arbitrer Belakang pantai
4 mil laut
Garis pantai
Ruang Darat
Batas Adminitrasi Kecamatan
LT
Ruang pesisir
Zona intertidal
Lingkungan daratan
HT
Lingkungan lautan
Paparan benua
Daerah tangkapan air
Sumber : Diadaptasi dari Sugiarto (1976) dan Adrianto (2009)
Gambar 3 Diagram melintang wilayah pesisir kabupaten/kota.
Ruang laut
22
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu pendekatan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir dan laut yang optimal dan berkelanjutan. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pengelolaan yang memberikan semacam ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, melainkan merupakan batas yang fleksibel yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Dalam konteks pengelolaan wilayah sumberdaya pesisir dapat diadaptasi dari konsep pembangunan secara berkelanjutan. Dalam konsep ini terdapat tiga dimensi: (a) ekologis, (b) ekonomi dan (c) sosial. (a) Dimensi Ekologis Dalam dimensi ekologis, pembangunan wilayah pesisir dan laut haruslah memperhatikan daya dukung lingkungan dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia. Dengan demikian, agar pembangunan wilayah pesisir dan laut dapat berkelanjutan, maka pola dan laju pembangunan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga total demand terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan suplai tersebut. Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir
secara
berkelanjutan dapat diartikan cara mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir, agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah termasuk ekosistem pesisir, memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia : (a) jasa-jasa pendukung kehidupan; (b) jasa-jasa kenyamanan; (c) penyedia sumberdaya alam; dan (d) penerima limbah (Ortolano 1984). Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara, dan air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa-jasa kenyamanan (amenity
23
services) yang disediakan oleh ekosistem alamiah adalah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyenangkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan jiwa. Ekosistem alamiah menyediakan sumberdaya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi. Fungsi penerima limbah dari suatu ekosistem adalah kemampuannya dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, hingga menjadi suatu kondisi yang aman (Dahuri et al. 1996). Dari keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut, bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama sangat bergantung pada dua fungsi yang terakhir. Ini berarti bahwa jika kemampuan dua fungsi terakhir dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan dapat diharapkan tetap terpelihara. Berdasarkan keempat fungsi ekosistem itu, secara ekologis terdapat tiga kaidah pokok yang dapat menjamin tercapainya pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan, yaitu: (a) keharmonisan spasial, (b) kapasitas asimilasi, dan (c) pemanfaatan berkelanjutan (Dahuri et al. 1996). Dalam keharmonisan spasial, kegiatan pembangunan, ruang atau lahan tidak boleh dialokasikan hanya untuk zona pemanfaatan, tetapi perlu ada yang digunakan untuk zona preservasi (jalur hijau pantai, sempadan, dan hutan lindung) serta zona konservasi. Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu pengelolaan sumberdaya pesisir sangat penting terutama dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, siklus hidrologi dan unsur hara. Sementara itu dalam kapasitas asimilasi, dampak dari kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut tidak boleh melampaui kemampuan akseptasinya dalam menerima atau menyerap limbah yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan ataupun manusia. Dalam
pemanfaatan
zona secara berkelanjutan, eksploitasi sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable) di wilayah pesisir dan laut tidak boleh melampaui kemampuan regenerasinya dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui harus dilakukan dengan cermat, sehingga dampak lingkungan yang timbul tidak mengganggu atau merusak ekosistem dan kegiatan pembangunan lainnya. Pemanfaatan harus direncanakan sedemikian rupa, sehingga sebelum sumberdaya tersebut habis sudah ada sumberdaya substitusinya. Relevansi dengan penelitian ini diperlukan suatu gagasan baru bahwa dalam setiap pemanfaatan sumberdaya alam pesisir haruslah berorientasi rendah emisi, serta
24
pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, sehingga wilayah pesisir dan masyarakatnya memiliki resiliensi terhadap perubahan iklim global. Dalam pemikiran ini menunjukkan bahwa strategi mitigasi dan pola adaptasi menjadi penting bagi pengelolaan sumberdaya pesisir. (b) Dimensi Ekonomi Dalam konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat yang diperoleh dari kegiatan penggunaan wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk disekitarnya. Dalam dimensi ekonomi cenderung dievaluasi berdasarkan terminologi kesejateraan atau utilitas dimana basis pengukuran didasarkan pada tingkat kemampuan membayar (willingness to pay) terhadap sumberdaya atau jasa-jasa yang dikonsumsi. Konsep ekonomi modern menggarisbawahi
bahwa
ekonomi berkelanjutan
berupaya mencari maksimisasi arus pendapatan atau konsumsi yang dapat ditingkatkan apabila terjadi pemeliharaan stok sumberdaya (Cheung & Sumaila 2008). Dalam hal ini faktor efisiensi memiliki peran penting dalam memastikan baik efisiensi alokasi sumberdaya dalam produksi maupun efisiensi berbagai pilihan konsumsi yang akan memaksimalkan utilitas. Pearce and Turner (1990) menyatakan bahwa permasalahan akan muncul dalam melakukan valuasi mengenai non-market value (khususnya jasajasa sosial dan ekologi), sementara itu berbagai masalah uncertainty, irreversibility serta katastropik juga merupakan masalah lain yang sangat rumit dalam dimensi ekonomi tersebut. Premis tersebut mendukung penelitian ini bahwa pemanfaatan sumberdaya alam dengan cara baru haruslah didasarkan pada prinsip the opportunity cost of capital. Artinya paling kurang memenuhi kesetaraan manfaat antara cara saat ini (business as usual)
dengan
cara
baru
yang
akan
diimplementasikan.
Masyarakat
yang
termarjinalisasi dalam konsep baru, harus diakomodasi dan memperoleh manfaat untuk kesejahteraannya. (c) Dimensi Sosial Pembangunan secara berkelanjutan dalam perspektif sosial adalah mereduksi kerentanan serta memelihara daya tahan sistem sosial budaya yang ada dalam masyarakat (Chamber 1989; Bohle et al. 1994; Ribbot et al.1996 in Munasinghe 2003, Oostenbrugge et al. 2004, Cicin-Sain & Belfiore 2005). Penguatan nilai-nilai sosial dan
25
institusi serta meningkatkan human capital dalam hal pendidikan tentunya akan sangat menambah nilai modal sosial. Kaitannya dengan penelitian ini adalah bagaimana mengatur jumlah penduduk yang membebani suatu wilayah pesisir serta bagaimana mengedukasi masyarakat dan kelompok sosial agar dapat memanfaatkan sumberdaya secara arif : melarang penggunaan bahan peledak untuk manangkap ikan, melarang penebangan mangrove secara berlebihan, mengurangi jumlah penduduk memasuki kawasan konservasi dan sebagainya. Keberhasilan Taman Nasional Sembilang dalam menanggulangi spesies nibung (Oncosperma sp.) dengan meningkatkan budidaya nibung oleh masyarakat sekitar, merupakan salah satu contoh yang relevan dan betapa pentingnya dimensi sosial ini dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan di masa mendatang. Dalam rangka mengakomodasi ketiga dimensi pengelolaan di atas, maka pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu harus dilakukan dalam beberapa tahapan. Terdapat empat tahap dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, yang secara ringkas disajikan pada Gambar 4. .
4. EVALUASI Analisis kemajuan dan permasalahan Redefinisi ruang lingkup untuk pengelolaan pesisir
1. PENATAAN & PERENCANAAN
Identifikasi dan analisis permasalahan Pendefinisian tujuan dan sasaran Pemilihan strategi Pemilihan struktur implementasi
3. IMPLEMENTASI
Kegiatan pembangunan Penegakan kebijakan dan peraturan-peraturan Pemantauan
2. FORMULASI Mengadopsi program secara formal Pengamanan dana untuk implementasi
Sumber : Diadopsi dari Sorensen dan McCreary (1990)
Gambar 4 Tahapan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu dan berkelanjutan.
26
Keempat tahap tersebut terdiri dari: (1) Perencanaan, yang terdiri dari identifikasi permasalahan dan penetapan tujuan dan sasaran, (2) Formulasi, yang terdiri dari adopsi program secara formal dan penyiapan pendanaan untuk implementasi, (3) Implementasi, merupakan tahap pelaksanaan kegiatan pembangunan, penegakan kebijakan dan peraturan, serta pemantauan (monitoring), (4) Evaluasi, merupakan analisis kemajuan yang akan memberikan arahan dalam pendefinisian kembali ruang lingkup pengelolaan, agar tujuan yang ditetapkan dapat benar-benar tercapai. Dengan demikian, pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dalam hal ini akan terjadi suatu proses pembelajaran (learning process) untuk mendapatkan perbaikan secara terus menerus. Sorensen dan McCreary (1990) mengemukakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir terpadu perlu mempunyai lima atribut, yaitu : (1) Merupakan suatu proses yang selalu berkelanjutan di atas pertimbangan waktu. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu adalah suatu program yang dinamis yang senantiasa diperbaharui, diperbaiki, dan bukan merupakan proyek dengan waktu tertentu, (2) Perlu adanya suatu penataan institusi pemerintah untuk membuat dan menetapkan kebijakan bagi pengambilan keputusan dalam implementasi kegiatan yang ditentukan, (3) Penataan institusi pemerintah yang menggunakan satu atau beberapa strategi pengelolaan secara rasional dan sistematis dalam penentuan keputusan, (4) Seleksi strategi pengelolaan yang akan digunakan didasarkan pada perspektif sistem-sistem yang dikenal hubungannya antar sistem wilayah pesisir dan laut. Perspektif sistem ini selalu mempertimbangkan bahwa pendekatan multisektoral digunakan dalam merancang dan melaksanakan strategi pengelolaan, (5) Perlu adanya suatu batas secara geografis dari laut sampai ke pedalaman, sedangkan pulau yang kecil tidak memiliki batas pedalaman. Konsep pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu bukan hanya dipegang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tetapi ditentukan juga oleh masyarakat setempat (community base) dan disesuaikan dengan potensi sumberdaya dari masing-masing wilayah (resource base) serta kemampuan pasar (market base) dari produk yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan inventarisasi dan identifikasi sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir TNS, baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, agar masing-masing stakeholder dapat memerankan kontribusinya dalam pembangunan daerah, khususnya pengembangan sumberdaya pesisir untuk mencapai peningkatan pendapatan daerah.
27
2.2
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dalam Perspektif Ekonomi Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dapat mengadaptasi konsep pemikiran
Kusumastanto (2002) dimana untuk merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan sumberdaya pesisir dan laut dibutuhkan suatu paket kebijakan yang saling komplementer dan menunjang antar berbagai sektor yang saling berkaitan. Untuk mengelola sumberdaya pesisir itu diperlukan suatu kebijakan makro yang integratif antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan, sehingga kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah menjadi signifikan. Premis tersebut menggarisbawahi dimana
untuk penciptaan macro policy itu harus didasarkan pada
pendekatan
kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua domain dalam suatu sistem pemerintahan: eksekutif dan legislatif. Dalam konteks penelitian ini, pendekatan tersebut menjadi
penting dilakukan agar para pelaku kepentingan
memahami dalam pemecahan masalah (logic of inquiry) (Dunn 2000). Basis pemikiran tersebut (Kusumastanto 2002) menekankan bahwa pada tataran eksekutif, kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pada akhirnya diprediksi akan menjadi kebijakan ekonomi politik. Kebijakan ini akan menjadi tanggung jawab kolektif pada semua level institusi eksekutif yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages). Sementara itu pada tataran legislatif harus mampu menciptakan instrumen kelembagaan legislasi (level pusat dan daerah) untuk mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Selanjutnya Kusumastanto (2002) menggarisbawahi
untuk mengembangkan
suatu kebijakan publik diperlukan beberapa persyaratan: (1) Policy tools, yaitu adanya efektifitas
instrumen
untuk menjalankan suatu kebijakan.
Instrumen tersebut
sebaiknya memiliki sifat-sifat: (i) aplicability, dapat diaplikasikan secara leluasa (discretionary) dan universal serta dapat ditegakkan secara hukum (enforceability); (ii) right of administrative authorities, memiliki otoritas administratif mencakup aspek insentif dan regulatif, (2) Kebijakan harus berdampak sistemik terhadap perekonomian domestik maupun global. Artinya harus terdapat dukungan secara nasional (eksekutif dan legislatif) maupun internasional, (3) Kebijakan harus efisien dan efektif secara ekonomi (cost effectiveness) serta adil (fairness), sehingga mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, (4) Kebijakan harus mampu mendorong kemandirian rakyat (self relience) dan berlandaskan nilai-nilai luhur agama dan moralitas.
28
Diperlukan berbagai langkah tepat untuk memenuhi persyaratan kebijakan yang efektif (Kusumastanto 2002), diantaranya :
(1) Pendekatan pasar (market based
approach), (2) Pendekatan kelembagaan (institutional approach), (3) Pendekatan percampuran pasar (mixed market) dan bukan pasar (non-market) serta pendekatan kelembagaan (institutional approach) yang efektif dan efisien. Pendekatan pasar (market based approach) yaitu pendekatan pasar dengan penerapan dukungan instrumen kebijakan. Contoh: pajak, pungutan (charge), sanksi, insentif, disinsentif. Keunggulan dari pendekatan instrumen ekonomi ini adalah lebih efisien dibanding pendekatan hukum konvensional, serta lebih efektif untuk merestorasi atau mempertahankan kualitas lingkungan dengan menggunakan kekuatan pasar. Pendekatan kelembagaan (institutional approach), yaitu suatu pendekatan kebijakan
yang dapat
memberikan perlindungan dan pembatasan akses terhadap
sumberdaya, adanya hak kepemilikan (property right), serta adanya fungsi legislasi yang mendukungnya. Diperlukan sosialisasi dan diseminasi substansi kebijakan kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) agar dapat dipatuhi serta
memberi
naungan dan hambatan terhadap sumberdaya itu. Regulasi ini dapat ditulis baik secara formal maupun non formal. Secara formal berupa kebijakan regulasi yang dituangkan dalam bentuk peraturan dan perundangan dan
ditegakkan oleh aparat pemerintah.
Sementara itu regulasi non formal diwujudkan dalam bentuk kearifan lokal (local wisdom) dan ditegakkan pada aturan adat dan norma masyarakat. Aspek penting lainnya dari aturan tersebut adalah dapat diprediksi (predictable), tidak mudah berubah (essentially stable) dan dapat diaplikasikan pada situasi berulang (replicable). Pendekatan percampuran pasar (mixed market) dan bukan pasar (non-market) serta pendekatan kelembagaan (institutional approach) yang efektif dan efisien. Dengan pendekatan ini diharapkan sumberdaya yang digunakan akan dinilai secara fair dan tidak undervalue. Prinsip-prinsip penilaian ekonomi terhadap sumberdaya (total economic valuation) dapat dilakukan secara benar, sehingga estimasi terhadap sumberdaya dapat mendukung pembangunan berkelanjutan serta dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Sejauh ini, penetapan kebijakan publik di hampir semua negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, masih didominasi kebijakan untuk pertumbuhan sektor ekonomi. Sejalan dengan perkembangan lingkungan global, penetapan kebijakan publik saat ini tidak bisa lagi hanya dititik beratkan pada percepatan pertumbuhan ekonomi semata, karena sumberdaya alam di negeri yang sebenarnya kaya ini, telah
29
mengalami degradasi. Dengan demikian konsep penetapan kebijakan publik yang berorientasi
pada
pembangunan
kemanusiaan
secara
berkelanjutan
harus
dipertimbangkan. Berbagai basis pemikiran tersebut di atas sesungguhnya merupakan perwujudan dari paradigma pembangunan yang berlandaskan kemanusiaan (people centered development). Pada dasarnya pembangunan adalah suatu proses peningkatan harkat hidup dan kesejahteraan manusia.
Untuk mencapai hal itu maka seluruh upaya
kebijakan pembangunan di semua sektor perlu diarahkan secara komprehensif ke arah perbaikan kehidupan manusia.
Paradigma ini menempatkan manusia sebagai pusat
pembangunan, menghormati pembangunan ekonomi sebagai alat untuk mewujudkan harkat kemanusiaan, seraya melindungi dan memberi kesempatan hidup bagi generasi mendatang dengan cara menjaga ketersediaan sumberdaya alam secara lestari (Korten 1990; Scherr 2000). Usaha-usaha pembangunan kemanusiaan ini akan berhasil apabila dilakukan dengan menggunakan pendekatan kajian multidisiplin. Oleh karena itu obyektivitas ilmiah (scientific objectivity) sangat diperlukan dalam penetapan kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Hal ini menjadi penting karena melalui penetapan kebijakan berbasis ilmiah ini, dapat diuji kondisi sumberdaya alam dan pertumbuhan ekonomi yang lebih realistik, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertangung jawabkan. Paradigma pembangunan kemanusiaan ini menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan, menghormati pembangunan ekonomi sebagai alat untuk mewujudkan harkat kemanusiaan, seraya melindungi dan memberi kesempatan hidup bagi generasi mendatang dengan cara menjaga ketersediaan sumberdaya alam secara lestari. Usahausaha pembangunan kemanusiaan ini tidak akan berhasil tanpa adanya pendekatan kajian multidisiplin. Oleh karena itu obyektivitas ilmiah (scientific objectivity) sangat diperlukan dalam penetapan kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Karena melalui penetapan kebijakan berbasis ilmiah ini, dapat diuji kondisi sumberdaya alam dan pertumbuhan ekonomi yang lebih realistik, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertangung jawabkan. Secara teoritik terdapat beberapa tahapan yang harus dilaksanakan dalam penerapan kajian kebijakan berbasis ilmiah yaitu : (1) Menyusun hipotesis yang kuat dasar ilmiahnya, (2) Melakukan test (uji) terhadap hipotesis yang relevan dengan
30
kenyataan (evidence) di lapangan (Kusumastanto 2002). Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menentukan kebijakan publik disajikan pada Gambar 5.
Aspek sosial, ekonomi & budaya
Perubahan lingkungan
Aspek fisik Aspek biologis Aspek kimiawi
Peraturan pendukung
Estimasi nilai ekonomi lingkungan dan SDA Instrumen ekonomi terpilih
Policy Sciences
SCIENTIFIC OBJECTIVITY
Resources Policy
Budaya Proses Simulasi Scientific Objectivity
Sosial
Scientific Decision
Politik Implementasi
Normatif Ekonomi
Operasional
Sumber : Kusumastanto (2002)
Gambar 5 Alur kebijakan berdasarkan kajian ilmiah
Gambar 5 menunjukkan bahwa
input untuk penentuan kebijakan ekonomi,
ekologi, sosial, budaya dan hukum merupakan input objektif dan dapat menjadi dasar penetapan instrumen ekonomi. Untuk implementasinya diperlukan uji keabsahan secara scientific. Salah satu dasar yang dapat digunakan sebagai acuan uji keakuratan instrumen ekonomi terpilih berdasarkan kondisinya adalah regulasi dengan penerapan tingkat diskonto terhadap input. Kondisi regulasi dengan penerapan tingkat diskonto terhadap input sangat bermanfaat untuk alokasi sumberdaya. Dengan kondisi ini faktor waktu sangat menentukan
atau
efisiensi
antar
generasi.
Kriteria
yang
digunakan
untuk
memperhitungkan faktor waktu ini adalah dengan membandingkan benefit yang
31
diterima satu periode tertentu dengan periode yang lain. Apabila unsur waktu tidak penting maka konsep static efficiency dapat digunakan. Namun demikian keputusan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan pada saat sekarang berpengaruh terhadap kesejahteraan generasi mendatang (intergenerational welfare).
Hal ini
diperlukan perencanaan yang seksama agar sumberdaya alam dan lingkungan tetap lestari, dengan demikian konsep efisiensi dinamis menjadi penting. Dalam model dinamik, sumberdaya alam dianggap memiliki dua manfaat, yaitu apakah diekploitasi untuk saat ini sehingga memperoleh current revenue, atau ditunggu untuk dipanen mendatang dan dianggap sebagai investasi. Keputusan dalam model dinamik adalah bagaimana memanfaatkan aset sumberdaya alam ini sebaik mungkin dengan memperhatikan aspek intertemporal. Untuk memahami efisiensi dinamis, perlu diketahui bagaimana menghitung nilai sekarang (present value) dari alokasi sumberdaya yang tersedia. Nilai sekarang dari keuntungan bersih yang diterima dari n tahun dari sekarang dapat diekspresikan dalam formulasi matematika sebagai berikut (Dixon and Hufschmidt 1986) : n
PV t 0
NBt ........................................................................................... (2.1) (1 r ) t
Present Value (PV) merupakan nilai sekarang dari suatu aliran keuntungan bersih (NBt) yang diterima dari suatu periode waktu t, r adalah tingkat suku bunga. Proses menghitung saat ini dikenal dengan istilah discounting, sedangkan tingkat bunga r dikenal sebagai tingkat diskonto (discount rate). Terdapat tiga justifikasi yang ditawarkan untuk melegitimasi menetapan diskonto dalam membuat keputusan investasi (Dixon & Hufschmidt 1986; Vita 2006). Pertama, bahwa nilai konsumsi individu mendatang akan lebih kecil dari saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan semakin rendahnya nilai uang saat ini dibandingkan tiga puluh tahun mendatang. Oleh karena itu penetapan discount rate menjadi penting, dan dikenal sebagai
pure-rate-of-time preference. Oleh karena preferensi sosial diwakili oleh
preferensi individu, maka eksistensi private discount rate menjustifikasi asumsi sosial discount rate. Kedua, berkaitan dengan teori produktivitas kapital. Nilai setiap dolar/rupiah atau sumberdaya saat ini yang digunakan untuk melakukan aktivitas produksi sampai tahun t harus menggandakan hasil keuntungan (compound benefits). Jika discount rate
32
mengukur tingkat pertumbuhan produksi, maka keuntungan bersih mendatang dapat diekspresikan secara matematis sebagai berikut : NBt PV (1 r ) t ........................................................................................... (2.2)
Hasil tersebut menunjukkan kesamaan antara aturan discount rate untuk keputusan investasi publik dengan aturan private market rate di mana individu-individu dibebani tingkat suku bunga. Hal ini menyebabkan mereka untuk tidak
melakukan
konsumsi saat ini secara eksesif agar supaya ketersediaan sumberdaya di masa datang terjamin untuk formasi kapital. Penjelasan ini merupakan basis pendekatan biaya oportunitas dari kapital terhadap diskonto. Ketiga, justifikasi social discount rate
adalah sebuah instrumen kebijakan
pemerintah, sebagai panduan investasi dalam sistem ekonomi. Besarnya (magnitude) discount rate vis-a-vis tingkat suku bunga pasar akan menjadi determinan penting bagi tingkat investasi publik relatif terhadap investasi di sektor swasta. Lebih lanjut, ketika otoritas investasi untuk alokasi budget dibuat, pilihan discount rate memberi pengaruh besar terhadap prioritas untuk proyek-proyek spesifik. Discount rate tinggi akan membantu proyek-proyek dengan manfaat bersih yang bersifat segera. Sementara itu discount rate rendah akan mendorong seleksi proyek-proyek yang memiliki manfaat bersih dalam jangka panjang. Ketika digunakan sebagai sebuah instrumen alokasi, hal ini merupakan satu cara yang baik terutama untuk investasi yang berdimensi efek ekologis atau untuk hal-hal yang berhubungan dengan ekploitasi sumberdaya tidak pulih. Selanjutnya Spash (1993) menjustifikasi penggunaan diskonto, yaitu (1) Generasi yang akan datang harus mendapatkan hak yang sama dengan generasi saat ini, (2) Harus ada pembatasan preferensi individu yang mengabaikan preferensi masa depan, (3)
Konsumsi berlebih saat ini akan mengurangi kehidupan bagi generasi
mendatang.
Oleh karena itu penggunaan diskonto merupakan hal penting dalam
mengestimasi
efisiensi
sumberdaya
berdimensi
lingkungan
untuk
distribusi
intertemporal. Atas dasar premis tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep efisiensi dinamis sangat bermanfaat
untuk menganalisis
tingkat pemanfaatan sumberdaya,
terutama yang bersifat non-renewable resources, sehingga dapat diketahui pada tingkat ekstraksi optimal pada periode tertentu agar stok sumberdaya dapat diekstraksi secara berkelanjutan.
33
Kriteria investasi net present value dalam model dinamik, juga merupakan panduan dalam hal efisiensi ekonomi dan dapat digunakan sebagai formulasi dan kelayakan suatu program serta kebijakan pengembangan lingkungan. Kriterianya dapat diekspresikan sebagai berikut : n
NPV t 0
NBt ........................................................................................ (2.3) (1 r ) t
Kebijakan penetapan tingkat discount rate rendah sangat bermanfaat untuk kesinambungan sumberdaya alam bagi generasi mendatang. Demikian sebaliknya di mana tingkat discount rate tinggi akan terjadi kecenderungan eksploitasi terhadap sumberdaya secara eksesif, sehingga dikhawatirkan kepentingan generasi mendatang akan terganggu.
Dengan demikian unsur time horizon dan kebijakan penetapan
discount rate menjadi sangat krusial untuk model dinamik, terutama untuk pengelolaan sumberdaya yang berdimensi ekologis. 2.3
Peranan Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Eksploitasi sumberdaya alam hingga saat ini dilaksanakan berdasarkan
kerangka kelembagaan yang berbeda-beda, dengan rezim pengelolaan/pemilikan yang berbeda-beda pula.
Faktor-faktor tersebut memberi sumbangan dalam membentuk
arahan bagi pelaku yang terlibat dan alokasi sumberdaya. Dalam literatur tentang common property (Ostrom 1990; Bromley 1992; Stevenson 1991; Hanna et al. 1996 in Valle 2001) dikenal adanya empat tipe regim pengelolaan, walaupun pada kenyataannya terdapat berbagai kombinasi dari tipe-tipe tersebut. a) Private Ownership, yaitu hak pemilikan oleh seorang atau beberapa individu yang selanjutnya juga bertanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya. b) Public Property. Negara yang mengatur tata cara mengakses dan eksploitasi. c) Common Property, hak eksploitasi dimiliki oleh sekelompok pengguna (self management), termasuk didalamnya adalah hak pengelolaan sumberdaya (CiriancyWantrup & Bishop 1975 in Valle 2001). d) Co-management, merupakan penggabungan antara public ownership dan common property (Jentoff 1989; Dubbink & Van Vliet 1996 in Valle 2001). Ketiadaan aturan pemilikan diduga akan membuat masyarakat melakukan eksploitasi secara besar-besaran dengan strategi “use it or lose it”, sehingga dikhawatirkan terjadi alokasi yang tidak efisien pada
berbagai
bentuk regim
34
pengelolaan. Namun demikian pemilikan penuh dari negara ataupun pasar ternyata juga tidak mampu menjaga keberlanjutan sumberdaya. Walaupun secara teoritis dengan adanya pemilikan dapat mengakibatkan alokasi secara efisien, tetapi di dalam kenyataannya dan dilihat dari sisi kebijakan tidaklah sesederhana itu, dan bahkan menghadapi banyak persoalan (Valle 2001).
Adalah suatu kesalahan besar bila
mengidentikkan pengelolaan berbasis masyarakat dengan inefisiensi, karena terbukti banyak komunitas yang berhasil dalam mengelola sumberdaya tanpa mengandalkan pemerintah dan pasar dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini seringkali disebut sebagai Common Pool Resources (CPR's) Beberapa regulasi yang dianut oleh sistem Common Pool Resources (CPR's), yaitu : (1) Keanggotaan dan benda yang akan dimanfaatkan ditetapkan secara jelas; (2) Peraturan kepemilikan dan perawatannya harus sesuai dengan kondisi yang ada; (3) Kesepakatan harus merupakan hasil keputusan kelompok; (4) Diatur mekanisme untuk kontrol beserta sanksinya; (5) Terdapat mekanisme untuk memecahkan konflik di tingkat lokal, baik bagi pengguna sumberdaya maupun pihak arbitrator; (6) Hak mininal dalam pengelolaan diketahui oleh penguasa wilayah lainnya; dan (7) Memungkinkan terjadi kerjasama dengan organisasi lain. Dalam konteks penelitian ini, regim pengelolaan sumberdaya pesisir yang digunakan adalah public property dimana negara yang mengatur tata cara mengakses dan eksploitasi terhadap sumberdaya mangrove. Dalam hal ini Pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor : P. 36/Menhut-II/2009 tentang tata cara perijinan usaha pemanfaatan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung. Dalam peraturan perijinan ini diberikan dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi (IUPJL-HP), yaitu izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan produksi yang telah dibebani izin/hak atau yang belum dibebani izin/hak. Dalam Permenhut tersebut dijelaskan bahwa Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon (UP RAP-KARBON) dan/atau Penyimpanan Karbon dan/atau (UP PANKARBON) merupakan salah satu jenis usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dan hutan lindung. Kegiatan Usaha RAP-KARBON pada hutan lindung meliputi : (a) Penanaman dan pemeliharaan dari bagian kegiatan izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, dan hutan desa yaitu penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran sesuai dengan sistem silvikultur yang ditetapkan pada seluruh areal atau
35
bagian hutan atau blok hutan; (b) Penanaman dan pemeliharaan sampai daur tanaman pada seluruh areal atau bagian hutan atau blok hutan pada izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, dan hutan desa; (c) Peningkatan produktivitas melalui peningkatan riap tegakan dengan penerapan teknik silvikultur. Kegiatan Usaha Penyimpanan Karbon (PAN-KARBON) pada hutan lindung meliputi : (a) Pemeliharaan dan pengamanan pada areal izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, dan hutan desa. (b) Perluasan areal perlindungan dan konservasi di dalam areal izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, dan hutan desa. (c) perlindungan dan pengamanan dalam areal yang berfungsi perlindungan diseluruh areal atau bagian hutan atau blok dalam areal izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, dan hutan desa; (d) Perlindungan dan pengamanan pada seluruh areal atau bagian hutan atau blok dalam areal izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, dan hutan desa. Beberapa ketentuan lain dalam public property ini disebutkan bahwa pengembangan proyek dan pemasaran karbon yang dilakukan oleh Pengembang Proyek (project developer) berupa komoditi karbon dapat dipasarkan pada “pasar karbon sukarela” (voluntary markets) atau “pasar wajib” (compliance markets) baik di dalam negeri maupun di pasar internasional. Standar pengembangan proyek dan pemasaran karbon yang ada di pasar internasional disajikan pada Tabel 1. Dalam peraturan tersebut dijelaskan pula bahwa Nilai Jual Jasa Lingkungan (NJ2L) RAP-Karbon dan PAN-Karbon adalah pendapatan dari penjualan kredit karbon yang telah disertifikasi dan dibayar berdasarkan ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement). Sementara itu distribusi NJ2L pada hutan lindung ditetapkan bagian untuk pemerintah 50%, masyarakat 20% dan pengembang 30%. Bagian pemerintah 50% dibagi secara proporsional yaitu Pemerintah Pusat 40%, Pemerintah Provinsi 20% dan Pemerintah Kabupaten/Kota 40%.
36
Tabel 1 Standar pengembangan proyek dan pemasaran karbon No
Standar
Standar CarbonFix
Standar CCB
1 1.1
Latar Belakang Tujuan
1.2
Tipe Proyek
1.3 2 2.1 2.2 3. 3.1
Tipe kredit karbon Tidak tersedia Hal-hal terkait persyaratan (elibility) Tgl mulai proyek Tidak ada batasan Lokasi Proyek Internasional Tambahan (additionality) Metode Pengujian A/R CDM/ CCBA Metodologi yg diakui
4 4.1
Metodologi untuk menentukan dan mengukur CO2 Baseline, A/R CDM/ CCBA Metodologi CFS Kebocoran, Fiksasi Metodologi yg diakui CO2, Monitoring Permanensi Penyangga Resiko 30% (Risk Buffer) Keuntungan sosial ekonomi dan lingkungan Keuntungan Sosek *** ** Keuntungan Lingk *** ** Sertifikasi Jangka waktu 5 tahun 2 – 5 tahun verifikasi √ √ Pihak ketiga yang terakreditasi Jangka waktu sertif. 2 – 6 bulan 3 – 6 bulan Biaya dan Upah Validasi 1500 Euro (2050 $) Verifikasi 5000-40000 USD 8000-15000 Euro (10900-20500 USD) + CCBS 2000-5000 Euro (2700-6800 $) Upah sertifikat CO2 0,5 Euro (0,68 USD per sold VER Penawaran proyek climate forestation tahun 2009 Proyek terdaftar 5 1 Proyek dalam 8 5 pipeline Carbon terdaftar dan pencegahan double counting Pendaftaran karbon Pendaftaran „online‟
5 5.1 6 6.1 6.2 7 7.1 7.2 7.3 8 8.1 8.2
8.3 9 9.1 9.2 10 10.1
11 11.1 12 12.1
Keuntungan bersih positif terkait iklim masyarakat dan biodiversity Semua proyek terkait lahan
Tranparansi Informasi proyek ** yang dipublikasikan CO2, harga sertifikat Dugaan CO2, harga Harga premium tahun 2009
Voluntary Carbon Standar (AFOLU)
Standar dan Standar Plan Vivo
Kredit karbon berkualitas tinggi dari hutan yang dikelola secara lestari Proyek yang mengkonversi lahan tidak berhutan menjadi berhutan
Suplai kredit karbon dari negara berkembang
Ex-ante
Ex-ante dan Ex-Post
Terciptanya expost kredit karbon yang kredibel Penghijauan/ Reboisasi/ revegetation, ALM, IFM, REDD Ex-Post
11 Desember 2007 Internasional
Tidak ada batasan Internasional
Tdk ada batasan Internasional
A/R CDM/ Analisis Keuangan
Analisis Penghambat/ Praktek Umum/ A/R CDM
A/R CDM/ Metodologi VCS yg diakui
Metodologi dikhususkan utk proyek tertentu/ A/R CDM
A/R CDM/ Metodologi VCS yg diakui
Minimal 10%
10-60%
*** **
* *
Direkomendasi-kan 3-5 tahun √ stl penerbitan kredit karbon 3 – 18 bulan
5 tahun insentif keuangan √
5000-12500 USD 15000-30000 USD
5000-12500 $ 15000-30000 USD
0,30 USD per sold VER
0,04 USD per sold VER
3 2
-
Pendaftaran „online‟
APX, Caise des Deposits, T21, BNYM
***
**
*
10-20 Euro (14-27 USD)
8 – 30 USD
12 – 18 USD
Penghijauan/ Reboisasi, Agroforestri, IFM, REDD
2 – 4 bulan
Sumber : Lampiran II Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009, tgl 22 Mei 2009
37
2.4
Interaksi Ekosistem Mangrove dan Absorbsi Karbon
2.4.1 Ekosistem Mangrove Informasi tentang distribusi mangrove global diperoleh dari World Resources 1986 yang disusun oleh World Resources Institute dalam Twilley (1992) melaporkan bahwa terdapat 24 juta hektar mangrove berada di wilayah tropis yang merupakan ekosistem dominan di wilayah delta, laguna dan estuaria. Perkiraan lain menyebutkan bahwa luas kawasan mangrove berkisar antara 15,47 juta hektar sampai 30 juta hektar, dengan rata-rata 21,8 juta hektar (Lugo et al. 1990). Estimasi lain (FAO 1994 in Kusmana 2003) menyebutkan sekitar 16,530 juta ha, tersebar di Benua Asia 7,441 juta ha, Afrika 3,258 juta ha dan Amerika 5,831 juta ha. Kawasan mangrove di tiap negara dapat dikelompokkan atas empat sabuk Lintang Utara dan Selatan (00 - 100, 100 - 200, 200 - 300, dan 300- 400). Area mangrove terbesar berada pada wilayah 00-100 dengan wilayah seluas 10,07 juta hektar (Twilley et al. 1992). Sementara itu Chapman (1975) in Kusmana (2003) membagi penyebaran mangrove ke dalam dua kelompok tersebar dari daerah tropika sampai 320LU dan 380LS, yaitu: (1) The Old World Mangrove meliputi : Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia Tenggara, Jepang, Australia, Filipina, New Zealand, Kepulauan Pasisfik dan Samoa. Kelompok ini disebut Grup Timur, (2) The New World Mangrove meliputi : pantai Atlantik dari Afrika dan Amerika, Meksiko dan Pantai Pasifik Amerika dan Kepulauan Galapagos, kelompok ini disebut Grup Barat. Sementara itu dalam konteks penelitian ini total hutan mangrove di Indonesia diperkirakan sekitar 3,735 juta ha (Departemen Kehutanan 1997 in Kusmana 2003) dan merupakan yang terluas di dunia. Selanjutnya diikuti Brasil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta), Australia (0,97 juta ha) dan lainnya menyebar di beberapa negara kawasan tropis. Eksositem mangrove adalah ekosistem khas daerah tropis yang tidak akan dijumpai di daerah temperate. Hutan mangrove masih dijumpai di daerah yang jika musim dingin, suhu tidak turun dibawah 16oC. Ekosistem hutan mangrove adalah sebutan umum bagi suatu jenis komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang khas yang mampu tumbuh dan berkembang di perairan payau dan terdapat didaerah intertidal/pasang surut (Damar 2009). Kondisi fisik perairan yang sesuai bagi tanaman mangrove adalah gerakan air yang minimal dan adanya suplai air tawar yang kontinyu baik dari sungai ataupun air tanah.
Itulah sebabnya, mengapa ekosistem mangrove banyak dijumpai di daerah
muara sungai dan bersubstrat lumpur. Substrat lumpur adalah hasil proses pengendapan
38
muatan padatan tersuspensi yang dibawa oleh sungai dari daratan. Lambat laun, dengan sistem perakaran mangrove yang khas, sedimen yang datang ditahan hingga akhirnya membentuk sedimen baru di kawasan mangrove. Salinitas air merupakan faktor penting bagi kehidupan mangrove. Perbedaan salinitas ini juga yang menentukan perbedaan jenis tanaman mangrove antar satu wilayah dengan wilayah lainnya.
2.4.2
Biodiversitas Ekosistem Mangrove Biodiversity di ekosistem hutan mangrove sangat tinggi, mengingat ekosistem
hutan mangrove adalah habitat dari berbagai jenis biota, baik biota perairan maupun darat.
Di Indonesia jenis-jenis pohon mangrove yang dikenal misalnya pohon bakau
(Rhizophora spp), pedada (Rhizophora spp), tanjang (Bruguiera spp), api-api (Avicennia spp) dan Nypa. Biota daratan sejati hanya mampu hidup di bagian yang tidak terjamah oleh pasang air laut, biasanya pada cabang-cabang pohon mangrove yang tinggi. Contoh: monyet, ular dan burung.
Pada bagian bawah tanaman mangrove, yaitu bagian akar
terdapat berbagai jenis biota air dan dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe: (a) hidup pada substrat keras, yakni pada akar pohon mangrove, (b) menghuni dasar hutan mangrove berupa lumpur. Beberapa jenis kelompok biota laut yang berhabitat di substrat perairan mangrove antara lain moluska, krustasea dan beberapa ikan. Moluska terdiri atas gastropoda (keong) dan pelecypoda (kerang).
Krustasea diwakili oleh jenis-jenis
kepiting besar, antara lain kepiting (Scylla serrata) yang biasa diperdagangkan di Indonesia, yang dalam bahasa Inggris dinamakan mangrove crab, dan bermacam udang. Diantara kepiting masih dapat disebut kepiting laga (Uca) dan kepiting hantu (Dotilla). Kepiting-kepiting yang disebutkan terakhir ini adalah pamakan detritus. Biodiversity biota penghuni ekosistem mangrove disajikan pada Gambar 6.
39
Sumber: Damar (2009)
Gambar 6 Biodiversity di ekosistem mangrove.
2.4.3
Fungsi Ekologis dan Mitigasi Hutan Mangrove Hutan mangrove memiliki fungsi dan peranan penting dalam kehidupan umat
manusia baik sebagai fungsi ekologis maupun sebagai fungsi mitigasi dalam mengabsorbsi CO2. Fungsi ekologis hutan mangrove meliputi : (a) Pencegah abrasi pantai; (b) Sebagai nursery ground, feeding ground, spawning ground ; (c) Sebagai surface runoff; (d) Sebagai penghasil sejumlah besar detritus. Fungsi ekologis hutan mangrove sebagai daerah asuhan dan tumbuh besar (nursery ground) dan daerah mencari makanan (feeding ground) serta daerah pemijahan (spawning ground) bermacam ikan dan udang yang komersial penting dan hidup di perairan pantai dan di perairan lepas pantai. Kawasan ini merupakan tempat ideal berbagai jenis ikan dan udang.
Sebagai surface runoff yaitu berfungsi sebagai
perangkap sediment yang diangkut oleh aliran air permukaan
dan juga sebagai
perangkap bahan-bahan pencemar tertentu yang akan diikat oleh substrat. Hutan mangrove sebagai penghasil sejumlah besar detritus yaitu sejumlah partikel serasah daun dan dahan yang rontok menjadi serasah.
Beberapa literatur
menunjukkan bahwa hutan mangrove dapat menghasilkan 6 ton detritus ha-1. Detritus akan dimanfaatkan oleh konsumen detritus setempat.
Sebagian dari detritus akan
diekspor ke laut melalui arus surut dan menjadi makanan bagi konsumen detritus (berbagai ikan dan udang). Detritus juga akan mengalami dekomposisi bakterial yang menghasilkan berbagai mineral hara seperti garam-garam nitrat dan fosfat serta bahanbahan organik terlarut.
Nitrat dan fosfat ini akan diekspor ke perairan laut yang
40
berbatasan dengan hutan mangrove, sehingga menyuburkan perairan pada kawasan ini. Sementara itu senyawa-senyawa organik terlarut merupakan makanan bagi bermacam hewan penyaring makanan (filter feeders). Hutan mangrove merupakan bagian dari blue carbon yaitu salah satu sumber karbon dari ekosistem pesisir dan lautan dan berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan emisi CO2 yang merupakan gas rumah kaca. Proses fotosintesis pada tumbuhan dapat merubah karbon anorganik (CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai CO2. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) dibandingkan dengan sumber karbon (carbon source). Fakta ilmiah menunjukkan dimana ekosistem pesisir dan lautan mampu menyerap emisi CO2 atmospherik ± 42%, ekosistem terestrial sekitar 56% dan lainnya 2% (Cook 2010). Pada proses fotosintesis, semua jenis mangrove dapat mengabsorbsi CO2 di atmosfer.
Fotosintesis merupakan salah satu cara asimilasi karbon karena dalam
fotosintesis karbon bebas dari CO2 difiksasi (diikat) menjadi gula sebagai molekul penyimpan energi (Adenosin Tri Phospat). Reaksi fotosintesis adalah sebagai berikut: 6H2 O + 6CO2 + cahaya
C6H12O6 (glukosa) + 6O2 + energi (ATP).
Beberapa faktor yang dapat menghambat proses penyerapan karbon dalam bentuk CO2 yaitu : (a) Intensitas cahaya. Laju fotosintesis maksimum ketika banyak cahaya, (b) Konsentrasi karbon dioksida. Semakin banyak karbon dioksida di udara, makin banyak jumlah bahan yang dapat digunakan tumbuhan untuk melangsungkan fotosintesis, (c) Suhu. Enzim-enzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Umumnya laju fotosintensis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga batas toleransi enzim, (d) Kadar air. Kekurangan air atau kekeringan menyebabkan stomata menutup, menghambat penyerapan karbon dioksida sehingga mengurangi laju fotosintesis, (e) Kadar hasil fotosintesis. Jika kadar hasil fotosintesis seperti karbohidrat berkurang, maka laju fotosintesis akan naik. Bila kadar hasil fotosintesis bertambah atau bahkan sampai jenuh, maka laju fotosintesis akan berkurang, (f) Tahap pertumbuhan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa laju fotosintesis jauh lebih tinggi pada tumbuhan yang sedang berkecambah ketimbang tumbuhan dewasa. Hal ini dikarenakan tumbuhan berkecambah memerlukan lebih banyak energi dan makanan untuk tumbuh.
41
Hasil penelitian Twilley et al. (1992) menunjukkan bahwa kawasan pesisir tropika adalah wilayah yang secara biogeokimia paling aktif dan merepresentasikan carbon sink potensial yang penting di biosfir ini. Laju dari produktivitas akumulasi biomassa dipengaruhi oleh kombinasi dari faktor-faktor global seperti posisi (latitude) dan faktor lokal seperti hidrologi. Penyimpanan Carbon dalam biomassa mangrove diperkirakan mencapai 4,03 Pg C (Peta=1015) dan 70 persen berada di pesisir dengan posisi lintang dari 00 hingga 100. Rata-rata produksi kayu adalah 12,08 Mg ha-1th-1 (Mega=106) dimana nilai ini ekuivalen dengan 0,16 Pg C th-1 yang tersimpan dalam biomassa mangrove. Sementara itu, karbon yang terkumpul dalam sedimen adalah 0,02 Pg C th-1.
2.4.4 Carbon Sink dalam Mangrove Biomassa Rosot karbon (carbon sink) merupakan media atau tempat penyerapan dan penyimpanan karbon dalam bentuk bahan organik, vegetasi hutan, laut dan tanah (CIFOR 2009). Distribusi biomassa mangrove di kawasan tropis menunjukkan nilai yang lebih tinggi
pada area
yang lebih rendah. Terdapat variasi dari biomassa
mangrove pada ketinggian yang sama. Potensi biomassa maksimum pada 100 dan 350 adalah berkisar antara 100 dan 400 Mg ha-1. Twilley et al. (1992) menemukan bahwa dengan meningkatnya salinitas, nilai dari parameter struktural dan fungsional akan menurun. Tabel 2
Perkiraan global karbon yang tersimpan dalam biomassa mangrove Komponen
Luas area Mangrove (x 106 hektar) Biomassa (Mg ha-1) Di atas permukaan (standard deviasi) Di bawah permukaan (standar deviasi)
00 – 10 0
Posisi Lintang 200 - 300
100- 200
13,28
300 - 400
Total
3,14
3,14
0,33
24,00
283,6 (90,5) 171,2 (123,6)
141,6 (77,8) 171,8
120,6 (16,5) 69,2
104 (64,2) 95,5 (76,3)
178,2 (112,2) 146,3 (110,2)
Biomassa (Pg masa kering) Di atas permukaan Dibawah permukaan Total
3,78 2,27 6,04
1,03 1,25 2,27
0,38 0,22 0,60
0,03 0,03 0,06
4,98 3,71 8,69
Biomassa (Pg C) Di atas permukaan Dibawah permukaan Total
1,70 1,02 2,72
0,46 0,56 1,02
0,17 0,10 0,27
0,01 0,01 0,02
2,34 1,69 4,03
Sumber : Twilley RR, Chen RH & Hargis T (1992).
42
Produksi Kayu Sebagian besar faktor yang mempengaruhi produktivitas lahan basah di pesisir (coastal wetland) berhubungan dengan perubahan fisik, seperti lingkungan kimiawi, termasuk radiasi matahari, temperatur, gelombang, konsentrasi nutrient, tipe tanah, drainase, konsentrasi oksigen dan pH. Jenis species tanaman yang berada di wilayah intertidal juga dapat mempengaruhi pola produktivitas, karena sejumlah tanaman telah tumbuh lebih tinggi secara intrinsik dari pada yang lainnya. Dinamika Serasah Serasah yang dihasilkan di hutan mangrove membuktikan bahwa hutan ini merupakan sumber materi organik utama dan nutrisi bagi lingkungan sekitar pesisir (Twilley 1992).
Oleh sebab itu dinamika serasah hutan
mangrove mencakup
produktivitas, dekomposisi, dan pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar yang menyatakan bahwa hutan mangrove berhubungan dengan
ekosistem pesisir.
Produktivitas limbah hutan mangrove di seluruh dunia berkisar dari sekitar 2 sampai 16 Mg ha-1 th-1 lebih kecil nilainya dibanding di daerah yang dekat dengan khatulistiwa. Berdasarkan pada pengamatan di hutan-hutan mangrove, tingkat maksimum pembuangan serasah adalah sekitar 14 Mg ha-1 th-1 dari 0° sampai 20° garis lintang. Diluar daerah ini, pembuangan serasah menurun menjadi di bawah 10 Mg ha-1 th-1. Batas produktivitas yang lebih kecil adalah 8 Mg ha-1 th-1di derajat garis lintang yang lebih rendah, dibandingkan dengan kurang dari 2 Mg ha-1 th-1 untuk daerah subtropis. Keadaan ini menunjukkan bahwa produktivitas serasah tidak banyak terpengaruh oleh letak berdasarkan garis lintang, tetapi juga tergantung pada keadaan biomassa. Pembuangan serasah
dan detritus dari hutan mangrove memiliki hubungan
dengan hidrologinya. Jumlah pengeluaran karbon organik dari hutan mangrove di muara bergantung pada volume pasang air yang masuk ke hutan setiap bulan, maka jumlah pembuangan berubah tiap musim dikarenakan fluktuasi tinggi air laut musiman. Hujan juga dapat meningkatkan pembuangan karbon organik dari hutan bakau terutama karbon organik terlarut. Hasil penelitian Twilley et al. (1992) menunjukkan bahwa jumlah total karbon organik dari hutan-hutan bakau di muara yang beberapa kali dibanjiri di Barat Daya Florida adalah 64 gC m-2 th-1 dan hampir 75% merupakan karbon organik terlarut. Pembuangan detritus utama dari hutan bakau pinggiran di selatan Florida diperkirakan berjumlah 186 gC m-2 th-1
dibandingkan dengan 420 gC m-2 th-1 untuk sebuah hutan
bakau sungai di Australia. Perkiraan amplitudo tidal rata-rata di tiga jenis hutan ini adalah masing-masing: 0.08 m; 0,5 m, dan 3 m. Apabila amplitudo tidal meningkat,
43
jumlah bahan organik yang bersimpang-siur di pinggiran hutan meningkat pula. Keadaan produktivitas limbah dan pembuangannya dinyatakan bahwa seiring energi geofisis meningkat, maka pergerakan bahan organik antara hutan-hutan bakau dan perairan di muara sekitarnya akan meningkat pula.
2.4.5
Sumber Karbon (Carbon Source) dalam Ekosistem Pesisir Di wilayah pesisir terdapat tiga ekosistem utama yang mempengaruhi siklus
karbon global, yaitu ekosistem terestrial (daratan), ekosistem pesisir dan ekosistem lautan. Secara diagramatis, tiga ekosistem utama tersebut disajikan pada Gambar 7.
ATMOSPHERIC RESERVOIR P
P
R TERRESTRIAL ECOSYSTEM
E
R COASTAL ECOSYSYTEM
B SEDIMENT
SOIL
Gambar 7
E
R OCEAN ECOSYSTEM
Tides
Rivers B
P
B SEDIMENT
Diagram konseptual tiga ekosistem utama yang mempengaruhi siklus karbon global (P=production, R=respiration, E=Exchange, B=Burial)
Ekosistem pesisir meliputi lahan basah (wetland), estuaria, zona litoral mulai dari batas air tawar hingga kontinen. Area ini meliputi 5 persen dari total lahan, akan tetapi proses biogeokimia menjamin potensi carbon sinks dalam biosfir. Contohnya, pengaruh pembuangan air sungai terhadap lautan setidaknya terdiri atas dua hal, yaitu : (a) pembuangan partikel dan larutan organic carbon, (b) nutrient yang dibawa dari sistem sungai ke lautan akan mendorong produksi baru dari wilayah biogenik. Estimasi jumlah karbon di ekosistem pesisir didasarkan pada perkiraan eksport karbon pada debit sungai aktual dan rata-rata partikel ditambah konsentrasi karbon organik terlarut sebesar 20 mg/L (Meybeck 1982; Milliman & Meade 1983 in Twilley 1992).
Metode ini memperkirakan transport C organik untuk daerah
pesisir dunia sebesar 0,36 PgC th-1, hampir sama dengan rata-rata perkiraan dari aliran sungai (lihat Tabel 3 dan Tabel 4).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
hampir sebesar 0,26 Pg C th-1 (72,22%) dari nilai
0,36 Pg C th-1 (360 GtC th-1)
44
diperkirakan diekspor oleh sungai yang berada pada
kawasan 0o-10o lintang.
Sementara itu dalam hal Total Organic Carbon (TOC) pada kawasan lintang 0o-10o, kontribusi sungai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hutan mangrove. Dengan demikian, input C ke ekosistem mangrove pada kawasan lintang 10o-20o, sekitar 75% bersumber dari aliran sungai.
Tabel 3
Estimasi total carbon organik dari sungai utama ke pesisir dunia Total Carbon Organik (PgC th-1) 0,37 0,383 0,302 0,33 0,35
Referenai Schleisinger and Melack 1981 Meybec 1981 Meybeck 1981 Dengens et al. 1991 Rata-rata
Sumber : Twilley RR, Chen RH & Hargis T (1992).
Tabel 4 Estimasi carbon source dan carbon sink di ekosistem pesisir Sumber/Rosot/Ekosistem SUMBER (SOURCES) Suplay dari ekosistem lain (Allochtonous) Sungai Lahan basah (wetlands) Produksi Primer (Netto) Beting Sungai Estuaria/Delta Tumbuhan air (Macrophyta) TOTAL (SOURCES) SEDIMENT SINKS Terumbu Karang (coral reef) Beting (Shelf) Estuaria WETLAND SINKS Mangrove Habitat kritis bagi oganisme (Marshes) TOTAL (SINK)
Nilai (Pg C th-1)
Referensi
0,44 0,36 0,08
Twilley 1992 Twilley 1992
6,65 5,40 0,92 0,33 7,09
Walsh 1984 Walsh 1984 Walsh 1984
0,41 0,01 0,20 0,20
Walsh 1984 Berner 1982 Walsh 1984
0,205 0,18 0,025 0,605
Twilley 1992 Hopkinson 1988
Sumber : Twilley RR, Chen RH & Hargis T (1992).
Dalam konteks wilayah Indonesia menunjukkan bahwa
produktifitas primer
penyerapan CO2 oleh ekosistem pesisir dan laut sekitar 300 MtCO2 th-1 dan 3 MtCO2 th-1 diantaranya diendapkan (dideposit) ke dasar laut (PKSPL-IPB 2009).
45
2.5
Perubahan Lingkungan Global dan REDD+
2.5.1. Perubahan Lingkungan Global Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dua komitmen internasional penting yang berhubungan dengan perubahan iklim global dan mekanisme pembangunan bersih, yaitu ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang (UU) No 6/1994 dan ratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17/2004. Peratifikasian ini merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam mendukung upaya internasional mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi pada tingkat yang tidak membahayakan iklim global. GRK pada konsentrasi yang terlalu tinggi di atmosfer bumi diperkirakan akan membahayakan lingkungan global karena dapat menimbulkan masalah global warming (CIFOR 2005; Boer 2009). Efek rumah kaca disebabkan GRK : karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), dan uap air (H2O) di atmosfir secara alami menyerap radiasi inframerah yang bersifat panas dari sinar matahari kemudian dipancarkan kembali ke atmosfer bagian bawah. Tanpa GRK alami tersebut suhu bumi akan 340C lebih dingin dari yang dialami saat ini. Masalahnya adalah seiring dengan meningkatnya taraf hidup umat manusia, emisi GRK meningkat dengan tajam karena meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil (BBF) sejak revolusi industri. Peningkatan emisi GRK dimulai sejak revolusi industri pada pertengahan tahun 1880-an. Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat dari waktu ke waktu dengan cepat. Pada tahun 1850, ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO2 di atmosfir baru 290 ppmv (part per million by volume), saat ini 150 tahun kemudian telah mencapai 350 ppmv (Mudiyarso 2003; Lubowski 2008).
Apabila tidak ada upaya untuk menekan
emisi GRK ini, maka diperkirakan dalam waktu 100 tahun (tahun 2100) atau bahkan bisa lebih cepat, konsentrasi gas rumah kaca, khususnya CO2 akan mencapai dua kali lipat (580 ppmv) dari konsentrasi saat ini. Peningkatan sebesar ini diperkirakan akan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu global antara 1oC sampai 4.5oC dan tinggi muka air laut sebesar 60 cm. Naiknya muka air laut akan mempersempit luas daratan dan menenggelamkan beberapa negara kepulauan kecil, termasuk Indonesia, sementara itu peningkatan suhu global akan mengarah pada perubahan iklim. Secara diagramatik disajikan pada Gambar 8. Sementara itu Gambar 9 menunjukkan nilai rata-rata tahunan suhu udara global di atas permukaan bumi antara tahun 1861 sampai 1995. Pada grafik tersebut terlihat
46
pula anomali suhu permukaan bumi terhadap suhu rata-rata dari tahun 1961 sampai 1990. Antara 1975 sampai 1995 terdapat anomali positif yang menunjukkan kenaikan suhu, terutama terlihat signifikan pada tahun 1970-1980. Adanya anomali positif kenaikan suhu tersebut sebagian besar diakibatkan oleh emisi antropogenik, yaitu emisi GRK yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti deforestasi dan degradasi hutan serta penggunaan bahan bakar fosil. Stern et al. (2007) memprediksi sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energy 65% (power 24%; transportasi 14%; gedung 8%; industri 14%; energy lainnya 5%) dan emisi non energi 35% ( limbah 3%; pertanian 14%; dan konversi lahan 18%).
Sumber: Climate Change 1995, The Science of Climate Change Contribution of working group 1 to the second assessment report of the IPCC, UNEP and WMO. Cambridge University Press, 1995. Sea level rise over the last century adapted from Gornitz & Lebedeff, 1967. .
Gambar 8 Peningkatan permukaan air laut akibat pemanasan global.
Sumber: Temperature 1850-1999, Climate Research Unit. University at East Anglo, Norwich UK. Projection. IPCC report 95
Gambar 9 Proyeksi perubahan temperatur global
47
Data lainnya menunjukkan sekitar 1,7 milyar tCO2 th-1 dilepaskan sebagai akibat konversi lahan terutama di kawasan hutan tropis. Deforestasi mewakili sekitar 20% emisi karbon dunia saat ini yang prosentasinya lebih besar dari emisi yang dikeluarkan oleh sektor transportasi global (14%) dengan penggunaan bahan bakar fosil yang intensif. Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia merupakan kontributor terbesar emisi nasional. Sumber penting dalam periode 10-15 tahun terakhir berasal dari kebakaran hutan dan drainase lahan gambut dengan emisi sekitar 0,5 milyar tCO2 th-1 (Tacconi 2003; Putz et al. 2008; CIFOR 2009). Kecenderungan dampak tersebut akan menganggu kestabilan ekosistem global, khususnya ekosistem wilayah pesisir Indonesia. Oleh karena itu melalui konferensi di Bangkok tahun 2009, Pemerintah Indonesia menunjukkan kesungguhannya untuk dapat berpartisipasi dalam rangka memerangi perubahan iklim. Secara tegas Presiden RI berkomitmen dengan pembiayaan sendiri akan memangkas emisi sebesar 26% (676 MtCO2e) pada tahun 2020 (perhitungan nasional emisi Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,6 GtCO2e : DNPI 2009) serta akan menurunkan emisi menjadi 41% (1,1 GtCO2e) pada tahun 2050 apabila ada komitmen kerjasama pembiayaan internasional (WIIP 2009; Dephut 2009). Dalam rangka merealisasikan komitmen tersebut tidaklah mudah, sehingga perlu adanya program terencana dan terintegrasi secara berkesinambungan. Program mitigasi dan adaptasi merupakan dua langkah penting yang dapat ditempuh dalam rangka memperjuangkan terpenuhinya target tersebut.
Secara definitif mitigasi merupakan
langkah pengurangan dan adaptasi sebagai langkah penyesuaian diri (WIIP 2009). Definisi lain berasal dari CIFOR (2009) yang menyebutkan bahwa mitigasi merupakan tindakan untuk mengurangi emisi GRK dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Sedangkan konsep
adaptasi merupakan
tindakan penyesuaian oleh sistem alam atau manusia yang berupaya mengurangi kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim (CIFOR 2008). Konsep mitigasi erat kaitannya dengan cara mengatasi sumber atau penyebab terjadinya perubahan iklim. Reduksi emisi dari penggunaan bahan bakar fosil serta upaya penanaman pohon untuk menyerap karbon merupakan contoh konkrit dalam mitigasi perubahan iklim itu. Sementara itu konsep adaptasi merupakan bidang baru dalam penelitian kebijakan sumberdaya alam di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
48
Program adaptasi berbasis masyarakat pesisir sampai saat ini belum banyak dilakukan. Program ini berusaha mengurangi tingkat kerentanan masyarakat pesisir yang terkena dampak langsung dari perubahan iklim itu. Kerentanan dalam hal ini adalah tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang sangat rentan (vulnerable) terhadap perubahan cuaca. Jika hal tersebut terganggu maka sulit bagi mereka untuk dapat pulih kembali. Oleh karena itu dalam konteks penelitian ini perlu disusun suatu program mitigasi dan adaptasi berbasis masyarakat dengan penekanan pada peningkatan mata pencaharian alternatif.
2.5.2. REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation) REDD merupakan salah satu strategi yang diterapkan Indonesia dalam melawan pemanasan global pada konvensi Conference Of the Party/COP-13 tahun 2007 di Nusa Dua Bali. Konsep ini merupakan suatu langkah positif upaya penurunan emisi GRK melalui pencegahan konversi dan degradasi hutan. Telah disepakati oleh para pihak penandatangan konvensi tersebut dimana negara berkembang yang berhasil melakukan upaya pencegahan konversi dan degradasi hutan
akan mendapatkan bantuan dan
insentif dari negara maju. Bahkan melalui beberapa sumber pendanaan internasional seperti World Bank Bio Carbon Fund dan Forest Carbon Partnership Facility (keduanya multilateral) tidak hanya sekedar mendapatkan bantuan dan insentif, tetapi juga dapat melakukan perdagangan karbon (carbon credit purchase) (Dutschke et al. 2008). Sementara itu REDD+ adalah sebuah kerangka kerja REDD yang diperluas dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari atau peningkatan cadangan karbon hutan melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi. Tujuannya agar partisipasi untuk menerapkan REDD semakin luas, serta untuk memberikan penghargaan kepada negara-negara yang sudah berupaya melindungi hutannya. Pemerintah Indonesia telah merespon berbagai dukungan internasional terhadap upaya penurunan GRK itu, diantaranya dengan menerbitkan berbagai peraturan agar dapat diimplementasikan. Berkaitan dengan REDD+ didasarkan pada landasan hukum Peraturan Presiden (Prepres) No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor: 30/Menhut-II/2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), Permenhut Nomor: P.36/Menhut-II/2009 tentang tata cara perijinan
49
usaha pemanfaatan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL). Relevansi dengan penelitian ini menunjukkan bahwa upaya pengurangan emisi GRK 26% pada tahun 2020 dan menurunkan emisi menjadi 41% pada tahun 2050 merupakan suatu keniscayaan dapat direalisasi. Hal ini dapat diintegrasikan dengan berbagai konsep kerjasama dengan lembaga-lembaga pendanaan internasional terutama yang berorientasi pada mekanisme pasar/perdagangan karbon (carbon crediting). Terdapat variasi sumber pendanaan untuk merealisasikannya baik yang bersifat multilateral, bilateral maupun sektor swasta atau NGO. Salah satu contoh kerjasama pasar karbon sukarela yang sedang dilaksanakan saat ini adalah antara Accionatura (NGO dari Spanyol) dengan Wetlands International Indonesia Programme (WIIP). Keduanya memiliki komitmen untuk andil dalam upaya global memerangi perubahan iklim melalui mekanisme “carbon offset” dalam proyek BB-COP (Banten Bay Carbon Offset Project). Proyek ini diprediksi dapat memberikan kontribusi 10.000 metric ton CO2 equivalent selama periode proyek 15 tahun (20092024) melalui penanaman sekurang-kurangnya 50.000 bibit mangrove. Penanaman ini dilakukan di atas lahan tambak terlantar di Teluk Banten seluas 20 hektar, terletak di dekat Cagar Alam Pulau Dua Propinsi Banten. Berdasarkan Voluntary Carbon Standar (VCS) tahun 2007 terdapat empat kategori kegiatan berkaitan dengan AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Uses). Keempat kategori tersebut yaitu : (1) Afforestation, Reforestation and Revegetation (ARR), (2) Agricultural Land Management (ALM), (3) Improved Forest Managament (IFM), (4) Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD). Berdasarkan kategori tersebut, contoh konsep kerjasama antara Accionatura Spanyol dengan WIIP Indonesia termasuk kategori kerjasama ARR. Kegiatan yang memenuhi syarat dalam ARR meliputi establishment, meningkatkan atau merestorasi tutupan vegetatif melalui penanaman, pengecambahan maupun proses regenerasi buatan (artificial regeneration process) oleh manusia. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan stok karbon yang tersimpan dalam biomassa kayu dan dalam kasus tertentu termasuk karbon yang tersimpan dalam tanah (WIIP 2009). Sementara itu dalam kaitannya dengan konteks penelitian ini, maka pengelolaan TNS dapat menggunakan mekanisme REDD untuk mendapatkan kredit karbon dari pasar karbon sukarela maupun dari pasar karbon wajib (compliance market) setelah tahun 2012.
50
Pasar karbon sukarela memiliki peluang lebih terbuka untuk melakukan transaksi kredit karbon tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Sumber pendanaan internasional multilateral, bilateral dan swasta No A
Sumber
9 10 11 12
MULTILATERAL World Bank BioCarbon Fund Forest Carbon Partnership Facility Congo Basin Forest Partnership Congo Basin Forest Fund The Forest Investment Programme FAO National Forest Programme Facility FAO National Forest Monitoring and Assessment Programme International Tropical Timber Organization (ITTO) MIA Project Regional Development Bank Global Environment Facility (GEF) Adaptation Fund
13 B 1
UN REDD Program BILATERAL Norwegian Climate and Forest Initiative
1 2 3 4 5 6 7 8
2 3
C
Australia‟s International Forest Carbon Initiative Germany
Jumlah (juta)
USD 91,9/ 4 th (USD 300)**/5-10 th USD 230/undifined £100/ undifined (USD 100)/undifined -1 USD 48 th Dukungan tiap negara -1
Kesia pan
X X X X X X X
USD 16 th
X
€0,04/projek -1 USD 94 th USD 109 Beberapa ratus dolar per tahun USD 35
X X X X
-1
Tujuan Proyek Kredit ImpleKarbon mentasi X X
X
X X X X
X
> USD 600 th (total USD 2500) AU$200
X
X
X
X
€500 2009-2012 dan -1 tambahan €500 th setelah hasil pelelangan EUA
X
X
Belum jelas
NGO DAN SEKTOR SWASTA Voluntary Carbon Market ± USD 38,8 (2007) X World Wildlife Fund (nonprofit) Belum pasti X The Nature Conservancy (nonprofit) $5 utk FCPF $38 X X Katoomba Ecosystem Service Incubator $0,001-0,005/proyek X Climate Change Capital (private Belum pasti X X investment bank) 6 Macquarie Group Limited (investment Belum pasti X X banking and financial services) 7 Equator Environmental LLC USD 100 X X 8 New Forests, Pty Ltd. USD 50 X X 9 Terra Global Capital LLC USD 150-$250 X X 10 Sustainable Forest Management Belum pasti X X Sumber: Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD): An Options Assessment Report. Prepared for The Government of Norway. Meridian Institute (2009). http://www.REDD-OAR.org. 1 2 3 4 5
51
Boer et al. (2009) menyatakan bahwa sumber pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan karbon kehutanan secara umum berasal dari tiga sumber. Pertama ialah (1) Non-open market, yaitu sumber dana publik (CSR nasional/internasional atau dana publik lainnya), (2) Standar market (voluntary market dan compliance market), yaitu sumber pendanaan dari pasar karbon (mekanisme Kyoto dan non-Kyoto), dan (3) Dana kerjasama bilateral dan multilateral yang diperuntukkan bagi dukungan pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim atau dana hibah untuk membantu negara berkembang dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan kegiatan REDD+ atau yang disebut dana Readiness dan investasi. Kondisi harga kredit karbon REDD saat ini dari pasar sukarela (voluntary market) berkisar antara 10-18 USD tC-1. Data hasil kajian tim Indonesia Forest and Climate Alliance 2007 memprediksi potensi keuntungan finansial Indonesia dari REDD berkisar antara 1 miliar USD-18 miliar USD th-1 tergantung asumsi yang digunakan. Keuntungan finansial terendah diprediksi sekitar 1 miliar USD th-1 (Asumsi: laju penurunan deforestasi 28% dari laju deforestasi saat ini 2,8 juta ha th-1, kandungan karbon hutan 300 tC ha-1 dan harga karbon 3 USD tCO2-1 (Boer 2009). Sementara itu keuntungan finansial tertinggi diprediksi 18 miliar USD th-1 (Asumsi : laju penurunan deforestasi 50% dari laju saat ini, kandungan karbon hutan 300 tC ha-1 dan harga karbon 20 USD tCO2-1). Keuntungan finansial tersebut setara apabila menggunakan asumsi harga komoditi tanaman semusim dan kebun sawit yang ada saat ini. Penghasilan yang diperoleh jika hutan dikonversi menjadi lahan pertanian tanaman semusim ekuivalen dengan 1 USD tCO2-1, sedangkan jika dikonversi menjadi kebun sawit ekuivalen dengan 20 USD tCO2-1 (Boer 2009). 2.6
Pendekatan Penilaian Sumberdaya
2.6.1 Konsep Dasar Konsep dasar pemahaman sumberdaya telah lama dikembangkan oleh para ilmuwan ketika dihadapkan pada suatu realitas dimana sumberdaya merupakan salah satu faktor kunci dalam fungsi produksi. Sumberdaya merupakan segala sesuatu baik langsung maupun tidak langsung yang memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia (Randall 1997; Adrianto 2006). Dalam konteks penelitian ini, sumberdaya dapat dikatakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi makhluk hidup. Sumberdaya
pesisir seperti mangrove memiliki
peranan ekonomi dan peranan ekologis, sehingga
dapat dieksploitasi
maupun
52
dipertahankan dan dilindungi sebagai kawasan konservasi. Analisis penilaian dengan berbagai pendekatan terhadap sumberdaya ini pun telah banyak dikembangkan oleh para ilmuwan. Tujuannya adalah untuk monetisasi barang dan jasa dari sumberdaya alam tersebut guna memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan
generasi saat ini dan
generasi mendatang. Apabila kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi, maka potensi kegunaannya adalah berupa keuntungan dari jasa dan lingkungan. Kusumastanto (2000) menilai sumberdaya pesisir khususnya mangrove ditentukan oleh fungsi sumberdaya tersebut. Dari nilai ekonomi ini dapat dinyatakan bahwa tingkat kompleksitas teknik penilaian ekonomi akan selalu dihadapi dalam rangka pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, sehingga pendekatan antar disiplin (interdisciplinary approach) diperlukan dalam mengelola wilayah pesisir. Konsep pengertian sumberdaya yang dikembangkan Ress (1985) in Adrianto (2006) mengajukan suatu premis bahwa materi dikatakan sumberdaya apabila memenuhi dua pra-kondisi: (1) terdapat pengetahuan teknis untuk mengekstraksi maupun memanfaatkan sumberdaya tersebut, (2) harus ada demand terhadap materi tersebut. Jadi apabila tidak memenuhi keduanya, maka elemen tersebut sebagai barang netral (neutral stuffs) Sumberdaya mangrove memberikan manfaat (use value) pada masyarakat, baik secara langsung (direct use value) maupun tidak langsung (indirect use value). Secara langsung yaitu sebagai sumber penghasil kayu bakar dan arang, bahan bangunan, bahan baku pulp untuk pembuatan rayon, bahan pembuat obat-obatan, dan sebagainya. Secara tidak langsung hutan mangrove mempunyai fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan tebing sungai dari pengikisan atau erosi, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar. Dalam konteks penelitian ini, penulis mengajukan suatu premis
bahwa
mangrove memiliki fungsi tidak langsung lainnya sebagai “karbon sekuestrasi” dan “rosot karbon”. Definisi karbon sekuestrasi
dan rosot karbon dapat mengadaptasi
premis Angelsen (2008) yang menyatakan bahwa
karbon sekuestrasi
merupakan
proses pengikatan CO2 di atmosfer oleh tanaman berkhlorofil melalui fotosintesis kemudian menyimpannya dalam bentuk biomassa di berbagai bagian tanaman. Sementara itu, rosot karbon merupakan fungsi tanaman sebagai tempat penyimpanan karbon atau zat arang.
53
Berbagai manfaat fungsional dari proses ekologi, secara terus menerus berperan kepada masyarakat dan ekosistem. Selain itu juga mampu memberikan manfaat global, karena hutan mangrove dapat menyerap karbon dan mampu mengendalikan perubahan iklim. 2.6.2
Tipologi dan Pendekatan Penilaian Sumberdaya Tipologi valuasi ekonomi sumberdaya telah banyak dikembangkan para
ilmuwan: Barbier (1993), Barton (1994), Perman et al. (1996). Pearce & Turner (1990) menyusun taksonomi nilai ekonomi dalam terminologi Total Economic Value (TEV). Meskipun dalam beberapa hal Pearce & Turner (1990) ada sedikit berbeda dengan lainnya dalam membagi taksonomi dan menyusun formula TEV. Pearce & Turner (1990) berargumen bahwa total economic value merupakan penjumlahan dari actual use value, option value dan existence value. Nilai kegunaan aktual dan kegunaan pilihan dikatakan sebagai nilai ekonomi sumberdaya berbasis manfaat, sedangkan nilai eksistensi sumberdaya (existence value) dikatakan sebagai nilai ekonomi bukan berbasis manfaat (Kusumastanto 2000; Fauzi 2004; Adrianto 2006). Menurut ilmuwan lainya dikatakan bahwa total economic value merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis manfaat (use value) dan nilai ekonomi bukan berbasis manfaat (non-use value). Sementara itu use value terdiri dari kegunaan langsung (direct use value), kegunaan tidak langsung (indirect use value) serta kegunaan pilihan (option value). Secara diagramatik, valuasi ekonomi sumberdaya sebagaimana disajikan pada Gambar 10. Total Economic Value Use Value
Direct Use Value
Indirect Use Value
Non Use Value
Option Value
Bequest Value
Existence Value
Gambar 10 Taksonomi total economic value (TEV)
Barbier (1993) in Kusumastanto (2000) membagi tiga kategori dalam penilaian ekonomi sumberdaya: (1) impact analysis; (2) partial valuation; (3) total valuation. Impact analysis yaitu kerusakan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan pada
54
sistem pesisir, khususnya berupa dampak lingkungan. Metoda penilaiannya didasarkan pada besaran nilai dampak kerusakan yang terjadi. Selanjutnya Kusumastanto (2000) menyatakan bahwa partial valuation merupakan suatu penilaian alternatif alokasi sumberdaya atau proyek yang menggunakan sistem pesisir/sumberdaya. Tujuannya untuk mendapatkan pilihan yang terbaik pada pemanfaatan sistem sumberdaya pesisir. Metoda penilaian
partial
valuation digunakan cost-benefit analysis untuk memaksimumkan kesejahteraan sosial dengan alokasi sumberdaya secara efisien. Kriteria yang digunakan adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (BCR), serta biaya terkecil (least cost). Prinsip dasar valuasi ekonomi sumberdaya dapat diklasifikasikan ke dalam dua pendekatan: yaitu (1) pendekatan langsung dan (2) pendekatan tidak langsung. Dalam pendekatan langsung pada umumnya digunakan nilai pasar yang dimiliki oleh suatu komoditas sumberdaya alam tersebut. Contoh : penghitungan nilai kayu pada harga pasar tertentu untuk mendapatkan nilai gross. Contoh pendekatan langsung lainnya: meningkatkan kualitas
udara
dapat dilakukan melalui teknik pasar pengganti
(surrogate market) atau dengan teknik eksperimental. Tipologi valuasi ekonomi dan teknik valuasi untuk menilai sumberdaya disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Tipologi valuasi ekonomi dan teknik valuasi sumberdaya mangrove URAIAN
BATASAN
CONTOH PRODUK
TEKNIK VALUASI
Direct Use Value (DUV) Produk yang dikonsumsi secara langsung Kayu, biomassa, ikan, rekreasi, dll.
Effect on Production (EOP), Effect on Health, Replacement Cost
TIPOLOGI VALUASI EKONOMI Use Value (UV) Non Use Value (NUV) Indirect Use Value Option Bequest Existence (IUV) Value (OP) Value (BV) Value (EV) Berbagai manfaat Nilai guna Nilai guna Nilai keberfungsional langsung & langsung & tak lanjutan tak langsung langsung dari keberadaan di masa sumberdaya sumberdaya datang lingkungan tertentu Sebagai natural Biodiversity, Konservasi Konservasi barier,spawning SD genetik, habitat; upaya habitat dan ground, nursery perlindungan preventif thd spesies baru; ground spesies, perubahan yang integrasi nilai proses tidak dapat sosial dan evolusi, dll. diperbaharui kultural dll. Travel Cost Contingent Contingent Contingent Method (TCM), Valuation Valuation Valuation Contingent Method Method Method Valuation Method (CVM) (CVM) (CVM) (CVM), Wage Differential
55
Pendekatan surrogate market digunakan untuk mencari pasar dimana
faktor
produksi diperjualbelikan dan mengamati manfaat atau biaya lingkungan yang menjadi bagian dari barang atau faktor produksi tersebut. Sehingga manfaat yang dinikmati dari lingkungan (contoh: peningkatan kualitas air atau udara) dianggap sebagai atribut atau faktor dari suatu kegiatan manusia atau pekerjaan. Pendekatan eksperimen mensimulasikan pasar dengan menempatkan responden pada posisi dimana mereka dapat mengungkapkan nilai hipotesis mereka dari suatu perbaikan nyata dari kualitas lingkungan. Dalam hal ini tujuannya adalah membuat nilai hipotesis agar pasar untuk komoditi tersebut dapat dibayangkan secara nyata oleh seseorang. Pendekatan yang lain, yaitu pendekatan tidak langsung dimana dalam mengestimasikan biaya atau manfaat lingkungan tidak dilakukan secara langsung, tetapi dengan mencoba menghitung keterkaitan antara penurunan kualitas lingkungan dengan berbagai dampaknya. Sebagai contoh dampak terhadap kesehatan, kerusakan material, ekosistem perairan, dan terhadap vegetasi. Pada pendekatan tidak langsung ini, tidak memperhitungkan faktor kesediaan untuk membayar (willingness to pay) untuk manfaat yang diperoleh dari lingkungan atau kesediaan untuk menerima kompensasi (willingness to accept) terhadap kerusakan lingkungan. Pada pendekatan ini yang diperhitungkan adalah hubungan antara suatu penyebab (kegiatan yang mempunyai dampak) dengan dampaknya yang tidak diperhitungkan langsung dalam nilai uang (contoh: dampak bagi kesehatan).
2.7
Sistem dan Pemodelan
2.7.1
Teori Sistem Perkembangan ilmu sistem banyak dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu lain.
Salah satunya adalah kibernetika (cybernetics) yang telah berkembang beberapa abad yang lalu. Kibernetika
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari prilaku
berbagai sistem dinamis yang dikendalikan melalui berbagai keterangan. Forrester (1968) mendefinisikan sistem sebagai sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Demikian juga Manetsch & Park (1979) in Eriyatno (2003) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Forester (1968) mengklasifikasi sistem ke dalam 2 jenis : open system and feedback system. Open system (sistem terbuka) bercirikan sebuah output sebagai respon
56
dari input di mana output diisolasi dari dan tidak ada pengaruhnya terhadap input (Gambar 11). Dalam sistem terbuka ini, aksi sebelumnya (past action) tidak bisa mengontrol aksi yang akan datang (future action). Sementara itu, feedback system merupakan sistem tertutup (closed system) yang dipengaruhi perilaku sebelumnya. Feedback system memiliki struktur closed loop dimana aksi sebelumnya dapat kembali mengontrol aksi yang akan datang. Ada dua kategori feedback system : (a) negative feedback system, mencari tujuan dan respon mencapai
tujuan,
(b)
sebagai konsekuensi dari kegagalan
positive feedback system,
meningkatkan
proses-proses
pertumbuhan di mana aksi yang dihasilkan dapat men-generate aksi yang lebih besar. Jadi feedback system
dapat mengontrol aksi berdasarkan hasil-hasil dari aksi
sebelumnya. Selanjutnya Hanon & Ruth (1997) membagi sistem ke dalam 2 jenis : (1) sistem terbuka (open system) dan (2) sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sebuah sistem di mana output yang dihasilkan merupakan tanggapan dari input, tetapi
tidak ada
pengaruhnya terhadap input, atau bisa juga diartikan tidak menyediakan sarana koreksi, sehingga perlakuan koreksi membutuhkan faktor eksternal. Sementara itu, sistem tertutup merupakan sistem di mana output yang dihasilkan akan merupakan tanggapan dari input, dan perilaku sistem akan dipengaruhi output tersebut. Bisa juga diartikan sebuah sistem yang menyediakan sarana koreksi di dalam sistem itu sendiri dalam rangka pencapaian tujuan sistem. Secara diagramatis disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12. INPUT
PROSES
OUTPUT
Gambar 11 Sistem loop terbuka
INPUT
PROSES
OUTPUT
FEEDBACK
Gambar 12 Sistem loop tertutup
Fenomena dunia nyata (real world) sulit untuk dipelajari memiliki kompleksitas tinggi dan sukar dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan (Hanon & Ruth 1997). Upaya dari masing-masing disiplin untuk mempelajari fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten,
57
hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh (Eriyatno 2003). Konsep sistem ini berlandaskan pada unit keberagaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen yang selanjutnya dibangun suatu model pengembangan sumberdaya
pesisir secara berkelanjutan.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kajian di kawasan TNS dapat dilakukan dengan pendekatan sistem. Dalam keberagaman definisi sistem itu, secara substansial menunjukkan adanya suatu kesamaan visi di mana sistem memiliki karakteristik keutuhan (wholeness) dan interaksi antar komponen yang membangun sistem (Eriyatno 2003). Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki oleh sistem dapat dinyatakan sebagai berikut: 1) dibangun oleh sekelompok komponen yang saling berinteraksi; 2) bersifat wholeness; 3) memiliki satu atau segugus tujuan; 4) terdapat proses transformasi input menjadi output; 5) terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem. Analisis sistem bertujuan:
1) mengidentifikasi berbagai elemen penyusun
sistem; 2) memahami prosesnya; serta 3) memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya distorsi di dalam sistem itu sendiri. Dengan demikian didapatkan berbagai aternatif pilihan yang menguntungkan secara optimal. Persoalan alternatif
ini
sesungguhnya
merupakan
persoalan “cost-benefit“
atau
“cost
effectiveness” analysis, yang bermanfaat untuk mengevaluasi alternatif pemodelan. Akhir-akhir ini perhatian besar terus diberikan pada pemodelan khususnya pada kasuskasus hubungan antara ekonomi dan lingkungan. Simatupang (1995) menegaskan bahwa kontrol adalah konsepsi inti dari sistem, karena faktor inilah yang menjiwai ide pokok dari pengadaan sebuah sistem, dan sekaligus merupakan perwujudan nyata dari tiap sistem. Sistem-sistem ini dibentuk, secara langsung ataupun tidak, adalah untuk tujuan kontrol. Misalnya, pemerintah melakukan kebijakan pengetatan eksploitasi hutan alam untuk menahan laju kerusakan hutan agar kestabilan lingkungan dapat terjaga. Jadi makna dari kontrol itu sebagian telah termasuk dalam pertanyaan "mengapa" yang terkandung dalam alasan pengadaan sistem. Sistem memiliki sifat dinamis dan berbagai perubahan pun selalu terjadi. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala atau kontinu tentang bentuk dari output, agar dapat dilakukan perubahan yang diperlukan sesuai dengan perubahan lingkungannya atau karena sebab yang lainnya. Unsur-unsur yang memungkinkan sistem itu berfungsi dalam keseimbangan adalah kontrol dan umpan balik.
58
Tujuan dari umpan balik adalah kontrol. Kontrol dinyatakan sebagai fungsi sistem yang membandingkan output dengan sebuah standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Umpan balik merupakan fungsi yang memberikan informasi atas penyimpangan dari output dengan standar dari kontrol tersebut, dan memasukkan informasi ini sebagai input ke dalam proses yang telah menghasilkan output itu sehingga semua penyimpangan dari hasil yang diharapkan dapat dikoreksi. Tempat dari umpan balik dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 13. KONTROL
INPUT
PROSES
OUTPUT
FEEDBACK
Gambar 13 Kontrol dan umpan balik sistem.
Umpan balik positif menciptakan proses pertumbuhan di mana suatu kejadian menimbulkan akibat memperbesar kejadian berikutnya secara terus-menerus. Umpan balik ini mempunyai ciri adanya ketidakstabilan, ketidakseimbangan, pertumbuhan atau memperkuat. Contoh umpan balik positif dan negatif terjadi pada sistem pertumbuhan penduduk dunia (Meadows et al. 1972) sebagaimana disajikan pada Gambar 14.
+
Populasi
Kelahiran (+) +
(-)
Kematian
-
Gambar 14 Sistem umpan balik yang mencerminkan perilaku dinamik pertumbuhan penduduk
Gambar 14 pada bagian kiri mencerminkan umpan balik positif yang mencerminkan pertumbuhan menurut deret ukur. Laju pertumbuhan populasi sangat tergantung pada kesuburan rata-rata dan jarak waktu antara generasi ke generasi. Akan tetapi perilaku model pertumbuhan populasi dunia rata-rata akan berlipat dua tiap-tiap satu generasi. Sebaliknya pada bagian sebelah kanan menunjukkan umpan balik negatif
59
yang cenderung mengendalikan pertumbuhan populasi dan mempertahankan suatu sistem pada suatu keadaan seimbang (steady state). Kontrol umpan ke depan (feedforward) merupakan bentuk lain dari kontrol atas hasil yang diharapkan. Kontrol ini dilakukan sebelum terjadi penyimpangan dari prestasi kerja yang diharapkan. Ini membutuhkan kontrol, dari input dan/atau output. Gambar 15 memperlihatkan sebuah skema, dari kontrol atas proses untuk mengatasi variasi dalam input. Kontrol ini bersifat antisipatif.
SISTEM PENGENDALIAN UMPAN KE DEPAN
TUJUAN
Langkah Pengendalian
INPUT
PROSES
OUTPUT
Gambar 15 Sistem kontrol umpan ke depan
2.7.2
Pemodelan Model adalah abstraksi untuk menjelaskan fenomena dunia nyata (Ruth &
Hannon 1997; Eryatno 1999). Berdasarkan klasifikasi model menurut acuan waktu, suatu model adalah bisa statis atau dinamis. Model statis memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal waktu. Sedangkan
model dinamik
mampu menelusuri jalur waktu (time path) dari pubah-peubah model. Model dinamik memiliki kekuatan yang lebih tinggi pada analisa dunia nyata (real world) (Eryatno 1999). Selanjutnya Hanon & Ruth (1997) menyatakan bahwa kesesuaian model dapat digolongkan kedalam tiga tipe, yaitu: 1) Static Model, merupakan suatu model yang merepresentasikan suatu fenomena pada suatu titik waktu. Model ini dapat berdimensi dua seperti foto, peta, atau cetak biru; atau berdimensi tiga seperti prototip mesin dan alat. Untuk model yang berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksi secara fisik (ikonik), sehingga diperlukan model lainnya.
60
2) Comparative Static Model, merupakan model yang membandingkan beberapa fenomena pada beberapa titik waktu yang berbeda. Seperti halnya memotret beberapa kejadian (time series) untuk membuat beberapa kesimpulan tentang suatu sistem dari satu titik waktu ke waktu lainnya, tanpa memodelkan prosesnya. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan dalam ekonomi, kurva distribusi frekuensi dalam statistika, dan diagram alir. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. 3) Dynamic Model
(model matematik), merupakan model yang menganalisis dan
memberi perhatian khusus pada fenomena yang khas. Model ini menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model dinamik dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). Eriyatno (2003) menyatakan bahwa model dapat diklasifikasikan
menurut
jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya. Pada dasarnya jenis model dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 4) Iconic Model (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti foto, peta, atau cetak biru; atau berdimensi tiga seperti prototipe mesin dan alat. Untuk model yang berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksi secara fisik (ikonik), sehingga diperlukan model lainnya. 5) Analogy Model
(model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi
analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan dalam ekonomi, kurva distribusi frekuensi dalam statistika, dan diagram alir. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. 6) Symbolic Model
(model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka,
simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). Dalam pendekatan sistem, pengembangan pemodelan merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Dalam hubungannya dengan fenomena yang sangat kompleks seperti kawasan TNS yang bersifat multidimensi, maka secara hipotetik dapat dikatakan bahwa pemilihan Symbolic Model akan lebih tepat untuk mengkaji sistem tersebut. Pemodelan akan
61
melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitivitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model. Masalah sistem dinamik mempunyai dua ciri. Pertama adalah sifatnya yang dinamis; terjadi perubahan kuantitas dengan berubahnya waktu. Ciri kedua adalah terdapatnya umpan balik (feedback). Sistem dinamik mendekati permasalahan dengan mengamati proses umpan balik yang berada di belakang semua perubahan yang teramati. Premis utama dari sistem dinamik adalah "perilaku dinamis merupakan konsekuensi dari struktur sistem". Metode sistem dinamik mempelajari masalah dengan sudut pandang sistem di mana elemen-elemen sistem tersebut saling berinteraksi dalam suatu struktur loop umpan balik, sehingga menghasilkan perilaku tertentu. Interaksi dalam struktur ini diterjemahkan ke dalam model-model matematis dalam dua variabel: level dan rate, yang selanjutnya dengan bantuan komputer digital akan disimulasikan untuk memperoleh perilaku historisnya. Metode sistem dinamik dikembangkan oleh Jay Wright Forrester pada tahun 1968. Forrester berhasil menerapkan pendekatan sistem dinamik dalam Sistem Industri, Sistem Pertumbuhan Dunia, dan Sistem Populasi Dunia. Selain memiliki kekuatan, model dinamik juga memiliki kelemahan, diantaranya: (1) Semua hubungan antar elemen harus dapat diekspresikan dalam model matematik, padahal pada dunia nyata banyak aktivitas hubungan antar elemen yag tidak bisa diekpresikan atau dibangun dalam struktur matematik. Misal masalah preferensi dan resistensi manusia terhadap sesuatu objek sangat sukar untuk dibangun struktur matematiknya. Jadi dalam hal ini, model dinamik terlalu memaksakan untuk dibuat hubungan kuantitatif. (2) Standarnya bersifat statis. Misal, bila dinyatakan bahwa perubahan tingkat kerusakan hutan mangrove atau sumberdaya alam 20% per tahun, maka selama periode kajian besarnya akan tetap sama. Jadi dalam hal ini kriterianya bersifat statis. 2.7.2.1 Syarat Penting Model Dinamik Berbagai perubahan yang terjadi dalam sistem dinamik dapat didiferensiasi sebagai fungsi dari waktu. Dengan kata lain, model-model dinamik memiliki dimensi waktu sebagai variabel bebas. Syarat penting dalam penyusunan model dinamik adalah : (1) dimensi waktu, dan (2) struktur model.
62
Struktur model harus bisa diekspresikan dalam model matematik. Misal modelmodel pertumbuhan populasi dan sebagainya. Hubungan keterkaitan antar variabel ini harus dapat diformulasikan dalam bentuk hubungan fungsional (Chapra et al. 2010) yang berbentuk : Variabel terikat = {variabel bebas; parameter; fungsi pemaksa} dimana : Variabel terikat (dependent) : adalah suatu karakteristik yang mencerminkan keadaan atau perilaku sistem; variabel bebas (independent) : biasanya adalah dimensi waktu dan ruang, selama perilaku sistem sedang ditentukan; parameter : adalah pencerminan sifat-sifat atau komposisi sistem fungsi-fungsi pemaksa : pengaruh eksternal yang bekerja pada sistem Ekspresi matematis yang sebenarnya dari persamaan di atas dapat berkisar dari suatu hubungan aljabar sederhana sampai himpunan persamaan diferensial besar yang kompleks. Misalnya model pertumbuhan populasi yang dapat diekspresikan sebagai berikut : penduduk(t) = penduduk(t - dt) + (pert_pddk - pengr_pddk)*dt di mana :
= Jumlah penduduk pada tahun ke-t. Sebagai dependent variabel atau variabel terikat, yaitu merupakan karakteristik yang mencerminkan keadaan atau perilaku sistem penduduk (t-dt) = Jumlah penduduk pada tahun ke-0, Sebagai variabel bebas (independent), biasanya adalah dimensi waktu dan ruang, selama perilaku sistem sedang ditentukan; (pert_pddk-pengr_pddk)*dt= Laju pertumbuhan penduduk Pengaruh eksternal yang bekerja pada sistem penduduk (t)
Persamaan tersebut mempunyai ciri yang khas dari model matematik yang menggambarkan sistem nyata, antara lain: (1) persamaan tersebut menggambarkan suatu sistem atau proses biasa dalam istilah-istilah matematis; (2) persamaan tersebut menyatakan suatu idealisasi dan penyederhaaan (simplifikasi) dari keadaan yang sebenarnya, yakni bahwa rincian yang sederhana dari proses alamiah diabaikan dan perhatian dipusatkan pada perilaku (manifestasi) yang penting. Persamaan tersebut adalah hasil penyederhanaan dalam bentuk fungsi logistik
dan mengabaikan
gejolak-gejolak lainnya yang bisa mengganggu hubungan fungsi tersebut; (3)
63
Persamaan tersebut memberikan hasil yang dapat direproduksi, dan oleh karena itu, dapat dipakai untuk tujuan peramalan. Misalnya jika populasi penduduk pada t=0 dan parameter penduduk (t-dt) dan (pert_pddk-pengr_pddk)*dt
diketahui, maka
bisa
diperoleh nilai populasi penduduk pada tahun ke-t. Analisis matematika dapat dipergunakan dalam pengambilan keputusan, antara lain untuk keperluan: (1) optimasi (menarik manfaat yang sebesar-besarnya), yakni untuk menemukan kombinasi yang optimum dari faktor-faktor yang berhubungan satu sama lain dalam jumlah yang sangat besar sekali; (2) menemukan jalan keluar yang paling baik atau yang paling menguntungkan di dalam menghadapi situasi yang terlampau
banyak
mengandung
ketidakpastian-ketidakpastian;
(3)
menguji
konsekuensi.
2.7.2.2
Kaitan Pendekatan Sistem dengan Model Dinamik Pendekatan sistem dan
model
merupakan suatu terminologi yang saling
berkaitan satu sama lain. Pendekatan sistem digunakan karena rumitnya gejala dunia nyata (real world), sebagai contoh
kawasan Taman Nasional Sembilang (TNS) di
Kabupaten Banyuasin, menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk mempelajari fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh. Terkadang muncul paradoks dari suatu bidang ilmu (contoh : economy paradox, dsb-nya). Oleh karena itu perlu suatu pendekatan sistem. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keberagaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen/gugus untuk mencapai suatu tujuan, dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata, yaitu melalui pendekatan sistem. Dengan demikian, kajian mengenai suatu obyek penelitian yang rumit dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, yang selanjutnya dibangun suatu model (abstraksi realitas). Dalam sebuah model perlu dilakukan suatu simulasi dengan tujuan agar model yang dibangun dapat beroperasi sebagaimana layaknya sebuah dunia nyata (real world). Eriyatno (2003) memandang pendekatan sistem sebagai
salah satu cara
penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem
64
yang dianggap efektif.
Selain itu, juga merupakan kerangka pemikiran yang
berorientasi pada pencarian keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang utuh. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan
(2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu
keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamik, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 2003). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan sistem adalah pendekatan integratif yang memandang suatu obyek atau masalah yang kompleks dan bersifat antar disiplin sebagai bagian dari suatu sistem.
Dalam pendekatan sistem ini mencoba
menggali elemen-elemen terpenting (elemen masalah dan lingkungan masalah) yang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap tujuan sistem. Dalam hal ini ada hubungan timbal balik antar bagian atau sub sistem (komunikasi), hierarki bagian-bagian sistem, umpan balik, kontrol, batasan, dan lingkungan sistem. Terdapat beberapa alasan perlunya dilakukan pendekatan sistem dalam mengkaji perumusan masalah dalam studi ini, yaitu : 1) Memastikan bahwa pandangan yang menyeluruh telah dilakukan 2) Mencegah analis untuk menyajikan secara dini definisi masalah yang spesifik 3) Mencegah analis menerapkan secara dini model, formula matematika, atau pemecahan tertentu 4) Agar lingkungan masalah didefinisikan secara luas sehingga berbagai kebutuhan yang memiliki relevansi dengan masalah dapat dikenali secara benar.
2.8
Pendekatan Analisis Spasial Dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang
yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya
ditentukan
berdasarkan
aspek
administratif
dan
atau
aspek
fungsionalnya. Demikian juga halnya pengelolaan kawasan pesisir Taman Nasional Sembilang tergolong dalam terminologi undang-undang itu, yaitu wilayah dengan tiga mintakat (zones), yaitu : (1) mintakat preservasi/perlindungan, (2) mintakat
65
konservasi/pembinaan, (3) mintakat pemanfaatan. Mintakat (1) dan (2) sebagai kawasan lindung, sedangkan mintakat (3) sebagai kawasan budidaya. Dalam konteks kemandirian pembangunan daerah, maka kebijakan penataan ruang dilaksanakan
dengan berlandaskan pada dua azas pokok, yaitu: (1)
Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; (2) Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang yang berkualitas, bermanfaat secara optimal dan berkelanjutan. Proses penyusunan tata ruang pesisir dapat dilakukan dengan cara membuat penampalan atau menumpangsusunkan (overlay) peta-peta tematik yang memuat karakteristik biofisik (ekologis) wilayah pesisir terhadap peta-peta yang memuat persyaratan (kriteria) biofisik dari setiap kegiatan pembangunan yang direncanakan, dan peta-peta penggunaan ruang (lahan) pesisir saat ini (Dahuri et al. 1996). Berdasarkan aspek potensi serta perspektif pembangunan daerah, maka prioritas utama tata ruang di kawasan TNS adalah untuk pengembangan sumberdaya. Dalam pengaturan pemanfaatan ruang yang berkualitas dapat digunakan teknik tradisional seperti manual map overlaying (MC Hargh 1969 in Dahuri et al. 1996) atau teknik Sistim Informasi Geografis (SIG) seperti Arc/INFO dan SPANS (Kapaetsky et al. 1987 in Dahuri et al. 1996, ). Informasi dasar biasanya tersedia dalam bentuk peta tematik, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biofisik. Hal ini tidak saja meliputi karakteristik daratan dan hidrometeorologi, tetapi juga oseanografi dan biologi perairan pesisir. SIG adalah suatu teknologi baru yang pada konteks penelitian ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (grafis). Banyak sekali aplikasi yang dapat ditangani oleh SIG. Salah satunya yang akan digunakan disini adalah dalam pengembangan sumberdaya pesisir di mana dapat menginventarisasi dan menganalisis potensi daerah unggulan untuk sumberdaya. Penempatan zonasi obyek sumberdaya secara terpadu, yang ditetapkan secara akurat itu dapat mengeliminasi deteriorisasi yang eksesif, sehingga optimasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir dapat dilakukan secara berkelanjutan. Ketika berbagai elemen yang teridentifikasi dalam sistem melakukan penetrasi terhadap sumberdaya wilayah pesisir yang bersifat terbatas itu, maka selama itu pula pemodelan ekonomi dan sosial yang diintegrasikan dengan teknologi SIG dapat melakukan simulasi model untuk mencari
66
solusi terbaik, sehingga tujuan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kualitas lingkungan dapat tercapai (Lynden & Mantel 2001). Kompleksitas dan dinamika ekosistem pesisir serta permasalahannya menuntut suatu kajian komprehensif antar variable. Oleh karena itu akan lebih mudah apabila pembuatan strategi optimasi dilakukan dengan pendekatan sistem. Keluaran dari pendekatan sistem ini dapat bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dua metode yang lazim digunakan adalah multi objective programming dan model simulasi (Dahuri et al. 1996). Terdapat dua jenis data yang dapat digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang terdapat di dunia nayata, yaitu : (1) data aspek keruangan. Contoh: data posisi, koordinat, ruang atau spasial, (2) data aspek deskriptif atau data atribut (non-spasial). Data non spasial ini mencakup items atau properties dari fenomena yang bersangkutan hingga dimensi waktunya (Prahasta 2001).
Alasan
penggunaan SIG dalam konteks penelitian ini diantaranya karena sistem ini menggunakan data spasial maupun data atribut secara terintegrasi, sehingga sistemnya dapat menjawab pertanyaan spasial (berikut pemodelannya) maupun non-spasial (memiliki kemampuan analisis spasial dan non-spasial).
3 METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka Pendekatan Penelitian
Penelitian ini disusun dalam suatu perspektif metodologi pemodelan sistem dinamik. Hal ini karena kompleksitas permasalahan obyek penelitian di kawasan pesisir Taman Nasional Sembilang (TNS) dan frontier area (FA) relatif cukup tinggi. Terdapat tiga alasan digunakannya pendekatan pemodelan sistem dinamik, yaitu: (1) Mampu merepresentasikan korelasi dan dependensi antar variabel yang dikaji, (2) Mampu menggambarkan interaksi bagian-bagian sistem, (3) Mampu mensimulasikan perilaku sistem apabila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Kerangka pendekatan pemodelan sistem dinamik dilakukan dengan tujuan: (1) Mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem; (2) Memahami prosesnya; serta (3) Memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya distorsi di dalam sistem itu sendiri. Dengan demikian didapatkan berbagai aternatif pilihan skenario kebijakan yang menguntungkan secara optimal. Persoalan alternatif ini sesungguhnya merupakan persoalan “cost-benefit“ atau “cost-effectiveness” analysis, yang bermanfaat untuk mengevaluasi ataupun merancang berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dalam suatu rumusan alternatif kebijakan. Perspektif metodologi pemodelan sistem dinamik ini daharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan penelitian yaitu: (1) Menghitung tingkat potensi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir, (2) Menganalisis indikator penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir, (3) Menghitung kecenderungan dua model skenario business as usual (model BAU) dan model skenario carbon crediting (model CC) terhadap fenomena laju emisi CO2 serta keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+, (4) Menganalisis implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dari kecenderungan dua model tersebut kaitannya dengan ekonomi wilayah, upaya mitigasi serta kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap penurunan GRK 26% pada tahun 2020. Dengan demikian, untuk mencapai tujuantujuan penelitian tersebut diperlukan berbagai teknik analisis (multilevel analysis). Beragam pendekatan teknik analisis (multilevel analysis) digunakan dalam konteks penelitian ini, yaitu Analisis Spasial dengan melakukan deliniasi tata guna lahan di luar kawasan (frontier area) dan di dalam kawasan TN Sembilang. Deliniasi tata guna lahan ini diperlukan untuk mendapatkan data historis pemanfaatan ruang (konversi lahan). Selanjutnya informasi ini digunakan sebagai basis data estimasi potensi emisi CO2 (carbon release) sebagai akibat adanya konversi lahan tersebut. Areal yang ditetapkan sebagai zona konservasi dapat digunakan sebagai basis data estimasi untuk menilai carbon offset dari kawasan TN Sembilang. Penilaiannya didasarkan pada teknik analisis allometric equation serta data hipotetis yang
68
memungkinkan untuk dijadikan dasar penilaian carbon stock pada berbagai tipe penutupan lahan. Hasil analisis berupa emisi CO2 dan carbon offset itu selanjutnya digunakan untuk mengestimasi perubahan emisi CO2 yang terhindarkan. Perubahan emisi CO2 yang terhindarkan berupa carbon stock ini dapat dijadikan dasar penilaian manfaat ekosistem sumberdaya alam berdasarkan Payment for Ecosystem Services (PES). PES di sini akan dikaitkan dengan skema REDD+. Payment for Ecosystem Services (PES) merupakan suatu skema dimana pihak yang memperoleh manfaat dari layanan ekosistem akan membayar pihak yang mengelola ekosistem tersebut agar layanannya tetap terjaga dan berkelanjutan. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan nilai manfaat ekosistem serta harga pokok karbon dihitung berdasarkan teknik Allometric Equation dan Replacement Cost. Dengan teknik ini akan diketahui net carbon offset di masa depan serta perubahannya dalam biomassa hidup akibat konversi atau degradasi hutan di sekitar kawasan pesisir TN Sembilang. Data hasil analisis tata guna lahan, analisis potensi mangrove serta hasil analisis allometric selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar valuasi ekonomi sumberdaya dengan pendekatan Total Economic Value (TEV). Teknik analisis valuasi ekonomi ini merupakan suatu penilaian terhadap ekosistem suatu kawasan. Dalam konteks penelitian ini ada dua aspek yang dinilai, yaitu (1) nilai manfaat ekosistem, yaitu untuk mengkapitalisasi ekosistem TNS pada kondisi business as usual, (2) nilai manfaat alokasi penggunaan kawasan untuk alternatif lain, dengan tujuan mendapatkan pilihan terbaik pada pemanfaatan kawasan sumberdaya pesisir itu. Prinsip dasar valuasi ekonomi sumberdaya pada konteks penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan langsung, yaitu (1) berdasarkan nilai pasar, (2) berdasarkan pasar pengganti (surrogate market). Penilaian ekonomi berdasarkan nilai pasar dilakukan dengan menilai karbon atau suatu komoditas sumberdaya alam tersebut pada harga pasar tertentu untuk mendapatkan nilai gross. Sementara itu, penilaian berdasarkan teknik pasar pengganti digunakan untuk mencari pasar dimana faktor produksi diperjualbelikan dan mengamati manfaat atau biaya lingkungan yang menjadi bagian dari barang atau faktor produksi tersebut. Dengan demikian manfaat yang dinikmati dari lingkungan (contoh: peningkatan kualitas udara) dianggap sebagai atribut atau faktor dari suatu kegiatan manusia atau pekerjaan. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis dengan pemodelan sistem dinamik pada berbagai skenario pengusahaan sumberdaya pesisir dengan bantuan software IThink dari High Performance System. Secara diagramatik, kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 16.
69
Citra Landsat TM Band 542
Peta tematik Peta RTR TNS Peta RUTR Analisis Spasial
Penafsiran Citra Landsat
Deliniasi Tata Guna Lahan (Frontier Area) Emisi CO2
(Cexpost) Basis data spasial dan tabular
Data tabular: sosial ekonomi, biofisik, ekosistem pesisir dan data lainnya
Kompilasi data Perubahan net C Terestrial
Data tabular
Faktor penggerak peningkatan emisi karbon
Deliniasi Tata Guna Lahan TN Sembilang
Keragaan TN Sembilang
Keragaan Masyarakat di Frontier Area
Visi dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
Stakeholders
( CLC-D)
Payment for Ecosystem Services (PES)
Total Economic Value (TEV)
Pemodelan Sistem Dinamik
C Terestrial
(Cexante)
Potensi Sumberdaya TNS
Identifikasi Kebutuhan Stakeholder pada berbagai skenario business as usual dan carbon crediting
Keterangan: Cafter = Perubahan nilai karbon sesudah terjadinya konversi Cbefore = Perubahan nilai karbon sebelum terjadinya konversi
Gambar 16 Kerangka pendekatan penelitian
Simulasi Model
Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan Berbasis REDD+
70
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di wilayah Kabupaten Banyuasin dengan fokus
kajian pada kawasan Taman Nasional Sembilang (TNS) dan kawasan FA, yaitu suatu wilayah perbatasan yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan hutan konservasi.
Secara administratif berada pada wilayah pemerintahan
Kecamatan
Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Pronpinsi Sumatera Selatan. Secara geografis wilayah Kabupaten Banyuasin berada diantara 1°30’ - 3°6’ LS dan 104°00’ - 105°35’ BT. Sementara itu wilayah TNS berada pada posisi : 1°63’ - 2°48’ LS dan 104°11’ 104°94’ BT. Batas wilayah kerja TNS adalah sebagai berikut (lihat Gambar 17) :
Sebelah Utara
: Sungai Benu dan batas Provinsi Jambi
Sebelah Timur
: Selat Bangka
Sebelah Selatan : Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik dan Karang Agung
Sebelah Barat
: Hutan Produksi wilayah ex HPH PT. Riwayat Musi Timber dan PT. Sukses Sumatera Timber dan kawasan transmigrasi Karang Agung Tengah dan Karang Agung Hilir.
Lokasi kajian yang diteliti yaitu di dalam dan di luar kawasan TNS yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Banyuasin. Hal ini dilakukan pertimbangan bahwa aktivitas pemanfaatan ruang di luar
dengan
kawasan TNS akan
berpengaruh secara ekologis terhadap eksistensi TNS itu sendiri. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi peluang terjadinya kebocoran karbon (carbon leakages) di luar kawasan TNS. Sebagai contoh, data awal menunjukkan bahwa ada indikasi kebiasaan masyarakat juga melakukan perambahan hutan di luar kawasan TNS. Kawasan ini terletak di sepanjang pesisir timur Kabupaten Banyuasin
dan
merupakan suatu ekosistem hutan mangrove. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret 2003 ditetapkan menjadi Taman Nasional Sembilang seluas 202.896,31 Ha. Sementara itu, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatera Selatan luas TNS sekitar 205.750 hektar. Kawasan TNS sebelumnya adalah penggabungan dari kawasan Suaka Margasatwa Terusan Dalam (29.250 hektar), Hutan Produksi Terbatas (HPT) Terusan Dalam (45.500 hektar), Hutan Lindung Sungai Sembilang (113.173 hektar) dan perairan (sekitar 17.827 hektar) (Balai TNS 2007).
71
Gambar 17 Peta batas wilayah penelitian di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan
72
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Banyuasin dengan fokus kajian pada wilayah TN Sembilang. Waktu pengambilan data lapangan dilaksanakan pada Bulan Juli-Agustus 2010. Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan FebruariMaret 2009. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk menyempurnakan rencana penelitian serta mendapatkan keadaan yang sebenarnya di lapangan guna keperluan penyusunan konstruksi model yang dibangun. 3.3
Metode Penelitian Penelitian dilakukan berdasarkan perspektif dinamika sistem dengan metode
deskriptif untuk mendapatkan gambaran mengenai situasi atau kejadian dengan pendekatan studi kasus dan ground survey pada skala plot (Nazir 2005; Hairiah et al. 2001). Metode studi kasus bertujuan untuk mendapatkan kerincian informasi tentang latar belakang isu dan permasalahan, interaksi antar sub sistem, faktor penggerak degradasi ekosistem pesisir, memprediksi serta mendapatkan makna dan implikasi berdasarkan tujuan penelitian. Sementara itu metode ground survey pada skala plot bertujuan untuk mendapatkan informasi kerincian tinggi (Tier-3) tentang data primer kandungan biomassa tegakan pohon pada berbagai tutupan lahan (IPCC GL 2006). Disain studi kasus dan ground survey dikembangkan dari allometric equation (Kusmana et al. 1992) dan analisis
alokasi ekonomi terbaik (the best economic
allocation) (Kusumastanto 2001), selanjutnya digabungkan dengan analisis spasial dan valuation of economic serta simulasi pendekatan system dynamic. Formulasi tersebut selanjutnya digunakan dengan prosedur SAVE DYNAMIC (Spatial, Allometric equation, Valuation of Economic) untuk menganalisis dua skenario business as usual (model BAU) dan skenario carbon crediting (model CC). 3.4
Jenis dan Sumber Data Jenis data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi dan kedalaman pengamatan lapangan
serta hasil survei potensi mangrove dalam skala plot. Data
sekunder terdiri dari data kategori berupa kumpulan kebijakan publik di bidang pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan dan perundangan yang berlaku, serta data hasil penelitian sebelumnya (pihak lain) dan data-data sekunder lainnya yang relevan. Data yang diperlukan pada penelitian ini disusun berdasarkan tujuan-tujuan penelitian, jenis data dan informasi yang diperlukan serta sumber data. Secara ringkas disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Tujuan penelitian, jenis dan sumber data yang diperlukan
73
No 1
2
3
4
3.5
Tujuan Penelitian
Jenis Data
Menghitung tingkat potensi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir
Primer
Sekunder
Menganalisis indikator penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir
Primer
Sekunder
Menghitung kecenderungan dua model skenario business as usual (Skenario BaU) dan model skenario carbon crediting (Skenario CC) terhadap fenomena laju emisi CO2 serta keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir Menganalisis implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+
Primer
Primer
Sekunder
Data dan Informasi yang Diperlukan
Sumber Data
Data historis tata guna lahan Data biomassa standing stock Data stok karbon Peta RBI dan peta-peta tematik: Tataguna Lahan, Perairan dll. skala 1:25.000 Peta Citra Satelit dan penafsirannya Peta penutupan lahan TNS
Ground check Hasil deliniasi Peta Citra Balai TNS dn Dishut Banyuasin Bakosurtanal
Pola tata guna lahan Tekanan penduduk terhadap lahan Dokumen kebijakan RTRW Provinsi Sumatera Selatan dan RTRW Kabuapaten Banyuasin Data demografi dan sosek Peraturan dan perundangan pamanfaatan ruang Dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan TNS Laju deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TNS dan di FA Laju emisi CO2 di TNS dan FA Laju carbon offset di TNS dan di FA
Hasil deliniasi Peta Citra BAPPEDA Dinas Kehutanan Balai TNS
Tren laju emisi CO2 yang terhindarkan serta Net Carbon Offset di kawasan TNS Dokumen kebijakan RTRW Provinsi Sumatera Selatan dan RTRW Kabuapaten Banyuasin
Data hasil pemodelan BAPPEDA Dinas Kehutanan
Hasil deliniasi Peta Citra Data hasil analisis allometrik Data hasil pemodelan
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data biomassa untuk areal berhutan dilakukan dengan
pendekatan kerincian tinggi (Tier 2-3), yaitu suatu kombinasi metode remote sensing dan ground survey berupa jalur berpetak berdasarkan plot sampel (Tier 3) dengan data hipotetis untuk jenis yang sama di lokasi lain (Tier 2) (IPCC GL 2006; Wibowo 2010). Pada metode dengan Tier 3 ini, plot utama memiliki ukuran 5x40 m, digunakan untuk menginventarisasi dan mengukur pohon berdiamater 5-30 cm. Apabila terdapat pohon berdiamater lebih dari 30 cm, maka plot diperbesar menjadi 20x100 m (Hairiah et al.
74
2001). Demikian halnya untuk valuasi ekonomi digunakan data hipotetis yang digunakan pada kawasan konservasi mangrove di wilayah Sumatera dan Selat Malaka (Kusumastanto et al. 1998). Data-data sekunder yang diperlukan diinventarisasi
terutama dari instansi-
instansi terkait dengan penelitian, yaitu Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Balai TN Sembilang serta instansi lainnya. Metode pengumpulan data primer dan data sekunder secara ringkas disajikan pada Tabel 8 dan Ilustrasi bentuk jalur dan ukuran plot sampel disajikan pada Gambar 18. Tabel 8 Metode pengumpulan data No
Jenis Data
Data dan Informasi yang Diperlukan
Metode Pengumpulan Data
Primer
Sekunder
Data potensi mangrove dan biomassa Data historis deforestasi dan degradasi hutan di FA dan TNS Peta RBI dan peta-peta tematik: Tataguna Lahan, Perairan dll. skala 1:25.000 Peta Citra Satelit dan penafsirannya Peta penutupan lahan TNS
Menganalisis indikator penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir
Primer
Sekunder
Ground check Deliniasi Peta Citra Inventarisasi dokumen pengelolaan di TNS, Bappeda dan Dishut. Beli di Bakosurtanal Deliniasi Peta Citra Inventarisasi data di BAPPEDA, Dinas Kehutanan dan Balai TNS
3
Menghitung kecenderungan dua model skenario BaU (business as Usual) dan skenario CC (carbon crediting)
Primer
4
Menganalisis implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+
Primer
Sekunder
1
2
Tujuan Penelitian
Menghitung tingkat potensi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir
Data historis deforestasi dan degradasi hutan di FA dan TNS Dokumen kebijakan RTRW Provinsi Sumatera Selatan dan RTRW Kabuapaten Banyuasin Data demografi dan sosek Peraturan dan perundangan pamanfaatan ruang Dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan TNS Data historis deforestasi dan degradasi hutan di FA dan TNS Data emisi CO2 dan Data Carbon Offset Variabel-variabel penting yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan TNS di masa depan Skenario pada berbagai opsi untuk keberlanjutan pengelolaan masa depan Dokumen kebijakan RTRW Provinsi Sumatera Selatan dan RTRW Kabuapaten Banyuasin
Deliniasi Peta Citra Analisis allometrik Pemodelan sistem dinamik Pemodelan sistem dinamik Inventarisasi dok. di BAPPEDA, Dinas Kehutanan
75
Gambar 18
Ilustrasi bentuk jalur dan ukuran plot sampel di areal berhutan
Parameter utama yang diukur pada pohon adalah diameter setinggi dada yaitu 1,3 meter (DBH/Diameter Breast High). Parameter lainnya yang diukur pada masingmasing plot sampel adalah jumlah pohon, jenis pohon, dan tinggi pohon. Selanjutnya data-data tersebut digunakan untuk menduga stok biomassa dan stok karbon. Ilustrasi di bawah ini menggambarkan lay out sederhana yang menggambarkan plot sampel pengukuran karbon. Lokasi pengambilan sampel vegetasi (skala plot 5m x 40m) dilakukan pada areal hutan mangrove primer (Hmp) yaitu di Pulau Alanggantang (SPTN/Satuan Pengamanan Taman Nasional II Sembilang), hutan mangrove sekunder (Hms) di Pulau Betet (SPTN III Tanah Pilih), areal hutan kebun (Hk) Eucalyptus di PT. SHP (tahun tanam 2003), areal kebun Acacia mangium di PT. SHP (tahun tanam 2004), dan pada areal kebun Acacia crasicarpa di PT. SHP (tahun tanam 2004) di sebelah barat TN Sembilang. Sementara itu pengukuran pada areal semak belukar rawa (Br) pada skala plot 5 m x 5 m dilakukan di sekitar Karya Agung Ilir (SPTN I Sungsang).
3.6
Metode Analisis Data Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis
sistem dinamik dengan pemograman I-Think® Ver. 6.1 (HPS 1994). Metode multi analisis dilakukan dengan prosedur
“SAVE DYNAMIC”: Spatial (ESRI 2000),
Allometric equation (Kusmana 1997), Valuation of Economic, yang dilanjutkan dengan analisis alokasi ekonomi terbaik (the best economic allocation) (Kusumastanto 2001), serta simulasi pendekatan sistem dinamik dengan dua skenario business as usual (model BAU) dan skenario carbon crediting (model CC).
76
Reference emission level (REL) ditentukan berdasarkan data emisi historis dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia 2003-2006, serta kombinasi remote sensing (data spasial) dan ground survey (Wibowo 2010). Sementara itu prediksi perubahan tutupan hutan
masa depan ditentukan
berdasarkan gabungan data historis dan
pendekatan modeling dengan prediktor laju populasi. Pendugaan biomassa hutan menjadi karbon dilakukan dengan mengkonversi data inventarisasi hutan pada skala plot dengan persamaan alometrik pada tingkat kerincian yang tinggi (Tier 2-3) (Krisnawati 2010). Relevansi antara tujuan penelitian, teknik analisis serta hasil studi yang diharapkan (output) disajikan pada Tabel 9. Tabel 9
Relevansi antara tujuan penelitian, teknik analisis serta hasil penelitian yang diharapkan (output)
No
Tujuan Penelitian
Data dan Informasi yang Diperlukan
1
Menghitung tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir
Data historis tata guna
Analisis spasial
lahan Data biomassa standing stock Data stok karbon Data potensi mangrove
(ESRI 2000) Analisis Allometric equation (Busch et al. 2009, Kusmana 1997) Analisis vegetasi (Curtis and McIntosh 1951 in Kusmana 1997) Analisis spasial (ESRI 2000)
Data historis defores2
3
Menganalisis indikator penggerak emisi karbon di kawasan pesisir Menghitung kecenderungan dua model skenario BaU (business as Usual) dan skenario CC (carbon crediting)
tasi dan degradasi sumber daya pesisir Pola tata guna lahan Tekanan penduduk terhadap lahan
Laju deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TNS dan FA Laju emisi CO2 di TNS dan FA Laju carbon offset di TNS dan di FA Data biaya pengelolaan TN Sembilang
Data hipotetik direct
4
Implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap ekonomi wilayah serta kontribusinya terhadap GRK 26% pada tahun 2020
use value, indirect use value, option value, existence value Tren laju emisi CO2 yang terhindarkan serta Net Carbon Offset di kawasan TNS
Teknik Analisis
Analisis spasial (ESRI 2000) Analisis rasio tekanan
penduduk terhadap lahan (SK Dirjen RLPS No. P.04/V-SET/2009 Simulasi pemodelan dinamik dengan menggunakan program IThink ver 6.0, High Performance System
Standar biaya pengelolaan TN Sembilang saat ini (Balai TNS)
Analisis valuasi ekonomi (Kusumastanto 2000a)
Simulasi pemodelan dinamik dengan menggunakan program IThink ver 6.1 (High Performance System 1994).
Hasil yang diharapkan (Output) Potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir Komposisi spesies tanaman Laju deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir Indikator penggerak potensi emisi karbon Tren laju emisi CO2 yang terhindarkan serta Net Carbon Offset di kawasan TNS Nilai akuntansi karbon Tingkat manfaat dari layanan ekosistem (Payment for Ecosystem Services, PES) Nilai eksisting akuntansi sumberdaya pesisir
Model kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan
77
3.6.1
Analisis Data Spasial Analisis data spasial digunakan untuk mencapai tujuan penelitian dan informasi
lain yang diperlukan sebagai berikut : 1) Menghitung tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir. Analisis spasial ini diperlukan untuk mendapatkan informasi perubahan penggunaan ruang pesisir di wilayah Kabupaten Banyuasin dan TN Sembilang selama kurun waktu 2003-2006 yaitu waktu referensi perubahan emisi pada studi ini. Selanjutnya data historis tata guna lahan ini digunakan untuk menganalisis dinamika potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir. 2) Menganalisis faktor penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir. Data historis tata guna lahan yang dominan selanjutnya secara deskriptif digunakan sebagai analisis faktor penggerak potensi emisi karbon di wilayah tersebut. Analisis data spasial pada studi ini adalah menganalisis tren tata guna lahan yang dilakukan pada citra satelit TM Band 542 tahun 2003 dan 2006. Analisis ini digunakan sebagai pendukung untuk mendapatkan data keruangan secara time series, sehingga diperoleh informasi penutupan lahan di kawasan pesisir TNS dan sekitarnya (FA) secara historis. Data historis penutupan lahan ini
penting diperoleh untuk
mendapatkan informasi perubahan penggunaan lahan dari tahun ke tahun, baik yang terjadi secara alami maupun akibat antropogenik di dalam kawasan TNS dan di luar kawasan TNS.
Selanjutnya informasi data tersebut digunakan sebagai acuan data
historis emisi dari degradasi dan deforestasi hutan pada kawasan TNS dan sekitarnya. Tujuan analisis data spasial ini adalah untuk mendapatkan sejumlah informasi yang meliputi: (a) Perubahan penggunaan ruang pesisir di wilayah Kabupaten Banyuasin dan TN Sembilang selama kurun waktu 2003-2006 yaitu waktu referensi perubahan emisi pada studi ini, (b) Memprediksi potensi emisi karbon yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut, guna kepentingan estimasi potensi karbon di masa datang. Analisis spasial ini dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode Arc/View, yaitu sistem informasi spasial berbasis komputer dengan melibatkan perangkat keras, perangkat lunak, mempunyai fungsi pokok untuk menyimpan, memperbaharui, menganalisis dan menyajikan kembali semua bentuk informasi spasial (ESRI 2000; Lynden & Mantel 2001). Salah satu kemampuan SIG adalah tersedianya teknik tumpang susun (overlay). Pada analisis overlay ini komponen keruangan seperti biofisik dan sosial ekonomi dapat dirumuskan berdasarkan ahli
78
terkait. Masing-masing komponen keruangan dijadikan peta tematik, kemudian dioverlay-kan untuk mendapatkan peta komposit. Sebelum melakukan klasifikasi tutupan lahan, proses persiapan dilakukan terlebih dahulu. Proses ini diawali dengan melakukan koreksi terhadap Citra Satelit 2003 dan 2006. Koreksi geometri citra dilakukan dengan menggunakan proyeksi WGS 84 – UTM 48S. Sementara itu untuk memperoleh hasil yang optimal, penajaman citra juga harus dilakukan. Semua proses tersebut dilakukan dengan menggunakan aplikasi software SIG. Di bawah ini adalah beberapa tahapan utama dalam analisis spasial sebagai berikut: Pemotongan Data. Citra satelit dengan resolusi pembesaran sampai 0,6 m cukup memudahkan identifikasi wilayah kajian. Untuk memperoleh wilayah kajian tersebut, citra satelit dipotong dengan menggunakan vector sebatas wilayah kajian masing masing lokasi. Proses Klasifikasi. Klasifikasi citra dilakukan untuk memberikan gambaran dari setiap penutupan wilayah kajian yang bertujuan untuk menghasilkan peta penutupan lahan.
Klasifikasi dilakukan secara manual (digitasi on screen) yaitu
menginterpretasikan kenampakan pada data citra satelit oleh interpreter. Peta citra yang beresolusi hingga 0,6 m lebih mempermudahkan intepreter dalam menentukan klasifikasi tutupan lahan di wilayah kajian. Validasi. Langkah selanjutnya adalah memvalidasi hasil klasifikasi tersebut dengan visual interpretation berdasarkan hasil survey lapangan. Validasi dilakukan dengan analisis dan dibantu ahli SIG dan operatornya melalui metode expert judgment. Dalam hal ini, ahli SIG dilibatkan secara langsung dari awal hingga akhir penelitian. Data hasil klasifikasi di-overlay-kan dengan data citra dan titik survey di lapangan. Analisis melalui expert judgment dilakukan untuk memvalidasi hasil klasifikasi awal untuk memperoleh hasil klasifikasi yang sesuai dengan data survey lapangan. Vektorisasi. Hasil klasifikasi merupakan data raster dengan beberapa kelompok warna berdasarkan jenis kelas penutupannya. Data raster tersebut di konversi menjadi vektor untuk diolah dengan software SIG. Software SIG yang digunakan adalah ArcView GIS. Analisis SIG berupa perhitungan area dilakukan untuk memperoleh luasan masing-masing klas. Berdasarkan tahapan analisis spasial tersebut dapat memberikan informasi historis luas penutupan lahan pada tahun 2003 dan 2006, baik pada areal penggunaan lain (APL), hutan lindung (HL), hutan produksi (HP), hutan produksi dapat dikonversi
79
(HPK) serta hutan suaka alam (HSA). Selain itu juga dapat memberikan informasi laju degradasi dan deforestasi secara terencana berdasarkan RTRW (planned deforestation) maupun secara tidak terencana (unplanned deforestation) tentang data-data luasan perambahan hutan, kebakaran hutan dan sebagainya. Selanjutnya hasil analisis spasial tata guna lahan dominan, secara deskriptif
dapat digunakan untuk analisis faktor
penggerak emisi karbon.
3.6.2
Analisis Potensi Vegetasi
Data vegetasi yang dikumpulkan terdiri dari data jumlah pohon, selanjutnya dihitung kerapatan jenis, kerapatan relatif suatu jenis, frekuensi jenis, potensi tegakan, dominansi jenis, indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman jenis dengan rumusrumus sebagai berikut (Kusmana 1997) sebagai berikut : 1) Kerapatan suatu jenis (K) K
Individusuatujenis
................................................................................ (3.1)
Luaspetakcontok
2) Kerapatan Relatif suatu jenis (KR) KR
K suatu jenis .100% K seluruh jenis
.............................................................................. (3.2)
3) Frekuensi suatu jenis (F) F
4)
sub petak ditemukan suatu jenis Seluruh sub petak contoh
Frekuensi Relatif suatu jenis (FR) FR
5)
F suatu jenis .100% F seluruh jenis
Luas bidang dasar suatu jenis ...................................................................... (3.5) Luas petak contoh
Dominansi Relatif suatu jenis (DR) DR
7)
............................................................................. (3.4)
Dominansi suatu jenis (D) D
6)
............................................................ (3.3)
D suatu jenis .100% D seluruh jenis
...................................................................... (3.6)
Indeks Nilai Penting (INP) : NP = FR + KR + DR
………………………………………………………….. (3.7)
80
8)
Volume Kayu (V) :
1 V D 2 .T . f 4
....................................................................................... (3.8)
dengan :
D T f
3.6.3
: 3,14 : Diameter pohon (cm) : Tinggi pohon (m) : Faktor koreksi (0,7)
Analisis Fungsi Allometrik Analisis allometric equation diperlukan untuk mendapatkan data potensi emisi
karbon sebagai akibat deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi. Data hasil analisis potensi karbon yang dilepaskan (release) ini selanjutnya dilakukan komparasi dengan potensi emisi karbon yang diserap (sequest) oleh hutan mangrove di kawasan tersebut. Dengan demikian dapat diprediksi apakah di kawasan tersebut merupakan kawasan rosot karbon (carbon sink) ataukah kawasan pengemisi karbon (carbon source). Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut: 3.6.3.1
Analisis Potensi Cadangan Karbon Tahapan analisis ini terdiri dari analisis pengukuran potensi biomassa, analisis
potensi karbon serta analisis perubahan potensi karbon pada waktu yang berbeda (stock difference method) akibat konversi dan degradasi (IPCC GL 2006; Wibowo 2010; Krisnawati 2010). Tahapannya adalah sebagai berikut: (1) Pendugaan potensi biomassa Analisis pendugaan biomassa tanaman mangrove permukaan (Wtop) digunakan teknik allometrik berdasarkan spesies tanaman (Kusmana et al. 1992; Komiyama et al. 2008). Formulasi umum adalah sebagai berikut : Wtop = a.DBH b ............................................................................................ (3.9) dengan: Wtop : Above ground biomass (kg) DBH : Diameter Breast High (diameter setinggi dada=1,3 meter) a : Koefisien konversi b : Koefisien allometrik Rhizophora spp. : a : 0,105 ; b : 2,68 Bruguiera gymnorrhiza: a : 0,186 ; b : 2,31 Xylocarpus sp. : a : 0,082 ; b : 2,59 Avicennia : a : 1,28 ; b : 1,17
81
(2) Pendugaan potensi karbon Metode analisis untuk menduga potensi cadangan karbon digunakan teknik analisis allometric equation
(Murdiyarso et al. 2004; Brown 1996; 1997) sebagai
berikut: C = 0,5.W .................................................................................................... (3.10) dengan: C : Cadangan Karbon (tC) W : Biomassa (kg) 0,5 : Koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi)
(3) Pendugaan perubahan potensi karbon Untuk menghitung perubahan carbon stock tersebut dapat diestimasi dengan formula sebagai berikut (CER Indonesia 2009): ∆CLC-D = ∆A.∆L C-D ...................................................................................... (3.11) ∆LC-D
= ∆Cexante – ∆Cexpost ..................................................................... (3.12)
dengan : ∆A : Perubahan luas lahan akibat konversi dan degradasi (ha) ∆LC-D : Perubahan nilai karbon akibat konversi dan degradasi (tC) ∆Cexante-∆Cexpost : Perubahan nilai karbon sebelum dan sesudah terjadinya konversi dan degradasi hutan (tC)
3.6.3.2 Analisis Potensi Emisi Karbon Untuk menduga potensi emisi CO2 (EC) dari degradasi dan deforestasi dihitung menggunakan data carbon stock dengan formulasi sebagai berikut (Busch et al. 2009): EC = 3,67.∆CLC-D
..................................................................................... (3.13)
dengan : EC : Emisi karbon (tCO2) 3,67 : Rasio atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (tCO2e/ton C) ∆CLC-D : Perubahan carbon stock dalam biomassa hidup akibat konversi atau degradasi
3.6.3.3
Analisis Reduksi Emisi Karbon
Analisis reduksi emisi CO2 dilakukan dengan mereduksi antara net emisi karbon pada model baseline scenario (business as usual model) dengan net emisi karbon pada model REDD+ scenario (carbon crediting model). Formulasi reduksi emisi karbon adalah sebagai berikut (modifikasi dari VCS 2007):
82
ECREDD,t = ∆ECBSL - ∆ECP .......................................................................... (3.14) dengan : ECREDD,t : ∆CBSL : ∆ECP :
3.6.3.4
Total net reduksi emisi pada waktu ke-t (t CO2e) Net emisi karbon pada baseline scenario (business as usual model) (t CO2e) Net emisi karbon pada REDD+scenario (carbon creditingmodel) (t CO2e).
Asumsi Data
Dalam menghitung biomassa dan karbon di kawasan mangrove
sangatlah
kompleks karena merupakan suatu ekosistem. Selain terdapat 5 pool karbon : 1) biomassa di atas tanah (above ground biomass), 2) biomassa di bawah tanah (below ground biomass), 3) sisa-sisa kayu mati (necromass), 4) serasah (litter), dan 5) tanah (soil), juga komponen lain dalam ekosistem ini dapat menyumbang konsentrasi emisi CO2 terutama sejumlah hewan yang bernafas dengan paru-paru. Oleh karena
itu
metodologi fungsi allometrik pada penelitian ini digunakan hanya untuk menghitung pool karbon di atas tanah yaitu berupa tegakan pohon (standing stock). 3.6.4
Analisis Kependukan dan Tenaga Kerja
3.6.4.1
Analisis Tekanan Penduduk terhadap Lahan Masalah kependudukan baik kuantitas maupun kualitas penduduk mempunyai
pengaruh penting terhadap lingkungan. Salah satu permasalahan penduduk di wilayah kabupaten, khususnya di sekitar kawasan hutan dan TN Sembilang adalah tekanan penduduk (TP). Dengan meningkatnya jumlah penduduk akan berakibat pada permasalahan lapangan kerja, pendidikan, pangan bergizi, kesehatan, dan deforestasi dan degradasi lingkungan. Semakin besar jumlah penduduk, maka semakin besar pula kebutuhan terhadap sumberdaya alam, sehingga tekanan terhadap sumberdaya yang ada juga semakin meningkat. Dengan kualitas penduduk yang rendah, diprediksi dapat meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya alam sebanding dengan kenaikan jumlah penduduk. Jika kualitas penduduk dapat ditingkatkan, maka penggunaan sumberdaya dapat lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk. Tekanan penduduk terhadap lahan (TP), secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
f .Po.(1 r ) t TP z. ...................................................................................... (3.15) L dengan : z : Luas lahan minimal untuk hidup layak (ha org-1) f : Perbandingan jumlah petani terhadap populasi penduduk di kabupaten/ kecamatan (%) Po : Jumlah penduduk pada waktu t = 0 (orang) r : laju pertumbuhan penduduk per tahun (org th-1) t : Kerangka waktu perhitungan (th) L : Luas lahan pertanian di kabupaten/kecamatan (ha).
83
Penentuan luas lahan minimal untuk hidup layak (z) menggunakan proxy variable dengan melihat nilai garis kemiskinan Sajogyo yang diukur setara dengan beras 240 kg kapita-1 th-1. Untuk hidup layak pendekatannya adalah setara dengan beras 2x325 kg kapita-1 th-1 atau 650 kg kapita-1 th-1 (Perdirjen RLPS No. P.04/V-SET/2009). Selanjutnya penilaian TP sebagai dasar penentuan luas lahan minimal untuk hidup layak diperoleh dari konversi nilai pendapatan untuk hidup layak tersebut terhadap luas lahan yang harus diusahakan untuk kegiatan usaha taninya. Klasifikasi nilai tekanan penduduk terhadaplahan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Klasifikasi nilai tekanan penduduk (TP) No
Nilai TP
Kelas
Skor
1
<1
Baik
1
2
1-2
Sedang
3
3
>2
Buruk
5
3.6.4.2
Analisis Pertumbuhan Penduduk dan Kesempatan Kerja Analisis data pada submodel penduduk dilakukan dengan mengkompilasi data-
data demografi yang ada. Beberapa fraksi yang mempengaruhi level maupun, konventer digunakan berdasarkan referensi mutakhir yang umum dipakai, sehingga diperoleh kecenderungan submodel penduduk yang logis. Pertumbuhan penduduk merupakan keseimbangan dinamis antara kekuatankekuatan yang menambah dan kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Dalam penelitian ini data-data yang diperlukan diantaranya pertumbuhan penduduk, laju fertilitas, laju mortalitas, migrasi (inmigrasi dan outmigrasi), investasi per tenaga kerja sektor pertanian, serta peluang kesempatan kerja (Rusli 1996; LD-UI 1981 ). Pt Po 1 i ............................................................................................ (3.16) t
dengan : Pt Po i t
: : : :
Jumlah penduduk Kecamatan Banyuasin II pada tahun ke-t Jumlah penduduk pada tahun ke-0 Laju pertumbuhan penduduk Waktu (tahun ke-t)
Laju fertilitas diukur berdasarkan pembagian jumlah kejadian dengan penduduk yang menanggung resiko melahirkan (exposed to risk). Fertilitas dari suatu kelompok penduduk atau berbagai kelompok penduduk untuk jangka waktu satu tahun disebut current fertility (LD-UI 1981). Formulasi untuk laju natalitas adalah sebagai berikut :
84 CBR dengan:
Bt .k .................................................................................................... (3.17) Pt CBR Bt Pt k
: : : :
Crude Birth Rate (CBR) atau Angka Kelahiran Kasar jumlah kelahiran pada tahun ke-t jumlah penduduk pada pertengahan tahun ke-t bilangan konstanta, biasanya 1000.
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu diantara tiga komponen demografi yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk. Dua komponen lainnya adalah fertilitas dan migrasi. Data mortalitas ini sangat diperlukan untuk proyeksi penduduk guna perencanaan pembangunan. Formulasinya adalah sebagai berikut :
CDR
Dt .k ....................................................................................................(3.18) Pt
dengan : CDR : Dt : Pt : k :
Crude Death Rate (CDR) atau Angka Kematian Kasar jumlah kematian pada tahun ke-t jumlah penduduk pada pertengahan tahun ke-t bilangan konstanta, biasanya 1000.
Analisis migrasi secara regional sangat penting untuk ditelaah secara khusus mengingat adanya densitas (kepadatan) dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor-faktor pendorong dan penarik bagi orang-orang untuk melakukan migrasi, adanya desentralisasi dalam pembangunan, dilain pihak komunikasi termasuk transportasi semakin lancar. Migrasi sering diartikan sebagai perpindahan permanen dari suatu daerah ke daerah lain. Ada beberapa jenis migrasi, tetapi untuk kebutuhan penelitian ini hanya dua jenis migrasi yang dibutuhkan, yaitu migrasi masuk (inmigration) dan migrasi ke luar (out-migration). Formulasinya adalah sebagai berikut :
m
Mt .k ...................................................................................................... (3.19) Pt
dengan:
mi
m : Angka mobilitas (banyaknya penduduk yang pindah secara lokal (mover) dalam jangka waktu tertentu M t : jumlah mover tahun ke-t P t : jumlah penduduk pertengahan tahun ke-t k : bilangan konstanta, biasanya 1000.
It .k ....................................................................................................... (3.20) Pt
dengan : mi It Pt k
: : : :
Angka migrasi masuk (inmigration) jumlah migrasi masuk (inmigration) tahun ke-t jumlah penduduk pertengahan tahun ke-t bilangan konstanta, biasanya 1000.
85 mo
Ot .k ...................................................................................................... (3.21) Pt
dengan: mo Ot Pt k
: : : :
Angka migrasi ke luar (Out migration) jumlah migrasi ke luar (Out migration) tahun ke-t jumlah penduduk pertengahan tahun ke-t bilangan konstanta, biasanya 1000.
Reit partisipasi angkatan kerja dapat dinyatakan sebagai jumlah penduduk yang tergolong angkatan kerja per 100 penduduk usia kerja. Jika usia kerja didefinisikan sebagai penduduk 15-64 tahun, maka formulasi Reit Partisipasi Angkatan Kerja (RPAK) adalah sebagai berikut : RPAK
JAK P(1564)
.100 ....................................................................................... (3.22)
RPAK : JAK : P(15-64) :
dengan:
Reit Partisipasi Angkatan Kerja (%) Jumlah Angkatan Kerja (jiwa) Penduduk berusia 15-64 tahun (jiwa)
Jumlah penduduk yang bekerja biasanya dipandang mencerminkan jumlah kesempatan kerja yang ada (Rusli 1996). Proyeksi kesempatan kerja pada penelitian ini dihitung berdasarkan penyerapan kerja langsung pada berbagai bidang yang akan dikembangkan. Sedangkan kesempatan kerja tidak langsung dihitung berdasarkan rasio antara kontribusi (share) pengusahaan TNS terhadap nilai investasi per tenaga kerja sektor pertanian yang berlaku di wilayah tersebut. Kontribusi pengusahaan TNS dapat dihitung berdasarkan jumlah pajak penghasilan yang dikeluarkan dalam setiap tahunnya.
Rata-rata investasi per tenaga kerja sektor pertanian formulasinya adalah
sebagai berikut: ITK sp
PDRB sp JAK
............................................................................................. (3.23)
dengan : ITKsp : Investasi per Tenaga Kerja sektor pertanian (Rp/TK) PDRBsp : Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian (Rp) JAK : Jumlah Angkatan Kerja (Jiwa)
KK
Sharex ................................................................................................ (3.24) InvTKst
dengan: KK : Peluang Kesempatan Kerja Share x : Kontribusi sektor x Inv TKsp : Investasi per Tenaga Kerja sektor pertanian
86
3.6.5
Analisis Valuasi Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dalam Pemodelan Sistem Dinamik Analisis valuasi ekonomi pengelolaan sumberdaya pesisir dalam pemodelan
sistem dinamik yang dikembangkan dalam penelitian ini erat kaitannya dengan dasar penilaian untuk pengambilan keputusan suatu kebijakan. Dengan analisis valuasi ekonomi ini diharapkan dapat menghasilkan scientific evidence sebagai basis penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Analisis valuasi ekonomi yang disusun pada sub bab ini terdiri dari valuasi ekonomi penyerapan karbon (carbon sequestration), analisis valuasi ekonomi total (Total Economic Value; TEV) dan analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Ratio; BCR), serta analisis alokasi nilai ekonomi terbaik (the best economic allocation) . 3.6.5.1
Analisis Valuasi Ekonomi Penyerapan Karbon (Carbon Sequestration) Pengembangan konsep metodologi valuasi fungsi penyerapan karbon (carbon
sequestration) di kawasan TN Sembilang didasarkan pada konsep nilai ekonomi serta berbagai metode penilaian. Konsep valuasi penyerapan karbon
ini muncul dan
didasarkan pada suatu fenomena jika karbon tidak dapat disimpan, maka CO2 akan dilepas ke atmosfir dan berefek perubahan iklim global. Dengan demikian nilai ekonomi penyerapan karbon ini dapat dikemas dalam konteks perubahan iklim global dan metode alternatif untuk mengurangi emisi GRK ke atmosfir. Dalam konteks perubahan iklim global serta tujuan studi ini, maka nilai karbon yang tersimpan dalam suatu ekosistem mangrove harus dapat diestimasi. Gunanya untuk mendapatkan kompensasi sebagai upaya menstabilkan perubahan iklim. Apabila perubahan iklim tidak dapat distabilkan, maka diprediksi dapat menimbulkan dampak : (1) Peningkatan temperatur; (2) Perubahan variabilitas curah hujan antar wilayah; (3) Peningkatan frekuensi kejadian ekstrim, seperti banjir dan kekeringan; serta (4) Kenaikan permukaan laut. Dalam valuasi ekonomi penyerapan karbon, Kulshresta et al. (2000) membagi berdasarkan dua kategori
kerugian: (1) Kerugian akibat perubahan iklim yang
dapat dinilai, diketahui dan diterima oleh masyarakat; (2) Kerugian tidak dapat diestimasi, meskipun ada keinginan publik untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang membahayakan. Dalam kategori pertama, ketika suatu dampak perubahan iklim terjadi, biasanya direspon dengan pola adaptasi atau dengan melakukan aktivitas yang lebih ramah lingkungan. Metode valuasi pola adaptasi ini dapat dilakukan dengan dua
87
cara, yaitu : (1) Metode menghindari kerusakan (Avoided Damages Method); (2) Keinginan masyarakat untuk membayar (willingness to pay) dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM). Dalam studi ini, metode valuasi pola adaptasi relatif sulit untuk digunakan, karena prediksi penyerapan karbon tidak dilakukan dalam konteks ini. Namun demikian, dalam perspektif global, Azar and Sterner (1996) melakukan penilaian karbon dalam konsep ini sebesar US$ 348-790 USD tCO2-1. Berbeda dengan Nordhaus (1991) yang menilai hanya sekitar 5,3 USD tCO2-1 (Kulshresta et al. 2000). Dalam kategori kedua dimana kerugian tidak dapat diestimasi, meskipun ada keinginan publik untuk mereduksi efek perubahan iklim. Dampak perubahan ini biasanya direspon masyarakat melalui pola-pola mitigasi, yaitu suatu tindakan untuk mengurangi emisi GRK dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Diantara berbagai metode yang dapat diaplikasikan dalam strategi mereduksi emisi adalah : (1) Metode biaya alternatif; (2) Metode basis pasar; (3) Metode biaya opportunitas sosial marginal. Berkaitan dengan penelitian ini, maka strategi yang digunakan adalah strategi
valuasi sekuestrasi. Metode yang dapat
digunakan dalam strategi ini adalah : (1) Metode penggantian biaya (Replacement Cost Method); dan (2) Metode biaya substitusi (Substitute Cost Method) (lihat Gambar 19). Analisis biaya pengelolaan TN Sembilang diperlukan untuk komparasi antara biaya dan manfaat dari ekosistem tersebut. Biaya pengelolaan sebagai harga pokok serta potensi penyerapan CO2 yang terhindarkan atau potensi net carbon offset, sesungguhnya merupakan suatu pendekatan untuk menilai Payment for Ecosystem Services (PES) dimana pihak yang memperoleh manfaat dari layanan ekosistem akan membayar pihak yang mengelola ekosistem tersebut (Smith & Applegate 2004). Dalam konteks penelitian ini PES dilakukan untuk mencari manfaat ekosistem sumberdaya yang dihitung berdasarkan potensi emisi CO2 yang terhindarkan (avoided emission) atau net carbon offset dan penggantian biaya (replacement cost) serta biayabiaya lainnya (transaction cost) sebagai biaya pokok (basic price) IUPJL TNS. Untuk selanjutnya nilai manfaat ekosistem dari net carbon offset tersebut dijadikan dasar penilaian pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+.
88
Nilai Karbon (dalam konteks perubahan iklim)
Adaptasi
Mitigasi
WTP
Avoided Damages Method
Alternative Cost Method
Valuasi reduksi emisi
Market Method
Retrofitting
Valuasi sekuestrasi karbon
Replacement Cost Method
Substitute Cost Method
Market Price Method
Afforestation/ Reforestation
Land Cover Changes
Emission Trading National&Int’l
Reduced Deforestation
Soil Carbon Sequestration
Sustainable/ Intensive Forest Management for Carbon Storage
Geological Storage
Alt. teknology Renewable teknology Marginal Social Opportunity Cost Method Constrained Industrial Activity Linked to Emissions
Management of Grasslands for Carbon Storage
Gambar 19 Taksonomi valuasi ekonomi penyerapan karbon (Dimodifikasi dari Kulshreshta et al. 2000)
3.6.5.2
Analisis Nilai Ekonomi Total dan Analisis Biaya-Manfaat Sumberdaya alam pesisir seperti mangrove memiliki peranan ekonomi yang
dapat dieksploitasi dan peranan ekologis yang dapat dikonservasi. Oleh karena itu perlu dinilai (valuasi) secara komprehensif. Krutila (1987) mengajukan suatu konsep nilai ekonomi total (total economic value), yang terdiri dari use value dan non-use value. Perman et al. (1996) mengklasifikasikan use value ke dalam current use value dan option value. Sementara itu Barton (1994) membaginya ke dalam direct use value, indirect use value dan option value. Teknik valuasi ekonomi ekosistem tersebut pada dasarnya merupakan derivative dari teknik yang lebih umum yang disebut Benefit-Cost Analysis. Proses penghitungannya dapat dilakukan melalui dua tahap, yaitu : (1) Identifikasi manfaat
89
atau fungsi ekosistem hutan mangrove, dan identifikasi biaya; (2) Analisis manfaat dan biaya pada sumberdaya tersebut. Dalam konteks penelitian pemodelan ini, biaya manfaat ekosistem menggunakan data hipotetis ekosistem mangrove yang relevan dan berada pada suatu wilayah ekologis daerah penelitian. Data biaya manfaat konservasi habitat di Selat Malaka yang digunakan Kusumastanto et al. (1998) secara rinci disajikan pada Tabel 11. Dalam identifikasi manfaat dan biaya, menghitung nilai ekonomi atas dasar manfaat langsung (use value) dan menilai manfaat tidak langsung (non use value). Penilaian terhadap non use value yaitu berupa nilai keberadaan (exsistence value), nilai pilihan (quasi option value) serta manfaat nilai fisik seperti pelindung pantai atau preservasi (bequest value). Tabel 11 Data hipotetis manfaat dan biaya ekosistem mangrove Biaya/ Manfaat Manfaat
Fungsi Ekosistem DUV : -Standing stock/kayu -Ikan -Wildlife IUV : Biodiversity OV : Nilai Fisik EV : Nilai Eksistensi Total Manfaat Investasi
Biaya
Nilai (USD ha-1 th-1) 165 1.522,24 8,22 15,00 726,26 2.516,40 4.953,12 190,39
Asumsi Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Per 5 tahun dan kenaikannya mengikuti proyeksi NFIA
DUV : -Standing Stock 108,57 -Ikan 681,95 -Wildlife 0,59 Total Biaya 981,50 Nilai Total Ekonomi 3.971,62 Keterangan: NFIA : Net Factor Income from Abroad, yaitu proporsi output negeri. NFIA 1980-1993: 3-5% th-1 (World Bank 1996). Sumber : Kusumastanto et al. (1998).
Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA
yang dimiliki sektor luar
Formulasi Total Economic Value (TEV) adalah sebagai berikut (Kusumastanto 2000): TEV = (DUV + IUV + OV) + (EV + BV) .....................................................(3.25) dengan: DUV : IUV
:
OV
:
Direct Use Value (nilai guna langsung), adalah output (barang dan jasa) yang terkandung di dalam suatu sumber daya yang secara langsung dapat dimanfaatkan Indirect Use Value (nilai guna tak langsung), adalah barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumber daya tidak secara langsung dapat diambil dari sumber daya alam tersebut; Option Value (nilai opsional), adalah potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan di waktu mendatang dengan asumsi sumber daya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanent.
90
EV
:
BV
:
Nilai ini merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejumlah uang agar dapat memanfaatkan potensi SDA di waktu mendatang; Existence Value (nilai keberadaan), adalah nilai keberadaan suatu sumber daya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil daripadanya; Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai subyektif yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumber daya alam; Bequest Value (nilai pewarisan), adalah nilai yang berkaitan dengan perlindungan atau pengawetan (preservation) suatu sumber daya agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang sehingga mereka dapat mengarnbil manfaat daripadanya sebagai manfaat yang telah diambil oleh generasi sebelumnya.
Dalam analisis manfaat dan biaya, penilaian ekonomi dikaji dan dihitung berdasarkan pengelolaan konservasi dimana sumberdaya yang dimiliki dikelola secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan tingkat suku bunga tertentu (interest rate) serta transaction cost yang relevan untuk pengelolaan ekosistem.
Dalam konteks
penelitian ini, program carbon crediting yang diusulkan adalah untuk kepentingan masyarakat secara luas, sehingga yang dipakai adalah the social opportunity cost of capital (SOCC), yaitu manfaat (benefit) yang hilang karena kapital digunakan untuk suatu program (the opportunity forgone). Hal ini bermakna bahwa manfaat yang hilang itu dapat diperoleh dengan memakai kapital
tersebut dalam penggunaan alternatif
paling menguntungkan yang belum terpenuhi. Untuk penilaian alternatif alokasi sumberdaya TN Sembilang, metode analisis yang digunakan adalah cost-benefit analysis untuk memaksimumkan kesejahteraan sosial dengan alokasi sumberdaya secara efisien.
Strategi alokasi sumberdaya
disesuaikan dengan potensi ekosistem tersebut serta market opportunity
yang
memungkinkan untuk diusulkan dalam skema REDD+. Kriteria yang digunakan untuk pendekatan ini adalah tolok ukur nilai kini bersih (Net Present Value, NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Economic Internal Rate of Return (EIRR). Formulasi secara matematis adalah sebagai berikut (Kusumastanto 2003; Dixon & Hufschmidt 1986). NPV dengan: NPV : Bd : Cd : Be : Ce : M :
( Bd Cd ) ( Be Ce ) M ........................................................................ (3.26) (1 r ) t
Net Present Value Benefit dari kebijakan/program pembangunan Cost dari kebijakan/program pembangunan Benefit dari lingkungan pada kebijakan/program pembangunan tsb. Cost dari lingkungan pada kebijakan/program pembangunan tsb. Initial investment mitigasi untuk menghindari efek negatif dari kebijakan (dalam konteks penelitian ini adalah biaya carbon sequestration) t : 0,1,2,3,…n (n=25 th) kerangka waktu IUPJL pengelolaan TNS (Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009) r : Tingkat bunga (interest rate) dinamakan juga sebagai “the discount rate” atau “the discount faktor (DF)”. Kriteria kelayakan : NPV yang positif atau lebih besar dari nol.
91
Dengan menggunakan kerangka waktu IUPJL pengelolaan TNS selama 25 tahun, maka formulasi secara matematis adalah sebagai berikut : NPV
( B0 C 0 ) ( B1 C1 ) ( B2 C 2 ) ( B C t ) ........................................... (3.27) .... t 2 1 (1 r ) (1 r ) (1 r ) t
dengan: Bt : Benefit dalam periode waktu t Ct : Cost dalam periode waktu t .
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) merupakan nilai komparasi antara present value dari net income yang positif (Bt – Ct > 0) dengan present total value dari net income negatif (net costs) (Bt – Ct < 0). Formulasi Net B/C adalah sebagai berikut: n
NetB / C t 1
Bt C t () ................................................................................... (3.28) Bt C t ()
dengan: Net B/C : Rasio biaya-manfaat suatu kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir (program/proyek) dalam hal ini IUPJL sumberdaya pesisir berbasis REDD+ t : Kerangka waktu (time frame) Kriteria kelayakan : B/C sama dengan atau lebih besar dari satu
Kriteria lainnya adalah tingkat investasi economic internal rate of return (EIRR), yaitu suatu tingkat bunga (discount rate) yang menunjukkan bahwa jumlah nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh biaya investasi. Dengan perkataan lain EIRR merupakan suatu tingkat bunga dimana seluruh net cash flow sesudah di- present value sama jumlahnya dengan investment cost, project cost atau initial cost. Formulasi secara matematis adalah sebagai berikut : EIRR r ( r r )
NPV NPV NPV
................................................................ (3.29)
dengan: r+ : r: NPV+ : NPV- : EIRR :
interest rate yang menghasilkan NPV positif interest rate yang menghasilkan NPV negatif NPV pada interest rate r+ NPV pada interest rate rEconomic Internal Rate of Return, tingkat kemampuan pengembalian biaya program non komersial. Kriteria kelayakan : EIRR > r (interest rate atau the opportunity cost of capital/OCC).
3.6.5.3
Analisis Alokasi Ekonomi Terbaik (The Best Economic Allocation Analysis) Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, basis pengambilan keputusan
kebijakan alokasi sumberdaya akan lebih tepat jika didasarkan pada aliran ekonomi neoklasik dan paradigma ekonomi kelembagaan. Pandangan neoklasik menekankan pada masalah efisiensi pemanfaatan sumberdaya dimana kriteria pengambilan kebijakan
92
berdasarkan kriteria pareto optimum. Dalam hal ini alokasi pemanfaatan sumberdaya dapat
meningkatkan benefit kepada satu individu dan memberikan dampak pada
turunnya benefit kepada individu lainnya (Kusumastanto 2000). Oleh karena itu basis pengambilan keputusan diantara berbagai opsi pemanfaatan sumberdaya
harus
didasarkan pada aspek efisiensi optimum. Sementara itu aliran ekonomi kelembagaan berfokus pada kepentingan individu dan publik dimana satu sama lain tidak dapat saling terpisah. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik merupakan bagian dari pemikiran tentang kesejahteraan individu dan sosial, hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pada sisi lain pendekatan ekonomi kelembagaan mengutamakan pendefinisian property right dan rule of the game terhadap keseluruhan stakeholders. Sebagai akibatnya, pendekatan ini bukan saja menawarkan kelebihannya pada pendalaman memahami persoalan secara holistik, tetapi juga pada pencapaian tujuan-tujuan sosial. Atas dasar dua aliran pemikiran pengelolaan sumberdaya alam tersebut, selanjutnya Kusumastanto (2002) menyatakan
bahwa dalam pemanfaatan alokasi
ekonomi terbaik itu perlu disertai instrumen kebijakan yang saling komplementer dan integratif antar sektor, berdampak sistemik terhadap perekonomian, efektif secara ekonomi dan kelembagaan serta harus membangun kemandirian ekonomi rakyat. Oleh karena itu the best economic allocation pada pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove diusulkan pada opsi pemanfaatan rendah emisi CO2, memberikan keuntungan secara ekonomi dan mampu menyediakan lapangan kerja untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Terdapat dua opsi pemanfaatan kawasan TNS, yang terbagi pada dua skenario model BAU dan model CC adalah sebagai berikut: 1. Skenario model BAU : 1) Opsi Pemanfaatan : “Konservasi Mangrove” (KM) 2) Opsi Pemanfaatan: “Shrimp Sylvofishery (Sylfish) atau tambak udang. 2. Skenario model CC : 1) Opsi Pemanfaatan : “Mangrove Carbon Crediting” (MCC) 2) Opsi Pemanfaatan: “Shrimp Sylvofishery (Sylfish) atau tambak udang. Opsi pemanfaatan mangrove sustainable management pada skenario model carbon crediting, dirancang berbasis perdagangan karbon dengan mekanisme REDD+. Sementara itu, opsi pemanfaatan “Sylfish” (sylvofishery)
yaitu areal yang sudah
diokupasi masyarakat diusulkan tetap dipertahankan untuk tambak udang (shrimp sylvofishery). Tujuannya adalah untuk menghindari konflik dengan masyarakat
93
setempat. Namun demikian, dalam opsi pemanfaatan “Sylfish” ini
dilakukan
pengaturan pengurangan luasan secara berkala dalam setiap tahunnya. Selanjutnya
terhadap kedua opsi pemanfaatan tersebut dianalisis secara
komparatif berdasarkan kriteria-kriteria: -
Tingkat serapan karbon terestrial (carbon sink) dan emisi karbon yang dilepaskan (carbon source) serta reduksi emisi berdasarkan persamaan-persamaan (3.9), persamaan (3.10), persamaan (3.11), persamaan (3.12), persamaan (3.13) dan persamaan (3.14).
-
Tingkat penyerapan tenaga kerja sektor berdasarkan persamaan (3.22), persamaan (3.23) dan persamaan (3.24).
-
Tingkat NPV
berdasarkan persamaan (3.25), persamaan (3.26) dan persamaan
(3.27). 3.6.6 Pendekatan Sistem Dinamik Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa untuk mencari solusi terbaik dalam menganalisis dinamika ekosistem pesisir
yang kompleks
adalah dengan
pendekatan sistem dinamik. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem pada jalur waktu (time path). Untuk memudahkan dalam penyusunan pemodelan sistem dinamik ini, maka diperlukan tahapan pendekatan sistem serta tahapan pemodelan. 3.6.6.1
Tahapan Pendekatan Sistem Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang
sistematis. Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, validasi model dan implementasi.
Tahapan pendekatan sistem dinamik secara diagramatik
disajikan pada Gambar 20. a.
Analisis Kebutuhan. Dalam konteks penelitian ini, proses pentahapan pendekatan sistem dimulai
dengan penyusunan database hasil penelitian lapangan, selanjutnya data ini akan amerepresentasikan keragaan tata guna lahan di luar kawasan (FA) serta di dalam kawasan TNS (melalui analisis SIG) maupun keragaan masyarakat pesisir. Dalam keragaan tata guna lahan ini
terdapat pemangku kepentingan (stakeholder) yang
94
memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam, baik terhadap hutan lahan kering di FA maupun hutan mangrove di TNS.
Dua entitas ini merupakan satu kesatuan
komunitas (stakeholder) yang sama-sama berkepentingan terhadap kawasan pesisir TNS. Stakeholder tentunya memiliki serangkaian kebutuhan-kebutuhan serta berbagai pandangan terhadap sumberdaya alam. Oleh karena itu sejumlah kebutuhan tersebut perlu dieksplorasi secara obyektif. Kebutuhan para stakeholders ini pada umumnya adalah menyangkut area hutan, baik kebutuhan yang direncanakan (planed deforestation) seperti RUTR maupun yang tidak direncanakan (unplaned deforestation) seperti perambahan hutan.
Mulai
Analisis SIG
Data Base
Tata Guna Lahan di Frontier Area dan di TNS
Keragaan Masyarakat di Frontier Area
A Stakeholder Pemodelan Sistem
Validasi Model Analisis Kebutuhan No
Formulasi Permasalahan
Memuaskan
No
Yes
Identifikasi Sistem Implementasi
A
No
Memuaskan
Yes
Simulasi Model
Implikasi Kebijakan
Gambar 20 Tahapan pendekatan sistem dinamik
No
95
b.
Formulasi Permasalahan. Pada umumnya pengusahaan sumberdaya pesisir berhubungan dengan beragam
variasi dari aktivitas pembangunan, dampak lingkungan dan polusi serta problematika pengelolaan pesisir lainnya.
Secara dimensional hal ini akan sangat mempengaruhi
eksistensi sumberdaya pada masa kini dan pada masa yang akan datang. Atas dasar pemikiran itulah maka disusun suatu pendekatan paradigma pembangunan dengan menggunakan pemodelan sistem dinamik yang mendorong disusunnya penelitian ini dengan
suatu perumusan masalah sebagai berikut : Adanya konversi hutan lahan
kering di FA secara terencana (planned deforestation) berdasarkan kebijakan RUTR maupun secara tidak terencana (unplanned deforestation) seperti perambahan hutan untuk tambak dan pemanfaataan lainnya (di dalam kawasan TNS) maupun adanya illegal logging di luar kawasan TNS (FA). Kondisi hutan lahan kering dan hutan mangrove di kawasan ini telah mengalami deforestasi dan degradasi. Kecenderungan
deforestasi
dan
degradasi
sumberdaya
hutan
tersebut
diprediksi dapat menimbulkan potensi emisi CO2 di masa yang akan datang. Selain itu juga diprediksi terjadi pencemaran limbah domestik berbagai aktifitas di upland area serta
pendangkalan habitat teluk sekitar TNS akibat proses sedimentasi Sungai
Sembilang, serta beberapa sungai kecil: Benu, Ngirawang, Air Tawar, Solok Buntu serta Bakarendo. c.
Identifikasi Sistem. Konsep identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan sebab akibat antara
berbagai kebutuhan dan masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Hal ini sering digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat
(causal-loop). Untuk ketepatan dalam mengidentifikasi sistem, diperlukan pembatasan sistem dari lingkungan sistem (fisik dan non-fisik/konseptual). Lingkungan sistem yaitu semua elemen-elemen yang mempengaruhi sistem secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan, sedangkan batas sistem yaitu yang membatasi sistem dari lingkungannya. Dengan demikian, pembatasan sistem ini memerlukan simplifikasi diagram lingkar sebab akibat (causal loop) antar variabel yang akan dimodelkan. Diagram alir sebab akibat (causal-loop) disajikan pada Gambar 21. Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat, kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan itu dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian dapat
96
dibangun hubungan umpan balik (causal loop) untuk semua variabel dalam pengusahaan sumberdaya pesisir yang membentuk rantai terbuka. Dalam hal ini penelitian
dilakukan di alam (lingkungan), sehingga dapat dikatakan membentuk
sebuah rantai terbuka, karena sumberdaya alam secara alamiah dapat merespon efek negatif dan membentuk pertahanan diri untuk proses pemulihan menuju keseimbangan alam berdasarkan mekanisme carrying capacity. + +
-
Hutan FA
-
+
In migrasi
-
Penduduk
-
-
-
Mangrove TNS
-
+
+ Income per kapita
Agric di FA Tambak
-
APL
Trans& settlement
-
PDRB
+ +
+ +
+
+
+
Def dan Deg SD Pesisir
-
IUPJL TNS
+
+
Pajak & retribusi
+
+ Emisi CO2
+
Carbon Crediting
Carbon Offset
+
+
Gambar 21 Simplifikasi diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop) model dinamik pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+
Sementara itu, pembatasan secara fisik meliputi batas wilayah penelitian, sedangkan batas konseptual merupakan batas permasalahan yang difokuskan pada interaksi antar sub sistem utama. Terdapat tiga sub-sistem utama, yaitu (1) Sub-sistem Lingkungan, terdiri dari penggunaan area hutan di luar kawasan (FA)
maupun di
dalam kawasan TNS, (2) Sub-sistem Ekonomi, yaitu aktivitas konsesi pengelolaan TNS melalui IUPJL, (3)
Sub-sistem Sosial, yaitu
jumlah populasi penduduk yang
mempengaruhi tekanan terhadap penggunaan lahan, baik di FA maupun di dalam kawasan TNS. Ketiga variabel tersebut merupakan variabel pendukung (state variable)
97
dalam membangun model konseptual, berinteraksi satu sama lain dengan variabel lainnya (non-state variable) membentuk hubungan sebab akibat (causal loop) negatif maupun positif. Seluruh variabel yang berinteraksi ini membentuk suatu aliran yang dapat mempengaruhi net carbon offset. Sebagaimana disajikan pada gambar causal loop tersebut di atas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk memerlukan lahan, baik untuk kebutuhan pangan (agriculture) maupun
settlement (transmigrasi dan pemukiman), sehingga dapat
mengurangi (negation) luas hutan
di FA (termasuk hutan pada APL) maupun luas
hutan di TNS. Demikian selanjutnya kecenderungan ini dapat meningkatkan deforestasi dan degradasi hutan yang dapat menyebabkan tingkat emisi CO2 di udara semakin tinggi. Tingkat emisi CO2 selanjutnya dapat mereduksi net carbon offset. Variabel net carbon offset merupakan jumlah emisi CO2 terhindarkan antara emisi CO2 yang dilepas ke udara dengan emisi CO2 yang dapat disekuestrasi oleh tanaman. Selanjutnya jumlah net carbon offset ini
merupakan komoditas yang
diperdagangkan, sehingga hal ini dapat mempengaruhi secara positif tingkat carbon crediting, yang selanjutnya dapat mempengaruhi pemegang konsesi IUPJL. Apabila konsesi IUPJL menguntungkan, maka hal ini dapat meningkatkan kualitas ekosistem TNS, maupun share terhadap ekonomi wilayah semakin tinggi melalui pajak dan retribusi. Selanjutnya hasil identifikasi sistem ini diinterpretasikan ke dalam konsep “kotak gelap” (black box) dan dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu : (1) peubah input, (2) peubah output, dan (3) parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. Diagram input-ouput sistem pengelolaan sumberdaya pesisir TNS disajikan pada Gambar 22. Peubah input terdiri dari dua macam, yaitu yang berasal dari luar sistem (input eksogen) atau input lingkungan, dan
yang berasal dari dalam sistem (input endogen).
Input eksogen dalam hal ini adalah peraturan dan perundangan, kebijakan pemerintah, serta iklim mikro di kawasan pesisir TN Sembilang dan sekitarnya. Input endogen terdiri dari dua macam yaitu input yang terkendali dan input tidak terkendali. Input terkendali dapat divariasikan selama operasi untuk menghasilkan perilaku sistem sesuai dengan yang diharapkan. Variabel input terkendali dalam kasus ini terdiri dari konversi hutan yang direncanakan (planned deforestation), laju natalitas serta manajemen pengelolaan kawasan pesisir TNS. Sedangkan input tak terkendali terdiri dari variabel-variabel konversi hutan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation), laju inmigrasi serta fluktuasi harga karbon di tingkat internasional.
98
INPUT LINGKUNGAN Peraturan & perundangan Kebijakan pemerintah Iklim mikro
INPUT TAK TERKENDALI
Konversi hutan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation), perambahan, pemukiman liar Laju inmigrasi Fluktuasi harga karbon internasional
OUTPUT DIKEHENDAKI
Rencana tata ruang integratif Payment for Ecosystem Services tinggi Distribusi hasil PES pada masyarakat tinggi Net Carbon Offset tinggi
SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERKELANJUTAN BERBASIS REDD+
INPUT TERKENDALI
Konversi hutan yang direncanakan (planned deforestation) Laju natalitas Efisiensi pengelolaan kawasan TNS
OUTPUT TAK DIKEHENDAKI Deforestasi dan degradasi hutan Payment for Ecosystem Services rendah Distribusi hasil PES pada masy. rendah Emisi CO2 tinggi
PARAMETER RANCANG BANGUN Carrying capacity carbon offset thd tambak Keseimbangan biomassa dan emisi CO2 OCC terhadap kelayakan ekonomi
MANAJEMEN PENGENDALIAN SUMBERDAYA PESISIR
Gambar 22
Diagram input-output sistem pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+
Peubah output terdiri dari dua macam yaitu output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Output dikehendaki merupakan hasil dari adanya pemenuhan kebutuhan yang telah ditentukan secara spesifik pada tahap analisis kebutuhan, sedangkan output tidak dikehendaki merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output dikehendaki. Parameter rancangan sistem adalah parameter yang mempengaruhi input sampai proses transformasi menjadi output. Parameter rancangan sistem cenderung konstan, namun apabila terjadi perubahan kondisi lingkungan, dalam beberapa hal dapat diubah untuk memperbaiki kemampuan sistem agar tetap berjalan baik.
99
Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan
(2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu
keputusan rasional. Setelah diketahui semua faktor penting yang ada serta struktur model kuantitatif telah dibuat, kemudian proses selanjutnya adalah penyusunan pemodelan sistem, validasi model, implementasi model serta simulasi model. Proses simulasi model merupakan suatu teknik penunjang keputusan. Proses simulasi ini merupakan aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulankesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras dimana hubungan sebab-akibatnya sama dengan sistem yang sebenarnya. Untuk mendapatkan kesimpulan atau implikasi kebijakan hasil yang optimal, maka proses simulasi dapat diintegrasikan dengan variabel lainnya yang dianggap penting dan menunjang keputusan dalam hal ini adalah hasil deliniasi tata guna lahan. 3.6.6.2
Tahapan Pemodelan Sistem Dinamik Pemodelan merupakan suatu gugus aktivitas pembuatan model. Secara umum
pemodelan didefinisikan sebagai suatu abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno 2003).
Membangun model merupakan proses coba-coba yang dilakukan
secara berulang dengan tahapan pemodelan yang sistematis. Tahapan pemodelan meliputi : (1) Seleksi konsep, (2) Rekayasa model, (3) Implementasi komputer, (4) Validasi , (5) Analisis sensitivitas, (6) Aplikasi dan Simulasi model. Penjelasannya adalah sebagai berikut : (1) Tahap seleksi konsep, dimulai dengan menguraikan komponen-komponen yang akan mempengaruhi efektivitas sistem.
Seleksi konsep awal yang dibangun
terdiri dari tiga sub model global, yaitu : (1) Pemanfaatan sumberdaya alam di luar kawasan (FA) dan di dalam kawasan TNS (Lingkungan), (2) Aktivitas pengelolaan dan pengusahaan kawasan TNS (Ekonomi); serta (3) Keragaan populasi penduduk (Sosial). Elemen-elemen pembangun sistem diperoleh baik dari database melalui penelitian lapangan (data primer dan sekunder) maupun data dan informasi dari peneliti sendiri yang diyakini merupakan variabel yang mempengaruhi sistem pengelolaan sumberdaya pesisir. (2) Tahap rekayasa model, yaitu menetapkan jenis model abstrak yang diterapkan. Berdasarkan karakteristik wilayah penelitian serta kompleksitas permasalahan yang ada, diprediksi memiliki spektrum dampak cukup luas dan multidimensi. Oleh
100
karena itu jenis model yang dipilih adalah model simbolik, yaitu melakukan penyederhanaan (simplifikasi) permasalahan kedalam
persamaan-persamaan
matematik. (3) Tahap implementasi komputer, yaitu model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaan matematik. Teknik dan bahasa komputer yang digunakan disini adalah perangkat lunak (software) I-Think Ver. 6.1 dari High Performance Systems (HPS 1994). (4) Tahap verifikasi dan validasi model, adalah suatu upaya penyimpulan dari model yang telah disusun merupakan representasi dari sistem aktual. Langkah ini merupakan proses secara berulang (iteratif) berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. (5) Tahap Analisis sensitivitas, dilakukan untuk menentukan peubah keputusan yang relevan dan cukup penting guna ditelaah lebih lanjut pada aplikasi model. Variabel keputusan dapat berupa parameter rancang bangun atau input variabel keputusan. Tahap ini penting dilakukan untuk mereduksi variabel-variabel yang kurang penting, sehingga pemusatan studi lebih ditekankan pada variabel-variabel kunci. Hal ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari pengambilan keputusan. (6) Tahap aplikasi dan simulasi model, adalah proses akhir digunakannya model pada berbagai keperluan dalam penyusunan kebijakan. Tahapan pemodelan tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut : a.
Tahap Konstruksi Model Konstruksi model yang disusun terdiri dari : (1) Konstruksi model konseptual,
dan (2) Konstruksi model implementasi.
Konstruksi model konseptual merupakan
model secara global yang dibangun atas tiga sub model utama, yaitu (1) Pemanfaatan ruang di luar kawasan (FA) dan di dalam kawasan TNS (Sub-sistem Lingkungan), (2) Aktivitas pengelolaan dan pengusahaan kawasan TNS (Sub-sistem Ekonomi); serta (3) Keragaan populasi penduduk (Sub-sistem Sosial). Konstruksi model konseptual pada konteks penelitian ini merupakan pemodelan antara sistem lingkungan, penduduk serta aktivitas pengusahaan ekonomi yang diintegrasikan dengan data spasial. Konstruksi model implementasi adalah untuk mensimulasi hubungan antar subsistem terestrial (lingkungan), pengusahaan TNS (ekonomi), dan penduduk (sosial). Konstruksi model yang dikaji adalah mengkomparasi antara konstruksi model pengelolaan dengan cara saat ini (model business as usual; BAU) dimana kawasan TNS dikelola secara konservasi sedangkan pemanfaatan sumberdaya di FA untuk
101
pembangunan ekonomi, dibandingkan dengan konstruksi skenario model pengelolaan ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) berbasis REDD+ (model carbon crediting). Pada simulasi model ini diharapkan dapat memprediksi potensi emisi CO2 terhindarkan (avoided emission) di masa yang akan datang pada dua skenario model tersebut. Kecenderungan output sistem yang dihasilkan dari
simulasi ini dapat
digunakan sebagai acuan dalam menyusun kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. b.
Tahap Verifikasi dan Validasi Model Aspek penting dalam pembuatan model adalah pemilihan kriteria kecocokan
validasi yang mencapai kesesuaian pertukaran atau imbal-balik (trade-off) antara tingkat kesesuaian sistem dan kompleksitas model. Oleh karena itu perlu verifikasi dan validasi model. Verifikasi adalah memeriksa sintesa sistem dengan logika atau analisis secara teoritik. Verifikasi dapat dibedakan berdasarkan tahapan pemodelannya, yaitu verifikasi model konseptual dan verifikasi logis. Verifikasi model konseptual adalah pengujian relevansi asumsi-asumsi dan teori-teori yang dipegang oleh pengambil keputusan dan analis dalam melakukan cara pandang (point of view) situasi masalah. Sementara itu, verifikasi logis merupakan tahap memeriksa, dilibatkan atau diabaikannya suatu variabel atau hubungan, sehingga aspek yang perlu diperhatikan dalam formulasi model adalah ukuran performansi sistem. Validasi merupakan
tahap akhir dalam pengembangan pemodelan untuk
memeriksa model dengan meninjau apakah output model sesuai dengan sistem nyata. Tahap validasi model dilakukan untuk menjawab dua hal berikut, yaitu 1) Apakah model konsisten terhadap realitas yang digambarkannya, 2) Apakah model konsisten dengan tujuan kegunaan dan hal yang dipermasalahkannya. Uji validasi model dilakukan dengan mengkomparasi antara data historis dengan data sistem yang sesungguhnya. Untuk menguji besaran dan sifat kesalahan dapat digunakan nilai aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan atau RMSPEA (root mean square percent error approximation). Disebutkan bahwa RMSPEA merupakan uji validasi dengan mengukur akar rataan kuadrat persentase perbedaan antara nilai output model (ym) yang disimulasikan dengan nilai output sistem aktual (ys). Formulasinya adalah sebagai berikut (modifikasi dari Sterman 2000): n RMSPEA = 1 / n. y m y s / y s i 1
0.5
............................................................... (3.30)
102 dengan: RMSPEA :
Nilai aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan
ym ys
: :
Nilai output model pada tahun ke-t Nilai output sistem aktual pada tahun ke-t
n
:
Jumlah pengamatan (t=1,2, ... n)
0,5
:
Bilangan akar kuadrat
Nilai kriteria= Batas penyimpangan (error) yang dapat ditoleransi secara statistika <10%
c.
Analisis Sensitivitas Pengujian analisis sensitivitas terhadap model bertujuan untuk menelaah tingkat
kepekaan variabel eksogen yang dapat mendeterminasi naik turunnya variabel endogen dalam model. Dengan uji sensitivitas ini diperoleh variabel mana saja yang memiliki kepekaan tinggi dan lebih realistik terhadap perilaku model. Beberapa variabel eksogen akan dilakukan uji kepekaan terhadap variabel endogen. Variabel eksogen dapat berupa parameter rancang bangun seperti tingkat opportunity cost of capital (OCC) terhadap kelayakan ekonomi yang diukur berdasarkan the net present value (NPV). Pada tingkat OCC tertentu, variabel endogen (NPV) akan merespon sampai pada batas yang dapat ditoleransi model dan masih dapat dikategorikan layak secara ekonomi. Variabel lain dapat juga dilakukan uji coba yang berasal dari input peubah keputusan yang terkendali dan yang tidak terkendali, misalnya dari input tak terkendali berupa fluktuasi harga karbon internasional terhadap kelancaran arus kas perusahaan (cash inflow). d.
Tahap Simulasi Model Simulasi model adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik
kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras (Eriyatno 2003, Ruth dan Hannon 1997). Dalam hal ini hubungan sebab akibatnya sama atau seperti sistem yang sebenarnya. dilakukan secara komparatif pada dua bentuk pemodelan, yaitu
Simulasi model akan (1) Skenario model
business as usual (model BAU without REDD+), dan (2) Skenario model carbon crediting (model CC with REDD+). Skenario ini diharapkan dapat mengukur kecenderungan perbandingan antar model terhadap fenomena laju emisi CO2 yang terhindarkan (avoided emission). Selanjutnya jumlah emisi terhindarkan itu digunakan sebagai basis penilaian carbon crediting sumberdaya hutan mangrove berdasarkan prinsip payment for ecosystem services serta implikasi kebijakan dalam berkelanjutan di masa yang akan datang.
pengelolaan sumberdaya pesisir secara
4 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Batas Administrasi TNS Lokasi TN Sembilang terletak sekitar 1o53’ dari garis equator ke selatan dimana hal ini akan menentukan suhu konstan (26-28oC) yang relatif tinggi terhadap kawasan. Kedekatannya dengan garis equator akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan mangrove maupun kandungan biomassa pada habitat ini. Secara geografis, wilayah TN Sembilang berada pada koordinat
104o11’-
104o94’ Bujur Timur dan 1o53’-2o27’ Bujur Selatan. Secara administratif berada pada wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Luas kawasan TNS mencakup 202.896,31 ha (berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret 2003) yang sebagian besar mencakup hutan mangrove di sekitar sungai-sungai yang bermuara di teluk Sekanak dan teluk Benawang, Pulau Betet, Pulau Alagantang, Semenanjung Banyuasin serta perairan di sekitarnya. Batas-batas kawasan Taman Nasional Sembilang adalah sebagai berikut : Sebelah Utara :
Sebelah Timur : Sebelah Selatan:
Sebelah Barat :
4.1.2. a.
Berbatasan dengan Desa Tanah Pilih dan Sungai Benu (sebagian ruas sungainya dijadikan batas alam antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi) Berbatasan dengan Selat Bangka, Sungai Banyuasin dan Calon Pelabuhan Tanjung Api-Api. Berbatasan dengan Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik, Sungai Lalan, Desa Tabala Jaya, Desa Majuria, Desa Jatisari, Desa Sungsang IV, Perkebunan PT. Citra Indo Niaga dan PT. Raja Palma. Berbatasan dengan Hutan Produksi yang belum dibebani hak dan yang sudah dibebani hak yakni PT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber Hijau Permai, kawasan transmigrasi Karang Agung (Kabupaten Musi Banyuasin).
Kondisi Biofisik
Sistem Pesisir Kondisi geografis wilayah penelitian dianalisis diperoleh berdasarkan informasi
dari berbagai pustaka yang ada serta berdasarkan verifikasi tinjauan lapangan. Dari hasil komparasi tersebut menunjukkan bahwa wilayah studi merupakan suatu sistem pesisir yang didominasi arus pasang surut. Umumnya berasosiasi dengan situasi estuaria yang mendapat pasokan sedimen dari aliran sungai ke pesisir kemudian diredistribusi oleh arus pasang surut. Karaktersitik ini lebih dikenal sebagai estuarine delta. Oleh karena
104
itu untuk wilayah studi Taman Nasional Sembilang (TNS) dan sekitarnya dapat juga dikatakan sebagai wilayah Delta Estuaria Sembilang. Estuarine delta yaitu estuaria yang didominasi arus pasang surut dan semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air, kawasan ini masuk kategori estuaria berstratifikasi parsial. Kategori ini merupakan tipe umum dijumpai pada hilir sungai-sungai yang berada pada kawasan TN Sembilang. Aliran air tawar dari sungai-sungai di kawasan ini seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran air sungai dan air laut ini terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh adanya gerakan pasang surut Selat Bangka. Berdasarkan klasifikasi delta menurut Haslett (2001:112)
serta berdasarkan
pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang memiliki morfologi estuarine delta yang mendapat pasokan sedimen dari aliran sungai ke pesisir kemudian diredistribusi oleh arus pasang surut. Kanal-kanal di kawasan TN Sembilang relatif tidak stabil, mengikuti pasokan arus pasang surut, sehingga untuk masuk ke dalam kawasan ini harus menunggu arus pasang naik (pasang induk). Terdapat banyak sungai yang mengalir ke kawasan TN Sembilang yang memberikan kontribusi pada formasi habitat estuaria. Beberapa diantaranya yaitu : di bagian selatan terdapat Sungai Lalan, Sungai Calik dan Sungai Bungin. Di bagian tengah terdapat Sungai Sembilang, Sungai Benawang, Sungai Ngirawan dan Sungai Terusandalam dan
di bagian utara terdapat Sungai Benu dan Sungai Benu Kiri.
Terbesar adalah Sungai Sembilang dengan rata-rata lebar 777 m, kedalaman 18,56 m dengan kecepatan 0,11 m s-1, dan debit rata-rata 2.335 m3 s-1. Substrat sungai adalah organik pada bagian hulu, sedangkan pada bagian hilir substrat liat. Substrat pantai terdiri atas partikel lumpur yang tersuspensi dalam air sungai dan sebagian adalah substrat pasir. Di daerah berarus deras, substrat yang tertinggal berupa substrat halus. Salinitas air sungai pada kawasan ini rata-rata berkisar antara 1,5 – 24,33 ppt. Kondisi tersebut akan membentuk tingkat kesuburan estuaria yang selanjutnya akan sangat mempengaruhi tingkat kesuburan biota khususnya hutan mangrove. Gerakan pasang surut seringkali antara 1,6 dan 2,8 meter bahkan dapat mencapai 3,5 meter selama pasang besar (Danielsen & Verheught 1990 in WIIP 2001). Dampak pasang surut mencapai hingga jauh ke daratan, mempengaruhi hampir seluruh bagian kawasan konservasi. Tipe pasang surut di sekitar Sembilang terjadi pada siang hari, yaitu hanya satu terdiri dari satu kali pasang naik dan satu kali surut harian (tipe D). 104
105
Legenda Tipe A
Semi-diurnal
Tipe B
Mixed tide, umumnya semi-diurnal
Tipe C
Mixed tide, umumnya diurnal
Tipe D
Diurnal
Gambar 23 Distribusi tipe pasang surut di sekitar Sumatera (WIIP 2001) b.
Kondisi Iklim Kondisi iklim kawasan pesisir TNS merupakan iklim tropis dengan rata-rata
curah hujan per tahun sekitar 2.455 mm dengan jumlah bulan basah 6 bulan dan jumlah bulan kering 6 bulan. Musim kering terjadi pada bulan Mei-Oktober, sedangkan musim hujan dengan angin baratdaya yang kuat terjadi pada bulan November-April. Data iklim dari Stasiun Badan Meterologi dan Geofisika terdekat (Statsiun Sungsang) dengan kawasan TN Sembilang menunjukkan dimana rata-rata Curah Hujan bulanan sebesar 205 mm. Sementara itu rata-rata Hari Hujan adalah 11 dengan rata-rata suhu bulanan sebesar 27,3 oC. Kondisi iklim di wilayah penelitian, secara rinci disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 24.
Zona A Zona B
D
Zona C Zona D Zona E
B C
Gambar 24 Zona iklim Sumatera (menurut Oldeman dan Whitten in WIIP 2001)
105
Tabel 12 Kondisi iklim di wilayah Taman Nasional Sembilang Thn/Bln
JANUARI FEBRUARI CH HH CH HH 251 17 139 15 309 18 253 19 245 13 292 18 139 9 218 11 207 13 165 13 416 21 190 15 234 15 149 10 326 22 217 11 230 15 208 14 321 14 185 13 258 16 285 13 312 15 180 14 247 11 260 13 339 15 325 14 245 16 217 13 272 15 219 14 1 1
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rerata B.Basah B.Kering 0 Hasil Analisis : Jumlah Bulan Basah Jumlah Bulan Kering
Sumber
0 : :
MARET CH HH 307 12 240 13 280 14 319 14 272 21 308 19 139 7 237 17 296 17 330 15 353 17 345 17 160 12 75 7 205 14 258 14 1
APRIL MEI CH HH CH HH 338 14 83 9 267 13 201 11 231 11 53 6 336 15 215 11 282 13 177 11 249 12 81 7 451 23 107 8 217 23 145 9 276 9 224 8 327 14 139 5 201 12 188 7 321 13 132 8 207 9 244 12 326 14 138 8 349 21 314 15 292 14 163 9 1 0
0 6 6
0 Keterangan : CH HH
JUNI CH HH 78 0 199 12 271 13 65 6 137 7 165 9 212 11 171 9 198 10 97 8 101 9 92 8 223 10 80 7 157 11 150 9 0
1 : Curah Hujan (mm) : Hari Hujan
: Stasiun Meteorologi dan Geofisika Sungsang, Tahun 2009.
1
JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBER DESEMBER CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH 151 9 0 0 10 0 47 0 157 11 309 12 79 8 143 8 73 6 195 9 231 16 336 13 173 11 99 6 126 9 262 11 314 18 294 11 6 2 4 1 0 0 6 2 124 9 330 13 206 11 119 7 214 11 137 9 210 12 336 14 114 9 75 6 54 3 270 9 322 18 332 13 83 7 136 7 99 8 308 12 267 14 342 15 78 6 141 9 131 9 229 12 321 18 354 17 93 10 128 8 182 10 217 11 251 15 211 12 111 9 39 3 249 11 208 10 212 15 329 15 89 7 87 6 199 10 158 9 233 18 229 11 104 9 33 3 243 12 319 16 207 15 330 19 232 11 51 4 104 7 54 6 322 19 239 18 202 11 79 6 101 7 204 10 277 18 359 21 151 9 5 2 123 8 258 14 516 25 449 24 125 9 76 5 127 7 191 9 264 16 319 15 0 0 0 0 1 1
1
1
1
1
0
0
Jml CH 1870 2526 2640 1762 2462 2576 2527 2567 2514 2547 2381 2618 2343 2505 2987 2455
Jml HH 99 146 141 93 142 141 137 162 139 132 135 149 132 138 172 137
Rerata CH 156 211 220 147 205 215 211 214 210 212 198 218 195 209 249 205
Rerata HH 8 12 12 8 12 12 11 14 12 11 11 12 11 12 14 11
107
Menurut Oldeman & Whitten in WIIP (2001) dimana kondisi iklim ini dapat dikategorikan sesuai dengan Zona C : yaitu 5 hingga 6 bulan berturut-turut bulan basah dan 4 bulan hingga 6 bulan berturut-turut bulan kering. Iklim ekstrim pernah terjadi pada kawasan ini yaitu iklim El Nino pada tahun 1997. Kondisi iklim ini menyebabkan kekeringan terutama pada wilayah bagian barat TNS, sehingga terjadi kebakaran hutan pada beberapa spot di TNS. c.
Kondisi Geologi Tinjauan pustaka geologis (WIIP 2001) menunjukan bahwa TN Sembilang
merupakan bagian dari lahan rawa yang lebih luas dengan formasi sedimen Palembang. Selama era Pleistocene, kawasan tersebut terdapat pada tepi lempeng Sunda, dan pada era Holocene kawasan tersebut mencerminkan propagasi deltaik setelah digenangi air akibat naiknya muka air laut sebagai dampak dari temperatur bumi yang semakin meningkat. Peta geologi Jambi dan Palembang skala 1:250.000 menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang tergolong pada formasi kuarter yang terdiri dari endapan rawa dan endapan alluvial. Secara geomorfologis, kawasan TN Sembilang meliputi tiga satuan lahan, yaitu : (1) satuan lahan marin yang terbentuk dari bahan-bahan yang dibawa oleh gerakan pasang surut dan sungai, terdapat pada bagian timur kawasan, (2) satuan lahan alluvial yang terbentuk dari sedimen sungai dan tergenang secara musiman, terdapat pada bagian tengah kawasan, dan (3) satuan lahan gambut yaitu wilayah rawa dengan bahanbahan organik pekat, terdapat di bagian barat kawasan. Sistem satuan lahan marin pada kawasan TN Sembilang meliputi : (1) pantai pesisir yang terdiri dari : pantai lumpur, pantai pasir, dan beting pasir, (2) dataran pasang surut kearah tengah kawasan yang terdiri dari : dataran pasir pasang surut, dataran lumpur pasang surut, dan rawa pasang surut bagian belakang. Sementara itu wilayah rawa pada kawasan TN Sembilang kearah barat terdiri dari : zona pasang surut payau, zona pasang surut air tawar, dan zona non pasang surut. Kawasan ini datar, dengan ketinggian antara 0 dan 20 meter diatas permukaan laut. Variasi pasang surut mencapai 3,5 meter (Danielsen & Verheught 1990, Verheught 1995 in WIIP 2001). Saat ini, kawasan pesisir TN Sembilang didominasi arus pasang surut (tidedominated delta), tertutupi tanah liat marin muda dan sedimen sungai yang masuk pada kawasan ini. Sebagian besar didominasi oleh sedimen alluvial, termasuk sedimen marin dan sedimen organik di pesisir, dan deposit organik yang biasanya sebagai kubah gambut jauh di daratan. Kubah gambut terdalam terdapat di dekat perbatasan provinsi Jambi, tepatnya di antara Sungai Terusan Dalam dan Sungai Benu. Elevasi kawasan TN Sembilang berkisar antara 0 hingga 20 m dpl, dengan variasi pasang surut hingga 3,5 m
108
(Danielsen & Verheught 1990 in WIIP 2001). Rendahnya elevasi ini menyebabkan rendahnya kecepatan arus sungai yang mengalir pada kawasan ini. Tanah umumnya terdiri dari histosol (termasuk typic haplohemists, typic hydraquents, typic sulfaquents, histic sulfaquent, sodic psammaquents) dan inceptisol (termasuk sulfic endoaquepts dan typic sulfaquepts). Tanah Histosol (gambut) dalam bahasa Yunani disebut histos (jaringan). Tanah ini dibentuk dalam lingkungan jenuh dengan air, juga merupakan tanah yang terbentuk dari pelapukan bahan organik dalam keadaan tergenang. Jika sistem drainase kurang baik dan ekploitasi berlebih, cenderung menghilangkan bentuk asal jaringan tumbuhan yang terdapat dalam bahan organik. Tanah gambut umumnya memiliki kesuburan yang rendah, ditandai dengan pH rendah (masam), ketersediaan sejumlah unsur hara makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) yang rendah, mengandung asam-asam organik yang beracun serta memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi tetapi Kejenuhan Basa (KB) rendah. Typic Haplohemist merupakan gambut dengan tingkat kematangan hemist (setengah matang) sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian lagi berupa serat, memiliki pH rendah. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari dan kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih (1/4 dan < 3/4). Tanah Inceptisol merupakan jenis tanah mineral muda, karena profilnya mempunyai horison yang dianggap pembentukannya agak cepat sebagai hasil alterasi bahan induk. Horison-horisonnya tidak memperlihatkan hasil hancuran ekstrim. Horison timbunan liat dan besi dan almunium oksida tidak terdapat dalam golongan ini. Tanah-tanah yang dulunya dikelaskan sebagai Hutan Coklat, Ando, dan Tanah Asam Coklat merupakan wakil-wakil dari golongan ini. Beberapa tanah yang berguna bagi pertanian digolongkan dengan tanah-tanah yang tingkat produktivitasnya terhambat, karena faktor-faktor seperti drainase yang tidak sempurna. Produktivitas alamiah Inceptisol sangat beragam. Sebagian besar tanah Inceptisol di Indonesia digunakan untuk pertanian padi sawah.
Fluvaquentic Endoaquepts merupakan jenis tanah
Inceptisol yang terbentuk dari endapan tanah
sungai yang berair dengan rezim
kelembaban aquik (jenuh air > 30 hari), memiliki kedalaman firit > 50 cm dengan kroma < 2. d.
Kondisi Ekosistem Mangrove Kawasan mangrove di Sembilang
ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap
dengan fungsi hutan konservasi sebagai Taman Nasional, berdasarkan Keputusan
109
Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896,31 ha. Namun demikian berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 5 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), kawasan ini memiliki luas 205.750 ha yang pada awalnya merupakan penggabungan dari kawasan Suaka Margasatwa (SM) Terusan Dalam (29.250 ha), Hutan Suaka Alam (HSA) Sembilang seluas 113.173 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Sungai Terusan Dalam seluas 45.500 ha dan kawasan perairan seluas 17.827 ha. Kawasan TN sembilang didominasi ekosistem mangrove yang masih utuh sekitar 87.000 ha (TNS 2009).
Meluas ke arah darat hingga 35 km menjadikan
kawasan mangrove ini terluas di Indonesia bagian barat. Keseluruhannya terdapat sekitar 17 spesies mangrove yang ditemukan, yaitu 43% dari seluruh spesies mangrove yang ada di Indonesia, meliputi Sonneratia alba, Avicennia marina (langsung di garis pantai); Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorhiza, dan Xylocarpus granatum (jauh ke daratan pada tanah dengan salinitas rendah dan padat). Berdasarkan pengamatan lapangan dan tinjauan pustaka menunjukkan bahwa secara umum tutupan vegetasi pada kawasan ini dapat dibedakan atas beberapa zonasi sebagai berikut. 1) Zona Pedada (Sonneratia alba – Avicennia sp) Zona ini merupakan zona terluar dengan variasi ketebalan antara 100-500 meter. Pada bagian terluar ditempati oleh perepat/pedada (Sonneratia alba), kemudian disusul dengan api-api (Avicennia sp). Umumnya berada pada zona inti sekitar Pulau Alanggantang, muara Sungai Benawang, muara Sungai Ngirang, terus menyusuri ke utara pantai timur, muara Sungai Terusandalam dan Pulau Betet. Populasi Sonneratia sp yang cukup besar dijumpai di daerah muara yang berlumpur di Sungai Bakorendo hingga Sungai Tiram. 2) Zona Bakau (Rhizophora sp) Zona ini terdapat pada sebagian besar sepanjang saluran-saluran sungai terutama di Sungai Sembilang ke arah sekitar Sungai Bungin dan Acanthus illicifolius dan Sembilang dan sekitarnya illicifolius. 3) Zona Peralihan Vegetasi
hulu sungai. Pada stratum tumbuhan bawah, daerah sebagian besar daerah semenanjung ditumbuhi jenis Achrostichum aureum. Sedangkan daerah Sungai sampai ke utara sangat sedikit dijumpai Acanthus
Zona peralihan vegetasi pada ekosistem mangrove dengan jenis vegetasi yang cukup bervariasi antara api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera gymnorriza), Nyirih (Xylocarpus granatum), dan nipah (Nypa fruticans).
110
4) Zona Nipah (Nypa fruticans) Zona ini merupakan yang paling luas menempati ruang kawasan TN Sembilang, yaitu pada daerah hulu sungai yang pengaruh pasangnya lebih kecil. Seringkali populasi nipah menutupi area lebih dari 50%. Tumbuhan lain yang sering tumbuh bersama nipah antara lain lain Exoecaria agallocha dan Xylocarpus granatum. 5) Zona Nibung (Oncosperma tigillarium) Zona nibung merupakan zona mangrove air tawar dengan spesies indikator antara lain Alstonia pneumatophora dan nibung (Oncosperma tigillarium). Komunitas nibung merupakan ecotone antara komunitas mangrove (nipah) dengan komunitas hutan rawa. Belum ada data ekologi kuantitatif untuk komunitas hutan rawa di kawasan TN Sembilang. Studi oleh Samingan (1980) in WIIP (2001) menunjukkan bahwa untuk komunitas swamp forest di sekitar Karang Agung, spesies yang dominan di strata pohon adalah Ganua motleyana, diikuti oleh Polyalthia laterifolia, Lophopetalum beccarianum dan Xylopia sp. Zona vegetasi dan spesies indikator di kawasan TN Sembilang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 No
Zona vegetasi dan spesies indikator di kawasan TN Sembilang
Zona Vegetasi
Spesies indikator
1
Pedada (Sonneratia alba Avicennia sp)
Sonneratia alba dan Avicennia sp).
2
Zona Bakau (Rhizophora sp) Zona Peralihan Vegetasi
Acanthus illicifolius dan Achrostichum aureum variasi antara api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera gymnorriza), Nyirih (Xylocarpus granatum), dan nipah (Nypa fruticans). Exoecaria agallocha dan Xylocarpus granatum.
3
4
Zona Nipah (Nypa fruticans)
5
Zona Nibung
Nibung (Oncosperma tigillarium), Ganua motleyana, Polyalthia laterifolia, Lophopetalum beccarianum dan Xylopia sp.
Lokasi Pulau Alanggantang, muara Sungai Benawang, muara Sungai Ngirang, muara Sungai Terusandalam dan Pulau Betet, muara Sungai Bakorendo hingga Sungai Tiram. Daerah Sungai Bungin, Sungai Sembilang dan sekitarnya Zona peralihan vegetasi pada ekosistem mangrove dengan jenis vegetasi yang cukup bervariasi antara api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera gymnorriza), Nyirih (Xylocarpus granatum), dan nipah (Nypa fruticans). Daerah hulu-hulu Sungai Ngirang, Benangun, Terusandalam, Bokorendo, Bungin, Tiram dan Sungai Sembilang pengaruh pasang surutnya sedikit Daerah swamp forest di sekitar Karang Agung
Sebanyak 53 spesies mammalia terdapat di TN Sembilang (TNS 2009) diantaranya spesies Berang-Berang yang ada di kawasan Indo-Malaya (Lutra lutra), spesies kucing besar diantaranya
kucing bakau (Felis bengalensis), macan dahan
111
(Neofelis nebulosa), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), juga musang air (Cyanogale bennettii), babi (Sus srofta). Setidaknya terdapat lima primata termasuk ungko (Hylobates agilis), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (M. nemestrina), dan lutung kelabu (Presbytis cristata). Data di Balai TN Sembilang (2009) mencatat paling sedikit 213 spesies burung berada di kawasan ini, termasuk banyak dari spesies residen yang berstatus genting. Spesies burung ini meliputi spesies penetap (resident) yang terancam seperti pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster), koloni terakhir dari undan (Pelecanus philippensis) di region Indo-Malaya, bangau storm (Ciconia stormi), lebih dari 1.000 ekor bangau bluwok (Mycteria cinerea), lebih dari 300 ekor bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), cangak sumatera (Ardea sumatrana), rangkong badak (Buceros rhinoceros), rangkong helm (Rhinoplax virgil), rangkong hitam (Antrhacoceros malayanus), serta lebih dari 25 spesies burung air migran, termasuk 10.000-13.000 trinil-lumpur asia (Limnodromus semipalmatus), 28 ekor trinil nordmann (Tringa guttifer), lebih dari 2.600 gajahan timur (Numenius madagascariensis), dan beberapa ribu individu spesies dara laut (Sternidae). Data lainnya di Balai TN Sembilang mencatat jumlah total burung air pantai yang memanfaatkan dataran lumpur di kawasan ini sekitar 0.5-1 juta ekor dengan sekitar 80.000 ekor dapat dijumpai setiap harinya di Delta Banyuasin. Dataran lumpur Banyuasin juga merupakan tempat mencari makan bagi ratusan bangau bluwok (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan ibis-cucuk besi (Threskiornis melanocephalus), dan juga lebih dari 2.000 spesies kuntul (Ardea alba) (Silvius 1986 in TNS 2009). Kajian Tim Burung Migran Balai TN Sembilang Tahun 2008 mencatat 18 spesies burung migran mengunjungi dataran lumpur Banyuasin dengan perkiraan jumlah 27.410 ekor. Di sungai-sungai dan muara dalam kawasan TN Sembilang, buaya muara (Crocodylus porosus) dan spesies buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) pernah tercatat ditemukan di rawa-rawa air tawar di belakang hutan mangrove. Di samping buaya, kawasan ini juga merupakan habitat bagi berbagai spesies ular seperti ular cincin mas (Boiga dendrophila), ular sawah (Phyton sp.) dan species kura-kura air tawar. Kawasan perairan TN Sembilang kaya akan keanekaragaman spesies ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan laut. Sedikitnya terdapat 142 spesies ikan dari 43 familia, 38 spesies kepiting dan sedikitnya 13 spesies udang dari 9 familia (TNS 2009).
112
Beberapa spesies ikan, udang dan kepiting yang bernilai ekonomi antara lain sembilang (Plotosus canius), kakap (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus tauvina), toman (Channa micropeltes), betutu (Ophiocara porocephala), bawal putih (Pampus argenteus), tenggiri (Scomberomus sexfasciatus), belanak (Mugil voigiensis), udang galah (Macrobrachium rosenbergii), udang lobster (Panulirus sp.), udang petak (Oratosquilla sp.), udang tiger (Penaeus semisulcatus), kepiting bakau (Scylla serrata), kepiting rajungan (Portunus pelagicus), dan sebagainya. 4.1.3. a.
Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi Demografi Kawasan TN Sembilang (TNS) berada pada wilayah Kecamatan Banyuasin II,
Kabupaten Banyuasin. Akan tetapi keberadaan TNS ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas dari masyarakat desa yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan TNS. Sebagaimana wilayah pesisir yang bersifat terbuka, penduduknya merupakan pencampuran antara etnis lokal dan pendatang terutama dari Bugis sekitar tiga puluhan tahun yang lalu. Etnis ini tersebar di wilayah pesisir Sungsang, kawasan Sungai Bungin dan Sungai Sembilang, Tanjung Birik dan Simpang Ngirawang Bakorendo, Terusandalam, Sungai Benu dan daerah transmigrasi Karang Agung. Data profil desa menunjukkan bahwa
populasi di sekitar kawasan TN
Sembilang tercatat 18.028 jiwa (±3.603 KK). Tersebar di 8 (delapan) desa/dusun yaitu Desa Tanah Pilih, Dusun Sembilang (administrasi Desa Sungsang IV), Desa Tabalajaya, Desa Jatisari, Desa Sri Agung, Desa Majuria, Desa Karang Sari, Desa Sumber Rejeki dan Desa Tabala Jaya. Dua desa diantaranya terdapat di dalam kawasan TN Sembilang berjumlah 4.330 jiwa (±886 KK) terdiri dari Desa Tanah Pilih 1.850 jiwa (±370 KK) dan Dusun Sembilang 1.405 jiwa (±281 KK). Sementara itu
masyarakat di beberapa
tepian sungai dan muara berjumlah 1.075 jiwa (±215 KK).
Jumlah penduduk yang
berada di luar kawasan TNS sebesar 13.698 jiwa (±2.717 KK) atau sekitar 28,72% dari seluruh populasi penduduk Kecamatan Banyuasin II (47.696 jiwa). Data sebaran pemukiman di dalam kawasan TNS disajikan pada Tabel 14.
113
Tabel 14
Sebaran pemukiman dan jumlah penduduk di dalam kawasan Taman Nasional Sembilang, Kecamatan Banyuasin II
1 2 3 4 5
Sungai Sarangelang Muara S.Bungin Sungai Apung Sungai Solokbuntu Sungai Barong
Lalan SPTN 1 Lalan SPTN 1 Lalan SPTN 1 Solokbuntu SPTN 1 Solokbuntu SPTN 1
±30 ±25 ±20 ±15 ±15
Jumlah Pddk (Jiwa) 150 125 100 75 75
6
Sungai Tengkorak
Simpangsatu SPTN 1
±20
100
Musim kemarau
7 8
Sungai Nibung Kampung/Sungai Sembilang (Desa Sungsang IV)
Simpangsatu SPTN 1 Sembilang SPTN 2
±20 ±281
100 1.405
Musiman Sepanjang tahun
9
Sungai Bogem
SembilangSPTN 2
±10
50
Sepanjang tahun
10
Sungai Birik
P. Alanggantang SPTN 2
±20
100
Sepanjang tahun
11
Sungai Ngirawan
Ngirawan SPTN 3
±30
150
Sepanjang tahun
12
Sungai Terusan Dalam
Ngirawan SPTN 3
±30
150
Sepanjang tahun
13
Desa Tanah Pilih
Benu SPTN 3
±370
1.850
Sepanjang tahun
No
Kelompok Pemukiman
Wilayah Resort
Jumlah KK
Sifat Pemukiman Sepanjang tahun Sepanjang tahun Musiman Musiman Musiman
Aktifitas Tuguk baris Tuguk baris, tuguk sungai Jaring blad, sondong Sondong, tuguk sempak Sondong, jaring blad, tuguk sempak Jaring blad, sondong, pengumpul kerang Sondong, jaring apung Kumpulan nelayan laut, pedagang, pengumpul hasil laut Jaring apung, jaring kumbang, jaring insang hanyut Jaring apung, jaring kumbang, jaring insang hanyut, pengumpul hasil laut Jaring apung, tuguk baris, sondong Pengumpul hasil laut, tuguk baris, jaring kumbang Pengumpul hasil laut, nelayan laut, pedagang, petani
Jumlah 886 4.330 Sumber : Hasil inventarisasi lapangan (2009 dan 2010), Monografi Kecamatan Banyuasin II (2009). Data diolah.
Ket.
<4 bln dlm 1 thn <4 bln dlm 1 thn <4 bln dlm 1 thn <4 bln dlm 1 thn <4 bln dlm 1 thn Dusun, Fasum: SD, Puskesmas, Pospol, Pos AL, Pos Polairud, Syahbandar, Babinsa, PPTSL
Desa, Fasum: Pos Polairud, Babinsa, SD, Puskesmas, Balai Desa
114
Kawasan Tanjung Birik dan Simpang Ngirawan Bakorendo berada di wilayah Desa Sungsang IV.
Warga di Tanjung Birik dan Simpang Ngirawan Bakorendo
biasanya berasal dari Desa Sungsang I dan Sungsang II. Di Desa Sungsang II terdapat lorong Birik yang umumnya warga Tanjung Birik. Di Tanjung Birik terdapat pula warga dari suku Bugis. Jumlah kepala keluarga di Simpang Ngirawan Bakorendo terdapat sekitar 150 jiwa (±30 KK) sedangkan di Tanjung Birik sekitar 100 jiwa (±20 KK. Sebaran penduduk di dalam dan di sekitar kawasan TNS disajikan pada Tabel 15. Table 15 No 1 2 3 4 5
Sebaran penduduk di dalam dan di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang, Kecamatan Banyuasin II
Desa/Dusun/Sungai Desa Tanah Pilih Dusun Sembilang (Desa Sungsang IV) Tepian beberapa Sungai/muara sungai Desa Jatisari Trans. Karang Agung 1) Desa Sri Agung 2) Desa Majuria 3) Desa Karang Sari 4) Desa Sumber Rejeki 5) Desa Tabala Jaya Total
Lokasi Di dalam TNS Di dalam TNS Di dalam TNS Di luar TNS Di luar TNS Di luar TNS Di luar TNS Di luar TNS Di luar TNS
Jumlah Penduduk
Jumlah Rmh Tangga
Kegiatan Ekonomi
1.850
370
Perikanan
1.405
281
1.075
215
1.829
365
Pertanian
2.676 2.142 3.729 1.610 1.712 18.028
535
428 745 322 342 3.603
Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian
Perikanan Perikanan
Sumber: Diolah dari Monografi Kecamatan Banyuasin II (2009).
Masyarakat di sekitar kawasan TNS pada umumnya tinggal di atas rumah-rumah panggung di tepi sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat. Ketersediaan air bersih/tawar merupakan kendala utama. Sampai saat ini
masyarakat
masih mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih/tawar. Secara geografis, luas wilayah administrasi Kecamatan Banyuasin II adalah 2.681,35 Km2 (sekitar 268.135 ha) dengan jumlah penduduk 47.696 jiwa dan kepadatannya sekitar 17,79 jiwa/ Km2. Berdasarkan data tata guna lahan, seluas 202.896 ha (2.028,96 Km2) dari luas kecamatan merupakan kawasan TN Sembilang, berarti luas wilayah Kecamatan Banyuasin II di luar wilayah TN Sembilang adalah 652,39 Km2. Aspek
ketenagakerjaan
merupakan
aspek
penting
untuk
memenuhi
perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah proporsi penduduk usia kerja yang termasuk dalam
115
angkatan kerja, yaitu penduduk yang bekerja dan menganggur. Semakin tinggi angka TPAK merupakan indikasi meningkatnya kecenderungan penduduk usia ekonomi aktif untuk mencari pekerjaan atau melakukan kegiatan ekonomi. Jumlah penduduk usia kerja, kebutuhan penduduk untuk bekerja, dan berbagai faktor sosial ekonomi dan demografis merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi angka TPAK. Angka pengangguran di
seluruh wilayah kecamatan
rata-rata relatif rendah yaitu sekitar
5,99% tahun 2007 dan pada tahun 2008 sekitar 2,34% dari seluruh populasi angkatan kerja aktif 138.094 jiwa. Sementara itu total populasi penduduk angkatan kerja aktif di Kecamatan Banyuasin adalah 30.485 jiwa (BPS Banyuasin 2009). Proporsi jumlah penduduk Kecamatan Banyuasin II terhadap jumlah penduduk Kabupaten Banyuasin sebesar 5,97% (47.696 jiwa). Populasi penduduk Kabupaten Banyuasin mengalami pertumbuhan rata-rata 2,58 % per tahun. Saat ini populasinya berjumlah 798.360 jiwa (BPS 2009), tersebar di 15 kecamatan dan 278 desa/kelurahan dengan luas wilayah 11.832,99 km2 dan rata-rata kepadatan penduduk 67,47 jiwa per km2. Kabupaten Banyuasin sampai saat ini masih merupakan daerah tujuan utama transmigrasi di Sumatera Selatan. Oleh karena itu pertumbuhan penduduknya relatif tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Sumatera Selatan. Partisipasi penduduk perdesaan di Kecamatan Banyuasin II lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perkotaan, hal ini tercermin pada jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian cukup tinggi. Berdasarkan lapangan usaha tercatat jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian (termasuk perikanan) sangat dominan (62%), kemudian diikuti perdagangan (12,44%), jasa-jasa (10,75%), industri pengolahan (5,07%), transportasi dan komunikasi (4,75%). Masalah sanitasi lingkungan khususnya sampah kurang mendapat perhatikan dari masyarakat di dalam maupun di luar kawasan TN sembilang. Muara sungai dan laut adalah tempat sampah utama. Hal ini sangat memprihatinkan, karena banyak terdapat sampah anorganik berupa plastik. Pada umumnya tinja langsung dibuang ke laut atau sungai, sehingga sangat logis jenis penyakit yang umum diderita adalah diare. Masyarakat di sini belum memiliki kesadaran untuk membuat septic tank. Pengaruh pasang surut yang besar, menyebabkan sampah tidak terbuang jauh dari pemukiman.
b.
Kegiatan Ekonomi Masyarakat Kegiatan perekonomian masyarakat setempat, baik di dalam maupun sekitar
TN Sembilang didominasi oleh perikanan (90%). Pertanian umumnya dikerjakan di luar
116
kawasan TNS terutama pada kawasan transmigrasi Karang Agung di bagian selatan TNS. Pemanfaatan hutan seperti daun Nipah, Nibung, kayu bakar dan kayu bangunan diambil dalam jumlah tertentu di dalam kawasan TNS.
Data dan informasi yang
dihimpun pada saat survey lapangan maupun data dan informasi dari beberapa lembaga seperti Balai TNS, Dinas Perikanan Banyuasin serta Wetland Indonesia memberikan gambaran tentang dinamika kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar TNS serta pola penggunaan lahan (lihat Gambar 25). 1)
Perikanan Wilayah sebaran aktivitas masyarakat di sekitar TNS (Desa Sungsang I sampai
dengan Desa Sungsang IV) meliputi perairan sungai, kawasan perairan pesisir hingga daerah di luar pesisir atau laut yang lebih dalam. Jarak tangkap ikan untuk wilayah TNS khususnya daerah Kabupaten Banyuasin adalah sampai dengan 9 mil. Melewati batas itu menjadi tanggung jawab provinsi. Data hasil survey lapangan menunjukkan bahwa Desa Sungsang I banyak menggunakan alat sondong, sedangkan jaring kantong, pukat harimau (trawl), togog dan kelong relatif sedikit. Jumlah kapal motor untuk aktivitas perikanan dari desa ini sekitar 500 buah dengan berat rata-rata 3-4 ton. Relatif hampir sama dengan kondisi dari ketiga desa lainnya (Desa Sungsang II, III, dan IV. Di desa Sungsang II, alat tangkap lebih bervariasi, yaitu jaring kantong, tangsi, tugu, rawai, lemparan dasar dan pukat harimau. Jenis alat tangkap di Desa Sungsang III dan Sungsang IV adalah Jaring Tangsi dan Jaring Kantong. Produk perikanan yang tertangkap dengan alat tangkap utama di TNS disajikan pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3. Alat tangkap pukat harimau pada umumnya diminati nelayan bermodal cukup besar. Daya ekploitasinya cukup tinggi karena ukuran mata jaring yang besar di awal dan semakin mengecil di ujungnya ditambah dengan daya jelajah kapal yang tinggi, menyebabkan tidak adanya selektivitas produk yang ditangkap. Hal ini membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan. Banyak warga Sungsang yang memakai alat ini, meskipun alat ini dilarang oleh pemerintah. Nelayan dari Jambi dan nelayan luar lainnya pun demikian. Hal ini mengakibatkan turunnya produksi perikanan di daerah Sungsang. Masyarakat nelayan di wilayah pesisir Sembilang
pada umumnya tidak
menggunakan pukat harimau dan menggunakan alat tangkap yang legal. Apabila kecenderungan penggunaan pukat harimau ini tidak segera diatur, maka masyarakat pesisir Sembilang akan semakin termarjinalisasi.
keadaan
117
Sumber: Balai TNS (2009), WIIP (2001)
Gambar 25 Kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar Taman Nasional Sembilang
Berdasarkan informasi bahwa biaya untuk melaut bervariasi tergantung kepada jangkauan kapal dan kemampuan alat tangkap. Biaya melaut untuk daerah sungai dan pesisir relatif lebih murah, seperti kapal sondong dan cedok kerang. Biaya melaut untuk daerah perairan yang lebih jauh berkisar antara Rp 800.0000 - Rp 1.500.000,- untuk satu kali trip di luar biaya alat tangkap. Harga alat tangkap trammel net atau jaring kantong per unit berkisar antara Rp 150.000 – 200.000, jaring tangsi sekitar Rp 250.000,- dan jaring trawl sekitar Rp 3.000.000,-. Bagi nelayan bermodal kecil, menangkap dengan jaring kantong lebih menguntungkan karena dikerjakan berdasarkan sistem bagi hasil. Pada umumnya kerusakan alat tangkap ditanggung bersama dengan pemilik modal. Masyarakat nelayan di kawasan Sembilang pada umumnya melaut pada setiap bulan, kecuali pada bulan Desember, saat dimana terdapat angin barat. Pada bulanbulan terjadi angin barat, biasanya ombak laut relatif lebih besar, sehingga para nelayan
118
mengalami kesulitan untuk melaut, terutama untuk para nelayan dengan kapal-kapal kecil. Sementara itu untuk kapal-kapal bertonase besar dengan alat tangkap trawl, mempunyai daya jelajah tinggi, sehingga bulan Desember dan bulan-bulan angin barat tidak terlalu banyak berpengaruh. Produksi tangkapan udang terbesar pada umumnya antara April-Oktober dan mencapai puncaknya (peak seasons) antara Juni-Agustus. Produksi pada bulan-bulan ini disebut oleh masyarakat Sembilang sebagai ”guyur udang”. Di luar ketiga bulan tersebut produk udang relatif sedikit, meskipun tetap berproduksi.
Sementara itu,
produksi tangkapan ikan tidak mengenal musim, kecuali pada Desember dimana pada bulan ini
terjadi musim barat dengan ombak besar, sehingga sulit untuk melaut.
Produksi
hasil
tangkapan
nelayan
mencapai
puncaknya
pada
bulan-bulan
Februari/Maret - Juli/Agustus. Komoditas kepiting dan ubur-ubur mempunyai musim untuk penangkapan selama 6-7 bln th-1. Musim penangkapan biasanya dimulai pada Mei-November. Produksi terbesar terjadi pada September-Oktober. Para nelayan pada umumnya menjual hasil tangkapannya ke
pedagang pengumpul
di daerah Sungsang dan
Sembilang. Berbeda halnya dengan rajungan, kepiting bakau mulai banyak pada bulan Juli. Kepiting ini lebih banyak ditangkap di daerah sungai, diantara vegetasi mangrove. Komoditas ubur-ubur adalah salah satu produk yang berasal dari wilayah pesisir laut Sembilang. Selama ini produk ubur-ubur lebih banyak dibuang daripada dijual. Hasil terbanyak adalah di bulan November dan Desember. Komoditas kerang tidak mengenal musim. Pada umumnya masyarakat nelayan di pesisir Sembilang akan mencari ke daerah lain, apabila produksi di wilayahnya mulai menurun. Dalam selang waktu satu bulan, daerah yang ditinggal tersebut dapat dikunjungi lagi untuk di panen. Habitat kerang hanya terbatas di daerah-daerah pesisir. Kawasan TN Sembilang merupakan salah satu sentra kegiatan ekonomi yang cukup penting, karena kawasan ini menghasilkan tangkapan perikanan utama yang meliputi komoditas ikan, udang, rajungan dan kerang. Komoditas tersebut memiliki nilai ekonomi cukup tinggi, sehingga dapat mempengaruhi perekonomian di wilayah ini. Data produksi hasil tangkapan di Dinas Perikanan Banyuasin menunjukkan bahwa rata-rata hasil produksi udang dari wilayah Sembilang pada tahun 2008 mencapai 100 t th-1 untuk pasar lokal dan 600 t th-1 untuk pasar ekspor. Nilai hasil tangkapan rata-rata mencapai Rp 7,5 milyar th-1 dari pasar lokal dan Rp 45 milyar th-1
119
dari pasar ekspor. Sementara itu data produksi berbagai jenis ikan dari kawasan Sembilang mencapai rata-rata 109,2 t th-1 dengan nilai hasil tangkapan rata-rata Rp 568,5 juta th-1, sedangkan produksi berbagai jenis ikan dari kawasan Sungsang mencapai 807 t th-1 dengan nilai produksi sekitar Rp 4 milyar th-1. Data produksi hasil rajungan dari dua wilayah Sembilang dan Sungsang mencapai rata-rata 189 t th-1 dengan nilai produksi sekitar Rp 1,89 milyar th-1. Demikian halnya untuk produksi kerang dari Sembilang dan Sungsang cukup tinggi, rata-rata mencapai 492 t th-1 dengan nilai produksi rata-rata Rp 82 juta th-1. Dengan demikian total nilai produksi perikanan dari wilayah TN Sembilang dan sekitarnya rata-rata mencapai Rp 59 milyar th-1. 2)
Pola Pengunaan Lahan Masyarakat di luar TN Sembilang Daerah Transmigrasi Karang Agung adalah salah satu areal yang direncanakan
oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai kawasan budidaya pertanian pasang surut guna mendukung ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Banyuasin. Sistem pertanian dilakukan menggunakan irigasi pasang surut dengan membuat saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier serta dilengkapi dengan pintu air dan pompa. Pelaksanaan kegiatan pertanian di daerah transmigrasi ini dilakukan setiap tahun dengan sistem bera (tidak tanam) selama satu kali. Areal penggunaan lahan di daerah transmigrasi pada umumnya dibagi menjadi 3 (tiga) lokasi pemanfaatan; antara lain Lahan Usaha ke-1, Lahan Usaha ke-2 dan Lahan Pekarangan. Lahan Usaha I (LU I) Lahan usaha ke-1 merupakan areal utama yang digunakan untuk pertanian adalah LU I dengan mendapatkan areal yang direncanakan seluas 1 hektar dari jatah yang didapat para transmigran. Jenis varietas pertanian (sawah pasang surut) yang ditanam pada umumnya adalah varietas lokal dan IR42 (label biru). Ada beberapa penduduk menggunakan areal LU I untuk penanaman palawija (bila musim hama datang) seperti jagung, kedelai, kacang, tomat dan sayur-sayuran. Lahan Usaha II (LU II) Lahan usaha ke-2 di daerah transmigrasi merupakan areal yang diperuntukan pengembangan wilayah pertanian bila di LU I sudah tidak mencukupi atau tidak memungkinkan lagi untuk meningkatkan produksi pertanian. Akan tetapi sebagian areal di lokasi transmigrasi masih merupakan alang-alang dan semak, hal ini disebabkan areal tersebut berada di tepi hutan atau merupakan areal tergenang secara terus menerus. Di samping itu, Lahan Usaha II juga merupakan batas antar desa di setiap kawasan transmigrasi.
120
Lahan pekarangan Areal ini terutama
diperuntukan sebagai pemukiman penduduk. Di Lahan
Pekarangan ini, masyarakat transmigrasi menanam tanaman perkebunan guna menunjang kehidupan antara lain, kelapa lokal, kopi, kakao, serta sayur-sayuran. Areal penggunaan lain Lahan yang diperuntukkan sebagai tempat sosial antara lain; sekolah (SD, SMP dan Madrasah), kantor desa, lapangan olah raga, kuburan, pasar dan kantor penyuluh lapangan. Masyarakat transmigrasi sebagian besar adalah petani padi pasang surut dan sebagian merangkap sebagai guru, PNS, tukang ojek, pedagang dan lain-lain. Aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan lahan dan hutan adalah sebagian besar masyarakat mengambil kayu bakar dari hutan terdekat (sebelah selatan TNS), mencari ikan di sepanjang Sungai Sembilang dan sekitarnya. Disamping itu terdapat juga sebagian kecil masyarakat yang melakukan perambahan hutan di bekas HPH PT. Sukses Sumatera Timber (SST) dan membuka tambak tradisional di luar areal transmigrasi, terutama di dalam kawasan TNS. c.
Kondisi Ekonomi Wilayah Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah
dalam suatu periode tertentu adalah ditunjukkan oleh data produk domestik regional bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB merupakan jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di wilayah domestik tanpa memperhatikan faktor kepemilikan apakah faktor produksinya berasal atau dimiliki oleh penduduk setempat atau tidak. Kondisi perekonomian Kabupaten Banyuasin dalam dua tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi positif, yaitu 5,48% pada tahun 2008. Terjadi perlambatanan pertumbuhan dibanding tahun 2007 (6,33%). Hal ini terjadi karena tingkat harga minyak dunia mengalami fluktuasi. Pada tahun 2008 sektor perikanan di kabupaten ini juga mengalami penurunan produksi akibat biaya operasional penangkapan ikan di perairan umum cukup tinggi, demikian halnya biaya operasional di sektor industri. Berdasarkan data PDRB Kabupaten Banyuasin (BPS 2009) menunjukkan dimana PDRB (termasuk migas) atas dasar harga berlaku tahun 2008 sebesar Rp 9.884 milyar mengalami perlambatan antara tahun 2005 (23,70%), tahun 2006 (19,78%) dan tahun 2007 (16,07%). Kondisi ini terjadi karena harga minyak dunia yang terus melonjak sehingga berpengaruh terhadap biaya produksi
seluruh sektor ekonomi.
Namun demikian pertumbuhan kembali meningkat pada tahun 2008 sebesar 21,15%.
121
Sementara itu, PDRB tanpa migas relatif lebih fluktuatif dimana antara tahun 2005 dan 2006 mengalami peningkatan dari 14,26% menjadi 18,59%. Pada tahun 2007 kembali mengalami penurunan
menjadi 16,07%, kemudian
pada tahun 2008 mengalami
pertumbuhan sebesar 17,45%. Secara diagramatik disajikan pada Gambar 26.
25,00
23,70
9.000.000
21,15
19,78
17,23
PDRB (Rp)
8.000.000 14,26
7.000.000 6.000.000 5.000.000
20,00 17,45
18,59
7.029.269
16,07 8.158.813 9.884.377
15,00 10,00
5.868.620
4.000.000 3.000.000
4.901.154 4.132.697
6.748.402
5,00
Pertumbuhan PDRB (%)
10.000.000
0,00 2005
2006
2007
PDRB tanpa migas (Rp juta) Pertumbuhan PDRB dgn migas
5.745.816
2.000.000
PDRB dgn migas (Rp juta)
Pertumbuhan PDRB tanpa migas
2008
Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah
Gambar 26 Produk domestik regional bruto Kabupaten Banyuasin atas dasar harga berlaku dan pertumbuhannya
Melambatnya pertumbuhan ekonomi Banyuasin juga sebagai dampak krisis ekonomi global tahun 2007/2008. Harga komoditas ekspor produksi sektor pertanian seperti karet dan sawit mengalami kontraksi di pasar internasional. Kinerja perekonomian sektoral ditandai oleh tumbuhnya beberapa sektor yang cukup tinggi seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor jasa-jasa dan sektor bangunan. Secara grafik disajikan pada Gambar 27.
Laju pertumbuhan ekonomi (%)
16 Pertanian
14
Pertambangan
12
Industri pengolahan
10
Listrik, gas & air bersih
8
Bangunan
6
Perdagangan Angkutan
4
Keuangan
2
Jasa-jasa
0 2005
2006
2007
2008
Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah
Gambar 27
Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuasin menurut sektor
122
Berdasarkan kelompok sektor, PDRB Banyuasin tahun 2008 masih ditopang oleh sektor primer 47,78% (sektor pertanian 30,46% dan sektor pertambangan 17,32%) dan sektor sekunder 34,82% (sektor industri pengolahan 27,50%, listrik/gas/air 0,04%, bangunan 7,27%). Sementara pangsa sektor tersier menyumbang 17,41% (terdiri dari: perdagangan 11,4%, angkutan 0,54%, keuangan 0,71% dan jasa-jasa 4,72%). Pangsa sektor primer tersebut sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 48,57%. Penurunan pangsa di sektor primer ini terjadi pada sektor pertanian sebesar 32,27% menjadi 30,46%. Selengkapnya secara grafik disajikan pada Gambar 28.
Kontribusi sektor (%)
35 30
32,27
30,46
Pertanian
27,5
27,16
Pertambangan
25 20
Industri pengolahan 17,32
16,29
15 10 5
Listrik, gas & air bersih
7,12 0,05
Bangunan
11,43
11,4
7,27
4,43 0,74 0,53
0,04
4,72 0,71 0,54
0 2007
2008
Perdagangan Angkutan Keuangan Jasa-jasa
Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah
Gambar 28 Struktur ekonomi Kabupaten Banyuasin
Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuasin tidak hanya menunjukkan peningkatan output atau tingkat pendapatan secara makro, tetapi pertumbuhan ekonomi juga menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan pendapatan per kapita masyarakat. Angka pendapatan per kapita ini lazim digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data PDRB Kabupaten Banyuasin 2008/2009 (BPS Banyuasin 2009) menunjukkan pertumbuhan pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku di kabupaten ini mengalami peningkatan. PDRB per kapita dengan migas tahun 2005 sebesar Rp 7.997.269, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2006 sebesar Rp 9.280.812 (7,43%) dan pada tahun 2007 mengalami sedikit perlambatan 6,94% . Akan tetapi pada tahun 2008 kembali mengalami kenaikan pertumbuhan PDRB per kapita sebesar Rp 12.380.852 (8,32%). Kondisi ini mencerminkan bahwa masyarakat Kabupaten Banyuasin relatif sejahtera. Namun data lapangan menunjukkan tekanan penduduk terhadap lahan hutan
relatif masih tinggi. Secara grafis pertumbuhan
pendapatan per kapita disajikan pada Gambar 29.
123 9,00 7,43
12.000.000
12.380.852
10.478.462 6,94 6,56 9.280.812 6,06
10.000.000
7.997.269 8.000.000 5,10 4,00 6.000.000 5.631.697
8,32
8,00
6,78 7,00 8.452.831
7.379.421
6,00 5,00
6.471.041 4,00 3,00
4.000.000
PDRB/kapita dgn migas (Rp juta) (%)
PDRB/kapita (Rp) dan Jml penduduk (jiwa)
14.000.000
PDRB/kapita tanpa migas (Rp juta) Jumlah penduduk
2,00 2.000.000
733.828
757.398
778.627
798.360 1,00
-
2005
2006
2007
2008
Pertumbuhan pendapatan/kapita dg migas Pertumbuhan pendapatan/kapita tanpa migas
Sumber: BPS Banyuasin 2009. Data diolah
Gambar 29
4.2.
Pendapatan perkapita Kabupaten Banyuasin atas dasar harga berlaku dan pertumbuhannya
Perkembangan Pengelolaan TN Sembilang Dalam dokumen rencana pengelolaan TN Sembilang 2009-2028 (TNS 2009)
dijelaskan bahwa sejarah perkembangan pengelolaan TN Sembilang didasarkan pada rekomendasi Gubernur Provinsi Sumatera Selatan melalui surat Gubernur No 522/5459/BAPPEDA-IV/1998, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 76/KptsII/2001 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Selatan tanggal 15 Maret 2001, yang didalamnya tercantum penunjukan kawasan Sembilang menjadi Taman Nasional. Selanjutnya ditindaklanjuti oleh Gubernur Provinsi Sumatera Selatan melalui Surat Gubernur No 522/5128/I tanggal 23 Oktober 2001 untuk meminta penetapan kawasan Taman Nasional Sembilang dengan luas 205.750 ha. Penilaian potensi yang dilakukan oleh Ditjen Bangda Departemen Dalam Negeri, bekerjasama dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan tahun 1996/1997, juga menyimpulkan bahwa kawasan Sembilang memenuhi kriteria sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan bentuk Taman Nasional. Sehingga berdasarkan usulan, kajian dan rekomendasi tersebut, Kawasan Sembilang kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan konservasi sebagai Taman Nasional, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896.31 ha Pengelolaan kawasan TN Sembilang merupakan satu kesatuan pengelolaan dari tata ruang dan rencana pembangunan daerah. Secara umum tata guna lahan di sekitar kawasan TN Sembilang meliputi : (1) Kawasan hutan produksi, baik yang telah dibebani hak maupun yang belum dibebani hak, (2) Areal Penggunaan Lain (APL)
124
berupa kawasan perkebunan, lahan transmigrasi dan lahan-lahan yang belum dibebani hak, (3) kawasan pelestarian alam (TN Berbak di Provinsi Jambi), dan (4) Kelompok Hutan Lindung Rimau dan Air Telang, serta (5) Calon pelabuhan domestik maupun internasional Tanjung Api-Api. Kebijakan optimalisasi pemanfatan ruang baik kawasan hutan produksi maupun APL yang berbatasan langsung dengan TNS tidak terelakkan di masa mendatang. Sampai tahun 2008 sudah diterbitkkan satu ijin prinsip
IUPHHK-HTI yakni PT.
Sumber Hijau Permai, sedangkan lainnya masih dalam proses. Optimalisasi pemanfaatan APL mengalami perkembangan cukup pesat. Sampai tahun 2008 tercatat dua perusahaan perkebunan sudah beroperasi yaitu PT. Raja Palma dan PT Citra Indo Niaga. Memperhatikan kondisi saat ini tidak menutup kemungkinan penerbitan ijin prinsip tersebut akan terus bertambah . Kawasan transmigrasi Karang Agung (Karang Agung Tengah dan Karang Agung Ilir) dengan 31 desa terletak di sebelah selatan TN Sembilang. Kawasan ini berdekatan langsung dengan taman nasional. Kawasan transmigrasi ini dimulai pada tahun 1982 dan 1985. Dalam perkembangannya desa-desa tersebut ada yang telah membuka tambak mendekati dan sebagian terindikasi berada dalam kawasan taman nasional. Di sebelah utara TN Sembilang terletak Taman Nasional Berbak, salah satu Situs Ramsar (lahan basah yang dianggap penting secara internasional) yang ada di Indonesia. Di antara ke dua kawasan ini mengalir Sungai Benu yang juga merupakan batas Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Kawasan di antara ke dua taman nasional ini terdapat sebuah desa definitif yakni Desa Tanah Pilih (di dalam kawasan TN Sembilang). Kondisinya telah terbuka dan hanya terdapat sedikit hutan rawa yang tersisa yang berhubungan langsung dengan ke dua kawasan taman nasional tersebut. Kebijakan Pemerintah Daerah mengharapkan adanya batas desa yang jelas dan dikeluarkan dari taman nasional. Salah satu rencana pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan yang berada di dekat TN Sembilang adalah rencana pembangunan Pelabuhan Samudera Tanjung Api-Api. Pelabuhan samudera ini diharapkan dapat memberikan akses transportasi utama dari dan ke Sumatera Selatan melalui laut. Di sekitar kawasan Tanjung Api-Api ini direncanakan dibangun kawasan industri. Di sebelah barat kawasan juga merupakan wilayah konsesi minyak dan gas bumi Jambi Merang (Joint Operating Body Pertamina-YPF Jambi Merang). Kegiatan ekplorasi dan eksploitasi dilakukan di sekitar kawasan. Demikian juga halnya di kawasan Semenanjung Banyuasin telah dibuka oleh masyarakat secara ilegal untuk pengembangan usaha budidaya perikanan (tambak).
125
4.3
Isu dan Permasalahan Lingkungan Pesisir Berdasarkan informasi dari Balai TN Sembilang menunjukkan bahwa isu dan
permasalahan yang mengancam upaya konservasi di TN Sembilang sangat kompleks. Hasil identifikasi
meliputi : konversi lahan (untuk tambak, kebun dan ladang),
pemanfaatan hutan ilegal (penebangan liar, eksploitasi sumber daya lain), kegiatan perikanan yang tidak lestari (penggunaan jaring pukat harimau, sianida), polusi, kebakaran hutan dan lahan, serta konflik sosial. Masalah kelembagaan seperti kurang koordinasi, tata batas taman nasional yang belum jelas, serta sistem landtenurial di sekitar kawasan dapat berpengaruh negatif. Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik. Ada kecenderungan dimana ancaman terhadap TN Sembilang akan semakin tinggi akibat adanya migrasi masuk yang terus bertambah. Selain itu juga penggunaan lahan pertanian di areal transmigrasi, adanya
gagalnya sistem
proyek kontroversial
terhadap lingkungan seperti pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api serta eksploitasi minyak dan gas bumi di sebelah barat kawasan TN Sembilang. Isu dan permasalahan lingkungan pesisir di Kabupaten Banyuasin secara ringkas disajikan pada Tabel 16. Alat tangkap trawl banyak diminati nelayan yang bermodal besar, karena daya ekploitasinya yang tinggi. Ukuran mata jaring yang besar di awal dan semakin mengecil di ujungnya ditambah dengan daya jelajah kapal yang tinggi, menyebabkan tidak adanya selektivitas produk yang ditangkap. Dengan logam pemberat dibagian dasar jaring, menyebabkan dasar perairan ikut terangkat, teraduk dan terbawa jaring bila menangkap di perairan yang dangkal. Hal ini membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan. Warga Sungsang mulai terpengaruh memakai alat ini, meskipun alat ini dilarang oleh pemerintah. Nelayan dari Jambi, Riau dan nelayan luar lainnya pun demikian. Sejak maraknya pemakaian jaring pukat harimau, hasil perikanan terus menurun. Kondisi ini akan semakin memperburuk keadaan bila dibiarkan, karena mayoritas nelayan tidak menggunakan pukat harimau dan menggunakan alat tangkap yang legal. Dari tahun 1998 hingga sekarang, hasil ikan terus mengalami penurunan. Konflik nelayan tradisional dengan nelayan pukat harimau seperti pembakaran kapal dan jaring sering terjadi
di daerah Sungsang. Dampak pukat harimau telah
berpengaruh terhadap para nelayan di kawasan pesisir TN Sembilang.
Umumnya
mengeluh karena hasil laut yang terus turun, sampai akhirnya mengambil keputusan untuk membuka tambak di kawasan TN Sembilang.
126
Tabel 16 Isu dan permasalahan lingkungan pesisir di kawasan TN Sembilang No
Isu dan permasalahan
1
Konversi lahan
2
Pemanfaatan hasil hutan yang tidak lestari
3
Kegiatan perikanan yang tidak lestari Polusi
4
5
Kebakaran hutan dan lahan
6
Konflik sosial
7
Masalah Kelembagaan
Faktor penyebab a. Pembuatan tambak-tambak. Saat ini masih ada sekitar 2.013 ha tambak illegal di dalam TN Sembilang b. Pembuatan lahan pertanian, terutama untuk kebun kelapa c. Spekulasi tanah terutama untuk mengantisipasi dibangunnya Pelabuhan Tanjung Api-api a. Pemanfaatan daun Nipah (Nypa fruticans) sangat intensif b. Penggunaan pohon Nibung (Oncosperma tigillarium) untuk tiang bangunan c. Pemanfaatan hasil hutan yang ilegal (seperti penebangan liar, perburuan, pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari). Kegiatan penebangan liar telah terjadi di kawasan sekitar bekas areal HPH PT Riwayat Musi Timber dan PT Bumi Raya Utara, Sungai Bakorendo, dan Sungai Sembilang/Simpang I. Dampak negatif penebangan liar mengancam habitat hidupan liar, seperti Buaya Sinyulong (Tomistoma schlegelii). Di luar/sekitar kawasan, penebangan liar terjadi di sekitar Sungai Merang, dan hutan gambut sekitar Sungai Kepahiang. Perburuan/penangkapan satwa juga mengancam spesies harimau, buaya dan hidupan liar lainnnya. a. Penggunaan pukat harimau b. Penangkapan ikan dengan menggunakan sianida a. Sampah plastik dan tumpahan minyak dari mesin kapal merupakan ancaman bagi kehidupan biota. b. Rencana eksploitasi gas bumi oleh JOB antara Pertamina dan YPF Jambi-Merang diprediksi dapat menimbulkan polusi air di beberapa sungai di sekitar TN Sembilang, terutama di Sungai Bakorendo. Meskipun konsesi ini tidak dilanjutkan, karena tidak mendapat ijin dari Kementerian Kehutanan, sebaiknya rencana ini tetap perlu diantisipasi dan diwaspadai. c. Jika pelabuhan samudra di Tanjung Api-Api dibangun, polusi tumpahan minyak dari kapal-kapal akan meningkat. Polusi dari penggunaan pestisida dan antibiotik juga terjadi di kawasan tambak a. Beberapa kebakaran yang telah terjadi berhubungan langsung dengan kegiatan pembukaan lahan yang luas (contoh : transmigrasi dan kebun kelapa sawit), yang lainnya disebabkan oleh penduduk b. Penyebab utama dari kebakaran ini adalah kegiatan penebang liar untuk budidaya pertanian, nelayan yang melakukan pembukaan vegetasi untuk mencari ikan serta pengembangan kawasan transmigrasi. a. Di dalam kawasan TN Sembilang dan sekitarnya terdapat tiga kelompok komunitas: (1) para petambak yang relatif baru, (2) mayoritas masyarakat nelayan tangkap, dan (3) para transmigran di Karang Agung yang pada umumnya petani. Jika terjadi perubahan dalam penggunaan lahan dari ke tiganya akan dapat menyulut konflik sosial yang lebih besar. b. Sedikitnya tiga macam konflik dapat terjadi: (1) Konflik antara nelayan setempat dan petambak, sebagai akibat kecemburuan sosial. Konflik ini dimulai saat masyarakat setempat tidak diperbolehkan untuk membuka tambak, sementara para petambak yang umumnya pendatang dapat melakukannya. (2) Konflik antara nelayan tradisional dengan para nelayan pukat harimau. (3) Konflik lain terjadi antara nelayan tangkap tradisional setempat dengan nelayan pukat harimau yang menangkap ikan di sekitar Sungsang. Nelayan pukat harimau ini mengeksploitasi sumberdaya laut sehingga meninggalkan sedikit hasil tangkapan bagi nelayan tradisional. Sebagai satu dampak, beberapa nelayan setempat cepat atau lambat akan merubah cara pemanfaatan sumberdaya ke arah budidaya tambak c. Konflik antara transmigran dan penduduk setempat d. Jika situasi ekonomi di kawasan transmigrasi Karang Agung semakin buruk, perubahan kegiatan bertani ke arah pemanfaatan sumberdaya hutan dan rawa akan meningkat. Ini dapat menuju pada situasi kompetisi antara para transmigran dan penduduk setempat. a. Koordinasi antar instansi masih lemah. b. Masalah eksploitasi minyak dan gas bumi di sekitar TN Sembilang c. Dampak rencana pembangunan pelabuhan samudera Tanjung Api-Api, juga merupakan kurangnya koordinasi antara instansi pemerintah
Sumber : Hasil identifikasi lapangan dan sumber data lainnya (2010)
127
Adanya perbedaan perspektif daerah dan nasional serta internasional dalam hal mengelola sumberdaya alam,
sering menimbulkan konflik kepentingan
antara
konservasi dan konversi. Perspektif nasional lebih mengedepankan isu-isu lingkungan untuk kelangsungan sumberdaya alam bagi generasi mendatang, sementara perspektif daerah karena berbagai tuntutan ekonomi terkadang lebih mengedepankan konversi menjadi budidaya intensif (contoh: konversi untuk kebun sawit, transmigrasi, tambak dan sebagainya).
Meskipun prospek TN Sembilang
memberikan manfaat bagi
masyarakat dengan menjaga habitat pemijahan, sumber nutrisi dan pengasuhan (spawning ground) bagi ikan dan udang, hal ini tidak secara luas diketahui dan disadari. Walaupun pendapatan dari perikanan seluruhnya masuk ke pemerintah daerah (70% untuk Kabupaten,
30% untuk Desa), bahkan lebih banyak dana dari perikanan
diredistribusi melalui sistem pajak. Penyebab utama permasalahan dan ancaman di sekitar kawasan TN Sembilang meliputi tiga isu utama, yaitu; (1) Konflik antara TN Sembilang
dan masyarakat
setempat mengenai strategi yang menyangkut matapencaharian dan penghidupan, (2) Konflik antara TN Sembilang dan rencana-rencana pembangunan yang ada, (3) Konflik antara TN Sembilang dan kegiatan-kegiatan bisnis ilegal dalam skala besar. Masih lemahnya koordinasi antar stakeholder serta masih adanya perbedaan perspektif dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga ketiga isu utama tersebut masih dominan di kawasan ini. Sebagai contoh adanya rencana eksploitasi gas bumi di dalam TN Sembilang, meskipun konsesi ini pada akhirnya tidak dilanjutkan karena tidak mendapat ijin dari Kementerian Kehutanan. Namun ke depan, praktek-praktek seperti ini perlu diantisipasi. Hal lain adalah antisipasi dampak rencana pembangunan pelabuhan Samudera Tanjung Api-Api di sebelah Selatan TNS. Hal ini juga merupakan produk kurangnya koordinasi antara instansi pemerintah. Ketiga isu utama ini merupakan ancaman terhadap eksistensi TN Sembilang di masa yang akan datang.
5 LAJU HISTORIS KARBON SEKUESTRASI DAN LAJU EMISI CO2 DI WILAYAH PESISIR
Laju historis karbon sekuestrasi dan laju emisi CO2 di wilayah pesisir yang dikaji pada bab ini merupakan hasil komparasi antara kawasan TN Sembilang dengan frontier area/FA (Kabupaten Banyuasin),
yaitu suatu wilayah perbatasan yang sangat
berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan hutan konservasi. Data yang diperoleh merupakan
hasil analisis
dari berbagai literatur, penggalian informasi secara
eksploratif, hasil analisis spasial dari citra landsat tahun 2003 dan 2006 maupun berdasarkan verifikasi tinjauan lapangan.
Secara substansial, analisis laju historis
karbon sekuestrasi dan laju emisi antar dua wilayah ini pada prinsipnya untuk mencapai tujuan dan output penelitian meliputi : (1) Mengukur tingkat potensi karbon sekuestrasi dan laju emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir. (2) Menganalisis indikator penggerak laju emisi karbon di kawasan pesisir
5.1 Potensi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir 5.1.1 Tingkat Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir Pada sub bab ini menganalisis serangkaian citra multi temporal (2003-2006) untuk menghasilkan informasi dinamika sistem tata guna lahan (land use and land use change and forestry) di kawasan pesisir terutama pada kawasan hutan mangrove TN Sembilang dan FA. Selanjutnya data informasi ini dapat digunakan sebagai data penduga deforestasi dan degradasi hutan untuk menganalisis laju emisi CO2 di wilayah tersebut. Tujuan analisis deliniasi spasial ini adalah : (1) Untuk mendapatkan perubahan penggunaan ruang pesisir di kawasan TN Sembilang dan FA (Kabupaten Banyuasin) selama kurun waktu 2003-2006, yaitu waktu referensi perubahan emisi pada studi ini, (2) Memprediksi laju emisi CO2 yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut maupun prediksi emisi CO2 di masa datang, baik di kawasan TN Sembilang maupun di FA. 5.1.1.1
Laju Historis Deforestasi dan Degradasi Hutan di Frontier Area
Hasil analisis komparasi citra satelit tahun 2003 dan 2006 menunjukkan dinamika sistem tata guna lahan yang mencakup perubahan tutupan vegetasi serta dinamika penggunaan lahan di seluruh wilayah Kabupaten Banyuasin serta kawasan TN
130
Sembilang. Data historis penggunaan lahan ini penting diketahui untuk mendapatkan informasi luas lahan terkonversi untuk kepentingan produktif lainnya serta luasan lahan hutan yang terdeforestasi maupun terdegradasi. Hasil analisis citra teridentifikasi berbagai liputan luas tutupan meliputi 18 jenis tutupan lahan tahun 2003 dan 19 jenis tutupan lahan tahun 2006. Pada citra tahun 2003 tidak teridentifikasi hutan tanaman dan padang rumput, sedangkan pada citra tahun 2006 tidak teridentifikasi area transmigrasi. Selama periode itu telah terjadi kenaikan dan penurunan fungsi kawasan, baik yang direncanakan (planned degradation) maupun yang tidak direncanakan (unplanned degradation). Perubahan tata guna lahan ini berada di semua fungsi kawasan, yaitu di areal penggunaan lain (APL), hutan lindung (HL), hutan produksi (HP), hutan produksi dapat dikonversi (HPK) maupun di hutan suaka alam (HSA). Hasil analisis deliniasi perubahan tata guna lahan dan sumberdaya pesisir di Kabupaten Banyuasin disajikan pada Tabel 17, Gambar 30 dan Gambar 31. Tata guna lahan yang mengalami kenaikan luas yaitu: tanah kosong (0,01%), perkebunan (3,72%), hutan tanaman (1,16%), tambak (0,12%), padang alangalang/sabana (10,53%), hutan rawa sekunder (10,27%), pemukiman (0,06%), serta badan air (0,17%). Sementara itu tata guna lahan yang mengalami penurunan luas yaitu : Belukar (-2,94%), pertanian lahan kering (-2,04%), pertanian lahan kering campuran dan belukar (-2,12%), tambang (-0,18%), hutan mangrove primer (-0,21%), hutan rawa primer (-4,86%), hutan lahan kering sekunder (-0,23%), hutan mangrove sekunder (0,08%), rawa (-9,19%), serta belukar rawa (-1,12%) sebagaimana disajikan pada Tabel 18.
131
Tabel 17 Pola tata guna lahan di frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada periode 2003-2006 Tipe Tutupan Lahan (land cover) Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Tambang (Tb) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan rawa primer (Hrp) Padang alang-alang. sabana (S) Hutan lahan kering sekunder (Hs) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Transmigrasi (Tr) Badan air (A) Grand Total
2003 3.338 36.737 50.937 115.632 2.638 167.349 43.186 2.294 9.481 5.113
APL (ha) 2006 6.563 18.564 25.305 92.857 991 154.307 92.285 13 2.864 7.866
HL (ha) 2003 2006 236 104 1.792 3.196 50 50 238 213 6.886 7.625 2.353 1.727 37.733
34.449 1.886 1.813 44.823 46.996 89.292 38.814 20.064 25.478 705.873
1.023 71.531 46.996 23.998 100.152 26.108 705.873
1.510 36.695
HP (ha) 2003 2006 477 8 3.597 22 3.250 50 329 8.188 75 20.288 27.090
6.274 2.945 987 703 5.429 881 1.833 64.637
33 504 13.871 70 18.353 125 8.380
HPK (ha) 2003 2006 3.114 1.131 2.250 3.128 1.252 5.431 350 2.939 809 368 13.577 10.791 5.544 5.768 1.120
162 67.528 26.223
77 69.577
2.065
5.862 1.141 3.667 3.842 3.920 23.804
13.890 1.339 34 30.647 97.258
71.397 46 10.012 73.945 12 4.605 20.748
363 73.274
7.861 266.629
9.363 266.629
1.255 593 420 528 5.649
3.407 6.832 77 7.028 8.157
8.791 29.563 723 7.949
2.998 3.196 15.702 22.077
1.368 64.637
1.288 90.084
1.642 90.084
341 73.274
Sumber: Diolah dari Citra Landsat 2003 dan 2006 serta berbagai data lainnya Keterangan: APL : Area Penggunaan Lain HL : Hutan Lindung HSA : Hutan Suaka Alam HP : Hutan Produksi HPK : Hutan Produksi Konversi
2003 833 14.712 142 5.303 173 524
HSA (ha) 2006 355 2.079 253 3.198 106 192 666
Grand Total (ha) 2003 2006 7.996 8.160 59.089 23.770 55.526 31.011 124.586 99.095 3.858 1.677 188.664 172.948 56.919 101.575 13.884 4.259 5.642 135.030 132.491 58.427 125 126.361 3.951 1.186 22.055 21.082 55.993 179.300 51.290 51.993 143.372 33.051 171.735 158.303 20.944 36.802 38.843 1.200.497 1.200.497
132
Gambar 30 Peta tata guna lahan di TNS dan frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada tahun 2003
133
Gambar 31 Peta tata guna lahan di TNS dan frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada tahun 2006
134
Tabel 18 Perubahan historis tata guna lahan pada periode 2003-2006 di frontier area No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Perubahan Tipe Tutupan Lahan 2003 2006 (ha) (%) (ha) 7.996 0,67 8.160 59.089 4,92 23.770 55.526 4,63 31.011 124.586 10,38 99.095
Tipe Tutupan Lahan (land cover) Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Tambang (Tb) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan rawa primer (Hrp) Padang alang-alang, sabana (S) Hutan lahan kering sekunder (Hs) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Transmigrasi (Tr) Badan air (A) Grand Total
3.858 188.664 56.919 4.259 135.030 58.427 3.951 22.055 55.993 51.290 143.372 171.735 20.944 36.802 1.200.497
0,32 15,72 4,74 0,00 0,35 11,25 4,87 0,00 0,33 1,84 4,66 4,27 11,94 14,31 1,74 3,07 100
1.677 172.948 101.575 13.884 5.642 132.491 125 126.361 1.186 21.082 179.300 51.993 33.051 158.303 38.843 1.200.497
(%) 0,68 1,98 2,58 8,25 0,14 14,41 8,46 1,16 0,47 11,04 0,01 10,53 0,10 1,76 14,94 4,33 2,75 13,19 0,00 3,24 100
Perubahan (%) 0,01 -2,94 -2,04 -2,12 -0,18 -1,31 3,72 1,16 0,12 -0,21 -4,86 10,53 -0,23 -0,08 10,27 0,06 -9,19 -1,12 -1,74 0,17
Sumber : Hasil analisis deliniasi spasial (2010).
Perubahan peningkatan alih fungsi untuk pemukiman terjadi pada kawasan hutan mangrove primer (93 ha),
hutan rawa primer (12 ha), hutan lahan kering
sekunder (55 ha), hutan mangrove sekunder (60 ha) dan hutan rawa sekunder (483 ha). Dengan demikian, total perubahan alih fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman sekitar 703 ha atau sekitar 234,33 ha th-1 (lihat Tabel 19). Penambahan luas pemukiman dari areal hutan ini merupakan konsekuensi logis dari semakin meningkatnya jumlah penduduk di Kabupaten Banyuasin dimana rata-rata laju pertumbuhan penduduknya mencapai 2,58% th-1. Selain itu juga Kabupaten Banyuasin merupakan daerah tujuan transmigrasi di Provinsi Sumatera Selatan. Namun demikian apabila dicermati lebih lanjut pada peta hasil deliniasi citra 2003-2006 terdapat suatu hal yang kontradiktif dengan fenomena tersebut dimana areal fungsi transmigrasi seluas 20.944 ha telah beralih fungsi perkebunan dan areal persawahan.
menjadi areal hutan tanaman,
135
Tablel 19 Laju historis perubahan deforestasi dan degradasi hutan pada periode 20032006 di frontier area Penutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp)
Hutan rawa primer (Hrp)
Hutan lahan kering sekunder (Hs)
Hutan mangrove sekunder (Hms)
Penutupan Lahan 2006
Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian Lahan kering (Pc) Tambang (Tb) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Sabana (S) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A) Belukar (B) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Perkebunan (Pk) Sabana (S) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman(Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Perkebunan (Pk) Pemukiman (Pm) Belukar rawa (Br) Belukar (B) Sawah (Sw) Tambak (Tm) Sabana (S) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A)
Total Deforestasi dan Degradasi (ha) 62 213 22 26 310 229 559 235 3.943 10.056
Laju deforestasi dan degradasi (ha th-1)
(%)
Keterangan
20,67 71,00 7,33 8,67 103,33 76,33 186,33 78,33 1.314,33 3.352,00
0,05 0,16 0,02 0,02 0,24 0,18 0,43 0,18 3,04 7,75
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Degradasi Deforestasi Deforestasi Degradasi
1.914 93 22 6.398 3.003 206 102
638,00 31,00 7,33 2.132,67 1.001,00 68,67 34,00
1,48 0,07 0,02 4,93 2,31 0,16 0,08
Degradasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
822 333 809
274,00 111,00 269,67
0,63 0,26 0,62
Deforestasi Deforestasi Deforestasi
54.449 12 95 1.308 22 37 1.734
18.149,67 4,00 31,67 436,00 7,33 12,33 578,00
41,97 0,01 0,07 1,01 0,02 0,03 1,34
Degradasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
2.055 55 47 60
685,00 18,33 15,67 20,00
1,58 0,04 0,04 0,05
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
138 9 1.697 7 60 197 1.283 470
46,00 3,00 565,67 2,33 20,00 65,67 427,67 156,67
0,11 0,01 1,31 0,01 0,05 0,15 0,99 0,36
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
136
Tabel 19 (lanjutan) Penutupan Lahan 2003 Hutan rawa sekunder (Hrs)
Penutupan Lahan 2006
Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Sabana (S) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A)
TOTAL
Total Deforestasi Total Degradasi Total konversi untuk hutan tanaman Total konversi untuk perkebunan Total konversi untuk tambak
Total Deforestasi dan Degradasi (ha) 94 3.525 812 150
Laju deforestasi dan degradasi (ha th-1)
462 4.027 4.651 1.139 3.644 483 5.103 12.211 346 129.739 58.110 71.629 5.210 7.133 1.383
(%)
Keterangan
31,33 1.175,00 270,67 50,00
0,07 2,72 0,63 0,12
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
154,00 1.342,33 1.550,33 379,67 1.214,67 161,00 1.701,00 4.070,33 115,33 43.246,33 19.370 23.876 1.737 2.378 461
0,36 3,10 3,58 0,88 2,81 0,37 3,93 9,41 0,27 100,00 44,79 55,21 4,02 5,50 1,07
Deforestasi Deforestasi Degradasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
Sumber: Hasil analisis deliniasi spasial Kabupaten Banyuasin (2010)
Hasil analisis menunjukkan dimana jumlah areal berhutan yang terdeforestasi dan terdegradasi di FA selama periode 2003-2006 sekitar 129.739 ha atau rata-rata sekitar 43.246,33 ha th-1. Dari luasan tersebut, jumlah areal yang terdeforestasi sekitar 58.110 ha (44,79%) dengan laju deforestasi rata-rata tahunan sekitar 19.370 ha th-1. Sementara itu luas areal terdegradasi sekitar 71.629 ha (55,21%) dengan laju degradasi rata-rata tahunan sekitar 23.876 ha th-1. Selama periode 2003 dan 2006 perubahan fungsi hutan terbesar adalah terdegradasinya fungsi hutan rawa primer menjadi hutan rawa sekunder seluas 54.449 ha (41,97%), sedangkan deforestasi terbesar terjadi pada hutan rawa sekunder seluas 31.996 ha (24,66%) untuk berbagai kepentingan pertanian serta adanya perubahan fungsi hutan menjadi rawa-rawa, belukar rawa, sabana dan perubahan fungsi hutan lainnya. Sementara itu hutan mangrove primer terdeforestasi sebesar 14.556 ha (11,22%) menjadi areal penggunaan lainnya (lihat Gambar 32).
137
Degradasi hutan rawa sekunder (Hrs) , 4.651 (3,58%)
Deforestasi hutan mangrove primer (Hmp), 14.556 (11,22%)
Deforestasi hutan rawa primer (Hrp), 3.687 (2,84%) Deforestasi Hutan lahan kering sekunder (Hs), 3.950 (3,04%)
Degradasi hutan rawa primer (Hrp) , 54.449 (41,97%) Degradasi hutan mangrove primer (Hmp), 12.529 (9,66%)
Deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs), 31.996 (24,66%)
Deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms), 3.921 (3,02%)
Gambar 32 Deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area pada periode 2003-2006 (ha).
Berdasarkan informasi dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan dan TN Sembilang menunjukkan bahwa terdegradasinya fungsi hutan rawa primer menjadi hutan rawa sekunder terjadi karena frekuensi kebakaran cukup tinggi. Kebakaran hutan dan lahan telah terjadi berulang kali antara 1997-2006, baik di dalam maupun di sekitar TN Sembilang. Kebakaran juga telah mendegradasi hutan rawa gambut yang luas di selatan dan barat kawasan. Beberapa kasus kebakaran ini berhubungan langsung dengan kegiatan pembukaan lahan terutama untuk areal hutan tanaman industri dan kebun sawit. Data hasil analisis deliniasi spasial antara 2003-2006 menunjukkan dimana sekitar
5.210 ha (4,02%) telah dikonversi untuk
hutan tanaman industri (HTI).
Konversi ini berasal dari hutan mangrove primer seluas 559 ha dan dari hutan rawa sekunder sekitar 4.651 ha. Konversi untuk areal perkebunan sawit seluas 7.133 ha (5,5%) berasal dari konversi hutan mangrove primer 229 ha, dari hutan rawa primer 822 ha, dari hutan lahan kering sekunder 2.055 ha dan dari hutan rawa sekunder seluas 4.027 ha. Sementara itu konversi untuk areal tambak seluas 1.383 ha (1,07%), berasal dari konversi hutan mangrove primer 235 ha, dari hutan mangrove sekunder 9 ha dan dari hutan rawa sekunder 1.139 ha. Apabila diperhatikan luas areal konversi yang direncanakan (planned deforestation) untuk hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan tambak secara total selama periode 2003-2006 seluas 13.726 ha, secara prosentase sekitar 9,22 % relatif kecil. Akan tetapi konversi ini diprediksi dapat mengganggu fungsi biologi ekosistem kawasan pesisir secara keseluruhan. Sementara itu, laju deforestasi dan degradasi di FA sebagian besar disebabkan oleh deforestation) sebesar 90,88%.
konversi yang tidak direncanakan (unplanned Hal ini terjadi
sebagai akibat tekanan penduduk
maupun faktor alam. Fakta lapangan menunjukkan kecenderungan pengelolaan hutan
138
tanaman dan perkebunan pada umumnya melakukan penggalian kanal-kanal. Hal ini diprediksi dapat mempengaruhi sistem tata air lahan gambut menjadi kering dan rentan kebakaran. Perubahan fungsi kawasan hutan ini
perlu diantisipasi dampaknya
dikemudian hari. Terutama hutan rawa gambut memiliki kandungan organik yang tinggi dan berfungsi sebagai
cadangan karbon terbesar di daratan. Apabila terganggu
keberadaannya dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem setempat terutama dalam hal anomali iklim. 5.1.1.2
Laju Historis Deforestasi dan Degradasi Hutan Mangrove di Dalam Kawasan TN Sembilang Hasil analisis deliniasi citra landsat tahun 2003 dan 2006 di dalam kawasan TN
Sembilang telah terjadi deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir sebesar 44.627 ha dengan laju rata-rata tahunan sebesar 14.875 ha th-1. Perubahan terbesar terjadi akibat penurunan kualitas sumberdaya pesisir (degradasi hutan mangrove) seluas 30.718 ha (69%), sedangkan perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan tanpa tegakan pohon (deforestasi) sebesar 13.909 ha (31%). Sebagian besar dari degradasi sumberdaya itu terjadi pada penurunan kualitas hutan rawa primer (Hrp) menjadi hutan rawa sekunder (Hrs) seluas 25.520 ha (59,64%), kemudian kawasan yang terdeforestasi terbesar adalah perubahan hutan mangrove primer (Hmp) menjadi berbagai bentuk penutupan lahan seperti belukar (B), perkebunan (Pk), tambak (Tm), sabana (S), rawarawa (Rw), belukar rawa (Br) dan badan air (A) sejumlah 8.393 ha (19%). Hasil deliniasi spasial di dalam kawasan pesisir TN Sembilang, secara rinci disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 33. Tablel 20 Laju historis deforestasi dan degradasi hutan pada periode 2003-2006 di dalam kawasan pesisir TN Sembilang Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp)
Tipe Tutupan Lahan 2006
Total def. dan degr. (ha)
Laju def. dan degr. (ha th-1)
%
Keterangan
Belukar (B) Perkebunan (Pk)
200,61
66,87
0,45
62,84
20,95
0,14
Deforestasi Deforestasi
Tambak (Tm)
300,00
100,00
0,67
Deforestasi
Sabana (S)
3.062,72
1.020,91
6,86
Deforestasi
Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A)
5.034,78
1.678,26
11,28
Degradasi
162,83
54,28
0,36
11,63
3,88
0,03
2.759,11
919,70
6,18
2.196,17
732,06
4,92
Degradasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
139 Tabel 20 (lanjutan) Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan rawa primer (Hrp)
Tipe Tutupan Lahan 2006 Sabana (S) Hutan rawa sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br)
Hutan mangrove sekunder (Hms)
Sawah (Sw) Tambak (Tm) Sabana (S) Rawa-rawa (Rw)
Total def. dan degr. (ha)
Laju def. dan degr. (ha th-1)
%
Keterangan
300,34 25.520,19 261,00 73,04
100,11 8.506,73 87,00 24,35
0,67 57,19 0,58 0,16
Deforestasi Degradasi Deforestasi Deforestasi
7,55 1.550,00 1.156,32 197,41
2,52 516,67 385,44 65,80
0,02 3,47 2,59 0,44
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
Belukar rawa (Br)
116,44
38,81
0,26
Deforestasi
Badan air (A)
331,75
110,58
0,74
Deforestasi
Belukar (B)
30,31
10,10
0,07
Deforestasi
Sawah (Sw)
2,50
0,83
0,01
Deforestasi
1.262,84
420,95
2,83
Deforestasi
26,11
8,70
0,06
Deforestasi
44.626,48
14.875,49
100
Total Deforestasi
13.909
4.636
31
Total Degradasi
30.718
10.239
69
Total konversi untuk sawah
10,04
3,35
0,02
Total konversi untuk perkebunan Total konversi untuk tambak
62,84
20,95
0,14
1.850
616,67
4,15
Hutan rawa sekunder (Hrs)
Belukar rawa (Br) Badan air (A) TOTAL
Sumber: Hasil analisis deliniasi spasial wilayah pesisir TN Sembilang (2010).
Deforestasi hutan mangrove primer (Hmp) 8.593 (19,26%)
Deforestasi hutan rawa primer (Hrp) 634 (1,42%) Deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms) 3.359 (7,53%)
Degradasi hutan rawa primer (Hrp) 25.520 (57,19%)
Gambar 33
Degradasi hutan mangrove primer (Hmp) 5.198 (11,65%)
Deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs) 1.322 (2,96%)
Deforestasi dan degradasi hutan di wilayah pesisir TN Sembilang periode 2003-2006 (ha)
Hasil deliniasi tata guna lahan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang teridentifikasi dimana fungsi kawasan hutan yang terdeforestasi menjadi areal tambak sekitar 1.850 ha atau sekitar 617 ha th-1. Perubahan fungsi hutan untuk tambak ada perbedaan luasan bila dibandingkan dengan kondisi lapangan. Berdasarkan data (TN Sembilang 2009) pada kawasan ini sampai pada saat penelitian dilakukan masih ada
140
areal tambak sekitar 2.013 ha. Dengan demikian terdapat selisih luasan tambak antara hasil analisis citra dengan hasil ground check sekitar 163 ha (8%). Hal ini terjadi karena deliniasi dilakukan terhadap citra satelit tahun 2003 dan 2006 (waktu referensi baseline study deforestasi dan degradasi hutan), sedangkan survey lapangan dilakukan pada tahun 2009 dan 2010. Apabila menggunakan data hasil ground check tersebut, maka selama tiga tahun terakhir (2006-2009) terjadi penambahan luas areal tambak sekitar 163 ha atau rata-rata sekitar 54 ha th-1 (lihat Gambar 34).
Gambar 34 Perambahan fungsi hutan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang oleh masyarakat untuk pengembangan tambak (warna merah menunjukkan areal perambahan) (Sumber: TN Sembilang 2009)
Perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove di kawasan TN Sembilang terjadi selain akibat tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam itu, juga sebagai akibat faktor alam. Pada tahun 1997 pernah terjadi kebakaran cukup besar, tetapi seluruhnya berada di luar kawasan TN Sembilang, yaitu di kawasan transmigrasi Karang Agung antara Sungai Sembilang dan Sungai Lalang. Vegetasi bekas kebakaran juga terlihat di Semenanjung Banyuasin dan juga diantara Sungai Terusan Luar dan Sungai Benu. Berdasarkan analisis citra satelit serta informasi dari TN Sembilang dan masyarakat, kebakaran juga pernah terjadi di bagian tengah Pulau Betet serta bagian timur Pulau Alanggantang Penyebab seringnya kebakaran hutan di kawasan ini teridentifikasi adanya pembuatan parit secara ekstensif pada hutan rawa. Berdasarkan informasi, konversi ini
141
dilakukan oleh para pengusaha perkebunan sawit, hutan tanaman industri maupun oleh masyarakat terutama para transmigran. Pembuatan parit ini dapat menyebabkan akses menuju hutan lebih mudah serta dapat menurunkan muka air tanah, sehingga dampaknya lebih rentan terhadap kebakaran.
Gambar 35 berikut adalah gambaran
sebaran titik api yang terjadi pada tahun 1997.
Minggu I September 1997
Minggu II September 1997
Minggu III September 1997
Gambar 35
Minggu IV September 1997
Sebaran titik api (hot spot) yang terekam selama kebakaran hutan tahun 1997 (Catatan: titik hitam menunjukkan hot spot pada kejadian minggu sebelumnya) (data dari EU-FFPCP dalam Dephut 2002).
5.1.2 Potensi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir Analisis tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir didasarkan pada data historis pola pemanfaatan ruang maupun berdasarkan analisis allometrik. Hasil pengukuran biomassa pada skala plot berbagai tipe tutupan lahan dengan menggunakan persamaan
(3.9) dan persamaan (3.10)
hasilnya adalah
sebagaimana disajikan pada Tabel 21. Sementara itu data hipotetik carbon stock yang
142
sudah dilakukan dan dapat digunakan sebagai acuan analisis dalam studi ini disajikan pada Tabel 22. Tabel 21
Hasil pengukuran biomassa dan stok karbon pada berbagai tipe tutupan lahan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang dan sekitarnya
No
Tipe tutupan lahan
1 2 3 4
Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan kebun Semak berawa
Biomassa (ton ha-1)
Stok karbon (tC ha-1) (0,5*Biomassa) *)
454,67
227,33
204,41 151,79 34,69
102,20 75,89 17,34
Keterangan: *) Konstanta : 0,5 = koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi) (Murdiyarso et al. 2004) Sumber: Hasil analisis allometrik pada skala plot (2010)
Tabel 22 Perbandingan data stok karbon hasil penelitian pada studi ini serta hipotetik yang digunakan pada berbagai tipe tutupan lahan No
Tipe Tutupan Lahan
1.
Hutan Mangrove Primer *
2. 3. 4. 5.
Hutan Gambut Primer * Hutan Lahan Kering Primer * Hutan Lahan Kering Sekunder * Hutan Mangrove Sekunder *
6. 7.
Hutan Gambut Sekunder * Belukar rawa **
8.
Pertanian Lahan Kering**
9.
Pertanian campuran (dryland and bushes) ** Padi sawah ** Perkebunan * Hutan tanaman *
10. 11. 12 13
Padang rumput, pemukiman, transmigrasi **
data
Biomassa (ton ha-1) 454,67 482 279,03 421,5 216 464 230 204,40 256 154 34,68 40 10
Stok Karbon *) (tC ha-1) 227,33 241 139,51 210,75 108 232 115 102,20 128 77 17,34 20 5
158
79
Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) Kusmana et al. (1992) Komiyama et al. (2008) Istomo et al. (2006) CER Indonesia (2009) Wasrin et al., 2000 Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) Istomo et al. (2006) Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) Murdiyarso et al.(2005) Wasrin et al. (2000)
8 118 151,79 118 6
4 59 75,89 59 3
Wasrin et al. (2000) Wasrin et al. (2000) Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) Wasrin et al. (2000)
Sumber
Keterangan : * : Lahan berhutan ; ** : Lahan Tidak Berhutan. *) Konstanta : 0,5 : koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi) (Murdiyarso et al. 2004)
Tabel 21 merupakan hasil pengukuran tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada studi ini dan merupakan hasil analisis berdasarkan fungsi allometrik pengukuran biomassa pada skala plot di areal hutan mangrove primer (Hmp), hutan mangrove sekunder (Hms), hutan kebun dan semak belukar rawa. Sementara itu Tabel 22 merupakan stok karbon untuk mengukur laju emisi pada berbagai tipe hutan di luar ke empat fungsi hutan tersebut di atas yang digunakan berdasarkan pendekatan hasil penelitian sebelumnya.
143
5.1.2.1 Laju Historis Potensi Emisi CO2 di Frontier Area Tingkat potensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan dihitung menggunakan persamaan (3.11), persamaan (3.12) dan persamaan (3.13). Hasil analisis spasial dan fungsi allometrik menunjukkan bahwa laju deforestasi dan degradasi hutan mangove di FA periode 2003-2006 rata-rata sebesar 43.246 ha th-1 dengan laju emisi CO2 tahunan rata-rata sekitar 11,25 MtCO2 th-1. Laju emisi terbesar berasal dari perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan kosong (deforestasi) sebesar 7,17 MtCO2 th-1 (64%) sedangkan laju emisi akibat perubahan kualitas sumberdaya hutan (degradasi) sebesar 4,08 MtCO2 th-1 (36%). Laju peningkatan emisi deforestasi tertinggi berasal dari perubahan tata guna lahan hutan mangrove primer sebesar 3,9 MtCO2 th-1 (34,43%) sedangkan degradasi tertinggi berasal dari hutan rawa primer sebesar 2,08 MtCO2 th-1 (18,46%) (lihat Tabel 23 dan Gambar 36). Tabel 23 Laju historis potensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area (2003-2006) Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp)
Hutan rawa primer (Hrp)
Tipe Tutupan Lahan 2006 Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian Lahan kering dan belukar (Pc) Tambang (Tb) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Sabana (S) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A) Belukar (B) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Perkebunan (Pk) Sabana (S) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman(Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br)
Total Def. dan Degr. (ha)
Laju Def. dan Degr. (ha th-1)
C(exante) (tCth-1)
C(expost) (tCth-1)
62 213 22
20,67 71 7,33
227,33 227,33 227,33
19,99 78,65
4.698 14.722 1.090
17.243 54.028 4.002
26 310 229 559
8,67 103,33 76,33 186,33
227,33 227,33 227,33 227,33
4,23 59 75,89
1.970 23.055 12.850 28.218
7.231 84.611 47.158 103.561
235 3.943 10.056
78,33 1.314,33 3.352
227,33 227,33 227,33
3 102,20
17.808 294.851 419.438
65.355 1.082.102 1.539.339
1.914
638
227,33
76,67
96.127
352.787
93 22 6.398 3.003 206 102
31 7,33 2.132,67 1.001 68,67 34
227,33 227,33 227,33 227,33 107,84 107,84
3 17,34 17,34 78,65
6.954 1.667 447.840 227.562 6.214 992
25.523 6.118 1.643.572 835.153 22.806 3.642
822 333 809
274 111 269,67
107,84 107,84 -
59 3
13.382 11.637 -
49.113 42.709 -
54.449
18.149,67
107,84
76,67
565.816
2.076.544
12 95 1.308
4 31,67 436
107,84 107,84 107,84
3 17,34
419 3.415 39.456
1.539 12.533 144.804
C LC-D (tC)
Emisi CO2 (tCO2 th-1) *) (3,67* C LC-D )
144
Tabel 23 (lanjutan) Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan lahan kering sekunder (Hs)
Hutan mangrove sekunder (Hms)
Hutan rawa sekunder (Hrs)
Hutan rawa sekunder (Hrs)
Tipe Tutupan Lahan 2006 Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Perkebunan (Pk) Pemukiman (Pm) Belukar rawa (Br) Belukar (B) Sawah (Sw) Tambak (Tm) Sabana (S)
Total Def. dan Degr. (ha) 22 37
Laju Def. dan Degr. (ha th-1)
C LC-D (tC)
Emisi CO2 (tCO2 th-1) *) (3,67* C LC-D )
C(exante) (tCth-1)
C(expost) (tCth-1)
7,33 12,33
115 115
19,99 5
697 1.357
2.557 4.979
1.734
578
115
78,65
21.010
77.108
2.055 55 47 60 138 9 1.697
685 18,33 15,67 20 46 3 565,67
115 115 115 102,20 102,20 102,20 102,20
59 3 17,34 19,99 4,23 3,00
38.360 2.053 1.530 1.644 4.507 307 56.116
140.781 7.536 5.615 6.035 16.541 1.125 205.947
7
2,33
102,20
76,67
60
219
Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A)
60
20
102,20
3
1.984
7.282
197 1.283 470 94
65,67 427,67 156,67 31,33
102,20 102,20 102,20 76,67
17,34 -
6.711 36.292 16.012 2.402
24.631 133.190 58.764 8.816
Tanah kosong (T)
3.525
1.175
76,67
19,99
66.596
244.408
Belukar (B) Peranian lahan kering (Pt)
812 150
270,67 50
76,67 76,67
5 78,65
19.397 (99)
71.188 (364)
Pertanian lahan kering dan belukar (Pc)
462
154
76,67
4,23
11.156
40.942
Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Sabana (S)
4.027 4.651 1.139
1.342,33 1.550,33 379,67
76,67 76,67 76,67
59 75,89 -
23.712 1.194 29.107
87.024 4.382 106.823
3.644 22
1.214,67 7,33
76,67 115
3 19,99
89.478 697
328.386 2.557
Pemukiman (Pm)
483
161
76,67
3
11.860
43.526
Rawa-rawa (Rw)
5.103
1.701
76,67
-
130.407
478.594
Belukar rawa (Br)
12.211
4.070,33
76,67
17,34
241.455
886.140
346
115,33
76,67
-
8.842
32.450
Badan air (A) TOTAL Total Deforestasi Total Degradasi Total konversi untuk HTI Total konversi untuk perkebunan Total konversi untuk tambak
129.739
43.246,33
3.064.332
11.246.097
58.110 71.629 5.210 7.133 1.383
19.370 23.876 1.737 2.378 461
64% 36% 1,0% 2,9% 1,5%
7.169.483 4.076.614 107.943 324.076 173.303
Keterangan: *) Konstanta : 3,67* C LC-D , konstanta 3,67 merupakan faktor atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (ton CO2e/ton C) ( Bush et al. 2009)
Sumber : Hasil analisis deliniasi spasial dan allometrik (2010)
145
Emisi dari degradasi hutan rawa sekunder (Hrs) 4.382 (0,04%)
Emisi dari deforestasi hutan mangrove primer (Hmp) 3.872.095 (34,43%)
Emisi dari degradasi hutan rawa primer (Hrp) 2.076.544 (18,46%)
Emisi dari deforestasi hutan rawa primer (Hrp) 277.145 (2,46%)
Emisi dari degradasi hutan mangrove primer (Hmp) 1.995.688 (17,75%)
Emisi dari deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs) 2.327.934 (20,70%)
Emisi dari deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms) 453.733 (4,03%)
Emisi dari deforestasi Hutan lahan kering sekunder (Hs) 238.576 (2,12%)
Gambar 36 Laju historis emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area pada periode 2003-2006 (tCO2 th-1)
Perubahan tipe tutupan lahan di FA (Kabupaten Banyuasin) dipengaruhi dua faktor:
aktivitas yang direncanakan dan tidak direncanakan.
Aktivitas yang
direncanakan (planned deforestation) didasarkan pada rencana tata ruang wilayah (RUTR), sedangkan aktivitas yang tidak direncanakan
(unplanned deforestation)
sebagai akibat adanya faktor alam (kebakaran hutan), maupun kebiasaan masyarakat (human being) seperti perambahan hutan maupun adanya pembalakan liar (illegal logging). Selama kurun waktu 2003-2006 di FA telah terjadi perubahan fungsi hutan mangrove primer menjadi belukar rawa (Br) seluas 6.398 ha (4,3%). Hal ini diprediksi telah menyebabkan peningkatan laju emisi CO2 sebesar 1,64 MtCO2 th-1 (14,50%). Semua hutan rawa di Kabupaten Banyuasin adalah berupa gambut, sehingga tingkat emisi yang sebenarnya dari deforestasi dan degradasi diprediksi dapat lebih tinggi dari hasil analisis ini.
5.1.2.2 Laju Historis Potensi Emisi CO2 di dalam Kawasan Pesisir TN Sembilang Hasil analisis
spasial dan fungsi allometrik di dalam kawasan pesisir TN
Sembilang menunjukkan laju potensi emisi CO2 tahunan sebesar 5,23 MtCO2 th-1. Sekitar 2,90 MtCO2 th-1 (56%) diantaranya berasal dari emisi deforestasi, sedangkan yang berasal dari degradasi hutan sekitar disajikan pada Tabel 24.
2,32 MtCO2 th-1 (44%). Secara rinci
146
Tabel 24 Laju historis potensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp)
Tipe Tutupan Lahan 2006
Total Def. dan Degr. (ha) 201 63 300 3.063 5.035
Laju Def. dan Degr. (hath-1)
C(exante) (tCth-1)
C(expost) (tCth-1)
C LC-D (tC)
Emisi CO2 (tCO2 th-1) *) (3,67* C LC-D )
Belukar (B) 66,87 227,33 19,99 13.866 Perkebunan (Pk) 20,95 227,33 59,00 3.526 Tambak (Tm) 100 227,33 22.733 Sabana (S) 1.020,91 227,33 3,00 229.025 Hutan mangrove 1.678,26 227,33 102,20 210.002 sekunder (Hms) Hutan rawa 163 54,28 227,33 76,67 8.178 sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) 12 3,88 227,33 881 Belukar rawa (Br) 2.759 919,70 227,33 17,34 193.129 Badan air (A) 2.196 732,06 227,33 166.422 Hutan rawa Sabana (S) 300 100,11 107,84 3,00 10.496 primer (Hrp) Hutan rawa 25.520 8.506,73 107,84 59,00 415.469 sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) 261 87 107,84 9.382 Belukar rawa (Br) 73 24,35 107,84 17,34 2.203 Hutan Sawah (Sw) 8 2,52 102,20 4,23 246 mangrove Tambak (Tm) 1.550 516,67 102,20 52.805 sekunder Sabana (S) 1.156 385,44 102,20 3,00 38.237 (Hms) Rawa-rawa (Rw) 197 65,80 102,20 6.725 Belukar rawa (Br) 116 38,81 102,20 17,34 3.294 Badan air (A) 332 110,58 102,20 11.302 Hutan rawa Belukar (B) 30 10,10 76,67 19,99 573 sekunder Sawah (Sw) 2 0,83 76,67 4,23 60 (Hrs) Belukar rawa (Br) 1.263 420,95 76,67 17,34 24.971 Badan air (A) 26 8,70 76,67 667 44.626 14.875,49 - 1.424.193 Total 13.909 4.636 56% Total deforestasi 30.718 10.239 44% Total degradasi Total konversi untuk sawah 10 3 0,02% Total konversi untuk kebun 63 21 0,25% Total konversi untuk tambak 1.850 617 5,30% Keterangan: *) Konstanta : 3,67* C LC-D , konstanta 3,67 merupakan faktor atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (ton CO2e/ton C) ( Bush et al. 2009)
Sumber : Hasil analisis deliniasi spasial dan allometrik (2010)
Emisi dari degradasi hutan rawa primer (Hrp) 1.524.770 (29,17%)
Emisi dari deforestasi hutan mangrove primer (Hmp) 2.310.564 (44,21%)
Emisi dari degradasi hutan mangrove primer (Hmp) 800.721 (15,32%) Emisi dari deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs) 96.415 (1,84%)
Gambar 37
Emisi dari deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms) 413.279 (7,91%)
Emisi dari deforestasi hutan rawa primer (Hrp) 80.038 (1,55%)
Laju emisi deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang tahun 2003-2006 (tCO2 th-1)
50.887 12.941 83.432 840.521 770.707 30.013 3.233 708.784 610.768 38.520 1.524.770 34.432 8.086 904 193.796 140.330 24.682 12.088 41.478 2.102 221 91.643 2.449 5.226.787 2.901.296 2.325.491 904 12.941 277.228
147
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa kecenderungan laju emisi CO2 di FA lebih disebabkan dua faktor, yaitu akibat aktivitas yang direncanakan (9,22%) seperti dampak kebijakan melalui RUTR dan yang tidak direncanakan sebagai akibat antropogenik dan bencana alam (90,88%). Sementara itu, laju emisi CO2 di kawasan pesisir TN Sembilang lebih disebabkan faktor aktivitas yang tidak direncanakan (unplanned deforestation). Data hasil analisis menunjukkan dimana laju emisi CO2 akibat tekanan penduduk terhadap kawasan TN Sembilang menyumbang sekitar 291.073 tCO2 th-1 atau sekitar 5,57% dari total emisi CO2. Sumbangan emisi tersebut bersumber dari konversi untuk lahan sawah (10 ha) sebesar 904 tCO2 th-1 (0,02 %), konversi untuk kebun kelapa (63 ha) sebesar 12.941 tCO2 th-1 (0,25 %) sebesar 277.228 tCO2 th-1 (5,30%).
dan konversi untuk tambak (1.850 ha)
Secara komparatif laju emisi CO2
akibat
antropogenik ini relatif kecil (11,14%) dibandingkan laju emisi CO2 yang disebabkan bencana alam (88,86%) seperti kebakaran hutan dan faktor alam lainnya yang secara masif pernah melanda kawasan ini pada tahun 1997 dan 2006. Hubungan aktivitas antropogenik
antara
dengan konsentrasi emisi CO2 yang terjadi pada kawasan
dilindungi undang-undang (TNS) nampak tidak linier. Laju emisi CO2 akibat bencana alam dan faktor alam lainnya menyumbang sekitar 4,64 MtCO2 th-1 (86,86%). Namun demikian, berdasarkan informasi bahwa proses kebakaran tersebut pun sesungguhnya bersumber dari aktivitas masyarakat yang kurang ramah lingkungan, terutama aktivitas di FA. Kecenderungan masyarakat di FA dalam pemanfaatan sumberdaya alam seringkali dilakukan kurang bijaksana dan bahkan berdampak pada ekosistem pesisir TN Sembilang. Pembuatan kanalisasi untuk jalur transportasi masuk ke hutan serta pembalakan secara ilegal telah menyebabkan
fragmentasi habitat,
terganggunya
koridor jelajah satwa liar, serta merusak keutuhan ekosistem secara keseluruhan. Diferensiasi dampaknya berupa penurunan hasil hutan nir kayu dan produktivitas perikanan. Dampak kanalisasi serta sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat sering kali menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga menimbulkan subsidensi, gambut menjadi kering dan
sangat rentan terhadap
kebakaran. Potensi emisi CO2 di masa yang akan datang, baik di FA maupun di dalam kawasan pesisir TN Sembilang diprediksi bersumber dari aktivitas yang direncanakan dan aktivitas yang tidak direncanakan. Potensi emisi CO2 di FA sumbangan terbesar
148
diprediksi bersumber dari dampak kebijakan tata ruang. Sedangkan potensi emisi CO2 di kawasan pesisir TN Sembilang diprediksi lebih disebabkan tekanan penduduk serta faktor perubahan alam secara alamiah. Tingkat emisi CO2 mendatang di dua wilayah ini (FA dan TNS) diprediksi berdasarkan hasil simulasi dan pemodelan dianalisis secara rinci pada Bab 6.
5.2
Indikator Penggerak Emisi Karbon di Wilayah Pesisir Indikator penggerak (driver) emisi karbon di wilayah Kabupaten Banyuasin
diprediksi bersumber dari yang direncanakan (planned deforestation) dan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation). Indikator penggerak yang direncanakan bersumber pada kebijakan tata ruang dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (contoh kebijakan rencana tata ruang wilayah/RTRW). Sementara itu indikator penggerak yang tidak direncanakan bersumber dari tekanan penduduk terhadap lahan serta perilaku dan karakter masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut (contoh pemanfaatan hutan/konversi lahan secara ilegal, perambahan hutan, kebakaran hutan dan sebagainya). Atas dasar itu maka perlu dianalisis indikator-indikator penggerak apa saja yang diprediksi dapat meningkatkan emisi karbon. Secara ringkas disajikan pada Tabel 25. Indikator penggerak emisi CO2 diluar kawasan TNS (FA) dapat ditelusuri berdasarkan hasil analisis spasial
tata guna lahan periode 2003-2006 (RTRW
Kabupaten Banyuasin) dimana telah terjadi deforestasi dan degradasi seluas 129.739 ha. Dari luasan tersebut, sebesar 58.110 ha (44,79%) merupakan perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan tanpa tegakan pohon (deforestasi). Sementara itu sekitar 71.629 ha (55,21%) merupakan areal hutan rawa dan hutan mangrove tetapi telah mengalami penurunan kualitas (degradasi). Alih fungsi hutan ini merupakan salah satu penggerak peningkatan emisi karbon historis di FA sebesar 11,25 MtCO2 th-1. Fakta ilmiah menunjukkan terdapat sekitar 107.943 tCO2 th-1 (0,96%) merupakan hasil konversi hutan untuk HTI dan perkebunan sawit menyumbang sebesar 324.076 tCO2 th-1 (2,88%). Dengan demikian selama periode 2003-2006 total potensi emisi CO2 akibat indikator penggerak yang direncanakan (planned deforestation) relatif kecil yaitu 432.019 tCO2 th-1 (3,84%) dibanding potensi emisi CO2 akibat indikator penggerak yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) sebesar 10,81 MtCO2th-1 (96,16%).
149
Tabel 25
Indikator penggerak emisi CO2 di wilayah pesisir TN Sembilang
No
Sumber
A
Direncanakan (planned deforestation) Tidak Direncanakan (unplanned deforestation)
B
Indikator Penggerak
Faktor Penyebab
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK)
Kebutuhan perencanaan tata ruang untuk pengembangan wilayah Kabupaten Banyuasin
a. Populasi penduduk
Peningkatan populasi penduduk akibat kebijakan transmigrasi yang berdekatan dengan wilayah TNS terdapat kecenderungan adanya tekanan penduduk terhadap lahan. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di wilayah ini adalah 2,58%/tahun Semakin tinggi populasi penduduk, serta semakin rendahnya tingkat produktivitas lahan dapat menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan semakin meningkat. Kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak (z) di wilayah ini sebesar 1,02 ha/orang a) Pembuatan tambak-tambak dan lahan pertanian. Saat ini masih ada sekitar 2.013 ha tambak illegal di dalam TN Sembilang b) Rata-rata tingkat perambahan hutan (encroachment) saat ini sekitar 54 ha/tahun a) Pemanfaatan daun Nipah (Nypa fruticans) sangat intensif b) Penggunaan pohon Nibung (Oncosperma tigillarium) untuk tiang bangunan Penebangan liar jenis Dipterocarpaceae yang kerap luput dari pengamatan petugas mengingat lokasinya paling jauh di bagian utara berbatasan dengan TN Berbak a) Beberapa kebakaran yang telah terjadi berhubungan langsung dengan kegiatan pembukaan lahan yang luas (contoh : transmigrasi dan kebun kelapa sawit), yang lainnya disebabkan oleh penduduk b) Penyebab utama dari kebakaran ini adalah kegiatan penebang liar untuk budidaya pertanian, nelayan yang melakukan pembukaan vegetasi untuk mencari ikan serta pengembangan kawasan transmigrasi.
b. Kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak (z)
c. Konversi lahan
d. Pemanfaatan hasil hutan yang tidak lestari e. Illegal logging
f. Kebakaran hutan dan lahan
Sumber : Hasil identifikasi lapangan (2010)
Indikator penggerak emisi karbon yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) baik di FA maupun di TN Sembilang berkaitan dengan faktor alam seperti kemarau panjang yang menyebabkan kebakaran hutan serta faktor lain seperti peningkatan populasi penduduk serta kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak dapat meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan. Sumber tekanan penduduk terhadap lahan erat kaitannya dengan masalah kebutuhan mata pencaharian masyarakat, sehingga terdapat kecenderungan konversi lahan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Diantaranya adalah konversi lahan untuk ladang dan sawah serta tambak udang secara
150
ilegal. Faktor penggerak lainnya adalah adanya kecenderungan dimana dengan semakin naiknya harga komoditas udang serta gagal panen di wilayah lain, dapat mempengaruhi motivasi terjadinya tekanan penduduk terhadap hutan mangrove. Untuk mengetahui tingkat tekanan penduduk terhadap lahan (TP) dapat didekati dengan persamaan (3.15) dan hasil pengolahan data
Kabupaten Banyuasin Dalam
Angka tahun 2008 (BPS Kabupaten Banyuasin 2008/2009) disajikan pada Tabel 26, sedangkan rincian hasil pengolahan Tekanan Penduduk terhadap lahan (TP) disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan kriteria tekanan penduduk terhadap lahan, diperoleh nilai TP 2,14 (nilai TP > 2) sehingga termasuk kelas kriteria buruk. Hal ini mencerminkan bahwa penduduk memiliki kecenderungan untuk melakukan okupasi lahan minimal untuk dapat hidup layak. Dengan meningkatnya jumlah penduduk di wilayah ini sebesar 2,58% serta rendahnya lapangan pekerjaan diprediksi dapat menimbulkan degradasi lingkungan.
Semakin
besar
jumlah
penduduk,
semakin
besar
pula
tingkat
ketergantungan terhadap sumberdaya alam, sehingga tekanan terhadap sumberdaya yang ada juga meningkat. Dengan demikian, wilayah pesisir semakin rentan terhadap berbagai perubahan iklim yang akan terjadi. Tabel 26
Luas lahan minimal hidup layak (z) dan tekanan penduduk terhadap lahan (TP) di frontier area
No
Pertanian
1 2 3
Padi sawah Ketela dan umbi-umbian Produksi pekarangan (palawija) Total lahan pertanian Nilai z padi sawah (ha/orng) Nilai z ketela&umbi (ha/org) Nilai z palawija (ha/orang) Nilai z rata-rata (ha/orang)
Luas (ha)
Produksi (ton)
180.584 8.825 9.735
740.425 52.169 18.699
Rata-rata produksi (ton ha-1) 4,10 5,91 1,92
Rata-rata nilai panen (Rp ha-1) 12.300.500 5.911.524 5.762.373
Harga (Rp kg-1) 2.600 1.000 3.000
199.144 0,82 1,71 1,75 1,02
Sementara itu indikator penggerak emisi karbon di FA pada masa mendatang diprediksi sebagian besar bersumber dari laju deforestasi dan degradasi (DD) yang direncanakan (planned deforestation). Kebijakan alokasi lahan untuk RUTR 2006-2026 seluas 115.207 ha merupakan sumber emisi karbon terestrial yang potensial, karena seluruhnya masih berpenutupan vegetasi.
151
Data historis pada kawasan yang dilindungi (TNS) menunjukkan dimana laju DD hutan mangrove primer (Hmp) menjadi tambak rata-rata 0,138% th-1 dan laju DD hutan mangrove sekunder (Hms) menjadi tambak rata-rata 2,68% th-1. Luasan prediksi tambak selama 25 tahun umur simulasi
menunjukkan luasan sebesar 11.600 ha atau
rata-rata 464 ha th-1. Laju DD tersebut diprediksi dapat menyumbang emisi karbon ratarata sebesar 387.124 tCO2 th-1. Okupasi penduduk terhadap lahan TN Sembilang pada umumnya digunakan untuk usaha tambak, sehingga dapat menimbulkan potensi GRK yang lebih besar lagi. Kegiatan tambak ilegal di TN Sembilang sesungguhnya sudah dimulai sejak 1995 oleh sekitar 400 keluarga yang datang dari Provinsi Lampung. Pada tahun 20002001, sekitar 493 sampai 1.045 keluarga terlibat dalam konversi sekitar 2.159 ha hutan mangrove di Semenanjung Banyuasin antara Sungai Bungin dan Sungai Tengkorak. Dampak negatif dari budidaya tambak ini diprediksi dapat menyebabkan rusaknya kawasan mangrove yang menyokong banyak fungsi biologi penting. Di samping itu, lokasi spesifik tambak tersebut berada dekat dengan lokasi utama bagi burung-burung migran termasuk beberapa spesies burung langka bangau bluwok (Mycteria cinerea) dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) untuk mencari pakan. Di samping kawasan yang dikonversi sebagai tambak, beberapa lokasi ada yang dibuka untuk pertanian, seperti di sekitar Tanah Pilih (Terusan Luar), yang dulunya dikonversi menjadi perkebunan kelapa dan persawahan di tahun 1970-an. Penyebab lainnya yaitu prediksi konversi lahan dan mangrove oleh para spekulan tanah yang secara langsung mengacu pada rencana pembangunan pelabuhan samudra Tanjung ApiApi. Indikator penggerak emisi karbon lainnya adalah pemanfaatan hutan secara ilegal (penebangan liar) yang umumnya dilaksanakan di kawasan bekas HPH di luar TN Sembilang (FA). Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas TN Sembilang bahwa penebangan liar
banyak dilakukan di sepanjang Sungai Kepahiang, Sungai
Merang dan Sungai Bakorendo. Jenis kayu yang diambil berasal dari spesies Shorea spp., Koompassia sp., Dyera costulata dan lain-lain. Kegiatan penebangan liar ini dilakukan baik oleh masyarakat setempat maupun oleh masyarakat yang berasal dari luar Kabupaten Banyuasin. Kasus yang terakhir dipantau petugas TN Sembilang terjadi di sekitar Sungai Sembilang dan dilakukan oleh masyarakat setempat (Dusun Sembilang). Penebangan liar ini dilakukan biasanya untuk keperluan sendiri seperti
152
bahan bangunan (kayu nibung), sedangkan yang dilakukan masyarakat luar kabupaten umumnya dijual ke Palembang. Penebangan liar ini diprediksi berdampak negatif pada struktur hutan secara umum di kawasan TN Sembilang. Hal lain juga dapat mengancam habitat tersisa dari buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) di sepanjang Sungai Merang. Berdasarkan informasi dari TN Sembilang serta pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa saat ini terdapat peningkatan aktivitas masyarakat yang cukup signifikan di Sungai Merang. Disamping dampak langsung pada habitat buaya sinyulong, peningkatan gangguan terhadap habitat dan sarang buaya jenis ini juga disebabkan oleh meningkatnya populasi manusia di daerah tersebut, seperti kapal-kapal motor dan penggunaan chainsaw di hulu-hulu sungai. Kecenderungan lain penggerak emisi CO2 yang tidak direncanakan adalah masalah kebakaran hutan dan lahan yang telah berulang kali terjadi di kawasan TN Sembilang.
6 MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS REDD+ Pemodelan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ dalam bab ini dikaji berdasarkan pendekatan pemodelan sistem dinamik. Pemodelan sistem dinamik merupakan abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual yang mampu memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa depan berdasarkan penelusuran jalur waktu (time path). Dalam hal ini yang dikaji adalah pemodelan berdasarkan skenario model business as usual (model BAU) kawasan Taman Nasional Sembilang (TNS) serta skenario model carbon crediting (model CC) kawasan TNS. Komparasi dilakukan terhadap aktivitas konversi hutan di frontier area (FA) untuk hutan tanaman/kebun sawit dan tambak, yang akan mempengaruhi tingkat konsentrasi karbon terestrial dan emisi CO2 kawasan hutan mangrove TNS. Masing-masing skenario dapat dijelaskan sebagai berkut : 1)
Skenario model business as usual (model BAU) adalah pengelolaan sumberdaya dengan cara saat ini (eksisting) dimana kebijakan pengelolaan kawasan TNS masih dilakukan secara konvensional. Terdapat ketergantungan biaya pengelolaan kawasan TNS terhadap anggaran pemerintah. Rendahnya anggaran pengelolaan kawasan menyebabkan
semakin tingginya kawasan tersebut terdegradasi dan
terdeforestasi, sehingga diprediksi kawasan TNS akan mengalami penyusutan luas pada zona inti (hutan mangrove primer) secara exponential decay. Opsi pemanfaatan kawasan TNS pada skenario model BAU diusulkan dengan opsi ”Konservasi Mangrove” dan opsi pemanfaatan ”Sylfish” (sylvofishery) pada zona tradisional yang dimanfaatkan masyarakat sejak tahun 1995. Diprediksi terjadi peluruhan fungsi hutan mangrove primer (Hmp) dan hutan rawa sekunder (Hrs) menjadi areal
penggunaan lain (APL): belukar, belukar rawa, padang
rumput, tambak dan sebagainya, mengikuti laju historis deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana saat ini berlangsung. Sehingga kecenderungan ini akan mempengaruhi stok karbon terestrial maupun tingkat konsentrasi emisi karbon yang dilepaskan ke atmosphir. Komparasi dilakukan terhadap aktivitas konversi hutan di FA dimana secara historis dialokasikan
untuk pengembangan hutan tanaman industri dan
perkebunan sawit serta tambak. Semakin tingginya konversi hutan di kawasan FA ini untuk kebutuhan pembangunan ekonomi, diprediksi semakin tinggi pula emisi
154
CO2 yang dilepaskan ke atmosphir. Dengan demikian kawasan TNS akan semakin berat untuk menetralisir tingkat konsentrasi emisi atmospherik di wilayah ini. 2)
Skenario model carbon crediting (model CC), yaitu suatu bentuk upaya mitigasi gas rumah kaca (GRK) melalui ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) berbasis REDD+. Diharapkan dengan skenario model ini laju deoforestasi dan degradasi hutan dapat ditekan, sehingga berdampak positif terhadap: (a) Zona hutan mangrove primer dapat bertumbuh secara exponential growth,
(b)
Kandungan (stok) biomassa hutan mangrove serta stok karbon terestrial ekosistem TNS lebih terjamin, (c) Kawasan TNS mampu menyeimbangkan kondisi ekologis sebagai akibat spektrum dampak emisi CO2 terhadap berbagai kehidupan ekonomi masyarakat sekitar TNS. Selanjutnya
kedua
skenario
tersebut
dilakukan
simulasi
model guna
mendapatkan kecenderungan sistem yang akan terjadi di masa depan. Kajian yang dilakukan pada bab ini pada hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan dan output penelitian yaitu : (1) Mengukur kecenderungan dua model utama (main model), yaitu skenario model BAU dan skenario model CC terhadap fenomena laju emisi CO2 serta keberlanjutan sumberdaya pesisir. (2) Menganalisis implikasi kebijakan
pengelolaan sumberdaya pesisir dari
kecenderungan dua model tersebut kaitannya dengan sosial ekonomi, upaya mitigasi serta
kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap komitmen
Indonesia dalam rangka penurunan emisi GRK secara sukarela sebesar 26% pada tahun 2020. 6.1
Desain Sistem Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Desain sistem pengelolaan sumberdaya pesisir pada studi ini dirancang dengan
memadukan antara aliran ekonomi neoklasik (prinsip efisiensi) serta aliran ekonomi kelembagaan (prinsip kesejahteraan sosial).
Efisiensi berdasarkan kriteria pareto
optimum dinyatakan bahwa tingkat alokasi sumberdaya alam dimana peningkatan benefit kepada satu individu memberikan dampak pada turunnya benefit kepada individu lainnya (Kusumastanto 2000).
Oleh karena itu basis pengambilan kebijakan
alokasi sumberdaya alam didasarkan pada prinsip the best economic allocation. Sementara itu dalam aliran
ekonomi kelembagaan, kebijakan alokasi sumberdaya
alam didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan dengan tujuan: pertumbuhan
155
ekonomi,
perbaikan
kualitas
lingkungan
serta
kesejahteraan
antar
generasi
(intergeneration wellfare). Desain sistem
(model sistem) yang dibangun pada penelitian ini adalah
pemodelan numerik yang bersifat deterministik dimana perilaku sistem pada model ini mengandung kejadian yang pasti. Pemodelan sistem merupakan abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Dalam hal ini yang akan dimodelkan adalah bagaimana keterkaitan antara sumodel emisi CO2 (lingkungan), submodel penduduk (sosial) serta submodel
ekonomi
karbon
(ekonomi)
saling
berinteraksi
membentuk
suatu
kecenderungan sebuah sistem global. Terdapat dua skenario model utama yang akan dimodelkan dimana pada masingmasing skenario model tersebut terdiri dari beberapa opsi yang diusulkan untuk mendapatkan alokasi sumberdaya yang paling efisien dan paling tinggi kontribusinya bagi kepentingan sosial, ekonomi dan lingkungan. Terhadap kedua skenario utama tersebut dilakukan simulasi model dengan menggunakan perangkat lunak (software) ITHINK® Ver. 6.01 dari High Performance System (1994). Untuk selanjutnya dianalisis guna mendapatkan kecenderungan sebuah model untuk kepentingan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir TNS berbasis REDD+.
6.1.1
Struktur Model Business As Usual (Model BAU) Dalam proses penyusunan pemodelan, struktur model merupakan hal penting
dibangun untuk melihat interaksi antar variabel penyusun sistem.
Stuktur model
disusun semaksimal mungkin menyerupai kondisi lingkungan yang sebenarnya dimana terdapat interaksi antar elemen penyusun sistem untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan dan output penelitian, diperlukan suatu pemodelan keterkaitan antar sub sistem, yaitu keterkaitan antara submodel emisi CO2 (lingkungan) sebagai akibat dari kebijakan konversi hutan dalam RUTR di FA, submodel penduduk (sosial) sebagai akibat adanya pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan tekanan terhadap lahan, serta submodel carbon crediting (ekonomi). Ketiga submodel tersebut diprediksi saling berinteraksi membentuk suatu kecenderungan sebuah sistem global. 6.1.1.1
Struktur Submodel Penduduk Skenario BAU Struktur submodel penduduk merupakan suatu sistem
dimana jumlah
populasinya ditentukan oleh laju natalitas dan tingkat migrasi serta laju mortalitas. Pada struktur submodel ini dibangun struktur PDRB sektor Kabupaten Banyuasin dengan
156
tujuan untuk mendapatkan laju migrasi yang merupakan rasio antara kesempatan kerja dengan PDRB sektor yang selanjutnya dapat mempengaruhi tingkat pertambahan penduduk. Penduduk dan PDRB merupakan komponen stock yaitu suatu akumulasi materi maupun non materi yang mencerminkan kondisi (state) suatu sistem pada titik waktu tertentu. Sedangkan parameter lainnya merupakan conventer, yaitu perubah input menjadi output yang mewakili materi atau informasi. Struktur submodel penduduk pada skenario model BAU disajikan pada Gambar 38. SUB MODEL PENDUDUK PDRB Lainny a angk kerja Penduduk
laju natalitas
pert pddk
laju pertumb
laju mort
perub PDRB lainny a growth PDRB lainny a
pengr pddk PDRB sektor
migrasi
income per kpt kesptn kerja
normal mgrs tot kespt kerja
growth PDRB pertanian PDRB pertanian
laju pertm ~
share k kerja model BaU
perub PDRB pertanian
NFIA inv est per t kerja
Manf aat Ekonomi model BAU
Gambar 38 Struktur submodel penduduk pengelolaan sumberdaya pesisir pada skenario model Business As Usual (model BAU).
6.1.1.2
Struktur Submodel Emisi CO2 (Lingkungan) Skenario BAU Struktur submodel emisi CO2 (lingkungan) TNS dan FA dibangkitkan oleh
adanya deforestasi dan degradasi hutan serta perubahan tata guna lahan dan hutan (land use land use change and forestry, LULUCF).
Deforestasi dan degradasi hutan pada
kawasan FA lebih disebabkan secara terencana (planned deforestation) melalui RUTR. Sementara itu di dalam kawasan TNS, deforestasi dan degradasi hutan lebih disebabkan secara tidak terencana (unplanned deforestation), seperti bencana alam dan perambahan hutan (encroachment). Oleh karenanya laju peningkatan emisi CO2 di TNS antara lain disebabkan oleh faktor alam dan anthropogenik. Submodel emisi CO2 berinteraksi antar muka (interface) dengan submodel penduduk. Penduduk dapat mempengaruhi tingkat penyusutan hutan di frontier area dan TNS melalui prediksi populasi penduduk semakin meningkat, maka tekanan terhadap kawasan hutan semakin tinggi. submodel emisi CO2 TNS (model BAU) disajikan pada Gambar 39.
Struktur
157
SUB MODEL EMISI CO2 SKENARIO BAU
APL TNS BAU rate DD Hmp TNS to APL rate Hrs to APL
rate DD Hmp to Hms BAU Hmp TNS BAU
Hrs TNS BAU
Hms TNS BAU lcc DD Hmp to Tbk TNS
lcc DD Hrs TNS BAU
lcc DD Hmp to APL BAU
Tot area dilindungi BAU lcc DD Hmp to Hms TNS BAU
lcc DD Hmp to Hrs TNS BAU
lcc DD Hmp to APL
rate DD Hmp to Hrs BAU ctr DD BAU lcc DD Hmp to Tbk TNS BAU rate DD Hmp to Tbk BAU
lcc DD Hrs to Tbk TNS BAU
Tambak TNS BAU
rate DD Hrs to Tbk BAU
rate DD Hms to Tbk BAU
Penduduk BAU C stk Hmp to APL
C stk dr Hmp to Tbk
lcc DD Hms to Tbk TNS BAU
rate encroach to Tbk BAU
Tot DD TNS BAU C stok dr Hmp to Hms BAU
Emisi Hrs TNS BAU C stok Hrs
f rac atomic C lcc DD TNS BAU C stok dr Hmp to Hrs BAU
perub emisi Hrs TNS BAU
perub emisi Hmp TNS BAU C stok Hms CO2 of f set f r regrowth TNS BAU
Hmp TNS BAU
Emisi Hmp TNS BAU
regrowth C
f rac atomic C
lcc DD Hmp to Hrs TNS BAU perub emisi TNS BAU
perub CO2 of f set regrowth TNS BAU
perub emisi Hms TNS BAU Emisi Hms TNS BAU
TOT EMISI TNS BAU
lcc DD Hmp to Hms TNS BAU
NET EMISI CO2 TNS BAU Hms TNS BAU
NET EMISI CO2 FA BAU perub net CO2 TNS BAU
Emisi Tbk TNS BAU
C stk dr Hmp to Tbk
perub net CO2 FA BAU perub emisi Tbk TNS BAU
C stok Hrs
lcc DD Hrs to Sawit FA BAU
TOT EMISI FA BAU
C stok Hrs
perub emisi Hrs FA BAU f rac atomic C
lcc DD Hmp to Tbk TNS
lcc DD Hrs to APL FA BAU f rac atomic C
perub emisi FA BAU
perub emisi Hrs FA BAU perub CO2 regrowth FA BAU
lcc DD Hrs to HTI FA BAU Emisi Hrs FA BAU
TOT NET EMISI TNS FA BAU
lcc DD Hms to HTI FA BAU
regrowth C Hmp FA BAU
Emisi Hms FA BAU
CO2 of f set f r regrowth FA BAU perub emisi Hms FA BAU
perub C stk APL to Tbk perub C Hmp to Sawit lcc DD APL to pmkn FA BAU
f rac atomic C perub C stk APL to Pmkn lcc DD Hrs to APL FA BAU
C stok Hms
Emisi APL FA BAU
Emisi Hmp FA BAU
f rac atomic C
lcc DD Hmp to APL FA BAU Tot DD FA BAU
perub emisi APL FA BAU
Hms FA BAU rate DD Hms to HTI
perub emisi Hmp FA BAU Settl dan Inf ra BAU
Hmp FA BAU
lcc DD Hmp to Sawit FA BAU
f rak trans&setl BAU rate DD Hmp to sawit
lcc DD Hmp to HTI FA BAU
rate DD Hmp to APL
lcc DD Hmp to APL FA BAU Area utk pmkn BAU Penduduk BAU
rate DD Hmp to HTI lcc DD Hms to HTI FA BAU
C stk Hmp to APL
lcc DD APL to pmkn FA BAU lcc DD FA BAU
HTI FA BAU
Tambak FA BAU
APL FA BAU lcc DD Hmp to Sawit FA BAU
lcc DD Hmp to HTI FA BAU lcc DD Hms to HTI FA BAU
lcc DD Hmp to APL FA BAU
lcc DD APL to Tbk FA BAU perub C Hmp to HTI
Sawit FA BAU rate DD to Tbk rate DD Hrs to APL lcc DD Hrs to APL FA BAU lcc DD Hrs to Sawit FA BAU
tot DD Hmp FA BAU
Hrs FA BAU Total Agri FA lcc DD Hmp FA BAU
lcc DD Hrs to HTI FA BAU Tot area tdk dilindungi BAU
rate DD Hrs to Sawit
rate DD Hrs to HTI
Gambar 39 Struktur submodel emisi CO2 (Lingkungan) pada skenario model Business As Usual (model BAU). 6.1.1.3
Struktur Submodel Ekonomi Skenario Model BAU Struktur submodel ekonomi pada skenario model BAU merupakan keterkaitan
antar variabel yang dapat membangkitkan manfaat ekosistem kawasan serta manfaat
158
ekonomi sebagai hasil konversi untuk industri pertanian. Struktur submodel ekonomi skenario model BAU berinteraksi antar muka dengan submodel emisi CO2 TNS yang dapat mempengaruhi sisi input dan output manfaat ekosistem kawasan dan manfaat ekonomi industri pertanian. Struktur submodel ekonomi pada skenario model BAU disajikan pada Gambar 40. SUB MODEL EKONOMI (WITHOUT REDD+)
Hmp TNS BAU
Rev enue Mgrv TNS BAU
Standing stk BAU
Inv est cost ecosy st BAU
Hms TNS BAU Fisheries BAU By Fisheries BAU Wildlif e BAU
Hrs TNS BAU
DUV BAU
By standing stk BAU Biodiv erstity BAU By DUV BAU
Fisik BAU
Rev enue Mgrv TNS BAU Tambak TNS BAU
By wildlif e BAU Existence BAU
IUV BAU
By eksternalitas Tbk BAU
OV BAU
Rev Tbk per ha
Biay a Ecostm BAU Tambak TNS BAU
EV BAU Manf aat Ecosistem BAU
Rev enue Tbk TNS BAU Rev enue Agric FA BAU
By Tbk udang
Cashf low BAU Tot Cost Tbk TNS BAU
Rev Agric per ha
Cash outf low BAU
Cash inf low BAU
Cost Tbk TNS BAU
TOT ECONOMIC BENEFIT BAU Net Rev Agric TOT ECONOMIC COST BAU
~
Inv est Cost Tbk BAU OCC
NFIA BAU
Disc Factor BAU
NET ECONOMIC BENEFIT BAU By inv est Tbk PV COST BAU
Net Return Agric FA
Total Agri FA
NPV without REDD
PV BENEFIT BAU
Disc Factor BAU
perub NPV BAU Disc Benef it BAU
perub disc benef it BAU
Disc Cost BAU
BC ratio BAU
perub disc cost BAU
PV BENEFIT AGRIC FA NPV AGRIC FA
perub NPV agric FA
Gambar 40 Struktur submodel ekonomi karbon pada skenario model Business As Usual
6.1.2 6.1.2.1
Struktur Model Carbon Crediting (Model CC) Struktur Submodel Penduduk Skenario CC Struktur submodel penduduk merupakan suatu sistem yang terdiri dari satu level
dimana jumlah populasinya ditentukan oleh laju natalitas dan tingkat migrasi serta laju mortalitas. Diasumsikan bahwa laju mortalitas sudah memperhatikan kemungkinan bahwa pencemaran akan berpengaruh pada umur perkiraan penduduk sehingga mempengaruhi laju mortalitas. Hubungan ini diungkapkan dengan lifetime multiplier
159
from pollution (bilangan pengali umur akibat pencemaran), yaitu suatu fungsi yang mengalikan umur perkiraan yang sudah diketahui dengan perkiraan besar pengaruh pencemaran. Meadows et al. (1972) mengatakan bahwa jika pencemaran sangat hebat sehingga mengakibatkan umur perkiraan turun 90% dari nilainya, sehingga nilai fraksinya sama dengan 0.9. Dengan demikian bilangan ini akan menambah laju mortalitas. Berdasarkan data BPS Banyuasin tahun 2008, laju mortalitas adalah angka laju kematian kasar atau CDR (crude death rate ) Kabupaten Banyuasin sebesar 8 jiwa per 1000 penduduk. Dengan demikian nilai fraksi mortalitas di daerah ini adalah 0.008. Laju natalitas dan migrasi merupakan dua fungsi non linier yang mempengaruhi jumlah populasi penduduk yang besarnya ditetapkan berdasarkan data-data demografi yang tersedia. Jumlah populasi penduduk sangat menentukan tingkat pendapatan per kapita, karena hal ini merupakan rasio antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor dengan jumlah populasi. Di sini ada interaksi antar submodel (interface) dengan submodel ekonomi melalui konventer PDRB pertanian dan IUPJL (lihat Gambar 41). Tingkat PDRB sektor dibangkitkan oleh PDRB pertanian dan PDRB lainnya yang dipengaruhi fraksi NFIA (net factor income from abroad) (lihat Gambar 43). Fraksi ini
merupakan proporsi output yang dimiliki oleh sektor luar negeri. Dalam
studi ini, NFIA diproyeksikan naik sejalan dengan kesepakatan liberalisasi perdagangan dan makin meningkatnya aliran foreign direct investment (FDI). Antara tahun 1980 hingga 1993 NFIA berkisar 3-5% (World Bank 1996). Kendatipun Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1997, akan tetapi dengan kondisi sosial ekonomi dan politik yang semakin terkendali akhir-akhir ini, maka
sampai tahun 2035
diasumsikan naik menjadi 6-7% th-1. Tingkat PDRB sektor dapat mencerminkan tingkat aktivitas perekonomian suatu wilayah, oleh karenanya PDRB secara tidak langsung dapat mempengaruhi laju migrasi. Fraksi migrasi diperoleh dari laju migrasi normal serta perkiraan fraksi migrasi rasio antara tingkat kesempatan kerja dan tingkat produk domestik bruto. Sementara itu tingkat PDRB suatu wilayah merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas produksi di dalam perekonomian. Dalam pemodelan ini diringkas menjadi penjumlahan antara PDRB pertanian dan PDRB lainnya, serta share IUPJL melalui proporsi Nilai Jual Jasa Lingkungan (NJ2L) bagi masyarakat dan pemda kabupaten/kota terhadap PDRB pertanian. Tujuannya adalah agar kontribusi proporsi NJ2L skenario CC dapat terlihat secara signifikan terhadap PDRB pertanian yang akan dibandingkan dengan share agriculture di FA pada skenario BAU. Secara diagramatis struktur submodel penduduk disajikan pada Gambar 41.
160
SUBMODEL PENDUDUK SKENARIO CC
laju natalitas
angk kerja
laju pert angkt kerja laju mort Penduduk
pert pddk
pengr pddk
normal mgrs migrasi
Tot K Kerja CC
Kesemp Kerja model CC
PDRB pertanian dan IUPJL K Kerja Mgrv TNS
K Kerja Tbk TNS
Gambar 41 Struktur submodel penduduk pengelolaan sumberdaya pesisir pada skenario model Carbon Crediting (model CC).
6.1.2.2
Struktur Submodel Emisi CO2 (Lingkungan) Skenario CC Struktur submodel lingkungan TNS dan FA memiliki keragaman level dalam
notasi stok. Kawasan TNS yang mencerminkan luasan tutupan hutan terdiri dari stok hutan mangrove primer (Hmp TNS), hutan mangrove sekunder (Hms TNS), hutan rawa sekunder (Hrs TNS) dan stok tambak (Tbk TNS). Stok Hmp TNS pada skenario CC dibangkitkan oleh adanya reboisasi yang besarnya sangat tergantung pada land cover change deforestasi dan degradasi TNS (lcc DD TNS), serta kebijakan yang akan diterapkan pada simulasi skenario CC. Apakah tingkat reboisasinya akan mengikuti rate laju deforestasi dan degradasi yang terjadi ataukah disesuaikan dengan kemampuan pembiayaan developer pada tingkat berapa persen dari laju penyusutan Hmp TNS. Struktur submodel emisi CO2 pada skenario model CC disajikan pada Gambar 42. Stok tambak di TNS (Tbk TNS) besarnya dipengaruhi rate encroach to Tbk dan rate deforestasi dan degradasi (laju DD) Hmp, Hms dan Hrs to Tbk. Sementara itu stok Hrs TNS dan Hms TNS besarnya dipengaruhi laju DD Hmp TNS. Demikian halnya berbagai stok yang mencerminkan luas tutupan hutan pada kawasan FA terdiri dari Hmp FA, Hms FA, Hrs FA, Tambak, APL dan Pemukiman. Perubahan luas tutupan hutan di FA dipengaruhi laju DD pada masing-masing level tersebut. Sebagai contoh hutan tanaman industri (HTI) luasnya dipengaruhi laju perubahan tutupan lahan deforestasi dan degradasi hutan dari Hmp ke HTI (lcc DD Hmp to HTI FA) demikian seterusnya.
161
SUB MODEL EMISI CO2 SKENARIO CC
APL TNS C stok APL
f rac atomic C
rate Reboisasi
C Terest APL C Terest Hrs Hrs TNS CC
lcc DD Hmp to Tbk TNS
Reboisasi APL C Terest Hmp
rate Hrs to APL
f rac atomic C perub emisi to Tbk
rate DD Hmp to Hms
rate DD Hmp TNS to APL
C stok Hrs
C stok Hrs C stok Hms Emisi Tambak
C stk Hmp lcc DD Hrs to Tbk TNS
Hmp TNS CC
Hms TNS CC f rac atomic C C stk dr Hmp to Tbk
lcc DD Hmp to APL
lcc DD Hrs TNS
lcc DD Hmp to Hms TNS lcc DD Hmp to Hrs TNS C Terest Hmp
C Terest Hms
rate DD Hmp to Hrs lcc DD Hrs to Tbk TNS
ctrl DD lcc DD Hmp to Tbk TNS
rate Reboisasi
rate DD Hms to Tbk
Tot area dilindungi
Penduduk
Tambak TNS reboisasi Tbk rate DD Hrs to Tbk
Tot C Terest TNS C stok Hms
lcc DD Hms to Tbk TNS rate encroach to Tbk
C Terest APL C Terest Hrs
Tot DD TNS
rate DD Hmp to Tbk rate Reboisasi
Tot C Terest TNS dan FA
lcc DD TNS
Emisi Hrs TNS
C stok Hrs
C stk Hmp to APL C stok Hms perub emisi TNS
perub emisi Hrs TNS
TOT EMISI TNS
C stk dr Hmp to Tbk
Tot C Terest FA
C stok dr Hmp to Hms
perub emisi Hms TNS
regrowth C
f rac atomic C
f rac atomic C CO2 of f set regrowth TNS
Hmp TNS CC
perub emisi Hmp TNS
C stok dr Hmp to Hrs
perub emisi to Tbk Emisi Hms TNS perub CO2 of f set regrowth TNS
Emisi Hmp TNS lcc DD Hmp to Hrs TNS
lcc DD Hmp to APL
NET EMISI CO2 TNS CC Hms TNS CC
lcc DD Hmp to Hms TNS
lcc DD Hmp to Tbk TNS NET EMISI CO2 FA
perub net CO2 TNS
TOT NET EMISI TNS DAN FA Hmp FA
Hrs TNS CC lcc DD Hrs to APL FA
perub net CO2 FA
perub C stk APL to Tbk TOT EMISI FA
lcc DD Hrs to Sawit FA
perub emisi Hrs FA C stok Hrs
perub C stk APL to Pmkn Emisi APL FA
regrowth C
perub emisi FA
perub emisi Hrs FA f rac atomic C Emisi Hms FA
lcc DD Hrs to HTI FA perub CO2 of f set regrowth FA
Emisi Hrs FA
lcc DD Hms to HTI FA
perub emisi APL FA Penduduk
CO2 of f set f r regrowth FA
perub emisi Hms FA
lcc DD APL to pmkn FA perub C Hmp to Sawit C stok Hms
C stk Hmp
C Terest Hms FA Tot DD FA
f rac atomic C
Emisi Hmp FA
lcc DD Hmp to APL FA
C stok Hms
f rac atomic C Area utk pmkn
C Terest Hmp FA
Hms FA rate DD Hms to HTI
perub emisi Hmp FA Pemukiman
Hmp FA
f rak trans&setl rate DD Hmp to APL
lcc DD Hmp to Sawit FA
lcc DD Hmp to HTI FA
rate DD Hmp to sawit lcc DD Hmp to APL FA
C Terest APL FA
lcc DD Hrs to APL FA
C stok APL rate DD Hmp to HTI Tot area tdk dilindungi lcc DD Hms to HTI FA
lcc DD FA
APL FA
HTI FA
perub C Hmp to HTI rate DD to Tbk
lcc DD Hmp to Sawit FA
lcc DD Hmp to HTI FA lcc DD Hms to HTI FA
C stk Hmp to APL
f rac atomic C lcc DD APL to pmkn FA
lcc DD Hmp to APL FA
Tambak FA
lcc DD APL to Tbk FA
Sawit FA C Terest APL FA C Terest Hmp FA
rate DD Hrs to Sawit
re growth C HTI
rate DD Hrs to APL
Tot Agric FA
lcc DD Hrs to APL FA tot DD Hmp FA
Tot C Terest FA
lcc DD Hrs to Sawit FA Hrs FA
lcc DD Hmp FA
C Terest Hms FA
C Terest Hrs FA C Terest Hrs FA
rate DD Hrs to HTI
lcc DD Hrs to HTI FA
C stok Hrs f rac atomic C
Gambar 42 Struktur submodel emisi CO2 (Lingkungan) pengelolaan sumberdaya pesisir pada skenario Carbon Crediting (model CC)
162
Submodel emisi CO2 (Lingkungan) berinteraksi antar muka (interface) dengan submodel penduduk (sosial) yang akan mempengaruhi perubahan luas stok pemukiman. Perubahan luas stok pemukiman ini bersumber dari konversi areal penggunaan lain (APL) dan nilai fraksi transmigrasi dan pemukiman (frak trans&settl) serta jumlah populasi penduduk. Nilai fraksi transmigrasi dan settlement (pemukiman) adalah faktor pengali kebutuhan penduduk untuk lahan pemukiman termasuk didadalamnya untuk infrastruktur. Berdasarkan standar pemukiman untuk satu unit rumah tangga dengan satu orang anak dibutuhkan luas rumah/bangunan minimal 36 m2 di pedesaan. Jadi ratarata untuk satu penduduk diperlukan sekitar 36 m2 per 3 jiwa atau sebesar 12 m2 per jiwa. Dengan demikian angka fraksi ini diperoleh berdasarkan perhitungan: 12 m 2 per penduduk atau 0.0012 ha per penduduk. Perubahan stok emisi CO2 di TNS dan FA diantaranya dipengaruhi fraksi pertumbuhan riap biomassa hutan mangrove serta laju emisi CO2 offset (carbon regrowth). Besaran laju CO2 offset menggunakan referensi hasil penelitian Wetland Indonesia (Wibisono, I.T.C et al. 2010) yaitu sebesar 0,265 tC ha-1 th-1 atau setara dengan 0,97 tCO2 ha-1th-1 (0,265x44/12 fraksi atomic carbon). Laju pengurangannya antara lain disebabkan oleh indikator-indikator penggerak potensi emisi CO2 yang bersumber dari yang direncanakan (planned deforestation) dan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation).
6.1.2.3
Struktur Submodel Ekonomi Karbon Skenario CC Struktur submodel ekonomi pada skenario model CC merupakan keterkaitan
antar variabel yang dapat membangkitkan manfaat ekosistem kawasan.
Struktur
submodel ekonomi berinteraksi antar muka dengan submodel emisi CO2 TNS yang dapat mempengaruhi sisi input dan output manfaat ekosistem kawasan melalui stok Hmp TNS. Struktur submodel ekonomi karbon pada skenario model CC disajikan pada Gambar 43. Pada sisi output
skenario model CC terdapat variabel Nilai Jual Jasa
Lingkungan (NJ2L) yang dibangkitkan dari manfaat ekonomi karbon. Selanjutnya variabel NJ2L ini didistribusikan kepada pihak-pihak yang diatur berdasarkan ketentuan Permenhut No. 36/Menhut-II/2009.
163
SUB MODEL EKONOMI KARBON (WITH REDD+)
Hmp TNS CC Standing stk
Rev enue Mgrv TNS
By inv estasi
Standing stk cost
Fisheries
By PDD
Hms TNS CC Fisheries cost Wildlif e
Transc Cost
DUV Biodiv erstity
Hrs TNS CC
By DUV
By opr lingk
Wildlif e cost Phy sical
Rev enue Mgrv TNS
Inv estment cost CC Biay a Ecostm
Tambak TNS
Inv est cost ecosy st
Existence IUV
OV
rate Reboisasi
Tot Cost CC
EV
By pengelolaan lingk Cashf low sat by reb
Manf aat Ecosistem Rev Tbk per ha
By reboisasi
~
Rev enue Tbk TNS
Cash outf low
Cash inf low
NFIA
Manf aat Ekonomi model CC Tambak TNS TOT NET EMISI TNS FA BAU
Cost Tbk TNS
TOT NET EMISI TNS DAN FA
By eksternalitas Tbk TNS
By Tbk udang
Reboisasi APL reboisasi Tbk
Rev enue Carbon Trade
Inv est cost Tbk
Tot Cost Tbk TNS
Nilai Jual Jasa Lingk
Net Carbon Tradeable CC share NJ2L pusat TOT ECONOMIC BENEFIT
By inv est Tbk
f rak NJ2L pusat
Price C share NJ2L prov insi
perub NPV
f rak NJ2L prov
TOT ECONOMIC COST
PV BENEFIT NET ECONOMIC BENEFIT Rev enue Carbon Trade NPV with REDD
share NJ2L Kab Kota
PV COST
Disc Factor
f rak NJ2L kab kota
share NJ2L masy arakat
f rak NJ2L masy
OCC DISC BENEFIT
DISC COST share NJ2L dev eloper
perub disc benef it
f rak NJ2L dev
perub disc cost
BC rasio
share NJ2L Pemda dan Masy PDRB lainny a
Penduduk
growth PDRB lainny a
perub share NJ2L perub PDRB lainny a income per kapita
growth PDRB pertanian share NJ2L Kab Kota
share NJ2L masy arakat
PDRB pertanian
Kesemp Kerja model CC
~ PDRB sektor
NFIA
Share NJ2L IUPJL inv est per t kerja
perub PDRB pertanian PDRB pertanian dan IUPJL K Kerja Tbk TNS Rev enue Mgrv TNS K Kerja Mgrv TNS
Rev enue Tbk TNS
Gambar 43 Struktur submodel ekonomi karbon pengelolaan sumberdaya pesisir pada skenario Carbon Crediting (skenario model CC) Struktur submodel ekonomi karbon terdiri atas beberapa level dan beberapa variabel lainnya dan
merupakan interaksi antar muka (interface) antara submodel
ekonomi karbon dengan submodel penduduk dan submodel emisi CO2 (lingkungan). Submodel ekonomi karbon dipengaruhi variabel karbon yang dapat diperdagangkan pada sisi manfaat ekonomi model CC.
Selanjutnya submodel ekonomi karbon
mempengaruhi submodel penduduk melalui share NJ2L IUPJL yang dapat mempengaruhi besaran share kesempatan kerja skenario model CC.
164
Tujuan dibangunnya struktur model carbon crediting ini adalah untuk melihat sampai sejauhmana interaksi antar submodel mempengaruhi feasibilitas pengelolaan pesisir melalui IUPJL berbasis REDD+.
ekonomi
Selain itu juga dapat dilihat
seberapa besar share diterapkannya kebijakan hak pengelolaan (property right) sumberdaya hutan mangrove tersebut dapat mempengaruhi aktivitas produksi perekonomian daerah. Dalam jangka panjang, pengelolaan kawasan TNS ini diharapkan dapat mandiri secara ekonomi (self financing), sehingga tidak membebani anggaran negara. Struktur submodel ekonomi pada penelitian ini memiliki keragaman interaksi yang luas. Selain manfaat IUPJL yang diharapkan, juga dilihat seberapa besar manfaat eksternal TNS terhadap aktivitas ekonomis produktif daerah setempat. Terutama dalam hal kontribusi NJ2L, baik untuk pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun untuk masyarakat. Distribusi nilai NJ2L ini diprediksi dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, karena share-nya relatif besar yaitu 20% dari total NJ2L yang dapat ditransaksikan. 6.1.3
Formulasi Model Formulasi model berkaitan dengan input dan output model yang dibangun. Input
model merupakan peubah keputusan (decision variable) yang bersifat bebas (variabel eksogen), sedangkan output model merupakan peubah status (state variable) yang bersifat tidak bebas (variabel endogen).
Input model yang dibangun terdiri dari
sejumlah variabel dan sejumlah asumsi dasar. Input data diperoleh melalui proses penelitian lapangan, sedangkan data yang tidak tersedia digunakan data asumsi dan data sekunder hasil penelitian pihak lain yang relevan. 6.1.3.1 (1)
Formulasi Model Business As Usual (Model BAU)
Data dan Asumsi Model BAU Formulasi model BAU yang dibangun menunjukkan performansi ekosistem TNS
dan kawasan hutan di FA sebagai fungsi dari berbagai variabel yang terdapat pada submodel penduduk (sosial), emisi CO2 (lingkungan) dan submodel ekonomi karbon (ekonomi), sehingga dapat menghasilkan kecenderungan perilaku sistem. Formulasi skenario model BAU pada prinsipnya akan memodelkan ketiga submodel tersebut yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Secara ekonomi, tujuan yang akan dicapai pada skenario model BAU ini adalah seberapa besar sumbangan (share) konversi hutan untuk industri pertanian terhadap ekonomi wilayah dan tingkat penyerapan tenaga kerja serta kesempatan kerja yang
165
diciptakannya. Selain itu juga akan dilihat kecenderungannya terhadap tingkat deplesi sumberdaya hutan pada akhir simulasi. Konversi hutan mangrove primer (Hmp) dan sekunder (Hms),
hutan rawa
sekunder (Hrs) serta areal APL di FA yang masih berpenutupan hutan dialokasikan untuk kebutuhan RUTR Kabupaten Banyuasin 2006-2026 seluas 115.027 ha (kawasan tidak dilindungi undang-undang). Dari luas areal konversi tersebut masih tersisa sekitar 108.564 ha yang akan diproyeksikan sebagai dasar formulasi pemodelan tahun 20102035. Diprediksi bahwa konversi hutan ini akan berpengaruh terhadap cadangan karbon terestrial serta dapat mengemisi CO2 atmospherik di wilayah tersebut. Asumsi data awal simulasi tutupan lahan di FA dan TNS yang dikonversi disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 No A 1. 2. 3. 4. B 1. 2. 3. 4. 5.
Data dan asumsi awal simulasi tutupan lahan di FA dan di TNS Variabel
Frontier area (FA) Areal Penggunaan Lain (APL) Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Total FA TN Sembilang (TNS) Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Areal Penggunaan Lain (APL) Tambak TNS (Tbk) Total
Luas (ha)
Persentase (%)
1.109 12.999 5.288 89.168 108.564
1,02 11,97 4,87 82,13 100,00
35.205 0 68.658 97.021 2.013 202.897
17,35 0,00 33,84 47,82 0,99 100,00
Besaran nilai peluruhan (decay) deforestasi dan degradasi dari masing-masing tutupan lahan luar kawasan (FA) dan di dalam kawasan TNS diasumsikan mengikuti pola deforestasi dan degradasi historis 2003-2006 sebagaimana disajikan pada Tabel 28. Asumsi lain yang digunakan untuk aspek ekonomi adalah biaya oportunitas yang dikeluarkan untuk usaha hutan tanaman, perkebunan dan tambak. Biaya oportunitas ini didekati menggunakan the net present value dari berbagai alternatif penggunaan lahan itu. Hasil review Ginoga et al. (2010) di wilayah Musi Banyuasin, NPV untuk perkebunan berkisar antara 674 USD - 1.317 USD. Sementara itu NPV untuk tambak dapat mencapai 1.150 USD - 2.777 USD. Hasil penelitian lainnya di beberapa tempat di Sumatera Selatan dan Riau (Sinarmas Group) menunjukkan NPV hutan tanaman industri berkisar antara 1.005 USD - 1.611 USD. Demikian halnya untuk
166
budidaya tambak udang di pesisir pantai utara Jawa dapat mencapai 3.154 USD. Biaya oportunitas pada penelitian ini menggunakan NPV hutan tanaman dan perkebunan sebesar 1.611 USD dan untuk shrimp sylvofishery sebesar 1.249,84 USD.
Tabel 28 Data dan asumsi perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove serta persentase peluruhannya pada awal simulasi di FA dan di TNS No
Variabel
A 1.
Frontier area (FA) Areal Penggunaan Lain
2.
Hutan mangrove primer
3. 4.
Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder
B 1.
TN Sembilang Hutan mangrove primer (Hmp)
2. 3.
Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs)
Perubahan Variabel
Peluruhan (% th-1)
1. Pemukiman dan infrastruktur 2. Tambak 1. Areal Penggunaan Lain 2. Hutan Tanaman Industri 3. Perkebunan Sawit Hutan Tanaman Industri 1. Areal Penggunaan Lain 2. Hutan Tanaman Industri 3. Perkebunan Sawit
0,12 12,70 4,99 5,01 4,99 5,00 5,00 52,86 40,56
1. Hutan mangrove sekunder (Hms) 2. Hutan rawa sekunder (Hrs) 3. Tambak (Tbk) Tambak (Tbk) Tambak (Tbk)
12,30 12,30 0,138 2,68 0,138
Data dan asumsi untuk aspek lingkungan lainnya digunakan berdasarkan hasil penelitian lapangan pada skala plot serta pendekatan data hasil-hasil penelitian sebelumnya, terutama di wilayah Sumatera serta pada rentang daerah penelitian yang posisi koordinat lintang dari garis khatulistiwa relatif tidak berbeda jauh. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bias dalam valuasi ekonomi lingkungan. Kawasan TN Sembilang merupakan kawasan khas hutan mangrove dengan keragaman ekosistem yang cukup tinggi. Terdapat sekitar 17 spesies mangrove, sebanyak 53 spesies mammalia, terdapat 213 spesies burung, serta 142 spesies ikan dari 43 familia. Data hasil pengukuran kandungan biomassa berdasarkan pengambilan sampel pada skala plot di TNS dan di FA disajikan pada Tabel 29.
167
Tabel 29 Data dan asumsi hasil pengukuran kandungan biomassa dan karbon di TNS dan di FA pada berbagai variabel tutupan lahan No A. 1. 2. 3. B. 1.
Variabel Biomassa di dalam kawasan TNS Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan mangrove sekunder (Hms) Belukar rawa (Br) Biomassa di luar kawasan (FA) Hutan tanaman industri (Eucalyptus sp.)
Biomassa (ton ha-1)
Karbon (tC ha-1) (0,5*Biomassa) *)
454,67 204,41 34,70
227,33 102,20 17,35
151,80
75,90
Keterangan: *) Konstanta : 0,5 = koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi) (Murdiyarso et al. 2004) Sumber : Hasil penelitian lapangan pada skala plot di kawasan TNS dan FA (2010)
(2) Formulasi Model BAU Formulasi skenario model BAU pada masing-masing submodel secara lengkap disajikan pada Lampiran 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7.
6.1.3.2
Formulasi Model Carbon Crediting (Model CC)
a.
Formulasi Submodel Penduduk (Sosial) pada Skenario model CC
(1)
Data dan Asumsi
Stok penduduk merupakan populasi saat ini dan yang akan datang, pertumbuhannya diasumsikan mengikuti batas-batas pertumbuhan eksponensial yang dipengaruhi pertambahan (laju natalitas dan migrasi) dan pengurangan penduduk (laju mortalitas). Parameter pertambahan penduduk dipengaruhi laju natalitas dan migrasi masuk. Laju natalitas merupakan angka laju kelahiran kasar atau CBR (crude birth rate) Kabupaten Banyuasin. Parameter pengurangan penduduk dipengaruhi laju mortalitas (tingkat kematian). Parameter kesempatan kerja dipengaruhi populasi penduduk dan laju pertambahan kesempatan kerja serta jumlah share kesempatan kerja model CC. Data dan asumsi submodel penduduk pada skenario model CC disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Data dan asumsi submodel penduduk pada skenario model carbon crediting No 1. 2. 3. 4. 5.
Variabel Penduduk laju kelahiran kasar atau CBR Laju pertambahan penduduk (r) laju kematian kasar atau CDR Laju pertambahan kesempatan kerja
Sumber: BPS Banyuasin (2009).
Nilai awal parameter 798.360 0,092 2,58 0,008 3,62
Satuan Jiwa 1 th-1 % th-1 1 th-1 % th-1
168
(2) Formulasi Model Formulasi submodel penduduk (sosial) menggunakan persamaan-persamaan (3.16) sampai dengan persamaan (3.24). Formulasi pemodelan secara lengkap disajikan pada Lampiran 8.
b.
Formulasi Submodel Emisi CO2 (Lingkungan) pada Skenario CC
(1)
Data dan Asumsi Level hutan mangrove primer berasal dari dua wilayah TNS dan FA. Untuk
membedakannya pada masing-masing fungsi hutan dibuat notasi tambahan TNS dan FA. Level hutan mangrove primer (Hmp TNS), hutan mangrove sekunder (Hms TNS), hutan rawa sekunder (Hrs TNS) dan tambak (Tbk TNS) merupakan akumulasi hutan di kawasan TN Sembilang (TNS) yang besarnya masing-masing dipengaruhi laju deforestasi dan laju degradasi hutan (rate DD). Stok Hmp TNS pada skenario model CC ini diasumsikan mengalami regenerasi dimana besarnya dipengaruhi kebijakan reboisasi serta laju DD TNS. Besaran nilai peluruhan deforestasi dan degradasi di dalam kawasan TNS diasumsikan mengikuti pola deforestasi dan degradasi historis 2003-2006 (lihat Tabel 28 di atas). Kondisi hutan mangrove di TNS keberadaannya dipengaruhi jumlah populasi penduduk dan rate encroachment (laju perambahan)
terhadap hutan. Level total
deforestasi dan degradasi besarnya juga dipengaruhi jumlah perubahan deforestasi dan degradasi
baik dari Hmp, Hms, Hrs maupun dari Tbk. Level emisi Hmp TNS
perubahannya dipengaruhi jumlah perubahan tutupan lahan deforestasi dan degradasi dari hutan mangrove primer menjadi hutan rawa sekunder). Perubahan C stok pada tahun 2003 ke tahun 2006 dari yang semula Hmp dengan kandungan C sebesar 227,3 tC ha-1 menjadi Hms sebesar 102,2 tC ha-1. Dengan demikian terdapat selisih perubahan C stok dari Hmp (227,3 tC ha-1) ke Hms (102,2 tC ha-1) sebesar 125.1 tC ha-1. Selain itu emisi CO2 Hmp juga dipengaruhi fraksi atomic carbon dioxide terhadap carbon (tCO2e tC-1) sebesar 44/12 atau sekitar 3,66667. Fraksi ini
merupakan faktor untuk
mengkonversi C menjadi CO2 (Busch et al 2009). Bilangan 44 menunjukkan jumlah massa atom Carbon (C:12) dan Dioksida (O2:16x2=32). Level hutan mangrove primer di FA (Hmp FA), hutan mangrove sekunder (Hms FA), hutan rawa sekunder (Hrs FA), hutan tanaman (HTI FA), Sawit FA, Areal Penggunaan Lain (APL) serta Pemukiman, perubahannya dipengaruhi oleh masingmasing laju deforestasi dan laju degradasi hutan (rate DD). Data dan asumsi sistem submodel Emisi CO2 pada skenario model CC disajikan pada Tabel 31.
169
Tabel 31 Data dan asumsi submodel Emisi CO2 (lingkungan) pada skenario model carbon crediting (model CC) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
(2)
Variabel Laju perambahan (rate encroachment) Fraksi atomic carbon dioxide Pertumbuhan alami (regrowth) C hutan mangrove Nilai awal Hmp di FA Rate DD Hmp - APL di FA Rate DD Hmp - HTI di FA Nilai awal Hms di FA Rate DD Hms -HTI di FA Nilai awal Hrs di FA Rate DD Hrs - sawit di FA Rate DD Hrs - APL di FA Nilai awal APL di FA Rate DD APL - tambak di FA Fraksi APL - pemukiman di FA Nilai awal Hmp di TNS Rate DD Hmp – Hms di TNS Rate DD Hmp – Hrs di TNS Rate DD Hmp – Tambak di TNS Nilai awal Hms di TNS Rate DD Hms – Tambak di TNS Nilai awal Hrs di TNS Rate DD Hrs – Tambak di TNS Nilai awal APL di TNS Nilai awal Tambak di TNS Reboisasi terhadap APL dan Tbk
Nilai awal parameter
Satuan
Sumber
0.0067
% th-1
3,66667
tCO2e tC-1
0,26
ha-1 th-1
12.999 4,99 5,01 5.288 5 89.168 40,56 5 1.109 12,7 0,0012 35.205 12,30 12,30 0,138 0 2,68 68.658 0,138 97.021 2.013 5
ha % th-1 % th-1 ha % th-1 ha % th-1 % th-1 ha % th-1 ha/jiwa ha % th-1 % th-1 % th-1 ha % th-1 ha % th-1 Ha Ha % th-1
Deliniasi dan Balai TNS (2009) Busch et al. (2009) (Wibisono, I.T.C., et al. 2010). Deliniasi dan RUTR Deliniasi dan RUTR Deliniasi dan RUTR Deliniasi dan RUTR Deliniasi dan RUTR Deliniasi dan RUTR Deliniasi dan RUTR Deliniasi dan RUTR Deliniasi dan RUTR Deliniasi dan RUTR Standar PU Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat Deliniasi citra landsat
Formulasi Model Formulasi submodel emisi CO2 (lingkungan) secara lengkap disajikan pada Lampiran 9.
c.
Formulasi Submodel Ekonomi Karbon pada Skenario CC
(1)
Data dan Asumsi Kerangka dasar
(the basic framework) dalam menganalisis pengelolaan
sumberdaya pesisir di kawasan TN Sembilang dan di wilayah FA memerlukan ukuran, menjumlahkan dan membandingkan semua biaya dan manfaat investasi. Dalam Field (1994) disebutkan bahwa pada dasarnya terdapat empat langkah dalam menganalisis manfaat-biaya, yaitu : (1) Menentukan dengan jelas aktivitas ekonomi atau program, (2) Membuat program input-output, (3) Estimasi social cost dan input-output benefit, (4) membandingkan antara manfaat dengan biaya. Oleh karena itu dalam skenario
170
carbon crediting ini dilakukan pengukuran performansi biaya pengelolaan kawasan TN Sembilang melalui perhitungan umum analisis ekonomi. Kriteria investasi yang digunakan sebagai patokan untuk menilai kelayakan usaha menurut Kusumastanto (2003), salah satunya adalah kriteria the net present value. Dalam penelitian ini suatu usaha pengelolaan kawasan dinyatakan layak apabila nilai NPV > 0. Beberapa asumsi yang digunakan pada cash outflow maupun cash inflow dalam analisis pemodelan ini adalah sebagai berikut : a)
Rencana Biaya Pengelolaan Pembiayaan kegiatan pengelolaan kawasan TNS ini secara garis besar dibedakan
atas
biaya investasi dan biaya pengelolaan lingkungan. Biaya-biaya ini ditetapkan
dengan memperhatikan pengalaman pengelolaan kawasan konservasi di wilayah lain sebagai acuan, standar-standar biaya dari instansi terkait, dan harga-harga yang berlaku di daerah setempat. Selain dari pada itu dalam penghitungan biaya pengusahaan ini didasarkan pula pada tingkat discount rate pengelolaan sumberdaya alam yaitu sekitar 10% th-1, yang sudah termasuk faktor moneter serta prediksi inflasi.
Atas dasar
penetapan tersebut dilakukan perhitungan besarnya taksiran biaya pada masing-masing pos pembiayaan. Uraian penggunaan dan besarnya biaya-biaya tersebut adalah sebagai berikut : 1) Biaya Investasi - Biaya investasi terdiri dari biaya perencanaan, penataan areal dan pengamanan tata batas kawasan, pengadaan kendaraan dan peralatan, biaya pembangunan menara pengawas kebakaran, serta biaya-biaya pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan lainnya. Biaya investasi merupakan biaya-biaya yang harus dikeluarkan developer untuk pengamanan kawasan dan dikeluarkan mulai pra operasi sampai beroperasinya proyek yang diusulkan. Rencana anggaran biaya investasi menggunakan pendekatan biaya rata-rata dari Pusat selama satu tahun, yaitu sebesar Rp 4,5 milyar th-1. Jadi biaya investasi proyek IUPJL carbon crediting diasumsikan sekitar 500.000 USD th-1. - Kegiatan perencanaan lain terdiri dari rencana site plan, penyusunan project design document (PDD) dan penyusunan studi lingkungan. Biaya PDD merupakan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh developer IUPJL, mulai dari permohonan kawasan, baseline study/FS sampai dengan permohonan tersebut dianggap eligible oleh pemerintah. Mengingat belum ada standar biaya untuk perencanaan, maka dalam hal ini mengacu pada asumsi biaya AR CDM yang selama ini sudah berjalan yaitu sekitar 300.000 - 400.000 USD.
171
- Transaction cost merupakan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk proses sertifikasi emisi (Certified Emission Reduction) serta approval oleh lembaga internasional yang sudah ditetapkan oleh UNFCCC. Mengingat proses mekanisme REDD masih relatif baru, jadi belum ada standar biaya yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk itu biaya-biaya investasi lingkungan menggunakan asumsi biaya AR CDM yang selama ini sudah berjalan, yaitu berkisar antara 300.000 500.000 USD. 2) Biaya Rencana Pengelolaan Lingkungan - Untuk menyeimbangkan pasar input/output diperlukan sejumlah biaya rencana pengelolaan lingkungan dalam mekanisme harga. Disebut biaya lingkungan karena walaupun semuanya adalah biaya dari masyarakat, biasanya pengelola tidak peduli dengan biaya-biaya ini ketika sedang membuat keputusan ekonomi untuk kepentingan perusahaannya, dengan kata lain ada biaya-biaya yang dianggap eksternal bagi perusahaan, tapi malah dianggap internal bagi masyarakat. Jika akan dirinci dengan tepat biaya sosial (social cost) adalah merupakan jumlah antara private cost dan
internal cost (Field 1994).
Bagaimanapun juga hasil yang dicapai dari optimasi sosial hanya mungkin apabila biaya lingkungan dapat dinilai dalam istilah moneter dan dimasukkan baik kedalam permintaan maupun penawaran (Djajadiningrat 1997). - Menginternalisasi biaya ini merupakan pengeluaran yang harus ditanggung developer bila terjadi ketidakseimbangan ekosistem sebagai akibat adanya deforestasi dan degradasi hutan.
Pembiayaan rencana pengelolaan lingkungan
disusun berdasarkan prediksi penyusutan luas hutan mangrove primer yang akan terjadi. Dengan demikian pengalokasian biaya lingkungan ini difokuskan pada upaya-upaya untuk pengamanan dan perlindungan kawasan. Biaya-biaya ini diantaranya adalah biaya operasional tahunan, biaya reboisasi serta biaya-biaya untuk pengamanan dan perlindungan lainnya. Biaya operasional pengelolaan TNS saat ini rata-rata sebesar 500.000 USD th-1 (TNS 2009). - Biaya reboisasi mengacu pada hasil penelitian di pesisir Desa Temu, Kabupaten Sumba Timur Provinsi NTT sebesar Rp 270,31 juta untuk luas areal reboisasi hutan mangrove 20 ha (Perdirjen RLPS 2008). Biaya ini terdiri dari biaya pembuatan tanaman Rp 218,60 juta, biaya pemeliharaan tahun pertama Rp 41,37juta, dan biaya pemeliharaan tahun kedua Rp 10,34 juta. Dengan demikian rata-rata biaya reboisasi sebesar Rp 13,52 juta ha-1 atau sekitar 1.501,7 USD ha-1 (kurs 1 USD Rp 9000).
Jenis mangrove yang ditanam yaitu Rhizophora
mucronata dan Avicenia spp. Jarak tanam yang dilakukan 1 m x 3 m, secara
172
strip/jalur sepanjang pantai (green belt). Data dan asumsi biaya rencana pengelolaan disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Data dan asumsi biaya rencana pengelolaan submodel ekonomi skenario model carbon crediting (model CC) No 1. 2. 3. 4. 5. .6. 7.
Variabel Biaya investasi proyek IUPJL Biaya perencanaan (site plan, PDD, FS) Biaya proses sertifikasi CER Biaya pengelolaan lingkungan Biaya reboisasi mangrove Harga karbon Social opportunity cost of capital (SOCC)
Nilai awal parameter
Satuan -1
pada
Sumber
500.000 400.000
USD th USD th-1
Balai TNS (2010) Standar biaya AR CDM
500.000 500.000 1.501,7 10
USD th-1 USD th-1 USD ha-1 USD tCO2-1
Standar biaya AR CDM Balai TNS (2010) Ditjen RLPS (2007) VCS (2007)
10
% ha-1
Proyeksi ekonomi
b) Rencana Manfaat Pengelolaan 1) Manfaat Ekonomi Terdapat dua opsi pemanfaatan kawasan TNS, yang terbagi pada dua skenario model BAU dan model CC adalah sebagai berikut: - Skenario model BAU : a) Opsi Pemanfaatan : “Konservasi Mangrove” (KM) b) Opsi Pemanfaatan : “Tambak Udang” (shrimp sylvofishery, Sylfish). - Skenario model CC : a) Opsi Pemanfaatan : “Mangrove Carbon Crediting” (MCC) b) Opsi Pemanfaatan : “Tambak Udang” (shrimp sylvofishery, Sylfish). Opsi pemanfaatan pengelolaan mangrove berkelanjutan pada skenario model carbon crediting dirancang berbasis REDD+. 2) Manfaat Ekosistem - Manfaat ekosistem adalah manfaat yang menguntungkan seseorang atau sekelompok orang yang berada di luar (eksternal) dalam hal pengambilan keputusan tentang penggunaan sumberdaya yang menyebabkan eksternalitas (Field 1994). Prediksi terhadap manfaat ekosistem ini didekati dengan menilai seluruh alternatif kegiatan yang mungkin dapat diperoleh dari fungsi ekosistem hutan mangrove di kawasan TNS. - Penilaian biaya manfaat ekosistem TNS dirancang untuk pemanfaatan konservasi mangrove berbasis REDD+ dan pemanfaatan alternatif lain pada zona tradisional untuk tambak udang. Penilaian biaya manfaat ekosistem
173
mangrove untuk berbagai opsi pemanfaatan ini menggunakan data-data yang digunakan Kusumastanto et al. (1998) pada penilaian kawasan konservasi mangrove di Selat Malaka adalah sebagai berikut: (a) Mangrove Carbon Crediting (MCC) -
Manfaat fungsi ekosistem hutan mangrove di berbagai kawasan Indonesia rata-rata sebesar Dengan demikian
4.953,12 USD ha-1 th-1 (Kusumastanto et al. 1998). dapat diperoleh manfaat fungsi ekosistem hutan
mangrove TNS dimana selama periode komitment pengelolaan 25 tahun (Permenhut No. 36/2009) dapat diperoleh nilainya saat ini (net present value). - Ekosistem TNS pada studi ini terdiri atas dua tipe, yaitu ekosistem hutan mangrove dan ekosistem hutan rawa. Biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove dan hutan rawa diadaptasi dari Kusumastanto et al. (1998), yaitu biaya manfaat ekosistem konservasi di Selat Malaka. Komponen standing stock hutan mangrove diestimasi sekitar 165 USD ha-1th-1 yang didasarkan pada volume log berdiameter 10 cm atau lebih dan tingkat eksploitasi yang diizinkan untuk kepentingan kegunaan berkelanjutan selama 20 tahun masa pengelolaan. - Nilai manfaat kawasan mangrove dalam fungsinya sebagai penyedia habitat bagi berbagai jenis ikan diestimasi sekitar 1.522,24 USD ha-1 th-1 yang didasarkan pada nilai produksi perikanan di seputar hutan. Kehidupan liar (wildlife) didasarkan pada kekayaan spesies yang ada di dalam ekosistem ini seperti burung, mamalia dan reptil diestimasi sekitar 8,22 USD ha-1 th-1. Nilai biodiversitas yang ada pada ekosistem ini didasarkan pada nilai keanekaragaman hayati hutan hujan tropis dengan fungsi ekologi yang tinggi, nilai ini diestimasi sekitar 15 USD ha-1 th-1. Sementara itu nilai fisik (physical value) diestimasi sebesar 726,26 USD ha-1th-1, sedangkan untuk nilai keberadaan (existence value) diestimasi sebesar 2.516,40 USD ha-1 th-1. - Selain manfaat tersebut, terdapat biaya ekosistem sebagai biaya investasi pengelolaan hutan mangrove. Biaya investasi ini diestimasi sekitar 190,39 USD ha-1 5th-1. Biaya pemeliharaan diestimasi sekitar 30 USD ha-1 th-1 dan biaya eksploitasi mangrove sekitar 78,57 USD ha-1 th-1 (total biaya pemeliharaan dan eksploitasi 108,57 USD ha-1 th-1). Biaya eksploitasi ikan di sekitar hutan mangrove diestimasi 681,95 USD ha-1 th-1, sementara itu biaya pemanfaatan kehidupan liar (wildlife) diestimasi sekitar 0,59 USD ha-1
174
th-1. Dengan demikian total biaya ekosistem
pada opsi model dasar
(konservasi) diestimasi mencapai 981,50 USD ha-1 th-1 (lihat Tabel 33). Tabel 33 No
Identifikasi manfaat dan biaya pengelolaan hutan mangrove pada opsi Mangrove Carbon Crediting (MCC) Komponen
A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. B. 1.
Manfaat Tegakan kayu (standing stock) Ikan (Fishery) Hidupan liar (Wildlife) Keanekaragaman hayati (Biodiversity) Nilai Fisik (Physical value) Nilai keberadaan (Existence value) Total Manfaat Biaya Biaya investasi (Investment cost)
Nilai (USD ha-1 th-1) 165,00 1.522,24 8,22 15,00 726,26 2.516,40 4.953,12 190,39
2. 3. 4.
Asumsi Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA
Per 5 tahun dan kenaikannya mengikuti proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA
Biaya tegakan kayu 108,57 Biaya Ikan 681,95 Biaya hidupan liar 0,59 Total Biaya 981,50 Nilai Ekonomi Total 3.971,62 Keterangan: NFIA : Net Factor Income from Abroad, yaitu proporsi output yang dimiliki sektor luar negeri. NFIA 1980-1993: 3%-5% th-1 (World Bank 1996), NFIA 2010-2035: 6%-7% th-1 (proyeksi). Sumber : Kusumastanto et al. (1998).
(b) Tambak Udang ( Shrimp Sylvofishery, Sylfish) - Pada zona tradisional terdapat kawasan yang sejak tahun 1995 sudah digunakan masyarakat secara ilegal untuk budidaya tambak udang. Ada suatu usulan dari pemda setempat agar zona ini tetap dipertahankan sebagai kawasan pertambakan. Tujuannya adalah untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Apabila akan dipertahankan sebagai pertambakan, maka sebaiknya ada pengaturan secara kelembagaan dan mengikat secara hukum bagi siapa pun yang memanfaatkan zona tersebut. - Luas opsi pemanfaatan “Sylfish” didasarkan pada dua skenario pemodelan, yaitu berdasarkan laju deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang sudah terjadi, serta skenario pemodelan pada laju deforestasi dan degradasi hutan pada tingkat 10% dari laju saat ini. - Penggunaan data-data biaya manfaat opsi “Sylfish” menggunakan data-data yang digunakan Kusumastanto et al. (1998) dimana manfaat tambak udang sylvofishery (Sylfish) diestimasi sekitar 1.249,84 USD ha-1 th-1, kayu (standing stock) 132 USD ha-1 th-1, ikan 1.217,79 USD ha-1 th-1, hidupan liar 6,58 USD ha1
th-1, biodiversitas 12 USD ha-1 th-1, nilai fisik 581,02 USD ha-1 th-1, dan nilai
175
keberadaan
diestimasi sekitar 2.013,12 USD ha-1 th-1. Selain nilai manfaat
tentunya terdapat konsekuensi pembiayaan untuk pengelolaan Sylfish. Komponen pembiayaan meliputi biaya investasi sekitar 153,47 USD ha-1 5th-1, biaya operasional dan pengelolaan sekitar 215 USD ha-1 th-1, biaya-biaya ekosistem meliputi biaya nilai tegakan kayu 82,34 USD ha-1 th-1, biaya ikan 545,56 USD ha-1 th-1, biaya hidupan liar 0,47 USD ha-1 th-1, serta biaya eksternalitas diestimasi berdasarkan hilangnya nilai ekonomi hutan mangrove seluas laju deforestasi dan degradasi hutan (the economic forgone) akibat aktivitas Sylfish. Biaya eksternalitas diestimasi sekitar 825,91 USD ha-1 th-1 (lihat Tabel 34). Tabel 34 No A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. B. 1.
Identifikasi manfaat dan biaya pengelolaan hutan mangrove pada opsi tambak udang (shrimp sylvofishery, Sylfish) Komponen
Manfaat Shrimp Sylvofishery Tegakan kayu (standing stock) Ikan (Fishery) Hidupan liar (Wildlife) Keanekaragaman hayati (Biodiversity) Nilai Fisik (Physical value) Nilai keberadaan (Existence value) Total Manfaat Biaya Biaya investasi (Investment cost)
2. 3. 4. 5. 6.
Nilai (USD ha-1 th-1) 1.249,84 132,00 1.217,79 6,58 12,00 581,02 2.013,12 5.212,35 153,47
Asumsi Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA
Per 5 tahun dan kenaikannya mengikuti proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA
Tambak udang (Sylvofishery cost) 215,00 Tegakan kayu (standing stock) 82,34 Ikan (Fishery) 545,56 Hidupan liar (Wildlife) 0,47 Eksternalitas (Externality) 825,91 Total Biaya 1.522,75 Nilai Ekonomi Total 3.689,60 Keterangan: NFIA : Net Factor Income from Abroad, yaitu proporsi output yang dimiliki sektor luar negeri. NFIA 1980-1993: 3%-5% th-1 (World Bank 1996), NFIA 2010-2035: 6%-7% th-1 (proyeksi). Sumber : Kusumastanto et al. (1998).
(2)
Formulasi Model Program formulasi submodel ekonomi karbon secara lengkap disajikan pada
Lampiran 10 Formulasi submodel ekonomi karbon skenario model CC. 6.1.4
Verifikasi dan Validasi Model Aspek penting dalam pembuatan model adalah pemilihan kriteria kecocokan
validasi yang mencapai kesesuaian pertukaran atau imbal-balik (trade-off) antara
176
tingkat kesesuaian sistem dan kompleksitas model. Oleh karena itu perlu verifikasi dan validasi model. Verifikasi adalah memeriksa sintesa sistem dengan logika atau analisis secara teoritik. Verifikasi dapat dibedakan berdasarkan tahapan pemodelannya, yaitu verifikasi model konseptual dan verifikasi logis. Verifikasi model konseptual adalah pengujian relevansi asumsi-asumsi dan teori-teori yang dipegang oleh pengambil keputusan dan analis dalam melakukan cara pandang (point of view) situasi masalah. Verifikasi logis adalah tahap memeriksa dilibatkan atau diabaikannya suatu variabel atau hubungan, sehingga aspek yang perlu diperhatikan dalam formulasi model adalah ukuran performansi sistem. Validasi merupakan
tahap akhir dalam pengembangan pemodelan untuk
memeriksa model dengan meninjau apakah output model sesuai dengan sistem nyata, dengan memperhatikan konsistensi internal, korespondensi, dan representasi. Tahap validasi model dilakukan untuk menjawab dua hal berikut, yaitu : 1) Apakah model konsisten terhadap realitas yang digambarkannya ? 2) Apakah model konsisten dengan tujuan kegunaan dan hal yang dipermasalahkannya? Proses verifikasi dan validasi yang dilakukan pada pemodelan sistem ini terdiri atas verifikasi struktur model dan validasi perilaku model. (1)
Verifikasi Struktur Model. Yang akan diverifikasi pada pemodelan ini adalah verifikasi struktur dan uji konsistensi.
(2)
Validasi perilaku model. Validasi perilaku model dilakukan secara matematik deterministik dengan pendekatan nilai aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan atau RMSPEA (root mean square percent error approximation).
6.1.4.1
Verifikasi Struktur Model Dalam memverifikasi struktur model diperlukan pembatasan-pembatasan, baik
batasan sistem, variabel maupun asumsi yang digunakan.
Dalam mendesain dan
justifikasi pemodelan pada penelitian ini, akan lebih baik jika seorang analis memiliki sejumlah pengalaman serta sejumlah informasi yang memadai tentang prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan (kehutanan dan sumberdaya pesisir) serta
entrepreneurial
khususnya dalan strategi berinvestasi, sehingga dapat menguasai permasalahan aktual di lapangan serta memahami mekanisme bekerjanya sistem kawasan.
Informasi dan
177
pengalaman dapat berupa dari orang lain yang dianggap pakar pada bidangnya maupun dari sejumlah referensi yang tersedia. Verifikasi struktur model terdiri dari verifikasi model konseptual dan verifikasi model logis. Verifikasi struktur memiliki tingkat kepercayaan dan validitas tinggi apabila struktur model cukup relevan dengan asumsi-asumsi dan teori-teori yang ada serta digunakan atau tidaknya sejumlah variabel. Verifikasi model konseptual dalam pengelolaan sumberdaya alam dibangun atas sejumlah informasi serta studi literatur model dasar. Meadows et al. (1972) dalam literatur the limits to growth (batas-batas pertumbuhan) telah mengidentifikasi beberapa hubungan antar variabel yang digunakan dalam model yang dibangun, diantaranya penduduk, lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Ada hubungan negatif antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan kondisi lingkungan, hubungan negatif antara jumlah penduduk dengan kondisi lingkungan, serta hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pendapatan penduduk. Verifikasi model logis merupakan pemeriksaan sintesa sistem dengan logika atau analisis secara teoritik dengan melihat kecenderungan hubungan antar variabel yang dimodelkan.
Verifikasi kecenderungan hubungan antar variabel merupakan
pengujian tren respon variabel endogen (output) sebagai akibat terjadinya perubahan variabel eksogen (input) antara sistesa sistem dengan analisis secara teoritik, jika tidak terdapat intervensi kebijakan terhadap sistem tersebut. Premis dari Meadows et al. (1972) menunjukkan dimana terdapat
hubungan negatif antara jumlah penduduk
dengan kondisi lingkungan sebagaimana disajikan pada Gambar 44.
Tahun
Keterangan :
1=Penduduk (jiwa), 2= Hutan mangrove primer TNS (ha), 3=Emisi Hmp TNS BAU (tCO2 th-1)
Gambar 44 Verifikasi hubungan antar variabel
178
6.1.4.2
Validasi Perilaku Model Validasi perilaku model dibuat untuk mengetahui tingkat kompatibilitas output
model dengan output dari kinerja sistem. Hasil validasi secara matematik deterministik dengan pendekatan nilai aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan atau RMSPEA (root mean square percent error approximation) menunjukkan kesesuaian (goodness of fit) antara output model (ym) dengan output sistem aktual (ys) dimana keduanya membentuk pola batas-batas pertumbuhan (limits to growth). Nilai RMSPEA (persamaan 3.30) pada variabel populasi penduduk menghasilkan nilai akar rata-rata kuadrat kesalahan sebesar 4,76% berada pada batas penyimpangan (error) yang masih dapat ditoleransi secara statistika, yaitu pada kisaran 5%-10%.
Berdasarkan hasil
validasi tersebut menunjukkan bahwa model yang dirancang memenuhi kriteria validitas kinerja. Validasi perilaku model pada variabel populasi penduduk dapat dikatakan sahih, karena memiliki kemiripan model yang sebenarnya. Perbandingan perilaku model berdasarkan hasil simulasi dan data historis disajikan pada Gambar 45.
825.000 800.000
Populasi (jiwa)
775.000 750.000 725.000
Data Historis
700.000
Model
675.000 650.000 625.000 600.000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Tahun
Gambar 45 Validasi variabel populasi penduduk
Demikian halnya validasi perilaku model pada variabel penyusutan luas hutan mangrove primer dapat dikatakan sahih, karena memiliki kemiripan antara kecenderungan hasil simulasi dengan data historis. Hasil pengujian menunjukan nilai aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan (RMSPEA) sebesar 8,49%, berada pada batas penyimpangan (error) yang masih dapat ditoleransi secara statistika (lihat Gambar 46)
Luas Hmp (ha)
179
110.000 100.000 90.000 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 -
Data Hitoris Model
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 46 Validasi variabel hutan mangrove primer
6.1.5
Sensitivitas Model
Pengujian analisis sensitivitas terhadap model bertujuan untuk menelaah variabel eksogen yang dapat mendeterminasi naik turunnya variabel endogen, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas suatu kebijakan. Variabel laju deforestasi dan degradasi hutan mangrove pada penelitian ini merupakan salah satu faktor determinan terhadap tingkat output total karbon terestrial (lihat Gambar 47). Karbon (tCO2 th-1)
Tahun -1
Keterangan: 1: Tot C Terest TNS pada Skenario model BAU (tCO2 th ) 2: Tot C Terest TNS pada Skenario model CC (tCO2 th-1)
Gambar 47 Sensitivitas model peningkatan laju karbon terestrial pada skenario model business as usual dan skenario model carbon crediting Hasil simulasi perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove pada dua skenario model BAU dan model CC menunjukkan tingkat perbedaan sensitivitas terhadap peningkatan stok karbon terestrial. Faktor determinan variabel laju deforestasi dan degradasi hutan pada model BAU dengan tingkat laju penyusutan hutan rata-rata
180
sebesar 14.875 ha th-1 menunjukkan total karbon terestrial rata-rata sebesar 211.486 tCO2 th-1 (baseline). Sementara itu, laju deforestasi dan degradasi hutan pada skenario model CC yang diasumsikan hanya 10% dari tingkat penyusutan hutan model BAU menunjukkan total karbon terestrial rata-rata sebesar 4,82 MtCO2 th-1. Tingkat laju karbon terestrial pada dua skenario tersebut membentuk pola S-Shaped growth atau membentuk contagion model (Kirkwood 1998). Model pertumbuhan ini merupakan respon hutan mangrove terhadap keterbatasan daya dukung lingkungannya, sebagai akibat planned deforestation dan unplanned deforestation maupun keterbatasan organisme itu sendiri seperti faktor umur tanaman maupun penyakit. Penerapan skenario model CC pada pengelolaan kawasan konservasi TNS menunjukkan sensitivitas kelayakan usaha yang tinggi terhadap arus penerimaan kas (cash inflow), terutama perubahan variabel harga karbon. Biaya pengelolaan kawasan TNS model CC relatif tinggi terutama pembiayaan untuk reboisasi. Luas areal reboisasi rata-rata 4.900 ha th-1 pada kawasan APL dan areal pertambakan dengan biaya reboisasi sebesar 7,36 juta USD th-1. Sementara itu rata-rata biaya pengelolaan lingkungan dan operasional sebesar 1,9 juta USD th-1. Dengan demikian total biaya pengelolaan lingkungan dan biaya reboisasi adalah 9,26 juta USD th-1. Berdasarkan estimasi tersebut, maka dengan rata-rata karbon yang dihasilkannya sebesar 1,15 MtCO2 th-1 dapat diperoleh harga pokok penjualan (cost of goods sold) sebesar 8,05 USD tCO2-1. Dengan demikian skenario model CC akan menjadi pilihan alternatif pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan, apabila harga ideal karbon minimal 10 USD tCO2-1 dengan profit margin sekitar 25% (2 USD tCO2-1). Gambar 48 dan Tabel 35 memberikan ilustrasi hasil simulasi pada berbagai perubahan harga karbon. Carbon Revenue (USD)
Tahun
Gambar 48 Sensitivitas model pada beberapa perubahan tingkat harga karbon : (1) 10 USD tCO2-1, (2) 9 USD tCO2-1, (3) 8,05 USD tCO2-1 (BEP)
181
Tabel 35
Sensitivitas perubahan harga karbon terhadap biaya pengelolaan TNS pada skenario model carbon crediting
No
Variabel
Manfaat karbon (juta USD th-1)
Biaya pengelolaan (juta USD th-1)
Profit margin (juta USD th-1)
1 2 3
Harga karbon : 10 USD t CO2-1 Harga karbon : 9 USD t CO2-1 Harga karbon: 8,05 USD t CO2-1
11,5 10,35 9,26
9,26 9,26 9,26
2,24 1,09 BEP
Keterangan: BEP=Breakeven point=titik impas
Sementara itu, sensitivitas model pada berbagai laju peningkatan penduduk (r) menunjukkan hubungan linier. Semakin tinggi tingkat laju populasi penduduk, maka tekanan penduduk terhadap hutan mangrove di TNS untuk areal tambak semakin meningkat. Laju pertumbuhan penduduk terhadap tingkat okupasi tambak di kawasan TNS disajikan pada Gambar 49 dan Tabel 36. Luas tambak (ha)
Tahun
Gambar 49 Sensitivitas model pada beberapa perubahan tingkat pertumbuhan populasi (r) terhadap okupasi areal tambak (1) r = 2,58% th-1, (2) r = 3,50% th-1, (3) r = 4,50% th-1
Tabel 36 No 1 2 3
Perubahan tingkat laju populasi penduduk terhadap tingkat okupasi tambak di TNS Variabel
Laju pertumbuhan penduduk r = 2,58% Laju pertumbuhan penduduk r = 3,50% Laju pertumbuhan penduduk r = 4,50%
Tingkat okupasi tambak di TNS (ha) 2010 2020 2035 2.013 1.579 1.703 2.013 1.583 2.871 2.013 1.587 7.311
182
6.2
Simulasi dan Optimasi Alternatif Pemodelan serta Akuntansi Karbon (Carbon Accounting) pada Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Analisis yang dirancang pada sub bab ini untuk mendapatkan dua sasaran pokok
kajian, yaitu optimasi pengelolaan pesisir serta akuntansi karbon (carbon accounting) pada skenario model dengan cara saat ini (business as usual) dan skenario kredit karbon (carbon crediting). Analisis Akuntansi Karbon sejumlah perhitungan
difokuskan untuk mendapatkan
nilai karbon terestrial yang kridibel. Terdapat tiga sasaran
analisis Akuntansi Karbon yang akan dicapai, yaitu (1) Akuntasi stok
(Stock
accounting), (2) Akuntansi emisi (emission accounting), dan (3) Akuntansi reduksi emisi (emission reduction accounting) melalui dua skenario model BAU dan model CC. Pemodelan yang diajukan sebagai alternatif the best economic allocation merupakan dua opsi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove, sebagai berikut: 1) Skenario model business as usual (model BAU), yaitu kebijakan pengelolaan kawasan TNS sebagai kawasan konservasi dengan tingkat laju deforestasi dan degradasi sebagaimana saat ini berlangsung. Sementara itu kebijakan pemanfaatan konversi hutan di FA untuk pengembangan industri pertanian secara luas termasuk pengembangan budidaya tambak. Kebijakan konversi hutan di FA ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri pertanian tersebut serta untuk pengembangan pemukiman, transmigrasi dan infrastruktur. Diprediksi bahwa kebijakan ini berkontribusi terhadap efek GRK yaitu meningkatnya emisi CO2 di wilayah pesisir TN Sembilang.
GRK pada konsentrasi yang terlalu tinggi di atmosfer bumi
diperkirakan akan membahayakan lingkungan global karena dapat menimbulkan masalah pemanasan (global warming). 2) Skenario
model carbon crediting (model CC), yaitu suatu model alternatif
pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+.
Secara filosofis skenario ini
bermakna bahwa konversi hutan pada areal yang tidak dilindungi undang-undang di frontier area adalah hak kedaulatan semua pihak yang menginginkan perubahan ekonomi. Dengan tanpa paksaan harus melaksanakan moratorium industri pertanian hutan tanaman dan kebun, pembangunan tetap harus berjalan untuk masa depan dan kesejahteraan masyarakatnya. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola pada kawasan yang dilindungi undang-undang agar dapat mereduksi efek gas rumah kaca sebagai akibat konversi hutan itu. Prinsip dasar dalam simulasi dan optimasi alternatif pemodelan ini adalah mencari suatu model paling kredibel, mengurangi tingkat deplesi sumberdaya alam yang
183
dapat memicu tingkat emisi CO2 serta kemampuannya mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah setempat. Ekspektasi terhadap distribusi pendapatan serta peluang kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, merupakan pilihan lain yang dapat dipertimbangkan. Dua model pengelolaan sumberdaya pesisir yang akan dianalisis pada sub bab ini yaitu : (1) Optimasi pengelolaan sumberdaya pesisir model business as usual, (2) Optimasi pengelolaan sumberdaya pesisir model carbon crediting. 6.2.1
Optimasi Pengelolaan Pesisir dan Akuntansi Karbon (Carbon Accounting) pada Model Business As Usual (Model BAU) Opsi pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove serta beberapa asumsi relevan
yang didesain adalah sebagai berikut: a. Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan TNS dibagi atas dua opsi: 1) Opsi model pengelolaan “Konservasi Mangrove” (KM) pada kawasan TNS seluas 202.897 ha. Luas awal sisa penyusutan sejak 2006 adalah areal hutan mangrove primer (Hmp) seluas 35.027 ha, hutan rawa sekunder (Hrs) seluas 68.658 ha, areal penggunaan lain (APL) seluas 97.021 ha dan areal pertambakan pada zona tradisional seluas 2.013 ha. 2) Opsi pemanfaatan “Sylfish” (sylvofishery), yaitu pada zona tradisional seluas 2.013 ha yang dikelola masyarakat untuk areal pertambakan. Opsi pemanfaatan “Sylfish” diusulkan untuk alokasi tambak udang (shrimp sylvofishery). Terhadap dua opsi alokasi pemanfaatan sumberdaya mangrove ini kemudian dianalisis secara komparatif berdasarkan kriteria NPV, tingkat emisi CO2 yang dihasilkannya serta tingkat penyerapan tenaga kerja. b. Perbandingan tingkat karbon terestrial di kawasan TNS yang dihasilkan pada skenario model BAU. Apakah bersifat karbon positif (carbon sink) atau bersifat karbon negatif (carbon source). c. Asumsi pertambahan luas tambak serta perubahan tutupan lahan lainnya didasarkan pada laju historis deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana saat ini terjadi. d. Kecenderungan sebuah sistem dasar dapat memberikan suatu pemahaman dan gambaran bagaimana suatu sumberdaya alam harus dikelola secara bijaksana, agar tercapai keseimbangan ekosistem di masa depan. Oleh karena itu dalam analisis ini dilakukan simulasi dengan menggunakan model simulasi dinamis dalam rentang waktu 25 tahun (Permenhut No. 36/2009). Simulasi dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kecenderungan sistem saat ini akan terus berlanjut di masa yang akan datang. Beberapa asumsi lain yang digunakan dalam simulasi
184
ini sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab 6.1.3 Formulasi model (input output simulasi model). Analisis simulasi model BAU dilakukan untuk mengetahui kecenderungan sistem model pesisir TNS dan FA di masa depan dari berbagai variabel yang dikaji apabila tidak dilakukan kebijakan terhadap suatu kecenderungan sistem itu. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan
tentang perilaku sistem, melalui
penelaahan perilaku model yang selaras dimana hubungan sebab akibatnya (causal loop) menyerupai sistem sebenarnya (real world). Demikian halnya dengan perubahan tutupan lahan akan terus berlanjut berdasarkan asumsi laju deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana saat ini terjadi. Perubahan tutupan lahan hasil simulasi dengan bantuan pemograman I-Think® Ver 6.1 disajikan pada Tabel 37
dan secara rinci
disajikan pada Lampiran 11. Tabel 37 Perubahan tutupan lahan akibat deforestasi dan degradasi hutan skenario model BAU di kawasan pesisir TN Sembilang dan di FA selama periode komitmen 25 tahun pengelolaan (ha) No
Tutupan Lahan Model BAU
A 1 2 3 4 5
Areal dilindungi UU (TNS) Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Areal Penggunaan Lain (APL) Tambak TNS Sub Total (A) Areal tidak dilindungi UU (FA) Areal Penggunaan Lain (APL) Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Hutan Tanaman Industri Perkebunan sawit Tambak FA Pemukiman dan Infrastruktur Sub Total (B) Total DD dari TNS dan FA
B 1 2 3 4 5 6 7 8 C
2010 (awal)
Periode Komitmen 2020 2035 (final)
35.205 0 68.658 97.021 2.013 202.897
1.710 13.465 3.084 178.877 5.760 202.897
0 8.742 11 182.551 11.593 202.897
1.109 12.999 5.288 89.168 0 0 0 0 108.564 311.461
1.175 2.562 3.166 0 53.500 40.219 2.075 5.867 108.564 311.461
393 224 1.467 0 55.980 40.997 3.637 5.867 108.564 311.461
Skenario model BAU (baseline) dianalisis sampai sejauhmana kawasan itu memberikan manfaat pada masyarakat saat ini dan masa datang yang diukur berdasarkan nilai NPV-nya, karbon terestrial dan efek emisi CO2 yang dihasilkannya, serta kemampuannya dalam membuka kesempatan kerja bagi masyarakat setempat.
185
Selain itu juga dilihat kecenderungan ekosistem TNS pada akhir simulasi sebagai respon terhadap kebijakan
konservasi
kawasan tersebut
serta opsi pemanfaatan
kawasan pada zona tradisional yang dipertahankan sebagai areal pertambakan. Pada Tabel 35 menunjukkan dimana pada awal periode simulasi terdapat areal tambak seluas 2.013 ha, kemudian terjadi pertambahan areal secara berkala mengikuti laju deforestasi dan degradasi hutan dengan asumsi tidak ada intervensi kebijakan terhadap kecenderungan tersebut.
Pada tahun 2020 diprediksi luas areal tambak
meningkat menjadi 5.760 ha dan mencapai puncaknya pada akhir periode komitmen tahun 2035 seluas 11.593 ha. Demikian halnya untuk tutupan lahan lainnya, hutan mangrove primer (Hmp) dan hutan rawa sekunder (Hrs) terjadi deplesi yang sangat cepat, berubah fungsi manjadi areal penggunaan lain: belukar, belukar rawa, padang rumput dan sebagainya. Skenario pengelolaan kawasan TNS untuk dua opsi pemanfaatan, yaitu model “Konservasi Mangrove”
dan “Sylfish” (shrimp sylvofishery)/tambak udang
menunjukkan tingkat the net present value (NPV) yang positif (NPV > 0) serta tingkat benefit cost ratio yang layak (BC ratio > 1). Hal ini mencerminkan bahwa kedua opsi pemanfaatan tersebut layak secara ekonomi untuk dikembangkan di kawasan TNS pada tingkat the social opportunity cost of capital sebesar 10%. Hasil analisis pemodelan dengan program I-Think® Ver 6.1 disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Tingkat perbandingan opsi pemanfaatan hutan mangrove skenario model business as usual (BAU) di kawasan pesisir TN Sembilang pada periode komitmen 25 tahun Opsi Pemanfaatan No
Kriteria Model BAU
KM
Sylfish
1 Luas Pengelolaan (ha) 191.304 11.593 2 NPV (juta USD) 1.257,88 1.101,03 3 BC Ratio 5,73 5,32 4 Stok Karbon terestrial (tCO2e) 3.826.745 0 5 Emisi CO2 (t CO2e) 33.376.265 6.626.780 6 Kesempatan kerja (jiwa) 8 9.522 Keterangan : KM : Konservasi Mangrove; Sylfish : Sylvofishery (shrimp sylvofishery)
Hasil analisis valuasi ekonomi baseline model (Model BAU)
Keterangan
carbon sink carbon source
pada opsi
pemanfaatan hutan mangrove TNS secara konservasi menghasilkan the net present value (NPV) sebesar 1.257,88 juta USD dengan benefit cost ratio (BC ratio) sebesar 5,73. Artinya bahwa jika kawasan TNS ini tetap dibiarkan seperti saat ini, maka dengan tingkat social opportunity cost of capital (SOCC) sebesar 10%, pada periode komitmen
186
25 tahun akan memberikan manfaat nilai kini bersih sebesar 1.257,88 juta USD pada kehidupan masyarakat Banyuasin dan sekitarnya dengan kesempatan kerja yang tersedia sekitar 8 tenaga kerja.
Valuasi ekonomi baseline model (model BAU) pada opsi
pemanfaatan konservasi mangrove dan sylvofishery secara rinci disajikan
pada
Lampiran 12 dan Lampiran 13. Sementara itu opsi pemanfaatan hutan mangrove TNS pada zona tradisional untuk “Sylfish” menghasilkan NPV sebesar sebesar 5,32.
1.101,03 juta USD dengan BC ratio
Jika pada zona tradisional TNS ini dialokasikan untuk budidaya
“Sylfish”, maka akan memberikan manfaat tambahan sebesar nilai ekonomi tersebut pada tingkat SOCC 10%. Peluang kesempatan kerja yang diciptakan pada opsi ini relatif besar dibanding opsi pemanfaatan secara konservasi dimana terbuka peluang sekitar 9.522 tenaga kerja bagi masyarakat Banyuasin dan sekitarnya. Secara ekonomi, skenario model BAU akan memberikan nilai ekonomi total (mangrove dan sylfish) sebesar 2.358,91 juta USD, akan tetapi deplesi sumberdaya hutan mangrove mengalami peningkatan. Apabila laju natalitas penduduk adalah tetap sebesar 2,58% th-1, maka stok sumberdaya hutan mangrove primer (Hmp) di TNS hanya dapat bertahan sampai tahun 2026 (sisa 62 ha). Selama periode 2010-2035 terjadi perubahan fungsi hutan
menjadi hutan mangrove sekunder (Hms) 8.742 ha, areal
penggunaan lain (APL) sekitar 182.551 ha dan perubahan luas tambak dari 2013 ha menjadi 11.593 ha. Ada suatu kecenderungan dimana dengan tingkat laju natalitas itu pada tahun yang akan datang diprediksi menjadi 1,4 juta jiwa. Pertambahan populasi ini dapat menyebabkan tekanan terhadap kawasan TNS semakin tinggi. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 5 bahwa tekanan penduduk terhadap lahan (TP) di wilayah ini termasuk tinggi (nilai TP > 2). Rata-rata kebutuhan lahan pertanian untuk setiap petani sekitar
1,2 ha. Data tersebut mencerminkan bahwa
penduduk memiliki kecenderungan untuk melakukan okupasi lahan minimal untuk dapat hidup layak. Dengan meningkatnya jumlah penduduk di wilayah ini sebesar 2,58% th-1 serta rendahnya
lapangan pekerjaan diprediksi dapat menimbulkan
degradasi lingkungan. Semakin besar jumlah penduduk, semakin besar pula tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya alam, sehingga tekanan terhadap hutan mangrove semakin meningkat. Data historis laju deforestasi dan degradasi menunjukkan dimana
tekanan
penduduk terhadap hutan mangrove TNS rata-rata 3,6% th-1 (1995-2000). Sementara itu data sisa hasil deforestasi dan degradasi TNS (2006-2010) masih terdapat sekitar
187
35.025 ha hutan mangrove primer, 68.658 ha hutan rawa sekunder dan terdapat sekitar 2.013 ha tambak di Semenanjung Sembilang. Atas dasar data historis ini, pertumbuhan penduduk dan luas tambak akan semakin bertambah secara linier. Sementara itu kawasan hutan mangrove primer dan hutan rawa sekunder diprediksi akan terjadi penyusutan mengikuti pola exponential decay (lihat Gambar 50).
180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
Perubahan luas hutan (ha)
200000
Tahun Hmp TNS
Hms TNS
Hrs TNS
APL TNS
Tambak TNS
Gambar 50 Tren dampak tekanan penduduk terhadap hutan mangrove untuk kebutuhan areal pertambakan dan penggunaan lain di dalam kawasan pesisir TN Sembilang Data historis lainnya menunjukkan dimana okupasi penduduk terhadap lahan TN Sembilang pada umumnya digunakan untuk usaha tambak, sehingga hal ini dapat menimbulkan potensi gas metana (CH4). Kecenderungan ini dapat memperburuk efek GRK karena potensi gas metana 25 kali lipat dibandingkan emisi CO2. Apabila tidak ada intervensi
kebijakan terhadap
fenomena tersebut, maka laju deforestasi dan
degradasi hutan serta laju rata-rata emisi CO2 akan mengikuti pola kecenderungan tersebut. Fakta ilmiah lainnya memberikan gambaran bahwa terdapat korelasi cukup tinggi antara kepadatan penduduk dengan luas konversi hutan di FA. Berdasarkan analisis terhadap data luas konversi hutan dan kepadatan penduduk ditemukan bahwa hubungan antara kepadatan penduduk dan luas fraksi konversi hutan
terjadi relatif
cepat dengan sedikit peningkatan kepadatan penduduk. Hal ini disebabkan program pembukaan hutan untuk pembangunan pertanian dan perkebunan di luar kawasan TNS terjadi sangat intensif (125% selama 25 tahun) dibanding pertumbuhan penduduk (64,5% selama 25 tahun). Gambar 51 berikut menunjukkan kecenderungan tersebut.
188
120000
Konversi hutan (ha)
100000
80000
60000
40000
20000
20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
0
Tahun
HTI
Saw it
Tambak FA
Pmkmn & Infrastruktur
Total
Gambar 51 Tren dampak tekanan penduduk terhadap konversi hutan mangrove di luar kawasan TNS (FA). Efek deplesi sumberdaya hutan mangrove, sesungguhnya bukan hanya sekedar peningkatan emisi CO2 saja, akan tetapi spektrum dampak yang akan terjadi dapat meluas ke sektor lainnya membentuk loop negatif.
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa fenomena dampak perubahan iklim ekstrim tersebut telah direspon masyarakat pesisir dalam hal pola adaptasi negatif. Gagal panen sebagai akibat perubahan iklim yang tidak menentu telah merubah orientasi masyarakat untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan yang ada. Data historis menunjukkan bahwa musim kemarau panjang pada tahun 20052006 di wilayah Kabupaten Banyuasin telah menyebabkan penurunan kontribusi tanaman perkebunan terhadap produk domestik regional sektor pertanian dari 9,17% menjadi 8,99%, share produksi perikanan menurun dari 10,12% menjadi 9,73%. Demikian halnya pada tahun 2007 dan 2008 telah menyebabkan gagal panen bahan makanan (food crops) dan terjadi penurunan dari 10,50% menjadi 10,24% dan perikanan turun dari 9,49% menjadi 8,51%. Peningkatan laju emisi pada baseline model di FA lebih disebabkan faktor planned deforestation melalui perencanaan tata ruang. Data historis menunjukkan dimana alokasi lahan untuk 2006-2026 seluas 115.027 ha merupakan areal berpenutupan vegetasi. Sampai tahun 2010 masih terdapat sisa lahan seluas 108.564 ha. Selama periode komitmen 25 tahun simulasi model BAU, terjadi perubahan fungsi
189
hutan menjadi hutan tanaman industri (55.980 ha), kebun sawit (40.997 ha), pemukiman dan infrastruktur (5.865 ha) serta areal pertambakan (3.638 ha). Pola ekspansi hutan tanaman industri dan perkebunan pembangunan ekonomi
untuk kepentingan
merupakan suatu hal wajar dan suatu keharusan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi perlu diantisipasi dampak yang akan terjadi apabila sumber konversi lahan tersebut masih merupakan hutan, terutama pada kawasan hutan rawa bergambut dengan kedalaman di atas 3 meter. Pembangunan hutan tanaman industri dan kebun sawit pada kawasan hutan rawa atau gambut, pada umumnya membangun sistem drainase. Kanal-kanal tersebut dibuat untuk mengurangi kelebihan air agar gambut menjadi lebih kering dan tanaman dapat tumbuh lebih subur. Dampak kanalisasi serta sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat tersebut sering kali menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga menimbulkan subsidensi, gambut menjadi kering dan
sangat rentan terhadap
kebakaran. Selain itu terdapat kecenderungan perilaku masyarakat di FA dalam pemanfaatan sumberdaya alam seringkali dilakukan untuk jalur transportasi masuk
dengan pembuatan kanalisasi
hutan. Hal ini diprediksi akan
menyebabkan
fragmentasi habitat, terganggunya koridor jelajah satwa liar, serta merusak keutuhan ekosistem secara keseluruhan. Diferensiasi dampaknya berupa penurunan hasil hutan nir kayu dan penurunan produktivitas perikanan akan semakin tinggi. Efek perilaku baseline model tersebut, apabila tidak ada
intervensi kebijakan pengelolaan
sumberdaya pesisir TNS dan sekitarnya (FA), maka
diprediksi deplesi sumberdaya
mangrove akan mengalami peluruhan lebih cepat daripada simulasi model dasar itu sendiri. Pada periode awal komitmen pengelolaan sumberdaya pesisir TNS terdapat areal hutan mangrove yang dilindungi undang-undang seluas 202.897 ha (di dalam kawasan TNS) dan sekitar 108.564 ha hutan yang tidak dilindungi undang-undang (di FA), total stok awal sumberdaya hutan mangrove seluas 311.461 ha. Tingkat laju historis deforestasi dan degradasi hutan baseline model yang terjadi di dua kawasan ini menunjukkan tingkat laju karbon terestrial yang semakin menurun. Laju penurunan karbon terestrial secara eksponensial di dua kawasan ini terjadi sebagai akibat gejala alamiah maupun akibat anthropogenik. Laju peluruhan karbon terestrial di dalam kawasan TNS lebih disebabkan faktor yang tidak direncanakan (unplanned deforestation), seperti kebakaran hutan dan
190
perambahan hutan untuk areal pertambakan. Sedangkan di FA lebih disebabkan faktor yang direncanakan (planned deforestation), seperti konversi hutan untuk kepentingan pembangunan ekonomi melalui RUTR. Dua faktor penggerak (driving factors) tersebut diprediksi dapat mereduksi tingkat karbon terestrial di TNS dan di FA. Pada periode awal komitmen pengelolaan skenario model BAU terdapat stok karbon terestrial sekitar 87,61 MtCO2,
terdiri dari 49,71 MtCO2 karbon terestrial
dilindungi (TNS) dan 37,89 MtCO2 karbon terestrial tidak dilindungi (FA). Dua faktor penggerak (driving factors) deforestasi dan degradasi hutan diprediksi menyebabkan eksponential decay stok karbon terestrial di dua kawasan pesisir ini. Pada tahun 2020 diprediksi terjadi peluruhan karbon terestrial menjadi sekitar 12,64 MtCO2 dan mencapai puncak penyusutan pada tahun 2035 menjadi sekitar 6,03 MtCO2. Peluruhan karbon terestrial mencerminkan bahwa kawasan TNS dan FA tidak memiliki kemampuan lagi untuk mensekuestrasi emisi CO2 karena tingginya deforestasi dan degradasi hutan di dua kawasan itu. Hal ini diprediksi dapat menyebabkan anomali iklim dan mengganggu keseimbangan ekosistem di wilayah tersebut. Laju stok karbon terestrial pada kawasan TNS dan FA disajikan pada Tabel 39 dan secara rinci disajikan pada Lampiran 14. Tabel 39
No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4 C
Akuntansi stok (stock accounting) karbon terestrial pada kawasan dilindungi (TNS) dan kawasan tidak dilindungi (FA) pada skenario model BAU (tCO2e) Akuntansi stok (Stock accounting) Model BAU
Karbon Terestrial Dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS Karbon Terestrial tidak Dilindungi (FA) Karbon Terestrial APL FA Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Total Stok Karbon Terestrial FA Total Stok Karbon Terestrial TNS dan FA
Periode Komitmen 2010 (awal)
2020
2035 (Final)
29.345.514 19.300.107 1.067.231 49.712.853
1.425.756 5.045.889 866.866 1.967.652 9.306.163
3.275.968 3.126 2.008.056 5.287.150
12.199 10.835.459 1.981.590 25.065.571 37.894.819 87.607.671
12.924 2.135.733 1.186.451 3.335.108 12.641.271
4.321 186.893 549.674 740.888 6.028.037
Keterangan: Hmp: Hutan mangrove primer; Hms: Hutan mangrove sekunder; Hrs : Hutan rawa sekunder APL: Areal penggunaan lain.
Kecenderungan skenario model BAU pada tingkat perbandingan karbon terestrial dan emisi CO2 di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) pada periode awal komitmen terdapat net karbon terestrial sekitar 44,83 MtCO2, sehingga neraca karbon
191
(carbon balance) pada daerah ini dapat dikategorikan sebagai karbon terestrial positif (carbon sink). Artinya kawasan TNS mampu mengabsorbsi emisi yang dilepaskan dari deforestasi dan degradasi pada kawasannya sendiri dan mendapatkan surplus karbon terestrial (carbon gain) sebesar 44,83 MtCO2. Namun demikian kecenderungan model BAU pada periode komitmen 2020 dan 2035 mengalami penurunan secara eksponensial menjadi karbon negatif sebesar -21,37 MtCO2 dan -34,71 MtCO2. Kecenderungan skenario model BAU ini dapat disimpulkan bahwa Neraca Karbon (carbon balance) kawasan TNS merupakan kawasan karbon terestrial negatif (carbon source) (lihat Tabel 40). Kecenderungan trajectory karbon terestrial (carbon sink) dan emisi CO2 (carbon source) pada skenario model BAU di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) mulai terjadi perubahan sebagai karbon terestrial negatif (carbon source) pada tahun 2014 dan seterusnya pada tahun 2020 sampai akhir periode komitmen tahun 2035. Kecenderungan trajectory karbon terestrial tersebut mencerminkan bahwa sumberdaya hutan mangrove di TNS setelah tahun 2014 tidak lagi mampu mengabsorbsi emisi CO2. Hal ini terjadi sebagai akibat percepatan laju deforestasi dan degradasi hutan lebih besar dari pada laju carbon regrowth sumberdaya tersebut (lihat Lampiran 15). Tabel 40 Akuntansi karbon (carbon accounting) pada skenario model BAU di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) (tCO2e) No A 1 2 3 4 B
Akuntansi Karbon TNS (carbon accounting) Model BAU Stock accounting pada kawasan Dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS Emission accounting pada kawasan
Periode Komitmen 2010 (awal)
2020
2035 (Final)
29.345.514 19.300.107 1.067.231 49.712.853
1.425.756 5.045.889 866.866 1.967.652 9.306.163
3.275.968 3.126 2.008.056 5.287.150
3.111.285 90.768 1.679.484 4.881.537 4.881.537 44.831.316 Sink
21.331.761 6.256.265 185.835 3.354.299 31.128.160 450.942 30.677.218 (21.371.055) Source
27.152.416 6.664.032 190.106 6.626.780 40.633.335 630.289 40.003.046 (34.715.896) Source
dilindungi (TNS) 1 2 3 4
C D
Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi CO2 TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi dari DD di TNS Total Stok Karbon/Emisi CO2 Neraca Karbon (Carbon Balance)
Kecenderungan model BAU yang sama terjadi di FA
dimana pada 2010
terdapat stok karbon sebesar 29,15 MtCO2, sehingga dapat dikategorikan sebagai carbon sink. Namun demikian pada tahun 2020 dan 2035 terjadi perubahan menjadi
192
kawasan carbon source masing-masing sebesar -39,39 MtCO2 dan -44,34 MtCO2. Hal ini terjadi sebagai akibat laju deforestasi dan degradasi hutan untuk pembangunan HTI, perkebunan sawit, pertambakan, pemukiman dan infrastruktur (lihat Tabel 36
dan
Lampiran 16). Trajectory stok karbon terestrial (carbon sink) dan emisi CO2 (carbon source) pada skenario model BAU di FA mulai terjadi perubahan sebagai karbon terestrial negatif (emisi CO2) pada tahun 2011 dan seterusnya pada tahun 2020 dan sampai pada akhir periode komitmen pengelolaan tahun 2035. Secara agregat, hasil deliniasi karbon terestrial model BAU di kawasan TNS dan FA menunjukkan hasil net karbon negatif baik pada tahun 2020 (-60,75 MtCO2) maupun pada akhir periode simulasi 2035 (-79,06 MtCO2). Kecuali pada awal simulasi terdapat karbon terestrial positif sebesar 73,98 MtCO2. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skenario model BAU pada kawasan TNS dan sekitarnya pada tahun 2010 (awal simulasi) diprediksi merupakan kawasan carbon sink, sedangkan pada tahun 2020 dan 2035 diprediksi sebagai kawasan carbon source (sumber emisi CO2) (lihat Gambar 52). Tabel 41 Akuntansi karbon (carbon accounting) pada skenario model BAU di FA (tCO2e) No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
Akuntansi karbon FA (carbon accounting) Model BAU Stock accounting pada kawasan tidak dilindungi (FA) Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Karbon Terestrial APL FA Total Stok Karbon Terestrial FA Emissions accounting pada kawasan tidak dilindungi (FA) Emisi CO2 APL FA Emisi CO2 Hmp FA Emisi CO2 Hms FA Emisi CO2 Hrs FA Total Emisi CO2 FA Carbon regrowth FA Tot Net Emisi dari DD di FA Total Stok Netto Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
Periode Komitmen 2010 (awal)
2020
2035 (Final)
12.199 10.835.459 1.981.590 25.065.571 37.894.819
12.924 2.135.733 1.186.451 3.335.108
4.321 186.893 549.674 740.888
5.867.783 453.733 2.419.478 8.740.994 8.740.994 29.153.824 Sink
2.145.264 11.841.909 1.248.872 27.594.577 42.830.622 106.833 42.723.788 (39.388.680) Source
2.579.937 13.180.183 1.885.651 27.594.577 45.240.348 154.102 45.086.246 (44.345.359) Source
193
Carbon Terestrial 2010
2020
2035
49,71 jt tCO2
9,31 jt tCO2
5,29 jt tCO2
TNS 202.897 ha
Emisi Carbon Terestrial 2010
2020
2035
4,88 jt tCO2
30,68 jt tCO2
40,00 jt tCO2
Deliniasi Carbon Terestrial Model BAU
Net C Terestrial/ Emisi C Terestrial TNS 2010
2020
2035
44,83 jt tCO2
-21,37 jt tCO2
-34,71 jt tCO2
Sink
Source
Source
Net C Terestrial/ Emisi C Terestrial TNS dan FA 2010
2020
2035
73,98 jt tCO2
-60,75 jt tCO2
-79,06 jt tCO2
Sink
Source
Source
Carbon Terestrial 2010
2020
2035
37,89 jt tCO2
3,34 jt tCO2
0,74 jt tCO2
FA 108.564 ha
Emisi Carbon Terestrial 2010
2020
2035
8,74 jt tCO2
42,72 jt tCO2
45,09 jt tCO2
Net C Terestrial/ Emisi C Terestrial FA 2010
2020
2035
29,15 jt tCO2
-39,38 jt tCO2
-44,35 jt tCO2
Sink
Source
Source
Gambar 52 Deliniasi carbon accounting model BAU di kawasan pesisir TNS dan FA
194
Optimasi Pengelolaan Pesisir dan Akuntansi Karbon (Carbon Accounting) pada Model CC
6.2.2
Skenario
model
CC
yang
diusulkan
ini
dirancang
untuk
dapat
diimplementasikan guna mendapatkan sejumlah reduksi emisi CO2 berdasarkan hasil simulasi perbandingan model BAU dan model CC. Model CC dapat dipetakan menjadi dua kategori: yaitu kawasan yang dilindungi undang-undang (kawasan TNS), serta emisi CO2 terhindarkan (avoided emission) sebagai basis penilaian transfer finansial di bawah mekanisme REDD+ maupun mekanisme perdagangan karbon lainnya. Ekspektasi tujuan dari skenario model CC ini adalah : mengkuantifikasi stok karbon terestrial (stock accounting), menghitung emisi CO2 (emissions accounting) dan menilai tingkat reduksi emisi (emissions reduction accounting) pada kawasan yang dilindungi (TNS). Simulasi penurunan laju deforestasi dan degradasi hanya dilakukan pada kawasan konservasi TNS dan tidak dilakukan pada kawasan FA, karena pengelolaan sumberdaya hutan di luar TNS ini merupakan wilayah kedaulatan pihak pemerintah daerah setempat. Jadi pada simulasi ini tidak mempertimbangkan aspek moratorium pembangunan hutan tanaman. Namun demikian dalam analisis carbon accounting, variabel stok karbon dan variabel emisi CO2 tetap dihitung dan dimasukan dalam model. Argumentasi yang mendasari hal ini karena konsentrasi emisi CO2 yang dilepas di FA akan mempengaruhi stok karbon di TNS. Beberapa asumsi relevan pada skenario model CC didesain sebagai berikut: a) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan TNS dibagi atas dua opsi: - Opsi model carbon crediting (Model CC), yaitu opsi pemanfaatan mangrove carbon crediting dimana pengelolaannya berbasis REDD+. Asumsi carbon price rata-rata 10 USD tCO2-1 dan social discount rate 10%. - Opsi pemanfaatan “Sylfish” (sylvofishery)
sama seperti pada skenario model
BAU yaitu areal yang sudah diokupasi masyarakat diusulkan tetap dipertahankan untuk tambak udang (shrimp sylvofishery). Tujuannya adalah untuk menghindari konflik dengan masyarakat setempat. Perbedaannya terletak pada tingkat laju perubahan luas hutan mangrove dan luas areal pertambakan dimana pada skenario model CC diasumsikan 10% dari laju deforestasi dan degradasi hutan saat ini. Dengan demikian areal pengelolaan untuk “Sylfish” diasumsikan terjadi pengurangan luasan secara berkala dalam setiap tahunnya. Kemudian terhadap kedua opsi pemanfaatan ini dianalisis secara komparatif berdasarkan berbagai
195
kriteria NPV, tingkat serapan karbon terestrial (carbon sink) dan emisi karbon yang dilepaskan (carbon source) serta tingkat penyerapan tenaga kerja. b) Analisis komparasi tingkat karbon terestrial di TNS dan tingkat karbon terestrial di FA sebagai konsekuensi dari kebijakan opsi pemanfaatan areal TNS dengan model CC dan areal konversi di FA secara business as usual. Komparasi ini dilakukan untuk memprediksi
fenomena yang akan terjadi dari kebijakan pengelolaan
sumberdaya pesisir itu, apakah bersifat karbon positif (carbon sink) ataukah bersifat karbon negatif (carbon source). Skenario model Carbon Crediting dalam konteks penelitian ini merupakan skenario model pengelolaan kawasan
konservasi berupa konsesi ijin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) atau property right berbasis REDD+. Pada analisis ini dilakukan penafsiran terhadap berbagai kecenderungan yang akan terjadi sebagai akibat keputusan pemberian konsesi
kepada investor atau suatu Badan
Pengelola yang ditunjuk pemerintah. Kecenderungan skenario model CC yang akan disimulasikan ini pada prinsipnya sebagai akibat
dari deforestasi dan degradasi
sumberdaya pesisir baik yang direncanakan (planned deforestation) maupun yang tidak direncanakan (unplanned deforestation). Periode awal komitmen pengelolaan sumberdaya pesisir TNS skenario model CC terdapat areal hutan mangrove yang dilindungi undang-undang seluas 202.897 ha (di dalam kawasan TNS). Terdiri dari areal hutan mangrove primer (Hmp) seluas 35.025 ha (17,35%), hutan rawa sekunder 68.658 ha dan sekitar 97.021 ha (47,82%) merupakan areal penggunaan lain (APL) dan sisanya sekitar 2.013 ha (0,99%) areal pertambakan di zona tradisional.
Dengan berbagai upaya pengelolaan kawasan TNS
model CC, restorasi kawasan, reboisasi serta tingkat land security yang lebih terjamin, diprediksi akan terjadi perubahan fungsi tutupan lahan. Hutan rawa sekunder (Hrs) dan areal penggunaan lain (APL) diprediksi akan mengalami perubahan tutupan lahan menjadi hutan mangrove primer (Hmp), masing-masing
99,62% dan 41,61%.
Perubahan tutupan lahan pada skenario model CC disajikan pada Tabel 42 dan secara rinci disajikan pada Lampiran 17.
196
Tabel 42 Perubahan tutupan lahan skenario model CC di kawasan pesisir TN Sembilang dan di FA selama periode komitmen 25 tahun pengelolaan (ha) No A 1 2 3 4 5
Tutupan Lahan Model CC Areal dilindungi UU (TNS) Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Areal Penggunaan Lain Tambak TNS Sub Total (A)
B
Periode Komitmen 2020
2035
35.205 0 68.658 97.021 2.013 202.897
91.959 299 1.438 107.621 1.579 202.897
143.166 1.121 258 56.648 1.703 202.897
1.109 12.999 5.288 89.168 0 0 0 0 108.564 311.461
1.175 2.562 3.166 0 53.500 40.219 2.074 5.868 108.564 311.461
393 224 1.467 0 55.980 40.997 3.635 5.868 108.564 311.461
Areal tidak dilindungi UU (FA) 1 2 3 4 5 6 7 8
C
2010
Areal Penggunaan Lain Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan sawit Tambak FA Pemukiman dan Infrastruktur Sub Total (B) Total DD dari TNS dan FA
Tren perubahan fungsi hutan mangrove pada skenario model CC di kawasan pesisir TNS disajikan pada Gambar 53.
160.000
Perubahan tutupan hutan (ha)
140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000
20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
-
Tahun
Hmp TNS
Hms TNS
Hrs TNS
APL TNS
Tambak TNS
Gambar 53 Tren dampak pengelolaan mangrove model carbon crediting (with REDD+) terhadap berbagai tutupan lahan di pesisir TN Sembilang.
197
Selama
periode komitmen pengelolaan model CC diprediksi
akan terjadi
peningkatan stok sumberdaya hutan mangrove primer (Hmp) TNS secara eksponential growth. Pada tahun 2020 terjadi peningkatan
stok hutan mangrove primer
menjadi
91.959 ha dan pada akhir periode komitmen menjadi 143.166 ha. Berdasarkan struktur model dan data historis deforestasi dan degradasi hutan terdapat pula perubahan fungsi hutan mangrove primer (Hmp) menjadi hutan mangrove sekunder (Hms) sebagai akibat faktor alam, umur tanaman maupun faktor lain yang dapat mempengaruhi peluruhan hutan tersebut. Dengan demikian terdapat kecenderungan perubahan hutan mangrove sekunder bertumbuh secara eksponential growth. Pada tahun 2020 luasan Hms terdapat sekitar 299 ha dan pada tahun 2035 menjadi 1.121 ha. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa kecenderungan sebuah sistem dasar (baseline) dapat memberikan suatu pemahaman dan gambaran bagaimana suatu sumberdaya alam harus dikelola secara benar, agar tercapai keseimbangan ekosistem di masa depan. Premis tersebut mengandung suatu konsekuensi dimana sumberdaya alam harus dikelola secara efisien, berkelanjutan serta memiliki kontribusi nyata bagi kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang. Oleh karena itu, dasar teori yang digunakan pada penelitian ini mengadaptasi rejim intrinsik sumberdaya. Artinya bahwa dalam pemanfaatan setiap sumberdaya memiliki nilai yang terkandung didalamnya untuk dimanfaatkan secara efisien dan berkelanjutan pada berbagai opsi pemanfaatan yang memiliki kelayakan secara ekonomi dan lingkungan. Dengan demikian dapat menghasilkan nilai ekonomi total yang saling menunjang antara rejim ekonomi dan rejim lingkungan. Hasil analisis skenario model CC menunjukkan pada dua opsi pemanfaatan, yaitu model mangrove carbon crediting dan “Sylfish” (shrimp sylvofishery) keduanya menunjukkan tingkat the net present value (NPV) yang positif (NPV > 0) serta tingkat benefit cost ratio yang layak (BC ratio > 1). Hal ini mencerminkan bahwa kedua opsi pemanfaatan tersebut layak secara ekonomi untuk dikembangkan dan dapat dilakukan secara paralel antar keduanya di kawasan TNS pada tingkat the social opportunity cost of capital sebesar 10%. Fakta ilmiah hasil valuasi ekonomi skenario model CC pada opsi pemanfaatan mangrove carbon crediting TNS menghasilkan the net present value (NPV) sebesar 5.076,11 juta USD dengan benefit cost ratio (BC ratio) sebesar 7,56. Apabila kawasan TNS ini dikelola dengan konsesi IUPJL selama 25 tahun periode komitmen, maka dengan tingkat social opportunity cost of capital (SOCC) atau discount rate sebesar
198
10%, akan memberikan manfaat nilai kini bersih sebesar 5.076,11 juta USD pada kehidupan masyarakat Banyuasin dan sekitarnya tersedia sekitar 98.150 tenaga kerja.
dengan kesempatan kerja yang
Hasil analisis pemodelan dengan program I-
Think® Ver 6.1 disajikan pada Tabel 43 dan hasil analisis valuasi ekonomi carbon crediting secara rinci disajikan pada Lampiran 18 dan Lampiran 19. Tabel 43 Tingkat perbandingan opsi pemanfaatan hutan mangrove skenario model carbon crediting di kawasan pesisir TN Sembilang pada periode komitmen 25 tahun No 1 2 3 4 5 6
Kriteria Model CC Luas Pengelolaan (ha) NPV (juta USD) BC Ratio Stok Karbon terestrial (tCO2e) Emisi CO2 (tCO2e) Kesempatan kerja (jiwa)
Opsi Pemanfaatan MCC Sylfish 201.194
1.703
5.076,11 7,56 120.451.272 11.091.631 98.150
3.411,67 6,18 0 3.145.648 2.260
Keterangan
carbon sink carbon source
Keterangan : MCC : mangrove carbon crediting; Sylfish : Sylvofishery (shrim sylvofishery)
Opsi pemanfaatan lainnya pada zona tradisional untuk “Sylfish” diasumsikan terjadi pengurangan luasan areal selama periode komitmen. Tujuannya adalah untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mengurangi deplesi sumberdaya mangrove serta mereduksi tingkat pemanasan efek GRK 26% pada tahun 2020. Luasan areal mangrove pada periode awal komitmen sekitar 2.013 ha, kemudian terjadi pengurangan secara berkala dalam setiap tahun dan pada akhir periode komitmen menjadi sekitar 1.703 ha. Hasil analisis valuasi ekonomi opsi pemanfaatan “Silfish” ini menghasilkan NPV sebesar
3.411,67 juta USD dengan BC ratio sebesar 6,18. Artinya bahwa jika
pada zona tradisional TNS ini dialokasikan untuk budidaya “Sylfish”, maka akan memberikan manfaat tambahan sebesar 3.411,67 juta USD pada tingkat SOCC 10%. Peluang kesempatan kerja yang diciptakan pada opsi “Sylfish” ini sekitar 2.260 tenaga kerja bagi masyarakat Banyuasin dan sekitarnya. Skenario model CC, secara ekonomi akan memberikan nilai ekonomi total (mangrove carbon crediting dan sylfish) sebesar 8.487,78 juta USD dengan peluang tingkat kesempatan kerja yang akan tersedia sebesar 100.410 tenaga kerja. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara filosofis bermakna bahwa konversi hutan pada areal yang tidak dilindungi undang-undang di frontier area adalah hak kedaulatan semua pihak yang menginginkan perubahan ekonomi.
199
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat mempertahankan berbagai hak dan kewajiban sehubungan dengan lahan-lahan publik serta memberi hak dan kewajiban kepada lahan swasta sehubungan dengan kepemilikannya (land ownership). Relevansi dengan studi ini adalah bagaimana membangun skenario model pengelolaan kawasan yang dilindungi undang-undang agar dapat mereduksi efek gas rumah kaca sebagai akibat konversi hutan di FA. Optimasi alternatif pemodelan dengan skenario model carbon crediting merupakan salah satu
model pengelolaan sumberdaya pesisir yang dapat
dipertimbangkan. Selain memiliki performansi keterandalan dalam mengurangi tingkat deplesi sumberdaya alam,
juga kemampuannya dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah setempat. Kendatipun konsentrasi karbon terestrial terjadi penurunan di luar kawasan TNS, akan tetapi secara total (TNS dan FA) terjadi peningkatan karbon terestrial yang semakin menaik mengikuti pola limit to growth (lihat Gambar 54).
140.000.000 120.000.000
Stok Karbon (tCO2)
100.000.000 80.000.000 60.000.000 40.000.000 20.000.000
20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
-
Tahun
Total Karbon Terestrial TNS
Total Karbon Terestrial FA
Total Karbon Terestrial TNS dan FA
Gambar 54 Perubahan stok karbon terestrial hutan mangrove TNS pada skenario model carbon crediting dan di FA pada skenario model business as usual Hasil analisis menunjukkan dimana pada periode awal komitmen pengelolaan skenario model CC terdapat karbon terestrial sekitar 87,61 MtCO2, terdiri dari 49,71 MtCO2 karbon terestrial dilindungi (TNS) dan 37,89 MtCO2 karbon terestrial tidak dilindungi (FA), secara eksponensial mengalami pertumbuhan stok karbon terestrial di TNS. Faktor expantion growth karbon terestrial ini terjadi sebagai akibat dipenuhinya berbagai komitmen dalam kerjasama pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+. Peningkatan perbaikan kualitas lingkungan serta mitigasi efek GRK mulai dijalankan
200
melalui berbagai
restorasi kawasan, reboisasi, serta peningkatan pengamanan dari
bahaya kebakaran serta perambahan hutan. Laju karbon terestrial di kawasan TNS dan di FA disajikan pada Tabel 44 dan secara rinci disajikan pada Lampiran 20. Tabel 44
No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4 C
Akuntansi stok (stock accounting) pada kawasan dilindungi (TNS) dan kawasan tidak dilindungi (FA) pada skenario model CC (tCO2e)
Akuntansi stok (stock accounting) Model CC
Periode Komitmen 2010 (awal) 2020 2035 (Final)
Karbon Terestrial Dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS Karbon Terestrial tidak Dilindungi (FA)
29.344.893 19.300.107 1.067.231 49.712.231
76.652.086 112.012 404.280 1.183.833 78.352.210
119.335.373 420.192 72.581 623.125 120.451.272
Karbon Terestrial APL FA Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Total Stok Karbon Terestrial FA Total Stok Karbon Terestrial TNS dan FA
12.199 10.835.230 1.981.590 25.065.571 37.894.589 87.606.820
12.924 2.135.688 1.186.451 3.335.063 81.687.274
4.321 186.889 549.674 740.884 121.192.156
Keterangan: Hmp: Hutan mangrove primer; Hms: Hutan mangrove sekunder; Hrs : Hutan rawa sekunder APL: Areal penggunaan lain.
Berbeda halnya dengan kondisi di luar kawasan TNS (FA), hasil analisis menunjukkan terjadi penurunan stok karbon terestrial sebagai akibat konversi hutan secara intensif untuk kepentingan pembangunan ekonomi hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan pemukiman serta infrastruktur. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengelolaan kawasan hutan di FA adalah hak pemerintah setempat. Pemda memiliki hak dan kewajiban tersendiri terhadap lahan-lahan swasta untuk melepaskan atau mempertahankan karbon terestrial. Dengan asumsi bahwa Pemda akan melepaskan karbon terestrial atau dengan kata lain Pemda tetap mengkonversi hutan untuk kepentingan pembangunan ekonomi sesuai RUTR, maka selama periode komitmen pengelolaan TNS model CC harus didasarkan pula pada nilai akuntansi karbon terestrial di FA. Keputusan pihak pemda untuk melepas emisi CO2 di FA selama periode komitmen pengelolaan model CC dapat mereduksi stok karbon terestrial di dalam kawasan TNS. Hasil analisis stok karbon terestrial di FA terjadi peluruhan secara eksponential decay, karena pengelolaannya diasumsikan dilakukan dengan cara saat ini (business as usual).
Peluruhan karbon terestrial di FA ini diprediksi dapat
201
menyebabkan anomali iklim, khususnya di wilayah Kabupaten Banyuasin. Tingkat peluruhan karbon terestrial di FA secara diagramatik disajikan pada Gambar 55 dan Tabel 45. 45.000.000 40.000.000
Stok Karbon (tCO2)
35.000.000 30.000.000 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000
20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
-
Tahun
APL
Hmp
Hms
Hrs
Tot Karbon di FA
Gambar 55 Perubahan stok karbon terestrial hutan mangrove tidak dilindungi di FA pada skenario model business as usual Tabel 45 Akuntansi karbon (Carbon accounting) pada skenario model CC di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) (tCO2e) No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
Akuntansi karbon (carbon accounting) Model CC Stock accounting pada kawasan dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS Emission accounting pada kawasan dilindungi (TNS) Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi CO2 TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi dari DD di TNS Stok Netto Karbon Terestrial Carbon Balance
2010 (awal)
Periode Komitmen 2020 2035 (Final)
29.344.893 19.300.107 1.067.231 49.712.231
76.652.086 112.012 404.280 1.183.833 78.352.210
119.335.373 420.192 72.581 623.125 120.451.272
3.111.285 90.768 1.679.484 4.881.537 4.881.537 44.830.694 Sink
4.948.534 3.747 91.166 2.050.587 7.094.034 774.646 6.319.388 72.032.823 Sink
10.344.255 9.368 91.180 3.145.648 13.590.451 2.498.820 11.091.631 109.359.640 Sink
Kecenderungan skenario model CC pada tingkat perbandingan karbon terestrial dan emisi karbon di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) mengalami peningkatan secara eksponensial. Pada periode awal komitmen terdapat net karbon terestrial 44,83
202
MtCO2, pada tahun 2020 sebesar 72,03 MtCO2 dan pada tahun 2035 menjadi sebesar 109,36 MtCO2. Dengan skenario model CC pada kawasan ini dapat dikategorikan sebagai karbon terestrial positif (carbon sink). Artinya kawasan TNS mampu mengabsorbsi emisi yang dilepaskan dari deforestasi dan degradasi pada kawasannya sendiri dan mendapatkan surplus karbon terestrial (carbon gain) sebesar 109,36 MtCO2 (lihat Tabel 45 dan Lampiran 21. Berbeda halnya di luar kawasan TNS yang tidak menerapkan model CC akan terus mengalami peluruhan karbon terestrial. Trajectory karbon terestrial (carbon sink) dan emisi CO2 (carbon source) pada kawasan yang tidak dilindungi (FA) mulai terjadi perubahan sebagai karbon terestrial negatif pada tahun 2011 dan terus berlanjut sampai akhir periode komitmen tahun 2035. Hasil simulasi model CC ini menunjukkan bahwa di luar kawasan TNS (FA)
merupakan kawasan karbon terestrial negatif (carbon
source). Kondisi di FA terjadi peluruhan konsentrasi stok netto karbon terestrial sebagai akibat adanya faktor pendorong deforestasi dan degradasi hutan. Peluruhan stok netto karbon terestrial di FA terus berlanjut mengikuti pola asymptotic decline dimana pada tahun 2020 menjadi -39,07 MtCO2 dan pada tahun 2035 menjadi -44,24 MtCO2 (lihat Tabel 46 dan Gambar 56 serta Lampiran 22). Tabel 46 Akuntansi karbon (carbon accounting) pada skenario model CC di kawasan pesisir yang tidak dilindungi (FA) (tCO2e) No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
Akuntansi karbon (carbon accounting) Model CC Stock accounting pada kawasan tidak dilindungi (Frontier Area) Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Karbon Terestrial APL FA Total Stok Karbon Terestrial FA Emission accounting pada kawasan tidak dilindungi (Frontier Area) Emisi CO2 APL FA Emisi CO2 Hmp FA Emisi CO2 Hms FA Emisi CO2 Hrs FA Total Emisi CO2 FA Carbon regrowth FA Tot Net Emisi dari DD di FA Stok Netto Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
Periode Komitmen 2010 (awal) 2020 2035 (Final)
308.614 10.835.230 1.981.590 25.065.571 38.191.004
326.966 2.135.688 1.186.451 3.649.105
109.320 186.889 549.674 845.883
5.867.783 453.733 2.419.478 8.740.994 8.740.994 29.450.010 Sink
2.145.481 11.841.909 1.248.872 27.594.577 42.830.839 106.833 42.724.005 (39.074.900) Source
2.579.941 13.180.183 1.885.651 27.594.577 45.240.352 154.102 45.086.250 (44.240.367) Source
203
50000000 40000000
20000000 10000000 0
20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
Stok Karbon (tCO2)
30000000
-10000000 -20000000 -30000000 -40000000 -50000000
Tahun
Tot Karbon FA
Tot Emisi Karbon FA
Tot Karbon/Emisi
Gambar 56 Perubahan stok karbon netto/emisi CO2 tutupan hutan dilindungi di FA pada skenario model business as usual
tidak
Tingkat perbandingan stok karbon terestrial di TNS dan di FA menunjukkan dua pola yang berbeda sebagai konsekuensi keputusan pengelolaan yang diterapkan antara keputusan menkonservasi kawasan (TNS) dan mengkoversi sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi. Dua rejim pengelolaan sumberdaya ini sangat menentukan tingkat karbon terestrial yang dapat ditransaksikan dalam skema REDD+. Konsentrasi stok netto total karbon terestrial di kawasan TNS dan FA terdapat kecenderungan membentuk pola kurva S-Shaped growth (kurva S). Pada awal periode komitmen secara akumulasi terdapat sekitar 73,98 MtCO2. Namun demikian karena terdapat konsentrasi emisi CO2 di FA yang cukup besar selama periode komitmen, maka terjadi peluruhan karbon terestrial secara berkala dan mengalami titik kritis pada periode komitmen tahun 2012 menjadi sebesar 14,91 MtCO2. Hal ini terjadi karena adanya faktor konversi hutan secara masif di FA untuk pengembangan industri hutan tanaman dan kebun sawit, pertambakan, pemukiman serta infrastruktur (lihat Gambar 57).
204
120.000.000 100.000.000
60.000.000 40.000.000 20.000.000 -
20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
Stok karbon netto (tCO2)
80.000.000
(20.000.000) (40.000.000) (60.000.000)
Tahun
Tot Karbon netto TNS
Tot Karbon netto FA
Tot Karbon netto TNS dan FA
Gambar 57 Perubahan stok karbon netto hutan mangrove TNS (skenario model carbon crediting) dan stok karbon netto pada berbagai tutupan lahan di FA (skenario model business as usual). Pola konsentrasi karbon terestrial di kawasan pesisir TNS akan terus mengalami peningkatan kembali mulai tahun 2013 sejalan dengan pemanfaatan lahan dan produktivitas lahan di FA sudah optimal. Demikian pula halnya di kawasan TNS dimana penghijauan, restorasi dan komitmen penerapan carbon crediting sudah dapat dilakukan secara efektif. Pada tahun 2020 konsentrasi net karbon terestrial di TNS dan di FA terdapat sekitar 32,96 MtCO2 dan pada akhir periode komitmen 2035 diprediksi dapat
mencapai 65,11 MtCO2. Kendatipun terdapat penurunan konsentrasi karbon
sejak awal periode, namun secara agregat terdapat stok netto total karbon terestrial yang positif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa opsi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dengan skenario model CC mampu mentransformasi kawasan dari kategori carbon source menjadi kawasan carbon sink sebesar 65,11 MtCO2 selama periode komitmen 25 tahun pengelolaan, atau rata-rata setiap tahunnya sekitar 2,60 MtCO2 th-1. Hasil deliniasi karbon terestrial dan emisi karbon di kawasan pesisir TNS dan FA disajikan pada Gambar 58.
205
Carbon Terestrial 2010
2020
2035
49,71 jt tCO2
78,35 jt tCO2
120,45 jt tCO2
Net C Terestrial TNS
TNS 202.897 ha
Emisi Carbon Terestrial 2010
2020
2035
4,88 jt tCO2
6,32 jt tCO2
11,09 jt tCO2
Deliniasi Carbon Terestrial TNS dan FA Model CC
2010
2020
2035
44,83 jt tCO2
72,03 jt tCO2
109,36 jt tCO2
C Sink
C Sink
C Sink
Net C Terestrial TNS dan FA 2010
2020
2035
74,28 jt tCO2
32,96 jt tCO2
65,11 jt tCO2
C Sink
C Sink
C Sink
Carbon Terestrial 2010
2020
2035
38,19 jt tCO2
3,65 jt tCO2
0,84 jt tCO2
FA 108.564 ha
Emisi Carbon Terestrial 2010
2020
2035
8,74 jt tCO2
42,72 jt tCO2
45,09 jt tCO2
Net C Terestrial/ Emisi C Terestrial FA 2010
2020
2035
29,45 jt tCO2
-39,07 jt tCO2
-44,25 jt tCO2
C Sink
C Source
C Source
Gambar 58 Deliniasi carbon accounting skenario model CC di kawasan pesisir TNS dan FA
206
Hasil analisis perbandingan tingkat emisi CO2 model BAU dan model CC di dua kawasan TNS dan FA relatif cukup besar. Jumlah emisi karbon model BAU pada akhir periode komitmen berjumlah 85,09 MtCO2, sementara itu jumlah emisi karbon model CC pada akhir periode komitmen (tahun 2035) berjumlah 56,18 MtCO2. Dengan demikian terdapat sejumlah emisi CO2 yang dapat dihindarkan (avoided emission) sebesar 28,91 MtCO2, atau rata-rata 1,15 MtCO2 th-1 (lihat Gambar 59). Jumlah emisi terhindarkan itu merupakan emisi CO2 yang dapat ditransaksikan dengan pihak pembeli (buyer) atau sebagai dasar penilaian payment for ecosystem services (PES). Pihak pemanfaat lingkungan dapat memberi insentif atau membayar pembelian kredit karbon kepada pengelola lingkungan setelah melalui proses sertifikasi reduksi emisi dan dibayarkan berdasarkan ERPA (emission reduction purchase agreement). Apabila insentif atau harga rata-rata karbon di pasaran internasional diasumsikan sebesar 10 USD tCO2-1, maka akan diperoleh nilai carbon revenue sekitar 289,10 juta USD selama periode komitmen berlangsung atau rata-rata sekitar 11,56 juta USD th-1 (lihat Tabel 47 dan Lampiran 23).
Tabel 47 Nilai jual jasa lingkungan (NJ2L) carbon crediting pengelolaan sumberdaya mangrove di kawasan TNS (USD) No
Pihak penerima NJ2L
Nilai Jual Jasa Lingkungan (NJ2L) 2011 2020
2010
2035
A
Net Carbon Revenue
0
61.037.079
243.576.134
289.114.110
B 1 2 3 4 5
Distribusi NJ2L Pemerintah pusat (20%) Pemerintah kab/kota (20%) Pemerintah provinsi (10%) Masyarakat (20%) Developer (30%)
0 0 0 0 0
12.207.416 12.207.416 6.103.708 12.207.416 18.311.124
48.715.227 48.715.227 24.357.613 48.715.227 73.072.840
57.822.822 57.822.822 28.911.411 57.822.822 86.734.233
Distribusi nilai jual jasa lingkungan (NJ2L) mengacu pada Permenhut No. 36/2009 dimana alokasi NJ2L untuk : pemerintah pusat 20%, pemda kabupaten/kota 20%, pemda provinsi 10%, masyarakat 20% dan developer sebesar 30%. Hasil simulasi menunjukkan dimana kontribusi NJ2L untuk masyarakat sebesar 57,82 juta USD selama periode komitmen atau rata-rata sekitar 2,31 juta USD th-1. Nilai jasa lingkungan tersebut relatif besar yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Yang diperlukan ke depan adalah model pengelolaan insentif tersebut agar efektif dan berdaya guna bagi masyarakat.
207
Emisi Carbon Terestrial
TNS 202.897 ha
Model BAU
2010
2020
2035
4,88 jt tCO2
30,68 jt tCO2
40,00 jt tCO2
Emisi Carbon Terestrial
FA
2010
2020
2035
108.564 ha
8,74 jt tCO2
42,72 jt tCO2
45,09 jt tCO2
Deliniasi Emisi Carbon Terestrial
Model CC
2010
2020
2035
13,62 jt tCO2
73,40 jt tCO2
85,09 jt tCO2
Total Emisi C Terestrial Terhindarkan (avoided emission)
2010
2020
2035
0 tCO2
24,36 jt tCO2
28,91 jt tCO2
Emisi Carbon Terestrial
TNS 202.897 ha
Total Emisi C Terestrial TNS dan FA Model BAU
2010
2020
2035
4,88 jt tCO2
6,32 jt tCO2
11,09 jt tCO2
Emisi Carbon Terestrial
FA
2010
2020
2035
108.564 ha
8,74 jt tCO2
42,72 jt tCO2
45,09 jt tCO2
Total Emisi C Terestrial TNS dan FA Model CC
2010
2020
2035
13,62 jt tCO2
49,04 jt tCO2
56,18 jt tCO2
Gambar 59 Deliniasi emission reduction accounting pada skenario model CC dan model BAU di kawasan pesisir TNS dan FA
208
6.3
Perbandingan Model Business as Usual dan Model Carbon Crediting di Wilayah Pesisir Skenario model BAU dan skenario model CC merupakan dua model dengan
pendekatan simulasi untuk memprediksi apa yang akan terjadi (what would happened) dan pendekatan optimasi pada zona pemanfaatan dan zona tradisional untuk kegiatan apa yang sebaiknya dilakukan (what should happened). Struktur model dua skenario tersebut merupakan hubungan sebab akibat (causal relation) dengan tujuan untuk valuasi ekonomi sumberdaya mangrove dengan efek yang ditimbulkannya berupa emisi CO2. Dua skenario model ini memberikan gambaran antara preferensi stakeholders di FA pada satu pihak dan preferensi stakeholders di kawasan TNS pada pihak lainnya. Model BAU
mencerminkan preferensi dimana pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam adalah untuk kepentingan pembangunan ekonomi
secara maksimal
dengan tingkat waktu pengembalian investasi yang paling cepat. Sebaliknya model CC mencerminkan preferensi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam pada kawasan yang dilindungi dengan memperhatikan keberlanjutan stok sumberdaya alam secara kontinyu. Selain itu juga memberi harapan pada saat ini dan mendatang baik secara ekonomi maupun adanya keseimbangan kondisi karbon terestrial dan emisi CO2 di kawasan tersebut. Model BAU dan model CC merupakan model dinamik yang bersifat kontinum dan dapat menjelaskan adanya proses penurunan dan peningkatan jasa-jasa lingkungan dari waktu ke waktu selama 25 tahun simulasi model. Terlihat dengan jelas bahwa di masa yang akan datang kerja keras harus dilakukan untuk menghasilkan skenario alternatif yang dapat menunjukkan pola mitigasi dan pola adaptasi dalam pengelolaan kawasan konservasi TNS secara berkelanjutan, baik bagi masyarakat yang tinggal di sekitar TNS maupun masyarakat di luar kawasan yang tergantung pada ketersediaan jasa-jasa lingkungan. Penilaian terhadap jasa-jasa lingkungan, cukup penting untuk memberikan kesadaran dan pemahaman mengenai manfaat yang dapat diperoleh serta dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Dalam konsep ekonomi lingkungan, Perman et al. (1996) menjelaskan bahwa dalam perspektif biofisik, emisi CO2 merupakan bahan pencemar yang bersifat stock pollution dimana kerusakan yang ditimbulkan merupakan fungsi dari stok residu dan bersifat kumulatif. Dalam konteks laju deforestasi dan degradasi hutan mangrove, sejumlah emisi CO2 akan disekuestrasi oleh tanaman tersebut dan disimpan secara kumulatif dalam bentuk biomassa atau karbon. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa daya serap mangrove terhadap karbon jauh lebih tinggi (227,3 tC ha-1) daripada tanaman hutan lainnya seperti Acacia
209
mangium (62,08 tC ha-1) atau Eucalyptus sp. (75,89 tC ha-1).
Dengan adanya
keterkaitan mangrove dan emisi CO2 ini, maka akan terjadi loop dengan ecosystem services sector pada komponen carbon (climate regulation).
Demikian seterusnya
secara kontinum berkoneksi dengan sektor lainnya. Hasil analisis model CC menunjukkan nilai ekonomi total dari opsi pemanfaatan carbon crediting dan opsi sylvofishery berdasarkan the net present value (NPV) sebesar 8.487,78 juta USD (3,6 kali > NPV BAU) yang dapat mendorong peluang kesempatan kerja sebesar 100.410 tenaga kerja (11 kali > model BAU). Sementara itu model BAU menghasilkan nilai ekonomi total berdasarkan NPV-nya sebesar 2.358,91 juta USD dengan peluang kesempatan kerja sekitar 9.530 tenaga kerja. Besarnya peluang kesempatan kerja model CC terjadi
karena terdapat alokasi carbon revenue bagi
masyarakat secara langsung sebesar 20% dan untuk pemerintah Kabupaten Banyuasin 20%. Kontribusi ini dapat mempengaruhi tingkat investasi langsung per tenaga kerja di wilayah Kabupaten Banyuasin,
mengakselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah
setempat, peluang kesempatan kerja baru serta peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu juga secara ekologis terdapat jaminan stok sumberdaya hutan mangrove dari 35.205 ha tahun 2010 meningkat menjadi 143.166 ha pada tahun 2035. Artinya bahwa kawasan hutan mangrove primer yang terdegradasi dan terdeforestasi pada model BAU akan tertutupi mangrove primer dengan model CC seluas 143.166 ha pada tahun 2035. Sementara itu areal penggunaan lain (APL) pada model BAU seluas 182.550 ha akan terjadi pengurangan pada model CC menjadi 56.647 ha. Secara diagramatis disajikan pada Gambar 60 dan Gambar 61.
160000
Perubahan luas mangrove (ha)
140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000
20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
0
Tahun
Hmp TNS model BAU (w ithout REDD+)
Hmp TNS model CC (w ith REDD+)
Gambar 60 Perbandingan perubahan luas hutan mangrove primer (Hmp) di TNS pada skenario model carbon crediting (with REDD+) (dan skenario model business as usual (without REDD+)
210
200000
Perubahan tutupan mangrove (ha)
180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000
20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
0
Tahun
APL TNS BAU (w ithout REDD+)
APL TNS CC (w ith REDD+)
Gambar 61 Perbandingan perubahan luas areal penggunaan lain (APL) di TNS pada skenario model carbon crediting (with REDD+) dan skenario model business as usual (without REDD+)
Perbandingan tingkat emisi CO2 yang terhindarkan antara model CC dan model BAU di areal TNS merupakan basis penilaian karbon terestrial yang dapat ditransaksikan. Pengukuran tingkat emisi karbon pada model BAU dan model CC pada berbagai tutupan lahan
disajikan pada Tabel 48 dan secara rinci disajikan pada
Lampiran 24. Tabel 48 Akuntansi reduksi emisi (emissions reduction accounting) hasil simulasi model BAU dan Model CC pada berbagai tipe tutupan lahan selama periode komitmen pengelolaan 25 tahun Skenario BAU No
A 1 2 3 4
Emission Reduction Accounting di TNS dan FA
Emission accounting di TNS Emisi dr DD Hmp Emisi dr DD Hms Emisi dr DD Hrs Emisi Tambak TNS Tot Emisi dr DD TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi dari DD di TNS B Emission accounting di FA 1 Emisi dr DD APL di FA 2 Emisi dr DD Hmp di FA 3 Emisi dr DD Hms di FA 4 Emisi dr DD Hrs di FA Tot Emisi dr DD di FA Carbon regrowth FA Tot Net Emisi dr DD di FA C Total Net Emisi dr DD TNS dan FA
Periode Komitmen 25 Tahun (tCO2e)
Rata-rata (tCO2e th-1)
Skenario CC Periode Komitmen 25 Tahun (tCO2e)
Rata-rata (tCO2e th-1)
Emisi Terhindarkan (avoided emission) Periode Rata-rata Komitmen 25 Tahun (tCO2e th-1) (tCO2e)
27.152.416 6.664.032 190.106 6.626.780 40.633.335 630.289 40.003.046
1.086.097 266.561 7.604 265.071 1.625.333 25.212 1.600.122
10.344.255 9.368 91.180 3.145.648 13.590.451 2.498.820 11.091.631
413.770 16.808.162 375 6.654.664 3.647 98.926 125.826 3.481.132 543.618 27.042.883 99.953 1.868.531 443.665 28.911.414
2.579.937 13.180.183 1.885.651 27.594.577 45.240.348 154.102 45.086.246
103.197 527.207 75.426 1.103.783 1.809.614 6.164 1.803.450
2.579.937 13.180.183 1.885.651 27.594.577 45.240.348 154.102 45.086.246
103.197 527.207 75.426 1.103.783 1.809.614 6.164 1.803.450
85.089.292
3.403.572
56.177.877
2.247.115 28.911.415
-
672.326 266.187 3.957 139.245 1.081.715 1.156.457 1.156.457
211
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat emisi CO2 pada skenario model BAU di kawasan TNS relatif tinggi (40 MtCO2). Perubahan emisi tertinggi terjadi pada areal tutupan hutan mangrove primer (Hmp) sebesar 27,15 MtCO2. Tingginya emisi CO2 dari kawasan Hmp ini karena adanya faktor pendorong deforestasi dan degradasi hutan yang tidak direncanakan menjadi fungsi hutan mangrove sekunder (Hms) serta areal penggunaan lain (APL): belukar, belukar rawa, padang rumput, pertanian, sawah, tambak dan sebagainya. Fenomena tersebut
dapat mengganggu
ketersediaan stok hutan mangrove primer dan akan terus mengalami penyusutan secara exponential decay dan stok Hmp hanya dapat bertahan sampai tahun 2026. Demikian halnya di FA terdapat sejumlah emisi CO2 yang dilepaskan sebesar 45,09 MtCO2 dan tertinggi bersumber dari degradasi dan deforestasi hutan rawa sekunder. Di FA dan di TNS akan terus terjadi pelepasan emisi CO2 secara exponential growth dan emisi yang dilepaskan secara kumulatif sebesar 73,04 MtCO2 pada tahun 2020 dan sebesar 85,09 MtCO2 pada tahun 2035. Sementara itu kawasan TNS yang menerapkan
model CC terdapat sejumlah
emisi yang dilepaskan dan secara kumulatif sebesar 49,04 MtCO2 pada tahun 2020 dan sebesar 56,18 MtCO2 pada tahun 2035. Dengan demikian terdapat reduksi emisi CO2 selama umur periode komitmen pelaksanaan carbon crediting sebesar 28,91 MtCO2 atau rata-rata sebesar 1,15 MtCO2 th-1.
Perbandingan net emisi CO2 model BAU
(without REDD+) dan model CC (with REDD+) di kawasan TNS disajikan pada Gambar 62.
90.000.000
Kumulatif Emisi (tCO2)
80.000.000 70.000.000
Reduksi emisi
60.000.000 50.000.000 40.000.000 30.000.000 20.000.000 10.000.000
20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19 20 20 20 21 20 22 20 23 20 24 20 25 20 26 20 27 20 28 20 29 20 30 20 31 20 32 20 33 20 34 Fi na l
-
Tahun
Emisi C (w ithout REDD+)
Emisi C (w ith REDD+)
Gambar 62 Kecenderungan tingkat reduksi emisi CO2 di TNS pada skenario model carbon crditing (with REDD+) dan di FA pada skenario model business as usual (without REDD+)
212
Pada Gambar 62 menunjukkan dimana kurva net emisi CO2 FA BAU terjadi over shooting pada tahun kedua (2011), sehingga terjadi lonjakan emisi CO2. Hal ini terjadi karena ada faktor pendorong yang direncanakan (planned deforestation) berupa pemberian ijin konsesi untuk hutan tanaman industri dan perkebunan sawit (agriculture expantion). Diprediksi pihak pemegang ijin konsesi akan segera mengkonversi areal tersebut pada awal-awal tahun pengelolaan. Apabila sistem pengelolaan kawasan pesisir saat ini (model BAU) terutama di FA berlangsung terus tanpa ada intervensi kebijakan¸
maka secara hipotetis akan
terjadi kecenderungan di masa mendatang sebagai berikut: 1) Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di areal TNS pada skenario model BAU, maka akan terjadi kecenderungan penurunan kapasitas carbon stock, sehingga akan terjadi peningkatan pemanasan global yang berdampak pada terhambatnya proses suksesi alami hutan alam. Bila ini terjadi, maka ekosistem pesisir dan laut juga akan terpengaruh, sehingga dapat mengganggu kestabilan stok sumberdaya perikanan di kawasan pesisir TNS dan sekitarnya. 2) Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di FA pada skenario model BAU, maka diprediksi akan terjadi peningkatan erosi, serta mengganggu hidrologi dan biomassa hutan mangrove. Rendahnya biomassa magrove dapat mempengaruhi proses evaporasi dan presipitasi, sehingga volume air hujan yang jatuh langsung ke tanah semakin meningkat. Hal ini dapat meningkatkan runoff permukaan dan erosi, sehingga sedimentasi di daerah estuaria TNS semakin meningkat. Kecenderungan meningkatnya sedimentasi dikhawatirkan akan terjadi proses HAB (harmful algae blooming) yang dapat menyebabkan kematian ikan secara massal
serta
terhambatnya proses suksesi alami (regrowth) pada jenis-jenis mangrove tertentu. Bila ini terjadi, maka kestabilan stok sumberdaya perikanan di wilayah Sembilang dan sekitarnya akan terganggu, carbon sequestration hutan mangrove TNS terhambat dan akhirnya dapat menganggu pula pada ecosystem services sector serta land use sector. 6.4
Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir TN Sembilang Implikasi kebijakan pada studi ini ditujukan untuk menyelesaikan berbagai
persoalan berdasarkan hasil kajian skenario pemodelan. Sasarannya adalah untuk menyelesaikan atau mengurangi tingkat deforestasi dan degradasi hutan mangrove, bahaya emisi CO2 serta dampak lain yang ditimbulkannya terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir.
Kebijakan ini hanya relevan jika ditujukan pada
213
penyebab masalahnya yang meliputi berbagai aspek sosial politik, aspek ekonomi serta aspek lingkungan. Fakta ilmiah di wilayah studi menunjukkan bahwa
pembangunan
telah
berkembang dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi tujuan dari aspek perbaikan kualitas lingkungan belum optimal.
Dengan pendekatan yang terlalu
berorientasi pada economic growth, dikhawatirkan dalam jangka waktu singkat dapat mempercepat deplesi sumberdaya hutan mangrove, peningkatan emisi CO2
serta
menimbulkan spektrum dampak yang cukup luas pada sektor lainnya. Keadaan ini pada akhirnya akan menimbulkan turbulensi pada sektor perekonomian itu sendiri. Untuk menghindari probabilitas kerusakan sumberdaya hutan mangrove di wilayah pesisir, maka perlu dirumuskan suatu strategi transformasi pembangunan ekonomi dengan cara biasa (business as usual)
ke arah pembangunan ekonomi berkelanjutan berbasis
REDD+. Perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir memerlukan suatu instrumen kebijakan yang konsisten agar ketiga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai: pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan antar generasi. Dengan demikian diharapkan tingkat kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang (inter generational welfare) dapat lebih terjamin. Masalah kebijakan publik akan timbul manakala kondisi sumberdaya alam dan lingkungan tidak sesuai antara harapan dan realitas. Demikian pula dengan pengelolaan sumberdaya pesisir khususnya TN Sembilang. Agar supaya ketiga tujuan pembangunan secara berkelanjutan tercapai, maka diperlukan
suatu pendekatan kebijakan publik
berbasis sistem: sibernetika, holistik dan efektif. Artinya rumusan kebijakan sebaiknya berorientasi pada tujuan (cybernetic) yang diharapkan, integratif (holistic) dengan berbagai sektor serta efisien dan efektif (effectiveness) jika diimplementasikan dengan prioritas dapat berhasil guna. Kebijakan publik berbasis sistem dapat direfleksikan dalam berbagai pendekatan kebijakan. Prinsip cybernetic dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dapat dirumuskan dengan kebijakan sosial politik dimana terdapat tujuan utama yang harus dicapai yaitu mereduksi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan. Prinsip holistic dapat dirumuskan dengan kebijakan kelembagaan, yaitu adanya keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Sementara itu prinsip effectiveness dapat dirumuskan dengan kebijakan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan yang didasarkan pada efisiensi pemanfaatan sumberdaya.
214
6.4.1
Kebijakan Sosial Politik Perdebatan saat ini mengenai konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam, khususnya hutan mangrove dalam kaitannya dengan perdagangan karbon ataupun carbon offset adalah kekhawatiran beberapa pihak terhadap dampak negara asing pada hubungan
domestik
serta
hilangnya
suatu
kedaulatan.
Beberapa
perdebatan
menyebutkan bahwa kerjasama internasional perubahan iklim dan perdagangan karbon merupakan bentuk dari “eco-colonialism” atau “carbon colonialism” dimana terjadi tarikan secara paralel pada negara-negara yang memiliki pengalaman negatif dalam masa kolonial dengan sistem “buka-tutup”, kontrak konsesi perusahaan-perusahaan minyak asing dan pertambangan yang kurang adil serta harus diterima begitu saja, sehingga terjadi trade off. Walaupun demikian, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dua komitmen internasional penting yang berhubungan dengan perubahan iklim global dan mekanisme pembangunan bersih, yaitu ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UndangUndang (UU) No 6/1994 dan ratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17/2004. Peratifikasian ini merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam mendukung upaya internasional mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi pada tingkat yang tidak membahayakan iklim global. Selain itu juga mengikat Indonesia secara hukum (legally binding) untuk mengikuti aturan internasional PBB dalam mekanisme perubahan iklim itu. Pada tahun 2009, Presiden Indonesia pada pertemuan G-20 di Pittsburg telah menunjukkan dasar-dasar kepemimpinannya pada dunia internasional dengan komitmen melakukan penurunan emisi GRK secara sukarela 26% dan bila ada bantuan internasional dalam hal pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, maka penurunan tersebut akan ditingkatkan menjadi 41%. Bahkan Presiden dalam pidatonya pada HLS (high level segment) di Kopenhagen juga berkomitmen bahwa Indonesia bersedia menggunakan panduan internasional (MRV) untuk melakukan pengukuran (Measurable), pelaporan (Reportable) dan verifikasi (Verifiable) terhadap rencana aksi mitigasi nasional, sehingga Indonesia dapat memenuhi kaidah-kaidah transparansi dan akuntabilitas. Kepemimpinan Indonesia tersebut mendorong negara berkembang lainnya seperti Brazil, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia untuk juga mengumumkan aksi mitigasinya secara sukarela (Bratasida 2010).
215
Dalam menghadapi berbagai retorika tersebut serta tujuan utama reduksi emisi CO2 yang harus dicapai, maka diperlukan rumusan kebijakan secara sosial politik untuk aksi mitigasi adalah sebagai berikut : a. Secara sosial, dampak tekanan penduduk terhadap lahan perlu diantisipasi dengan mengontrol tingkat pertumbuhan penduduk pada tingkat maksimum 2,58% th-1, baik pengontrolan terhadap
laju natalitas maupun pengontrolan laju inmigrasi pada
kebijakan transmigrasi saat ini. Tekanan penduduk terhadap lahan (TP) di daerah penelitian relatif tinggi (TP=2,4) dengan tingkat kebutuhan lahan minimal untuk hidup layak rata-rata 1,02 ha org-1. Fakta ilmiah ini menunjukkan diperlukannya instrumen kebijakan sosial yang kuat berupa pembinaan masyarakat pesisir dalam hal pola adaptasi perubahan iklim serta pola intensifikasi lahan untuk ketahanan pangan. Pembinaan pola adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat berupa peningkatan mata pencaharian alternatif. Sementara itu
pola intensifikasi lahan dapat dilakukan berupa pembinaan
masyarakat dalam teknik budidaya pertanian dan perikanan. b. Secara politik, pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ akan efektif apabila ada intervensi kebijakan terhadap rencana tata ruang wilayah kabupaten. Adanya kebijakan politik terhadap pengaturan lahan terutama pada areal yang masih berhutan dapat mengurangi laju emisi yang akan terjadi. Prioritas pemanfaatan lahan marjinal untuk berbagai kepentingan pembangunan ekonomi merupakan tindakan yang paling bijaksana. Jika terdapat keterpaksaan harus melakukan konversi hutan, maka luas maksimum yang masih dapat ditoleransi adalah kurang dari 40% pada HPK (hutan produksi dapat dikonversi). Hal ini untuk menjaga karbon netto pada kawasan hutan mangrove (TNS) sebagai akibat adanya konversi HPK di FA. Hutan produksi yang dapat dikonversi tersebut (HPK) sebaiknya dialokasikan pada kegiatan serta dengan cara-cara pengelolaan yang rendah emisi. Moratorium konversi hutan harus diberlakukan terutama pada hutan tegakan padat serta hutan gambut kedalaman di atas 3 meter. Pembuatan kanalisasi untuk jalur transportasi masuk hutan gambut sebaiknya dipertimbangkan kembali, karena hal ini diprediksi akan menyebabkan fragmentasi habitat, terganggunya koridor jelajah satwa liar, serta merusak keutuhan ekosistem secara keseluruhan. Dampak kanalisasi serta sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat tersebut sering kali menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga menimbulkan subsidensi, gambut menjadi kering dan sangat rentan terhadap kebakaran.
216
6.4.2
Kebijakan Kelembagaan Konsep pemikiran aliran ekonomi neoklasik menunjukkan bahwa
basis
pengambilan keputusan ekonomi adalah efisiensi di dalam kerangka kelembagaan yang konstan (Djojohadikusumo 1994; Nugroho 2002). Efisiensi berdasarkan kriteria pareto optimum dinyatakan bahwa tingkat alokasi sumberdaya alam dimana peningkatan benefit kepada satu individu memberikan dampak pada turunnya benefit kepada individu lainnya (Kusumastanto 2000). Metodologi neoklasik didukung oleh kerangka teori ekonomi mikro yang canggih dan mampu menyederhanakan persoalan ke dalam ukuran-ukuran harga dan pasar. Itu sebabnya aliran neoklasik disetarakan dengan kelompok reductionist yang berbasis pada monodisiplin ilmu. Sedangkan dalam aliran
ekonomi kelembagaan dimana basis pengambilan
keputusan lebih didasarkan kepada pendekatan secara komprehensif (holistic) dan multidisiplin. Pendekatan metode dari ekonomi kelembagaan disebut dengan methodological collectivism (Randall 1987; Nugroho 2002), yang menyatakan kepentingan individu dan publik tidak dapat saling terpisah serta hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik merupakan bagian dari pemikiran tentang kesejahteraan individu dan sosial. Dengan demikian aliran ini menjadi relevan dengan pemikiran pembangunan berkelanjutan karena hasil-hasil keputusannya akan mementingkan perbaikan kualitas hidup manusia. Pada sisi lain pendekatan ekonomi kelembagaan mengutamakan pendefinisian property right dan rule of the game terhadap keseluruhan stakeholders. Sebagai akibatnya, pendekatan ini bukan saja menawarkan kelebihannya pada pendalaman memahami persoalan secara holistik, tetapi juga pada pencapaian tujuan-tujuan sosial. Pendekatan ekonomi kelembagaan akan menjadi lebih tepat sebagai dasar perumusan kebijakan pada pengelolaan sumberdaya pesisir TN Sembilang. Sampai saat ini, pengelolaan kawasan pesisir yang dikonservasi oleh swasta (firma) masih menjadi perdebatan karena beberapa alasan. Untuk mereduksi kekhawatiran
tersebut, maka pelaksanaan ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
(IUPJL) TNS dapat saja dibentuk Badan Usaha Perdagangan Karbon Milik Negara (BUPKMN setingkat BUMN) untuk tingkat pusat atau BUPKMD sebagai unit pengelola di tingkat kabupaten/kota dimana aktivitasnya sebagaimana layaknya sebuah firma. Pihak investor dapat berkolaborasi dengan badan tersebut berdasarkan kepemilikan saham (shareholder) dan bertindak sebagai pengusul REDD+. Pembinaan dan pengembangan teknisnya
menjadi tanggung jawab badan pengelola tersebut.
217
Sementara itu dalam hal monitoring dan evaluasi kegiatan menjadi tanggung jawab lintas departemen teknis terkait (lintas sektoral) pusat dan daerah yang tergabung dalam Badan Lingkungan Hidup (BLH) termasuk LSM didalamnya. Persentase kepemilikan saham dapat diusulkan sebagaimana
persentase
distribusi NJ2L (nilai jual jasa lingkungan) untuk hutan lindung, yaitu: Pusat 20%, Provinsi 10%, Kabupaten/Kota 20%, Masyarakat 20% dan investor (developer) 30%. Demikian juga untuk distribusi pembayaran REDD+, dialokasikan berdasarkan persentase tersebut. Satu hal pengecualian dimana
kepemilikan saham masyarakat
sebaiknya ditetapkan berdasarkan golden share. Artinya masyarakat harus ditempatkan dan diberikan sebagai pihak yang memiliki privileges (hak-hak istimewa). Masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat yang hidupnya tergantung pada kawasan hutan dan dihimpun dalam suatu kelompok usaha bersama atau koperasi. Namun demikian penyertaan modal dapat juga diberikan dalam bentuk hutang pemegang saham koperasi yang akan dikonversi dari keuntungan usaha. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tatanan organisasi ini adalah: jenis-jenis kegiatan usaha penunjang dalam kawasan TNS yang diijinkan terutama untuk alokasi kegiatan-kegiatan yang tidak berpotensi menghasilkan emisi CO2; fungsi dan luas dari masing-masing zonasi dalam kawasan; keadaan dalam kawasan dan sekitar kawasan (FA); serta manajemen pengelolaan kawasan. Dalam pelaksanaan serta untuk mengamankan kawasan (land security), pihak pemda dapat membuat regulasi pengelolaan kawasan dalam suatu Peraturan Daerah (Perda), baik menyangkut Badan Pengelolanya maupun sistem dan mekanisme pengusahaannya serta pengawasan distribusi pembayaran hasil penjualan karbon. Dengan demikian dalam implementasinya terhindar dari praktek-praktek pengusahaan TNS yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal pendistribusian pembayaran REDD+, Ginoga et al. (2010) merumuskan mekanisme distribusi pembayaran REDD+ berdasarkan persepsi dari Departemen Keuangan dengan memperhatikan sumber dana yang digunakan, yaitu: (1) Dana hibah (grant), (2) Dana dari penjualan CER, (3) Dana investasi. Secara diagramatik disajikan pada Gambar 63.
218
Buyer/ Entitas internasional
Hibah
CER CCM
Investasi VCM
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Pajak PPN, PPh
Pengelola
Masyarakat
Ket : CCM : Compliance Carbon Market; VCM : Voluntary Carbon Market
Gambar 63 Mekanisme distribusi pembayaran REDD+ berdasarkan sumber dana yang digunakan (dimodifikasi dari Ginoga at al. 2010)
Gambar 63 memberikan ilustrasi berdasarkan sumber dana yang digunakan dalam program REDD+. Alur pertama, yaitu apabila dana dari entitas internasional merupakan dana hibah, maka mekanisme aliran dana melalui Pemerintah Pusat, dan didistribusikan ke Pemerintah Daerah, kemudian ke Pengelola dan kepada masyarakat. Batasan masyarakat di sini adalah yang terkena dampak dan terkait langsung dengan program REDD+, lembaga seperti Perguruan Tinggi yang melakukan kajian dan LSM lingkungan. Alur kedua, yaitu jika dana berasal dari hasil penjualan CER, maka dalam hal ini
harus dibedakan
antara
pasar sukarela (voluntary market) atau pasar terikat
(compliance market). Jika pasar yang terjadi adalah pasar sukarela, maka mekanisme penyaluran dan distribusi dana adalah dapat disalurkan langsung kepada Pengelola. Jika pasarnya adalah compliance market maka mekanisme distribusi dana melalui pemerintah pusat, kemudian disalurkan ke pemerintah daerah, pengelola dan masyarakat. Alur ketiga, yaitu ketika dana berasal dari investasi murni dimana dana tersebut dapat disalurkan langsung kepada Pengelola, kemudian didistribusikan kepada
219
masyarakat. Pada ketiga alur distribusi pembayaran REDD+ tersebut, pihak Pengelola memiliki obligasi
pembayaran pajak, baik PPN maupun PPh, sebagai kompensasi
penggunaan hutan untuk usaha REDD+. Dalam rangka implementasi REDD+ diperlukan sistem kelembagaan yang kredibel dan independen, baik dalam hal : (a) Pengukuran (measuring), pelaporan (reporting) dan verifikasi (verifying), (b) Registrasi, (c) Pelaksanaan, maupun (d) Supervisi. Selain itu lembaga ini juga harus dibentuk dan bersifat : (a) Coordinating body yang memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Indonesia, (b) Accelerator yang mampu mendorong percepatan pelaksanaan REDD+, (c) Effectiveness dan Safeguards dalam hal efisiensi biaya serta prinsip distribusi manfaat yang lebih berkeadilan dan mampu memberikan pengamanan dan perlindungan bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan REDD+. Untuk efektivitas pelaksanaan, kedudukan lembaga REDD+ berada di bawah kontrol
Presiden dengan instrumen hukum sesuai perundang-
undangan. Dengan lembaga REDD+ yang lebih kredibel dan sifat-sifatnya tersebut serta kedudukan lembaganya yang sangat strategis itu diharapkan akan lebih berdaya guna dalam implementasinya di masa datang. Prosedur perijinan untuk usaha pemanfaatan jasa lingkungan berupa penyerapan karbon dan penyimpanan karbon ini sebaiknya lebih efisien dan ada kepastian dalam proses penyelesaiannya di instansi teknis terkait, hal ini berlaku untuk areal yang tidak dibebani hak. Sementara itu untuk areal yang telah dibebani hak, proses perijinannya cukup mendaftarkan inisiatifnya untuk melakukan upaya REDD+, sehingga hal ini dapat mengurangi biaya transaksi (transaction cost). Sementara itu Reference emission level (REL) untuk usaha penyerapan dan penyimpanan karbon sebaiknya dilakukan secara nasional, sehingga terdapat kepastian dalam menetapkan
baseline study. Dalam hal kawasan konservasi yang berada di
wilayah yang emisi historisnya rendah, maka sebaiknya tidak diwajibkan menggunakan REL secara historis.
6.4.3
Kebijakan Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berdasarkan fakta ilmiah hasil simulasi pada dua skenario yang dikembangkan
menunjukkan pola kriteria pareto optimum. Tingkat alokasi sumberdaya mangrove memberikan peningkatan benefit
kepada variabel sylvofishery, tetapi memberikan
dampak pada turunnya variabel karbon terestrial. Oleh karena itu basis pengambilan
220
keputusan diantara dua opsi pemanfaatan pada skenario model CC tersebut harus didasarkan pada aspek efisiensi optimum pemanfaatan sumberdaya alam. Penerapan model investasi domestik maupun asing dalam proyek pengelolaan hutan mangrove berbasis REDD+ menunjukkan bahwa karakteristik insentif atau pun harga karbon yang rendah sangat merugikan negara-negara produsen karbon. Pasar kredit emisi karbon akan eksis apabila pendapatan dari kegiatan REDD+ lebih besar atau minimal sama dengan pendapatan yang diperoleh dari alternatif penggunaan lain. Selain itu juga tidak ada kesenjangan harga karbon yang terlalu besar antara harga karbon di pasar negara-negara produsen (Non- Annex-I Country) dengan harga karbon di negara-negara konsumen (Annex-I Country). Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ ini merupakan komitmen nasional dan akan mencapai optimasi pemanfaatan pada tingkat payment for ecosystem services (PES) di atas 8 USD tCO2-1. Apabila nilai karbon pada mekanisme standar market (pasar wajib maupun pasar sukarela berdasarkan mekanisme Kyoto dan non-Kyoto) terdistorsi yang menyebabkan jatuhnya harga, maka disarankan untuk memanfaatkan peluang sumber pendanaan lainnya, yaitu: (1) non-open market yang bersumber dari dana publik, seperti dana-dana CSR nasional dan internasional maupun dana publik lainnya, (2) Dana kerjasama bilateral dan multilateral untuk mendukung pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim seperti
Debt for Nature Swap
(DNS), yaitu pengalihan hutang yang digunakan untuk membiayai program konservasi keanekaragaman hayati dan hutan tropis, maupun dana hibah lainnya untuk membantu negara berkembang dalam pelaksanaan kegiatan REDD+. Apabila mekanisme REDD+ sudah disetujui oleh para pihak penandatangan konvensi anggota PBB, maka kredit karbon dari kegiatan REDD+ dapat diperjual belikan nantinya setelah tahun 2012. Kebijakan penurunan emisi 26% pada tahun 2020 merupakan komitmen Pemerintah Indonesia tentang keseriusannya dalam membantu mengurangi emisi GRK tanpa bantuan negara asing.
Bahkan bila ada bantuan internasional dalam hal
pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi dapat ditingkatkan menjadi 41%. Untuk merealisasikan komitmen Pemerintah dalam penurunan emisi GRK sebesar 26% dan 41% tersebut, maka pengelolaan 50 Taman Nasional yang ada di Indonesia dengan luas sekitar 12,7 juta ha dapat dipertimbangkan pengelolaannya berbasis REDD+. Penurunan emisi GRK sebesar 26% dan 41% merupakan suatu keniscayaan dapat direalisasikan dengan berbagai skema pendanaan. Beberapa sumber (Boer et al.
221
2009) menjelaskan bahwa salah satu dana multilateral untuk mendukung pelaksanaan kegiatan demonstrasi REDD ialah FCPF (Forest Carbon Partnership Facility) dan Climate Investment Funds (CIF) yang dikelola oleh World Bank (WB). CIF terdiri dari : (1) Strategic Climate Fund (SCF) yang dibawahnya terdapat dana program Forest Investment Fund (FIP) untuk mendukung pelaksanaan REDD+, dan (2) Clean Technology Fund (CTF) untuk mendukung dan mengembangkan kegiatan atau program penurunan emisi dalam penggunaan teknologi rendah emisi menjadi skala yang lebih besar diantaranya yang ada di sektor pertanian.
Dana Bilateral yang ditawarkan ke
Indonesia untuk mendukung pelaksanaan kegiatan REDD+ juga sudah banyak tersedia diantaranya dari negara-negara: German (melalui KfW dan GTZ melalui Biro KLN Dephut), Australia, Korea (melalui AFOCO/Asia Forest Cooperation Organization) untuk mendukung negara ASEAN dan Asia Timur dalam melaksanakan proyek-proyek hijau (green projects) dan sumber pendanaan negara lainnya. Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, maka penerapan kebijakan skenario model CC dalam pengelolaan sumberdaya pesisir akan mencapai tujuan pembangunan secara berkelanjutan. Selain itu dengan skenario model
CC dapat
memberikan
kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap kebijakan Pemerintah Pusat dalam rangka penurunan emisi GRK. Secara agregat, hasil simulasi skenario model CC menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang memiliki potensi karbon sekuestrasi sebesar 109,36 MtCO2 selama umur simulasi atau rata-rata sebesar 4,37 MtCO2 th-1. Secara kumulatif pada tahun 2020 kawasan TN Sembilang dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian penurunan emisi GRK sebesar 72,03 MtCO2. Sementara itu, asumsi perhitungan nasional emisi Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,6 GtCO2 (DNPI 2009) dimana penurunan emisi 26% adalah sebesar 0,676 GtCO2. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa kawasan pesisir TN Sembilang mampu memberikan kontribusi penurunan emisi GRK sekitar 10,65% terhadap komitmen penurunan emisi Pemerintah Indonesia pada tahun 2020 atau sekitar 2,77% terhadap total prediksi potensi emisi GRK nasional. Tingkat karbon sekuestrasi di wilayah pesisir TNS secara rinci disajikan pada Lampiran 24. Berdasarkan hasil analisis skenario model CC tersebut menunjukkan bahwa efisiensi optimum akan tercapai apabila opsi pemanfaatan hutan mangrove dialokasikan pada kegiatan-kegiatan rendah emisi karbon. Tingkat karbon sekuestrasi kawasan TNS sangat tergantung pada tingkat emisi CO2 di FA. Tingkat perbandingan alokasi konversi hutan mangrove primer (Hmp, C:227,3 tCha-1) di FA untuk hutan tanaman industri
222
(Eucalyptus sp. C:75,9 tCha-1) menunjukkan dimana tingkat emisi CO2 yang dihasilkannya relatif lebih rendah (555,13 tCO2 ha-1) dibanding emisi karbon hasil konversi untuk tambak (833,43 tCO2 ha-1). Demikian halnya konversi pada hutan rawa sekunder (Hrs, C:77 tCha-1) untuk hutan tanaman, emisi CO2 yang dihasilkannya sebesar 4,03 tCO2 ha-1 jauh lebih rendah dibanding untuk konversi tambak dengan emisi karbon sebesar 282,33 tCO2 ha-1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alokasi areal untuk tambak akan menghasilkan rendah emisi karbon apabila pemanfaatannya berasal dari lahan-lahan marjinal. Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ sangat erat kaitannya dengan proses produksi yang bercirikan rendah karbon. Atas dasar itu, diperlukan aksi pengelolan tata ruang yang tahan perubahan iklim dengan tidak melakukan kanalisasi pada aksi pemanfaatan ruang di lahan gambut. Hal ini dapat menyebabkan subsidensi, yaitu penurunan water table di bawah gambut yang menyebabkan kekeringan dan sangat rentan terhadap kebakaran. Selain itu agar unit-unit pelaksana teknis di wilayah Kabupaten Banyuasin, khususnya di kawasan pesisir TN Sembilang dapat melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir pada aspek penguatan mata pencaharian alternatif. Melalui cara itu diharapkan tingkat resiliensi penduduk menjadi lebih tinggi terhadap perubahan iklim global. Kebijakan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dengan
pendekatan
model SAVE DYNAMIC dapat diaplikasikan di wilayah Taman Nasional lain di Indonesia, sehingga
data-data kandungan karbon berbagai tutupan lahan yang
dihasilkan pada penelitian ini (TNS) dengan kategori Tier-3 dapat digunakan sebagai data default Tier-2 untuk Taman Nasional (TN) lainnya. Sementara itu untuk data-data kandungan karbon yang masih menggunakan data default Tier-2 pada penelitian ini, maka untuk implementasi di TN lainnya dapat dilakukan penelitian secara allometrik pada kategori Tier-3.
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Model pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+
merupakan suatu kajian pemodelan dinamik dengan pendekatan sistem. Terdapat kebaruan (novelty) yang dihasilkan pada studi ini, baik kebaruan terhadap ilmu pengetahuan
maupun
Digunakannya metode
kebaruan
terhadap
penyelesaian
suatu
multi level analysis dengan prosedur
Spatial, Allometric equation, Valuation of Economic,
permasalahan.
“SAVE DYNAMIC”:
serta simulasi pendekatan sistem
dinamik dengan dua skenario, yaitu skenario model business as usual (model BAU) dan skenario model carbon crediting (model CC) untuk mengevaluasi berbagai aktivitas yang dapat menyebabkan kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim, merupakan hal baru dan belum pernah digunakan di Indonesia dengan cara pendekatan ini. Metode penelitian dengan prosedur ”SAVE DYNAMIC” (Spasial, Allometrik, Valuasi Ekonomi) serta memadukan reference emission level (REL) berdasarkan data historis dan pendekatan modeling secara dinamik untuk proyeksi perubahan tutupan lahan masa depan, merupakan metode dengan tingkat kerincian yang tinggi (Tier 2-3). Kebaruan dalam penyelesaian masalah yaitu untuk mereduksi emisi karbon terestrial dengan opsi carbon crediting, merupakan alternatif model pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Kebaruan lainnya adalah bahwa penyusunan model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ merupakan suatu upaya untuk mempermudah dan mempercepat proses pengambilan keputusan guna penyusunan kebijakan di wilayah ini dari berbagai kemungkinan yang akan terjadi akibat perubahan iklim global. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : 1)
Tingkat potensi emisi karbon historis dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang bersumber dari dalam kawasan dan di luar kawasan (frontier area; FA). Laju emisi historis
2003-2006 pada studi ini digunakan
sebagai reference emmission level (REL). Selanjutnya dipadukan
dengan
pendekatan modeling untuk memprediksi perubahan tutupan lahan di masa datang. Laju historis emisi CO2 (2003-2006) dari luar kawasan yang tidak dilindungi (FA) sebesar 11,33 MtCO2 th-1, sedangkan dari areal yang dilindungi (TNS) sebesar 5,22 MtCO2 th-1. Hasil ini didasarkan pada laju deforestasi dan degradasi hutan di
224
FA rata-rata 43.246 ha th-1 dan di dalam kawasan TNS rata-rata sebesar 14.875 ha th-1. Sementara itu hasil analisis allometrik pada skala plot contoh di hutan mangrove primer (Hmp) memiliki potensi stok karbon rata-rata sebesar 227,3 tC ha-1, hutan mangrove sekunder (Hms) sebesar 102,2 tC ha-1, belukar rawa sebesar 17,3 tC ha-1, serta hutan tanaman di FA sebesar 75,89 tC ha-1. 2)
Indikator penggerak emisi karbon di luar kawasan (FA) dan pada kawasan yang dilindungi (TNS) bersumber dari yang direncanakan (planned deforestation) dan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation). Indikator penggerak emisi karbon dari yang direncanakan, yaitu adanya kebijakan RUTR dengan konversi lahan yang masih berhutan untuk menunjang pembangunan ekonomi wilayah setempat. Sementara itu indikator penggerak emisi karbon yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) yaitu adanya tekanan penduduk terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, juga
bersumber dari
faktor alam seperti kemarau panjang yang dapat menyebabkan kebakaran hutan, serta faktor umur tanaman hutan mangrove yang dapat menyebabkan peluruhan tanaman. 3)
Kecenderungan yang terjadi pada dua skenario model BAU dan skenario model CC adalah sebagai berikut: a)
Jika pengelolaan sumberdaya pesisir pada dua kawasan dengan cara saat ini (business as usual) terus
FA dan TNS
berlangsung tanpa ada
intervensi kebijakan, maka akan terjadi kecenderungan sebagai berikut : -
Terjadi penurunan kapasitas karbon terestrial (carbon stock) rata-rata sebesar 211.486 tCO2 th-1 di TNS dan sebesar 29.636 tCO2 th-1 di FA. Hal ini dapat memicu peningkatan laju emisi CO2 di kawasan pesisir Sembilang.
-
Secara agregat, hasil proyeksi karbon terestrial pada kawasan FA dan TNS di masa depan menghasilkan net karbon terestrial negatif.
Pada
tahun 2020 sebesar -60,75 MtCO2 dan pada akhir periode simulasi 2035 sebesar -79,06 MtCO2. Hal ini mencerminkan bahwa selama umur simulasi akan terjadi peningkatan laju emisi karbon terestrial rata-rata sebesar 3,16 MtCO2 th-1.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
skenario model BAU pada kawasan TNS dan FA pada tahun 2020 dan 2035 diprediksi sebagai kawasan carbon source.
225
-
Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di FA, maka diprediksi akan terjadi peningkatan erosi, serta
mengganggu hidrologi dan
biomassa hutan mangrove. Rendahnya biomassa magrove dapat mempengaruhi proses evaporasi dan presipitasi, sehingga volume air hujan yang jatuh langsung ke tanah semakin meningkat. Hal ini dapat meningkatkan runoff permukaan dan erosi, sehingga sedimentasi di daerah estuaria TNS semakin meningkat. Kecenderungan meningkatnya sedimentasi
dikhawatirkan akan terjadi proses HAB (harmful algae
blooming) yang dapat menyebabkan kematian ikan secara massal serta terhambatnya proses suksesi alami (regrowth) pada jenis-jenis mangrove tertentu.
Jika kecenderungan ini terjadi, maka tingkat kestabilan stok
sumberdaya perikanan serta keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir di wilayah Sembilang dan sekitarnya akan terganggu. b)
Jika pengelolaan sumberdaya pesisir pada kawasan yang dilindungi undangundang (TNS) dilakukan dengan skenario model carbon crediting, maka secara ekonomi memberikan prospek
berupa nilai ekonomi total serta
peluang kesempatan kerja. Skenario opsi pemanfaatan carbon crediting dan opsi sylvofishery
menghasilkan the net present value (NPV) sebesar
8.487,78 juta USD (3,6 kali > NPV model BAU) yang dapat mendorong peluang kesempatan kerja sebesar 104.411 tenaga kerja (11 kali > model BAU).
Secara ekologis terdapat jaminan kesejahteraan antar generasi
(intergenerational welfare) berupa stok sumberdaya hutan mangrove primer yang semakin meningkat, dari 35.205 ha tahun 2010 menjadi 143.166 ha pada tahun 2035. Hasil analisis simulasi dengan menekan laju deforestasi dan degradasi sebesar 90% dari tingkat kerusakan saat ini, maka terdapat sejumlah emisi CO2 yang dapat dihindarkan (avoiding emission) sebesar 28,91 MtCO2, atau rata-rata 1,15 MtCO2 th-1. Jumlah emisi terhindarkan ini merupakan emisi CO2 yang dapat dijadikan basis penilaian kompensasi karbon (carbon offset) dengan skema REDD+ atau sebagai dasar penilaian payment for ecosystem services (PES). Apabila insentif atau harga rata-rata karbon di pasaran internasional diasumsikan sebesar 10 USD tCO2-1, maka akan diperoleh nilai carbon revenue sekitar 289,10 juta USD selama periode komitmen berlangsung atau rata-rata sekitar 11,56 juta USD th-1.
226
4)
Hasil simulasi skenario model CC menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang memiliki potensi karbon terestrial sebesar 109,36 MtCO2 selama umur simulasi atau rata-rata
sebesar 4,37 MtCO2 th-1. Secara kumulatif pada tahun 2020
kawasan TN Sembilang dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian penurunan emisi GRK sebesar 72,03 MtCO2. Sementara itu, asumsi perhitungan nasional emisi Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,6 GtCO2 (DNPI 2009) dimana penurunan emisi 26% adalah sebesar 0,676 GtCO2. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa
kawasan pesisir TN Sembilang mampu memberikan
kontribusi penurunan emisi GRK sekitar 10,65% pada tahun 2020 atau sekitar 2,77% dari total komitmen penurunan emisi GRK Pemerintah Indonesia. Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis perdagangan karbon akan mencapai efisiensi optimum
apabila opsi pemanfaatan hutan mangrove
dialokasikan pada kegiatan-kegiatan rendah emisi karbon. Tingkat emisi karbon terhindarkan pada kawasan TNS sangat tergantung pada tingkat emisi CO2 di FA. Tingkat perbandingan alokasi konversi hutan mangrove primer (Hmp, C:227,3 tC ha-1) di
FA untuk hutan tanaman industri (Eucalyptus sp. C:75,9 tC ha-1)
menunjukkan tingkat emisi CO2 yang dihasilkannya relatif lebih rendah (555,13 tCO2 ha-1) dibanding emisi karbon hasil konversi untuk tambak (833,43 tCO2 ha-1). Demikian halnya konversi pada hutan rawa sekunder (Hrs, C:77 tC ha-1) untuk hutan tanaman, emisi CO2 yang dihasilkannya sebesar 4,03 tCO2 ha-1 jauh lebih rendah dibanding untuk konversi tambak dengan emisi karbon sebesar 282,33 tCO2 ha-1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alokasi areal untuk tambak akan menghasilkan rendah emisi karbon apabila pemanfaatannya bersumber dari lahan-lahan marjinal. 7.2 1)
Saran Penelitian selanjutnya disarankan melakukan
penghitungan akuntansi karbon
pada 4 pool karbon lainnya di ekosistem mangrove yang belum diteliti pada studi ini, yaitu : 1) biomassa di bawah tanah (below ground biomass), 2) sisa-sisa kayu mati (necromass), 3) serasah (litter), dan 4) tanah (soil). 2)
Dalam menekan emisi karbon, diperlukan aksi pengelolaan tata ruang yang tahan perubahan iklim. Oleh karena itu, disarankan untuk tidak melakukan kanalisasi pada aksi pemanfaatan ruang di lahan gambut, karena akan menyebabkan subsidensi, yaitu penurunan water table di bawah gambut yang menyebabkan kekeringan dan sangat rentan terhadap kebakaran. Selain itu disarankan agar unit-
227
unit pelaksana teknis di wilayah Kabupaten Banyuasin, khususnya di kawasan pesisir TN Sembilang melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir pada aspek penguatan mata pencaharian alternatif serta intensifikasi budidaya pertanian dan perikanan agar tingkat tekanan penduduk terhadap hutan mangrove semakin rendah. Melalui cara tersebut diharapkan tingkat resiliensi penduduk menjadi lebih tinggi terhadap perubahan iklim global. Implementasi skenario model carbon crediting
pada kawasan konservasi akan mencapai efisiensi optimum
dalam hal peningkatan stok karbon. Oleh karena itu disarankan agar pemanfaatan rencana umum tata ruang (RUTR) di FA bersumber dari lahan-lahan marjinal yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan rendah emisi. 3)
Dalam rangka merealisasikan komitmen Pemerintah untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020, disarankan agar pengelolaan 50 Taman Nasional yang ada di Indonesia dengan luas sekitar 12,7 juta ha dapat dipertimbangkan pengelolaannya berbasis REDD+.
4)
Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ merupakan komitmen nasional dan akan mencapai optimasi pemanfaatan pada tingkat payment for ecosystem services (PES) di atas 8 USD tCO2-1. Apabila nilai karbon pada mekanisme standar market
(pasar wajib maupun pasar sukarela berdasarkan
mekanisme Kyoto dan non-Kyoto) terdistorsi yang menyebabkan jatuhnya harga, maka disarankan untuk memanfaatkan peluang sumber pendanaan lainnya, yaitu: (1) non-open market yang bersumber dari dana publik, seperti dana-dana CSR nasional dan internasional maupun dana publik lainnya, (2) Dana kerjasama bilateral dan multilateral untuk mendukung pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim seperti Debt for Nature Swap (DNS), yaitu pengalihan hutang yang digunakan untuk membiayai program konservasi keanekaragaman hayati dan hutan tropis, maupun dana hibah lainnya untuk membantu negara berkembang dalam pelaksanaan kegiatan REDD+. Salah satu dana multilateral adalah FCPF (Forest Carbon Partnership Facility) dan Climate Investment Funds (CIF) yang dikelola oleh World Bank (WB). Sementara itu dana bilateral diantaranya dari German (melalui KfW dan GTZ melalui Biro KLN Dephut), Australia, Korea (melalui AFOCO/Asia Forest Cooperation Organization)
untuk mendukung
negara ASEAN dan Asia Timur dalam melaksanakan proyek-proyek hijau (green projects).
228
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L. 2006. Lecture Note: Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor : IPB. Adrianto L. 2009. Pendekatan Social-Ecological System (SES) dalam Pengelolaan Ekosistem Lamun Berkelanjutan. Makalah Lokakarya. Jakarta : Ditjen KP3K DKP . Alfsen KH, Greaker M. 2007. From natural resources and environmental accounting to construction of indicators for sustainable development. Ecological Economics 61:600-610. Angelsen A. 2008. Moving Ahead with REDD: Issues, Options and Implications. Bogor : CIFOR. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banyuasin. 2007. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin 20062026. Banyuasin: Bappeda Kabupaten Banyuasin. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banyuasin. 2007. Banyuasin Dalam Angka Tahun 2007. Banyuasin: Bappeda Kabupaten Banyuasin. Barbier, Markandya A. 1990. The Conditions for Achieving Environmentally Sustainable Development. Journal of European Economic Review 34:659-669 Barbier EB, Ackreman M, Knowler D. 1993. Sustainable Use of Wetlands. Valuing Tropical Wetlands Benefits: Economics methodologies and applications. The Geographical Journal 159 (1): 22-32. Barton D.N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. Bergen: University of Bergen. Boer R. 2001. Economic assessment of technology options for enhancing and maintaining carbon sink capacity in Indonesia. Mitigation and Adaptation Strategy for Global Change 6:257-290. Boer R, Wasrin UR, Perdinan, Hendri, Dasanto BD, Makundi W, Hero J, Ridwan M, Masripatin N. 2007. Assessment of carbon leakage in multiple carbon-sink projects: a case study in Jambi Province, Indonesia. Mitigation and Adaptation Strategy for Global Change 12:1169-1188. Boer R. 2009. REDD Dalam Kontraversi. Bogor: Geomet-FMIPA IPB. Boer R, Nugroho B, Ardiansyah. 2009. Analisis potensi perdagangan karbon kehutanan sebagai inovasi investasi dalam rangka mengatasi krisis keuangan global. Bogor: CCROM-IPB. Bratasida L. 2010. Perspektif dan Analisis Copenhagen Accord. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup R.I. Bromley D. 1992. The Commons, Property and the Common Property Regimes. San Francisco CA: Institute for Contemporary Studies. Brown S. 1996. Tropical forests and the global carbon cycle: estimating state and change in biomass density. New York:Springer Verlag.
230
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer. Journal of FAO Forestry Paper 134:1-40. Busch J, Strassburg B, Cattaneo A, Lubowski R, Bruner A, Rice R, Creed A, Ashton R, Boltz F. 2009. Comparing Climate and Cost Impacts of Reference Levels for Reducingg Emissions from Deforestation. Journal of Environmental Research Letters 4:1-13. [CER] Carbon and Enviromental Research Indonesia. 2009. REDDI Feasibilty Study for Banyuasin District (Sembilang National Park) and Musi Rawas District (Kerinci Seblat National Park). Cooperation Research between JICA and CER Indonesia. Research Report. Bogor: JICA-CER Indonesia. Cheung WWL, Sumaila UR. 2008. Trade-offs between conservation and socioeconomic objectives in managing a tropical marine ecosystem. Ecological Economics 66:193-210. Cicin-Sain B, Belfiore S. 2005. Linking marine protected areas to integrated coastal and ocean management: A review of theory and practice. Ocean and Coastal Management 48: 847-868. [CIFOR] Center for International Forestry Research. 2005. Perangkat Hukum Proyek Karbon Hutan di Indonesia. Carbon Brief 3:1-4. [CIFOR] Center for International Forestry Research. 2008. Adaptive Collaborative Management Can Help Us Cope With Climate Change. Infobrief 13:1-7. [CIFOR] Center for International Forestry Research. 2009. REDD : Apakah itu? Bogor: CIFOR. Chapra SC, Canale R. 2010. Numerical Methods for Engineers. New York: Mc Graw Hill (6th Edition). Cook J. 2010. The Scientific Guide to Global Warming Skepticism. http://www. scepticalscience.com/docs/guide_to_scepticism.pdf. [25 Desember 2011]. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar PSPL, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor: IPB. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradya Paramita. Damar A. 2009. Tipologi Ekosistem Pesisir Tropis. Modul Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: Ditjen KP3K-PKSPL IPB. Dixon JA, Huftschmidt MM. 1986. Economic Valuation Techniques for the Environment: A Case Study Workbook. Baltimor: The John Hopkins University Press. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Modul Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Jakarta: Ditjen KP3K-DKP. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1997. National Strategy for Mangrove Management in Indonesia. Jakarta: Ditjen PHKA. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Sembilang. Buku Laporan Rencana Pengelolaan, kerjasama antara Dephut, GEF, World Bank dan Wetland International. Jakarta : Ditjen PHKA.
231
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Penghitungan Deforestasi Indonesia Tahun 2008. Jakarta: Pusat Informasi dan Perpetaan Hutan, Badan Planologi Kehutanan. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. 2009. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2008. Palembang: Dinas Kelautan dan Perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. 2009. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Palembang: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Djojohadikusumo S. 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. [DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2009. Indonesia berpotensi mengurangi emisi karbon secara signifikan sampai dengan tahun 2030 melalui serangkaian kebijakan yang tepat guna dan dukungan internasional yang kuat. http://www.forestclimatecenter.org. [25 Januari 2011]. Dunn WN. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Dutschke M, Kanounniko SW, Peskett L, Luttrell C, Streck C, Brown J. 2008. Financing REDD Linking country needs and financing sources. Infobrief 17:16. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. [ESRI] Environmental System Research Institute. 2000. Understanding GIS: The Arc/Info Method”. Redlands CA: ESRI. [FAO] Food Agricultural Organization. 2005. Hutan dan Banjir Tenggelam dalam suatu fiksi, atau berkembang dalam fakta? Forest Perspective 2:1-7. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Field BC. 1994. Environmental Economics. An Introduction. New York: Mc Graw-Hill Inc. Ford A. 1999. Modeling the Environment : An Introduction to System Dynamics Models of Environmental Systems. Washinton, D.C: Island Press. Forrester JW. 1968. Principles of Systems. Massachusetts: Wright-Allen Press, Inc. Fujimoto K. 2000. Below-ground Carbon Sequestration of Mangrove Forests in the Asia-Pacific Region. Tsukuba: Forest Environment Division, Forestry and Forest Products Research Institute. http://landbase.hq.unu.edu/Workshops/ OkinawaMarch2000/Papers/Fujimotopapermar2000.htm. [31 Januari 2010]. Ginoga K, Nurfatriani F, Indartik. 2010. Mekanisme Insentif dan Pendanaan REDD+. Hasil Riset: REDD+ dan Forest Governance. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Gunderson L, Holling CS. 2001. Panarchy; understanding transformation in systems of humans and nature. Washington D.C: Island Press. Hairiah K, Noordwijk M, Palm C. 2001. Methods for sampling above and below ground organic pools. ICRAF 4B:1-31.
232
Hanna S, Folke C, Maler KG. 1996. Rights to Nature. Washington DC: Beijer International Institute of Ecological Economics and the World Bank. Haslett SK. 2000. Coastal Systems. New York: Routledge. [HPS] High Performance Systems, Inc. 1990. Stella-II. Hanover: High Performance Systems, Inc. [HPS] High Performance Systems, Inc. 1994. Introduction to Systems Thinking and IThink. Hanover: High Performance Systems, Inc. [LD] Lembaga Demografi-Universitas Indonesia. 1981. Dasar-dasar Demografi. Jakarta: FEUI. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 1994. Preparing to meet the Coastal challenges of the 21st Century. Nooedwjk: Conference Report of World Coast Conference. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 1995. Climate Change 1995. The Science of Climate Change Contribution of working group 1 to the second assessment report of the IPCC, UNEP and WMO. Cambridge : Cambridge University Press. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 1995. Temperature 1850-1999. Climate Research Unit. Norwich UK: University at East Anglo. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC 2006 Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme. Tokyo: IGES. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007: Synthesis Report, Summary for Policy Makers. http://www.ipcc.ch/pdf/ assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_spm. pdf. [31 Januari 2010]. Istomo. 2006. Kandungan fosfor dan kalsium pada tanah dan biomasa hutan rawa gambut. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 12: 38-55. [Kepres] Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Jakarta:Sekretariat Negara. Kirkwood CW. 1998. System Dynamic Methods: A Quick Introduction. Tempe AZ: College of Business Arizona State University. Komiyama A, Ong JE, Poungparn S. 2008. Allometry, biomass, and productivity of mangrove forests: A review. Aquatic Botany 89:128-137. Komiyama A, Moriya H, Prawiroatmodjo S, Toma T, Ogino K. 1988. Forest primary productivity. Ehime University 97-117. Krutila J. 1987. Coservation Reconsidered. American Economic Review 57:777-786. Kulshrestha SN, Lac S, Johnston M, Kinar C. 2000. Carbon Sequestration in Protected Areas of Canada: An Economic Valuation. Economic Framework Project Report 549:1-115. Kusmana C, Sabiham S, Abe K, Watanabe H. 1992. An estimation of above ground tree biomass of a mangrove forest in East Sumatra, Indonesia. Tropics 4:243-257. Kusmana C. 1994. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Bogor: Lab Ekologi Manajemen Hutan-IPB.
233
Kusmana C. 1997. An Estimation of Above-and Below-Ground Tree Biomass of a Mangrove Forest in East Kalimantan, Indonesia. Journal of Biological Resources Management 1:20-26. Kusmana C. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan-IPB. Kusumastanto T. 1995. Investasi Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kompas. Kusumastanto T, Koeshendrajana S, Fahrudin A, Adrianto L. 1998. Cost benefit analysis of habitat conservation in Malacca Straits. Malacca Straits Demonstration Project. Bogor: Center for Coastal and Marine Resources Studies, Bogor Agricultural University. Kusumastanto T. 2000. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Bogor: PKSPL-IPB. Kusumastanto T. 2000. Perencanaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil. Lokakarya Pendekatan Penataan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Ditjen P3K, Departemen Kelautan dan Perikanan. Kusumastanto T. 2001. An Evaluation on Investment Strategy for the Development of Brakishwater Shrimp Aquaculture Industry in Indonesia. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan 4:1-28. Kusumastanto T. 2002. Langkah-langkah Pokok Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Bogor: LP-IPB kerjasama dengan The Partnership for Governance Reforms in Indonesia. Kusumastanto T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Kusumastanto T. 2006. Strategic Issues for the Implementation of Integrated River Basin-Coastal and Ocean Managemen (IRCOM) in Indonesia. Bogor: Center for Coastal and Marine Resources Studies. Institute for Tropical Coastal and Ocean. Bogor Agricultural University. Kusumastanto T, Adrianto L, Damar A. 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Jakarta: Universitas Terbuka. Krisnawati H. 2010. Status Data Stok Karbon Dalam Biomas Hutan di Indonesia. Pada Kumpulan Hasil Riset: REDD+ dan Forest Governance. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Lubowski RN. 2008. The role of REDD in stabilizing greenhouse gas concentrations Lessons from economic models. Infobrief 18:1-6. Lynden GWJ, Mantel S. 2001. The role of GIS and remote sensing in land degradation assessment and conservation mapping: some user experiences and expectations. JAG 3: 61-68. Mardana BD. 2003. Wajah Hutan Indonesia. http://www.inform.or.id/berita3.php. Januari 2010].
[31
[MI] Meridian Institute. 2009. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD): An Options Assessment Report. Prepared for The Government of Norway. http:/www.REDD-OAR.org [31 Januari 2010]. Meadows DH, Meadows DL, Randers J, Behrens III WW. 1972. The Limits to Growth. New York: Universe Books.
234
Milon JW, Shogren JF. 1995. Integrating Economic and Ecological Indicators: Practical Methode for Environmental Policy Analycis. Westport: Praeger Publisher. [MOE] Ministry of Environment, Republic of Indonesia. 2003. National Strategy Report on CDM for Forestry Component. Jakarta: Ministry of Environment. Murdiyarso D. 2003. Protokol Kyoto Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Murdiyarso D. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Murdiyarso D, Rosalina U, Hairiyah K, Muslihat L, Suryadiputra INN, Jaya A. 2004. Petunjuk Lapangan Pendugaan Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut (Field Instruction to Estimate Carbon Stock at Peatland). Bogor: Project of CCFPI, WIIP-White Life Habitat Canada. Murdiyarso D, Puntodewo A, Noordwijk M. 2005. Determination of Eligible Lands for A/R CDM Project Activities and of Priority Districts for Project Development Support. Jakarta: Report TA-ADB Project. Murdiyarso D, Skutsch M, Guariguata M, Kanninen M, Luttrell C, Verweij P, Stella O. 2008. Measuring and monitoring forest degradation for REDD Implications of country circumstances. Infobrief 16:1-6. Munasinghe M. 2003. Analysing the Nexus of Sustainable Development and Climate Change: An Overview. Sri Lanka: Munasinghe Institute for Development (MIND). Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. [OECD] Organization of Economic Co-operation and Development. 2001. Sustainable Development: Critical Issues. Paris: OECD. Oostenbrugge JAE, Densen WLT, Machiels MAM. 2004. How the uncertain outcomes associated with aquatic and land resource use affect livelihood strategies in coastal communities in the Central Moluccas, Indonesia. Agricultural Systems 82:57-91. Ortolano L. 1984. Environmental Planning and Decision Making. Toronto: John Wiley and Sons. Ostrom E. 1990. Governing the Commons: The Evolutions of Institutions for Collective Action. New York: Camridge University Press. Pearce DW, Turner RK. 1990. Economics of natural resources and the environmet. Baltimore: The John Hopkins University Press. [Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta: Setneg [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.36/MenhutII/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Jakarta: Dephut. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.30/MenhutII/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). Jakarta: Dephut
235
[Perdirjen] Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan RI Nomor P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta: Setjen RLPS, Dephut. Perman R, Ma Y, Mc Gilvrary J. 1996. Natural Resource and Environmental Economics. Singapore: Longman. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. 2009. Laut Sebagai Pengendali Perubahan Iklim, Peran Laut Indonesia dalam Mereduksi Percepatan Proses Pemanasan Global. Workshop on “Ocean and Climate Change”. Bogor:PKSPL-IPB. http://pksplipb.or.id/downloads/rumusan _workshop_cc.pdf .[23November 2011]. Prahasta E. 2001. Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Penerbit Informatika. Putz FE, Zuidema PA, Pinard MA, Boot RGA, Sayer JA, Sheil D, Sist P, Elias, Vanclay JK. 2008. Improved Tropical Forest Management for Carbon Retention. Plos Biology. 6: 166-167. Randall A. 1987. Resource Economics: An economic approach to natural resource and environmental policy. New York: John Wiley & Sons. Rusli S. 1996. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES. Ruth M, Hannon B. 1997. Modeling Dynamics Eonomic Systems. New York: SpringerVerlag. Scherr SJ. 2000. A downward spiral? Research evidence on the relationship between poverty and natural resource degradation. Food Policy 25: 479-498. Sorensen JC, Mc Creary. 1990. Coastal: Institutional Arrangements for Management of Coastal Resources. Berkeley: University of California of Berkeley. Simatupang TM. 1994. Pemodelan Sistem. Klaten: Penerbit Nindita. Simatupang TM. 1995. Teori Sistem: Suatu Teori Perspektif Teknik Industri. Yogyakarta: Andi Offset. Smith J, Scherr SJ. 2002. Forest Carbon and Local Livelihood: Assessment of Opportunities. Occasional Paper 37: 1-56. Smith J, Applegate G. 2004. Could payments for forest carbon contribute to improved tropical forest management? Forest Policy and Economic 6: 153-167. Spash CL. 1993. Economic, Ethic and Long Term Environmental Damages. Journal of Environmental Ethics 15:117-132. Sterman JD. 2000. Business Dynamics : System’s Thinking and Modeling for Complex World. London: Irwin/Mc Graw-Hill. Stern N. 2006. Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge UK: Cambridge University Press. Stevenson G. 1991. Common Property Economic. A General Theory and Land Use Application. Cambridge: Camridge University Press. Tacconi L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Occasional Paper 38(i): 1-38. [TNS] Taman Nasional Sembilang. 2009. Laporan Kegiatan: Analisis Daerah Operasi (ADO) Balai Taman Nasional Sembilang. Banyuasin: Balai TNS.
236
[TCG] The Terrestrial Carbon Group. 2008. How to Include Terrestrial Carbon in Developing Nations in the Overall Climate Change Solution. http://terrestrialcarbon.org. [20 Januari 2010]. Twilley RR, Chen RH, Hargis T. 1992. Carbon Sink in Mangroves and Their Implications to Carbon Budget of Tropical Coastal Ecosystem. Lafayette LA: Departement of Biology, University of Southwestern Luisiana, [UU]
Undang-undang RI No. 6 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Jakarta : Sekretariat Negara RI.
[UU]
Undang-undang RI No. 17 tahun 2004 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Perubahan Iklim). Jakarta: Sekretariat Negara RI.
[UU] Undang-undang RI Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Valle ID. 2001. Is the Current Regulation of the VIII Division European Anchovy Optimal? Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. [VCS] Voluntary Carbon Standard. 2007. REDD Methodology Framework (REDDMF). http:/www.vcs.org. [28 Januari 2010]. Vita GD. 2007. Natural resources dynamics: Exhaustible and renewable resources, and the rate of technical substitution. Resources Policy 31:172-182. Wasrin UR, Rohiani A, Putera AE, Hidayat A. 2000. Assessment of Aboveground Cstock Using Remote Sensing and GIS Technique. Bogor: Seameo Biotrop. [WIIP] Wetland International Indonesia Programme. 2009. Banten Bay Carbon Offset Project. Bogor: WIIP. Wibisono ITC, Ilman M, Suryadiputra INN. 2010. Anticipated Carbon Project in Mamuju Utara, West Sulawesi Province. Presented in Denpasar. Wibowo A. 2010. Measurable, Reportable, dan Verifiable (MRV) untuk Emisi Gas Rumah Kaca dari Kegiatan Kehutanan. Pada Kumpulan Hasil Riset: REDD+ dan Forest Governance. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Balitbang Kehutanan. Wiener N. 2010. Cybernetics. http://en.wikipedia.org/wiki/Cybernetics. [29 Januari 2010]. Wollenberg E, Belcher B, Sheil D, Dewi S, Moeliono M. 2004. Mengapa kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia? Governance Brief 4(i):1-6. World Bank. 1996. World Development Report. Baltimor-London:World Bank-The John Hopkins Univ. Press. World Bank. 2009. Developing a Market for REDD in Indonesia. Implementation of a Learning Workshop. Jakarta: World Bank.
Report on
[WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. New York: Oxford University Press.
LAMPIRAN
238
Lampiran 1 No
Jenis ikan dan non-ikan yang tertangkap dengan alat mini trawl (pukat harimau mini) di Sungai Sembilang
Famili
Jenis
Nama Daerah
Kepadatan
A Jenis Ikan 1 Ariidae
Arius sp.
Manyung
sedikit
2 Bothidae
Bothis sp.
Ikan Sebelah
sedikit
3 Cynoglossidae
Cynoglossus lingua
Ikan Sebelah
sedikit
4 Leiognathidae
Leiognathus spp
Petek
sedikit
5 Stromateidae
Pampus argenteus
Bawal Putih
sedikit
6 Platycephalidae
Platycephalus sp.
Pakatan
sedikit
7 Plotosidae
Plotosus canius
Sembilang
sedikit
8 Psettodidae
Psettodes erumei
Ikan Sebelah
sedikit
9 Sciaenidae 10 Sciaenidae
Pseudosciaena sp.
Gulamah
sedikit
Johnius belengerii
Gulamah
sedikit
11 Synodontidae
Saurida micropectoralis
Beloso
sedikit
12 Trichiuridae
Trichiurus sp.
Layur
sedikit
1 Limulidae
Tachypleus gigas
Mimi
sedikit
2 Sepiidae 3 Muricidae
Sepia sp.
Sotong
sedikit
Murex sp.
Murex
sedikit
4 Nautilidae
Nautilus pompillius
Kerang berongga
sedikit
5 Ophiuridae
Archaster sp.
Bintang Laut
sedikit
6 Penaeidae 7 Penaeidae
Penaeus merguiensis
Udang Burung
sedikit
Metapenaeus ensis
Udang Api-Api
sedikit
8 Penaeidae
Metapenaeus affinis
Udang Api-Api
sedikit
9 Penaeidae
Parapenaeopsis sp
Udang Cat
10 Penaeidae
Oratosquilla sp.
Udang Kipas
sedikit
11 Portunidae
Portunus pelagicus
Rajungan
sedikit
B Jenis Non-Ikan
12 Portunidae Scylla serrata Kepiting Bakau Sumber : Balai TNS (2009), Dinas Perikanan Kabupaten Banyuasin (2009), WIIP (2001).
melimpah
sedikit
239
Lampiran 2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jenis ikan yang tertangkap dengan trammel net di perarian sekitar mangrove Taman Nasional Sembilang
Famili Ariidae Ariidae Ariidae Ariidae Ariidae Ariidae Bagridae Bagridae Belonidae Carangidae Centropomidae Chirocentridae Cynoglossidae Cynoglossidae Dasyatidae Dorosomatidae
Jenis Arius caelatus Arius macronotacanthus Arius maculatus Arius oetik Arius sagor Arius truncatus Macrones gulio Macrones nemurus Tylosurus strongilurus Chorinemus lysan Lates calcalifer Chirocentrus dorab Cynoglossus lingua Cynoglossus sp. Dasyatis sephen Dorosoma chacunda
17 Drepanidae
Drepane punctata
18 19 20 21 22
Engraulididae Engraulididae Engraulididae Hemiramphidae
Clupeoides lile Coilia dussumieri Setipinna taty Dermogenys sp.
Hemiramphidae
Hyporhamphus quoyi
23 Lagocephalidae 24 Leiognathidae 25 Leiognathidae
Gastrophylus lunaris Leiognathus sp.
26 27 28 29 30 31
Leiognathidae Lobotidae Mugilidae Mugilidae Mugilidae
Secutor ruconius Lobotes surinamensis Liza carinata-carinata Liza macrolepis Liza sp.
Mugilidae
Mugil cephalus
32 33 34 35 36
Mugilidae Mugilidae Platycephalidae Plotosidae
Mugil sp. Valamugil sp. Platycephalus sp. Plotosus canius Eleutheronema tetradactylum Polydactylus hexanemus Polynemus indicus
Polynemidae
37 Polynemidae 38 Polynemidae 39 Scaptophagidae 40 Sciaenidae
Leiognathus splendens
Scaptophagus argus Johnius belengerii
Nama Daerah
Manyung
Baung
Demersal
Pelagik
karnivora
karnivora
Kuweh, Selar Kakap
Lidah
Pari Selanget Bampara , KetangKetang
JulungJulung Buntal Bambang Petek, Bambang Kakap Batu
Belanak
Sembilang Kuro, Senangin
karnivora karnivora karnivora karnivora karnivora karnivora planktifer omnivora
Teri
Jenjang Tropik
planktifer
planktifer
karnivora
omnivora
karnivora
detritus feeder
karnivora karnivora
karnivora
Kitang, KetangKetang Gulamah
karnivora
karnivora
240 Lampiran 2 (lanjutan) No 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
Famili Sciaenidae Sciaenidae Sciaenidae Sciaenidae Sciaenidae Scombridae Serranidae Serranidae Siganidae Sillaginidae Stromateidae Stromateidae Synanceidae Teraponidae Tetraodontidae Trichiuridae
Jenis Johnius sp. Nibea soldado Otolithes cuvieri Penahia pawak Pseudosciaena sp. Scomberomorus guttatus Epinephelus malabaricus Epinephelus tauvina Siganus canaliculatus Sillago sihamma Pampus argenteus Stromateus niger Synaptura sp. Terapon jarbua Tetraodon reticularis Trichiurus haumela
Nama Daerah
Demersal
Pelagik
Jenjang Tropik
Tenggiri Kerapu Beronang
Bawal Putih
Blambangan Buntal Layur
Sumber : Balai TNS (2009), Dinas Perikanan Kabupaten Banyuasin (2009), WIIP (2001).
karnivora karnivora omnivora omnivora omnivora omnivora karnivora karnivora
241
Lampiran 3 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Jenis ikan yang tertangkap dengan kelong di perairan pesisir Taman Nasional Sembilang Famili
Ariidae Ariidae Ariidae Ariidae Ariidae Carangidae Chdanidae Chirocentridae Dorosomatidae Dorosomatidae Drepaneidae Dussumieridae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Engraulididae Formiidae Gerridae Haemulidae Lagocephalidae Leiognathidae Leiognathidae Leiognathidae Leiognathidae Polynemidae Polynemidae Polynemidae Scatophagidae Scombridae Scombridae Scombridae Sphyraeinidae Stromateidae Synodontidae Teraponidae Trichiuridae
Jenis Arius argyropleuron Arius gagoroides Arius leiotetocephalus Arius maculatus Arius sagor Caranx sp. Ambassis gymnocephalus Chirocentrus dorab Dorosoma chacunda Dorosoma nasus Drepane punctata Dussumieria acuta Engraulis grayi Engraulis mystax Pallona sp. Sardinella perforata Setipinna melanochir Setipinna taty Stolephorus baganensis Stolephorus heterolobus Stolephorus indicus Stolephorus insularis Stolephorus pseudoheterolobus Stolephorus tri Formio niger Gerres abreviatus Pomadasys argenteus Gastrophylus lunaris Leiognathus equluus Leiognathus splendens Secutor insidiator Secutor ruconius Eleutheronema tetradactylum Polydactylus sextarius Polynemus indicus Scatophagus argus Rastrelliger kanakurta Scomberomorus commersonii Scomberomorus guttatus Sphyraena barracuda Pampus argenteus Saurida micropectoralis Terapon jarbua Trichiurus haumela
Nama Daerah Utik, Duri Utik, Duri Utik, Duri Manyung Belukang Selar Beseng Parang-Parang Selanget Waru Japuh Bulu Ayam Tembang Tembang Bulu Ayam Bulu Ayam Teri Teri Teri Gelagah Teri Teri Teri Bawal Hitam Kapas-Kapas Gerot Buntal Petek Petek, Bambang
Senangin Kuro Kuro Kiper Kembung Tenggiri Tenggiri Papan Alu-Alu Bawal Putih Bloso Kleteng Layur
Sumber : Balai TNS (2009), Dinas Perikanan Kabupaten Banyuasin (2009), WIIP (2001).
242
Lampiran 4
Perhitungan Estimasi Nilai z (luas lahan minimal untuk hidup layak) dan Tekanan Penduduk (TP) terhadap lahan
Luas lahan pertanian Kabupaten Banyuasin (L) = 199.144 ha, (padi sawah 180.584 ha, ketela dan umbi-umbian 8.825 ha, pekarangan 9.735 ha) Perbandingan jumlah petani terhadap populasi penduduk (f) = 59,47 % Jumlah penduduk pada waktu Pt (2008)=798.360 jiwa, dengan menggunakan persamaan eksponensial Pt = Po(1+r)t , maka Po (2003) = 702.887 jiwa Laju pertumbuhan penduduk per tahun (r) = 2,58 % Kerangka waktu perhitungan 2003-2008 (t) = 5 tahun Rata-rata hasil panen padi sawah Rp 12.300.500,00 ha-1, ketela, jagung dan umbi-umbian Rp 5.911.524,00 ha-1, hasil pekarangan (palawija) Rp 5.762.373,00 ha-1 Pendapatan per kapita = Rp 10.102.776,00 kapita-1 th-1. Nilai z = Luas lahan minimal untuk hidup layak adalah sebagai berikut : Nilai z (padi sawah) = (pendapatan per kapita/rata-rata hasil panen padi) = (Rp. 10.102.776,-)/(Rp 12.300.500,-) = 0,82 ha org-1 Nilai z (jagung, ketela dan umbi-umbian) = (pendapatan per kapita/rata-rata hasil panen jagung, ketela, umbi-umbian) = (Rp. 10.102.776,-)/(Rp 5.911.524,-) = 1,71 ha org-1 Nilai z (hasil pekarangan/palawija) = (pendapatan/kapita/rata-rata hasil palawija) = (Rp. 10.102.776,-)/(Rp 5.762.373,-) = 1,75 ha org-1 Nilai z rata-rata = (luas lahan padi sawah x nilai z padi sawah+luas lahan jagung dan umbi x nilai z jagung dan umbu+luas lahan pekarangan x nilai z lahan pekarangan)/total luas lahan pertanian = (180.584 x 0,82 + 8.825 x 1,71 + 9.735 x 1,75)/199.144 = 1,02 ha/petani Tekanan penduduk terhadap lahan (TP) = f .Po.(1 r ) t TP z L TP = 2,14
243
Lampiran 5
Formulasi submodel penduduk (Sosial) pada skenario model business as usual
SUB MODEL PENDUDUK SKENARIO BAU PDRB_Lainnya_BAU(t) = PDRB_Lainnya_BAU(t - dt) + (perub_PDRB_lainnya_BAU) * dt INIT PDRB_Lainnya_BAU = 6873620000000/9000 INFLOWS: perub_PDRB_lainnya_BAU = PDRB_Lainnya_BAU*growth_PDRB_lainnya_BAU PDRB_pertanian_BAU(t) = PDRB_pertanian_BAU(t - dt) + (perub_PDRB_pertanian_BAU) * dt INIT PDRB_pertanian_BAU = 3010757000000/9000 INFLOWS: perub_PDRB_pertanian_BAU = (growth_PDRB_pertanian_BAU*PDRB_pertanian_BAU) Penduduk_BAU(t) = Penduduk_BAU(t - dt) + (pert_pddk_BAU - pengr_pddk_BAU) * dt INIT Penduduk_BAU = 798360 INFLOWS: pert_pddk_BAU = ROUND((Penduduk_BAU*laju_natalitas_BAU+Penduduk_BAU*migrasi_BAU)) OUTFLOWS: pengr_pddk_BAU = ROUND(Penduduk_BAU*laju_mort_BAU) angk_kerja_BAU = Penduduk_BAU*laju_pert_ankt_kerja_BAU growth_PDRB_lainnya_BAU = 0.0619 growth_PDRB_pertanian_BAU = 0.023 income_per_kpt_BAU = (PDRB_sektor_BAU)/(Penduduk_BAU) K_Kerja_Agric_FA = Net_Return_Agric_FA/invest_per_t_kerja K_Kerja_Mgrv_BAU = Revenue_Mgrv_TNS_BAU/invest_per_t_kerja K_Kerja_Tbk_BAU = Revenue_Tbk_TNS_BAU/invest_per_t_kerja laju_mort_BAU = 0.008 laju_natalitas_BAU = 0.0258 laju_pert_ankt_kerja_BAU = 0.0221 migrasi_BAU = (Tot__K_Kerja_BAU/PDRB_sektor_BAU)+normal_mgrs_BAU normal_mgrs_BAU = 0.005 PDRB_sektor_BAU = (PDRB_Lainnya_BAU+PDRB_pertanian_BAU)*(1-NFIA_BAU) Tot__K_Kerja_BAU = K_Kerja_Mgrv_BAU+K_Kerja_Tbk_BAU+K_Kerja_Agric_FA NFIA_BAU = GRAPH(TIME) (1995, 0.035), (1997, 0.037), (1998, 0.038), (2000, 0.039), (2001, 0.04), (2003, 0.041), (2005, 0.042), (2006, 0.043), (2008, 0.045), (2009, 0.046), (2011, 0.048), (2013, 0.049), (2014, 0.05), (2016, 0.051), (2017, 0.053), (2019, 0.054), (2021, 0.055), (2022, 0.056), (2024, 0.058), (2025, 0.06), (2027, 0.062), (2029, 0.063), (2030, 0.065), (2032, 0.068), (2033, 0.07), (2035, 0.07)
244
Lampiran 6
Formulasi submodel emisi CO2 (Lingkungan) pada skenario model business as usual
SUB MODEL EMISI CO2 SKENARIO BAU APL_FA_BAU(t) = APL_FA_BAU(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_APL_FA_BAU + lcc_DD_Hrs_to_APL_FA_BAU lcc_DD_APL_to_pmkn_FA_BAU - lcc_DD_APL_to_Tbk_FA_BAU) * dt INIT APL_FA_BAU = 1109 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_APL_FA_BAU = (Hmp_FA_BAU*rate_DD_Hmp_to_APL) lcc_DD_Hrs_to_APL_FA_BAU = (Hrs_FA_BAU*rate_DD_Hrs_to_APL) OUTFLOWS: lcc_DD_APL_to_pmkn_FA_BAU = (APL_FA_BAU-Area_utk_pmkn_BAU) lcc_DD_APL_to_Tbk_FA_BAU = (APL_FA_BAU*rate_DD_to_Tbk) APL_TNS_BAU(t) = APL_TNS_BAU(t - dt) + (lcc_DD_Hrs_TNS_BAU + lcc_DD_Hmp_to_APL_BAU) * dt INIT APL_TNS_BAU = 97021 INFLOWS: lcc_DD_Hrs_TNS_BAU = (Hrs_TNS_BAU*rate_Hrs_to_APL)*ctr_DD_BAU lcc_DD_Hmp_to_APL_BAU = (Hmp_TNS_BAU*rate_DD_Hmp_TNS_to_APL)*ctr_DD_BAU CO2_offset_fr_regrowth_FA_BAU(t) = CO2_offset_fr_regrowth_FA_BAU(t - dt) + (perub_CO2_regrowth_FA_BAU) * dt INIT CO2_offset_fr_regrowth_FA_BAU = 0 INFLOWS: perub_CO2_regrowth_FA_BAU = (Hmp_FA_BAU*frac_atomic_C*regrowth_C)+(Hms_FA_BAU*frac_atomic_C*regrowth_C) CO2_offset_fr_regrowth_TNS_BAU(t) = CO2_offset_fr_regrowth_TNS_BAU(t - dt) + (perub_CO2_offset_regrowth_TNS_BAU) * dt INIT CO2_offset_fr_regrowth_TNS_BAU = 0 INFLOWS: perub_CO2_offset_regrowth_TNS_BAU = regrowth_C*frac_atomic_C*(Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU) Emisi_Hmp_FA_BAU(t) = Emisi_Hmp_FA_BAU(t - dt) + (perub_emisi_Hmp_FA_BAU) * dt INIT Emisi_Hmp_FA_BAU = 5867783.115 INFLOWS: perub_emisi_Hmp_FA_BAU = (C_stk_Hmp_to_APL*frac_atomic_C*lcc_DD_Hmp_to_APL_FA_BAU)+(perub_C_Hmp_to_HTI*frac_atomic_C*lcc_DD_ Hmp_to_HTI_FA_BAU)+(perub_C_Hmp_to_Sawit*frac_atomic_C*lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA_BAU) Emisi_Hmp_TNS_BAU(t) = Emisi_Hmp_TNS_BAU(t - dt) + (perub_emisi_Hmp_TNS_BAU) * dt INIT Emisi_Hmp_TNS_BAU = 3111285.051 INFLOWS: perub_emisi_Hmp_TNS_BAU = (lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS_BAU*C_stok_dr_Hmp_to_Hms_BAU*frac_atomic_C)+(lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS_BAU*C _stok_dr_Hmp_to_Hrs_BAU*frac_atomic_C)+(lcc_DD_Hmp_to_APL*C_stk_Hmp_to_APL*frac_atomic_C)+(lcc_DD_Hm p_to_Tbk_TNS*C_stk_dr_Hmp_to_Tbk*frac_atomic_C) Emisi_Hms_FA_BAU(t) = Emisi_Hms_FA_BAU(t - dt) + (perub_emisi_Hms_FA_BAU) * dt INIT Emisi_Hms_FA_BAU = 453733.3817 INFLOWS: perub_emisi_Hms_FA_BAU = frac_atomic_C*C_stok_Hms*lcc_DD_Hms_to_HTI_FA_BAU Emisi_Hms_TNS_BAU(t) = Emisi_Hms_TNS_BAU(t - dt) + (perub_emisi_Hms_TNS_BAU) * dt INIT Emisi_Hms_TNS_BAU = 0 INFLOWS: perub_emisi_Hms_TNS_BAU = lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS_BAU*C_stok_Hms*frac_atomic_C Emisi_Hrs_FA_BAU(t) = Emisi_Hrs_FA_BAU(t - dt) + (perub_emisi_Hrs_FA_BAU) * dt INIT Emisi_Hrs_FA_BAU = 2419477.86 INFLOWS: perub_emisi_Hrs_FA_BAU = (C_stok_Hrs*frac_atomic_C*lcc_DD_Hrs_to_APL_FA_BAU)+(C_stok_Hrs*frac_atomic_C*lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA_BA U)+(C_stok_Hrs*frac_atomic_C*lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA_BAU) Emisi_Hrs_TNS_BAU(t) = Emisi_Hrs_TNS_BAU(t - dt) + (perub_emisi_Hrs_TNS_BAU) * dt INIT Emisi_Hrs_TNS_BAU = 90768 INFLOWS: perub_emisi_Hrs_TNS_BAU = lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS_BAU*C_stok_Hrs*frac_atomic_C Emisi_Tbk_TNS_BAU(t) = Emisi_Tbk_TNS_BAU(t - dt) + (perub_emisi_Tbk_TNS_BAU) * dt INIT Emisi_Tbk_TNS_BAU = 1679483.68
245
Lampiran 6 (lanjutan) INFLOWS: perub_emisi_Tbk_TNS_BAU = (lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS_BAU*C_stok_Hms*frac_atomic_C)+(lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS*C_stk_dr_Hmp_to_Tbk*fra c_atomic_C)+(lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS_BAU*C_stok_Hrs*frac_atomic_C) Emisi__APL_FA_BAU(t) = Emisi__APL_FA_BAU(t - dt) + (perub_emisi_APL_FA_BAU) * dt INIT Emisi__APL_FA_BAU = 0 INFLOWS: perub_emisi_APL_FA_BAU = (lcc_DD_APL_to_pmkn_FA_BAU*perub_C_stk_APL_to_Pmkn*frac_atomic_C)+(lcc_DD_APL_to_Tbk_FA_BAU*perub_ C_stk_APL_to_Tbk*frac_atomic_C) Hmp_FA_BAU(t) = Hmp_FA_BAU(t - dt) + (- lcc_DD_Hmp_to_APL_FA_BAU - lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA_BAU lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA_BAU) * dt INIT Hmp_FA_BAU = 12999 OUTFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_APL_FA_BAU = (Hmp_FA_BAU*rate_DD_Hmp_to_APL) lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA_BAU = (Hmp_FA_BAU*rate_DD_Hmp_to_HTI) lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA_BAU = (Hmp_FA_BAU*rate_DD_Hmp_to_sawit) Hmp_TNS_BAU(t) = Hmp_TNS_BAU(t - dt) + (- lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS_BAU - lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS_BAU lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS_BAU - lcc_DD_Hmp_to_APL_BAU) * dt INIT Hmp_TNS_BAU = 35205 OUTFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS_BAU = ((Hmp_TNS_BAU*rate_DD_Hmp_to_Hms_BAU)+(Penduduk_BAU*rate_encroach_to_Tbk_BAU))*ctr_DD_BAU lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS_BAU = (Hmp_TNS_BAU*rate_DD_Hmp_to_Hrs_BAU)*ctr_DD_BAU lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS_BAU = (Hmp_TNS_BAU*rate_DD_Hmp_to_Tbk_BAU)*ctr_DD_BAU lcc_DD_Hmp_to_APL_BAU = (Hmp_TNS_BAU*rate_DD_Hmp_TNS_to_APL)*ctr_DD_BAU Hms_FA_BAU(t) = Hms_FA_BAU(t - dt) + (- lcc_DD_Hms_to_HTI_FA_BAU) * dt INIT Hms_FA_BAU = 5288 OUTFLOWS: lcc_DD_Hms_to_HTI_FA_BAU = Hms_FA_BAU*rate_DD_Hms_to_HTI Hms_TNS_BAU(t) = Hms_TNS_BAU(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS_BAU - lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS_BAU) * dt INIT Hms_TNS_BAU = 0 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS_BAU = ((Hmp_TNS_BAU*rate_DD_Hmp_to_Hms_BAU)+(Penduduk_BAU*rate_encroach_to_Tbk_BAU))*ctr_DD_BAU OUTFLOWS: lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS_BAU = ((Hms_TNS_BAU*rate_DD_Hms_to_Tbk_BAU)+(Penduduk_BAU*rate_encroach_to_Tbk_BAU))*ctr_DD_BAU Hrs_FA_BAU(t) = Hrs_FA_BAU(t - dt) + (- lcc_DD_Hrs_to_APL_FA_BAU - lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA_BAU lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA_BAU) * dt INIT Hrs_FA_BAU = 89168 OUTFLOWS: lcc_DD_Hrs_to_APL_FA_BAU = (Hrs_FA_BAU*rate_DD_Hrs_to_APL) lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA_BAU = (Hrs_FA_BAU*rate_DD_Hrs_to_HTI) lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA_BAU = (Hrs_FA_BAU*rate_DD_Hrs_to_Sawit) Hrs_TNS_BAU(t) = Hrs_TNS_BAU(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS_BAU - lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS_BAU lcc_DD_Hrs_TNS_BAU) * dt INIT Hrs_TNS_BAU = 68658 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS_BAU = (Hmp_TNS_BAU*rate_DD_Hmp_to_Hrs_BAU)*ctr_DD_BAU OUTFLOWS: lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS_BAU = Hrs_TNS_BAU*rate_DD_Hrs_to_Tbk_BAU*ctr_DD_BAU lcc_DD_Hrs_TNS_BAU = (Hrs_TNS_BAU*rate_Hrs_to_APL)*ctr_DD_BAU HTI_FA_BAU(t) = HTI_FA_BAU(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA_BAU + lcc_DD_Hms_to_HTI_FA_BAU + lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA_BAU) * dt INIT HTI_FA_BAU = 0 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA_BAU = (Hmp_FA_BAU*rate_DD_Hmp_to_HTI) lcc_DD_Hms_to_HTI_FA_BAU = Hms_FA_BAU*rate_DD_Hms_to_HTI lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA_BAU = (Hrs_FA_BAU*rate_DD_Hrs_to_HTI) NET_EMISI_CO2_FA_BAU(t) = NET_EMISI_CO2_FA_BAU(t - dt) + (perub_net_CO2_FA_BAU) * dt
246
Lampiran 6 (lanjutan) INIT NET_EMISI_CO2_FA_BAU = 8740994.36 INFLOWS: perub_net_CO2_FA_BAU = (perub_emisi_FA_BAU-perub_CO2_regrowth_FA_BAU) NET_EMISI_CO2_TNS_BAU(t) = NET_EMISI_CO2_TNS_BAU(t - dt) + (perub_net_CO2_TNS_BAU) * dt INIT NET_EMISI_CO2_TNS_BAU = 4881536.73 INFLOWS: perub_net_CO2_TNS_BAU = (perub_emisi_TNS_BAU-perub_CO2_offset_regrowth_TNS_BAU) Sawit__FA_BAU(t) = Sawit__FA_BAU(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA_BAU + lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA_BAU) * dt INIT Sawit__FA_BAU = 0 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA_BAU = (Hmp_FA_BAU*rate_DD_Hmp_to_sawit) lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA_BAU = (Hrs_FA_BAU*rate_DD_Hrs_to_Sawit) Settl_dan_Infra_BAU(t) = Settl_dan_Infra_BAU(t - dt) + (lcc_DD_APL_to_pmkn_FA_BAU) * dt INIT Settl_dan_Infra_BAU = 0 INFLOWS: lcc_DD_APL_to_pmkn_FA_BAU = (APL_FA_BAU-Area_utk_pmkn_BAU) Tambak_FA_BAU(t) = Tambak_FA_BAU(t - dt) + (lcc_DD_APL_to_Tbk_FA_BAU) * dt INIT Tambak_FA_BAU = 0 INFLOWS: lcc_DD_APL_to_Tbk_FA_BAU = (APL_FA_BAU*rate_DD_to_Tbk) Tambak_TNS_BAU(t) = Tambak_TNS_BAU(t - dt) + (lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS_BAU + lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS_BAU + lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS_BAU) * dt INIT Tambak_TNS_BAU = 2013 INFLOWS: lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS_BAU = Hrs_TNS_BAU*rate_DD_Hrs_to_Tbk_BAU*ctr_DD_BAU lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS_BAU = ((Hms_TNS_BAU*rate_DD_Hms_to_Tbk_BAU)+(Penduduk_BAU*rate_encroach_to_Tbk_BAU))*ctr_DD_BAU lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS_BAU = (Hmp_TNS_BAU*rate_DD_Hmp_to_Tbk_BAU)*ctr_DD_BAU Tot_DD_FA_BAU(t) = Tot_DD_FA_BAU(t - dt) + (lcc_DD_FA_BAU) * dt INIT Tot_DD_FA_BAU = 0 INFLOWS: lcc_DD_FA_BAU = lcc_DD_Hmp_to_APL_FA_BAU+lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA_BAU+lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA_BAU+lcc_DD_Hrs_to_Sawit _FA_BAU+lcc_DD_APL_to_pmkn_FA_BAU+lcc_DD_Hms_to_HTI_FA_BAU+lcc_DD_Hrs_to_APL_FA_BAU+lcc_DD_ Hmp_to_Sawit_FA_BAU tot_DD_Hmp_FA_BAU(t) = tot_DD_Hmp_FA_BAU(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_FA_BAU) * dt INIT tot_DD_Hmp_FA_BAU = 0 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_FA_BAU = lcc_DD_Hmp_to_APL_FA_BAU+lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA_BAU+lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA_BAU Tot_DD_TNS_BAU(t) = Tot_DD_TNS_BAU(t - dt) + (lcc_DD_TNS_BAU) * dt INIT Tot_DD_TNS_BAU = 0 INFLOWS: lcc_DD_TNS_BAU = lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS_BAU+lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS_BAU+lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS_BAU++lcc_DD_Hmp_to_ Hms_TNS_BAU+lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS_BAU TOT_EMISI_FA_BAU(t) = TOT_EMISI_FA_BAU(t - dt) + (perub_emisi_FA_BAU) * dt INIT TOT_EMISI_FA_BAU = 8740994.36 INFLOWS: perub_emisi_FA_BAU = perub_emisi_Hmp_FA_BAU+perub_emisi_Hms_FA_BAU+perub_emisi_Hrs_FA_BAU+perub_emisi_APL_FA_BAU TOT_EMISI_TNS_BAU(t) = TOT_EMISI_TNS_BAU(t - dt) + (perub_emisi_TNS_BAU) * dt INIT TOT_EMISI_TNS_BAU = 4881536.73
247
Lampiran 6 (lanjutan) perub_emisi_TNS_BAU = perub_emisi_Hmp_TNS_BAU+perub_emisi_Hms_TNS_BAU+perub_emisi_Hrs_TNS_BAU+perub_emisi_Tbk_TNS_BAU Area_utk_pmkn_BAU = Penduduk_BAU*frak_trans&setl_BAU ctr_DD_BAU = 1 C_stok_dr_Hmp_to_Hms_BAU = 125.1 C_stok_dr_Hmp_to_Hrs_BAU = 150.3 frak_trans&setl_BAU = 0.0012 rate_DD_Hmp_to_Hms_BAU = 0.123 rate_DD_Hmp_to_Hrs_BAU = 0.123 rate_DD_Hmp_to_Tbk_BAU = 0.00138 rate_DD_Hms_to_Tbk_BAU = 0.0268 rate_DD_Hrs_to_Tbk_BAU = 0.00138 rate_encroach_to_Tbk_BAU = 0.000067669 Total_Agri_FA = HTI_FA_BAU+Sawit__FA_BAU+Tambak_FA_BAU Tot_area_dilindungi_BAU = Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU+Tambak_TNS_BAU+APL_TNS_BAU Tot_area_tdk_dilindungi_BAU = APL_FA_BAU+Hmp_FA_BAU+Hms_FA_BAU+Hrs_FA_BAU+HTI_FA_BAU+Sawit__FA_BAU+Tambak_FA_BAU+Set tl_dan_Infra_BAU TOT_NET_EMISI_TNS_FA_BAU = NET_EMISI_CO2_FA_BAU+NET_EMISI_CO2_TNS_BAU
248
Lampiran 7
Formulasi submodel ekonomi (without REDD+) pada skenario model business as usual
SUB MODEL EKONOMI (WITHOUT REDD+) Cashflow_BAU(t) = Cashflow_BAU(t - dt) + (Cash_inflow_BAU - Cash_outflow_BAU) * dt INIT Cashflow_BAU = 0 INFLOWS: Cash_inflow_BAU = TOT_ECONOMIC_BENEFIT_BAU OUTFLOWS: Cash_outflow_BAU = Biaya_Ecostm_BAU+Invest_cost_ecosyst_BAU+Tot_Cost_Tbk_TNS_BAU Disc_Benefit_BAU(t) = Disc_Benefit_BAU(t - dt) + (perub_disc_benefit_BAU) * dt INIT Disc_Benefit_BAU = (perub_disc_benefit_BAU) INFLOWS: perub_disc_benefit_BAU = PV_BENEFIT_BAU Disc_Cost_BAU(t) = Disc_Cost_BAU(t - dt) + (perub_disc_cost_BAU) * dt INIT Disc_Cost_BAU = perub_disc_cost_BAU INFLOWS: perub_disc_cost_BAU = PV_COST_BAU NPV_AGRIC_FA(t) = NPV_AGRIC_FA(t - dt) + (perub_NPV_agric_FA) * dt INIT NPV_AGRIC_FA = 0 INFLOWS: perub_NPV_agric_FA = PV_BENEFIT_AGRIC_FA NPV_without_REDD(t) = NPV_without_REDD(t - dt) + (perub_NPV_BAU) * dt INIT NPV_without_REDD = -6702679.95 INFLOWS: perub_NPV_BAU = perub_disc_benefit_BAU-perub_disc_cost_BAU BC_ratio_BAU = Disc_Benefit_BAU/Disc_Cost_BAU Biaya_Ecostm_BAU = By_DUV_BAU Biodiverstity_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*15 ELSE 0 By_DUV_BAU = IF (TIME=2002=0) THEN(By_standing_stk_BAU+By_Fisheries_BAU+By_wildlife_BAU) ELSE 0 By_eksternalitas_Tbk_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN(Tambak_TNS_BAU*825.91) ELSE 0 By_Fisheries_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*681.95 ELSE 0 By_invest_Tbk = 153.47 By_standing_stk_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN(( Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*102.93 ELSE 0 By_Tbk_udang = 215.49 By_wildlife_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*0.59 ELSE 0 Cost_Tbk_TNS_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN(Tambak_TNS_BAU*By_Tbk_udang) ELSE 0 Disc_Factor_BAU = 1/(1+OCC)^(TIME-2010) DUV_BAU = (Standing_stk_BAU+Fisheries_BAU+Wildlife_BAU) EV_BAU = Existence_BAU Existence_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN ((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*2516.40 ELSE 0 Fisheries_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN ((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*1522.24 ELSE 0 Fisik_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*726.26 ELSE 0 Invest_cost_ecosyst_BAU = IF (TIME=2010) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*190.390 ELSE IF(TIME=2016) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*190.390 ELSE IF(TIME=2022) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*190.39 ELSE IF(TIME=2028) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*190.390 ELSE IF(TIME=2034) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*190.390 ELSE 0 Invest_Cost_Tbk_BAU = IF (TIME=2010) THEN(Tambak_TNS_BAU*By_invest_Tbk) ELSE IF(TIME=2016) THEN(Tambak_TNS_BAU*By_invest_Tbk) ELSE IF(TIME=2022) THEN(Tambak_TNS_BAU*By_invest_Tbk) ELSE IF(TIME=2028) THEN(Tambak_TNS_BAU*By_invest_Tbk) ELSE IF(TIME=2034) THEN(Tambak_TNS_BAU*By_invest_Tbk)ELSE (0) IUV_BAU = Biodiverstity_BAU Manfaat_Ecosistem_BAU = (DUV_BAU+IUV_BAU+OV_BAU+EV_BAU)
249
Lampiran 7 (lanjutan) NET_ECONOMIC_BENEFIT_BAU = PV_BENEFIT_BAU-PV_COST_BAU Net_Return_Agric_FA = Total_Agri_FA*Net_Rev_Agric Net_Rev_Agric = IF(TIME=2010=0) THEN(Rev_Agric_per_ha*(1+NFIA_BAU)) ELSE(0) OV_BAU = Fisik_BAU PV_BENEFIT_AGRIC_FA = Disc_Factor_BAU*Net_Return_Agric_FA PV_BENEFIT_BAU = TOT_ECONOMIC_BENEFIT_BAU*Disc_Factor_BAU PV_COST_BAU = TOT_ECONOMIC_COST_BAU*Disc_Factor_BAU Revenue_Agric_FA_BAU = Net_Return_Agric_FA Revenue_Mgrv_TNS_BAU = Tambak_TNS_BAU Revenue_Tbk_TNS_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN(Tambak_TNS_BAU*Rev_Tbk_per_ha) ELSE 0 Rev_Agric_per_ha = 1316.89 Rev_Tbk_per_ha = 1248.64 Standing_stk_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*165 ELSE 0 Tot_Cost_Tbk_TNS_BAU = (Cost_Tbk_TNS_BAU)+Invest_Cost_Tbk_BAU+By_eksternalitas_Tbk_BAU TOT_ECONOMIC_BENEFIT_BAU = Manfaat_Ecosistem_BAU+Revenue_Agric_FA_BAU+Revenue_Tbk_TNS_BAU TOT_ECONOMIC_COST_BAU = Cash_outflow_BAU Wildlife_BAU = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_BAU+Hms_TNS_BAU+Hrs_TNS_BAU)Revenue_Mgrv_TNS_BAU)*8.22 ELSE 0
250
Lampiran 8
Formulasi submodel penduduk (Sosial) pada skenario model carbon crediting
SUBMODEL PENDUDUK SKENARIO CC Penduduk(t) = Penduduk(t - dt) + (pert_pddk - pengr_pddk) * dt INIT Penduduk = 796984 INFLOWS: pert_pddk = ROUND((Penduduk*laju_natalitas+Penduduk*migrasi)) OUTFLOWS: pengr_pddk = ROUND(Penduduk*laju_mort) angk_kerja = Penduduk*laju_pert_angkt_kerja laju_mort = 0.008 laju_natalitas = 0.0258 laju_pert_angkt_kerja = 0.0221 migrasi = (Tot_K_Kerja_CC/PDRB_pertanian_dan_IUPJL)+normal_mgrs normal_mgrs = 0.005 Tot_K_Kerja_CC = Kesemp_Kerja_model_CC+K_Kerja_Mgrv_TNS+K_Kerja_Tbk_TNS
251
Lampiran 9
Formulasi submodel emisi CO2 (Lingkungan) pada skenario model carbon crediting
SUB MODEL EMISI CO2 SKENARIO CC APL_FA(t) = APL_FA(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_APL_FA + lcc_DD_Hrs_to_APL_FA - lcc_DD_APL_to_pmkn_FA lcc_DD_APL_to_Tbk_FA) * dt INIT APL_FA = 1109 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_APL_FA = (Hmp_FA*rate_DD_Hmp_to_APL) lcc_DD_Hrs_to_APL_FA = (Hrs_FA*rate_DD_Hrs_to_APL) OUTFLOWS: lcc_DD_APL_to_pmkn_FA = (APL_FA-Area_utk_pmkn) lcc_DD_APL_to_Tbk_FA = (APL_FA*rate_DD_to_Tbk) APL_TNS(t) = APL_TNS(t - dt) + (lcc_DD_Hrs_TNS + lcc_DD_Hmp_to_APL - Reboisasi_APL) * dt INIT APL_TNS = 97021 INFLOWS: lcc_DD_Hrs_TNS = Hrs_TNS_CC*rate_Hrs_to_APL lcc_DD_Hmp_to_APL = Hmp_TNS_CC*rate_DD_Hmp_TNS_to_APL OUTFLOWS: Reboisasi_APL = APL_TNS*rate_Reboisasi CO2_offset_fr_regrowth_FA(t) = CO2_offset_fr_regrowth_FA(t - dt) + (perub_CO2_offset_regrowth_FA) * dt INIT CO2_offset_fr_regrowth_FA = 0 INFLOWS: perub_CO2_offset_regrowth_FA = (Hmp_FA*frac_atomic_C*regrowth_C)+(Hms_FA*frac_atomic_C*regrowth_C) CO2_offset_regrowth_TNS(t) = CO2_offset_regrowth_TNS(t - dt) + (perub_CO2_offset_regrowth_TNS) * dt INIT CO2_offset_regrowth_TNS = 0 INFLOWS: perub_CO2_offset_regrowth_TNS = frac_atomic_C*regrowth_C*(Hms_TNS_CC+Hmp_TNS_CC+Hrs_TNS_CC) Emisi_Hmp_FA(t) = Emisi_Hmp_FA(t - dt) + (perub_emisi_Hmp_FA) * dt INIT Emisi_Hmp_FA = 5867783.115 INFLOWS: perub_emisi_Hmp_FA = (C_stk_Hmp_to_APL*frac_atomic_C*lcc_DD_Hmp_to_APL_FA)+(perub_C_Hmp_to_HTI*frac_atomic_C*lcc_DD_Hmp_ to_HTI_FA)+(perub_C_Hmp_to_Sawit*frac_atomic_C*lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA) Emisi_Hmp_TNS(t) = Emisi_Hmp_TNS(t - dt) + (perub_emisi_Hmp_TNS) * dt INIT Emisi_Hmp_TNS = 3111285.051 INFLOWS: perub_emisi_Hmp_TNS = (lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS*C_stok_dr_Hmp_to_Hms*frac_atomic_C)+(lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS*C_stok_dr_Hmp_to_ Hrs*frac_atomic_C)+(lcc_DD_Hmp_to_APL*C_stk_Hmp_to_APL*frac_atomic_C)+(lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS*C_stk_dr _Hmp_to_Tbk*frac_atomic_C) Emisi_Hms_FA(t) = Emisi_Hms_FA(t - dt) + (perub_emisi_Hms_FA) * dt INIT Emisi_Hms_FA = 453733.3817 INFLOWS: perub_emisi_Hms_FA = frac_atomic_C*C_stok_Hms*lcc_DD_Hms_to_HTI_FA Emisi_Hms_TNS(t) = Emisi_Hms_TNS(t - dt) + (perub_emisi_Hms_TNS) * dt INIT Emisi_Hms_TNS = 0 INFLOWS: perub_emisi_Hms_TNS = C_stok_Hms*frac_atomic_C Emisi_Hrs_TNS(t) = Emisi_Hrs_TNS(t - dt) + (perub_emisi_Hrs_TNS) * dt INIT Emisi_Hrs_TNS = 90768 INFLOWS: perub_emisi_Hrs_TNS = lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS*C_stok_Hrs*frac_atomic_C Emisi_Tambak(t) = Emisi_Tambak(t - dt) + (perub_emisi_to_Tbk) * dt INIT Emisi_Tambak = 1679483.68
252
Lampiran 9 (lanjutan) INFLOWS: perub_emisi_to_Tbk = (lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS*C_stok_Hms*frac_atomic_C+lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS*C_stk_dr_Hmp_to_Tbk*frac_atomi c_C+lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS*C_stok_Hrs*frac_atomic_C) Emisi__APL_FA(t) = Emisi__APL_FA(t - dt) + (perub_emisi_APL_FA) * dt INIT Emisi__APL_FA = 0 INFLOWS: perub_emisi_APL_FA = (lcc_DD_APL_to_pmkn_FA*frac_atomic_C*perub_C_stk_APL_to_Pmkn)+(lcc_DD_APL_to_Tbk_FA*frac_atomic_C*peru b_C_stk_APL_to_Tbk) Emisi__Hrs_FA(t) = Emisi__Hrs_FA(t - dt) + (perub_emisi_Hrs_FA) * dt INIT Emisi__Hrs_FA = 2419477.86 INFLOWS: perub_emisi_Hrs_FA = (C_stok_Hrs*frac_atomic_C*lcc_DD_Hrs_to_APL_FA)+(C_stok_Hrs*frac_atomic_C*lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA)+(C_stok_ Hrs*frac_atomic_C*lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA) Hmp_FA(t) = Hmp_FA(t - dt) + (- lcc_DD_Hmp_to_APL_FA - lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA - lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA) * dt INIT Hmp_FA = 12999 OUTFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_APL_FA = (Hmp_FA*rate_DD_Hmp_to_APL) lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA = Hmp_FA*rate_DD_Hmp_to_HTI lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA = (Hmp_FA*rate_DD_Hmp_to_sawit) Hmp_TNS_CC(t) = Hmp_TNS_CC(t - dt) + (Reboisasi_APL - lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS - lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS - lcc_DD_Hmp_to_APL) * dt INIT Hmp_TNS_CC = 35205 INFLOWS: Reboisasi_APL = APL_TNS*rate_Reboisasi OUTFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS = ((Hmp_TNS_CC*rate_DD_Hmp_to_Hms)+(Penduduk*rate_encroach_to_Tbk))*ctrl_DD lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS = (Hmp_TNS_CC*rate_DD_Hmp_to_Hrs)*ctrl_DD*rate_Reboisasi lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS = (Hmp_TNS_CC*rate_DD_Hmp_to_Tbk)*ctrl_DD lcc_DD_Hmp_to_APL = Hmp_TNS_CC*rate_DD_Hmp_TNS_to_APL Hms_FA(t) = Hms_FA(t - dt) + (- lcc_DD_Hms_to_HTI_FA) * dt INIT Hms_FA = 5288 OUTFLOWS: lcc_DD_Hms_to_HTI_FA = Hms_FA*rate_DD_Hms_to_HTI Hms_TNS_CC(t) = Hms_TNS_CC(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS - lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS) * dt INIT Hms_TNS_CC = 0 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS = ((Hmp_TNS_CC*rate_DD_Hmp_to_Hms)+(Penduduk*rate_encroach_to_Tbk))*ctrl_DD OUTFLOWS: lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS = ((Hms_TNS_CC*rate_DD_Hms_to_Tbk)+(Penduduk*rate_encroach_to_Tbk))*ctrl_DD*rate_Reboisasi Hrs_FA(t) = Hrs_FA(t - dt) + (- lcc_DD_Hrs_to_APL_FA - lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA - lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA) * dt INIT Hrs_FA = 89168 OUTFLOWS: lcc_DD_Hrs_to_APL_FA = (Hrs_FA*rate_DD_Hrs_to_APL) lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA = (Hrs_FA*rate_DD_Hrs_to_HTI) lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA = (Hrs_FA*rate_DD_Hrs_to_Sawit) Hrs_TNS_CC(t) = Hrs_TNS_CC(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS + reboisasi_Tbk - lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS lcc_DD_Hrs_TNS) * dt INIT Hrs_TNS_CC = 68658 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_Hrs_TNS = (Hmp_TNS_CC*rate_DD_Hmp_to_Hrs)*ctrl_DD*rate_Reboisasi reboisasi_Tbk = Tambak_TNS*rate_Reboisasi OUTFLOWS: lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS = (Hrs_TNS_CC*rate_DD_Hrs_to_Tbk)*ctrl_DD*rate_Reboisasi lcc_DD_Hrs_TNS = Hrs_TNS_CC*rate_Hrs_to_APL HTI_FA(t) = HTI_FA(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA + lcc_DD_Hms_to_HTI_FA + lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA) * dt INIT HTI_FA = 0
253
Lampiran 9 (lanjutan) INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA = Hmp_FA*rate_DD_Hmp_to_HTI lcc_DD_Hms_to_HTI_FA = Hms_FA*rate_DD_Hms_to_HTI lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA = (Hrs_FA*rate_DD_Hrs_to_HTI) NET_EMISI_CO2_FA(t) = NET_EMISI_CO2_FA(t - dt) + (perub_net_CO2_FA) * dt INIT NET_EMISI_CO2_FA = 8740994.36 INFLOWS: perub_net_CO2_FA = (perub_emisi_FA-perub_CO2_offset_regrowth_FA) NET_EMISI_CO2_TNS_CC(t) = NET_EMISI_CO2_TNS_CC(t - dt) + (perub_net_CO2_TNS) * dt INIT NET_EMISI_CO2_TNS_CC = 4881536.73 INFLOWS: perub_net_CO2_TNS = (perub_emisi_TNS-perub_CO2_offset_regrowth_TNS) Pemukiman(t) = Pemukiman(t - dt) + (lcc_DD_APL_to_pmkn_FA) * dt INIT Pemukiman = 0 INFLOWS: lcc_DD_APL_to_pmkn_FA = (APL_FA-Area_utk_pmkn) Sawit__FA(t) = Sawit__FA(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA + lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA) * dt INIT Sawit__FA = 0 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA = (Hmp_FA*rate_DD_Hmp_to_sawit) lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA = (Hrs_FA*rate_DD_Hrs_to_Sawit) Tambak_FA(t) = Tambak_FA(t - dt) + (lcc_DD_APL_to_Tbk_FA) * dt INIT Tambak_FA = 0 INFLOWS: lcc_DD_APL_to_Tbk_FA = (APL_FA*rate_DD_to_Tbk) Tambak_TNS(t) = Tambak_TNS(t - dt) + (lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS + lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS + lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS - reboisasi_Tbk) * dt INIT Tambak_TNS = 2013 INFLOWS: lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS = (Hrs_TNS_CC*rate_DD_Hrs_to_Tbk)*ctrl_DD*rate_Reboisasi lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS = ((Hms_TNS_CC*rate_DD_Hms_to_Tbk)+(Penduduk*rate_encroach_to_Tbk))*ctrl_DD*rate_Reboisasi lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS = (Hmp_TNS_CC*rate_DD_Hmp_to_Tbk)*ctrl_DD OUTFLOWS: reboisasi_Tbk = Tambak_TNS*rate_Reboisasi Tot_DD_FA(t) = Tot_DD_FA(t - dt) + (lcc_DD_FA) * dt INIT Tot_DD_FA = 0 INFLOWS: lcc_DD_FA = lcc_DD_Hmp_to_APL_FA+lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA+lcc_DD_Hrs_to_HTI_FA+lcc_DD_Hrs_to_Sawit_FA+lcc_DD_APL _to_pmkn_FA+lcc_DD_Hms_to_HTI_FA+lcc_DD_Hrs_to_APL_FA+lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA tot_DD_Hmp_FA(t) = tot_DD_Hmp_FA(t - dt) + (lcc_DD_Hmp_FA) * dt INIT tot_DD_Hmp_FA = 0 INFLOWS: lcc_DD_Hmp_FA = lcc_DD_Hmp_to_APL_FA+lcc_DD_Hmp_to_HTI_FA+lcc_DD_Hmp_to_Sawit_FA Tot_DD_TNS(t) = Tot_DD_TNS(t - dt) + (lcc_DD_TNS) * dt INIT Tot_DD_TNS = 0 INFLOWS: lcc_DD_TNS = lcc_DD_Hmp_to_Tbk_TNS+lcc_DD_Hms_to_Tbk_TNS+lcc_DD_Hrs_to_Tbk_TNS++lcc_DD_Hmp_to_Hms_TNS+lcc_D D_Hmp_to_Hrs_TNS TOT_EMISI_FA(t) = TOT_EMISI_FA(t - dt) + (perub_emisi_FA) * dt INIT TOT_EMISI_FA = 8740994.36 INFLOWS: perub_emisi_FA = perub_emisi_Hmp_FA+perub_emisi_Hms_FA+perub_emisi_Hrs_FA+perub_emisi_APL_FA TOT_EMISI_TNS(t) = TOT_EMISI_TNS(t - dt) + (perub_emisi_TNS) * dt INIT TOT_EMISI_TNS = 4881536.73
254
Lampiran 9 (lanjutan) INFLOWS: perub_emisi_TNS = perub_emisi_Hmp_TNS+perub_emisi_Hms_TNS+perub_emisi_Hrs_TNS+perub_emisi_to_Tbk Area_utk_pmkn = Penduduk*frak_trans&setl ctrl_DD = 1 C_stk_dr_Hmp_to_Tbk = 227.3 C_stk_Hmp = 227.33 C_stk_Hmp_to_APL = 148.65 C_stok_APL = 3 C_stok_dr_Hmp_to_Hms = 125.1 C_stok_dr_Hmp_to_Hrs = 150.3 C_stok_Hms = 102.2 C_stok_Hrs = 77 C_Terest_APL = APL_TNS*C_stok_APL*frac_atomic_C C_Terest_APL_FA = APL_FA*C_stok_APL*frac_atomic_C C_Terest_Hmp = Hmp_TNS_CC*C_stk_Hmp*frac_atomic_C C_Terest_Hmp_FA = Hmp_FA*C_stk_Hmp*frac_atomic_C C_Terest_Hms = Hms_TNS_CC*C_stok_Hms*frac_atomic_C C_Terest_Hms_FA = Hms_FA*C_stok_Hms*frac_atomic_C C_Terest_Hrs = Hrs_TNS_CC*C_stok_Hrs*frac_atomic_C C_Terest_Hrs_FA = Hrs_FA*C_stok_Hrs*frac_atomic_C frac_atomic_C = 44/12 frak_trans&setl = 0.0012 perub_C_Hmp_to_HTI = 151.41 perub_C_Hmp_to_Sawit = 168.3 perub_C_stk_APL_to_Pmkn = 72.89 perub_C_stk_APL_to_Tbk = 75.89 rate_DD_Hmp_TNS_to_APL = 0.0039971 rate_DD_Hmp_to_APL = 0.04996 rate_DD_Hmp_to_Hms = 0.0039971 rate_DD_Hmp_to_Hrs = 0.0039 rate_DD_Hmp_to_HTI = 0.05005 rate_DD_Hmp_to_sawit = 0.04989 rate_DD_Hmp_to_Tbk = 0.0073 rate_DD_Hms_to_HTI = 0.05 rate_DD_Hms_to_Tbk = 0.15379 rate_DD_Hrs_to_APL = 0.05 rate_DD_Hrs_to_HTI = 0.52865789 rate_DD_Hrs_to_Sawit = 0.4056 rate_DD_Hrs_to_Tbk = 0.00138 rate_DD_to_Tbk = 0.127 rate_encroach_to_Tbk = 0.000067669 rate_Hrs_to_APL = 0.333333333 rate_Reboisasi = 1 regrowth_C = 0.26 re_growth_C_HTI = 10.56 Tot_Agric_FA = HTI_FA+Sawit__FA+Tambak_FA Tot_area_dilindungi = Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC+Tambak_TNS+APL_TNS Tot_area_tdk_dilindungi = APL_FA+Hmp_FA+Hms_FA+HTI_FA+Pemukiman+Sawit__FA+Tambak_FA+Hrs_FA Tot_C_Terest_FA = C_Terest_APL_FA+C_Terest_Hmp_FA+C_Terest_Hms_FA+C_Terest_Hrs_FA Tot_C_Terest_TNS = C_Terest_APL+C_Terest_Hms+C_Terest_Hrs+C_Terest_Hmp Tot_C_Terest_TNS_dan_FA = Tot_C_Terest_FA+Tot_C_Terest_TNS TOT_NET_EMISI_TNS_DAN_FA = NET_EMISI_CO2_TNS_CC+NET_EMISI_CO2_FA
255
Lampiran 10
Formulasi submodel ekonomi karbon (with REDD+) pada skenario model carbon crediting
SUB MODEL EKONOMI KARBON (WITH REDD+) Cashflow(t) = Cashflow(t - dt) + (Cash_inflow - Cash_outflow) * dt INIT Cashflow = 0 INFLOWS: Cash_inflow = TOT_ECONOMIC_BENEFIT OUTFLOWS: Cash_outflow = Biaya_Ecostm+Tot_Cost_CC+Invest_cost_ecosyst+Tot_Cost_Tbk_TNS DISC_BENEFIT(t) = DISC_BENEFIT(t - dt) + (perub_disc_benefit) * dt INIT DISC_BENEFIT = perub_disc_benefit INFLOWS: perub_disc_benefit = PV_BENEFIT DISC_COST(t) = DISC_COST(t - dt) + (perub_disc_cost) * dt INIT DISC_COST = perub_disc_cost INFLOWS: perub_disc_cost = PV_COST NPV_with_REDD(t) = NPV_with_REDD(t - dt) + (perub_NPV) * dt INIT NPV_with_REDD = -(Invest_cost_ecosyst+Investment_cost_CC) INFLOWS: perub_NPV = perub_disc_benefit-perub_disc_cost PDRB_lainnya(t) = PDRB_lainnya(t - dt) + (perub_PDRB_lainnya) * dt INIT PDRB_lainnya = 6873620000000/9000 INFLOWS: perub_PDRB_lainnya = PDRB_lainnya*growth_PDRB_lainnya PDRB_pertanian(t) = PDRB_pertanian(t - dt) + (perub_PDRB_pertanian) * dt INIT PDRB_pertanian = 3010757000000/9000 INFLOWS: perub_PDRB_pertanian = (growth_PDRB_pertanian*PDRB_pertanian)+share_NJ2L_Kab_Kota+share_NJ2L_masyarakat share_NJ2L_Pemda_dan_Masy(t) = share_NJ2L_Pemda_dan_Masy(t - dt) + (perub_share_NJ2L) * dt INIT share_NJ2L_Pemda_dan_Masy = 0 INFLOWS: perub_share_NJ2L = share_NJ2L_Kab_Kota+share_NJ2L_masyarakat BC_rasio = DISC_BENEFIT/DISC_COST Biaya_Ecostm = By_DUV Biodiverstity = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)-Revenue_Mgrv_TNS)*15 ELSE 0 By_DUV = IF (TIME=2002=0) THEN(Standing_stk_cost+Fisheries_cost+Wildlife_cost) ELSE 0 By_eksternalitas_Tbk_TNS = IF(TIME=2010=0)THEN(Tambak_TNS*825.91) ELSE(0) By_investasi = 1000000 By_opr_lingk = 500000 By_PDD = 400000 By_pengelolaan_lingk = By_opr_lingk*(1+NFIA)+By_reboisasi By_reboisasi = (rate_Reboisasi*sat_by_reb*Reboisasi_APL)+(rate_Reboisasi*sat_by_reb*reboisasi_Tbk) Cost_Tbk_TNS = IF (TIME=2010=0) THEN(Tambak_TNS*By_Tbk_udang) ELSE 0 Disc_Factor = 1/(1+OCC)^(TIME-2010) DUV = (Standing_stk+Fisheries+Wildlife) EV = Existence Existence = IF (TIME=2010=0) THEN ((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)-Revenue_Mgrv_TNS)*2516.40 ELSE 0 Fisheries = IF (TIME=2010=0) THEN ((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)-Revenue_Mgrv_TNS)*1522.24 ELSE 0 Fisheries_cost = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)-Revenue_Mgrv_TNS)*681.95 ELSE 0
256
Lampiran 10 (lanjutan) frak_NJ2L_dev = 0.3 frak_NJ2L_kab_kota = 0.2 frak_NJ2L_masy = 0.2 frak_NJ2L_prov = 0.1 frak_NJ2L_pusat = 0.2 growth_PDRB_lainnya = 0.0619 growth_PDRB_pertanian = 0.023 income_per_kapita = PDRB_sektor/Penduduk Investment_cost_CC = IF (TIME=2010) THEN (By_investasi+By_PDD+Transc_Cost ) ELSE 0 Invest_cost_ecosyst = IF (TIME=2010) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)Revenue_Mgrv_TNS)*190.39 ELSE IF(TIME=2016) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)Revenue_Mgrv_TNS)*190.39 ELSE IF(TIME=2022) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)Revenue_Mgrv_TNS)*190.39 ELSE IF(TIME=2028) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)Revenue_Mgrv_TNS)*190.39 ELSE IF(TIME=2034) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)Revenue_Mgrv_TNS)*190.39 ELSE 0 Invest_cost_Tbk = IF (TIME=2010) THEN(Tambak_TNS*By_invest_Tbk) ELSE IF(TIME=2016) THEN(Tambak_TNS*By_invest_Tbk) ELSE IF(TIME=2022) THEN(Tambak_TNS*By_invest_Tbk) ELSE IF(TIME=2028) THEN(Tambak_TNS*By_invest_Tbk) ELSE IF(TIME=2034) THEN(Tambak_TNS*By_invest_Tbk)ELSE (0) invest_per_t_kerja = 8207700/9000 IUV = Biodiverstity Kesemp_Kerja_model_CC = (share_NJ2L_Pemda_dan_Masy/invest_per_t_kerja) K_Kerja_Mgrv_TNS = Revenue_Mgrv_TNS/invest_per_t_kerja K_Kerja_Tbk_TNS = Revenue_Tbk_TNS/invest_per_t_kerja Manfaat_Ecosistem = (DUV+IUV+OV+EV) Manfaat_Ekonomi_model_CC = Revenue_Carbon_Trade+Manfaat_Ecosistem+Revenue_Tbk_TNS Net_Carbon_Tradeable_CC = (TOT_NET_EMISI_TNS_FA_BAU-TOT_NET_EMISI_TNS_dan_FA) NET_ECONOMIC_BENEFIT = PV_BENEFIT-PV_COST Nilai_Jual_Jasa_Lingk = Revenue_Carbon_Trade OCC = 0.10 OV = Physical PDRB_pertanian_dan_IUPJL = PDRB_pertanian+share_NJ2L_Pemda_dan_Masy PDRB_sektor = (PDRB_lainnya+PDRB_pertanian)*(1+NFIA) Physical = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)-Revenue_Mgrv_TNS)*726.26 ELSE 0 Price_C = 10 PV_BENEFIT = TOT_ECONOMIC_BENEFIT*Disc_Factor PV_COST = TOT_ECONOMIC_COST*Disc_Factor Revenue_Carbon_Trade = IF (TIME=2010=0) THEN (Net_Carbon_Tradeable_CC*Price_C) ELSE 0 Revenue_Mgrv_TNS = Tambak_TNS Revenue_Tbk_TNS = IF(TIME=2010=0)THEN(Tambak_TNS*Rev_Tbk_per_ha) ELSE(0) sat_by_reb = 13515300/9000 share_NJ2L_developer = frak_NJ2L_dev*Nilai_Jual_Jasa_Lingk Share_NJ2L_IUPJL = (share_NJ2L_Pemda_dan_Masy/PDRB_pertanian) share_NJ2L_Kab_Kota = frak_NJ2L_kab_kota*Nilai_Jual_Jasa_Lingk share_NJ2L_masyarakat = Nilai_Jual_Jasa_Lingk*frak_NJ2L_masy share_NJ2L_provinsi = frak_NJ2L_prov*Nilai_Jual_Jasa_Lingk share_NJ2L_pusat = frak_NJ2L_pusat*Nilai_Jual_Jasa_Lingk Standing_stk = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)-Revenue_Mgrv_TNS)*165 ELSE 0 Standing_stk_cost = IF (TIME=2010=0) THEN(( Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)Revenue_Mgrv_TNS)*102.93 ELSE 0 Tot_Cost_CC = By_pengelolaan_lingk+Investment_cost_CC Tot_Cost_Tbk_TNS = (Cost_Tbk_TNS)+Invest_cost_Tbk+By_eksternalitas_Tbk_TNS TOT_ECONOMIC_BENEFIT = Manfaat_Ekonomi_model_CC TOT_ECONOMIC_COST = Cash_outflow Transc_Cost = 500000 Wildlife = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)-Revenue_Mgrv_TNS)*8.22 ELSE 0 Wildlife_cost = IF (TIME=2010=0) THEN((Hmp_TNS_CC+Hms_TNS_CC+Hrs_TNS_CC)-Revenue_Mgrv_TNS)*0.59 ELSE 0 NFIA = GRAPH(TIME) (1995, 0.035), (1997, 0.037), (1998, 0.038), (2000, 0.039), (2001, 0.04), (2003, 0.041), (2005, 0.042), (2006, 0.043), (2008, 0.045), (2009, 0.046), (2011, 0.048), (2013, 0.049), (2014, 0.05), (2016, 0.051), (2017, 0.053), (2019, 0.054), (2021, 0.055), (2022, 0.056), (2024, 0.058), (2025, 0.06), (2027, 0.062), (2029, 0.063), (2030, 0.065), (2032, 0.068), (2033, 0.07), (2035, 0.07)
257
Lampiran 11 No A 1 2 3 4 5 B 1 2 3 4 5 6 7 8 C
No A 1 2 3 4 5 B 1 2 3 4 5 6 7 8 C
Perubahan tutupan lahan (land cover change)
Tutupan Lahan (Ha) Areal dilindungi UU (TNS) Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Areal Penggunaan Lain Tambak TNS Sub Total (A) Areal tidak dilindungi UU (Frontier Area ) Areal Penggunaan Lain Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan sawit Tambak FA Pemukiman dan Infrastruktur Sub Total (B) Total DD dari TNS dan FA
Tutupan Lahan (Ha) Areal dilindungi UU (TNS) Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Areal Penggunaan Lain Tambak TNS Sub Total (A) Areal tidak dilindungi UU (Frontier Area ) Areal Penggunaan Lain Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan sawit Tambak FA Pemukiman dan Infrastruktur Sub Total (B) Total DD dari TNS dan FA
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun 2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
35.205 26.301 19.634 14.642 10.904 8.104 6.006 4.434 3.256 2.373 1.710 1.213 839 0 4.330 7.449 9.665 11.207 12.247 12.916 13.309 13.497 13.536 13.465 13.315 13.107 68.658 50.007 36.504 26.701 19.565 14.357 10.548 7.757 5.706 4.197 3.084 2.262 1.654 97.021 120.048 136.822 149.069 158.027 164.593 169.411 172.951 175.554 177.469 178.877 179.912 180.671 2.013 2.210 2.487 2.821 3.194 3.596 4.016 4.447 4.883 5.322 5.760 6.195 6.626 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897
1.109 5.925 850 1.212 1.270 1.226 1.205 1.189 1.179 1.175 1.175 1.154 1.116 12.999 11.050 9.394 7.986 6.789 5.771 4.906 4.171 3.545 3.014 2.562 2.178 1.852 5.288 5.024 4.772 4.534 4.307 4.092 3.887 3.693 3.508 3.333 3.166 3.008 2.857 89.168 1.404 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 48.054 49.601 50.321 50.948 51.503 51.996 52.436 52.830 53.182 53.500 53.786 54.046 0 36.815 37.936 38.413 38.812 39.151 39.439 39.683 39.891 40.068 40.219 40.346 40.455 0 141 893 1.001 1.155 1.316 1.472 1.625 1.776 1.926 2.075 2.224 2.371 0 151 5.096 5.096 5.283 5.505 5.659 5.767 5.834 5.866 5.867 5.867 5.867 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461
2023
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
2031
2032
2033
2034
FINAL
557 345 184 62 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12.859 12.583 12.288 11.981 11.645 11.253 10.871 10.496 10.130 9.772 9.421 9.078 8.742 1.204 869 621 436 290 193 128 85 57 38 25 17 11 181.226 181.629 181.920 182.128 182.273 182.370 182.434 182.477 182.505 182.524 182.537 182.545 182.551 7.052 7.471 7.884 8.290 8.689 9.081 9.464 9.839 10.205 10.563 10.914 11.257 11.593 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897 202.897
1.067 1.010 949 885 821 758 696 638 582 529 480 435 393 1.574 1.338 1.138 967 822 699 594 505 429 365 310 264 224 2.715 2.579 2.450 2.327 2.211 2.100 1.995 1.896 1.801 1.711 1.625 1.544 1.467 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 54.281 54.496 54.692 54.871 55.036 55.188 55.328 55.457 55.577 55.689 55.793 55.889 55.980 40.547 40.626 40.693 40.749 40.798 40.839 40.874 40.903 40.928 40.950 40.968 40.984 40.997 2.513 2.648 2.776 2.897 3.009 3.114 3.210 3.298 3.379 3.453 3.520 3.581 3.637 5.867 5.867 5.867 5.867 5.867 5.867 5.867 5.867 5.867 5.867 5.867 5.867 5.867 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 108.564 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461 311.461
258
Lampiran 12 Analisis biaya manfaat pengelolaan sumberdaya pesisir TNS pada opsi pemanfaatan konservasi mangrove skenario model BAU (USD) No
Variabel
ECONOMIC BENEFITS 1 Standing stock 2 Fisheries 3 Wildlife 4 Biodiversity 5 Physical value 6 Existence value TOT ECONOMIC BENEFITS DF (10%) PV BENEFIT ECONOMIC COSTS 1 Investment cost ecosystem 2 Standing stock exploration 3 Fisheries cost 4 Wildlife cost TOT ECONOMIC COST DF (10%) PV COST NET ECONOMIC BENEFIT NPV without REDD+ BC ratio
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun 2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
1,0000 -
13.305.258 122.750.278 662.844 1.209.569 58.564.101 202.917.279 399.409.329 0,9091 363.099.390
10.491.860 96.794.722 522.685 953.805 46.180.717 160.010.405 314.954.194 0,8264 260.292.723
8.416.123 77.644.600 419.276 765.102 37.044.203 128.353.525 252.642.829 0,7513 189.814.296
6.876.228 63.437.997 342.561 625.112 30.266.239 104.868.729 206.416.866 0,6830 140.985.497
5.726.727 52.833.047 285.295 520.612 25.206.622 87.337.791 171.910.095 0,6209 106.742.643
4.862.479 44.859.758 242.240 442.044 21.402.570 74.157.226 145.966.317 0,5645 82.394.181
4.207.262 38.814.923 209.598 382.478 18.518.582 64.164.569 126.297.412 0,5132 64.810.542
3.705.664 34.187.336 184.609 336.879 16.310.762 56.514.749 111.240.000 0,4665 51.894.281
3.317.299 30.604.391 165.262 301.573 14.601.341 50.591.819 99.581.683 0,4241 42.232.355
3.012.653 27.793.828 150.085 273.878 13.260.422 45.945.704 90.436.570 0,3855 34.867.213
2.770.114 25.556.233 138.002 251.829 12.192.867 42.246.758 83.155.803 0,3505 29.145.602
2.573.813 23.745.220 128.223 233.983 11.328.834 39.252.990 77.263.063 0,3186 24.618.393
19.774.286 19.774.286 1,0000 19.774.286 (19.774.286) 1.257.877.032 5,69
8.300.062 54.991.034 47.576 63.338.672 0,9091 57.580.611 305.518.778
6.545.013 43.363.176 37.516 49.945.705 0,8264 41.277.442 219.015.280
5.250.130 34.784.091 30.094 40.064.316 0,7513 30.100.913 159.713.383
4.289.516 28.419.659 24.588 32.733.763 0,6830 22.357.600 118.627.896
3.572.436 23.668.736 20.477 27.261.650 0,6209 16.927.340 89.815.304
5.610.711 3.033.303 20.096.773 17.387 28.758.175 0,5645 16.233.240 66.160.941
2.624.566 17.388.741 15.044 20.028.352 0,5132 10.277.711 54.532.831
2.311.661 15.315.623 13.251 17.640.534 0,4665 8.229.439 43.664.842
2.069.391 13.710.495 11.862 15.791.748 0,4241 6.697.243 35.535.112
1.879.348 12.451.388 10.773 14.341.508 0,3855 5.529.272 29.337.940
1.728.048 11.448.965 9.905 13.186.918 0,3505 4.621.934 24.523.667
2.969.868 1.605.591 10.637.648 9.203 15.222.311 0,3186 4.850.297 19.768.096
259
Lampiran 12 (lanjutan) No
Variabel
ECONOMIC BENEFITS 1 Standing stock 2 Fisheries 3 Wildlife 4 Biodiversity 5 Physical value 6 Existence value TOT ECONOMIC BENEFITS DF (10%) PV BENEFIT ECONOMIC COSTS 1 Investment cost ecosystem 2 Standing stock exploration 3 Fisheries cost 4 Wildlife cost TOT ECONOMIC COST DF (10%) PV COST NET ECONOMIC BENEFIT
2023
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
2031
2032
2033
2034
Final
2.412.077 22.253.094 120.165 219.280 10.616.941 36.786.371 72.407.927 0,2897 20.973.997
2.276.300 21.000.458 113.401 206.936 10.019.309 34.715.651 68.332.056 0,2633 17.993.966
2.160.125 19.928.659 107.614 196.375 9.507.954 32.943.871 64.844.597 0,2394 15.523.281
2.058.845 18.994.277 102.568 187.168 9.062.161 31.399.253 61.804.271 0,2176 13.450.410
1.969.023 18.165.609 98.093 179.002 8.666.804 30.029.390 59.107.920 0,1978 11.694.187
1.888.450 17.422.265 94.079 171.677 8.312.155 28.800.576 56.689.202 0,1799 10.196.051
1.814.665 16.741.553 90.403 164.970 7.987.387 27.675.297 54.474.275 0,1635 8.906.979
1.745.832 16.106.514 86.974 158.712 7.684.410 26.625.520 52.407.963 0,1486 7.790.110
1.680.712 15.505.738 83.730 152.792 7.397.780 25.632.383 50.453.135 0,1351 6.817.762
1.618.469 14.931.505 80.629 147.134 7.123.814 24.683.125 48.584.676 0,1228 5.968.432
1.558.533 14.378.558 77.643 141.685 6.860.003 23.769.052 46.785.475 0,1117 5.224.916
1.500.513 13.843.275 74.753 136.410 6.604.620 22.884.182 45.043.752 0,1015 4.573.094
1.444.133 13.323.130 71.944 131.285 6.356.459 22.024.336 43.351.286 0,0923 4.001.148
1.504.698 9.969.188 8.625 11.482.511 0,2897 3.326.074 17.647.923
1.419.998 9.408.019 8.140 10.836.156 0,2633 2.853.498 15.140.467
1.347.525 8.927.862 7.724 10.283.112 0,2394 2.461.695 13.061.586
1.284.345 8.509.267 7.362 9.800.974 0,2176 2.132.978 11.317.433
1.228.312 8.138.031 7.041 9.373.384 0,1978 1.854.474 9.839.713
2.179.042 1.178.049 7.805.020 6.753 11.168.864 0,1799 2.008.818 8.187.233
1.132.021 7.500.067 6.489 8.638.577 0,1635 1.412.476 7.494.503
1.089.082 7.215.575 6.243 8.310.900 0,1486 1.235.362 6.554.748
1.048.459 6.946.433 6.010 8.000.901 0,1351 1.081.166 5.736.595
1.009.630 6.689.182 5.787 7.704.599 0,1228 946.479 5.021.953
972.242 6.441.466 5.573 7.419.281 0,1117 828.572 4.396.345
1.731.410 936.047 6.201.664 5.365 8.874.486 0,1015 900.988 3.672.107
900.876 5.968.644 5.164 6.874.684 0,0923 634.506 3.366.643
260
Lampiran 13 No
Analisis biaya manfaat pengelolaan sumberdaya pesisir TNS pada opsi pemanfaatan sylvofishery skenario model BAU (USD)
Variabel
ECONOMIC BENEFITS 1 Revenue Shrimp Sylvofishery 2 Standing stock 3 Fisheries 4 Wildlife 5 Biodiversity 6 Physical value 7 Existence value TOT ECONOMIC BENEFITS DF (10%) PV BENEFIT ECONOMIC COSTS 1 Investment cost ecosystem 2 Shrimp Sylvofishery cost 3 Standing stock exploration cost 4 Fisheries cost 5 Wildlife cost 6 Externality TOT ECONOMIC COST DF (10%) PV COST NET ECONOMIC BENEFIT NPV without REDD+ BC ratio
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun 2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
1,0000 -
2.759.938 12.940.714 119.387.106 644.683 1.176.429 56.959.533 197.357.654 391.226.057 0,9091 355.660.051
3.105.326 10.081.675 93.010.478 502.251 916.516 44.375.256 153.754.707 305.746.209 0,8264 252.682.817
3.521.906 7.950.891 73.352.514 396.099 722.808 34.996.450 121.258.320 242.198.989 0,7513 181.967.685
3.988.735 6.349.307 58.576.785 316.311 577.210 27.946.957 96.832.708 194.588.012 0,6830 132.906.230
4.490.072 5.133.556 47.360.631 255.744 466.687 22.595.735 78.291.394 158.593.820 0,6209 98.474.284
5.014.124 4.200.057 38.748.452 209.239 381.823 18.486.868 64.054.685 131.095.249 0,5645 73.999.850
5.552.092 3.473.752 32.047.780 173.056 315.796 15.289.981 52.977.870 109.830.325 0,5132 56.360.323
6.097.439 2.900.091 26.755.362 144.477 263.645 12.764.971 44.229.026 93.155.012 0,4665 43.457.500
6.645.341 2.439.324 22.504.461 121.523 221.757 10.736.868 37.201.904 79.871.178 0,4241 33.873.176
7.192.262 2.062.404 19.027.117 102.745 187.491 9.077.829 31.453.540 69.103.390 0,3855 26.642.348
7.735.637 1.748.060 16.127.067 87.085 158.915 7.694.216 26.659.497 60.210.476 0,3505 21.103.405
8.273.630 1.480.669 13.660.201 73.764 134.606 6.517.276 22.581.545 52.721.690 0,3186 16.798.755
308.935 308.935 1,0000 308.935 (308.935) 1.101.033.641 5,67
476.309 8.072.653 53.484.365 46.273 1.825.554 63.905.154 0,9091 58.095.595 297.564.457
535.916 6.289.133 41.667.871 36.050 2.054.011 50.582.980 0,8264 41.804.116 210.878.701
607.810 4.959.910 32.861.269 28.430 2.329.556 40.786.975 0,7513 30.643.858 151.323.827
688.375 3.960.813 26.241.876 22.704 2.638.339 33.552.107 0,6830 22.916.541 109.989.690
774.896 3.202.406 21.217.146 18.356 2.969.947 28.182.751 0,6209 17.499.271 80.975.013
616.285 865.336 2.620.073 17.358.969 15.018 3.316.581 24.792.262 0,5645 13.994.586 60.005.265
958.179 2.166.990 14.357.123 12.421 3.672.418 21.167.131 0,5132 10.862.085 45.498.238
1.052.295 1.809.129 11.986.160 10.370 4.033.137 18.891.091 0,4665 8.812.833 34.644.667
1.146.851 1.521.694 10.081.793 8.722 4.395.546 17.154.606 0,4241 7.275.227 26.597.949
1.241.239 1.286.566 8.523.981 7.375 4.757.305 15.816.465 0,3855 6.097.932 20.544.416
1.335.014 1.090.473 7.224.791 6.251 5.116.719 14.773.248 0,3505 5.177.933 15.925.472
1.016.910 1.427.861 923.667 6.119.645 5.295 5.472.573 14.965.950 0,3186 4.768.613 12.030.142
261
Lampiran 13 (lanjutan) No
Variabel
ECONOMIC BENEFITS 1 Revenue Shrimp Sylvofishery 2 Standing stock 3 Fisheries 4 Wildlife 5 Biodiversity 6 Physical value 7 Existence value TOT ECONOMIC BENEFITS DF (10%) PV BENEFIT ECONOMIC COSTS 1 Investment cost ecosystem 2 Shrimp Sylvofishery cost 3 Standing stock exploration cost 4 Fisheries cost 5 Wildlife cost 6 Externality TOT ECONOMIC COST DF (10%) PV COST NET ECONOMIC BENEFIT
2023
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
2031
2032
2033
2034
Final
8.804.952 1.248.722 11.520.328 62.209 113.520 5.496.343 19.044.140 46.290.214 0,2897 13.408.626
9.328.727 1.043.731 9.629.142 51.997 94.885 4.594.059 15.917.840 40.660.381 0,2633 10.707.149
9.844.382 859.416 7.928.709 42.815 78.129 3.782.783 13.106.871 35.643.104 0,2394 8.532.676
10.351.576 691.111 6.375.978 34.430 62.828 3.041.976 10.540.067 31.097.967 0,2176 6.767.824
10.850.027 535.418 4.939.608 26.674 48.674 2.356.685 8.165.617 26.922.704 0,1978 5.326.513
11.339.167 390.212 3.599.976 19.440 35.474 1.717.547 5.951.085 23.052.900 0,1799 4.146.267
11.817.302 253.242 2.336.334 12.616 23.022 1.114.664 3.862.171 19.419.350 0,1635 3.175.219
12.284.828 122.626 1.131.314 6.109 11.148 539.749 1.870.163 15.965.938 0,1486 2.373.235
12.742.118 12.742.118 0,1351 1.721.850
13.189.522 13.189.522 0,1228 1.620.280
13.627.376 13.627.376 0,1117 1.521.880
14.056.001 14.056.001 0,1015 1.427.044
14.475.710 14.475.710 0,0923 1.336.049
1.519.557 778.975 5.161.000 4.465 5.824.015 13.288.011 0,2897 3.849.063 9.559.563
1.609.950 651.098 4.313.766 3.732 6.170.465 12.749.010 0,2633 3.357.213 7.349.936
1.698.941 536.118 3.551.981 3.073 6.511.544 12.301.656 0,2394 2.944.919 5.587.757
1.786.473 431.127 2.856.378 2.471 6.847.026 11.923.474 0,2176 2.594.895 4.172.928
1.872.495 334.005 2.212.908 1.915 7.176.725 11.598.048 0,1978 2.294.612 3.031.901
1.393.694 1.956.911 243.420 1.612.748 1.395 7.500.266 12.708.434 0,1799 2.285.724 1.860.543
2.039.427 157.977 1.046.657 906 7.816.527 11.061.493 0,1635 1.808.642 1.366.577
2.120.113 76.497 506.820 438 8.125.771 10.829.639 0,1486 1.609.757 763.478
2.199.032 (1.823) (12.077) (10) 8.428.244 10.613.365 0,1351 1.434.190 287.660
2.276.245 (77.533) (513.684) (444) 8.724.179 10.408.762 0,1228 1.278.674 341.605
2.351.809 (151.016) (1.000.540) (866) 9.013.796 10.213.183 0,1117 1.140.590 381.291
1.727.619 2.425.781 (222.545) (1.474.442) (1.276) 9.297.309 11.752.447 0,1015 1.193.174 233.870
2.498.215 (292.314) (1.936.693) (1.676) 9.574.924 9.842.456 0,0923 908.419 427.631
262
Lampiran 14 No
Stock accounting karbon terestrial pada kawasan dilindungi (TNS) dan kawasan tidak dilindungi (frontier area) pada skenario model BAU (tCO2e)
Stock Accounting Model BAU
A Karbon Terestrial Dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS B Karbon Terestrial tdk Dilindungi (FA) Karbon Terestrial APL FA Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Total Stok Karbon Terestrial FA C Total Stok Karbon Terestrial TNS dan FA
No
Stock Accounting Model BAU
A Karbon Terestrial Dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS B Karbon Terestrial tdk Dilindungi (FA) Karbon Terestrial APL FA Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Total Stok Karbon Terestrial FA C Total Stok Karbon Terestrial TNS dan FA
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun 2016
2017
2018
2019
29.345.514 19.300.107 1.067.231 49.712.853
21.923.688 1.622.678 14.057.350 1.320.525 38.924.240
16.366.520 2.791.471 10.261.555 1.505.042 30.924.588
12.205.242 3.621.655 7.505.756 1.639.755 24.972.408
9.088.941 4.199.490 5.499.749 1.738.302 20.526.482
6.754.903 4.589.520 4.035.917 1.810.519 17.190.859
5.006.467 4.840.037 2.965.233 1.863.518 14.675.256
3.696.401 4.987.161 2.180.397 1.902.460 12.766.419
2.714.483 5.057.899 1.603.915 1.931.096 11.307.393
1.978.190 5.072.447 1.179.660 1.952.160 10.182.457
1.425.756 5.045.889 866.866 1.967.652 9.306.163
1.010.926 4.989.496 635.854 1.979.034 8.615.310
699.099 4.911.679 464.959 1.987.381 8.063.118
12.199 10.835.459 1.981.590 25.065.571 37.894.819 87.607.671
65.175 9.211.224 1.882.510 394.584 11.553.494 50.477.734
9.346 7.830.464 1.788.385 6.212 9.634.407 40.558.995
13.334 6.656.676 1.698.966 98 8.369.075 33.341.483
13.971 5.658.837 1.614.018 3 7.286.829 27.813.311
13.489 4.810.580 1.533.315 6.357.385 23.548.244
13.254 4.089.475 1.456.652 5.559.382 20.234.638
13.078 3.476.458 1.383.819 4.873.355 17.639.774
12.971 2.955.340 1.314.628 4.282.940 15.590.333
12.922 2.512.336 1.248.896 3.774.155 13.956.612
12.924 2.135.733 1.186.451 3.335.108 12.641.271
12.691 1.815.588 1.127.127 2.955.405 11.570.715
12.276 1.543.430 1.070.771 2.626.477 10.689.595
2033
2034
2023
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
2031
2032
2020
2021
Final
2022
Rata-rata
464.335 4.818.703 338.330 1.993.483 7.614.851
287.245 4.715.236 244.348 1.997.921 7.244.749
153.292 4.604.753 174.476 2.001.123 6.933.644
51.597 4.489.822 122.435 2.003.407 6.667.262
4.363.650 81.453 2.005.004 6.450.107
4.217.005 54.191 2.006.066 6.277.263
4.073.610 36.052 2.006.773 6.116.435
3.933.366 23.984 2.007.243 5.964.593
3.796.169 15.956 2.007.556 5.819.680
3.661.928 10.615 2.007.764 5.680.307
3.530.543 7.061 2.007.903 5.545.507
3.401.919 4.697 2.007.995 5.414.611
3.275.968 3.126 2.008.056 5.287.150
131.039 125 80.322 211.486
11.735 1.312.075 1.017.232 2.341.042 9.955.893
11.110 1.115.388 966.374 2.092.871 9.337.620
10.434 948.192 918.052 1.876.678 8.810.322
9.734 806.062 872.151 1.687.946 8.355.208
9.029 685.229 828.543 1.522.801 7.972.908
8.334 582.517 787.116 1.377.968 7.655.231
7.660 495.194 747.762 1.250.615 7.367.050
7.014 420.965 710.371 1.138.349 7.102.943
6.400 357.864 674.854 1.039.118 6.858.799
5.824 304.216 641.113 951.152 6.631.459
5.284 258.621 609.054 872.959 6.418.466
4.784 219.852 578.603 803.239 6.217.850
4.321 186.893 549.674 740.888 6.028.037
173 7.476 21.987 29.636 241.121
263
Lampiran 15 No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
Carbon accounting pada skenario model BAU di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) (tCO2e)
Carbon Accounting TNS Model BAU Stock Accounting pada kawasan Dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS Emission Accounting pada kawasan Dilindungi (TNS) Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi Karbon Terestrial TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi dari DD di TNS Total Stok Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
Carbon Accounting TNS Model BAU Stock Accounting pada kawasan Dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS Emission Accounting pada kawasan Dilindungi (TNS) Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi Karbon Terestrial TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi dari DD di TNS Total Stok Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
Tahun 2016
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2017
2018
29.345.514 19.300.107 1.067.231 49.712.853
21.923.688 1.622.678 14.057.350 1.320.525 38.924.240
16.366.520 2.791.471 10.261.555 1.505.042 30.924.588
12.205.242 3.621.655 7.505.756 1.639.755 24.972.408
9.088.941 4.199.490 5.499.749 1.738.302 20.526.482
6.754.903 4.589.520 4.035.917 1.810.519 17.190.859
5.006.467 4.840.037 2.965.233 1.863.518 14.675.256
3.696.401 4.987.161 2.180.397 1.902.460 12.766.419
2.714.483 5.057.899 1.603.915 1.931.096 11.307.393
3.111.285 90.768 1.679.484 4.881.537 4.881.537 44.831.316 sink
7.606.834 1.642.921 117.519 1.747.898 11.115.171 99.016 11.016.155 27.908.085 sink
11.010.054 2.875.909 137.002 1.855.833 15.878.798 175.892 15.702.906 15.221.682 sink
13.601.270 3.802.085 151.225 1.993.681 19.548.261 236.512 19.311.748 5.660.660 sink
15.589.760 4.498.647 161.628 2.154.097 22.404.132 285.140 22.118.992 (1.592.510) source
17.131.740 5.023.386 169.251 2.331.476 24.655.854 324.870 24.330.984 (7.140.124) source
18.343.779 5.419.571 174.845 2.521.548 26.459.744 357.959 26.101.785 (11.426.529) source
19.312.830 5.719.594 178.955 2.721.059 27.932.438 386.054 27.546.384 (14.779.965) source
20.103.713 5.947.707 181.977 2.927.534 29.160.931 410.363 28.750.568 (17.443.174) source
2023
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
464.335 4.818.703 338.330 1.993.483 7.614.851
287.245 4.715.236 244.348 1.997.921 7.244.749
153.292 4.604.753 174.476 2.001.123 6.933.644
51.597 4.489.822 122.435 2.003.407 6.667.262
4.363.650 81.453 2.005.004 6.450.107
4.217.005 54.191 2.006.066 6.277.263
4.073.610 36.052 2.006.773 6.116.435
22.703.482 6.507.557 188.563 4.012.164 33.411.766 499.227 32.912.539 (25.297.688) source
23.101.086 6.560.393 189.031 4.233.383 34.083.894 513.164 33.570.730 (26.325.981) source
23.484.673 6.604.058 189.370 4.454.856 34.732.957 526.316 34.206.641 (27.272.997) source
23.860.060 6.640.950 189.612 4.676.304 35.366.926 538.797 34.828.128 (28.160.866) source
24.216.476 6.664.032 189.782 4.897.516 35.967.805 550.693 35.417.112 (28.967.005) source
24.554.445 6.664.032 189.894 5.118.091 36.526.463 562.070 35.964.392 (29.687.129) source
24.901.677 6.664.032 189.970 5.337.400 37.093.078 572.981 36.520.096 (30.403.662) source
2019
2020
2021
2022
1.978.190 5.072.447 1.179.660 1.952.160 10.182.457
1.425.756 5.045.889 866.866 1.967.652 9.306.163
1.010.926 4.989.496 635.854 1.979.034 8.615.310
699.099 4.911.679 464.959 1.987.381 8.063.118
20.764.713 6.122.065 184.200 3.139.092 30.210.070 431.775 29.778.296 (19.595.839) source
21.331.761 6.256.265 185.835 3.354.299 31.128.160 450.942 30.677.218 (21.371.055) source
21.831.559 6.360.484 187.037 3.572.067 31.951.146 468.349 31.482.797 (22.867.487) source
22.283.913 6.442.345 187.918 3.791.565 32.705.741 484.355 32.221.386 (24.158.268) source
2031
2032
2033
2034
Final
3.933.366 23.984 2.007.243 5.964.593
3.796.169 15.956 2.007.556 5.819.680
3.661.928 10.615 2.007.764 5.680.307
3.530.543 7.061 2.007.903 5.545.507
3.401.919 4.697 2.007.995 5.414.611
3.275.968 3.126 2.008.056 5.287.150
25.257.653 6.664.032 190.019 5.555.444 37.667.148 583.466 37.083.681 (31.119.088) source
25.621.883 6.664.032 190.053 5.772.225 38.248.192 593.553 37.654.639 (31.834.958) source
25.993.903 6.664.032 190.075 5.987.745 38.835.754 603.264 38.232.490 (32.552.183) source
26.373.272 6.664.032 190.090 6.202.007 39.429.400 612.615 38.816.785 (33.271.278) source
26.759.575 6.664.032 190.099 6.415.016 40.028.722 621.620 39.407.103 (33.992.491) source
27.152.416 6.664.032 190.106 6.626.780 40.633.335 630.289 40.003.046 (34.715.896) source
264
Lampiran 16 No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
Carbon accounting pada skenario model BAU di Frontier Area (FA) (tCO2e)
Carbon Accounting FA Model BAU Stock Accounting pd kawasan tdk dilindungi (Frontier Area) Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Karbon Terestrial APL FA Total Stok Karbon Terestrial FA Emission Accounting pd kawasan tdk dilindungi (Frontier Area) Emisi Karbon Terestrial APL FA Emisi Karbon Terestrial Hmp FA Emisi Karbon Terestrial Hms FA Emisi Karbon Terestrial Hrs FA Total Emisi Karbon Terestrial FA Carbon regrowth FA Tot Net Emisi dari DD di FA Total Stok Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
Carbon Accounting FA Model BAU Stock Accounting pd kawasan tdk dilindungi (Frontier Area) Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Karbon Terestrial APL FA Total Stok Karbon Terestrial FA Emission Accounting pd kawasan tdk dilindungi (Frontier Area) Emisi Karbon Terestrial APL FA Emisi Karbon Terestrial Hmp FA Emisi Karbon Terestrial Hms FA Emisi Karbon Terestrial Hrs FA Total Emisi Karbon Terestrial FA Carbon regrowth FA Tot Net Emisi dari DD di FA Total Stok Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun 2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
12.199 10.835.459 1.981.590 25.065.571 37.894.819
65.175 9.211.224 1.882.510 394.584 11.553.494
9.346 7.830.464 1.788.385 6.212 9.634.407
13.334 6.656.676 1.698.966 98 8.369.075
13.971 5.658.837 1.614.018 3 7.286.829
13.489 4.810.580 1.533.315 6.357.385
13.254 4.089.475 1.456.652 5.559.382
13.078 3.476.458 1.383.819 4.873.355
12.971 2.955.340 1.314.628 4.282.940
12.922 2.512.336 1.248.896 3.774.155
12.924 2.135.733 1.186.451 3.335.108
12.691 1.815.588 1.127.127 2.955.405
12.276 1.543.430 1.070.771 2.626.477
5.867.783 453.733 2.419.478 8.740.994 8.740.994 29.153.824 sink
79.540 6.983.150 552.813 27.198.267 34.813.770 17.434 34.796.337 (23.242.843) source
1.610.582 7.931.324 646.938 27.588.338 37.777.182 32.758 37.744.425 (28.110.018) source
1.640.609 8.737.366 736.358 27.594.478 38.708.811 46.263 38.662.548 (30.293.474) source
1.733.392 9.422.583 821.306 27.594.575 39.571.856 58.198 39.513.658 (32.226.829) source
1.837.497 10.005.086 902.007 27.594.577 40.339.166 68.776 40.270.389 (33.913.004) source
1.921.951 10.500.271 978.673 27.594.577 40.995.471 78.179 40.917.292 (35.357.911) source
1.993.403 10.921.228 1.051.505 27.594.577 41.560.714 86.562 41.474.152 (36.600.797) source
2.053.314 11.279.084 1.120.696 27.594.577 42.047.671 94.058 41.953.612 (37.670.673) source
2.103.455 11.583.297 1.186.427 27.594.577 42.467.756 100.783 42.366.973 (38.592.818) source
2.145.264 11.841.909 1.248.872 27.594.577 42.830.622 106.833 42.723.788 (39.388.680) source
2.186.817 12.061.755 1.308.195 27.594.577 43.151.343 112.294 43.039.049 (40.083.644) source
2.227.617 12.248.645 1.364.551 27.594.577 43.435.390 117.238 43.318.152 (40.691.675) source
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
11.735 1.312.075 1.017.232 2.341.042
11.110 1.115.388 966.374 2.092.871
10.434 948.192 918.052 1.876.678
9.734 806.062 872.151 1.687.946
9.029 685.229 828.543 1.522.801
8.334 582.517 787.116 1.377.968
7.660 495.194 747.762 1.250.615
7.014 420.965 710.371 1.138.349
6.400 357.864 674.854 1.039.118
2.267.080 12.407.521 1.418.090 27.594.577 43.687.268 121.727 43.565.541 (41.224.498) source
2.304.801 12.542.582 1.468.951 27.594.577 43.910.911 125.816 43.785.095 (41.692.224) source
2.340.510 12.657.397 1.517.270 27.594.577 44.109.754 129.550 43.980.204 (42.103.526) source
2.374.047 12.755.001 1.563.173 27.594.577 44.286.797 132.970 44.153.827 (42.465.881) source
2.405.333 12.837.974 1.606.780 27.594.577 44.444.664 136.111 44.308.553 (42.785.752) source
2.434.353 12.908.510 1.648.207 27.594.577 44.585.647 139.002 44.446.645 (43.068.677) source
2.461.139 12.968.472 1.687.563 27.594.577 44.711.751 141.671 44.570.080 (43.319.465) source
2.485.757 13.019.446 1.724.951 27.594.577 44.824.730 144.140 44.680.591 (43.542.242) source
2.508.297 13.062.779 1.760.470 27.594.577 44.926.122 146.428 44.779.694 (43.740.576) source
Tahun
5.824 304.216 641.113 951.152
2.528.866 13.099.616 1.794.212 27.594.577 45.017.271 148.554 44.868.717 (43.917.565) source
5.284 258.621 609.054 872.959
2.547.581 13.130.931 1.826.268 27.594.577 45.099.357 150.533 44.948.824 (44.075.865) source
2034
4.784 219.852 578.603 803.239
2.564.564 13.157.553 1.856.721 27.594.577 45.173.414 152.378 45.021.035 (44.217.797) source
Final
4.321 186.893 549.674 740.888
2.579.937 13.180.183 1.885.651 27.594.577 45.240.348 154.102 45.086.246 (44.345.359) source
Rata-rata
173 7.476 21.987 29.636
103.197 527.207 75.426 1.103.783 1.809.614 6.164 1.803.450 (1.773.814) source
265
Lampiran 17
Perubahan tutupan lahan (land cover change) pada skenario model CC
No
Tutupan Lahan (Ha)
A 1 2 3 4 5
C
Areal dilindungi UU (TNS) Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Areal Penggunaan Lain Tambak TNS Sub Total (A) Areal tidak dilindungi UU (Frontier Area ) Areal Penggunaan Lain Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan sawit Tambak FA Pemukiman dan Infrastruktur Sub Total (B) Total DD dari TNS dan FA
No
Tutupan Lahan (Ha)
A 1 2 3 4 5
Areal dilindungi UU (TNS) Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Areal Penggunaan Lain Tambak TNS Sub Total (A) Areal tidak dilindungi UU (Frontier Area ) Areal Penggunaan Lain Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan rawa sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan sawit Tambak FA Pemukiman dan Infrastruktur Sub Total (B) Total DD dari TNS dan FA
B 1 2 3 4 5 6 7 8
B 1 2 3 4 5 6 7 8 C
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun 2016
2015
2017
2018
2019
2020
2021
2022
35.205 0 68.658 97.021 2.013 202.897
39.869 19 45.873 115.197 1.939 202.897
45.419 41 30.679 124.887 1.871 202.897
51.424 64 20.547 129.051 1.811 202.897
57.606 90 13.790 129.653 1.759 202.897
63.786 119 9.282 127.997 1.713 202.897
69.852 150 6.275 124.946 1.675 202.897
75.733 183 4.268 121.070 1.643 202.897
81.391 220 2.929 116.742 1.616 202.897
86.802 258 2.035 112.206 1.595 202.897
91.959 299 1.438 107.621 1.579 202.897
96.860 342 1.040 103.087 1.568 202.897
101.509 387 773 98.666 1.561 202.897
1.109 12.999 5.288 89.168 0 0 0 0 108.564 311.461
5.923 11.050 5.024 1.404 48.054 36.815 141 153 108.564 311.461
848 9.394 4.772 22 49.601 37.936 893 5.098 108.564 311.461
1.211 7.986 4.534 0 50.321 38.413 1.001 5.098 108.564 311.461
1.269 6.789 4.307 0 50.948 38.812 1.155 5.285 108.564 311.461
1.225 5.771 4.092 0 51.503 39.151 1.316 5.507 108.564 311.461
1.204 4.906 3.887 0 51.996 39.439 1.471 5.661 108.564 311.461
1.188 4.171 3.693 0 52.436 39.683 1.624 5.769 108.564 311.461
1.179 3.545 3.508 0 52.830 39.891 1.775 5.836 108.564 311.461
1.174 3.014 3.333 0 53.182 40.068 1.925 5.868 108.564 311.461
1.175 2.562 3.166 0 53.500 40.219 2.074 5.868 108.564 311.461
1.154 2.178 3.008 0 53.786 40.346 2.223 5.868 108.564 311.461
1.116 1.852 2.857 0 54.046 40.455 2.370 5.868 108.564 311.461
2031
2032
2023
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
2033
2034
Final
Rata-rata
105.913 434 596 94.397 1.558 202.897
110.081 483 477 90.299 1.558 202.897
114.022 533 398 86.383 1.561 202.897
117.746 586 346 82.652 1.567 202.897
121.265 640 311 79.105 1.576 202.897
124.589 695 289 75.738 1.586 202.897
127.726 752 274 72.546 1.599 202.897
130.688 811 265 69.520 1.613 202.897
133.483 870 260 66.655 1.629 202.897
136.120 931 257 63.942 1.646 202.897
138.607 994 257 61.375 1.664 202.897
140.954 1.057 257 58.946 1.683 202.897
143.166 1.121 258 56.648 1.703 202.897
5.727 45 10 2.266 68
1.067 1.574 2.715 0 54.281 40.547 2.511 5.868 108.564 311.461
1.010 1.338 2.579 0 54.496 40.626 2.647 5.868 108.564 311.461
949 1.138 2.450 0 54.692 40.693 2.775 5.868 108.564 311.461
885 967 2.327 0 54.871 40.749 2.896 5.868 108.564 311.461
821 822 2.211 0 55.036 40.798 3.008 5.868 108.564 311.461
758 699 2.100 0 55.188 40.839 3.112 5.868 108.564 311.461
696 594 1.995 0 55.328 40.874 3.208 5.868 108.564 311.461
638 505 1.896 0 55.457 40.903 3.297 5.868 108.564 311.461
582 429 1.801 0 55.577 40.928 3.378 5.868 108.564 311.461
529 365 1.711 0 55.689 40.950 3.452 5.868 108.564 311.461
480 310 1.625 0 55.793 40.968 3.519 5.868 108.564 311.461
435 264 1.544 0 55.889 40.984 3.580 5.868 108.564 311.461
393 224 1.467 0 55.980 40.997 3.635 5.868 108.564 311.461
16 9 59 2.239 1.640 145 235
266
Lampiran 18 No 1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6
No 1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6
Analisis biaya manfaat pengelolaan sumberdaya pesisir TNS pada opsi pemanfaatan carbon crediting skenario model CC (USD)
Variabel ECONOMIC BENEFITS Carbon Revenue Standing stok Fisheries Wildlife Biodiversity Physical value Existence value TOT ECONOMIC BENEFITS DF (10%) PV BENEFIT ECONOMIC COSTS Investment cost ecosystem Investmen cost project Biaya pengelolaan lingk Standing stock exploration Fisheries cost Wildlife cost TOT ECONOMIC COST DF (10%) PV COST NET ECONOMIC BENEFIT NPV with REDD+ BC Ratio
Variabel ECONOMIC BENEFITS Carbon Revenue Standing stok Fisheries Wildlife Biodiversity Physical value Existence value TOT ECONOMIC BENEFITS DF (10%) PV BENEFIT ECONOMIC COSTS Investment cost ecosystem Investmen cost project Biaya pengelolaan lingk Standing stock exploration Fisheries cost Wildlife cost TOT ECONOMIC COST DF (10%) PV COST NET ECONOMIC BENEFIT
2010 1,0000 19.391.222 1.900.000 7.959.343 29.250.564 1,0000 29.250.564 (29.250.564) 5.076.109.650 7,56
2023
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun 2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
61.037.079 13.830.842 127.599.158 689.027 1.257.349 60.877.499 210.932.915 476.223.870 0,9091 432.930.791
107.259.619 12.254.093 113.052.549 610.477 1.114.008 53.937.319 186.886.059 475.114.124 0,8264 392.656.300
142.412.106 11.586.858 106.896.843 577.236 1.053.351 51.000.434 176.710.121 490.236.950 0,7513 368.322.276
169.291.853 11.504.864 106.140.386 573.151 1.045.897 50.639.529 175.459.630 514.655.310 0,6830 351.516.502
189.992.924 11.793.077 108.799.356 587.510 1.072.098 51.908.122 179.855.147 544.008.234 0,6209 337.786.312
206.075.942 12.309.230 113.561.224 613.223 1.119.021 54.180.008 187.726.945 575.585.593 0,5645 324.903.062
218.708.205 12.959.503 119.560.445 645.619 1.178.137 57.042.233 197.644.197 607.738.338 0,5132 311.865.862
228.761.877 13.682.320 126.228.938 681.628 1.243.847 60.223.768 208.667.818 639.490.198 0,4665 298.326.897
236.888.793 14.437.549 133.196.454 719.252 1.312.504 63.547.966 220.185.750 670.288.268 0,4241 284.267.659
243.576.134 15.199.303 140.224.166 757.202 1.381.755 66.900.885 231.803.192 699.842.637 0,3855 269.819.633
249.187.576 15.951.146 147.160.435 794.657 1.450.104 70.210.176 243.269.471 728.023.564 0,3505 255.167.818
253.995.636 16.682.895 153.911.336 831.112 1.516.627 73.431.027 254.429.319 754.797.952 0,3186 240.501.890
9.319.096 8.627.931 57.163.289 49.456 75.159.772 0,9091 68.327.065 364.603.726
10.041.972 7.644.326 50.646.538 43.818 68.376.653 0,8264 56.509.631 336.146.670
10.350.413 7.228.093 47.888.836 41.432 65.508.774 0,7513 49.217.711 319.104.565
10.391.984 7.176.943 47.549.950 41.139 65.160.016 0,6830 44.505.167 307.011.334
10.264.553 7.356.736 48.741.145 42.169 66.404.603 0,6209 41.232.034 296.554.278
14.203.359 10.032.949 7.678.721 50.874.420 44.015 82.833.465 0,5645 46.757.331 278.145.731
9.740.084 8.084.373 53.562.017 46.340 71.432.815 0,5132 36.656.329 275.209.533
9.413.575 8.535.280 56.549.443 48.925 74.547.223 0,4665 34.776.830 263.550.067
9.071.780 9.006.406 59.670.828 51.625 77.800.639 0,4241 32.995.066 251.272.593
8.726.639 9.481.602 62.819.181 54.349 81.081.771 0,3855 31.260.533 238.559.100
8.385.663 9.950.615 65.926.568 57.037 84.319.883 0,3505 29.553.605 225.614.214
19.250.039 8.053.517 10.407.093 68.950.912 59.654 106.721.215 0,3186 34.004.668 206.497.222
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
2031
2032
2033
2034
Final
258.203.749 17.388.500 160.421.034 866.263 1.580.773 76.536.801 265.190.437 780.187.558 0,2897 225.992.544
261.963.952 18.064.621 166.658.723 899.947 1.642.238 79.512.800 275.501.900 804.244.181 0,2633 211.782.630
265.389.865 18.709.691 172.609.937 932.083 1.700.881 82.352.121 285.339.792 827.034.369 0,2394 197.985.453
268.566.388 19.323.285 178.270.774 962.651 1.756.662 85.052.904 294.697.666 848.630.330 0,2176 184.686.688
271.318.668 19.905.712 183.644.069 991.666 1.809.610 87.616.500 303.580.207 868.866.433 0,1978 171.900.593
273.560.312 20.457.734 188.736.853 1.019.167 1.859.794 90.046.265 311.999.038 887.679.163 0,1799 159.656.901
275.797.836 20.980.385 193.558.676 1.045.205 1.907.308 92.346.755 319.969.948 905.606.113 0,1635 148.073.837
278.030.786 21.474.855 198.120.508 1.069.838 1.952.260 94.523.203 327.511.067 922.682.518 0,1486 137.150.878
280.258.752 21.942.409 202.434.014 1.093.131 1.994.764 96.581.174 334.641.681 938.945.925 0,1351 126.880.313
282.481.369 22.384.334 206.511.087 1.115.147 2.034.940 98.526.344 341.381.450 954.434.671 0,1228 117.248.453
284.698.314 22.801.914 210.363.551 1.135.950 2.072.901 100.364.353 347.749.921 969.186.905 0,1117 108.237.024
286.909.308 23.196.402 214.002.973 1.155.603 2.108.764 102.100.720 353.766.214 983.239.983 0,1015 99.824.035
289.114.110 23.569.010 217.440.548 1.174.165 2.142.637 103.740.785 359.448.835 996.630.091 0,0923 91.984.927
7.733.234 10.847.263 71.867.199 62.177 90.509.872 0,2897 26.217.486 199.775.058
7.426.173 11.269.039 74.661.628 64.595 93.421.435 0,2633 24.600.784 187.181.846
7.133.012 11.671.445 77.327.719 66.901 96.199.077 0,2394 23.029.294 174.956.159
6.853.966 12.054.217 79.863.723 69.095 98.841.001 0,2176 21.510.682 163.176.006
6.588.917 12.417.545 82.270.912 71.178 101.348.552 0,1978 20.051.271 151.849.322
23.605.745 6.337.228 12.761.906 84.552.434 73.152 127.330.465 0,1799 22.901.503 136.755.398
6.098.882 13.087.946 86.712.568 75.021 105.974.417 0,1635 17.327.664 130.746.173
5.873.420 13.396.405 88.756.228 76.789 108.102.842 0,1486 16.068.799 121.082.080
5.660.343 13.688.074 90.688.640 78.461 110.115.518 0,1351 14.879.974 112.000.338
5.458.831 13.963.755 92.515.133 80.041 112.017.759 0,1228 13.760.930 103.487.523
5.268.062 14.224.249 94.241.003 81.534 113.814.848 0,1117 12.710.634 95.526.390
26.765.836 5.087.355 14.470.337 95.871.431 82.945 142.277.905 0,1015 14.444.850 85.379.184
4.916.294 14.702.777 97.411.434 84.277 117.114.782 0,0923 10.809.221 81.175.706
267
Lampiran 19 No 1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6
No 1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6
Analisis biaya manfaat pengelolaan sumberdaya pesisir TNS pada opsi pemanfaatan sylvofishery skenario model CC (USD)
Variabel ECONOMIC BENEFITS Revenue of Shrimp Sylvofishery Standing stock Fisheries Wildlife Biodiversity Physical value Existence value TOT ECONOMIC BENEFITS DF (10%) PV BENEFIT ECONOMIC COSTS Investment cost ecosystem Shrimp Sylvofishery cost Standing stock exploration cost Fisheries cost Wildlife cost Externality TOT ECONOMIC COST DF (10%) PV COST NET ECONOMIC BENEFIT NPV without REDD+ BC ratio
Variabel ECONOMIC BENEFITS Revenue of Shrimp Sylvofishery Standing stock Fisheries Wildlife Biodiversity Physical value Existence value TOT ECONOMIC BENEFITS DF (10%) PV BENEFIT ECONOMIC COSTS Investment cost ecosystem Shrimp Sylvofishery cost Standing stock exploration cost Fisheries cost Wildlife cost Externality TOT ECONOMIC COST DF (10%) PV COST NET ECONOMIC BENEFIT
2010 1,0000 308.935 308.935 1,0000 308.935 (308.935) 3.411.674.870 6,18
2023 1.945.102 17.388.501 160.421.045 866.264 1.580.773 76.536.806 265.190.455 523.928.945 0,2897 151.763.552 335.685 10.847.263 71.867.203 62.177 1.286.583 84.398.912 0,2897 24.447.358 127.316.194
2011
2012
2013
2014
2015
2.420.518 13.830.842 127.599.158 689.027 1.257.349 60.877.499 210.932.915 417.607.309 0,9091 379.643.008
2.336.592 12.254.093 113.052.549 610.477 1.114.008 53.937.319 186.886.059 370.191.096 0,8264 305.943.055
2.261.817 11.586.858 106.896.843 577.236 1.053.351 51.000.434 176.710.121 350.086.660 0,7513 263.025.289
2.196.198 11.504.864 106.140.386 573.151 1.045.897 50.639.529 175.459.630 347.559.655 0,6830 237.387.921
2.139.470 11.793.077 108.799.356 587.510 1.072.098 51.908.122 179.855.147 356.154.780 0,6209 221.144.097
417.732 8.627.931 57.163.289 49.456 1.601.046 67.859.454 0,9091 61.690.413 317.952.595
403.248 7.644.326 50.646.538 43.818 1.545.533 60.283.463 0,8264 49.821.044 256.122.011
390.344 7.228.093 47.888.836 41.432 1.496.074 57.044.778 0,7513 42.858.586 220.166.703
379.019 7.176.943 47.549.950 41.139 1.452.670 56.599.721 0,6830 38.658.371 198.729.550
369.229 7.356.736 48.741.145 42.169 1.415.147 57.924.427 0,6209 35.966.512 185.177.586
2024
2025
2026
2027
2028
1.945.260 18.064.623 166.658.737 899.947 1.642.238 79.512.806 275.501.921 544.225.533 0,2633 143.311.593 335.713 11.269.040 74.661.634 64.595 1.286.688 87.617.669 0,2633 23.072.471 120.239.122
1.949.266 18.709.692 172.609.953 932.083 1.700.881 82.352.129 285.339.819 563.593.823 0,2394 134.919.881 336.404 11.671.446 77.327.726 66.901 1.289.337 90.691.815 0,2394 21.710.899 113.208.981
1.956.722 19.323.287 178.270.793 962.651 1.756.662 85.052.913 294.697.698 582.020.727 0,2176 126.664.670 337.691 12.054.218 79.863.732 69.095 1.294.269 93.619.005 0,2176 20.374.223 106.290.446
1.967.261 19.905.715 183.644.092 991.667 1.809.610 87.616.511 303.580.246 599.515.102 0,1978 118.610.867 339.509 12.417.547 82.270.922 71.178 1.301.240 96.400.397 0,1978 19.072.305 99.538.563
1.980.543 20.457.737 188.736.880 1.019.167 1.859.794 90.046.278 311.999.083 616.099.482 0,1799 110.810.908 243.428 341.802 12.761.908 84.552.446 73.152 1.310.026 99.282.761 0,1799 17.856.877 92.954.031
Tahun 2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2.091.209 12.309.230 113.561.225 613.223 1.119.021 54.180.008 187.726.946 371.600.862 0,5645 209.758.999
2.050.902 12.959.503 119.560.446 645.619 1.178.137 57.042.233 197.644.199 391.081.038 0,5132 200.686.410
2.017.995 13.682.320 126.228.940 681.628 1.243.847 60.223.769 208.667.822 412.746.322 0,4665 192.549.205
1.991.923 14.437.549 133.196.457 719.252 1.312.505 63.547.968 220.185.755 435.391.409 0,4241 184.648.460
1.972.126 15.199.304 140.224.170 757.202 1.381.755 66.900.887 231.803.199 458.238.642 0,3855 176.670.834
1.958.062 15.951.146 147.160.441 794.657 1.450.104 70.210.178 243.269.481 480.794.070 0,3505 168.515.389
1.949.217 16.682.896 153.911.344 831.112 1.516.627 73.431.031 254.429.332 502.751.559 0,3186 160.192.141
257.030 360.900 7.678.721 50.874.420 44.015 1.383.225 60.598.312 0,5645 34.206.167 175.552.832
353.944 8.084.373 53.562.018 46.340 1.356.564 63.403.240 0,5132 32.535.887 168.150.522
348.265 8.535.280 56.549.444 48.925 1.334.798 66.816.712 0,4665 31.170.489 161.378.716
343.766 9.006.406 59.670.830 51.625 1.317.553 70.390.179 0,4241 29.852.307 154.796.152
340.349 9.481.602 62.819.183 54.349 1.304.458 73.999.941 0,3855 28.530.181 148.140.653
337.922 9.950.615 65.926.571 57.037 1.295.156 77.567.301 0,3505 27.186.866 141.328.523
239.578 336.395 10.407.094 68.950.915 59.654 1.289.305 81.282.941 0,3186 25.899.250 134.292.891
2030
2031
2032
2033
2034
Final
2.014.107 21.474.859 198.120.544 1.069.838 1.952.260 94.523.220 327.511.126 646.665.955 0,1486 96.122.775 347.594 13.396.408 88.756.244 76.789 1.332.226 103.909.261 0,1486 15.445.450 80.677.325
2.033.834 21.942.413 202.434.054 1.093.131 1.994.765 96.581.194 334.641.748 660.721.139 0,1351 89.283.634 350.999 13.688.076 90.688.658 78.461 1.345.275 106.151.469 0,1351 14.344.310 74.939.324
2.055.191 22.384.339 206.511.133 1.115.147 2.034.940 98.526.366 341.381.526 674.008.642 0,1228 82.799.246 354.684 13.963.758 92.515.153 80.041 1.359.401 108.273.038 0,1228 13.300.906 69.498.339
2.077.955 22.801.920 210.363.602 1.135.950 2.072.902 100.364.377 347.750.006 686.566.713 0,1117 76.674.517 358.613 14.224.252 94.241.026 81.534 1.374.459 110.279.884 0,1117 12.315.856 64.358.661
2.101.921 23.196.408 214.003.030 1.155.603 2.108.764 102.100.747 353.766.309 698.432.782 0,1015 70.908.811 258.347 362.749 14.470.341 95.871.457 82.945 1.390.311 112.436.149 0,1015 11.415.148 59.493.663
2.126.901 23.569.017 217.440.611 1.174.166 2.142.638 103.740.815 359.448.939 709.643.086 0,0923 65.497.187 367.060 14.702.781 97.411.462 84.277 1.406.834 113.972.415 0,0923 10.519.193 54.977.994
Tahun 2029 1.996.255 20.980.389 193.558.707 1.045.205 1.907.308 92.346.770 319.969.999 631.804.633 0,1635 103.305.107 344.513 13.087.948 86.712.582 75.021 1.320.418 101.540.482 0,1635 16.602.680 86.702.427
268
Lampiran 20 No
Stock accounting pada kawasan dilindungi (TNS) dan kawasan tidak dilindungi (frontier area) pada skenario model CC
Stock Accounting Model CC
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun 2016
2015
2017
2018
2019
2020
2021
2022
A Karbon Terestrial Dilindungi (TNS) (tCO2e) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS B Karbon Terestrial tdk Dilindungi (FA) (tCO2e)
29.344.893 19.300.107 1.067.231 49.712.231
33.232.939 7.292 12.895.090 1.267.163 47.402.485
37.858.388 15.225 8.624.105 1.373.759 47.871.477
42.863.799 24.024 5.775.893 1.419.558 50.083.274
48.016.864 33.763 3.876.297 1.426.181 53.353.106
53.168.395 44.466 2.609.208 1.407.966 57.230.035
58.224.294 56.135 1.763.886 1.374.406 61.418.721
63.126.896 68.756 1.199.835 1.331.765 65.727.251
67.842.592 82.295 823.382 1.284.157 70.032.426
72.353.520 96.726 572.077 1.234.268 74.256.591
76.652.086 112.012 404.280 1.183.833 78.352.210
80.737.307 128.110 292.220 1.133.958 82.291.595
84.612.409 144.984 217.384 1.085.330 86.060.107
Karbon Terestrial APL FA Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Total Stok Karbon Terestrial FA C Total Stok Karbon TNS dan FA
308.614 10.835.230 1.981.590 25.065.571 38.191.004 87.903.235
1.648.363 9.211.029 1.882.510 394.584 13.136.486 60.538.971
236.033 7.830.298 1.788.385 6.212 9.860.928 57.732.404
336.968 6.656.535 1.698.966 98 8.692.568 58.775.842
353.019 5.658.717 1.614.018 3 7.625.757 60.978.863
340.869 4.810.479 1.533.315 6.684.663 63.914.698
334.970 4.089.389 1.456.652 5.881.011 67.299.732
330.570 3.476.384 1.383.819 5.190.773 70.918.025
327.954 2.955.278 1.314.628 4.597.861 74.630.287
326.813 2.512.283 1.248.896 4.087.993 78.344.583
326.966 2.135.688 1.186.451 3.649.105 82.001.316
321.061 1.815.549 1.127.127 3.263.737 85.555.332
310.570 1.543.397 1.070.771 2.924.738 88.984.845
No
Stock Accounting Model CC
Tahun 2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
Final
Rata-rata
A Karbon Terestrial Dilindungi (TNS) (tCO2e) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS B Karbon Terestrial tdk Dilindungi (FA) (tCO2e)
88.283.200 162.601 167.418 1.038.362 89.651.581
91.757.000 180.921 134.087 993.285 93.065.294
95.041.995 199.913 111.891 950.210 96.304.008
98.146.735 219.541 97.158 909.172 99.372.607
101.079.866 239.777 87.443 870.158 102.277.244
103.849.930 260.586 81.104 833.122 105.024.743
106.465.272 281.942 77.045 798.002 107.622.262
108.933.928 303.823 74.535 764.723 110.077.008
111.263.623 326.194 73.076 733.205 112.396.098
113.461.752 349.042 72.342 703.367 114.586.503
115.535.349 372.339 72.109 675.127 116.654.924
117.491.109 396.059 72.221 648.406 118.607.795
119.335.373 420.192 72.581 623.125 120.451.272
4.773.415 16.808 2.903 4.818.051
Karbon Terestrial APL FA Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Total Stok Karbon Terestrial FA C Total Stok Karbon TNS dan FA
296.870 1.312.047 1.017.232 2.626.150 92.277.731
281.053 1.115.364 966.374 2.362.791 95.428.084
263.961 948.172 918.052 2.130.185 98.434.193
246.254 806.045 872.151 1.924.449 101.297.056
228.424 685.214 828.543 1.742.182 104.019.425
210.843 582.505 787.116 1.580.464 106.605.207
193.781 495.183 747.762 1.436.726 109.058.987
177.429 420.956 710.371 1.308.756 111.385.764
161.918 357.857 674.854 1.194.628 113.590.726
147.322 304.210 641.113 1.092.645 115.679.147
133.686 258.615 609.054 1.001.356 117.656.280
121.022 219.847 578.603 919.472 119.527.267
109.320 186.889 549.674 845.883 121.297.154
4.373 7.476 21.987 33.835 4.851.886
269
Lampiran 21 No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
Carbon accounting pada skenario model CC di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) (tCO2e)
Carbon Accounting TNS Model CC Stock Accounting pada kawasan dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS Emission Accounting pada kawasan dilindungi (TNS) Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi Karbon Terestrial TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi dari DD di TNS Total Stok Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
Carbon Accounting TNS Model CC Stock Accounting pada kawasan dilindungi (TNS) Karbon Terestrial Hmp TNS Karbon Terestrial Hms TNS Karbon Terestrial Hrs TNS Karbon Terestrial APL TNS Total Stok Karbon Terestrial TNS Emission Accounting pada kawasan dilindungi (TNS) Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi Karbon Terestrial TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi dari DD di TNS Total Stok Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun 2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
29.344.893 19.300.107 1.067.231 49.712.231
33.232.939 7.292 12.895.090 1.267.163 47.402.485
37.858.388 15.225 8.624.105 1.373.759 47.871.477
42.863.799 24.024 5.775.893 1.419.558 50.083.274
48.016.864 33.763 3.876.297 1.426.181 53.353.106
53.168.395 44.466 2.609.208 1.407.966 57.230.035
58.224.294 56.135 1.763.886 1.374.406 61.418.721
63.126.896 68.756 1.199.835 1.331.765 65.727.251
67.842.592 82.295 823.382 1.284.157 70.032.426
72.353.520 96.726 572.077 1.234.268 74.256.591
76.652.086 112.012 404.280 1.183.833 78.352.210
80.737.307 128.110 292.220 1.133.958 82.291.595
84.612.409 144.984 217.384 1.085.330 86.060.107
3.111.285 90.768 1.679.484 4.881.537 4.881.537 44.830.694 sink
3.218.709 375 90.902 1.701.036 5.011.022 99.016 4.912.006 42.490.479 sink
3.340.095 749 90.991 1.725.492 5.157.327 180.776 4.976.552 42.894.925 sink
3.478.081 1.124 91.051 1.753.302 5.323.558 253.361 5.070.197 45.013.077 sink
3.634.028 1.499 91.091 1.784.755 5.511.373 322.034 5.189.339 48.163.767 sink
3.808.466 1.874 91.118 1.819.966 5.721.423 390.184 5.331.239 51.898.796 sink
4.001.389 2.248 91.136 1.858.939 5.953.713 459.955 5.493.758 55.924.963 sink
4.212.459 2.623 91.148 1.901.608 6.207.839 532.671 5.675.167 60.052.084 sink
4.441.129 2.998 91.156 1.947.865 6.483.147 609.114 5.874.033 64.158.393 sink
4.686.730 3.373 91.162 1.997.573 6.778.838 689.709 6.089.130 68.167.461 sink
4.948.534 3.747 91.166 2.050.587 7.094.034 774.646 6.319.388 72.032.823 sink
5.225.782 4.122 91.169 2.106.751 7.427.824 863.970 6.563.853 75.727.742 sink
5.517.712 4.497 91.171 2.165.912 7.779.291 957.627 6.821.664 79.238.443 sink
2023
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
2031
2032
2033
2034
Final
88.283.200 162.601 167.418 1.038.362 89.651.581
91.757.000 180.921 134.087 993.285 93.065.294
95.041.995 199.913 111.891 950.210 96.304.008
98.146.735 219.541 97.158 909.172 99.372.607
101.079.866 239.777 87.443 870.158 102.277.244
103.849.930 260.586 81.104 833.122 105.024.743
106.465.272 281.942 77.045 798.002 107.622.262
108.933.928 303.823 74.535 764.723 110.077.008
111.263.623 326.194 73.076 733.205 112.396.098
113.461.752 349.042 72.342 703.367 114.586.503
115.535.349 372.339 72.109 675.127 116.654.924
117.491.109 396.059 72.221 648.406 118.607.795
119.335.373 420.192 72.581 623.125 120.451.272
5.823.575 4.872 91.172 2.227.917 8.147.535 1.055.506 7.092.030 82.559.551 sink
6.142.642 5.246 91.174 2.292.617 8.531.679 1.157.458 7.374.221 85.691.073 sink
6.474.210 5.621 91.174 2.359.870 8.930.875 1.263.316 7.667.559 88.636.449 sink
6.817.605 5.996 91.175 2.429.538 9.344.314 1.372.905 7.971.410 91.401.197 sink
7.172.186 6.370 91.176 2.501.491 9.771.223 1.486.045 8.285.179 93.992.065 sink
7.537.339 6.745 91.177 2.575.603 10.210.864 1.602.557 8.608.307 96.416.436 sink
7.912.484 7.120 91.177 2.651.757 10.662.539 1.722.270 8.940.269 98.681.993 sink
8.297.070 7.495 91.178 2.729.840 11.125.582 1.845.014 9.280.568 100.796.440 sink
8.690.573 7.869 91.178 2.809.745 11.599.366 1.970.629 9.628.737 102.767.361 sink
9.092.499 8.244 91.179 2.891.371 12.083.293 2.098.960 9.984.334 104.602.169 sink
9.502.380 8.619 91.179 2.974.624 12.576.801 2.229.861 10.346.941 106.307.984 sink
9.919.771 8.994 91.180 3.059.411 13.079.356 2.363.192 10.716.164 107.891.631 sink
10.344.255 9.368 91.180 3.145.648 13.590.451 2.498.820 11.091.631 109.359.640 sink
270
Lampiran 22 No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
C D
Carbon accounting pada skenario model CC di kawasan pesisir yang tidak dilindungi (Frontier Area) (tCO2e)
Carbon Accounting FA Model CC Stock Accounting pada kawasan tdk dilindungi (Frontier Area) Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Karbon Terestrial APL FA Total Stok Karbon Terestrial FA Emission Accounting pada kawasan tdk dilindungi (Frontier Area) Emisi Karbon Terestrial APL FA Emisi Karbon Terestrial Hmp FA Emisi Karbon Terestrial Hms FA Emisi Karbon Terestrial Hrs FA Total Emisi Karbon Terestrial FA Carbon regrowth FA Tot Net Emisi dr DD di FA Total Stok Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
Carbon Accounting FA Model CC Stock Accounting pada kawasan tdk dilindungi (Frontier Area) Karbon Terestrial Hmp FA Karbon Terestrial Hms FA Karbon Terestrial Hrs FA Karbon Terestrial APL FA Total Stok Karbon Terestrial FA Emission Accounting pada kawasan tdk dilindungi (Frontier Area) Emisi Karbon Terestrial APL FA Emisi Karbon Terestrial Hmp FA Emisi Karbon Terestrial Hms FA Emisi Karbon Terestrial Hrs FA Total Emisi Karbon Terestrial FA Carbon regrowth FA Tot Net Emisi dr DD di FA Total Stok Karbon/Emisi CO2 Carbon Balance
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun 2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
308.614 10.835.230 1.981.590 25.065.571 38.191.004
1.648.363 9.211.029 1.882.510 394.584 13.136.486
236.033 7.830.298 1.788.385 6.212 9.860.928
336.968 6.656.535 1.698.966 98 8.692.568
353.019 5.658.717 1.614.018 3 7.625.757
340.869 4.810.479 1.533.315 6.684.663
334.970 4.089.389 1.456.652 5.881.011
330.570 3.476.384 1.383.819 5.190.773
327.954 2.955.278 1.314.628 4.597.861
326.813 2.512.283 1.248.896 4.087.993
326.966 2.135.688 1.186.451 3.649.105
321.061 1.815.549 1.127.127 3.263.737
310.570 1.543.397 1.070.771 2.924.738
5.867.783 453.733 2.419.478 8.740.994 8.740.994 29.450.010 sink
79.981 6.983.150 552.813 27.198.267 34.814.211 17.434 34.796.778 (21.660.292) source
1.610.975 7.931.324 646.938 27.588.338 37.777.575 32.758 37.744.818 (27.883.890) source
1.640.950 8.737.366 736.358 27.594.478 38.709.152 46.263 38.662.889 (29.970.321) source
1.733.861 9.422.583 821.306 27.594.575 39.572.324 58.198 39.514.126 (31.888.369) source
1.837.949 10.005.086 902.007 27.594.577 40.339.618 68.776 40.270.841 (33.586.178) source
1.922.384 10.500.271 978.673 27.594.577 40.995.904 78.179 40.917.725 (35.036.715) source
1.993.800 10.921.228 1.051.505 27.594.577 41.561.110 86.562 41.474.548 (36.283.775) source
2.053.661 11.279.084 1.120.696 27.594.577 42.048.017 94.058 41.953.959 (37.356.099) source
2.103.741 11.583.297 1.186.427 27.594.577 42.468.042 100.783 42.367.260 (38.279.267) source
2.145.481 11.841.909 1.248.872 27.594.577 42.830.839 106.833 42.724.005 (39.074.900) source
2.187.003 12.061.755 1.308.195 27.594.577 43.151.529 112.294 43.039.235 (39.775.497) source
2.227.775 12.248.645 1.364.551 27.594.577 43.435.548 117.238 43.318.310 (40.393.572) source
2023
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
2031
2032
2033
296.870 1.312.047 1.017.232 2.626.150
281.053 1.115.364 966.374 2.362.791
263.961 948.172 918.052 2.130.185
246.254 806.045 872.151 1.924.449
228.424 685.214 828.543 1.742.182
210.843 582.505 787.116 1.580.464
193.781 495.183 747.762 1.436.726
177.429 420.956 710.371 1.308.756
161.918 357.857 674.854 1.194.628
147.322 304.210 641.113 1.092.645
133.686 258.615 609.054 1.001.356
121.022 219.847 578.603 919.472
109.320 186.889 549.674 845.883
2.267.215 12.407.521 1.418.090 27.594.577 43.687.403 121.727 43.565.675 (40.939.525) source
2.304.915 12.542.582 1.468.951 27.594.577 43.911.025 125.816 43.785.209 (41.422.418) source
2.340.606 12.657.397 1.517.270 27.594.577 44.109.850 129.550 43.980.300 (41.850.115) source
2.374.127 12.755.001 1.563.173 27.594.577 44.286.877 132.970 44.153.907 (42.229.458) source
2.405.399 12.837.974 1.606.780 27.594.577 44.444.730 136.111 44.308.620 (42.566.438) source
2.434.407 12.908.510 1.648.207 27.594.577 44.585.701 139.002 44.446.699 (42.866.235) source
2.461.183 12.968.472 1.687.563 27.594.577 44.711.794 141.671 44.570.123 (43.133.398) source
2.485.791 13.019.446 1.724.951 27.594.577 44.824.765 144.140 44.680.625 (43.371.869) source
2.508.324 13.062.779 1.760.470 27.594.577 44.926.149 146.428 44.779.720 (43.585.092) source
2.528.886 13.099.616 1.794.212 27.594.577 45.017.291 148.554 44.868.737 (43.776.092) source
2.547.595 13.130.931 1.826.268 27.594.577 45.099.371 150.533 44.948.837 (43.947.482) source
2.564.572 13.157.553 1.856.721 27.594.577 45.173.422 152.378 45.021.043 (44.101.571) source
2.579.941 13.180.183 1.885.651 27.594.577 45.240.352 154.102 45.086.250 (44.240.367) source
2034
Final
271
Lampiran 23 No
Nilai jual jasa lingkungan (NJ2L) carbon crediting pengelolaan sumberdaya mangrove di kawasan TNS (USD)
Pihak penerima NJ2L
A Net Carbon Revenue B Pihak penerima NJ2L 1 Pemerintah pusat (20%) 2 Pemerintah kab/kota (20%) 3 Pemerintah provinsi (10%) 4 Masyarakat (20%) 5 Developer (30%) Total NJ2L terdistribusi
No
Pihak penerima NJ2L
A Net Carbon Revenue B Pihak penerima NJ2L 1 Pemerintah pusat (20%) 2 Pemerintah kab/kota (20%) 3 Pemerintah provinsi (10%) 4 Masyarakat (20%) 5 Developer (30%) Total NJ2L terdistribusi
0
2011 61.037.079
2012 107.259.619
2013 142.412.106
2014 169.291.853
2015 189.992.924
Tahun 2016 206.075.942
2017 218.708.205
2018 228.761.877
2019 236.888.793
2020 243.576.134
2021 249.187.576
2022 253.995.636
0 0 0 0 0 0
12.207.416 12.207.416 6.103.708 12.207.416 18.311.124 61.037.079
21.451.924 21.451.924 10.725.962 21.451.924 32.177.886 107.259.619
28.482.421 28.482.421 14.241.211 28.482.421 42.723.632 142.412.106
33.858.371 33.858.371 16.929.185 33.858.371 50.787.556 169.291.853
37.998.585 37.998.585 18.999.292 37.998.585 56.997.877 189.992.924
41.215.188 41.215.188 20.607.594 41.215.188 61.822.783 206.075.942
43.741.641 43.741.641 21.870.820 43.741.641 65.612.461 218.708.205
45.752.375 45.752.375 22.876.188 45.752.375 68.628.563 228.761.877
47.377.759 47.377.759 23.688.879 47.377.759 71.066.638 236.888.793
48.715.227 48.715.227 24.357.613 48.715.227 73.072.840 243.576.134
49.837.515 49.837.515 24.918.758 49.837.515 74.756.273 249.187.576
50.799.127 50.799.127 25.399.564 50.799.127 76.198.691 253.995.636
2023 258.203.749
2024 261.963.952
2025 265.389.865
2026 268.566.388
2027 271.318.668
2028 273.560.312
Tahun 2029 275.797.836
2030 278.030.786
2031 280.258.752
2032 282.481.369
2033 284.698.314
2034 286.909.308
Final 289.114.110
51.640.750 51.640.750 25.820.375 51.640.750 77.461.125 258.203.749
52.392.790 52.392.790 26.196.395 52.392.790 78.589.185 261.963.952
53.077.973 53.077.973 26.538.987 53.077.973 79.616.960 265.389.865
53.713.278 53.713.278 26.856.639 53.713.278 80.569.916 268.566.388
54.263.734 54.263.734 27.131.867 54.263.734 81.395.600 271.318.668
54.712.062 54.712.062 27.356.031 54.712.062 82.068.094 273.560.312
55.159.567 55.159.567 27.579.784 55.159.567 82.739.351 275.797.836
55.606.157 55.606.157 27.803.079 55.606.157 83.409.236 278.030.786
56.051.750 56.051.750 28.025.875 56.051.750 84.077.626 280.258.752
56.496.274 56.496.274 28.248.137 56.496.274 84.744.411 282.481.369
56.939.663 56.939.663 28.469.831 56.939.663 85.409.494 284.698.314
57.381.862 57.381.862 28.690.931 57.381.862 86.072.792 286.909.308
57.822.822 57.822.822 28.911.411 57.822.822 86.734.233 289.114.110
2010
272
Lampiran 24 No A 1 2 3 4
B 1 2 3 4
C
No A 1 2 3 4
B 1 2 3 4
C
Emission reduction accounting hasil simulasi model BAU dan model CC pada berbagai tipe tutupan lahan selama periode komitmen pengelolaan 25 tahun (tCO2e)
Emission Reduction Accounting Model BAU dan Model CC Emission Accounting Model BAU Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi CO2 TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi CO2 dari DD di TNS Emission Accounting Model CC Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi CO2 TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi CO2 dari DD di TNS Total Emisi CO2 Terhindarkan (avoided emission )
Emission Reduction Accounting Model BAU dan Model CC Emission Accounting Model BAU Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi CO2 TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi CO2 dari DD di TNS Emission Accounting Model CC Emisi dr DD Hmp TNS Emisi dr DD Hms TNS Emisi dr DD Hrs TNS Emisi Tambak TNS Total Emisi CO2 TNS Carbon regrowth TNS Tot Net Emisi CO2 dari DD di TNS Total Emisi CO2 Terhindarkan (avoided emission )
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun 2016
2015
2017
2018
2019
2020
2021
2022
3.111.285 90.768 1.679.484 4.881.537 4.881.537
7.606.834 1.642.921 117.519 1.747.898 11.115.171 99.016 11.016.155
11.010.054 2.875.909 137.002 1.855.833 15.878.798 175.892 15.702.906
13.601.270 3.802.085 151.225 1.993.681 19.548.261 236.512 19.311.748
15.589.760 4.498.647 161.628 2.154.097 22.404.132 285.140 22.118.992
17.131.740 5.023.386 169.251 2.331.476 24.655.854 324.870 24.330.984
18.343.779 5.419.571 174.845 2.521.548 26.459.744 357.959 26.101.785
19.312.830 5.719.594 178.955 2.721.059 27.932.438 386.054 27.546.384
20.103.713 5.947.707 181.977 2.927.534 29.160.931 410.363 28.750.568
20.764.713 6.122.065 184.200 3.139.092 30.210.070 431.775 29.778.296
21.331.761 6.256.265 185.835 3.354.299 31.128.160 450.942 30.677.218
21.831.559 6.360.484 187.037 3.572.067 31.951.146 468.349 31.482.797
22.283.913 6.442.345 187.918 3.791.565 32.705.741 484.355 32.221.386
5.823.575 4.872 91.172 2.227.917 8.147.535 8.147.535
6.142.642 5.246 91.174 2.292.617 8.531.679 99.016 8.432.662
6.474.210 5.621 91.174 2.359.870 8.930.875 180.776 8.750.099
6.817.605 5.996 91.175 2.429.538 9.344.314 253.361 9.090.953
7.172.186 6.370 91.176 2.501.491 9.771.223 322.034 9.449.189
7.537.339 6.745 91.177 2.575.603 10.210.864 390.184 9.820.681
7.912.484 7.120 91.177 2.651.757 10.662.539 459.955 10.202.584
8.297.070 7.495 91.178 2.729.840 11.125.582 532.671 10.592.911
8.690.573 7.869 91.178 2.809.745 11.599.366 609.114 10.990.251
9.092.499 8.244 91.179 2.891.371 12.083.293 689.709 11.393.585
9.502.380 8.619 91.179 2.974.624 12.576.801 774.646 11.802.155
9.919.771 8.994 91.180 3.059.411 13.079.356 863.970 12.215.385
10.344.255 9.368 91.180 3.145.648 13.590.451 957.627 12.632.824
(3.265.999)
2.583.493
6.952.807
10.220.795
12.669.803
14.510.303
15.899.201
16.953.473
17.760.316
18.384.711
18.875.063
19.267.412
19.588.562
2023
2024
2025
2026
2027
2028
Tahun 2029
2030
2031
2032
2033
2034
Final
Rata-rata
22.703.482 6.507.557 188.563 4.012.164 33.411.766 499.227 32.912.539
23.101.086 6.560.393 189.031 4.233.383 34.083.894 513.164 33.570.730
23.484.673 6.604.058 189.370 4.454.856 34.732.957 526.316 34.206.641
23.860.060 6.640.950 189.612 4.676.304 35.366.926 538.797 34.828.128
24.216.476 6.664.032 189.782 4.897.516 35.967.805 550.693 35.417.112
24.554.445 6.664.032 189.894 5.118.091 36.526.463 562.070 35.964.392
24.901.677 6.664.032 189.970 5.337.400 37.093.078 572.981 36.520.096
25.257.653 6.664.032 190.019 5.555.444 37.667.148 583.466 37.083.681
25.621.883 6.664.032 190.053 5.772.225 38.248.192 593.553 37.654.639
25.993.903 6.664.032 190.075 5.987.745 38.835.754 603.264 38.232.490
26.373.272 6.664.032 190.090 6.202.007 39.429.400 612.615 38.816.785
26.759.575 6.664.032 190.099 6.415.016 40.028.722 621.620 39.407.103
27.152.416 6.664.032 190.106 6.626.780 40.633.335 630.289 40.003.046
1.086.097 266.561 7.604 265.071
5.823.575 4.872 91.172 2.227.917 8.147.535 1.055.506 7.092.030
6.142.642 5.246 91.174 2.292.617 8.531.679 1.157.458 7.374.221
6.474.210 5.621 91.174 2.359.870 8.930.875 1.263.316 7.667.559
6.817.605 5.996 91.175 2.429.538 9.344.314 1.372.905 7.971.410
7.172.186 6.370 91.176 2.501.491 9.771.223 1.486.045 8.285.179
7.537.339 6.745 91.177 2.575.603 10.210.864 1.602.557 8.608.307
7.912.484 7.120 91.177 2.651.757 10.662.539 1.722.270 8.940.269
8.297.070 7.495 91.178 2.729.840 11.125.582 1.845.014 9.280.568
8.690.573 7.869 91.178 2.809.745 11.599.366 1.970.629 9.628.737
9.092.499 8.244 91.179 2.891.371 12.083.293 2.098.960 9.984.334
9.502.380 8.619 91.179 2.974.624 12.576.801 2.229.861 10.346.941
9.919.771 8.994 91.180 3.059.411 13.079.356 2.363.192 10.716.164
10.344.255 9.368 91.180 3.145.648 13.590.451 2.498.820 11.091.631
413.770 375 3.647 125.826
25.820.510
26.196.509
26.539.082
26.856.719
27.131.933
27.356.085
27.579.827
27.803.113
28.025.902
28.248.156
28.469.845
28.690.939
28.911.414
1.625.333 25.212 1.600.122
543.618 99.953 443.665
1.156.457
128