MODEL PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN USAHATANI BERKELANJUTAN (Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya - Kalimantan Barat)
ROIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul ―Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan― merupakan gagasan atau karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum pernah diajukan untuk program sejenis diperguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Bogor, Juli 2011
Rois NRP.P062070021
ABSTRACT The exploitation of swamp land is still limited when compared to the cultivation of dry land or irrigated land. Some of the factors that make the exploitation of swamp area far from expectation and its yields not maximum, for example 1) the wrong perception of farmers that the farming they are doing now has given high income, 2) a lack of capital, 3) low technological access, 4) characteristics of farmer‘s subsistence, and 5) tradition-based farming. This study was aimed to formulate a resources-based swamp land development model to increase land productivity and farmer Income. This research was conducted in the Sub-District of Sungai Ambangah in the District of Sungai Raya, and the SubDistrict of Pasak Piang in the District of Sungai Ambawang, in the Regency of Kubu Raya, West Kalimantan Province. The analysis of each crop cultivated in both Sungai Ambangah and Pasak Piang gave the following results respectively for both areas; (1) rice with the R/C ratio of 3,30 and 4,80; (2) rubber with B/C ratio of 1,23 and 24,35; and (3) palm with the B/C ratio of 1,52. These results, if linked to the value of Appropriate Living Needs (ALN) and the minimum land area (ML) that must be fulfilled, indicate that the farmers in Sungai Ambangah could reach only 26,92% of ALN and require a minimum land of about 3,15 hectares; whereas the farmers of Pasak Piang could meet 34,53% of ALN and need a minimum land of approximately 2,54 hectares. Further, the sustainability status for the five dimensions in the existing condition of Sungai Ambangah obtained the index value of 54,82% or the category of sustainable enough for the institutional dimension, while the other four dimensions got the value of less than 50,00%, or categorized as less sustainable. As for the village of Pasak Piang, it got the index value of 52,19% or the category of sustainable enough also for the institutional dimension, whereas the other four dimensions obtained the value of less than 50,00% or considered less sustainable. The model formulated from the results of this study is based on the available local resources in both research sites, a model of sustainable farm development on swamp lands (UTLRL). Conceptually, this is also called an integrated farming model, that is, by integrating crops and livestock. The recommended policies formulated from the results of this study include: (1) the pattern of farming and increased cropping index, (2) maintenance of livestock, (3) the provision of farm capital, (4) the availability of micro finance institutions, (5) the active role of agricultural extension agencies, (6) farmers and farmer groups, (7) support from research institutions and higher education, and (8) post-harvest management and marketing. Key words:
model management, swamp land, local resources, sustainable farming
RINGKASAN ROIS. Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan (Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat). Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, IRSAL LAS, MUNIF GHULAMAHDI, dan MACHFUD. Indonesia mempunyai lahan rawa seluas 33,40 juta hektar yang terdiri atas rawa pasang surut dan rawa lebak dan umumnya tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di Kalimantan Barat, terdapat rawa lebak seluas 35 436 hektar dan baru dimanfaatkan sekitar 27,6%. Secara umum, pemanfaatan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi. Hal itu disebabkan oleh berbagai kendala, baik kendala fisik lahan maupun non fisik. Penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa faktor non fisik sebagai penyebab sehingga pengusahaan rawa lebak masih jauh dari harapan dan belum memberikan hasil yang maksimal, antara lain 1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah menghasilkan pendapatan yang tinggi, 2) kurangnya modal, 3) akses teknologi yang rendah, 4) sifat subsistem petani dan 5) berusahatani karena kebiasaan. Penelitian bertujuan (1) untuk mengidentifikasi karakteristik rawa lebak dan petani yang memanfaatkan rawa lebak, (2) menganalisis kesesuaian lahan beberapa tanaman utama yang diusahakan di rawa lebak, (3) menganalisis kelayakan usahatani saat ini di rawa lebak, (4) mengetahui indeks dan status keberlanjutan usahatani di rawa lebak, (5) mengetahui variabel-variabel dominan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan berdasarkan lima dimensi keberlanjutan, dan (6) merumuskan model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk usahatani berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di dua desa, yaitu Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya, dan Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, dari bulan Februari sampai bulan Oktober 2010. Metode yang digunakan adalah studi literatur, survey dan observasi langsung ke lapangan, wawancara, dan analisis laboratorium. Data primer dan data sekunder diperoleh melalui survey lapangan, analisis laboratorium, wawancara dan studi literatur. Analisis data meliputi: (1) analisis deskriptif, (2) analisis kesesuaian lahan, (3) analisis kelayakan usahatani, (4) analisis keberlanjutan, (5) analisis leverage, (6) analisis Monte Carlo, (7) analisis kebutuhan pemangku kepentingan, (8) analisis prospektif, (9) analisis pendapatan dan kebutuhan ramahtangga, (10) analisis kebutuhan hidup layak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman utama yang diusahakan oleh petani di rawa lebak baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang terdiri atas: tanaman padi, tanaman karet dan kelapa sawit. Sedangkan kelas kesesuaian lahan aktual pada masing-masing satuan penggunaan lahan yaitu pada kelas sesuai marginal (S3nr), dengan faktor pembatas adalah pH tanah, baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Analisis usahatani masing-masing tanaman yang diusahakan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang berturut-turut adalah (1) tanaman padi nilai R/C ratio 3,30 dan 4,8; (2) tanaman karet nilai benefit cost (B/C) ratio 1,23 dan 24,35, dan (3) tanaman kelapa sawit diperoleh nilai B/C ratio adalah 1,52. Hasil analisis pendapatan usahatani pada kondisi eksisting, apabila dihubungkan
dengan nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Luas lahan minimal (Lm) yang harus dipenuhi, maka petani di Desa Sungai Ambangah hanya dapat memenuhi sebesar 26,92% KHL dan memerlukan luas lahan minimal (Lm) masing-masing untuk padi, karet dan kelapa sawit adalah 11,48, 5,49 dan 2,21 hektar. Sedangkan untuk petani di Desa Pasak Piang dapat memenuhi sebesar 34,53% KHL dan memerlukan luas lahan minimal (Lm) masing-masing untuk padi, karet dan kelapa sawit 12,63, 3,76 dan 2,21 hektar. Selanjutnya, status keberlanjutan untuk lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting di Desa Sungai Ambangah diperoleh nilai indeks sebesar 54,82% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk dimensi kelembagaan, sedangkan empat dimensi lainnya diperoleh nilai kurang dari 50,00% atau dikategorikan kurang berkelanjutan. Untuk Desa Pasak Piang diperoleh nilai indeks sebesar 52,19% atau pada kategori cukup berkelanjutan juga untuk dimensi kelembagaan, sedangkan empat dimensi lainnya diperoleh nilai kurang dari 50,00% atau dikategorikan kurang berkelanjutan. Variabel-variabel dominan yang perlu dilakukan perbaikan pada kelima dimensi, masing-masing adalah: [1] Dimensi ekologi untuk Desa Sungai Ambangah terdiri atas: (1) periode tergenang, (2) produktivias lahan. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) produktivias lahan, (2) kandungan bahan organik, (3) periode tergenang, dan (4) penggunaan pupuk. [2] Dimensi ekonomi untuk Desa Sungai Ambangah terdiri dari: (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, (4) produksi usahatani, dan (5) ketersediaan modal usahatani. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, dan (4) efesiensi ekonomi. [3] Dimensi sosial budaya untuk Desa Sungai Ambangah terdiri dari: (1) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, dan (3) jumlah rumah tangga petani. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) peran adat dalam kegiatan pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (3) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (4) jumlah rumah tangga petani, (5) tingkat pendidikan formal petani, dan (6) intensitas konflik. [4] Dimensi teknologi untuk Desa Sungai Ambangah terdiri atas: (1) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, (2) pengendalian gulma, dan (3) pemupukan. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) jumlah alat pemberatasan jasad penggangu, (2) ketersediaan mesin pompa air, dan (3) ketersediaan mesin pascapanen. [5] Dimensi kelembagaan untuk Desa Sungai Ambangah terdiri dari: (1) keberadaan petugas penyuluh lapangan, (2) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (3) keberadaan lembaga sosial. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (2) keberadaan lembaga sosial. Dari ketiga skenario yang disusun, skenario III, yang memberikan nilai indeks keberlanjutan dan nilai pendapatan usahatani yang tertinggi untuk kedua desa penelitian. Nilai indeks keberlanjutan yang diperoleh untuk masing-masing dimensi, berturut-turut adalah yaitu 59,71%, 92,91%, 90,55%, 76,68% dan 85,70% untuk Desa Sungai Ambangah dan 79,89%, 67,11%, 80,18%, 72,58% dan 76,23% untuk Desa Pasak Piang. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari tiga tanaman yang diusahakan berturut-turut adalah Rp2 090 000,-, Rp4 370 000,- dan Rp10 862 527,60,- per hektar per tahun untuk Desa Sungai Ambangah dan Rp1 900 000,-, Rp6 387 667,- dan Rp Rp10 862 527,60,- per hektar per tahun untuk Desa Pasak Piang. Model yang dirumuskan dari hasil penelitian ini yang didasarkan ketersediaan sumberdaya lokal yang ada di kedua lokasi penelitian adalah model pengembangan usahatani lahan rawa lebak (UTLRL) berkelanjutan.
Implementasi model pengelolaan lahan rawa lebak ini disebut juga model pertanian terpadu. Penerapan dari model pertanian terpadu dimaksud adalah bentuk integrasi antara tanaman dan ternak. Hasil simulasi model di Sungai Ambangah petani yang memiliki lahan usahatani padi dan karet, belum dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sedangkan untuk petani yang mempunyai lahan usahatani padi, karet dan kelapa sawit, sebanyak 22,50% telah memenuhi KHL dan sisanya sebanyak 77,50% belum memenuhi KHL. Untuk yang belum memenuhi KHL, dengan melakukan usaha pemeliharaan ternak yang jumlahnya masing-masing 1 – 2 ekor sapi (s1 – s2) dan 50 - 100 ekor itik (i1 - 12) dapat memenuhi KHL. Untuk petani di Desa Pasak Piang yang memiliki lahan usahatani padi dan karet, dari seluruh kombinasi penggunaan lahan yang ada sebanyak 16,67% dapat memenuhi KHL. Dan sisanya sebanyak 83,33% belum dapat memenuhi KHL. Sedangkan untuk petani yang memiliki lahan usahatani padi, karet dan kelapa sawit sebanyak 58,33% dapat memenuhi KHL, dan sisanya sebanyak 41,67% belum dapat memenuhi KHL. Untuk yang belum memenuhi KHL, dapat dilakukan dengan usaha pemeliharaan ternak yang jumlahnya 1 - 3 ekor sapi (s1 – s3) dan 50 – 150 ekor itik (i1 – i3). Rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dari hasil penelitian ini berupa: (1) pola tanam dan meningkatkan indeks pertanaman, (2) pemeliharaan ternak, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (5) peran aktif lembaga penyuluhan pertanian, (6) peran aktif petani dan kelompok tani, (7) dukungan lembaga riset dan PT, dan (8) pengelolaan pasacapanen dan pemasaran hasil. Keywords: model pengelolaan, lahan rawa lebak, sumberdaya lokal, usahatani, berkelanjutan
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN USAHATANI BERKELANJUTAN (Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya - Kalimantan Barat)
ROIS
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 11
Penguji pada Ujian Tertutup (Rabu, 27 April 2011): 1.
2.
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.S. (Staf Pengajar Departemen Menejemen, IPB)
Ilmu
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc (Staf Pengajar Departemen Ilmu Sumberdaya Lahan, Faperta, IPB)
Ekonomi
dan
Tanah
dan
Penguji pada Ujian Terbuka (Kamis, 21 Juli 2011): 1.
Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc (Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian)
2.
Dr. Ir. Sandra A. Azis, M.S. (Staf Pengajar Departemen Hortikultura, Faperta, IPB)
Agronomi
dan
Judul Disertasi :
Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan (Studi Kasus di Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat)
Nama
:
Rois
NRP.
:
P. 062070021
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr Ketua
Prof(r). Dr. Ir. Irsal Las, M.S Anggota
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S Anggota
Dr. Ir. Machfud, M.S Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. M.Agr
Tanggal Ujian: 21 Juli 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini ialah kebijakan pengelolaan rawa lebak, dengan judul Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan di Kalimantan Barat. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr, selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, nasehat dan motivasi secara terus menerus dengan penuh dedikasi dari awal perencanaan penelitian sampai selesainya disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS, Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS dan Dr. Ir. Machfud, MS, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran, dan koreksian-koreksiannya yang kritis dan tajam sehingga menambah kualitas disertasi ini. 3. Rektor Universitas Panca Bhakti dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti Pontianak yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 4. Dr. Ir. Sri Mulatsih, MS, Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Menejemen IPB, dan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc, Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB, sebagai Dosen Penguji pada Ujian Tertutup. 5. Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc, Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian, dan Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS, Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka. 6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS. 7. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI, melalui penelitian program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T). 8. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, khususnya dinas teknis terkait, Bapak Sarja, SP dan Ibu Ir. Yerlina sebagai kepala BPP Sungai Ambawang dan Sungai Raya, PPL di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, yang telah memberikan bantuan dan informasinya. 9. Para mahasiswa Iskandar, Muhammad Irsad, Johandi, Risi, yang telah membantu dan para Ketua dan Anggota Kelompok Tani serta masyarakat, baik di Desa Sungai Ambangah maupun di Desa Pasak Piang yang telah memberikan informasi dengan segala kesungguhan membantu peneliti selama proses pengumpulan data.
10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor khususnya angkatan 2007 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. 11. Orang Tua dan Mertua saya, Kakak dan Adik serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, semangat dan kasih sayangnya selama penulis menempuh pendidikan. 12. Istriku Irma Saftariana, SH dan putra putriku Filza Ghassani Ladupa dan Hafizt Ghilman Ramadhan Ladupa atas segala pengertian, pengorbanan, ketabahan serta doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011 Rois
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Donggala pada tanggal 29 Januari 1967, merupakan putra keempat dari enam bersaudara dari ayah Hasbi Ladupa dan Ibu Siti Maemunah. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (UNTAD) Palu, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2000 penulis mengikuti program Magister Pertanian (S2) di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, pada Program Studi Ilmu Tanah. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007, dengan Beasiswa BPPS diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Sejak Maret 1994 sampai saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak di lingkungan Koordinator Perguruan Tinggi (Kopertis) Wilayah XI Kalimantan. Artikel ilmiah penulis berjudul ―Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat‖ telah diterbitkan dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852-9124, Volume II Nomor 2 Nopember 2010. Artikel berjudul ―Model Pengembangan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Peningkatan Produktivitas Lahan dan Pendapatan Petani‘ akan diterbitkan pada Jurnal Sumberdaya Lahan dan Lingkungan edisi Oktober 2011. Artikel berjudul ―Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Usahatani di Rawa Lebak Desa Sungai Ambangah Kabupaten Kubu Raya‖ siap terbit dalam Jurnal Agrosains ISSN: 1693-5225, Volume 8, Nomor 1 April 2011. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………………..
xv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………….
xix
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………..
xxiii
PENDAHULUAN………………………………………………………….
1
1.1
1.1 Latar Belakang…………………………….…………………………
1
1.2
1.2 Tujuan Penelitian…………………………….…….………………...
4
1.2.1 Tujuan Umum………………………….………………………
4
1.2.2 Tujuan Khusus………….……………………………………..
4
1.3
1.3 Kerangka Pemikiran………..………………………………………..
5
1.4
1.4 Perumusan Masalah…………………………………………………
6
1.5
1.5 Manfaat Penelitian…………………………………………………...
7
1.6
1.6 Kebaruan (Novelty)…………………………………………………..
8
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………
9
2.1 Pengertian Rawa Lebak……………………………………………..
9
2.2 Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak………………………….
11
2.3 Sumberdaya Lokal…………………………………………………...
12
2.4 Produktivitas…………………………………………………………..
13
2.5 Pendapatan Petani…..……………………………………………...
14
2.6 Analisis Usahatani……………………………………………………
15
2.6.1 Indikator kelayakan usahatani………………………………..
15
2.6.2 Kebutuhan Hidup Layak………………………………………
16
2.7 Sistem Usahatani Berkelanjutan……………………………………
17
2.8 Indikator untuk Mengukur Keberlanjutan…………………………..
21
METODOLOGI PENELITIAN……………………………………………
23
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………..
23
3.2 Bahan dan Alat……………………………………………………….
24
3.3 Disain Penelitian……………………………………………………...
24
3.4 Rancangan Penelitian………………………………………………..
27
3.5 Jenis dan Sumber Data……………………………………………...
28
3.5.1 Data fisik tanah dan iklim……………………………………..
28
2.5.2 Data tanaman………………………………………………….
29
2.5.3 Data sosial,ekonomi teknologi dan kelembagaan………….
29
I
II
III
IV
V
VI
3.6 Metode Pengumpulan Data…………………………………………
30
3.7 Teknik Pengambilan Sampel……………………………………….
30
3.8 Analisis Data………………………………………………………….
30
3.8.1 Analisis deskriptif……………………………………………..
31
3.8.2 Analisis kesesuaian lahan……………………………………
31
3.8.3 Analisis kelayakan usahatani……………………..………....
31
3.8.4 Analisis keberlanjutan………………………………………...
32
3.8.5 Analisis Leverage……………………………………………..
34
3.8.6 Analisis Monte Carlo………………………………………….
34
3.8.7 Analisis kebutuhan pemangku kepentingan (Stakeholder)
35
3.8.8 Analisis prospektif……………………………………………..
35
3.8.9 Analisis pendapatan dan kebutuhan rumahtangga…….....
38
3.8.10 Analisis kebutuhan hidup Layak (KHL)……………………
38
3.9 Rekomendasi Kebijakan…………………………………………….
39
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN……………………………….
41
4.1 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk………………………….
41
4.2 Penggunaan Lahan, Topografi dan Iklim……………….…………
43
4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi……………………………….……….
46
4.4 Karakteristik Lahan dan Petani Rawa Lebak……………………..
48
4.5 Jenis Tanaman, Produktivitas, dan Kendala Usahatani…………
52
4.6 Analisis Kesesuaian Lahan…………………………………………
53
ANALISIS PENDAPATAN DAN KEBUTUHAN RUMAHTANGGA….
59
5.1 Analisis Kelayakan Usahatani……………………………………..
59
5.1.1 Usahatani padi……………………………………………….
59
5.1.2 Usahatani karet……………………………………………...
61
5.1.3 Usahatani Kelapa Sawit…………………………………….
64
5.2 Analisis Pendapatan dan Kebutuhan Rumahtangga……………
65
5.2.1 Pendapatan rumahtangga petani………………………….
65
5.2.2 Pengeluaran rumahtangga petani…………………………
70
5.2.3 Tingkat pemenuhan rumahtangga petani…………………
71
5.3 Analisis Kebutuhan Hidup Layak dan Luas Lahan Minimal…….
73
STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI
77
6.1 Keberlanjutan Rawa Lebak Masing-masing Dimensi………..….
77
6.1.1 Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekologi………………..
77
6.1.2 Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekonomi………………
80
6.1.3 Keberlanjutan rawa lebak dimensi sosial budaya………..
82
6.1.4 Keberlanjutan rawa lebak dimensi teknologi……………..
84
6.1.5 Keberlanjutan rawa lebak dimensi kelembagaan………..
86
6.1.6 Pola indeks keberlanjutan usahatani rawa lebak dalam diagram layang……………..……………………………….
89
6.2 Variabel-Variabel Dominan dalam Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan……………………… ……………………….
92
6.2.1 Atribut sensitif yang mempengaruhi sistem pengelolaan rawa lebak…………………………………………………….
93
6.2.2 Kebutuhan pemangku Kepentingan……………………….
95
6.2.3 Faktor penting untuk keberlanjutan pengelolaan rawa Lebak…………………………………………………………
96
6.3 Skenario Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan
102
6.4 Nilai Indeks Keberlanjutan masing-masing skenario dan gabungan antara MDS dan kebutuhan Stakeholders dari lima Dimensi dan Nilai BC ratio, Persentase KHL, dan Lm antara Kondisi Eksisting dengan masing-masing Skenario..…………..
109
MODEL PENGEMBANGAN DAN STRATEGI PENERAPAN USAHATANI DI RAWA LEBAK………………………………………...
117
7.1 Sumberdaya Lokal Rawa Lebak..………………………………….
117
7.2 Potensi Turunan Sumberdaya Lokal Rawa Lebak……………….
122
7.2.1 Pengolahan padi……………………………………………..
125
7.2.2 Sekam…………………………………………………………
126
7.2.3 Dedak………………………………………………………….
128
7.3 Konsep Pengembangan Usahatani di Rawa Lebak Berdasarkan Sumberdaya Lokal…………………………………..
129
7.4 Model Pengembangan Usahatani Berdasarkan Pola Tanam Tanaman Setahun…………………………………………………..
144
7.5 Model Konseptual Pengembangan Usahatani Lahan Rawa Lebak (UTLRL)………………………………………………………
157
VIII
REKOMENDASI KEBIJAKAN…………………………………………..
165
IX
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………
169
9.1 Kesimpulan…………………………………………………………..
169
9.2 Saran………………………………………………………………….
170
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………................
171
LAMPIRAN………………………………………………………………………….
183
VII
DAFTAR TABEL Halaman 11.7 Pembagian lahan rawa lebak berdasarkan ketinggian dan lama genangan..………………………………………………………………….. 10 21.8 Parameter kimia dan fisik serta metode analisis yang digunakan…….
28
31.9 Jenis, sumber dan teknik pengumpulan data…………………………...
29
4
Kategori indeks dan status keberlanjutan……………………………….
33
5
Pedoman penilaian…………………………………………………………
36
6
Pengaruh antar faktor……………………………………………………...
36
7
Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang…..
37
8
Kemungkinan skenario model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan
38
9
Luas wilayah, Ibukota Kecamatan dan jumlah desa di Kabupaten Kubu Raya…………………………………………………………………..
41
Jumlah penduduk Kabupaten Kubu Raya menurut jenis kelamin (jiwa)…………………………………………………………………………
42
11
Penggunaan lahan di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2008……………
43
12
Kemiringan lahan di Kabupaten Kubu Raya…………………………….
43
13
Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten Kubu Raya…………………………………………………………………..
44
10
14
o
Suhu udara ( C) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten KubuRaya…………………………………………………………………...
45
Kelembaban udara (%) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten Kubu Raya…………………………………………………….
46
Pertumbuhan ekonomi, PDRB dan nilai LQ menurut sektor Kabupaten Kubu Raya tahun 2003 – 2006 (Persen)…………………..
47
17
Kondisi fisik lahan, Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……….
49
18
Selisih rata-rata produksi dan penggunaan faktor produksi dibanding anjuran di lahan rawa lebak Sungai Ambangah dan Pasak Piang……
49
Keragaan umum dan status kepemilikan lahan petani di Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………………………………………..
51
Jenis tanaman, produksi, kendala dan peluang perbaikan usahatani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya dan Pasak Piang………………………………………………………………..
52
15 16
19 20
21
53
22
Nilai penerimaan dan pendapatan petani berdasarkan produksi eksisting beberapa jenis tanaman di rawa lebak (Rp/th)……………… Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Sungai Ambangah…..
23
Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Sungai Ambangah
55
24
Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Pasak Piang…………
56
25
Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Pasak Piang……..
57
54
26
Hasil analisis usahatani padi di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th)…………………………………………………..
60
Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah (ha)……….
60
Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang (ha)……………….
61
Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th)…………………………………………………...
62
Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah…………………………………………………………………..
63
Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang….
63
Hasil analisis usahatani kelapa sawit di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th)……………………………………
64
Hasil analisis sensitivitas usahatani kelapa sawit di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………………………………………..
65
Jenis usaha non pertanian responden di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………………………………………………………
66
Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………………
67
Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani (Rp/bln)………………………………………………………….
68
Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan usaha ternak (Rp/bln)…………………………………….
68
Sumber dan rata-rata nilai rendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan tukang bangunan (Rp/bln)……………………………….
69
Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan usaha kios (Rp/bln)………………………………………
70
40
Rata-rata nilai pengeluaran rumahtangga petani rawa lebak…………
71
41
Rata-rata tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang berdasarkan jenis penghasilan dan jumlah pengeluaran (Rp/bln)…………………………
72
Kebutuhan Hidup Layak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang per Tahun…………………………………………………………...
73
Pendapatan petani dari hasil usahatani padi, karet dan kelapa sawit terhadap KHL (%) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th)………………………………………………………………………..
74
27 28 29 30
31 32 33
34 35 36
37
38
39
42 43
44
Luas lahan minimal (Lm) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak
Piang dari masing-masing tanaman yang diusahakan terhadap KHL
75
Atribut sensitif mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang…………………………..
89
Nilai Stress dan R2 status keberlanjutan pengelolaan rawa lebak dimasing-masing lokasi penelitian……………………………………….
91
Perbedaan Indeks keberlanjutan antara Rap-Lebak (MDS) dengan Monte Carlo Pada masing-masing Lokasi Penelitian………………….
92
48
Penggabungan dan penyederhanaan kebutuhan para pemangku kepentingan………………………………………………………………...
95
49
Faktor-faktor penting/pengungkit dari hasil analisis keberlanjutan dan analisis pemangku kepentingan berdasarkan bobotnya………………
97
Penyederhanaan/penggabungan faktor-faktor penting berdasarkan prioritas untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………
98
Uraian masing-masing skenario untuk pengembangan model pengelolaan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang………………………………………………………………………...
103
Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario I untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang………….
104
Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario I…………………
105
Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario II untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang…………
106
Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario II………………...
107
Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario III untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang………...
108
Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario III………………..
109
Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi, nilai indeks keberlanjutan gabungan antara MDS dan kebutuhan stakeholders antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………………………………
109
Nilai BC ratio, persentase KHL (%) dan Lm (ha/KK) antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………………………………………..
110
Pendapatan dan nilai tambah pendapatan dari kondisi eksisting terhadap masing-masing skenario yang disusun untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………………………………………..
111
Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah……………………………………………….
114
Jarak Euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario di Desa Pasak Piang………………………………………………………
115
45 46 47
50 51
52 53 54 55 56 57 58
59
60
61 62 63
Potensi sumberdaya lokal di Desa Sungai Ambangah dan Pasak
Piang………………………………………………………………………...
117
Luas panen padi. potensi limbah jerami dan produksi pupuk kompos di wilayah Kecamatan Polokarta tahun 2007…………………………...
123
65
Komposisi sekam.................................................................................
127
66
Analisa usahatani ternak kambing (skala usaha 9 ekor) dengan pemberian Blok Suplemen Pakan (BSP)……………………………….
138
Rata-rata pendapatan peternak itik sistem pemeliharaan tradisional (Rp/Bulan)…………………………………………………………………..
139
68
Analisis ekonomi usaha ternak ayam (Rp/th)…………………………..
140
69
Pola usahatani padi dan jagung berbasis sumberdaya tanaman lokal
142
70
Berbagai pola tanam padi dan jagung terhadap jenis ternak………….
143
71
Pola integrasi tanaman karet dan jenis ternak………………………….
143
72
Pola integrasi tanaman kelapa sawit dan jenis ternak…………………
144
73
Pola tanam pada suatu daerah irigasi……………………………………
149
74
Pola tanam di rawa lebak…………………………………………………
150
75
Rekomendasi pola tanam untuk tanaman pangan berbasis sumberdaya tanaman lokal……………………………………………….
154
Pola usahatani tanaman pangan (padi – jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak……….………………………………………………….
159
Pola usahatani tanaman pangan (padi, jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak…………………………………………………………..
160
Matriks luas kepemilikan lahan petani berbasis padi untuk memenuhi KHL ……………………………………………………………
162
Rekomendasi kebijakan model usahatani rawa lebak berkelanjutan
166
64
67
76 77 78 79
DAFTAR GAMBAR 1 2
Halaman Karangka pemikiran penelitian…………………………………………. 6 Peta lokasi penelitian [a] Provinsi Kalimantan Barat, [b] Kabupaten Kubu Raya, [c] Kecamatan Sungai Raya, dan [d] Kecamatan Sungai Ambawang……………………………………………………….
23
3
Struktur tujuan, metode, variabel dan keluaran/output penelitian…..
26
4
Diagram layang indeks keberlanjutan………….………………………
33
5
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem….
37
6
Persentase luas wilayah berdasarkan kecamatan di Kabupaten Kubu Raya………………………………………………………………...
42
Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten Kubu Raya…………………………………………………...
44
8
Suhu (oC) rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya………………
45
9
Kelembaban (%) udara rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya
46
10
Distribusi penduduk menurut suku bangsa diKabupaten Kubu Raya
47
11
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah…………………………………………………
77
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang………………………………………………………..
79
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah…………………………………………………
80
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang………………………………………………………..
81
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah………………………………………….
82
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang…………………………………………………
83
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah…………………………………………………
85
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang………………………………………………………..
86
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah………………………………………….
87
7
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang…………………………………………………
88
Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa lebak di Sungai Ambangah……………………………………………...
91
Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa lebak di Pasak Piang……………..………………………………………
91
Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Sungai Ambangah…………………...
93
Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Pasak Piang…………………………..
94
Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………………………………………………………….
96
Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil analisis leverage dan pemangku kepentingan di Sungai Ambangah
99
Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil analisis leverage dan pemangku kepentingan di Pasak Piang……..
101
Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Sungai Ambangah…………………………………………………………………
113
Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Pasak Piang……………………………………………………………………….
113
30
Sistem usahatani terpadu di adopsi dari Rustam et al. (2009)………
136
31
Model konseptual pengembangan UTLRL berbasis sumberdaya lokal………………………………………………………………………...
158
32
Pola usahatani padi, karet, sawit dan ternak………….………………
159
33
Pola usahatani tanaman padi, tanaman perkebunan dan ternak…..
161
21 22 23 24 25
26 27 28
29
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Hasil analisis contoh tanah lebak Sungai Ambangah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya….……………………………….
183
Hasil analisis contoh tanah lebak Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya….…………..…………………….
183
3
Kriteria penilaian sifat kimia tanah………………………………….…..
184
4
Kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah tadah hujan……………
185
5
Kriteria kesesuaian lahan untuk karet………………………………….
186
6
Kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit.………………………...
187
7
Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan per hektar dari usahatani padi di rawa lebak Desa Sungai Ambangah……………...
188
Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan per hektar dari usahatani padi di rawa lebak Desa Pasak Piang…………..………....
188
9
Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Sungai Ambanga
189
10
Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Pasak Piang…….
189
11
Rekapitulasi analisis pendapatan usahatani kelapa sawit di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th)…………………………..
190
12
Proyeksi produksi karet kering dan estimasi produksi lateks….…….
191
13
Perkiraan produksi TBS, minyak sawit dan inti sawit pada berbagai umur tanaman kelapa sawit………………………………………….….
192
14
Atribut dan skor keberlanjutan ekologi di rawa lebak…………………
193
15
Atribut dan skor keberlanjutan ekonomi di rawa lebak……………….
194
16
Atribut dan skor keberlanjutan sosial budaya di rawa lebak…………
195
17
Atribut dan skor keberlanjutan teknologi di rawa lebak………………
196
18
Atribut dan skor keberlanjutan kelembagaan di rawa lebak…………
197
19
Simulasi pola pertanian terpadu berbagai praktek usahatani dari berbagai tanaman berbasis sumberdaya tanaman lokal dan jenis ternak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……………
198
Estimasi pendapatan (Rp/tahun) dari simulasi model pertanian terpadu di Desa Sungai Ambangah…………………………………….
201
Estimasi pendapatan (Rp/tahun) dari simulasi model pertanian terpadu di Desa Pasak Piang…………………………………………...
204
Simulasi pendapatan petani di Desa Sungai Ambangah berdasarkan luas kepemilikan lahan usahatani dalam memenuhi KHL……………………………………………………………
207
Simulasi pendapatan petani di Desa Pasak Piang berdasarkan luas kepemilikan lahan usahatani dalam memenuhi KHL…………………
212
2
8
20 21 22
23
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang
penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia terdapat lahan rawa meliputi areal 33,40 – 39,40 juta hektar (Subagjo dan Widjaja-Adhi, 1998), sedangkan menurut Ardi et al., (2006) luas lahan ini diperkirakan sekitar 33,40 juta hektar yang terdiri dari rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa pasang surut seluas 24,20 juta hektar dan rawa lebak seluas 13,27 juta hektar, yang umumnya tersebar di Pulau Sumatera 5,70 juta hektar, Kalimantan 3,40 juta hektar, dan Papua 5,20 juta hektar (Balai Penelitian Rawa, 2005). Berdasarkan sistem klasifikasi Ramsar, lahan rawa atau lahan basah terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu lahan basah pesisir dan lautan, lahan basah daratan, dan lahan basah buatan (Puspita, 2005). Rawa lebak (swamps land) termasuk ke dalam lahan basah daratan. Provinsi Kalimantan Barat, dengan luas total 14,64 juta hektar memiliki ekosistem lahan basah seluas 3 659 736 hektar (Hikmatullah et al., 2008). Dari luasan tersebut, terdapat sekitar 35 436 hektar adalah rawa lebak. Dan baru sekitar 9 796 hektar atau sekitar 27,6% yang telah dimanfaatkan (Dinas Pertanian Provinsi Kalbar, 2008). Rawa lebak umumnya merupakan daerah yang terdapat di kiri dan kanan sungai besar dan anak sungai, dengan topografi datar, tergenang air pada musim penghujan, dan kering pada musim kemarau. Genangan air merupakan watak bawaan (inherence) dan sebagai ciri hidro-ekologi rawa sehingga dapat menjadi unsur pembeda utama, antara satu daerah dengan lainnya, sekalipun dalam satu kawasan (Noor, 2007). Ekosistem rawa lebak merupakan dataran banjir, dan dibeberapa tempat selain untuk kegiatan pertanian, juga memiliki kontribusi penting bagi masyarakat sekitar untuk kegiatan perikanan, dan dari kegiatan ini rawa lebak dapat dijadikan sebagai salah satu sumber protein hewani, jalur transportasi, kesempatan kerja dan juga sebagai sumber penghasilan alternatif (Sulistiyarto, 2008). Dalam keadaan tergenang, rawa lebak lebih sesuai untuk usaha tanaman padi, oleh sebab itu padi merupakan salah satu komoditi penting dalam sistem usahatani di rawa lebak. Dari total lahan rawa lebak yang telah diusahakan untuk pertanian, hampir 91 persen diusahakan untuk usahatani padi dengan pola
tanam satu kali dalam setahun, sedangkan yang diusahakan dua kali padi setahun baru sekitar 9 persen (Sudana, 2005). Pada kondisi kering rawa lebak banyak diusahakan tanaman palawija (Waluyo, 2000). Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan varietas unggul, produktivitas padi di lahan rawa lebak dapat mencapai 2,0 – 2,5 ton per hektar (Noor, 2007), dan tanaman kedelai mencapai 1,2 – 1,9 ton hektar (Waluyo dan Ismail, 1995). Namun demikian,
pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat
untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi (Noor, 2007). Rawa lebak merupakan ekosistem yang lebih cepat rusak dan berubah jika dibandingkan dengan ekosistem lain, dan tidak hanya rentan terhadap perubahan langsung seperti konversi menjadi lahan pertanian atau permukiman, tetapi juga rentan terhadap perubahan kualitas air sungai yang mengalirinya (Lewis et al., 2000). Selain itu, kendala non fisik, terutama masalah status kepemilikan lahan yang banyak dikuasai oleh kelompok tertentu yang berprofesi sebagai non petani (Arifin et al., 2006) dan ketidak-jelasan kepemilikan lahan (Irianto, 2006).
Dengan kondisi demikian, apabila ekosistem rawa lebak tidak
dikelola dan diatur dalam pemanfaatannya, maka hal itu dapat menimbulkan konflik. Konflik menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) dapat terjadi apabila tidak adanya kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan. Muara dari keadaan di atas, pada gilirannya dapat mempercepat proses pengrusakan/degradasi. Kenyataan membuktikan bahwa lahan rawa lebak sampai saat ini belum dapat memberikan produktivitas seperti yang diharapkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nazemi et al., (2006) menemukan beberapa faktor penyebab lainnya sehingga pengusahaan lahan rawa lebak belum memberikan hasil yang maksimal diantaranya: (1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah memberikan hasil yang maksimal, (2) kurangnya modal, (3) akses teknologi yang rendah, (4) sifat subsisten petani dan (5) berusahatani karena kebiasaan. Disisi lain, beberapa faktor yang mendukung dalam pengembangan usahatani seperti padi, terong, labu/waluh di lahan rawa lebak menunjukkan tingkat keuntungan yang cukup baik yang dinyatakan dengan R/C > 1 atau menguntungkan diusahakan, kontribusi usahatani terhadap pendapatan cukup besar dilihat dari pendapatan bersih petani, dan pemasaran hasil yang dapat
diserap pasar walaupun pasar lokal. Peluang pengembangan usahatani di lahan ini cukup besar, dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung ketahanan pangan di daerah maupun nasional (Zuraida et al., 2006). Selanjutnya, adanya potensi lahan rawa lebak yang tersedia masih cukup luas, yang apabila diasumsikan bahwa 10 persen saja dari luas yang tersedia dapat dikelola/dimanfaatkan untuk padi dengan baik dengan intensitas tanam meningkat dari nol kali menjadi satu kali tanam, maka dapat menghasilkan produksi padi sekitar 2 663 200 ton menjadi 5 326 400 ton dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam dengan rata-rata produktivitas 2 ton per hektar. Hasilnya akan terjadi lompatan produksi yang sangat signifikan, apabila produktivitasnya bisa direalisasikan mencapai 3 ton per hektar atau bahkan 4 ton per hektar (Irianto, 2006). Konversi lahan yang terjadi beberapa tahun terakhir terhadap ketahanan pangan nasional merupakan ancaman yang serius, mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif dan progresif. Masalah pangan yang ditimbulkan bersifat permanen. Artinya, masalah pangan tersebut tetap akan terasa dalam jangka panjang meskipun konversi lahan sudah tidak terjadi lagi. Masalah pangan yang ditimbulkan bersifat progresif. Artinya, walaupun luas lahan yang dikonversi per tahun selama periode t0 (pada tahun ke-0) hingga tn (pada tahun ke-n) adalah tetap, namun peluang produksi padi yang hilang akibat konversi lahan tersebut akan semakin besar. Dengan kata lain, masalah pangan yang disebabkan oleh setiap hektar lahan yang dikonversi akan semakin besar dari tahun ke tahun (Irawan, 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan apabila tidak segera diatasi dapat menyebabkan semakin terbatasnya ketersediaan sumberdaya lahan yang dapat dijadikan lahan persawahan, terutama di daerah Pulau Jawa. Oleh karena itu, usaha pemanfaatan dan pengelolaan rawa lebak untuk mengatasi kondisi di atas, merupakan sesuatu hal yang sangat penting dan strategis. Mengingat laju konversi lahan dan kebutuhan pangan nasional setiap tahun terus mengalami peningkatan. Kebutuhan luas lahan baku untuk sawah menurut Las (2010) mencapai 8,3 juta hektar, sementara lahan kering potensial yang tersedia dan sesuai untuk tanaman semusim hanya tersisa 7,0 juta hektar. Hal ini memaksa untuk memanfaatkan lahan rawa lebak yang ketersediaannya cukup luas. Namun demikian, dalam pemanfaatan rawa lebak untuk usahatani
memerlukan
penanganan
yang
spesifik,
hal
itu
ditunjukkan
adanya
permasalahan yang cukup kompleks. Penyusunan model usahatani yang bersifat spesifik dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada yang sesuai dengan karakteristik biofisik lahan dan sosial budaya masyarakat setempat dan terpadu sangat diperlukan. Kepentingan produksi atau ekonomi disatu sisi menjadi sesuatu hal yang penting diperhatikan karena dalam hal mempertahankan kelangsungan kehidupan mereka, tidak akan terlepas dari usaha pemenuhan kebutuhan. Dilain pihak, kepentingan ekologi atau lingkungan juga menjadi hal penting dan tidak dapat diabaikan, karena dalam proses produksi selain membutuhan sumberdaya dalam hal ini lahan sebagai modal juga dihasilkan produk dan limbah sebagai hasil sampingan (Daniel, 2004). Untuk itu, dalam upaya mencapai keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya, diperlukan suatu strategi dan pendekatan interdisiplin untuk mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Dengan pendekatan interdisiplin dimaksud, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada diharapkan terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di kawasan rawa lebak ke arah yang lebih baik. Dan dalam pemanfaatannya dapat menekan dan mengurangi terjadinya kerusakan kawasan rawa lebak sehingga sebagai suatu ekosistem yang spesifik rawa lebak tetap terpelihara dan terjaga kelestariannya. 1.2
Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk usahatani berkelanjutan. 1.2.2 Tujuan Khusus Tujuan umum tersebut diwujudkan melalui tujuan khusus sebagai berikut: 1. Menganalisis karakteristik rawa lebak dan petani yang memanfaatkan rawa lebak 2. Menganalisis kesesuaian lahan beberapa tanaman utama yang diusahakan di rawa lebak 3. Menganalisis kelayakan usahatani saat ini di rawa lebak
4. Menganalisis indeks dan status keberlanjutan usahatani di rawa lebak 5. Menganalisis variabel-variabel dominan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan berdasarkan lima dimensi keberlanjutan 1.3
Kerangka Pemikiran Pemanfaatan rawa lebak oleh masyarakat dilatari oleh potensinya
sebagai sumberdaya, desakan kebutuhan akan lahan, dan pangan serta kemampuan indegeneus knowledge dari petani dalam memanfaatkan lahan rawa lebak. Tetapi pada kenyataannya pemanfaatan lahan rawa lebak untuk usahatani, belum dapat memberikan hasil secara optimal. Hal tersebut dapat dipahami, karena rawa lebak disamping mempunyai fungsi ekologis dan fungsi produksi juga sebagai salah satu ekosistem yang mempunyai karakteristik yang fragil dan labil. Keterbatasan ketrampilan, teknologi, modal dan sarana pendukung yang ada mengakibatkan pengelolaan lahan rawa lebak masih sangat terbatas dan belum diperolah hasil yang maksimal sehingga belum mampu memberikan perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat tani yang memanfaatkan rawa lebak sebagai sumber pendapatan keluarga. Menyadari akan kondisi tersebut, maka diperlukan suatu strategi pengelolaan lahan rawa lebak, diantaranya pemilihan jenis tanaman yang sesuai
dengan
ekosistem
rawa
lebak,
melakukan
pendekatan
sosial
kemasyarakatan, pendekatan ekonomi, teknologi dan kelembagaan serta memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada. Dari pendekatan tersebut diharapkan terjadi peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan. Dengan adanya perbaikan faktor-faktor di atas, maka ekosistem rawa lebak yang dimanfaatkan sebagai lahan usahatani dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, diharapkan juga dapat berdampak terhadap perbaikan kondisi sosial masyarakat, dan akhirnya ekosistem rawa lebak tetap terpelihara dan lestari sebagai salah satu kekayaan ekosistem yang spesifik. Banyaknya faktor yang berperan dan rumit serta kompleksnya masalah yang dihadapi, maka pengembangan sistem usahatani lahan rawa lebak perlu dilakukan secara terpadu yang diformulasikan dalam suatu model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan usahatani berkelanjutan. Hasil dari penelitian ini adalah tersusunnya model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan usahatani
berkelanjutan di lokasi studi. Kerangka berpikir dalam bentuk diagram disajikan pada Gambar 1. Lahan Rawa Lebak
Fungsi Ekologis
Karateristik fisik, kimia dan biologi
Ekologi
Produktivitas Rendah
Sosial
Sistem Usahatani
Ekonomi
Fungsi Produksi
Sosial Ekonomi
Teknologi
Sarana prasarana
Kelembagaan
Sumberdaya Lokal
Rekomendasi
Model Pengembangan UT Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.4
Perumusan Masalah Potensi lahan rawa lebak yang sesuai untuk usaha pertanian masih cukup
luas, di pihak lain, pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas, dan walaupun sudah dimanfaatkan hasil yang diperoleh belum seperti yang diharapkan. Padahal peluang untuk meningkatkan peran lahan ini ke depan masih cukup besar sebagai modal dalam pembangunan pertanian dalam arti luas. Namun diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya, karena karakeristik khas yang dimiliki oleh rawa lebak. Budidaya pertanian di lahan rawa lebak, sebagai lahan marginal yang rapuh menghadapi berbagai kendala diantaranya adalah kendala biofisik lahan, sosial ekonomi, dan kelembagaan (Qomariah et al., 2006). Beberapa kendala fisik diantaranya; adanya genangan air, pH tanah yang rendah, adanya kandungan zat racun (aluminium, besi, hidrogen sulfida, natrium), tanah miskin hara baik makro dan mikro, serta adanya serangan hama/penyakit dan gulma. Sedangkan kendala sosial ekonomi diantaranya; keterbatasan modal dan sebagian petani masih mencari pekerjaan di luar usahataninya. Kendala
kelembagaan diantaranya adalah lemahnya peran kelompok tani (KT), dikarenakan kelembagaan pertanian kurang menempatkan petani sebagai pengambil keputusan dalam usahataninya, karena dominasi pengaruh intervensi para pihak luar terhadap kelompok tani (Slamet, 2003), rendahnya peran koperasi unit desa (KUD), dan petugas penyuluh lapang (PPL). Hasil penelitian Anantanyu (2009) di tiga kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan bahwa dukungan penyuluhan pertanian pada umumnya masih berada pada kategori sedang,
dan lemahnya dukungan lembaga keuangan (LK), kurangnya
permodalan dan kurang tersedianya kelembagaan permodalan perdesaan yang mampu memberikan kredit usahatani yang cukup dengan bunga rendah (Fadjry et al., 2006). Berbagai kendala di atas dapat diatasi, dengan menggunakan berbagai pendekatan diantaranya adalah (1) pengembangan bertahap berdasar atas pemanfaatan sumberdaya (resource base) dan sistem usahatani terpadu (integrated farming system); (2) pemilihan komoditas yang sesuai, didukung penerapan teknologi spesifik lokasi (tipologi lahan dan genangan air); (3) kesesuaian komoditas dengan dinamika pasar; (4) konsep tata air sesuai kondisi lahan dan kebutuhan pertanian; (5) efisiensi sistem kelembagaan agribisnis; (6) peningkatan sarana dan prasarana penunjang; dan (7) pengembangan kemandirian dan partisipasi serta kesejahteraan masyarakat (petani dan swasta). Kemandirian pembangunan
petani
dianggap
pertanian.
sebagai
Sedangkan
tujuan
akhir
partisipasi
dari
petani
suatu adalah
usaha derajat
keseluruhan peran-serta petani dalam kegiatan kelembagaan dimana petani menjadi bagian/anggota (Anantanyu, 2009). Hal lain yang juga memerlukan perhatian ekstra adalah penyediaan sumberdaya manusia yang terampil (penyuluh). Keberadaan sumberdaya manusia (SDM) pertanian diharapkan dapat berperan aktif dari mulai pembukaan lahan, pelaksanaan budidaya, pasca panen, dan pemasaran hasil. 1.5
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.
Dapat digunakan dalam penetapan arah dan strategi kebijakan dalam pemanfaatan berkelanjutan
dan
pengembangan
lahan
rawa
lebak
secara
2.
Model pengelolaan lahan rawa secara berkelanjutan yang dirumuskan dari hasil penelitian ini, dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk pemanfaatan lahan rawa lebak di tempat lain
3.
Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi, pengkajian dan penelitian lebih lanjut
1.6
Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini terletak pada pengintegrasian berbagai
komponen
usahatani
dan
dimensi
keberlanjutan
dalam
pemanfaatan
sumberdaya lokal yang digunakan untuk penyusunan model pengelolaan lahan rawa lebak yang berbasis pada pola tanam dan integrated farming dalam rangka peningkatan pendapatan petani di rawa lebak. Komponen usahatani dimaksud adalah sumberdaya lahan, air, modal, sarana produksi, tenaga kerja. Dimensi keberlanjutan dimaksud adalah ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Sumberdaya lokal yang dimaksud adalah sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan sumberdaya teknologi yang ada di lokasi penelitian.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Rawa Lebak Kata lebak diambil dari kosakata Jawa yang diartikan sebagai ‘lembah atau
tanah rendah‘ (Poerwadarminto, 1976 dalam
Noor, 2007).
Sedangkan kata
lebak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam (Alwi et al., 2003). Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Sedangkan rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton. Karena kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara sungai besar sering disebut juga dengan rawa pedalaman (Noor, 2007). Beragam istilah digunakan untuk sebutan rawa lebak, misalnya di Jambi, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan disebut rawang atau lebung; di Riau disebut payo atau lumo; di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan disebut baruh dan watun; Kalimantan Timur disebut rapak atau kelam. Sedangkan Mac Kinnon et al. (2000) menyebut rawa lebak sebagai danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai pada umumnya
dan selalu
mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar. Selain karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga banjir kiriman. Genangan di lahan rawa lebak kadang-kadang bersifat ladung (stagnant) dan kalaupun mengalir, sangat lambat.
Rawa lebak pada musim
hujan tergenang karena berbentuk cekungan dengan drainase jelek. Namun, pada musim kemarau menjadi kering. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4 - 7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah.
Pada Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua Bogor, istilah lahan rawa (swamps) dipilah menjadi dua, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak atau rawa pedalaman (non tidal swamps). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 64/PRT/1993 dinyatakan rawa dibedakan dalam tiga kategori, yaitu (1) rawa pasang surut, (2) rawa pantai, dan (3) rawa pedalaman atau rawa lebak. Sedangkan menurut Subagjo (2006) tipologi rawa lebak didasarkan pada ketinggian genangan dan atau lamanya genangan sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pembagian lahan rawa lebak berdasarkan ketinggian dan lama genangan Lama genangan
Ketinggian genangan (cm)
< 3 bulan
< 50 Lebak dangkal
50 - 100 Lebak tengahan
> 100 Lebak tengahan
3 – 6 bulan
Lebak dangkal
Lebak tengahan
Lebak dalam
> 6 bulan
Lebak dangkal
Lebak dalam
Lebak dalam
Sumber: Subagjo (2006) Menurut Noor (2007), klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam arti luas dapat didasarkan pada ketinggian tempat, ketinggian genangan, lama genangan, waktu genangan, jenis ekologi, vegetasi, bentuk wilayah, dan jenis pemanfaatan. Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi dua tipologi, yaitu (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak dataran rendah. Rawa lebak dataran tinggi/pegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, sedangkan dataran rendah (lowland) sebagian besar tersebar di Kalimantan. Petani di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan membagi rawa lebak dengan sebutan watun (arti lahan rawa lebak), yaitu watun I, II, III dan IV (Anwarham, 1989; Ar-Riza, 2000). Batasan dan klasifikasi watun didasarkan menurut hidrotopografi dan waktu tanam padi. Pembagian watun tersebut: Watun I
: wilayah sepanjang 200-300 depa menjorok masuk dari tanggul (1 depa = 1,7 meter), dengan hidrotopografinya relatif paling tinggi.
Watun II
: wilayah sepanjang 200-300 depa (=510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun I, dengan hidrotopografinya lebih rendah dari watun I.
Watun III
: wilayah sepanjang 200-300 depa (=510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun II, dengan hidrotopografinya lebih rendah dari watun II.
Watun IV
: wilayah yang lebih dalam menjorok masuk dari batas akhir watun III, dengan hidrotopografinya relatif paling rendah.
Watun I, II, III sampai IV masing-masing identik dengan istilah lebak dangkal, lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam atau lebung (deepwater land). Berdasarkan ada dan tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah terkurung (Kosman dan Jumberi, 1996) dalam Noor (2007). Batasan dan klasifikasi lebak menurut ada tidaknya pengaruh sungai sebagai berikut. Lebak sungai
: lebak yang sangat nyata mendapat pengaruh dari sungai sehingga tinggi rendahnya genangan sangat ditentukan oleh muka air sungai.
Lebak terkurung
: lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan dan air rembesan (seepage) dari sekitarnya.
Lebak setengah terkurung
: lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan, rembesan, dan juga sungai sekitarnya.
2.2
Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak Lahan rawa lebak (Noor, 2007) termasuk ekologi lahan basah (wetland)
yang dicirikan oleh suasana genangan dalam waktu yang panjang.
Bentuk
wilayah yang menyerupai cekungan dengan dasar yang luas dengan drainase yang jelek. Lahan rawa lebak merupakan dataran banjir sungai dengan beda muka air antara musin hujan dan musin kemarau lebih dari 2 meter, disamping itu juga merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 - 5 meter di atas permukaan laut. Fisiografinya merupakan cekungan dengan batas daerah yang berlereng 4 – 10 persen, sehingga tidak ada pengaruh nyata dari pasang surut air laut (Irianto, 2006). Tanah lahan rawa lebak dapat berupa tanah organik
(gambut), tanah mineral endapan sungai, dan endapan marin.
Pada tanah
gambut, kematangan gambut umumnya termasuk gambut saprik. Sedangkan pada tanah mineral tekstur umumnya liat, liat berdebu, sampai lempung liat berdebu, dengan konsistensi lekat dan plastis (Arifin et al., 2006). Gambut saprik (matang) yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan apabila diremas kandungan seratnya kurang dari 15 persen (Permentan No 14 tahun 2009). Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2 000-3 000 mm per tahun dengan 6 - 7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan >200 mm) atau antara 3 - 4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah berlangsung pada bulan Oktober/Nopember sampai Maret/April, sedangkan bulan kering berlangsung antara bulan Juli sampai September. Suhu udara pada kawasan ini berkisar antara 24 - 32oC dan kelembaban nisbi 80-90%. Pengaruh iklim sangat kuat pada musin kemarau karena rawa lebak sebagai kawasan terbuka.
Penguapan pada kawasan terbuka cukup tinggi, sehingga
suhu udara dapat mencapai 35 - 40oC (Ismail et al., 1996; Arifin et al., 2006 dalam Noor, 2007). 2.3
Sumberdaya Lokal Sumberdaya (resources) mempunyai banyak pengertian diantaranya
adalah (1) persediaan, baik cadangan maupun yang baru; (2) suatu input dalam proses produksi; (3) suatu atribut dari lingkungan yang menurut anggapan manusia mempunyai nilai dalam jangka waktu tertentu, yang dibatasi oleh keadaan sosial, politik, ekonomi dan kelembagaan; (4) sebagai hasil penilaian manusia terhadap unsur-unsur lingkungan hidup yang diperlukannya; dan dapat pula didefenisikan (5) sebagai unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati, yang diperlukan manusia untuk meningkatkan kesejahteraanya dan memenuhi kebutuhannya (Soerianegara, 1979). Sumberdaya (resources) yang ada dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk yaitu (1) sumberdaya manusia; (2) sumberdaya alam; dan (3) sumberdaya teknologi. Sumberdaya manusia adalah sumberdaya yang dalam hal ini dapat dimaknai sebagai subyek (pelaku) sekaligus obyek, yang mempunyai peran sangat penting dalam memanfaatkan, mengelola dan memelihara sumberdaya yang ada. Sedangkan sumberdaya alam (natural resources) adalah semua
aspek lingkungan yang bukan buatan manusia dan terdapat pada permukaan bumi, di udara, di dalam bumi, di laut, di dalam laut, di dasar dan di bawah dasar laut (Zen, 2001). Selanjutnya, sumberdaya teknologi yang secara definisi dimaknai sebagai hasil buah pikir dari suatu pengetahuan. Teknologi itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Teknologi secara luas dapat terdiri dari, tecnoware (perangkat teknis), humanware (perangkat manusia), inforware (perangkat informasi) dan orgaware (perangkat organisasi). Keempat komponen tersebut, selalu berperan dalam sebuah proses transformasi, tepatnya dalam merubah suatu input menjadi output (Sasmojo, 2001). Input atau masukan menurut (Sewoyo, 2001) dapat berupa bahan baku alami (bahan mineral, bahan biologis), dan atau bahan setengah jadi (bahan kimia, bahan bangunan, bahan pakaian).
Sedangkan
output atau keluaran dapat berupa barang-barang konsumsi (makanan, obat, peralatan, perabotan). Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan sumberdaya lokal, yaitu (1) sumberdaya manusia dengan segala pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat lokal, tradisional atau asli; (2) sumberdaya alam adalah sumberdaya yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka dimana mereka telah berinteraksi secara turun temurun; dan (3)
sumberdaya teknologi adalah
sumberdaya hasil olah-pikir dan uji-coba yang telah mereka lakukan, dan kemudian menjadi semacam pengetahuan/teknologi mereka tentang sistem alam yang terakumulasi melalui proses yang cukup panjang untuk selanjutnya diwariskan secara lisan. Biasanya hasil uji-coba dalam bentuk teknologi tersebut menurut Mitchell (2000), tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah. Dan akhirnya, bagaimana ketiga sumberdaya lokal tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dalam kegiatan usahatani di rawa lebak. 2.4
Produktivitas Produktivitas diartikan sebagai keinginan manusia untuk meningkatkan
mutu kehidupan. Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan supaya terjadi perubahan dari waktu ke waktu.
Produktivitas dapat
pula diartikan sebagai ukuran efisiensi, efektivitas dan kualitas dari setiap sumber yang digunakan selama produksi berlangsung dengan membandingkan jumlah yang dihasilkan (keluaran) dengan setiap sumberdaya yang digunakan (masukan). Unsur-unsur produktivitas: (1) efisiensi, produktivitas sebagai rasio
keluaran dengan masukan merupakan ukuran efisiensi pemakaian sumberdaya (masukan) terencana dengan pemakaian masukan yang sebenarnya. pengertian efisiensi berorientasi pada masukan.
Jadi
Efisiensi dapat dipahami
sebagai kegiatan penghematan sumber-sumber dalam kegiatan produksi, seperti penghematan pemakaian bahan, uang, tenaga kerja, waktu, air dan sebagainya; (2) efektivitas, menggambarkan seberapa jauh target yang ditetapkan dapat tercapai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Efektivitas berorientasi pada keluaran; dan (3) kualitas, masukan dan kualitas proses akan menentukan kualitas keluaran. Keluaran yang berkualitas baik, akan meningkatkan rasio keluaran
dengan
masukan
dalam
nilai
tambah,
berarti
meningkatkan
produktivitas. Dalam konteks pertanian, produktivitas berperan penting dalam mencapai kecukupan produksi pangan. Peningkatan produksi pangan sangat ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya adalah ketersediaan air, kondisi lahan, input produksi dan pemeliharaan. 2.5
Pendapatan Petani Pendapatan adalah seluruh penerimaan dapat berupa uang atau barang
dari hasil usaha atau produksi. Pendapatan rumahtangga dapat diartikan sebagai jumlah keseluruhan dari pendapatan formal, informal dan subsistem. Pendapatan formal adalah penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan pokok. Sedangkan pendapatan subsistem adalah penghasilan yang diperoleh dari faktor produksi yang dinilai dengan uang (Mulyanto dan Ever, 1982). Pendapatan rumahtangga dapat juga didefenisikan sebagai seluruh penerimaan yang didapat setiap rumahtangga atau lebih disederhanakan adalah sebagai balas jasa dari faktorfaktor ekonomi (Anonim, 2000). Ada keterkaitan yang erat antara pendapatan, faktor produksi dan tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga. Selanjutnya menurut (Tjahyono, 1987) besarnya pendapatan petani dapat berasal dari usahatani dan non tani . Mosher dalam
Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa semua petani
menginginkan kesentosaan dalam keluarganya. Sehingga kebutuhan keluarga selalu dapat dipenuhi semuanya. Oleh karena itu, petani akan selalu berusaha untuk meningkatkan intensitas usahataninya dengan berbagai cara agar supaya pendapatannya menjadi meningkat. Berkaitan dengan hal ini, Pendapatan dari usahatani diperoleh dengan menjumlahkan semua pendapatan yang diperoleh
dari usahatani yang dilakukannya. Sedangkan penghasilan dari luar usahatani diperoleh dari penjumlahan seluruh penghasilan sampingan yang dilakukan di luar usahatani. Menurut
Soekartawi
(2002)
perubahan
tingkat
pendapatan
akan
mempengaruhi banyaknya barang yang akan dikonsumsi, pada tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah, dengan tingkat pengeluaran rumah tangga lebih besar dari pendapatan, maka tingkat konsumsi tidak hanya dibiayai oleh pendapatan mereka saja, melainkan dari sumber lain seperti tabungan yang dimiliki, penjualan harta benda, atau pinjaman bentuk lain. Biasanya semakin tinggi tingkat pendapatan, maka konsumsi yang dilakukan rumah tangga akan semakin besar pula. Bahkan seringkali dijumpai dengan bertambahnya pendapatan, maka barang yang dikonsumsi bukan hanya bertambah akan tetapi kualitas barang yang diminta juga bertambah. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani ditinjau dari faktor sosial dan ekonomi antara lain adalah tingkat pendidikan, jarak kebun dari rumah, jam kerja efektif, jumlah tenaga kerja dan input produksi.
Tingkat
pendidikan merupakan modal utama, dengan jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, maka besar kemungkinannya untuk dapat menerima inovasi maupun gagasan-gagasan
baru
yang
dapat
memperbaiki
kegiatan
usahatani.
Pengambilan keputusan untuk menghindari risiko usahatani dapat dilakukan dengan tingkat pendidikan yang memadai (Hermanto, 2005). 2.6
Analisis Usahatani
2.6.1 Indikator kelayakan usahatani Berbagai cara penilaian investasi telah dikembangkan dan digunakan dibidang pertanian. Menurut Pujosumarto (1995), kriteria investasi yang dapat digunakan
dalam
menilai kelayakan suatu kegiatan usaha dapat dilakukan
antara lain melalui cara perhitungan, revenue cost ratio (R/C ratio) atau benefit cost ratio (B/C ratio). Analisis
usahatani
yang
dimaksudkan
adalah
analisis
biaya
dan
pendapatan usahatani yang diperoleh keluarga tani berdasarkan produksi tanaman dan pendapatan. Biaya-biaya usahatani adalah semua biaya yang dikeluarkan petani selama proses produksi dalam setiap jenis tanaman yang diusahakan. Secara garis besar biaya tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu biaya variabel (biaya tidak tetap) dan biaya tetap. Biaya-biaya tidak
tetap adalah semua biaya yang dikeluarkan petani sesuai dengan jenis usahatani yang akan dikerjakan dan sistem pengelolaan yang akan diterapkannya. Adapun yang termasuk biaya tidak tetap ini antara lain pembelian bibit, pengolahan tanah, pemupukan, pencegahan hama/penyakit, pemanenan, penjemuran hasil (pengolahan hasil), pemasaran. Biaya tetap dapat berupa pajak, biaya perawatan alat, biaya penyusutan, retribusi dan bunga pinjaman (Soekartawi, 2002). Untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi perubahan jumlah, biaya dan harga produksi, diperlukan analisis sensitivitas dengan asumsi-asumsi sebagai berikut : •
Harga produksi turun 20%, jumlah dan biaya produksi tetap
•
Biaya produksi meningkat 20%, jumlah dan harga produksi tetap
•
Harga produksi turun 20%, biaya produksi naik 20%, jumlah produksi tetap
•
Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi tetap
•
Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi meningkat 20% Produksi tetap dan harga produksi naik 20% Produksi turun dan harga produksi naik 20%
2.6.2 Kebutuhan Hidup Layak Pengertian kemiskinan menurut versi pemerintah sangat beragam, antara lain menurut: (1) BKKBN, kemiskinan adalah suatu keadaan keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak mampu makan dua kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian tertentu dari rumah berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan; (2) BPS, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari, dan (3) Bappenas (2002), kemiskinan mencakup unsur-unsur: (a) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, transportasi, dan sanitasi);
(b)
kerentanan;
(c)
ketidakberdayaan;
(d)
ketidakmampuan
menyalurkan aspirasinya; sedangkan (4) Sajogyo (1977) mengemukakan bahwa ukuran garis kemiskinan untuk wilayah Indonesia dispesifikasi atas tiga tingkat kemiskinan yang mencakup konsepsi ‗Nilai Ambang Kecukupan Pangan‘ yaitu miskin, miskin sekali, sangat miskin. Garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam (Rp/bln) yang ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun) sehingga dapat dibandingkan dengan nilai tukar antar daerah dan antar waktu, baik di
perdesaan maupun di perkotaan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di daerah perdesaan berkisar antara 240 – 320 kg per orang per tahun, sedangkan untuk daerah perkotaan berkisar antara 360 – 480 kg per orang per tahun. Untuk mengukur apakah suatu keluarga tani telah hidup layak, yakni apabila keluarga tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan meliputi pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial, rekreasi, asuransi dan tabungan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh setiap keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal senilai beras 320 kg per th x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga x 2,5 (Sinukaban, 2007). 2.7
Sistem Usahatani Berkelanjutan Usahatani merupakan suatu industri biologis yang memanfaatkan materi
dan proses hayati untuk memperoleh laba yang layak bagi pelakunya yang dikemas dalam berbagai subsistem mulai dari subsistem praproduksi, produksi, panen, pascapanen, distribusi, dan pemasaran (Adnyana, 2001). Menurut Rifai dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) usahatani adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang diperuntukan bagi produksi di lapangan pertanian, dimana tatalaksana organisasi tersebut dilaksanakan oleh seseorang atau sekumpulan orang-orang.
Defenisi usahatani menurut Fardiyanti dalam
Sunarso (2005) adalah kegiatan dibidang pertanian yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk produksi dibidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang menggunakan faktor produksi (sumberdaya alam, modal dan tenaga kerja) untuk menghasilkan produk pertanian yang bermanfaat bagi manusia. Faktor-faktor produksi dalam usahatani antara lain: faktor produksi alam, faktor produksi tenaga kerja, faktor produksi modal dan pengelolaan. Modal menurut Soehardjo dan Dahlan (1973) adalah barang-barang bernilai ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau meningkatkan produksi. Modal dalam usahatani yaitu: 1. Tanah beserta bagian-bagian yang terdapat di atasnya seperti tanggul saluran air. 2. Bangunan-bangunan seperti; kandang ternak, lumbung, gudang.
3. Alat-alat pertanian dan mesin; alat-alat sederhana yaitu: bajak, garu, cangkul, linggis, mesin traktor, pengolah tanah, mesin penanam dan mesin pemungut hasil. 4. Tanaman dan ternak. 5. Sarana produksi pertanian yang terdiri dari, bibit, pupuk, obat, pengendali hama dan penyakit tanaman. 6. Uang tunai untuk membeli perlengkapan produksi yang diperlukan. Menurut Mosher dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi dan mengkoordinasi penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan hasil yang lebih baik.
Dalam pengambilan
keputusan, patani dihadapkan pada berbagai prinsip usahatani yaitu: 1. Penentuan perkembangan harga Penentuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada harga yang berlaku; 2. Kombinasi beberapa cabang usaha Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan dihadapkan pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya dalam setahun; 3. Pemilihan cabang usaha Penentuan cabang usahatani dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan ekonomi seperti: luas lahan usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah, persediaan tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, keadaan harga diwaktu cabang usaha itu menghasilkan; 4. Penentuan cara produksi Penentuan cara produksi terdiri atas: penentuan jumlah dan jenis pupuk yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam dan lain sebagainya; 5. Pembelian sarana produksi yang diperlukan Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak digunakan untuk membeli makanan, pupuk atau membeli peralatan; 6. Pemasaran hasil pertanian Masalah pemasaran yang sering dihadapi petani adalah waktu, tempat, cara penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat yang digunakan dan lain-lain;
7. Pembiayaan usahatani Biaya jangka panjang (biaya pengembangan dan perluasan usaha) dan biaya jangka pendek (biaya pertanaman, biaya perbaikan alat, serta biaya hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim panen); dan 8. Pengelolaan modal dan pendapatan Perubahan usahatani kearah yang lebih komersiil untuk memperoleh peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal yang mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi kebanyakan ditujukan untuk komsumsi keluarga. Usahatani dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu subsistem dan komersial. Usahatani subsistem diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan penggunaan alat yang masih sederhana, sedangkan usahatani komersial lebih berorientasi bisnis dan diarahkan pada pemenuhan permintaan pasar agar keuntungan yang diperoleh semakin besar. Sistem usahatani dikatakan berkelanjutan jika dalam pengelolaannya menerapkan teknologi yang ramah lingkungan atau tidak menimbulkan eksternalitas negatif pada lingkungan baik lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi pada tingkat mikro maupun makro. Menurut Adnyana (2001) beberapa strategi yang dapat diterapkan sebagai suatu upaya untuk mewujudkan sistem usahatani berkelanjutan, yaitu (1) sistem usahatani yang ingin dicapai sedapat mungkin diwujudkan melalui pemanfaatan sumberdaya internal untuk mensubtitusi penggunaan sumberdaya eksternal; (2) mengurangi penggunaan pupuk buatan yang bersumber dari sumberdaya yang tidak dapat pulih; (3) menekan intensitas penggunaan pestisida dan herbisida serta penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) secara massal; (4) memperluas penerapan rotasi tanaman dan diversifikasi horizontal untuk meningkatkan kesuburan tanah, pengendalian hama penyakit, meningkatkan produktivitas dan menekan risiko; dan (5) mempertahankan residu tanaman maupun input eksternal serta penanaman tanaman penutup tanah guna mempertahankan kelembaban dan kesuburan tanah. Menurut Suryana et al. (1998) konsep berkelanjutan mengandung pengertian bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara kelestarian sumberdaya alan dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang lintas generasi (inter-generational sustainability), antara lain dengan mengembangkan sistem usahatani konservasi, penerapan
pengendalian hama terpadu (PHT), dan kepatuhan pada prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pertanian. Perlu pula diterapkan prinsip pengembangan sistem usahatani berkelanjutan.
Prinsip ini mengandung ciri
bahwa sistem usahatani perlu memiliki kemampuan merespon perubahan pasar, inovasi teknologi yang terus-menerus,
menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Departemen Pertanian, 2001). Menurut Pambudy (1999) sejalan dengan perkembangan pembangunan bidang
pertanian,
kegiatan
usahatani
perlu
pula
dilaksanakan
melalui
pendekatan teknis, terpadu, dan agribisnis: (1) pendekatan teknis, dilakukan dengan tujuan peningkatan produksi pertanian, sehingga dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan pertanian dengan upaya: (a) penggunaan bibit unggul; (b) menekan kejadian hama dan penyakit tanaman melalui kegiatan penolakan, pencegahan, penyelidikan, pemberantasan, dan pengendalian penyakit, dan (c) penggunaan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman; (2) pendekatan terpadu, dengan cara melakukan pembinaan secara pasif melalui tiga penerapan teknologi, yaitu teknologi produksi, ekonomi dan sosial. Penerapan teknologi produksi dilakukan melalui:
perbaikan mutu bibit,
pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pengelolaan tanah. Sebagai pendukung penerapan teknologi produksi diterapkan pula teknologi ekonomi berupa perbaikan pascapanen dan pemasaran, sedangkan penerapan teknologi sosial dilakukan dengan mengorganisir petani dalam kelompok tani dan koperasi; dan (3) Pendekatan agribisnis, sistem agribisnis berarti pemanfaatan tanah atau lahan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usahatani yang berorientasi pada peningkatan pendapatan petani.
Sistem agribisnis juga merupakan
kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa yang terkait dalam suatu kluster industri (industrial cluster) yang mencakup empat subsistem (Saragih, 2000). Keempat subsistem tersebut adalah: (1) subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pupuk, dan pestisida; (2) subsistem agribisnis budidaya pertanian (on-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi yang selama ini disebut sebagai kegiatan budidaya pertanian; (3) subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengola dan memperdagangkan hasil pertanian; (4) subsistem
jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi kegiatan usahatani seperti perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, Balai Penyuluh Pertanian (BPP), kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian. Menurut Irawan dan Pranadji (2002), agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi empat bagian (subsistem) yaitu: (1) subsistem pengadaan dan distribusi sarana dan prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya; (2) subsistem produksi atau usahatani, yang akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, jagung dan lain-lain; (3) subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan (4) subsistem pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah dan lain-lain. 2.8
Indikator untuk Mengukur Keberlanjutan Indikator keberlanjutan adalah alat yang digunakan untuk memberikan
infomasi secara langsung atau tidak langsung mengenai viabilitas sebuah sistem di masa mendatang dari berbagai level tujuan (ekologi, ekonomi, sosial), penggunaannya dianggap penting karena menjadi informasi bagi perencanaan dan pengembangan sistem selanjutnya. Walker dan Router (1996) menggolongkan indikator ini dalam dua tipe, yaitu (1) indikator kondisi, yaitu indikator yang menjelaskan kondisi sistem pada saat ini relatif terhadap kondisi yang diharapkan, dan (2) indikator trend, yaitu indikator yang menjelaskan perubahan dalam sistem berdasarkan waktu sehingga dapat digunakan untuk memonitor kecenderungan yang akan terjadi di dalam sistem. Chen et al., (2002) merekomendasikan indikator untuk menilai keberlanjutan pertanian berdasarkan tekanan populasi, degradasi lingkungan, penggunaan sumberdaya yang tidak efesien dan manajemen sumberdaya yang tidak tepat. Food Agriculture Organization (FAO, 2000) menggunakan indikator seperti rasio lahan pertanian terhadap populasi, proporsi lahan irigasi, produksi pertanian dan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan domestik untuk menilai situasi umum dari produksi pertanian di Negara-negara berkembang. Beragamnya indikator yang digunakan, menunjukkan bahwa pemilihan indikator harus disesuaikan dengan tujuan dan karateristik sistem yang sedang dihadapi. Pemilihan indikator yang tepat adalah kunci keberhasilan dari pelaksanaan analisis keberlanjutan sistem yang akan dilakukan.
III. 3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu Desa Sungai Ambangah
Kecamatan Sungai Raya, dan Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, terletak di Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling, yaitu dipilih langsung dua desa tersebut. Oleh karena itu, penelusuran data dan informasi mencakup kedua desa yang bersangkutan. Kemudian dari dua desa terpilih ditentukan secara sengaja petani yang tinggal di kawasan dan sekitar rawa lebak. Penelitian lapangan untuk memperoleh data dan informasi faktual sesuai dengan tujuan dan persoalan yang dikaji. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010.
[a]
[c]
[b]
[d]
Gambar 2 Peta lokasi penelitian: [a] Provinsi Kalimantan Barat, [b] Kabupaten Kubu Raya, [c] Kecamatan Sungai Raya, dan [d] Kecamatan Sungai Ambawang
3.2
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dan disesuaikan dengan data
yang dikumpulkan terdiri dari: (1) bahan kimia dan Munsell Soil Color Chart yang digunakan untuk analisis kimia dan fisik tanah; (2) wadah untuk sampel tanah berupa plastik; (3) bahan kuesioner untuk keperluan wawancara; dan (4) peta lokasi. Alat yang digunakan dalam penelitian ini dan disesuaikan dengan data yang dikumpulkan terdiri dari; bor tanah, pH meter, GPS, kompas, kamera seperangkat alat laboratorium untuk analisis tanah, dan alat tulis kantor. 3.3
Disain Penelitian Tahap awal dari penelitian ini dimulai dengan memotret secara menyeluruh
dan komprehensif keadaan karakteristik rawa lebak dan persoalan berkenaan dengan masyarakat petani di sekitar rawa lebak, selanjutnya merumuskan atau mendisain model berdasarkan keadaan tersebut. Aspek utama yang menjadi fokus perhatian adalah mengidentifikasi dan memetakan interaksi antara petani dengan rawa lebak serta elemen-elemen kunci yang mempengaruhinya. Setelah
melakukan
identifikasi
dan
pemetaan
interaksi
kemudian
dilanjutkan dengan identifikasi kebutuhan petani menurut skala prioritasnya (Storey, 1999). Kebutuhan diilustrasikan sebagai suatu hubungan yang saling terkait. Elemen-elemen kunci yang menjadi dasar pengelolaan diperoleh dengan mengidentifikasi dan memilah sejumlah faktor penting yang diperoleh secara parsial pada masing-masing dimensi penelitian yang dikaji. Selanjutnya elemen kunci yang diperoleh dikonfirmasikan kembali melalui diskusi bersama dengan pakar dan stakeholder terkait dalam bentuk expert meeting/focus group discussion. Dengan demikian maka proses dan mekanisme perumusan disain pengelolaan rawa lebak merupakan kesepakatan atau hasil bersama oleh seluruh stakeholder (Schonhuth dan Kievelitz, 1984). Disain penelitian pada Gambar 3 menunjukkan tahapan dan alur kegiatan yang dilakukan dalam penyelesaian studi ini. Dalam hal ini sasaran akhir yang ingin dicapai adalah disain model pengelolaan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan usahatani secara berkalanjutan (tujuan umum penelitian). Untuk keperluan perumusan model, maka dilakukan pengkajian terhadap aspek biofisik, sosial ekonomi petani, kelembagaan, serta sarana dan
prasarana yang ada di kawasan rawa lebak. Pada masing-masing aspek kajian yang ditelaah dilakukan pengumpulan data dan informasi sesuai dengan variabel dan parameter yang diukur. Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara parsial dengan menggunakan berbagai instrumen dan alat analisis disesuaikan dengan substansi yang ditelaah/dikaji. Hasil analisis parsial dan fakta-fakta aktual lainnya yang diperoleh di lapangan kemudian disintesis (secara deskriptif) untuk dijadikan dasar penyusunan model sesuai dengan sasaran dan tujuan yang diinginkan. Dalam penelitian ini tujuan penelitian 1, 2, 3, 4, dan 5 merupakan tujuan antara yang disintesis untuk menjawab tujuan penelitian 6 (sebagai tujuan umum penelitian). Secara rinci struktur tujuan, metode, variabel analisis, dan keluaran penelitian dapat dilihat pada Gambar 3
METODE PENGUMPULAN DATA
Tujuan 1: Karakteristik rawa lebak dan petani
1. Survey: pengamatan langsung, pengambilan contoh tanah dan wawancara - Sui Ambangah - Pasak Piang
1. Karakteristik rawa lebak 2. Karakteristik sosekbud petani 3. Pendapatan & kebutuhan RT
2. Wawancara dan PRA: - Sui Ambangah - Pasak Piang
1. Teknis budidaya RL 2. Penggunaan saprotan 3. Sarana prasarana pendukung
Tujuan 2: Analisis kesesuaian lahan
Tujuan 3: Analisis kelayakan usahatani Tujuan 4: Mengetahui indeks dan status keberlanjutan dan variabel dominan
Tujuan 5: Disain model dan kebijakan pengelolaan rawa lebak berkelanjutan
3. Observasi - Kawasan RL - Diluar Kaw. RL
1. Kondisi biofisik RL 2. Fakta dan fenomena lainya
4. Penelusuran dokumen: - Laporan penelitian - Laporan dinas - Dokumen2 lainnya
1. Data/informasi SDA,SDM,SDT lokal, utilitas, dll 2. Jenis kegiatan/proyek, kebijakan serta hasil pelaks.
ANALISIS DATA
1. 2. 3. 4.
Deskriptif Analisis kesesuaian lahan Analisis R/C; B/C Analisis KHL
KELUARAN/OUTPUT PENELITIAN
1. Jenis rawa lebak 2. Struktur pendapatan & pengeluaran RT 3. Keragaan petani,dan usahatani
1. Analisis MDS 2. Analisis leverage 3. Monte Carlo
1. Indeks & status keberlanjutan 2. Atribut penting 3. Nilai random error
1. Analisis stakeholder 2. Analisis prospektif
1. Faktor penting 2. Faktor-faktor yg berpengaruh
Sumberdaya lokal 5. Wawancara mendalam - Pakar - Informan kunci
Ket:
aliran informasi dan
1. Masalah-masalah dlm pengelolaan. RL 2. Alternatif solusi pemecahan masalah 3. Harapan di masa depan
Sintesis
kesatuan atribut yg disentesis untuk menyusun model
Gambar 3 Struktur tujuan, metode, variabel dan keluaran/output penelitian
Model Pengelolaan RL Berkelanjutan
26
VARIABEL & DATA/INFORMASI
TUJUAN PENELITIAN
3.4
Rancangan Penelitian Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka rancangan penelitian yang
digunakan terdiri dari, (1) studi literatur (desk study); (2) survey dan observasi langsung ke lapangan (direct observation); (3) wawancara (interview dan indepth interview); dan (4) analisis tanah di laboratorium. Studi literatur, dilakukan untuk memperluas dan melengkapi hasil kajian yang terkait dengan lingkup penelitian. Penelusuran literatur dilakukan terhadap berbagai laporan dan dokumen hasil-hasil penelitian terkait, serta data dan informasi dari sumbersumber lain. Survey dan observasi langsung ke lapangan (direct observation), dilakukan untuk mengetahui dan melihat secara langsung berbagai keadaan dan perilaku petani dan stakeholders lainnya, serta keberadaan dan ketersediaan infrastruktur pendukung. Hasil kegiatan ini digunakan sebagai dasar klarifikasi dan cek silang (cross check) terhadap berbagai informasi yang ada. Wawancara (interview), dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi kuantitatif dan kualitatif dari kelompok sasaran (responden) yang telah ditetapkan. Data dan informasi yang dikumpulkan berkenaan dengan karakteristik ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan kelembagaan.
Sedangkan in-depth interview,
dilakukan untuk mengetahui kebutuhan stakeholders, permasalahan yang dihadapi, harapan dan pendapat yang terkait dengan masalah pengembangan pertanian berkelanjutan dan lingkungan di rawa lebak secara lebih mendalam dan komprehensif. Kelompok sasaran dalam wawancara ini adalah informan kunci (key informan) yang memiliki kompetensi (pakar) dengan kajian yang ditelaah. Analisis laboratorium, dilakukan terhadap contoh tanah dari masingmasing penggunaan lahan (eksisting) yang ada di dua lokasi penelitian. Petani yang menjadi sampel (responden) dari penelitian ini adalah petani yang bertempat tinggal dan yang berusahatani di rawa lebak, terkecuali responden pakar. Penetapan jumlah sampel (responden) mengacu pada pendapat Arikunto (1993); (1) apabila obyek penelitian jumlahnya kurang dari 100 lebih baik diambil semuanya; (2) jika jumlahnya besar atau lebih dari 100 dapat diambil antara 10 – 15 persen atau 20 – 25 persen atau lebih, tergantung waktu, tenaga, dana, luas wilayah pengamatan, atau besar sedikitnya data, dan besarnya risiko penelitian serta tingkat homogenitas sampel. Sedangkan responden pakar berasal dari daerah lain, karena pemilihan pakar yaitu para ahli atau praktisi yang memiliki keahlian, reputasi dan atau pengalaman pada aspek yang terkait dengan penelitian ini.
3.5
Jenis dan Sumber Data
3.5.1 Data fisik tanah dan iklim Dalam kegiatan survey lapangan dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel tanah dan pengumpulan data iklim. (1) Data tanah yang diamati, yaitu melalui pengamatan dan pengukuran di lapangan meliputi: bentuk lahan, lereng, drainase, kedalaman efektif, kedalaman sulfidik, bahaya erosi, bahaya banjir, batuan permukaan, dan kemudahan pengolahan. (2) Pengambilan contoh tanah untuk analisis laboratorium dilakukan pada masing-masing satuan penggunaan lahan yang ada, yaitu di lahan pertanaman padi, kebun karet dan kebun kelapa sawit. Dalam hal ini, ketiga tanaman tersebut paling umum diusahakan oleh petani setempat. Pengambilan contoh tanah dilakukan secara stratified random sampling. Setiap satuan penggunaan lahan yang ada, diambil contoh tanah komposit masing-masing untuk lahan sawah pada kedalaman 0 – 30 cm, sedangkan untuk kedua lahan karet dan kelapa sawit, diambil pada kedalaman 30 – 60 cm.
Selanjutnya, contoh tanah tersebut dianalisis di laboratorium untuk
diperoleh data berupa: pH, kandungan bahan organik, N total, P tersedia, kation-kation dapat tukar (K, Na, Ca, Mg), Kapasitas Tukar Kation, kejenuhan basah, Al dan H dapat tukar, dan tekstur. Parameter kimia dan fisik serta metode analisis tanah yang digunakan selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Parameter kimia dan fisik serta metode analisis yang digunakan Parameter kimia dan fisik
Metode analisis
pH H2O C organik (%) N total (%) P2O5 (ppm) + -1 K-tersedia (cmol kg ) + -1 Na (cmol kg ) + -1 Ca (cmol kg ) + -1 Mg (cmol kg ) + -1 KTK (cmol kg ) Kejenuhan basa (%) + -1 Al-dd (cmol kg ) + -1 H-dd (cmol kg ) Tekstur (3 fraksi)
Gelas elektroda Walkley and Black Kjeldhal Bray I Ekstrak NH4OAc 1N pH:7 Ekstrak NH4OAc 1N pH:7 Ekstrak NH4OAc 1N pH:7 Ekstrak NH4OAc 1N pH:7 Ekstrak NH4OAc 1N pH:7 Ekstrak NH4OAc 1N pH:7 Ekstrak KCl 1N Ekstrak KCl 1N Pipet (gravimetri)
(3) Data iklim berupa: data curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara merupakan data sekunder yang dikumpulkan atau diambil dari stasiun
meteorologi yang terdekat dengan lokasi penelitian dalam hal ini adalah Stasiun Meterologi Supadio Pontianak. 3.5.2 Data tanaman Data
dan
informasi
sistem
budidaya
tanaman
diperoleh
pengamatan langsung di lapangan dan wawancara terhadap petani.
melalui Data
tersebut meliputi: jenis benih atau bibit yang digunakan, asal benih atau bibit, teknis penanaman dan jarak tanam, waktu tanam, pemeliharaan (pemupukan, pengairan, pengendalian hama penyakit, penyiangan, pemangkasan), produksi, pasca panen dan pemasaran. 3.5.3 Data sosial, ekonomi, teknologi dan kelembagaan Data sosial, ekonomi, teknologi dan kelembagaan diperoleh melalui wawancara langsung ke petani, pedagang, petugas penyuluh lapangan, tokoh masyarakat, aparat desa dan kecamatan, para pakar dan juga melalui pengumpulan dokumen mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi. Jenis data, sumber data dan teknik pengumpulan data secara lengkap disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis, sumber dan teknik pengumpulan data No
Jenis Data
1.
Tanah (fisik dan kimia), iklim (curah hujan, suhu, kelembaban udara), fisiografi.
2.
Sistem usahatani (benih/bibit yang digunakan, pemeliharaan: pemupukan, pengendalian hama penyakit; panen, produksi, pemasaran)
3.
Sosial ekonomi petani (demografi, pemilikan lahan, jumlah anggota keluarga, jumlah usia produktif, curahan tenaga kerja, penggunaan saprodi, biaya hidup, harga saprodi, harga komoditas, pengeluaran-pendapatan usahatani dan non usahatani, preferensi petani terhadap komoditas dan rawa lebak) Kelembagaan (kebijakan sumber penyediaan saprodi, lembaga keuangan, KUD, sistem penanganan hasil, ketersediaan informasi dan teknologi, pelayanan penyuluhan) Infrastruktur pendukung (pasar, jalan, gudang, pabrik pengolahan, pompa air, irigasi, alsintan)
4.
5.
Ket: PRA (Participatory Rural Appraisal)
Sumber Data Primer
Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan contoh dan analisis tanah, pengukuran di lapang Sekunder Studi literatur, dokumentasi dan laporan dinas terkait Primer Desk study, PRA, Survey dan observasi lapang, wawancara (interview dan indepth interview) Sekunder Laporan penelitian, jurnal, dokumen Primer Desk study, PRA, Survey dan observasi lapang, wawancara (interview dan indepth interview) Sekunder Laporan penelitian, jurnal, dokumen Primer
Desk study, PRA, Survey dan observasi lapang, wawancara (interview dan indepth interview) Sekunder Studi literatur dan dokumen Primer Desk study, PRA, Survey, observasi lapang, dan wawancara (interview dan indepth interview)
3.6
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan secara partisipatif melalui diskusi,
wawancara, pengisian kuesioner, pengambilan contoh tanah, serta pengamatan langsung terhadap sistem usahatani di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, peta, laporan hasil penelitian, dan dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian. 3.7
Teknik Pengambilan Sampel Sampel responden untuk analisis kondisi sosial ekonomi petani terdiri dari
ketua kelompok dan anggota kelompok tani yang dipilih secara acak (random sampling). Dari sembilan kecamatan yang ada di Kabupaten Kubu Raya ditentukan secara sengaja (purposive) dua kecamatan sebagai sampel yang mewakili daerah rawa lebak. Responden dipilih secara acak (random sampling), sebanyak 25 persen dari 174 kepala keluarga yaitu 45 responden di Desa Sungai Ambangah, dan 25 persen dari 112 kepala keluarga yaitu 28 responden di Desa Pasak Piang. Responden pakar ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak sembilan orang yang mewakili semua pemangku kepentingan atau mewakili unsur birokrasi, akademisi, LSM, dan Masyarakat, seperti Ketua Bappeda Kabupaten Kubu Raya, ahli pengelolaan sumberdaya lahan, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), ahli dibidang pengairan dan rawa, dan berbagai instansi teknis yang berhubungan dengan pengembangan sistem usahatani (Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan).
Dasar pertimbangan dalam
penentuan responden ini dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: 1. Keberadaan responden dan kesediaan untuk dijadikan responden. 2. Memiliki reputasi, kedudukan atau jabatan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar pada bidang yang diteliti. 3. Telah memiliki pengalamanan dalam bidangnya. 3.8
Analisis Data Sesuai dengan tujuan penelitian serta jenis data sifat data yang
dikumpulkan, maka analisis data yang dilakukan meliputi: (1) analisis deskriptif, (2) analisis kesesuaian lahan, (3) analisis kelayakan usahatani, (4) analisis keberlanjutan untuk masing-masing dimensi, (5) analisis leverage, (6) analisis Monte Carlo, (7) analisis kebutuhan pemangku kepentingan, (9) analisis
prospektif, (9) analisis pendapatan dan kebutuhan rumahtangga, dan (10) analisis kebutuhan hidup layak. 3.8.1
Analisis deskriptif Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai (khususnya tujuan 1), maka
pelaksanaan penelitian bersifat eksploratif-deskriptif. Arah penelitian adalah penemuan kriteria rawa lebak dan keragaan petani yang ada di lokasi penelitian berdasarkan kondisi faktual di lapangan. Selanjutnya dibuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat terhadap fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang ditelaah dan merumuskan berbagai alternatif solusi sesuai dengan aspek yang dikaji. Untuk mendapatkan data dan informasi objektif sesuai dengan kebutuhan penelitian, maka dilakukan pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik yaitu: survey dan pengukuran langsung di lapangan, wawancara (interview dan indepth interview), dan studi literatur. 3.8.2 Analisis kesesuaian lahan Analisis kesesuian lahan dilakukan untuk mendapatkan kesesuaian penggunaan lahan untuk penggunaan suatu jenis tanaman tertentu, melalui pendekatan matching atau kecocokan antara kualitas dan sifat-sifat tanah (land qualities/land characteristics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh suatu komoditas pertanian yang berbasis lahan (Djaenudin et al., 2003). 3.8.3
Analisis kelayakan usahatani Analisis usahatani yang dilakukan adalah analisis revenue cost ratio
(RCR) dan benefit cost ratio (BCR). Kedua analisis ini untuk mengetahui apakah usahatani yang dijalankan saat ini, menguntungkan atau tidak menguntungkan. Analisis R/C ratio dan B/C ratio dengan menggunakan persamaan Soekartawi (2002): n Σ i=0
Bt -------t (1+i)
B/C=------------------------n Σ i=0
…………………………..…………..(1)
Ct --------t (1-t)
Keterangan : Bt Ct
= manfaat tahun ke-t = biaya pada tahun ke-t
i t
= discount rate (%) = tahun (umur)
Apabila nilai R/C ratio atau B/C ratio lebih besar dari satu, maka usahatani dikatakan menguntungkan dikembangkan, sebaliknya bila R/C ratio
atau B/C ratio lebih kecil dari satu, maka usahatani tidak menguntungkan untuk dikembangkan. Dalam
penilaian
mempertimbangkan, yaitu:
kelayakan
usahatani
tanaman
dengan
(1) umur ekonomis untuk tanaman tahunan yang
diusahakan dalam hal ini tanaman karet dan kelapa sawit, masing-masing sampai
umur
35
tahun
untuk
tanaman
karet
yang
didasarkan
hasil
informasi/wawancara terhadap petani di lapangan dan 25 tahun untuk tanaman kelapa sawit; (2) tingkat suku bunga (discount factor) yang digunakan dalam analisis ekonomi adalah 18%. Tingkat suku bunga berperilaku progresif untuk mengurangi nilai sekarang terhadap hasil dan manfaat yang diperoleh di waktu yang akan datang. Semakin jauh waktu dipilih ke depan, semakin kecil nilai manfaat untuk waktu yang akan datang. Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas (Monde, 2008). Analisis ini dengan berpatokan kepada kenaikkan pendapatan dan penurunan produksi dan biaya produksi. Analisis ini dilakukan dengan mengasumsikan nilai-nilai yang diperoleh terhadap kemungkinan yang akan terjadi dengan perubahan sebesar 20%: - Biaya produksi meningkat 20%, jumlah dan harga produksi tetap - Harga produksi turun 20%, jumlah dan biaya produksi tetap - Harga produksi turun 20%, biaya produksi naik 20%, jumlah produksi tetap - Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi tetap - Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi naik 20% - Produksi tetap harga naik 20% - Produksi turun dan harga naik 20% 3.8.4
Analisis keberlanjutan Untuk mengetahui kondisi dan tingkat keberlanjutan usahatani di lahan
rawa lebak saat ini dan hasil penyusunan skenario untuk masa yang akan datang, dilakukan analisis keberlanjutan dengan menggunakan metode rapid appraisal menggunakan analisis Rap-Lebak (Rap-lebak). Analisis ordinasi RapLebak dengan metode MDS dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) tahap penentuan atribut sistem usahatani rawa lebak yang meliputi lima dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan; (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (scoring) berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; (3) tahap analisis ordinasi
Rap-lebak dengan metode MDS dengan menggunakan software Rap-Lebak excel untuk menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma; (4) penyusunan indeks dan status keberlanjutan sistem usahatani saat ini berdasarkan lima dimensi yang menjadi indikator keberlanjutan. Pada setiap dimensi terdiri dari tujuh hingga delapan atribut yang mencerminkan keberlanjutan usahatani di rawa lebak dan masing-masing atribut tersebut diberikan penilaian/skor. Skor ini menunjukkan nilai dalam kisaran baik (good) dan buruk (bad). Berdasarkan skor tersebut kemudian dilakukan analisis mengunakan ordinasi statistik yang disebut Multi Dimensional Scalling (MDS). Jika nilai indeks lebih dari 50% maka sistem yang dikaji tersebut dapat dikategorikan berkelanjutan (sustainable) dan apabila nilai indeks kurang dari 50% maka sistem yang dikaji dianggap belum berkelanjutan. Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kategori indeks dan status keberlanjutan Nilai Indeks 0 25 50 80
Kategori
– 24,99 – 49,99 – 79,99 – 100,00
Buruk : Tidak berkelanjutan Kurang : Kurang berkelanjutan Cukup : Cukup berkelanjutan Baik : Sangat berkelanjutan
Nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi di atas, dapat pula divisualisasikan
dalam
bentuk
diagram
layang-layang
sebagaimana ditunjukkan Gambar 4.
Dimensi Ekologi 100 80 60 Dimensi Kelembagaan
40
Dimensi Ekonomi
20 0
Dimensi Teknologi
Dimensi Sosial Budaya
Gambar 4 Diagram layang indeks keberlanjutan
(kite
diagram)
3.8.5
Analisis Leverage Analisis laverage (daya ungkit) dilakukan untuk mengetahui atribut yang
sensitif dan intervensi yang perlu dilakukan. Hasil analisis laverage dinyatakan dalam bentuk persen (%) perubahan root mean square (RMS) dari masingmasing atribut jika dihilangkan dalam ordinasi. Atribut-atribut dengan persentase tertinggi
merupakan
atribut
yang
paling
sensitif
berpengaruh
terhadap
keberlanjutan (Kavanagh, 2001; Pitcher dan David, 2001). Atau semakin besar perubahan root mean square (RMS), maka semakin sensitif peranan atribut tersebut terhadap peningkatan status keberlanjutan. 3.8.6 Analisis Monte Carlo Analisis Monte Carlo dilakukan untuk menduga pengaruh galat pada selang kepercayaan 95 persen. Analisis ini merupakan metode simulasi statistik untuk mngetahui pengaruh random error pada proses pendugaan dan diperlukan untuk mempelajari efek ketidakpastian dari beberapa faktor seperti (1) kesalahan pembuatan skoring dalam setiap atribut, (2) dampak keragaman skoring dari perbedaan penilaian, (3) stabilitas MDS dalam running, dan (4) tinggi nilai SStress dari algoritma ASCAL. Jika perbedaan antara hasil perhitungan MDS dan Monte Carlo kurang dari satu, maka sistem yang dikaji cukup baik atau sesuai dengan kondisi nyata (Kavanagh, 2001; Pitcher dan David, 2001). Nilai S-stress dan koefisien determinasi (R2) berfungsi juga untuk mengetahui perlu tidaknya penambahan atribut, dan sekaligus mencerminkan keakuratan dimensi yang dikaji dengan keadaan yang sebenarnya. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan dua titik yang berdekatan terhadap titik asal ordinasi. Sedangkan penentuan jarak dalam MDS didasarkan pada euclidian distance (Fauzi dan Anna, 2005). Dalam ruang berdimensi n dengan persamaan sebagai berikut:
d= Ordinasi
.............................(2) dari
obyek
atau
titik
kemudian
diaproksimasi
dengan
meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δij). dij = + βδij + ε
.............................................................................(3)
Untuk meregresikan persamaan di atas, digunakan metode least squared bergantian berdasarkan akar eucludian distance (square distance) atau disebut dengan metode ALSCAL (Fauzi dan Anna, 2005). Metode ini mengoptimalkan
jarak kuadrat (squared distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijk), dalam ruang tiga dimensi (i,j,k) yang disebut S-Stress, sesuai dengan persamaan berikut: –
................................................................(4)
Jarak kuadrat merupakan jarak euclidian, sesuai dengan persamaan berikut:
.................................................................(5) Goodness of fit dalam MDS untuk mengukur ketepatan konfigurasi dari suatu titik yang dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit mencerminkan besaran nilai S-Stress dari R2. Nilai S-Stress yang rendah menunjukkan good fit, sedangkan nilai S-stress yang tinggi menunjukkan sebaliknya (Fauzi dan Anna, 2005). Menurut Kavanagh and Pitcher (2004), model yang baik atau hasil analisis cukup baik, apabila nilai S-Stress kurang dari 0,25 (S<0,25), dan R2 mendakati 1 (100%). 3.8.7
Analisis kebutuhan pemangku kepentingan (Stakeholder) Analisis kebutuhan pemangku kepentingan dilakukan untuk mengetahui
faktor-faktor
penting
yang
berpengaruh
dan
berperan
dalam
sistem
pengembangan rawa lebak secara berkelanjutan pada masa yang akan datang. Analisis ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan identifikasi kebutuhan semua pemangku kepentingan terhadap rawa lebak. Berbagai kebutuhan stakeholder tersebut kemudian diformulasikan dalam bentuk deskripsi faktor kunci pemenuhan kebutuhan stakeholder pengelolaan kawasan rawa lebak pada masa yang akan datang. Faktor-faktor ini menjadi masukan dalam skenario yang akan disusun. 3.8.8 Analisis prospektif Analisis prospektif dilakukan untuk menyusun skenario arahan kebijakan dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berpengaruh dan memprediksi kemungkinan yang akan terjadi pada masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. tahapan, yaitu
Analisis prospektif dilakukan melalui beberapa
(1) menetapkan tujuan, (2) melakukan identifikasi kriteria, (3)
mendiskusikan kriteria yang telah ditentukan, (4) analisis pengaruh antara faktor, (5) membangun dan memilih skenario, dan (6) implikasi skenario (Bourgeois, 2007).
Penentuan
faktor
kunci
dalam
analisis
ini
dilakukan
dengan
menggabungkan faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh terhadap kinerja sistem dari hasil analisis keberlanjutan dan faktor kunci yang diperoleh dari analisis kebutuhan. Pengaruh antar faktor kunci diberikan nilai (skor) oleh pakar dengan menggunakan pedoman seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Pedoman penilaian Skor
Keterangan
0 1 2 3
Tidak ada pengaruh Berpengaruh kecil Berpengaruh sedang Berpengaruh sangat kuat
Sumber: Hardjomidjojo, 2006
Pengaruh antar faktor diisi dengan memberikan angka pada masingmasing faktor dengan pedoman sebagai berikut: (1) Jika faktor tersebut tidak ada pengaruh terhadap faktor lain, jika ya diberikan nilai 0 (2) Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya kecil, diberikan nilai 1, dan jika pengaruh sedang, diberikan nilai 2. (3) Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya diberikan nilai 3. Pengaruh antar faktor selanjutnya disusun ke dalam bentuk matriks sebagaimana Tabel 6. Tabel 6 Pengaruh antar faktor Dari A Terhadap A B C D ...... Sumber: Bourgeois, 2007
B
C
D
.............
Untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan yang terbaik pada masa yang
akan
datang,
dilakukan
penentuan
faktor-faktor
penting/faktor
pengungkit/elemen-elemen kunci dari beberapa faktor yang telah disusun sebelumnya. Faktor-faktor penting/pengungkit tersebut, dianggap faktor kunci yang sangat berpengaruh terhadap model pengelolaan rawa lebak secara berkelanjutan. Penentuan faktor-faktor penting/pengungkit dilakukan dengan cara seperti pada Gambar 5.
Pengaruh
(1)
(2)
Faktor Penentu
Faktor Penghubung (Leverage Variables) STAKE
(DrivingVariables) INPUT
(3)
(4)
Faktor Bebas (Marginal Variables) UNUSED
Faktor Terkait (Output Varables) OUTPUT Ketergantungan
Gambar 5
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem
Masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda (Bourgeois and Jesus, 2004), yaitu: a. Kuadran 1 (driving variables), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dengan tingkat ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variables) yang paling kuat dalam sistem. b. Kuadran 2 (leverage variables), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang kuat (leverage variables).
Faktor
pada kuadran ini dianggap peubah yang kuat. c. Kuadran 3 (outout variables), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kecil, namun ketergantungannya tinggi. d. Kuadran 4 (marginal variables), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan kecil (rendah). Berdasarkan faktor-faktor penting/faktor pengungkit yang diperoleh di atas, selanjutnya dijadikan sebagai alternatif dalam penyusunan skenario. Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang Faktor penting 1 2 3 .... n
1A 2A 3A .... nA
Keadaan yang mungkin terjadi 1B 2B 3B .... nB
1C 2C 3C .... nc
Berdasakan hasil dari Tabel 7, langkah selanjutnya adalah membangun skenario rekomendasi kebijakan pengembangan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan dengan beberapa kemungkinan skenario seperti Tabel 8. Tabel 8 Kemungkinan skenario model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan Skenario 1 2 3
3.8.9
Uraian
Urutan faktor
Bertahan pada kondisi saat ini, dengan perbaikan terbatas Melakukan perbaikan tetapi tidak maksimal Melakukan perbaikan secara menyeluruh dan terintegrasi
............................ .................. ............................ .................. ............................ ..................
Analisis pendapatan dan kebutuhan rumahtangga Untuk mengetahui pendapatan rumahtangga petani dilakukan analisis
dengan menjumlahkan penghasilan semua anggota keluarga (kepala keluarga, istri, anak, dan anggota lainnya) yang bersumber dari luar kegiatan usahatani maupun dari kegiatan usahatani yang dihitung dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya dihitung proporsi pendapatan rumahtangga yang bersumber dari usahatani. Pada saat yang sama, dilakukan perhitungan kebutuhan rumahtangga dengan menjumlahkan semua kebutuhan rumahtangga, baik untuk kebutuhan primer, sekunder, dan kebutuhan tersier yang juga dihitung dalam suatu periode tertentu. Perhitungan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga dan inventarisasi berbagai macam kebutuhan berdasarkan prioritas pemenuhannya. Dalam hal ini kebutuhan rumahtangga dibatasi pada kebutuhan-kebutuhan pokok (kebutuhan primer). Langkah berikutnya, dilakukan formulasi keseimbangan antara kebutuhan dengan penghasilan rumahtangga. 3.8.10 Analisis kebutuhan hidup layak (KHL) Untuk mengukur apakah suatu keluarga tani telah hidup layak, maka dilakukan analisis kebutuhan hidup layak (KHL). Dalam hal ini kebutuhan hidup layak didasarkan pada kebutuhan dasar, yaitu untuk pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan sosial.
Analisis ini dilakukan dengan cara
menyetarakan jumlah pendapatan bersih yang diperoleh setiap rumahtangga petani untuk dapat hidup layak yaitu minimal senilai beras 320 kg/th x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga x 2,5 (Sinukaban, 2007). Pedoman yang dipakai untuk perhitungan adalah:
- Nilai setara 320 kg beras per orang per tahun untuk memenuhi 3 (tiga) kebutuhan
hidup
primer (pangan, sandang, papan) dengan rincian 8,9 kg
beras x 3 x 12 bulan = 320,4 kg atau dibulatkan 320 kg/org/th (100%). Dalam sehari kebutuhan hidup per orang sebesar 290 gram beras, sebulan 290 gram x 30 = 8,9 kg per bulan. - Untuk kebutuhan kesehatan dan rekreasi 50% x 320 kg beras/org/th - Kebutuhan pendidikan 50% x 320 kg beras/org/th. - Kebutuhan sosial, asuransi dll. 50% x 320 kg beras/org/th. Untuk melengkapi hasil analisis ini dilanjutkan dengan analisis kebutuhan lahan minimal yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan hidup layak, yaitu dengan mengkonversi nilai kebutuhan hidup layak ke nilai produktivitas lahan minimum. Dalam penetapan luas lahan minimal (Lm), digunakan persamaan: Lm = KHL/Pb, dimana: Pb adalah pendapatan bersih per hektar (Monde, 2008). 3.9
Rekomendasi Kebijakan Dari
serangkaian
analisis
yang
dilakukan,
selanjutnya
disusun
rekomendasi. Rekomendasi kebijakan dalam bentuk model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan, merupakan tujuan utama dari penelitian ini. Rekomendasi kebijakan ini diharapkan dapat menjadi bahan rancangan kebijakan untuk pengelolaan rawa lebak di Kabupaten Kubu Raya pada khususnya dan daerah lain pada umumnya.
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Kubu Raya merupakan salah satu Kabupaten yang ada di
Kalimantan Barat dengan luas wilayah mencapai 6 985,24 km2 (Tabel 9). Secara geografis, Kabupaten Kubu Raya berada di sisi Barat Daya Provinsi Kalimantan Barat atau berada pada posisi 0o 13‘ 27‖ Lintang Utara sampai dengan 1o 0‘ 15‖ Lintang Selatan dan 109o 58‘ 47‖ Bujur Timur sampai dengan 109o 58‘ 17‖ Bujur Timur yang terdiri dari sembilan kecamatan dan 106 desa. Dari Sembilan Kecamatan yang ada, kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Kecamatan Batu Ampar seluas 2 002,70 km2 atau 28,86 persen dari luas Kabupaten Kubu Raya dan kecamatan dengan wilayah terkecil adalah Kecamatan Rasau Jaya yaitu 111,70 km2 atau 1,59 persen dari luas Kabupaten Kubu Raya.
Sedangkan
luas wilayah Kecamatan Sungai Raya dan Sungai
Ambawang sebagai lokasi penelitian masing-masing dengan luasan 929,30 km2 atau 13,30 persen dan 726,10 km2 atau 10,40 persen dari luas Kabupaten Kubu Raya (Tabel 9 dan Gambar 6). Tabel 9 Luas wilayah, Ibukota Kecamatan dan jumlah desa di Kabupaten Kubu Raya No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kecamatan
Ibukota Kecamatan Padang Tikar Terentang Kubu Teluk Pakedai Sungai Kakap Rasau Jaya Arang Limbung Ambawang Kuala
Luas Area 2 (km ) 2 002,70 786,40 1 211,60 291,90 453,17 111,70 929,30 726,10
Batu Ampar Terentang Kubu Teluk Pakedai Sungai Kakap Rasau Jaya a) Sungai Raya Sungai b) Ambawang 9 Kuala Mandor B Kuala Mandor 473,00 Jumlah 6 985,24 a) b) Keterangan: dan Lokasi Penelitian Sumber: Kabupaten Kubu Raya Dalam Angka, 2009
Jumlah Desa 14 9 19 14 12 6 14 13 5 106
Batu Ampar
7% 10%
29%
Terentang Kubu
13%
Teluk Pakedai Sungai Kakap Rasau Jaya
2% 6%
11% 4% 17%
Sungai Rayaa) Sungai Ambawangb) Kuala Mandor B
Gambar 6 Persentase luas wilayah berdasarkan kecamatan di Kabupaten Kubu Raya
Penduduk di Kabupaten Kubu Raya menurut jenis kelamin sampai tahun 2009 sebanyak 253 261 jiwa laki-laki dan 242 697 jiwa perempuan atau dengan total sebanyak 495 958 jiwa (Tabel 10). Penduduk ini tersebar di sembilan kecamatan.
Penyebaran penduduk terlihat belum merata dimana kecamatan
yang memiliki kepadatan penduduk terpadat yaitu Kecamatan Sungai Raya dengan jumlah penduduk sebesar 206 981 jiwa, kemudian diikuti Kecamatan Sungai Kakap sebanyak 95 611 jiwa dan Kecamatan Sungai Ambawang sebanyak 59 645 jiwa. Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk yang tersedikit adalah Kecamatan Terentang yaitu hanya mencapai 8 637 jiwa. Tabel 10 Jumlah penduduk Kabupaten Kubu Raya menurut jenis kelamin (jiwa) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kecamatan Laki-Laki Perempuan Batu Ampar 16 982 15 428 Terentang 4 525 4 112 Kubu 17 185 16 114 Teluk Pakedai 8 330 8 031 Sungai Kakap 48 369 47 242 Rasau Jaya 10 970 10 629 Sungai Raya 104 932 102 049 Sungai Ambawang 31 042 28 603 Kuala Mandor B 10 926 10 489 Jumlah 253 261 242 697 Sumber: Kabupaten Kubu Raya Dalam Angka, 2009
Jumlah 32 410 8 637 33 299 16 361 95 611 21 599 206 981 59 645 21 415 495 958
4.2
Penggunaan Lahan, Topografi dan Iklim Penggunaan tanah di Kabupaten Kubu Raya yang tertinggi adalah hutan
lebat mencapai 216 714,55 hektar atau 31,02 persen, sedangkan penggunaan tanah yang terendah adalah untuk permukiman yang hanya mencapai 2 393,30 hektar atau 0,34 persen dari luas wilayah Kabupaten Kubu Raya seluas 698 520,00 ha (Tabel 11). Tabel 11 Penggunaan lahan di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) Permukiman 2 393,30 Perkebunan Rakyat 81 834,84 Perkebunan Besar 3 525,50 Kebun Campuran 14 191,29 Sawah 10 121,50 Tegalan / Ladang 39 439,30 Semak 67 939,26 Hutan Sejenis 62 756,80 Hutan Lebat 216 714,55 Hutan Belukar 199 605,66 Jumlah 698 520,00 Sumber: RTRW Kab. Kubu Raya, 2008
Persentase (%) 0,34 11,76 0,50 2,03 1,45 5,65 9,73 8,98 31,02 28,58 100,00
Kemiringan lahan di Kabupaten Kubu Raya sebagian besar berupa wilayah datar mencapai 96,04% (Tabel 12). Dan terdapat sejumlah kecil wilayah dengan kelerengan yang sangat curam (1,05%). Tabel 12 Kemiringan lahan di Kabupaten Kubu Raya No 1 2 3 4
Lereng (%) Luas (ha) 0–2 670 825,20 16 – 25 20 390,00 40 – 50 3 462,80 > 60 3 842,00 Jumlah 698 520,00 Sumber: RTRW Kab. Kubu Raya, 2008
Persentase (%) 96,04 2,92 0,50 0,55 100,00
Curah hujan di Kabupaten Kubu Raya selama 10 tahun terakhir berdasarkan data dari Stasiun Supadio Pontianak tahun 2010 (Tabel 13 dan Gambar 7), menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan terendah yaitu pada bulan Agustus mencapai 185,58 mm, sedangkan curah hujan tertinggi pada bulan Januari mencapai 346,44 mm per bulan. Dan rata-rata curah hujan bulanan mencapai 274,53 mm per bulan. Klasifikasi iklim lokasi penelitian menurut Scmidt and Ferguson termasuk tipe C atau beriklim basah dengan ratarata bulan basah mencapai tujuh bulan per tahun yang terjadi pada bulan Agustus, September, Oktober, Nopember, Desember, Januari dan Februari.
Tabel 13 Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten Kubu Raya Bln Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
2000 582,0 164,4 169,0 178,7 63,0 301,7 194,7 371,8 340,8 252,7 343,1 191,0
2001 306,4 253,0 269,1 357,1 160,7 223,4 301,5 154,8 155,2 345,4 469,0 183,5
2002 466,9 76,5 285,9 334,9 141,5 136,0 153,7 164,0 107,6 210,7 362,3 297,4
2003 349,4 296,6 201,8 213,7 146,5 133,9 212,6 206,5 132,0 301,9 334,3 257,2
2004 384,2 351,3 215,6 312,0 386,3 113,4 249,1 18,9 308,9 181,8 351,3 421,6
2005 290,5 166,3 221,6 258,0 409,8 167,8 151,7 161,7 229,6 538,3 309,5 140,9
2006 184,0 345,4 137,3 260,2 228,2 219,7 40,6 57,2 171,0 129,7 296,8 477,2
2007 281,0 91,7 202,5 314,2 61,9 437,5 311,7 142,4 215,1 590,7 249,5 365,7
2008 124,5 106,4 209,8 321,4 233,8 101,8 317,1 279,0 200,5 565,2 246,2 426,1
2009 262,0 66,9 291,0 372,2 182,5 135,4 121,9 299,5 189,5 381,9 668,0 309,2
2010 233,5 274,1 286,1 210,2 0 0 0 0 0 0 0 0
Rerata 346,44 219,26 248,97 313,26 214,80 197,06 205,46 185,58 205,02 349,83 363,00 306,98
Sumber: Stasiun Klimatologi Supadio-Pontianak, 2010
Sedangkan curah hujan dalam bentuk diagram batang Gambar 7 menunjukkan distribusi curah hujan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 atau selama 10 tahun terakhir. 800
CURAH HUJAN (mm/bln)
700 TAHUN 2000
600
TAHUN 2001
500
TAHUN 2002 TAHUN 2003
400
TAHUN 2004
300
TAHUN 2005 TAHUN 2006
200
TAHUN 2007
100
TAHUN 2008 TAHUN 2009
0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
TAHUN 2010
BULAN
Gambar 7 Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten Kubu Raya
Suhu udara di Kabupaten Kubu Raya berdasarkan data dari Stasiun Supadio Pontianak tahun 2010 (Tabel 14 dan Gambar 8), menunjukkan bahwa suhu rata-rata bulanan terendah 25,35 oC yaitu pada bulan Februari, sedangkan suhu tertinggi 27,33 oC pada bulan Mei.
Tabel 14 Suhu udara (oC) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten Kubu Raya Bln 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jan 26,1 26,1 26,2 26,4 26,4 26,6 26,3 26,7 Peb 26,2 26,6 26,6 26,5 26,7 26,9 26,8 26,7 Mar 26,7 26,6 26,9 26,7 26,9 27,1 27,3 26,7 Apr 26,3 26,6 26,8 26,6 26,8 27,2 25,8 26,8 Mei 27,4 27,2 27,5 27,7 27,3 27,1 26,9 27,1 Jun 27,1 26,7 27,0 27,4 27,4 27,3 26,9 26,7 Jul 27,1 26,5 27,3 26,7 26,0 27,0 27,9 26,7 Ags 26,3 27,2 27,1 27,3 27,2 27,3 27,4 26,9 Sep 26,6 26,1 27,0 26,7 26,4 26,9 26,6 27,1 Okt 26,2 26,5 26,8 26,7 26,7 26,4 26,9 26,5 Nop 26,4 26 ,2 26,4 26,4 26,3 26,1 26,5 26,1 Des 26,1 26,1 26,8 26,2 26,0 26,1 26,5 26,2 Sumber: Stasiun Klimatologi Supadio-Pontianak, 2010
2008 26,7 24,5 26,1 25,9 27,1 27,0 26,6 26,8 27,0 26,3 26,9 26,1
2009 26,2 26,2 26,7 27,2 28,0 27,8 27,2 27,7 27,7 26,7 26,5 26,4
2010 26,7 27,3 26,7 27,9 0 0 0 0 0 0 0 0
Rerata 26,30 25,35 26,45 26,34 27,33 27,13 26,90 27,12 26,81 26,57 26,38 26,25
Sedangkan suhu udara di lokasi penelitian dalam bentuk diagram garis sebagaimana disajikan pada Gambar 8.
Suhu Rerata Bulanan (oC)
27.5
27 26.5 26 25.5
SUHU RERATA BULANAN
25 24.5 24 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan
o
Gambar 8 Suhu ( C) rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya
Kelembaban udara rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir di lokasi penelitian baik di Desa Sungai Ambangah dan Desa Pasak Piang, menunjukkan bahwa kelembaban udara terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu mencapai 83%, sedangkan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Desember mencapai 89,10%. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Kelembaban udara (%) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten Kubu Raya Bln Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
2000 92 85 88 90 88 89 86 88 89 89 90 89
2001 87 87 85 87 86 84 84 81 88 88 89 88
2002 89 85 85 89 87 87 84 84 88 88 88 87
2003 88 86 86 87 84 83 84 84 85 87 89 89
2004 88 85 85 87 86 82 87 79 86 86 90 90
2005 87 86 85 85 88 88 87 86 88 89 91 91
2006 88 85 85 86 88 84 83 81 86 88 89 90
2007 89 86 87 88 88 86 86 83 84 89 90 90
2008 87 95 90 86 86 84 85 84 84 87 86 89
2009 87 86 84 86 83 82 80 80 81 86 88 88
2010 85 85 85 84 0 0 0 0 0 0 0 0
Rerata 87,91 86,45 85,91 86,82 86,40 84,90 84,60 83,00 85,90 87,70 89,00 89,10
Sumber: Stasiun Klimatologi Supadio-Pontianak, 2010
Sedangkan kelembaban udara di lokasi penelitian dalam bentuk diagram
Kelembaban Udara Rerata Bulanan (%)
garis sebagaimana disajikan pada Gambar 9. 90 89 88 87 86 85 84 83 82 81 80 79
Kelembaban Rerata Bulanan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Bulan
Gambar 9 Kelembaban (%) udara rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya 4.3
Kondisi Sosial dan Ekonomi Suku yang ada di Kabupaten Kubu Raya meliputi suku Melayu, Madura,
Jawa/Sunda, Bugis, Cina, Dayak dan lain-lain. Warga keturunan Cina merupakan suku yang terbanyak mencapai 48,37 persen, kemudian diikuti Jawa mencapai 17,19 persen, Melayu 16,98 persen, Dayak 10,97 persen dan Bugis 8,33 persen. Sedangkan suku Madura hanya mencapai 4,53 persen (Gambar 10).
11.00%
17%
11.00%
Melayu
5%
Madura Jawa/Sunda 17%
Bugis Cina
8.00%
48.00%
Dayak Lain-lain
Gambar 10 Distribusi penduduk menurut suku bangsa di Kabupaten Kubu Raya Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kubu Raya, cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 16). Sektor yang mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2003 dan 2004 adalah sektor listrik, gas dan air minum, sedangkan pada tahun 2005 dan 2006 adalah sektor pertanian. Selanjutnya berdasarkan data tahun 2006 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terdapat tiga sektor utama yang memiliki kontribusi tinggi terhadap PDRB Kabupaten Kubu Raya, secara berturut-turut adalah sektor industri pengolahan, sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kemudian, berdasarkan nilai Location Quation (LQ) sektor unggulan Kabupaten Kubu Raya adalah sektor industri pengolahan dan sektor pertanian, hal itu ditunjukkan oleh nilai LQ yang lebih besar dari 1. Tabel 16
Pertumbuhan ekonomi, PDRB dan nilai LQ menurut sektor Kabupaten Kubu Raya tahun 2003 – 2006 (persen)
Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah
Sumber: Hasil olahan
2003 5,82 -
Tahun 2004 2005 7,17 8,77 -
1,85 7,95
1,85 8,03
1,85 8,10
5,84 1,01
5,85 1,02
4,03
2006 10,56 -
PDRB KKR Thn 2006
Nilai LQ Sektor Thn 2006
387 744,97 0,00
1,13 0,00
1,85 8,17
568 226,95 4 430,98
2,23 0,75
5,85 1,03
5,85 1,04
19 190,27 172 962,67
0,18 0,54
4,17
4,37
4,76
76 975,79
0,82
4,80
4,96
5,15
5,38
38 017,65
0,57
10,59 3,37
14,96 3,98
15,03 4,52
15,09 5,20
82 363,04
0,58
4.4
Karakteristik Lahan dan Petani Rawa Lebak Berdasarkan hasil orientasi lapangan dan informasi yang dihimpun dari
beberapa petani dan aparat desa pada saat penelitian, menunjukkan bahwa kondisi lahan rawa lebak di kedua lokasi penelitian sejak tahun 2004 dengan adanya reklamasi sungai, relatif tidak mengalami penggenangan yang cukup lama, kecuali pada beberapa lokasi masih terjadi banjir apabila hujan lebat. Dan apabila terjadi banjir, penggenangan hanya berlangsung paling lama sekitar 2 minggu. Menurut penduduk setempat hal itu disinyalir akibat dari: (1) kapasitas sungai ambangah dan sungai pasak piang di bagian hilir tidak dapat menampung beban debit banjir akibat terjadinya pendangkalan karena banyaknya sedimen pada bagian dasar sungai, sedimen yang terbentuk sebagai akibat adanya aktivitas penebangan hutan di bagian hulu sungai. Sebagaimana yang ditemukan oleh Noor (2007) bahwa selain aktivitas penebangan hutan, juga adanya aktivitas berat seperti pertambangan, perlandangan intensif dan hutan yang gundul dapat berakibat pendangkalan sungai di bagian hilir. (2) tinggi genangan untuk lahan sawah hanya sekitar 40 cm khususnya sawah-sawah yang terletak di dekat sungai. Kondisi ini, apabila menggunakan batasan menurut kriteria Subagjo pada halaman 10, maka dari total luasan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah yang mencapai 260 hektar dan 221 hektar di Desa Pasak Piang tidak masuk dalam kategori lahan rawa lebak karena batasan tinggi atau lama genangan pada kedua lokasi penelitian tersebut tidak terpenuhi. Menurut Noor (2007) rawa lebak yang telah mengalami pengatusan (drainase) setelah dilakukan reklamasi sehingga muka air turun dan lahan tidak lagi tergenang secara permanen, kecuali hanya beberapa hari apabila hujan lebat, semestinya tidak lagi dapat dikategorikan sebagai lahan rawa lebak. Lahan semacam ini lebih sesuai dikategorikan sebagai lahan tadah hujan karena karakter rawa lebak yang terkait genangan tidak lagi melekat secara inherence. Lahan semacam ini umumnya sudah dikembangkan menjadi lahan kelapa sawit, karet, jeruk, dan sebagainya. Keadaan fisik lahan di kedua Desa, memperlihatkan kandungan unsur hara yang bervariasi, mulai dari sangat rendah sampai tinggi, pH tanah di kedua lokasi sangat rendah hanya berkisar antara 3,23 sampai 3,38 dengan kandungan C organik yang sangat tinggi, KTK dan N total yang tinggi. Tekstur tanah di Desa Sungai Ambangah adalah lempung liat berdebu dan debu berliat untuk Desa Pasak Piang (Tabel 17).
Tabel 17 Kondisi fisik lahan, Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Parameter
Sungai Ambangah
Pasak Piang
-
: 26,4-27,2 : 1-2 bulan : 3 142,3 mm/th : agak terhambat : lempung liat berdebu : sedang (50 cm) ::: 24,59 cmol(+)/kg : 3,24 : 0,47% : 13,67 ppm : 0,25 cmol(+)/kg : ringan :: ≤2 ds/cm :: >100 cm ::: <3% : 0% : 0% : ringan
: 26,4 – 27,2 : 1-2 bulan : 3 142,3 mm/th : agak terhambat : debu berliat : dalam (>75 cm) ::: 26,84 cmol(+)/kg : 3,38 : 0,78% : 6,16 ppm : 0,19 cmol(+)/kg : ringan :: ≤1 ds/cm :: >150 cm ::: <3% : 0% : 0% : ringan
-
Temperatur udara rata-rata tahunan Bulan kering (<100 mm/th) Curah hujan tahunn Drainase tanah Tekstur tanah Kedalaman efektif Gambut: - kematangan - Ketebalan KTK tanah pH N total P2O5 tersedia K Periode banjir Frekuensi Salinitas Kejenuhan aluminium Kedalaman pirit Struktur Konsistensi Kemiringan lahan Batu dipermukaan Singkapan batuan (rock outocrops) Total bahaya erosi
Sumber: Hasil pengamatan, analisis laboratorium dan data Stasiun Meterologi Supadio
Petani responden baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang dalam penggunaan faktor produksi khususnya pupuk secara rata-rata belum menggunakan pemupukan sesuai anjuran di dalam kegiatan usahatani mereka. Hal itu terlihat dari selisih pemberian pupuk oleh petani di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang yang dibandingkan dengan anjuran pemupukan yang seharusnya diberikan menurut rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPTP Kalbar (Tabel 18). Tabel 18
Uraian
Selisih rata-rata produksi dan penggunaan faktor produksi dibanding anjuran di lahan rawa lebak Sungai Ambangah dan Pasak Piang Sungai Ambangah RataAnjuran**) rata*) 1,1 1,9
Selisih
1. Produksi (t/GKG) 0,8 2. Faktor Produksi 100 85 >15 - Urea (kg) 25 85 60 - SP-36 (kg) 25 50 25 - KCl (kg) 0 1,2 1,2 - Pupuk Kandang (t) 0 2,0 2,0 - Kapur (t) Sumber: *) hasil wawancara; **) BPTP Kalbar, 2009
Pasak Piang RataAnjuran rata 0,9 1,9 25 25 0 0 0
80 85 50 1,0 2,0
Selisih 1,0 55 60 50 1,0 2,0
Berdasarkan Tabel 19 diperoleh gambaran bahwa karakteristik petani baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang khususnya dari sisi umur, didominasi petani yang berusia 30 sampai 50 tahun masing-masing mencapai 60,1% dan 82,2%. Hal ini menunjukkan bahwa petani yang ada tergolong
pada
kelompok
usia
produktif.
Umur
berhubungan
dengan
pertumbuhan dan kematangan serta pengalaman. Pengalaman merupakan sumberdaya untuk kesiapan dirinya belajar lebih lanjut (Vacca dan Walker dalam Jarmie, 1985). Umur seseorang juga berkaitan dengan kapasitas belajar, penurunan kapasitas belajar seseorang berlangsung secara drastis pada umur 60 tahun yaitu pada fase usia lanjut. Umur seseorang berhubungan juga dengan kapasitas kerja dan produktivitas kerja Distribusi petani berdasarkan tingkat pendidikan, baik di Desa Sungai Ambangah maupun di Desa Pasak Piang lebih didominasi oleh yang berpendidikan Sekolah Dasar. Akan tetapi, di Desa Sungai Ambangah ditemukan petani yang berpendidikan tinggi (diploma), sedangkan di Desa Pasak Piang pendidikan tertinggi petani hanya mencapai tingkat Sekolah Menengah Atas. Pendidikan
menurut
Houle
(1975),
merupakan
proses
pengembangan
pengetahuan, ketrampilan maupun sikap, yang dilakukan secara terencana sehingga diperoleh perubahan-perubahan. Perubahan menurut Wiraatmadja (1977) adalah perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengamalan yang sudah diakui dan direstui oleh masyarakat. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya pada sesuatu yang dipelajarinya, disamping itu hasil-hasil belajar yang perlu diperoleh dari pendidikan yang telah diikuti seseorang akan menentukan semangatnya untuk belajar (Slamet, 1975). Sedangkan rata-rata jumlah anggota keluarga petani mencapai 4,3 jiwa untuk Desa Sungai Ambangah dan 4,2 jiwa di Desa Pasak Piang. Status kepemilikan lahan di kedua Desa adalah milik sendiri. Dan secara keseluruhan
petani
tergabung
dalam
kelompok
tani.
Distribusi
petani
berdasarkan luas lahan garapan untuk tanaman padi di Desa Sungai Ambangah didominasi petani yang memiliki luas lahan garapan >0,5 – 1,0 (40,2%) dan >1,0 – 2,0 (37,2%) dan Desa Pasak Piang >1,0 – 2,0 (35,7%) dan >1,0 – 2,0 (32,1%). Sedangkan distribusi petani berdasarkan luas lahan garapan tanaman karet di Sungai Ambangah didominasi oleh yang memiliki luas lahan garapan antara >1,0 – 2,0 (27,4%), tetapi di Desa Pasak Piang didominasi oleh responden yang memiliki luas lahan garapan >1,0 – 2,0 (52,2%). Distribusi petani berdasarkan
luas lahan garapan tanaman kelapa sawit baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang semua responden memiliki luas lahan garapan antara >0,5 – 1,0. Jumlah lahan garapan berdasarkan masing-masing luas kepemilikan di Desa Sungai Ambangah berturut-turut dari yang tertinggi yaitu >0,5 – 1,0 hektar mencapai 41,3% diikuti luas >1,0 – 2,0 hektar mencapai 29,3%, 0 - 0,5 hektar mencapai 16,3% dan >2 hektar hanya mencapai 13,1%. Sedangkan untuk Desa Pasak Piang berturut-turut dari yang tertinggi yaitu >0,5 – 1,0 hektar mencapai 39,0% diikuti luas >1,0 – 2,0 hektar mencapai 27,2%, 0 –0,5 hektar mencapai 21,4% dan >2 hektar hanya mencapai 12,4%. Distribusi petani berdasarkan pengalaman berusahatani khususnya komoditas padi berkisar antara 10 hingga 20 tahun, di Sungai Ambangah mencapai 56,8%, sedangkan Pasak Piang mencapai 53,7%. Selengkapnya disajikan pada Tabel 19. Tabel 19
No
Keragaan umum dan status kepemilikan lahan petani di Sungai Ambangah dan Pasak Piang
Klasifikasi
Keterangan
1
Usia (th)
2
Pendidikan
3
Jumlah Anggota Keluarga (jiwa)
4
Status Kepemilikan Lahan Tergabung dalam kelompok Tani Luas Lahan Garapan (ha) Padi
<30 30 – 40 40 – 50 > 50 Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Diploma 2-3 4-5 >6 Millik sendiri Sewa Ya Tidak 0 – 0,5 >0,5 – 1,0 >1,0 – 2,0 >2 ha 0 – 0,5 >0,5 – 1,0 >1,0 – 2,0 >2 0 – 0,5 >0,5 – 1,0 >1,0 – 2,0 >2
5 6
Karet
Sawit
Jumlah petani (%) Sungai Pasak Piang Ambangah 13,6 10,7 20,4 39,3 27,4 32,2 38,6 17,8 2,2 45,4 53,5 20.4 25,1 25,2 21,4 6,8 33,3 42,9 42,3 35,7 24,4 21,4 100 100 100 100 13,6 21,4 40,2 35,7 37,2 32,1 9,0 10,8 0,0 0,0 22,7 12,2 27,4 52,2 15,9 19,5 0,0 0,0 22,7 35,4 0,0 0,0 0,0 0,0
Lanjutan No
Klasifikasi Jumlah
7
Jumlah petani (%) Sungai Pasak Piang Ambangah 16,3 21,4 41,3 39,0 29,3 27,2 13,1 12,4 29,5 28,5 56,8 53,7 13,5 17,8 45 27
Keterangan
Pengalaman berusahatani padi (th)
0 – 0,5 >0,5 – 1,0 >1,0 – 2,0 >2 ha 0 – 10 11 – 20 > 20
Jumlah responden (petani) Sumber : Hasil wawancara
4.5
Jenis Tanaman, Produktivitas, dan Kendala Usaha Tani Hasil analisis pendahuluan tentang jenis tanaman, produktivitas, kendala
usahatani dan peluang perbaikan sebagaimana disajikaan pada Tabel 20. Berdasarkan Tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa tiga tanaman utama yang diusahakan oleh masyarakat di daerah rawa lebak adalah padi, karet dan kelapa sawit. Namun demikian rata-rata produksi yang dihasilkan khususnya tanaman padi dan karet, relatif rendah baru mencapai 1,0 ton per hektar di Sungai Ambangah dan 0,8 ton per hektar per tahun di Pasak Piang untuk padi. Untuk tanaman karet berkisar antara 0,99 ton per hektar di Sungai Ambangah dan 0,95 ton per hektar per tahun di Pasak Piang. Dan kelapa sawit belum berproduksi. Tabel 20 Jenis tanaman, produksi, kendala dan peluang perbaikan usahatani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Kelompok Tanaman
Jenis Tanaman
Rata-rata Produksi (ton/ha)
Indeks Penanaman
Tanaman Semusin
Padi 1. Sungai Ambangah
1,0
100
2. Pasak
0,8
100
0,99
-
0,95
-
-
-
Piang
Tanaman Tahunan
Karet 1. Sungai Ambangah 2. Pasak Piang Kelapa Sawit*)
Sumber: Hasil wawancara
Kendala Usahatani 1. Indeks penanaman, pemupukan belum sesuai anjuran, penggunaan varietas lokal, ketersediaan air, pH rendah, adanya serangan H/P, luas lahan garapan sempit. 2. Modal terbatas, terbatasnya tenaga kerja, waktu tanam masih berdasarkan kebiasaan/adat 1. Jenis lokal, tanaman tua, Jarak tanam, tanpa pemupukan, kualitas produk rendah 2. Harga ditentukan pembeli -
Ket: *)umur tanaman ± 2,5 tahun saat penelitian
Tingkat produksi padi terendah 0,6 ton/ha di Desa Pasak Piang dan tertinggi 1,3 ton/ha di Desa Sungai Ambangah. Secara parsial tingkat produksi padi di Desa Sungai Ambangah mencapai 0,8 – 1,3 ton/ha/tahun dengan produksi rata-rata adalah 1,0 ton/ha/tahun. Sedangkan di Desa Pasak Piang hanya mencapai 0,6 – 1,1 ton/ha/tahun dengan produksi rata-rata adalah 0,8 ton/ha/tahun. Nilai produksi tersebut jika dikonversikan dengan harga gabah kering giling (GKG) setempat yang hanya mencapai Rp3 000,- per kg, maka penerimaan petani di Sungai Ambangah setara dengan Rp3 000 000,- dan di Pasak Piang setara dengan Rp2 400 000,-. Sedangkan tingkat produksi komoditas karet di Desa Sungai Ambangah dari data yang diperoleh mencapai 0,72 ton/ha terendah dan tertinggi 1,26 ton/ha dan 0,5 ton terendah dan tertinggi 1,20 ton/ha di Pasak Piang, dengan rata-rata produksi adalah 0,99 ton/ha/tahun di Sungai Ambangah dan 0,95 ton/ha/tahun di Pasak Piang. Untuk tanaman kelapa sawit belum berproduksi dan saat penelitian dilaksanakan tanaman kelapa sawit baru berumur sekitar 2,5 tahun. Dari dua tanaman yang
telah
menghasilkan dilakukan analisis, dan hasilnya sebagaimana disajikan pada Tabel 21. Tabel
21
Jenis Tanaman
Nilai penerimaan dan pendapatan petani berdasarkan produksi eksisting beberapa jenis tanaman di rawa lebak (Rp/th) Produksi (ton/ha) Sungai Ambangah 0,8 – 1,3 0,72 – 1,26 -
Pasak Piang 0,6 – 1,1 0,5 – 1,20 -
Rata-rata Produksi (ton/ha) Sungai Pasak Ambangah Piang 1,0 0,8 0,99 0,95 -
Rata-rata Nilai Produksi (Rp/thn/ha) Sungai Pasak Ambangah Piang 3 000 000 2 400 000 7 920 000 6 650 000 -
Padi*) Karet**) Kelapa Sawit***) Sumber: hasil olahan Ket: *) Harga GKG di kedua lokasi penelitian Rp3 000,- per kg **) Harga karet Rp8 000/kg di Sungai Ambangah, dan Rp7 000,-/kg di Pasak Piang ***) Harga TBS Rp1 300,- per kg
4.6
Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan mencocokan antara data
kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit, sesuai dengan kriteria kesesuaian lahan yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Djaenudin et al., 2003).
Tabel 22 Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Sungai Ambangah Persyaratan Penggunaan Lahan/Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rarata (oC) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan bln ke 1 (mm) Curah hujan bln ke 2 (mm) Curah hujan bln ke 3 (mm) Curah hujan bln ke 4 (mm) Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase Tekstur *) Kedalaman tanah (cm) Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) pH H2O Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya Banjir (fh) Genangan Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) Kelas Kesesuain Lahan Aktual
Padi Ladang Nilai Data Kelas 26,4–27,2 346,44 219,26 248,97 313,26 84,25
S1 S1
Agak terhambat Lempung Liat Berdebu sedang (50-75)
S1
Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Karet Nilai Data Kelas 26,4–27,2 346,44 219,26 248,97 313,26 84,25
S1
Kelapa Sawit Nilai Data Kelas 26,4–27,2 346,44 219,26 248,97 313,26 84,25
S1
S1
S2 S1
Agak terhambat Lempung Liat Berdebu sedang (50-75)
24,59 3,24
S1 S3
<3 Sangat rendah
S1 S1
S1
S2 S2
Agak terhambat Lempung Liat Berdebu sedang (50-75)
24,59 3,24
S1 S3
24,59 3,24
S1 S3
S1 S1
<3 Sangat rendah
S1 S1
<3 Sangat rendah
S1 S1
F1
S2
F1
S2
F1
S2
0 0
S1 S1
0 0
S1 S1
0 0
S1 S1
S3nr
S3nr
S2 S2
S3nr
Sumber: Hasil olahan; Anilisis laboratorium; dan Stasiun Meterologi Supadio Pontianak
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan di Desa Sungai Ambangah (Tabel 22), dengan memasukan data-data tanah dan iklim ke dalam pedoman kesesuaian lahan untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit, maka diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual yaitu pada kelas S3nr dengan faktor pembatas pH tanah, baik untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit. Faktor pembatas yang ditemukan ini, dapat diperbaiki dengan cara pemberian kapur, sehingga pH tanah di Desa Sungai Ambangah, dapat mencapai kisaran pH optimal untuk ketiga jenis pemanfaatan lahan yang dimaksud. Dari hasil pemberian kapur tersebut di atas, maka kelas kesesuaian lahan potensial yang diperoleh menjadi kelas S2rc/fh dengan faktor pembatas adalah tekstur dan genangan air. Selengkapnya disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23 Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Sungai Ambangah Persyaratan Penggunaan Lahan/Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rarata (oC) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan bln ke 1 (mm) Curah hujan bln ke 2 (mm) Curah hujan bln ke 3 (mm) Curah hujan bln ke 4 (mm) Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase Tekstur *) Kedalaman tanah (cm) Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) pH H2O Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya Banjir (fh) Genangan Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) Kelas Kesesuain Lahan Potensial Keterangan: S1: sangat sesuai S2: cukup sesuai S3: sesuai marginal
Kelas Kesesuaian Lahan Potensial Padi Ladang Karet Kelapa Sawit Kelas Kelas Kelas Kelas Kelas Kelas Aktual Potensial Aktual Potensial Aktual Potensial S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1 S2 S1
S1 S2 S1
S1 S2 S2
S1 S2 S1
S1 S2 S2
S1 S2 S1
S1 S3
S1 S1
S1 S3
S1 S1
S1 S3
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S2
S1
S2
S1
S2
S1
S1 S1
S1 S1 S2rc
S1 S1
S1 S1 S2rc
S1 S1
S1 S1 S2rc
Pembatas: tc: temperatur wa: ketersediaan air rc: media perakaran
nr: retensi hara eh: bahaya erosi fh: bahaya banjir
lp: penyiapan lahan
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan di Desa Pasak Piang Tabel 24, dengan memasukan data-data tanah dan iklim ke dalam pedoman kesesuaian lahan untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit, maka diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual diperoleh pada kelas S3nr dengan faktor pembatas pH tanah, baik untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit.
Tabel 24 Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Pasak Piang Persyaratan Penggunaan Lahan/Karakteristik Lahan Temperatur (tc) -Temperatur rarata (oC) Ketersediaan Air -Curah hujan bln ke 1 (mm) -Curah hujan bln ke 2 (mm) -Curah hujan bln ke 3 (mm) -Curah hujan bln ke 4 (mm) -Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase Tekstur *) Kedalaman tanah (cm) Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) pH H2O Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi
Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Padi Ladang Karet Kelapa Sawit Nilai Data Kelas Nilai Data Kelas Nilai Data Kelas 26,4–27,2
S1
26,4–27,2
S1
26,4–27,2
S1
346,44 219,26 248,97 313,26 84,25
S1
346,44 219,26 248,97 313,26 84,25
S1
346,44 219,26 248,97 313,26 84,25
S1
Agak terhambat
S1
S1
Agak terhambat
S1
Debu berliat
S2
Debu berliat
S2
Debu berliat
S2
dalam (>75)
S1
dalam (>75)
S1
26,84 3,38
S1 S3
26,84 3,38
S1 S3
26,84 3,38
S1 S3
<3 Sangat rendah
S1 S1
<3 Sangat rendah
S1 S1
<3 Sangat rendah
S1 S1
Agak terhambat
dalam(>75)
S2
Bahaya Banjir (fh) S2 F1 S2 Genangan F1 S2 F1 Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) 0 S1 0 S1 0 S1 Singkapan batuan (%) 0 S1 0 S1 0 S1 Kelas Kesesuain Lahan S3nr S3nr S3nr Aktual Sumber: Hasil olahan; Anilisis laboratorium; dan Stasiun Meterologi Supadio Pontianak
Faktor pembatas yang ditemukan ini, dapat diperbaiki dengan cara pemberian kapur, sehingga pH tanah di Desa Pasak Piang tersebut, dapat mencapai kisaran pH optimal untuk ketiga jenis tanaman yang dimaksud. Dengan demikian kelas kesesuaian lahan potensial yang diperoleh menjadi kelas S2rc/fh dengan faktor pembatas adalah tekstur dan genangan air. Selengkapnya disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Pasak Piang Persyaratan Penggunaan Lahan/Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rarata (oC) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan bln ke 1 (mm) Curah hujan bln ke 2 (mm) Curah hujan bln ke 3 (mm) Curah hujan bln ke 4 (mm) Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase Tekstur *) Kedalaman tanah (cm) Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) pH H2O Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya Banjir (fh) Genangan Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) Kelas Kesesuain Lahan Potensial Keterangan: S1: sangat sesuai S2: cukup sesuai S3: sesuai marginal
Kelas Kesesuaian Lahan Potensial Padi Ladang Karet Kelapa Sawit Kelas Kelas Kelas Kelas Kelas Kelas Aktual Potensial Aktual Potensial Aktual Potensial S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1 S2 S1
S1 S2 S1
S1 S2 S2
S1 S2 S1
S1 S2 S2
S1 S2 S1
S1 S3
S1 S2
S1 S3
S1 S2
S1 S3
S1 S2
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S2
S1
S2
S1
S2
S1
S1 S1
S1 S1 S2rc
S1 S1
S1 S1 S2rc
S1 S1
S1 S1 S2rc
Pembatas: tc: temperatur wa: ketersediaan air rc: media perakaran
nr: retensi hara eh: bahaya erosi fh: bahaya banjir
lp: penyiapan lahan
V. ANALISIS PENDAPATAN DAN KEBUTUHAN RUMAHTANGGA 5.1
Analisis Kelayakan Usahatani Berbagai cara penilaian atau analisis usahatani dibidang pertanian telah
dikembangkan dan digunakan. Cara penilaian yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis return cost ratio atau R/C ratio dan benefit cost ratio atau B/C ratio. Pada prinsipnya analisis R/C ratio dan B/C ratio adalah sama, hanya saja pada analisis B/C data yang dipentingkan adalah besarnya manfaat. Sedangkan analisis R/C, data yang dipentingkan adalah besarnya penerimaan. Dari hasil analisis ini diharapkan dapat diketahui apakah usahatani yang sedang berlangsung di lokasi studi sudah berjalan secara efektif dan efisien. Dikatakan efektif apabila suatu usahatani dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan sebaik-baiknya. Dan dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran yang melebihi masukkan (Soekartawi, 2002). Secara umum hasil investigasi di lapangan diketahui bahwa tingkat pendapatan petani usahatani dari tanaman padi dan tanaman karet di Desa Sungai Ambangah dan Desa Pasak Piang relatif berbeda kecuali untuk tanaman kelapa sawit. 5.1.1
Usahatani padi Hasil wawancara lebih lanjut terhadap petani di Sungai Ambangah bahwa
penerimaan usahatani padi mencapai Rp3,0 juta per hektar, sedangkan di Pasak Piang hanya mencapai Rp2,4 juta per hektar per tahun. Perbedaan ini lebih disebabkan oleh perbedaan dalam hal penggunaan pupuk, di Desa Sungai Ambangah penggungaan pupuk urea, SP36, dan KCl masing-masing dengan dosis 100 kg, 50 kg, dan 50 kg. Sedangkan di Desa Pasak Piang penggunaan pupuk masing-masing hanya mencapai 25 kg urea, 25 kg SP36, dan tanpa diberikan pupuk KCl (Tabel lampiran 7 dan 8). Adanya perbedaan pemberian input produksi ini, mengakibatkan total biaya produksi (pengeluaran) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang juga berbeda. Di Sungai Ambangah biaya produksi (pengeluaran) usahatani padi mencapai Rp910 000,- sedangkan di Pasak Piang hanya mencapai
Rp500 000,- per hektar.
Perbedaan biaya
pengeluaran tersebut juga berimplikasi terhadap tingkat pendapatan yang diperoleh. Tingkat pendapatan yang diperoleh dengan tanpa memperhitungkan nilai sewa lahan dan pajak masing-masing adalah Rp2,09 juta per hektar per
tahun di Sungai Ambangah dan Rp1,9 juta per hektar per tahun di Pasak Piang, dengan nilai R/C rasio masing-masing 3,3 dan 4,8. Selengkapnya hasil analisis tersebut disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Hasil analisis usahatani padi di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Uraian Penerimaan (Rp) Pengeluaran (Rp) Pendapatan (Rp) R/C ratio Sumber: Hasil olahan
Sungai Ambangah 3 000 000 910 000 2 090 000 3,30
Pasak Piang 2 400 000 500 000 1 900 000 4,80
Hasil uji sensitivitas usahatani padi pada kondisi eksisting di Desa Sungai Ambangah, apabila terjadi penurunan produksi, harga, dan biaya produksi masing-masing 20%, masih memberikan nilai ekonomi yang positif.
Apabila
asumsi-asumsi ini terjadi, maka untuk nilai R/C ratio pada semua asumsi yang berupa penurunan produksi, harga dan biaya produksi lebih besar dari 1 atau menguntungkan. Berdasarkan nilai R/C ratio tersebut, menunjukan bahwa usahatani padi di Desa Sungai Ambangah masih menguntungkan untuk diusahakan. Selengkapnya hasil analisis tersebut disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah (ha) No
Asumsi
1 2
Tanpa fluktuasi Biaya produksi naik 20% Harga produksi turun 20% Harga turun dan biaya naik 20% Produksi dan harga turun 20% Produksi dan harga turun 20% dan biaya naik 20% Produksi tetap harga naik 20% Produksi turun harga naik 20%
3 4 5 6
7 8
Penerimaan (Rp) 3 000 000 3 000 000
Pengeluaran (Rp) 910 000 1 092 000
Total pendapatan (Rp) 2 090 000 1 908 000
R/C ratio
2 400 000
910 000
1 490 000
2,64
2 400 000
1 092 000
1 308 000
2,20
1 920 000
910 000
1 010 000
2,11
1 920 000
1 092 000
828 000
1,76
3 600 000
910 000
2 690 000
3,96
2 880 000
910 000
1 970 000
3,16
3,30 2,75
Ket: *Diskonto 18%
Hasil uji sensitivitas usahatani padi pada kondisi eksisting di Desa Pasak Piang, apabila terjadi penurunan produksi, harga, dan biaya produksi masingmasing 20%, juga masih memberikan nilai ekonomi yang positif. Apabila asumsiasumsi ini terjadi, maka untuk nilai R/C ratio pada semua asumsi yang berupa penurunan produksi, harga dan biaya produksi juga lebih besar dari 1 atau
menguntungkan. Berdasarkan nilai R/C ratio tersebut, menunjukkan bahwa usahatani padi di Desa Pasak Piang juga masih menguntungkan untuk diusahakan (Tabel 28). Tabel 28
Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang (ha)
No
Asumsi
1 2
Tanpa fluktuasi Biaya produksi naik 20% Harga produksi turun 20% Harga turun dan biaya naik 20% Produksi dan harga turun 20% Produksi dan harga turun 20% dan biaya naik 20% Produksi tetap harga naik 20% Produksi turun harga naik 20%
3 4 5 6
7 8
Penerimaan (Rp) 2 400 000 2 400 000
Pengeluaran (Rp) 500 000 600 000
Total pendapatan (Rp) 1 900 000 1 800 000
R/C ratio
1 920 000
500 000
1 420 000
3,84
1 920 000
600 000
1 320 000
3,20
1 536 000
500 000
1 036 000
3,07
1 536 000
600 000
936 000
2,56
2 880 000
500 000
2 380 000
5,76
2 304 000
500 000
1 804 000
4,61
4,80 4,00
Sumber: Hasil Olahan 5.1.2
Usahatani karet Hasil investigasi di lapangan baik di Desa Sungai Ambangah maupun
Desa Pasak Piang, diketahui bahwa tanaman karet yang diusahakan petani saat ini telah berumur sekitar 25 tahun. Secara umum bahwa tanaman karet hanya berproduksi sampai umur 30 tahun, tetapi menurut informasi yang diperoleh melalui petani di lapangan tanaman karet dapat berproduksi sampai umur 35-40 tahun. Namun demikian, untuk keperluan dalam tulisan ini, analisis usahatani karet dilakukan pada saat penelitian dilaksanakan. Dari hasil investigasi lebih lanjut diketahui bahwa produksi karet yang diperoleh dapat mencapai 990 kg per hektar di Sungai Ambangah dan 950 kg per hektar di Pasak Piang dengan harga mencapai Rp8 000,- per kg di Sungai Ambangah dan Rp7 000,- per kg di Pasak Piang. Dengan demikian pendapatan setiap rumahtangga petani dalam setahun pada kondisi eksisting untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masingmasing sebesar Rp4 370 000,- dan
Rp6 387 667,- per tahun (Tabel 29).
Sedangkan proyeksi pendapatan petani untuk tahun ke 27 hingga tahun ke 34 masing-masing desa penelitian ini, secara lengkap disajikan pada Tabel lampiran 9 dan 10.
Tabel 29 Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Uraian Penerimaan (Rp) Pengeluaran (Rp) Pendapatan (Rp) B/C ratio Sumber: Hasil Olahan
Sungai Ambangah 7 920 000 3 550 000 4 370 000 1,23
Pasak Piang 6 650 000 262 333 6 387 667 24,35
Dari hasil analisis usahatani karet, petani di Desa Pasak Piang memperoleh pendapatan 46,17% lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pendapatan petani di Desa Sungai Ambangah. Perbedaan pendapatan dikedua lokasi penelitian ini lebih disebabkan oleh perbedaan dalam hal pemberian input produksi. Biaya input produksi menurut Soekartawi (2002) diklasifikasi sebagai biaya tidak tetap atau biaya variabel contohnya adalah biaya untuk sarana produksi. Dalam hal ini pemberian dan penggunaan pestisida dalam proses pemeliharaan tanaman karet di Desa Pasak Piang lebih rendah jika dibandingkan dengan Desa Sungai Ambangah. Hal itu mengakibatkan, komponen biaya yang dikeluarkan untuk pembiayaan usahatani karet di Desa Pasak Piang juga menjadi rendah. Hasil analisis Tabel 29 menunjukkan bahwa komponen biaya pengeluaran di Desa Pasak Piang hanya mencapai 7,59% dari biaya pengeluaran di Desa Sungai Ambangah. Konsekuensi dari keadaan ini, petani dikedua lokasi penelitian tersebut memperoleh pendapatan yang berbeda pula. Hasil uji sensitivitas usahatani karet Tabel 30 pada kondisi eksisting di Desa Sungai Ambangah, apabila terjadi penurunan produksi, harga, dan biaya produksi masing-masing 20%, hanya pada saat produksi dan harga turun dan biaya naik, pada saat produksi tetap dan harga naik, dan pada saat produksi turun dan harga naik nilai B/C ratio lebih besar dari 1. Sedangkan pada kondisi biaya produksi naik, harga produksi turun, harga turun dan biaya naik, dan produksi dan harga turun nilai B/C ratio yang diperoleh lebih kecil dari 1 (Tabel 30).
Tabel 30 Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah No
Asumsi
1 2
Tanpa fluktuasi Biaya produksi naik 20% Harga produksi turun 20% Harga turun dan biaya naik 20% Produksi dan harga turun 20% Produksi dan harga turun 20% dan biaya naik 20% Produksi tetap harga naik 20% Produksi turun harga naik 20%
3 4 5 6
7 8
Penerimaan (Rp) 7 920 000 7 920 000
Pengeluaran (Rp) 3 550 000 4 260 000
Total pendapatan (Rp) 4 370 000 3 660 000
B/C ratio
6 336 000
3 550 000
2 786 000
0,78
6 336 000
4 260 000
2 076 000
0,49
5 068 800
3 550 000
1 518 800
0,43
5 068 800
4 260 000
808 800
1,19
9 504 000
3 550 000
5 954 000
1,68
7 603 200
3 550 000
4 053 200
1,14
1,23 0,86
Sumber: Hasil Olahan Selanjutnya hasil uji sensitivitas usahatani karet di Desa Pasak Piang, apabila terjadi penurunan atau kenaikkan produksi, harga, dan biaya produksi masing-masing 20%, semua asumsi yang dianalisis menunjukkan nilai B/C ratio lebih besar dari 1. Berdasarkan nilai B/C ratio tersebut, menunjukkan bahwa usahatani karet di Desa Pasak Piang menguntungkan untuk diusahakan (Tabel 31). Tabel 31 Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang No
Asumsi
1 2
Tanpa fluktuasi Biaya produksi naik 20% Harga produksi turun 20% Harga turun dan biaya naik 20% Produksi dan harga turun 20% Produksi dan harga turun 20% dan biaya naik 20% Produksi tetap harga naik 20% Produksi turun harga naik 20%
3 4 5 6
7 8
Sumber: Hasil Olahan
Penerimaan (Rp) 6 650 000 6 650 000
Pengeluaran (Rp) 262 333 314 799,6
Total pendapatan (Rp) 6 387 667 6 335 200,4
B/C ratio
6 336 000
262 333
5 281 667
20,13
6 336 000
314 799,6
5 229 200,4
16,61
5 068 800
262 333
4 172 867
15,91
5 068 800
314 799,6
4 120 400,4
13,09
9 504 000
262 333
8 053 667
30,70
7 603 200
262 333
6 390 467
24,36
24,35 20,12
5.1.3 Usahatani kelapa sawit Berdasarkan hasil investigasi terhadap petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang diketahui bahwa kelapa sawit yang diusahakan saat ini masih berumur 2,5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kurang lebih 6 – 12 bulan ke depan tanaman kelapa sawit akan memasuki masa berbunga dan berbuah. Secara umum, pertumbuhan kelapa sawit di lapangan juga sangat baik. Pada Tabel lampiran 11 memperlihatkan bahwa komponen biaya pada tahun pertama relatif lebih besar jika dibandingkan dengan pada tahun kedua dan ketiga. Hal ini dikarenakan adanya komponen biaya pembelian bibit tanaman dan pembukaan lahan. Pada tahun pertama sampai tahun ketiga pendapatan petani dari usahatani kelapa sawit masih negatif, dan memasuki tahun keempat pendapatan usahatani mulai positif. Pendapatan usahatani kelapa sawit cukup signifikan diperoleh masing-masing dari yang tertinggi adalah pada tahun ke 18, 22, 23 dan 24. Tabel 32 Hasil analisis usahatani kelapa sawit di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Uraian Penerimaan (Rp) Pengeluaran (Rp) Pendapatan (Rp) B/C ratio Sumber: Hasil Olahan
Sungai Ambangah dan Pasak Piang 17 989 745,59 7 127 218,00 10 862 527,60 1,52
Dari hasil analisis usahatani tanaman kelapa sawit baik di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Tabel 32, memperlihatkan bahwa petani di kedua desa tersebut hanya memperoleh pendapatan masing-masing sebesar Rp10 862 527,60,- per tahun selama usahatani kelapa sawit diusahakan. Sedangkan nilai B/C ratio diperoleh adalah 1,52 atau dikategorikan menguntungkan. Hasil uji sensitivitas usahatani kelapa sawit pada kondisi eksisting di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, apabila terjadi penurunan produksi, harga, dan biaya produksi masing-masing 20%, secara umum masih menguntungkan. Apabila asumsi-asumsi ini terjadi, maka nilai B/C ratio pada kondisi tanpa fluktuasi, produksi dan harga turun dan biaya naik, produksi tetap harga naik, dan produksi turun harga naik, memberikan nilai lebih besar dari 1, sedangkan apabila produksi dan harga turun, dan produksi dan harga dan biaya naik 20%, maka nilai B/C ratio masing-masing hanya mencapai 0,92 dan 0,60 atau tidak menguntungkan, karena lebih kecil dari 1 (Tabel 33).
Tabel 33
Hasil analisis sensitivitas usahatani kelapa sawit di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang
1
Tanpa fluktuasi
17 989 745,59
7 127 218
Total pendapatan (Rp) 10 862 527,59
2
Biaya produksi naik 20%
17 989 745,59
8 552 661,6
9 437 083,99
1,10
3
Harga produksi turun 20%
17 140 304,97
7 127 218
10 013 086,97
1,40
4
Harga turun dan biaya naik 20%
17 140 304,97
8 552 661,6
8 587 643,37
1,00
5
Produksi dan harga turun 20%
13 712 243,98
7 127 218
6 585 025,98
0,92
13 712 243,98
8 552 661,6
5 159 582,38
0,60
25 710 457,46
7 127 218
18 583 239,46
2,61
20 568 365,97
7 127 218
13 441 147,97
1,89
No
6 7 8
Asumsi
Produksi dan harga turun 20% dan biaya naik 20% Produksi tetap harga naik 20% Produksi turun harga naik 20%
Penerimaan (Rp)
Pengeluaran (Rp)
B/C ratio 1,52
Sumber: Hasil Olahan 5.2
Analisis Pendapatan dan Kebutuhan Rumahtangga
5.2.1
Pendapatan rumahtangga petani Secara teoritis, kebutuhan hidup anggota rumahtangga dapat dipenuhi
melalui dua sumber pendapatan, yaitu dari curahan tenaga kerja (labour income) dan dari luar curahan tenaga kerja (non labour income). Pendapatan yang bersumber dari curahan tenaga kerja, dapat berasal dari pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan. Sedangkan pendapatan yang bersumber dari luar curahan tenaga kerja, dapat berasal dari transfer income dan property income. Pendapatan menurut Tarbiah (2009) adalah selisih antara penerimaan dan biaya. Sumber pendapatan/penghasilan rumahtangga petani seperti yang disajikan pada Tabel 34, menggambarkan bahwa masyarakat yang berdomisili di kawasan rawa lebak pada umumnya mengandalkan penghasilan rumahtangga dari kegiatan pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan dan sebagian kecil peternakan dan usaha warung dan berprofesi sebagai tukang kayu/bangunan. Rumahtangga petani yang dijadikan sebagai responden sebanyak 45 responden di Sungai Ambangah dan 28 responden di Pasak Piang secara keseluruhan (100%) mengandalkan penghasilan dari kegiatan pertanian, walaupun sebagian kecil juga mengandalkan penghasilan dari kegiatan sampingan. Terdapat 3 orang petani (6,7%) dari 45 orang responden di Desa
Sungai Ambangah, juga memiliki penghasilan dari luar usahatani, dalam hal ini adalah pendapatan bersumber dari usaha warung atau kios sembako. Dan masing-masing 2 orang petani lainnya (4,4%), memiliki penghasilan dari kegiatan usaha peternakan ayam dan menjadi tukang kayu atau buruh bangunan. Sedangkan di Desa Pasak Piang terdapat 2 orang petani (7,4%) dari 28 orang responden memiliki penghasilan dari luar usahatani, yaitu usaha warung atau kios sembako. Dan terdapat 8 orang petani (29,6%), memiliki penghasilan dari usaha ternak yaitu babi dengan banyaknya ternak yang diusahakan bervariasi berkisar dari 5 – 25 ekor per petani. Masing-masing dari jumlah ternak yang ada terdiri dari 2 ekor induk dan sisanya adalah anaknya. Tabel 34 Jenis usaha non pertanian responden di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No Jenis usaha 1 2 3
Ternak Tukang bangunan Warung/kios Jumlah
Sungai Ambangah Jumlah Persen responden (%) (org) 2 4,4 2 4,4 3 6,4 7 15,5
Pasak Piang Jumlah Persen responden (%) (org) 8 29,6 2 7,4 10 37,0
Sumber: Hasil wawancara Dari usaha ternak setiap tahun petani di kedua Desa tersebut menjual hasil ternak mereka rata-rata 2 – 3 ekor per tahun. Berat rata-rata berkisar 20 - 25 kg per ekor, dengan harga jual di lokasi penelitian sebesar Rp20 000,- per kg (Tabel 35). Sedangkan dari usaha sebagai tukang, khususnya kepala tukang di Desa Sungai Ambangah sekitar Rp50 000,- per hari, dengan jumlah hari kerja dalam seminggu adalah 6 hari, maka dalam sebulan dapat diperoleh penghasilan dari usaha sebagai tukang bangunan tersebut sebesar Rp1 200 000,-. Namun demikian penghasilan dari usaha ini bersifat insidental dan sangat tergantung dari adanya pembangunan rumah dan sejenisnya. Sedangkan dari usaha warung atau kios, petani responden di kedua lokasi penelitian dapat memperoleh penghasilan atau keuntungan masing-masing Rp11 500,- dan Rp7 500,- dari penjualan berbagai kebutuhan harian (sabun, indomie, rokok dll). Rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga petani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masing-masing sebesar Rp1 816 501,- per bulan dan Rp766 956 per bulan, dimana sekitar 29,6% dan 90,5% bersumber dari usahatani, sekitar 66,7% dan 9,7% bersumber dari luar usahatani. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat akan hasil
usahatani khususnya di Desa Pasak Piang sangat tinggi sedangkan untuk Desa Sungai Ambangah secara relatif cukup tinggi. Tabel 35 Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Sumber penghasilan No rumahtangga petani 1
2 3
Hasil usahatani a. Padi b. Karet c. Kelapa sawit Jumlah dari hasil UT Luar UT (ternak)*) Penghasilan lain-lain a. Kios b. Tukang bangunan**) Jumlah dari luar UT Jumlah
Sungai Ambangah Pasak Piang Nilai Persen Nilai Persen Penghasilan ( % ) Penghasilan ( % ) (Rp/bln) (Rp/bln) 174 167 364 167 0 538 334 66 667
9,6 20,0 0 29,6 3,7
158 333 532 206 0 690 539 66 667
20,1 70,3 0 90,5 8,4
11 500 1 200 000 1 211 500 1 816 501
0,6 66,1 66,7 100
9 750 0 76 417 766 956
1,2 0 9,7 100
Sumber: Hasil wawancara; Rata-rata di jual 2 (40 kg) ekor per tahun dengan harga Rp20 000,- kg; **)Upah tukang Rp50 000 per hari
Kontribusi pendapatan seperti yang disajikan pada Tabel, tidak baku dan statis, melainkan sewaktu-waktu dapat berubah. Perubahan dimaksud terutama sangat tergantung pada ketersediaan lapangan kerja dalam hal ini pembangunan rumah. Demikian pula halnya, pendapatan dari usaha warung dan hasil penjualan ternak. Sedangkan sumber penghasilan yang relatif tetap adalah dari hasil kegiatan usatahani dan ini diperlihatkan dengan 100% responden menggantungkan sumber penghasilan mereka dari kegiatan usahatani. Dengan demikian, penghasilan pokok atau utama petani di kedua lokasi penelitian diperoleh dari hasil usahatani. Kontribusi pendapatan rumahtangga petani responden di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani yang dijalani saat ini masingmasing hanya sebesar Rp538 334,- per bulan dan Rp690 539,- per bulan. Dari pendapatan tersebut, masing-masing sekitar 20,0% di Sungai Ambangah dan 70,3% di Pasak Piang bersumber dari usahatani karet, dan sekitar 9,6% dan 20,1% bersumber dari usahatani padi.
Tabel 36 Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani (Rp/bln) Sumber No penghasilan rumahtangga petani 1 Hasil usahatani a. Padi b. Karet c. Kelapa sawit Jumlah
Sungai Ambangah Pasak Piang Nilai Persen Nilai Persen Penghasilan (%) Penghasilan (%) (Rp/bln) (Rp/bln)
174 167 364 167 0 538 334
9,6 20,0 0 29,6
158 333 532 206 0 690 539
20,1 70,3 0 90,4
Sumber: Hasil wawancara dan hasil olahan
Kontribusi pendapatan petani dari hasil kegiatan usahatani dan usaha ternak seperti yang disajikan pada Tabel 37. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga petani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan luar usahatani dalam hal ini adalah penghasilan yang bersumber dari usaha ternak, masing-masing sebesar Rp605 001,- per bulan dan Rp757 206,- per bulan. Dari penerimaan tersebut sekitar 29,6% dan 90,4% bersumber dari usahatani, dan 3,7% dan 8,4% bersumber dari usaha ternak. Tabel 37 Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan usaha ternak (Rp/bln) Sumber No penghasilan rumahtangga petani 1 Hasil usahatani a. Padi b. Karet c. Kelapa sawit 2 Luar UT (ternak)*) Jumlah
Sungai Ambangah Pasak Piang Nilai Persen Nilai Persen Penghasilan (%) Penghasilan (%) (Rp/bln) (Rp/bln) 174 167 364 167 0 66 667
9,6 20 0 3,7
158 333 532 206 0 66 667
20,1 70,3 0 8,4
605 001
33,3
757 206
98,8
Sumber: Hasil wawancara dan hasil olahan; Rata-rata dijual 2 ekor (40 kg) per tahun dengan harga Rp20 000, per kg.
Kontribusi pendapatan petani dari hasil kegiatan usahatani dan usaha warung atau kios seperti yang disajikan pada Tabel 38. Dari hasil analisis
menunjukkan bahwa rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga petani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan penghasilan lain, dalam hal ini penghasilan dari usaha warung atau kios adalah masing-masing sebesar Rp549 834,- per bulan dan Rp700 289,- per bulan. Dari penghasilan ini, sekitar 29,6% dan 90,4% bersumber dari usahatani, dan 0,6% dan 1,2% bersumber dari usaha warung atau kios. Tabel 38 Sumber dan rata-rata nilai rendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan tukang bangunan (Rp/bln) Sungai Ambangah Pasak Piang Sumber Nilai Persen Nilai Persen No penghasilan Penghasilan (%) Penghasilan (%) rumahtangga (Rp/bln) (Rp/bln) petani 1 Hasil usahatani a. Padi 174 167 9,6 158 333 20,1 b. Karet 364 167 20 532 206 70,3 c. Kelapa sawit 0 0 0 0 2 Penghasilan lainlain - Kios 11 500 0,6 9 750 1,2 Jumlah 549 834 30,2 700 289 91,6 Sumber: Hasil wawancara dan hasil olahan Kontribusi pendapatan petani dari hasil kegiatan usahatani dan usaha sebagai tukang atau buruh bangunan seperti yang disajikan pada Tabel 39. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga petani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan penghasilan lain, dalam hal ini dari usaha menjadi tukang atau buruh bangunan adalah masing-masing sebesar Rp1 738 334,- per bulan dan Rp690 539,- per bulan. Dari penghasilan tersebut, sekitar 29,6% dan 90,4% bersumber dari usahatani, dan sekitar 66,1% di Sungai Ambangah bersumber dari penghasilan sebagai tukang atau buruh bangunan, namun demikian penghasilan yang bersumber dari hasil usaha menjadi tukang atau buruh bangunan bersifat insedentil (sementara/tergantung adanya kegiatan pembangunan rumah atau sejenisnya), sedangkan di Pasak Piang tidak ditemukan adanya responden yang berprofesi sebagai tukang atau buruh bangunan.
Tabel 39 Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan usaha kios (Rp/bln) Sumber No penghasilan rumahtangga petani 1 Hasil usahatani a. Padi b. Karet c. Kelapa sawit 2 Penghasilan lain-lain - Tukang bangunan**) Jumlah
Sungai Ambangah Pasak Piang Nilai Persen Nilai Persen Penghasilan (%) Penghasilan (%) (Rp/bln) (Rp/bln) 174 167 364 167 0
9,6 20 0
158 333 532 206 0
20,1 70,3 0
1 200 000
66,1
0
0
1 738 334
95,7
690 539
90,4
Sumber: Hasil wawancara; **)Upah tukang Rp50 000 per hari.
5.2.2 Pengeluaran rumahtangga petani Alokasi pengeluaran petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, masih didominasi untuk memenuhi kebutuhan makan. Dari rata-rata pengeluaran rumahtangga sebesar Rp810 380,- per bulan di Desa Sungai Ambangah dan Rp853 750 per bulan di Desa Pasak Piang, sebanyak 68,5% pengeluaran petani di Desa Sungai Ambangah dan sebanyak 61,5% pengeluaran petani di Desa Pasak Piang diperuntukan untuk memenuhi keperluan makanan. Pengeluaran untuk kebutuhan makanan di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang tersebut, masing-masing 37,0% dan 35,1% digunakan untuk membeli beras dan sisanya 31,5% dan 26,4% untuk kebutuhan selain beras yaitu lauk-pauk. Kecilnya porsi pengeluaran untuk kebutuhan selain beras seperti lauk-pauk (terutama sayur) karena sebagian besar kebutuhan akan lauk tersebut, diperoleh dari hasil usaha di pekarangan atau daerah sekitar tempat tinggal dan hanya membeli bahanbahan keperluan lain yang tidak bisa diperoleh atau diambil dari sekitar tempat tinggal mereka, seperti bumbu-bumbuan, garam, ikan asin dan lain-lain. Struktur pengeluaran rumahtangga di kedua desa penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 40 menggambarkan adanya variasi pengeluaran selain untuk keperluan bahan pokok dalam hal ini adalah kebutuhan untuk makanan.
Tabel 40 Rata-rata nilai pengeluaran rumahtangga petani rawa lebak Alokasi pengeluaran No rumahtangga petani
Sungai Ambangah Nilai Persen pengeluaran (%) (Rp/bln)
Makanan pokok a. Beras b. Lauk-pauk Jumlah Makanan 2 Bukan Makanan 3 Pakaian 4 Pendidikan 5 Pengeluaran lain-lain Total Jumlah Sumber: Hasil wawancara
Pasak Piang Nilai Persen pengeluaran (%) (Rp/bln)
1
300 000 255 000 555 000 150 750 22 480 31 500 50 650 810 380
37,0 31,5 68,5 18,5 2,8 3,9 6,3 100
300 000 225 000 525 000 195 500 30 750 27 000 75 500 853 750
35,1 26,4 61,5 22,9 3,6 3,2 8,8 100
Komponen pengeluaran yang disajikan pada Tabel 40 dibatasi hanya pada
pengeluaran
rutin
yang
harus
dikeluarkan
setiap
rumahtangga.
Pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti biaya perbaikan rumah, pengobatan, dan biaya sosial lainnya tidak diperhitungkan karena sifatnya insidental dan besarnya sulit diprediksi secara pasti. Untuk pengeluaran bukan makanan, dibatasi hanya pada kebutuhan rutin yang dianggap harus dipenuhi oleh sebagian anggota masyarakat, yaitu kopi/teh dan gula. Kebutuhan ini sudah menyatu dengan masyarakat perdesaan secara turun-temurun
dan
kepentingannya
dianggap
setingkat
lebih
rendah
dibandingkan dengan kebutuhan makan. Pengeluaran rutin lainnya adalah perawatan kesehatan, yaitu untuk sabun mandi dan sabun cuci. Khusus untuk pakaian, sebenarnya bukanlah merupakan pengeluaran rutin rumahtangga. Pada umumnya pengeluaran ini dilakukan setahun sekali dan bagi sebagian keluarga bukan merupakan suatu keharusan. Kebutuhan untuk pembelian pakaian biasanya dikeluarkan menjelang Hari Raya baik Idul Fitri maupun hari raya Natal dan/atau pada saat tahun ajaran baru khusus bagi mereka yang memiliki anak sekolah. Menurut pengakuan masyarakat, dari berbagai komponen pengeluaran seperti yang diilustrasikan pada Tabel 40 di atas, yang harus selalu dipenuhi adalah pengeluaran untuk keperluan bahan makanan sedangkan kebutuhan lainnya masih dapat ditunda. 5.2.3 Tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani Secara keseluruhan tingkat pemenuhan kebutuhan petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang berdasarkan jenis penghasilan disajikan pada Tabel 41.
Tabel 41 Rata-rata tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang berdasarkan jenis penghasilan dan jumlah pengeluaran (Rp/bln) Desa No
Jenis penghasilan (Rp/bln)
Sungai Ambangah
Pasak Piang
Penerimaan 1.
Usahatani
538 334
690 539
2.
UT dan Ternak
605 001
757 206
3.
UT dan Warung/kios
549 834
700 289
4.
UT dan Tukang
1 738 334
690 539
5.
UT + Ternak + kios + tukang
1 816 501
766 956
810 380
853 750
Jumlah Pendapatan 1
-272 046
-163 211
Jumlah Pendapatan 2
-205 379
-96 544
Jumlah Pendapatan 3
-260 546
-153 461
Jumlah Pendapatan 4
927 954
-163 211
Jumlah Pendapatan 5
td
-86 794
Pengeluaran
Sumber: Hasil olahan; Ket: td=tidak ada data Tingkat
pemenuhan
kebutuhan
rumahtangga petani
sekitar
60%
rumahtangga petani di Desa Sungai Ambangah tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan hanya sekitar 10% yang dapat memenuhi kebutuhan, yaitu rumahtangga petani yang mempunyai penghasilan selain dari usahatani juga mempunyai penghasilan tambahan dari usaha menjadi tukang atau buruh bangunan (Tabel 41). Kelebihan anggaran rumahtangga petani ini mencapai Rp927 954,- per bulan. Rumahtangga petani yang mempunyai penghasilan dari usahatani dan usaha lainnya dalam hal ini adalah
penghasilan dari usaha
ternak, kios dan menjadi tukang dari hasil survey di lapangan, tidak ditemukan adanya
responden
rumahtangga
petani
yang
mempunyai
penghasilan
sebagaimana dimaksud. Sedangkan rumahtangga petani di Desa Pasak Piang secara keseluruhan tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Namun demikian dari hasil tersebut memperlihatkan bahwa rumahtangga petani yang memiliki kekurangan atau defisit
anggaran
kebutuhan
rumahtangga
adalah
petani
yang
hanya
mengharapkan sumber penghasilan dari usahatani yaitu sebesar -Rp139 778. Sedangkan kekurangan anggaran kebutuhan rumahtangga pada urutan
berikutnya adalah dari usahatani dan usaha warung atau kios yang mengalami defisit sebesar -Rp130 028,- per bulan. Berdasarkan komposisi ini tentunya dapat disimpulkan bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga untuk kedua desa yaitu Sungai Ambangah secara relatif hanya rumahtangga petani yang mempunyai sumber penghasilan dari usahatani dan usaha sebagai tukang atau buruh bangunan yang dapat terpenuhi, sedangkan untuk Desa Pasak Piang semua jenis sumber penghasilan belum terpenuhi. Perhitungan nilai pengeluaran yang digunakan ini belum memperhitungkan, pengeluaran yang sifatnya insidental seperti pengobatan, biaya sosial, rokok, dan pengeluaran tidak terduga lainnya. Jika semua pengeluaran ini dimasukkan maka defisit keuangan rumahtangga petani akan semakin besar. Disamping itu, jumlah dan komposisi pengeluaran rumahtangga petani
relatif
konstan,
sedangkan
jumlah
dan
komposisi
penerimaan
rumahtangga setiap saat berubah, karena tidak ada sumber penerimaan rutin yang tetap. Walaupun dari penjualan hasil karet relatif tetap, tetapi kadangkadang harga jual yang ditetapkan oleh pembeli dalam hal ini adalah pedagang pengumpul juga bervariasi (fluktuatif), hal ini terjadi karena lembaga pemasaran yang tetap seperti KUD atau yang lainnya belum ada. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus perhatian adalah tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani yang bersumber dari kegiatan usahatani. 5.3
Analisis Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Luas Lahan Minimal (Lm) Untuk mengetahui apakah pendapatan petani dari kegiatan usahatani
yang mereka jalankan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang, telah memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 42. Tabel 42 Kebutuhan Hidup Layak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang per Tahun Harga Jumlah Jenis Persen Kg Pengeluaran Kebutuhan beras*) anggota pengeluaran (%) beras (Rp/org/th) (Rp/KK/th) (Rp/kg) keluarga KFM 100 320 6 000 1 920 000 9 600 000 Pendidikan 50 160 6 000 960 000 4 800 000 Kesehatan 50 160 6 000 960 000 5 4 800 000 Sosial dan 50 160 6 000 960 000 4 800 000 Tabungan KHL 24 000 000 Sumber: Data primer diolah; Ket: *) harga beras saat penelitian
Nilai KHL baik petani di Desa Sungai Ambangah maupun di Pasak Piang sebesar Rp24 000 000,- per KK per tahun dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 5 orang (Tabel 42). Dari hasil analisis usahatani terhadap tiga komoditas (padi, karet dan kelapa sawit) yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah pendapatan petani di Desa Sungai Ambangah mencapai Rp6 460 000,- per hektar per tahun, dengan rincian padi mencapai Rp2 090 000,-, karet Rp4 370 000,- per hektar per tahun dan kelapa sawit belum menghasilkan. Sedangkan rata-rata jumlah pendapatan petani di Desa Pasak Piang mencapai Rp8 567 667,- per hektar per tahun, dengan rincian padi Rp1 900 000,-, karet Rp6 387 667,- per hektar per tahun dan kelapa sawit belum menghasilkan. Secara rinci pendapatan petani di kedua desa tersebut disajikan pada Tabel 43. Tabel 43 Pendapatan petani dari hasil usahatani padi, karet dan kelapa sawit terhadap KHL (%) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Desa
Pendapatan petani per jenis tanaman (Rp/ha/tahun) Kelapa Padi Karet sawit
Jumlah (Rp)
Persentase terhadap KHL (%)
Sungai Ambangah
2 090 000
4 370 000
0
6 460 000
26,92
Pasak Piang
1 900 000
6 387 667
0
8 287 667
34,53
Sumber: Data primer diolah
Pendapatan rata-rata petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dalam setahun dari ketiga jenis tanaman yang diusahakan, masing-masing Desa mencapai Rp6 460 000,- dan Rp8 287 667,- (Tabel 43). Pendapatan rata-rata petani ini apabila dihubungkan dengan standar kebutuhan hidup layak di kedua lokasi penelitian tersebut yang mencapai Rp24 000 000,- per kepala keluarga per tahun (lihat Tabel 42), dari hasil tersebut rumahtangga petani untuk Desa Sungai Ambangah baru memenuhi sekitar 26,92% dari kebutuhan hidup layak (KHL) keluarga. Sedangkan rumahtangga petani untuk Desa Pasak Piang baru memenuhi sekitar 34,53% dari kebutuhan hidup layak (KHL) keluarga. Analisis luas Lahan minimal (Lm) dari masing-masing tanaman yang diusahakan oleh petani baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang yaitu padi, karet dan kelapa sawit, sebagaimana disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44 Luas lahan minimal (Lm) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari masing-masing tanaman yang diusahakan terhadap KHL Jenis Tanaman Padi Karet Kelapa sawit Sumber: Hasil olahan
Sungai Ambangah Lm (ha) 11,48 5,49 2,21
Pasak Piang Lm (ha) 12,63 3,76 2,21
Luas lahan minimal (Lm) untuk masing-masing tanaman yang diusahakan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang yang dapat memenuhi KHL petani, berturut-turut untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit adalah 11,48 hektar dan 12,63 hektar, 5,49 hektar dan 3,76 hektar dan 2,21 hektar dan 2,21 hektar (Tabel 44).
VI. STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI 6.1
Keberlanjutan Rawa Lebak Masing-masing Dimensi Analisis status keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak di Desa Sungai
Ambangah dan Pasak Piang, dilakukan melalui analisis keberlanjutan dengan Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut Rap-Lebak. Dimensi yang dianalisis untuk mengetahui status keberlanjutan terdiri dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Indeks dan status keberlanjutan
dari
masing-masing
dimensi
diperlukan
untuk
melakukan
perbaikan-perbaikan pada masa yang akan datang terhadap atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi pengelolaan rawa lebak. 6.1.1 Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekologi Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi ekologi di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan delapan atribut. Kedelapan atribut tersebut diperkirakan sebagai atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekologi. Adapun atribut tersebut terdiri atas (1) persentase luas lahan garapan, (2) penggunaan pupuk, (3) kelas kesesuaian lahan, (4) kandungan bahan organik tanah, (5) produktivitas lahan, (6) periode tergenang, (7) periode kekeringan, dan (8) ketersediaan sistem irigasi. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 11a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi mencapai 35,55% atau pada kategori kurang berkelanjutan. Analisis Leverage Dimensi Ekologi Sungai Ambangah
RAPLEBAK Ordination 60
Ketersediaan sistem irigasi
Periode kekeringan
40
Periode tergenang
20 Attribute
Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability
UP
39.55 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
Produktivitas lahan
Kandungan bahan organik tanah Kelas kesesuaian lahan
-20
Penggunaan pupuk
-40 Persentase luas lahan
DOWN 0
-60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a)
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 11 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah
Hasil analisis leverage dimensi ekologi, dari delapan atribut yang dianalisis (Gambar 11b), terdapat dua atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) periode tergenang, dan (2) produktivitas lahan. Kedua atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi tersebut diketahui mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Periode tergenang perlu dikelola dengan baik, karena penggenangan dapat menyebabkan perubahan-perubahan sifat kimia tanah, yang ditentukan oleh potensial reduksioksidasi (redoks). Pada pH 7 dengan nilai potensial redoks 450 - 550 mV mulai terjadi reduksi nitrat (denitrifikasi), antara 350 - 450 mV mulai terbentuk Mn2+, pada 300 mV tidak ada O2 bebas, pada 250 mV tidak ada nitrat, pada 150 mV mulai terbentuk Fe2+, pada - 50 mV mulai terjadi reduksi sulfat membentuk H2S (Marschner, 1986). Untuk
memperbaiki
produktivitas
lahan
dapat
dilakukan
dengan
menerapkan sistem usahatani konservasi melalui, pengaturan pola tanam, penambahan bahan organik dengan daur ulang sisa panen dan gulma, serta penerapan budidaya lorong (Adiningsih dan Mulyadi, 1992). Penerapan teknologi tersebut akan berdampak terhadap meningkatnya ketersediaan P dan bahan organik tanah serta menurunnya kadar Al.
Hasil penelitian Arief dan Irman
(1993) disimpulkan bahwa pemberian amelioran berupa kapur, pupuk kandang, daun gamal, jerami padi dan kieserit mampu meningkatkan hasil padi gogo dan kedelai di tanah podzolik merah kuning. Pupuk diketahui berperan penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Pupuk yang diberikan dapat menjadi tambahan unsur hara yang sudah ada di dalam tanah, sehingga jumlah unsur hara yang ada dalam tanah tersebut dapat tersedia untuk mensuplai kebutuhan tanaman. Dengan demikian, kedua atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang (Gambar 12a) memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi hanya mencapai 45,36% atau pada kategori kurang berkelanjutan.
Analisis Leverage Dimensi Ekologi Pasak Piang
RAPLEBAK Ordination 60
Ketersediaan sistem irigasi
40
Periode kekeringan
Periode tergenang
20 Attribute
Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability
UP
45.36
BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
Produktivitas lahan
Kandungan bahan organik tanah Kelas kesesuaian lahan
-20
Penggunaan pupuk
-40
Persentase luas lahan
DOWN 0
-60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 12 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang
Dari hasil analisis leverage dimensi ekologi dari delapan atribut yang dianalisis (Gambar 12b), terdapat empat atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) kandungan bahan organik tanah; (2) produktivitas lahan; (3) periode tergenang, dan (4) penggunaan pupuk. Keempat atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi tersebut juga mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu atribut dengan atribut yang lainnya.
Kandungan bahan organik tanah merupakan salah satu indikator
kesuburan tanah. Bahan organik tanah diketahui berperan dalam hal menyediakan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Mikroorganisme yang terdapat di dalam tanah, dapat berperan dalam hal perubahan unsur hara dari bentuk tidak tersedia menjadi tersedia untuk tanaman. Ketersediaan bahan organik juga penting sebagai nutrisi untuk aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme. Tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang cukup, juga dapat memperbaiki kondisi tanah agar tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan dalam pengelolaan tanah. Pengaruh lain dari bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah berhubungan dengan sifat porositas tanah. Porositas tanah berhubungan dengan aerasi tanah, dan status kadar air tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air, sehingga tanah tersebut dapat menyediakan air tanah untuk pertumbuhan tanaman. Peran bahan organik terhadap kesuburan tanah antara lain terhadap peningkatan kapasitas tukar kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah daya sanggah tanah dan terhadap keharaan tanah (Atmojo, 2003). Dengan demikian,
keempat atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang. 6.1.2 Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekonomi Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi ekonomi di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan tujuh atribut yang dilakukan dalam analisis keberlanjutan.
Ketujuh atribut tersebut diperkirakan sebagai
atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi. Adapun atribut tersebut terdiri atas (1) pendapatan rata-rata petani, (2) produksi usahatani, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) harga produk usahatani, (5) ketersediaan sarana produksi, (6) keuntungan usahatani, dan (7) efesiensi ekonomi. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 13a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi mencapai 35,04% atau pada kategori kurang berkelanjutan. Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Sungai Ambangah
RAPLEBAK Ordination 60
Efesiensi ekonomi
40
Keuntungan usahatani
20
Ketersediaan sarana produksi
0 0
20
40
60
80
BAD -20
GOOD 100
Attribute
Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability
UP
120
Harga produk usahatni
Ketersediaan modal usahatani
35.04 Produksi usahatani
-40
Pendapatan rata-rata petani
DOWN 0
-60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a) (b)
2
4
6
8
10
12
14
16
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 13 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah
Hasil analisis leverage dimensi ekonomi, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 13b) terdapat lima atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, (4) produksi usahatani, dan (5) ketersediaan modal usahatani.
Kelima atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan
ekonomi tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Sarana dan prasarana pertanian merupakan sumberdaya yang penting dalam mendukung
kegiatan usahatani, hal ini tidak hanya berlaku ditingkat lahan pertanian (on farm) akan tetapi juga berlaku pada skala yang lebih luas seperti dalam proses pengolahan, pemasaran hasil, pasca panen, dan sebagainya. Keuntungan atau pendapatan usahatani yang merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya yang dikeluarkan. Penerimaan usahatani menurut Soekartawi (2002) adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Keuntungan usahatani sangat tergantung dari produksi usahatani dan harga produk usahatani. Produk usahatani sangat tergantung dari ketersediaan sarana dan input produksi. Dengan demikian atribut-atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Sedangkan hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang pada Gambar 14a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi mencapai 24,20% atau pada kategori buruk = tidak berkelanjutan. Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Pasak Piang
RAPLEBAK Ordination 60
Efesiensi ekonomi
40
Keuntungan usahatani
20
Ketersediaan sarana produksi
0 0
20
40
60
80
GOOD 100
Attribute
Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability
UP
Harga produk usahatni
120
Ketersediaan modal usahatani
BAD -20 24.20
Produksi usahatani
-40
Pendapatan rata-rata petani
DOWN 0
-60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a)
2
4
6
8
10
12
14
16
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 14 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang
Hasil analisis leverage dimensi ekonomi, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 14b), terdapat empat atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, dan (4) efesiensi ekonomi. Keempat atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekonomi tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Dengan demikian, keempat atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang.
Produk usahatani dari segi kualitas dan kuantitas sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan aplikasi sarana produksi (pupuk, pestisida) yang sesuai. Harga produk usahatani juga akan berpengaruh terhadap keuntungan usahatani. Harga produk usahatani juga dipengaruhi oleh efisiensi ekonomi. Makin efisien suatu proses produksi, maka semakin besar keuntungan yang diperoleh, tidak terkecuali dalam proses produk hasil pertanian. 6.1.3 Keberlanjutan rawa lebak dimensi sosial budaya Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi sosial budaya di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan tujuh atribut untuk dilakukan analisis keberlanjutan. Ketujuh atribut tersebut diperkirakan sebagai atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi sosial budaya. Adapun atribut tersebut terdiri atas (1) status kepemilikan lahan, (2) jumlah rumah tangga petani, (3) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (4) peran adat dalam kegiatan pertanian, (5) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (6) tingkat pendidikan formal petani, dan (7) intensitas konflik. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 15a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial budaya mencapai 43,89% atau pada kategori kurang berkelanjutan. Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya Sungai Ambangah
RAPLEBAK Ordination 60
Inensitas konflik
Tingkat pendidikan formal petani
40
Pola hub. Masyarakat dlm usaha pertanian
20 Attribute
Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability
UP
48.89 0 0
20
40
60
80
BAD
GOOD 100
120
Peran adat dalam kegiatan pertanian Rumah tangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian
-20 Jumlah rumah tangga petani
-40
Status kepemilkan lahan
DOWN 0
-60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a)
1
2
3
4
5
6
7
8
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 15 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah
Hasil analisis leverage dimensi sosial budaya, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 15b), terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) pola hubungan
masyarakat dalam usaha pertanian berupa kerjasama dalam hal penanaman, panen atau kegiatan lainnya, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, dan (3) jumlah rumah tangga petani.
Ketiga atribut
sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Hal ini diperlihatkan dalam berbagai penelitian (misalnya Evans, 1982; Lorenz, 1966), yang menunjukkan bahwa disamping faktor dalam diri manusia (intrinsik) terdapat faktor luar (ekstrinsik) yang mempengaruhi kemampuan manusia untuk hidup bersama-sama dengan orang atau kelompok lain secara baik. Untuk selanjutnya faktor ini disebut sebagai faktor penunjang. Faktor penunjang yang mempengaruhi kemampuan manusia untuk hidup bersama-sama secara selaras dan serasi dapat digolongkan menjadi dua hal, yaitu peluang dan stimulasi. Aspek peluang pertama-tama dapat dilihat dengan bertambahnya jumlah orang dalam suatu lingkup atau wilayah. Dengan mengikuti penyuluhan pertanian, maka keterbatasan-keterbatasan dan segala permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam hal kegiatan usahataninya dapat dicarikan solusi jalan keluarnya. Sedangkan ketersediaan rumah tangga petani merupakan salah satu sumberdaya khususnya sumberdaya manusia yang berperan dalam mendukung kelancaran kegiatan usahatani. Dengan demikian, ketiga atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Sedangkan hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang pada Gambar 16a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial budaya mencapai 48,30% atau pada kategori kurang berkelanjutan. Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya Pasak Piang
RAPLEBAKOrdination 60
Inensitas konflik
Tingkat pendidikan formal petani
40
Pola hub. Masyarakat dlm usaha pertanian
20 48.30 0 0
20
40
60
80
BAD
GOOD 100
Attribute
Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability
UP
120
Peran adat dalam kegiatan pertanian Rumah tangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian
-20 Jumlah rumah tangga petani
-40
Status kepemilkan lahan
DOWN 0
-60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a)
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 16 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang
Hasil analisis leverage dimensi sosial budaya, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 16b) terdapat enam atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan di rawa lebak saat ini, yaitu (1) peran adat dalam kegiatan pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (3) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (4) jumlah rumah tangga petani, (5) tingkat pendidikan formal petani, dan (6) intensitas konflik. Keenam atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Perbedaan atribut sensitif untuk dimensi sosial budaya baik jumlah atribut maupun jenis atribut antara Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang secara faktual di lapangan memungkinkan terjadi. Dari hasil diskusi dan wawancara terhadap petani di lokasi studi khususnya Desa Pasak Piang, diperoleh informasi bahwa kegiatan usahatani yang mereka lakukan masih sangat bergantung terhadap nilai-nilai budaya lokal seperti dalam penentuan waktu tanam. Penentuan waktu tanam ditentukan oleh Tetua Adat atau Tokoh Adat yang oleh masyarakat disana menyebutnya sebagai Tuha tahun. Dan hasil cross check terhadap Tetua Adat yang ditemui Bapak Herkulanus
Utuh
berusia
sekitar
65
tahun
menurut
pengakuan
yang
bersangkutan, membenarkan apa yang menjadi keyakinan masyarakat disana dalam penentuan waktu tanam. Melalui arahan dan penentuan waktu tanam dari Tetua Adat, masyarakat yakin bahwa mereka akan berhasil dalam kegiatan usahataninya, dan apabila melanggar akan mendapatkan kegagalan dalam usahatani. Ini berlaku untuk kegiatan usahatani padi khususnya, karena menanam padi menurut kepercayaan mereka merupakan suatu bentuk pelestarian kebudayaan.
Menanam padi bagi mereka merupakan hal yang
mendasar dan wajib, karena hasil padi tidak untuk diperjualbelikan tetapi untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga mereka, kalaupun hasil panen berlebih disimpan sebagai cadangan untuk kebutuhan dimasa yang akan datang apabila terjadi gagal panen. 6.1.4 Keberlanjutan rawa lebak dimensi teknologi Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi teknologi di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan delapan atribut untuk dilakukan analisis keberlanjutan. Kedelapan atribut tersebut, diperkirakan sebagai atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi teknologi. Adapun atribut tersebut adalah (1) pengolahan tanah, (2) pemupukan,
(3) pengendalian gulma, (4) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, (5) ketersediaan mesin pompa air, (6) ketersediaan mesin pasca panen, dan (7) pola tanam, dan (8) jadual tanam Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 17a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi teknologi mencapai 37,53% atau pada kategori kurang berkelanjutan. Analisis Leverage Dimensi Teknologi Sungai Ambangah
RAPLEBAK Ordination 60
Pola tanam
Ketersediaan mesin pasca panen
40
Ketersediaan pompa air
20
0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
Attribute
Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability
UP
Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu
120 Pengendalian Gulma
37.53 -20
Pemupukan
-40 Pengolahan tanah
DOWN 0
-60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a)
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 17 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah
Hasil analisis leverage dimensi teknologi, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 17b) terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, (2) pengendalian gulma, dan (3) pemupukan. Ketiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan teknologi tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Dengan demikian, ketiga atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Sedangkan hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang pada Gambar 18a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi teknologi mencapai 28,92% atau pada kategori kurang berkelanjutan.
Analisis Leverage Dimensi Teknologi Pasak Piang
RAPLEBAK Ordination 60
Jadual tanam
Pola tanam
40
Ketersediaan mesin pasca panen
20 Attribute
Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
UP
28.92 BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100
Ketersediaan mesin pompa air
Jml alat pemberantasan jasad pengganggu
120 Pengendalian gulma
-20 Pemupukan
-40 Pengolahan tanah
DOWN 0
-60
1
2
3
4
5
6
7
8
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a)
(b)
Gambar 18 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang
Hasil analisis leverage dimensi teknologi, dari delapan atribut yang dianalisis (Gambar 18b) terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) jumlah alat pemberatasan jasad penggangu, (2) ketersediaan mesin pompa air, dan (3) ketersediaan mesin pasca panen. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan hama dan penyakit terhadap tanaman di lokasi penelitian cukup beragam diantaranya adalah penggerak batang (Ostrinia furnacalis Guenee) pada tanaman padi, jamur akar putih (Rigidoporus lignosus) pada tanaman karet, dan serangan belalang pada tanaman kelapa sawit. Serangan hama dan penyakit tersebut, oleh petani disana tidak dilakukan pengendalian secara intensif, tetapi umumnya dibiarkan oleh mereka. Oleh karena itu, pada masa yang akan datang dapat dilakukan penerangan
atau
penyuluhan
terhadap
petani
agar
supaya
intensitas
pengendalian penyakit ini lebih ditingkatkan. 6.1.5 Keberlanjutan rawa lebak dimensi kelembagaan Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan delapan atribut untuk dilakukan analisis keberlanjutan. Kedelapan atribut tersebut diperkirakan sebagai atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi kelembagaan. Adapun atribut tersebut terdiri dari (1) keberadaan kelempok tani, (2) intensitas pertemuan kelompok tani, (3) keberadaan lembaga sosial, (4) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (5) ketersediaan petugas penyuluh pertanian, (6)
kondisi prasarana jalan desa, (7) keberadaan balai penyuluh pertanian, dan (8) kios saprodi. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 19a
dapat
diketahui
bahwa
nilai
indeks
keberlanjutan
untuk
dimensi
kelembagaan mencapai 54,82% atau pada kategori cukup berkelanjutan. Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan Sungai Ambangah
RAPLEBAK Ordination
Ketersediaan kios saprodi keberadaan balai penyuluh pertanian
150
Kondisi prasarana jalan desa
100
50
BAD
UP
0 0
20
40
60
80
54.82 -50
Attribute
Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability
200
DOWN
GOOD 100
Keberadaan petugas penyuluh pertanian Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan lembaga sosial
120
Intensitas pertemuan kelompok tani Keberadaan kelompok tani 0
-100 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a)
1
2
3
4
5
6
7
8
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 19 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah
Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 19b) terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) keberadaan petugas penyuluh lapangan, (2) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (3) keberadaan lembaga sosial. Ketiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Sebagaimana diketahui bahwa tanpa modal, suatu usaha tidak akan dapat berjalan walaupun syarat-syarat yang lain untuk menjalankan atau mendirikan suatu usaha sudah dimiliki. Untuk maksud tersebut, biasanya sebelum suatu usaha dijalankan, terlebih dahulu dilakukan analisis pemodalan. Analisis pemodalan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan tanah atau sewa lahan serta biaya investasi seperti pembelian bibit, pupuk, biaya tenaga kerja dan pascapanen. Dari hasil wawancara di lapangan, semua responden mengatakan mereka kekurangan modal. Untuk mengatasi kekurangan modal tersebut, diperlukan lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman modal usaha, maka keberadaan lembaga keuangan skala mikro merupakan salah satu alternatif jalan keluarnya (Tim Penulis PS, 2008).
Sedangkan dalam konteks lembaga sosial dimaksudkan adalah lembaga yang dapat mengatur individu-individu dalam berinteraksi. Suparlan (2004) dalam Rudito dan Femiola (2008) menjabarkan secara lebih rinci bahwa dalam pranata sosial komuniti, diatur status dan peran untuk melaksanakan aktivitas pranata yang bersangkutan.
Dengan kata lain bahwa peran-peran tersebut terangkai
membentuk sebuah sistem yang disebut sebagai pranata sosial atau institusi sosial yakni sistem antar hubungan norma-norma dan peranan-peranan yang diadakan dan dibakukan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, keberadaan lembaga penyedia modal dan lembaga sosial sebagai atribut sensitif merupakan atribut yang perlu mendapat perhatian. Dengan tersedianya kedua lembaga tersebut diharapkan nilai indeks dimensi ini akan menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Sedangkan hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang pada Gambar 20a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan mencapai 52,19% atau pada kategori cukup berkelanjutan. Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan Pasak Piang
RAPLEBAK Ordination
Ketersediaan kios saprodi keberadaan balai penyuluh pertanian
150
Kondisi prasarana jalan desa
100
50
BAD
UP
52.19
0 0
-50
Attribute
Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability
200
20
40
60
80
DOWN
GOOD 100
Keberadaan petugas penyuluh pertanian Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan lembaga sosial
120
Intensitas pertemuan kelompok tani Keberadaan kelompok tani 0
-100 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
(a)
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(b)
Gambar 20 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang
Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 20b) terdapat dua atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (2) keberadaan lembaga sosial. Kedua atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan ini juga sama dengan atribut sensitif untuk Desa Sungai Ambangah di atas, dengan demikian berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, maka kedua atribut sensitif ini, merupakan atribut
penting untuk diperhatikan apabila ingin meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan di masa yang akan datang. Selanjutnya
Tabel
45,
menunjukkan
atribut-atribut
sensitif
yang
mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rawa lebak berdasarkan hasil analisis leverage terhadap seluruh atribut yang diberikan penilaian. Dari 38 atribut yang diberikan penilaian terhadap rawa lebak di Desa Sungai Ambangah, diperoleh 16 atribut sensitif. Sedangkan di Desa Pasak Piang dari 38 atribut yang diberikan penilaian, diperoleh 19 atribut sensitif. Selanjutnya atribut-atribut sensitif ini akan digunakan sebagai faktor penting/faktor pengungkit untuk memperbaiki status keberlanjutan pengelolaan rawa lebak pada masa yang akan datang, baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Tabel 45 Atribut sensitif mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Sungai Ambangah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Atribut sensitif Harga produk usahatani Ketersediaan sarana produksi Keuntungan usahatani Produksi usahatani Pola hubungan masyarakat dalam usahatani Ketersediaan lembaga keuangan mikro Ketersediaan modal usahatani Rumahtangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Keberadaan petugas penyuluh lapangan Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Pengendalian gulma Periode tergenang Jumlah rumah tangga petani Produktivitas lahan Keberadaan lembaga sosial Pemupukan
Pasak Piang Skor 14,0 11,6 9,5 7,5 7,4
No 1 2 3
7,1 7,0 6,8
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
6,7 6,6 6,5 6,4 5,9 5,7 5,6 5,5
4
15 16 17 18 19
Atribut sensitif Skor Peran adat dalam kegiatan pertanian 15,6 Harga produk usahatani 14,5 Rumah tangga petani yg pernah 12,5 mengikuti penyuluhan pertanian Pola hubungan masyarakat dalam 11,5 usahatani Jumlah rumah tangga petani 9,5 Ketersediaan sarana produksi 9,0 Kandungan bahan organik tanah 8,9 Produktivitas lahan 8,2 Keuntungan usahatani 8,1 Efesiensi ekonomi 7,9 Periode tergenang 7,5 Tingkat pendidikan formal petani 7,1 Intensitas konflik 7,0 Jumlah alat pemberantasan jasad 6,8 pengganggu Ketersediaan lembaga keuangan mikro 6,7 Keberadaan lembaga sosial 6,0 Ketersediaan mesin pompa air 5,6 Penggunaan pupuk 5,3 Ketersediaan mesin pasca panen 5,1
6.1.6 Pola indeks keberlanjutan usahatani rawa lebak dalam diagram layang Nilai indeks untuk setiap dimensi di Desa Sungai Ambangah Gambar 21 menunjukkan adanya keragaman antara satu dimensi dengan dimensi yang lain. Dari diagram layang ini dapat diketahui bahwa dimensi mana yang lebih diutamakan untuk dikelola agar dimensi tersebut menjadi cukup berkelanjutan atau nilai indeks di atas 50% atau bahkan nilai indeksnya bisa lebih besar dari 75% (kategori berkelanjutan).
Dari kelima dimensi yang dianalisis ternyata dimensi kelembagaan yang mempunyai nilai indeks relatif terbesar yaitu 54,82% (cukup berkelanjutan), jika dibandingkan dengan empat dimensi lainnya yang semuanya berada pada kategori kurang berkelanjutan. Dimensi yang paling rendah nilai indeks keberlanjutannya adalah dimensi ekonomi yang hanya mencapai 35,04% (kurang berkelanjutan). Keadaan ini sesuai dengan hasil analisis dimensi ekonomi Gambar 13a, hasil ini menunjukkan bahwa apabila ingin ditingkatkan status keberlanjutan dari kategori ‗kurang‘ menjadi ‗cukup‘ berkelanjutan, perlu mengelola atribut-atribut sensitif yang berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi, terutama mengelola harga produk usahatani, ketersediaan sarana produksi, keuntungan usahatani, produksi usahatani, dan ketersediaan modal usahatani. Sedangkan nilai indeks untuk setiap dimensi di Desa Pasak Piang Gambar 22 juga menunjukkan adanya keragaman antara satu dimensi dengan dimensi yang lain. Dari diagram layang ini dapat diketahui bahwa dimensi mana yang lebih diutamakan untuk dikelola agar dimensi tersebut menjadi berada pada kategori nilai indeks juga di atas 50% (kategori cukup berkelanjutan) atau di atas 75% (kategori berkelanjutan). Dari kelima dimensi yang dianalisis ternyata dimensi kelembagaan yang mempunyai nilai indeks sebesar 52,19% atau pada kategori cukup berkelanjutan, sedangkan tiga dimensi lainnya yaitu ekologi, sosial budaya dan teknologi berada pada kategori kurang berkelanjutan, dan satu dimensi yaitu ekonomi berada pada kategori tidak berkelanjutan atau dengan nilai indeks keberlanjutan hanya mencapai 24,20%. Keadaan ini sesuai dengan hasil analisis dimensi ekonomi Gambar 14a. Dari hasil ini, mengindikasikan bahwa apabila dimensi ini ingin ditingkatkan status keberlanjutan dari kategori ‗tidak‘ berkelanjutan menjadi ‗cukup‘ berkelanjutan atau bahkan berkelanjutan, maka perlu mengelola atributatribut sensitif yang berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi. Atribut-atribut sensitif tersebut adalah mengelola harga produk usahatani, ketersediaan sarana produksi, keuntungan usahatani, dan efisiensi ekonomi.
Sungai Ambangah
Pasak Piang Ekologi 100
Ekologi 100
80 6045.36
80 60 Kelembaga an
54.82
40
39.55 35.04
20
Ekonomi
Kelembaga an
52.19
0 37.53
40 20
24.2
Ekonomi
0 28.92
43.89 Sosial Budaya
Teknologi
48.3 Sosial Budaya
Teknologi
Gambar 21 Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa lebak di Sungai Ambangah
Gambar 22 Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa lebak di Pasak Piang
Nilai S-Stress yang dihasilkan dimasing-masing dimensi, mempunyai nilai yang lebih kecil dari ketentuan (<0.25), dengan asumsi bahwa semakin kecil dari 0,25 semakin baik. Sedangkan nilai Koefesien Determinasi (R2) disetiap dimensi cukup tinggi (mendekati 1). Dengan demikian, kedua parameter statistik tersebut menunjukkan seluruh atribut yang digunakan dalam setiap dimensi di kedua lokasi penelitian sudah cukup baik menerangkan keberlanjutan sistem pengelolaan rawa lebak (Tabel 46). Tabel
46
Nilai Stress dan R2 status keberlanjutan pengelolaan rawa lebak dimasing-masing lokasi penelitian
Parameter dan lokasi penelitian S-Stress Sungai ambangah Pasak Piang R2
Sungai Ambangah Pasak Piang
Dimensi keberlanjutan Sosial Budaya Teknologi 0,1500685 0,1397085
Ekologi 0,1389946
Ekonomi 0,1507659
Kelembagaan 0,1476557
0,1374439
0,1484612
0,1525913
0,1383314
0,1415626
0,9459976
0,9281701
0,937069
0,9467362
0,9419487
0,9416752
0,9301242
0,923359
0,9450684
0,9477773
Sumber: Data primer diolah
Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak pada selang kepercayaan 95 persen didapatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan (<1) antara hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo (Tabel 47). Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis dari kedua metode tersebut membuktikan bahwa (1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil, (2) ragam pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, (3) proses
analisis yang dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, dan (4) kesalahan pemasukkan data dan data yang hilang dapat dihindari. Perbedaan ini juga menunjukkan bahwa sistem yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Beberapa parameter hasil uji statistik ini menunjukkan bahwa metode Rap-Lebak cukup baik dipergunakan sebagai salah satu instrumen dalam evaluasi keberlanjutan pengelolaan rawa lebak. Tabel 47
Perbedaan Indeks keberlanjutan antara Rap-Lebak (MDS) dengan Monte Carlo Pada masing-masing Lokasi Penelitian
Dimensi keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan
MDS Sungai Ambangah 39,55 35,04 43,89 37,53 54,82
Indeks keberlanjutan (%) MONTE CARLO Pasak Sungai Pasak Piang Ambangah Piang 45,36 38,86 45,88 24,20 35,87 24,32 48,30 43,58 48,47 28,92 37,83 29,60 52,19 54,35 52,77
Perbedaan (selisih) Sungai Ambangah 0,69 0,83 0,31 0,30 0,47
Pasak Piang 0,52 0,12 0,17 0,68 0,58
Sumber: Data primer diolah
6.2
Variabel-Variabel Dominan dalam Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan Disain pengembangan model pengelolaan lahan rawa lebak secara
berkelanjutan
dilakukan
dengan
terlebih
dahulu
menyusun
skenario
pengembangan model pengelolaan lahan rawa lebak secara berkelanjutan pada masa yang akan datang. Penyusunan skenario tersebut, dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap pengembangan model tersebut. Untuk mendapatkan faktor-faktor kunci tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif ditahap ini, dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu (1) menentukan faktor kunci yang diperoleh dari atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan pengelolaan lahan rawa lebak pada saat ini, (2) mengidentifikasi faktor kunci dimasa depan yang diperoleh melalui analisis kebutuhan dari semua pihak yang berkepentingan atau pemangku kepentingan (stakeholders), dan (3) melakukan kombinasi antar faktor kunci ditahap satu dan tahap dua. Dari kombinasi ini akan diperoleh faktor kunci gabungan kondisi saat ini (existing condition). Dengan demikian faktor kunci yang diperoleh adalah faktor kunci yang merupakan representasi dari kebutuhan bersama.
6.2.1 Atribut sensitif yang mempengaruhi sistem pengelolaan rawa lebak 1.
Desa Sungai Ambangah
Berdasarkan
hasil
analisis
leverage
terhadap
lima
dimensi
yang
mempengaruhi pengelolaan lahan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah, diperoleh 16 atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dan menjadi faktor penting/faktor pengungkit sebagaimana disajikan pada Tabel 44. Dari 16 faktor penting tersebut, dilakukan penyeleksian kembali untuk memperoleh faktor-faktor penting yang selanjutnya faktor penting tersebut, akan dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan skenario. Untuk memperoleh faktorfaktor penting tersebut dilakukan analisis prospektif terhadap 16 atribut sensitif di atas. Hasil
analisis prospektif Gambar 23, menunjukkan bahwa terdapat
sebanyak 12 faktor penting yang terdiri dari (1) ketersediaan modal usahatani, (2) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, (3) harga produk usahani, (4) ketersediaan sarana produksi, (5) keuntungan usahatani, (6) produksi usahtani, (7) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (8) rumahtangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (9) pengendalian gulma, (10) periode tergenang, (11) jumlah rumah tangga petani, dan (12) pemupukan. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1.60
1.40
Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu
Ketersediaan modal usahatani
1.20
Ketersediaan sarana Harga produk usahatani produksi
1.00
RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian
Jumlah rumah tangga petani
Pengaruh
Keuntungan usahatani Produksi usahatani
Pemupukan 0.80
Periode tergenang
Pengendalian gulma Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan lembaga sosial
0.60
Pola hubungan masyarakat dlm usahatani
Produktivitas lahan
0.40
0.20
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
Ketergantungan
Gambar 23 Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Sungai Ambangah
2. Desa Pasak Piang Berdasarkan
hasil
analisis
leverage
terhadap
lima
dimensi
yang
mempengaruhi pengelolaan lahan rawa lebak di Desa Pasak Piang, diperoleh 19 atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dan menjadi faktor penting/faktor pengungkit sebagaimana disajikan pada Tabel 44. Dari 19 faktor penting tersebut, dilakukan penyeleksian kembali untuk memperoleh faktor-faktor penting yang selanjutnya faktor penting tersebut, akan dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan skenario. Untuk memperoleh faktor-faktor penting tersebut dilakukan analisis prospektif terhadap 19 atribut sensitif tersebut. Hasil analisis prospektif Gambar 24, menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 12 faktor penting yang terdiri dari (1) peran adat dalam kegiatan pertanian, (2) harga produk usatahi, (3) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (4) pola hubungan masyarakat dalam usahatani, (5) ketersediaan sarana produksi, (6) kandungan bahan organik tanah, (7) produktivitas lahan, (8) keuntungan usahatani, (9) efesiensi ekonomi, (10) periode tergenang, (11) tingkat pendidikan formal petani, dan (12) ketersediaan lembaga keuangan mikro. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1.80
1.60
Keuntungan usahatani
Kandungan bahan organik tanah
1.40
Peran adat dalamHarga produk usahatani Ketersediaan lembaga kegiatan pertanian Tingkat pendidikan keuangan mikro formal RT petani yg pernah Pola hub. Masyarakat mengikuti penyuluhan Periode tergenang Ketersediaan sarana dlm usahatani pertanian Produktivitas lahan produksi
Pengaruh
1.20
1.00
Efesiensi ekonomi 0.80 Jumlah rumah tangga petani
Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu
0.60 Intensitas konflik 0.40
0.20
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
Ketergantungan
Gambar 24 Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Pasak Piang
6.2.2 Kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders) Hasil wawancara terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders), baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang terhadap pengelolaan rawa lebak secara berkelanjutan pada masa yang akan datang yang didasarkan atas jenis tanaman yang telah diusahakan saat ini, maka diperoleh beberapa kebutuhan
yang
perlu
mendapatkan
perhatian.
Kebutuhan
tersebut,
dikelompokkan berdasarkan jenis tanaman, maka didapatkan masing-masing untuk tanaman padi, yaitu diperlukan: (1) jenis padi unggul, (2) peningkatan indeks pertanaman padi, (3) pemupukan rasional, (4) pemeliharaan yang intensif, (5) peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian, dan (6) teknis budidaya konservasi rawa lebak; untuk tanaman karet, yaitu diperlukan: (1) peremajaan tanaman, (2) penggunaan jenis yang unggul, (3) teknologi pengolahan yang memadai, dan (4) pemelihaaran yang intensif; dan untuk tanaman kelapa sawit, yaitu diperlukan: (1) keterpaduan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, (2) penegakkan penerapan tataruang sektor pertanian, (3) perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik), (4) industri pengolahan, dan (5) dukungan lembaga riset dan perguruan tinggi.
Selanjutnya dari ketiga
kebutuhan pemangku kepentingan untuk masing-masing komoditas, dilakukan penggabungan dan penyederhanaan terhadap kebutuhan yang relatif sejenis. Tabel 48, menunjukkan kebutuhan para pemangku kepentingan terhadap tiga komoditas yang diusahakan oleh masyarakat di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang. Tabel 48
Penggabungan dan penyederhanaan kebutuhan para pemangku kepentingan
No 1 2 3 4 5 6 7
Kebutuhan pemangku kepentingan
Diperlukan adanya keterpaduan kebijakan pusat dan daerah Penegakan penerapan tataruang sektor pertanian Diperlukan adanya dukungan lembaga riset dan PT Diperlukan teknis budidaya konservasi rawa lebak Perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana Penggunaan jenis unggul spesifik lokasi Peningkatan indeks pertanaman dan pola tanam padi berdasarkan kondisi setempat 8 Pemupukan yang rasional 9 Pemeliharaan yang intensif 10 Diperlukan peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian 11 Teknologi pengolahan yang memadai 12 Industri pengolahan Sumber: Hasil wawancara dan olahan
Dari hasil penggabungan dan penyederhanaan Tabel 47, menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 12 kebutuhan para pemangku kepentingan terhadap pengelolaan rawa lebak. Selanjutnya untuk memperolah kebutuhan yang paling penting (faktor penting) dari 12 kebutuhan stakeholders tersebut, dilakukan analisis prospektif. Hasil analisis Gambar 25 menunjukkan bahwa kebutuhankebutuhan stakeholders yang perlu diperhatikan dalam rangka untuk perbaikan pengelolaan rawa lebak baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang di masa yang akan datang, terdiri dari (1) pemeliharaan yang intensif, (2) peningkatan indeks pertanaman dan pola tanam padi, (3) teknis budidaya konservasi, (4) keterpaduan kebijakan antara pusat dan daerah, (5) penegakkan penerapan tataruang sektor pertanian, (6) pemupukan rasional, (7) dukungan lembaga riset dan PT, (8) teknologi pengolahan yang memadai, (9) peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian, dan (10) penggunaan jenis unggul. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1.40 Pemeliharaan yang intensif Peningkatan IP padi 1.20 Keterpaduan kebijakan pusat dan daerah
Penegakan penerapan tataruang Indutri pengolahan Dukungan lembaga Teknologi pengolahan riset dan PT yg memadai Pemupukan rasional Peran lembaga penyuluhan pertanian Penggunaan jenis unggul
1.00
Pengaruh
Teknis budidaya konservasi RL 0.80
0.60 Peningkatan sarana dan prasarana 0.40
0.20
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
Ketergantungan
Gambar 25 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang
6.2.3 Faktor penting untuk keberlanjutan pengelolaan rawa lebak Untuk mengembangkan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan pada masa yang akan datang, maka dilakukan penggambungan antara faktorfaktor penting/pengungkit yang telah didapatkan dari hasil analisis keberlanjutan
Rap-Lebak yang menggambarkan kondisi saat ini (eksisting) terhadap Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, dan hasil analisis kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders) yang menggambarkan kondisi yang diharapkan pada masa yang akan datang. Hasil gabungan yang dilakukan antara hasil analisis keberlanjutan dan analisis pemangku kepentingan diperoleh masing-masing, yaitu 23 faktor penting/pengungkit untuk Desa Sungai Ambangah, dan 23 faktor penting/pengungkit untuk Desa Pasak Piang. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 49. Tabel 49 Desa Sungai Ambangah
Pasak Piang
Faktor-faktor penting/pengungkit dari hasil analisis keberlanjutan dan analisis pemangku kepentingan berdasarkan bobotnya
Faktor-faktor penting/pengungkit Analisis keberlanjutan Analisis kebutuhan pemangku kepentingan 1 ketersediaan modal usahatani 2 jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 3 harga produk usahani 4 ketersediaan sarana produksi 5 keuntungan usahatani 6 produksi usahtani 7 ketersediaan kembaga keuangan mikro 8 RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 9 pengendalian gulma 10 periode tergenang 11 jumlah rumah tangga petani 12 pemupukan 1 peran adat dalam kegiatan pertanian 2 harga produk usatahi 3 RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 4 pola hubungan masyarakat dalam usahatani 5 ketersediaan sarana produksi 6 kandungan bahan organik tanah 7 produktivitas lahan 8 keuntungan usahatani 9 efesiensi ekonomi 10 periode tergenang 11 tingkat pendidikan formal petani 12 ketersediaan lembaga keuangan mikro 1 keterpaduan kebijakan pusat dan daerah 2 penegakan penerapan tataruang sektor pertanian 3 dukungan lembaga riset dan PT 4 perbaikan teknis budidaya konservasi rawa lebak lokal 5 perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana 6 penggunaan jenis unggul spesifik lokasi 7 peningkatan indeks pertanaman dan pola tanam padi berdasarkan kondisi setempat 8 pemupukan yang rasional 9 pemeliharaan yang intensif 10 peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian 11 industri pengolahan
Selanjutnya, faktor penting/pengungkit Tabel 49 di atas, terlebih dahulu dilakukan penggabungan antara faktor penting hasil analisis keberlanjutan dan hasil analisis kebutuhan pemangku kepentingan untuk masing-masing desa. Selain dilakukan penggabungan, juga dilakukan strukturisasi berdasarkan bobot masing-masing faktor penting tersebut. Hal itu dilakukan agar diketahui urutan prioritas
dari
masing-masing
faktor
penting/pengungkit
tersebut.
Hasil
selengkapnya sebagaimana disajikan pada Tabel 50. Tabel 50 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Penyederhanaan/penggabungan faktor-faktor penting berdasarkan prioritas untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang
Penyederhaan/penggabungan faktor-faktor penting Sungai Ambangah Pasak Piang ketersediaan modal usahatani (3,77) 1 keuntungan usahatani (1,74) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 2 kandungan bahan organik tanah(1,55) (3,05) 3 pola hubungan masyarakat dlm usahatani harga produk usahani (1,58) (1,46) pemeliharaan yang intensif (1,43) 4 pemeliharaan yang intensif (1,43) peningkatan IP dan pola tanam padi berdasarkan 5 peningkatan IP dan pola tanam padi kondisi setempat (1,42) berdasarkan kondisi setempat (1,42) perbaikan teknis budidaya konservasi RL lokal 6 peran adat dalam kegiatan pertanian (1,32) (1,31) 7 perbaikan teknis budidaya konservasi rawa keterpaduan kebijakan pusat - daerah (1,25) lebak (1,31) penegakan penerapan tataruang sektor pertanian 8 keterpaduan kebijakan pusat dan daerah (1,21) (1,25) jumlah rumah tangga petani (0,96) 9 penegakan penerapan tataruang sektor dukungan lembaga riset dan PT (0,95) pertanian (1,21) industri pengolahan (0,94) 10 harga produk usatahi (1,20) pemupukan yang rasional (0,91) 11 rumah tangga petani yang pernah mengikuti peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian penyuluhan pertanian (1,02) (0,73) 12 dukungan lembaga riset dan PT (0,95) periode tergenang (0,72) 13 industri pengolahan (0,94) pengendalian gulma (0,66) 14 ketersediaan lembaga keuangan mikro (0,93) penggunaan jenis unggul spesifik lokasi (0,61) 15 produktivitas lahan (0,92) perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana 16 pemupukan yang rasional (0,91) (0,39) 17 tingkat pendidikan formal petani (0,90) rumah tangga petani yang pernah mengikuti 18 periode tergenang (0,82) penyuluhan pertanian (0,38) 19 perbaikan dan peningkatan sarana dan ketersediaan kembaga keuangan mikro (0,22) prasarana (0,77) keuntungan usahatani (0,21) 20 efesiensi ekonomi (0,75) produksi usahtani (0,19) 21 peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian (0,73) 22 penggunaan jenis unggul spesifik lokasi (0,61)
Hasil penyederhaan/penggabungan di atas, diperoleh 21 faktor penting untuk Desa Sungai Ambangah dan 22 faktor penting untuk Desa Pasak Piang (Tabel 50). Selanjutnya dari faktor-faktor penting dimasing-masing desa tersebut, dilakukan analisis prospektif untuk mendapatkan faktor-faktor penting yang selanjutnya akan dijadikan sebagai faktor penyusun skenario untuk mendisain model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan pada masa akan datang.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1.60
Pengendalian gulma
1.40
Harga produk usahatani Pemupukan yang Keuntungan usahatani rasional Ketersediaan modal usahatani Rumah tangga petani Peningkatan indeks yg pernah mengikuti pertanaman padiLembaga penyuluh penyuluhan pertanian pertanian Produksi usahatani Dukungan lembaga
1.20
Pengaruh
1.00
riset dan PT
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
0.80
Periode tergenang
Jumlah rumah tangga petani
Alat pemberantasan jasad pengganggu
0.60
Industri pengolahan
0.40
Pemeliharaan yang Penerapan tataruang sektor pertanian intensif Perbaikan sarana dan Teknis budidaya Penggunaan jenis prasarana konservasi RL unggul spesifik
0.20
-
0.50
1.00
1.50
2.00
Keterpaduan kebijakan 2.50
3.00
Ketergantungan
Gambar 26 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil analisis leverage dan pemangku kepentingan di Desa Sungai Ambangah
Hasil analisis prospektif berupa matriks pengelompokkan empat kuadran untuk Desa Sungai Ambangah Gambar 26, dapat diidentifikasi pengaruh dan ketergantungan faktor-faktor dalam upaya pengelolaan rawa lebak berkelanjutan. Kuadran I (kiri atas) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan yang rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Pada kuadran ini terdiri dari sebelas faktor; yaitu (1) keuntungan usahatani, (2) rumahtangga yang mengikuti penyuluhan pertanian, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) peningkatan indeks pertanaman padi, (5) pengendalian gulma, (6) pemupukan yang rasional, (7) harga produk usahatani, (8) dukungan lembaga riset dan PT, (9) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (10) lembaga penyuluh pertanian, dan (11) produksi usahatani. Kesebelas faktor pada kuadran I merupakan variabel penentu yang digunakan sebagai input di dalam sistem yang dikaji. Kuadran II (kanan atas) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh kuat terhadap kinerja sistem namun mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga digunakan sebagai variabel penghubung (stake) di dalam sistem. Hasil analisis menunjukkan, faktor dengan pengaruh kuat dan dengan ketergantungan yang tinggi tidak ditemui. Kuadran III (kanan bawah) merupakan kelompok faktor yang memiliki pengaruh lemah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan yang tinggi
terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga digunakan sebagai variabel terkait (output) di dalam sistem. Kuadran ini hanya terdapat satu faktor, yaitu faktor keterpaduan kebijakan. Kuadran IV (kiri bawah) merupakan kelompok faktor yang memiliki pengaruh lemah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan juga rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri dari sembilan faktor, yaitu (1) jumlah rumahtangga petani, (2) periode tergenang, (3) alat pemberantasan jasad pengganggu, (4) industri pengolahan, (5) perbaikan sarana dan prasana, (6) teknis budidaya konservasi rawa lebak, (7) pemeliharaan yang intensif, (8) penggunaan jenis unggul, dan (9) penerapan tataruang sektor pertanian. Berdasarkan hasil penilaian pengaruh langsung antar faktor Gambar 26 di atas, dari 21 faktor kunci yang teridentifikasi didapatkan sebelas faktor yang mempunyai pengaruh kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan faktor yang rendah. Kesebelas faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat kondisi (state) yang mungkin terjadi di masa depan untuk pengelolaan rawa lebak berkelanjutan di Desa Sungai Ambangah.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1.60 Dukungan lembaga riset dan PT
1.40
Periode tergenang Pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian
Pengaruh
1.20
Lembaga penyuluh pertanian
Efesiensi ekonomi Keuntungan usahatani Ketersediaan lembaga Rumah tangga petani keuangan mikro yg pernah mengikuti Perbaikan sarana dan penyuluhan pertanian prasarana
Produktivitas lahan
Peran adat dalam kegiatan pertanian
1.00
Harga produk usahatani
0.80
Pemeilharaan yang intensif 0.60
Tingkat pendidikan formal petani
Peningkatan indeks pertanaman padi
0.40
0.20
Kandungan bahan Penerapan tataruang organik tanah sektor pertanian Teknis budidaya Pemupukan yang Pengunaan jenis Industri pengolahan Keterpaduan kebijakan konservasi RL rasional unggul
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
Ketergantungan
Gambar 27 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil analisis leverage dan pemangku kepentingan di Desa Pasak Piang
Hasil analisis prospektif berupa matriks pengelompokkan empat kuadran untuk Desa Pasak Piang Gambar 27, juga dapat diidentifikasi pengaruh dan ketergantungan faktor-faktor dalam upaya pengelolaan rawa lebak berkelanjutan. Kuadran I (kiri atas) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan yang rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Pada kuadran ini terdiri atas tujuh faktor; yaitu (1) dukungan lembaga riset dan PT, (2) peran adat dalam kegiatan pertanian, (3) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (4) perode tergenang, (5) harga produk usahatani, (6) produktivitas lahan, dan (7) keuntungan usahatani. Ketujuh faktor pada kuadran I, merupakan variabel penentu yang digunakan sebagai input di dalam sistem yang dikaji. Kuadran II (kanan atas) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh kuat terhadap kinerja sistem namun mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga digunakan sebagai variabel penghubung (stake) di dalam sistem. Pada kuadran ini terdiri atas lima faktor, yaitu (1) lembaga penyuluh pertanian, (2) efesiensi ekonomi, (3) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (4) perbaikan sarana dan prasarana, dan (5) rumahtangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian. Kuadran III (kanan bawah) merupakan kelompok faktor
yang memiliki pengaruh lemah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga digunakan sebagai variabel terkait (output) di dalam sistem. Kuadran ini terdapat empat faktor, yaitu (1) pemeliharaan yang intensif, (2) penggunaan jenis unggul, (3) penerapan tataruang sektor pertanian, dan (4) keterpaduan kebijakan. Kuadran IV (kiri bawah) merupakan kelompok faktor yang memiliki pengaruh lemah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan juga rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri atas enam faktor, yaitu (1) tingkat pendidikan formal petani, (2) peningkatan indeks pertanaman, (3) industri pengolahan, (4) teknis budidaya konservasi, (5) pemupukan yang rasional, dan (6) kandungan bahan organik tanah. Berdasarkan hasil penilaian pengaruh langsung antar faktor Gambar 27 di atas, dari 22 faktor kunci yang teridentifikasi didapatkan tujuh faktor yang mempunyai pengaruh kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan faktor yang rendah. Dan lima faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar factor. Keduabelas faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat kondisi (state) yang mungkin terjadi di masa depan untuk pengelolaan rawa lebak berkelanjutan di Desa Pasak Piang. 6.3 Skenario Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan Pengembangan model pengelolaan lahan rawa lebak berkelanjutan dilakukan dengan analisis keberlanjutan terhadap kondisi saat ini (eksisting) dan analisis kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders). Analisis keberlanjutan dengan MDS diperoleh nilai indeks dan status keberlanjutan masing-masing dimensi. Dimensi yang digunakan untuk menilai keberlanjutan pengelolaan rawa lebak sebanyak lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Dari kelima dimensi mencakup 37 atribut. keberlanjutan,
tersebut
Hasil analisis leverage, terhadap kelima dimensi
diperoleh
atribut-atribut
sensitif
yang
berpengaruh dalam
pengelolaan rawa lebak. Terhadap atribut-atribut sensitif tersebut, kemudian dilanjutkan
dengan
analisis
prospektif
untuk
menentukan
faktor-faktor
penting/pengungkit yang diperkirakan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem yang akan dibangun dalam upaya untuk mendisain model pengelolaan rawa lebak secara berkelanjutan.
Analisis kebutuhan pemangku kepentingan dilakukan untuk mengetahui preferensi kebutuhan stakeholders pada masa yang akan datang. Faktor-faktor yang menjadi kebutuhan pemangku kepentingan tersebut, kemudian dianalisis dengan analisis prospektif untuk memperoleh faktor-faktor penting/pengungkit terhadap pengelolaan rawa lebak berkelanjutan pada masa yang akan datang. Selanjutnya
faktor-faktor
penting/pengungkit
dari
hasil
analisis
keberlanjutan dan analisis pemangku kepentingan digabungkan dan untuk selanjutnya dilakukan analisis prospektif, untuk memperoleh faktor-faktor penting/pengungkit yang akan dijadikan sebagai dasar untuk menyusun skenario pengembangan model pengelolaan rawa lebak. Skenario yang akan dibangun, menggunakan tiga skenario yaitu skenario I, skenario II, dan skenario III, ketiganya merupakan gambaran kondisi masa depan. Pada setiap skenarioskenario tersebut, akan dilakukan beberapa perbaikan terhadap faktor-faktor penting/pengungkit yang diperoleh sebelumnya. Selanjutnya, skenario-skenario yang telah ditetapkan kemudian disimulasikan melalui analisis MDS, untuk dinilai kembali indeks dan status keberlanjutannya. Tabel 51 menggambarkan perubahan kondisi (state) pada masing-masing skenario yang akan disusun. Tabel 51 Uraian masing-masing skenario untuk pengembangan model pengelolaan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Skenario I
II
III
Uraian Tetap pada kondisi saat ini dan dilakukan sedikit perbaikan melalui peningkatan skoring pada beberapa faktor penting khususnya pada dimensi yan tidak berkelanjutan Melakukan perbaikan melalui peningkatan skoring terhadap beberapa faktor penting pada semua dimensi, tetapi tidak maksimal Melakukan perbaikan melalui peningkatan skoring terhadap beberapa faktor penting pada semua dimensi, secara maksimal
Perbaikan terhadap faktor-faktor penting melalui ketiga skenario, dilakukan dengan cara meningkatkan nilai skor terhadap atribut sensitif atau faktor penting baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Pada skenario I, dengan melakukan peningkatan nilai skor terhadap beberapa atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dari masing-masing dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Perubahan skoring dimaksud selengkapnya pada Tabel 52.
Tabel 52
No
Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario I untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang
Atribut sensitif/Faktor penting
Dimensi ekologi 1. Periode tergenang 2. Produktivitas lahan 1. Kandungan BO tanah 2. Produktivitas lahan 3. Periode tergenang 4. Penggunaan pupuk Dimensi ekonomi 1. Harga produk usahatani 2. Ketersediaan sarana produksi 3. Keuntungan usahatani 4. Produksi usahatani 5. Ketersediaan modal usahatani 1. Harga produk UT 2. Ketersediaan sarana produksi 3. Keuntungan UT 4. Efesiensi ekonomi Dimensi sosial budaya 1. Pola hub. Masyarakat dlm pertanian 2. RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 3. Jumlah RT petani 1. Peran adat dlm kegiatan pertanian 2. RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 3. Pola hub. Masyarakat dlm pertanian 4. Jumlah RT petani 5 Tingkat pendidikan formal petani 6. Intensitas konflik Dimensi teknologi 1. Jumlah alat pemberantasan jasad 2. pengganggu Pengendalian gulma 3. Pemupukan 1. Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 2. Ketersediaan mesin pompa air 3. Ketersediaan mensin pasca panen Dimensi kelembagaan 1. Ketersediaan lembaga keuangan mikro 2. Keberadaan petugas penyuluh lapangan 3. Keberadaan lembaga sosial 1. Ketersediaan lembaga keuangan mikro 2. Keberadaan lembaga sosial
Skoring Saat ini (eksisting) Skenario I Sui Pasak Sui Pasak Ambangah Piang Ambangah Piang 2 0
2 1 2 0 2 0
2 0 0 0 1
2 1 2 1 2 1 0 0 1
2 0 0 2 1 0
2 1 0 2 1 1
0
0 2 0
2 1
1 0 1 0
1 0 1 0
1 1
1 1
1
2 1
1
0 0
1 0
0
1
0
1
2
2 0
1
2
2
Sumber: Hasil Olahan
Hasil perubahan nilai skor pada beberapa dimensi keberlanjutan di skenario I Tabel 52, selanjutnya dianalisis kembali dengan menggunakan RapLebak, untuk mengetahui peningkatan indeks keberlanjutan yang telah disusun. Pada skenario I, untuk Desa Sungai Ambangah atribut yang dinaikkan nilai skornya terdiri atas: produktivitas lahan, ketersediaan sarana produksi, rumah
tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, pemupukan, ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan ketersediaan petugas penyuluh pertanian. Sedangkan untuk Desa Pasak Piang, atribut yang dinaikkan nilai skornya terdiri atas: produktivitas lahan, penggunaan pupuk, ketersediaan sarana produksi, rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, ketersediaan mesin pompa air, dan ketersediaan lembaga keuangan mikro. Hasil analisis menggunakan Rap-Lebak Tabel 53, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi, baik untuk Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 53. Tabel 53 Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario I No
Dimensi
1 2 3 4 5 6
Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan Gabungan
Eksisting Sui Ambangah 39,55 35,04 43,89 37,53 54,82 45,40
Nilai indeks (%) Skenario I Sui Pasak Ambangah Piang 45,29 54,00 54,43 44,54 48,39 55,82 42,30 40,33 56,74 56,78 47,59 50,01
Pasak Piang 45,36 24,20 48,30 28,92 52,19 44,92
Selisih Sui Ambangah 5,74 19,39 4,50 4,77 1,59 2,19
Pasak Piang 8,64 20,34 7,52 11,41 5,37 5,09
Sumber: Hasil olahan
Pada skenario II, dengan melakukan peningkatan nilai skor terhadap beberapa atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan masing-masing dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang.
Untuk Desa Sungai
Ambangah atribut yang dinaikkan skornya terdiri atas: produktivitas lahan, ketersediaan sarana produksi, rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan
pertanian,
jumlah
alat
pemberantasan
jasad
pengganggu,
pengendalian gulma, dan keberadaan petugas penyuluh pertanian. Sedangkan untuk Desa Pasak Piang, atribut yang dinaikkan nilai skornya terdiri atas: produktivitas lahan, penggunaan pupuk, ketersediaan sarana produksi, jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, ketersediaan mesin pasca panen, dan ketersediaan
lembaga
keuangan
selengkapnya pada Tabel 54.
mikro.
Perubahan
skoring
dimaksud
Tabel 54 Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario II untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No
Skoring Saat ini (eksisting) Skenario II Sui Pasak Sui Pasak Ambangah Piang Ambangah Piang
Atribut sensitif/Faktor kunci
Dimensi ekologi 1. Periode tergenang 2. Produktivitas lahan 1. Kandungan BO tanah 2. Produktivitas lahan 3. Periode tergenang 4. Penggunaan pupuk Dimensi ekonomi 1. Harga produk usahatani 2. Ketersediaan sarana produksi 3. Keuntungan usahatani 4. Produksi usahatani 5. Ketersediaan modal usahatani 1. Harga produk UT 2. Ketersediaan sarana produksi 3. Keuntungan UT 4. Efesiensi ekonomi Dimensi sosial budaya 1. Pola hub. Masyarakat dlm pertanian 2. RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 3. Jumlah RT petani 1. Peran adat dlm kegiatan pertanian 2. RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 3. Pola hub. Masyarakat dlm pertanian 4. Jumlah RT petani 5. Tingkat pendidikan formal petani 6. Intensitas konflik Dimensi teknologi 1. Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 2. Pengendalian gulma 3. Pemupukan 1. Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 2. Ketersediaan mesin pompa air 3. Ketersediaan mensin pasca panen Dimensi kelembagaan 1. Ketersediaan lembaga keuangan mikro 2. Keberadaan petugas penyuluh lapangan 3. Keberadaan lembaga sosial 1. Ketersediaan lembaga keuangan mikro 2. Keberadaan lembaga sosial
2 0
2 2 2 0 2 0
2 0 0 0 1
2 2 2 2 2 2 0 0 1
2 0 0 2 1 0
2 2 0 2 1 2
0
1 2 0
2 2
1 0 1 0
1 0 1 0
1
2
1 1
2 2 1
2
0 0
1 1
0
1
0
2
2
2 0
2
2
2
Sumber: Hasil Olahan Hasil analisis menggunakan Rap-Lebak pada skenario II, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi,
baik
untuk
Desa
Sungai
Ambangah
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 55.
maupun
Pasak
Piang.
Tabel 55 Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario II No
Dimensi
1 2 3 4 5 6
Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan Gabungan
Eksisting Sui Pasak Ambangah Piang 39,55 45,36 35,04 24,20 43,89 48,30 37,53 28,92 54,82 52,19 45,40 44,92
Nilai indeks (%) Skenario II Sui Pasak Ambangah Piang 50,89 68,46 74,93 60,26 56,38 66,40 60,28 51,98 63,35 64,31 56,69 56,16
Selisih Sui Pasak Ambangah Piang 11,34 23,10 39,89 36,06 12,49 18,10 22,75 23,06 8,20 12,90 11,29 11,24
Sumber: Hasil olahan Sedangkan pada skenario III, dengan melakukan peningkatan nilai skor terhadap beberapa atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dari masing-masing dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Untuk Desa Sungai Ambangah atribut yang dinaikkan skornya pada skenario ini terdiri atas: produktivitas lahan, pola hubungan masyarakat dalam kegiatan pertanian, jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan keberadaan petugas penyuluh pertanian. Sedangkan untuk Desa Pasak Piang, atribut yang dinaikkan nilai skornya pada skenario ini terdiri atas: penggunaan pupuk, ketersediaan sarana produksi, rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, ketersediaan mesin pasca panen, ketersediaan lembaga keuangan mikro,
dan
keberadaan
lembaga
selengkapnya pada Tabel 56.
sosial.
Perubahan
skoring
dimaksud
Tabel 56 Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario III untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No
Skoring Saat ini (eksisting) Skenario IIII Sui Pasak Sui Pasak Ambangah Piang Ambangah Piang
Atribut sensitif/Faktor kunci
Dimensi ekologi 1. Periode tergenang 2. Produktivitas lahan 1. Kandungan BO tanah 2. Produktivitas lahan 3. Periode tergenang 4. Penggunaan pupuk Dimensi ekonomi 1. Harga produk usahatani 2. Ketersediaan sarana produksi 3. Keuntungan usahatani 4. Produksi usahatani 5. Ketersediaan modal usahatani 1. Harga produk UT 2. Ketersediaan sarana produksi 3. Keuntungan UT 4. Efesiensi ekonomi Dimensi sosial budaya 1. Pola hub. Masyarakat dlm pertanian 2. RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 3. Jumlah RT petani 1. Peran adat dlm kegiatan pertanian 2. RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 3. Pola hub. Masyarakat dlm pertanian 4. Jumlah RT petani 5. Tingkat pendidikan formal petani 6. Intensitas konflik Dimensi teknologi 1. Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 2. Pengendalian gulma 3. Pemupukan 1. Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 2. Ketersediaan mesin pompa air 3. Ketersediaan mensin pasca panen Dimensi kelembagaan 1. Ketersediaan lembaga keuangan mikro 2. Keberadaan petugas penyuluh lapangan 3. Keberadaan lembaga sosial 1. Ketersediaan lembaga keuangan mikro 2. Keberadaan lembaga sosial
2 0
2 3 2 0 2 0
2 0 0 0 1
2 2 2 3 2 2 0 0 1
2 0 0 2
2 3 0 2
1
2
0 0
2 1 2 0
2 3
1 0 1 0
1 0 1 1
1
3
1 1
2 2 1
3
0 0
1 2
0 0
2 3
2
2 0 2
3 3
Sumber: Hasil Olahan Hasil analisis menggunakan Rap-Lebak pada skenario III, menunjukkan bahwa juga terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi,
baik
untuk
Desa
Sungai
Ambangah
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 57.
maupun
Pasak
Piang.
Tabel 57 Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario III No
Dimensi
1 2 3 4 5 6
Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan Gabungan
Eksisting Sui Pasak Ambangah Piang 39,55 45,36 35,04 24,20 43,89 48,30 37,53 28,92 54,82 52,19 45,40 44,92
Nilai indeks (%) Skenario III Sui Pasak Ambangah Piang 59,71 79,89 92,91 67,11 90,55 80,18 76,68 72,58 85,70 76,23 62,70 62,92
Selisih Sui Pasak Ambangah Piang 20,71 34,53 57,87 42,91 46,66 31,88 39,15 43,66 30,55 24,82 17,30 18,00
Sumber: Hasil olahan 6.4
Nilai Indeks Keberlanjutan masing-masing Skenario dan Gabungan antara MDS dan Kebutuhan Stakeholders dari lima Dimensi dan Nilai BC ratio, Persentase KHL, dan Lm antara Kondisi Eksisting dengan masing-masing Skenario Sebelum dilakukan penyusunan rekomendasi model pengelolaan lahan
rawa lebak berkelanjutan melalui tiga skenario, Tabel 58 di bawah ini merangkum hasil analisis berupa: nilai indeks keberlanjutan masing-masing skenario dan nilai indeks keberlanjutan gabungan antara MDS dan kebutuhan stakeholders. Hasil selengkapnya sebagaimana disajikan pada Tabel 58. Tabel 58
Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi, nilai indeks keberlanjutan gabungan antara MDS dan kebutuhan stakeholders antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang
Desa / Dimensi Sungai Ambangah Ekologi Ekonomi Sosial budaya Teknologi Kelembagaan Gabungan Pasak Piang Ekologi Ekonomi Sosial budaya Teknologi Kelembagaan Gabungan
Eksisting
Nilai indeks keberlanjutan (%) Skenario I Skenario II Skenario III
39,55 35,04 43,89 37,53 54,82 45,40
45,29 54,43 48,39 42,30 56,74 47,59
50,89 74,93 56,38 60,28 63,35 56,69
59,71 92,91 90,55 76,68 85,70 62,70
45,36 24,20 48,30 28,92 52,19 44,92
54,00 44,54 55,82 40,33 56,78 50,01
68,46 60,26 66,40 51,98 64,31 56,16
79,89 67,11 80,18 72,58 76,23 62,92
Sumber: Hasil olahan
Hasil analisis keberlanjutan antara masing-masing skenario dan kondisi saat ini (eksisting) yang dirangkum dalam bentuk diagram layang-layang (kite
diagram) sebagaimana disajikan pada Gambar 28 dan 29. Untuk Desa Sungai Ambangah Gambar 28 memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, diperoleh hasil pada skenario I, yaitu terdapat dua dimensi yang dikategorikan cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi dan kelembagaan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan masing-masing sebesar 54,43% dan 56,74%. Untuk skenario II, dari kelima dimensi yang dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 50,89 – 74,93% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk semua dimensi. Sedangkan pada skenario III, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 59,71% untuk dimensi ekologi atau pada kategori cukup berkelanjutan, dan empat dimensi lainnya diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 76,68 – 92,91% atau pada kategori berkelanjutan. Untuk Desa Pasak Piang Gambar 29 memperlihatkan bahwa kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, diperoleh hasil pada skenario I, yaitu terdapat tiga dimensi yang dikategorikan cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, sosial budaya dan kelembagaan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan masing-masing sebesar 54,00%, 55,82%, dan 56,78%. Untuk skenario II, diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 51.98 – 68,46% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk semua dimensi. Dan pada skenario III, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 67,11% untuk dimensi ekonomi dan 72,58% untuk dimensi teknologi atau keduanya pada kategori cukup
berkelanjutan,
dan
tiga
dimensi
lainnya
diperoleh
nilai
indeks
keberlanjutan berkisar antara 76,23 – 80,18% atau pada kategori berkelanjutan. Tabel 59 di bawah ini merangkum hasil analisis berupa: nilai BC ratio, persentase KHL dan Lm antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang untuk masing-masing skenario. Tabel 59
Nilai BC ratio, persentase KHL (%) dan Lm (ha/KK) antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang
Desa Sungai Ambangah B/C ratio Padi Karet Sawit KHL (%) Lm (ha/KK) Padi Karet Sawit
Eksisting 2,02 3,3 1,23 1,52 29,92 3,15 11,48 5,49 2,21
Skenario I 2,04 3,37 1,25 1,53 30,98 2,99 11,23 5,35 2,13
Skenario II 2,16 3,67 1,35 1,55 32,02 2,35 10,2 4,8 1,79
Skenario III 2,29 3,87 1,41 1,57 37,39 1,91 9,49 4,42 1,56
Pasak Piang B/C ratio 10,22 11,20 13,29 13,49 Padi 4,8 5,3 5,89 6,51 Karet 24,35 26,75 29,44 32,35 Sawit 1,52 1,55 1,59 1,63 KHL (%) 35,7 39,5 43,78 48,39 Lm (ha/KK) 2,54 1,84 1,06 0,22 Padi 12,63 11,28 9,77 8,14 Karet 3,76 3,41 3,02 2,6 Sawit 2,21 1,81 1,32 1,10 1) 2) 3) Sumber: Hasil olahan, Benefit Cost ratio, Kebutuhan Hidup Layak, Luas Lahan Minimal
Hasil tiga skenario yang telah disusun Tabel 59 diperoleh nilai B/C ratio gabungan tiga tanaman yang diusahakan dan kemudian dibandingkan antara kondisi eksisting dengan skenario I, II dan III, memperlihatkan peningkatan nilai B/C ratio masing-masing sebesar 0,02, 0,14 dan 0,27 untuk Desa Sungai Ambangah dan 0,98, 3,07 dan 3,27 di Pasak Piang. Persentase nilai kebutuhan hidup layak (KHL) antara kondisi eksisting dan skenario I, II dan III, juga terjadi peningkatan masing-masing sebesar 1.06%, 2,10% dan 7,47% untuk Desa Sungai Ambangah dan 3,80%, 8,08% dan 12,69% di Pasak Piang. Untuk nilai luas lahan minimal (Lm), gabungan tiga tanaman yang diusahakan dan juga dibandingkan antara kondisi eksisting dengan skenario I, II dan III, memperlihatkan penurunan kebutuhan luas lahan minimal, masingmasing seluas 2,99 ha/KK, 2,35 ha/KK dan 1,91 ha/KK di Desa Sungai Ambangah dan 1,84 ha/KK, 1,06 ha/KK dan 0,22 ha/KK di Pasak Piang. Tabel 60
Pendapatan dan nilai tambah pendapatan dari kondisi eksisting terhadap masing-masing skenario yang disusun untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang
Desa/ Pendapatan (Rp/ha/th) Jenis Eksisting Skenario I tanaman Sui Ambangah Padi 2 090 000 2 135 771 Karet 4 370 000 4 465 703 Kelapa sawit*) 10 862 527,6 11 100 416,95
Nilai tambah pendapatan (Rp/ha/th) Skenario II
Skenario III
2 325 961 4 859 003
2 609 000 5 126 000
12 088 906,97
Skenario I
Skenario II
Skenario III
235 961 489 003
519 000 756 000
13 559 968,66
45 771 95 703 237 889,35
12 26 379,37
2 697 441,06 3 972 441,06
Jumlah Pasak Piang Padi Karet Kelapa sawit*)
17 322 527,6
17 701 890,95
19 273 870,97
21 294 968,66
379 363,35
1 951 343,37
1 900 000 6 387 667
2 102 350 7 067 953,54
2 330 160 7 833 834,81
2 575 450 8 658 482,62
202 350 680 286,54
430 160
675 450
1 446 167,81
2 270 815,62
10 862 527,6
12 019 386,79
13 321 803,85
14 724 156,16
1 156 859,19
2 459 276.25
3 861 628,56
Jumlah
19 150 194,6
21 189 690,32
23 485 798,66
25 958 088,78
2 039 495,72
4 335 604,06
6 807 894,18
Sumber: Hasil olahan Ket: *)Nilai perkiraan pendapatan per tahun per hektar
Dari hasil analisis tiga skenario di atas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan petani dari saat ini (eksisting) terhadap masing-masing skenario, dari masing-masing komoditas yang diusahakan yaitu padi, karet dan kelapa sawit baik di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang selengkapnya disajikan pada Tabel 60. Hasil analisis Tabel 59 menunjukkan bahwa petani di Desa Sungai Ambangah pada skenario I, II, dan III akan memperoleh peningkatan pendapatan dari keadaan saat ini (eksisting) masing-masing
sebesar Rp306 744,3,-
Rp1 778 874,- dan Rp2 750 181,-. Sedangkan untuk petani di Desa Pasak Piang, menunjukkan bahwa pada skenario I, II, dan III akan memperoleh peningkatan pendapatan dari keadaan saat ini (eksisting) masing-masing sebesar Rp1 820 582,04,- Rp2 132 771,61,- dan Rp6 077 154,12,-. Hasil analisis keberlanjutan antara masing-masing skenario dan kondisi saat ini (eksisting) yang dirangkum dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) sebagaimana disajikan pada Gambar 28 dan 29. Untuk Desa Sungai Ambangah Gambar 28 memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, diperoleh hasil adalah untuk skenario I, hanya terdapat dua dimensi yang dikategorikan cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi dan kelembagaan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan, masing-masing sebesar 54,43% dan
56,74%. Untuk skenario II, dari kelima dimensi yang
dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 50,89 – 74,93% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk semua dimensi. Sedangkan pada skenario III, dari kelima dimensi yang dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 59,71% untuk dimensi ekologi atau pada kategori cukup berkelanjutan, dan keempat dimensi yang lainnya diperoleh nilai indeks keberlanjutan, berkisar antara 76,68 – 92,91% atau pada kategori cukup berkelanjutan dan sangat berkelanjutan (baik).
SUNGAI AMBANGAH Dimensi Ekologi 100 80 60 Dimensi Kelembagaan
40
Dimensi Ekonomi
20 0
Dimensi Teknologi
Eksisting
Dimensi Sosial Budaya Skenario I
Skenario III
Skenario II
Gambar 28 Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Sungai Ambangah
Sedangkan untuk Desa Pasak Piang Gambar 29 memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, diperoleh hasil untuk skenario I, terdapat tiga dimensi yang dikategorikan cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, sosial budaya dan kelembagaan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan, masing-masing sebesar 54,00%, 55,82%, dan 56,78%. Untuk skenario II, dari kelima dimensi yang dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 51,98 – 68,46% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk semua dimensi. Sedangkan pada skenario III, dari kelima dimensi yang dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 67,11% untuk dimensi ekonomi dan 72,58% untuk dimensi teknologi atau keduanya pada kategori cukup berkelanjutan, dan tiga dimensi lainnya diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 76,23 – 80,18% atau pada kategori cukup berkelanjutan dan sangat berkelanjutan (baik). PASAK PIANG Dimensi Ekologi 100 80 60 Dimensi Kelembagaan
40
Dimensi Ekonomi
20 0
Dimensi Teknologi Eksisting
Dimensi Sosial Budaya Skenario I
Skenario II
Skenario III
Gambar 29 Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Pasak Piang
Dari masing-masing skenario yang telah disusun di atas, diperoleh hasil bahwa terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan dari kondisi eksisting. Untuk memilih skenario yang terbaik, dari ketiga skenario tersebut, didasarkan pada perhitungan jarak euclidian antara nilai indeks keberlanjutan pada kondisi eksisting dengan nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing skenario baik untuk Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Hasil perhitungan selengkapnya disajikan pada Tabel 61 dan 62 Tabel 61 Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah A. No 1 2 3 4 5
Eksisting dan Skenario I Dimensi X2 Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan
45,29 54,43 48,39 42,30 56,74
X1
X2X1 39,55 5,74 35,04 19,39 43,89 4,50 37,53 4,77 55,15 1,59 2 Σ(X2-X1) :
B. 1 2 3 4 5
Eksisting dan Skenario II Ekologi 50.89 39.55 Ekonomi 74.93 35.04 Sosial Budaya 56.38 43.89 Teknologi 60.28 37.53 Kelembagaan 63.35 55.15
C. 1 2 3 4 5
Eksisting dan Skenario III Ekologi 59,71 39,55 20,16 Ekonomi 92,91 35,04 57,87 Sosial Budaya 90,55 43,89 46,66 Teknologi 76,68 37,53 39,15 Kelembagaan 85,70 55,15 30,55 2 Σ(X2-X1) :
(X2-X1)
2
32 9476 375 9721 20 25 22 7529 2 5281 454 4507
Y2 -5,38 19,69 6,25 1,44 6,06
11.34 128.5956 -8.54 39.89 1.591.2121 28.03 12.49 156.0001 14.36 22.75 517.5625 14.00 8.20 67.24 5.56 2 Σ(X2-X1) : 869 3982
406 4256 3.348 9369 2 177 1556 1 532 7225 933 3025 1339 7280
-15,87
34,39 24,74 21,93 9,56
Y1
(Y2-Y1)
2
Y2Y1 3,93 9,31 6,25 13,39 0,92 5,33 4,18 -2,74 6,65 0,59 2 Σ(Y2-Y1) : (a+b): distance:
86 6761 179 2921 28 4089 7 5076 0 3481 302 2328 756 6835 21 8322
3.93 12.47 6.25 21.78 0.92 13.44 4.18 9.82 6.65 -1.09 2 Σ(Y2-Y1) : (a+b): distance:
155.5009 474.3684 180.6336 96.4324 1.1881 908.1234 1777.522 30.3511
3,93 19,80 6,25 28,14 0,92 23,82 4,18 17,75 6,65 2,91 2 Σ(Y2-Y1) : (a+b): distance:
392,04 791 8596 567 3924 315 0625 8 4681 2074 823 3414 551 60 5667
Sumber: Data primer dan hasil olahan
Hasil analisis pada Tabel 61 menunjukkan bahwa di Desa Sungai Ambangah, diperoleh jarak euclidian antara kondisi eksisting dengan skenario I, II, dan III masing-masing sebesar 21,83%, 30,35% dan 60,57%.
Dari hasil
tersebut, diperoleh bahwa nilai euclidian yang terbesar adalah pada skenario III atau jarak yang paling baik. Dengan demikian dari ketiga skenario yang disusun untuk Desa Sungai Ambangah, yang terbaik adalah skenario III.
Tabel 62 Jarak Euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario di desa Pasak Piang A. No 1 2 3 4 5
Eksisting dan Skenario I Dimensi X2 Ekologi 54,00 Ekonomi 44,54 Sosial Budaya 55,82 Teknologi 40,33 Kelembagaan 56,78
X1 45,36 24,20 48,30 28,92 51,41
X2-X1 (X2-X1) 8,64 746 496 20,34 413 7156 7,52 565 504 11,41 130 1881 5,37 288 369 2 Σ(X2-X1) : 703 9406
2
Y2 2,88 34,52 21,81 -3,55 4,28
Y1 2,26 18,10 8,34 1,76 4,25
B. 1 2 3 4 5
Eksisting dan Skenario II Ekologi 68,46 Ekonomi 60,26 Sosial Budaya 66,40 Teknologi 51,98 Kelembagaan 64,31
45,36 24,20 48,30 28,92 51,41
23,10 533,61 1 300 3236 36,06 18,10 327,61 23,06 531 763,6 12,9 166 ,41 2 Σ(X2-X1) :1559.3936
3,30 42,45 30,62 -4,66 7,58
2,26 1,04 1,0816 592 9225 18,10 24,35 8,34 22,28 496 3984 1,76 6,42 41 2164 4,25 3,33 11 0889 2 Σ(Y2-Y1) : 1142 707,8 (a+b): 2702 1014 distance: 431 252
C. 1 2 3 4 5
Eksisting dan Skenario III Ekologi 79,89 Ekonomi 67,11 Sosial Budaya 80,18 Teknologi 72,58 Kelembagaan 76,23
45,36 24,20 48,30 28,92 51,41
34,53 42,91 31,88 43,66 24,82 2 Σ(X2-X1) :
10,37 47,69 34,87 -12,56 22,60
2,26 8,11 18,10 29,59 8,34 26,53 1,76 14,32 4,25 18,35 2 (Y2-Y1) : (a+b): distance:
1 192 3209 1 841 2681 1 016 3344 1 906 1956 616 0324 616.0324
2
Y2-Y1 (Y2-Y1) 0,62 0,3844 16,42 2696,6164 13,47 181,4409 28,1961 5,31 0,0009 0,03 2 (Y2-Y1) : 2906,6387 (a+b): 2202,6981 distance: 39,8511
65,7721 875,5681 703,8409 205,0624 336,7225 2 186 966 2 802 9989 456 013
Sumber: Data primer dan hasil olahan
Sedangkan hasil analisis pada Tabel 62 menunjukkan bahwa di Desa Pasak Piang, diperoleh jarak euclidian antara kondisi eksisting dengan skenario I, II, dan III masing-masing sebesar 39,85%, 43,12% dan 45,60%. Dari hasil tersebut, diperoleh bahwa nilai euclidian yang terbesar juga pada skenario III atau jarak yang paling baik. Dengan demikian bahwa dari ketiga skenario yang disusun untuk Desa Pasak Piang, yang terbaik adalah skenario III.
VII. MODEL PENGEMBANGAN DAN STRATEGI PENERAPAN USAHATANI DI RAWA LEBAK 7.1 Sumberdaya Lokal Rawa Lebak Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumberdaya buatan. Berdasarkan Undang-Undang RI tentang Sistem Budidaya Tanaman Nomor 12 Tahun 1992, disebutkan bahwa sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Selanjutnya pada pasal 2 disebutkan bahwa sistem budidaya tanaman sebagai bagian pertanian berasaskan manfaat, lestari, dan berkelanjutan. Sedangkan pasal 3 disebutkan bahwa sistem budidaya tanaman bertujuan: a). meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor; b). meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c). mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Hasil observasi lapangan dan studi literatur menunjukkan bahwa sumberdaya lokal potensial yang terdapat di lokasi penelitian yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pengembangan rawa lebak untuk kegiatan usahatani berkelanjutan yang dipilah menjadi empat kelompok yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya teknologi dan sumberdaya kelembagaan dan institusi pendukung. Tabel 63 menyajikan potensi sumberdaya lokal di kawasan rawa lebak baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang. Tabel 63 Potensi sumberdaya lokal di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No 1.
Jenis dan Potensi Sumberdaya Sumberdaya Manusia Jumlah penduduk (jiwa) Penduduk berdasarkan jenis kelamin (jiwa) Laki-laki Perempuan
Lokasi / Desa Sui Ambangah
Pasak Piang
5 002
3 001
2 554 2 448
1 537 1 464
Keterangan
Lanjutan No
2.
Jenis dan Potensi Sumberdaya Penduduk berdasarkan usia produktif (jiwa) - 21 – 30 tahun - 31 – 40 tahun - 41 – 50 tahun - 51 – 58 tahun - > 59 tahun Penduduk berdasarkan pendidikan (jiwa) - Tdk sekolah/putus sklh - Tamat SD - Tamat SLTP - Tamat SLTA - PT / Akademi Sumberdaya Alam a. Luas Wilayah (ha) b. Tanah dan Iklim - Terletak dibawah garis katulistiwa - Altitude (m dpl) - Kemiringan wilayah (%) - Lapisan Top Soil (cm) - pH tanah - Tingkat kesuburan tanah o - Suhu ( C) - Curah hujan (mm/th) - Kelembaban (%) c.Tanaman/Vegetasi - Tanaman Budidaya 1. Semusim
Lokasi / Desa Sui Ambangah
Keterangan
Pasak Piang
605 880 781 421 181
426 553 458 134 103
340 989 1 986 1 665 23
2 366 346 184 96 9
15 650
16 539
109 – 22,31 BT dan 0,21 LS 0 -8 0 – 10
0 – 1.5 0 – 10
<12 3–5 sedang
<15 3 -5 Sedang
20 - 34 3 142,3 81 - 95
20 - 34 3 142,3 81 - 95
Padi, jagung, ubi kayu, ketelah rambat, kacang tanah, talas/keladi
Padi, jagung, ubi kayu, talas/keladi, ketela rambat.
2. Tahunan
Karet, kelapa sawit, kakao, kopi, kelapa, sagu
Karet, kelapa sawit, kopi, lada, kelapa
3. Hortikultura
Durian, rambutan, jeruk, langsat, pisang, manggis, pepaya, nenas, lidah buaya, cabe rawit, bawang daun, kacang panjang, timun, terong, tomat, jahe, serai, anggrek.
Pisang, rambutan, jengkol, langsat, nanas, kacang panjang, bawang daun, tomat, terong, cabe rawit, serai, timun.
Tidak ada data
12 481
Sapi, kambing, ayam, itik, angsa dan babi
Sapi, ayam, kambing, itik, babi.
Lele, nila dan mas
Lele, nila, mas, bawal
4. Non Budidaya/hutan (ha) d. Peternakan
e. Perikanan air tawar
Lanjutan No
Jenis dan Potensi Sumberdaya f. Jenis padi lokal
3.
Sui Ambangah
Pasak Piang
palawang, sampit, pantat ulat, angkung, siam, langsat, katumbar, purun, padi putih, talang dan pulut
palawang, sampit, pantat ulat, angkung, siam, langsat, katumbar, purun, padi putih, talang dan pulut
1
1
Dilaksanakan pada bulan April 2009
1
1
c. Teknologi pembuatan kompos (jml)
-
-
d. Teknis budidaya tanaman campuran/sela diantara tanaman perkebunan (jml) e. Penyuluhan teknis peningkatan Indeks Pertanaman (IP) (jml) f. Pelatihan teknik okulasi (jml)
-
1
1
1
1
1
1
1
-
1
1
1
Dilaksanakan sekolah lapang pengedalian hama terpadu (SLPHT) bulan Mei – Agtus 2009 Dilaksanakan percontohan/dem plot pada bulan April 2009 Dilaksanakan pelatihan/demplot pada bulan Juni – Agustus 2009 Dilaksanakan pada bulan Mei 2009 Dilaksanakan pada bulan Sepetember 2009 Dilaksanakan pada bulan Juli 2009 Dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 Dilaksanakan pada bulan April 2009
Sumberdaya Teknologi a. Penyuluhan penggunaan benih bermutu dan pemupukan berimbang (jml) b. Teknologi Pengendalian Organisme Pengganggu (OPT) melalui Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (jml)
g. Penyuluhan teknis pemeliharaan ternak (sapi dan ayam) (jml) h. Penyuluhan teknis pengendalian penyakit ternak (jml) i. Pelatihan manajemen kelompok (jml) 4.
Keterangan
Lokasi / Desa
Sumberdaya Kelembagaan/Istitusi Pendukung a. Universitas dan BPTP (jml) - PT/Akademi Pertanian - BPTP - BPP b. Kelembagaan kelompok tani (klp) - Kelompok tani - Anggota kelompok - Gapoktan
6
Terletak di Ibukota Provinsi Terletak di Ibukota Kec.
1 1
16 556 1
8 458 1
Lanjutan No
Jenis dan Potensi Sumberdaya
Keterangan
Lokasi / Desa Sui Ambangah
c. Kelas Kelompok Tani (klp) - Pemula - Lanjut - Madya - Utama d. Kelembagaan pemerintahan desa (jml) - LPMD - BPD - PKK - KUD - Posyandu e. Kelompok informal - Kelompok arisan ibu - Kelompok yasinan f. Kelompok informal - Tuha tahun g. Bank/lembaga keuangan mikro h. Pasar/kios saprotan - Pasar - Kios saprotan i. Alsintan (jml) - Hand tracktor - Mids blower - Punsa - Hand sprayer - Power threser - Muler gabah
Pasak Piang
12 2 2 -
8 -
1 1 1 1
1 1 1 3
1 1
-
-
1 -
1 1
1
1 2 24 2 -
1 3 29 1 7
Bp. Julim Ita
Sumber: Hasil observasi dan wawancara; BPP Sungai Raya (2010) dan Sungai Ambawang (2010); Kec. Sungai Raya Dalam Angka (2009) dan Kecamatan Sungai Ambawang Dalam Angka (2009)
Pada Tabel 63, menunjukkan bahwa terdapat lima potensi sumberdaya yang ada, yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya teknologi dan sumberdaya pendukung lain. Potensi sumberdaya manusia, di Desa Sungai Ambangah dengan jumlah penduduk mencapai 5 002 jiwa apabila dihubungkan dengan luas wilayah di desa tersebut mencapai 15 650 ha, maka rasio jumlah penduduk dengan luas wilayah mencapai 32 jiwa per km2, sedangkan di Desa Pasak Piang dengan jumlah penduduk 3 001 jiwa dengan luas wilayah yang tersedia mencapai 16 539 hektar, maka rasio jumlah penduduk dengan luas wilayah mencapai 18 jiwa per km2. Berdasarkan mata pencaharian penduduk di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masing-masing mencapai sebanyak 72% dan 67% mengandalkan sumber penghasilan mereka dari kegiatan pertanian, sedangkan sebanyak 28% dan 33% dari kegiatan non pertanian.
Berdasarkan umur penduduk di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masing-masing sebanyak 41,62% dan 38,15% berusia antara 31 – 58 tahun atau yang berusia produktif untuk bekerja disektor pertanian, sedangkan penduduk
berdasarkan
tingkat
pendidikan
didominasi
mereka
yang
berpendidikan setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), dan sekolah dasar (SD) untuk Desa Sungai Ambangah berturut-turut dari yang tertinggi mencapai 39,70%, jiwa 32,29% dan 19,77%. Sedangkan di Pasak Piang berturut-turut mencapai 77,84% tidak sekolah atau putus sekolah, sebanyak 11,53% tamat SD, dan sebanyak 6,13% tamat SLTP. Berdasarkan keadaan sumberdaya iklim dan tanah, secara umum menunjukkan bahwa kedua desa masih sesuai untuk pengembangan kegiatan pertanian baik pertanian tanaman semusim, pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, dan perikanan air tawar. Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pertanian tersebut, sudah dilakukan oleh masyarakat tani dikedua desa, secara turun-temurun dari orang tua mereka. Di Desa Sungai Ambangah sudah dilakukan sejak tahun 1956, sedangkan untuk Desa Pasak Piang sudah dilakukan sejak tahun 1965. Secara umum petani di kedua desa penelitian telah memperoleh informasi tentang teknologi sistem usahatani. Informasi tersebut, berupa punyuluhan penggunaan benih bermutu dan pemupukan berimbang, teknologi pengendalian organisme pengganggu (OPT) dan pengendalian hama terpadu (PHT), teknologi pembuatan kompos, teknis budidaya tanaman campuran/sela diantara tanaman perkebunan, pelatihan teknis peningkatan indeks pertanaman (IP), teknik okulasi, pemeliharaan dan pengendalian penyakit ternak serta pelatihan menejemen kelompok Tabel 63. Disiminasi informasi teknologi ini diberikan dalam bentuk pelatihan dan demplot percontohan (Balai Penyuluhan Pertanian Sungai Ambawang, 2010 dan Balai Penyuluh Pertanian Sungai Raya, 2010). Untuk Desa Pasak Piang, informasi teknologi tersebut telah disampaikan pada tahun 2009. Sedangkan untuk Desa Sungai Ambangah beberapa dari informasi teknologi tersebut belum diberikan, diantaranya adalah teknis pengendalian OPT dan PHT, teknis peningkatan IP, teknis pemeliharaan ternak dan pengendalian penyakit ternak serta pelatihan manajemen kelompok. Sumberdaya kelembagaan dan institusi pendukung lainnya yang tersedia sangat berperan dalam menunjang kegiatan pertanian dikedua desa tersebut,
meliputi institusi pendidikan pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), kelembagaan kelompok tani dan kelas kelompok tani, kelembagaan pemerintahan desa, lembaga keuangan mikro, pasar dan kios sarana produksi pertanian (saprotan) Tabel 63. Institusi informal seperti kelompok arisan ibu-ibu dan kelompok yasinan ibu-ibu dan bapak-bapak. Kelompok ini setiap bulan mengadakan pertemuan. Untuk kegiatan arisan dilakukan bergilir disetiap rumah para peserta arisan. Setelah kegiatan arisan, biasanya mereka para ibu-ibu melakukan pengajian bersama yang dipimpin oleh seorang pandai mengaji atau ustad. Untuk kelompok yasinan bapak-bapak dilakukan sebulan sekali yaitu malam jumat dan diikuti dengan pembelajaran mengenai tata cara memandikan mayat dan kadang-kadang diisi dengan ceramah agama dalam rangka untuk meningkatkan keimanan mereka, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Sapingi salah satu pengurus masjid di Desa Sungai Ambangah. Untuk Desa Pasak Piang kelompok informal ini tidak ada. Hal itu dikarenakan masyarakat tani di desa Pasak Piang didominasi oleh Suku Dayak yang beragama non muslim. Beberapa responden petani muslim yang ditemui mengungkapkan bahwa kelompok yasinan pernah dibentuk dan pernah melakukan kegiatan pengajian, dan ceramah agama, tetapi kegiatan itu berlangsung tidak terlalu lama dan kemudian berhenti atau dengan kata lain kurang aktif. Hal lain yang menarik diperhatikan pada saat dilakukan wawancara terhadap kepala desa (Bapak Markus) dan bapak tetua adat, bahwa kelompok informal yang dinamakan Tuha Tahun (terdiri atas tiga orang) atau tetua adat yang dipimpin oleh Bapak Julim Ita khusus di Desa Pasak Piang. Tuha Tahun ini mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap sistem budidaya khususnya padi. Peran dari Tuha Tahun, mulai dari rencana tanam sampai waktu akan dilakukan pemanenan semuanya atas arahan dan petunjuk dari Tuha Tahun. Hal itu menurut petani disana, agar supaya apa yang mereka lakukan dalam budidaya padi tersebut dapat memberikan berkah dan diperoleh hasil panen yang baik. 7.2 Potensi Turunan Sumberdaya Lokal Rawa Lebak Berdasarkan hasil investigasi di lapangan diperoleh data bahwa panen padi pada tahun 2009 mencapai luas 574 hektar. Dari luas panen ini dapat diperkirakan jumlah jerami yang dihasilkan yaitu mencapai 4 592 – 6 888 ton
berat segar panen. Jerami padi yang dihasilkan ini dapat digunakan sebagai pakan sapi dewasa berkisar 500 – 650 ekor sepanjang tahun. Dan apabila panen padi dapat dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun artinya jumlah ternak sapi yang dapat mengkonsumsi pakan jerami tersebut menjadi 1 000 – 1 300 ekor per tahun. Potensi jerami kurang lebih adalah 1,4 kali dari hasil panen gabah kering giling (GKG). Jadi kalau hasil panen padi dalam bentuk GKG sekitar 6 kuintal, maka jerami kering yang akan diperoleh tinggal dikali dengan 1,4. Dari dasar perhitungan ini, dengan menggunakan data dari Deptan, dimana produktivitas padi secara nasional adalah 48,95 ku/ha dengan produksi padi sebesar 57,157 juta ton, maka dapat diperkirakan jumlah jerami yang dihasilkan secara yaitu mencapai 80,02 juta ton. Sebagai perbandingan, berikut ini disajikan hasil penelitian Karyaningsih et al. (2008), dari luasan sawah yang diusahakan tanaman padi 6 141 ha dengan produksi gabah kering panen (GKP) 40 651 ton. Hasil samping panen padi berupa limbah jerami padi yang konversinya per hektar mencapai 5 ton. Penyusutan jerami segar menjadi kompos mencapai 50% (Balittanah, 2008). Dengan berpatokan pada angka tersebut maka wilayah Kecamatan Polokarto menghasilkan limbah jerami padi sebanyak 31 560 ton dan hanya 65% yang dijadikan pupuk kompos sehingga diperoleh sumber pupuk sebanyak 20 514 ton. Potensi jerami setiap desa di Kecamatan Polokarto disajikan pada Tabel 64. Tabel 64 Luas panen padi. potensi limbah jerami dan produksi pupuk kompos di wilayah Kecamatan Polokarta tahun 2007 Desa Bakalan Mranggem Kemasan Kenokorejo Godog Jumlah
Luas panen (ha) 641 510 633 526 632 6 312
Produksi gabah (GPP) ton 4 540 3 611 4 481 3 722 4 475 44 734
Produksi jerami (ton) 3 205 2 550 3 165 2 630 3 160 31 560
Jerami yang Produksi dikomposkan kompos (ton) (ton) 2 083,25 1 041,63 1 657,50 828,75 2 057,25 1 028,63 1 709,50 854,75 2 054,00 2 057,25 20 514,00 11 287,26
Sumber: Karyaningsih et al. (2008)
Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8–10 kg setiap hari. Dan bentuk kotoran cair (urine) mencapai 8–10 liter per hari. Apabila kotoran sapi ini diproses menjadi pupuk organik diharapkan akan menghasilkan 4–5 kg per hari. Dengan demikian, pada luasan sawah satu hektar akan menghasilkan sekitar 7,3–11,0 ton pupuk organik. Dipihak lain, penggunaan pupuk organik
pada lahan persawahan adalah 2 ton per hektar, sehingga potensi pupuk organik yang ada dapat menunjang kebutuhan pupuk organik untuk 1,8–2,7 hektar dengan dua kali tanam. Jerami yang dihasilkan dari sisa-sisa panen, dapat pula diolah terlebih dahulu menjadi kompos dan selanjutnya dapat dikembalikan lagi ke tanah. Kompos jerami ini secara bertahap dapat menambah kandungan bahan organik tanah, dan berperan dalam mengembalikan kesuburan tanah. Kompos selain dibuat dari jerami dapat juga dibuat dari seresah atau sisa-sisa tanaman lain. Rumput-rumputan, sisa-sisa daun dan batang, atau daun-daun tanaman lain. Pada prinsipnya semua limbah organik dapat dijadikan kompos. Jika jerami dibuat kompos, maka rendemen kompos yang dihasilkan mencapai 60%, dengan demikian dalam satu hektar sawah dapat dihasilkan 4,11 ton kompos. Kompos jerami memiliki potensi hara yang sangat tinggi. Berikut ini hasil analisis kompos jerami yang dibuat dengan waktu pengomposan 3 minggu yaitu Rasio C/N 18,88, C 35,11%, N 1,86%, P2O5 0,21%, K2O 5,35%, dan air 55%. Dari data tersebut, kompos jerami memiliki kandungan hara setara dengan 41,3kg urea, 5,8 kg SP36, dan 89,17kg KCl per ton kompos atau total 136,27 kg NPK per ton kompos kering. Apabila dikonversi secara nasional, kompos jerami setara dengan 1,09 juta ton urea, 0,15 juta ton SP36, dan 2,35 juta ton KCl atau 3,6 juta ton NPK. Jumlah ini kurang lebih 45% dari komsumsi pupuk nasional di tahun 2007 untuk pertanian atau setara dengan Rp5,42 trilyun. Di lain pihak, penggunaan pupuk anorganik di perkebunan rakyat saat ini diyakini belum optimal, karena harga yang relatif tidak terjangkau dan ketersediaannya sering terhambat. Mencermati kondisi ini, sehingga arah kebijakan penggunaan pupuk ke depan lebih mengutamakan penggunaan pupuk organik. Optimalisasi penggunaan pupuk organik melalui pemanfaatan bahan baku yang dapat diperoleh secara in situ di kebun yang dapat berupa limbah jarami padi, jagung, janjang kosong tandan segar/limbah cair kelapa sawit, kulit kakao, kulit kopi, jambu mete, serta blotong tebu, dan sebagainya. Dapat pula dilakukan dengan cara limbah organik dari kebun (pangkasan tanaman utama atau naungan, gulma, pelepah dan janjang kelapa sawit, kulit kopi, kakao, sisa tanaman atau hijauan tanaman lainnya), terlebih dahulu dibuat kompos. Selain produk bahan sampingan di atas, dari kegiatan penanaman dan pengolahan gabah padi menjadi beras dapat pula diperoleh beberapa produk turunan lainnya seperti sekam dan dedak.
7.2 1 Pengolahan padi Pengolahan padi menjadi beras, secara prinsip, melibatkan beberapa tahapan yakni (a) pemisahan kotoran, (b) pengeringan dan penyimpanan padi, (c) pengupasan kulit (husking), (d) penggilingan (milling), dan (e) pengemasan dan distribusi. Pemisahan kotoran dari padi hasil panen di sawah dilakukan karena masih banyak terbawa kotoran lain seperti jerami, daun, batang bahkan benda lain yang tidak diinginkan seperti batu dan pasir. Kotoran ini akan mengganggu
proses
pengeringan
terutama
penyerapan
kalori
dan
penghambatan proses pengolahan pada tahapan berikutnya. Kadar air padi hasil panen sangat bervariasi antara 18–25%, bahkan dalam beberapa kasus dapat lebih besar. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air sampai sekitar 14% sehingga memudahkan dan mengurangi kerusakan dalam penyosohan dan proses selanjutnya. Kadar air yang terlalu tinggi menyulitkan pengupasan kulit dan menyebabkan kerusakan (pecah atau hancur) karena tekstur yang lunak. Penyosohan adalah pengupasan kulit padi yang merupakan tahapan paling penting dari keseluruhan proses. Pengupasan kulit adalah proses menghilangkan gabah padi menjadi beras yang secara prinsip sudah dapat dimasak untuk dimakan. Proses selanjutnya hanyalah penyempurnaan dari penyosohan dan untuk meningkatkan kebersihan. Gabungan dari sosoh serta kebersihan dan keutuhan biji adalah ukuran mutu beras putih. Tahapan penggilingan adalah proses penyempurnaan penyosohan dan pelepasan lapisan penutup butir beras. Teknologi penggilingan sudah sangat berkembang untuk menghasilkan beras putih yang baik. Proses ini dibagi lagi menjadi
penyosohan,
pemutihan
(whitening)
dan
pengkilapan
(shining).
Walaupun demikian, inti proses ini adalah untuk memisahkan lapisan penutup semaksimal mungkin. Selain proses utama tersebut ada beberapa tambahan yakni proses pemisahan yang dimaksudkan untuk mendapatkan beras putih utuh dan murni. Oleh karena itu, proses pemisahan terdiri dari pemisahan kotoran dari benda atau bahan lain (seperti batu, daun dan benda atau bahan lainnya) dan pemisahan beras yang kurang baik (muda, busuk, berjamur, berwarna dan rusak/pecah). Perkembangan teknologi dalam rangka untuk menghasilkan kualitas beras yang baik telah berkembang cukup pesat, diantaranya teknologi
pemisah batu, pemisah beras berdasarkan warna (color sorter), pemisah biji pecah (rotary shifter) dan pemisah biji menurut panjang (lenght grader). Tahap akhir dari proses pengolahan adalah pengemasan yang ditujukkan untuk memudahkan dalam pengangkutan dan distribusi. Perkembangan terkini di bidang pengemasan menambah atribut produk yakni estetika, dayatarik, informasi produk dan perbaikan daya simpan. Dewasa ini, teknologi pengemasan beras sudah sangat canggih, teknologi tersebut, meliputi keragaman bentuk, rupa, ukuran dan cara atau metoda. 7.2.2 Sekam Dalam proses pengolahan gabah padi menjadi beras, juga dihasilkan produk sampingan berupa sekam. Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20% dari bobot padi adalah sekam padi (Kartika, 2009). Volume sekam yang dihasilkan dari proses penggilingan tersebut mencapai 17% dari Gabah kering giling (GKG). Untuk penggilingan padi yang berkapasitas 5 ton/jam beras putih atau sekitar 7 ton GKG/jam akan dihasilkan sekam sekitar 0,85 ton/jam atau sekitar 8,5 ton/hari. Berat ini setara dengan 25 m3/hari atau 7 500 m3/tahun. Volume yang besar ini akan menjadi masalah serius dalam jangka panjang apabila tidak ditangani dengan baik. Sekam tersusun dari palea dan lemma (bagian yang lebih lebar) yang terikat dengan struktur pengikat yang menyerupai kait. Sel-sel sekam yang telah masak mengandung lignin dan silica dalam konsentrasi tinggi. Kandungan silica diperkirakan
berada
dalam
lapisan
luar
(De
Datta,
1981)
sehingga
permukaannya menjadi keras dan sulit menyerap air, dan berfungsi dalam mempertahankan kelembaban, serta memerlukan waktu yang lama untuk mendekomposisinya (Houston, 1972). Silica sekam dalam bentuk tridymite dan crytabolalite mempunyai potensi juga sebagai bahan pemucat minyak nabati (Proctor dan Palaniappan, 1989). Komposisi sekam dapat dilihat pada Tabel 65.
Tabel 65 Komposisi sekam Kandungan Persentase C-organik 45,06 N-total 0,31 P-total 0,07 K-total 0,28 Mg-total 0,16 SiO3 33,01 Sumber: Hidayati (1993) Dari komposisi kimia sekam Tabel 65, dapat diketahui potensi penggunaannya terbatas sebagai sumber C-organik tanah dan media tumbuh (dari kandungan karbon organik yang tinggi) serta bahan pemurnian dan bahan bangunan (dari kandungan silica yang tinggi). Karbon yang tinggi juga mengindikasikan banyaknya kandungan kalori sekam. Proses yang diperlukan untuk pemanfaatan tersebut terdiri atas: 1.
Pelunakan tekstur dan pengembangan permukaan Pelunakan
ditujukan
untuk
memperbaiki
dayaserap
(absorption),
pengurangan volume, dan lebih apseptis karena diperoses dengan panas dan tekanan tinggi. Sekam yang telah lunak dan mengembang dapat digunakan untuk media gundukan tanaman padi, palawija, dan persemaian (padi, cabai), bedengan tomat, bahan kompos, dan lapisan alas tidur ternak. Alat untuk pelunakkan sekam saat ini, sudah dipasarkan secara komersial. 2.
Pengarangan (carbonizing) Pengarangan adalah proses pembakaran dengan oksigen terbatas. Arang
padi mempunyai beberapa kegunaan (Bantacut, 2006), antara lain: a. mempertahankan kelembaban: apabila arang ditambahkan ke dalam tanah akan dapat mengikat air dan melepaskannya jika tanah menjadi kering, b. mendorong pertumbuhan (proliferation) mikroorganisme yang berguna bagi tanah dan tanaman, c. penggembur tanah: menghindari pengerasan tanah karena sifatnya yang ringan, d. pengatur pH: arang dapat mengatur pH dalam situasi tertentu, e. menyuburkan tanah: kandungan mineral arang adalah hara tanaman, f.
membantu melelehkan salju karena arang yang disebarkan di atas salju akan menyerap panas yang dapat mencairkan salju, dan
g. menyerap kotoran sebagai bahan pemurnian dalam pengolahan air, minyak, sirup dan sari buah.
Dalam proses pengarangan juga dihasilkan cairan hasil kondensasi asap yang disebut wood vinegar yang mengandung konsentrasi formaldehid tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pengawet pangan lainnya seperti ikan, tahu, dan bakso. 3.
Pembakaran Kandungan karbon yang tinggi juga mengindikasikan bahwa sekam
mempunyai kalori yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi panas. Banyak penggilingan padi menengah dan besar menggunakannya sebagai bahan bakar pengering padi. Penggunaan yang sama juga dapat dijumpai pada pembakaran batu bata. Abu sisa pembakaran mengandung SiO2 sekitar 85% sehingga baik digunakan untuk pembuatan bahan bangunan (seperti papan semen) dan bahan pemurnian minyak (kelapa). Abu sekam memperbaiki daya serap air, kerapatan, perubahan panjang dan konduktifitas panas papan semen pulp. Penggunaan abu dalam pemucatan minyak kelapa dapat memperbaiki kejernihan. 7.2.3 Dedak Persentase dedak mencapai 10% dari GKG. Penggilingan dengan kapasitas beras putih sebesar 5 ton/jam akan menghasilkan dedak sebanyak 0.7 ton/jam atau sekitar 7 ton/hari. Jumlah ini cukup potensial untuk dikelola. Volume dedak sekitar 600 liter/ton, maka akan dihasilkan sekitar 12 m3 dedak setiap harinya. Dedak adalah bagian padi yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi seperti minyak, vitamin, protein dan mineral. Pada kadar air 14%, dedak mengandung pati sebesar 13,8%, serat 23,7-28,6%, pentosan 7,0-8,3%, hemiselulosa 9,5-16,9%, selulosa 5,9-9,0%, asam poliuronat 1,2%, gula bebas 5,5-6,9% dan lignin 2,8-3,0% (Juliano dan Bechtel, 1985). Dari kandungan ini maka dedak telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti sumber minyak, pakan ternak dan bahan makanan. Berbasis pada kandungan bahannya, maka dedak dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Minyaknya dapat diambil melalui ekstraksi menggunakan pelarut, protein dan vitaminnya berguna sebagai nutrisi makanan. Namun demikian, upaya pemanfaatan tersebut secara ekonomi belum menguntungkan. Ekstraksi minyak melibatkan investasi yang besar dan hanya layak pada skala yang besar pula. Ini berarti pengolahan terintegrasi pada penggilingan tidak dapat dilakukan.
Sejauh ini, dedak bukan lagi sebagai limbah tetapi telah menjadi hasil samping yang mempunyai pasar tersendiri. Pengguna utama dedak adalah industri pakan ternak. Pemanfaatan lain yang telah berkembang
dan
peralatannya sudah dijual secara komersial adalah mengolahnya menjadi pellet. Kandungan hara yang tinggi menjadikan pellet dedak dapat digunakan untuk pakan ternak terutama unggas dan pupuk organik. Bahkan dalam kondisi aplikasi awal, pellet dedak dapat menghambat pertumbuhan gulma apabila disebarkan pada permukaan tanah. Dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya, maka ke depan sistem pengolahan padi perlu dikembangkan menuju ke sistem pengolahan yang terintegrasi, mengingat peran dan fungsi dari industri dan hasil sampingan atau turunan dari pengolahan padi tersebut. Pola berpikir seperti ini dapat menyebabkan industri penggilingan padi, dapat memberikan nilai tambah dan tidak seperti yang banyak terjadi saat ini, karena dihadapkan dengan berbagai persoalan lingkungan. Dalam sistem pengolahan yang terintegrasi, memandang semua bagian bahan baku adalah bahan yang harus dimafaatkan untuk menghasilkan produk yang
bernilai
(ekonomi
dan
lingkungan).
Secara
keseluruhan, model terpadu mempunyai beberapa keuntungan antara lain tidak mencemari
lingkungan,
mengoptimalkan
pemanfaatan
bahan
baku
dan
memperoleh manfaat ekonomi total (baik langsung maupun tidak). 7.3
Konsep Pengembangan Usahatani di Rawa Lebak Berdasarkan Sumberdaya Lokal Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengelolaan rawa
lebak yang selama ini dilakukan dengan cara semi intensif, yaitu penanaman sekali dalam setahun untuk tanaman padi yaitu dilakukan penanaman pada bulan Agustus hingga September dengan waktu panen dilakukan pada bulan Februari atau selama tujuh bulan. Jenis padi yang digunakan umumnya adalah jenis lokal diantaranya palawang, pantat ulat dan pulut lihat Tabel 63. Kalaupun jenis unggul seperti ciherang yang digunakan oleh petani disana, akan diusahakan oleh mereka apabila benih tersebut berasal dari bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi sekitar 60 persen dari responden tidak menyukai dalam hal penggunaan jenis unggul yang diberikan oleh pemerintah, dengan alasan bahwa bantuan yang diberikan umumnya tidak bersamaan dengan waktu tanam yang berlaku disana. Biasanya terlambat dari waktu tanam. Selain itu, pengusahaan padi unggul bantuan pemerintah harus dipupuk dalam
hal ini pupuk organik, karena kalau tidak dilakukan pemupukan biasanya padi tersebut tidak berisi atau hampa. Dipihak lain pupuk menurut mereka tidak tersedia. Untuk padi jenis lokal, tanpa dilakukan pemupukan tetap memberikan hasil. Untuk tanaman karet saat penelitian ini dilaksanakan telah berumur kurang lebih 30 tahun. Dan jenis karet yang diusahakan adalah karet jenis lokal. Hasil observasi di lapangan, kondisi kebun tidak terawat, banyak terserang penyakit seperti Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus), busuk bidang sadap (Phytophthora palmivora dan Ceratocystis fimbriata), mati pucuk (Colletotrichum gloeosporoides), gulma tumbuh sangat banyak, jarak tanaman yang tidak teratur. Sedangkan keadaan kebun kelapa sawit, pada saat penelitian baru berumur sekitar 2,5 tahun. Penanaman dengan jarak tanam yang teratur yaitu 9x9x9m yang juga ditumbuhi oleh gulma, akan tetapi gulma yang ada tidak separah di kebun karet. Berkenaan dengan pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk mengembangkan usahatani berkelanjutan di lokasi penelitian, sesuai hasil analisis sebelumnya dan dihubungkan dengan daya dukung dan ketersediaan sumberdaya lokal serta sasaran yang diinginkan, maka penerapan sistem pertanian terpadu adalah alternatif sistem pertanian yang perlu dilakukan. Model pengelolaan Usahatani Lahan Rawa Lebak (UTLRL) dari hasil penelitian ini merupakan suatu bentuk rekomendasi kebijakan. Dari tiga skenario yang disusun sebagai alternatif pilihan dalam penerapan pengelolaan lahan rawa lebak berkelanjutan, dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya lokal di lokasi penelitian, maka skenario yang direkomendasikan dari penelitian ini adalah skenario III baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang. Berdasarkan hasil kajian dan sasaran yang diinginkan, maka model yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam rangka pengelolaan lahan rawa lebak adalah sistem pertanian terpadu. Sebelum dijelaskan lebih lanjut, terlebih dahulu akan diuraikan tentang sistem pertanian terpadu. Sistem pertanian terpadu artinya pertanian yang mengintegrasikan antara tanaman dan ternak di dalam suatu lahan usahatani. Sebaliknya sistem pertanian campuran adalah pertanian yang mengusahakan beberapa jenis tanaman pada suatu hamparan lahan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek sistem pertanian ini dapat menekan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan (Suryana et al. 1995), sekaligus dapat meningkatkan pendapatan petani. Tambahan pendapatan
petani, berasal dari peningkatan berat badan sapi, nilai pupuk organik dan peningkatan produksi gabah kering giling. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Dwiyanto dan Haryanto (2001) dalam Soekardono (2009) menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan petani tersebut hingga 100% apabila dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa ternak. Dimana sekitar 40% dari pendapatan tersebut berasal dari pupuk organik yang dihasilkan oleh ternak. Menurut Sulaimen (2009) pertanian terpadu atau integrated farming adalah usaha pertanian dengan kelola berkesinambungan, sehingga tidak dikenal limbah sebagai produk sampingan, semua bagian hasil pertanian diasumsikan sebagai produk ekonomis dan semua kegiatan adalah profit center, hasil samping dari salah satu sub bidang usaha menjadi bahan baku atau bahan pembantu sub bidang lainnya yang masih terkait. Ilustrasi yang sederhana adalah pada usaha budidaya jagung, produk
bukan hanya jagung pipilan kering sedangkan biaya pembuangan
batangnya di lahan dan dibakar menjadi beban/cost, tetapi dalam pertanian terpadu meskipun ada biaya pengumpulan batang jagung dari lahan tetapi dapat diproses menjadi silage (pakan ternak ruminansia)
atau disimpan
sebagai pakan kering, sehingga untuk jumlah yang memenuhi kriteria ekonomis justru akan membuka cluster ekonomi baru. Konsep pertanian terpadu diutamakan pada pendayagunaan sumberdaya yang tersedia ditingkat petani dengan prinsip yang menserasikan tiga faktor penting manusia, lahan dan ternak yang berinteraksi secara sembiosa mutualistis guna membuat sistem usahatani menjadi lebih produktif (Tim P3PK-UGM, 1988) antara Lahan, tanaman dan ternak. Ternak dapat diberi makanan tidak hanya rumput, melainkan juga dari limbah pertanian. Selain itu agar output yang dihasilkan tidak hanya berupa ternak, maka perlu dilakukan upaya pemanfaatan limbah ternak berupa kotoran ternak. Kotoran ternak atau biasa disebut pupuk kandang dapat langsung dimanfaatkan sebagai pupuk atau dijadikan kompos. Selanjutnya kompos ini dapat dijadikan sebagai pupuk. Pupuk kandang dan kompos, selain dapat digunakan sendiri oleh petani, juga dapat dijual untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Menurut Devendra (1993) dalam Dwiyanto (2001), ada delapan keuntungan dari penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak (crop-livestock system),
yaitu
(1)
diversifikasi
penggunaan
sumberdaya
produksi,
(2)
mengurangi terjadinya risiko, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi
penggunaan komponen produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar, (6) sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup, (7) meningkatkan output, dan (8) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Rangnekar et al. (1995) menyatakan pertanian terpadu mempunyai peranan komplementer dan juga suplementer di dalam produksi pertanian. Ternak menjadi sarana penting untuk mengatasi risiko dan daur ulang biomasa. Ternak diketahui juga dapat berintegrasi secara baik dengan berbagai sistem tanaman. Devendra (1993) dalam Bruchem dan Zemmelink (1995) menyebutkan bahwa di dalam skala kecil usahatani terpadu, ternak ruminansia lebih berperan penting dari pada yang lain karena mampu memanfaatkan serat kasar dari residu tanaman.
Pakan ternak dari bahan ini, walaupun berkualitas rendah, sering
menjadi pakan utama terutama pada musim kering. Ternak ruminansia mempunyai kegunaan ganda.
Selain memproduksi daging dan susu, ternak
dapat menghasilkan kulit untuk pakaian dan input utama usahatani, seperti kotoran ternak. Ternak juga menjadi sumber uang tunai yang strategis dalam masa kritis setiap tahun. Ternak juga signifikan menyumbang pendapatan rumah tangga petani sehingga membantu mengatasi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam upaya pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal, pada kawasan persawahan dapat dikembangkan usaha pemeliharaan sapi. Hal ini berkaitan dengan adanya jerami padi yang berlimpah setiap kali musim panen. Untuk memanfatkan potensi pakan berserat tersebut, perlu dikembangkan rencana unit usaha yang meliputi unit proses peningkatan kualitas nutrisi jerami padi, unit pemanfaatan jerami padi yang telah diproses sebagai pakan sapi, unit pembuatan pupuk organik serta unit pemanfaatan pupuk organik untuk menjaga kelestraian kesuburan lahan persawahan. Dengan demikian pada satu kawasan persawahan dapat menghasilkan padi sebagai produk utama, daging sebagai hasil usaha peternakan. Penggunaan pupuk organik pada lahan persawahan memberikan peluang untuk menambah kandungan bahan organik tanah serta mikrobiologi tanah. Dengan penggunaan pupuk organik juga diharapkan akan mengurangi biaya pupuk anorganik. Dalam kaitannya dengan penyediaan pupuk organik tersebut, maka pemeliharaan sapi pada lahan persawahan dan kebun (karet, kelapa sawit)
dapat
memberikan
peluang
besar
untuk
mengoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya yang ada pada kawasan tersebut, misalnya jerami padi yang dapat digunakan sebagai pakan sapi yang pada gilirannya sapi akan menghasilkan kotoran yang dapat diproses menjadi pupuk organik. Dengan demikian pada lahan persawahan tersebut, selain menghasilkan pangan dalam bentuk beras juga akan mampu menghasilkan daging. Lahan pertanian memerlukan pupuk organik untuk mempertahankan kesehatan tanah serta kecukupan unsur hara tanaman. Integrasi sapi pada lahan persawahan ini pada prinsipnya untuk memanfatkan
potensi
sumberdaya
lokal
setempat
dalam
rangka
mempertahankan kesehatan lahan melalui siklus unsur hara secara sempurna dari sawah, jerami, sapi pupuk organik dan kembali ke sawah lagi (BPTP, 2003). Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian.
Pola ini sangat menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di
lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk pakan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman harus saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usahatani. Sistem pengolahan ternak sapi/kerbau dalam suatu kawasan pertanian hendaknya dapat disesuaikan dengan jenis tanaman pangan yang diusahakan. Ternak yang dipelihara dirancang, sehingga tidak menggangu tanaman yang diusahakan. Dalam hal ini tanaman pangan sebagai komponen utama dan ternak menjadi komponen kedua. Ternak diberikan makanan hasil limbah (jerami) dari sawah, atau ternak dapat digembalakan di pinggir atau pada lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan hasil, sehingga ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan, gulma, rumput, semak dan hijauan pakan yang tumbuh di sekitar lahan/tempat tersebut. Sistem ini, ternak dapat mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah melalui urine dan kotoran padatnya. Praktek pertanian terpadu pada dasarnya adalah suatu praktek pertanian yang telah populer dikalangan petani, bahkan telah banyak dilakukan. Dalam prakteknya petani dapat memanfaatkan limbah tanaman (misal jerami) sebagai
pakan ternak sehingga tidak perlu mencari pakan lagi, petani juga dapat menggunakan tenaga sapi/kerbau dalam pengolahan tanah, dan ternak sapi/kerbau dapat digunakan sebagai investasi (tabungan) yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan yang mendesak. Praktek pertanian terpadu merupakan praktek pertanian yang perlu digalakan, mengingat sistem ini di samping menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu meningkatkan usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang penting yang harus terus ditingkatkan, sehingga rencana kecukupan daging dalam negeri dan sekaligus dapat mengurangi bahkan terlepas dari ketergantungan impor daging dan ternak serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha peternakan. Oleh karena itu, upaya ini dapat digalakan pada tingkat petani baik dalam rangka penggemukan ataupun
dalam
perbanyakan
populasi,
serta
produksi
susu.
Dengan
meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian organik dapat terlaksana dengan baik, kesuburan tanah dapat terjaga, dan pertanian bisa berkelanjutan. Integrasi ternak dan tanaman, tidak hanya terbatas pada budidaya padi (pangan) atau hortikultura dengan sapi dan kerbau saja, namun dapat dikembangkan lebih luas melalui integrasi dalam sistem lahan kering dan perkebunan. Semuanya tergantung dari usaha pertanian yang dikembangkan setempat, sehingga limbah pertanian dapat bervariasi seperti misalnya limbah jerami padi di lahan sawah, limbah jerami jagung di lahan kering, dan limbah dari berbagai tanaman lainnya. Demikian juga dalam pemilihan jenis ternak, tidak hanya terbatas pada pengusahaan hewan besar seperti yang telah disebutkan di atas, namun juga dapat diintegrasikan antara ternak unggas (ayam, itik) atau ternak lain.
Kotoran ternak unggas cukup potensial dimanfaatkan sebagai
pupuk, karena kandungan hara dalam kotoran ayam relatif cukup tinggi yang dapat mencapai 2,6 % N, 3,1 % P dan 2,4 % K. Praktek ini juga telah banyak dilakukan di daerah perkebunan. Dengan praktek ini pemanfaatan lahan dapat dilakukan secara optimal. Di dalam implementasinya, tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan komponen kedua. Praktek ini dapat diperoleh keuntungan antara lain :(1) dari tanaman perkebunan dapat menjamin tersedianya tanaman peneduh bagi ternak, sehingga dapat
mengurangi stress karena cuaca yang kurang menguntungkan bagi ternak, (2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembalinya air seni dan kotoran
berupa padatan ke dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan
ternak, serta membatasi pertumbuhan gulma, (5) meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan (6) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya. Konsep dan pemikiran sistem integrasi ternak-tanaman dalam menunjang kebijakan pengembangan agribisnis peternakan menjadi sangat penting selain upaya
meningkatkan
produktivitas
pertanian
secara
terpadu.
Peranan
peternakan dalam ekosistem mempunyai posisi yang cukup penting dengan adanya keuntungan-keuntungan sampingan seperti produksi pupuk kandang yang mutlak dibutuhkan dalam melestarikan tanah sebagai basis ekologi, disamping menunjang sektor kehidupan sebagai produsen hewani dan tenaga kerja. Dengan demikian kesuburan tanah dapat ditingkatkan yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi usahatani per satuan luas tanah. Disisi lain, hasil sampingan dari tanaman yang diusahakan dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Interaksi ternak dengan tanah menurut Idham et al. (2005) mempunyai tiga aspek yaitu: 1) adaptasi ternak secara biologi, 2) kemampuan lahan menghasilkan hijauan pakan ternak dan 3) pola pemeliharaan dan daya tampung areal yang tersedia. Gambar 30 menunjukkan integrasi antara tanaman baik tanaman pangan dan tanaman perkebunan dengan ternak sapi, kambing, ayam dan itik. Dari tanaman pangan dan tanaman perkebunan dapat diperoleh hasil segar tanaman. Selain itu, juga diperoleh limbah yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak atau limbah tersebut diolah terlebih dahulu menjadi kompos. Ternak, selain dapat menghasilkan produk segar, juga menghasilkan limbah padat dan cair yang dapat digunakan dalam proses pembuatan kompos. Integrasi tanaman dan ternak ini pada akhirnya dapat memberikan pendapatan tambahan bagi petani (Rustam et al., 2009).
Gambar 30 Sistem usahatani terpadu di adopsi dari Rustam et al. (2009) Untuk mendapatkan gambaran tentang sejauh mana keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil usaha peternakan, maka berikut ini disajikan hasil analisis ekonomi usaha peternakan, khususnya ternak sapi, kambing, itik dan ayam. Perhitungan di bawah ini hanya difokuskan kepada pendapatan dari hasil penjualan daging dan telur, tanpa diikuti dengan perhitungan pendapatan dari limbah (urine dan feces) yang dihasilkan oleh masing-masing ternak tersebut. 1. Ternak Sapi Sapi merupakan salah satu jenis ternak yang sudah dikenal secara luas dikalangan masyarakat perdesaan, bahkan telah banyak diusahakan baik untuk skala peternakan rakyat maupun skala peternakan besar. Menurut Soehadji (1992), komposisi peternakan rakyat untuk masing-masing jenis ternak pengusahaan sapi potong dan sapi perah mencapai 99,6%, dan 91,1%. Namun, kontribusi usaha ternak sapi terhadap pendapatan usahatani keluarga relatif masih rendah.
Untuk itu, pengembangan usaha ternak sapi menjadi suatu
sistem agribisnis hendaknya lebih mengutamakan kesejahteraan dan tidak mematikan usaha peternakan rakyat. Melihat kondisi sosial ekonomi peternak yang ada di perdesaan dengan mata pencaharian utama sebagai petani, maka
pengembangan agribisnis peternakan rakyat tidak terlepas dari usahatani lainnya, sehingga peningkatan skala usaha ternak harus mengkombinasikan berbagai faktor produksi yang dimiliki agar hasil yang diperoleh lebih optimal (Noferdiman dan Novra, 2002). Hasil analisis Tim Peneliti P3R Unram (2004) menunjukkan bahwa pengembangan ternak sapi bali secara finansial layak untuk dikembangkan. Nilai B/C rasio untuk sistem pemeliharaan terkurung untuk penggemukan (feed lot) sebesar 1,12; sedangkan nilai B/C rasio untuk sistem penggembalaan bersama sebesar 1,19 dan mini ranc sebesar 1,10. Sebagai perbandingan, rata-rata penghasilan bersih yang diperoleh dari hasil penggemukan ternak sapi sebesar Rp300 000,- sampai Rp400 000,- per ekor per per bulan dengan rentang waktu 4 – 5 bulan untuk setiap kali periode pemeliharaan. Untuk saat ini harga sapi yang akan digemukkan berkisar antara Rp3,5 – 4 juta, kemudian setelah dipelihara 4 – 5 bulan dapat dijual dengan harga Rp5 – 5,5 juta. Sementara itu untuk pengembangan
sapi
bibit,
rata-rata
lama
waktu
pemeliharaan
sampai
menghasilkan bibit yang bisa dijual adalah 1 (satu) tahun dengan harga jual berkisar antara Rp1,6 – 2 juta. Jadi rata-rata penghasilan setiap bulannya berkisar antara Rp125 000,- sampai Rp170 000,-. Penghasilan sebesar ini diperoleh tanpa membeli pakan (zero cost), dimana pakan disediakan sendiri oleh peternak, baik untuk penggemukan maupun pembibitan. 2. Ternak Kambing Kambing merupakan salah satu komoditas ternak yang cukup potensial untuk dikembangkan. Ternak ini banyak dipelihara di perdesaan, karena telah dikenal kemampuannya beradaptasi pada lingkungan yang sederhana, miskin pakan, dan dapat lebih efesien dalam mengubah pakan berkualitas rendah menjadi air susu dan daging. Selain itu, pemeliharaannya relatif muda, kambing juga sebagai penghasil kompos dan merupakan tabungan keluarga sewaktuwaktu dapat dijual. Pemeliharaan ternak ini hanya memerlukan luasan lahan yang relatif sempit, mudah dipasarkan, biaya pemeliharaannya rendah, dapat memanfaatkan hasil sampingan pertanian, dan mempunyai adaptasi yang tinggi dengan risiko yang rendah (Knipscheer et al., 1983). Ternak kambing cukup banyak dipelihara petani di lokasi penelitian, disamping usahatani tanaman pangan, perkebunan dan perikanan. Potensi pengembangan usahatani tanaman – ternak di lokasi penelitian cukup besar mengingat produktivitas tanaman padi yang dihasilkan belum maksimal.
Hasil analisis usaha ternak kambing oleh Badan Pengkajian Pertanian Lampung (2009), menunjukkan bahwa dari 9 (sembilan) ekor yang terdiri atas 1 (satu) jantan dan 8 (delapan) ekor betina dapat diperoleh pendapatan sebesar Rp1 166 150 per tahun. Uraian selengkapnya disajikan pada Tabel 66. Tabel 66 Analisa usahatani ternak kambing (skala usaha 9 ekor) dengan pemberian Blok Suplemen Pakan (BSP) Perlakuan Uraian Kontrol + BSP Penerimaan (Rp/th) 8 019 750 9 274 500 Total biaya (Rp/th) 6 853 600 5 389 500 Pendapatan (Rp/th) 1 166 150 2 165 300 Ket : Skala usaha 9 ekor (1 pejantan + 8 induk) Pakan tradisional petani (hijauan/limbah pertanian) Sumber: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung (2009)
3. Ternak Itik Meskipun tidak sepopuler ternak ayam, itik mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penghasil telur dan daging. Jika dibandingkan dengan ternak unggas yang lain, ternak itik mempunyai kelebihan diantaranya adalah memiliki daya tahan terhadap penyakit. Oleh karena itu, usaha ternak itik memiliki risiko yang relatif lebih kecil, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan (Budiraharjo, 2006). Hasil sarasehan pengembangan peternakan itik di Jawa Tengah, ternak itik merupakan salah satu aset nasional dan sekaligus komoditas yang bisa diandalkan sebagai sumber gizi dan sumber pendapatan masyarakat. Menurut Suparwoko dan Waluyo (2009) ternak itik mempunyai potensi yang cukup potensial di lahan rawa lebak dengan menggunakan paket teknologi perlakukan pakan dan pemeliharaan secara semi intensif dan intensif. Hasil pengkajian yang dilakukan, angka kematian sangat rendah pada semi intensif dan tidak ada kematian pada pemeliharaan secara intensif.
Dan sistem
pemeliharaan secara semi intensif dapat meningkatkan produksi telur sebesar 40,36%. Hasil penelitian Anggraeni (2002) menunjukkan bahwa pendapatan usaha ternak itik dalam sebulan berdasarkan sistem pemeliharaan tradisional dapat mencapai Rp370 494,51,- per bulan dengan jumlah itik yang diusahakan sebanyak 50 ekor. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 67.
Tabel 67 Rata-rata pendapatan peternak itik sistem pemeliharaan tradisional (Rp/Bulan) Uraian
Sistem pemeliharaan tradisional 50 ekor 200 ekor >500 ekor Penerimaan 463 500 1 854 000 8 037 090 Total biaya 93 005,49 372 021,96 984 068 Pendapatan 370 494,51 1 481 978,04 7 053 022 Sumber: diolah dari Anggraeni (2002) 4. Ternak Ayam Ternak ayam, merupakan jenis unggas yang telah umum diusahakan oleh masyarakat perdesaan, khususnya ayam buras (lokal). Ayam buras merupakan singkatan dari Ayam Bukan Ras atau ayam kampung Suci (2009). Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak ayam buras dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga (cash income), sebagai tabungan dan membantu dalam penyediaan pangan bergizi hewani (Togatorop, 1994). Ayam buras juga diketahui mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai lingkungan, sehingga dapat ditemukan diseluruh pelosok Indonesia (Zubaedah, 1993). Namun demikian usaha ini, masih menemui berbagai kendala, seperti tingginya tingkat kematian. Hal ini lebih disebabkan oleh latar belakang teknis pemeliharaan oleh masyarakat, yang memperlakukan sebagai usaha sampingan, dengan tujuan untuk diambil daging dan telurnya sebagai penambah gizi keluarga serta dijual pada saat membutuhkan uang. Dengan kata lain, usaha ini hanya merupakan pelengkap, tanpa didorong oleh manfaat lain dari hasil ternak ayam tersebut. Oleh karena itu, cara pandang seperti ini perlu dirubah ke arah sistem beternak yang lebih baik atau berorientasi agribisnis. Peternak ayam buras, biasanya membiarkan ayam-ayam mereka berkeliaran (diumbar) di kebun atau di pekarangan dalam mencari makan, karena peternak jarang memberi pakan pada ayam-ayamnya. Mengingat keberadaan dan pemilikan ayam buras yang sudah umum dikalangan masyarakat di perdesaan, maka usaha untuk meningkatkan peranan ayam buras dalam upaya meningkatkan produktivitas serta pengembangan sistem produksi yang lebih baik.
Upaya ini dapat dimulai dengan jalan
melakukan penyeleksian terhadap bibit-bibit ayam. Selanjutnya diikuti dengan perbaikan sistem pemeliharaan. Perbaikan sistem pemeliharaan meliputi sistem perkandangan, perbaikan mutu pakan dan pemeliharaam kesehatan ternak. Selain faktor teknis, juga perlu adanya pembinaan motivasi ke arah usaha yang bernilai ekonomis untuk peningkatan pendapatan keluarga petani. Untuk
mencapai
keberhasilan
tersebut,
maka
perlu
dilakukan
suatu
program
penyuluhan dan pembinaan untuk meningkatkan pengetahuan petani dalam melakukan usahatani ayam buras yang lebih ekonomis. Hasil penelitian Suci (2009) menunjukkan bahwa pendapatan usaha ternak ayam dalam setahun berdasarkan sistem pemeliharaan umbaran atau tradisional dapat mencapai Rp1 494 900 per tahun dengan jumlah ayam buras yang diusahakan sebanyak 10 ekor. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 68. Tabel 68 Analisis ekonomi usaha ternak ayam (Rp/th) No I.
Uraian Investasi (Modal tetap) Kandang Induk Anak + pemanas Bibit ayam betina 9 ekor Bibit ayam jantan 1 ekor Jumlah II. Biaya Produksi 1 tahun a. Pakan Ayam dewasa Ayam muda 2-4 bulan Anak ayam 0 – 2 bulan b. Vaksin Induk + jantan Ayam muda Anak ayam c. Penyusutan kandang 20% Jumlah III. Pendapatan - Produksi telur ±35 butir/periode - Penjualan ayam 45 ekor x Rp 22000/ekor Jumlah Keuntungan dalam setahun (I – II – III)
Biaya (Rp) 150 000 150 000 100 000 270 000 35 000 705 000
912 500 567 000 972 000 4 000 19 800 43 000 80 000 2 498 300 583 200 3 510 000 4 093 200 1 494 900
Sumber: Suci (2009) Dari uraian-uraian di atas, selanjutnya dilakukan simulasi integrasi pola pertanian terpadu. Hal ini dimasudkan untuk memperoleh pola integrasi antara tanaman dan ternak yang dapat dilakukan di kedua lokasi penelitian. Pola integrasi ini dilakukan, dengan mempertimbangan ketersediaan dan kesesuaian lahan, karakteristik petani dan pengetahuan petani terhadap usaha ternak tersebut. Dan hal yang juga perlu mendapatkan perhatian dari hasil simulasi ini adalah seberapa besar kontribusi dari usaha tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani. Simulasi pola pertanian terpadu yang memungkinkan untuk diimplementasikan di kedua lokasi penelitian ini secara rinci disajikan pada Tabel Lampiran 19. Selanjutnya dari hasil simulasi pola integrasi Tabel Lampiran 19, dilakukan juga perhitungan besarnya kanaikan pendapatan yang diperoleh petani
dari masing-masing pola usahatani yang disusun. Hasil tersebut berupa asumsi penerimaan usahatani sebagaimana disajikan pada Tabel Lampiran 20. Estimasi pendapatan dari hasil simulasi model pertanian terpadu di Desa Sungai Ambangah Tabel Lampiran 20, menunjukkan bahwa untuk integrasi tanaman dengan ternak sapi bentuk p11 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertingi sebesar Rp24 468 000,- per tahun diikuti bentuk p19 (padi – padi, kelapa sawit), bentuk p15 (padi – ratun, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak kambing model p34 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp23 033 000,per tahun diikuti model p42 (padi – padi, karet, kelapa sawit), bentuk p38 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak itik bentuk p57 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp25 314 000,- per tahun diikuti model p65 (padi – padi, karet, kelapa sawit), bentuk p61 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak ayam model p80 (padi – ratun – padi) dan karet dan kelapa sawit diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp22 362 900,per tahun diikuti bentuk p88 (padi – padi, karet, kelapa sawit), bentuk p84 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Estimasi pendapatan dari hasil simulasi model pertanian terpadu di Desa Pasak Piang Tabel Lampiran 21, menunjukkan bahwa untuk integrasi dengan ternak sapi model p11 (padi – ratun – padi) dan karet dan kelapa sawit diperoleh pendapatan tertingi sebesar Rp29 862 350,- per tahun diikuti bentuk p19 (padi – padi, kelapa sawit), model p7 (padi – ratun, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak kambing bentuk p34 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp28 427 350,- per tahun diikuti bentuk p42 (padi – padi, karet, kelapa sawit), bentuk p38 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak itik bentuk p57 (padi – ratun – padi – karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp30 708 350,- per tahun diikuti bentuk p65 (padi – padi – karet, kelapa sawit), bentuk p61 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak ayam bentuk p80 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp28 427 350,- per tahun diikuti bentuk p88 (padi – padi – karet, kelapa sawit), bentuk p84 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit).
Dari hasil simulasi penyusunan pola integrasi Tabel Lampiran 19, selanjutnya dipilah masing-masing berdasarkan jenis tanaman dan jenis ternak. Adapun integrasi tersebut terdiri atas integrasi padi, jagung, karet dan kelapa sawit. Uraian lebih selengkapnya untuk masing-masing pola tanam tersebut disajikan berikut ini. 1. Pola usahatani padi dan jagung berbasis sumberdaya tanaman lokal Berikut ini Tabel 69, memperlihatkan bentuk-bentuk pola usahatani antara tanaman padi dan jagung dengan masing-masing jenis ternak. Tabel 69 Pola usahatani (padi) dan jenis ternak Musim tanam dengan berbagai pola dan ternak MT 1 MT 2 Jenis ternak Padi Ratun Padi/Jagung Pola usahatani (padi) dan jenis ternak 1. p1 padi Sapi 2. p24 padi Kambing 3. p47 padi Itik 4. p70 padi Ayam Pola usahatani (padi - ratun) dan jenis ternak 1. p4 padi ratun Sapi 2. p27 padi ratun Kambing 3. p50 padi ratun Itik 4. p73 padi ratun Ayam Pola usahatani (padi - ratun - padi) dan jenis ternak 1. p8 padi ratun padi Sapi 2. p31 padi ratun padi Kambing 3. p54 padi ratun padi Itik 4. p77 padi ratun padi Ayam Pola usahatani (padi - ratun - jagung) dan jenis ternak 1. p12 padi ratun jagung Sapi 2. p35 padi ratun jagung Kambing 3. p58 padi ratun jagung Itik 4. p81 padi ratun jagung Ayam Pola usahatani (padi - padi) dan jenis ternak 1. p16 padi padi Sapi 2. p39 padi padi Kambing 3. p62 padi padi Itik 4. p85 padi padi Ayam Pola usahatani (padi - jagung) dan jenis ternak 1. p20 padi jagung Sapi 2. p43 padi jagung Kambing 3. p66 padi jagung Itik 4. p89 padi jagung Ayam Sumber: Hasil olahan
No
Simbol pola tanam
Selanjutnya Tabel 70 berikut ini memperlihatkan bentuk-bentuk pola integrasi dan musim tanam padi dan jagung terhadap masing-masing jenis ternak. Tabel 70 Berbagai pola tanam padi dan jagung terhadap jenis ternak Simbol pola tanam
Musim tanam, pola tanam dan jenis ternak MT1 MT2 Jenis ternak ratun Padi/Jagung Sapi Ratun Sapi Ratun Padi Sapi Ratun Jagung Sapi Padi Sapi Jagung Sapi
p1 p4 p8 p12 p16 p20
Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi
p2 p27 p31 p35 p39 p43
Padi Padi Padi Padi Padi Padi
Ratun Ratun Ratun -
Padi Jagung Padi Jagung
Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing
p47 p50 p54 p58 p62 p66
Padi Padi Padi Padi Padi Padi
Ratun Ratun Ratun -
Padi Jagung Padi Jagung
Itik Itik Itik Itik Itik Itik
Ratun Ratun Ratun -
Padi Jagung Padi Jagung
Ayam Ayam Ayam Ayam Ayam Ayam
p70 Padi p73 Padi p77 Padi p81 Padi p85 Padi p89 Padi Sumber: Hasil olahan
2. Pola usahatani Karet Berikut ini Tabel 71 memperlihatkan bentuk-bentuk integrasi tanaman perkebunan khususnya tanaman karet dengan masing-masing ternak. Tabel 71 Pola integrasi tanaman karet dan jenis ternak No
Simbol pola tanam
1. 2. 3. 4.
p2 p25 p48 p71
Sumber: Hasil olahan
Pola tanamam karet dan ternak Tanaman
Jenis ternak
Karet Karet Karet karet
Sapi Kambing Itik Ayam
3. Pola usahatani Kelapa Sawit Berikut ini Tabel 72 memperlihatkan bentuk-bentuk integrasi tanaman perkebunan khususnya tanaman kelapa sawit dengan masing-masing jenis ternak. Tabel 72 Pola integrasi tanaman kelapa sawit dan jenis ternak No
Simbol pola tanam
1. 2. 3. 4.
p3 p26 p49 p72
Pola tanamam perkebunan dan ternak Tanaman
Jenis ternak
Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit
Sapi Kambing Itik Ayam
Sumber: Hasil olahan
7.4
Model Pengembangan Usahatani Berdasarkan Pola Tanam Tanaman Setahun Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati yang
dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau sumber
energi,
serta
untuk
mengelola
lingkungan
hidupnya.
Kegiatan
pemanfaatan sumberdaya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat
pula
berupa
pemanfaatan
mikroorganisme
dan
bioenzim
dalam
pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan (Wikipedia diakses tanggal, 23 Maret 2011). Atau dapat diartikan sebagai suatu sistem produksi yang kompleks dengan melibatkan berbagai proses fisik, kimia dan biologi dalam memproses input untuk menghasilkan produk (output). Ketentuan dan implementasi dari model pengembangan usahatani lahan rawa lebak (UTLRL) hasil penelitian ini yaitu dengan menerapkan sistem pertanian terpadu. Penerapan konsep pertanian ini dimaksudkan agar supaya terjadi peningkatkan produksi dan pendapatan petani di kawasan rawa lebak. Konsep pengelolaan tanaman secara terpadu dan sekaligus sumberdaya terpadu, melalui pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terintegrasi dan dengan dukungan teknologi yang memiliki efek sinergis sehingga
mampu
meningkatkan produktivtas tanaman secara berkelanjutan (sustainable). Adapun ciri dari konsep pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu, yaitu:
1. Keterpaduan/Integrasi Keterpaduan
yang
dimaksudkan
adalah
tidak
hanya
terbatas
pada
keterpaduan tanaman dan sumberdaya input, namun melibatkan keterpaduan yang luas, meliputi keterpaduan institusi (pemerintah ataupun swasta), sumberdaya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keterpaduan analisis. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman secara terpadu, tidak hanya mempertimbangkan subsistem produksi tetapi sudah merencanakan sampai kepada subsistem pemasaran, termasuk kelembagaan pendukung sehingga kegiatan usahatani dapat berjalan secara berkesinambungan. 2. Sinergisme Efek sinergisme adalah efek yang saling mendukung/menguatkan antara komponen yang satu dengan komponen lainnya. Pemanfaatan sinergisme antara komponen-komponen
produksi
yang
akan
diterapkan
bertujuan
untuk
mendapatkan output hasil yang lebih tinggi. Misalnya penggunaan teknologi pembuat kompos, mekanisme dan proses yang dibuat selain dapat digunakan untuk memupuk tanaman sehingga akan menaikkan ketersediaan unsur hara yang ada di lapisan olah tanah, sehingga pertumbuhan tanaman dapat lebih optimal yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi secara lebih efisien. Penggunaan varietas unggul, akan lebih bersinergi dengan kualitas benih yang prima (baik kualitas genetik, fisik ataupun kualitas fisiologi) dengan kriteria daya tumbuh benih yang lebih seragam (minimal 90%). Benih dengan kualitas yang lebih prima dapat tumbuh lebih cepat, perakarannya akan tumbuh lebih kuat dengan distribusi akar yang lebih baik sehingga dapat memanfaatkan air dan unsur hara secara optimal. 3. Partisipatif Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan dengan cara melibatkan semua pihak yang berkepentingan mulai dari petani, swasta, penyuluh serta instansi terkait mulai dari identifikasi, pelaksanaan sampai kepada evaluasi kegiatan. Dengan demikian komponen utama yang akan di integrasikan dalam sistem ini dapat berjalan secara kontinyu karena telah mengakomodasikan dan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan petani yang pada umumnya kekurangan modal untuk mengelola usahataninya secara optimal. Dalam penerapannya,
partisipasi
petani
dan
swasta
sangat
diperlukan
untuk
menentukan pengembangan yang akan dilakukan di lahannya. Misalnya introduksi pembuat alur, alat penyiang, mesin pengola hasil dan penyediaan
benih unggul berkualitas serta penyediaan pupuk perlu partisipasi swasta yang dapat bermitra dengan petani dalam menyediakan sarana produksi, penyediaan jasa alsintan (alat dan mesin pertanian) serta dapat menampung hasil usahatani dengan harga yang layak. Dengan cara tersebut akan tercipta suatu pola kemitraan dengan asas saling membutuhkan dan saling menguntungkan sehingga baik petani maupun swasta memiliki posisi tawar yang kuat. Oleh sebab itu, dalam implementasinya, penerapan sistem pertanian terpadu di awali dengan identifikasi permasalahan baik masalah teknis, maupun sosial-ekonomi dan budaya, mengetahui potensi sumberdaya, baik sumberdaya lahan atau buatan yang dapat menunjang keberhasilan melalui studi pemahaman perdesaan partisipatif (PRA/Participartory Rural Appraisal). Pemilihan komponen pendukung lainnya yang tepat dalam rangka penerapan pelaksanaan pertanian terpadu, merupakan hal yang penting untuk mendapatkan sinergisme yang tinggi. Dalam penerapannya, ada berbagai komponen yang perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan, yaitu (1) pola usahatani, benih atau bibit unggul, (2) pemeliharaan dan pemupukan, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) petani dan kelompok tani, (5) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (6) peran aktif lembaga penyuluh pertanian, (7) dukungan lembaga riset dan perguruan tinggi dan (8) pengelolaan pascapanen dan pemasaran hasil. Beberapa faktor atau komponen yang menyusun model ini dapat dipilah atas faktor input, proses dan output. Tujuan akhir yang ingin dicapai atau output dari model ini adalah berupa terjadinya peningkatan produksi dan pendapatan petani. Uraian lebih lanjut tentang faktor input, proses dan output adalah berikut: 1.
Pola usahatani, benih atau bibit unggul. Penggunaan bahan tanaman yang bermutu bersertifikat merupakan salah satu aspek penting dalam mendukung keberhasilan pengelolaan tanaman. Peran benih sangat penting pada komoditas pertanian, karena benih merupakan carrier technologi. Benih/bibit merupakan cetak biru dalam pengembangan
sistem
dan
usaha
agribisnis
yang
berdaya
saing,
berkelanjutan, berkerakyatan, dan terdesentralisasi. Oleh sebab itu, ketersediaan benih/bibit bermutu dari varietas/jenis unggul sangat strategis karena menjadi tumpuan utama dalam pencapaian keberhasilan usahatani. Industri benih/bibit sebagai salah satu subsistem dalam sistem agribisnis bersifat profit oriented, maka peran pemerintah untuk mengupayakan kondisi
yang menguntungkan (favorable), mulai dari pelestarian dan pengelolaan plasma nutfah sebagai materi genetik varietas/jenis unggul, pengembangan varietas unggul, produksi benih/bibit dan sertifikasi, hingga pengawasan mutu benih/bibit. Pada saat ini penggunaan benih unggul dan bermutu masih belum optimal, dan masih terbatas untuk usaha pertanian khususnya skala perusahaan dan kegiatan yang dibiayai komoditi
antara
lain
kelapa
sawit,
dan terbatas pada beberapa
kakao,
kapas
dan
tembakau.
Permasalahan pokok yang menyebabkan rendahnya adopsi varietas unggul tanaman yaitu ketidaktahuan adanya benih unggul dan bermutu, terbatasnya ketersediaan dan sekaligus distribusi benih unggul juga masih terbatas. Penggunaan benih unggul dan bermutu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas. Dalam penggunaan benih unggul dapat diperoleh keuntungan antara lain dapat meningkatkan produksi per satuan luas dan per satuan waktu, disamping itu meningkatkan mutu hasil yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan petani. Pemilihan suatu jenis tanaman yang akan digunakan disuatu daerah biasanya
didasarkan
pada
kesesuaian
varietas
dengan
lingkungan
pertumbuhan setempat (spesifik lokasi) serta sesuai dengan kebutuhan petani. Dalam banyak kasus, petani pada umumnya kekurangan modal untuk menerapkan usahataninya secara optimal. Karena itu, banyak petani menggunakan benih dari penanamannya sendiri tanpa seleksi lapangan 2-3 generasi untuk hibrida dan beberapa siklus untuk jenis bersari bebas, kecuali pada wilayah pengembangan yang telah terbentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha benih. Benih dengan kualitas yang prima (daya tumbuh dan vigornya cukup tinggi) diperlukan untuk memacu keseragaman dan kecepatan pertumbuhan. Benih dengan kualitas fisiologi yang tinggi (daya tumbuh minimal 90%) juga lebih toleran pada kondisi lingkungan tumbuh yang kurang optimal dibandingkan benih dengan kualitas fisiologi yang lebih rendah, serta lebih efektif memanfaatkan pupuk dan hara lain yang ada di dalam tanah. Pada lingkungan pertumbuhan yang sama dengan manipulasi hara yang sama, benih dengan vigor yang tinggi akan tumbuh lebih baik. Selain penggunaan benih atau bibit unggul, untuk meningkatkan hasil tanaman diperlukan berbagai input produksi diantaranya pupuk, pestisida,
dan herbisida. Selain itu, penerapan sistem budidaya tanaman berupa pengaturan pola tanam (cropping patern) dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, juga bertujuan untuk meningkatkan produksi per satuan luas lahan. Sebagaimana diketahui bahwa pola tanam, dapat meningkatkan hasil tanaman. Pola tanam adalah suatu sistem dalam menentukan jenis-jenis tanaman atau pergiliran tanaman, pada suatu daerah tertentu yang disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada pada periode musim
hujan
dan
musim
kemarau.
Mengacu
kepada
kebijakan
pembangunan pertanian, pengembangan pola tanam dan diversifikasi usahatani di lahan sawah memiliki justifikasi yang kuat. Bersamaan dengan kebijakan diversifikasi tersebut di atas, perlu terus dilakukan
penelitian
dan
pengembangan
pola
tanam
dengan
mempertimbangkan aspek yang luas pada berbagai agroekosistem. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan pola tanam mengacu pada kerangka kerja dan metodologi yang diarahkan untuk memenuhi beberapa tujuan (Partodiharjo, 2003): (a) penelitian dan pengembangan pola tanaman harus berkaitan erat dengan mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi,
dan
peluang
yang
tersedia;
(b)
pelibatan
petani
dalam
perancangan dan pengkajian pola tanam yang dikaji dalam rangka perolehan umpan balik dan memperlancar proses adopsi teknologi; (c) keikutsertaan peneliti dengan tim yang bersifat multi-disiplin dari bidang keahlian ilmu tanah, tanaman, perlindungan tanaman, dan sosial ekonomi; dan (d) penekanan sasaran penelitian dan pengembangan pola tanam untuk meningkatkan intensitas tanam dan dapat diterima petani. Diversifikasi usahatani dan pertanian bukanlah hal yang baru bagi sebagian besar petani skala kecil di Indonesia (Kasryno, 2000). Pada awalnya, petani melakukan diversifikasi usahatani adalah untuk memenuhi keragaman kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam konteks ekonomi, diversifikasi pertanian diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar dan meningkatkan pendapatan petani dengan tingkat stabilitas yang lebih tinggi. Dengan demikian diversifikasi pertanian (demand driven farming system diversication) memerlukan instrument kebijakan pembangunan pertanian yang berbeda dengan diversifikasi intensifikasi usahatani (supply driven) dengan sasaran utama memenuhi kebutuhan dan memperoleh surplus produksi (Rusastra, 2004). Dalam penerapan pola tanam, biasanya
tanaman palawija diusahakan dalam bentuk pergiliran tanaman di lahan sawah tadah hujan dan sawah berpengairan. Adapun pola tanam yang umumnya dianjurkan menurut Tanga (2007) berdasarkan ketersediaan irigasi sebagaimana Tabel 73. Tabel 73 Pola tanam pada suatu daerah irigasi Ketersediaan air
Pola tanam
Air cukup
Padi – padi palawija
Air terbatas
Padi – padi – palawija (sebagian areal) atau Padi – padi (sebagian areal) - palawija
Air sangat terbatas
Padi – palawija – palawija
Sumber: Tanga (2007) Pola tanam merupakan sub sistem dari sistem budidaya tanaman, merupakan jenis-jenis tata urutan tanaman yang diusahakan pada sebidang tanah tertentu selama satu jangka waktu tertentu. Komponen-komponen penting dalam sistem pola tanam yaitu agroklimat, tanah, tanaman, teknik budidaya, dan sosial ekonomi. Sasaran utama penerapan pola tanam yang tepat adalah produksi yang secara agronomis dapat mencapai hasil yang maksimum. Tujuan
dari
penerapan
pola
tanam
diantaranya
adalah:
(1)
menghindarkan adanya ketidakseragaman tanaman, (2) melaksanakan waktu tanam sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan, (3) efesien dalam hal penggunaan air irigasi, (4) mempertahankan kontinuitas hasil tanaman, (5) meningkatkan hasil tanaman, dan (6) dapat mengurangi biaya pemeliharaan. Pada umumnya lahan rawa lebak dapat ditanami jenis palawija varietas unggul berumur pendek yang penanamannya dilakukan setelah padi, pemanfaatan lahan rawa lebak dapat dilakukan dengan baik pada umumnya disaat awal musim kemarau. Pola tanam yang biasa digunakan yaitu: pola tanam satu kali dalam setahun dan pola tanam dua kali dalam setahun. Bentuknya adalah sebagaimana Tabel 74.
Tabel 74 Pola tanam di rawa lebak Pola Tanam
Jenis Tanaman
Satu kali tanam dalam setahun
Padi Jagung Padi – padi
Dua kali tanam dalam setahun
Padi – jagung
Berbagai pola penanaman tumpangsari juga diketahui telah terbukti unggul dalam pola tanam di lahan kering (Indrawati et al., 1993). Di samping sebagai upaya diversifikasi komoditas, pola tumpangsari terbukti dapat memanfaatkan lahan dan energi dengan lebih baik (Karimuna dan Daud, 1992). Sebagai contoh hasil penelitian Pribadi (2007), pola tanam jagung dan sambiloto, dapat memanfaatkan komponen agroekosistem lahan apabila tersusun dalam suatu bentuk kombinasi yang memiliki sifat saling melengkapi (komplementari) dan berhubungan dalam interaksi yang bersifat sinergis (positif). Interaksi yang terjadi dalam bentuk pola tanam ini dapat mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, dan peningkatan diversifikasi usaha, peningkatan daya saing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan. Selain pola tanam, sistem penanaman ratun adalah suatu teknis budidaya yang cukup strategis diterapkan dalam sistem usahatani padi di rawa lebak. Pada sistem ratun, spesies padi yang memiliki "high regeneration ability", (keturunan padi liar Oryza longistaminafa) mampu menghasilkan tunas-tunas ratun yang produktif dari rumpun setelah dipanen dan sangat sesuai untuk dikembangkan dalam sistem ratun (De Data dan Bernasor, 1988). Pada daerah tertentu, panen kedua diharapkan dapat dicapai melalui pemanfaatan ratun. Ratun atau singgang (Jawa) atau turiang (Sunda)
merupakan
rumpun
tanaman
padi
yang
tumbuh
kembali
menghasilkan anakan baru yang selanjutnya dapat dipanen (Flinn dan Mercado, 1988; Islam et al., 2008). Sistem ini dikembangkan pertama kali di areal persawahan dekat pantai di bagian selatan Amerika Serikat pada awal tahun
1960.
Setelah
varietas
padi
keturunan
0.
longisfaminata
diintroduksikan, kegiatan sistem ratunisasi semakin menyebar dan sangat
diminati oleh petani di beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang memiliki musim tanam terbatas (Jones dan Snyder, 1987). BoIlich et al. (1988) juga melaporkan bahwa pada tahun 1985 di Lemont, Texas, lahan sawah seluas 160 ha diusahakan secara komersial, pertanaman padi utama menghasilkan sebesar 8,2 t/ha gabah kering giling (GKG) dan padi ratun mampu menghasilkan sebesar 3,6 t/ha GKG, sehingga total produksi dapat mencapai 11,6 t/ha GKG. Hasil studi memberikan gambaran bahwa, diestimasikan sekitar 30% areal sawah di daerah tropik di Asia atau sekitar 26,63 juta ha, mempunyai hasil rata-rata 57 t/ha pada tanaman utama, apabila dilaksanakan sistem ratun diperkirakan hasil ratun rata-rata 50% dari tanaman utama, sehingga sumbangan padi ratun akan mencapai 35,95 juta ton setiap tahun (Krishnamurthy, 1988). Selain sifat genetik, dalam menghasilkan tunas produktif juga sangat tergantung dari tinggi pemotongan batang padi, waktu panen, dan pengaturan air irigasi. Waktu panen yang paling baik ketika batang padi belum terlalu kering atau relatif masih hijau sehingga secara fisiologi akan berkemampuan untuk menghasilkan anakan ratun (Gris, 1965 dalam Krishnamurthy, 1988). Tunas ratun yang muncul dari pangkal batang rumpun mirip dengan bibit muda, sedangkan tunas ratun dari buku atas mirip bibit yang sudah tua. Hasil penelitian Jones (1993) menunjukkan bahwa tingginya rumpun ratun dari permukaan tanah dapat berpengaruh pada jumlah malai dan jumlah gabah per malai. Hasil tertinggi dipanen dari singkal padi setinggi 0,2 dan 0,3 m, dibandingkan pemotongan setinggi 0,1, 0,4 dan 0,5 m dari permukaan tanah. Sistem ratun dengan tinggi rumpun padi 0,15 dan 0,20 m menghasilkan padi lebih baik dari tinggi singka 0,5 m. Kemudian informasi terakhir menyebutkan bahwa di Thailand, rumpun padi yang dipotong dipangkal malai lalu direbahkan lurus barisan mampu menghasilkan padi seperti
tanaman
awal
(utama),
apabila
dilakukan
pemupukan
dan
pemeliharaan yang sama seperti halnya tanaman utama. Dari hasil penelitian Isgianto et al. (1993) di Kebun Jambegede, Kendalpayak, Mojosari, Ngale dan Genteng (Jawa Timur) pada musim hujan (MH) 1992/1993 dan musim kemarau (MK) 1993 menunjukkan bahwa varietas IR64, IR66 dan Semeru dapat dibudidayakan secara ratun apabila tidak terjadi endemi penyakit tungro, sedangkan varietas IR72 dan Krueng Aceh cukup baik dibudidayakan secara ratun di lahan yang tidak endemik hama
wereng coklat. Sistem ratunisasi varietas IR64, IR72, Semeru dan IR66 menghasilkan padi yang sama pada pemotongan 5 atau 15 cm. Salah satu unsur hara yang penting dan harus tersedia bagi tanaman adalah nitrogen. Menurut Vergara et al. (1988) pemberian N meningkatkan hasil padi sistem ratun. Setiap varietas mempunyai respon yang berbeda terhadap pupuk nitrogen (Balasubramanian
et al., 1970). Kebutuhan N
untuk padi sawah adalah 90-120 kg N ha-1(Taslim et al., 1989). Evatt dan Beachell (1960) menyebutkan bahwa kebutuhan pupuk padi sistem ratun hanya 75% dari tanaman utama. Menurut De Datta dan Bernasor (1988) kebutuhan N optimal untuk padi sistem ratun 60 kg N per ha. Di China, pemberian 0-69 kg meningkatkan jumlah anakan varietas Aiyou 2. Di Columbia vide De Datta (1988) pemberian 25-50 kg N per ha memperoleh hasil sistem ratun 3,8 ton per ha pada varietas CICA-4. Balasubramanian et al (1970) melaporkan bahwa pemberian nitrogen 125 kg per ha segera setelah panen utama, hasil padi sistem ratun berupa hasil gabah kering, hasil jerami dan produktivitas anakan nyata lebih tinggi dari pada pemberian 75 kg N per ha. Hasil penelitian Evatt dan Beachell (1960) juga Chaterjee et al. (1982) menyebutkan bahwa pemberian P dan K tidak berpengaruh nyata terhadap hasil ratun. Selanjutnya De Datta dan Bernasor (1988), melaporkan bahwa pupuk P dan K tidak perlu diberikan bila sudah diberikan pada tanaman padi utama (Sutisna, 2006). Keunggulan ratun, selain memberikan tambahan produksi padi per musim tanam, juga hemat input produksi, biaya, tenaga, dan waktu persiapan tanam (Ambili dan Rosamma, 2002; Santos et al., 2003). Fenomena ratun tersebut telah menjadi pemikiran banyak ahli (Aswidinnoor et al., 2008). Vergara et al. (1988) mendeskripsikan beberapa karakter agronomi yang merupakan prasyarat tanaman ratun, antara lain vigoritas sistem perakaran tanaman utama dan konsentrasi karbohidrat yang tinggi pada batang saat panen tanaman utama. Oleh karena itu, kemampuan padi menghasilkan ratun akan menjadi nilai tambah dalam peningkatan produksi per musim tanam. Umur
tanaman ratun yang lebih pendek dibandingkan tanaman
utama, erat hubungannya dengan pola pertumbuhan tanaman padi yang berasal dari benih atau bibit. Pada tanaman utama terdapat tiga fase
pertumbuhan, yaitu fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Namun untuk tanaman ratun yang sejak keluar anakan sering diikuti juga keluarnya bunga, hanya mengalami dua fase pertumbuhan, yaitu fase reproduktif dan pemasakan. Kedua fase ini umumnya berlangsung sama pada semua genotipe padi, yaitu selama 35 hari untuk fase reproduktif dan 30 hari untuk fase pemasakan sehingga umur tanaman ratun akan berada pada kisaran 65 hari saja (Vergara, 1995). Secara morfologi anakan ratun dapat muncul dari setiap buku sehingga jumlah anakan ratun dapat melebihi tanaman utama, namun besar kecilnya batang atau anakan yang dihasilkan sangat tergantung pada cadangan karbohidrat yang tersisa pada tanaman utama setelah panen (Mahadevappa dan Yogeesha, 1988). Jumlah gabah total per malai sebagai kumulatif dari jumlah gabah isi dan gabah hampa berkisar antara 122,7-389,0 butir, hasil ini berbeda nyata antar kelompok genotipe. Jumlah gabah isi tanaman utama berkisar antara 65,3-266,3 butir. Terdapat sebagian kecil genotipe yang memenuhi kriteria sebagai padi ideal seperti yang dikemukakan oleh Zhengjin et al. (2005), yaitu menghasilkan jumlah gabah isi per malai lebih dari 160 butir. Genotipe tersebut adalah varietas Ciapus, dan galur IPB106-F-7-1, IPB106-F-8-1, IPB106-F-10-1, dan IPB106-F-12-1. Fenomena lain yang tampak dari hasil pengamatan adalah tingginya persentase gabah hampa, yang berkisar antara 21,6-60,1%. Tanaman ratun memiliki ukuran malai yang lebih pendek dibandingkan tanaman utama kecuali genotipe Fatmawati, IPB106-F-8-1, BP205D-KN-781-8 dan B9833C-KA-14 yang hampir sama dengan panjang malai tanaman utama. Hal tersebut sejalan dengan tampilan tanaman ratun pada genotipegenotipe tersebut yang relatif lebih vigor dibandingkan dengan genotipe lain. Jumlah gabah total tanaman ratun pada sebagian besar genotipe lebih rendah dibandingkan tanaman utama. Namun demikian beberapa genotipe mampu menghasilkan jumlah gabah tanaman ratun yang setara dengan tanaman utama yaitu genotipe BP138F-KN-23, BP360E-MR-79-PN-2, B9852E-KA-66 dan B9858D-KA-55. Keempat genotipe tersebut mampu menghasilkan jumlah gabah total tanaman ratun yang sama atau lebih tinggi dibandingkan tanaman utama. Tanaman ratun beberapa galur padi tipe baru
sawah dan varietas padi tipe baru secara rata-rata mampu menghasilkan gabah yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Genotipe-genotipe yang mampu menghasilkan ratun dengan jumlah gabah tinggi atau setara dengan tanaman utama, ternyata memiliki persen gabah hampa yang cukup tinggi, walau lebih rendah dibandingkan kehampaan pada tanaman utama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor pembatas produktivitas dalam pengisian biji tanaman ratun mirip dengan faktor pembatas pengisian biji pada tanaman utama. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan produksi pada tanaman ratun dapat didekati dengan cara meningkatkan produktivitas pada tanaman utama. Mengacu dari berbagai informasi yang telah diuraikan di atas, dan kondisi faktual di lapangan, rekomendasi pola tanam yang dapat diusulkan dari hasil penelitian ini adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 75. Tabel 75 Rekomendasi pola tanam untuk tanaman pangan berbasis sumberdaya tanaman lokal Pola Tanam
Jenis Tanaman
Waktu Tanam
I
Padi lokal – ratun
Agustus/September –Februari
II
Padi lokal – ratun – padi unggul
Agustus/September –Februari - April/Mei
III
Padi lokal – padi unggul
Agustus/September – Februari dan April - Juli
IV
Padi lokal – palawija
Agustus/September – Februari dan April - Juli
V
Padi lokal palawija
–
padi
ratun
–
Agustus/September – Februari dan Februari – Maret dan April - Juli
Sumber: Hasil olahan 2.
Pemeliharaan dan pemupukan Di dalam rangka pemupukan tanaman yang diusahakan praktek pertanian terpadu dapat memanfaatkan pupuk kandang. Pupuk kandang yang diberikan, dapat diperoleh dari hasil usaha ternak yang dipelihara secara bersama-sama dalam sistem pertanian terpadu. Dalam praktek usahatani di rawa lebak petani di kedua lokasi penelitian mengalokasikan anggaran untuk pembelian pupuk (NPK) masing-masing mencapai 37,20% di Desa Sungai Ambangah dan 22,56% di Pasak Piang dari total biaya yang dikeluarkan dalam sekali musim tanam untuk padi dan setiap tahun untuk tanaman karet dan kelapa sawit. Dengan memanfaakan kotoran ternak yang ada, hal itu dapat mengurangi biaya produksi dalam kegiatan usahatani. Demikian pula
sebaliknya ternak yang dipelihara dalam sistem pertanian terpadu dapat memanfaatkan jerami, tanaman jagung (biji dan batang) sebagai pakan ternak. 3.
Ketersediaan modal usahatani Sumber modal dalam kegiatan UTLRL dapat dihimpun melalui sumber pembiayaan partisipatif berupa iuaran yang secara teknis dapat dibuat kesepakatan lebih lanjut tentang jumlah yang harus dikeluarkan/dibebankan kepada setiap petani. Modal ini dikumpulkan pada setiap kali panen. Selain pengumpulan modal melalui partisipatif di atas, dapat pula berupa sumber pembiayaan pendukung yang berbentuk bantuan atau investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi/kabupaten atau dari sumber lain. Selain sumber pembiayaan yang telah disebutkan sebelumnya alternatif sumber pembiayaan lainnya adalah melalui keterlibatan lembaga keuangan yang ada seperti perbankan. Mekanisme untuk mendapatkan pinjaman ini dapat melibatkan pihak perguruan tinggi atau lembaga lain yang dapat berperan
untuk
membantu
dalam
hal
perhitungan-perhitungan
kalayakannya. Mekanisme pengumpulan dana dari berbagai sumber dan pengelolaan lebih lanjut serta mekanisme pembiayaan atau kredit bantuan kepada petani untuk modal usahatani diserahkan kepada lembaga keuangan mikro petani rawa lebak (LKMPRL). 4. Petani dan kelompok tani Setiap petani dalam mengusahakan sistem pertanian terpadu, harus tergabung dalam suatu kelompok yang anggota-anggotanya ditentukan sendiri oleh petani. Pemberdayaan kelompok tani dapat dilakukan dengan cara
membentuk
kelompok
yang
baru
atau
memberdayakan
dan
memaksimalkan kelompok yang sudah ada. Hal ini dimaksudkan agar supaya terjadi efesiensi dan efektifitas usaha khususnya dalam penggunaan faktor-faktor produksi dan kegiatan lain seperti pemasaran hasil usahatani. 5.
Ketersediaan lembaga keuangan mikro. Lembaga ini merupakan bagian dari sistem pertanian terpadu yang perlu dibentuk dan diberdayakan. Karena salah satu persoalan yang dihadapi oleh petani rawa lebak saat ini adalah keterbatasan modal dalam penyediaan input produksi. Hal ini apabila tidak dicarikan jalan keluarnya, maka pola penerapan sistem pertanian yang mengintegrasikan tanaman dan ternak akan menjadi beban baru terhadap petani rawa lebak. Pembentukan
LKMPRL menjadi hal yang tidak terpisahkan, karena sistem perkreditan pertanian yang ada masih kurang berpihak pada petani secara penuh. Dengan kehadiran LKMPRL diharapkan dapat menciptakan iklim yang menunjang kegiatan usahatani. Hal ini mengingat LKMPRL yang berskala kecil bersifat lebih lentur sesuai karakteristik masyarakat petani setempat, karena LKMPRL dibentuk dari dan untuk mereka. Untuk mengisi kebutuhan LKMPRL, dapat ditempuh berbagai cara yaitu (1) menciptakan lembaga baru, (2) memberi tugas baru atau menitipkan program pada lembaga yang telah ada, dan (3) menyempurnakan lembaga yang telah ada. Pemilihan alternatif sebaiknya dilakukan dengan indikator besarnya beban ekonomi program maupun kecepatan berhasilnya program. 6.
Peran aktif lembaga penyuluh pertanian Dalam kegiatan usahatani khususnya pertanian rakyat, keterlibatan lembaga penyuluh pertanian merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam memberikan informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan usahatani. Keterbatasan
partisipasi
lembaga
ini
dapat
disiasati
dengan
cara
membangun kreativitas petani, baik sebagai individu maupun dalam bentuk kelompok tani. Petani dalam hal ini, untuk mendapatkan dan mengetahui informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan usahatani yang baik, seperti teknis pemupukan, pemberantasan hama penyakit tanaman dan ternak, pemangkasan, panen dan pascapanen, pemasaran produk usahatani serta teknis pemeliharaan ternak dapat dilakukan melalui tukar menukar informasi antar petani atau kelompok tani. 7.
Dukungan lembaga riset dan PT Perguruan Tinggi, BPTP dan BPP merupakan institusi pendukung yang dapat berperan dalam hal transfer inovasi teknologi dan juga berperan dalam pendampingan terhadap petani dalam memberikan advokasi dan bimbingan dalam mengatasi pernasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani. Selain itu, petani dan usahataninya dapat dijadikan sebagai wahana untuk menggali permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan riset lebih lanjut.
8.
Pengelolaan pascapanen dan pemasaran hasil Produk hasil usahatani dalam proses lebih lanjut yang dikenal dengan pasca panen termasuk pemasaran hasil. Fungsi pengolahan hasil dan pemasaran merupakan salah satu faktor penting dalam memecahkan masalah
penghambat bagi pembangunan pertanian selama ini (Soetrisno, 1988). Untuk perlu diterapkan adalah sistem pemasaran produk pertanian yang efesien untuk diproses oleh industri. Seperti diketahui, sistem pemasaran produk pertanian umumnya kurang efisien sehingga menyebabkan besarnya kehilangan, kerusakan dan penurunan mutu serta ongkos angkut yang mahal sehingga harga produk bahan mentah untuk industri menjadi mahal dan kualitasnya juga rendah. Produk usahatani pada tahap lebih lanjut, juga dapat dikelola menjadi produk lain yang dapat berkontribusi dalam rangka memberikan nilai tambah usaha. Nilai tambah ini dapat diartikan sebagai peningkatan manfaat dari produk pertanian. Yang dimaksud adalah nilai produk dikurangi dengan nilai bahan baku dan bahan penunjang yang dipergunakan dalam proses produksi. Dengan kata lain, nilai tambah adalah merupakan sejumlah nilai jasa (return) terhadap faktor produksi modal tetap, tenaga kerja, dan ketrampilan menejemen pengelolaan (Wright, 1987). Dalam rangka mengelola produk pertanian untuk memperoleh nilai tambah, hendaknya didekati dengan kajian yang lebih mendasar. Kajian untuk memperoleh nilai tambah produk hasil pertanian dapat pula dilakukan dengan melibatkan lembaga riset, perguruan tinggi dan BPTP. Dalam hal peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan melalui peningkatan produksi pertanian. Peningkatan produksi diharapkan dapat memberikan jaminan pendapatan petani. Meningkatnya pendapatan petani diharapkan dapat menciptakan surplus keuangan yang selanjutnya dapat diinvestasikan kembali untuk meningkatkan produktivitas usahatani dan daya beli petani khususnya pada produk lain yang tidak dihasilkan sendiri oleh petani. 7.5 Model Konseptual Pengembangan Usahatani Lahan Rawa Lebak (UTLRL) Secara skematis hubungan antara faktor dan komponen yang menyusun model sistem pertanian terpadu yang dirumuskan dalam penelitian ini, sebagaimana disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31 Model konseptual pengembangan UTLRL berbasis sumberdaya lokal Bentuk pertanian terpadu yang dapat ditawarkan dari hasil penelitian ini terdiri atas berbagai pola sesuai dengan kondisi kepemilikan lahan dan jenis tanaman yang diusahakan oleh petani di kedua lokasi penelitian. Pola yang dirumuskan ini dalam rangka mengakomodir, yaitu 1) petani yang hanya memiliki lahan usahatani padi dan karet, dan 2) petani yang memiliki lahan usahatani padi, karet dan kelapa sawit. Dari jenis kepemilikan lahan usahatani oleh petani di lokasi penelitian tersebut, selanjutnya dilakukan simulasi model usahatani terpadu yang memberikan nilai pendapatan tertinggi Tabel Lampiran 21 dan 22. Selain pertimbangan aspek ekonomis, penentuan kedua jenis ternak dalam penerapan model ini dilakukan berdasarkan ketersediaannya di lokasi penelitian dan pengetahuan petani terhadap usaha ternak tersebut. Hal ini dimaksudkan agar supaya lebih memudahkan di dalam pemeliharaan dan adopsi teknologi pengelolaannya. Implementasi bentuk model pertanian terpadu terpilih, secara lengkap diuraikan berikut ini. 1.
Pola usahatani tanaman Pangan, Perkebunan dan Ternak berbasis sumberdaya tanaman pangan lokal Pola usahatani antar tanaman pangan, perkebunan dan ternak yaitu p93,
p95 atau pola (padi, karet dan sapi), (padi, karet dan itik), memberikan pandapatan masing-masing sebesar Rp11 335 010,- dan Rp12 181 010,-. Dan integrasi p101, p103 atau pola (padi, karet, kelapa sawit dan sapi), (padi, karet, kelapa sawit dan itik), memberikan pendapatan sebesar Rp21 337 181,- dan Rp22 183 181,-. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 76.
Tabel 76 Pola usahatani tanaman pangan (padi, jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak No
Simbol pola tanam
Pola (padi – karet) dan ternak Tanaman Jenis ternak Padi Karet Kelapa sawit Pola usahatani (padi – karet) dan ternak 1. p93 Padi Karet Sapi 2. p95 Padi Karet Itik Pola usahatani (padi – karet - sawit) dan ternak 1. p101 Padi Karet Kelapa sawit Sapi 2. p103 Padi Karet Kelapa sawit Itik Sumber: Hasil olahan
Nilai pendapatan (Rp) 11 335 010 12 181 010 21 337 181 22 183 181
Hasil usahatani p103 atau pola (padi, karet, kelapa sawit dan itik) Gambar 32 menunjukkan hasil pendapatan tertinggi mencapai Rp22 183 181,- dan diikuti integrasi p101 pola (padi, karet, kelapa sawit dan sapi) mencapai Rp21 337 181. Sedangkan
pola p93
atau pola (padi, karet dan sapi) hanya mencapai
Rp17 737 181,-. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 32.
Pendapatan (Rp/thn)
25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 p93
p95
p101
p103
Pola usahatani
Gambar 32 Pola usahatani padi, karet, sawit dan ternak 2.
Pola usahatani musin tanam 1 (MT1) dan (MT2) (padi/jagung) dan Tanaman Perkebunan dan Ternak Pola usahatani p5, p51 atau pola (padi - ratun, karet dan sapi), (padi - ratun,
karet dan itik), dapat memberikan pandapatan petani sebesar Rp15 728 550,dan Rp16 574 550,-. Integrasi p9, p55 atau pola (padi - ratun, padi, karet dan sapi), (padi - ratun, padi, karet dan itik), memberikan pendapatan memberikan pendapatan sebesar Rp14 465 800,- dan Rp15 311 500,-. Sedangkan integrasi p13, p59 atau pola (padi - ratun, jagung, karet dan sapi), (padi - ratun, jagung, karet dan itik), memberikan pendapatan Rp12 432 300,- dan Rp13 278 300,-.
Integrasi p11, p15, p57 dan p61 atau pola (padi - ratun, padi, karet, sawit dan sapi), (padi - ratun, jagung, karet, sawit dan sapi), (padi - ratun, padi, karet, sawit dan itik), dan (padi - ratun, jagung, karet, kelapa sawit dan itik), memberikan pendapatan
masing-masing
sebesar
Rp24 468 000,-,
Rp22 434 500,-,
Rp25 314 000,-, dan Rp23 280 500,-. Integrasi p17, p63 atau pola (padi, padi, karet dan sapi) (padi, padi, karet dan itik), memberikan pendapatan sebesar Rp13 944 000 dan Rp14 790 000,-. Integrasi p21, p67 atau pola (padi, jagung, karet dan sapi), (padi,
jagung, karet dan itik), juga memberikan pendapatan
Rp11 910 500,- dan Rp12 756 500,-. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 77. Tabel 77 Pola usahatani tanaman pangan (padi, jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak Simbol pola tanam
Musim tanam dengan berbagai pola (padi – jagung) dan ternak
Perkebunan Jenis ternak Karet Kelapa sawit Pola usahatani (padi - ratun), karet, sawit dan ternak 1 p5 padi ratun karet Sapi 2 p51 padi ratun karet Itik Pola usahatani (padi - ratun - padi), karet, sawit dan ternak 1 p9 padi ratun padi karet Sapi 2 p55 padi ratun padi karet Itik Pola usahatani (padi - ratun - jagung), karet, sawit dan ternak 1 p13 padi ratun jagung karet Sapi 2 p59 padi ratun jagung karet Itik Pola usahatani (padi - ratun - jagung), karet, sawit dan ternak 1 p11 padi ratun padi karet sawit Sapi 2 p15 padi ratun jagung karet sawit Sapi 3 p57 padi ratun padi karet sawit Itik 4 p61 padi ratun jagung karet sawit Itik Pola usahatani (padi - padi), karet, sawit dan ternak 1 p17 padi padi karet Sapi 2 p63 padi padi karet Itik Pola usahatani (padi - jagung), karet, sawit dan ternak 1 p21 padi jagung karet Sapi 2 p67 padi jagung karet Itik Sumber: Hasil olahan No
Padi
MT 1 Ratun
MT 2
Nilai pendapa tan (Rp) 15 728 550 16 574 550 14 465 800 15 311 500 12 432 300 13 278 300 24 468 000 22 434 500 25 314 000 23 280 500 13 944 000 14 790 000 11 910 500 12 756 500
Hasil usahatani p57 dan p11 atau pola (padi - ratun, padi, karet, kelapa sawit dan itik) dan (padi - ratun, padi, karet, kelapa sawit dan sapi) Gambar 33, menunjukkan hasil pendapatan tertinggi masing-masing mencapai Rp25 313 981 dan Rp24 467 981,-. Pendapatan ini dapat melewati nilai KHL yang diperlukan oleh petani di lokasi penelitian masing-masing sebesar 5,19% dan 1,91%. Sedangkan integrasi p61, p53, p15 dan p7 atau pola (padi - ratun, jagung,
karet, kelapa sawit dan itik), (padi - ratun, sawit dan itk), (padi - ratun, jagung, kelapa sawit dan sapi), dan (padi - ratun, kelapa sawit dan sapi) berturut-turut mencapai Rp23 280 481,-, Rp22 704 981,-, Rp22 434 481,- dan Rp21 858 981,-. Dari hasil ini petani masih memerlukan berturut-turut sekitar 2,99%, 5,39%, 6,52% dan 8,92% untuk memenuhi KHL. Sedangkan integrasi p5 atau pola (padi - ratun, karet dan sapi) hanya mencapai Rp11 856,81,- atau memerlukan sekitar 50,59% untuk memenuhi KHL petani di lokasi penelitian. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 33.
Pandapatan (Rp/thn)
30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0
p5
p51
p9
p55 p13 p59 p11 p57 p17 p63 p21 p67 Pola usahatani
Gambar 33 Pola usahatani tanaman padi, tanaman perkebunan dan ternak 3.
Integrasi usahatani berdasarkan luas kepemilikan lahan petani Integrasi usahatani (tanaman dan ternak) yang dapat memenuhi Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) petani baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang sebagaimana disajikan dalam bentuk matriks Tabel 78.
162
Tabel 78 Matriks luas kepemilikan lahan petani berbasis padi untuk memenuhi KHL Petani (P) Kombinasi dengan Karet (k) k(1,0) k(1,2) k(1,5) k(2,5) k(3,0) Kombinasi Padi, Karet dan Sawit k(1,0)(sw1,0) k(1,2)(sw1,0) k(1,5)(sw1,0) k(2,5)(sw1,0) k(3,0)(sw1,0)
Kombinasi Padi dan Karet k(1,0) k(1,2) k(1,5) k(2,5) Kombinasi Padi, Karet dan Sawit k(1,0)(sw1,0) k(1,2)(sw1,0) k(1,5)(sw1,0) k(2,5)(sw1,0)
0,4-<0,5 ha
s2 dan i3 s2 dan i3 s1 dan i3 s3 atau i3 s3 atau i2 s2 atau i2 s2 atau i2 s1 atau i1 (+) (+) 0,5-<0,8
Luas Kepemilikan Lahan Padi (p) 0,5-<1,0 ha 1,0-<1,5 ha Sungai Ambangah Sapi (s) dan Itik (i) s2 dan i3 s2 dan i3 s2 dan i3 s1 dan i3 s1 dan i3 s3 atau i3 s3 atau i3 s2 atau i2 s2 atau i2 s2 atau i2 s2 atau i2 s2 atau i2 s1 atau i1 (+) (+) 0,8-<1,0 Pasak Piang
s1 atau i1 s1 atau i1 s1 atau i1 (+) (+) 1,0-2,0
s1 dan i3 s1i2 atau i3 s1i2 atau i3 s1 atau i1
s1 dan i3 s1 dan i2 i2 (+)
s1 dan i2 s3 atau s1i2 s3 atau i2 (+)
s1 atau i1 (+) (+) (+)
s1 atau i1 (+) (+) (+)
(+) (+) (+) (+)
1,5-2,0 ha
s1 dan i3 s1 dan i3 i3 i2 i2 s1 atau i1 s1 atau i1 (+) (+) (+)
Ket: P=petani; p=padi; k=karet; sw=sawit; (p0,4-2,0)=luas lahan padi; (k 1,0-3,0)=luas lahan karet; (sw1,0)=luas lahan sawit; s1=1 ekor sapi; s2=2 ekor sapi; s3=3 ekor sapi; i=50 ekor itik; i2=100 ekor itik; i3=150 ekor itik dan (+)=memenuhi KHL tanpa kombinasi dengan ternak.
Berdasarkan Tabel 78 dapat dinyatakan persamaan matematis yang dapat mendeskripsikan hubungan antar variabel terikat (pendapatan petani) dengan variabel bebas yang terdiri atas pendapatan bersih dari usahatani padi (ax1), pendapatan bersih dari usahatani karet (bx2), pendapatan bersih dari usahatani kelapa sawit (cx3), pendapatan bersih dari usaha ternak sapi (dy), pendapatan bersih dari usaha ternak itik (ez). Persamaan matematisnya adalah sebagai berikut: 1. Untuk kombinasi Tanaman Padi, Karet dan Ternak: Y = ax1 + bx2 + dy + ez..…..…………………….…………………(6) 2. Untuk kombinasi Tanaman Padi, Karet, Sawit dan Ternak: Y = ax1 + bx2 + cx3 +dy + ez……..……………………………….(7) Dimana : Y = pendapatan (Rp/KK)
x1 = Rp/ha padi
ai = luas pemilikan lahan padi (ha)
x2 = Rp/ha karet
bi = luas pemilikan lahan karet (ha)
x3 = Rp/ha sawit
ci = luas pemilikan lahan sawit (ha)
y = Rp/ekor sapi
di = jumlah sapi (ekor)
z = Rp/ekor itik
ei = jumlah itik (ekor) Selain itu, dari Tabel 78 dapat dideskripsikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pendapatan yang memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) petani di Desa Sungai Ambangah dapat dicapai dengan mengkombinasi tanaman dan ternak, sebagai berikut:
a.
Y = (0,4-2,0)x1 + (1,0-1,5)x2 + (1,0)x3 + (2)y atau (100)z………..………………...(8)
b.
Y = (0,4-1,5/2,0)x1 + (1,5-1,8/1,5-2,5)x2 + (3/2)y atau (150/100)z………………...(9)
c.
Y = (0,4-1,5)x1 + (1,0-1,5)x2 + (1-2)y + (150)z……………………………………..(10)
2. Pendapatan yang memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) petani di Desa Pasak Piang dapat dicapai dengan mengkombinasi tanaman dan ternak, sebagai berikut: a
Y =(0,5-1,0)x1 + (1,0)x2 + (1,0)x3 + (1)y atau (50)z.............................................(11)
c. Y =(0,5-1,5)x1 + (1,5-2,5)x2 + (1-3)y atau (50-150)z…..……………………………(12) d. Y =(0,5-1,5)x1 + (1,0)x2 + (1)y + (150)z.…………..………..…………………........(13)
3. Selain itu, pendapatan yang memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) petani di Desa Sungai Ambangah dan Desa Pasak Piang dapat dicapai tanpa harus mengkombinasikan
usahatani
tanaman
dengan
ternak,
bentuk
persamaannya:
a.
Y = (0,4-1,5)x1 +( 2,5)x2 + (1,0)x3..………………………………………………...(14)
b.
Y = (0,5-1,5)x1 + (1,2-1,5)x2 + (1,0)x3 dan atau (0,8-1,5)x1 + (2,5)x2………….(15) Mengacu pada persamaan umum (6) dan (7) serta persamaan yang
disesuaikan dengan luas kepemilikan lahan padi, pada kondisi dimana tanaman kelapa sawit belum memasuki masa berproduksi (menghasilkan), maka persamaan yang digunakan masih mengikuti persamaan (10, 11) dan (14,15)
VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN Dari serangkaian hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat direkomendasikan kebijakan model pengembangan usahatani lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk berkelanjutan. Istilah kebijakan menurut Spitzer (1987) adalah sebuah rangkaian konsep yang digunakan sebagai pedoman
dan
dasar
rencana
untuk
melaksanakan
suatu
pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan menurut Sasmojo (2001), kebijakan merupakan himpunan arahan atau ketentuan yang dibentuk untuk menciptakan iklim dalam rangka menfasilitasi berlangsungnya strategi, lebih jauh lagi berupa program dan proyek, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Model pengembangan usahatani rawa lebak dari hasil penelitian ini merupakan suatu bentuk rekomendasi kebijakan yang apabila diterapkan secara konsisten, maka diharapkan dapat memperbaiki pengelolaan rawa lebak yang ada saat ini khususnya di kedua lokasi penelitian. Dari model yang dibangun sebagai pilihan dalam penerapan usahatani lahan rawa lebak berkelanjutan, dengan mempertimbangkan ketersediaan biaya, keberlanjutan ekologi rawa lebak, nilai manfaat yang diperoleh petani dalam rangka pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) masyarakat petani, maka rekomendasi kebijakan yang dirumuskan sebagaimana disajikan dalam Tabel 79.
166
Tabel 79 Rekomendasi kebijakan model usahatani rawa lebak berkelanjutan Rekomendasi Kebijakan Komponen Model UT
Indikator
Strategi
Program
1. Pola tanam dan indeks pertanaman 2. Pemeliharaan ternak
Inovasi teknologi
Asistensi teknis sistem pertanian terpadu dan fasilitasi penyediaan infrastruktur pendukung sistem pertanian terpadu
3. Petani dan kelompok tani 4. Ketersediaan modal usahatani 5. Ketersediaan lembaga keuangan mikro 6. Peran aktif lembaga penyuluh pertanian 7. Dukungan lembaga riset 8. Pengelolaan pascapanen dan pemasaran hasil
Penguatan modal sosial
Peningkatan modal sosial petani RL melalui, bantuan permodalan dapat berupa subsidi pembibitan ternak dan pengadaan bibit tanaman dan bibit ternak unggul, Mendorong terwujudnya organisasi tani dan jaringan tani yang kuat dan berakar, Mendorong penguatan modal keloktif 1. Produktivitas lahan petani, peninjauan kembali dan penguatan sistem kelembagaan penyuluhan pertanian yang telah ada 2. Pendapatan petani dan menfasilitasi terbentuknya kerjasama antara lembaga riset dan kelompok tani
Penanganan pascapanen
Menggalakan sistem alih teknologi melalui pendidikan dan latihan kepada petani, pengadaan sarana dan prasarana pengolahan dan penanganan hasil usahatani. Mendorong dan memfasilitasi terbentuknya pasar pertanian yang lebih adil dalam bentuk organisasi rantai pasok dan rantai pemasaran yang lebih baik, termasuk regulasi pengaturan harga produk usahatani dan meningkatkan layanan informasi bagi petani
Dalam upaya optimasi lahan pertanian, dapat dilakukan dengan cara pengaturan pola tanam (cropping patern), pergiliran tanaman dan diversifikasi usahatani. Secara operasional indeks pertanaman (IP) dapat ditingkatkan dengan melakukan penanaman dua sampai tiga kali tanam dalam satu tahun pada lahan yang sama dengan menggunakan jenis tanaman yang sama contohnya: padi – ratun – padi dan atau menggunakan jenis tanaman yang berbeda (pergiliran tanaman), contohnya: padi – ratun - jagung. Sistem usahatani yang digeluti oleh petani saat ini, secara umum belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) keluarga petani dengan 5 orang anggota keluarga. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu dilakukan usaha lain agar supaya KHL petani dapat terpenuhi. Kepada petani yang hanya memiliki lahan garapan seluas 0,4 – 1,2 hektar padi dan 1,0 – 2,5 hektar karet direkomendasikan untuk melakukan pemeliharaan ternak rata-rata berkisar antara 2 – 3 ekor sapi dan 100 – 150 ekor itik. Sebagaimana diketahui bahwa kelompok tani mempunyai peran yang cukup penting. Oleh karena itu, dalam penerapan sistem pertanian terpadu, diharapkan setiap petani tergabung dalam kelompok tani. Peran kelompok tani tersebut, antara lain adalah sebagai: (1) wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap (PKS) serta tumbuh dan berkembangnya
kemandirian
dalam
berusahatani,
sehinga
produktivitas
meningkat, pendapatannya bertambah serta kehidupan lebih sejahtera; (2) merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompok tani dan antar kelompok tani serta dengan pihak lain; (3) usahatani yang dilaksanakan oleh masing-masing anggota kelompok tani secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas. Modal dalam arti luas merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan usahatani. Tanpa adanya modal, petani akan sulit untuk mengembangkan usahataninya. Selama ini menurut Damihartini (2005), sumber modal oleh petani dilakukan dengan jalan menyisihkan sebagian hasil pertanian pada musim tanam yang lalu dan untuk tujuan produksi pada musim tanam berikutnya. Lembaga keuangan mikro sebagai upaya penyediaan jasa keuangan terutama simpanan dan kredit dan jasa-jasa keuangan lain yang diperuntukan kepada keluarga miskin dan berpenghasilan rendah dan tidak memiliki akses
terhadap bank komersial (Arsyad, 2008). Rekomendasi lembaga penyedia jasa keuangan atau penyediaan modal usahatani adalah lembaga keuangan mikro petani rawa lebak (LKMPRL). Pembentukan LKMPRL menjadi hal yang tidak terpisahkan, karena sistem perkreditan pertanian yang ada masih kurang berpihak pada petani secara penuh. Dengan kehadiran LKMPRL diharapkan dapat menciptakan iklim yang menunjang kegiatan usahatani. Peningkatan profesionalisme penyuluh pertanian menjadi sesuatu hal yang tidak dapat dihindari, mengingat tantangan pertanian di masa-masa yang akan datang semakin besar. Profesionalime penyuluh sangat ditentukan oleh sistem pengelolaan kelembagan penyuluh itu sendiri. Kelembagaan yang ada sangat terkait dengan sistem pendanaan dan peraturan-peraturan yang mengatur tatalaksana organisasi penyuluh pertanian. Partisipasi dan dukungan lembaga riset dan perguruan tinggi dalam rangka ikut serta untuk mengatasi permasalahan dan tantangan pertanian sangat perlu dilakukan. Sebagaimana diketahui bersama, potensi riset sangat besar sebagai salah satu instrument atau metode, untuk mewujudkan pengelolaan pertanian yang berwawasan agribisnis dan hal itu hanya dapat diwujudkan oleh petani atau pelaku agribisnis yang profesional. Keterbatasan-keterbatasan yang sifatnya inheren dan ekternal dalam usahatani memerlukan kajian yang kontinyu. Dilain pihak, metode atau jenis penelitian apapun membutuhkan waktu untuk menghasilkan informasi dan teknologi. Pengelolaan pascapanen bertujuan untuk mempertahan kualitas dan mutu produk hasil pertanian. Penanganan pasca panen menurut Kitinoja dan Kader (1993) dimulai sejak komoditas dipisahkan dari tanaman (dipanen) dan berakhir apabila komoditas tersebut dikonsumsi atau digunakan. Mesin pengolahan padi dan karet di kedua lokasi sudah tersedia, tetapi kondisi di lapangan menunjukkan keberadaan mesin pengolahan dengan sarana pendukung yang ada sangat tidak memadai. Sebagai contoh mesin pengolahan padi dimasing-masing lokasi penelitian hanya terdapat satu unit. Dengan tempat penjemuran yang sangat terbatas
dan
tidak
memiliki
gudang
penyimpanan,
kondisi
ini
kurang
menguntungkan bagi petani, mengingat kedua lokasi tersebut mempunyai iklim basah, dengan curah hujan yang cukup tinggi.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan 1.
Kondisi fisiografis LRL relatif datar dan kering saat penelitian. Petani yg berusahatani; didominasi suku Melayu, Dayak, Madura dan Jawa. Luas lahan garapan petani masing-masing 45,60% dengan luas <0,5-1,0 ha; 41,30% dengan luas >1,0-2,0 ha; dan 13,10% dengan luas >2,0 ha di Desa Sungai Ambangah. Dan sebanyak 60,40% dengan luas <0,5-1,0 ha; 27,20% dengan luas >1,0-2,0 ha; dan 12,40% dengan luas >2,0 ha di Desa Pasak Piang.
2.
Kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing tanaman (padi, karet dan kelapa sawit) adalah pada kelas sesuai marginal (S3nr), dengan faktor pembatas adalah pH tanah, baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang.
3.
Analisis usahatani padi dan karet di Desa Pasak Piang lebih menguntungkan (4,80) dan (24,35) dibandingkan dengan Desa Sungai Ambangah (3,30) dan (1,23), dan kelapa sawit keduanya (1,52).
4.
Status keberlanjutan dari lima dimensi keberlanjutan yang dianalisis dikedua desa penelitian, hanya satu dimensi yang dikategorikan cukup berkelanjutan, sedangkan empat dimensi lainnya dikategorikan tidak berkelanjutan.
5.
Atribut-atribut sensitif yang tersebar dilima dimensi keberlanjutan, masingmasing diperoleh 16 atribut di Desa Sungai Ambangah dan 19 atribut di Desa Pasak Piang.
6.
Model yang dirumuskan adalah model UTLRL yang penerapannya dalam bentuk Pertanian Terpadu dengan delapan faktor yang perlu mendapatkan perhatian.
7.
Implementasi model (no 6) terhadap masing-masing luas kepemilikan lahan petani diperolah hasil sebanyak 22,50% petani di Desa Sungai Ambangah dan 58,33% petani di Pasak Piang telah memenuhi KHL.
Dan sisanya
77,50% dan 41,67% petani dikedua desa tersebut, belum dapat memenuhi KHL, bagi petani yang belum memenuhi KHL perlu memelihara ternak berkisar 1-3 ekor sapi dan 50-150 ekor itik. 8.
Hasil simulasi aplikasi model Pertanian Terpadu telah mampu meningkatkan indeks keberlanjutan dan memenuhi KHL petani
9.2 Saran 1.
Perlu dilakukan implementasi arahan kebijakan dalam pengelolaan lahan rawa lebak secara berkelanjutan di Desa Sungai Ambangah dan Desa Pasak Piang dan perlu dilakukan penyusunan program yang bersifat operasional untuk melengkapi pengelolaan dan pemanfaatan rawa lebak yang saat ini sedang berjalan.
2.
Untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani, perlu dilakukan peningkatan indeks pertanaman khususnya untuk usaha tanaman padi. Peningkatan indeks pertanaman dapat dilakukan dengan cara melakukan penanaman dua hingga tiga kali tanam dalam setahun, pada lahan yang sama. Penanaman ini dapat dilakukan dengan menggunakan jenis tanaman yang sama dengan pola padi – ratun – padi atau pola padi – ratun – jagung.
3.
Untuk petani yang belum memenuhi KHL, dalam sistem usahataninya perlu melakukan pemeliharaan ternak masing-masing berkisar antara 1-3 ekor sapi dan atau 50-150 ekor.
4.
Pemerintah perlu mendorong dan memfasilitasi percepatan peningkatan produktivitas melalui penerapan sistem pertanian terpadu (tanaman – ternak). Agar supaya sistem pertanian terpadu tersebut dapat berjalan dengan
baik,
perlu
dilakukan
penataan
infrastruktur
kawasan,
pemberdayaan kelembagaan petani (kelompok tani, gabungan kelompok tani, serta koperasi tani) secara botton-up, partisipatif dan berakar kepada budaya lokal, termasuk penguatan kelembagaan penyuluh pertanian. merevitalisasi sistem pembiayaan pertanian yang ada, dengan sistem pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik petani, sekaligus bantuan permodalan,
sedangkan
untuk
peternakan
perlu
dilakukan
subsidi
pembibitan ternak. Disamping itu, perlu mengembangkan pasar pertanian yang lebih adil dalam bentuk organisasi rantai pasokan dan rantai pemasaran yang baik, termasuk regulasi pengaturan harga produk usahatani.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. 2001. Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Berkelanjutan, FAE. Adiningsih, S., H. Suhardjo, I.P.G. Widjaja Adhi, H. Suwardjo, S. Sukwana, dan M. Sudjadi. 1986. Hasil Rencana Penelitian Lahan Kering di Jambi. Dalam Risalah Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3 Sepetember 1986. Alwi H., Lapoliwa H., Sugono D. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia - Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka, Jakarta. Ambili, S.N., C.A. Rosamma. 2002. Character Association in Ratoon Crop of Rice (Oryza sativa L.). J. Tropical Agric. 40:1-3. Anantanyu, S. 2009. Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapsistas Kelembagaan Kelompok Tani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah) Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anggraeni R.A.K. 2002. Analisis Kelayakan Usahaternak Itik Petelur pada Kelompok Tani Ternak Itik Branjangan Putih Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. Skripsi. Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB. Bogor. Anonim, 2000. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Rumahtangga Petani www.eko.net/pedoman-doc diakses 28 November 2010. Anwarham, H. 1989. Bercocok Tanam Padi Pasang Surut dan Rawa dalam M. Ismunadji, S. Partohardjono, M. Syam, dan A. Widjoyo (eds). Padi Buku 2. Puslitbangtan. Bogor. Ardi D.S., Kurnia U., Mamat H.S,Hartatik W., dan Setyorini D., 2006. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Balitbang Pertanian Departemen Pertanian. Arief, A dan Irman. 1993. Ameliorasi Lahan Kering Masam untuk Tanaman Pangan. Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta, Bogor 23-25 Agustus 1993. Arifin M.Z., Anwar K., dan Simatupang R.S. 2006. Karakteristik dan Potensi Lahan Rawa Lebak untuk Pengembangan Pertanian di Kalimantan Selatan dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu. Banjarbaru 28 – 29 Juli 2006. Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Arsana Dana, IGK, S. Yahya, A.P. Lontoh. 2003. Hubungan Antara Penggenangan Dini dan Potensi Redoks, Produksi Ethilen dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan. dan Hasil Padi (Oryza sativa) Sistem Tabela. Buletin Agronomi. Vol.31, No.2. Arsyad L. 2008. Lembaga Keuangan Mikro: Institusi, kinerja dan Sustainabilitas. CV. Andi Offset, Yogyakarta.
Ar-Riza, I. 2001. Prospek Pengembangan Lahan Lawa Lebak Kalimantan Selatan dalam Mendukung Peningkatan Produksi Padi. Jurnal Litbang Pertanian. Vol.19 No.3. Aswidinnoor, H., M. Sabran, Masganti, Susilawati. 2008. Perakitan Varietas Unggul Padi Tipe Baru dan Padi Tipe Baru-Ratun Spesifi k Lahan Pasang Surut Kalimantan untuk Mendukung Teknologi Budidaya Dua Kali Panen Setahun. Laporan Hasil Penelitian KKP3T. Institut Pertanian Bogor. Atmojo, S. W. 2003. Peranan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dn Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Bakhri S. 2007. Petunjuk teknis Budiadaya Jagung dengan Konsep Pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Balai Pengkajian Teknologi (BPTP) Sulawesi Tengah. Balasubramanian, B., Y.B. Morachan and R. Kaliappa. 1970. Studies on Ratooning in Rice. I. Growth Attributes and Yield. Madras Agric. J. Vol.57, No.11. (BBPTP) Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (BPTP) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2003. Panduan/Petunjuk Teknis Integrasi Padi dan Ternak. Sulawesi Selatan. (BPTP) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2009. Blok Suplemen Pakan (BSP) untuk Ternak Kambing di Lampung. BPTP, Lampung. (BPTP) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2009. Teknologi Budidaya Padi Sawah dengan Pendekatan PTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. (Balittra) Balai Penelitian Rawa. 2005. Laporan Tahunan Penelitian Pertanian Lahan rawa tahun 2004. Penyunting Trip Alihamsyah dan Izzuddin Noor. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. (Balittanah) Balai Penelitian Tanah. 2008. Pupuk Organik untuk Tingkatkan Produksi Pertanian. Balittanah. Bogor.
[email protected]. Bantacut, T. 2006. Teknologi Pengolahan Padi Terintegrasi Berwawasan Lingkungan. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional ―Peningkatan Dayasaing Beras Melalui Perbaikan Kualitas‖ Gedung Pertemuan Oryza Bulag, Jakarta, 13 September 2006. (BPP) Balai Penyuluhan Pertanian. 2010. Programa Penyuluhan 2010, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, Kecamatan Sungai Ambawang-Kabupaten Kubu Raya. (BPP) Balai Penyuluh Pertanian (BPP). 2010.Monografi 2010. Kecamatan Sungai Raya-Kabupaten Kubu Raya. (BAPPENAS) Badan Perencana Pembangunan Nasional. 2002. Pengentasan kemiskinan. Deputi bidang kemiskinan, ketenagakerjaan dan UKM. http://www.bappenas.go.id (1 April 2005).
(BAPPEDA) Badan Perencanaan Daerah. 2008. Rencana Tata Ruang Wilayah, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat. (BPS) Biro Pusat Statistik 2010. Kalimantan Barat dalam Angka. Kantor Statistik Provinsi Kalimantan Barat. (BPS) Biro Pusat Statistik. 2009. Kabupaten Kubu Raya dalam Angka. Kantor Statistik Kabupaten Kubu Raya. Bollich, C.N , B.D.Webb, and J.E. Scott. 1988. Breeding and testing for superior ratooning ability of rice in Texas. p. : 48-53 In Rice Ratooning. Intem. Rice Res.Inst. Los Banos. Philippines. Bourgeois R. 2007. Bahan Pelatihan Analisis Prospektif Partisipatif, Taining of Trainer. ICASEPS, Bogor. Bourgeois R. and F. Jesus. 2004. Participatory prospective analisys, exploring and anticipating challenges with stakeholders. Center for alleviation of poverly through secondary crops development in Asia and the Pasific and French Agricultural Research Center for International Development. Budiraharjo K. 2006. Analisis profitabilitas pengembangan usaha ternak itik di Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Bruchem dan Zemmelink. 1995. Sustainable Animal Production from Small Farm System in Animal Production and Health Paper. FAO Rome. Chatterjee, B.N., Bhattacharya and P. Debath. 1982. Ratooning of Rice. Oryza. Vol.19, No.3. Chairil, A. 2001. Budidaya Karet, Pusat Penelitian Karet, Medan. Chen, C.C., B. McCarl, and H. Hill. 2002. Agriculture Value of ENSO Information Under Alternative Phase Defenition, Climate Change Journal. Dahama, O.P. and O.P. Bhatnagar. 1980. Education and Communication for Development. New Delhi: Oxford and IBH Publising, Co. Damihartini, R.S. 2005. Hubungan Karakteristik Petani dengan Kopetensi Agribisnis pada Usahatani Sayuran di Kabupaten Kediri Jawa Timur. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Daniel M. 2004. Pengantar ekonomi pertanian. PT. Bumi Aksara, Jakarta. De Datta,S.K. 1981. Principles and practices of rice production. John Wiley, NewYork. De Datta S.K. and PC. Bernasor. 1988. Agronomic Principles and Practices of Rce Ratooning. p. : 164-176 In Rice Ratooning. Intern. Rice Res. Inst Los Banos. Philippines. (Deptan)
Departemen Pertanian. 2001. Program Pembangunan Pertanian 2001-2004, Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
(Deptan)
Departemen Pertanian. 2007. Pedoman Penumbuhan Pengembangan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani.
(Deptan)
Departemen Pertanian dalam Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret Press.
dan
Dinas Pertanian Prov. Kalbar, 2008. Statistik Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Barat. Dinas Perhubungan. 2010. Stasiun Klimatologi, Bandara Supadio Pontianak. Djaenudin, D., H. Marwan, A. Hidayat, dan H. Subagyo. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balitanah, Puslitbangtanak, Balitbang Pertanian. ISBN 979-9474-27-2. Dwiyanto dan Haryanto 2001. Integrasi Tanaman Ternak (crop-livestock system) Dalam Rangka Menuju Pertanian Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna. Mataram 20 – 21 Nopember 2002. Hal 139 – 147. Evatt, N.S. dan H.M. Beachell. 1960. Ratoon Cropping of Short Season Rice Varieties in Texas. Inst. Rice Comm. Newsl. Vol.9, No.3. Fadjry, Rafiek, Yanuar, A., Budiman dan Alwi M. 2006. Identifikasi Permasalahan Petani untuk Pengembangan Agribisnis Padi di Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Tanah Laut dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu. Banjarbaru 28 – 29 Juli 2006. Faturochman dan Ambar Widaningrum, 1993. Konsep dan Daya Tampung Indikator Sosial. Jurnal Populasi, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Fauzi A. Dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka, Jakarta. Fisheries. 1999. Rapfish Software for Excel, Fisheries Centre Research Reports. Flinn, J.C., M.D. Mercado. 1988. Economic Perspectives of Rice Ratooning. p. 17-29. In W.H. Smith, V. Kumble, E.P. Cervantes (Eds.) Rice Ratooning. IRRI, Los Banos. Philippines. Food and Agriculture Organization. 2000. Organic Farming: Demand for Organic Products Has Created New Export Opportunities for the Developing, World.http://www/fao.org/magazine.spotight.organic farming html (diakses 10 Agustus 2010). Gittinger, J.P. 1986. Economic Analysis of Agriculture Project, The John Hopkins University Press. Terjemahan: Slamet Sutomo dan Komet Mangiri. Analisa ekonomi proyek-proyek pertanian. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Hermanto S. 2005. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Forum Pascasarjana Vol.28 No.3. Hidayati, U. 1993. Pengaruh Residu Kapur dan Sekam Padi pada Sifat Oxcyx Dystripept Cikarang dan Hasil Kedelai. Skripsi Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut pertanian Bogor, Bogor. Hikmatullah E. Suparna, D. Subardja. 2008. Pola Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Basah Rawa dan Pantai. Houle, C.O. 1975. The Nature of Adult Education. Ney York. David Mc Kay Company, Inc. Third Edition.
Houston, D.F. (ed). 1972 Rice, Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists.Inc., Minnesota. Idham Alamsyah, Tri Lestari dan Dessy Adriani. 2005. Analisis finansial usahatani terpadu berbasis ternak sapi di Kabupaten Ogan Hilir, Jurnal Pembangunan Manusia Vol.6 No.2. Indrawati, Suyamto, dan J. Purnomo. 1993. Peningkatan Intensitas dan Produktivitas Lahan Kering Iklim E dengan Pola Dasar Tanaman Jagung di Banyuwangi. Hasil Penelitian Sistem Usahatani Tahun 1991/92. p.26-44. Irawan
B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol.23 No 1.
Irawan, B dan T. Pranaji. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan Kering Untuk mendukung Pengembangan Agribisnis dan Peetanian Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Irianto G. 2006. Kebijakan dan Pengelolaan Air Dalam Pengembangan Lahan Rawa Lebak dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu. Banjarbaru 28 – 29 Juli 2006. Isgiyanto, Punarto S., Sunarsedyono dan Amir Basyir. 1993. Budidaya Padi Sawah Secara Ratun. Teknologi untuk Menjang Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan. Balitkabi. p: 32-41. Islam M.S., M. Hasannuzzaman, Md. Rukonuzzaman. 2008. Ratoon rice response to different fertilizer doses in irrigated condition. Agric. Conspec. Sci. 73:197-202. Jarmie, M.Y. 1985. Hubungan Beberapa Karakteristik terpilih PPL dan Kebutuhan Latihannya dalam Perbaikan Mutu Intensifikasi Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Banjar Kalimantan Barat. Tesis Magister Sains, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jones D. B 1993. Rice ratoon respon to Main Crop Harverst Cutting Height. In Agronomy Journal. An American Society of Agronomy Publication. Vol.85. No.5. Jones, D. B dan G.H. Snyder, 1987. Seeding rate and. row spacing Effects on yields of ratoon Rice.p.: 627-629 In Agronomy Journal. An American Society of Agronomy Publication. Vol.79, No. 4. Karyaningsih, S., Harianti I. dan Suhendrata T. 2008. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pupuk organik di Kabupaten Sukoharjo. Disampaikan dalam Gelar Teknologi dan Seminar Nasional Teknik Pertanian Juursan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yagyakarta 18-19 November 2008. Kartika, T.S. 2009. Pengaruh penambahan silica amorf dari sekam padi terhadap sifat menakis dan sifat fisis mortar. Skripsi Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Univ. Sumatra Utara, Medan.
Kartodihardjo, H., dan Jhamtani H. [Editor]. 2006. Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox.
Politik Lingkungan dan
Kasryno. 2000. Membangun kembali sektor pertanian dan kehutanan. Makalah Seminar Nasional ―Prespective Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2000 ke depan. Bogor 9-10 November 2000. Kavanagh, P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) project, Rapfish Software Des Eruption (For Microsoft Excel). University of British Colombia, Fisheries Centre, Vancouver. Kavanagh P. and TJ. Pitcher. 2004. Implementing microsoft excel sofware for Rapfish: A. Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. University of British Colombia. Fisheries Center Research Report 12(2). Khush, G.S., 1996. Prospect and approach to increasing the genetic yield potential of rice. In R.E. Venson, R.W.Herdt, M. Hossain (Eds.) Rice Research in Asia: Progrees and Priorities. IRRI, Philippines. Krishnamurthy, K. 1988. Rice Ratooning as an Alternative to Double Cropping in Tropical Asia. p: 3-15 In Rice Ratooning. Intern. Rice Res. Inst. Los Banos. Philippines. Kitinoja, L., and A.A. Kader. 1993. Small-Scale Post Harvest Handling Practices: A Manual for Horticultural Crops. Departemen of Pomology, University of California. Davis, California. Knipscheer, H.C, M. Sabrani, A.J. DeBoer and T.D. Soedjana. 1983. The Economic role of sheep and goats in Indoensia: A Case study of West Jawa, Bulletin of Indonesian, Economics Studies 29. Krishnamurthy, K. 1988. Rice ratooning as an alternative to double cropping in tropical Asia. p: 3-15 In Rice Ratooning. Intern. Rice Res. Inst. Los Banos. Philippines. Las, I. 2010. Manfaat, Disain dan Teknologi Pengelolaan Lahan Gambut Lesson Learned Pengelolaan Lahan Gambut dan Pembangunan (Pertanian), Balai Besar Liutbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional – Bogor, tanggal 28 Oktober 2010. Lewis Jr. , W.M. Hemilton S.K. Lasai M.A. Rodrigouz M. Sanders III J.F. 2000. Ecological determinism on the Orinoco floodplain. Bioscience Vol.50, No.10. Mac Kinnon K., Hatta M. G.T Halim, H., Mangalik A. 2000. Ekologi Kalimantan (alih bahasa oleh G. Tjitrosoepomo S.N. Kartikasari, A. Widyanto). Prenhallindo. Jakarta. Mahadevappa, M., H.S. Yogeesha. 1988. Rice ratooningbreeding, agronomic practice, and seed production potential. p. 177-186. In W.H. Smith, V. Kumble, E.P. Cervantes (Eds.) Rice Ratooning. IRRI, Los Banos. Philippines. Marschner, H. 1986. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press. Harcout Brac Jovanvich, Publ. London.
Mitchell, B. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press. Monde, A. 2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestry Kakao di DAS Nopu- Sulawesi Tengah, [disertasi] Sekolah Pascasarjana Institur Pertanian Bogor, Bogor. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES. Jakarta. Mulyanto S. dan H.D. Ever (ed). 1982. Sumber Pendapatan, Kebutuhan Pokok dan Perilaku Menyimpang. CV. Rajawali, Jakarta. Munif A. 2009. Kompos jerami untuk solusi kebutuhan pupuk petani: murah, mudah dan cepat. Makalah disampaikan pada diskusi dengan Sekretaris Menteri Pertanian Diakses 23 Maret 2011. Nazemi, D. H. Sutikno dan S. Saragih. 2006. Penelitian Komponen Teknologi Pengelolaan Lahan Terpadu Untuk Optimalisasi dan Peningkatan Produktivitas Lahan Lebak. Laporan Akhir Balittra. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badanlitbang. Noferdiman dan Novra, A. 2002. Kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong rakyat pada pola usahatani terpadu. Media Peternakan, Vol. 24 No.1. Noor, M. 2007. Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Rajawali Pers, Jakarta. Nunung, N.H. 2007. Analisis usaha ternak kambing dalam sistem usahatani terpadu di Kabupaten Bayumas. Jurnal Animal Production, Vol. 9 No.2. Pambudy, R. 1999. Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha Peternak, dan Penyuluhan dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam, [disertasi] Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Permentan No 14 tahun 2009 tentang Pedoman pemnafaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit. Menteri Pertanian Republik Indonesia. Pitcher, T.J., and P. David. 2001. RAPFISH: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainabiity Status of Fisheries Research. Pribadi E.R, 2007. Kajian kelayakan usahatani pola tanam sambiloto dengan jagung. Jurnal Litri Vol. 13 No. 3. Proctor, A. and Palaniappan. 1989. Soy Oil Adsorption by Rice Hull Ash. J. Am. Oil. Chem. Vol 66, No.11. Pujosumarto, M., 1995. Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi Brawijaya Malang. Edisi Kedua. Liberty. Yogyakarta Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya, Puslittanak, Bogor. Pusat Penelitian Perencanaan Regional (P3R) Unram. 2004. Rencana Pengembangan Usaha (Bisnis Plan) KAPET Bima dan Pra Studi Kelayakan Peluang Investasi [Laporan Penelitian]. Mataram: Kerjasama Badan Pengelola Kapet Bima dengan P3R Unram.
Puspita L. 2005. Lahan basah buatan di Indonesia. Publisher‘s Note On constructed wetland n Indonesia. Qomariah R., R. Zuraidah, A. Rafieg dan A. Sabur. 2006. Usaha pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Rangnekar, D.V., M.S. Sharma dan O.P. Gahlot. 1995. Towards Sustainable Ruminant Livestock Production in Tropics Opportunities and Limitations of Rice Straw Based Systems. Buletin Peternakan. Edisi Spesial, Fakultas Peternakan,UGM, Yogyakarta; h: 33-37. Rauf, A.W., Syamsuddin. T dan Sri Rahayu Sihombing, 2000. Peranan Pupuk NPK pada Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat, Irian Jaya. Ravianto, J. 1985. Produktivitas dan Tenologi, Lembaga Sarana dan Informasi Usaha dan Produktivitas. Jakarta. Rudito, B. dan M. Famiola. 2008. Sosial Mapping-Metode Pemetaan Sosial. Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti. Penerbit Rekayasa Sains, Bandung. Rusastra I.W, Handewi P. Saliem, Supriati, dan Saptana, 2004. Prospek pengembangan pola tanam dan diversifikasi tanaman pangan di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 22 No.1. Rustam Massinai, Putu Sudidra, Lilik Sutiarso. 2009. Sistem pengembilan keputusan untuk pengembangan usahatani terpadu di lahan pasang surut. Jurnal Agritech, Vol. 29, No.3. Santos, A.B., N.K. Fageria, A.S. Prabhu. 2003. Riceratooning management practices for higher yields. Comm. Soil Sci. Plant Anal. 34:881-918. Saragih, B., 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan, USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor. Saifuddin, E.S. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanaman Pertanian. Penerbit Pustaka Buana, Bandung. Sajogyo. 2006. Ekososiologi Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai Kasus Uji). Cinderelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta. Sajogyo. 1977. Garis miskin dan kebutuhan minimum pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soehadji. 1992. Pembangunan Jangka Panjang Tahap I, Upaya Pemantapan Kerangka Landasan, Pokok Pemikiran Pembangunan Jangka Panjang Tahap II dan Konsepsi REPELITA VI Pembangunan Peternakan, Dirjend Peternakan, Jakarta. Soehardjo dan Dahlan. 1973. Sendi-Sensi Pokok Ilmu Usahatani, Bahan Kuliah, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soekardono, 2001. Integrasi Tanaman dengan Ternak (crop-livestock system). Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Auditorium Balai Penelitian Veteriner, Bogor, 17-18 September 2001.
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani, Universitas Indonesia Press. Jakarta. Soekartawi, A. Soehardjo, A. J. L. Dillon dan J. B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Sasmojo,S. 2001. Kebijakan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Schonhuth M, Kievelitz U. 1994. Participatory Learning Approaches: an Introductory Guide. Germany: GTZ. Sehabudin, U. dan A. Agustian 2002. Karakteristik dan kontribusi usahatani ternak ayam buras terhadap pendapatan rumah tangga peternak serta alternatif pola pengembangannya. Media Peternakan Vol.24 No.1. Sewoyo S. 2001. Pendayagunaan teknologi tepat guna untuk pengembangan potensi perdesaan.Tiga Pilar Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, Teknologi. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. Sinukaban, N. 2007. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan Pertanian Konservasi dalam: N Sinukaban. Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS, Jakarta. Slamet, M. 1975. Psikologi Belajar. Institut Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian, Ciawi Bogor Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Pembangunan: Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. Penyunting Ida Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor, IPB Press. Soerianegara, I. 1979. Pengelolaan Sumberdaya Alam, Bagian I dan Bagian II. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Soetrisno, N, 1988. Arti Strategis Integrasi Kelompok Tani dengan KUD Bagi Pengembangan Pedesaan. Warta Intra Bulog. Storey D. 1999. Issues of integration, Partcipation and empowerment in rural development: The Case of LEADER in the Republic of Ireland. Journal of Rural Studies Vol.15, No.3. Subagjo, H. dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaan lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia, Kasus: Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 10 Februari 1998. Subagjo. 2006. Karakteristik dan pengelolaan lahan rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Suci, Y.P. 2009. Petunjuk teknis Beternak ayam buras. GTC Merang Beed Pilot Project Bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan.
Sudana, W. 2005. Potensi dan Prospek Lahan Rawa Sebagai Sumber Produksi Pertanian. Balai Pengkajian dan Pengambangan Teknologi Pertanian Bogor. Sulaimen, 2009. Analisis produksi dan pemasaran jagung di desa Labuan Toposo Kecamatan Tawaeli Kabupaten Donggala. J. Agroland Vol.16 No.2. Sulistyarto, B. 2008. Pengelolaan Ekosistem Rawa Lebak untuk Mendukung Keanekaragaman Ikan dan Pendapatan Nelayan di Kota Palangkaraya. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Summanth, D.J. 1985. Productivity Engineering and Management, Mc Graw Hill Book Company. New York. Sumintaredja S. 2001. Penyuluhan Pertanian . Jakarta. Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Sunarso. 2005. Pembagian Kerja Pada Sistem Usahatani Sayuran (Kasus Kelompok Tani Bambu Duri, Desa Cimanggis, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat), [skripsi] Institut Pertanian Bogor. Suparwoto dan Waluyo, 2009. Peningkatan pendapatan petani di rawa lebak melalui penganekaragamab komoditas. Jurnal Pembangunan Manusia Vol.7, No.1. Suryana, A., Erwidodo dan Prajogo. 2003. Isu Strategis dan Alternatif Kebijakan Pembangunan Pertanian Memasuki Repelita VII, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Suryana. 2008. Usahatani ayam buras di Indonesia permasalahan dan tantangan. Jurnal Litbang Pertanian, Vol.27, No.3. Susilawati, Purwoko B.S., Aswidinnoor H., dan E. Santosa, 2010. Keragaan Varietas dan Galur Padi Tipe Baru Indonesia dalam Sistem Ratun. Jurnal. Agronomi. Indonesia Vol.38, No.3. Sutisna E.N, 2006. Pengaruh sistem ratunisasi dan pemupukan nitrogen terhadap hasil beberapa varietas padi di lahan sawah irigasi. J. Agrivigor Vol.5, No.3. ISSN:1412-2286. Tanga F.A. 2007. Studi optimalisasi daerah irigasi legare Kabupaten NabirePropinsi Papua. Tesis Fakulta Teknis Sipil, Institut Teknologi Bandung. Tarbiah S. 2009. Kajian Tingkat Pendapatan Petani Sawah Irigasi dengan Diversifikasi pola usahatani. Tesis sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Taslim, H. H. Sutjipto Partohardjono dan Subandi. 1989. Pemupukan Padi Sawah dalam Padi. Buku 2. Penyunting. M. Ismunadji, Mahyudin Syam dan Yuswadi. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan. Bogor. Tjahyono. 1987. Analisis Pendapatan Petani Karet di Desa Pulau Pandan Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun. Jambi. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Jambi.
Tim Penulis PS, 2008. Agribisnis Tanaman Perkebunan. Penebar Swadaya, Jakarta. Tim P3PK-UGM, 1988. Konsep laporan akhir, pembangunan wilayah yang efektif: kasus proyek pengembangan wilayah oleh TAD di Kalimantan Timur. Kerjasama Technical Cooperation for area Development Kabupaten Kutai, East Kalimantan, Indonesia dan Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan, Universitas Gadja Mada, Yogyakarta. Togatorop, M.H. 1994. Analisis usahaternak ayam buras di daerah transmigrasi Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Majalah Sainteks, Univ. Semarang, Semarang. Vergara, B.S. 1995. A Farmer‘s Primer on Growing Rice. IRRI, Los Banos, Philippines. Vergara, B.S., F.S. Lopez, J.S. Chauhan. 1988. Morphology and physiology of ratoon rice. p. 31-40. In W.H. Smith, V. Kumble, E.P. Cervantes (Eds.) Rice Ratooning. IRRI, Los Banos. Philippines. Waluyo. 2000. Pola Kondisi Air Rawa Lebak sebagai Penentu Masa dan Pola Tanam Padi dan Kedelai di Daerah Kayu Agung (OKI) Sumatera Selatan. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Waluyo dan I.G. Ismail. 1995. Prospek Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Rawa Lebak Sumatra Selatan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemanfaatan Lahan Rawa, di Kalimantan Selatan. Banjarbaru 15 – 15 Februari 1995. Wardoyo dan H. Prabowo, 2003. Kinerja Lembaga Keuangan Mikro bagi Upaya Penguatan Usaha Mikro, kecil dan Menengah di Wilayah Jabodetabek. www.google.co.id diakses 28 November 2010. Wijoyo, W.W., 2005. Pemberdayaan lembaga keuangan mikro sebagai salah satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan: edisi khusus November, Jakarta. Wikipedia 2011. Pertanian, diakses tanggal 23 Maret 2011. Wiriaatmadja, S. 1977. Jakarta.
Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. C.V. Yasaguna
Wright, J.C.1987. Technoeconomics: Concepts and Cases, diterjemahkan oleh J. Ravianto. Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktivitas, Jakarta. Zaenudin, 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, AgroMedia Pustaka, Jakarta. Zen, M.T. 2001. Falsafah Dasar Pengembangan Wilayah, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Zhengjin, X.U., C. Wenfu, Z. Longbu, Y. Shouren. 2005. Design principles and parameters of rice ideal panicle type. Chin. Sci. Bull. 50:2253-2256. Zubaedah, 1993. Meningkatkan bobot telur dan bobot potong ayam buras melalui pemuliaan. Poultry Indonesia, Jakarta.
Zuraida R., Ismadi D., dan Hikmah Z. 2006. Prospek Usahatani Padi dan Hortikultura di Lahan Lebak dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu. Banjarbaru 28 – 29 Juli 2006.
Tabel Lampiran 1 Hasil analisis contoh tanah lebak Sungai Ambangah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya Sifat Kimia dan Fisik Tanah pH (H2O) pH (KCl) C Organik (%)
s.a1 3,24 2,59 5,92
Lokasi s.a2 3,56 2,63 7,42
s.a3 3,44 2,68 6,77
0,47 13,67 0,25
0,55 10,56 0,43
0,45 12,22 0,33
0,49
0,60
0,28
0,83 0,40
0,62 0,37
0,52 0,45
24,59 29,35 Kejenuhan Basa 8,01 6,88 % -1 Al-dd (cmol(+)kg ) Eks. KCl 0,59 0,59 -1 H-dd (cmol(+)kg ) 1N 0,14 0,17 Pasir (%) 15,50 22,59 Tekstur Debu (%) 50,04 46,99 Liat (%) 34,46 30,42 Sumber: Laboratorium Kimia Tanah Untan, 2010
23,44 6,04
N Total (%) P2O5 (ppm) -1 K (cmol(+)kg ) -1
Na (cmol(+)kg ) -1
Metode pH Walkley & Black Kjeldhal Bray I Ekstraksi NH4OAC 1N pH:7
Ca (cmol(+)kg ) -1 Mg (cmol(+)kg ) -1
KTK (cmol(+)kg )
0,71 0,21 23,23 45,67 31,10
Kriteria Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sangat Rendah Rendah dan Sedang Sedang dan Rendah Sedang Rendah dan Sangat Rendah Tinggi Sangat Rendag Sangat Tinggi
Tabel Lampiran 2 Hasil analisis contoh tanah lebak Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Sifat Kimia dan Fisik Tanah pH (H2O) pH (KCl) C Organik (%)
p.p1 3,38 2,79 10,64
Lokasi p.p2 4,08 3,34 14,32
p.p3 3,74 2,92 13,02
0,72 6,16
0,84 12,50
0,65 9,19
K (cmol(+)kg ) Ekstraksi 0,19 0,21 -1 Na (cmol(+)kg ) NH4OAC 0,29 0,32 -1 Ca (cmol(+)kg ) 1N pH:7 0,47 0,52 -1 Mg (cmol(+)kg ) 0,21 0,24 -1 KTK (cmol(+)kg ) 26,84 34,24 Kejenuhan Basa 4,32 3,77 % -1 Al-dd (cmol(+)kg ) Eks. KCl 1N 0,80 0,67 -1 H-dd (cmol(+)kg ) 1,23 1,35 Pasir (%) 0,00 0,00 Tekstur Debu (%) 73,49 71,65 Liat (%) 26,51 28,35 Sumber: Laboratorium kimia tanah Untan, 2010
0,11 0,09 0,41 0,19 30,12 3,15
N Total (%) P2O5 (ppm) -1
Metode pH Walkley & Black Kjeldhal Bray I
0,71 1,22 15,12 64,34 20,54
Kriteria Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sangat Rendah dan Rendah Sangat Rendah Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Tinggi Sangat Rendah Sangat Rendah
Tabel Lampiran 3 Kriteria penilaian sifat kimia tanah Sifat Kimia C (%) N (%) C/N P2O5 HCl 25% (mg/100g) P2O5 Bray I (ppm) P2O5 Olsen (ppm) K2O HCL 25% (me/100g) KTK (CEC) (me/100g) Susunan Kation Ca(me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g) Na (me/100g) Kejenuhan Basah (%) Kejenuhan Aluminium (%) Cadangan Mineral (%) DHL x 1000 (mhos/cm) Persentase Natrium dapat tukar/ESP (%) pH Sangat masam
Sangat Rendah <1
Rendah
Sedang
Tinggi
1-2
2-3
3-5
Sangat Tinggi >5
<0,1 <5 <15
0,1-0,2 5-10 15-20
0,21-0,5 11-15 21-40
0,51-0,75 16-25 41-60
>0,75 >25 >60
<4 <5 <10
5-7 5-10 10-20
8-10 11-15 21-40
11-15 16-20 41-60
>15 >20 >60
<5
5-16
17-24
25-40
>40
<2 <0,3 <0,1 <0,1 <20 <5
2-5 0,4-1 0,1-0,3 0,1-0,3 20-40 5-10
6-10 1,1-2,0 0,4-0,5 0,4-0,7 41-60 10-20
11-20 2,1-8,0 0,6-1,0 0,8-1,0 61-80 20-40
>20 >8 >1 >1 >80 >40
<5 <1 <2
5-10 1-2 2-3
11-20 2-3 5-10
20-40 3-4 10-15
>40 >4 >15
Agak alkalin 7,6 – 8,5
Alkalin
Masam
Agak Netral masam pH H2O <4,5 4,5 – 5,5 5,6 – 6,5 6,6 – 7,5 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (2000)
>8,5
Tabel Lampiran 4 Kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah tadah hujan (Oryza sativa) Kriteria/Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Rata-rata tahunan (oC)
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
24-29
22-24 29-32
32-35
<18 >35
Ketersediaan air (w) Curah hujan (mm) bulan ke-1
175-500
Curah hujan (mm) bulan ke-2
175-500
Curah hujan (mm) bulan ke-3
175-500
Curah hujan (mm) bulan ke-4
50-300
650-750 100-125 650-750 100-125 650-750 100-125 500-600 <30 <30->90
>750 <100 >750 <100 >750 <100 >600
33-90
500-650 125-175 500-650 125-175 500-650 125-175 300-500 30-50 30-33
Terhambat, agak terhambat Halus, agak halus, sedang <3
Agak cepat, sedang, baik Halus, agak halus, sadang 3-15
Sangat Terhambat Agak kasar
cepat
15-35
>35
>50
40-50
25-40
>25
<60 <140
60-140 140-200
140-200 200-400
>200 >400
saprik
Saprik, hemik
Hemik, fibrik
fibrik
>16 >50
≤16 35-50
<35
5,5-8,2 >1,5
5,0-5,5 8,2-8,5 0,8-1,5
<5,5 >8,5 <0,8
-
<2
2-4
4-6
>6
<20
20-30
30-40
>40
<100
75-100
40-75
<40
<3
3-8
>8—25
>25
Sangat rendah
Rendahsedang
berat
Sangat berat
F0-F12 F21-F22
F13-F23 F41-F42
F14,F24,F34,F43
>F14 >F43
<5 <5
5-15 5-15
15-40 15-25
>40 >25
Kelembaban (%) Media perakaran (r) Drainase Tanah Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm)
Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH Tanah C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP) (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman Sulfidik cm) Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi (%) Bahaya banjir (fh) genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan dipermukaan (%) Singkapan batuan (%)
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
-
kasar
-
Tabel Lampiran 5 Kriteria kesesuaian lahan untuk Karet (Havea brassiliensis Muel) Kriteria/Karakteristik Lahan Temperatur (tc) o Rata-rata tahunan ( C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Lamanya masa kering (bln) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase Media perakaran (rc) Tekstur
S1 26-31
2.500-3.000 1-2
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 >30-34 24-26 2.000-2.500 3.000-3.500 2-3
N
22-24
>34 <22
1.500-2.000 3.500-4.000 3-4
>1.500 <4.000 >4
baik
sedang
Agak terhambat, terhambat
Sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sedang <15
-
Agak kasar
kasar
15-35
35-60
>60
75-100
50-75
<50
<60 <140
60-140 140-200
140-200 200-400
>200 >400
saprik
Saprik, hemik
Hemik, fibrik
fibrik
>35
35-50
>50
5,0-6,0
6,0-6,5
>6,5
>0,8
≤0,8
-
<0,5
0,5-1,0
1-2
>2
-
-
-
-
<175
125-175
75-125
<75
8-16
6-30 16-45 berat
>30 >45 Sangat berat
Bahan kasar (%) >100 Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH Tanah C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP) (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman Sulfidik cm) Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi (%) Bahaya banjir (fh) genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%)
<8
-
Sangat rendah
Rendahsedang
F0
-
F1
>F1
<5 <5
5-15 5-15
15-40 15-25
>40 >25
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
Tabel Lampiran 6 Kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit (Elaeis guenensis Jack) Kriteria/Karakteristik Lahan Temperatur (tc) o Rata-rata tahunan ( C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Lamanya masa kering (bln) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase Media perakaran (rc) Tekstur
S1 25-28
1 700-2 500 <2
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 22-25 28-32 1 450-1 700 2 500-3 500 2-3
N
20-22 32-35
<20 >35
1 250-1 450 3 500-4 000 3-4
>1 250 <4 000 >4
Baik,sedang
Agak terhambat
Terhambat, agak cepat
Sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sedang <15
-
Agak kasar
kasar
15-35
35-55
>55
75-100
50-75
<50
<60 <140
60-140 140-200
140-200 200-400
>200 >400
saprik
Saprik, hemik
Hemik, fibrik
fibrik
>16 >20
≤16 ≤20
-
5,0-6,5 >0,8
4,2-5,0 6,5-7,0 ≤0,8
<4,2 >7,0 -
-
<2
2-3
3-4
>4
-
-
-
-
<125
100-125
60-100
<60
8-16
16-30
Sangat rendah
Rendahsedang
berat
Sangat berat
F0
F1
F2
>F2
<5 <5
5-15 5-15
15-40 15-25
>40 >25
Bahan kasar (%) >100 Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH Tanah C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP) (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman Sulfidik cm) Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi (%)
<8
Bahaya banjir (fh) genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%)
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
-
>30
Tabel Lampiran 7 Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan per hektar dari Usahatani padi di rawa lebak Desa Sungai Ambangah (ha/th) No Uraian A Penerimaan Produksi dalam bentuk GKG B Pengeluaran 1. bibit 45 KG 2. Pupuk (kg) 3. Pestisida (btl) 4. Tenaga kerja (HOK)
Banyaknya (kg)
Nilai (Rp)
1 100
3 300 000
45 150 3,5 10
135 000 340 000 187 500 250 000
C Jumlah Pengeluaran D Jumlah Penerimaan E Jumlah Pendapatan Sumber: Hasil survey Ket: Jumlah sampel 45 petani
910 000 3 300 000 2 390 000
Tabel Lampiran 8 Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan per hektar dari Usahatani padi di rawa lebak Desa Pasak Piang (ha/th) No Uraian A Penerimaan Produksi dalam bentuk GKG B Pengeluaran 1. bibit 45 KG 2. Pupuk (kg) 3. Pestisida (btl) 4. Tenaga kerja (HOK) C Jumlah Pengeluaran D Jumlah Penerimaan E Jumlah Pendapatan Sumber: Hasil survey Ket: Jumlah sampel 28 petani
Banyaknya (kg)
Nilai (Rp)
900
2 700 000
45 50 1 10
135 000 112 500 52 500 200 000 500 000 2 700 000 2 200 000
Tabel Lampiran 9 Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Sungai Ambangah (ha/th) Umur Produksi Harga Penerimaan th (kg/ha) produksi usahatani Ke (Rp/kg) (Rp/ha) 26 990 8 000 7 920 000 27 990 8 000 7 920 000 28 979,11 9 000 8 811 990 8 635 750,20 29 959,53 9 000 30 921,15 10 000 9 211 466,88 31 875,09 10 000 8 750 893,54 32 822,58 10 000 8 225 839,92 33 765,00 11 000 8 415 034,24 34 696,15 11 000 7 657 681,16 Sumber: Hasil Olahan
Biaya pemeliharaan rutin (Rp/ha) 3 550 000 3 727 500,00 3 913 875,00 4 109 568,75 4 315 047,19 4 530 799,55 4 757 339,52 4 995 206,50 5 244 966,83
Pendapatan usahatani (Rp/ha/th) 4 370 000 4 192 500 4 898 115 4 526 181 4 896 420 4 220 094 3 468 500 3 419 828 2 412 714
Tabel Lampiran 10 Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Pasak Piang (ha/th) Umur Produksi Harga th (kg/ha) produksi Ke (Rp/kg) 26 990 7 000 27 990 7 000 28 980,1 8 000 29 960,50 8 000 30 922,08 9 000 31 875,97 9 000 32 823,42 9 000 33 765,78 10 000 34 696,86 10 000 Sumber: Hasil Olahan
Penerimaan usahatani (Rp/ha) 6 930 000 6 930 000 7 840 800 7 683 984
Biaya pemeliharaan rutin (Rp/ha) 262 333 275 449,65 289 222,13 303 683,24
8298 702,72
318 867,40
7883 767,58
334 810,77
7410 741,53
351 551,31
7657 766,25
369 128,88
6968 567,28
387 585,32
Pendapatan usahatani (Rp/ha/th) 6 667 667 6 654 550 7 551 578 7 380 301 7 979 835 7 548 957 7 059 190 7 288 637 6 580 982
Tabel Lampiran 11 Rekapitulasi analisis pendapatan usahatani kelapa sawit di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Produksi (kg/ha)*
Harga produksi (Rp/kg)
Penerimaan usahatani (Rp/ha)
Biaya pemeliharaan rutin (Rp/ha)*
Pendapatan usahatani (Rp/ha/th)
2007
0
0
0
7 120 250
-7120250
2008
0
0
0
2 743 600
-2743600
2009
0
0
0
3 201 200
-3201200
Tahun tanam
2010
0
0
0
7 505 200
-7505200
2011
1 263
1325,78
1674460,14
7 505 200
-5830739,86
2012
4 697
1351,56
6348277,32
7 505 200
-1156922,68
2013
7 337
1377,34
10105543,58
7 505 200
2600343,58
2014
2 140
1403,12
3002676,80
7 505 200
-4502523,20
2015
8 943
1428,90
127786520,70
7 505 200
5273452,70
2016
3 830
1431,45
5482453,50
7 505 200
-2022746,50
2017
3 313
1457,23
4827802,99
7 505 200
-2677397,01
2018
6 733
1483,01
9985106,33
7 505 200
2479906,33
2019
16 923
1508,79
25533253,17
7 505 200
18028053,17
2020
14 590
1543,57
22520686,30
7 505 200
15015486,30
2021
15 780
1560,35
24622323
7 505 200
17117123
2022
19 290
1586,13
30596447,70
6 823 000
23773447,70
2023
19 770
1611,91
31867460,70
6 823 000
25044460,70
2024
22 603
1637,69
370167070,07
6 823 000
30193707,07
2025
18 737
1663,47
31168437,39
6 823 000
24345437,39
2026
15 643
1689,25
26424937,75
6 823 000
19601937,75
2027
13 670
1715,03
23444460,10
6 823 000
16621460,10
2028
19 907
1740,80
34654105,60
6 823 000
27831105,60
2029
18 053
1766,59
31892249,27
6 823 000
25069249,27
2030
11 683
1792,23
20938623,09
6 823 000
14115623,09
2031
17 587
1818,15
31975804,05
6 823 000
25152804,05
2032
12 410
1843,93
22883171,30
6 823 000
16060171,30
274 902
34 736,28
449 743 639,9
178 180 450
271 563 189,90
Rata-rata 10 996,08 13894512 17 989 745,60 7127218 Keterangan: Asumsi harga TBS setiap tahun naik sebesar Rp 25.78,-
10862527,60
Jumlah
Tabel Lampiran 12 Proyeksi produksi karet kering dan estimasi produksi lateks Tahun Umur (th)
Sadap
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Estimasi produksi KKK (ton/ha) 500 1 150 1 400 1 600 1 750 1 850 2 200 2 300 2 350 2 300 2 150 2 100 2 000 1 900 1 800 1 650 1 550 1 450 1 400 1 350 1 200 1 000 1 150 850 800
Estimasi Produksi Lateks (liter/ha) 2 000 4 600 5 600 6 400 7 000 7 400 8 800 9 200 9 400 9 200 8 600 8 400 8 000 7 600 7 200 6 600 6 200 5 800 5 600 5 400 4 800 4 600 4 000 3 400 3 200
Sumber: Pusat Penelitian Karet, Medan 2001 Ket: Estimasi produksi didasarkan pada asumsi karet kering (KKK) = 25%
Tabel Lampiran 13 Perkiraan produksi TBS, minyak sawit dan inti sawit pada berbagai umur tanaman kelapa sawit Umur Tanaman (th) 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Produksi TBS (ton) 4,00 7,00 9,67 11,75 13,40 14,67 17,67 19,67 20,83 21,50 21,83 22,00 21,83 21,67 21,33 21,00 20,50 20,00 19,50 19,00 18,50 18,00 17,50
Produksi Minyak Sawit (ton) 0,52 1,20 1,80 2,30 2,72 3,03 3,37 4,23 4,53 4,70 4,77 4,78 4,77 4,73 4,67 4,60 4,50 4,40 4,30 4,20 4,10 4,00 3,90
Produksi Inti Sawit (ton) 0,11 0,18 0,40 0,52 0,59 0,65 0,78 0,87 0,92 0,95 0,96 0,97 0,96 0,95 0,94 0,92 0,90 0,88 0,86 0,84 0,81 0,79 0,77
Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Balitbang Pertanian, 2008
Tabel Lampiran 14 Atribut dan skor keberlanjutan ekologi di rawa lebak No
Dimensi/Atribut 1.
Skor*)
Baik
Buruk
Keterangan
Sumber Data
Didasarkan pada jumlah rumah tangga pertanian berdasarkan luas lahan garapan: (0) <0.5; (1) 0.5 – 1.0; (2) 1.0 – 2.0; (3) >2.0 Didasarkan pada banyaknya penggunaan pupuk per hektar: (0) lebih kecil; (1) sama; (2) lebih besar (0) tidak sesuai; (2) Sesuai marginal; (3) cukup sesuai; (4) sangat sesuai (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi Didasarkan pada produktivitas relatif regional; (0) lebih rendah; (1) sama; (2) lebih tinggi (0) sering; (1) kadangkadang; (2) tidak pernah tergenang (0) sering; (1) kadang-kadang; (2) tidak pernah kering Didasarkan pada jenis pengairan: (0) tanpa irigasi; (1) irigasi semi teknis; (2) irigasi teknis
Statistik pertanian Kalbar, 2009
Keberlanjutan Ekologi
1
Persentase luas lahan garapan
0,1,2,3
3
0
2
Penggunaan pupuk
0,1,2
2
0
3
Kelas kesesuaian lahan
0,1,2,3
3
0
4
Kandungan bahan organik tanah Produktivitas lahan
0,1,2
2
0
0,1,2
2
0
6
Periode tergenang
0,1,2
2
0
7
Periode kekeringan
0,1,2
2
0
8
Ketersediaan sistem irigasi
0,1,2
2
0
5
Rekomendasi teknologi budidaya BPTP Kalbar, 2009 Kelas kesesuaian lahan Balai Penelitian Tanah, 2003 Kritaria kesesuaian lahan dan hasil analisis tanah Staitik Pertanian Kalbar, 2009
Responden petani, ketua kelompok tani Responden petani, ketua kelompok tani Indikator Pertanian, 2004
Tabel Lampiran 15 Atribut dan skor keberlanjutan ekonomi di rawa lebak No
Dimensi/Atribut
Skor
Baik
Buruk
Keterangan
Sumber Data
Didasarkan pada relatif pendapatan regional Kab.: (0) dibawah UMR; (1) sama dengan UMR; (2) diatas UMR Didasarkan pada produksi relatif regional; (0) lebih rendah; (1) sama; (2) lebih tinggi (0) relatif kurang; (1) relatif cukup; (2) relatif lebih (0) dibawah nasional; (1) sama dengan nasional; (2) diatas nasional (0) tidak tersedia; (1) tersedia
SK. Gub. Kalbar No. 670 tahun 2009 ttg UMK (Rp 820 000 per bulan)
2. Keberlanjutan Ekonomi 1
Pendapatan rata-rata petani
0,1,2
2
0
2
Produksi usahatani
0,1,2
2
0
3
Ketersediaan modal usahatani Harga produk usahatani
0,1,2
2
0
0,1,2
2
0
Ketersediaan sarana produksi Keuntungan usahatani
0,1
1
0
0,1,2
2
0
Efesiensi ekonomi
0,1,2
2
0
4
5
6
7
Didasarkan pada persen keuntungan per ha dari usahatani terhadap persen keuntungan regional: (0) lebih kecil; (1) sama; (2) lebih besar didasarkan pada hasil hitungan B/C ratio: (0) tidak layak; (1) break even point; (2) layak
Statistik Pertanian, 2009
Responden petani dan ketua klp. tani Responden petani dan ketua klp. tani
Monografi Kec.Sungai Raya dan S. Ambawang Indikator Pertanian, 2004
Patanas, 2006
Tabel Lampiran 16 Atribut dan skor keberlanjutan sosial budaya di rawa lebak No
Dimensi/Atribut 3.
1
Skor
Baik
Buruk
0,1,2
2
0
0,1,2
2
0
3
Rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian
0,1,2
2
0
4
Peran adat dalam kegiatan pertanian Pola hub. masyarakat dlm usaha pertanian Tingkat pendidikan formal petani
0,1,2
2
0
0,1
1
0
0,1,2, 3,4
4
0
Intensitas konflik
0,1,2, 3
3
0
5
6
7
Sumber Data
(0) menyewa; (1) menggarap; (2) milik sendiri Didasarkan pada jumlah rumah tangga petani relatif regional: (0) dibawah rata-rata; (1) sama; (2) diatas rata-rata Didasarkan pada rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan relatif diwilayah regional: (0) dibawah rata-rata; (1) sama; (2) diatas rata-rata (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) tidak saling menguntungkan, (1) saling menguntungkan (0) tidak tamat SD (1) SD (2) SLTP (3) SLTA (4) PT Didasarkan pada jumlah konflik yang terjadi dalam setahun terkait masalah-masalah sosial: (0) tidak pernah; (1) 1 – 5 kali (2) 6 – 10 kali (3) > 10 kali
Responden petani dan ketua kelompok tani Statistik pertanian Kalbar, 2009
Keberlanjutan Sosial Budaya
Status kepemilikan lahan Jumlah rumah tangga petani
2
Keterangan
Responden petani dan ketua kelompok tani
Responden petani dan tokoh adat Responden petani, ketua kelompok tani dan tokoh adat Monografi Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang Responden petani dan tokoh masyarakat
Tabel Lampiran 17 Atribut dan skor keberlanjutan teknologi di rawa lebak No
Dimensi/Atribut 4.
Skor
Baik
Buruk
Keterangan
Sumber Data
(0) tanpa olah tanah; (1) tradisional; (2) semi tradisional; (3) modern (0) tidak dipupuk; (1) dipupuk secukupnya; (2) dipupuk sesuai anjuran (0) tidak dibersihkan; (1) dibersihkan sekucupnya; (2) dibersikan setiap bulan (0) tidak ada (1) ada dan tidak mencukupi (2) ada dan mencukupi (0) tidak ada (1) ada dan tidak mencukupi (2) ada dan mencukupi (0) tidak ada (1) ada dan tidak mencukupi (2) ada dan mencukupi (0) monokultur (1) tumpangsari
Responden petani, ketua kelompok tani, PPL
Keberlanjutan Teknologi
1
Pengolahan tanah
0,1,2,3
3
0
2
Pemupukan
0,1,2
2
0
3
Pengendalian gulma
0,1,2
2
0
4
Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu
0,1,2
2
0
5
Ketersediaan mesin pompa air
0,1,2
2
0
6
Ketersediaan mesin pasca panen
0,1,2
2
0
7
Pola tanam
0,1
1
0
8
Jadual tanam
0,1,2
2
0
(0) tidak mengikuti kalender tanam (1) mengikuti kalender tanam (2) lainnya
Responden petani, ketua kelompok tani, PPL Responden petani, ketua kelompok tani, PPL
Monografi Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang Monografi Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang Monografi Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang Responden petani dan ketua kelompok tani Responden petani dan ketua kelompok tani
Tabel Lampiran 18 Atribut dan skor keberlanjutan kelembagaan di rawa lebak No
Dimensi/Atribut 5.
1
Skor
Baik
Buruk
Keterangan
Sumber Data
Keberlanjutan Kelembagaan
Keberadaan kelompok tani
0,1,2
2
0
(0) tidak ada, Monografi Kec. (1) ada tetapi Sungai Raya dan tidak berjalan, Sungai (2) ada dan Ambawang berjalan 2 Intensitas 0,1,2 2 0 Didasarkan pada Responden pertemuan jadwal pertemuan petani, kelompok kelompok tani kelompok: tani (0) tidak pernah; (1) jarang /insidensial; (2) rutin/ terjadwal 3 Keberadaan 0,1,2 2 0 (0) tidak ada; Responden lembaga sosial (1) ada tetapi petani, kelompok tidak berjalan; tani (2) ada dan berjalan 4 Ketersediaan 0,1,2 2 0 (0) tidak ada, Monografi Kec. lembaga (1) ada tetapi Sungai Raya dan keuangan tidak berjalan, Sungai mikro (2) ada dan Ambawang berjalan 5 Ketersediaan 0,1,2 2 0 (0) tidak ada, Monografi Kec. petugas (1) ada tetapi Sungai Raya dan penyuluh tidak berjalan, Sungai pertanian (2) ada dan Ambawang berjalan 6 Kondisi 0,1,2,3 3 0 (0) sangat jelek, Monografi Kec. prasarana jalan (1) jelek Sungai Raya dan desa (2) agak baik, Sungai (3) baik Ambawang 7 Keberadaan 0,1,2 2 0 (0) tidak ada, Monografi Kec. balai penyuluh (1) ada tetapi Sungai Raya dan pertanian tidak Sungai berjalan, Ambawang (2) ada dan berjalan 8 Ketersediaan 0,1,2 2 0 (0) tidak ada, Responden kios saprodi (1) ada tetapi petani, kelompok tidak tani berjalan, (2) ada dan berjalan Keterangan: *)Nilai skor adalah merupakan modus dari semua pendapat pakar
Tabel Lampiran 19 Simulasi pola pertanian terpadu berbagai praktek usahatani dari berbagai tanaman berbasis sumberdaya tanaman lokal dan jenis ternak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No
Simbol pola tanam
Musim tanam dengan berbagai Tanaman MT 1 MT 2 Perkebunan Padi Ratun Karet K. Sawit
1.
p0 (eksisting)
padi -
-
-
karet -
sawit
-
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11 p12 p13 p14 p15 p16 p17 p18 p19 p20 p21 p22 p23
padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi
ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun -
padi padi padi padi jagung jagung jagung jagung padi padi padi padi jagung jagung jagung jagung
karet karet karet karet karet karet karet karet karet karet karet
sawit sawit sawit sawit sawit sawit sawit sawit sawit sawit sawit
sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi sapi
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45.
p24 p25 p26 p27 p28 p29 p30 p31 p32 p33 p34 p35 p36 p37 p38 p39 p40 p41 p42 p43 p44
padi
-
-
-
-
kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing kambing
-
padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi
ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun -
padi padi padi padi jagung jagung jagung jagung padi padi padi padi jagung jagung
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet
sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
Jenis Ternak
Lanjutan 46. p45 No Simbol
jagung sawit Musim tanam dengan berbagai Tanaman MT 1 MT 2 Perkebunan Ratun Karet Padi K. Sawit padi jagung karet sawit
padi
47.
pola tanam p46
48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70.
p47 p48 p49 p50 p51 p52 p53 p54 p55 p56 p57 p58 p59 p60 p61 p62 p63 p64 p65 p66 p67 p68 p69
padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi
ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun
71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94.
p70 p71 p72 p73 p74 p75 p76 p77 p78 p79 p80 p81 p82 p83 p84 p85 p86 p87 p88 p89 p90 p91 p92 p93
padi
-
-
-
padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi
-
-
ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun ratun -
-
padi padi padi padi jagung jagung jagung jagung padi padi padi padi jagung jagung jagung jagung -
padi padi padi padi jagung jagung jagung jagung padi padi padi padi jagung jagung jagung jagung -
-
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet -
karet karet
-
sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
sawit sawit -
kambing
Jenis Ternak kambing itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik itik ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam ayam sapi
Lanjutan No
Simbol Musim tanam dengan berbagai Tanaman MT 1 pola MT 2 Perkebunan Ratun Karet tanam Padi K. Sawit 95. p94 padi karet 96. p95 padi karet 97. p96 padi karet 98. p97 padi sawit 99. p98 padi sawit 100. p99 padi sawit 101 p100 padi sawit 102 p101 padi karet sawit 103 p102 padi karet sawit 104 p103 padi karet sawit 105 p104 padi karet sawit Ket: (p0)=pola tanam eksisting; (p1-p92)=simulasi pola tanam Sumber: Hasil olahan
Jenis Ternak kambing itik ayam sapi kambing itik ayam sapi kambing itik ayam
Tabel Lampiran 20 Estimasi pendapatan (Rp/tahun) dari simulasi model pertanian terpadu di Desa Sungai Ambangah Simbol pola tanam (a) Pola eksisting p0 p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11*) p12 p13 p14 p15 p16 p17 p18 p19 p20 p21 p22 p23 p24 p25 p26 p27 p28 p29 p30 p31 p32 p33 p34 p35 p36 p37 p38 p39
Pendapatan dari hasil tanaman (Rp/th) (b)
Pendapatan berdasarkan jenis ternak (Rp/th) (c)
Estimasi pendapatan (Rp/tahun) (b+c)
2 609 000 5 126 000 11 734 830 Untuk ternak sapi 3 600 000 2 609 000 3 600 000 5 126 000 3 600 000 11 734 830 3 600 000 3 130 800 3 600 000 8 256 800 3 600 000 13 133 000 3 600 000 18 259 000 3 600 000 5 739 800 3 600 000 10 865 800 3 600 000 15 742 000 3 600 000 20 868 000 3 600 000 3 706 300 3 600 000 8 832 300 3 600 000 13 708 500 3 600 000 18 834 500 3 600 000 5 218 000 3 600 000 10 344 000 3 600 000 15 220 200 3 600 000 20 346 200 3 600 000 3 184 500 3 600 000 8 310 500 3 600 000 13 186 700 3 600 000 18 312 700 Untuk ternak kambing 2 165 000 2 609 000 2 165 000 5 126 000 2 165 000 11 734 830 2 165 000 3 130 800 2 165 000 8 256 800 2 165 000 13 133 000 2 165 000 18 259 000 2 165 000 5 739 800 2 165 000 10 865 800 2 165 000 15 742 000 2 165 000 20 868 000 2 165 000 3 706 300 2 165 000 8 832 300 2 165 000 13 708 500 2 165 000 18 834 500 2 165 000 5 218 000
2 609 000 5 126 000 11 734 830 6 209 000 8 726 000 13 602 171 6 730 800 11 856 800 16 733 000 21 859 000 9 339 800 14 465 800 19 342 000 24 468 000 7 306 300 12 432 300 17 308 500 22 434 500 8 818 000 13 944 000 18 820 200 23 946 200 6 784 500 11 910 500 16 786 700 21 912 700 4 774 000 7 291 000 12 167 200 5 295 800 10 421 800 15 298 000 20 424 000 7 904 800 13 030 800 17 907 000 23 033 000 5 871 300 10 997 300 15 873 500 20 999 500 7 383 000
Lanjutan Simbol pola tanam (a) p40 p41 p42 p43 p44 p45 p46 p47 p48 p49 p50 p51 p52 p53 p54 p55 p56 p57*) p58 p59 p60 p61 p62 p63 p64 p65*) p66 p67 p68 p69 p70 p71 p72 p73 p74 p75 p76 p77 p78 p79 p80 p81 p82
Pendapatan dari hasil tanaman (Rp/th) (b)
Pendapatan berdasarkan jenis ternak (Rp/th) (c)
Estimasi pendapatan (Rp/tahun) (b+c)
2 165 000 2 165 000 2 165 000 2 165 000 2 165 000 2 165 000 2 165 000
12 509 000 17 385 200 22 511 200 5 349 500 10 475 500 15 351 700 20 477 700
4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000
7 055 000 9 572 000 14 448 200 7 576 800 12 702 800 17 579 000 22 705 000 10 185 800 15 311 800 20 188 000 25 314 000 8 152 300 13 278 300 18 154 500 23 280 500 9 664 000 14 790 000 19 666 200 24 792 200 7 630 500 12 756 500 17 632 700 22 758 700
1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900
4 103 900 6 620 900 11 497 100 4 625 700 9 751 700 14 627 900 19 753 900 7 234 700 12 360 700 17 236 900 22 362 900 5 201 200 10 327 200
10 344 000 15 220 200 20 346 200 3 184 500 8 310 500 13 186 700 18 312 700 Untuk ternak itik 2 609 000 5 126 000 11 734 830 3 130 800 8 256 800 13 133 000 18 259 000 5 739 800 10 865 800 15 742 000 20 868 000 3 706 300 8 832 300 13 708 500 18 834 500 5 218 000 10 344 000 15 220 200 20 346 200 3 184 500 8 310 500 13 186 700 18 312 700 Untuk ternak ayam 2 609 000 5 126 000 11 734 830 3 130 800 8 256 800 13 133 000 18 259 000 5 739 800 10 865 800 15 742 000 20 868 000 37 06 300 8 832 300
Lanjutan Simbol pola tanam
Pendapatan dari hasil tanaman (Rp/th) (b)
Pendapatan berdasarkan jenis ternak (Rp/th) (c)
(a) 1 494 900 p83 13 708 500 1 494 900 p84 18 834 500 1 494 900 p85 5 218 000 1 494 900 p86 10 344 000 1 494 900 p87 15 220 200 1 494 900 p88 20 346 200 1 494 900 p89 3 184 500 1 494 900 p90 8 310 500 1 494 900 p91 13 186 700 1 494 900 p92 18 312 700 3 600 000 p93 7 735 010 2 165 000 p94 7 735 010 4 446 000 p95 7 735 010 1 494 900 p96 7 735 010 3 600 000 p97 12 611 171 2 165 000 p98 12 611 171 4 446 000 p99 12 611 171 1 494 900 p100 12 611 171 3 600 000 p101 17 737 181 2 165 000 p102 17 737 181 4 446 000 p103 17 737 181 1 494 900 p104 17 737 181 Ket: Pandapatan dari usahatani jagung Rp575 500/ha di Ambangah *) pola tanam yang memenuhi nilai KHL
Estimasi pendapatan (Rp/tahun) (b+c) 15 203 400 20 329 400 6 712 900 11 838 900 16 715 100 21 841 100 4 679 400 9 805 400 14 681 600 19 807 600 11 335 010 9 900 010 12 181 010 9 229 910 16 211 171 14 776 171 17 057 171 14 106 071 21 337 181 19 902 181 22 183 181 19 232 081
Desa Sungai
Tabel Lampiran 21 Simbol pola tanam (a)
Pola eksisting p0 p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11*) p12 p13 p14 p15*) p16 p17 p18 p19*) p20 p21 p22 p23 p24 p25 p26 p27 p28 p29 p30*) p31 p32 p33 p34*) p35 p36 p37 p38*) p39
Estimasi pendapatan (Rp/tahun) dari simulasi model pertanian terpadu di Desa Pasak Piang
Penerimaan dari hasil tanaman (Rp/th)
Penerimaan berdasarkan jenis ternak (Rp/th)
Estimasi pendapatan (Rp/tahun)
(b) (c) 2 575 450 9 038 000 11 558 350 Untuk ternak sapi 3 600 000 2 575 450 3 600 000 9 038 000 3 600 000 11 558 350 3 600 000 3 090 550 3 600 000 12 128 550 3 600 000 14 648 900 3 600 000 23 686 900 3 600 000 5 666 000 3 600 000 14 704 000 3 600 000 17 224 350 3 600 000 26 262 350 3 600 000 3 540 550 3 600 000 12 578 550 3 600 000 15 098 900 3 600 000 24 136 900 3 600 000 5 150 900 3 600 000 14 188 900 3 600 000 16 709 250 3 600 000 25 747 250 3 600 000 3 025 450 3 600 000 12 063 450 3 600 000 14 583 800 3 600 000 23 621 800 Untuk ternak kambing 2 165 000 2 575 450 2 165 000 9 038 000 2 165 000 11 558 350 2 165 000 3 090 550 2 165 000 12 128 550 2 165 000 14 648 900 2 165 000 23 686 900 2 165 000 5 666 000 2 165 000 14 704 000 2 165 000 17 224 350 2 165 000 26 262 350 2 165 000 3 540 550 2 165 000 12 578 550 2 165 000 15 098 900 2 165 000 24 136 900 2 165 000 5 150 900
(b+c) 2 575 450 9 038 000 11 558 350 6 175 450 12 638 000 15 158 350 6 690 550 15 728 550 18 248 900 27 286 900 9 266 000 18 304 000 20 824 350 29 862 350 7 140 550 16 178 550 18 698 900 27 736 900 8 750 900 17 788 900 20 309 250 29 347 250 6 625 450 15 663 450 18 183 800 27 221 800 4 740 450 11 203 000 13 723 350 5 255 550 14 293 550 16 813 900 25 851 900 7 831 000 16 869 000 19 389 350 28 427 350 5 705 550 14 743 550 17 263 900 26 301 900 7 315 900
Lanjutan Simbol pola tanam (a)
p40 p41 p42*) p43 p44 p45 p46*) p47 p48 p49 p50 p51 p52 p53*) p54 p55 p56 p57*) p58 p59 p60 p61*) p62 p63 p64 p65*) p66 p67 p68 p69*) p70 p71 p72 p73 p74 p75 p76*) p77 p78 p79 p80*) p81 p82
Penerimaan dari hasil tanaman (Rp/th)
Penerimaan berdasarkan jenis ternak (Rp/th)
(b) 14 188 900 16 709 250 25 747 250 3 025 450 12 063 450 14 583 800 23 621 800 Untuk ternak itik 2 575 450 9 038 000 11 558 350 3 090 550 12 128 550 14 648 900 23 686 900 5 666 000 14 704 000 17 224 350 26 262 350 3 540 550 12 578 550 15 098 900 24 136 900 5 150 900 14 188 900 16 709 250 25 747 250 3 025 450 12 063 450 14 583 800 23 621 800 Untuk ternak ayam 2 575 450 9 038 000 11 558 350 3 090 550 12 128 550 14 648 900 23 686 900 5 666 000 14 704 000 17 224 350 26 262 350 3 540 550 12 578 550
Estimasi pendapatan (Rp/tahun)
(c) 2 165 000 2 165 000 2 165 000 2 165 000 2 165 000 2 165 000 2 165 000
(b+c) 16 353 900 18 874 250 27 912 250 5 190 450 14 228 450 16 748 800 25 786 800
4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000 4 446 000
7 021 450 13 484 000 16 004 350 7 536 550 16 574 550 19 094 900 28 132 900 10 112 000 19 150 000 21 670 350 30 708 350 7 986 550 17 024 550 19 544 900 28 582 900 9 596 900 18 634 900 21 155 250 30 193 250 7 471 450 16 509 450 19 029 800 28 067 800
1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900
4 070 350 10 532 900 13 053 250 4 585 450 13 623 450 16 143 800 25 181 800 7 160 900 16 198 900 18 719 250 27 757 250 5 035 450 14 073 450
Lanjutan Simbol pola tanam (a)
Penerimaan dari hasil tanaman (Rp/th)
Penerimaan berdasarkan jenis ternak (Rp/th)
Estimasi pendapatan (Rp/tahun)
(b) 1 5098 900 2 4136 900 5 150 900 14 188 900 1 6 709 250 25 747 250 3 025 450 12 063 450 14 583 800 23 621 800 11 613 450 11 613 450 11 613 450 11 613 450 14 133 800 14 133 800 14 133 800 14 133 800 23 171 800 23 171 800 23 171 800 23 171 800
(c) 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 1 494 900 3 600 000 2 165 000 4 446 000 1 494 900 3 600 000 2 165 000 4 446 000 1 494 900 3 600 000 2 165 000 4 446 000 1 494 900
(b+c) 16 593 800 25 631 800 6 645 800 15 683 800 18 204 150 27 242 150 4 520 350 13 558 350 16 078 700 25 116 700 15 213 450 13 778 450 16 059 450 13 108 350 17 733 800 16 298 800 18 579 800 15 628 700 26 771 800 25 336 800 27 617 800 24 666 700
p83 p84*) p85 p86 p87 p88*) p89 p90 p91 p92*) p93 p94 p95 p96 p97 p98 p99 p100 p101*) p102*) p103*) p104*) Ket: Pandapatan dari usahatani jagung Rp450 000/ha di Desa Pasak Piang *) Pola tanam yang memenuhi nilai KHL
Tabel Lampiran 22 Simulasi pendapatan petani di Desa Sungai Ambangah berdasarkan luas kepemilikan lahan usahatani dalam memenuhi KHL Jenis Tanaman dan Luas Kepemilikan Lahan Petani
Padi 0.4
F1
1043600
F2
1043600
F3
1043600
F4
1043600
F5
1043600
0.5
0.8
1.0
Karet 1.2
1.5
1.8
1.0
1.2
1.5
K. Sawit 2.5
3.0
5126000 6151200 7689000 12815000 15378000
F6
1304500
F7
1304500
F8
1304500
F9
1304500
F10
1304500
5126000 6151200 7689000 12815000 15378000
F11
2087200
F12
2087200
F13
2087200
F14
2087200
F15
2087200
5126000 6151200 7689000 12815000 15378000
Jumlah (Rp)
Jenis dan Jumlah Ternak (ekor)
6169600
s2i3 & s3i2
++
7194800
s3I2 & s2i3
++
8732600
s1i3 & s2i2
++
13858600
s3 & i3
++
16421600
I2 & s3
++
6430500
s2i3 & s3i2
++
7455700
s2I3 & s3i2
++
8993500
s1I3 & s2i2
++
14119500
s3 & I3
++
16682500
i2 & s3
++
7213200
s3i2 & s2i3
++
8238400
s3i2 & s2i3
++
9776200
s1i3 & s2i2
++
14902200
s3 & i3
++
17465200
s2 & i2
++
1.0
KHL (5 org/KK)
207
Jenis Tanaman dan Luas Kepemilikan Lahan Petani
Padi 0.4
0.5
0.8
1.0
F16
2609000
F17
2609000
F18
2609000
F19
2609000
F20
2609000
Karet 1.2
1.5
1.8
1.0
1.2
1.5
K. Sawit 2.5
3.0
5126000 6151200 7689000 12815000 15378000
F21
3130800
F22
3130800
F23
3130800
F24
3130800
F25
3130800
5126000
12815000 15378000
F27
3913500
F28
3913500
F29
3913500
F30
3913500
7735000
s3i2 & s2i3
8760200
s3i2 &s2i3
10298000
s1i3 & s2i2
15424000
s3 atau i3
17987000
s2 atau i2
1.0
9282000 7689000
3913500
Jenis dan Jumlah Ternak (ekor)
8256800 6151200
F26
Jumlah (Rp)
5126000 6151200 7689000 12815000 15378000
s3i2 atau s2i3 s1I3 atau s2i2
10819800
i3
15945800
s3 atau i3
18508800
s2 atau i2
9039500
s1i3 & s2i2
10064700
i3
11602500
i3
16728500
i2
19291500
s2
208
Lanjutan KHL (5 org/KK)
Lanjutan Jenis Tanaman dan Luas Kepemilikan Lahan Petani
Padi 0.4
0.5
0.8
1.0
Karet 1.2
1.5
1.8
1.0
F31
4696200
5126000
F32
4696200
F33
4696200
F34
4696200
F35
4696200
F36
1043600
F37
1043600
F38
1043600
F39
1043600
F40
1043600
1.2
1.5
K. Sawit 2.5
3.0
6151200
10847400 7689000 12815000 15378000
6151200 7689000 12815000 15378000
1304500
F42
1304500
F43
1304500
F44
1304500
F45
1304500
1.0 9822200
5126000
F41
Jumlah (Rp)
5126000 6151200 7689000 12815000 15378000
Jenis dan Jumlah Ternak (ekor) s3i1 & s2i2
KHL (5 org/KK) ++
i3
++
12385200
i3
++
17511200
s2 atau i2
++
20074200
i1
++
s2 atau i2 s2 atau i2 s1 atau i1
++
12337700
18507300
12337700
19532500
12337700
21070300
12337700
26196300
+
12337700
28759300
+
12337700
18768200
s2 atau i2
++
12337700
19793400
i1
++
12337700
21331200
s1 atau i1
++
12337700
26457200
+
12337700
29020200
+
++ ++
209
210
Lanjutan Jenis Tanaman dan Luas Kepemilikan Lahan Petani
Padi 0.4
0.5
0.8
F46
2087200
F47
2087200
F48
2087200
F49
2087200
F50
2087200
1.0
Karet 1.2
1.5
1.8
1.0
1.2
1.5
K. Sawit 2.5
3.0
5126000 6151200 7689000 12815000
15378000
F51
2609000
F52
2609000
F53
2609000
F54
2609000
F55
2609000
5126000 6151200 7689000 12815000 15378000
F56
3130800
F57
3130800
F58
3130800
F59
3130800
F60
3130800
5126000 6151200 7689000 12815000 15378000
F61
3913500
F62
3913500
5126000 6151200
Jumlah (Rp)
1.0
Jenis dan Jumlah Ternak (ekor)
KHL (5 org/KK)
12337700
19550900
s2
++
12337700
20576100
s1 atau i1
++
12337700
22113900
s1
++
12337700
27239900
12337700
29802900
12337700
20072700
i1
++
12337700
21097900
s1
++
12337700
22635700
s1
++
12337700
27761700
+
12337700
30324700
+
12337700
20594500
s1 atau i1
++
12337700
21619700
s1
++
12337700
23157500
s1
++
12337700
28283500
+
12337700
30846500
+
12337700
21377200
s1
++
12337700
22402400
s1
++
+ +
Lanjutan Jenis Tanaman dan Luas Kepemilikan Lahan Petani
Padi 0.4
0.5
0.8
1.0
Karet 1.2
1.5
F63
3913500
F64
3913500
F65
3913500
1.8
1.0
1.2
1.5
K. Sawit 2.5
3.0
7689000 12815000 15378000
F66
4696200
F67
4696200
F68
4696200
F69
4696200
F70
4696200
5126000 6151200 7689000 12815000 15378000
Jumlah (Rp)
1.0
Jenis dan Jumlah Ternak (ekor)
KHL (5 org/KK)
s1
++
12337700
23940200
12337700
29066200
+
12337700
31629200
+
12337700
22159900
++
12337700
23185100
++
12337700
24722900
+
12337700
29848900
+
12337700
32411900
+
Keterangan: s1 = sapi 1 ekor; s2 = sapi 2 ekor; s3 = sapi 3 ekor dan i1 = itik 50 ekor; i2 = itik 100 ekor; i3 = itik 150 ekor s1i1 sampai s3i3 = kombinasi jumlah ternak untuk memenuhi KHL (+) = memenuhi KHL tanpa penambahan jumlah ternak (++) = memenuhi KHL dengan penambahan jumlah ternak
211
Nilai Pendapatan Berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan (Rp) Petani
Karet
Padi 0.5
F1
1287725
F2
1287725
F3
1287725
F4
1287725
0.8
1.0
1.5
1.0
1.2
K. Sawit 1.5
2.5
9038000 10845600 13557000 22595000
F5
2060360
F6
2060360
F7
2060360
F8
2060360
9038000 10845600 13557000 22595000
F9
2575450
F10
2575450
F11
2575450
F12
2575450
9038000 10845600 13557000 22595000
F13
3863175
F14
3863175
F15
3863175
F16
3863175
9038000 10845600 13557000 22595000
Jumlah (Rp)
Jenis dan Jumlah Ternak (ekor)
10325725
s3i1 dan s2i2 dan s1i3
++
12133325
i3
++
14844725
S3
++
23882725
S1 atau i1
++
11098360
S3i1 dan s2i2 dan s1i3
++
12905960
I3 atau s2i1 dan s1i2
++
15617360
S3 atau i2
KHL (5 org/KK)
1.0
+
24655360
11613450
I3 dan s1i1
++
13421050
S3 dan s2i1 dan s1i2
++
16132450
S3 atau i2
++ +
25170450
12901175
I3 dan s2i1 dan s1i2
++
14708775
S3 dan s2i1
++
17420175
S2 dan i2
++
26458175
+
212
Tabel Lampiran 23 Simulasi pendapatan petani di Desa Pasak Piang berdasarkan luas kepemilikan lahan usahatani dalam memenuhi KHL
Lanjutan Nilai Pendapatan Berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan (Rp) Padi
Petani 0.5 F17
1287725
F18
1287725
F19
1287725
F20
1287725
0.8
Karet 1.0
1.5
1.0
1.2
1.5
2.5
9038000 10845600 13557000 22595000
F21
2060360
F22
2060360
F23
2060360
F24
2060360
9038000 10845600 13557000 22595000
F25
2575450
F26
2575450
F27
2575450
F28
2575450
9038000 10845600 13557000 22595000
F29
3863175
F30
3863175
F31
3863175
F32
3863175
Jumlah (Rp)
Jenis dan Jumlah Ternak (ekor)
12337700
22663425
S1 atau i1
12337700
24471025
12337700
27182425
12337700
36220425
12337700
23436060
12337700
25243660
12337700
27955060
12337700
36993060
12337700
23951150
12337700
25758750
12337700
28470150
12337700
37508150
12337700
25238875
12337700
27046475
12337700
29757875
12337700
38795875
K. Sawit
9038000 10845600 13557000 22595000
1.0
KHL (5 org/KK)
++ + + +
S1 atau i1
+ + + + + + + + + + +
213
Keterangan: s1 = sapi 1 ekor; s2 = sapi 2 ekor; s3 = sapi 3 ekor dan i1 = itik 50 ekor; i2 = itik 100 ekor; i3 = itik 150 ekor F1-32= petani dengan kombinasi luas kepemilikan lahan s1i1 sampai s3i3 = kombinasi jumlah ternak untuk memenuhi KHL (+) = memenuhi KHL tanpa penambahan jumlah ternak (++) = memenuhi KHL dengan penambahan jumlah ternak
++