V DESAIN SISTEM PENGEMBANGAN PARlWlSATA DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESlSlR BERKELANJUTAN
5.1
Analisis Skenario Model Dasar Analisis simulasi ini dilakukan untuk mengetahui kecenderungan sistem
model dasar masa depan dari berbagai variabel yang dikaji apabila tidak dilakukan kebijakan terhadap suatu kecenderungan sistem itu. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya (causal loop) menyerupai sistem sebenarnya (real world). Analisis skenario model dasar yang akan dijelaskan disini adalah didasarkan pada dua skenario sebagai berikut: 1) Skenario Model Eksisting
2) Skenario Model Hak Pengelolaan Kawasan.
Skenario Model Eksisting akan melihat sampai sejauhmana kawasan itu memberikan manfaat pada masyarakat saat ini dan masa datang yang diukur berdasarkan nilai NPV-nya. Selain itu juga dilihat kecenderungan ekosistem Tahura pada akhir simulasi sebagai akibat keputusan mengkonservasi kawasan itu serta adanya tekanan dari penduduk sekitar kawasan. Sedangkan skenario Model Hak Pengelolaan Kawasan (property right) akan dilihat kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi sebagai akibat keputusan pemberian konsesi pada pihak swasta atau suatu Badan Pengelola yang ditunjuk pemerintah. Kecenderungan sebuah sistem dasar dapat memberikan suatu pemahaman dan gambaran bagaimana suatu sumberdaya alam harus dikelola secara benar,
agar tercapai keseimbangan ekosistem di masa depan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan simulasi dengan menggunakan model simulasi dinamis dalam rentang waktu 30 tahun. Simulasi dilakukan berdasarkan asurnsi bahwa kecenderungan sistem saat ini akan terus berlanjut di masa yang akan datang. Beberapa asumsi yang digunakan dalam penelitian ini untuk masing-masing model adalah sebagai berikut : Asumsi Model Eksisting :
1) Tidak ada kebijakan pemerintah untuk mengkonversi Tahura selain untuk pengelolaan seperti saat ini (eksisting) 2) Tidak ada perambahan hutan mangrove oleh masyarakat sekitar
3) Laju pertambahan populasi penduduk normal sebagaimana saat ini berlangsung yaitu 1,05% per tahun 4) Fraksi migrasi normal 0,5%, kecuali fraksi migrasi berdasarkan rasio kesempatan
kerja dan PDB besarnya tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi setempat 5) Tingkat discount rate sumberdaya alam yang digunakan sebesar 11% 6) Dalam menghitung manfaat ekosistem hutan mangrove digunakan data hipotetis
mutakhir dengan catatan bahwa dalam kawasan Tahura terdapat minimal 5 jenis spesies satwa dan 15 jenis mangrove. 7) Dalam menghitung biaya pengelolaan kawasan yang harus dikeluarkan
pemerintah diasumsikan sebesar prediksi biaya lingkungan kawasan Tahura. Asumsi Model Hak Pengelolaan Kawasan :
1) Tidak ada kebijakan pemerintah untuk mengkonversi Tahura selain untuk pariwisata alam 2) Tidak ada perambahan hutan mangrove oleh masyarakat sekitar 3) Maksimum konversi Tahura pada zona pemanfaatan sebesar 10% 115
4) .Laju natalitas penduduk normal sebagaimana data eksisting yaitu 1,05% per tahun 5) Fraksi migrasi normal 0.5Oh, kecuali fraksi migrasi berdasarkan rasio kesempatan kerja dan PDB besarnya tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi. 6) Tingkat discount rate yang digunakan sebesar 11O h 7) Dalam menghitung manfaat ekosistem hutan mangrove digunakan data hipotetis
mutakhir dengan catatan bahwa dalam kawasan Tahura Qerdapatminimal 5 jenis species satwa dan 15 jenis mangrove. 8) Komposisi Debt Equity Ratio (DER) adalah equity 35% dan debt capital 65%
9) Tidak ada grace periode, hutang dan bunga langsung dibayar pada tahun pertama pengelolaan. 10)Mengingat pengelolaan sumberdaya alam banyak manfaatnya bagi semua pihak, maka besarnya angsuran hutang (payable debt installment) diharapkan ada keringanan, yaitu sebesar 10% dari revenue selama umur simulasi.
Skenario Model Eksisting menghasilkan Net Present Value sebesar Rp 320,91 milyar (Gambar 31). Artinya bahwa jika kawasan Tahura ini tetap dibiarkan seperti saat ini, maka pada 30 tahun yang akan datang memberikan manfaat senilai Rp 320,91 milyar. Kawasan ini akan memberikan nilai sebesar itu apabila natalitas penduduk adalah tetap sebesar
1,05% per tahun.
laju
Ada suatu
kecenderungan dimana dengan tingkat laju natalitas itu pada 30 tahun yang akan datang
diprediksi menjadi 845.875 jiwa. Pertambahan populasi ini dapat
menyebabkan semakin meningkatnya limbah domestik yang masuk kawasan Tahura.
2:
3:
Na
Present %Iue
850MM.00
Onph 6 (Simki)
Years
6 S 1 N Mpn.lh30.uWn
Gambar 31 Perilaku Skenario Model Eksisting Sebagaimana data empirik menunjukkan bahwa di sepanjang muara kanan kiri Tukad (sungai)
Buaji dan Tukad Ngenjuang (zona 1 dan zona 2) terjadi
peranggasan pohon-pohon mangrove. Berdasarkan informasi dari JICA, itu terjadi sebagai akibat semakin meningkatnya limbah domestik yang masuk kawasan, terutama dari Desa Sanur Kauh, Desa Sidakarya dan Desa Sesetan.
Dengan
asumsi tidak terjadi perambahan pada kawasan itu, maka pada akhir simulasi diprediksi akan terjadi penyusutan hutan mangrove seluas 31,4 hektar. Apabila tidak dilakukan pengamanan yang intensif, tidak menutup kemungkinan pada akhir sirnuiasi akan terjadi penyusutan yang lebih besar dari itu.
Ada nilai positif dan negatif dengan Model Eksisting ini. Secara ekologis positif dimana kawasan relatif aman terhadap kerusakan, efek negatifnya adalah kurang memberikan nilai tambah nyata, karena selama umur simulasi itu tidak mandiri secara ekonomi (self financing), sehingga pemda akan terus terbebani dengan biaya-biaya perlindungan kawasan. Hasil simulasi Model Hak Pengelolaan Kawasan
menunjukkan suatu
kecenderungan penurunan sumberdaya alam Tahura di masa depan, sebagai akibat konversi pariwisata serta semakin meningkatnya beban pencemaran pada kawasan itu.
Ada kecenderungan pengusaha pariwisata untuk melakukan konversi
semaksimal mungkin melebihi batasan maksimum building coverage ratio. Memang ini merupakan suatu tindakan rasional bagi seorang pengusaha untuk meningkatkan revenue serta untuk menutupi kewajiban-kewajibannya. Akan tetapi apabila tidak diatur dalam suatu kebijakan yang mengikat dikhawatirkan akan terjadi degradasi sumberdaya alam mangrove. Sementara itu kecenderungan peningkatan suksesi alami hutan mangrove selama 30 tahun ke depan tidak cukup memadai untuk menggantikan luas
areal yang menyusut sebagai akibat konversi dan beban
pencemaran itu. Gambar 32 menunjukkan kecenderungan karakteristik variabel yang diamati. Karakteristik populasi penduduk pada skenario dasar menunjukkan tren yang semakin meningkat sampai akhir tahun simulasi. Demikian pula pendapatan per kapita semakin meningkat dengan semakin meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pariwisata. Kontribusi
(share)
Tahura
terhadap
PDB
pariwisata
menunjukkan
kecenderungan yang semakin menurun, akan tetapi relatif stabil pada akhir-akhir tahun simulasi. Peningkatannya terjadi pada awal-awal pengelolaan karena adanya 118
sejumlah investasi yang ditanamkan pada daerah itu, sedangkan penurunannya terjadi karena secara agregat semakin tingginya tingkat pertumbuhan PDB pariwisata dari wilayah tersebut yang melebihi tingkat pertumbuhan share Tahura. Laju natalitas dalam satu tahun merupakan hasil penggandaan antara jumlah populasi dengan tingkat natalitas. lndikator laju natalitas yang digunakan adalah tingkat kelahiran kotor CDR (Crude Birth Rate), yaitu angka kelahiran per 1000 penduduk. Demikian pula untuk tingkat mortalitas, indikatornya adalah laju kematian kotor CDR per 1000 penduduk. Karakteristik submodel ekonomi pengusahaan pariwisata alam pada skenario dasar menunjukkan tren yang semakin meningkat. Kecenderungan ini terjadi karena pada rentang waktu simulasi diprediksi semakin tingginya tingkat pengunjung pada kawasan itu serta semakin tingginya pendapatan per kapita masyarakat yang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan untuk membayar. Dengan demikian, tingkat penerimaan proyek baik dari restribusi maupun dari akomodasi lainnya semakin meningkat. Prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang semakin baik serta efisiensi manajemen, juga dapat mempengaruhi tingkat Net Present Value pengusahaan. Berdasarkan hasil
simulasi
menunjukkan
bahwa
antara
submodel
lingkungan, submodel penduduk serta submodel ekonomi saling berinteraksi satu sama lain membentuk suatu kecenderungan model dasar. Semakin tinggi populasi penduduk
maka dampak negatif terhadap lingkungan semakin besar, ketika
sejumlah limbah domestik masuk ke dalam kawasan ini. Akan tetapi penambahan populasi penduduk yang diikuti dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita, yang berpengaruh terhadap willingness to pay dalam bentuk retribusi masuk kawasan, justru berdampak positif terhadap ekonomi pengusahaan pariwisata alam, sehingga diperoleh NPV selama umur simulasi sebesar Rp 581,83milyar.
SKENARIO MODEL HAK PENGELOLAAN KAWASAN @ 1: 2: 3:
1 : Tahura 2: Net Present Ulua 3: penduduk 1 m . 0 0 ............................................................................................... t i 7 e 4 l l . -1 850000.00 '
-
\
- .................. 1:
2: 3:
1150.00 3 . 5 e 4 1,-
..................
.................. ..................
..................
750000.00
1: 2: 3:
m.00 0.00 2 650~)0.00$ 2002.00
y, 8 B#( x
Gambar 32.
, 2008.00
2014.M)
Gmph 8 (Siulasi &dd
... Year Hak
2020.00
I
2026.00
4 2032.00
4:14PM Wed,Jan08,2003
Perilaku Skenario Model Dasar Hak Pengelolaan Kawasan
Ada nilai positif dengan skenario Hak Pengelolaan Kawasan wisata ini. Pertama adalah nilai Net Present Value pada akhir simulasi lebih besar 1,8 kali dibandingkan dengan skenario Model Eksisting, serta memberikan gambaran bahwa skenario Hak Pengelolaan Kawasan layak untuk dilaksanakan pada discount rate 11%. Kedua, kawasan Tahura secara ekonomi lebih mandiri (self financing), sehingga pemda tidak terbebani biaya pengelolaan lingkungan.
Nilai negatifnya adalah kualitas lingkungan semakin menurun sebagai akibat konversi serta semakin beratnya kawasan menerima limbah wisata maupun limbah domestik, sehingga diprediksi akan terjadi degradasi terhadap hutan mangrove. Berdasarkan simulasi, penyusutan skenario Model Hak Pengelolaan Kawasan terjadi degradasi 1,4 kali lebih besar dibanding skenario Model Eksisting. Oleh karena itu agar tidak terjadi degradasi pada kawasan itu, maka perlu ada instrumen kebijakan berupa ketentuan biaya pengelolaan lingkungan dan reboisasi yang akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab implikasi kebijakan. Implementasi skenario Model Hak Pengelolaan Kawasan ini memerlukan investasi yang besar dan memakan waktu yang lama. Kondisi ini akan memberikan resiko dan ketidakpastian terhadap modal atau investasi yang ditanam. Oleh karena itu dalam pengusahaan pariwisata alam ini perlu dilakukan analisis evaluasi guna mengetahui tingkat kelayakan usaha, sehingga dapat dihindari pemborosan atau pun pengrusakan sumberdaya alam bila temyata usaha ini tidak layak dilaksanakan. Evaluasi hak pengelolaan pengusahaan pariwisata alam
yang dilakukan pada rencana kegiatan
ini meliputi kelayakan ekonomi lingkungan dengan
prediksi mempunyai implikasi luas terhadap pengembangan wilayah terutama bila dikaitkan dengan manajemen lingkungan. Oleh karena itu dalam analisis model dasar ini perlu diperhatikan masalah konsep valuasi ekonomi sebagai nilai fungsi ekosistem yang berasosiasi dengan keberadaan sumberdaya perikanan di pesisir dan laut, yang mungkin akan terjadi perubahan nilai fungsi ekosisitem itu sebagai akibat adanya pembangunan, atau bahkan akan terjadi dampak negatif (kepunahan sumberdaya) terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, dalam analisis kelayakan usaha ini harus menginternalisasikan biaya lingkungan kedalam komponen mekanisme harga. 121
Analisis kelayakan ekonomi lingkungan bertujuan untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha dilihat dari hubungan antara biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan yang diterima dari usaha.
Analisis ekonomi sumberdaya dan
lingkungan juga bertujuan untuk mengevaluasi akan timbulnya eksternalitas yang dapat mengakibatkan inefisiensi dalam alokasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Perhitungan analisis ekonomi yaitu jika pihak yang berkepentingan langsung dengan biaya dan pendapatan usaha adalah pemerintah atau suatu Badan Pengelola yang ditunjuk oleh
pemerintah. Suatu usaha dianggap layak
dilaksanakan, jika investasi yang ditanamkan memberikan profit kepada Badan Pengelola lebih besar dibanding profit jika ditanamkan pada bidang usaha yang lain. Secara komparatif, proyeksi manfaat-biaya analisis ekonomi pengusahaan Tahura Model Dasar Eksisting dan Model Dasar HPK disajikan pada Lampiran 10 dan Lampiran 1I . Perhitungan analisis ekonomi dengan menggunakan model ekonomi lingkungan seperti yang pernah dilakukan Kusumastanto dalam desertasinya (Kompas, 1995) disebutkan bahwa model ekonomi lingkungan mencakup analisis dinamik, sehingga selain faktor input-output yang dimasukan dalam model, juga unsur non market value dari lingkungan (sumberdaya alam dan polusi) serta aspek sosial. Menginternalisasi biaya lingkungan kedalam model itu akan terlihat seberapa besar perbedaan tingkat kesejahteraan generasi sekarang yang diukur dengan nilai NPV-nya, dengan kesejahteraan generasi yang akan datang. Pendekatan-pendekatan itu
sesungguhnya
untuk
mencapai
tujuan
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan memerlukan adanya kontinuitas pertumbuhan ekonomi dan bukannya stagnasi karena rusaknya 122
sumberdaya alam dan lingkungan. Untuk itu pembangunan Indonesia yang bewawasan lingkungan lebih tepat untuk mencapai sasaran pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan (Kusumastanto, 1995).
5.2
Optimasi Alternatif Pemodelan Pemodelan yang akan diajukan sebagai alternatif perencanaan
pada
skenario Model Hak Pengelolaan Kawasan pariwisata alam adalah : a) Model I
: Perencanaan
pengusahaan pariwisata alam
tanpa
biaya
lingkungan b) Model 2
: Perencanaan pengusahaan pariwisata alam dengan biaya lingkungan
Beragam tipe proyek yang berdampak terhadap lingkungan memerlukan pula beragam strategi atau model-model pendekatan untuk mengeliminir kerusakan yang akan terjadi, tetapi dalam usaha untuk mengembangkannya harus dimulai dengan sebuah model yang sederhana yang memuat dasar-dasar situasi pemodelan atau kebijakan (Field, 1994). Hasil analisis pada Submodel Ekonomi dan Submodel Lingkungan dengan skenario Model 1,
yaitu perencanaan pengusahaan pariwisata alam tanpa
pembiayaan lingkungan dan tanpa reboisasi menunjukkan besarnya estimasi NPV sebesas Rp 581,83 milyar.
Perhitungan estimasi NPV
selama umur simulasi
didasarkan atas asumsi-asumsi yang relevan yaitu : a) Biaya depresiasi dan amortisasi dihitung berdasarkan umur ekonomis aktiva tetap, untuk pondok wisata serta sarana dan prasarana diperkirakan 100% selama 15 tahun yang dihitung dengan metode garis lurus. Seluruh penambahan dan penggantian aktiva tetap akan dibiayai dengan equity.
b) Biaya investasi yang dibutuhkan untuk membangun prasarana dan sarana pendukung pariwisata,
yaitu pada saat pra operasi
19.975.505.600,00, diantaranya Rp 2.407.341.800,OO
sebesar Rp
untuk membangun
instalasi pegolahan air limbah. Pada tahun ke-2 sebesar Rp 8.880.891.308,OO dan pada tahun ke-3 sebesar Rp 8.977.710.397,OO sehingga total biaya investasi sebesar Rp 37.780.271.490,OO. Debt Equity Ratio (DER) adalah 0,65 artinya rasio debt capital terhadap modal sendiri (equity) sebesar 65%. Kredit investasi itu digunakan untuk pembiayaan perencanaan, pengadaan kendaraan dan peralatan, sebagian pembangunan pondok wisata dan kios seni serta sebagian prasarana dan sarana pendukung kegiatan. Diasumsikan tidak ada penambahan jumlah kredit serta tidak ada masa tenggang (grace periode), tetapi pengusaha diberi keringanan dengan masa pembayaran hutang selama
umur simulasi
(hutang jangka panjang), dengan tingkat solvabilitas sebesar 10% dari revenue dalam setiap tahunnya. Tingkat diskonto ditetapkan sebesar 11% per tahun sudah termasuk prediksi inflasi nilai rupiah terhadap US $. c) Untuk analisis finansial besarnya pajak penghasilan dihitung berdasarkan tarif
pajak progresif Undang-undang No. 7 tahun 1983 pasal 25, yaitu penghasilan Rp 0 - Rp 10 juta PPh 15%; di atas Rp 10 juta - Rp 15 juta PPh 25% dan di atas Rp 50 juta dikenakan PPh 35%. d) Untuk analisis ekonomi, pajak tidak dimasukkan dalam perhitungan, karena pajak merupakan bagian dari pendapatan negara (government expenditure) dan pajak yang diterima dari masyarakat
akan dikeluarkanldimanfaatkan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan lain dalam masyarakat, merupakan trasfer of payment. Dernikian pula halnya untuk insentif yang dapat mengurangi biaya pengusahaan tidak diperhitungkan.
Proyeksi NPV pada Model 2, yaitu perencanaan pengusahaan pariwisata alam dengan pembiayaan lingkungan serta kebijakan reboisasi menghasilkan nilai optimum selama umur simulasi yaitu NPV sebesar Rp 637,22 milyar dan luas Tahura 1828 hektar.
Hasil perhitungan kriteria investasi dengan menggunakan
metode discounted cash flow terhadap keuntungan kini bersih (Net Present Value) menunjukkan bahwa optimasi perencanaan pengusahaan pariwisata alam dengan Model 1 dan Model 2 keduanya
layak dilaksanakan pada
discount rate 11 %
dimana NPV menunjukkan nilai positif, yang berarti pengusahaan dengan skenario Hak Pengelolaan Kawasan wisata alam ini menguntungkan. Namun demikian, apabila dianalisis berdasarkan tujuan sosial, yaitu pertumbuhan ekonomi, kualitas lingkungan dan kepedulian antar generasi, ternyata pemodelan antar keduanya menunjukkan perbedaan. Nilai NPV pada Model 1 tebih kecil dibandingkan Model 2. Pada pemodelan kedua dengan mengintroduksi biaya lingkungan kedalam mekanisme harga mencerrninkan bahwa dalam jangka
secara ekologis
panjang terjadi perbaikan kualitas lingkungan yang dapat
dimanfaatkan oleh generasi berikutnya, sehingga terhindar adanya konflik antar generasi. Sebagai bahan perbandingan, proyeksi manfaat-biaya pengusahaan Tahura Ngurah Rai Model 1 dan Model 2 masing-masing disajikan pada Lampiran 12 dan Lampiran 13, sedangkan perbandingan tingkat NPV pada berbagai model
selengkapnya disajikan pada Lampiran 14. Semakin membaiknya kualitas lingkungan di kawasan itu mencerminkan adanya upaya recovery terhadap sumberdaya alam yang sudah dipakai atau dikonversi, meningkatkan dan rnelindungi kualitas sumber-sumber alam serta sistem ekologi. Tujuan kualitas lingkungan dan konflik antar generasi dalam ha1 ini menjadi saling
mengisi,
dimana
pemeliharaan
sumber-sumber
lingkungan
sambil 125
meyakinkan bahwa masih dimungkinkan tersedianya sumber-sumber ini dimasa mendatang. Hasil analisis finansial menunjukkan dimana Net Present Value yang diperoleh sebesar Rp 133,52 milyar selama umur simulasi. Dalam perhitungannya hanya memasukkan komponen-komponen penerimaan dan biaya dari pengusahaan pariwisata, tidak memasukkan komponen manfaat ekosistem serta biaya ekosistem (Lampiran 15), tetapi sudah memasukkan komponen pajak yang harus dikeluarkan
pihak pengelola (Lampiran 16). Dengan demikian secara komparatif, NPV hasil analisis finansial akan lebih kecil dibanding NPV hasil analisis ekonomi. Kendatipun model ini secara finansial layak diusahakan dimana NPV-nya positif (Lampiran I n , akan tetapi perhitungannya tidak mencerminkan pengelolaan berkelanjutan (sustainable). Oleh karena itu perhitungan manfaat-biaya pengelolaan kawasan Tahura sebaiknya tetap mengacu pada hasil analisis ekonomi. Kajian Submodel Penduduk
salah satunya difokuskan untuk
melihat
seberapa besar kontribusi Hak Pengelolaan Kawasan Tahura ini terhadap peiuang bekerja yang diciptakannya serta seberapa besar tingkat pendapatan penduduk sebagai dampak pengusahaan Tahura.
Hasil analisis simulasi
kontribusi
pengusahaan Tahura selengkapnya disajikan pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil simulasi tersebut menunjukkan dimana terdapat tiga jenis kesempatan kerja, yaitu kesempatan kerja langsung di bidang konstruksi, kesempatan kerja langsung pada bidang perdagangan (kios seni), serta peluang kesempatan kerja tidak langsung
yang merupakan rasio antara biaya-biaya
pengusahaan Tahura terhadap investasi per tenaga kerja sektor tersier di wilayah tersebut.
Pada tahap pembangunan selama empat tahun pertama akan dibangun fasilitas rekreasi, jalan, terminal taxi air, gedung dan kios, pengolahan limbah dan sejalan dengan itu dilakukan pula pembinaan kawasan. Semua kegiatan itu memerlukan tenaga kerja dari tingkat manager sampai buruh bangunan, sehingga berdasarkan hasil simulasi dapat membuka kesempatan kerja sekitar 3699 orang. Mengingat keterbasatan sumberdaya manusia yang ada, diperkirakan hanya sekitar 20-30% dipenuhi dari desa sekitar kawasan Tahura, sisanya harus didatangkan dari luar desa sekitar. Pada tahap pra operasi akan ada sekiiar 1643 tenaga kerja yang masuk pada kawasan ini; 822 orang pada tahun ke-1; 822 orang pada tahun ke-2 dan 400 orang pada tahun ke-3. Dari aspek demografi berarti akan ada penduduk "sementaran di wilayah Tahura ini sampai masa konstruksi selesai.
Dengan
demikian diperlukan penanganan yang baik dalam penempatan tempat tinggalnya maupun dalam ha1 penanganan limbah para buruh tersebut, sehingga dari aspek estetika tidak terkesan "kumuh" dan dari aspek ekologis tidak mencemari kawasan Tahura. Dibangunnya kios-kios seni sejumlah 2.610 unit pada Zona 1, 4, 5, 7 dan Zona 9 dapat membuka kesempatan kerja langsung 2.610 pedagang. Bila diasumsikan dapat memberikan efek kesempatan kerja lainnya dengan asumsi 20% saja, maka akan tercipta sekitar 522 orang. Dengan demikian dibangunnya kios seni ini dapat membuka kesempatan kerja sekitar 3.132 orang. Besarnya peluang kesempatan kerja lainnya yang diciptakan HPK Tahura sangat tergantung pada seberapa besar tingkat pembiayaan Tahura di wilayah tersebut, serta berapa besar rata-rata tingkat investasi per tenaga kerja di sektor tersier di wilayah itu. merupakan rasio antara
Rata-rata investasi per tenaga kerja di sektor tersier PDB sektor tersier dengan jumlah tenaga kerja yang 127
tersedia di wilayah tersebut. Berdasarkan data Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali 2010 (Pemda Baii, 1997) rnenunjukkan bahwa PDB sektor tersier pada tahun 1997 sebesar Rp 1.950 rnilyar dengan tenaga kerja tersedia berjurnjah 275.000 orang. Rata-rata investasi per TK ada3ah Rp 1.950 rnilyarl275.000 orang, yaitu sebesar
Rp 7.000.000 per tenaga kerja.
Dengan demikian peluang
kesempatan kerja yang dibangkitkan pengusahaan Tahura dapat diketahui dengan pendekatan pembiayaan pengusahaan. Hasil simulasi model rnenunjukkan dimana selama pengusahaan Tahura dikeluarkan sejumlah pernbiayaan sebesar Rp 872.306.988.688 atau sekitar Rp 29.076.899.623ltahun
dengan
peluang
kesernpatan
kerja
yang
dapat
dibangkitkannya sebesar 131.446 tenaga kerja atau rata-rata sekitar 4.382 orangltahun. Dengan demikian rata-rata investasi
per tenaga kerja pada
pengusahaan pariwisata Tahura ini adalah Rp 6.636.238 Jurnlah peluang kesempatan kerja tersebut terdiri dari peluang kesempatan kerja langsung bidang konstruksi 3.699 orang, bidang perdagangan 3.132 orang dan kesempatan kerja tidak langsung pada bidang lainnya
sekitar 124.615
Secara kornparatif
menunjukkan bahwa HPK Tahura dapat memberikan kontribusi kesempatan kerja langsung dan tidak langsung sekitar 14% terhadap kesempatan kerja wilayah Kabupaten Badung dan Kodya Denpasar. Kajian tingkat pendapatan penduduk dapat diketahui dengan rnenganalisis rasio antara biaya-biaya pengusahaan dengan peluang kesempatan kerja yang dibangkitkannya. Hasil sirnulasi rnenunjukkan dirnana tingkat pendapatan penduduk pada tahun ke-2 pengusahaan sebesar Rp 7.315.000ltahun.
Bila diasurnsikan
setiap unit rurnah tangga penduduk berjurnlah 4 orang, rnaka tingkat income per kapitanya sebesar Rp 1.828.750ltahun lebih besar bila dibatdingkan dengan tingkat 128
incomelkapita Wilayah Badung dan Denpasar
pada tahun 2002 sebesar Rp
1.305.938lbulan (Lampiran 18). Data hasil simulasi menunjukkan adanya peningkatan tingkat pendapatan penduduk dari tahun ke tahun.
Hal ini
mencerminkan bahwa HPK Tahura berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional Denpasar dan sekitarnya. Hak Pengelolaan Kawasan Tahura ini menunjukkan sensitivitas kelayakan usaha yang tinggi terhadap nilai NPV. Berdasarkan simulasi model optimum dengan adanya perubahan terhadap tingkat discount rate sampai 22% diperoleh nilai NPV lebih kecil dibanding NPV Model Eksisting. Oleh karena itu perlu adanya instrumen kebijakan ekonomi dalam pengelolaan kawasan Tahura berupa insentif keringanan tingkat diskonto.
Gambar 33 memberikan gambaran hasil simulasi perubahan
discount rate 11%; 16,5% dan 22% terhadap NPV yang diperoleh. Pada discount rate 16,5% dan 20% Net Present Value yang diperoleh keduanya lebih besar dari pada NPV Model Eksisting, masing-masing sebesar Rp 409,73 milyar dan
Rp
327,15 milyar, akan tetapi pada discount rate 21 % NPV yang diperoleh lebih kecil dibanding NPV Model Eksisting, yaitu sebesar Rp 308,67 milyar. Dengan demikian, pada discount rate di atas 21% pilihan peluang berinvestasi pada pengusahaan Tahura ini memiliki tingkat investment opportunity lebih rendah dibanding Model Eksisting.
Gambar 33.
Perilaku Sistem pada Beberapa Perubahan discount rate: (1) i = 11%, (2) i = 16,5%, (3) i =22%.
5.3
lmplikasi Kebijakan
5.3.1
lmplikasi Kebijakan Skenario Pemodelan lmplikasi kebijakan ini
pada dasarnya ditujukan untuk menyelesaikan
berbagai persoalan berdasarkan hasil kajian skenario pemodelan. Sasarannya adalah
untuk menyelesaikan atau mengurangi tingkat degradasi kawasan
mangrove, bahaya emisi atau masalah-masalah lingkungan lainnya dan kebijakan ini hanya relevan jika ditujukan pada penyebab masalahnya. Perencanaan pengusahaan pariwisata alam memerlukan suatu instrumen kebijakan yang konsisten agar ketiga tujuan
pembangunan berkelanjutan dapat
tercapai, yaitu pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan dan kepedulian antar generasi. Dengan demikian diharapkan tingkat kesejahteraan generasi saat ini dan generasi mendatang tidak terjadi kesenjangan yang sangat lebar. Masalah kebijakan publik akan timbul manakala kondisi sumberdaya alam dan lingkungan tidak sesuai antara harapan dan realitas. Demikian pula dengan 130
pengusahaan pariwisata alam, agar kondisi sumberdaya tetap sustainable, maka diperlukan suatu kebijakan publik yang didekati dengan adanya suatu regulasi dan penegakan hukum (law enforcement) yang jelas dari pemerintah, adanya kepemilikan pribadi (property right), kampanye moralitas, diterapkannya suatu standar baku mutu lingkungan, serta
adanya
kebijakan insentif, seperti
diterapkannya pajak dan subsidi serta ijin yang dapat ditransfer dengan biaya. Salah satu kebijakan yang perlu segera diterapkan pada model perencanaan pengusahaan pariwisata alam ini adalah adanya suatu ketentuan terhadap model perencanaan pengusahaan dengan biaya lingkungan. Hal ini diperlukan karena berdasarkan suatu kajian terhadap pemodelan perencanaan, pengelolaan Kawasan Tahura mempunya implikasi yang luas terhadap pengembangan wilayah setempat. lmplikasi alternatif model perencanaan mencerminkan suatu model optimal bagi para stakeholders, yaitu tercapainya tujuan-tujuan ekonomi, lingkungan dan sosial. Dengan diterapkannya kebijakan liability laws berupa kewajiban reboisasi bagi pengusaha seluas 15 hektar per tahun dengan sejumlah pengelolaan lingkungan, maka pada akhir tahun simulasi
biaya rencana
secara ekonomis
diperoleh hasil optimum Net Present Value Rp 637,22 milyar dan secara ekologis adanya perbaikan kualitas lingkungan dengan indikator semakin luasnya Tahura menjadi 1828 hektar.
1: Tahum
1: 2: 3:
- ................................................................................................... 2: Net Present UIue
3 : penduduk
1850.00 4.327eiO11 850000.00
j
- ..- ............... ..................
..........
.............. j
1: 2: 3:
ieoa.00 2,1635e411 -. 750000130
................... ................... ................... j
i I:
2:
3:
1350.00 0.00 650000.00
1
i
2 I
2002.00
2008.00
I
I
2014.00
2020.00
Gnph 6 (Simulasi Model Hak Pe... Years
Gambar 34.
I
2026.00
I 2032.00
6:M PM Mon. NQV 18.2002
Skenario Kebijakan Reboisasi dan Biaya Rencana Pengelolaan Lingkungan
Berdasarkan hasil simulasi model lainnya menunjukkan bahwa dengan skenario kebijakan reboisasi (15 halthn) tetapi tanpa biaya rencana pengelolaan lingkungan ternyata tidak cukup memadai untuk memulihkan kembali kondisi lingkungan. Selain lebih rendahnya NPV yang dihasilkan dibandingkan dengan skenario introduksi biaya lingkungan, yaitu sekitar Rp 612,94 milyar, juga luas Tahura pada akhir simulasi menjadi sekitar 1303 hektar, berarti ada penyusutan stok hutan mangrove seluas 2,35 hektarltahun. Secara diagramatis disajikan pada Gambar 35.
2: Net Present Value
Gmph 6 (Simulasi Model Hak Pe... Years
Gambar 35.
3: penduduk
6:36 PM Mon. Nov 18,2002
Skenario Kebijakan Reboisasi dan Tanpa Biaya Rencana Pengelolaan Lingkungan.
Diterapkannya instrumen kebijakan biaya rencana pengelolaan lingkungan dalam mekanisme harga merupakan suatu upaya recovery kawasan mangrove yang terdegradasi sebagai akibat adanya penetrasi terhadap lingkungan itu. Jumlah wisatawan dan jumlah populasi penduduk di sekitar kawasan Tahura merupakan salah satu variabel penetrasi yang turut mempengaruhi kualitas hutan mangrove. Oleh karena itu perlu ada estimasi terhadap carrying capacity-nya. Daya dukung pariwisata alam mangrove di Tahura Ngurah Rai ditentukan pula berdasarkan kebutuhan air bersih, kepadatan (densitas) pondok wisata dan kapasitas hutan mangrove untuk kegiatan pariwisata. Digunakannya kapasitas hutan mangrove sebagai variabel pembatas, karena jenis kegiatan wisata alam ini terkonsentrasi pada wisata mangrove dan rekreasi marina. Perkiraan daya tampung wisata mangrove berdasarkan ketiga faktor pembatas ini disajikan pada Tabel 6.
Estimasi Daya Tampung Wisatawan Berdasarkan Suplai Air Bersih, Kepadatan Penginapan dan Kapasitas Hutan Mangrove di Tahura Ngurah Rai.
Tabel 6.
-
Wisata ilmiah (wisatawanlth) Pertunjukkan seni (wisatawanlth) Boardwalking di hutan mangrove (wisa-
Total Daya Tampung wisatawanlth
Max. I 0 0 tempat tidurlha
Berdasarkan estimasi itu dapat diprediksi bahwa apabila melebihi batas daya tampungnya maka akan terjadi deteriorisasi terhadap hutan mangrove. Terbukti berdasarkan hasil simulasi penambahan jumlah pengunjung yang melebihi daya tampungnya atau melebihi 470.100 wisatawan per tahun, maka luas Tahura pada akhir simulasi akan terjadi penyusutan yang cukup besar. Ini terjadi karena bahan pencemar yang masuk kawasan akan semakin tinggi, sehingga dapat mengganggu proses suksesi alami hutan mangrove. Pembatasan terhadap jumlah pengunjung memasuki kawasan penting untuk dilakukan. Jumlah pengunjung yang tidak terkontrol selain dapat mengganggu keseimbangan kawasan, juga karena keterbatasan sumberdaya lainnya seperti 134
ketersediaan sumber air bersih. Dengan jumlah pengunjung maksimum yang diijinkan 470.100 orang per tahun, atau sekitar 1.288 oranglhari serta asumsi kebutuhan per jiwa adalah 200 literlhari (WTO, 1981), maka pengelola kawasan harus mampu menyediakan sumber air bersih sekitar 257.589 literlhari atau sekitar 257,59 m3/hari. Kemampuan pasokan air bersih dari estuarydam yang berada di
sekitar kawasan hanya mampu sekitar 168,64 m3/hari, berarti sisanya sekitar 34,53% (88,95 m3/hari) harus disediakan sendiri oleh pengelola kawasan. Pasokan
air bersih tersebut sebaiknya diatur dalam suatu kebijakan dimana pihak pengelola kawasan wisata wajib membangun VVTP (Water Treatment Plant), sehingga tidak membebani fasilitas kota yang sudah ada. Perilaku simulasi model lainnya menunjukkan bahwa apabila pengusaha pariwisata menghindari biaya rencana pengelolaan lingkungan sampai pada titik minimum, upaya reboisasi maksimum yang dapat ditoleransi pengusaha, serta tidak ada pembatasan jumlah pengunjung yang melebihi batas kapasitasnya. Katakanlah jumlah pengunjung yang masuk kawasan 700.000 orang per tahun, memang akan diperoleh NPV yang cukup besar yaitu Rp 637,22 milyar, akan tetapi dari aspek lingkungan akan terjadi penyusutan hutan mangrove sekitar 162,2 hektar selama umur simulasi. Ini terjadi sebagai akibat tidak adanya proses pemulihan lingkungan (Gambar 36), sehingga ha1 ini dapat mengganggu stok sumberdaya mangrove yang
dapat dimanfaatkan generasi mendatang. Perbandingan luas Tahura pada berbagai model selengkapnya disajikan pada Lampiran 19.
8
2: Net Presem Wlw
1: Tahura
3: pengunjung
3-----+
j
1300.00 2,1635e&,1. 425000.00
1: 2: 3:
..................................... 120000 0.00 0.00
1: 2:
3:
-
&a@,$: 1
i
i
2, I
2002.00
.................
2008.00
20 14.00
Onph 6 (Simubsi Model Hak Pe
I
u
I
I
2026 .MI
2020.00
... Years
I 2032.00
7dO 40 AMn. Nou 18,2002
Gambar 36. Perilaku Model Tanpa Pembatasan Jumlah Pengunjung Terhadap Luas Tahura lmplementasi alternatif pemodelan ini tentunya tergantung kepada para stakeholder itu sendiri, sampai sejauhmana tujuan-tujuan
mereka dapat terpenuhi
serta menguntungkan semua pihak terutama model perencanaan yang integratif. Sekurangnya tujuan ekonomi, lingkungan dan tujuan-tujuan sosial dapat tercapai. lmplementasi model perencanaan pengelolaan Tahura menjadi kawasan wisata dalam bentuk property right telah menjadikan Tahura itu mandiri secara ekonomi (self financing). Artinya dalam konteks otonomi daerah, pemda setempat tidak terbebani biaya pengelolaan untuk mengkonservasi kawasan. Justru sebaliknya dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah
melalui
pajak, penyerapan tenaga kerja serta peluang berusaha yang semakin luas melalui pendekatan pembiayaan pengusahaan. Hal ini berarti, yang diperlukan dari pemerintah adalah adanya pengawasan melekat (built-in control) terhadap kawasan
itu agar pengelolaannya
konsisten berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan
kawasan wisata bewawasan lingkungan. Kontribusi model perencanaan dengan skenario yang paling optimal terhadap pendapatan daerah rata-rata sebesar Rp 28,16 milyar per tahun. Sumbangan tersebut terdiri dari pajak penghasilan, sehingga pada tahap pembangunan diprediksi akan berimplikasi positif berupa meningkatnya produksi pada sektor pembangunan dan jasa. terhadap
pendapatan
Kontribusi HPK Tahura melalui pajak penghasilan daerah
Kabupaten
Badung
dan
Kodya
Denpasar
selengkapnya disajikan pada Lampiran 20. Pendapatan daerah sektor bangunan dalam tiga tahun pertama investasi dari pengelolaan kawasan ini mencapai Rp 37,78 milyar. Secara komparatif ada perbedaan signifikan antara tingkat investasi dengan pajak perolehan dalam setiap tahunnya. Tentu saja ini merupakan suatu tindakan rasional pengelola kawasan agar return on investment-nya semakin tinggi dengan semakin kecilnya tingkat investasi. Dampak terhadap pendapatan daerah ini akan berlangsung selama tahap pembangunan kawasan wisata itu. Pada tahap pengusahaan diprediksi akan terjadi dampak positif berupa meningkatnya produksi pada sektor pariwisata, restoran dan makanan. Tersedianya sarana wisata yang baru tentunya akan menambah nilai produksi sektor pariwisata di
daerah
ini.
Produksi
ini
diperoleh
dari
belanja
wisata
(rekreasi
baranglcenderamata), produksi restoran, penginapan, transportasi, komunikasi dan jasa-jasa lainnya Pengelolaan pariwisata ini sesungguhnya dapat dijadikan
basis PADS
(Pendapatan Asli Daerah Setempat) Kabupaten maupun Propinsi. Selain dari perolehan pajak juga dari pembagian retribusi masuk kawasan serta retribusi parkir. 137
Tentunya ha1 ini selama ada kompromi antara pemda dengan pengelola kawasan dalam ha1 pembagiannya. Berikut adalah alternatif kebijakan yang dapat ditetapkan dengan pembagian sebagai berikut :
1 ) Untuk pembiayaan pembangunan propinsi sebesar 15% 2) Untuk pembiayaan pembangunan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem propinsi sebesar 15% 3) Untuk pembiayaan pembangunan kabupaten sebesar 40% 4) Untuk pembiayaan pembangunan konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya secara nasional sebesar 15%. Pemasukan pihak pengelola kawasan dari retribusi
sebesar 15%, sedangkan
pemasukan terbesarnya adalah dari kegiatan pendukung wisata dan atraksi wisata yang diadakan di dalam kawasan Tahura. Kontribusi terhadap PDRB dan PAD secara tersirat juga menggambarkan besarnya sumbangan kegiatan pengusahaan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Bila ditelusuri bahwa kegiatan pengusahaan pariwisata alam Tahura memerlukan input baik berupa investasi barang modal maupun keperluan perbekalan seperti energi, bahan makanan dan lain sebagainya, yang mana memberikan andil relatif besar terhadap pembentukan PDRB. Disamping ke hulu, seperti diperlukannya banyak input dari sektor pertanian, industri makanan dan minuman, juga
memberikan efek ke depan melalui pembentukan industri-industri
kerajinanlcendera mata, lembaga-lembaga keuangan dan jasa perusahaan, akan memberikan sumbangan kepada PDRB sektor industri kecil dan rumah tangga. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa kegiatan pengusahaan pariwisata alam ini memberikan kontribusi ke belakang (backward linkage) maupun ke depan (forward
linkage) selama jangka waktu pengusahaan. 138
Pada tahap pembangunan empat tahun pertama pada model perencanaan yang paling optimal diprediksi berdampak positif terhadap permintaan pasar tenaga kerja, dimana pada tahap konstruksi akan membutuhkan tenaga kerja sekitar 3700 orang.
Pada tahap operasionallpengusahaan akan terjadi pengurangan sejumlah
pekerja, sehingga yang akan terjadi adalah adanya kelompok pekerja yang kehilangan pekerjaan. Pada tahap pengusahaan, jumlah tenaga kerja manajemen yang diperlukan untuk pengusahaan ini hanya sekitar 228 orang. Sehingga terjadi pengurangan tenaga kerja 93,8 persen. Pada tahap pengusahaan yang diperlukan adalah tenaga administrasi, keamanan serta tenaga kasar untuk pemeliharaan bangunan dan tamanlkebun. Pada satu sisi terjadi pengurangan pekerja tetap, tetapi dari sisi lain, yaitu usaha pendukung pariwisata akan terbuka kesempatan usaha dan lapangan kerja yang relatif banyak. Pada tahap pengusahaan akan terbuka lapangan kerja bagi pedagang kerajinan tangan (souvenir) yang berarti juga membuka lapangan usaha baru di bidang produksi souvenir. Selain dalam bentuk kios di dalam kawasan Tahura Ngurah Rai, juga akan dibangun pusat kebudayaan yang akan digunakan untuk pameran-pameran hasil budaya lokal, bazar dan pertunjukan seni. Tentunya kegiatan-kegiatan ini secara luas akan membuka peluang usaha bagi seniman, usahawan barang seni dan para pengrajin barang seni. Adanya pengusahaan pariwisata alam di Tahura Ngurah Rai yang berupa kawasan wisata khas mangrove, akan menambah obyek wisata dan lebih meningkatkan daya tarik Bali sebagai tujuan wisata. Peningkatan daya tarik tentunya akan diikuti dengan rneningkatnya jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke daerah ini.
Prediksi jumlah wisatawan yang akan mengunjungi Tahura Ngurah Rai ini pada tahun ke 2-4 rata-rata sekitar 120.000 orang per tahun, pada tahun ke 5-10 sekitar 400.000 orang dan di atas tahun ke 10 diperkirakan akan mencapai 470.000 orang per tahun. Ini berarti akan terjadi kegiatan wisata yang relatif besar, peningkatan permintaan pelayanan jasa .wisata dan pasar bagi komoditi makanan, jajanan dan souvenir. Dengan demikian model perencanaan hak pengelolaan kawasan wisata berimplikasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah setempat. 5.3.2
lmplikasi Kebijakan Skenario Prospektif Masa Depan
lmplikasi kebijakan ini dirancang berdasarkan analisis prospektif yang merupakan suatu kajian eksplorasi tentang kemungkinan di masa yang akan datang. Dalam analisis ini digunakan suatu alat bantu (software) Prospective Analysis untuk mengkalkulasi pengaruh langsung dan tidak langsung antar faktor. Hasil Analisis Prospektif menunjukkan ada strategis
(kebutuhan) yang dapat
digunakan
lima faktor kunci dan tujuan untuk mendefinisikan dan
mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi penataan ruang; pengusahaan serta pengelolaan wilayah pesisir Tahura Ngurah Rai.
Penentuan
faktor kunci dan tujuan strategis tersebut adalah sangat penting, dan sepenuhnya merupakan pendapat dari para stakeholders
dan para ahli mengenai wilayah
pesisir itu. Lima faktor kunci dan tujuan strategis tersebut merupakan gabungan dari tiga variabel penentu sebagai input, yaitu ketersediaan zonasi Tahura; fleksibilitas perpajakan; serta pinjaman berbunga rendah, dan dua variabel lainnya merupakan variabel penghubung (stakes), yaitu reboisasi kawasan dan biaya pengelolaan 140
lingkungan.
Gambaran tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada
sistem yang dikaji disajikan pada Gambar 37, sedangkan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung antar faktor masing-masing disajikan pada Lampiran 21. Dalam membangun skenario prospektif yang memiliki peluang besar untuk terjadi di masa depan, dilakukan dengan mengkombinasikan antar faktor dimana untuk setiap faktor memiliki satu atau lebih keadaan (state). Keadaan disini merupakan deskripsi tentang situasi dari sebuah faktor. Secara lengkap, keadaan suatu faktor disajikan pada Tabel 7. Tabel 7.
Prospektif Pengusahaan Tahura di masa Datang
I
Reboisasi kawasan
Fleksibilitas perpajakan Ketersediaan Zonasi Ta Pinjaman bunga rendah
I I I l I I I 1 l l l l l l l I I I I I ~ l I I I I I I I I I I I I I I . I I I I I
Pengembangan Masy.
I I
+Tats Ruang Kawasan lntegratif
Keamanan berinvestasi Jasa pelayanan
Berdasarkan
hubungan
antar
faktor
tersebut
serta
dengan
mempertimbangkan hasil kajian pemodelan sistem, maka dapat dibangun tiga kombinasi antar faktor sebagai dasar membangun skenario di masa depan, yaitu Skenario Sangat Optimistik, Skenario Optimistik serta Skenario Pesimistik, yang selengkapnya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Prospektif Skenario Pengusahaan Pariwisata Tahura di masa Depan
2 3
~~timistik Pesimistik
Skenario Sangat Optimistik merupakan suatu keinginan ideal (utopia) bagi seluruh stakeholders, dengan keadaan ketersediaan Tahura yang semakin luas, fleksibilitas perpajakan, pinjaman berbunga rendah semakin banyak, reboisasi kawasan semakin meningkat karena semakin sadar akan lingkungan yang lestari, serta biaya pengelolaan lingkungan yang semakin murah. Apakah skenario ini dapat terjadi di masa depan tentunya sangat tergantung pada seluruh stakeholders itu sendiri, sampai sejauhmana kebijakannya dapat dirancang untuk mendukung skenario masa depan. Antara Skenario Sangat Optimistik
dengan Skenario
Optimistik yang membedakannya adalah dalam ha1 ketersediaan luas Tahura dengan luasan tetap, serta biaya pengelolaan lingkungan yang meningkat tetapi masih dapat terjangkau untuk berjalannya aktivitas pengusahaan Tahura. Skenario terakhir yang mungkin dapat dibangun adalah Skenario Pesimistik, yaitu suatu keadaan dimasa depan dimana ketersediaan Tahura semakin sempit, perpajakan tidak fleksibel, pinjaman bunga rendah semakin sedikit, kesadaran untuk reboisasi
kawasan rendah, serta biaya pengelolaan menjadi tidak terjangkau, sehingga kegiatan menjadi tidak kompetitif. Berdasarkan ketiga skenario tersebut serta dengan memperhatikan relevansi hasil kajian pemodelan sistem, maka skenario yang paling mungkin di masa depan dengan urutan hasil akhir adalah Skenario Optimistik 40,5B0h, kemudian Skenario Sangat Optimistik 31,88% serta Skenario Pesimistik 27,54%. Hasil akhir analisis skenario ini mencerminkan bahwa sangat mungkin untuk dilakukan suatu rekayasa sistem agar dapat dicapai suatu kondisi yang diharapkan dengan suatu dorongan regulasi dan kebijakan yang kondusif.
5.4
Upaya Pokok dan Rencana Kegiatan
5.4.1
Arah Perencanaan Kegiatan Pengusahaan pariwisata alam
yang terintegrasi adalah sebuah model
pembangunan pariwisata yang terencana dan didisain untuk menghindari konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan. Oleh karena itu arahan
model
perencanaan pengusahaan parwisata alam yang diusulkan penekanannya adalah pada perencanaan lingkungan sejumlah infrastruktur dan fasilitas-fasilitas pondok wisata, serta kios seni . Adanya efisiensi biaya dan skala ekonomi dalam fasilitas, pelayanan dan managemen dengan sistem pengelolaan terpadu ini sesungguhnya tidak dinikmati sendiri oleh pengelola kawasan, tetapi menjamin adanya pembangunan yang terkontrol dengan penggunaan sumberdaya yang efektif dan menguntungkan semua pihak. Arah kegiatan yang diajukan dalam disain perencanaan kawasan pariwisata Tahura ini direkomendasikan terbagi
dalam 10 zonasi dengan tujuan : (1)
konservasi hutan bakau, serta flora lainnya, (2) konservasi fauna (penyu, burung dan 144
sebagainya), (3) perlindungan pantai dari
erosi atau abrasi oleh air laut, (4)
pelestarian kebudayaan dan penduduk asli. Selanjutnya untuk menunjang kepentingan tersebut diperlukan perencanaan yang meliputi : (1) pengembangan penelitian dan pendidikan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, (2) pembangunan sarana dan prasarana rekreasi serta pariwisata alam, (3) pembangunan sarana-sarana pendukung seperti pelabuhan ferry, perbaikan pura dan lain-lain. Berdasarkan hasil deliniasi, luas masing-masing zonasi
pada zona
pemanfaatan sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9.
Tata Ruang Zona Pemanfaatan untuk Pariwisata Alam di Tahura Ngurah Rai.
Sumber : Hasil Deliniasi ~ a d aZona Pemanfaatan Tahura Nnurah Rai Keterangan : *) BCR = 'Building Coverage Ratio 10% (~eraturanPemerintah No. 18 Tahun 1994)
Berdasarkan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa zona 1 dan zona 2 memiliki karakteristik yang hampir sama dimana mutunya sangat rendah sebagai akibat bekas pemanfaatan lahan secara konvensional. Berdasarkan informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa dari sudut lingkungan, lokasi ini mendapat tekanan serius terutama pada sebagian besar zona 2, yaitu kadar garam yang sangat tinggi 145
di dalam tanah dan air yang disebabkan sistem tertutup tanpa sirkuiasi mengakibatkan penguapan air laut yang terus menerus. Pada zona 1 dan zona 2 perlu diupayakan penanaman kembali dengan jenis-jenis tanaman, disamping pohon mangrove juga dengan tanaman eksotik untuk mendukung pengembangan wisata olah raga dan taman ekoturisme serta wisata lainnya. Untuk keperluan ini dapat dikembangkan koleksi tanaman untuk berbagai kepentingan yang dapat dinikmati keindahannya, disamping kegunaan lain. Pada zona ini perlu dilakukan perbaikan dermaga laut tradisional yang melayani Pulau Serangan dari kawasan Suwung, pembangunan tempat parkir untuk menampung pengunjung ke Pulau Serangan, terutama bila ada upacara di Pura Sakenan. Fasilitas wisata lainnya yang dapat dibangun di sini adalah restoran, pusat informasi kewisataan serta terminal taxi air atau dermaga sampan. Pada zona 3 terdapat aliran sungai-sungai yang mengalir dari utara menuju Teluk Benoa. Sungai-sungai sangat tercemar dan banyak membawa polutan ke dalam teluk. Di tengah bagian utara terdapat bangunan-bangunan industri ringan, instalasi tenaga listrik yang besar (PLN) dan riset keramik milik BPPT. Sebagian digunakan oleh Dinas Pekerjaan Umum sebagai estuary dam (reservoir) untuk meningkatkan suplai air bersih dan untuk mengontrol polusi. Sesuai dengan kondisi saat ini, pada zona 3 sebaiknya juga di rencanakan untuk membangun instalasi pengolah air limbah sebagai sarana untuk mengurangi beban pencemaran terhadap teluk sebagai akibat dari aktivitas wisata. Pusat pelayanan kesehatan masyarakat juga sangat memungkinkan untuk di bangun pada zona ini, sebagai bentuk alternatif untuk mengurangi beban rumah sakit yang ada di Denpasar saat ini. Fasilitas lain yang dapat dibangun di zona ini yaitu perumahan atau mess karyawan, pusat kerajinan dan pusat kebudayaan.
Zona 4 merupakan lokasi yang sernpit, tetapi letaknya sangat strategis yaitu dekat bandar udara dan aktivitas di sepanjang jalan utama. Pemanfaatan lahan di sepanjang jalan raya utama di lokasi akan mendapat keuntungan melalui penataan lingkungan yang lebih baik dan hubungan yang lebih mudah dengan jalan raya dan teluk. Hutan bakau yang ada saat ini harus tetap dipertahankan keberadaannya karena memiliki keindahan tersendiri, bahkan yang sudah meranggas perlu ditanami kembali. Hutan bakau yang perlu dilestarikan di zona 4 ini seluas 26,6 hektar dan sisanya dari seluruh luas Zona 4 akan diperuntukkan bagi sarana dan prasarana pariwisata, yaitu sebagai Plaza Tahura. Selain itu juga pada zona ini sangat sesuai untuk membangun dermaga ferry dan "taxi air" guna melayani para wisatawan yang akan menikmati kawasan ini dengan menyusuri hutan mangrove serta menikmati keindahan teluk di senja hari. Mengingat lokasinya yang strategis, maka pada zona ini sangat sesuai untuk dibangun kios seni yang akan menarik wisatawan, pelancong maupun konsumen setempat. Zona 5, 6 dan 7 memiliki lingkungan alam yang paling beragam dibanding zona lain di dalam kawasan. Keistimewaan penting kawasan ini adalah paduan lingkungan alam yang unik dengan aktifitas yang bersifat ekonomi, rekreasi dan edukasi. Hal ini sangat memenuhi syarat sebagai kekayaan alam utama di pusat kawasan wisata yang sedang berkembang. Pada zona ini terdapat sewage treatment plant yaitu pengolah limbah yang akan dibuang ke laut milik PT. BTDC (Kawasan Wisata Nusa Dua).
Hutan bakau yang paling sedikit mengalami
pencemaran dan perubahan di teluk adalah yang terdapat di delta, di sebelah barat daya teluk. Hutan bakau yang terdapat di sebelah tenggara teluk juga terlihat relatif tidak berubah, walaupun kelihatannya menerima banyak nutrien dari fasilitas pengolah air limbah di Nusa Dua. Kawasan ini dapat dikelola untuk digunakan
147
sebaiknya dengan mempromosikan berbagai kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dengan menyediakan fasilitas untuk turis dan pendidikan diantaranya: pusat diklat, kios seni, pusat informasi kelautan, pelestarian penyu dan bakau serta terminal taxi air atau dermaga sampan. Zona 8 dan zona 9 terletak di Tanjung Benoa mempunyai potensi untuk menjadi salah satu kawasan tempat peristirahatan yang sangat unik dan menarik di Bali. Tanjung ini diapit oleh pantai yang indah di sebelah timur, daratan berpasir di sebelah barat dan ditumbuhi sejumlah pohon kelapa dan vegetasi alami yang memberikan sifat unik. Di ujung tanjung ada Desa Benoa yang cukup unik dan menambah daya tarik kawasan. Walaupun desa ini tidak hanya dihuni penduduk Bali, tetapi memberi gambaran pada wisatawan tentang suatu desa tradisional yang tetap mempertahankan bentuk aslinya dalam suatu lingkungan kawasan wisata. Pada zona ini sesuai untuk dibangun fasilitas wisata diantaranya: pondok wisata marina, kios seni, restoran serta dermaga sampanltaxi air. Zona 10 berada di Serangan merupakan pulau karang berpasir yang sebagian besar ditumbuhi rumput dan pohon kelapa, dengan sedikit kumpulan pohon bakau tumbuh di dataran berlumpur. Luas Zona Pemanfaatan pada kawasan ini berukuran 4,31 hektar, sedangkan luas pulaunya sendiri berukuran sekitar 182 hektar. Pulau ini dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari laut dalam jajaran bukit pasir berbentuk pisang. Sedimen ini dibentuk dari puing-puing batau karang dan organisme batuan dan secara bertahap terhempas ke darat. Bagian selatan pulau ini mengalami erosi yang sangat parah dan telah berlangsung selama bertahun-tahun, sehingga padang rumput dan pohon-pohon kelapa pun telah banyak yang berubah menjadi laut.
Di ujung utara pulau ini terdapat desa berpenduduk sekitar 2.400 jiwa dan pura yang sangat penting bagi pemeluk agama Hindu Bali berada di desa ini, yaitu Pura Sakenan. Di desa ini ada sejumlah penduduk yang menangkarkan penyu untuk di jual baik untuk konsumsi maupun untuk hiasan yang terbuat dari tempurung penyu. Sesuai dengan kondisi alamnya, maka
pada zona 10 ini sesuai untuk
dikembangkan pusat informasi pelestarian dan pengembangan bakau serta fasilitas penelitian penyu. Pembangunan
fasilitas
penyu
ini
dimaksudkan
untuk
:
(1)
mengembangbiakkan penyu melalui penangkaran yang intensif untuk meningkatkan jumlah populasinya di habitat alamiah; (2) sebagai pusat penelitian penyu di seluruh Indonesia untuk membantu manajemen penyu yang dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan di kawasan konservasi dengan menyediakan data penyu secara akurat; (3) sebagai atraksi bagi wisatawan; dan (4) merupakan wahana pendidikan dan
penyuluhan tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya Wisata alanl mangrove ini secara keseluruhan sebaiknya diupayakan untuk selalu meningkatkan rasa kepedulian masyarakat terhadap pentingnya sumberdaya alam ini bagi kehidupan umat manusia. Keanekaragaman hayati, terutama pada zona inti, di seluruh kawasan Tahura ini dapat dinikmati keindahannya dengan menyusuri menggunakan sampan atau berjalan kaki melalui jalan kayu (boardwalk) yang dibuat pengelola kawasan. Pariwisata alam mangrove sangat tergantung pada daya tarik wisatawan terhadap potensi sumberdaya di wilayah tersebut. Daya tarik tersebut memang i
sangat bervariasi pada setiap orang. Akan tetapi umumnya orang tertarik pada alam yang bersih, asri serta masih dalam keadaan pristin.
Kedatangan wisatawan ke suatu daerah sering kali hanya ingin untuk menikmati keadaan alam yang berbeda atau tidak ditemukan di daerah asalnya. ltulah sebabnya pengembangan wisata alam hutan mangrove merupakan suatu obyek turisme yang khas. Perbedaan kondisi alam antara daerah asal wisatawan dan daerah tujuan wisata adalah nilai intrinsik ekosistem di daerah tujuan wisata yang memiliki potensi ekonomi. Potensi tersebut perlu dimanfaatkan untuk menghasilkan bagi setiap stakeholders di daerah tujuan wisata. Karena alam sangat berpengaruh terhadap setiap kegiatan manusia, maka pengusahaannya bagi tujuan menarik wisatawan perlu ditata dengan bijaksana. Pada tahapan tertentu, pembangunan masih berarti upaya manusia untuk merubah lingkungan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan permintaan akan alam yang asli oleh wisatawan. Dengan demikian perlu ada keseimbangan antara permintaan wisatawan akan alam yang asli dan tuntutan untuk menata atau merubah kondisi asli lingkungan untuk digunakan bagi pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Faktor yang perlu diketahui dalam pengembangan wisata alam mangrove adalah daya dukung (carrying capacity), yang dapat diartikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Daya dukung alam perlu diketahui secara fisik, lingkungan dan sosial (Pearce and Kirk 1986). Penentuan daya dukung perlu juga dikaitkan dengan akomodasi, pelayanan, sarana rekreasi yang dibangun di setiap tempat tujuan wisata. Oleh karena itu, daya dukung dapat didefinisikan dalam bentuk jumlah kamar per satuan luas wilayah. Sebagai ilustrasi, daya dukung wisata di Thailand bagian selatan adalah 200 kamar, 100 kamar dan 0 kamar, masing-masing untuk pembangunan pariwisata intensif, terbatas dan tertutup.
Karena kawasan Tahura Ngurah Rai bukan merupakan daerah yang terbuka secara keseluruhan untuk tujuan wisata, maka pembangunannya tidak diarahkan untuk mencapai tingkat intensif yang sama dengan daerah lain yang memang dikhususkan untuk itu. Dengan kata lain, daya dukung pariwisata di daerah ini adalah terbatas dalam jumlah sarana dan prasarana, yang seterusnya menentukan jumlah kunjungan wisata. Sebagaimana rencana kegiatan yang diusulkan untuk membangun pondok wisata marina di kawasan ini, sebaiknya tidak lebih dari 100 pondok (cottage) dari berbagai klas, yang masing-masing berisi 1 (satu) kamar Kebutuhan setiap wisatawan akan ruang sangat bervariasi, tergantung pada latar belakang budayanya. Kebutuhan akan ruang menentukan berapa ukuran fasilitas yang perlu dibangun dan diadakan untuk melayani kebutuhan wisatawan. Kebutuhan ini perlu dipertimbangkan mengingat bagi pasar wisatawan Nusantara dan Asia sejauh ini belum ada standar yang bisa digunakan sebagai acuan dasar dalam pembangunan fasilitas. berikut adalah kriteria kebutuhan ruang yang disusun berdasarkan pengalaman budaya Amerika dan Eropa (WTO 1981). 1) Kapasitas Hutan Mangrove : Kelas rendah : 10 m2/orang,atau 1000 oranglha Jumlah orang optimum per setiap 20-50 meter : 2,O - 5,O orang 2) Fasilitas: Fasilitas kebersihan yang setara dengan 5 buah WC, 2 buah bak mandi dan 4 buah pancuran air untuk setiap 500 orang 3) Kepadatan akomodasi pondok wisata: Kepadatan pondok wisata adalah 60-100 tempat tidurlha 4) Fasilitas Rekreasi Marina: : 150-200 perahulkapal wisata Ukuran Kapasitas pelabuhan : 75-150 perahulha Lahan : 100 perahulha, digunakan untuk parkir, penyimpanan dan perbaikan
Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan untuk membangun pariwisata mangrove di Tahura Ngurah Rai adalah sebagai berikut :
1) lmplementasi zonasi dengan cara memberikan dukungan legal melalui keputusan formal dalam bentuk peraturan pemerintah daerah (perda)
2) Pelaksanaan hasil zonasi dengan cara menyediakan fasilitas umum di kawasan yang diperuntukkan bagi pariwisata. 3) Penentuan ukuran standar ruang serta jumlah fasilitas penginapan. Bila memang
jumlah penginapan yang ada sudah melebihi kapasitas, akses terhadap pembangunan harus dihentikan. Namun bila fasilitas yang ada masih di bawah standar dari jumlah yang diinginkan, maka pembangunan selanjutnya harus diarahkan untuk mencapai standar itu. 4) Pembangunan sistem informasi pariwisata sebagai dasar untuk evaluasi dan
pemantauan perkembangan pariwisata. Hal ini perlu dilakukan untuk mencapai berkembangnya pariwisata di luar daya dukung. 5) Pembagian secara jelas tugas dan tanggung jawab antara pemerintah dan
swasta dalam pembangunan sarana dan prasarana. Secara lebih rinci, upaya-upaya pokok di atas dapat diuraikan dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) Penetapan tujuan
pembangunan pariwisata alam
mangrove
sebaiknya
dikemukakan bahwa tujuan pariwisata adalah memanfaatkan potensi intrinsik sumberdaya alam mangrove dan pantainya secara berkelanjutan dengan mengutamakan unsur efisiensi dan produktivitas, serta untuk kepentingan peningkatan kondisi ekonomi masyarakat dan para stakeholders lainnya.
2) Kuantifikasi target kunjungan wisata dalam jangka pendek, menengah dan panjang. 3) Kuantifikasi sarana dan prasarana yang sudah ada dan yang perlu di bangun atau diadakan. 152
4) Perencanaan pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan Badan
Pengelola kawasan
dalam pembangunan prasarana. Mekanisme untuk
melakukan ha1 ini cukup sulit. Untuk itu pemerintah perlu membangun apa yang menjadi tanggung jawabnya, kemudian membuka kesempatan investasi bagi Badan Pengelola yang tertarik untuk membangun sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan.
5) Pelaksanaan zonasi dengan mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan. Untuk itu pemantauan dan survey berkala terhadap batas-batas zona perlu dilakukan. 6) Melaksanakan sistem pendataan atau statistik wisata pada tingkat penginapan serta kegiatan-kegiatan wisata lainnya. 7) Pengumpulan dan dokumentasi informasi pariwisata secara berkala yang sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai dasar evaluasi dan pemantauan. Pengembangan pariwisata memerlukan dukungan pengadaan air tawar yang akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan maupun fasilitas atau sarana penunjang wisata disamping kemungkinan adanya pertambahan penduduk
yang
berhubungan
dengan
mengantisipasi meningkatnya jumlah
peningkatan
wisatawan
jasa
sesuai
wisata.
dengan
Untuk
kebijakan
pengembangan di kawasan perencanaan, maka perlu adanya tindakan-tindakan alternatif antara lain:
1) Menetapkan pengaturan secara teknis, antara lain mengatur agar untuk bilasan
WC tidak menggunakan air bersih (kelas air minum). Untuk memperoleh alternatif teknologi (penjernihan air sumur dan lnstalasi Pengolah Air Limbah untuk air buangan) diperlukan penelitian yang lebih spesifik.
2) Menetapkan kapasitas maksimum jumlah wisatawan agar sesuai dengan suplai air yang direncanakan atau akan dibangun. 153
Untuk menampung buangan air kotor (mandi, cuci) perlu penyediaan jaringan saluran dari tiap pondok wisata ke sistem penampungan terpadu. Volume buangan air limbah per orang per hari diperkirakan mencapai 50 liter. Air limbah dari kegiatan tertentu (restoran dan sebagainya) sebelum dibuang harus diolah terlebih dahulu di
Sewage Treatment Plant (STP). Guna penghematan volume air, setelah diolah air limbah tersebut sudah layak untuk digunakan kembali sebagai peruntukan tertentu (bukan kelas air minum) seperti untuk membersihkan WC di pondok-pondok wisata, menyiram tanaman dan sebagainya.
5.4.2
Pendekatan Kelembagaan Dalam aliran ekonomi neoklasik, basis pengambilan keputusan ekonomi
adalah efisiensi di dalam kerangka kelembagaan yang konstan (Nugroho, 2002). Efisiensi berdasarkan kriteria pareto optimum dinyatakan bahwa tingkat alokasi sumberdaya alam dimana peningkatan benefit kepada satu individu memberikan dampak pada turunnya benefit kepada individu lainnya (Kusumastanto, 2000). Metodologi neoklasik didukung oleh kerangka teori yang canggih dan mampu menyederhanakan persoalan ke dalam ukuran-ukuran pasar. Itu sebabnya aliran neoklasik disetarakan dengan kelompok reductionist yang
berbasis pada
monodisiplin ilmu. Sedangkan dalam aliran ekonomi kelembagaan, dimana basis pengambilan keputusan lebih didasarkan kepada pendekatan yang holistik dan multidisiplin. Pendekatan metode dari ekonomi kelembagaan disebut dengan methodological
collectivism (Randall 1987 dalam Nugroho, 2002), yang menyatakan kepentingan individu dan publik tidak dapat saling terpisah (inextricably linked); serta hal-ha1 yang berkaitan dengan kepentingan publik merupakan bagian dari pemikiran tentang
kesejahteraan individu dan sosial.
Dengan demikian aliran ini menjadi relevan
dengan pemikiran pembangunan berkelanjutan karena hasil-hasil keputusannya akan mementingkan perbaikan kualitas hidup manusia. Pada
sisi
lain
pendekatan
ekonomi
kelembagaan
mengutamakan
pendefinisian property right dan rule of the game terhadap keseluruhan stakeholders. Sebagai akibatnya, pendekatan ini bukan saja menawarkan kelebihannya pada pendalaman memahami persoalan (comprehensiveness dan interdiciplinary) tetapi juga pada pencapaian social goals. Pendekatan ekonomi kelembagaan akan menjadi lebih tepat sebagai dasar perumusan kebijakan pada pengelolaan Tahura. Hal ini terjadi karena pendekatan ini tidak memaksakan kepada pelembagaan mekanisme ekonomi baru atas dasar ukuran ekonomi dan skala waktu tertentu. Yang diutamakan adalah proses dan mekanisme ekonomi yang mengalir dinamis menuju perbaikan kesejahteraan berdasarkan keadaan spesifik sosial, lingkungan dan ekonomi serta keterbatasan pengetahuan manusia. Atas
dasar
konsep pendekatan ekonomi
kelembagaan itu,
maka
pelaksanaan pengusahaan pariwisata alam Tahura akan lebih tepat jika secara formal ditunjuk suatu Badan Pengelola oleh pemerintah. Pembihaan dan pengembangan teknisnya
menjadi tanggung jawab Gubernur Propinsi Bali,
sedangkan dalam ha1 monitoring dan evaluasi kegiatan menjadi tanggung jawab lintas departemen terkait yang tergabung dalam Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal). Hal-ha1 yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tatanan organisasi ini adalah : jenis-jenis kegiatan dalam kawasan Tahura dan sekitar; fungsi dan luas dari masing-masing zonasi dalam kawasan; keadaan dalam kawasan dan sekitar kawasan; serta pengusahaan dalam kawasan.
Dalam pelaksanaan serta untuk mengamankan kawasan (land security), pihak pemda dapat membuat regulasi pengelolaan kawasan dalam suatu Peraturan Daerah (Perda), baik menyangkut Badan Pengelolanya maupun sistem dan mekanisme pengusahaannya. Sehingga dalam implementasinya terhindar dari praktek-praktek pengusahaan Tahura yang tidak bertanggung jawab.
5.5
Prediksi Dampak Lingkungan Berdasarkan kondisi umum kawasan hak pengelolaan wisata alam Tahura,
maka rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan Dampak Negatif terhadap beberapa komponen lingkungan adalah : 1) Tahap Persiapan, yaitu penataan batas kawasan. 2) Tahap Pembangunan, yaitu penyiapan tapak sarana prasarana (pembangunan jalan, areal parkir, pembangunan gedung). 3) Tahap Pengusahaan, yaitu limbah domestik, pemanfaatan sarana prasarana wisata. Sedangkan rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan Dampak Positif adalah : 1) Tahap Pembangunan, yaitu pengadaan tenaga kerja, pembangunan sarana prasarana rekreasi dan penghijauan. 2) Tahap Pengusahaan, yaitu penyerapan pengunjung dan tenaga kerja, pelestarianlpeningkatan dan perlindunganlpengamanan kualitas sumber daya alam, peningkatan taraf hidup serta kegiatan sosiallpembinaan masyarakat tradisional setempat. Beberapa parameter fisik-kimia (faktor abiotik), biologi (faktor biotik), sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang diprakirakan akan terkena Dampak adalah:
(a)
Tahap Pembangunan Beberapa Dampak Negatif dapat terjadi sebagai berikut:
Kegiatan penyiapan tapak untuk sarana prasarana rekreasi dalam kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai diprakirakan akan menimbulkan dampak terhadap :
1) Perubahan sifat fisik tanah, yang memungkinkan meningkatkan bahaya banjir melalui berkurangnya kemampuan menghisap dan menahan air banjir, serta berkurangnya daerah penyimpan air banjir.
2) Perubahan kualitas air tawar yang mengalir ke kawasan estuaria (muara) oleh gangguan lumpur karena pengerukan, sehingga akan mempengaruhi salinitas dan kualitas air (termasuk beban sedimen) di sekitar perairan pantai. 3) Perubahan pola arus dan sedimentasilerosi pantai.
4) Hilangnya jenis-jenis tumbuhan tertentu terutama mangrove sebagai sumber
plasma nutfah, yang berfungsi sebagai selubung vegetasi terhadap tata air (pengendali banjir dan pemeliharaan permukaan air tanah), serta sebagai penyaring pencemaran dan menghilangkan kontaminasi dari air yang mengalir melaluinya.
5) Migrasi jenis-jenis satwaliar, khususnya jenis reptil dan burung endemik daerah rawa.
6) Perubahan habitat dasar yang produktif pada kawasan rawa maupun estuaria, sehingga mempengaruhi keanekaragaman jenis biota perairannya.
(b)
Tahap Pengusahaan Kegiatan pengelolaan pengunjung dan tenaga kerja, pelestarianlpeningkatan
dan perlindunganlpengamanan kualitas sumber daya alam, serta kegiatan sosial/pembinaan masyarakat tradisional setempat diprakirakan akan menimbulkan
Dampak Positif terhadap: 157
1) lntegritas kawasan Tahura Raya Ngurah Rai sebagai kawasan pelestarian alam
(tata air, flora dan fauna) secara berkelanjutan.
2) Nilai estetika kawasan Tahura sebagai obyek wisata, terutama dengan dibangunnya Plaza Tahura Ngurah Rai dapat memberikan citra positif bagi kawasan ini. 3) Habitat satwaliar dan biota perairan. 4) Peningkatan pendapatan (kesejahteraan)
masyarakat tradisional
sekitar
kawasan Tahura 5) Tersedianya media dan sarana pendidikan, penelitian, serta pengembangan ilmu
pengetahuan dan cinta alam di kawasan Tahura Raya Ngurah Rai. 6) Peningkatan persepsi positif masyarakat terhadap Pengusahaan Pariwisata Alam oleh pengelola kawasan
7) Kontribusi pengelola kawasan terhadap pembangunan daerah
melalui
sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto dari iuran, retribusi parkir, pajak dan pungutan usaha, serta
kontribusi positif terhadap pembinaan dan
pengembangan golongan ekonomi lemah (koperasi).