DESAIN MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN (Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok)
L. Sukardi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
disertasi
Desain
Model
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan: Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
April 2009.
L. Sukardi NIM P061060011
ABSTRACT L. SUKARDI. Model Design of Local Community Empowerment of Sustainable Forest Management (Case Study on Local Community Around Rinjani Mountain National Park on Lombok Island). Advised by: DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI, and HARDJANTO. The Rinjani Mountain National Park (RMNP) has vital roles in supporting community life in Lombok Island, however, its availability tends to be threatened due to illegal logging. The poverty of the community around the forest is one of the factors affect the illegal logging. Generally, the purpose of this research is to formulate model design of community empowerment for sustainable management of RMNP. Specifically, the objectives of this research were (1) indepth study of the kind and main factors of interaction between community and RMNP, (2) to investigate the community perception and economic assessment toward the forestry resource of RMNP, (3) to analyze the relationship between income and participation in sustaining the forestry resources, (4) to formulate the model and local community empowerment strategies in managing sustainable forestry resources. This research approaches were conducted through (1) document study, (2) interview, (3) direct observation, (4) in-depth interview, and (5) Focus Group Discussion (FGD). The qualitative and quantitative descriptive analysis, multiple regression analysis, Spearman correlation and process hierarchy analysis were employed to analyze the collected data. Based on the considering aspect of economy, ecology, social and culture, thus, the empowerment model of community for sustainable management of RMNP is named the Model of MAHAR-RINJANI. This is the abbreviation of “Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani” means Harmonious Community with Rinjani Forest. This abbreviation is then syntheses to formulate empowerment model of community around the RMNP. There are three alternative empowerment models that could be implemented, including (1) improving the communities welfare and support capability of RMNP, through activities: integrated arboretum RMNP, climbing environmental oriented, and compensated of forest; (2) the model of welfare enhancement of communities by support capability of sustaining RMN, through activities: family forest, cattle rearing, and small scale enterprise development of non timber product; and (3) special model to optimize community participation in sustaining RMNP namely the complaint centre of RMNP. By considering the current real condition, the activity was prioritized on the cattle rearing by following legal traditional system called Sistem pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI). By this model the number of survive timber is estimated 2 – 4.8 per year. The empowerment had to be conducted through three steps including awareness of farmers, capacity building, empowering and directing for sustainable harmonious between community members and RMNP. It is also managed comprehensively through participative and collaborative approaches in terms of economic, social, culture and institution aspect.
Keyword: Empowerment, Local Community, Forest Management, Sustainable
RINGKASAN L. SUKARDI. Desain Model Pemberdayaan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok). Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI, dan HARDJANTO. Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) memiliki fungsi sangat vital dalam mendukung kehidupan masyarakat di Pulau Lombok; akan tetapi keberadaannya mulai terancam akibat Illegal logging. Salah satu penyebabnya adalah kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Di kawasan Hutan Rinjani, sekitar 70% dari 600 ribu jiwa penduduk termasuk kategori miskin. Berdasarkan kondisi dan kompleksitas persoalan seperti diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelaahan dan kajian secara komprehensif berkenaan dengan upaya menjaga kelestarian sumberdaya hutan (khususnya TNGR). Karena itu perlu didesain model pemberdayaan masyarakat lokal dalam rangka pengelolaan hutan berkelanjutan yang dilandasi prinsip keadilan inter dan antar generasi dengan menekankan integrasi pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi secara proporsional. Tujuan umum penelitian adalah merumuskan desain model pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Secara spesifik penelitian ini bertujuan (1) menelaah bentuk dan faktor-faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Pulau Lombok, (2) mengkaji persepsi dan penilaian ekonomi masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan, (3) menganalisis hubungan antara tingkat pendapatan dengan partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya hutan, dan (4) merumuskan model dan strategi pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan TNGR yaitu Resort Santong, Senaru, Sembalun, Aikmel, dan Stiling. Pengumpulan data dan informasi obyektif dilakukan dengan pendekatan/teknik: (1) penelusuran dokumen, (2) wawancara (interview), (3) observasi langsung ke lapangan (direct observation), (4) wawancara mendalam (in-depth interview), dan (5) Focus Group Discussion (FGD). Jumlah contoh ditetapkan secara quota sebanyak 30 rumahtangga pada setiap lokasi penelitian yang ditentukan secara random sampling. Untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari para responden, dilakukan wawancara mendalam dengan informan kunci (key informan) pada setiap lokasi penelitian. Data dan informasi dianalisis melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif dan dijadikan dasar untuk merumuskan berbagai alternatif desain model pemberdayaan masyarakat sekitar TNGR. Selanjutnya untuk menentukan prioritas kegiatan pemberdayaan dilakukan Analisis Hirarki Proses (AHP) didasarkan pada kriteria pengelolaan hutan secara lestari, yaitu: ekonomi, ekologi/biofisik, dan sosial-budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk interaksi masyarakat dengan hutan TNGR adalah: (1) mengambil/memanfaatkan hasil hutan, (2) kegiatan pendakian, dan (3) bercocok tanam. Namun demikian interaksi yang dikhawatirkan mengancam keberadaan TNGR adalah memanfaatkan hasil hutan, sedangkan pendakian dilakukan bukan dengan motif ekonomi dan kegiatan bercocok tanam dilakukan pada lokasi yang telah ditetapkan secara resmi. Interaksi masyarakat dengan TNGR, khususnya pengambilan/ pemanfaatan hasil hutan kayu (HHK) dilakukan karena alasan/motif ekonomi.
Meski demikian, pengambilan kayu secara liar (illegal logging) ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat karena tidak ada alternatif lain yang dapat dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hasil analisis menunjukkan bahwa interaksi masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu (HHK) secara nyata (significant) dipengaruhi oleh 7 (tujuh) faktor yang dapat dipilahkan menjadi 3 (tiga) kategori sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management-SFM), yaitu: (1) berkenaan dengan kondisi biofisik TNGR, yaitu lokasi interaksi; (2) berkenaan dengan sosial budaya masyarakat, meliputi: WTP dan pengetahuan lokal atau kebiasaan turun-temurun dalam mengambil/ memanfaatkan hasil hutan kayu (HHK); dan (3) berkenaan dengan ekonomi masyarakat, meliputi: pengeluaran untuk kebutuhan makanan, penghasilan dari luar hutan, keterlibatan dalam HKm, dan kepemilikan/pemeliharaan sapi. Masyarakat menyadari pentingnya kelestarian TNGR, akan tetapi adanya desakan kebutuhan ekonomi keluarga menyebabkan tata nilai dan kearifan lokal dalam menjaga dan memelihara hutan TNGR mengalami benturan. Dalam hal ini tata nilai dan kearifan lokal cenderung semakin longgar karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Dengan demikian diperlukan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang diharapkan dapat mengkompensasi penghasilan yang diperoleh dari hasil hutan terutama hasil hutan kayu. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNGR termasuk dalam kategori “sedang”. Meski demikian secara parsial persepsi terhadap manfaat fungsional dan manfaat keberadaan termasuk kategori “tinggi”. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat telah merasakan manfaat tidak langsung (manfaat fungsional) keberadaan TNGR sebagai pencegah banjir, longsor, dan pelindung dari badai. Rata-rata penghasilan masyarakat di kawasan TNGR adalah sebesar Rp 507 839,- per bulan dimana lebih dari 30%-nya bersumber dari hasil hutan, sementara rata-rata pengeluaran sebesar Rp 513 533,- per bulan (68,15% diantaranya merupakan pengeluaran untuk kebutuhan makan). Pendapatan rumahtangga memiliki hubungan positif dengan partisipasi dalam pelestarian TNGR. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan (kesejaheraan ekonomi), maka semakin besar kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian TNGR. Berdasarkan potensi dan sasaran yang diinginkan, maka desain model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan TNGR berkelanjutan adalah model yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan TNGR yang disebut MAHAR-RINJANI (Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani). Ada 3 (tiga) alternatif model pemberdayaan yang dapat dilakukan, yaitu: (1) model yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan daya dukung TNGR dengan kegiatan: Arboretum Terpadu TNGR, Pendakian Berwawasan Lingkungan, dan Hutan Kompensasi; (2) model peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan kondisi daya dukung TNGR tetap lestari dengan kegiatan: Hutan Keluarga, Pemeliharaan Sapi, dan Pengembangan Usaha Kecil HHBK; dan (3) model yang khusus untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian TNGR, yaitu Posko Pengaduan TNGR. Hasil Analisis Hirarki Proses (AHP) dengan pertimbangan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya menunjukkan bahwa bentuk kegiatan yang menjadi prioritas adalah pengembangan ternak sapi dengan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI). Dengan model ini selain dapat meningkakan pendapatan juga diarahkan untuk menghasilkan biogas yang dapat mengganti pengguaan kayu bakar. Setiap sasaran yang diberdayakan dengan memelihara 3 ekor sapi dapat mengurangi penebangan liar (illegal logging) sebanyak 2 - 4,8 pohon per
tahun. Secara kumulatif selama 4 (empat) tahun pembinaan di seluruh kawasan TNGR (9 resort), jumlah pohon yang tidak ditebang untuk keperluan kayu bakar mencapai 1 258 – 4 355 pohon. Pemberdayaan harus dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: tahap penyadaran, peningkatan kapasitas dan pendayaan yang diarahkan untuk menciptakan harmonisasi berkelanjutan antara masyarakat dengan Hutan Rinjani (TNGR). Pemberdayaan harus ditangani secara komprehensif menyangkut aspek ekonomi, sosial-budaya dan kelembagaan yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Akhirnya, berdasarkan kesimpulan dan temuan lapangan lainnya maka disarankan pemberdayaan dilakukan secara partisipatif dan berkesinambungan; bukan pendekatan proyek yang sifatnya parsial dan insidental. Dalam pelaksanaannya perlu koordinasi serta sinkronisasi program dan kegiatan antar dinas/instansi sehingga pemberdayaan terhadap masyarakat (kelompok sasaran) dapat dilakukan secara efektif dan komprehensif.
Kata kunci: pemberdayaan, masyarakat lokal, pengelolaan hutan, berkelanjutan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DESAIN MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN (Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok)
L. Sukardi
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Disertasi : DESAIN MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN (Kasus Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok) Nama
: L. Sukardi
NIM
: P061060011
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. Ketua
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S. Anggota
Mengetahui:
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 2 April 2009
Tanggal Lulus: .................................
Pemguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Muladno, M.S.A. 2. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc. 2. Dr. Ir. Rosiady Husaini Sayuti, M.Sc.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2008 ini adalah pemberdayaan masyarakat, dengan judul Desain Model Pemberdayaan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (kasus : Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok). Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A., Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS., selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan dan penyempurnaan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) berserta segenap jajarannya yang telah banyak membantu dan memfasilitasi penulis selama menempuh pendidikan di SPs-IPB. Kepada Prof. Dr. Ir. Muladno, M.S.A. dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc. dan Dr. Ir. Rosiady Husaini Sayuti, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka; juga disampaikan terima kasih. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) Jakarta, Universitas Mataram, dan Pemda Kabupaten Lombok Timur atas bantuan dana penelitian yang diberikan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Anwar, MP., Dr. Ir. Hirwan Hamidi, M.Si, Irson Widiantoro, SP., Dr. Ir. I. Ketut. Budastra, MRP, Lalu Santawana, SP., Ir. Maskur, M.Si., Ir. Markum, M.Si., Ir. Ridwan, M.Si., Ir. I. Wy. Suadnya, M.Agr.Sc., Ph.D, Bapak Ir. M. Arief Toengkagie (Kepala Balai TNGR) beserta staf Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Bapak Muhammad Ridha Hakim, SP. (Direktur WWF Indonesia–Program Nusa Tenggara) dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data dan informasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus secara khusus disampaikan kepada kedua orang tua dan mertua, isteri (Hj. B. Karnawati, SH), kakak dan adik, serta segenap keluarga atas doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Bogor,
April 2009 L. Sukardi,
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lombok Timur pada tanggal 13 Maret 1964 sebagai anak ketiga dari pasangan Lalu Durma (Alm) dan Hj. Baiq Mariati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Pascasarjana
Sumberdaya IPB
Alam
diperoleh
dan
pada
Lingkungan tahun
2006.
(PSL)
pada
Beasiswa
Sekolah
pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram dari tahun 1990 sampai sekarang. Bidang keahlian yang menjadi tanggung jawab penulis pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram adalah bidang Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Ekonomi Sumberdaya Alam. Berkenaan dengan penelitian disertasi, ada 2 judul karya tulis yang sudah dihasilkan oleh penulis bersama tiga orang pembimbing dan telah memperoleh persetujuan untuk diterbitkan pada jurnal ilmiah. Kedua karya tulis dimaksud adalah: (1) Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Pulau Lombok; akan dimuat pada jurnal “Agrimansion” (Jurnal Ilmiah Jurusan Sosial Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UNRAM) Volume 10 No 1, April 2009, dan (2) Karakteristik dan Faktor Penentu Interaksi Masyarakat Lokal dengan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok; akan dimuat pada jurnal “Agroteksos” (Jurnal Ilmiah Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian UNRAM) Tahun 2009. Saat ini sedang dipersiapkan 2 judul lainnya untuk diterbitkan pada jurnal ilmiah, masingmasing:
(1)
Alternatif
Model
Pemberdayaan
Masyarakat
Lokal
Dalam
Pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Pulau Lombok, dan (2) Pengembangan Model Pemberdayaan Prioritas Dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Pulau Lombok.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………............ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………............
vi vii viii
I.
PENDAHULUAN ……………………………………………………........... 1.1 Latar Belakang .…………………………………………………........... 1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.2.1 Tujuan Umum ........................................................................ 1.2.2 Tujuan Khusus ...................................................................... 1.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 1.5 Kebaruan (Novelty) .........................................................................
1 1 6 6 6 7 11 11
II.
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….......... 2.1 Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan ................. 2.1.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat …………….…………... 2.1.2 Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan di Lingkar Rinjani ................................................................... 2.1.3 Pemberdayaan Masyarakat pada Kawasan Hutan di Mancanegara ........................................................................
12 12 12
2.2 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan ……..………………….………..... 2.2.1 Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 2.2.2 Pengelolaan Kehutanan di Era Otonomi Daerah ..................
21 22 27
2.3 Konsep dan Keberadaan Taman Nasional ..................................... 2.3.1 Konsep/Pengertian Taman Nasional ..................................... 2.3.2 Fungsi dan Sistem Pengelolaan Taman Nasional ................ 2.3.3 Potensi dan Persebaran Taman Nasional di Indonesia …....
29 29 30 34
2.4 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan ..............................................
36
2.5 Persepsi dan Partisipasi ………………………………………………. 2.5.1 Persepsi ………………………………………………………….. 2.5.2 Partisipasi …………………………………………………………
40 40 42
III. METODE PENELITIAN …………………………………….………........... 3.1 Lokasi Penelitian ……......................................................................
45 45
3.2 Desain Penelitian ............................................................................
46
3.3 Rancangan Penelitian ..................................................................... 3.3.1 Metode Pengumpulan Data ................................................... 3.3.2 Teknik Penentuan Contoh, Responden dan Pakar ............... 3.3.3 Variabel Penelitian ................................................................ 3.3.4 Jenis dan Sumber Data .........................................................
49 49 50 51 52
3.4 Analisis Data ...................................................................................
55
16 18
IV. GAMBARAN UMUM TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI ............. 4.1 Letak dan Luas ................................................................................ 4.2 Zonasi Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Rinjani .................. 4.3 Potensi Taman Nasional Gunung Rinjani ....................................... 4.3.1 Flora dan Fauna ………………………………………………… 4.3.2 Vegetasi Taman Nasional Gunung Rinjani ………………….. 4.4 Permasalahan Pokok Taman Nasional Gunung Rinjani ................. 4.4.1 Permasalahan Pokok Berkenaan dengan Kondisi Biofisik TNGR …………………………………………………………….. 4.4.2 Permasalahan Pokok Berkenaan dengan Pengelolaan TNGR …………………………………………………………….. 4.5 Perkembangan Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Rinjani V.
INTERAKSI MASYARAKAT DENGAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI (TNGR) …………………………………………………………… 5.1 Bentuk dan Jenis Interaksi .............................................................. 5.2 Frekwensi Interaksi ........................................................................ 5.3 Faktor-faktor Penentu Interaksi ....................................................... 5.4 Intisari untuk Pemberdayaan ………………………………………….
VI. PERSEPSI DAN PENILAIAN EKONOMI MASYARAKAT TERHADAP TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI (TNGR) ………………………. 6.1 Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan Hutan Rinjani (Taman Nasional Gunung Rinjani) ............................................................... 6.2 Penilaian Ekonomi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan …… 6.3 Intisari untuk Pemberdayaan …………………………………………. VII. HUBUNGAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA DENGAN PARTISIPASI DALAM PELESTARIAN HUTAN ………………………… 7.1 Struktur Pendapatan Rumahtangga ................................................ 7.2 Struktur Pengeluaran Rumahtangga .............................................. 7.3 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Rumahtangga .............................. 7.4 Upaya Pelestarian Hutan ................................................................ 7.4.1 Tata Nilai dan Kearifan Lokal dalam Pelestarian Hutan ........ 7.4.2 Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNGR …………………………………………………………….. 7.4.3 Hubungan Pendapatan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan TNGR ........................................... 7.4.4 Partisipasi LSM dalam Pengelolaan TNGR ........................... 7.5 Intisari untuk Pemberdayaan …………………………………………. VIII. MODEL DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI (TNGR) ......... 8.1 Kegiatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani …………………………………………………………………… 8.2 Potensi Biofisik Kawasan ................................................................ 8.2.1 Kawasan TNGR …………………………………………………. 8.2.2 Kawasan Penyangga (Sekitar) TNGR ………………………... 8.3 Evaluasi Keberhasilan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Kawasan Hutan Rinjani ................................................. 8.4 Peraturan Perundangan tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan ..........................................................................
65 65 67 73 73 74 78 78 81 83
86 86 93 95 99
100 100 105 109
111 111 115 116 119 119 123 125 126 128
129 129 136 136 140 141 143
8.5 Model Pemberdayaan …………………………………………………. 8.5.1 Alternatif Model Pemberdayaan ……………………………….. 8.5.2 Prioritas Model Pemberdayaan ………………………………... 8.5.3 Pengembangan Model Prioritas ……………………………….. 8.6 Strategi Pemberdayaan ................................................................... 8.7 Lembaga Pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani ................... 8.8 Pembiayaan untuk Pemberdayaan .................................................
146 146 169 178 191 195 202
IX. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 9.1 Simpulan ......................................................................................... 9.2 Saran ...............................................................................................
204 204 205
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..........
207
LAMPIRAN ………………………………………………………………….........
216
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perkembangan Luasan Kawasan Taman Nasional di Indonesia ........
34
2
Perincian Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan ..............................
38
3
Matrik Hubungan Keterkaitan antara CV dan EV dengan Perubahan Lingkungan ..........................................................................................
38
4
Jenis dan Sumber Data Menurut Variabel dan Parameter Penelitian
53
5
Jenis dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan yang Diambil/Diekstraksi Masyarakat dari Hutan .........................................................................
56
Obyek dan Butir-butir Penilaian Persepsi Masyarakat terhadap Hutan TNGR ………………………………………………………………………..
57
Obyek dan Butir-butir Penilaian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan TNGR ………………………………………………..
60
Skala Perbandingan Berpasangan Dalam Penilaian Elemen-elemen Suatu Hirarki ........................................................................................
64
Luas, Lokasi dan Karakteristik Masing-masing Zona TNGR .............
70
10 Kriteria Penetapan Zonasi TNGR ........................................................
71
11 Hasil Kegiatan Inventarisasi dan Identifikasi Flora dan Fauna Di Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani ………………………….
74
12 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis dan Lokasi Interaksi ...........
88
13 Perkembangan Harga Tiket untuk Pendakian di TNGR ………………
90
14 Alokasi Penggunaan/Distribusi Dana Tiket Pendakian TNGR ………..
91
15 Rata-rata Frekwensi Responden Berinteraksi dengan Hutan Dirinci Menurut Jenis dan Lokasi Interaksi ..........................................
93
16 Besarnya Koefisien Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Masyarakat untuk Mengambil Hasil Hutan Kayu ……………
96
6
7
8
9
17 Distribusi Responden Berdasarkan Penilaian terhadap Manfaat Keberadaan TNGR .............................................................................. 101 18 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Persepsinya terhadap Keberadaan TNGR ………………………………………………………... 103 19 Tanggapan Responden terhadap Pentingnya Penilaian Ekonomi TNGR ……………………………………………………………………….. 106
20 Distribusi Responden Berdasarkan WTP dan WTA di Kawasan TNGR .............................................................................................................
107
21 Nilai Koefisien Korelasi Spearman antara WTP dengan Variabel Lainnya ……………………………………………………………………... 109 22 Struktur dan Rata-rata Nilai Pendapatan Rumahtangga di Kawasan TNGR ................................................................................................... 112 23 Struktur dan Rata-rata Nilai Pengeluaran Rumahtangga di Kawasan TNGR ................................................................................................... 115 24 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Partisipasinya dalam Pengelolaan TNGR .............................................................................. 125 25 Nilai Koefisien Korelasi Spearman antara Pendapatan dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Hutan …………………………………... 126 26 Potensi Zona Taman Nasional Gunung Rinjani untuk Pemberdayaan Masyarakat ………………………………………………………………… 138 27 Model-model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR ………. 149 28 Deskripsi Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR …… 166 29 Jenis dan Volume Beberapa Jenis Kayu Menurut Umur ……………... 184 30 Luas Lahan yang Dibutuhkan Setiap Peternak (3 ekor Sapi) untuk Pengembangan Rumput dengan Beberapa Skenario Penanaman …
186
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka Pemikiran ............................................................................
10
2
Mekanisme Dampak Pembangunan Terhadap Masyarakat ................
24
3
Kondisi EV dan CV untuk Kualitas yang Semakin Buruk ....................
39
4
Peta Lokasi Penelitian …………………………………………………….
46
5
Struktur Tujuan, Metode, Variabel, Analisis, dan Output/Hasil Penelitian ………………………………..................................................
48
Matrik Skenario Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR ...................................................................................................
62
Struktur Analisis Hirarki Proses (AHP) Model Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani .....................
63
8
Pembagian Zonasi TNGR ....................................................................
69
9
Profil Sistem Pemanfaatan Ruang di Hutan Rinjani ............................
77
10 Perkembangan Tataguna Lahan Kawasan TNGR ..............................
84
11 Perkembangan Kerapatan Vegetasi TNGR .........................................
85
12 Perkembangan Jumlah Pendaki ke Danau Segara Anak dan/atau Puncak Rinjani melalui Jalur Pendakian Resmi Sembalun dan Senaru
89
6
7
13 Kontribusi Masing-masing Kegiatan terhadap Penerimaan Rumahtangga dari Luar Kehutanan ……………………………………..
114
14 Hubungan antara Keranjang Konsumsi dan Pendapatan Rumahtangga di Kawasan TNGR ……………………………………….
118
15 Aktivitas Ekonomi Masyarakat di Sekitar TNGR ……………………….
129
16 Distribusi Populasi Ternak pada Setiap Desa di Sekitar TNGR ……... 132 17 Tataguna Lahan di Sekitar TNGR ……………………………………….
141
18 Kerangka Penyusunan Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGR ……………………………………………..
147
19 Kemitraan Terpadu Usaha Kecil HHBK ............................................... 164 20 Lokasi Potensial untuk Setiap Model Pemberdayaan …………………
168
21 Bobot Masing-masing Kriteria dan Sub Kriteria Penentuan Prioritas Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR ……………….. 170 22 Urutan Prioritas Pemberdayaan dan Kontribusi Sub Kriteria pada Setiap Kriteria Penilaian ………………………………………………….. 172 23 Prioritas Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR …. 173 24 Kontribusi Masing-masing Kriteria pada Setiap Kegiatan Pemberdayaan …………………………………………………………….
173
25 Urutan Prioritas Kegiatan Pemberdayaan pada Masing-masing Sub Kriteria ………………………………………………………………………
174
26 Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR melalui Kegiatan Pemeliharaan Sapi dengan Pendekatan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI) ……………………………………………………….. 185 27 Estimasi Perkembangan Jumlah Kumulatif Sapi yang Dimiliki Peternak Sasaran Selama Masa Pembinaan ………………………….. 188 28 Perkembangan Jumlah Pohon yang Dapat Diselamatkan (Tidak Ditebang) sebagai Hasil Komversi Penggunaan Kayu Bakar ke Biogas ………………………………………………………………………. 190 29 Pelaku dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR …… 194 30 Struktur Organisasi Balai TNGR ……………………………………
196
31 Usulan Struktur Organisasi Balai TNGR ……………………………
201
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Grafik Nilai Manfaat Ekonomi Jasa Pariwisata Alam di TNGR Terhadap Ekonomi Internasional, Nasional dan Lokal ........................ 216
2
Kondisi Neraca Air DAS di Pulau Lombok ........................................... 217
3
Kondisi Debit Air di SSWS Dodokan dan Menanga, Tahun 2000 dan 2003 ..................................................................................................... 217
4
Desa-desa Sekitar Hutan Rinjani ......................................................... 218
5
Topografi Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani ......................... 219
6
Peta Hidrologi Taman Nasional Gunung Rinjani ................................
220
7
Luas DAS dan Sub DAS yang Tercakup dalam Kawasan TNGR .......
221
8
Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Penutupan Lahan TNGR, Tahun 1997 ………………………………………………………………… 222
9
Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Penutupan Lahan TNGR, Tahun 2002 ………………………………………………………………… 222
10 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Penutupan Lahan TNGR, Tahun 2006 ………………………………………………………………… 223 11 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Kerapatan Vegetasi TNGR, Tahun 1997 ………………………………………………………………...
223
12 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Kerapatan Vegetasi TNGR, Tahun 2002 ………………………………………………………………...
224
13 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Kerapatan Vegetasi TNGR, Tahun 2006 ………………………………………………………………...
224
14 Hasil Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Masyarakat dengan Hutan ................................................................... 225 15 Jumlah Rumahtangga di Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani Menurut Penggunaan Bahan Bakar ....................................................
226
16 Desa-desa yang Telah Mendapatkan Kegiatan Pembinaan Daerah Penyangga oleh Taman Nasional Gunung Rinjani .............................. 228 17 Perkembangan Jumlah Sapi untuk Pemberdayaan pada 9 Resort TNGR ……………………………………………………………………….. 229 18 Mitra Kerja Balai Taman Nasional Gunung Rinjani .............................
232
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keberadaan dan peran sumberdaya hutan sangat erat dengan kehidupan umatmanusia, baik langsung maupun tidak langsung. Nilsson (1996) dalam Suhendang (2002) mengelompokkan macam-macam fungsi hutan, yaitu sebagai berikut: (1) menghasilkan kayu industri (industrial wood), untuk papan, kertas, kemasan, dan lain-lain; (2) menghasilkan kayu bakar dan arang (fuel wood and charcoal); (3) menghasilkan hasil hutan bukan kayu (non-wood forest products, NWFPs); (4) menyediakan lahan untuk pemukiman manusia (human settlement); (5) menyediakan lahan untuk pertanian (agriculture land); (6) memberikan perlindungan terhadap siklus air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi (watershed protection and erosion control); (7) tempat penyimpanan karbon (carbon storage); (8) pemeliharaan keanekaragaman hayati dan habitat (biodiversity and habitat preservation); dan (9) obyek ekoturisme dan rekreasi alam (ecotourism and recreation). Persoalan yang dihadapi dalam perkembangan selanjutnya seringkali keberadaan dan manfaat hutan direduksi nilainya hanya dalam perspektif ekonomi. Nilai ekosistem hutan yang beragam telah banyak mengalami pengabaian sehingga apresiasi nilainya hanya diukur dari potensi kayu (timber). Sementara potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan yang sangat besar dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat cenderung diabaikan. Perannya sebagai penyangga keberlanjutan ekosistem dalam bentuk pengatur tata air kini sangat dirasakan tatkala lingkungan mengalami disfungsi ekosistem dengan terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di musim hujan serta bencana kekeringan di musim kemarau. Kearifan nenek moyang beserta seluruh generasi pendahulu dalam memandang hutan dan lingkungannya seyogyanya dapat diwariskan kepada segenap generasi penerus agar sumber daya hutan beserta seluruh fungsinya dapat terjaga keberlanjutannya. Pengeksploitasian hutan harus dapat dilihat dari segi jumlah sumberdaya tersedia, yang sifatnya terbatas dan baru dapat dihasilkan kembali dalam waktu yang relatif lama, misalnya memerlukan rotasi 30-60 tahun untuk dipanen (ditebang) kembali. Keadaan ini sesuai dengan salah satu ciri hutan yaitu one way flexibility, sekali diputuskan untuk dirubah maka tidak mungkin lagi dalam waktu dekat keputusan itu dikembalikan karena proses produksi kehutanan
2 membutuhkan waktu panjang. Hal ini berarti penebangan dan pengkonsumsian saat ini akan berakibat pada ketersediaan barang sumberdaya tersebut di kemudian hari (sebelum masa rotasi kedua tiba). Dengan perkataan lain akan ada biaya alternatif (opportunity cost), yaitu nilai sumberdaya hutan yang dapat diperoleh pada masa yang akan datang. Biaya alternatif ini harus diperhitungkan dalam menentukan bagaimana pengalokasian sumberdaya hutan agar dapat dikelola sepanjang waktu (optimal sustainable yield) Di Indonesia, salah satu masalah lingkungan yang paling serius, bahkan sudah sangat mengkhawatirkan adalah terjadi gangguan (kerusakan) pada ekosistem hutan. Penyebabnya sangat beragam, mulai dari kegiatan yang disengaja seperti penebangan liar (illegal logging), hingga sesuatu hal yang berada diluar kemampuan manusia. Akan tetapi, dari sekian banyak faktor penyebab tersebut, bentuk-bentuk eksploitasi sumber daya hutan yang akhirakhir ini semakin nyata dan meluas merupakan faktor utama yang paling dominan. Bahkan keadaan ini telah mengarah kepada kekerasan lingkungan yang oleh Hardin (1968) disebut ”The Tragedy of the Commons”. Data dari Forest Watch Indonesia (2003) menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia semakin memperihatinkan, yaitu telah mencapai 2,4 juta hektar per tahun. Dari 130 juta hektar luas tutupan hutan Indonesia, sekitar 72% hutan asli Indonesia hilang. Bahkan dari 28% yang tersisa ini, 25% diantaranya atau sekitar 30 juta hektar dalam kondisi rusak parah. Pembangunan hutan melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan Nasional (GRHN) yang berjangka waktu lima tahun hanya mampu menyelamatkan 1,5 juta hektar, sementara itu kerusakan hutan dalam lima tahun mencapai 12 juta hektar sehingga 10,5 juta hektar terabaikan. Pada era otonomi daerah, laju kerusakan sumberdaya hutan justru mengalami peningkatan. Rhiti (2005) mengungkapkan bahwa pada tiga tahun era otonomi daerah (2001 – 2003), kerusakan meningkat menjadi 3,7 juta hektar per tahun (laju kerusakan tercepat di dunia). Sementara itu, Iskandar dan Nugroho (2004) menegaskan bahwa laju kerusakan hutan selama lima tahun terakhir (1999 – 2003) mengalami peningkatan, yaitu 3,8 juta ha per tahun dari keadaan sebelumnya, yaitu kurang dari 2 juta hektar per tahun. Keadaan hutan di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak jauh berbeda kondisinya dengan keadaan hutan di Indonesia secara umum. Dari 1 089 044 hektar luas hutan di NTB, sebanyak 14,51% (159 343,46 ha)
3 diantaranya telah menjadi lahan kritis. Tingkat kerusakan hutan tertinggi terjadi di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Sumbawa dengan masing-masing tingkat kerusakan sebesar 35,64% (56 797,60 ha) dan 32,08% (51 124,90 ha) (Dinas Kehutanan Propinsi NTB, 2005). Sampai dengan tahun 2002 pengelolaan hutan masih belum mampu memperbaiki kondisi hutan secara signifikan; kecuali menahan atau mengurangi laju kecepatan kerusakan hutan. Selama periode 7 tahun (1998-2004) kerusakan hutan di Propinsi NTB mengalami peningkatan dari 78 000 ha menjadi 159 000 ha (rata-rata 13 500 ha/tahun). Meningkatnya kerusakan hutan tersebut banyak disebabkan oleh gangguan keamanan hutan seperti penebangan liar (illegal logging) dan perambahan hutan. Demikian pula halnya dengan Kawasan Hutan Rinjani (125 200 ha) termasuk Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) telah banyak mengalami kerusakan. Hasil penafsiran citra landsat ETM 7 Tahun 2002, serta identifikasi kawasan hutan menunjukkan adanya penurunan dalam penutupan vegetasi dan cenderung memperluas lahan kritis dalam kawasan hutan. Padahal, kawasan Hutan Rinjani (khususnya TNGR) memiliki fungsi sangat vital dalam mendukung kehidupan masyarakat di Pulau Lombok. Data dari Dephut RI (2006) menunjukkan hampir seluruh pasokan air di Pulau Lombok (sekitar 90%) baik untuk keperluan air bersih maupun irigasi bersumber dari kawasan ini. Manfaat lain dari keberadaan Hutan Rinjani (khususnya TNGR) berupa stabilisasi iklim, habitat vegetasi dan satwa maupun mempertahankan siklus hara tanah. Selain itu, TNGR juga memiliki potensi ekonomi yang cukup penting, yakni berupa aset pariwisata alam (jasa lingkungan). Dampak pengembangan pariwisata kawasan TNGR terhadap perekonomian daerah adalah sangat tinggi. Hasil estimasi manfaat ekonomi jasa pariwisata
TNGR
dapat
memberikan
konstribusi
pada
perekonomian
internasional, nasional dan lokal pada lima tahun terakhir sebesar Rp 7 765 miliar (2001-2005). Nilai manfaat tersebut dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan (Lampiran 1). Efek kerusakan Hutan Rinjani sudah terasa beberapa tahun terakhir. Markum et al. (2004) menegaskan bahwa rusaknya sumberdaya hutan mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber mata air. Data Bappeda NTB menunjukkan bahwa pada tahun 1985 di seluruh wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdapat 702 titik mata air, pada tahun 2000 tersisa hanya
4 202 titik dimana 40 titik diantaranya dalam keadaan mati suri. Jadi dalam waktu 15 tahun, NTB telah kehilangan 440 titik mata air. Begitu pula dengan Kawasan Hutan Rinjani, dari ratusan lokasi sumber mata air, kini hanya tinggal 85 lokasi. Indikasi lain dari dampak kerusakan Hutan Rinjani tercermin dari kecenderungan penurunan potensi air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhulu di Kawasan Hutan Rinjani; sementara kebutuhan masyarakat terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Kondisi neraca dan debit air di beberapa DAS Pulau Lombok dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Hasil penelitian WWF-Program Nusa Tenggara (2002a) menyimpulkan ada 7 (tujuh) jenis gangguan penyebab kerusakan Kawasan Hutan Rinjani, yaitu: (1) Pencurian hasil hutan kayu; (2) Penyerobotan kawasan; (3) Kebakaran hutan; (4) Penggembalaan sapi secara liar; (5) Pengotoran lingkungan dan vandalisme; (6) Perburuan liar; dan (7) Pembuatan arang untuk pandai besi. Lebih lanjut dikatakan bahwa nilai kerugian finansial akibat gangguan (1), (2), dan (3) mencapai sebesar Rp 4,5 milyar/th. Sementara itu nilai benefit bersih yang akan diperoleh jika Kawasan Rinjani dilestarikan adalah sebesar Rp 5.178,159 milyar/th. Berkenaan dengan Kawasan Hutan TNGR, meningkatnya kerusakan hutan banyak disebabkan oleh gangguan keamanan hutan. Laporan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (2007) menunjukkan berbagai gangguan yang terjadi di kawasan TNGR, yaitu : penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan, pembuatan arang, pengambilan kayu bakar, dan perburuan satwa. Penyebab ganguan tersebut antara lain adalah kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Selama ini ada keyakinan bahwa antara kemiskinan dan kerusakan hutan memiliki hubungan sebab akibat. Hutan rusak akibat masyarakat miskin, dan ada anggapan-anggapan lain yang cenderung menempatkan masyarakat miskin sebagai pihak yang patut disalahkan. Hasil penelitian WWF-Program Nusa Tenggara (2002b) di Desa Sesaot - Lombok Barat, Desa Setiling - Lombok Tengah, dan Desa Gawah Akar- Lombok Timur menunjukkan bahwa masalah kemiskinan dan kerusakan hutan masih terkait walaupun dalam tingkatan yang jauh lebih terbatas bila dibandingkan dengan laju kerusakan yang diakibatkan oleh berbagai perubahan kebijakan. Misalnya, ijin pemanfaatan kayu limbah (kayu sisa tebangan, kayu mati berdiri, dan kayu terkena penyakit) yang dikeluarkan Pemerintah NTB, telah memicu penebangan massal di Hutan Lindung Sesaot. Akibatnya dalam jangka waktu ± 1 tahun, lebih
5 dari 800 ha hutan dibabat habis (Markum et al. 2004). Begitu pula halnya dengan kebijakan otonomi daerah yang menetapkan kawasan hutan sebagai salah satu sumber penerimaan daerah secara tidak langsung dapat memicu penebangan liar (illegal logging). Di kawasan Hutan Rinjani Pulau Lombok, sekitar 70% dari 600 ribu jiwa penduduk termasuk kategori miskin (WWF-Indonesia 2006). Temuan lebih lanjut di lokasi ini menunjukkan bahwa masyarakat miskin semakin dimarjinalkan oleh kebijakan yang tidak konsisten dan ketidakadilan sosial. Untuk itu, kegiatan konservasi yang dilakukan WWF-Indonesia juga diwujudkan dengan memperkuat masyarakat miskin dan marjinal di sektar kawasan konservasi dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari bagi kesejahteraan mereka (Wulandari et al. 2006). Dengan demikian keberadaan masyarakat telah dianggap sebagai komponen yang tidak bisa diabaikan dalam kerangka perlindungan dan pemanfaatan hutan. Selama ini keterlibatan masyarakat lokal dalam perlindungan dan pelestarian hutan dilakukan melalui pengelolaan hutan adat oleh lembagalembaga adat dengan berbagai bentuk kearifan lokal. Salah satu bentuk kelembagaan lokal di Kawasan Hutan Gunung Rinjani yang eksis dalam pengelolaan hutan adalah Lembaga Adat Bayan. Dalam hubungannya dengan hutan, Lembaga Adat Bayan telah menciptakan aturan-aturan tertentu (bahasa setempat “awig-awig”) mengenai pola hubungan masyarakat dengan hutan. Bentuk aturan tersebut antara lain berupa larangan melakukan eksploitasi hutan bagi kepentingan pribadi, pembakaran, perburuan satwa, menggembalakan ternak, perbuatan amoral, mencemari sumber air dan lain-lain perbuatan yang merugikan kepentingan bersama di areal hutan adat. Penegakan sanksi adat dalam hal ini sangat ketat dan didukung oleh kepatuhan serta kesadaran warga masyarakat. Fungsi vital hutan sebagai sumber mata air utama juga sangat disadari oleh warga masyarakat setempat. Upaya pengelolaan hutan yang telah dilakukan di kawasan Hutan Rinjani adalah melalui Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Tujuan utama dari program ini adalah pelestarian sumberdaya hutan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan sekaligus meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Implementasi PHBM di Lingkar Rinjani ini dilaksanakan dalam berbagai bentuk, yaitu Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Cadangan Pangan (HCP), Pengembangan Jalur Hijau (PJH), dan
6 Penanaman Bawah Tegakan (PBT). Hasil dari penerapan program PHBM ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar 25-30 %, namun upaya rehabilitasi hutan yang dilakukan belum menunjukkan hasil yang nyata, mengingat jenis tanaman kayu-kayuan baru akan menampakan hasilnya dalam jangka waktu yang lama. Berdasarkan kondisi dan kompleksitas persoalan seperti diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelaahan dan kajian secara komprehensif berkenaan dengan upaya menjaga kelestarian daya dukung sumberdaya hutan (khususnya TNGR). Karena itu perlu didesain model pemberdayaan masyarakat lokal yang berdomisili di sekitar kawasan hutan dalam rangka pengelolaan hutan berkelanjutan yang dilandasi prinsip keadilan inter dan antar generasi dengan menekankan integrasi pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi secara proporsional.
1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan desain model pemberdayaan masyarakat lokal (masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan) dalam pengelolaan hutan (TNGR) berkelanjutan.
1.2.2 Tujuan Khusus Secara spesifik, penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Menelaah bentuk dan faktor-faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan khususnya kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Pulau Lombok 2. Mengkaji persepsi dan penilaian ekonomi masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan (TNGR) 3. Menganalisis hubungan antara pendapatan dengan partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya hutan (TNGR) 4. Merumuskan model dan strategi pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan (TNGR) berkelanjutan
7 1.3 Kerangka Pemikiran Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) merupakan salah satu kawasan konservasi dan merupakan potensi pembangunan NTB yang ditetapkan dengan tujuan utama mempertahankan siklus hidrologi dan iklim mikro Pulau Lombok (mengingat 90% sungai di Pulau Lombok berhulu di TNGR), mempertahankan sumber plasma nutfah serta habitat berbagai jenis flora dan fauna tropika yang beberapa diantaranya termasuk golongan endemik (FAO 1981; Dinas Kehutanan NTB 1997). Dilihat dari tujuan penetapan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa TNGR mempunyai peranan vital bagi sistem ekologis Pulau Lombok. Kerusakan atau degradasi kawasan TNGR akan berdampak negatif pada sistem ekologi Pulau Lombok dan selanjutnya akan mempengaruhi keadaan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat ke arah negatif. Keberadaan stabilisasi
iklim,
TNGR
habitat
selain vegetasi
memberikan
manfaat
fisik
dan
maupun
mempertahankan
satwa
(hidrologis,
siklus/degradasi hara tanah), juga memiliki potensi yang penting ditinjau dari sisi sosial ekonomi budaya masyarakat (kayu, padang penggembalaan, lahan pertanian, tanaman buah, aset pariwisata alam dan pendidikan). Namun demikian dalam pengelolaan saat ini masih dijumpai beberapa permasalahan pokok yang merupakan potensi konflik (Abas 2005). Dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Rinjani Tahun 1998–2023 dinyatakan bahwa issu konflik dalam pengelolaan kawasan TNGR terdiri atas permasalahan kawasan yakni perambahan hutan, pencurian kayu, perburuan liar, penggembalaan ternak maupun tumpang tindih kawasan untuk kepentingan lain (jalan raya) dan permasalahan pengelolaan yang terdiri dari masalah institusional, sumberdaya manusia, sarana/prasarana, database yang minim, pendanaan maupun masalah teknis lainnya (Dinas Kehutanan Dati I NTB 1997). Berkenaan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka kerangka pemikiran dalam penyusunan model pemberdayaan masyarakat di sekitar TNGR didasarkan pada dua sasaran utama, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kelestarian daya dukung sumberdaya hutan TNGR. Untuk itu dilakukan telaahan komprehensif terhadap aspek biofisik, sosial ekonomi, dan kelembagaan TNGR. Pada aspek kelembagaan dilakukan evaluasi kebijakan menyangkut lembaga
pengelola,
peraturan
perundangan
yang
berkenaan
dengan
8 pengelolaan serta akses masyarakat terhadap TNGR. Pada aspek biofisik dikaji perubahan biofisik TNGR berkenaan dengan terjadinya interaksi masyarakat. Sementara itu untuk aspek sosial ekonomi, dilakukan kajian terhadap masyarakat lokal dengan segala entitasnya, menyangkut ekonomi, sosial, dan kelembagaan masyarakat. Bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan (khususnya para petani yang berlahan sempit), salah satu andalan sumber penghasilan rumahtangga adalah dari berbagai bentuk hasil hutan. Dapat diduga bahwa ketergantungan dan interaksi masyarakat dengan hutan pada awalnya didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar.
Akan tetapi dengan
berbagai
memicu
perkembangan
dan
globalisasi
informasi,
terjadinya
transformasi sosial ekonomi (termasuk masyarakat di sekitar kawasan hutan). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan pola fikir dan pola tindak dari masyarakat (termasuk gaya hidup). Semua ini tentunya akan berimplikasi terhadap upaya pemenuhan kebutuhan yang tidak hanya primer, tetapi juga sekunder dan tersier. Jika kebutuhan ini tidak dapat ditutupi oleh penghasilan keluarga dari sumber luar kehutanan, maka akan mengakibatkan tekanan yang semakin berat terhadap sumberdaya hutan. Artinya, eksploitasi sumberdaya hutan akan semakin meningkat. Di satu sisi ketergantungan terhadap keberadaan hutan akan menjadi insentif bagi masyarakat untuk memeliharanya; didasarkan pada berbagai kearifan lokal yang diyakini secara turun temurun. Namun di sisi lain, akibat desakan kebutuhan yang semakin meningkat serta adanya faktor-faktor lain justru akan menjadi pemicu perambahan hutan. Peraturan perundangan yang berlaku memang memberikan akses kepada masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan (termasuk memanfaatkan hasil hutan), namun harus mematuhi berbagai ketentuan dan rambu-rambu yang berlaku. Dengan demikian, adanya akses dan peluang yang tersedia serta tuntutan berbagai kebutuhan menjadi pemicu bagi masyarakat lokal dengan segala entitasnya untuk berinteraksi (motif ekonomi) dengan kawasan hutan. Disamping itu, faktor eksternal yang mendorong tinggi rendahnya interaksi masyarakat dengan kawasan hutan (dalam rangka pengambilan hasil hutan berupa kayu) diduga disebabkan permintaan kayu (terutama untuk keperluan bangunan) terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Di sisi lain, dengan ditemukannya berbagai jenis alat dan mesin
9 pemotong kayu (chain saw) akan sangat membantu dan memudahkan masyarakat untuk menebang kayu hutan dengan ukuran dan kapasitas yang jauh lebih besar. Kenyataan ini menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan daya regenerasinya sehingga pada akhirnya akan menimbulkan degradasi. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan pengkajian secara cermat dan komprehensif guna merumuskan model pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan. Dalam hal ini model yang dirumuskan disesuaikan dengan karakteristik spasial masing-masing lokasi (spesifik lokasi) dengan mempertimbangkan aspek biofisik, kelembagaan, dan sosial ekonomi masyarakat. Selanjutnya akan disusun sebuah model yang berlaku secara umum untuk semua lokasi; didasarkan pada nilai-nilai (virtue) yang berlaku secara umum. Secara rinci kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
10
TAMAN NASIONALGUNUNG RINJANI (TNGR)
KELEMBAGAAN
SOSEK
BIOFISIK
Lbg. Pengelola
MASYARAKAT LOKAL
Akses Masy EKONOMI
Peratutan Per UU
PENDAPATAN RT - Hutan - Non Hutan
INTERAKSI DG HUTAN
KEBUTH. RT - Kebth. Pokok - Kebth. Lain
- Btk & Jenis - Frekuensi - Motif
SOSIAL
KELEMBAGAAN
Persepsi Masy ttg Keberadaan TNGR
Tata Nilai & Kearifan Lokal
Pola & Gaya Hidup
Lbg Adat / KMH
ASET RT Evaluasi Kebijakan
- Perub Tataguna Lahan - Perub Kerapatan Vegetasi
Faktor Penentu Interaksi
STRATEGI PEMBERDAYAAN Gambar 1. Kerangka Pemikiran Ket. : Aliran informasi Kesatuan masyarakat dengan segala entitasnya
Tk. Pendapatan Minimum
- Kebt. Lhn min - Alt. Kegt. Ush
MODEL-MODEL PEMBERDAYAAN MASY. LOKAL
Penilaian Ek. SDH
AHP
Peran Lbg Adat
MODEL PEMBERDAYAAN PRIORITAS
11 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan model pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang didasarkan pada tingkat perekonomian rumahtangga dan penilaian ekonominya terhadap sumberdaya hutan. Selain itu output penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar bagi para pengambil kebijakan dan stakeholders lainnya dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan hutan berkelanjutan.
1.5 Kebaruan (Novelty) Nilai kebaruan (Novelty) dari penelitian ini terletak pada pendekatan yang digunakan
dalam
penyusunan
model
pemberdayaan
masyarakat
lokal
(masyarakat di sekitar kawasan hutan TNGR). Dalam pendekatan penyusunan model mempertimbangkan secara komprehensif faktor penentu interaksi, persepsi dan penilaian masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga mempertimbangkan atau memperhitungkan seberapa besar tingkat pendapatan masyarakat lokal sehingga dapat meredam mereka untuk merambah hutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan 2.1.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara sederhana, konsep pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapat akses dan kontrol atas sumber-sumber hidup yang penting. Konsep pemberdayaan merupakan konsep baru, mulai dikaji secara mendalam sejak dekade 70-an, berkembang terus sampai sekarang. Belum ada gambaran yang memuaskan tentang konsep empowerment sampai saat ini. Konsep pemberdayaan (empowerment) berkembang sejak lahirnya gerakan Eropa modern pada pertengahan abad 18, di mana muncul gelombang pemikiran baru yang menentang kekuasaan mutlak dari agama (gereja dan raja). Dalam perjalannya sampai kini telah mengalami proses dialektika dan akhirnya menemukan konsep ke masa kini-an, yang telah umum digunakan di berbagai negara (Riyanto 2005). Konsep
pemberdayaan
pada
dasarnya
dibangun
dari
ide
yang
menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Terdapat dua kecenderungan
proses
pemberdayaan,
yaitu:
Pertama
adalah
proses
pemberdayaan yang menekankan ke proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungan proses dapat pula disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Kedua adalah kecenderungan sekunder yang lebih menekankan melalui proses dialog. Kecenderungan ini terkait dengan kemampuan individu untuk mengontrol lingkungannya. Agar kecenderungan primer dapat terwujud, maka harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. Pemberdayaan juga berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitabel sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Sedang dari perspektif lingkungan, pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumber daya alami dan pengelolaannya secara berkelanjutan (Dirjen PHKA 1999 dalam Rianto 2005). Rapport (1984), mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) adalah
cara
meningkatkan
kemampuan
masyarakat
(community)
dan
13 kelembagaan (organisasi) sehingga mampu menguasai atau berkuasa untuk menentukan arah kehidupannya. Sementara itu Haeruman dan Eriyatno (2001) menekankan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya merupakan upaya untuk menjamin hak-hak masyarakat dalam mengatur hidupnya. Ini berarti juga penciptaan suatu iklim yang kondusif agar masyarakat dapat mendayagunakan sumberdaya yang tersedia dan potensi masyarakat secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan, martabat, dan keberadaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut Chambers (1987) menegaskan bahwa paradigma baru pembangunan dan pemberdayaan masyarakat mencakup 4 (empat) aspek, yakni: people centered, participatory, empowering, dan sustainable. Sementara itu Parson et al. (1994) menekankan pentingnya masyarakat menguasai keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupan dirinya dan masyarakat sekitarnya yang menjadi bagian dari tanggung jawab sosialnya. Dengan
demikian,
menurut
Wrihatnolo
dan
Dwidjowijoto
(2007);
pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan”. Sebagai sebuah proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu: (1) Tahap penyadaran; pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka berhak untuk mempunyai sesuatu (2) Tahap pengkapasitasan (capacity building); untuk dapat diberikan daya atau kuasa maka yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu (3) Tahap
pendayaan
(empowerment);
kepada
target
diberikan
daya,
kekuasaan, otoritas atau peluang; sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Konsep pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan oleh WWFIndonesia adalah konsep pemberdayaan yang dikemukakan oleh Wulandari et al. (2006), yaitu “proses yang menuntun masyarakat mengenali jatidirinya, membangun kepercayaan diri, kapasitas, tanggung jawab, dan kemampuan mengatasi berbagai tantangan”. Dalam kaitannya dengan konservasi dan pengelolaan sumberdaya hutan; “pemberdayaan” adalah kondisi dimana masyarakat dimampukan dan dijamin haknya untuk mengakses sumberdaya hutan dan memanfaatkannya secara lestari demi kesejahteraan mereka. Bahkan menurut Hidayati et al. (2006), pemberdayaan masyarakat di dalam dan di
14 sekitar hutan merupakan salah satu kunci sukses pembangunan kehutanan nasional. Masyarakat sekitar hutan termasuk masyarakat hukum adat yang hidup secara tradisional di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan keberadaannya telah diakui oleh pemerintah. Dalam rangka pengelolaan hutan yang berbasis pada peran masyarakat, maka prinsip dasar yang harus dikembangkan adalah (Dirjen PHKA 1999 dalam Rianto 2005) : a. Prinsip Co-Ownership yaitu bahwa kawasan hutan adalah milik bersama yang harus dilindungi secara bersama-sama, untuk itu ada hak-hak masyarakat di dalamnya yang harus diakui namun juga perlindungan yang harus dilakukan bersama; b. Prinsip Co-Operation/Co-Management yaitu bahwa kepemilikan bersama mengharuskan pengelolaan hutan untuk dilakukan bersama-sama seluruh komponen masyarakat (stakeholder) yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan ORNOP yang harus bekerja bersama; c. Prinsip Co-Responsibility yaitu bahwa keberadaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan hutan merupakan tujuan bersama. Ketiga prinsip tersebut di atas dilaksanakan secara terpadu sehingga fungsi kelestarian hutan dapat tercapai dengan melibatkan secara aktif peran serta masyarakat sekitar hutan. Namun demikian agar masyarakat mampu berpartisipasi maka perlu keberdayaan baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Menurut Hairiah et al. (2003), bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang berkembang dewasa ini dalam rangka pemberdayaan masyarakat, meliputi : 1. Perhutanan Sosial (Social Forestry) Perhutanan Sosial yaitu upaya/kebijakan kehutanan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Produk utama dari perhutanan sosial berupa kayu dan non kayu (buah, bunga, daun, kulit kayu dan lain-lain). Oleh karena itu, dalam prakteknya dapat berupa pembangunan hutan tanaman (man made forest) atau
penanaman
pohon-pohon
pada
dimanfaatkan bagi perusahaan besar.
lahan
milik
masyarakat
yang
15 2. Hutan kemasyarakatan (Community Forestry) dan Hutan Rakyat (Farm Forestry) Hutan pembangunan,
kemasyarakatan pengelolaan
adalah dan
hutan
yang
perencanaan,
pemungutan
hasil
hutan
serta
pemasarannya dilakukan sendiri oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pihak pemerintah (instansi kehutanan) yang membantu masyarakat, dengan mengutamakan keuntungan bagi seluruh masyarakat bukan untuk keuntungan individu semata. Hutan rakyat adalah hutan di mana petani/pemilik lahan menanam pepohonan di lahannya sendiri. Mereka biasanya telah mengikuti pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kehutanan ataupun memperoleh bantuan untuk kegiatan kehutanan. Bentuk agroforestry mungkin dipilih dan diterapkan pada kedua kegiatan tersebut bila pepohonan ditanam bersama dengan tanaman pertanian dan atau peternakan. Dengan demikian hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat tidak selalu identik dengan agroforestry, karena agroforestry adalah pemanfaatan lahan terpadu tanpa batasan kepemilikan lahan. Namun dapat pula dilakukan dengan model agroforestry, dengan mencampur tanaman pangan, perkebunan dan atau peternakan. Batasannya adalah pemanfaatan lahan yang permanen, yang dilakukan dalam satu kawasan, dengan waktu penanaman bergiliran atau bersamaan dalam satu kawasan (campuran). 3. Hutan Serba Guna (Multiple Use Forestry) Hutan Serba Guna adalah praktek kehutanan yang mempunyai dua atau lebih tujuan pengelolaan, meliputi produksi, jasa dan keuntungan lainnya. Dalam penerapan dan pelaksanaannya dapat menyertakan tanaman pertanian atau kegiatan peternakan. Walaupun demikian hutan serba guna tetap merupakan kehutanan dan bukan merupakan bentuk pemanfaatan lahan terpadu sebagaimana agroforestry yang secara terencana diarahkan pada pengkombinasian kehutanan dan pertanian untuk mencapai beberapa tujuan yang terkait dengan degradasi lingkungan serta problema masyarakat di perdesaan.
16 4. Forest Farming Istilah forest farming sebenarnya mirip dengan multiple use forest, yang digunakan untuk upaya peningkatan produksi lahan hutan, yaitu tidak melulu produk kayu, tetapi juga mencakup berbagai bahan pangan dan hijauan. 5. Ecofarming Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Dalam hal tertentu
ecofarming
dapat
memasukkan
komponen
pepohonan
atau
tumbuhan berkayu lainnya sehingga disebut agroforestry. Dari kelima bentuk rehabilitasi hutan tersebut, bentuk kedua (Hutan Kemasyarakatan) yang telah mendapat sambutan positif dari masyarakat, sementara bentuk pertama (Perhutanan Sosial) sedang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan.
2.1.2 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Lingkar Rinjani Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan upaya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui pengelolaan sumberdaya hutan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Hasil analisis kebijakan PHBM NTB menyebutkan bahwa implementasi PHBM di Lingkar Rinjani dilaksanakan dalam berbagai bentuk, namun tetap dengan pola dan tujuan yang sama. Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) diaplikasikan pada berbagai tempat dengan menggerakkan masyarakat sekitar dan di dalam hutan untuk terlibat secara langsung. Disamping itu, terdapat pengelolaan hutan dengan model lain seperti Hutan Cadangan Pangan (HCP), Pengembangan Jalur Hijau, Penanaman Bawah Tegakan, dan lain-lain. HKm pada lokasi Santong seluas ± 720 ha di kelola kelompok masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk Koperasi Tani (Koptan) Maju Bersama. Komoditas perkebunan yang dikelola adalah Kopi, sedangkan jenis kayu-kayuan yang ditanam adalah Sengon. Pengelolaan areal eks HPH di kawasan Monggal dilakukan masyarakat sekitar hutan dengan komoditas perkebunan yang dikelola adalah Vanilli, Kakao dan Cengkeh dengan jenis kayu-kayuan Rajumas. Pengelolaan HCP di kawasan Kekait dikelola masyarakat Desa Kekait dengan menggunakan jenis-jenis
17 tanaman pangan seperti padi gogo, jagung, pisang, nangka, dan lain-lain dengan jenis kayu-kayuan Mahoni. Kawasan Sesaot dikelola dengan model HKm serta telah membentuk KMPH (Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan) dengan menggunakan jenis tanaman yang lebih variatif, antara lain: pisang, durian, nangka, kopi, dan lain-lain dengan jenis kayu-kayuan Sengon. Koperasi Pondok Pesantren Darussadiqien mengelola HKm seluas 1.042 ha yang melibatkan masyarakat sebanyak ± 4.000 orang meliputi 4 Desa (Aik Berik, Lantan, Stiling, dan Wajageseng) dengan komoditas utama berupa pisang, durian, nangka, manggis, dan lain-lain dengan jenis kayu-kayuan Sengon dan Mahoni. Pengelolaan Jalur Hijau di Sapit melibatkan masyarakat sebanyak ± 900 orang dalam Kelompok Tani Rimba Sejahtera dengan komoditas perkebunan adalah Vanilli, Mangga, Pisang, dan lain-lain sedangkan jenis kayu-kayuan Sengon. Berbagai bentuk PHBM dapat ditemukan hampir di semua wilayah Kabupaten/Kota di NTB. Hasil produksi telah meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar 25-30 %, namun upaya rehabilitasi hutan yang dilakukan belum menunjukkan hasil yang nyata, mengingat jenis tanaman kayu-kayuan baru akan menampakan hasilnya dalam jangka waktu yang lama. Kegiatan penebangan liar (illegal logging) pada lokasi yang dikelola PHBM sangat jarang ditemui karena pengamanan hutan yang dilakukan pemerintah bersama masyarakat sebagai pengelola sangat efektif. Adanya komitmen untuk melestarikan hutan serta hubungan yang saling berkait antara masyarakat dengan sumberdaya hutan menyebabkan hutan akan tetap terjaga dan terpelihara. Jenis tanaman yang dikembangkan masyarakat seperti Kopi, Kakao, Vanilli sangat memerlukan naungan sehingga penebangan kayu-kayuan akan berdampak negatif pada tanaman perkebunan (kegagalan tanaman, penurunan produksi, dan lain-lain). Pengembangan MPTS dengan jenis buahbuahan (Mangga, Manggis, Nangka, Durian, dll) tetap berfungsi sebagai pengatur tata air dan konservasi tanah. Hubungan ekologi yang berkait dengan hubungan ekonomi masyarakat tersebut menyebabkan masyarakat akan berusaha menjaga dan melestarikan sumberdaya hutan yang dikelolanya. Secara
langsung
kelompok-kelompok
masyarakat
membentuk
satuan
pengamanan hutan seperti KMPH yang akan selalu berusaha menjaga dan melestarikan hutan secara progresif. Permasalahan utama adalah jaminan penguasaan hasil yang belum mempunyai kepastian (property right) sehingga sebagian masyarakat pengelola
18 hutan masih ragu-ragu dalam mengusahakan jenis-jenis tanaman jangka panjang seperti durian, nangka, mlinjo, dan lain-lain. Hasil penelitian Kusumo et al. (2004) melaporkan bahwa Program HKm di Pulau Lombok memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat yang terlibat di dalamnya, namun sebaliknya terjadi perrmasalahan biofisik yang cukup serius, yaitu penutupan lahan yang cukup terbuka (20%30%). Hal ini mengindikasikan adanya gangguan ekologis di kawasan tersebut sehingga memiliki kecenderungan terjadiya erosi. Angka penutupan lahan tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Amiruddin et al. (2001) yang menemukan bahwa total tutupan lahan kolektif berkisar 21,5% - 85,14 %. Temuan lainnya adalah perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sapit dan Perigi. Dari 300 hektar areal hutan yang mendapat izin pengelolaan dari pemerintah daerah, berkembang menjadi 600 hektar menuju Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Hasil analisis Muktasam et al. (2003) menemukan bahwa kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan merupakan faktor penentu dalam pengembangan agroforestry di Pulau Lombok. Salah satu kelemahan dari konsep HKm selama ini adalah ketergesaan pelaksana kegiatan yang langsung menuju kepada pemenuhan aspek ekonomi dengan melupakan tahapan pengembangan institusi dan ekologi. Sebagai dampak dari ketergesaan tersebut, maka mengakibatkan munculnya pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yang tidak terpola.
2.1.3 Pemberdayaan Masyarakat pada Kawasan Hutan di Mancanegara A Filipina Filipina telah melakukan kebijakan pemberdayaan masyarakat yang disebut The Community Forest Stewardhip Agreement (CFSAs). CFSAs ini mulai diberlakukan sejak tahun 1982, yaitu dengan dikeluarkannya Program Sosial Kehutanan Terpadu (Integrated Social Forestry Program = ISFP). Selanjunya ISFP ini dilaksanakan melalui program hutan kemasyarakatan (Community Forest Program = CFP) (Riyanto 2005). Dalam kenyataannya tidak ada program yang berhasil karena fasilitas dasar seperti komunikasi, transportasi, peralatan survai, dan arah yang jelas serta kemampuan teknis personil kurang memadai.
19 B. Thailand Pada
tahun 1987, Proyek Kehutanan Sosial di dataran tinggi/
pegunungan di Thailand (The Thailand Upland Social Forest Project = USFP) dimulai dengan usaha kerjasama Departemen Kehutanan Kerajaan Thailand (RFD) dan Chiang Mai, Kasertsart, dan Khon Kaen University, dengan bantuan dana dan bantuan teknis dari Ford Foundation. Strategi yang diterapkan dalam USFP adalah menjalankan kerjasama melalui dua tingkat. Pertama, Departemen Kehutanan bekerjasama pada tingkat daerah dengan didampingi dari Fakultas Kehutanan dan Fakultas Ilmu Sosial dan anggota ORNOP. Kedua, Departemen Kehutanan merumuskan rencana penggunaan kawasan dengan masyarakat lokal (Riyanto 2005). Dalam pelaksanaannya, proyek kehutanan sosial di dataran tinggi pegunungan di Thailand menghadapi beberapa permasalahan hukum yang tidak dapat diselesaikan berkaitan dengan pengelolaan areal hutan berdasarkan program hutan perdesaan dan program alokasi kawasan hutan nasional. C. India Kebijakan Nasional Joint Forest Manajement (JFM) dilaksanakan secara nasional sejak 1990, setelah Departemen Lingkungan dan Kehutanan Pusat mengeluarkan himbauan dalam bentuk resolusi kepada seluruh negara bagian untuk lebih memperhatikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program ini menekankan kerjasama antara masyarakat yang ada di sekitar hutan dengan Departemen Kehutanan dalam mengelola hutan untuk keuntungan kedua belah pihak. Dalam mengelola hutan keduanya berbagi peran, tangung jawab, dan hasil hutan yang dituangkan dalam sebuah kesepakatan. Untuk keperluan tersebut, masyarakat desa harus membentuk kelompok yang disebut Forest Protection Committees (FPCs). JFM ini telah dilaksanakan di 27 negara bagian dan sudah menghimpun 36.000 FPC yang mengelola hutan seluas 11 juta hektar (Riyanto 2005). Hasil pengamatan Iswantoro (2001) dalam Rianto (2005) menunjukkan bahwa Kebijakan Kehutanan India Tahun 1988 merupakan titik pijakan pengelolaan hutan masa selanjutnya. Kebijakan ini tidak lagi menekankan sumberdaya pemeliharaan
hutan
sebagai
stabilitas
sumber
lingkungan
pendapatan, melalui
tetapi
preservasi
mementingkan dan
restorasi
keseimbangan ekologi dan meningkatkan tutupan hutan (forest cover). Namun
20 demikian,
kebijakan
tersebut
telah
mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan
masyarakat desa hutan akan kayu bakar, pakan ternak, kayu-kayu ukuran kecil dan hasil hutan lainnya. Karena itu kebijakan ini akhirnya mendorong lahirnya resolusi tentang JFM yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tahun 1990. D. Costa Rica Hutan di Costa Rica terdiri dari Taman Nasional dan Hutan Produksi. Taman Nasional dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh pemerintah, sedangkan Hutan Produksi berada pada tanah-tanah yang dimiliki dan dikelola oleh perorangan. Sebelum 1989, tingkat deforestasi di Costa Rica sangat tinggi, yaitu mencapai 60.000 ha/th (1,2% dari total daratan). Deforestasi tersebut terjadi akibat tekanan ekonomi sehingga Hutan Produksi dikonversi menjadi areal peternakan karena lebih menguntungkan. Pada tahun 1970, luas hutan di Costa Rica adalah 45% dari daratan, dan pada tahun 1989 hanya tinggal 20%. Dengan adanya insentif di bidang kehutanan maka areal hutan meningkat, yaitu pada tahun 2003 mencapai 40% dari luas daratan (Sunaryo 2003). Kebijakan pengelolaan hutan diatur dalam UU Kehutanan 1996 tentang pengaturan jasa lingkungan dari hutan, pembentukan lembaga independent pengelola
keuangan
bagi
pembangunan
kehutanan
(Fonafifo),
serta
pembentukan lembaga pengawasan pengelolaan hutan (Regente). Tugas dari Fonafifo adalah memberi kredit reforestasi, membayar jasa lingkungan, dan mencari dana pembangunan. Model jasa lingkungan yang dibayar oleh Fonafifo terhadap pemilik hutan adalah: a. Konservasi hutan (hutan produksi yang diperuntukkan menjadi koridor biodiversity) dibayar sebesar $ 212 setiap hektar dengan kontrak 5 tahun. Selama kontrak tidak diperkenankan adanya konversi maupun penebangan pohon. b. Pengelolaan hutan secara lestari dibayar sebesar $ 327 setap hektar dengan kontrak 15 tahun dan selama kontrak tidak diperkenankan adanya konversi. c. Reforestasi dibayar sebesar $ 527 setap hektar dengan kontrak 15 tahun dan selama kontrak tidak diperkenankan adanya konversi. d. Agroforestry dibayar sebesar $ 1 setiap pohon dengan maksimum $ 3.500 setiap pemilik lahan dengan kontrak 10 tahun. Pohon yang ditanam tidak boleh ditebang selama kontrak masih berlaku.
21 2.2 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Deklarasi Rio yang dikeluarkan pada Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development,
UNCED)
yang
diselenggarakan
di
Brazil
Tahun
1992
mengamanatkan perlunya pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh (holistic), terpadu (integrated) dan berkelanjutan (sustainable). Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam konferensi ini adalah Prinsip-prinsip Kehutanan (Principles on Forests). Prinsip inilah yang melandasi Pengelolaan Hutan Lestasi atau PHL (Sustainable Forest Management SFM) yang disepakati secara internasional. Prinsip utama dalam PHL adalah dicapainya manfaat hutan yang bersifat optimal dari fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial budaya hutan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Suhendang 2004). Dalam
pengelolaan
hutan
berlandaskan
ekosistem,
kelestarian
(keberlanjutan) hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktivitas (daya dukung) hutan, dan fungsi-fungsi ekosistem hutan yang terbentuk akibat terjadinya interaksi antar komponen ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya. Dari ketiga dimensi kelestarian hutan tersebut, kelestarian wujud biofisik merupakan prasyarat untuk diperolehnya kelestarian produktivitas dan fungsi ekosistem hutan. Namun demikian, mempertahankan kelestarian keberadaan wujud biofisik bukan berarti bahwa seluruh hutan harus dibiarkan utuh alami, tidak boleh disentuh atau dimanfaatkan sama sekali; melainkan kita manfaatkan sumberdaya hutan secara optimal dengan mempertahankan kelestarian daya dukungnya yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan pembangunan (Suhendang 2004; Soemarwoto 2004). Kriteria Pengelolaan Hutan Lestasi (Sustainable Forest Management SFM) yang dibuat dalam setiap negara, selain harus berlandaskan kepada nilainilai universal yang dihasilkan dari berbagai konvensi international, seyogyanya disesuaikan pula dengan keadaan khusus biofisik hutan, serta keadaan ekonomi, dan sosial-budaya masyarakatnya. Tentu saja kriteria ini dalam jangka panjang akan bersifat dinamis, sehingga memerlukan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Pada saat ini Indonesia telah memiliki kriteria PHL untuk pengelolaan hutan produksi alam pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan yang disusun dengan mengacu kepada pedoman LEI tentang “Sistem Sertifikasi Pengelolaan
22 Hutan Produksi Lestari”. Adapun kriteria yang ditetapkan untuk pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan di Indonesia sebagaimana dimuat dalam Standar LEI 5000-1 (Kerangka Sistem
Pengelolaan
Hutan
Produksi
Lestari),
adalah sebagai berikut
(Suhendang 2002): 1. Kelestarian Fungsi Produksi: a. Kelestarian sumberdaya hutan b. Kelestarian hasil hutan c. Kelestarian usaha 2. Kelestarian Fungsi Ekologi: a. Stabilitas ekosistem b. Sintasan (survival) spesies endemik/langka/dilindungi 3. Kelestarian Fungsi Sosial: a. Terjaminnya sistem tenurial hutan komunitas b. Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas dan karyawan c. Terjaminnya
keberlangsungan
integrasi
sosial
dan
kultural
komunitas dan karyawan d. Realisasi tanggung jawab rehabilitasi status gizi dan penanggulangan dampak kesehatan e. Jaminan atas hak-hak tenaga kerja
2.2.1 Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Kebijakan
untuk
melibatkan
masyarakat
dalam
seluruh
aspek
pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan salah satu upaya menyelamatkan hutan dengan keanekaragaman hayatinya yang diselaraskan dengan upaya optimalisasi manfaatnya bagi masyarakat (Abidin et al. 2003). Sebagai contoh, untuk menekan berkembangnya kegiatan penebangan liar (illegal logging) di hutan alam produksi, sebuah perusahaan HPH di Kalimantan Tengah mengadakan usaha kemitraan di bidang pemanenan kayu bulat dengan koperasi desa sekitar hutan. Hasilnya antara lain pengusaha lokal dan masyarakat sekitar hutan sudah mulai merasakan adanya keadilan
dalam menikmati keberadaan hutan produksi
(Basari 2004). Demikian pula dengan Liswanti, et al. (2004) menyimpulkan bahwa masyarakat Dayak Merap dan Punan, Kalimantan Timur menilai pentingnya hutan primer didasarkan pada berapa hal berikut: (1) sebagai sumber
23 mata pencaharian baik langsung maupun tidak langsung, (2) adanya nilai-nilai historis yang harus terus dipertahankan secara turun-temurun, dan (3) memiliki kelimpahan sumberdaya yang sangat bernilai seperti tumbuhan dan hewan. Darusman
(2002),
menegaskan
bahwa
secara
umum
keterlibatan
masyarakat yang semakin dekat terkait dengan kegiatan usaha pokok akan memberi dampak yang lebih besar dan lebih terjamin keberlanjutannya. Oleh karena itu program/usaha berbagai pihak, termasuk para pengusaha dalam rangka membangun masyarakat desa sekitar hutan seharusnya memiliki bentukbentuk kegiatan yang lebih dekat terkait dengan usaha kehutanan yang pokok, atau bahkan merupakan bagian yang terpadu dengan kegiatan usaha pokok tersebut. Manfaat yang diharapkan adalah: kesempatan kerja, pendapatan (income) kesempatan berusaha, serta transfer IPTEK dan manajemen. Untuk dapat memperoleh manfaat seperti yang diharapkan, masyarakat luas dapat diberi kesempatan melalui cara-cara sebagai berikut: 1. Terlibat langsung dalam kegiatan usaha/pembangunan yang pokok, misalnya dalam kegiatan usaha HPH, HPHTI, industri hasil hutan, dan lain-lain. Keterlibatan tersebut dapat melalui 3 cara, yaitu : a. Sebagai pekerja atau pegawai suatu perusahaan b. Sebagai pemilik saham perusahaan c. Sebagai pengusaha atau pemilik perusahaan 2. Terlibat dalam kegiatan usaha/pembangunan yang menyediakan keperluankeperluan bagi kegiatan usaha pokok, misalnya menyediakan bahan makanan, bahan bakar, bibit, usaha angkutan, dan lain-lain untuk suatu HPHTI. Dalam kegiatan ini seseorang dapat menjadi pengusahanya atau juga sebagai pekerja/pegawai. Kegiatan usaha terkait yang bersifat menunjang keperluan-keperluan dari usaha pokok ini disebut sebagai keterkaitan ke belakang atau "backward linkages". 3. Terlibat dalam kegiatan usaha/pembangunan yang menggunakan hasil-hasil dari usaha pokok, seperti misalnya usaha penggergajian, kerajinan, dan lainlain yang menggunakan kayu atau hasil dari suatu HPH. Dalam kegiatan ini juga seseorang dapat menjadi pengusahanya atau juga menjadi pekerja atau pegawai. Kegiatan terkait yang bersifat memanfaatkan hasil usaha pokok lebih lanjut disebut keterkaitan ke depan atau 'forward linkages".
24 4. Mendapat bantuan dari pemilik usaha pokok untuk mengembangkan kegiatankegiatan ekonomi atau sumber-sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi masyarakat. Sebagai ilustrasi bagaimana suatu usaha pembangunan memberi dampak bagi pembangunan masyarakat di suatu wilayah, dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:
dari luar Kegiatan/usaha yg menyediakan keperluan/input bagi usaha pokok • Pegawai/pekerja • Pengusaha • Pemegang Saham • Pemborong Pekerjaan
ke luar
KEGIATAN USAHA POKOK
ke luar Kegiatan/usaha yg memanfaatkan output dari usaha pokok
• Pegawai/pekerja • Pegawai/pekerja • Pengusaha • Pengusaha • Pemegang Saham • Pemegang Saham • Pemborong Pekerjaan • Pemborong Pekerjaan
Kegiatan/usaha lain yang tidak terkait Gambar 2. Mekanisme Dampak Pembangunan terhadap Masyarakat (Sumber : Darusman, 2002). Lebih lanjut Hidayati et al. (2006) menegaskan bahwa bentuk interaksi masyarakat dengan hutan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan motivasi dan kepentingannya. Pertama, masyarakat yang interaksinya dengan hutan hanya didorong oleh motivasi ekonomi saja. Kelompok ini adalah masyarakat miskin yang masuk ke hutan karena tidak memiliki akses terhadap lahan. Kedua, kelompok masyarakat yang interaksinya dengan hutan didorong oleh motivasi ekonomi dan lingkungan. Kelompok masyarakat ini adalah masyarakat desa hutan di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Kelompok masyarakat ini memiliki kemampuan budidaya tanaman dan juga tradisi agroforestry (wanatani). Ketiga, masyarakat yang telah tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dalam jangka waktu yang lama dan mempunyai ketergantungan pada hutan secara sosial ekonomi, bahkan juga magis religius. Peran masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan telah mempunyai landasan hukum yang kuat, diantaranya: 1) Ketetapan MPR RI No. IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
25 Pengelolaan Sumberdaya Alam, dimana dalam salah satu arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam adalah menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional. 2) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 3) Pedoman Umum Pengembangan Social Forestry yang dikeluarkan oleh Depantemen Kehutanan pada tahun 2003. Peraturan perundangan di atas memberikan peluang kepada siapa saja, termasuk perguruan tinggi untuk mengembangkan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui pendampingan berazaskan kemitraan. Kemitraan yang dimaksud dalam mengelola sumberdaya hutan adalah suatu bentuk kenjasama antara masyarakat dengan stakeholders lain. Salah satu program yang dapat ditempuh dalam rangka pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan kepentingan masyarakat setempat adalah melalui pengembangan social forestry. Tujuan pengembangan social forestry harus diarahkan agar terwujud sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang memberikan akses dan peran kepada masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan sebagai pelaku dan atau mitra utama pengelola hutan guna meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian sasaran antara social forestry adalah (1) membangkitkan kegiatan ekonomi produktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, (2) percepatan rehabilitasi hutan dengan melibatkan semua sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat, pemerintah dan dunia usaha dalam Iembaga kemitraan, (3) meningkatkan partisipasi masyarakat, (4) menahan laju kerusakan sumberdaya hutan, dan (5) meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dan aparatur pemerintah (Dephut RI 2003). Menurut
Wulandari
(2005),
partisipasi
sangat
diperlukan
dalam
pengelolaan sumberdaya hutan (SDH), baik partisipasi dari rakyat, pemerintah, swasta dan seluruh stakeholders. Selain itu partisipasi dapat diartikan sebagai kemampuan sistem pengelolaan sumberdaya hutan untuk membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan untuk mengambil bagian secara aktif, mulai dari identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi. Slamet (1980) dalam Kartasubrata (2003) mengemukakan, syarat-syarat yang
26 diperlukan untuk partisipasi rakyat dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu: (1) adanya kesempatan untuk membangun atau untuk ikut dalam pembangunan, (2) kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu, dan (3) adanya kemauan untuk partisipasi. Selanjutnya untuk mengakomodir aspirasi dan kepentingan masyarakat, maka sejak Oktober 2000 WARSI telah mendorong sebuah pendekatan baru menuju pengelolaan yang adil, demokratis serta berkelanjutan dengan konsep pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat melalui program Community Based Forest Management (CBFM). Tujuannya untuk mewujudkan pengelolaan dan keberlanjutan sumber daya alam seperti sumber daya hutan, dengan menempatkan posisi masyarakat sebagai bagian terpenting dari sumber daya itu sendiri. Dalam hal ini masyarakat mendapatkan kepercayaan dan kesempatan untuk ikut mengelola hutan rakyat sesuai dengan nilai dan konsep yang mereka miliki (Warsi 2002). Dalam pengembangan konsep CBFM, masyarakat terlibat secara aktif, berakar di masyarakat dan bersendikan adat istiadat maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini penguasaan lahan, distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak terlepas dari adat dan kebiasaan setempat. Bahkan dikontrol oleh pranata sosial dan budaya lokal. Artinya pengembangan CBFM bukan untuk tujuan ekonomi semata, karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor utamanya adalah rakyat yang berada pada komunitas-komunitas lokal. Sebagai pembeda dengan sistem pengelolaan hutan lainnya, CBFM memiliki karakteristik program sebagai berikut: 1. Masyarakat setempat (lokal) sebagai aktor utama pengelola hutan 2. Lembaga pengelolaan dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat yang bersangkutan. 3. Sistem memiliki atau menguasai wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum (adat dan nasional) yang mendukungnya. 4. Interaksi antara rakyat dan lingkungannya bersifat erat dan langsung 5. Pengetahuan lokal memiliki tempat yang penting dan melandasi kebijaksanaan dan tradisi sistem. 6. Teknologi yang digunakan adalah melalui proses adaptasi yang berada dalam batas-batas yang dikuasai rakyat. 7. Skala produksi tidak dibatasi kecuali prinsip-prinsip kelestarian (sustainability).
27 8. Sistem ekonomi didasarkan pada kesejahteraan bersama dan keuntungan dibagi secara adil dan proporsional. 9. Keanekaragaman mendasari berbagai bidang yaitu jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumber daya, sistem sosial, sistem ekonomi dan sebagainya.
2.2.2 Pengelolaan Kehutanan di Era Otonomi Daerah Permasalahan mendasar dalam menyongsong pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam bidang pengelolaan hutan adalah menyangkut aspekaspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik serta memiliki resiko kegagalan yang tinggi (Abidin et al. 2003). Kewenangan pemerintah daerah dalam bidang kehutanan tidak disinggung di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pernerintahan Daerah, namun dideskripsikan dalam PP No. 38 Tahun 2007 (turunan UU No. 32 Tahun 2004) sebagai kewenangan dalam bidang Kehutanan (pasal 7). Khusus dalam bidang kehutanan diatur dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang merupakan payung hukum dalam pengelolaan hutan yang dalam pelaksanaanya telah diterbitkan beberapa peraturan di bawahnya (PP No. 6 Tahun 2007 dan beberapa SK Menteri). Ruang kewenangan yang dimiliki oleh seorang kepala daerah pada akhirnya tetap memiliki koridor aturan yang harus dipatuhi, karena dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan telah dibatasi oleh adanya peraturan perundangan
dan
produk
kebijakan
lain
diatasnya.
Pelanggaran
atau
penyimpangan atas produk perundangan dan kebijakan tersebut, jelas akan memiliki konsekuensi sanksi dan hukum. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 telah secara jelas dimuat sanksi atas pelanggaran tindak pidana (pasal 78). Dengan demikian penerbitan produk peraturan di tingkat daerah (propinsi dan kabupaten) yang berkaitan dengan bidang kehutanan harus konsisten dengan peraturan perundangan dan kebijakan di atasnya (Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri). Hutan, khususnya hutan lindung yang selama ini disakralkan dan dilarang untuk dijamah oleh masyarakat, ruangnya mulai dibuka sejak diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat tidak secara eksplisit disebutkan di dalam UU No. 41 Tahun 1999 maupun dalam PP No. 6 Tahun 2007. Namun demikian secara substansial sebenarnya UU No. 41 Tahun 1999 telah mengakomodir kepentingan
28 masyarakat untuk memperoleh akses pengelolaan hutan. Hal ini disinggung pada beberapa pasal, antara lain: (pasal 23) bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pasal 30, pada kerangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka setiap badan usaha yang memperoleh usaha pemanfaatan jasa lingkungan hasil hutan kayu dan non-kayu, diwajibkan bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat. Dalam pasal 68, masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan; memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian keberadaan masyarakat telah dianggap sebagai komponen yang tidak bisa diabaikan dalam kerangka perlindungan dan pemanfaatan hutan. Secara umum akses yang telah dibuka untuk masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah dalam hal pemanfaatan kawasan hutan baik dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung, kecuali pada hutan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan terutama pada tiga hal pokok yaitu untuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan non kayu. Secara lebih rinci penggunaan kawasan ini diatur lebih lanjut pada PP No. 6 Tahun 2007, tentang: “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pernanfaatan Hutan” dan Pedoman Umum dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat setempat di dalam dan/atau sekitar hutan. PP No. 6 Tahun 2007 mengatur lebih teknis beberapa pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999, terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan hutan (hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi), pemberian ijin, dan kewenangan pemberian ijin. Prinsip pemanfaatan kawasan untuk hutan lindung adalah berupa bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan (pasal 19). Dalam upaya untuk memberikan fungsi penguatan kepada masyarakat baik individu maupun kelembagaan, dalam PP No 6 Tahun 2007 juga secara eksplisit disebutkan tentang pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan/atau di sekitar hutan (pasal 83 dan 84). Bagaimana mekanisme pelaksanaan pemberdayaan masyarakat tidak diatur secara rinci, namun diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri (pasal 87 ayat 4).
29 2.3 Konsep dan Keberadaan Taman Nasional 2.3.1 Konsep/Pengertian Taman Nasional Taman Nasional adalah wilayah alamiah di daratan atau lautan yang ditunjuk untuk: (1) melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan generasi kini dan yang akan datang, (2) melarang eksploitasi dan okupasi yang bertentangan dengan tujuan penunjukannya, (3) memberikan landasan untuk pengembangan
spiritual,
ilmu
pengetahuan,
pendidikan,
rekreasi,
dan
kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan budaya (Komite PPA-MFA Yayasan WWF-Indonesia 2006). Dalam UU No 5/1990 tentang “Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya” dinyatakan bahwa taman nasional
merupakan “kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi”. Definisi ini sejalan dengan IUCN (1980; 1985) yang mendefinisikan taman nasional sebagai areal yang cukup luas dimana: (1) Satu atau beberapa ekosistem tidak berubah oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan; spesies flora dan fauna, kondisi geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan nilai rekreasi atau yang memiliki nilai lanskap alam dengan keindahan yang tinggi, (2) Pemerintah memandang perlu dan memberikan perhatian untuk mencegah kegiatan eksploitasi atau penyerobotan lahan serta mencari upaya yang efektif untuk mempertahankan kepentingan ekologi, geomorfologi atau keindahan alamnya, dan (3) Pengunjung diperbolehkan masuk dalam kondisi tertentu dengan tujuan mendapatkan inspirasi, pendidikan, kebudayaan dan rekreasi. Dilihat dari kedua definisi di atas, maka beberapa kegiatan pengelolaan dimungkinkan untuk dilakukan pada taman nasional. Oleh karenanya diperlukan kehati-hatian karena beberapa kegiatan mempunyai peluang eksploitatif seperti pariwisata dan kegiatan budidaya walaupun harus dilakukan secara terbatas. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya memberikan pengaruh lanjutan dari sisi ekonomi maupun ekologi dalam berbagai aspek. Kegiatan pengelolaan harus benar-benar mempertimbangkan peranan ekologis dan potensi taman nasional dengan kata lain harus dijaga kesesuaian antara tujuan perlindungan dengan pilihan pemanfaatannya.
30 2.3.2 Fungsi dan Sistem Pengelolaan Taman Nasional Pembentukan taman nasional dimulai dengan tujuan sebagai penyangga kawasan produktif sehingga keseimbangan ekologis dalam suatu wilayah regional tetap terjaga. Penetapan kawasan taman nasional biasanya dilakukan pada lahan-lahan marginal yang tidak atau belum terjangkau oleh pembangunan intensif. Beberapa dasar yang umum digunakan untuk menetapkan suatu kawasan sebagai taman nasional adalah (MacKinnon et al. 1992): (1) karakteristik atau keunikan ekosistem, (2) mempunyai keanekaragaman spesies atau spesies khusus yang “bernilai”’, (3) mempunyai lanskap dengan ciri geofisik atau estetik yang ‘bernilai’, (4) mempunyai fungsi perlindungan hidrologi (tanah, air, iklim lokal), (5) mempunyai sarana untuk rekreasi alam dan kegiatan wisata, dan (6) mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi (candi, peninggalan purbakala dan lain sebagainya). Fungsi taman nasional sangat beraneka ragam untuk memenuhi kebutuhan
manusia
terutama
kaitannya
yang
relevan
dengan
tujuan
pembangunan ekonomi, sosial dan pengelolaan lingkungan antara lain berupa: (1) pemeliharaan contoh yang memiliki unit-unit biotik utama untuk melestarikan fungsinya dalam ekosistem, (2) pemeliharaan keragaman ekologi dan hukum lingkungan, (3) pemeliharaan sumberdaya genetika, (4) pemeliharaan obyek, struktur dan tapak warisan kebudayaan, (5) perlindungan keindahan panorama alam, (6) penyediaan fasilitas pendidikan, penelitian dan pemantauan lingkungan dalam areal alamiah, (7) penyediaan fasilitas rekreasi dan turisme, (8) pendukung
pembangunan
dan
pengembangan
daerah
pedesaan
serta
penggunaan lahan marginal secara rasional, (9) pemeliharaan produksi daerah aliran sungai, dan (10) pengendalian erosi dan sedimentasi serta melindungi investasi daerah hilir (Miller 1978). Bentuk pengelolaan yang cocok dan efektif dengan tujuan pembentukan taman nasional sampai saat ini adalah sistem zonasi yakni pembagian kawasan taman nasional berdasarkan fungsi dan tujuan pengelolaannya. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No P.56/Menhut-II/2006 tentang “Pedoman Zonasi Taman Nasional”; pada pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa zona dalam taman nasional terdiri dari: 1. Zona inti; 2. Zona rimba (Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan); 3. Zona pemanfaatan;
31 4. Zona lain, antara lain: a. Zona tradisional; b. Zona rehabilitasi; c. Zona religi, budaya dan sejarah; d. Zona khusus. Selanjutnya ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) bahwa dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Sementara itu fungsi dan kegiatan yang dapat dilakukan pada masing-masing zona dijelaskan pada pasal 6 dan pasal 7 sebagai berikut: Pasal 6: Peruntukan masing-masing zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi: a. Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya. b. Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti. c. Zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya. d. Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. e. Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. f. Zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan melindungi nilainilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius. g. Zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik. Pasal 7: (1) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona inti meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya; c. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan atau penunjang budidaya;
32 d. Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permamen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan. (2) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona rimba meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. lnventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya; c. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya; d. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan populasi hidupan liar; e. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas. (3) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya; c. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya; d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam; e. Pembinaan habitat dan populasi; f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan; g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa Iingkungan. (4) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat; c. Pembinaan habitat dan populasi; d. Penelitian dan pengembangan; e. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. (5) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona religi, budaya dan sejarah meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi; c. Penyelenggaraan upacara adat; d. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacaraupacara ritual keagamaan/adat yang ada. (6) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat dan; c. Rehabilitasi; d. Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah. Dalam pengelolaannya diperlukan partisipasi masyarakat. Hal ini sejalan dengan
pendapat
masyarakat
sekitar
McNelly
(1988)
kawasan
taman
yang
menyatakan
nasional
perlu
bahwa
partisipasi
dikembangkan
dan
memperoleh prioritas di dalam kawasan tersebut, karena masyarakat sekitar memberikan sumbangan yang besar bagi kesinambungan sumberdaya alam
33 yang terdapat dalam kawasan. Sayangnya hal ini sering menimbulkan konflik penggunaan ruang dalam taman nasional. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya inovasi perencanaan dan sistem pengelolaan yang meningkatkan sistem perlindungan
sumberdaya
alam
dengan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat di sekitar kawasan. Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (1) PP No 68 Tahun 1998 tentang “Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam” disebutkan bahwa penunjukan suatu kawasan taman nasional apabila memenuhi kriteria-kriteria: (1) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami, (2) memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik, baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami, (3) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, (4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam, (5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain yang karena
pertimbangan
kepentingan
rehabilitasi
kawasan,
ketergantungan
penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip yang harus diadopsi dalam pengelolaan taman nasional adalah: prinsip kemantapan kawasan, kelestarian fungsi ekologi, kelestarian fungsi ekonomi sumber daya alam, dan kelestarian fungsi sosial budaya. Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan menjadi dimensi hasil yang kemudian dinyatakan sebagai kriteria kinerja pencapaian pengelolaan taman nasional lestari sebagai berikut (WWF 2006): a. Kemantapan kawasan, adalah prinsip mengenai pentingnya keberadaan kawasan taman nasional yang diakui, dengan kriteria
terjaminnya
kemantapan kawasan secara legal dan aktual b. Kelestarian fungsi ekologi, adalah prinsip yang menjelaskan ukuran keberhasilan dari sisi ekologi dan lingkungan, dengan kriteria terjaminnya fungsi ekosistem kawasan taman nasional c. Kelestarian fungsi ekonomi sumberdaya alam (SDA), adalah terjaminnya fungsi taman nasional untuk memberikan manfaat dengan tetap mempertahankan sistem penyangga kehidupan berbagai spesies dan plasma nutfah asli serta ekosistem unik yang terdapat di dalamnya,
34 dengan
kriteria:
(1) tersedianya akses manfaat
ekonomi
dalam
pembangunan wilayah, (2) tersedia Insentif bagi pelaku konservasi, dan (3) tersedianya akses pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya. d. Kelestarian fungsi sosial budaya, adalah terjaminnya fungsi taman nasional untuk keberlangsungan manfaat sosial maupun budaya sesuai dengan aspirasi, kebutuhan serta tatanan pranata sosial yang diterima dan berlaku dalam kehidupan masyarakat setempat yang dicirikan oleh kriteria: (1) hubungan harmonis budaya lokal dan sumberdaya alam, (2) terjaminnya ruang kelola masyarakat, dan (3) kontribusi terhadap perkembangan pendidikan dan pengetahuan baru sumber daya alam (SDAL). 2.3.3 Potensi dan Persebaran Taman Nasional di Indonesia Sampai dengan Februari 2005 jumlah taman nasional telah mencapai 50 lokasi dengan luasan mencapai 16 694 195,78 ha, terdiri dari 12 475 335,78 ha wilayah daratan dan 4 218 860.00 ha wilayah perairan. Perkembangan jumlah dan luas Taman Nasional di Indonesia disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Perkembangan Luasan Kawasan Taman Nasional di Indonesia. Tahun
Taman Nasional (Ha)
Jumlah Taman Nasional
1996 2000 2003 2004 Februari 2005
8 679 107,89 14 753 176,18 15 028 404,05 15 049 765,44 16 694 195,78
36 37 41 41 50
Sumber: Departemen Kehutanan, UNESCO dan CIFOR (2004) Berikut ini disajikan secara singkat taman nasional di Indonesia (sampai dengan Februari 2005) untuk masing-masing unit biogeografinya (Dephut RI, 2005). Unit biogeografi Sumatera: taman nasional yang terdapat pada unit biogrografi ini antara lain Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Batang Gadis, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Sungai Sembilang, Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Tesso Nilo, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Siberut dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
35 Unit biogeografi Jawa–Bali: terdapat Taman Nasional Gunung GedePangrango, Taman Nasional Ujung Kulon dan Taman Nasional Gunung HalimunSalak yang merupakan taman nasional dengan potensi tinggi. Selain itu terdapat Taman Nasional Gunung Ciremai, Taman Nasional Gunung Merbabu, Taman Nasional Gunung Merapi, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Baluran dan Taman Nanional Meru Betiri. Di Propinsi Bali terdapat Taman Nasional Bali Barat. Untuk taman nasional laut terdapat Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dan Taman Nasional Laut Karimun Jawa. Unit biogeografi Kalimantan: Dalam unit ini terdapat Taman Nasional Danau Sentarum yang ditetapkan sebagai lahan basah internasional dalam konvensi Ramsar (merupakan perwakilan ekosistem danau, hutan rawa air tawar dan hutan hujan tropis). Selain itu terdapat Taman Nasional Gunung Palung dengan tipe vegetasi bakau, Taman Nasional Tanjung Puting dengan jenis vegetasi hutan kerangas, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Betung Kerihun, Taman Nasional Bukit Baka - Bukit Raya, Taman Nasional Sebanggau dan Taman Nasional Kayan Mentarang. Unit biogeografi Sulawesi: terdapat Taman Nasional Laut Bunaken yang terkenal keindahannya dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang merupakan taman nasional contoh bagi konservasi dan pembangunan terpadu (menyediakan contoh perlindungan terhadap daerah tangkapan air yang penting untuk daerah irigasi). Selain itu terdapat Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Taman Nasional Laut Takabone Rate, Taman Nasional Wakatobi dan Taman Nasional Kepulauan Togean. Unit biogeografi Maluku: terdapat Taman Nasional Manusela yang merupakan contoh taman nasional hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian 500 – 1500 m dpl dan Taman Nasional Aketajawe – Lolobata dengan ekosistem hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan. Unit biogeografi Nusa Tenggara: taman nasional dalam unit biogeografi ini merupakan perpaduan dari kawasan terestrial dan perairan seperti Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Kelimutu, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Taman Nasional Lawangi Wanggameti di Nusa Tenggara Timur. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat Taman Nasional Gunung Rinjani yang memiliki kekhasan berupa danau vulkanik diatas ketinggian 2000 m dpl.
36 Unit biogeografi Irian/Papua: terdapat Taman Nasional Lorentz yang terdiri dari kawasan pantai, hutan bakau, hutan rawa air tawar, hutan kerangas, hutan dataran rendah hingga dataran tinggi dengan salju abadi. Selain itu terdapat Taman Nasional Wasur dengan habitat satwa yang mirip dengan Australia Barat. Taman Nasional lainnya adalah Taman Nasional Teluk Cendrawasih yang merupakan kawasan pelestarian alam dengan gugusan pulau-pulau kecil di dalamnya. Potensi taman nasional Indonesia yang tinggi dengan kekayaan sumberdaya alam dan budaya masyarakat sekitarnya merupakan peluang pengelolaan
yang
besar.
Namun
demikian
masih
terdapat
beberapa
permasalahan pengelolaan yang perlu diperhatikan; antara lain adalah banyaknya taman nasional yang berlokasi jauh dari pusat pemerintahan dengan tingkat aksesibilitas rendah dan sarana prasarana minim, pendanaan taman nasional yang minim, masalah konflik taman dengan masyarakat sekitarnya, sumberdaya manusia yang rendah, institusi pengelola taman nasional yang masih perlu ditingkatkan kemampuannya serta peraturan-peraturan yang masih belum mampu mengakomodir kepentingan berbagai pihak secara adil. Sebagai contoh, penggunaan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas 300 ha untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Selain itu untuk memperlancar transportasi kayu-kayu hasil penebangan, di kawasan itu juga dibuka jalan sepanjang 6 km dengan lebar 10 m. Ironisnya kegiatan tersebut mendapat ijin resmi dari Dirjen Departemen Kehutanan dan Menteri Kehutanan (Soemarwoto 2005). 2.4 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Australian Developmen of Environment, Sport, and Territories (ADEST) dalam bukunya berjudul “Techniques to Value Environmental Resources: an Introductory Handbook” mencatat ada lima teknik valuasi lingkungan, yaitu: (1) Teknik perubahan dalam produktivitas (The change-in productivity technique); (2) Teknik perubahan dalam pendapatan (The change-in income technique); (3) Teknik biaya penggantian (The replacement cost technique); (4) Teknik pengeluaran preventatif (The preventative-expenditure technique); dan (5) Teknik biaya Relokasi (The relocation-cost technique) (Anwar dan Asikin 2001). Sementara itu menurut Sanin (2006), metode dan teknik valuasi ekonomi yang dikembangkan berbagai ahli dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:
37 1. Metode berbasis pasar aktual (actual marked based method). Penggunaan metode ini pada dasarnya adalah harga yang dianggap mendekati nilai dari barang dan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh kawasan konservasi. Metode ini terdiri dari empat yaitu: metode perubahan dalam produktivitas (change in productivity), metode kehilangan penghasilan (loss of earning method), metode pengeluaran preventif (averted defensive expenditure method) dan metode pengganti biaya (replacement cost) 2. Metode berbasis mewakili pasar (surrogate market based method). Metode ini terdiri dari: metode biaya perjalanan (travel cost method), metode hedonik/nilai property (hedonic pricing method/proverty value method) dan metode diferensiasi gaji (wage differencial method). 3. Metode berbasis pasar kontingensi (contingent market based method) yang terdiri atas: metode penilaian kontingensi (contingent valuation method) yang merupakan metode yang dihadapkan pada tidak tersedianya harga pasar, dan metode pasar buatan (artificial market method). Berkenaan dengan urgensi penilaian, Nurrochmat (2006) mengemukakan bahwa penilaian Sumberdaya Hutan (SDH) berguna sebagai dasar: (1) penyusunan Neraca Sumber Daya Hutan, (2) pembelian, penjualan, sewa, lelang lahan dan tegakan hutan, (3) peminjaman modal atau kredit, (4) ganti rugi kerusakan hutan (kebakaran, pencemaran lingkungan, dsb.), (5) perencanaan dan studi kelayakan investasi publik dan privat dalam pengelolaan SDH, (6) penentuan pilihan tujuan pengelolaan ekosistem hutan pada setiap fungsi hutan, dan (7) perhitungan tarif (dana reboisasi, kompensasi, jaminan kinerja, dan sebagainya). Secara umum, nilai lingkungan dibedakan antara nilai atas dasar penggunaan (use value) dan nilai tanpa penggunaan (intrinsic value = non-use value). Atas dasar penggunaannya, nilai itu dibedakan lagi menjadi nilai atas dasar penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value), nilai atas dasar pilihan penggunaan (option use value), dan nilai yang diwariskan (bequest value)(Parera et al. 2006). Dalam hal sumberdaya hutan; Suparmoko (2006), Pearce dan Turner (1990), dan Nurrochmat (2006) mengidentifikasi secara rinci total nilai sumberdaya hutan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 2. Dalam hal ini produksi kayu merupakan nilai penggunaan langsung (extractive use value), sedangkan fungsi hutan untuk rekreasi dan mengasimilasi karbon merupakan penggunaan tidak
38 langsung (non extractive use value). Sementara itu, nilai tanpa penggunaan (non-use value) meliputi nilai atas dasar warisan dari generasi sebelumnya (bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existance value). Tabel 2. Perincian Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan Nilai Guna Nilai Guna Tak Lgsg (Manfaat Fungsional) • Fungsi ekologis • Pengenda Lian banjir • Perlind. thd angin
Nilai Ekonomi Total
Nilai Non Guna Nilai Guna Nilai Nilai Nilai Nilai NonLangsung Pilihan Pilihan Keberadaan Guna Lainnya (Hasil yg dapat (Nilai pilihan (Nilai pilihan (Nilai (Nilai non pengg dikons langsung) pengg) Non pengg) Pengethn) lainnya) • Rekreasi • Ekosistem • Habitat • Biodiversity • Kayu • Suaka mrg • Spesies • Pemandangan • Buah+biji satwa langka • Getah • Rotan • Pakan hewan • Tumb. Obat Sumber: Pearce dan Turner (1990); Suparmoko (2006) dan Nurrochmat (2006)
Salah satu metode penilaian keberadaan lingkungan secara ekonomi adalah melalui Contingent Valuation Methods (CVM), terutama pada pengukuran Willingness to Pay (WTP) dan Willingness to Accept (WTA). Sementara itu, nilai surplus konsumen terdiri dari nilai Compensated Variation (CV) yang merupakan nilai WTP dan Equivalent Variation (EV) yang merupakan nilai WTA (Fauzi, 2006). Lebih lanjut Putri (2004) menjelaskan hubungan antara CV dan EV dengan perubahan kualitas lingkungan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 3 berikut. Tabel 3. Matrik hubungan keterkaitan antara CV dan EV dengan Perubahan Lingkungan Uraian Compensated Variation (CV) Equivalent Variation (EV) Sumber: Putri (2004).
Kualitas Lingkungan membaik Marginal WTP Marginal WTA
Kualitas Lingkungan memburuk Marginal WTA Marginal WTP
Pada kondisi kualitas lingkungan yang semakin membaik, maka CV merupakan indikator dari marginal WTP, sedangkan EV merupakan indikator dari marginal WTA. Sebaliknya pada kondisi lingkungan yang semakin memburuk, maka CV merupakan indikator dari marginal WTA, sedangkan EV merupakan indikator dari marginal WTP.
39
Penggunaan Income (M)
MC
C
CV D
B
MB=MD EV
A
I1
MA I2 0
U2
U1
Kualitas Lingkungan
Gambar 3. Kondisi EV dan CV untuk kualitas yang semakin buruk (Sumber: Putri 2004; Just et al. 1982). Keterangan: U = kualitas lingkugan I = kurve indiferen kepuasan masyarakat EV = Equivalent Variation CV = Compensated Variation MC = Penggunaan Income RT pada kualitas lingkungan U2 dengan tingkat kepuasan I1 MB = Penggunaan Income RT pada kualitas lingkungan U1 dengan tingkat kepuasan I1 MD = Penggunaan Income RT pada kualitas lingkungan U2 dengan tingkat kepuasan I2 MA = Penggunaan Income RT pada kualitas lingkungan U1 dengan tingkat kepuasan I2
Gambar 3 di atas meunjukkan bahwa rumahtangga mengkonsumsi barang privat dengan penggunaan income sebesar MB dan kualitas lingkungan U1; dalam hal ini MC–MB > MB–MA. Dengan memburuknya kualitas lingkungan akan memerlukan uang sejumlah MC - MB untuk mengkompensasi agar rumahtangga tetap berada pada kepuasan yang sama (I1), yaitu bergeser dari titik B ke C. Sebaliknya, jika tidak dikompensasi maka rumahtangga akan mengeluarkan income pada titik D dengan I1
I2 sehingga kehilangan income
sebesar MA – MB + EV. Lebih lanjut, Carson et al. (2000) dan Colin (2000) menegaskan bahwa Contingent Valuation Methods (CVM) merupakan salah satu dari banyak teknik yang digunakan secara luas untuk keperluan penilaian non pasar. Keunggulan CVM terletak pada pleksibilitas dan kemampuannya untuk mengestimasi nilai total termasuk pasive use value (nilai guna pasif). Meski demikian, penggunaan CVM termasuk pasive use value dalam benefit-cost analysis lingkungan masih menjadi perdebatan.
40 2.5 Persepsi dan Partisipasi 2.5.1 Persepsi Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Secara garis besar persepsi seseorang terhadap sesuatu objek dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu faktor personal (fungsional) dan faktor situasional (struktural). Faktor personal berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan halhal lain yang termasuk faktor personal. Dalam hal ini yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respons pada stimuli itu. Adapun persepsi yang dipengaruhi oleh faktor situasional (struktural) semata-mata berasal dari sifat stimuli fisik. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya. Misalnya, jika Bejo yang terkenal sebagai pemulung berpakaian jelek, orang akan menilai pakaiannya “kusut dan kotor”. Jika pakaian yang sama dipakai oleh Udin (kiai yang miskin), orang mengomentarinya sebagai pakaian yang, walaupun “lusuh, tetapi ditambal dengan rapih dan bersih” (Rakhmat, 2005). Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa persepsi merupakan salah satu dari komponen sikap. Menurut Azwar (2007), struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu: komponen kognitif (cognitive), komponen afektif
(affective),
dan komponen konatif (conative).
Komponen
kognitif
merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional, dan komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Mann (1969) dalam Azwar (2007) menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan
41 untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif; hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respons evaluatif
berarti bahwa bentuk reaksi yang
dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Temuan-temuan penelitian mengenai hubungan antara sikap dan perilaku memang belum konklusif. Banyak penelitian yang menyimpulkan adanya hubungan yang sangat lemah bahkan negatif, sedangkan sebagian penelitian lain menemukan adanya hubungan yang meyakinkan. Dalam kaitannya dengan hasil penelitian yang kontradiktif ini, Warner dan DeFleur (1969) dalam Azwar (2007) mengemukakan tiga postulat guna mengidentifikasikan tiga pandangan umum mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu postulate of consistency, postulate of independent variation, dan postulate of contingent consistency.
Postulat Konsistensi Postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal merupakan petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi, postulat ini mengasumsikan adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku. Bukti yang mendukung postulat konsistensi dapat terlihat pada pola perilaku individu yang memiliki sikap ekstrim. Hal ini terjadi dikarenakan individu yang memiliki sikap ekstrim cenderung untuk berperilaku yang didominasi oleh keekstriman sikapnya itu, sedangkan mereka yang sikapnya lebih moderat akan berperilaku yang lebih didominasi oleh faktor-faktor lain.
Postulat Variasi Independen Postulat variasi independen mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku berhubungan secara konsisten. Sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah, dan berbeda; mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku. Dukungan yang jelas pada postulat ini adalah hasil studi klasik yang dilakukan oleh LaPierre (1934), menyimplkan bahwa
adanya inkonsistensi antara sikap dan
42 perilaku pemilik hotel dan restoran di Amerika Serikat untuk menerima tamu orang Cina.
Postulat Konsistensi Tergantung Postulat konsistensi tergantung menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma-norma, peranan, keanggotaan kelompok, kebudayaan, dan lain sebagainya merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. Oleh karena itu sejauhmana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi lainnya. Tampaknya, postulat terakhir ini merupakan postulat yang paling masuk akal dan paling berguna dalam menjelaskan hubungan sikap dengan perilaku. Semakin kompleks situasinya dan semakin banyak faktor yang ikut menjadi pertimbangan dalam bertindak maka semakin sulitlah memprediksikan perilaku dan semakin sulit pula menafsirkannya sebagai indikator sikap seseorang. Hal inilah yang dijelaskan oleh model theory of reasoned action (Ajzen & Fishbein, 1980) bahwa respons perilaku ditentukan tidak raja oleh sikap individu akan tetapi juga oleh norma subjektif yang ada dalam diri individu yang hersangkutan dan dijelaskan pula oleh model teori Kurt Lewin (1951) bahwa perilaku merupakan fungsi dari faktor kepribadian individual dan faktor lingkungan (Azwar 2007).
2.5.2 Partisipasi Partisipasi menurut Syahyuti (2006) merupakan suatu proses dimana seluruh
pihak
dapat
membentuk
dan
terlibat
dalam
seluruh
inisiatif
pembangunan. Dengan demikian, maka pembangunan partisipatif adalah proses melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenan dengan kehidupan masyarakat. Pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh teori demokrasi dengan argumen bahwa masyarakat memiliki hak untuk berkontribusi dalam pengembilan keputusan melalui perwakilan (Karki, 2001). Asumsi dari teori demokrasi bahwa masyarakat memliki hak sama dalam isu publik dan memiliki kompetensi dalam mengambil keputusan terhadap isu tersebut (Howell et al. 1987), namun untuk dapat berpartisipasi dengan baik
43 dalam pembangunan, jelaslah bahwa hak bersuara saja sebagai wujud hak dari pengambilan keputusan tidaklah cukup. Teori yang juga mendukung pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah Teori Mobilisasi Sosial (Social Mobilization Theory). Teori ini diterapkan dalam permasalahan politik dengan argumen bahwa orang dapat dimobilisasi dalam politik melalui bentuk partisipasi dengan berbagai jenis aktivitas masyarakat atau asosiasi tertentu yang menarik (Howell et al. 1987),. Social exchange Theory juga memberikan dukungan pemikiran teori untuk pelibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Teori pertukaran secara umum dipengaruhi oleh prilaku seorang aktor terhadap lingkungan dan dampak aktor terhadap prilaku aktor. Bila prilaku telah menguntungkan aktor, prilaku yang sama mungkin diulang dimasa depan dalam situasi serupa.Teori pertukaran ini juga dipengaruhi oleh teori ekonomi klasik (Adam Smith) yang mengasumsikan bahwa manusia tersebut berpikir rasional dalam menentukan pilihannya. Teori pilihan rasional memiliki perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai sebagai manusia yang memiliki tujuan atau memiliki maksud. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya pertukaran yaitu
keterbatasan
sumberdaya
dan
kelembagaan
sosial.
Penguasaan
sumberdaya mempengaruhi tindakan aktor mencapai tujuannya, demikian pula dengan keberadaan kelembagaan akan mendorong dan mambatasi prilaku aktor dalam mencapai tujuannnya (Goodman and Rizzer 2003). Warner (1997) membedakan tiga bentuk atau model partisipasi yaitu popular partisipation, selective partisipation dan consensus partisipation. Model Popular Participation memiliki tujuan pemberdayaan (kepercayaan diri sendiri dan mobilisasi), kemudian Selective Participation memiliki tujuan keberlanjutan institusi dan Consensus Participation memiliki tujuan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. Sementara itu Dearden, et al. (1999) dalam Setyowati (2006) membedakan tujuh tipologi partisipasi sebagai berikut: 1)
Passive participation yaitu orang berpartisipasi
dalam bentuk hanya
mendengarkan apa yang sedang dan telah terjadi. 2)
Participation in information giving yaitu orang berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan dan tidak mempengaruhi proses
3)
Participation by consultation yaitu orang berpartisipasi melalui konsultasi dan mendengarkan pandangan pihak lain (agent)
44 4)
Participation
for
material
incentive
yaitu
orang
berpartisipasi
atas
pertimbangan insentif . 5)
Fuctional participation yaitu orang berpartisipasi umumnya dalam bentuk kelompok yang berkaitan dengan tujuan proyek
6)
Interactive participation yaitu partisipasi seseorang dalam mengkaji secara bersama (joint analysis) dalam membangun dan memformulasikan rencana aksi dalam kelompok.
7)
Self-mobilization yaitu orang berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas dalam institusi untuk merubah sistem. Selanjutnya menurut Inoue (1998), bentuk partisipasi masyarakat pada
hutan tergantung dari tipe pengelolaan hutan itu sendiri dan dapat bervariasi bentuknya dari satu tempat dengan tempat lainnya. Secara umum terdapat beberapa bentuk partisipasi atau kerja kelompok sebagai berikut : 1)
Partisipasi Individu (individual participation) adalah partisipasi individu dalam aktivitasnya sebagai sukarelawan.
2)
Partisipasi Kelompok Temporer (temporary group partipation) adalah beberapa orang mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompok yang sifatnya sementara seperti tolong-menolong.
3)
Partisipasi Kelompok Tetap (fixed group participation) adalah setiap individu sebagai anggota kelompok mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompoknya.
4)
Partisipasi upah kerja (wage labor partipation) adalah individu sebagai tenaga kerja berpartisipasi pada suatu aktivitas dengan tujuan untuk memperoleh upah.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Secara administratif, kawasan TNGR meliputi 3 (tiga) kabupaten di Pulau Lombok, yaitu Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Karena itu penelusuran data dan informasi mencakup ketiga wilayah yang bersangkutan. Data dan informasi yang dikumpulkan secara garis besar meliputi data stakeholders, sosial ekonomi, biofisik, institusional dan kebijakan pengelolaan. Penelitian lapangan untuk memperoleh data dan informasi faktual sesuai dengan tujuan penelitian dan persoalan yang ditelaah, dilakukan melalui pendekatan kawasan/wilayah pengelolaan.
Berdasarkan SK Menhut No
6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang “Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Gunung Rinjani”, pengelolaan TNGR dibagi menjadi 2 (dua) wilayah pengelolaan dalam bentuk Seksi Konservasi Wilayah (SKW), yaitu: SKW I Lombok Barat untuk Kabupaten Lombok Barat dan SKW II Lombok Timur untuk Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah. Mulai Bulan Maret 2007 Seksi Konservasi Wilayah (SKW) dirubah menjadi Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN). SPTN I Lombok Barat meliputi 3 (tiga) resort, yaitu Resort Santong, Anyar, dan Senaru. Sementara itu SPTN II Lombok Timur terdiri atas 6 (enam) resort, yaitu: Resort Aik Berik dan Steling untuk Kabupaten Lombok Tengah serta Resort Joben, Kembang Kuning, Aikmel dan Sembalun untuk Kabupaten Lombok Timur. Lokasi penelitian guna memperoleh data dan informasi faktual yang representatif dilakukan sampai pada unit pengelolaan terkecil, yaitu resort. Dalam hal ini lokasi penelitian ditetapkan sebanyak 50% dari keseluruhan resort, yaitu 2 resort untuk SPTN I Lombok Barat dan 3 resort untuk SPTN II Lombok Timur. Pemilihan resort ini didasarkan pada pertimbangan kompleksitas persoalan yang dihadapi atau tingkat kerawanan gangguan dari resort yang bersangkutan. Gangguan tersebut meliputi penebangan liar, pengambilan kayu bakar, dan perambahan kawasan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka resort terpilih adalah sebagai berikut: Resort Santong dan Senaru untuk SPTN I serta Resort Sembalun, Aikmel, dan Steling untuk SPTN II (Gambar 4).
46
2
1
5
PETA LOKASI PENELITIAN DESAIN MODEL PEMBERDAYAAN MASY. LOKAL DALAM PENGEL. HTN BERKELANJUTAN (Kasus di Kawasan TNGR)
SKALA 1 : 300.000
3
4
Keterangan = Lokasi Penelitian: 1. Resort Senaru 2. Resort Santong 3. Resort Stiling 4. Resort Aikmel 5. Resort Sembalun
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 3.2 Desain Penelitian Tahap awal dari penelitian ini didesain untuk memotret secara menyeluruh dan komprehensif keadaan dan persoalan khususnya berkenaan dengan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR); kemudian merumuskan atau mendesain model berdasarkan keadaan tersebut. Aspek utama yang menjadi fokus perhatian adalah mengidentifikasi dan memetakan interaksi masyarakat dengan hutan serta elemen/faktor kunci yang mempengaruhinya. Setelah melakukan identifikasi dan pemetaan interaksi kemudian dilanjutkan dengan identifikasi kebutuhan masyarakat lokal menurut skala prioritasnya (Storey 1999). Kebutuhan diilustrasikan sebagai suatu hubungan yang saling berkait dengan persepsi dan partisipasi. Selanjutnya observasi terhadap regulasi disesuaikan dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat lokal. Faktor kunci yang menjadi dasar pemberdayaan diperoleh dengan mengidentifikasi dan memilah sejumlah faktor penting yang diperoleh secara parsial pada masing-masing aspek penelitian yang ditelaah/dikaji. Selanjutnya faktor kunci yang diperoleh dikonfirmasikan kembali melalui diskusi bersama
47 dengan pakar dan stakeholder terkait dalam bentuk expert meeting/focus group discussion. Dengan demikian maka proses dan mekanisme perumusan desain pemberdayaan masyarakat lokal merupakan kesepakatan atau hasil bersama oleh seluruh stakeholder (Schonhuth and Kievelitz 1994). Desain penelitian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 di bawah menunjukkan tahapan dan alur kegiatan yang dilakukan dalam penyelesaian studi ini. Dalam hal ini sasaran akhir yang ingin dicapai adalah desain model pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar kawasan TNGR (tujuan umum penelitian). Untuk keperluan merumuskan model ini, maka dilakukan pengkajian komprehensif terhadap aspek biofisik, kelembagaan, dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar TNGR. Pada masing-masing aspek kajian yang ditelaah dilakukan pengumpulan data dan informasi sesuai dengan variabel dan parameter yang diukur. Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara parsial dengan menggunakan berbagai instrumen dan alat analisis disesuaikan dengan substansi yang ditelaah/dikaji. Hasil analisis parsial dan fakta-fakta aktual lainnya di lapangan kemudian disintesis (secara deskriptif) untuk dijadikan dasar penyusunan model sesuai dengan sasaran dan tujuan yang diinginkan. Dalam penelitian ini tujuan penelitian 1, 2, dan 3 merupakan tujuan antara yang disintesis untuk menjawab tujuan penelitian 4 (sekaligus tujuan umum penelitian). Secara rinci struktur tujuan, metode, variabel analisis, dan output penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.
48 TUJUAN PENELITIAN Tujuan 1: Bentuk dan faktor-faktor penentu interaksi Masy dg TNGR Tujuan 2: Persepsi & penilaian ekonomi masyarakat thd TNGR Tujuan 3: Hubungan pendapatan dengan partisipasi dlm pelestarian SDH
Tujuan 4: Desain model & strategi pemberdayaan masyarakat
METODE PENGUMPULAN DATA
VARIABEL & DATA/INFORMASI
ANALISIS DATA
1. Survai: wawancara - Lokasi : 5 Resort TNGR - Contoh: 150 RT
1. Karakteristik sosekbud masy. 2. Aset rumahtangga 3. Interaksi masy. dengan hutan 4. Biaya ekstraksi hasil hutan 5. Pendapatan & kebutuhan RT 6. Persepsi & penilaian ekonomi masyarakat terhadap TNGR 7. Partisipasi dlm pengel TNGR
1. Deskriptif 2. Regresi berganda 3. Korelasi Spearman 4. Tk. Pemenuhan kebt 5. CVM (WTP & WTA) 6. Skoring/Skala Likert
1. Bentuk & jenis interaksi 2. Frekwensi interaksi 3. Faktor penentu interaksi 4. Persepsi masy thd TNGR 5. Penilaian ekonomi SDH 6. Struktup pendapatan & Pengeluaran rumahtangga 7. Kesadaran dan Partisipasi dalam pengelolaan TNGR
2. Wawancara mendalam: - Pakar - Informan kunci
1. Tatanilai & kearifan lokal 2. Fenomena sosekbud masy. 3. Aspek pemberdayaan 4. Alternatif peluang/kegt. usaha 5. Kelembagaan masy.lokal
Deskriptif
Infomasi mendalam tentang fenomena, potensi, masalah, dan solusi pengelolasan TNGR
3. Observasi: - Kawasan TNGR - Luar TNGR
1. Kondisi biofisik TNGR & Kawasan Penyangga TNGR 2. Fakta & Fenomena lain 3. Aktivitas ekonomi masyarakat
1. GIS 2. Produktivitas lahan 3. Daya Dukung lahan 4. Peluang usaha
1. Perkembangan kondisi biofisik TNGR 2. Potens & peluang kegt. di wil TNGR & kawasan penyangga 3. Daya dukung kawasan
4. Penelusuran Dokumen: - Laporan Penelitian - Laporan Dinas - Dokumen lainnya - UU & Peraturan lain
1. Data/informasi SDA, SDM, utilitas, dll. 2. Pengalaman empiris kegiatan pemberdayaan 3. Jenis kegt., model & strategi serta hasil pelaks.
1. Deskriptif 2. Analisis isi (content) 3. Evaluasi program
1. Alternatif program dan Jenis kegiatan yang relevan 2. Dasar hukum/legalitas kegiatan
5. FGD: Multi stakeholders
1. Masalah-masalah dalam pengelolaan TNGR 2. Alternatif solusi pemecahan masalah 3. Harapan stakeholders kedepan
SINTESIS
Gambar 5. Struktur Tujuan, Metode, Variabel, Analisis, dan Hasil/Output Penelitian Ket.: Aliran informasi; Kesatuan atribut yang dipertimbangkan secara komprehensif
HASIL/OUTPUT PENELITIAN
1. Model-model pemberdayaan Masy. lokal sekitar TNGR 2. Strategi Pemberdayaan AHP
Model Pemberdayaan Prioritas
49 3.3 Rancangan Penelitian 3.3.1 Metode Pengumpulan Data Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai maka pelaksanaan penelitian bersifat eksploratif-partisipatif-deskriptif. Arah penelitian adalah penemuan fakta lapangan berdasarkan potensi maupun gejala faktual yang ada pada lokasi penelitian. Selanjutnya dibuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tehadap fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang ditelaah dan merumuskan berbagai alternatif solusi sesuai dengan aspek yang dikaji. Untuk mendapatkan data dan informasi objektif sesuai dengan kebutuhan studi, maka dilakukan pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan/teknik sebagai berikut: Metode Pengumpulan Data untuk Tujuan Penelitian 1, 2, dan 3 1) Wawancara (interview), dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi kuantitatif dan kualitatif dari kelompok sasaran yang telah ditetapkan. Data dan informasi yang dikumpulkan melalui pendekatan ini berkenaan dengan karakteristik ekonomi, sosial, dan kelembagaan masyarakat lokal di sekitar TNGR. Dalam hal ini adalah pendapatan, pengeluaran, dan asset rumahtangga, pola/gaya hidup, persepsi dan penilaian ekonomi terhadap hutan, tata nilai dan kearifan local, serta keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TNGR. 2) Wawancara mendalam (in-depth interview), dimaksudkan untuk mengetahui aspek-aspek kualitatif secara lebih mendalam dan komprehensif. Untuk itu sasaran wawancara mendalam (interview) ini adalah informan kunci (key informant) yang memiliki kompetensi dengan kajian yang ditelaah. Data dan informasi yang dikumpulkan melalui pendekatan ini berkenaan dengan keseluruhan aspek kajian yang ditelaah, dimana data dan informasi yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif. Metode Pengumpulan Data untuk Tujuan Penelitian 4 1) Penelusuran dokumen, dilakukan untuk memperluas dan melengkapi hasil kajian. Kegiatan ini dilakukan terhadap berbagai laporan dan dokumen seperti hasil-hasil penelitian (studi) yang terkait, serta data dan informasi dari sumber-sumber lainnya. Pendekatan ini terutama sekali berkenaan dengan pengumpulan data dan informasi tentang kelembagaan TNGR, termasuk peraturan perundangan dan kebijakan-kebijakan serta dokumen-dokumen lainnya yang berkenaan dengan pengelolaan TNGR.
50 2) Observasi langsung ke lapangan (direct observation), dimaksudkan untuk mengetahui dan melihat secara langsung berbagai gejala dan perilaku stakeholders, serta keberadaan dan ketersediaan infrastruktur pendukung. Hasil observasi ini digunakan sebagai dasar klarifikasi dan cek silang (cross check) berbagai informasi dan fenomena yang terungkap, terutama sekali berkenaan dengan kondisi biofisik TNGR. 3) Focus Group Discussion (FGD), dilakukan untuk menggali gagasan-gagasan dalam rangka merumuskan desain model pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Pendekatan ini dilakukan guna mendapatkan informasi dan gagasan komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sasaran. 3.3.2 Teknik Penentuan Contoh, Responden, dan Pakar Berkenaan dengan tujuan penelitian 1, 2, dan 3 dilakukan pengumpulan data dan informasi dari masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan hutan TNGR. Dalam hal ini yang menjadi populasi adalah semua masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan TNGR. Jumlah contoh ditetapkan secara quota sebanyak 30 rumahtangga pada setiap lokasi penelitian yang ditentukan secara random sampling. Adapun responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga dari rumahtangga contoh. Untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari para responden, dilakukan wawancara mendalam dengan para informan kunci (key informan). Dalam penelitian ini informan yang diwawancarai secara mendalam adalah: Kepala Balai TNGR, bagian Perlindungan dan Pengawasan Kawasan Hutan Balai TNGR, Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) 1 Lombok Barat dan SKW 2 Lombok Timur, Kepala-kepala Resort, Petugas Keamanan (Polhut), Petugas Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), Dinas Kehutanan Propinsi NTB, Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Timur, Kepala-kepala desa dan tokoh masyarakat di sekitar TNGR, Direktur WWF Program Nusa Tenggara, Ketua Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP), Direktur Pelaksana Rinjani Trek Management Board (RTMB), Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesan Universitas Mataram, dan Ketua Koperasi Sinar Rinjani Sembalun (Koperasi yang menangani pendakian ke Gunung Rinjani). Selanjutnya untuk merumuskan strategi dan model yang aspiratif (tujuan penelitian 4), maka dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan
51 berbagai stakeholder secara komprehensif, yaitu tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok pemuda peduli lingkungan, ibu-ibu rumahtangga di sekitar TNGR, kelompok masyarakat peduli hutan, petugas Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), petugas keamanan TNGR (Polhut), kepala-kepala resort, aparat Balai TNGR, dan aparat desa. FGD dilakukan di Resort Kembang Kuning, dan Resort Sembalun. Selain FGD, dilakukan juga diskusi dengan para pihak yang dilaksanakan di Resort Joben, Kantor Balai TNGR Mataram, Kantor SPTN II Lombok Timur, Kantor YPMP Bayan (Lombok Barat Bagian Utara), dan Balai Desa Sembalun (Lombok Timur Bagian Utara). Penentuan pakar dilakukan melalui penelusuran (snow-bowling) dengan persyaratan utama adalah ahli dalam perhutanan sosial. Penerapan metode snow-bowling ini dilakukan dengan penentuan pakar pertama, selanjutnya pakar pertama memberikan usulan dan rekomendasi untuk penentuan pakar berikutnya dan seterusnya. Dalam penelitian ini, para pakar dan praktisi yang dihubungi dan diajak berdiskusi adalah Pakar Kehutanan, Pakar Kelembagaan Kehutanan, Pakar Pemberdayaan Masyarakat, Pakar Sosiologi, serta Pakar Perencanaan dan Perekonomian Mikro Pedesaan. 3.3.3 Variabel Penelitian Variabel/peubah penelitian difokuskan pada persoalan yang ditelaah, sementara itu agar variabel dapat dianalisis maka ditetapkan indikator/ukuran yang bersifat praktis, terukur, dapat dilaksanakan dan relevan. Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, maka variabel yang ditelaah dalam penelitian ini adalah: Variabel Penelitian untuk Tujuan 1, 2, dan 3 1)
Karakteristik sosial, ekonomi dan budaya responden, meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, mata pencaharian, lama berdomisili di kawasan TNGR, dan karakteristik sosial ekonomi lainnya.
2)
Aset rumahtangga, meliputi: aset produktif dan non produktif yang dimiliki responden (termasuk lahan pertanian dan non pertnian).
3)
Interaksi masyarakat dengan hutan, meliputi: bentuk dan jenis interaksi, frekuensi interaksi, jenis dan jumlah hasil hutan yang diekstraksi, motif berinteraksi, lama waktu untuk sekali interaksi, sejak kapan mulai melakukan aktivitas tersebut.
4)
Biaya pengambilan hasil hutan, meliputi: biaya transportasi, konsumsi,
52 peralatan dan biaya lainnya yang dikeluarkan untuk mengambil hasil hutan, dinyatakan dalam Rp/frekuensi pengambilan. 5)
Total pendapatan rumahtangga, meliputi: sumber dan besarnya pendapatan total rumahtangga dalam satu satuan waktu tertentu, dinyatakan dalam Rp/bulan.
6)
Total kebutuhan rumahtangga, meliputi:
total kebutuhan dan alokasi
pemanfaatannya dalam satu satuan waktu tertentu, dinyatakan dalam Rp/bulan. 7)
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNGR dan penilaian ekonominya terhadap sumberdaya hutan TNGR.
8)
Manfaat hutan yang dirasakan oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan kesediaan untuk melestarikannya.
9)
Tata nilai dan kearifan lokal masyarakat berkenaan dengan pengelolaan hutan.
10) Interaksi sosial masyarakat, meliputi: keterlibatan di dalam organisasi masyarakat, frekwensi pertemuan sosial, hubungan kekerabatan, dan posisi dalam relasi sosial. Variabel Penelitian untuk Tujuan 4 1)
Kelembagaan kehutanan, meliputi: lembaga pengelola, akses masyarakat, peran dan fungsi masing-masing stakeholders, dan peraturan perundangan yang berlaku berkenaan dengan pengelolaan TNGR.
2)
Kondisi biofisik TNGR, yaitu perkembangan kondisi biofisik TNGR selama beberapa periode waktu.
3)
Perubahan perilaku, tata nilai (kearifan lokal), dan peran lembaga adat berkenaan dengan perubahan kondisi biofisik TNGR.
4)
Peluang usaha/kegiatan ekonomi produktif yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TNGR berkenaan dengan pengelolaan TNGR, baik yang berkaitan ke belakang (backward linkages) maupun yang berkaitan ke depan (forward linkages).
5)
Konflik sosial dan permasalahan-permasalahan yang timbul berkenaan dengan pengelolaan TNGR.
3.3.4 Jenis dan Sumber Data Data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Dari segi sumber perolehannya, dibedakan menjadi data
53 primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara dengan para responden, focus group discussion (FGD) dan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan pakar, tokoh masyarakat, dinas/instansi, dan LSM terkait. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka atau telaah literatur, dokumen, data/informasi spasial dan lain sebagainya yang berkenaan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Data sekunder meliputi kondisi geografi, demografi, keadaan sosial-ekonomi-budaya masyarakat, program-program yang berkaitan dengan pengelolaan TNGR serta data penunjang lainnya. Sumber data sekunder antara lain adalah laporan dinas/instansi pemerintah seperti Kantor Desa, Kantor Kecamatan, Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, BPS, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, LSM maupun lembaga lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Menurut Variabel dan Parameter Penelitian No
Variabel/ Parameter
Data/Informasi
Sumber Data
1.
Karakteristik Responden
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Umur responden Pendidikan resp. dan anggota keluarga lain Pekerjaan resp. dan anggota keluarga lain Lama berdomisili di kawasan TNGR Jumlah tanggungan keluarga Pola konsumsi Gaya Hidup
Wawancara dengan Responden
2
Aset Rumahtangga
1) 2) 3) 4) 5) 6)
Lahan pertanian Ternak Sarana usaha Kendaraan Aset produktif lain Aset non produktif
Wawancara dengan Responden
3
Interaksi masyarakat dengan hutan
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Bentuk interaksi Jenis interaksi Frekuensi interaksi Motif interaksi Lama waktu untuk setiap interaksi Jenis hasil hutan yang diekstraksi Legalitas interaksi
- Wawancara dengan resp. - Indepth interview
4
Biaya Interaksi
1) 2) 3) 4)
Biaya transportasi Biaya konsumsi Biaya peralatan Biaya lainnya
Wawancara dengan resp.
54 Lanjutan Tabel 4. No
Variabel/ Parameter
Data/Informasi
5
Pendapatan RT
Wawancara 1) Besarnya pendapatan total RT 2) Sumber pendapatan (hutan, bukan hutan, dengan resp. luar CWK) 3) Komposisi pendapatan (hutan, bukan hutan, luar CWK) 4) Kontribusi pendapatan anggora RT
6
Kebutuhan/ Pengeluaran RT
1) Besarnya pengeluaran RT 2) Komposisi pengeluaran RT
Wawancara dengan resp.
7
Persepsi & Penilaian Masyarakat
1) 2) 3) 4)
Persepsi masyarakat terhadap TNGR Penilaian terhadap SDH WTP WTA
- Wawancara dengan resp. - Indepth interview
8
Manfaat
1) Manfaat TNGR yang dirasakan masy. (manfaat ekonomi & non ekonomi) 2) Upaya mempertahankan manfaat
- Wawancara dengan resp. - Indepth Interview
9
Tata nilai
- Wawancara 1) Tata Nilai dan kearifan lokal masyarakat dengan resp. tentang hutan 2) Lembaga adat dan Kelompok Masy. Hutan - Indepth interview - FGD
10
Kelembagaan Kehutanan & partisipasi masy
1) Lembaga Pengelola 2) Peraturan tentang TNGR 3) Peran & fungsi stakeholders dalam pengelolaan TNGR 4) Akses dan partisipasi masy. dalam pengelolaan TNGR
- Dokumen - Indepth interview - FGD
11
Kondisi biofisik TNGR
1) 2) 3) 4) 5)
- Observasi - GIS - Dokumen - Indepth interview
12
Perubahan sosbud masy berkaitan dg kondisi biofisik TNGR
1) Perubahan perilaku masy. 2) Perubahan tata nilai (kearifan lokal) 3) Perubahan peran lembaga adat
- Wawancara dengan resp. - Indepth interview - Dokumen
13
Interaksi Sosial resp.
1) Keterlibatan dalam ormas 2) Frekuensi pertemuan sosial 3) Hubungan kekerabatan 4) Posisi dalam relasi sosial
- Wawancara dengan resp. - Indepth interview
14
Peluang Usaha
- Wawancara 1) Jenis usaha yang potensial dikemb. 2) Peluang keterlibatan masy. lokal (hulu, dengan resp. - Indepth usaha pokok, hilir) Interview 3) Status keterlibatan masy. Lokal - Observasi
Vegetasi dan tutupan hutan Flora dan fauna Sumber Air Luas tutupan/kerapatan hutan Kerusakan hutan
Sumber Data
55 Lanjutan Tabel 4. No
Variabel/ Parameter
Data/Informasi
Sumber Data
15
Konflik sosial
1) 2) 3) 4) 5)
- Indepth Interview - FGD - Dokumen
16
Informasi terkait
Data-data sekunder penunjang
Jenis Konflik Frekuensi konflik Pihak-pihak yang berkonflik Akar masalah konflik Solusi
Instansi terkait
3.4 Analisis Data Sesuai dengan tujuan penelitian serta jenis dan sifat data yang dikumpulkan, dilakukan analisis sebagai berikut: Analisis Data untuk Tujuan Penelitian 1, 2, dan 3 1. Faktor Penentu Interaksi Masyarakat dengan Hutan Untuk menganalisis faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan dilakukan analisis regressi berganda dengan formulasi umum sebagai berikut (Gaspersz 1992; Arif 1993; Pindyck dan Rubinfeld 1991): Y = β0 + β1X1 + β2X2 + ... + βnXn Dimana : Y = interaksi dengan hutan β0 = Konstanta β1... βn = Koefisien regresi X1... Xn = Faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh Dalam penelitian ini faktor-faktor yang diduga mempengaruhi interaksi masyarakat dengan hutan dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif, meliputi: 1)
Lokasi interaksi (dummy: TNGR =1; luar TNGR = 0),
2)
Willingness to pay (WTP);
3)
Pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makan;
4)
Pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan bukan makanan;
5)
Penghasilan rumahtangga dari luar hutan;
6)
Luas lahan yang dimiliki/diusahakan;
7)
Adanya aturan lokal/kebiasaan turun-temurun dalam pengambilan kayu di hutan (dummy: ada = 1, tidak = 0);
8)
Keikutsertaan dalam program HKm (dummy: ikut = 1, tidak = 0); dan
9)
Kepemilikan ternak sapi (dummy: ada = 1, tidak = 0)
56 Selanjutnya untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata (significant), dilakukan uji lanjut koefisien regresi dengan menggunakan taraf nyata (α) 5 - 20%. Hasil analisis berupa faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata (significant) ini selanjutnya digunakan sebagai dasar penyusunan model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. 2. Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan yang Diambil/Diekstraksi Masyarakat Jenis dan nilai ekonomi hasil hutan yang diambil/diekstraksi atau hasil interaksi masyarakat dengan hutan dihitung secara rinci sebagaimana disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Jenis dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan yang Diambil/Diekstraksi Masyarakat dari Hutan. No
1 2 . . . n
Jenis Hasil Hutan …………. …………. . . . …………. Jumlah
Satuan (unit)
Jlh yg diambil (Unit/Frek.)
Frekuensi Pengambilan (Frek./bl)
Harga Satuan (Rp/unit)
Nilai Pengambil (Rp/bl)
……. ……. . . . ……. …….
……………. ……………. . . . ……………. …………….
…………… …………… . . . …………… ……………
………….. ………….. . . . ………….. …………..
………………… ………………… . . . ………………… …………………
3. Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan TNGR Untuk mengetahui persepsi masyarakat lokal terhadap keberadaan TNGR, digunakan skor penilaian yang dirumuskan berdasarkan Skala Likert (Meuller 1996). Dalam penelitian ini, untuk mengukur tingkat persepsi masyarakat terhadap TNGR dilakukan pengukuran terhadap beberapa obyek persepsi yang meliputi manfaat TNGR, dimana masing-masing obyek persepsi ini dirinci lagi kedalam beberapa butir persepsi seperti yang disajikan pada Tabel 6. Pengukuran persepsi pada setiap butir penilaian disusun dalam bentuk gradasi penilaian yang bergerak dari sangat bermanfaat sampai tidak bermanfaat. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat berdasarkan obyek penilaian seperti yang diilustrasikan pada Tabel 6, maka dilakukan klasifikasi terhadap total skor penilaian yang diperoleh dari sejumlah obyek dan butir penilaian. Dalam hal ini tingkat persepsi masyarakat dipilahkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Penentuan ketegori didasarkan
57 pada total skor penilaian dengan interval kelas: (skor tertinggi dikurangi skor terendah) dibagi jumlah kelas (yaitu 3). Secara rinci obyek dan butir-butir penilaian persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNGR disajikan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Obyek dan Butir-butir Penilaian Persepsi Masyarakat terhadap TNGR No
Uraian
A
Manfaat Penggunaan (Use Value)
1
Manfaat Langsung
2
3
Skor Persepsi (Penilaian) 1
2
3
4
5
a. Sbr penghidupan masy. sekitar
….
….
….
….
….
b. Sumber mata air
….
….
….
….
….
c. Sumber perolehan makanan
….
….
….
….
….
d. Tempat penggembalaan
….
….
….
….
….
e. Sumber tanaman obat
….
….
….
….
….
a. Mencegah banjir
….
….
….
….
….
b. Mencegah longsor
….
….
….
….
….
c. Perlindungan terhadap angin
….
….
….
….
….
….
….
….
….
….
a. Habitat berbagai jenis tumbuhan
….
….
….
….
….
b. Habitat berbagai jenis hewan
….
….
….
….
….
….
….
….
….
….
Manfaat Fungsional
Manfaat Pilihan a. Tempat pelaks upacara adat/ritual b. Rekreasi
B.
Manfaat Bukan Penggunaan (Non Use Value)
1
Manfaat Keberadaan
2.
Manfaat lainnya a. Keindahan/pemandangan
Ket. : 1 = tidak bermanfaat 2 = kurang bermanfaat 3 = cukup bermanfaat 4 = bermanfaat 5 = sangat bermanfaat
4. Contingen Valuation Methods (CVM) Contingen Valuation Methods (CVM) digunakan untuk mengetahui penilaian masyarakat lokal terhadap keberadaan sumberdaya hutan. CVM ini pada hakekatnya untuk mengetahui: (1) keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat terhadap perbaikan kualitas hutan, dan (2) keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) dari kerusakan hutan (Fauzi 2006).
58 Dalam hal ini WTP adalah merupakan tingkat kesediaan/kemauan masyarakat lokal (responden) untuk membayar biaya perbaikan kondisi hutan agar menjadi baik. Sedangkan WTA merupakan kompensasi yang bersedia diterima masyarakat lokal (responden) sehingga mereka mau menerima perubahan lingkungan kearah yang lebih buruk. 5. Analisis Korelasi Spearman Korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara persepsi masyarakat dengan tinggi rendahnya penilaian ekonomi terhadap sumberdaya hutan. Analisis ini juga digunakan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan rumahtangga dengan kesediaan menjaga atau memelihara kelestarian sumberdaya hutan. Perhitungan korelasi spearman ini dilakukan dengan formulasi sebagai berikut (Siegel 1990): N
rs = 1 −
6∑ d i2 i =1 3
N −N
dimana: d = x – y (range)
6. Analisis Pendapatan dan Kebutuhan Rumahtangga (Keseimbangan Ekonomi Rumahtangga) Untuk
mengetahui
pendapatan
rumahtangga
dilakukan
dengan
menjumlahkan penghasilan semua anggota keluarga (kepala keluarga, istri, anak, dan anggota lainnya) yang bersumber dari luar kehutanan maupun dari kehutanan; dihitung dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya dihitung proporsi/kontribusi pendapatan rumahtangga yang bersumber dari kehutanan. Sementara itu perhitungan kebutuhan rumahtangga dilakukan dengan menjumlahkan semua kebutuhan rumahtangga, baik untuk kebutuhan primer, sekunder, dan kebutuahn tersier; dihitung dalam suatu periode tertentu. Perhitungan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga dan diinventaris berbagai macam kebutuhan berdasarkan prioritas pemenuhannya.
Selanjutnya
dilakukan
formulasi
keseimbangan
antara
kebutuhan dengan penghasilan rumahtangga. Dalam hal ini kebutuhan rumahtangga dibatasi pada kebutuhan-kebutuhan pokok (kebutuhan primer) Selanjutnya untuk menganalisis tingkat pendapatan rumahtangga yang layak sehingga bersedia untuk ikut menjaga kelestarian sumberdaya hutan atau
59 tidak mengekspolitasi hutan secara berlebihan yang menimbulkan kerusakan, maka dilakukan dengan pendekatan kebutuhan hidup layak bagi masyarakat lokal. Dalam hal ini kebutuhan hidup layak didasarkan pada kebutuhan dasar, yaitu untuk pangan, sandang, papan, pendidikan dasar anak, dan kesehatan. Standar hidup layak yang digunakan sesuai dengan kriteria BPS. Analisis ini dipadukan dengan menghitung opportunity cost seseorang untuk mengambil hasil hutan. Untuk melengkapi hasil analisis ini dilanjutkan dengan analisis kebutuhan lahan minimal yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan hidup layak, yaitu dengan mengkonversi nilai kebutuhan hidup layak ke nilai produktivitas lahan minimum. Disamping itu dilakukan analisis peluang usaha/kegiatan yang dapat dikembangkan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan. Kegiatan usaha ini diharapkan
dapat
mengkompensasi
upaya
masyarakat
mengeksploitasi
sumberdaya hutan. 7. Analisis Partisipasi dalam pengelolaan TNGR; Sama halnya dengan persepsi, pengukuran partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan TNGR juga dilakukan dengan skoring yang dirumuskan berdasarkan Skala Likert (Meuller 1996). Obyek partisipasi yang diukur adalah partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung,
dimana masing-masing
obyek persepsi ini dirinci lagi kedalam beberapa butir persepsi seperti yang disajikan pada Tabel 7.
Pengukuran persepsi pada setiap butir penilaian
disusun dalam bentuk gradasi penilaian yang bergerak dari partisipasi sangat tinggi sampai tidak berpartisipasi. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat berdasarkan obyek penilaian seperti yang diilustrasikan pada Tabel 7, maka dilakukan klasifikasi terhadap total skor penilaian yang diperoleh dari sejumlah obyek dan butir penilaian. Dalam hal ini tingkat partisipasi masyarakat dipilahkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Penentuan ketegori didasarkan pada total skor penilaian dengan interval kelas: (skor tertinggi dikurangi skor terendah) dibagi jumlah kelas (yaitu 3). Secara rinci obyek dan butir-butir penilaian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGR disajikan pada Tabel 7 berikut.
60 Tabel 7. Obyek dan Butir-butir Penilaian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNGR Skor Partisipasi
No
Uraian
A
Partisipasi Langsung
B
1
2
3
4
5
1. Perencanaan
….
….
….
….
….
2. Pemeliharaan
….
….
….
….
….
3. Pengawasan/Pengamanan
….
….
….
….
….
1. Ketaatan terhadap peraturan per UU
….
….
….
….
….
2. Ketaatan terhadap awig-awig
….
….
….
….
….
Partisipasi Tidak Langsung
Ket. : 1 = tidak terlibat 2 = kurang terlibat 3 = cukup terlibat 4 = sering terlibat 5 = sangat sering atau selalu terlibat
Analisis Data untuk Tujuan Penelitian 4 1. Analisis Isi (Content Analysis) Digunakan untuk mengkaji potensi kebijakan yang mengaitkan berbagai perundang-undangan, surat keputusan menteri dan peraturan pemerintah berkenaan dengan keberlanjutan pengelolaan hutan. 2. ArcView GIS Versi 3.3 Untuk mengetahui perkembangan keadaan biofisik dari TNGR dilakukan dengan ArcView GIS Versi 3.3. Kondisi biofisik ini akan dilihat selama beberapa periode, tergantung kesediaan data GIS. Kondisi biofisik ini selanjutnya akan dikaitkan dengan sejarah perkembangan perubahan tata nilai dan perilaku masyarakat dalam mengelola dan berinteraksi dengan sumberdaya hutan. 3. Sintesis Berbagai hasil analisis parsial untuk tujuan 1, 2, dan 3 disintesis secara deskriptif dan selanjutnya dijadikan dasar untuk merumuskan berbagai alternatif desain model pemberdayaan masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan TNGR. Desain model yang dihasilkan sesuai dengan kondisi dan karakteristik sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta sumberdaya hutan setempat
(spesifik
lokasi).
Dua
sasaran
utama
yang
dijadikan
dasar
pertimbangan dalam perumusan model pemberdayaan adalah: (1) kesejahteraan masyarakat di sekitar TNGR, dan (2) kelestarian sumberdaya hutan TNGR.
61 Dalam hal ini parameter yang dijadikan penentu kesejahteraan adalah pendapatan/penghasilan rumahtangga, sementara itu ukuran kelestarian adalah kondisi biofisik TNGR. Berkenaan dengan kedua kriteria di atas, maka dalam rangka merumuskan model pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR diasumsikan beberapa hal sebagai berikut : 1) Kelestarian dan daya dukung TNGR dianggap: a. Tetap (stabil); jika tidak ada perambahan, penebangan liar (pengambilan kayu), perburuan satwa, serta dilakukan pengamanan; b. Menurun; jika ada eksploitasi masyarakat (kecuali pengambilan rumput, sayur, buah-buahan yang diijinkan serta tracking); c. Meningkat; jika ada usaha konservasi dan rehabilitasi. 2) Kesejahteraan masyarakat di kawasan TNGR dianggap: a. Tetap (stabil); jika tidak ada peluang kerja baru dan/atau sumber penghasilan tambahan (ttap seperti sebelumnya); b. Menurun; jika terjadi kehilangan peluang dan/atau sumber penghasilan; c. Meningkat;
jika
ada
lapangan
kerja
baru
dan/atau
peningkatan
produktivitas dari kegiatan sebelumnya. Selanjutnya
yang digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
penyusunan desain model pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR hanyalah kriteria “tetap” atau “meningkat” dari salah satu atau kedua sasaran pemberdayaan, sedangkan untuk kriteria “menurun” tidak akan dirumuskan. Pertimbangan ini didasarkan pada Teori Pareto (Paretian Welfare Economic) mengenai Kesejahteraan Ekonomi (Bergson 1954) yang menegaskan bahwa dalam
pembangunan
ekonomi
sedikitnya
seorang
harus
meningkat
kesejahteraannya dan tidak boleh ada satu orangpun yang mengalami penurunan kesejahteraan. Berkenaan dengan pertimbangan di atas, dapat dirumuskan 4 (empat) skenario model pemberdayaan, yaitu : Pertama : model pemberdayaan yang mengarah pada peningkatan kelestarian dan daya dukung TNGR maupun kesejahteraan masyarakat sekitar; merupakan model yang paling ideal.
62 Kedua
: model pemberdayaan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar sedangkan kelestarian dan daya dukung TNGR tetap tidak berubah.
Ketiga : model pemberdayaan yang mengarah pada peningkatan kelestarian dan daya dukung TNGR sedangkan kesejahteraan masyarakat sekitar tetap tidak berubah. Keempat : model yang lebih menekankan pada penjagaan keamanan TNGR; tanpa dibarengi dengan upaya peningkatan kesejahteraan maupun kelestarian dan daya dukung TNGR. Model-model pemberdayaan yang dapat dirumuskan berkenaan dengan pertimbangan di atas dapat diilustrasikan dalam bentuk matrik sebagaimana disajikan pada Gambar 6 berikut. Sasaran Pemberdayaan Menurun ( ‐ ) K e s r a
Tetap ( 0 )
Menurun ( ‐ )
Biofisik (Kelestarian) Tetap ( 0 ) Meningkat ( + )
X X X
X X
X
XX
Model Keempat
Model Ketiga
Meningkat ( + )
X
Model Kedua
Model Pertama (Paling Ideal)
Gambar 6. Matrik Skenario Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR
4. Analisis Hirarki Proses (AHP). Untuk menjawab tujuan umum yang memberikan keputusan terhadap desain model pemberdayaan masyarakat lokal yang paling realistis berdasarkan tujuan yang dibangun, dilakukan Analisis Hirarki Proses (AHP). Dalam hal ini, dari berbagai model pemberdayaan yang sifatnya spesifik, dirumuskan/didesain model pemberdayaan yang menjadi prioritas pengembangan berdasarkan kriteria pemanfaatan hutan secara lestari sebagaimana ditegaskan pada Pasal 15 ayat (3) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan”; yaitu mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. 1) Kriteria Ekonomi a. Jumlah tenaga kerja yang bisa terlibat
63 b. Kebutuhan modal/biaya investasi pelaksanaan c. Pendapatan yang diperoleh masyarakat d. Lama waktu menunggu hasil e. Ketersediaan pasar untuk output yang dihasilkan 2) Kriteria Ekologi/Biofisik a. Vegetasi hutan atau tutupan lahan b. Potensi lahan yang tersedia 3) Kriteria Sosial Budaya a. Kerawanan terhadap munculnya konflik sosial b. Ketermpilan/kesiapan masyarakat sebagai kelompok sasaran c. Peningkatan kesadaran lingkungan hidup atau kelestarian hutan TNGR Selengkapnya mengenai rancangan dan struktur Analisis Hirarki Proses (AHP) untuk pemilihan model pemberdayaan masyarakat di sekitar TNGR disajikan pada Gambar 7 berikut. Tujuan
Kriteria
Sub Kriteria
Alternatif Model
Jlh TK terlibat
Model Pemberdayaan 1
Kebt. Modal Ekonomi
Pendapatan
Model Pemberdayaan 2
Masa tunggu Pasar Model Pemberdayaan Masyarakat
Model Pemberdayaan 3 Ekologi/Biofisik
Vegetasi Hutan Potensi Lahan Konflik Sosial
Sosbud
Model Pemberdayaan 4
Ketramp. Masy. Kesadaran LH
Model Pemberdayaan …
Gambar 7. Struktur Analisis Hirarki Proses (AHP) Model Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani
Untuk menghasilkan model pemberdayaan diperlukan penilaian pakar melalui teknik wawancara langsung dengan para pakar. Penilaian elemen-
64 elemen yang dilibatkan dalam analisis menggunakan skala perbandingan berpasangan dengan penilaian seperti pada Tabel 8 berikut (Marimin 2004; Saaty 1993; Widodo 2006): Tabel 8. Skala Pembandingan Berpasangan Dalam Penilaian ElemenElemen Suatu Hirarki Nilai
Keterangan
1
Kriteria/alternatif yang dibandingkan (mis A & B) “sama penting”
3
Kriteria/alternatif A “sedikit lebih penting” dari B
5
Kriteria/alternatif A “jelas lebih penting” dari B
7
Kriteria/alternatif A “sangat jelas lebih penting” dari B
9
Kriteria/alternatif A “mutlak lebih penting” dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Sumber: Marimin (2004)
IV. GAMBARAN UMUM TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI
4.1 Letak dan Luas Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) merupakan salah satu dari 20 Taman Nasional Model di Indonesia. Fungsi pokoknya sesuai Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang “Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya”, yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan secara Iestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) berada di Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116021’30”– 116034’15” Bujur Timur dan 8018’18”–8032’19” Lintang Selatan. Kawasan ini ditetapkan statusnya sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 280/Kpts-VI/1997 Tanggal 23 Mei 1997 dengan luas definitif 41.330 ha. Pada awalnya TNGR merupakan kawasan Suaka Margasatwa yang ditetapkan Gubernur Hindia Belanda berdasarkan Surat Keputusan Nomor 15 Staatsblad Nomor 77 tanggal 12 Maret 1941 (Balai TNGR, 2006a). Secara administratif TNGR termasuk dalam tiga wilayah kabupaten di Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu Kabupaten Lombok Barat (± 12.357,67 ha), Kabupaten Lombok Tengah (± 6.819,45 ha), dan Kabupaten Lombok Timur (± 22.152,88 ha). Dari ketiga kabupaten tersebut terdapat 11 kecamatan dan 37 desa yang berbatasan dengan TNGR (Lampiran 4). Batas kawasan TNGR dengan daerah sekitarnya adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : Hutan Produksi (Kecamatan Bayan) Sebelah Timur : Hutan Lindung dan Tanah Milik Masyarakat (Kecamatan Sembalun dan Swela) Sebelah Selatan : Tanah Milik Masyarakat (Kecamatan Wanasaba, Aikmel, Sikur, Montong Gading, Kopang, dan Batukliang Utara) Sebelah Barat
: Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung (Kecamatan Kayangan dan Gangga)
66 Kawasan TNGR merupakan daerah yang bergunung-gunung dengan ketinggian beragam, mulai dari 550 m dpl sampai 3.726 m dpl (Puncak Rinjani) dengan tingkat kemiringan yang bervariasi. Tingkat kelerengannya mulai dari sedang (0-25%) dengan luas 16.678 ha, berat (25-40%) seluas 15.882 ha dan kelerengan berat sekali (> 40%) dengan luas 7.645 ha. Daerah yang relatif landai terdapat di bagian selatan dan timur laut, dengan ketinggian 1.800 – 2.000 m dpl (Lampiran 5). Di sekitar Gunung Rinjani terdapat Gunung Pelawangan (2.658 m dpl), Gunung Daya (2.914 m dpl), Gunung Sangkareang (2.914 m dpl), Gunung Buangmangge (2.895 m dpl), Gunung Kondo (2.947 m dpl) dan Gunung Manuk (2.351 m dpl). Gunung-gunung tersebut terpisah oleh jurang yang dalam dan lembah yang luas dengan kelerengan terjal berbatu (Balai TNGR 2006a). Di lembah sebelah barat Gunung Rinjani terdapat Danau Segara Anak (pada ketinggian 2.010 m dpl), yang airnya berbau belerang dengan suhu yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, mulai dari yang dingin, sedang, hangat sampai panas. Luas danau tersebut sekitar 1.126 hektar dengan kedalaman antara 160 - 230 meter. Di tengah-tengah danau ini muncul Gunung Baru (2.376 m dpl) yang masih aktif dan cenderung terus berkembang. Komplek Gunung Rinjani merupakan daerah tangkapan air yang potensial bagi daerah sekitarnya, sehingga kawasan tersebut mempunyai fungsi hidrologi yang sangat penting bagi daerah sekitarnya. Sekitar 90 % sungai di Pulau Lombok berhulu di TNGR. Danau Segara Anak juga merupakan salah satu sumber mata air, penting bagi daerah sekitar komplek Gunung Rinjani. Salah satu sungai yang berhulu di TNGR adalah Sungai Kaliputih yang mengalir ke arah utara. Air dari sungai ini berwarna putih yang disebabkan oleh pertemuan air panas yang mengandung belerang (sumber air panas berada di sebelah Utara danau) dengan air yang mengalir dari danau. Sungai-sungai lainnya adalah Amor-Amor, Lekok Reak, dan Jurit yang bermuara ke arah Laut Jawa. Sedangkan sungai-sungai yang bermuara ke Samudra Hindia antara lain: Sungai Lenek dan Teratak; serta Sungai Marongge, Jaga, Belek, Terutuk dan Gerengengan bermuara ke selat Alas. Posisi dan luas masing-masing Sub DAS dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7. Disamping itu terdapat mata air panas di kawasan TNGR antara lain Goa Susu, Goa Taman, Goa Payung, Hulu Kali Putih, Sebau dan mata air di kaki Gunung Baru yang dipercaya oleh masyarakat setempat dapat digunakan untuk menguji Senjata Pusaka. Di kaki Gunung Rinjani juga terdapat mata air dan air terjun seperti di Otak Kokok (Resort Joben), Air Terjun
67 Jeruk Manis (Resort Kembang Kuning), serta di luar kawasan TNGR antara lain Air Terjun Sindang Gile (sekitar Resort Senaru), Air Terjun Benang Setukel dan Benang Kelambu (sekitar Resort Aik Berik), dan Air Terjun Tiu Teja (sekitar Resort Santong).
4.2 Zonasi Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Rinjani Secara keseluruhan luas Hutan Rinjani adalah 124.894 ha dan ditetapkan sebagai kawasan hutan dalam berbagai fungsi, yaitu: hutan lindung (59.304,50 ha), hutan produksi tetap (11.550,74 ha), hutan produksi terbatas (9.194,66 ha), Taman Nasional Gunung Rinjani (41.330 ha), taman wisata alam (359,10 ha) dan taman hutan raya (3.155,00 ha). Penetapan kawasan hutan tersebut didasarkan hasil pengukuhan dan tata batas hutan yang dilaksanakan sejak tahun 1930 sehingga secara yuridis formal mempunyai landasan hukum yang kuat (Dinas Kehutanan NTB 1997). Pasal 1 ayat (14) UU No 5 Tahun 1990 tentang “Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya” menegaskan bahwa taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang
budidaya,
pariwisata,
dan
rekreasi.
Selanjutnya
Peraturan Menteri Kehutanan No P.56/Menhut-II/2006 tentang “Pedoman Zonasi Taman Nasional”, pada pasal 1 ayat (4) sampai (10) menjelaskan batasan (pengertian) zona taman nasional dan selanjutnya fungsi dari masing-masing zona tersebut dijelaskan pada pasal 6 huruf (a) sampai (g) sebagai berikut: ¾ Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi; berfungsi untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan penunjang budidaya ¾ Zona rimba (untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari) adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan; berfungsi untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti. ¾ Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, terutama dinamfaatkan untuk pengembangan pariwisata
68 alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfatan, kegiatan penunjang budidaya. ¾ Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. ¾ Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan sehingga menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. ¾ Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilainilai budaya atau sejarah; berfungsi untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius. ¾ Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Berkenaan dengan kepentingan pengelolaan sebagai Taman Nasional di Indonesia, kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dibagi menjadi beberapa zona pemanfaatan. Pembagian zona ini ditetapkan berdasarkan SK Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor: SK
99/IV/Set-3/2005 tanggal 26 September 2005 tentang “Penataan Zona pada Taman Nasional Gunung Rinjani”. Posisi dan luas masing-masing zona TNGR secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 9 berikut.
69
1
Gambar 8. Pembagian Zonasi TNGR (Sumber : WWF Indonesia Program Nusa Tenggara – Mataram, 2008) Keterangan: 1 = Pintu masuk pendakian Rinjani (Senaru) 2 = Pemandian Air Panas (Goa Susu) 3 = Camping Ground Danau Segara Anak 4 = Enclave (tidak ada pemukiman)
5 = Zona Rehabilitasi Aik Berik 9 = Jalur Hijau TNGR 6 = Lokasi wisata (Permandian) Otak Kokok, Joben 10 = Pemandian Air Panas Sebau 2 7 = Lokasi 3 Rehabilitasi Swadaya, Kembang Sri 4 8 = Air Terjun Jeruk Manis, Kembang Kuning
Tabel 9. Luas, Lokasi dan Karakteristik Masing-masing Zona Taman Nasional Gunung Rinjani No Zona Pengelolaan 1 Zona Inti a. Zona Inti Darat b. Zona Inti Danau 2
Zona Rimba
Luas (ha) 20.843,50 19.717,50 1.126,00
Lokasi Berada di bagian tengah Hutan Rinjani, meliputi Puncak Rinjani, Danau Segara Anak dan sekitarnya, akan10 tetapi penyebaran lokasinya Dari Danau Segara Anak ke arah Sebelah Timur, Utara, dan Selatan sedangkan ke arah Barat hanya sedikit.
Keterangan - CH : 2 200 – 3 800 mm/th - Ketinggian: 500 – 3 726 m dpl
17.349,50
Berada menyebar di seluruh wilayah TNGR mengelilingi Zona Inti
- CH : 1 400 – 2 000 mm/th - Ketinggian: 500 – 2 000 m dpl - Kemiringan 10 – 40%
5
3
Zona Pemanfaatan a. Zona Pemanfaatan Intensif
799,00 398,00 6
b. Zona Pemanfaatan Khusus (ZPK) - ZPK Kultural/ budaya - ZPK Wisata terbatas
4
Zona Lainnya
8
(1) Otak Kokok (171 ha; 600 m dpl) , 7 (2) Sebau 9 (20 ha; 750 m dpl), (3) Kembang Kuning (150 ha), & (4) Senaru (57 ha)
401,00 75,00 326,00
2.338,00
- CH : 2 700 mm/th - Ketinggian: 600 – 750 m dpl
(1) Sekitar Goa Susu, Goa Payung & Goa Manik (25 ha) (2) Sekitar Danau Segara Anak (50 ha)
- Ketinggian: 1 800 - 2 100 m dpl - CH: 2 800 – 3 400 mm/th
(1) Jalan trail wisata: Sembalun, Kembang Kuning, Senaru, Torean dan Santong; (2) Shelter jalur Senaru, Sembalun dan Kembang Kuning
- Savana - CH: 2 000 – 2 200 mm/th - Kemiringan 0-20%
70 a. Zona Pemanfaatan Tradisional b. Zona Rehabilitasi
Total Sumber : Balai TNGR 2006a dan 2006b.
583,00 1.755,00
41.330,00
(1) Srijata (418 ha) (2) Timbanuh (175 ha)
- CH : 1 800 – 2 400 mm/th - Ketinggian: 500 – 2 000 m dpl
(1) Gawah Akar (350 ha) , (2) Memerong (75 ha), (3) Lelongken (300 ha), (4) Lingkung-Kembang Sri (350 ha), (5) Stiling-Lantan (300 ha), dan (6) Kekuang (380 ha).
- CH : 1 500 – 2 800 mm/th - Ketinggian: 650 –1 600 m dpl
71 Penetapan zonasi TNGR sebagaimana disajikan pada Tabel 10 didasarkan pada pertimbangan tingkat sensitivitas wilayah yang dikombinasi dengan penyebaran obyek wisata/rekreasi, obyek khusus dan jalur jalan kecil (trail) yang telah ada. Tingkat sensitivitas wilayah didasarkan pada 7 (tujuh) kriteria, yaitu: kelerengan, jenis tanah, bahaya vulkanologi, daerah aliran sungai, keanekaragaman hayati, status flora dan fauna, dan curah hujan (Kanwil Kehutanan Propinsi NTB 1997). Tabel 10. Kriteria Penetapan Zonasi TNGR. Zona
Kriteria
Inti
- Wilayah sensitivitas tinggi - Wilayah sensitivitas sedang yang ditinjau dari lokasinya lebih efektif dikelola sebagai zona inti
Rimba
- Wilayah sensitivitas sedang - 50 m sisi kiri dan 50 m sisi kanan bisa dilalui kendaraan roda 4 sensitivitas tinggi - 25 m sisi kiri dan 25 m sisi kanan trail pada wilayah sensitivitas tinggi - Daerah obyek wisata terbatas sensitivitas tinggi
Pemanfaatan Intensif
jalan raya yang pada wilayah sepanjang jalur pada
wilayah
- Wilayah sensitivitas rendah dan/atau sedang berpotensi untuk kegiatan rekreasi, pendidikan atau penelitian bagi semua lapisan pengunjung
Pemanfaatan Khusus
- Daerah obyek wisata yang sudah ramai dikunjungi oleh wisatawan dan masyarakat yang berada di wilayah sensitivitas tinggi dan sedang dengan kondisi topografi dan jalan relatif sulit/berat dan fasilitas pelayanan pengunjung sangat terbatas Sumber : Kanwil Kehutanan Propinsi NTB 1997. Zona inti meliputi inti darat dan inti danau, terdapat di bagian tengah TNGR yang dikelilingi oleh zona rimba. Namun di sepanjang jalur pendakian, termasuk ke dalam zona pemanfaatan dan di bagian sebelah Utara Danau Segara Anak merupakan zona khusus wisata yang diperuntukkan bagi para pendaki untuk mendirikan tenda. Dari Gambar 8 di atas, nampak bahwa zona pemanfaatan berada di bagian Selatan TNGR termasuk zona pemanfaatan khusus wisata yang terdapat di beberapa tempat seperti Air Terjun Jeruk Manis (Resort Kembang Kuning) dan Air Terjun Otak Kokoq (Resort Joben).
72 Zona pemanfaatan tradisional juga berada di bagian Selatan, yaitu di wilayah Srijata (Resort Joben) seluas 418 ha dan di Timbanuh (Resort Kembang Kuning) seluas 175 ha. Sementara itu di beberapa lokasi terdapat zona rehabilitasi, yaitu
di Gawah Akar, Memerong, Lelongken, Kembang Sri, dan
Stiling sampai Lantan Khusus di wilayah Resort Sembalun (Timur Laut TNGR) terdapat enclave yaitu di Dusun Memerong dan Dendaun, Desa Sembalun Lawang. Akan tetapi tidak ada masyarakat yang bermukim di tempat ini, hanya merupakan tanah milik masyarakat yang dibuktikan dengan kepemilikan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT). Di Dusun Dendaun, terdapat tanaman kopi arabica (yang dikenal dengan Kopi Sembalun) dan di bagian pinggir terdapat beberapa pohon kayu. Sementara di Dusun Memerong umumnya berupa padang alang-alang dan digunakan sebagai tempat penggembalaan sapi oleh masyarakat. Beberapa tahun yang lalu, tempat ini digunakan untuk menanam bawang putih, akan tetapi setelah budidaya bawang putih kurang menguntungkan secara ekonomi, tempat ini dibiarkan kosong. Satu hal yang perlu dicermati, meskipun secara de jure pembagian zonasi Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) sudah jelas lokasi dan luas masingmasing, namun secara de facto batas antar masing-masing zona tidak jelas. Hingga saat ini belum ada tanda yang jelas yang membatasi dan memisahkan antar zona sehingga jangankan masyarakat, petugas lapanganpun sebagian tidak mengetahui secara jelas dan pasti batas dari masing-masing zona, bahkan seringkali hanya menggunakan feeling dalam menentukan batas antar zona. Semua ini berimplikasi terhadap perencanaan dan implementasi kegiatan serta penerapan
ketentuan-ketentuan
pada
setiap
zona
TNGR
tidak
dapat
diberlakukan secara efektif. Karena itu perlu dilakukan penataan kembali dan sosialisasi zonasi TNGR sehingga pengelolaannya dapat dilakukan secara lebih terarah dan efektif sesuai dengan fungsi masing-masing zona. Ketidakjelasan tata batas kawasan juga merupakan salah satu kendala yang
dihadapi
Taman
Nasional
Gunung
Halimun
(TNGH)
sehingga
mengakibatkan munculnya kerumitan dalam upaya pengelolaan. Bahkan, sering menimbulkan konflik antara petugas TNGH dengan pihak lain, baik dengan masyarakat maupun dengan instansi lain. Oleh karena itu, dalam rangka pemantapan kawasan tersebut, maka dilakukan upaya-upaya, antara lain: (1) rekonstruksi tata batas, yaitu penataan batas ulang kawasan TNGH melalui
73 kerjasama
kehutanan dengan pemerintah daerah dan
melibatkan pula
persetujuan masyarakat setempat, (2) penataan batas zonasi, yaitu penataan batas berdasarkan fungsi kawasan yang mencakup zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan intensif, dan (3) survei Identifikasi kawasan hutan dalam rangka usulan perluasan kawsan TNGH (Widada 2008).
4.3 Potensi TNGR 4.3.1 Flora dan Fauna Hutan lindung yang terdapat di dalam Kawasan TNGR menjadikannya sebagai daerah resapan air yang paling vital di Pulau Lombok. Selain itu potensi keanekaragaman hayatinya yang tinggi juga telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat guna pemenuhan kebutuhan sehari-hari maupun oleh wisatawan dengan menjadikan kawasan TNGR sebagai daerah tujuan wisata (FAO 1981; Dinas Kehutanan NTB 1997). TNGR memiliki kekayaan keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna. Hasil inventarisasi FAO (1981) terdapat 66 jenis flora dan 126 jenis fauna di kawasan TNGR. Berbagai jenis flora yang terdapat di kawasan ini antara lain: Beringin (Ficus sp), Jelateng (Laportea stimulans), Jambu-jambuan (Eugenia sp), Randu Hutan (Gossampinus heptophylla), Meniran (Calicapra sp), dan Cemara (Casuarina trifolia) serta terdapat 2 jenis anggrek endemik yaitu Perisstylus rinjaniensis dan Perisstylus lombokensis. Sementara itu fauna yang terdapat di kawasan TNGR antara lain: Burung Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea), Burung Perkici (Trichhoglossus haematodus mitchelli), Burung Punglor (Zoothera interpres), Burung Koakiau (Philemon buceroides), Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Rusa (Cervus timorensis), Babi Hutan (Sus vitatus) dan lain sebagainya. Selain itu terdapat satu jenis mamalia endemik yaitu Musang Rinjani (Paradoxurus hemaproditus rhindjanicus). Lebih lanjut hasil inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani sejak tahun 2000 hingga 2006 dapat diperkirakan populasi berbagai jenis flora dan fauna di Kawasan TNGR seperti disajikan pada Tabel 11 berikut.
74 Tabel 11. Hasil Kegiatan Inventarisasi dan Identifikasi Flora dan Fauna di Kawasan TNGR Th
Kegiatan Inventarisasi/Identifikasi
Lokasi
Luas (ha) Taksiran Jumlah
2000 - Burung Koak Kiau (Philemon buceroides neglectus) - Pesugulan - Kera Hitam (Trachypitecus auratus cristatus) - Kembang Kuning
5 000 3 000
241 ekor 256 ekor
2001 - Burung Koak Kiau (Philemon buceroides neglectus) - Aik Berik
3 000
216 ekor
2002 - Rusa (Cervus timorensis) - Itik gunung (Anas supercilliosa) - Burung Koak Kiau (Philemon buceroides neglectus) - Anggrek
- Gunung Propok - D. Segara Anak - Santong - Santong
5 000 3 000 3 000 3 000
200 ekor 742 ekor 4 333 ekor 43 jenis
2003 - Rusa (Cervus timorensis)
- Lendang Penyeranan - Kembang Kuning - Senaru - Sempur, Aikmel
5 000
2 300 ekor
6 000 3 000 3 000
2 300 ekor 53 jenis 41 jenis (56 419 individu)
2004 - Rusa (Cervus timorensis) - Tanaman Obat
- Aik Berik - Torean
5 000 3 000
2 200 ekor 56 jenis (8 725 individu)
2005 - Anggrek - Tanaman Obat
- Aik Berik - Santong
3 000 2 500
- Timbanuh
2 500
55 jenis 54 jenis (3 864 individu) 667 ekor
- TNGR
41 330 47 jenis
- Kera Hitam (Trachypitecus auratus cristatus) - Anggrek - Tanaman Obat
- Ayam Hutan 2006 - Kupu-kupu Sumber : Balai TNGR 2006b.
4.3.2 Vegetasi Taman Nasional Gunung Rinjani Beberapa tipe ekosistem dan vegetasi yang terdapat di TNGR adalah hutan hujan tropis pegunungan yang masih berbentuk hutan primer, hutan cemara dan vegetasi sub alpin, hutan sekunder, dan savana. Penyebaran ekosistem dan vegetasi TNGR (Kanwil Kehutanan Propinsi NTB 1997) adalah sebagai berikut: a. Hutan Hujan Tropis Jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada hutan hujan tropis pegunungan di TNGR antara lain Bajur (Pterospermum javanicum), Kukun (Sebrutenia ovata), Cemara Gunung (Casuaria trifolia), Garu (Disoxylum sp), Benuang (Duabanga mollucana), Kemiri (Aleurites mollucaca), Beringin (Ficus superba), Suren (Toona sureni) dan beberapa jenis perdu, liana, anggrek dan paku-pakuan. Luas hutan primer ini sekitar 45,11% dari luas TNGR dan menyebar terutama di bagian Selatan dan Barat Laut; sampai pada ketinggian sekitar 2.000 m dpl.
75 b. Hutan Sekunder Hutan sekunder terdapat di bagian TNGR yang berdekatan dengan pemukiman atau berbatasan dengan tanah milik masyarakat. Jenis tumbuhan yang dominan adalah Akasia (Accacia diccurens), Bajur (Pterospermum javanicum), Terep (Artocarpus elastica),
Garu (Disoxylum sp), dan Dadap
(Erytrina trifolia). Beberapa jenis tumbuhan lain juga banyak dijumpai antara lain Ficus sp, Schleichera sp dan Leguminosa. Luas hutan ini sekitar 15,8% dari luas TNGR; terutama ditemukan di bagian selatan TNGR (Lombok Timur) dan daerah Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat. c. Vegetasi Savana dan Tanah Tandus Padang rumput/savana terbentuk karena alam, tetapi pada beberapa tempat terjadi akibat penggundulan hutan; kebanyakan ditumbuhi oleh jenis alang-alang (Imperata cylindrica). Padang rumput savana terdapat di bagian Timur Laut kawasan TNGR, yakni di daerah Sembalun sampai daerah Pelawangan dan sekitar Danau Segara Anak. Luas savana ini sekitar 25,2% dari luas TNGR. Daerah tandus berada di bagian puncak Gunung Rinjani, Gunung Baru, Gunung Sangkareang, dan seputar tebing kaldera yang mengelilingi Danau Segara Anak dengan luas sekitar 7% dari luas TNGR. d. Hutan Tanaman Akibat terjadinya penggundulan dan seringnya pembakaran hutan untuk perladangan liar ataupun padang penggembalaan oleh penduduk, di beberapa tempat terutama di bagian Selatan dan Timur kawasan TNGR telah dilakukan reboisasi dengan beberapa jenis tanaman seperti Albisia (Albizzia falcala), Bajur (Pterospermum javanicum), Mahoni (Swietenia macrophylla), Durian (Durio zibethinus), Sonokeling (Dalbergia latifolia), dan Akasia (Accacia diccurens). Luas hutan tanaman ini relatif kecil (± 1.200 ha) atau kurang dari 3% TNGR. e. Hutan Cemara Hutan alam Cemara Gunung (Casuarina junghuniana) yang homogen ditemukan di bagian tengah pegunungan Rinjani terutama di bagian Timur Laut menghadap ke arah Desa Sembalun dari ketingguan 2.000 – 2.600 m dpl. Hutan ini juga terdapat di sekitar danau Segara Anak terutama pada `daerah-daerah cekungan dimana kondisi tanah lebih tebal dibanding dengan tanah di kelerengan. Luas hutan ini sekitar 500 ha atau ± 3% dari luas TNGR. Cemara-
76 cemara di Pantai Segara Anak dan sekitar Gunung Baru banyak yang mati akibat luapan air panas dan materi batuan vulkanik letusan Gunung Baru pada tahun 1994. f.
Vegetasi Sub Alpin Vegetasi sub alpin ditemukan pada ketinggian di atas 2.000 m dpl. Jenis
tumbuhan yang banyak ditemukan di tempat ini adalah Edelweis, Cemara Gunung (Casuarina junghuniana), dan berbagai jenis rumput. Tumbuhan tersebut pada umumnya relatif lebih kerdil dan daun lebih tebal dibandingkan dengan vegetasi di hutan yang letaknya lebih rendah. Vegetasi sub alpin ini bisa dilihat sepanjang jalur pendakian terutama sekitar Pelawangan dan Danau Segara Anak. Lebih lanjut WWF Program Nusa Tenggara menggambarkan profil pemanfaatan ruang di Kawasan Rinjani sebagaimana disajikan pada Gambar 9. Penyusunan profil pemanfaatan kawasan Rinjani ini didasarkan pada hasil kajian dan analisis WWF Program Nusa Tenggara mengenai kondisi hidrologis dan tutupan lahan Kawasan Rinjani yang merefleksikan kondisi riil tahun 2006.
77 Elevasi (m) m ont ana
3000
alpine hut an huj an perkebunan t alun bam bu
TN Rinjani
pekarangan& kolam kecil, ayam , sapi, dom ba
2000
t egalan sayuran dat aran t inggi t egalan palaw ij a
t alun bam bu
Z.Penyangga TNGR, hutan tanaman dan HKm
t egalan sayurandat arant inggi pekarangan , kolam ikan, ayam , kam bing kebun cam puran saw ah bert eras
Desa
kebun cam puran
saw ah beririgasi
1000
Desa
pekarangan, kolam , ayam , bebek, kam bing, kerbau kolam ikan
Desa Desa
0
10
20
30
Jarak (km) Distance (km) Gambar 9. Profil Sistem Pemanfaatan Ruang di Rinjani (Sumber : Hasil Pemetaan WWF Program Nusa Tenggara – Mataram; Keadaan TNGR Tahun 2006)
Jarak (km)
78 4.4 Permasalahan Pokok Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Berdasarkan hasil wawancara mendalam (indepth interview) dengan para pihak dan telaahan berbagai dokumen hasil kajian TNGR, dapat diinventarisir dua permasalahan pokok TNGR, yaitu: (1) berkenaan dengan kondisi biofisik dan (2) berkenaan dengan pengelolaan. 4.4.1 Permasalahan Pokok Berkenaan dengan Kondisi Biofisik TNGR Dari hasil observasi lapangan ditemukan beberapa permasalahan yang berpotensi mengganggu keamanan dan kelestarian TNGR, yaitu sebagai berikut: 1) Perambahan/Penyerobotan Kawasan Kawasan TNGR yang rawan terhadap perambahan/penyerobotan adalah wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan tanah milik dan/atau perkebunan rakyat. Salah satu kasus perambahan/penyerobotan kawasan TNGR yang masih terjadi hingga saat penelitian ini dilakukan (Februari 2008) adalah di wilayah Lelongken dan Kampung Bali, Desa Sajang; Kecamatan Sembalun. Di wilayah ini kawasan TNGR berbatasan langsung dengan kebun milik masyarakat. Pada kebun miliknya, masyarakat menanam/mengembangkan berbagai jenis tanaman perkebunan seperti kopi, kakao, dan pisang. Dalam prakteknya, pengembangan ini dilakukan hingga masuk ke kawasan TNGR dengan alasan tidak mengetahui batas TNGR secara jelas. Dari hasil observasi diperoleh kenyataan bahwa batas antara kebun milik masyarakat dengan TNGR hanya berupa tugu (pal) kecil berukuran 15 x 15 cm dengan tinggi ± 1 m dimana jarak antar pal relatif renggang (50 – 100 m) dan sewaktu-waktu mudah dipindah atau digeser posisinya. Di wilayah rambahan tersebut, selain melakukan kegiatan penanaman kopi, pisang dan kakao, masyarakat juga merusak pohon-pohon kayu hutan yang dianggap mengganggu pertumbuhan tanamannya. Teknik yang dilakukan adalah dengan cara melubangi batang pohon menggunakan bor atau membuat lekukan (mencacah) mengelilingi pangkal pohon dengan menggunakan parang/kapak; selanjutnya lubang atau bekas cacahan tadi diisi karbit (racun) dengan tujuan agar secara perlahan-lahan pohon yang bersangkutan menjadi mati dan mengering. Kegiatan perambahan kawasan TNGR ini dimulai tahun 2000-an (tahun 2003 sudah mulai panen) dengan luas areal rambahan ± 3 ha dan terus bertambah hingga pada saat dilakukan penelitian ini (Februari 2008) telah mencapai ± 16 ha dengan jumlah masyarakat terlibat sebanyak 20 orang.
79 Dilihat dari awal waktu mulai terjadinya perambahan, nampak bahwa penyerobotan kawasan ini telah berlangsung relatif lama (± 5 tahun), bahkan tanaman yang dikembangkan masyarakat di lokasi ini (seperti kopi, kakao, dan pisang) telah mulai berbuah. Namun pada saat penelitian ini dilaksanakan, tanaman-tanaman
tersebut
sebagian
sudah
mulai
ditebang/dibabat
dan
dilakukan penertiban kembali. Jika hal ini ditelaah lebih jauh, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan selama ini oleh petugas Balai TNGR relatif longgar sehingga perambahan/penyerobotan kawasan ini dapat berlangsung lama; sesuatu yang sangat disayangkan. Belajar dari pengalaman ini
maka
untuk
kawasan-kawasan
yang
berbatasan
langsung
dengan
perkebunan milik masyarakat perlu dilakukan antisipasi agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Kasus perambahan lainnya yang pernah terjadi di kawasan TNGR adalah ketika hutan lindung yang berbatasan dengan TNGR di Kecamatan Batukliang Utara dibuka untuk Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan diserahkan pengelolaannya
kepada
Koperasi
Pondok
Pesantren
Dasusshadiqien.
Berdasarkan keputusan Ka Kanwil Dephutbun Propinsi NTB No 06/Kpts/Kwl4/2000, Tanggal 16 Pebruari 2000, ditetapkan bahwa luas areal HKm Kopontren Darusshadiqien adalah 1.042 ha. Akan tetapi setelah dilakukan pengukuran dan pemetaan kembali pada tahun 2002, ternyata luasnya bertambah menjadi 1.809,5 ha (melebihi target seluas 767,5 ha) (Dinas Kehutanan Propinsi NTB 2002). Bersamaan dengan program HKm tersebut, terjadi penyerobotan lahan TNGR seluas 112 ha. Namun demikian, pada saat penelitian ini dilaksanakan (Februari
2008),
kegiatan
perambahan
sudah
berhasil
dihentikan
dan
masyarakat (perambah) sudah tidak lagi melakukan aktivitas usahatani di kawasan TNGR dan saat ini menjadi zona rehabilitasi TNGR. Para pelaku dengan menggunakan berbagai pendekatan telah berhasil dikeluarkan dari kawasan TNGR dengan perjanjian mereka masih diberikan hak untuk memetik (mengambil) hasil dari tanaman yang dikembangkan di areal tersebut. Perambahan ini terjadi sebagai dampak dari mekanisme pendistribusian hak pengelolaan yang dianggap kurang fair dan adil oleh masyarakat. Diantara peserta HKm ada yang didatangkan dari luar, sementara masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan (merasa lebih berhak) banyak yang tidak
80 dilibatkan sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. Hal ini memicu terjadinya penyerobotan/perambahan kawasan hingga ke wilayah TNGR. 2) Penebangan liar (illegal logging) Penebangan liar (illegal logging) masih terus terjadi di beberapa tempat, terutama di kawasan TNGR yang berbatasan langsung dengan pemukiman, seperti di wilayah Resort Aikmel, Sembalun, dan Resort
Santong. Beberapa
modus pencurian kayu yang terjadi di kawasan TNGR antara lain: a. Dilakukan secara berkelompok (± 5 orang) untuk kayu-kayu besar yang berada jauh di tengah hutan. Dalam hal ini peralatan disimpan di tengah hutan, sedangkan para perambah pulang-pergi setiap hari. Untuk setiap kali operasi membutuhkan waktu sampai ± 8 hari. Agar terhindar dari pengawasan petugas, maka mereka menyebar intel (misalnya istri berpurapura mengambil sayur di hutan sambil mengawasi petugas dan mengirim pesan melalui sandi-sandi tertentu, bahkan ada juga yang menggunakan HP. b. Pengambilan kayu di tempat yang dekat (terutama di daerah hutan yang berada di pinggir jalan raya) dilakukan pada malam hari dengan menggunakan gergaji mesin (chain saw) yang memakai peredam suara. Di tempat-tempat tertentu seperti di Jurang Koak-Pesugulan (Resort Aikmel) proses pengolahan kayu didukung adanya 1 buah serkel (Gergaji mesin yang bisa pindah-pindah); berada di pinggir jalan dengan alasan mengolah kayu kebun. Namun dalam kenyataannya, tidak menutup kemungkinan kayu jarahan juga ikut diolah. Kasus lainnya di Dusun Selak Aik Desa Jurit, Resort Kembang Kuning; kaum laki-laki mengambil kayu balok dan istrinya mengambil kayu bakar. Teknik penebangan yang dilakukan adalah batang pohon digergaji ¾ lalu dibiarkan dengan harapan agar pohon tersebut roboh tertiup angin. Waktu penggergajian biasanya dilakukan setelah siang hari (jam 12-an), sedangkan pengangkutan dilakukan pada jam 05 pagi dan/atau setelah malam hari (setelah magrib). 3) Terbukanya Akses Jalan melalui Kawasan TNGR Di wilayah Sebau-Pesugulan, Desa Sapit (Resort Aikmel), yaitu bagian timur kawasan TNGR dipotong/dilalui oleh jalan umum yang menghubungkan Kecamatan Swela dengan Kecamatan Sembalun. Pembukaan jalan ini membuat kawasan TNGR semakin rawan terhadap pencurian kayu karena dengan akses jalan ini para pencuri kayu semakin mudah menjangkau kawasan hutan (TNGR)
81 serta dengan mudah melakukan pengangkutan hasil jarahannya (terutama pada malam hari). 4) Pemukiman di Kawasan TNGR Di Dusun Lelongken-Desa Sajang (Resort Sembalun) terdapat pemukiman masyarakat di dalam kawasan TNGR (sebanyak ± 44 KK = 1 ha). Akan tetapi keberadaan mereka di daerah tersebut telah ada sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional (masih berstatus PPA). Pemukiman ini berada di pinggir jalan yang menghubungkan antara Sembalun dengan Bayan. Aktivitas masyarakat adalah berusahatani (pekebun) dan perdagangan. Saat ini untuk mengantisipasi agar tidak berkembang pemukiman baru di wilayah tersebut, maka dilakukan pembatasan areal pemukiman, yaitu seluas 1 ha. Meski demikian, keberadaan mereka di tempat ini tetap menjadi ancaman terhadap perambahan kawasan TNGR. 5) Penggembalaan liar di Kawasan TNGR Di Kecamatan Sembalun (Resort Sembalun), pemeliharaan ternak (sapi) oleh masyarakat dilakukan dengan sistem dilepas bebas (tidak dikandangkan/ diikat). Dalam hal ini pakan ternak tidak disiapkan secara khusus melainkan digembalakan secara liar di wilayah sekitar, termasuk di kawasan TNGR. Penggembalaan liar ini dilakukan di wilayah zona rimba yang berada di bagian Timur Laut TNGR (Resort Sembalun). Wilayah ini berupa padang alang-alang sehingga sangat potensial untuk dijadikan lokasi penggembalaan ternak (sapi). Adanya penggembalaan liar ini dapat merusak tanaman yang ada di wilayah tersebut sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem kawasan. Selain itu pada musim kemarau seringkali padang alang-alang ini dibakar oleh para peternak dengan harapan agar tumbuh tunas yang baru sebagai makanan ternak. Kejadian ini terus berlangsung hingga saat ini dengan alasan telah dilakukan secara turun temurun, bahkan sebagian masyarakat merasa dijajah oleh ternak jika dikandangkan dan disiapkan pakan setiap hari. 4.4.2. Permasalahan Pokok Berkenaan dengan Pengelolaan TNGR Sriyanto dan Sudibjo (2005) dalam WWF (2006) mengemukakan bahwa secara umum permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan taman nasional antara lain: (1) sebagian besar kawasan taman nasional belum memiliki tata batas yang jelas, (2) klaim masyarakat lokal terhadap tumpang tindih lahan miliknya dengan kawasan taman nasional, (3) perambahan kawasan yang
82 umumnya terjadi di hampir setiap kawasan taman nasional sebagai akibat kebutuhan lahan usaha pertanian/perkebunan, (4) terbatasnya akses masyarakat lokal untuk pemanfaatan sumber daya alam kawasan taman nasional, (5) konflik tumpang tindih kepent;ngan konservasi dengan sektor lain untuk kegiatan pembangunan jalan, sarana komunikasi, jaringan listrik, pipa air, latihan militer, dan lain-lain, (6) data dan informasi mengenai keanekaragaman hayati dan fisik kawasan taman nasional masih sangat terbatas, dan (7) sarana dan prasarana termasuk anggaran untuk pengelolaan taman nasional masih terbatas. Lebih lanjut Wiratno et al. (2004) mengemukakan perubahan perubahan tataguna lahan di sekitar taman nasional juga telah meningkatkan akses pihak luar ke dalam kawasan mengakibatkan fragmentasi habitat yang tidak terelakkan seperti yang terjadi di TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, TN Berbak, TN Bukit Tigapuluh, TN Bukit Barisan Selatan, TN Way Kambas, TN Tanjung Putting, serta TN Kutai. Sementara berbagai konflik kepentingan juga terjadi di kawasan taman nasional, antara lain terjadi di TN Gunung Halimun, TN Bigani Nani Warta Bone dan TN Lorentz (emas), TN Kutai (minyak bumi), dan Cagar Alam Dolok Tinggi Raja (panas bumi). Berkenaan dengan pengelolaan TNGR, hingga saat ini masih ditemukan beberapa permasalahan yang mengakibatkan kurang optimalnya berbagai bentuk program dan kegiatan pengelolaan TNGR. Permasalahan-permasalahan dimaksud antara lain: 1) Koordinasi pengelolaan TNGR antara Balai TNGR dengan dinas/instansi terkait belum optimal (terutama pada tingkat petugas di lapangan). Dalam hal koordinasi penyusunan rencana program dan kegiatan, seringkali terjadi ketidaksinkronan sebagai akibat terjadinya benturan kepentingan. Di satu sisi Balai TNGR adalah lembaga vertikal dimana program berikut pembiayaannya dikoordinasikan ke pusat sementara Dinas Kehutanan adalah dinas/instansi otonom yang dikoordinir oleh pemerintah daerah. 2) Petugas keamanan lapangan (Polhut) dan pos-pos jaga masih dirasakan kurang. Berdasarkan ketentuan, jumlah petugas saat ini (41 orang) dianggap telah memadai, namun karena kondisi lapangan yang bergunung-gunung dengan medan yang sulit dijangkau, maka sangat perlu dilakukan penambahan personil petugas lapangan (polhut). 3) Dalam menjalankan tugas di lapangan, para petugas sering menghadapi dilema. Di satu sisi, aparat harus menegakkan aturan, tapi disisi lain para
83 pencuri kayu adalah masyarakat miskin yang terpaksa melakukan aktivitas ini karena tidak ada pilihan lain dan hanya sekedar untuk makan. Kenyataan ini menjadi dilema bagi para petugas (terjadi pertentangan antara upaya penegakan hukum dengan hati nurani). 4) Sengketa pengelolaan obyek wisata Otak Kokok Joben yang berada di kawasan TNGR; melibatkan pihak masyarakat, Pemda Lombok Timur, Pengusaha, dan Balai TNGR.
4.5 Perkembangan Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Rinjani Gambar 10 mengilustrasikan perkembangan tataguna lahan kawasan TNGR yang merupakan hasil pengolahan data citra landsat tahun 1997, 2002, dan 2006 dengan menggunakan ArcView GIS. Dari hasil analisis ini nampak bahwa hingga tahun 2006 peruntukan lahan TNGR didominasi oleh hutan lahan kering primer, yaitu mencapai lebih dari 17 000 ha (41%). Peruntukan terbesar kedua adalah untuk hutan lahan kering sekunder yang mencapai sekitar 10 000 ha (24%), sementara Hutan Tanaman hanya 0,22%. Jadi dengan melihat komposisi peruntukan lahan ini dapat dikatakan bahwa vegetasi hutan TNGR cukup bagus mengingat lebih dari 65%-nya berupa hutan. Suatu hal yang cukup menggembirakan, dari Gambar 10 terlihat bahwa vegetasi hutan, baik hutan lahan kering primer maupun hutan lahan kering sekunder cenderung mengalami peningkatan seiring dengan penurunan luas lahan terbuka (lahan yang dulunya hutan dan menjadi terbuka karena ada sebab tertentu) dan penurunan luas semak belukar. Peningkatan vegetasi hutan ini secara normal tentunya akan dapat meningkatkan kelestarian dan daya dukung TNGR dalam berbagai bentuk multifungsinya. Peta perubahan tata guna lahan TNGR dapat dilihat pada Lampiran 8, 9, dan 10. Pada periode 1997-2002, total luas hutan TNGR mengalami peningkatan padahal bersamaan dengan mulainya era reformasi yang sering diartikan kebebasan (termasuk kebebasan menebang hutan) oleh masyarakat. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa penebangan liar yang terjadi di Hutan Rinjani belum sampai menembus TNGR mengingat berada pada wilayah yang topografinya bergunung-gunung dengan medan terjal yang sulit dijangkau. Penjarahan hutan terjadi hanya pada hutan lindung dan hutan produksi yang berada di kawasan penyangga TNGR. Peningkatan luas hutan ini terus berlangsung, bahkan untuk periode berikutnya (2002-2006) terjadi peningkatan total luas hutan yang cukup signifikan.
84
Gambar 10. Perkembangan Tataguna Lahan Kawasan TNGR
Secara parsial, peningkatan luas hutan pada periode 1997–2002 relatif kecil; selain bersamaan dengan awal reformasi, juga pada periode ini merupakan awal peralihan pengelolaan dari KSDA ke unit Taman Nasional Gunung Rinjani sehingga tidak terurus dengan baik. Namun pada periode berikutnya (2002 – 2006) setelah dilakukan penataan dan peningkatan pengelolaan, luas hutan primer
maupun
sekunder
mengalami
peningkatan
yang
cukup
besar.
Peningkatan luas hutan ini sebagai akibat dari berbagai kegiatan rehabilitasi dan penanaman di beberapa tempat yang dimulai sejak tahun 2000, yaitu melalui pembinaan daerah penyangga dan tanggkapan air. Menurut informasi dari kantor Balai TNGR, ada 3 (tiga) program utama yang dilakukan berkenaan dengan peningkatan jumlah vegetasi hutan TNGR, yaitu: (1) pengembangan jalur hijau di wilayah Pesugulan sampai dengan Pancor Manis (bagian Selatan TNGR) yang dimulai sejak tahun 2000, (2) penanaman pohon di wilayah Kembang Sri (Resort Kembang Kuning) dan Resort Joben yang dimulai tahun 2000, dan (3) penanaman dan rehabilitasi, yaitu di wilayah Aikmel sampai dengan Srijata (zona rehabilitasi – bagian Selatan TNGR) yang dilakukan tahun 2000 serta pada tahun 2003 dilakukan penanaman di wilayah zona rehabilitasi Aik Berik (bekas penyerobotan kawasan TNGR bersamaan dengan Program HKm).
85 Bersamaan dengan peningkatan luas hutan, pada periode 2002–2006 luas lahan terbuka (awalnya hutan dan menjadi terbuka karena sebab tertentu) mengalami penurunan yang sangat drastis. Namun pada periode yang sama luas tanah terbuka (dari awal terbuka) mengalami peningkatan. Peningkatan luas tanah terbuka ini disinyalir sebagai akibat terjadi kebakaran hutan. Begitu pula dengan savana, pada periode 2002–2006 juga mengalami peningkatan. Diduga hal ini terjadi sebagai akibat pembakaran padang alang-alang yang dilakukan oleh para penggembala dengan harapan agar tumbuh tunas yang baru sebagai tempat penggembalaan. Lebih lanjut dilihat dari aspek kualitas, dapat disimpulkan bahwa kondisi TNGR semakin membaik. Dalam hal ini indikator yang digunakan sebagai parameter penentu membaiknya kondisi TNGR adalah kerapatan vegetasi tanaman yang juga merupakan hasil pengolahan data citra TNGR 1997, 2002, dan 2006. Perkembangan kerapatan vegetasi dari masing-masing kategori (hasil pengolahan
data
citra)
sebagaimana
ditunjukkan
pada
Gambar
11
mencerminkan terjadinya pergeseran kerapatan vegetasi. Pada periode 20022006 terjadi peningkatan luas kawasan dengan begetasi “sangat rapat” dan “agak rapat”, bersamaan dengan terjadinya penurunan luas kawasan dengan vegetasi “rapat” dan vegetasi “renggang”. Artinya, sebagian kawasan dengan kerapatan vegetasi “rapat” meningkat menjadi “sangat rapat” dan sebagaian dengan vetasi “renggang” menjadi “agak rapat”. Visualisasi
perubahan
kerapatan
vegetasi
kawasan
TNGR
yang
merupakan hasil pengolahan data citra tahun 1997, 2002, dan 2006 disajikan pada Lampiran 11, 12, dan 13.
86
Gambar 11. Perkembangan Kerapatan Vegetasi TNGR
V. INTERAKSI MASYARAKAT DENGAN T AMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI (TNGR) 5.1 Bentuk dan Jenis Interaksi Interaksi yang dimaksudkan adalah aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Dari hasil wawancara responden, wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan kunci, serta hasil Fokus Group Discussion (FGD) dapat disimpulkan bahwa secara garis besar interaksi masyarakat dengan TNGR dapat dipilahkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) mengambil (memanfaatkan) hasil hutan, (2) kegiatan pendakian, dan (3) kegiatan bercocok tanam di kawasan TNGR. Selain dari ketiga bentuk interaksi ini, beberapa orang pemilik ternak sapi khusus di wilayah Resort Sembalun melakukan penggembalaan liar di kawasan TNGR. Akan tetapi ternaknya dilepas berkeliran di kawasan sekitar tanpa dilakukan pengawasan dan pengembalaan ini bukan semata-mata ditujukan di kawasan TNGR. Dengan demikian, maka dalam penelitian ini penggembalaan liar di kawasan TNGR tidak dianalisis dan dibahas secara detail. (1) Kegiatan Mengambil (Memanfaatkan) Hasil Hutan Bentuk interaksi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan TNGR adalah mengambil (mengekstraksi) hasil hutan, baik di kawasan TNGR maupun kawasan hutan lainnya. Hasil hutan yang diambil mulai dari hasil-hasil hutan yang tidak diperbolehkan untuk diekstraksi seperti kayu dan perburuan satwa hingga hasil-hasil hutan yang diijinkan untuk diekstraksi seperti rumput, pakis (sayur), madu, serta hasil-hasil hutan bukan kayu lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 150 orang responden yang diwawancarai, sebanyak 138 orang (92%) melakukan interaksi dengan hutan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 orang (43,48%) diantaranya atau 40% dari total responden melakukan interaksi dengan TNGR. Selebihnya melakukan interaksi dengan hutan lindung, hutan produksi dan hutan kemasyarakatan (HKm). Jenis kegiatan yang dilakukan dalam berinteraksi dengan hutan (Tabel 12) adalah mengambil (mengekstraksi) hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu (sayur/pakis, madu, berburu, dan rumput). Dilihat dari jumlah masyarakat yang melakukan interaksi, dapat dikatakan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap Hutan Rinjani relatif tinggi. Ketergantungan ini juga tercermin dari pemanfaatan hutan sebagai salah satu
87
sumber pendapatan ekonomi rumahtangga dan berbagai keperluan domestik lainnya seperti sumber kayu bakar, kayu bangunan, sayur, bahkan tempat berusahatani. Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis dan Lokasi Interaksi Jenis Interaksi
No 1.
2.
3.
Lokasi Interaksi TNGR Luar HKm Total TNGR Resp Persen
Memanfaatkan Hasil Hutan Kayu (HHK) a. Kayu Balok/Bangunan b. Kayu Bakar c. Kayu Balok dan Kayu Bakar
1 50 9
3 35 1
-
4 85 10
2,90 61,59 7,25
Memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) a. Hanya HHBK b. HHBK & HHK
13
12 12
-
12 25
8,70 18,12
27
27
19,57
Lainnya Total yang berinteraksi
60
51
27
138 100,00
Berkenaan dengan jenis kegiatan interaksi, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (71,74%) masyarakat melakukan pengambilan hasil hutan kayu (HHK), terutama kayu bakar. Lebih lanjut jika ditelaah secara seksama khusus bagi masyarakat yang melakukan interaksi dengan TNGR, seluruhnya (100%) melakukan pengambilan hasil hutan kayu (HHK). Dari 60 orang yang melakukan interaksi dengan TNGR, 10 orang (16,67%) diantaranya melakukan pengambilan kayu balok/bahan bangunan (Tabel 12). Artinya, mereka ini setiap saat melakukan penebangan berbagai jenis kayu di kawasan TNGR sehingga akan berimplikasi terhadap penurunan kelestarian daya dukung kawasan. Di sisi lain adanya rencana kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM (minyak tanah) akan mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli minyak tanah. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk kembali menggunakan kayu sebagai sumber utama bahan bakar rumahtangga sehingga pada akhirnya akan memicu penebangan liar (illegal logging) termasuk di kawasan TNGR. Sebagai gambaran, hingga tahun 2006 (BPS Propinsi NTB 2006), penggunaan kayu sebagai bahan bakar di 37 desa yang berbatasan dengan TNGR masih cukup besar, yaitu 77,26% dari seluruh rumahtangga yang ada. Dikhawatirkan angka ini akan terus bertambah seiring dengan penerapan kebijakan ini. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan dan antisipasi sejak dini agar kawasan TNGR tidak terancam kepunahan.
88
Pelaku interaksi dalam sebuah rumahtangga pada umumnya adalah suami (kepala keluarga) dan ada juga yang melibatkan istri (ibu rumahtangga). Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa kegiatan pengambilan kayu balok/bahan bangunan, berburu binatang dan/atau burung, serta pencarian madu hanya dilakukan oleh kaum laki-laki (kepala keluarga); sedangkan untuk pengambilan sayur (pakis) hanya dilakukan oleh kaum perempuan (ibu rumahtangga). Sementara itu untuk pengambilan kayu bakar dilakukan baik oleh laki-laki (kepala keluarga) maupun perempuan (ibu rumahtangga). Dari segi pelaksanaan interaksi, sebanyak 99 orang (66%) melakukannya secara terang-terangan, selebihnya mengakui melakukan interaksi secara sembunyi-sembunyi.
Interaksi yang dilakukan secara terang-terangan adalah
pengambilan hasil hutan bukan kayu (HHBK) serta kegiatan di lokasi HKm (luar kawasan TNGR), sedangkan pengambilan hasil hutan kayu (HHK) terutama kayu balok/bahan bangunan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Adapun inisiatif untuk berinteraksi dengan hutan, diakui sebagian besar responden (51,33%) atas inisiatif sendiri dan 9,33% diajak teman/tetangga. Dalam pelaksanaannya, kegiatan interaksi dilakukan secara sendirisendiri (perorangan) dan ada juga yang dilakukan secara berkelompok. Kegiatan yang dilakukan secara perorangan antara lain pengambilan kayu bakar, mencari madu dan sayur (kadang-kadang juga dilakukan secara berkelompok); sedangkan kegiatan yang dilakukan secara kelompok adalah pengambilan kayu balok/kayu bangunan dan berburu binatang. Interaksi kelompok ini dilakukan karena mengalami kesulitan untuk melakukannya sendiri. Dari 150 orang responden yang diwawancarai, sebanyak 49 orang (32,67%) mengaku melakukan
interaksi
secara
sendiri-sendiri,
79
orang
(52,67%)
secara
bekelompok, dan 10 orang (6,67%) kombinasi keduanya. (2) Kegiatan Pendakian Kegiatan pendakian (treking) ke Puncak Rinjani dan/atau Danau Segara Anak tidak hanya dilakukan masyarakat sekitar kawasan TNGR, melainkan juga masyarakat yang datang dari berbagai penjuru baik dari dalam maupun dari luar Pulau Lombok, bahkan yang lebih banyak adalah dari mancanegara. Kegiatan pendakian ini berlangsung sepanjang tahun terutama sekali musim kemarau, kecuali ada badai atau cuaca tidak memungkinkan sehingga membahayakan para pendaki.
89
Interaksi yang dilakukan masyarakat dengan kawasan TNGR berupa pendakian ini jarang dilakukan, bahkan hanya orang-orang tertentu saja yang melakukannya. Kegiatan ini dilakukan bukan karena motif ekonomi, melainkan sekedar untuk mandi (berendam) pada kolam air panas yang terdapat di sekitar Danau Segara Anak atau di kolam pemandian air panas lainnya di kawasan TNGR yaitu antara lain adalah Aik Kalaq di hulu Kali Putih ± 100 m dari Segara Anak, Goa Susu, Goa Taman, Goa Payung dan Sebau. Kegiatan ini diyakini dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit kulit karena mengandung belerang. Di kaki Gunung Baru di tengah danau terdapat mata air yang bisa digunakan untuk menguji benda pusaka. Disamping itu ada juga yang bertujuan hanya sekedar untuk memancing di Danau Segara Anak. Secara umum karena kegiatan pendakian bukan bermotif ekonomi, maka kegiatan ini tidak terlalu menghawatirkan terhadap kerusakan vegetasi TNGR. Kecuali itu, yang perlu diantisipasi adalah masalah kebersihan dan pengambilan ranting-ranting
kayu
kering)
untuk
memasak
para
pendaki.
Justru
berkembangnya kegiatan wisata pendakian (treking) memberikan efek ganda (multiplier) bagi tumbuh dan berkembangnya sektor-sektor lainnya sehingga membuka peluang bagi pengembangan ekonomi lokal. Peluang usaha ini menjanjikan dilihat dari jumlah pendaki yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu seperti ditunjukkan pada Gambar 12.
Gambar 12. Perkembangan Jumlah Pendaki ke Danau Segara Anak dan/atau Puncak Rinjani melalui Jalur Pendakian Resmi Sembalun dan Senaru (Sumber: Hasil Registrasi Rinjani Trek Management Board, 2004-2007)
90
Bagi setiap pendaki yang melalui jalur pendakian resmi Sembalun dan Senaru diharuskan membayar karcis masuk pendakian. Besarnya harga tiket (Tabel 13) memasuki kawasan TNGR untuk kegiatan pendakian (trekking) dibedakan antara pendaki lokal dengan pendaki dari luar dan karcis masuk ini dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Tabel 13. Perkembangan Harga Tiket untuk Pendakian di TNGR Harga Tiket Wisatawan/Pendaki (Rp) Lokal Asing
No
Uraian
1.
2003 - 2006
1 000,-
25 000,-
2.
Juni 2006
3 000,-
50 000,-
3.
1 April 2008
5 000,-
100 000,-
Sumber: Koperasi Sinar Rinjani, Sembalun 2008. Berkenaan dengan harga tiket masuk pendakian; jika diasumsikan jumlah pendaki tetap seperti tahun 2007, maka dapat diperkirakan penghasilan dari karcis masuk pendakian sebesar Rp 413 185 000,- per tahun, yaitu sebesar Rp 403 200 000,- dari pendaki luar dan Rp 9 985 000,- dari penduduk (pendaki lokal). Akan tetapi penghasilan dari para pendaki lokal tidak dapat diprediksi karena banyak yang tidak mau membayar dengan alasan merupakan milik bersama dan dari dulu tidak pernah membayar setiap mau melakukan pendakian. Selain itu para pendaki lokal, banyak yang melakukan pendakian melalui jalur-jalur pendakian tidak resmi dan biasanya mencari jalan pintas yang lebih dekat. Besarnya tarif masuk kawasan TNGR ini merupakan hasil kesepakatan antara
Balai
TNGR
sebagai
badan
pengelola
kawasan,
Rinjani
Trek
Management Board (RTMB) sebagai badan pengelola trekking Rinjani, serta Koperasi dan Agen Pendakian sebagai pelaksana di lapangan. Dana yang diperoleh dari tarif masuk ini selanjutnya didistribusi secara proporsional sebagaimana disajikan pada Tabel 14 berikut.
91
Tabel 14. Alokasi Penggunaan/Distribusi Dana Tiket Pendakian TNGR No
Nilai Tiket (Rp)
Distribusi/Alokasi
A.
Tiket wisatawan/pendaki luar (asing):
1.
25.000,-
- Rp 15.000,- untuk TNGR
Keterangan
- 40% untuk pemda kabupaten - 30% untuk pemda propinsi - 15% untuk Kas Neg (PNBP) - 15% untuk dana konservasi
- 7.500,- untuk koperasi - 2.500,- untuk desa 2.
50.000,-
- 25.000,- untuk TNGR - 7.500,- untuk koperasi - 15.000,- dana emergency - 2.500,- untuk desa
3.
100.000,-
- 50.000,- untuk TNGR - 50.000,- untuk RTMB
- 80% untuk TNGR (PNBP) - 20% untuk dana konservasi Disimpan di Koperasi Distribusi seperti No 2 Operasional RTMB (tidak ada lagi penyandang dana)
B. Tiket wisatawan/pendaki lokal: 5.000
- 1.000,- untuk koperasi - 1.000,- untuk emergency - 3.000,- untuk desa dan konservasi
- 70% untuk desa ybs. - 30% untuk desa tetangga
Sumber: Koperasi Sinar Rinjani, Sembalun 2008. Ket.: PNBP = Penerimaan Negara Bukan Pajak
(3) Kegiatan Bercocok Tanam di Kawasan TNGR Kegiatan bercocok tanam dilakukan pada zona pemanfaatan intensif di wilayah Resort Joben, dan sebagian Resort Kembang Kuning. Pemanfaatan kawasan TNGR oleh masyarakat ini atas ijin resmi dari Balai TNGR melalui program “Jalur Hijau” dengan lebar ± 20 m di sepanjang pinggir kawasan TNGR yang berbatasan langsung dengan tanah milik masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk meredam masyarakat agar tidak merambah dan melakukan penebangan liar (illegal logging) di kawasan TNGR terutama dalam menghadapi krisis ekonomi pada akhir dekade 90-an. Kegiatan ini dimulai Tahun Anggaran 1999/2000, yaitu memberikan hak kelola kepada masyarakat yang berada di pinggir kawasan dengan luas areal pengelolaan untuk setiap orang rata-rata sepanjang 50 m dan lebar 20 m dari pinggir kawasan. Jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini sekitar 200
92
orang dimana penentuan kelompok sasaran ditetapkan secara musyawarah yang difasilitasi oleh kepala desa setempat. Jenis tanaman yang boleh dikembangkan di tempat ini adalah tanaman endemik lokasi, yaitu berupa buah-buahan seperti durian dan nangka serta di bawah tegakan bisa dikembangkan rumput gajah, empon-empon, dan/atau tanaman semusim lainnya dengan catatan tidak boleh melakukan pengolahan/pembongkaran tanah agar tidak terjadi gangguan terhadap ekosistem di wilayah yang bersangkutan. Hasil pengamatan petugas di lapangan menunjukkan bahwa program jalur hijau ini dapat meredam gangguan terhadap TNGR. Akan tetapi setelah dilakukan monitoring dan evaluasi, ditemukan adanya penyimpangan terhadap jenis komoditi yang dikembangkan. Beberapa diantaranya mengembangkan tanaman kopi dan vanili, dimana kedua jenis tanaman ini tidak dianjurkan untuk dikembangkan di kawasan ini dengan alasan bukan endemik lokasi/kawasan. Selain diperbolehkan menanam beberapa jenis buah-buahan dan/atau tanaman endemik lainnya, masyarakat yang diberi hak kelola diharuskan menanam pohon kayu-kayuan dan/atau memelihara pohon kayu yang telah ada sebelumnya. Namun dalam kenyataannya ada keengganan masyarakat untuk menanam dan mengembangkan kayu-kayuan dengan alasan tidak boleh ditebang atau dijual sehingga tidak ada manfaat ekonomi yang diperoleh. Kenyataan ini mencerminkan sikap dan perilaku masyarakat yang selalu berorientasi manfaat ekonomi jangka pendek. Saat ini masyarakat tidak diperkenankan
lagi
mengusahakan
jalur
hijau;
tetapi
mereka
masih
diperbolehkan mengambil hasil tanaman yang telah dikembangkan sebelumnya. Selain di jalur hijau TNGR yang dilakukan secara resmi, sekitar 20 orang anggota masyarakat Dusun Lelongken dan Kampung Bali, Desa Sajang (Resort Sembalun) melakukan kegiatan bercocok tanam secara tidak resmi (penyerobotan kawasan) sebagaimana telah dijelaskan sebelumya. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, antara lain: ketidakjelasan batas kawasan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, kesadaran dan kejujuran masyarakat, serta responsibilitas masyarakat untuk memanfaatkan peluang yang menguntungkan dirinya. Karena itu diperlukan penyadaran komprehensif baik aspek hukum maupun lingkungan bagi masyarakat sekitar agar turut menjaga keutuhan kawasan dan biofisik TNGR.
93
5.2 Frekwensi Interaksi
Frekwensi interaksi sebagaimana disajikan pada Tabel 15 hanya difokuskan pada interaksi dengan motif ekonomi berupa ekstraksi hasil hutan. Interaksi berupa kegiatan bercocok tanam di kawasan jalur hijau TNGR tidak dikaji dan dianalisis secara mendalam karena dilakukan secara rutin dan bersifat resmi dan saat ini sudah tidak dilakukan lagi. Begitu pula halnya dengan interaksi yang motifnya bukan ekonomi (pendakian) tidak diperhitungkan karena kegiatan ini diasumsikan tidak merusak kelestarian sumberdaya hutan TNGR. Data frekwensi interaksi yang disajikan pada Tabel 15 adalah rata-rata dari responden yang melakukan interaksi, yaitu 111 rumahtangga (bukan ratarata dari seluruh responden) serta frekwensi interaksi adalah yang dilakukan oleh seluruh anggota rumahtangga. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata frekwensi interaksi untuk pengambilan hasil hutan kayu (HHK) lebih tinggi dibandingkan dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), yaitu rata-rata frekwensi interaksi HHK mencapai lebih dari 2 (dua) kali interaksi HHBK. Dengan perkataan lain interaksi HHK (terutama untuk pengambilan kayu bakar) lebih intensif dibandingkan dengan interaksi HHBK. Kenyataan ini dapat dimaklumi karena selain untuk dijual, sebagian kayu bakar hasil interaksi digunakan untuk konsumsi sendiri. Tabel 15. Rata-rata Frekwensi Responden Berinteraksi dengan Hutan Dirinci Menurut Jenis dan Lokasi Interaksi No
Jenis Interaksi
Rata-rata Frekwensi Interaksi (kali/bulan) TNGR Luar-TNGR Agrega t
1. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HHK) a. Kayu Balok/Bangunan b. Kayu Bakar
11 8 10
7 5 7
9 7 9
2. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) a. Madu b. Berburu c. Sayur
4 1 3 10
5 2 2 8
4 2 3 9
12
7
10
HHK + HHBK
Berkenaan dengan kegiatan penebangan, metode/teknik yang digunakan oleh masyarakat (pelaku penebangan liar) untuk menentukan jenis pohon yang akan ditebang adalah: (1) memilih kayu yang sudah tua dan hampir mati (2)
94
memilih kayu dengan posisi yang tidak akan banyak merusak pohon lainnya (3) memilih kayu yang bernilai ekonomi tinggi, (4) sesuai dengan permintaan konsumen, (5) memilih kayu besar, (6) sembarang, dan (7) kombinasi dari berbagai pertimbangan. Kayu hasil jarahan (penebangan liar) ada yang diangkut dalam bentuk gelondongan dan ada juga yang diolah langsung sebelum dikeluarkan dari hutan, yaitu dijadikan balok, lis, atau bahan bangunan lainnya seperti rangka pintu dan jendela rumah. Lokasi pengolahan dilakukan secara berpindah-pindah sehingga aparat kesulitan untuk melacaknya. Selanjutnya hasil tersebut dijual ke pedagang (penadah)
yang
berada
di
kampung-kampung
atau
di
tempat-tempat
tersembunyi. Kepada para penebang kayu (bahasa setempat “peramoq”) diberikan modal atau pinjaman terlebih dahulu sebelum mengambil kayu di hutan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa lokasi kegiatan interaksi untuk pengambilan HHK di kawasan TNGR lebih intensif dibandingkan dengan luar TNGR. Kenyataan ini mencerminkan bahwa kawasan TNGR masih rawan terhadap kegiatan penebangan liar (illegal logging). Karena itu diperlukan kesadaran dan partisipasi semua pihak untuk menyelamatkan dan melestarikan keberadaan TNGR. Lebih intensifnya interaksi HHK dibandingkan HHBK mengindikasikan harapan ekonomi (motif ekonomi) dari kegiatan interaksi. Hal ini seiring dengan pernyataan 67 orang (44,67%) responden yang mengakui bahwa sumber penghasilan utama keluarga adalah dari hasil interaksi dengan hutan dan 69 orang (46,00%) sebagai sumber penghasilan sampingan. Lebih lanjut 117 orang (78%) mengungkapkan bahwa hasil interaksi (terutama HHK) digunakan untuk menutupi keperluan hidup (makan) keluarga sehari-hari. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif untuk melakukan interaksi dengan hutan adalah karena alasan ekonomi. Meski demikian, pengambilan hasil hutan (terutama kayu) merupakan pilihan terakhir bagi warga masyarakat karena tidak ada alternatif lain. Hal ini tercermin dari berkurangnya gangguan penebangan liar (illegal logging) pada musim penghujan. Setelah dilakukan penelusuran dan analisis ternyata penyebab terjadinya penurunan gangguan ini karena banyak tersedia lapangan kerja di sektor pertanian (berkenaan dengan aktivitas usahatani). Kuantitas dan kualitas gangguan keamanan hutan (penebangan liar) berkurang secara signifikan ketika musim hujan tiba seiring dengan mulainya aktivitas pertanian di lahan sawah
95
dan/atau kebun. Sebagai gambaran, rata-rata interaksi pada musim hujan hanya berkisar 3 - 4 kali per bulan, sedangkan pada musim kemarau 3 – 5 kali per minggu. Kenyataan ini seiring dengan Teori Pilihan (Coleman dalam Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2007) yang mengatakan bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan, dimana tujuan (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferency). Dalam hal ini aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka.
5.3 Faktor-faktor Penentu Interaksi Sama halnya dengan pembahasan frekwensi interaksi, analisis faktor penentu interaksi difokuskan pada interaksi masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu (HHK). Pertimbangan utama mengapa hal ini dilakukan adalah: (1) pengambilan/pemanfaatan hasil hutan kayu diyakini akan merusak kelestarian dan daya dukung bahkan mengancam keberadaan TNGR, (2) kegiatan bercocok tanam di jalur hijau dilakukan secara resmi dan saat ini hanya diperbolehkan untuk mengambil hasil tanaman yang telah dikembangkan, sedangkan penyerobotan kawasan di wilayah Lelongken dan Kampung Bali saat ini telah ditertibkan dan masyarakat tidak boleh lagi melakukan aktivitas budidaya di kawasan tersebut, dan (3) kegiatan pendakian dilakukan dengan motif non ekonomi sehingga tidak potensial mengancam kerusakan TNGR. Untuk mengetahui faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan dilakukan analisis regresi berganda. Dalam hal ini sebagai variabel terikat (dependent) atau variabel respons adalah frekwensi interaksi untuk mengambil hasil hutan kayu (HHK), sedangkan variabel penjelas (explanatory) atau variabel bebas (independent) terdiri atas beberapa variabel kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap 9 (sembilan) variabel penjelas dengan koefisien regresi masing-masing disajikan pada Tabel 16 dan hasil analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 14.
96
Tabel 16. Besarnya Koefisien Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Masyarakat untuk Mengambil Hasil Hutan Kayu (HHK) No
Variabel
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Konstanta (a) Lokasi interaksi (X1) WTP (X2) Pengeluaran RT untuk makanan (X3) Pengeluaran RT selain makanan (X4) Penghasilan RT dari luar hutan (X5) Luas lahan usahatani (X6) Aturan lokal dan kebiasaan turuntemurun dalam mengekstraksi HHK (X7) 9. Keterlibatan dalam HKm (X8) 10. Kepemilikan/pemeliharaan sapi (X9) Ket.: R2 = 0,397; R2 Adj = 0,343
Koefisien Regresi 4,574 5,135 -6,24E-05 8,041E-06 7,378E-06 -4,62E-06 -0,206 2,085
t-Stat Nilai-P Keterangan 2,128 3,929 -2,339 1,547 1,186 -1,650 -0,372 1,861
0,036 0,000 0,021 0,125 0,239 0,102 0,711 0,066
Nyata pada α = 1% Nyata pada α = 5% Nyata pada α = 15% Nyata pada α = 15% Nyata pada α = 10%
-3,944 -2,723 0,008 Nyata pada α = 1% -1,411 -1,331 0,186 Nyata pada α = 20%
Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa ada 7 (tujuh) faktor/variabel yang dapat menjelaskan atau berpengaruh secara nyata terhadap frekwensi interaksi masyarakat untuk mengambil/memanfaatkan hasil hutan kayu (HHK). Ketujuh faktor/variabel tersebut lebih lanjut dapat dipilahkan menjadi 3 (tiga) kategori sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management SFM). Kategori pertama berkenaan dengan kondisi biofisik TNGR, yaitu: lokasi interaksi (X1); kategori kedua berkenaan dengan sosial budaya masyarakat, meliputi: WTP (X2) dan pengetahuan lokal atau kebiasaan turun-temurun dalam mengambil HHK (X7); serta kategori ketiga berkenaan dengan ekonomi masyarakat, meliputi: pengeluaran untuk makanan (X3), penghasilan dari luar hutan (X5), keterlibatan dalam HKm (X8), dan kepemilikan/ pemeliharaan sapi (X9). Berkenaan dengan lokasi interaksi, ada kecenderungan penebangan liar dilakukan di hutan yang jaraknya relatif jauh dari pemukiman atau jalan raya. Alasannya, di lokasi ini lebih aman untuk melakukan penebangan karena jauh dari pemantauan petugas. Sementara di lokasi yang dekat pemukiman atau jalan raya, selain ada petugas juga banyak masyarakat lain yang melihat sehingga kurang aman untuk melakukan penebangan. Pertimbangan lainnya dalam menentukan lokasi interaksi adalah ketersediaan pohon kayu yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pembeli. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa interaksi masyarakat untuk memanfaatkan HHK secara nyata (significant) lebih banyak dilakukan di kawasan
97
TNGR dibandingkan tempat lainnya, ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar 4,57. Artinya, frekwensi pengambilan HHK di kawasan TNGR 4,57 kali lebih banyak dibandingkan wilayah lainnya. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kerawanan kawasan TNGR terhadap penebangan liar cukup tinggi. Selain karena lokasinya, lebih tingginya intensitas pengambilan kayu di kawasan TNGR diduga disebabkan karena vegetasi (tegakan kayu) di kawasan ini masih lebih utuh dibandingkan dengan kawasan hutan lainnya. Kenyataan ini mencerminkan bahwa kelestarian aspek biofisik/ekologis TNGR mengalami ancaman sehingga perlu dilakukan antisipasi sejak dini agar keutuhan TNGR tetap terjaga. Menurut pengakuan masyarakat (responden), mereka terpaksa melakukan pengambilan kayu di hutan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga (terutama kebutuhan makan). Kenyataan ini terbukti dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makan berpengaruh positif nyata (α = 15%) terhadap interaksi HHK. Artinya, semakin besar pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makan akan mengakibatkan frekwensi interaksi HHK mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan tingkat penghasilan masyarakat yang masih berada di bawah standar garis kemiskinan pedesaan NTB serta terbatasnya lapangan usaha di luar kehutanan menjadi pemicu masyarakat melakukan penebangan liar (illegal logging). Langkah yang bisa ditempuh guna menyelamatkan hutan (termasuk TNGR) dari kegiatan penebangan liar (illegal logging) adalah meningkatkan penghasilan masyarakat yang bersumber dari luar kehutanan. Hal ini seiring dengan hasil analisis yang meunjukkan bahwa penghasilan dari luar kehutanan berpengaruh negatif nyata (significant) terhadap intensitas pengambilan HHK. Artinya, semakin tinggi penghasilan yang bersumber dari luar kehutanan mengakibatkan semakin menurunnya intensitas interaksi HHK. Faktor ekonomi lainnya yang juga dapat menjelaskan atau berpengaruh negatif secara nyata (significant) terhadap intensitas interaksi HHK adalah keterlibatan masyarakat dalam Program HKm. Dari hasil analisis (Tabel 16) dapat diketahui bahwa masyarakat peserta HKm intensitas interaksinya 3,94 kali lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang tidak terlibat dalam HKm. Begitu pula halnya dengan kepemilikan/pemeliharaan ternak sapi dapat menpengaruhi (menurunkan) secara nyata intensitas interaksi HHK, ditunjukkan nilai koefisien regresi yang bertanda negatif. Interaksi HHK yang dilakukan oleh
98
masyarakat yang memelihara sapi 1,41 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak memelihara. Kenyataan ini mencerminkan bahwa masyarakat tidak akan melakukan pencurian kayu (illegal logging) di hutan TNGR manakala memiliki alternatif sumber penghidupan lain di luar hutan. Indikasi ini diperkuat oleh hasil analisis yang menunjukkan bahwa luas lahan yang dimiliki/digaraf mempunyai pengaruh negatif (tidak nyata) terhadap intensitas interaksi. Tinggi rendahnya interaksi pengambilan kayu secara nyata (significant) juga dipengaruhi oleh kesediaan masyarakat untuk membayar kelestarian (WTP) sumberdaya hutan. Dalam hal ini semakin tinggi WTP semakin rendah frekwensi interaksi untuk pengambilan kayu dan sebaliknya (koefisien regresi negatif). Hasil analisis ini menggambarkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian sumberdaya hutan yang diwujudkan dalam bentuk WTP dapat mengendalikan mereka untuk melakukan penebangan liar. Di sisi lain adanya pengetahuan dan kebiasaan lokal berkenaan dengan ekstraksi HHK yang diperoleh secara turun temurun berpengaruh positif nyata (significant) terhadap intensitas interaksi, tercermin dari nilai koefisien sebesar 2,09. Artinya, mereka yang memiliki pengetahuan tentang cara penebangan dan
memiliki kebiasaan secara turun temurun akan melakukan interaksi 2,09 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengetahuan serupa. Keadaan yang relatif sama juga terjadi di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur. Hasil penelitian Tim Peneliti Balai Taman Nasional Meru Betiri (2002) menunjukkan kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk di daerah penyangga TNMB memiliki andil besar bagi kelestarian lingkungan hutan Taman Nasional. Secara sosial ekonomi daerah penyangga ini mengalami kelangkaan tanah pertanian sehingga tidak memadai untuk hidup layak bagi penduduknya. Kondisi ini mengakibatkan tekanan (perusakan/pengambilan hasil hutan) terhadap TNMB. Disamping itu faktor kemiskinan, kurangnya kesadaran lingkungan dan rendahnya tingkat pendidikan memiliki hubungan signifikan dengan tingkat motivasi dan pengambilan hasil hutan TNMB.
99
5.4 Intisari untuk Pemberdayaan
Berdasarkan hasil analisis dan kajian terhadap intreraksi masyarakat dengan hutan TNGR, dapat disarikan beberapa hal penting yang selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk merumuskan model dan strategi pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR yang dapat menjamin eksistensi dan harmonisasi antara masyarakat dengan TNGR secara berkelanjutan. Intisari penting dimaksud adalah: 1)
Masyarakat sekitar hutan memiliki ketergantungan yang relatif tinggi terhadap keberadaan TNGR. Ketergantungan ini tercermin dari pemanfaatan hutan sebagai salah satu sumber pendapatan ekonomi rumahtangga dan berbagai keperluan domestik lainnya seperti sumber kayu bakar, kayu bangunan, sayur dan hasil hutan bukan kayu lainnya.
2)
Interaksi masyarakat dengan TNGR (khususnya interaksi HHK) dilakukan karena alasan/motif ekonomi. Namun demikian, pengambilan kayu secara liar (illegal logging) ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat karena tidak ada alternatif lain yang dapat dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dengan demikian diperlukan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang diharapkan dapat mengkompensasi penghasilan yang diperoleh dari hasil hutan terutama hasil hutan kayu.
3)
Penyerobotan kawasan TNGR terjadi sebagai akibat ketidakjelasan batas kawasan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, kesadaran dan kejujuran masyarakat, serta responsibilitas masyarakat untuk memanfaatkan peluang yang menguntungkan dirinya. Karena itu diperlukan penyadaran komprehensif baik aspek hukum maupun lingkungan bagi masyarakat sekitar agar turut menjaga keutuhan kawasan dan biofisik TNGR.
4)
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kerawanan kawasan TNGR terhadap kegiatan penebangan liar (illegal logging) relatif lebih tinggi dibandingkan kawasan hutan lainnya. Beberapa hal yang dapat mengurangi atau meredam masyarakat melakukan kegiatan tersebut adalah: (1) peingkatan kesadaran lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk WTP, (2) peningkatan penghasilan dari luar hutan, (3) keterlibatan dalam program pemberdayaan ekonomi seperti HKm, dan (4) kepemilikan/pemeliharaan ternak sapi.
VI. PERSEPSI DAN PENILAIAN EKONOMI MASYARAKAT TERHADAP TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI (TNGR) Keberadaan TNGR sudah tersosialisasi secara meluas di kalangan masyarakat sekitar, terbukti dari hampir seluruh responden (92,67%) mengakui mengetahui keberadaan TNGR dan hanya 6,67% yang tidak mengetahuinya. Selama ini manfaat TNGR yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah fungsinya sebagai sumber mata air. Di beberapa tempat masyarakat mulai merasakan adanya kelangkaan air pada waktu-waktu tertentu sehingga berpengaruh terhadap produktivitas tanamannya. Bahkan peningkatan degradasi hutan yang berdampak pada penurunan debit air dan hilangnya titik-titik mata air tersebut menyebabkan terjadinya sengketa distribusi air, baik yang melibatkan warga dengan warga dalam satu desa, warga desa satu dengan warga desa lainnya maupun antara warga dengan pengusaha dan pemerintah. Fungsi lainnya yang dirasakan masyarakat adalah sebagai pencegah banjir dan longsor bahkan sebagai tempat mencari nafkah. Karena fungsinya ini, maka masyarakat merasa keberadaan TNGR sangat penting dan perlu dilestarikan, sebagaimana diakui oleh hampir seluruh responden, yaitu 145 orang (96,67%).
6.1 Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan Hutan Rinjani (TNGR) Rakhmat (2005), mengemukakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dengan perkataan lain persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli) dimana setiap orang atau masyarakat akan mempunyai persepsi yang berbedabeda tergantung pada stimuli inderawi masing-masing. Dalam penelitian ini, persepsi yang dimaksudkan adalah bagaimana pesan dan tanggapan masyarakat terhadap keberadaan TNGR. Penilaian masyarakat tentang keberadaan TNGR sebagaimana disajikan pada Tabel 17 diukur dari manfaat yang dirasakan masyarakat yang secara garis besar dipilahkan menjadi 2 (dua) aspek. Pertama, manfaat penggunaan (use value) terdiri atas 3 (tiga) obyek persepsi, yaitu: (1) manfaat langsung (direct use value) meliputi 5 butir persepsi, (2) manfaat tidak langsung atau manfaat fungsional (indirect use value) meliputi 3 butir persepsi, dan (3) manfaat pilihan (option
101
value) meliputi 2 butir persepsi. Kedua, manfaat bukan penggunaan (non use value) terdiri atas 2 obyek persepsi, yaitu (1) manfaat keberadaan (existance value) meliputi 2 butir persepsi, dan (2) manfaat lainnya. Tabel 17. Distribusi Persentase Responden Berdasarkan Penilaian terhadap Manfaat Keberadaan TNGR No
Uraian
A
Manfaat Penggunaan (Use Value)
1
Manfaat Langsung a. Sumber penghidupan
28
27
14
21
10
100
9
5
16
37
34
100
c. Sumber perolehan makanan
34
24
24
15
3
100
d. Tempat penggembalaan
58
13
16
13
0
100
e. Sumber tanaman obat
34
26
27
7
5
100
a. Mencegah banjir
4
6
17
24
49
100
b. Mencegah longsor
4
2
19
21
53
100
c. Perlindungan terhadap angin
7
9
31
22
31
100
Manfaat Pilihan a. Tempat pelaks upacara adat/ritual
45
24
20
9
3
100
b. Rekreasi
42
29
22
7
0
100
13
11
29
39
8
100
9
15
29
35
13
100
10
21
29
33
7
100
b. Sumber mata air
2
3
Manfaat Fungsional
B.
Manfaat Bukan Penggunaan (Non Use Value)
1
Manfaat Keberadaan a. Habitat berbagai jenis tumbuhan b. Habitat berbagai jenis hewan
2.
Persentase Responden Menurut Persepsi (Penilaian) 1 2 3 4 5 Total
Manfaat lainnya Keindahan/pemandangan
Ket.: 1 = tidak bermanfaat 2 = kurang bermanfaat 3 = cukup bermanfaat 4 = bermanfaat 5 = sangat bermanfaat
Berdasarkan distribusi responden seperti tertera pada Tabel 17 di atas, nampak bahwa manfaat penggunaan langsung TNGR yang paling dirasakan adalah sebagai sumber mata air, ditunjukkan oleh berturut-turut 37% dan 34% menilai TNGR “bermanfaat” dan “sangat bermanfaat” sebagai sumber air bagi masyarakat sekitar, bahkan untuk seluruh Pulau Lombok. Sebaliknya manfaat
102
TNGR sebagai sumber penghidupan dan perolehan makanan bagi masyarakat sekitar, sebagian besar “kurang bermanfaat” hingga “tidak bermanfaat”. Secara aturan memang tidak diperkenankan bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi di wilayah TNGR, kecuali dalam hal-hal tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keterbatasan akses ini juga menyebabkan manfaat TNGR sebagai tempat penggembalaan dan sumber tanaman obat dinilai “kurang bermanfaat”. Dengan demikian jika persepsi terhadap manfaat langsung ini ditelaah lebih lanjut, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat lebih mementingkan kelestarian TNGR sebagai sumber mata air dibandingkan manfaatnya sebagai sumber penghasilan ekonomi. Mengenai penilaian terhadap manfaat penggunaan tidak langsung (manfaat fungsional) TNGR, yaitu sebagai pencegah banjir, pencegah longsor, dan perlindungan terhadap angin/badai; sebagian besar masyarakat menilai ketiganya “cukup bermanfaat” hingga “sangat bermanfaat”. Penilaian (persepsi) ini mencerminkan bahwa masyarakat selama ini telah merasakan manfaat keberadaan TNGR sehingga hal ini dapat dijadikan modal dasar dalam pemberdayaan. Berbeda halnya dengan persepi terhadap manfaat pilihan sebagai tempat pelaksanaan upacara adat/ritual dan tempat rekreasi, sebagian besar masyarakat menilai “kurang bermanfaat” hingga “tidak bermanfaat”. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kegiatan-kegiatan ritual sudah jarang dilakukan oleh masyarakat lokal. Begitu pula dengan kegiatan rekreasi ke TNGR, umumnya dilakukan oleh para pendatang dari tempat lain sehingga wajar jika masyarakat menilai kawasan TNGR “kurang bermanfaat” sebagai tempat rekreasi. Penilaian lainnya adalah diukur dari manfaat bukan penggunaan (Non Use Value), yaitu TNGR sebagai habitat dari berbagai jenis flora dan fauna serta keindahan; penilaian/persepsi sebagian besar masyarakat “cukup bermanfaat” hingga “sangat bermanfaat”. Hal ini berarti sebagian besar masyarakat menyadari pentingnya keberadaan TNGR sebagai habitat berbagai jenis flora dan fauna. Akan tetapi tidak dapat dijadikan jaminan bahwa mereka akan memelihara keutuhan TNGR, apalagi mereka tidak boleh mengakses atau menangkap burung dan/atau satwa lainnya di kawasan TNGR. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat berdasarkan penilaian seperti yang diilustrasikan pada Tabel 17 di atas, dilakukan klasifikasi skor penilaian menggunakan skala likert (Padmowihardjo 1996; Meuller 1996).
103
Dalam hal ini tingkat persepsi masyarakat dipilahkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi (Tabel 18). Tabel 18. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Persepsinya terhadap Keberadaan TNGR No Uraian
Tingkat Persepsi Rendah Sedang Tinggi Jlh Persen Jlh Persen Jlh Persen
A Manfaat Penggunaan (use value) 1. Manfaat Langsung 2. Manfaat Fungsional 3. Manfaat Pilihan Agregat (A)
67 10 95 28
44,67 66 6,67 31 63,33 50 18,67 110
44,00 17 20,67 109 33,33 5 73,33 12
11,33 72,67 3,33 8,00
B. Manfaat Bukan Penggunaan (Non Use Value) 1. Manfaat Keberadaan 2. Manfaat lainnya Agregat (B)
27 47 23
18,00 31,33 15,33
61 93 68
40,67 62,00 45,33
62 10 59
41,33 6,67 39,33
28
18,67 111
74,00
11
7,33
Agregat (A) dan (B)
Berdasarkan distribusi skor penilaian seperti pada Tabel 18 di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat terhadap TNGR baik manfaat penggunaan maupun manfaat bukan penggunaan, termasuk dalam kategori “sedang”, tercermin dari modus penilaian berada pada kategori ini. Meski demikian, secara parsial persepsi terhadap manfaat fungsional dan manfaat keberadaan termasuk kategori “tinggi”. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat telah merasakan manfaat tidak langsung (manfaat fungsional) dari keberadaan TNGR sebagai pencegah banjir, longsor, dan pelindung dari badai. Banjir bandang dan longsor yang berulangkali terjadi beberapa tahun yang lalu memberikan pelajaran berharga dan penyadaran bagi masyarakat akan pentingnya pelestarian hutan (termasuk TNGR). Menurut Rakhmat (2005), secara garis besar persepsi seseorang terhadap sesuatu objek dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu faktor personal (fungsional) dan faktor situasional (struktural). Faktor personal berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Dalam hal ini yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respons pada stimuli itu. Adapun persepsi yang dipengaruhi oleh faktor situasional (struktural) semata-mata berasal dari sifat stimuli fisik. Berkenaan dengan persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNGR,
104
sebagai akibat dari beragamnya karakteristik, pengalaman, dan kepentingan masing-masing, maka persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNGR sangat beragam, dipengaruhi oleh: 1) Keterikatan emosional/historis dengan TNGR Keterkaitan emosional/historis masyarakat terbentuk sebagai akibat dari keberadaan mereka secara turun temurun di kawasan hutan TNGR. Bagi mereka yang sejak kecil atau bahkan dilahirkan di kawasan ini telah secara fisik dan non fisik berasosiasi dan menyatu dengan alam dan lingkungan di sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama berdomisili di sekitar kawasan TNGR adalah 23,27 tahun; suatu rentang waktu yang cukup lama, bahkan banyak diantaranya yang dilahirkan di tempat ini. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap persepsinya akan keberadaan TNGR. 2) Ketergantungan dengan TNGR Ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan TNGR tidak hanya karena kawasan ini sebagai sumber penghidupan bagi mereka, akan tetapi juga karena faktor-faktor lainnya. Tinggi rendahnya rasa ketergantungan ini akan sangat berpengaruh terhadap persepsi dan penilaiannya terhadap keberadaan TNGR. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar masyarakat di Pulau Lombok menggantungkan pemenuhan kebutuhan air minum dan air irigasi serta berbagai kebutuhan lainnya dari kawasan Rinjani. 3) Kepercayaan/keyakinan Kepercayaan/keyakinan masyarakat akan eksistensi TNGR ada kaitannya dengan adat-budaya dan mitos-mitos yang diyakini dan dipelihara secara turun temurun. Keyakinan ini seringkali sifatnya supranatural yang sulit dibuktikan kebenarannya dan biasanya dipercaya/diyakini secara kolektif oleh sekelompok masyarakat yang berdomisili di kawasan tertentu (dalam hal ini kawasan TNGR). Sebagian masyarakat Pulau Lombok masih ada yang mempercayai bahwa di kawasan Hutan Rinjani bersemayam makhluk halus (jin) yang dipimpin oleh seorang ratu bernama “Dewi Anjani”. Makhluk halus inilah yang diyakini menjaga Gunung Rinjani agar tidak menimbulkan malapetaka bagi masyarakat sekitar khususnya dan masyarakat di Pulau Lombok pada umumnya. 4) Pengetahuan Tinggi rendahnya pengetahuan seseorang akan sangat berpengaruh terhadap rasionalitas dalam penilaian dan persepsinya terhadap suatu objek tertentu.
105
Pengetahuan yang dimasudkan bukan semata-mata dilihat dari jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh, melainkan yang lebih berpengaruh justru pengetahuan mereka akan keberadaan TNGR. Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar kawasan TNGR masih relatif rendah, dtunjukkan oleh 33,33% responden tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali dan 50% pernah mengenyam pendidikan sampai setingkat SD. 5) Manfaat yang dirasakan Manfaat yang diperoleh dari keberadaan TNGR dapat berupa materi dan non materi, berbeda/bervariasi antara seseorang dengan yang lainnya. Dengan demikian persepsinya akan keberadaan TNGR sangat ditentukan oleh manfaat yang dirasakan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa 40% responden mengaku bahwa salah satu sumber penghasilan keluarga adalah dari kawasan TNGR. Kelompok masyarakat ini menilai manfaat keberadaan TNGR lebih tinggi dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepi masyarakat Lingkar Rinjani ini seiring dengan hasil penelitian Liswanti et al. (2004) di Kabupaten Malinau Kalimantan Timur yang menyimpulkan bahwa masyarakat Dayak Merap dan Punan menilai pentingnya hutan primer didasarkan pada pertimbangan: (1) hutan sebagai sumber mata pencaharian baik langsung maupun tidak langsung, (2) adanya nilainilai historis yang harus terus dipertahankan secara turun-temurun, dan (3) memiliki kelimpahan sumberdaya yang sangat bernilai seperti tumbuhan dan hewan.
6.2 Penilaian Ekonomi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan Secara teoritis, nilai ekonomi sumberdaya alam dibedakan antara nilai atas dasar penggunaan (use value) dan nilai bukan penggunaan (non-use value). Atas dasar penggunaannya, nilai itu dibedakan lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value), dan nilai pilihan penggunaan (option use value). Sementara itu nilai bukan penggunaan, dibedakan menjadi nilai pilihan non penggunaan (option non use value), nilai keberadaan (existance value), dan nilai non guna lainnya (Pearce et al. 1990; Suparmoko 2006; Nurrochmat 2006) Berkenaan dengan TNGR, masyarakat sepakat untuk memberikan nilai ekonomi terhadap keberadaan TNGR, baik nilai penggunaan maupun nilai bukan penggunaan. Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan responden atas beberapa item
106
pertanyaan yang diajukan (Tabel 19). Dalam penelitian ini, untuk mengetahui tanggapan masyarakat akan pentingnya penilaian ekonomi kawasan TNGR diajukan 10 (sepuluh) pertanyaan. Tabel 19. Tanggapan Responden terhadap Pentingnya Penilaian Ekonomi TNGR No
Uraian
Pentingnya Penilaian Ekonomi Ya Persen Tidak Persen Ragu Persen
1
Hasil hutan yang diambil
131 87,33
9
6,00
10
35
2 3
Sebagai sumber mata air Sebagai habitat berbagai jenis tumbuhan Sebagai habitat berbagai jenis hewan & burung
139 92,67
0
0,00
11
30
135 90,00
0
0,00
15
22
134 89,33
1
0,67
15
21
5
Sebagai pencegah banjir
133 88,67
0
0,00
16
24
6
Sebagai pencegah longsor
133 88,67
1
0,67
16
23
7
Perlindungan terhadap angin
133 88,67
1
0,67
16
21
8 9
Keindahan/Pemandangan Tempat pelaksanaan upacara adat/ritual Tempat Rekreasi
134 89,33
2
1,33
14
21
133 88,67 130 86,67
1 1
0,67 0,67
16 19
13 13
4
10
Tanggapan masyarakat atas pentingnya penilaian ekonomi TNGR seperti yang ditunjukkan pada Tabel 19 di atas mengisyaratkan bahwa masyarakat telah memiliki kepedulian yang cukup tinggi akan kelestarian TNGR. Hal ini dicerminkan oleh tingginya persentase responden (>80%) yang menganggap perlunya penilaian ekonomi TNGR, baik nilai penggunaan maupun nilai bukan penggunaan. Bagi mereka yang menganggap tidak perlu dinilai secara ekonomi, selain karena keterbatasan pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya pelestarian hutan, masih ada juga sebagian kecil masyarakat yang menganggap bahwa hutan, air, dan sumberdaya alam lainnya adalah anugerah Tuhan untuk ummat-Nya sehingga tidak boleh dinilai dan diperjualbelikan. Ironisnya, meskipun hampir keseluruhan responden memandang perlu untuk memberikan nilai terhadap berbagai fungsi TNGR, namun dalam kenyataannya hanyalah nilai kegunaan langsung (direct use value) yang diperhitungkan, yaitu nilai hasil hutan yang diambil dan besar kecilnya nilai hasil hutan yang diambil tergantung dari harga jual yang biasanya ditentukan oleh pembeli (pedagang pengumpul). Bahkan kerusakan tanaman di sekitar lokasi penebangan (on site effect) juga tidak diperhitungkan.
107
Menurut Fauzi (2006), nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay= WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa. Sisi lain dari pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran willingness to accept (WTA) yang tidak lain adalah jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktek pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA, karena WTA bukan pengukuran yang berdasarkan insentif (insentive based) sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (behavioural model). Mengenai kesediaan masyarakat di kawasan TNGR untuk membayar (WTP) dan kesediaan menerima (WTA) kualitas lingkungan dilustrasikan pada Tabel 20. Tabel 20. Distribusi Responden Berdasarkan WTP dan WTA di Kawasan TNGR No
Uraian
1. 2.
Jumlah responden (orang) Kesediaan responden: a. Bersedia b. Ragu-ragu c. Bersyarat d. Tidak bersedia Nilai Kesediaan (Rp): a. Rata-rata keseluruhan responden b. Rata-rata dari yang bersedia (28 org) c. Nilai Minimum d. Nilai Maksimum
3.
WTP
WTA
150
150
28 (18,67%) 6 (4,00%) 4 (2,67%) 112 (74,67%)
57 (38,00%) 6 ( 4,00%) 87 (58,00%)
4 197,22 482,1 000,200 000,-
56 500,1 385 526,25 000,10 000 000,-
Kecilnya proporsi masyarakat yang memiliki kesanggupan untuk membayar kualitas lingkungan (WTP) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 20 di atas mencerminkan masih rendahnya kepedulian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan (hutan). Kenyataan ini tidak seiring dengan pernyataan perlunya memberikan nilai ekonomi terhadap berbagai fungsi TNGR (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya). Berdasarkan
108
fenomena ini maka dapat disimpulkan bahwa penilaian ekonomi secara total terhadap TNGR masih sebatas persepsi; belum diwujudkan dalam bentuk sikap dan tindakan riil. Selain proporsinya kecil, kesanggupan untuk membayar (WTP) relatif kecil, yaitu bervariasi mulai dari Rp 1 000,- hingga Rp 200 000,-. Bahkan, dari 28 orang yang menyatakan kesediaan untuk membayar (WTP), 11 orang (39,29%) diantaranya hanya bersedia membayar Rp 1 000,- dan hanya 1 orang (3,57%) yang bersedia membayar Rp 200 000,-. Hasil penelitian WWF Program Nusa Tenggara juga mengidentifikasi kesiapan/kesanggupan setiap rumah tangga untuk membayar kualitas lingkungan (WTP) sebesar Rp 1 000,- per bulan. Besar kecilnya nilai WTP ini diduga ada hubungannya dengan kesadaran, persepsi, dan kemampuan ekonomi masyarakat. Berbeda
dengan
kompensasi (WTA)
WTP,
jumlah
responden
yang
menginginkan
mencapai 2 kali WTP, yaitu sebanyak 57 orang (38%).
Begitu pula dengan besarnya nilai WTA yang diharapkan sangat jauh melampaui nilai WTP. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 20 di atas, nilai WTA yang diharapkan berkisar antara Rp 25 000,- hingga Rp 10 000 000,-. Dari 57 orang yang menginginkan kompensasi, 26 orang (45,61%) diantaranya menginginkan kompensasi maksimal Rp 500 000,-. Selebihnya bervariasi di atas satu juta rupiah, bahkan ada 1 orang (1,75%) responden menginginkan kompensasi hingga Rp 10 juta. Berbagai alasan dikemukakan bagi mereka yang menginginkan kompensasi, antara lain untuk modal usaha, mencukupi kebutuhan keluarga, dan untuk biaya konservasi. Perbedaan nilai WTP dan WTA yang sangat mencolok ini dari segi ekonomi mengindikasikan tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan TNGR masih relatif rendah. Hal ini didukung oleh pernyataan 61 orang (40,67%) responden yang menginginkan kompensasi itu diserahkan kepada masyarakat di sekitar kawasan TNGR secara perorangan. Fenomena ini mencerminkan sikap dasar masyarakat yang selalu ingin memanfaatkan peluang yang dapat menguntungkan. Ketika diminta untuk membayar, mereka memilih yang paling kecil, dan sebaliknya ketika diberi peluang untuk menerima, mereka menginginkan yang paling besar (maksimal). Lebih lanjut setelah dilakukan analisis menggunakan korelasi spearman, ternyata kesanggupan membayar (WTP) dengan persepsi memiliki hubungan negatif yang nyata (significant) sebagaimana hasil analisis yang disajikan pada
109
Tabel 21. Artinya, semakin tinggi persepsi masyarakat akan keberadaan TNGR (terutama karena manfaat ekonomi), semakin rendah kesiapannya untuk membayar
kelestarian
lingkungan.
Hubungan
ini
mencerminkan
bahwa
penilaian/persepsi dan kesadaran akan pentingnya kelestarian hutan belum diwujudkan dalam bentuk sikap dan tindakan riil dalam kehidupan sehari-hari. Tabel 21. Nilai Koefisien Korelasi Spearman antara WTP dengan Variabel Lainnya Koef. Korelasi Spearman (rs)
Nilai-P
Keterangan
1. WTP dengan Persepsi masyarakat terhadap TNGR
-0,194
0,042
Nyata pada α = 5%
2. WTP dengan Pendapatan RT dari Luar kehutanan
-0,292
0,002
Nyata pada α = 1%
3. WTP dengan Pendapatan RT dari hasil hutan
0,007
0,941
No Korelasi
Selain dengan persepsi, WTP juga memiliki hubungan negatif yang nyata (significant) dengan pendapatan dari luar kehutanan dan berhubungan positif (tidak nyata) dengan pendapatan dari hasil hutan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan akan mempengaruhi kesediaannya untuk ikut melestarikan hutan, meskipun hubungannya sangat lemah.
Semakin
besar
penghasilan
dari
hasil
hutan
mengakibatkan
ketergantungannya terhadap hutan semakin besar; hal ini akan menjadi insentif mereka untuk ikut melestarikannya (WTP semakin besar). Sebaliknya, semakin tinggi pendapatan dari luar kehutanan menyebabkan rasa ketergantungan mereka terhadap hutan semakin kecil sehingga kepedulian dan kesediaannya untuk melestarikan hutan semakin kecil. 6.3 Intisari untuk Pemberdayaan Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa intisari yang dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan model dan strategi pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR, yaitu: 1)
Manfaat langsung TNGR yang paling dirasakan masyarakat adalah sebagai sumber air, baik untuk keperluan domestik, pertanian maupun keperluan lainnya. Di sisi lain, masyarakat tidak menjadikan kawasan TNGR sebagai
110
tumpuan utama sumber penghasilan keluarga, melainkan merupakan pilihan alternatif terakhir karena tidak ada sumber lain. Dengan demikian masyarakat lebih mementingkan kelestarian TNGR sebagai sumber mata air dibandingkan manfaat sebagai sumber ekonomi. 2)
Masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya kelestarian TNGR serta memiliki penilaian ekonomi relatif tinggi terhadap sumberdaya hutan, akan tetapi belum diwujudkan dalam bentuk sikap dan tindakan nyata. Artinya, penilaian ekonomi secara total terhadap TNGR masih sebatas persepsi; belum diwujudkan dalam bentuk sikap dan tindakan riil.
3)
Kepedulian masyarakat dalam pelestarian hutan masih membutuhkan pamrih ekonomi,
tercermin dari kecilnya proporsi masyarakat yang
memiliki kesanggupan untuk membayar kualitas lingkungan (WTP). 4)
Masyarakat menyadari sepenuhnya manfaat fungsional TNGR sebagai pencegah banjir, longsor, dan badai. Namun demikian, adanya desakan kebutuhan ekonomi keluarga seringkali menyebabkan tata nilai dan kearifan lokal dalam menjaga dan memelihara lingkungan (hutan TNGR) mengalami
benturan;
dan
dalam
keadaan
semacam
pemenuhan kebutuhan menjadi prioritas utama.
ini
biasanya
VII. HUBUNGAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA DENGAN PARTISIPASI DALAM PELESTARIAN HUTAN
7.1 Struktur Pendapatan Rumahtangga Secara teoritis, kebutuhan hidup anggota rumahtangga dapat dipenuhi melalui dua sumber pendapatan, yaitu dari pencurahan tenaga kerja (labour income) dan dari luar pencurahan tenaga kerja (non labour income). Pendapatan yang bersumber dari pencurahan tenaga kerja berasal dari pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan; sementara yang bersumber dari luar pencurahan tenaga kerja berasal dari transfer income dan property income Struktur pendapatan/penghasilan rumahtangga seperti yang disajikan pada Tabel 22 mencerminkan bahwa masyarakat yang berdomisili di kawasan TNGR pada umumnya mengandalkan penghasilan rumahtangga dari hasil pencurahan tenaga kerja (labour income). Hanya 6 orang (4%) dari 150 orang responden memiliki penghasilan dari luar curahan waktu kerja, yaitu kiriman anggota keluarga yang menjadi TKI ke luar negeri. Rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga di kawasan TNGR sebesar Rp 507 839,- per bulan dimana lebih dari 30%-nya bersumber dari hasil hutan (tidak termasuk hasil HKm). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat akan hasil hutan secara relatif masih cukup tinggi. Lebih lanjut khusus bagi masyarakat yang berinteraksi dengan TNGR, sebanyak 48,69% penghasilan keluarga bersumber dari hasil hutan. Pendapatan inilah yang harus dikompensasi dengan menciptakan alternatif kegiatan ekonomi produktif bagi masyarakat sekitar sehingga mereka tidak lagi melakukan pengambilan hasil hutan (terutama hasil hutan kayu). Bahkan dari 150 orang responden, terdapat 9 orang (6%) diantaranya tidak memiliki sumber penghasilan selain dari hasil hutan. Mereka hanya mengandalkan penghasilan dari kegiatan mengekstraksi hasil hutan berupa kayu, madu, dan rumput. Sementara itu khusus bagi masyarakat yang memiliki sumber penghasilan dari areal HKm, jenis hasil produksi yang diperoleh dari lokasi HKm relatif sama dengan hasil kebun milik masyarakat sekitar, yaitu berupa pisang, kopi, kakao, dan berbagai hasil tanaman semusim.
112
Tabel 22. Struktur dan Rata-rata Nilai Pendapatan Rumahtangga di Kawasan TNGR Sumber Penghasilan Rumahtangga
No 1
Nilai Penghasilan (Rp/bln)
Persen (%)
Hasil Hutan a. Hasil hutan kayu (HHK) b. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) Total hasil Hutan
2
Hasil dari HKm
3
Luar Kehutanan
4
Pendapatan Luar CWK Total Pendapatan Rumahtangga
135 627,-
26,70
29 233,-
5,76
164 860,-
32,46
24 647,-
4,85
308 099,-
60,67
10 233,-
2,02
507 839,-
100,00
Struktur dan besarnya penghasilan rumahtangga seperti disajikan pada Tabel 22 memperlihatkan bahwa penghasilan utama bersumber dari luar kehutanan (bukan hasil interaksi dengan hutan). Sementara itu penghasilan dari hutan dominan bersumber dari hasil hutan kayu (HHK). Keadaan ini mengisyaratkan bahwa sumber penghasilan yang diandalkan dari hasil hutan TNGR adalah berupa kayu (kayu balok dan kayu bakar). Implikasinya, perlu segera diantisipasi dan dibuat kebijakan yang menciptakan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang dapat mengkompensasi penghailan keluarga yang bersumber dari hutan TNGR. Kontribusi pendapatan seperti yang disajikan pada Tabel 22 di atas tidak baku dan statis, melainkan sewaktu-waktu berubah. Perubahan dimaksud terutama sangat tergantung pada ketersediaan lapangan kerja di luar kehutanan. Dikatakan demikian karena penghasilan dari luar kehutanan sangat fluktuatif dan sebagian besar bersumber dari hasil berburuh tani. Sementara sumber penghasilan yang relatif tetap adalah dari hasil interaksinya dengan hutan. Ketika lapangan kerja di luar kehutanan tidak tersedia (misalnya musim kemarau), maka satu-satunya
andalan
masyarakat
untuk
memperoleh
penghasilan
demi
mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari adalah dari hasil hutan. Ketersediaan lapangan kerja di luar kehutanan umumnya didominasi oleh kegiatan-kegiatan di bidang pertanian. Karena itu pada musim penghujan, dimana masyarakat sekitar melakukan aktivitas usahatani, banyak membutuhkan
113
tenaga kerja (buruh tani) sehingga tidak banyak yang melakukan interaksi dengan hutan; mereka lebih memilih untuk bekerja sebagai buruh tani. Keputusan untuk memilih kegiatan di luar kehutanan merupakan keputusan yang tepat karena didasarkan pada pertimbangan yang rasional. Pertimbangan pertama, lokasi kegiatan berburuh tani relatif dekat dengan tempat tinggalnya, sementara untuk pengambilan hasil hutan lokasinya cukup jauh sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak. Pertimbangan kedua, secara ekonomi hasil yang diperoleh dari kegiatan di luar kehutanan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil kehutanan (opportunity cost tinggi). Sebagai contoh, hasil yang diperoleh setiap kali berinteraksi dengan hutan berkisar antara Rp 10 000,- sampai Rp 20 000,- per hari (belum termasuk biaya), sedangkan ongkos menjadi buruh bangunan berkisar antara Rp 35 000,- sampai Rp 45 000,per hari dan buruh tani berkisar antara Rp 10 000,- sampai Rp 15 000,- per hari. Pertimbangan ketiga, pengambilan HHK dihadapkan pada resiko penangkapan aparat/petugas, sedangkan kegiatan lainnya dapat dilakukan dengan tenang dan aman tanpa resiko. Dilihat dari struktur penghasilan, sebagian besar (60,67%) penghasilan masyarakat bersumber dari luar kehutanan. Hal ini mencerminkan bahwa perekonomian masyarakat di sekitar TNGR bertumpu pada kegiatan-kegiatan ekonomi di luar kehutanan dan berbasis pertanian. Dalam hal ini adalah kegiatan pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, buruh tani, buruh lainnya, perdagangan,
dan
jasa.
Kontribusi
masing-masing
kegiatan
terhadap
penerimaan rumahtangga dari luar kehutanan disajikan pada Gambar 13. Dari berbagai sumber penghasilan luar kehutanan seperti ditunjukkan pada Gambar 13, kontribusi terbesar adalah dari kegiatan buruh tani; akan tetapi peluang kerja ini sifatnya musiman dan biasanya tersedia pada musim hujan (untuk 1 - 2 kali musim tanam) sehingga tidak bisa dijadikan andalan mata pencaharian masyarakat sepanjang tahun. Dengan perkataan lain kegiatan ini tidak memiliki jaminan kepastian dan keberlanjutan hasil karena sangat tergantung pada musim dan aktivitas pertanian (usahatani) di kawasan sekitar TNGR. Padahal, dari hasil survei ditemukan 81 rumahtangga responden (54%) mengandalkan pendapatan/penghasilan dari kegiatan berburuh tani.
114
Gambar 13. Kontribusi Masing-masing Kegiatan terhadap Penerimaan Rumahtangga dari Luar Kehutanan. Penghasilan dari luar hutan lainnya bersumber dari jasa transportasi (ojek) dan jasa yang berkenaan dengan kegiatan ekowisata, yaitu sebagai porter dan pemandu dalam kegiatan pendakian. Nampaknya kegiatan ini akan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan kegiatan ekowisata. Sumber lainnya adalah dari hasil pertanian dan perkebunan, hanya saja tidak semua masyarakat memilikinya. Dari 150 responden, hanya 59 orang (39,33%) yang memiliki lahan pertanian dan 48 orang (32%) memiliki lahan perkebunan. Aktivitas ekonomi lain yang juga banyak digeluti masyarakat di sekitar kawasan TNGR adalah pemeliharaan sapi. Kegiatan ini selain dilakukan untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga, juga digunakan tenaganya untuk mengolah lahan pertanian serta dijadikan tabungan yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menutupi keperluan mendesak. Jenis sapi yang dikembangkan masyarakat sekitar TNGR adalah sapi bali dengan rata-rata jumlah sapi yang dipelihara 1 - 2 ekor. Dari hasil survei ditemukan adanya 29 rumahtangga (19,33%) responden yang memiliki pendapatan dari hasil ternak sapi. Lebih lanjut jika jumlah penghasilan ini dikaitkan dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebesar 4,19 orang, maka pendapatan perkapita masyarakat di kawasan TNGR adalah sebesar Rp 121 299,- per bulan. Nilai pendapatan ini masih berada dibawah standar garis kemiskinan di pedesaan NTB (BPS NTB 2007) sebesar Rp 130 867,- per kapita per bulan.
115
7.2 Struktur Pengeluaran Rumahtangga
Bagi masyarakat di kawasan TNGR, proporsi pengeluaran untuk kebutuhan makan masih mendominasi. Dari rata-rata pengeluaran rumahtangga sebesar Rp 513 533,- per bulan, sebanyak 68,15% merupakan pengeluaran untuk makanan. Pengeluaran untuk makanan ini sebagian besarnya (62,19%) digunakan untuk membeli beras dan sisanya 37,81% untuk kebutuhan selain beras (lauk-pauk). Kecilnya porsi pengeluaran untuk kebutuhan selain beras seperti lauq (terutama sayur) karena sebagian diambil dari hutan atau wilayah sekitar dan hanya membeli bahan-bahan keperluan lain yang tidak bisa dicari/diambil dari wilayah sekitar, sepeti bumbu-bumbuan, garam, ikan asin dan lain-lain. Struktur pengeluaran rumahtangga seperti yang disajikan pada Tabel 23 mencerminkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat masih relatif rendah karena masih didominasi oleh pengeluaran untuk keperluan makan sehari-hari. Kenyataan ini sesuai dengan Teori Engle yang menegaskan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk kebutuhan makan dan sebaliknya. Tabel 23. Struktur dan Rata-rata Nilai Pengeluaran Rumahtangga di Kawasan TNGR No 1
2 3 4 5 6
Alokasi Pengeluaran Rumahtangga
Nilai Pengeluaran (Rp/bln)
Makanan Pokok a. Beras b. Lauk-pauk Total Makanan Bukan Makanan Perawatan Kesehatan Pakaian Pendidikan Pengeluaran lain-lain Total Pengeluaran Rumahtangga
Persen (%)
217 660,132 333,349 993,-
42,38 25,77 68,15
34 570,21 109,23 480,37 683,46 597,-
6,75 4,11 4,57 7,34 9,07
513 533,-
100,00
Komponen pengeluaran yang disajikan pada Tabel 23 dibatasi hanya pada
pengeluaran
rutin
yang
harus
dikeluarkan
setiap
rumahtangga.
Pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti biaya perbaikan rumah, pengobatan, dan biaya sosial lainnya tidak dihitung karena sifatnya insidental dan besarnya sulit diprediksi secara pasti.
116
Untuk pngeluaran bukan makanan, dibatasi hanya pada kebutuhan rutin yang dianggap harus dipenuhi oleh sebagian anggota masyarakat, yaitu kopi/teh dan gula. Kebutuhan ini sudah menyatu dengan masyarakat pedesaan secara turun-temurun
dan
kepentingannya
dianggap
setingkat
lebih
rendah
dibandingkan dengan kebutuhan makan. Pengeluaran rutin lainnya adalah perawatan kesehatan, yaitu untuk sabun mandi dan sabun cuci. Khusus untuk pakaian, sebenarnya bukanlah merupakan pengeluaran rutin rumahtangga. Pada umumnya pengeluaran ini dilakukan setahun sekali dan bagi sebagian keluarga bukan merupakan suatu keharusan. Kebutuhan untuk pembelian pakaian biasanya dikeluarkan menjelang Hari Raya Idul Fitri dan/atau pada saat tahun ajaran baru khusus bagi mereka yang memiliki anak sekolah. Menurut pengakuan masyarakat, dari berbagai komponen pengeluaran seperti yang diilustrasikan pada Tabel 23 di atas, yang harus selalu dipenuhi adalah pengeluaran untuk makan sedangkan kebutuhan lainnya masih bisa ditunda. Inilah yang seringkali memicu masyarakat untuk mengambil jalan pintas mengeksploitasi hasil hutan; di satu sisi ada tuntutan mendesak anggota keluarga harus makan, tetapi di sisi lain peluang kerja di luar kehutanan tidak tersedia. Lebih lanjut jika pengeluaran keluarga ini dikaitkan dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebesar 4,19 orang, maka pengeluaran per kapita masyarakat di kawasan TNGR sebesar Rp 122 561,- per kapita per bulan. Nilai pengeluaran ini juga berada di bawah standar garis kemiskinan di pedesaan NTB. Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat di kawasan TNGR masih termasuk kategori miskin.
7.3 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Rumahtangga Dengan melihat rata-rata jumlah penghasilan (Rp 507 839,- per bulan) dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran (Rp 513 533,- per bulan), maka terjadi defisit sebesar Rp 5 694,- per bulan atau sebesar Rp 68 324,- per tahun). Berdasarkan
komposisi
ini
tentunya
dapat
disimpulkan
bahwa
tingkat
pemenuhan kebutuhan keluarga belum tercukupi (baru mencapai 99%). Nilai nominal pengeluaran ini belum termasuk pengeluaran yang sifatnya insidental seperti pengobatan, biaya sosial, rokok, dan pengeluaran tidak terduga lainnya. Jika semua pengeluaran ini dimasukkan maka defisit keuangan rumahtangga akan semakin besar. Disamping itu jumlah dan komposisi pengeluaran
117
rumahtagga relatif konstan, sedangkan jumlah dan komposisi penerimaan rumahtangga setiap saat berubah (fluktuatif) karena tidak ada sumber penerimaan rutin yang tetap dan pasti. Dalam penelitian ini yang penting untuk dikaji adalah tingkat pemenuhan kebutuhan dengan penghasilan yang bersumber dari luar kehutanan. Dengan mengasumsikan bahwa pendapatan dari hasil HKm adalah pendapatan luar kehutanan (karena ada ijin resmi), maka rata-rata total penghasilan rumahtangga dari luar kehutanan adalah sebesar Rp 342 979,- per bulan. Tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga dengan penghasilan sebesar ini baru mencapai 67%. Sementara itu jika sumber penghasilan hanya dari hasil hutan, maka tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga baru mencapai 32% dan akan semakin kecil jika pengeluaran yang sifatnya insidental juga diperhitungkan. Selain itu karena sumber penghasilan dari luar kehutanan sifatnya fluktuatif, maka pada waktuwaktu tertentu (terutama musim kemarau), tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga dari penghasilan luar kehutanan relatif semakin kecil sehingga mereka mengambil hasil hutan. Namun demikian, jika penghasilan yang diperoleh hanya digunakan untuk memenuhi keperluan konsumsi (makan), maka penghasilan yang bersumber dari luar kehutanan telah mencapi 98% dari kebutuhan konsumsi. Dibandingkan dengan sumber lainnya, penghasilan dari hasil hutan relatif lebih pasti dan bisa diambil/diperoleh sepanjang tahun. Lebih lanjut, jika penghasilan dari hasil hutan sebesar Rp 164 860,- hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rutin (makan sehari-hari sebesar Rp 349 993,- per bulan), maka hampir separuh (47,10%) dari kebutuhan keluarga telah dapat dicukupi (Gambar 14). Berkenaan dengan penghasilan dari luar kehutanan, salah satu sumber penghasilan masyarakat di kawasan TNGR adalah dari hasil pertanian. Berdasarkan data dari BPS NTB (2006), rata-rata produktivitas padi ladang di kawasan TNGR sebesar 2,79 ton/ha dan padi sawah 5,04 ton/ha. Dengan tingkat produksi ini, rata-rata penghasilan bersih petani (harga gabah kering panen sebesar Rp 200 000,-/ku) adalah sebesar Rp 2 539 600,-/ha untuk padi ladang dan Rp 6 368 000,-/ha untuk padi sawah. Jika dikaitkan dengan besarnya pengeluaran rumahtangga setiap bulannya, maka penghasilan dari 1 ha padi ladang hanya akan dapat menutupi keperluan hidup keluarga selama ± 5 bulan dan hasil padi sawah ± 12,4 bulan. Dengan demikian, jika diasumsikan panen
118
padi ladang hanya 1 (satu) kali setahun dan sumber penghasilan keluarga hanya dari hasil ladang, maka untuk dapat menjamin keperluan hidup keluarga, minimal setiap keluarga memiliki/mengusahakan 2,43 ha ladang. Sedangkan untuk padi sawah (asumsi 1 kali panen), minimal setiap keluarga memiliki 0,97 ha sawah atau 0,48 ha sawah (asumsi 2 kali panen dalam setahun).
Keranjang Penghasilan (Income Basket)
99%
Keranjang Konsumsi (Consumption Basket)
HLH : Rp 308 099,H HKm : Rp 24 647,-
MP : Rp 349 993,67%
98%
BM : Rp 34 670,PK : Rp 21 109,-
L. CWK : Rp 10 233,-
47%
HH : Rp 164 860,-
32%
Ekuivalen Penghasilan Rp 342.979,-
PA : Rp 37 683,Lain : Rp 70 077,-
Konsumsi Rp 513.533,-
- Rp 170 554,-
Dikompensasi PPK : Rp 121 299,-
Pemberdayaan Masy Sekitar TNGR Masa y.a.d.
KPK : Rp 122 561,-
GK Pedes NTB 2007 : Rp 130 867
Masy Sekitar TNGR Saat ini
Gambar 14. Hubungan antara Keranjang Konsumsi dan Pendapatan Rumahtangga di Kawasan TNGR Keterangan : MP BM PK PA HLH HHKm HH LCWK
= Pengeluaran untuk makanan pokok (Beras dan lauk-pauk) = Pengeluaran untuk selain makanan pokok = Pengeluaran untuk perawatan kesehatan (sabun mandi, sabun cuci, dan sampo) = Pengeluaran untuk biaya pendidikan anak = Penghasilan dari luar hutan = Penghasilan dari hasil HKm = Penghasilan dari hasil hutan = Penghasilan dari luar curahan waktu kerja
119
7.4 Upaya Pelestarian Hutan
Berbagai pihak telah melakukan upaya untuk mengembalikan fungsi hutan dan ekosistemnya, baik oleh pemerintah, LSM, maupun oleh masyarakat yang mengatasnamakan dirinya pribadi maupun komunitas masyarakat adat. Upaya konkrit telah dilakukan melalui cara dan metode masing-masing, misalnya melalui
seminar
hasil
penelitian,
penyuluhan,
maupun
pendampingan
masyarakat.
7.4.1 Tata Nilai dan Kearifan Lokal dalam Pelestarian Hutan Masyarakat pinggiran hutan di beberapa tempat sekitar kawasan TNGR masih memiliki tradisi yang cukup kuat memegang nilai kearifan lokalnya dalam hal pelestarian alam. Keadaan ini tidak terlepas dari hubungan antara kearifan lokal tersebut dengan kegiatan ritual yang mereka lakukan. Sebagian masyarakat sampai saat ini masih taat dan patuh terhadap aturan adat yang ada dan selalu memperhatikan aspek lingkungan guna penataan alam dimana mereka tinggal. Secara turun-temurun masyarakat di kawasan hutan Rinjani (Khususnya di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur Bagian Utara) telah mempraktekkan sistem atau mekanisme kelola lingkungan dimana mereka mampu menjalin keselarasan hubungan dirinya dengan alam sekitar. Sebagai contoh, di kalangan masyarakat Senaru, dikenal istilah “Ntoq Lekoq Buaq”, yaitu sutu prosesi sebelum melakukan pendakian ke Gunung Rinjani. Dalam prosesi ini calon pendaki berjanji untuk tidak akan mengganggu alam sekitar (flora fauna) serta tidak akan mengeluarkan kata-kata dan berbuat tidak senonoh selama pendakian. Demikian juga dengan jabatan pemangku gumi, mangku alas, pekasih/inaq aik, yang dulu dipatuhi oleh masyarakatnya telah membuktikan bahwa masyarakat memandang peranan mereka sangatlah penting
dalam
mengelola sumberdaya alam. Sistem yang dikembangkan secara evolutif bahkan membedakan fungsifungsi
sumberdaya
yang
mengakomodasi
berbagai
kepentingan
seperti
kelestarian alam, ekonomi, budaya, sosial, dan politik. Dalam sistem kelola hutan, ada kategori pawang dan gawah, demikian halnya dalam kelola sumberdaya lahan, ada perbedaan antara paer, pecatu, dan tanak penguripan gubuk. Dalam upaya perlindungan serta pelestarian hutan, kawasan hutan adat (pawang) diatur dalam sebuah kesepakatan lokal yang disebut “awig-awig”. Pada
120
awalnya awig-awig ini tidak tertulis, akan tetapi kesepakatan tersebut memang sudah melekat dan menjadi satu bentuk keharusan bagi masyarakat adat untuk mengetahuinya. Salah satu contoh, di Hutan Adat (Pawang) Bangket Bayan yang terletak di Kabupaten Lombok Barat bagian Utara, terdapat awig-awig yang mengatur tentang hutan. Tujuan dari awig-awig ini antara lain bagaimana menjaga agar hutan tetap berkelanjutan (termasuk air). Untuk menjaga air agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat maka dibuat aturan (awig-awig) yang disebut “Ngelokoang” yang mengatur berbagai hal antara lain kewenangan lembaga adat, hal-hal yang boleh dan tidak boleh, serta sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal hubungannya dengan lingkungan, inti dari hukum adat ini adalah bagaimana upaya masyarakat agar keberadaan hutan tetap lestari. Biasanya di kawasan hutan adat ada situs-situs tertentu dan nilai-nilai magis yang disakralkan masyarakat secara turun temurun dan harus dilestarikan. Mereka memiliki keyakinan kalau hutan dirusak, maka makhluk halus yang tinggal di dalamnya akan murka sehingga akan mendatangkan bencana bagi masyarakat di sekitarnya. Keyakinan itu selalu dipegang teguh oleh masyarakat adat, hingga dalam perkembangannya keyakinan itu mulai terusik setelah ada intervensi masyarakat luar yang bertujuan untuk kepentingan ekonomi. Namun demikian eksistensi masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan adat mulai diangkat kembali dengan akan ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Nusa Tenggara Barat tentang “Pengukuhan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Hutan Adat di Lombok Barat” (saat penelitian dilakukan sedang dalam proses penyelesaian). Akan tetapi sayangnya nilai-nilai kearifan lingkungan ini sulit bahkan tidak mungkin bisa diterapkan di tempat lain. Alasan utamanya bahwa keyakinan dan nilai-nilai yang disakralkan berkenaan dengan hutan adat hanya berlaku di kawasan hutan tersebut dan merupakan kesepakatan yang berlaku secara turun temurun, sedangkan di tempat lainnya tidak berlaku karena tidak ada situs-situs bersejarah yang dianggap sakral dan dikeramatkan. Alasan lainnya adalah bahwa tata nilai tertentu akan bisa diterapkan pada masyarakat dengan latar belakang budaya dan kultur yang homogen; sementara saat ini hampir di semua tempat (termasuk di kawasan Hutan Rinjani), masyarakatnya relatif heterogen dengan latar belakang budaya
121
dan tradisi yang berbeda serta karakteristik dan kepentingan yang beragam sehingga sulit untuk menerapkan tata nilai tertentu dalam masyarakat. Macam
kearifan
lokal
lainnya
adalah
adanya
kawasan
yang
diperuntukkan sebagai daerah resapan air yang berguna untuk melindungi desa dari bahaya atau bencana alam. Kawasan bambu yang disebut dengan Tereng Kedencor yang terdapat di Desa Senaru merupakan daerah resapan air yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat kecuali dengan seizin dan sepengetahuan kepala desa. Masyarakat Desa Sembalun, Kabupaten Lombok Timur Bagian Utara juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupannya. Dalam menjalin dan menjaga kerukunan hidup bermasyarakat, dikenal istilah “Berjiwa Lomboq Buaq” (artinya : jujur, lurus, tulus, ikhlas, sabar, dan adil) dan “Berperilaku Saksak Sangkabira” (artinya : bersama, sama-rata untuk saling bantu, saling tolong (saling sangka) dan bergotong royong dalam semua aspek kehidupan. Berkenaan dengan pengembangan tanaman (hubungan dengan alam), masyarakat Sembalun juga telah memiliki kearifan lokal, yaitu adanya ketentuan/kesepakatan lokal bahwa pada setiap rumah wajib ada: (1) pohon jeruk, buahnya bisa dijual untuk memperoleh uang, (2) pohon kopi, buahnya digunakan untuk menghangatkan tubuh, dan (3) pohon pisang, batangnya digunakan untuk antisipasi kebakaran. Sayangnya nilai-nilai ini telah mengalami perubahan dan degradasi sejak beberapa dekade terakhir. Menyadari pentingnya nilai-nilai ini, terutama yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan, maka Kepala Desa Sembalun Lawang mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut, yaitu dengan dikeluarkannya PERDES Tahun 2008 yang isinya: setiap orang (penduduk Sembalun Lawang) diwajibkan menanam 10 batang pohon dimana saja di wilayah Sembalun (kebun, hutan, pekarangan, pinggir jalan, dan lokasi lainnya). Misalnya, suatu rumahtangga dengan 5 anggota keluarga diwajibkan menanam 50 pohon selama tahun 2008. Target penanaman untuk tahun 2008 adalah sebesar 100 000 pohon dimana bibit pohon diharapkan mencari sendiri. Istilah-istilah lokal lain berkenaan dengan hutan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap keutuhan dan kelestarian hutan. Dengan istilah-istilah lokal ini tercipta kesan (image) bahwa suatu kawasan tersebut sangat vital dan harus dilindungi. Misalnya istilah “Gawah Toaq” untuk hutan yang masih utuh dengan ekosistem yang masih asli dan “Gawah Tutupan” untuk hutan lindung.
122
Sebutan ini menimbulkan kesan dan kesamaan persepsi kepada masyarakat kommunal bahwa hutan tersebut menjadi sumber kehidupan masyarakat secara turun temurun dan tidak boleh diganggu. Pengakuan ini membuat masyarakat merasa berkepentingan untuk mengawasi hutan dari gangguan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan perkataan lain tidak ada masyarakat yang berani mengambil hasil hutan secara diam-diam karena tidak ada pengakuan (legalitas kommunal) dari masyarakat sekitarnya. Adanya istilah dan sebutan-sebutan baru seperti HKm sebenarnya secara tidak sadar telah menggeser nilai-nilai kearifan yang telah berkembang dalam masyarakat. Istilah-istilah baru lebih mengarah kepada pendekatan proyek dan seringkali ditumpangi berbagai kepentingan sehingga tidak jarang memicu terjadinya konflik horizontal. Memudarnya nilai-nilai budaya tradisional masyarakat juga terjadi di kawasan penyangga Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Jawa Timur. Selama ini nilai-nilai budaya lokal yang dipandang sangat efektif bagi pengendalian lingkungan, tampaknya berpengaruh terhadap persepsi masyarakat. Hampir seluruh desa di kawasan penyangga TNMB tidak memiliki lagi nilai-nilai “tabu” atau “pantangan” yang berkaitan dengan hutan Taman Nasional. Tersedianya teknologi modern dalam bentuk peralatan dan mesin-mesin pemotong kayu maupun gergaji, senapan berburu, alat komunikasi, serta sarana transportasi yang cepat dan lancar; telah membantu merubah pandangan masyarakat dari “tantangan alam” dan “tunduk kepada alam” begeser kepada nilai-nilai “menaklukkan alam” (Balai Taman Nasional Meru Betiri 2002). Menurut Abas (2005), kelemahan yang ditemukan berkenaan dengan keberlanjutan kearifan lokal adalah tidak ditemukannya aturan yang tercatat bagi pelaksanaan kearifan lokal tersebut. Kedepan hal ini dapat berdampak negatif terhadap regenerasi pengetahuan mengenai kearifan lokal pada generasi selanjutnya.
Terlebih
jika
melihat
orientasi
pengembangan
TNGR
yang
menempatkan pariwisata sebagai sektor unggulan dimana dalam pelaksanaannya masyarakat lokal akan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat luar dan arus teknologi modern serta industri yang lebih leluasa masuk. Hal ini rentan mengakibatkan degradasi pengetahuan generasi muda terhadap esensi dari kearifan
lokal
yang
dimilikinya
jika
tidak
dibuat
dalam
bentuk
tercatat
(terdokumentasi). Untuk mencegah terjadinya hal ini maka akan lebih baik jika
123
seluruh jenis kearifan lokal yang masih ada didokumentasikan sehingga dapat diturunkan pada generasi selanjutnya dengan lebih baik. Persepsi masyarakat lokal terhadap lingkungannya (ekosistem hutan) tidak bersifat sekuler, tetapi hutan dianggap bagian yang terintegrasi dari kehidupan mereka. Dengan persepsi tersebut, maka berbagai masyarakat lokal pada umumnya memiliki kearifan ekologis dalam mengelola lingkungan, seperti ekosistem hutan. Pengelolaan hutan oleh berbagai kelompok masyarakat lokal di Indonesia telah memberikan hasil cukup baik dan sejalan dengan konsep-konsep modern dari Barat (Iskandar 1998). Misalnya, pada masyarakat Baduy, di Desa Kanekes, Banten Selatan, mereka secara turun temurun telah mampu mengelola hutan di daerahnya secara mandiri. Pada umumnya, orang Baduy mengelola hutan dengan menggunakan konsep analogi dengan sistem zonasi, seperti konsep pengelolaan taman nasional atau cagar biosfer. 7.4.2 Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNGR Stuart (1993) mengatakan bahwa partisipasi adalah salah satu faktor sosial yang terbukti telah mensukseskan program-program pengembangan pedesaan. Di Kawasan Lingkar Rinjani pada umumnya masyarakat merasa bersalah melakukan penebangan kayu di hutan (termasuk TNGR), sebagaimana diakui oleh 112 orang (74,67%) dari 150 orang responden yang diwawancarai. Mereka menyadari kalau menebang pohon secara sembarang di hutan akan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem hutan serta akan berdampak cukup besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya. Selain kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, perasaan bersalah juga kepada generasi mendatang. Kesadaran ini merupakan modal sosial yang bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGR. Secara umum masyarakat memiliki persepsi yang positif terhadap TNGR, dibuktikan adanya keinginan bahwa TNGR seharusnya dijaga, dikelola dan dimanfaatkan. Hasil survey dan FGD menegaskan bahwa tidak ada masyarakat yang berpandangan dan berharap untuk memiliki hutan (TNGR). Namun demikian, ketika ada program yang melibatkan orang luar (seperti HKm), masyarakat setempat merasa keberatan dan menganggap dirinya lebih berhak; jika tidak terlibat mereka akan merusak kawasan hutan lainnya (pengalaman di Aik Berik dan Pesugulan). Berdasarkan fenomena ini maka terjadi “paradoks” dalam masyarakat kawasan TNGR, disatu sisi mereka tidak merasa memiliki
124
hutan tetapi di pihak lain seolah-olah mengklaim bahwa hutan miliknya sehingga merasa lebih berhak atas pengelolaannya dan sangat tidak setuju jika ada orang luar yang ikut mengelola dan memanfaatkan hutan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian hutan semakin meningkat terutama dengan adanya kejadian-kejadian bencana alam di berbagai daerah sebagai akibat kerusakan hutan (seperti banjir bandang dan longsor), baik yang disaksikan melalui media maupun yang terjadi langsung di Pulau Lombok. Jadi dengan globalisasi informasi, masyarakat menjadi lebih sadar akan pentingnya melestarikan hutan. Indikasi ini antara lain tercermin dari adanya inisiatif salah seorang tokoh masyarakat adat Sembalun Bumbung (H. PURNIPA) untuk mengajak warganya menanam pohon, mulai dari lingkungan tempat tinggal hingga ke wilayah lainnya. Meskipun kesadaran meningkat, namun secara umum partisipasi murni masyarakat untuk mengembangkan tanaman keras (kayu) pada lahan milik umum (mis TNGR) belum banyak dilakukan, kecuali pada lahan (kebun) milik pribadi dilakukan dengan penuh kesadaran. Sebagai contoh, pada waktu dilakukan penanaman pohon sepanjang jalur pendakian Sembalun (kerjasama RTMB dengan Balai TNGR) yang dilaksanakan pada hari Senin 25 Februari 2008, yaitu penanaman di kanan-kiri jalan sebanyak 2 jalur dengan jarak tanam 5 x 5 m; dilakukan dengan melibatkan masyarakat (terutama para porter yang beroperasi di jalur ini). Akan tetapi keterlibatan mereka bukan sukarela atas dasar kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan, melainkan harus dibayar, bahkan mereka minta bayaran sebesar penghasilan menjadi porter, yaitu Rp 60 000,- per hari. Lebih lanjut hasil analisis seperti yang disajikan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TNGR saat ini masih termasuk kategori “rendah”, dilihat dari pencapaian skor yang diperoleh. Dalam penilaian ini partisipasi dipilahkan menjadi 2 (dua), yaitu partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung. Partisipasi langsung meliputi 3 (tiga) komponen penilaian, yaitu partisipasi dalam perencanaan, pemeliharaan, dan pengawasan/pengamanan. Dari ketiga komponen penilaian ini, partisipasi masyarakat masih tergolong kategori “rendah”, ditunjukkan oleh modus skor yang terkonsentrasi pada kategori ini. Sementara itu untuk partisipasi tidak langsung, meliputi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan dan ketaatan terhadap awig-awig; termasuk dalam kategori “sedang”.
125
Tabel 24. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Partisipasinya dalam Pengelolaan TNGR No
Uraian
1.
Partisipasi Langsung
2.
Tingkat Partisipasi Rendah
Sedang
Tinggi
104
42
4
Partisipasi tidak Langsung
54
91
5
Agregat
91
56
3
Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGR ini seiring dengan hasil penelitian P3P Unram (2004) yang dilakukan di kawasan Hutan Rinjani. Ditemukan bahwa walaupun ada kesamaan persepsi tentang pentingnya “menjaga hutan”, namun ada distorsi antara persepsi/sikap dengan tindakan yang terlihat dari rendahnya kekompakan dan partisipasi masyarakat dalam menjaga atau memelihara hutan. Disamping itu tidak ditemukan adanya kegiatan bersama yang dilakukan masyarakat (seperti gotong royong) dalam ikut menjaga hutan. Bahkan sebaliknya sesuai dengan temuan di atas, sebagian masyarakat justru memanfaatkan hutan sebagai sumber kayu bahan bangunan dan adanya perilaku pencurian terhadap kayu hutan. Temuan lainnya adalah penebangan liar (illegal logging) merupakan kasus yang cukup kompleks dan rumit karena melibatkan tidak saja masyarakat di sekitar kawasan, tetapi juga para pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap hasil hutan. Karena itu diperlukan kesadaran dan partisipasi semua pihak untuk menjaga dan melestarikan hutan; tidak hanya masyarakat di kawasan hutan, melainkan juga aparat. Peraturan perundangan harus betul-betul ditegakkan; setiap pelanggaran harus ditindak tegas tanpa pilih kasih sehingga akan menimbulkan efek jera.
7.4.3 Hubungan Pendapatan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan TNGR Guna meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, maka pengelolaan TNGR harus dapat memberikan kontribusi ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan positif nyata antara pendapatan dengan partisipasi dalam pengelolaan. Bahkan terjadi hubungan positif nyata yang lebih kuat antara pendapatan dari hasil hutan dengan partisipasinya, ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebagaimana disajikan pada Tabel 25.
126
Tabel 25. Nilai Koefisien Korelasi Spearman antara Pendapatan dengan Partisipasi dalam Pengelolaan Hutan
No Korelasi 1. Pendapatan Rumahtangga dengan Partisipasi dalam pengelolaan hutan 2. Pendapatan Rumahtangga dari hasil hutan dengan Partisipasi dalam pengelolaan hutan
Koef. Korelasi Spearman (rs)
Nilai-P
Keterangan
0,426
0,000
Nyata pada α = 1%
0,499
0,000
Nyata pada α = 1%
Secara individual, sebagian dari masyarakat ada yang telah menyadari sepenuhnya dan memiliki kepedulian akan kelestarian TNGR, tercermin dari keinginannya untuk ikut mengawasi keamanan kawasan. Hanya saja mereka merasa tidak memiliki wewenang untuk menegur atau melarang para pencuri/perambah hutan. Sebagai contoh, ketika seseorang yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan melarang masyarakat lainnya untuk menebang kayu atau mencemari lingkungan, seringkali menimbulkan konflik, bahkan ditanya apa haknya untuk melarang orang lain. Dengan perlakuan semacam ini maka kreatifitas warga untuk ikut mengawasi menjadi tidak optimal. Kesadaran lingkungan ini merupakan modal sosial yang perlu diberdayakan untuk pelestarian TNGR di masa yang akan datang. 7.4.4 Partisipasi LSM dalam Pengelolaan TNGR Selain Balai TNGR sebagai penanggung jawab, partisipasi para pihak mulai dari pemerintah, swasta, LSM, perguruan tinggi, dan masyarakat pada semua lapisan sangat diperlukan dalam pengelolaan TNGR. Selama ini ada beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang secara riil telah berpartisipasi dalam pengelolaan TNGR yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan. LSM dimaksud antara lain: WWF Program Nusa Tenggara, New Zealand Asistance International Development (NZAID), Rinjani Trek Management Board (RTMB), dan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP). WWF Nusa Tenggara merupakan lembaga non profit internasional yang kegiatannya antara lain juga berada pada kawasan TNGR dan sekitarnya. Seperti pada cakupan kerja di wilayah lain di dunia, dalam pelaksanaan programnya WWF juga merupakan lembaga mandiri dengan donasi atau pendanaan yang berasal dari sumber sendiri. Konsentrasi program kerja WWF di wilayah TNGR adalah pengembangan kegiatan atau program konservasi taman nasional serta pemberdayaan masyarakat sekitar taman berkenaan dengan konservasi kawasan.
127
NZAID (sebelumnya adalah NZODA - New Zealand Official Development Assistance) merupakan lembaga non profit yang bekerja dan memiliki program membantu pengelolaan TNGR sejak tahun 1998 sampai dengan 2005. Selama masa kontrak tersebut NZAID merintis program pengelolaan TNGR melalui tiga pendekatan utama yaitu manajemen taman nasional, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan ekowisata. Dalam pelaksanaannya NZAID memberikan bantuan teknis dan pendanaan sehingga merupakan lembaga donor utama dalam pengelolaan TNGR. Bahkan dalam periode 1998-2005 tersebut NZAID merupakan penyumbang terbesar bagi pendanaan TNGR. Dalam perjalanannya pada kurun waktu lima tahun pengelolaan, nampaknya bantuan pendanaan oleh NZAID merupakan faktor penting dari kiprahnya pada TNGR. Harapan NZAID adalah pihak Balai TNGR dengan dibantu pihak lain dapat meneruskan program yang telah dirintis secara mandiri pasca periode proyek. RTMB merupakan institusi yang dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan kesepakatan dari beberapa pihak yaitu UPT TNGR, Bupati Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur, Dinas Pariwisata Lombok Barat dan Lombok Timur. Keberadaan RTMB dikuatkan secara hukum dengan SK Gubernur No 15/2003 tentang Pembentukan Badan Pembina Trekking Rinjani (RTMB). Tujuan pembentukannya adalah guna mengkoordinasikan pengelolaan program ekowisata di TNGR. Pembentukan RTMB sendiri juga merupakan implikasi dari antisipasi berakhirnya program NZAID pada pertengahan tahun 2005. Diharapkan setelah periode proyek NZAID berakhir, RTMB dapat meneruskan program kerja yang telah dirintis oleh NZAID secara mandiri khususnya berkenaan dengan program ekowisata. Pada konteks operasional, tugas pokok RTMB adalah mengkoordinir tour operator yang bekerja pada wilayah TNGR dan sekitarnya. Tujuannya untuk mengantisipasi terjadinya persaingan yang kurang sehat antar tour operator. Selain itu juga untuk mengorganisasikan tour operator dengan guide atau terutama porter sehingga penjadwalan porter dapat dialokasikan dengan adil. Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP) dirintis sejak tahun 1995 dengan program utama adalah penguatan hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Misinya: (1) pemberdayaan dan penguatan kelembagaan masyarakat melalui pemanfaatan dan pengelolaan potensi SDM dan SDA berbasis komunitas dengan prinsip berkelanjutan dan berkeadilan, dan (2) sebagai mediator, fasilitator, sekaligus melakukan advokasi dalam upaya memperjuangkan hak-hak
128
dan akses masyarakat dalam pengelolaan SDA. Guna mendukung misinya, YPMP melakukan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pengembangan koperasi, pemberdayaan kelompok tani dan nelayan, serta pemberdayaan dan penguatan kelembagaan (pranata lokal) dalam upaya pengelolaan kawasan hutan. 7.5 Intisari untuk Pemberdayaan Beberapa aspek penting yang dapat disimpulkan dari uraian dalam Bab VII ini yang dapat dijadilkan dasar pertimbangan merumuskan model dan strategi pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR, yaitu: 1) Tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat akan hasil hutan secara relatif masih cukup tinggi. Lebih dari 30% penghasilan keluarga bersumber dari hasil hutan. Pendapatan inilah yang harus dikompensasi dengan menciptakan alternatif kegiatan ekonomi produktif bagi masyarakat sekitar sehingga mereka tidak lagi melakukan pengambilan hasil hutan (terutama kayu). 2) Penghasilan masyarakat di kawasan penyangga TNGR relatif kecil sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Sementara itu lapangan kerja/usaha di luar kehutanan sangat terbatas sehingga mereka melakukan eksploitasi hasil hutan kayu. Karena itu perlu dilakukan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui penciptaan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang dapat mengkompensasi penghailannya yang bersumber dari hutan TNGR. 3) Terjadi “paradoks” dalam masyarakat sekitar kawasan TNGR, disatu sisi mereka tidak merasa memiliki hutan tetapi di pihak lain seolah-olah mengklaim bahwa hutan menjadi miliknya sehingga merasa lebih berhak atas pengelolaannya dan sangat tidak setuju jika ada orang luar yang ikut mengelola dan memanfaatkan hutan. 4) Guna meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, maka pengelolaan TNGR harus dapat memberikan kontribusi ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan tercermin dari adanya hubungan positif nyata antara pendapatan dengan partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian TNGR. 5) Secara
individual,
sebagian
masyarakat
ada
yang
telah
menyadari
sepenuhnya dan memiliki kepedulian akan kelestarian TNGR, tercermin dari keinginannya untuk ikut mengawasi keamanan kawasan. Hanya saja mereka merasa tidak berani untuk menegur atau melarang para pencuri/perambah hutan karena berpotensi menimbulkan konflik. Untuk itu perlu difasilitasi agar inisiatif dan kreatifitas warga untuk ikut mengawasi TNGR dapat dioptimalkan.
VIII. MODEL DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI 8.1 Kegiatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunng Rinjani Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekonomi di daerah pedesaan, aktivitas ekonomi masyarakat di sekitar TNGR terkonsentrasi pada sektor pertanian. Lebih dari 80% penduduk yang berdomisili di 37 desa sekitar TNGR memiliki sumber penghasilan utama dari sektor pertanian, yaitu sebagai petani pemilik, penggarap, buruh tani, dan peternak. Sementara sumber penghasilan yang berasal dari luar pertanian antara lain perdagangan, industri, dan buruh kasar (Gambar 15). Kecilnya proporsi penduduk yang sumber utama penghasilannya dari luar pertanian mencerminkan bahwa aktivitas ekonomi masyarakat kurang bervariasi (terkonsentrasi pada sektor pertanian) sehingga dapat dikatakan bahwa budaya masyarakat sekitar Hutan Rinjani adalah budaya pertanian.
Gambar 15. Aktivitas Ekonomi Masyarakat di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006). Dari struktur perekonomian masyarakat sekitar TNGR sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 15 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penduduk yang bekerja sebagai buruh tani masih cukup besar (24%). Karena berprofesi sebagai buruh tani, maka penghasilan ekonomi rumahtangga sangat tergantung pada ketersediaan aktivitas usahatani di kawasan sekitar TNGR. Kelompok inilah yang sangat rentan dan potensial terhadap kegiatan penebangan liar (illegal
130 logging), baik di kawasan TNGR maupun di kawasan hutan lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa aktivitas (interaksi) masyarakat
untuk
mengambil
(mengekstraksi)
hasil
hutan
kayu
(HHK)
mengalami peningkatan pada musim kemarau sebagai akibat tidak tersedianya lapangan kerja di bidang pertanian (aktivitas usahatani). Berdasarkan kenyataan ini maka untuk menjamin agar kelompok masyarakat ini tidak melakukan penebangan liar di wilayah TNGR dan/atau kawasan hutan lainnya, perlu diciptakan dan dikembangkan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang dapat mendatangkan penghasilan bagi masyarakat secara terus menerus sehingga dapat mengkompensasi penghasilan yang diperoleh dari hasil hutan kayu. Dengan perkataan lain, perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai buruh tani. Pemberdayaan ekonomi perlu juga dilakukan terhadap kelompok peternak, petani pemilik dan penggarap, maupun kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan karena rata-rata penghasilan yang diperoleh setiap bulannya secara umum belum dapat mencukupi semua keperluan anggota rumahtangga. Petani pemilik misalnya, dari 40 orang (26,67%) responden yang memiliki lahan sawah, rata-rata luas kepemilikannya 0,38 ha. Dengan luasan ini maka kebutuhan rumahtangga belum dapat dipenuhi (asumsi penghasilan rumahtagga hanya dari hasil sawah). Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan produktivitas padi pada lahan sawah di kawasan TNGR sebesar 5,04 ton/ha (2006), maka minimal setiap keluarga harus memiliki/mengusahakan 0,97 ha sawah (asumsi 1 kali panen) atau 0,48 ha (asumsi 2 kali panen dalam setahun). Sementara untuk padi ladang, minimal setiap keluarga memiliki/mengusahakan 2,43 ha ladang (asumsi 1 kali panen) dengan rata-rata produksi 2,79 ton/ha. Kegiatan lainnya yang banyak digeluti masyarakat di sekitar TNGR adalah pengembangan ternak terutama sapi. Berdasarkan data populasi ternak di kawasan TNGR (BPS NTB, 2006) nampak bahwa ternak yang banyak dikembangkan masyarakat adalah sapi (Gambar 16). Jenis ternak lainnya yang dikembangkan masyarakat sekitar TNGR terutama di Kecamatan Bayan dan Kayangan, Kabupaten Lombok Barat Bagian Utara adalah kambing/domba. Sementara ternak kerbau hampir tidak ada yang mengembangkan (keculi di Kecamatan Bayan). Begitu juga halnya dengan kuda, hanya beberapa orang saja yang memeliharanya, yaitu terbatas pada mereka yang memiliki usaha transportasi
berupa
gerobak/pedati;
bukan
untuk
pemeliharaan
komersial.
131 Kurangnya minat masyarakat mengembangkan kuda secara komersial karena permintaannya relatif kecil, bahkan permintaan konsumsi daging kuda (terutama permintaan lokal) hampir tidak ada. Gambar 16 memperlihatkan bahwa secara spacial dilihat dari jumlah populasinya, pemeliharaan ternak (khususnya sapi) banyak dikembangkan masyarakat di bagian utara TNGR, yaitu di Kecamatan Bayan dan Kayangan Kebupaten Lombok Barat serta Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur. Meskipun demikian, pengembangan ternak sapi menyebar di seluruh wilayah sekitar TNGR. Pemeliharaan ternak sapi oleh masyarakat sekitar TNGR tidak hanya bermotif ekonomi untuk memperoleh nilai tambah (kentungan ekonomi) jangka pendek, melainkan dimanfaatkan tenaganya sebagai pekerja untuk mengolah lahan pertanian, bahkan dijadikan tabungan (saving) yang sewaktuwaktu dapat digunakan untuk keperluan mendesak. Dominannya populasi sapi dibandingkan ternak lainnya di semua kawasan sekitar TNGR mengindikasikan bahwa masyarakat sekitar TNGR telah familier dengan usaha peternakan/pemeliharaan sapi, meskipun dilakukan secara tradisional dalam skala kecil. Kenyataan ini didukung oleh hasil survei yang menunjukkan bahwa dari 150 rumahtangga contoh, sebanyak 73 rumahtangga (48,67%) diantaranya memiliki/memelihara ternak sapi dengan jumlah kepemilikan bervariasi antara 1 – 4 ekor dimana jenis sapi yang dikembangkan adalah sapi bali untuk menghasilkan sapi bibit/bakalan. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan usahatani sehingga proses produksi untuk menghasilkan sapi bibit/bakalan dilakukan dengan cara “zero waste” dan “zero cost”. Artinya, limbah ternak berupa kotoran (feces) dan sisa pakan dijadikan pupuk kandang (kompos) untuk tanaman; sedangkan limbah pertanian berupa jerami dan/atau dedaunan digunakan sebagai pakan ternak (sapi). Sistem pemeliharaan sapi yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan TNGR adalah diikat dan dikandangkan (semi intensif). Kecuali itu, khusus di wilayah Kecamatan
Sembalun,
sebagian
besar
peternak
tidak
mengikat
dan
mengkandangkan ternaknya serta tidak memberi makan secara khusus; melainkan dilepas berkeliaran secara bebas mencari makan sendiri tanpa pengawasan (termasuk di kawasan TNGR). Umumnya masyarakat tidak mau mengkandangkan dan mencarikan makan ternaknya dengan alasan tidak mau dijajah ternak.
132
Gambar 16. Distribusi Populasi Ternak pada Setiap Desa di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006).
133 Tata nilai dan kebiasaan inilah yang perlu dirubah melalui berbagai bentuk penyadaran agar mereka mau mengandangkan ternaknya. Alasannya selain untuk pengamanan kawasan TNGR; dengan dikandangkan maka kotorannya dapat ditampung di satu tempat sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas dan dilanjutkan dengan pembuatan kompos untuk berbagai keperluan tanaman, terutama untuk pengembangan tanaman hias dan tanaman lainnya. Terlebih lagi daerah Sembalun merupakan kawasan pengembangan berbagai jenis sayuran dataran tinggi yang membutuhkan pupuk kandang dalam jumlah besar. Begitu pula dengan pengembangan rumput (pakan) ternak membutuhkan pupuk kandang sebesar 30 – 40 ton/ha. Di wilayah lainnya, meskipun pemeliharaan sapi dilakukan dengan sistem dikandangkan dan diberi makan, namun tidak ada peternak yang secara spesifik menanam rumput pakan karena pemeliharaan dilakukan dalam skala kecil dan tidak semata-mata berorientasi komersial. Selama ini pakan ternak (sapi) diambil dari wilayah sekitar (termasuk wilayah TNGR). Jenis pakan yang diberikan kepada ternaknya selain berupa rumput, dedaunan (termasuk daun kaliandra), juga diberikan limbah pertanian seperti jerami padi, jagung, kacang tanah, batang pisang, pelepah daun kelapa, dan berbagai limbah pertanian lainnya. Akhirnya dengan melihat potensi lahan (lahan kering) di kawasan TNGR dan daya dukung lainnya serta kebiasaan dan antusiasme masyarakat untuk mengembangkan ternak sapi, maka salah satu alternatif pemberdayaan ekonomi masyarakat di kawasan TNGR dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan sapi. Kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan masyarakat di kawasan penyangga TNGR adalah mencari lebah madu alam seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sajang dan Bilok Petung (Resort Sembalun). Pencarian madu alam biasanya dilakukan pada bulan September sampai dengan Nopember (waktu panen madu alam). Perolehan madu terbanyak biasanya dihasilkan bulan Oktober (bertepatan dengan masa berbunga berbagai jenis tanaman sebagai pakan lebah). Pencarian madu alam ini dilakukan secara berkelompok 2 – 4 orang dengan lokasi pencarian di kawasan hutan lindung dan TNGR. Selama musim panen biasanya setiap kelompok bisa melakukan pengambilan/panen rata-rata 4 – 5 kali dengan hasil rata-rata setiap kali pengambilan sebesar 12 liter.
134 Sementara itu warga Desa Perian (Dusun Srijata dan Dasan Paok) melakukan kegiatan mencari/memetik pakis (sayur) yang tumbuh alami di wilayah Zona Pemanfaatan Tradisional untuk dijual. Frekwensi pengambilan 3 – 4 kali dalam seminggu, dimana para pengambil pakis ini seluruhnya wanita yang berjumlah sekitar 150 orang. Selain sayur, potensi hasil hutan bukan kayu dari wilayah Srijata (zona pemanfaatan tradisional) yang selama ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah buah nangka. Pengambilan buah nangka biasanya dilakukan selama 2 bulan dalam setahun (Agustus-September). Hasil analisis Kurniawati (2006), menunjukkan rata-rata setiap orang dapat mengambil buah nagka sebanyak 30 butir per hari dengan jumlah orang yang mengambil sebanyak 200 orang. Jadi dapat diperkirakan jumlah buah nangka yang diambil masyarakat dari wilayah ini setiap tahunnya berjumlah ± 360 000 butir (jumlah yang cukup besar). Sayangnya buah nangka yang diambil ini adalah nangka muda (untuk sayur) sehingga nilai jualnya relatif rendah, yaitu sekitar Rp 700,per butir. Dengan melihat potensi produksi yang cukup besar ini maka sangat memungkinkan
untuk
meningkatkan
pendapatan
masyarakat
melalui
pengembangan agroindustri berbahan baku nangka seperti dodol nangka, keripik nangka, dan berbagai produk olahan lainnya. Pengembangan agroindusti ini selain dapat meningkatkan nilai tambah produk, juga akan dapat membuka peluang kerja dan peluang usaha baru bagi masyarakat sekitar. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) lainnya yang diambil masyarakat dari kawasan TNGR adalah rumput untuk dijadikan pakan ternak (sapi). Kegiatan ini terutama sekali dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili di wilayah bagian selatan dan berbatasan atau berdekatan dengan kawasan TNGR, meliputi Resort Stiling, Joben, Kembang Kuning, dan Aikmel. Rata-rata frekwensi pengambilan rumput dilakukan 1 – 2 kali per hari dengan volume penganbilan ± 40 kg untuk setiap kali pengambilan. Dilihat dari tujuan pengambilan, ada yang digunakan sendiri sebagai pakan ternak piaraannya dan ada juga yang bermotif ekonomi untuk dijual sebagai salah satu sumber penghasilan. Di sisi lain, sebagai dampak pengganda (multiplier effect) dari pengembangan ekowisata TNGR baik untuk pendakian maupun pengembangan obyek-obyek wisata lainnya seperti “Otak Kokok” (Resort Joben) dan “Air Terjun Jeruk Manis” (Resort Kembang Kuning), berbagai peluang usaha dapat dikembangkan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak masyarakat sekitar yang
135 melakukan usaha berkenaan dengan kegiatan ekowisata antara lain menjadi guide, porter, menjual makanan dan menyewakan tempat penginapan bagi wisatawan berupa bungalow dan lain sebagainya. Pekerjaan menjadi guide belum dominan dilakukan oleh masyarakat sekitar tetapi sangat penting untuk diupayakan bagi masyarakat setempat. Jumlah masyarakat yang menjadi guide hingga saat ini masih sangat terbatas, yaitu sekitar 10 orang dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp 75 000,- per hari.
Sedikitnya
masyarakat
yang
terlibat
dalam
kegiatan
ini
karena
membutuhkan keterampilan tertentu (terutama bahasa asing). Selama ini, guide yang digunakan sebagian besar berasal dari hotel atau biro perjalanan yang digunakan oleh wisatawan (terutama wisatawan mancanegara). Beberapa petugas taman nasional juga merangkap sebagai guide. Akan lebih baik lagi jika masyarakat setempat yang diberdayakan untuk menekuni pekerjaan ini. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mewujudkan hal tersebut, misalnya dengan mengefektifkan kegiatan kursus bahasa asing dan pelatihan interpreter bagi masyarakat setempat sehingga dimasa yang akan datang diharapkan masyarakat lokal akan menjadi pelaku utama pekerjaan ini. Jenis kegiatan dominan yang dilakukan masyarakat berkenaan dengan kegiatan pendakian (trekking) ke TNGR adalah menjadi porter. Jasa porter diperlukan untuk membawa dan mengangkut barang-barang atau perlengkapan wisatawan seperti makanan, peralatan pendakian, pakaian, alat memasak dan lain sebagainya. Selain mengangkut barang, jasa porter juga diperlukan untuk memasak dan menyiapkan makanan bagi wisatawan. Pengguna jasa porter memilih memanfaatkannya agar perjalanan wisatanya lebih santai dan tidak terbebani oleh barang bawaan. Jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini telah mencapai 312 orang dimana 180 orang diantaranya telah dilatih oleh Rinjani Trek Management Board (RTMB), yaitu lembaga yang membina treking Rinjani. Rata-rata penghasilan/bayaran yang didapatkan seorang porter atas jasa yang dilakukan adalah sebesar Rp 60 000,- per hari. Kegiatan porter di kedua pintu masuk pendakian (Senaru dan Sembalun) diatur dan dikoordinir oleh koperasi yang berada pada masing-masing pintu masuk pendakian. Di Jalur pendakian Sembalun diatur oleh Koperasi “Sinar Rinjani” sedangkan di jalur pendakian Senaru dikoordinir oleh Koperasi “Citra Wisata” Senaru.
136 Usaha lainnya yang juga dilakukan oleh masyarakat sekitar, bahkan sebagian diantaranya sebagai pekerjaan pokok adalah penginapan (homestay). Kondisi desa persinggahan yang alami menjadikan potensi usaha homestay baik untuk dilakukan. Tarif homestay di desa sekitar TNGR bervariasi antara Rp 60 000,- sampai Rp 150 000,- per malam tergantung pada kelas homestay. Kegiatan lain yang juga diusahakan adalah suvenir khas lokal atau khas Pulau Lombok. Jenis suvenir yang di jual bermacam-macam seperti anyaman, gantungan kunci, baju kaos dan ukiran kayu dengan motif lokal. Kegiatan ini terutama sekali banyak dilakukan di Desa Senaru (pintu masuk TNGR di Kabupaten Lombok Barat).
8.2 Potensi Biofisik Kawasan 8.2.1 Kawasan TNGR Pasal 17 ayat (1) dan (2) PP No 3 Tahun 2008 yang merupakan perubahan dari PP No 6 Tahun 2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfatan Hutan” menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan: (1) pemanfaatan kawasan; (2) pemanfaatan jasa lingkungan; (3) pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan (4) pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Selanjutnya Pasal 18 menegaskan bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan (hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi) kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional) Berdasarkan ketentuan ini maka pemanfaatan TNGR hanya dapat dilakukan pada zona pemanfaatan dan zona lainnya, sedangkan zona inti dan zona rimba yang merupakan luasan terbesar (92,41%) tidak boleh dimanfaatkan. Zona Pemanfaatan TNGR terdiri atas zona pemanfaatan intensif dan zona pemanfaatan khusus; sedangkan zona lainnya terdiri atas zona pemanfaatan tradisional dan zona rehabilitasi. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (3) sampai (6) Peraturan Menteri Kehutanan RI No P.56/Menhut-II/2006 tentang “Pedoman Zonasi Taman Nasional” ditegaskan bahwa kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan pada masing-masing zona ini sebagai berikut: (1) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan meliputi:
137 a. Perlindungan dan pengamanan; b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya; c. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya; d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam; e. Pembinaan habitat dan populasi; f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan; g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa Iingkungan. (2) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat; c. Pembinaan habitat dan populasi; d. Penelitian dan pengembangan; e. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. (3) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona religi, budaya dan sejarah meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi; c. Penyelenggaraan upacara adat; d. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacaraupacara ritual keagamaan/adat yang ada. (4) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat; c. Rehabilitasi; d. Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah.
Berdasarkan ketentuan maka kawasan TNGR yang potensial dapat dimanfaatkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat hanya dapat dilakukan di beberapa lokasi saja. Pada Tabel 26 disajikan hasil analisis potensi dan peluang kawasan TNGR sebagai media untuk pemberdayaan masyarakat. Kajian ini didasarkan pada jenis kegiatan yang boleh dilakukan pada masing-
138 masing (seperti yang dijelaskan di atas) dikaitkan dengan potensi dan peluang pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat. Tabel 26. Potensi Zona Taman Nasional Gunung Rinjani untuk Pemberdayaan Masyarakat No Zona Pengelolaan 1
Zona Pemanfaatan a. Zona Pemanfaatan Intensif
b. Zona Pemanfaatan Khusus - ZPK Kultural/ budaya
- ZPK Wisata terbatas
2
Zona Lainnya a. Zona Pemanfaatan Trad. b. Zona Rehabilitasi
Luas (ha)
Lokasi
799,00 398,00 (1) Otak Kokok (171 ha) (2) Sebau (20 ha ) (3) Kembang Kuning (150 ha) (4) Senaru (57 ha) 401,00 75,00 (1) Sekitar Goa Susu, Goa Payung & Goa Manik (25 ha) (2) Sekitar Danau Segara Anak (50 ha)
Keterangan Potensial Tidak
Tidak
326,00 (1) Jalan trail wisata: Sembalun, Kembang Kuning, Senaru, Torean dan Santong (2) Shelter jalur Senaru, Sembalun dan Kembang Kuning 2.338,00 583,00 (1) Srijata (418 ha) (2) Timbanuh (175 ha)
Potensial Tidak
1.755,00 (1) Gawah Akar (350 ha) (2) Memerong (75 ha) (3) Lelongken (300 ha) (4) Lingkung-Kembang Sri (350 ha) & (5) Stiling-Lantan (300 ha) (6) Kekuang (380 ha)
Tidak
Tidak Potensial Potensial
Berdasarkan ketentuan dan peraturan zona taman nasional dikaitkan dengan ketersediaan potensi dan perkembangan yang terjadi maka dari sejumlah lokasi (Tabel 26) dapat diidentifikasi beberapa lokasi TNGR yang potensial untuk dikembangkan sebagai media pemberdayaan masyarakat. Dari hasil kajian dan analisis diperoleh ada 3 (tiga) lokasi TNGR yang potensial untuk dioptimalkan pemanfaatannya dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yaitu (1) Zona Pemanfaatan Intensif: Otak Kokok (171 ha), (2) ZPK Wisata Terbatas: Jalan Trail Pendakian Sembalun, dan (3) Zona Pemanfaatan Tradisional: Srijata (418 ha) dan Timbanuh (175 ha). Permandian Otak Kokok Gading merupakan objek wisata berupa air terjun yang diyakini masyarakat sekitar bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Di sekitar air terjun juga dibangun kolam renang dan gazebo/tempattempat peristirahatan. Tempat ini sudah cukup berkembang dan banyak dikunjungi wisatawan lokal terutama pada hari-hari libur sehingga sangat potensial untuk dijadikan media pembelajaran dan penyadaran lingkungan, sekaligus menjadi media pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.
139 Jalur pendakian Sembalun merupakan jalur resmi yang ramai dilalui oleh penggemar wisata pendakian. Rute yang dilalui adalah Gerbang Sembalun Lawang-Pelawangan Sembalun - Puncak Rinjani membutuhkan waktu 11 - 14 jam. Jalur ini merupakan padang savana dan punggung gunung yang berliku-liku dengan jurang di sebelah kiri dan kanan jalur. Dibanding jalur Senaru, jalur pendakian ini tidak terlalu terjal, akan tetapi melintasi padang savana sehingga menjadikan perjalanan di jalur ini kurang nyaman akibat teriknya sinar matahari. Karena sepanjang jalur ini masih merupakan padang savana, maka sangat berpeluang untuk ditanami berbagai jenis pohon kayu (endemik lokasi). Di wilayah Zona Pemanfaatan Tradisional (Srijata dan Timbanuh), masyarakat selama ini hanya memungut/mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari wilayah ini, yaitu berupa nangka (Arthocarpus heterophyllus), pakis sayur (Displazium esculentum), dan rumput pakan atau alang-alang (Imperata cylindrica). Di masa yang akan datang kawasan ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai jenis pohon kayu endemik lokasi sehingga dapat dijadikan
wadah
untuk
pembedayaan
ekonomi
masyarakat
sekitar.
Pengembangan wilayah ini selain dapat meningkatkan/memperbaiki kondisi biofisik TNGR (peningkatan vegetasi dan tutupan lahan), juga akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar melalui partisipasinya dalam pengembangan bibit, penanaman dan pemeliharaan. Lokasi-lokasi
lainnya
untuk
saat
ini
kurang
potensial
untuk
pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagai akibat dari berbagai kendala. Sebau misalnya, lokasi ini merupakan tempat permandian air panas yang dipercaya oleh masyarakat sekitar dapat mengobati berbagai penyakit kulit (seperti panu, kadas, dan kurap). Namun demikian tempat ini hanya dikunjungi orang-orang tertentu saja sehingga kurang potensial untuk dikembangkan. Disamping itu, lokasinya berbatasan dengan hutan lindung sehingga jika lokasi ini dikembangkan maka dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan dan kerawanan terhadap kawasan hutan lindung di sekitarnya. Begitu pula halnya dengan tempat permandian air panas lainnya, yaitu Aik Kalaq di hulu Kali Putih (± 100 m dari Segara Anak), Goa Susu, Goa Taman, dan Goa Payung. Objek wisata lainnya adalah Air terjun Jeruk Manis yang mempunyai ketinggian ± 30 m terletak di Desa Kembang Kuning di bagian Selatan kawasan Taman Nasional belum banyak berkembang sehingga pengunjungnya masih
140 relatif terbatas dibandingkan Otak Kokok Gading, Joben. Daerah sekitar air terjun selain mempunyai panorama alam yang indah juga dapat melihat atraksi alam berupa tingkah laku lutung (Tracyphitecus auratus cristatus) dan burung elang. Daerah ini diperkirakan merupakan habitat kedua satwa tersebut yang memiliki populasi terbesar di kawasan TNGR. Di
lokasi
pintu
masuk
pendakian
Senaru,
berpeluang
untuk
pengembangan usaha kerajinan (souvenir), akan tetapi karena kegiatan pendakian hanya dilakukan pada musim kemarau, maka keberlanjutan dan kesimabungan usaha sulit dipertahankan. Begitu pula dengan jalur pendakian Senaru, zona pemanfaatan di sepanjang jalur pendakian ini berupa kawasan hutan dengan vegetasi tumbuhan yang cukup rapat (bukan savana seperti jalur pendakian Sembalun). Sementara itu untuk zona rehabilitasi, pada saat penelitian ini dilakukan telah dilakukan kegiatan reboisasi dan bahkan kawasan tersebut telah menjadi hutan kembali dengan berbagai jenis pohon. 8.2.2 Kawasan Penyangga (Sekitar) TNGR Selain potensi biofisik TNGR, lahan pertanian/kebun milik masyarakat yang berada di sekitar TNGR merupakan potensi yang berpeluang untuk dioptimalkan pemanfaatnnya berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat. Begitu pula halnya dengan berbagai potensi obyek wisata alam yang berada di kawasan TNGR merupakan peluang yang sangat potensial untuk diberdayakan secara optimal Dari segi tataguna lahan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 17, nampaknya yang berpeluang untuk pengembangan ekonomi masyarakat adalah lahan kering karena ketersediaannya relatif luas dibandingkan lahan sawah. Lahan-lahan milik masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGR atau yang berada di sekitarnya umumnya berupa lahan kering/tegal. Selama ini berbagai kegiatan dilakukan masyarakat di lahan tegal/kebun, mulai dari usahatani padi ladang hingga pengembangan berbagai komoditi perkebunan seperti kopi dan kakao serta buah-buahan seperti mangga, pisang, dan alpokat.
141
Gambar 17. Tataguna Lahan di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006). Dari
Gambar 17 di atas dapat diketahui bahwa potensi/ketersediaan
lahan kering di sekitar TNGR cukup luas. Lahan kering ini umumnya berupa tegal/kebun yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu selain digunakan untuk berbagai kegiatan usahatani dan perkebunan, lahan ini sangat potensial untuk pengembangan rumput pakan ternak. Sementara jenis penggunaan lainnya berupa ladang/huma, hutan, dan kolam/lebak/empang. 8.3 Evaluasi Keberhasilan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Kawasan Hutan Rinjani Implementasi PHBM di Lingkar Rinjani dilaksanakan dalam berbagai bentuk, namun tetap dengan pola dan tujuan yang sama. Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) diaplikasikan pada beberapa lokasi dengan melibatkan masyarakat sekitar dan di dalam hutan secara langsung. Disamping itu, terdapat pengelolaan hutan dengan model lain seperti Hutan Cadangan Pangan (HCP), Pengembangan Jalur Hijau, Penanaman Bawah Tegakan, dan lain-lain. Akses pemanfaatan hutan yang dibuka luas ternyata belum sejalan dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan sehingga masih diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan. Pengembangan PHBM yang telah diimplementasi sudah menunjukkan tingkat keberhasilan secara ekonomi dan sosial tetapi secara fisik masih belum menunjukkan hasil yang nyata karena pada umumnya pengelola hutan masih
142 mengutamakan tanaman pangan. Berbeda dengan usaha yang dilakukan dengan komoditas tanaman perkebunan yang memerlukan naungan maka pengelola akan berusaha mempertahankan keberadaan, kondisi, dan potensi hutan. Jenis tanaman jangka panjang masih dipandang kurang menarik karena tidak disertai dengan property right yang akan memberi jaminan bagi penguasaan hasil nantinya. Pengalaman di wilayah Pesugulan Lombok Timur, (tahun 1980-an); ada kontrak pengelolaan hutan oleh masyarakat. Di lokasi kontrak masyarakat diwajibkan menanam kayu manis dan setelah masa kontrak berakhir masyarakat dikeluarkan dari hutan. Bersamaan dengan itu, karena merasa tidak memiliki hak atas kayu manis yang telah ditanam dan dipelihara bertahun-tahun, masyarakat kecewa dan membabat semua kayu manis yang ada di areal tersebut. Rancang bangun (enginering) PHBM masih perlu diperbaiki dengan menetapkan kawasan-kawasan hutan yang dapat dikembangkan menjadi lokasi PHBM, menyusun komposisi jenis-jenis yang tepat untuk memberi ekspektasi ekonomi yang tinggi, menyusun mekanisme perizinan, perjanjian pengelolaan PHBM serta mengembangkan hubungan antara pemerintah dan masyarakat, dan masyarakat dengan sumberdaya hutan. Hubungan yang kuat antara masyarakat dengan sumberdaya hutan serta kemitraan masyarakat dengan pemerintah akan mendorong terjaganya hutan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih permanen, berkelanjutan serta mampu meningkatkan ekspektasi ekonomi masyarakat. Menurut laporan hasil Studi Lapang Praktik-Praktik Sosial Forestry di Pulau Lombok ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1. Kondisi vegetasi hutan di areal HKm Desa Santong dan Desa Sesaot berupa campuran tanaman pohon-pohonan jenis MPTS dan kayu-kayuan dengan kerapatan cukup tinggi dan cukup beragam walaupun jenis kayu-kayuan relatif sedikit dibandingkan dengan MPTS. Kondisi tersebut menimbulkan kesan vegetasi di areal HKm tersebut bukan merupakan struktur hutan sebagaimana yang dibayangkan dimana jenis kayu-kayuan masih dipandang sebagai komoditi utama, walaupun dari kerapatan dan stratifikasinya sudah dapat dikatakan sebagai hutan. Dalam proses pembelajaran di lapangan terjadi perdebatan tentang komposisi jenis dan tingkat kerapatan bagaimana
143 yang dapat mengakomodir kepentingan kehutanan sekaligus kepentingan kebutuhan masyarakat. 2. Di lokasi HKm ada keengganan masyarakat menanam kayu, baik di Desa Sesaot, Desa Santong maupun Desa Sambelia, disebabkan antara lain oleh: (a) Sempitnya lahan garapan (kurang dari 0,25 ha/KK). (b) Sampai saat ini belum ada kepastian hak masyarakat terhadap tanaman kayu-kayuan di hutan. Hal ini menyebabkan kontraproduktif terhadap kegiatan-kegiatan
positif
yang
sudah
dilakukan.
Misalnya
upaya
rehabilitasi di Sambelia dan reboisasi di Santong sudah menunjukkan harapan keberhasilan dimana tanaman sengon sudah berdiameter di atas 20 cm dan tinggi di atas 15 meter. Namun dengan tidak adanya kepastian hak,
masyarakat
cenderung
secara
diam-diam
menebang
untuk
mendapatkan lahan garapannya kembali. (c) Kebijakan yang tidak mendorong bahkan menghambat masyarakat untuk mau menanam jenis kayu, antara lain pengaturan sharing benefit yang tercantum dalam Perda Kabupaten Lombok Barat No. 10 Tahun 2003, yaitu untuk jenis kayu-kayuan dengan komposisi 80% bagian pemerintah dan 20% untuk masyarakat; sedangkan untuk jenis non kayu sebaliknya.
8.4 Peraturan Perundangan tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Dari hasil identifikasi dan kajian terhadap peraturan perundangan, ditemukan sejumlah peraturan (regulasi) yang berkenaan dengan pengelolaan hutan (termasuk TNGR) yang mengedepankan partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Regulasi tersebut berupa Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Surat Keputusan (SK) Gubernur dan Perda Kabupaten. Adapun untuk regulasi non formal yang diidentifikasi adalah berupa kearifan lokal masyarakat (pengetahuan lisan) yang diturunkan antar generasi berupa kesepakatan dan ketentuan lokal (awig-awig) yang harus dipatuhi semua warga (saat ini sedang dirancang Perda Pengukuhan Keberadaan Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan Adat). Hasil
identifikasi
regulasi
tertulis
berkenaan
dengan
masyarakat dalam pengelolaan hutanan adalah sebagai berikut:
partisipasi
144 (1) UU No 5/1990 tentang “Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya” Dalam Bab IX tentang peranserta masyarakat; pada pasal 37 dinyatakan bahwa
masyarakat
harus
berperanserta
dalam
kegiatan
konservasi
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. (2) UU No 23/1997 tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup” Bab III tentang hak, kewajiban dan peranserta masyarakat; pasal 5 dan pasal 6 mengatur tentang aspek partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. (3) UU No 9/1990 tentang “Kepariwisataan” Bab IV tentang peranserta masyarakat; pada pasal 30 dinyatakan bahwa masyarakat memiliki kesempatan berperanserta dalam penyelenggaraan kepariwisataan (4) UU No 41/1999 tentang “Kehutanan” Bab IX tentang peranserta masyarakat; pada pasal 70 dinyatakan bahwa masyarakat harus turut berperanserta dalam pembangunan kehutanan. (5) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan” Bagian IX Pasal 51 mengatur tentang pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan (6) PP No 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat, dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab masyarakat hukum adat. Pasl 19 ayat (2): perlindungan hutan yang diserahkan kepada hukum adat dilaksanakan berdasarkan kearifan tradisional yang berlaku dalam penda propinsi dan/atau pemda kabupaten/kota (7) PP No 6 Tahun 2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan”; (Diganti dengan PP No 3 Tahun 2008) Bagian kesebelas: Pemberdayaan Masyarakat Setempat; pasal 83, 84, dan 87 mengatur tentang Pemberdayaan Masyarakat (8) Peraturan
Menteri
Kehutanan
No
P.01/Menhut-II/2004
tentang
“Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry”
145 Pasal 2 sampai dengan pasal 11 menjelaskan secara terperinci tentang pemberdayaan masyarakat berkenaan dengan soscial forestry. (9) Peraturan Menteri Kehutanan No P.19/Menhut-II/2004 tentang ”Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam” Bab III tentang pelaksanaan kolaborasi pengelolaan telah mengatur secara detail dan terperinci mengenai mekanisme kolaborasi pengelolaan kawasan hutan. Pada Bab IV juga membahas tentang mekanisme pembinaan dan pengendalian kolaborasi pengelolaan yang dilakukan tersebut. (10) Peraturan Menteri Kehutanan No P.56/Menhut-II/2006 tentang ”Pedoman Zonasi Taman Nasional” Bab IV Pasal 19 mengatur tentang peranserta masyarakat dalam zonasi taman nasional (11) SK Gubernur NTB No. 15/2003 tentang ”Pembentukan Badan Pembina Trekking Rinjani (RTMB)” Bab VIII tentang tatacara pengambilan keputusan; pada pasal 14 dinyatakan bahwa keputusan yang menyangkut kebijakan Rinjani Trek Management Board (RTMB) dilakukan melalui rapat yang berdasarkan musyawarah dan mufakat. (12) SK Gubernur NTB No. 339/2001 tentang ”Pembentukan Tim Kaji Tindak Partisipatif dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Kawasan Rinjani”. Dalam Surat Keputusan ini dijelaskan bahwa pengelolaan wilayah TNGR dan
sumberdaya
alamnya
dilakukan
secara
partisipatif
dengan
mengedepankan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat. (13) Perda Lombok Barat No 4 Tahun 2007 tentang ”Pengelolaan Jasa Lingkungan” Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk membantu institusi multi pihak dalam pengelolaan jasa lingkungan harus ada wakil dari masyarakat setempat.
146 8.5 Model Pemberdayaan 8.5.1 Alternatif Model Pemberdayaan Masyarakat Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan”
mengamanatkan bahwa pemanfaatan hutan
bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Adapun kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Sejalan
dengan
adanya
paradigma
baru
secara
global
bahwa
pengelolaan hutan harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Hal ini tercermin dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan tema “Forest for People”. Dengan adanya konsep tersebut, maka sejak tahun 1984/1985 di Indonesia dikembangkan program ‘perhutanan sosial’ (Social Forestry). Tujuannya antara lain untuk menjalin hubungan yang lebih serasi dan seimbang antara petugas kehutan dan masyarakat
sekitar
hutan
serta
dikembangkan
pula
berbagai
program
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang bersifat aspiratif, partisipatif, kolaboratif, dengan melibatkan para pihak (multistakeholders), seperti pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, pakar dan LSM. Berkenaan dengan pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) berkelanjutan, perlu diciptakan keharmonisan masyarakat dengan biofisik TNGR. Dalam hal ini pemanfaatan TNGR harus dilakukan secara lestari dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Oleh karena itu harus dibangun model pemberdayaan masyarakat yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan Hutan Rinjani (TNGR) atau disingkat “MAHARRINJANI” (Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani). Penyusunan model ini dilatarbelakangi adanya disharmonisasi antara masyarakat dengan TNGR, yaitu eksploitasi hasil hutan kayu (HHK) oleh masyarakat di kawasan TNGR. Gambar 18 mengilustrasikan rumusan model pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya, dan kelembagaan secara komprehensif. Aspek ekonomi dan ekologi serta peraturan-perundangan lebih ditekankan sebagai dasar penyusunan bentuk kegiatan pemberdayaan, sedangkan aspek sosial budaya dan kelembagaan dijadikan dasar penyusunan strategi pemberdayaan.
147 Masy. Sekitar TNGR Aspek Kelembagaan
Aspek Sosbud
Aspek Ekonomi Peghasilan RT kecil
Kebt. RT tdk tercukupi
Lap Kerja Luar Hutan terbatas
Ketergantungan thd Hutan tinggi
- Klp Masy Adat - Awig-awig - Tata Nialai Masy
Persepsi sedang Penilaian Ek. tinggi Partisipasi rendah
Ekstraksi HHK
STRATEGI PEMBERDAYAAN
Kesadaran LH tinggi Kepedulian LH rendah
Sosbud - Kebiasaan Lokal
Ekonomi - Pengelr makan - Pendap L. Htn - Terlibat HKm - Pelihara Sapi
Biofisik - Lokasi - WTP
Alternatif Kegt Ek. Produktif
Ancaman Kerusakan TNGR Tinggi
Permenhut: P.56/2006 PP 6/2007; PP 3/2008
Potensi Biofisik
TNGR - Jalur Pendakian Sembalun - Obyek Wisata “Otak Kokok” Joben - Zona Pemanfaatan TNGR
Kws Penyangga TNGR - Lahan milik (sawah, kebun) - Pekarangan
Benturan Nilai Kearifan lokal dg kebt ekonomi
Pelaksanaan: 3 tahap 1. Penyadaran 2. Pengkapasitasan
Akt. Ek. Masy. - Petani = 51% - Buruhtani = 24% - Peternak = 12% - Lainnya = 13%
3. Pendayaan
Ekonomi
Sosbud
“MAHAR-RINJANI”
Kesra (+) & Kelest TNGR (0)
Prtisipatif Kolaboratif
Masy Harmonis dengan Hutan
Komprehensif
Berkerlanjutan
Pendakian Bewawasan Lingk
Kelembagaan Masy
Arboretum Terpadu TNGR Prioritas
Hutan Keluarga Peternakan Sapi Posko Pengaduan TNGR
Kriteria: PP 34/2002; Psl 15 (3) - Ekonomi - Ekologi - Sosbud
Gambar 18. Kerangka Penyusunan Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGR
TNGR
Peternakan Sapi
Hutan Kompensasi Pengembangan HHBK
Kesra (0) & Kelest TNGR (0)
Orientasi:
Aspek Pemberdayaan
MODEL PEMBERDAYAAN MASY:
Kesra (+) & Kelest TNGR (+)
Pendekatan:
Seksi Pemberdayaan Kws Penyangga (SPKP) Daya Dukung Sumberdaya
SISTEM PENGKADASAN SAPI RINJANI
148 Model
dan
strategi
serta
bentuk
kegiatan
pemberdayaan
yang
dirumuskan merupakan hasil sintesis dari kajian dan analisis terhadap berbagai fakta dan fenomena berkenaan dengan keberadaan dan interaksi masyarakat dengan TNGR. Telaahan dan analisis tidak hanya dilakukan pada data dan informasi faktual saat ini (data primer), melainkan juga dilakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan, serta laporan dan hasil-hasil kajian sebelumnya termasuk program dan kegiatan pemberdayaan yang telah dilakukan oleh Balai TNGR dan/atau lembaga lainnya. Pada Gambar 18 di atas dapat dilihat bahwa setiap aspek pemberdayaan memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi dengan aspek lainnya. Gangguan terhadap salah satu aspek akan dapat mempengaruhi aspek lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan belum diwujudkan dalam bentuk tindakan riil sebagai akibat adanya tuntutan kebutuhan ekonomi rumahtangga. Dalam hal ini tata nilai dan kearifan lokal mengalami benturan dan cenderung semakin longgar karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Lebih lanjut hasil analisis juga menunjukkan bahwa aspek ekologi/biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya secara bersama-sama mempengaruhi interaksi HHK sehingga dalam pengelolaan TNGR berkelanjutan, ketiga aspek ini harus dibenahi secara komprehensif. Meski demikian, kunci utama pemberdayaan adalah aspek ekonomi karena aspek ini memiliki hubungan (korelasi) positif yang nyata (significant) dengan partisipasi dalam pengelolaan TNGR. Tanpa ada upaya peningkatan pendapatan, maka interaksi HHK seperti yang terjadi saat ini akan terus berlangsung, bahkan akan semakin berkembang. Selanjutnya untuk menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan eksistensi TNGR, maka ditetapkan 2 (dua) sasaran utama yang menjadi dasar pertimbangan dalam merumuskan model pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR, yaitu kelestarian TNGR dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini parameter yang dijadikan penentu kesejahteraan adalah pendapatan/ penghasilan rumahtangga serta ukuran kelestarian adalah kondisi biofisik TNGR. Berkenaan dengan kedua kriteria di atas, maka berdasarkan hasil kajian dan analisis dapat dirumuskan model-model pemberdayaan masyarakat di Kawasan TNGR sebagaimana disajikan pada Tabel 27. Adapun alternatif kegiatan yang diajukan pada masing-masing model pemberdayaan didasarkan pada pertimbangan potensi (baik potensi TNGR maupun potensi kawasan penyangga TNGR) peluang pengembangan yang tersedia.
dan
149 Tabel 27 Model-Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR No
Sasaran Pemberdayaan
Model Bentuk Kegiatan Pemberdayaan Pemberdayaan
Kesmas
Kelestarian
1
Meningkat
Meningkat
Model I
1. ArboretumTerpadu TNGR 2. Pendakian Berwawasan L 3. Hutan Kompensasi
2
Menigkat
Tetap
Model II
1. Hutan Keluarga 2. Peternakan Sapi 3. Usaha Kecil HHBK
3
Tetap
Tetap
Model III
Posko Pengaduan TNGR
Dari tiga model pemberdayaan yang disajikan pada Tabel 27 di atas, Model I (pertama) merupakan model yang paling ideal untuk dikembangkan di Kawasan TNGR. Selain meningkatkan daya dukung TNGR, model ini juga sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dengan perkataan lain, model I (pertama) merupakan model yang berorientasi ekologi dan sekaligus ekonomi masyarakat. Model II (kedua) lebih mengutamakan kesejahteraan ekonomi (peningkatan pendapatan) dibandingkan ekologi atau model yang berorientasi ekonomi. Model ini memungkinkan untuk mempertahankan kelestarian TNGR karena terjadi peningkatan pendapatan masyarakat sehingga partisipasi dalam pelestarian TNGR juga meningkat. Dalam hal ini diasumsikan masyarakat akan ikut menjaga kelestarian sumberdaya hutan atau minimal tidak melakukan penebangan liar manakala memiliki mata pencaharian tetap yang dapat menopang kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sebelumnya bahwa peningkatan pendapatan dari luar kehutanan akan dapat meredam atau menurukan interaksi HHK masyarakat. Model III (ketiga) diperuntukkan khusus bagi masyarakat yang memiliki rasa kepedulian terhadap kelestarian TNGR tanpa mengharapkan imbalan atau isentif ekonomi. Model lainnya yang lebih menekankan pada aspek ekologi (Pendapatan masyarakat tetap sedangkan kelestarian TNGR meningkat), nampaknya sulit untuk dilaksanakan. Meningkatkan kondisi biofisik TNGR tanpa dibarengi dengan peningkatan penghasilan masyarakat sekitar sulit untuk dilaksanakan. Kenyataan ini didasarkan pada hasil kajian dan analisis sebelumnya bahwa masyarakat di sekitar kawasan TNGR akan berpartisipasi dalam pemeliharaan TNGR atau sumberdaya hutan lainnya manakala ada insentif atau manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari kegiatan yang dilakukan. Disamping itu tata nilai dan kearifan
150 lingkungan mengalami benturan dengan kebutuhan ekonomi keluarga; dan biasanya pemenuhan kebutuhan ini menjadi prioritas yang lebih diutamakan. Bentuk kegiatan pada setiap model pemberdayaan sebagaimana disajikan pada Tabel 27 di atas memiliki spesifikasi tersendiri serta memilki kelebihan dan kekurangan/kelemahan masing-masing. Deskripsi dari setiap bentuk kegiatan yang diajukan dijabarkan sebagai berikut: 1) Arboretum Terpadu TNGR Di wilayah Resort Joben (wilayah TNGR Bagian Selatan), terdapat zona pemanfaatan intensif seluas 171 ha. Di lokasi ini terdapat objek wisata berupa air terjun dan kolam permandian yang setiap saat banyak dikunjungi masyarakat lokal dan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Selain sebagai lokasi wisata, masih tersedia areal yang cukup luas berupa padang savana. Di areal ini sejak tahun 2004 telah mulai dilakukan penanaman pohonpohon endemik lokasi hingga saat penelitian ini dilakukan (Februari 2008) telah mencapai 20 ha. Dengan demikian areal lahan yang tersedia masih cukup luas dimana saat ini masyarakat diberikan akses untuk mengambil rumput pakan ternak dengan catatan tidak boleh mengganggu pohon yang berada di lokasi yang bersangkutan. Di lokasi ini, Petugas Ekosistem Hutan (PEH) TNGR sejak tahun 2003 melakukan pembinaan populasi tumbuhan yang ada di Pulau Lombok, yaitu melakukan koleksi dan perbanyakan tumbuhan (terutama yang ada di kawasan TNGR) dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan Ikatan Keluarga Alumni Sekolah Kehutanan Menengah Atas (IKA SKMA). Di tempat ini juga telah mulai dirintis penangkaran dan pembinaan populasi kupu-kupu, tanaman hias (anggrek), ikan hias, dan lebah madu. Berdasarkan potensi yang tersedia serta perkembangan yang terjadi, maka kawasan ini potensial untuk pengembangan Arboretum Terpadu TNGR. Daerah ini cukup strategis mengingat lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan objek wisata di kawasan ini setiap saat banyak dikunjungi masyarakat lokal. Pengadaan Arboretum terpadu TNGR dimaksudkan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat sekitar berkenaan dengan pengembangan flora dan fauna. Untuk mewujudkan lokasi ini sebagai media pembelajaran (termasuk hutan pendidikan), maka areal yang tersedia ini dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat baik secara
151 perorangan maupun berkelompok. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan adalah: budidaya kayu hutan (endemik), green house dan penangkaran untuk uji coba berbagai jenis flora dan fauna khas Rinjani, dan demplot percontohan ekosistem
hutan.
Disamping
itu
masyarakat
dapat
diberikan
pelatihan
keterampilan dan praktek lapangan tentang teknik budidaya dan pembiakan tanaman (vegetatif dan generatif), pembuatan kompos, serta keterampilan budidaya
lainnya.
meningkatkan
Diharapkan
kesadaran
dengan
lingkungan,
media
pembelajaran
masyarakat
ini,
selain
termotivasi
untuk
mengembangkan berbagai jenis tanaman secara komersial guna meningkatkan pendapatan keluarga, misalnya pengembangan anggrek. Selain menjadi media pembelajaran, kawasan ini juga sekaligus dapat dijadikan showroom yang memamerkan dan menjual berbagai jenis bunga dan bibit tanaman (khususnya khas Rinjani). Dalam hal ini bunga dan bibit tanaman yang ditawarkan adalah hasil dari masyarakat sekitar. Disamping itu untuk lebih meningkatkan kesadaran, penghayatan, dan daya tarik masyarakat terhadap pelestarian hutan, maka secara berkala dilakukan pemutaran film dokumenter tentang kehutanan, meliputi dampak kerusakan hutan, pelaku pembalakan, dan kejadian-kejadian di berbagai daerah sebagai akibat kerusakan hutan. Sasaran utama pemutaran film dokumenter ini tidak hanya masyarakat sekitar, melainkan juga para pengunjung yang datang berwisata ke tempat ini, terutama anak-anak sekolah. Untuk keperluan tersebut perlu dibangun gedung/ruang bioskop lingkungan. Areal yang tersedia untuk pengembangan berbagai kegiatan di atas masih cukup luas, yaitu 171 ha sehingga
cukup potensial sebagai media
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pengembangan Arboretum Terpadu TNGR ini memang membutuhkan biaya investasi yang cukup besar, namun dalam jangka panjang dapat memberikan keuntungan dan dampak positif yang cukup besar, baik bagi keberlanjutan eksistensi TNGR maupun pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. Dampak positif dimaksud antara lain: (1) peningkatan keterampilan pembiakan tanaman, (2) peningkatan pendapatan masyarakat, (3) peningkatan kesadaran lingkungan hidup, (4) penciptaan lapangan kerja/usaha baru, dan (5) peningkatan daya dukung TNGR. 2) Pendakian Berwawasan Lingkungan Di sepanjang jalur pendakian Sembalun, mulai dari pintu masuk hingga Pos 3 (± 7 km) umumnya berupa padang alang-alang dan hampir tidak ada
152 pohon kayu di sekitarnya, padahal pendakian melalui jalur ini cukup ramai dibandingkan dengan jalur lainnya. Karena itu untuk memberikan kesejukan bagi para pendaki dapat dilakukan penanaman pohon pelindung di sepanjang jalur pendakian. Penanaman pohon ini dapat dilakukan mengingat sepanjang jalur pendakian merupakan Zona Pemanfaatan Khusus Wisata Terbatas. Kegiatan ini juga sesuai dengan rencana Balai TNGR untuk menanam berbagai jenis pohon di sepanjang jalur pendakian ini, yaitu masing-masing 2 baris di sebelah kanan dan kiri jalan dengan jarak tanam 5 x 5 m. Dengan demikian jumlah pohon yang dapat dikembangkan di sepanjang jalur pendakian (7 km) adalah sebanyak 1 400 pohon untuk setiap baris sehingga jumlah keseluruhan adalah 5 600 pohon. Metode pelaksanaannya adalah: setiap pendaki secara perorangan atau berkelompok diharapkan membeli satu atau lebih paket tanaman, meliputi bibit, infus, air, label, kompos, dan keranjang secara lengkap atau sebagian paket sesuai dengan keinginan pendaki. Pelaksanaan penanaman dan pemasangan sarana penunjang lainnya dilakukan sendiri oleh pendaki dibantu oleh porter yang menyertainya. Kepada setiap pendaki diharapkan untuk menanam 1 atau lebih pohon di sepanjang jalur pendakian disertai pemberian label nama pendaki yang melakukan penanaman. Namun yang perlu diantisipasi adalah pendakian umumnya dilakukan pada musim kemarau sehingga peluang tumbuh dan berkembangnya tanaman ini relatif kecil. Untuk itu pada setiap batang pohon yang ditanam perlu disiapkan botol berisi air (sejenis infus) agar tanah di sekitar pangkal batang tetap lembab. Selain itu untuk menjaga keamanan tanaman dari gangguan ternak, maka setiap pohon yang baru ditanam harus diberikan keranjang/gorong-gorong (anyaman bambu). Berkenaan dengan program di atas, pengadaan dan perbanyakan bibit, keranjang pengaman, kompos, dan infus air disiapkan oleh masyarakat sekitar (masyarakat lokal) dan disalurkan melalui koperasi yang berada di pintu masuk pendakian. Selain itu koperasi juga menyiapkan label nama yang dirancang sedemikian rupa sesuai dengan pesanan para pendaki. Untuk mempersiapkan semua perlengkapan ini tentunya masyarakat sekitar harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan, baik untuk kegiatan pembibitan maupun untuk membuat perlengkapan lainnya. Jenis bibit yang dibuat disesuaikan dengan jenis endemik yang ada di wilayah TNGR khususnya di wilayah Resort Sembalun.
Sementara untuk keperluan lainnya
dilakukan pembinaan keterampilan kerajinan (anyaman) kepada masyarakat
153 sekitar (prioritas masyarakat tuna lahan dan/atau ibu rumahtangga). Jenis kerajinan yang dibuat diarahkan untuk pembuatan barang-barang keperluan pendakian; berbahan baku lokal seperti bambu. Beberapa jenis produk yang dibutuhkan untuk pendakian adalah: keranjang untuk mengangkut barang-barang keperluan pendaki, keranjang/ gorong-gorong untuk tanaman, topi dari bambu/lontar/daun kelapa untuk para pendaki. Selain untuk keperluan pendakian, produk yang dihasilkan juga untuk keperluan masyarakat seperti bakul, keranjang sayur dan berbagai bentuk hasil kerajinan suvenir. Manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini dan langsung dapat dirasakan adalah peningkatan kesejukan sepanjang jalur pendakian serta peningkatan daya dukung TNGR. Akan tetapi karena kegiatan pendakian umumnya dilakukan pada musim kemarau, maka dapat diduga bahwa tingkat keberhasilan tumbuh relatif kecil. Terlebih lagi dengan kebakaran yang hampir setiap tahun terjadi akan mengakibatkan tanaman di sekitarnya ikut terbakar.
3) Hutan Kompensasi Hutan
Kompensasi
yang
dimaksudkan
adalah
pengembangan/
penanaman pohon kayu (endemik kawasan TNGR) dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sekitar. Namun berdasarkan hasil kajian dan analisis, setiap
keterlibatannya
dalam
pengelolaan
hutan,
masyarakat
selalu
mengharapkan imbalan/insentif ekonomi. Mereka tidak akan mau berpatisipasi secara murni (termasuk menanam kayu di kawasan TNGR) tanpa ada imbalan yang diharapkan di kemudian hari. Sikap inilah yang antara lain menyebabkan kegagalan tumbuh dan berkembangnya kayu di beberapa lokasi HKm di Pulau Lombok, bahkan ada kesan enggan bagi sebagian masyarakat peserta HKm membiarkan kayu tumbuh besar karena akan dapat mengganggu tanaman MPTS-nya. Fenomena yang sama terjadi di kawasan pengembangan jalur hijau TNGR, ada kecenderungan bahwa yang dikembangkan dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat adalah tanaman yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi seperti nangka dan durian. Berdasarkan fenomena ini maka untuk menjamin agar kayu yang dikembangkan dapat tumbuh dengan baik, maka kepada masyarakat harus diberikan insentif atau kompensasi sesuai dengan perjanjian.
154 Pengembangan hutan kompensasi ini berpeluang untuk dilaksanakan di wilayah bagian selatan TNGR yang merupakan Zona Pemanfaatan Tradisional seluas 583 ha yang berlokasi di Srijata (Resort Joben) seluas 418 ha dan Timbanuh (Resort Kembang Kuning) seluas 175 ha. Kawasan Srijata selama ini memang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Perian untuk memungut hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa nangka, pakis sayur, dan rumput. Di kawasan ini banyak terdapat pohon bajur, mahoni, Sonokeling, Dadap, Durian, Nangka, dan kopi. Meski demikian, di beberapa tempat terutama di bagian pinggir masih terdapat lahan-lahan terbuka.
Agar lebih bermanfaat baik dari
aspek konservasi maupun peningkatan pendapatan masyarakat, maka lokasi ini dapat dikembangkan menjadi hutan kompensasi. Di kawasan Timbanuh juga banyak ditemukan pohon bajur, sonokeling, mahoni, dan nangka serta di beberapa tempat masih berpeluang untuk dikembangkan. Lokasi lainnya yang memungkinkan untuk dijadikan hutan kompensasi adalah di zona pemanfaatan intensif Joben (di sekitar tempat pengembangan Arboretum). Mekanisme pelaksanaannya adalah melibatkan partisipasi masyarakat untuk melakukan pembibitan, penanaman (kayu endemik kawasan) berikut pemeliharaannya; selanjutnya kepada para pelaku diberikan kompensasi sesuai kesepakatan. Jadi secara sederhana masyarakat boleh menjual pohon kayu yang ditanam di wilayah TNGR, akan tetapi harus dijual ke pihak TNGR dan tidak boleh ditebang. Peserta yang dilibatkan diprioritaskan bagi mereka yang tidak memiliki lahan usahatani (tuna lahan). Mengenai besarnya nilai kompensasi, batas waktu minimal baru boleh kompensasi, dan aturan-aturan main lainnya ditentukan berdasarkan kesepakatan masyarakat dengan pihak pengelola. 4) Hutan Keluarga Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian masyarakat sekitar kawasan TNGR hidupnya sangat tergantung pada sumber daya hutan. Menyadari
semua
ini
maka
diperlukan
upaya
menggalakkan
program
pengembangan hutan keluarga dengan tujuan mengurangi ketergantungan serta meminimalisasi potensi kerusakan TNGR. Selain itu dengan pengembangan hutan keluarga diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif sumber perekonomian keluarga dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan/kebun milik masyarakat yang berada di kawasan penyangga TNGR. Hutan Keluarga ini dapat dikembangkan di kebun-kebun milik masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGR. Karena itu sasaran pembinaan
155 pengembangan hutan keluarga ini adalah masyarakat lokal yang memiliki lahan di sekitar TNGR. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka secara spasial wilayah yang potensial untuk pengembangan hutan keluarga ini adalah di bagian selatan TNGR, meliputi Resort Stiling, Joben, Kembang Kuning, serta sebagian Resort Aikmel, dan Sembalun. Dalam hutan keluarga, berbagai jenis kayu dapat dikembangkan baik untuk kayu bahan bangunan/industri maupun untuk kayu bakar. Prospek pengembangan kayu (terutama kayu bakar) cukup besar ditinjau dari sisi permintaan. Sebagai gambaran, data dari Dinas Kehutanan Propinsi NTB menunjukkan bahwa defisit hasil hutan untuk kayu bangunan di NTB cukup tinggi, yaitu 80 000 m3 per tahun sementara kebutuhan kayu bakar sekitar 480 000 m3 per tahun. Dengan jumlah kebutuhan ini, hutan NTB belum mampu memenuhi kebutuhan kayu bakar. Saat ini di 37 desa yang berada di kawasan TNGR terdapat 50 913 rumahtangga menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak (Lampiran 15). Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata setiap rumahtangga (dengan jumlah anggota keluarga 4 orang) membutuhkan 10 ikat atau 0,14 m3 kayu bakar per bulan. Jadi dengan demikian maka total kebutuhan kayu bakar untuk masyarakat di sekitar TNGR sebanyak 7 128 m3 setiap bulannya atau sebesar 85 534 m3 per tahun. jika 1 (satu) pohon mahoni umur 10 tahun memiliki volume kayu rata-rata 0,5 m3, maka untuk mencukupi keperluan kayu bakar masyarakat di sekitar TNGR saja harus menebang 171 067 pohon (jumlah yang cukup besar). Diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah tidak hanya untuk masyarakat di pinggir kawasan, melainkan juga masyarakat yang berada jauh di luar kawasan. Lebih lanjut jika subsidi BBM dicabut maka para petani Tembakau Virginia di Pulau Lombok yang selama ini menggunakan minyak tanah untuk melakukan pengomprongan, akan beralih menggunakan kayu bakar. Diperkirakan kebutuhan kayu bakar untuk pengomprongan tembakau mencapai 60 000 truk atau setara dengan 480 000 m3 per tahun dengan asumsi jumlah oven pengomprong 14 000 unit. Implikasinya akan terjadi peningkatan kerawanan hutan secara keseluruhan (termasuk TNGR) sehingga harus segera diantisipasi. Salah satu alternatif solusi yang bisa dilakukan adalah pengembangan hutan keluarga dengan menanam jenis-jenis pohon yang cepat menghasilkan kayu bakar . Salah satu jenis kayu yang potensial dikembangkan adalah mahoni. Alasannya, selain pertumbuhannya relatif cepat, pasar lokal (permintaan setempat) untuk jenis kayu ini cukup besar, terutama sebagai bahan baku industri kerajinan
156 kayu (ukiran) yang tersebar di berbagai tempat di Pulau Lombok. Kayu mahoni ini cukup diminati oleh pengrajin karena seratnya halus dan kayunya keras sehingga memudahkan proses pengolahan dengan kualitas hasil kerajinan lebih bagus. Sebagai gambaran, hasil penelitian Sukardi, et al. (2001) menunjukkan bahwa ratarata kebutuhan kayu mahoni untuk 1 unit usaha kerajinan ukir
di Kecamatan
3
Labuapi Lombok Barat sebesar 36,5 m per bulan. Sementara itu jumlah pengrajin di seluruh Pulau Lombok mencapai lebih dari 100 unit. Selain mahoni, jenis kayu lainnya yang dapat dikembangkan adalah albasia (sengon). Kayu albasia memiliki prospek pasar yang cukup tinggi, dimana permintaannya bukan hanya di dalam negeri, namun juga datang dari mancanegara. Kayu ini dipergunakan antara lain untuk bahan bangunan, peralatan rumah tangga, sampai pada bahan baku kertas dan kayu lapis. Kayu albasia setelah mengalami proses pengeringan dan perlakuan lainnya dapat dibuat peralatan rumah tangga yang memiliki keawetan cukup lama. Dengan penggunaan yang multidimensi tersebut permintaan akan terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk. Khusus di wilayah Resort Sembalun, pengembangan tomat dilakukan dengan menggunakan ajir (bahasa setempat “pemanju”) sebagai penyangga batang tomat, dimana setiap ajir panjangnya 1 – 1,5 m. Pada umumnya ajir ini dibuat dari kayu/ranting kayu yang diperoleh dari wilayah setempat (kebun dan/atau hutan). Kebutuhan ajir untuk setiap hektar tanaman tomat adalah sebanyak 60 ribu batang. Sebagai gambaran, areal pengembangan tomat di wilayah Sembalun pada tahun 2007 adalah seluas 500 ha. Jadi secara keseluruhan membutuhkan ajir sebanyak 30 juta batang. Permintaan ajir ini setiap tahunnya secara rutin terus terjadi karena selama ini ajir hanya dipakai untuk satu kali musim tanam (satu tahun). Melihat potensi permintaan yang cukup besar ini, maka pengembangan kayu ajir memiliki prospek yang cukup besar. Menurut informasi dari tokoh masyarakat setempat, jenis pohon yang pertumbuhannya cepat untuk dijadikan ajir adalah “Kaliandra”. Selain sebagai ajir, Kaliandra telah digunakan secara luas untuk pakan ternak karena daun, bunga, dan tangkai mempunyai kandungan protein 20-25% (Roshetko
2002).
Wina
dan
Tangendjaja
(2000)
menegaskan
bahwa
pemanfaatan Kaliandra sebagai hijauan pakan ruminansia telah memperlihatkan pengaruh yang menguntungkan tidak hanya performans produksi tetapi performans reproduksi ternak juga meningkat. Baik ternak ruminansia kecil
157 maupun yang besar tidak memperlihatkan suatu masalah bila disuplementasi dengan kaliandra segar atau dalam bentuk silase tetapi tidak boleh dalam bentuk kering. Kaliandra dapat diberikan sendiri atau dalam campuran dengan legum lain yang tidak mengandung tanin untuk mensuplementasi ternak yang diberi rumput. Lebih lanjut Tangendjaja et al. (1992) dan Bulo et al. (1992) menyimpulkan bahwa domba dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan bila hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh lagi. Keunggulan lain dari tanaman ini adalah cepat tumbuh dan memiliki kemampuan bertunas tinggi setelah pemangkasan. Dengan karakteristik ini maka kaliandra sangat perpotensi untuk ajir dan kayu bakar. Meskipun kaliandra tumbuh dengan cepat, kayunya cukup padat dan kering dengan cepat dan mudah terbakar. Setelah pemangkasan, tunas dapat tumbuh dengan cepat dan lebat membentuk batang yang baru. Ciri ini membuat kaliandra menjadi kayu bakar dan kayu arang yang ideal. Keberhasilan awal kaliandra di Jawa terutama disebabkan oleh tingginya produksi kayu bakar berkualitas. Kayunya mempunyai berat jenis 0.5 – 0.8 dan menghasilkan 4200 kkalori per kg kayu kering dan 7 200 kkalori per kg arang. Untuk produksi kayu bakar, kaliandra umumnya ditanam dengan jarak tanam 1 x 1 m atau 1 x 2 m. Batang dipangkas pada ketinggian 30 – 50 cm pada akhir musim kering (Ty et al. 1997). Hasil tahunan sangat bervariasi sesuai dengan tapak dan kondisi pengelolaan. Tanaman berumur 1 tahun dapat menghasilkan 5 – 20 m3/ha/th; dan yang berumur 20 tahun dapat menghasilkan 30 - 65 m3/ha/th (NRC 1983). Kaliandra juga merupakan sumber pakan yang penting untuk lebah madu. Diperkirakan usaha ternak madu tingkat petani dapat menghasilkan 1 ton madu per tahun dari 1 ha tegakan kaliandra (Sila 1996). Jadi selain pertumbuhannya cepat, pengembangan Kaliandra dapat dipadukan dengan pemeliharaan ternak (terutama sapi), pemeliharaan/budidaya lebah madu, dan kegiatan usahatani sayuran (ajir). Keterpaduan ini akan beimplikasi pada lebih banyaknya masyarakat yang dapat diberdayakan sehingga menciptakan multiplier effect (tenaga kerja dan pendapatan) yang lebih besar terhadap perekonomian wilayah. Kegiatan yang dilakukan pada hutan keluarga antara lain: (1) budidaya berbagai jenis kayu baik untuk keperluan kayu bakar, kayu bangunan atau untuk keperluan lain seperti kerajinan, sumber kayu ajir, pakan ternak, maupun sebagai
158 areal pakan lebah; (2) budidaya tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) di bawah tegakan seperti empon-empon, rumput pakan ternak, dan tanaman semusim lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga jangka pendek. Dengan kegiatan ini maka output yang dihasilkan antara lain: kayu ajir, kayu bakar, kayu bangunan/kerajinan, pakan ternak, pakan lebah, dan rumput pakan ternak. Contoh penerapan Hutan Keluarga yang telah menunjukkan keberhasilan adalah yang dikembangkan oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Mitra Pengaman Hutan (KMPH) di lingkar Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti (TNLW), Sumba Timur – NTT yang dimulai sejak tahun 1993 (Trasform dan ICCON 2007). Pengembangan hutan keluarga ini identik dengan hutan rakyat yang selama ini telah banyak dikembangkan di Indonesia. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam. Namun demikian permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat (Sukadaryati 2006), yaitu: (1) pengelolaan hutan rakyat masih sangat tergantung pada pemilik lahan, begitu juga penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan oleh pemilik lahan, dan (2) sulitnya mengendalikan kegiatan penebangan pohon yang dilakukan di lahan hutan rakyat;
terlebih lagi bila
masyarakat pemilik lahan dihadapkan pada persoalan ekonomi, Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah penghasilnya, di antaranya (Wikipedia Indonesia): 1) Getah dan resin: - Karet (Hevea brasiliensis); terutama di Sumatra bagian timur dan
Kalimantan - Jelutung (Dyera spp.); Sumatra dan Kalimantan - Nyatoh (Palaquium spp., Payena spp.); terutama Kalimantan - Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan dan
Lampung, terutama Lampung Barat - Damar batu (Shorea spp.); Sumatra dan Kalimantan - Kemenyan (Styrax benzoin); Sumatera Utara terutama Tapanuli Utara
2) Buah-buahan: - Durian (Durio spp., terutama D. zibethinus); Sumatra, Kalimantan, Jawa,
dan Maluku.
159 - Jambu mete (Anacardium occidentale); Sulawesi Tenggara dan Sumbawa - Kluwek atau kepayang (Pangium edule); banyak tempat, terutama di Jawa. - Kemiri (Aleurites moluccana); Sumatra, Sumbawa dan Sulawesi Selatan - Kopi (Coffea spp.); banyak tempat, termasuk Bali dan Lombok. - Lada (Piper nigrum); Sumatra, Kalimantan - Pala (Myristica fragrans); Aceh dan Maluku - Petai (Parkia speciosa); Sumatra, Kalimantan dan Jawa - Tengkawang (Shorea spp.); Kalimantan
3) Rempah-rempah lain: - Kulit manis atau kayu manis (Cinnamomum spp.); Sumatra, terutama
Sumatera Barat dan Kerinci - Cengkeh (Syzygium aromaticum), banyak tempat. - Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa.
4) Kayu-kayuan: - Jeunjing (Paraserianthes falcataria); Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa
Tengah - Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta,
Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara - Mahoni (Swietenia macrophylla); dari banyak tempat di Jawa Barat dan
Jawa Tengah 5) Lain-lain: - Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan - Cendana (Santalum album); Sumba dan Timor - Sagu (Metroxylon sago); Maluku dan Papua.
5) Usaha Pemeliharaan Ternak Sapi Pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan dan bantuan daerah penyangga berupa bantuan sapi dan bantuan lainnya telah dilaksanakan Balai TNGR sejak Tahun 1999/2000 hingga 2006. Dari segi kuantitas, jumlah bantuan ini relatif kecil, yaitu sapi 5 – 6 ekor per desa, kambing 40 ekor untuk Desa Sukadana dan 60 ekor untuk Desa Loloan. Bantuan lainnya adalah itik 225 ekor per desa
masing-masing untuk Desa Sikur, Terara, dan Pringgasela.
160 Selengkapnya mengenai jenis dan jumlah bantuan pada kawasan penyangga TNGR dapat dilihat pada Lampiran 16. Dari berbagai jenis dan program bantuan, pengembangan ternak sapi adalah salah satu alternatif yang bisa dikembangkan untuk memberdayakan masyarakat (khususnya masyarakat tuna lahan). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa bantuan ini kurang efektif untuk meredam penebangan hutan karena jumlah bantuan relatif kecil sehingga penghasilan yang diperoleh tidak mampu menutupi keperluan sehari-hari, disamping itu karena jumlah kelompok sasaran cukup besar maka masa tunggu untuk memperoleh giliran cukup lama. Pengembangan ternak sapi di kawasan penyangga TNGR juga sesuai dengan peta lokasi produksi peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat untuk wilayah Pulau Lombok. Bahkan Kecamatan Aikmel, Wanasaba, dan Sembalun merupakan sentra pengembangan ternak sapi di Pulau Lombok. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan produktivitas dan populasi sapi potong di Propinsi Nusa Tenggara Barat, pemerintah memberikan bantuan modal usaha kepada kelompok peternak sapi potong melalui pemanfaatan dana Counterpart FundSecond Kennedy Round (CF-SKR) Tahun 2008. Kegiatan ini dilakukan di beberapa tempat termasuk di kawasan penyangga TNGR, yaitu (1) Kecamatan Batukliang Utara 4 kelompok (Desa Aik Berik 3 kelompok dan Desa Lantan 1 kelompok); (2) Kecamatan Montong Gading 4 kelompok (Desa Montong Betok 2 kelompok dan Desa Pringgajurang 2 kelompok); dan (3) Kecamatan Pringgasela 2 kelompok (Desa Pengadangan 1 kelompok dan Desa Jurit 1 kelompok). Hasil analisis Tim Peneliti P3R Unram (2004) menunjukkan bahwa pengembangan ternak sapi bali secara finansial layak untuk dikembangkan. Nilai B/C rasio untuk sistem pemeliharaan terkurung untuk penggemukan (Feed lot) sebesar 1,12; sedangkan nilai B/C rasio untuk sistem penggembalaan bersama sebesar 1,19 dan Mini Ranc sebesar 1,10. Lebih lanjut menurut Maskur (2006), usaha penggemukan lebih menguntungkan dibandingkan dengan pemeliharaan sapi bibit. Sebagai perbandingan, rata-rata penghasilan bersih yang diperoleh dari hasil penggemukan ternak sapi sebesar Rp 300 000,- sampai Rp 400 000,per bulan dengan rentang waktu 4 – 5 bulan untuk setiap kali periode pemeliharaan. Untuk saat ini harga sapi yang akan digemukkan berkisar antara Rp 3,5 – 4 juta, kemudian setelah dipelihara 4 – 5 bulan dapat dijual dengan harga Rp 5 – 5,5 juta. Sementara itu untuk pengembangan sapi bibit, rata-rata lama waktu pemeliharaan sampai menghasilkan bibit yang bisa dijual adalah 1
161 tahun dengan harga jual berkisar antara Rp 1,6 – 2 juta. Jadi rata-rata penghasilan setiap bulannya berkisar antara Rp 125 000,- sampai Rp 170 000,-. Penghasilan sebesar ini diperoleh tanpa membeli pakan (zero cost), dimana pakan disediakan sendiri oleh peternak, baik untuk penggemukan maupun pembibitan. Usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bibit/bakalan di Pulau Lombok (termasuk kawasan penyangga TNGR) saat ini masih didominasi dan digerakkan oleh peternakan rakyat yang sebagian besar merupakan usaha keluarga berskala kecil. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan usahatani dan dilakukan dengan cara “zero waste” dan “zero cost”. Dalam hal ini, sapi mempunyai peran multifungsi, yaitu selain sebagai sumber penghasilan juga sebagai tenaga kerja dan penghasil kompos. Di kawasan lingkar Rinjani, pengembangan ternak sapi dengan cara “zero waste” dan “zero cost” merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk meredam agar masyarakat tidak melakukan penebangan liar di TNGR dan kawasan hutan lainnya. Dari hasil wawancara dan FGD, masyarakat sangat berharap untuk dapat diberikan bantuan pemeliharaan ternak sapi secara bergulir guna menunjang perekonomian keluarga. Pengembangan dengan sistem bergulir ini bisa diterapkan untuk pengembangan sapi bibit, sedangkan usaha
penggemukan
dilakukan
melalui
sistem
kemitraan
dengan
para
pengusaha yang difasilitasi oleh Balai TNGR dan instansi terkait lainnya. Pemeliharaan ternak sapi ini cukup familier dengan masyarakat karena selama ini telah banyak yang melakukannya (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya). Pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pemeliharaan ternak sapi ini memiliki beberapa
kelebihan/keuntungan,
antara
lain:
cepat
menghasilkan,
tidak
membutuhkan keterampilan khusus, dan pakan lokal tersedia. Berdasarkan distribusi spacial pengembangan ternak sapi (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya), maka dapat disimpulkan bahwa semua kawasan sekitar (kawasan penyangga) TNGR potensial sebagai lokasi pengembangan/pemeliharaan ternak sapi. Selanjutnya jika prediksi penghasilan dari usaha pemeliharaan sapi di atas dikaitkan dengan besarnya pengeluaran rumahtangga di kawasan lingkar Rinjani sebesar Rp 513 533,- per bulan, maka untuk dapat menutupi semua keperluan ini setiap rumahtangga harus melakukan usaha penggemukan 2 ekor sapi atau 3 ekor sapi bibit. Akan tetapi jika dimaksudkan hanya untuk
162 mengkompensasi penghasilan rumahtangga yang bersumber dari hasil hutan, yaitu sebesar Rp 164 860,- per bulan, maka setiap rumahtangga cukup memelihara 1 ekor saja. Salah satu contoh keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan
ternak
adalah
usaha
intensifikasi
peternakan
untuk
mengurangi tekanan terhadap hutan lindung dan Cagar Alam Mutis-Timau, Nusa Tenggara Timur. WWF-Indonesia mendampingi masyarakat yang secara tradisional menggembala ternak di kawasan ini, untuk melakukan intensifikasi pemeliharaan ternak dan inseminasi buatan. Hasilnya terjadi penurunan perambahan hutan sebesar 12% dan 12 kelompok masyarakat dari 10 desa yang didampingi memperoleh penghasilan yang meningkat sebesar 1 - 1,2 juta rupiah per ekor sapi (WWF-Indonesia 2006).
6) Pengembangan Usaha Kecil HHBK Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) belum dikembangkan secara optimal sebagai bagian dari pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Selain madu, HHBK yang memungkinkan untuk dikembangkan di kawasan TNGR adalah empon-empon (tanaman obat), jamur merang, tanaman hias, pakan ternak, perikanan air tawar, dan kegiatan usaha produktif lainnya. Pengembangan kegiatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat diintegrasikan dengan kegiatan lain baik di kawasan TNGR maupun luar TNGR; yaitu Arboretum Terpadu TNGR, Hutan Kompensasi, dan Hutan Keluarga. Selain itu bisa dikembangkan di pekarangan atau pada kebun-kebun masyarakat yang belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu jenis tanaman yang sedang dikembangkan di wilayah Pidana, Desa Sapit adalah ACITABA, yaitu sejenis tanaman yang menjadi bahan baku pembuatan obat-obatan. Usaha ini dikembangkan oleh CV. Anjelika yang bekerjasama dengan pengusaha Jepang. Sayangnya pengembangan tanaman ini dilakukan sendiri oleh perusahaan, sementara masyarakat sekitar hanya terlibat sebagai pekerja (buruh tani). Pengembangan tanaman ini dilakukan di areal HKm yang disewa seluas ± 20 ha. Lokasi ini bersebelahan dengan kawasan TNGR (dibatasi jalan raya Swela-Sembalun). Diharapkan usaha semacam ini bisa dikembangkan dalam skala yang lebih luas serta tidak hanya terbatas pada satu jenis komoditi.
163 Berdasarkan pengalaman dalam pengembangan berbagai jenis komoditi pertanian, faktor utama yang paling menentukan keberhasilan dan kelanjutan usaha masyarakat (petani) adalah ketersediaan pasar. Pengalaman riil di Pulau Lombok adalah pengembangan komoditi perkebunan seperti Tembakau Virginia dan Jambu Mete. Pada awalnya pengembangan kedua komoditi perkebunan ini tidak mendapat respon positif dari masyarakat karena permintaan pasarnya sangat terbatas. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya setelah terjadi peningkatan permintaan dan pasar mulai terbuka, tanpa dikomando masyarakat melakukan pengembangan kedua jenis komoditi ini. Pengalaman ini bisa diadopsi untuk pengembangan empon-empon yang hingga saat ini pasarnya sangat terbatas dengan harga tidak menentu. Saat ini memang sudah ada beberapa orang di kawasan TNGR (tepatnya di Dusun Kekuang Desa Aikmel Utara, Lombok Timur) yang mengembangkan emponempon untuk dijadikan berbagai jenis jamu, hanya saja dilakukan dalam skala kecil dan oleh beberapa orang saja, bahkan menurut informasi terakhir hanya 1 orang yang masih aktif membuat jamu. Kendala utama yang dirasakan adalah pemasaran yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan usaha ini, alternatif yang bisa dilakukan adalah pengembangan secara berkelompok dan dirancang dalam bentuk Program Kemitraan Terpadu (PKT). Dalam hal ini kerjasama kemitraan melibatkan 3 pihak, masing-masing : (1) masyarakat sebagai peserta plasma yang tergabung dalam suatu koperasi atau kelompok usaha bersama (KUB); (2) industri pengolahan jamu atau pedagang antar pulau sebagai mitra usaha; dan (3) Balai TNGR sebagai fasilitator dan berkoordinasi dengan dinas/instansi terkait, LSM, dan perguruan tinggi. Hubungan antara kelompok petani dengan industri pengolahan jamu atau pedagang antar pulau merupakan hubungan antara plasma dengan inti, dimana
petani merupakan plasma dan industri
pengolahan yang bertindak sebagai lnti. Kemitraan terpadu ini harus dilandasi kepentingan bersama agar tercipta pola hubungan yang saling menguntungkan. Gambar 19 mengilustrasikan mekanisme kemitraan terpadu yang dapat dilaksanakan dengan dua pola, yaitu: (1) masyarakat yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan penjanjian kerjasama langsung dengan industri pengolahan atau (2) Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasi mengadakan perjanjian kerjasama dengan industri pengolahan. Petani plasma melaksanakan proses produksi dan hasilnya dijual ke
164 inti dengan harga yang telah disepakati. lnti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma sebagai angsuran pinjaman plasma dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih. Pemasaran Hasil - Dinas/Instansi terkait - Perguruan Tinggi - LSM Koperasi / KUB PERUSAHAAN INTI Industri Pengolahan atau Eksportir
Balai TNGR
Petani Empon-Empon (Plasma)
Biaya Produksi Pendapatan Bersih Plasma Gambar 19. Kemitraan Terpadu Usaha Kecil HHBK
7) Posko Pengaduan TNGR Pengadaan posko pengaduan TNGR dimaksudkan sebagai wadah dan media pengaduan warga yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian TNGR (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya). Pengadaan posko pengamanan ini merupakan wujud pemberdayaan modal sosial berupa kesadaran dan kesediaan berpartisipasi dari masyarakat. Pada kantor Balai TNGR atau pada masing-masing kantor SPTN disiapkan unit pengaduan warga baik melalui telpon atau masyarakat datang secara langsung untuk melaporkan suatu kejadian gangguan/pencurian kayu di kawasan TNGR. Unit pengaduan ini dibuka 24 jam dan untuk menjaga agar tidak terjadi konflik horizontal maka identitas pelapor hendaknya dirahasiakan. Agar dapat memupuk kepercayaan serta menumbuhkan semangat partisipasi warga, maka setiap laporan harus segera ditindaklanjuti dan diproses lebih lanjut. Sebelum program ini dilaksanakan, terlebih dahulu perlu dilakukan sosialisasi secara meluas di kalangan masyarakat. Agar tidak menimbulkan keengganan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, maka prosedur dan mekanisme yang diterapkan harus sederhana. Para pelapor cukup menelpon ke posko pengaduan dengan menyebutkan nama pelapor, nama/identitas pelaku,
165 apa yang dilakukan, serta tempat dan waktu kejadian. Penyebutan nama pelapor diperlukan untuk dapat dilakukan klarifikasi informasi, sedangkan identitas pelaku diperlukan untuk memudahkan petugas/aparat melakukan pelacakan dan tindakan. Kepada para pelapor diberikan insentif atau kompensasi, misalnya berupa pulsa telpon atau bentuk lainnya yang tidak diketahui oleh tersangka sehingga tidak menimbulkan konflik. Selain secara individual, insentif juga dapat diberikan secara kolektif untuk kepentingan masyarakat umum, misalnya untuk keperluan masjid atau majlis ta’lim, keperluan olah raga untuk generasi muda, atau kepentingan umum lainnya.
Akhirnya jika ditelaah secara seksama, setiap kegiatan yang diajukan dalam model pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR memiliki kelebihan dan kelemahan. Tabel 28 menyajikan hasil kajian dan analisis deskriptif dari masing-masing model pemberdayaan yang merupakan intisari dari penjelasan sebelumnya. Sementara itu lokasi pengembangan masing-masing model dan kegiatan pemberdayaan disajikan pada Gambar 20.
166 Tabel 28. Deskripsi Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR No
Input/Potensi
Model Pemberdayaan
Klp. Sasaran
Jenis Kegiatan
Lokasi Kegiatan
1
1) Lahan/kebun milik masy. 2) Bibit tanaman 3) Kompos 4) Tata nilai dan kesadaran LH
Hutan Keluarga
1) Masy. pemilik lahan/kebun di sekitar TNGR
1) Budidaya kayu hutan 1) Lahan milik di ( Mahoni, Kaliandra, dll) sekitar TNGR: - R. Sembalun 2) Budidaya tanaman - R. Aikmel semusim (ubi, gadung, - R. K.embang K empon-empon) - R. Joben 3) Budidaya rumput - R. Stiling 4) Budidaya lebah
2
1) Zona pemanfaatan TNGR 2) Lokasi/obyek wisata 3) Benih Tanaman 4) Benih/Bibit Tan. Hias 5) Kompos
Arboretum Terpadu TNGR
1) Masy. sekitar 2) Klp. Masy Peduli Arboretum (KMPA) – Joben 3) Klp generasi muda 4) Kelompok ibuibu PKK Desa 5) Koperasi/KUB
1) Kawasan wisata 1) Budidaya kayu “Otak Kokoq” 2) Penangkaran benih & Joben bibit (R Joben) 3) Demplot percontohan flora fauna 4) Pembuatan kompos 5) Showroom flora fauna 6) Pelatihan keterampilan pembiakan tanaman (vegetatif & generatif) 7) Ruang bioskop lingkungan
3
1) Zona pemanfaatan Tradisional TNGR 2) Bibit Tanaman 3) Kompos 4) Jalur Hijau TNGR
Hutan Kompensasi
1) Masy. Tuna lahan 2) Klp. Masy. Peduli Hutan
1) Budidaya kayu hutan
1) Srijata (R Joben) 2) Timbanuh (R. Kembang K)
Output
Dampak Positif/ Kekuatan
Dampak Nrgatif/ Kelemahan
1) 2) 3) 4)
Kayu Ajir Kayu Bakar Kayu Bangunan Pakan Ternak (daun kaliandra) 5) Rumput pakan 6) Pakan Lebah 7) Madu
1) Kemungkinan 1) Peningkatan konflik sosial pendapatan 2) Lap kerja/ usaha 2) Waktu menunggu panen kayu lama baru 3) Meredam penebangan liar
1) Hutan Contoh 2) Bibit Tanaman 3) Tanaman Hias/ bonsai 4) Kompos
1) Butuh investasi 1) Peningkatan relatif besar keterampilan pembiakan tan. 2) Butuh keterampilan 2) Peningkatan pendapatan 3) Peningkatan kesadaran LH 4) Lap kerja/ usaha baru 5) Peningkatan Daya Dukung TNGR
1) Hutan
1) Peningkatan Daya Dukung TNGR 2) Peningkatan pendapatan
1) Kemungkinan konflik 2) Rawan penyimpangan 3) Perlu pemantauan yang ketat
167
Lanjutan Tabel 28 No
Input/Potensi
Model Pemberdayaan
Klp. Sasaran
Jenis Kegiatan
Lokasi Kegiatan
4
1) Zona Pemanf. Jalur Pendakian TNGR 2) Bibit Tanaman 3) Kompos 4) Bahan baku lokal
Pendakian Berawasan Lingk
1) Pembibitan kayu 1) Pengrajin 2) Anyaman bambu 2) Masy. Tuna 3) Kerajinan Souvenir lahan 4) Pembuatan kompos 3) Porter 4) Generasi Muda 5) KUB/Koperasi
5
1) Zona pemanfaatan TNGR 2) Lahan milik masy. 3) Bibit Ternak (Sapi) 4) Pakan ternak 5) Obat-obatan
Pemeliharaan Ternak Sapi
1) Peternak/masy. 1) Penggemukan sapi 1) Semua Resort 2) Pemeliharaan sapi bibit tuna lahan 2) Klp Masy Peduli 3) Penanaman rumput Hutan pakan 4) Pembuatan kompos 5) Pembuatan biogas
6
1) 2) 3) 4)
Lahan milik Jalur hijau TNGR Lahan pekarangan Peralatan agroindustri 5) Hasil-hasil pertanian & perkebunan
Pengembangan Usaha Kecil HHBK
1) Masy. tuna lahan 2) Masy berlahan sempit 3) Ibu-ibu RT 4) Koperasi/KUB
1) Budidaya emponempon 2) Budidaya lebah madu 3) Agroindustri hsl pert. & perkeb.
7
1) Alat Komunikasi 2) Kesadaran dan kepedulian LH 3) Tata nilai dan kearifan lokal
Posko Pengaduan TNGR
1) Masy peduli hutan 2) Generasi muda 3) Klp masy peduli hutan
1) Laporan gangguan keamanan hutan (TNGR) 2) Tindak lanjut oleh aparat
Output
Dampak Positif/ Kekuatan
Dampak Nrgatif/ Kelemahan
1) Jalur pendakian sejuk 2) Peningkatan Daya Dukung TNGR
1) Kemungkinan konflik horizontal 2) Kegiatan pendakian tidak rutin (hanya musim kemarau)
1) Cepat menghasilkan 2) Tidak membutuhkan ketramp khusus 3) Pakan lokal tersedia
1) Kemungkinan Konflik horizontal 2) Rawan pencurian
1) Semua Resort
1) BB Jamu/rempah- 1) Peluang kerja/ usaha baru rempah 2) Optimalisasi 2) Madu pemanf lahan di 3) Hsl agroindustri pedesaan
1) Pasar masih terbatas 2) Butuh ketekunan dan keterampilan
1) Semua Resort
1) Informasi 1) Keamanan Gangguan TNGR TNGR
1) Kemungkinan konflik horizontal
1) Jalur pendakian 1) Tanaman Kayu 2) Hasil kerajinan Sembalun (R. Sembalun)
1) 2) 3) 4)
Sapi potong Sapi bibit Pupuk Kandang Biogas
168
Peta Lokasi Kegiatan Pemberdayaan 1
Gambar 20. Lokasi Potensial untuk Setiap Model Pemberdayaan Keterangan: = Pendakian Berwawasan Lingkungan = Hutan Kompensasi Posko Pengaduan TNGR = semua resort
5
= Arboretum Terpadu TNGR = Hutan Keluarga
= Peternakan Sapi = Usaha Kecil HHBK
168
169 8.5.2 Prioritas Model Pemberdayaan Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
tanpa
keterlibatan
yang
menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan TNGR, tidak akan bisa dicapai penyelamatan sumberdaya hutan TNGR secara lestari. Karena itu pemberdayaan ekonomi produktif masyarakat menjadi suatu keharusan untuk dipenuhi. Setiap model dan kegiatan pemberdayaan memiliki kelebihan dan kelemahan, serta beberapa diantaranya bersifat spesifik lokasi seperti Arboretum Terpadu dan Pendakian Berwawasan Lingkungan. Artinya, tidak mungkin untuk diterapkan di daerah lain mengingat potensi yang tersedia tidak mendukung. Meskipun setiap bentuk kegiatan memiliki kekhasan dalam pelaksanaan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun berdasarkan potensi dan sasaran yang diinginkan serta berbagai keterbatasan dalam pelaksanaannya, maka perlu disusun skala prioritas. Penentuan prioritas dilakukan dengan menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP). Dalam hal ini kriteria pertimbangan yang digunakan sebagai dasar penentuan prioritas disesuaikan dengan kriteria pemanfaatan hutan secara lestari sebagaimana ditegaskan pada Pasal 15 ayat (3) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan”; yaitu mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Ketiga
aspek
ini
memiliki
keterkaitan
dan
keterpaduan
dalam
hubungannya dengan pengelolaan TNGR secara lestari. Karena itu para pakar yang dihubungi dalam penelitian ini memberikan bobot kepentingan yang sama terhadap ketiga aspek ini, yaitu 0,333. Dalam analisis lebih labjut, setiap aspek/kriteria dijabarkan lagi menjadi beberapa sub kriteria. Penentuan sub kriteria ini didasarkan pada pertimbangan kemungkinan keberhasilan dan keberlanjutan dari kegiatan pemberdayaan. Gambar 21 memperlihatkan struktur hirarki penentuan prioritas dengan bobot masing-masing kriteria dan sub kriteria.
170 0,122 Jlh TK terlibat 0,015 Kebt. Modal Ekonomi 0,333
Model Pemberdayaan Masyarakat
Ekologi/Biofisik 0,333
Sosbud 0,333
0,122 Pendapatan
Hutan Keluarga 0,168 Arboretum Terpadu TNGR
0,036 Masa tunggu 0,037 Pasar
Pendakian Berwawasan L 0,068
0,056 Vegetasi H 0,278 Potensi Lahan
Hutan Kompensasi 0,099
0,065 Konflik Sosial
Peternakan Sapi 0,268
0,021 Ketramp. M 0,248 Kesadaran LH
Pengemb. Usaha HHBK 0,211
Gambar 21. Bobot Masing-masing Kriteria dan Sub Kriteria Penentuan Prioritas Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR Aspek/kriteria ekonomi dijabarkan lagi secara lebih rinci menjadi 5 (lima) sub kriteria, yaitu: (1) jumlah tenaga kerja (masyarakat) yang bisa dilibatkan, (2) kebutuhan modal untuk pelaksanaan kegiatan, (3) pendapatan yang diperoleh, (4) lama waktu menunggu hasil, dan (5) peluang pasar untuk output yang dihasilkan. Berkenaan dengan bobot penilaian, untuk sub kriteria (2) dan (4) dilakukan secara terbalik. Untuk sub kriteria (2); makin tinggi modal yang dibutuhkan maka nilainya semakin rendah dan sebaliknya. Pertimbangan ini dimaksudkan agar dengan sejumlah biaya yang tersedia, jumlah kelompok sasaran yang dapat dijangkau menjadi lebih banyak. Begitu pula dengan sub kriteria (4); makin lama waktu menunggu hasil, maka nilainya makin kecil dan sebaliknya. Pertimbangan ini ada kaitannya dengan kondisi perekonomian masyarakat yang berada di bawah standar garis kemiskinan sehingga membutuhkan penghasilan dalam waktu singkat untuk mencukupi keperluan hidup keluarganya. Kelima sub kriteria ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan ekonomi dari pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR. Meskipun demikian, bobot dari masing-masing sub indikator ini berbeda-beda tergantung urgensinya dalam menjamin keberhasilan kegiatan pemberdayaan. Gambar 21 di atas memperlihatkan bahwa bobot tertinggi adalah pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Paling tingginya bobot dari kedua sub kriteria ini disebabkan karena salah satu tujuan pemberdayaan adalah peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja bagi
171 masyarakat di sekitar kawasan TNGR agar dapat mengkompensasi pendapatannya yang selama ini bersumber dari hasil hutan TNGR. Aspek ekologi/biofisik dijabarkan menjadi 2 (dua) sub kriteria, yaitu: vegetasi hutan TNGR dan potensi lahan yang tersedia untuk kegiatan pemberdayaan. Meskipun peningkatan vegetasi hutan TNGR dirasakan perlu, namun sub kriteria potensi lahan diberikan bobot lebih tinggi dengan pertimbangan bahwa kegiatan pemberdayaan tidak akan dapat berlangsung tanpa adanya media/kawasan yang menjadi media pelaksanaannya. Sementara itu aspek sosial budaya dijabarkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) kemungkinan terjadinya konflik sosial, (2) keterampilan masyarakat sasaran, dan (3) kesadaran lingkungan. Dalam hal ini penumbuhan kesadaran lingkungan diberikan bobot tertinggi. Alasannya, kalau kesadaran lingkungan telah menjadi bagian dari tata nilai dalam kehidupan masyarakat maka keberlanjutan kelestarian hutan dapat dijamin atau dengan perkataan lain masyarakat hidup harmonis dengan hutan (dalam hal ini TNGR). Dalam hal penilaian kriteria (1), kegiatan yang kemungkinan menimbulkan konflik sosial tidak akan menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Alasannya, kegiatan pemberdayaan tidak akan berhasil dengan baik dan tidak akan berkesinambungan jika antar warga masyarakat terjadi konflik (tidak harmonis). Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
prioritas
utama
kegiatan
pemberdayaan berbeda-beda menurut kriteria penilaian. Pada Gambar 22 disajikan hasil analisis urutan prioritas pada setiap kriteria berserta kontribusi masing-masing sub kriteria dalam penentuan prioritas. Akan tetapi yang ditampilkan hanya lima jenis kegiatan menurut urutan prioritasnya. Berdasarkan kriteria ekonomi, priotitas utama pemberdayaan adalah pengembangan usaha HHBK disusul peternakan sapi. Dasar pertimbangan yang paling dominan mengapa usaha HHBK menjadi prioritas adalah penyerapan tenaga kerja yang paling besar dibandingkan kegiatan lainnya. Namun dari aspek pendapatan, masih lebih rendah dibandingkan dengan peternakan sapi. Dari segi ekologi/biofisik, yang menjadi prioritas pemberdayaan adalah peternakan sapi terutama sekali karena pertimbangan ketersediaan lahan yang paling banyak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa peternakan sapi dapat dilakukan di semua wilayah sekitar TNGR, sedangkan kegiatan lain cenderung bersifat spesifik lokasi. Sebaliknya dari aspek vegetasi, sama sekali peternakan sapi tidak memiliki keunggulan dibandingkan kegiatan lain.
172 Prioritas kegiatan pemberdayaan menurut pertimbangan sosial budaya adalah Arboretum Terpadu TNGR. Pertimbangan utamanya adalah karena kegiatan ini dapat menumbuhkembangkan kesadaran lingkungan khususnya berkenaan dengan pelestarian hutan. Hal ini sesuai dengan sasaran utama pengembangan Arboretum Terpadu TNGR adalah sebagai media pendidikan dan pembelajaran lingkungan bagi masyarakat. Selengkapnya hasil analisis urutan prioritas kegiatan pemberdayaan pada masing-masing kriteria dapat dilihat pada Gambar 22 berikut.
(a) K. Ekonomi
(b) K. Ekologi
(c) K. Sosbud
Gambar 22. Urutan Prioritas Pemberdayaan dan Kontribusi Sub Kriteria pada Setiap Kriteria Penilaian
173 Selanjutnya berdasarkan pertimbangan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya secara komprehensif; meliputi 10 (sepuluh) sub kriteria seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah peternakan sapi. Prioritas berikutnya adalah pengembangan usaha kecil HHBK dan yang terakhir adalah pendakian berwawasan lingkungan. Selengkapnya mengenai hasil analisis prioritas dan kontribusi masing-masing kriteria pada setiap kegiatan pemberdayaan disajikan pada Gambar 23 dan Gambar 24.
Gambar 23. Prioritas Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR
Gambar 24. Kontribusi Masing-masing Kriteria pada Setiap Kegiatan Pemberdayaan Meskipun pengembangan ternak sapi menjadi prioritas bedasarkan pertimbangan keseluruhan sub kriteria, namun secara parsial yang menjadi prioritas berbeda-beda tergantung kriteria dan sub kriteria yang menjadi dasar pertimbangan. Dari hasil analisis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 25 dapat diketahui bahwa pengembangan ternak sapi menjadi prioritas kegiatan
174 pemberdayaan berdasarkan pertimbangan: tenggang waktu menunggu hasil yang relatif lebih cepat dibandingkan kegiatan lainnya, peluang pasar output yang dihasilkan lebih besar, pendapatan relatif lebih besar, keterampilan masyarakat sasaran lebih siap, serta potensi lahan yang tersedia.
Gambar 25. Urutan Prioritas Kegiatan Pemberdayaan pada Masing-masing Sub Kriteria Berbeda dengan sub kriteria peningkatan vegetasi hutan TNGR, yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan adalah Hutan Kompensasi; bukan peternakan sapi. Hal ini disebabkan karena salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan adalah penanaman pohon kayu sehingga vegetasi TNGR menjadi meningkat (semakin baik). Pada kriteria peningkatan kesadaran lingkungan hidup (termasuk kelestarian sumberdaya hutan), yang menjadi prioritas adalah Arboretum Terpadu TNGR. Hal ini sesuai dengan misi dan tujuan dari pengembangan kegiatan ini adalah sebagai media penyadaran dan pembelajaran lingkungan. Sebaliknya dari segi kemungkinan terjadinya konflik sosial, justru peternakan sapi paling memungkinkan menimbulkan konflik sosial sebagai akibat terjadinya kecemburuan sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini yang menjadi prioritas pengembangan adalah pengembangan Hutan Keluarga dan pengembangan usaha Hasil Hutan Bukan Kayu. Kemungkinan terjadinya konflik sosial sebagai akibat dari pelaksanaan kedua kegiatan ini relatif kecil karena diusahakan pada lahan milik pribadi sehingga tidak ada yang merasa diperlakukan tidak adil.
175 Prioritas kegiatan ditinjau dari kebutuhan modal adalah Pendakian Berwawasan
Lingkungan.
Artinya,
biaya
yang
perlu
disiapkan
untuk
pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan ini relatif kecil dibandingkan kegiatan lainnya. Kecilnya kebutuhan biaya untuk kegiatan ini karena biaya yang diperlukan hanya untuk pembinaan masyarakat. Selanjutnya ditinjau dari jumlah tenaga kerja (masyarakat) yang bisa dilibatkan, kegiatan yang menjadi prioritas adalah pengembangan usaha Hasil Hutan Bukan Kayu. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh semua masyarakat di kawasan TNGR karena pengembangannya juga dapat dilakukan pada lahan pekarangan dengan melibatkan semua lapisan masyarakat tanpa membutuhkan keterampilan khusus. Lebih lanjut, selain berdasarkan hasil Analisis Hirarki Proses (AHP) dengan 10 sub kriteria penilaian (seperti yang telah dijelaskan di atas), ada beberapa pertimbangan logis dan empiris yang diidentifikasi dapat dijadikan alasan mengapa pengembangan ternak sapi menjadi prioritas kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR, yaitu: 1. Hasil analisis regresi faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan (Tabel 16), menunjukkan bahwa kepemilikan/pemeliharaan ternak sapi secara nyata dapat meredam kegiatan penebangan liar (illegal logging). Secara finansial, dengan memelihara 1 (satu) ekor sapi, dapat mengkompensasi penghasilan rumahtangga yang bersumber dari hasil hutan. 2. Distribusi spacial pengembangan ternak sapi (Gambar 16) menyebar di seluruh kawasan penyangga TNGR. Hal ini mencerminkan bahwa pemeliharaan sapi telah familier dan bahkan membudaya di kalangan masyarakat. Kenyataan ini didukung oleh hasil survei yang menunjukkan bahwa dari 150 rumahtangga contoh, sebanyak 73 rumahtangga (48,67%) diantaranya memiliki/memelihara ternak sapi dengan jumlah kepemilikan bervariasi antara 1 – 4 ekor dimana pengembangannya diintegrasikan dengan kegiatan pertanian. 3. Pengembangan ternak sapi di kawasan penyangga TNGR sesuai dengan peta lokasi produksi peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat untuk wilayah Pulau Lombok. Bahkan Kecamatan Aikmel, Wanasaba, dan Sembalun merupakan sentra pengembangan ternak sapi di Pulau Lombok. Disamping itu dalam rangka meningkatkan produktivitas dan populasi sapi potong di Propinsi Nusa Tenggara Barat, pemerintah memberikan bantuan modal usaha kepada kelompok peternak sapi potong melalui pemanfaatan dana Counterpart Fund-Second Kennedy Round (CF-SKR) Tahun 2008. Kegiatan
176 ini dilakukan di beberapa tempat termasuk di kawasan penyangga TNGR, yaitu (1) Kecamatan Batukliang Utara, (2) Kecamatan Montong Gading, dan (3) Kecamatan Pringgasela 4. Potensi dan daya dukung pengembangan sapi cukup memadai; selain ketersedian rumput pakan yang dapat diambil dari kawasan TNGR (khusus di wilayah Resort Joben), juga tersedia lahan milik berupa sawah dan/atau kebun yang dapat digunakan untuk pengembangan rumput pakan. Selain itu ketersediaan limbah pertanian berupa jerami serta berbagai jenis legum yang dapat di ambil di kawasan sekitar, merupakan sumber pakan yang sangat potensial. 5. Pengembangan sapi dapat memberikan manfaat ganda; selain menjadi sumber penghasilan keluarga, juga dapat diintegrasikan dengan kegiatan pertanian, yaitu dimanfaatkan tenaganya untuk mengolah lahan pertanian. Pengembangannya dapat dilakukan dengan sistem “zero waste” dan “zero cost”. Artinya, limbah ternak berupa kotoran (feces) dan sisa pakan dijadikan pupuk kandang (kompos) untuk tanaman; sedangkan limbah pertanian berupa jerami dan/atau dedaunan digunakan sebagai pakan ternak (sapi). 6. Dari segi ekoligis (aspek lingkungan), kotoran (feces) sapi dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas yang dapat digunakan untuk memasak (keperluan dapur) sebagai pengganti kayu bakar. Hal ini akan dapat menekan terjadinya penebangan liar (illegal logging). Selain itu feces (limbah biogas) bersama dengan sisa pakan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos (pupuk kandang). Penggunaan pupuk kandang ini akan dapat mengurangi terjadinya pencemaran lahan sebagai akibat penggunaan pupuk kimia (pupuk anorganik) dan sekaligus dapat menjadi salah satu alternatif sumber penghasilan keluarga. Jadi dengan demikian tekanan terhadap lingkungan (hutan) dapat berkurang karena 2 (dua) alasan utama, yaitu: (1) penebangan liar (illegal logging) tidak akan dilakukan masyarakat dengan alasan ekonomi sebab mereka telah memiliki sumber penghasilan keluarga, dan (2) penebangan liar (illegal logging) tidak akan dilakukan masyarakat dengan alasan kebutuhan kayu bakar karena telah dikomversi dengan penggunaan biogas. 7. Khusus untuk wilayah Resort Sembalun, pengembangan bahan bakar alternatif berupa biogas dari kotoran (feces) sapi akan dapat menjadi insentif bagi masyarakat (khususnya peternak) untuk mengikat dan mengkandangkan
177 ternaknya
sehingga
secara
tidak
langsung
dapat
menekan,
bahkan
menghilangkan penggembalaan liar di kawasan TNGR. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pengembangan sapi sebagai prioritas pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR bukanlah statis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa prioritas lainnya yang potensial untuk dikembangkan adalah usaha kecil hasil hutan bukan kayu (HHBK), akan tetapi usaha ini sangat tergantung pada permintaan dan harga dari output yang dihasilkan. Pada saat penelitian ini dilakukan (awal tahun 2008), permintaan pasar dan harga dari beberapa produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam keadaan tidak menentu sehingga tidak ada insentif ekonomi bagi masyarakat untuk mengembangkannya. Dimasa yang akan datang, seandainya kepastian pasar dan harga produk HHBK dapat dijamin, maka kegiatan ini akan menjadi prioritas pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR. Terjaminnya pasar dan harga produk HHBK dengan sendirinya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Beberapa alasan rasional lainnya yang dapat dijadikan pertimbangan mengapa pengembangan HHBK dapat menjadi prioritas pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR adalah penyerapan tenaga kerja yang paling besar dibandingkan kegiatan lainnya dan potensi lahan pengembangan cukup tersedia karena dapat dilakukan di pekarangan rumah, di kebun, pematang sawah dan/atau di bawah tegakan pohon. Keunggulan lain dari pengembangan HHBK adalah lama waktu menunggu hasil relatif cepat dibandingkan dengan kegiatan lainnya serta kemungkinan terjadinya konflik sosial relatif kecil karena dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat sehingga tidak rentan terhadap munculnya kecemburuan sosial dalam masyarakat (lihat Gambar 25).
178 p8.5.3 Pengembangan Model Prioritas Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemeliharaan sapi selama ini dilakukan dengan cara semi intensif, yaitu ternak dikandangkan pada malam hari, sedangkan siang hari digembalakan untuk mencari makan sendiri. Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR; sesuai dengan ketersediaan dan daya dukung lahan serta sasaran yang diinginkan, pengembangan sapi hendaknya dilakukan secara intensif, dimana ternak dikandangkan dan diberi makan tidak hanya rumput, melainkan juga dari libah pertanian. Selain
itu agar output yang dihasilkan tidak hanya berupa
ternak, maka perlu dilakukan upaya pemanfaatn limbah untuk dijadikan biogas dan kompos. Biogas dapat digunakan sendiri oleh peternak sehingga dapat mengkomversi penggunaan minyak tanah dan/atau kayu bakar yang akan berimplikasi pada penurunan penebangan liar (illegal logging). Begitu juga dengan kompos, selain dapat digunakan sendiri (bagi yang punya lahan), juga dapat dijual untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Beberapa model pengembangan ternak sapi yang selama ini telah dilakukan di Pulau Lombok dapat dipertimbangkan sebagai dasar penyusunan model pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR. Di kalangan masyarakat Pulau Lombok telah berkembang secara turun temurun sistem gaduh dalam pemeliharaan ternak (bahasa setempat disebut “pengkadasan”). Pengkadasan adalah suatu istilah di Pulau Lombok yang digunakan berkenaan dengan pemeliharaan ternak, termasuk sapi. Dalam hal ini pemilik modal (masyarakat yang punya kemampuan ekonomi) membelikan ternak (sapi) untuk dipelihara oleh peternak (bahasa setempat disebut “pengadas”). Anak sapi yang dihasilkan dibagi secara bergiliran antara peternak dan pemilik; dan jika induknya dijual, maka nilai tambah dari induk ini juga dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kegiatan ini murni hubungan antar masyarakat pedesaan tanpa adanya campur tangan pemerintah atau pihak lain dan merupakan perwujudan rasa kepedulian masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi terhadap masyarakat ekonomi lemah. Lebih lanjut sistem pengkadasan ternak seperti ini disebut “Sistem Sumba Kontrak”. Model lainnya yang dikembangkan berkeanaan dengan pembinaan dan pemberdayaan peternak dan menunjukkan keberhasilan cukup menggembirakan adalah “Sistem Pengkadasan Sapi Lombok Tengah (SPSLT)” (Arman 2007; Kertanegara & Maskur 2007). Metode yang diterapkan dalam sistem ini adalah pengkadasan secara bergulir, dimana setiap peternak mendapatkan bantuan
179 berupa 3 (tiga) ekor sapi (induk) bunting dengan masa pemeliharaan oleh masing-masing peternak adalah 12 - 15 bulan kemudian digulirkan ke pengadas lain. Di Kabupaten Lombok Barat, sistem yang dikembangkan oleh Dinas peternakan Lombok Barat adalah pengembangan sapi melalui program “Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK)”. Dalam hal ini petani/peternak diberikan 1 ekor sapi bibit betina untuk dipelihara dengan pola 1 – 1 – 4. Artinya, petani/peternak diberikan bantuan 1 (satu) ekor sapi dan dikembalikan 1 (satu) ekor (ukuran yang sama seperti bantuan yang diberikan) dengan masa pelihara 4 (empat) tahun. Dari segi perkembangan jumlah ternak, model ini telah menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan. Sebagai contoh: bantuan PMUK pada kelompok “Mule Jati” Kecamatan Narmada, selama 2 (dua) tahun (September 2006 – September 2008) jumlah ternak sapi berkembang dari 80 ekor menjadi 183 ekor. Saat ini Suadnya et al. (2008) sedang melakukan ujicoba 2 (dua) model pemberdayaan peternak sapi di Kabupaten Lombok Barat, yaitu: 1)
Model 1 menggunakan pola 1 – 2 – 5, yang berarti peternak diberikan bantuan satu ekor sapi siap bunting, kemudian mengembalikan dua ekor anaknya selama kurun waktu lima tahun. Satu ekor anak sapi yang dikembalikan untuk perguliran dan satu ekor menjadi milik kelompok untuk modal usaha kelompok; sedangkan induk dan turunan lainnya menjadi milik peternak. Dengan pola ini maka kelompok memperoleh modal penguatan dan petani terus terikat dalam kelompok.
2)
Model 2 merupakan penggabungan antara pola PMUK dengan pola bantuan sapi penggemukan (sapi potong). Dalam hal ini petani diberikan bantuan 2 (dua) ekor, sapi satu betina dan satu jantan. Sapi betina dikelola dengan pola PMUK (1-1-4) sedangkan sapi jantan disamping dimaksudkan sebagai pejantan, juga dikelola seperti pola bagi hasil bantuan penggemukan sapi dengan pembagian keuntungan 60% peternak dan 40% kelompok. Pola ini menguntungkan karena pola PMUK dijadikan sebagai upaya tabungan oleh peternak, sedangkan pola penggemukan sapi potong diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan keuangan jangka pendek atau kebutuhan sehari-hari petani dan keluarganya. Bagian hasil 40% untuk kelompok sangat berguna untuk penguatan modal kelompok dan insentif buat pengurus kelompok.
180 Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat di sekitar TNGR, model “Sumba Kontrak” dinilai kurang sesuai karena dalam model ini tidak ada upaya pemupukan modal kelompok (murni hubungan antar personil masyarakat). Selain itu karena pembagian hasil dilakukan secara bergilir, maka perkembangan kepemilikan peternak relatif lambat. Misalnya selama 4 (empat) tahun pemeliharaan, peternak baru memiliki 1 (satu) ekor sapi bunting dan 1 (satu) ekor sapi lepas sapih (asumsi pertumbuhannya normal dan terus dipelihara). Kenyataan ini tidak sesuai dengan masyarakat di kawasan penyangga TNGR yang membutuhkan biaya hidup setiap hari. Dengan demikian keberlanjutan usahanya tidak dapat dipertahankan karena kemungkinan besar ternaknya dijual untuk menutupi kebutuhan keluarga. Sama halnya dengan pola 1 – 2 – 5 dan kombinasi PMUK dengan penggemukan yang sedang dikembangkan Suadnya et al. (2008). Pada pola 1 – 2 – 5, meskipun ada usaha pemupukan modal kelompok, namun dengan sistem ini selama 5 (lima) tahun pemeliharaan, peternak baru memiliki 1 (satu) ekor induk dan 2 (dua) ekor sapi dewasa kelamin. Begitu pula dengan kombinasi PMUK dengan penggemukan, masa/tenggang waktu perguliran relatif lama, yaitu 4 (empat) tahun sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial bagi kelompok masyarakat lainnya, bahkan justru akan memicu dilakukannya penebangan liar (illegal logging). Berdasarkan hasil kajian dan sasaran yang diinginkan, maka model yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR adalah Sistem Pengkadasan Sapi Lombok Tengah (SPSLT). Namun demikian, sistem dan mekanismenya perlu dilakukan modifikasi disesuaikan dengan sasaran pemberdayaan dan karakteristik masyarakat di kawasan penyangga TNGR. Sistem ini selanjutnya diberi nama “SISTEM PENGKADASAN SAPI RINJANI (SIDASARI)”. Ketentuan dan implementasi dari model pengembangan sapi dengan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI) adalah sebagai berikut: 1)
Setiap masyarakat/peternak sasaran harus tergabung dalam suatu kelompok yang anggota-anggotanya ditentukan sendiri oleh anggota kelompok yang bersangkutan.
2)
Setiap peternak/masyarakat sasaran mendapatkan bantuan berupa 3 (tiga) ekor Sapi Bali bibit (induk) dalam keadaan bunting untuk dipelihara selama 12 – 15 bulan.
181 3)
Setelah masa pemeliharaan berakhir, induk sapi tersebut kemudian digulirkan ke sasaran (pengadas) lain dalam keadaan bunting (sebagaimana keadaan pada waktu penerimaan). Pada waktu induk digulirkan, diperkirakan umur anak sapi telah mencapai 6 (enam) bulan atau lepas sapih. Proses yang sama juga akan berlangsung pada pengadas kedua, ketiga dan keempat.
4)
Anak sapi yang dihasilkan, yaitu sebanyak 3 ekor selanjutnya menjadi milik peternak 2 ekor dan 1 ekor lainnya dialokasikan untuk dana konservasi dan penguatan modal kelompok.
5)
Pengembangan selanjutnya dari 2 ekor milik peternak adalah satu ekor untuk sapi bibit (dikembangbiakkan) terus sebagai sumber penghasilan ekonomi keluarga dalam jangka panjang dan satu ekor lainnya diarahkan untuk sapi penggemukan yang dapat dijual setiap 4 – 5 bulan masa pemeliharaan sehingga dapat digunakan untuk menutupi keperluan ekonomi keluarga sehari-hari.
6)
Anak sapi lainnya (1 ekor) yang merupakan bagian kelompok dan dana konservasi dipelihara oleh peternak yang bersangkutan hingga berumur 30 (tigapuluh) bulan atau siap digulirkan kepada kelompok sasaran yang lain. Pemeliharaan ini dilakukan dengan sistem bagi hasil sesuai kesepakatan, dihitung sejak umur 6 bulan (saat induknya digulirkan) hingga berumur 30 bulan. Alokasi penggunaan: (1) nilai tambah (keuntungan) pemeliharaan dibagi oleh peternak (imbalan atas pemeliharaan) dan kelompok (sebagai penguatan modal kelompok), sedangkan nilai awal pemeliharaan (umur 6 bulan) digunakan sebagai dana konservasi
7)
Selama masa pemeliharaan oleh suatu kelompok, maka kelompok yang akan menjadi sasaran berikutnya ikut mengawasi kegiatan yang dlakukan oleh kelompok sebelumnya.
8)
Pengembangan
Model
SIDASARI
akan
dapat
berhasil
secara
berkelanjutan dengan syarat: (1) pemberdayaan dilakukan secara bertahap, diawali dengan penyadaran dan pengkapasitasan kelompok sasaran. (2) setiap peternak harus memelihara 2 - 3 ekor sapi sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarga, (3) pemeliharaan sapi dilakukan secara intensif, yaitu dikandangkan dan diberi pakan secara rutin, dan (4) sapi dikandangkan secara berkelompok (kolektif) untuk
memudahkan pengamanan serta
dimaksudkan agar kotorannya (feces) dapat digunakan sebagai sumber penghasil biogas dan kompos, dimana lokasi pembuatan kandang
182 diusahakan berdekatan dengan pemukiman sehingga gas yang dihasilkan dapat dengan mudah dialirkan ke perumahan mereka (peternak sasaran) dan/atau penduduk di sekitarnya. Gambar 26 mengilustrasikan model pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNGR melalui pengembangan ternak sapi dengan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI). Pada model ini dirumuskan skenario perguliran dan dilengkapi dengan estimasi perkembangan jumlah ternak selama masa pembinaan. Selain itu dilakukan juga estimasi kebutuhan lahan untuk pengembangan rumput pakan, jumlah feces dan biogas yang dihasilkan hingga kompensasi kayu bakar dan jumlah pohon yang dapat diselamatkan (tidak ditebang). Pada Model SIDASARI (Gambar 26); tenggang waktu untuk setiap periode pembinaan dirancang berlangsung selama 4 (empat) tahun atau empat kali perguliran dengan pertimbangan sebagai berikut: 1)
Secara biologis, dalam rentang waktu 4 tahun diperkirakan induk sapi yang dipelihara telah mengalami 4 (empat) kali melahirkan sehingga perlu dilakukan peremajaan.
2)
Secara teknis, lahan yang telah dipersiapkan oleh setiap peternak sasaran untuk pengembangan rumput pakan adalah untuk kebutuhan 3 (tiga) ekor sapi (sesuai dengan jumlah induk awal yang dipelihara). Setelah induk digulirkan (tahun ke-2), jumlah sapi milik peternak hanya 2 (dua) ekor sehingga 1 (satu) ekor lainnya (milik TNGR dan kelompok) harus tetap dipelihara peternak yang bersangkutan supaya sesuai dengan jumlah rumput yang telah disiapkan.
3)
Pada tahun ke-4 diharapkan sapi milik peternak telah melahirkan sehingga sapi (milik TNGR dan kelompok) dapat dijual dan dialokasikan sesuai dengan ketentuan yang telah tetapkan/disepakati.
4)
Perlu dilakukan evaluasi setelah empat tahun pembinaan atau empat kali perguliran guna penyempurnaan program untuk periode-periode berikutnya. Setiap periode pembinaan dibagi menjadi 4 (empat) tahap ditandai
dengan perguliran ternak yang dilakukan setiap tahun atau dengan perkataan lain masa pengkadasan setiap kelompok sasaran berlangsung selama 1 tahun. Jadi dalam tenggang waktu 4 tahun masa pembinaan, jumlah masyarakat yang diberdayakan (dengan 30 ekor sapi) mencapai 40 rumahtangga (jumlah sasaran pada setiap tahap pemberdayaan sebanyak 10 rumahtangga).
183 Dengan sistem pemeliharaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 26, setiap peternak sasaran memiliki 2 ekor sapi dalam masa 1 (satu) tahun pemeliharaan. Pada awal tahun ke-4, anak sapi (bagian TNGR dan kelompok) yang dihasilkan dari kelompok pengadas tahun pertama siap digulirkan (umur 30 bulan). Pada saat itu, ternak dijual atau digunakan untuk pemberdayaan kelompok sasaran lainnya, akan tetapi pada periode pemberdayaan berikutnya, bukan periode yang bersangkutan. Nilai tambah pemeliharaan dibagi antara peternak dan kelompoknya (kas kelompok), sedangkan nilai awal digunakan sebagai dana konservasi. Begitu pula dengan sapi milik peternak (pengadas) pertama juga melahirkan pada akhir tahun ke-4. Hasil analisis lebih lanjut dapat diestimasi biogas yang dihasilkan dari 30 ekor sapi yang dipelihara dapat mencukupi kebutuhan 6 – 14 rumahtangga (dengan rata-rata anggota keluarga 4 orang). Jika dikaitkan dengan rata-rata kebutuhan kayu bakar
sebesar 1,68 m3/rumahtangga/tahun, maka biogas yang dihasilkan akan
dapat mengkonversi penggunaan kayu bakar sebesar 10 – 24 m3/tahun atau setara dengan 20 – 48 pohon kayu mahoni umur 10 (sepuluh) tahun (rata-rata volume kayu = 0,5 m3/pohon). Ada 2 (dua) alasan utama digunakannya kayu mahoni sebagai standar perhitungan konversi kayu bakar pada Gambar 26, yaitu: (1) kayu mahoni merupakan salah satu kayu endemik di kawasan TNGR, dan (2) permintaan kayu mahoni relatif besar dibandingkan jenis kayu lainnya, baik untuk kayu bakar maupun untuk kebutuhan industri kerajinan; menjadikannya rawan terhadap penebangan liar (illegal logging) Jadi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan 30 ekor sapi dengan model SIDASARI dalam kurun waktu 4 (empat) tahun akan dapat mengurangi penebangan liar (illegal logging) atau menyelamatkan pohon kayu di hutan (TNGR) sebanyak 200 – 480 pohon. Jumlah pohon yang diselamatkan (tidak ditebang) ini hanya merupakan konversi dari biogas yang dihasilkan dengan jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 30 ekor untuk setiap kelompok dimana masing-masing kelompok dapat menyelamatkan 20-48 pohon/tahun atau rata-rata setiap rumahtangga sebesar 2 – 4,8 pohon/tahun. Dengan demikian selama 4 (empat) tahun, jumlah pohon yang dapat menyelamatkan sebagai berikut: kelompok I = 80-192 pohon (4 tahun), kelompok II = 60-144 pohon (3 tahun), kelompok III = 40-96 pohon (2 tahun), dan kelompok IV = 20-48 pohon (1 tahun). Jumlah ini belum termasuk berkurangnya penebangan sebagai akibat
184 adanya sumber penghasilan baru bagi kelompok sasaran yang berjumlah 40 rumahtangga. Jumlah pohon yang dapat diselamatkan dari penebangan liar (illegal logging) sehubungan dengan konversi penggunaan biogas bervariasi tergantung pada jenis kayunya. Sebagai ilustrasi, ukuran volume kayu dari beberapa jenis pohon disajikan pada Tabel 29. Berdasarkan data volume ini, maka dengan skenario konversi biogas (Gambar 26), jumlah pohon yang dapat diselamatkan masing-masing sebagai berikut: jati (umur 10 tahun) sebanyak 147-353 pohon, sengon (umur 5 tahun) 127-304 pohon, dan akasia (umur 10 tahun) sebanyak 65-157 pohon. Tabel 29. Jenis dan Volume Beberapa Jenis Kayu Menurut Umur No Jenis Kayu
Umur (th)
Vol. kayu (m3)
Sumber Informasi
1 Mahoni
10
0.5
2 Jati
5 10 15
0.3 0.68 1.46
Laboratorium Kultur Jaringan SEAMEO BIOTROP http://sl.biotrop.org/produk_detil.php?id_produk=7
5
0.79
http://www.trubusonline.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle &cid=1&artid=1411 Di Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat
3 Sengon
0.98 4 Akasia
3 5 10
0.03 0.30 1.53
Dinas Kehutanan Propinsi NTB
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=66 POTENSI HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM MENSEQUESTER KARBON: Studi kasus di Hutan Tanaman Akasia dan Pinus Oleh : Ika Heriansyah
Selanjutnya sebagai dasar perhitungan estimasi pada Gambar 26 adalah sebagai berikut: 1) Kebutuhan pakan
: 30 – 35 kg/ekor/hr (10% dari berat badan)
2) Kebutuhan rumput
: 21 – 24,5 kg/ekor/hr (70% dari pakan)
3) Produksi rumput
: 250 ton/ha/th
4) Jumlah feces
: 10 – 15 kg/ekor/hr
5) Produksi Gas
: 0,023 – 0,040 m3/kg feces
6) Kebutuhan minyak tanah
: 0,75 ltr/RT/hr (anggota keluarga 4 orang)
7) 1 m3 biogas setara dengan
: 0,5 – 0,6 ltr minyak tanah
8) Kebutuhan kayu bakar
: 1,68 m3/RT/th (anggota keluarga 4 orang)
9) 1 pohon mahoni umur 10 th : 0,5 m3 kayu bakar 10) Bahan baku kompos
: 50 – 60 % dari feces
185 Anak I umur 42 bulan (1 kali beranak) Anak II umur 30 bulan (siap bunting) Anak III umur 18 bln (dara) Ank IV umur 6 bl
MODEL PERGULIRAN DALAM PENGEMBANGAN TERNAK SAPI
PENGADAS IV PENGADAS III PENGADAS II PENGADAS I LK1
BT1 KA 30 33
36
URAIAN 1. Jumlah induk sapi (ekor) 2. Jumlah Anakan (ekor): a. Milik kelompok b. Milik Peternak.: 1) Biibit 2) Potong 3. Jumlah masy. sasaran (RT): 4. Estimasi kebt rumput (kg/hr) 5. Estimasi kebt. lahan (ha) 6. Estimasi jumlah feces (kg/hr) 7. Estimasi hasil biogas (m3/hr) 8. Estimasi RT dg Biogas (RT) 9. Estimasi bahan kompos (kg/hr) 10. Estimasi kompensasi KB (m3/th) 11. Estimasi penyelamatan kayu (ph/th)
I 30
LH1 39
IB1
42
TAHUN I PS LS
10a 10a 10a 10 630 - 735 0,92 – 1,07 300 - 450 6,90 – 18,00 6 - 14 150 - 270 10 - 24 20 - 48
LH4
LH2
45 DK
IB3
LH3
IB2
LK2
BT2
LK3
BT3
48 I 30
LK4
BT4
LK11
BT11
51
54
TAHUN II PS LS
10b 10b 10b 10 630 - 735 0,92 – 1,07 300 - 450 6,90 – 18,00 6 - 14 150 - 270 10 - 24 20 - 48
57 DK
60 I 30
63
66
TAHUN III PS LS
DK
IB11 69 72 I 30
LH11 78
TAHUN IV PS LS
10c 10c 10c 10 630 - 735 0,92 – 1,07 300 - 450 6,90 – 18,00 6 - 14 150 - 270 10 - 24 20 - 48
75
10d 10d 10d 10 630 - 735 0,92 – 1,07 300 - 450 6,90 – 18,00 6 - 14 150 - 270 10 - 24 20 - 48
Gambar 26. Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR melalui Kegiatan Pemeliharaan Sapi dengan Pendekatan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI) Ket. 1) KA = Kawin Alam; BT = Bunting; LH = Lahir; IB = Kawin Suntik; LK = Laktasi; Kolom berwarna = masa pemeliharaan peternak (pengadas); I = Induk; PS = Pra Sapih; LS = Lepas Sapih; DK = Dewasa Kelamin; KB = Kayu Bakar 2) Data jumlah sapi adalah kondisi pada setiap akhir tahun 3) Estimasi untuk No 4 – 11 adalah untuk 30 ekor sapi 4) Asumsi tingkat reproduksi 100%
81 Umur Sapi (bln) DK
Kumulatif akhir th ke-4 I PS LS DK 30 20cd 10a 10a1 20cd 10a 20cd 40
24 - 56 100 - 240 200 - 480
10b 10b 10b
186 Pengembangan sapi dengan model SIDASARI (Gambar 26) akan dapat dilaksanakan jika ketersediaan dan daya dukung sumberdaya (khususnya lahan) untuk pengembangan rumput cukup memadai. Pada Gambar 26, estimasi kebutuhan rumput dihitung sebesar 70% dari kebutuhan pakan (rata-rata kebutuhan pakan 30 – 35 kg/ekor/hari). Standar ini didasarkan pada hasil survei yang menunjukkan bahwa rata-rata peternak di Pulau Lombok (termasuk di kawasan penyangga TNGR) memberian pakan berupa rumput kepada ternaknya sebesar 70% dari kebutuhan pakan, Sisanya (30%) bersumber dari bahan lain seperti limbah pertanian, legum, dedaunan, dan berbagai jenis pakan lainnya. Estimasi kebutuhan pakan yang disajikan pada Gambar 26 adalah kebutuhan untuk 30 ekor sapi dengan proporsi 70% rumput, yaitu 630 – 735 kg/hari. Dengan jumlah kebutuhan ini serta produktivitas rumput sebesar 250 ton/ha/th, maka areal lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan rumput sebesar 0,92 – 1,07 ha (asumsi pengembangan dilakukan secara monokultur). Dengan demikian, maka untuk setiap peternak dengan jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 3 (tiga) ekor, akan membutuhkan lahan seluas 0,09 - 0,11 ha lahan untuk pengembangan rumput dengan sistem monokultur. Tabel 30 mengilustrasikan kebutuhan lahan untuk pengembangan rumput pakan pada beberapa skenario pengembangan. Tabel 30. Luas Lahan yang Dibutuhkan Setiap Peternak (3 ekor Sapi) untuk Pengembangan Rumput dengan Beberapa Skenario Penanaman
No Uraian 1
Kebutuhan rumput untuk 3 ekor sapi (kg/hr)
2
Kebutuhan lahan untuk rumput pakan (ha) a. Pola Monokultur b. Pola Agroforestri: 1) 20% lahan untuk rumput 2) 30% lahan untuk rumput 3) 50% lahan untuk rumput
3 4
Rata-rata kepemilikan lahan sawah (ha) Rata-rata kepemilikan lahan tegal/kebun (ha)
Komposisi Rumput Pakan 100% rumput 70% rumput 90 - 105
63 – 73,5
0,13 – 0,15
0,09 – 0,11
0,66 – 0,77 0,44 – 0,51 0,26 – 0,31
0,46 – 0,54 0,31 – 0,36 0,18 – 0,21 0,15 0,39
Dari Tabel 30 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata luas lahan yang dimiliki masyarakat di kawasan penyangga TNGR masih memungkinkan untuk mengembangkan rumput pakan. Dengan perkataan lain, berdasarkan kebutuhan
187 lahan untuk pengembangan rumput (baik secara monokultur maupun pola agroforestri), maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat di kawasan penyangga TNGR memungkinkan untuk mengembangkan 3 (tiga) ekor sapi secara intensif. Selanjutnya dari hasil analisis dapat diketahui bahwa dengan model pemberdayaan SIDASARI ini jumlah kelompok sasaran pemberdayaan dapat berkembang setiap tahun. Hal ini karena dengan jumlah sapi yang sama dapat digunakan secara berulang untuk pemberdayaan kelompok sasaran yang berbeda (bergulir) setiap tahun. Pada Gambar 27 disajikan perkembangan jumlah sapi secara kumulatif yang dimiliki oleh peternak sasaran selama masa pemberdayaan dan pembinaan (4 tahun). Tahap awal (periode pertama) pemberdayaan dilakukan pembinaan pada setiap resort TNGR, masing-masing 1 (satu) kelompok sasaran dengan jumlah anggota sebanyak 10 (sepuluh) rumahtangga. Jadi secara keseluruhan jumlah kelompok sasaran pada tahun pertama adalah 9 (sembilan) kelompok atau 90 (sembilan puluh) rumahtangga; sehingga jumlah sapi yang dibutuhkan sebanyak 270 ekor. Jumlah masyarakat yang diberdayakan dapat dibuat meningkat secara konstan setiap tahun sehingga dengan jumlah induk sapi yang tetap sama (270 ekor), jumlah masyarakat yang diberdayakan selama 4 (empat) tahun berjumlah 360 rumahtangga. Sebagai wujud nyata dari hasil pemberdayaan adalah setiap masyarakat sasaran memiliki ternak (sapi) sendiri yang dapat dikembangbiakkan sebagai sumber penghasilan keluarga. Jika diasumsikan tingkat reproduksi 100%, maka dengan sistem yang dikembangkan, dalam waktu 1 (satu) tahun setiap masyarakat sasaran (peternak) akan memiliki 2 (dua) ekor sapi dan diharapkan terus berkembang hingga pasca pemberdayaan. Berkenaan dengan pemeliharaan dan pengembangan lebih lanjut setelah masa pengkadasan/penggaduhan berakhir (induknya digulirkan ke peternak sasaran berikutnya), selain memelihara anak sapi miliknya, peternak juga diharapkan memelihara anak sapi yang merupakan bagian TNGR dan kelompok hingga sapi tersebut berumur 30 (tiga puluh) bulan atau lebih. Alasannya, peternak tetap memlihara 3 (tiga) ekor karena lahan pengembangan rumput pakan yang disiapkan adalah untuk kebutuhan 3 (tiga) ekor (sesuai dengan jumlah induk awal yang dipelihara). Diharapkan pada waktu sapi (milik TNGR dan kelompok) dijual, sapi miliknya telah melahirkan sehingga peternak tetap memlihara 3 (tiga) ekor. Pemeliharaan dilakukan dengan sistem bagi hasil antara peternak dengan kelompoknya (untuk dana/modal kelompok), dimana yang
188 dibagi adalah nilai tambah pemeliharaan, sedangkan nilai awal ternak digunakan sebagai dana konservasi. Jadi anak sapi (milik TNGR dan kelompok) yang dihasilkan oleh kelompok sasaran tahun ke-1 dapat dijual pada tahun ke-4, hasil kelompok tahun ke-2 dapat dijual pada tahun ke-5, hasil kelompok tahun ke-3 dapat dijual pada tahun ke-6, dan hasil kelompok tahun ke-4 dapat dijual pada tahun ke-7. Pada Gambar 27 disajikan estimasi perkembangan kumulatif jumlah ternak yang dimiliki masyarakat/peternak sasaran sebagai wujud nyata dari hasil pemberdayaan. Estimasi ini dihitung dalam 3 (tiga) skenario, yaitu skenario A dengan asumsi tingkat reproduksi 100%, tingkat kematian 0% dan sex ratio 50%; skenario B dengan asumsi tingkat reproduksi 85%, tingkat kematian 5% dan sex ratio 50%, dan skenario C dengan asumsi tingkat reproduksi 85%, tingkat kematian 5% dan sex ratio 50% yang dihitung sejak anak I (tingkat reproduksi dan tingkat kematian induk sama dengan skenario A). Perkembangan jumlah sapi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 17.
Gambar 27. Estimasi Perkembangan Jumlah Kumulatif Sapi yang Dimiliki Peternak Sasaran Selama Masa Pembinaan Ket.: Skenario A : Asumsi Tingkat Reproduksi 100%, Tingkat Kematian 0% dan Sex Ratio 50% Skenario B : Asumsi Tingkat Reproduksi 85%, Tingkat Kematian 5% dan Sex Ratio 50% Skenario C : Asumsi Tingkat Reproduksi 85%, Tingkat Kematian 5% dan Sex Ratio 50%; dihitung sejak anak I (Tingkat Reproduksi & Tingkat Kematian Induk = Skenario A)
189 Pada Gambar 27 di atas dapat diketahui bahwa jumlah sapi milik peternak pada tahun 1 – 3 adalah sama antara skenario A dan skenario C. Pada tahun ke-4, sapi milik peternak sudah mulai melahirkan anak yang pertama sehingga jumlah sapi pada skenario A lebih besar dibandingkan skenario C karena pada skenario C mempertimbangkan tingkat reproduksi dan resiko kematian, sedangkan pada skenario A tidak diperhitungkan. Alasan penggunaan skenario C, yaitu hanya mempertimbangkan resiko kematian dan tingkat reproduksi pada anak pertama karena induk sapi awal telah diseleksi terlebih dahulu dan dalam keadaan bunting. Asumsi tingkat reproduksi dan tingkat kematian didasarkan pada hasil penelitian dan kajian tentang tingkat reproduksi dan tingkat kematian Sapi Bali (Pane 1990; Kadarsih 2004; Tanari 2007). Sebelum kegiatan penggemukan sapi berjalan efektif (3 tahun pertama) pembinaan atau selama menunggu hasil perkembangbiakan sapi yang dipelihara, maka salah satu alternatif sumber penghasilan keluarga (income periodicity) yang dapat digunakan untuk mencukupi keperluan sehari-hari adalah pengembangan usaha kecil agroindustri berbasis komoditi lokal oleh ibu-ibu rumahtangga sasaran. Alternatif kegiatan lainnya yang potensial untuk dikembangkan adalah pembuatan kompos karena bakan baku berupa limbah pakan dan feces telah tersedia serta bahan campuran lainnya seperi abu sekam dan serbuk gergaji dapat diperoleh di wilayah sekitar. Selain itu, teknologi pembuatan kompos relatif sederhana sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk melakukannya. Manfaat ekonomi pembuatan kompos antara lain hasil kajian Yuwono et al. (2005) di Kabupaten Pemalang; mengemukakan bahwa dari 3 000 kg bahan baku pembuatan kompos diperoleh kompos jadi sebanyak 2 000 kg dengan harga pokok sebesar Rp 266,-/kg (termasuk harga limbah ternak) dan harga jual di pasaran berkisar antara Rp 400,- sampai Rp 450,- per kg. Jika harga limbah ternak dan biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan (karena dihasilkan sendiri oleh peternak), maka harga pokok menjadi Rp 121,-/kg. Sementara itu biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan kompos yang dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong, Pasuruan dengan menggunakan bahan utama kotoran sapi (Puslitbang Peternakan 2007) adalah sebagai berikut: (1) kompos curah Rp 250,-/kg, (2) kompos blok Rp 250,-/kg, (3) kompos granula Rp 450,-/kg, dan (4) kompos bokhasi Rp 1 200,-/kg. Biaya ini termasuk pengeluaran untuk pembelian bahan baku utama (kotoran sapi) sebesar Rp 100,- per kg.
190 Berkenaan dengan model pengembangan sapi melalui SIDASARI, setiap kelompok peternak sasaran (10 rumahtangga) dengan 30 (tiga puluh) ekor sapi, jumlah feces yang dihasilkan setiap hari dan potensial untuk dijadikan bahan baku pembuatan kompos adalah 300 – 450 kg/hari. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa selain dapat memberikan manfaat ekonomi (seperti telah dijelaskan sebelumnya), pengembangan sapi dengan model SIDASARI juga dihasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah dan/atau kayu bakar sehingga dapat menekan penebangan liar (illegal logging). Estimasi perkembangan jumlah pohon yang dapat diselamatkan (tidak ditebang) disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28. Perkembangan Jumlah Pohon yang Dapat Diselamatkan (Tidak Ditebang) sebagai Hasil Konversi Penggunaan Kayu Bakar ke Biogas Penebangan liar (illegal logging) dari tahun ke tahun dapat ditekan; ditandai dengan jumlah pohon yang dapat diselamatkan (tidak ditebang) secara kumulatif terus mengalami peningkatan seiring dengan jumlah populasi sapi hasil pemberdayaan. Data yang disajikan pada Gambar 28 di atas merupakan hasil pemberdayaan yang dilakukan pada 9 (sembilan) resort TNGR. Pada setiap resort dilakukan pembinaan terhadap 1 (satu) kelompok sasaran yang beranggotakan 10 (sepuluh) rumahtangga dengan 30 (tiga puluh) ekor sapi. Dengan skenario pengembangan seperti telah dijelaskan di atas, maka selama masa pembinaan (4 tahun) di 9 resort TNGR dapat diestimasi jumlah pohon (1 pohon = 0,5 m3) yang tidak ditebang untuk kebutuhan kayu bakar secara kumulatif mencapai 1 258 – 4 355 pohon.
191 8.6 Strategi Pemberdayaan Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya akan sia-sia bila hal tersebut tidak disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pemberdayaan ini dapat meliputi peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam hayati tersebut. Sudarmadji (2002) mengemukakan bahwa strategi yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui suatu kegiatan kerjasama antara pihak kawasan konservasi, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat berperan aktif dalam kegiatan konservasi dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat juga meningkat. Berdasarkan hasil kajian dan analisis serta observasi terhadap berbagai gejala dan fenomena yang berkembang, maka dalam pemberdayaan masyarakat di
kawasan
komprehensif.
penyangga Aspek
TNGR,
biofisik,
semua
aspek
harus
sosial-ekonomi-budaya,
ditangani dan
secara
kelembagaan
merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan saling mempengaruhi sehingga keberhasilan program pemberdayaan masyarakat di kawasan ini sangat tergantung pada penanganan ketiga aspek di atas. Dalam pemberdayaan, tidak cukup hanya ditangani salah satu aspek saja (misalnya aspek ekonomi); melainkan semua aspek harus dibenahi secara komprehensif. Masyarakat yang berada di pinggir kawasan TNGR meskipun melakukan penebangan liar (illegal logging) dengan alasan ekonomi, namun setelah ditelaah faktor ekonomi itu juga erat kaitannya dengan aspek lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka pemberdayaan harus dilakukan secara
komprehensif
menyangkut
aspek
ekonomi,
sosial-budaya
dan
kelembagaan. Ketiga aspek ini merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya sehingga harus dibenahi secara bersamaan; bukan diprioritaskan salah satu aspek. Berkenaan dengan pertimbangan di atas, maka pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR harus dilakukan dengan melibatkan para pihak terkait. Namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Johnson dan Redmond (1992) dalam Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007), pemberdayaan tidak boleh bermakna “merobotkan” atau “menyeragamkan”. Pemberdayaan juga memberi ruang pada pengembangan keberagaman kemampuan individual. Para pihak (stakeholders) yang idealnya harus terlibat antara lain: (1) masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan TNGR; (2) Dinas/Instansi terkait
192 seperti: Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pariwisata, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Bappeda, dan Lembaga Keuangan; (3) pihak swasta yaitu perusahaan-perusahaan yang dapat dijadikan mitra dalam pengelolaan TNGR; dan (4) perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kehutanan seperti: WWF-Program Nusa Tenggara, Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP), Rinjani Trek Management Board (RTMB), dan LSM lainnya. Berdasarkan berbagai fakta dan fenomena lapangan serta karakteristik masyarakat di kawasan pengangga TNGR, nampaknya ketiga tahapan pemberdayaan seperti yang dikemukakan oleh Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) harus dilalui secara bertahap, yaitu: penyadaran, pengkapasitasan dan pendayaan. Tahapan proses pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR diilustrasikan pada Gambar 29. Pada tahap penyadaran, target sasaran diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian pemahaman secara utuh akan pentingnya melestarikan TNGR. Memang selama ini masyarakat mengetahui pentingnya keberadaan hutan Rinjani (termasuk TNGR), tapi belum memahami sepenuhnya manfaat tidak langsung serta keterkaitan TNGR dengan kehidupan di sekitarnya sehingga pengetahuannya itu tidak seiring dengan sikap dan tindakan. Hal ini tercermin dari rendahnya partisipasi dalam pelestarian hutan; mereka selalu mengharapkan insentif ekonomi langsung berupa materi dari apa yang dilakukan. Selain itu target sasaran diberi penyadaran dan keyakinan bahwa sesungguhnya mereka dapat melakukan aktivitas usaha (sebagai sumber pencaharian) tanpa harus merusak hutan. Kegiatan ini dapat dilakukan
dengan
memberikan
penyuluhan
melalui
kelompok/paguyuban
masyarakat lokal (seperti kelompok yasinan, PAM Swakrsa, dan kelompok lainnya) atau melalui kunjungan langsung ke rumah target sasaran. Tahap berikutnya adalah pengkapasitasan atau peingkatan kapasitas (capacity building) agar mereka memiliki kemampuan. Dalam hal ini dilakukan peningkatan kemampuan target sasaran baik secara individual maupun kelompok. Peningkatan kapasitas individual antara lain dilakukan melalui kegiatan pelatihan keterampilan dan manajemen usaha. Sementara itu pengkapasitasan kelompok atau organisasi target sasaran antara lain dilakukan melalui pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUB) atau Koperasi dan Badan Usaha Milik Masyarakat
193 (BUMM). Kegiatan ini diikuti dengan peningkatan kemampuan manajerial berikut aturan main organisasi. Menurut Campbel (2004), kenyataan yang selama ini patut dijadikan renungan berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat adalah: (1) proyek-proyek yang berorientasi pada pengembangan swadaya masyarakat baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga kerjasama lainnya menunjukkan bahwa lembaga/organisasi yang dibentuk dalam rangka proyek tersebut tidak dapat berkembang dan bahkan hanya bertahan selama proyek, (2) lembaga-lembaga pelaksana pembangunan yang mensponsori pembentukan organisasi baru di masyarakat (sebagai wadah pengembangan swadaya masyarakat) cenderung menerapkan peraturan dan kebijakan sesuai dengan skema proyek dengan menerapkan struktur terstandarisasi, dan (3) banyak pihak tidak memahami perbedaan antara pengorganisasian dan pengembangan lembaga dengan pembentukan organisasi. Tahap ketiga adalah pemberian daya dan pengembangan usaha sesuai dengan kepasitas, keterampilan dan peluang usaha yang tersedia. Misalnya, pemberian kredit kepada suatu kelompok masyarakat miskin di kawasan hutan yang sudah melalui proses penyadaran dan pengkapasitasan, masih perlu disesuaikan dengan kemampuan usahanya. Agar tujuan dari kegiatan pemberdayaan dapat dicapai secara optimal, maka semua pihak (stakeholders) harus melaksanakan peran dan fungsinya secara maksimal sesuai dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing. Kepada kelompok sasaran dilakukan pembinaan secara simultan dari berbagai aspek. Dengan perkataan lain pembinaan harus dilakukan secara totalitas terhadap semua aspek dan secara sinambung hingga kelompok sasaran betul-betul siap untuk mandiri dengan segala bekal yang telah diberikan. Pelaksanaan pembinaan harus dilakukan oleh sebuah tim yang beranggotakan tenaga-tenaga teknis dan profesional secara lintas dinas/instansi serta pihak-pihak lainnya yang berkepentingan (termasuk perguruan tinggi dan LSM). Tim ini harus berada dalam satu koordinasi yang utuh sehingga pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Mengenai anggaran pelaksanaan, hendaknya tidak dilakukan pada masing-masing dinas/instansi secara sektoral, melainkan dianggarkan secara khusus oleh pemerintah daerah setempat. Dengan demikian tumpang tindih kegiatan serta pemborosan dana dapat dihindarkan. Selain itu kelompok sasaran memperoleh pembinaan dan bimbingan secara holistik dalam berbagai aspek.
194
Pelaku & Koordinasi Pemberdayaan LSMLSM : : WWF WWF
DISHUT
Instansi Terkait
YPMP Perguruan Tinggi
SPKP BALAI TNGR
RTMB RTMB Lainnya
Swasta
Tahapan Pemberdayaan
Penyadaran
Input konstitusional : - Peraturan Per UU - Awig-awig
Peningkatan Kapasitas
Pendayaan
Input Sosbud & Lembaga : - Tata Nilai & Kearifan Lokal - Lembaga Adat - KMPH - KUB/Koperasi
Masy. Hrmonis dengan Hutan Rinjani (MaharRinjani)
Input Ekonomi & Lingk. : - Biofisik TNGR - Lahan Milik - Infrastruktur
Gambar 29. Pelaku dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR Ket.: SPKP = Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga
Pengalaman pelaksanaan pembangunan, termasuk dalam pembangunan kehutanan, menunjukkan bahwa banyak terjadi kegagalan program disebabkan oleh pendekatan yang bersifat top-down, parsial dan tidak terintegrasi serta adanya kesan proyek dalam masyarakat. Masing-masing pihak menyusun dan melaksanakan program sendiri-sendiri secara terpisah tanpa adanya koordinasi. Konsekuensinya seringkali terjadi duplikasi program sehingga mengakibatkan
195 pemborosan sumberdaya, tidak efektif dan berkembangnya image negatif terhadap pembangunan. Bertolak dari pemikiran ini, koordinasi dan partisipasi antar stakeholder yang terlibat sangat diperlukan dengan dilandaskan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati peran dan tujuan masing-masing pihak, saling mendukung upaya pencapaian misi para pihak, dan saling bekerjasama mengatasi konflik. Guna mencapai optimalisasi pengelolaan maka perencanaan TNGR kedepan harus dilakukan secara terintegrasi dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pelaksanaannya. Tahapan-tahapan kegiatan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut (Abas 2005): 1)
Melakukan identifikasi dan pemetaan stakeholders yang terkait mulai dari level masyarakat (desa) sampai dengan level provinsi (berkaitan dengan implikasi otonomi daerah).
2)
Melakukan analisis kebutuhan dan aspirasi stakeholders guna mengetahui skala prioritas yang harus didahulukan. Selanjutnya dilakukan akomodasi dan organisasi terhadap kebutuhan dan aspirasi tersebut.
3)
Melakukan elaborasi terhadap pola-pola partisipasi yang berkembang dan mengupayakan kolaborasi dari pola-pola yang telah ada.
4)
Melakukan analisis kapasitas institusi pada lembaga-lembaga yang terkait dengan perencanaan dan pengelolaan TNGR. Hal ini berkenaan dengan kualitas hubungan dan kerjasama antar institusi dalam melaksanakan program kerja pada wilayah TNGR.
5)
Melakukan analisis terhadap regulasi yang terkait (berkenaan dengan aspek partisipasi dan kerjasama), selanjutnya menterjemahkan dan menurunkannya ke dalam bentuk regulasi pada tingkat lokal.
6)
Melakukan diskusi stakeholder secara bersama guna menemukan, membahas dan menskenariokan faktor kunci kesuksesan perencanaan partisipatif TNGR.
8.7 Lembaga Pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani Berdasarkan Surat Keputusan Menhut No. 185/Kepts/97 tanggal 27 Mei 1997, pengelolaan TNGR dilakukan oleh “Unit Taman Nasional Gunung Rinjani”. Selanjutnya pada tahun 2002 berubah menjadi “Balai Taman Nasional Gunung Rinjani”; sesuai dengan Surat Keputusan Menhut No. 6186/Kepts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang “Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Gunung Rinjani”. Berdasarkan SK tersebut, TNGR dibagi
196 menjadi 2(dua) wilayah pengelolaan dalam bentuk “Seksi Konservasi Wilayah (SKW)”, yaitu : (1) SKW I Lombok Barat untuk wilayah Kabupaten Lombok Barat dengan luas ± 12.357,67 ha (30%) dan (2) SKW II Lombok Timur untuk wilayah Kabupaten Lombok Timur dengan luas ± 22.152,88 ha (53%) dan Kabupaten Lombok Tengah dengan luas ± 6.819,45 ha (17%). Mulai Bulan Maret 2007 Seksi Konservasi Wilayah (SKW) diganti menjadi “Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN)”. Untuk operasionalisasi di lapangan, masing-masing SPTN dibagi lagi menjadi resort-resort pengeloaan yang selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 30 berikut. Balai TNGR
Sub. Bag. TU
SPTN I Lombok Barat
Resort Senaru
Resort Anyar
SPTN II Lombok Timur
Resort Santong
Resort Aik Berik
Resort Stiling
Resort Joben
Resort K.Kuning
Resort Aikmel
Resort Sembalun
Klp. Fungsional
Gambar 30. Struktur Organisasi Balai TNGR Balai Taman Nasional Gunung Rinjani selaku pengelola mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan fungsi:
a. Penyusun rencana program dan evaluasi pengelolaan taman nasional b. Pengelolaan taman nasional c. Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional d. Perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran taman nasional e. Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
f. Kerjasama pengelolaan taman nasional g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumahtangga
197 Ujung tombak perlindungan dan pengamanan kawasan TNGR di lapangan dilakukan oleh Polhut Balai TNGR yang merupakan tenaga fungsional berjumlah 36 orang dan 5 orang Tenaga Pengamanan Hutan Lainnya (TPHL) yang merupakan tenaga non struktural (total 41 orang). Jumlah ini sudah cukup mermadai karena berdasarkan ketentuan, jumlah polhut yang ideal adalah 1 berbanding 800-1000 ha. Jadi dengan demikian, bila dilihat dari luas TNGR 41 330 ha, maka jumlah polhut yang ada sudah ideal. Namun demikian dalam kenyataannya, kawasan TNGR merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan medan terjal yang sulit dijangkau, maka dengan jumlah petugas yang ada saat ini mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan penambahan petugas dan poskoposko pengamanan terutama untuk kawasan-kawasan rawan gangguan dan medan sulit dijangkau. Selain Polhut, pada setiap resort terdapat tenaga yang membantu pengamanan hutan (berjumlah 3 - 4 orang); yang merupakan gabungan dari Langlang Gawah (relawan Dinas Kehutanan) dan Langlang Buana (relawan Balai TNGR). Sementara itu untuk menangani aspek sosial ekonomi dan aspek teknis budidaya seperti pemanfaatan jasa lingkungan, penangkaran dan pengawetan benih, serta teknik budidaya, dilakukan oleh tenaga Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). PEH merupakan PNS dari Balai TNGR; saat ini berjumlah 15 orang. Selain PEH, ada juga kelompok-kelompok pencinta lingkungan yang merupakan inisiatif masyarakat/pemuda yang kemudian dibina dan difasilitasi oleh Balai TNGR. Kelompok-kelompok dimaksud antara lain: a. Kader konservasi; berjumlah 3-4 orang setiap resort b. Kelompok Masyarakat Peduli Arboretum (KMPA) di Resort Joben dengan jumlah anggota 25 orang c. Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH) di Resort Kembang Kuning yaitu: KMPH Jeruk Manis dengan jumlah anggota 25 orang dan KMPH Mayung Polak, Desa Pengadangan dengan jumlah anggota 40 orang; merupakan gabungan Forter dan Guide. d. Gerakan Pemuda Peduli Lingkungan (GP2L) di Resort Aikmel dengan jumlah anggota 30 orang e. Kelompok Pencinta Alam (KPA) di Resort Santong dan Masyarakat Adat Bayan.
198 Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan ini sangat membantu dalam mensukseskan program pengelolaan TNGR. Secara aktif Balai TNGR melaksanakan kemitraan pengelolaan dengan berbagai stakeholder terkait yang mencakup instansi pemerintah daerah terkait LSM, masyarakat adat, tokoh agama, kader konsrvasi, industri parawisata, pramu wisata, porter serta kelompok masyarakat sekitar kawasan. Bentuk dan lembaga mitra Balai TNGR secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 18. Dari aspek institusional, pelaksanaan pengelolaan TNGR masih bersifat parsial dan kurang terpadu; ditandai dengan pengelolaan yang hanya dilakukan oleh Balai TNGR saja, bahkan koordinasi dengan dinas/instansi terkait lainnya masih kurang jelas dan tegas. Seluruh kegiatan operasional yang berkenaan dengan TNGR merupakan tanggung jawab Balai TNGR. Koordinasi yang dilakukan hanya sebatas lingkup kegiatan saja dan masih belum ada kesepakatan atau kerjasama antar institusi atau sektor pembangunan yang bersifat terpadu dan permanen. Jika melihat potensi dan manfaat yang diberikan oleh TNGR maka menurut Abas (2005) sudah selayaknya pengelolaan dilakukan dengan kerjasama antar dinas/institusi terkait dan didukung oleh partisipasi masyarakat secara maksimal seperti kerjasama dengan dinas pariwisata untuk pengelolaan pariwisata alam, dinas
kehutanan
untuk
pengelolaan
kawasan
lindung
maupun
kawasan
penyangga, kerjasama dengan dinas pertanian untuk mengelola budidaya pertanian
maupun
kerjasama
lainnya
seperti
pengamanan
kawasan,
pengembangan daerah penyangga, pembinaan masyarakat sekitar hutan, pendidikan dan penyebaran informasi. Pengelolaan TNGR yang berkelanjutan memerlukan kelembagaan yang kuat baik menyangkut hubungan internal dan eksternal. Untuk memperkuat kapasitas kelembagaan perlu meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan instansi lain, baik dengan organisasi pemerintah maupun non pemerintah, dari dalam maupun luar negeri serta masyarakat luas dengan mengembangkan suatu sistem
kemitraan.
Kemitraan
mengandung
makna
kebersamaan
dalam
melaksanakan setiap kegiatan dan komunikasi yang dibangun dengan baik agar kegiatan
tidak
saling
tumpang
tindih
atau
saling
mengganggu
dalam
pelaksanaannya di lokasi Taman Nasional. Kerjasama tersebut dilaksanakan dalam berbagai bentuk antara lain pembangunan sarana dan prasarana, bidang penelitian, pembinaan daerah
199 penyangga dan lain-lain. Selain itu juga diperlukan koordinasi dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi pengelolaan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai dengan baik. Hasil lebih lanjut yang diharapkan dari kegiatan koordinasi ini adalah terwujudnya kerjasama dan koordinasi yang baik antara pengelola kawasan dengan pihak lain serta untuk mendukung keberhasilan pengelolaan TNGR. Untuk koordinasi pengelolaan dilakukan secara terintegrasi dalam pengelolaan kawasan konservasi (Integrated Management Conservation). Dalam koordinasi pengelolaan terpadu, pengelola TNGR, melaksanakan kebijakan yang bersifat nasional dari Departemen Kehutanan dan kebijakan dasar dalam regulasi otonomi daerah dari Dinas-dinas di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur yang dikoordinasikan oleh Bupati Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Dalam setiap kegiatan pengelolaan yang dilaksanakan, harus dilakukan kegiatan pemantauan dan evaluasi agar tingkat keberhasilan kegiatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui, aspek kekuatan dan kelemahannya dapat dideteksi sehingga dapat dilakukan perbaikanperbaikan terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan serta menyusun rencana perbaikan untuk kegiatan yang akan datang. Dalam pemantauan ini juga harus melibatkan instansi-instansi yang terkait dalam koordinasi pengelolaan. Permasalahan organisasi dan kelembagaan ini menyangkut masih lemahnya
jaringan
komunikasi
vertikal
dan
horizontal.
Koordinasi
dan
sinkronisasi dalam organisasi dan kelembagaan TNGR. Koordinasi dimaksud adalah upaya membangun kesepakatan atau kesepahaman dengan pihak-pihak terkait melalui pengembangan aspirasi dari bawah. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengembangkan komunikasi dan kolaborasi publik secara berkesinambungan melalui jaringan komunikasi antar seluruh stakeholder secara kebersamaan
dalam
kesetaraan
dan
kesejajaran
peran
dengan
tetap
berlandaskan pada keseimbangan ekoslogis, ekonomis, dan sosial. Sementara itu secara bersamaan dilakukan pendekatan sinkronisasi yang lebih ditujukan untuk menselaraskan kebijakan pusat dan daerah. Hal ini perlu dilakukan untuk memadukan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan rencana pengembangan TNGR termasuk berbagai faktor eksternal serta keterkaitan kepentingan antara wilayah. Jika konservasi memang telah menjadi komitmen politik nasional, sudah semestinya penegakan pilar-pilar konservasi harus terus dilakukan. Untuk
200 melakukan hal ini diperlukan reoreintasi dan reposisi terhadap pelaksanaan konservasi secara nasional, maupun lokal.
Pengelola kawasan TNGR tidak
hanya banyak menjaga dan menonton kawasan TNGR, tetapi berupaya untuk menggali potensi dan memegang hakekat konservasi.
Pihak pengelola perlu
banyak berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar kawasan TNGR mengingat masih lemahnya sense of belonging masyarakat terhadap kawasan TNGR. Komunikasi tidak hanya dalam bentuk pendekatan penyuluhan melainkan juga kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang pencapaian pilar-pilar konservasi tersebut. Dalam konteks ini, basis kemasyarakatan harus terus menjadi landasan pengelolaan kawasan konservasi TNGR. Pengembangan community based management perlu dilaksanakan mengingat kesejarahan kawasan TNGR yang memang
begitu
banyak
kepentingan
terhadap
kawasan
ini
bahkan
pemanfaatannya sudah lintas wilayah, seperti pemanfaatan jasa hidrologis oleh masyarakat di sekitar TNGR. Bertolak dari pemikiran ini, koordinasi dan partisipasi antar stakeholders yang terlibat sangat diperlukan dengan dilandaskan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati peran dan tujuan masing-masing pihak, saling mendukung upaya pencapaian misi para pihak, dan saling bekerjasama mengatasi konflik. Guna memastikan terselenggaranya koordinasi dan partisipasi antar stakeholder, maka perlu melakukan langkah-langkah (Abas, 2005) sebagai berikut: -
Membangun kesamaan persepsi antar stakeholder mengenai pengembangan TNGR secara terintegrasi
-
Membangun komitmen bersama antar stakeholder untuk meningkatkan koordinasi dan partisipasi
-
Membangun jaringan dan sistem informasi antar stakeholder
-
Membangun sistem koordinasi dan partisipasi antar stakeholder Berkenaan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di kawasan
penyangga TNGR secara lebih efektif dan efisien, maka sinkronisasi program dan kegiatan mutlak diperlukan. Satu kelompok sasaran harus dibina secara komprehensif dengan melibatkan para pihak terkait secara proporsional. Dengan demikian diperlukan adanya organisasi atau lembaga yang menjadi penggerak (inisiator) dan mengkoordinir kegiatan pemberdayaan. Untuk keperluan tersebut, ada 2 (dua) alternatif yang dapat dilakukan. Pertama, struktur organisasi Balai TNGR perlu ditambahkan “Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga (SPKP)”.
201 Seksi ini diharapkan menjadi penghubung stakeholders dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) adalah sosialisasi dan koordinasi kegiatan pemberdayaan masyarakat, termasuk sebagai Pos Pengaduan TNGR (Gambar 31). Kedua, seandainya SPKP tidak bisa dibentuk karena sudah ada ketentuan baku tentang struktur organisasi Balai TNGR, maka tugas pokok dan fungsi (tupoksi) SPKP harus dapat dilaksanakan oleh Kepala Balai TNGR atau pejabat yang ditunjuk.
BALAI TNGR
Sub. Bag. TU
SPTN I Lombok Barat
SPTN II Lombok Timur
Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga (SPKP)
Resort Aik Berik
Resort Senaru Resort Anyar Resort Santong
Resort Stiling
Sosialisasi
Resort Joben
Koordinasi
Resort K.Kuning Resort Aikmel
Posko Pengaduan
Resort Sembalun Klp. Fungsional
Gambar 31. Usulan Struktur Organisasi Balai TNGR
8.8 Pembiayaan untuk Pemberdayaan Pembiayaan untuk pengelolaan TNGR di masa mendatang membutuhkan inovasi berupa pencarian sumber-sumber pembiayaan baru selain dari sumber pembiayaan yang telah ada. Saat ini sumber pembiayaan berasal dari pemerintah pusat dan sebagian dari karcis masuk TNGR (untuk pendakian). Alternatif lain pembiayaan TNGR antara lain dengan menjalin kerjasama dengan lembaga donor dari dalam maupun luar negeri, kerjasama usaha dengan tour operator dan penyelenggara wisata (homestay, hotel dan lain-lain), masyarakat sekitar maupun kerjasama dengan LSM. Pariwisata alam di TNGR merupakan bagian dari pengelolaan kawasan konservasi dimana kepemilikan dan pemanfaatan TNGR adalah public goods.
202 Oleh karena itu pengelolaan dan pembiayaan utama berasal dari public dan dipertanggung-jawabkan secara public pula. Beberapa alternatif sumber pembiayaan termasuk yang bersifat partisipatif antara lain: 1. Sumber Pembiayaan Utama Sumber utama pembiayaan TNGR adalah dari pemerintah pusat, berupa anggaran rutin, anggaran APBN, dana reboisasi, dana program/proyek, atau dana pinjaman yang dibayar pemerintah pusat. Diharapkan untuk masa mendatang, pendapatan
dari pariwisata alam (ekowisata) TNGR dapat
membiayai operasional kegiatan pengelolaan sehingga dapat mengurangi beban biaya dari pemerintah. 2. Sumber Pembiyaan Pendukung Sumber pembiyaan pendukung ini berupa
bantuan atau investasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah propinsi dan/atau pemerintah kabupaten sebagai bagian dari rasa kepemilikan terhadap TNGR sebagai icon bagi masyarakat dan pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat. 3. Sumber Pembiyaan Partisipatif Sumber pembiayaan partisipasif ini berasal dari kalangan investor yang berusaha di kawasan TNGR. Selain itu sebagai wujud rasa tanggung jawab segenap lapisan masyarakat dapat dilakukan penarikan retribusi jasa lingkungan (misalnya untuk air irigasi dan air minum). Penarikan retribusi air minum ini bisa dilakukan bersamaan dengan pembayaran rekening air bulanan
bagi setiap pelanggan yang besarnya proporsional berdasarkan
besar kecilnya konsumsi air. Untuk wilayah Kabupaten Lombok Barat, telah dikeluarkan Perda No 4 tahun 2007 tentang “Pengelolaan Jasa Lingkungan”. Dalam perda ini disebutkan bahwa obyek pembayaran jasa lingkungan meliputi: (1) berdasarkan manfaat langsung yang terdiri atas air permukaan dan air bawah tanah yang dikomersialkan, dan (2) berdasarkan manfaat tidak langsung yang terdiri atas wisata alam, hutan raya, hutan adat, hutan lindung, dan hutan wisata. 4. Sumber Pembiyaan Sukarela Pembiayaan dapat berupa sumbangan sukarela atau pinjaman tanpa bunga dan tidak mengikat. Pembiayan ini dapat berasal dari lembaga donor nasional
dan
internasional,
Lembaga
swadaya
masyarakat
ataupun
203 perorangan. Pembiayaan sukarela ini tetap harus dikoordinasikan dengan pemerintah pusat sebagai pemegang kendali keuangan TNGR. 5. Hasil Pengembangan Ekowisata Salah satu sumber penerimaan potensial adalah dari hasil pengembangan ekowisata, hanya saja biaya yang dialokasikan untuk konservasi relatif kecil, bahkan terjadi konflik dalam pengelolaan. Sebagai contoh, objek wisata Otak Kokoq Joben (wilayah TNGR) dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, tapi pelaksana-annya dikontrakkan ke pihak kedua dengan nilai kontrak untuk tahun 2007 sebesar Rp 158 700 000,- Dari jumlah tersebut hanya Rp 5 juta (3,15%) diserahkan ke Balai TNGR untuk biaya konservasi. Selain sumber pembiayaan seperti yang disebutkan di atas, alternatif sumber pembiayaan lainnya adalah melalui keterlibatan lembaga keuangan (perbankan). Dalam hal ini skim kredit yang selama ini diperuntukkan bagi masyarakat/pengusaha kecil; dengan beberapa penyesuaian/modifikasi dapat dialokasikan untuk membiayai kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan sapi dengan model SIDASARI. Beberapa ketentuan dan modifikasi sehubungan dengan kredit pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR dengan model SIDASARI adalah: 1) Lembaga keuangan (perbankan) membiayai modal awal pembelian sapi yang akan dipelihara oleh kelompok sasaran 2) Masa tenggang waktu pengembalian (grace period) pinjaman adalah 4 - 5 tahun (satu kali periode pemberdayaan) 3) Bunga pinjaman disubsidi oleh pemerintah 4) Pengembalian modal pinjaman diperoleh dari hasil penjualan induk sapi yang telah digunakan untuk pemberdayaan (4 kali perguliran). Dukungan dan keterlibatan lembaga keuangan juga sangat dibutuhkan dalam rangka pengembangan kegiatan usaha kecil hasil hutan bukan kayu. Tujuannya adalah untuk memperkuat struktur permodalan kelompok melalui model kredit/pembiayaan usaha kecil hasil hutan bukan kayu. Salah satu model dan mekanisme yang dapat diterapkan adalah model Kredit Usaha Mikro Pertanian Organik (KUMPO) yang dekembangkan oleh Kusmuljono (2007).
IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1 Simpulan 1. Bentuk interaksi masyarakat dengan hutan TNGR dapat dipilahkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) mengambil/memanfaatkan hasil hutan, (2) pendakian ke Puncak Rinjani dan/atau Danau Segara Anak, dan (3) bercocok tanam di kawasan TNGR. Interaksi masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu (HHK) secara nyata (significant) dipengaruhi oleh 7 (tujuh) faktor yang dapat dipilahkan menjadi 3 (tiga) kategori sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management SFM), yaitu: (1) berkenaan dengan kondisi biofisik TNGR, yaitu: lokasi interaksi; (2) berkenaan dengan sosial budaya masyarakat, meliputi: WTP dan pengetahuan lokal atau kebiasaan turuntemurun dalam memanfaatkan hasil hutan kayu (HHK); dan (3) berkenaan dengan ekonomi
masyarakat,
meliputi:
pengeluaran untuk kebutuhan makanan,
penghasilan dari luar hutan, keterlibatan dalam HKm , dan kepemilikan/pemeliharaan sapi. 2. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNGR termasuk dalam kategori “sedang”. Meski demikian secara parsial persepsi terhadap manfaat fungsional dan manfaat keberadaan termasuk kategori “tinggi”. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat telah merasakan manfaat tidak langsung (manfaat fungsional) keberadaan TNGR sebagai pencegah banjir, longsor, dan pelindung dari badai. 3. Rata-rata penghasilan masyarakat di kawasan TNGR sebesar Rp 507 839,per bulan dimana lebih dari 30%-nya bersumber dari hasil hutan, sementara rata-rata pengeluaran sebesar Rp 513 533,- per bulan (68,15% diantaranya merupakan pengeluaran untuk kebutuhan makan). Pendapatan rumahtangga memiliki hubungan positif dengan partisipasi dalam pelestarian TNGR. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan (kesejaheraan ekonomi), maka semakin besar kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian TNGR. 4. Model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan TNGR berkelanjutan adalah model yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan TNGR yang disebut Mahar-Rinjani (Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani). Ada 3 (tiga) alternatif model pemberdayaan yang dapat dilakukan, yaitu: (1) model yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
205 dan peningkatan daya dukung TNGR; (2) model yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan kondisi daya dukung TNGR tetap lestari; dan (3) model yang ditujukan khusus untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dimana kesejahteraan masyarakat dan daya dukung TNGR tetap. Model pertama meliputi 3 (tiga) bentuk kegiatan, yaitu: Arboretum Terpadu TNGR, Pendakian Berwawasan Lingkungan, dan Hutan Kompensasi; model kedua meliputi 3 (tiga) bentuk kegiatan, yaitu: Hutan Keluarga, Usaha Pemeliharaan Ternak Sapi, dan Pengembangan Usaha Kecil HHBK; serta model ketiga adalah Posko Pengaduan TNGR. 5. Berdasarkan pertimbangan ekonomi, ekologi/biofisik, dan sosial budaya, kegiatan pemberdayaan yang menjadi prioritas adalah pengembangan ternak sapi dengan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI). Model ini selain dapat meningkakan pendapatan juga menghasilkan biogas yang dapat mengganti atau mengkomversi pengguaan kayu bakar. Setiap rumahtangga sasaran yang diberdayakan dengan memelihara 3 ekor sapi dapat mengurangi penebangan liar (illegal logging) sebanyak 2 - 4,8 pohon per tahun atau secara kumulatif selama 4 (empat) tahun pembinaan di seluruh kawasan TNGR (9 resort) mencapai 1 258 – 4 355 pohon atau 6. Peberdayaan harus dilakukan secara bertahap, mulai dari penyadaran, peningkatan kapasitas dan pendayaan melalui pendekatan partisipatif dan komprehensif pada aspek ekonomi, ekologi/biofisik, sosial-budaya, dan kelembagaan.
9.2 Saran Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan serta fenomena di lapangan, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1. Pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR khususnya melalui pengembangan ternak sapi dengan model SIDASARI dapat memberikan manfaat ganda, yaitu: (1) manfaat ekonomi; dalam rentang waktu satu tahun dapat meningkatkan penghasilan kelompok sasaran sehingga mampu mencukupi semua kebutuhan pokok rumahtangga, (2) manfaat ekoligis (lingkungan); kotoran (feces) sapi dapat menghasilkan biogas yang dapat mengganti penggunaan kayu bakar sehingga dapat mengurangi penebangan liar (illegal logging), dan (3) manfaat sosial-budaya; pengembangan bahan bakar alternatif berupa biogas akan dapat menjadi insentif bagi peternak
206 (khususnya di wilayah Sembalun) untuk merubah kebiasaan menggembalakan sapi secara liar yang dapat mengganggu kelestarian TNGR menjadi pemeliharaan intensif (dikandangkan). Berdasarkan pertimbangan manfaat di atas, maka untuk mewujudkan keharmonisan antara masyarakat dengan TNGR, diharapkan untuk segera dilakukan pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR dengan pengembangan ternak sapi melalui implementasi model
SIDASARI.
Lebih
lanjut
disarankan
kepada
para
pihak
yang
berkepentingan (terutama Balai TNGR bersama dinas/instansi terkait) untuk melakukan
pembinaan
secara
komprehensif
dan
kolaboratif
melalui
pendekatan partisipatif dan berkesinambungan (bukan pendekatan proyek yang sifatnya parsial dan insidental). 2. Dalam rangka mendukung pengembangan ternak melalui model SIDASARI, selain dapat mengambil rumput dari areal TNGR, diharapkan pada zona pemanfaatan (khususnya pada areal jalur hijau yang berada di wilayah bagian selatan TNGR); masyarakat (khuhusnya peternak sasaran) dapat diberikan akses untuk mengembangkan rumput pakan ternak dan diatur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Untuk mengkoordinir pelaksanaan pengelolaan TNGR secara lebih efektif maka disarankan dalam struktur organisasi Balai TNGR ditambahkan “Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga” dengan tugas pokok sosialisasi dan koordinasi kegiatan pemberdayaan masyarakat, termasuk sebagai Pos Pengaduan TNGR. 4. Hendaknya
para
porter
diberi
pembekalan
tentang
kelestarian
dan
kebersihan lingkungan serta diberi tanggung jawab untuk menjaganya. Porter harus bertanggung jawab atas kelestarian dan kebersihan jalur pendakian (setiap orang/kelompok harus bertanggung jawab pada areal tertentu) dan kepadanya dapat diberikan rewort atau sanksi selama waktu tertentu; dalam hal ini perlu ada pengawasan dan aturan yang tegas. 5. Khusus untuk wilayah Sembalun perlu ada introdusir teknologi budidaya komoditi pertanian yang tidak menggunakan ajir seperti jagung atau komoditi unggulan lainnya yang bisa disimpan lebih lama sehingga dapat menghindari kerugian akibat rendahnya harga pada saat panen raya.
DAFTAR PUSTAKA
Abas R. 2005. Mekanisme Perencanaan Partisipasi Stakeholder Taman Nasional Gunung Rinjani [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Abidin R, Ontarjo J, Wasis B. 2003. Kehutanan : Masa Lalu, Kini dan Mendatang. Bogor: Alqaprint Jatinangor bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan IPB. Amirudin, Suardji, Usman A. 2001. Studi Dampak Keberhasilan Program HKm di NTB [Laporan Penelitian]. Mataram: Pusat Kajian Sumberdaya Kehutanan (PKSK), Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Anwar JZS, Asikin M. 2001. Aplikasi Perhitungan Neraca Sumberdaya Hutan di Indonesia. Di dalam: Natural Resources Accounting [Prosiding]. Jakarta: Direktorat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, BPPT. Arief S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta: UI-Press. Azwar S. 2007. Sikap Manusia. Teori dan Pengukurannya. Edisi ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arman C. 2007. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Menggunakan Sistem Pengkadasan Lombok Tengah [Laporan Penelitian]. Mataram: Fakultas Peternakan, Universitas Mataram. Balai Taman Nasional Meru Betiri. 2002. Identifikasi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Sekitar Penyangga Taman Nasional Meru Betiri [Laporan Penelitian]. Jawa Timur: kerjasama Balai Pengelolaan DAS Sampean – Madura, Balai Taman Nasional Meru Betiri, dan Universitas Jember. Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. 2006a. Buku Informasi Taman Nasional Gunung Rinjani. Mataram: Balai TNGR. Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. 2006b. Data Dasar Sumberdaya Alam Taman Nasional Gunung Rinjani. Mataram: Balai TNGR. Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. 2007. Laporan Daftar Daerah Rawan Gangguan di Taman Nasional Gunung Rinjani. Balai TNGR. Mataram: Balai TNGR. Bappeda Propinsi NTB. 2004. Sumberdaya Alam Spasial Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram: Bappeda NTB. Bappeda Propinsi NTB. 2006. Sumberdaya Alam Spasial Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram: Bappeda NTB. Basari Z. 2004. Analisis Biaya Pemanenan Kayu Bulat Sistem Kemitraan HPHKoperasi Desa di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Volume 22 No. 2 Agustus 2004.
208 Bergson. 1954. On the Concept of Social Welfare, Quarterly Journal of Economics. The Foundations of Welfare Economics. Economic Journal. Vol. 69. (http://cepa.newschool.edu/het/essays/paretian/paretosocial.htm) Bulo D, Prabowo A dan Sabran M. 1992. Pemanfaatan Daun Kaliandra sebagai Tambahan Pakan Kambing yang Diberi Rumput Benggala. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II, hal 56-58. Campbel BM. 2004. Empowering Forest Dwellers and Managing Forests More Sustainability in the Landscapes of Borneo. www.cifor.cigar.org.case4.pdf Carson RT, Flores N, Meade NF. 2000. Contingent Valuation: Kontroversi dan Bukti. Departement of Economics University of California. San Diego Notional Oceanic and Atmospheric Administration, US. Departement of Commerce. Chambers R. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Cochran WG. 1991. Teknik Penarikan Sampel. Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press. Colin P. 2000. Valuation of Unpriced Products: Contingent Valuation, CostBenefit Analysis and Participatory Democracy. Land Use Policy 17 (2000) 187-196. Bangor: School of Agricultural and Forest Sciences, University of Wales. Darusman, D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Bogor: Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB. Dephut RI. 2003. Pedoman Umum Pengembangan Social Forestry. Jakarta: Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Dephut RI, UNESCO, CIFOR. 2004. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Bogor: Departemen Kehutanan, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization dan Center for International Forestry Research. Dephut RI. 2005. Statistik Kawasan Konservasi Sampai dengan Februari 2005. Departemen Kehutanan. Dephut RI. 2006. Master Plan Pengembangan Pariwisata Alam di Taman Nasional Gunung Rinjani. Bogor: PT. Sarbi Moerhani Lestari. Dinas Kehutanan Dati I NTB. 1997. Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Gunung Rinjani 1998–2003 (Buku I, II dan III). Mataram: Dinas Kehutanan Provinsi Dati I NTB. Dinas Kehutanan Propinsi NTB. 2005. Laporan GN-RHL Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram: Dinas Kehutanan NTB. Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan, Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dephut RI bekerjasama dengan The Ford Foundation. 2004. Jakarta: Kumpulan Laporan Studi Lapang Praktik-Praktik Social Forestry.
209 Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan, Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dephut RI bekerjasama dengan The Ford Foundation. 2004. Jakarta: Belajar dari Praktisi Lokal. Dunleavy. 1991. Rational Choice Theory. http://en.wikipedia.org/wiki/Welfare_economics#Paretian_Welfare_Economics (22/4/2008: 12 wita). FAO. 1981. Feasibility Study of the Rinjani Complex Lombok. Field Report of Project National Park Development. Jakarta: Food and Agricultural Organization - UNDP. Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Forest Watch Indonesia. 2003. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C. Global Forest Watch. Gaspersz V. 1992. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Edisi Pertama. Bandung: Tarsito. Goodman DJ and Rizer G. 2003. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Alimandan, penerjemah. Jakarta: Perpustakaan Nasional. Haeruman HJs, Eriyatno. 2001. Kemitraan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal (Bunga Rampai). Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan Bussiness Innovation Center of Indonesia. Hairiah K, Sarjono, Agung M, Sambas S. 2003. Pengantar Agroforestry. Word Agroforestry Centre (ICRAFT) Southeast Asia. Web Site: http/www.worldagroforestrycenter.org/sea atau http: www.icraft.cigar.org/sea. Hardin G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science 162, 1243 (1968); DOI: 10.1126/Science.162.3859.1243. http//www.sciencemag.org/cgi/content/full/162/3859/1243. March 25, 2007. Hidayati RD, Tambunan CCH, Nugraha A, Amunudin I. 2006. Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu. Tangerang-Banten: Wana Aksara. Howel RE, Olsen ME and Olsen D. 1987. Designing A Citizen Involvement Program. Guide Book for involving Citizens in the Resolution of Environment Issues. Western Rural Development Center. USA: Oregon State University. Corvallis Oregon. Inoue M. 1998. Characteristics of Participatory Forest Management Systems in Southeast Asian Countries. Japan: Laboratory of Forest Policy, The University of Tokyo, Japan/Institute for Global Environment Strategies.
210 Iskandar J. 1998. Swidden Cultivation as a form of cultural identity: the Baduy case. [Dissertation]. University of Kent at Canterbury. Iskandar U, Nugroho A. 2004. Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Isu dan Agenda Mendesak. Jogjakarta: Debut Press. IUCN. 1980. World Conservation Strategy: Living Resource Conservation for Sustainable Development. Gland, Switzerland: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources - UNEP - WWF. IUCN. 1985. United Nations List of National Parks and Protected Area. Gland, Switzerland: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Just RE, Hueth DL, Schmitz A. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. USA: Prentice-Hall Inc. Kadarsih S. 2004. Performans Sapi Bali Berdasarkan Ketinggian Tempat di Daerah Transmigrasi Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB. Vol X No 2. Juli 2004. Bengkulu: h 119-126. Karki M. 2001. Institusional and Socioeconomic Factors and Enabling Policies for Non-Timber Product-Based Development in Northeast India. Paper presented in the Pro-Identification Workshop for NTFP and Published IFAD Report No.1145-In March 2001. Kartasubrata J. 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia. Buku I. Bogor: Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB. Kertanegara, Maskur. 2007. Aplikasi Teknologi Reproduksi Dalam Rangka Pemberdayaan Peternak Kerbau di Lombok Tengah [Laporan Penelitian]. Mataram: Fakultas Peternakan, Universitas Mataram. Komite
PPA-MFA, Yayasan WWF-Indonesia. 2006. Kemitraan Dalam Pengelolaan Taman Nasional: Pelajaran untuk Transformasi Kebijakan. Jakarta: WWF-Indonesia and MFP Dephut DFID.
Kusmuljono BS. 2007. Sistem Pengembangan Usaha Pertanian Berbasis Lingkungan Didukung Lembaga Keuangan Mikro [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kusumo BH et al. 2004. Penyusunan Rencana Pengelolaan PHBM di Kabupaten Lombok Timur. Mataram: Pusat Penelitian dan Pembangunan Perdesaan (P3P) Universitas Mataram. Kurniawati D. 2006. Analisis Pemanfaatan hasil Hutan Non Kayu Pakis dan Nangka di Desa Penyangga TNGR [Laporan Penelitian]. Mataram: Balai TNGR.
211 Liswanti N, Indrawan A, Sumardjo, Sheil D. 2004. Persepsi Masyarakat Dayak Merap dan Punan tentang Pentingnya Hutan di Lansekap Hutan Tropis, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Volume X No. 2. Juli - Desember 2006. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1992. Managing Protected Areas in the Tropics. Gland, Switzerland: IUCN. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kreteria Majemuk. Teknik dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.. Markum, Sutedjo EB, Hakim MR. 2004. Dinamika Hubungan Kemiskinan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Pulau Kecil Kasus Pulau Lombok. Mataram: WWF Indonesia Program Nusa Tenggara. Maskur. 2006. Analisis Pengembangan Ternak Sapi di Pulau Lombok. Mataram [Laporan Penelitian]. Fakultas Peternakan, Universitas Mataram. McNelly JA. 1988. Economis and Biological Diversity; Developing and Using Economics Incentives to Conserve Biological Resources. Gland, Switzerland: IUCN. Miller KR. 1978. Planning National Park for Ecodevelopment: Method and Case from Latin Amerika. Madrid: Institute de la Craza Fotographics Ciencias de la Naturaleza Centro Iberamericane de Cooperation. Meuller DJ. 1996. Mengukur Sikap Sosial: Pegangan untuk Peneliti dan Praktisi. Kartawidjaja ES, penerjemah; Jakarta: Bumi Aksara. Terjemahan dari: Meaturing a Social Attitudes: A Handbook for Researchers and Practitioners. Muktasam et al. 2003. Implementasi Agroforestry dan Sistem Usahatani Terpadu Melalui Partisipasi Masyarakat Daerah Pinggiran Hutan dan Lahan Kering Miring [Laporan Penelitian]. Mataram: P3P Universitas Mataram NRC (National Research Council). 1983. Calliandra: a Versatile Small Tree for the Humid Tropics. Washington DC: National Academy Press. 52 p. Nurrochmat DR. 2006. Dasar-Dasar Valuasi Ekonomi. Bahan Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau Departemen Kehutanan. Bogor: Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan IPB. Pane I. 1990. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali. Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3 Bali). [Proseding Seminar Nasional]: h11–14. Parera E, Darusman D, Simangunsong B. 2006. Nilai Ekonomi Total Hutan Kayu Putih: Kasus di Desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Propinsi Maluku. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Volume XII No. 1. Januari April 2006. Paretian Welfare Economics. http://en.wikipedia.org/wiki/Welfare_economics#Paretian_Welfare_Econo mics (22/4/2008: 12 WITA)
212 Parson RJ, Jorgensen JD, Hernandez SH. 1994. The Integration of Social Work Practice. California: Brooks/Cole. Pearce DW, Turner RK. 1990. Economics of Natural Resourcer and The Environment. BPCC Wheatons Ltd, Exeter. Pindyck RS, Rubinfeld DL. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. New York: McGraw-Hill, Inc. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata M, penerjemah. Jakarta: Yayasan Obor. Terjemahan dari: a Primer of Conservation Biology. Pottinger AJ, Dunsdon AJ. 2000. Provenance Trials. In: J.R. Chamberlain, (ed.) Calliandra calothyrsus: an Agroforestry Tree for the Humid Tropics. OFI Tropical Forestry Paper No. 40. Oxford Forestry Institute, Oxford, UK. p 49-62. Pusat Penelitian Perencanaan Regional (P3R) Unram. 2004. Rencana Pengembangan Usaha (Bisnis Plan) KAPET Bima dan Pra Studi Kelayakan Peluang Investasi [Laporan Penelitian]. Mataram: Kerjasama Badan Pengelola Kapet Bima dengan P3R Unram. Puslitbang Peternakan. 2007. Petunjuk Teknis Pembuatan Kompos Berbasis Kotoran Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Putri EIK. 2004. Ekonomi Lingkungan. Bogor: PS PSL Sekolah Pasca sarjana IPB. Rakhmat J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rapport J. 1984. Studies in Empowerment. Introduction to The Issues. Prevention in Human Issue. USA. Rhiti H. 2005. Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Rianto B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat sekitar Hutan Dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Roshetko JM. 2000. Calliandra Calathyrsus di indonesia. Proseding Lokakarya Produksi Benih dan Pemanfaatan Kaliandra. Bogor: 14-16 Nopember 2000 p 27 – 30. Roshetko JM, Lesueur D, Sarrailh JM. 1997. Establishment. In: M.H. Powell, ed. Calliandra calothyrsus Production and Use: A field Manual. Forest, Farm, and Community Tree Network. Morrilton, Arkansas, USA: Winrock International and Taiwan Forestry Research Institute. p 11-22
213 Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan Dalam situasi yang Kompleks. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Sanin B. 2006. Ekonomi Lingkungan dan Analisis Kebijakan. Bogor: Sekolah Paskasarjana Institut Pertanian. Schonhuth M, Kievelitz U. 1994. Participatory Learning Approaches: an Introductory Guide. Germany: GTZ. Setyowati AB. 2006. Metodologi Partisipasi dalam Kolaborasi: Tinjauan Kritis terhadap Partisipasi. Sinergi, Jurnal Manajemen Kolaborasi. Volume 1 Nomor 2 Tahun 2006. Bogor: h 49-54. Siegel S. 1990. Statistic Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Sayuti Z dan Simatupang L, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama. Terjemahan dari: nonparametric Statistics. Sila AM. 1996. Calliandra for Community Development in Sulawesi. In: D.O. Evans, ed. International Workshop on the Genus Calliandra. Proceedings of a Workshop held January 23-27, in Bogor, Indonesia. Forest, Farm, and Community Tree Research Reports (Special Issues). Morrilton, Arkansas, USA: Winrock International. p 134-136 Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Soemarwoto O. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Soemarwoto O. 2005. Menyinergikan Yogyakarta: PD Anindya.
Pembangunan
dan
Lingkungan.
Storey D. 1999. Issues of Integration, Partcipation and Empowerment in Rural Development: The Case of LEADER in the Republic of Ireland. Journal of Rural Studies 15(3):307-315. Stuart TH. 1993. Participation for Empowerment and Sustainability: How Development Support Communication (DSC) Spels the Difference. Philippines: University of the Philippines Los Banos. Suadnya IW, Muktasam, Martindah E, Saptati A. 2007. Pemberdayaan Peternak Sapi Dalam Rangka Peningkatan Produksi Daging: Sebuah Aplikasi Pendekatan Participatory Action Research di Pulau Lombok – NTB. [Laporan Penelitian]. Kerjasama Universitas Mataram dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Balai Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. Sudarmadji. 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Konservasi Sumberdaya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 3 No 1 2002: 50-55. Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK) IPB.
214 Suhendang E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan. Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Sukadaryati. 2006. Potensi Hutan Rakyat di Indonesia dan Permasalahannya. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor: p 49-57. Sukardi L, Tajidan, Sahri. 2001. Pengembangan Spesifikasi Lokalita Wilayah Sentra Industri Pariwisata di Kabupaten Lombok Barat [Laporan Penelitian]. Mataram: Kerjasama Pusat Penelitian Perencanaan Regional (P3R) Unram dengan Balitbang dan Diklat Kabupaten Lombok Barat. Sunaryo. 2003. Laporan Kunjungan ke Costa Rica. Jakarta: Departemen Kehutanan. Suparmoko. 2006. Panduan dan Analisis Valuasi Ekonomi Sumberdaya alam dan Lingkungan. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE. Syahyuti, 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian: Penjelasan tentang “Konsep, Istilah, Teori dan Indikator serta Variabel. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara. Tanari M. 2007. Usaha Pengembangan Sapi Bali Sebagai Ternak Lokal Dalam Menunjang Pemenuhan Kebutuhan Protein Asal Hewani di Indonensia. Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau. http://peternakanuin.blogspot.com/. Tangendjaja B, Wina E, Palmer B, Ibrahim T, penyunting. 1992. Kaliandra dan Pemanfaatannya. ACIAR dan Balitnak. Trasform, ICCON, 2007. Membingkai Pengalaman Merajut Harapan. Belajar dari Mitra MFP Mengelola Sumberdaya Hutan di Nusa Tenggara. Tolomundu, F, Markum, Editor. Mataram: Lembaga Trasform dan ICCON.. Ty HX, et al. 1997. Uses. In: M.H. Powell, ed. Calliandra calothyrsus Production and Use: A field Manual. Forest, Farm, and Community Tree Network. Morrilton, Arkansas, USA: Winrock International and Taiwan Forestry Research Institute. p 23-28 Yuwono DM, Subiharta, Prasetyo A, Bulu JG. 2005. Pemberdayaan Petani Melalui Pelatihan Pembuatan Kompos Kotoran Sapi di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu, di Kabupaten Pemalang. http://ntb.litbang.deptan.go.id/2005/TPH/pemberdayaanpetani.doc Warner W. 1997. Consensus participation: An Example for Protected Areas Planning. Public Administration and Development, Vol.17, p. 413-432. Warsi. 2002. WARSI Dorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. http://www.warsi.or.id/News/2002/News_200206_CBFM.htm
215 Widada. 2008. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Upaya Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. http://72.14.235.132/search?q=cache:qCbxgtrg9ywJ:tumoutou.net/3_sem 1_012/widada.htm+pemberdayaan+masyarakat+sekitar+taman+nasional &hl=id&ct=clnk&cd=35&gl=id Widodo T. 2006. Perencanaan Pembangunan : Aplikasi Komputer. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Wikipedia Indonesia. Hutan Rakyat. http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_rakyat. Wina E, Tangendjaja B, Palmer B. 2000. Free and Bound Tannin Analysis in Legume Forage. In: Brooker, J. (ed). Tannins in livestock and Human Nutrition. ACIAR Proceeding no 92: 82-85. Wiratno, Indriyo D, Syarifudin A, dan Kartikasari A. 2004. Berkaca di Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta: Departemen Kehutanan, The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Wrihatnolo RR, Dwidjowijoto RN. 2007. Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Wulandari C. 2005. Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar Hutan dalam Mengatasi Agroforestri di Lahan Pekarangan. Jurnal Hutan Rakyat. Vol VII No. 1 Tahun 2005. Wulandari C et al. 2006. Prinsip-prinsip Penerapan Community Empowerment Dalam Agenda Konservasi WWF-Indonesia. Jakarta: WWF-Indonesia. WWF Program Nusa Tenggara. 2002a. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Kawasan Gunung Rinjani. Mataram: WWF-Indonesia. WWF Program Nusa Tenggara. 2002b. Economic Change, Poverty and Environment [Research Report]. Mataram: WWF-Indonesia. WWF-Indonesia. 2006. Kemitraan Dalam Pengelolaan Taman Nasional. Pelajaran untuk Transformasi Kebijakan. WWF-Indonesia.
237
LAMPIRAN
216 Lampiran 1.
Nilai Manfaat Ekonomi (milyar rp)
E s tim as i Nilai M anfaat Jas a P ariwis ata A lam TNG R Terhadap E k onom i Internas ional, Nas ional dan Lok al P eriode 2001 s .d 2005
2.500
2.000
1.500
1.000
500
-
2001
2002
2003
2004
2005
E s tim as i Nilai M anfaat Jas a P ariwis ata A lam THD E k onom i Internas ional
85
1.175
1.291
2.030
2.090
E s tim as i Nilai M anfaat Jas a P ariwis ata A lam THD E k onom i Nas ional
7
63
68
107
111
E s tim as i Nilai M anfaat Jas a P ariwis ata A lam THD E k onom i Lok al
4
39
42
66
68
Tahun
Grafik Nilai Manfaat Ekonomi Jasa Pariwisata Alam di TNGR Terhadap Ekonomi Internasional, Nasional dan Lokal (Sumber : Dephut RI 2006) Keterangan: Estimasi nilai ekonomi internasional dari pengeluaran transportasi luar negeri Estimasi nilai ekonomi nasional dari pengeluaran transportasi dari luar NTB ke NTB Estimasi nilai ekonomi lokal NTB adalah dari jumlah pengeluaran selama di NTB
217
.Lampiran 2. Kondisi Neraca Air DAS di Pulau Lombok DAS / SSWS
Luas (Km2)
Potensi (juta m3) 2003 2005
Kebutuhan (juta m3) 2003 2005
502
198
194
78,25
Dodokan*
2.027
1.167
1.266
2.925,59
Putih*
1.197
1.015
1.429
225,61
Menanga*
1.013
532
702
934,58
Jelateng
Neraca Air (juta m3) 2003 2005 119,75
121,19
3.422,89 -1.758,59
-2.156,89
313,60
79,39
1.115,40
960,15
-402,58
-258,15
72,81
Sumber : Bappeda NTB, 2004 dan 2006. Keterangan : * = catchment area di Kawasan Hutan Rinjani. Lampiran 3. Kondisi Debit Air di SSWS Dodokan dan Menanga, Tahun 2000 & 2003 No
DAS/SSWS
1
Dodokan
2
Menanga
Mata Air 1. Aik Nyet 2. Aik Bukak 3. Skidek 4. Montong kemo 5. benang Stukel 6. Bual 7. Nyeredet Rata-rata
8. Kembang Sri 9. Perempungan 10. Gading I 11. Aik Dewa I 12. Nyiur Sundung Rata-rata Sumber : Bappeda NTB 2004.
Debit Air (liter/detik) Penurunan 2000 2003 (%) 170,00 11,00 52,00 150,00 74,00 315,00 45,00
79,90 9,60 10,00 40,00 42,90 39,40 9,50
53,00 12,70 80,80 73,30 42,00 87,50 78,90 61,20
164,00 60,00 37,00 50,00 100,00
39,80 14,20 4,10 15,90 81,00
75,70 76,30 88,90 68,20 19,00 65,60
218 Lampiran 4. Desa-desa Sekitar Hutan Rinjani
33 35 36 42 1
41
40
34
32
31 30
26 25 24
37
39
PETA DESA SEKITAR HUTAN RINJANI, PULAU LOMBOK
28
29
SKALA 1 : 300.000
27 23
38 2 3 4
5
6 7
15 18 14 16 9 13 17 8 10 11 12
Keterangan nama-nama desa di sekitar Hutan Rinjani: 1. Kekait 8. Tanaq Beaq 15. Jurit 2. Gunungsari 9. Teratak 16. Pengadangan 3. Penimbung 10. Aik Bukak 17. Aikmel Utara 4. Duman 11. Wajageseng 18. Lenek Daya 5. Batu Kumbung 12. Pringgajurang 19. Karang Baru 6. Sesaot 13. Kembang Kuning 20. Sapit 7. Pemepek 14. Tete Batu 21. Perigi
19
20
21
22
22. Labuhan Lombok 23. Sambelia 24. Sembalun Bumbung 25. Sembalun Lawang 26. Sajang 27. Belanting 28. Obel-obel
29. Loloan 30. Bayan 31. Sukadana 32. Akar-akar 33. Selengen 34. Sesait 35. Rempek
36. Gondang 37. Bentek 38. Jenggala 39. Tanjung 40. Sokong 41. Pemenang Timur 42. Gili Indah
219
Lampiran 5. Topografi Kawasan TNGR (Sumber : Kanwil Kehutanan Prop. NTB, 1997).
220
Lampiran 6 Peta Hidrologi TNGR (Sumber : Kanwil Kehutanan Prop. NTB, 1997).
221 Lampiran 7 Luas DAS dan Sub DAS yang Tercakup Dalam Kawasan TNGR No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Nama DAS dan Sub Sub DAS Jurit DAS Putih DAS Lekok Reak DAS Lokok Reaangan DAS Lokok Peria DAS Amoranmor DAS Terutuk Sub DAS Gerengengan Sub DAS Segara Anak Sub DAS Anak Manongge Sub DAS Lenek Sub DAS Teratak DAS Dodongan Sub DAS Kokok Belek Sub DAS Jaga Jumlah
Sumber : RPTN Gunung Rinjani 1998 - 2023
Luas (Ha) 3.545 2.842 4.344 2.419 2.484 2.002 3.478 2.889 3.221 3.379 1.032 3.867 2.168 3.669 41.330
Keterangan
DAS DAS
222 Lampiran 8 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Penutupan Lahan TNGR Tahun 1997.
Lampiran 9 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Penutupan Lahan TNGR Tahun 2002
223 Lampiran 10 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Penutupan Lahan TNGR Tahun 2006
Lampiran 11 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Kerapatan Vegetasi TNGR Tahun 1997.
224 Lampiran 12 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Kerapatan Vegetasi TNGR Tahun 2002
Lampiran 13 Hasil Olahan Citra Landsat Mengenai Kerapatan Vegetasi TNGR Tahun 2006
225 Lampiran 14 Hasil analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi interakisi masyarakat dengan hutan
Regression Model Summary
Model 1
R ,630a
R Square ,397
Adjusted R Square ,343
Std. Error of the Estimate 4,992
a. Predictors: (Constant), SAPI, TOTLL, LOKASI, KMAK, ATLOKAL, PLH, KNMAK, WTP, HKM
ANOVAb
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1657,044 2517,299 4174,342
df 9 101 110
Mean Square 184,116 24,924
F 7,387
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), SAPI, TOTLL, LOKASI, KMAK, ATLOKAL, PLH, KNMAK, WTP, HKM b. Dependent Variable: FHHK a Coefficients
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta 1 (Constant) 4,574 2,150 LOKASI 5,135 1,307 ,417 WTP -6,24E-05 ,000 -,235 KMAK 8,041E-06 ,000 ,149 KNMAK 7,378E-06 ,000 ,125 PLH -4,62E-06 ,000 -,150 TOTLL -,206 ,553 -,039 ATLOKAL 2,085 1,120 ,162 HKM -3,944 1,448 -,309 SAPI -1,411 1,060 -,114
t 2,128 3,929 -2,339 1,547 1,186 -1,650 -,372 1,861 -2,723 -1,331
Collinearity Statistics Sig. Tolerance VIF ,036 ,000 ,531 1,883 ,021 ,592 1,690 ,125 ,648 1,544 ,239 ,541 1,849 ,102 ,726 1,378 ,711 ,545 1,835 ,066 ,785 1,274 ,008 ,464 2,153 ,186 ,819 1,221
a. Dependent Variable: FHHK
Keterangan Lampiran 14 LOKASI WTP KMAK KNMAK PLH TOTLL ATLOKAL HKm SAPI
= Lokasi Interaksi (TNGR =1; luar TNGR = 0) = Willingness to pay (Rp/bulan) = Pengeluaran konsumsi untuk makanan (Rp/bulan) = Pengeluaran konsumsi untuk keperluan selain makanan (Rp/bulan) = Penghasilan rumahtangga dari luar hutan (Rp/bulan) = Total luas lahan responden (ha) = Adanya aturan/kebiasaan turun temurun dalam pengambilan kayu di hutan (ada = 1, tidak = 0) = Keikutsertaan dalam program HKm (ikut = 1, tidak = 0) = Kepemilikan/Pemeliharaan Sapi (ada -= 1, tidak = 0
226
Lampiran 15 Jumlah Rumahtangga Menurut Penggunaan Bahan Bakar No
Nama Desa
Resort
Kec. Bayan 1 Bayan Senaru 2 Loloan 3 Sambik Elen 4 Senaru 5 Akar-Akar Anyar 6 Sukadana 7 Anyar 8 Mumbul Sari Kec.Kayangan 1 Kayangan Santong 2 Sesait 3 Santong 4 Selengen 5 Gumantar 6 Dangiang 7 Salut 8 Pendua Kec. Kopang 1 Wajageseng Stiling Kec. Batukliang Utara 1 Setiling 2 Aikberik Aikberik 3 Lantan 4 Karang Sidemen Kec. Montong Gading 1 Pringgajurang Joben 2 Montong Betok 3 Perian 4 Jenggik Utara Kec. Sikur 1 Tete Batu Kembang 2 Kembang Kuning Kuning Kec. Pringgasela 1 Jurit 2 Pengadangan Kec. Aikmel 1 Lenek Daye Aikmel 2 Aikmel Utara Kec. Suela 1 Sapit Kec. Wanasaba 1 Karang Baru 2 Bebidas*
Minyak Tanah
Kayu Bakar
Gas/ Listrik
Lainnya
Jumlah
Persen Kayu
40 68 92 286 117 114 299 120
473 861 581 592 1.364 1.417 1.538 761
-
513 878 -
1.026 929 673 1.756 1.481 1.531 1.837 881
46,10 92,68 86,33 33,71 92,10 92,55 83,72 86,38
172 337 191 168 33 53 66 6
1.245 1.641 1.410 .508 1.349 788 944 488
1 -
-
1.418 1.978 1.601 1.676 1.382 841 1.010 494
87,80 82,96 88,07 89,98 97,61 93,70 93,47 98,79
632
2,450
-
-
3,082
79.49
283 314 289 283
1,097 1,217 ,121 1,096
-
-
1,380 1,531 1,410 1,379
79.49 79.49 79.49 79.49
847 1.436 697 211
1.893 2.991 1.619 .248
11 21 7 -
-
2.751 4.448 2.323 1.459
68,81 67,24 69,69 85,54
1.053 87
1.699 707
2 1
-
2.754 795
61,69 88,93
1.322 986
1.712 2.698
2 3
-
3.036 3.687
56,39 73,18
470 515
1.480 .721
-
-
1.950 3.236
75,90 84,09
256
852
-
-
1.108
76,90
897 472
2.703 763
-
-
3.600 1.235
75,08 61,78
227 Lanjutan Lampiran 15 No
Nama Desa
Kec. Sembalun 1 S. Bumbung 2 S. Lawang 3 Sajang JUMLAH
Resort Sembalun
Minyak Tanah 140 147 44 13.543
Kayu Bakar 1.397 .743 746 50.913
Gas/ Listrik 48
Lainnya 1.391
Jumlah 1.537 1.890 790 65.895
Persen Kayu 90,89 92,22 94,43 77,26
228 Lampiran 16 Desa-desa yang telah Mendapatkan Kegiatan Pembinaan Daerah Penyangga oleh Taman Nasional Gunung Rinjani No.
Kecamatan/ Desa
I. SKW I Lombok Barat 1. Bayan 1 Akar-akar 2 Sukadana
3
Loloan
4 Sambik Elen 2. Kayangan 5 Sesait 6 Santong 7 Selengen 8 Gumantar 9 Mumbul Sari II. SKW II Lombok Timur 1 Terara 10 Perian 2 Sikur 11 Tete Batu 12 Kembang Kuning 3 4 5
6
7 8 9
10 11
Masbagik 13 Jurit Pringgasela 14 Pengadangan Aikmel 15 Lenek Utara 16 Aikmel Utara Sembalun 17 Sembalun Bumbung 18 Sembalun Lawang 19 Sajang Swela 20 Sapit Wanasaba 21 Karaeang baru Montong gading 22 Pringga jurang 23 Montong Betok Kopang 24 Wajageseng Batukliang Utara 25 Aik Berik 26 Steling
Luas Penyang ga (Km2)
Jumlah Pendu duk
Jumlah KK
Jenis Pembinaan
Luas/ Jumlah
6,76 45,9
6.761 5.288
1.872 1.121
6 ekor 60 ekor
6
1999/2000 2006
5.000 btg
100
2004
7,10
5.467
1.720
-
-
-
1,8 8,8 4,06 -
8.380 5.112 6.918 -
1.820 1.286 1.676 -
Ternak sapi Ternak sapi Ternak sapi MPTS MPTS
6 ekor 6 ekor 6 ekor 5.000 btg 5.000 btg
60 60 60 100 100
2000 2002 1999 2003 2004
9,75
7.940
2.377
Ternak itik
225 eko
50
1999/2000
26,24
9.308
2.553
Ternak itik MPTS/Kelap a dan urian
225 ekor 5000 btg
30 100
1999/2000 2003
8,64
10.806
2.551
Ternk itik
225 ekor
59
1999/2000
9,67
12.703
2.733
Ternak sapi
6 ekor
60
2002
26,29 57,09
6.357 10.506
1.669 2.793
MPTS optic hidup Ternak sapi
5000 btg 10 Ha 6 ekor
200 20 60
2002 1998/1999 2002
-
-
-
3000 btg
42,39
4.619
1.322
MPTS/mang ga MPTS MPTS
5.000 btg 5.000 btg
100 100
2003 2001
17,00
3.667
1.170
MPTS
5000 btg
100
2001
37,38
17.681
4.185
Ternak sapi
6 ekor
60
2000
Ternak sapi Ternak sapi
5 ekor 5 ekor
50 50
2003 2004
MPTS
5.000 btg
100
2001
Ternak sapi Ternak Sapi
5 ekor 8 kor
50
2004 2006
11.489
2.878
60 20
Thn
Ternak sapi Ternak Kambing MPTS/ Coklat Ternak Sapi Ternak Kambing MPTS
14,34
6 ekor 40 ekor
Sas aran / KK
5.000 btg
1999/2000 2000 2003
2003
229 Lampiran 17 PERKEMBANGAN JUMLAH SAPI UNTUK PEMBERDAYAAN PADA 9 RESORT TNGR Skenario A Tingkat Reproduksi Sapi Bali = 100% Tingkat Kematian = 0% Sex Ratio = 50% Klp Sasaran
Jlh sapi (ekor)
Keterangan
INDUK SAPI AWAL
4
270
3
270
2 1
270
.- Jumlah induk tetap .- Pemeliharaan bergulir
270 270 1
2
3
4
ANAK SAPI MILIK KLP
4
SASARAN
3
180 180
2 1
180
180
180
180 1
2
180
3
90
270
4
810
ANAK SAPI MILIK
4
TNGR + KLP
3
90 90
2 1 Jlh kumulatif sapi
90
90
90
90 1 540
2 810
90
3 1080
TAHUN
dijual
90
4 1440
360
.- Anak sapi 50% jantan: untuk penggemukan dan 50% betina untuk dikembangbiakkan .- Pada akhir tahun ke-4, sapi milik kelompok tahun I (50% betina) melahirkan pertama
- Dipelihara sampai tahun ke-4 oleh peternak yang bersangkutan .- Tahun ke-4 dijual dengan alokasi: (1) Nilai Tambah dibagi oleh peternak dan kelompok (2) Nilai awal menjadi biaya konservasi TNGR
230 Lanjutan Lampiran 17 Skenario B Tingkat Reproduksi Sapi Bali = 85% Tingkat Kematian = 5% Sex Ratio = 50% Klp Sasaran
Jlh sapi (ekor)
Keterangan
INDUK SAPI AWAL
4
270
3
270
2 1
270
.- Jumlah induk tetap .- Pemeliharaan bergulir
270 270 1
2
3
4
ANAK SAPI MILIK KLP
4
SASARAN
3
145 145
2 1
145
145
145
145 1
2
145
3
59
204
4
639
ANAK SAPI MILIK
4
TNGR + KLP
3
73 73
2 1 Jlh kumulatif sapi
73
73
73
73 1 488
2 706
73
3 924
TAHUN
dijual
73
4 1201
292
.- Anak sapi 50% jantan: untuk penggemukan dan 50% betina untuk dikembangbiakkan .- Pada akhir tahun ke-4, sapi milik kelompok tahun I (50% betina) melahirkan pertama
.- Dipelihara sampai tahun ke-4 oleh peternak yang bersangkutan .- Tahun ke-4 dijual dengan alokasi: (1) Nilai Tambah dibagi oleh peternak dan kelompok (2) Nilai awal menjadi biaya konservasi TNGR
231 Lanjutan Lampiran 17 Skenario C Tingkat Reproduksi Sapi Bali = 85% (dihitung mulai pada sapi milik peternak) Tingkat Kematian = 5% (dihitung mulai pada sapi milik peternak) Sex Ratio = 50% Klp Sasaran
Jlh sapi (ekor)
Keterangan
INDUK SAPI AWAL
4
270
3
270
2 1
270
.- Jumlah induk tetap .- Pemeliharaan bergulir
270 270 1
2
3
4
ANAK SAPI MILIK KLP
4
SASARAN
3
180 180
2 1
180
180
180
180 1
2
180
3
73
253
4
793
ANAK SAPI MILIK
4
TNGR + KLP
3
90 90
2 1 Jlh kumulatif sapi
90
90
90
90 1 540
2 810
90
3 1080
TAHUN
dijual
90
4 1423
360
.- Anak sapi 50% jantan: untuk penggemukan dan 50% betina untuk dikembangbiakkan .- Pada akhir tahun ke-4, sapi milik kelompok tahun I (50% betina) melahirkan pertama
- Dipelihara sampai tahun ke-4 oleh peternak yang bersangkutan .- Tahun ke-4 dijual dengan alokasi: (1) Nilai Tambah dibagi oleh peternak dan kelompok (2) Nilai awal menjadi biaya konservasi TNGR
232 Lampiran 18 MITRA KERJA BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI NO
NAMA LEMBAGA
DASAR PELAKSANAAN
JENIS KEGIATAN
KETERANGAN
1.
Badan Pengelola Trekking Rinjani (BPTR/RTMB)
Perjanjian kerjasama antara Balai Taman Nasional Gunung Rinjani dengan Badan Pengelola Trekking Rinjani tentang pengelolaan Objek Wisata Pendakian Gunung Rinjani di TNGR tanggal 9 Juli 2004
1. membantu terselenggara nya kegiatan ekonomi produktif dalam masya rakat secara mandiri dan professional 2. membantu menyelesaiakan persoalan 2x yang timbul dalam pengelolaan TNGR khususnya dalam pengem bangan ekowisata trekking 3. membantu pengamanan dan penataan kawasan untuk pengembangan ekowisata dan trekking 4. mebantu pemantauan terhadap pelaksanaan pemungutan biaya masuk kawasan TNGR 5. rapat koordinasi 6. membentuk RTC di Senaru dengan koperasi pengelola Kop. Citra Wisata 7. membentuk RIC di Semba lun dengan koperasi peng elola Kop. Sinar Rinjani 8. terbentuknya wadah organisasi pemandu, porter di senaru, sembalun dan sapit 9. pengembangan usaha kecil masyarakat dan kapasitas local 10. peningkatan pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani 11. peningkatan SDM/Staf TNGR 12. peningkatan pelayanan pengunjung 13. program peningkatan profil rinjani
Sejak Juni 2005 Donor RTMB yaitu NZAID sudah habis masa kontraknya, sehingga perlu upaya pengemba ngan organisasi yang lebih mandiri/swadaya
Dibentuk berdasarkan SK Gubernur Nusa Tenggara Barat No. 15 tahun 2003
Trekking Rinjani telah memberikan kontri busi yang besar untuk pengembangan ekonomi masyarakat khususnya Tavel Agent, Track Organiser, Guide, Porter, Home Stay, Logistik,home indstri, transportasi, dll.
233 Lanjutan Lampiran 18 NO 2
NAMA LEMBAGA WWF Indonesia Nusa Tenggara Programe
DASAR PELAKSANAAN Perjanjian kerjasama antara Dep. Kehutanan dengan Yayasan WWF Indonesia No. 188/DJVI/Binprog/1998 No.CR/026/III/98
JENIS KEGIATAN
KETERANGAN
1. Invnetarisasi flora dan fauna kawasan Rinjani 2. Penilaian ekonomi sumber daya alam gunung rinjani 3. mendukung kegiatan penyusunan rencana zonasi Taman Nasional Gunung Rinjani 4. Pengkajian Pengelolaan SDA dan sengketa kawasan Rinjani (PAR Rinjani) 5. Studi Economic Change, Poverty and Environment (ECPE) disekitar kawasan Gunung Rinjani 6. Memfasilitasi pertemuan Regional Pengembangan Kawasan Konservasi secara kolaboratif 7. Ekspose dan kampanye di Televisi local. 9. Pengembangan kebijakan daerah untuk pengelolaan jasa lingkungan di kabupaten Lombok Barat 10. Pengembangan model desain integrasi hulu hilir dan pesisir di Sub Das Poh Gading Sunggen dan Labuan Lombok Das Menanga Kab. Lotim 11. Pembuatan film-film documenter 12. Memfaslitasi Pertemuan Pra Konggres Dewan Kehutanan Nasional Tingkat Kawasan/ Nusa Tenggara
Perjanjian bilateral antara WWF Indonesia Nusa Tenggara Programe baru dilakukan sekali yaitu pada tahun 2000, dan selanjutnya untuk tajuan monitoring hasil yang telah dicapai perlu dibuat/disusun perjanjian kerjasama bilateral dalam kurun waktu tertentu.
234 Lanjutan Lampiran 18 NO
NAMA LEMBAGA
DASAR PELAKSANAAN
3
Gabungan Pemuda Peduli Lingkungan (GP2L) Sebau Lestari
4
Perorangan (R. Nino Soedjono)
5
TRANSFORM
-
6
KOSLATA
-
7
Gabungan Pecinta Alam (GPA) Santong
-
JENIS KEGIATAN
KETERANGAN
Sudah ada draf perjanjian 1. mengadakan seminar/dialog sehari kerjasama antara BTNGR mencari solusi alternative tentang dengan GP2L kerusakan hutan 2. penyuluhan kepada pengun jung dan masy. 3. membantu, menjaga dan merawat fasilitas sarpras di sekitra object 4. membantu mencegah kerusakan kawasan/hutan disekitar lokasi 5. mejaga kebersihan kawa an dari aktifitas pengunjung Perjanjian kerjasama 1. Rehabilitasi lahan secara swadaya di antara BTNGR dgn R. hutan Orong Grisak, Tetebatu, Sikur Nino Soedjono tgl. 16 Lombok Timur seluas 10 ha Maret 2005 -
1. Penyusunan desain model pengelolaan Sebagai anggota penyusun integrative hulu-hilir dan pesisir di Sub DAS Labuan Lombok dan Poh Gading Sunggen DAS Menangan Kab.Lotim 1. Identifikasi dan pengembangan hutan Sebagai anggota tim adat di sekitar kawasan Rinjani 1. 2. 3.
Penyuluhan Membantu perlindungan dan keamanan kawasan Persemaian untuk kebutuhan masyarakat
Berdiri September 2004
235 Lanjutan Lampiran 18 NO 8
9
NAMA LEMBAGA
DASAR PELAKSANAAN
Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH) Jeruk Manis-Kembang Kuning
-
Kelompok masyarakat peduli Arboretum (KMPA) Otak Kokok
-
JENIS KEGIATAN 1.
2. 3. 1.
2. 3. 10
FK3I
11
PAR Rinjan Dasar SK Tim Inti SK Gubernur No. 339 tahun 2001 Dasar Tim Peneliti SK Ketua BAPPEDA Prop. Nusa Tenggara Barat No. 2/tahun 2002
-
Membantu pengelolaan objek wisata alam air terjun jeruk manis di Kembang Kuning Penyuluhan Membantu perlindungan dan keamanan kawasan Membantu pengelolaan objek wisata alam Sumber air Joben Otakl Kokok Gading di Montang Betok Kec. Montong Gading Lombok Timur Penyuluhan Membantu perlindungan dan keamanan kawasan
1. Pendidikan dan pelatihan konservasi 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Recruitment calon peneliti Kaji Lapangan Kaji Kebijakan Penyusunan kurikulum pelatihan Orientasi calon peneliti Pelatihan calon peneliti tim lapangan dan tim kebijakan Uji coba Metodologi Kaji lapangan dan Kaji Kebijakan Lokakarya penulisan laporan uji coba
KETERANGAN -
-
236 Lanjutan Lampiran 18 NO
NAMA LEMBAGA
DASAR PELAKSANAAN
JENIS KEGIATAN 7.
Seminar sehari hasil Uji Coba Kaji Lapangan dan Kaji Kebijakan 8. Evaluasi metodologi dan instrumen kajian 9. Pertemuan korodinasi tim inti 10. Pelaksanaan putaran I dan II Kaji Lapangan partisipatif di 2x12 desa sekitar Kawasan Rinjani 11. Workshop instrument kajian kebijakan 12. FGD kajian kebijakan di tingkat desa 13. Kajian partisipatif kebijakan di tingkat instansi pemerintah 14. Pelaksanaan kajian lapangan partisipatif putaran III di 16 desa sekitar Kawasan Rinjani 15. kajian partisipatif kebijakan (lanjutan) Pleno sub kawasan Pleno kawasan Pleno propinsi dan kajian lintas sektoral kebijakan PSDA Rinjani 4 Kegiatan yang akan Dilakukan : 1. seminar dan lokakarya penulisan 2. Perundingan dan mediasi perencanaan bersama 3. Pelaksanaan program/rencana tindak lanjut Kegiatan pendukung : 1. Pemantauan dan evaluasi program 2. Pengembangan media dan penyaluran 3. Dokumentasi dan pelaporan Sumber : Kantor Balai TNGR, 2008.
KETERANGAN