VALUASI EKONOMI PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DENGAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DISERTASI
MARYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SURAT PERYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
“VALUASI EKONOMI PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DENGAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN”
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di Perguruan Tinggi lainnya. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Desember 2011
Maryadi NRP. A161050011
ii
ABSTRACT MARYADI. ECONOMIC VALUATION OF INDUSTRIAL FOREST PLANTATION PATTERNED COMMUNITY BASED FOREST MANAGEMENT IN PERSPECTIVE OF SUSTAINABLE DEVELOPMENT (YUSMAN SYAUKAT as Chaiman, BUNASOR SANIM and FACHRURROZIE SJARKOWI as Members of the Advisory Committee). HTI management has been generally conventional, rigid and repressive that cause social conflict with forest communities. Coupled with the company's indifference toward the community around the forest, these conditions have led to the high of socioeconomic inequality. A calculation of economic valuation of HTI development with PHBM pattern is important to know the total economic value of plantation development for economy. Benefits of HTI development as a whole can be viewed from four important perspectives, i.e. companies, farmers, government, and a region. HTI development has been beneficial to the improvement of investment opportunities, creation of employment opportunities, and increase revenue through taxes, levies etc. The total economic value of MHP's HTI developmet were estimated with value of Rp3.076 trillion. Total economic value has provided positive benefits in balance of regional economic increase, improve the public welfare, efficient and competitive land management, and achievement of forest management which is environmental friendly and sustainable. Key words: HTI, MHP, CBFM, Sustainable Development and Economic Valuation
iii
RINGKASAN MARYADI. VALUASI EKONOMI PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DENGAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua, BUNASOR SANIM dan FACHRURROZIE SJARKOWI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang kehutanan adalah pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga fungsi hutan dapat dipertahankan keberadaannya secara berkelanjutan serta melakukan upaya penanaman kembali dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Pengelolaan HTI selama ini umumnya masih bersifat konvensional, kaku dan represif yang banyak menyebabkan benturan sosial dengan masyarakat sekitar hutan, ditambah dengan sifat ketidakpedulian perusahaan terhadap nasib masyarakat di sekitar hutan telah menyebabkan ketimpangan sosial ekonomi yang tinggi. Sebagai pelopor pembangunan HTI di Sumatera Selatan, PT MHP sejak tahun 1999 meluncurkan program PHBM dengan pola mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dan mengelola hutan rakyat (MHR) sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di sekitar kawasan konsesi perusahaan. Kedua pola ini dimaksudkan untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sekitar hutan. Pola ini telah berhasil meredam konflik yang terjadi hingga saat ini. Pengelolaan HTI yang baik akan menghasilkan HTI yang bernilai ekonomi tinggi, membaiknya kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan meningkatnya mutu ekosistem. Dengan demikian upaya untuk meningkatkan total nilai ekonomi hutan melalui pengusahaan HTI akan dapat direalisasikan guna meningkatkan kinerja ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat. Perhitungan valuasi ekonomi penting dilakukan untuk mengetahui celah kebijakan yang memungkinkan peningkatan manfaat program MHBM dan MHR bagi masyarakat. Hal ini juga diharapkan dapat meminimalisir permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi yang terjadi, yang dapat berdampak secara luas kepada masyarakat sekitar yang dapat dipicu oleh kontrol hubungan sosial entrophy kemasyarakatan yang berkaitan dengan masalah sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial kultural. Peran penting manusia dalam pembangunan HTI yang tercakup dalam aspek sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial kultural akan sangat menentukan nilai valuasi ekonomi pembangunan HTI dalam perspektif pembangunan yang berkelanjutan berdasarkan indikator yang meliputi aspek stabilitas (stability), produktivitas (porductivity), keberlanjutan (sustainability), dan pemerataan (equity). Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis pembangunan HTI pola PHBM (community based forest management) dari perspektif perusahaan, petani, pemerintah dan daerah dalam konsep pembangunan berkelanjutan, 2) menganalisis pengelolaan HTI yang menerapkan program PHBM (pola MHBM dan pola MHR) dalam perspektif pembangunan yang berkelanjutan, 3) mengestimasi nilai ekonomi total capaian satuan perusahaan HTI sebagai perusahaan tanpa PHBM maupun dengan PHBM (pola MHBM iv
dan MHR), 4) menentukan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pembangunan HTI dengan manajemen PHBM. Penelitian diharapkan dapat berkontribusi perusahaan dan pemerintah dalam pengelolaan hutan tanaman industri, yang lestari, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Penelitian ini dilakukan di perusahaan HTI PT MHP di Propinsi Sumatera Selatan. Data yang telah dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data dianalisis dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Metode analisis yang digunakan adalah secara deskkriptif kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisa deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabulasi. Analisa kuantitatif dengan menggunakan metode perhitungan valuasi ekonomi dan regresi logistik. Di tinjau dari perspektif perusahaan, pembangunan hutan tanaman adalah investasi yang tipikal dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan di awal, proses produksi yang panjang dan penuh resiko kegagalan, serta hasil yang diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Dalam perspektif perusahaan pembangunan HTI dapat dilihat dari kepastian berusaha, luas lahan, skala investasi dan struktur modal, teknologi yang diperlukan, dan keuntungan yang akan diperoleh. Dari perspektif petani, pemerintah pusat dan pemerintah daerah keberadaan HTI dapat memberikan peluang bekerja, pencapaian optimal dalam manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial, sekaligus berfungsi sebagai penyangga tanah dan air, penyangga iklim bumi, sumber keanekaragaman hayati, percepatan pembangunan daerah, peluang investasi, penciptaan kesempatan bekerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah melalui pajak, retribusi dll. Pelaksanaan pola MHBM dan MHR yang dilaksanakan telah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan adanya kepastian bekerja dan kepastian dari hasil usaha, dan kepastian mendapat bagi-hasil atas produksi. Bagi perusahaan MHP program MHBM dan MHR telah berhasil memberikan manfaat yang besar berupa jaminan keberlanjutan kegiatan perusahaan di masa mendatang, dengan tersedianya lahan usaha yang tidak bermasalah, terjaminnya kelestarian produksi dan kapasitas usaha, terciptanya hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat. Sedangkan bagi pemerintah pusat dan daerah manfaat dari program MHBM ini adalah: 1) meningkatkan penerimaan pemerintah melalui penerimaan devisa, pajak, PSDH, dan lain-lain, 2) meningkatkan kualitas lingkungan, dan 3) meningkatkan kemakmuran masyarakat pedesaan. Disamping itu keuntungan lain yang juga penting dari program MHBM dan MHR adalah adanya rasa memiliki oleh masyarakat sebagai stakeholders sehingga mereka dapat diajak berbagi tanggung jawab dan manfaat dalam pembangunan dan perlindungan tanaman industri. Hal ini dapat meredam konflik sosial, meningkatnya kualitas lingkungan serta meningkatnya mobilitas masyarakat karena tersedianya sarana dan prasarana transportasi sebagai salah satu usaha untuk membantu memasarkan hasilhasil pertanian masyarakat. Berdasarkan perhitungan nilai valuasi terlihat bahwa nilai ekonomi total pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP ditambah dengan pola MHBM dan MHR per tahun per kawasan mencapai nilai sebesar Rp3.076 triliun. Dari jumlah tersebut sebesar 65.63% kontribusi dari pola perusahaan MHP, sebesar 30.3% kontribusi dari pola MHBM, dan sebesar 4.07% kontribusi dari pola MHR. Dari hasil estimasi nila total ekonomi diperoleh seandainya PT MHP hanya melaksanakan pengelolaan HTI dengan pola perusahaan saja maka nilai ekonomi
v
totalnya hanya sebesar Rp2.018 triliun per tahun, tanpa pola MHBM akan terjadi kehilangan nilai manfaat ekonomi sebesar Rp932 miliar lebih per tahun, demikian juga jika tanpa program MHR maka nilai manfaat ekonomi yang hilang adalah sebesar Rp125.18 lebih miliar per tahun. Jika pengelolaan HTI PT MHP dilakukan tanpa program MHBM dan MHR maka akan terjadi kehilangan manfaat ekonomi sebesar Rp1.057 triliun lebih per tahun. Jika kita lihat nilai ekonomi total per hektar, terlihat bahwa pola perusahaan hanya menghasil nilai sebesar Rp35.208 juta, sedangkan pola MHBM sebesar Rp38.422 juta, dan pola MHR hanya sebesar Rp32.96 juta. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pola MHBM mampu meningkatan nilai total ekonomi sebesar Rp3.214 juta per hektar dari pola Perusahaan murni, ini dikarenakan adanya multiplier efek dari pola MHBM terhadap pendapatan masyarakat melalui upah kerja, keuntungan pemborong serta adanya jasa produksi dan manajemen. Sedangkan pada pola MHR walaupun terjadi penurunan nilai total ekonomi per hektar, tetapi secara ekonomi hal ini telah meningkatkan penghasilan masyarakat dari lahan-lahan yang terlantar dan lahan-lahan yang tidak produktif. Berdasarkan hasil analisis persamaan logit diperoleh empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua, yaitu 1) adanya rasa aman, 2) jarak lahan dari tempat tinggal, 3) pendapatan dari luar usahatani, dan 4) biaya hidup keluarga. Secara keseluruhan keberlanjutan pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP dapat dilihat dari 4 hal, yaitu stabilitas, produktivitas, equitabilitas, dan sustainabilitas. Keempat hal tersebut secara utuh sangat menentukan keberlanjutan pembangunan hutan tanaman industri ke depan dalam jangka panjang Pembangunan hutan tanaman yang berkelanjutan harus memperhatikan kesinambungan usaha dari generasi ke generasi dalam jangka panjang. Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih utama dari masa depan, implikasi pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan dilaksanakan penilaian yang utuh secara totalitas terhadap nilai ekonomi. Persepsi jangka panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan. Pengusahaan hutan tanaman industri merupakan peluang usaha yang cukup menjanjikan bagi para investor besar dan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar, untuk menunjang hal ini perlu dukungan oleh iklim berusaha yang kondusif melalui kemudahan pemberian izin konsesi pada lahan yang tidak bermasalah dan pinjaman dana yang murah bagi pengusaha, peningkatkan nilai tambah, peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Dalam pengelolaan hutan tanaman, sudah saatnya untuk mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi dalam kegiatan eksploitasi hutan dalam analisis nilai ekonomi total kawasan. Agar pembangunan hutan tanaman industri pola PHBM dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, pengelolaan faktor penghubung sosial entrophy seperti sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya, sebagai suatu kelola sosial yang baik perlu dilakukan secara sungguh-sungguh.
vi
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor
vii
VALUASI EKONOMI PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DENGAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
MARYADI
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 viii
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Dudung Darusman M.A. Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T. Staf Pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Harry Santoso Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan 2. Dr. Ir. Bahruni, M.S. Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
ix
Judul Disertasi
: Valuasi Ekonomi Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan
Nama Mahasiswa
: MARYADI
Nomor Pokok
: A161050011
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Mengetahui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Ketua
Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. Anggota
Prof.Dr.Ir. Fachrurrozi Sjarkowi, M.Sc. Anggota
Mengatahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,
3. Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
x
PRAKATA
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karuniaNya jualah penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul: “Valuasi Ekonomi Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan”. Disertasi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh penulis untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk melihat penilaian ekonomi pembangunan HTI dengan pola PHBM yang Berkelanjutan dari berbagai sudut pandang pelaku dan sasaran pembangunan itu sendiri serta melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan tersebut berdasarkan faktor penghubung kontrol sosial entrophy. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak
Dr. Ir. Yusman
Syaukat, M.Ec. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. dan Prof.Dr.Ir. Fachrurrozi Sjarkowi, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, arahan, dan bantuan yang telah diberikan kepada kami. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, para dosen dan teman-teman sekalian serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan proposal penelitian disertasi ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu segala masukan dan saran yang membangun akan penulis terima dengan lapang dada. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Bogor, Desember 2011 Penulis
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan, pada tanggal 2 Januari 1965 dari pasangan Bapak Mungkim (Almarhum) dan Ibu Yamsana. Penulis beristrikan Dr. Muharni, M.Si. dan dikaruniai empat orang anak yaitu Fakhri Hardi Even, Femilia Hardina Caryn, Tasya Hardina Adha, dan Rafif Hardi Muttaqin. Pendidikan penulis mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di Kecamatan Tulung Selapan pada tahun 1979 dan 1982, yaitu SD Negeri 1 dan SMP Negeri 1. Sekolah Menengah Atas penulis selesaikan di SMA Negeri 1 Palembang pada tahun 1985. Pada tahun tahun yang sama penulis masuk perguruan tinggi lewat jalur UMPTN di Fakutas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang dan selesai pada tahun 1990. Pada tahun 1992 hingga sekarang penulis diangkat menjadi dosen tetap di Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa BPPS dari Ditjen Dikti dan selesai pada tahun 1998. Pada tahun 2005 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mendapat beasiswa program BPPS dari Ditjen Dikti.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………….………………
xvi
DAFTAR GAMBAR ………………………………..……..……………… xviii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xix
DAFTAR SINGKATAN ..............................................................................
xx
I. PENDAHULUAN …………………………...……………..………………
1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………………
1
1.2. Perumusan Masalah …………………………………………………….
9
1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….
12
1.4. Manfaat Penelitian ……………………………………………………...
13
1.5. Ruang Lingkup Penelitian………………………………………………
14
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………..………………..
15
2.1. Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan ………..………….
15
2.2. Pengembangan HTI Dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat...
24
2.3. Pembangunan Berkelanjutan ……………………………………..……
28
2.4. Studi-studi tentang Valuasi Ekonomi …………………………………..
35
III. KERANGKA PEMIKIRAN ………………………………….……………
39
3.1. Kerangka Teoritis …………………………………..………………….
39
3.1.1. Konsep Pembangunan HTI dengan Pola PHBM………………..
39
3.1.2. Konsep Valuasi Ekonomi Pengusahaan HTI …………….…….
41
3.1.3. Konsep Keberkelanjutan Pembangunan HTI ……………..……
51
3.2. Kerangka Konseptual Penelitian ……………………………………….
54
3.2.1. Model Pendekatan …………………………………..………….
54
IV. METODOLOGI ……………………………………………….…………..
59
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………….
59
4.2. Jenis dan Sumber Data………………………………………………….
59
4.3. Kerangka Sampling dan Metode Pengambilan Sampel ………..………
60
xiii
4.4. Metode Analisis Data ………………………………………..………...
61
Halaman V. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN HTI ……….........…….…………..
69
5.1. Sejarah Berdirinya Perusahaan HTI Hingga Saat Ini ………………….
69
5.2. Kondisi Umum Geografis Wilayah Konsesi ………….....…………….
72
5.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Perusahaan ……..………
74
5.4. Interaksi Perusahaan dengan Wilayah Sekitar Perusahaan …..........…...
76
5.5. Keadaan Umum Petani Peserta Program ................................................
83
VI. PEMBANGUNAN HTI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF.................
87
6. 1. Hutan Tanaman Industri dalam Perspektif Perusahaan ….............…….
88
6. 2. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Petani …......................…….
106
6. 3. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Pemerintah Pusat ........…….
108
6. 4. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Daerah …....................…….
111
VII. PROGRAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DAN MENGELOLA HUTAN RAKYAT (MHR) 7.1. Latar Belakang Lahirnya Program MHBM dan MHR ....................…….
117
7.2. Prinsip-Prinsip dan Aturan Main Program MHBM dan MHR…........….
123
7.3. Realisasi Program MHBM dan MHR .............................................…….
132
7.4. Aspek Kelembagaan MHBM dan MHR .........................................…….
148
VIII. GERBANG PENGENDALI KEMEROSOTAN SOSIAL ........................
161
8.1. Sosial Psikologis ......................................................................................
165
8.2. Sosial Ekologi ..........................................................................................
170
8.3. Sosial Ekonomi ........................................................................................
174
8.4. Sosial Budaya ...........................................................................................
178
IX. VALUASI EKONOMI BEBERAPA POLA PENGUSAHAAN HTI .…
183
9.1. Pola Perusahaan MHP ….................................................................…….
187
9.2. Pola Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) ….......................
210
9.3. Pola Mengelola Hutan Rakyat (MHR) …........................................…….
220
9.4. Beberapa Pelajaran Penting dari Valuasi Ekonomi Pola HTI ..................
228
xiv
Halaman X. PERSPEKTIF KEBERLAJUTAN …...................................................…...
235
10.1. Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan .......................................
236
10.2. Dimensi Keberlanjutan Pembangunan HTI PT. MHP ..........................
242
10.3. Faktor-Faktor Kendala Keberlanjutan HTI PT. MHP...........................
248
10.4. Prospek Keberlanjutan HTI PT. MHP ..................................................
251
XI. KESIMPULAN DAN SARAN …….....................….........…….…………..
263
11.1. Kesimpulan ………..............................................................………….
263
11.2. Saran …………................................................................…………….
264
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..…………..
267
xv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Matriks Pembangunan Berkelanjutan ……………………………….……..
32
2. Komponen nilai Ekonomi Total Pengusahaan HTI Pola A ...........................
62
3. Komponen nilai Ekonomi Total Pengusahaan HTI Pola B ...........................
63
4. Komponen nilai Ekonomi Total Pengusahaan HTI Pola C ...........................
64
5. Pembagian wilayah kerja, unit kerja, dan luas areal PT. MHP ......................
72
6. Beberapa sungai yang mengalir di lokasi HTI PT MHP .................................
74
7. Umur Petani Contoh .....................................................................................
83
8. Tingkat Pendidikan Petani Contoh ................................................................
84
9. Jumlah Anggota Keluarga Petani Contoh ......................................................
85
10. Luas Lahan Petani Contoh .............................................................................
86
11. Luas areal HPHTI yang dicadangkan untuk PT Musi Hutan Persada menurut peruntukan dan kelompok hutan ..............................
94
12. Kinerja penanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada ...............
95
13. Rencana atau realisasi pemeliharaan tegakan dan penebangan HTI, Tahun 1990/91-2004/05 ................................................................................
96
14. Biaya dan penerimaan (Rp/ha) dari tanaman Acacia Mangium per hektar dalam sekali daur produksi, tahun 2009 ........................................................ 105 15. Proyeksi Luas Tutupan Hutan (Forest Cover) dan perubahannya di Indonesia 1998 – 2004 (tidak termasuk reboisasi) ......................................... 110 16. Pajak, iuran dan sumbangan yang dibayarkan oleh PT MHP, tahun 2006 ...
111
17. Wilayah, kelompok masyarakat dan jumlah desa yang terlibat dalam program MHBM, tahun 2010 ......................................................................... 133 18. Rincian luas MHBM per wilayah dan jumlah kepala keluarga dan jiwa per unit, tahun 2010 ................................................................................ 135 19. Harga borongan pekerjaan dari MHP ke pemborong lokal dan dari pemborong lokal ke petani program MBHM di PT MHP, tahun 2010 ................
136
20. Jasa produksi MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 – 2009 ............
138
21. Jasa manajemen MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 – 2009 ........
138
22. Luas total implementasi program MHR di masing-masing unit dan blok sampai dengan tahun 2010 .....................................................................
140
23. Rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan dari HTI petani peserta MHR per hektar ......................................................................
145
xvi
Nomor
Halaman
24. Rata-rata pendapatan per hektar petani peserta MHR, pendapatan perusahaan, dan biaya dikeluarkan serta net Profit perusahaan MHP ..................
148
25. Analisis Informasi Teknis dan Manajemen serta Pelayanan Teknis dan Manajemen SECI ....................................................................................
164
26. Nilai Ekonomi Total (TEV) Hutan Tanaman Industri ..................................
186
27. Total Manfaat Langsung Statis HTI, Pola Perusahaan MHP, Tahun 2010 ....
193
28. Hasil analisis neraca air kawasan hutan PT Musi Hutan Persada .................
200
29. Manfaat Tak Langsung Hutan tanaman industri pola Perusahaan MHP, tahun 2010 ......................................................................................................
205
30. Nilai Total Ekonomi HTI Pola Perusahaan MHP Berdasarkan Kategori Manfaat per tahun, tahun 2010 ......................................................
208
31. Total manfaat Langsung HTI, Pola MHBM, Tahun 2010 .............................
216
32. Manfaat Tak Langsung HTI pola MHBM, tahun 2010 .................................
219
33. Nilai ekonomi total pola MHBM, tahun 2010 ...............................................
219
34. Rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan yang statis dari HTI peserta MHR per hektar ........................................................
222
35. Total Manfaat Langsung HTI dengan pola MHR, tahun 2010 ......................
224
36. Manfaat Tak Langsung HTI dengan pola MHR, tahun 2010 .......................
226
37. Nilai ekonomi total HTI pola MHR, tahun 2010 ..........................................
227
38. Nilai Ekonomi Total per tahun dari masing-masing pola pembangunan HTI di PT MHP, tahun 2010 .........................................................................
231
39. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melanjutkan program MHR di PT. MHP, Tahun 2010 ..................................
255
xvii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Metode Penilaian Ekonomi Total Hutan Tanaman Industri …………….……
50
2. Diagram SECI dan Pengaruhnya terhadap Indikator Keberlanjutan …...…
55
3. Kerangka Pemikiran Pendekatan Konseptual ………………….…………...
57
4. Bentuk Rumah Talang HTI PT MHP ..........................................................
78
5. Trend kenaikan produksi rata-rata di hubungkan dengan luas ......................
146
6. Trend kenaikan pendapatan rata-rata di hubungkan dengan luas ..................
146
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Peta Lokasi PT Musi Hutan Persada …..…………………………….……..
275
2. Struktur Organisasi Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan PT MHP......
276
3. Data Tahun Tanam dan Panen, Produksi, Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani Peserta MHR ...................................................................
277
4. Data Persamaan Logit ....................................................................................
278
5. Hasil Regresi Logit Binomial ........................................................................
279
6. Pembagian Kelompok Hutan di PT MHP ......................................................
281
7. Petani Pengumpul Madu Binaan PT MHP ..................................................... 282
xix
DAFTAR SINGKATAN
BAP
= Berita Acara Pemeriksaan
CBFM = Community Based Forest Management CSR
= Corprate Social Responsibility
CVM
= Contingen Valuation Methods
FGD
= Focus Group Discusion
HKM
= Hutan Kemasyarakatan
HPHTI = Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri HTI
= Hutan Tanaman Industri
MHBM = Mengelola Hutan Bersama Masyarakat MHP
= Musi Hutan Persada
MHR
= Mengelola Hutan Rakyat
PBCR = Private Benefit Cost Ratio PMDH = Pembinaan Masyarakat Desa Hutan PSDA = Provisi Sumberdaya Hutan RKT
= Rencana Kerja Tahunan
RUTR = Rencana Umum Tata Ruang SBCR = Social Benefit Cost Ratio SECI
= Socio-Entrhropic Controlling Interface
SOP
= Standard Operating Procedures
SPK
= Surat Perintah Kerja
TGHK = Tata Guna Hutan Kespakatan WTA
= Wilingness To Accept
WTP
= Willingness To Pay
xx
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tidak diragukan lagi bahwa tujuan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan hal yang sangat selaras dengan tujuan pembangunan sektor kehutanan nasional, yang selalu diarahkan untuk pencapaian yang optimal dalam manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial. HTI dapat berfungsi sebagai penyangga tanah dan air (fungsi hidro-orologi), penyangga iklim bumi (pemanasan global), sumber keanekaragaman hayati, serta modal atau penunjang pembangunan yang menciptakan efisiensi, stabilitas dan pertumbuhan (Soemarwoto, 1991). Secara sosial pembangunan HTI dapat mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan pemberdayaan masayarakat di sekitar kawasan hutan (Askary, 2003). Pembangunan sektor kehutanan yang hanya bertumpu pada keberadaan hutan alam tidak dapat diharapkan lagi, mengingat laju kerusakan hutan alam di Indonesia yang sangat cepat. Pada rentang tahun 2000-2005 kerusakan hutan di Indonesia merupakan yang tercepat di dunia. Menurut Food and Agriculture Organization (2005) setiap tahun rata-rata 1.87 juta hektar hutan hancur atau sekitar 2% dari luas hutan yang tersisa 88.50 juta hektar pada tahun 2005. Sepuluh persen dari hutan tropis dunia berada di Indonesia dan menjadi tempat tinggal yang sangat penting bagi sekurang-kurangnya 60 juta penduduk Indonesia di dalam dan di sekitar hutan. Meski demikian, penggundulan hutan yang sistemik demi keuntungan jangka pendek, mempercepat kehancuran lingkungan hidup dengan dampak sosial, ekonomi dan budaya yang luar biasa. Saat ini sektor kehutanan sedang menghadapi permasalahan yang sangat berat dengan skala multi-dimensional yang disebabkan oleh praktek penebangan
2
liar (illegal logging), penyelundupan kayu, kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun, konflik kawasan, perambahan hutan, tumpang tindih peraturan perundangan, sehingga menimbulkan lahan kritis seluas sekitar 43 juta hektar. Salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang kehutanan adalah pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga fungsi hutan dapat dipertahankan keberadaannya secara berkelanjutan serta melakukan upaya penanaman kembali dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Hutan Tanaman Industri yang dikelola dan diusahakan secara luas bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hutan Tanaman Industri merupakan salah satu alternatif pembangunan sektor kehutanan yang sangat strategis. Namun pada kenyataannya pertumbuhan penanaman HTI masih sangat lambat. Berdasarkan data Departemen Kehutanan program penanaman HTI selama 15 tahun terakhir ini realisasinya sampai tahun 2009 hanya seluas 4.3 juta hektar. Ini jauh dari target semula yang ingin dicapai bahwa setiap tahun dapat dibangun satu juta hektar HTI, dan dalam lima tahun diharapkan dapat mengembangkan 6.5 juta hektar. Lambatnya pertumbuhan penanaman HTI diantaranya banyak disebabkan oleh masih tumpang tindihnya izin konsesi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan dengan penggunaan hutan untuk peruntukan lainnya, serta masih banyak lahan-lahan hutan yang masih diklaim milik masyarakat adat setempat di dalam wilayah konsesi (Departemen Kehutanan, 2009). Program pembangunan HTI yang dijalankan tanpa pengeloaan yang berbasis pada masyarakat sekitar hutan telah menimbulkan banyak permasalahan ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya yang dapat menurunkan mutu
3
lingkungan dan nilai total ekonomi ekosistem. Tanpa pengelolaan yang benar dan komprehensif keinginan untuk meningkatkan nilai total ekonomi hutan melalui HTI hanya menjadi angan-angan. Pengelolaan HTI yang baik dan terencana dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan amat bernilai strategis dan rasional sebagai salah satu alternatif pilihan. Dengan pembangunan HTI yang baik diharapkan akan dapat meningkatkan nilai total ekonomi HTI dengan peningkatan kinerja ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat. Dalam pembangunan HTI lahan merupakan aset yang terpenting. Kebutuhan lahan yang luas dan terintegrasi dalam satu kawasan sering kali menyebabkan lahan-lahan hutan dan lahan poduktif milik masyarakat sekitar (misalnya lahan-lahan eks marga) termasuk ke dalam wilayah konsesi. Hal ini telah menimbulkan banyak konflik yang berkepanjangan. Konflik ini jika dibiarkan berlarut-larut dapat menjadi hambatan bagi perusahaan untuk dapat terus berusaha dalam jangka yang panjang. Pemanfaatan hutan dan lahan oleh perusahaan-perusahaan besar sudah seharusnya mengacu pada konsep pembangunan ekonomi yang lestari dan berkelanjutan dengan memperhatikan dampak keberadaan perusahaan terhadap ekosistem dan kesejahteraan masyarakat di sekitar perusahaan (Kennedy dan Vining, 2007). Pengelolaan HTI selama ini sebagian besar masih bersifat konvensional dengan hanya memperhatikan keuntungan finansial semata. Sifat kaku dan represif perusahaan telah menyebabkan banyak benturan sosial dengan masyarakat sekitar hutan, ditambah dengan sifat ketidak pedulian perusahaan
4
terhadap nasib masyaarakat di sekitar hutan telah menyebabkan ketimpangan sosial ekonomi yang tinggi. Salah satu upaya pemerintah untuk meminimalisir biaya sosial dan ketidak pedulian perusahaan serta mempercepat pencapaian target pembangunan HTI dan sekaligus sebagai upaya untuk mensejahterakan masyarakat dengan membuka kesempatan kerja dan peluang usaha, pemerintah mewajibkan perusahaan HTI untuk melakukan pembinaan masyarakat desa di sekitar hutan. Menteri Kehutanan sejak tanggal 14 Agustus 1997 mengeluarkan Surat Keputusan No.523/Kpts-II/1997 tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Dalam SK tersebut ditegaskan bahwa pembinaan masyarakat itu bersifat wajib bagi pemegang HPHTI. Dalam pelaksanaannya, perusahaan harus menyusun rencana Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), yang bertujuan untuk mewujudkan terciptanya masyarakat desa yang mandiri, sejahtera, dan sadar lingkungan, terutama masyarakat yang berada di dalam atau disekitar kawasan hutan tanaman industri. Salah satu pelopor pembangunan HTI di Sumatera Selatan yang telah melaksanakan PMDH adalah PT. Musi Hutan Persada (MHP) dengan izin konsesi seluas 296 400 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.205/ Kpts-II/91 jo 316/KPts-II/91 jo 626/Kpts-II/96 dan No.038/Kpts-II/96 luas kawasan konsesi yang dapat ditanami HTI adalah 193 500 ha, sisanya 86 450 ha berupa hutan alam yang harus dikelola sebagai kawasan konservasi dan untuk peruntukan lain-lain seluas 16 450 ha.
5
Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di sekitar kawasan HTI, PT. MHP sejak tahun 1999 meluncurkan program mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dan mengelola hutan rakyat (MHR). Kedua pola ini merupakan salah satu bentuk program nyata, sebagai implementasi dari Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang dimaksudkan untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sekitar hutan. Pola MHBM adalah dengan mempekerjakan anggota masyarakat dalam areal konsesi, dalam melaksanakan pekerjaan mereka dibayar dan juga mendapat jasa manajemen atas HTI sebesar 1% dari setiap nilai transaksi, disamping itu mereka juga mendapat jasa produksi sebesar Rp2 500/m3. Sedangkan pola MHR adalah perusahaan menanam HTI pada lahan milik rakyat diluar kawasan konsesi, mereka memperoleh bayaran pada setiap pekerjaan, mendapat bagi hasil dari nilai bersih kayu pada akhir daur dengan bagi hasil 60% untuk perusahaan dan 40% untuk peserta. Kesadararan akan pentingnya kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah konsesi perusahaan telah melahirkan program MHBM dan MHR. Pemahaman ini memberikan arahan bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja, melainkan sebuah satuan usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. Menurut Iskandar (2004) salah satu implementasi program PHBM dengan pola MHBM dan MHR ini selaras dengan tujuan jangka panjang perusahaan HTI yaitu: (1) Menunjang pembangunan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa negara, (2) Meningkatkan produktivitas
6
lahan dan kualitas lingkungan hidup, dan (3) Memperluas lapangan kerja masyarakat dan lapangan usaha. Berdasarkan tujuan di atas sudah semestinya perusahaan HTI tidak hanya mengejar keuntungan sesaat semata tetapi juga keberlanjutan usaha dalam jangka panjang dengan memperhatikan aspek perbaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu dimensi penting keberlanjutan pengelolaan HTI ke depan adalah suatu upaya yang mesti dilakukan agar kerjasama antara perusahaan dan masyarakat tetap dalam kerangka yang saling menguntungkan serta dapat dipertahankan secara langgeng. Agar kerjasama ini berjalan langgeng dan saling menguntungkan kita harus memperhatikan empat indikator keberlanjutan yaitu kontinyuitas, produktivitas, equitibilitas, dan stabilitas (Lingard, Rayner, and Sjarkowi, 1975). Agar pengusahaan HTI berkelanjutan dalam jangka panjang, perusahaan perlu membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat tempatan, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat (Askary, 2002). PHBM yang direalisasikan dalam program MHBM dan MHR tersebut akan menjadi sia-sia jika pola kemitraan ini bersifat kontra produktif dan semi produktif. Pola kemitraan kontra produktif akan terjadi apabila perusahaan masih berpijak pada pola konvensional yang hanya mengutamakan kepentingan
7
stakeholders yaitu mengejar profit sebesar-besarnya, sedangkan Pola kemitraan semi produktif terjadi di mana pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap sebagai objek dan masalah di luar perusahaan. Pola kemitraan semacam ini dapat menimbulkan banyak konflik dan tidak menimbulkan sense of belonging di pihak masyarakat. Banyaknya konflik yang terjadi di lapangan, membutuhkan pola yang tepat agar dapat mensinergikan semua pihak yang terlibat dalam kemitraan yang bersifat produktif. Selain itu, pengembangan sumberdaya alam juga harus memperhatikan berbagai aspek kehidupan seperti peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan
penduduk
dalam
bidang
ekonomi,
serta memperhatikan
kelangsungan ekologi dan menghargai sistem sosial budaya lokal. Berdasarkan penelitian Sjarkowi (2010), dalam tulisan yang berjudul Genuine Social Acceptance of Technical Innovation to Improve Profitability for Out Growers Assosiated with a Forestry Company in South Sumatera, Indonesia menyatakan bahwa terdapat empat pertimbangan sosiologis dalam
rangka
pengembangan kemitraan dengan warga masyarakat setempat yang terdiri dari sosial-psikologi, sosial-budaya, sosial-ekologi, dan sosial-ekonomi. Selanjutnya dalam menjalankan program MHBM dan MHR agar berkelanjutan, perusahaan perlu melakukan kontrol faktor sosial-entrophic (SocioEnthropic Controlling Interface = SECI) yang menjadi penghubung bagi indikator keberlanjutan dan nilai total ekonomi dari pengelolaan HTI yang berkelanjutan. Dalam kontrol penghubung faktor sosial-entrophic yang meliputi analisis yang dapat mengakomodasikan semua kriteria keputusan yang meliputi dimensi sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya yang dapat
8
menciptakan nilai total ekonomi secara keseluruhan dengan konsep valuasi yang diharapkan menguntungkan semua pihak dan berkelanjutan. Beberapa kajian yang telah dilakukan sebelumnya lebih banyak menitik beratkan pada analisis yang menggunakan perhitungan finansial yang banyak mengandung kelemahan. Di antaranya adalah tidak diakomodasikannya isyu-isyu lingkungan, nilai sosial, ekonomi dan budaya, yang sesungguhnya dapat mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi
kawasan
secara
global,
sehingga
keuntungan yang diperoleh oleh satu pihak bisa jadi menimbulkan kerugian yang lebih besar di pihak lainnya. Kajian nilai total ekonomi dengan konsep valuasi ekonomi secara keseluruhan perlu dilakukan untuk menilai keberlanjutan program pembangunan HTI dari sudut pandang yang menguntungkan semua pihak atau minimal tidak ada pihak lain yang dirugikan. Penilaian pengelolaan HTI yang baik akan menghasilkan HTI yang bernilai ekonomi tinggi, membaiknya kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan meningkatnya mutu ekosistem. Dengan demikian upaya untuk meningkatkan nilai total ekonomi hutan melalui pengusahaan HTI akan dapat direalisasikan guna meningkatkan kinerja ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Perhitungan valuasi ekonomi pengelolaan HTI yang berbasis masyarakat penting dilakukan untuk mengetahui celah kebijakan yang
memungkinkan
peningkatan manfaat program MHBM dan MHR bagi masyarakat. Pengelolaan HTI yang berbasis masyarakat ini diharapkan dapat meminimalisir permasalahan lingkungan yang dapat berdampak secara luas kepada masyarakat sekitar yang
9
dapat dipicu oleh kontrol hubungan sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan masalah sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial kultural. Peran penting manusia dalam pembangunan HTI yang tercakup dalam aspek sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial kultural akan sangat menentukan nilai valuasi ekonomi pembangunan HTI dalam perspektif pembangunan yang berkelanjutan berdasarkan indikator yang meliputi aspek stabilitas (stability), produktivitas (porductivity), keberlanjutan (sustainability), dan pemerataan (equity). 1.2. Perumusan Masalah Pengusahaan HTI di satu sisi telah mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi di sisi lain ekploitasi sumber daya alam oleh perusahaan seringkali menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan. Karakteristik umum korporasi skala-besar biasanya beroperasi secara enclave, dan melahirkan apa yang dalam perspektif sosiologi Booke, disebut sebagai “dual society”, yakni tumbuhnya dua karakter ekonomi yang paradoks di dalam satu area. Di satu sisi ekonomi, di dalam enclave tumbuh secara modern dan sangat pesat, tetapi di sisi masyarakat, ekonomi justru berjalan sangat lambat atau bahkan mengalami stagnasi. Kehidupan ekonomi masyarakat semakin involutif, disertai dengan marginalisasi tenaga kerja lokal. Hal ini terjadi karena basis teknologi tinggi menuntut perusahaan-perusahaan besar lebih banyak menyedot tenaga kerja terampil dari luar masyarakat tempatan, sehingga tenaga-tenaga kerja lokal yang umumnya berketerampilan rendah tidak termanfaatkan. Keterpisahan (enclavism) inilah yang kemudian menyebabkan hubungan perusahaan dengan masyarakat tempatan menjadi tidak harmonis dan diwarnai berbagai konflik serta ketegangan.
10
Berbagai tuntutan seperti ganti-rugi atas kerusakan lingkungan, ketenagakerjaan (employment), pembagian keuntungan, dan lain-lain sangat jarang memperoleh solusi yang mendasar dan memuaskan masyarakat. Situasi tersebut diperparah oleh kultur perusahaan yang didominasi cara berpikir dan perilaku ekonomi yang bersifat profit-oriented semata. Hutan Tanaman Industri sebagai satuan agribisnis formal dapat dibedakan dari usahatani rakyat yang umumnya bersifat informal. Berdasarkan teori Booke keadaan ini menyebabkan dualisme ekonomi yang terjadi karena adanya dual society dimana terjadi enclave agribisnis formal dan usahatani rakyat. Hal ini juga berpotensi menimbulkan gesekan yang menjurus kepada konflik sosial antara pihak enclave “perusahaan” dan usahatani rakyat. Menurut Sjarkowi (2001), pada era otonomi daerah dan eforia reformasi demokrasi saat ini, tuntutan untuk memanipulasi kompromi sosial diantara dua kutub pelaku usaha dewasa ini semakin marak dirasakan. Untuk mengeliminir gesekan dan rekayasa sosial antara dua kutub pelaku usaha diperlukan strategi yang saling menguntungkan (win-win solution).
Dari teori Booke di atas dapat
ditarik benang merah, yaitu adanya jurang antara kemampuan kelompok ekonomi yang dapat menanggapi tuntutan pasar dengan mudah dan sebagian lainnya harus menanggapi dengan mempertahankan pranata dan kelembagaan yang ada. Dengan demikian telah terjadi perbedaan pada “speed of adjustment” dalam pengertian “market responses” dari dua kelompok berbeda tersebut, yang kemudian melahirkan 3 butir konsepsional berikut ini: 1. Harus ada upaya pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Salah satu varian pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat di PT. MHP adalah
11
program MHBM dan MHR yang menjembati ke dua belah pihak. Hal ini sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.523/Kpts-II/1997 yang merupakan aspek legal tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan oleh pemegang HPH dan HPHTI yang diwujudkan dalam program MHBM dan MHR oleh perusahaan. 2. Harus ada wahana fungsional yang memanfaatkan upaya MHBM dan MHR sebagai sarana untuk berkompromi atau bermusyawarah melalui suatu pendekatan holistik, terpadu, dan sistemik yang dapat melahirkan solusi saling menguntungkan (win-win solution). 3. Dalam pelaksanaannya program MHBM dan MHR yang dilakukan harus melembaga, agar masyarakat mempunyai posisi tawar yang lebih baik, terukur, adil dan berkelanjutan. Dalam penerapannya di lapangan, program MHBM dan MHR masih banyak menghadapi kendala dan benturan. Salah satu kendala yang dihadapi perusahaan adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan, kendala lahan, masalah kontrol dan pengawasan untuk wilayah yang tersebar luas. Kendala lain yang dihadapi oleh masyarakat adalah lemahnya akses mereka terhadap kebijakan yang dilakukan karena keterbatasan mereka secara fungsional dan institusional. Fundamental hubungan yang baik antara perusahaan dan masyarakat sekitarnya, harus diletakkan pada prinsip-prinsip simbiosis mutualistis, saling pengertian dan saling memberi manfaat, yang mendorong munculnya perilaku santun dan kooperatif terhadap eksistensi perusahaan dan sekaligus hak-hak sosial ekonomi masyarakat sekitar. Dengan kata lain adanya hubungan yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak akan menjamin keberlanjutan.
12
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana perspektif pembangunan HTI dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dilihat dari berbagai perspektif dalam konsep pembangunan berkelanjutan? 2. Bagaimana prosfek pembangunan HTI pola PHBM yang berkelanjutan dilihat dari pola mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dan mengelola hutan rakyat (MHR)? 3. Bagaimana mekanisme pengendalian kemerosotan sosial dalam pengusahaan HTI dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berkelanjutan? 4. Berapa besar nilai ekonomi total pembangunan HTI tapa PHBM, maupun dengan PHBM (pola MHBM dan MHR)? 5. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keberlanjutan HTI dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian valuasi ekonomi pengembangan hutan tanaman industri pola community based forest management dalam perspektif berkelanjutan ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis pembangunan HTI pola PHBM dari perspektif perusahaan, petani, pemerintah dan daerah dalam konsep pembangunan berkelanjutan. 2. Menganalisis pengelolaan HTI yang menerapkan program PHBM (pola MHBM dan pola MHR) dalam perspektif pembangunan yang berkelanjutan. 3. Menganalisis mekanisme pengendalian kemerosotan sosial dalam pengusahaan HTI dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berkelanjutan.
13
4. Mengestimasi nilai ekonomi total capaian satuan perusahaan HTI sebagai perusahaan tanpa PHBM maupun dengan PHBM (pola MHBM dan MHR). 5. Menentukan
serta
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keberlanjutan pembangunan HTI dengan manajemen PHBM. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna untuk merumuskan kembali
teknik valuasi
ekonomi yang selama ini belum melibatkan peranan masyarakat dalam manajemen perusahaan yang sulit di kontrol dalam
penilaian
satuan unit
perusahaan HTI yang bermanfaat untuk: 1. Menilai secara utuh peranan ekosistem, lingkungan, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial kultural, dalam rangka mewujudkan kelestarian sumberdaya alam serta keseimbangan lingkungan sosial ekologis, sosial ekonomi, dan sosial budaya yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara berkelanjutan. 2. Dapat berkontribusi dalam kebijakan pemerintah tentang pola pengusahaan hutan tanaman industri, yang lestari, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 3. Disamping itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi manajemen perusahaan ke depan agar memberikan hasil yang optimal bagi semua pihak, dengan tetap memperhatikan pengelolaan aspek ekonomi, sosial, budaya, kemasyarakatan dan kelestarian lingkungan hidup dalam perspektif yang berkelanjutan. 4. Strategi dan upaya Pengelolaan Hutan Tanaman Industri yang baik antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat diharapkan betul-betul dapat dijadikan
14
andalan
dalam
mempercepat
laju
pertumbuhan
ekonomi
yang
adil,
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Unit analisis dalam penelitian ini adalah perusahaan HTI PT. MHP dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan peserta program MHBM dan MHR. Penelitian ini meliputi unit perusahaan HTI PT. MHP dengan luas lahan HTI 193 500 ha, yang meliputi kelompok hutan Martapura, Subanjeriji, dan Benakat. Penelitian ini akan berfokus pada kajian analisis ekonomi pengusahaan HTI dari persfektif perusahaan, pemerintah, dan petani.
Selanjutnya analisis
secara mendalam akan melihat HTI dengan pola PHBM yang dikembangkan dalam dua pola yaitu: mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dan mengelola hutan rakyat (MHR). Pola MHBM yang dianalisis adalah realisasi pola MHBM sampai tahun 2009 yang dibagi dalam 3 wilayah yang meliputi 15 unit kerja, dengan total areal seluas 61 172.72 ha. Pola MHR yang akan di analisis dalam penelitian ini adalah pola yang telah dilaksanakan dalam siklus pertama tahun 2001 – 2010 seluas 9 565.53 hektar. Analisis dilakukan terhadap 60 peserta yang telah melakukan penebangan dan menerima pembayaran yang tersebar di dua wilayah yaitu suban jeriji dan benakat. Untuk mengetahu nilai ekonomi dari keberadaan perusahaan dilakukan valuasi ekonomi dari sisi perusahaan dan pola PHBM. Untuk mengetahui faktorfaktor yang menentukan keberlanjutan pembangunan HTI dengan pola PHBM ini akan digunakan model persamaan logit.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Valuasi Ekonomi berasal dari kata “valuation” dan “economics". Meyer dan Herman (1947) mengatakan bahwa ekonomi menjelaskan tentang transformasi sumberdaya alam melalui penggunaan fasilitas fisik (physical forces), energi (stored energy), dan kapasitas manusia, menjadi barang yang berguna bagi manusia, serta cara mengangkut barang tersebut ke konsumen. Baxter dan Ray (1978) mendefinisikan ekonomi sebagai ilmu tentang perilaku sosial dan institusi yang menyangkut penggunaan sumberdaya yang langka untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa untuk mencapai kepuasan dan keinginan manusia. Klemperer (1996) mengatakan bahwa ekonomi akan menolong kita dalam memilih cara yang terbaik dalam menggunakan sumberdaya. Ekonomi akan menjelaskan perilaku manusia dalam pengambilan keputusan tentang alokasi sumberdaya alam yang terbatas. Dengan demikian paling tidak terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam ekonomi yaitu: jenis dan jumlah barang yang akan diproduksi, bagaimana cara memproduksinya, dan bagaimana mendistribusikannya (Johnson, 2000). Ekonomi dalam konteks valuasi ini adalah perilaku manusia yang mencerminkan cara-cara terbaik dalam menggunakan sumber daya alam untuk memenuhi kepuasan manusia. Cara terbaik merupakan kearifan manusia untuk menggunakan potensi internal dan fasilitas eksternal dalam menggunakan sumberdaya alam. Dengan demikian kegiatan ekonomi manusia akan selalu berusaha meningkatkan kesejahteraannya secara berkesinambungan.
16
Valuasi berasal dari kata "value" atau "nilai" yang bermakna persepsi manusia atau orang tertentu terhadap makna suatu objek dalam waktu dan tempat tertentu. Dengan demikian hutan dan konversinya akan memiliki nilai yang berbeda bagi individu atau kelompok masyarakat yang berbeda. Persepsi ini sendiri merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) tentang atau terhadap suatu benda sebagai basil dari proses pemahaman melalui suatu pemikiran, dimana harapan dan norma-norma yang dimiliki oleh individu atau kelompok masyarakat sangat berpengaruh. Valuasi merupakan prosedur yang dilakukan untuk menemukan nilai suatu sistem (Klemperer, 1996). Nilai yang dimaksudkan di sini adalah nilai manfaat (benefit) suatu barang yang dapat dinikmati oleh manusia atau masyarakat. Adanya nilai yang dimiliki oleh suatu barang (sumber daya dan lingkungan) pada gilirannya akan mengarahkan perilaku individu, masyarakat ataupun organisasi dalam suatu pengambilan keputusan. Menemukan nilai suatu barang atau jasa lingkungan merupakan tema utama dalam bidang ekonomi lingkungan dan merupakan hal yang krusial bagi pembangunan berkelanjutan. Masalahnya adalah bahwa menilai suatu asset lingkungan bukan sesuatu yang mudah oleh karena banyak aset lingkungan yang tidak memiliki pasar sehingga tidak mempunyai harga. Sebagai contoh adalah fungsi perlindungan hutan, atau diversitas biologi hutan tropis. Fungsi lingkungan ini sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat tetapi karena tidak memiliki pasar seperti yang dimiliki barang lainnya, misalnya ikan dan kayu bakar, maka terdapat kesulitan untuk menentukan nilai fungsi lingkungan tersebut. Demikian halnya total manfaat ekonomi dan total biaya ekonomi yang ditimbulkan dari izin konsesi lahan untuk pembangunan HTI. Penilaian ekonomi
17
(valuasi ekonomi) apakah program pembangunan HTI selama ini secara keseluruhan menguntungkan atau justru merugikan perlu dilakukan. Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem hutan merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem hutan yang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation). Valuasi ekonomi, menurut Fauzi (2004) dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya alam merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri. Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang tetapi juga nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang sering tidak terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam. Menurut Constanza (1991) tujuan valuasi ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi. Untuk tercapainya ke tiga tujuan diatas, perlu
18
adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan. Valuasi ekonomi penggunaan sumberdaya alam hingga saat ini telah berkembang pesat. Di dalam konteks ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan, perhitungan-perhitungan berkembang.
tentang biaya lingkungan sudah cukup
banyak
Menurut Hufscmidt et al. (1983) secara garis besar metode
penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dapat dibagi
ke dalam dua kelompok besar, yaitu
berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang berorientasi survai atau penilaian hipotetis. Dari kedua pendekatan tersebut selanjutnya Hufscmidt et al. (1983) mengembangkan lebih lanjut metode penilaian untuk masing-masing kelompok seperti berikut ini : 1. Pendekatan Orientasi Pasar - Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual market based methods) : a. Perubahan dalam nilai hasil produksi (change in productivity) b. Metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods) - Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan berupa perlindungan lingkungan : a. Pengeluaran pencegahan (averted defensif expenditure methods) b. Biaya penggantian (replacement cost methods) c. Proyek bayangan (shadow project methods) d. Analisis keefektifan biaya
19
- Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market-based methods) : a). Barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan b). Pendekatan nilai pemilikan c). Pendekatan lain terhadap nilai tanah d). Biaya perjalanan (travel cost) e). Pendekatan perbedaaan upah (wage differential methods) f). Penerimaan konpensasi/pampasan 2. Pendekatan Orientasi Survai - Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (Willingness to Pay) - Pertanyaan langsung terhadap kemauan di bayar (Willingness to Accept) Dalam metode perhitungan yang berorientasi pasar, metode penilaian manfaat kualitas lingkungan menggunakan harga pasar aktual.
Harga pasar
tersebut dapat diubah menjadi harga bayangan bilamana diperlukan (Hufscmidt et al., 1983). Untuk mengukur nilai sumberdaya dilakukan berdasarkan konsep nilai ekonomi total (total economic value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use values. Konsep use value pada dasarnya mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual maupun konsumsi potensial dari suatu sumberdaya (Krutila, 1967). Barton (1994) membagi konsep use value kedalam nilai langsung (direct use value) dan nilai tidak langsung (indirect use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai pilihan (option value). Sementara nilai non use value meliputi nilai keberadaan existence values
20
dan nilai warisan (bequest values) jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic values). Nilai guna langsung meliputi seluruh manfaat dari sumberdaya yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi dimana harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Nilai guna ini dibayar oleh orang secara langsung mengunakan sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya. Nilai guna tidak langsung terdiri dari manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusi kepada masyarakat dan ekosistem (Miyata, 2007). Nilai pilihan (Option value) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya alam yang disimpan atau dipertahankan untuk tidak dieksplorasi sekarang demi kepentingan yang akan datang. Contohnya spesies, habitat dan biodiversity. Nilai Keberadaan (existance values) adalah nilai yang diberikan masyarakat kepada sumberdaya tertentu atas manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Nilai guna ini tidak berkaitan dengan penggunaan oleh manusia baik untuk sekarang maupun masa datang, semata-mata sebagai bentuk kepedulian atas keberadaan sumberdaya sebagai obyek. Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini untuk sumberdaya alam tertentu agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi selanjutnya. Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang, atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya. Munasinghe (1993) menyatakan bahwa kebanyakan hasil hutan non kayu dikonsumsi secara lokal (nasional). Namun demikian produk ini merupakan sumber daya yang sangat bernilai dan nilai komersialnya per hektar dapat melebihi produksi kayu. Contoh, satu hektar hutan Amazon Brasil menghasilkan
21
nilai ekonomi sebesar US$ 6 280 yang dihasilkan oleh oleh buah dan lateks. Sedangkan kayu (logging) hanya memberikan kontribusi sebesar 7% dari TEV. Hasil hutan non kayu tertentu memiliki pasar intemasional yang penting. Rotan, lateks, coklat, vanilla, dan lain sebagainya merupakan komoditas yang telah memiliki pasar hingga ke negara-negara maju. Ekotourisme di hutan tropis juga merupakan aktivitas ekonomi yang telah berkembang dan memiliki potensi mancanegara. Pengunjung lokal juga memiliki potensi untuk mendatangkan benefit tetapi tingkat WTPnya masih rendah bila dibandingkan dengan turis mancanegara. Nilai kegunaan tak langsung berhubungan dengan dukungan atas perlindungan yang disediakan oleh hutan tropis terhadap aktivitas ekonomi lainnya yang berada di luar wilayah hutan tropis. Sebagai contoh adalah fungsi perlindungan DAS (Daerah Aliran Sungai) hutan tropis yang mengatur tingkat sedimentasi dan banjir sehingga pengaruhnya sangat menentukan produktivitas ekonomi pada kawasan pertanian dan perikanan di sekitarnya. Nilai tak langsung sering sulit ditentukan karena tidak dapat diduga secara langsung melalui observasi manusia atau perilaku pasar (Bann, 1998). Nilai option adalah tipe nilai kegunaan yang berhubungan dengan kegunaan masa depan hutan tropis. Nilai option muncul karena masyarakat memiliki pilihan tentang kegunaan hutan tropis di masa yang akan datang. Konsekuensinya adalah terdapat upaya masyarakat untuk melindungi hutan. Dengan demikian tingkat penggunaan hutan tropis sekarang akan rendah dengan harapan dapat mempunyai nilai masa depan yang lebih tinggi dalam lingkup ilmu pengetahuan dan pendidikan serta kegunaan ekonomi lainnya. Kategori khusus
22
nilai option adalah nilai warisan (bequest value) yang merupakan hasil dari penghargaan yang tinggi terhadap konservasi hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang.
Motifnya adalah keinginan untuk memberikan
sesuatu kepada keturunan. Seperti halnya nilai kegunaan tak langsung, nilai option dan bequest value sulit untuk diakses karena menyangkut asumsi-asumsi yang berhubungan dengan pendapatan dan preferensi masa depan (Wallander, 2007). Selanjutnya seperti yang telah dikemukakan di atas untuk sumber daya alam yang mudah diukur kuantitasnya dan diketahui harganya di pasar baik melalui pasar yang sesungguhnya ataupun pasar tiruan (surrogate), valuasinya dapat menggunakan unit rent atau unit price. Untuk fungsi-fungsi hutan yang sifatnya tidak harus melalui nilai penggunaan, valuasinya (non-use value) akan menggunakan “benefit transfer”, karena penghitungan secara langsung biasanya dengan menggunakan survei lapangan akan memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Menurut Simangunsong (2003), nilai ekonomi fungsi hutan dapat dibedakan menjadi nilai guna (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non-use value). Selanjutnya nilai guna dibedakan menjadi nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung. Contoh dari nilai guna langsung adalah nilai untuk kayu bulat, kayu bakar, dan hasil hutan lainnya seperti madu dan air. Nilai guna tidak langsung, di antaranya nilai terhadap konservasi lahan dan air, penyerap karbon, pencegah banjir, dan keanekaragaman hayati. Kemudian nilai tanpa penggunaan meliputi nilai pilihan dan nilai keberadaan. Untuk melakukan penilaian terhadap barang dan jasa yang tidak memiliki harga pasar, Bateman et al. (2002) mengemukakan bahwa: Economic Valuation
23
refers to the assignment of money value to non-marketed assets, goods and services, where the money values have a particular and precise meaning. Nonmarketed goods and services refer to those which may not be directly bought and sold in the market place. Bila suatu barang dan/atau jasa memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan manusia maka dikatakan bahwa barang dan jasa tersebut memiliki nilai ekonomi (economic value). Nilai ekonomi didefinisikan sebagai nilai yang menggambarkan ukuran moneter sebagai hasil transaksi yang terjadi di pasar. Dengan demikian valuasi ekonomi merupakan suatu kajian yang menawarkan suatu tantangan yang menarik tentang metode pengukuran sehingga nilai jasa atau barang yang tidak memiliki harga pasar dapat ditransformasi ke nilai moneter. Oleh sebab itu valuasi ekonomi juga melibatkan analisis ekologi guna memahami semua komponen dan atribut feature atau hutan yang dinilai. WWF (2004) menggunakan analisis ekologi dalam model valuasi ekosistem untuk menghitung nilai moneter kerusakan lahan basah di daerah mediterane, Eropa Selatan. Tujuan analisis ini adalah mengidentifikasi nilai ekologi yang dimiliki setiap elemen-elemen bentang alam di lahan basah Kalloni. Model ini difokuskan pada sensitivitas habitat alami terhadap gangguan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Pemahaman tentang konsep valuasi ekonomi memungkinkan para pengambil keputusan dapat menentukan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat digunakan dengan mengaitkan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, sehingga dengan demikian valuasi ekonomi dapat menjadi suatu alat penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap sumberdaya alam dan lingkungan (Gittinger, 1986).
24
2.2. Pengembangan HTI Dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Pengusahaan Hutan Tanaman Industri diatur di dalam Pasal 1 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 sertat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 228/Kpts-II/1990 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Dasar pemikiran dikeluarkannya peraturan tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, adalah karena: (1) menurunnya potensi hutan alam yang disebabkan antara lain oleh luasan hutan yang makin berkurang, kerusakan hutan akibat kebakaran, dan sebab lainnya, dan (2) hutan alam tidak dapat diandalkan sebagai
pemasok
bahan
baku
jangka
panjang
sehingga
potensi
dan
produktivitasnya perlu ditingkatkan. Pembangunan hutan tanaman industri, bertujuan untuk: (1) meningkatkan produktivitas kawasan hutan yang kurang produktif, (2) mendukung industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, (3) melestarikan lingkungan hidup melalui konservasi hutan, dan (4) memperluas lapangan kerja dan berusaha. Ada tiga prinsip yang harus diperhatikan dalam mengelola hutan tanaman industri: (1) kelestarian lingkungan hidup, (2) sumber daya alamiah, dan (3) prinsip ekonomi. Ketiga prinsip itu harus diperhatikan secara saksama oleh pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dalam mengelola kawasan hutan. Hutan Tanaman industri merupakan hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan oleh suatu organisasi atau perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
25
industri hasil hutan berdasarkan azas manfaat yang lestari dan azas ekonomi yang efisien dengan menerapkan sistim silvikultur intensif (Departemen Kehutanan, 1990). Menurut Alrasjid (1984), kebijaksanaan pembangunan hutan tanaman industri umumnya diarahkan pada 4 tujuan pokok, yaitu : 1. memenuhi kebutuhan industri, antara lain berupa pulp untuk bahan baku kertas, kayu gergajian, panel dan sebagainya, 2. memenuhi tuntutan perlindungan, antara lain untuk kebutuhan hidro-orologi, 3. memenuhi kebutuhan energi, dan meningkatkan pendapatan dan kebutuhan masyarakat terutama yang ada di sekitar areal pembangunan hutan tanaman industri. Tujuan pemerintah dalam pembangunan HTI diharapkan secara bertahap akan mengubah lahan kritis menjadi produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara langsung pembangunan HTI akan mengubah penyerapan tenaga kerja yang sebelumnya bekerja untuk illegal logging menjadi tenaga pembangunan HTI (Departemen Kehutanan, 1996). Keberhasilan pembangunan HTI diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta penerimaan devisa negara. Selain itu, HTI akan membangkitkan kembali pembangunan ekonomi, karena membuka peluang bagi peningkatan investasi asing dan domestik, penyerapan tenaga kerja, penyediaan lapangan usaha, terjaminnya bahan baku industri, serta meningkatkan nilai ekspor yang berdampak terhadap perolehan devisa negara. Keberhasilan ini akan mendorong banyak aspek terkait yang berdampak pada pembangunan ekonomi nasional secara menyeluruh (Barr, 2001).
26
Pengelolaan HTI berbasis masyarakat atau Community Based Forest Management (CBFM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya hutan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaan (Darmawan dkk., 2004). Menurut Suharjito et al. (2000) pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik perusahaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun subsisten. Sementara
itu,
sumberdaya berbasis
Carter
(1996)
masyarakat
yaitu,
memberikan suatu
definisi
strategi
untuk
pengelolaan mencapai
pembangunan yang berpusat pada manusia. Pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.
Beberapa kelebihan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat
antara lain: 1. Mampu mendorong pemerataan dalam pengelolaan sumber daya alam, 2. Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat yang spesifik, 3. Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat, 4. Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi, 5. Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal, 6. Masyarakal lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.
27
Keberhasilan pembangunan HTI diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta penerimaan devisa negara. Selain itu, HTI akan membangkitkan kembali pembangunan ekonomi, karena membuka peluang bagi peningkatan investasi asing dan domestik,penyerapan tenaga kerja, penyediaan lapangan usaha, terjaminnya bahan baku industri, serta meningkatkan nilai ekspor yang berdampak terhadap perolehan devisa negara. Keberhasilan ini akan mendorong banyak aspek terkait yang berdampak pada pembangunan ekonomi nasional secara menyeluruh. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan bahwa sampai dengan tahun 2007 pembangunan HTI di Indonesia telah mencapai 254 unit dengan luas 3.57 juta hektar. Pada tahun 2006 nilai investasi HTI sebesar US$ 3 milyar (nilai perolehan tidak termasuk nilai standingstock (tegakan), menyerap 135 ribu tenaga kerja dan mendukung 7 unit industri pulp dan kertas. Nilai investasi pulp dan kertas sebesar US$ 16 milyar dengan kapasitas produksi sekitar 8.5 juta ton/tahun (peringkat 12 besar dunia) dan menyerap tenaga kerja 178 600 orang, dengan penerimaan devisa negara dari pulp dan paper sekitar US$ 6 milyar per tahun (Barr, 2001) Keberhasilan yang diharapkan jika tidak diikuti dengan pengelolaan yang baik akan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Penebangan liar, pengelolaan konsesi hutan yang sangat buruk, konversi hutan menjadi perkebunan, dan kebakaran hutan setiap tahun membuat hutan tropis Indonesia kian menyusut, komunitas-komunitas yang bergantung pada hutan dengan cepat kehilangan sumber daya alam masa depannya (Global Forest Watch, 2002). Biaya sosial, finansial dan lingkungan yang ditimbulkannya amat besar. Penebangan liar telah mengakibatkan negara kehilangan pendapatan sedikitnya
28
sebesar US$ 15 milyar setahunnya, dan hilangnya hutan langsung mempengaruhi mata pencaharian lebih dari satu milyar penduduk di negara berkembang yang hidup dalam kemiskinan yang parah. Hilangnya hutan juga diikuti oleh maraknya kebakaran, tanah longsor, dan banjir yang mengambil nyawa ribuan orang. Penebangan liar juga telah mengancam eksistensi banyak spesies yang rentan. Dampak negatif dari perusakan tersebut secara langsung dirasakanoleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yaitu berupa banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan dimana kualitas dan kuantitasnya semakin meningkat dari tahun ke tahun (World Bank, 2002) 2.3. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan
berkelanjutan
(sustainability)
didefinisikan
sebagai
pembangunan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang (Bond et al., 2001). Selanjutnya Roderic et al. (1997), menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang serta adil, serta efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Dalam Agenda 21 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000), World Commision on Environment and Development menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan atau sustainable development
adalah
pembangunan
untuk
kebutuhan
masa
kini
tanpa
29
mengorbankan kebutuhan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Murphy et al. (2005) menyatakan bahwa kebutuhan masa mendatang tergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi lingkungan secara harmonis. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkan konsepnya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahan yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Konsep ini adalah upaya menuju pembangunan industri yang memuja efisiensi dan pengembangan besar-besaran modal, tanpa memperhitungkan atau hanya sedikit sekali mempertimbangkan kerusakan alam. Banerjee (1999) menyatakan bahwa di negara-negara berkembang pembangunan lebih memprioritaskan kepada pembangunan kinerja ekonomi dan mengabaikan penanganan terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan seperti pengangguran, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan buruknya akses informasi yang dimiliki oleh warga masyarakat. Ada tiga hal penting terkait dengan pernyataan Banerjee ini, yaitu pertama: lingkungan sebagai dampak dari proses pembangunan berkelanjutan, kedua: adaptasi teknologi yang terkait dengan lingkungan, dan ketiga: penemuan “kembali” alam sebagai implikasi logis dari majunya peradaban umat manusia. Pembangunan berkelanjutan memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama dalam mencapai kesejahteraannya, sepertihalnya generasi sekarang. Untuk dapat melaksanakan pembangunan berkelanjutan diperlukan cara mengelola dan memperbaiki portofolio asset
30
ekonomi, sehingga nilai agregatnya tidak berkurang dengan berjalannya waktu. Portofolio asset ekonomi tersebut adalah kapital alami, kapital fisik dan kapital manusia. Dalam paradigma ekonomi, pembangunan berkelanjutan dapat diterjemahkan sebagai pemeliharaan kapital. Ada empat variasi kebijakan mengenai pembangunan berkelanjutan : 1. Kesinambungan yang sangat lemah (very weak sustainabillity) atau “Hartwick-Solow sustainability” yang hanya mensyaratkan kapital dasar total yang harus dipelihara. Kesinambungan ini dapat dicapai dengan memastikan bahwa tingkat/ laju konsumsi berada di bawah Hicksian Income, dimana Hicksian Income ini didefinisikan sebagai tingkat konsumsi maksimum yang dapat membangun kondisi masyarakat yang lebih sejahtera di akhir periode pembangunan dibandingkan dengan kondisi awalnya. Diasumsikan natural capital dapat disubsitusi dengan kapital buatan manusia (man-made capital) tanpa batas. Dengan kata lain, deplesi sumberdaya alam tidak diperhitungkan dalam penilaian kegiatan ekonomi (Harnett, 1998) 2. Kesinambungan
yang
lemah
(weak
sustainability),
mensyaratkan
pemeliharaan kapital total, dengan kendala bahwa modal alami yang penting (critical natural capital) harus dilestarikan. Misalnya : bila sumberdaya air dan keragaman spesies merupakan hal yang penting bagi stabilitas ekosistem, sumberdaya tersebut tidak dapat dikorbankan bagi alasan-alasan pertumbuhan ekonomi. 3. Kesinambungan yang kuat (strong sustainability) mensyaratkan bahwa tidak ada substitusi bagi modal alami (natural capital), karena natural capital ini memperkuat kesejahteraan manusia dan degradasi natural capital tersebut
31
dapat dikembalikan kondisinya ke kondisi awal. Kesinambungan yang kuat mensyaratkan pemeliharaan kapital total, dengan kendala bahwa agregrat kapital total harus dilestarikan. 4. Kesinambungan yang sangat kuat (very strong sustainability) mensyaratkan bahwa kesinambungan sistem ekologi adalah esensi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan yang bergantung pada sumberdaya (resource-dependent
“development”)
diperbolehkan,
namun
demikian,
pertumbuhan yang bergantung pada sumberdaya (resources-dependent “growth”) tidak dapat dibenarkan. Interpretasi ini mensyaratkan pemisahan setiap komponen dari natural capital. Pada kenyataannya, very strong sustainability lebih merupakan sistem daripada suatu konsep ekonomi. Suatu pembangunan, agar dapat berkelanjutan, memiliki suatu persyaratan minimum yaitu bahwa sediaan kapital alami (natural capital stock) harus dipertahankan sehingga kualitas dan kuantitasnya tidak menurun dalam suatu rentang waktu (Pearce, 1992). Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai natural capital adalah suatu proses substraksi dan/atau penambahan materi dari dan kepada sistem alam. Proses ini kemudian menyebabkan perubahan ke dalam setiap komponen sistem alam tersebut yang berakibat pada perubahan kondisi alami dari sumberdaya. Salim (2004) menyatakan bahwa prasyarat bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan adalah bahwa setiap proses pembangunan mencakup tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Tiga aspek tersebut dalam pembangunan harus berada dalam sebuah keseimbangan tanpa saling mendominasi. Lebih jauh Salim (2004) membuat matriks pembangunan berkelanjutan berikut ini.
32
Tabel 1. Matriks Pembangunan Berkelanjutan
Ekonomi Sosial Lingkungan
Ekonomi Equitable growth Sosial input ekonomi Lingkungan Input ekonomi,
Sosial Ekonomi input sosial Berantas Kemiskinan Lingkungan Input sosial
Lingkungan Ekonomi input lingkungan Sosial input Lingkungan Lestarikan ekosistem
Sumber: Emil Salim, 2004.
Fauzi (2004) mengemukakan bahwa beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan pembangunan berkelanjutan pada prinsipnya menyangkut aspek dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, serta hukum dan kelembagaan. Beberapa literatur lain menambahkan aspek teknologi, sehingga dalam pembahasan selanjutnya digunakan dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Dari berbagai definisi tersebut secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Dengan kata lain, kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu variabel tetap (fixed variable) dalam proses pembangunan ekonomi suatu bangsa. Menurut Mitchell (1997) ada dua prinsip keberlanjutan, yaitu: 1. Prinsip lingkungan ekologi: pertama, melindungi sistem penunjang kehidupan, kedua, memelihara integritas ekosistem dan, ketiga, mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan Iingkungan global.
33
2. Prinsip sosial politik: pertama, mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia dibawah daya dukung atmosfer, kedua, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia dan, ketiga, menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup, interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi. Dalam hubungan ini Soemarwoto (2001) mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Faktor lingkungan tersebut meliputi: pertama, terpeliharanya proses ekologi yang esensial, kedua, tersedianya sumber daya yang cukup, ketiga, lingkungan sosialbudaya dan ekonomi yang sesuai. Soeriaatmadja
(2000)
mengemukakan
pentingnya
pembangunan
berkelanjutan dengan alasan : 1. Terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources). 2. Terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi 3. Terbatasnya lahan yang dapat ditanami 4. Terbatasnya produksi persatuan luas lahan, atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital. Ada empat prinsip pengelolaan sumberdaya alam guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan, yaitu: 1. Optimalisasi pemanfaatan sosial ekonomi; Bahwa pengembangan sumberdaya alam harus didasarkan pada strategi yang dapat mengoptimalkan manfaat sosial dan ekonomi jangka panjang dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.
34
2. Koordinasi antar bidang sektoral; Ekosistem sumberdaya alam wajib dikelola dengan memadukan kebijakan-kebijakan sektoral, perencanaan dan strategi pengelolaan guna mengoptimalisasi pemanfaatanya. Optimalisasi manfaat sosial ekonomi dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi yang lebih balk dalam proses perencanaan atas kebutuhan pemanfaatan sumberdaya alam. 3. Multiguna
sumberdaya
alam;
Dalam
mengoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya, kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya alam dilakukan dengan mengambil berbagai kegunaan yang dimiliki oleh sumberdaya alam yang tersedia dan dapat diperbaharui. 4. Memperhatikan kapasitas ekosistem; Pemanfaatan sumberdaya alam akan sangat bergantung peda kemampuan ekosistem sumberdaya alam tersebut dalam menyediakan sumber daya guna memenuhi permintaan. Keberhasilan dan keberlanjutan suatu sistem pengelolaan hutan erat berhubungan dengan keberadaan lembaga yang ada, penyelengaraannya serta pengembangannya. Lembaga yang ada mengacu pada seperangkat aturan yang digunakan untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang bersifat repetitive dan yang hasilnya berpengaruh pada masyarakat luas. Pengembangan kelembagaan mengacu pada upaya penanganan dalam bentuk perencanaan, pengujian, penyempurnaan, pemantauan, dan penegakan perangkat aturan untuk menata kegiatan-kegiatan tertentu. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok/lembaga. Kebijakan pengelolaan hutan perlu memperhatikan: (1) hutan sebagai ekosistem yang memiliki sifat-sifat penting (produktifitas, stabilitas, fleksibilitas),
35
(2) kelestarian produksi, fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial, dan (3) dinamika yang saling berkaitan antara ekosistem dengan sistem sosial. Implikasi dari pembangunan berwawasan lingkungan yang telah diuraikan di atas adalah: 1. Menjamin terpenuhinya secara berkesinambungan kebutuhan dasar nutrisi bagi masyarakat, baik untuk generasi masa kini maupun yang akan datang, 2. Dapat menyediakan lapangan kerja dan pendapatan yang layak yang memberikan tingkat kesejahteraan dalam kehidupan yang wajar, 3. Memelihara kapasitas produksi pertanian yang berwawasan lingkungan, 4. Mengurangi
dampak
kegiatan
pembangunan
pertanian
yang
dapat
menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup, dan 5. Menghasilkan berbagai produk pertanian, baik primer maupun hasil olahan, yang berkualitas dan higienis serta berdaya saing tinggi. 2.4. Studi-studi tentang Valuasi Ekonomi Penelitian tentang nilai ekonomi total hutan tanaman industri masih kurang sekali. Diantaranya Hasil penelitian Astana, Muttaqin dan Djaenudin (2005), tentang “Analisis Dampak Kebijakan Konversi Hutan” menunjukkan bahwa konversi hutan alam untuk HTI atau pertanian tanaman pangan tidak menyebabkan pendapatan masyarakat lebih tinggi dan distribusi pendapatan masyarakat lebih merata dibandingkan dengan mempertahankan hutan alam. Karenanya kebijakan pengembangan HTI dan pertanian tanaman pangan hanya dapat dipertahankan jika disertai upaya perubahan institusi yang lebih menjamin peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat.
36
Penelitian lain adalah yang dilakukan oleh Maturana (2005) dari Cifor tentang “Biaya Dan Manfaat Ekonomi Dari Pengelolaan Lahan Hutan Untuk Pengembangan Hutan Tanaman Industri Di Indonesia”. Dalam penelitian ini dibandingkan biaya dan manfaat ekonomi dari lima perusahaan HTI terbesar di Sumatera. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak keseluruhan dari alokasi lebih dari 1.4 juta ha lahan negara untuk lima perusahaan perkebunan untuk keperluan produksi bubur kertas adalah negatif. Dimana biaya ekonomi lebih tinggi dibandingkan manfaat-manfaat ekonomi yang diperoleh. Penelitian lain yang terkait dengan studi ini adalah penelitian yang dilakukan Amin, Rukma, dan Marwan (2006), tentang pengelolaan HTI dengan pola MHBM dan MHR, dimana ketiganya melakukan analisis farm acounting dari pengusahaan HTI tersebut dibandingkan dengan usaha perkebunan karet dan kelapa sawit berdasarkan harga aktual, dari hasil kajian tersebut ternyata pengusahaan HTI pola MHR dan MHBM masih lebih menguntungkan dari usahatani karet dan kelapa sawit. Sedangkan studi mengenai valuasi ekonomi Hutan yang cukup intensif telah banyak dilakukan di beberapa negara maju seperti Amerika (Krieger, 2001) dan di beberapa negara Asia seperti Jepang (Yoshida dan Goda, 2001), Korea Selatan (Eom dan
Kang, 2001), Taiwan (Chen,2001), dan Indonesia
(Simangunsong dan Suparmoko, 2003).
Dalam sepuluh tahun terakhir ini
masalah penangan dan pemahaman mengenai pemanfaatan lahan hutan menjadi isu global yang sangat penting. Krieger (2001) melaporkan hasil kajiannya mengenai valuasi ekonomi ekosistem hutan di beberapa lokasi di Amerika serikat. Dalam hasil kajiannya
37
Krieger menilai ekosistem hutan dari ketersediaan air (watersheet service), stabilisasi tanah dan kontrol erosi, kualitas udara, pengaturan iklim dan carbon, keanekaragaman hayati, rekreasi dan turisme, produk komersial hutan non kayu, dan nilai budaya. Pendekatan yang digunakan dalam mengukur nilai tersebut adalah metode biaya perjalanan (travel cost method), pendekatan harga hedonic (Hedonic approach), contingen valuation, defensive (averting) expenditure, Benefit transfer, Nilai komersial (commercial value), pengeluaran bruto (gross expenditure), dan dampak ekonomi (economic impact). Institut Penelitian Mitsubishi di Jepang pada tahun 1995 secara nasional melakukan valuasi ekonomi lahan sawah di Jepang dengan menggunakan metode biaya penggantian (replacement cost method) dimana nilai seluruh areal lahan sawah di Jepang setara dengan US$ 67x109. Eom dan Kang (2001) melakukan penelitian tentang valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian di Korea Selatan dengan menggunakan metode biaya penggantian (replacement cost method). Di Indonesia penelitian valuasi ekonomi sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Simangunsong (2003), memperkirakan nilai ekonomi total (TEV) sumber daya hutan mencapai US$ 1 283 sampai US$ 1 416/ha/tahun, atau kalau diambil nilai tengahnya sekitar US$ 1 349/ha/tahun. Apabila hutan ditebang diperkirakan akan terjadi kerusakan dengan nilai kerugian sebesar US$ 205.34/ha. Perhitungan ini hanya mencakup degradasi atau kehilangan nilai barang dan jasa hutan karena penebangan hutan, sedangkan nilai kayu yang ditebang belum diberikan nilai dalam penilaian ini.
38
Satu pendekatan lain dalam penelitian valuasi ekonomi sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Suparmoko (2003) adalah dengan menggunakan nilai pungutan hutan sebagai proxy terhadap nilai hutan secara keseluruhan baik itu nilai guna dan nilai tanpa penggunannya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa nilai pungutan hutan paling tidak sebesar 15% dari nilai dasar pungutan itu yaitu nilai hutan secara keseluruhan. Dengan pendekatan ini maka nilai hutan secara keseluruhan akan dapat diperkirakan. Penelitian tentang valuasi ekonomi pengusahaan hutan tanaman industri dimaksudkan untuk mencoba menggabungkan dan mengaplikasikan konsepkonsep valuasi ekonomi yang sesuai untuk hutan tanaman industri yang banyak mendapat perhatian serius akhir-akhir ini.
39
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1. 1. Konsep Pembangunan HTI dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan berbasis masyarakat adalah pola pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat sebagai strategi pengelolaan yang berorientasi pada tercapainya kelestarian hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat lokal yang secara historis memiliki ketergantungan kepada sumber daya hutan di sekitarnya (Ford Foundation, 2000). PHBM telah berkembang sejak lama di Indonesia, baik yang diinisiasi oleh masyarakat adat maupun didorong oleh pihak dari luar masyarakat seperti LSM, lembaga donor, pemerintah, dan lain-lain. Kedua inisiatif ini mempunyai kesamaan, antara lain dalam hal tuntutan masyarakat terhadap hak dan akses terhadap sumberdaya hutan. Banyak model atau varian dari PHBM antara lain adalah Hutan Kemasyarakatan (HKM) di Yogyakarta,
Konsep Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Wonosobo Lestari Terintegrasi (PSDHPLT) di Kabupaten Wonosobo, Kolaborasi Multipihak Pengelolaan Kawasan Tambora, PHBM di Taman Nasional Gunung Rinjani), dan Pengelolaan hutan melibatkan masyarakat di Provinsi Bali. Upaya pengembangan pengelolaan hutan oleh masyarakat yang diperkenalkan bertujuan untuk memberikan penguatan, hak, peran dan tanggung jawab serta kesejahteraan yang lebih besar kepada masyarakat adat dan masyarakat lokal serta ada proses dialog dan kerjasama multipihak yang didukung oleh kebijakan yang memadai. Untuk itulah maka dikembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau sering disebut pula PHBM (Maturana, 2005).
40
PT. MHP dengan izin konsesi seluas hampir 300 000 ha berdasarkan SK menteri Kehutanan No. 205/Kpts-II/1991 dan SK Menhut No. 316/Kpts-II/1991, sejak tahun 1999 melakukan pengelolaan HTI dengan pola Pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Untuk pengeloaan HTI berbasis masyarakat tersebut PT. MHP meluncurkan dua program yaitu Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dan Mengelola Hutan Rakyat (MHR) (Simon dan Arisman, 2004) Konsesi MHP yang mencapai hampir 300 000 ha, yang meliputi wilayah yang sangat luas dan tersebar di beberapa pemukiman masyarakat. Sangat sarat dengan permasalahan lahan yang di klaim oleh masyarakat sekitar areal sebagai lahan mereka yang merupakan warisan dari leluhur mereka yang turun temurun. Permasalahan lahan muncul dalam ragam dan skala yang semakin melebar dan sangat mempengaruhi kinerja perusahaan. Agar
usaha
HTI
yang
dikelola
oleh
perusahaan
berkelanjutan
(sustainability) perusahaan telah melakukan serangkaian program CSR dengan pola PHBM atau pengelolaaan hutan bersama masyarakat. Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah diluncurkan oleh perusahaan sejak tahun 1999 yang lalu adalah pola MHBM dan MHR (Iskandar, 2004). Pola MHBM yang telah dilaksanakan dengan luas total 61 172,72 hektar, melibatkan kelompok masyarakat sebagai pekerja untuk mengelola HTI bersama perusahaan dilahan konsesi. Kelompok masyarakat dapat bekerja pada setiap tahapan proses produksi dengan upah standar yang berlaku. Pola MHBM ini dimaksudkan agar anggota atau kelompok masyarakat mendapatkan manfaat, baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek dan menengah, kelompok masyarakat yang kebanyakan tinggal di sekitar
41
hutan itu akan mendapatkan jasa kerja, yakni upah atas dilaksanakannya seluruh kegiatan mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, hingga pemanenan kayu. Disamping itu sesuai dengan kesepakatan, masyarakat mendapat fee dari jasa manajemen sebesar 1% dan fee dari jasa produksi sebesar Rp 2 500/m3. Dalam areal konsesi MHP saat ini terdapat lahan-lahan usaha masyarakat yang sudah turun temurun diusahakan menjadi kebun karet, belukar, dan pemukiman. Lahan-lahan tersebut menjadi enclave dalam areal tanaman MHP. Untuk itu, MHP melakukan program mengelola hutan rakyat (MHR). Pola MHR dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang memiliki lahan untuk ditanami HTI oleh perusahaan dengan perjanjian kerjasama pengelolaan, dimana perusahaan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan mulai dari pembukaan lahan sampai panen. Semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam proses produksi dihitung sebagai hutang, yang nantinya dikurangi dari hasil produksi kayu HTI. Hasil bersih dibagi antara perusahaan dan masyarakat dengan pembagian masing-masing 60% dan 40%. 3.1.2. Konsep Valuasi Ekonomi Pengusahaan HTI Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan valuasi ekonomi perlu diketahui sejauh mana adanya bias antara harga yang terjadi dengan nilai riil yang seharusnya ditetapkan dari sumberdaya yang digunakan tersebut. Selanjutnya adalah apa penyebab terjadinya bias harga tersebut. Ilmu ekonomi sebagai perangkat melakukan valuasi ekonomi adalah ilmu tentang pembuatan pilihan-
42
pilihan. Pembuatan pilihan-pilihan dari alternatif yang dihadapkan kepada kita tentang lingkungan hidup adalah lebih kompleks, dibandingkan dengan pilihan dalam konteks; barang-barang privat murni (Baxter et al., 1978). Menilai suatu sumberdaya alam secara komprehensif adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan bagi para pembuat kebijakan. Dalam hal ini tidak saja market value dari barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga dari jasa yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Bagaimana mengukur, atau menilai jasa tersebut padahal konsumen tidak mengkonsumsinya secara langsung, bahkan mungkin tidak pernah mengunjungi tempat dimana sumberdaya alam tersebut berada. Salah satu cara untuk melakukan valuasi ekonomi adalah dengan menghitung Nilai Ekonomi Total. Nilai Ekonomi Total (TEV) adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. Secara matematis persamaan total economic value dapat ditulis dalam persamaan sebagai berikut (Cserge, 1994): TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (XV + BV) Dimana: TEV = Total economic value, yang nilai ekonomi diukur dalam terminologi sebagai kesediaan membayar (willingness to pay) untuk mendapatkan komoditi tersebut. UV = Use values (Nilai Manfaat), adalah suatu cara penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa sumberdaya alam dan lingkungan ke nilai uang (monetize), terlepas ada ada atau tidaknya nilai pasar terhadap barang dan jasa tersebut. NUV = Non use value (Nilai Bukan Manfaat)
43
DUV = Direct use value (Nilai Langsung), dimana output (barang dan jasa) yang terkandung dalam suatu sumberdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan. IUV = Indirect use value (Nilai Tidak Langsung), yaitu barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut. 0V = Option value (Nilai Pilihan), adalah potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan diwaktu mendatang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen. Nilai ini merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejurnlah uang agar dapat memanfaatkan potensi SDA di waktu mendatang. XV =
Exsistence value (Nilai Keberadaan), nilai keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil daripadanya. Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai relijius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam.
BV =
Bequest value (Nilai Warisan), nilai perlindungan atau preservation suatu sumberdaya agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang sehingga mereka dapat mengambil manfaat daripadanya sebagai manfaat yang telah diambil oleh generasi sebelumnya. Metode valuasi barang dan jasa lingkungan dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu metode yang menggunakan kurva penawaran dan permintaan, dan metode yang tidak menggunakan kurva tersebut. Metode yang menggunakan kurva penawaran-permintaan membutuhkan data seri tentang permintaan dan penawaran sehingga metode ini merupakan metode terbaik karena menghitung total manfaat sosial dan manfaat sosial bersih yang merupakan penjumlahan antara surplus konsumen dan surplus produsen (Turner et al., 1994). Bann (1998) membagi teknik valuasi yang umumnya digunakan dalam menilai berbagai komponen nilai hutan tropis kedalam lima kategori utama. 1. Berdasarkan Harga Pasar Pendekatan ini menggunakan harga pasar (price based) dari suatu barang dan jasa hutan (koreksi untuk pasar yang tidak sempurna dan kegagalan kebijakan yang dapat mendistorsi harga). Menurut Huftschmidt et. al. (1983), pendekatan
44
dengan harga pasar dapat dibedakan lagi menjadi pendekatan harga pasar dan pendekatan nilai barang pengganti: a. Pendekatan harga pasar yang sebenarnya atau pendekatan produktivitas telah banyak digunakan dalam menganalisis biaya dan manfaat suatu proyek. b. Pendekatan modal manusia (human capital) atau pendekatan pendapatan yang hilang (foregone earnings) menggunakan harga pasar dan tingkat upah untuk menilai sumbangan kegiatan terhadap penghasilan masyarakat. 2. Pendekatan Barang Lain Yang Memiliki Hubungan Dengan Barang Atau Jasa Hutan Yang Dinilai Pendekatan ini menggunakan informasi tentang hubungan antara barang dan jasa yang dipasarkan untuk mengetahui nilai barang dan jasa yang tidak memiliki pasar. Teknik ini terdiri atas pendekatan barter, pendekatan substitusi langsung, dan pendekatan substitusi tak langsung. Dalam pendekatan nilai barang pengganti (substitusi) maupun nilai barang pelengkap (komplementer), kita berusaha menemukan harga pasar bagi barang dan jasa yang terpengaruh lingkungan. Pendekatan nilai kekayaan (hedonic property prices) didasarkan atas pemikiran bahwa kualitas lingkungan mempengaruhi harga rumah yang dipengaruhi oleh jasa atau guna yang diberikan oleh kualitas lingkungan. Pendekatan upah pada jenis pekerjaan yang sama tetapi pada lokasi yang berbeda untuk menilai kualitas lingkungan kerja pada masingmasing lokasi dapat digunakan dalam metode ini. Pendekatan yang dipakai adalah bahwa upah dibayarkan lebih tinggi pada lokasi yang lebih tercemar Disamping itu juga bisa digunakan pendekatan dengan menggunakan biaya transportasi. Pendekatan ini menganggap bahwa biaya perjalanan serta
45
waktu yang dikorbankan para wisatawan untuk menuju obyek wisata, dianggap sebagai nilai lingkungan yang wisatawan bersedia untuk membayar. Dalam suatu perjalanan (travel) orang harus membayar “biaya finansial” (financial cost) dan “biaya waktu”. Biaya waktu tergantung pada biaya kesempatan (opportunity cost) masing-masing. 3. Pendekatan Tidak Langsung Pendekatan ini merupakan teknik yang berusaha mengungkap preferensi melalui informasi yang berdasarkan observasi pasar. Pendekatan ini dapat dibagi atas dua macam, yaitu: a. Pendekatan Pasar Pengganti (Surrogate market approach) yang menggunakan informasi tentang komoditi yang dipasarkan untuk menduga nilai barang yang akan ditaksir. b. Pendekatan pasar konvensional (Conventional market approach) yang menggunakan harga pasar dalam menilai jasa lingkungan dalam situasi dimana kerusakan atau perbaikan lingkungan menimbulkan perubahan kuantitas atau harga input atau output yang dipasarkan. Contohnya adalah nilai perubahan pada pendekatan produktvitas, dan pendekatan fungsi produksi. 4. Pendekatan Langsung Membangun pendekatan pasar sebagaimana metode kontingensi yang digunakan untuk mendapatkan nilai lingkungan secara langsung, melalui survei, WTP konsumen terhadap nilai lingkungan yang dapat dipasarkan. Survei dapat dilakukan dengan mewawancarai responden secara langsung mengenai kesediaan mereka untuk membayar (willingnes to pay) atau kesediaan menerima
46
pembayaran (willingnes to accept) karena perubahan lingkungan dapat dipakai untuk menentukan nilai lingkungan. 5. Metode Berbasis Ongkos Metode ini menggunakan beberapa estimasi ongkos untuk menyediakan atau menggantikan barang dan jasa lingkungan yang sebenarnya akan diestimasi benefitnya. Menurut Gittinger (1986), komponen barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam terdiri dari 2 yaitu : barang dan jasa yang diperdagangkan (traded goods) dan tidak diperdagangkan (non traded). Untuk barang dan jasa yang diperdagangkan, teknik pengukuran nilai ekonominya dapat dilakukan dengan lebih terukur karena bentuk fisiknya jelas dan memiliki nilai pasar (market value). Beberapa cara pengukuran yang dapat dilakukan dengan surplus konsumen dan surplus produsen. Surplus konsumen adalah pengukuran kesejahteraan di tingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan apa yang sebenarnya dia bayar. Di dalam valuasi ekonomi sumberdaya, surplus konsumen ini dapat digunakan untuk mengukur besarnya kehilangan akibat kerusakan ekosistem dengan mengukur perubahan konsumer surplus. Surplus produsen diukur dari sisi manfaat dan kehilangan dari sisi produsen atau pelaku ekonomi. Dalam bentuk yang sederhana, nilai ini dapat diukur tanpa harus mengetahui kurva penawaran dari barang yang diperdagangkan. Pengukuran Nilai Ekonomi Barang dan Jasa yang Tidak Diperdagangkan (Non Traded Value) dapat dilakukan dengan memprediksi nilainya. Beberapa barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan seperti
47
nilai rekreasi, nilai keindahan dan sebagainya yang tidak diperdagangkan dan sulit mendapatkan data mengenai harga dan kuantitas dari barang dan jasa tersebut. Beberapa pendekatan untuk mengukur barang dan jasa yang tidak diperdagangkan telah banyak dikembangkan oleh para ahli ekonomi sumberdaya diantaranya adalah: 1. Teknik Pengukuran Tidak Langsung Penilaian terhadap barang dan jasa yang tidak diperdagangkan dapat dilakukan menggunakan teknik tidak langsung yang didasarkan pada deduksi atas perilaku seseorang atau masyarakat secara keseluruhan terhadap penilaian sumberdaya alam, sehingga teknik ini juga sering disebut teknik revealed willingness to pay. Dengan teknik ini diharapkan akan diperoleh nilai yang secara konseptual identik dengan nilai pasar (market value). Termasuk di dalam teknik-teknik ini antara lain; Hedonic Price and Wage Techniques, the Travel Cost Methods, Averrive Behavior and Conventional Market Approaches. Semua itu adalah tidak langsung sebab mereka tidak tergantung pada jawaban langsung masyarakat terhadap pertanyaan tentang, "berapa banyak mereka WTP atau WTA untuk perubahan kualitas lingkungan hidup" (Cserge, 1994). a. Travel Cost Method 1. Dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam. 2. Dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata. 3. Biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan penginapan. 4. Surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut.
48
b. Hedonic Pricing Method Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit dari karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa. Analisa hedonic price biasanya melibatkan dua tahapan. Pertama adalah menentukan variable kualitas lingkungan yang akan dijadikan studi dan mengkajinya dari ketersediaan data spasial dan data harga dari suatu obyek yang akan dinilai. Kedua adalah menentukan fungsi permintaan. Teori dasarnya adalah ada keterkaitan antara permintaan atau produksi komoditi yang dapat dipasarkan (marketable commodity) dengan yang tidak dapat dipasarkan (nonmarketable commodity). 2. Teknik Pengukuran Langsung Pada pendekatan pengukuran secara langsung, nilai ekonomi sumberdaya dan lingkungan dapat diperoleh langsung dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai keinginan membayar mereka (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Pendekatan langsung menurunkan preferensi secara langsung dengan cara survey
dan
teknik-teknik
percobaan
(experimental
tecniques)
misalnya
“contingent valuation methods (CVM)" dan “contingent ranking methods”. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung kondisi) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung dari hipotesis pasar yang dibangun, misalnya: seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan lain sebagainya. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: teknis eksperimental melalui simulasi dan
49
permainan dan melalui teknik survey. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan dengan melalui simulasi computer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit. Pendekatan CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari sekelompok masyarakat misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) dari kerusakan suatu lingkungan hutan. Metode CVM merupakan metode valuasi melalui survei langsung mengenai penilaian respon secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap suatu komoditi lingkungan atau terhadap suatu sumberdaya yang non marketable. Dikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut respon seolah-olah dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang terjadi transaksi. Metoda ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai penurunan kualitas. Secara diagramatis pengukuran valuasi ekonomi sumberdaya hutan tanaman industri dapat dilihat dalam gambar 1.
50
NILAI EKONOMI TOTAL
Use Values
Direct Use - Kayu utk pulp - Kayu utk furniture - Hasil hutan non kayu - Penggunaan air dan udara - Ekoturisme dan rekreasi
Indirect Use - Konservasi tanah dan air - Serapan karbon - Perlindungan banjir - Transportasi - Keanekaragaman hayati
Non Use Values
Option Values
Bequest Values
Existence Val.
- Biodiversitas - Konservasi habitat
- Kelestarian hutan agar dapat dinikmati generasi mendatang
- Keberadaan satwa liar dan, - satwa dilindungi
Metode Penilaian: - Contingent Valuation Method (CVM) Metode Penilaian: - Market value - CVM - Indirect subtitution App. - Hedonic Pricing - Travel Cost method
Metode Penilaian: - Biaya pencegahan - Productivity App. - Replacement cost - Relocation cost - Surrogate market price
Gambar 1. Metode Penilaian Ekonomi Total Hutan Tanaman Industri Gambar di atas menunjukan kaitan antara komponen penyusun dari total nilai ekonomi dari ekosistem hutan yang akan di nilai, secara lebih rinci gambar tersebut dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Total Economic Value (TEV) dari sumberdaya dapat di disagregasi ke dalam dua bagian yang terdiri dari Use Value (UV) dan Non-Use Value (NUV). 2. Use Value dapat menjadi Direct Use Value (DUV) misalnya seseorang membuat penggunaan aktual dari fasilitas dan Indirect Use Value (IUV), misalnya manfaat-manfaat yang diperoleh dari fungsi ekosistem. Option Value (OV), yang menunjukkan kemauan untuk membayar (WTP) untuk pilihan
51
(option) dalam penggunaan fasilitas seperti daerah rekreasi untuk penggunaan di masa yang akan datang. 3. Non Use Value (NUV) dapat dibagi menjadi Existence Value (EV) yang mengukur WTP untuk suatu sumberdaya untuk moral, altruistik atau dasar lain yang tidak ada hubungannya dengan penggunaan atau nilai option. Bequest Value (BV) yang mengukur suatu WTP untuk menjamin bahwa turunan mereka akan mampu menggunakan sumberdaya di masa yang akan datang. 3.1.3. Konsep Keberkelanjutan Pembangunan HTI Dalam konsep pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan terkandung beberapa aspek, sebagai berikut: 1.
Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini pemanfaatan sumberdaya hutan hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal yang utama.
2.
Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan kehutanan perlu memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya hutan pada tingkat individu.
3.
Comunity
sustannability,
mengandung
makna
bahwa
keberlanjutan
kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. 4.
Institusional sustanability (keberlanjutan kelembagaan). Keberlanjutan kelembagaan ini menyangkut aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan diatas.
52
Penilaian keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan menurut Lembaga Ecolabelling Indonesia (1999), adalah sebagai berikut: 1. Kelestarian fungsi produksi (ekonomi), yaitu adanya kepastian penggunaan lahan sebagai kawasan hutan, status penataan batas kawasan hutan, kualitas fisik tata batas, perencanaan dan implementasi penataan hutan menurut tipetipe dan fungsi hutan, pengorganisasian kawasan yang menjamin kegiatan produksi
yang kontinyu, produksi
produktivitas
hutan,
dan
yang sesuai dengan kemampuan
meminimumkan
tingkat
pembalakan,
serta
meminimumkan dampak perubahan penutupan lahan akibat perambahan, alih fungsi kawasan hutan, kebakaran dan gangguan lainnya. 2. Kelestarian fungsi ekologi adalah meletakkan proporsi yang proposional antara pemanfaatan hutan dengan fungsi ekologi hutan, sehingga tidak menimbulkan dampak kerusakan hutan yang pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan Iingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. 3. Kelestarian fungsi sosial, yaitu adanya kejelasan batas antara kawasan konsesi dengan kawasan komunitas setempat yang terdelinasi secara jelas, adanya jaminan akses pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat setempat, sebagai sumber-sumber ekonomi komunitas masyarakat di sekitar hutan, komunitas masyarakat disekitar hutan dapat mengakses kesempatan kerja dan peluang berusaha serta meminimasi dampak kerusakan sumberdaya hutan terhadap kesehatan masyarakat. Berdasarkan konsep dan penilaian di atas pada prinsipnya ada beberapa hal yang merupakan ciri utama dari pengelolaan HTI dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yaitu: (1) sustainable (kelestarian hutan), (2) kesejahteraan
53
masyarakat, (3) pemberdayaan masyarakat, (4) peran multipihak, (5) adopsi kearifan lokal, dan (6) orientasi pada pengelolaan seluruh potensi hutan tidak hanya kayu.
Ciri-ciri utama ini merupakan parameter untuk menilai tingkat
keberhasilan keberlanjutan penerapan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Arief, 2008). Secara konseptual program pengelolaan hutan berbasis masyarakat diharapkan dapat berimplikasi pada: (1) penurunan gangguan keamanan hutan, (2) peningkatan/optimalisasi pemanfaatan lahan dan ruang hutan, (3) peningkatan nilai ekonomi kawasan hutan melalui pengelolaan seluruh aspek potensi hutan, (4) memperluas peluang usaha dan penciptaan lapangan kerja, (5) peningkatan pendapatan masyarakat dan keuntungan perusahaan serta pembangunan wilayah diluar hutan, dan (6) menumbuhkan dinamika sosial masyarakat desa hutan dan mekanisme pembangunan desa secara terpadu. Melihat keberagaman karakteristik hutan dan budaya masyarakat yang hidup disekitarnya, memang sudah seharusnyalah pengelolaan hutan berbasis masyarakat mempunyai flexibilitas atau kelenturan yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang ada. Dalam banyak kasus, isu atau penyebab utama dari munculnya benturan atau konflik adalah rasa ditinggalkan dari masyarakat. Masyarakat lokal merasa tersisih dan diberlakukan tidak adil dalam sistem pengelolaan hutan dalam skala yang besar, isu yang menonjol dan dominan sebagai munculnya konflik adalah hilangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat diharapkan dapat mengeliminir dampak negatif dari benturan-benturan kepentingan yang mungkin timbul sebagai
54
akibat pengelolaan sumberdaya hutan. Dengan mengadopsi kearifan lokal yang spesifik, diharapkan PHBM dapat menjadi wahana yang menjembatani kepentingan semua pihak. Untuk itu perlu dibangun kesepahaman antara semua pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya hutan sehingga tujuan dari PHBM dapat tercapai. Analisis keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan pendekatan SocioEnthropy Controlling Interface (SECI), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sjarkowi (2010), dalam analisis ini ada empat faktor yang digunakan sebagai kontrol penghubung yang mencakup aspek sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial kultural. Pengelolaan faktor SECI yang sungguh-sungguh oleh perusahaan akan sangat menetukan keberhasilan PT. MHP dalam pembangunan HTI, melalui bekerjanya faktor stabilitas, efisiensi, pengeluaran dan sinergis yang terjadi. Bekerjanya faktor-faktor ini dengan baik akan sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan HTI melalui empat indikator keberlajutan, yaitu stabilitas, produktivitas, sustainabilitas, dan ekuatibilitas. 3.2. Kerangka Konseptual Penelitian 3.2.1. Model Pendekatan Model pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai upaya untuk menyederhanakan persoalan penelitian. Agar pengusahaan hutan tanaman industri dapat dilaksanakan secara berkelanjutan digunakan beberapa strategi dan pola yang harus melibatkan masyarakat sekitar melalui program PHBM guna menghasilkan sejumlah keluaran yang optimal dan menguntungkan semua pihak.
55
Kesepakatan awal antar pihak dimana perusahaan mau mengusahakan HTI adalah adanya Social Benefit Cost Ratio (SBCR) yang lebih besar dari Private Benefit Cost Ratio (PBCR). Namun dalam perjalanan selanjutnya bisa jadi hal itu mengalami perubahan dimana SBCR menjadi lebih kecil dari PBCR, hal ini dimungkin karena masing-masing pihak dapat melakukan kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Dengan memperhatikan dinamika dan realitas yang terjadi dalam pembangunan HTI pola MHR dan MHBM saat ini agar pembangunan HTI berada dalam perpektif berkelanjutan dan sekaligus menjaga agar SCBR tetap lebih besar dari PBCR.
Agar SCBR lebih besar dari PBCR, ada beberapa faktor yang
menjadi penghubung kontrol sosial ekonomi (SECI = Social Entrophic Controlling Interface) yaitu faktor sosial psikologis, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial kultural. Selanjutnya keempat faktor tersebut akan mempengaruhi nilai valuasi dan kinerja dari indikator-indikator kerberlanjutan yaitu stabilitas, produktivitas, sustainabilitas, dan equitas. Pola pembangunan hutan tanaman industri dalam perspektif yang berkelanjutan secara diagramatis dapat dilihat dalam model pendekatan pada Gambar 2 dan 3 berikut ini. Pada Gambar 2 dapat diuraikan bahwa pengelolaan SECI akan sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan HTI. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme yang ditampilkan pada gambar 2. Faktor sosial psikologis akan mempengaruhi faktor-faktor stabilitas sebuah kawasan yang selanjutnya akan mempengaruhi stabilitas iklim berusaha yang aman dan kondusif. Faktor sosiol ekologi seperti mengantisipasi kerusakan lahan dan tata pengelolaan lahan yang baik, akan sangat
56
berpengaruh terhadap efisiensi usaha, yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat produktivitas. Faktor sosial ekonomi seperti peningkatan pendapatan, pengelolaan biaya yang efektif, akan sangat mempengaruhi keuntungan dan pembiayaan usaha, yang selanjutnya akan berpengaruh kepada keberlangsungan usaha. Selanjutnya faktor sosial budaya seperti prilaku masyarakat setempat, juga akan sangat mempengaruhi faktor sinergis yang berdampak pada pemerataan penghasilan. Semua faktor tersebut akan sangat menentukan keberlanjutan pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
Sosial Psikologis
Faktor Stabilitas
Stablitas
Sosial Ekologi
Faktor Efisiensi
Produktivitas
Sosial Ekonomi
Faktor Pengeluaran
Sustainabilitas
Sosial Budaya
Faktor Sinergis
Equatibilitas
Sumber : Sjarkowi, 2010 Gambar 2. Diagram SECI dan Pengaruhnya Terhadap Indikator Keberlanjutan
57 Penelusuran Data Teknis
Program MHR (Mengelola Hutan Rakyat)
H T I
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)
Program MHBM
Layanan & Perangkat Teknis
SocioEntrophic Controlling Interface (SECI) • Sosial Psikologis • Sosial Ekologi • Sosial Ekonomi • Sosial Budaya
(Mengelola Hutan Bersama Masyarakat)
Penelusuran Data Manajemen
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Pendekatan Konseptual
VALUASI EKONOMI LINGKUNGAN • Direct use value (Nilai langsung) • Indirect use value (Nilai tdk langsung) • Option value (Nilai Pilihan) • Exsistence value (Nilai keberadaan) • Bequest value (Nilai kewarisan)
Layanan & Perangkat Manajemen
Indikator Keberlanjutan: 1. Sustainability 2. Productivity 3. Equitibility 4. Stability
Pembangunan HTI dalam perspektif Berkelanjutan
58
Dari diagram alir pada gambar 3 terlihat bahwa HTI dalam memenuhi kewajibannya untuk Pemberdayaan Masyarakat Disekitar Hutan (PMDH) melakukan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dengan melaksanakan dua pola pengelolaan Hutan Tanaman Industri, yaitu pola MHBM dan MHR. Dalam pola MHBM masyarakat diajak masuk ke lahan konsesi perusahaan untuk ikut mengelola HTI, dengan mendapatkan upah kerja, jasa produksi dan jasa manajemen. Sedangkan dalam pola MHR perusahaan keluar dari lahan konsesi, ikut aktif mengelola lahan masyarakat yang menganggur/terlantar dengan sistim bagi hasil untuk di tanami HTI dengan modal dan resiko sepenuhnya ditanggung perusahaan. Dalam melaksanakan kedua pola tersebut agar berhasil perusahaan melakukan kontrol berdasarkan teori yang telah dikembangkan Sjarkowi (2010) dalam sebuah kerangka teori konseptual yang disebut SECI. Didalam SECI pengelolaan kedua program yang melibatkan masyarakat sekitar tersebut dapat dilihat dari dimensi sosial psikologis, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya.
Untuk melihat sejauh mana SECI ini telah berhasil di aplikasikan
perusahaan dapat dilihat dari penelusuran data teknis dan data manajemen perusahaan HTI. Pengelolaan SECI yang baik oleh perusahaan akan sangat mempengaruhi nilai valuasi ekonomi yang di estimasi, melalui bekerjanya faktor stabilitas, efisiensi, pengeluaran dan sinergis yang terjadi.
Bekerjanya faktor-faktor ini
dengan baik akan sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan HTI dilihat dari empat indikator keberlajutan, yaitu stabilitas, produktivitas, sustainabilitas, dan ekuatibilitas.
59
IV. METODOLOGI 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di areal Hutan Tanaman Industri milik PT Musi Hutan Persada (MHP) yang terletak Propinsi Sumatera Selatan. Penentuan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) PT MHP merupakan perusahan terbesar yang sangat ekspansive di Sumatera dengan luas areal konsesi HTI sebesar hampir 300 000 ha, (2) PT MHP telah menjalankan pengelolaan HTI secara spesifik yang berbasis masyarakat (CBFM) dengan pola Mengelola Hutan Rakyat (MHR) dan Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM). Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret s/d Desember 2010, dengan tahapan kegiatan mencakup proses persiapan dan perizinan, studi literatur, pengumpulan dan kompilasi data sekunder, pengumpulan dan pengolahan data primer, analisis data dan valuasi ekonomi, penyusunan laporan disertasi dan seminar hasil penelitian. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi data indikator teknis, produksi, biofisik sumberdaya lahan hutan tanaman industri perusahaan dan data sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi, sosial kultural masyarakat sekitar perusahaan. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai dokumen dan publikasi, baik dari perusahaan maupun instansi terkait lainnya, seperti laporan tahunan, peta lahan dan penggunaan lahan dan lainnya.
60
Data primer dikumpulkan melalui survei yang dilaksanakan secara crosssectional, melalui wawancara dengan responden terpilih yang berpedoman pada daftar pertanyaan atau kuesioner.
Daftar pertanyaan disusun sesuai dengan
informasi atau variabel yang diperlukan. Wawancara mendalam terhadap responden terpilih dilakukan oleh enumerator secara serentak di semua desa-desa yang menjadi lokasi penelitian pada Bulan Juni s/d Desember 2009. Data primer juga dimaksudkan untuk menggali informasi mengenai manfaat keberadaan perusahaan hutan tanaman industri dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat sekitar. 4.3. Kerangka Sampling dan Metode Pengambilan Sampel Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini, maka responden yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah unit perusahaan HTI yaitu PT MHP, pengelola MHBM, peserta MHR dan masyarakat sekitar yang terkait langsung dengan . Untuk unit perusahaan HTI akan diwawancarai secara struktur pihak manajemen PT MHP yang terkait dengan persoalan yang dibahas dalam penelitian ini. Seperti pengelolaan areal konsesi HTI, pembiayaan, penerimaan perusahaan, ketenagakerjaan, dan perspektif perusahaan dalam pengelolaan HTI. Untuk program MHBM diwawancarai pengurus kelompok MHBM dan tokohtokoh masyarakat desa dengan melakukan indepth study dan penelusuran data secara mendalam, dengan di dukung informasi awal yang dikumpulkan dari PT. MHP. Untuk masyarakat petani yang ikut program MHR, di lakukan pengumpulan data (sensus) terhadap 60 anggota MHR, berdasarkan data dari divisi CSR PT MHP tahun 2010, yaitu petani yang sudah panen dan telah menerima pembayaran
61
pada saat penelitian. Selanjutnya dari jumlah tersebut diwawancarai peserta MHR tersebut untuk mengetahui apakah program tersebut dapat berkelanjutan pada Siklus kedua 2010 – 2017. Disamping itu juga dilakukan wawancara mendalam kepada beberapa stake holder terkait seperti pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan tokoh adat, serta pengusaha yang bergerak dibidang pengolahan kayu akasia. 4.4. Metode Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Metode analisis yang digunakan adalah secara deskkriptif kualitatif dan analisis kuantitatif. kualitatif
dengan
menggunakan
tabulasi.
Analisa
Analisa deskriptif kuantitatif
dengan
menggunakan metode perhitungan valuasi ekonomi dan regresi logistik. Secara umum perhitungan nilai total ekonomi dapat dirumuskan secara dalam persamaan berikut ini: TEV = UV (DV + IDV + OV) + NUV (BV + XV) …………..…..……(1) Dimana : TEV UV DV IDV OV NUV BV XV
= Total economic Value (Nilai Ekonomi Total) = Use Value (nilai kegunaan) = Direct Value (Nilai Guna Langsung) = Indirect Value (Nilai Guna Tidak Langsung) = Option Value (Nilai Opsional) = Non Use Value (bukan nilai kegunaan) = Bequest Value (Nilai Warisan) = Existance Value (Nilai Keberadaan)
Selanjutnya untuk menjawab permasalahan yang ada, rumus di atas dapat dikembangkan menjadi :
62
1. TEV untuk Pola A (Perusahaan MHP): TEVA = ∑ DVAij + ∑ IDVAij + ∑ OVAij + ∑ BVAij + ∑ EVAij …................... (2) Untuk: i = 1......m, dan j = 1......n Nilai Ekonomi Total Pola A adalah nilai ekonomi total yang dihitung dari luasan konsesi PT MHP yang ditanami HTI seluas 132 328 hektar yang merupakan potret saat penelitian, nilai-nilai ekonomi yang diperhitungkan dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 2. Komponen nilai Ekonomi Total Pengusahaan HTI Pola A Jumlah Nilai ∑ DVAij = jlh nilai manfaat langsung ∑ IDVAij = jlh nilai manfaat tidak langsung
∑ OVAij = jlh nilai manfaat pilihan ∑ BVAij = jlh nilai manfaat Kebanggaan ∑ EVAij = jlh nilai manfaat keberadaan
Uraian Variabel yang Dinilai DVA11 = Kayu untuk pulp DVA12 = Madu Sialang DVA13 = Rekreasi dan Turisme DVA14 = Pendidikan dan penelitian DVA15 = Arang Kayu IDVA21 = Pelindung erosi IDVA22 = Penjaga siklus hara IDVA23 = Penyedia Air RT IDVA24 = Transportasi IDVA25 = Potensi Perdagangan Karbon IDVA26 = Keanekaragaman hayati OVA31 = Prospek peningkatan pendapatan warga sekitar kawasan HTI ke depan BVA41 = Keberadaan pemukiman masyarakat sebagai sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Hankamrata) EVA51 = Sebagai pelindung satwa penting dan dilindungi
2. TEV untuk Pola B (MHBM): Pola B adalah pola MHBM, dimana masyarakat diajak ikut masuk mengelola HTI di lahan konsesi perusahaan. Penilaian nilai ekonomi totalnya untuk pola MHBM dilakukan perhitungan sebagaimana pada pola A. Perhitungan nilai ekonomi total pola B adalah sebagai berikut:
63 TEVB = ∑ DVBij + ∑ IDVBij + ∑ OVBij + ∑ BVBij + ∑ EVBij …........................ (3) Untuk: i = 1......m, dan j = 1......n Nilai Ekonomi Total Pola B adalah nilai ekonomi total yang dihitung dari luasan HTI yang tertuang dalam kesepakatan MHBM yaitu seluas 61 172.72 hektar yang merupakan keadaan saat penelitian, nilai-nilai ekonomi yang diperhitungkan dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 3. Komponen nilai Ekonomi Total Pengusahaan HTI Pola B Jumlah Nilai ∑ DVBij = jlh nilai manfaat langsung
∑ IDVBij = jlh nilai manfaat tidak langsung
DVB11 DVB12 DVB13 DVB14 DVB15 DVB16 DVB17
Uraian Variabel yang Dinilai = Kayu untuk pulp = Arang kayu = Madu sialang = Upah kerja = Keuntungan pengusaha (pemborong) = Jasa produksi = Jasa manajemen
IDVB21 = Pelindung erosi IDVB22 = Penjaga siklus hara IDVB23 = Serapan Karbon IDVB24 = Keanekaragaman hayati
3. TEV untuk Pola C (MHR): TEVC = ∑ DVCij + ∑ IDVCij …..............................................................……. (4) Untuk: i = 1......m, dan j = 1......n Nilai Ekonomi Total Pola C adalah nilai ekonomi total yang dihitung dari luasan MHR yang ditanami HTI seluas 9 565.53 hektar yang merupakan potret saat penelitian, nilai-nilai ekonomi yang diperhitungkan dalam pola C hanya nilain manfaat langsung dan manfaat tidak langsung saja, hal ini mengingat luasan yang diusahakan relatif kecil, sehingga perhitungan nilai ekonomi lainnya tidak diperhitungkan. Komponen penilaian pola C ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
64
Tabel 4. Komponen nilai Ekonomi Total Pengusahaan HTI Pola C Jumlah Nilai ∑ DVCij = jlh nilai manfaat langsung ∑ IDVCij = jlh nilai manfaat tidak langsung
Uraian Variabel yang Dinilai DVC11 = Kayu untuk pulp DVC12 = Arang kayu DVC13 = Upak kerja IDVC21 = Pelindung erosi IDVC22 = Penjaga siklus hara IDVC23 = Potensi Perdagangan Karbon
4. Total TEV Perusahan dengan program CBFM adalah: TEVPHTI+CBFM = TEVA + TEVB + TEVC ……….........……….....……… (5) Dari hasil perhitungan di atas diperoleh TEV masing-masing pola, selisih antara TEVB dan TEVA akan menunjukkan tambahan manfaat ekonomi total yang diperoleh dari program MHBM. Sedangkan selisih antara TEVC dan TEVA akan menunjukkan tambahan manfaat ekonomi total yang diperoleh dari program MHR.
Selanjutnya besaran
masing-masing
dari
kedua selisih
tersebut
menunjukkan keunggulan dari kedua program tersebut. Dengan diketahuinya nilai-nilai dari persamaan 1 sampai 5 maka hasil tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif dan selanjutnya dibahas secara lebih menyeluruh dengan analisis deskriptif kualitatif. Selanjutnya untuk membahas permasalahan tersebut secara lebih lanjut
dilakukan skenario untuk melihat
kelebihan dan kekurangan masing-masing program serta upaya-upaya perbaikan yang mungkin dilakukan. Data yang dikumpulkan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Perhitungan nilai ekonomi (economic valuation) dilakukan dengan kuantifikasi nilai bersih kini atau Net Present Value (NPV) dari masing-masing pola tersebut.
65
Secara umum rumus matematis persamaan Net Present Value dapat disajikan sebagai berikut:
𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 = ∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1
Dimana :
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 −𝑇𝑇𝑇𝑇𝐶𝐶𝐶𝐶 ………….........……………………...… (6) (1+𝑟𝑟)𝑖𝑖
TEB = Total Manfaat Ekonomi TEC = Total Biaya Ekonomi r
= discount rate per tahun
i
= waktu ke-i
Selanjutnya dilakukan analisis secara kuantitatif dan diskriptif kualitatif bagaimana kontrol faktor penghubung yang terdiri dari sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya, mempengaruhi besaran nilai total ekonomi dan mempengaruhi kinerja indikator keberlanjutan seperti stabilitas, produktivitas, sustainabilitas, dan equitibilitas. Untuk mengetahui keberlanjutan program pembangunan HTI dengan pola MHR dan faktor-faktor yang mempengaruhinya digunakan model logit, suatu model dimana variabel dependen hanya memiliki 2 nilai (binary logit), bernilai peringkat/skala (ordinal logit) maupun pengkategorian lebih dari dua nilai (multinomial logit). Regresi logit menggunakan asumsi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen sebagai kurva S. Pada nilai variabel independen yang sangat rendah, variabel dependen mendekati nol, sedangkan pada variabel independen yang sangat tinggi, variabel dependen mendekati 1 atau asimtotik (Kizilaslan, 2008). Model logit dapat digunakan dalam penelitian ini, disamping mudah dalam mengestimasinya, juga biaya penghitungannya yang relatif mudah dan murah (Kennedy, 1998). Secara umum model logit dapat dinyatakan sebagai berikut :
66 ln[p/(1-p)] = α + βX + e ............................................................................ (7) dimana : p
= peluang terjadinya Y, p(Y=1)
p/(1-p)
= odds ratio
ln[p/(1-p)] = log odds ratio, atau disebut juga sebagai ‘logit’ Model logit memiliki distribusi kumulatif yang berdasarkan distribusi logistik berbentuk seperti huruf S (Cramer, 2003). Sebagai akibat dari bentuk distribusi tersebut, maka nilai peluang petani peserta MHR untuk mengambil keputusan melanjutkan program MHR pada siklus kedua dapat ditentukan sebagai berikut : ln[pi/(1-pi)] = α + βX + ei ........................................................................ (8) dimana Pi adalah nilai variabel dependen yang nilainya antara 0 sampai 1. Untuk
mengestimasi
koefisien
model
pada
persamaan-persamaan
ekonometrik yang distribusi kumulatifnya non linear, digunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Fungsi likelihood (L) mengukur kemungkinan nilai dari sekumpulan dependen variabel yang diobservasi (p1, p2, ..., pn) yang terjadi dalam sampel : L = Prob (p1* p2* * * pn). Nilai tertinggi dari L, merupakan peluang terbesar dari observasi p dalam sampel. MLE memerlukan koefisien (α, β) yang merupakan hasil estimasi, yang membuat log dari fungsi likelihood (LL < 0) sebesar mungkin, atau memperoleh koefisien yang membuat log dari fungsi likelihood (-2LL) sekecil mungkin. Estimasi maximum likelihood diselesaikan dengan kondisi seperti berikut ini: {Y - p(Y=1)}Xi = 0, untuk semua observasi : i = 1,…, n.
67 Dari fungsi ln[p/(1-p)] = α + βX + e diperoleh nilai koefisien dari slope (β) yang diinterpretasikan sebagai laju dari perubahan ‘log odds’ akibat perubahan variabel-variabel X dan nilai ini tidak begitu penting. Dari fungsi p = 1/[1 + exp(-α - β X)], diperoleh Marginal Effect (ME) dari perubahan X atas peluang seperti berikut ini : Μp/ΜX = f(β X) β ..................................................................................... (9) Interpretasi dari koefisien logit selalu disebut secara intuitif sebagai ‘odds ratio’, karena [p/(1-p)] = exp(α + βX), dimana exp(β) adalah efek dari variabel independen atas ‘odds ratio’. Untuk menjawab tujuan terakhir dari penelitian ini, yaitu terkait faktorfaktor penentu keputusan petani peserta MHR untuk melanjutkan atau tidak program tersebut pada siklus kedua, digunakan model umum persamaan berikut : YMHR = f (SPsi, SEkol, SEkon, Sbud) ............................................................... (10) dimana : YMHR = Keputusan petani MHR untuk melanjutkan pada siklus kedua (ya=1, lainnya=0) SPsi
= Variabel Sosial Psikologi
SEkol = Variabel Sosial Ekologi SEkon = Variabel Sosial Ekonomi SBud = Variabel Sosial Budaya Variabel sosial psikologi meliputi rasa aman penduduk terhadp lahan yang mereka miliki dalam berusahatani di wilayah mereka. Variabel ini dinyatakan dalam variabel dummy adanya rasa aman atau tidak. Variabel sosial ekologi meliputi variabel tingkat kesuburan lahan, kemiringan lahan, dan jarak lahan dari tempat tinggal. Variabel sosial ekonomi meliputi variabel pendapatan dari HTI,
68
pendapatan dari usaha tani lain, pendapatan dari luar usahatani, biaya hidup kelaurga. Variabel sosial budaya meliputi variabel biaya yang dikeluarkan petani untuk kenduri, gotong royong, arisan dan pengeluaran kegiatan sosial lainnya. Model ekonometrik persamaan keputusan petani peserta MHR untuk melanjutkan atau tidak program tersebut pada siklus kedua 2010 – 2015 dapat disajikan berikut ini : Model keputusan petani peserta MHR KMHR
= a0 + a1 Am+ a2 Ls+ a3 Lm+ a4 Lj+ a5 Phti+ a6 Put+ a7 Plu+ A8 Pc + a9 Sbud + u1................................................................ (11)
dimana : KMHR Am Ls Lm Lj Lh Phti Put Plu Pc Sbud ul
= Dummy keputusan petani peserta MHR untuk melanjutkan ke siklus kedua (ya=1, lainnya=0) = Dummy adanya rasa aman (ada=1; tidak ada=0) = Dummy kesuburan lahan (subur=1, tidak subur=0) = Dummy Kemiringan Lahan (relatif datar=1, miring=0) = Jarak lahan dari tempat tinggal (km) = Luas lahan (ha) = Pendapatan dari HTI (Rp/siklus) = Pendapatan dari usahatani lain (Rp/tahun) = Pendapatan dari luar usahatani (Rp/tahun) = Biaya hidup keluarga (Rp/tahun) = Biaya sosial, seperti biaya kenduri, gotong royong, arisan dll (Rp/tahun) = Error term
69
V. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN HTI
5.1. Sejarah Berdirinya Perusahaan HTI Hingga Saat Ini Penanaman kayu akasia (Acacia mangium) semula dimaksudkan untuk menanggulangi lahan kritis di Sumatera Selatan akibat kegiatan HPH yang telah merubah lahan hutan menjadi semak belukar dan padang alang-alang. Pada tahun 1980-an dunia kehutanan dikejutkan oleh hasil pembangunan hutan tanaman di Sabah Malaysia dengan jenis Akasia (Acacia mangium) dengan hasil yang sangat mengesankan. Untuk itu pada pertengahan tahun 1980, Indonesia melalui Departemen Kehutan mencoba melakukan reboisasi dengan tanaman Acacia mangium yang dilakukan oleh para pemegang HPH, termasuk diantaranya PT. Musi Hutan Persada (MHP). Pembangunan hutan tanaman industri di Sumatera Selatan dimulai sejak tahun 1990 dengan menanaman kayu akasia (Acacia mangium) sebagai tanaman utama. Pengelolaan kegiatan HTI ini dirintis oleh PT. Enim Lestari dan PT. Inhutani. Seiring dengan perjalanan waktu maka perusahaan ini kemudian dilebur menjadi PT. Musi Hutan Persada yang mempunyai izin konsesi yang menyebar di enam kabupaten, yaitu: (1) Kabupaten Muara Enim, (2) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), (3) Kabupaten OKU Timur, (4) Kabupaten Lahat, (5) Kabupaten Musi Rawas, dan (6) Kabupaten Musi Banyuasin. Kawasan hutan yang dicadangkan untuk HTI PT. MHP, yang sebelumnya bernama PT. Barito Pacific, adalah seluas 447 190 ha yang terletak di tiga kelompok hutan, yaitu kelompok hutan Martapura, kelompok hutan Subanjeriji dan kelompok hutan Benakat. Dalam perkembangan selanjutnya sesuai arahan
70
Departemen Kehutanan pada tahun 1994 kawasan seluas 104 000 ha yang terletak di kelompok hutan Musi Banyuasin dikeluarkan, sehingga luas areal berkurang menjadi 349 190 ha. Sebagai gantinya PT. MHP mendapat cadangan areal HTI seluas 64 034 ha sehingga total luas areal menjadi 407 224 ha. Namun karena berbagai permasalahan, luas lahan yang dikelola saat ini hanya seluas 296 400 ha (Iskandar, 2004). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Rapublik Indonesia No. 038/Kpts-II/1996, perusahaan HTI PT. MHP merupakan perusahaan multi pihak antara perusahaan BUMN Inhutani V dan perusahaan swasta Barito Pacific Timber, Multilestati Kencana dan Perusahaan Marubeni dari Jepang dengan luas areal sebesar 296 400 Ha yang terbagi kedalam 3 kelompok hutan yaitu Benakat sebesar 198.74 Ha, Suban Jeriji sebesar 87 354 Ha dan Martapura sebesar 10 305 ha. Dari luasan tersebut, peruntukan lahan dibagi menjadi 6 bagian yaitu: untuk tanaman HTI seluas 193 500 ha, untuk kawasan lindung yang terdiri dari sempadan sungai seluas 6 076 ha dan hutan konservasi seluas 80 372.Ha. Selanjutnya untuk sarana prasarana 9 152 ha, tanaman kehidupan sebesar 4 300 ha dan tanaman unggulan Lokal seluas 3 000 ha. Dari tiga kelompok hutan tersebut, sebagian besar areal, yaitu sekitar 65% berada di Benakat, 27.7% di Subanjeriji dan 6.8% Martapura. Berdasarkan kelompok hutan tersebut maka perusahaan melakukan penataan organisasi kerja dengan membagi wilayah kerja PT. MHP menjadi 3 bagian, yaitu wilayah I Subanjeriji, wilayah II Benakat dan wilayah III Lematang. Wilayah kerja dibagi menjadi unit kerja dan unit kerja dibagi menjadi blok dan sub-blok.
71
Pembangunan HTI yang dilakukan oleh PT. Barito Pacific pada dasarnya bertujuan untuk: 1. Memproduksi kayu bulat dari jenis Acacia mangium untuk memasok bahan baku industri pulp yang akan dibangun di Sumatra Selatan, dengan kebutuhan kayu jangka panjang sebanyak 4.3 juta m3 kayu bulat per tahun berdiameter minimal 8 cm secara bertahap. Dalam tahap awal, yang diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2001, di butuhkan kayu bulat sebanyak 2.15 juta m3/tahun. 2. Turut menunjang program pembangunan nasional dan pemerintah daerah. 3. Ikut memperluas lapangan kerja, khususnya bagi masyarakat sekitar hutan. 4. Meningkatkan penerimaan pajak dan pungutan-pungutan lain kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada bulan Maret 1989 PT. Barito Pacific Group sebagai pelopor pembangunan HTI di Sumatera Selatan mulai mengadakan pembicaraan secara intensif dengan para pejabat pemerintah di Jakarta maupun di Palembang guna merealisasikan pembangunan HTI di Sumatera Selatan. Kemudian usulan perusahaan disetujui oleh Menteri Kehutanan untuk tanaman percobaan jenis kayu akasia seluas 50 000 ha yang diselesaikan dalam jangka waktu 5 tahun (19901994). Pemegang saham perusahaan adalah PT. Inhutani II 40 % yang mewakili pemerintah dan PT. Enim Musi Lestari 60 %. Realisasi penanaman akasia berjalan dengan baik dan mulai menunjukkan hasil yang memuaskan, target untuk menghasilkan kayu sebanyak 1.15 juta m3 per tahun untuk menghasilkan pulp 500 000 ton per tahun tercapai dengan nilai finansial yang cukup tinggi. Berdasarkan studi kelayakan yang telah disahkan oleh
72
Dirjen Pengusahaan Hutan Tahun 1995, manfaat yang diberikan oleh PT. MHP adalah: 1. Penyerapan tenaga kerja sebesar 14 329 orang 2. Sumbangan PDRB Provinsi Sumatera Selatan sebesar Rp 12 474 703 130 Tahun 1993 3. Meningkatkan pendapatan negara melalui pajak. 5.2. Kondisi Umum Geografis Wilayah Konsesi Secara geografis kawasan konsesi HTI PT. MHP terletak antara 103010’ sampai 104025’ Bujur Timur dan 3005’ sampai 4028’ Lintang Selatan. Secara administratif areal HTI PT. MHP termasuk kedalam enam wilayah kabupaten. (Iskandar, 2004 dan MHP, 2005). Pembagian wilayah kerja, unit kerja, dan luas areal PT. MHP secara rinci dapat di lihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pembagian wilayah kerja, unit kerja, dan luas areal PT. MHP No.
I
Wilayah
SUBAN JERIJI
Sub jumlah
II
BENAKAT Sub jumlah
III
LEMATANG Sub jumlah Total
Sumber : PT. MHP, 2006
Unit 1. Martapura 2. Merbau 3. Gemawang 4. Caban 5. Sodong 5 unit 6 Pendopo/Lubuk Guci 7 Baung indah/Sungai Baung 8 Tebing Indah 9 Semangus/Deras/Medak 4 unit 10 Keruh II 13 Lantingan 14 Lagan/Serai 15 Keruh I 4 unit 13 unit
Luas (ha) 7 915 23 060 26 650 17 465 22 390 97 480 25 150 13 890 25 045 46 085 110 170 25 370 19 545 20 355 23 480 88 750 296 400
73
Hasil studi kelayakan tahun 1995 menunjukkan bahwa topografi areal PT. MHP sebagian besar landai yaitu sebanyak 78.55 % atau seluas 232 841 ha dan datar dengan kemiringan < 0.8 % sebanyak 17.97 % atau seluas 53 264 ha dan sebagian kecil agak curam dengan kemiringan 15 – 25 % sebanyak 3.48% atau seluas 19 295 ha. Ketinggian areal dari permukaan laut berkisar 10 – 400 m. Secara umum jenis tanah di wilayah HTI PT. MHP dengan jenis tanah aluvial, latosol, podsolik dan asosiasi latosol. Tekstur tanah liat, halus dengan tingkat kesuburan rendah, lapisan organik tipis dan permeabilitas kurang baik dengan kedalaman tanah efektif berkisar antara 60 – 90 cm. Areal HTI PT. MHP termasuk kedalam Sub-das Keruh, Semangus Lematang dalam wilayah hutan. Benakat, Sub-Das Ogan dan Sub-Das Lematang dalam wilayah hutan Subanjeriji serta Sub-Das Komering yang masuk kedalam wilayah hutan Martapura. Beberapa sungai yang mengalir di areal HTI milik PT. MHP dapat dilihat secara rinci pada Tabel 6. Berdasarkan klasifikasi Scmidt dan Fergusson sebagian besar areal ini termasuk iklim tipe A dengan nilai Q berkisar 0-14.3%. Curah hujan rata-rata tahunan 2 082 mm dan bulanan 173.5 mm. Hari hujan rata-rata tahunan 142 hari dan bulanan 11.8 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sampai dengan Maret dan terendah pada bulan Juni. Suhu udara rata-rata berkisar antara 230C sampai 32.430 C dengan kelembaban udara selama 5 tahun terakhir berkisar 29 hinggan 73 %, kecepatan angin rata-rata 30 km/jam.
74
Tabel 6. Beberapa sungai yang mengalir di lokasi HTI PT. MHP No 1
Lokasi Benakat dan sekitarnya
DAS
SUB-DAS
Musi
Kikim
Keruh Semangus 2
Subanjeriji dan sekitarnya
Musi
Lematang Lematang
3
Martapura dan Sekitarnya
Musi
Ogan Ogan
SUNGAI Petani, Tambangan dan Bangkai Rengas, Landaw, Bindu dan Tambangan Sialang, Semangus besar, Deras, Piandan, Teras Lagan, Serdang, Bungur dan Medak Besar Lagan, Terap, Serdang, dan Sodong serta Bandaran Way balak, Way Ciracas, Way punguk dan Cecenan Penender, Pisang, Tahapan dan Toman Tapan, Tampalan dan Kubu
Komering Sumber: PT. MHP 2005
5 3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Perusahaan Kawasan hutan sebagian besar menempati daerah yang jauh dari pemukiman penduduk dan lahan pertanian. Umumnya tanah hutan memiliki kesuburan rendah sampai marginal, topografi landai hingga terjal, oleh karenanya pengelolaan hutan pada awalnya berangkat dari daerah yang berpenduduk jarang, bahkan seringkali tidak dihuni oleh penduduk. Begitu juga halnya dengan kondisi awal wilayah HTI PT. MHP (Iskandar, 2004). Oleh karena kegiatan HTI PT. MHP maka daerah yang dulunya kosong dan marginal saat ini telah diisi dengan berbagai macam kegiatan berupa pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, penebangan, pengangkutan dan lain-lain. Aneka kegiatan melibatkan masyarakat dari dalam maupun yang datang dari luar daerah kawasan dan daerah menyebabkan daerah yang terbuka ini diikuti
75
berkembangnya aksesibilitas dan sarana pra-sarana sehingga mobilitas penduduk di kawasan ini meningkat. Dampak negatif terhadap meningkatnya mobilitas penduduk mengakibatkan problem sosial ekonomi juga meningkat yang berdampak buruk terhadap pengelolaan hutan. Upaya yang dilakukan PT.
MHP dalam melakukan
pendekatan sosial kemasyarakatan adalah dengan membuat program mengelola hutan bersama masyarakat yang lebih dikenal dengan singkatan MHBM pada lahan konsesi dan program mengelola hutan rakyat atau MHR di lahan milik rakyat. Program MHBM dan MHR sejatinya mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat di dalam maupun di sekitar wilayah konsesi HTI. Namun dalam pelaksanaanya terkadang banyak mengalami kendala secara teknis dilapangan. Hasil identifikasi dilapangan beberapa hal yang menjadi kendala diantaranya adalah sebagai berikut : 1
Penataan lahan yang masih sulit dilakukan karena kebanyakan areal sudah tumpang tindih dan telah terjadi pembauran penduduk di wilayah eks marga yang akan memicu terjadinya konflik internal.
2
Peran kelembagaan kelompok tani HTI saat ini masih sebatas teori yang masih memerlukan pembinaan dari segi teknis kepada seluruh peserta program.
3
Akta kesepakatan antara perusahaan selaku kuasa pengelolaan HTI dengan masyarakat peserta program MHBM dan MHR masih perlu ditinjau dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
4
Pendekatan sosial kemasyarakatan yang selama ini dilakukan oleh PT. MHP masih dirasakan sangat kurang terutama bagi daerah yang jauh dari
76
perkantoran milik perusahaan HTI PT. MHP sehingga seringkali terjadi kecemburuan sosial bagi masyarakat HTI lainnya. 5 4 Interaksi Perusahaan dengan Wilayah Sekitar Perusahaan Secara umum masyarakat yang tinggal didalam dan atau berdekatan dengan HTI, khususnya areal PT. MHP pada mulanya telah di huni oleh orang dan atau sekelompok orang yang tinggal pada wilayah tersebut yang sering dikenal dengan sebutan “orang talang”. Pengertian Talang dimaksudkan sebagai suatu tempat pemukiman di mana sebagian besar penduduknya menempati rumah-rumah yang ada hanya sebagai tempat transit ketika mereka mantang (menderas) karet di kebun-kebun karet, atau berladang (Trisnubrata, 2006). Talang dapat diartikan sebagai suatu kelompok hunian rintisan yang jauh dari keramaian dengan jumlah orang yang masih sedikit dan kebanyakan memiliki ikatan keluarga seasal (Sjarkowi, 2006). Data riset dan pengembangan PT. MHP disebutkan bahwa wilayah HTI ini terdiri dari 265 talang yang tersebar di tiga wilayah HTI yaitu Suban Jeriji, Lematang dan Benakat (MHP, 2006). Hasil pengamatan
penulis banyaknya
Talang di wilayah HTI PT. MHP memberikan nuansa berbeda dengan masyarakat kita umumnya, seperti tingkat pendidikan yang masih rendah, pengetahuan tentang agama yang masih kurang, pola hidup sederhana yang masih melekat dan hal lainnya yang masih perlu peninjauan yang lebih mendalam. Talang wilayah HTI Suban Jeriji mulai ditinggali dan diberi nama sesuai keadaan awal menghuni dan orang yang pertama kali tinggal disana. Diantara talang yang diidentifikasi sejarahnya oleh penulis adalah Talang Batu Keras,
77
Talang Labu Kayu dan Talang Pulpu. Talang tersebut berada di wilayah konsesi PT. MHP Di wilayah I Suban Jeriji. Talang Batu Keras dulunya merupakan daerah pengeboran minyak oleh perusahan BPM (Batavsi Petrolium Mascapai) sekitar tahun 1917. Pekerja pengeboran kebanyakan didatangkan dari pulau Jawa yaitu dari daerah Brebes. Di wilayah Suban Jeriji terdapat sebuah Talang yang jaraknya sekirat 3 km dari kantor wilayah I Suban jeriji yang dikenal dengan sebutan Talang Labu Kayu. Talang ini telah ada sejak tahun 1965, saat itu terjadi pemberontakan oleh G-30 S/PKI para tentara Indonesia mencari pemberontak hingga masuk kedalam hutan. Suatu ketika tentara tersebut kelelahan hingga mereka berteduh dan mencari makan dibawah sebuah pohon labu berkayu. Dari perjalanan tersebut menyebabkan terbentuknya jalan setapak yang dapat dilewati orang, sehingga orang yang tinggal di Rambang menelusuri jalan tersebut dan mereka tinggal di Talang tersebut. Talang lainnya bernama Talang Pulpu yang terletak di belakang kantor wilayah I Suban Jeriji. Talang Pulpu ini ada sejak tahun 1999 dimana waktu itu dataran tingginya dijadikan kamp bagi kontraktor PT. Barito, sedangkan kendaraan yang digunakan saat itu sebagian besar bermerk Volvo.
Setelah
kontrak selesai mereka meninggalkan kamp tersebut, yang kemudian sebagian masyarakat Talang Labu Kayu pindah ke kamp yang telah ditinggalkan tersebut. Umumnya orang talang khususnya di wilayah HTI Suban Jeriji memakai bahasa daerah masing-masing dalam kesehariannya. Bahasa Rambang di Suban Jeriji merupakan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat Rambang
78
Muara Enim yang masih dipengaruhi oleh bahasa Palembang dengan logat yang agak berbeda. Perkampungan Talang di wilayah HTI khususnya Suban Jeriji dihuni oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan keluarga atau sekurang-kurangnya berasal dari satu daerah asal. Orang Talang juga memiliki kesamaan persepsi adalah berpetualang untuk merubah pola kehidupan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu ciri khas rumah Talang, umumnya mereka memiliki rumah kecil sangat sederhana atau pondok sebagai tempat tinggal. Rumah talang biasanya didirikan diatas tiang kayu, berdinding papan dan beratap nipah dengan ukuran rumah sekitar 4 – 5 meter persegi diatas tanah yang cukup luas. Letak rumah masing-masing keluarga agak berjauhan. Berikut ini salah satu bentuk rumah talang di Wilayah HTI MHP:
Gambar 4. Bentuk Rumah Talang HTI PT. MHP
79
Jumlah kepala keluarga dari sebuah talang masih sedikit antara 10 hingga 100 kepala keluarga. Jumlah jiwa dalam satu keluarga berkisar 3 hingga 7 orang anggota keluarga. Mereka hidup dengan rukun diantara himpitan ekonomi dan keinginan untuk hidup lebih sejahatera. Komunitas talang dalam kegiatan ekonominya sebagian besar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (keluarga) yang berorientasi kepada kebutuhan pokok. Umumnya pekerjaan sehari-hari orang-orang talang sebagai pekebun, penyadap dan pekerja PT. MHP. Sebagai pekebun, orang Talang membuka hutan dengan cara menebang yang selanjutnya dibakar. Kemudian setelah lahan bersih ditanami padi, palawija dan sayuran. Selain itu juga ditanami karet alam sebagai tanaman tahunan. Cara penanaman padi, palawija, sayuran dan karet dilakukan ala kadarnya sesuai pengetahuan yang mereka miliki. Bagi yang telah memiliki kebun karet, untuk mengurus kebunnya dilakukan sendiri oleh keluarga termasuk mengambil hasilnya. Pekerjaan merawat kebun dan menyadap karet dilakukan di pagi hari hingga siang hari. Hasil sadap berupa lateks dijual mingguan ke pedagang pengumpul yang datang dari desa tetangga. Sedangkan bagi mereka yang belum memiliki kebun karet, umumnya bekerja sebagai tenaga perawatan di PT. MHP dengan upah Rp 25 000 per harinya. Rutinitas sebagai pekerja di PT. MHP diawali dengan keberangkatan di pagi hari dengan berjalan kaki ataupun bersepeda menuju lokasi kerja yang telah diberitahukan sebelumnya. Khusus areal jauh, biasanya disediakan kendaraan truk oleh PT. MHP. Gaji yang diterima setengah bulanan sebesar Rp 180 000 umumnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga tak
80
heran istri dan anak remaja juga disuruh bekerja di PT. MHP untuk menopang kebutuhan hidup mereka. Berdasarkan data MHP tahun 2005, sebagian besar masyarakat talang di wilayah HTI PT. MHP beragama Islam sebagai kepercayaan mereka, dengan tingkat ketaatan pada agama yang masih sangat kurang sekali sehingga masih perlu pembinaan dibidang keagamaan. Salah satu penyebabnya adalah sebagian besar para orang tua tidak pernah sekolah, tak jarang diantara mereka tidak bisa baca tulis termasuk baca tulis Arab. Penyebab lainnya karena kesibukan mencari nafkah dengan penghasilan yang pas-pasan dan adanya anggapan kegiatan ibadah khusus bagi yang telah lanjut usia. Salah satu adat istiadat Talang yang sudah lumrah berupa adat perkawinan dan persedakahan. Pelaksanaan perkawinan bagi orang talang di wilayah HTI Suban jeriji secara umum masih memakai adat dan kebiasaan masyarakat Sumatera Selatan umumnya dan masyarakat Rambang khsususnya. Acara perkawinan dan persedakahan berlangsung ditempat pengantin perempuan yang juga dijadikan ajang silaturrahim bagi tetangga, keluarga dan tamu undangan. Ikatan keluarga yang erat dan kegotong-royongan begitu melekat diantara mereka mencerminkan kesahajaan yang sulit ditemukan di daerah perkotaan. Kesederhanaan orang talang jelas terlihat dari keseharian mereka. Hal ini di cerminkan dari sikap yang sopan, sederhana dalam berpakaian, santun dalam berbicara dan jiwa kegotong royongan yang masih kuat. Didukung oleh jumlah anggota masyarakat dari sebuah talang masih belum besar. Selain itu kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi masih belum kompleks dan kepentingan politik
81
mereka juga masih relatif lugas serta perilaku sosial menyiasati lingkungan hidup tidak begitu dipermasalahkan. Dalam mengisi waktu luang di sore hari sehabis menyadap karet ataupun bekerja sebagai tenaga harian di PT. MHP. Sebagian laki-laki talang membuat peralatan rumah tangga untuk keperluan sendiri seperti rak makanan, lemari pakaian dan sebagainya dengan alat seadanya berupa parang, gergaji dan pukul besi. Sedangkan isteri dan anak gadis membantu membersihkan pekarangan tempat tinggal sambil bercengkerama dengan tetangga. Bagi laki-laki remaja pergi kedesa-desa terdekat untuk bermain bola kaki, volly dan sebagainya. Kekhasan talang khususnya talang di wilayah Subanjeriji dengan menjadikan tempat tinggal yang dihuluan anak cucu sungai berupa payau yang mengarah kepada sungai besar seperti sungai lematang, sungai itam menuju kesungai musi. Hal ini untuk memberikan kemudahan bagi mereka untuk mandi, mencuci dan buang air serta kegiatan lainnya, hingga tidak terjadi kesulitan air pada saat musim kemarau. Orang talang juga lebih memilih tempat tinggal yang agak tinggi datarannya, dekat perkampungan dan dekat jalan umum. Dipilihnya tempat seperti itu karena memberikan kenyamanan, keamananan dan kemudahan dalam kegiatan keseharian keluarga orang talang. Kesejukan talang tampak dengan adanya pohon-pohon, tanamam palawija dan sayuran
disekitar tempat tinggal mereka. Keasrian lingkungan talang
bertambah oleh aneka fauna berupa burung-burung liar yang berkicau seperti titiran, perkutut, kutilang, dan burung-burung liar serta ayam hutan. Jejak kaki rusa dan pelanduk juga masih sering terlihat di pinggir hutan dan kebun yang menandakan hewan dilindungi ini masih banyak di daerah ini. Tak jarang orang
82
talang didatangi oleh masyarkat luar untuk mencari madu, karena daerah ini memang banyak lebah madu liar yang berkembang biak diantara pepohonan akasia. Walaupun demikian, lingkungan talang sering terusik oleh fauna pengganggu seperti babi hutan dengan populasi berlebih, sehingga tak jarang binatang ini merusak tanaman sekitar tempat tinggal orang talang. Hasil pengamatan penulis hewan peliharaan yang cukup baik untuk dikembangkan adalah sapi dan kambing. Di sekitar talang
rumput-rumputan
tumbuh subur di daerah ini, sehingga tidak mengherankan bila sapi milik orang talang HTI PT. MHP sangat sehat karena kebutuhan makanan berupa rumput segar mendominasi daerah HTI ini. Namun kertebasan ekonomi membuat hewan ini belum banyak dikembang biakkan. Harapan mereka adanya bantuan dan binaan dari pemerintah, pengusaha dan pemerhati talang untuk dapat membantu meningkatkan taraf hidup mereka. Adanya masyarakat talang diwilayah HTI PT. MHP telah memberikan sumbangsih besar terhadap keberlanjutan program MHBM dan MHR terutama dalam penyediaan tenaga kerja lapangan mulai dari pembukaan lahan, perawatan hingga panen kayu akasia (Iskandar dan Susetyo, 2004). Hal ini dibuktikan oleh banyaknya orang talang yang bekerja sebagai buruh harian PT. MHP. Hasil pengamatan menunjukkan sekitar 75 % laki-laki dari beberapa talang, seperti Talang Pulpu, Talang Batu Keras dan Talang Susah Senang, bekerja sebagai pekerja harian di PT. MHP selebihnya sebagai penyadap karet dan berkebun.
83
5.5. Keadaan Umum Petani Peserta Program Petani contoh yang diambil pada penelitian ini adalah petani yang mengikuti program MHR yang ada di wilayah kerja PT. MHP. Jumlah petani yang dijadikan sampel disini adalah 60 orang peserta MHR yang telah melakukan panen kayu akasia pada periode pertama dan telah menerima pembayaran. Identitas yang diambil meliputi umur, pendidikan, jumlah tanggungan dan luas lahan yang dimiliki.
1. Umur Petani Contoh Umur petani contoh di wilayah penelitian bervariasi mulai dari 27 hingga 70 tahun. Rata-rata petani contoh berumur 41,2 tahun. Tabel 7 menunjukkan variasi umur petani contoh yang diambil dalam penelitian ini. Tabel 7. Umur Petani Contoh Umur petani (tahun) < 30 30 – 45 45 -60 > 60 Total
Jumlah Petani (orang) 5 40 10 5
Persentase (%) 8.33 66.67 16.67 8.33
60
100.00
Berdasarkan Tabel 7, secara keseluruhan semua petani yang menjadi responden umumnya telah berkeluarga. Jumlah petani yang terbanyak adalah petani yang berumur antara 30 hingga 45 tahun yaitu sebanyak 40 orang atau sebesar 66.67 persen dari jumlah petani yang menjadi responden. Jumlah petani contoh yang paling sedikit adalah petani yang berumur di bawah 30 tahun dan di atas 60 tahun yaitu masing-masing sebanyak 5 orang atau sebesar 8.33 persen dari
84
jumlah seluruh petani contoh. Dari data di atas terlihat bahwa rata-rata petani umumnya berada pada umur produktif.
2. Pendidikan Petani Contoh Tingkat pendidikan petani contoh yang ada di Desa Subanjeriji Kecamatan Rambang Dangku pada umumnya bervariasi mulai dari SD, SLTP, SMA/STM/SMEA dan S1.
Tabel 8 menunjukkan variasi tingkat pendidikan
petani contoh yang diambil dalam penelitian ini.
Tabel 8. Tingkat Pendidikan Petani Contoh Tingkat Pendidikan SD SLTP SMA/STM/SMEA S1 Total
Jumlah Petani (orang) 27 7 24 2 60
Persentase (%) 45.00 11.67 40.00 3.33 100.00
Berdasarkan Tabel 8 tingkat pendidikan yang terbanyak adalah SD sebanyak 27 orang atau sebesar 45 persen dari jumlah petani contoh. Petani contoh yang menyelesaikan S1 merupakan jumlah yang paling sedikit yaitu sebanyak 2 orang atau sebesar 3.33 persen dari jumlah seluruh petani contoh. Dari data yang ada terlihat bahwa sebagian besar petani contoh umumnya masih memiliki tingkat pendidik yang rendah yaitu SD dan SMP. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi pendidikan formal mutu kualitas sumberdaya manusia masih rendah.
85
3. Jumlah Anggota Keluarga Petani Contoh Jumlah anggota keluarga tiap rumah tangga rata-rata berkisar antara 2 sampai 11 orang. Adapun jumlah anggota keluarga petani contoh yang diambil pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah Anggota Keluarga Petani Contoh Jumlah Anggota Klrg (orang) <3 3-5 6 - 10 > 10 Total
Jumlah (orang) 7 25 25 3 60
Persentase (%) 11.67 41.67 41.67 5.00 100.00
Jumlah anggota keluarga petani contoh yang terbanyak berkisar antara 3 – 10 orang dengan jumlah sebanyak 50 petani contoh atau sebesar 83.34 persen dari total petani contoh.
Sedangkan jumlah anggota keluarga petani contoh yang
paling sedikit adalah petani yang memiliki anggota keluarga lebih dari 10 orang yaitu sebanyak 3 orang petani contoh atau sebesar 5 persen dari total petani contoh yang diambil dalam penelitian.
Dari data ini terlihat bahwa jumlah
anggota keluarga petani umumnya masih besar, dan hal ini bagi petani merupakan asset sebagai tenaga kerja keluarga.
4. Luas Lahan Petani Contoh Petani contoh yang ada di wilayah studi memiliki luas lahan yang bervariasi mulai dari 0.97 ha hingga 42.62 ha. Sebagian besar petani contoh memiliki lahan dengan luas dibawah 5 ha atau sebesar 51.67%, lahan yang dimiliki merupakan lahan dengan status hak milik dan biasanya didapat secara
86
turun-menurun atau tanah warisan dengan surat keterangan tanah dari Kepala Desa. Sebaran luas lahan yang dimiliki petani contoh dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Luas Lahan Petani Contoh Luas Lahan (ha) <5 5 - 10 10- 20 > 20 Jumlah
Jumlah (orang) 31 10 9 10 60
Persentase (%) 51.67 16.67 15.00 16.67 51.67
Berdasarkan Tabel 10, terdapat sebanyak 31 orang petani atau sebesar 51.67 persen dari petani contoh memiliki luas lahan sekitar dibawah 5 ha. Sedangkan petani yang memiliki luas lahan lebih dari dari 20 ha sebanyak 10 orang petani atau sebesar 16.67 persen dari jumlah petani contoh.
87
VI. PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau Community Based Forest Mmanagement (CBFM) adalah pola pengelolaan hutan bersama antara perusahaan MHP dan masyarakat dengan semangat berbagi manfaat sehingga kepentingan bersama untuk menjaga keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan. Pembangunan HTI dengan pola PHBM ini meliputi kegiatan berbasis lahan dan bukan lahan. Kegiatan berbasis lahan dapat dilakukan di dalam kawasan dan di luar kawasan konsesi hutan tanaman. Di dalam kawasan konsesi perusahaan telah mengembangkan program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dan diluar kawasan telah dikembangkan program Mengelola Hutan Rakyat (MHR). Masing-masing program ini adalah program yang unik, yang hanya dilakukan di perusahaan MHP dengan dikukuhkan oleh surat kesepakatan yang dilakukan secara legal formal. Kegiatan berbasis bukan lahan juga dapat dilakukan di dalam dan di luar kawasan yang meliputi pengembangan industri, jasa dan perdagangan, serta pengembangan unit usaha dan kegaiatan perekonomian masyarakat. Program MHBM adalah program yang memberikan kesempatan sebesarsebesarnya bagi masyarakat masuk ke dalam kawasan HTI untuk ikut mengelola hutan mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga panen. Masyarakat akan mendapat upah yang layak dari setiap pekerjaan yang mereka lakukan. Disamping itu masyarakat juga mendapat bagian dari produksi kayu
88
HTI yang dihasilkan berupa jasa manajemen dan jasa produksi sebesar Rp2 500/m3. Program MHR adalah program dimana perusahaan ke luar dari lahan konsesi, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat yang memiliki lahan yang belum dikelola untuk di tanami HTI (Acacia mangium). Kerjasama ini di kukuhkan dengan sebuah kesepakatan kerjasama yang legal, dimana perusahaan menanggung semua biaya yang dikeluarkan mulai dari pembukaan lahan sampai panen dan pengangkutan. Biaya ini nanti langsung dikurangi penerimaan dari hasil kayu yang di panen, lalu penerimaan tersebut di bagi dengan proporsi 40% petani dan 60% perusahaan. Namun jika gagal semua biaya ditanggung oleh perusahaan dan petani tidak dibebani biaya apapun. Tinjauan analisis pembangunan HTI dengan pola PHBM ini secara lebih mendalam dapat dilihat dalam berbagai sudut pandang dengan berbagai perspektif. Untuk mendalami persoalan ini maka dalam pembahasan sub bab ini akan dilihat pembangunan HTI dalam empat perspektif yang berbeda, yaitu: (1) perspektif perusahaan, (2) perspektif petani, (3) perspektif pemerintah, dan (4) perspektif daerah. 6.1. Hutan Tanaman Industri dalam Perspektif Perusahaan Pengusahaan hutan tanaman industri merupakan peluang usaha yang cukup menjanjikan bagi para investor besar. Hal ini di dukung oleh kebijakan pemerintah yang sangat kondusif untuk pengembangan HTI secara besaranbesaran bagi program pengembangan pembangunan sektor kehutanan. Beberapa peraturan
pemerintah
dan
perundang-undangan
telah
diterbitkan
untuk
89
memberikan insentif dan kemudahan bagi perusahaan untuk ikut berkiprah di sektor hutan tanaman industri. Sebagai landasan Hukum pembangunan HTI adalah PP No.7 tahun 1990, lalu dirubah dengan PP No.6 tahun 1999, lalu disempurnakan dengan PP No.34 tahun 2002. Dari perspektif perusahaan, pembangunan hutan tanaman adalah investasi yang tipikal dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan di awal, proses produksi yang panjang dan penuh resiko kegagalan, serta hasil yang diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu pengusaha sangat berhati-hati dan penuh perhitungan yang cermat sebelum terjun ke sektor usaha hutan tanaman ini. Sebagai pertimbangan yang cermat seorang investor selalu melihat ke belakang dan sekaligus ke depan, menghubungkan antara potensi sumberdaya dengan potensi pasar, dimana perusahaan dapat menentukan faktor-faktor prospek investasi tersebut dari sisi kepastian berusaha, luas lahan, skala investasi dan struktur modal, teknologi yang diperlukan, dan keuntungan yang akan diperoleh. 6.1.1. Kepastian Berusaha Dalam perspektif perusahaan, kepastian berusaha merupakan aspek penting yang sangat menentukan sekaligus jaminan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang, karena investasi dan kelestarian hutan umumnya memerlukan waktu yang panjang.
Di Indonesia dan umumnya di negera berkembang lainnya
kepastian lahan masih ditempatkan sebagai faktor yang paling rawan, karena disamping pengurusan izin yang sulit dengan birokrasi yang panjang, serta sering terjadi friksi atau benturan dengan masyarakat sekitar yang telah bermukim lebih dulu di sekitar kawasan.
90
Perusahaan telah melalui tahapan dan prosedur yang panjang untuk mendapatkan kepastian lahan, dengan kronologisnya sebagai berikut: 1. Dengan SK Menteri Kehutanan No.l 775/Menhut-V/1989, Barito Pacific Group dijinkan membuat percobaan penanaman Acacia mangium dengan luas 50 000 ha yang harus diselesaikan dalam jangka waktu 5 tahun (1990-1994). 2. Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) mengeluarkan surat No.1109/DJRRL/V/1989
untuk
menindak
lanjuti
keputusan
Menteri
Kehutanan tersebut. 3. Pada tahun 1991 menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 276/Menhut-V/1991 untuk menetapkan areal HPHTI seluas 311 215 ha. 4. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan itu, Barito Pacific Group membuat anak perusahaan dengan nama PT Enim Musi Lestari (EML). 5. Mengikuti peraturan umum yang dibuat oleh Menteri Kehutanan, selanjutnya PT Enim Musi Lestari membentuk perusahaan patungan dengan PT Inhutani II yang pada waktu itu ditugasi oleh Departemen Kehutanan membangun kawasan hutan tak produktif di kabupaten Muara Enim tersebut. 6. Perusahaan patungan tersebut dinamakan PT Musi Hutan Persada (MHP), yang mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman No.C2.1767.H1.01.10Th 91, tertanggal 24 Mei 1991. 7. Dengan terbentuknya MHP, maka lokasi HPHTI lalu ditetapkan secara pasti. Namun untuk itu memerlukan proses yang cukup panjang sehingga sempat beberapa kali mengalami perubahan. Akhirnya kepastian tersebut dapat diperoleh setelah Gubernur Sumatera Selatan memberikan rekomendasi yang kedua kalinya pada tanggal 16 Januari 1995.
91
Berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Sumatera Selatan Nomor: 522/00237/95 tahun 1995 dan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 038/Kpts-II/1996 tahun 1996. PT MHP memperoleh kepastian hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) di atas areal seluas kurang lebih 296 400 ha HPHTI tetap di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan kebijakan pemerintah, sumber lahan untuk hutan tanaman industri adalah tanah kosong atau alang-alang, belukar, hutan alam rawang (kurang produktit) dan lain-lain. Namun lahan HTI diperbolehkan juga berasal dari hutan alam yang dikonversi jika memang ada alasan yang kuat dan tidak merugikan lingkungan. Berpedoman pada arahan pemerintah tersebut PT MHP dalam pembangunan HTI lebih memprioritaskan pada lahan alang-alang yang biasanya sering terbakar dan tidak produktif. Selanjutnya, Perusahaan bekerjasama dengan PT. Inhutani dalam pelaksanaan pembangunan HTI. Walaupun sudah mendapatkan kepastian lahan dari pemerintah perusahaan HTI tidak luput dari masalah klaim pemilikan lahan oleh penduduk sekitar kawasan. Pembangunan HTI mendapat dukungan politik yang besar dari pemerintah Orde Baru dengan memberi banyak subsidi. Pada era reformasi desakan untuk tidak mengkonversi hutan alam datang dari IMF (International Monetary Fund) melalui LOI (Letter of intent) dan Bank Dunia, dengan alasan utama keanekaragaman hayati dan masalah lingkungan. Pembangunan HTI di Indonesia didukung oleh subsidi dana reboisasi (DR), yaitu partisipasi modal pemerintah dan pinjaman bunga rendah dan dibalik itu ada daya tarik lahan HTI yaitu kesempatan usaha dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).
92
Pengalaman MHP di Sumatera Selatan dalam membuat hutan tanaman (dengan Acacia mangium) mulai tanam sampai dipanen, dapat dijadikan acuan dalam pembangunan HTI di Indonesia. Pengalaman ini dapat memberi informasi berguna kepada investor lain yang berminat. Dari aspek legal sebetulnya lahan hutan tanaman sudah cukup kuat sejak diberlakukannya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) di mana hutan tanaman diselenggarakan pada hutan produksi bebas. Kemudian dikeluarkan PP No.17 tahun 1998 yang mengatur prosedur pendirian unit-unit manajemen HTI pada lokasi yang mendapat izin. Masalah yang langsung dan berat terhadap kepastian usaha HTI adalah konflik (friksi) dengan penduduk sekitar areal hutan tanaman terutama tentang perebutan lahan dengan berbagai sebab. Permasalahan sosial (adat) penduduk di sekitar hutan hendaknya dapat diselesaikan terlebih dahulu, jika tidak maka investasi pada lahan HTI tersebut akan menghadapi banyak kesulitan yang akan sangat mengganggu kelangsungan usaha. Pengalaman MHP yang telah membangun hutan tanaman Acacia mangium seluas lebih kurang 193 500 ha yang dalam perjalanannya banyak menghadapi konflik sosial dengan masyarakat sekitar, mulai dari pencurian kayu, kebakaran hutan, dan klaim lahan telah mengakibatkan keamanan dan kepastian berusaha menjadi ancaman yang cukup berat. Puncak kerusuhan terjadi pada tahun 1999/2000, dimana terjadi pembakaran, demonstrasi dan pendudukan areal hutan oleh masyarakat secara besar-besaran. Konflik ini berakhir melalui negosiasi yang panjang antara perusahaan dan masyarakat dengan mediasi para ahli, pemerintah, dan para tokoh masyarakat, yang akhirnya menghasilkan beberapa kesepakatan-kesepakatan agar perusahaan lebih memperhatikan kesejahteraan
93
masyarakat. Perusahaan juga harus membayar milyaran rupiah untuk mengganti lahan yang diklaim mereka sebagai lahan eks marga. Belajar dari konflik tersebut kemudian perusahaan MHP merubah strategi pengelolaan hutan dengan melakukan pendekatan kemasyarakatan antara lain dengan program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dan Mengelola Hutan Rakyat (MHR) di areal tanah penduduk dengan kerjasama bagi hasil. Sejauh ini pendekatan tersebut sudah relatif berhasil dan konflik dengan masyarakat tidak pernah terjadi lagi, sehingga risiko investasi dapat dikurangi, seperti masalah lahan dan kebakaran hutan jauh berkurang. 6.1.2. Luas Lahan Konsesi Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/MenhutV/1991, luas areal untuk HPHTI adalah sebesar 311 215 ha, namun berdasarkan pengukuran planimetris, ternyata luas bruto areal untuk HPHTI MHP itu menjadi 447 190 ha, lalu setelah studi ulang areal tersebut berubah lagi menjadi 343 224 ha, yang terdiri atas kelompok hutan Martapura, Subanjeriji dan Benakat. Dengan rekomendasi dari Kanwil Departemen Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan No.1668/KWL-6.1/7/94 dan rekomendasi Gubernur Provinsi Sumatera Selatan No.522/00237/95, areal MHP ditambah 64 034 ha sehingga seluruhnya menjadi 407 224 ha. Berdasarkan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), kawasan hutan seluas 407 224 ha yang dicadangkan untuk MHP itu berstatus hutan produksi seluas 359 878 ha (88.4%), hutan produksi terbatas 40 936 ha (10.1%), dan hutan produksi konversi 6 408 ha (1.6%). Namun berdasarkan RUTR Provinsi Sumatera
94
Selatan seluruh kawasan hutan MHP termasuk dalam kawasan budidaya kehutanan. Dari aspek topografi, 290 505 ha (71.3%) tergolong landai, 95 059 ha (23.3%) termasuk datar, dan sisanya 21 660 ha (5.3%) agak curam. Rincian luas hutan menurut peruntukannya menurut kelompok hutan disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Luas areal HPHTI yang dicadangkan untuk PT Musi Hutan Persada menurut peruntukan dan kelompok hutan Kelompok Hutan 1. Martapura 2. Subanjeriji 3. Benakat Jumlah Persen
HP (ha) 15 313 104 837 239 728 359 878 88.4
HPT (ha) 12 462 7 800 20 676 40 938 10.0
HPK (ha) 0 0 6 480 6 480 1.6
Jumlah (ha) 27 775 112 637 266 884 407 224 100
Persen 6.8 27.7 65.5 100.0
Sumber: PT. MHP, tahun 1995. Dari Tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar kawasan yang dicadangkan untuk areal HPHTI MHP terdiri atas hutan produksi (88.4%). sedangkan hutan produksi yang dapat dikonversi hanya 1.6%. Bahkan setelah dikaji dengan membuat scoring berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/l1/1980 tentang
kriteria
penetapan
hutan
lindung
dan
SK
Menteri
Pertanian
No.683/Kpts/Um/8/1981 tentang kriteria penetapan hutan produksi, kawasan hutan produksi terbatas sehanyak 10% itupun dapat diubah statusnya menjadi hutan produksi. Hal itu memungkinkan bagi MHP untuk bekerja dengan tenang karena kawasan yang di sediakan untuknya memang kawasan budidaya kehutanan. Di antara tiga kelompok hutan, sebagian besar arealnya (65.3%) terletak di Benakat, Subanjeriji menduduki tempat kedua (27.7%) dan kelompok hutan Martapura hanya 6.8%. Kelompok hutan Martapura terletak paling jauh dari
95
industri pulp PT TEL, sehingga biaya pengangkutan kayu dari wilayah ini yang relatif paling mahal. Kelompok hutan Subanjeriji merupakan wilayah kerja untuk HTI yang paling ideal, karena di samping lokasinya dekat dengan pabrik, asesibilitasnya paling baik dan topografinya relatif datar. Namun demikian justru karena hal-hal yang menguntungkan itu maka daerah ini berpenduduk paling padat sehingga intensitas masalah sosial-ekonominya juga yang paling tinggi. 6.1.3. Skala Investasi dan Struktur Modal Sampai dengan akhir tahun 2002 penanaman skala komersial yang telah berhasil dilakukan MHP berupa penanaman Acacia mangium adalah 193 500 ha pada semua tipologi lahan yang di miliki perusahaan. Secara kronologis kinerja penanaman disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Kinerja penanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada Tahun Tanam
Luas (ha)
Tahun Tanam
1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/ 1996
27 928.25 50 214.58 24 025.05 35 427.02 24 869.10 14 1 51.00
1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000*) 2000/2001 2001 /2002
Luas (ha) 14 276.0 2 609.0 2 355.7 6 927.0 12 750.0 14 260.0
*) mulai rotasi kedua, dengan jenis yang diperbaiki genetiknya.
Untuk mempertahankan kemampuan memasok badan Baku ke industri, sejak tahun 2000 perusahaan menanam dalam luasan yang rata-rata seragam yaitu 10 750 ha, sebagai ganti penutupan lahan hutan yang dipanen pada tahun yang sama. Penyeragaman ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara luas panen dengan luas tanaman.
96
Di samping menanam, perusahaan juga melakukan pemelihartan. Skedulnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Rencana atau realisasi pemeliharaan tegakan dan penebangan HTI, Tahun 1990/91-2004/05
Tahun
Pemeliharaan Penebangan (ha) (ha)
Tahun
Pemeliharaan (ha )
Penebangan (ha ) 5 429 9 400 10 750
1990/91 1991/92 1992/93
27 928 78 143
-
1998/99
-
1999/00 2000/01
91 332 55 905 36 465
1993/94 1994/95
102 168 137 595
-
2001/02 2002/03
31 714 25 579
10 750 10 750
1995/96 1996/97 1997/98
162 464 148 678
-
2003/04 2004/05
36 329 47 079
10 750 10 750
115 357
-
-
Dukungan dari semua pihak yang berkepentingan, serta adanya jaminan keberlangsungan usaha dan luasan areal yang memadai membuat usaha pembangunan HTI menjadi ekonomis dan menguntung. HTI terutama jenis Acacia mangium mempunyai keunggulan kompetitif, karena memiliki produksi per hektar yang tinggi, kualitas produk kayu relatif seragam dan transfer teknologi dari luar relatif mudah diterapkan pada hutan tanaman. Pembangunan HTI memerlukan dana investasi yang besar, besarnya investasi yang diperlukan ini menuntut kehati-hatian bagi pemilik modal. Beberapa kendala yang perlu diperhatikan adalah bunga modal yang relatif tinggi dan langka di Indonesia sehingga investasi menjadi mahal dan beresiko jika tidak diimbangi dengan upaya lain. Rotasi tanaman yang relatif panjang (paling pendek 5-8 tahun) juga menjadi sebab paling utama kelemahan investasi di sektor hutan
97
tanaman. Makin panjang proses produksi (rotasi) makin berat dampak bunga yang dirasakan investor, karena suku bunga modal mengikuti rumus eksponensial. Sementara hasil baru diperoleh hanya sekali pada akhir rotasi, hal ini sangat berbeda dengan tanaman perkebunan yang dapat dipanen tiap tahun. Pembangunan HTI sangat dibebani dengan arus kas (cash-flow) yang tidak berimbang (karena tidak terjadi tiap tahun), dengan demikian nilai diskon faktor panen pada akhir rotasi menjadi kecil. Modal untuk investasi di sektor yang relatif berisiko tinggi dan yang lambat menghasilkan (slow-yielding) biasanya sukar didapat karena bunga yang dapat dibayarkan
kepada
pemilik
modal
rendah.
Sektor
usaha
yang
cepat
menguntungkan biasanya akan memperoleh modal usaha lebih mudah karena dapat membayar bunga yang tinggi. Dengan demikian investasi hutan tanaman meskipun tujuannya mulia dalam mencari modal akan kalah bersaing dengan investasi tanaman lain, yang dapat dianggap lebih bankable, bila tidak ada faktor lain yang mendukung atau membantu pembangunan hutan tanaman. Bantuan atau dukungan itu antara lain diharapkan dari: − Program pembangunan pemerintah − Kebutuhan hasil hutan untuk bahan baku industri − Kehutuhan hasil hutan kayu untuk masyarakat (perumahan d1l.) − Dibatasinya penebangan di hutan alam − Adanya dampak lain yang positif seperti mengurangi erosi, banjir dll. − Tidak ada peluang usaha alternatif selain hutan tanaman (pada tanah marginal). Untuk mendukung pemodalan pembangunan HTI, pemerintah melalui Departemen Kehutanan memberikan subsidi pada HTI dengan partisipasi modal
98
dan pinjaman bunga rendah dari alokasi dana reboisasi (DR). Disamping itu juga ada bantuan dari beberapa negara donor seperti Finlandia dan Jepang, pada program pengembangan hutan tanaman di Indonesia berupa bantuan teknis dan pinjaman lunak. Selain itu banyak terjadi integrasi vertikal dengan sektor industri di bidang kehutanan untuk mendapatkan jaminan bahan baku yang pasti dan kontinyu. Integrasi antara industri dan hutan tanaman ini diharapkan tidak sekedar dukungan modal, tetapi juga dapat meningkatkan rate of return di bidang hutan tanaman yang relatif tidak tinggi (slow yielding). Integrasi ini menunjang persyaratan pelestarian karena keduanya berorientasi jangka panjang. Kebijakan pemerintah yang selalu mendukung integrasi ini, namun tetap mencegah kecenderungan kearah monopoli. Pengembangan hutan tanaman tidak seyogyanya hanya sekedar menggantungkan subsidi. Dengan adanya ekspektasi harga dan pendapatan di masa depan, investasi dapat ditarik bila rate of return dapat dibuat tidak terlalu rendah dan risiko tidak terlalu tinggi. Dalam hal ini peran kemajuan teknologi baik di hutan tanaman maupun di industrinya sangat menentukan. Investasi hutan tanaman menyadari akan hal ini sehingga dapat dimengerti bila hutan tanaman yang disukai adalah jenis tanaman tumbuh cepat (rotasi pendek). Selain masalah yang bersifat teknis-ekonomis, akhir-akhir ini masalah nya makin kompleks antara lain munculnya pandangan atau penilaian masyarakat yang menyoroti aspek konservasi dan sosial di mana banyak timbul konflik yang menyebabkan hambatan biaya dan waktu. Berhubung dengan itu hutan tanaman diusahakan agar mengikuti prinsip pengelolaan hutan yang lestari (PHL) di mana kriteria aspek konservasi dan sosial diintegrasikan dengan produksi dan ekonomi.
99
Dalam rangka pengelolaan hutan tanaman lestari banyak tujuan manajemen yang bersifat non-finansial antara lain pembuatan stasiun pengamatan debit sungai, program pengembangan masyarakat dan berbagai kegiatan konservasi (konservasi plasma nutfah ex-situ, konservasi cagar alam dsb). Semua ini akan masuk dalam biaya investasi yang disehut biaya sosial (social cost). Sebagai investor pada lahan (land-use) maka akan terjadi persaingan penggunaan lahan (land-user), dimana hutan tanaman akan bersaing dengan tanaman lainnya, seperti karet, kelapa sawit, kelapa hibrida, dan lain-lain. Keunggulan masing-masing sebenarnya dapat di lihat dari usaha yang paling menguntungkan dengan rate of return yang paling tinggi. Kendala lain adalah besarnya biaya-biaya umum per unit produksi yang disebut pungutan-pungutan liar (biaya siluman) oleh pihak ketiga. Situasi seperti ini menyebabkan high cost economy yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan investsi di hutan tanaman industri pada khususnya. Paling tidak penanaman Acacia mangium di lahan alang-alang secara fisik sudah nyata berhasil (exist) dan sekarang sudah dapat dipanen dan dipasarkan (untuk pabrik pulp). Dari aspek finansial dapat dibuktikan bahwa harga pohon berdiri (stumpage value) lebih tinggi dari pada biaya pembuatan tanaman (stumpage cost) dengan discount factor komersial. Hasil penelitian oleh Divisi Penelitian dan Pengembangan PT. MHP, tanaman rotasi kedua pertumbuhannya lebih baik. Berdasarakan pengalaman dan hasil yang telah dicapai oleh MHP maka dapat dikatakan bahwa prospek investasi pada sektor HTI di Indonesia adalah positif. Dengan produksi per hektarnya yang cukup tinggi, kayunya juga
100
disamping untuk penggunaan bahan baku kertas (pulp), ternyata sifat kayunya (bagian teras) juga dapat dipakai untuk kayu pertukangan. Pada awalnya pemegang saham MHP adalah PT Inhutani V yang mewakili pemerintah dan PT Enim Musi Lestari (EML). Dalam perusahaan patungan itu PT Inhutani V memiliki 84 000 saham bernilai Rp84 milyar (40%), sedangkan EML memiliki 126 000 saham bernilai Rp126 milyar (60%). Setelah perusahaan patungan tersebut disepakati dan disahkan oleh Menteri Kehakiman, maka selanjutnya PT. MHP membentuk susunan organisasi perusahaan. Sejak tahun 2004 kepemilikan saham PT. EML diambil alih oleh perusahaan jepang Marubeni. Saat ini proporsi kepemilikan saham PT. MHP adalah 40% di miliki oleh PT. Inhutani V dan 60% di miliki perusahaan Marubeni dari Jepang. 6.1.4. Teknologi dan pengembangan pasar Salah satu keunggulan investasi di hutan tanaman industri adalah teknologi dan alih teknologi yang dapat diaplikasikan secara luas dibandingkan dengan hutan alam. Bahkan alih teknologi hutan yang beriklim sedang ke hutan tropis menunjukkan hasil yang baik dan menguntungkan. Berdasarkan alasan kemudahan alih teknologi inilah, pengembangan hutan tanaman industri lebih menjanjikan ketimbang hutan alam. Kendala-kendala fisik-biologis yang tadinya merupakan ancaman HTI satu persatu dapat diatasi oleh penemuan baru dari hasil riset dan pengembangan yang telah dilakukan secara terus menerus. Masalah serangan hama dan penyakit, gangguan kebakaran, dapat diatasi dengan mengaplikasikan pengalaman dari beberapa negara maju dan kemudian dimodifikasi sesuai dengan kondisi yang
101
dihadapi di daerah tropis. Penanggulangan kebakaran di HTI MHP sudah diakui oleh badan intetnasional dianggap dan dinilai yang paling siap di Indonesia. Pengembangan pemuliaan pohon merupakan peluang yang sangat menjanjikan, meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Penemuan dan peranan penelitian serta kemajuan teknologi pada semua proses penanaman, pemeliharaan dan pemanenan di hutan tanaman satu per satu dapat mengatasi kendala yang diharapkan meningkatkan produksi dan kelayakan investasi serta ekspansi. Hal ini telah diaplikasikan pada penanaman siklus daur kedua dari bibit dengan faktor genetis yang di perbaiki. Pasar hasil hutan saat ini memang sudah tersedia, namun masih harus di kembangkan lebih lanjut. Diversifikasi pasar adalah syarat utama untuk pengembangan pasar. Pasar dapat dibagi ke dalam pasar ekspor (global), pasar domestik dan pasar lokal. Umumnya produk yang bernilai tinggi untuk ekspor, sedangkan yang bernilai sedang untuk pasar dalam negeri, dan yang bernilai rendah untuk pasar lokal. Karena hasil hutan merupakan komoditas alam, maka tidak semua produk dapat dipaksakan untuk produk yang bernilai tinggi, sehingga konsekuensinya pasar dalam negeri harus ada dan bahkan kadang menjadi syarat kelayakan usaha. Hasil hutan kayu secara tradisional sebagian untuk ekspor, terutama ketika produksi kayu bulat diameter besar dari hutan alam masih berlimpah. Hasil dari hutan alam ini kini dikurangi jatah tebangannya. Pada saat ini hutan tanaman industri mendapat peluang mengisi pasar ekspor hasil hutan tanaman berapa pulp, sedangkan ekspor kayu bulat HTI masih belum berjalan secar baik.
102
Situasi pasar hasil hutan saat ini mempunyai kecenderungan dimana jumlah produsen dan jumlah pembeli masih sedikit, hal ini dapat menciptakan peluang adanya produsen tunggal dan atau pembeli tunggal dan ada jarak yang jauh antara mereka satu sama lain maka persaingan pasar tidak terjadi. Kalaupun dapat terjadi transaksi, maka pasarnya lebih bersifat bilateral, dengan demikian harga yang terjadi tergantung negosiasi atau posisi tawar masing-masing. Permintaan akan hasil hutan kepada produsen (HTI) umumnya melalui derived demand yaitu permintaan yang terkait dengan adanya permintaan akan hasil olahan yang sudah punya pasar. Hasil hutan HTI PT. MHP tidak mengalami masalah dalam pemasaran karena dijual di pasar sendiri (captive market), yaitu ke pabrik pulp PT. TEL yang dibangun berdasarkan adanya HTI yang telah dibangun dan cukup mampu memasok keperluan bahan bakunya. Integrasi antara hutan tanaman dengan industri pengolahannya adalah usaha pengamanan pasar (bagi HTI) sekaligus juga pengamanan bahan baku yang kontinyu (bagi industri). Seperti disebutkan di atas bahwa prospek pasar sama pentingnya dengan upaya pelestarian dan besarnya sumber (potensi hutan tanaman), sehingga tidak benar kalau pasar dituduh selalu menjadi penyebab kerusakan hutan. Pasar diperlukan lalu dikembangkan dan dikendalikan agar pasar seimbang dengan sumber, dimana produksi (supply) seimbang dengan permintaan (demand). Sebelum investasi dilakukan telah dilakukan studi tentang pasar dan proyeksinya ke depan. Perkembangan pasar (permintaan) dapat diramalkan dengan beberapa indikator, diantaranya adalah daya beli (tingkat pendapatan), selera, dan tren perkembangan teknologi.
Pasar bahkan harus ikut di
103
pertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam. Jenis Acacia mangium ternyata jenis yang mudah dipasarkan baik untuk pulp maupun untuk kayu pertukangan dan ini merupakan hasil pemilihan yang cukup kuat. Pasar hasil hutan tanaman (kayu) sebagian besar diterima pada industri pengolahan kayu, pertukangan dan bahan bangunan lainnya, sebagian lagi langsung dikonsumsi sebagai kayu bakar dan kayu untuk tiang, hal ini sangat penting untuk tujuan kesejahteraan masyarakat lokal. Industri pengolahan kayu, besar perannya dalam pemanfaatan hasil hutan yang dapat meningkatkan nilai tambah kayu, menciptakan lapangan kerja dan kelestarian industri dan hutannya. Industri pengolahan kayu seperti dua sisi mata uang, tidak ada industri kayu kalau tidak ada hutan. Investasi pada pabrik pengolahan kayu yang permanen biasanya memerlukan jaminan bahan baku jangka panjang dengan pasokan yang kontinyu. Hal ini sejalan dengan pengelolaan hutan yang lestari. Bila industri (pabrik) menginginkan kelangsungan bahan baku kayunya, maka industri akan memperhatikan, menjaga dan melestarikan hutan tanaman, dengan membiayai penanaman, pemeliharaan dan pemanfaatan. Sebaliknya, agar hutan dapat lestari maka diperlukan juga pelayanan jaminan kepada industri agar pabrik dapat hidup terus (lestari) dengan pasokan bahan baku dengan jumlah, kualitas dan harga yang dapat diterima. Kalau hubungan antara industri pengolahan kayu dan pengelolaan hutan tidak serasi bahkan tidak ada keseimbangan antara pasokan dan permintaan, maka yang akan terjadi adalah kegagalan bagi keduanya. Untuk
mencapai
keadaan
seimbang
diperlukan
perencanaan
dan
pengawasan yang baik. Bila permintaan terlalu tinggi maka ada dua cara
104
menyeimbangkannya, yaitu menekan permintaan (menutup pabrik-pabrik yang tidak efisien) atau dengan meningkatkan pasokan dengan membangun hutanhutan tanaman (hutan alam tidak mungkin lagi ditingkatkan). Atau dari sisi lain, pasokan terlalu tinggi, misalkan hasil hutan tanaman terlalu tinggi, maka ada dua cara untuk menyeimbangkan juga yaitu pertama pasokan dikurangi dengan tidak menebang (jatah tebang tahunan, dikurangi) atau permintaan ditingkatkan dengan memberi insentif didirikannya lagi pabrik- pabrik pengolahan kayu dan pasar. Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan pembangunan hutan tanaman industri. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari politik, sosial, ekonomi dan kelembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan menyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk hutan tanaman dan kawasan yang harus dilakukan pengelolaan hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkungan yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan. 6.1.5. Keuntungan Perusahaan Keuntungan perusahaan merupakan jaminan bagi perusahaan agar usaha dilakukan dapat berkelanjutan.
Produksi yang dihasilkan dari hutan tanaman
industri di PT MHP adalah berupa kayu yang digunakan untuk bahan baku pulp.
105
Biaya dan penerimaan HTI dengan pola tanaman Acasia mangium per hektar secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 14. Biaya dan penerimaan (Rp/ha) dari tanaman Acacia Mangium per hektar dalam sekali daur produksi, tahun 2009 Uraian 1. Persiapan Lahan 1.1 Tebas Tebang 1.2 Penyemprotan herbisida 2. Penanaman 2.1 Bibit dan transportasi 2.2 Penanaman 2.3 Pemupukan 3. Pemeliharaan 3.1 Tebas Manual 3.2 Pengendalian gulma 1 3.3 Pengendalian gulma 2 3.4 Penunggalan dan pemangkasan cabang 3.5 Pengendalian gulma 3 3.6 Pengendalian gulma 1 4. Panen dan Pengangkutan Total biaya (tanpa compound) Total biaya (compound rate 10%) Hasil (ton/ha) Penerimaan sekarang (Harga Rp200 000 /ton) Net return NPV (compound rate of 10%, Rp/ha)
Tahun
Jumlah (Rp/ha)
1 1
430 000 425 000
1 1 1
600 000 350 000 875 000
1 1 2 2 3 3 6
449 500 464 500 428 500 113 000 338 700 338 700 10 260 000 15 072 900 18 490 863 180 36 000 000 17 509 137
6
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan sebelum dicompound adalah sebesar Rp15 072 900, karena biaya tersebut telah dikeluarkan pada beberapa tahun yang lalu maka untuk menghitung biaya dalam nilai kini dikalikan dengan compounding faktor (CF 10%) diperoleh nilai biaya sebesar Rp18 490 863. Jika produksi rata-rata diasumsikan sebesar 180 m3/ha dan harga kayu Rp200 000/m3, maka penerimaan per hektar tanaman HTI adalah sebesar
106
Rp36 juta. Jadi keuntungan bersih perusahaan yang dihitung dalam nilai sekarang adalah sebesar Rp17 509 137 per ha. Jika rata-rata luas areal yang di panen per tahun di PT MHP adalah seluas 10.750 hektar per tahun maka penghasilan bersih perusahaan per tahun adalah sebesar Rp188 223 225 556. Jika luas tanam keseluruhan sebesar 193 500 ha dan jumlah tanam/tebang per tahun 10 750 ha maka nilai tegakan HTI PT. MHP adalah sebesar Rp3 199 794 834 448. Dari sisi keuntungan perusahaan dan nilai tegakan HTI yang demikian besar merupakan sektor usaha yang mempunyai prospek yang sangat menjanjikan bagi perusahaan untuk tetap eksis dibidang usaha HTI ini. 6.2. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Petani Dalam perspektif petani hutan tanaman industri merupakan peluang usaha baru yang di harapkan dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan mereka.
Untuk itu dari sudut pandang petani adalah bagaimana upaya agar
keberadaan HTI di lingkungan mereka bisa memberikan sebesar-besarnya peluang bekerja dan mencari penghidupan yang layak guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Pembangunan hutan tanaman sejak awal bertujuan untuk menunjang program pembangunan nasional dan pemerintah daerah, ikut memperluas lapangan kerja, terutama bagi masyarakat di sekitar hutan. Dalam beberapa studi yang telah dilakukan, kegiatan pembangunan HTI PT. MHP telah menyerap tenaga kerja lebih dari 10 ribu orang per tahun. Dampak lainnya adalah telah terjadinya peningkatan aktivitas angkutan, jasa, sarana umum, dan perdagangan
107
komoditi. Disamping itu telah terjadi introduksi terhadap pola pandang dan pola pikir masyarakat. Sesuai dengan semangat PP No.7/1990 bahwa pembangunan HTI telah mampu memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Secara faktual dapat dianggap bahwa perluasan lapangan kerja dan lapangan usaha merupakan realisasi dari usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perluasan kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha
yang
diaktualisasikan
dalam
lingkup
pekerjaan
pembangunan HTI mulai dari penanaman, pemeliharaan tegakan hutan, pemungutan kayu, pengolahan kayu dan pemasaran hasil olahan. Ada banyak jenis pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat sekitar di dalam pekerjaan HTI akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka.
Bagi
sekelompok
masyarakat
yang
memiliki
jiwa
usaha
(entrepreneurship), mereka dapat membuka usaha yang melayani aktivitas pembangunan hutan tanaman misalnya menjadi pemborong pekerjaan, membuka restoran, dan semua aktivitas pelayanan kepada pelaksana kerja. Dengan bertambahnya pengalaman manajemen MHP, maka makin banyak pekerjaan yang diborongkan ke masyarakat. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar HTI adalah dengan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat sekitar dalam kegiatan perusahaan. Melalui pendekatan sosial-kemasyarakatan, saat ini perusahaan melakukan dua program yang sejalan dengan perspektif masyarakat, yaitu Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) di lahan konsesi milik PT MHP dan Mengelola Hutan Rakyat (MHR) di lahan milik rakyat yang tidak produktif. Program ini dimaksudkan sebagai kegiatan partisipatif, di mana masyarakat tidak
108
hanya diminta partisipasinya (masukan tenaga, pikiran dan komitmen) tetapi juga ikut menikmati hasilnya dan berbagi hasil. Pembahasan lebih lanjut mengenai MHBM dan MHR ini akan di bahas pada sub bab selanjutnya. 6.3. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Pemerintah Pusat Dalam perspektif pemerintah pusat, pembangunan kehutanan secara nasional, selalu diarahkan untuk pencapaian optimal dalam manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial. Sebagai sumberdaya alam yang pokok hutan seharusnya dapat
berfungsi sebagai penyangga tanah dan air (fungsi hidro-orologi),
penyangga iklim bumi (pemanasan global), sumber keanekaragaman hayati, serta modal atau penunjang pembangunan. Pemanfaatan hutan alam yang dilakukan secara berlebihan selama ini telah memberikan dampak berkurangnya luasan kawasan hutan serta adanya kerusakan yang akhirnya dapat menurunkan fungsi hutan secara keseluruhan. Berdasarkan kenyataan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan beberapa bentuk kebijakan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga fungsi hutan dapat dipertahankan keberadaannya secara berkelanjutan. Untuk mempertahankan fungsi hutan, salah satu kebijakan pemerintah adalah melakukan upaya penanaman kembali dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI sebagai hutan tanaman kayu dikelola dan diusahakan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan yang tidak atau kurang produktif guna mencukupi kebutuhan kayu sebagai bahan baku industri pengolahan kayu baik industri penggergajian, kayu lapis, mebel, pulp, kertas serta bahan industri kayu lainnya.
109
Berdasarkan data FAO selama kurun waktu 2000-2005 di Indonesia telah terjadi kerusakan hutan sekitar 11.2 ha. Untuk itu pemerintah berkepentingan menggantikan fungsi hutan alam yang rusak tersebut dengan hutan tanaman industri (HTI). Sampai sekarang, pemerintah telah mengalokasikan sekitar 10.26 juta hektar areal hutan produksi negara untuk di bangun hutan tanaman industri. Kerusakan hutan yang terjadi telah menimbulkan total nilai biaya ekonomi yang tinggi, baik berupa biaya sosial, finansial dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat rusaknya hutan. Menurut penelitian FAO (2005) kerusakan hutan akibat penebangan liar telah mengakibatkan kerugian negara penghasil kayu sedikitnya sebesar US$ 15 milyar setahunnya, dan hilangnya hutan telah mempengaruhi mata pencaharian penduduk di Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Rusaknya hutan juga telah mengancam eksistensi banyak spesies yang rentan kelestariannya. Dampak negatif dari kerusakan tersebut juga secara langsung dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yaitu berupa banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan dimana kualitas dan kuantitasnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data mengenai kerusakan hutan di Indonesia dan perubahannya dari tahun 1998 sampai dengan 2004 dapat dilihat pada tabel 15. Program pembangunan hutan tanaman industri dengan target Rp12 juta hektar hingga tahun 2012, pemerintah berusaha untuk mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Dana Reboisasi (DR). Pada tahun 2005-2009 pencapaian jumlah PNBP sebesar Rp1 triliyun dan di harapkan terus meningkat sebesar 5% setiap tahunnya. Disamping itu pemerintah juga mengupayakan peningkatan produk bukan kayu (non timber forest product),
110
dengan indikator pendapatan produk hasil hutan non kayu meningkat dan beragam. Dalam kurun waktu 2005-2009 terlihat pencapaian pendapatan produk hasil hutan non kayu meningkat minimal 15 % dari produk hasil hutan non kayu dari tahun 2004. Tabel 15. Proyeksi Luas Tutupan Hutan (Forest Cover) dan perubahannya di Indonesia 1998 – 2004 (tidak termasuk reboisasi) Perubahan Tahun
Luas (ha)
Primer ke Sekunder (ha)
Sekunder ke Degradasi (ha)
Total (ha)
(%)
1998
101 843 486
901 775
1 674 725
2 576 500
2.53
1999
99 266 986
991 953
1 842 198
2 834 150
2.86
2000
96 432 836
1 091 148
2 026 417
3 117 565
3.23
2001
93 315 271
1 200 263
2 229 059
3 429 322
3.67
2002
89 885 950
1 320 289
2 451 965
3 772 254
4.20
2003 2004
86 113 696 81 964 217
1 452 318 -
2 697 161 -
4 149 479 -
4.82 -
Total
6 957 746
12 921 525
19 879 270
-
Rata-rata perubahan per tahun
1 159 624
2 153 588
3 313 212
3,55
Sumber: Departemen Kehutanan, 2005
Dengan adanya sasaran dan indikator pencapaian tersebut, maka diharapkan terjadi dampak langsung maupun tidak langsung (outcome) berupa : 1) nilai tambah industri kehutanan meningkat, 2) peningkatan penyerapan tenaga kerja, 2) peningkatan devisa, 3) peningkatan ekonomi wilayah, 4) peningkatan kesejahteraan masyarakat, 5) pengelolaan lebih efisien dan kompetitif, 6) tercapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan, disamping menyelenggarakan perbaikan kualitas.
111
6.4. Hutan Tanaman Industri dalam perspektif Pemerintah Daerah Dalam perspektif daerah pembangunan HTI diharapkan berdampak terhadap percepatan pembangunan daerah, peluang investasi, menciptakan
kesempatan
bekerja, dan meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak, retribusi dll. Dalam hal ini pemerintah daerah berhak mengambil pajak, iuran, pungutan, sumbangan, bea sewa, imbalan jasa dll., untuk menunjang pembangunan daerah. Pajak, iuran sumbangan yang diberlakukan sekarang untuk sektor kehutanan adalah: Pajak Penghasilan (Pph), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), Pajak Air Permukaan (Perda), dan Pajak Penerangan (Perda). Pajak PSDH berdasarkan PP No. 15 tahun 2000 (pembagian penghasilan antara Pusat dan Daerah) adalah 75% untuk daerah dan 25% untuk Pusat, Berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari perusahaan MHP pada tahun 2006, pajak, iuran, sumbangan yang dibayarkan oleh perusahaan tersebut disajikan pada Tabel berikut ini. Tabel 16. Pajak, iuran dan sumbangan yang dibayarkan oleh PT. MHP, tahun 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Pengeluaran Pph PBB PSDH Pajak air permukaan Pajak penerangan Sumbangan pihak ketiga Jumlah
Besaran (Rp) 7 467 253 477 2 694 689 192 991 094 395 11 272 129 6 368 719 450 000 000 14 620 676 912
112
Jumlah tersebut dibebankan pada luas hutan tanaman MHP seluas 193 500 ha maka pajak iuran, sumbangan MHP per ha per tahun kepada daerah adalah Rp75 559. Bagi Kabupaten Muara Enim yang memiliki luas areal HTI MHP seluas 161 400 ha (54%) maka bagian yang diterima Kabupaten Muara Enim adalah = 0.54 x Rp14 620 676 912 = Rp7 895 165 532 atau lebih kurang sekitar Rp8 milyar. Ini berarti jumlahnya hampir separuh PAD Kabupaten Muara Enim (Dispenda Kabupaten Muara Enim, 2006). Di samping penerimaan berupa uang, manfaat lain juga banyak yang didapat dalam bentuk fisik seperti bangunan mesjid, mushola, gedung sekolah dll., serta dampak sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan tanaman. Demimikian juga terjadi percepatan pembangunan prasarana ekonomi berupa pembangunan jalan raya utama sepanjang 1000 km dan jalan cabang sepanjang 2000 km. Disamping itu juga dibangun jalan logging sepanjang 360 km. Kontribusi hutan tanaman kepada masyarakat setempat yang terbesar adalah penyediaan lapangan kerja yang besarnya tergantung dari jumlah orang yang bekerja di pembuatan hutan tanaman dan kegiatan pemanenannya. Menurut pengamatan setempat upah pekerja sebelum bekerja di MHP adalah sekitar Rp350 ribu per bulan atau kurang. Tetapi setelah bekerja di MHP upah rata-rata sebesar Rp550 ribu per bulan. Jadi ada perbedaan, yaitu dengan peningkatan rata-rata sekitar Rp200 ribu per orang per bulan. Jumlah pekerja pada kegiatan tebangan diperkirakan sebanyak 1 400 orang, sedangkan pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan diperkirakan dua kalinya. yang dapat bekerja sepanjang tahun sehingga juunlahya sebanyak 3 200 orang.
113
Pada musim kemarau penanaman dihentikan tetapi tenaga tersebut dapat dialihkan pada pemeliharaan, persemaian dll. Penambahan pendapatan masyarakat dengan adanya hutan tanaman tersebut dapat diperkirakan Rp200 000 x 3 200 orang = Rp640 000 000 per bulan atau Rp7 680 000 000 per tahun. Uang sebanyak Rp7.6 milyar per tahun tersebut bila dibelanjakan oleh pemegangnya akan menimbulkan kesempatan kerja secara simultan bagi orang lain. Selanjutnya bila uang tersebut dibelanjakan pula kepada orang lain lagi akan memberikan pendapatan atas hasil kegiatan yang terimbas, demikian seterusnya dan ini disebut efek ganda pendapatan (income multiflier effect). Besarnya efek ganda tersehut tergantung pada perilaku masyarakat dalam mengatur anggaran rumah tangganya, apakah cenderung untuk membelanjakan uangnya atau cenderung untuk menabungnya. Pemerintah daerah Sumatera Selatan menyatakan bahwa perusahaan MHP telah berperan besar dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi Sumatera Selatan. Salah satu di antaranya adalah menyumbang pada Pendapatan Asli Daerah berupa pajak perseroan, retribusi dan sumbangan-sumbangan untuk kegiatan insidentil, antara lain untuk menyumbang penyelenggaraan PON 2004. Peran ini dinilai murni tanpa ada kebocoran untuk mengimpor bahan Baku dan bahan penolong proses produksi. Bahan baku yaitu hasil kayu dan hutan tanaman diperoleh dari daerah setempat. Sedangkan pajak yang dibayar oleh MHP adalah Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak Penghasilan (PP 21 dan PP 23). Pajak Pertambahan Nilai dan pajak-pajak lainnya misalnya kendaraan bermotor, air, penerangan jalan.
114
Peran lainnya adalah penyedia lapangan kerja dan kesempatan kerja, baik bagi pekerja tetap maupun pekerja borongan untuk melaksanakan pekerjaan di MHP. Sebagian besar pekerjaan diborongkan dan dampaknya para pemborong mengalami peningkatan ekonomi secara sangat nyata. Misalnya seorang pemborong yang semula tak bermodal sekarang memiliki tiga kendaraan, satu untuk pribadi, satu truk untuk pekerjaan pemborongan dan satu bus melayani rute setempat. Ada pula seorang yang semula pekerja biasa namun karena keuletannya mampu berkembang menjadi pemborong sehingga kondisi ekonominya sangat membaik. Pekerjaan-pekerjaan yang diborongkan itu boleh dikatakan tersedia sepanjang tahun sehingga dengan kejelian pemborong, pekerja yang tergabung sebagai regu (crew) pemborong itu hampir memiliki pekerjaan tetap selama setahun, dan terus bergulir sepanjang tahun. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa usaha pokok membangun HTI telah mampu menumbuhkan kewirausahaan (entrepreneurship) di kalangan penduduk sekitar hutan, beberapa kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat. Mungkin saja pengusaha lokal itu sudah agak berjaya berkat karet, namun dengan melakukan pemborongan, kapasitas manajerial mereka makin berkembang. Fasilitas yang diberikan oleh MHP adalah untuk setiap kerja yang diborongkan selalu ditopang dengan standard operating procedures (SOP) sebagai pegangan bagi semua yang terlibat di dalam kegiatan itu. Nama yang dicetak di sampul depan adalah standard operating procedures (SOP) dan bukan istilah lainnya. Di dalam SOP itu dicantunkan Uraian Pekerjaan, Spesifikasi Teknis, Standar Hasil, Pelaksana dan Penanggung Jawab. Masing-masing SOP dilegalisasi
oleh
Direktur
Teknik,
misalnya
Direktur
Penanaman
dan
115
Pengembangan Hutan. Dengan uraian di dalam SOP, semua pihak mengacunya dan hasil kinerja juga dinilai berdasar isi di dalam SOP. Rumusan SOP untuk semua jenis pekerjaan yang diborongkan adalah sebuah lompatan managerial yang jauh ke depan karena dengan pemborong yang memiliki manual berupa SOP, struktur organisasi perusahaan dapat dibuat seringkas mungkin, pekerjaan dapat di bagi kepada sebanyak mungkin pemborong dan basil kerja akan seragam untuk seluruh kawasan seluas 193.500 ha. Proses peningkatan kesejahteraan bagi semua pihak benar-benar mengacu pada kualitas hasil kerja, atau melakukan meritokrasi dan bukan pada "manajemen belas kasihan" atau "manajemen tidak jelas". Di samping manfaat ekonomi dari pembangunan HTI, manfaat sosial yang diciptakannya adalah memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha termasuk usaha yang mendukung usaha pokok yaitu pembangunan HTI. Perluasan kesempatan kerja juga memperluas landasan ekonomi dan sekaligus membuat diversifikasi usaha bagi para pelakunya. Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dimanifestasikan dengan berkembangnya kelompok pengusaha baru, yaitu pemborong kerja di MHP dan penyedia berbagai pelayanan usaha untuk MHP maupun untuk karyawannya. Pembangunan HTI yang menggunakan teknologi yang akrab di masyarakat merupakan pendorong berkembangnya ekonomi masyarakat. Untuk membangun ekonomi berbasis peran serta masyarakat kita tidak harus selalu mengandalkan pada teknologi tinggi dan modal yang kuat, karena yang terpenting adalah memancing peran serta mereka sebagai homo economiucs, disamping mengembangkan mereka sebagai homo ecologicus. Sumatra Selatan dengan segala kemudahan yang diberikan mengundang investor untuk mengembangkan HTI dikawasan hutan yang kritis dan tanah
116
kosong yang luas di daerah ini. Pemerintah daerah dapat mengusahakan penyediaan lahan yang clean and clear yang bebas konflik dan bebas dari claim masyarakat. Diharapkan investor dapat mengembangkan industri selain pulp dan kertas untuk memperkaya industri berbasis hutan tanaman di Sumatra Selatan. Pemerintah juga menghendaki adanya variasi tanaman yang ditanam dan bukan hanya Acacia mangium saja, melainkan berbagai jenis tanaman yang kayunya dapat diproses oleh industri kehutanan. Bahkan mungkin juga dikembangkan industri terintegrasi (integrated industry), kayu-kayu berdiameter besar diproses menjadi furniture dan limbahnya dapat di proses menjadi serpih untuk kemudian di proses menjadi pulp. Kedepan bila memungkinkan adalah dengan memperluas HTI yang berpola inti-plasma.
117
VII. PROGRAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DAN MENGELOLA HUTAN RAKYAT (MHR)
7.1. Latar Belakang Lahirnya Program MHBM dan MHR PT. MHP sebagai salah satu pelopor pembangunan HTI di Sumatera Selatan dengan izin konsesi seluas 296 400 ha, telah menerapkan program MHBM dan MHR sejak tahun 1999/2000 yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di sekitar kawasan HTI PT. MHP. Program MHBM dan MHR ini lahir sebagai upaya untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sekitar hutan sebelumnya. Dalam konflik berkepanjangan ini masyarakat mengklaim bahwa lahan yang dikuasia perusahaan saat ini adalah lahan mereka sebagai lahan eks marga. Konflik tersebut mencapai puncaknya ketika reformasi tahun 1998 hingga tahun 1999, banyak lahan-lahan perusahaan yang diduduki dan dikuasai masyarakat. Tanaman yang siap panen dan kayu akasia yang telah di panen banyak yang di bakar oleh masyarakat yang menimbulkan kerugian besar dan membuat suasana perusahaan menjadi sangat tidak kondusif. Di dalam PP No.7/1990 memang tidak secara tersurat disebutkan bahwa pembangunan HTI juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu banyak perusahaan menganggap wajar ketika itu masalah kesejahteraan memang tidak termasuk dalam fokus perhatian perusahaan dan pemerintah, melainkan hanya sekedar basa-basi (lip service) belaka. Fokus utama HTI adalah pembangunan ekonomi dan sektor kehutanan yang merupakan salah satu lokomotif pembangunan.
118
Lahirnya pola MHBM dan MHR ini sebenarnya telah diamanatkan secara tersirat dalam PP No.7/1990 dimana dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa program HTI harus mampu memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Hal ini dapat dimaknai bahwa perluasan lapangan kerja dan lapangan usaha merupakan realisasi dari usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bagi
sekelompok masyarakat yang memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship), mereka dapat membuka usaha yang melayani aktivitas pembangunan hutan tanaman misalnya menjadi pemborong pekerjaan dan semua aktivitas pelayanan kepada pelaksana kerja. Perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diaktualisasikan oleh perusahaan dalam lingkup pekerjaan pembangunan HTI mulai dari penanaman, pemeliharaan tegakan hutan, pemungutan kayu pengolahan kayu dan pemasaran basil olahan. Banyak diantara pekerjaan tersebut, dapat dikerjakan oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat di dalam pekerjaan berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka. Seiring dengan bertambahnya pengalaman manajemen MHP dan masyarakat, diharapkan semakin banyak pula pekerjaan yang dapat diborongkan kepada masyarakat. Pelaksanaan program MHBM dan MHR ini telah berhasil meredam konflik yang terjadi saat itu dan dapat mengatasi konflik hingga saat ini.
Hal ini akan
terus berkelanjutan dalam jangka panjang jika model MHBM dan MHR ini bisa dijaga dan dilaksanakan dengan baik dan konsisten. Pola ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan adanya kepastian kerja dan kepastian hasil usaha, kepastian mendapat bagi-hasil atas hasil akhir dan memperoleh berbagai bimbingan untuk meningkatkan
119
keterampilan. Program MHBM dan MHR juga bertujuan untuk meredam gejolak tuntutan klaim lahan usaha oleh masyarakat, dan membangun rasa memiliki (sense of belonging) terhadap HTI di sekitar mereka. Di samping itu, masyarakat juga terlibat di dalam proses produksi yang menghasilkan kayu pada setiap akhir rotasi, serta mendapat bagian berupa bagi hasil, jasa management dan jasa produksi. Program MHBM mulai dilaksanakan pada tahun 1999, dan sejak itu banyak masyarakat yang terlibat langsung dalam setiap pekerjaan pembangunan HTI, baik sebagai pekerja, maupun sebagai pemborong pekerjaan. Adanya keterlibatan masyarakat secara luas dalam kegiatan HTI perusahaan, telah membangun rasa memiliki masyarakat terhadap keberadaan perusahaan dan terjalinnya hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat. Dampak dari semua itu adalah klaim terhadap lahan tidak pernah terjadi lagi, dan demontrasi dan kerusuhan dapat dihindari. Berdasarkan hasil peneitian terlihat bahwa program
MHBM ini telah
memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat berupa: 1. Penempatan warga masyarakat sebagai subjek dalam pengelolaan HTI (Stakeholder), 2. Memperoleh kemanfaatan finansial berupa: jasa kerja, jasa manajemen dan jasa produksi, 3. Memberikan peluang dalam kegiatan agribisnis trisula dan 4. Peluang kerja/usaha jangka pendek, menengah dan panjang. Keuntungan lain yang di terima oleh masyarakat dalam Pola MHBM adalah mendapat prioritas untuk bekerja di dalam areal konsesi, dalam melaksanakan
120
pekerjaan mereka dibayar sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan dan tingkat upah yang disepakati. Disamping mendapat jasa manajemen atas pengelolaan HTI di lahan MHBM
sebesar 1% dari seluruh nilai transaksi, mereka juga
mendapat jasa produksi sebesar Rp2500/m3 dari seluruh total produksi HTI di lahan MHBM yang dikelola. Bagi perusahaan MHP program MHBM telah memberikan manfaat yang cukup besar, berupa jaminan keberlanjutan kegiatan perusahaan di masa mendatang. Adapun beberapa manfaat MHBM bagi perusahaan adalah: 1. Tersedianya lahan usaha yang tidak bermasalah. 2. Lebih terjaminnya kelestarian produksi dan kapasitas usaha. 3. Terciptanya hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat. Sedangkan bagi pemerintah manfaat dari program MHBM ini adalah: 1) meningkatkan penerimaan pemerintah melalui penerimaan devisa, pajak, PSDH, dan lain-lain, 2) meningkatkan kualitas lingkungan, dan 3) meningkatkan kemakmuran masyarakat pedesaan. Program MHR sebagai upaya untuk meredam konflik dan mengantisipasi terjadinya keadaan yang tidak kondusif dan merugikan perusahaan di diperlukan karena: 1. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan dimana masyarakat harus diperlakukan sebagai subjek (stakeholder). 2. Respon atas perubahan dan perkembangan tatanan sosial kemasyarakatan. 3. Memberi peluang kesempatan dan kemanfaatan yang lebih riil kepada masyarakat.
121
4. Memperkokoh kelestarian sosial sebagai salah satu prinsip pengelolaan hutan tanaman berkelanjutan. Mengelola hutan rakyat (MHR) adalah program penanaman hutan tanaman A. mangium dilahan milik masyarakat yang bertempat tinggal di daldalam dan sekitar areal kerja MHP. Kerjasama ini melibatkan masyarakat sebagai pemilik lahan dengan PT. MHP. Program MHR bertujuan untuk menanami lahan milik masyarakat yang tidak produktif dengan modal dan bantuan teknis dari MHP, sedangkan pengelolaannya dilakukan oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Syarat paling penting dalam program ini adalah lahan dengan status kepemilikan yang syah menurut peraturan yang berlaku, yang diajukan untuk digunakan program MHR oleh pemiliknya. Pada waktu program ini mulai diluncurkan, banyak lahan milik masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar areal kerja MHP yang tidak produktif. Pada umumnya lahan tersebut tertutup oleh semak belukar atau padang alang-alang, bekas kebakaran besar tahun 1992 dan 1997 yang lalu. Pada umumnya areal tersebut sebagian direncanakan oleh pemiliknya untuk mengembangkan kebun karet rakyat. Tetapi karena keterbatasan modal dan harga karet yang selalu berfluktuasi, maka tawaran dari MHP untuk mengembangkan hutan
rakyat
A.
mangium
ternyata
mendapat
respons
yang
sangat
menggembirakan karena harga kayu A. mangium lebih stabil, bahkan cenderung meningkat di masa mendatang. Manfaat ekonomi program MHR bagi masyarakat berupa meningkatnya kesejahteraan masyarakat berkat adanya kepastian kerja dan kepastian hasil usaha, kepastian mendapat bagi-hasil atas hasil akhir dan memperoleh berbagai
122
bimbingan untuk meningkatkan keterampilan menanam. Program MHR juga memberikan manfaat sosial dengan meredam gejolak tuntutan klaim lahan usaha oleh masyarakat, dan membangun rasa memiliki (sense of belonging) terhadap hutan di sekitar mereka. Mereka dapat memiliki rasa (sense) tidak kehilangan hak atas lahan tersebut, karena mereka mendapatkan manfaat darinya. Di samping itu, dampak dua manfaat tersebut mereka terlibat di dalam proses produksi dan menghasilkan kayu (akhir rotasi). Bagi perusahaan, dapat melakukan ekspansi tanaman industri tanpa perlu melakukan ekspansi kepemilikan kawasan dan ekspansi kawasan konsesi (hak pengusahaan) atau hak kelola. Satu proses di sederhanakan dalam ekspansi luas tanaman, yaitu perusahaan tidak perlu mengurus ijin perluasan kawasan dengan pemerintah karena sudah tersedia lahan yang tidak bermasalah. Pelibatan masyarakat khususnya di dalam MHR bermanfaat bagi perusahaan karena dapat membangun sebuah kelompok kawasan hutan tanaman, sebagai sebuah unit tanpa harus ada celah kawasan bukan hutan tanaman. Keuntungan yang juga penting adalah adanya rasa memiliki oleh masyarakat sebagai stakeholder sehingga mereka dapat diajak berbagi tanggung jawab dan manfaat dalam pembangunan dan perlindungan tanaman industri. Perusahaan melakukan perlindungan hutan tanaman dari kebakaran dengan menyediakan dana, alat dan pelatihan kerja agar masyarakat dapat dilibatkan dalam memantau titik-titik api serta mampu mencegah kebakaran. Bagi pemerintah, manfaat program ini adalah meningkatnya pendapatan Pemerintah Pusat dan Daerah, meredanya konflik sosial, meningkatnya kualitas lingkungan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Mobilitas masyarakat
123
juga meningkat karena perusahaan sering memperbaiki prasarana transportasi, sebagai salah satu usaha untuk membantu memasarkan hasil-hasil Agro-Trisula. Masyarakat bertambah terampil di dalam memahami hukum karena keterlibatan mereka di dalam kedua program itu ditegaskan dengan Akta Kesepakatan. 7.2. Prinsip-Prinsip dan Aturan Main Program MHBM dan MHR Prinsip dan Aturan Main Program MHBM Beberapa prinsip-prinsip MHBM yang dikembangkan oleh perusahaan HTI PT. Musi Hutan Persada dalam pelaksanaan MHBM adalah: 1. Pemberdayaan warga masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan mengikutsertakan dalam setiap proses kegiatan pembangunan HTI dalam suatu kerja sama (kemitraan) yang saling menguntungkan. 2. Areal/wilayah lahan MHBM adalah lahan negara yang telah/pernah dikelola perusahaan, 3. MHBM dilaksanakan untuk tanaman daur ke dua, 4. Masyarakat memperoleh manfaat secara kontinyu dan berlanjut berupa: jasa kerja, jasa manajemen dan jasa produksi dan 5. MHBM dilaksanakan dengan program agribisnis trisula dan program tumpangsari. Secara rasional, program MHBM adalah sebuah pola penanaman HTI dengan tanaman Acasia. mangium yang melibatkan masyarakat. Dalam pola MHBM ini, masyarakat di ajak untuk ikut mengelola HTI yang berada di dalam kawasan konsesi peruahaan yang sebelumnya diklaim sebagai tanah leluhur
124
mereka.
MHBM berdasarkan kesepakatan yang telah disahkan menetapkan
aturan main sebagai berikut : 1. Mempekerjakan anggota masyarakat yang tergabung dalam sebuah kelompok menanam dan memelihara Akasia mangium sampai panen, di berada dalam kawasan izin hak pengusahaan HTI. 2. Kelompok masyarakat ini dipekerjakan karena semula mengklaim bahwa lahan HTI itu adalah lahan bekas marga. Mereka ini secara emosional terikat dengan lahan HTI meskipun secara legal formal tidal dapat membuktikan klaim tersebut, dan secara legal-formal pula kawasan yang diklaim itu berada di dalam kawasan konsesi. 3. Dalam melaksanakan pekerjaannya masyarakat dibayar untuk kegiatan menanam dan memelihara hingga panen yang dikerjakannya dan mendapat bagian hasil dari jasa produksi. 4. Kelompok masyarakat memperoleh jasa manajemen (management fee) atas HTI sebesar satu persen dari setiap nilai transaksi. 5. Mereka juga memperoleh pendapatan dari produksi tumpang sari dari tiga komoditas agroforestry (agrotrisula) yaitu sayuran, penggemukan ternak dan ikan. 6. Untuk menghindarkan salah pengertian yang dapat mendorong terjadinya konflik, kegiatan tersebut dilakukan dalam sebuah nota kesepahaman yang ditandatangani oleh perusahaan dengan kelompok masyarakat. Dalam pelaksanaannya di lapangan, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam program MHBM. Tahapan-tahapan pelaksanaan MHBM yang dilakukan adalah: 1) sosialisasi kegiatan kepada pihak terkait, 2) pembentukan
125
kelompok masyarakat, 3) penentuan lokasi MHBM, 4) pembuatan akta kesepakatan, 5) pelaksanaan pekerjaan, 6) penunjukan pihak ketiga, 7) program penunjang, dan 8) pembinaan dan pelatihan. Mengelola hutan bersama masyarakat merupakan konsep pengelolaan hutan tanaman industri yang dilaksanakan secara bermitra dengan masyarakat di sekitar hutan yang terkait dengan lahan hutan. Kemitraan tersebut dibuat dengan prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak. Prinsip membangun kemitraan dalam MHBM tersebut adalah untuk memberdayakan masyarakat dengan mengikut sertakan mereka dalam setiap proses kegiatan HTI. Program MHBM ini diatur pada kawasan hutan negara yang telah diterima oleh MHP dari pemerintah dengan SK Menteri Kehutanan No: 038/kpts-II/1996. Selanjutnya kemitraan antara MHP dengan masyarakat diatur menurut wilayah administrasi pemerintahan, mulai dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten. Dengan kemitraan itu maka hubungan kerjasama antara MHP dengan masyarakat akan berlangsung secara lestari, karena setiap kegiatan membangun HTI akan selalu melibatkan masyarakat dan pejabat pemerintah dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten. Dengan demikian masyarakat akan memperoleh manfaat secara lestari pula, dalam bentuk jasa kerja, jasa manajemen dan jasa produksi. Di lain pihak, dengan program itu perusahaan juga memperoleh keuntungan berupa jaminan lahan hutan yang bebas dari masalah sosial, serta jaminan kelestarian produksi dan usaha karena terciptanya hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Inilah
perbedaan
pokok
program
MHBM
dengan
PMDH,
yaitu
menempatkan rakyat dan tokoh masyarakat di sekitar hutan sebagai stakeholder
126
yang ikut menentukan dan merancang kegiatan serta memperoleh manfaat langsung dari setiap kegiatan pembangunan HTI, mulai dari penanaman, pemeliharaan dan penjagaan keamanan, serta pemanenan. Kemitraan antara perusahaan dan masyarakat dalam program MHBM tersebut diikat dengan akte kesepakatan antara MHP yang diwakili oleh Kepala Unit dengan masyarakat atas nama Kepala Desa, BPRD serta Camat, yang diwakili oleh seseorang yang ditunjuk oleh masyarakat melalui kesepakatan dalam musyawarah. Satuan pembuatan akte kesepakatan ini adalah kawasan hutan yang masuk ke dalam wilayah administrasi desa tertentu. Komponen pekerjaan HTI yang disebutkan dalam akte kesepakatan adalah pekerjaan persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian api dan penebangan. Semua Kegiatan tersebut dibuat berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang dibuat oleh perusahaan. Prinsip dan Aturan Main Program MHR Prinsip-prinsip utama dalam pelaksanaan program MHR, secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Pemberdayaan
sumberdaya
alam
(lahan)
yang
tidak
produktif
dan
pemberdayaan masyarakat yang berada di dalam dan disekitar lokasi areal HPHTI PT. MHP dengan pola kemitraan dalam kegiatan pembangunan HTI, sehingga masyarakat yang menguasai lahan dan PT. MHP akan mendapatkan keuntungan secara bersama-sama. 2. Areal kerja MHR adalah lahan masyarakat yang telah dikuasai/dimiliki baik secara defacto maupun dejure yang mempunyai bukti kepemilikan yang syah
127
menurut peraturan yang ada yang pengelolaannya dikerjasamakan dengan PT. MHP untuk dikelola menjadi HTI. 3. Masyarakat mendapat manfaat secara kontinyu dan berkesinambungan berupa jasa kerja dan bagi hasil setelah panen yang terlebih dahulu dikurangi dengan biaya operasional pembangunan HTI. Program MHR dilaksanakan pada areal yang terdapat di dalam maupun disekitar HPHTI PT. MHP yang inclave dan belum dikelola oleh PT. MHP, yang secara defacto dan dejure dikuasai oleh masyarakat dengan bukti yang syah menurut hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam program MHR, pelaksanaannya diawali dengan kesepakatan setelah beberapa kali diselenggarakan musyawarah antara MHP dengan pihak-pihak terkait dan tokoh-tokoh masyarakat. Setelah diperoleh kesepakatan, maka selanjutnya ditanda-tangani Akta Kesepakatan Mengelola Hutan Rakyat (MHR) oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini MHP berlaku sebagai Pihak Pertama diwakili oleh Kepala Unit untuk wilayah yang bersangkutan, sedangkan masyarakat diwakili Ketua Kelompok yang bertempat tinggal di dusun, talang atau desa yang bersangkutan sebagai Pihak Kedua. Selanjutnya secara formal dilakukan penandatanganan Akta Kesepakatan yang berlaku untuk satu rotasi (8 tahun). Bila kedua belah pihak puas kesepakatan dapat diperbarui. Areal milik masyarakat di dalam dan di sekitar areal kerja MHP yang tidak produktif itu dalam program MHR akan ditanami dengan tanaman HTl (A. mangium). Hasil produksi program MHR akan dibagi oleh kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Perhitungan bagi hasil tersebut didasarkan pada nilai hasil bersih, yaitu harga jual kayu dikurangi dengan seluruh biaya yang telah
128
dikeluarkan. Di dalam bagi hasil itu disepakati Pihak Pertama akan menerima 60% dan Pihak Kedua menerima 40% dari keuntungan bersih. Di dalam kerjasama itu, Pihak Pertama menyediakan modal kerja dan bimbingan teknis, sedangkan Pihak Kedua menyediakan lahan yang dimilikinya secara syah menurut hukum. Modal yang disediakan oleh Pihak Pertama digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemhuatan tanaman serta membeli bahan-bahan yang diperlukan. Pelaksanaan pembuatan tanaman tersebut sepenuhnya dilakukan oleh pemilik lahan, sehingga modal dari Pihak Pertama yang disediakan sebagai jasa kerja itu juga akan diterima oleh Pihak Kedua. Jadi manfaat yang diperoleh Pihak Kedua tidak hanya berupa uang dari bagi hasil saja, tetapi juga ada uang dari jasa kerja. Komponen pekerjaan pengelolaan HTI dalam program MHR ini meliputi kegiatan-kegiatan pembukaan lahan. penanaman, pemupukan, pemeliharaan, perilndungan hutan, penebangan dan pengangkutan kayu. Semua program MHR Disusun oleh pihak Pertama dalam bentuk Rencana Karya Tahunan, yang selanjutnya di buat surat perintah kerja (SPK) untuk pedoman pelaksanaan kegiatan di lapangan. Di samping itu. sebagai instrumen pengendalian dan pengawasan, Pihak Pertama juga membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dalam program MHR ini diatur adanya hak serta kewajiban Pihak Pertama maupun Pihak Kedua. Hak-hak Pihak Pertama adalah: 1. Membuat rencana pengelolaan pembangunan HTI. 2. Mengatur kegiatan fisik pelaksanaan seluruh komponen pekerjaan HTI menurut RKT yang telah ditetapkan. 3. Mengelola, mengawasi dan menilai hasil pekerjaan yang dilakukan oleh
129
pihak Kedua atau pihak lain dalam pembangunan tanaman HTI. Hak-hak Pihak Kedua: 1. Mengetahui rencana pengelolaan pembangunan HTI pada lahan yang diserahkan kepada Pihak Pertama. 2. Mendapatkan jasa kerja dari perlaksanaan pekerjaan pembangunan HTI yang telah dilaksanakan. 3. Apahila pelaksanaan pembangunan HTI dapat dilaksanakan oleh Pihak Kedua, maka Pihak Kedua herhak mendapatkan Surat Perintah Kerja (SPK) dari Pihak Pertarna. 4. Berhak mendapatkan hasil manfaat dari panen HTI setelah dikurangi seluruh komponen biaya produksi pembangunan HTI. Kewajiban Pihak Pertama: 1. Mengelola lahan yang telah diserahkan oleh Pihak Kedua untuk pembangunan HTI sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. 2. Memberikan hak-hak Pihak Kedua yang telah diatur dalam kesepakatan. 3. Berkewajiban secara bersama-sama dengan Pihak Kedua menjaga HTI yang telah dibangun dari bahaya kebakaran. Kewajiban Pihak Kedua: 1.
Berkewajiban menjamin keamanan lahan tersebut dari gangguan pihak lain.
2.
Mematuhi seluruh kesepakatan yang telah disetujui hersama.
3.
Menjaga dan mengamankan areal HTI yang telah dihangun.
4.
Mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan pada lahan yang telah disepakati untuk dibangun HTI dan lahan lahan di sekitarnya.
130
5.
Apabila memperoleh SPK pembangunan HTI, pihak kedua berkewajiban melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baiaksesuai dengan SOP (standart operating procedure) yang telah ditetapkan. Jasa kerja untuk setiap pelaksanaan pekerjaan pembangunan MHR dibayar
oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua sebagai imbalan alas hasil pekerjaan tersehut. Besamya jasa kerja dihitung dari harga satuan per hektar, berdasarkan BAP pelaksanaan pekerjaan. Harga satuan per hektar untuk masing-masing komponen pekerjaan ditetapkan mengikuti harga yang berlaku, biasanya ditinjau setiap tahun. Semua biaya yang telah di keluarkan oleh Pihak Pertama untuk membayar jasa kerja diperhitungkan guna menentukan besarnya bagi hasil. Hasil produksi kayu dari suatu areal kerja MHR dihitung berdasarkan hasil pengukuran kayu di tempat penimbunan (TPN), yang dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak. Hasil pengukuran ini dituangkan dalam BAP yang ditanda-tangani oleh Pihak Pertama dan Pihak Kedua. Besamya persentase hagi hasil adalah 60% untuk Pihak Pertama dan 40% untuk Pihak Kedua dari hasil hersih, yaitu hasil total dikurangi dengan biaya untuk jasa kerja. Pembayaran uang bagi hasil ini dilakukan dua tahap. yaitu Pertama sehesar 50% paling lambat 30 hari setelah pengukuran volume kayu di TPN, dan kedua 50% sisanya paling lambat 30 hari setelah kayu diterima di pabrik. Apabila terjadi hal-hal yang menyebabkan rusaknya tanaman sehingga hasil kayu akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali, maka akibatnya akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak atas segala kerugian yang timbul.
131
Oleh karena itu kalau hal semacam itu sampai terjadi, hak atas hagi hasil dapat berkurang atau hilang sama sekali. Di areal yang dikelola dengan program MHR, para pihak dapat melaksanakan program penunjang, seperti agribisnis, tumpangsari, peternakan, pemeliharaan ikan, dan sebagainya. Dalam kegiatan penunjang ini, pemilik hutan diharapkan dapat melakukannya secara mandiri. Perselisihan yang timbul di atara para pihak dalam pelaksanaan program MHR ini akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Namun apabila hal ini tidak dapat mengatasi perselisilaan, maka kedua helah pihak setuju untuk mencari penyelesaian lewat jalur hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui Pengadilan Negeri. Itulah prinsip-prinsip yang tertuang di dalam Akta Kesepakatan program MHR antara MHP dengan masyarakat di sekitarnya. Akta Kesepakatan dibuat rangkap dua bermeterai cukup, dan masing-masing mempunyai kekuatan yang sama. Hal-hal yang belum diatur di dalam akta akan dibicarakan dan dimusyawarahkan oleh para pihak, dan dibuat sebagai addendum merupakan bagian tak terpisahkan dari akta tersehut. Akta Kesepakatan program MHR tidak dapat dirubah, ditambah atau dikurangi, kecuali kalau kedua helah pihak menyetujuinya. Akta Kesepakatan ditanda-tangani oleh Kepala Unit sebagai wakil Pihak Pertama dan Ketua Kelompok sebagai wakil Pihak Kedua. Selain itu Akta kesepakatan juga ditanda tangani oleh tiga saksi dan diketahui oleh Camat dan Kepala Desa.
132
7.3. Realisasi Program MHBM dan MHR Realisasi Program MHBM Program MHBM yang dimulai pada tahun 2000 dilaksanakan pada kawasan-kawasan yang semula banyak dilanda konflik lahan. Menurut data yang ada kelompok masyarakat yang terlibat konflik lahan tersebut adalah yang berasal dari eks Marga Rambang Kapak Tengah, eks Marga Rambang Niru. Keturunan Puyang Tanah Putih, Desa Karta Dewa, Desa Karang Raja, Desa Tanjung Agung. Selanjutnya kelompok atau desa yang terlibat konflik meluas pada kelompok tani Serasan Kecamatan Talang Ubi Selatan, kelompok tani Gotong Royong Dusun Benakat, Desa Damlo, Desa Kepur, Desa Muara Enim, Talang Tumbur, Gunung Megang Dalam, Talang Jernihan, Talang Sebasah, Desa Tanjung Raman. Seluruhnya meliputi areal seluas 104 679.7 ha yang termasuk dalam wilayah 49 desa. Luas efektif untuk menanam tanaman pokok sekitar 70% atau 73 273 ha. Melalui Program MHBM gejolak sosial dapat dikendalikan dengan kesibukan masyarakat untuk bekerja dan berusaha memperoleh pendapatan. Manfaat utama MHBM yang diharapkan oleh masyarakat adalah kelestarian peluang kerja di hutan tanaman. Masyarakat yang terlibat dalam setiap kegiatan pembangunan HTI tersebut yang berasal dari penduduk desa yang bersangkutan akan menerima upah (jasa kerja) sesuai dengan tarif yang berlaku.
Disamping itu masyarakat akan
menerima jasa produksi yang dihitung atas basil panen kayu dari wilayah desa yang bersangkutan, berdasarkan basil timbangan pabrik, paling lambat 30 hari setelah kayu diterima pembeli PT. Tanjung Enim Lestari (TEL). Selanjutnya masyarakat juga menerima jasa manajemen berupa uang yang besarnya disepakati
133
berdasarkan besaran persentase tertentu sebagai imbalan dari ikatan pengelolaan areal MHBM. Hasil jasa manajemen ini diharapkan akan menjadi sumber dana yang kontinyu untuk keperluan pemerintah desa dan kecamatan untuk membangun daerahnya. Dari data perusahaan, hingga saat ini jumlah akte kesepakatan antara MHP dengan masyarakat yang telah ditanda-tangani melibatkan 56 desa. Jumlah dan rincian desa maupun masyarakat yang terlibat dalam akte kesepakatan MHBM tersebut dapat dilihat secara rinci dalam tabel 17. Tabel 17. Wilayah, kelompok masyarakat dan jumlah desa yang terlibat dalam program MHBM, tahun 2010 Wilayah Subanjeriji
Benakat
Kelompok Masyarakat 1. Eks Marga RKT I
Jumlah Desa 12 desa
2. Eks Marga Rambang Niru 3. Keturunan PT Putih
9 desa 1 desa
4. Desa Karang Raja
1 desa
5. Desa Tanjung Agung
1 desa
6. Desa Darmo 7. Kelompok Tani Serasan
1 desa 3 desa
1. Desa Kerta Dewa
10 klp
2. Kelurahan Talang Ubi Selatan 3. Kerluarahan Talang Ubi Barat 4. Warga Benakat Jumlah
12 klp 1 desa 5 desa 56 desa
Sumber: PT. Musi Hutan Persada, 2010
Program MHBM telah mampu memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Untuk itu semua kegiatan pembangunan HTI dalam program MHBM harus melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat dalam setiap kegiatan mulai dari pembersihan lahan untuk di tanam sampai pada pemanenan. Jadi secara nyata
134
kegiatan MHBM dapat dianggap sebagai perluasan lapangan kerja dan lapangan usaha yang merupakan realisasi dari usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha diaktualisasikan dari lingkup pekerjaan pembangunan HTI yaitu mulai dari penyiapan lahan, penanaman,
pemupukan,
penyiangan,
penyemprotan
pestisida,
kegiatan
pemeliharaan lainnya hingga pada pemungutan hasil kayu. Keterlibatan masyarakat ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya diharapkan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Program MHBM ini merupakan cara yang paling efektif untuk melibatkan masyarakat. Semua pekerjaan yang sebetulnya bisa dilakukan oleh perusahaan selama ini dilimpahkan pada kelompok masyarakat yang tercakup dalam program ini. Hubungan kerja ini bersifat formal dan dikukuhkan di dalam sebauah akta kerjasama yang bersifat mengikat.
Manfaat langsung yang diterima oleh
masyarakat adalah pendapatan dari bekerja pada setiap kegiatan pembangunan HTI, disamping jasa produksi dan jasa management yang telah di atur dalam kesepakatan. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, dari luasan konsesi lahan HTI milik PT. MHP sekitar 296 400 ha, terdapat sekitar 174 talang, 32 dusun, 79 desa, 17 kecamatan, dan 6 kabupaten yang berinteraksi langsung dengan wilayah PT. MHP. Dari sejumlah wikayah ini terdapat jumlah angkatan kerja yang cukup besar, yang berasal dari sekitar 28 813 kepala keluarga dengan 119 760 jiwa yang bermukim di sekitar wilayah ini. Sampai dengan tahun 2009 program MHBM yang dilakukan oleh perusahaan di bagi ke dalam 3 wilayah yang meliputi 15 unit kerja. Luas areal
135
kerja MHBM yang telah dibuat dalam akta kesepakatan formal saat ini berjumlah 61 172.72 hektar. Rincian luasan per wilayah dan jumlah Kepala Keluarga serta jumlah jiwa per unit dapat di lihat dalam tabel berikut ini. Tabel 18. Rincian luas MHBM per wilayah dan jumlah kepala keluarga dan jiwa per unit, tahun 2010 Wilayah
Luas MHBM (ha)
Wilayah 1
37 967.35
Wilayah 2
5 905.66
Wilayah 3
17 299.71
Total
61 172.72
Unit Unit 1 Unit 2 Unit 3 Unit 4 Unit 5 Total 1 Unit 6 Unit 7 Unit 8 Unit 9 Unit 10 Total 2 Unit 11 Unit 13 Unit 14 Unit 15 Total 3
Jumlah KK 1 170 5 081 1 228 926 962 9 367 2 485 3 757 2 199 1 668 1 444 11 553 1 158 1 202 5 189 344 7 893 28 813
Jumlah Jiwa 3 245 27 169 4 116 4 179 4 748 43 457 9 940 14 584 8 441 7 432 4 332 44 729 3 820 4 733 21 735 1 286 31 574 119 760
Sumber : PT. Musi Hutan Persada, 2010 Dari luasan total MHBM seluas 61 172.72 hektar tersebut dengan siklus setiap daur 7 tahun maka paling tidak sekitar 8 738.96 hektar setiap tahunnya HTI yang di tanam baru, dan sisanya 52 433,76 hektar tanaman HTI dalam pemeliharaan. Kegiatan ini menyerap ribuan bahkan puluhan ribu tenaga kerja lokal setiap tahunnya. Hasil analisis penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa jika setiap hektar tanaman HTI membutuhkan 53 HOK mulai dari persiapan lahan sampai dengan panen maka. Maka di butuhkan tenaga kerja sebanyak 3 242 154 HOK
136
per daurnya. Jika setiap orang dapat berkerja 25 hari per bulan atau 300 hari pertahun yang setara dengan 300 HOK maka setiap tahunnya untuk kegaiatan MBHM ini saja telah terserap tenaga kerja sebanyak 10 807 orang per siklus atau sekitar 1.543 orang per tahun. Jadi untuk kegiatan HTI pada program MHBM saja sudah mampu menampung 37.5% kepala keluarga dari desa-desa yang ada disekitar HTI. Saat ini di seluruh wilayah MHP terdapat lebih dari 150 orang pemborong lokal, yang melaksanakan pekerjaan pembangunan HTI untuk program MHBM, mulai dari persiapan lahan sampai dengan pemanenan hasil. Harga borongan setiap pekerjaan dari MHP ke pemborong lokal dan dari pemborong lokal ke petani secara rinci dapat di lihat pada tabel berikut ini. Tabel 19. Harga borongan pekerjaan dari MHP ke pemborong lokal dan dari pemborong lokal ke petani program MBHM di PT. MHP, tahun 2010 No.
Jenis Pekerjaan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tebas (Rp/ha) Semprot (Rp/ha) Tanam (Rp/ha) Widing I (Rp/ha) Semprot I (Rp/ha) Semprot II (Rp/ha) Singling (Rp/ha) Semprot III (Rp/ha) Pemberantasan Hama (Rp/ha) Penebangan
Borongan dari PT. MHP 200 000 - 400 000 160 000 505 000 180 000 200 000 160 000 110 000 120 000 144 000 30 000/ton
Borongan ke Petani 150 000 - 300 000 120 000 350 000 120 000 150 000 120 000 80 000 80 000 90 000 20 000/m3
Sumber : Data Lapangan, 2010 Dari Tabel di atas terlihat ada selisih harga antara pemborong lokal dan petani, selisih ini adalah biaya manajemen dan operasional di tambah keuntungan pemborong. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan pemborong lokal
137
keuntungan bersih yang mereka peroleh berkisar antara 10 – 20 persen. Setiap pemborong rata-rata memiliki anak buah (pekerja) rata-rata antara 50 – 60 orang, dengan omzet per bulan sekitar Rp60 juta – Rp100 juta. Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar dalam program MHBM secara signifikan dapat meredam gejolak sosial yang selama ini banyak terjadi. Dengan adanya jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak telah memberikan rasa nyaman di tengah-tengah masyarakat sekitar perusahaan. Masyarakat di samping mengelola usahatani pokok mereka, baik sebagai petani tanaman pangan, petani karet, petani sawit, mereka juga mempunyai peluang untuk menambah pendapatan dengan bekerja di lahan HTI milik perusahaan. Sebagian besar petani yang memiliki lahan terbatas, biasanya membagi pekerjaan di rumah tangga mereka, dimana biasanya isteri di bantu anak-anak menyadap karet atau mengerjakan kebun mereka, sedangkan suaminya bekerja di lahan HTI perusahaan MHP. Dengan 6 hari kerja per minggu, rata-rata mereka mendapat upah sekitar Rp350 000 per minggu atau sekitar Rp1 400 000 per bulan. Penambahan pendapatan ini sangat membantu petani yang ada disekitar areal MHP untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Secara global kita dapat menghitung peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar wilayah konsesi PT. MHP dengan pendekatan jasa produksi dan jasa manajemen. Secara rinci jasa produksi dan jasa manajemen yang telah diberikan perusahaan kepada masyarakat dapat di lihat dalam tabel berikut ini.
138
Tabel 20. Jasa produksi MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 - 2009 Wilayah I II III Total
2006
Jasa Produksi (Rp) 2007 2008
2009
1 452 867 350 2 498 940 518.95 1 342 667 710.53 1 144 759 455.24 98 872 480.00 65 838 551.00 348 848 068.00 482 075 300.00 1 452 869 356 2 498 942 525.95 1 790 390 266.53 1 692 675 315.24
Sumber: Divisi CSR PT. MHP, Tahun 2010 Tabel 21. Jasa manajemen MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 - 2009 Wilayah I II Total
2006 329 592 550.94 329 592 550.94
Jasa Manajemen (Rp) 2007 2008 279 591 926.40 279 591 926.40
259 096 323.41 7 230 698.00 266 327 021.41
2009 252 243 842.77 3 681 948.00 255 925 790.77
Sumber: Divisi CSR PT. MHP, Tahun 2010 Dari tabel 20 dan 21 di atas terlihat bahwa jika dihitung keseluruhan jumlah jasa produksi selama 4 tahun adalah sebesar Rp7 434 877 463.72 dan total jasa manajemen adalah sebesar Rp1 131 437 289.52, sehingga total jasa produksi dan jasa manajemen adalah sebesar Rp8 566 314 753.24. Jika jumlah kepala keluarga di sekitar kawasan MHP yang tercakup dalam program MHBM adalah 28 813 KK, maka berarti nilai yang diterima per KK dalam 4 tahun terakhir adalah sebesar Rp297 307 atau sekitar Rp74 236 per tahun. Jumlah ini tidak seberapa dan umumnya di berikan melalui kelompok. Ada beberapa kelompok yang membagikannya dalam bentuk uang, ada juga kelompok yang menggunakan uang ini untuk pembangunan fasilitas umum seperti bangunan kantor dan jalan setapak, dan ada juga beberapa kelompok yang tidak jelas penggunaannya. Secara lebih mendalam, jika kita mencermati jumlah jasa manajemen pada tabel 21, ini merupakan suatu petunjuk kepada kita bahwa berapa besar jumlah
139
uang
yang
di
transaksikan
kepada
masyarakat
setiap
tahunnya
yang
menggambarkan nilai pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam program MHBM. Misalnya pada tahun 2006 jumlah jasa manajemen yang dibayarkan adalah sebesar Rp329 592 550.94, jumlah ini adalah 1% dari jumlah transaksi yang sesungguhnya terjadi, ini berarti bahwa dalam pengelolaan manajemen HTI mulai dari penanaman sampai dengan pemanenan adalah sebesar Rp32 959 255 094. Jika kita asumsikan ada 28 813 KK, maka pada tahun 2006 setiap KK akan menerima sebesar Rp1 143 902, tahun 2007 sebesar Rp970 367 per KK, tahun 2008 sebesar Rp924 329 dan pada tahun 2009 sebesar Rp888 230.
Jika kita
asumsikan ada 10.807 setiap tahunnya, maka pada tahun 2006 mendapat sebesar Rp3 049 806 per orang, pada tahun 2007 sebesar Rp2 587 137 per orang, tahun 2008 sebesar Rp 2 464 394 per orang, dan pada tahun 2009 sebesar Rp 2 368 148 per orang. Realisasi Program MHR Sampai dengan tahun 2010 jumlah akta kesepakatan yang telah dilaksanakan dalam program MHR telah meliputi luas 9 565.53 ha, tersebar di 12 unit dan 34 blok. Program MHR dimulai pada tahun 2001 dengan luas penanaman 217.88 ha jumlah ini terus meningkat hingga tahun 2010 jumlahnya mencapai 9 565.53 ha. Luas total implementasi program MHR di masing-masing unit dan blok secara rinci dapat di lihat pada tabel 22.
140
Tabel 22. Luas total implementasi program MHR di masing-masing unit dan blok sampai dengan tahun 2010 Unit 01. Martapura 02. Merbau 03. Gemawang
04. Caban 05. Sodong
06. Lubuk Guci
07. Baung Utara 09. Semangus 10. Keruh II 13. Lantingan
14. Serai 15. Keruh I
Blok Sungai Langit Sungai Tuha Merbau I Merbau II Merbau III Banding Anyar Subanjeriji Toman I Toman II Toman III Caban Selatan Caban Utara Sodong Utara Lengi Niru Sodong Barat Sodong Selatan Baung Selatan Lubuk Guci Setuntung Baung Utara Suban Ulu Selibing Jena Keruh II Lantingan Barat Lantingan Timur Resam Ibul Lagan Serai Jernih Keruh I Koneng Total
Luas (ha) 233.53 107.38 441.27 948.23 1 076.39 692.08 148.09 537.37 224.75 452.18 22.69 122.49 31.61 236.63 49.71 289.72 266.19 64.57 161.12 453.27 486.99 134.27 264.13 19.24 602.40 65.20 4.54 8.72 122.90 53.42 985.87 28.75 101.19 128.62 9 565.53
Sumber : Musi Hutan Persada, 2010 Dibanding dengan MHBM, program MHR memang ditangani belakangan karena MHR menyangkut kegiatan penanaman, penebangan, pengangkutan dan
141
penanaman kembali yang harus dilaksanakan secara teratur dan ketat waktunya. Penebangan dan pengumpulan kayu yang teratur berkaitan dengan keterikatan MHP dengan TEL yang memerlukan bahan baku yang kontinyu untuk jumlah tertentu. Penanaman kembali areal bekas tebangan juga harus dilakukan segera setelah kayu dari bidang tebangan terangkut semua, untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan dan menghindari terjadinya pertumbuhan gulma yang berlebihan agar risiko keberhasilan pembuatan tanaman tidak semakin bertambah dan biayanya tidak meningkat. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut
maka
pelaksanaan
program MHR baru mulai ditangani lebih sungguh-sungguh setelah program MHBM berjalan lancar dan tidak lagi menghadapi kesulitan-kesulitan yang berarti. Pada tabel 16 di atas, sampai dengan tahun 2010 luas kegiatan yang telah dicapai oleh program MHR mencapai 9 565.53 ha. Kegiatan program MHR dimulai dari wilayah Subanjeriji yang persoalan sosial ekonominya memang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Program MHR merupakan implementasi salah satu butir dalam SK HPHTI yang mengamanatkan kepada perusahaan, apabila di dalam areal HTI terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, sawah, atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan dari areal kerja HTI.
Apabila lahan tersebut dikehendaki untuk
dijadikan areal HTI maka penyelesaiannya dilakukan oleh perusahaan dengan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
142
Program mengelola hutan rakyat (MHR) merupakan pengelolaan hutan tanaman lestari yang dilaksanakan secara bersama-sama antara PT. MHP dengan masyarakat yang berada di dalam/sekitar areal HTI atau juga di dalam kawasan berupa enclave melalui pola kemitraan. Program MHR telah dimulai sejak tahun 2001 dengan ketentuan sbb: 1. Menanam A. mangium pada lahan milik masyarakat di luar kawasan konsesi HTI, namun terenclave oleh hutan tanaman. Kawasan tersebut mungkin berupa belukar, kebun karet, atau pemukiman sementara. 2. Peserta MHR ada pula anggota masyarakat yang semula menanam karet, namun melihat nilai perolehan yang lebih besar dengan menanam A. mangium, dengan suka rela tanpa paksaan. mereka mengikuti program MHR. Apalagi posisi enclave memudahkan mereka mendapat bantuan dari MHP. 3. Perusahaan memberikan pinjaman kepada kelompok tani. dan memberi bimbingan usaha persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan. 4. Mereka mendapat bayaran pada setiap pekerjaan (jasa kerja), mendapat bagi hasil dart nilai bersih kayunya pada akhir daur, yaitu nilai kayu setelah dikurangi dengan biaya operasional. Bagi hasil ini adalah 60% untuk perusahaan dan 40% untuk peserta. 5. Untuk meningkatkan kemampuan dalam menanam A. mangium, diundang pula keterlibatan LSM, seperti yang dilakukan pada MHBM. Program MHR adalah program pengembangan hutan tanaman yang cukup strategis. Program ini di satu sisi menguntungkan petani, dan disisi lain juga memberi manfaat yang banyak bagi perusahaan. Petani yang selama ini memiliki
143
lahan tidur atau tidak produktif, baik berupa lahan kosong berupa alang-alang atau semak belukar, atau lahan bekas karet tua yang tidak produktif, dapat mengikuti program MHR ini. Sedangkan bagi perusahaan program ini secara tidak langsung merupakan peluang untuk memperluas tanaman pokok dengan peran serta masyarakat. Program MHR diterapkan di lahan milik dan menurut kesepakatan mereka terlebih dahulu membersihkan lahannya sehingga siap tanam, kemudian diperiksa oleh Kepala Unit barulah dibayar oleh perusahaan. Ada pemikiran untuk mempekerjakan pihak ketiga untuk menilai keberhasilan kerja, namun hal ini nampaknya akan membebani MHP sekaligus mengurangi tanggung jawab Kepala Unit. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat yang membuka 8 ha tanaman karet tuanya untuk dikonversi menjadi hutan A. mangium. Untuk pembersihan sampai siap tanam ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp500 000 - Rp750 000 per ha, bergantung kondisi lapangan dan gulma. Untuk menanam dan memupuk ia harus membayar sebanyak Rp200 000 per ha. Demikian juga untuk pekerjaan lainnya, misalnya pengendalian gulma (weeding) sebesar Rp75 000 per ha, bagi masyarakat tersebut semua pengorbanan tersebut sudah seimbang dengan yang diperolehnya dan ia dapat mengonversi kebun karet tua menjadi hutan Acacia mangium. Program MHR cukup menarik minat bagi masyarakat di sekitar hutan karena dengan program itu masyarakat dapat memanfaatkan lahannya yang menganggur,
sekaligus
memperoleh
kesempatan
kerja
dengan
bantuan
permodalan dari MHP. Dengan demikian program MHR akan menguntungkan kedua belah pihak, bahkan termasuk TEL yang akan menerima kayu dalam
144
jumlah lebih banyak. Dalam perkembangannya nanti, misalnya mulai rotasi kedua, program MHR dapat diarahkan agar sebagian hasilnya dipungut sebagai kayu pertukangan, sehingga dapat menutup kurangnya pasokan kayu yang selama ini sudah terjadi, baik untuk konsumsi domestik maupun menambah bahan baku bagi industri perkayuan di Provinsi Sumatera Selatan. Dampak positif program MHR cukup banyak dan bersifat multi-dimensi, sedangkan dampak negatifnya tidak ada. Oleh karena itu program MHR ini perlu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan diupayakan dapat didukung oleh semua pihak, tidak hanya menjadi program MHP saja. Dampak positif tersebut adalah: 1. Lahan kosong yang tak produktif selama ini dapat meningkatkan hasil kayu yang di waktu mendatang akan semakin berkurang, sedangkan di nisi lain kebutuhannya meningkat. 2. Menciptakan lapangan kerja yang cukup besar, sehingga memecahkan masalah pengangguran atau setengah pengangguran di kalangan masyarakat, baik lokal maupun transmigran yang selama ini hanya menggantungkan hidupnya pada pertanian tradisional. 3. Mengurangi risiko tcrjadinya kebakaran, yang sangat merugikan berbagai pihak, baik MHP, perkebunan, maupun masyarakat luas. 4. Meningkatkan pasokan kayu, di mana pada saat ini masalah tersebut sedang dihadapi oleh Indonesia dalam skala nasional karena hancurnya hutan akibat salah urus di masa lalu dan penjarahan pasca reformasi. Berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan yang diambil dari 60 sampel petani MHR terlihat bahwa semakin luas lahan HTI yang diusahakan
145
semakin efisien hasil yang dicapai. Hal ini terlihat dari pengelompok (kluster) luas lahan petani contoh terlihat rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan dari HTI petani peserta MHR per hektar yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan luas lahan. Keadaan ini bisa di lihat secara rinci pada tabel berikut ini. Tabel 23. Rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan dari HTI petani peserta MHR per hektar Produksi BDT (m3) (ton)
No
Kluster (Ha)
1
0- <5
129.32
54.12
2
5 - 10
142.59
3
11 - 20
4
> 20
Rata-rata
Harga/unit (Rp/Bdt)
Penerimaan (Rp/ha)
Biaya (Rp/ha)
Pendapatan (Rp/ha)
566 944.56 30 586 670.71
15 202 196.87
15 384 473.85
64.19
563 260.03 36 216 160.99
16 445 965.06
19 770 195.93
166.19
70.63
560 473.73 39 550 046.55
17 103 200.84
22 446 845.71
171.45
74.31
565 429.48 41 815 397.47
17 238 918.08
24 576 479.39
144.08
61.64
565 107.33 34 740 879.93
16 034 095.7
18 706 784.23
Sumber : Diolah dari dara lapangan, 2010 Dari tabel di atas terlihat bahwa berdasarkan hasil pengkalsteran terlihat bahwa semakin besar luasan areal petani peserta MHR, semakin besar rata-rata produksi yang dihasilkan, dan pendapatan yang di terima. Untuk petani yang mempunyai lahan di bawah 5 ha, rata-rata produksinya 129.32 m3/ha dan pendapatan sebesar Rp15 384 473.85/ha. Untuk petani dengan luas lahan antara 510 ha, rata-rata produksinya 142.59 m3/ha dan pendapatan sebesar Rp19 770 195.93/ha. Bagi petani yang memiliki lahan antara 11-20 ha produksi rata-ratanya adalah 166.19 m3/ha dengan pendapatan sebesar Rp22 446 845.71/ha. Sedangkan untuk petani yang memiliki luasan di atas 20 ha, produktivitasnya lebih tinggi lagi, dengan produksi rata-rata 171.45 m3/ha dan pendapatan sebesar Rp24 576 479.39/ha.
Adanya trend kenaikan produksi dan pendapatan seiring dengan
146
besarnya luas lahan yang dikutkan dalam program MHR, menunjukkan kepada kita bahwa semakin luas lahan (dalam satu hamparan) semakin efisien pengelolaan HTI pola MHR tersebut. Kecenderungan ini secara diagramatis dapat di lihat pada gambar berikut ini.
Produksi
m3 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
166.19 129.32
0- <5
171.45
142.59
5 - 10
11 - 20
Luas (ha)
> 20
Gambar 5. Trend kenaikan produksi rata-rata di hubungkan dengan luas
Pendapatan
Rp 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000
15,384,473.8 5
24,576,479.3 22,446,845.7 9 19,770,195.9 1 3
10,000,000 5,000,000 0 0- <5
5 - 10
11 - 20
> 20
Luas (ha)
Gambar 6. Trend kenaikan pendapatan rata-rata di hubungkan dengan luas
147
Berdasarkan hasil kajian ini ada beberapa implikasi penting yang dapat disimpulkan dari program MHR. Bagi petani kecil dengan areal yang sempit, produksi rendah karena di akibatkan beberapa hal seperti kemungkinan adanya penyelewengan penggunaan faktor produksi seperti pupuk dan obat-obatan untuk penggunaan tanaman lain atau bahkan mungkin di jual karena kebutuhan ekonomi yang mendesak. Karena luasan yang sempit dan tersebar luas, pengawasan memang menjadi lebih sulit dan biaya-biaya tertentu menjadi lebih mahal seperti pengangkutan dan penyaradan. Sedangkan untuk petani peserta MHR yang memiliki lahan yang lebih luas, dengan kemampuan ekonomi yang lebih baik, kemungkinan penggunaan faktor-faktor produksi menjadi lebih optimal sehingga produktivitas mereka menjadi lebih tinggi. Sebagai implikasi penting dari semua ini berarti semakin luas hamparan yang terintegrasi dalam pelaksanaan program MHR semakin efisien pengelolaan dan semakin tinggi produktivitsnya. Untuk itu petani peserta dengan luasan yang sempit, dengan lokasi yang berdekatan harus dihimpunan dalam satu kelompok manajemen yang satu. Sehingga di harapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani peserta MHR. Walaupun sistem ini terkadang menimbulkan perselisihan antara petani peserta yang malas dan yang rajin dengan produktivitas yang berbeda jauh, karena dalam satu manajemen pengelolaan yang hasilnya diambil rata-ratanya. Dari hasil pendapatan yang diperoleh, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di muka, bagi hasil yang ditetapkan adalah 40% untuk petani peserta MHR dan 60% untuk PT. MHP. Pendapatan rata-rata petani dan perusahaan dari pendapatan di atas secara rinci dapat di lihat pada tabel berikut ini.
148
Tabel 24. Rata-rata pendapatan per hektar petani peserta MHR, pendapatan perusahaan, dan biaya dikeluarkan serta net Profit perusahaan MHP Kluster (ha) 1 0- <5 2 5 - 10 3 11 - 20 4 > 20 Rata-rata
No.
Petani 40% (Rp/ha) 6 153 789.54 7 908 078.37 8 978 738.28 9 830 591.76 7 482 713.69
MHP 60% (Rp/ha) 9 230 684.31 11 862 117.56 13 468 107.42 14 745 887.63 11 224 070.54
Biaya MHP (Rp/ha) 4 081 843.40 4 197 050.43 3 658 036.66 3 389 882.24 3 922 146.70
Net Profit MHP (Rp/ha) 5 148 840.91 7 665 067.12 9 810 070.76 11 356 005.40 7 301 923.84
Sumber : Diolah dari data lapangan, 2010 Dari tabel di atas terlihat bahwa dari bagian pendapatan perusahaan sebesar 60% tersebut perusahaan harus menanggung biaya lain sebesar Rp3 922 146.70 yang meliputi biaya perencanaan, pemeliharaan infrastruktur dan pengawasan, biaya tidak langsung administrasi umum, dan biaya suku bunga sebesar 8%/th. Sehingga bagian 20% yang merupakan kelebihan yang diterima oleh perusahaan dari petani sebenarnya hampir sama dengan biaya yang ditanggung perusahaan tersebut. Berdasarkan analisis tersebut sebenarnya hasil pembagian antara petani dan perusahan hampir seimbang proporsinya. 7.4. Aspek Kelembagaan MHBM dan MHR Kelembagaan adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984). Berdasarkan defenisih di atas kelembagaan MHBM dan MHR adalah aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling
149
tergantung satu sama lain. Penataan institusi dapat ditentukan oleh beberapa unsur, aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Dalam kelembagaan ini tercakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Untuk itu beberapa unsur penting dari kelembagaan MHBM dan MHR yang bisa dikembangkan adalah: - Institusi yang merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat - Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar sesama yang terstruktur - Peraturan dan penegakan aturan/hukum - Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota - Kontrak atau kesepakatan - Pasar bagi produk yang dihasilkan
150
- Hak milik (property rights atau tenureship) - Stuktur organisasi yang jelas - Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Salah satu tujuan MHBM dan MHR yang utama adalah membangun model kemitraan untuk bersama-sama membangun hutan tanaman.
Disamping itu
banyak hal yang masih perlu dipelajari MHP dalam proses membangun kemitraan seperti proses demokratisasi, dinamika organisasi dan kelembagaan. Sehingga MHBM dan MHR dapat dijadikan model pemberdayaan masyarakat. Sesuai prinsip kolaborasi yang saling menguntungkan bagi perusahaan dan masyarakat karena masyarakat layak merasakan langsung manfaat pembanguan HTI. Berbagai kelembagaan masyarakat yang dilibatkan di dalam pelaksanaan MHBM diantaranya adalah Yayasan Kaffah, Koperasi Hikmah dan Pondok Pesantren Raudhatul Ulum. Perusahaan juga memberikan pinjaman untuk membiayai penanaman pohon-pohon serbaguna antara lain randu (Ceiba petandra), petai (Parka urdurata). sukun (Artocarpus altilis), melinjo (Gnetum gnemon), dan durian (Durio zibethinus). Disamping itu ada juga kelompok MHBM yang tergolong dalam Kelompok Tani Serasan yang mewakili Desa Gunung Megang dan Gunung Megang Dalam Kecamatan Gunung Megang, Kelompok Petani Jujur desa Darmo Kecamatan Lawang Kidul, Kelompok Kombat yang mewakili 6 desa, yaitu Padang Bindu, Desa Pagar Dewa, Desa Betung, Desa Rami Pasai, Desa Pagar Jati, dan Desa Hidup Baru diwilayah Kecamatan Benakat. Salah satu kelembagaan advokasi yang terbentuk adalah Forum Sebahu Sejalan Kabupaten Muara Enim yang merupakan wadah untuk mengkritisi
151
implementasi MHBM dari PT. MHP,
dimana perusahaan mendorong proses
pemberdayaan organisasi yang ada sehingga mereka mampu mandiri dan membantu mereka dalam hal permodalan. Pemerintah kabupaten berharap bahwa implementasi kemitraan oleh MHP dapat
membantu
berkontribusi
dalam
pembangunan
dan
kesejahteraan
masyarakat. Diharapkan kedepan terbentuknya suatu perencanaan dan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah untuk mendukung lembaga kemitraan antara masyarakat dengan PT. MHP. Dengan pola MHBM dan MHR sebagai salah satu strategi yang diterapkan oleh PT. MHP dalam rangka membangun dan mengelola hutan tanaman sebagai pusat unggulan kehutanan Indonesia yang dilaksanakan bersama-sama dalam bentuk kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat yang berada di dalam dan disekitar kawasan atau yang terkait dengan lahan areal pengusahaan HTI dengan prinsip saling menguntungkan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, Mendorong tumbuhnya perekonomian masyarakat desa hutan, Membantu tersedianya sarana prasarana ekonomi yang memadai serta Mendorong tumbuhnya kesadaran dan prilaku positif masyarakat dalam pelestarian sumber daya hutan guna meningkatkan pengamanan hidup.
MHBM dan MHR juga membantu tersedianya sarana
prasarana ekonomi yang memadai. Serta mendorong tumbuhnya kesadaran dan prilaku positif masyarakat dalam pelestarian sumber daya hutan guna meningkatkan pengamanan hidup pada kelompok-kelompok masyarakat.
152
Untuk kabupaten Muara Enim dengan luas 161.400 Ha yang diperuntukan bagi penanaman tanaman HTI tersebar pada 9 Kecamatan merupakan wilayah pengelolaan MHBM yang dilakukan bersama perusahaan HTI PT. MHP dengan pola atau type MHBM antara lain : Type Payung, Type Desa, type akta satu desa dengan melibatkan lebih dari satu desa, type kelompok, type berdasarkan keturunan, type Talang, dan type Keluarga. Dengan luas areal mencakup sekitar 80.000 ha. Program ini merupakan bentuk kerjasama (kolaborasi) antara pihak perusahaan bersama kelompok masyarakat untuk mengelola hutan dengan mejadikan masyarakat sebagai stakeholder dari pengelolan HTI serta bagian dari program pembinaan kemasyarakatan dari konsep Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) PT. MHP dalam pembangunan sosial masyarakat untuk meminimum konflik antara masyarakat lokal, pendatang dan perusahaan pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHHK). Dalam rangka menjawab persoalan dan tantangan yang semakin kompleks ke depan, perusahaan HTI PT. MHP telah melakukan penggalian aspirasi masyarakat melaui kegiatan Fokus Diskusi Group (FGD) dengan melibatkan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan HTI di wilayah Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muara Enim. Sampai saat ini telah dilakukan 5 kali FDG, mulai tahap satu sampai FGD tahap kelima. FGD tahap pertama dilaksanakan dengan melibatkan empat desa Eks Marga Rambang Niru yaitu Desa Jemenang, Desa Aur Duri, Desa Gemawang dan Desa Suban Jeriji. Yang dihadiri oleh 43 orang peserta yang terdiri dari utusan masyarakat, perangkat desa, pengurus MHBM desa, Pengurus MHBM Kecamatan, utusan dari pihak Perusahaan MHP. Dari penyelenggaraan kegiatan
153
FGD tersebut telah dibuat beberapa kesepakatan bersama yang terbagi dalam tiga tematik usulan aspirasi masyarakat antara lain : 1. Menyangkut Transparansi, antara lain : a. Harus adanya peta lokasi untuk kejelasan wilayah bagi masing-masing desa atau MHBM yang terkait dengan wilayah HTI. b. Harus adanya kejelasan pembagian peran dari masing-masing pekerjaan yang akan dilaksanakan dilapangan. c. Adanya transparansi dari plapon harga yang sebenarnya untuk setiap kegiatan pengelolan dilapangan dari pihak PT. MHP dan setiap plafon harga harus sama bagi masing-masing kelompok MHBM sesuai pekerjaan masingmasing. d. Setiap RO tidak boleh dikerjakan oleh karyawan PT. MHP dengan alasan apapun tanpa izin dari kelompok kerja MHBM. e. Pemotongan dan penyaluran Fee Manajemen 1% harus ketempat yang benar yaitu kelompok kerja MHBM. 2. Untuk Jasa Produksi antara lain : a. Jasa Produksi untuk daur ketiga agar ditinjau ulang kembali dan disesuaikan dengan sistim perhitungan tonase bukan per meter kibik. b. Pendistribusian Jasa Produksi harus melalui MHBM Payung. c. Jasa Manajemen Fee sebesar 1% diperuntukan hanya bagi MHBM Payung dan MHBM desa. 3. MOU terbaru Untuk Daur ke Tiga : a. Tidak perlu terlalu banyak MOU, cukup satu tetepi melibatkan 9 desa yang termasuk dalam wilayah MHBM ek Marga Rambang Niru.
154
b. Kepengurusan MHBM tingkat Desa maupun Kecamatan termasuk dalam butir-butir kesepakatan MOU. c. Pembuatan MOU harus didasari Hukum atau Notaris. d. Pembuatan MOU harus dihadirkan kedua belah pihak antara lain 9 desa terkait dan pihak PT. MHP. FGD tahap kedua dilaksanakan di desa Tebat Agung yang dihadiri oleh 40 orang peserta yang merupakan perwakilan dari 5 desa eks Marga Rambang Niru antara lain desa Tebat Agung, desa Kasih Dewa, desa Lubuk Raman, desa Tanjung Menang dan desa Gerinam. Peserta FGD tahap kedua ini terdiri dari perwakilan masyarakat, perangkat desa, pengurus MHBM desa dan MHBM Kecamatan, Pihak PT. MHP. Isu sosial yang diketengahkan adalah menyangkut pelaksanaan program MHBM belum sepenuhnya menyentuh kesemua lapisan warga masyarakat, sedangkan program pelaksanaan kegiatan MHBM dalam bentuk kemitraan dari pihak perusahaan PT. MHP belum berjalan dengan sempurna, masih banyak terjadi kesenjangan dan kecurangan yang merugikan sebahagian warga masyarakat selaku anggota MHBM yang harus mendapat tanggapan dan perbaikan dimasa yang akan datang. FGD tahap ketiga merupakan kegiatan Fokus Diskusi Group dengan melibatkan 9 desa diwilayah eks Marga Rambang Niru dalam rangka menyepakati hasil FGD pada tahap pertama dan FGD tahap kedua. Kegiatan FGD tahap IV ini merupakan kelanjutan dari kegiatan FGD sesudahnya antara lain merupakan agenda kegiatan dari Forum Sebahu Sejalan untuk memfasilitasi kegiatan MHBM di kabupaten Muara Enim.
155
Pertemuan tersebut menginventarisasi permasalahan yang terjadi dilapangan yang berdampak pada keterbatasan ruang gerak dari pelaksana staf lapangan PT. MHP dalam pelaksanaan tugasnya. Permasalahan lapangan yang terjadi saat ini disebabkan antara lain : 1. Belum berjalan kepengurusan MHBM ditingkat lapangan secara optimal 2. Masih lemahnya mekanisme kerja dari beberapa kepengurusan MHBM di tingkat lapangan. 3. Aturan-aturan dari pelaksanaan kegiatan MHBM tidak berjalan dengan baik. 4. Kurangnya pengayoman terhadap masyarakat oleh pengurus MHBM sehingga memunculkan rasa ketidak percayaan warga masyarakat terhadap kelembagaan MHBM yang ada. 5. Faktor budaya masyarakat yang belum siap untuk mengikuti perubahanperubahan. FGD tahap kelima diadakan dengan mempertemukan pihak Masyarakat eks Marga Rambang Niru dan MHBM di 9 desa kecamatan Rambang Dangku dengan pihak perusahan HTI PT. Musi Hutan Persada, bertempat di kantor PT. MHP. Dari hasil pertemuan bersama pada FGD tahap V tersebut membuahkan kesimpulan, antara lain : 1. Perlu dibangun kebersamaan dengan mengedepankan kesejahteraan bersama. 2. Menatap masa depan dengan mengambil hikmah dari kejadian masa lalu. 3. Perlunya MHBM yang solid dengan kepemimpinan dan kepengurusan yang lurus
yang
mendahulukan
kepentingan
masyarakat
banyak,
dengan
berpedoman pada AD dan ART yang disepakati. 4. Perlunya sosialisasi AD dan ART sampai tingkat desa dan pihak terkait.
156
5. PT. MHP bersedia mulai memberikan modal kerja untuk MHBM dan perhatian sosial lainnya. 6. MHBM perlu mengabil kesempatan kerja yang selama ini banyak diambil dan menguntungkan kontraktor dan pribadi tertentu. 7. MOU rotasi tahap kedua tetap disepakati apa adanya, sedangkan MOU untuk rotasi tanaman ketiga perlu dinegosiasi ulang. 8. Perlu penguatan-penguatan kelembagaan desa dan kecamatan, sumber daya manusia dan kewirausahaan melaui training, pendampingan dan model. Penguatan kelembagaan perlu menekankan pada penguatan organisasi di tingkat lokal. Proses pembangunan di masa lalu lebih memperhatikan penguatan kelembagaan di lapisan atas. Pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan bersama masyarakat dapat dilakukan melalui: 1) pemberian insentif, 2) penguatan organisasi, 3) akses terhadap informasi, 4) kepemilikan dan akses atas sumber daya terjamin, 5) ada usaha pengendalian atas tingkah laku opportunistik, dan aturan yang ditegakkan dan ditaati. 1. Pemberian Insentif Kelembagaan (institusi) hanya bisa berkembang dan berfungsi baik jika ada insentif bagi orang dan organisasi yang melaksakanannya, mentaati aturan-aturan mainnya serta mau bergabung dalam kegiatan kolektif. Hak atau kepemilikan atas sumber daya lahan dan tanah, akses kepada sumber daya, kepada informasi, aturan yang kondusif merupakan sebagian dari insentif yang bisa mendorong orang bekerja dalam pengelolaan hutan tanaman dengan kelembagaan yang baik.
157
Analisis kelembagaan harus dapat memahami insentif-insentif yang memotivasi perilaku manusia pada tempat dan waktu tertentu, dan dampak perilaku itu pada sumber daya hutan. Insentif-insentif tersebut mencakup (1) insentif yang berkaitan dengan karakteristik sumber daya, (2) insentif yang berkaitan dengan karakteristik masyarakat, dan (3) insentif yang berkaitan dengan karakteristik aturan-aturan (rules). 2. Penguatan organisasi Pengelolaan
hutan
tanaman
dan
kawasan
konservasi
memerlukan
keterlibatan masyarakat serta upaya penguatan kemampuan organisasi dan aturan yang melindungi masyarakat. Tata urutan organisasi perusahaan dan masyarakat menjadi faktor kunci dalam pengembangan pengelolaan hutan tanaman dan kawasan konservasi yang didukung oleh pemerintah dan kemauan politiknya. Organisasi di tingkat masyarakat (desa dan petani) sangat beragam bisa berkaitan dengan adat, pemerintah desa, kelompok tani, kelompok keagamaan, kelompok pemuda atau wanita (ibu-ibu). Sebagian besar organisasi ini bersifat informal namun ada aturan mainnya. Sebagian lembaga pembangunan sangat memperhatikan upaya penguatan organisasi lokal ini baik dari segi kemampuan teknis, manajemen dan administrasi organisasi. Ada pula yang membentuk lembaga baru karena ada tujuan khusus yang ingin dicapai. 3. Infrastruktur dan informasi Pengembangan institusi tidak berhasil kalau tidak ada keseimbangan informasi. Ketimpangan akses dan penguasan informasi (information asymmetry) menjadi
salah
satu
penyebab
ketimpangan
pembangunan,
ketidakadilan
158
kesejahteraan, ketidak-merataan penguasan atas bisnis dan perdagangan dan ekploitasi suatu pihak terhadap pihak lain. Pemerintah mengekploitasi masyarakat atau pengusaha mengekploitasi petani. Di dalam insitusi yang baik tidak ada ekploitasi, tetapi ada pembagian peran yang memadai dan adil tergantung pada keanekaragaman kemampuan, potensi serta fungsi yang sesuai untuk masingmasing pihak. Informasi memerlukan proses transformasi dan transfer yang memadai. Sarana dan prasarana penyebaran informasi sangat vital peranannya dalam mendukung pengembangan institusi yang baik bagi pengembangan wanatani. Petani pedesaan sering tidak memiliki informasi yang cukup dalam bidang teknologi, ragam komoditi, sumber input, informasi harga dan jalur pemasaran komoditi atau pengelolaan hutan tanaman dan konservasi yang mereka hasilkan. Akibatnya masyarakat bisa saja dieksploitasi oleh pihak manajemen perusahaan. Masyarakat desa tidak memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup tentang mekanisme harga dan pasar. 4. Status kepemilikan dan akses atas sumber daya Kepemilikan, penguasaan dan pengendalian atas sumber daya hutan akan menjadi salah satu faktor pendorong bagi petani untuk menerapkan teknologi pengelolaan hutan tanaman dan kawasan konservasi. Pengelolaan hutan bisa dikembangkan dengan baik jika seorang petani atau anggota masyarakat betul-betul merasa aman dengan status kepemilikan atau penguasana lahannya. Misalnya jika lahan tersebut milik umum masyarakat tidak berminat menanam tanaman umur panjang tetapi jika milik pribadi dia bisa
159
berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhannya termasuk menjaga keseimbangan atau memenuhi kaidah-kaidah ekologis di dalam pengelolaan lahannya. 5. Pengendalian atas tingkah laku opportunistik Tingkah laku opportunistik dapat dijabarkan dalam beberapa tindakan dan perilaku manusia atau organisasi yang bertentangan dengan tujuan baik yang diinginkan manusia. Di dalam bahasa politik dikenal istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan persoalan-persoalan ini seharusnya juga mendapat perhatian serius dalam pembanguan pengelolaan hutan dan konservasi. Teori institusi menunjukkan bahwa tindakan atau tingkah laku opportunistik termasuk perilaku menyimpang yang dapat diklasifikasikan ke dalam korupsi, penyuapan, free rider dan moral hazard. Di dalam pengelolaan kehutanan sering timbul persoalan motivasi yang disebut rent seeking motivation. Orang atau organisasi yang memiliki sifat ini cenderung ekploitatif lebih mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok semata dan mengabaikan kepentingan umum serta aspek-aspek lingkungan dari pengelolaan hutan. Pengendalian atas tingkah laku oportunistik dapat dilakukan dengan penegakan hukum dalam institusi formal dan aturan lokal dalam institusi lokal. Masyarakat dan institusi adat mempunyai hukum adat dengan sanksi atau hukuman yang cukup memadai atau efektif di masa lampau. Di dalam lingkungan sosial masyarakat sering menggunakan “hukum sosial” yang tidak tertulis tetapi berupa sikap dan tindakan yang bisa menyebabkan orang yang melanggar norma, etika dan hukum akan merasa malu dan dilecehkan.
160
Persoalan yang banyak dihadapi saat ini adalah penegakan hukum formal cenderung tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga masyarakat sering bertindak sendiri dengan menggunakan “hukum rimba”. Mekanisme informal cukup efektif, namun harus berkenaan dengan etika dan norma kehidupan. Di tingkat organisasi lokal, aturan-aturan lokal dan informal dengan sanksi dan penghargaan yang diterima secara kolektif seringkali cukup berhasil mengatasi masalah tingkah laku opportunistik.
161
VIII. GERBANG PENGENDALI KEMEROSOTAN SOSIAL
Kajian sosial dalam masalah lingkungan sebenarnya sudah dimulai sejak lama oleh para ahli ilmu sosial, dalam artikel Bernard (1922), yang berjudul The Significance of Environment as a Social Factor merupakan artikel yang pertama menguraikan tetang permasalahan lingkungan dan faktor sosial.
Selanjutnya
permasalahan diangkat lebih jauh oleh Riley Dunlap dan William Catton (1978) dalam suatu cabang ilmu sosiologi yang mereka beri nama sosiologi lingkungan. Dalam kajian tentang pengelolaan HTI yang berkelanjutan, faktor sosial yang dibahas oleh para ahli sosiologi lingkungan di atas cukup relevan untuk diterapkan dalam pengelolaan HTI berbasis masyarakat. Untuk itu judul dalam bab ini merupakan bahasan mengenai pengendalian faktor sosial dalam pengelolaan HTI yang berkelanjutan. Gerbang pengendali kemerosotan sosial di terjemahkan dari bahasa aslinya Socio-Entrophic Controlling Interface (SECI). Istilah SECI ini pertama kali di kemukakan oleh Sjarkowi (2010) dalam laporan penelitian ACIAR untuk menunjukkan pentingnya kontrol sosial dalam kerjasama kemitraan antara perusahaan dan masyarakat. Dalam pengelolaan Hutan Tanaman Industri, SECI diperlukan sebagai suatu faktor penghubung yang dapat mengontrol agar kemerosotan sosial dapat diminimalisir sehingga manfaat yang dihasikan menjadi optimal dan dalam jangka panjang pengelolaan HTI dapat berkelanjutan. Socio-Entrophic yang dimaksud adalah suatu keadaan sosial masyarakat yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi sumber konflik yang berkepanjangan dan faktor penghambat yang
162
dapat merugikan kedua belah pihak, yaitu perusahaan disatu sisi dan masyarakat disisi lain. Kerugian ini bisa dialami oleh perusahaan karena asset yang mereka miliki berupa lahan dapat di klaim oleh masyarakat sebagai milik adat mereka, teknologi, dan peralatan yang ada dapat saja dirusak atau dicuri oleh masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan iklim usaha yang tidak kondusif bagi perusahaan untuk dapat berproduksi dengan produktivitas yang optimal. Masyarakat juga mengalami kerugian, karena gangguan atau pengrusakan yang mereka lakukan dapat berakibat mereka berurusan dengan hukum, yang dapat menyita waktu, tenaga, dan biaya yang dapat merugikan mereka. Perusahaan selalu berusaha untuk meredam setiap konflik yang terjadi agar tidak meluas menjadi konflik horizontal yang lebih besar. Dalam teori konflik, menurut sosiolog Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), terdapat dua tipe dasar konflik, yaitu konflik yang realistik dan non realistik. Dalam pandangan Coser konflik dilihat secara terintegrasi sebagai dua sisi yang saling memperkuat atau memperlemah satu sama lain. Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Dalam kasus PT. MHP sengketa lahan yang berkepanjangan. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa itu, dan bila dapat diperoleh secara musaywarah mupakat, maka konflik dapat diatasi dengan baik. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik yang banyak terjadi di
163
lokasi penelitian adalah konflik tipe pertama, sedangkan konflik tipe kedua hingga saat ini belum pernah terjadi. Konflik yang realistik muncul dalam bentuk yang bervariasi antara lain sengketa lahan, kecemburuan sosial, dan jurang kemiskinan. Konflik-konflik ini telah menyebabkan terjadinya instabilitas usaha bagi perusahaan yang pernah mencapai puncaknya pada tahun 1999/2000 dan menyebabkan penurunan produktivitas dan kelangsung usaha terganggu. Dalam SECI faktor instabilitas ini dapat dikelompokkan dalam empat bagian penting yang merupakan prasayarat bagi perusahaan agar dapat berproduksi secara berkelanjutan. Pengelolan faktor SECI ini juga berpengaruh kepada kemungkinan untuk dapat meningkatkan nilai total ekonomi yang diperoleh
dengan
produktifitas.
bersinergisnya
faktor-faktor
sosial
tersebut
terhadap
Keempat faktor SECI tersebut adalah: sosial psikologi, sosial
ekologi, sosial ekonomi dan sosial budaya. Beberapa kondisi nyata yang terjadi di lapangan dari keempat komponen gerbang pengendalian kemerosotan soial atau SECI tersebut berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang menimbulkan konsekwensi berupa pelayanan teknis dan pelayanan manajemen untuk kasus di perusahaan PT. MHP secara rinci akan dijabarkan dalam tabel 25 berikut ini.
164
Tabel 25. Analisis Informasi Teknis dan Manajemen serta Pelayanan Teknis dan Manajemen SECI SECI 1. Sosial Psikologi
Informasi Teknis dan Manajemen − Adanya rasa sentimen Masyarakat − Adanya kecurigaan terhadap perusahaan − Terjadinya kerusuhan karena rasa frustasi − Konflik lahan konsesi dengan lahan eks marga − Tidak adanya pendekatan personal dan kelompok oleh perusahaan
Pelayanan Teknis dan Manajemen − Melakukan pembinaan masyarakat melalui penyuluhan dan edukasi. − Sosialisasi program MHBM dan MHR. − Adanya pendekatan personal dan kelompok melalui pelayanan umum bidang pendidikan, pelatihan dan kesehatan.
− Belum adanya edukasi bagi masyarakat 2. Sosial Ekologi
− Terjadinya kebakaran hutan, kekeringan, kebanjiran, dan erosi − Belum dilibatkannya masyarakat dalam penanganan kebakaran
3. Sosial Ekonomi
− Belum ada SOP tentang penanganan kebakaran, kekeringan, kebanjiran, dan erosi
− Dilibatkannya masyarakat dalam penanganan kebakaran
− Rendahnya kesempatan kerja dan berusaha masyarakat
− Membangun kemitraan dalam program MHBM dan MHR dengan kontrak kerjasama.
− Rendahnya pendapatan masyarakat sekitar kawasan − Kemitraan dan kerjasama belum terjalin dengan baik karena belum terbukanya akses informasi perusahaan terhadap masyarakat 4. Sosial Budaya
− Dibangunnya menara api sebagai pengendali kebakaran dan adanya bantuan bencana alam.
− Adat istiadat, prilaku, dan kebiasaan masyarakat yang kurang baik. − Belum di adopsinya kearifan lokal sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan
− Adanya SOP yang jelas utk penanganan kebakaran, kekeringan dan kebanjiran serta erosi yang dilakukan oleh perusahaan bersama-sama masyarakat.
− Adanya informasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat untuk mendapat kesempatan dan peluang yang sama dalam kerjasama ekonomi. − Mengadopsi kembali kearifan lokal dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan masyarakat sekitar kawasan. − Menfasilitasi musyawarah dan diskusi kelompok yang tergabung dalam FGD.
165
8.1. Sosial Psikologis Dalam sosial psikologi pengamatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi respon (cara bereaksi) dari sebagian besar atau kebanyakan orang dalam suatu situasi dan mengamati bagaimana situasi itu mempengaruhi respon tersebut. Faktor sosial psikologi lebih berpusat pada usaha memahami bagaimana seseorang bereaksi terhadap situasi sosial yang terjadi. Faktor ini mempelajari perasaan subyektif yang biasanya muncul dalam situasi sosial tertentu, dan bagaimana perasaan itu mempengaruhi perilaku. Situasi interpersonal apa yang menimbulkan perasaan marah, dan meningkatkan atau menurunkan kemungkinan munculnya perilaku agresi. Salah satu prinsip dasar sosial psikologi adalah bahwa situasi frustasi akan membuat orang marah, yang memperbesar kemungkinan timbulnya perilaku agresi. Akibat situasi yang menimbulkan frustasi ini merupakan salah satu penjelasan mengenai sebab timbulnya kejahatan. Hubungan itu tidak hanya menjelaskan mengapa perilaku agresif terjadi dalam situasi tertentu, tetapi juga menjelaskan mengapa faktor ekonomi dan kemasyarakatan menimbulkan kejahatan. Secara lebih lanjut informasi teknis dan manajemen berikut ini akan menggambarkan bagaimana faktor sosial psikologis ini dapat menurunkan kinerja perusahaan dan keberlanjutan pengelolaan HTI. Untuk itu pelayanan teknis dan manajemen dalam dimensi sosial psikologi ini sangat dibutuhkan untuk pengelolaan HTI yang berkelanjutan.
166
a. Informasi Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Psikologis Berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang diperoleh dilapangan sebelum SECI ini diterapkan terdapat banyak kasus yang termasuk dalam kelompok sosial psikologis ini. Diantaranya kasus sosial psikologi yang teramati adalah adanya rasa sentimen dan curiga masyarakat terhadap perusahaan, terjadi kerusuhan karena rasa frustasi masyarakat, konflik lahan yang berkepanjangan. Disamping itu secara manajemen perusahaan belum melakukan pendekatan baik secara personal maupun kelompok dan perusahaan juga belum melakukan edukasi yang baik terhadap masyarakat. Dalam kasus sosial psikologis yang terjadi di lapangan, adalah adanya sentimen masyarakat terhadap perusahaan. Sentimen ini akan menyulut banyak persoalan dalam berbagai konflik yang dengan mudah dapat timbul dan mencuat kepermukaan. Sentimen ini muncul karena tidak adanya rasa memiliki masyarakat terhadap keberadaan perusahaan. Pemicu rendahnya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yang sempat teramati adalah tidak dilibatkannya
masyarakat
dalam
kegiatan
ekonomi
produktif,
sehingga
masyarakat tidak dapat merasakan manfaat langsung dari keberadaan perusahaan. Aktifitas perusahaan dengan mobilitas yang tinggi dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat dapat menimbulkan ketimpangan yang besar, yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang tinggi. Sebagai contoh lalu lalangnya kendaraan dinas perusahaan yang bagus dan mahal, telah membangkitkan angan-angan masyarakat. Terkadang mereka ingin
167
ikut menumpang, namun tidak ada keberanian dan kesempatan.
Sikap sopir
perusahaan yang sombong, ditambah debu berterbangan yang ditimbulkan oleh kendaraan yang lalu lalang di jalanan dapat memperbesar sentimen masyarakat terhadap perusahaan. Rasa sentimen negatif ini jika tidak dikelola secara baik dalam kondisi sosial psikologis yang nyaman, tentu akan menurunkan produktivitas secara umum dan berdampak pada menurunnya nilai ekonomi. Hal ini dalam jangka panjang akan menjadi hambatan bagi keberlanjutan perusahan dimasa mendatang. Rasa curiga masyarakat yang berlebihan akan melahirkan prasangka buruk masyarakat sekitar kawasan konsesi terhadap keberadaan perusahaan. Ketakutan yang berlebihan menyebabkan masyarakat lebih bersifat protektif dan menutup diri, sehingga kebaikan apapun yang dilakukan oleh perusahaan selalu direspon negatif oleh masyarakat. Masyarakat sekitar merasa pada saatnya nanti lahan usaha mereka saat ini juga akan diambil oleh perusahaan untuk ditanami akasia. Pada kasus yang lain, penduduk yang menganggur berduyun-duyun datang ke perusahaan HTI untuk mendapatkan pekerjaan, mereka akan mengalami frustasi, bila ternyata mereka sulit mendapatkan pekerjaan, mereka tidak dapat membeli apa yang mereka inginkan, tidak dapat hidup layak seperti yang mereka bayangkan. Dan frustasi ini merupakan sebab utama munculnya sebagian besar perilaku kriminal. Dalam sosial psikologi biasanya juga menyangkut perasaanperasaan subyektif yang ditimbulkan situasi interpersonal, yang kemudian mempengaruhi perilaku individu. Dalam kasus ini situasi frustasi menimbulkan kemarahan, yang kemudian menyebabkan timbulnya perilaku agresif.
168
Berdasarkan data lapangan konflik lahan konsesi terjadi secara berlarutlarut dan berkepanjangan dengan masyarakat hingga tahun 2000. Masyarakat mengklaim bahwa lahan konsesi perusahaan saat ini sebagaian besar adalah lahan eks
marga
yang
secara
adat
mereka
berhak
untuk
mengelola
dan
mengusahakannya. Keadaan di atas diperparah oleh ketidak pedulian perusahaan terhadap kondisi masyarakat sekitar, baik melalui pendekatan personal maupun kelompok. Tidak adanya edukasi bagi masyarakat sekitar kawasan tentang perusahaan, menambah kesalahpahaman semakin besar. Dari data yang ada tidak kurang sekitar 20 kerusuhan per tahun yang terjadi mulai dari skala kecil hingga sedang yang memakan kerugian dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Puncak kerusuhan terjadi pada tahun 1999/2000 yang telah menyebabkan amuk massa dengan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah. b. Pelayanan Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Psikologis Belajar dari pengalaman masa lalu, perusahaan mencoba menata kembali pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, dengan menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Untuk sejak tahun 2000 perusahaan
mulai
melakukan
pelayanan
teknis
dan
manajemen
untuk
memperbaiki dimensi sosial psikologis masyarakat sekitar kawasan konsesi dengan melakukan pembinaan masyarakat melalui penyuluhan dan edukasi, sosialisasi program MHBM dan MHR, dan melakukan pendekatan personal dan kelompok melalui pelayanan umum bidang pendidikan pelatihan dan kesehatan.
169
Pembinaan masyarakat yang telah dilakukan oleh prusahaan diantaranya adalah pengembangan tumpang sari dalam HTI dengan program agrotrisula. Pembinaan usahatani karet, dan tanaman palawija. Penyuluhan dan edukasi yang telah dilakukan oleh perusahaan adalah tentang sanitasi dan kesehatan, serta peluang usaha ekonomi produktif yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang menunjang kebutuhan perusahaan. Sosialisasi program MHBM dilakukan dengan musyawarah desa, dimana masyarkat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan, baik sebagai pekerja maupun sebagai pemborong pekerjaan yang diikat dengan akte kesepakatan. Sosialisasi program MHR dilakukan sedemikian rupa untuk masyarakat yang memiliki lahan kosong yang menganggur atau tidak produktif, perusahaan bersedia mengelola lahan tersebut untuk ditanami akasia dengan perjanjian bagi hasil dan semua biaya ditanggung oleh perusahaan. Pendekatan personal dan kelompok dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan bantuan pelayanan di bidang pendidikan, pelatihan dan kesehatan. Bantuan dibidang pendidikan yang telah dilakukan oleh perusahaan adalah pemberian beasiswa kepada 100 orang mahasiswa dan 100 orang pelajar SLTA, pembangunan 7 unit gedung SD dan SMP, penyediaan honor guru SD dan SMP, bantuan buku pelajaran dan seragam sekolah bagi pelajar yang kurang mampu. Dalam bidang kesehatan masyarakat dapat berobat dan memerikasakan diri di klinik perusahaan.
170
8.2. Sosial Ekologi Dalam pandangan konsep ekologi yang mendalam, tidak ada pemisahan antara manusia atau apapun dari lingkungan alamiah. Dalam konteks ini dunia dilihat sebagai kumpulan objek-objek yang tak terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain secara fundamental. Pandangan sosial ekologi mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan memandang manusia sebagai salah satu untaian dalam jaringan kehidupan. Secara lebih lanjut informasi teknis dan manajemen mengenai dimensi sosial ekologi berikut ini akan menggambarkan bagaimana faktor sosial ekologi dapat menurunkan produktivitas perusahaan dan keberlangsungan produksi dalam jangka panjang. Untuk itu pelayanan teknis dan manajemen dalam dimensi sosial ekologi ini sangat diperlukan untuk pengelolaan HTI yang berkelanjutan. a. Informasi Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Ekologi Berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang diperoleh dilapangan terdapat banyak kasus yang termasuk dalam kelompok sosial ekologi ini. Diantaranya kasus sosial ekologi yang teramati adalah terjadinya kebakaran hutan, kekeringan, kebanjiran, dan erosi.
Belum dilibatkannya masyarakat dalam
penangan kebakaran hutan. Disamping itu secara manajemen belum ada SOP dari perusahaan tentang penanganan kebakaran, kekeringan dan kebanjiran serta erosi. Prilaku masyarakat sekitar kawasan konsesi yang sudah mentradisi selama ini dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat menjadi ancaman bagi perusahaan. Kasus sosial ekologi yang sering terjadi adalah kebakaran hutan. Hal
171
ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang kurang baik selama ini dalam membuka lahan. Dalam membuka lahan pertanian, masyarakat terbiasa dengan sistem tebas, tebang, dan bakar. Hal ini seringkali menyebabkan api menjalar dari kebun masyarakat ke lahan HTI yang ada diksekitarnya. Kebiasaan merokok yang kurang baik juga sering menjadi pemicu kebakaran HTI. Pada musim kemarau umumnya di bawah lahan HTI banyak sekali terdapat serasah kering yang cukup tebal, serasah kering ini mudah sekali terbakar akibat putung rokok yang dibuang sembarangan oleh masyarakat. Kebiasaan lainnya adalah cara mengambil madu lebah pada malam hari yang menggunakan obor, hal ini juga sering menjadi penyebab kebakaran hutan tanaman yang ada di wilayah perusahaan MHP. Berdasarkan data lapangan sebelum tahun 2000, dimana kontrol faktor sosial ekologi belum dijalankan secara baik, terjadi 50 – 100 kasus kebakaran hutan setiap tahunnya dengan luas antara ratusan sampai ribuan hektar, dan kerugian antara Rp5 – Rp25 miliar per tahun. Masih banyaknya lahan kosong dan lahan-lahan marjinal disekitar kawasan pada tahun 2000 ke bawah, sering menyebabkan banjir dan erosi pada musim penghujan, terutama desa-desa yang dekat dengan aliran sungai, dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini disebabkan gundulnya hutan yang ada disekitar wilayah konsesi, sedangkan penanaman HTI belum berjalan optimal. Kondisi sosial ekologis yang terjadi akibat kebiasaan kurang baik masyarakat terhadap kerusakan ekologi saat ini harus dilakukan dengan baik dengan membangunan kemitraan antara perusahaan dan masyarakat yang dapat
172
menimbulkan rasa memiliki masayarakat yang tinggi, jika keberadaan perusahaan telah memberikan kontribusi yang tinggi terhadap kesejahteraan masyarakat. b. Pelayanan Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Ekologi Belajar dari kasus kebakaran hutan yang sering terjadi, perusahaan mencoba menata kembali
pengelolaan
hutan
yang
berbasis
masyarakat,
dengan
menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Untuk itu sejak tahun 2000 perusahaan mulai melakukan pelayanan teknis dan manajemen untuk memperbaiki dimensi sosial ekologi masyarakat sekitar kawasan konsesi dengan dibangunnya menara api sebagai pengendali kebakaran dan adanya bantuan bencana alam, dan adanya SOP yang jelas utk penanganan kebakaran, kekeringan dan kebanjiran serta erosi yang dilakukan oleh perusahaan bersama-sama masyarakat. Untuk mengantisipasi merembetnya kebakaran dilakukan dengan membuat sekat bakar di setiap blok. Pada musim kemarau regu pengendalian api disiagakan selama 24 jam dengan tiga shift. Regu pengendalian api diambil dari masyarakat sekitar yang dikontrak selama musim kemarau saja. Saat ini PT. MHP mempunyai 15 unit satuan khusus pengendalian kebakaran, dimana setiap unit membawahi areal seluas 10.000 – 15.000 hektar. Perusahaan hingga saat ini telah membangun sebanyak 41 menara api setinggi 25 meter dengan luas peliputan 3000 – 5000 hektar untuk membantu deteksi dini terjadinya kebakaran. Perusahaan hingga saat ini telah membentuk satuan pengendalian api yang memperkerjakan masyarakat sekitar, yang di kontrak dan dipekerjakan pada
173
musim kemarau yang rentan terhadap kebakaran. Satuan pengendalian dilatih dan dilengkapi dengan peralatan standar untuk pengendalian api. Dalam penanggulangan kebakaran PT. MHP mempunyai SOP yang jelas. Jika terjadi kebakaran pos komando akan memberi tanda peringatan pada semua satuan pengendalian api. Melalui radio komunikasi pos komando memerintahkan segera pemadaman api dengan peralatan tangan. Pada waktu yang sama pos komando juga memerintahkan kepada satuan khusus pengendali api dengan peralatan beratnya untuk bersiaga bila kebakaran yang terjadi tidak dapat dikendalikan oleh regu pengendali api yang ada. Pendekatan masalah sosial ekologi ini harus mulai diatasi dengan kolaborasi yang sungguh-sungguh antar sektor dan antara masyarakat serta pemerintah. Langkah-langkah ini sebagai persiapan untuk meningkatkan nilai ekonomi HTI dalam menyongsong perdagangan karbon sebagai upaya penanggulangan dampak perubahan iklim dan pemanasan global. Strategi yang berbasis komunitas dengan memperhatikan posisi masyarakat dalam tata sosial ekologi dengan keuntungan ekologis bagi masyarakat. Dalam aspek sosial ekologi ini upaya yang dilakukan untuk tujuan peningkatan produktivitas hutan tanaman dan untuk keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi mendatang. Dengan demikian jelas bahwa aspek sosial ekologi merupakan keseimbangan antara daya dukung ekologi dan pemanfaatan yang bijak dari sumberdaya alam, yang merupakan keharusan demi memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan. Perlu disadari bahwa perubahan sosial ekologis akan membawa perubahan ekonomi jangka panjang. Selanjutnya dibutuhkan pembelajaran bersama untuk
174
mengurus pemenuhan syarat sosial ekologis wilayah konsesi perusahaan sebagai bentuk pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan. 8.3. Sosial Ekonomi Dari sisi sosial ekonomi, perusahaan HTI sudah semestinya berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan, karena aktivitas perusahaan yang luas dapat menimbulkan peluang berbagai aktivitas ekonomi bagi masyarakat sekitar. Aktivitas angkutan, perdagangan, warung dan lain-lain dapat tumbuh karena terdapat aktivitas yang melayani kebutuhan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan HTI. Perusahaan HTI cukup berpengaruh dan harus betul-betul mempunyai komitmen yang kuat terhadap perluasan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat tempatan yang terkait dengan kegiatan pengelolaan di hutan tanaman mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga penebangan kayu, dan pengangkutan kayu ke pabrik pengolahan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan yang baik akan sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perusahaan HTI. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat terkait dengan penyediaan lapangan kerja yang luas, serta munculnya
wirausaha
baru
yang
melayani
kebutuhan
perusahaan
dan
perkembangan daerah yang kian maju. a. Informasi Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Ekonomi Berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang diperoleh dilapangan sebelum SECI ini diterapkan terdapat banyak kasus yang termasuk dalam kelompok sosial ekonomi ini. Diantaranya kasus sosial ekonomi yang teramati
175
adalah rendahnya kesempatan kerja dan berusaha masyarakat, rendahnya pendapatan masyarakat sekitar kawasan, kemitraan dan kerjasama belum terjalin dengan baik karena belum terbukanya akses informasi perusahaan terhadap masyarakat. b. Pelayanan Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Ekonomi Belajar dari kasus kebakaran hutan yang sering terjadi, perusahaan mencoba menata kembali
pengelolaan
hutan
yang
berbasis
masyarakat,
dengan
menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Untuk itu sejak tahun 2000 perusahaan mulai melakukan pelayanan teknis dan manajemen untuk memperbaiki dimensi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan konsesi dengan membangun kemitraan dalam program MHBM dan MHR dengan kontrak kerjasama, adanya informasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat untuk mendapat kesempatan dan peluang yang sama dalam kerjasama ekonomi. Penyediaan lapangan kerja di perusahaan MHP dirumuskan secara rinci dalam Standard Operating Procedures (SOP) untuk setiap pekerjaan, mulai pekerjaan di persemaian sampai penebangan. Dengan adanya SOP ini semua pihak mempunyai informasi yang sama dan kesempatan yang sama untuk setiap aktivitas pembangunan HTI.
Dampak adanya SOP ini bermunculan banyak
pemborong atau kontraktor baru yang berasal dari masyarakat lokal. Dalam setiap pekerjaan yang dikontrakan, kontraktor akan menerima SPK (surat perjanjian kerja) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan menerima BAP (berita acara pemerikasaan).
Pembayaran hasil pekerjaan di
176
dasarkan pada BAP yang dihitung dari volume pekerjaan dikalikan upah per satuan volume, dikurangi penalti.
Sebagai gambaran, untuk pekerjaan
penebangan di wilayah Lematang dana yang di bayarkan ke kontraktor pada tahun 2003 sejumlah Rp2 miliar lebih. Deskripsi ini menunjukkan bahwa perusahaan telah memberikan pasokan dana yang cukup besar ke masyarakat atas semua pekerjaan yang dapat dikontrakkan, mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pengendalian gulma, pemangkasan cabang, penebangan, pemuatan kayu ke truk, hingga transportasi kayu ke pabrik. Disampig itu perusahaan juga membayar dana ke masyarakat untuk sewa kendaraan dan alat-alat produksi. Selama tahun 2003 jumlah dana yang dibayarkan ke masyarakat mencapai Rp8 miliar lebih. Keberadaan PT. MHP juga telah menciptakan Peluang bisnis atau usaha baru, yaitu berupa toko dan warung makan. Sejak keberadaan PT. MHP dengan segala aktivitasnya, telah bermunculan warung-warung makan yang melayani kebutuhan karyawan perusahaan dan sopir truk logging. Dari hasil kajian ratarata warung makan yang ada di wilayah ini setiap harinya mencapai omzet antara Rp500 ribu sampai Rp1 juta.
Munculnya peluang usaha baru tersebut telah
berhasilkan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, PT. MHP sebagai badan usaha yang bergerak di sektor kehutanan, khususnya hutan tanaman industri dengan tanaman utamanya Acacia mangium telah melakukan manajemen hutan secara berkelanjutan guna menjaga kelestarian alam. Seiring dengan kemajuan Ilmu dan Teknologi, pemanfaatan sumberdaya yang optimal perlu dilakukan dalam memenangkan persaingan industri dan pasar global. Demikian juga dengan PT. Musi Hutan Persada (MHP),
177
yang selalu melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam mencapai kunggulan kompetitif (competitive advantage) dan meningkatkan devisa. Selain itu PT. MHP berupaya meningkatkan produktifitas lahan, kualitas lingkungan hidup dan memperluas lapangan usaha secara terus menerus sesuai dengan tujuan pengusahaan hutan tanaman industri. Disamping itu dalam upaya mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan (sustainable forest management) salah satu upaya yang akan dilakukan oleh PT. MHP adalah meningkatkan nilai tambah (value-added) Acacia mangium, yaitu dengan cara melakukan diversifikasi produk berbasis Acacia mangium. Produk kayu Acacia mangium dari MHP selama ini hanya diperuntukkan untuk industri pulp dan kertas, yaitu memasok kebutuhan kayu bulat PT. Tanjung Enim Lestari (TEL); pasar monopsonis. Kini MHP berencana untuk mengembangkan menjadi beberapa produk, yaitu bahan bangunan, kayu gergajian kayu olahan (KGKO), produk furniture, plywood, moulding, MDF, papan partikel, arang industri (charcoal) atau arang aktif, bahan perekat dari ekstrak tanin kulit kayu dan produk-produk turunan lainnya. Dalam melakukan pengembangan produk dan usahanya PT. MHP masih memiliki peluang yang sangat besar. Hal tersebut tampak dari rencana produksi kayu yang stabil dan terus meningkat yaitu sekitar 2.5 juta m3/tahun pada tahun 2004 dan 2005. Dengan demikian, dari sisi sumber bahan baku utamanya, yaitu kayu A. Mangium, PT. MHP tidak kekurangan, bahkan masih berlebih dan belum termanfaatkan secara optimal, karena sudah melebihi target kapasitas yang dipasok ke PT. Tanjung Enim Lestari (TEL), yaitu rata-rata sebesar 2.25 juta m3/tahun atau setara dengan 500 ribu ton/tahun pulp dan kertas sedangkan
178
kemampuan produksi PT. MHP sebesar 4.5 juta m3/tahun dengan luas hutan tanaman 193 500 ha. Dengan demikian ada kelebihan produk sebesar 2.25 juta m3/tahun yang dihasilkan PT. MHP (PT. MHP, 2004). Berdasarkan data PT. MHP (2004), dengan memasok bahan baku pulp dari kayu-kayu yang berdiameter kecil ke PT. TEL, PT. MHP hanya memperoleh US $30-35/m3, sedangkan apabila dilakukan diversifikasi produk maka diduga dapat diperoleh pendapatan bernilai lebih dari US $200/m3 atau setara Rp 1.8 juta/m3, bahkan bisa mencapai lebih dari US $ 300/m3, misalnya untuk kayu perkakas atau produk furniture lainnya. Oleh sebab itu, sangat disayangkan apabila kayu berdiameter besar 30 cm dicacah kecil-kecil hanya untuk dijadikan pulp, karena selain tidak efisien, hal tersebut merupakan pemborosan. Oleh karena itu, tujuan dari diversifikasi produk tersebut adalah untuk meningkatkan nilai tambah, baik secara ekonomi maupun produksi, melakukan pengembangan komoditas dan untuk memperkuat kompetensi pemasaran, serta menciptakan produk yang ramah lingkungan, yang mempunyai tanggung jawab sosial (social responsibility) yang tinggi. Dengan demikian diversifikasi produk tersebut diharapkan dapat menunjang Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan (sustainable forest management) yang dicita-citakan perusahaan. 8.4. Sosial Budaya Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah
179
suatu pola hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak prilaku masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan tanaman perusahaan MHP. a. Informasi Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Budaya Berdasarkan informasi teknis dan manajemen yang diperoleh dilapangan sebelum SECI ini diterapkan terdapat banyak kasus yang termasuk dalam kelompok sosial budaya ini. Diantaranya kasus sosial budaya yang teramati adalah adat istiadat, prilaku, dan kebiasaan masyarakat yang kurang baik serta belum di adopsinya kearifan lokal sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Dalam faktor sosial budaya, kajian dalam penelitian ini tidak terlepas dari kondisi sosial budaya masyarakat sekitar yang telah tumbuh dan berkembang secara turun-temurun selama ini. Salah satu budaya yang berkembang selama ini adalah budaya yang berkembang dalam sistem pemerintahan marga. Dalam pemerintahan marga berkembang pola budaya yang dikenal dengan istilah “Simbur Cahaya” yang segala sesuatu diputuskan berdasarkan musyawarah dengan mengedepankan kearifan lokal. Bubarnya pemerintahan marga dan masuknya investor telah menyebabkan terkikisnya budaya marga dan kearifan lokal tersebut. Hilangnya elemen budaya dan kearifan lokal tersebut akan berdampak luas terhadap keberlanjutan usaha hutan tanaman saat ini. Dari kajian Sjarkowi (2010) di perkirakan dari sekitar 100 orang pemuda yang bersekolah kekota, hanya sekitar 20% yang dapat pekerjaan dan
180
penghidupan di kota.
Sisanya 80% terpaksa kembali ke desa karena tidak
mendapat lapangan kerja di kota.
Mereka yang terdidik ini, tetapi tidak
mempunyai pekerjaan mulai mencari celah untuk mengklaim tanah-tanah perusahaan dengan alasan bahwa itu adalah tanah marga, milik nenek moyang mereka. Prilaku seperti ini jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan permasalahan bagi perusahaan. b. Pelayanan Teknis dan Manajemen dalam Dimensi Sosial Budaya Belajar dari pengalaman masa lalu, perusahaan mencoba menata kembali pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, dengan menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Untuk sejak tahun 2000 perusahaan
mulai
melakukan
pelayanan
teknis
dan
manajemen
untuk
memperbaiki dimensi sosial budaya masyarakat sekitar kawasan konsesi dengan mengadopsi kembali kearifan lokal dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan masyarakat sekitar kawasan, serta menfasilitasi musyawarah dan diskusi kelompok yang tergabung dalam FGD untuk. Dengan demikian, aspek sosial budaya menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain. Kondisi sosial budaya sangat erat hubungannya dengan prilaku masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh budaya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri, yang disebut dengan istilah Cultural-Determinism.
181
Tata nilai sosial budaya dapat diartikan sebagai pola cara berpikir atau aturan-aturan yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan tingkah laku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pada cara berpikir itu tumbuh berkembang dan kokoh sebagai pedoman dalam bertingkah laku dalam masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan kesejahteraan termasuk gairah masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di wilayah mereka. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus didorong sehingga dapat menciptakan sinergitas yang handal bagi upaya bersama membangun HTI di masa mendatang. Selanjutnya implementasi Sustainable Forest Management yang meliputi kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial ekonomi dan budaya. Kelestarian fungsi produksi meliputi kelestarian sumberdaya, kelestarian hasil hutan dan kelestarian usaha. Dilain pihak kelestarian fungsi ekologi/lingkungan meliputi kelestarian kualitas lahan dan air serta kelestarian keanekaragaman hayati, sedangkan kelestarian fungsi sosial ekonomi dan budaya meliputi kelestarian akses dan kontrol komunitas, kelestarian integrasi sosial dan budaya serta kelestarian hubungan tenaga kerja. Ketiga hal di atas, menjadi area kompetensi dari PT. MHP dalam menjalankan usahanya. Dalam menjalankan manajemen perusahaan, PT. MHP berorientasi pada community profit oriented dimana lingkungan dan pemberdayaan masyarakat tidak dipandang sebagai biaya bagi perusahaan, namun menjadi unsur penting dalam menjalankan usahanya. Untuk itu, perusahaan menerapkan sustainable
182
forest management bagi hutan industrinya. Penerapan prinsip tersebut juga dilakukan dalam upaya memenuhi permintaan pasar terhadap produk ecolabelling. Ditinjau dari prospek investasi dan analisis finansial ekonomi hutan tanaman serta aspek modal dan teknologi yang dimiliki PT. MHP masih sangat memungkinkan untuk mengembangkan produk dan unit usahanya, salah satunya melalui diversifikasi produk. Hal tersebut tampak dari pendapatan tegakan Acacia mangium sejak umur komersial (4–8 tahun) untuk bahan baku pulp. Untuk itu perlu dikaji lebih mendalam prospek pengembangan usaha melalui diversifikasi produk tersebut.
183
IX. VALUASI EKONOMI BEBERAPA POLA PENGUSAHAAN HTI
Sumberdaya hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan merupakan aset multiguna yang tidak hanya menghasilkan produk kayu dan produk turunan lainnya, tetapi juga memiliki nilai-lain (non use) seperti pencegah erosi dan banjir, pelindung tanah, pelindung panas, pemecah angin dan juga sebagai habitat bagi satwa yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat hutan tidak hanya manfaat eksploitasi (saat hutan ditebang) tetapi juga banyak memberikan manfaat saat berdirinya tegakan (manfaat konservasi). Secara ekonomi nilai manfaat langsung dari penebangan kayu hanya memberi kontribusi 5% - 7% dari seluruh manfaat hutan (Darusman dan Simangunsong, 2003). Fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan berperan lebih besar, antara 93% - 95%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keberadaan hutan bukan hanya terkait dengan manfaat bagi pemilik dan/atau pengelolanya, tetapi juga bagi masyarakat sekitar, wilayah, nasional, bahkan global. Nilai (value) merupakan harga yang diberikan seseorang terhadap barang atau jasa hutan tanaman yang dibutuhkan pada tempat dan waktu tertentu. Dengan demikian nilai ditentukan oleh waktu, berapa barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk mendapatkan barang atau jasa yang diinginkannya berbeda dari waktu ke waktu. Sedangkan penilaian (valuation) menurut Davis and Johnson adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan
184
metodologi untuk mendapatkan nilai suatu barang dan jasa. Dengan demikian penilaian kegiatan pembangunan hutan tanaman industri berarti harus dilakukan dengan membangun konsep dan metodologi yang rasional. Selama ini pengertian pembangunan berkelanjutan di sektor kehutanan lebih condong melihatnya dari sudut pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai keberlanjutan pertumbuhan ekonomi secara makro, yaitu hanya melihat keuntungan ekonomi (berapa rupiah) yang akan diperoleh apabila menanamkan investasi di sektor kehutanan. Kemudian keuntungan dari usaha tersebut menjadi modal untuk investasi di bidang non-kehutanan yang akan memberikan keuntungan lebih besar. Keuntungan investasi di sektor kehutanan seharusnya dipergunakan untuk membangun/merehabilitasi hutan supaya tetap terjaga. Penilaian peranan ekosistem hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, karena melibatkan berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain. Tidak hanya faktor teknis akan tetapi juga faktor sosial dan politik. Menurut Munasinghe dan McNeely (1987), nilai kegiatan konservasi hutan sangat tergantung pada model pengelolaannya. Dengan kata lain nilai konservasi hutan tidak hanya ditentukan oleh faktor abiotik, biotik dan ekonomi, tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelolanya. Secara sederhana, nilai ekonomi total (TEV) dapat dibagi dua yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai bukan penggunaan (non use value).
Nilai
penggunaan adalah nilai yang timbul oleh karena adanya penggunaan barang dan jasa dari hutan tanaman industri. Nilai kegunaan terdiri atas kegunaan langsung (direct value) dan kegunaan tak langsung (indirect value). Kegunaan langsung
185
yaitu barang dan jasa yang bisa dinikmati/dimanfaatkan secara langsung yang disediakan oleh hutan tanaman industri, misalnya: hasil kayu, hasil non kayu, rekreasi dan turisme, pendidikan dan penelitian, obat-obatan, dan lain sebagainya. Sedangkan kegunaan tidak langsung adalah benefit yang dapat dinikmati dimana benefit tersebut didukung oleh jasa hutan tanaman industri tersebut dalam proses produksinya. Nilai kegunaan yang disebabkan oleh nilai pilihan menyangkut penggunaan masa depan hutan tanaman industri. Hal ini menyangkut keinginan masyarakat mempertahankan ekosistem hutan tanaman dengan harapan dapat menikmati fungsi dan jasanya di masa yang akan datang. Sedangkan nilai bukan kegunaan adalah nilai yang berasal dari keinginan yang tulus, agar keneradaan hutan tanaman dapat lestari dan berkelanjutan. Pearce dan Moran (1994), mengingatkan bahwa nilai ekonomi total yang didapat dari formula diatas, sebenarnya tidaklah benar-benar nilai ekonomi total, masih jauh lebih besar lagi. Alasannya adalah pertama, nilai tersebut masih belum mencakup seluruh nilai hutan kecuali nilai ekonominya saja, dan kedua, banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total tidak dapat dihitung dengan formula sederhana karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya jauh lebih besar dari nilai fungsi tunggal. Disamping itu hutan juga mempunyai fungsi serbaguna yaitu sebagai penghasil kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung kehidupan liar, penghasil makanan, jasa lingkungan, penyerapan gas CO2, tempat wisata, dan lain-lain. Namun demikian semua ahli mengakui sangatlah sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut satu sama lain secara tegas karena fungsi tersebut berinteraksi secara dinamis.
186
Pembahasan mengenai penilaian manfaat ekonomi yang akan diuraikan dalam bahasan ini dilakukan jika faktor SECI yang telah diuraikan dimuka dapat dikontrol dengan baik. Hal ini berarti bahwa keberhasilan pengelolaan faktor SECI, seperti sosial psikologis, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya secara faktual sangat mempengaruhi nilai ekonomi total yang dihasilkan. Nilai ekonomi total dapat dikelompokkan dalam lima kategori, yakni manfaat langsung (direct use values), Manfaat tak langsung (indirect use values), manfaat opsional (option values), manfaat kebanggaan (bequest values), dan manfaat keberadaan (existance values) dari ekosistem hutan tanaman industri. Perhitungan nilai ekonomi total tersebut secara ringkas penjabarannya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Nilai Ekonomi Total (TEV) Hutan Tanaman Industri
Nilai Guna Langsung • Kayu utk pulp • Arang kayu • Hasil hutan non kayu : Madu • Rekreasi dan Turisme • Pendidikan dan penelitian
Nilai Guna (Use values) Nilai Bukan Guna Nilai Guna Tak Nilai Manfaat (Non use values) Langsung Opsional • Pelindung erosi dan • Nilai penggunaan di • Nilai keberadaan • • • • •
banjir Penjaga Siklus hara Fungsi penyedia air Serapan karbon Transportasi Keanekaragaman hayati
masa yang akan datang
dan • Nilai kebanggaan
9.1. Pola Perusahaan MHP Perhitungan manfaat ekonomi dalam pola MHP adalah perkiraan nilai ekonomi total yang dihasilkan dari sisi perusahaan HTI tanpa pengelolaan Hutan dengan pola CBFM. Penaksiran nilai penuh dari setiap kategori manfaat ekonomi hutan tanaman industri dilakukan dengan bantuan data primer dan didukung oleh
187
data sekunder yang tersedia, dalam perhitungan ini disadari masih banyak menghadapi berbagai kendala lapangan sehingga memaksa penggunaan teknikteknik penaksiran yang sederhana, yang sulit dilakukan dengan ketelitian yang tinggi. Namun demikian gambaran nilai penuh sebagian potensi sumberdaya alami strategis dikawasan hutan tanaman industri PT MHP ini dapat dikuantifikasi nilai rupiahnya dengan taksiran yang mendekati nilai penuh yang semestinya. Penilaian ini meliputi areal seluas 132 328 ha kawasan hutan milik PT MHP sudah ditanami akasia dengan pola perusahaan murni. Manfaat Langsung (Direct Use Values) Manfaat langsung dari hutan tanaman industri yang dapat terukur nilainya disini adalah produk kayu olahan untuk pulp, produk arang, hasil hutan non kayu berupa madu lebah, rekreasi dan turisme, pendidikan dan penelitian. Semua komoditi tersebut diukur berdasarkan nilai penuh yang tercermin dari nilai pasar. Metode yang digunakan dalam penaksiran manfaat langsung adalah dengan pendekatan langsung berdasarkan nilai pasar. Pendekatan ini menghitung jenis jumlah produk langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dari hutan tanaman industri di wilayah studi dikalikan dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produk yang dihasilkan. 1. Kayu Akasia untuk Pulp Manfaat langsung yang dihasilkan dari hutan tanaman industri di PT MHP adalah berupa kayu yang digunakan untuk bahan baku pulp.
Biaya dan
penerimaan HTI dengan pola tanaman acasia mangium per hektar secara rinci dapat dilihat dalam tabel 14 pada pembahasan sub bab sebelumnya.
188
Berdasarkan tabel 14 terlihat bahwa rata-rata penerimaan per hektar tanaman HTI dengan harga Rp200 000 per/ton yang dihitung dalam nilai sekarang (NVP) adalah sebesar Rp17 509 137. Jika rata-rata luas areal yang di panen per tahun di PT MHP adalah seluas 10 750 hektar per tahun maka penghasilan bersih perusahaan per tahun adalah sebesar Rp188 223 222 750. 2. Pembuatan arang kayu akasia Hasil sisa potongan kayu akasia yang tidak terpakai untuk bahan baku pulp banyak sekali terdapat di lahan bekas tebangan HTI PT MHP. Kayu sisa tebangan ini tidak masuk kualifikasi untuk diolah pabrik pulp baik dari segi diameternya maupun panjangnya. Kayu sisa tebangan ini dapat dibuat menjadi arang untuk memenuhi konsumsi lokal, nasional, maupun untuk ekspor. Teknologi yang digunakan untuk pembuatan arang ini cukup sederhana, yaitu dengan teknologi tungku portable dari drum atau gorong-gorong. Hasil produksi arang dari kayu acacia mangium berdasarkan hasil uji laboratorium mempunyai kualitas yang cukup baik dengan sifat-sifat sebagai berikut: - Kadar air : 0.45% - Kadar abu : 0.83% - Zat mudah menguap : 49.58% - Karbon terikat : 48.7% - Nilai Kalori : 6 228.28 kal/kg Potensi ekonomi pembuatan arang kayu akasia cukup besar. Berdasarkan data yang dikumpulkan, dari seluruh areal tanaman yang di panen setiap tahunnya tersedia sekitar 300.000 m3 kayu acacia mangium berukuran diameter 2 – 7 cm
189
yang tidak terpakai dan tersedia secara kontinyu sepanjang tahun (MHP, 2010). Dari volume tersebut diperkirakan dapat diproduksi sekitar 100 000 ton arang per tahun. Jika harga arang di lokasi penelitian rata-rata Rp500/kg maka diperkirakan nilai arang kayu acacia mangium setiap tahunnya adalah sebesar Rp 50 miliar. 3. Potensi Madu Alam Manfaat langsung berupa hasil hutan non kayu yang terdeteksi dan dapat diukur dalam penelitian adalah berupa madu lebah. Lebah di wilayah ini umumnya banyak bersarang di pohon-pohon besar yang banyak terdapat di dalam kawasan dan tersebar luas diseluruh kawasan yang didukung oleh ketersediaan makanan lebah yang tersebar didalam hutan terutama bunga Acacia mangium yang ada sekitar areal perkebunan HTI milik PT Musi Hutan Persada yang luasnya 293 400 ha. Madu alam ini dikenal dengan madu sialang (kumpulan koloni lebah), pauh roso, rengas, dan manggris. Madu sialang adalah madu berasal dari kelompok lebah yang hidup dan bersarang di pohon dalam hutan. Pohon tempat lebah bersarang tersebut biasa disebut dengan pohon Sialang. Beberapa jenis pohon yang biasa yang dihinggapi lebah antara lain sulur batang, pauh rusa, cempedak air, juga pada bangunan seperti Mess, bengkel dan Nursery HTI. Kepungan Sialang atau pohon-pohon Sialang merupakan jenis tanaman yang dilindungi secara hukum baik undangundang pemerintah maupun hukum adat. Hal ini dimaksudkan agar kelestarian pohon-pohon tersebut tetap terpelihara sebagai tempat bersarangnya kelompok lebah yang menghasilkan madu sebagai salah satu sumber penghasilan masyarakat desa sekitar hutan.
190
Sialang adalah jenis pohon yang besar dan tinggi batangnya, garis tengah batang pohonnya bisa mencapai 100 cm atau lebih, dan tingginya bisa mencapai 25 sampai 50 meter. Lebah-lebah membangun sarangnya di dahan-dahan pohon. Satu pohon sialang bisa berisi 30 s/ d 100 koloni sarang, dimana tiap sarang bisa berisi sampai kira-kira 10 kilogram madu asli alamiah, bahkan mampu memproduksi ratusan kilogram madu lebah pohon sialang. Pohon sialang adalah pohon yang terdiri dari jenis Kedundung, Batu, Balau, Kruing, Ara dan lain-lain yang apabila disarangi oleh lebah hutan (apis dorsata) maka masyarakat di Sumatera Selatan menamakannya pohon sialang. Pohon sialang banyak terdapat keberadaanya di kawasan hutan tanaman PT MHP. Keberadaan pohon-pohon sialang atau disebut juga pohon pauh rusa adalah aset sumber daya alam untuk masyarakat lokal yang hidup di sekitar wilayah konsesi perusahaan. Proses pengambilan madu lebah sialang merupakan sebuah proses yang khas dan unik. Pengambilan madu dilakukan oleh sekelompok orang "Pawang madu" biasanya dilakukan siang atau pada malam hari. Biasanya panen dilakukan pada siang hari, tujuannya adalah agar anakan madu tidak ikut terperas bersama sarang, dan madu tidak berobah menjadi asam dan hitam. Sarang lebah yang menyimpan madu dipanen oleh pawang madu, lalu diturunkan ke tukang sambut, lalu ditiriskan kemudian diperas untuk diambil madunya. Madu dari pohon memiliki kandungan air yang relatif tinggi sekitar 22% - 24%. Madu sialang adalah madu yang masih asli karena tidak dipisahkan antara royal jeli dengan madu asli. Berdasarkan hasil pengujian di lababoratorium kandungan kimia dari madu alam adalah sebagai berikut:
191
-
Aktifitas Enzim Diatase : 4.96 DN
-
Kadar Air : 21.2%
-
HMF : Negatif
-
Keasaman : 49.1 mlnaOH in/ kg
-
Cemaran Logam : Negatif
-
Padatan Tak Larut dlm Air : 0.10%
-
Gula Pereduksi : 65.4%
-
Sukrosa : 10.2% Dari hasil pengamatan di beberapa pasar atau kalangan yang ada di sekitar
lokasi kawasan HTI PT MHP serta wawancara langsung dengan 10 petani pengumpul madu binaan PT MHP (lampiran 4), maka di peroleh data bahwa hasil madu yang diproduksi dari wilayah ini cukup besar, yaitu sekitar 9 370 kg per dua bulan atau sekitar 56 220 kg per tahun. Jika harga madu dipasar setempat ratarata Rp12 000 per kilogram, maka total nilai yang dihasilkan dari madu lebah ini adalah sebesar Rp674 640 000. 4. Potensi rekreasi dan turisme Manfaat langsung berikutnya dari hutan tanaman industri di PT MHP adalah adanya potensi rekreasi dan turisme. Kondisi hutan tanaman yang tertata rapi dengan pemandangan yang indah kawasan hutan menjadi salah alternatif tempat rekreasi yang nyaman. Kondisi ekologis yang baik dan tertata secara seimabang telah menjadikan kawasan hutan tanaman habitat yang nyaman bagi beberapa satwa seperti kijang, kancil, rusa, berbagai jenis burung dan ayam hutan. Kondisi ini banyak mengundang turis lokal maupun domestik untuk berburu hewan di kawasan hutan tanaman ini.
192
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dalam satu tahun tidak kurang dari 500 orang turis lokal dan domestik yang berkunjung ke daerah ini. Dari data yang ada dengan waktu kunjungan rata-rata 2-3 hari, seorang turis menghabiskan uang untuk perjalanan dan akomodasi kunjungan rata-rata sebesar Rp1.5 juta. Sehingga nilai total untuk semua kunjungan selama satu tahun adalah sebesar Rp750 juta. 5. Fungsi Pendidikan dan Penelitian Manfaat langsung lainnya yang dapat dirasakan dengan keberadaan hutan tanaman adalah berfungsinya kawasan HTI di PT MHP sebagai ajang pendidikan dan penelitian, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. PT MHP telah membuka diri seluas-seluasnya yang menjadikan kawasan HTI sebagai laboratorium alam untuk pendidikan dan penelitian dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan mulai dari jenjang S1 sampai S3. Banyak mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti Unsri, IPB, UGM, USU, dan Unri yang telah menyelesaikan penelitian skripsi, tesisi, dan disertasi dengan objek penelitian perusahaan hutan tanaman di PT MHP ini. Dari data yang ada rata-rata per tahun ada 10 penelitian mahasiswa yang dilakukan di sini. Jika 1 penelitian menghabiskan biaya sebesar Rp50 juta, maka nilai ekonomi total untuk penelitian ini adalah sebesar Rp500 juta. Perhitungan nilai ekonomi total dari manfaat langsung keberadaan perusahaan dengan pola MHP murni secara ringkas disajikan dalam Tabel 27.
193
Tabel 27. Total manfaat Langsung HTI, Pola Perusahaan MHP, Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Komoditi Kayu untuk pulp Arang Kayu Akasia Madu Sialang Rekreasi dan Turisme Pendidikan dan penelitian Total Manfaat Langsung
Nilai Total (Rp juta/th) 188 223.22 50 000.00 674.64 750.00 500.00 240 147.86
Dari hasil pendekatan seperti yang terlihat dalam Tabel 31 di atas diperoleh manfaat langsung yang bernilai sekitar Rp240 147.86 juta per tahun . Hal ini memberikan indikasi kepada kita bahwa manfaat langsung eksositem hutan tanaman industri begitu besar. Manfaat Tak Langsung (Indirect Use Values) Manfaat tak langsung dari ekosistem hutan tanaman industri yang berhasil diidentifikasi adalah besarnya peranan ekosistem hutan tanaman tersebut sebagai pengendali erosi dan banjir, penjaga siklus hara, penyedia air rumah tangga, serapan karbon, transfortasi, dan keanekaragaman hayati. Metode perhitungan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode biaya penggantian. 1. Pengendali erosi dan banjir Hutan tanaman industri di PT MHP dengan penyebarannya yang luas, dengan
struktur
dan
komposisinya
yang
beragam
diharapkan
mampu
menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa pengendalian terhadap siklus hara, daur air, erosi, banjir, dan sedimentasi.
194
Hutan mempunyai fungsi pelindung terhadap tanah dari tetesan hujan yang jatuh dari awan yang mempunyai energi tertentu, tetesan hujan akan memukul permukaan tanah dan melepaskan butiran tanah sehingga akan terjadi erosi percikan. Air hujan yang tidak meresap ke dalam tanah akan mengalir di atas permukaan tanah, aliran air ini mempunyai energi tertentu juga, makin curam dan panjangnya lereng tempat air mengalir makin besar energinya, energi yang ada pada aliran permukaan ini akan mengelupaskan permukaan tanah sehingga terjadi erosi permukaan. Aliran permukaan dapat juga menyebabkan terbentuknya alur permukaan tanah yang disebut dengan erosi alur. Keberadaan hutan menyebabkan tetesan air hujan akan jatuh pada tajuktajuk tanaman, terlebih lagi bila tajuk tersebut berlapis-lapis sebagian air hujan tersebut, akan menguap kembali ke udara dan sebagian lagi akan jatuh ke tanah melalui tajuk- tajuk tanaman dari yang teratas sampai ke tajuk tanaman yang terendah, akibatnya energi kinetic air hujan tersebut di patahkan atau diturunkan kekuatannya oleh tajuk-tajuk tanaman yang berlapis tadi, hingga akhirnya air hujan yang jatuh pada tanah dari tajuk yang terendah dengan energinya yang kecil sehingga kekuatan pukulan air hujan pada permukaan tanah tidak besar, dengan demikian erosi percikan bisa diminimalkan sekecil mungkin. Sebagian air yang jatuh di tajuk akan mengalir melalui dahan ke batang pokok dan selanjutnya mengalir ke bawah melalui batang pokok sampai ke tanah. Di permukaan tanah di dalam hutan terdapat seresah yaitu, daun, dahan dan kayu yang membusuk. Seresah-seresah tersebut dapat menyerap air dan dapat membuat tanah mejadi gembur dan membuat air mudah meresap ke dalam tanah. Karena
195
penyerapan air oleh seresah dan air meresap ke dalam tanah aliran air permukaan menjadi kecil dengan demikian erosi lapisan dan erosi alur jadi kecil. Pengaruh vegetasi tanaman acacia mangium terhadap erosi adalah menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung dipermukaan tanah, menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi, serta memperkuat penyerapan air ke dalam tanah oleh transpirasi melalui vegetasi. Makin rapat vegetasi makin efektif terjadinya pencegahan erosi. Menurut Seyhan (1977), peran hutan dalam pengendalian daur air dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses a. Evapotranspirasi b. Pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi. 2. Penambah titik-titik air di atmosfer. 3. Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui proses intersepsi 4. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat a. tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan b. tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan. 5. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah. Peran hutan yang pertama terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan air sebagai air intersepsi. Peran menonjol yang ke dua yang juga sering menjadi sumber penyebab kekawatiran
masyarakat
adalah
evapotranspirasi.
Beberapa
faktor
yang
196
berperanan terhadap besamya evapotranspirasi antara lain adalah radiasi matahari, suhu, kelembaban udara, kecepatan angin daan ketersediaan air di dalam tanah atau sering disebut kelengasan tanah. Lengas tanah berperanan terhadap terjadinya evapotranspirasi. Evapotranspirasi punya pengaruh yang penting terhadap besarnya cadangan air tanah terutama untuk kawasan yang berhujan rendah, lapisan/tebal tanah dangkal dan sifat batuan yang tidak dapat menyimpan air. Peran ketiga adalah kemampuan mengendalikan tingginya lengas tanah hutan. Tanah mempunyai kemampuan untuk menyimpan air, karena memiliki rongga-rongga yang dapat diisi dengan udara/cairan atau bersifat porous. Bagian lengas tanah yang tidak dapat dipindahkan dari tanah oleh cara-cara alami yaitu dengan osmosis, gravitasi atau kapasitas simpanan permanen suatu tanah diukur dengan kandungan air tanahnya pada titik layu permanen yaitu pada kandungan air tanah terendah dimana tanaman dapat mengekstrak air dari ruang pori tanah terhadap gaya gravitasinya. Titik layu ini sama bagi semua tanaman pada tanah tertentu (Seyhan, 1977). Pada tingkat kelembaban titik layu ini tanaman tidak mampu lagi menyerap air dari dalam tanah. Jumlah air yang tertampung di daerah perakaran merupakan faktor penting untuk menentukan nilai penting tanah pertanian maupun kehutanan. Peran ke empat adalah dalam pengendalian aliran (hasil air). Kebanyakan persoalan distribusi sumberdaya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu. Akhir-akhir ini kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan kelebihan air pada musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Sampai saat ini masih dipercayai bahwa hutan yang baik mampu mengendalikan daur air artinya hutan yang baik dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya di
197
musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih melekatnya dihati masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam kawasan utan yang baik tetap mengalir pada musim kemarau. Untuk mengatasi erosi, Kurnia (1996) melaporkan bahwa mulsa Mucuna sp sangat efektif dalam mengurangi erosi tanah sebesar 74-85%. Rehabilitasi dengan cara tersebut dapat diterapkan pada tanah yang mempunyai tingkat erosi sampai 10 cm. Kurnia et al. (1998) melaporkan bahwa biaya pengendalian erosi dengan mulsa Mucuna sp adalah Rp1 640 per ton tanah erosi. Untuk menghitung nilai hutan sebagai pengendali erosi, perhitungan manfaat dapat dilakukan dengan memperkirakan besaran erosi yang terjadi jika tidak ada vegetasi hutana tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Hanafiah dkk. (2000) jumlah tanah yang tererosi di sekitar kawasan tanpa HTI adalah sebesar 15 ton/ha/tahun. Jika pengendalian erosi menggunakan mulsa Mucuna sp dengan biaya Rp1 640 per ton tanah erosi. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengendalian erosi, banjir dan bencana lainnya pada lahan tanaman akasia pola MHP seluas 132 328 ha dengan cara rehabilitasi lahan hutan dengan mulsa Mucuna sp. adalah sebesar Rp3 255 268 850 per tahun atau sebesar Rp3.2 miliar lebih per tahun. 2. Penjaga Siklus Hara Penaksiran manfaat tak langsung nilai ekonomi sebagai penjaga siklus makanan dan keseimbangan ekosistem di sekitar kawasan hutan tanaman, pendekatan yang digunakan adalah dengan menghitung nilai dari sekitar 15 ton serasah per hektar per tahun yang dihasilkan oleh ekosistem hutan tanaman dari
198
pohon Acacia mangium (MHP, 2009). Dengan memperhitungan sumberdaya lain sebagai pengganti serasah yaitu pupuk kompos, maka harga serasah dapat disetarakan dengan harga kompos yaitu sebesar Rp500 per kg. Sehingga manfaat tidak langsung dari ekosistem hutan tanaman industri ini dapat dihitung dengan mengalikan 15 ton serasah/ha/th x Rp500/kg x 132 328 ha maka di dapat nilai sebesar Rp992 460 000 000. 3. Serapan Karbon Peranan ekosistem hutan tanaman industri dalam menjaga keseimbangan lingkungan menjadi semakin penting ketika dunia dihadapkan pada masalah perubahan iklim global (global climate change). Seperti dikemukakan oleh Murray et al. (2000), ekosistem hutan dapat berfungsi sebagai penyerap gas-gas rumah kaca dengan cara mentransformasi karbon dioksida (CO2) dari udara menjadi simpanan karbon (C) dalam komponen-komponen ekosistem hutan, seperti pohon, tumbuhan bawah dan tanah. Dibanding ekosistem daratan lainnya, hutan merupakan ekosistem penyimpan karbon terbesar (Davis et al., 2003). Cadangan karbon hutan tanaman Acacia mangium disimpan dalam bentuk biomassa vegetasinya. Potensi ekosistem hutan tanaman sebagai penyerap CO2 (Balteiro and Romero, 2003) mendapat perhatian dalam Kyoto Protocol yang ditandatangani pada tahun 1997 oleh lebih dari 150 negara, termasuk Indonesia. Salah satu implikasi penting dari Kyoto Protocol adalah adanya mekanisme perdagangan karbon (carbon trade) yang membuka peluang bagi negara-negara yang memiliki potensi hutan tinggi untuk memperoleh dana kompensasi dari
199
negara-negara industri, sesuai potensi emisi karbon yang dapat diserap oleh ekosistem hutan yang dimilikinya. Kawasan hutan tanaman Acacia mangium PT MHP seluas 193 500 hektar merupakan salah satu sumberdaya hutan yang dapat diandalkan sebagai sumber penyerap karbon. Hutan tanaman Akasia mangium (Acacia mangium Willd.), merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing species), memiliki daur pendek (6 sampai 10 tahun). Hasil penelitian Setiawan et al. (2000), kandungan karbon di atas permukaan tanah tegakan A. mangium di Desa Subanjeriji (salah satu kawasan HTI PT MHP) pada siklus tebang kedua terdapat kandungan karbon 25 ton/ha. Jika standar nilai yang digunakan dimana satu ton karbon bernilai US $10 (ITTO & FRIM, 1994). Maka nilai hutan tanaman dari kemampuannya menyerap karbon per tahunnya adalah sebesar Rp297 738 000 000 (US $1 = Rp9 000). 4. Fungsi Penyedia Air Manfaat tidak langsung lainnya yang dirasakan sangat besar oleh masyarakat sekitar hutan tanaman industri adalah peran hutan sebagai fungsi penyedia air.
Kemampuan hutan sebagai regulator air mampu memberikan
kontribusi dalam penyediaan air bagi masyarakat sekitar hutan. Hutan tanaman Acacia mangium memiliki potensi yang cukup besar dalam penyediaan sumberdaya air. Potensi sumberdaya air di HTI PT MHP dapat didekati dengan melihat data analisis neraca air kawasan hutan PT MHP yang ringkasannya dapat dilihat pada tabel 28 berikut ini.
200
Tabel 28. Hasil analisis neraca air kawasan hutan PT Musi Hutan Persada No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Surplus
Surplus/Defisit Air (mm)
187.78 179.77 180.59 142.93 61.53 -2.87 -3.26 -4.74 20.07 69.29 140.67 183.03 1 154.79
Sumber: Data MHP, Tahun 2005
Dari tabel 28 terlihat bahwa hutan tanaman mempunyai andil sebagai fungsi penyedia air. Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa neraca air di kawasan hutan PT MHP mengalami surplus selama sembilan bulan dan hanya sedikit defisit selama tiga bulan. Jika surplus air dianggap konstan sepanjang tahun maka kawasan hutan tanaman acacia mangium seluas 193 500 ha mampu menyediakan air setiap tahunnya sebanyak 2 234 518 650 m3. Jumlah ini sangat berlimpah untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan tanaman. Jika sebelumnya masyarakat sering mengeluh kekeringan dan kesulitan mendapatkan air terutama ketika musim kemarau tiba, maka dengan adanya tanaman Acacia mangium milik perusahaan yang luas masyarakat belum pernah mengalami kesulitan air untuk memenuhi kebutuhannya. Nilai manfaat air bagi masyarakat di kawasan hutan tanaman industri terdiri dari nilai ekonomi air untuk rumah tangga dan nilai ekonomi air untuk pertanian. Nilai ekonomi air untuk pertanian dapat diabaikan mengingat sebagian besar
201
petani yang terdapat di sekitar hutan tersebut melaksanakan pertanian pola lahan kering. Dengan demikian fungsi hidrologi yang cukup besar adalah sebagai sumber air untuk mensuplai kebutuhan air bersih rumah tangga. Pemakaian air untuk rumah tangga terdiri dari kebutuhan untuk memasak, mandi, mencuci dan kakus. Sumber air yang digunakan terdiri atas air sumur dan sungai. Rata-rata masyarakat di sekitar lokasi studi memanfaatakan air sumur dan sungai sebagai sumber air. Jika diasumsikan biaya pengadaan air rata-rata per meter kubik sebesar Rp1000. Dengan jumlah penduduk yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan tanaman sekitar 28 813 KK yang membutuhkan air ratarata 60 m3/KK/bulan maka jumlah pengeluaran untuk air adalah Rp1 728 780 000 per bulan atau sebesar Rp20 745 360 000 per tahun. 5. Akses jalan dan kemudahan transfortasi Terbukanya kawasan konsesi hutan tanaman PT MHP, telah mengakibatkan terbukanya akses beberapa desa, dusun, dan talang di sekitar kawasan yang selama ini ter isolasi.
Hingga saat ini perusahaan telah membangun jalan
sepanjang 233 km, jalan ini dapat digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai jalur alternatif transfortasi yang menghubungkan antar daerah. Sarana transfortasi utama saat ini yang banyak digunakan oleh masayarakat di sekitar kawasan hutan adalah sepeda motor.
Dari hasil pengamatan lapangan, hampir setiap kepala
keluarga memiliki minimal 1 unit sepeda motor. Berdasarkan hasil penelitian rata-rata dalam setiap kepala keluarga melakukan perjalan ke Prabumulih sebagai pusat perdagangan atau ke tempat lainnya, minimal 1 kali dalam seminggu. Sebelum perusahaan beroperasi di
202
wilayah mereka, umumnya akses jalan yang digunakan jelek dan berlumpur, ratarata waktu tempuh untuk sekali perjalanan dengan menggunakan sepeda motor antara 4-6 jam. Dengan banyaknya akses jalan yang dalam kawasan konsesi perusahaan saat ini umumnya masyarakat hanya membutuhkan waktu antara 1-2 jam dalam sekali perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Dengan akses jalan yang lancar saat ini mereka bisa menghemat waktu tempuh dalam sekali perjalanan antara 3-4 jam yang setara dengan sekitar 2 liter bensin. Jika di sekitar kawasan terdapat 28 813 KK berarti terdapat 1 498 276 perjalanan per tahun yang dapat menghemat sekitar 2 996 552 liter bensin. Jika harga bensin bersubsidi saat ini Rp4 500 perliter, maka jumlah uang yang dapat di hemat oleh masyarakat sekitar kawasan untuk pengeluaran bensin per tahun adalah sebesar Rp13 484 484 000 dan nilai ini merupakan nilai manfaat tidak lansung yang bisa dinikmati oleh masyarakat dengan adanya akses jalan yang lancar. 6. Keanekaragaman hayati Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua kehidupan di atas bumi yang meliputi tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme, serta berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka hidup. Termasuk didalamnya kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari organisme-organisme yang berasal dari semua habitat baik yang ada di darat, laut maupun sistem-sistem perairan lainnya. Keanekaragaman hayati memiliki beragam nilai atau arti bagi kehidupan. Ia tidak hanya bermakna sebagai modal untuk menghasilkan produk dan jasa saja
203
(aspek ekonomi) karena keanekargaman hayati juga mencakup aspek sosial, lingkungan, aspek sistem pengtahuan, dan etika serta kaitan di antara berbagai aspek ini. Keanekaragaman hayati secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga tingkatan yang berbeda, yaitu : 1.
Keanekaragaman genetik merujuk kepada berbagai macam informasi genetik yang terkandung di dalam setiap makhluk hidup yang terjadi di dalam dan di antara populasi-populasi spesies serta di antara spesies-spesies.
2.
Keanekaragaman spesies merujuk kepada keragaman spesies-spesies yang hidup.
3.
Keanekaragaman ekosistem berkaitan dengan keragaman habitat, komunitas biotik, dan proses-proses ekologis, serta keanekaragaman yang ada di dalam ekosistem-ekosistem
dalam
bentuk
perbedaan-perbedaan
habitat
dan
keragaman proses-proses ekologis. Perubahan secara evolusi menghasilkan proses diversifikasi terus menerus di dalam makhluk hidup. Keanekaragaman hayati meningkat ketika variasi genetik baru dihasilkan, spesies baru berevolusi atau ketika satu ekosistem baru terbentuk; keanekaragaman hayati akan berkurang dengan berkurangnya spesies, satu spesies punah atau satu ekosistem hilang maupun rusak. Konsep ini menekankan sifat keterkaitan dunia kehidupan dan proses-prosesnya. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan dengan kegiatan: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini, konservasi keanekaragaman hayati
204
(biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian konservasi sumberdaya alam hayati. Selain itu, dengan ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Convention) oleh Pemerintah Indonesia melalui Undangundang Nomor 5 Tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen nasional yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Meskipun manfaat dari sumberdaya dan layanan yang disediakan oleh keanekaragaman hayati cukup banyak diketahui, namun masih ada kesenjangan pengetahuan yang membatasi kemampuan kita untuk menghitung nilai sesungguhnya dari berbagai unsur keanekaragaman hayati. Pemahaman global kita tentang interaksi dan ketergantungan antar-ekosistem masih terus berubah. Begitu besarnya keragaman kehidupan mengandung nilai intrinsik yang penting karena ia memberikan ketahanan yang lebih besar bagi ekosistem-ekosistem dan organisme-organisme. Ia memberdayakan satu sistem alam untuk dapat menyerap dan kembali pulih dari dampak pengrusakan yang ditimbulkan manusia, serta untuk meningkatkan kelestariannya. Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting. Nilai ekonomi dari keaneka ragaman hayati dapat dilihat dari tingginya saling ketergantungan antara manusia dan keanekaragaman hayati, karena pada
205
akhirnya seluruh masyarakat bergantung kepada layanan dan sumberdaya keanekaragaman hayati. Untuk menghitung nilai ekonomi keanekaragaman hayati pendekatan yang dapat digunakan adalah metode biaya penggantian dimana perlindungan terhadap flora dan fauna langka/dilindungi, dapat dihitung dari biaya perbaikan hutan berupa penghijauan kembali (reboisasi) yang menurut hasil penelitian Sihotang (2005) nilainya sekitar Rp 3 juta/ha, sehingga total nilai manfaat untuk seluruh kawasan hutan tanaman PT MHP seluas 132 328 ha adalah Rp396 984 000 000. Tabel 29. Manfaat Tak Langsung HTI pola Perusahaan MHP, tahun 2010 No.
Jenis Manfaat
Pengukuran
1.
Pelindung erosi
Erosi 15 ton/ha/th x luas 132 328 ha x biaya mulsa mucuna sp Rp1 640/ha 15 ton serasah/ha/th x Rp 500/kg x 132 328 ha maka di dapat nilai sebesar 25 ton karbon/ha x Rp90000/ton x 132 328 ha 28 813KK x 60m3/KK/bln x 12 bln x Rp 1000/m3 Penghematan bensin 2996552 liter x harga bensin Rp 4 500/liter Biaya reboisasi Rp 3 jt/ha x 132 328 ha
2.
Penjaga siklus hara
3.
Serapan karbon
4.
Penyedia Air RT
5.
Transportasi
6.
Keanekaragaman hayati Total Manfaat Tak Langsung
Nilai Total (Rp juta/tahun) 3 255.27 992 460.00 297 738.00 20 745.36 13 484.48 396 984.00 1 724 667.11
Berdasarkan pendekatan penghitungan manfaat tak langsung dari ekosistem hutan tanaman industri seperti terlihat dalam di atas diperoleh nilai total sebesar Rp1.7 triliun lebih per tahun, hasil ini ternyata jauh lebih besar jika dibandingkan dengan manfaat langsung yang nilainya hanya sebesar Rp240.15 miliar lebih per tahun atau sekitar 7 kali lebih besar dari manfaat langsung Hutan tanaman.
206
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa perhitungan manfaat tak langsung dari ekosistem hutan tanaman industri tersebut memberikan nilai ekonomi yang sangat berarti. Nilai ekonomi yang sangat besar dari manfaat tidak langsung tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa betapa pentingnya peranan ekosistem hutan tanaman industri, terutama sebagai penjaga kestabilan silus makanan bagi lingkungan ekosistem tersebut. Manfaat Opsional (Option Values) Penghitungan manfaat opsional atau manfaat yang diharapkan ditaksir melalui pendekatan tidak langsung berdasarkan prospek peningkatan pendapatan sekitar 28 813 KK yang ada disekitar kawasan melalui kerjasama operasional proses pembangunan hutan tanaman mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan kayu seluas 10 750 hektar per tahun. Berdasarkan pendekatan ini, maka nilainya akan terukur dari penerimaan upah tenaga kerja sebesar Rp4 960 000 per hektar per tahun. Nilai tersebut jika dihitung secara keseluruhan akan berjumlah sebesar Rp53.32 miliar per tahun. Manfaat Kebanggaan (Bequest Values) Manfaat kebanggaan dari ekosistem hutan tanaman industri dapat diukur dari keberadaan pemukiman masyarakat dan perkembangannya yang semakin pesat di sekitar areal kawasan hutan tanaman yang berfungsi sebagai bagian dari sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata). Penaksiran nilai manfaat tersebut dilakukan dengan pendekatan tidak langsung yang menggunakan metode biaya pengganti. Disamping nilai kebanggaan akan kemampuan menjaga fungsi-fungsi hutan yang tidak ternilai harganya.
207
Perhitungan untuk manfaat ini dilakukan, jika seandainya sistem Hankamrata harus didekati dengan pembuatan jalan penghubung antar desa, dusun dan talang untuk mempersatukan wilayah sejauh 233 km, dengan biaya sebesar Rp30 juta per km. Jika usia ekonomis jalan adalah 20 tahun, maka nilainya sebesar Rp349.5 juta per tahun. Manfaat Keberadaan (Existence Values) Menfaat keberadaan Hutan tanaman industri juga bisa ditaksir dengan fungsinya sebagai pelindung satwa penting dan dilindungi seperti harimau, gajah, rusa, dan beberapa jenis burung pemakan biji serta ayam hutan.
Menurut
Hardiyanto, dkk. (2005) kawasan hutan tanaman industri merupakan tempat yang kaya akan potensi flora dan fauna. Untuk itu keberadaan satwa ini perlu di lindungi dan dijaga dari kemusnahan. Pendekatan yang digunakan dalam peneilaian ini dilakukan dengan metode kontingensi (contingent valuation method) yang meliputi keinginan yang merujuk pada harga pasar dari pertanyaan eksplisit terhadap individu pada penilaian tempat dari asset lingkungan. Secara umum teknik pendekatan dilakukan dengan interview terhadap sejumlah kepala keluarga, dengan menanyakan keinginan dari mereka untuk membayar (Willingness To Pay = WTP) dalam mempertahankan asset lingkungan. Rata-rata WTP yang dikumpulkan dari sampel adalah sebesar Rp 12 ribu per tahun. Nilai manfaat keberadaan ini terukur dari Rp12 ribu dikalikan 28 813 KK yang berada disekitar kawasan hutan, sehingga nilainya akan berjumlah sebesar Rp345 756 000 per tahun.
208
Perhitungan nilai ekonomi hutan tanaman industri di atas secara jelas akan diperlihatkan dalam tabel 30 berikut ini. Tabel 30. Nilai Total Ekonomi HTI Pola Perusahaan MHP Berdasarkan Kategori Manfaat per tahun, tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kategori Manfaat Manfaat langsung Manfaat tak langsung Manfaat opsional Manfaat kebanggaan Manfaat keberadaan Total Nilai Ekonomi
Nilai Total (Rp juta/thn) 240 147.86 1 724 667.11 53 320.00 349.50 345.76 2 018 830.23
Berdasarkan angka pada tabel 30 terlihat bahwa nilai ekonomi total kawasan hutan tanaman Acacia mangium PT MHP per tahun adalah senilai 2.018 triliun lebih. Dari jumlah tersebut manfaat langsung yang diterima hanya sekitar Rp240 miliar lebih atau sekitar 11.9% saja, sedang porsi nilai terbesar adalah nilai manfaat tak langsung yaitu sebesar Rp 1.7 triliun lebih atau sekitar 85.43% sisanya sekitar 2.68% adalah manfaat opsional, manfaat kebanggaan, dan manfaat keberadaan yang hanya berjumlah sebesar Rp 54 miliar saja. Dari nilai di atas terlihat bahwa betapa pentingnya manfaat tidak langsung hutan dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang nilainya begitu besar dan selama ini jarang di lihat sebagai nilai yang harus diperhitungkan, yang dampaknya dapat dirasakan langsung secara luas oleh masyarakat sekitar kawasan.
Pertimbangan manfaat tidak langsung ini merupakan pertimbangan
ekologis yang sangat berpengaruh secara keeluruhan terhadap produktivitas dan keberlanjutan pembangunan sebuah kawasan.
209
9.2. Pola Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) Penilaian manfaat ekonomi pengelolaan HTI di PT MHP pola MHBM ini adalah perkiraan nilai ekonomi total yang dihasilkan dimana perusahaan HTI melakukan pengelolaan Hutan tanaman bersama masyarakat. Pola MHBM ini masyarakat di ajak ikut untuk masuk mengelola hutan tanaman di dalam areal konsesi perusahaan.
Dalam pola ini masyarakat akan mendapatkan prioritas
untuk memperoleh pekerjaan pada unit-unit penanaman HTI mulai dari pembersihan lahan hingga panen. Masyarakat dapat menjadi pemborong atau pekerja biasa, dan akan mendapat upah sesuai dengan nilai kontrak atau upah kerja yang telah disepakati.
Disamping jasa kerja masyarakat juga akan
memperoleh jasa manajemen dan jasa produksi setiap tahunnya sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan. Jasa manajemen sebesar 1% dari seluruh nilai kontrak pekerjaan yang dipotong di muka, dan jasa produksi sebesar Rp2 500 per m3 kayu yang dihasilkan dari seluruh lahan yang dikelola dengan pola MHBM. Manfaat lain yang juga penting dalam pelaksanaan program MHBM ini adalah: 1) lebih terjaminnya keamanan tegakan HTI sampai dengan panen di akhir daur, 2) diredamnya berbagai konflik sosial, misalnya klaim lahan dan penutupan jalan kayu, 3) peningkatan kemampuan perusahaan menyediakan pekerjaan dan kesempatan usaha bagi anggota masyarakat, 4) peningkatan kesempatan bagi masyarakat untuk memperluas cakrawala peluang kerja yang semula hanya pada pekerjaan tertentu saja, 5) diposisikannya masyarakat sebagai salah satu stakeholders penting dalam membangun dan mengelola HTI, yang tentunya akan meningkatkan hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat.
210
Dari luas areal konsesi lahan HTI milik PT MHP sekitar 296 400 ha, terdapat sekitar 174 talang, 32 dusun, 79 desa, 17 kecamatan, dan 6 kabupaten yang berinteraksi langsung dengan kawasan PT. MHP.
Dalam wilayah ini
terdapat jumlah angkatan kerja yang cukup besar, yaitu sekitar 28 813 kepala keluarga dengan 119 760 jiwa (Lampiran 5). Luas areal MHBM yang telah dibuat dalam akta kesepakatan formal saat ini berjumlah 61 172.72 hektar. Manfaat Langsung (Direct Use Values) Manfaat langsung pola MHBM dari hutan tanaman industri yang dapat terukur nilainya disini adalah produk kayu olahan untuk pulp, produk arang, hasil hutan non kayu berupa madu lebah, rekreasi dan turisme, pendidikan dan penelitian. Semua komoditi tersebut diukur berdasarkan nilai penuh yang tercermin dari nilai pasar. Metode yang digunakan dalam penaksiran manfaat langsung adalah dengan pendekatan langsung berdasarkan nilai pasar. Pendekatan ini menghitung jenis jumlah produk langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dari hutan tanaman industri di wilayah studi dikalikan dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produk yang dihasilkan. 1. Kayu Akasia untuk Pulp Manfaat langsung yang dihasilkan dari pola MHBM di PT MHP adalah berupa kayu yang digunakan untuk bahan baku pulp. Biaya dan penerimaan HTI dengan pola tanaman acasia mangium per hektar sama seperti pada pola perusahaan, karena bibit dan teknis budiaya menggunakan standar yang sama, hanya saja tenaga kerja untuk pengerjaannya melibatkan masyarakat secara penuh.
211
Rata-rata penerimaan per hektar tanaman HTI pola MHBM dengan harga rata-rata Rp200 000 per/ton yang dihitung dalam nilai sekarang (NVP) adalah sebesar Rp17 509 137. Jika rata-rata luas areal yang di panen per tahun di PT MHP adalah seluas 4 945 hektar per tahun maka penghasilan bersih perusahaan per tahun dari pola MHBM adalah sebesar Rp86 582 682 465. 2. Pembuatan arang kayu akasia Pada lahan bekas tebangan HTI dengan pola MHBM, banyak sekali terdapat hasil sisa potongan kayu akasia yang tidak terpakai untuk bahan baku pulp. Kayu sisa tebangan ini tidak termasuk kualifikasi pengolahan pabrik pulp baik dari segi diameternya maupun panjangnya. Sisa tebangan ini dapat dimanfaatkan menjadi arang kayu untuk memenuhi konsumsi lokal, nasional, maupun untuk ekspor. Teknologi yang digunakan untuk pembuatan arang ini cukup sederhana, sama dengan yang digunakan pada pola perusahaan yaitu dengan teknologi tungku portable dari drum atau gorong-gorong. Kualitas arang yang dihasilkan cukup baik dan memenuhi standar kualitas arang untuk komersil. Berdasarkan data yang dikumpulkan, dari seluruh areal tanaman pola MHBM yang di panen setiap tahunnya tersedia sekitar 100 000 m3 kayu acacia mangium berukuran diameter 2 – 7 cm yang tidak terpakai dan tersedia secara kontinyu sepanjang tahun (MHP, 2010). Dari volume tersebut diperkirakan dapat diproduksi sekitar 30 000 ton arang per tahun.
Jika harga arang di lokasi
penelitian rata-rata Rp500/kg maka diperkirakan nilai arang kayu acacia mangium yang dihasilkan dari pola MHBM setiap tahunnya adalah sebesar Rp15 miliar.
212
3. Potensi Madu Alam Manfaat langsung berupa hasil hutan non kayu yang terdeteksi dan dapat diukur dalam penelitian adalah berupa madu lebah. Lebah di wilayah ini umumnya banyak bersarang di pohon-pohon besar yang banyak terdapat di dalam kawasan HTI pola MHBM. Keberadaan lebah ini di dukung oleh ketersediaan makanan lebah yang berasal dari tanaman Acacia mangium yang berbunga sepanjang tahun. Madu alam ini dikenal dengan madu sialang, yaitu madu berasal dari kelompok lebah yang hidup dan bersarang di pohon Sialang. Kepungan Sialang atau pohon-pohon Sialang merupakan jenis tanaman yang dilindungi secara hukum baik undang-undang pemerintah maupun hukum adat. Hal ini dimaksudkan agar kelestarian pohon-pohon tersebut tetap terpelihara sebagai tempat bersarangnya kelompok lebah yang menghasilkan madu sebagai salah satu sumber penghasilan masyarakat desa sekitar hutan. Keberadaan pohon-pohon sialang atau disebut juga pohon pauh rusa adalah aset sumber daya alam untuk masyarakat lokal yang hidup di sekitar wilayah konsesi perusahaan. Madu dari pohon sialang memiliki kandungan air yang relatif tinggi sekitar 22% - 24%. Madu sialang adalah madu yang masih asli karena tidak dipisahkan antara royal jeli dengan madu asli. Dari hasil pengamatan di terdapat 5 orang petani pengumpul madu di lahan HTI pola MHBM. Hasil madu yang di peroleh dari wilayah ini, yaitu sekitar 4 ton per dua bulan atau sekitar 24 ton per tahun. Jika harga madu dipasar setempat rata-rata Rp12 000 per kilogram, maka total nilai yang dihasilkan dari madu lebah ini adalah sebesar Rp288 juta.
213
Selain manfaat langsung di atas manfaat langsung lainnya yang dapat dirasakan oleh masyarakat dengan pola MHBM ini adalah Upah kerja yang mereka terima setiap bulan, keuntungan pemborong pekerjaan pola MHBM, jasa produksi dan jasa manajemen yang dibagikan setiap tahunnya. 4. Upah Kerja Jika luas total MHBM adalah 61 172.72 ha dengan siklus per daur 7 tahun maka sekitar 8 739 ha setiap tahunnya HTI yang di tanam baru dengan pola MHBM. Setiap hektar tanaman HTI membutuhkan 53 HOK hingga panen, maka setiap daur produksi dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 3 242 154 HOK. Jika setiap orang dapat berkerja 25 hari per bulan, setara dengan 300 HOK per tahun. Pekerjaan di areal MBHM ini saja telah menyerap tenaga kerja sebanyak 10 807 orang per silus atau sekitar 1 543 orang per tahun. Jika upah per HOK rata-rata Rp50 000/HOK, maka dalam satu tahun nilai dari upah kerja atau total upah yang diterima oleh masyarakat secara keseluruhan adalah sebesar Rp23 158 350 000 per tahun. 5. Keuntungan Pemborong Di wilayah kerja MHBM PT. MHP terdapat sekitar 150 orang pemborong lokal. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keuntungan bersih pemborong lokal berkisar antara 10 – 20 persen, dengan rata-rata anak buah (pekerja) antara 50 – 60 orang, dengan omzet sekitar Rp60 juta – Rp100 juta per bulan.
Jadi
keuntungan pemborong berkisar antara Rp6 juta sampai Rp20 juta per bulan, tergantung pada volume pekerjaan dan nilai kontrak. Dari 200 orang pemborong lokal dengan keuntungan rata-rata Rp13 juta per bulan atau Rp156 juta per orang
214
per bulan. Maka perkiraan nilai bersih keuntungan dari semua pemborong per tahun adalah sebesar Rp23 400 000 000. 6. Jasa Produksi Besarnya jasa produksi adalah Rp2 500 per m3 dikalikan dengan jumlah kayu yang dihasilkan dari masing-masing wilayah yang tertuang dalam kesepakatan kerjasama. Manfaat ekonomi yang diterima masyarakat secara keseluruhan dari jasa produksi di sekitar wilayah konsesi PT. MHP adalah jumlah produksi dikalikan dengan Rp2 500 per m3. Secara rinci jasa produksi yang telah diberikan perusahaan kepada masyarakat dalam empat tahun terakhir, dapat di lihat secara rinci dalam tabel 21 pada pembahasan sebelumnya. Beradasarkan hasil perhitungan dari tabel 21, keseluruhan jumlah jasa produksi yang diterima selama 4 tahun adalah sebesar Rp7 434 877 464, atau ratarata per tahun adalah sebesar Rp1 858 719 366. Jika jumlah kepala keluarga di sekitar kawasan MHP yang tercakup dalam program MHBM adalah 28 813 KK, maka berarti nilai yang diterima per KK dalam 4 tahun terakhir adalah sebesar Rp258 039 atau sekitar Rp64 510 per tahun. Jumlah ini tidak seberapa jika dibagikan secara individu, namun jumlah ini cukup besar dan sangat bermanfaat jika di berikan secara kelompok. Ada beberapa kelompok yang membagikannya dalam bentuk uang, ada juga kelompok yang menggunakan uang ini untuk pembangunan fasilitas umum seperti bangunan kantor, jalan setapak, dan berbagai fasilitas umum lainnya.
Dari semua
kelompok, ada juga beberapa kelompok yang tidak jelas penggunaannya.
215
7. Jasa Manajemen Jasa manajemen yang dibayarkan kepada masyarakat sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat adalah sebesar 1% dari seluruh nilai transaksi yang dilakukan oleh perusahaan mulai dari pembukaan lahan hingga panen yang termasuk dalam pola MHBM. Berdasarkan tabel 22 pada pembahasan sub bab sebelumnya, manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat di sekitar wilayah konsesi PT. MHP dari jasa manajemen yang diterima oleh masyarakat setiap tahunnya adalah sebesar Rp329 592 550.94 pada tahun 2006, Rp279 591 926.40 pada tahun 2007, Rp266 327 021.41 pada tahun 2008, dan Rp255 925 790.77 pada tahun 2009. Dari tabel 22 terlihat bahwa jika dihitung keseluruhan jumlah total jasa manajemen yang diterima oleh masyarakat selama 4 tahun terakhir adalah sebesar Rp 1 131 437 289.52 atau rata-rata Rp282 859 322 per tahun sekitar. Jika jumlah kepala keluarga di sekitar kawasan MHP yang tercakup dalam program MHBM adalah 28 813 KK, maka berarti nilai yang diterima per KK dalam 4 tahun terakhir adalah sebesar Rp39 268 atau sekitar Rp9 817 per tahun. Jumlah ini tidak seberapa dan umumnya di berikan secara kelompok. Sebagian besar dana ini digunakan oleh kelompok untuk membangun fasilitas umum, seperti pembuatan saluran air, rehabilitasi masjid dan kator desa, dan lain sebagainya. Perhitungan nilai ekonomi total dari manfaat langsung HTI dengan pola MHBM secara ringkas disajikan dalam tabel berikut ini.
216
Tabel 31. Total manfaat Langsung HTI, Pola MHBM, Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Komoditi Kayu untuk pulp Arang Kayu Akasia Madu Sialang Upah Kerja Keuntungan Pemborong Jasa Produksi Jasa Manajemen Total Manfaat Langsung
Nilai Total (Rp juta/th) 86 582.68 15 000.00 288.00 23 158.35 23 400.00 1 858.72 282.86 150 570.61
Dari hasil estimasi seperti yang terlihat dalam Tabel 27 di atas diperoleh manfaat langsung HTI dari pola MHBM adalah sekitar Rp150.57 miliar per tahun. Dengan persentase terbesar adalah penerimaan dari kayu untuk pulp sebesar Rp86.5 miliar lebih atau sekitar 57.5%. Sedangkan bagian yang diterima oleh masyarakat dalam bentuk upah kerja, keuntungan pemborong, jasa produksi dan jasa manajemen adalah sebesar Rp48.6 miliar atau sekitar 32.34%. Manfaat Tak Langsung (Indirect Use Values) Sama halnya seperti pada pola MHP murni, pola MHBM juga memberikan manfaat tak langsung dari ekosistem hutan tanaman industri seluas 61 172.72 ha berupa pengendali erosi dan banjir, penjaga siklus hara, dan serapan karbon. Metode perhitungan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode biaya penggantian. 1. Pengendali erosi dan banjir Hutan tanaman industri pola MHBM diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang cukup besar bagi kehidupan manusia
217
antara lain jasa pengendalian erosi dan banjir. Secara ilmiah telah diuraikan di muka bagaimana peranan ekosistem hutan dalam mencegah terjadi erosi dan banjir. Dari penelitian Kurnia (1996) bahwa mulsa Mucuna sp sangat efektif dalam mengurangi erosi tanah sebesar 74-85% dan dapat diterapkan pada tanah yang mempunyai tingkat erosi sampai 10 cm. Jika biaya pengendalian erosi dengan mulsa Mucuna sp adalah Rp1 640 per ton tanah erosi dan jumlah tanah yang tererosi di sekitar kawasan tanpa HTI adalah sebesar 15 ton/ha/tahun (Hanafiah dkk., 2000), maka biaya pengendalian erosi yang harus dikeluarkan untuk pengendalian erosi, banjir dan bencana lainnya seluas 61 172.72 ha dengan menggunakan mulsa Mucuna sp. adalah sebesar Rp1 504 848 912 per tahun. 2. Penjaga Siklus Hara Sebagai penjaga siklus hara dan keseimbangan ekosistem di sekitar kawasan hutan tanaman, pendekatan nilai ekonmi yang digunakan adalah dengan menghitung nilai dari sekitar 15 ton serasah per hektar per tahun yang dihasilkan oleh ekosistem hutan tanaman dari pohon Acacia mangium (MHP, 2009). Diasumsikan serasah setara dengan pupuk kompos, dengan harga sebesar Rp500 per kg. Maka manfaat tidak langsung sebagai penjaga siklus hara dari ekosistem HTI dengan pola MHBM ini dapat dihitung dengan mengalikan 15 ton serasah/ha/th x Rp500/kg x 61 172.72 ha maka nilainya adalah sebesar Rp458 795 400 000.
218
3. Serapan Karbon Kawasan hutan tanaman Acacia mangium PT. MHP dengan pola MHBM seluas 61 172.72 hektar merupakan salah satu sumberdaya hutan yang turut andil dalam penyerapan karbon. Kandungan karbon di atas permukaan tanah tegakan A. mangium di HTI PT MHP pada siklus tebang kedua terdapat kandungan karbon 25 ton/ha (Setiawan et al., 2000). Jika merujuk pada standar nilai yang digunakan dimana satu ton karbon bernilai US $10 (ITTO & FRIM, 1994). Maka nilai ekonomi total serapan karbon dari hutan tanaman industri dengan pola MHBM per tahunnya adalah sebesar Rp 137 638 620 000 (asumsi US$ 1 = Rp9000). 4. Keanekaragaman hayati Untuk menghitung nilai ekonomi keanekaragaman hayati pola MHBM pendekatan yang dapat digunakan adalah metode biaya penggantian dimana perlindungan terhadap flora dan fauna langka/dilindungi, dapat dihitung dari biaya perbaikan hutan berupa penghijauan kembali (reboisasi) yang menurut hasil penelitian Sihotang (2005) nilainya sekitar Rp 3 juta/ha, sehingga total nilai manfaat untuk pola MHBM seluas 61 172.72 ha adalah Rp396 984 000 000. Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh nilai ekonomi total manfaat tak langsung dari pengusahaan HTI pola MHBM yang secara rinci akan diuraikan dalam tabel berikut ini.
219
Tabel 32. Manfaat Tak Langsung HTI pola MHBM, tahun 2010 No.
Jenis Manfaat
1.
Pelindung erosi
2.
Penjaga siklus hara
3.
Serapan karbon
4.
Keanekaragaman hayati
Pengukuran
Nilai Total (Rp juta/tahun)
Erosi 15 ton/ha/th x luas 61 172.72 ha x biaya mulsa mucuna sp. Rp1 640/ha 15 ton serasah/ha/th x Rp500/kg x luas 61 172.72 ha 25 ton/ha karbon x Rp90 000/ton x luas 61 172.72 ha Biaya reboisasi Rp 3 jt/ha x 61 172.72 ha
Total Manfaat Tak Langsung
1 504.85 458 795.40 137 638.62 183 518.16 781 457.03
Dari tabel di atas terlihat bahwa porsi terbesar dari manfaat tidak langsung adalah nilai manfaat sebagai penjaga siklus hara, dengan nilai sebesar Rp458.8 miliar atau sekitar 58.71%, sebagai pelindung keanekaragaman hayati sebesar Rp183.5 miliar atau sekitar 23.5%, disusul dengan nilai serapan karbon sebesar Rp137.6 miliar atau sekitar 17.61%, dan sisanya sebesar Rp1.5 miliar atau 0.19% sebagai nilai ekonomi pelindung erosi. Tabel 33. Nilai ekonomi total pola MHBM, tahun 2010 No. Uraian 1. Manfaat Langsung 2. Manfaat Tak Langsung Total Nilai Ekonomi Pola MHBM
Nilai (Rp juta/tahun) 150 570.61 781 457.03 932 027.64
Berdasarkan hasil estimasi nilai manfaat langsung dan nilai manfaat tidak langsung pada tabel di atas, terlihat bahwa nilai ekonomi total kawasan hutan tanaman Acacia mangium dengan pola MHBM pada PT MHP per tahun adalah senilai Rp932 miliar lebih. Dari jumlah tersebut manfaat langsung yang diterima hanya sebesar Rp150.57 miliar atau sekitar 16.16% saja, sedang porsi nilai
220
terbesar adalah nilai manfaat tak langsung yaitu sebesar Rp781.45 miliar lebih atau sekitar 83.84%. Dari nilai ini terlihat bahwa manfaat tidak langsung hutan dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang nilainya hampir mencapai 5 kali nilai manfaat langsung.
Nilai manfaat tidak langsung yang begitu besar, dalam analisis
ekonomi lingkungan harus dijadikan sebagai nilai yang harus diperhitungkan, karena dampaknya dapat dirasakan langsung secara luas oleh masyarakat sekitar kawasan.
Dalam
penaksiran
manfaat
tidak
langsung
selalu
digunakan
pertimbangan ekologis yang sangat berpengaruh secara keeluruhan terhadap produktivitas, yang secara signifikan berpengaruh terhadap keberlanjutan pembangunan daerah. 9.3. Pola Mengelola Hutan Rakyat (MHR) Program MHR adalah penanaman hutan tanaman Akasia mangium dilahan milik masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan sekitar areal kerja MHP, kerjasama melibatkan pemilik lahan dengan MHP. Tujuan program ini adalah untuk menanami lahan milik masyarakat yang tidak produktif dengan modal dan bantuan teknis dari MHP, sedangkan pengelolaannya dilakukan oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Syarat paling penting untuk program ini adalah lahan yang diajukan untuk digunakan program MHR oleh pemiliknya mempunyai status pemilikan yang syah menurut peraturan yang berlaku. Perhitungan nilai ekonomi pengelolaan HTI dengan pola Mengelola Hutan Rakyat (MHR) adalah perkiraan nilai ekonomi total yang dihasilkan dari
221
keberhasilan perusahaan mengelola lahan milik rakyat yang menganggur atau tidak produktif untuk di tanamani hutan tanaman dengan jenis Acasia mangium. Penaksiran nilai penuh dari setiap kategori manfaat ekonomi hutan tanaman dengan pola MHR ini dilakukan dengan bantuan data primer dan didukung oleh data sekunder yang tersedia. Dalam perhitungan ini disadari masih banyak menghadapi berbagai kelemahan, namun demikian gambaran nilai penuh potensi sumberdaya alami strategis dikawasan hutan tanaman pola MHR ini dapat dikuantifikasi nilai rupiahnya dengan taksiran yang mendekati nilai penuh yang semestinya. Penilaian ini meliputi kawasan hutan tanaman milik rakyat yang dikelola oleh perusahaan dan sudah ditanami Akasia mangium. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan program ini sangat diminati, terutama bagi petani yang memiliki lahan yang luas dan menganggur. Berdasarkan data yang ada hingga tahun tanam 2010 jumlah lahan MHR yang telah ditanami selama 7 tahun terakhir adalah seluas 9 565.53 ha yang tersebar di 34 blok dan 12 unit dengan melibatkan lebih dari seribu kepala keluarga. Jika dalam satu siklus MHR diasumsikan selama 7 tahun, maka dari luasan tersebut akan dipanen HTI seluas 1 366.5 hektar setiap tahunnya. Manfaat Langsung 1. Produksi Kayu Akasia untuk Pulp Manfaat langsung yang diterima dari penanaman HTI dengan pola MHR ini adalah berupa produksi kayu HTI yang dihasilkan dalam satu daur siklus. Dari hasil pengamatan lapangan terhadap petani peserta MHR, di peroleh data bahwa rata-rata produksi kayu petani peserta MHR adalah 144.08 m3/ha atau setara
222
dengan berat (BDT) seberat 61 ton/ha. Dengan harga rata-rata kayu di pabrik (BDT) Rp565 107.33/ton, maka rata-rata penerimaan HTI program MHR sebesar Rp34 740 879.93/ha, dari jumlah tersebut di kurangi biaya rata-rata sebesar Rp16 034 095.7/ha, sehingga pendapatan yang di terima adalah sebesar Rp18 706 784.23.
Rincian mengenai rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan
pendapatan petani peserta MHR per hektar dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 34. Rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan dari HTI peserta MHR per hektar, tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian Produksi : - dalam m3 - dalam BDT (ton) Harga/unit (Rp/Bdt) Penerimaan (Rp/ha) Biaya (Rp/ha) Pendapatan (Rp/ha) Bagi hasil : - Perusahaan 60% (Rp/ha) - Petani 40% (Rp/ha)
Nilai 144.08 61.64 565 107.33 34 740 879.93 16 034 095.70 18 706 784.23 11 224 070.54 7 482 713.69
Catatan: Perhitungan dilakukan tanpa discount rate, karena bagi petani semua biaya dihitung dengan nilai sekarang yang sudah ditambah biaya bunga bank.
Dari tabel di atas terlihat bahwa rata-rata pendapatan per hektar tanaman HTI dengan pola MHR adalah sebesar Rp18 706 784.23. Dari jumlah tersebut 60% adalah bagian yang diterima oleh perusahaan yaitu sebesar Rp11 224 070.54 dan sisanya 40% adalah bagian yang diterima petani yaitu sebesar Rp7 482 713.69. Jika rata-rata luas areal yang di panen per tahun dari pola MHR ini adalah seluas 1 366.5 hektar per tahun, maka nilai ekonomi total bersih kayu akasia dari pola MHR per tahun adalah sebesar Rp25 562 820 650. Dari jumlah tersebut 60% nya adalah bagian yang diterima oleh perusahaan MHP yaitu sebesar Rp15 337
223
692 390 dan sisanya 40% adalah bagian yang diterima oleh petani yaitu sebesar Rp10 225 128 260. Pengelolaan HTI dengan pola MHR ini telah memberikan kontribusi terhadap pendapatan perusahaan sebesar Rp15 miliar lebih, dan petani sebesar Rp10 miliar lebih per tahun. Jumlah tersebut cukup besar dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani di sekitar wilayah perusahaan, yang selama ini memiliki lahan namun tidak produktif. 2. Pembuatan arang kayu akasia Hasil sisa potongan kayu akasia yang tidak terpakai untuk bahan baku pulp banyak sekali terdapat di lahan bekas tebangan HTI PT MHP. Kayu sisa tebangan ini tidak masuk kualifikasi untuk diolah pabrik pulp baik dari segi diameternya maupun panjangnya. Kayu sisa tebangan ini dapat dibuat menjadi arang untuk memenuhi konsumsi lokal, nasional, maupun untuk ekspor. Teknologi yang digunakan untuk pembuatan arang ini cukup sederhana, yaitu dengan teknologi tungku portable dari drum atau gorong-gorong. Potensi ekonomi pembuatan arang kayu akasia cukup besar. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, dari seluruh areal tanaman MHR yang di panen setiap tahunnya tersedia sekitar 15 000 m3 kayu acacia mangium berukuran diameter 2 – 7 cm yang tidak terpakai dan tersedia secara kontinyu sepanjang tahun. Dari volume tersebut diperkirakan dapat diproduksi sekitar 5 000 ton arang per tahun. Jika harga arang di lokasi penelitian rata-rata Rp500/kg maka diperkirakan nilai arang kayu acacia mangium setiap tahunnya adalah sebesar Rp 2.5 miliar.
224
4. Upah Kerja Jika luas total MHR adalah 9 565.53 ha dengan siklus per daur 7 tahun maka sekitar 1 366.5 ha setiap tahunnya HTI yang di tanam baru dengan pola MHBM. Setiap hektar tanaman HTI membutuhkan 53 HOK hingga panen, maka dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 72 424.5 HOK per tahun. Jika upah per HOK Rp50 ribu, maka dalam satu tahun nilai dari upah kerja atau total upah yang diterima oleh masyarakat secara keseluruhan adalah sebesar Rp3 621 225 000 per tahun. Tabel 35. Total Manfaat Langsung HTI dengan pola MHR, tahun 2010 No.
Jenis Manfaat
1.
Produksi Kayu Akasia untuk Pulp Pembuatan arang kayu akasia Upah Kerja
2.
3.
Nilai Total (Rp juta/tahun)
Pengukuran Rp18 706 784.23/ha x 1 366.5 ha
25 562.82
5000 ton/tahun x Rp500/kg
2 500.00
1 366.5 ha x 53 HOK/ha x Rp50 ribu/HOK
3 621.22
Total Manfaat Langsung
31 684.04
Dari tabel di atas terlihat bahwa total manfaat langsung yang diperoleh dari pola MHR adalah sebesar Rp31.68 miliar lebih.
Dari jumlah tersebut porsi
terbesar adalah dari produksi kayu untuk pulp sebesar Rp25.56 miliar atau sekitar 80.68%, dari upah kerja sebesar Rp3.6 miliar lebih atau sekitar 11.43%, sedangkan sisanya adalah dari pembuatan arang kayu akasia sebesar Rp2.5 miliar atau sekitar 7.89%. Manfaat Tak Langsung (Indirect Use Values) Sama halnya seperti pada pola MHP murni, pola MHR juga memberikan manfaat tak langsung dari ekosistem hutan tanaman industri seluas 9 565.53 ha
225
berupa pengendali erosi dan banjir, penjaga siklus hara, dan serapan karbon. Metode perhitungan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode biaya penggantian. 1. Pengendali erosi dan banjir Hutan tanaman industri pola MHR dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang cukup besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa pengendalian erosi dan banjir. Secara ilmiah telah diuraikan di muka bagaimana peranan ekosistem hutan dalam mencegah terjadi erosi dan banjir. Sebagaimana penelitian Kurnia (1996) bahwa mulsa Mucuna sp sangat efektif dalam mengurangi erosi tanah sebesar 74-85% dan dapat diterapkan pada tanah yang mempunyai tingkat erosi sampai 10 cm. Jika biaya pengendalian erosi dengan mulsa Mucuna sp adalah Rp1 640 per ton tanah erosi dan jumlah tanah yang tererosi di sekitar kawasan tanpa HTI adalah sebesar 15 ton/ha/tahun (Hanafiah dkk., 2000), maka biaya pengendalian erosi yang harus dikeluarkan untuk pengendalian erosi, banjir dan bencana lainnya dengan menggunakan mulsa Mucuna sp. adalah sebesar Rp235 312 038/tahun. 2. Penjaga Siklus Hara Nilai ekonomi sebagai penjaga siklus hara dan keseimbangan ekosistem di sekitar kawasan hutan tanaman, pendekatan yang digunakan adalah dengan menghitung nilai dari sekitar 15 ton serasah per hektar per tahun yang dihasilkan oleh ekosistem hutan tanaman dari pohon Acacia mangium (MHP, 2009). Jika
226
serasah diasumsikan setara dengan pupuk kompos, dengan harga sebesar Rp500 per kg. Maka manfaat tidak langsung sebagai penjaga siklus hara dari ekosistem hutan tanaman industri ini dapat dihitung dengan mengalikan 15 ton serasah/ha/th x Rp500/kg x 9 565.53 ha maka nilainya adalah sebesar Rp71 741 475 000. 3. Serapan Karbon Kawasan hutan tanaman Acacia mangium PT. MHP dengan pola MHR seluas 9 565.53 hektar merupakan salah satu sumberdaya hutan yang turut andil dalam penyerapan karbon. Kandungan karbon di atas permukaan tanah tegakan A. mangium di HTI PT MHP pada siklus tebang kedua terdapat kandungan karbon 25 ton/ha (Setiawan et al., 2000).
Jika merujuk pada standar nilai yang
digunakan dimana satu ton karbon bernilai US $10 (ITTO & FRIM, 1994). Maka nilai ekonomi total serapan karbon dari hutan tanaman industri dengan pola MHR per tahunnya adalah sebesar Rp21 522 442 500 (asumsi US$ 1 = Rp9000). Tabel 36. Manfaat Tak Langsung HTI dengan pola MHR, tahun 2010 No. 1. 2. 3.
Jenis Manfaat Pelindung erosi
Pengukuran
Erosi 15 ton/ha/th x luas 9 565.53 ha x biaya mulsa mucuna sp. Rp1 640/ha Penjaga siklus hara 15 ton serasah/ha/th x Rp500/kg x luas 9 565.53 ha Serapan karbon 25 ton/ha karbon x Rp90 000/ton x luas 9 565.53 ha Total Manfaat Tak Langsung
Nilai Total (Rp juta/tahun) 235.31 71 741.48 21 522.44 93 499.23
Dari tabel di atas terlihat bahwa porsi terbesar dari manfaat tidak langsung adalah nilai manfaat sebagai penjaga siklus hara, dengan nilai sebesar Rp71.74 miliar atau sekitar 76.73%, disusul dengan nilai serapan karbon sebesar Rp21.5
227
miliar atau sekitar 23%, dan sisanya sebesar Rp235.3 juta atau 0.25% sebagai nilai ekonomi pelindung erosi. Tabel 37. Nilai ekonomi total HTI pola MHR, tahun 2010 No. Uraian 1. Manfaat Langsung 2. Manfaat Tak Langsung Total Nilai Ekonomi Pola MHR
Nilai (Rp juta/tahun) 31 684.04 93 499.23 125 183.27
Berdasarkan hasil estimasi nilai manfaat langsung dan nilai manfaat tidak langsung pada tabel di atas, terlihat bahwa nilai ekonomi total kawasan hutan tanaman Acacia mangium dengan pola MHR pada PT MHP per tahun adalah senilai Rp125.1 miliar lebih. Dari jumlah tersebut manfaat langsung yang diterima hanya sebesar Rp31.68 miliar lebih atau sekitar 25.3% saja, sedang porsi nilai terbesar adalah nilai manfaat tak langsung yaitu sebesar Rp93.5 miliar atau sekitar 74.7%. Dari nilai ini terlihat bahwa manfaat tidak langsung hutan dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang nilainya mencapai hampir 3 kali nilai manfaat langsung. Nilai manfaat tidak langsung yang begitu besar dan selama ini jarang di lihat, dalam analisis ekonomi lingkungan harus dijadikan sebagai nilai yang harus diperhitungkan, yang dampaknya dapat dirasakan langsung secara luas oleh masyarakat sekitar kawasan. Dalam penaksiran manfaat tidak langsung selalu digunakan pertimbangan ekologis yang sangat berpengaruh secara keeluruhan terhadap produktivitas, sosial ekonomi, sosial ekologis, sosial budaya yang secara signifikan berpengaruh terhadap keberlanjutan pembangunan daerah.
228
9.4. Beberapa Pelajaran Penting dari Valuasi Ekonomi Pola HTI Sumberdaya hutan tanaman industri menghasilkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan pada tingkatan lokal, nasional, maupun global. Manfaat tersebut terdiri atas manfaat nyata yang terukur (tangible) berupa hasil kayu untuk pembuatan pulp, hasil hutan non kayu seperti madu lebah dan lain-lain, serta manfaat tidak terukur (intangible) berupa manfaat perlindungan lingkungan, keragaman hayati dan lain-lain. Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan tersebut masih dinilai secara rendah sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi yang berlebih. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak pihak yang belum memahami nilai dari berbagai manfaat HTI secara komperehensif. Untuk memahami manfaat dari HTI tersebut perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan HTI. Total manfaat itu sendiri merupakan upaya untuk menentukan total nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan manusia. Dengan diketahuinya nilai ekonomi total dari HTI, maka hal tersebut dapat dijadikan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan sumberdaya alam (SDA) yang semakin langka dan melakukan distribusi manfaat SDA yang adil. Terlebih dengan meningkatnya pertambahan penduduk saat ini yang menyebabkan timbulnya tekanan yang serius terhadap sumberdaya lahan, menyebabkan perlunya penyempurnaan pengelolaan sumberdaya lahan melalui penilaian akurat terhadap nilai ekonomi sumberdaya alam yang sesungguhnya. Manfaat HTI sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar, sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi suatu kawasan HTI dalam satuan moneter. Sebagai contoh manfaat HTI dalam
229
menyerap karbon, dan manfaat ekologis serta lingkungan lainnya. Karena sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat HTI belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Tetapi saat ini, kepedulian akan pentingnya manfaat lingkungan semakin meningkat dengan melihat kondisi SDA yang semakin terdegradasi. Untuk itu banyak dikembangkan berbagai metode dan teknik penilaian manfaat SDA, baik untuk manfaat SDA yang memiliki harga pasar ataupun tidak, dalam satuan moneter. Konsep nilai ekonomi total dan metode penilaian ekonomi mencoba untuk memberikan “nilai” terhadap seluruh manfaat yang dihasilkan hutan tanaman, baik yang diperdagangkan dan memiliki harga pasar maupun yang tidak memiliki harga pasar. Hal tersebut sangat dibutuhkan mengingat masalah yang timbul pada saat pengambil kebijakan berusaha untuk menyeimbangkan antara dua tujuan dalam pengelolaan hutan yaitu manfaat produksi dan manfaat lingkungan, membutuhkan suatu dasar dan rekomendasi untuk menentukan alokasi sumberdaya alam yang adil. Teknik penilaian ekonomi, khususnya untuk penilaian manfaat barang dan jasa hasil hutan non kayu yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter ini, sangat membantu dalam perumusan kebijakan pengelolaan hutan dan sistem pengelolaan hutan. Karakteristik manfaat hutan yang spesifik ini membutuhkan pendekatan teknik penilaian yang berbeda dengan manfaat hutan yang memiliki harga pasar dan diperdagangkan. Terakhir, dengan diketahuinya nilai ekonomi total dari sumberdaya hutan, diharapkan akan menciptakan pemanfaatan sumberdaya hutan yang lebih efisien karena manfaat hutan telah diperhitungkan secara memuaskan dalam perhitungan ekonomis.
230
Valuasi ekonomi atas pemakaian sumber daya alam memberikan keseluruhan nila ekonomi yang melekat pada sumber daya alam tersebut (Total Economy Value). Keseluruhan nilai ini tidak hanya terbatas pada nilai guna langsung (direct use) yang selama ini dipergunakan, namun juga meliputi nilai guna tidak langsung (Indirect Use Value), nilai pilihan (Option Value) dan nilai non guna (Non –Use Value). Valuasi ekonomi dari sumber daya alam adalah sebuah alat yang digunakan dalam mengestimasi nilai moneter dari barang dan jasa yang dihasilkan dari area konservasi. Pada intinya, valuasi ekonomi atas pemakaian sumber daya alam berupaya untuk memberikan keseluruhan nila ekonomi yang melekat pada sumber daya alam tersebut. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek (sumberdaya hutan) bagi individu tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Oleh karena itu akan terjadi keragaman nilai sumberdaya hutan tanman berdasarkan pada persepsi dan lokasi masyarakat yang berbeda-beda. Nilai sumberdaya hutan tanaman itu sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai sumberdaya hutan tanaman, dan hal tersebut dapat ditunjukkan dengan tingginya nilai sumberdaya hutan tanaman industri yang telah dibahas di depan. Hasil estimasi nilai ekonomi total pola perusahaan MHP, pola MHBM, dan pola MHR per kawasan dan per hektar, secara rinci dapat di lihat dalam tabel berikut ini.
231
Tabel 38. Nilai Ekonomi Total per tahun dari masing-masing pola pembangunan HTI di PT MHP, tahun 2010 No.
Pola HTI
Nilai Ekonomi Total (Rp juta/thn/kawasan) 2 018 830.23
Nilai Ekonomi Total (Rp juta/thn/hektar) 35.208
1.
Pola Perusahaan MHP Murni
2.
Pola MHBM
932 027.64
38.422
3.
Pola MHR
125 183.27
32.960
3 076 041.14
106.590
Jumlah
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai ekonomi total pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP ditambah dengan pola MHBM dan MHR per tahun per kawasan mencapai nilai sebesar Rp3.076 triliun. Dari jumlah tersebut sebesar 65.63% kontribusi dari pola perusahaan MHP, sebesar 30.3% kontribusi dari pola MHBM, dan sebesar 4.07% kontribusi dari pola MHR. Dari tabel di atas dapat dihitung seandainya PT MHP hanya melaksanakan pengelolaan HTI dengan pola perusahaan saja maka nilai ekonomi totalnya hanya sebesar Rp2.018 triliun per tahun, tanpa pola MHBM akan terjadi kehilangan nilai manfaat ekonomi sebesar Rp932 miliar lebih per tahun, demikian juga jika tanpa program MHR maka nilai manfaat ekonomi yang hilang adalah sebesar Rp125.18 lebih miliar per tahun. Jika pengelolaan HTI PT MHP dilakukan tanpa program MHBM dan MHR maka akan terjadi kehilangan manfaat ekonomi sebesar Rp1.057 triliun lebih per tahun. Jika kita lihat nilai ekonomi total per hektar, terlihat bahwa pola perusahaan hanya menghasil nilai sebesar Rp35.208 juta, sedangkan pola MHBM sebesar Rp38.422 juta, dan pola MHR hanya sebesar Rp32.96 juta. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pola MHBM mampu meningkatan nilai total ekonomi sebesar Rp3.214 juta per hektar dari pola Perusahaan murni, ini dikarenakan adanya
232
multiplier efek dari pola MHBM terhadap pendapatan masyarakat melalui upah kerja, keuntungan pemborong serta adanya jasa produksi dan manajemen. Sedangkan pada pola MHR walaupun terjadi penurunan nilai total ekonomi per hektar, tetapi secara ekonomi hal ini telah meningkatkan penghasilan masyarakat dari lahan-lahan yang terlantar dan lahan-lahan yang tidak produktif. Perpaduan antara ketiga pola pembangunan HTI di atas telah memberikan manfaat ekonomi yang cukup besar yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan HTI PT. MHP disamping itu juga dengan pola MHBM dan MHR perusahaan dapat meredam berbagai macam konflik yang sering terjadi sebelumnya, dengan demikian keamanan dan kelangsungan usaha lebih terjamin dan iklim usaha dan investasi lebih kondusif. Keberadaan hutan tanaman di lahan konsesi milik PT. MHP, sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar telah diperoleh dari keberadaan hutan tanaman industri melalui fungsinya baik sebagai penyedia bahan baku industri pulp, maupun penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur iklim global. Dalam
pengelolaan
hutan
tanaman,
sudah
saatnya
untuk
mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi apabila akan dilakukan kegiatan eksploitasi hutan. Berapa banyak nilai dari fungsi hutan yang hilang akibat kegiatan pada kawasan hutan tanaman dan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis seperti pada kawasan di daerah hulu DAS, sehingga
233
pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan hutan tanaman di Indonesia. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan terutama dalam demensi spasial, sudah seharusnya mendapat perhatian yang besar. Pentingnya elemen spasial didapat dari hubungan timbal-balik yaitu (1) proses lokal mempengaruhi global dan (2) trend global akan mempengaruhi lokal. Kerusakan ekosistem pada satu wilayah mempunyai efek yang besar dalam mempengaruhi kondisi klimatologi secara global dan siklus geokemikal. Struktur ekonomi dan lingkungan yang spesifik dalam suatu wilayah menentukan sensitifitas dari suatu daerah terhadap kekuatan ekonomi dan lingkungan eksternal. Oleh karena itu, mempelajari keberlanjutan dalam sistem multi regional dapat bermanfaat dalam implikasi secara spasial dan keberlanjutan secara global, baik dalam aktifitas regional dan internasional.
235
X. PERSPEKTIF KEBERLAJUTAN
Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan setidaknya ada tiga alasan utama mengapa pembangunan hutan tanaman industri harus berkelanjutan. Pertama menyangkut alasan moral, dimana barang dan jasa yang dinikmati dan dihasilkan saat ini oleh perusahaan HTI dari sumber daya alam dan lingkungan perlu tetap terjaga ketersediaannya untuk generasi mendatang. Kewajiban moral tersebut mencakup pengelolaan sumber daya alam yang ada saat ini secara baik dan tidak merusak lingkungan, yang dapat menghilangkan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menikmati hasil yang sama. Kedua, menyangkut alasan ekologi, dimana aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan HTI sudah semestinya tidak diarahkan pada kegiatan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan semata yang pada akhirnya dapat merusak fungsi ekologi. Faktor ketiga, yang menjadi alasan perlunya memperhatikan aspek keberlanjutan adalah alasan ekonomi. Pengembangan mempertimbangkan
konsep kebutuhan
pembangunan yang
wajar
yang secara
berkelanjutan sosial
dan
perlu kultural,
menyebarluaskan nilai-nilai yang menciptakan standar konsumsi yang seimbang dengan batas kemampuan lingkungan. Namun demikian ada kecenderungan bahwa pemenuhan kebutuhan tersebut akan tergantung pada kebutuhan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi ataupun kebutuhan produksi pada skala maksimum. Pembangunan berkelanjutan jelas mensyaratkan pertumbuhan ekonomi dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang konsisten dengan pertumbuhan ekonomi, serta mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan.
236
Seringkali terjadi aktivitas produksi yang tinggi, namun hal itu dapat saja terjadi secara bersamaan dengan kemelaratan yang tersebar luas. Kondisi ini dapat membahayakan lingkungan. Jadi pembangunan berkelanjutan mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dengan cara meningkatkan potensi produksi perusahaan dan sekaligus menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi semua orang. Dalam perspektif keberlanjutan pembangunan HTI di PT. MHP, pembahasan akan di bagi menjadi empat bagian, yaitu prinsip-prinsip keberlanjutan pembangunan HTI, dimensi keberlanjutan pembangunan HTI, faktor-faktor yang menjadi kendala keberlanjutan, dan prospek keberlanjutan HTI di perusahaan MHP. 10.1. Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan
berkelanjutan
sebagai
pembangunan
yang
menjamin
kekayaan nasional per kapita yang tidak menurun melalui penggantian atau konversi dari sumber-sumber kekayaan tersebut, yaitu stok dari modal yang diproduksi, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, dan sumberdaya alam. Dalam ilmu ekonomi sumber daya alam, konsep ini dikenal dengan istilah "Hartwick Rule" (Hartwick, 1977). Hartwick Rule pada intinya, menekankan bahwa jika suatu perekonomian menggunakan penghasilan atau rente dari sumberdaya alam untuk melakukan investasi pada jenis stok modal yang lain, maka pembangunan akan terjamin untuk berkelanjutan. Hartwick Rule berpegang pada asumsi bahwa modal buatan manusia merupakan substitusi dari modal alamiah. Berdasarkan pemahaman tersebut
237
muncul dua konsep yang berbeda dari keberlanjutan, yaitu konsep keberlanjutan lemah (weak sustainability) dan keberlanjutan kuat (strong sustainability). Dalam
pembangunan
berkelanjutan
yang
menganut
konsep
Weak
sustainability yang diutamakan adalah total stok modal yang tidak boleh berkurang, sementara salah satu komponen dari modal itu sendiri, yang terdiri dari modal manusia, modal alamiah dan modal sosial dapat saja berkurang. Apabila modal alamiah berkurang, tetapi komponen yang lain bertambah, misalnya modal fisik (infrastruktur), maka kondisi keberlanjutan akan tetap terjamin. Sedangkan dalam konsep Strong Sustainability, ditekankan bahwa selain total stok modal harus konstan, ada beberapa komponen dari modal, terutama modal alamiah, yang tidak boleh berkurang. Argumentasinya didasarkan pada premis bahwa beberapa bentuk dari modal statusnya sebagai pelengkap satu sama lain (komplementer) dan bukan sebagai pengganti atau substitusi. Pilihan mengadopsi salah satu konsep sangat tergantung dari seberapa jauh kita percaya akan substitutabilitas antar komponen dari modal tersebut. Pembangunan berkelanjutan berdasarkan kesepakatan komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.” Secara implisit ada dua hal yang menjadi perhatian dalam konsep bruntland tersebut. Pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumber daya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi. Kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan (well-being) generasi mendatang.
238
Berdasarkan pengertian di atas, agar pengusahaan HTI oleh perusahaan dapat berlangsung dalam jangka panjang paling tidak menurut konsep keberlanjutan lemah (Weak sustainability) dan bisa terus dinikmati oleh generasi mendatang, keberlanjutan produksi perusahaan dapat dilihat dari sisi perubahan teknologi (Technology shifter), perubahan Teknis (Technical shifter), dan perubahan skala usaha (Scaling shifter) baik yang telah dikembangkan maupun yang sedang dikembangkan selalu oleh perusahaan saat ini dan nanti. Perubahan Teknologi Salah satu keuntungan pengelolaan hutan tanaman industri adalah perubahan teknologi yang selalu berkembang dan dapat diaplikasikan secara luas dalam peningkatan produksi hutan tanaman. Hambatan fisik-biologis satu persatu dapat diatasi oleh perusahaan HTI dengan penemuan baru dari hasil riset dan pengembangan yang telah dilakukan secara terus menerus. Masalah serangan hama dan penyakit, saat ini sudah dapat diatasi dengan pencegahan dini dengan membuat kondisi tanaman tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Metode pencegahan yang efektif yang diterapkan saat ini adalah dengan menjaga kelembaban dalam tegakan supaya tidak tinggi dengan pengaturan jarak tanam dan pemeliharaan yang tepat. Penanggulangan kebakaran di HTI PT MHP dilakukan dengan membuat sekat bakar di setiap blok sebagai antisipasi untuk mencegah merembetnya kebakaran yang terjadi.
Dari sisi organisasi dan penanganan kebakaran
perusahaan HTI PT MHP merupakan perusahaan yang sudah diakui oleh badan internasional yang dianggap dan dinilai paling siap di Indonesia. Saat ini di PT
239
MHP terdapat 15 unit satuan khusus pengendalian kebakaran, setiap unit membawahi areal seluas 10 000 – 15 000 hektar. Selanjutnya untuk membantu deteksi dini terjadinya kebakaran telah dibangun sebanyak 41 menara api setinggi 25 meter dengan luas peliputan 3 000 – 5 000 hektar. Pengembangan pemuliaan pohon merupakan peluang yang sangat menjanjikan pengembangan hutan tanaman yang lestari dan berkelanjutan. Untuk pengembangan jangka panjang, perusahaan MHP telah membangun kebun benih semai memalaui konversi secara bertahap uji keturunan. Strategi pemuliaan yang diterapkan
adalah pemuliaan subgalur (subline breeding).
Sampai saat ini
terdapat 10 subgalur yang dibangun sejak tahun 1993, dan setiap subgalur mengandung 50 – 100 famili. Sampai saat ini telah ditemukan beberapa varietas dengan umur panen yang lebih singkat dari semula 8 tahun menjadi hanya 6 – 7 tahun dengan pertumbuhan diameter pohon yang lebih baik. Penemuan dan peranan penelitian serta kemajuan teknologi pada semua proses penanaman, pemeliharaan dan pemanenan di hutan tanaman indutri diharapkan dapat terus meningkatkan produksi dan usaha hutan tanaman dimasa mendatang dalam jangka panjang dapat berkelanjutan. Perubahan Teknis Dengan teknologi intensifikasi yang terus di teliti dan dikembangkan oleh perusahaan, efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi, seperti pupuk, dan obatobatan terus dilakukan oleh perusahaan untuk menekan biaya variabel penanaman setiap hektar hutan tanaman. Pada awal daur pertama biaya pembangunan hutan tanaman industri sekitar Rp18 juta per hektar, dengan berbagai efisiensi yang
240
telah dilakukan, saat ini biaya pembukaan satu hektar tanaman HTI hanya sekitar Rp15 juta per hektar. Perubahan Skala Usaha Penanaman HTI skala komersial perusahaan HTI PT. MHP telah dimulai sejak tahun 1990 dengan luasan hanya 27 928.25 hektar, penanaman kemudian terus berkembang hingga akhir tahun 2000, dengan penanaman skala komersial telah mencapai 193 500 hektar. Untuk mempertahankan kemampuan perusahaan sebagai pemasok utama bahan baku ke industri pulp, sejak tahun 2000 perusahaan melakukan penanaman dalam luasan yang seragam yaitu seluas 10 750 hektar setiap tahunnya, sebagai ganti penutupan lahan hutan yang di panen pada tahun yang sama. Hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan antara luas panen dengan luas tanaman. Pembangunan hutan tanaman industri yang telah dilakukan oleh perusahaan saat ini dengan mengedepankan aspek keberlanjutan paling tidak mencerminkan tiga aksioma dasar sebagaimana yang dikemukan Hall (1988) bahwa: (1) Aktivitas perusahaan saat ini dan masa mendatang telah diupayakan untuk memberikan nilai positif dalam jangka panjang; (2) Aset lingkungan yang menjadi konsentrasi pengelolaan perusahaan telah memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat; (3) Memahami dan mengatasi kendala akibat implikasi yang timbul pada aset lingkungan. Lebih lanjut PT. MHP berupaya untuk mengelaborasi konsep keberlanjutan dalam kegiatan perusahaan dengan : (1) mempertahankan utilitas dan konsumsi yang diperoleh masyarakat agar tidak menurun, (2) pengelolaan sumberdaya alam dilakukan sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi dimasa
241
mendatang, (3) sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (nondeclining), (4) sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam, dan (5) keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi. Selanjutnya pembangunan HTI yang berkelanjutan oleh perusahaan dapat dirinci menjadi tiga aspek, yaitu: (1) keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu. Berkelanjutan secara ekonomi berhubungan dengan asas biaya dan manfaat, lebih tepatnya manfaat harus lebih besar daripada dampaknya.
(2) Keberlanjutan
ekologi adalah keberlanjutan yang harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi ekosistem. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaraman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. (3). Keberlanjutan sosial, keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik. Dalam keberlanjutan sosial juga merefleksikan hubungan interaksi antara pembangunan dan norma sosial
yang
berlaku
di
masyarakat.
Suatu
aktivitas
secara
sosial
berkesinambungan, yang dapat berintegrasi dengan norma sosial yang ada atau tidak bertolak belakang dengan toleransi masyarakat terhadap perubahan. Pembangunan berkelanjutan sebagai proses untuk membawa tiga proses pembangunan di atas secara seimbang. Pada tingkat lokal, pembangunan berkelanjutan menghendaki bahwa pengembangan ekonomi dapat menopang kehidupan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara lokal.
242
Agar pembangunan dapat berkelanjutan maka secara ideal manfaatnya harus berkesinambungan dan dipertahankan secara kontinyu. Ini berarti bahwa pembangunan harus memenuhi berbagai tujuan secara seimbang, baik tujuan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Kesimpulan yang ditarik dari prinsi-prinsip pembangunan berkelanjutan adalah berupa sekumpulan aktivitas yang dapat meningkatkan derajat kehidupan manusia dalam berbagai aspek dan peningkatan tersebut dapat terus dipertahankan secara berkelanjutan untuk masa mendatang. 10.2. Dimensi Keberlanjutan Pembangunan HTI PT. MHP Dimensi keberlanjutan pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP dapat dilihat dari 4 sisi, yaitu dimensi sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi dan sosial budaya yang akan diuraikan dalam pembahasan berikut ini. Dimensi Sosial Psikologi Masalah yang dihadapi sektor kehutanan bukan saja tanggung jawab ilmu kehutanan, hukum, dan manajemen, tetapi juga ilmu yang mempelajari perilaku manusia seperti psikologi. Perbedaan aspek-aspek kemanusiaan seperti norma, sikap, nilai dan kearifan lokal memiliki implikasi yang luas bagi hutan tanaman industri dan kehidupan masyarakat disekitarnya. Penyuluhan dan edukasi merupakan komponen utama dalam pendekatan yang mempengaruhi masyarakat untuk bertindak dalam cara yang menguntungkan lingkungan. Masyarakat tidak dapat diharapkan peduli mengenai isu-isu perusahaan dan lingkungan sekitar bila mereka tidak memahaminya secara benar, dan mereka tidak bisa disalahkan jika bertindak dengan cara-cara yang merusak
243
tatanan lingkungan yang ada bila mereka tidak sadar akan implikasi dari perilakunya. Dalam kasus perusahaan HTI PT MHP, metode utama yang digunakan untuk mengupayakan perubahan perilaku adalah penyebaran informasi atau usaha persuasi yang diorganisir melalui penyuluhan dan edukasi yang terprogram. Efektifitas
penyebaran
informasi
dan
edukasi
secara
persuasi
dalam
mempengaruhi perilaku bergantung pada banyak faktor. Termasuk aspek psikologi komunikasi seperti kejelasan pesan yang disampaikan, derajat dimana pesannya disesuaikan dengan masyarakat, bagaimana penyampaiannya, muatan emosionalnya, penyampaian rekomendasi yang spesifik dan konkrit, dan kredibilitas penyampainya. Pesan yang secara sensitif disesuaikan pada penerimanya akan lebih efektif dalam menyebabkan perubahan perilaku masyarakat dan mengurangi sentimen negatif terhadap perusahaan. Perilaku masyarakat dipengaruhi oleh perilaku kelompok dan norma sosial, apa yang dipersepsikan sebagai boleh dan tidak boleh. Persetujuan sosial dapat berperan seperti insentif dan disinsentif dalam membentuk perilaku, dan persetujuan sosial satu dan lain komunitas sangatlah bervariasi. Oleh sebab itu, identifikasi yang hati-hati akan norma sosial dan tekanan kelompok pada tingkat lokal sangatlah kritis dalam mengubah perilaku masyakarat untuk sadar lingkungan. Suatu pendekatan pada perubahan perilaku yang memanfaatkan tekanan kelompok dan norma sosial yang telah menunjukkan derajat keberhasilan adalah community-based social marketing. Masyarakat cenderung akan menggunakan sistem bila mereka turut berpartisipasi, meskipun minimal, dalam rancangan atau implementasi dibanding
244
mereka yang tidak diikut sertakan. Ini berarti selain kepakaran dan kebijakan yang dikerahkan oleh perusahaan maupun institusi independen, proses pelibatan masyarakat (meskipun hanya lewat representasi tua-tua adat misalnya) tidak kalah pentingnya. Musyawarah adalah karakteristik pemecahan masalah publik khas masyarakat yang berada di sekitar kawasan HTI PT. MHP. Dimensi Sosial Ekologi Secara ideal keberlanjutan pembangunan membutuhkan pendekatan pencapaian terhadap keberlanjutan ataupun kesinambungan berbagai aspek kehidupan yang mencakup keberlanjutan ekologis. Dalam dimensi sosial ekologi manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan alamiahnya, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain secara fundamental. Dalam Ekologi mengakui nilai intrinsik semua mahluk hidup dan memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan. Untuk kasus sosial psikologi di perusahaan MHP telah dilakukan penanganan yang baik persoalan-persoalan ekologi yang terkait dengan banyak prilaku masyarakat yang kurang baik dan merugikan ekologi. Masalah utama dalam sosial ekologi adalah kebakaran hutan, hal ini sudah dapat diatasi dengan baik dengan pembinaan, pelatihan, dan adanya SOP yang baik penganganan kebakaran hutan di perusahaan MHP. Keberlanjutan
ekologis
adalah
prasyarat
untuk
pembangunan
dan
keberlanjutan kehidupan generasi mendatang. Keberlanjutan ekologis akan menjamin keberlanjutan ekosistem bumi. Untuk menjamin keberlanjutan ekologis
245
tersebut perusahaan HTI PT MHP telah berupaya dengan melaksanakan hal-hal pokok sebagai berikut: a. Memelihara integritas tatanan lingkungan HTI agar sistem penunjang kehidupan di kawasan HTI tetap terjamin dan sistem produktivitas, adaptabilitas, dan pemulihan tanah, air, udara dan seluruh kehidupan dapat berkelanjutan. b. Tiga aspek yang selalu diperhatikan untuk memelihara integritas tatanan lingkungan tersebut, yaitu: daya dukung, daya asimilatif dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya terpulihkan. Untuk melaksanakan kegiatan yang tidak mengganggu integritas tatanan lingkungan yaitu dengan menghindari konversi dan modifikasi ekosistem yang tidak relevan, kurangi konversi lahan subur dan kelola lahan dengan baku mutu ekologis yang tinggi, dan limbah yang dibuang tidak melampaui daya asimilatifnya lingkungan. c. Memelihara keanekaragaman hayati pada keanekaragaman kehidupan yang menentukan keberlanjutan proses ekologis. Proses yang menjadikan rangkaian jasa pada manusia masa kini dan masa mendatang. Terdapat tiga aspek keanekaragaman hayati yaitu keanekaragaman genetika, spesies, dan tatanan lingkungan. Untuk mengkonversikan keanekaragaman hayati tersebut perlu hal-hal berikut yaitu “menjaga ekosistem alam dan area yang representatif tentang kekhasan sumberdaya hayati agar tidak berubah, memelihara seluas mungkin area ekosistem yang diperuntukkan bagi keanekaragaman dan keberlanjutan keanekaragaman spesies. Pengelolaan pembangunan yang berwawasan lingkungan merupakan hal penting untuk keberlanjutan ekosistem. Hal ini dapat dilaksanakan melalui:
246
pencegahan pencemaran lingkungan; rehabilitasi dan pemulihan ekosistem dan sumberdaya alam yang rusak; meningkatkan kapasitas produksi dari ekosistem alam dan binaan manusia. Dimensi Sosial Ekonomi Keberlanjutan ekonomi dari perspektif pembangunan memiliki dua hal utama, keduanya mempunyai keterkaitan yang erat dengan tujuan aspek keberlanjutan lainnya. Keberlanjutan ekonomi secara makro menjamin kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efisiensi ekonomi melalui reformasi struktural secara menyeluruh. PT MHP dalam pelaksanaan PHBM telah berhasil mengendalikan dimensi sosial ekonomi ini melalui kemitraan program MHBM dan MHR yang diikat dengan kontrak kerjasama yang erat. Adanya informasi yang dapat di akses oleh seluruh masyarakat secara transparan, telah berdampak pada adanya kesempatan dan peluang yang sama bagi masyarakat sekitar untuk ikut andil dalam kegiatan ekonomi dan kerjasama ekonomi produktif lainnya. Hal ini merupakan prasayarat keberlanjutan ekonomi dalam pengelolaan HTI ke depan. Ada tiga elemen utama untuk keberlanjutan ekonomi ke depan yaitu efisiensi ekonomi, kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan, dan meningkatkan pemerataan dan distribusi kesejahteraan. Hal tersebut diatas dapat dicapai oleh perusahaan HTI melalui kebijaksanaan perusahaan untuk melibatkan masyarakat sekitar dalam kegiatan perusahaan baik melalui program MHBM maupun program MHR, peningkatan kelembagaan, pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan distribusi pendapatan dan aset.
247
Dimensi Sosial Budaya Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dan budaya dinyatakan dalam keadilan sosial, harga diri manusia dan peningkatan kualitas hidup seluruh masyarakat. Keberlanjutan sosial dan budaya mempunyai empat sasaran yaitu: a. Stabilitas penduduk di sekitar kawasan perusahaan yang pelaksanaannya mensyaratkan komitmen yang kuat, kesadaran dan partisipasi masyarakat, memperkuat peranan dan status gender, meningkatkan kualitas, efektivitas dan lingkungan keluarga. b. Memenuhi kebutuhan dasar manusia, dengan memerangi kemiskinan dan mengurangi kemiskinan absolut. Keberlanjutan pembangunan tidak mungkin tercapai bila terjadi kesenjangan pada distribusi pendapatan atau adanya kelas sosial. Halangan terhadap keberlajutan sosial harus dihilangkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kelas sosial yang dihilangkan dimungkinkannya untuk mendapat akses pendidikan yang merata, pemerataan pemulihan lahan dan peningkatan peran masyarakat. c. Mempertahankan keanekaragaman budaya, dengan mengakui dan menghargai sistem sosial dan kebudayaan seluruh masyarakat, dan dengan memahami dan menggunakan pengetahuan tradisional demi manfaat sosial bagi masyarakat dan pembangunan ekonomi. d. Mendorong pertisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa persyaratan penting dalam keberlanjutan sosial yaitu: prioritas harus diberikan pada pengeluaran sosial dan program diarahkan untuk manfaat bersama, investasi pada perkembangan sumberdaya misalnya meningkatkan status gender, akses pendidikan dan kesehatan, kemajuan ekonomi harus
248
berkelanjutan melalui investasi dan perubahan teknologi dan harus selaras dengan distribusi aset produksi yang adil dan efektif, kesenjangan antar regional dan desa, kota, perlu dihindari melalui keputusan lokal tentang prioritas dan alokasi sumber daya. Pengelolaan faktor sosial budaya dalam pengelolaan HTI di PT MHP, perusahaan sejauh ini telah mengadopsi kembali kearifan lokal dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan masyarakat sekitar kawasan. Perusahaan juga sudah memfasilitas musyawarah dalam masyarakat dengan diskusi kelompok yang dilakukan secara rutin yang tergabung dalam Fokus Diskusi Group (FGD). 10.3. Faktor-Faktor Kendala Keberlanjutan HTI PT. MHP Faktor-Faktor yang menjadi kendala keberlanjutan pembangunan HTI PT. MHP dapat dilihat dari 4 hal yang merupakan faktor penentu yang harus di menjadi kesepakatan untuk pengembangan manfaat dan keuntungan ekonomi bagi masyarakat. Keempat faktor tersebut adalah, faktor institusional, faktor efisiensi, faktor pembelanjaan, dan faktor sinergi. Faktor Istitusional (Institutional Factors) Penggunaan variabel sosial psikologis, seperti rasa aman, nyaman, dan rasa diperhatikan oleh perusahaan, adalah penting untuk pelaksanaan PHBM dalam hutan tanaman industri yang tertuang dalam program MHBM dan MHR yang diharapkan memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat yang menjadi sasaran program pemberdayaan masyarakat. Peluang ekonomi dan keuntungan
249
yang akan di dapatkan oleh masyarakat akan memperoleh dukungan semua peserta jika terbina hubungan sosial psikologi yang harmonis secara institusional. Keberagaman etnis sosial dengan tanaman akasia dan tanaman pokok yang berbeda dengan diusahakan masyarakat selama ini dapat menyebabkan salah pengertian dan permasalahan lain yang kompleks. Untuk meyakinkan masyarakat tentang manfaat yang luas dari keberadaan perusahaan HTI bagi masyarakat, diperlukan penguatan kelembagaan yang mendukung program HTI.
Kendala
psikologi yang dihadapi perusahaan saat ini adalah sentimen negatif dan rasa curiga sebagian masyarakat terhadap keberadaan perusahaan. Untuk mengatasi kendala psikologis yang dihadapi oleh perusahaan saat ini adalah dengan meminimalisir sentimen negatif terhadap perusahaan dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan HTI dalam program partisipasi, dan pendekatan yang saling menguntungkan dengan penyuluhan dan edukasi yang baik. Faktor Efisinesi (Efficiency Factors) Faktor efisiensi pemanfaatan sumberdaya lahan saat ini sangat penting mengingat keterbatasan sumberdaya lahan yang kian semakin langka. Tekanan masyarakat lokal yang semakin kuat terhadap keberadaan sumberdaya lahan dapat menimbulkan konflik yang beragam terhadap klaim lahan perusahaan oleh masyarakat.
Tekanan masyarakat terhadap lahan dapat diukur secara sosial
ekologi dari rasio penggunaan tenaga kerja per luas lahan. Di sekitar kawasan areal konsesi milik perusahaan HTI PT MHP, banyak masyarakat berusahatani secara tradisional. Usahatani masyarakat secara relatif umumnya mempunyai
250
produktivitas yang rendah. Untuk itu, keberadaan demplot secara permanen dapat menjadi percontohan yang baik, guna meningkatkan produktivitas mereka melalui edukasi langsung yang bersifat demonstratif. Adanya iklim sosial ekologi yang baik juga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas masayarakat dan perusahaan.
Pembinaan prilaku ekologi yang
merugikan juga merupakan solusi untuk meminimalisir kerugian ekologi yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Faktor Pembelanjaan (Spending Factors) Faktor pembelajaan yang merupakan cerminan dari daya beli masyarakat yang masih rendah merupakan kendala yang dihadapi saat ini. Kemampuan daya beli yang masih rendah di dalam masyarakat dapat dilihat secara jelas dari rendahnya daya beli mereka terhadap barang-barang modal yang diperlukan dalam proses produksi, hal ini dapat menjadi kontra produktif untuk mendukung upaya silvikultur pengembangan hutan tanaman bagi masyarakat sekitar. Program pemberdayaan
ekonomi
masyarakat
melalui
penanaman
akasia
dalam
pengembangan program MHBM dan MHR perlu di tunjukkan oleh keunggulan ekonominya secara realistis dan masuk akal sebelum hal itu dapat diadopsi oleh masyarakat secara luas. Kemitraan yang kuat antara perusahaan dan masyarakat melalui program peningkatan ekonomi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan daya beli telah berhasil dilakukan oleh perusahaan dalam PHBM dengan program MHBM dan MHR,
251
dimana secara umum pendapatan masyarakat sekitar kawasan meningkat sebesar 30% lebih dari sebelumnya. Faktor Sinergi (Synergy Factors) Sinergi antar kelompok dan sesama kelompok dengan perusahaan HTI harus berjalan harmonis dan saling menguntungkan, walaupun sinergi antar kelompok dan sesama kelompok ini terkadang menjadi hambatan, dikarenakan adanya satu atau beberapa anggota kelompok yang berlaku curang dan mau untung sendiri. Sinergi antar kelompok dan sesama kelompok merupakan faktor penting yang harus disepakati oleh peserta MHR untuk mendukung keperlanjutan penggunaan sumberdaya lahan. Jika tidak kontrak kerjasama bisnis akan mudah berakhir dengan mudah kapa saja. Sehingga dalam pelaksanaannya masyarakat tidak mudah merasa tertipu oleh perusahaan. Pengelolaan dimensi sosial budaya telah berhasil menciptakan sinergi yang baik antara perusahaan dengan masyarakat atau kelompok masyarakat melalui musyawarah mufakat dan kearifan lokal lainnya dalam menyusun rencana dan pelaksnaan kegiatan ekonomi. 10.4. Prospek Keberlanjutan HTI PT. MHP Prospek keberlanjutan HTI PT MHP untuk program MHR dapat dilihat dari tingkat keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada daur kedua. Untuk mengetahui variabel yang menjadi penentu keputusan petani peserta MHR untuk melanjutkan atau tidak program pembangunan HTI dengan pola MHR pada siklus kedua, digunakan model persamaan logit dimana keputusan petani
252
dipengaruhi oleh variabel sosial psikologi, variabel sosial ekologi, variabel sosial ekonomi, variabel sosial budaya. Variabel sosial psikologi meliputi rasa aman penduduk terhadap status kepemilikan lahan yang mereka usahakan dalam berusahatani di wilayah mereka. Variabel ini dinyatakan dalam variabel dummy adanya rasa aman atau tidak. Variabel sosial ekologi meliputi variabel tingkat kesuburan lahan, kemiringan lahan, dan jarak lahan dari tempat tinggal. Variabel sosial ekonomi meliputi variabel pendapatan dari HTI, pendapatan dari usaha tani lain, pendapatan dari luar usahatani, biaya hidup kelaurga. Variabel sosial budaya meliputi variabel biaya yang dikeluarkan petani untuk kenduri, gotong royong, arisan dan pengeluaran kegiatan sosial lainnya. Berdasarkan empat variabel pokok di atas, di duga bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melanjutkan program Mengelola Hutan Rakyat (MHR) pada rotasi ke-2 adalah 1) dummy adanya rasa aman, 2) dummy kesuburan lahan, 3) dummy kemiringan kahan, 4) jarak lahan dari tempat tinggal, 5) luas lahan, 6) pendapatan dari HTI, 7) pendapatan dari usahatani lain, 8) pendapatan dari luar usahatani, 9) biaya hidup keluarga, dan 10) biaya sosial, seperti biaya kenduri, gotong royong, arisan dll. Setelah dilakukan pengeolahan data terhadap 10 variabel di atas, ternyata terdapat masalah korelasi yang cukup tinggi antara variabel luas lahan MHR dengan penerimaan dari tanaman HTI, yaitu sebesar 0.933. Hal ini dapat di mengerti karena, penerimaan petani dari HTI terkait erat dengan luas lahan HTI yang ditanami.
Untuk mengatasi masalah ini maka variabel luas lahan
dikeluarkan dari model pendugaan.
253
Dari analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode penduga maximum likelihood, dapat di lihat sejauh mana model logit dapat menjelaskan atau memprediksi model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada rotasi ke dua. Hal ini dapat dilihat dari nilai Khi-kuadrat (χ2) dari model regresi. Sebagaimana halnya model regresi linear dengan metode OLS, kita juga dapat melakukan pengujian arti penting model secara keseluruhan. Jika metode OLS menggunakan uji F, maka pada model logit menggunakan uji G. Statistik G ini menyebar menurut sebaran Khikuadrat (χ2). Karenanya dalam pengujiannya, nilai G dapat dibandingkan dengan nilai χ2 tabel pada α tertentu dan derajat bebas k-1. Selanjutnya Kita juga bisa melihat nilai p-value dari nilai G ini yang ditampilkan oleh software SPSS. Dari hasil output SPSS didapatkan nilai χ2 sebesar 34.4 dengan p-value 0.000. Karena nilai ini jauh dibawah 1% (α=1%), maka dapat disimpulkan bahwa model regresi logistik secara keseluruhan dapat menjelaskan atau memprediksi keputusan petani dalam melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Berdasarkan nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.597 yang berarti bahwa sembilan variabel bebas mampu menjelaskan variasi keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada tahap ke dua sebesar 59.7%, sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Selanjutnya, untuk menguji faktor mana yang berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam melanjutkan program MHR pada siklus ke dua tersebut, dapat menggunakan uji signifikansi dari parameter koefisien secara parsial dengan statistik uji Wald, yaitu dengan membagi koefisien terhadap standar error masing-masing koefisien.
254
Dari 9 variabel bebas yang dimasukkan ke dalam model tersebut, pada taraf uji (α) sebesar 25 persen terdapat tujuh variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Keempat variabel tersebut adalah 1) dummy adanya rasa aman, 2) jarak lahan dari tempat tinggal, 3) pendapatan dari luar usahatani, 4) biaya hidup keluarga, 5) pendapatan dari usahatani lain, 6) dummy kemiringan lahan, dan 7) dummy kesuburan lahan. Pada taraf uji (α) sebesar 15 persen, terdapat enam variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Ketiga variabel tersebut adalah 1) dummy adanya rasa aman, 2) jarak lahan dari tempat tinggal, 3) pendapatan dari luar usahatani, 4) biaya hidup keluarga, 5) pendapatan dari usahatani lain, dan 6) dummy kemiringan lahan. Pada taraf uji (α) sebesar 5 persen terdapat empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua, yaitu 1) dummy adanya rasa aman, 2) jarak lahan dari tempat tinggal, 3) pendapatan dari luar usahatani, dan 4) biaya hidup keluarga. Sedangkan variabel Pendapatan petani dari HTI dan biaya sosial pengaruhnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Hasil analisis mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua, ringkasannya disajikan dalam tabel 39 berikut ini.
255
Tabel 39. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melanjutkan program MHR di PT. MHP, Tahun 2010 Parameter Estimasi
Standar Error
No.
Variabel
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
D1
3.580
1.804
3.940
1
.0471 35.878
D2
-1.047
.904
1.340
1
.2473
.351
1
2
.235
1
1.505
4
D3 X1
-1.450 .409
.973 .186
Wald
df
2.218 4.841
Sig.
1
Exp(B)
.136 .028
X3
.003
.007
.189
1
.663
.997
X4
.075
.049
2.311
1
.1282
1.077
1
1
.663
1
.842
4
1.473 6.910
X5 X6 X7 Constant
.411 .172 .387 1.933
.176 .081 .733 3.080
5.469 4.487 .279 .394
1 1 1
.019 .034
.597 .530
Keterangan : 1 Berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf uji α ≤ 0.05 2 Berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf uji α ≤ 0.15 3 Berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf uji α ≤ 0.25 4 Tidak berpengaruh secara signifikan dimana : D1 D2 D3 X1 X3 X4 X5 X6 X7
= = = = = = = = =
Dummy adanya rasa aman (ada=1; tidak ada=0) Dummy kesuburan lahan (subur=1, tidak subur=0) Dummy Kemiringan Lahan (relatif datar=1, miring=0) Jarak lahan dari tempat tinggal (km) Pendapatan dari HTI (Rp/siklus) Pendapatan dari usahatani lain (Rp/tahun) Pendapatan dari luar usahatani (Rp/tahun) Biaya hidup keluarga (Rp/tahun) Biaya sosial, seperti biaya kenduri, gotong royong, arisan dll (Rp/tahun)
Koefisien dalam model logit menunjukkan perubahan dalam logit sebagai akibat perubahan satu satuan variabel independent. Interpretasi yang tepat untuk koefisien ini tentunya tergantung pada kemampuan menempatkan arti dari perbedaan antara dua logit. Oleh karenanya, dalam model logit, dikembangkan
256 pengukuran yang dikenal dengan nama odds ratio (ψ). Odds ratio untuk masingmasing variabel ditampilkan oleh SPSS sebagaimana yang terlihat tabel diatas pada kolom Exp(B). Odds ratio secara matematis dapat dirumuskan menjadi persamaan: ψ = eβ, dimana e adalah bilangan 2.71828 dan β adalah koefisien masing-masing variabel. Variabel dummy adanya rasa aman berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Nilai odds ratio dari variabel dummy adanya rasa aman adalah 35.9. Ini berarti bahwa petani yang memiliki rasa aman terhadap program MHR dan kepemilikan lahan mereka mempunyai peluang sebesar 35.9 kali untuk mengambil keputusan tetap melanjutkan program MHR pada siklus ke dua dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki rasa aman dalam program MHR. Variabel jarak lahan dari tempat tinggal mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Nilai odds ratio dari variabel jarak lahan dari tempat tinggal adalah sebesar 1.5. Ini berarti bahwa jika jarak lahan dari rumah petani bertambah 1 km, maka peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua akan meningkat sebesar 1.5 kali. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh jarak lahan yang mereka miliki dari tempat tinggal mereka, maka semakin sulit bagi petani untuk mengurus lahannya tersebut.
Berdasarkan pertimbangan
ekonomi daripada lahan tersebut menganggur dan tidak menghasilkan sama sekali, maka mereka cenderung memutuskan untuk menyerahkan lahan tersebut untuk dikelola oleh perusahaan dalam program MHR untuk ditanami dengan akasia.
257
Variabel pendapatan dari luar usahatani, berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Nilai odds ratio dari variabel pendapatan dari luar usahatani adalah sebesar 0.663. Ini berarti bahwa jika pendapatan petani dari luar usahatani bertambah sebesar Rp1 juta, maka peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua akan bertambah sebesar 0.663. Hal ini dapat terjadi karena petani yang mempunyai pendapatan yang lebih besar dari luar usahatani mencurahkan waktu yang lebih banyak dalam mengelola usaha atau pekerjaan di luar usahataninya. Jadi dengan keterbatasan waktu yang dimiliki petani untuk membuka dan mengolah lahannya sendiri maka mereka cenderung untuk mengikut sertakan lahannya dalam program MHR. Variabel biaya hidup keluarga, berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Nilai odds ratio dari variabel biaya hidup keluarga adalah sebesar 0.842. Ini berarti bahwa jika biaya hidup petani bertambah sebesar Rp1 juta, maka peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua akan naik sebesar 0.842 kali. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar kebutuhan petani untuk membiayai hidup kelaurganya, semakin besar pula pengeluaran yang dia keluarkan. Untuk menutupi kebutuhan yang semakin meningkat petani selalu berusaha mencari sumber-sumber penghasilan lain yang dapat mereka usahakan, diantaranya adalah dengan mengikut sertakan lahan-lahan menganggur yang mereka miliki untuk diikut sertakan dalam program MHR yang dikelola oleh perusahaan.
258
Variabel pendapatan dari usahatani lain, berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Nilai odds ratio dari variabel pendapatan dari usahatani lain adalah sebesar 1.077.
Hal ini berarti bahwa jika pendapatan dari usahatani lain bertambah
sebesar Rp1 juta, maka peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua akan bertambah sebesar 1.077 kali. Hal ini dapat terjadi karena naiknya pendapatan petani dari usahatani lain akan cenderung meningkatkan perhatian dan curahan waktu kerja mereka menjadi lebih besar, sehingga mereka tidak punya waktu kerja lagi untuk mengelola lahan-lahan menganggur yang mereka miliki, sehingga mereka cenderung untuk mengikut sertakannya dalam program MHR. Variabel dummy kemiringan lahan, berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Nilai odds ratio dari variabel dummy kemiringan lahan adalah 0.235. Ini berarti bahwa petani yang memiliki lahan yang semakin miring mempunyai peluang sebesar 0.235 kali untuk mengambil keputusan tetap melanjutkan program MHR pada siklus ke dua dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki lahan yang datar.
Keadaan lahan yang lebih miring memerlukan
pengelolan yang lebih sulit dibandingkan dengan lahan yang datar, hal ini berarti bahwa semakin sulit pengelolaan lahan yang mereka miliki, petani lebih cenderung untuk menyerahkan lahan untuk diikutsertakan dalam program MHR. Variabel dummy kesuburan lahan berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua. Nilai odds ratio dari variabel dummy kesuburan lahan adalah 0.351. Ini berarti
259
bahwa petani yang memiliki lahan yang semakin subur mempunyai peluang sebesar 0.235 untuk mengambil keputusan tetap melanjutkan program MHR pada siklus ke dua dibandingkan dengan petani yang memiliki lahan yang yang kurang subur. Keadaan lahan yang lebih kurang subur memerlukan pengelolaan yang lebih sulit dan pemupukan yang lebih banyak dibandingkan dengan lahan yang subur, hal ini berarti bahwa semakin sulit dan mahal pengelolaan lahan yang mereka miliki, petani lebih cenderung untuk menyerahkan lahan untuk diikutsertakan dalam program MHR. Secara keseluruhan dari uraian di muka akan terlihat bahwa keberlanjutan pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP dapat dilihat dari 4 hal, yaitu stabilitas, produktivitas, equitabilitas, dan sustainabilitas. Keempat hal tersebut secara utuh sangat menentukan keberlanjutan pembangunan hutan tanaman industri ke depan dalam jangka panjang Stabilitas Keberlanjutan usaha pembangunan hutan tanaman sangat ditentukan oleh stabilitas kawasan yang tercermin dari adanya rasa aman masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Keberlanjutan stabilitas kawasan diarahkan pada respon
masyarakat yang tinggi terhadap hak asasi manusia, kebebasan individu dan sosial untuk berpartisipasi dibidang ekonomi, sosial dan budaya, kebebasan yang dilaksanakan perlu memperhatikan proses yang transparan dan bertanggungjawab, kepastian bekerja, memperoleh penghasilan, kesedian pangan, air, dan pemukiman. Keberlanjutan keamanan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, baik yang langsung maupun tidak langsung, yang dapat membahayakan integritas,
260
identitas, dan kelangsungan pengusahaan hutan tanaman industri. Di wilayah perusahaan saat ini stabilitas kawasan sangat kondusif, aman, tertib, dan terpelihara. Produktivitas Prospek keberlanjutan pembangunan HTI dapat dilihat dari aspek produktivitas.
Pengembangan bibit unggul dari seleksi 10 subgalur yang
dilakukan terus menerus, dan berkembangnya teknologi budidaya telah mampu meningkatkan produktivitas tanaman secara signifikan, dari 160 m3 per hektar, sekarang sudah mencapai 200 m3 per hektar. Pengembangan klon Acacia mangim unggulan telah memperpendek daur produksi dari 8 tahun menjadi hanya 6 – 7 tahun. Produktivitas yang terus meningkat dari siklus tanam ke siklus tanam berikutnya dapat menjadi jaminan keberlanjutan pembangunan HTI pada masa mendatang. Equitabilitas Pembangunan hutan tanaman industri yang berkelanjutan harus berorientasi pemerataan dan keadilan sosial harus dilandasi hal-hal seperti, meratanya distribusi pendapatan dan kesempatan untuk bekerja mencari pengahsilan, meratanya peran dan kesempatan perempuan, meratanya ekonomi yang dicapai dengan keseimbangan distribusi kesejahteraan. Pemerataan adalah konsep yang relatif dan tidak secara langsung dapat diukur. Dimensi etika pembangunan berkelanjutan adalah hal yang menyeluruh, dimana kesenjangan pendapatan antara si kaya dan si miskin dapat dipersempit. Aspek etika lainnya yang perlu menjadi perhatian pembangunan berkelanjutan
261
adalah prospek generasi masa datang yang tidak dapat dikompromikan dengan aktivitas generasi masa kini. Ini berarti pembangunan generasi masa kini telah mempertimbangkan generasi masa datang dalam memenuhi kebutuhannya. Sustainabilitas Pembangunan hutan tanaman yang berkelanjutan harus memperhatikan kesinambungan usaha dari generasi ke genasi dalam jangka panjang. Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih utama dari masa depan, implikasi pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian ini. Pembangunan berkelanjutan di PT MHP telah dikelola dengan baik melalui bekerjanya gerbang pengendalian kemerosotan sosial, sehingga semua dimensi sosial yang merugikan yang terjadi dalam masyarakat dapat di deteksi dan atasi dengan cepat dan tepat sasaran. Persepsi jangka panjang masyarakat tentang pentingnya perusahaan yang mrupakan bagian dari kehidupan ekonomi, ekologi dan sosial mereka adalah perspektif penting dalam pembangunan yang berkelanjutan.
263
XI. KESIMPULAN DAN SARAN
11.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Di tinjau dari perspektif perusahaan, pembangunan HTI sangat ditentukan oleh aspek keuntungan didapat perusahaan, disamping aspek kepastian berusaha, luas lahan, skala investasi dan struktur modal, teknologi yang diperlukan. Dari perspektif petani, pemerintah pusat dan daerah keberadaan HTI harus dapat memberikan peluang bekerja, pencapaian optimal dalam manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial, serta percepatan pembangunan daerah, peluang investasi, penciptaan kesempatan bekerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah melalui pajak, retribusi dll. 2. Keberlanjutan Pola MHBM dan MHR dapat dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan adanya kepastian kerja dan kepastian hasil usaha, dan kepastian mendapat bagi-hasil atas produksi. Bagi perusahaan MHP program MHBM dan MHR telah memberikan manfaat berupa jaminan keberlanjutan kegiatan perusahaan di masa mendatang, dengan tersedianya lahan usaha yang tidak bermasalah, terjaminnya kelestarian produksi dan kapasitas usaha, terciptanya hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat. Sedangkan bagi pemerintah pusat dan daerah manfaat dari program MHBM ini adalah: 1) meningkatkan penerimaan pemerintah melalui penerimaan devisa, pajak, PSDH, dan lain-lain, 2) meningkatkan kualitas lingkungan, dan 3) meningkatkan kemakmuran masyarakat pedesaan.
264
3. Keberlanjutan pengelolaan HTI PT. MHP juga dapat dilihat dari adanya rasa memiliki oleh masyarakat sebagai stakeholders sehingga mereka dapat diajak berbagi tanggung jawab dan manfaat dalam pembangunan dan perlindungan tanaman industri. Hal ini dapat meredam konflik sosial, meningkatnya kualitas lingkungan serta meningkatnya mobilitas masyarakat karena tersedianya sarana dan prasarana transportasi sebagai salah satu usaha untuk membantu memasarkan hasil-hasil pertanian. 4. Pengelolaan faktor-faktor sosial (SECI) yang baik oleh perusahaan dapat meningkatkan Nilai ekonomi total pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP dengan pola MHBM dan MHR menjadi Rp3.076 triliun. Dari jumlah tersebut sebesar 65.63% kontribusi dari pola perusahaan MHP, sebesar 30.3% kontribusi dari pola MHBM, dan sebesar 4.07% kontribusi dari pola MHR. 5. Ada empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang keputusan petani untuk melanjutkan program MHR pada siklus ke dua, yaitu 1) adanya rasa aman, 2) jarak lahan dari tempat tinggal, 3) pendapatan dari luar usahatani, dan 4) biaya hidup keluarga.
11.2. Saran Pengusahaan hutan tanaman industri merupakan peluang usaha yang cukup menjanjikan bagi para investor besar dan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar, untuk menunjang hal ini ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan: 1. Adanya iklim berusaha yang kondusif melalui kebijakan pemerintah untuk pengembangan HTI bagi program pengembangan pembangunan sektor
265
kehutanan, melalui kemudahan pemberian izin konsesi pada lahan yang tidak bermasalah dan pinjaman dana yang murah bagi pengusaha. 2. Untuk meningkatkan nilai tambah kayu akasia diharapkan kedepan investor dapat mengembangkan industri selain pulp dan kertas untuk memperkaya industri berbasis hutan tanaman di Sumatra Selatan. Untuk itu perlu dikembangkan industri yang terintegrasi (integrated industry), kayu-kayu berdiameter besar diproses menjadi bahan bangunan dan furniture yang berkualitas dan limbahnya dapat di proses menjadi serpih untuk kemudian di proses kembali menjadi pulp. 3. Keterlibatan masyarakat secara luas kedepan sangat diperlukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Untuk
itu
dimungkinkan ke depan dapat dikembangkan HTI yang berpola inti-plasma. 4. Dalam
pengelolaan
hutan
tanaman,
sudah
saatnya
untuk
mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi dalam kegiatan eksploitasi hutan dalam analisis nilai ekonomi total kawasan.
5. Agar
pembangunan
hutan
tanaman
industri
pola
CBFM
dapat
dilaksanakan secara berkelanjutan, pengelolaan faktor penghubung sosial entrophy seperti sosial psikologi, sosial ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya, sebagai suatu kelola sosial yang baik perlu dilakukan secara sungguh-sungguh.
6. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan penilaian langsung pada
variabel-variabel sosial yang berubah-ubah secara spesifik dalam skala rentang waktu tertentu terhadap pembentukan nilai ekonomi total.
267
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII : Penegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Denpasar. Abelson, P. 1979. Cost benefit analysis and environmental problems. Saxon House, London. Alrasjid, H. 1984. Aspek-Aspek Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Proceedings Lokakarya Pembangunan Timber Estate Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Askary, M. 2003. Valuasi Ekonomi dalam Kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Dipresentasikan pada Seminar Nasional III Neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Baturaden, Purwokerto pada 12 – 14 Desember 2003. Astana, S., B.M. Purnama, dan B.M. Sinaga. 2006. Optimalisasi Manfaat Ekonomi Hutan Alam Produksi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan, 3 (2) : 56-76. Bann, C. 1997. The Economic Valuation of Tropical Forest Land Use Options: A Manual for Researchers. The Economy and Environment Program for Southeast Asia, Tanglin. Bann, C. 2003. An Economic Analysis of Tropical Forest Land Use Options, Ratanakiri Province, Cambodia. Research Reports, International Development Research Centre, Ottawa. Barbier, E.B., M.C. Acreman, and D. Knowler. 1996. “Economic Valuation of Wetlands: A Guide for Policy Makers and Planners”. Ramsar Convention Bureau, Turialba. Barr, C. 2001. Banking on sustainability: Structural adjustment and Forestry reform in post-Suharto Indonesia. Center for International Forestry Research and WWF Macroeconomics for Sustainable Development Program Office, Bogor. Barton, D.N. 1994. Economic Factor and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR Report 14/1994. University I. Bergen, Leiden. Bateman, I.J. 1999. “Environmental Impact Assessment, Cost-Benefit Analysis and The Valuation of Environmental Impacts”. In Petts, J. (ed), “Handbook of Environmental Impact Assessment: Process, Methods and Potential”. Blackwell Science, Oxford. Baxter, R.E. and R. Ray. 1978. The Penguin Dictionary of Economics. Second Edition. Penguin Books, New York.
268
Bond, R., J. Curran, K. Patrick, N. Lece, and P. Francis. 2001. Integrated Impact Assessment for Sustainable Development. A Case Study Approach. University of Manchester, London. Bosshard, A. 2000. A Methodology and Terminologi Of Sustainability Assessment and Its Perpectines for Rural Planning. Agriculture, Ecosystem and Environment, New York Bromley, D., 1998. Searching for Sustainability: The Poverty of Spontaneous Order. Ecological Economics, 24 : 231-240. Campbell, D. 2007. Willingness to Pay for Rural Landscape Improvements: Combining Mixed Logit and Random-Effects Models. Journal of Agricultural Economics, 58 (3) : 467–483 Chen, M. 2001. Evaluation of Environmental Services of Agriculture in Taiwan. International Seminar on Multifunctionality of Agriculture 17-19 October. JIRCAS, Tsukuba. Costanza, R. 1991. Ecological Economics: The Science and Management of Sustainability. Columbia University Press, New York Costanza, R., L.Wainger, C.Folke, and K.G. Mäler. 1993. Modelling Complex Ecological Economic Systems: Toward an Evolutionary, Dynamic Understanding of People and Nature. Bio Science, 43 (8) : 545-555. Cramer, J.S. 2003. http://www.cambridge.org/resources/0521815886/1208_ default. pdf Davis, M.R., Allen, R.B. and Clinton, P.W., 2003. Carbon storage along a stand development sequence in a New Zealand Nothofagus forest. Forest Ecology and Management, 177: 313-321. Departemen Kehutanan. 1990. Informasi Hukum dan Perundang-Undangan. Dirjen R2L. Biro Hukum dan Administrasi Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan. 1996. Statistik Sumberdaya Hutan Indonesia II (Kecuali P. Jawa). Proyek Inventarisasi Hutan Nasional Ditjen Intag dan FAO, Jakarta. Departemen Kehutanan. 1997. Laporan Akuntabilitas Menteri Kehutanan Periode 1996/1997. Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009. Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Proyek Pengembangan Kelembagaan Agribisnis dan Sumberdaya Manusia Pertanian Pusat Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Jakarta.
269
Eom, K.C. and K.K. Kang. 2001. Assessment of Environmental Multifunctions of Rice Paddy and Upland Farming in The Republic of Korea. International Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 October. JIRCAS, Tsukuba. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fielding, A., M.Yang, and H. Goldstein. 2003. Multilevel Ordinal Models for Examination Grades. Statistical Modelling, 3 (2) : 127-153. Food and Agriculture Organization. 1996. Provisional Forest Products Outlook. Policy and Planning Division Forestry Department FAO, Rome. Food and Agriculture Organization. 2003. FAO Statistical Databases. FAO, Rome. Food and Agriculture Organization. 2005. “State of The World's Forests”. FAO, Rome. Food and Agriculture Organization. 2006. World Agriculture: Towards 2030– 2050. FAO, Rome. Gittenger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Global Forest Watch. 2002. The state of the Forest: Indonesia. Global Forest Watch, Washington D.C. Gowdy, J.M. 1997. The value of biodiversity. Land economics, 73 : 25-41. Hackl, F., M. Halla, and G.J. Pruckner. 2007. Local Compensation Payments for Agri-Environmental Externalities: A Panel Data Analysis of Bargaining Outcomes. European Review of Agricultural Economics, 34 (3) : 295–320. Hammitt, J.K. and K. Haninger. 2007. Willingness To Pay for Food Safety: Sensitivity To Duration and Severity Of Illness. American Journal of Agricultural Economics, 89 (5) : 1170–1175. Hartwick, J. M., 1977. Intergenerational equity and the investing of rents from exhaustible resources. American Economic Review, 67 (1) : 972-974. Hedeker, D. and R.D. Gibbons. 1994. A Random Effect Ordinal Regression Model for Multilevel Analysis. Biometrics, 50 (4) : 933-944 Hoover, C.M., Birdsey, R.A., Heath, L.S. and Stout, S.L., 2000. How to estimate carbon sequestration on small forest tracts. Journal of Forestry, 98 (9): 1319. Huftschmidt, M.M., D. James, A.D. Meister, B.T. Bower, and J. Dixon. 1983. Environment, Natural Sysems, and Development: An Economic Valuation Guide, The John Hopkins University Press, Baltimore.
270
Johnson, M.P. 2000. A http://www.auburn.edu
Glosary
of
Political
Economic
Term.
Kartodihardjo, H. 1999. Masalah Kelembagaan Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Paper tidak dipublikasikan, Bogor. Kartodihardjo, H. dan A. Supriono. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. Occasional Paper No. 26(I). Center for International Forestry Research, Bogor. Kartodihardjo, H. dan A. Supriono. 2000. The Impact of Sectoral Development on Natural Forest Conversion and Degradation: The Case of Timber and Tree Crop Plantations in Indonesia. Occasional Paper No. 26(E). Center for International Forestry Research, Bogor. Kennedy, J. and J. Vining. 2007. Natural Resources Conflicts: Why Do Emotions Matter? Natural Resources Conflicts and the Role of Managers’ Emotions. Journal of Sustainable Forestry, 24 (4) : 23-50. Kennedy, P. 1998. A Guide to Econometrics. Fourth Edition. Blackwell Ltd., Oxford. Kinloch, Graham. 2005. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. Pustaka Setia. Bandung. Kizilaslan, H. 2008. An Analysis of The Factors Affecting The Food Places Where Consumers Purchase Red Meat. British Food Journal, 110 (6) : 208217. Klemperer, D.W. 1996. Forest Resource Economics and Finance. Mc. Graw-Hill Book Company Inc., London. Krieger, D.J. 2001. The Economic Value of Forest Ecosystem Service: A Review. The Wilderness Society, Washington D.C. Krutilla, J. 1967. Conservation Reconsidered. American Economic Review, 57 (1) : 787 – 796. Leathers, H.D. 2006. Are Cooperatives Efficient When Membership Is Voluntary?. Journal of Agriculture and Resource Economics, 31 (3) : 667676. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonsia. 1998. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Bagian Sumberdaya Manusia LIPI, Jakarta. Lingard, J., A.J. Rayner, and F. Sjarkowi. 1975. Productivity Growth in Agriculture; A measurement framework. Journal Agriculture Economics, 11 (1) : 167-176.
271
Manan, S. 1992. Penerapan Sistim Silvikultur THPB Di Hutan Tanaman Industri Yang Mendukung Konservasi Biodiversity. Makalah Lokakarya Konservasi Biodiversity di Hutan Produksi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga, Jakarta. Maturana, J. 2005. Biaya dan Manfaat Ekonomi dari Pengalokasian Lahan Hutan untuk Pengembangan Hutan Tanaman Industri di Indonesia. Center for International Forestry Research, Jakarta. Meyer, H.W. and H.C. Herman. 1947. Forest valuation with special emphasis on basic economic principles. Mc. Graw-Hill Book Company Inc., London. Miardini, A. Dan Sukresno. 2008. Peran Serasah Akasia (Acacia mangium Wild.) Sebagai Pengendali Limpasan Pemukaan. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Bogor, 19 Desember 2008. Miller, B, C., McCoy, J.K., Olson, T, D., & Wallace, C. M. 1986. Parental discipline and control attempts in relation to adolescent sexual attitudes and behavior. Joumal of Marriage and the Family, 48, 503-512 Mitchell, B., B. Setiawan, dan D.H. Rahmi. 2007. Pegelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Miyata, Y. 2007. Markets for Biodiversity: Certified Forest Products in Panama. Journal of Sustainable Forestry, 25 (4) : 281-307. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. Paper Number 3 The World Bank, Washington, D.C. Munasinghe, M. 1994. The Economic’s Approach to Sustainable Development dalam Making Development Sustainable : From Concept to Action, Environmentally Sustainable Development. Occasional Paper series No. 2 The World Bank, Washington, D.C Murphy, I.K., P.R. Bhat, N.H. Ravindranah, and R. Sukumar (2005): Financial Valuation of Non-Timber Forest Product Flows in Uttara Kannada District, Western Ghats, Karnataka. Current Science, 88 (10) : 1573-1579 Murray, B.C., Prisley, S.P., Birdsey, R.A. and Sampson, R.N., 2000. Carbon sinks in the Kyoto Protocol: potential relevance for US forests. Journal of Forestry, 98(9): 6-11. Narwoko, Dwi. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Prenada Media Group. Jakarta. Pearce, D. W. and J. Warford. 1992. “World Without End: Economics, Environment and Sustainable Development”. Oxford University Press, Oxford.
272
Pearce, D. W., C. Bann, and S. Georgiou. 1992. The Social Cost of Fuel Cycles. Centre for Social and Economic Research on the Global Environment University College, London. Pearce, D.W. 1983. “Cost Benefit Analysis”. Macmillian, Basingstoke. Pearce, D.W. and D. Moran 1994. “The Economic Value of Biodiversity”. In Association with the Biodiversity Programme of IUCN. Earthscan Publications Ltd., London. Pitcher, T. and D. Preikshot. 2001. RAPFISH: A Rapid Appraisal Technique to Valuate The Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research, 49 : 255-270. Riswan, S., M. Siregar dan I. Samsoedin 1995. Konsep Mawanati dalam Usaha Pengembangan Masyarakat Pedesaan Wamena, Irian Jaya. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Wanatani II, Bogor. Hal 110-125. Salim, E. dan T. Mutis. 2007. Prinsip Dasar Kebijkan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Sanim, Bunasor. 2011. Sumberdaya Air dan Kesejahteraan Publik Suatu Tinjauan Teoritis dan Kajian Praktis. Penerbit IPB Press, Bogor. Setiawan, I., U.R. Wasrin, A. Rohiana and D. Murdiyarso. 2002. Simulation of carbon dynamics in Acacia mangium plantation forest. The Impacts of Land-use on Greenhouse Gas Emissions in Tropical Asia. IC-SEA and NIAES. Hlm. 79-84. Seyhan, E., 1990. Dasar-dasar Hidrologi (terjemahan Fundamentals of Hydrology oleh Sentot Subagya) Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Simangunsong, B. 2003 The Economic Value of Indonesian Natural Production Forest. Indonesian Working Group on Forest Finance, Jakarta. Sjarkowi, Fachrurrozie. 2009. Effective Capital Gain And Technical Superiority To Prosper Acacia Outgrowers Nearby PT. MHP. Aciar Project Report, Palembang. Sjarkowi, Fachrurrozie. 2010. Manajemen Pembangunan Agribisnis. Penerbit Baldad Grafiti Press, Palembang. Sjarkowi, Fachrurrozie. 2011. Managing Socio-Entropic Factors to Encourage Solid Participation of Small-holder Outgrowers in Social Forestry Program. Soemarwoto, O. 2001. Peranan Hutan Tropik dalam Hidro-Orologi, Pemanasan Global dan Keanekaan Hayati. Makalah Seminar Hari Pangan Sedunia XI. Departemen Kesehatan, Jakarta. Soeriaatmadja, R.E. 2000. Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan. Dirjen Dikti Depdiknas, Jakarta.
273
Solow, R. M., 1974. Intergenerational equity and exhaustible resources. Review of Economic Studies, 41 : 29-45. Solow, R. M., 1986. On the intergenerational allocation of natural resources. Scandinavian Journal of Economics, 88 : 141-149. Suparmoko, M. 1998. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPFE, Yogyakarta. Suparmoko, M. 2003. Penilaian Ekonomi : Sumberdaya Alam dan Lingkungan (konsep dan Metode Penghitungan). LPPEM Wacana Mulia, Jakarta. Suparmoko, M. dan M.R. Suparmoko. 2000. Ekonomika Lingkungan. Edisi Pertama. BPFE, Yogjakrta. Supriadi, R. 1990. Penetapan Dasar Ekonomi Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria) Dan Tusam (Pinus Merkusii) Sebagai Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri. Makalah Penunjang dalam Diskusi Hasil Silvikultur, Sifat dan Keteguhan Jenis Kayu HTI, Jakarta. Turner, Bryan, 1985. Teori Teori Sosiologi Modemitas Posrnodemitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Turner, R.K., D.W. Pearce, and I. Bateman 1994. Environmnetal Economics. An Elementary Introduction. Harvester, Wheatsheaf. Wallace and Wolf. 1986. Dua Tipe Dasar Konflik Realistik dan Non Realistik. Pustaka Setia, Bandung. Wallander, S. 2007. The Dynamics of Conservation Financing: A Window into The Panamanian Market for Biodiversity Existence Value. Journal of Sustainable Forestry, 25 (4) : 265-280. World Bank. 2000. Global commodity Market. The World Bank Group, Washington D.C. World Bank. 2002. A Revised Forest Strategy for the World Bank Group. The World Bank Group, Washington D.C. WWF. 2004. The Economic Values of the World’s Wetlands. Report Prepared with Support from The Swiss Agency for The Environment, Forests and Landscape, Amsterdam. Yoshida, K. and M. Goda. 2001. Economic Evaluation of Multifunctional Roles of Agriculture in Hilly and Mountanious Areas in Japan. Proceeding International Seminar on Multifunctionality of Agriculture 17-19 Octooer. JIRCAS, Tsukuba.
275
Lampiran 1. Peta Lokasi PT Musi Hutan Persada
Sumber : PT. MHP, 2010
Lampiran 2. Struktur Organisasi Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan PT Musi Hutan Persada
DIREKTUR
DIVISI Litbang
Bidang Sosek
Bidang Genetika & Pemuliaan Pohon
Seksi Pemuliaan Tanaman
Seksi Persemaian & Perbanyakan
Teknisi Pelaksana
Teknisi Pelaksana
Seksi Produksi Benih
Teknisi Pelaksana
Seksi Perlengka pan
Teknisi Pelaksana
Seksi Pemberdayaan Masyarakat
Teknisi Pelaksana
Bidang Hasil Hutan
Seksi Hasil Hutan
Teknisi Pelaksana
Seksi Hasil Lain
Teknisi Pelaksana
Bidang Pertumbuhan & Lingkungan
Seksi Lingkungan
Teknisi Pelaksana
Seksi Pertumbuhan
Teknisi Pelaksana
Bidang Tanaman
Seksi Silvikultur
Teknisi Pelaksana
Seksi Hama & Penyakit
Seksi Tanah
Teknisi Pelaksana
Teknisi Pelaksana
Lampiran 3. Data Tahun Tanam dan Panen, Produksi, Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani Peserta MHR No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Nama Saring M Supardin (Alabudin) Z. Arifin Ruslan Malik John Kenedi Jasmin Mahyudin Otong Bakri Edi Yono Ahmad Bastari Cik Din Doni Z. Arifin Mahromi Wasiman Halisah Ibrahim Mahbor Sobirin Jayus Muslimin Priyono Sopandi Wasiman Sudiono Asmawati Kartdjo Said Rahmad Firdaus Lasimin/Triono Edi Taufik Burhanah Jasni Arson Ujang Usmin Dul Laim Sayudin Martono Amrullah MD Maridun Jonekson M. Zaini Rajab Bin Batun Handoko Cik Unar Iskandar Alipia Sutarno Jasni Arson Syamsul Bahri Yani Yuliana Holman Kebat Dulalim Ismail Rahmat Mustopa Kamal Rapen Mulya Sandres Bersama Herliansi Pardi Tunas Muda Sutarno Rata-Rata
Tanam Panen Unit (Thn) (Thn) 7 2002 2009 7 2002 2009 7 2002 2009 7 2002 2009 7 2002 2008 7 2002 2008 7 2002 2008 7 2002 2008 7 2002 2008 6 2002 2009 7 2002 2008 6 2003 2009 7 2002 2008 7 2002 2009 4 2002 2008 7 2004 2009 7 2002 2008 6 2002 2009 7 2002 2008 7 2002 2008 7 2002 2009 7 2004 2009 7 2002 2009 7 2002 2009 7 2002 2009 7 2002 2008 7 2002 2008 7 2002 2008 7 2002 2009 7 2002 2008 5 2002 2008 3 2002 2009 2 2003 2009 2 2002 2009 3 2002 2008 3 2002 2008 3 2002 2008 6 2002 2009 7 2002 2009 3 2002 2008 7 2002 2008 10 2002 2009 10 2003 2009 10 2002 2009 10 2002 2009 15 2003 2009 14 2002 2009 3 2002 2009 2 2004 2009 5 2003 2009 3 2002 2009 3 2002 2008 3 2002 2008 3 2002 2008 10 2003 2009 5 2002 2009 10 2003 2009 10 2003 2009 1 2003 2009 14 2002 2008
Luas (Ha) 2.50 6.28 2.00 0.97 5.64 2.15 2.71 1.71 1.62 2.37 3.31 10.10 5.27 2.00 4.69 1.67 2.50 3.49 15.25 1.75 3.60 2.03 8.00 2.64 1.58 1.40 15.56 3.00 14.18 2.11 2.00 4.62 3.70 2.04 11.88 14.21 13.45 10.12 7.90 31.41 1.97 7.55 10.27 4.49 9.95 16.41 3.36 4.78 12.48 3.96 20.74 23.76 29.07 29.36 28.02 30.77 36.41 38.08 40.99 42.62 10.47
BDT Harga/unit (ton) (Rp/Bdt) 114.80 576,478 248.50 578,464 60.89 578,322 24.80 570,804 394.99 607,257 125.30 553,150 157.94 553,150 99.66 553,150 94.41 553,150 139.70 609,728 192.90 553,150 678.70 597,302 126.80 559,932 60.89 578,332 112.70 576,660 121.72 573,187 91.22 575,060 173.00 549,300 605.94 551,252 69.53 551,252 140.70 580,167 147.96 573,187 272.00 563,769 192.42 573,187 48.11 578,322 81.59 553,150 914.97 575,769 174.84 553,150 924.80 577,613 122.97 553,150 139.98 508,664 275.40 562,762 192.90 570,704 78.97 634,979 918.20 544,116 1,432.60 552,607 958.60 545,388 582.30 527,285 297.00 527,285 2,948.40 588,874 71.88 575,060 765.83 542,690 1,047.80 563,769 538.60 563,769 1,078.70 564,847 1,144.88 570,804 166.58 537,800 352.50 562,762 669.60 563,669 323.90 589,595 2,056.00 563,045 2,199.00 551,835 2,363.30 541,615 2,821.00 541,615 4,337.88 563,637 3,582.40 544,792 6,713.88 561,783 6,444.50 564,552 4,096.20 567,084 20,080.89 628,506 1,256.57 565,107.33
Penerimaan (Rp) 66,179,720 143,748,379 35,216,283 14,155,949 239,860,442 69,309,695 87,361,967 55,125,070 52,223,750 85,179,002 106,704,082 405,388,854 70,999,370 35,216,283 64,989,633 69,769,194 52,456,527 95,028,900 334,025,725 38,330,821 81,629,497 84,809,260 153,345,168 110,293,816 27,820,864 45,131,636 526,811,499 96,710,649 534,176,687 68,019,823 71,202,759 154,984,545 110,088,763 50,144,283 499,607,623 791,664,688 522,808,975 307,038,056 156,603,645 1,736,236,249 41,337,775 415,608,076 590,716,781 303,645,790 609,300,135 653,502,541 89,584,489 198,373,464 377,432,762 190,969,785 1,157,621,034 1,213,486,045 1,279,999,888 1,527,897,304 2,444,987,709 1,951,664,195 3,771,745,706 3,638,255,364 2,322,891,225 12,620,959,850 727,506,300.81
TOTAL COST (Rp) 37,268,105 80,490,019 24,246,274 10,516,070 110,266,871 34,042,066 42,909,418 27,075,798 25,650,203 39,206,288 52,409,591 180,314,514 50,545,209 24,246,274 39,820,392 35,475,375 28,947,706 44,569,888 188,544,250 21,636,209 50,143,951 43,122,428 89,841,329 55,366,129 18,589,292 22,167,069 240,880,760 47,500,862 271,859,690 33,409,246 35,618,836 66,706,782 48,077,129 23,626,654 200,838,115 298,642,419 209,607,071 139,654,920 94,541,581 683,747,849 22,810,974 173,706,619 226,034,068 117,040,712 225,206,853 311,781,363 43,404,963 81,256,343 162,868,770 76,502,094 442,933,478 458,220,271 507,578,336 588,733,461 870,043,768 730,045,003 1,331,896,958 1,334,867,149 919,968,027 4,273,542,287 277,842,735.47
SHARING PROFIT PENDAPATAN TTL BIAYA NET PROFIT KOTOR Petani 40% MHP 60% MHP MHP (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 28,911,616 11,564,646 17,346,969 10,650,448 6,696,522 63,258,361 25,303,344 37,955,016 27,710,489 10,244,527 10,970,009 4,388,004 6,582,006 8,920,758 -2,338,753 3,639,879 1,455,952 2,183,928 4,261,384 -2,077,456 129,593,572 51,837,429 77,756,143 24,866,122 52,890,021 35,267,629 14,107,052 21,160,577 9,482,200 11,678,377 44,452,548 17,781,019 26,671,529 11,951,983 14,719,546 28,049,273 11,219,709 16,829,564 7,541,657 9,287,907 26,573,547 10,629,419 15,944,128 7,144,728 8,799,400 45,972,713 18,389,085 27,583,628 10,609,516 16,974,112 54,294,491 21,717,797 32,576,695 14,598,178 17,978,516 225,074,340 90,029,736 135,044,604 45,058,289 89,986,315 20,454,161 8,181,664 12,272,497 23,204,933 -10,932,437 10,970,009 4,388,004 6,582,006 8,920,758 -2,338,753 25,169,241 10,067,696 15,101,545 13,638,266 1,463,278 34,293,819 13,717,528 20,576,292 7,382,201 13,194,091 23,508,821 9,403,528 14,105,293 11,580,584 2,524,709 50,459,012 20,183,605 30,275,407 14,404,396 15,871,012 145,481,475 58,192,590 87,288,885 66,595,026 20,693,859 16,694,611 6,677,844 10,016,767 7,642,052 2,374,715 31,485,546 12,594,218 18,891,328 15,916,246 2,975,082 41,686,831 16,674,733 25,012,099 8,973,573 16,038,526 63,503,839 25,401,536 38,102,303 33,812,633 4,289,670 54,927,688 21,971,075 32,956,613 11,671,913 21,284,700 9,231,572 3,692,629 5,538,943 6,731,083 -1,192,140 22,964,567 9,185,827 13,778,740 6,174,456 7,604,284 285,930,739 114,372,296 171,558,443 68,154,154 103,404,289 49,209,787 19,683,915 29,525,872 13,230,978 16,294,895 262,316,997 104,926,799 157,390,198 63,665,068 93,725,130 34,610,577 13,844,231 20,766,346 9,290,780 11,475,566 35,583,923 14,233,569 21,350,354 6,348,589 15,001,765 88,277,762 35,311,105 52,966,657 14,721,444 38,245,213 62,011,634 24,804,653 37,206,980 11,597,166 25,609,814 26,517,629 10,607,052 15,910,577 6,140,878 9,769,699 298,769,509 119,507,803 179,261,705 34,903,962 144,357,743 493,022,269 197,208,907 295,813,361 43,500,277 252,313,085 313,201,904 125,280,762 187,921,143 40,081,591 147,839,551 167,383,135 66,953,254 100,429,881 33,496,474 66,933,407 62,062,064 24,824,825 37,237,238 35,030,915 2,206,323 1,052,488,400 420,995,360 631,493,040 80,428,489 551,064,551 18,526,801 7,410,720 11,116,080 9,125,500 1,990,580 241,901,457 96,760,583 145,140,874 35,818,695 109,322,179 364,682,713 145,873,085 218,809,628 39,297,846 179,511,782 186,605,078 74,642,031 111,963,047 19,653,583 92,309,464 384,093,282 153,637,313 230,455,969 37,245,048 193,210,921 341,721,178 136,688,471 205,032,707 68,625,063 136,407,644 46,179,526 18,471,810 27,707,715 11,226,453 16,481,262 117,117,121 46,846,849 70,270,273 15,318,775 54,951,498 214,563,992 85,825,597 128,738,395 41,784,668 86,953,727 114,467,691 45,787,076 68,680,614 12,562,294 56,118,320 714,687,556 285,875,022 428,812,533 65,874,584 362,937,950 755,265,774 302,106,309 453,159,464 70,772,580 382,386,884 772,421,552 308,968,621 463,452,931 88,990,362 374,462,569 939,163,843 375,665,537 563,498,306 89,878,123 473,620,183 1,574,943,941.30 629,977,577 944,966,365 129,219,161 815,747,204 1,221,619,192.63 488,647,677 732,971,516 136,434,218 596,537,298 2,439,848,748.02 975,939,499 1,463,909,249 206,842,971 1,257,066,278 2,303,388,215.44 921,355,286 1,382,032,929 275,347,189 1,106,685,740 1,402,923,198.22 561,169,279 841,753,919 197,449,819 644,304,100 8,347,417,563.40 3,338,967,025 5,008,450,538 638,248,550 4,370,201,988 449,663,565.34 179,865,426.14 269,798,139.21 51,162,502.00 218,635,637.21
Lampiran 4. Data persamaan logit VAR No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Y D1 D2 D3 Keputusan Rasa Aman Kesuburan Kemiringan 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
X1 Jarak 0.25 2.25 0.90 1.00 0.40 0.30 1.50 0.30 2.00 2.00 2.50 4.75 3.50 0.25 4.50 0.90 0.25 1.00 3.25 3.00 2.75 0.40 6.50 0.80 0.75 0.50 5.50 5.00 14.50 0.75 5.75 6.00 5.50 0.50 11.00 7.25 10.00 9.50 9.50 15.00 2.50 6.00 15.00 9.00 13.50 12.50 8.50 14.00 9.00 4.00 7.25 10.00 8.50 12.50 8.00 7.50 12.00 6.50 7.50 13.00
X2 X3 X4 Luas PDP‐HTI PDP‐UTL 2.50 11.565 9.857 6.28 25.303 11.297 2.00 4.388 22.732 0.97 1.456 35.379 5.64 51.837 20.948 2.15 14.107 36.216 2.71 17.781 57.905 1.71 11.220 64.089 1.62 10.629 35.854 2.37 18.389 61.878 3.31 21.718 59.232 10.10 90.030 33.401 5.27 8.182 57.012 2.00 4.388 55.479 4.69 10.068 64.210 1.67 13.718 46.709 2.50 9.404 20.921 3.49 20.184 34.746 15.25 58.193 34.386 1.75 6.678 33.859 3.60 12.594 34.233 2.03 16.675 33.722 8.00 25.402 33.887 2.64 21.971 33.358 1.58 3.693 20.498 1.40 9.186 19.558 15.56 114.372 35.877 3.00 19.684 40.740 14.18 104.927 22.819 2.11 13.844 22.618 2.00 14.234 22.464 4.62 35.311 22.759 3.70 24.805 22.643 2.04 10.607 22.503 11.88 119.508 22.863 14.21 197.209 21.976 13.45 125.281 22.529 10.12 66.953 32.259 7.90 24.825 54.061 31.41 420.995 52.080 1.97 7.411 35.288 7.55 96.761 23.725 10.27 145.873 31.850 4.49 74.642 36.758 9.95 153.637 20.125 16.41 136.688 19.750 3.36 18.472 35.976 4.78 46.847 40.758 12.48 85.826 21.895 3.96 45.787 25.635 20.74 285.875 22.895 23.76 302.106 26.755 29.07 308.969 22.250 29.36 375.666 21.500 28.02 331.007 20.891 30.77 234.129 27.758 36.41 389.172 23.595 38.08 319.186 34.275 40.99 159.198 51.615 42.62 272.089 53.085
X5 X6 PDP‐LU B‐HIDUP 15.000 37.752 7.000 21.750 5.000 18.100 6.000 19.480 3.000 16.954 5.000 33.300 5.000 27.844 4.000 51.887 8.000 29.800 6.000 36.050 5.000 33.834 7.000 26.650 6.000 29.294 9.000 38.750 7.500 36.546 12.000 38.370 10.000 22.887 9.000 29.800 5.000 14.484 14.000 11.887 8.000 27.400 12.500 20.525 9.000 26.887 8.000 16.800 15.000 14.651 16.000 28.652 4.000 19.360 10.000 27.575 5.000 16.352 12.000 20.190 9.000 26.140 10.000 17.844 12.000 17.385 11.000 20.825 6.000 18.500 5.000 17.054 7.000 25.541 9.000 27.046 7.000 12.650 4.000 27.975 12.500 19.760 9.000 20.270 5.000 26.545 9.000 16.865 7.000 19.950 6.000 20.585 15.000 21.725 14.000 19.450 10.000 25.745 12.000 17.255 7.000 27.046 5.000 24.650 6.000 22.754 6.000 24.856 7.000 25.940 5.000 21.357 7.000 27.505 6.000 25.778 6.000 21.571 5.000 26.155
X7 B‐SOS 0.780 0.050 0.250 0.266 0.550 0.376 2.000 1.500 0.600 2.000 2.000 2.000 2.000 0.500 1.650 0.500 1.500 0.600 2.000 1.500 0.850 1.000 1.500 0.850 1.680 0.780 0.225 1.680 0.780 0.680 1.680 2.000 1.500 0.775 0.250 0.550 1.265 1.680 0.250 2.500 0.750 2.450 3.000 1.580 2.780 2.275 1.650 1.570 2.650 1.550 2.100 2.500 2.975 3.150 2.540 2.125 3.780 3.250 2.975 3.225
Lampiran 5. Hasil Regresi Logit Binomial Logistic Regression Block 1: Method = Enter Model Summary
Step
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square
-2 Log likelihood 44.413a
1
.437
.597
a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001. Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
1
df
Sig.
10.061
8
.261
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Y = .0 Observed Step 1
Y = 1.0
Expected
Observed
Expected
Total
1
6
5.916
0
.084
6
2
6
5.048
0
.952
6
3
3
3.706
3
2.294
6
4
4
2.807
2
3.193
6
5
1
2.084
5
3.916
6
6
0
1.139
6
4.861
6
7
1
.690
5
5.310
6
8
0
.430
6
5.570
6
9
1
.158
5
5.842
6
10
0
.023
6
5.977
6
Classification Tablea Predicted Y Observed Step 1
Y
0
Percentage Correct
1
0
16
6
72.7
1
4
34
89.5
Overall Percentage a. The cut value is .500
83.3
Variables in the Equation B a
Step 1
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
D1
3.580
1.804
3.940
1
.047
35.878
D2
-1.047
.904
1.340
1
.247
.351
D3
-1.450
.973
2.218
1
.136
.235
X1
.409
.186
4.841
1
.028
1.505
X3
.003
.007
.189
1
.663
.997
X4
.075
.049
2.311
1
.128
1.077
X5
.411
.176
5.469
1
.019
.663
X6
.172
.081
4.487
1
.034
.842
X7
.387
.733
.279
1
.597
1.473
1.933
3.080
.394
1
.530
6.910
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: D1, D2, D3, X1, X3, X4, X5, X6, X7.
Lampiran 6. Pembagian Kelompok Hutan di PT MHP Kelompok Hutan A. KH Martapura
I. Martapura
B. KH Subanjeriji
II. Merbau
No
Unit
III. Gemawang
IV. Caban
V. Sodong
C. KH Benakat
VI. Lubuk Guci
VII. B. Udara VIII. T. Indah
IX. Deras
X. Keruh II
XI. Medak
XIII. Lantingan
XIV. Lagan XV. Keruh I
Luas Blok (Ha) 7,915 Sungai Langit Sungai Tuha 23,062 Merbau I Merbau II Merbau III 26,649 Banding Anyar Subanjeriji Toman I Toman II Toman III 17,463 Caban Utara Caban Selatan Sodong Utara Sodong Timur 22,390 Sodong Barat Sodong Selatan Niru Lengi 25,150 Setuntung Lubuk Guci Baung Selatan 13,891 Baung Utara Suban Ulu 25,045 T. Indah I T. Indah II Teras Ipuh 22,696 Deras Cawang Selibing 25,370 Keruh I Penglero Jene Tambangan 23,388 Medak Sialang Bukit Pendopo 19,546 Resam Lantingan T/B Serdang 20,355 Ibul Serai/Kikim 23,480 Keruh I Jernih Koneng/Cecar
Keterangan Unit I s/d V Trmsk Wil I Subanjeriji
Unit VI, VII, VIII, IX, XI Trmsk dlm Wil II Pendopo
Unit X, XIII,XIV, XV Trmsk dlm Wil III Lematang
Lampiran 7. Petani Pengumpul Madu Binaan PT MHP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Petani Pengumpul Cikdan Alfian Stan Rantomo Hartop Bo'ong Sumardi Sopar Mustopa Yanto
Desa/Dusun/Talang Talang Cikdan Subanjeriji Subanjeriji Dusun Rumpok Limo Dusun Rumpok Limo Marga Mulya Talang Sungai Limpa Talang Sungai Limpa Talang Sungai Limpa Manunggal Jaya Jumlah
Unit III V V III III III VI VI VI IV
Potensi (Kg) 2,000 920 750 800 400 1,000 700 600 400 1,800 9,370
Periode 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan
Jenis Sialang Pauh Ruso Pauh Ruso, Rengas Pauh Ruso Pauh Ruso Mangris Pauh Ruso Pauh Ruso Pauh Ruso Manggris Pauh Ruso