PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA IKAN LENCAM PADA WILAYAH PERAIRAN TELUK LASONGKO DALAM RANGKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA BERKELANJUTAN
OLEH MUH. MANSHUR TAUFIQ M
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRAK MUH. MANSHUR TAUFIQ M. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan MOCH. PRIHATNA SOBARI ABSTRACT
The objective of this research is to assess the management of fishery resources in Lasongko Bay using Bio-economic modelling and Data Envelope Analysis. Bio-economic modelling was used to estimate the optimal solution for managing the fishery resources and Data Envelope Analysis was used to assess fishing capacity performace in Lasongko Bay in relation to production activities. Overall assessment results that during period between 1995 - 2005, managing fishery in Lasongko Bay under open access regime, overfishing and overcapacity occurs. Sole Owner rejim should be taken toward an ideal option in terms of sustainability development in fishery.
Keyword : Bio-economic modelling, Data Envelopment Analysis, overfishing, overcapacity, Sole Owner Regime,eficiency
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah melakukan penilaian dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dengan menggunakan Model Bio-economic dan Data Envelope Analysis. Model Bio-economic digunakan untuk mengestimasi solusi optimal bagi pengelolaan sumberdaya perikanan di Wilayah Perairan Teluk Lasongko, sedang Data Envelope Analysis digunakan untuk menilai performance kapasitas perikanan yang beroperasi di Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Hasil yang diperoleh dari kedua pemodelan tersebut selama periode tahun 1995 sampai dengan 2005 menunjukkan bahwa selama ini rejim pengelolaan yang dianut adalah rejim akses terbuka dimana hasil tangkap lebih dan kapasitas tangkap lebih terjadi. Situasi ini dapat mengancam degradasi sumberdaya perikanan pada level yang lebih parah jika dibiarkan terus menerus. Oleh karena itu rejim sole owner perlu diterapkan untuk menjamin sumberdaya perikanan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko tetap lestari dan berkelanjutan.
Kata kunci : Model Bio-economic. Data Envelope Analysis, hasil tangkap lebih, kapasitas tangkap lebih, Rejim Sole Owner, efisiensi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm dan sebagainya
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : “PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA IKAN LENCAM PADA WILAYAH PERAIRAN TELUK LASONGKO DALAM RANGKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA BERKELANJUTAN” merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Februari 2007
Nama : Muh. Manshur Taufiq M Nrp : C - 451020031
PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA IKAN LENCAM PADA WILAYAH PERAIRAN TELUK LASONGKO DALAM RANGKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA BERKELANJUTAN
MUH. MANSHUR TAUFIQ M
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Tesis
:
Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan
Nama Mahasiswa
:
Muh. Manshur Taufiq M
Nomor Pokok
:
C - 451020031
Program Studi
:
Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Akhmad Fauzi Syam, M.Sc. Ketua
Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro,MS.
Tanggal Ujian : 7 Februari 2007
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 28 Nopember 1967 dari ayahanda (Alm) Amili Mahyuddin, SH dan ibunda Hj. Sitti Djamilah. Penulis merupakan putra pertama dari enam bersaudara. Tahun 1986, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bau-Bau dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Universitas Haluoleo melalui jalur Ujian Tulis Sipenmaru. Penulis memilih Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan lulus pada tahun 1992. Tahun 2002, penulis memperoleh ijin belajar untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri di lingkungan Universitas Haluoleo sejak tahun 2000 setelah sebelumnya bekerja dengan status yang sama pada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Kabupaten Buton sejak tahun 1994 – 2000.
PRAKATA Dengan mengucap puji sjukur kehadirat Alloh SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan tesis sesuai dengan yang diharapkan. Tesis ini merupakan bagian dari penelitian dengan judul : Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Berkelanjutan. Mengingat keterbatasan pengetahuan penulis, maka dengan rendah hati penulis menyadari bahwa penyelesaian penulisan tesis ini tidak lepas dari dukungan, bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada; DR. Ir. Akhmad Fauzi Syam, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS., selaku Anggota Komisi Pembimbing, Bapak DR. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, selaku Tim Penguji Luar Komisi, Prof DR. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS selaku Ketua Program Studi, Ir. Sahat MH Simanjuntak, M.Sc serta staf pengajar lainnya, dan rekan-rekan Mahasiswa S2 pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, khususnya Angkatan I dan II maupun berbagai pihak yang tak mungkin penulis nyatakan satu per satu. Akhirnya penulis sangat mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya stakeholders dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan pada lokasi penelitian.
Bogor,
Februari 2007
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………........………………….……... xi DAFTAR GAMBAR ………………………........………….……………. xiii DAFTAR LAMPIRAN ……………………........……………….….……. xvi I.
PENDAHULUAN …………………..…........……………………… 1.1. Latar Belakang …………….……........…..…………….……. 1.2. Perumusan Masalah ……………......……………………....... 1.3. Hipotesis ...............................……….........………………….. 1.4. Kerangka Pemecahan Masalah …………….......……………. 1.5. Tujuan Penelitian …………………………….........……….... 1.6. Manfaat Penelitian …………………………………..........….
1 1 4 7 7 10 10
II.
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………............. 2.1. Fishery System Model Charles Sebuah Opsi Pembangunan Berkelanjutan di Sektor Pengelolaan Perikanan ....................... 2.1.1. Natural Subsystem ..................................................... 2.1.2. Human Subsystem ...................................................... 2.1.3. Management Subsystem ............................................. 2.2. Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer ...................... 2.2.1. Aspek Biologi Model Bio-economic Gordon – Schaefer ……………………………………………... 2.2.2. Aspek Ekonomi Model Bio-economic Gordon – Schaefer …………………………………………….. 2.2.3. Langkah-langkah Dalam Pemodelan Bio-economic Gordon – Schaefer ..................................................... 2.2.4. Gejala Overfishing Dalam Model Bio-economic Gordon – Schaefer ..................................................... 2.2.5. Kelebihan Dan Kelemahan Pendekatan MSY ............ 2.3. Kapasitas Perikanan Tangkap .................................................. 2.3.1. Konsep Kapasitas Perikanan ...................................... 2.3.2. Pengukuran Efisiensi Kapasitas Perikanan ................ 2.3.3. Kelebihan dan Kelemahan Model DEA .....................
11 11 18 23 26 29 30 34 37 39 41 42 42 43 46
III. METODOLOGI …………….. ……………….…...............……….. 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................... 3.2. Metode Penelitian ……………………………………............ 3.3. Metode Pengambilan Contoh ………………………............... 3.4. Metode Pengumpulan Data ……………………….................. 3.5. Metode Analisis Data ………………………………………... 3.5.1. Bio-economic Analysis ............................................... 3.5.2. Data Envelope Analysis .............................................
48 48 49 49 50 51 51 56
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………..............
61
ix
4.1.
4.2.
4.3.
4.4.
4.5.
Keadaan Umum Daerah Penelitian .......................................... 4.1.1. Letak Geografis .......................................................... 4.1.2. Kondisi Biofisik ......................................................... 4.1.3. Kondisi Ekosistem ..................................................... 4.1.4. Kondisi Tekno Biologi ............................................... 4.1.5. Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi ................... 4.1.6. Kondisi Sosio Kultural ............................................... 4.1.7. Kondisi Kesejahteraan ............................................... Keadaan Umum Perikanan Laut Daerah Penelitian................... 4.2.1. Nelayan ...................................................................... 4.2.2. Armada Penangkapan Ikan ........................................ 4.2.3. Alat Penangkapan Ikan .............................................. Model Statik Bio-economic Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam 4.3.1. Aspek Biologi Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam ...... 4.3.1.1. Target Species : Ikan Lencam .................... 4.3.1.2. Daerah dan Musim Penangkapan Ikan Lencam …………………………………... 4.3.1.3. Produksi Ikan Lencam ............................... 4.3.1.4. Upaya Penangkapan Ikan Lencam ............ 4.3.1.5. Fungsi Produksi Lestari Ikan Lencam ....... 4.3.1.5.1. Standardisasi Effort ................ 4.3.1.5.2. Pendugaan Parameter Biologi Dengan Metode CYP ……….. 4.3.1.5.3. Fungsi Produksi Lestari ......... 4.3.2. Aspek Ekonomi upaya Pemanfaatan Ikan Lencam .... 4.3.2.1. Perumusan Fungsi Biaya ............................ 4.3.2.2. Penetapan Harga ........................................ 4.3.3. Solusi Bio-economic Pada Berbagai Tingkatan Pengelolaan ................................................................ Model CCR – DEA Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam ........... 4.4.1. Solusi Model CCR – DEA dari Masing – Masing DMU Antar Waktu ..................................................... 4.4.2. Analisis Perbandingan Model CCR : BCC- DEA dari Masing – Masing DMU Antar Alat ........................... Implikasi Kebijakan .................................................................
V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 5.1. Kesimpulan .............................................................................. 5.2. Saran ........................................................................................ DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN – LAMPIRAN ........................................................................
x
61 61 63 66 70 72 75 75 76 76 78 80 81 82 82 84 85 87 88 88 91 92 95 96 97 101 105 105 112 113 118 118 119 120 125
DAFTAR TABEL Halaman 1. Indikator Keberlanjutan Model Charles ……………………………. 2. Dikotomi Skala Sosial Ekonomi Model Charles ............................... 3. Spesifikasi Kelompok Ikan Dominan pada Perairan Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara ............................................................... 4. Management Tools, Effort, Catch and Technical Measures Management Subsystem Model Charles ............................................ 5. Formula Perhitungan Solusi Bio-economic dalam Model Statik Bioeconomic Gordon Schaefer dengan pendekatan CYP 6. Gambaran Geografis Wilayah Pesisir Teluk Lasongko Dengan Basis Desa Pantai …………………………………………………... 7. Hasil Pengukuran Parameter Biofisik Wilayah Perairan Teluk Lasongko ………………………………………………………….. 8. Kondisi Ekosistem Wilayah Pesisir Teluk Lasongko dengan Basis Desa Pantai Keadaan Tahun 2004 ………………............................. 9. Kondisi Tekno Biologi Nelayan Wilayah Pesisir Perairan Teluk Lasongko Keadaan Tahun 2005 ........................................................ 10. Gambaran Umum Kondisi Demografis serta Sosial-Ekonomi Wilayah Perairan Teluk Lasongko Keadaan Tahun 2004 ……........ 11. Perkembangan Produksi Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ………………………………………………………... 12. Perkembangan Proporsi Produksi Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ................................................................. 13. Perkembangan Upaya Penangkapan Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ................................................................. 14. Standardisasi Effort Upaya Penangkapan Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 – 2005 ............................................................... 15. Uraian Hasil Data Input dengan Menggunakan Metode CYP (Bioeconomic) …………………………..………………………………. 16. Perkembangan Jumlah Effort yang Distandardisir, Produksi Lestari dan Produksi Aktual Upaya Penangkapan Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ……………………………………………………....... 17. Perkembangan Jumlah Effort yang Distandardisir, Total Cost, Total Revenue dan Keuntungan Penangkapan Ikan Lencam Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ………………………………………..... 18. Hasil Perhitungan Analisis Perbandingan Rejim Pengelolaan dengan Menggunakan Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko .....................................................
xi
16 17 19 28 55 62 67 69 71 74
86
86
88
89 91
92
99
102
19. Uraian Hasil Data Input dengan Menggunakan Metode CYP (DEA) 20. Tingkat Produksi Lestari (Gompertz) dan Tingkat Produksi Aktual Masing-Masing DMU Antar Waktu pada Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Lencam di Wilayah Perairan Teluk Lasongko ……... 21. Skor efisiensi Berdasarkan Model CCR – DEA (Minimasi Input) … 22. Tingkat Produksi Lestari (Gompertz) dan Tingkat Produksi Aktual Masing-Masing DMU Antar Alat pada Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Lencam di Wilayah Perairan Teluk Lasongko ……………….. 23. Eficiency Score Perbandingan CCR : BCC – DEA Antar Alat …….
xii
106
107 109
113 113
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambaran Keadaan Kesejahteraan Keluarga Dua Kecamatan pada Wilayah Pesisir Teluk Lasongko …………………………………… 2. Potensi Lestari dan Produksi SDI pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 04 : Selat Makassar dan Laut Flores ……………………. 3. Skema Kerangka Pemikiran Assestment Pengelolaan Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko . 4. Segitiga Keberlanjutan dalam Sistim Perikanan Model Charles …... 5. Skala Ruang Model Charles ............................................................... 6. Struktur dari Natural Subsystem Model Charles ................................ 7. Struktur dari Human System Model Charles ...................................... 8. Kondisi Tujuan Strategis pada Management Subsystem Model Charles ................................................................................................ 9. Struktur Management System Model Charles .................................... 10. OpsiGrafik Hubungan antara Hasil Tangkapan Lestari Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Schaefer ....................................... 11. Opsi Grafik Total Revenue Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Gordon – Schaefer .................................................................. 12. Opsi Grafik Total Cost Terhadap Effort (Yield Curve Effort) Model Gordon – Schaefer .............................................................................. 13. Langkah-langkah Pemodelan Bio-economic Gordon – Schaefer …... 14. Grafik Tipologi Overfishing Berdasarkan Fishery Bio-economic Gordon – Schaefer .............................................................................. 15. Opsi Grafik Solusi Bio-economic Model Gordon – Schaefer ............ 16. Opsi Grafik Input Output Production Space ...................................... 17. Kerangka Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko …………………………………. 18. Profil Topografis Wilayah Perairan Teluk Lasongko ………………. 19. Gambaran Keadaan Kesejahteraan Keluarga pada Dua Kecamatan Wilayah Perairan Teluk Lasongko ..................................................... 20. Grafik Perkembangan Jumlah Nelayan ……………………………. 21. Grafik Perkembangan Jumlah Armada Penangkapan ……………… 22. Grafik Perkembangan Jumlah Alat Tangkap ……………………… 23. Gambar Ikan Lencam Jenis Lethrinus reticulatus ….......................... 24. Hubungan antara Total Effort yang Distandardisir dengan Total Produksi .............................................................................................. 25. Hubungan antara Tingkat Produksi Lestari dan Produksi Aktual Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam ...................................................... 26. Hubungan Antara Produksi Lestari dan Produksi Aktual Berdasarkan Upaya yang tercurah ………………………………….. 27. Yield Effort Curve antara Effort dan Produksi Lestari Aspek Biologi Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk
xiii
3 5 9 14 17 22 25 27 28 33 35 36 39 40 56 59 60 64 76 77 79 81 83 90 93 94
Lasongko …………………………………………………………... 28. Grafik hubungan antara Effort dengan Biaya Total yang linier Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko 29. Grafik hubungan antara Effort dengan Fungsi Penerimaan yang Kuadratik Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko .................................................................................. 30. Grafik hubungan antara TR dengan TC Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko .............................. 31. Grafik Perkembangan Penerimaan Keuntungan Dari Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko 32. Hubungan Antara Keuntungan Lestari Terhadap Effort Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Jenis Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko …………………………………………………….. 33. Analisis Sensitivitas solusi Bio-economic dari Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam di Wilayah Perairan Teluk Lasongko ………………... 34. Grafik Yield Effort Curve Analisis Perbandingan Tingkat Pengelolaan MSY, MEY dan Open Access Melalui Model Statik Bioeconomic Gordon – Schaefer Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko ............................................................................................ 35. Hubungan Antara Produksi Lestari (Gompertz) dan Produksi Aktual Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam ………………………………….. 36. Trajectory Efisiensi DMU Antar Waktu Periode Tahun 1995 – 2005 37. Grafik Potential Improvement Secara Keseluruhan DMU Antar Waktu ……………………………………………………………… 38. Grafis Plot Cartesian (X,Y) Frontier dari Masing-Masing DMU Antar Waktu ...................................................................................... 39. Yield Effort Curve Kebijakan Pajak Effort Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko …………………. 40. Rekonstruksi Opsi Model Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Lasongko Ke Depan ………………………………………………..
xiv
95 97
98 98 100
101 103
105 107 108 110 111 115 117
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kondisi Ekosistem Lokasi Penelitian dengan Basis Desa Pantai ….. 2. Peta Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko dengan Basis Desa Pantai …………………………………………………………. 3. Perkembangan Jumlah Nelayan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 – 2005 ............................................... 4. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap yang Dioperasikan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 – 2005 ....... 5. Perkembangan Jumlah Sampan/Perahu dan Sampan/Perahu Dengan Motor Tempel yang beraktifitas di WPTL. Periode Tahun 1995 – 2005 .................................................................................................... 6. Hasil Regresi Parameter CPUE Untuk Bio-economic Analysis ……. 7. Biaya Operasional Responden Per Trip Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko …………………. 8. Harga Ikan Lencam per Kg Menurut Responden pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko …………………………………………... 9. Hasil Regresi Parameter CPUE Untuk DEA Analysis …………..… 10. Hasil Running Software Mapple 8 Solusi Bio-economic Sumberdaya Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 ……………….………………………...
xv
126 127 128 129
130 131 132 133 134
135
I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Secara geografis, Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk dan memiliki garis pantai terpanjang dan terluas dari tiga buah teluk (dua diantaranya adalah Teluk Wambuloli dan Teluk Kalandiri) yang terletak pada bagian selatan daratan Pulau Muna, tetapi secara administratif termasuk dalam wilayah Pemerintah Kabupaten Buton. Lalu lintas utama dari dan ke Wilayah Perairan Teluk Lasongko ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal motor dari tempat pemberangkatan Pelabuhan Jembatan Batu Kota Bau-Bau (Ibu Kota Kabupaten) ke arah barat laut dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Wilayah Perairan Teluk Lasongko terletak antara koordinat 050 23' 54" LS 050 25' 10" LS dan 1220 28' 05" BT - 1220 31' 15" BT. Melingkupi wilayah pesisir yang meliputi empat belas desa pantai dalam dua wilayah administrasi kecamatan. Sebanyak empat desa pantai dalam wilayah administrasi Kecamatan Mawasangka Timur, yaitu Desa Inulu, Desa Wantoopi, Desa Lasori dan Desa Bungi, dengan ibu kota kecamatan berkedudukan di Lamena serta sebanyak sepuluh desa pantai dalam wilayah administrasi Kecamatan Lakudo, yaitu Desa Lolibu, Desa Wajo Gu, Desa Moko, Desa Mone, Desa Matawine, Desa / Kelurahan Lakudo, Desa WaNepa-Nepa, Desa Nepa Mekar, Desa Boneoge dan Desa Madongka, dengan ibu kota kecamatan berkedudukan di Lakudo. Pada bagian Barat Wilayah Perairan Teluk Lasongko berbatasan dengan Kecamatan Lakudo, bagian timur dengan Kecamatan Mawasangka Timur, bagian utara dengan Kecamatan Gu serta bagian selatan dengan Laut Flores. Panjang garis pantai yang membentang sepanjang Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko adalah 47,60 km dengan luas daratan 244,96 km2, terbagi atas panjang garis pantai Wilayah Pesisir Kecamatan Mawasangka Timur adalah 14,80 km dengan luas daratan 48,96 km2 dan panjang garis pantai wilayah Kecamatan Lakudo adalah 32,80 km dengan luas daratan 196 km2. Garis pantai Wilayah Pesisir Perairan Teluk Lasongko yang panjang memungkinkan tersedianya jumlah, sebaran serta kualitas pertumbuhan hutan mangrove, padang
2
lamun dan terumbu karang yang signifikan bagi penyediaan barang dan jasa ekosistem untuk diberdayakan secara biologi maupun ekonomi sepanjang tidak melampaui ambang batasnya. Hutan Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang merupakan tiga ekosistem alami penting di daerah pesisir. Tiga ekosistem tersebut berperan dalam melindungi pantai dari ancaman abrasi, erosi, intrusi dan pengaruh gaya yang ditimbulkan oleh pembangkit alam seperti angin dan gelombang. Selain fungsinya untuk menyangga kehidupan, ekosistem pesisir merupakan tempat untuk pemijahan (spawning ground), pembesaran (nursery ground) dan tempat untuk mencari makan (feeding ground) berbagai jenis burung, species ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan dan species lainnya, selain fungsi ekonomi dan jasa lingkungan. Berdasarkan laporan dari Bappeda Kabupaten Buton melalui proyek MCMA, kondisi ekosistem utama Teluk Lasongko telah mengalami degradasi sebagaimana nampak pada Lampiran 1. Karakteristik perikanan pada empat belas desa pantai di Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah perikanan artisanal (artisanal fisheries). Menurut FAO Fisheries Glossary, perikanan artisanal adalah bentuk perikanan tradisionil yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan dengan menggunakan modal dan energi dalam jumlah yang relatif kecil, kapal dengan kemampuan dan daya yang relatif kecil, melakukan short fishing trip disekitar wilayah pesisir dan utamanya hasil yang diperoleh hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Dengan demikian sebaran ekosistem manrgove, padang lamun dan terumbu karang di sekitar wilayah teluk merupakan mata rantai yang menentukan kelangsungan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan, baik antara nelayan dengan ekosistem, nelayan dengan tangkapannya maupun nelayan dengan pemerintah melalui rejim pengelolaan yang digunakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, hasil tangkapan nelayan pada umumnya adalah jenis ikan yang berasosiasi dengan karang yang terhampar di sepanjang teluk. Salah satu species perikanan penting dalam kegiatan penangkapan nelayan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah jenis ikan karang konsumsi yaitu lencam. Data Sumberdaya Ikan yang dikeluarkan oleh
3
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton menunjukkan bahwa proporsi hasil tangkapan terbesar dari dua kecamatan dalam Wilayah Perairan Teluk Lasongko didominasi oleh jenis ikan lencam. Pada tahun 2002 jenis ikan lencam yang tertangkap adalah sebesar 27 % dari total hasil tangkapan dan 87 % dari total hasil tangkapan jenis ikan karang konsumsi, kemudian pada tahun 2005 hasil tersebut menunjukkan penurunan menjadi 22 % dari total hasil tangkapan dan 63 % dari total hasil tangkapan jenis ikan karang. Dengan alat tangkap dominan adalah bubu, jaring insang dasar dan pancing yang berasosiasi dengan dua armada penangkapan yang digunakan, yaitu sampan dan perahu dengan motor tempel (katinting). Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, jumlah total armada penangkapan yang beroperasi pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko berfluktuatif dengan kecenderungan yang semakin meningkat, walaupun secara nominal terjadi peningkatan hanya sebesar 4 unit, dimana pada tahun 1994 total armada penangkapan sebanyak 511 unit dan pada tahun 2005 sebanyak 515 unit. Hal ini menunjukkan indikasi terjadinya excessive effort. Hal ini sangat ironis disaat jumlah rumah tangga nelayan sebanyak 3.726 pada dua kecamatan, 77 % adalah keluarga miskin, kategori miskin adalah mereka yang tergolong pra sejahtera dan sejahtera tahap I (BKKBN dan Kependudukan Kabupaten Buton 2005), sebagaimana nampak pada Gambar 1.
WTPL
Sejahtera Tahap Sejahtera Tahap III II 3% 20%
Pra Sejahtera 44%
Sejahtera Tahap I 33%
Pra Sejahtera
Sejahtera Tahap I
Sejahtera Tahap II
Sejahtera Tahap III
Gambar 1. Gambaran Keadaan Kesejahteraan Keluarga Dua Kecamatan pada Wilayah Pesisir Teluk Lasongko (BKKBN Kabupaten Buton 2005)
4
Gambaran seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat masih miskin, jumlah ikan yang akan ditangkappun berkurang adalah potret saat ini masyarakat nelayan pada Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko, diperhadapkan dengan kaidah rejim pengelolaan perikanan yang open access dan common property serta pemikiran linier dan cenderung intuitif dengan orientasi pertumbuhan dari pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah menyebabkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan mengalami krisis berupa degradasi dan destruksi. Overfishing dan overcapacity merupakan dua sisi mata uang yang menyebabkan krisis sektor perikanan baik secara global, nasional dan lokal. Sejalan dengan itu Ward (2000) mengemukakan bahwa kapasitas input yang berlebih (excess capacity) dan hasil tangkap lebih (overfishing) merupakan dua masalah utama yang penting bagi pengelolaan sumberdaya perikanan, didasarkan pada teori Bio-economic dari Gordon dan Schaefer. 1.2. Perumusan Masalah Secara Global, laporan Komite Perikanan FAO (COFI) yang diterbitkan pada tahun 1995 mengemukakan bahwa 16 % perikanan utama telah mengalami overfishing, 6 % mengalami deplesi dan hanya 3 % secara perlahan-lahan pulih sebagai akibat kapasitas penangkapan yang berlebihan (excessive harvesting capacity). Kemudian pada tahun 1999, dunia mengadopsi The FAO International Plan of Action for The Management of Fishing Capacity, berupa pengurangan kapasitas produksi dan kebijakan penyesuaian subsidi perikanan. Secara Nasional, Wilayah Perairan Teluk Lasongko termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Makassar dan Laut Flores (WPP-04). Berdasarkan data yang ada pada Departemen Kelautan dan Perikanan Pusat Tahun 2002, Potensi lestari (hmsy) WPP-04 adalah sebesar 929,72 metrik ton atau 14,5 % dari (hmsy) WPP Indonesia, dengan tingkat produksi (hactual) sebesar 655,45 metrik ton atau 70,5 % dari (hmsy) WPP-04. Hal ini sesuai dengan ketentuan Produksi Aktual sebesar 80 % dari Produksi Lestari. Untuk beberapa kelompok sumberdaya perikanan, tingkat produksi yang dihasilkan justru melampaui ketentuan
5
dimaksud, seperti kelompok ikan demersal dipanen sebesar 192 %, kelompok udang panaeid sebesar 769 % dan kelompok cumi-cumi sebesar 204,9 % dari masing – masing potensi lestarinya. Secara visuil keadaan tersebut digambarkan pada Gambar 2.
Cumi-Cumi Lobster Udang Panaeid Karang Konsumsi Demersal Pelagis Kecil Pelagis Besar 0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
Karang Udang Konsumsi Panaeid
600,00
700,00
Pelagis Besar
Pelagis Kecil
Demersal
Produksi
85,10
333,35
167,38
24,11
36,91
0,65
7,95
Potensi
193,60
605,44
87,20
34,10
4,80
0,70
3,88
Lobster Cumi-Cumi
Gambar 2. Potensi Lestari dan Produksi SDI pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 04 : Selat Makassar dan Laut Flores (Dahuri R 2002 diolah). Secara Lokal, Wilayah Perairan Teluk Lasongko merupakan salah satu situs perairan penting yang dimiliki Kabupaten Buton karena beberapa sebab, yaitu : pertama, ekosistem pesisir dan biota laut yang didukungnya telah mengalami degradasi yang diakibatkan oleh kegiatan produksi maupun non produksi oleh nelayan di sekitar situs perairan ini. Kegiatan produksi meliputi metode pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan cara-cara praktis dan illegal seperti penggunaan bahan peledak, bahan beracun dan jaring non selektif, sedangkan kegiatan non produksi berupa pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga dan limbah alat transportasi laut dari dan ke daerah-daerah di sekitar wilayah perairan ini; kedua, munculnya mis management yang menyebabkan terjadinya konflik penggunaan ruang, baik antar nelayan maupun antar sektor pembangunan akibat sifat pengelolaan sumberdaya perairan yang
6
terbuka, ketidak paduan secara sektoral dan tidak berbasis masyarakat; ketiga, kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah perairan yang sebagian besar masih berada pada tahap pra sejahtera dan sejahtera tahap I; keempat, tidak adanya regulasi yang menyeluruh dan terpadu. Salah satu lingkungan strategis baru dalam pengelolaan pembangunan perikanan di Indonesia adalah dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (jo. UU No. 32 / 2004) tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Disebutkan dalam pasal 10, daerah provinsi berwenang mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara kabupaten dan kota berwenang mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas kewenangan daerah provinsi atau sejauh 4 mil laut. Jenis kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang dan penegakan hukum. Keadaan ini membawa sejumlah implikasi terhadap aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yaitu : pertama, sudah seharusnya daerah memiliki data base tentang potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayahnya; kedua, daerah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan didaerahnya; ketiga, terbukanya peluang yang besar bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya. Saat ini, kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Buton, sedang melakukan reformulasi kembali kebijakan sektoral dalam kerangka desentralisasi,termasuk pada sektor kelautan dan perikanan. Melalui National Program Assisstance yang dituangkan dalam bentuk Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Peisir Kabupaten Buton. Salah satu implementasinya adalah Rencana Pemintakan Kawasan Marine and Coastal Management Area (MCMA) yang didalamnya termasuk Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Hasil yang diperoleh baru pada tahap penataan bio-ecoregion, sementara itu diperlukan pendekatan bio-economic assessment untuk menentukan model pengelolaan yang sesungguhnya yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.
7
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa permasalahan utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah : (1). Belum diketahuinya tingkat pengelolaan sumberdaya ekonomi ikan lencam yang optimal berdasarkan upaya yang tercurah dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko, (2). Belum diketahui berapa alokasi input yang mendatangkan efisiensi dari kapasitas penangkapan di sekitar Teluk Lasongko dengan tetap mempertimbangkan kaidah kelestarian sumberdaya dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan. 1.3. Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : H0 : terjadi overfishing H1 : tidak terjadi overfishing 1.4. Kerangka Pemecahan Masalah Signal yang menunjukkan terjadinya gejala overfishing dan overcapacity tidak terdeteksi, tanpa melalui riset, yang salah satunya dengan metode assessment, untuk mengetahui tingkat (yield) yang optimal secara biologi dan ekonomi serta efisiensi produksi melalui Bioeconomic Analysis dan Data Envelope Analysis. Penelitian yang dilakukan oleh Merta et al (2003) diacu dalam Wiadnya et al (2004), terhadap status perikanan tangkap di Indonesia melalui pendugaan stok tuna pada WPP-09 (Samudera Hindia) menunjukkan indikasi penurunan, dimana hook rate dari 2,2 ikan per 100 mata pancing pada tahun 1997 menurun menjadi 0,60 ikan per 100 mata pancing pada tahun 2000, berat individu ikan hasil tangkapan menurun dari 37 kg pada tahun 1973 menjadi 23 kg pada tahun 2002, jumlah kapasitas penangkapan meningkat dari 207 unit longliner pada tahun 1971 menjadi 619 unit pada tahun 2002 dan nelayan mulai melakukan
8
eksploitasi di luar wilayah perairan ZEE. Penelitian ini merekomendasikan dihentikannya pemberian izin baru oleh DKP sampai ada kejelasan status perikanan tangkap pada WPP tersebut. Rekomendasi lebih tegas dikemukakan oleh Badruddin dan Blabber (2003) diacu dalam Wiadnya et al (2004) mendasari hasil penelitian mereka terhadap pendugaan stok perikanan kakap merah pada WPP-08 (Laut Arafura) dimana hasil tangkapan tahunan pada perairan ini cukup tinggi yaitu antara 2.000 hingga 4.000 ton dibandingkan estimasi biomass pada tahun 1990 sebesar 6.000 ton. Kedua peneliti tersebut menyarankan untuk menutup kegiatan perikanan sampai paling tidak 10 tahun mendatang. Hal ini menunjukkan terjadinya excessive effort yang mengindikasikan terjadinya penurunan secara biologis sebagai bukti ilmiah terjadinya biological overfishing stok ikan tuna dan ikan kakap merah pada perairan Samudera Hindia dan Laut Arafura dengan menggunakan penduga MSY. Pada bagian lain, Hasil penelitian Fetriani H (2001) terhadap pengusahaan ikan layang di Perairan Utara Jawa menyimpulkan terjadinya biological overfishing dan economical overfishing dengan menduga MSY dan MESY melalui pendekatan Gordon-Schaefer. Rekomendasi yang dihasilkan adalah perlu dilakukan pengurangan input produksi (jumlah kapal), penataan kembali wilayah penangkapan serta pengusahaan ikan layang dilakukan pada kondisi MESY. Salah satu penyebab terjadinya excessive effort adalah overcapacity pada struktur input. Rekomendasi kebijakan. sebagian besar mengacu pada pengurangan alat tangkap untuk upaya recovery. Oleh karena itu berapa besar alat tangkap yang mendatangkan efisiensi secara ekonomi merupakan pertanyaan penting yang sering luput dari pengamatan para pengambil kebijakan. Fauzi A dan S Anna (2002) dalam studi yang dilakukan terhadap Kapasitas Perikanan Sumberdaya Pesisir DKI Jakarta dengan melakukan pendugaan terhadap delapan Decision Making Unit (DMU) berupa alat tangkap bubu, fishnet, gillnet, muroami, pancing, payang, purse seine dan sero dengan menggunakan teknik Data Envelope Analysis(DEA) antar metode. Hasil scoring antar metode BCC dan CCR menunjukkan bahwa alat tangkap gillnet dan sero adalah paling efisien, sedangkan eficiency frontier dari DEA Type I dan Type II
9
menunjukkan adanya kelebihan kapasitas perikanan tangkap yang diindikasikan oleh nilai potential improvement untuk nilai input yang negatif (bubu, muroami, pancing, payang dan purse seine), sehingga rekomendasi kebijakan yang dihasilkan berupa user fee dan law enforcement bagi illegal fishing.
Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Assessment Pengelolaan Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan pengamatan penulis, selama ini belum pernah ada kegiatan sejenis (assessment tingkat produksi optimal dan efisiensi kapasitas produksi) di Kabupaten Buton umumnya dan Wilayah Pesisir Teluk Lasongko khususnya, maka pada kesempatan penelitian ini, penulis mencoba melakukan penilaian untuk mengetahui hubungan fungsi CPUE dan effort, tingkat MSY dan MESY
10
dalam bentuk assesstment tingkat pengelolaan yang optimal dan efisien dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Adapun alur kerangka pemikiran secara skematik disajikan pada Gambar 3. 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis dan memahami lebih jauh kondisi Wilayah Perairan Teluk Lasongko melalui penilaian (assessment) sumberdaya perikanan yang optimal dan efisien. Secara spesifik tujuan utama dilakukan dengan jalan : (1) Menentukan kondisi Bio-economic upaya pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko melalui perhitungan MSY dan MESY. (2) Menentukan tingkat efisiensi relatif dari komposit input/output kapasitas penangkapan ikan lencam pada Wilayah Perairan Perairan Teluk Lasongko. (3) Merumuskan opsi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan lencam berkelanjutan sebagai implementasi kebijakan dari hasil penelitian. 1.6. Manfaat Penelitian (1) Sebagai bahan evaluasi bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan (2) Sebagai bahan dan informasi bagi pemerintah dan masyarakat dalam merumuskan program-program pembangunan perikanan yang berkelanjutan
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fishery System Model Charles Sebuah Opsi Pembangunan Berkelanjutan di Sektor Pengelolaan Pembangunan Perikanan Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Pengelolaan sumberdaya ikan diartikan sebagai semua upaya yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus, baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya. Penangkapan ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkannya. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resource) dan bersifat stock. Sumberdaya ini memiliki karakteristik yang unik sehingga diperlukan pemahaman yang rasional dengan pendekatan keilmuan untuk dapat mengelolanya. Fauzi A (2000), mengemukakan lima karakteristik tersebut yaitu: Pertama, sifat common property dan open access yang menyebabkan timbulnya eksternalitas dalam bentuk perebutan daerah tangkap (space interception externalities) dimana nelayan ingin bergerak ke arah jalur ikan secepat-cepatnya dan kompetisi alat tangkap (gear externalities) dimana alat tangkap yang digunakan nelayan yang satu bisa menimbulkan kerusakan pada nelayan yang lain. Eksternalitas ini terjadi karena kegagalan mekanisme pasar, dimana pasar tidak dapat mencegat individu-individu nelayan dalam berlomba menangkap ikan; Kedua, sektor perikanan juga sangat peka terhadap faktor ketidakpastian (uncertainty). Stok ikan di laut misalnya tidak dapat di duga secara akurat karena selain bersifat fugitive, faktor lingkungan fisika dan biologi laut juga banyak mempengaruhi kesuburan perairan. Ketidakpastian juga didihadapi pelaku perikanan dalam hal harga pasar. Harga jual ikan bisa berubah-ubah sesuai
12
mekanisme pasar. Demikian juga dengan biaya melaut seperti bahan bakar minyak bisa berfluktuasi. Semua ini tidak mudah untuk diduga; Ketiga, industri perikanan memiliki sifat siklus yang non simetris (a symetric cycle), artinya ketika stock dan harga ikan melimpah, investasi akan semakin besar ditanam untuk mengejar keuntungan yang lebih besar dari rival yang beroperasi. Hal ini dimungkinkan karena sifat open acces sumberdaya perikanan. Padahal investasi dimaksud tidak bisa dialihkan untuk kegiatan lain ketika stock dan harga ikan menurun. Keempat, sektor perikanan sering mengalami financial difficulities dimana insentif moneter dalam bentuk bantuan kredit justru menjadi bumerang bagi pemberi insentif, dimana faktor ketidakpastian diatas menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk membayar cicilan yang besarannya pasti setiap bulannya. Kelima, adanya ilusi dari nelayan marjinal bahwa suatu saat mereka akan dapat menjadi highliners dengan modal kerja dan armada yang besar. Matthew S (2000), dalam sebuah artikelnya : “Managing Artisanal/Small Scale Fisheries in Developing Countries : Need for a Complementarary Approach”, mengemukakan sebuah konteks perikanan dunia sebagai berikut : 1) Enam dari sepuluh negara penghasil ikan dunia, adalah negara berkembang (China, Peru, Chile, Indonesia, India dan Thailand); 2) Sekitar 56 juta ton atau 60 persen produksi perikanan dunia berasal dari negara berkembang dengan pendapatan ekspor rendah atau sekitar 40 persen dari penerimaan global dari ekspor; 3) Sekitar 30 juta nelayan di dunia, 95 persen diantara mereka berada pada negara berkembang. 85 persen tinggal di benua Asia (China, India Vietnam, Indonesia, Bangladesh dan Filipina adalah negara yang paling penting); 4) Jika seluruh nelayan dunia mendapatkan kuota berdasarkan ITQ regime, maka nelayan Asia dengan populasi banyak, hanya memperoleh 0,004 persen dari quota nelayan Islandia, Selandia Baru, Australia dan Canada dengan populasi sedikit, dan 5) Produksi perikanan per kapita dari China, negara produsen perikanan terbesar di dunia hanya 2 ton, sedangkan Islandia 280 ton.
13
Mathew S (2000) juga mengemukakan bahwa permasalahan dalam pengelolaan perikanan di negara sedang berkembang adalah human problem berupa tingginya tingkat pertumbuhan penduduk pada wilayah pesisir dan tidak adanya alternatif lapangan kerja pada wilayah tersebut dan management problem berupa rejim pengelolaan masih ditandai dengan open access atau quasi open access serta unregulated common property regime, memicu munculnya masalah berupa overfishing, overcapacity dan underemployment serta konflik antara small scale dan large scale. Kontekstual Mathew menggambarkan bahwa pengelolaan sektor perikanan dunia saat ini tidak hanya sekedar asas rasionalisasi dan pendekatan parsial melainkan juga asas moralisasi dan pendekatan holistik termanifestasi dalam bentuk kebijakan anthropocentric yang berorientasi pada keseimbangan, keselarasan dan keserasian alam dan manusia secara adil dan sejahtera serta melembaga untuk menjaga kelangsungan hidup peradaban baik antar wilayah maupun antar generasi. Oleh karena itu, cukup beralasan jika FAO dalam “code of conduct” menekankan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) dalam mengelola sektor perikanan saat ini. Berkaitan dengan itu, Charles A (2001) mengemukakan bahwa paradigma pembangunan perikanan telah mengalami evolusi dari paradigma konservasi ke paradigma rasionalisasi dan kemudian menuju paradigma sosial. Dalam konteks itu pembangunan berkelanjutan mengandung tiga aspek (Charles A 1994 diacu dalam Fauzi A 2000) : Pertama, Keberlanjutan Ekologi (ecological sustainability). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stock/biomass agar tidak melewati daya dukungnya serta peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi perhatian utama; Kedua, Keberlanjutan Sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability). Dalam pandangan ini, pada level makro pembangunan harus menciptakan keberlanjutan kesejahteraan dalam jangka panjang yang diperoleh dari social rent dalam bentuk redistribusi manfaat berdasarkan partisipasi nelayan menjadi perhatian utama.; Ketiga, Keberlanjutan Komunitas (community sustainability). Dalam pandangan ini, pada level mikro pembangunan harus menjaga kesinambungan kearifan lokal suatu komunitas
14
melaui pembinaan yang community based; Keempat, Keberlanjutan Kelembagaan (institutional sustainability). Dalam pandangan ini pembangunan harus dikelola dengan sistemik melalui Fishery System. Tiga dari empat aspek tersebut digambarkan sebagai titik dasar (fundamental points) segitiga keberlanjutan (triangle sustainability), sebagaimana nampak pada Gambar 4.
Gambar 4. Segitiga Keberlanjutan Dalam Sistim Perikanan Model Charles (Charles A 2001) sedangkan aspek keempat merupakan management sets dalam menjaga keberlanjutan interaksi dari tiga aspek dasar melalui mengeluarkan opsi kebijakan yang sesuai. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pembangunan perikanan yang mendahulukan pertumbuhan melalui kebijakan peningkatan produksi justru akan menyebabkan sumberdaya perikanan mengalami tekanan dengan bekerjanya efek domino kegiatan penangkapan, diawali dengan ekstraksi besar-besaran pada suatu fishing ground tertentu karena alasan ekonomi dan dimungkinkan oleh rejim pengelolaan, mengakibatkan terjadi overfishing dan overcapacity akibat excessive effort yang meningkat cepat. Pada kondisi open access, sumberdaya terkuras
15
menuju kepunahan secara biologis . Kegiatan penangkapan akan terus berlangsung hingga keuntungan menjadi nol bahkan negatif. Situasi ini menyebabkan kegiatan penangkapan melakukan fleet migration pada fishing ground baru dan seterusnya. Hal ini mengancam sistim pengelolaan yang berkelanjutan, baik dari dimensi ekonomi maupun dari dimensi ekologi. Mengantisipasi hal tersebut management sets akan bekerja menurut konteks masalah setelah sebelumnya melakukan assestment keberlanjutan dari semua sisi (Charles A 2001). Berdasarkan perspektif dan paradigma keberlanjutan tersebut Model Charles mengembangkan sistem pengelolaan dengan mencoba untuk merekonstruksi “ pieces of the puzzles” fenomena pengelolaan sumberdaya perikanan secara sistemik melalui pranata fishery system yang terdiri dari subsistim kecil, yaitu natural system, human system dan management system. Sebelum membahas lebih lanjut sistim perikanan menurut Model Charles, terlebih dahulu dijelaskan karakteristik berdasarkan skala ruang (spatial scale) dan skala sosio-ekonomi (socio-economic scale) dalam sektor perikanan. Skala ruang mengacu pada sebuah ukuran berdasarkan konstellasi geografis suatu daerah serta administrasinya dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan sistim perikanan yang berkembang. Permasalahan skala ruang berhubungan dengan skala sosial ekonomi. Nelayan di Pesisir Teluk misalnya, biasanya ditandai dengan kegiatan penangkapan skala lokal dan sederhana, ini tergambar dari jenis ikan yang tertangkap umumnya jenis ikan karang yang berada pada ekosistem perairan di sekitar teluk, kelembagaannya sangat sederhana dengan skala ekonomi kecil dimana hasil tangkapan berorientasi pada pasar lokal. Pada saat usahanya berkembang, nelayan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan skala kegiatan dengan jangkauan wilayah yang lebih luas dan target highly migratory species seperti tuna dan cakalang. Perkembangan ini harus didukung oleh perangkat administrasi pengelolaan yang baik karena orientasi dasar yang berubah, dimana skala kegiatan melibakan ekosistem perairan laut dalam, antar species bahkan antar yurisdiksi suatu daerah.
16
Tabel 1. Indikator Keberlanjutan Model Charles
Sumber : Charles A 2001.
17
Skala ruang menyangkut karakteristik fisik dari biota perairan yang meliputi fishing ground dan ecosystem, sedangkan skala sosial ekonomi meliputi karakteristik sosial ekonomi dan pengelolaan sektor perikanan dalam konteks sistim kemasyarakatan dan pemerintahannya dalam yurisdiksi suatu wilayah. Hal ini penting untuk diketahui karena sifat alamiah dari species ikan adalah flows. Secara visuil karakteristik skala ruang dan skala sosial ekonomi berdasarkan model Charles disajikan pada Gambar 5 dan Tabel 2.
Gambar 5. Skala ruang Model Charles (Charles A 2001) Tabel 2. Dikotomi Skala Sosial Ekonomi Model Charles
Sumber : Charles A 2001
18
2.1.1. Natural Subsystem Charles A (2001) membagi subsistim ini ke dalam tiga komponen utama yaitu ikan (the fish), ekosistemnya (the ecosystem) dan lingkungan biofisik (the biophysical environment). Lebih lanjut Charles A (2001) mengemukakan bahwa komponen ikan dalam arti hewan laut dibagi ke dalam dua jenis yaitu ikan itu sendiri (fish) dan kerang-kerangan (shellfish) berdasarkan garis taksonomi (taxonomic line). Kelompok Ikan kemudian dibagi lagi menjadi Ikan Pelagis (pelagic) dan ikan demersal (demersal), sedangkan kelompok kerang-kerangan dibagi menjadi Krustasea (crustaceans) dan moluska (mollucs). Berkaitan dengan pembagian jenis ikan tersebut, untuk sumberdaya perikanan Indonesia, Aziz et al (1988) mengemukakan bahwa sumberdaya ikan laut Indonesia pada dasarnya dikelompokkan berdasarkan taksonominya dan habitatnya. Pembagian ikan secara taksonomi terdiri dari ikan (pisces) dan non ikan (mollusca, crustacea, holoturaeda, reptilia dan mamalia) sedangkan berdasarkan habitatnya dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : 1) Ikan Pelagis, yaitu ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada di kolom air terutama dekat permukaan 2) Ikan demersal, yaitu ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada pada atau di dekat dasar perairan 3) Ikan karang, yaitu ikan yang kehidupannya terikat dengan perairan karang. Dalam perspektif itu, Fakultas Perikanan Universitas Dayanu Ikhsanuddin Bau-Bau mencoba untuk membuat klasifikasi ikan berdasarkan habitatnya yang dominan pada perairan Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara secara detil berikut nama lokalnya, sebagaimana nampak pada Tabel 3. Komponen ke dua dalam natural system Model Charles adalah ecosystem. Menurut FAO (1995) diacu dalam Charles A (2001) mendefinisikan sebuah ekosistem sebagai berfungsinya atau berlangsungnya interaksi alamiah yang terdiri dari organisma hidup dan lingkungan alamiah disekelilingnya. Sedangkan The Convention of Biological Diversity mendefinisikan ekosistem
19
Tabel 3. Spesifikasi Kelompok Ikan Dominan pada Perairan Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.
20
Lanjutan Tabel 3.
Sumber : Faperikan UNIDAYAN Bau-Bau, 2002 (Diacu dalam Bappeda 2002). sebagai tempat berlangsungnya interaksi yang dinamis dan kompleks antara tumbuhan, hewan dan komunitas mikroorganisma dengan lingkungan alami yang
21
mendukungnya sebagai suatu unit yang fungsional. Dengan demikian ekosistem merupakan pranata jaring kehidupan utama antara lingkungan dan biota perairan yang fungsional. Sebagai sebuah tempat (complex) yang dinamis ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang paling produktif di dunia dan kaya akan diversitas. Ekosistem pesisir berada dalam wilayah pesisir, merupakan tempat dari suprasistim kehidupan yang sebenarnya. Dalam perspektif itu, The World Bank (1993) menggambarkan wilayah pesisir sebagai suatu daerah pertemuan antara darat dan laut, meliputi perbatasan lingkungan garis pantai dan perairan pesisir, terdapat delta-delta sungai, datarandataran pesisir, tanah-tanah basah, pantai dan gundukan pasir, karang-karang, hutan mangrove, laguna-laguna dan keistimewaan pesisir lainnya. Dahuri R (2000) menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), yaitu meliputi bagian daratan baik kering maupun terrendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah suatu negara atau daerah yang dipengaruhi oleh proses alami di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pertanian dan pencemaran. Lebih lanjut Dahuri R (2000) mengemukakan bahwa ekosistem wilayah pesisir terdiri atas ekosistem pesisir yang secara permanen atau berkala tergenang oleh air (inundated coast) meliputi hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (sea grass bed), terumbu karang (coral reefs), rumput laut (sea weeds), estuaria (estuary), pantai pasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach) dan laut terbuka (ocean) sedang ekosistem pesisir yang tidak tergenang air (uninundated coast) meliputi formasi pascarpae dan formasi baringtonia. Komponen ketiga dalam natural sub system Model Charles adalah lingkungan biofisik. Lingkungan biofisik perairan merupakan komponen penting dalam menentukan kualitas perairan. Lingkungan ini bisa diukur melalui parameter fisik (kecepatan angin,amplitudo gelombang dan gejala pasang surut),
22
parameter biologi (kondisi termoklin) serta parameter kimia (suhu, salinitas, pH dan DO). Pengukuran bertujuan untuk menilai (assestment) fakta geografis, kapasitas asimilatif, dan fenomena gaya pembangkit pasang. Dari fakta geomorfologis dapat diketahui karakteristik topografis dan morfologi suatu kawasan pesisir utamanya berkaitan dengan ekosistem pesisir serta tingkat kedalaman perairan. Dari fakta kapasitas asimilatif dapat diketahui kondisi eksisting fisika, kimia dan biologi yang mendukung proses penyesuaian species terhadap kondisi perubahan yang terjadi. Peristiwa respirasi, fotosintesis pada kondisi termoklin tertentu sangat mempengaruhi evolusi biologis biota perairan seperti plankton, detritus dan ikan, dalam beradaptasi dengan dinamika habitatnya. Dari fenomena gaya pembangkit pasang yang ditimbulkan oleh pola angin moonson dan gelombang serta pengaruh gaya gravitasi terhadap terjadinya perubahan pasang surut berguna untuk menyesuaikan portofolio kegiatan penangkapan pada musim-musim tertentu. Secara grafis, natural subsystem Model Charles nampak pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur dari Natural Subsystem Model Charles (Charles A 2001)
23
Dari ketiga komponen tersebut issue yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan berbasis natural system adalah keberlanjutan dari segi ekologi baik yang berkaitan dengan motif ekonomi berdasarkan rejim pengelolaan open access dan common property ditunjukkan melalui terjadinya gejala overfishing (ekonomi dan biologi) dan overcapacity maupun melalui perilaku ketidakseimbangan ekosistem melalui degradasi lingkungan pesisir akibat kegiatan pembangunan dan pemukiman serta limbah yang dibuang ke lingkungan dengan tingkat yang mengancam kapasitas asimilatif biota perairan. Hal ini tentu mempunyai efek berantai terhadap keberlanjutan dari sisi sosialekonomi dimana ikan yang akan ditangkap menurun sehingga pendapatan menurun yang pada akhirnya menciptakan gangguan sosial dalam bentuk chaos yang berdimensi community. Rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Model Charles didesign secara holistik, integral dan melembaga melalui modus penjatahan, pengaturan dan pelembagaan. 2.1.2. Human Sub System Charles A (2001) membagi subsistim ini ke dalam tiga komponen utama yaitu nelayan (harvesters) yang dibagi lagi ke dalam sub komponen tipologi nelayan, armada penangkapan dan alat tangkap, teknologi penangkapan (fishing methods) dan pasca penangkapan (post harvest) yang meliputi prosesing dan pemasaran. Komponen nelayan dalam sistim perikanan merupakan jantung dari sistim perikanan itu sendiri. Nelayan diartikan sebagai pelaku utama dalam perikanan, mulai dari tahap penangkapan sampai kepada pemasaran. Nelayan ditinjau dari konteks aktifitasnya dalam melakukan penangkapan dengan menggunakan metode penangkapan tertentu serta ditinjau dari konteks sosial ekonomi, dimana nelayan cenderung membentuk satu kelompok yang memiliki karakteristik sosial ekonomi tertentu. Pada komponen ini Model Charles memberi perhatian utama pada tipologi nelayan dan alat tangkap yang digunakan. Tipologi nelayan dibagi ke dalam nelayan subsisten, nelayan indigenuous, nelayan komersil dan nelayan
24
rekreasional. Nelayan subsisten adalah nelayan pada umumnya terdapat di negaranegara berkembang. Karakteristik ini dikenal dengan sebutan artisanal fisheries dimana kegiatan penangkapan berada pada daerah sekitar perairan dan orientasi ekonominya terbatas pada pemenuhan kebutuhan sendiri. Kalaupun untuk tujuan komersil, orientasi pasar artisanal fisheries adalah pasar lokal. Nelayan rekreasional adalah sebaliknya, dimana karakteristik nelayan seperti ini terdapat pada negara-negara maju yang melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya untuk menyalurkan hobi mereka. Akan halnya dengan nelayan komersil, mereka terdiri dari nelayan yang memiliki motif ekonomi yaitu memperoleh keuntungan. Berkaitan dengan itu, Panayatou (1997) diacu dalam Charles A (2001) mengemukakan bahwa nelayan komersil dibagi ke dalam dua kelompok utama berdasarkan skala ekonomi yaitu small scale fishers dan large scale fishers. Small scale fishers adalah nelayan komersial yang melakukan aktifitas penangkapan menggunakan teknologi sederhana dan modal kerja yang minim pada daerah penengkapan disekitar on shore dengan target species non migratory species, sedangkan large scale fishers adalah sebaliknya. Adapun nelayan indigenuous adalah nelayan yang melakukan aktifitas penangkapan sebagai bagian dari tradisi peradaban suatu komunitas. Suku Maori di Selandia Baru dan Aborigin di benua Australia misalnya. Sub komponen alat tangkap menunjukkan kemampuan teknologi yang digunakan dalam melakukan penangkapan berupa armada dan alat tangkap. Tipologi alat tangkap dalam Model Charles adalah selective methods seperti seines. trawls, gill nets, traps, lines serta metode lain seperti harpoons serta destructive methods seperti poissons, dynamite dan small mesh nets. Pada komponen ini Model Charles mengemukakan bahwa kebiasaan nelayan dengan menggunakan alat tangkap tertentu dipengaruhi oleh kondisi perairan dan kondisi sosial ekonomi. Model ini mengemukakan bahwa pemilihan alat tangkap yang sesuai dengan target species dan ukuran biologisnya merupakan konsepsi dasar pendekatan teknologi penangkapan. Komponen berikutnya adalah kegiatan pemasaran. Komponen pemasaran pada Model Charles diarahkan pada processing sehingga nilai tambah ekonomi
25
meningkat. Sedangkan komponen terakhir berkaitan dengan komunitas sosial. Pada komponen ini Model Charles masih melihat situasi dimana berlangsung kegiatan perikanan yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan yaitu bapak, ibu, anak serta keluarga lainnya. Hal ini memberikan karakteristik sendiri pada kegiatan nelayan dalam human subsystem, dimana aktifitas penangkapan hanya merupakan sebagian dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan. Secara grafis human subsystem dalam fisheries system disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Struktur dari Human Subsystem Model Charles (Charles A 2001) Dari ketiga komponen tersebut issue yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan berbasis human system adalah keberlanjutan dari segi socioeconomic utamanya yang berkaitan dengan konflik nelayan artisanal dan komersil berdasarkan rejim pengelolaan open access dan common property ditunjukkan melalui terjadinya gejala overfishing (utamanya secara ekonomi). Hal ini tentu mempunyai efek berantai terhadap keberlanjutan dari sisi ekologi dimana terjadi space interception externality antar nelayan yang akan menimbulkan terjadinya overfishing secara biologi yang pada tingkatan tertentu
26
menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan di bidang sosioeconomic dan community. Rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Model Charles didesign secara holistik, integral dan melembaga melalui modus community based. 2.1.3. Management Subsystem Pada management subsistim ada empat komponen utama yaitu pengelolaan perikanan (fishery management), riset perikanan (fishery research), dan pembangunan perikanan (fishery development) serta kebijakan dan perencanaan (policy and planning). Semua komponen ini bersumber dan terfokus pada kebijakan dan perencanaan, karena pada sub komponen ini dirumuskan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam Model Charles adalah tujuan biologi atau konservasi, tujuan ekonomi atau rente sumberdaya dan tujuan sosial yang dirumuskan melalui pendekatan Model Bio-economic Gordon Schaefer. Berdasarkan pendekatan dimaksud terdapat lima kondisi maksimum yang digambarkan sebagai tujuan strategis yaitu : (1). Kondisi maximum biomass, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada pada level E = 0, mengandung arti bahwa pertumbuhan biomass berlangsung tanpa penangkapan (catch) dan penerimaan (revenue) akan memungkinkan biomass berada pada level yang maksimal. (2). Kondisi maximum fishing employment, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada pada bionomic equilibrium of open access EOA , mengandung arti bahwa TR = TC dimana nelayan hanya memperoleh opportunity cost. (3). Kondisi maximum sustainable yield, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada pada level E MSY , mengandung bahwa tingkat tangkapan dapat dilakukan terus menerus sepanjang tidak melewati tingkat maksimal. (4). Kondisi maximum economic yield, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada kondisi maksimum rent (E MEY ) , mengandung arti rente sumberdaya akan diperoleh tanpa mengganggu tingkat tangkapan lestari;
27
(5). Kondisi maximum social yield, adalah kondisi dimana tingkat effort tahunan berada pada level E MScY , mengandung arti maksimisasi dapat terjadi secara simultan diantara nilai - nilai sosial ekonomi, equity, lapangan kerja dan rente sumberdaya. Dengan asumsi bahwa harga ikan adalah konstan dan karenanya tingkat penerimaan yang diperoleh nelayan adalah sebesar hasil kali tangkapan dan tingkat harga tersebut. Asumsi berikutnya adalah biaya penangkapan adalah merupakan fungsi dari tingkat upaya secara linier maka dengan asumsi ini dibangun Model Statik Bio-economic Gordon Schaefer sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 9. Kondisi Tujuan Strategis Pada Management Subsistim Model Charles (Charles A 2001). Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada jangka panjang tingkat effort yang konstan akan berhubungan dengan empat kondisi dalan tujuan strategis tersebut bahwa 0 < E MEY < E MSY < EOA < E (extinction ) dan kurva sustainable biomass menunjukkan trend yang menurun sesuai dengan pergerakan effort ke tingkat
28
berikutnya. Tingkat E MScY dalam Gambar 8 tersebut tidak nampak karena sifat arbitrary, artinya tingkat effort yang optimal secara sosial dapat terjadi pada tiap kondisi (case by case basis). Agar tetap berada pada tingkat operasional tertentu maka management tools yang dapat digunakan berupa pengawasan yang berangkat dari dua sisi, yaitu pengawasan sisi output (catch control) dan sisi input (effort control). Gambaran tentang aspek pengawasan dua sisi ini disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Management Tools, Effort, Catch And Technical Measures Management Subsystem Model Charles
Sumber : Charles A (2001). Sedangkan struktur management subsystem Model Charles dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur Management System Model Charles (Charles A 2001)
29
Komponen penting lainnya dalam management subsistim adalah riset dan pembangunan perikanan. Riset diarahkan pada kegiatan assestment secara ilmiah dan melembaga meliputi assestment biologi, ekonomi dan sosial sedangkan pendekatan pembangunan yang sesuai dengan Model Charles adalah community based development. 2.2. Model Statik Bio-economic Gordon-Schaefer Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah bagaimana (how best) memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang optimal bagi pengguna dan pada saat yang bersamaan aspek kelestarian sumberdaya tersebut tetap terjaga (Fauzi A 2004). Salah satu kerangka pemodelan untuk menjawab permasalah tersebut adalah Istilah Bio-economic. Pertama kali diperkenalkan oleh H.S. Gordon melalui pendekatan ekonomi dengan menggunakan basis biologi yang sebelumnya diperkenalkan oleh Schaefer. Model analisis ini kemudian dikenal dengan Model Statik Gordon – Schaefer. Pemodelan Bio-economic secara statik dilakukan untuk mencari satu tingkat pengelolaan yang optimal, baik secara biologi (MSY) maupun secara ekonomi (MESY) didasarkan pada faktor input yaitu upaya yang tercurah dalam kegiatan penangkapan. Melalui suatu teknik pendugaan tertentu akan diperoleh suatu yield effort yang optimal sebagai variabel strategis bagi pengambil kebijakan dalam mengelola sumberdaya perikanan secara lestari. Menurut Fauzi A (2000) Model Statik Bio-economic Gordon-Schaefer didasarkan pada beberapa asumsi yang meliputi : (1). Harga per satuan output (Rp. per kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan yang elastis sempurna; (2). Biaya per satuan unit (c) dianggap konstan; (3). Target species bersifat tunggal; (4). Struktur pasar bersifat kompetitif; (5). Hanya memperhitungkan faktor penangkapan
30
2.2.1. Aspek Biologi Model Bio-economic Gordon - Schaefer Pada awalnya pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan didasarkan pada faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield atau disingkat MSY. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap species ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi, melebihi tingkat kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang) maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Pendekatan biologi dengan menggunakan kerangka surplus produksi merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam arti mudah dipahami serta didasari oleh pengertian matematika sederhana (Fauzi A 2004). Lebih lanjut Fauzi A (2004) mengemukakan bahwa dalam Model Statik Bio-economic Gordon Shaefer , tipe surplus produksi yang biasa digunakan adalah yang dikembangkan oleh Schaefer berdasarkan model yang dikembangkan sebelumnya oleh Graham (1935). Model Schaefer menyatakan bahwa dalam kondisi tidak ada penangkapan, laju pertumbuhan populasi ikan ( x ) sepanjang waktu ( t ) pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah populasi asal ikan tersebut, secara matematis digambarkan sebagai : dx = f (x ) .................................................................................. (2.01) dt
Oleh karena asumsi daerah yang terbatas, secara rasional kita dapat berasumsi bahwa populasi ikan tersebut bertumbuh secara proporsional terhadap populasi awal. Dengan demikian Persamaan (2.01) dapat ditulis kembali dengan : dx = rx ...................................................................................... (2.02) dt
Dimana r adalah intrinsic growth rate, yaitu pertumbuhan alamiah (selisih kelahiran dan kematian). Dalam situasi ideal, dimana kondisi keseimbangan terjadi pada saat :
31
dx =0 dt
.....................................................................................
(2.03)
dan laju pertumbuhan populasi ikan mengikuti fungsi pertumbuhan logistic, diperhadapkan dengan keterbatasan daya dukung atau dikenal dengan istilah carrying capacity ( K ) maka titik maksimum dicapai pada saat ( K/2 ). Secara matematis hubungan tersebut ditulis sebagai : dx = rx (K − x ) dt x⎞ ⎛ = rx ⎜1 − ⎟ ⎝ K⎠
..................................................................
(2.04)
Dalam kondisi terjadi kegiatan penangkapan, diasumsikan bahwa kegiatan penangkapan berkorelasi linier terhadap populasi ikan ( x ) dan input produksi ( E ) serta kemampuan teknologi yang digunakan atau catchability coefficient ( q ) atau dapat dirumuskan dalam persamaan : h = qxE
....................................................................................
(2.05)
Secara teoritis, Persamaan (2.05) tidak realistis karena menunjukkan tidak adanya “diminishing return” dari effort yang dibatasi oleh carrying capacity sehingga fungsi yang lebih realistis adalah : h = qxE α ..................................................................................... (2.06) Dimana α menunjukkan elastisitas effort terhadap produksi. Nilai α yang berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan adanya “diminishing return” karena
(
meskipun produksi marginal terhadap effort positif dh
dE
)
> 0 , namun kenaikan
produksi marginal tersebut akan menurun, atau secara matematis ditunjukkan oleh
(
2 turunan kedua dari dari h terhadap E yang negatif d h
dE 2
)
< 0 . Persamaan
(2.05) di atas sering digunakan semata-mata untuk kemudahan matematis dalam
32
menganalisis karena fungsi yang linear lebih mudah dipahami dibanding fungsi yang tan linier. Dengan adanya aktifitas penangkapan atau produksi, maka Persamaan (2.04) menjadi : dx x⎞ ⎛ = F ( x) = rx⎜1 − ⎟ − h dt ⎝ K⎠ x⎞ ⎛ = rx⎜1 − ⎟ − qxE ⎝ K⎠
..............................................
Pada kondisi keseimbangan, dimana
(2.07)
dx = 0 maka Persamaan (2.07) dt
berubah menjadi : x⎞ ⎛ qxE = rx⎜1 − ⎟ ⎝ K⎠
....................................................................
(2.08)
Dari Persamaan (2.08) diperoleh nilai x sebesar :
⎛ qE ⎞ x = K ⎜1 − ⎟ .......................................................................... r ⎠ ⎝
(2.09)
Dengan mensubstitusikan Persamaan (2.09) ke dalam Persamaan (2.07) maka akan diperoleh hasil tangkapan lestari yang dinyatakan sebagai :
⎛ qE ⎞ h = qKE ⎜1 − ⎟ r ⎠ ⎝
...................................................................
(2.10)
Persamaan (2.10) merupakan persamaan yang kuadratik dalam E. Karena q, r dan K merupakan konstanta, maka kurva hasil tangkapan lestari mengikuti trajektori kurva pertumbuhan logistic, dimana berlaku hukum hasil yang semakin menurun. Secara visuil ditampilkan pada Gambar 10.
33
Gambar 10. Opsi Grafik Hubungan antara Hasil Tangkapan Lestari Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Schaefer (Fauzi A 2004) Sampai pada tahap ini, pendekatan Model sudah dapat dikembangkan untuk dianalisis. Dengan membagi kedua sisi pada Persamaan (2.10) dengan variabel input ( E ), akan diperoleh persamaan linier :
⎛ q2K ⎞ h ⎟⎟ E = qK − ⎜⎜ E r ⎠ ⎝ CPUE = α − β E dimana :
CPUE = α = = β E =
.................................................................... (2.11)
Catch per unit Effort konstanta intercept Effort
Dengan meregresikan perhitungan hasil tangkapan lestari dan MSY dengan Model Schaefer sudah dapat dianalisis, sebab MSY tidak lain merupakan tingkat input pada :
E msy =
α 2β
................................................................................
(2.12)
Sehingga produksi pada tingkat MSY adalah :
hmsy =
α2 4β
.................................................................................. (2.13)
34
Menurut Fauzi A (2005), Model Schaefer menimbulkan kelemahan, baik secara metodologis (kedua variabel independent berada di sebelah kiri dan kanan persamaan) maupun secara analysis dimana beberapa informasi penting menyangkut pendugaan sumberdaya perikanan penting tersembunyi pada nilai parameter α dan β . Dua koefisien ini mengandung tiga parameter penting yaitu
r, q dan K. Secara matematis, sulit untuk menguraikan tiga parameter biologi yang tidak diketahui tersebut melalui dua koefisien yang diduga melalui regresi. Hal ini merupakan kelemahan mendasar dimana informasi terhadap perubahan biologi yang terjadi tidak terakomodasi dalam pemodelan. Berkenaan dengan itu, Fauzi A (2005) mengemukakan bahwa diperlukan suatu teknik untuk memodifikasi Model Statik Bio-economic Gordon Schaefer yang salah satunya melalui estimasi parameter biologi dengan model surplus produksi menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto dan Pooley atau yang dikenal dengan Model CYP (Fauzi A 2005), secara matematis dapat ditulis ; ln(U t +1 ) =
q 2r (2 − r ) (Et + Et +1 ) ..... (2.14) ln(qK ) + ln(U t ) − (2 + r ) (2 + r ) (2 + r )
dengan meregresikan hasil tangkapan per unit upaya yang diberi simbol U pada periode (t + 1) dan dengan U pada periode ( t ), serta penjumlahan input pada periode ( t ) dan (t+1), akan diperoleh koefisien r, q, K secara terpisah. 2.2.2. Aspek Ekonomi Model Bio-economic Gordon - Schaefer Berdasarkan asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya, parameter ekonomi yang mempengaruhi “Model Statik Gordon Schaefer” dalam perikanan tangkap yaitu biaya penangkapan ( c ) dan harga ( p ). Parameter biaya penangkapan ( c ) dihitung dari rata – rata biaya penangkapan. Biaya penangkapan dihitung berdasarkan nilai rata-rata biaya operasional penangkapan. Biaya operasional penangkapan meliputi biaya untuk bahan bakar, olie, es dan pangan. Rata – rata biaya operasional penangkapan dihitung dengan menggunakan rumus :
35
c = dimana
:
Σci n
................................................................................... (2.15)
c = biaya penangkapan rata-rata ci = biaya penangkapan responden ke i n = jumlah responden
Variabel harga ikan dominan ( p ) ditentukan berdasarkan rata – rata harga riil per tahun selama periode penelitian dengan harga dasar tahun = 100. Harga nominal yang dibuat ke dalam harga riil dihitung dengan menggunakan rumus :
Prt
⎛ P = ⎜⎜ nt ⎝ CPI t
⎞ ⎟⎟ . CPI d ⎠
...........................................................
(2.16)
dimana :
Prt = harga riil pada periode t Pnt = harga nominal pada periode t CPIt = indeks harga konsumen pada periode t CPIt = indeks harga konsumen pada periode dasar Dengan menggunakan parameter ekonomi tersebut, maka dengan mengalikan harga dan fungsi produksi lestari diperoleh kurva Total Revenue (TR)
Gambar 11. Opsi Grafik Total Revenue Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Gordon – Schaefer (Fauzi A 2000)
36
atau dapat dinyatakan dengan persamaan : TR = ph
........................................................................................ (2.17)
Sedangkan dengan mengalikan biaya per satuan input dengan upaya diperoleh kurva total biaya Total Cost (TC) yang linier, sebagaimana nampak pada Gambar 20. Dengan memperhitungkan asumsi (5) maka TC dapat dinyatakan dengan persamaan linier : TC = cE
........................................................................................ (2.18)
Gambar 12. Opsi Grafik Total Cost Terhadap Effort (Yield Effort Curve) Model Gordon – Schaefer (Fauzi A 2000) Dengan mengetahui nilai-nilai parameter biologi dan ekonomi dapat diketahui manfaat ekonomi dari ekstraksi sumberdaya perikanan sebagai : ⎛ ⎝
π = pqKE ⎜1 −
qE ⎞ ⎟ − cE r ⎠
............................................................. (2.19)
memaksimalkan Persamaan (2.19) di atas terhadap effort akan menghasilkan
E=
r ⎛ c ⎞ ⎟ ⎜⎜1 − 2q ⎝ pqK ⎟⎠
...................................................................
(2.20)
37
dengan tingkat panen optimal sebesar :
h=
rK ⎛ c ⎞⎛ c ⎞ ⎟ ..................................................... ⎟⎟⎜⎜1 − ⎜⎜1 + 4 ⎝ pqK ⎠⎝ pqK ⎟⎠
(2.21)
Dengan mensubstitusikan kedua hasil perhitungan tersebut diatas ke dalam Persamaan (2.19) akan diperoleh manfaat ekonomi yang optimal. Dalam literatur, solusi ini sering juga disebut solusi Maximum Economic Sustainable Yield (MSY) 2.2.3. Langkah-Langkah Dalam Pemodelan Bio-economic Gordon Schaefer Fauzi A (2004) mengemukakan bahwa untuk melakukan pemodelan
Bio-economic Gordon – Schaefer ada beberapa langkah yang harus dilakukan : (1). Menyusun data produksi dan upaya (effort) dalam bentuk urut waktu (time
series). Apabila menyangkut multigear dan multispecies terlebih dahulu produksi dipisahkan berdasarkan jenis alat tangkap dan produksi tersebut diusahakan merupakan target species dari alat tangkap yang dianalisis. Agar diperoleh hasil yang lebih baik sedapat mungkin data tersebut merupakan data 15 tahun atau lebih. (2). Melakukan standardisasi alat tangkap. Langkah ini diperlukan karena ada variasi atau keragaan dari kekuatan alat tangkap. Apabila standardisasi tidak dilakukan, tidak mungkin bisa menjumlahkan total unit input agregat (total
effort) dari perikanan yang dinalisis. Secara matematis, input alat tangkap yang dianalisis merupakan perkalian dari indeks daya tangkap dengan input nominal yang digunakan. Apabila ukuran input adalah hari melaut (day
fished) maka standar hari melaut dari alat tangkap j pada periode t adalah ; D jt = ψ jt ND jt
.........................................
(2.22)
Dimana ND jt adalah tingkat input nominal, ψ jt adalah indeks daya tangkap yang diukur berdasarkan rasio CPUE dari alat tangkap j terhadap alat tangkap standar, atau :
38
ψ jt =
U jt U st
................................................. (2.23)
(3). Melakukan uji stationary data. Langkah ini dilakukan bagi peneliti yang telah berpengalaman di bidang pemodelan karena pada langkah ke empat nanti, ketika parameter biologi harus diduga lewat teknik OLS, teknik tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa data urut waktu bersifat stationary. Apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka asumsi tersebut tidak valid (4). Melakukan pendugaan parameter biologi dengan teknik OLS. Apabila yang diperlukan hanya perkiraan kasar mengenai berapa jumlah input dan produksi yang optimal, tanpa concern terhadap perubahan terhadap parameter biologi, namun apabila penentuan kebijakan concern terhadap dampak perubahan parameter biologi terhadap solusi optimal input dan output, pendugaan parameter paling tidak harus dilakukan melalui Persamaan (2.40); (5). Melakukan estimasi parameter ekonomi. Langkah ini sebaiknya dilakukan bersamaan dengan langkah satu pada saat penentuan data produksi dan input. Estimasi parameter ekonomi berupa harga (p) dan biaya (c) sebaiknya diukur dalam ukuran riil melalui penyesuaian dengan IHK sehingga pengaruh inflasi bisa di eliminir melalui Persamaan (2.16). (6). Melakukan perhitungan nilai optimal berdasarkan formula yang ditetapkan. Langkah ini dapat dilakukan dengan bantuan software MS. Excell maupun
Mapple yang memudahkan repetisi (untuk analisis sensitivitas) maupun untuk keperluan pembuatan grafik. (7). Melakukan analisis kontras dengan data riil untuk melihat sejauh mana hasil pemodelan bisa diterima sesuai dengan data riil yang ada. Langkah ini juga diperlukan untuk memberikan sense terhadap hasil pemodelan untuk keperluan pembahasan hasil pemodelan.
Secara diagramatis, keseluruhan langkah - langkah tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.
39
Gambar 13. Langkah-Langkah Pemodelan Bio-economic Gordon-Schaefer (Fauzi A 2005). 2.2.4. Gejala Overfishing Dalam Model Bio-economic Gordon - Schaefer Secara umum overfishing diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam daerah tertentu. Pada dasarnya gejala overfishing dapat terjadi secara biologi dan ekonomi. Secara biologi terjadi dalam dua bentuk yaitu recruitment overfishing dan growth overfishing. Lebih spesifik, gejala overfishing dapat diklasifikasikan menjadi (diacu dari Fauzi A 2005):
40
(1). Recruitment overfishing, adalah situasi dimana populasi ikan dewasa ditangkap sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan reproduksi dalam rangka memperbaharui spesiesnya; (2). Growth overfishing, adalah situasi dimana populasi ikan yang ditangkap ratarata ukurannya lebih kecil daripada rata-rata ukuran yang sebenarnya pada tingkat yield per recruit yang maksimum; (3). Economic overfishing. Adalah situasi dimana rasio biaya/harga terlalu besar atau jumlah input yang dibutuhkan lebih besar daripada jumlah input yang dibutuhkan untuk berproduksi pada tingkat rente ekonomi yang maksimum (maximized economic rent)
ADB (2004) diacu dalam Fauzi A (2005) menambahkan dengan karakteristik Malthusian overfishing yaitu suatu kondisi dimana nelayan skala kecil yang biasanya miskin dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan namun menghadapi hasil tangkap yang menurun. Secara visuil klasifikasi overfishing ditunjukkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Grafik Tipologi Overfishing Berdasarkan Fishery Bio-economics Gordon – Schaefer (lobsterconservation.com)
41
Berdasarkan pendekatan Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer melalui estimasi nilai parameter biologi : r, q, K dan parameter ekonomi : p dan c maka dapat diketahui gejala hasil tangkap lebih pada (overfishing) suatu situs perikanan. 2.2.5. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan MSY Schaefer pada tahun 1954 pertama kali mengemukakan konsep MSY, konsep ini menjadi opsi pengelolaan sumberdaya perikanan yang populer. Sehingga konsep ini mulai dikembangkan pada tahun 1954 sampai saat ini. Pada awalnya, konsep MSY didasarkan pada aspek biologi semata. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap species ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Pendekatan ini banyak di kritik oleh berbagai pihak karena sangat sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar diantaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi. Conrad dan Clark (1987) diacu dalam Fauzi A (2000) menyatakan bahwa pendekatan MSY tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengrusakan (stock depletion), selain itu pendekatan MSY tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila ikan tidak di panen (imputed value). Fauzi A (2005) mengemukakan bahwa dalam pendekatan
MSY, pertanyaan – pertanyaan tersebut sengaja diabaikan karena tujuan pendekatan biologi adalah memperoleh produksi yang setinggi – tingginya. Kekurangan-kekurangan pendekatan biologi inilah yang kemudian dikembangkan oleh Scott Gordon pada tahun yang sama dengan memasukkan aspek ekonomi ke dalam pendekatan MSY yang dikenal dengan istilah Model Bio-
economic Gordon - Schaefer. Lebih jauh Fauzi A (2004) mengemukakan bahwa dalam pendekatan biologi tujuan pengelolaan adalah pertumbuhan biologi sedangkan dari pendekatan Bio-economic tujuan utama adalah aspek ekonomi (MESY) dengan kendala faktor pertumbuhan biologi.
42
Dengan demikian pendekatan MSY memberikan dasar bagi pemodelan
Bio-economic Gordon – Schaefer untuk menjawab pertanyaan yang mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu bagaimana memanfaatkan sumberdaya ikan, sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. 2.3. Kapasitas Perikanan Tangkap 2.3.1. Konsep Kapasitas Perikanan Kapasitas perikanan merupakan hal penting yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pengelola kebijakan disektor perikanan berkaitan dengan problem eksternalitas dalam perikanan dan tentu saja pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pada tahun 1999, FAO melalui komite perikanannya mengemukakan program internasional untuk mengurangi kapasitas perikanan di seluruh dunia melalui International Plan of Action for the
Management of Fishing Capacity. Program ini dikomunikasikan berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 60 persen perikanan utama dunia, 16 persen diantaranya telah mengalami over fishing, 6 persen mengalami kepunahan dan hanya 3 persen yang mengalami recovery namun dengan intensitas yang lambat (FAO diacu dalam Färe 1999). Inisiasi FAO ini mengundang perhatian yang intens dari pihak pemerintah dan lembaga internasional untuk mengawali penelitian yang mendalam terhadap sumberdaya perikanan melalui estimasi dan penilaian kapasitas perikanan dunia. Dalam rencana aksi FAO tersebut, konsep kapasitas dalam perikanan dapat digambarkan sebagai tingkat perolehan penangkapan pada suatu periode tertentu tidak hanya didasarkan pada ukuran dan komposisi armada penangkapan, melainkan juga kondisi sumberdaya, faktor ekonomi seperti pasar dan harga serta teknologi yang digunakan. Artinya diperlukan suatu estimasi dan penilaian sumberdaya perikanan sebelum ditetapkan apakah suatu wilayah boleh dilakukan penagkapan dan berapa kapasitas yang dibutuhkan oleh wilayah penangkapan itu. Lebih jauh Terry (1993) diacu dalam Ward (2002) mengemukakan bahwa
43
kapasitas dalam perikanan diartikan dalam dua basis yaitu basis ekonomi dan basis tehnis. Kedua basis ini didasarkan pada limit, bilamana limit tersebut dilewati maka over fishing akan dialami. Basis ekonomi adalah Maksimum
Economic Sustainable Yield (MESY) dan basis tehnis adalah level input dan output. Fauzi A dan S Anna (2002) mengemukakan bahwa, dari perspektif teknologi, kapasitas diartikan sebagai seberapa besar jumlah ikan yang dapat ditangkap dengan sejumlah input tertentu (aktifitas armada dan stok ikan itu sendiri). Dalam perspektif ekonomi, kapasitas perikanan tangkap atau bisa juga disebut efisiensi, pada dasarnya adalah merupakan fungsi dari input dan output. Kirkley dan Squires diacu dalam Fauzi A dan S Anna (2002) mengemukakan bahwa kapasitas perikanan adalah stok kapital maksimum dalam perikanan yang dapat dipergunakan secara penuh pada kondisi efisien maksimum secara tehnis pada waktu dan kondisi pasar tertentu. Stok kapital dapat berupa alat tangkap dan sumberdaya manusia. Kedua-duanya merupakan manifestasi dari upaya (effort). Dengan demikian konsep dari kapasitas perikanan ini dapat juga disebut sebagai tingkat upaya yang tersedia (available fishing effort). Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa secara implisit, konsep kapasitas perikanan membahas efisiensi sumberdaya perikanan, dimana inefisiensi terjadi manakala jumlah input yang digunakan atau jumlah output yang dihasilkan terlalu berlebihan yang pada akhirnya dapat menyebabkan sumberdaya perikanan mengalami degradasi. 2.3.2. Pengukuran Efisiensi Kapasitas Perikanan Pengukuran kapasitas perikanan pada dasarnya adalah unik dan kompleks, karena kita akan berhadapan dengan stock-flow dari teknologi produksi, dimana input diaplikasikan pada sumberdaya dapat pulih untuk memproduksi flow dari output. Dalam konteks ini kita akan berhadapan dengan multiple stock, multiple
species dan karakteristik stock yang fugitive (Greboval dan Munro, Kirkley dan Squires, FAO diacu dalam Fauzi A 2002). Ada beberapa metode pengukuran yang dapat digunakan dalam menilai kapasitas perikanan, diantaranya ada dua pendekatan non parametrik yang sering
44
digunakan, yaitu metode peak to peak dari Klein dan teknik Data Envelope
Analysis (DEA) yang dikembangkan pertama kali oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (1978) yang dikenal dengan metode CCR. Metode peak to peak merupakan indeksasi dimana satu periode penggunaan penuh dijadikan basis dalam indeksasi untuk menemukan pola pada periode sebelum atau sesudahnya (Ward, 2001). Fauzi A dan Anna S (2002) mengemukakan bahwa metode peak to
peak sangat cocok apabila digunakan pada data yang ekstrim, misalnya pada kondisi data yang hanya terbatas pada alat tangkap dan jumlah kapal. Metode terakhir adalah teknik Data Envelope Analysis (DEA). Teknik ini dilakukan melalui pemograman matematis untuk melakukan baik maksimisasi output dengan kendala sejumlah input, maupun minimisasi input dengan kendala sejumlah output. (Ward 2001). Korhumen et al, diacu dalam Fauzi A dan Anna (2002) mengemukakan bahwa DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian (judgement) dari pengambil keputusan. Salah satu keistimewaan dari teknik DEA adalah bahwa teknik ini dapat bekerja dengan keterbatasan data. Hal ini sesuai dengan kondisi field research untuk beberapa daerah tertentu yang tidak memiliki data base yang cukup. Dalam Fauzi A (2005) dikemukakan bahwa pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio antara output dan input, atau :
Efisiensi =
output input
Pengukuran efisiensi ini menjadi tidak tepat apabila kita berhadapan dengan data multiple inputs dan multiple outputs yang berkaitan dengan sumberdaya, aktifitas dan lingkungan yang berbeda, meskipun pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan multiple output dapat diatasi dengan menggunakan pengukuran efisiensi relatif yang dibobot sebagaimana dapat dinyatakan :
45
Efisiensi dari unit j =
w1 y1 j + w2 y 2 j + ... v1 x1 j + v 2 x 2 j + ...
................................. (2.24)
dimana :
w1 = pembobotan untuk output 1 y1 j = jumlah output 1 dari unit j v1 = pembobotan untuk input 1 x1 j = jumlah input 1 ke unit jp namun pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Keterbatasan tersebut kemudian dijembatani oleh Model DEA, dimana pada pemodelan ini efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dengan input melainkan juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. Oleh karena itu didalam Model DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum dengan kendala relatif efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100 persen. Secara matematis efisiensi dalam Model DEA merupakan solusi dari persamaan :
max E m
∑w y = ∑v y i
ij m
k
kjm
i
.................................................................. (2.25)
k
dengan kendala :
∑w y ∑v y i
ij m
k
kjm
i
≤ 1 untuk setiap unit ke j
k
wi , v k ≥ ε Pemecahan masalah pemrograman matematis di atas akan menghasilkan nilai E m yang maksimum, sekaligus nilai bobot ( w dan v) yang mengarah ke efisiensi. Jadi jika nilai menuju atau sama dengan 1, unit ke-m tersebut dikatakan efisien relatif terhadap yang lain. Sebaliknya, jika nilai lebih kecil dari 1, unit lain
46
dikatakan lebih efisien, relatif terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimisasi unit m. 2.3.3. Kelebihan dan Kelemahan Model DEA Odek (2000) mengemukakan bahwa : Kelebihan dari teknik DEA adalah kemampuannya untuk memberikan best performance secara relatif dari unit – unit pengambil keputusan dengan menggunakan data yang sangat sederhana. Beberapa kekuatan dari teknik ini adalah : a. Teknik DEA dapat mengadopsi multiple input dan multiple output b. Teknik ini tidak membutuhkan asumsi dari bentuk fungsional antara input dan output c. Para unit-unit pengambil keputusan (DMUn) secara langsung dibandingkan antara satu unit dengan unit lainnya d. Sejumlah input atau sejumlah output boleh memiliki satuan yang berbeda. Adapun kelemahan dari teknik ini adalah : a. Jika ditemukan nilai ekstrim seperti tingkat pengukuran yang salah (measurement errors) dapat menyebabkan permasalahan yang signifikan b. Teknik DEA merupakan estimator yang baik untuk nilai-nilai relatif dari efisiensi dan kurang baik untuk nilai-nilai yang absolut dari efisiensi c. Teknik DEA adalah teknik non parametrik sehingga susah untuk uji hipotesis secara statistik (statistical hypothesis test). Berangkat dari kelebihan dan kelemahan tersebut, teknik ini telah digunakan secara luas mengingat teknik ini dapat dilakukan dengan keterbatasan data. Dalam perkembangannya, teknik ini dikembangkan lebih lanjut oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (1978) atau dikenal dengan Model CCR – DEA Teknik ini menghitung nilai relatif efisiensi dengan asumsi constant return to
scale (CRS). Artinya jika input dinaikkan dua kali lipat maka output juga akan bertambah dua kali, sehingga model ini sangat linier. Model yang sangat linier ini tidak selalu tepat bila diaplikasikan pada aktifitas produksi yang mengalami non-
47
constant return to scale. Beberapa fungsi produksi seperti produksi perikanan bersifat decreasing return to scale. Fauzi A (2005) mengemukakan bahwa untuk mengatasi masalah tersebut, Model CCR-DEA ini kemudian dikembangkan oleh Banker, Charnes dan Cooper (1984) atau dikenal dengan Model BCC – DEA dengan pendekatan asumsi variabel return to scale (VRS). Model ini memungkinkan kita untuk menganalisis efisiensi bagi aktifitas ekonomi sektor perikanan, baik yang menyangkut tujuan minimisasi input maupun maksimisasi output.
III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Fokus utama penelitian ini adalah mengetahui kondisi eksisting secara ilmiah terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko melalui kegiatan penilaian kapasitas perikanan yang dialokasikan pada kegiatan penangkapan serta upaya yang tercurah dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lencam dengan menggunakan Model Statik Bioeconomic Gordon – Schaefer dan Data Envelope Analysis. Berdasarkan hasil observasi (pra penelitian) yang dilakukan sebelumnya, (Desember 2004 sampai dengan Februari 2005) maka pemilihan waktu penelitian dilaksanakan antara bulan April 2005 sampai dengan Nopember 2005 dengan pertimbangan bahwa periode tersebut merupakan periode musim puncak penangkapan. Penelitian ini mengambil lokasi di Wilayah Perairan Teluk Lasongko. yang meliputi sebelas Desa Pantai dalam dua kecamatan yaitu Kecamatan Mawasangka Timur dan Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dengan pertimbangan : Pertama, Secara lokal, Wilayah Perairan Teluk Lasongko merupakan situs sumberdaya perikanan penting dikaitkan dengan orientasi peningkatan pemanfaatan sumberdaya perikanan bagi pemerintah daerah dan masyarakat Kabupaten Buton dalam Era Pembangunan Otonomi Daerah ; Kedua, Wilayah Perairan Teluk Lasongko berikut masyarakat pesisir disekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko dijadikan pilot project pengembangan sumberdaya dan masyarakat pesisir melalui Proyek MCMA (Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara, 2004); Ketiga, Laporan hasil kegiatan Proyek MCMA tahun 2004 pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko mengindikasikan sumberdaya perikanan disekitar teluk ini telah mengalami degradasi sebagai akibat dari kegiatan produksi seperti penangkapan maupun kegiatan non produksi seperti pencemaran (Bappeda Kabupaten Buton, 2004); Keempat, Secara Nasional, Wilayah Perairan Teluk Lasongko berada dalam WPP-04 Selat Makassar dan
49
Laut Flores. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (diacu dalam Dahuri, 2002), sebanyak 43 persen WPP-04 telah mengalami overfishing, khususnya untuk jenis ikan demersal, udang panaeid dan cumi-cumi; Kelima : Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2004 menunjukkan tingkat kesejahteraan nelayan masih cukup memilukan. Jumlah keluarga miskin pada empat belas desa pantai dalam dua kecamatan yakni Kecamatan Mawasangka Timur dan Kecamatan Lakudo adalah sebesar 77 persen.
3.2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kuantitatif melalui observasi langsung ke lokasi penelitian. Observasi dilakukan terhadap responden dari populasi nelayan, dengan tujuan untuk mengetahui kondisi de facto, sifat dan karakteristik yang khas dari objek yang ditinjau, dalam hal ini adalah perilaku Bio-economic dan perilaku Decision Making Unit (DMUn) agar diperoleh pola yang bersifat umum dengan menggunakan teknik interview memakai daftar interview. Observasi juga dilakukan terhadap informan kunci dengan tujuan untuk memperoleh validasi data secara kualitatif menyangkut fenomena tertentu berkaitan dengan pola umum tersebut melalui uji petik wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan.
3.3. Metode Pengambilan Contoh Dalam penelitian ini pemilihan responden dilakukan terhadap populasi nelayan yang tersebar pada sebelas desa pantai dalam dua kecamatan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko. yang memiliki akses langsung ke perairan Teluk Lasongko. Dari responden akan diketahui informasi tentang kondisi eksisting lokasi penelitian, baik untuk keperluan Bio-economic Analysis maupun Data Envelope Analysis. Penarikan responden didasarkan pada syarat kecukupan informasi (pengertian yang seksama dan tepat) dan syarat efisiensi (waktu, akses dan biaya). Berdasarkan hal tersebut, maka pengambilan sampel dilakukan dengan cara convenient sampling, yaitu salah satu cara pengambilan sampel dari metode
50
tidak acak (non-random sampling), yang dilakukan berdasarkan ketersediaan anggota populasi untuk dijadikan responden (Fauzi A 2001). Menurut Fauzi A (2001), perhitungan jumlah responden dapat diperoleh melalui prosedur statistik dengan menggunakan rumus : NZ 2 x 0,25 .................................................. (3.01) d 2 x (N − 1) + Z 2 x 0,25
n =
{
} (
)
dimana : n
=
Jumlah sampel
N
=
Jumlah populasi
Z
=
Standar deviasi
D
=
Tingkat kesalahan
Dengan menggunakan tingkat kesalahan 15 persen atau tingkat kepercayaan 85 persen maka nilai Z = 1,4395, sehingga jumlah sampel minimum untuk : a) Bubu, dengan populasi 605 adalah sebanyak 22,22 atau 22 responden b) Jaring Insang Dasar, dengan populasi 620 adalah sebanyak 22,23 atau 22 responden 3.4. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini memerlukan data spesifik. Data yang dikumpulkan melalui penelitian ini meliputi data primer selama delapan bulan, mulai bulan April 2005 sampai dengan November 2005, dan data sekunder berupa data perkembangan produksi dan input produksi selama 11 tahun yaitu dari tahun 1995 sampai dengan 2005. Data primer dihimpun berdasarkan wawancara secara terbuka maupun tertutup. Wawancara tertutup dilakukan terhadap responden dengan memakai kuesioner yang telah disiapkan sedangkan wawancara terbuka dilakukan kepada pihak-pihak terkait untuk menghimpun data dan informasi yang bersifat melengkapi. Data primer atara lain meliputi komponen sosial ekonomi nelayan, aspek produksi dan faktor-faktor produksi, tingkat harga, biaya operasi, serta kelembagaan nelayan. Data sekunder dihimpun berdasarkan laporan, hasil-hasil
51
kajian dari beberapa instansi terkait, baik yang berasal dari lokasi penelitian meliputi Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton, Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara dan Bappeda Kabupaten Buton, BPS Kabupaten Buton, BKKBN Kabupaten Buton, Dinas Kehutanan Kabupaten Buton serta BMG Provinsi Sulawesi Tenggara, maupun dari luar lokasi penelitian. 3.5. Metode Analisis Data Penelitian berupa kegiatan untuk menilai (assessing) perikanan tangkap pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dengan melakukan perhitungan matematis untuk memperoleh dan mengetahui tingkat MSY (biologi) dan MESY (ekonomi) melalui Bio-economic Analysis. Analisis ini digunakan untuk menjawab hipotesis terjadinya gejala hasil tangkap lebih, baik secara ekonomi maupun secara biologi. Dalam kaitannya dengan assesment kapasitas perikanan Wilayah Perairan Teluk Lasongko dengan menggunakan teknik Data Envelope Analysis (DEA). Adapun software yang digunakan adalah Mapple 8, SPSS .11, MS Excell dan Frontier Analysis. 3.5.1. Bio-economic Analysis Dalam melakukan assessment terhadap pemanfaatan ekonomi sumberdaya perikanan di Wilayah Perairan Teluk Lasongko, analisis dilakukan menggunakan Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer dengan variasi model melalui teknik CYP. Target species bersifat tunggal yaitu lencam yang merupakan jenis ikan karang. Alat tangkap yang diobservasi meliputi dua jenis, yaitu bubu dan jaring insang dasar dengan periode pengamatan selama 11 tahun (1995 – 2005). Data yang diamati adalah data produksi tahunan sebagai output dan data frekwensi melaut dalam setahun sebagai input. Standardisasi alat tangkap dipilih terhadap jenis alat tangkap yang memberikan kontribusi terbesar selama periode penelitian, sedang satuan input
52
digunakan frekwensi melaut atau trip. Penetapan alat tangkap standar dilakukan untuk memudahkan dalam perhitungan indeks daya tangkap dalam rangka memperoleh total unit input agregat (Fauzi A 2005).
ϕ jt =
U jt
U jt =
h jt
U st
……………………………..…………………
(3.02)
dimana
dan
E jt
U st =
hst E st
sehingga standar frekwensi melaut (dengan satuan trip) dari alat tangkap j pada periode t adalah :
Djt = ϕ jt NDjt
……………………………………………….
(3.03)
dimana ND jt adalah tingkat input nominal.
Pendugaan parameter biologi ditempuh dengan menggunakan pendekatan CYP dengan persamaan :
ln(Ut +1 ) =
2r (2 − r ) q (Et + Et +1 ) .... ln(qK) + ln(Ut ) − (2 + r ) (2 + r ) (2 + r )
(3.04)
dengan meregresikan hasil tangkapan per unit upaya yang diberi simbol U pada periode (t + 1) dan dengan U pada periode ( t ), serta penjumlahan input pada periode ( t ) dan (t+1), akan diperoleh koefisien r, q, K secara terpisah. Selanjutnya, Persamaan (3.04) disederhanakan ke dalam persamaan :
ln(Un+t ) = α + β ln(Un ) + γ (En + En+1) ..................................... (3.05)
53
Nilai-nilai parameter
α,
β dan
γ diestimasi dengan menggunakan metode
Ordinary Least Square (OLS), sehingga nilai parameter r, q, K diperoleh melalui persamaan berikut :
2(2 − β ) (2 + β ) q = − γ (2 + r) r =
α
K =
e
(2+r ) (2r )
.......................................................................
(3.06)
q
Fungsi produksi dalam analisis ini diasumsikan mengikuti fungsi produksi logistic yang ditunjukkan oleh persamaan : qE ⎞ ⎛ ht = qKE t ⎜1 − t ⎟ ..................................................................... (3.07) r ⎠ ⎝
Sampai disini, estimasi parameter biologi dapat diketahui, sehingga Model Statik Bio-economic Gordon - Schaefer masuk kepada estimasi parameter ekonomi yang dikembangkan oleh Scott Gordon, yakni harga dan biaya. Untuk itu beberapa asumsi yang digunakan dalam Model ini adalah : (1). Harga per satuan output, (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurnah; (2). Biaya per satuan unit upaya (c) di anggap konstan; (3). Species sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species); (4). Struktur pasar bersifat kompetitif (5). Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan. Berdasarkan asumsi tersebut di atas, parameter ekonomi yang mempengaruhi “Model Statik Bio-economic Gordon Schaefer” dalam perikanan tangkap yaitu biaya penangkapan ( c ) dan harga ( p ). Parameter biaya
54
penangkapan ( c ) dihitung dari rata – rata biaya penangkapan. Biaya penangkapan dihitung berdasarkan nilai rata-rata biaya operasional penangkapan. Biaya operasional penangkapan meliputi biaya untuk bahan bakar, olie, es dan pangan. Rata – rata biaya operasional penangkapan dihitung dengan menggunakan rumus : c
dimana
=
Σci n
:
c = biaya penangkapan rata-rata
..........................................................................
(3.08)
ci = biaya penangkapan responden ke i n = jumlah responden Variabel harga ikan dominan ( p ) ditentukan berdasarkan harga rata – rata yang dihitung dengan menggunakan rumus :
p
=
pi ........................................................................ n
(3.09)
dimana : Prt = harga rata-rata Pi
= harga nominal dari responden i
n
= total harga dari n responden
Dengan diketahuinya parameter - parameter biologi dan ekonomi tersebut, maka Total Revenue (TR) diperoleh dengan persamaan : TR = ph qE ⎞ .................................................................... ⎛ = pqKE ⎜1 − ⎟ r ⎠ ⎝
(3.10)
Sedang Total Cost (TC) yang linier diperoleh dengan persamaan TC = cE ........................................................................................
Keuntungan lestari sebagai selisih antara TR dan TC diperoleh dengan menggunakan Persamaan (2.19).
(3.11)
55
Dengan mengetahui nilai parameter biologi : r, q, K dan parameter ekonomi : p dan c maka solusi bio-economic dari masing – masing rejim pengelolaan diperoleh dari masing – masing persamaan sebagaimana nampak pada Tabel 5. Tabel 5. Formula Perhitungan Solusi Bio-economic dalam Model Statik Bioeconomic Gordon Schaefer dengan pendekatan CYP
Sumber : Clark (1985) Fauzi A (2005). Dengan mengetahui nilai parameter biologi : r, q, K dan parameter ekonomi : p dan c , selain dapat diketahui solusi Bio-economic juga dapat diketahui gejala hasil tangkap lebih (overfishing) pada daerah penelitian dengan menggunakan formula (Nababan BO 2005): overfishing =
hactual − hmsy hactual
100% ………………..
(3.12)
indikasi terjadinya overfishing secara ekonomi apabila kecenderungan perolehan tingkat keuntungan terjadi penurunan, sedang indikasi terjadinya overfishing secara biologi apabila produksi aktual lebih besar dari produksi lestari Solusi Bio-economic kemudian di plot dalam Yield Effort Curve sebagaimana nampak pada opsi Gambar 15.
56
Gambar 15. Opsi Grafik Solusi Bio-economic Model Gordon - Schaefer.
3.5.2. Data Envelope Analysis Assesment terhadap kapasitas perikanan yang beroperasi disekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko dilakukan dengan teknik DEA. Decision Making Unit
(DMUn ) dalam penelitian ini adalah periode Tahun 1995 sampai dengan 2005. Dari hasil pengamatan diperoleh nilai variabel input (Effort) yang kemudian digunakan untuk mengukur tingkat produksi atau output. Artinya kapasitas output diukur dengan mengalikan output per trip yang diperoleh tiap tahun dikalikan dengan inputnya. Setelah itu dilakukan assesment terlebih dahulu terhadap produksi lestari perikanan, dimana diasumsikan bahwa produksi lestari mengikuti fungsi pertumbuhan Gompertz (Fauzi A 2002) ⎛ − qE t ⎞ y t = qKE t Exp⎜ ⎟ ⎝ r ⎠
............................................................ (3.13)
57
Nilai parameter biologi q (koefisien daya tangkap), K (carrying capacity) dan r (laju pertumbuhan) diduga melalui pendekatan CYP (1992), diacu dalam Fauzi A (2002), sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan (3.04). Prosedur perhitungan CYP dilakukan sebagaimana prosedur perhitungan Bio-economic sebelumnya. Selanjutnya unit analisis dikembangkan dengan metode CCR dengan menggunakan formulasi matematis untuk mencapai efisiensi yang maksimum dengan kendala relatif efisiensi dari seluruh unit yang tidak boleh melebihi 100 persen (Fauzi A 2002). Secara matematis, efisiensi dalam Model DEA merupakan solusi dari persamaan berikut :
∑w y = ∑v y
max E m
i
ij m
k
kj m
i
k
dengan kendala :
∑w y ∑v y i
ij m
k
kj m
≤ 1 untuk setiap unit ke j
i
................................
(3.14)
k
wivk ≥ ∈ Persamaan (3.14) di atas bersifat fractional dan tidak linear, sehingga linearisasi perlu dilakukan untuk memperoleh persamaan linear yang merupakan syarat untuk dilakukannya pemrograman linear. Linearisasi persamaan (3.14) diatas menghasilkan persamaan sebagai berikut :
Em =
max
∑
w i y ij m
i
dengan kendala :
∑v x k
∑w y i
i
=ϖ
kjm
k
ijm
− ∑ vk xkjm = ≤ 1
wi , vk ≥ ε
k
........................................................... (3.15)
58
Dimana ϖ adalah nilai relatif (misalnya 100 persen) yang menunjukkan tingkat efisiensi tertentu. Hasil linearisasi dalam persamaan (3.15) diatas memudahkan kita untuk melakukan pemrograman linear dengan melakukan pemecahan primal dan dual dari persamaan (3.15). Sebagaimana ciri yang dimiliki oleh pemrograman linear, pemecahan baik primal maupun dual akan memberikan solusi yang sama, namun demikian pemecahan dengan dual lebih sederhana karena berkurangnya dimensi kendala. Primal dan dual variabel dari persamaan (3.15) di atas dapat ditulis kembali sebagai berikut : Model Primal
∑
Em =
max
Variabel Dual Z
w i y ij m
i
dengan kendala :
∑v
k
x kjm = ϖ
k
∑w y i
λ0
− ∑ v k x kjm = ≤ 1 j = 1, 2...n
ijm
i
k
− vk ≤ − ε
k =1, 2, ... m
S k−
− wi ≤ − ε
i =1, 2, ... t
S i+
Dengan demikian dual dari persamaan (3.15) dapat ditulis sebagai : min ϖ Z m − ε ∑ S i+ − ε ∑ S k− i
k
dengan kendala : x kj Z m − S k− − ∑ x kj λ j = 0 k = 1,2, ... m ..................................... (3.16) j
S + ∑ y ij λ j = y ijm i = 1,2, ... t + i
j
λ j , S i+ , S k− ≥ 0
59
Hasil analisis dengan Teknik DEA tersebut kemudian dilukiskan dalam bentuk grafik melalui apa yang disebut sebagai Eficiency Frontier. Opsi grafis nampak pada Gambar 16.
Output
100 % Relative Eficiency Frontier No Other producers get more output for less input
Region of Technical Ineficiency
Input
Gambar 16. Opsi Grafis Input Output Production Space
Secara keseluruhan, alur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 17.
60
60
Gambar 17. Kerangka Penilaian Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Letak Geografis Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk dan memiliki garis pantai terpanjang dan terluas dari tiga buah teluk (dua diantaranya adalah Teluk Wambuloli dan Teluk Kalandiri) yang terletak pada bagian selatan daratan Pulau Muna secara geografis, tetapi secara administratif termasuk dalam wilayah Pemerintah Kabupaten Buton. Lalu lintas utama dari dan ke Wilayah Perairan Teluk Lasongko ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal motor dari tempat pemberangkatan Pelabuhan Jembatan Batu Kota Bau-Bau (Ibu Kota Kabupaten) ke arah barat laut dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Wilayah Perairan Teluk Lasongko terletak antara koordinat 050 23' 54" LS 050 25' 10" LS dan 1220 28' 05" BT - 1220 31' 15" BT. Melingkupi wilayah pesisir
yang meliputi empat belas desa pantai dalam dua wilayah administrasi kecamatan, sebanyak empat desa pantai dalam wilayah administrasi Kecamatan Mawasangka Timur, yaitu Desa Inulu, Desa Wantoopi, Desa Lasori dan Desa Bungi, dengan ibu kota kecamatan berkedudukan di Lamena serta sebanyak sepuluh desa pantai dalam wilayah administrasi Kecamatan Lakudo, yaitu Desa Lolibu, Desa Wajo Gu, Desa Moko, Desa Mone, Desa Matawine, Desa/Kelurahan Lakudo, Desa WaNepa-Nepa, Desa Nepa Mekar, Desa Boneoge dan Desa Madongka, dengan ibu kota kecamatan berkedudukan di Lakudo. Pada bagian Barat Wilayah Perairan Teluk Lasongko berbatasan dengan Kecamatan Lakudo, bagian timur dengan Kecamatan Mawasangka Timur, bagian utara dengan Kecamatan Gu serta bagian selatan dengan Laut Flores. Panjang garis pantai yang membentang disepanjang Wilayah Pesisir Perairan Teluk Lasongko adalah 47,60 km dengan luas daratan 244,96 km2, terbagi atas panjang garis pantai Wilayah Pesisir Kecamatan Mawasangka Timur adalah 14,80 km dengan luas daratan 48,96 km2 dan panjang garis pantai wilayah Kecamatan Lakudo adalah 32,80 km dengan luas daratan 196 km2. Detail gambaran lokasi penelitian nampak pada Tabel 6 dan Lampiran 2.
62
Tabel 6. Gambaran Geografis Wilayah Pesisir Teluk Lasongko dengan Basis Desa Pantai Lokasi Penelitian
Kecamatan
Luas Wilayah Darat (km 2)
Titik Koordinat
Inulu
18,40
050 23' 54" LS 1220 28' 05" BT
02,90
Wantoopi
04,00
050 02' 09" LS 1220 28' 08" BT
04,00
Lasori
17,47
050 24' 05" LS 1220 27' 16" BT
02,70
Bungi
09,09
050 21' 53" LS 1220 28' 42" BT
05,02
Lolibu
47,00
050 17' 20" LS 1220 29' 59" BT
05,00
Wajo Gu
08,00
050 17' 14" LS 1220 30' 25" BT
02,00
Moko
15,00
050 16' 37" LS 1220 31' 12" BT
02,10
Mone
27,00
050 15' 35" LS 1220 37' 11" BT
02,50
Matawine
18,00
050 17' 56" LS 1220 32' 01" BT
03,00
Lakudo
16,00
050 19' 05" LS 1220 31' 54" BT
03,00
WaNepa-Nepa
09,00
050 20' 24" LS 1220 32' 17" BT
02,40
Nepa Mekar
12,00
050 21' 23" LS 1220 32' 00" BT
02,30
BoneOge
25,00
050 23' 22" LS 1220 31' 32" BT
02,50
Madongka
19,00
050 25' 10" LS 1220 31' 15" BT
08,00
Desa Pantai
Mawasangka Timur
Wilayah Perairan Teluk Lasongko
Lakudo
Sumber : Bappeda Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara (2005)
Panjang Pantai (km 2)
63
Letak geografis seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa Wilayah Perairan Teluk Lasongko merupakan muara aliran sungai-sungai kecil dari daerah aliran sungai disekelilingnya serta muara aliran limbah terakhir yang berasal dari rumah tangga, maupun limbah yang dihasilkan oleh kegiatan produksi seperti penangkapan serta transportasi antar pulau dari dan ke ibu kota kecamatan dalam Wilayah Perairan Lasongko. Kondisi topografis seperti ini menyebabkan ekosistem estuaria pada muara teluk, sebagai tempat bercampurnya aliran air sungai dari darat dan pengaruh pasang surut dari laut mengalami proses sedimentasi yang dapat mengancam biota perairan yang berasosiasi dengan estuaria. 4.1.2. Kondisi Biofisik Kondisi Biofisik Wilayah Pesisir dan Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam penelitian ini digambarkan secara topografis, berupa profil Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko serta kondisi perairan berupa kualitas perairan yang diukur berdasarkan parameter klimat dan biofisik. Penggambaran ini bertujuan untuk menjelaskan keadaan eksisting alamiah daerah penelitian pada periode tahun 2005 berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari sumber data instansi dan perorangan baik melalui kajian kepustakaan maupun melalui kuesioner dan wawancara. Wilayah Pesisir Perairan Teluk Lasongko umumnya berupa pantai berpasir, pantai dengan campuran pasir dan pecahan karang serta pantai berlumpur dengan topografi landai (low land). Tinggi daratan Wilayah Pesisir di sekitar Teluk berkisar antara 0 – 100 m dari permukaan laut saat air pasang. Sedangkan sempadan pantai pada saat air pasang sekitar 20 sampai dengan 50 meter. Topografi dasar laut (bathymetric) tergolong landai sampai curam dengan kedalaman berkisar antara 3 meter (di sekitar pantai dan muara) sampai lebih dari 50 meter. Selanjutnya di bagian tengah Wilayah Perairan Teluk Lasongko merupakan lereng benua (continental shelve). Profil seperti itu mengakibatkan fenomena arus sepanjang pantai (long shore current) pada beberapa lokasi
64
Wilayah Perairan Teluk, utamanya di sekitar muara. Profil topologis Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko disajikan pada Gambar 18. Karakteristik pasang surut di Wilayah Perairan Teluk Lasongko merupakan perambatan dari pengaruh pasang surut yang terjadi di Laut Flores berupa pasang surut yang digerakkan oleh Gaya Pembangkit Pasang (GPP). Sifat pasang surut ini merupakan pasang surut campuran dominasi semi diurnal, artinya dalam sehari semalam terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan magnitude yang berbeda. Surut ter rendah terjadi antara pukul 12.00 sampai dengan 13.00 Wita, sedangkan pasang tinggi ditemui antara pukul 18.00 sampai dengan 19.00 Wita. Jika saat pasang didefinisikan sebagai kurun waktu antara surut rendah dengan pasang tinggi, maka pasang naik di Wilayah Perairan Teluk Lasongko
Gambar 18. Profil Topografis Wilayah Perairan Teluk Lasongko terjadi pada dini hari antara pukul 01.00 sampai dengan 06.00 Wita dan siang hari antara pukul 12.00 sampai dengan 18.00 Wita. Saat pasang naik umumnya ditemui arus pasang surut yang deras, dan pada saat ini massa air dari Laut Flores memasuki Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Selanjutnya jika saat surut didefinisikan sebagai waktu antara pasang tinggi dan surut rendah maka surut di
65
Wilayah Perairan Teluk Lasongko terjadi antara pukul 06.00 sampai dengan 12.00 Wita dan antara pukul 18.00 sampai dengan 21.00 Wita. Pada saat itu massa air bergerak meninggalkan Wilayah Perairan Teluk Lasongko menuju Laut Flores melalui pesisir Teluk. Adapun tinggi pasang surut Wilayah Perairan Teluk Lasongko berkisar antara 1,5 m sampai dengan 2 m. Dominasi moonson (musim barat dan musim timur) dan topografi low land pada Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko juga mempengaruhi kecepatan angin yang bertiup. Kecepatan angin relatif lebih kencang terjadi pada siang hari dengan kecepatan rata-rata sebesar 20 knots (10 m/det) dan arah angin berasal dari utara sedangkan kecepatan angin relatif lemah terjadi pada malam hari dengan kecepatan rata-rata > 3 knots (1,5 m/det). Kecepatan angin ter tinggi terjadi pada masa peralihan I (bulan April) dan masa peralihan II (bulan Januari) Berdasarkan skala Beaufold, kondisi angin di Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko tergolong angin sedang dengan kecepatan rata-rata 6,8 m/det. Musim hujan terjadi antara bulan November dan Maret musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai Oktober tiap tahunnya dengan rata-rata curah hujan 1.488 hujan/tahun (Stasiun Klimat Muna 2005) Gerakan arus laut dan riak gelombang dipengaruhi oleh sistem pola angin moonson (musim barat dan musim timur). Pada musim barat, arus di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko bergerak relatif dari arah barat ke arah selatan karena terdapatnya daerah intertidal disekitar mulut teluk dan boundary dari pulau Muna. Pada musim ini gelombang bergerak bersesuaian dengan pergerakan angin musim timur dengan kecenderungan tegak lurus terhadap pantai ketika gelombang mendekati pantai dengan tinggi gelombang perairan dalam kisaran 0,75 sampai dengan 1 m. Pada musim timur, ditandai dengan peristiwa pembalikan arus yang terjadi pada bulan April dimana pada bulan ini arus bergerak relatif dari arah utara berputar ke arah barat dan stabil (dominan ke arah barat) pada bulan September untuk kemudian berbalik lagi pada bulan Desember. Pada musim ini gelombang tergolong teduh dengan tinggi gelombang terletak pada kisaran 0,1 sampai dengan 0,4 m. Adapun rata-rata tinggi gelombang Wilayah Perairan Teluk Lasongko berkisar antara 0,4 sampai dengan 0,95 m.
66
Uji petik kondisi perairan Teluk Lasongko dilihat dari hasil pengukuran rata-rata nilai parameter kualitas perairan Teluk Lasongko berdasarkan hasil pengukuran parameter biofisik (Bappeda Kabupaten Buton 2004), menunjukkan bahwa salinitas perairan berdasarkan kategori Eurihalin tergolong frekwensi tinggi (Nybakken, 1988) yaitu rata-rata sebesar 30,36 ppt. Kondisi pH berkisar antara 7,0 sampai dengan 7,7, tergolong normal (antara 7,5 sampai dengan 8,4) menurut Svedrup et al (1961). Kebutuhan Oksigen kimiawi berkisar antara 6,6 sampai dengan 5,2 ppm, dimana kandungan logam berat masih berada di bawah standar baku mutu yang diijinkan (< 40 mg/l). Suhu perairan berkisar antara 2,9 sampai dengan 31,5 0C tergolong wajar (antara 25,6 sampai dengan 32,3 0C) menurut Illahude et al (1980) untuk perairan tropik. Gambaran tentang kualitas Wilayah Perairan Teluk Lasongko disajikan pada Tabel 7. Keadaan alam seperti tersebut di atas sangat mempengaruhi portofolio kegiatan ekonomi nelayan, dimana saat musim barat (bulan April sampai dengan bulan September) arus bergerak kuat, gelombang pasang utamanya pada sore hari menyebabkan aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan menurun dan orientasi aktifitas nelayan lebih banyak di darat. Trip melaut nelayan berkurang dan mereka beralih untuk melakukan kegiatan penangkapan nener disekitar coastline dan melakukan pengolahan rumput laut sambil bersiaga terhadap kemungkinan terjadinya kondisi Wilayah Perairan Teluk yang anomali. Sebaliknya pada musim teduh, trip melaut nelayan meningkat, seiring dengan kondisi perairan yang bersahabat. 4.1.3. Kondisi Ekosistem Garis pantai Wilayah Pesisir Perairan Teluk Lasongko yang panjang memungkinkan tersedianya jumlah, sebaran serta kualitas pertumbuhan hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang yang signifikan bagi penyediaan barang dan jasa ekosistem untuk diberdayakan secara biologi maupun ekonomi sepanjang tidak melampaui ambang batasnya. Hutan Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang merupakan tiga ekosistem alami penting di daerah pesisir.
67
Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Biofisik Wilayah Perairan Teluk Lasongko
Sumber : Bappeda Kabupaten Buton Tahun 2004 (Pengamatan dilakukan pada bulan Nopember 2004)
68
Tiga ekosistem tersebut berperan dalam melindungi pantai dari ancaman abrasi, erosi, intrusi dan pengaruh gaya yang ditimbulkan oleh pembangkit alam seperti angin dan gelombang. Selain fungsinya untuk menyangga kehidupan, ekosistem pesisir merupakan tempat untuk pemijahan (spawning ground), pembesaran (nursery ground) dan tempat untuk mencari makan (feeding ground) berbagai jenis burung, species ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan dan species lainnya, selain fungsi ekonomi dan jasa lingkungan. Secara umum, kondisi ekosistem alami Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko yang meliputi ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang cukup mengkhawatirkan dimana hampir setengahnya berada dalam kondisi rusak, utamanya ekosistem alami yang berada pada Kecamatan Lakudo, secara detail kondisi ekosistem pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 8. Ekosistem mangrove di Kecamatan Lakudo hampir ditemui pada semua desa pantai, hamparan yang terluas ditemui di Desa Matawine, Desa Moko, Desa Mone dan Desa Lolibu yang tumbuh pada substrat lumpur. Di luar desa terebut perkembangan mangrovenya sangat terbatas karena tumbuh pada kawasan lumpur yang diapit oleh batuan massif. Di Kecamatan Mawasangka Timur, hutan mangrove di temukan di Desa Bungi dengan hamparan yang luas, di luar desa Bungi beberapa jenis mangrove telah punah. Di dua kecamatan tersebut, Jenis Mangrove yang dominan adalah R. stylosa, R. mucronata, S. alba dan B. gymnorhiza, Avicena sp, dengan diameter yang bervariasi antara 20 – 40 cm dan kerapatan individu (jumlah pohon / 1000 m2) bervariasi antara 1 – 5 individu. Kondisi mongrove pada umumnya sedang. Kondisi rusak terjadi pada situs mangrove di Desa Wajo Gu, Desa Nepa Mekar, Desa BoneOge dan Desa Madongka. Kerusakan ekosistem ini pada umumnya disebabkan oleh kegiatan penebangan baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk di jual sebagai kayu bakar. Ekosistem padang lamun di Kecamatan Lakudo hampir ditemui pada semua desa, kecuali Desa Mone. Hamparan padang lamun terluas ditemukan di
69
Tabel 8. Kondisi Ekosistem Wilayah Pesisir Teluk Lasongko Dengan Basis Desa Pantai. Keadaan Tahun 2004
Sumber : Bappeda Kabupaten Buton, Tahun 2005. Keterangan : = Kondisi Rusak.
70
Desa Waara, Desa BoneOge dan Desa Lakudo. Di Kecamatan Mawasangka Timur, hamparan padang lamun terluas ditemukan di Desa Bungi, Desa Lasori dan Desa Inulu. Jemis lamun yang dominan adalah E. accoroides dan T. hemprichii. Pada umumnya jenis hewan laut yang berasosiasi dengan jenis lamun tersebut yang ditemukan adalah lencam, baronang, kapas-kapas, rajungan, bulu babi dan teripang. Kerusakan ekosistem ini pada umumnya diakibatkan oleh penggunaan bom dan sianida. Ekosistem terumbu karang ditemukan secara sporadis pada semua desa. Berdasarkan prosentase penutupannya, trumbu karang ini mengalami tekanan ekologis karena penggunaan bom dan sianida. Jenis yang dominan adalah Stone coral, Massif coral, Soft coral dan Algae coral. 4.1.4. Kondisi Tekno Biologi Kondisi tekno-biologi mengacu pada teknologi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan setiap hari, berupa, cara, hasil, alat waktu sampai dengan orientasi pemasaran secara umum, untuk menggambarkan karakteristik kegiatan perikanan tangkap nelayan pada lokasi penelitian. Hasil wawancara dengan responden dan informan kunci dapat disimpulkan bahwa pada umumnya alat tangkap yang digunakan oleh nelayan adalah pancing, jaring insang dasar, jaring insang hanyut dan bubu, sedangkan sero dan bagan sangat minim yang dioperasikan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Dari alat tangkap yang digunakan, jenis ikan yang umum tertangkap adalah ikan karang konsumsi seperti layur, baronang dan kerapu serta ikan pelagis seperti kembung, tembang, layang, dengan trip antara 15 sampai dengan 28 per bulan. Alat transportasi yang umum digunakan berupa sampan dan perahu dengan motor tempel (katinting) dengan kapasitas antara 0,5 sampai dengan 1,5 ton. Perahu motor menggunakan mesin dengan daya antara 5,5 sampai dengan 40 pK. Dalam melakukan operasi penangkapan alat bantu sering digunakan adalah lampu/petromak dan kompresor. Tenaga kerja yang dilibatkan antara 1 – 5 orang, umumnya adalah anggota keluarga nelayan yang proses pengupahannya tidak costly, kecuali dalam pengoperasian bagan yang sebagian besar di luar Teluk
71
Lasongko. Hasil tangkapan umumnya langsung dijual pada pasar lokal atau pedagang pengumpul. Sedangkan musim penagkapan mengalami puncaknya pada musim timur dengan fishing ground pada pesisir teluk dan dalam wilayah perairan teluk lasongko. Gambaran umum kondisi tekno-biologi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kondisi Tekno Biologi Nelayan Wilayah Pesisir PerairanTeluk Lasongko Keadaan Tahun 2005 Kecamatan Tekno Biologi Mawasangka Timur
Lakudo
Alat Tangkap
Pancing, Jaring Insang Dasar, Bubu
Pancing, Jaring Insang Dasar, Bubu
Ikan Dominan yang tertangkap
Rajungan, Kerapu, Lencam, Selar, Teri, Tembang, Layang, Tongkol, Baronang, Peperek, Kembung
Rajungan, Kakap, Lencam, Selar, Teri, Tembang, Layang, Tongkol, Baronang, Peperek, Kembung
Alat Bantu
Lampu/Petromak
Lampu/Petromak, kompresor
Musim Penangkapan
Musim Timur
Musim Timur
Trip per Bulan
15 - 28
15 - 25
Pesisir dan Teluk Lasongko
Teluk Lasongko
12 - 15 kg
4 – 100 kg
Tenaga Kerja
1 - 3 0rg
1 - 2 org
GT Kapal
0,5 - 1,5 ton
0,5 - 1,5 ton
Bahan Bakar
Minyak tanah dan solar
Minyak tanah dan solar
Daya Mesin
5,5 - 26 pK
5,5 - 40 pK
Penanganan
Dijual langsung
Dijual langsung
Pemasaran
Lokal, Penampung
Lokal, Penampung, Bau-Bau
Daerah Penangkapan Jumlah Hasil Tangkapan/Trip
Sumber : Hasil wawancara dan Publikasi Monografi Desa (diolah) Tahun 2006.
72
Berdasarkan penggambaran itu dapat dijelaskan bahwa karakteristik kegiatan penagkapan oleh nelayan pada wilayah penelitian tergolong perikanan artisanal (artisanal fisheries) dengan skala kecil (small scale fisheries). Menurut FAO Fisheries Glossary, perikanan artisanal adalah bentuk perikanan tradisionil yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan dengan menggunakan modal dan energi dalam jumlah yang relatif kecil, kapal dengan kemampuan dan daya yang relatif kecil, melakukan short fishing trip disekitar wilayah pesisir dan utamanya hasil yang diperoleh hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Dalam prakteknya berbeda-beda antar negara tetapi perikanan artisanal dapat berupa perikanan subsisten maupun perikanan comercial tergantung orientasi pemasarannya. 4.1.5. Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi Kondisi demografi dan sosial ekonomi menggambarkan bagaimana karakteristik penduduk, infrastruktur dan sistem ekonomi serta lembaga-lembaga interaksi sosial masyarakat nelayan pada Wilayah Pesisir Teluk Lasongko secara umum terjadi atau berlangsung. Pada tahun 2004, jumlah penduduk pada lokasi penelitian adalah sebanyak 24.025 orang dengan jumlah laki-laki sebanyak 12.064 orang dan perempuan sebanyak 12.021 orang (Kabupaten Buton Dalam Angka 2004). Dari jumlah tersebut sex ratio adalah 1 yang berarti antara laki-laki dan perempuan jumlahnya seimbang. Rata-rata pertumbuhan penduduk adalah 2,61 % mendekati zero population growth ( yaitu 2 % , artinya, anak yang dimiliki akan mengganti jumlah ke dua orang tuanya). Hal ini menunjukkan keberhasilan dari program Keluarga Berencana (BKKBN Kabupaten Buton 2004). Dari jumlah tersebut, penduduk dengan profesi sebagai nelayan adalah sebanyak 1.446 orang. Berdasarkan pengalaman selama melakukan observasi, data penduduk pada dua kecamatan ini menunjukkan kesimpang siuran. Berdasarkan informasi yang diperoleh secara informal, kecenderungan data penduduk mengalami peningkatan sebagai akibat dari dinamika politis, dalam rangka upaya pemekaran kabupaten baru yang didalamnya termasuk dua kecamatan lokasi penelitian. Hal
73
ini sangat berpengaruh terhadap jumlah penduduk sebenarnya an sich jumlah nelayan. Dengan pertimbangan tersebut, estimasi jumlah penduduk didasarkan pada hasil pendataan keluarga yang diselenggarakan tiap tahun oleh Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana Kabupaten Buton. Hasil wawancara dengan responden dan informan kunci dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan kegiatan penangkapan nelayan menjual hasil tangkapannya secara langsung pada pasar lokal atau pedagang perantara secara tunai. Periode antara hasil tangkapan didaratkan sampai terjual habis umumnya satu hari. Sisa yang tidak terjual umumnya dikonsumsi sendiri atau diawetkan melalui proses pengeringan. Keberadaan teknologi untuk mempertahankan tingkat kesegaran ikan masih dilakukan dengan melalui proses pendinginan dengan cara membeli langsung es balok dari pedagang perantara. Hari pasar berlangsung dengan sistem bergilir antar lokal dan tiap hari. Bagi Desa yang berdekatan, lokal pasarnya disatukan. Hal ini selain untuk mempermudah proses pertukaran, juga memiliki dampak positif bagi masyarakat antar desa dalam bersosialisasi. Untuk memenuhi kebutuhan pokok, nelayan memperolehnya dari kios sembako atau koperasi dengan sistem tunai dan kredit. Peran koperasi sangat vital mengingat jangkauan distribusi barang ditempat ini belum tersentuh secara maksimal. Armada transportasi darat sangat minim akibat infrastruktur jalan belum memadai. Interaksi sosial dilakukan melalui pertemuan formal dalam bentuk Rapat Koordinasi Desa (Rakordes) tanggal 17 tiap bulannya (jika bertepatan hari libur dimajukan), pertemuan kelompok nelayan dan pelaksanaan kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pertemuan kelompok nelayan mendapatkan pendampingan dari lembaga swadaya masyarakat yang dikelola melalui Proyek MCMA. Pertemuan secara informal dilakukan melalui majelis Taklim dan kegiatan arisan yang diwadahi oleh Ibu-Ibu PKK maupun swakelola. Gambaran umum kondisi demografi dan sosial ekonomi disajikan pada Tabel 10.
74
Tabel 10. Gambaran Umum Kondisi Demografis Serta Sosial-Ekonomi Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Keadaan Tahun 2005 Kecamatan Item
Demografis
Deskripsi
Jumlah Penduduk Pertumbuhan Penduduk JumlahLaki-Laki Jumlah Perempuan Ratio Jenis Kelamin Kepadatan
Ekonomi
Jumlah Kepala Keluarga Jumlah Rumah Tangga Jumlah Nelayan Jumlah Pasar Hari Pasar (per minggu) Jumlah Alat Transportasi darat Jumlah Alat Transportasi Laut Jumlah Jembatan Jumlah Pedagang Pengumpul Jumlah Kios Jumlah Koperasi Bantuan Program Bantuan Proyek
Sosial
Rapat Koordinasi Desa Jumlah Majelis Taklim Jumlah Kelompok Nelayan
Satuan
Mawasangka Timur
Lakudo
orang % orang orang L/P org per km²
5.075 2,35 2.487 2.588 0,96
19.010 2,87 9.577 9.433 1,02
426
118
KK
1.237
6.273
981 352 4
3.736 1.194 10 Bergilir dan Tetap
unit
1
2
unit
4
8
buah
4
6
orang
4
4
unit unit paket
3 2
14 2
RT orang lokal sistem
paket
Bergilir
PEMP MCMA, MCRMP, Coremap
PEMP MCMA, MCRMP, Coremap
X/minggu X/minggu
2 4
4 10
kelompok
15
65
Jumat dan Jumat dan event Hari-hari Hari-hari Besar Besar Sumber : Hasil Wawancara dan Publikasi Monografi Desa (diolah) Tahun 2006. Kegiatan Gotong Royong
75
4.1.6. Kondisi Sosio Kultural Masyarakat di Wilayah Pesisir Teluk Lasongko memiliki pengetahuan tradisionil berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perairan. Pengetahuan tersebut dikenal dengan istilah “kantanu” dan “meombo” yang bermakna semua masyarakat dilarang untuk mengambil hasil laut selama tiga hari. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada organisme perairan untuk bertelur atau berkembang biak. Apabila pantangan tersebut dilanggar, selain mendapat sanksi sosial diyakini juga akan mendapat kutukan dari “sangia” atau penguasa laut. Sanksi sosial dapat berupa pengucilan, pengusiran sampai dengan di “labu” atau dibenamkan di laut setelah melalui keputusan lembaga adat setempat yang dikenal dengan lembaga “kaowa” , Berkenaan dengan itu upacara – upacara sakral seperti “kafelanto” dan “katanomi”, yang berarti pemberian makan kepada penguasa laut dan darat dengan harapan bahwa selama masyarakat melakukan aktifitas pemanfaatan sumberdaya baik di darat maupun di laut tidak mendapat gangguan yang cukup berarti merupakan tradisi yang terus menerus dilakukan, agar masyarakat terhindar dari sangksi tersebut di atas. Kearifan lokal seperti ini seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mulai ditinggalkan, padahal sistem nilai dari indogenous people merupakan nilai – nilai yang diadopsi kembali untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dimana pendekatan sosialnya adalah anthropocentric dimana manusia serta sistem nilainya dijadikan dasar filosofisnya. 4.1.7. Kondisi Kesejahteraan Aspek kesejahteraan merupakan pertanyaan yang terus menerus disasar seiring dengan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat pesisir yang bekerja pada sektor perikanan memberikan sumbangan yang cukup besar tetapi tingkat kesejahteraannya masih tergolong miskin.
76
Berkenaan dengan itu, kondisi kesejahteraan masyarakat dari empat belas desa pantai dalam dua kecamatan yang tinggal di wilayah pesisir dan mencari nafkah pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko menunjukkan tingkat yang memilukan dimana jumlah keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera Tahap I sebagai indikator masyarakat miskin masih cukup besar yaitu 77 % yang terdiri atas Keluarga Pra Sejahtera sebesar 44 % dan Keluarga Sejahtera Tahap I sebesar 33 % dari dua kecamatan Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Visualisasi secara spesifik disajikan pada Gambar 19. Kecamatan Mawasangka Timur
Sejahtera Sejahtera Tahap II Tahap III 2% 19%
Sejahtera Tahap I 47%
Pra Sejahtera 32%
Kecamatan Lakudo
Sejahtera Sejahtera Tahap II Tahap III 3% 20%
Pra Sejahtera 47%
Sejahtera Tahap I 30%
Gambar 19. Gambaran Keadaan Kesejahteraan Keluarga Dua Kecamatan, Diolah 2006 4.2. Keadaan Umum Perikanan Laut Daerah Penelitian 4.2.1. Nelayan Nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko (WPTL) adalah nelayan domisili yang terdiri atas nelayan asli dan nelayan pendatang. Nelayan asli merupakan penduduk setempat yang telah turun temurun berprofesi sebagai nelayan atau karena kondisi tertentu beralih menjadi nelayan. Adapun nelayan pendatang umumnya berasal dari
77
sentra- sentra perikanan seperti Mawasangka, Kota Bau-Bau, Dobo dan Bugis yang kemudian menetap dan berdomisili di Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, jumlah nelayan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko berfluktuatif dengan kecenderungan yang semakin menurun. Jumlah nelayan terbanyak terjadi pada tahun 2000 yaitu sebanyak 1.943 orang dan ter rendah terjadi pada tahun 2002 yaitu sebanyak 1.721.orang. Penurunan terbanyak terjadi antara tahun 2001 sampai dengan 2002 sebanyak 112 orang sedangkan peningkatan terbanyak terjadi antara tahun 1998 sampai dengan 1999 yaitu sebanyak 185 orang. Perkembangan jumlah nelayan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan trend perkembangan jumlah nelayan secara visuil dapat dilihat pada Gambar 20. 2500
J umlah (or ang )
2000
1500
1000
500
0 1995 1997 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Mawasangka Timur
Lakudo
WPTL
Gambar 20. Grafik Perkembangan Jumlah Nelayan, Diolah 2006 Berdasarkan informasi yang dihimpun dari responden dan informan kunci ( pejabat yang kompeten di tingkat kecamatan dan kabupaten) diperoleh penjelasan bahwa peningkatan terbanyak terjadi karena penduduk asli yang merantau sebagai tenaga kerja di Kepulauan Maluku melakukan eksodus kembali ke daerah asal akibat kerusuhan Ambon yang terjadi pada pertengahan tahun 1998. Sedangkan penurunan terbanyak terjadi akibat terjadinya eksodus
78
penduduk asli menjadi tenaga kerja di perantauan, baik sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia dan Singapura, maupun sebagai Tenaga Kerja Domestik ke Wilayah Barat yaitu Pulau Sumatera dan Kalimantan (utamanya Balikpapan dan Nunukan) serta ke Bagian Timur yaitu Kepulauan Maluku (utamanya Ambon) dan Pulau Papua (utamanya Timika, Fak - Fak dan Jayapura). 4.2.2. Armada Penangkapan Ikan Armada penangkapan yang digunakan oleh nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko terdiri dari sampan dan perahu. Sampan dan perahu terbuat dari kayu berkualitas tinggi seperti mahoni dan jati yang diperoleh dari Makassar dengan harga bervariasi. Sampan dengan muatan 4-5 orang dijual antara Rp.700.000,00 sampai dengan Rp.1.500.000,00. Perahu dengan muatan 6-10 orang dijual antara Rp. 1.000.000,00 sampai dengan Rp.3.000.000,00. Panjang sampan antara 4 sampai dengan 9 meter dengan lebar antara 0.60 sampai dengan 1.00 meter sedangkan panjang perahu antara 10 sampai dengan 16 meter dengan lebar antara 1.00 sampai dengan 1.75 meter. Baik sampan maupun perahu dapat dilengkapi dengan mesin tempel yang dikenal oleh para nelayan dengan sebutan “katinting”, yaitu motor tempel dari berbagai merek seperti Kubota dan Yanmar dengan kekuatan tenaga 5-10 pk. Harga motor tempel bervariasi antara Rp.8.000.000,00 sampai dengan Rp.15.000.000,00. Mesin tempel tersebut diperoleh dengan cara membeli pada toko yang berada di ibu kota Kabupaten secara tunai atau melalui bantuan dari pihak ke tiga. Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, jumlah total armada penangkapan yang beroperasi pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko berfluktuatif dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Secara nominal terjadi peningkatan sebesar 22 unit selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005. Jumlah armada penangkapan terbanyak terjadi pada tahun 2004, yaitu sebesar 543 unit dan ter rendah terjadi pada tahun 1998, yaitu sebanyak 472 unit. Peningkatan terbanyak terjadi antara tahun 1998 – 1999, yaitu sebanyak 43 unit sebagai akibat dari peningkatan jumlah Sampan pada periode yang sama sebanyak
79
29 unit dari 296 unit pada tahun 1998 menjadi 325 unit pada tahun 1999. Peningkatan jumlah Sampan/Perahu Dengan Motor Tempel sebanyak 14 unit dari 176 unit pada tahun 1998 menjadi 190 unit pada tahun 1999. Penurunan terbanyak terjadi antara tahun 1999 - 2000 sebanyak 22 unit sebagai akibat dari penurunan jumlah Sampan pada tahun 2000 sebanyak 15 unit dari 325 unit pada tahun 1999 menjadi 310 unit pada tahun 2000 serta penurunan jumlah Sampan/Perahu Dengan Motor Tempel sebanyak 7 unit dari 190 unit pada tahun 1998 menjadi 183 unit pada tahun 1999. Perkembangan jumlah armada penangkapan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4., sedangkan perkembangan jumlah armada penangkapan secara visuil dapat dilihat pada Gambar 21. 350 Sampan/Perahu (Mawasangka Timur)
300
Sampan/Perahu Dgn Motor Tempel Mawasangka Timur)
J umlah (unit)
250 200
Sampan/Perahu (Lakudo)
150
Sampan/Perahu Dgn Motor Tempel (Lakudo)
100 50
Sampan/Perahu (WPTL)
19 9 19 5 96 19 9 19 7 98 19 9 20 9 0 20 0 0 20 1 02 20 0 20 3 0 20 4 05
0 Sampan/Perahu Dgn Motor Tempel (WPTL)
Tahun
Gambar 21. Grafik Perkembangan Jumlah Armada Penangkapan, Diolah 2006. Analog dengan penjelasan tentang perkembangan jumlah nelayan sebelumnya, penjelasan terhadap fluktuasi perkembangan jumlah armada penangkapan oleh responden dan informan kunci menyatakan bahwa pola peningkatan jumlah armada penangkapan juga dipengaruhi oleh peningkatan jumlah eksodus korban kerusuhan Ambon yang masuk dalam kegiatan penangkapan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko, namun dengan sifat insidentil (sementara) sehingga trend perkembangan jumlah armada penangkapan
80
selama periode Tahun 1998 sampai dengan 2000 menunjukkan kenaikan kemudian menurun. 4.2.3. Alat Penangkapan Ikan Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 jenis alat penangkapan yang digunakan oleh nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan laut pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah pancing, bubu serta jaring insang dasar. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari responden dan informan kunci, klasifikasi alat tangkap pancing yang dominan digunakan adalah pancing ulur dan pancing tonda; alat tangkap bubu yang dominan adalah bubu dasar serta alat tangkap jaring insang yang dominan adalah jaring insang dasar. Jumlah alat penangkapan yang digunakan oleh nelayan Wilayah Pesisir Teluk Lasongko dalam melakukan kegiatan penangkapan selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 berfluktuatif dengan kecenderungan yang semakin meningkat, sebesar 46 unit dari 614 unit pada tahun 1995 menjadi 660 unit pada tahun 2005. Jumlah alat penangkapan terbanyak, terjadi pada tahun 2005 yaitu sebanyak 660 unit dan ter rendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebanyak 529 unit. Peningkatan terbanyak terjadi antara tahun 2002 sampai dengan 2003 sebanyak 87 unit sedangkan penurunan terbanyak terjadi antara tahun 1999 sampai dengan 2000 yaitu sebanyak 37 unit. Secara berturut-turut kontribusi alat tangkap selama periode 1995 sampai dengan 2005 adalah : pancing (46,71 %), jaring insang dasar (39,30 %) dan bubu (13,99 %). Perkembangan jumlah alat tangkap secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 5., sedangkan trend perkembangan jumlah alat tangkap secara visuil dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari responden, alat penangkapan ikan laut yang dominan digunakan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam melakukan penangkapan target species : ikan lencam adalah berturut – turut adalah bubu, jaring insang dasar kemudian pancing. Dalam penelitian ini alat tangkap yang akan diamati adalah dua alat tangkap dominan yaitu bubu dan jaring insang dasar, sedangkan alat tangkap pancing tidak di amati mengingat alat tangkap
81
800 700 J u m la h (u n i t)
600 500 400 300 200 100 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Pancing (WPTL)
Tahun Jaring Insang Dasar (WPTL)
Payang (WPTL)
Bubu (WPTL)
Bagan (WPTL)
Total Alat Penangkapan (WPTL)
Gambar 22. Grafik Perkembangan Jumlah Alat Tangkap, Diolah 2006. ini memiliki bias karena sebagian besar nelayan melakukan penangkapan dengan memancing karena alasan bukan produksi (rekreasi). 4.3. Model Statik Bio-economic Gordon-Schaefer Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah bagaimana (how best) memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna dan pada saat yang bersamaan aspek kelestarian sumberdaya tersebut tetap terjaga (Fauzi A 2004). Istilah Bio-economic. Pertama kali diperkenalkan oleh H.S. Gordon melalui pendekatan ekonomi dengan menggunakan basis biologi yang sebelumnya diperkenalkan oleh Schaefer. Model analisis ini kemudian dikenal dengan Model Statik Gordon – Schaefer. Pemodelan Bio-economic secara statik dilakukan untuk mencari satu tingkat pengelolaan yang optimal, baik secara biologi (MSY) maupun secara ekonomi (MESY) didasarkan pada faktor input yaitu upaya yang tercurah dalam kegiatan penangkapan. Melalui suatu teknik
82
pendugaan tertentu akan diperoleh suatu Yield Effort yang optimal sebagai variabel strategis bagi pengambil kebijakan dalam mengelola sumberdaya perikanan secara lestari. Menurut Fauzi A (2000) Model Statik Bio-economic Gordon-Schaefer didasarkan pada beberapa asumsi yang meliputi : (1). Harga per satuan output (Rp./kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan yang elastis sempurna; (2). Biaya per satuan unit (c) dianggap konstan; (3). Target species bersifat tunggal; (4). Struktur pasar bersifat kompetitif; (5). Hanya memperhitungkan faktor penangkapan. 4.3.1. Aspek Biologi Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada awalnya pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan didasarkan pada faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield atau disingkat MSY. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap species ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi, melebihi tingkat kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang) maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Pendekatan biologi dengan menggunakan kerangka surplus produksi merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam arti mudah dipahami serta didasari oleh pengertian matematika sederhana (Fauzi A 2004). 4.3.1.1. Target Species : Ikan Lencam Salah satu asumsi Model Statik Bio-economic adalah target species bersifat tunggal. Dalam penelitian ini pemilihan target species dilakukan secara purposive terhadap salah satu jenis ikan karang konsumsi pada daerah penelitian yaitu ikan lencam, dengan pertimbangan bahwa proporsi produksi ikan karang konsumsi selama periode tahun 1995 sampai dengan 2005 pada daerah penelitian sangat dominan.
83
Secara deskriptif, ikan lencam merupakan salah satu jenis ikan karang konsumsi, hidup dan mencari makan berupa crustacea, cacing dan ikan-ikan kecil pada perairan pesisir dengan dasar perairan karang, pasir dan ditumbuhi lamun (seagrass) serta memiliki perilaku alamiah yang agresif (Dirjen Perikanan Tangkap : SDI jenis Karang Konsumsi : http:\\www.dkp.co.id\). Nama Asing : Emperor, Nama Indonesia : Lencam, Nama Lokal : Katamba dan Nama Latin : Lethrinus, spp. Menurut Saanin H (1968) taksonomi ikan lencam diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum : Cordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidea Family : Lethrinidae Genus : Lethrinus Species : Lethrinus reticulatus
Gambar 23. Lethrinus reticulatus (Saanin H 1968)
84
Ciri-ciri morfologis ikan lencam adalah badan memanjang, agak lonjong, gepeng. Moncong agak meruncing. Sisik sedang, ctenoid. Penutup insang bersisik, pipi gundul. Sisik transversal diatas garis rusuk 5-6,5 , sedangkan dibawah garis rusuk 14-15. Jari-jari keras sirip punggung 10, dan 9 lemah. Sirip dubur berjari-jari keras 3, dan 8 lemah. Dapat mencapai panjang 40 cm, umumnya 25-35 cm. Warna bagian atas zaitun atau kehijauan, agak kepucatan bagian bawah. Sisik-sisik pada bagian atas badan ditengah-tengahnya berwarna putih seakan-akan membentuk totol-totol. Sirip-sirip kuning ungu kemerahan. 4.3.1.2. Daerah dan Musim Penangkapan Ikan Lencam Karakteristik perikanan aktifitas penangkapan sumberdaya ikan laut pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah artisanal fisheries. Ikan Lencam merupakan salah satu jenis ikan karang konsumsi. Kegiatan penangkapan ikan lencam dilakukan pada daerah pesisir dan daerah tengah dalam perairan Teluk, dimana terdapat terumbu karang dan padang lamun sebagai habitat utama dari ikan lencam. Bagi nelayan di Wilayah Perairan Teluk Lasongko, upaya penangkapan ikan lencam relatif dapat dilakukan sepanjang tahun, namun karena fenomena dan kondisi alam tertentu, maka kelimpahan hasil tangkapan antara satu musim dengan musim lainnya sangat berbeda. Pada musim angin barat cenderung bertiup angin kencang yang mengandung banyak uap air, sehingga kondisi perairan pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dan sekitarnya mengalami gelombang besar dan sering disertai hujan. Umumnya pada musim ini para nelayan mengurangi kegiatan penangkapan (Effort) dan musim ini dikenal dengan musim paceklik. Sebaliknya pada musim timur, angin bertiup relatif lemah dan udara yang relatif kering, sehingga pada musim ini kondisi perairan relatif tenang, pada musim ini nelayan kembali meningkatkan kegiatan penangkapan (Effort). Perbedaan jumlah upaya (Effort) yang tercurah pada kegiatan penangkapan oleh nelayan antara musim penangkapan dengan musim paceklik memiliki pengaruh yang tidak dapat diabaikan, sehingga dalam menganalisis fungsi produksi lestari dan optimasi Bio-economic upaya pemanfaatan
85
sumberdaya ikan, informasi mengenai bulan musim penangkapan menjadi sangat penting. Berdasarkan hasil pemantauan Stasiun Klimat Muna Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi wilayah penelitian kami, pola musim penangkapan dipengaruhi oleh pola moonson dimana musim barat sebagai musim paceklik berlangsung antara bulan Juni sampai dengan Nopember dengan Musim Peralihan I dari Desember ke Januari, sedangkan musim timur sebagai musim penangkapan berlangsung antara bulan Desember sampai dengan Mei dengan Musim Peralihan II yaitu April ke Mei. Arah angin pada kedua musim tersebut berasal dari timur menuju ke barat. Berdasarkan pengalaman para nelayan Wilayah Perairan Teluk Lasongko musim penangkapan mengalami puncaknya terutama terjadi pada bulan Juni sampai dengan Agustus tiap tahunnya. 4.3.1.3. Produksi Ikan Lencam Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, produksi ikan lencam cenderung berfluktuatif dengan produksi rata-rata sebanyak 963,9 kg. Produksi ter tinggi dicapai pada tahun 2002, dengan volume produksi sebanyak 1.228,0 kg dan produksi ter rendah terjadi pada tahun 1995, dengan volume produksi sebanyak 729,7 kg. Di Wilayah Perairan Teluk Lasongko dan sekitarnya, ikan lencam ditangkap dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap, seperti bubu, jaring insang dasar dan pancing. Produksi rata-rata tahunan terbanyak, dihasilkan oleh alat tangkap bubu, yaitu mencapai 433,3 kg, kemudian diikuti oleh jaring insang dasar yang mencapai 428,5 kg, sementara alat tangkap lainnya hanya mencapai 102,1 kg. Perkembangan produksi ikan lencam selama periode 1995 sampai dengan 2005, secara rinci disajikan dalam Tabel 11. Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, rata-rata proporsi produksi bubu dan jaring insang dasar terhadap produksi total ikan lencam nampak sangat mendominasi dari pada rata - rata proporsi produksi alat tangkap lainnya (pancing). Proporsi produksi bubu rata-rata mencapai 45,81 % dan jaring insang dasar mencapai 43,27 %. Dengan kata lain, kontribusi dari kedua alat
86
Tabel 11.
Tahun
Perkembangan Produksi Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005
Bubu
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
343 384 443 507 421 419 428 483 472 488 378 433
Produksi (ton) Jaring Insang Lainnya Dasar (Pancing) 293 94 273 105 267 148 311 98 258 121 402 73 644 154 636 109 537 88 615 73 477 61 428 102
Jumlah 730 762 858 917 801 894 1.225 1.228 1.097 1.176 916 964
Sumber : Statistik Perikanan Kabupaten Buton (diolah), Tahun 2006
Tabel 12. Perkembangan Proporsi Produksi Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005. Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
Bubu 47,03 50,46 51,59 55,36 52,63 46,90 34,91 39,32 43,06 41,48 41,22 45,81
Proporsi Produksi (%) Jaring Insang Lainnya Sub Total Dasar (Pancing) 40,15 87,19 12,81 35,80 86,26 13,74 31,12 82,71 17,29 33,97 89,33 10,67 32,26 84,89 15,11 44,95 91,85 8,15 52,56 87,46 12,54 51,79 91,12 8,88 48,95 92,01 7,99 52,32 93,80 6,20 52,08 93,30 6,70 43,27 89,08 10,92
Sumber : Statistik Perikanan Kabupaten Buton (diolah), Tahun 2006
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
87
tangkap ini terhadap produksi ikan lencam rata-rata mencapai 89,08 %. sementara kontribusi alat- tangkap lainnya (pancing) , rata-rata hanya mencapai 10,92 %. Dengan pertimbangan kecilnya kontribusi alat-alat tangkap lainnya (pancing), maka dalam analisis upaya pemanfaatan ikan lencam diarahkan berdasarkan kedua jenis alat tangkap yang paling dominan, yaitu bubu dan jaring insang dasar. Perkembangan proporsi produksi berdasarkan alat tangkap selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 disajikan pada Tabel 12.
4.3.1.4. Upaya Penangkapan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko, alat tangkap yang paling dominan untuk menangkap ikan lencam adalah bubu dan jaring insang dasar. Pengoperasian kedua alat tangkap tersebut adalah one day trip, khususnya bubu, karakteristik pengoperasiannya ditandai oleh jarak waktu antara trip pengambilan hasil tangkapan semula dan berikutnya memakan waktu antara 2 sampai dengan 3 hari. Untuk menyeragamkan satuan upaya dari ke dua alat tangkap tersebut digunakan satuan trip dengan pertimbangan kegunaannya untuk menghindari bias dari alat tangkap sejenis yang tidak beroperasi. Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, total Effort yang tercurah dari masing-masing alat tangkap untuk menangkapan ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko, cenderung berfluktuatif dengan Effort rata-rata sebanyak 158.872 trip. Effort ter tinggi dicapai pada tahun 1998, yaitu sebanyak 185.553 trip dan Effort ter rendah terjadi pada tahun 2004, yaitu sebanyak 129.525 trip. Berdasarkan alat tangkap dominan, rata-rata Effort dari alat tangkap jaring insang dasar lebih besar yaitu 83.653 trip dibandingkan dengan rata-rata Effort dari alat tangkap bubu sebesar 75.219 trip. Adapun rincian perkembangan upaya yang tercurah untuk penangkapan ikan lencam berdasarkan alat tangkap selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 disajikan pada Tabel 13.
88
Tabel 13. Perkembangan Upaya Penangkapan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005. Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
Bubu 87.696 82.403 87.531 98.106 81.623 72.083 67.034 72.179 63.685 47.083 67.989 75.219
Effort (trip) Jaring Insang Dasar 87.352 89.975 83.612 87.447 82.641 82.404 83.335 86.289 84.774 82.442 69.911 83.653
Total Effort 175.048 172.378 171.143 185.553 164.264 154.487 150.369 158.468 148.459 129.525 137.900 158.872
Sumber : Statistik Pelabuhan Perikanan Kabupaten Buton (diolah) Tahun 2006. 4.3.1.5. Fungsi Produksi Lestari Ikan Lencam 4.3.1.5.1. Standardisasi Effort Standardisasi upaya yang dicurahkan pada penangkapan target species dengan alat tangkap dominan dilakukan dalam rangka estimasi parameter biologi dalam perikanan yang multi species dan multi gear untuk menghindari variasi species (ikan yang tertangkap dalam upaya yang dicurahkan selain target species) dan variasi gear (alat tangkap yang ada dari alat tangkap sejenis yang tidak beroperasi). Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), mencerminkan perbandingan antara hasil tangkapan dengan unit Effort yang dicurahkan. Hasil tangkapan pada prinsipnya adalah merupakan output dari kegiatan penangkapan, sedangkan Effort yang diperlukannya pada prinsipnya adalah merupakan input dari kegiatan penangkapan tersebut. Dalam istilah ekonomi produksi, perbandingan antara output dengan input mencerminkan tingkat efisiensi tehnis dari setiap penggunaan input, oleh karena itu besaran CPUE dapat juga digunakan
89
sebagai indikator tingkat efisiensi tehnik dari pengerahan upaya (Effort). Dengan kata lain nilai CPUE yang lebih tinggi mencerminkan tingkat efisiensi penggunaan Effort yang lebih baik. Standardisasi alat tangkap dilakukan terhadap alat tangkap jaring insang dasar dengan pertimbangan bahwa hasil rata-rata CPUE dari masing-masing alat tangkap menunjukkan bahwa alat tangkap jaring insang dasar memiliki nilai yang relatif besar sehingga alat tangkap ini dijadikan standar. Untuk menghitung Fishing Power Indeks dari alat tangkap standar tersebut yang diukur berdasarkan rasio CPUE dari alat tangkap bubu terhadap alat tangkap jaring insang yang dijadikan standar dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.03). Dengan diketahuinya nilai Fishing Power Index dapat diperoleh nilai masing – masing ukuran input yang diperoleh dari Persamaan (3.02). Sehingga akan diperoleh masing – masing nilai input nominal (standardized effort) untuk keperluan analisis, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Standardisasi Effort Upaya Penangkapan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Berdasarkan Alat Tangkap Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005. CPUE Tahun
1995 1996 1997 1998 1996 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Bubu
Jaring Insang Dasar
FPI Jaring Insang Dasar
0,003913519 0,004664879 0,005056494 0,005171957 0,00516276 0,005814131 0,006380344 0,006690312 0,007416189 0,010362551 0,005552369
0,003354245 0,003030842 0,003193322 0,003561014 0,003125567 0,004874763 0,007727845 0,00737058 0,00633331 0,007464642 0,006822961
0,857092 0,649715 0,631529 0,688524 0,605406 0,838434 1,211196 1,101680 0,853984 0,720348 1,228838
Alat Tangkap Standard (Jaring Insang Dasar) 74.869 58.458 52.803 60.209 50.031 69.090 100.935 95.063 72.396 59.387 85.909
Sumber : Diolah dari Tabel 11 dan Tabel 13 Tahun 2006.
Total Effort (trip) 162.565 140.861 140.334 158.315 131.654 141.173 167.969 167.242 136.081 106.470 153.898
Total Produksi (ton) 636 657 710 819 680 821 1.072 1.119 1.009 1.103 855
90
Berdasarkan Tabel 14 tersebut diperoleh total Effort dari Effort yang telah distandardisir yang jika dihubungkan dengan total produksi akan menunjukkan pola sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 24. 1.200,00
180.000,00 160.000,00
1.000,00 140.000,00 120.000,00
800,00
100.000,00 600,00 80.000,00 60.000,00
400,00
40.000,00 200,00 20.000,00 -
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Total effort
Produksi Total
Gambar 24. Hubungan antara Effort yang Distandardisir (trip) dengan Total Produksi (ton) Berdasarkan Gambar 32, nampak bahwa secara umum, terjadi hubungan yang linier antara produksi (output) sebagai variabel dependent dan Effort (input) sebagai variabel independent, dimana peningkatan Effort yang distandardisir akan menyebabkan peningkatan produksi, kecuali pada tahun 1996, 2002 dan 2004. Kondisi ini terjadi karena perubahan Effort (dependent variable) tidak selamanya diikuti oleh perubahan hasil tangkapan (independent variabel) secara konsisten, sebab pola hubungan secara linier memiliki dua karakter yaitu : (1). Apabila peningkatan dependent variable selalu mengakibatkan peningkatan variabel independent atau penurunan dependent variable selalu mengakibatkan penurunan variabel independent, maka pola hubungan diantara kedua variable tersebut bersifat linier dengan korelasi positif; (2). Apabila peningkatan dependent variable selalu mengakibatkan penurunan variabel independent atau penurunan dependent variable selalu mengakibatkan peningkatan variabel independent, maka pola hubungan diantara kedua variable tersebut bersifat linier dengan korelasi negatif. Pada kondisi tertentu peningkatan input memang dapat meningkatkan output sampai pada batas tertentu peningkatan input justru mengakibatkan
91
penurunan output (deminishing return). Sektor perikanan yang ditandai dengan uncertainty selalu mengalami fenomena tersebut. 4.3.1.5.2. Pendugaan Parameter Biologi Dengan Metode CYP Salah satu teknik yang dikembangkan untuk mengestimasi parameter biologi dari model surplus adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshomoto dan Pooley atau metode CYP (Fauzi A 2000) yang ditunjukkan oleh Persamaan (3.04). Pendugaan secara ekonometrik dengan metode CYP didasarkan pada asumsi ikan lencam menyebar secara merata pada fishing ground dan kondisi biomassa adalah statik. Pendugaan dengan Metode CYP ini membutuhkan data input logaritma dari CPUE pada waktu t +1 dan logaritma CPUE pada waktu t serta data input t Effort pada saat t dan t + 1. Sebagaimana nampak pada Persamaan (3.04). Persamaan (3.04) tersebut dapat disederhanakan dalam bentuk fungsi persamaan linier : Y = α + βX 1 + γX 2 ...................................................................
(4.01)
Dengan menggunakan software MS Excell, diperoleh hasil regresi parameter CPUE dengan nilai : intercept α = -2,6588080, β = 0,4151061 dan
γ = -0,0000011 (Lampiran 6) , atau dapat ditulis : Y = − 2,6588080 + 0,4151061X 1 − 0,0000011X 2
Nilai-nilai parameter pada persamaan regresi linier diatas kemudian dimasukkan dalam Persamaan (3.06) maka dapat diperoleh nilai masing – masing parameter biologi sebagaimana nampak pada Tabel 15. Tabel 15. Uraian Hasil Data Input Dengan Menggunakan Metode CYP (Bioeconomic) Uraian Tingkat Pertumbuhan Alami Koefisien Kemampuan Tangkap Daya Dukung Perairan Sumber : Hasil Perhitungan. Diolah Tahun 2006.
Simbol r q K
Nilai 0,8266431 0,0000031 3471,57
92
4.3.1.5.3. Fungsi Produksi Lestari Fungsi produksi lestari (hMSY ) upaya pemanfaatan ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko, diasumsikan mengikuti fungsi pertumbuhan logistic, sebagaimana nampak pada Persamaan (3.07). Persamaan (3.07) menunjukkan bahwa produksi lestari dipengaruhi oleh tingkat Effort melalui parameter biologi r, q dan K secara kuadratik. Dengan menggunakan software Mapple 8, hasil running dari nilai-nilai parameter biologi yang diketahui terhadap fungsi pertumbuhan logistic menunjukkan persamaan :
h := 0.010761867 E ( 1 − 0.375010690810-5 E ) ......................
(4.02)
Dengan memasukkan nilai Effort yang distandardisir (Et ) ke dalam Persamaan (3.07), menggunakan software MS Excell, diketahui tingkat produksi lestari dari upaya pemanfaatan ikan lencam sebagaimana nampak pada Tabel 16. Tabel 16. Perkembangan Jumlah Effort Yang Distandardisir, Produksi Lestari dan Produksi Aktual Upaya Penangkapan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005.
Tahun
Std-Effort (trip)
Produksi Lestari (ton)
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
162.565 140.861 140.334 158.315 131.654 141.173 167.969 167.242 136.081 106.470 153.898 146.051
688 716 716 696 717 716 675 677 717 685 704 701
Sumber : Diolah Tahun 2006.
Selisih Produksi (ton) 52 59 7 -122 37 -105 -396 -442 -292 -418 -151 49
Produksi aktual (ton) 636 657 710 819 680 821 1.072 1.119 1.009 1.103 855 862
93
Secara visuil hubungan antara tingkat produksi lestari dan produksi aktual selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 dapat dilihat pada Gambar 25. 1,200 1,000 P ro d u k s i (to n )
800 600 400 200 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Produksi Lestari
Produksi aktual
Gambar 25. Hubungan Antara Produksi Lestari (Logistic) dan Produksi Aktual Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Berdasarkan Tabel 16 dan Gambar 25, selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, rata-rata Effort yang distandardisir adalah sebesar 146.051 trip per tahun. Sedangkan rata-rata produksi aktual sebesar 862 ton per tahun, yang berada diatas rata-rata produksi lestari sebesar 701 ton per tahun. Pada awalnya produksi aktual berada dibawah produksi lestari, kemudian pada 1998 produksi aktual meningkat, justru disaat produksi lestari menunjukkan kenaikan. Pada tahun 1999, produksi aktual kembali menunjukkan penurunan di bawah produksi lestari. Pola ini kembali berulang pada tahun 2000 sampai dengan 2005 dengan konstellasi yang berubah dimana produksi aktual berada di atas produksi lestari secara signifikan. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi overfishing sebesar 16,75 % serta terdapat indikasi terjadinya biological overfishing melalui selisih hasil tangkapan aktual (hactual ) diatas hasil tangkapan lestari (hmsy ).
94
Dalam kaitannya dengan tingkat Effort, upaya yang tercurah dalam memanfaatkan ikan lencam menunjukkan performance seperti nampak pada Gambar 26.
Gambar 26. Hubungan Antara Produksi Lestari dan Produksi Aktual Berdasarkan Upaya yang tercurah Gambar 26 menunjukkan hubungan antara produksi aktual dan produksi lestari terhadap Effort, dimana semakin tinggi Effort justru menyebabkan sebagian besar produksi aktual berada di atas produksi lestari, selama periode dari tahun 1995 sampai dengan 2005. Tingkat Effort yang digunakan selama periode 11 tahun berkisar antara 100.000 sampai dengan 200.000 trip. Meningkatnya Effort menyebabkan hasil tangkapan aktual (hactual ) , kebanyakan berada di atas hasil tangkapan lestari (hmsy ). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan linier yang kuadratik antara hasil tangkapan lestari dan Effort. Adapun Yield Effort Curve dari upaya pemanfaatan ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko disajikan pada Gambar 27.
95
Gambar 27. Yield Effort Curve antara Effort dan Produksi Lestari Aspek Biologi Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko 4.3.2. Aspek Ekonomi Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam
Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang dikembangkan oleh Schaefer, hanya dapat menentukan tingkat pemanfaatan maksimum secara lestari berdasarkan aspek biologi (hMSY dan EMSY), sehingga belum mampu menetapkan tingkat pemanfaatan maksimum yang lestari secara ekonomi (hMESY
dan EMESY). Untuk menjawab permasalahan tersebut, Gordon mengembangkan Model Schaefer dengan cara memasukkan faktor harga per satuan hasil tangkap dan biaya per satuan upaya pada persamaan fungsinya yang dikenal sebagai “Model Statik Bio-economic Gordon Schaefer” . Parameter ekonomi yang mempengaruhi “Model Statik Bio-economic Gordon Schaefer” dalam perikanan tangkap yaitu biaya penangkapan ( c ) dan harga ( p ). Dalam penelitian ini biaya penangkapan dihitung dari rata – rata biaya penangkapan sedangkan tingkat harga dihitung dari rata – rata harga pada pasar lokal dari 22 responden yang diteliti.
96
4.3.2.1. Perumusan Fungsi Biaya
Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan memerlukan struktur biaya yang terdiri dari biaya tetap (fix cost) dan biaya variabel (variable cost). Dalam penelitian ini biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak habis digunakan dalam satu kali operasi penangkapan (trip). Biaya tetap terdiri atas biaya penyusutan sarana penangkapan (perahu/sampan, alat tangkap dan perlengkapan lainnya) dan amortisasi biaya perizinan. Sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang habis digunakan pada satu kali operasi penangkapan (trip). Biaya penangkapan dalam analisis Bio-economic Model Statik GordonSchaefer, didasarkan atas asumsi : ‘hanya memperhitungkan biaya penangkapan’, sehingga biaya penangkapan hanya meliputi biaya operasi, yang terdiri atas biaya bahan bakar, olie, es dan pangan/perbekalan. Dalam penelitian ini biaya tenaga kerja diabaikan mengingat dalam kegiatan penangkapan Effort yang tercurah untuk menangkap ikan lencam dilakukan dengan pengelolaan keluarga dengan tidak mempermasalahkan faktor biaya tenaga kerja. Sehingga biaya total dalam satu operasi penangkapan (trip) adalah juga biaya variabelnya. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden (sebanyak 22 responden) diketahui bahwa biaya rata-rata operasional adalah Rp. 27.300,- per
trip (Lampiran 7). Dengan memasukkan parameter biaya dimana estimasi fungsi biaya diasumsikan linier terhadap tingkat Effort yang di standardisir (Et ) maka fungsi TC upaya pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 menggunakan
software Mapple 8, ditunjukkan melalui persamaan : TC := 27300 E ............................................ (4.03)
dan kurva TC upaya pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 menggunakan software Mapple 8, sebagaimana nampak pada Gambar 28.
97
TC
Gambar 28. Grafik hubungan antara Effort dengan Biaya Total yang linier Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko 4.3.2.2. Penetapan Harga
Sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer bahwa harga per satuan output adalah konstan. Harga produksi dihitung berdasarkan rata-rata harga jual hasil tangkapan responden pada waktu penelitian dilaksanakan. Harga jual ikan lencam, menurut responden berkisar antara Rp. 6.500,00 sampai dengan Rp. 8.000,00 dengan harga rata-rata (p) sebesar Rp. 7.000,00 (Lampiran 8). Harga ini berlaku pada pasar lokal. Sebagian besar responden menjual hasil tangkapannya pada pasar lokal. Sedangkan ikan yang tidak dapat terserap dalam pasar lokal akan diawetkan untuk kemudian di jual ke luar wilayah. Berdasarkan harga rata-rata sebesar Rp. 7.000,- per kg tersebut diatas, diperoleh TR upaya pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 menggunakan
software Mapple 8, ditunjukkan melalui persamaan : TR := 75333.06900 E ( 1 − 0.375010690810-5 E ) .....................
(4.04)
98
dan kurva TR sebagaimana nampak pada Gambar 29.
TR
Gambar 29. Grafik hubungan antara Effort dengan Fungsi Penerimaan yang Kuadratik Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Adapun hubungan antara TR dan TC ditunjukkan pada Gambar 30.
TC
TR
Gambar 30. Grafik hubungan antara TR dengan TC Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko
99
Dengan diperolehnya fungsi biaya dan fungsi penerimaan dapat diketahui fungsi keuntungan upaya pemanfaatan ikan lencam di Wilayah Perairan Teluk Lasongko, sebagai selisih antara total biaya operasional dengan total penerimaan terhadap tingkat Effort yang di standardisir (E ) , melalui persamaan: φ := 75333.06900 E ( 1 − 0.375010690810-5 E ) − 27300 E ……....
(4.05)
Pada berbagai tingkatan Effort yang distandardisir tingkat keuntungan lestari dapat diperoleh dengan menggunakan Persamaan (2.19). Adapun tingkat keuntungan dimaksud dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17.
Perkembangan Jumlah Effort yang Distandardisir, Total Cost, Total Revenue dan Keuntungan Penangkapan Ikan Lencam Periode Tahun 1995 – 2005.
Et (trip) 1995 162.565 1996 140.861 1997 140.334 1998 158.315 1999 131.654 2000 141.173 2001 167.969 2002 167.242 2003 136.081 2004 106.470 2005 153.898 Rata-rata 146.051 Sumber : Data Olahan Tahun
TRt (Rp) 4,816,607,017 5,013,302,631 5,014,859,968 4,875,490,908 5,018,572,518 5,012,307,699 4,727,388,101 4,740,326,756 5,021,851,056 4,795,081,414 4,926,183,777 4,905,633,804
TCt (Rp) 4,438,015,527 3,845,508,347 3,831,128,636 4,322,008,205 3,594,164,403 3,854,030,854 4,585,553,477 4,565,702,151 3,715,002,381 2,906,628,812 4,201,423,030 3,987,196,893
πt (Rp) 378,591,490 1,167,794,284 1,183,731,331 553,482,703 1,424,408,114 1,158,276,845 141,834,625 174,624,605 1,306,848,675 1,888,452,602 724,760,748 918,436,911
Berdasarkan Tabel 17, selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, rata-rata Effort yang distandardisir adalah sebesar 146.051 trip per tahun. Sedangkan rata-rata keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 918.436.911,-. Hal ini menunjukkan indikasi terjadinya penurunan perolehan keuntungan. Fenomena ini mulai terjadi pada tahun 1998, menyusul tahun 2000, 2001 dan 2005. Keuntungan terbesar diperoleh pada tahun 2004 sebesar Rp. 1.888.452.602,00 sedangkan keuntungan terkecil diperoleh pada tahun 2001 sebesar Rp. 141.834.625,00 Jika penurunan tingkat keuntungan menjadi ukuran
100
terjadinya economic overfishing, maka upaya pemanfaatan ikan lencam di Wilayah Perairan Teluk Lasongko selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 mengindikasikan terjadinya economic overfishing. Adapun perkembangan tingkat perolehan keuntungan selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 dapat dilihat pada Gambar 31. 2,000,000,000 1,800,000,000 1,600,000,000 1,400,000,000 P r o f it ( R p )
1,200,000,000 1,000,000,000 800,000,000 600,000,000 400,000,000 200,000,000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Profit
Linear (Profit)
Gambar 31. Grafik Perkembangan Penerimaan Keuntungan Dari Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Sebagai fungsi dari Effort, tingkat perolehan keuntungan dari upaya pemanfaatan ikan lencam pada wilayah perairan teluk lasongko selama periode 1995 sampai dengan 2005 menunjukkan indikasi penurunan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 31. Dengan menggunakan harga nominal saja, indikasi penurunan tersebut sudah terjadi, apalagi dengan menggunakan harga riil, dimana kecenderungan harga riil memiliki derajat lebih besar dari harga nominal.
101
3,000
Profit
P ro fit (ju t a R p )
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 0
50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 Effort (trip)
Gambar 32. Hubungan Antara Keuntungan Lestari Terhadap Effort Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Jenis Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Gambar 32 menunjukkan hubungan antara tingkat perolehan keuntungan terhadap Effort, dimana semakin tinggi Effort justru menyebabkan tingkat perolehan keuntungan semakin menurun, selama periode dari Tahun 1995 sampai dengan 2005. Tingkat Effort yang digunakan selama periode 11 tahun berkisar antara 100.000 sampai dengan 200.000 trip. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan linier yang kuadratik antara hasil tangkapan lestari dan Effort 4.3.3. Solusi Bio-economic Pada Berbagai Rejim Pengelolaan
Dengan diketahuinya nilai-nilai parameter biologi dan ekonomi melalui Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer dengan pendekatan surplus produksi, selain dapat ditentukan tingkat pengelolaan lestari juga dapat ditentukan tingkat pengelolaan yang optimal berdasarkan regim MSY, MESY dan
Open Access serta informasi-informasi penting dari hasil analisis yang salah satunya adalah terdeteksinya gejala overfishing. Analisis perbandingan solusi Bio-economic diperlukan untuk menilai (assestment) kondisi empirik kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada
102
Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Hal ini berkenaan dengan upaya untuk menjawab secara ilmiah dan empirik permasalahan mendasar dalam pengelolaan pembangunan perikanan yang berkelanjutan yaitu seberapa besar alokasi input yang dibutuhkan agar sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka nilai hitung dari variabel variabel Bio-economic penting yang berdimensi keberlanjutan pada Upaya Pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil Perhitungan Analisis Perbandingan Rejim Pengelolaan dengan Menggunakan Model Statik Bio-economic Gordon – Schaefer pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Rejim Pengelolaan Variabel
MEY / Sole Owner Nilai
Satuan
Open Access Nilai
Satuan
MSY Nilai
Satuan
X
2.374 ton
1.276 ton
1.736 ton
h
621 ton
667 ton
717 ton
E
85.522 trip
171.043 trip
135.216 trip
Phi
2.008.991.168 rupiah
0 rupiah 1.330.664.851 rupiah
Sumber : Hasil Perhitungan. Sedangkan hasil analisis analisis kontras/sensitifitas Model Statik Bio-
economic Gordon Schaefer Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dengan data riil yang diperoleh, untuk melihat sejauh mana hasil pemodelan bisa diterima sesuai dengan data riil yang ada guna pembahasan hasil pemodelan nampak pada Gambar 33.
103
3.000.000.000
1.500 1.400 1.300 1.200 1.100 1.000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 -
2.500.000.000 2.000.000.000 1.500.000.000 1.000.000.000 500.000.000 sole owner / MEY
open access h*
E* (ribuan)
MSY Phi
Gambar 33. Analisis Sensitivitas solusi Bio-economic dari Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam di Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Penjelasan terhadap nilai hasil perhitungan pada Tabel 18, secara parsial dapat dikemukakan bahwa : (1). Nilai Parameter x menunjukkan kondisi biomassa sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam kondisi tanpa penangkapan. Dalam istilah yang sesuai dengan rejim pengelolaannya, kondisi biomassa menunjukkan nilai yang : optimal dicapai pada MEY regime sebesar 2.374.ton; maksimal dicapai pada OA regime sebesar 1.276 ton dan lestari dicapai pada MSY regime sebesar 1.736 ton. Nilai ini menyimpan informasi yang berkaitan dengan upaya konservasi stock untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Berturut – turut nilai terbesar dicapai pada Rejim Pengelolaan
MEY atau Sole Owner, kemudian Rejim Pengelolaan MSY dan terakhir Rejim Pengelolaan Open Access; (2). Nilai Parameter h menunjukkan kondisi terjadinya penangkapan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam istilah yang sesuai dengan rejim pengelolaannya, tingkat tangkapan menunjukkan nilai yang : optimal dicapai pada MEY regime sebesar 621 ton; maksimal dicapai pada OA regime sebesar 667 ton dan
104
lestari dicapai pada MSY regime sebesar 717 ton. Nilai ini menyimpan informasi yang berkaitan dengan besarnya hasil tangkapan yang diperbolehkan untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Berturut – turut nilai terbesar dicapai pada Rejim Pengelolaan MSY , kemudian Rejim Pengelolaan
MEY atau Sole Owner dan terakhir Rejim pengelolaan Open Access; (3). Nilai Parameter E menunjukkan tingkat upaya yang tercurah dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam istilah yang sesuai dengan rejim pengelolaannya, tingkat upaya menunjukkan nilai yang : optimal dicapai pada MEY regime sebesar 85.552 trip; maksimal dicapai pada OA regime sebesar 171.043 trip dan lestari dicapai pada MSY regime sebesar 135.216 trip Nilai ini menyimpan informasi yang berkaitan dengan tingkat upaya yang tercurah yang diperbolehkan untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Berturut – turut nilai terbesar dicapai pada Rejim Pengelolaan MSY , kemudian Rejim Pengelolaan
MEY atau Sole Owner dan terakhir Rejim pengelolaan Open Access; (4). Nilai Parameter phi menunjukkan tingkat keuntungan secara ekonomi dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko dalam istilah yang sesuai dengan rejim pengelolaannya, tingkat keuntungan menunjukkan nilai yang : optimal dicapai pada MEY regime sebesar Rp. 2.008.991.168,00 dan lestari dicapai pada MSY regime sebesar Rp. 1.330.664.851,00. Nilai ini menyimpan informasi yang berkaitan dengan besarnya tingkat keuntungan yang dapat diperoleh pada kondisi terjadinya konservasi stock, hasil tangkapan yang diperbolehkan serta tingkat upaya yang berdimensi keberlanjutan secara biologi.. Berturut – turut nilai terbesar dicapai pada Rejim Pengelolaan MEY kemudian Rejim Pengelolaan
MSY atau Sole Owner. Pada Rejim pengelolaan Open Access memperoleh keuntungan sama dengan nol, dan kondisi ini yang dikemukakan oleh Gordon dengan istilah Bio-economic Equilibrium of Open Access Fishery, merupakan suatu kondisi keseimbangan dimana TR sama dengan TC dengan tingkat upaya EOA.
105
Secara visuil plotting nilai - nilai pada Tabel 18 pada Yield Effort Curve terhadap Gambar 30 yang telah dirumuskan sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34. Grafik Yield Effort Curve Analisis Perbandingan Tingkat Pengelolaan MSY, MEY dan Open Access Melalui Model Statik Bioeconomic Gordon – Schaefer pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko 4.4. Model CCR -DEA Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam 4.4.1. Solusi Model CCR -DEA Dari Masing-Masing DMU Antar Waktu
Sebelum melakukan analisis DEA, terlebih dahulu dlakukan assestment terhadap produksi lestari perikanan tangkap pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko, dimana diasumsikan bahwa produksi lestari mengikuti fungsi
Gompertz , sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan (3.13)
106
Pendugaan parameter biologi dilakukan dengan Metode CYP. Metode ini membutuhkan data input logaritma dari CPUE pada waktu t +1 dan logaritma
CPUE pada waktu t serta data input t Effort pada saat t dan t + 1. Sebagaimana nampak pada Persamaan (3.04). Persamaan (3.04) tersebut dapat disederhanakan dalam bentuk fungsi persamaan linier sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan (4.01) Dengan menggunakan software MS Excell, diperoleh hasil regresi parameter CPUE dengan nilai : intercept α = -3.9439235, β = -0.1879960 dan
γ = -0.0000065 (Lampiran 9) . atau dapat ditulis : Y = - 3.9439235 − 0,1879960 X 1 − 0,0000065 X 2
Nilai-nilai parameter pada persamaan regresi linier diatas kemudian dimasukkan dalam Persamaan (3.06) maka dapat diperoleh nilai masing – masing parameter biologi sebagaimana nampak pada Tabel 19. Tabel 19. Uraian Hasil Data Input Dengan Menggunakan Metode CYP (DEA) Uraian Tingkat Pertumbuhan Alami Koefisien Kemampuan Tangkap Daya Dukung Perairan
Simbol r q K
Nilai 2.9260840 0.0000321 1,126.61
Sumber : Hasil Perhitungan. Diolah Tahun 2006 dengan memasukkan nilai-nilai parameter biologi ke dalam Persamaan (3.14) diperoleh hasil estimasi pendugaan menggunakan software Mapple 8 , dimana nilai fungsi produksi lestari diperoleh melalui persamaan :
h := 0.036164181
E e
( − 0.00001097029340
E )
…….................
(4.03)
sedangkan tingkat produksi lestari masing – masing DMU berdasarkan fungsi pertumbuhan gompertz, disajikan pada Tabel 20.
107
Tabel 20. Tingkat Produksi Lestari (Gompertz) dan Tingkat Produksi Aktual Masing-Masing DMU Antar Waktu Pada Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Lencam Di Wilayah Perairan Teluk Lasongko Tahun
Produksi Aktual
Effort
Produksi Lestari (Gompertz)
1995 162.565 636 1996 140.861 657 1997 140.334 710 1998 158.315 819 1999 131.654 680 2000 141.173 821 2001 167.969 1,072 2002 167.242 1,119 2003 136.081 1,009 2004 106.470 1,103 2005 153.898 855 Rata-rata 179,976 862 Sumber : Tabel 11 dan 13. Diolah Tahun 2006.
857 708 713 689 721 951 1.107 1.044 986 993 1.148 901
Sedangkan grafik hubungan antara produksi aktual dan roduksi lestari (Gompertz) ditunjukkan pada Gambar 35.
1,400 1,200 P r o d u k s i (to n )
1,000 800 600 400 200 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Prod. Actual
Produksi Lestari
Gambar 35. Hubungan Antara Produksi Lestari (Gompertz) dan Produksi Aktual Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam
108
Dengan memasukkan nilai-nilai pada Tabel 20 ke dalam Model CCR-
DEA, dimana pasangan data Effort sebagai input variabel serta produksi aktual dan produksi lestari sebagai output variabel, untuk tujuan minimisasi. Pada kondisi constant return to scale diperoleh nilai skor efisiensi sebagaimana nampak pada Tabel 21. Hasil perhitungan dengan menggunakan Model CCR – DEA melalui fungsi tujuan minimisasi input sebagaimana nampak pada Tabel 21 memuat beberapa informasi penting : Nilai Skor efisiensi dari masing-masing alat tangkap bubu dan jaring insang dasar yang dioperasikan selama Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko yang paling efisien terjadi pada tahun 2001 dan 2005, selain dua tahun tersebut efisiensi kapasitas kegiatan pemanfaatan ikan lencam belum efisien. Adapun trajectory efisiensi dapat dilihat pada Gambar 36.
100 90 80 70 60 50
S c o r e (% )
(1).
40 30 20 10 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 DMUn (Tahun) Score DEA-CCR
Linear (Score DEA-CCR)
Gambar 36. Trajectory Efisiensi DMU Antar Waktu Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005
109
Tabel 21. Skor Efisiensi Berdasarkan Model CCR – DEA (Minimasi Input) DMUn (Year)
CCR - DEA
Potential Improvement (%)
Score (%)
I/O
Item I/O
Actual
Target
1995
49,17
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
189.613 636 857
93.226 638 857
-51 0 0
1996
38,52
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
220.887 657 708
85.095 657 708
-61 0 0
1997
40,91
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
219.927 710 713
89.967 710 733
-59 0 3
1998
46,10
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
225.113 819 689
103.779 819 846
-54 0 23
1999
40,04
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
218.128 680 721
87.339 680 721
-60 0 0
2000
64,84
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
170.366 821 951
110.472 821 951
-35 0 0
2001
100,00
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
135.838 1.072 1.107
135.838 1.072 1.107
0 0 0
2002
94,21
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
150.504 1.119 1.044
141.794 1.119 1.156
-6 0 11
2003
78,46
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
162.954 1.009 986
127.855 1.009 1.042
-22 0 6
2004
86,53
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
161.530 1.103 993
139.766 1.103 1.139
-13 0 15
2005
100,00
Inputs Outputs
Effort Produksi Aktual Produksi Lestari
124.881 855 1.148
124.881 855 1.148
0 0 0
Sumber : Data Tabel 20. Diolah Tahun 2006.
110
(2).
Indikasi terjadinya tingkat in efisiensi tercermin dari nilai Potential
Improvement yang negatif. Nilai – nilai input yang negatif terjadi pada tahun 1995, 1996, 1997, 1998, 1999, 2000, 2002, 2003 dan 2004 dengan besaran relatif antara (negatif) 6,00 % sampai dengan (negatif) 31,00 %. Sedangkan tingkat efisiensi diperoleh hanya pada tahun 2001 dan 2005 yaitu sebesar (positif) 100 %. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan kegiatan pemanfaatan ikan lencam pada lokasi penelitian terjadi excessive
Effort, dengan asumsi constant return to scale. Selain itu nilai Potensial Improvement menunjukkan bahwa perbaikan dapat terjadi apabila dilakukan pengurangan input sebesar nilai tersebut dengan fungsi tujuan minimisasi input. Adapun keadaan Potential Improvement secara keseluruhan (over all) ditunjukkan pada Gambar 37.
Gambar 37. Grafik Potential Improvement Secara Keseluruhan DMU Antar Waktu
111
Gambar 37 menunjukkan bahwa overall tingkat pengurangan input selama Periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 adalah sebesar 86,37 % pada kondisi constant return to scale (CRS) minimisasi fungsi tujuan dengan Model CCR – DEA. Hal ini mengandung arti bahwa perlu dilakukan pengurangan kapasitas penangkapan sebesar 86,37 % untuk dapat mencapai produksi lestari. Seiring dengan itu nilai produksi aktual dapat ditingkatkan sebesar 0,06 % dan produksi lestari sebesar 13,54 %. (3).
Adapun frontier dari masing-masing DMU di atas jika digambarkan pada sumbu cartesian (X,Y) dapat dilihat pada Gambar 38.
Gambar 38. Grafis Plot Cartesian (X,Y) Frontier dari Masing-Masing DMU Antar Waktu Gambar 38 memperlihatkan efficiency frontier antara produksi aktual dan produksi lestari. Secara umum dapat dikemukakan bahwa efisiensi upaya yang tercurah dalam kegiatan penangkapan ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 hanya bisa dilakukan jika perikanan tersebut dikelola secara lestari. Hal ini
112
tergambar dari garis yang melintas ke arah sumbu vertikal. Garis ini menunjukkan bahwa membiarkan perikanan dalam kondisi produksi aktual justru tidak akan menghasilkan efisiensi. Hal ini terbukti, dimana hasil assestment terhadap masing – masing DMU Antar Waktu, hanya
DMU Tahun 2001 dan 2005 diperoleh tingkat pengelolaan yang efisien selebihnya terjadi inefisiensi.
4.4.2. Analisis Perbandingan Model CCR : BCC - DEA Dari Masing-Masing DMU Antar Alat
Dalam pendekatan Model CCR – DEA digunakan untuk menghitung nilai relatif efisiensi dengan asumsi constan return to scale (CRS). Artinya jika input dinaikkan dua kali lipat maka output juga akan bertambah dua kali, sehingga model ini sangat linier. Model yang sangat linier ini tidak selalu tepat bila diaplikasikan pada aktifitas produksi yang mengalami non-constant return to
scale. Beberapa fungsi produksi seperti produksi perikanan bersifat decreasing return to scale. Untuk mengatasi masalah tersebut, Model CCR-DEA ini kemudian dikembangkan oleh Banker, Charnes dan Cooper (1984) atau dikenal dengan Model BCC – DEA dengan pendekatan asumsi variabel return to scale
(VRS). Artinya dengan melakukan penambahan input justru dapat menyebabkan penambahan output (increasing), atau pengurangan output (decreasing) atau tidak sama sekali (constant), pada fungsi tujuan minimisasi input. Model ini memungkinkan kita menganalisis efisiensi bagi aktifitas ekonomi sektor perikanan. Fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi lestari (Gompertz), berdasarkan fungsi produksi tersebut dengan menggunakan data input sebagaimana disajikan pada Tabel 22, diperoleh nilai perbandingan masing – masing alat tangkap yang telah distandardisir sebagaimana nampak pada Tabel 23.
113
Tabel 22. Tingkat Produksi Lestari (Gompertz) dan Tingkat Produksi Aktual Masing-Masing DMU Antar Alat pada Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Lencam Di Wilayah Perairan Teluk Lasongko Tahun
Effort
Bubu Jaring Insang Dasar
Produksi Aktual
179.976 146.051
Produksi Lestari (Gompertz)
862 862
904 903
Sumber : Diolah Tahun 2006 Tabel 23. Eficiency Score Perbandingan CCR : BCC – DEA Antar Alat DMUn (Gear)
Score CCR
Scale
Score BCC
Bubu Jaring Insang Dasar
81,24 100,00
constant constant
100,00 100,00
Sumber : Hasil Perhitungan Data Entry pada Tabel 22, Diolah 2006. Tabel 23, memperlihatkan bahwa dengan pendekatan yang berbeda akan menghasilkan tingkat efisiensi yang berbeda pula. Jika unit alat tangkap dianalisis berdasarkan variabel return to scale, diperoleh alat tangkap yang mendatangkan efisiensi adalah bubu dan jaring insang dasa. Sebaliknya dengan berdasarkan
constan return to scale, diperoleh alat tangkap jaring insang dasar yang mendatangkan efisiensi. Hasil perbandingan tersebut juga menggambarkan alat tangkap jaring insang secara konsisten mendatangkan efisiensi untuk kedua pendekatan tersebut. 4.5. Implikasi Kebijakan
Sistem pengelolaan sektor perikanan pada Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko masih menganut sistem pengelolaan secara terbuka (open
access). Dalam sistem ini memerlukan curahan Effort yang lebih banyak dengan tingkat hasil produksi yang lebih sedikit, sehingga akan memberikan rente ekonomi yang sangat kecil, bahkan bisa mengarah ke rente ekonomi yang negatif. Kondisi pengelolaan seperti ini akan menciptakan inefisiensi dan persaingan yang
114
tinggi, yang kemudian akan mendorong para pelaku usaha untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya (excessive effort), sehingga upaya pemanfaatannya cenderung mengarah pada tingkat pemanfaatan yang berlebihan (overfishing).
Over all assesstment yang dilakukan terhadap terhadap performance kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko yang dilakukan melalui estimasi nilai-nilai parameter biologi dan ekonomi (Bio-
economic) serta efisiensi (CCR - DEA) dari dua alat tangkap yaitu bubu dan jaring insang dasar menunjukkan indikasi terjadinya overfishing, baik secara biologi (biological overfishing) maupun secara ekonomi (economical overfishing) serta terjadinya in eficiency dalam bentuk terjadinya excessive effort. Apabila sumberdaya ikan lencam dipandang sebagai sumberdaya ikan dapat pulih (renewable resources), maka pengelolaan secara berkelanjutan harus diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya yang laju ekstraksinya tidak boleh melebihi laju kemampuan daya pulihnya, sehingga terjadi momentum keberlanjutan, baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial. Oleh karena itu diperlukan pergeseran rejim pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada wilayah perairan Teluk Lasongko menuju rejim pengelolaan MESY, melalui perumusan kebijakan implementatif empirik dengan menggunakan hasil over all assestment penelitian ini melalui formulasi kebijakan : 1). Total Allowable Catch (TAC) sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah sebesar 80 % dari MSY (717 ton) yaitu sebesar 574 ton per tahun dalam bentuk kuota penangkapan melalui kebijakan Individual
Transferable Quota (ITQ), dari sisi output; 2). Dari sisi input, permasalahan overfishing sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko terjadi akibat excessive effort, sehingga kebijakan sisi input perlu di tempuh baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung salah satunya berupa pengenaan tax effort. Tax
effort dalam Model Bio-economic Gordon Schaefer diasumsikan bahwa sumberdaya ikan lencam berada pada kondisi open access, sehingga besarnya
115
tax effort yang sesuai dengan rejim pengelolaan berkelanjutan adalah sebesar ⎛ p * MESY ⎞ ⎟⎟ − c . Dengan diketahuinya nilai – nilai variabel T = ⎜⎜ E MESY ⎠ ⎝ p, hMESY , E MESY dan c sebagaimana nampak pada pembahasan sebelumnya maka besarnya tax effort adalah Rp. 23.491,00 per ton per tahun, sehingga penerimaan daerah dari tax effort yang tetap mengacu pada pemanfaatan lestari adalah sebesar : 574 ton x Rp.23.491,00 = Rp 13.482.669,00 per tahun. Adapun Yield Effort Curve setelah melalui penyesuaian dengan pajak Effort pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko yang memenuhi persamaan :
p * MESY = (c + T ) * EMESY dapat dilihat pada Gambar 39.
Gambar 39. Yield Effort Curve Kebijakan Pajak Effort Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Peraitran Teluk Lasongko Pada Gambar 39 mnunjukkan bahwa pengenaan pajak Effort akan mempengaruhi biaya operasional nelayan melalui pergeseran kurva TC menuju TC '. Hal ini akan mengakibatkan keputusan nelayan untuk melaut
116
dipengaruhi oleh ekspektasi ekonomi yang rasional. Kebijakan jenis ini harus diikuti oleh perbaikan pemasaran berupa tingkat harga dan orientasi pemasaran serta teknologi pasca panen. Adapun Kebijakan sisi input secara tidak langsung adalah dengan mengadopsi International Plan of Action dari Committee on Fisheries International (COFI-FAO) tentang pengurangan kapasitas penangkapan sebesar Potential Improvement hasil penelitian. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan peningkatan efektifitas alat tangkap jaring insang dasar yang sangat konsisten dalam penelitian ini melalui gear selectivity dan mesh size strandardization sehingga tidak saja mencegah terjadinya overfishing secara ekonomi dan biologi, tetapi juga dapat mencegah terjadinya recruitment overfishing dari sumberdaya ikan lencam. 3). Diperlukannya suatu payung hukum yang jelas sebagai dasar legal pengelolaan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Peraturan Daerah misalnya haruslah mengakomodasi Inisiasi – inisiasi Global di bidang Perikanan dalam konteks Pengelolaan Secara Lestari, hasil riset dan penelitian serta kearifan lokal masyarakat sebagai konsideransnya. Begitupula dengan aspek pengawasan Peraturan Daerah itu sendiri haruslah melibatkan stakeholder perikanan, anggota dewan perwakilan daerah serta pemerintah secara bersama – sama dan berkesinambungan. 4). Oleh karena itu perlu dibentuknya aspek kelembagaan yang bertugas untuk mengamati, meneliti, merumuskan dan mengevaluasi kegiatan sektor perikanan baik secara sektoral maupun spasial, inter maupun antar sektor. Lembaga seperti Buton Fisheries Centre misalnya merupakan lembaga functional assistance bagi pemerintah daerah dalam menjembatani development program assistance di bidang Pembangunan Perikanan. Hal ini sangat penting mengingat aspek pengelolaan dan pelembagaan merupakan titik balik Pembangunan Daerah menuju Globalisasi. Inisiasi kelembagaan dalam penelitian ini secara skematik disajikan pada Gambar 40
117
Gambar 40. Rekonstruksi Opsi Model Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Lasongko Ke Depan
V KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Berdasarkan penilaian ekonomi sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, dengan menggunakan pendekatan Model Bio-economic Gordon - Schaefer dan Model CCR – DEA, penulis merumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1) Pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya ikan karang konsumsi jenis lencam masih ditandai dengan rejim pengelolaan open access. Berdasarkan solusi Model Bio-economic menunjukkan bahwa tingkat produksi open access selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005 dari alat tangkap gabungan bubu dan jaring insang dasar terhadap ikan lencam adalah sebesar 667 ton per tahun yang berada di bawah hasil tangkapan lestari sebesar 717 ton per tahun dengan tingkat effort open access sebesar 171.034 trip per tahun yang berada di atas effort lestari sebesar 135.216 trip per tahun. 2) Pengelolaan sektor perikanan berdasarkan jenis ikan dan alat tangkap yang berlangsung pada Wilayah Perairan Teluk Laongko telah mengalami overfishing sebesar 16,75 persen, baik secara biologi (biological overfishing) maupun secara ekonomi (economical overfishing). Dengan menggunakan Model Statik Bio-economic Gordon Schaefer. (terima H0 ). 3) Rejim pengelolaan yang mendatangkan keuntungan terbesar adalah Sole Owner atau MEY, dimana tingkat keuntungan pada rejim ini diperoleh sebesar Rp.2.008.991.168,00. Dengan kondisi biomassa sebesar 2.374 Kg. Baik Nilai keuntungan maupun kondisi biomassa pada rejim ini lebih besar dari Nilai keuntungan rejim pengelolaan MSY yang hanya sebesar Rp.1.330.664.851,00, dengan kondisi biomassa sebesar 1.736 Kg. 4) Performance efisiensi kapasitas perikanan tangkap antar alat menunjukkan unit yang efisien hanya terjadi pada Tahun 2001 dan 2005. Keseluruhan performance menunjukkan tingkat Potensial Improvement sebesar (minus) 86,37 persen. Pada kondisi BCC – DEA antar alat pada tahun 2004
119
menunjukkan alat tangkap jaring insang dasar menunjukkan konsistensi dengan skor sebesar 100. 5) Perfomance kapasitas penangkapan di Wilayah Perairan Teluk Lasongko baik antar waktu (1995 – 2005) maupun antar alat (bubu dan jaring insang dasar ) menunjukkan terjadinya overcapacity. 6) Over all assessment terhadap kapasitas perikanan tangkap Wilayah Perairan Teluk Lasongko menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari intensitas besaran nilai overfishing, baik secara ekonomi maupun secara biologi dan overcapacity dalam bentuk in efisiensi secara relatif. 4.1. Saran Kondisi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan khususnya ikan karang jenis Ikan lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko menunjukkan performa yang mengarah kepada kerusakan dan inefisiensi jika tidak dikelola secara lestari. Performance pengelolaan selama ini perlu dirubah untuk lebih menjamin terjadinya optimalisasi dan efisiensi (terima H1) pada semua aspek pembangunan, khususnya pembangunan perikanan. Issue-issue global utama dalam bentuk International Plan of Action perlu ditelaah bersama secara pro aktif dan melembaga.
120
DAFTAR PUSTAKA Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan Pencemaran [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Ayodhyoa, RI Wahyu, SH Wisudo dan B Iskandar. 1995. Studi Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut Nasional. Bogor : Institut Pertanian Bogor, 53 hal Bailey, Dwipongo dan Marahuddin. 1987. Indonesia Marine Capture Fisheries. Jakarta : ICLARM [Bappeda]. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Buton. 2002. Potensi dan Peluang Investasi Perikanan Kabupaten Buton. Bau Bau : Bappeda Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. ----------. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Buton. 2004. Rencana Zonasi Kawasan MCMA Kabupaten Buton : Bau-Bau : Bappeda Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. [Bappeda]. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara. 2002. Atlas Pesisir dan Laut Untuk Lokasi MCMA Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendari : Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara. Barus, Badruddin dan Naamin, 1991. Prosiding Forum II Perikanan, Sukabumi 18-21 Juni 1991. Jakarta : Puslitbang Departemen Pertanian. Bengen, DG. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Bogor : PKSPL IPB. Bengen., D. G. 2003. Pengenalan Dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor : PKSPL IPB. 66 hal. [BKKBN]. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kabupaten Buton. 2005. Rekapitulasi Pendataan Keluarga Tahun 2005. Bau - Bau : BKKBN Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.. [BPS]. Biro Pusat Statistik Kabupaten Buton. 2004. Kabupaten Buton Dalam Angka. Bau-Bau : BPS Kabupaten Buton. Budiharsono S. 2001 Teknik Analisis Pembangunan Wilayah dan Pasisir. Cetakan Pertama Jakarta : Pradnya Paramita. 159 hal. Cicin-Sain B, dan RW Knecht. 1998. Integrated Coastal And Ocean Management. Concept And Practices. Washington D.C. : Island Press.
121
Charles A. 2001. Sustainable Fisheries System. United Kingdom : Blackwell Science. 370 hal. Coglan, Poscoe dan Mardle : 2000 Physical versus Harvest Based Measures of Capacity : The Case of the UK Vessel Capacity Unit System : http://oregonstate.edu/dept/iifet/2000. Conrad JM. 1999. Resource Economics. USA : Cambridge University Press. 213 hal. Clark C. 1976. Mathematical Bioeconomics : The Optimal Management of Renewable Resources. New York : John Wiley and Sons. 352 hal. -----------. 1985. Bioeconomic Modelling And Fisheries Management. New York : John Wiley and Sons. 291 hal. Dahuri R. 1998 (a). Pembangunan Kawasan Pesisir dan Lautan, Tinjauan Aspek Ekologis dan Ekonomi. Makalah pada Diskusi Agama dan Lingkungan. Jakarta : Kantor Kementerian Lingkungan Hidup. ----------. 1998 (b). Kebutuhan Riset Untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pesisir dan Lautan 1:53-65. Bogor : PKSPL-IPB. ----------. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta : LISPI. ----------. 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Makalah disampaikan pada Seminar Potensi Biologi Kelautan sebagai Sumber Keragaman Genetik dan Strategi Pemanfaatannya, Jakarta : Kementerian DKP Dahuri R, Rais, Ginting dan Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : Pradnya Paramita. 328 hal. Dahuri R dan I Idris . 2002. Kebijakan Nasional Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Perspektif Pengembangan Pesisir Di Indonesia [Makalah] Bogor : PKSPL-IPB Departemen Kelautan dan Perikanan, Dirjen Perikanan Tangkap DKP. Sumberdaya Perikanan : http://www.dkp.co.id. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton. 2005. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tangkap. Bau-Bau : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton.
122
Direktorat Jenderal Perikanan, 1979. Penyebaran Beberapa Sumberdaya Perikanan di Indonesia. Jakarta : Departemen Pertanian. 49 hal. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga. 276 hal. [Food and Agricultural Organization], 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries, Roma : FAO. 45 hal Färe, Grosskopf, Kirkley and Squires. Data Envelope Analysis (DEA): A Framework for Assesing Capacity in Fisheries When Data are Limited : http://oregonstate.edu/dept/iifet/2000 Fauzi A. 2000. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih : Persepsi Terhadap Nilai Ekonomi Sumberdaya. Bogor : Kerjasama PKSPL-IPB dan CRCUniversity of Rhode Island ----------. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi Jakarta : Gramedia. 259 hal. ----------. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan : Isu, Sintesis dan Kebijakan : Gramedia. 185 hal. Fauzi A dan S Anna . 2002. Data Envelope Analysis (DEA) Kapasitas Sumberdaya Perikanan Pesisir. [Working Paper] Bogor : Institut Pertanian Bogor ----------. 2003. Assesment Of Sustainability Of Integrated Coastal Management Projects : A CBA-DEA Approach. Pesisir dan Lautan 1:34-48. Bogor : PKSPL-IPB ----------. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan. Jakarta : Gramedia. 343 hal. Feldman AM. 2000. Ekonomi Kesejahteraan (Edisi Terjemahan) oleh Maryatmo dan Retnandari. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya. 204 hal. Fetriani H. 2001. Analysis Bioekonomi Model Gordon – Schaefer untuk Pengusahaan Sumberdaya Ikan Layang di Perairan Utara Jawa. [Skripsi]. Bogor : IPB : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 76 hal. Field BC. 1994. Environmental Economics : An Introduction. New York & London : Mc Graw Hill. 482 hal. Gréboval D. The FAO International Plan of Action for the Management of Fishing Capacity http://oregonstate.edu/dept/iifet/2000.
123
Gulland J.A. 1985. Fish Stock Assestment : A Manual of Basic Methods. New York : John Wiley & Sons. 223 hal. Henderson JM. dan Quandt., RE. 1980. Microeconomic Theory : A Mathematical Approach. London : Mc Graw Hill. 420 hal. Hartono J. 1999. Teori Ekonomi Mikro : Analisis Matematis. Yogyakarta : Andi Jacky and Kay. 2002. Coastal Planning and Management. London and New York : E & FN SPON An Imprint of Routledge. Jones GE, B Davies dan S Hussain. 2000. Ecological Economics : An Introduction, USA : Blackwell Science Ltd. 266 hal. Kusumastanto T. 2002 (a). Sistim Kuota Penagkapan Ikan. Warta Pesisir dan Lautan. 04:8-11. Bogor : PKSPL-IPB ----------. 2002 (b). Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Di Era Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan FPIK- IPB, Bogor. Laevastu T dan I Hela. 1970. Fisheries Oceanography. England : Coward and Gerish Ltd. 238 hal. Matthew S. 2003. Managing Artisanal/Small Scale Fisheries in Developing Countries : Need for a Complementary Approach. Short Paper. India : International Collective in Support of Fishworkers. Mitchell B, B Setiawan dan DH Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 498 hal. Mulyono. 1991. Operation Research. Jakarta : Lembaga Penerbit Universitas Indonesia. Nababan BO. 2005. Analisis Dampak Perdagangan Ikan Karang Hidup Konsumsi (Life Reef Fish Food) Terhadap Sumberdaya Perikanan. [Thesis]. Bogor : IPB Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. 148 hal.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan Eidman, M, Koesoebiono, D.G. Bengen. Jakarta : PT. Gramedia. Odeck J. 2000. Assessing the Relative Eficiency and Productivity Growth of Vehicle Inspection Services : An Aplication of DEA. European Jurnal of Operasional Research.
124
Pearson CS. 2000. Economics and The Global Environment. Edinburg : Cambridge University Press. 583 hal. Randall A. 1987. Resource Economics : An Economic Approach to Natural Resource And Environmental Policy. 2nd Edition. New York : John Wiley & Son. Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bandung : Binatjipta. 520 hal. Saleh MR. 2005. Ecocide : Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jakarta : Kedai WALHI. 137 hal. Smith dan Hanna. Measuring Fleet Capoacity and Capacity Utilization : http://oregonstate.edu/dept/iifet/2000. Stiglitz JE. 1998. Economics Of The Public Sector, 2nd Edition, New York : WW Norton & Co. 692 hal Sudirman dan Mallawa A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 168 hal. Tietenberg T. 2000. Environmental Economics : Policy. 3rd Edition. New York : Edison Wesley. 498 hal. Varian HR. 1992. Microeconomic Analysis. New York and London : Norton & Co. 506 hal. Walden dan Kirkley. 2000. Measuring Capacity of the New England Otter Trawl Fleet : http://oregonstate.edu/dept/iifet/2000. Ward. 2000. Capacity, Excess Capacity and Fisheries Management : http://oregonstate.edu/dept/iifet/2000. Wiadnya DGR, R Johani, MV Erdmann, A Halim, M Knight, PJ Mous, J Pet dan LP Soede. 2004. Kajian Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Indonesia : Menuju Pembentukan Kawasan perlindungan Laut : http : //wikipage.com/2004 Yakin A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Edisi Pertama Jakarta : CV. Akademika Pressindo. 278 hal.
125
125 126
Lampiran 1 . Kondisi Ekosistem Lokasi Penelitian dengan Basis Desa Pantai
Sumber : Bappeda Kabupaten Buton (2004) diolah Tahun 2006
125 127
Lampiran 2. Peta Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko Dengan Basis Desa Pantai
Sumber : Bappeda Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara 2005.
125 128
Lampiran 3 : Perkembangan Jumlah Nelayan Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 - 2005
Tahun 1995 1997 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Total Selisih
Kecamatan Mawasangka Timur Lakudo Jumlah Perubahan Jumlah Perubahan 531 567 593 536 615 650 591 587 590 587 549
36 25 -57 79 35 -58 -5 4 -3 -38 18
1,240 1,222 1,219 1,198 1,304 1,293 1,241 1,134 1,146 1,180 1,203
-18 -3 -21 106 -11 -52 -107 12 34 23
WPTL Jumlah
Perubahan
1,771 1,789 1,812 1,734 1,919 1,943 1,832 1,721 1,736 1,767 1,752
-37
Sumber : Biro Pusat Statistik dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buton. Diolah Tahun 2006
18 22 -78 185 24 -110 -112 15 31 -15 -19
125 129
Lampiran 4 : Perkembangan Jumlah Armada Penangkapan Yang Beroperasi Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode Tahun 1995 - 2005
Tahun
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Total Selisih
Mawasangka Timur Sampan/Perahu Sampan Dengan Motor Tempel
Lakudo Sampan/Perahu Sampan Dengan Motor Tempel
WPTL Sampan/Perahu Dengan Motor Tempel
Sampan
Total Armada
Jumlah Selisih Jumlah Selisih Jumlah Selisih Jumlah Selisih Jumlah Selisih Jumlah Selisih Jumlah Selisih 114 52 213 132 327 184 511 97 -17 59 7 208 -5 126 -6 305 -22 185 1 490 -21 97 0 52 -7 200 -8 128 2 297 -8 180 -5 477 -13 90 -7 49 -3 206 6 127 -1 296 -1 176 -4 472 -5 107 17 53 4 218 12 137 10 325 29 190 14 515 43 90 -17 51 -2 220 2 132 -5 310 -15 183 -7 493 -22 116 26 54 3 214 -6 135 3 330 20 189 6 518 26 101 -15 57 3 212 -2 138 3 313 -17 195 6 507 -11 119 18 61 4 202 -10 153 15 321 8 214 19 535 27 121 2 55 -6 195 -7 172 19 316 -5 227 13 543 8 124 3 56 1 191 -4 162 -10 315 -1 218 -9 533 -10 10
4
-22
30
-12
Sumber : Biro Pusat Statistik dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buton. Diolah Tahun 2006
34
22
126 130
Lampiran 5. Jumlah Alat Tangkap yang Dominan Beroperasi pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko
Tahun
Pancing (WPTL) Jumlah
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Total Selisih
308 310 318 309 293 252 228 227 248 249 293
Selisih 2 8 -9 -16 -41 -24 -1 21 1 44 -15
Jaring Insang Dasar (WPTL) Jumlah 212 220 223 218 220 217 224 222 267 276 255
Selisih 8 3 -5 2 -3 7 -2 45 9 -21 43
Total Alat Tangkap
Bubu WPTL) Jumlah 94 75 72 68 63 70 77 83 104 91 112
(WPTL)
Selisih -19 -3 -4 -5 7 7 6 21 -13 21 18
Jumlah 614 605 613 595 576 539 529 532 619 616 660
Selisih -9 8 -18 -19 -37 -10 3 87 -3 44 46
Sumber : Biro Pusat Statistik dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buton. Diolah Tahun 2006
127 131
Lampiran 6. Hasil Regresi Parameter CPUE Untuk Bio-economic Analysis
125 132
Lampiran 7. Biaya Operasional Responden Per Trip Upaya Pemanfaatan Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Asal Responden Kecamatan
Mawasangka Timur
Lakudo
WPTL
Desa Pantai Inulu Inulu Wantoopi Wantoopi Lasori Lasori Lasori Lasori Bungi Bungi Lolibu Wajo Gu Moko Mone Matawine Lakudo MaNepa-Nepa WaNepa-Nepa Nepa Mekar BoneOge Madongka Madongka Jumlah Rata-rata
No. Resp 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Es 1,500 1,500 3,000 3,000 3,000 3,000 3,000 1,600 3,000 3,000 3,000 1,500 3,000 1,500 1,500 3,000 1,500 3,000 1,500 1,500 1,500 1,500
Cost Total Cost (Rp) (Rp) Solar Oli Pangan Per Trip 2,800 16,500 10,000 30,800 2,800 16,500 10,000 30,800 2,800 16,500 14,000 36,300 4,200 16,500 12,000 35,700 4,200 16,500 14,000 37,700 2,800 16,500 14,000 36,300 4,200 11,000 12,000 30,200 2,800 11,000 8,000 23,400 4,200 11,000 10,000 28,200 4,200 16,500 10,000 33,700 0 0 10,000 13,000 0 0 9,000 10,500 4,200 16,500 14,000 37,700 2,800 11,000 10,000 25,300 4,200 11,000 8,000 24,700 4,200 16,500 12,000 35,700 0 0 10,000 11,500 4,200 16,500 12,000 35,700 2,800 11,000 8,000 23,300 2,800 11,000 8,000 23,300 2,800 11,000 10,000 25,300 0 0 10,000 11,500 600,600 27,300
Sumber : Hasil wawancara dengan responden, Oktober 2005
125 133
Lampiran piran 8. Harga Ikan Lencam Per Kg Menurut Responden Dalam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Asal Responden No. Kecamatan Desa Pantai Resp. Inulu 1. Inulu 2. Wantoopi 3. Wantoopi 4. Lasori 5. Mawasangka Timur Lasori 6. Lasori 7. Lasori 8. Bungi 9. Bungi 10. Lolibu 11. Wajo Gu 12. Moko 13. Mone 14. Matawine 15. Lakudo 16. Lakudo MaNepa-Nepa 17. WaNepa-Nepa 18. Nepa Mekar 19. BoneOge 20. Madongka 21. Madongka 22. Jumlah WPTL Rata-rata Sumber : Hasil wawancara dengan responden, Oktober 2005
Harga (Rp/kg) 6.500 6.500 6.500 6.500 6.500 6.500 7.000 7.000 7.000 7.000 7.000 7.000 7.000 7.000 8.000 8.000 8.000 7.000 7.000 7.000 7.000 7.000 154.000 7.000
134
125 134
Lampiran 9. Hasil Regresi Parameter CPUE Untuk DEA Analysis
125 135
Lampiran 10. Hasil Running Software Mapple 8 Solusi Bio-economic Sumberdaya Ikan Lencam Pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko Periode 1995 – 2005. •
Data Entry :
> restart; > r:=0.8266431;K:=3471.57;q:=0.0000031;p:=7000000;c:=2730 0; r := 0.8266431
K := 3471.57 q := 0.31 10 -5
p := 7000000 c := 27300 •
Solve from Schaefer Curve to Yield Effort Curve :
> f(x):=r*x*(1-(x/K)); f( x ) := 0.8266431x ( 1 − 0.0002880541081x ) > plot(f(x),x=0..4000,growth=0..800);
•
Production Function in Cobb Douglass :
> h:=q*x*E; h := 0.31 10 -5 x E
126 136
> g:=solve(f(x)=h,x); g := 0., 3471.570000− 0.01301875864E > y:=q*E*(K-.1301875864e-1*E); y := 0.31 10 -5 E ( 3471.57 − 0.01301875864 E )
> plot(y,E=0..300000,yield=0..800);
•
Economic Part of Gordon Schaefer Model :
> TR:=p.y;
TR := 21.7000000E ( 3471.57− 0.01301875864E )
> plot(TR,E=0..300000,Rp=0..5500000000);
> TC:=c*E;
TC := 27300 E
127 137
> plot(TC,E=0..300000,Rp);
> plot({TR,TC},E=0..300000,Rp=0..5500000000);
•
Bioeconomic Solution •
MESY Regime
> Profit:=TR-TC; Profit := 21.7000000E ( 3471.57− 0.01301875864E ) − 27300E > fsolve(Profit=0,E);
0., 170024.3122 > y:=diff(Profit,E); y := 48033.06900− 0.5650141250E
128 138
> fsolve(y=0,E);
85012.15611 > Emesy:=85012.15611; Emesy := 85012.15611 > hmesy:=q*Emesy*(K-.1301875864e-1*Emesy); hmesy := 623.2184630 > TRmesy:=p*(q*Emesy*(K-.1301875864e-1*Emesy)); TRmesy := 0.4362529243 10 10
> TCmesy:=c*Emesy; TCmesy := 0.2320831862 10 10
> Profitmesy:=TRmesy-TCmesy; Profitmesy := 0.2041697381
10 10
> Xmesy:=hmesy/(q*Emesy); Xmesy := 2364.817258 •
Open Access Regime
> fsolve(Profit=0,E);
0., 170024.3122 > y:=diff(Profit,E); y := 48033.06900− 0.5650141250E > fsolve(y=0,E);
85012.15611 > Eoa:=0., 170024.3122; Eoa := 0., 170024.3122 > Xoa:=c/(p*q);
Xoa := 1258.064516 > hoa:=q*Xoa*Eoa;
hoa := 0., 663.0948176 > TRoa:=p*hoa; TRoa := 0. , 0.4641663723 10 10
> TCoa:=c*Eoa; TCoa := 0. , 0.4641663723 10 10
> Profitoa:=TRoa-TCoa;
Profitoa:= 0
129 139
•
MSY Regime
> Emsy:=r/(2*q);
Emsy := 133329.5322 > hmsy:=(q*K*Emsy)*(1-(q*Emsy)/r); hmsy := 717.4373468 > TRmsy:=p*hmsy; TRmsy := 0.5022061428 10 10
> TCmsy:=c*Emsy; TCmsy := 0.3639896229 10 10
> Profitmsy:=TRmsy-TCmsy; Profitmsy := 0.1382165199 10 10