80
TATA KELOLA SUMBERDAYA IKAN DI TELUK PALABUHANRATU
Analisis Aktor dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Aktor Pengelola dan Pemanfaat Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Hasil pemetaaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya di dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu terlihat pada Gambar 12. Pada kuadran I (Subjek) ditempati oleh industri pengolahan sumberdaya ikan. Kelompok ini memiliki kepentingan tinggi terhadap sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu namun kurang terlibat dalam merumuskan berbagai kebijakan pengelolaan sumberdaya tersebut. Ketergantungan tinggi disini terkait kepentingan ekonomi yang ditentukan kualitas sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu. Para pengusaha industri pengolahan yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu memiliki kepentingan yang tinggi terhadap keberadaan sumberdaya ikan guna menjaga keberlanjutan bahan baku industrinya. Selama ini bahan baku industri pengolahan berasal dari nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu dan nelayan pantai selatan Jawa Barat, yang tersebar mulai dari Banten sampai Garut. Industri pengolahan yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu umumnya merupakan industri kecil dan menengah. Kuadran II (Pemain) ditempati oleh Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, KUD Mina, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP),
Satuan
Kerja
Pengawasan
Sumberdaya
Kelautan
dan
Perikanan
Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat Pelelangan Ikan, Bakul, Juragan/Taweu dan Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu (POKMASWAS). Kelompok ini memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu melalui perumusan berbagai peraturan baik formal maupun informal.
81
Gambar 12. Pemetaan Aktor Pemanfaat dan Pengelola Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kuadran III (Penonton) ditempati oleh aparat desa, perbankkan dan LEPP-M3R. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu tergantung terhadap sumberdaya ikan dan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Aparat desa memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, misalnya aktivitas pertanian di sekitar desa. Pihak perbankkan dan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mina Ratu (LEPP-M3R) 1 juga memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mengembangkan aktivitas usahanya, sehingga tidak tergantung kepada keberadaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
1
LEPM3R merupakan koperasi nelayan yang berdiri sejak tahun 2005, sebelumnya lembaga ini bernama Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPPM3) yang dibentuk pemerintah daerah (Pemda) Sukabumi pada tahun 2003.
82
Kuadran IV (Aktor) ditempati oleh polisi perairan. Kelompok ini memiliki pengaruh tinggi dengan sedikit kepentingan terhadap sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Melalui berbagai penegakan hukum terhadap pelanggaran aktivitas penangkapan ikan yang tidak sesuai peraturan mampu mempengaruhi pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Terkait dengan konstruksi kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, keterlibatan para aktor pada proporsi yang tepat sangatlah penting. Berdasarkan garis bantu diagonal, dapat dipisahkan aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung (bagian atas) dengan aktor-aktor yang tidak harus terlibat secara langsung (bagian bawah). Bagian sisi atas garis bantu meliputi Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, KUD Mina, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat Pelelangan Ikan, Bakul, Juragan/Taweu, Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu (POKMASWAS) dan Polisi Perairan. Sementara aktor-aktor lainnya tetap harus dilibatkan secara tidak langsung, misalnya melalui dengar pendapat dan cara lainnya. Idealnya kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu yang berciri co-management diharapkan mampu menggeser para aktor di kuadran I ke kuadran II melalui pengelolaan antara pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut diatas aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dikelompokkan berdasarkan hirarkinya menjadi lima, yaitu pertama kelompok nelayan. Aktor-aktor yang berperan ditingkat nelayan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1)
Kelompok Formal, yaitu kelompok yang secara formal terdaftar sebagai organisasi nelayan di pemerintahan atau memiliki badan hukum. Kelompok ini terdiri dari kelompok pengelola rumpon, kelompok masyarakat pengawas sumberdaya ikan dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).
83
2)
Kelompok informal, yaitu kelompok yang secara formal tidak terdaftar sebagai kelompok nelayan di pemerintah dan juga tidak menjadi anggota dari kelompok nelayan yang ada. Akan tetapi keberadaan kelompok nelayan informal ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Umumnya kelompok informal ini dimotori oleh seorang Juragan/Taweu2. Pembagian kelompok di tingkat nelayan ini disebabkan karena berdasarkan
hasil analisis aktor dilapangan terdapat beberapa nelayan yang memiliki pengaruh (seuseupuh 3 ) dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, namun belum bisa mengakui keberadaan masing-masing kelompok nelayan formal yang telah ada. Kedua, tingkat pemerintah, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat dan Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan
dan
Perikanan
Pelabuhanratu,
Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
Palabuhanratu (PPNP), dan Tempat Pelelangan Ikan. Berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten memiliki kewenangan pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan sekurang-kurangnya tiga perempat dari batas kewenangan pemerintah Provinsi (12 mill). Ketiga, kelompok usaha/swasta. Kelompok swasta ini umumnya adalah para bakul dan KUD Mina. Keberadaan kelompok swasta ini sangat bermanfaatan bagi para nelayan, terutama dalam pengembangan modal usaha. Keempat, kelompok akademisi. Kelompok ini terdiri dari perguruan tinggi yang berada di sekitar Kabupaten Sukabumi. Kelima, kelompok keamanan, yang ditempati oleh polisi perairan. 2
Taweu merupakan nama lokal untuk para pemilik kapal. Dua orang Taweu yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah Taweu Rani dan Taweu Ade. 3 Seuseupuh artinya orang yang dituakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa seusuepuh nelayan di Teluk Palabuhanratu ada beberapa diantara mereka yang merasa tidak dilibatkan dalam beberapa kelompok nelayan yang ada, sehingga mereka umumnya memiliki kelompok nelayan sendiri. Kelompok nelayan tersebut sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan pengelolaan konflik sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
84
Kelima
kelompok
tersebut
selama
ini
berjalan
sesuai
fungsi
dan
kepentingannya masing-masing. Sampai saat ini belum ada suatu forum atau lembaga yang berperan dalam mempertemukan kepentingan dari masing-masing kelompok tersebut. Sehingga tidak jarang terjadi berbagai konflik dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Secara lengkap tentang konflik nelayan di Teluk Palabuhanratu akan di bahas dalam sub bab berikutnya.
Peran Masing-Masing Aktor Berdasarkan
analisis
aktor
pengelolaan
sumberdaya
ikan
di
Teluk
Palabuhanratu teridentifikasi bahwa masing-masing aktor memiliki peran yang berbeda-beda. Namun demikian hubungan antar aktor tersebut sangat menentukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
Kelompok Nelayan Formal Kelompok nelayan formal selama ini berperan dalam beberapa aktivitas, yaitu : 1)
Kelompok Pengelola Rumpon, berperan dalam mengelola rumpon yang ada di perairan Teluk Palabuhanratu. Saat ini terdapat sekitar 10 Kelompok Pengelola Rumpon yang tersebar di seluruh wilayah perairan Teluk Palabuhanratu. Kesepuluh kelompok nelayan pengelola rumpon ini bergabung dalam sebuah kelompok nelayan yang bernama Perkumpulan Nelayan Bahtera.
2)
Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan (POKMASWAS) berperan
dalam
pengawasan
sumberdaya
ikan
di
tingkat
4
,
lapangan.
POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat nelayan yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Selain itu juga POKMASWAS berperan sebagai mediator antara masyarakat nelayan dengan pemerintah/petugas. 3)
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), berperan sebagai mediator antara
4
nelayan
yang
menjadi
anggotanya
dengan
pihak-pihak
yang
Kekuatan hukum dari POKMASWAS adalah Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : KEP. 58/MEN/ 2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan.
85
berkepentingan, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dan pihak perbankkan.
Kelompok Nelayan Informal Kelompok nelayan informal di Teluk Palabuhanratu selama ini berperan dalam mengkoordinir nelayan-nelayan diluar anggota kelompok nelayan formal. Peran kelompok informal tersebut sangat besar dalam menjaga konflik pemanfaatan sumberdaya ikan. Hal ini disebabkan kelompok nelayan informal tersebut umumnya dikoordinir oleh para seuseupuh nelayan di sekitar Perairan Teluk Palabuhanratu. Namun demikian, selama ini keberadaan kelompok nelayan informal ini belum banyak dilibatkan dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Kelompok Pemerintah 1)
Peran pemerintah daerah yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu terdiri dari beberapa instansi, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat. Pemerintah daerah berperan dalam adalah : a)
Membuat berbagai regulasi dan strategi implementasinya yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu;
b)
Mediator antara pihak nelayan dengan pihak swasta dalam pengembangan usaha perikanan para nelayan;
c)
Membina kelompok-kelompok pengawas dan kelompok nelayan dalam upaya membangun perikanan secara berkelanjutan;
d)
Mengatur dan membuat berbagai perijinan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu;
e)
Mengatur aktivitas di Pelabuhan Perikanan Indonesia (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI);
86
f)
Memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat pesisir, khususnya nelayan di sekitar perairan Sukabumi.
2)
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP-RI) berperan dalam mengatur aktivitas Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Ikan Palabuhanratu. Keberadaan kedua lembaga tersebut merupakan kepanjangan dari kepentingan Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Teluk Palabuhanratu. Kedua lembaga DKP-RI tersebut berada di bawah Direktorat Jenderal yang berbeda. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sementara itu Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Ikan Palabuhanratu berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
:
KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, Pelabuhan Perikanan Nusantara berperan dalam mengatur kapal ikan yang datang dan pergi dari pelabuhan. Selain itu juga daerah operasional kapal ikan yang dilayani oleh PPNP tidak hanya mencangkup wilayah perairan Teluk Palabuhanratu, akan tetapi mencangkup wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEEI). Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
:
KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, Pelabuhan Perikanan dibagi menjadi 4 (empat) kategori utama yaitu : PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera) PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara) PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) Pelabuhan perikanan tersebut dikategorikan menurut kapasitas dan kemampuan masing-masing pelabuhan dalam rangka menangani kapal yang datang dan pergi serta letak dan posisi pelabuhan. Secara lengkap karakteristik kelas pelabuhan perikanan tersebut dapat dilihat pada Tabel 21.
87
Tabel 21. Karakteristik kelas pelabuhan pps, ppn, ppp, dan ppi No 1
2 3 4
Kriteria Pelabuhan Perikanan Daerah operasional kapal ikan yang dilayani
Fasilitas tambat/labuh kapal Panjang dermaga dan Kedalaman kolam Kapasitas menampung Kapal
PPS
PPN
PPP
PPI Perairan pedalaman dan perairan kepulauan
Wilayah laut teritorial, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEEI) dan perairan internasional >60 GT
Perairan ZEEI dan laut teritorial
30-60 GT
Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, wilayah ZEEI 10-30 GT
>300 m dan >3 m >6000 GT (ekivalen dengan 100 buah kapal berukuran 60 GT)
150-300 m dan >3 m >2250 GT (ekivalen dengan 75 buah kapal berukuran 30 GT)
100-150 m dan >2 m >300 GT (ekivalen dengan 30 buah kapal berukuran 10 GT)
5
3-10 GT 50-100 m dan >2 m >60 GT (ekivalen dengan 20 buah kapal berukuran 3 GT) -
Volume ikan yang rata-rata 60 rata-rata 30 didaratkan ton/hari ton/hari 6 Ekspor ikan Ya Ya Tidak Tidak 7 Luas lahan >30 Ha 15-30 Ha 5-15 Ha 2-5 Ha 8 Fasilitas pembinaan mutu Ada Ada/Tidak Tidak Tidak hasil perikanan Ada Ada Ada Tidak 9 Tata ruang (zonasi) pengolahan/pengembangan industri perikanan Sumber : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan
Kelompok usaha/swasta 1)
Koperasi Unit Desa (KUD) Mina, berperan dalam mengelola pelelangan hasil tangkapan nelayan. Menurut Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 tentang Pelelangan Ikan di sebutkan bahwa sekitar 0,8 persen dari hasil peleangan ikan digunakan untuk operasional KUD.
2)
Bakul berperan dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu. Hasil tangkapan nelayan kecil umumnya di tampung oleh para bakul yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu, dari bakul ikan hasil tangkapan
88
tersebut dipasarkan ke konsumen dan para pengolah hasil perikanan yang ada di wilayah tersebut. Selain berperan dalam pembelian hasil tangkapan nelayan, sebagian besar bakul memberikan pinjaman kepada para nelayan.
Kelompok Keamanan Polisi perairan selama ini berperan dalam menangani berbagai permasalahan kriminal yang terjadi disekitar perairan Kabupaten Sukabumi. Selain itu juga polisi perairan selama ini dalam menjalankan aktivitasnya sering bekerjasama dengan Satuan Kerja Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu dan Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan .
Hubungan Antar Aktor Ostrom (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelembagaan perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya (level), yaitu pertama, level konstitusi (constitutional),yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan. Berdasarkan
kerangka
pemikiran
Ostrom
(1990)
tersebut
aktor-aktor
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu yang terholong kedalam level penentu kebijakan (collective choice level) adalah Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menentukan kebijakan dan aturan main formal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Sementara itu yang termasuk kedalam level operasional (operational choice level) adalah kelompok usaha/swasta, kelompok nelayan formal dan kelompok nelayan formal.
89
Gambar 13. Hubungan Antar Aktor Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu Selain itu juga berdasarkan hasil analisis aktor pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu teridentifikasi bahwa selama ini masing-masing aktor dalam menjalankan perannya didasarkan kepada keputusan masing-masing aktor. Hal ini disebabkan
karena
selama
ini
belum ada
suatu
lembaga
khusus
untuk
mengkoordinasikan masing-masing kepentingan aktor. Sehingga tidak jarang dilapangan sering terjadi konflik antar aktor yang terlibat dalam menjalankan aktivitasnya. Aktor pemerintah yang seharusnya dapat berperan dalam menyatukan masingmasing kepentingan aktor sampai saat ini belum dapat dilakukan secara optimal. Aktor pemerintah dalam menjalankan programnya selama ini cenderung bermitra dengan kelompok masyarakat formal. Sementara itu kelompok informal selama ini jarang dilibatkan dalam program-program pemerintah. Padahal kekuatan kelompok informal tersebut umumnya dikendalikan oleh tokoh-tokoh seusepuh nelayan di Teluk Palabuhanratu.
90
Begitu juga halnya dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Sukabumi yang diharapkan dapat menjadi jembatan bagi para aktor di tingkat masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya, sampai saat ini belum bisa berjalan secara optimal. Sehingga dilapangan muncul beberapa kelompok nelayan yang tidak percaya terhadap keberadaan HNSI. Para nelayan-nelayan kecil umumnya memandang bahwa keberadaan HNSI hanya berpihak kepada para pengusaha perikanan yang padat modal. Sehingga program-program pemerintah untuk nelayan yang melalui HNSI cenderung dinikmati oleh para pengusaha perikanan tersebut.
Ko-Manajemen dalam Pengawasan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu Tipe Ko-Manajemen sistem pengawasan sumberdaya ikan oleh masyarakat di perairan Kabupaten Sukabumi tergolong kedalam tipe instruktif (instructive). Pomeroy and Rivera (2006) dalam Adrianto (2007) mengatakan bahwa komanagemen tipe instruktif terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan namun tetap dalam konteks instruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah. Keberadaan
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
Sumberdaya
Ikan
(POKMASWAS) di perairan Sukabumi awalnya difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi. Hal ini merupakan bentuk implementasi dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.58/MEN/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Saat ini di Kabupaten Sukabumi terdapat sepuluh kelompok POKMASWAS yang tersebar di delapan kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok, Pelabuhanratu, Simpenan, Ciemas, Cibitung, Tegalbuled, Ciracap, dan Surade. Secara lengkap kesepuluh kelompok POKMASWAS tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.
91
Tabel 22. Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan (POKMASWAS) di Kabupaten Sukabumi No 1
Kecamatan Cisolok
Nama POKMASWAS Ketua Cikahuripan Nusantara H.E. Saepudin Cibangban Nusantara Aep Saepudin 2 Pelabuhanratu Tuna Mandiri Nusantara Badri Ratu Nusantara U.Rachmat 3 Simpenan Loji Nusantara M. Soleh 4 Ciemas Waru Nusantara Saripudin 5 Cibitung Ciroyom Jaya Nanang 6 Tegalbuled Tegalbuled Jaya Alamsyah 7 Ciracap Ujunggenteng Nusantara Uu Hambali 8 Surade Minajaya Nusantara H. Saep Sumber : Buku Potensi Kelautan dan Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, 2005
Dalam mekanisme Ko-manajemen pengawasan sumberdaya ikan anggota POKMASWAS bertugas untuk melaporkan informasi-informasi yang terkait dengan adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu kepada aparat satuan pembina Sistem Pengawasan berbasis Masyarakat (SISWASNAS) di tingkat Kabupaten yang dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Selain menerima laporan dari POKMASWAS, pembina SISWASNAS tingkat Kabupaten Sukabumi juga bertugas untuk melakukan peningkatan
kemampuan
POKMASWAS
baik
dalam
ketrampilan
teknik
pengawasan, pemahaman peraturan perundan-undangan melalui bimbingan dan pelatihan. Aparat pembina Sistem Pengawasan berbasis Masyarakat (SISWASNAS) di tingkat Kabupaten yang menerima laporan dari POKMASWAS melanjutkan informasi kepada PPNS dan/atau TNI-AL dan/ atau Satpol-AIRUD dan/ atau Kapal Inspeksi Perikanan. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-AIRUD dan instansi terkait lainnya, melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan) pengejaran dan penangkapan pada Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) atau para pelanggar lainnya sebagai tersangka pelanggaran tindak pidana perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, selanjutnya dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas
92
Perikanan dan/ atau (Koordinator PPNS dan/ atau Kepala Pelabuhan Perikanan) meneruskan informasi yang sama kepada Dinas Kabupaten Sukabumi dan instansi terkait Propinsi Jawa Barat dengan tembusan Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Sementara itu Dinas Perikanan Kelautan dan Perikanan kabupaten Sukabumi dan/atau propinsi Jawa Barat melakukan koordinasi dengan petugas pengawas (TNI-AL, POLRI, PPNS) dalam melakukan operasi tindak lanjut atas pelanggaran yang dilakukan Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) maupun para pelanggar lainnya. Pada tingkat pemerintah pusat Sistem Pengawasan berbasis Masyarakat dikendalikan oleh Satuan Pembina SISWASMAS tingkat Pusat yang dikoordinir oleh Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan dengan anggota unsur Eselon I di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait yang mempunyai kewenangan dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Satuan Pembina SISWASMAS tingkat pusat memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan, melaksanakan koordinasi dan menyelaraskan program dan kegiatan antar instansi/lembaga terkait. Selain itu juga menindaklanjuti laporan Sekretariat Pembina SISWASMAS pusat terkait dengan berbagai
informasi
dari
dari
kelompok
pengawas
masyarakat,
Dinas
Kabupaten/Propinsi. Sementara itu dalam melakukan tugas sehari-hari Pembina SISWASMAS ditingkat Pusat dibantu oleh Sekretariat yang dikoordinir oleh Direktur Pengawasan Sumberdaya Ikan. Sekretariat bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan SISWASMAS dari daerah serta menyiapkan tindak lanjut penyelesaiannya. Secara grafis bentuk ko-manajemen sistem pengawasan sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Sukabumi tersebut dapat dilihat pada Gambar 14.
93
Satuan Pembina Pusat SISWASNAS Pelaporan Hasil Analisis
Sekretariat Satuan Pembina Pusat SISWASNAS
Instruksi Kebijakan
Satuan Pembina Propinsi SISWASNAS Pelaporan Kasus
Implementasi Kebijakan
Satuan Pembina Kabupaten SISWASNAS Pelaporan Kasus
Implementasi Kebijakan dan Pembinaan teknis
POKMASWAS Kabupaten Sukabumi
Gambar 14. Ko-Manajemen Sistem Pengawasan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu Kelembagaan Sebagai Aturan Main Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Teluk Palabuhanratu selama ini mengacu kepada aturan formal yang telah di sahkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Selain itu juga pada tingkat masyarakat terdapat beberapa aturan main yang telah disepakati sesama masyarakat nelayan, khususnya pada pengelolaan rumpon di Teluk Palabuhanratu. Aturan formal yang selama ini dijadikan acuan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dikelompokkan menjadi : 1)
Undang-undang, yang terdiri UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang kemudian di revisi dengan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UndangUndang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
2)
Peraturan Menteri, yang terdiri Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap;
94
3)
Keputusan Menteri, terdiri dari Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : Kep. 58/Men/ 2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan, Keputusan Menteri Pertanian No 123/Kpts/Um/1975 tentang Ketentuan Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk Penangkapan Ikan Kembung, Layang, Selar, Lemuru dan ikan pelagis sejenisnya, Keputusan Menteri Pertanian No : 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan;
4)
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, yang terdiri dari Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan, Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan;
5)
Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi, yang terdiri dari Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan, Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan. Kelima kelompok aturan main tersebut secara formal mengatur sekitar dua
belas aturan main dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Kedua belas aturan main yang diatur dalam lima kelompok aturan formal tersebut adalah Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, Menjaga kelestarian sumberdaya ikan, Pemantauan, pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum, Perlindungan Kepentingan Nelayan, Pengaturan Izin Penangkapan, Pengaturan Alat Penangkapan Ikan, Pengaturan upaya penangkapan, Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh di tangkap, Pengaturan musim penangkapan, Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan ikan, Sanksi terhadap pelanggaran, dan Pungutan Perikanan (Tabel 23). Secara lengkap tentang hasil analisis aturan formal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.
95
Tabel 23. Jenis Peraturan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu. No 1
2
3
Aturan Main Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
Peraturan 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Menjaga 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 kelestarian tentang Perikanan; sumberdaya ikan 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Pemantauan, 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 pengawasan, tentang Perikanan pengendalian dan 2. Undang-Undang No 6 Tahun 1996 penegakan hukum tentang Perairan Indonesia, 3. Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : Kep. 58/Men/ 2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan; 4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap; 5. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; 6. Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; 7. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 8. Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan
Keterangan Belum ada aturan formal di tingkat provinsi dan kabupaten
Secara eksplisit aturan formal di tingkat provinsi dan Kabupaten belum mengatur bagaimana menjaga kelestarian sumberdaya ikan Berdasarkan UU Perikanan, pemerintah Kabupaten Sukabumi dapat membentuk pengadilan perikanan guna menegakkan hukum perikanan di Teluk Palabuhanratu
96
4
Perlindungan Kepentingan Nelayan
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap
5
Pengaturan Izin Penangkapan
6
Pengaturan Alat Penangkapan Ikan
7
Pengaturan upaya penangkapan
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 3. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap
8
Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh di tangkap
1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan 2. Keputusan Menteri Pertanian No 123/Kpts/Um/1975 tentang Ketentuan Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk Penangkapan Ikan Kembung, Layang, Selar, Lemuru dan ikan pelagis sejenisnya 3. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan
Peraturan daerah, baik provinsi Jawa Barat maupun kabupaten Sukabumi, belum mengatur secara eksplisit tentang perlindungan kepentingan nelayan Pengaturan izin penangkapan sudah didelegasikan kepada pemerintah daerah, sesuai dengan kewenanganya.
Belum ada peraturan daerah yang mengatur upaya penangkapan ikan, padahal hal ini sangat diperlukan guna menjaga kelestarian sumberdaya ikan UU No 31 tahun 2004 tentang perikanan tidak mengatur tentang jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap, padahal dalam UU No 9 Tahun 1985 sudah diatur. Sementara itu UU No 9 Tahun 1985 telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak disahkannya UU No 31 Tahun 2004.
97
9
Pengaturan musim penangkapan
10
Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan ikan
UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
Belum ada peraturan menteri dan peraturan daerah yang mengatur musim penangkapan di Teluk Palabuhanratu. Padahal hal ini sangat penting dalam melakukan manajemen penangkapan ikan
1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 3. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 5. Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 11 Sanksi 1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan terhadap 2. Peraturan Menteri Kelautan dan pelanggaran Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 3. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 12 Pungutan 1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Perikanan 2. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan 3. Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 5. Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan Sumber : diolah dari berbagai peraturan perikanan di Teluk Palabuhanratu
98
Hak-Hak Terhadap Sumberdaya Ikan (Property Right) Berdasarkan hasil análisis lapangan terlihat bahwa semua aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu memiliki hak atas akses dan memanfaatkan sumberdaya ikan. Akan tetapi tidak semua aktor telah memanfaatkan atas hak tersebut. Sementara itu aktor-aktor yang memiliki hak untuk mengatur adalah LEPPM2R, KUD Mina, Kelompok Pengelola Rumpon, Kelompok Masyarakat Pengawas, dan Pemerintah. Namun demikian halhal yang diatur oleh masing-masing aktor tersebut sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. Secara lengkap hasil indentifikasi terhadap hak pada sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Identifikasi Hak Pada Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu No 1 2 3 4
Jenis Hak
KUD Mina
Akses5 & Memanfaatk an6 Mengatur7 Eksklusif8 Mengalihkan
√ √
Kelompok Pengelola Rumpon √
Kelompok Masyarakat Pengawas √
√ √
√
HNSI √
Kelompo k Nelayan Informal √
Pemeri ntah
9
Sumber : Data Primer, 2007
5
Hak Akses, yaitu hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki batasan-batasan fisik yang jelas (Ostrom and Schlager, 1996). 6 Hak Memanfaatkan, yaitu hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku (Ostrom and Schlager, 1996). 7 Hak Mengatur, yaitu hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan dan perbaikan lingkungan (Ostrom and Schlager, 1996). Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa suatu kelompok nelayan dikatakan telah menjalankan hak mengatur sumberdaya ketika kelompok tersebut menetapkan zona penangkapan ikan untuk dimasuki hanya oleh alat tangkap ikan tertentu. Demikian pula, jika tindakan dilakukan suatu masyarakat untuk menentukan cara menangkap ikan, jenis teknologi, ukuran kapal, serta waktu penangkapan ikan, masyarakat tersebut telah mempraktekkan haknya dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan. 8 Hak Eksklusif, yaitu hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan lepada orang lain (Ostrom and Schlager, 1996). 9 Hak Mengalihkan, yaitu hak untuk menjual atau menyewakan keempat hak tadi kepada orang lain (Ostrom and Schlager, 1996).
√ √ √ √
99
Ostrom and Schlager (1996) mengelompokan individu atau kelompok berdasarkan kepada hak-hak terhadap sumberdaya alam menjadi lima kelompok, yaitu (1) owner, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management right), hak untuk mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion right) dan hak untuk menjual atau menyewa semua atau bagian kolektif dari sumberdaya (alienation right); (2) proprietor, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management right) dan hak untuk mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion right); (3) claimant, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right) dan hak manajemen (management right); (4) authorized user, yaitu individu atau kelompok yang hanya memiliki hak akses (access right) dan hak pemanfaatan (withdrawal right); dan (5) authorized entrant, yaitu individu atau kelompok yang hanya memiliki hak akses (access right) saja tanpa memiliki hak-hak yang lainnya. Berdasarkan kerangka pemikiran Ostrom and Schlager diatas maka aktor pemerintah tergolong sebagai owner. Aktor yang tergolong kedalam kelompok proprietor adalah Kelompok Pengelola Rumpon. Aktor yang tergolong kedalam kelompok Claimant adalah LEPPM2R, KUD Mina, dan Kelompok Masyarakat Pengawas. Sementara itu actor yang tergolong kedalam kelompok Authorized User adalah HNSI, Kelompok Nelayan Informal dan pihak perbankkan.
Hak Penggunaan Wilayah Perairan Teluk Palabuhanratu Untuk Perikanan Bagan dan Rumpon (Territorial Use Rights in Fisheries, TURF) Hak penggunaan wilayah pada perikanan (Territorial Use Rights in Fisheries, TURF) di teluk Palabuhanratu dapat dilihat dari nelayan bagan dan rumpon. Namun demikian berdasarkan Surat Edaran Dinas Kelautan dan Perikanan (Dinas KP) Provinsi Jawa Barat Tahun 2006 tentang Pelarangan Membangun Bagan di Perairan Laut Jawa Barat secara tegas telah melarang membangun bagan di perairan Jawa Barat, termasuk di Perairan Palabuhanratu.
100
Selain itu juga berdasarkan surat edaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Tahun 2006 sebagai tindak lanjut dari surat edaran Dinas KP Propinsi Jawa Barat tersebut secara jelas menghimbau kepada para nelayan untuk tidak mengembangkan bagan di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu. Dalam surat edaran tersebut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi memberikan alternatif pengganti fungsi bagan sebagai sarana budidaya laut, seperti rumput laut dan kerang hijau. Secara lengkap isi surat edaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi tersebut adalah : 1)
Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan agar berpedoman kepada UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan serta Perda No 3 Tahun 2002 tentang Izin usaha perikanan;
2)
Tumbuhkan
rasa
kebersamaan,
teloransi,
damai
dan
rukun
dalam
memanfaatkan SDI. Hindarkan dari segala bentuk permusuhan dan konflik yang akhirnya akan merugikan semua pihak; 3)
Mari kita kembangkan usaha perikanan yang efisien dan produktif dengan memperhatikan kelestarian SDI dalam upaya meningatlan kesejahteraan nelayan Sukabumi;
4)
Melelangkan hasil tangkapan ikan di TPI - TPI terdekat seseua dengan Perda Propinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan restribusi TPI;
5)
Usaha perikanan budidaya laut seyogyanya dikembangkan sebagai
usaha
alternatif pengganti bagi nelayan bagan. Sementara itu untuk hak penggunaan wilayah pada perikanan (Territorial Use Rights in Fisheries, TURF) oleh rumpon diperairan teluk Palabuhanratu telah memiliki kekuatan hukum setingkat menteri kelautan dan perikanan, yaitu melalui Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep 30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon. Namun demikian untuk peraturan tingkat kabupaten sampai saat ini dinas kelautan dan perikanan belum memilikinya. Saat ini acuan hukum dalam peletakan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu masih mengacu kepada Kepmen tersebut.
101
Pengelolaan rumpon di Teluk Palabuhanratu dilakukan oleh kelompok pengelola rumpon. Sampai saat ini terdapat sepuluh kelompok pengelola rumpon yang tersebar di seluruh wilayah Teluk Palabuhanratu. Setiap kelompok beranggotakan sekitar 11 perahu ikan milik nelayan setempat. Kesepuluh kelompok pengelola rumpon tersebut membentuk suatu wadah koordinasi yang dinamakan Perkumpulan Nelayan Bahtera, yang di Ketuai oleh Bapak Ujang Sumitra. Kesepuluh kelompok pengelola rumpon tersebut dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Kelompok Pengelola Rumpon di Perairan Teluk Palabuhanratu No 1
Nama Kelompok
Ketua Kelompok Yosep
3
Kelompok Tradisional Pancing Palabuhanratu Tradisional Pancing Cisolok Payang
4
Beleketek/Diesel
5
H. Lili
7
Beleketek/Diesel Ujung Genteng Beleketek/Diesel Ujung Genteng Payang
8
Beleketek/Diesel
Aja
9
Payang
2
6
10
Erwin Bintang Mas Pisces
Lokasi Rumpon Wilayah Perairan Titik Koordinat Sukawayana 6059 690’ LS, 106029 930’ BT Cikembang Cibareno Tengah
Gagan
Pangumbahan Tengah Cigaur Ujung Genteng Cikawung
Bogor
Citirem Tengah
Jajat Mayang Sari Cibutun
Sodong Parat Cibanteng
Tradisional Pancing Cikeueus Loji Sumber : Perkumpulan Nelayan Bahtera 2006
6059 795’ LS, 106026 612’ BT 07003 072’ LS, 106020 015’ BT 07022 052’ LS, 106018 209’ BT 07025 112’ LS, 106024 209’ BT 07027 992’ LS, 106029 099’ BT 07018 022’ LS, 106019 262’ BT 07013 976’ LS, 106019 624’ BT 07009 585’ LS, 106023 196’ BT 07008 501’ LS, 106026 395’ BT
Hak penggunaan wilayah oleh pengelola rumpon tampaknya akan memberikan peluang baik untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat nelayan kecil di sekitar Teluk Palabuhanratu. Hal ini dapat dilihat dari dua alasan, yaitu : 1)
Rumpon dapat berperan sebagai media untuk berkumpul dan berkembangnya sumberdaya ikan di sekitar perairan teluk Palabuhanratu. Sehingga ikan yang
102
ditangkap nelayan akan mengalami peningkatan. Menurut Koordinator rumpon di Palabuhanratu, sejak pemasangan 10 unit rumpon (alat bantu penangkapan ikan) di dalam dan di luar teluk Palabuhanratu pertengahan Novemver 2006, nelayan setempat kebanjiran ikan. Hampir semua jenis perahu tradisional, mulai dari congkreng, beleketek dan payang pun kecipratan rezeki dari hasil tangkapannya. Hasil produksi ikan di Palabuhanratu mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Dari biasanya seorang nelayan perahu payang setiap harinya menghasilkan satu ton ikan, kini melonjak tajam hingga rata-rata 10-12 ton untuk satu kali melaut. Padahal dari pengalaman sebelumnya, biasanya bulan-bulan november-Pebruari terjadi paceklik ikan, tapi kini justru sebaliknya hampir setiap hari nelayan bisa memanen ikan. Dengan meningkatnya produksi ikan ini, diharapkan dapat membantu perekonomian nelayan sekaligus memperbaiki kesejahteraannya. 2)
Memperkecil biaya melaut nelayan karena lokasi penangkapan menjadi pasti. Artinya nelayan dalam melakukan penangkapan ikan tidak perlu lagi melakukan pencarian fishing ground akan tetapi langsung kepada lokasi rumpon. Dampaknya adalah berkurangnya biaya operasional, terutama bahan bakar minyak (BBM) yang diperlukan untuk setiap kali melaut. Hal ini disebabkan hasil tangkapan nelayan akan mengalami peningkatan. Bahkan menurut pengakuan para nelayan yang telah memanfaatkan rumpon di Teluk Palabuhanratu, mereka saat ini sudah tidak mengenal lagi musim paceklik.
Aturan Main Lokal Pengelolaan Rumpon Pengelolaan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu dalam pemanfaatan hasilnya tidak menjadi monopoli para pengelolanya saja. Para nelayan di luar anggota kelompok pengelola rumpon yang ada bisa turut serta memanfaatkan sumberdaya ikan yang terdapat di sekitar rumpon. Namun demikian, terdapat beberapa aturan main yang mesti ditaati oleh setiap nelayan yang akan melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan rumpon. Aturan main tersebut hanya berlaku di kalangan nelayan
103
saja, artinya tidak ada ketentuan hukum formal yang mengatur tentang aturan main tersebut. Aturan main yang berlaku tersebut adalah : 1) Setiap nelayan, baik anggota maupun bukan anggota kelompok memiliki hak untuk mendapatkan akses penangkapan ikan di sekitar rumpon; 2) Setiap kapal nelayan bukan anggota kelompok pengelola rumpon yang menangkap ikan di sekitar rumpon dikenakan iuran sebesar 5 persen dari hasil tangkapan yang diserahkan kepada kelompok pengelola rumpon. 3) Setiap kapal nelayan anggota pengelola rumpon yang menangkap ikan di sekitar rumpon dikenakan iuran sebesar 2 persen dari hasil tangkapan. 4) Hasil dari iuran tersebut akan digunakan untuk perawatan dan pengawasan rumpon yang ada agar tetap terpelihara dengan baik. Pemeliharaan rumpon biasanya dilakukan setiap dua minggu sekali dengan mengganti daun kelapa yang dijadikan media rumpon sebanyak 25 batang. Pemeliharaan rumpon tersebut dilakukan oleh para anggota kelompok pengelola rumpon secara bergantian setiap dua minggu sekali. Sementara itu untuk mengawasi keberadaan rumpon agar tetap berada di lokasinya, para nelayan yang menjadi anggota kelompok pengelola rumpon setiap hari secara bergilir mengawasi keberadaan rumpon. Pengawasan rumpon tersebut dilakukan seiring dengan para nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sehingga tidak memerlukan biaya khusus untuk melakukan pengawasan rumpon.
Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berdasarkan hasil analisis konflik sampai akhir tahun 2006 terdapat tiga sumber yang menjadi penyebab terjadinya konflik sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, yaitu produksi penangkapan nelayan payang yang terus menurun, meningkatnya jumlah bagan apung di perairan Teluk Palabuhanratu, dan pelanggaran jalur penangkapan ikan (Tabel 26).
104
Tabel 26. Tipe Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu. Tipologi Konflik Menurut Charles (2001) Kelompok perahu Konflik alokasi payang Pada tahun 2005internal Kelompok nelayan 2006 produksi rumpon Teluk 1 penangkapan dari Kelautan Palabuhanratu Dinas perahu payang dan Perikanan semakin menurun. Kabupaten Sukabumi Meningkatnya Kelompok bagan Konflik jumlah bagan apung alokasi apung (jaring Teluk Kelompok nelayan internal angkat) yang Palabuhanratu jaring beroperasi di teluk Kelompok Nelayan 2 Palabuhanratu Rumpon Kelompok perahu Konflik batas wilayah purseine Pelanggaran jalur Teluk 3 Kelompok nelayan penangkapan ikan Palabuhanratu non purseine Sumber : Diolah dari data Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (2006) dan data primer (2007) No
Isu- Isu dan Penyebab
Lokasi konflik
Kelompok-kelompok yang terlibat
Pertama, konflik antara kelompok perahu payang dengan kelompok nelayan rumpon. Hasil identifikasi dilapangan terlihat bahwa konflik tersebut sudah berlangsung sejak diperkenalkannya rumpon kepada para nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu, yaitu sekitar tahun 2002. Pada tahun 2002 di perairan Teluk Palabuhanratu dibangun 5 unit rumpon yang pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada kelompok nelayan pancing. Namun karena penempatan rumpon tersebut dianggap telah mengganggu jalur penangkapan ikan nelayan jaring, terutama nelayan payang dan gillnet maka keberadaan rumpon tersebut hanya bertahan selama 6 bulan. Menurut pengakuan nelayan jaring kepada pihak dinas kelautan dan perikanan keberadaan rumpon tersebut telah menyebabkan jaring mengalami kerusakan akibat tersangut pada rumpon. Dan akhirnya para nelayan jaring tersebut “menebas” habis rumpon yang ada di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu. Pada tahun 2005 Yayasan Anak Nelayan Indonesia (YANI) kembali memasang rumpon 2 unit di perairan Teluk Palabuhanratu, akan tetapi letaknya berada di luar
105
teluk. Hal ini dimaksudakan selain untuk menghindari konflik dengan nelayan jaring juga untuk “menggaet” sumberdaya ikan yang ada di perairan Samudera Hindia. Namun demikian ternyata keberadaan rumpon milik YANI tersebut juga di protes oleh para nelayan jaring karena dianggap telah turut memperburuk hasil tangkapan nelayan jaring. Menurut aparat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi konflik ini disebabkan karena adanya salah pemahaman dari kelompok nelayan jaring, khususnya nelayan payang yang beranggapan bahwa penurunan produksi penangkapan perahu payang akibat dari keberadaan rumpon di luar teluk. Sehingga ikan-ikan yang seharusnya beruaya ke dalam teluk tertahan di rumpon yang ada di luar tersebut. Alasan nelayan jaring tersebut dianggap tidak masuk akal karena keberadaan rumpon di luar teluk jumlahnya hanya dua unit sementara luas teluk sangat besar. Sehingga keberadaan rumpon tersebut tidak akan mengganggu migrasinya ikan ke Teluk Palabuhanratu bagian dalam. Akhirnya pada akhir tahun 2005 sampai triwulan pertama tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi melakukan sosialisasi rumpon kepada seluruh nelayan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini dimaksudkan selian untuk menghindari kesalahpahaman juga untuk memberikan pemahaman kepada para nelayan agar mempu memanfaatkan rumpun guna mengefetifkan pencarian ikan dan meningkatkan produksi penangkapan. Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi kembali memasang rumpon di dalam teluk sebanyak 4 unit guna memperpendek jarak jangkauan dan supaya dapat dimanfaatkan oleh perahu yang kecil sedangkan diluar teluk sebanyak 6 unit dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara Propinsi (APBNP) Jawa Barat 1 Unit. Pengelolaan sepuluh rumpon tersebut diserahkan kepada sepuluh kelompok pengelola rumpon. Pembagian sepuluh pengelola tersebut tidak hanya didominasi oleh nelayan pancing, tetapi juga melibatkan kelompok nelayan payang dan beleketek. Namun demikian, pemasangan rumpon tersebut saat ini masih menyisakan konflik dilapangan. Menurut nelayan payang yang menjadi responden menyatakan bahwa konflik tersebut lebih disebabkan tidak dilibatkannya seluruh nelayan payang
106
dan bagan dalam pembangunan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu. Sehingga masih ada dari para nelayan yang tidak menerima keberadaan rumpon di Teluk Palabuhanratu. Misalnya penebasan jangkar rumpon oleh nelayan payang pada pertengahan tahun 2006 yang menyebabkan tiga unit rumpon di dalam Teluk Palabuhanratu hilang terbawa arus. Selain itu juga menurut Ketua Kelompok Nelayan Pancing Karang Deet Kecamatan Pelabuharatu yang mengelola rumpon di sekitar perairan
Sukawayana,
kelompoknya
terpaksa
memindahkan
rumpon
yang
dikelolanya ke lokasi lain karena rumpon tersebut dijadikan tempat bersandarnya bagan apung milik nelayan bagan. Berdasarkan kerangka pemikiran Charles (2001) tipologi konflik perikanan diatas tergolong kedalam tipe konflik alokasi internal. Hal ini dicirikan dengan adanya konflik antar kelompok nelayan dan konflik penggunaan alat tangkap di wilayah Teluk Palabuhanratu. Konflik tersebut sebenarnya dapat diselesaikan secara baik dengan cara peningkatan komunikasi antar kelompok nelayan yang bertikai. Namun demikian akibat belum terkelola secara baik, maka konflik tersebut dilapangan telah berdampak terhadap munculnya kekerasan oleh nelayan. Konflikkonflik horizontal antar nelayan tersebut apabila tidak secepatnya dikelolan secara baik maka dikhawatirkan akan terus menggangu sistem tata kelola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Oleh sebab itu intensitas komunikasi kepada seluruh nelayan yang ada di Teluk Palabuhanratu sudah menjadi keharusan. Selain itu juga keterlibatan seluruh nelayan tersebut dalam pengelolaan rumpon perlu rumuskan secara baik. Kedua, konflik keberadaan bagan apung dengan nelayan jaring dan rumpon. Konflik ini dipicu oleh meningkatnya jumlah bagan apung (jaring angkat) yang beroperasi di teluk Palabuhanratu. Keberadaan bagan tersebut telah menyebabkan terganggunya jalur penangkapan ikan nelayan jaring. Akibatnya hasil tangkapan nelayan jaring mengalamai penurunan dan alat tangkapnya mengalami kerusakan karena tersangkut pada bagan. Selain itu juga menurut pantau Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi keberadaan Bagan Apung ini diduga telah berdampak terhadap penurunan
107
stok ikan di teluk Palabuhanratu. Hal ini disebabkan sumberdaya ikan yang tertangkap oleh bagan tidak selektif. Namun demikian dugaan Dinas Keluatan dan Perikanan tersebut perlu adanya pembuktian secara ilmiah. Langkah awal yang telah dilakukan oleh dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dalam upaya mengatasi keberadaan bagan apung ini adalah dengan cara mengalihkan pemanfaatan bagan apung dari menangkap ikan menjadi sarana budidaya laut, misalnya budidaya kerang hijau dan rumput laut. Pada tahun 2002 - 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan telah berupaya memperkenalkan budiadya laut dengan memanfaatkan bagan apung, seperti budidaya kerapu (tahun 2002, 2003, 2004), Budidaya Kerang Hijau dan rumput laut (tahun 2006). Berdasarkan kerangka pemikiran Charles (2001) tipologi konflik perikanan diatas tergolong kedalam tipe konflik alokasi internal. Hal ini dicirikan dengan adanya konflik antar kelompok nelayan dan konflik penggunaan alat tangkap di wilayah Teluk Palabuhanratu. Ketiga, konflik pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh nelayan purseine. Menurut catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (2006) terlihat bahwa kapal-kapal purseine banyak yang melakukan penangkapan ikan di jalur I dan II, padahal jalur I dan II tersebut diperuntukkan bagi nelayan kecil. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 Tahun 1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan. Namun demikian keberadaan kapal-kapal purseine tersebut sampai saat ini sudah dapat ditanggulangi oleh pihak yang terkait. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi bekerjasama dengan Polisi Air dan Udara (PolAirud), TNI AL, syahbandar, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Steakholder dari nelayan setiap 3 bulan sekali melakukan pengawasan ke laut guna mengawasi perahu – perahu yang mengkap ikan tidak sesuai dengan jalurnya. Menurut Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (2007), sampai tahun 2006 pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi belum pernah memberikan izin usaha perikanan (IUP) kepada kapal purseine. Secara lengkap alat tangkap yang diberikan izin oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi tahun 2006 dapat dilihat pada Table 27.
108
T Tabel 27. Ju umlah Izin Usaha U Perikaanan (IUP) Yang Y dikeluuarkan Dinass Kelautan dan d Peerikanan Kabbupaten Sukkabumi Tahuun 2006 No N
Jalur Peenangkapan 1 Jalur I 2 Jalur I B
Jumlah Izin 18
Juumlah Alat Tangkap 18
27
31
Jenis Alat A Tangkap Pancing, Jarring Payang Pancing Raw we, Jaring Rampus, Panncing, Jaring Payang, Panncing Rumponn Jaring udangg, pancing, Pancing Rum mpon, Jaring Payang, Gilllnet, Pancing Rawe,Jaringg Rampus, Jarring Dasar
3 Jalur II 34 36 Jumlah 79 85 Sumber S : diolaah dari Dinass Kelautan dann Perikanan Kabupaten K Suukabumi Tahuun 20007
Berdassarkan Tabeel 27 terlihaat bahwa allat tangkap pancing, jaarring rumpoon, g gillnet, pan ncing rawe dan jarringg rampus sangat s domiinant beradda di perairran K Kabupaten Sukabumi, S k khususnya dii Jalur I dann II. Secara lengkap l alatt tangkap yaang
Unit
d dominant terrsebut dapat digambarkaan dalam Gaambar 15. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
I IB II
Jeenis Alat Tanggkap
G Gambar 15.. Alat Tanggkap yang ddiberikan Izzin di Perairran Kabupaaten Sukabum mi Tahun 20006 (Dinas Kelautan ddan Perikanaan Kabupatten Sukabum mi Tahun 2007)
109
Berdasarkan kerangka pikir yang telah dikembangkan oleh Charles (2001) tipologi konflik perikanan diatas tergolong kedalam konflik batas wilayah (fishery jurisdiction). Konflik batas wilayah tersebut dicikiran dengan adanya pelanggaran terhadap aturan main yang telah ditetapkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Analisis Game Theory Analisis game theory digunakan untuk melihat strategi-strategi yang dapat digunakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Dalam analisis game theory ini yang dipilih menjadi pemain adalah pemerintah dan komunitas nelayan. Sementara itu strategi yang dipilih bagi para pemain adalah Quasi open access atau limited entry. Dalam kondisi permainan yang tidak bekerjasama (non cooperative) akan menciptakan kecenderungan bagi para pemain untuk bersifat eksploitatif, sementara itu pada kondisi permainan yang bekerjasama (cooperative) akan menciptakan kecenderungan bagi para pemain untuk bersifat berkelanjutan (sustainable). Dalam analisis ini hanya dilakukan satu kali simulasi permainan, yaitu antara pemerintah dan nelayan. Wahyudin (2005) menyatakan bahwa apabila sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dikelola secara optimal maka akan memberikan dampak ekonomi yang cukup besar, yaitu mencapai sekitar Rp. 2.318.020.000,00. Selain itu juga, kelestarian sumberdaya ikan akan terjaga dengan baik. Namun demikian sesuai dengan hokum ekonomi, bahwa manfaat sustainable sumberdaya ikan tidak bisa diambil sepenuhnya oleh pelaku perikanan, maka pihak nelayan menjadi kurang tertarik untuk melakukannya. Oleh sebab itu pemerintah seharusnya mengambil alih tanggungjawab untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Matrik pay off permainan antara pemerintah dengan nelayan dapat dilihat pada Tabel 28. Secara lengkap perhitungan analisis game theory dapat dilihat pada Lampiran 3.
110
Tabel 28. Matrik pay off permainan antara pemerintah dengan nelayan Nelayan
Pemerintah
Quasi open access Limited entry
Eksploitasi Rp. (113.012.343,16) Rp. 1.893.224,14 Rp. 249.708.324,40 Rp. 6.761.824.724,14
Sustainable Rp. (112.289.084,00) Rp. 64.968.557,90 Rp. 256.940.916,00 Rp. 2.382.988.557,90
Sumber : Data primer 2007
Dalam permainan ini, pengambil langkah pertama adalah pemerintah sebagai pemilik hak atas sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu (state property), sementara nelayan akan berespon atas keputusan pemerintah. Berdasarkan analisis-analisis sebelumnya terlihat bahwa selama ini kondisi pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu tercermin di Kuadran satu, dimana pengelolaan sumberdaya ikan berdasarkan pada peraturan pemerintah yang mendorong terciptanya kondisi quasi open access. Belum adanya kepastian dan jaminan bagi para nelayan dalam memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya ikan, maka menjadikan nelayan untuk bersikap eksploitatif karena akan menghasilkan pay off lebih besar dibandingkan ketika bersikap berkelanjutan. Hal ini terjadi karena apabila nelayan bersikap sustain, maka ikan yang tidak tertangkap akan dimanfaatkan habis oleh nelayan lainnya yang lebih agresif menangkap (eksploitatif). Keuntungan pemerintah pada kondisi quasi open access bernilai negatif, yaitu mencapai sekitar - Rp. 113.012.343,16, hal ini disebabkan besarnya biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu tidak sebanding dengan pendapatan asli daerah dari sektor perikanan. Selain itu juga rendahnya keuntungan pemerintah tersebut disebabkan dalam perhitungan game theori ini belum dimasukan manfaat tidak langsung 10 dari biaya transaksi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal diduga manfaat tidak langsung dari biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat langsungnya. Sementara itu
10
Total manfaat adalah manfaat langsung ditambah dengan manfaat tidak langsung
111
keuntungan nelayan dalam kondisi quasi open access diperkirakan mencapai Rp. 1.893.224,14 per tahun. Sementara itu jika pemerintah memilih untuk menegaskan hak kepada nelayan lokal melalui kebijakan pengelolaan secara limited entry, pihak pemerintah akan mendapatkan manfaat sebesar Rp. 249.708.324,40 per tahun. Manfaat ini jauh lebih besar dibandingkan saat kondisi quasi open access karena adanya penghapusan beberapa biaya transaksi, walaupun sesungguhnya tekanan terhadap sumberdaya ikan jauh lebih besar karena nelayan berlaku eksploitatif. Bagi nelayan, ketika pemerintah memilih pengelolaan secara limited entry, akan meningkatkan pendapatannya secara signifikan jika mentaati aturan yang ada (sustainable) jika dibandingkan pada saat kondisi quasi open access. Namun demikian, terdapat peluang untuk mendapatkan hasil yang lebih besar dengan berperilaku secara eksploitatif. Adanya potensi penyalahgunaan hak oleh masyarakat nelayan tersebut akan menimbulkan efek jauh lebih buruk terhadap sumberdaya ikan dari kondisi quasi open access, merupakan signal perlunya aturan (sanksi) yang jelas dan tegas. Pemerintah disini perlu melakukan pendampingan-pendampingan untuk menguatkan kelembagaan pengelola sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu sehingga penyalahgunaan hak dapat diminimalkan. Berdasarkan hasil analisis game theory tersebut terlihat bahwa pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu akan menghasilkan nilai yang optimal apabila dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan kelompok nelayan. Oleh sebab itu sistem kelembagaan yang dibuat harus melibatkan kedua komponen penting tersebut.