VII. MODEL PENGEMBANGAN DAN STRATEGI PENERAPAN USAHATANI DI RAWA LEBAK 7.1 Sumberdaya Lokal Rawa Lebak Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumberdaya buatan. Berdasarkan Undang-Undang RI tentang Sistem Budidaya Tanaman Nomor 12 Tahun 1992, disebutkan bahwa sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Selanjutnya pada pasal 2 disebutkan bahwa sistem budidaya tanaman sebagai bagian pertanian berasaskan manfaat, lestari, dan berkelanjutan. Sedangkan pasal 3 disebutkan bahwa sistem budidaya tanaman bertujuan: a). meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor; b). meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c). mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Hasil observasi lapangan dan studi literatur menunjukkan bahwa sumberdaya lokal potensial yang terdapat di lokasi penelitian yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pengembangan rawa lebak untuk kegiatan usahatani berkelanjutan yang dipilah menjadi empat kelompok yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya teknologi dan sumberdaya kelembagaan dan institusi pendukung. Tabel 63 menyajikan potensi sumberdaya lokal di kawasan rawa lebak baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang. Tabel 63 Potensi sumberdaya lokal di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No 1.
Jenis dan Potensi Sumberdaya Sumberdaya Manusia Jumlah penduduk (jiwa) Penduduk berdasarkan jenis kelamin (jiwa) Laki-laki Perempuan
Lokasi / Desa Sui Ambangah
Pasak Piang
5 002
3 001
2 554 2 448
1 537 1 464
Keterangan
Lanjutan No
2.
Jenis dan Potensi Sumberdaya Penduduk berdasarkan usia produktif (jiwa) - 21 – 30 tahun - 31 – 40 tahun - 41 – 50 tahun - 51 – 58 tahun - > 59 tahun Penduduk berdasarkan pendidikan (jiwa) - Tdk sekolah/putus sklh - Tamat SD - Tamat SLTP - Tamat SLTA - PT / Akademi Sumberdaya Alam a. Luas Wilayah (ha) b. Tanah dan Iklim - Terletak dibawah garis katulistiwa - Altitude (m dpl) - Kemiringan wilayah (%) - Lapisan Top Soil (cm) - pH tanah - Tingkat kesuburan tanah o - Suhu ( C) - Curah hujan (mm/th) - Kelembaban (%) c.Tanaman/Vegetasi - Tanaman Budidaya 1. Semusim
Lokasi / Desa Sui Ambangah
Keterangan
Pasak Piang
605 880 781 421 181
426 553 458 134 103
340 989 1 986 1 665 23
2 366 346 184 96 9
15 650
16 539
109 – 22,31 BT dan 0,21 LS 0 -8 0 – 10
0 – 1.5 0 – 10
<12 3–5 sedang
<15 3 -5 Sedang
20 - 34 3 142,3 81 - 95
20 - 34 3 142,3 81 - 95
Padi, jagung, ubi kayu, ketelah rambat, kacang tanah, talas/keladi
Padi, jagung, ubi kayu, talas/keladi, ketela rambat.
2. Tahunan
Karet, kelapa sawit, kakao, kopi, kelapa, sagu
Karet, kelapa sawit, kopi, lada, kelapa
3. Hortikultura
Durian, rambutan, jeruk, langsat, pisang, manggis, pepaya, nenas, lidah buaya, cabe rawit, bawang daun, kacang panjang, timun, terong, tomat, jahe, serai, anggrek.
Pisang, rambutan, jengkol, langsat, nanas, kacang panjang, bawang daun, tomat, terong, cabe rawit, serai, timun.
Tidak ada data
12 481
Sapi, kambing, ayam, itik, angsa dan babi
Sapi, ayam, kambing, itik, babi.
Lele, nila dan mas
Lele, nila, mas, bawal
4. Non Budidaya/hutan (ha) d. Peternakan
e. Perikanan air tawar
Lanjutan No
Jenis dan Potensi Sumberdaya f. Jenis padi lokal
3.
Sui Ambangah
Pasak Piang
palawang, sampit, pantat ulat, angkung, siam, langsat, katumbar, purun, padi putih, talang dan pulut
palawang, sampit, pantat ulat, angkung, siam, langsat, katumbar, purun, padi putih, talang dan pulut
1
1
Dilaksanakan pada bulan April 2009
1
1
c. Teknologi pembuatan kompos (jml)
-
-
d. Teknis budidaya tanaman campuran/sela diantara tanaman perkebunan (jml) e. Penyuluhan teknis peningkatan Indeks Pertanaman (IP) (jml) f. Pelatihan teknik okulasi (jml)
-
1
1
1
1
1
1
1
-
1
1
1
Dilaksanakan sekolah lapang pengedalian hama terpadu (SLPHT) bulan Mei – Agtus 2009 Dilaksanakan percontohan/dem plot pada bulan April 2009 Dilaksanakan pelatihan/demplot pada bulan Juni – Agustus 2009 Dilaksanakan pada bulan Mei 2009 Dilaksanakan pada bulan Sepetember 2009 Dilaksanakan pada bulan Juli 2009 Dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 Dilaksanakan pada bulan April 2009
Sumberdaya Teknologi a. Penyuluhan penggunaan benih bermutu dan pemupukan berimbang (jml) b. Teknologi Pengendalian Organisme Pengganggu (OPT) melalui Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (jml)
g. Penyuluhan teknis pemeliharaan ternak (sapi dan ayam) (jml) h. Penyuluhan teknis pengendalian penyakit ternak (jml) i. Pelatihan manajemen kelompok (jml) 4.
Keterangan
Lokasi / Desa
Sumberdaya Kelembagaan/Istitusi Pendukung a. Universitas dan BPTP (jml) - PT/Akademi Pertanian - BPTP - BPP b. Kelembagaan kelompok tani (klp) - Kelompok tani - Anggota kelompok - Gapoktan
6
Terletak di Ibukota Provinsi Terletak di Ibukota Kec.
1 1
16 556 1
8 458 1
Lanjutan No
Jenis dan Potensi Sumberdaya
Keterangan
Lokasi / Desa Sui Ambangah
c. Kelas Kelompok Tani (klp) - Pemula - Lanjut - Madya - Utama d. Kelembagaan pemerintahan desa (jml) - LPMD - BPD - PKK - KUD - Posyandu e. Kelompok informal - Kelompok arisan ibu - Kelompok yasinan f. Kelompok informal - Tuha tahun g. Bank/lembaga keuangan mikro h. Pasar/kios saprotan - Pasar - Kios saprotan i. Alsintan (jml) - Hand tracktor - Mids blower - Punsa - Hand sprayer - Power threser - Muler gabah
Pasak Piang
12 2 2 -
8 -
1 1 1 1
1 1 1 3
1 1
-
-
1 -
1 1
1
1 2 24 2 -
1 3 29 1 7
Bp. Julim Ita
Sumber: Hasil observasi dan wawancara; BPP Sungai Raya (2010) dan Sungai Ambawang (2010); Kec. Sungai Raya Dalam Angka (2009) dan Kecamatan Sungai Ambawang Dalam Angka (2009)
Pada Tabel 63, menunjukkan bahwa terdapat lima potensi sumberdaya yang ada, yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya teknologi dan sumberdaya pendukung lain. Potensi sumberdaya manusia, di Desa Sungai Ambangah dengan jumlah penduduk mencapai 5 002 jiwa apabila dihubungkan dengan luas wilayah di desa tersebut mencapai 15 650 ha, maka rasio jumlah penduduk dengan luas wilayah mencapai 32 jiwa per km2, sedangkan di Desa Pasak Piang dengan jumlah penduduk 3 001 jiwa dengan luas wilayah yang tersedia mencapai 16 539 hektar, maka rasio jumlah penduduk dengan luas wilayah mencapai 18 jiwa per km2. Berdasarkan mata pencaharian penduduk di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masing-masing mencapai sebanyak 72% dan 67% mengandalkan sumber penghasilan mereka dari kegiatan pertanian, sedangkan sebanyak 28% dan 33% dari kegiatan non pertanian.
Berdasarkan umur penduduk di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masing-masing sebanyak 41,62% dan 38,15% berusia antara 31 – 58 tahun atau yang berusia produktif untuk bekerja disektor pertanian, sedangkan penduduk
berdasarkan
tingkat
pendidikan
didominasi
mereka
yang
berpendidikan setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), dan sekolah dasar (SD) untuk Desa Sungai Ambangah berturut-turut dari yang tertinggi mencapai 39,70%, jiwa 32,29% dan 19,77%. Sedangkan di Pasak Piang berturut-turut mencapai 77,84% tidak sekolah atau putus sekolah, sebanyak 11,53% tamat SD, dan sebanyak 6,13% tamat SLTP. Berdasarkan keadaan sumberdaya iklim dan tanah, secara umum menunjukkan bahwa kedua desa masih sesuai untuk pengembangan kegiatan pertanian baik pertanian tanaman semusim, pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, dan perikanan air tawar. Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pertanian tersebut, sudah dilakukan oleh masyarakat tani dikedua desa, secara turun-temurun dari orang tua mereka. Di Desa Sungai Ambangah sudah dilakukan sejak tahun 1956, sedangkan untuk Desa Pasak Piang sudah dilakukan sejak tahun 1965. Secara umum petani di kedua desa penelitian telah memperoleh informasi tentang teknologi sistem usahatani. Informasi tersebut, berupa punyuluhan penggunaan benih bermutu dan pemupukan berimbang, teknologi pengendalian organisme pengganggu (OPT) dan pengendalian hama terpadu (PHT), teknologi pembuatan kompos, teknis budidaya tanaman campuran/sela diantara tanaman perkebunan, pelatihan teknis peningkatan indeks pertanaman (IP), teknik okulasi, pemeliharaan dan pengendalian penyakit ternak serta pelatihan menejemen kelompok Tabel 63. Disiminasi informasi teknologi ini diberikan dalam bentuk pelatihan dan demplot percontohan (Balai Penyuluhan Pertanian Sungai Ambawang, 2010 dan Balai Penyuluh Pertanian Sungai Raya, 2010). Untuk Desa Pasak Piang, informasi teknologi tersebut telah disampaikan pada tahun 2009. Sedangkan untuk Desa Sungai Ambangah beberapa dari informasi teknologi tersebut belum diberikan, diantaranya adalah teknis pengendalian OPT dan PHT, teknis peningkatan IP, teknis pemeliharaan ternak dan pengendalian penyakit ternak serta pelatihan manajemen kelompok. Sumberdaya kelembagaan dan institusi pendukung lainnya yang tersedia sangat berperan dalam menunjang kegiatan pertanian dikedua desa tersebut,
meliputi institusi pendidikan pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), kelembagaan kelompok tani dan kelas kelompok tani, kelembagaan pemerintahan desa, lembaga keuangan mikro, pasar dan kios sarana produksi pertanian (saprotan) Tabel 63. Institusi informal seperti kelompok arisan ibu-ibu dan kelompok yasinan ibu-ibu dan bapak-bapak. Kelompok ini setiap bulan mengadakan pertemuan. Untuk kegiatan arisan dilakukan bergilir disetiap rumah para peserta arisan. Setelah kegiatan arisan, biasanya mereka para ibu-ibu melakukan pengajian bersama yang dipimpin oleh seorang pandai mengaji atau ustad. Untuk kelompok yasinan bapak-bapak dilakukan sebulan sekali yaitu malam jumat dan diikuti dengan pembelajaran mengenai tata cara memandikan mayat dan kadang-kadang diisi dengan ceramah agama dalam rangka untuk meningkatkan keimanan mereka, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Sapingi salah satu pengurus masjid di Desa Sungai Ambangah. Untuk Desa Pasak Piang kelompok informal ini tidak ada. Hal itu dikarenakan masyarakat tani di desa Pasak Piang didominasi oleh Suku Dayak yang beragama non muslim. Beberapa responden petani muslim yang ditemui mengungkapkan bahwa kelompok yasinan pernah dibentuk dan pernah melakukan kegiatan pengajian, dan ceramah agama, tetapi kegiatan itu berlangsung tidak terlalu lama dan kemudian berhenti atau dengan kata lain kurang aktif. Hal lain yang menarik diperhatikan pada saat dilakukan wawancara terhadap kepala desa (Bapak Markus) dan bapak tetua adat, bahwa kelompok informal yang dinamakan Tuha Tahun (terdiri atas tiga orang) atau tetua adat yang dipimpin oleh Bapak Julim Ita khusus di Desa Pasak Piang. Tuha Tahun ini mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap sistem budidaya khususnya padi. Peran dari Tuha Tahun, mulai dari rencana tanam sampai waktu akan dilakukan pemanenan semuanya atas arahan dan petunjuk dari Tuha Tahun. Hal itu menurut petani disana, agar supaya apa yang mereka lakukan dalam budidaya padi tersebut dapat memberikan berkah dan diperoleh hasil panen yang baik. 7.2 Potensi Turunan Sumberdaya Lokal Rawa Lebak Berdasarkan hasil investigasi di lapangan diperoleh data bahwa panen padi pada tahun 2009 mencapai luas 574 hektar. Dari luas panen ini dapat diperkirakan jumlah jerami yang dihasilkan yaitu mencapai 4 592 – 6 888 ton
berat segar panen. Jerami padi yang dihasilkan ini dapat digunakan sebagai pakan sapi dewasa berkisar 500 – 650 ekor sepanjang tahun. Dan apabila panen padi dapat dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun artinya jumlah ternak sapi yang dapat mengkonsumsi pakan jerami tersebut menjadi 1 000 – 1 300 ekor per tahun. Potensi jerami kurang lebih adalah 1,4 kali dari hasil panen gabah kering giling (GKG). Jadi kalau hasil panen padi dalam bentuk GKG sekitar 6 kuintal, maka jerami kering yang akan diperoleh tinggal dikali dengan 1,4. Dari dasar perhitungan ini, dengan menggunakan data dari Deptan, dimana produktivitas padi secara nasional adalah 48,95 ku/ha dengan produksi padi sebesar 57,157 juta ton, maka dapat diperkirakan jumlah jerami yang dihasilkan secara yaitu mencapai 80,02 juta ton. Sebagai perbandingan, berikut ini disajikan hasil penelitian Karyaningsih et al. (2008), dari luasan sawah yang diusahakan tanaman padi 6 141 ha dengan produksi gabah kering panen (GKP) 40 651 ton. Hasil samping panen padi berupa limbah jerami padi yang konversinya per hektar mencapai 5 ton. Penyusutan jerami segar menjadi kompos mencapai 50% (Balittanah, 2008). Dengan berpatokan pada angka tersebut maka wilayah Kecamatan Polokarto menghasilkan limbah jerami padi sebanyak 31 560 ton dan hanya 65% yang dijadikan pupuk kompos sehingga diperoleh sumber pupuk sebanyak 20 514 ton. Potensi jerami setiap desa di Kecamatan Polokarto disajikan pada Tabel 64. Tabel 64 Luas panen padi. potensi limbah jerami dan produksi pupuk kompos di wilayah Kecamatan Polokarta tahun 2007 Desa Bakalan Mranggem Kemasan Kenokorejo Godog Jumlah
Luas panen (ha) 641 510 633 526 632 6 312
Produksi gabah (GPP) ton 4 540 3 611 4 481 3 722 4 475 44 734
Produksi jerami (ton) 3 205 2 550 3 165 2 630 3 160 31 560
Jerami yang Produksi dikomposkan kompos (ton) (ton) 2 083,25 1 041,63 1 657,50 828,75 2 057,25 1 028,63 1 709,50 854,75 2 054,00 2 057,25 20 514,00 11 287,26
Sumber: Karyaningsih et al. (2008)
Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8–10 kg setiap hari. Dan bentuk kotoran cair (urine) mencapai 8–10 liter per hari. Apabila kotoran sapi ini diproses menjadi pupuk organik diharapkan akan menghasilkan 4–5 kg per hari. Dengan demikian, pada luasan sawah satu hektar akan menghasilkan sekitar 7,3–11,0 ton pupuk organik. Dipihak lain, penggunaan pupuk organik
pada lahan persawahan adalah 2 ton per hektar, sehingga potensi pupuk organik yang ada dapat menunjang kebutuhan pupuk organik untuk 1,8–2,7 hektar dengan dua kali tanam. Jerami yang dihasilkan dari sisa-sisa panen, dapat pula diolah terlebih dahulu menjadi kompos dan selanjutnya dapat dikembalikan lagi ke tanah. Kompos jerami ini secara bertahap dapat menambah kandungan bahan organik tanah, dan berperan dalam mengembalikan kesuburan tanah. Kompos selain dibuat dari jerami dapat juga dibuat dari seresah atau sisa-sisa tanaman lain. Rumput-rumputan, sisa-sisa daun dan batang, atau daun-daun tanaman lain. Pada prinsipnya semua limbah organik dapat dijadikan kompos. Jika jerami dibuat kompos, maka rendemen kompos yang dihasilkan mencapai 60%, dengan demikian dalam satu hektar sawah dapat dihasilkan 4,11 ton kompos. Kompos jerami memiliki potensi hara yang sangat tinggi. Berikut ini hasil analisis kompos jerami yang dibuat dengan waktu pengomposan 3 minggu yaitu Rasio C/N 18,88, C 35,11%, N 1,86%, P2O5 0,21%, K2O 5,35%, dan air 55%. Dari data tersebut, kompos jerami memiliki kandungan hara setara dengan 41,3kg urea, 5,8 kg SP36, dan 89,17kg KCl per ton kompos atau total 136,27 kg NPK per ton kompos kering. Apabila dikonversi secara nasional, kompos jerami setara dengan 1,09 juta ton urea, 0,15 juta ton SP36, dan 2,35 juta ton KCl atau 3,6 juta ton NPK. Jumlah ini kurang lebih 45% dari komsumsi pupuk nasional di tahun 2007 untuk pertanian atau setara dengan Rp5,42 trilyun. Di lain pihak, penggunaan pupuk anorganik di perkebunan rakyat saat ini diyakini belum optimal, karena harga yang relatif tidak terjangkau dan ketersediaannya sering terhambat. Mencermati kondisi ini, sehingga arah kebijakan penggunaan pupuk ke depan lebih mengutamakan penggunaan pupuk organik. Optimalisasi penggunaan pupuk organik melalui pemanfaatan bahan baku yang dapat diperoleh secara in situ di kebun yang dapat berupa limbah jarami padi, jagung, janjang kosong tandan segar/limbah cair kelapa sawit, kulit kakao, kulit kopi, jambu mete, serta blotong tebu, dan sebagainya. Dapat pula dilakukan dengan cara limbah organik dari kebun (pangkasan tanaman utama atau naungan, gulma, pelepah dan janjang kelapa sawit, kulit kopi, kakao, sisa tanaman atau hijauan tanaman lainnya), terlebih dahulu dibuat kompos. Selain produk bahan sampingan di atas, dari kegiatan penanaman dan pengolahan gabah padi menjadi beras dapat pula diperoleh beberapa produk turunan lainnya seperti sekam dan dedak.
7.2 1 Pengolahan padi Pengolahan padi menjadi beras, secara prinsip, melibatkan beberapa tahapan yakni (a) pemisahan kotoran, (b) pengeringan dan penyimpanan padi, (c) pengupasan kulit (husking), (d) penggilingan (milling), dan (e) pengemasan dan distribusi. Pemisahan kotoran dari padi hasil panen di sawah dilakukan karena masih banyak terbawa kotoran lain seperti jerami, daun, batang bahkan benda lain yang tidak diinginkan seperti batu dan pasir. Kotoran ini akan mengganggu
proses
pengeringan
terutama
penyerapan
kalori
dan
penghambatan proses pengolahan pada tahapan berikutnya. Kadar air padi hasil panen sangat bervariasi antara 18–25%, bahkan dalam beberapa kasus dapat lebih besar. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air sampai sekitar 14% sehingga memudahkan dan mengurangi kerusakan dalam penyosohan dan proses selanjutnya. Kadar air yang terlalu tinggi menyulitkan pengupasan kulit dan menyebabkan kerusakan (pecah atau hancur) karena tekstur yang lunak. Penyosohan adalah pengupasan kulit padi yang merupakan tahapan paling penting dari keseluruhan proses. Pengupasan kulit adalah proses menghilangkan gabah padi menjadi beras yang secara prinsip sudah dapat dimasak untuk dimakan. Proses selanjutnya hanyalah penyempurnaan dari penyosohan dan untuk meningkatkan kebersihan. Gabungan dari sosoh serta kebersihan dan keutuhan biji adalah ukuran mutu beras putih. Tahapan penggilingan adalah proses penyempurnaan penyosohan dan pelepasan lapisan penutup butir beras. Teknologi penggilingan sudah sangat berkembang untuk menghasilkan beras putih yang baik. Proses ini dibagi lagi menjadi
penyosohan,
pemutihan
(whitening)
dan
pengkilapan
(shining).
Walaupun demikian, inti proses ini adalah untuk memisahkan lapisan penutup semaksimal mungkin. Selain proses utama tersebut ada beberapa tambahan yakni proses pemisahan yang dimaksudkan untuk mendapatkan beras putih utuh dan murni. Oleh karena itu, proses pemisahan terdiri dari pemisahan kotoran dari benda atau bahan lain (seperti batu, daun dan benda atau bahan lainnya) dan pemisahan beras yang kurang baik (muda, busuk, berjamur, berwarna dan rusak/pecah). Perkembangan teknologi dalam rangka untuk menghasilkan kualitas beras yang baik telah berkembang cukup pesat, diantaranya teknologi
pemisah batu, pemisah beras berdasarkan warna (color sorter), pemisah biji pecah (rotary shifter) dan pemisah biji menurut panjang (lenght grader). Tahap akhir dari proses pengolahan adalah pengemasan yang ditujukkan untuk memudahkan dalam pengangkutan dan distribusi. Perkembangan terkini di bidang pengemasan menambah atribut produk yakni estetika, dayatarik, informasi produk dan perbaikan daya simpan. Dewasa ini, teknologi pengemasan beras sudah sangat canggih, teknologi tersebut, meliputi keragaman bentuk, rupa, ukuran dan cara atau metoda. 7.2.2 Sekam Dalam proses pengolahan gabah padi menjadi beras, juga dihasilkan produk sampingan berupa sekam. Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20% dari bobot padi adalah sekam padi (Kartika, 2009). Volume sekam yang dihasilkan dari proses penggilingan tersebut mencapai 17% dari Gabah kering giling (GKG). Untuk penggilingan padi yang berkapasitas 5 ton/jam beras putih atau sekitar 7 ton GKG/jam akan dihasilkan sekam sekitar 0,85 ton/jam atau sekitar 8,5 ton/hari. Berat ini setara dengan 25 m3/hari atau 7 500 m3/tahun. Volume yang besar ini akan menjadi masalah serius dalam jangka panjang apabila tidak ditangani dengan baik. Sekam tersusun dari palea dan lemma (bagian yang lebih lebar) yang terikat dengan struktur pengikat yang menyerupai kait. Sel-sel sekam yang telah masak mengandung lignin dan silica dalam konsentrasi tinggi. Kandungan silica diperkirakan
berada
dalam
lapisan
luar
(De
Datta,
1981)
sehingga
permukaannya menjadi keras dan sulit menyerap air, dan berfungsi dalam mempertahankan kelembaban, serta memerlukan waktu yang lama untuk mendekomposisinya (Houston, 1972). Silica sekam dalam bentuk tridymite dan crytabolalite mempunyai potensi juga sebagai bahan pemucat minyak nabati (Proctor dan Palaniappan, 1989). Komposisi sekam dapat dilihat pada Tabel 65.
Tabel 65 Komposisi sekam Kandungan Persentase C-organik 45,06 N-total 0,31 P-total 0,07 K-total 0,28 Mg-total 0,16 SiO3 33,01 Sumber: Hidayati (1993) Dari komposisi kimia sekam Tabel 65, dapat diketahui potensi penggunaannya terbatas sebagai sumber C-organik tanah dan media tumbuh (dari kandungan karbon organik yang tinggi) serta bahan pemurnian dan bahan bangunan (dari kandungan silica yang tinggi). Karbon yang tinggi juga mengindikasikan banyaknya kandungan kalori sekam. Proses yang diperlukan untuk pemanfaatan tersebut terdiri atas: 1.
Pelunakan tekstur dan pengembangan permukaan Pelunakan
ditujukan
untuk
memperbaiki
dayaserap
(absorption),
pengurangan volume, dan lebih apseptis karena diperoses dengan panas dan tekanan tinggi. Sekam yang telah lunak dan mengembang dapat digunakan untuk media gundukan tanaman padi, palawija, dan persemaian (padi, cabai), bedengan tomat, bahan kompos, dan lapisan alas tidur ternak. Alat untuk pelunakkan sekam saat ini, sudah dipasarkan secara komersial. 2.
Pengarangan (carbonizing) Pengarangan adalah proses pembakaran dengan oksigen terbatas. Arang
padi mempunyai beberapa kegunaan (Bantacut, 2006), antara lain: a. mempertahankan kelembaban: apabila arang ditambahkan ke dalam tanah akan dapat mengikat air dan melepaskannya jika tanah menjadi kering, b. mendorong pertumbuhan (proliferation) mikroorganisme yang berguna bagi tanah dan tanaman, c. penggembur tanah: menghindari pengerasan tanah karena sifatnya yang ringan, d. pengatur pH: arang dapat mengatur pH dalam situasi tertentu, e. menyuburkan tanah: kandungan mineral arang adalah hara tanaman, f.
membantu melelehkan salju karena arang yang disebarkan di atas salju akan menyerap panas yang dapat mencairkan salju, dan
g. menyerap kotoran sebagai bahan pemurnian dalam pengolahan air, minyak, sirup dan sari buah.
Dalam proses pengarangan juga dihasilkan cairan hasil kondensasi asap yang disebut wood vinegar yang mengandung konsentrasi formaldehid tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pengawet pangan lainnya seperti ikan, tahu, dan bakso. 3.
Pembakaran Kandungan karbon yang tinggi juga mengindikasikan bahwa sekam
mempunyai kalori yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi panas. Banyak penggilingan padi menengah dan besar menggunakannya sebagai bahan bakar pengering padi. Penggunaan yang sama juga dapat dijumpai pada pembakaran batu bata. Abu sisa pembakaran mengandung SiO2 sekitar 85% sehingga baik digunakan untuk pembuatan bahan bangunan (seperti papan semen) dan bahan pemurnian minyak (kelapa). Abu sekam memperbaiki daya serap air, kerapatan, perubahan panjang dan konduktifitas panas papan semen pulp. Penggunaan abu dalam pemucatan minyak kelapa dapat memperbaiki kejernihan. 7.2.3 Dedak Persentase dedak mencapai 10% dari GKG. Penggilingan dengan kapasitas beras putih sebesar 5 ton/jam akan menghasilkan dedak sebanyak 0.7 ton/jam atau sekitar 7 ton/hari. Jumlah ini cukup potensial untuk dikelola. Volume dedak sekitar 600 liter/ton, maka akan dihasilkan sekitar 12 m3 dedak setiap harinya. Dedak adalah bagian padi yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi seperti minyak, vitamin, protein dan mineral. Pada kadar air 14%, dedak mengandung pati sebesar 13,8%, serat 23,7-28,6%, pentosan 7,0-8,3%, hemiselulosa 9,5-16,9%, selulosa 5,9-9,0%, asam poliuronat 1,2%, gula bebas 5,5-6,9% dan lignin 2,8-3,0% (Juliano dan Bechtel, 1985). Dari kandungan ini maka dedak telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti sumber minyak, pakan ternak dan bahan makanan. Berbasis pada kandungan bahannya, maka dedak dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Minyaknya dapat diambil melalui ekstraksi menggunakan pelarut, protein dan vitaminnya berguna sebagai nutrisi makanan. Namun demikian, upaya pemanfaatan tersebut secara ekonomi belum menguntungkan. Ekstraksi minyak melibatkan investasi yang besar dan hanya layak pada skala yang besar pula. Ini berarti pengolahan terintegrasi pada penggilingan tidak dapat dilakukan.
Sejauh ini, dedak bukan lagi sebagai limbah tetapi telah menjadi hasil samping yang mempunyai pasar tersendiri. Pengguna utama dedak adalah industri pakan ternak. Pemanfaatan lain yang telah berkembang
dan
peralatannya sudah dijual secara komersial adalah mengolahnya menjadi pellet. Kandungan hara yang tinggi menjadikan pellet dedak dapat digunakan untuk pakan ternak terutama unggas dan pupuk organik. Bahkan dalam kondisi aplikasi awal, pellet dedak dapat menghambat pertumbuhan gulma apabila disebarkan pada permukaan tanah. Dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya, maka ke depan sistem pengolahan padi perlu dikembangkan menuju ke sistem pengolahan yang terintegrasi, mengingat peran dan fungsi dari industri dan hasil sampingan atau turunan dari pengolahan padi tersebut. Pola berpikir seperti ini dapat menyebabkan industri penggilingan padi, dapat memberikan nilai tambah dan tidak seperti yang banyak terjadi saat ini, karena dihadapkan dengan berbagai persoalan lingkungan. Dalam sistem pengolahan yang terintegrasi, memandang semua bagian bahan baku adalah bahan yang harus dimafaatkan untuk menghasilkan produk yang
bernilai
(ekonomi
dan
lingkungan).
Secara
keseluruhan, model terpadu mempunyai beberapa keuntungan antara lain tidak mencemari
lingkungan,
mengoptimalkan
pemanfaatan
bahan
baku
dan
memperoleh manfaat ekonomi total (baik langsung maupun tidak). 7.3
Konsep Pengembangan Usahatani di Rawa Lebak Berdasarkan Sumberdaya Lokal Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengelolaan rawa
lebak yang selama ini dilakukan dengan cara semi intensif, yaitu penanaman sekali dalam setahun untuk tanaman padi yaitu dilakukan penanaman pada bulan Agustus hingga September dengan waktu panen dilakukan pada bulan Februari atau selama tujuh bulan. Jenis padi yang digunakan umumnya adalah jenis lokal diantaranya palawang, pantat ulat dan pulut lihat Tabel 63. Kalaupun jenis unggul seperti ciherang yang digunakan oleh petani disana, akan diusahakan oleh mereka apabila benih tersebut berasal dari bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi sekitar 60 persen dari responden tidak menyukai dalam hal penggunaan jenis unggul yang diberikan oleh pemerintah, dengan alasan bahwa bantuan yang diberikan umumnya tidak bersamaan dengan waktu tanam yang berlaku disana. Biasanya terlambat dari waktu tanam. Selain itu, pengusahaan padi unggul bantuan pemerintah harus dipupuk dalam
hal ini pupuk organik, karena kalau tidak dilakukan pemupukan biasanya padi tersebut tidak berisi atau hampa. Dipihak lain pupuk menurut mereka tidak tersedia. Untuk padi jenis lokal, tanpa dilakukan pemupukan tetap memberikan hasil. Untuk tanaman karet saat penelitian ini dilaksanakan telah berumur kurang lebih 30 tahun. Dan jenis karet yang diusahakan adalah karet jenis lokal. Hasil observasi di lapangan, kondisi kebun tidak terawat, banyak terserang penyakit seperti Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus), busuk bidang sadap (Phytophthora palmivora dan Ceratocystis fimbriata), mati pucuk (Colletotrichum gloeosporoides), gulma tumbuh sangat banyak, jarak tanaman yang tidak teratur. Sedangkan keadaan kebun kelapa sawit, pada saat penelitian baru berumur sekitar 2,5 tahun. Penanaman dengan jarak tanam yang teratur yaitu 9x9x9m yang juga ditumbuhi oleh gulma, akan tetapi gulma yang ada tidak separah di kebun karet. Berkenaan dengan pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk mengembangkan usahatani berkelanjutan di lokasi penelitian, sesuai hasil analisis sebelumnya dan dihubungkan dengan daya dukung dan ketersediaan sumberdaya lokal serta sasaran yang diinginkan, maka penerapan sistem pertanian terpadu adalah alternatif sistem pertanian yang perlu dilakukan. Model pengelolaan Usahatani Lahan Rawa Lebak (UTLRL) dari hasil penelitian ini merupakan suatu bentuk rekomendasi kebijakan. Dari tiga skenario yang disusun sebagai alternatif pilihan dalam penerapan pengelolaan lahan rawa lebak berkelanjutan, dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya lokal di lokasi penelitian, maka skenario yang direkomendasikan dari penelitian ini adalah skenario III baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang. Berdasarkan hasil kajian dan sasaran yang diinginkan, maka model yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam rangka pengelolaan lahan rawa lebak adalah sistem pertanian terpadu. Sebelum dijelaskan lebih lanjut, terlebih dahulu akan diuraikan tentang sistem pertanian terpadu. Sistem pertanian terpadu artinya pertanian yang mengintegrasikan antara tanaman dan ternak di dalam suatu lahan usahatani. Sebaliknya sistem pertanian campuran adalah pertanian yang mengusahakan beberapa jenis tanaman pada suatu hamparan lahan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek sistem pertanian ini dapat menekan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan (Suryana et al. 1995), sekaligus dapat meningkatkan pendapatan petani. Tambahan pendapatan
petani, berasal dari peningkatan berat badan sapi, nilai pupuk organik dan peningkatan produksi gabah kering giling. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Dwiyanto dan Haryanto (2001) dalam Soekardono (2009) menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan petani tersebut hingga 100% apabila dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa ternak. Dimana sekitar 40% dari pendapatan tersebut berasal dari pupuk organik yang dihasilkan oleh ternak. Menurut Sulaimen (2009) pertanian terpadu atau integrated farming adalah usaha pertanian dengan kelola berkesinambungan, sehingga tidak dikenal limbah sebagai produk sampingan, semua bagian hasil pertanian diasumsikan sebagai produk ekonomis dan semua kegiatan adalah profit center, hasil samping dari salah satu sub bidang usaha menjadi bahan baku atau bahan pembantu sub bidang lainnya yang masih terkait. Ilustrasi yang sederhana adalah pada usaha budidaya jagung, produk
bukan hanya jagung pipilan kering sedangkan biaya pembuangan
batangnya di lahan dan dibakar menjadi beban/cost, tetapi dalam pertanian terpadu meskipun ada biaya pengumpulan batang jagung dari lahan tetapi dapat diproses menjadi silage (pakan ternak ruminansia)
atau disimpan
sebagai pakan kering, sehingga untuk jumlah yang memenuhi kriteria ekonomis justru akan membuka cluster ekonomi baru. Konsep pertanian terpadu diutamakan pada pendayagunaan sumberdaya yang tersedia ditingkat petani dengan prinsip yang menserasikan tiga faktor penting manusia, lahan dan ternak yang berinteraksi secara sembiosa mutualistis guna membuat sistem usahatani menjadi lebih produktif (Tim P3PK-UGM, 1988) antara Lahan, tanaman dan ternak. Ternak dapat diberi makanan tidak hanya rumput, melainkan juga dari limbah pertanian. Selain itu agar output yang dihasilkan tidak hanya berupa ternak, maka perlu dilakukan upaya pemanfaatan limbah ternak berupa kotoran ternak. Kotoran ternak atau biasa disebut pupuk kandang dapat langsung dimanfaatkan sebagai pupuk atau dijadikan kompos. Selanjutnya kompos ini dapat dijadikan sebagai pupuk. Pupuk kandang dan kompos, selain dapat digunakan sendiri oleh petani, juga dapat dijual untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Menurut Devendra (1993) dalam Dwiyanto (2001), ada delapan keuntungan dari penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak (crop-livestock system),
yaitu
(1)
diversifikasi
penggunaan
sumberdaya
produksi,
(2)
mengurangi terjadinya risiko, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi
penggunaan komponen produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar, (6) sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup, (7) meningkatkan output, dan (8) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Rangnekar et al. (1995) menyatakan pertanian terpadu mempunyai peranan komplementer dan juga suplementer di dalam produksi pertanian. Ternak menjadi sarana penting untuk mengatasi risiko dan daur ulang biomasa. Ternak diketahui juga dapat berintegrasi secara baik dengan berbagai sistem tanaman. Devendra (1993) dalam Bruchem dan Zemmelink (1995) menyebutkan bahwa di dalam skala kecil usahatani terpadu, ternak ruminansia lebih berperan penting dari pada yang lain karena mampu memanfaatkan serat kasar dari residu tanaman.
Pakan ternak dari bahan ini, walaupun berkualitas rendah, sering
menjadi pakan utama terutama pada musim kering. Ternak ruminansia mempunyai kegunaan ganda.
Selain memproduksi daging dan susu, ternak
dapat menghasilkan kulit untuk pakaian dan input utama usahatani, seperti kotoran ternak. Ternak juga menjadi sumber uang tunai yang strategis dalam masa kritis setiap tahun. Ternak juga signifikan menyumbang pendapatan rumah tangga petani sehingga membantu mengatasi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam upaya pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal, pada kawasan persawahan dapat dikembangkan usaha pemeliharaan sapi. Hal ini berkaitan dengan adanya jerami padi yang berlimpah setiap kali musim panen. Untuk memanfatkan potensi pakan berserat tersebut, perlu dikembangkan rencana unit usaha yang meliputi unit proses peningkatan kualitas nutrisi jerami padi, unit pemanfaatan jerami padi yang telah diproses sebagai pakan sapi, unit pembuatan pupuk organik serta unit pemanfaatan pupuk organik untuk menjaga kelestraian kesuburan lahan persawahan. Dengan demikian pada satu kawasan persawahan dapat menghasilkan padi sebagai produk utama, daging sebagai hasil usaha peternakan. Penggunaan pupuk organik pada lahan persawahan memberikan peluang untuk menambah kandungan bahan organik tanah serta mikrobiologi tanah. Dengan penggunaan pupuk organik juga diharapkan akan mengurangi biaya pupuk anorganik. Dalam kaitannya dengan penyediaan pupuk organik tersebut, maka pemeliharaan sapi pada lahan persawahan dan kebun (karet, kelapa sawit)
dapat
memberikan
peluang
besar
untuk
mengoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya yang ada pada kawasan tersebut, misalnya jerami padi yang dapat digunakan sebagai pakan sapi yang pada gilirannya sapi akan menghasilkan kotoran yang dapat diproses menjadi pupuk organik. Dengan demikian pada lahan persawahan tersebut, selain menghasilkan pangan dalam bentuk beras juga akan mampu menghasilkan daging. Lahan pertanian memerlukan pupuk organik untuk mempertahankan kesehatan tanah serta kecukupan unsur hara tanaman. Integrasi sapi pada lahan persawahan ini pada prinsipnya untuk memanfatkan
potensi
sumberdaya
lokal
setempat
dalam
rangka
mempertahankan kesehatan lahan melalui siklus unsur hara secara sempurna dari sawah, jerami, sapi pupuk organik dan kembali ke sawah lagi (BPTP, 2003). Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian.
Pola ini sangat menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di
lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk pakan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman harus saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usahatani. Sistem pengolahan ternak sapi/kerbau dalam suatu kawasan pertanian hendaknya dapat disesuaikan dengan jenis tanaman pangan yang diusahakan. Ternak yang dipelihara dirancang, sehingga tidak menggangu tanaman yang diusahakan. Dalam hal ini tanaman pangan sebagai komponen utama dan ternak menjadi komponen kedua. Ternak diberikan makanan hasil limbah (jerami) dari sawah, atau ternak dapat digembalakan di pinggir atau pada lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan hasil, sehingga ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan, gulma, rumput, semak dan hijauan pakan yang tumbuh di sekitar lahan/tempat tersebut. Sistem ini, ternak dapat mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah melalui urine dan kotoran padatnya. Praktek pertanian terpadu pada dasarnya adalah suatu praktek pertanian yang telah populer dikalangan petani, bahkan telah banyak dilakukan. Dalam prakteknya petani dapat memanfaatkan limbah tanaman (misal jerami) sebagai
pakan ternak sehingga tidak perlu mencari pakan lagi, petani juga dapat menggunakan tenaga sapi/kerbau dalam pengolahan tanah, dan ternak sapi/kerbau dapat digunakan sebagai investasi (tabungan) yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan yang mendesak. Praktek pertanian terpadu merupakan praktek pertanian yang perlu digalakan, mengingat sistem ini di samping menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu meningkatkan usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang penting yang harus terus ditingkatkan, sehingga rencana kecukupan daging dalam negeri dan sekaligus dapat mengurangi bahkan terlepas dari ketergantungan impor daging dan ternak serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha peternakan. Oleh karena itu, upaya ini dapat digalakan pada tingkat petani baik dalam rangka penggemukan ataupun
dalam
perbanyakan
populasi,
serta
produksi
susu.
Dengan
meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian organik dapat terlaksana dengan baik, kesuburan tanah dapat terjaga, dan pertanian bisa berkelanjutan. Integrasi ternak dan tanaman, tidak hanya terbatas pada budidaya padi (pangan) atau hortikultura dengan sapi dan kerbau saja, namun dapat dikembangkan lebih luas melalui integrasi dalam sistem lahan kering dan perkebunan. Semuanya tergantung dari usaha pertanian yang dikembangkan setempat, sehingga limbah pertanian dapat bervariasi seperti misalnya limbah jerami padi di lahan sawah, limbah jerami jagung di lahan kering, dan limbah dari berbagai tanaman lainnya. Demikian juga dalam pemilihan jenis ternak, tidak hanya terbatas pada pengusahaan hewan besar seperti yang telah disebutkan di atas, namun juga dapat diintegrasikan antara ternak unggas (ayam, itik) atau ternak lain.
Kotoran ternak unggas cukup potensial dimanfaatkan sebagai
pupuk, karena kandungan hara dalam kotoran ayam relatif cukup tinggi yang dapat mencapai 2,6 % N, 3,1 % P dan 2,4 % K. Praktek ini juga telah banyak dilakukan di daerah perkebunan. Dengan praktek ini pemanfaatan lahan dapat dilakukan secara optimal. Di dalam implementasinya, tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan komponen kedua. Praktek ini dapat diperoleh keuntungan antara lain :(1) dari tanaman perkebunan dapat menjamin tersedianya tanaman peneduh bagi ternak, sehingga dapat
mengurangi stress karena cuaca yang kurang menguntungkan bagi ternak, (2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembalinya air seni dan kotoran
berupa padatan ke dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan
ternak, serta membatasi pertumbuhan gulma, (5) meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan (6) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya. Konsep dan pemikiran sistem integrasi ternak-tanaman dalam menunjang kebijakan pengembangan agribisnis peternakan menjadi sangat penting selain upaya
meningkatkan
produktivitas
pertanian
secara
terpadu.
Peranan
peternakan dalam ekosistem mempunyai posisi yang cukup penting dengan adanya keuntungan-keuntungan sampingan seperti produksi pupuk kandang yang mutlak dibutuhkan dalam melestarikan tanah sebagai basis ekologi, disamping menunjang sektor kehidupan sebagai produsen hewani dan tenaga kerja. Dengan demikian kesuburan tanah dapat ditingkatkan yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi usahatani per satuan luas tanah. Disisi lain, hasil sampingan dari tanaman yang diusahakan dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Interaksi ternak dengan tanah menurut Idham et al. (2005) mempunyai tiga aspek yaitu: 1) adaptasi ternak secara biologi, 2) kemampuan lahan menghasilkan hijauan pakan ternak dan 3) pola pemeliharaan dan daya tampung areal yang tersedia. Gambar 30 menunjukkan integrasi antara tanaman baik tanaman pangan dan tanaman perkebunan dengan ternak sapi, kambing, ayam dan itik. Dari tanaman pangan dan tanaman perkebunan dapat diperoleh hasil segar tanaman. Selain itu, juga diperoleh limbah yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak atau limbah tersebut diolah terlebih dahulu menjadi kompos. Ternak, selain dapat menghasilkan produk segar, juga menghasilkan limbah padat dan cair yang dapat digunakan dalam proses pembuatan kompos. Integrasi tanaman dan ternak ini pada akhirnya dapat memberikan pendapatan tambahan bagi petani (Rustam et al., 2009).
Gambar 30 Sistem usahatani terpadu di adopsi dari Rustam et al. (2009) Untuk mendapatkan gambaran tentang sejauh mana keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil usaha peternakan, maka berikut ini disajikan hasil analisis ekonomi usaha peternakan, khususnya ternak sapi, kambing, itik dan ayam. Perhitungan di bawah ini hanya difokuskan kepada pendapatan dari hasil penjualan daging dan telur, tanpa diikuti dengan perhitungan pendapatan dari limbah (urine dan feces) yang dihasilkan oleh masing-masing ternak tersebut. 1. Ternak Sapi Sapi merupakan salah satu jenis ternak yang sudah dikenal secara luas dikalangan masyarakat perdesaan, bahkan telah banyak diusahakan baik untuk skala peternakan rakyat maupun skala peternakan besar. Menurut Soehadji (1992), komposisi peternakan rakyat untuk masing-masing jenis ternak pengusahaan sapi potong dan sapi perah mencapai 99,6%, dan 91,1%. Namun, kontribusi usaha ternak sapi terhadap pendapatan usahatani keluarga relatif masih rendah.
Untuk itu, pengembangan usaha ternak sapi menjadi suatu
sistem agribisnis hendaknya lebih mengutamakan kesejahteraan dan tidak mematikan usaha peternakan rakyat. Melihat kondisi sosial ekonomi peternak yang ada di perdesaan dengan mata pencaharian utama sebagai petani, maka
pengembangan agribisnis peternakan rakyat tidak terlepas dari usahatani lainnya, sehingga peningkatan skala usaha ternak harus mengkombinasikan berbagai faktor produksi yang dimiliki agar hasil yang diperoleh lebih optimal (Noferdiman dan Novra, 2002). Hasil analisis Tim Peneliti P3R Unram (2004) menunjukkan bahwa pengembangan ternak sapi bali secara finansial layak untuk dikembangkan. Nilai B/C rasio untuk sistem pemeliharaan terkurung untuk penggemukan (feed lot) sebesar 1,12; sedangkan nilai B/C rasio untuk sistem penggembalaan bersama sebesar 1,19 dan mini ranc sebesar 1,10. Sebagai perbandingan, rata-rata penghasilan bersih yang diperoleh dari hasil penggemukan ternak sapi sebesar Rp300 000,- sampai Rp400 000,- per ekor per per bulan dengan rentang waktu 4 – 5 bulan untuk setiap kali periode pemeliharaan. Untuk saat ini harga sapi yang akan digemukkan berkisar antara Rp3,5 – 4 juta, kemudian setelah dipelihara 4 – 5 bulan dapat dijual dengan harga Rp5 – 5,5 juta. Sementara itu untuk pengembangan
sapi
bibit,
rata-rata
lama
waktu
pemeliharaan
sampai
menghasilkan bibit yang bisa dijual adalah 1 (satu) tahun dengan harga jual berkisar antara Rp1,6 – 2 juta. Jadi rata-rata penghasilan setiap bulannya berkisar antara Rp125 000,- sampai Rp170 000,-. Penghasilan sebesar ini diperoleh tanpa membeli pakan (zero cost), dimana pakan disediakan sendiri oleh peternak, baik untuk penggemukan maupun pembibitan. 2. Ternak Kambing Kambing merupakan salah satu komoditas ternak yang cukup potensial untuk dikembangkan. Ternak ini banyak dipelihara di perdesaan, karena telah dikenal kemampuannya beradaptasi pada lingkungan yang sederhana, miskin pakan, dan dapat lebih efesien dalam mengubah pakan berkualitas rendah menjadi air susu dan daging. Selain itu, pemeliharaannya relatif muda, kambing juga sebagai penghasil kompos dan merupakan tabungan keluarga sewaktuwaktu dapat dijual. Pemeliharaan ternak ini hanya memerlukan luasan lahan yang relatif sempit, mudah dipasarkan, biaya pemeliharaannya rendah, dapat memanfaatkan hasil sampingan pertanian, dan mempunyai adaptasi yang tinggi dengan risiko yang rendah (Knipscheer et al., 1983). Ternak kambing cukup banyak dipelihara petani di lokasi penelitian, disamping usahatani tanaman pangan, perkebunan dan perikanan. Potensi pengembangan usahatani tanaman – ternak di lokasi penelitian cukup besar mengingat produktivitas tanaman padi yang dihasilkan belum maksimal.
Hasil analisis usaha ternak kambing oleh Badan Pengkajian Pertanian Lampung (2009), menunjukkan bahwa dari 9 (sembilan) ekor yang terdiri atas 1 (satu) jantan dan 8 (delapan) ekor betina dapat diperoleh pendapatan sebesar Rp1 166 150 per tahun. Uraian selengkapnya disajikan pada Tabel 66. Tabel 66 Analisa usahatani ternak kambing (skala usaha 9 ekor) dengan pemberian Blok Suplemen Pakan (BSP) Perlakuan Uraian Kontrol + BSP Penerimaan (Rp/th) 8 019 750 9 274 500 Total biaya (Rp/th) 6 853 600 5 389 500 Pendapatan (Rp/th) 1 166 150 2 165 300 Ket : Skala usaha 9 ekor (1 pejantan + 8 induk) Pakan tradisional petani (hijauan/limbah pertanian) Sumber: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung (2009)
3. Ternak Itik Meskipun tidak sepopuler ternak ayam, itik mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penghasil telur dan daging. Jika dibandingkan dengan ternak unggas yang lain, ternak itik mempunyai kelebihan diantaranya adalah memiliki daya tahan terhadap penyakit. Oleh karena itu, usaha ternak itik memiliki risiko yang relatif lebih kecil, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan (Budiraharjo, 2006). Hasil sarasehan pengembangan peternakan itik di Jawa Tengah, ternak itik merupakan salah satu aset nasional dan sekaligus komoditas yang bisa diandalkan sebagai sumber gizi dan sumber pendapatan masyarakat. Menurut Suparwoko dan Waluyo (2009) ternak itik mempunyai potensi yang cukup potensial di lahan rawa lebak dengan menggunakan paket teknologi perlakukan pakan dan pemeliharaan secara semi intensif dan intensif. Hasil pengkajian yang dilakukan, angka kematian sangat rendah pada semi intensif dan tidak ada kematian pada pemeliharaan secara intensif.
Dan sistem
pemeliharaan secara semi intensif dapat meningkatkan produksi telur sebesar 40,36%. Hasil penelitian Anggraeni (2002) menunjukkan bahwa pendapatan usaha ternak itik dalam sebulan berdasarkan sistem pemeliharaan tradisional dapat mencapai Rp370 494,51,- per bulan dengan jumlah itik yang diusahakan sebanyak 50 ekor. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 67.
Tabel 67 Rata-rata pendapatan peternak itik sistem pemeliharaan tradisional (Rp/Bulan) Uraian
Sistem pemeliharaan tradisional 50 ekor 200 ekor >500 ekor Penerimaan 463 500 1 854 000 8 037 090 Total biaya 93 005,49 372 021,96 984 068 Pendapatan 370 494,51 1 481 978,04 7 053 022 Sumber: diolah dari Anggraeni (2002) 4. Ternak Ayam Ternak ayam, merupakan jenis unggas yang telah umum diusahakan oleh masyarakat perdesaan, khususnya ayam buras (lokal). Ayam buras merupakan singkatan dari Ayam Bukan Ras atau ayam kampung Suci (2009). Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak ayam buras dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga (cash income), sebagai tabungan dan membantu dalam penyediaan pangan bergizi hewani (Togatorop, 1994). Ayam buras juga diketahui mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai lingkungan, sehingga dapat ditemukan diseluruh pelosok Indonesia (Zubaedah, 1993). Namun demikian usaha ini, masih menemui berbagai kendala, seperti tingginya tingkat kematian. Hal ini lebih disebabkan oleh latar belakang teknis pemeliharaan oleh masyarakat, yang memperlakukan sebagai usaha sampingan, dengan tujuan untuk diambil daging dan telurnya sebagai penambah gizi keluarga serta dijual pada saat membutuhkan uang. Dengan kata lain, usaha ini hanya merupakan pelengkap, tanpa didorong oleh manfaat lain dari hasil ternak ayam tersebut. Oleh karena itu, cara pandang seperti ini perlu dirubah ke arah sistem beternak yang lebih baik atau berorientasi agribisnis. Peternak ayam buras, biasanya membiarkan ayam-ayam mereka berkeliaran (diumbar) di kebun atau di pekarangan dalam mencari makan, karena peternak jarang memberi pakan pada ayam-ayamnya. Mengingat keberadaan dan pemilikan ayam buras yang sudah umum dikalangan masyarakat di perdesaan, maka usaha untuk meningkatkan peranan ayam buras dalam upaya meningkatkan produktivitas serta pengembangan sistem produksi yang lebih baik.
Upaya ini dapat dimulai dengan jalan
melakukan penyeleksian terhadap bibit-bibit ayam. Selanjutnya diikuti dengan perbaikan sistem pemeliharaan. Perbaikan sistem pemeliharaan meliputi sistem perkandangan, perbaikan mutu pakan dan pemeliharaam kesehatan ternak. Selain faktor teknis, juga perlu adanya pembinaan motivasi ke arah usaha yang bernilai ekonomis untuk peningkatan pendapatan keluarga petani. Untuk
mencapai
keberhasilan
tersebut,
maka
perlu
dilakukan
suatu
program
penyuluhan dan pembinaan untuk meningkatkan pengetahuan petani dalam melakukan usahatani ayam buras yang lebih ekonomis. Hasil penelitian Suci (2009) menunjukkan bahwa pendapatan usaha ternak ayam dalam setahun berdasarkan sistem pemeliharaan umbaran atau tradisional dapat mencapai Rp1 494 900 per tahun dengan jumlah ayam buras yang diusahakan sebanyak 10 ekor. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 68. Tabel 68 Analisis ekonomi usaha ternak ayam (Rp/th) No I.
Uraian Investasi (Modal tetap) Kandang Induk Anak + pemanas Bibit ayam betina 9 ekor Bibit ayam jantan 1 ekor Jumlah II. Biaya Produksi 1 tahun a. Pakan Ayam dewasa Ayam muda 2-4 bulan Anak ayam 0 – 2 bulan b. Vaksin Induk + jantan Ayam muda Anak ayam c. Penyusutan kandang 20% Jumlah III. Pendapatan - Produksi telur ±35 butir/periode - Penjualan ayam 45 ekor x Rp 22000/ekor Jumlah Keuntungan dalam setahun (I – II – III)
Biaya (Rp) 150 000 150 000 100 000 270 000 35 000 705 000
912 500 567 000 972 000 4 000 19 800 43 000 80 000 2 498 300 583 200 3 510 000 4 093 200 1 494 900
Sumber: Suci (2009) Dari uraian-uraian di atas, selanjutnya dilakukan simulasi integrasi pola pertanian terpadu. Hal ini dimasudkan untuk memperoleh pola integrasi antara tanaman dan ternak yang dapat dilakukan di kedua lokasi penelitian. Pola integrasi ini dilakukan, dengan mempertimbangan ketersediaan dan kesesuaian lahan, karakteristik petani dan pengetahuan petani terhadap usaha ternak tersebut. Dan hal yang juga perlu mendapatkan perhatian dari hasil simulasi ini adalah seberapa besar kontribusi dari usaha tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani. Simulasi pola pertanian terpadu yang memungkinkan untuk diimplementasikan di kedua lokasi penelitian ini secara rinci disajikan pada Tabel Lampiran 19. Selanjutnya dari hasil simulasi pola integrasi Tabel Lampiran 19, dilakukan juga perhitungan besarnya kanaikan pendapatan yang diperoleh petani
dari masing-masing pola usahatani yang disusun. Hasil tersebut berupa asumsi penerimaan usahatani sebagaimana disajikan pada Tabel Lampiran 20. Estimasi pendapatan dari hasil simulasi model pertanian terpadu di Desa Sungai Ambangah Tabel Lampiran 20, menunjukkan bahwa untuk integrasi tanaman dengan ternak sapi bentuk p11 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertingi sebesar Rp24 468 000,- per tahun diikuti bentuk p19 (padi – padi, kelapa sawit), bentuk p15 (padi – ratun, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak kambing model p34 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp23 033 000,per tahun diikuti model p42 (padi – padi, karet, kelapa sawit), bentuk p38 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak itik bentuk p57 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp25 314 000,- per tahun diikuti model p65 (padi – padi, karet, kelapa sawit), bentuk p61 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak ayam model p80 (padi – ratun – padi) dan karet dan kelapa sawit diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp22 362 900,per tahun diikuti bentuk p88 (padi – padi, karet, kelapa sawit), bentuk p84 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Estimasi pendapatan dari hasil simulasi model pertanian terpadu di Desa Pasak Piang Tabel Lampiran 21, menunjukkan bahwa untuk integrasi dengan ternak sapi model p11 (padi – ratun – padi) dan karet dan kelapa sawit diperoleh pendapatan tertingi sebesar Rp29 862 350,- per tahun diikuti bentuk p19 (padi – padi, kelapa sawit), model p7 (padi – ratun, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak kambing bentuk p34 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp28 427 350,- per tahun diikuti bentuk p42 (padi – padi, karet, kelapa sawit), bentuk p38 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak itik bentuk p57 (padi – ratun – padi – karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp30 708 350,- per tahun diikuti bentuk p65 (padi – padi – karet, kelapa sawit), bentuk p61 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak ayam bentuk p80 (padi – ratun – padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp28 427 350,- per tahun diikuti bentuk p88 (padi – padi – karet, kelapa sawit), bentuk p84 (padi – ratun – jagung, karet, kelapa sawit).
Dari hasil simulasi penyusunan pola integrasi Tabel Lampiran 19, selanjutnya dipilah masing-masing berdasarkan jenis tanaman dan jenis ternak. Adapun integrasi tersebut terdiri atas integrasi padi, jagung, karet dan kelapa sawit. Uraian lebih selengkapnya untuk masing-masing pola tanam tersebut disajikan berikut ini. 1. Pola usahatani padi dan jagung berbasis sumberdaya tanaman lokal Berikut ini Tabel 69, memperlihatkan bentuk-bentuk pola usahatani antara tanaman padi dan jagung dengan masing-masing jenis ternak. Tabel 69 Pola usahatani (padi) dan jenis ternak Musim tanam dengan berbagai pola dan ternak MT 1 MT 2 Jenis ternak Padi Ratun Padi/Jagung Pola usahatani (padi) dan jenis ternak 1. p1 padi Sapi 2. p24 padi Kambing 3. p47 padi Itik 4. p70 padi Ayam Pola usahatani (padi - ratun) dan jenis ternak 1. p4 padi ratun Sapi 2. p27 padi ratun Kambing 3. p50 padi ratun Itik 4. p73 padi ratun Ayam Pola usahatani (padi - ratun - padi) dan jenis ternak 1. p8 padi ratun padi Sapi 2. p31 padi ratun padi Kambing 3. p54 padi ratun padi Itik 4. p77 padi ratun padi Ayam Pola usahatani (padi - ratun - jagung) dan jenis ternak 1. p12 padi ratun jagung Sapi 2. p35 padi ratun jagung Kambing 3. p58 padi ratun jagung Itik 4. p81 padi ratun jagung Ayam Pola usahatani (padi - padi) dan jenis ternak 1. p16 padi padi Sapi 2. p39 padi padi Kambing 3. p62 padi padi Itik 4. p85 padi padi Ayam Pola usahatani (padi - jagung) dan jenis ternak 1. p20 padi jagung Sapi 2. p43 padi jagung Kambing 3. p66 padi jagung Itik 4. p89 padi jagung Ayam Sumber: Hasil olahan
No
Simbol pola tanam
Selanjutnya Tabel 70 berikut ini memperlihatkan bentuk-bentuk pola integrasi dan musim tanam padi dan jagung terhadap masing-masing jenis ternak. Tabel 70 Berbagai pola tanam padi dan jagung terhadap jenis ternak Simbol pola tanam
Musim tanam, pola tanam dan jenis ternak MT1 MT2 Jenis ternak ratun Padi/Jagung Sapi Ratun Sapi Ratun Padi Sapi Ratun Jagung Sapi Padi Sapi Jagung Sapi
p1 p4 p8 p12 p16 p20
Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi
p2 p27 p31 p35 p39 p43
Padi Padi Padi Padi Padi Padi
Ratun Ratun Ratun -
Padi Jagung Padi Jagung
Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing
p47 p50 p54 p58 p62 p66
Padi Padi Padi Padi Padi Padi
Ratun Ratun Ratun -
Padi Jagung Padi Jagung
Itik Itik Itik Itik Itik Itik
Ratun Ratun Ratun -
Padi Jagung Padi Jagung
Ayam Ayam Ayam Ayam Ayam Ayam
p70 Padi p73 Padi p77 Padi p81 Padi p85 Padi p89 Padi Sumber: Hasil olahan
2. Pola usahatani Karet Berikut ini Tabel 71 memperlihatkan bentuk-bentuk integrasi tanaman perkebunan khususnya tanaman karet dengan masing-masing ternak. Tabel 71 Pola integrasi tanaman karet dan jenis ternak No
Simbol pola tanam
1. 2. 3. 4.
p2 p25 p48 p71
Sumber: Hasil olahan
Pola tanamam karet dan ternak Tanaman
Jenis ternak
Karet Karet Karet karet
Sapi Kambing Itik Ayam
3. Pola usahatani Kelapa Sawit Berikut ini Tabel 72 memperlihatkan bentuk-bentuk integrasi tanaman perkebunan khususnya tanaman kelapa sawit dengan masing-masing jenis ternak. Tabel 72 Pola integrasi tanaman kelapa sawit dan jenis ternak No
Simbol pola tanam
1. 2. 3. 4.
p3 p26 p49 p72
Pola tanamam perkebunan dan ternak Tanaman
Jenis ternak
Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit
Sapi Kambing Itik Ayam
Sumber: Hasil olahan
7.4
Model Pengembangan Usahatani Berdasarkan Pola Tanam Tanaman Setahun Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati yang
dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau sumber
energi,
serta
untuk
mengelola
lingkungan
hidupnya.
Kegiatan
pemanfaatan sumberdaya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat
pula
berupa
pemanfaatan
mikroorganisme
dan
bioenzim
dalam
pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan (Wikipedia diakses tanggal, 23 Maret 2011). Atau dapat diartikan sebagai suatu sistem produksi yang kompleks dengan melibatkan berbagai proses fisik, kimia dan biologi dalam memproses input untuk menghasilkan produk (output). Ketentuan dan implementasi dari model pengembangan usahatani lahan rawa lebak (UTLRL) hasil penelitian ini yaitu dengan menerapkan sistem pertanian terpadu. Penerapan konsep pertanian ini dimaksudkan agar supaya terjadi peningkatkan produksi dan pendapatan petani di kawasan rawa lebak. Konsep pengelolaan tanaman secara terpadu dan sekaligus sumberdaya terpadu, melalui pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terintegrasi dan dengan dukungan teknologi yang memiliki efek sinergis sehingga
mampu
meningkatkan produktivtas tanaman secara berkelanjutan (sustainable). Adapun ciri dari konsep pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu, yaitu:
1. Keterpaduan/Integrasi Keterpaduan
yang
dimaksudkan
adalah
tidak
hanya
terbatas
pada
keterpaduan tanaman dan sumberdaya input, namun melibatkan keterpaduan yang luas, meliputi keterpaduan institusi (pemerintah ataupun swasta), sumberdaya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keterpaduan analisis. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman secara terpadu, tidak hanya mempertimbangkan subsistem produksi tetapi sudah merencanakan sampai kepada subsistem pemasaran, termasuk kelembagaan pendukung sehingga kegiatan usahatani dapat berjalan secara berkesinambungan. 2. Sinergisme Efek sinergisme adalah efek yang saling mendukung/menguatkan antara komponen yang satu dengan komponen lainnya. Pemanfaatan sinergisme antara komponen-komponen
produksi
yang
akan
diterapkan
bertujuan
untuk
mendapatkan output hasil yang lebih tinggi. Misalnya penggunaan teknologi pembuat kompos, mekanisme dan proses yang dibuat selain dapat digunakan untuk memupuk tanaman sehingga akan menaikkan ketersediaan unsur hara yang ada di lapisan olah tanah, sehingga pertumbuhan tanaman dapat lebih optimal yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi secara lebih efisien. Penggunaan varietas unggul, akan lebih bersinergi dengan kualitas benih yang prima (baik kualitas genetik, fisik ataupun kualitas fisiologi) dengan kriteria daya tumbuh benih yang lebih seragam (minimal 90%). Benih dengan kualitas yang lebih prima dapat tumbuh lebih cepat, perakarannya akan tumbuh lebih kuat dengan distribusi akar yang lebih baik sehingga dapat memanfaatkan air dan unsur hara secara optimal. 3. Partisipatif Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan dengan cara melibatkan semua pihak yang berkepentingan mulai dari petani, swasta, penyuluh serta instansi terkait mulai dari identifikasi, pelaksanaan sampai kepada evaluasi kegiatan. Dengan demikian komponen utama yang akan di integrasikan dalam sistem ini dapat berjalan secara kontinyu karena telah mengakomodasikan dan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan petani yang pada umumnya kekurangan modal untuk mengelola usahataninya secara optimal. Dalam penerapannya,
partisipasi
petani
dan
swasta
sangat
diperlukan
untuk
menentukan pengembangan yang akan dilakukan di lahannya. Misalnya introduksi pembuat alur, alat penyiang, mesin pengola hasil dan penyediaan
benih unggul berkualitas serta penyediaan pupuk perlu partisipasi swasta yang dapat bermitra dengan petani dalam menyediakan sarana produksi, penyediaan jasa alsintan (alat dan mesin pertanian) serta dapat menampung hasil usahatani dengan harga yang layak. Dengan cara tersebut akan tercipta suatu pola kemitraan dengan asas saling membutuhkan dan saling menguntungkan sehingga baik petani maupun swasta memiliki posisi tawar yang kuat. Oleh sebab itu, dalam implementasinya, penerapan sistem pertanian terpadu di awali dengan identifikasi permasalahan baik masalah teknis, maupun sosial-ekonomi dan budaya, mengetahui potensi sumberdaya, baik sumberdaya lahan atau buatan yang dapat menunjang keberhasilan melalui studi pemahaman perdesaan partisipatif (PRA/Participartory Rural Appraisal). Pemilihan komponen pendukung lainnya yang tepat dalam rangka penerapan pelaksanaan pertanian terpadu, merupakan hal yang penting untuk mendapatkan sinergisme yang tinggi. Dalam penerapannya, ada berbagai komponen yang perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan, yaitu (1) pola usahatani, benih atau bibit unggul, (2) pemeliharaan dan pemupukan, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) petani dan kelompok tani, (5) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (6) peran aktif lembaga penyuluh pertanian, (7) dukungan lembaga riset dan perguruan tinggi dan (8) pengelolaan pascapanen dan pemasaran hasil. Beberapa faktor atau komponen yang menyusun model ini dapat dipilah atas faktor input, proses dan output. Tujuan akhir yang ingin dicapai atau output dari model ini adalah berupa terjadinya peningkatan produksi dan pendapatan petani. Uraian lebih lanjut tentang faktor input, proses dan output adalah berikut: 1.
Pola usahatani, benih atau bibit unggul. Penggunaan bahan tanaman yang bermutu bersertifikat merupakan salah satu aspek penting dalam mendukung keberhasilan pengelolaan tanaman. Peran benih sangat penting pada komoditas pertanian, karena benih merupakan carrier technologi. Benih/bibit merupakan cetak biru dalam pengembangan
sistem
dan
usaha
agribisnis
yang
berdaya
saing,
berkelanjutan, berkerakyatan, dan terdesentralisasi. Oleh sebab itu, ketersediaan benih/bibit bermutu dari varietas/jenis unggul sangat strategis karena menjadi tumpuan utama dalam pencapaian keberhasilan usahatani. Industri benih/bibit sebagai salah satu subsistem dalam sistem agribisnis bersifat profit oriented, maka peran pemerintah untuk mengupayakan kondisi
yang menguntungkan (favorable), mulai dari pelestarian dan pengelolaan plasma nutfah sebagai materi genetik varietas/jenis unggul, pengembangan varietas unggul, produksi benih/bibit dan sertifikasi, hingga pengawasan mutu benih/bibit. Pada saat ini penggunaan benih unggul dan bermutu masih belum optimal, dan masih terbatas untuk usaha pertanian khususnya skala perusahaan dan kegiatan yang dibiayai komoditi
antara
lain
kelapa
sawit,
dan terbatas pada beberapa
kakao,
kapas
dan
tembakau.
Permasalahan pokok yang menyebabkan rendahnya adopsi varietas unggul tanaman yaitu ketidaktahuan adanya benih unggul dan bermutu, terbatasnya ketersediaan dan sekaligus distribusi benih unggul juga masih terbatas. Penggunaan benih unggul dan bermutu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas. Dalam penggunaan benih unggul dapat diperoleh keuntungan antara lain dapat meningkatkan produksi per satuan luas dan per satuan waktu, disamping itu meningkatkan mutu hasil yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan petani. Pemilihan suatu jenis tanaman yang akan digunakan disuatu daerah biasanya
didasarkan
pada
kesesuaian
varietas
dengan
lingkungan
pertumbuhan setempat (spesifik lokasi) serta sesuai dengan kebutuhan petani. Dalam banyak kasus, petani pada umumnya kekurangan modal untuk menerapkan usahataninya secara optimal. Karena itu, banyak petani menggunakan benih dari penanamannya sendiri tanpa seleksi lapangan 2-3 generasi untuk hibrida dan beberapa siklus untuk jenis bersari bebas, kecuali pada wilayah pengembangan yang telah terbentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha benih. Benih dengan kualitas yang prima (daya tumbuh dan vigornya cukup tinggi) diperlukan untuk memacu keseragaman dan kecepatan pertumbuhan. Benih dengan kualitas fisiologi yang tinggi (daya tumbuh minimal 90%) juga lebih toleran pada kondisi lingkungan tumbuh yang kurang optimal dibandingkan benih dengan kualitas fisiologi yang lebih rendah, serta lebih efektif memanfaatkan pupuk dan hara lain yang ada di dalam tanah. Pada lingkungan pertumbuhan yang sama dengan manipulasi hara yang sama, benih dengan vigor yang tinggi akan tumbuh lebih baik. Selain penggunaan benih atau bibit unggul, untuk meningkatkan hasil tanaman diperlukan berbagai input produksi diantaranya pupuk, pestisida,
dan herbisida. Selain itu, penerapan sistem budidaya tanaman berupa pengaturan pola tanam (cropping patern) dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, juga bertujuan untuk meningkatkan produksi per satuan luas lahan. Sebagaimana diketahui bahwa pola tanam, dapat meningkatkan hasil tanaman. Pola tanam adalah suatu sistem dalam menentukan jenis-jenis tanaman atau pergiliran tanaman, pada suatu daerah tertentu yang disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada pada periode musim
hujan
dan
musim
kemarau.
Mengacu
kepada
kebijakan
pembangunan pertanian, pengembangan pola tanam dan diversifikasi usahatani di lahan sawah memiliki justifikasi yang kuat. Bersamaan dengan kebijakan diversifikasi tersebut di atas, perlu terus dilakukan
penelitian
dan
pengembangan
pola
tanam
dengan
mempertimbangkan aspek yang luas pada berbagai agroekosistem. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan pola tanam mengacu pada kerangka kerja dan metodologi yang diarahkan untuk memenuhi beberapa tujuan (Partodiharjo, 2003): (a) penelitian dan pengembangan pola tanaman harus berkaitan erat dengan mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi,
dan
peluang
yang
tersedia;
(b)
pelibatan
petani
dalam
perancangan dan pengkajian pola tanam yang dikaji dalam rangka perolehan umpan balik dan memperlancar proses adopsi teknologi; (c) keikutsertaan peneliti dengan tim yang bersifat multi-disiplin dari bidang keahlian ilmu tanah, tanaman, perlindungan tanaman, dan sosial ekonomi; dan (d) penekanan sasaran penelitian dan pengembangan pola tanam untuk meningkatkan intensitas tanam dan dapat diterima petani. Diversifikasi usahatani dan pertanian bukanlah hal yang baru bagi sebagian besar petani skala kecil di Indonesia (Kasryno, 2000). Pada awalnya, petani melakukan diversifikasi usahatani adalah untuk memenuhi keragaman kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam konteks ekonomi, diversifikasi pertanian diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar dan meningkatkan pendapatan petani dengan tingkat stabilitas yang lebih tinggi. Dengan demikian diversifikasi pertanian (demand driven farming system diversication) memerlukan instrument kebijakan pembangunan pertanian yang berbeda dengan diversifikasi intensifikasi usahatani (supply driven) dengan sasaran utama memenuhi kebutuhan dan memperoleh surplus produksi (Rusastra, 2004). Dalam penerapan pola tanam, biasanya
tanaman palawija diusahakan dalam bentuk pergiliran tanaman di lahan sawah tadah hujan dan sawah berpengairan. Adapun pola tanam yang umumnya dianjurkan menurut Tanga (2007) berdasarkan ketersediaan irigasi sebagaimana Tabel 73. Tabel 73 Pola tanam pada suatu daerah irigasi Ketersediaan air
Pola tanam
Air cukup
Padi – padi palawija
Air terbatas
Padi – padi – palawija (sebagian areal) atau Padi – padi (sebagian areal) - palawija
Air sangat terbatas
Padi – palawija – palawija
Sumber: Tanga (2007) Pola tanam merupakan sub sistem dari sistem budidaya tanaman, merupakan jenis-jenis tata urutan tanaman yang diusahakan pada sebidang tanah tertentu selama satu jangka waktu tertentu. Komponen-komponen penting dalam sistem pola tanam yaitu agroklimat, tanah, tanaman, teknik budidaya, dan sosial ekonomi. Sasaran utama penerapan pola tanam yang tepat adalah produksi yang secara agronomis dapat mencapai hasil yang maksimum. Tujuan
dari
penerapan
pola
tanam
diantaranya
adalah:
(1)
menghindarkan adanya ketidakseragaman tanaman, (2) melaksanakan waktu tanam sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan, (3) efesien dalam hal penggunaan air irigasi, (4) mempertahankan kontinuitas hasil tanaman, (5) meningkatkan hasil tanaman, dan (6) dapat mengurangi biaya pemeliharaan. Pada umumnya lahan rawa lebak dapat ditanami jenis palawija varietas unggul berumur pendek yang penanamannya dilakukan setelah padi, pemanfaatan lahan rawa lebak dapat dilakukan dengan baik pada umumnya disaat awal musim kemarau. Pola tanam yang biasa digunakan yaitu: pola tanam satu kali dalam setahun dan pola tanam dua kali dalam setahun. Bentuknya adalah sebagaimana Tabel 74.
Tabel 74 Pola tanam di rawa lebak Pola Tanam
Jenis Tanaman
Satu kali tanam dalam setahun
Padi Jagung Padi – padi
Dua kali tanam dalam setahun
Padi – jagung
Berbagai pola penanaman tumpangsari juga diketahui telah terbukti unggul dalam pola tanam di lahan kering (Indrawati et al., 1993). Di samping sebagai upaya diversifikasi komoditas, pola tumpangsari terbukti dapat memanfaatkan lahan dan energi dengan lebih baik (Karimuna dan Daud, 1992). Sebagai contoh hasil penelitian Pribadi (2007), pola tanam jagung dan sambiloto, dapat memanfaatkan komponen agroekosistem lahan apabila tersusun dalam suatu bentuk kombinasi yang memiliki sifat saling melengkapi (komplementari) dan berhubungan dalam interaksi yang bersifat sinergis (positif). Interaksi yang terjadi dalam bentuk pola tanam ini dapat mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, dan peningkatan diversifikasi usaha, peningkatan daya saing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan. Selain pola tanam, sistem penanaman ratun adalah suatu teknis budidaya yang cukup strategis diterapkan dalam sistem usahatani padi di rawa lebak. Pada sistem ratun, spesies padi yang memiliki "high regeneration ability", (keturunan padi liar Oryza longistaminafa) mampu menghasilkan tunas-tunas ratun yang produktif dari rumpun setelah dipanen dan sangat sesuai untuk dikembangkan dalam sistem ratun (De Data dan Bernasor, 1988). Pada daerah tertentu, panen kedua diharapkan dapat dicapai melalui pemanfaatan ratun. Ratun atau singgang (Jawa) atau turiang (Sunda)
merupakan
rumpun
tanaman
padi
yang
tumbuh
kembali
menghasilkan anakan baru yang selanjutnya dapat dipanen (Flinn dan Mercado, 1988; Islam et al., 2008). Sistem ini dikembangkan pertama kali di areal persawahan dekat pantai di bagian selatan Amerika Serikat pada awal tahun
1960.
Setelah
varietas
padi
keturunan
0.
longisfaminata
diintroduksikan, kegiatan sistem ratunisasi semakin menyebar dan sangat
diminati oleh petani di beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang memiliki musim tanam terbatas (Jones dan Snyder, 1987). BoIlich et al. (1988) juga melaporkan bahwa pada tahun 1985 di Lemont, Texas, lahan sawah seluas 160 ha diusahakan secara komersial, pertanaman padi utama menghasilkan sebesar 8,2 t/ha gabah kering giling (GKG) dan padi ratun mampu menghasilkan sebesar 3,6 t/ha GKG, sehingga total produksi dapat mencapai 11,6 t/ha GKG. Hasil studi memberikan gambaran bahwa, diestimasikan sekitar 30% areal sawah di daerah tropik di Asia atau sekitar 26,63 juta ha, mempunyai hasil rata-rata 57 t/ha pada tanaman utama, apabila dilaksanakan sistem ratun diperkirakan hasil ratun rata-rata 50% dari tanaman utama, sehingga sumbangan padi ratun akan mencapai 35,95 juta ton setiap tahun (Krishnamurthy, 1988). Selain sifat genetik, dalam menghasilkan tunas produktif juga sangat tergantung dari tinggi pemotongan batang padi, waktu panen, dan pengaturan air irigasi. Waktu panen yang paling baik ketika batang padi belum terlalu kering atau relatif masih hijau sehingga secara fisiologi akan berkemampuan untuk menghasilkan anakan ratun (Gris, 1965 dalam Krishnamurthy, 1988). Tunas ratun yang muncul dari pangkal batang rumpun mirip dengan bibit muda, sedangkan tunas ratun dari buku atas mirip bibit yang sudah tua. Hasil penelitian Jones (1993) menunjukkan bahwa tingginya rumpun ratun dari permukaan tanah dapat berpengaruh pada jumlah malai dan jumlah gabah per malai. Hasil tertinggi dipanen dari singkal padi setinggi 0,2 dan 0,3 m, dibandingkan pemotongan setinggi 0,1, 0,4 dan 0,5 m dari permukaan tanah. Sistem ratun dengan tinggi rumpun padi 0,15 dan 0,20 m menghasilkan padi lebih baik dari tinggi singka 0,5 m. Kemudian informasi terakhir menyebutkan bahwa di Thailand, rumpun padi yang dipotong dipangkal malai lalu direbahkan lurus barisan mampu menghasilkan padi seperti
tanaman
awal
(utama),
apabila
dilakukan
pemupukan
dan
pemeliharaan yang sama seperti halnya tanaman utama. Dari hasil penelitian Isgianto et al. (1993) di Kebun Jambegede, Kendalpayak, Mojosari, Ngale dan Genteng (Jawa Timur) pada musim hujan (MH) 1992/1993 dan musim kemarau (MK) 1993 menunjukkan bahwa varietas IR64, IR66 dan Semeru dapat dibudidayakan secara ratun apabila tidak terjadi endemi penyakit tungro, sedangkan varietas IR72 dan Krueng Aceh cukup baik dibudidayakan secara ratun di lahan yang tidak endemik hama
wereng coklat. Sistem ratunisasi varietas IR64, IR72, Semeru dan IR66 menghasilkan padi yang sama pada pemotongan 5 atau 15 cm. Salah satu unsur hara yang penting dan harus tersedia bagi tanaman adalah nitrogen. Menurut Vergara et al. (1988) pemberian N meningkatkan hasil padi sistem ratun. Setiap varietas mempunyai respon yang berbeda terhadap pupuk nitrogen (Balasubramanian
et al., 1970). Kebutuhan N
untuk padi sawah adalah 90-120 kg N ha-1(Taslim et al., 1989). Evatt dan Beachell (1960) menyebutkan bahwa kebutuhan pupuk padi sistem ratun hanya 75% dari tanaman utama. Menurut De Datta dan Bernasor (1988) kebutuhan N optimal untuk padi sistem ratun 60 kg N per ha. Di China, pemberian 0-69 kg meningkatkan jumlah anakan varietas Aiyou 2. Di Columbia vide De Datta (1988) pemberian 25-50 kg N per ha memperoleh hasil sistem ratun 3,8 ton per ha pada varietas CICA-4. Balasubramanian et al (1970) melaporkan bahwa pemberian nitrogen 125 kg per ha segera setelah panen utama, hasil padi sistem ratun berupa hasil gabah kering, hasil jerami dan produktivitas anakan nyata lebih tinggi dari pada pemberian 75 kg N per ha. Hasil penelitian Evatt dan Beachell (1960) juga Chaterjee et al. (1982) menyebutkan bahwa pemberian P dan K tidak berpengaruh nyata terhadap hasil ratun. Selanjutnya De Datta dan Bernasor (1988), melaporkan bahwa pupuk P dan K tidak perlu diberikan bila sudah diberikan pada tanaman padi utama (Sutisna, 2006). Keunggulan ratun, selain memberikan tambahan produksi padi per musim tanam, juga hemat input produksi, biaya, tenaga, dan waktu persiapan tanam (Ambili dan Rosamma, 2002; Santos et al., 2003). Fenomena ratun tersebut telah menjadi pemikiran banyak ahli (Aswidinnoor et al., 2008). Vergara et al. (1988) mendeskripsikan beberapa karakter agronomi yang merupakan prasyarat tanaman ratun, antara lain vigoritas sistem perakaran tanaman utama dan konsentrasi karbohidrat yang tinggi pada batang saat panen tanaman utama. Oleh karena itu, kemampuan padi menghasilkan ratun akan menjadi nilai tambah dalam peningkatan produksi per musim tanam. Umur
tanaman ratun yang lebih pendek dibandingkan tanaman
utama, erat hubungannya dengan pola pertumbuhan tanaman padi yang berasal dari benih atau bibit. Pada tanaman utama terdapat tiga fase
pertumbuhan, yaitu fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Namun untuk tanaman ratun yang sejak keluar anakan sering diikuti juga keluarnya bunga, hanya mengalami dua fase pertumbuhan, yaitu fase reproduktif dan pemasakan. Kedua fase ini umumnya berlangsung sama pada semua genotipe padi, yaitu selama 35 hari untuk fase reproduktif dan 30 hari untuk fase pemasakan sehingga umur tanaman ratun akan berada pada kisaran 65 hari saja (Vergara, 1995). Secara morfologi anakan ratun dapat muncul dari setiap buku sehingga jumlah anakan ratun dapat melebihi tanaman utama, namun besar kecilnya batang atau anakan yang dihasilkan sangat tergantung pada cadangan karbohidrat yang tersisa pada tanaman utama setelah panen (Mahadevappa dan Yogeesha, 1988). Jumlah gabah total per malai sebagai kumulatif dari jumlah gabah isi dan gabah hampa berkisar antara 122,7-389,0 butir, hasil ini berbeda nyata antar kelompok genotipe. Jumlah gabah isi tanaman utama berkisar antara 65,3-266,3 butir. Terdapat sebagian kecil genotipe yang memenuhi kriteria sebagai padi ideal seperti yang dikemukakan oleh Zhengjin et al. (2005), yaitu menghasilkan jumlah gabah isi per malai lebih dari 160 butir. Genotipe tersebut adalah varietas Ciapus, dan galur IPB106-F-7-1, IPB106-F-8-1, IPB106-F-10-1, dan IPB106-F-12-1. Fenomena lain yang tampak dari hasil pengamatan adalah tingginya persentase gabah hampa, yang berkisar antara 21,6-60,1%. Tanaman ratun memiliki ukuran malai yang lebih pendek dibandingkan tanaman utama kecuali genotipe Fatmawati, IPB106-F-8-1, BP205D-KN-781-8 dan B9833C-KA-14 yang hampir sama dengan panjang malai tanaman utama. Hal tersebut sejalan dengan tampilan tanaman ratun pada genotipegenotipe tersebut yang relatif lebih vigor dibandingkan dengan genotipe lain. Jumlah gabah total tanaman ratun pada sebagian besar genotipe lebih rendah dibandingkan tanaman utama. Namun demikian beberapa genotipe mampu menghasilkan jumlah gabah tanaman ratun yang setara dengan tanaman utama yaitu genotipe BP138F-KN-23, BP360E-MR-79-PN-2, B9852E-KA-66 dan B9858D-KA-55. Keempat genotipe tersebut mampu menghasilkan jumlah gabah total tanaman ratun yang sama atau lebih tinggi dibandingkan tanaman utama. Tanaman ratun beberapa galur padi tipe baru
sawah dan varietas padi tipe baru secara rata-rata mampu menghasilkan gabah yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Genotipe-genotipe yang mampu menghasilkan ratun dengan jumlah gabah tinggi atau setara dengan tanaman utama, ternyata memiliki persen gabah hampa yang cukup tinggi, walau lebih rendah dibandingkan kehampaan pada tanaman utama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor pembatas produktivitas dalam pengisian biji tanaman ratun mirip dengan faktor pembatas pengisian biji pada tanaman utama. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan produksi pada tanaman ratun dapat didekati dengan cara meningkatkan produktivitas pada tanaman utama. Mengacu dari berbagai informasi yang telah diuraikan di atas, dan kondisi faktual di lapangan, rekomendasi pola tanam yang dapat diusulkan dari hasil penelitian ini adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 75. Tabel 75 Rekomendasi pola tanam untuk tanaman pangan berbasis sumberdaya tanaman lokal Pola Tanam
Jenis Tanaman
Waktu Tanam
I
Padi lokal – ratun
Agustus/September –Februari
II
Padi lokal – ratun – padi unggul
Agustus/September –Februari - April/Mei
III
Padi lokal – padi unggul
Agustus/September – Februari dan April - Juli
IV
Padi lokal – palawija
Agustus/September – Februari dan April - Juli
V
Padi lokal palawija
–
padi
ratun
–
Agustus/September – Februari dan Februari – Maret dan April - Juli
Sumber: Hasil olahan 2.
Pemeliharaan dan pemupukan Di dalam rangka pemupukan tanaman yang diusahakan praktek pertanian terpadu dapat memanfaatkan pupuk kandang. Pupuk kandang yang diberikan, dapat diperoleh dari hasil usaha ternak yang dipelihara secara bersama-sama dalam sistem pertanian terpadu. Dalam praktek usahatani di rawa lebak petani di kedua lokasi penelitian mengalokasikan anggaran untuk pembelian pupuk (NPK) masing-masing mencapai 37,20% di Desa Sungai Ambangah dan 22,56% di Pasak Piang dari total biaya yang dikeluarkan dalam sekali musim tanam untuk padi dan setiap tahun untuk tanaman karet dan kelapa sawit. Dengan memanfaakan kotoran ternak yang ada, hal itu dapat mengurangi biaya produksi dalam kegiatan usahatani. Demikian pula
sebaliknya ternak yang dipelihara dalam sistem pertanian terpadu dapat memanfaatkan jerami, tanaman jagung (biji dan batang) sebagai pakan ternak. 3.
Ketersediaan modal usahatani Sumber modal dalam kegiatan UTLRL dapat dihimpun melalui sumber pembiayaan partisipatif berupa iuaran yang secara teknis dapat dibuat kesepakatan lebih lanjut tentang jumlah yang harus dikeluarkan/dibebankan kepada setiap petani. Modal ini dikumpulkan pada setiap kali panen. Selain pengumpulan modal melalui partisipatif di atas, dapat pula berupa sumber pembiayaan pendukung yang berbentuk bantuan atau investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi/kabupaten atau dari sumber lain. Selain sumber pembiayaan yang telah disebutkan sebelumnya alternatif sumber pembiayaan lainnya adalah melalui keterlibatan lembaga keuangan yang ada seperti perbankan. Mekanisme untuk mendapatkan pinjaman ini dapat melibatkan pihak perguruan tinggi atau lembaga lain yang dapat berperan
untuk
membantu
dalam
hal
perhitungan-perhitungan
kalayakannya. Mekanisme pengumpulan dana dari berbagai sumber dan pengelolaan lebih lanjut serta mekanisme pembiayaan atau kredit bantuan kepada petani untuk modal usahatani diserahkan kepada lembaga keuangan mikro petani rawa lebak (LKMPRL). 4. Petani dan kelompok tani Setiap petani dalam mengusahakan sistem pertanian terpadu, harus tergabung dalam suatu kelompok yang anggota-anggotanya ditentukan sendiri oleh petani. Pemberdayaan kelompok tani dapat dilakukan dengan cara
membentuk
kelompok
yang
baru
atau
memberdayakan
dan
memaksimalkan kelompok yang sudah ada. Hal ini dimaksudkan agar supaya terjadi efesiensi dan efektifitas usaha khususnya dalam penggunaan faktor-faktor produksi dan kegiatan lain seperti pemasaran hasil usahatani. 5.
Ketersediaan lembaga keuangan mikro. Lembaga ini merupakan bagian dari sistem pertanian terpadu yang perlu dibentuk dan diberdayakan. Karena salah satu persoalan yang dihadapi oleh petani rawa lebak saat ini adalah keterbatasan modal dalam penyediaan input produksi. Hal ini apabila tidak dicarikan jalan keluarnya, maka pola penerapan sistem pertanian yang mengintegrasikan tanaman dan ternak akan menjadi beban baru terhadap petani rawa lebak. Pembentukan
LKMPRL menjadi hal yang tidak terpisahkan, karena sistem perkreditan pertanian yang ada masih kurang berpihak pada petani secara penuh. Dengan kehadiran LKMPRL diharapkan dapat menciptakan iklim yang menunjang kegiatan usahatani. Hal ini mengingat LKMPRL yang berskala kecil bersifat lebih lentur sesuai karakteristik masyarakat petani setempat, karena LKMPRL dibentuk dari dan untuk mereka. Untuk mengisi kebutuhan LKMPRL, dapat ditempuh berbagai cara yaitu (1) menciptakan lembaga baru, (2) memberi tugas baru atau menitipkan program pada lembaga yang telah ada, dan (3) menyempurnakan lembaga yang telah ada. Pemilihan alternatif sebaiknya dilakukan dengan indikator besarnya beban ekonomi program maupun kecepatan berhasilnya program. 6.
Peran aktif lembaga penyuluh pertanian Dalam kegiatan usahatani khususnya pertanian rakyat, keterlibatan lembaga penyuluh pertanian merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam memberikan informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan usahatani. Keterbatasan
partisipasi
lembaga
ini
dapat
disiasati
dengan
cara
membangun kreativitas petani, baik sebagai individu maupun dalam bentuk kelompok tani. Petani dalam hal ini, untuk mendapatkan dan mengetahui informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan usahatani yang baik, seperti teknis pemupukan, pemberantasan hama penyakit tanaman dan ternak, pemangkasan, panen dan pascapanen, pemasaran produk usahatani serta teknis pemeliharaan ternak dapat dilakukan melalui tukar menukar informasi antar petani atau kelompok tani. 7.
Dukungan lembaga riset dan PT Perguruan Tinggi, BPTP dan BPP merupakan institusi pendukung yang dapat berperan dalam hal transfer inovasi teknologi dan juga berperan dalam pendampingan terhadap petani dalam memberikan advokasi dan bimbingan dalam mengatasi pernasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani. Selain itu, petani dan usahataninya dapat dijadikan sebagai wahana untuk menggali permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan riset lebih lanjut.
8.
Pengelolaan pascapanen dan pemasaran hasil Produk hasil usahatani dalam proses lebih lanjut yang dikenal dengan pasca panen termasuk pemasaran hasil. Fungsi pengolahan hasil dan pemasaran merupakan salah satu faktor penting dalam memecahkan masalah
penghambat bagi pembangunan pertanian selama ini (Soetrisno, 1988). Untuk perlu diterapkan adalah sistem pemasaran produk pertanian yang efesien untuk diproses oleh industri. Seperti diketahui, sistem pemasaran produk pertanian umumnya kurang efisien sehingga menyebabkan besarnya kehilangan, kerusakan dan penurunan mutu serta ongkos angkut yang mahal sehingga harga produk bahan mentah untuk industri menjadi mahal dan kualitasnya juga rendah. Produk usahatani pada tahap lebih lanjut, juga dapat dikelola menjadi produk lain yang dapat berkontribusi dalam rangka memberikan nilai tambah usaha. Nilai tambah ini dapat diartikan sebagai peningkatan manfaat dari produk pertanian. Yang dimaksud adalah nilai produk dikurangi dengan nilai bahan baku dan bahan penunjang yang dipergunakan dalam proses produksi. Dengan kata lain, nilai tambah adalah merupakan sejumlah nilai jasa (return) terhadap faktor produksi modal tetap, tenaga kerja, dan ketrampilan menejemen pengelolaan (Wright, 1987). Dalam rangka mengelola produk pertanian untuk memperoleh nilai tambah, hendaknya didekati dengan kajian yang lebih mendasar. Kajian untuk memperoleh nilai tambah produk hasil pertanian dapat pula dilakukan dengan melibatkan lembaga riset, perguruan tinggi dan BPTP. Dalam hal peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan melalui peningkatan produksi pertanian. Peningkatan produksi diharapkan dapat memberikan jaminan pendapatan petani. Meningkatnya pendapatan petani diharapkan dapat menciptakan surplus keuangan yang selanjutnya dapat diinvestasikan kembali untuk meningkatkan produktivitas usahatani dan daya beli petani khususnya pada produk lain yang tidak dihasilkan sendiri oleh petani. 7.5 Model Konseptual Pengembangan Usahatani Lahan Rawa Lebak (UTLRL) Secara skematis hubungan antara faktor dan komponen yang menyusun model sistem pertanian terpadu yang dirumuskan dalam penelitian ini, sebagaimana disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31 Model konseptual pengembangan UTLRL berbasis sumberdaya lokal Bentuk pertanian terpadu yang dapat ditawarkan dari hasil penelitian ini terdiri atas berbagai pola sesuai dengan kondisi kepemilikan lahan dan jenis tanaman yang diusahakan oleh petani di kedua lokasi penelitian. Pola yang dirumuskan ini dalam rangka mengakomodir, yaitu 1) petani yang hanya memiliki lahan usahatani padi dan karet, dan 2) petani yang memiliki lahan usahatani padi, karet dan kelapa sawit. Dari jenis kepemilikan lahan usahatani oleh petani di lokasi penelitian tersebut, selanjutnya dilakukan simulasi model usahatani terpadu yang memberikan nilai pendapatan tertinggi Tabel Lampiran 21 dan 22. Selain pertimbangan aspek ekonomis, penentuan kedua jenis ternak dalam penerapan model ini dilakukan berdasarkan ketersediaannya di lokasi penelitian dan pengetahuan petani terhadap usaha ternak tersebut. Hal ini dimaksudkan agar supaya lebih memudahkan di dalam pemeliharaan dan adopsi teknologi pengelolaannya. Implementasi bentuk model pertanian terpadu terpilih, secara lengkap diuraikan berikut ini. 1.
Pola usahatani tanaman Pangan, Perkebunan dan Ternak berbasis sumberdaya tanaman pangan lokal Pola usahatani antar tanaman pangan, perkebunan dan ternak yaitu p93,
p95 atau pola (padi, karet dan sapi), (padi, karet dan itik), memberikan pandapatan masing-masing sebesar Rp11 335 010,- dan Rp12 181 010,-. Dan integrasi p101, p103 atau pola (padi, karet, kelapa sawit dan sapi), (padi, karet, kelapa sawit dan itik), memberikan pendapatan sebesar Rp21 337 181,- dan Rp22 183 181,-. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 76.
Tabel 76 Pola usahatani tanaman pangan (padi, jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak No
Simbol pola tanam
Pola (padi – karet) dan ternak Tanaman Jenis ternak Padi Karet Kelapa sawit Pola usahatani (padi – karet) dan ternak 1. p93 Padi Karet Sapi 2. p95 Padi Karet Itik Pola usahatani (padi – karet - sawit) dan ternak 1. p101 Padi Karet Kelapa sawit Sapi 2. p103 Padi Karet Kelapa sawit Itik Sumber: Hasil olahan
Nilai pendapatan (Rp) 11 335 010 12 181 010 21 337 181 22 183 181
Hasil usahatani p103 atau pola (padi, karet, kelapa sawit dan itik) Gambar 32 menunjukkan hasil pendapatan tertinggi mencapai Rp22 183 181,- dan diikuti integrasi p101 pola (padi, karet, kelapa sawit dan sapi) mencapai Rp21 337 181. Sedangkan
pola p93
atau pola (padi, karet dan sapi) hanya mencapai
Rp17 737 181,-. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 32.
Pendapatan (Rp/thn)
25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 p93
p95
p101
p103
Pola usahatani
Gambar 32 Pola usahatani padi, karet, sawit dan ternak 2.
Pola usahatani musin tanam 1 (MT1) dan (MT2) (padi/jagung) dan Tanaman Perkebunan dan Ternak Pola usahatani p5, p51 atau pola (padi - ratun, karet dan sapi), (padi - ratun,
karet dan itik), dapat memberikan pandapatan petani sebesar Rp15 728 550,dan Rp16 574 550,-. Integrasi p9, p55 atau pola (padi - ratun, padi, karet dan sapi), (padi - ratun, padi, karet dan itik), memberikan pendapatan memberikan pendapatan sebesar Rp14 465 800,- dan Rp15 311 500,-. Sedangkan integrasi p13, p59 atau pola (padi - ratun, jagung, karet dan sapi), (padi - ratun, jagung, karet dan itik), memberikan pendapatan Rp12 432 300,- dan Rp13 278 300,-.
Integrasi p11, p15, p57 dan p61 atau pola (padi - ratun, padi, karet, sawit dan sapi), (padi - ratun, jagung, karet, sawit dan sapi), (padi - ratun, padi, karet, sawit dan itik), dan (padi - ratun, jagung, karet, kelapa sawit dan itik), memberikan pendapatan
masing-masing
sebesar
Rp24 468 000,-,
Rp22 434 500,-,
Rp25 314 000,-, dan Rp23 280 500,-. Integrasi p17, p63 atau pola (padi, padi, karet dan sapi) (padi, padi, karet dan itik), memberikan pendapatan sebesar Rp13 944 000 dan Rp14 790 000,-. Integrasi p21, p67 atau pola (padi, jagung, karet dan sapi), (padi,
jagung, karet dan itik), juga memberikan pendapatan
Rp11 910 500,- dan Rp12 756 500,-. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 77. Tabel 77 Pola usahatani tanaman pangan (padi, jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak Simbol pola tanam
Musim tanam dengan berbagai pola (padi – jagung) dan ternak
Perkebunan Jenis ternak Karet Kelapa sawit Pola usahatani (padi - ratun), karet, sawit dan ternak 1 p5 padi ratun karet Sapi 2 p51 padi ratun karet Itik Pola usahatani (padi - ratun - padi), karet, sawit dan ternak 1 p9 padi ratun padi karet Sapi 2 p55 padi ratun padi karet Itik Pola usahatani (padi - ratun - jagung), karet, sawit dan ternak 1 p13 padi ratun jagung karet Sapi 2 p59 padi ratun jagung karet Itik Pola usahatani (padi - ratun - jagung), karet, sawit dan ternak 1 p11 padi ratun padi karet sawit Sapi 2 p15 padi ratun jagung karet sawit Sapi 3 p57 padi ratun padi karet sawit Itik 4 p61 padi ratun jagung karet sawit Itik Pola usahatani (padi - padi), karet, sawit dan ternak 1 p17 padi padi karet Sapi 2 p63 padi padi karet Itik Pola usahatani (padi - jagung), karet, sawit dan ternak 1 p21 padi jagung karet Sapi 2 p67 padi jagung karet Itik Sumber: Hasil olahan No
Padi
MT 1 Ratun
MT 2
Nilai pendapa tan (Rp) 15 728 550 16 574 550 14 465 800 15 311 500 12 432 300 13 278 300 24 468 000 22 434 500 25 314 000 23 280 500 13 944 000 14 790 000 11 910 500 12 756 500
Hasil usahatani p57 dan p11 atau pola (padi - ratun, padi, karet, kelapa sawit dan itik) dan (padi - ratun, padi, karet, kelapa sawit dan sapi) Gambar 33, menunjukkan hasil pendapatan tertinggi masing-masing mencapai Rp25 313 981 dan Rp24 467 981,-. Pendapatan ini dapat melewati nilai KHL yang diperlukan oleh petani di lokasi penelitian masing-masing sebesar 5,19% dan 1,91%. Sedangkan integrasi p61, p53, p15 dan p7 atau pola (padi - ratun, jagung,
karet, kelapa sawit dan itik), (padi - ratun, sawit dan itk), (padi - ratun, jagung, kelapa sawit dan sapi), dan (padi - ratun, kelapa sawit dan sapi) berturut-turut mencapai Rp23 280 481,-, Rp22 704 981,-, Rp22 434 481,- dan Rp21 858 981,-. Dari hasil ini petani masih memerlukan berturut-turut sekitar 2,99%, 5,39%, 6,52% dan 8,92% untuk memenuhi KHL. Sedangkan integrasi p5 atau pola (padi - ratun, karet dan sapi) hanya mencapai Rp11 856,81,- atau memerlukan sekitar 50,59% untuk memenuhi KHL petani di lokasi penelitian. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 33.
Pandapatan (Rp/thn)
30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0
p5
p51
p9
p55 p13 p59 p11 p57 p17 p63 p21 p67 Pola usahatani
Gambar 33 Pola usahatani tanaman padi, tanaman perkebunan dan ternak 3.
Integrasi usahatani berdasarkan luas kepemilikan lahan petani Integrasi usahatani (tanaman dan ternak) yang dapat memenuhi Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) petani baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang sebagaimana disajikan dalam bentuk matriks Tabel 78.
162
Tabel 78 Matriks luas kepemilikan lahan petani berbasis padi untuk memenuhi KHL Petani (P) Kombinasi dengan Karet (k) k(1,0) k(1,2) k(1,5) k(2,5) k(3,0) Kombinasi Padi, Karet dan Sawit k(1,0)(sw1,0) k(1,2)(sw1,0) k(1,5)(sw1,0) k(2,5)(sw1,0) k(3,0)(sw1,0)
Kombinasi Padi dan Karet k(1,0) k(1,2) k(1,5) k(2,5) Kombinasi Padi, Karet dan Sawit k(1,0)(sw1,0) k(1,2)(sw1,0) k(1,5)(sw1,0) k(2,5)(sw1,0)
0,4-<0,5 ha
s2 dan i3 s2 dan i3 s1 dan i3 s3 atau i3 s3 atau i2 s2 atau i2 s2 atau i2 s1 atau i1 (+) (+) 0,5-<0,8
Luas Kepemilikan Lahan Padi (p) 0,5-<1,0 ha 1,0-<1,5 ha Sungai Ambangah Sapi (s) dan Itik (i) s2 dan i3 s2 dan i3 s2 dan i3 s1 dan i3 s1 dan i3 s3 atau i3 s3 atau i3 s2 atau i2 s2 atau i2 s2 atau i2 s2 atau i2 s2 atau i2 s1 atau i1 (+) (+) 0,8-<1,0 Pasak Piang
s1 atau i1 s1 atau i1 s1 atau i1 (+) (+) 1,0-2,0
s1 dan i3 s1i2 atau i3 s1i2 atau i3 s1 atau i1
s1 dan i3 s1 dan i2 i2 (+)
s1 dan i2 s3 atau s1i2 s3 atau i2 (+)
s1 atau i1 (+) (+) (+)
s1 atau i1 (+) (+) (+)
(+) (+) (+) (+)
1,5-2,0 ha
s1 dan i3 s1 dan i3 i3 i2 i2 s1 atau i1 s1 atau i1 (+) (+) (+)
Ket: P=petani; p=padi; k=karet; sw=sawit; (p0,4-2,0)=luas lahan padi; (k 1,0-3,0)=luas lahan karet; (sw1,0)=luas lahan sawit; s1=1 ekor sapi; s2=2 ekor sapi; s3=3 ekor sapi; i=50 ekor itik; i2=100 ekor itik; i3=150 ekor itik dan (+)=memenuhi KHL tanpa kombinasi dengan ternak.
Berdasarkan Tabel 78 dapat dinyatakan persamaan matematis yang dapat mendeskripsikan hubungan antar variabel terikat (pendapatan petani) dengan variabel bebas yang terdiri atas pendapatan bersih dari usahatani padi (ax1), pendapatan bersih dari usahatani karet (bx2), pendapatan bersih dari usahatani kelapa sawit (cx3), pendapatan bersih dari usaha ternak sapi (dy), pendapatan bersih dari usaha ternak itik (ez). Persamaan matematisnya adalah sebagai berikut: 1. Untuk kombinasi Tanaman Padi, Karet dan Ternak: Y = ax1 + bx2 + dy + ez..…..…………………….…………………(6) 2. Untuk kombinasi Tanaman Padi, Karet, Sawit dan Ternak: Y = ax1 + bx2 + cx3 +dy + ez……..……………………………….(7) Dimana : Y = pendapatan (Rp/KK)
x1 = Rp/ha padi
ai = luas pemilikan lahan padi (ha)
x2 = Rp/ha karet
bi = luas pemilikan lahan karet (ha)
x3 = Rp/ha sawit
ci = luas pemilikan lahan sawit (ha)
y = Rp/ekor sapi
di = jumlah sapi (ekor)
z = Rp/ekor itik
ei = jumlah itik (ekor) Selain itu, dari Tabel 78 dapat dideskripsikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pendapatan yang memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) petani di Desa Sungai Ambangah dapat dicapai dengan mengkombinasi tanaman dan ternak, sebagai berikut:
a.
Y = (0,4-2,0)x1 + (1,0-1,5)x2 + (1,0)x3 + (2)y atau (100)z………..………………...(8)
b.
Y = (0,4-1,5/2,0)x1 + (1,5-1,8/1,5-2,5)x2 + (3/2)y atau (150/100)z………………...(9)
c.
Y = (0,4-1,5)x1 + (1,0-1,5)x2 + (1-2)y + (150)z……………………………………..(10)
2. Pendapatan yang memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) petani di Desa Pasak Piang dapat dicapai dengan mengkombinasi tanaman dan ternak, sebagai berikut: a
Y =(0,5-1,0)x1 + (1,0)x2 + (1,0)x3 + (1)y atau (50)z.............................................(11)
c. Y =(0,5-1,5)x1 + (1,5-2,5)x2 + (1-3)y atau (50-150)z…..……………………………(12) d. Y =(0,5-1,5)x1 + (1,0)x2 + (1)y + (150)z.…………..………..…………………........(13)
3. Selain itu, pendapatan yang memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) petani di Desa Sungai Ambangah dan Desa Pasak Piang dapat dicapai tanpa harus mengkombinasikan
usahatani
tanaman
dengan
ternak,
bentuk
persamaannya:
a.
Y = (0,4-1,5)x1 +( 2,5)x2 + (1,0)x3..………………………………………………...(14)
b.
Y = (0,5-1,5)x1 + (1,2-1,5)x2 + (1,0)x3 dan atau (0,8-1,5)x1 + (2,5)x2………….(15) Mengacu pada persamaan umum (6) dan (7) serta persamaan yang
disesuaikan dengan luas kepemilikan lahan padi, pada kondisi dimana tanaman kelapa sawit belum memasuki masa berproduksi (menghasilkan), maka persamaan yang digunakan masih mengikuti persamaan (10, 11) dan (14,15)