MODEL PENGEMBANGAN AGROFORESTRI BERBASIS JELUTUNG RAWA UNTUK MEREHABILITASI LAHAN GAMBUT Oleh: Marinus Kristiadi Harun Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, KalimantanSelatan. E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Salah satu masalah lingkungan di lahan gambut adalah tingginya laju degradasi lahan dan deforestasi. Pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa menjadi salah satu solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini memerlukan adanya keterpaduan unsur-unsur yang membentuk sistem pengembangan, yakni: subsistem hulu, subsistem tengah, subsistem hilir dan subsistem pendukung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis model pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi. Parameter yang diteliti mencakup design (pola) agroforestri berbasis jelutung rawa di lahan gambut, performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai pola agroforestri di lahan gambut dan kelembagaan pengembangan jelutung rawa untuk merehabilitasi lahan gambut. Data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara dengan informan, wawancara mendalam dengan informan kunci, observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders. Penelitian ini dilakukan di Desa Mantaren, Desa Jabiren dan Desa Tumbang Nusa, yang termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau serta Kelurahan Kalampangan, yang termasuk wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Desa-desa tersebut dipilih sebagai lokasi dalam penelitian ini karena jelutung rawa telah dikembangkan dengan berbagai pola agroforestri khas masing-masing tipologi lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di masing-masing tipologi lahan gambut telah berkembang beberapa pola agroforestri. Pada tipologi lahan gambut tipis pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni: alleycropping dengan teknik gundukan, alleycropping dengan teknik surjan dan agrosilvofishery dengan teknik surjan. Pola agroforestri di lahan gambut tebal yang telah berkembang secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yakni: mixed cropping dengan teknik petak berparit dan alleycropping dengan teknik petak berparit. Performansi pertumbuhan jelutung pada berbagai pola agroforestri menunjukkan riap tinggi batang mencapai 86,55 – 127,94 cm per tahun dan riap diameter batang mencapai 1,56 – 2,15 cm per tahun. Kelembagaan pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforesri dapat dilakukan dengan sistem kebersamaan ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Kata kunci: jelutung rawa, sistem agroforestri, kemitraan, sistem kebersamaan ekonomi, rehabilitasi, lahan gambut.
1
PENDAHULUAN
Kondisi terkini lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah dikuatirkan tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologinya secara optimal, karena upaya yang mengarah kepada perubahan ekosistemnya masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai dengan adanya kerusakan lahan gambut yang telah mencapai lebih dari 35% (Limin, 2004). Lahan gambut yang terdegradasi tersebut pada perkembangannya menjadi lahan terlantar, yang pada musim kemarau sangat rawan kebakaran. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologi dan menurunnya fungsi produksi. Lahan gambut terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan kegiatan penanaman (rehabilitasi dan penghijauan). Salah satu teknologi pengelolaan lahan gambut yang dapat diterapkan untuk menjawab tantangan di atas adalah sistem agroforestri berbasis jenis lokal (indigenuos tree species). Penerapan sistem ini diharapkan dapat menjembatani kepentingan ekonomi petani lokal dengan kepentingan kelestarian lingkungan lahan gambut. Faktor lain yang turut menentukan keberhasilan upaya memulihkan lahan gambut terdegradasi adalah pemilihan jenis yang tepat dari aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Salah satu jenis yang memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung rawa. Jenis ini mempunyai nama ilmiah Dyera polyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii Hook F. yang merupakan salah satu jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jelutung rawa merupakan jenis pohon endemik, sebab di dunia hanya terdapat di dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia. Jenis pohon ini di Indonesia hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Jenis jelutung saat ini mulai banyak digunakan dalam pengembangan hutan tanaman indutri (HTI) di lahan gambut. Kayunya memiliki sifat-sifat yang sangat baik untuk bahan baku industri pensil dan getahnya sebagai bahan baku industri permen karet (Daryono, 2000). Makalah ini bertujuan untuk membahas model pengembangan agroforestri berbasis jelutung rawa untuk memulihkan kondisi lahan gambut yang terdegradasi.
2
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di empat desa utama, yakni: Desa Jabiren, Desa Mentaren, Desa Tumbang Nusa, yang termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kelurahan Kalampangan, yang termasuk wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Keempat desa tersebut dipilih sebagai desa utama dalam penelitian ini karena jelutung rawa telah dikembangkan dengan berbagai pola agroforestri khas masing-masing tipologi lahan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Maret Tahun 2011. Data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara dengan informan, wawancara mendalam dengan informan kunci, observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders. Pengumpulan data untuk menyusun design agroforestri berbasis jelutung rawa menggunakan metode diagnosis & design (metode D&D). Metode ini digunakan untuk mengungkap permasalahan penggunaan lahan serta untuk menyusun rancangan pemecahannya dalam sistem agroforestri. Tahapan D&D untuk agroforestri mengikuti Raintree, 1990.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Pengembangan Jelutung Rawa dengan Sistem Agroforestri
Pola agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani lokal di lahan gambut mempunyai karakteristik yang spesifik (khas). Pola yang telah dikembangkan oleh petani tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan lebih lanjut. Aspek penting budidaya jelutung rawa dengan sistem agroforestri di lahan gambut dangkal (ketebalan gambut 50-100 cm) oleh petani lokal yang perlu diperhatikan meliputi: penyiapan lahan, pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Tabel 1 menjelaskan pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dangkal.
3
Tabel 1 Pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut tipis (dangkal) Pola Agroforestri
Deskripsi Singkat (Susunan Komponen)
Komponen Utama
Alley cropping dengan teknik gundukan (tongkongan).
Tanaman padi ditanam pada lorong yang terbentuk dari baris tanaman pohon yang ditanam dengan teknik gundukan (tongkongan).
Pohon: karet, jelutung. Tanaman semusim: padi lokal/tahun.
Alley cropping dengan teknik surjan.
Lahan dibagi menjadi tabukan yang ditanami padi lokal (padi tahun) dan bagian guludan yang ditanami tanaman keras (karet dan atau jelutung).
Pohon: karet, jelutung. Tanaman semusim: padi lokal (tahun).
Agrosilvofishery dengan teknik surjan.
Lahan dibagi menjadi tabukan yang berfungsi sebagai kolam ikan peliharaan maupun beje (kolam perangkap ikan) dan bagian guludan yang ditanami tanaman keras (jelutung, durian, gaharu, karet dan mangga kueni) serta tanaman buahbuahan (salak pondoh).
Pohon: karet, jelutung, gaharu, mangga kueni, dan durian. Tanaman buah-buahan: salak pondoh. Kolam ikan dan beje.
Gambar 1 menampilkan profil pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang di lahan gambut tipis.
Gambar 1 Sistem agroforestri di lahan gambut tipis. Aspek-aspek penting budidaya jelutung rawa dengan sistem agroforestri di lahan gambut dalam (ketebalan gambut 200-300 cm) meliputi penyiapan lahan, penanaman, pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Tabel 2 menjelaskan pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dalam (tebal).
4
Tabel 2 Pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dalam (tebal) Pola Agroforestri Mixed cropping dengan teknik petak berparit.
Alley cropping dengan teknik petak berparit.
Deskripsi Singkat (Susunan Komponen) Lahan budidaya dikelilingi parit drainase dengan ukuran 50 cm – 100 cm untuk lebar dan kedalamannya. Tanaman yang ditanam adalah rambutan dan jelutung rawa yang ditanam per jalur secara selang-seling. Jarak tanam rambutan dan jelutung 7 m x 7 m. Nenas ditanam disekeliling parit drainase. Lahan dibagi kedalam petak-petak yang dibatasi parit. Petak dengan luas lebih sempit untuk pohon sedangkan yang lebih luas untuk tanaman pangan.
Komponen Utama Pohon: jelutung rawa dan rambutan. Tanaman semusim nenas.
Pohon: jelutung rawa. Tanaman semusim: sayursayuran (jagung, sawi, kacang panjang, daun bawang, dll).
Gambar 2 menampilkan profil pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang di lahan gambut tebal.
Gambar 2 Sistem agroforestri di lahan gambut tebal. Mixedcropping (kiri) dan alleycropping (kanan). Pengembangan jenis jelutung dengan sistem agroforestri untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah, diprioritaskan pada lahan gambut yang telah dikonversi tetapi kurang sesuai untuk tanaman pertanian dan perkebunan. Pengembangannya berdasarkan sistem agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani lokal, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik wanatani (agroforestri), wanamina (silvofishery), wanaternak (silvopasture), maupun kombinasinya, yakni tanaman semusimpohon-ternak (agrosilvopasture) atau tanaman semusim-pohon-ikan (agrosilvofishery) tergantung dari sumberdaya dominan yang terdapat di lokasi pengembangan. Penerapan teknik agroforestri pada pengembangan jenis jelutung rawa dimaksudkan untuk diversifikasi komoditi, usaha dan pendapatan sehingga akan dapat meningkatkan minat petani untuk membudidayakan jelutung rawa yang berjangka panjang. Pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestri harus melalui suatu kegiatan diagnostik untuk melihat kebutuhan masyarakat dan designing untuk memolakan pertanamannya melalui partisipasi aktif agar 5
bisa dipraktekkan oleh petani setempat. Berdasarkan sistem agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani lokal maka dapat dibuat pola-pola pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestri di lahan gambut seperti tercantum pada Tabel berikut. Tabel 3 Sistem silvopastoral dan agrisilvopastoral berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut Pola Agroforestri Sistem Silvopastoral 1. Jelutung pada ranch atau padang rumput. Sistem Agrisilvopastoral 1. Apikultur dengan pohonpohonan
2.
Aquaforestri atau Agrosilvofishery
Deskripsi singkat (susunan komponen)
Komponen Utama
Kesesuaian Agro-ekologis
Jelutung rawa tersebar tidak teratur atau tersusun dengan sebaran tertentu.
Jelutung rawa dan tanaman HMT
Daerah penggembalaan yang ekstensif.
Jelutung rawa, galam, karet, rambutan untuk sumber tepungsari bagi lebah madu
Jelutung rawa, galam, karet, rambutan, jagung dan lebah madu Jelutung rawa dan tanaman yang disukai ikan.
Tergantung kepada kesesuaian dari apikultur.
Jelutung rawa ditanam ditepi kolam ikan.
Lahan gambut dengan kualitas air yang sesuai dengan ikan.
Tabel 4 Sistem agrisilvikultur berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut
2.
Pola Agroforestri Pengayaan lahan bekas perladangan Tumpangsari
Deskripsi singkat (susunan komponen) jelutung rawa dan karet ditanam agar tumbuh pada fallow phase. Pencampuran tegakan dengan tanaman pertanian pada awal pertanaman.
Komponen Utama jelutung rawa, karet dan padi tahun. jelutung rawa, karet, pisang dan padi tahun.
Kesesuaian Agro-ekologis Pada lahan perladangan berpindah. Pada pola suksesi dari pertanaman padi menjadi perkebunan.
3.
Alley cropping
Jelutung sebagai pagar, tanaman pertanian diantaranya, susunan baris
jelutung rawa, rambutan, pisang, karet, ketela pohon, tanaman sayuran dan padi tahun.
Lahan gambut dengan tekanan populasi penduduk (produktif tapi rentan).
4. Multilayer tree garden
Multi species, kelompok tanaman dengan tajuk rapat tanpa susunan yang jelas.
Lahan gambut subur, murah tenaga kerja dan tekanan penduduk besar.
5. Tanaman serbaguna pada lahan pertanian.
Jelutung rawa tersebar sembarangan atau tanaman batas lahan dan teras.
6. Pekarangan (Home garden)
Rapat, kombinasi multi tajuk: jelutung dan tanaman pertanian di sekitar temapt tinggal.
7. Jelutung untuk konservasi dan reklamasi tanah
Jelutung, karet pada tepi teras, pelindung dll. Dengan atau tanpa baris rumput, tanaman kayu pada reklamasi tanah. a. Penggabungan multitajuk (campuran, rapat), pencampuran tanaman pertanian. b. Pencampuran tanaman pertanian dengan pola berseling atau susuann teratur yang lain.
Jelutung rawa, karet, durian, pisang, rambutan dan tanaman semusim tahan naungan. Jelutung, karet, tanaman buah, HMT dan tanaman pertanian pada umumnya. Jelutung, tanaman merambat, dan tanaman pertanian tahan naunggan. Jelutung rawa, karet dan tanaman pertanian pada umumnya. Jelutung rawa, karet, rambutan, dan tanaman semusim tahan naunggan.
Pada pertanian subsisten dengan lahan yang terbatas.
1.
8. Plantations crop combinations.
Pada daerah pertanian subsisten dan ternak.
Lahan gambut dengan populasi penduduk padat.
Pada lahan gambut tebal yang terlanjur dikonversi menjadi lahan pertanian.
6
9. Selterbelts, windbreaks, pagar hidup.
c. Pohon peneduh yang tersebar untuk tanaman pertanian. d. Intercropping dengan tanaman pertanian. Jelutung rawa pada sekeliling lahan pertanian.
Jelutung rawa dan tanaman pertanian setempat.
Pada daerah yang berangin.
Performansi Pertumbuhan Jelutung Rawa
Tabel 5 menyajikan data rata-rata diameter batang, tinggi batang, riap pertumbuhan diameter batang dan riap tinggi batang jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan pola tanam. Tabel 5 Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan sistem agroforestri di Provinsi Kalimantan Tengah Lokasi, Tipologi Lahan dan Pola Tanam
Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam, alleycropping I dengan teknik petak berparit Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam, alleycropping II dengan teknik petak berparit Desa Tumbang Nusa, lahan gambut dalam, mixcropping dengan teknik petak berparit. Desa Jabiren, lahan gambut dangkal, mixcropping dengan teknik surjan Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, agrosilvofishery teknik surjan. Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, alleycropping teknik surjan. Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam, mixcropping teknik surjan Rata-rata
Umur (tahun) 6,00
Performansi Pertumbuhan Jelutung (cm) Rata-rata Riap Rata-rata Riap Diameter DB/th Tinggi Tinggi/th 10,39 1,73 617,13 102,86
5,25
8,69
1,66
454,38
86,55
5,30
10,11
1,96
626,70
116,03
5,25
10,11
1,92
671,70
127,94
6,50
11,03
1,60
800,60
120,00
6,50
13,98
2,15
716,18
110,18
6,50
10,15
1,56
581,58
89,47
5,9
10,64
1,80
638,32
107,58
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa riap tinggi tanaman jelutung rawa yang ditanam dengan sistem agroforestri pada berbagai tipologi lahan gambut adalah 86,55 – 127,94 cm per tahun, sedangkan riap diameternya adalah 1,56 – 2,15 cm per tahun. Hal ini jika dibandingkan dengan pertumbuhan jelutung rawa pada kondisi alaminya di Pulau Sumatra, riap diameter jelutung rawa berkisar antara 1,5 - 2,0 cm/tahun (Bastoni dan Riyanto, 1999). Sedangkan pada jelutung rawa yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi intensif di Pulau Sumatra dapat diperoleh riap diameter 2,0 - 2,5 cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil pengukuran pertumbuhan jelutung yang dilakukan oleh Balittaman Palembang pada tahun 2001 menunjukkan pada umur 9 tahun, riap tinggi berkisar 164 - 175 cm/tahun, dan riap diameter berkisar antara 2,18 - 2,38 cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil riap pertumbuhan jelutung rawa di Pulau Sumatra yang lebih tinggi dari pertumbuhan jelutung rawa yang dibudidayakan dengan sistem agroforestri pada penelitian ini disebabkan karena lahan 7
gambut yang lebih subur. Hasil penelitian Indrayatie dan Suyanto (2009) menunjukkan bahwa pada aspek topografis, jelutung rawa menyukai bentuk lahan dataran, artinya wilayah yang memiliki air tanah dangkal, baik yang terendam secara permanen maupun musiman, elevasi dataran rendah (< 100 m dpl.), hidup ditempat terbuka tanpa naungan maupun berasosiasi dengan vegetasi lain. Pada aspek edafis, jelutung rawa dapat hidup pada tanah mineral (alluvial) maupun tanah organik. Kondisi ini dipresentasikan untuk daerah subsistem alluvio - marine seperti daerah rawa (swamp), paya pasang surut (marsh), delta, tidal flat; daerah alluvial sub sistem seperti daerah banjir (flood plain), jalur meander (meander belt); daerah alluvio – colluvial sub sistem seperti daerah cekungan terisolasi (isolated miniplain); daerah closed alluvial sub sistem seperti daerah rawa tanpa pengaruh air laut (swamp or marsh without marine influence). Konsepsi Kelembagaan Pengembangan Agroforestri Berbasis Jelutung Rawa
Strategi yang dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa untuk memproduktifrkan lahan gambut mencakup dua hal, yakni: (a) membangun kelompok tani pengembang sistem agroforestri berkategori kelompok produktif dan (b) membangun kelembagaan pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan. Pendekatan yang dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa di lahan gambut berprinsip pada 2 aspek berikut. Pertama, pemberdayaan melalui pembangunan kapasitas. Kedua, mendukung perencanaan dan peningkatan matapencaharian (livelihood). Penyusunan konsepsi pelibatan petani lokal dalam pengembangan sistem agroforestri di lahan gambut dilakukan dengan konsep pendekatan pemberdayaan petani lokal. Hal ini dilakukan melalui pembangunan kapasitas petani lokal yang mendukung perencanaan dan peningkatan matapencaharian. Proses konsep tersebut dijelaskan pada Gambar 3.
8
Gambar 3 Proses perencanaan pengembangan agroforestri di lahan gambut Uraian berikut menjelaskan proses perencanaan pengembangan agroforestri di lahan gambut. a.
Pengkajian Desa Partisipatif (PRA) Tujuan utama dari PRA dalam pengembangan agroforestri di lahan gambut adalah
untuk menyusun rencana program tersebut di tingkat desa yang memenuhi persyaratan: dapat diterima petani lokal, secara ekonomi menguntungkan dan berdampak positif bagi lingkungan. Metode ini dilakukan dengan memobilisasi sumberdaya petani dan alam setempat, serta lembaga lokal untuk mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan pendapatan masyarakat serta melestarikan sumberdaya alam setempat (Daniel, et al., 2005). Pendekatan partisipatif dalam kegiatan ini akan memberikan keuntungan, antara lain: petani peserta program akan lebih energik, lebih komit dan lebih bertanggung jawab. Agar terjadi pemberdayaan petani lokal dalam kegiatan tersebut maka perlu adanya dukungan bagi petani lokal untuk mengemukakan pendapatnya, berbagi pengetahuan dan pengalaman, mengkaji dan menyusun rencana, menciptakan kondisi yang kondusif dan berfocus pada proses dengan tidak meninggalkan isi proses. Esensi pendekatan partisipatif adalah seperti puisi karya pujangga klasik Cina, Lao Tzu, berikut. Datanglah ke desa, tinggallah bersama petani lokal, Pahami mereka, pahami kebutuhan dan aspirasi mereka, Ikutlah senang dan sedih bersama mereka, Tunjukkan cara-cara berorganisasi kepada mereka, Mulailah dengan apa yang mereka ketahui, Membangunlah dengan apa yang mereka miliki, Tingkatkan keterampilan mereka, Bekerja sambil belajar, Bimbinglah dengan peragaan dan contoh
9
b.
Kelompok Kerja Desa (KKD) Kelompok Kerja Desa (KKD) merupakan lembaga yang terdiri atas kelompok
peminat program, tenaga ahli lokal, LSM Pendamping dan perangkat pemerintahan desa. Lembaga ini berfungsi untuk memfasilitasi, melatih, mendampingi dan mengasistensi individu petani peminat program (kepala rumah tangga peminat program). c.
Perencanaan Rumah Tangga Ujung tombak keberhasilan pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut
adalah individu petani (kepala rumah tangga peminat program). Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan tersebut perlu memperhatikan aspirasi individu petani, utamanya dalam preferensi jenis pohon yang akan ditanam dan pola tanam yang akan digunakan. Perencanaan pengembangan agroforestri untuk memproduktifkan lahan gambut tingkat rumah tangga merupakan mekanisme pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang bottom-up. d.
Konsolidasi Konsolidasi merupakan tahapan setelah masing-masing individu petani (kepala rumah
tangga peminat program) menyelesaikan usulannya, dan usulan tersebut telah dibahas oleh kelompok kerja desa (KKD). Selanjutnya KKD akan mengajukan hasil pembahasan kepada pemerintah. Implementasi pengembangan agroforestri untuk RHL partisipatif di lahan gambut dilakukan dengan metode seperti tersaji pada Gambar 4.
4. 1.Kelompok Peminat Program
2. Tenaga Ahli Lokal
Aksi Pengembangan agroforestri di lahan gambut
Implementasi
3. Kontrak
Gambar 4 Aksi pengembangan agroforestri di lahan gambut Uraian berikut menjelaskan proses Aksi pengembangan agroforestri di lahan gambut. a. Kelompok Peminat Program Lokasi lahan tempat pengembangan agroforestri lahan gambut di tingkat desa ditentukan bukan berdasarkan pola hamparan tetapi berdasarkan pada petani peminat program. Petani
10
yang berminat mendaftarkan dirinya sebagai petani peserta program yang selanjutnya bergabung dalam kelompok peminat program. b. Tenaga Ahli Lokal Bagi petani di desa, faktor tokoh panutan mempunyai pengaruh besar pada cara pandang dan cara tindak mereka. Secara umum, petani di desa mencirikan masyarakat yang paternalistik, dimana faktor karakter tokoh desa akan banyak mempengaruhi dinamika kehidupan mereka (Pranadji, 2003). Lebih lanjut Pranadji (2003) menjelaskan bahwa ciri paternalistik petani lokal di pedesaan dapat dipandang sebagai potensi kelembagaan petani di pedesaan untuk dijadikan energi bagi kemajuan perekonomian (dalam hal ini keberhasilan pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut). c. Kontrak Kontrak kerja didasarkan pada kesepakatan musyawarah yang dituangkan dalam surat kesepakatan bermaterai. Hal ini dimaksudkan agar kesepakatan tersebut mengikat kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan kesepakatan tersebut. d. Implementasi Langkah selanjutnya adalah implementasi semua hal yang telah disepakati dalam kontrak kerja. Pada aspek implementasi faktor keberlanjutan merupakan hal yang pokok. Keberlanjutan dapat tercipta jika kondisi berikut terpenuhi, yakni: (a) pelatihan bagi petani peminat program untuk memfasilitasi dan melatih petani yang lainnya; (b) dukungan keuangan dan teknis membangun kapasitas; (c) mempercepat dan mendukung terbentuknya institusi lokal yang kuat; (d) pelaksanaan program berprinsip: petani lokal yang memutuskan, memilih dan mengelola; (e) jaringan kerja antar desa-desa (antar kelompok kerja desa/KKD); dan (f) desentralisasi budget dan sumberdaya. Inti dari pembentukan partisipasi petani lokal pada pengembangan agroforestri untuk kegiatan RHL di lahan gambut adalah bagaimana para pihak pemangku kepentingan (stakeholders) mampu membangun komunikasi yang sehat dengan mengedepankan nilai-nilai persamaan hak, kesetaraan, bertanggungjawab, saling menghormati dan menghargai. Selain itu, Lokasi pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut seharusnya ditentukan berdasarkan pada petani peminat bukan hamparan lahan dengan alasan sebagai berikut. Individu petani peminat program (kelompok pehobi) masing-masing telah mempunyai kesadaran (awareness), ketertarikan (interest), keinginan yang kuat (desire) dan kemampuan untuk bertindak (action) dalam mensukseskaan kegiatan RHL. Keempat sikap positif tersebut (AIDA) sangat penting dalam pelaksanaan RHL partisipatif.
11
Kesadaran (awareness) petani muncul didasari oleh beberapa hal mendasar berikut. Pertama, kesadaran petani untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan seperti erosi, banjir dan bencana ekologis lainnya. Kedua, kesadaran petani bahwa menanam pohon dapat menjadi tabungan di hari tua dan anak cucu. Ketiga, kesadaran petani bahwa hutan yang cenderung semakin berkurang luasannya dan semakin jauh dari pemukiman menyebabkan mereka akan kesulitan memperoleh kayu baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual. Keempat, kesadaran petani bahwa penanaman pohon mempunyai peranan menjaga kesuburan lahan gambut. Sistem perladangan berpindah merupakan bukti nyata peranan pohon dalam mengembalikan kesuburan tanah. Ketertarikan (interest) petani untuk berpartisipasi selain ditentukan oleh faktor internal juga faktor eksternal utamanya pola insentif yang ditawarkan. Dengan karakteristik petani yang marjinal (subsisten) maka tawaran hasil yang besar merupakan salah satu faktor pemacu yang sangat memotivasi petani lokal mengembangan agroforestri di lahan gambut. Keinginan yang kuat (desire) untuk memproduktifkan lahan gambutnya selanjutnya mendorong petani untuk melakukan aksi (action) untuk mengembangkan agroforestri sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Pemberdayaan petani yang dilakukan harus mencakup lima aspek pengembangan, yakni: sumberdaya manusia (SDM), organisasi, budidaya (teknis usaha), keuangan/ekonomi dan kemitraan. Pola pembinaan dan pengembangan seperti tersebut di atas diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta mampu mendorong perekonomian petani lokal kearah yang lebih maju. Kesejahteraan petani lokal dapat terwujud jika empat faktor berikut terpenuhi, yakni: (1) produktivitas kebun yang setinggi-tingginya, (2) kualitas produksi yang sebaik-baiknya, (3) adanya diversifikasi usaha baik horizontal maupun vertikal, dan (4) adanya mitra usaha yang menangani aspek pengolahan, pemasaran dan keuangan. Keempat faktor tersebut dapat terwujud, bila persyaratan berikut terpenuhi. Pertama, sumberdaya petani yang profesional. Kedua, kebersamaan, kekompakan dan keharmonisan seluruh petani (warga desa). Ketiga, kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi melayani kebutuhan petani yang didukung oleh sistem keuangan yang transparan. Inti dari kegiatan pemberdayaan petani adalah mengakumulasikan potensi yang dimiliki individu petani (pendekatan dari bawah) untuk digunakan secara maksimal mewujudkan kesejahteraan mereka. Dalam konteks pelibatan petani lokal dalam pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut, desain program seharusnya tidak hanya sekedar mengatur aspek teknis, tetapi juga desain program kegiatan yang dapat menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya hutan secara ekologis dan sosial ekonomi, yaitu hutan tetap lestari dan petani lokal sejahtera. 12
Oleh karena itu, penetapan tujuan kegiatan dilakukan untuk mendesain program dengan tujuan dan kegiatan yang menjamin tingkat kelestarian yang tinggi dari penggunaan sumberdaya lahan gambut dan petani lokal dengan penekanan pada keterlibatan dan peran serta petani lokal secara aktif. Keterlibatan dan peran serta petani lokal dalam kegiatan RHL akan sangat tergantung dari sejauhmana petani lokal merasa dan menerima tanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya, yaitu seperti dalam bentuk kesempatan untuk mengontrol dan mengawasi sumberdaya, dimilikinya bentuk tugas dan kewajiban yang jelas, adanya hak yang jelas, pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut dan diperolehnya imbalan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut dan diperolehnya imbalan yang memadai (Gueye dan Laban, 1990). Uraian berikut menjelaskan tentang kaitan antara hak, kompetensi (kemampuan), manfaat dan kelembagaan (organisasi) petani lokal yang kuat sebagai prasyarat penting untuk menjamin peran serta dan tumbuhnya tanggungjawab dalam pengembangan agroforestri untuk kegiatan RHL di lahan gambut. a.
Kepentingan/Manfaat Ekonomi Masyarakat akan terlibat dalam kegiatan RHL hanya apabila mereka melihat secara
jelas manfaatnya baik intangible maupun tangible berupa hasil fisik, jasanya ataupun dalam bentuk penerimaan. Mereka akan membuat perkiraan biaya-manfaat (untung rugi) baik untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang dalam kontek tujuan ekologis maupun sosial ekonomi. Karenanya pembangunan dan pengembangan hutan rakyat harus mempertimbangkan kepentingan ganda (multiple interest) yang dapat dinikmati petani lokal. Apabila kepentingan ekonomi pembangunan hutan rakyat tidak cukup memadai seperti yang mereka perkirakan, maka dapat menyebabkan mereka kurang termotivasi mengorbankan waktu, tenaga ataupun dananya untuk melakukan kegiatan tersebut. Penerimaan finansial dari pola agroforestri yang dikembangkan erat sekali hubungannya dengan rasa memiliki terhadap keberadaan jenis tanaman yang ditanamnya. b.
Kompetensi/Kapasitas Masyarakat akan termotivasi untuk terlibat dalam pengembangan agroforestri untuk
RHL di lahan gambut hanya apabila memiliki kompetensi (pengetahuan atau teknologi) untuk mengerjakan kegiatan tersebut. Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa kemampuan analisis untuk melihat situasi dan kondisi aktual (saat ini) dan potensi dimasa depan ataupun kemampuan untuk melakukan pilihan terbaik dari beragam aktivitas beserta dampaknya. Hal ini berkaitan dengan pengorganisasian dan pengelolaan aktivitas tersebut. Kompetensi untuk melakukan pengelolaan tanaman RHL seharusnya didasarkan pada pengetahuan setempat dan 13
dapat diadaptasikan ke kondisi lingkungan yang berubah sebagai tujuan atau sasaran yang diinginkan. Kompetensi ini dapat dilakukan melalui pelatihan atau bentuk pendidikan lainnya. c.
Wewenang dan Hak Apabila dipandang tidak ada jaminan berupa kewenangan dan hak yang mereka dapat
peroleh dari aktivitas yang mereka lakukan, dapat dipastikan mereka akan ragu bahkan meninggalkan aktivitas tersebut dan beralih ke aktivitas lain yang lebih memberikan jaminan hasilnya. Pada beberapa kasus terkadang sistem kewenangan dan hak tradisional sedang dalam proses disintegrasi dimana perlahan tergantikan oleh ketentuan formal yang hanya memberikan sedikit keleluasaan bagi berkembangnya kewenangan dan hak setempat. Kewenangan dan hak akan hasil, akses dan hak kepemilikan individu ataupun kolektif sebaiknya dibuat secara eksplisit dalam kerangka ketentuan formal, misalnya dalam bentuk peraturan pemerintah atau perundangan lainnya. d.
Organisasi Lokal yang Kuat Organisasi lokal yang kuat sebaiknya juga diikuti pada tingkat individu. Untuk
meningkatkan pengakuan bahwa individu-individu petani pengembang agroforestri dalam organisasi lokal memiliki kapasitas/kompetisi, sebaiknya kepentingan-kepentingan individu tersebut di dukung oleh organisasi lokal yang kuat. Pengelolaan agroforestri yang dikembangkan mendapat dukungan peran serta dan tanggung jawab petani ditingkat lokal apabila pada tingkat tersebut dipenuhi empat prakondisi yaitu adanya jaminan hak, dimilikinya pengetahuan/kompetensi, ada jaminan manfaat dan adanya kelembagan lokal yang kuat. Sedangkan di tingkat nasional, berjalannya secara efektif instrumen kebijakan yang terdiri dari peraturan yang menjamin adanya hak, training/pelatihan dan penelitian yang terus-menerus
dan
ditetapkan
adanya
insentif.
Apabila
dicermati,
dalam
proses
pengembangan agroforestri, petani lokal sebagai pelaku utama memiliki tanggungjawab yang besar yaitu melestarikan fungsi hutan, namun pada saat yang sama mereka juga dituntut untuk mampu meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Padahal, tingkat kelestarian fungsi hutan dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan memiliki ciri-ciri spesifiknya masingmasing. Sebagai pelaku atau pengelolaan tanaman RHL, petani lokal harus mengenal ciri-ciri fungsi hutan yang lestari tersebut, bagaimana kriteria dan indikatornya. Begitu halnya, kriteria dan indikator petani lokal yang sejahtera perlu dikenali dan diusahakan oleh para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam kegiatan RHL partisipatif. Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan petani lokal tersebut perlu adanya kemitraan. Kata kemitraan 14
berasal dari kata "mitra" yang berarti teman. Kata teman ini mengajak kita mempersepsikan hubugan antar personal yang berkelanjutan dan selalu menghasilkan hal yang baik/positif, sedangkan lawan dari kata teman adalah musuh yang dapat diartikan hubungan antar makhluk yang terputus dan menghasilkan efek yang negatif. Dasar pemikiran yang perlu kita pahami sebenarnya adalah perlunya landasan keikhlasan antara kedua pihak untuk menjalin hubungan kemitraan tersebut. Apabila tidak ada keikhlasan atau kerelaan, maka sebenarnya hubungan kemitraan tersebut diragukan kekuatan dan ketahanannya. Hubungan kemitraan yang dilandasai dengan keikhlasan, akan menjadi hubungan kemitraan yang kuat. Kerelaan atau keikhlasan dalam menjalin hubungan kemitraan akan memotivasi kita memahami, mengerti dan mencoba mengadaptasi diri sendiri dengan orang lain (teman) sehingga kita cenderung selalu membuat suasana yang ramah, baik dan kondusif. Kerjasama tersebut tercipta karena pihak mitra melihat bahwa dengan adanya kebersamaan dalam masyarakat peluang-peluang usaha akan muncul dengan nilai efisiensi tinggi. Sebagai contoh apabila produksi dipasarkan secara kolektif, maka kontinyuitas produksi akan tercapai dan pemasaran akan menguntungkan. Sementara itu dengan kebersamaan pola pikir (motivasi memperbaiki hidup), kualitas produksi akan meningkat dengan adanya kebersamaan motivasi untuk mempertinggi nilai tawar (bargaining position). Namun demikian, perlu disadari bahwa pada hubungan kemitraan yang kuat sekalipun, resiko hubungan kemitraan tersebut lambat laun akan hilang dapat saja terjadi. Degradasi hubungan kemitraan dapat disebabkan karena adanya eliminasi sikap saling yang makin lama semakin diragukan oleh masing-masing pihak yang bermitra. Apalagi dalam kemitraan usaha dimana setiap pihak sudah meragukan komitmen pihak yang lain dalam bermitra. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan sistem yang menjamin bahwa setiap pihak tetap mendapatkan keuntungan materiil maupun moril secara adil. Sistem tersebut disebut dengan Sistem kebersamaan ekonomi (SKE). Sistem kebersamaan ekonomi (SKE) adalah suatu sistem yang mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh laba (profit oriented) dengan menggunakan pendekatan kebersamaan. Pendekatan ini diperlukan untuk memperkuat rasa kebersamaan masing-masing pihak karena kebersamaan yang paling kuat apabila kebersamaan tersebut dapat mengakomodir kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing pihak, maka kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersamaan yang produktif dan tidak bertahan lama. Dalam pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut kedepan kiranya perlu dirancang pola insentif yang memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, menarik minat 15
petani untuk berpartisipasi secara aktif. Kedua, mampu meningkatkan kesejahteraan petani melalui pemberdayaan potensi yang dimiliki masing-masing individu petani dan kelompoknya. Insentif kegiatan RHL selama ini lebih banyak didasari oleh keinginan petani lokal untuk mendapatkan “upah”. Hal ini berakibat, partisipasi petani lokal lebih dilandasi kepentingan memperoleh keuntungan materi yang bersifat sesaat, sehingga setelah kegiatan tidak lagi dibiayai oleh proyek (pemerintah) maka kondisi tanaman menjadi kurang terawat. Hal ini berakibat pada rendahnya keberhasilan tanaman RHL. Memperhatikan hal tersebut maka untuk menarik minat petani berpartisipasi dalam kegiatan RHL perlu melakukan upaya berikut. Pertama, lahan lokasi pengembangan agroforestri di lahan milik tidak harus berupa satu hamparan, tetapi letak lahan bisa saja tidak dalam satu hamparan tergantung pada kepemilikan lahan oleh petani peminat program. Kedua, insentif kegiatan pengembangan agroforestri dapat berupa peminjaman uang untuk modal kerja usaha produktif seperti perbengkelan, peternakan (ayam, itik, kambing, sapi, dll.), warung makan, penjahit pakaian, dan usaha produktif lainnya. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program di atas surat kesepakatan (MoU) bermeterai. Ketiga, insentif kegiatan RHL dapat berupa pemberian beras (food for work) untuk petani peserta program yang jumlah ditentukan per bulan. Jumlah beras yang diterima per bulan dan jangka waktu pemberian beras tersebut ditentukan berdasarkan luasan lahan dan jumlah batang pohon per ha yang ditanam oleh petani. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program di atas surat kesepakatan (MoU) bermeterai. Keempat, insentif berupa upah langsung sebaiknya dilakukan dengan mekanisme “beli tanaman tumbuh”. Pada pola ini, mekanisme pemberian upah dilakukan secara periodik (misalnya per 3 bulan atau per 6 bulan sesuai pertumbuhan tanaman). Besarnya upah yang diterima petani peserta ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah tanaman yang ditanam yang hidup atau tumbuh. Luas lahan yang ditanami atau jumlah pohon per ha yang ditanam merupakan hasil kesepakatan atau musyawarah dengan petani peminat program. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program di atas surat kesepakatan (MoU) bermeterai. Selain itu, mengingat kondisi ekologi lahan gambut maka praktek pertanian seharusnya mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut: (1) praktek pertanian yang
dapat
mengoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya
lokal
yang
ada
dengan
mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar; (2) praktek pertanian yang dapat mencari cara pemanfaatan input luar hanya 16
bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan; (3) praktek pertanian yang tidak bertujuan untuk memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. Memperhatikan
kondisi
petani
maka
teknologi
yang
diaplikasikan
dalam
pengembangan agroforestri untuk kegiatan RHL di lahan gambut harus berprinsip berikut: (a) pemahaman akan kebutuhan dan aspirasi petani lokal, (b) fasilitasi/pendampingan tentang cara-cara berorganisasi kepada petani lokal, (c) paket teknologi yang akan dikembangkan harus dimulai dari apa yang mereka ketahui, (d) kegiatan dibangun atas dasar apa yang mereka miliki (potensi SDA dan SDM setempat), (e) asistensi peningkatan kapasitas dan keterampilan mereka, (f) bekerja sambil belajar, (g) membimbing dengan peragaan dan contoh. KESIMPULAN 1.
Pola-pola agroforestri berbasis jenis jelutung yang telah dikembangkan oleh petani setempat dapat diadopsi untuk menunjang keberhasilah RHL di lahan gambut.
2.
Performansi pertumbuhan jelutung rawa untuk riap tinggi berkisar antara 86,55 – 127,94 cm per tahun, untuk riap diameter berkisar antara 1,56 – 2,15 cm per tahun.
3.
Pengembangan agroforestri berbasis jelutung rawa untuk RHL di gambut dapat dilakukan dengan sistem kebersamaan ekonomi berdasarkan manajemen kemitraan .
DAFTAR PUSTAKA
Bastoni. 2001. Pertumbuhan hasil dan kualitas tapak hutan tanaman di Sumatera bagian Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan. Bastoni dan H.D. Riyanto. 1999. Teknik Silvikultur untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan Basah Bekas Tebangan di Sumatera Selatan dan Jambi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan. Daryono, H. 2000. Teknik Membangun Hutan Tanaman Industri Jenis Jelutung (Dyera spp.). Informasi Teknis Galam No. 3/98. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Kalimantan Selatan. Indrayatie, E.R. dan Suyanto. 2009. Penyusunan Database Digital Karakteristik Habitat Jelutung (Dyera polyphylla Miq. V. Steenis) di Lahan Basah Kalimantan Selatan. 17
Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan. Manajemen Hutan. Universitas Lambung Mangkurat (tidak dipublikasikan). Limin, S.H. 2004. Kondisi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan strategi pemulihannya. Di dalam A.P. Tampubolon, T.S. Hadi, W. Wardani dan Norliani [Editor]. Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Ilmiah. Palangkaraya, 12 Mei 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. pp 1 – 14. Raintree, J.B. 1990. Theory and practice of agroforestry diagnosis and design. In: K.G. Macdiken and N.T. Vergara [Editors]. Agroforestry: Classification and Management. John Wiley and Sons, Inc. New York.
18