MODEL PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN MELALUI TRANSFORMASI STRUKTUR EKONOMI BERBASIS SUMBERDAYA PERTAMBANGAN KE SUMBERDAYA LOKAL TERBARUKAN (Studi Kasus Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat NTB)
LUKMAN MALANUANG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar–benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :
Model Pembangunan Daerah Berkelanjutan Melalui Transformasi Struktur Ekonomi Berbasis Sumberdaya Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan (Studi Kasus Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat NTB)
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 24 Agustus 2009
LUKMAN MALANUANG NRP. P062030221
ABSTRACT LUKMAN MALANUANG. Sustainable Regional Development Model through Structural Transformation of the Mining Based To Local Renewable Resource Based Economy (Case Study of Copper and Gold Mining of Newmont Nusa Tenggara, Co., at Batu Hijau in West Sumbawa), under supervisory of HARIADI KARTODIHARDJO, R. SUNSUN SAEFULHAKIM and DUDUNG DARUSMAN The economy of West Sumbawa Regency, Nusa Tenggara Barat Province, in the period of 20002006, highly depended on one mining sector (94 % of Gross Regional Domestic Product) comprising mainly copper and gold mining at Batu Hijau operated by Newmont Nusa Tenggara, Co. Due to the nature of mining, that tends to be monopolistic business, foreign dominated shares, limited deposit and life cycle and terminated in relatively short term, the mining would significant detrimental effects on economic development of West Sumbawa. To avoid the bad effects and to sustain the economic development of West Sumbawa, it is necessary to develop and diversify the economy to renewable non-mining based sectors, especially agriculture in a broader terms and its business and industrial chains through a proper utilization of the mining’s revenues received as royalty, taxes and fees, in regional development budgeting. Objectives of this research are to (a) identify non mining based sectors to be systematically developed to transform regional economic structure and reduce dependcy on mining sectors, (b) analyze the role of regional budgeting and cooperation among region on development performance, and (c) identify regulations and policy instruments that support the regional economic transformation. The research is conducted through three steps. The frist is to analyze input-output (IO) table of Regency of West Sumbawa, to capture inter-sectoral linkages and multiplier effects of renewable and non mining sectors on economic development performance. The second is to analyze budgeting roles in improving development performance of West Sumbawa. The third is to analyze regulations and policy instruments from the central upto the local governments and analyze interaction pattern among decision making stakeholders by using metodological framework of the Institute of Development Studies, that focuses on naration and actor network and interest onto mining transformation for the sustainable development. Findings of the research show that agricultural based business and industrial chains supported by adequate supplies of the electricity and clean water are the strategic development direction to stimulate transformation process of the economic structure. The main agricultural basis that need to be developed are: livestock production, fisheries, plantation, food crops and horticulture. In addition, forest resource management is an integral part of agricultural based economy, in particular to support competitive electricity and water supplies. The development of agricultural based business and industrial chains will support : 1) development of economic activity chains as a whole, 2) economic growth, 3) fiscal capacity improvement 4) business attractiveness, 5) employments, and 6) people income. It is identified that up to this time the ecomonic transformation to the agricultural based business and industrial chains has not been sufficiently supported by a proper regulation, stakeholder behavior and budgeting. Since the mining can generate large land rent but in a relatively short term and unrenewable, it is potential to use this as initial source of capital for the economic transformation. However, the existing regulation has not yet arranged to get parts of the land rent to support the process. The lack of supports in terms of stakeholder behavior is indicated by lack of awareness, communications and cooperation network among them. The stakeholders include the Department of Energy and Mineral Resources, Commission of Mining and Energy of the Indonesian House of Representatives, local government of West Sumbawa, Regional House of Representatives of West Sumbawa, Newmont Nusa Tenggara, Co., educational institutes and academicians, related corporations, non governmental organitations, elites and religious leaders. Budget allocation and interregional cooperation on budgetting can significantly improve: 1) economic growth rate, 2) fiscal capacities, 3) people welfare, and 4) people economic participation. However, since their effects are inelastic yet, the economic transformation can be realized if the budgeting allocation and the interregional cooperation on budgetting to the agricultural based business and industrial chains, is significantly increased from its current levels.
Keywords :
mining based economy, economic structural transformation, interregional budgeting cooperation, sustainable regional development
RINGKASAN LUKMAN MALANUANG. Model Pembangunan Daerah Berkelanjutan Melalui Transformasi Struktur Ekonomi Berbasis Sumberdaya Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan (Studi Kasus Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat NTB), dibawah bimbingan HARIADI KARTODIHARDJO sebagai ketua, R. SUNSUN SAEFULHAKIM dan DUDUNG DARUSMAN sebagai anggota. Struktur perekonomian Kabupaten Sumbawa Barat NTB sejak 2000-2006 sangat dominan tergantung pada satu sektor yakni pertambangan tembaga dan emas proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) sebesar 94 % dalam produk domestik regional bruto (PDRB). Sektor pertambangan di Sumbawa Barat termasuk salah satu tambang skala besar di Indonesia sehingga dominasinya tidak hanya terhadap PDRB Kabupaten tersebut namun juga berdampak secara regional bagi Provinsi NTB. Performa proyek Batu Hijau PTNNT saat ini adalah 1) komposisi kepemilikan saham perusahaan tersebut 80% dikuasai perusahan asing (Newmont Indonesia Ltd dan Nusa Tenggara Mining Corp) dan 20% dikuasai oleh perusahan swasta nasional (PT. Fukuafu Indah). Didalam Kontrak Karya proyek Batu Hijau PTNNT terdapat pasal yang mewajibkan perusahaan tersebut melakukan divestasi saham hingga 51% (tahun 2010) untuk promosi kepentingan nasional (PTNNT, 2000). Berdasarkan keputusan arbitrase internasional, divestasi saham 2006 dan 2007 sebesar 10% menjadi milik pemerintah Propinsi NTB, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa bekerjasama dengan PT. Multi Capital dengan komposisi 75% milik PT. Multi Capital dan 25% milik 3 Pemda tersebut, 2) peluang usaha selama masa operasi menurut kinerja departemen kontrak (2005) dimanfaatkan oleh nasional (92%), Propinsi Nusa Tenggara Barat (5%) dan Sumbawa Barat (3%) (PTNNT, 2005), 3) kontribusi proyek tersebut terhadap kapasitas fiskal (APBD) Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2005 sebesar Rp. 80,98 Milyar dengan perincian dana bagi hasil sumberdaya alam Rp. 56,17 Milyar, dana bagi hasil pajak Rp. 24,39 Milyar, pendapatan asli daerah Rp. 0,31 Milyar, dana alokasi umum Rp, 0,09 Milyar dan dana alokasi khusus Rp. 0,01 (LPEM UI, 2006), 4) sedangkan komposisi tenaga kerja adalah Sumbawa Barat (33%) dan non Sumbawa Barat (67%). Pengelolaan sumberdaya pertambangan yang cenderung bersifat monopolistik dengan kepemilikan saham didominasi asing, deposit mineral yang terbatas, sifat sumberdaya pertambangan yang tidak terbarukan, serta masa produksi yang relatif pendek, dalam jangka panjang akan beresiko tinggi bagi pembangunan wilayah Kabupaten
tersebut. Berdasarkan realitas tersebut, mendesain sebuah model pembangunan berkelanjutan menjadi tantangan bagi Kabupaten tersebut dimasa mendatang yakni bagaimana merumuskan arah transformasi struktur ekonomi yang saat ini sangat didominasi oleh pertambangan ke sektor-sektor terbarukan dalam hal ini pertanian dalam arti luas dan sektor non tambang lainnya. Tujuan utama penelitian ini adalah a) mencari solusi pengalihan ketergantungan Kabupaten Sumbawa Barat terhadap pertambangan dengan melakukan transformasi dan struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan serta sektor non tambang lainnya, b) mengantisipasi menurunnya kinerja pembangunan dengan pola penganggaran yang tepat dan kerjasama antar daerah, c) menganalisis kebijakan peraturan perundangan dari pusat hingga ke daerah serta sejauhmana, kepentingan dan kerjasama antar stakeholder yang dapat dibangkitkan untuk melakukan transformasi struktur mengantisipasi habisnya pertambangan. Metode analisis untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah 1) melakukan simulasi model Input-Output dengan membangun Tabel Input-Output Kabupaten Sumbawa Barat dengan struktur sektor yang sama dengan Tabel Input-Output Nusa Tenggara Barat untuk melihat keterkaitan antar sektor dan dampak pengganda (multiplier effect) sektor-sektor yang berbasis sumberdaya terbarukan serta sektor non tambang lainnya, 2) memetakan dan menganalisis peran penganggaran untuk memperbaiki kinerja pembangunan di Kabupaten Sumbawa Barat, 3) melakukan analisis isi peraturan perundangan dari tingkat pusat hingga ke daerah serta menganalisis interaksi dalam pengambilan keputusan pemangku kepentingan (stakeholder) menggunakan pendekatan Institute of Development Studies (IDS) yang mencakup: narasi, kepentingan dan jaringan kerja aktor untuk transformasi pertambangan dalam konteks pembangunan daerah berkelanjutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama masa operasi dan setelah penambangan berakhir ada indikasi kuat bahwa ekonomi daerah tidak dapat pulih seperti saat beroperasinya tambang saat ini karena pendapatan daerah dari tambang (pajak maupun non pajak) akan berakhir seiring dengan berakhirnya masa penambangan. Namun dari hasil penelitian ini dapat ditentukan arah transformasi struktur ekonomi selain pertambangan, yang justru dapat didukung sejak awal oleh kekuatan ekonomi pertambangan sekarang, yaitu untuk membangkitkan sektor-sektor ekonomi unggulan berbasis sumberdaya lokal terbarukan (pertanian dalam arti luas) dengan memperkuat
keterkaitan antar sektor maupun dampak pengganda sektor melalui penggunaan barang dan jasa di Sumbawa Barat secara optimal untuk memperkecil efek pengurasan (backwash effect) yang terjadi selama ini. Meskipun dampak ekonomi tambang sangat besar yaitu Rp. 9,527 triliun (95,03 %) terhadap PDRB (2006) sulit tergantikan, dan peran pertanian sebesar Rp. 195,380 milyar (33,60 %), namun arah transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sektorsektor sumberdaya lokal terbarukan (pertanian dalam arti luas) serta sektor non tambang lainnya untuk dikembangkan dalam jangka pendek, menengah dan panjang di Kabupaten Sumbawa Barat dapat diketahui. Dari hasil simulasi ditunjukkan bahwa jika pertambangan di asumsikan habis saat ini maka peran sektor pertanian sebesar 33,60% (sumberdaya terbarukan), perdagangan hotel dan restoran 20.97 %, bangunan 17.16 %, jasa-jasa 14.17% serta transportasi dan komunikasi 10.05%. Dari sisi keterkaitan antar sektor, arah transformasi pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat mendorong permintaan (demand driven) menurut rangking nilai indeks keterkaitan langsung kebelakang (direct backward linkage) dan keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang (direct and indirect backward linkage) justru bukan pertambangan (pertambangan ranking ke-15), melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, angkutan darat serta jasa-jasa lainnya Dari sisi keterkaitan antar sektor, arah transformasi pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat mendorong penawaran (supply driven) menurut rangking nilai indeks keterkaitan langsung kedepan (direct forward linkage) dan keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan (direct and indirect forward linkage) juga bukan pertambangan (pertambangan ranking ke-13), melainkan sektor terbarukan seperti
pertanian padi,
perikanan, peternakan, pertanian pangan lainnya serta perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah listrik, gas dan air bersih, perdagangan, angkutan darat, industri makanan dan minuman, komunikasi, industri pengolahan lainnya serta jasa-jasa lainnya. Dari sisi nilai dampak pengganda (multiplier effect) yang besar untuk a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pengganda pendapatan rumah tangga
b. menarik minat investor menanamkan modalnya berdasarkan pengganda surplus usaha c. meningkatan kemampuan fiskal pemerintah berdasarkan pengganda pendapatan pajak d. meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengganda nilai tambah total. Arah transformasi pengembangan sektor ekonomi dari dampak pengganda tersebut justru bukan pertambangan (pertambangan ranking ke-17) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya serta sektor non tambang lainnya seperti industri makanan dan minuman, industri tekstil, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, bangunan, angkutan lainnya, jasa-jasa lainnya, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi serta angkutan darat. Sedangkan arah transformasi pengembangan sektor berdasarkan dampak pengganda tenaga kerja lima belas sektor terbesar berdasarkan ranking adalah industri makanan dan minuman, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan lainnya, hotel dan restoran, perdagangan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, peternakan, jasa-jasa lainnya, angkutan darat, perikanan, komunikasi, perkebunan, pertanian padi dan pertanian pangan lainnya. Pertambangan berada pada ranking ke kedua karena banyak menyerap lapangan kerja dari luar Sumbawa Barat pada masa operasi dengan perbandingan tenaga kerja yang berasal dari Sumbawa Barat sebanyak 1,390 orang (33%), non Sumbawa Barat 2,847 orang (67%) dengan total tenaga kerja pada tahun 2007 sebayak 4,237 orang (100%). Berdasarkan hasil temuan simulasi Model Leontif input-output dari sisi keterkaitan antar sektor maupun dampak pengganda yang menjadi arah transformasi pengembangan sektor yang merupakan sumberdaya terbarukan juga diperkuat oleh hasil temuan dari analisis keunggulan komparatif wilayah. Hasil temuan keunggulan komparatif wilayah (model location quotient) di Sumbawa Barat menunjukkan bahwa Kabupaten tersebut merupakan tempat pemusatan beberapa komoditi pertanian dari aspek produksi seperti penangkapan ikan di danau, budidaya ikan tambak, penangkapan ikan waduk/dam, peternakan, kedelai, jagung dan padi. Pengembangan rantai bisnis dan industri berbasis pertanian yang di dukung oleh air bersih dan pasokan energi listrik yang memadai adalah paling strategis untuk dijadikan arah pembangunan untuk percepatan proses transformasi struktur ekonomi menuju keberlanjutan dan kemandirian pembangunan wilayah Kabupaten Sumbawa Barat. Kabupaten tersebut juga merupakan tempat pemusatan
potensi lahan pertanian yang belum dimanfaatkan secara optimal baik untuk luas tanaman pertanian lainnya, lahan kritis, maupun potensi lahan untuk tanaman kedelai dan padi. Peran penganggaran untuk memperbaiki kinerja pembangunan kearah transformasi struktur ekonomi berbasis sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan di Sumbawa Barat belum memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena pola penganggaran perbidang, penganggaran terhadap luas wilayah, penganggaran perkapita baik untuk penganggaran didaerah sendiri maupun daerah-daerah mitra dagang khususnya bidang Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan. Alokasi anggaran dan kerjasama penganggaran antar daerah untuk pengembangan basis-basis pertanian utama tersebut sesuai dengan sebaran sumberdayanya diketahui mampu meningkatkan 1) laju pertumbuhan ekonomi, 2) kapasitas fiskal pemerintah, 3) kesejahteraan masyarakat dan 4) partisipasi ekonomi masyarakat. Walaupun demikian, intensitas pengaruh tersebut masih pada level belum elastis dengan indikasi bahwa transformasi struktur ekonomi dapat dipercepat melalui alokasi anggaran dan kerjasama penganggaran antar daerah untuk basis-basis pertanian utama tersebut, dimana level alokasi saat ini masih terlalu rendah dari level yang dibutuhkan. Maknanya bahwa penganggaran bidang Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Sumbawa Barat secara relatif berada dibawah rata-rata 34 Kab/Kota di tiga Propinsi yakni Bali, NTB dan NTT sehingga arah transformasi penganggaran di masa depan adalah meningkatkan pengangaran bidang-bidang yang masih rendah tersebut. Dari hasil analisis isi peraturan perundangan diketahui bahwa transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan sesuai dengan hasil model Leontif input-output dan model keuggulan komparatif wilayah dalam penelitian ini masih sulit dilakukan jika merujuk pada UU No. 11/1967 karena tidak mengatur mengenai aspek nilai tambah dan penggunaan potensi sumberdaya lokal setempat (tenaga kerja, bahan baku, kemitraan pengusaha lokal). Sedangkan UU No. 4/2009 sudah mengatur tentang nilai tambah yakni melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang didalam negeri, mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, mengikutsertakan pengusaha lokal serta keterlibatan perusahaan jasa pertambangan lokal/atau nasional dalam konsultasi dan perencanaan. Namun karena UU No. 4/2009 baru disyahkan tgl 12 Januari 2009 sehingga perlu dipersiapkan Peraturan Pemerintah sebagai realisasi komitmen UU hingga ketingkat Peraturan Daerah.
Hingga penelitian ini dilakukan transformasi pengembangan rantai bisnis dan industri berbasis pertanian belum mendapat dukungan yang berarti dari sisi peraturan perundangan,
realitas
perilaku
stakeholder
dan
penganggaran.
Sesuai
dengan
karakteristiknya yang dapat memberikan rente lahan (land rent) yang relatif sangat besar, namun dalam periode waktu yang relatif singkat serta tidak dapat diperbaharui, sektor pertambangan sesungguhnya sangat potensial dan tepat untuk dijadikan sebagai modal awal untuk proses transformasi struktur ekonomi. Namun demikian peraturan perundangan masih belum mengatur pangsa rente lahan pengusahaan sumberdaya pertambangan untuk mendukung proses tersebut. Proses transformasi struktur ekonomi juga belum mendapat dukungan dari sisi realitas perilaku stakeholder yang diindikasikan dengan belum berkembangnya kesadaran, komunikasi dan jaringan kerjasama. Yang tercakup kedalam para stakeholder tersebut adalah Departemen Energi Sumberdaya Mineral, Komisi VII DPR RI, Pemda Sumbawa Barat, DPRD Sumbawa Barat, PT. Newmont Nusa Tenggara, kalangan pendidikan dan akademisi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Secara ringkas hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari hasil simulasi inputoutput mengenai transformasi struktur pengembangan ekonomi lokal berbasis sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan dapat menjadi arah prioritas pembangunan Kab. Sumbawa Barat serta perlu adanya pembenahan pada (1) sistem pengalokasian anggaran yang tepat untuk pengembangan rantai bisnis dan industri berbasis pertanian serta sektor strategis non tambang lainnya. Peningkatan penganggaran rantai bisnis dan industri berbasis pertanian akan memberikan dampak ekonomi bagi Kabupaten tersebut untuk menggantikan pertambangan (2) perlunya dukungan peraturan-perundangan tingkat pusat untuk meningkatkan nilai tambah bagi sumberdaya lokal dan dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah (Perda) (3) masih kecilnya peluang kearah transformasi karena belum terbentuknya jaringan kerjasama antara pemangku kepentingan (stakeholder) untuk membangkitkan diskursus, kepentingan dan jaringan kerja aktor/stakeholder mengantisipasi habisnya cadangan sumberdaya mineral dan kehidupan pascatambang di Sumbawa Barat.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang – Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantamkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN MELALUI TRANSFORMASI STRUKTUR EKONOMI BERBASIS SUMBERDAYA PERTAMBANGAN KE SUMBERDAYA LOKAL TERBARUKAN (Studi Kasus Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat NTB)
LUKMAN MALANUANG
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. S. Witoro Soelarno, M.Si Sekretaris Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral RI 2. Dr. Ir. Rosiady Husaini Sayuti, M.Sc Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
PRAKATA
Penulis senantiasa mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, dzat yang maha agung dan tinggi, yang telah memberikan keberkahan, kenikmatan, ketenangan dan ketentraman kepada orang-orang yang senantiasa mengingat dengan menyebut namaNya diwaktu pagi dan petang. Karena sifat rahman dan rahimNyalah penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Model Pembangunan Daerah Berkelanjutan Melalui Transformasi Struktur Ekonomi Berbasis Sumberdaya Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan (Studi Kasus Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat NTB). Disertasi ini merupakan maksimalisasi dari keterbatasan-keterbatasan dan dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar Doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih yang sangat mendalam, penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku ketua komisi pembimbing, juga kepada anggota komisi pembimbing yakni Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga memberikan arahan dan masukan pengetahuan untuk mengoreksi bagi penyempurnaan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. S. Witoro Soelarno, M.Si dan Dr. Ir. H. Rosiady Husaenie Sayuti, M.Sc sebagai penguji luar komisi pada sidang terbuka yang telah memberikan saran pikiran, mengoreksi naskah disertasi ini disela-sela kesibukan beliau berdua. Penghargaan juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. selaku ketua Program Studi PSL atas dorongan motivasi, semangat, fasilitas, pelayanan, kemudahan waktu beliau serta seluruh staf PSL yang memberi kemudahan pada penulis. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis haturkan kepada ayahanda dan ibunda yang telah berpulang kerahmatullah, kepada Bapak dan ibu mertua H. Zainuddin D. Mappiase dan ibu Hj. Mukminah serta buat istriku tercinta Hj. Hikmah Novita Anggraini, SE anakku tercinta Nabila Luthfia Sakinah yang setia mendampingi dan selalu mendorong penulis untuk bekerja keras menyelesaikan studi. Terima kasih yang tulus juga ditujukan kepada ka Dewi dan keluarga, mama Nur dan keluarga, Abe Opo, Arman, Pak Malik dan Epi yang telah ikut membantu kelancaran penyelesaian disertasi ini. Penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua stakeholder yang membutuhkannya untuk perbaikan pengelolaan pertambangan dimasa depan serta terbuka untuk dikritik dan dikoreksi. Terima kasih. Bogor, 17 Agustus 2009 Lukman Malanuang
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar NTB pada tanggal 25 September 1970, dari ibu Hj. Fatmah Nur (almarhumah) dan ayah Drs. H. Malanuang HS (almarhum), merupakan putra pertama dari enam bersaudara. Penulis menyelesaiakan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri I tamat tahun 1983, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri I tamat tahun 1986, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I tamat tahun 1989, semuanya di Sumbawa Besar. Pada tahun 1989 diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Merdeka Malang tamat tahun 1996, penulis melanjutkan studi sebagai mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan IPB tamat tahun 2002. Setelah tamat pada program magister IPB, tahun 2003 studi dilanjutkan pada Program Doktor Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan IPB, pada semester genap tahun 2005 pindah Program Studi ke Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. Riwayat pekerjaan diantaranya; sekretaris tim ahli dirjen binapenta Depnaker RI tahun 1998-1999, staf ahli DPRD Sumbawa Barat 2006-2007 dan staf ahli komisi VII DPR RI bidang energi, sumberdaya mineral, lingkungan hidup, riset dan teknologi tahun 2009.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………………………………………………… 1.2. Tujuaan Penelitian …………………………………………….. 1.3. Manfaat Penelitian …………………………………………….. 1.4. Kerangka Pemikiran …………………………………………… 1.5. Perumusan Masalah …………………………………………… 1.6. Pertanyaan Penelitian ………………………………………….. 1.7. Nilai Kebaruan (Novelty) ……………………………………… TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan …………………………... 2.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan ………….……………... 2.3. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Mineral …………………………………………… 2.4. Transformasi Sumberdaya Kearah Berkelanjutan ……………… 2.5. Performa Pertambangan Indonesia ………………………….. 2.6. Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah ……….......... 2.7. Analisis Isi (Content Analysis) Peraturan Perundangan dan Proses Perubahan Kebijakan .............................................. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pendekatan Penelitian…….………………………...... 3.2. Ruang Lingkup Materi …………………………………………. 3.3. Ruang Lingkup Wilayah …….…………………………………. 3.3. Jenis Data, Sumber Data, Metode Analisis dan Output yang Diharapkan ........................................................................... KONDISI EKSISTING WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kabupaten Sumbawa Barat .......................................................... 4.2. Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara …………………………………. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Struktur Ekonomi Sumbawa Barat Sebelum Transformasi ……. 5.2. Struktur Ekonomi Sumbawa Barat Setelah Transformasi dari Berbasis Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor Non Pertambangan .................................................... 5.2.1. Struktur Ekonomi Sumbawa Barat dengan dan Tanpa Pertambangan .................................................................. 5.2.2. Keterkaitan Antar Sektor yang dapat dikembangkan Untuk Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor Non Pertambangan Lainnnya ................................................... 5.2.3. Dampak Pengganda (multiplier effect) Sektor yang dapat
Halaman
1 6 7 8 10 13 13
14 23 25 28 33 46 49
53 53 54 55
76 79
83
84 84
85
dikembangkan untuk Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor Non Pertambangan Lainnya ........................... 5.2.4. Keunggulan Komparatif Wilayah ..................................... 5.3. Peran Penganggaran Untuk Memperbaiki Kinerja Pembangunan ............................................................................... 5.3.1. Konfigurasi Spasial Kinerja Anggaran Belanja Daerah ..... 5.3.2. Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah ........... 5.3.3. Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan ........................................................ 5.4. Analisis Isi (content analisys) UU No. 11/67 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dengan UU No. 4/2009 tentang Mineral Dan Batubara 5.5. Ringkasan Keterkaitan Model dan Aplikasi Hasil Penelitian BAB VI
89 94 95 95 98 108 126
141
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ................................................................................... 6.2. Saran dan Rekomendasi ...............................................................
147 150
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... LAMPIRAN ........................................................................................
152 157
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Persentase Penduduk Miskin di Sumbawa Barat sejak 1998- 2006
4
2
APBD Kabupaten, Kota se–Provinsi Nusa Tenggara Barat 2006 (dalam juta rupiah)
4
3
Hasil Analisis Input–Output NTB 2000 (59 sektor)
5
4
Hasil Perhitungan Angka Pengganda dan Keterkaitan Sektor Pertambangan dan Penggalian di Indonesia dengan Negara–negara Pembanding
6
5
Hasil Analisis Input–Output NTB 2004 (59 sektor)
6
6
Umur Tambang Proyek Batu Hijau PTNNT (Mine life time Batu Hijau Project PTNNT)
12
7
Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Investasi Pertambangan di Indonesia
34
8
Berbagai Ketidakpastian Investasi Pertambangan di Indonesia
35
9
Potensi Sumberdaya Mineral di Indonesia
38
10
Persentase Alokasi Bagi Hasil Penerimaan dari Sumberdaya Alam
43
11
Bagian Pusat–Daerah dari Bagi Hasil Pajak dan Sumberdaya Alam
43
12
Dana Perimbangan Menurut Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000
44
13
Tujuan Umum dan Tujuan Khusus Penelitian, Jenis Data, Sumber Data, Metode Analisis dan Output yang Diharapkan Model Simulasi Input-Output dan Location Quation (LQ)
56
14
Input-Output: Struktur dan Pengertiannya
58
15
Struktur Data Aktifitas Tabel LQ
66
16
Struktur Tabel LQ
66
17
Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Metode Analisis dan Output yang Diharapkan untuk Menganalisis dan Memetakan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah
69
18
Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Metode Analisis dan
70
Output yang Diharapkan untuk Menganalisis dan Memetakan Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah 19
Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Metode Analisis dan Output yang Diharapkan untuk Menganalisis dan Memetakan Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah
73
20
Luas Kecamatan, Penduduk dan Kepadatannya di Kabupaten Sumbawa Barat
76
21
Skor dan Peringkat IPM Kabupaten/Kota di NTB
77
22
Umur Proyek (mine lifetime)
81
23
Struktur Perekonomian dan Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab. Sumbawa Barat ADHK 2000-2006
83
24
Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB Kab. Sumbawa Barat ADHK 2000-2006 dan Simulasi Struktur Ekonomi (PDRB) 2009 dengan dan Tanpa Tambang
84
25
Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Langsung Kebelakang
85
26
Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Tidak Langsung Kebelakang
86
27
Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Langsung Kedepan
87
28
Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Tidak Langsung Kedepan
88
29
Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Pendapatan Rumah Tangga (MUPRt)
89
30
Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Surplus Usaha (MUSuS)
90
31
Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Pendapatan Pajak (MUPPj)
91
32
Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Nilai Tambah total MUNTT)
92
33
Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Tenaga Kerja (MUTk)
93
34
Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Pembangunan
95
35
Kinerja Pembangunan Kab/Kota Provinsi Bali, NTB dan NTT
97
36
Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Perbidang
98
37
Kinerja Penganggaran Bidang Persektor di Provinsi Bali, NTB dan NTT
100
38
Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran terhadap Luas Wilayah
101
39
Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Provinsi Bali, NTB dan NTT
104
40
Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita
105
41
Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT
108
42
Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan Masyarakat
109
43
Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW1) Kab/Kota Provinsi Bali, NTB dan NTT
111
44
Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW3) Kab/Kota Provinsi Bali, NTB dan NTT
112
45
Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita (Kp4) Kab/Kota Provinsi Bali, NTB dan NTT
114
46
Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Ketimpangan Partisipasi Ekonomi
115
47
Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW4n) Kab/Kota Provinsi Bali, NTB dan NTT
117
48
Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Persektor Kab/Kota Provinsi Bali, NTB dan NTT (KpS3)
118
49
Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Perluas Wilayah Kab/Kota Provinsi Bali, NTB dan NTT (KpW2)
120
50
Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Laju Pertumbuhan Ekonomi
121
51
Hubungan Kinerja Penganggaran Persektor Kab/Kota Provinsi Bali, NTB dan NTT
122
52
Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah Kab/Kota
124
Propinsi Bali, NTB dan NTT (KpW1) 53
Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT (Kp3)
125
54
Beberapa Butir Perbandingan UU No. 11/1967 dan UU Minerba No. 4/2009
55
Hasil analisis diskursus dan naratif kebijakan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)
134
56
Jaringan kerja aktor mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)
137
57
Politik dan kepentingan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)
139
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Kinerja Departemen Kontrak PTNNT, 2005
5
2
Kerangka Pemikiran Penelitian
10
3
Grafik PDRB Sumbawa Barat tanpa Tambang 2006
11
4
Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Seragaldin, 1993)
17
5
Unsur-unsur Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
18
6
Kerangka Berfikir Tiga Dimensi tentang Keberlanjutan
21
7
Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan
22
8
Penggunaan Indikator dalam Proses Pembangunan Berkelanjutan
25
9
Pola Pikir Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan
28
10
Pengembangan dan Komposisi Kapital dalam Pembangunan Berkelanjutan
32
11
Kerangka Berfikir Total Factor Productivity (TFP)
33
12
Alokasi Pendapatan Sektor Pertambangan
35
13
Index Kepercayaan Investor (FDI Confidence Index Among Global Investors)
36
14
Indeks Persepsi Korupsi 2003
37
15
Persebaran Pelaku Utama Sektor Pertambagan di Indonesia
40
16
Indeks Potensi Mineral dari 47 Negara
40
17
Indeks Potensi Kebijakan
41
18
Indeks Persaingan Usaha
42
19
Proporsi Nilai Tambah Sektor Pertambangan Terhadap PDB Indonesia
43
20
Prosedur Analysis Isi (Content Analysis)
50
21
Kerangka Hubungan Antar Aktor Dalam Proses Perumusan Kebijakan
52
22
Peta Kabupaten Sumbawa Barat
54
23
Lokasi Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara
55
24
Lokasi Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa-Barat, NTB
79
25
Gambaran Masa Produksi Proyek Batu Hijau PTNNT
81
26
Grafik Location Quotient Produksi Pertanian di Sumbawa Barat
94
27
Grafik Location Quotient Luas Lahan Pertanian di Sumbawa Barat
94
28
Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan di Provinsi Bali, NTB dan NTT
97
29
Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perbidang di Propinsi Bali, NTB dan NTT
100
30
Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT
104
31
Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perkapita di Provinsi Bali, NTB dan NTT
107
32
Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW1)
110
33
Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW3)
112
34
Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perkapita (Kp4)
114
35
Peta Konfiguras Spasial Penganggaran Bidang Perkapita (KpW4)
116
36
Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Persektor Kab/Kota Provinsi Bali, NTB dan NTT (KpS3)
117
37
Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perkapita (KpW2)
119
38
Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Persektor (KpS1)
122
39
Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW1)
123
40
Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (Kp3)
125
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Peluang Investasi di Lima Kecamatan di Kabupaten Sumbawa-Barat
157
2
Tabel Input-Output Kabupaten Sumbawa Barat 34 Sektor Transaksi Total Atas Dasar Harga Produsen 2007 (Rp)
151
3
Tabel Input-Output Provinsi Nusa Tenggara Barat 35 Sektor Tahun 2005 Atas Dasar Harga Produsen
152
4
Tabel Input-Output Kabupaten Sumbawa Barat 20 Sektor Transaksi Total Atas Dasar Harga Produsen 2009 (setelah konstruksi dengan input-ouput NTB)
153
5
Tabel Input-Output Nusa Tenggara Barat 20 Sektor Transaksi Total Atas Dasar Harga Produsen 2009 (setelah konstruksi)
154
6
Ringkasan Indeks Keterkaitan Langsung, Tidak Langsung Kebelakang dan Keterkaitan Langsung, Tidak Langsung Kedepan
155
7
Ringkasan Hasil Analisis Pengganda Pendapatan Rumah Tangga, Surplus Usaha, Pendapatan Pajak dan Nilai Tambah Total
156
8
Potensi Sumberdaya Pertanian Kabupaten Sumbawa Barat
157
9
Potensi Sumberdaya Perikanan Kabupaten Sumbawa Barat
158
10
Potensi Sumberdaya Peternakan Kabupaten Sumbawa Barat
159
11
Potensi Sumberdaya Perkebunan Kabupaten Sumbawa Barat
160
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sumberdaya mineral bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) maknanya
sumberdaya tersebut tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana halnya pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain-lain. Ketika sumberdaya ini diekstraksi, konsekuensinya pada suatu masa tertentu pasti akan habis (Wibowo, 2005). Namun demikian, sektor pertambangan seringkali memberikan kontribusi signifikan terhadap struktur perekonomian di daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia bahkan mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sembilan sektor yang diukur kinerjanya. Melihat performa tambang tembaga dan emas Proyek Batu Hijau yang dioperasikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) di Kabupaten Sumbawa Barat NTB sebagai wilayah studi penelitian ini, sektor pertambangan sangat dominan terhadap PDRB Kabupaten tersebut sejak 2000-2006 dengan rata-rata sebesar 94,00 %, sedangkan sektor pertanian hanya 2,36 %, sisanya terbagi pada tujuh sektor lainnya yakni industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa hanya sebesar 3,64 %. Menurut data PDRB, nilai tambah total produksi Batu Hijau PTNNT mencapai puncaknya 2005 sebesar 95,26% dengan nilai nominal sebesar Rp. 7,581 triliun, nilai tersebut menempati urutan tertinggi dari sembilan Kab/Kota di Propinsi NTB. (BPS, 2006 diolah). Kondisi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat tidak jauh berbeda dengan performa daerah penghasil sumberdaya mineral lainnya di Indonesia sepanjang 2000-2006 misalnya PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang beroperasi di Kab. Mimika mendominasi struktur perekonomian (PDRB) Kabupaten tersebut rata-rata sebesar 96,05 %. Demikian pula dengan operasi PT. International Nikel (PTINCO) di Kabupaten Luwu Timur ratarata 79,08 % dan PT. Kaltim Prima Coal (PT KPC) di Kab. Kutai Timur rata-rata 81,67 % (BPS 2006, diolah). Dominannya sektor pertambangan yang tidak diikuti berkembangnya sektor lain merupakan fenomena yang sering disebut Dutch Disease 1 . Hal ini diperkuat dengan 1
Dutch Disease adalah fenomena yang terjadi tahun 1970-an, Belanda mengalami masalah ini, menyusul penemuan gas alam di Laut Utara, Belanda tiba-tiba menyadari bahwa sektor manufaktur mereka tiba-tiba berkinerja lebih buruk dari yang sudah diantisipasi (Humphreys et al dalam Escaping The Resource Curse, 2007 hal 6)
pandangan Humpreys et al (2007), yang menyatakan bahwa penyakit Belanda (Dutch Disease) dalam kasus Belanda yang memburuk kinerjanya adalah sektor manufaktur, sedangkan di negara-negara berkembang yang dirugikan adalah sektor pertanian. Pertambangan di Sumbawa Barat yang dioperasikan oleh PTNNT termasuk salah satu tambang skala besar di Indonesia sehingga dominasinya tidak hanya terhadap perekonomian (PDRB) Kabupaten tersebut namun juga berdampak secara regional bagi Propinsi NTB. Performa proyek Batu Hijau PTNNT juga terlihat dominan pada 1) komposisi kepemilikan saham perusahaan 80% dikuasai perusahan asing (Newmont Indonesia Ltd dan Nusa Tenggara Mining Corp) dan 20% dikuasai oleh perusahan swasta nasional (PT. Fukuafu Indah). Didalam Kontrak Karya proyek Batu Hijau PTNNT pasal 24 ayat 4 mewajibkan perusahaan tersebut melakukan divestasi saham hingga 51% (2010) untuk promosi kepentingan nasional (Kontrak Karya RI dan PTNNT, 1986) 2) peluang usaha selama masa operasi menurut kinerja departemen kontrak (2005) dimanfaatkan oleh nasional (92%), Propinsi Nusa Tenggara Barat (5%) dan Sumbawa Barat (3%) (PTNNT, 2005) 3) kontribusi proyek tersebut terhadap kapasitas fiskal (APBD) Kabupaten Sumbawa Barat 2005 sebesar Rp. 80,98 Milyar dengan perincian dana bagi hasil sumberdaya alam Rp. 56,17 Milyar, dana bagi hasil pajak Rp. 24,39 Milyar, pendapatan asli daerah Rp. 0,31 Milyar, dana alokasi umum Rp, 0,09 Milyar dan dana alokasi khusus Rp. 0,01 (LPEM UI, 2006) 4) sedangkan komposisi tenaga kerja adalah Sumbawa Barat (33%) dan non Sumbawa Barat (67%) (PTNNT, 2007) Industri ekstraktif tidak dihasilkan dari proses produksi dan bisa didapatkan tanpa terkait dengan proses ekonomi lainnya sehingga yang kerap muncul adalah terbentuknya kawasan tersendiri yang terpisah/terisolasi (enclave) (Humpreys, 2007). Karena ekstraksi sumberdaya mineral memiliki keterkaitan yang lemah bahkan nol dengan komoditi tertentu atau sektor ekonomi lainnya, menyebabkan sektor selain pertambangan melemah atau tidak berkembang di daerah setempat sehingga dalam proses produksi harus mengambil sumberdaya dari daerah lain dengan cara mengimport tenaga kerja, mesin, peralatan dan lain-lain. Sebagai konsekuensinya daerah setempat mengalami efek pencucian/pengurasan (backwash effect) atau terjadinya kebocoran regional (regional leakages) yang sangat besar (Malanuang, 2002). Pengelolaan industri pertambangan di berbagai belahan dunia lebih banyak menuai kegagalan daripada keberhasilan. Bagi negara-negara yang gagal mengambil manfaat dari berkah kekayaan yang mereka miliki disebut dengan istilah kutukan sumberdaya alam
2
(resource curse) 2 . Menurut (Auty, 1993 dan Humpreys, 2007) negara-negara yang berkelimpahan dengan sumberdaya alam seperti minyak dan gas, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara yang sumberdaya alamnya lebih kecil. Norwegia dapat dikatagorikan sebagai negara yang berhasil mengelola sumberdaya yang bersifat tidak terbarukan yakni minyak dan gas di negara tersebut. Norwegia merupakan contoh bagi praktek-praktek terbaik yang berhasil menghindarkan diri dari munculnya kutukan sumberdaya alam (Karl, 2007). Norwegia menempati ranking pertama dunia dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia 3 (IPM 2006) PBB dengan nilai (0,956), mendekati sempurna. Sebaliknya survey UNDP tahun tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh negara penghasil minyak memiliki angka IPM dari rendah hingga sedang, fenomena ini disebut paradok berkelimpahan (paradox of plenty).
1.1.1. Performa Kabupaten Sumbawa Barat Sebagai Kabupaten yang baru berdiri tahun 2003, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) menghadapi permasalahan yang sangat fundamental diantaranya pertama, KSB termasuk dalam 199 Kabupaten dengan katagori tertinggal menurut Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (2005). Kedua, menurut hasil penelitian BPS (2004) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB berada pada urutan ke 33 (terbawah) dari 33 Propinsi di Indonesia dengan skor 60,6 (katagori sedang). Sedangkan IPM KSB berada pada urutan ke 5 dengan skor 61,9 (katagori sedang) dari 9 kabupaten/kota di NTB. Ketiga, jumlah penduduk miskin di KSB persentasenya cukup signifikan baik sebelum adanya pertambangan (1998) maupun setelah pertambangan beroperasi (2006) (Tabel 1). Keempat, tingginya nilai PDRB sangat kontras dengan kemampuan fiskal Kabupaten Sumbawa Barat yang rendah, hal ini tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten tersebut. Dari sembilan Kabupaten/Kota di Propinsi NTB APBD Kabupaten Sumbawa Barat menduduki peringkat terendah 2006 (Tabel 2).
2
Kutukan sumberdaya alam merujuk pada fakta bahwa negara-negara kaya sumberdaya alam memiliki pertumbuhan yang lebih rendah (Sachs dan Warner 2000), lembaga-lembaga buruk (Karl 1997), dan lebih banyak konflik dbandingkan dengan negara-negara miskin sumberdaya alam (Collier dan Hoeffler 2004) 3 Indeks Pembangunan Manusia adalah indeks komposit yang disusun dari tiga indikator : lama hidup yang diukur dengan angka harapan hidup ketika lahir, pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas ; dan standar hidup yang diukur dengan pengeluaran per kapita (PPP rupiah). Nilai indeks berkisar antara 0-100
3
Tabel 1. Persentase Penduduk Miskin di Sumbawa Barat sejak 1998- 2006 No 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan Sekongkang Jereweh Taliwang Brang Rea Seteluk Jumlah
1998 0 10,31 5,01 0 6,38 21,68
1999 0 10,84 7,08 0 7,03 24,95
2000 0 14,41 8,59 0 12,48 35,48
2001 13,45 8,99 8,46 6,01 11,01 48,01
2002 16,58 8,86 9,45 9,00 13,62 57,51
2003 14,7 9,4 8,9 9,5 15,3 57,72
2004 13,44 9,62 9,41 8,67 13,32 54,45
2005 13,01 4,49 5,24 4,88 5,00 32,61
2006 13,91 9,57 8,97 9,21 8,94 50,61
Sumber : Sumbawa Barat dalam angka 1998-2006 dan Podes 2005
Tabel 2. APBD Kabupaten, Kota se–Provinsi Nusa Tenggara Barat 2006 (dalam juta rupiah) No Kab/Kota 1. Kabupaten Bima 2. Kota Bima 3. Kabupaten Dompu 4. Kabupaten Sumbawa 5. Kabupaten Sumbawa Barat 6. Kota Mataram 7. Lombok Barat 8. Lombok Timur 9. Lombok Tengah Sumber : Depkue, 2007
ABPD 450.374,30 242.718,16 295.645,13 362.577,31 224.705,50 345.105,59 469.986,04 NA 478.158,40
1.1.2. Performa Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara Selama masa operasi proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara 2000-2009 penggunaan/pembelian barang dan jasa dari input lokal Sumbawa Barat sangat kecil disebabkan karena iklim usaha yang belum berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan barang dan jasa dari produk import baik nasional (domestik) maupun internasional tergolong tinggi. Dalam perspektif pembangunan wilayah fenomena ini merupakan kebocoran regional (regional leakeges) bagi Kabupaten setempat. Dari diskripsi sebelumnya bahwa kinerja departemen kontrak per Desember 2005 menunjukkan bahwa contracted services 2005 adalah sebagai berikut; national Rp. 80,43 milyar (92%), NTB Rp. 4,53 milyar (5%), KSB Rp. 2,18 milyar (3%) (Gambar 1). Pekerjaan yang berkaitan dengan pelayanan alat-alat berat, akomodasi dan catering, klinik, eksplosif, security, freight, penerbangan, laboratorium, pembangkit tenaga listrik dan pelayanan pengeboran masih didominasi oleh kontraktor besar. Selebihnya, penyediaan tenaga kerja, perbaikan-perbaikan kecil dan tenaga kerja manual dikerjakan oleh
4
kontraktor kecil dan menengah (PTNNT, 2006). Dari data diatas angka kebocoran regional bagi Kabupaten Sumbawa Barat 2005 mencapai 97 %.
Contracted Services 2005 KSB, 2,184,461 , 3% NTB, 4,529,827 , 5%
National, 80,434,767 , 92%
Note : kebocoran wilayah KSB 97%
Gambar 1. Kinerja Departemen Kontrak PTNNT, 2005 Sumber : PTNNT, 2005 Menurut Malanuang (2002), performa proyek Batu Hijau PTNTT untuk mendorong sektor ekonomi lokal dari sisi permintaan (demand driven) sangat lemah. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya indeks keterkaitan kebelakang sebesar 0.12802 peringkat 35 berdasarkan analisis input–output NTB 59 sektor (Tabel 3) atau berada diatas nilai nasional sebesar 0,1137 (Tabel 4). Karena output pertambangan berupa konsentrat tembaga, emas beserta mineral ikutannya sebagian besar di eksport untuk diolah pada smelter Eropa dan Jepang, maka kinerja proyek ini untuk mendorong sektor ekonomi lokal dari sisi penawaran (supply driven) adalah nol. Hal ini diperkuat oleh hasil analisis yang menunjukkan bahwa indeks keterkaitan kedepan proyek ini besarnya juga nol, sedangkan indeks nasional untuk keterkaitan kedepan 2000 sebesar 0,8801. Demikian pula dengan pengganda pendapatan 2000 sebesar 1,04107, lebih kecil dari pengganda pendapatan nasional pada tahun yang sama sebesar 1,1756 (LPEM UI dalam IMA, 2006) Tabel 3. Hasil Analisis Input–Output NTB 2000 (59 sektor) No
Indeks Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi 1. Indeks Keterkaitan ke Belakang 2. Indeks Keterkaitan ke Depan 3. Multiplier Output 4. Multiplier Pendapatan Sumber : Malanuang, 2002
Nilai
Rangking
0.12802 0 1.08229 1,04107
35 57 40 54
5
Tabel 4. Hasil Perhitungan Angka Pengganda dan Keterkaitan Sektor Pertambangan dan Penggalian di Indonesia dengan Negara–Negara Pembanding Pertambangan dan Penggalian Multiplier Pendapatan Initial Outlays Direct Backward Linkage Indirect Backward Lingkage Total (Output Multiplier) Rank Initial Outlays Direct Forward Lingkage Indirect Forward Lingkage Total (Input Multiplier) Rank
1990 1.2722 1 0.0931 0.0474 1.1404 17 1 0.6273 0.4202 2.0475 2
Indonesia 1995 1.2085 1 0.1240 0.0597 1.1837 18 1 0.6336 0.3187 1.9523 3
2000 1.1756 1 0.1137 0.0358 1.1494 18 1 0.8801 0.3916 2.2717 3
Australia Canada 1997 1990 14.9393 12.344 1 1 0.3920 0.4210 0.02955 0.3010 1.6875 1.7220 1 0.1600 0.1162 1.2762
1 1.5820 1.6480 4.2300
Sumber : Road Map Pertambangan LPEM UI (IMA, 2006) Studi LPEM UI (2006) menggunakan analisis input-output NTB 59 sektor 2004 untuk proyek Batu Hijau PTNNT memberikan hasil yang hampir sama dengan studi sebelumnya yakni indeks keterkaitan kebelakang 0,91 tetap pada peringkat 35 sedangkan pengganda pendapatan terjadi peningkatan sebesar 1,569 rangking 38 dari 59 sektor. Ringkasan hasil analisis I-O NTB 2004 disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Input–Output NTB 2004 (59 sektor) No
Indeks Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi 1. Indeks Keterkaitan ke Belakang 2. Indeks Keterkaitan ke Depan 3. Multiplier Output 4. Multiplier Pendapatan Sumber : LPEM UI, 2006
Nilai
Rangking
0,91 0,461 1,955 1,569
35 57 35 38
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian akan di fokuskan pada: 1.
Menganalisis transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan
2.
Menganalisi keterkaitan antara pola penganggaran (APBD) dengan kinerja pembangunan pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan pengaruh spasial kinerja pembangunan antar daerah.
6
3.
Identifikasi permasalahan investasi pertambangan dan perubahan kebijakan yang diperlukan ditingkat pusat hingga daerah penelitian dan peluang perubahan kebijakan.
1.3.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi Pemerintah Pusat. Hasil penelitian ini dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pertambangan selama empat dasawarsa terakhir yang sentralistik sektoral serta menimbulkan berbagai permasalahan antara perusahaan pertambangan, pemerintah daerah dan masyarakat setempat pada daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia. Selanjutnya dari hasil penelitian ini pemerintah diharapkan dapat merumuskan paradigma baru pertambangan dengan pendekatan kewilayahan seiring dengan terjadinya transformasi pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan strategis sehingga terselenggaranya pembangunan berkelanjutan.
2.
Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat. Hasil penelitian ini dalam jangka menengah (2011-2015) dapat digunakan untuk merumuskan berbagai kebijakan pembangunan melalui pengalokasian pengganggaran, ketersedian infrastruktur, membangkitkan sumberdaya lokal terbarukan (renewable resources) yang memiliki keterkaitan dan aksessibilitas yang kuat dengan masa produksi Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Sumbawa-Barat. Sedangkan dalam jangka panjang (2011-2025) hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan pembangunan berkelanjutan dalam prespektif pembangunan wilayah Kabupaten Sumbawa-Barat sehingga dapat meminimalisir terjadinya kabupaten hantu (ghost regency) ketika deposit sumberdaya mineral proyek Batu Hijau habis pada tahun 2027.
3.
Bagi PT. Newmont Nusa Tenggara. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk merumuskan berbagai kebijakan eksternal perusahaan khususnya program pengembangan masyarakat (community development) selama berlangsungnya masa produksi proyek Batu Hijau untuk mempercepat transformasi sumberdaya mineral ke sektor stategis selain pertambangan.
4.
Bagi masyarakat Kabupaten Sumbawa-Barat NTB di delapan Kecamatan (Seteluk, Poto Tano, Taliwang, Brang Rea, Brang Ene, Maluk, Jereweh dan Sekongkang)
7
khususnya kecamatan Jereweh, Maluk dan Sekongkang sebagai lokasi proyek, hasil penelitian ini berguna untuk meningkatkan kinerja dan partisipasi mereka untuk terlibat secara aktif baik langsung maupun tidak langsung agar memiliki aksessibilitas dan proaktif menggerakkan sektor-sektor terbarukan (pertanian dalam arti luas) dan sektor yang dibutuhkan selama masa operasi proyek Batu Hijau PTNNT untuk meningkatkan kesejahteraannya. Disamping itu diharapkan munculnya kesadaran pada masyarakat akan sifat sumberdaya mineral yang tidak dapat pulih sehingga masyarakat tidak mengalami shock ketika sumberdaya mineral tersebut habis. Dengan demikian akan muncul kesadaran dalam masyarakat untuk membangkitkan sektor-sektor dapat pulih seperti pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dsbnya sehingga terjamin pembangunan berkelanjutan ketika cadangan sumberdaya mineral habis.
1.4.
Kerangka Pemikiran Menurut (Amin et al., 2003) pembangunan berkelanjutan dalam konteks usaha
pertambangan adalah transformasi sumberdaya tidak terbarukan (non renewable resources) menjadi sumberdaya pembangunan terbarukan (renewable resources), peningkatan nilai tambah pertambangan harus berbasis sumberdaya setempat atau nasional (local resource based), berbasis masyarakat (community based), dan berkelanjutan (sustainable). Sedangkan menurut agenda 21 sektor pertambangan, (2001) inti dari azas pembangunan
berkelanjutan
dalam
pemanfaatan
sumberdaya
mineral
adalah
mengupayakan agar sumberdaya mineral dapat memberikan kemanfaatan secara optimal bagi manusia pada masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang. Dari prespektif perencanaan pembangunan wilayah, Kabupaten Sumbawa Barat sangat lemah dalam menangkap permasalahan dan tantangan pembangunan dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Hal ini terlihat dari dokumen-dokumen perencanaan yang tertuang dalam Visi Misi Bupati, APBD tahunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2005-2010 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025. Dokumen tersebut belum memuat langkah-langkah untuk mereduksi dan mengantisipasi ketergantungan Kabupaten Sumbawa Barat yang tinggi terhadap satu sektor yakni pertambangan dan sifat sumberdaya mineral yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) serta pengembangan dan diversifikasi sektor-sektor di luar pertambangan.
8
Dengan argumentasi bahwa cadangan sumberdaya mineral suatu saat pasti akan habis, maka perlu dicarikan sektor alternatif yang dapat dijadikan sebagai basis perekonomian di masa depan. Menurut Margo (2005), struktur ekonomi akan berubah secara signifikan jika dilakukan perubahan mendasar tentang keterkaitan antar sektorsektor dalam sistem perekonomian. Dengan kata lain melalui keterkaitan hulu hilir (pohon industri) perubahan struktur ekonomi akan berjalan jauh lebih cepat menuju struktur ekonomi yang seimbang bila dibandingkan dengan kondisi awal (tanpa dilakukan transformasi). Menciptakan keterkaitan ekonomi antara sektor hulu dan hilir menjadi prasyarat agar basis industri menjadi kuat dan efisien sehingga industri yang berkembang dapat menjadi pendorong tumbuh kembangnya kegiatan ekonomi lokal sehingga pada akhirnya daerah akan dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam perspektif pembangunan wilayah Kabupaten Sumbawa Barat transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke pengembangan sumberdaya lokal terbarukan berdasarkan potensi sumberdaya alam setempat dan sektor non tambang lainnya dapat mengganti dominasi pertambangan yang mengarah pada keberlanjutan pembangunan Kabupaten tersebut secara bertahap, terencana dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Kegagalan dalam transformasi struktur ekonomi akan mengakibatkan pembangunan daerah Sumbawa Barat tidak berkelanjutan saat tambang habis. Transformasi struktur perlu pula ditopang oleh pola penganggaran yang tepat baik untuk daerah sendiri maupun interaksi dengan daerah sekitarnya. Soenarto (2007) menerangkan kaitan antara pola pengalokasian anggaran dengan interaksi spasial. Pola pengalokasian anggaran suatu daerah yang tepat akan memberi pengaruh terhadap kinerja pembangunan yang baik untuk daerah yang bersangkutan dan diharapkan juga memberi pengaruh terhadap kinerja pembangunan di daerah sekitarnya. Begitu pula kinerja pembangunan di suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran pada daerah yang bersangkutan, tetapi mendapat pengaruh dari daerah di sekitarnya. Pengalokasian anggaran belanja yang baik disuatu daerah akan memberi dampak terhadap daerah-daerah lainnya. Atau dapat dikatakan, dengan tercapainya kinerja pembangunan yang baik maka daerah-daerah sekitarnya akan menerima manfaat. Identifikasi permasalah pertambangan juga dilakukan dengan menganalisis kebijakan peraturan perundang undangan dan perubahan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung transformasi struktur ekonomi tersebut.
9
Dari penelitian ini diharapkan dapat tercapainya tujuan utama penelitian yaitu membangun Model Pembangunan Daerah Berkelanjutan Melalui Transformasi Struktur Ekonomi Berbasis Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan (Studi kasus tambang tembang dan emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat, NTB). Diskripsi kerangka pemikiran penelitian diatas dapat diilustrasikan pada Gambar 2 di bawah ini.
Dominasi Pertambangan
tambang habis
Pembangunan Daerah Sumbawa Barat tidak berkelanjutan
direduksi
Pembangunan Daerah Sumbawa Barat Berkelanjutan bertahap, terencana dalam jangka pendek menengah dan panjang
direduksi
gagal
Transformasi Struktur Ekonomi
berhasil
Pengembangan sektor terbarukan dan sektor non tambang lainnya ya
disertasi
masukan
Masukan bagi : Pemda KSB Pempus PT. Newmont Nusa Tenggara dan Masyarakat
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.5.
Perumusan Masalah Sebagaimana telah diskripsikan pada bagian sebelumnya bahwa Kabupaten
Sumbawa Barat sangat tergantung pada satu sektor yakni pertambangan yang tercermin dalam PDRB Kabupaten tersebut dengan rata-rata sebesar 94,00 % sejak 2000-2006. Apabila pertambangan di dikeluarkan dari perhitungan PDRB maka nilai total PDRB Sumbawa Barat 2006 hanya sebesar Rp. 498,380 Milyar. Secara berurutan sektor yang dominan tanpa tambang menurut rangking adalah pertanian Rp. 175,644 Milyar (35,24 %), perdagangan, hotel dan restoran Rp. 111,752 Milyar (22,42 %), pengangkutan dan komunikasi Rp. 68,958 Milyar (13,84 %), bangunan Rp. 62,704 Milyar (12,58 %), jasajasa Rp. 48,074 Milyar (9,65 %), keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Rp. 14,973
10
Milyar (3 %), industri pengolahan Rp. 14,370 Milyar (2,88 %) serta listrik, gas dan air bersih Rp. 1,897 Milyar (0,38). (Gambar 3)
175,644.51 (35,24 %)
1. PERTANIAN
111,752.01 (22,42 %)
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
68,958.98 (13,84 %)
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
62,704.77 (12,58 %)
5. BANGUNAN
48,079.00 (9,65 %)
9. JASA‐JASA
14,973.67 (3,0 %)
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN
14,370.11 (2,88 %)
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
1,897.04 (0,38 %)
0.00
20,000.00
40,000.00
60,000.00
80,000.00
100,000.00
120,000.00
140,000.00
160,000.00
180,000.00
200,000.00
Gambar 3. Grafik PDRB Sumbawa Barat tanpa Tambang 2006 Sumber : PDRB diolah, 2009 Bergantung pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan semata bukanlah basis pembangunan yang berkelanjutan (Karl, 2007). Dari perspektif pembangunan wilayah ketergantugan pada satu sektor yakni pertambangan akan memberi pengaruh signifikan bagi pembangunan wilayah Kabupaten tersebut dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Kinerja pembangunan Kabupaten tersebut akan turun secara drastis seiring dengan habisnya proyek Batu Hijau PTNNT dengan alasan bahwa 1) cadangan mineral terus mengalami penipisan seiring dengan laju eksploitasi 2) sifat sumberdaya mineral yang tidak terbarukan. Situasi demikian membuat umur tambang tembaga dan emas Proyek Batu Hijau PTNNT sangat singkat. Apabila situasi ini berjalan normal (bisnis as usual) seperti apa adanya saat ini, tanpa transformasi struktur ekonomi, penentuan arah dan prioritas pembangunan serta perubahan
kebijakan
pada
sektor-sektor
selain
pertambangan
maka
performa
pembangunan Sumbawa Barat akan mengalami situasi yang sama ketika tambang timah di Kabupaten Dabo Singkep Kabupaten Linggau Kepulauan Riau habis 1992 yakni perekonomian lumpuh, aktifitas ekonomi terhenti dan hilangnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Berdasarkan rencana perluasan tambang Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2005, umur penggalian mineral berkadar tinggi (high grade) akan berakhir pada tahun 2016,
11
dilanjutkan dengan pengolahan mineral berkadar sedang (medium grade) dan rendah (low grade) yang akan berlangsung hingga tahun 2027. Penutupan tambang direncanakan 2027 dan setelah 2027 adalah masa pasca tambang (Tabel 6) Tabel 6. Umur Tambang Proyek Batu Hijau PTNNT (Mine life time Batu Hijau Project PTNNT) Siklus Proyek Batu Hijau PTNNT
Pra Tambang Sebelum 1995
19961997
Masa Tambang saat ini (Current Situation) 1997199920091999 2006 2016
2016 – 2027
Penutupan Tambang 2027
Pasca Tambang Setelah 2027
Eksplorasi Pra-Konstruksi (AMDAL) Konstruksi Produksi 1 Produksi 2 Produksi 3 Penutupan Tambang Pasca Tambang
Sumber : PT. NNT 2006
Sebagai langkah antisipasi habisnya pertambangan, pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat perlu melalukan transformasi struktur ekonomi dengan membangkitkan sumberdaya strategis diluar tambang khususnya komoditi yang bersifat terbarukan (pertanian dalam arti luas), serta sektor non tambang lainnya. Transformasi struktur harus pula didukung oleh pola penganggaran yang tepat karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumbawa Barat merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Menurut Saefulhakim (2009) kesalahan dalam memilih fokus pengalokasian penganggaran menyebabkan pembangunan tidak efisien, pemborosan sumberdaya sehingga sasaran yang akan dicapai tidak dapat terwujud dengan optimal yang pada akhirnya kinerja pembangunan memburuk. Upaya melakukan transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal perlu didukung oleh 1) pola pengalokasian anggaran yang tepat sasaran 2) kebijakan perencanaan pembangunan daerah dan, 3) dukungan pemangku kepentingan (stakeholder) didaearah kearah perubahan kebijakan transformasi dalam perspektif pembangunan daerah Kabupaten Sumbawa Barat kearah berkelanjutan. Transformasi
12
struktur merupakan salahsatu pilihan bagi pembangunan wilayah kabupaten tersebut jika tidak ingin terperangkap dalam fenomena Kabupaten hantu (ghost regency) 4 atau Ghost City ketika tambang habis. 1.6.
Pertanyaan Penelitian
1.
Apakah transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan dapat dilakukan?
2.
Apakah transformasi struktur ekonomi didukung oleh pola penganggaran untuk memperbaiki kinerja pembanguan di masa depan?
3.
Apakah transformasi pertambangan didukung oleh peraturan perundangan dan kesiapan stakeholder di Sumbawa Barat?
1.7.
Kebaruan (Novelty) Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah terbentuknya pemahaman dan paradigma
baru pembangunan daerah berkelanjutan pada sektor pertambangan yang bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) dengan melakukan transformasi struktur ekonomi ke sumberdaya lokal terbarukan (renewable resources) dalam hal ini pertanian dalam arti luas serta sektor strategis lainnya sesuai dengan karakteristik wilayah. Keberhasilan proses transformasi struktur ekonomi perlu didukung oleh peran penganggaran yang optimal untuk memperbaiki kinerja pembangunan serta perubahan kebijakan pengelolaan pertambangan di Indonesia dari pusat hingga daerah dengan tujuan meminimalisir fenomena penyakit Belanda (Dutch Disease) selama masa operasi pertambangan dan terhindarnya suasana Kabupaten hantu (ghost regency) ketika tambang tembaga, emas serta mineral ikutannya habis tahun 2027 di Sumbawa Barat.
4
Ghost Regency atau Ghost City merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan daerah yang mengalami kegagalan dalam mengelola pertambangan, saat tambang habis. Misalnya pertambangan timah selama 120 tahun di Dabo-Singkep kabupaten Lingga kepulauan Riau, demikian pula dengan gagalnya penambangan fospat selama 70 tahun di Republik Nauru yang menjadikan negara tersebut sebagai negara hantu (ghost state).
13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commision on
Environment and Development) WCED (1988), insititusi yang pertama kali menggulirkan konsep pembangunan berkelanjutan mendefinisikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah “pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. WCED membagi dua kunci konsep utama dari definisi tersebut. Pertama, konsep tentang kebutuhan atau needs yang sangat esensial untuk penduduk miskin dan perlu diprioritaskan. Kedua, konsep tentang keterbatasan atau limitation dari kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Usulan konkrit dari himbauan tentang apa yang harus dilakukan telah diajukan oleh IUCN (The World Conservation Union). UNEP (United Nation Environmental Program) dan WWF (World Wide Fund For Nature) tahun 1991 menerbitkan dokumen yang disebut Caring For The Earth : a Strategy for Sustainable Living. Menurut dokumen ini, pada prinsipnya harus ada pemaduan dan keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Konservasi bukan menghambat tetapi justru mendukung pembangunan, karena hanya dengan mengkonservasikan alam maka pembangunan dapat berkelanjutan. Dokumen ini merupakan pengembangan atas dokumen yang berisi usulan dan himbauan yang berjudul World Consevation Strategy tahun 1980, yang disusun oleh ketiga badan dunia tersebut. Walaupun demikian dokumen ini kelihatannya kurang mendapat perhatian dunia. Ini disebabkan selain karena penyebaran yang memang terbatas, bobot politik dan institutionalnya juga belum mencukupi. Ketua Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WECD) Gro Harlem Brutland dalam pengantarnya di buku “Our Common Future” menceritakan bahwa tugas komisinya ketika memperoleh mandat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1983 adalah memformulasikan agenda global untuk perubahan atau “a global agenda for change” yang bertujuan : 1.
Mengajukan strategi jangka panjang di bidang lingkungan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan tahun 2000 dan kedepan.
2.
Merekomendasikan cara-cara atau strategi untuk lingkungan yang mungkin dapat direfleksikan pada kerjasama diantara negara–negara berkembang dan diantara negara yang tingkat sosial ekonominya berbeda dan menuju ke pencapaian tujuan bersama dan saling menguntungkan dengan memperhatikan keterkaitan antar manusia (people), sumber-sumber (resources), lingkungan (environment), dan pembangunan (development).
3.
Mempertimbangkan strategi dan cara dimana masyarakat internasional dapat mengatasi dengan efektif keprihatinan lingkungan.
4.
Membantu mendifinisikan pandangan tentang isu–isu lingkungan jangka panjang dan upaya-upaya yang tepat yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah dalam rangka melindungi dan meningkatkan daya dukung lingkungan, agenda tindak untuk jangka panjang selama sepuluh tahun mendatang dan tujuan-tujuan yang aspiratif untuk masyarakat global. Salim (1990), dalam makalahnya berjudul “Sustainable Development : An
Indonesian Perspektif” menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan menempatkan pembangunan dalam perspektif jangka panjang (a longer term perspective). Konsep tersebut menuntut adanya solidaritas antar generasi. Hadi (2001), menyatakan untuk konteks Indonesia pembangunan berkelanjutan ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan juga mengeliminasi kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan secara implisit juga mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan tetap menjaga kualitas sumberdaya alam. Konsep pembangunan berkelanjutan menyadari bahwa sumberdaya alam merupakan bagian dari ekosistem. Dengan memelihara fungsi ekosistem maka kelestarian sumberdaya alam akan tetap terjaga. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan
berkelanjutan
mempersyaratkan
melarutnya
lingkungan
dalam
pembangunan. Sebagai salah seorang anggota komisi Brutland, Salim (1990) selanjutnya mengatakan bahwa penduduk dunia telah mencapai 5,2 milyar. Jumlah ini ditopang oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang meningkat 20 kali lipat selama tahun 1900-1990. Pertumbuhan yang tinggi ini dimungkinkan dengan konsumsi energi dunia yang terus meningkat. Meskipun jumlah penduduk di negara-negara maju hanya 25% dari penduduk dunia, tetapi mereka mengkonsumsi energi dunia sebanyak 80%. Sementara itu penduduk negara berkembang yang mencapai 75% dari penduduk dunia hanya
15
menkonsusmsi 20% energi dunia. Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju maupun berkembang membawa kesejahteraan tetapi juga ketidakmerataan dan kerusakan lingkungan. Dampak pada lingkungan meliputi (a) pencemaran atmosfir seperti menipisnya lapisan ozone, pemanasan global, hujan asam, perubahan iklim (b) kenaikan permukaan air laut, pencemaran laut karena “oil spill”, penangkapan ikan yang berlebihan atau “over fishing” (c) penggundulan hutan (d) merosotnya keanekaragaman hayati (e) degradasi tanah, erosi lahan, karena eksploitasi lahan yang berlebihan. Para pakar mengidentifikasi tiga pandangan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang berkembang dari tiga disiplin ilmu pengetahuan (Seraggeldin, 1994). Pandangan tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, pandangan dari sudut ekonomi yang meletakkan pusat perhatian pada upaya peningkatan kemakmuran semaksimal mungkin dalam batasan ketersediaan modal dan kemampuan teknologi. Sumberdaya alam merupakan modal yang lambat laun akan menjadi sesuatu yang langka, dan ini pada gilirannya akan menjadi kendala bagi upaya peningkatan kemakmuran. Sementara itu sumberdaya manusia dengan kemampuan teknologinya akan menjadi tumpuan harapan untuk melonggarkan batas dan mengubah kendala-kendala yang ada. Atas dasar itu diharapkan perkembangan kemakmuran akan terus mengalami keberlanjutan. Kedua, pandangan dari sudut ekologi yang melihat terjaganya keutuhan ekosisitem alami sebagai syarat mutlak untuk menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan. Ketiga, pandangan dari segi sosial yang menekankan kepada pentingnya demokratisasi, pemberdayaan, peran serta, transparansi dan keutuhan budaya, sebagai kunci untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Selanjutnya Seragaldin (1993) menguraikan bahwa pembangunan berkelanjutan harus mengintegrasikan tiga bidang ilmu yang berbeda serta hubungan diantara ketiganya baik aspek ekonomi maupun non ekonomi yaitu (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi capital, (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan (3) ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan (Gambar 4).
16
Tujuan Ekonomi : Pertumbuhan, pemerataan dan efisiensi capital
Tujuan Sosial : Pemberdayaan masyarakat, partisipasi, mobilitas sosial, kepaduan/kohesi sosial, identitas budaya dan pengembangan kelembagaan
Tujuan Ekosistem : Integritas ekosistem, daya dukung lingkungan keanekaragaman hayati dan isu-isu global
Gambar 4. Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Seragaldin, 1993) Munasinghe (1993) dalam Indahsari (2001) menyatakan bahwa tidaklah mudah untuk menyatukan ketiga tujuan di atas dan akan terjadi tolak angsur (trade off) diantara tujuan–tujuan tersebut. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, para ahli
ekonomi
memiliki
pendekatan
tersendiri
dalam mencapai
pembangunan
berkelanjutan. Inti dari pendekatan tersebut adalah bahwa telah ada upaya penilaian terhadap nilai-nilai lingkungan serta sosial yang tidak tertransaksi di pasar. Selain itu, untuk memfasilitasi trade off antara ketiga tujuan yang berbeda tersebut digunakan analisis multikriteria dengan indikator-indikator ekonomi, sosial dan lingkungan tertentu (Gambar 5). Lebih jauh Munasinghe (1993) menguraikan usaha-usaha untuk mencapai pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan ekonomi. Pertama, menelusuri dampak di tingkat proyek pembangunan yaitu dengan melakukan analisis biaya manfaat. Jika manfaat suatu proyek pembangunan lebih besar daripada biayanya (termasuk biaya lingkungan dan sosial) maka proyek tersebut layak dilaksanakan. Kedua, adalah menelusuri dampak ditingkat sektoral, yaitu dengan kebijakan pricing terhadap sumberdaya –terutama sumberdaya/jasa-jasa yang langka– dan pengenaan biaya tambahan (charges) untuk menutupi dampak-dampak eksternal. Ketiga, menelusuri dampak di tingkat makro ekonomi berupa pendesain ukuran-ukuran komplemen yang dapat menurunkan dampak negatif kebijakan dan meningkatkan dampak positif
17
kebijakan, baik dalam kebijakan ekonomi, lingkungan, maupun sosial, terutama dalam hal alokasi dan akses ke sumberdaya. Tujuan Ekonomi evaluasi dampak lingkungan valuasi sumberdaya internaliasasi dampak
distribusi pendapatan employment targeted asistance Tujuan Sosial
Tujuan Ekosistem partisipasi konsultasi pluralisme
Gambar 5. Unsur-unsur Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan Sumber : Munasinghe, 1993 Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan akan diuraikan dibawah ini. 2.1.1. Tujuan Ekonomi dan Sosial Kedalam tujuan ekonomi sosial, terdapat tiga unsur penting yang harus diperhatikan agar tujuan ekonomi dan tujuan sosial dapat dicapai secara bersamaan, yaitu distribusi pendapatan, kesempatan kerja (employment), dan bantuan bersasaran (targeted assistence). Pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan upaya peningkatan kesempatan kerja dan upaya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Untuk mencapai hal tersebut, segala bentuk rintangan (barriers) yang menghalangi akses masyarakat, terutama masyarakat miskin untuk ikut serta dalam pembangunan, pemanfaatan sumberdaya, dan lain-lain, harus ditekan sekecil mungkin atau dihilangkan sama sekali. Dalam konteks industri pertambangan, misalnya dengan memberikan kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat kecil melalui pemberian pinjaman modal (peningkatan sumberdaya kapital), penyediaan berbagai fasilitas yang mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan lain-lain. Keberpihakan terhadap kelompok masyarakat miskin, masyarakat di perdesaan, wanita dan anak-anak, ataupun kelompok masyarakat lain yang selama ini diabaikan, perlu dilakukan sehingga tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus pemerataan dan pengentasan kemiskinan dapat terealisasi. Intinya adalah bahwa pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
18
2.1.2. Tujuan Ekonomi dan Tujuan Ekosistem Kebijaksanaan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sebagian besar
mempunyai relevansi terhadap konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan.
Response
dan
akselerasi
pembangunan
ekonomi
membutuhkan
pemeliharaan lingkungan hidup yang mendukung kegiatan ekonomi dan sosial yang dinamis, selain menentukan kebijaksaan juga ditingkat nasional membutuhkan programprogram di tingkat lokal dan wilayah yang dapat dilaksanakan. Pembangunan nasional tidak akan tumbuh pesat apabila kehidupan ekonomi wilayah dan lokal tidak dinamis, stabil dan penuh ketidakpastian. Pembangunan juga tidak akan berjalan pesat apabila anggaran belanja pembangunan tidak mencukupi. Kecenderungan yang terjadi dalam pembangunan ekonomi adalah tidak memperhitungkan nilai-nilai pemanfaatan sumberdaya yang tidak memiliki harga, seperti nilai-nilai intrinsik sumberdaya alam maupun beban sosial masyarakat akibat pemanfaatan sumberdaya. Tidak adanya penilaian terhadap sumberdaya ini selanjutnya menimbulkan eksternalitas-eksternalitas tersendiri (terutama eksternalitas negatif) yang sangat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat harus menanggung beban/biaya sosial yang timbul dalam setiap pemanfaatan sumberdaya tanpa sedikitpun diberi “kompensasi”. Beban/biaya sosial terbesar yang harus ditanggung oleh masyarakat saat ini maupun masyarakat dimasa yang akan datang adalah penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan, yang tentu saja dalam jangka panjang tidak menjamin pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (tujuan ekosistem dalam pembangunan berkelanjutan tidak akan tercapai). Oleh karena itu, maka dalam program-program pembangunan wilayah dan pemukiman sekelompok masyarakat, tujuan ekosistem ini harus diperhatikan. Setiap program yang akan dilaksanakan harus dievaluasi dampaknya terhadap lingkungan. Selain itu, penilaian terhadap sumberdaya-sumberdaya yang dimanfaatkan (baik nilai ekstrinsik maupun intrinsiknya) sangat diperlukan untuk menghindari, setidaknya mengurangi, eksternalitas. Jikalau eksternalitas telah terjadi, maka upaya-upaya internalisasi berbagai dampak keluar (eksternalitas) harus dilakukan, misalnya dengan bentuk-bentuk kompensasi. Dengan demikian, segala aktifitas yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun efisiensi kapital (tujuan ekonomi) akan tetap memperhatikan pengelolaan yang berkelanjutan.
19
2.1.3. Tujuan Sosial dan Tujuan Ekosistem Untuk dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan, kebijaksanaan lingkungan yang lebih menekankan pada konservasi dan perlindungan sumberdaya, perlu memperhitungkan mereka yang masih bergantung kepada sumberdaya tersebut, untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Bila hal ini tidak diperhatikan, akan memberikan dampak yang buruk terhadap kemiskinan dan mempengaruhi keberhasilan jangka panjang dalam upaya konservasi sumberdaya dan lingkungan. Selain itu, masalah hak kepemilikan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan. Sumberdaya yang dimiliki oleh umum (tidak jelas hak kepemilikannya) telah mengarah pada sumberdaya akses terbuka (open access), dimana dalam keadaan ini, siapapun dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa sedikitpun mempunyai insentif untuk memelihara kelestariannya. Pengukuhan hak-hak kepemilikan akan memperjelas posisi kepemilikan suatu pihak sehingga pihak tersebut dapat mencapai kelestarian (upaya konservasi) dan mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya dari intervensi maupun ancaman dari pihak luar. Kearifan-kearifan (wisdoms) harus dipahami dan dijadikan sebagai dasar/landasan dalam membuat program-program pengembangan wilayah tersebut. Untuk itu, masyarakat lokal, sebagai pihak yang menguasai pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang dimilikinya harus diikutkan dalam upaya perumusan/pembuatan program-program tersebut. Jika hal ini dapat dilakukan dan terealisasi, maka partisipasi aktif dari masyarakat dalam pembangunan akan muncul dengan sendirinya. Menurut Anwar (2001), pembangunan wilayah harus diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga aspek tersebut, dalam perkembangannya secara evolusi dengan berjalan melintas waktu yang ditentukan oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat, seperti perubahan keadaan sosial, ekonomi, serta realitas politik. Agar perencanaan dan pengelolaan pembangunan mencapai tujuan untuk memperbaiki tingkat kesejaheraan masyarakat, maka perlu mencurahkan perhatian kepada semua aspek-aspek tentang kesejahteraan manusia, menurut lintas waktu dan skala spasial yang diarahkan kepada sistem cara perencanaan dan pengelolaan pembangunan melalui kelembagaan. Untuk mengevaluasi keberhasilan dalam mencapai tujuan–tujuan tersebut, menurut segugus nilai–nilai untuk wilayah
20
geografis tertentu (seperti kelembagaan/organisasi, wilayah dll dan rentang waktu jangka pendek, menengah dan panjang dengan memperhatikan semua aspek dan semua tingkatan (Gambar 6). Skala spasial yang paralel dan berhubungan dengan hirarkhi administrasi dan ekologi
Pandangan jauh ke depan memerlukan terjadinya proses yang berkembang secara evolutif yang dapat mempengaruhi keberlanjutan (sustainability)
Spasial
Internasional
_ Temporal
Nasional
_
Regional
_
Lokal
_
Aspek-Aspek diatas perlu dipertimbangkan agar tindakan kebijaksanaan mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh
|
|
Ekonomi
|
Sosial
Aspek-aspek
Lingkungan
Gambar 6. Kerangka Berfikir Tiga Dimensi tentang Keberlanjutan Sumber : Anwar (2001) Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan yang di muat dalam dokumen Agenda 21 pada dasarnya mengandung empat hal utama. Pertama, program yang bertalian
dengan
aspek
sosial
ekonomi
seperti
penanggulangan
kemiskinan,
kependudukan, perubahan pola konsumsi dan produksi, permukiman, kesehatan, pemaduan lingkungan dan pembangunan, dan kerjasama internasional. Kedua, program yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam seperti perlindungan atmosfir; pengelolaan tanah, hutan, air tawar, pesisir dan kelautan; perdesaan dan pertanian; bio-teknologi; pengendalian bahan dan limbah beracun dan berbahaya; pengelolaan limbah termasuk radioaktif di dalamnya. Ketiga, program yang berhubungan dengan penguatan peranan kelompok utama dalam masyarakat seperti masyarakat adat, kalangan perempuan, pemerintah daerah, pekerja, petani, pengusaha dan industriawan, komunitas ilmuan dan pakar teknologi. Keempat, program yang
21
bertautan dengan pengembangan sarana untuk pelaksanaan seperti pembiayaan, alih teknologi, pengembangan ilmu, pendidikan, kerjasama nasional maupun internasional, dan pengembangan informasi. Agar suatu pembangunan dapat berkelanjutan, ada persyaratan minimum yaitu bahwa sediaan kapital alami (natural capital stock) yang harus dipertahankan sehingga kualitas dan kantitasnya tidak menurun dalam suatu rentang waktu (Pearce, 1993) dalam Margo (2005) (Gambar 7). Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai kapital alami adalah suatu proses substraksi dan/atau penambahan materi dari dan kepada sistem alam (Gunawan, 1994). Proses ini kemudian menyebabkan perubahan ke dalam setiap komponen sistem alam tersebut yang berakibat pada perubahan kondisi alami dari sumberdaya. Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development)
Memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama dalam mencapai kesejahteraannya, seperti halnya generasi sekarang
Kesejahteraan tidak berkurang dengan berjalannya waktu
Diperlukan cara untuk memperbaiki dan mengelola portofolio asset ekonom; sehingga nilai agregatnya tidak berkurang dengan berjalannya waktu
Kapital alami (Kn)
1.
Kapital fisik (Kp)
Weak Sustainability
Substitusi Kn dan Kp
Kapital manusia (Kh)
Substitusi Kn dengan Kh
Kn bukan hal yang esensial 2.
Strong Sustainability Menjaga Kn agar utuh karena : 1. Substitusi yang sempurna 2. Kerugian/kehilangan yang tidak dapat dikembalikan 3. Ketidakpastian nilai
Gambar 7. Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan Sumber : Pearce dan Barbier (2000 dalam Margo, 2005)
22
2.2.
Indikator Pembangunan Berkelanjutan Daerah Menurut Agenda 21 (2000). Untuk menggambarkan berbagai aspek yang
kompleks dan sulit terukur dari masyarakat, seringkali dipakai angka atau suatu nilai, seperti Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan daerah dan pendapatan per kapita rata–rata. Nilai–nilai tersebut memang kemudian dapat membantu mengantarkan kepada suatu penilaian tentang keadaan suatu kelompok penduduk dan daerahnya. Tetapi, dari awal pun diketahui bahwa penilaian tersebut mempunyai kelemahan–kelemahan. PDRB merupakan jumlah dari semua barang dan jasa yang dihasilkan suatu daerah dalam nilai uang. Angka PDRB itu tidak dapat menggambarkan proses ekonomi yang berlangsung pada kehidupan sehari–hari yang tentunya berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Pendapatan perkapita rata–rata juga tidak mampu memberikan gambaran secara lebih detail berapa jumlah penduduk yang hidup diatas dan dibawah garis kemiskinan. Angka pendapatan perkapita rata–rata tidak bisa memberikan gambaran berapa orang kaya dan berapa orang miskin di suatu daerah. Angka dan nilai–nilai tersebut hanya digunakan untuk memudahkan kita melakukan perkiraan terhadap keadaan makmur-miskin suatu daerah dan penduduknya. Angka dan nilai itu berfungsi sebagai indikator. Indikator merupakan alat yang dipakai untuk menggambarkan secara sederhana suatu keadaan yang tidak berdiri sendiri, tetapi terkait kedalam sistem yang lebih besar dan lebih rumit. Indikator tidak dimaksudkan untuk menjadi alat tunggal dalam evaluasi objektif atas suatu keadaan. Selain aspek ekonomi, seperti PDRB, pendapatan daerah dan pendapatan perkapita rata–rata, juga dipakai indikator–indikator sosial (misalnya, tingkat pendidikan penduduk) dan lingkungan. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu saat konsep pembangunan berkelanjutan mulai diadopsi dan dilaksanakan, disadari bahwa tolak ukur perkembangan pembangunan yang murni bersifat ekonomi harus didukung pula oleh tolak ukur yang bersifat non ekonomis. Ukuran ekonomi, seperti GNP, ternyata tidak mampu mengukur adanya inequality dan kemiskinan serta perkembangan sumberdaya manusia; adanya degradasi serta penyusutan sumberdaya alam dan lingkungan; dan aspek-aspek sosial, politik dan spiritual manusia (Steer dan Lutz, 1993). Oleh karena itu kemudian muncul indikator pembangunan lain yang memasukkan dampak-dampak sosial dan lingkungan dalam pembangunan. Indikator pembangunan yang memperlihatkan dampak sosial pembangunan adalah Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI).
23
Dalam HDI ini telah dimasukkan indikator-indikator sosial seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan perumahan dan lain-lain. Bentuk ukuran pembangunan manusia yang lain yang mirip dengan HDI adalah Physical Quality of Life Index (PLQI). PLQI ini menggunakan indikator-indikator yang lebih sederhana daripada HDI, yaitu tingkat harapan hidup pada usia satu tahun, tingkat kematian bayi, dan tingkat melek huruf (Todaro, 1998). Indikator pembangunan yang lain adalah dengan memasukkan dampak lingkungan terhadap pendapatan nasional. Untuk keperluan tersebut diperlukan penghitungan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Pemikiran mengenai penghitungan sumberdaya alam dan lingkungan ini muncul berkaitan dengan semakin meningkatnya perhatian dunia terhadap masalah kelangkaan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Steer dan Lutz (1993) menyebutkan bahwa ada tiga bentuk penghitungan sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu menghitung dampak fisik (ekosistem), dampak terhadap produktifitas dan kesehatan dan dampak moneter. Suparmoko (1994) bahkan menambah satu lagi bentuk penghitungan sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu melalui pendekatan pendapatan. Melalui penghitunganpenghitungan tersebut maka akan diketahui seberapa besar pengurasan pendapatan nasional yang konvensional dengan hasil penghitungan pengurasan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Dengan
demikian,
ukuran-ukuran
pembangunan
berkelanjutan
harus
memasukkan ukuran atau indikator ekonomi. Produk Domestik Bruto per kapita ataupun Produk Domestik Regional Bruto per kapita harus digandengkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan hasil penghitungan dampakdampak terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan
bertambahnya
wawasan
tentang
pembangunan
yang
harus
memperhatikan azas keberlanjutan (sustainability), maka indikator-indikator yang dipakai untuk mengukur kemajuan suatu daerah sebagai dampak dari pembangunan juga mengalami perkembangan. Aspek lingkungan kemudian memperoleh perhatian yang lebih layak sehingga banyak diciptakan indikator lingkungan. Selain itu, tumbuh juga kesadaran bahwa kegiatan pembangunan itu berlandaskan diri pada penyelenggaraan urusan publik dan swasta yang baik (good governance) yang tanggap terhadap kebutuhan
24
dan tingkat perkembangan masyarakat setempat. Indikator–indikator yang dapat menonjolkan azas tersebut pada tingkat daerah perlu mendapat perhatian secara khusus, terutama untuk kasus seperti Indonesia dengan keragaman daerah yang sangat tinggi. Dengan keadaan yang seperti itu prioritas lokal bisa saja sangat berbeda antara suatu daerah dengan daerah/pemerintahan daerah lainnya. Pengunaan indikator dalam proses Pembangunan Berkelanjutan secara sederhana ditunjukkan pada Gambar 8 sebagai berikut : Pengorganisasian partisipasi masyarakat Kesepakatan pengertian pembangunan berkelanjutan
Rumusan rancangan indikator
Laporan tentang keberlanjutan
Pemantauan dan pelaporan
Kesepakatan : tujuan Pembangunan
Penggunaan indikator
Perkembangan
Uji coba indikator
Pengendalian
Penggunaan indicator Pemantaun dan Pelaporan
Gambar 8. Penggunaan Indikator dalam Proses Pembangunan Berkelanjutan Sumber: Agenda 21 Sektoral buku 3 (2000) 2.3.
Pembangunan Berkelanjutan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Mineral Salah satu sifat sumberdaya mineral adalah tidak terbarukan. Sumberdaya yang
tidak pulih adalah sumberdaya yang laju pemulihannya sangat lamban sehingga sumberdaya tersebut tidak dapat memulihkan stok/sediaannya dalam waktu yang ekonomis (Conrad, 1999 dan Tietenberg, 2000). Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) seperti mineral disebut juga sumberdaya terhabiskan (depletable), yaitu sumberdaya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sehingga suatu saat akan habis. Selain itu sumberdaya mineral memerlukan waktu yang lama untuk siap ditambang. Hotteling dalam Stiglitz (2007)
25
menawarkan kerangka utuk menentukan waktu paling tepat mengeluarkan sumber alam dari perut bumi. Teori ini sebagai basis dari ekstraksi sumberdaya alam tidak pulih secara optimal. Prinsip model Hotteling adalah bagaimana mengekstrak sumberdaya mineral secara optimal dengan kendala stok dan waktu. Aplikasi dari teori ini adalah bagi pihak perusahaan pertambangan, untuk mendapatkan produksi sumberdaya mineral secara optimal harus mampu menentukan berbagai faktor produksi yang tepat dengan kendala waktu dan stok (deposit). Sedangkan bagi pihak pemilik sumberdaya dalam hal ini negara harus bersikap mengabaikan (indifferent) terhadap sumberdaya mineral, apakah akan mengekstrak sekarang atau pada masa yang akan datang. Jadi sebagai pengambil kebijakan peran negara sangat menentukan terhadap eksploitasi sumberdaya mineral yang tidak semata-mata berorientasi ekonomi (economic oriented) tetapi juga harus mempertimbangkan secara cermat dampak lingkungan, sosial, kesiapan kelembagaan baik pemerintah maupun masyarakat. Sumberdaya mineral dengan sifat tersebut mempunyai implikasi yang sangat luas dalam kehidupan masyarakat karena sumberdaya mineral merupakan aset yang memberi harapan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu eksploitasi sumberdaya mineral merupakan kesempatan bagi masyarakat yang hanya datang sekali saja, sehingga harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian industri pertambangan merupakan industri alternatif yang paling efektif untuk meningkakan kesejahteraan masyarakat di daerah yang penduduknya berada dalam kemiskinan struktural. Di sisi lain industri pertambangan juga merupakan industri yang menimbulkan berbagai perubahan drastis terhadap lingkungan sehingga merupakan ancaman terhadap kelestarian fungsifungsi lingkungan dan fungsi-fungsi kehidupan sosial budaya masyarakat. Potensipotensi positif sektor pertambangan sering tidak mampu mengkompensasikan potensipotensi negatif ini, sehingga industri pertambangan mempunyai potensi konflik dengan kepentingan masyarakat (Agenda 21, 2001). Di lain pihak ada kenyataan bahwa investasi pertambangan merupakan satusatunya cara untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya mineral. Sebab sumberdaya mineral hanya mempunyai satu kemanfaatan, yaitu kemanfaatan ekonomis. Tanpa ada investasi, maka sumberdaya mineral dapat dikatakan tidak dapat memberikan kemanfaatan apa pun. Kemanfaatan ekonomis dalam eksploitasi sumberdaya mineral cenderung ditujukan untuk mencapai tujuan–tujuan jangka pendek berupa kemanfaatan finansial yang menjadi kepentingan investor maupun pemerintah. Karena sifatnya yang
26
jangka pendek, maka tujuan finansial juga cenderung dicapai dengan mengabaikan tujuan-tujuan dan kepentingan–kepentingan jangka panjang (Agenda 21, 2001). Tujuan jangka panjang yang terkait dengan investasi pertambangan pada umumnya merupakan kepentingan masyarakat luas dan masyarakat setempat. Kepentingan jangka panjang yang terkait dengan investasi pertambangan meliputi kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya mineral dan kelestarian hak-hak masyarakat setempat. Kerusakan atau peniadaan terhadap kepentingan jangka panjang ini tidak mungkin dapat dikompensasi atau dikoreksi dengan kemanfaatan finansial yang diperoleh dari investasi pertambangan. Oleh karena itu azas Pembangunan Berkelanjutan sektor Pertambangan dimaksudkan dapat berfungsi sebagai instrumen yang efektif dalam upaya menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui eksploitasi sumberdaya mineral (Agenda 21, 2001). Inti dari azas Pembangunan Berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya mineral adalah mengupayakan agar sumberdaya mineral dapat memberikan kemanfaatan secara optimal bagi manusia pada masa kini tanpa megorbankan kepentingan generasi mendatang (Agenda 21, 2001). Mengingat sifat tidak terbarukan yang terkandung dalam sumberdaya mineral, maka eksploitasi sumberdaya mineral harus mampu menciptakan kondisi awal serta kemampuan–kemampuan agar masyarakat dapat melanjutkan pembangunan setelah sumberdaya mineral habis di eksploitasi. Proses untuk menciptakan kondisi awal dan proses peningkatan kemampuan–kemampuan masyarakat secara berkelanjutan inilah yang dimaksud sebagai proses transformasi sosial. Dengan kata lain, penerapan azas pembangunan manusia berkelanjutan dalam eksploitasi sumberdaya mineral adalah untuk menciptakan proses transformasi sosial secara berkelanjutan. Amin et al (2003) mengatakan implementasi kegiatan konservasi pertambangan sebagai action plan actual dari peningkatan nilai tambah pertambangan adalah keberlanjutan manfaat ekonomi dan lingkungan sosial kemasyarakatan yang diperoleh semenjak perencanaan, selama berlangsungnya kegiatan pertambangan sampai dengan pasca tambang. Peningkatan nilai tambah pertambangan adalah upaya optimalisasi atas pengelolaan proses hulu-hilir kegiatan pertambangan serta pengembangan wilayah dan masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Gambar 9).
27
POTENSI MINERAL & BATUBARA (logam primer/sekunder, batubara, pasir urug, mineral industri, panas bumi)
LEGALITAS KK, PKP2B, KP, SIPR, SIPD (IUP&IPR)
PERTAMBANGAN -
STRATEGI 1. Terapan Teknologi & Inovasi 2. Dukungan Pemasaran + Jaringan Kerja 3. Down stream-upstream linkage (hulu-hilir) 4. Pengembangan SDM 5. Faktor Sosial
eksplorasi penambangan pengolahan/ekstraksi penanganan hasil produksi pemasaran pasca tambang
PRODUK Based on demand & applicable tecnology Upgraded raw material Bahan baku setengah jadi Bahan baku industri hilir
Pengembangan berkelanjutan
MANFAAT Peningkatan Nilai Tambah 1. efek ganda 2. pengembangan industri kecil 3. pengembangan wilayah 4. pengembangan tenaga kerja lokal 5. pengembangan masyarakat 6. pemenuhan bahan baku energi & industri dalam negeri 7. pertumbuhan ekonomi nasional
Gambar 9. Pola Pikir Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan Sumber : Amin et al, (2003) Kebijakan
peningkatan
nilai
tambah
pertambangan
diharapkan
dapat
mewujudkan pembangunan pertambangan yang berkelanjutan baik tingkat lokal, regional maupun nasional. Manfaat bukan saja dirasakan karena sedang ada pertambangan, tetapi juga karena pernah ada kegiatan pertambangan (Amin et al, 2003). 2.4.
Transformasi Sumberdaya kearah Berkelanjutan Menurut (Agenda 21 sektoral, buku 2, 2000) dalam penyelenggaraan
pembangunan di Indonesia selama ini di kenal adanya kekayaan (asset) untuk pembangunan dan sumberdaya untuk pembangunan. Kekayaan adalah apa yang dimiliki dan sumberdaya adalah apabila kekayaan itu siap digunakan sebagai modal untuk menyelenggarakan pembangunan. Secara lebih persis dapat diartikan bahwa kekayaan adalah bahan yang belum siap, sedangkan sumberdaya adalah barang jadi yang siap
28
digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup. Oleh karena itu, memiliki kekayaan tidak dengan sendirinya berarti dapat menyelenggarakan pembangunan. Kekayaan itu masih harus dikombinasikan dengan sumberdaya lain untuk mendapatkan manfaatnya. Dengan kata lain, memiliki kekayaan alam tidak dengan sendirinya dapat dimanfaatkan, apabila tidak disertai misalnya dengan modal dan teknologi. Untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dan perkembangan memang harus tersedia sumberdaya yang mencukupi, bahkan sumberdaya itu harus dikembangkan, artinya harus mempunyai kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Sumberdaya itu digolongkan dalam empat katagori, yaitu (1) sumberdaya alam yang secara alami tersedia, (2) sumberdaya buatan yang dibuat manusia (human made resources) (3) sumberdaya manusia yaitu manusia dengan segala kepandaian dan keterampilannya, dan (4) sumberdaya sosial sebagai produk dari keterkaitan, kerjasama dan interaksi antar manusia seperti misalnya system nilai dan kelembagaan. Akan tetapi, ada pula yang menyebutkan sumberdaya sosial adalah sumberdaya buatan yang bersifat lunak (software), meskipun demikian ada pula yang berpendapat bahwa sumberdaya sosial tidak dibuat tetapi terjadi dengan sendirinya sebagai hasil dari dialog dan interaksi. Pembangunan juga dapat diartikan sebagai pembangunan sumberdaya, mengubah kekayaan menjadi sumberdaya, menciptakan sumberdaya baru dan menata keterkaitan antar sumberdaya sehingga menghasilkan produk yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup secara berkelanjutan. Kondisi ideal akan tercapai pada saat kualitas hidup yang terus meningkat, tanpa harus meningkatkan penggunaan sumberdaya alam mengingat sumberdaya ini –terutama yang tidak dapat diperbaharui– memiliki keterbatasan. Untuk itu sumberdaya lain yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya sosial dan sumberdaya buatan harus menjadi andalan pembangunan berkelanjutan, sedangkan sumberdaya alam harus dihemat dan dijaga kelestariannya. 2.4.1. Empat Tipe Kapital Menurut
Seragaldin
dan
Steer
dalam
Indahsari
(2001)
pembangunan
berkelanjutan berupaya agar generasi yang akan datang mempunyai kesempatan yang setidaknya sama seperti kesempatan yang dirasakan oleh generasi saat ini. Kesempatan yang dimaksud adalah kesempatan memanfaatkan potensi yang ada untuk kesejahteraan kehidupan. Untuk mewujudkan upaya tersebut, apalagi menghadapi tingkat pertumbuhan populasi yang tinggi, maka perlu adanya transformasi dan pengembangan stok kapital
29
yang ada sangatlah diperlukan. Ada empat tipe kapital. Tipe yang pertama adalah sumberdaya buatan (man made capital), yakni infrastruktur misalnya jalan, jembatan, bangunan dan berbagai bentuk teknologi lainnya. Wanmali (1992) menyatakan bahwa ada dua tipe infrastruktur, yaitu hard infrastruktur (seperti jalan, telekomunikasi, listrik, dan sistem irigasi) dan soft infrastruktur (berbagai bentuk pelayanan, seperti transportasi, kredit dan perbankan, input produksi dan pemasaran). Secara fisik sumberdaya buatan merupakan ”kekayaan” (hasil pembangunan) yang dapat diukur dengan mudah. Karena alasan inilah maka pembangunan, terutama di negara-negara berkembang, cenderung menekankan kepada pengembangan tipe kapital ini (Seragaldin dan Steer, 1993 dalam Indahsari). Kebijakan industrialisasi dan modernisasi merupakan salah satu bentuk penekanan arah dan prioritas pembangunan pada pengembangan kapital ini. Tipe kapital yang kedua adalah sumberdaya alam (natural capital), yaitu seluruh cadangan aset yang disediakan oleh lingkungan seperti sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbaharui ataupun tidak. Hingga saat ini, SDA dan lingkungan memberikan kontribusi terbesar sebagai pemuas kebutuhan manusia sebag pemuas kebutuhan ini sangat menentukan eksistensi kehidupan manusia. Peace dan Warford dalam Indahsari (2001) merinci kontribusi langsung dan tak langsung SDA dan lingkungan terhadap kehidupan manusia. Kontribusi langsung dapat dirasakan pada pendapat riil dari sektor–sektor yang berhubungan dengan alam (terutama pertanian), aktifitas ekonomi dengan SDA dan lingkungan sebagai input produksi, dan kontribusi terhadap keberlanjutan sistem pendukung kehidupan secara umum. Kontribusi secara langsung terhadap kualitas kehidupan. Kualitas SDA dan lingkungan yang baik dan dapat termanfaatkan dengan baik pula akan menjamin kualitas kehidupan yang baik. Sebalikya kualitas yang buruk –seperti SDA dan lingkungan yang rusak dan terdegradasi– akan menyebabkan kualitas kehidupan yang buruk pula. Selain itu, kapital ini memiliki karakteristik tersendiri yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan dan pengembangannya. Karakteristik tersebut adalah bahwa kapital ini dapat langka dengan cepat, terutama SDA dan lingkungan yag tidak dapat diperbaharui. Sumberdaya manusia (human capital) merupakan tipe kapital ketiga. Manusia, dalam hal ini kuantitas dan kualitas penduduk, merupaka potensi tersendiri dalam pembangunan. Manusia juga merupakan subjek sekaligus objek pembangunan. Sebagai subjek pembangunan, maka kuantitas dan kualitas penduduk diharapkan dapat mendukung dan menjadi potensi yang dapat diandalkan dalam pelaksanaan
30
pembangunan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri. Dan sebagai objek, penduduk diharapkan dapat meningkatkan kesejateraannya dengan menikmati hasil–hasil pembangunan. Oleh karena itu, pengembangan (investasi) sumberdaya manusia sehingga mendapat kualitas dan kuantitas yang ideal merupakan salah satu strategi pembangunan yang penting dan mungkin terpenting (Seragaldin dan Steer 1993 dalam Indahsari 2001). Bentuk–bentuk pengembangan sumberdaya manusia adalah investasi di bidang pendidikan, kesehatan, tingkat gizi individu, dan lain – lain. Tipe keempat adalah modal sosial (social capital). Bentuk dari kapital ini antara lain fungsi kelembangaan dan budaya yang berbasis sosial. Tata nilai dan kelembagaan dalam masyarakat, baik formal maupun non formal, merupakan fungsi kelembagaan dan budaya berbasis sosial yang merupakan potensi penting dalam pelaksanaan pembangunan. 2.4.2. Komposisi Kapital dalam Pelaksanaan Pembangunan yang Berkelanjutan Pembangunan yang berkelanjutan berarti memberi kepada generasi yang akan datang kesempatan–kesempatan, setidaknya sama dengan kesempatan – kesempatan yang dirasakan oleh generasi saat ini. Kesempatan – kesempatan ini dapat diukur dalam bentuk kapital (man–made, human, social dan natural capital). Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, keempat tipe kapital harus dikembangkan setiap saat untuk mencapai tujuan pembangunan yang diharapkan. Namun, masing– masing kapital memiliki karakteristik tersendiri kapital memiliki karakteristik tersendiri yang selanjutnya mengharuskan adanya pengaturan komposisi kapital dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Sumberdaya alam (natural capital) bersifat dapat langka dengan cepat, oleh karena itu harus dikembangkan dan proporsi pemanfaatannya harus mulai berkurang setiap waktu untuk mencegah kelangkaan bahkan ’habisnya’ kapital ini yang tentu saja mengancam keberlanjutan pembangunan. Demikian halnya dengan sumberdaya buatan yang proporsi pengembangannnya antar waktu diharapkan berkurang. Penelitian menunjukkan bahwa di negara–negara maju sumberdaya buatan hanya memberikan kontribusi 20% terhadap total kekayaan/kesejahteraan manusia. Kontribusi terbesar diberikan oleh human dan social capital (Seragaldin, 1993). Komposisi kapital yang harus dikembangkan dengan proporsi yang semakin besar antar waktu adalah social dan human capital (Gambar 10). Walau bagaimanapun, penduduk –dengan pertumbuhan yang relatif cepat – merupakan potensi besar yang
31
harus dikembangkan, terutama kualitasnya baik secara individual maupun secara sosial. Kualitas individu, seperti keahlian dan keterampilan, merupakan potensi tersendiri dalam pembangunan (peningkatan produktifitas) yang tidak akan ’habis’ antar waktu. Dan berbagai penelitian menunjukkan bahwa produktifitas kelompok dalam ukuran tertentu (pemanfaatan social capital) akan lebih besar dibandingkan penjumlahan produktifitas dari masing–masing individu. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan memiliki arti pengembangan keempat kapital antar waktu yang disertai dengan perubahan komposisinya (Anwar, 1999).
Natural Capital
Social Capital
Man – made Capital
Human Capital
Natural Capital
Social Capital
Manmade Capital
Human Capital
Gambar 10. Pengembangan dan Komposisi Kapital dalam Pembangunan Berkelanjutan Sumber : Anwar, 1999 Menurut Anwar (2002) Human Capital (H), Physical Capital (K), Natural Capital (R) dan Social Capital (S) dapat menyumbang pada pertumbuhan ekonomi wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kapital fisik menyumbang pada kesejahteraan melalui pertumbuhan ekonomi. Sedangkan human dan social capital beserta natural dan environmental capital juga demikian, karena semuanya juga merupaan komponen-komponen
langsung dari tingkat kesejahteraan masyarakat.
Human dan social, beserta natural capital juga akan menyumbang pada akumulasi kapital fisik dengan meningkatkan manfaat-manfaatnya. Sedangkan kapital fisik meningkatkan manfaat–manfaat kepada human dan social capital serta natural capital dimana jika pasar berjalan, maka merupakan pencerminan dari pemanfaatan ini. Akumulasi dari empat kapital tersebut pada gilirannya akan menyumbang kepada terjadinya kemajuan teknologi dan bertumbuhnya total factor productivity (TFP) (Gambar 11).
32
Kapital Manusia (H)
Mengatasi salah urus dan korupsi, Mengurangi distorsi yang mengutamakan K, Memperbaki Kegagalan Pasar yang merusak H, R dan S, Memperbaiki Institusi
Kapital Fisik (K)
Pertumbuhan
Kesejahteraa n Masyarakat
Kapital Alami (R)
Kapital Social (S)
TFP = Total Factor Productivity
Gambar 11. Kerangka Berfikir Total Factor Productivity (TFP) Sumber : Anwar, 2001 2.5.
Performa Pertambangan Indonesia Seperti didiskripsikan pada bab pendahuluan bahwa komoditi pertambangan
bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) maknanya sumberdaya tersebut tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana sumberdaya terbarukan (renewable resources). Untuk itu eksploitasi sumberdaya mineral harus dilakukan secara hati-hati agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD ’45 ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar– besar kemakmuran rakyat”. Industri pertambangan di Indonesia pada era Orde Baru dimulai sejak disyahkannya UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11/67) dan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA 67). Melalui konsep Kontrak Karya Pertambangan (KKP) dan Perjanjian Karya
33
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), sektor pertambangan Indonesia mengalami kemajuan pesat. Tidak kurang dari 376 perusahaan telah mengantongi ijin untuk menambang emas, tembaga, batubara serta mineral logam lainnya. Seiring dengan munculnya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang terus berkepanjangan menjadi krisis politik dan sosial, Indonesia hingga saat ini dianggap bukan lagi sebagai tempat untuk tujuan investasi pertambangan (Sigit, 2004). Dalam empat dekade terakhir ini, industri pertambangan di Indonesia belum mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi pembangunan nasional maupun bagi daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Papua, Sumbawa Barat dan lain-lain. Munculnya ketidakpuasan daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral tersebut, terutama sejak era reformasi 1998 karena pengelolaan pertambangan bersifat sentralistik dan sektoral. Ketidakpuasan itu bersumber karena adanya ketimpangan pendapatan bagi hasil sumberdaya mineral antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah selama masa orde baru. Berdasarkan studi Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 (IMA, 2006) alokasi pendapatan sektor pertambangan dari pembagian pajak dan royalty ke provinsi, kabupaten dan kota sebesar 57,1% masih jatuh ke pusat setelah estimasi bagi hasil melalui dana alokasi umum (DAU) disertakan, bila tidak pemerintah pusat masih memegang 76% dari dana tersebut (Gambar 12). Euforia reformasi tahun 1998 secara emosional ikut memicu daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral untuk memisahkan diri dari NKRI dalam bentuk separatisme yang masih merebak hingga saat ini misalnya untuk kasus Papua dan Aceh. Disamping masalah bagi hasil pendapatan sumberdaya mineral dengan pemerintah pusat, kekecewaan daerah penghasil juga bersumber dari tidak adanya kepemilikan saham pemerintah daerah. Sebenarnya di dalam Kontrak Karya Pertambangan terdapat pasal yang mewajibkan penjualan saham asing pada pihak Indonesia. Namun ketidakmampuan kepemilikan saham daerah penghasil sangat terkait dengan besarnya dana yang harus disediakan untuk membeli saham perusahaan pertambangan yang tertuang dalam Kontrak Karya Pertambangan. Misalnya saat PT. Newmont Nusa Tenggara mendivestasikan sahamnya sebesar 3% tahun 2006 maka dana yang harus disiapkan oleh pembeli adalah Rp. 1,09 triliun. Anggaran sebesar itu setara dengan empat kali lipat APBD Kabupaten Sumbawa Barat 2007 yang hanya Rp. 260 milyar.
34
Gambar 12. Alokasi Pendapatan Sektor Pertambangan di Indonesia Sumber : Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 (IMA, 2006) Selain itu berdasarkan studi yang dilakukan oleh Fraser Institute di Vancauver, Canada, tahun 2004 (IMA, 2006) terhadap 159 perusahaan tambang dan eksplorasi di seluruh dunia, ternyata ada beberapa hal yang dianggap sangat menghambat minat investasi dunia di Indonesia antara lain, faktor stabilitas politik 90 %, ketidakpastian peraturan 66 % dan tumpang tindih peraturan 53 % (Tabel 7). Studi tersebut juga menyebutkan berbagai ketidakpastian investasi pertambangan di Indonesia berkenaan dengan klaim tanah oleh penduduk asli, wilayah yang akan dilindungi sebagai suaka alam atau taman nasional dan minimnya infrastruktur (Tabel 8). Tabel 7. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Investasi Pertambangan di Indonesia No. Faktor
% responden yang mempertimbangkan faktor sebagai hambatan utama investasi di Indonesia
1. 2.
Stabilitas Politik Ketidakpastian hukum
90% 66%
3.
Duplikasi (tumpang tindih peraturan)
53%
Komentar
Hanya Zimbabwe (97%) yang mendapat nilai lebih buruk Nilai terburuk Hanya India (66%) dan Filipina (69%) yang mendapat nilai lebih buruk
Sumber : Fraser Institute, 2004
35
Tabel 8. Berbagai Ketidakpastian Investasi Pertambangan di Indonesia No.
Faktor
1.
Ketidakpastian berkenaan dengan klaim tanah oleh penduduk asli Ketidakpastian berkenaan dengan wilayah yang akan dilindungi sebagai suaka alam atau taman nasional Infrastruktur
2.
3.
% responden yang mempertimbangkan faktor yang merupakan ketidakpastian investasi pertambangan di Indonesia 22%
Komentar
peringkat terendah ke-5
13%
peringkat terendah ke-2
24%
peringkat terendah ke-4
Sumber : Fraser Institute, 2004 Demikian juga dengan hasil laporan Word Bank (IMA, 2006) tentang indeks kepercayaan investor menyebutkan bahwa Indonesia relatif memiliki tingkat kepercayaan investor yang lebih rendah dari Thailand dan Vietnam (Gambar 13). Rendahnya tingkat kepercayaan investor ini mengakibatkan munculnya disentif yang sangat besar bagi investor untuk ikut serta dalam kegiatan investasi di Indonesia, termasuk investasi pada sektor pertambangan yang relatif memakan waktu yang lama serta risiko yang besar (IMA, 2006). Faktor lain yang menjadi kendala melemahnya investasi pertambangan di Indonesia adalah besarnya korupsi pada sektor pemerintahan di Indonesia. Gambar 14 memperlihatkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia relatif sangat parah dibandingkan dengan negara lain. Indonesia memiliki tingkat korupsi yang lebih buruk dibandingkan dengan India dan Thailand serta sangat jauh jika dibandingkan dengan Malaysia. Tingkat korupsi yang parah ini jelas menimbulkan disentif yang sangat besar bagi investasi pertambangan, mengingat kegiatan pertambangan melibatkan sejumlah peraturan yang diatur oleh pemerintah sehingga tingkat korupsi yang besar akan mengurangi kepastian berusaha karena adanya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Gambar 13. Index Kepercayaan Investor (FDI Confidence Index Among Global Investors) Sumber : Word Bank, 2005
36
Gambar 14. Indeks Persepsi korupsi 2003 Sumber : Transperancy International, 2003 Jika dilihat dari perspektif daerah penghasil, sektor pertambangan sering menimbulkan kondisi kantong (enclave) pada masa operasi, terjadinya efek pengurasan (backwash effect) oleh daerah-daerah yang lebih maju yang justru menghambat perkembangan wilayah-wilayah perdesaan/hinterland yang kaya sumberdaya mineral (Anwar 2001). Sebagai akibatnya investasi pertambangan menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah (regional leakage) bagi daerah penghasil pada masa operasi karena kecilnya penggunaan dan pembelian barang dan jasa di daerah setempat yang mana sebagian besar barang dan jasa tersebut harus di import. Menurut Agenda 21 sektor Pertambangan (2001) menyatakan bahwa industri pertambangan juga merupakan industri yang menimbulkan berbagai perubahan drastis terhadap lingkungan sehingga merupakan ancaman terhadap kelestarian fungsi-fungsi lingkungan dan fungsi-fungsi kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam prespektif lingkungan, kehadiran industri pertambangan pada suatu daerah dapat menyebabkan terjadinya
depresiasi
(degradation
dan
depletion)
lingkungan,
hilangnya
keanekaragaman hayati flora dan fauna, hutan, lahan, sungai dan laut. Potensi-potensi positif sektor pertambangan sering tidak mampu mengkompensasi potensi-potensi negatif itu, sehingga industri pertambangan mempunyai potensi konflik dengan kepentingan masyarakat.
37
Pertambangan juga berdampak pada kehidupan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam. Aksessibilitas masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam sebagai mata pencaharian tradisionalnya dapat hilang jika wilayah Kontrak Karya Pertambangan tertutup bagi mereka, hal ini dapat menjadi masalah serius bagi penduduk setempat. Munculnya berbagai masalah sosial budaya, pelanggaran hak asasi manusia, hilangnya kearifan-kearifan lokal masyarakat asli (indegenous people) turut mewarnai perjalanan industri pertambangan di Indonesia selama empat dekade terakhir ini. Meskipun berbagai persoalan yang menghambat investasi pertambangan di Indonesia namun sesungguhnya Indonesia memiliki potensi sumberdaya mineral yang cukup kaya dan beragam. Menurut Hamilton dan Katili (Sigit, 1996) secara geologi posisi Indonesia diuntungkan karena berada pada konvergensi tiga lempengan raksasa dunia yakni lempengan Australia-Hindia yang bergerak ke Utara, lempengan Pasifik bergerak ke Barat dan lempengan Eurasia (Eropa Asia) yang relatif diam. Konvergensi ke tiga lempengan tersebut membawa dampak positif dan negatif bagi Indonesia. Dampak negatifnya ; struktur kepulauan Indonesia di penuhi oleh deretan gunung berapi yang berpotensi mendatangkan bencana. Dampak positifnya; pola penyebaran mineralisasi hampir merata pada gugus kepulauan Indonesia yang mengandung potensi sumberdaya mineral yang kaya dan beragam.
38
Tabel 9. Potensi Sumberdaya Mineral di Indonesia No 1.
Jenis Mineral Bauksit
Deposit (cadangan) 1,3 milyar ton
Lokasi Pulau Bintan Propinsi Riau. Kalimantan Barat
2.
Batubara
36,5 milyar ton
3.
Kobalt
4.
Tembaga
Nomor 3 terbesar di dunia setelah Kanada dan Uganda 32 juta ton
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Irian Jaya dan Pulau Jawa Pulau Wageo (antara pulau Halmahera dan Irian Jaya) Grasberg, Irian Jaya, Kalimantan, Jawa, Sumatera dan Sulawesi Kalimantan Selatan
5.
Intan
Tidak ada data
6.
Emas
3120 ton
7.
Kaolin
tidak ada data
8.
Mangan
tidak ada data
9. 10.
Mika Pasir Besi
tidak ada data tidak ada data
11. 12.
Pasir Chroom Nikel
13.
Timah
tidak ada data + 27.000 ton nikel kasar (nikel matte) tahun 1990. 1000 juta ton nikel laterit dengan kandungan logam 13 juta ton 24.000 ton
14.
Uranium
tidak ada data
15.
Seng
tidak ada data
Grasberg Irian Jaya. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Pulau Wetar Irian Jaya Sulawesi Timur Laut, Kepulauan Bangka dan Belitung Jawa Barat, Jawa Tengah Wasior, Irian Jaya Cilacap, Bali, Ende (NTT), Sumatera Pulau Halmahera Soroako Sulawesi Selatan, Kalimantan, Halmahera dan Irian Jaya
Kepulauan Riau, lepas pantai timur Sumatera. Pulau Bangka Sumatera Selatan Sungai Riang Kalbar, sungai Mahakam, Sibolga SUMUT, Kelian KALTIM, Sungai Momi Monokwari Irian Jaya Irian Jaya
Keterangan PT. Aneka Tambang memiliki izin penambangan tunggal seluas 10.000 ha
PT. Freeport Inc Kandungan mineral yang penting di Kalsel
PT. Freeport Inc
Di Belitung terdapat 14 pertambangan
PT. INCO
PT. Tambang Timah (BUMN)
Di survey oleh PT.Anggi Chemaloy
Sumber : diolah dari berbagai sumber, 2006 Tentang potensi sumberdaya mineral (Bachriadi, 1998) menambahkan Indonesia menyimpan kandungan minyak terbesar di dunia, juga dikenal sebagai penghasil timah nomor 2 di dunia dan bersama Thailand sebagai kontributor 58% dari produksi timah dunia. Indonesia juga tercatat sebagai pengekspor batubara uap nomor 3, penghasil nikel
39
nomor 5 dan penghasil emas nomor 9 di dunia. Jika mengacu pada program perluasan tambang PT. Freeport Indonesia (PTFI) di Papua sejak tahun 1997 maka perusahaan ini akan menjadi penghasil tembaga nomor 2 terbesar di dunia. Potensi sumberdaya mineral yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang menyangkut jenis, deposit dan penyebarannya merupakan kekayaan nasional disajikan pada Tabel 9 diatas. Sedangkan persebaran potensi sumberdaya mineral dan pelaku utama sektor pertambangan di Indonesia di tunjukkan pada Gambar 15 di bawah ini.
Gambar 15. Persebaran Pelaku Utama Sektor Pertambagan di Indonesia Sumber : DESDM (IMA, 2006) Hasil annual survey of mining companies 2002/2003 yang dilakukan oleh Fraser Institute (lembaga penelitian ekonomi, sosial dan pendidikan di Kanada) tentang kekayaan sumberdaya mineral di Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun tersebut, Indonesia dari sisi mineral potential index berada pada urutan 16 dari 47 negara yang di survey seperti terlihat pada Gambar 16.
Indonesia urutan ke 16 dari 47
Gambar 16. Indeks Potensi Mineral dari 47 negara Sumber : Fraser Institute 2002/2003 survey of mining companies
40
Namun betapapun kayanya potensi sumberdaya mineral di sebuah negara, harus pula ditopang oleh kebijakan pemerintah dan iklim investasi yang kondusif. Sebagaimana dikatakan oleh Sigit (1996) : “Tingkat perkembangan dan kemajuan pertambangan di suatu negara, bukannya ditentukan terutama oleh potensi sumberdaya mineralnya betapapun juga kayanya, tetapi lebih banyak bergantung pada kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa dalam menetapkan iklim usaha yang diperlukan” Menurut Sigit (2004), sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak iklim investasi pertambangan di Indonesia, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus investasi pertambangan baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek eksplorasi yang di lakukan oleh perusahaan-perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Sebagai konsekuensi dari situasi demikian berdasarkan hasil annual survey of mining companies 2002/2003 yang dilakukan oleh Fraser Institute, Indonesia berada pada urutan ke 47 dari 47 negara dalam Policy Potential Index sebagai negara tujuan investasi pertambangan, seperti terlihat pada Gambar17.
Indonesia urutan ke 47 dari 47
Gambar 17. Indeks Potensi Kebijakan Sumber : Fraser Institute 2002/2003 survey of mining companies Selanjutnya Sigit (2004) menyatakan pertambangan di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat selama kurun waktu 1970-1996, namun dewasa ini mengalami kesulitan yang berkepanjangan. Sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak iklim investasi, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus investasi pertambangan baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan PMA. Puluhan investor berbondong-bondong meninggalkan Indonesia dan mengalihkan investasinya ke negara lain (terutama China, India, Vietnam,
41
Chili, dsbnya) karena negara-negara tersebut dapat memberikan fasilitas dan kondisi lingkungan kerja yang lebih baik. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian BCI (Bussiness Competitiveness Index) (IMA, 2006) tentang kondisi persaingan usaha di Indonesia yang relative buruk dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam, Brazil maupun Thailand (Gambar 18). Kinerja yang buruk ini tentunya akan mengurangi tingkat kepastian investor untuk melakukan tindakan investasi di Indonesia. Karenanya, peran pemerintah untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif menjadi mutlak untuk dilakukan.
Gambar 18. Indeks Persaingan Usaha Sumber : BCI (Bussiness Competitiveness Index) dalam IMA, 2006 Selain itu, serangkaian kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan perundangan di bidang perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, pertanahan, ketenagakerjaan dan pelaksanaan otonomi daerah, telah menimbulkan berbagai permasalahan yang membuat iklim investasi tidak kondusif lagi. Dengan demikian sejak tahun 1996 penanaman modal dalam pertambangan di Indonesia telah mengalami Stagnasi atau mati suri. Setelah beroperasi selama lebih dari empat dekade menurut data BPS 2003, secara nasional kontribusi sektor pertambangan pada perekonomian nasional (Produk Domestik Nasional Bruto) berturut-turut tahun 1997 sebesar Rp. 7.645,6 triliun (1,76%), 1998 sebesar Rp. 9.678,0 triliun (2,57%), 1999 sebesar Rp. 10.357,7 triliun (2,73%), 2000 sebesar Rp. 11.619,2 triliun (2,92%), 2001 sebesar Rp. 12.502,5 triliun (3,04%), 2002 sebesar Rp. 13.082,2 triliun (3,07%). Nilai sebesar itu belum dapat dikatakan
42
signifikan jika dibandingkan dengan besarnya deposit sumberdaya mineral yang terdapat dalam perut bumi Indonesia. Menurut LPEM UI dalam studi pembuatan road map sektor pertambangan (2004) bahwa proporsi sektor pertambangan terhadap total PDB Indonesia pada tahun 2002 hanya mencapai lebih dari 2,5% dari total PDB. Proporsi ini relatif menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 3% dari total PDB secara keseluruhan (Gambar 19). Kecilnya proporsi nilai tambah sektor pertambangan ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah untuk dapat terus meningkatkan nilai tambah sektor pertambangan sehingga peranannya pada masa yang akan datang dapat terus ditingkatkan, mengingat besarnya sumberdaya dan cadangan bahan tambang di Indonesia.
Gambar 19. Proporsi Nilai Tambah Sektor Pertambangan terhadap PDB Indonesia Sumber : CEIC (LPEM UI, 2004) Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) juga berdampak signifikan bagi pendapatan daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral. Daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang signifikan akan memiliki alokasi yang besar dari penerimaan negara yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 dan PP No. 104/2000 terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari sumberdaya alam. Untuk sektor pertambangan umum di bagi dengan imbangan 20% Pemerintah Pusat, 16% Propinsi, 32%
43
Kabupaten/Kota Penghasil dan 32% Kabupaten/Kota dalam Propinsi. Bagi hasil penerimaan negara dari sumberdaya alam secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Persentase Alokasi Bagi Hasil Penerimaan dari Sumberdaya Alam No.
PENERIMAAN
A. 1.
SDA Non Migas Kehutanan - PSDH - IHPH - Dana Reboisasa Pertambangan - Land Rent - Royalty Perikanan SDA Migas Penerimaan Negara Setelah dikurangi komponen pajak yang berasal dari minyak bumi Penerimaan Negara Setelah dikurangi komponen pajak yan berasal dari gas alam
2.
3. B 1.
2.
PUSAT
PROVINSI
KAB./KOTA PENGHASIL
KAB./KOTA LAINNYA
KAB./KOTA SELURUH INDONESIA
20 20 60
16 16 0
32 64 40
32 0 0
0 0 0
20 20 20
16 16 0
32 32 0
32 32 0
0 0 80
85
3
6
6
0
70
6
12
12
0
Sumber : UU No. 33 Tahun 2004 dirangkum Bagi hasil pajak dan sumberdaya alam serta dana perimbangan terlihat pada tabel 10 dan tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Bagian Pusat–Daerah dari Bagi Hasil Pajak dan Sumberdaya Alam No 1. 2. 3. 4.
5.
Jenis Bagi Hasil & Perincian Bagian Daerah Pajak Bumi da Bangunan (PBB) Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan Pajak Penghasil Perorangan** SDA Kehutanan Iuran Hak Penguasaan Hutan (HPH) (Provinsi 16%, Kabupaten/Kota Penghasilan 6%) Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) (Provinsi 16% Kabupaten/Kota Penghasil Kabupaten/Kota Lainnya 32%) SDA Pertambangan Umum : Iuran Tetap (Land Rent) (Provinsin 16%, Kabupaten/Kota Penghasil 64%) Iuran Eksplorasi & Eksploitasi (Royalty) (Provinsi 16 %, Kabupaten/Kota Penghasil Kabupaten/Kota Lainnya 32%)
Pusat 10% 20% 80%
Daerah 90% 80% 20%
20%
80%
20%
80%
20%
80%
20%
80%
32%,
32%,
Sumber : UU No. 33/2004, PP No. 104/2000 dan PP No. 115/2000
44
Tabel 12. Dana Perimbangan menurut Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 No
Jenis Penerimaan
Pusat
Provinsi
1.
PBB
90%x16.2%
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
3%
80%x64% 64%x50% 64% 64% 64%x50% 80% 6%
70%
6%
12%
10.
BPHTB IHPH Propisi SDH Iuran Tetap Royalty Perikanan Minyak Bumi (Penerimaan Bersih) Gasa Alam (Penerimaan Bersih) Alokasi Umum
10% + (90%x9%, sebagai biaya pungut) 20% 20% 20% 20% 20% 20% 85%
Minus 25% dari APBN
10%
90%
11. 12.
Alokasi Khusus Dana Reboisasi
9.
60%
80%x16% 16% 16% 16% 16%
Kab/Kota Penghasil 90%x64.8%
Kabupaten Lainnya
32 64%x50%
64%x50% 6% 12%
40%***
Sumber : Peraturan Pemerintah No. 104 tahun 2000, dirangkum Di beberapa daerah yang memiliki sumberdaya mineral sektor pertambangan mampu menyumbangkan persentase yang besar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah. Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur sebesar 74,7 persen, Kabupaten Mimika Papua 97,4 persen dan Kabupaten Luwu Utara, Sulsel 80 persen, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB sebesar 92,70 persen (2003), 95,24 persen (2004) dan 95,26 persen (2005). Namum tingginya PDRB di daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral belum dapat dijadikan indikator kesejahteraan masyarakat karena penilaian tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah bahwa PDRB konvensional belum dikurangi dengan depresiasi lingkungan yakni penyusutan (depletion) dan kerusakan (degradation) lingkungan. Selama empat dekade perjalanan industri pertambangan di Indonesia
dari
prespektif sosial budaya dipenuhi konflik dengan pemerintah daerah dan masyarakat lokal dan ketidakpuasan unsur-unsur masyarakat di daerah. Sumberdaya mineral yang selama ini menjadi simbol kekayaaan di daerah menjadi sumber tuntutan untuk mendapatkan hak otonomi. Pertambangan yang perizinannya dikelola secara sentralistik dan sektoral dirasakan telah menciptakan ketidakadilan, pencemaran lingkungan serta kecilnya manfaat bagi masyarakat telah menjadi sasaran tuntutan lahirnya paradigma baru pertambangan.
45
2.6.
Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Sebagai daerah yang terbuka, adalah wajar apabila suatu daerah mempunyai
akses dan keterkaitan dengan daerah lain. Kecenderungan yang terjadi menunjukkan bahwa semakin banyak alur akses dan keterkaitan dengan daerah lain, maka semakin besar kesempatan suatu daerah untuk berkembang. Adanya sejumlah akses tersebut memungkinkan suatu daerah untuk dapat melakukan pertukaran barang dan jasa secara efektif. Dalam perencanaan wilayah, keadaan ini disebut sebagai simpul jasa distribusi (Agenda 21 buku 2, 2000). Selanjutnya (Agenda 21, 2000) menerangkan dapat pula terjadi eksploitasi suatu daerah terhadap daerah lain, misalnya eksploitasi suatu kota terhadap daerah buritannya. Analogi dengan hal tersebut, dalam ekologi dikenal watak dasar bahwa ekosistem yang dewasa, kuat dan mapan akan melakukan invasi serta mengalahkan ekosisitem yang muda, lemah dan labil. Karenanya yang biasa terjadi adalah pembangunan sarana perhubungan dan komunikasi yang menghubungkan suatu daerah yang “lemah” dengan daerah lain yang “kuat” akan menyebabkan invasi dan eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Dengan demikian terjadilah ketergantungan daerah yang lemah terhadap yang kuat. Kondisi yang demikian tidak mendukung pembangunan berkelanjutan. Salah satu atau bahkan kedua belah pihak akan mengalami kebangkrutan dan kemerosotan atau yang satu menjadi beban yang lain. Sehingga yang harus dikembangkan adalah saling ketergantungan, kerjasama antar daerah berdasarkan kekuatan masing-masing. Untuk itu pola pikir pembangunan berkelanjutan harus menuju pada upaya memperkuat daerah sehingga terbangun saling ketergantungan. Kabupaten mempunyai kesempatan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan antara perdesaan yang berbasis ekonomi pertanian dan perkotaan yang berbasis ekonomi industri dan jasa. Hal ini juga berarti mengembangkan dan menjaga hubungan yang serasi antara satuan ruang yang didomominasi oleh lingkungan buatan dan satuan ruang yang didominasi oleh lingkungan alami. Sumberdaya alami menjadi komponen yang penting untuk menjamin keberlanjutan perkembangan, bukan hanya untuk Kabupaten itu sendiri tetapi juga untuk Kota yang harus ditopangnya. Usaha pertanian yang berkelanjutan dalam arti luas dan mungkin juga kehutanan, perlu menjadi perhatian utama dalam perencanaan pembangunan Kabupaten.
46
2.6.1. Penganggaran Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintah, karena berkaitan dengan pemerintahan itu sendiri untuk mensejahterakan rakyatnya (Soenarto, 2007). Oleh karena itu output dari perencanaan adalah penganggaran. Pada era otonomi daerah pemerintah daerah dituntut untuk mampu secara mandiri mengelolaan keuangan daerah yang tercermin dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah (UU 33/2004). APBD bagi pemerintah daerah merupakan rencana kerja yang akan dilaksanakan dan disajikan dala bentuk angka-angka. Angka-angka pada sisi penerimaan mencerminkan rencana pendapatan serta sumber-sumber untuk mendapatkannya, sedangkan angka-angka pada sisi pengeluaran mencerminkan program kerja pemerintahan maupun pembangunan yang akan dilaksanakan. APBD merupakan instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah, peran pemerintah dalam pengalokasian anggaran sangat menentukan bidang-bidang atau sektor-sektor mana yang harus dikembangkan untuk ditingkatkan anggarannya karena berpengaruh terhadap kinerja pembangunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengalokasian anggaran dengan kinerja pembangunan daerah yaitu: 1) Pola pengalokasian anggaran suatu daerah 2) Pola pengalokasian anggaran daerah sekitarnya dan 3) kinerja pembangunan daerah sekitarnya. 2.6.2. Indikator-Indikator Kinerja Pembangunan Menurut (Saefulhakim, 2005) indikator-indikator kinerja pembangunan dibangun atas dasar variabel-variabel penting yang dianggap bisa menggambarkan tingkat perkembangan dan pertumbuhan atau mampu menjelaskan tingkat ukuran kinerja pembangunan dapat dirumuskan dengan indeks/ratio. Indeks/rasio tersebut diantaranya adalah: 1) Bidang perekonomian: diukur dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, tingkat pemerataan pendapatan (indeks gini), tingkat daya beli, tingkat tabungan masyarakat, tingkat investasi, perdagangan luar negeri (eksport import), indeks harga bangunan, realisasi penerimaan APBD dll. 2) Bidang ketertiban umum: diukur dengan luas wilayah dan jumlah penduduk berdasarkan konflik/kejadian, penduduk berdasarkan jenis kasus/kejadian, kecelakan, kebakaran hutan dll. 3) Bidang kesehatan: jumlah penduduk sakit, tingkat kematian, tingkat harapan hidup, angka kelahiran, dll. 4) Bidang pendidikan: diukur dengan tingkat pendidikan, angka putus sekolah, rataan lama sekolah,
47
angka buta dan melek huruf dll. 5) Bidang tata ruang, lingkungan dan pemerintahan umum: diukur dengan kepadatan penduduk, rumah permanen dan non permanen, penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata ruang, tingkat ketersediaan ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan dll. 2.6.3. Peran Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Perencanaan pembangunan wilayah yang disusun secara komprehensif pada akhirnya akan meningkatkan kinerja pembangunan daerah sehingga hasil-hasil yang diharapkan dapat tercapai. Dalam pembangunan perekonomian daerah, setiap kebijakan dan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan pembangunan di daerah pasti akan mendasarkan diri dari kekhasan yang menjadi ciri daerah yang bersangkutan, dimana kegiatan tersebut ditujukan bagi terciptanya peningkatan (baik jumlah maupun jenis) kesempatan kerja bagi masyarakatnya, pertumbuhan perekonomian wilayah yang stabil dan peningkatan pendapatan perkapita. Keterbatasan
dana
sebagai
sumber
pembiayaan
dalam
melaksanakan
pembangunan merupakan alasan ditetapkannya suatu skala prioritas di dalam pembangunan yang tertuang dalam pola pengalokasian anggaran. Pola pengalokasian anggaran dalam suatu pembangunan di daerah berarti merupakan suatu pola untuk melaksanakan rencana kerja dengan tujuan bahwa rencana kerja tersebut akan mempunyai dampak atau manfaat yang lebih besar bagi masyarakat yang secara umum akan mempengaruhi kinerja pembangunan. Berkaitan dengan penganggaran maka pola pengalokasian anggaran yang kurang tepat akan menyebabkan pemborosan sumberdaya dan sasaran yang akan dicapai tidak dapat terwujud dengan optimal yaitu kinerja pembangunan yang buruk. Alokasi anggaran belanja yang tidak disesuaikan dengan pemahaman atas karakteristik perekonomian wilayah maka tidak akan memberikan manfaat dalam penyusunan rencana pengeluaran pemerintah. Kaitannya dengan interaksi spasial, maka pola pengalokasian anggaran suatu daerah yang tepat akan memberi pengaruh terhadap kinerja pembangunan yang baik untuk daerah yang bersangkutan dan diharapkan juga memberi pengaruh terhadap kinerja pembangunan di daerah sekitarnya. Begitu pula kinerrja pembangunan di suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran pada daerah yang bersangkutan, tetapi mendapat pengaruh dari daerah disekitarnya. Pengalokasian anggaran belanja yang baik sesuai untuk suatu daerah akan memberi dampak terhadap
48
daerah-daerah lainnya. Ataua dapat dikatakan, dengan tercapainya kinerja pembangunan yang baik maka daerah-daerah sekitarnya akan menerima manfaat juga (Soenarto, 2005). 2.7. Analisis Isi (Content Analysis) Peraturan Perundangan dan Proses Perubahan Kebijakan 2.7.1. Analisis Isi (Content Analysis) Peraturan Perundangan Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentukbentuk tertulis lainnya (Henderson, 1991 dan Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel et al. 1996). Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel et al, 1996). Tahapan/prosedur dalam melakukan content analysis dimulai dari identifikasi permasalahan penelitian, review teori dan penelitian sebelumnya, menentukan fokus penelitian, mendefinisikan isi dokumen yang relevan, membuat desain yang lebih spesifik, membuat tabel contoh, membangun protokol untuk pengkodean, spesifikasi populasi, spesifikasi kerangka sample, melakukan analisis percobaan, memproses data dan melaporkan hasil (Borg et al., 1989; Riffe et al., 1998; Fraenkel et al., 1996, dan Krippendorff, 1980). Secara ringkas tahapan content analysis ini disajikan pada Gambar 20.
49
Identifikasi Problem Penelitian Review Theory dan Penelitian Sebelumnya
Konseptualisasi (Conceptualization)
Assert Research Questions
Penentuan Konteks yang relevan Spesifikasi Desain Formal Pembuatan Dummy Tables Rancangan (Design)
Pembangunan Protokol Pengkodean Spesifikasikan Populasi Spesifikasi Sampling Frame Pretest Tetapkan Reliability
Analisis (Analysis)
Proses pengolahan data : Analisis kualitatif, Analisis Kuantitatif atau gabungan keduanya HASIL
Gambar 20. Prosedur Analysis Isi (content analysis) Sumber : Rosylin, 2008 Analisis isi (content analysis) untuk keperluan penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang undangan tentang mineral dari pusat hingga ke daerah penelitian dalam konteks pembanguan berkelanjutan untuk aspek ekonomi, lingkungn dan sosial.
2.7.2. Proses Perubahan Kebijakan Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati dalam Rosylin (2008) menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah; tetapi juga melibatkan proses
50
”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan utama. Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai model liner. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau common-sense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Sutton, 1999) : 1.
Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah.
2.
Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah.
3.
Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi.
4.
Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat.
5.
Pelaksanaan kebijakan.
6.
Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Sedangkan menurut (IDS, 200) proses pembuatan kebijakan non linier mempunyai
karakteristik sebagai berikut : 1.
Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan.
2.
Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak menentu, bersifat berulang-ulang dan sering juga didasarkan pada percobaan, kesempatan belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuran-ukuran yang bersifat perbaikan. Oleh karena itu tidak ada keputusan atau hasil kebijakan tunggal yang optimal.
3.
Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya.
4.
Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran utama.
5.
Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai).
6.
Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama ‘saling membangun’ kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi (produksi bersama) antara kebijakan dan ilmu pengetahuan.
7.
Co-Produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan.
51
8.
Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan. Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam suatu
kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling berhubungan (Gambar 21) (IDS, 2006), yaitu : 1. pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan ‘kebijakan naratif’? Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan lain sebagainya ?); 2. para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung ?); dan 3. politik dan kepentingan ( apakah yang merupakan dasar dinamika kekuasaan ?)
Diskursus & Naratif
Politik & Kepentingan
Pelaku & Jaringan Kerja
Gambar 21. Kerangka Hubungan Antar Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan (Sumber : Institute of Development Studies, 2006) Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative development) yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan. Mereka sering menetapkan keyakinankeyakinan tersebut sebagai kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena akan saling memberi pengaruh terhadap ’kebenaran’, asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Narasi dilahirkan melalui jaringan
pembuat
kebijakan
(policy
coalition/network)
dan
mengembangkan
paradigmanya sendiri sehingga menjadi sangat berpengaruh.
52
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1.
Kerangka Metodologis Pendekatan Penelitian
Kerangka metodologis pendekatan penelitian dengan tahapan sebagai berikut: 1.
Membangun model transformasi struktur ekonomi Kabupaten Sumbawa Barat yang baru melalui skenario restrukturisasi keterkaitan antar sektor dengan simulasi tabel Input Output (IO) Sumbawa Barat (2007) dengan sektor yang sama jumlah dan detilnya dengan IO interregional Nusa Tenggara Barat (2005).
2.
Menganalisis potensi daerah dari sumberdaya terbarukan (renewable resources) yang dapat di jadikan sumber-sumber pertumbuhan baru untuk menopang pembangunan berkelanjutan di masa mendatang dengan melakukan analisis keunggulan komparatif wilayah.
3.
Keterkaitan antara pola penganggaran (APBD) dengan kinerja pembangunan pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan pengaruh spasial kinerja pembangunan antar daerah dengan menganalisis dan memetakan (a) konfigurasi spasial kinerja pembangunan (b) konfigurasi spasial kinerja penganggaran (c) peran struktur alokasi anggaran belanja dan keterkaitan antar daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah. Peran pemerintah dalam pengalokasian anggaran sangat menentukan bidang-bidang atau sektor-sektor mana yang harus dikembangkan di luar pertambangan untuk ditingkatkan anggarannya karena berpengaruh terhadap kinerja pembangunan.
4.
Analisis isi peraturan perundangan dan perubahan kebijakan pertambangan kearah transformasi struktur ekonomi sebagai antisipasi habisnya pertambangan
3.2.
Ruang Lingkup Materi Tiga tahapan ruang lingkup materi untuk menjawab ketiga tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut : Pertama, model simulasi tabel Input-Output Sumbawa Barat (2007) dengan sektor yang sama jumlah dan detilnya dengan IO interregional Nusa Tenggara Barat (2005) dan analisis keunggulan komparatif wilayah dengan analisis location quation. Kedua, menganalisis dan memetakan a) konfigurasi spasial kinerja pembangunan b) konfigurasi spasial pola penganggaran c) peran struktur alokasi anggaran belanja
dan keterkaitan antar daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan di 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT Ketiga, analisi isi (content analysis) 151 peraturan perundangan yang terkait dengan mineral dari pusat hingga ke daerah penelitian dan perubahan kebijakan menggunakan pendekatan Institute of Development Studies (IDS) 3.3.
Ruang Lingkup Wilayah Ruang lingkup wilayah penelitian ini dibagi tiga yakni pertama untuk model
transformasi struktur ekonomi digunakan input output Kabupaten Sumbawa Barat NTB, kedua untuk melihat pola penganggaran yang mempengaruhi kinerja pembangunan meliputi 34 Kab/Kota di tiga propinsi yaitu Bali, NTB dan NTT dengan unit penelitian terkecil tingkat kabupaten/kota dan ketiga untuk kebijakan pertambangan akan dilalukan analisis perundang-undangan dari tingkat pusat hingga ke wilayah penelitian yakni Kabupaten Sumbawa Barat. Peta Kab. Sumbawa Barat ditunjukkan pada Gambar 22.
Gambar 22. Peta Kabupaten Sumbawa Barat Sumber : Bappeda KSB, 2006
Sedangkan wilayah kontrak karya tambang tembaga dan emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Kecamatan Sekongkang dan Jereweh seluas 51.167 Ha. Peta wilayah kontrak karya PT. Nemont Nusa Tenggara ditujukkan pada Gambar 23.
54
Gambar 23. Lokasi Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara Sumber : PTNNT, 2006
3.4.
Jenis Data, Sumber Data, Metode Analisis dan Output yang diharapkan
3.4.1. Model Simulasi Input–Output dan Keunggulan Komparatif Wilayah Metode Analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama penelitian ini adalah menggunakan simulasi analisis input-output 34 sektor pada struktur perekonomian Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2007 dan input-output interregional propinsi Nusa Tenggara Barat 35 sektor tahun 2005. Dengan tahapan–tahapan analisis sebagai berikut : 1.
Mengkonstruksi atau membangun tabel input–utput Kabupaten Sumbawa Barat 34 sektor (2007) dan tabel interregional input–output Nusa Tenggara Barat 35 sektor (2005) dengan struktur sektor yang sama jumlah dan detailnya.
2.
Hasil dari langkah pertama diperoleh tabel input–output Kabupaten Sumbawa Barat dan Nusa Tenggara Barat dengan jumlah sektor yang sama detilnya yakni 20 Sektor
3.
Menganalisis struktur ekonomi Kabupaten Sumbawa Barat dengan dan tanpa pertambangan (Newmont)
4.
Selanjutnya menganalisis dampak pengganda (multiplier) 20 sektor input–output Kabupaten Sumbawa Barat meliputi pengganda pendapatan rumah tangga,
55
pengganda surplus usaha, pengganda pendapatan pajak pemerintah, pengganda nilai tambah total/PDRB total dan pengganda tenaga kerja. 5.
Analisis keunggulan komparatif wilayah dengan analisis location quation Tujuan umum dan tujuan khusus penelitian, jenis data, sumber data, metode
analisis dan output yang diharapkan untuk menjawab tujuan pertama penelitian ditunjukkan pada Tabel 13 dibawah ini. Tabel 13. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus Penelitian, Jenis Data, Sumber Data, Metode Analisis dan Output yang Diharapkan untuk Model Simulasi Input-Output dan Location Quation (LQ) Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Jenis Data
Transformasi Struktur Ekonomi Berbasis Sumberdaya Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan
1. Melakukan simulasi Transformas i Struktur Ekonomi Berbasis Pertambang an ke Sumberdaya Lokal Terbarukan
Data Primer : Data produksi pertanian dan Luas Lahan Data Sekunder : 1. 2.
3.
PDRB 2006 Tabel InputOutput Interregio nal NTB 35 Sektor 2005 Tabel InputOutput KSB 34 Sektor 2007
Sumber Data BPS Pusat dan BPS Sumbawa Barat, Podes 2003
Metode Analisis 1. Membangun Tabel InputOutput Sumbawa Barat dengan sektor yang sama jumlah dan detilnya dengan Tabel Input-Output NTB 2. Keunggulan Komparatif Wilayah dengan analisis Location Quation (LQ)
Output yang diharapkan Arah transformasi struktur ekonomi ke sumberdaya lokal terbarukan dan sektor non tambang lainnya Keunggulan komparatif wilayah meliputi produksi pertanian dan luas lahan di Sumbawa Barat
Sumber : BPS, 2006 dan 2007 Model Input-Output Analisis Input-Output dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Menurut (Nazara, 2005) alat analisis Input Output pertama kali dikembangkan oleh Wassily Leontif tahun 1930-an. Idenya sangat sederhana namun mampu menjadi salahsatu alat analisis yang ampuh dalam melihat hubungan antarsektor dalam suatu perekonomian. Analisis hubungan antar sektor dalam pembangunan masuk dalam bidang ilmu ekonomi pembangunan, yang mulai berkembang tahun 1950-an. Input-Output akhirnya bukan hanya menjadi alat analisis dalam bidang ilmu ekonomi pembangunan, tetapi menjadi
56
salahsatu pionir alat analisis pada bidang ilmu ekonomi perencanaan dan ilmu ekonomi regional. Kemampuan alat analisis ini untuk melihat sektor demi sektor dalam perekonomian hingga tingkat yang sangat rinci membuat alat analisis ini cocok bagi proses perencanaan pembangunan. Selanjutnya (Saefulhakim, 2000) menyoroti peranan pemerintahan daerah setelah diberlakukannya undang-undang otonomi daerah memiliki kewenangan yang lebih besar di dalam merencanakan arah pembangunannya. Di sisi lain, pemerintah daerah akan semakin
dituntut
untuk
lebih
mandiri
didalam
memecahkan
masalah-masalah
pembangunan di daerahnya. Otonomi daerah juga mengisyaratkan semakin pentingnya pendekatan pembangunan dengan basis pengembangan wilayah dibanding pendekatan pembangunan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan intersektoral, interspasial, serta antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah. Lebih jauh (Saefulhakim, 2000) menjelaskan bahwa akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dalam suatu perencanaan pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain), (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan (infrastruktur) dan sumberdaya sosial yang ada. Atas dasar pemikiran diatas, dapat dipahami bahwa di setiap wilayah/daerah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak berkembangnya sektor-sektor lainnya, dan secara spasial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran. Karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral, serta keterkaitan intersektoral dan interregional dalam perekonomian
57
wilayah, secara teknis dapat dijelaskan dengan menggunakan Analisis Input-Output (Analisis I-O) walaupun dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu. Tabel Input-Output pada dasarnya merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor yang lainnya, dalam suatu wilayah dalam satu periode waktu tertentu. Dengan mengunakan tabel I-O dapat dilihat bagaimana output dari suatu sektor ekonomi didistribusikan ke sektor-sektor lainnya dan bagaimana pula suatu sektor memperoleh input yang diperlukan dari sektor-sektor lainnya. Bentuk penyajian tabel I-O adalah matriks, dimana masing-masing barisnya menunjukkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir, sedangkan masing-masing kolomnya menunjukkan pemakaian input antara dan input primer oleh suatu sektor dalam proses produksi (Tabel IO BPS, 2005). Selanjutnya (Tabel IO BPS, 2005) menerangkan bahwa dalam suatu model inputoutput yang bersifat terbuka dan statis, transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunan tabel Input-Output harus memenuhi tiga asumsi atau prinsip dasar, yaitu: a. Keseragaman (homogenity), yaitu asumsi bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis output (barang dan jasa) dengan struktur input tunggal (seragam) dan tidak ada substitusi otomatis antar output dari sektor yang berbeda. b. Kesebandingan (proportionality), yaitu asumsi bahwa kenaikan penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan c. Penjumlahan (additivity), yaitu asumsi bahwa jumlah pengaruh kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari pengaruh pada masing-masing sektor tersebut Tabel 14. Ilustrasi Tabel Input Output Alokasi Output
Permintaan Antara Sektor Produksi
Permintaan Akhir
Jumlah Output
F1 F2 F3
X1 X2 X3
Susunan Input Sektor Produksi Jumlah Input Primer Jumlah Input Sumber : BPS, 2005
1 2 3
x11 x21 X31
V1 X1
x12 x22 x32 V2 X2
x13 x23 x33 V3 X3
Untuk memberikan gambaran tentang tabel Input Output, diberikan suatu ilustrasi Tabel Input Output (Tabel 14) dengan menyederhanakan suatu sistem ekonomi menjadi
58
tiga sektor produksi, atau disebut juga tabel Input Output 3 x 3 sektor. Pada garis horizontal atau baris, isian-isian angka memperlihatkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan, sebagian untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) sebagain lagi dipakai untuk memenuhi permintaan akhir (final demand). Permintaan antara adalah permintaan terhadap barang dan jasa yang digunakan untuk proses lebih lanjut pada sektor produksi. Sedangkan permintaan akhir adalah permintaan untuk konsumsi akhir yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal dan eksport. Isian angka menurut garis vertikal atau kolom, menunjukkan pemakaian input antara maupun input primer yang disediakan oleh sektor-sektor lain untuk pelaksanaan produksi. Input primer dalam istilah yang lebih populer disebut nilai tambah, yang terdiri dari upah/gaji, sewa tanah, bunga netto dan surplus usaha. Setiap angka atau sel dalam sistem matriks tersebut mempunyai pengertian ganda. Misalnya di kuadran pertama yaitu transaksi antara (permintaan antara dan input antara). Dilihat secara horizontal angka tersebut merupakan alokasi output suatu sektor kepada sektor lainnya, dan pada waktu yang bersamaan dilihat secara vertikal merupakan input dari suatu sektor yang diperoleh dari sektor lainnya. Gambaran diatas menunjukkan bahwa susunan angka-angka dalam bentuk matriks memperlihatkan suatu jalinan yang kait-mengkait (interdependent) diantara beberapa sektor. Dengan mengambil contoh dari ilustrasi diatas, dapat dijelaskan bahwa sektor 1, outputnya berjumlah X1, dialokasikan secara baris sebanyak X11, X12, X13 berturut-turut kepada sektor 1, 2 dan 3 sebagai permintaan antara, serta sebanyak F1, untuk memenuhi permintaan akhir. Output X2 dan X3 masing-masing dari sektor 2 dan 3, alokasi dapat diperiksa dengan cara yang sama. Alokasi output itu secara keseluruhan dapat dituliskan dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut: X12 + X12 + X13 + F1 = X1 X21 + X22 + X23 + F2 = X2
…………………………………….. (1)
X31 + X32 + X33 + F3 = X3 Seperti telah disinggung sebelumnya, Tabel I-O ini dapat dijadikan alat analisis untuk melihat struktur keterkaitan (linkages) ekonomi antar sektor dalam suatu perekonomian serta efek multiplier suatu sektor terhadap sektor ataupun perekonomian secara keseluruhan.
Untuk keperluan analisis, parameter yang paling utama adalah
koefisien teknologi aij yang secara matematis diformulasikan sebagai berikut:
59
X ij
a ij =
Xj
atau Xij = aij . Xj
(2)
dimana: aij : rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j (=Xij) terhadap total input sektor j (=Xj). Dengan demikian, Tabel I-O secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
a11X1 + a12X2 + … a1jXj …+ a1nXn + Y1 = X1 a21X1 + a22X2 + … a2jXj …+ ainXn + Y2 = X2 :
:
:
ai1X1 + ai2X2 + … aijXj.… + ainXn + Yi = Xi :
:
(3)
:
an1X1 + an2X2 + … aijXn….. + annXn + Yn = Xn
atau ⎡ a11 ⎢a ⎢ 21 ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢⎣ a n1 ⎡ a ⎢ a ⎢ ⎢ a ⎢ ⎣⎢ a
11 21 i n 1
a a a a
a
12
ij
a
M
22
a
ij
a
nj
2
1 n
M
i 2 n
a a
in nn
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦⎥
⎡ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣
x
1
x
2
x x
n
i
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
+
a12 a 22
: M aij
an2 ⎡ Y ⎢ Y ⎢ ⎢ Y ⎢ ⎣ Y
1 2 i n
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
=
⎡ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣
x
1
x
2
x x
n
i
a1n ⎤ a 2 n ⎥⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ a nn ⎥⎦
⎡ X 1 ⎤ ⎡Y1 ⎤ ⎡ X 1 ⎤ ⎢ X ⎥ ⎢Y ⎥ ⎢ X ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢ 2⎥ ⎢ 2⎥ ⎢ ⎥+⎢ ⎥=⎢ ⎥ ⎢ X ⎥ ⎢Y ⎥ ⎢ X i ⎥ ⎢ i⎥ ⎢ i⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ X n ⎥⎦ ⎢⎣Yn ⎥⎦ ⎣⎢ X n ⎦⎥
(4)
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
Dengan notasi matriks dirumuskan sebagai berikut:
AX + Y = X
(5)
Matriks A merupakan matriks koefisien hubungan langsung antar sektor (koefisien teknologi), dengan demikian maka
X – AX = Y
60
(I – A)X= Y X = (I – A)-1.Y
Matriks (I – A) dikenal sebagai matriks Leontief, merupakan parameter penting di dalam analisis I-O. Invers matriks tersebut, matriks (I-A)-1 atau B adalah matriks invers Leontief (matriks saling hubungan langsung dan tidak langsung antar sektor). Karena (I – A)-1 Y = BY, maka peningkatan produksi (X) merupakan akibat tarikan permintaan akhir Y. Gradien peningkatannya ditentukan oleh elemen-elemen matriks B. Berikut ini beberapa istilah teknis analisis I-O yang umum digunakan: A.
Keterkaitan
(1)
Kaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) (a*j): menunjukkan efek langsung dari perubahan output (tingkat produksi) suatu sektor terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut. n
a* j = ∑ aij i
Untuk kebutuhan mengukur secara relatif (pembandingan dengan sektor lainnya), a*j kemudian dinormalisasikan menjadi a*j yang merupakan rasio antara kaitan langsung ke belakang sektor j dengan rata-rata kaitan langsung ke belakang untuk sektor-sektor lainnya. a* j =
a* j
1 n
∑a j
= *j
na* j
∑a
*j
j
Nilai a*j > 1 menunjukkan bahwa sektor j memiliki kaitan ke belakang yang kuat dalam pengertian memiliki pengaruh langsung yang kuat terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain. (2)
Kaitan langsung ke depan (direct forward linkage) (ai*): menunjukkan efek langsung dari perubahan output (tingkat produksi) suatu sektor terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut. a i* = ∑ a ij j
Untuk kebutuhan mengukur secara relatif (pembandingan dengan sektor lainnya), ai* kemudian dinormalisasikan menjadi ai* yang merupakan rasio antara kaitan
61
langsung ke depan sektor i dengan rata-rata kaitan langsung ke depan untuk sektorsektor lainnya. a i* =
1 n
a i* na i* = ∑ a i * ∑ a i* i
(3)
i
Kaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (direct and indirect backward linkage) (b*j): menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor tertentu, pada peningkatan total output seluruh sektor perekonomian. Parameter ini menunjukkan kekuatan suatu sektor dalam mendorong peningkatan seluruh sektor perekonomian, secara matematis diformulasikan sebagai berikut: b* j = ∑ bij i
dimana bij adalah elemen-elemen invers matriks Leontief B=(I-A)-1.
Untuk kebutuhan mengukur secara relatif (pembandingan dengan sektor lainnya), b*j kemudian dinormalisasikan menjadi b*j yang merupakan rasio antara kaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor j dengan rata-rata kaitan langsung dan tidak langsung ke depan untuk sektor-sektor lainnya. b* j =
b* j
1 n
∑b
*j
j
(4)
=
nb* j
∑b
*j
j
Kaitan langsung dan tak langsung ke depan (direct and indirect forward linkage) (bi*):
bi* = ∑ bij i
Untuk kebutuhan mengukur secara relatif (pembandingan dengan sektor lainnya), bi* kemudian dinormalisasikan menjadi bi* yang merupakan rasio antara kaitan langsung dan tidak ke depan sektor i dengan rata-rata kaitan langsung dan tidak langsung ke depan untuk sektor-sektor lainnya. b i* =
1 n
bi* nbi* = ∑ bi* ∑ bi* i
B.
i
Multiplier
62
Dalam hal ini, paling tidak dikenal dua tipe multiplier, yakni: Multiplier Tipe I dan Multiplier Tipe II. Multiplier Tipe I dihitung berdasarkan inverse matriks Leontief, (I-A)-1, dimana sektor rumah tangga diperlakukan secara exogenous. Bila sektor rumah tangga dimasukkan dalam matriks saling ketergantungan, dengan menambah satu baris berupa pendapatan rumah tangga dan satu kolom berupa pengeluaran rumah tangga, yang berarti sektor rumah tangga diperlakukan secara endogenous dalam sistem, maka multiplier yang diperoleh adalah Multiplier Tipe II. Dalam Multiplier Tipe II, bukan hanya Dampak Langsung dan Tidak Langsung yang dihitung tetapi termasuk pula Dampak Induksi, yakni dampak dari perubahan pola konsumsi rumah tangga akibat peningkatan pendapatan terhadap kinerja sistem perekonomian wilayah. Untuk keperluan analisis, dapat dihitung berbagai jenis multiplier baik untuk Multiplier Tipe I maupun Multiplier Tipe II, antara lain: a.
Penggandaan output (Output Multiplier) digunakan rumus: n
MXSJ = ∑ Cif j −1
n
MXTj = ∑ dif j −1
Keterangan : MXSj = Penggandaan output sektor ke-j MXSJ = Penggandaan tenaga kerja tipe II sektor ke-j
b.
Penggandaan pendapatan (Income Multiplier), digunakan rumus sebagai berikut : n
MPIj = ∑
an + 1, iCij
i =1
n +1
MPIIj = ∑ i =1
an + 1, j
an + 1, iCij an + 1, j
Keterangan : MPIj
= Pengaruh ganda pendapatan tipe I sektor ke-j
MPIIj
= Pengaruh ganda tipe II sektor ke-j
Dij
= Unsur matrik kebalikan Leontief tertutup (unsur matrik (I-B)-1)
63
an + 1,i = Koefisien input gaji / upah rumah tangga sektor ke-i an + 1,j = Koefisien input gaji / upah rumah tangga sektor ke-j
c.
Pengganda Pajak (Tax Multiplier), TMj, yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j terhadap peningkatan pajak tak langsung netto secara keseluruhan di wilayah penelitian. T
T
Mj =
vi
T
1 vj
∑
T
vi bij
i
: rasio pajak tak langsung netto dari sektor i terhadap total output sektor i untuk i=j, maka Tvi = Tvj
bij d.
: elemen inverse matriks Leontief
Pengganda Nilai Tambah Total (Total Value-Added Multiplier) atau multiplier PDRB,
GDP
Mj, adalah dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j
terhadap peningkatan PDRB wilayah penelitian. Mj =
GDP
1 GDP
vj
∑
GDP
vi bij
i
GDP
vi: rasio Produk Domestik Regional Bruto dari sektor i terhadap total output
sektor i untuk i=j, maka GDPvi = GDPvj bij e.
: elemen inverse matriks Leontief
Pengganda Tenaga Kerja (Employment Multiplier),
E
Mj, adalah dampak
peningkatan permintaan akhir atas output sektor j terhadap peningkatan total kesempatan kerja di wilayah penelitian. E
Mj =
E
vi
E
1 vj
∑
E
vi bij
i
: rasio jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor i terhadap total output
sektor i untuk i=j, maka Evi = Evj bij f.
: elemen inverse matriks Leontief
Penggandaan Pendapatan, digunakan rumus sebagai berikut:
64
an + 1, iCij
n
MPIj = ∑
an + 1, j
i =1
n +1
MPIIj = ∑
an + 1, iCij an + 1, j
i =1
Keterangan : MPIj
= Pengaruh ganda pendapatan tipe I sektor ke-j
MPIIj
= Pengaruh ganda tipe II sektor ke-j
Dij
= Unsur matrik kebalikan Leontief tertutup (unsur matrik (I-B)-1)
an + 1,i = Koefisien input gaji / upah rumah tangga sektor ke-i an + 1,j = Koefisien input gaji / upah rumah tangga sektor ke-j
g.
Penggandaan tenaga kerja, digunakan rumus berikut: n −1
MLIj = ∑
Wn + 1, iCij Wn + 1, j
i =1
n −1
MLIIj = ∑
Wn + 1, idij Wn + 1, j
i =1
Keterangan :
h.
MLIj
= Penggandaan tenaga kerja tipe I sektor ke-j
MLIIj
= Penggandaan tenaga kerja tipe II sektor ke-j
Wn+1,i
= Koefisien tenaga kerja sektor ke-i
Koefisien penyebaran (Coefficient of Dispersion = CD), rumusnya: n
CD =
n∑ Cij i =1
n
n
i =1
j =1
∑ ∑C
Keterangan : CD = Koefisien penyebaran
65
Analisis Keunggulan Komparatif (Location Quotient Analysis) Keunggulan komparatif (Location Quotient) merupakan metode analisis yang umum digunakan di bidang ekonomi geografi. Namun demikian, LQ ini sering juga digunakan di bidang ilmu yang lain. Blakely dalam Saefulhakim (2000) menyatakan bahwa LQ ini merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk melengkapi analisis lain yaitu shift share analysis.
Secara umum, metode analisis ini digunakan untuk
menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktifitas). Disamping itu, LQ juga bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa--dari produksi lokal suatu wilayah. Asumsi, Persamaan dan Interpretasi Hasil Location Quotient (LQ) merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa total aktifitas tersebut dalam total aktifitas wilayah. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati.
Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi
geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama. Struktur data dan aktifitas Tabel LQ ditunjukkan oleh Tabel 15 dan 16. Persamaan dari LQ ini adalah :
LQ
IJ
=
X X
IJ .J
X /X
/
I. ..
Dimana: Xij Xi. X.j X..
: : : :
derajat aktifitas ke-j di wilayah ke-i total aktifitas di wilayah ke-I total aktifitas ke-j di semua wilayah derajat aktifitas total wilayah
66
Tabel 15. Struktur data aktifitas Tabel LQ Kecamatan Nama Kecamatan
I 1 2 . . . n
Jumlah
j 1 X11 X21
2 X12 X22
Xn1 X.1
Xn2 X.2
…
m X1m X2m
Jumlah Xi. X1. X2.
Xnm X.m
Xn. X..
Tabel 16. Struktur Tabel LQ I 1 2
Kecamatan Nama Kecamatan
j 1 LQ11 LQ21
. . .
. . .
N
LQn1
2 LQ12 LQ22
LQn2
...
m LQ1m LQ2m
LQnm
Untuk dapat menginterprestasikan hasil analisis LQ, adalah sebagai berikut : -
Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i.
-
Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-I sama dengan rata-rata total wilayah.
-
Jika nilai LQij < 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan diseluruh wilayah.
Data Data yang biasa digunakan untuk analisis ini antara lain : data tenaga kerja, data luas atau total suatu komoditas, data PDRB atau data lain. Data tersebut harus mempunyai beberapa unit sampel dan dapat diketahui jumlah total populasinya yang lengkap. Sebagai contoh adalah data produksi yang ada dalam unit-unit kecamatan, oleh karenanya harus diketahui jumlah total produksi tersebut dalam tingkat kabupaten secara keseluruhan. Semua data yang bisa digunakan sebagai penerapan analisis shift share menggunakan data dalam minimal dua titik waktu sedangkan LQ bisa dilakukan untuk data satu titik waktu.
67
3.4.2. Hubungan Fungsional Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran dan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah. Tujuan kedua penelitan ini adalah suatu proses yang berurutan yakni menganalisis dan memetakan (a) konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah (b) konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran dan (c) hubungan fungsional antara konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah dengan konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah. Untuk tujuan kedua ini lingkup wilayah penelitian dilakukan di 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni NTB, Bali dan NTT
dengan fokus kajian Kabupaten
Sumbawa Barat. Perencanaan dan penganggaran merupakan suatu proses yang terintegrasi dalam pembangunan daerah, salahsatu output penting dari perencanaan adalah penganggaran sehingga pola penganggaran yang tepat dapat memberi pengaruh pada kinerja pembangunan. Secara faktual menunjukkan bahwa kinerja pembangunan suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran daerah yang bersangkutan, tetapi akan dipengaruhi pula oleh daerah sekitarnya. Dalam konteks penelitian ini, arah dan kecenderungan penganggaran Kabupaten Sumbawa Barat yang merupakan lokasi proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara dan keterkaitan penganggaran yang mempengaruhi kinerja pembangunan pada 34 Kab/Kota tiga Propinsi Bali, NTB dan NTT dapat diketahui. Sehingga proses percepatan transformasi struktur ekonomi berbasis sumberdaya pertambangan yang tidak terbarukan ke sumberdaya atau sektor-sektor lain diluar pertambangan dapat diketahui telah mengarah atau sebaliknya. Analisis Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah Ukuran yang umum dipakai untuk mengetahui kinerja pembangunan suatu daerah secara agregat dan cukup representatif salah satunya adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain dapat untuk mengukur perkembangan ekonomi daerah dari waktu ke waktu, PDRB dapat juga digunakan untuk membandingkan dengan kinerja perekonomian daerah lain. Dalam penelitian ini dilakukan perumusan indikator dan variabel proxy indikator kinerja pembangunan daerah, kemudian memetakan indikator dan variabel proxy tersebut seperti pada Gambar 24. Variabel yang diturunkan dari Data APBD Variabel proxy indikator kinerja pembangunan daerah selain berasal dari data PDRB kabupaten/kota dan juga menggunakan data APBD 34 kabupaten/kota propinsi
68
Bali, NTB dan NTT tahun 2006. Data yang berasal dari APBD tersebut adalah persentase PAD terhadap total penerimaan. Setelah semua variabel indikator kinerja pembangunan selesai dihitung, maka dilakukan analisis PCA untuk mentransformasikan secara linier satu set peubah kedalam peubah yang baru yang lebih sederhana dengan ukuran lebih kecil representatif dan ortogonal (tidak saling berkorelasi), sehingga diperoleh Indeks Komposit Kinerja Pembangunan Daerah. Indeks komposit tersebut kemudian dipetakan dalam format digital berdasarkan kabupaten/kota
masing-masing
dengan
dilakukan
analisis
klasifikasi
sehingga
mempermudah analisis pola spasial kinerja pembangunan daerah di 34 Kab/Koata propinsi Bali, NTB dan NTT. Tujuan penelitian, data dasar, sumber data, metode analisis an output yang diharapkan untuk menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah ditunjukkan oleh Tabel 17 dibawah ini. Tabel 17. Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Metode Analisis dan Output yang Diharapkan untuk Menganalisis dan Memetakan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah No
Tujuan Penelitian
1.
Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah. (Variabel tujuan atau variabel dependent/tidak bebas)
Data Dasar 1.
2. 3.
4.
5. 6.
7. 8.
PDRB ADH konstan 2004 dan 2006 PDRB ADH berlaku 2006 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2006 Total Pendapatan 2006 Sisa Anggaran tahun Lalu Luas Daerah yang dianalisis dikurangi luas hutan Jumlah Penduduk Angka Keluarga Miskin
Sumber Data DJAPK Depkue RI, BPS
Analisis Variabel Indikator 1. Rataan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) 2. Rataan Produktifitas Wilayah 3. Rataan Produktifitas Penduduk/PDRB Perkapita 4. Rataan Pendapatan Asli Daerah 5. Rataan PAD per Luas Lahan 6. Laju Pertumbuhan PAD/Laju Pertumbuhan Fiskal 7. Jumlah Penduduk Menganggur dibagi Angkatan Kerja/Usia Produktif 8. Jumlah Keluarga Miskin dibagi Jumlah Keluarga
Output yang diharapkan Indeks Komposit Kinerja Pembangunan dan Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah
Sumber : BPS, 2006 dan 2007
69
Analisis Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Langkah-langkah dalam analisis konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran hampir mirip dengan analisis sebelumnya yaitu analisis konfigurasi spasial kinerja pembangunan. Tujuan penelitian, data dasar, sumber data, metode analisis dan output yang diharapkan untuk menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah ditunjukkan pada Tabel 18 bawah ini. Tabel 18. Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Metode Analisis dan Output yang Diharapkan untuk Menganalisis dan Memetakan Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah. No
Tujuan Penelitian
Data Dasar
Sumber Data
2
Menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah. (Variabel keadaan atau variabel independent/variabel bebas)
1. APBD tahun 2006 2. APBD Per Bidang 2006
DJAPK Depkue RI, BPS
Analisis Variabel Indikator 1. Rataan per kapita total APBD 2. Rataan per Luas Lahan Total APBD 3. Rataan per kapita APBD per bidang 4. Rataan per luas lahan APBD per bidang 5. Pangsa APBD per bidang
Output yang diharapkan Indeks Komposit Pola Pengalokasian Anggaran dan peta konfigurasi spasial pola pengalokasian Anggaran
Sumber : BPS, 2006 dan 2007 Hasil yang diperoleh dari penyusunan dan perhitungan variabel indikator pola pengalokasian anggaran kemudian dilakukan Analisis PCA untuk mentransformasikan secara linier satu set peubah kedalam peubah yang baru yang lebih sederhana dengan ukuran lebih kecil representatif dan ortogonal (tidak saling berkorelasi), sehingga diperoleh Indeks Komposit Pola Pengalokasian Anggaran Daerah. Indeks Komposit Pola Pengalokasian Anggaran
Daerah tersebut lalu dipetakan
dalam format digital untuk mempermudah proses analisis. Analisis Komponen Utama (PCA) Analisis
komponen
utama
menggunakan
PCA
Teknik
analisis
ini
mentransformasikan secara linier satu set peubah kedalam peubah yang baru yang lebih sederhana dengan ukuran lebih kecil representatif dan ortogonal (tidak saling berkorelasi). Persamaan umum PCA adalah:
Yk = ak1X1 + ak2X2 + ak3X3 + … + akpXp
70
Format data untuk PCA dapat disusun membentuk matriks yang berukuran n x p, dengan n : unit sample (jumlah wilayah) dan p ; jumlah peubah (kolom). Analisis komponen utama ini dilakukan sampai diperoleh nilai PC Score terbaik, yaitu: PC Score dengan nilai akar ciri (eigenvalues) diatas 70%; jumlah faktor-faktor baru yang diperoleh pada tabel factor loading dibawah lima; dan korelasi antar variabel-variabel asal dengan faktor-faktor baru pada factor loading dapat diinterpretasikan secara logis. Adapun maksud dari analisis komponen utama ini adalah untuk mengelompokkan variabel-variabel menjadi beberapa kelompok. Ada dua tujuan dasar dari PC, yaitu: •
Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan variabelvariabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi.
•
Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah. (Saefulhakim, 2004).
Hasil PCA antara lain: •
Akar ciri (eigen value) merupakan suatu nilai yang menunjukkan keragaman dari peubah komponen utama dihasilkan dari analisis, semakin besar nilai eigen value, maka semakin besar pula keragaman data awal yang mampu dijelaskan oleh data baru.
•
Proporsi dan komulatif akar ciri, nilai pembobot (eigen vector) merupakan parameter yang menggambarkan hubungan setiap peubah dengan komponen utama ke-i.
•
PC loading menggambarkan besarnya korelasi antar variable pertama dengan komponen ke-i.
•
Component score adalah nilai yang menggambarkan besarnya titik-titik data baru dari hasil komponen utama dan digunakan setelah PCA. PC scores ini yang digunakan jika terjadi analisis lanjutan setelah PCA. Dalam penelitian ini PCA digunakan sebagai teknik pengolah data indikator kinerja
pembangunan dan indikator pola pengalokasian anggaran yang melalui proses rasionalisasi. Hasil dari PCA tersebut (component score) menjadi masukan untuk analisis spatial autoregressive model.
71
Analisis Hubungan Fungsional Antara Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah Dengan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah Analisis ini dilandasi pada pemikiran bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pembangunan suatu daerah yaitu pola pengalokasian anggaran suatu daerah, pola pengalokasian anggaran daerah lain dan kinerja pembangunan daerah lain disekitarnya. Dengan kata lain kinerja pembangunan suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran daerah yang bersangkutan, tetapi akan dipengaruhi oleh kondisi daerah lain disekitarnya dalam hal ini adalah pola pengalokasian anggaran dan kinerja pembangunan daerah di sekitarnya Analisis hubungan fungsional antara pola pengalokasian anggaran belanja daerah dengan kinerja pembangunan daerah menggunakan variabel hasil analisis pertama dan kedua yaitu komponen utama variabel indikator kinerja pembangunan daerah dan komponen utama pola pengalokasian anggaran daerah. Data yang diperlukan untuk analisis ini adalah komponen utama indikator kinerja pembangunan daerah, komponen utama indikator pola pengalokasian anggaran, peta administrasi, data aliran kendaraan, dan data aliran barang. Matriks kontiguitasnya berasal dari data peta administrasi 34 kabupaten/kota propinsi Bali, NTB dan NTT. Teknik analisis yang dipakai menggunakan spatial econometrics. Prinsip dasar spatial econometrics hampir sama dengan regresi berbobot (weighted regression), dengan variable yang menjadi pembobot adalah faktor lokasi. Kedekatan dan keterkaitan antar lokasi ini menyebabkan munculnya fenomena ‘autokorelasi spasial’. Spatial Autoregresi merupakan pengembangan dari regresi sederhana, yang digunakan untuk data spasial. Misalnya untuk mengetahui tingkat perkembangan di suatu wilayah selain dipengaruhi veriabel bebas (hasil olah PCA) juga dipengaruhi oleh variable lain, yaitu hubungan spasial. Spatial econometrics ini digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap nilai dari variabel penjelas. Prasyarat dalam analysis spatial econometrics adalah sample harus independent. Untuk itu sebelum dilakukan model ini, data harus diolah terlebih dahulu dengan menggunakan PCA (Principal Componens Analysis). Data yang digunakan untuk variabel bebas (x) berasal dari komponen utama hasil pengolahan PCA. Representasi faktor lokasi pada spatial econometrics dalam bentuk matriks pembobot spasial (spatial weight matrices), yang secara umum mengandung
72
matriks kedekatan yang disebut dengan matrix kontiguity (contiguity matrix). Untuk perhitungan matriks pembobot spasial (W) dalam penelitian ini didasarkan pada 3 (tiga) aspek, yaitu: •
Ketetanggaan (batas wilayah) antar kabupaten/kota (kontiguity)
•
Kebalikan jarak antar kabupaten/kota
•
Aliran komoditas barang
Teknik-teknik analisis yang dipakai untuk menganalisis peran struktur alokasi anggaran belanja dan keterkaitan antar daerah untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah adalah : 1. Multiple regressive. Persamaannya adalah: Y r= α + βX r + ε r . 2. Spatial auto regressive model. Persamaannya adalah : 3
Y r = α + ∑ ρ1.k Wk Yr +β X r + ε r . k =1
3. Spatial Durbin model. Persamaannya adalah : 3
3
k =1
k =1
Y r= α + ∑ ρ1.k Wk Yr + ∑ ρ 2.k Wk X r +β X r + ε r
dimana : Yr
:
Fungsi tujuan/peubah respon/dependent variable : Kinerja Pembangunan Daerah r
α,β
:
Konstanta/koefisien fungsi regresi
ρ1.k
:
Koefisien regresi
Wk
:
Matriks pembobot spasial antar wilayah , dimana : •
k=1 : Ketetanggaan (batas wilayah) antar kabupaten/kota
•
k=2 : Kebalikan jarak antar kabupaten/kota
•
k=3 : Aliran komoditas barang
ρ2.k
:
Koefisien regresi
X
:
Variabel bebas/peubah penjelas/independent variabel : pola pengalokasian anggaran
Tujuan penelitian, data dasar, sumber data, metode analisis dan output yang diharapkan untuk menganalisis dan memetakan konfigurasi spasial pola pengalokasian anggaran belanja daerah ditunjukkan pada Tabel 19 bawah ini.
73
Tabel 19. Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Metode Analisis dan Output yang Diharapkan untuk Menganalisis dan Memetakan Hubungan Fungsional Kinerja Pembangunan dan Pola Spasial Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah No
Tujuan Penelitian
Data
Sumber Data
3.
Menganalisis peran struktur alokasi anggaran belanja dan keterkaitan antar daerah untuk untuk optimalisasi kinerja pembangunan daerah
Logaritma Natural :
1. Hasil analisis point 1 dan 2 2. Dept. Perhubungan
1. Indeks komposit kinerja pembangunan 2. Indeks komposit pola pengalokasian anggaran, 3. Data aliran barang antar kabupaten/kota
Analisis Variabel Indikator Tiga analisis indikator: a. Multiple Regresion (untuk melihat pada daerah yang dianalisis/daerah tertentu) b. Spatial Autoregresion (Untuk melihat pengaruh variabel tujuan terhadap variabel keadaan. F(x) = Y, F(y) = X c. Spatial Durbin Model ( Untuk melihat pengaruh daerah lain/daerah yang bertetangga)
Output yang diharapkan Hubungan fungsional antara kinerja pembangunan dan Pola Pengalokasian Anggaran Antar Wilayah
Sumber : BPS, 2006 dan 2007 3.4.3. Metode Analisis Tujuan Ketiga Analisis Isi (Content Analysis) dan Perubahan Kebijakan Identifikasi permasalahan investasi pertambangan dan perubahan kebijakan yang diperlukan sebelum tambang dimulai, saat operasi dan setelah berakhirnya pertambangan, dengan menganalisis berbagai kebijakan dari tingkat pusat hingga daerah penelitian yakni Kabupaten Sumbawa Barat NTB sebagai lokasi Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara menyangkut peraturan perundangan yang terkait pertambangan. Data yang terkumpul, baik berupa data primer dan sekunder, kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan ketiga penelitian menggunakan analisis isi (content analysis) peraturan perundangan. Sedangkan untuk mengetahui proses pengambilan keputusan yang ada untuk masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) menggunakan pendekatan IDS environment group, yaitu : narasi, aktor dan kepentingan untuk perubahan kebijakan pascatambang dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Analisis Isi (Content Analysis) Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya (Henderson, 1991 dan Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini bisa
74
berupa teknik kuantitatif yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Content analysis dilakukan untuk mengetahui isi dari suatu produk kebijakan dan menganalisis proses serta aktor yang terlibat dalam perumusan. Menurut Fraenkel et al. (1996) langkah – langkah yang dilakukan mencakup : 1.
Menentukan objek;
2.
Mendefenisikan istilah;
3.
Spesifikasi unit analisis (kata, kalimat, paragraf atau gambar);
4.
Menetapkan sumber data;
5.
Memperkuat alasan pemikiran;
6.
Membuat rencana sampling;
7.
Membuat kode kategori; dan
8.
Analisa data.
Analisis Stakeholder (Stakeholder Analysis) Untuk analysis stakeholder menggunakan metode yang dikembangkan oleh institute development studies IDS yakni proses kebijakan, membangun dan mengelaborasi model sederhana dengan mengkaitkannya dengan tiga tema yang saling berhubungan :
Pengetahuan dan wacana (apa naratif kebijakannya? bagaimana dibingkai melalui ilmu pengetahuan dan riset, dan sebagainya ?)
Aktor dan jaringan kerjanya (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka saling berhubungan?); dan
Politik dan kepentingannya (apa dinamika kekuasaan yang mendasarinya?) Oleh karenanya pemahaman terhadap proses kebijakan adalah suatu hasil dari
melihat ketiga hal ini secara bersama-sama –pada titik singgung dari tiga prespektif ini. Jadi, untuk memahamai mengapa kebijakan memiliki bentuk tertentu, adalah perlu untuk memahami bukan hanya bagaimana sain membingkai issu –naratif yang menceritakan cerita kebijakan- tetapi juga cara-cara bagaimana posisi kebijakan melekat pada jaringan kerja (aktor, pendanaan, professional dan hubungan lain dan institusi dan organisasi tertentu) dan memberikan atau membatasi dinamika kekuasaan –namun demikian kerangka kerja ini akan lebih baik dipandang sebagai suatu menu- suatu pemilihan titik awal untuk menjawab pertanyaan kebijakan yang bermanfaat.
75
BAB IV. KONDISI EKSISTING WILAYAH PENELITIAN
4.1.
Kabupaten Sumbawa – Barat
4.1.1. Luas dan Batas Wilayah Kabupaten Sumbawa Barat selanjutnya disebut KSB dibentuk berdasarkan UU No. 30 tahun 2003 yang terdiri dari 5 kecamatan terbagi dalam 37 desa serta 131 buah dusun/lingkungan yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumbawa. KSB merupakan merupakan salah satu dari sembilan Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Barat terletak di ujung Barat Pulau Sumbawa dengan luas wilayah 1.849,02 km2. Kabupaten yang dikenal dengan motto Pariri Lema Bariri ini berbatasan dengan Selat Alas di sebelah Barat, Kabupaten Sumbawa di sebelah Timur dan Utara dan Samudera Indonesia di sebelah Selatan. 4.1.2. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Jumlah penduduk dapat menjadi modal utama dalam pembangunan bila dilengkapi denga pendidikan dan keterampilan yang memadai serta berada dalam usia produktif. Penduduk KSB tahun 2005 mencapai angka 99.581 jiwa, terdiri dari 50.340 laki-laki dan 49.241 perempuan, dengan demikian penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan, dengan sex ratio 102. Jika jumlah penduduk dibandingkan dengan uas wilayah (1.849,02 km2) maka setiap km2 dihuni oleh 54 jiwa, ini memperlihatkan bahwa penduduk Sumbawa Barat masih jarang. Perbandingan antara luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan dapat dilihat pada Tabel 20 dibawah ini. Tabel 20. Luas Kecamatan, Penduduk dan Kepadatannya di Kabupaten Sumbawa Barat No 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan Sekongkang Jereweh Taliwang Brang Rea Seteluk Jumlah
Luas (km2) 305,13 574,67 516,3 212,07 240,32 1.849,02
Sumber : Sumbawa Barat dalam angka, 2007
Penduduk (Jiwa) 9.616 14.844 38.624 11.844 24.653 99.581
Kepadatan (Jiwa/km2) 32 26 75 56 103 54
4.1.3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Status kabupaten/kota dapat digolongkan dalam konteks IPM dapat digolongkan dalam empat golongan, yaitu tinggi (IPM = 80-100), menengah atas (IPM = 66-80), menengah bawah (IPM = 50-65) dan rendah (IPM<50) hanya kota Mataram yang masuk dari golongan menengah bawah menjadi golongan tingkatan menengah atas dengan IPM 68,8 sedangkan Kabupaten lainnya tergolong pada tingkatan menengah bawah karena indeksnya mencapai kisaran 50-65. Hasil penghitungan IPM 2004 menunjukkan bahwa dari 9 kabupaten/kota yang ada di Nusa Tenggara Barat belum ada satupun yang masuk katagori tinggi dalam bidang pembangunan manusia. Namun demikian secara umum IPM antar kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat untuk tahun 2004 menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2002. Tabel 21 menampilkan perbandingan status pembangunan manusia antar kabupaten/kota di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang diukur dengan IPM,suatu indeks komosit yang terdiri dari indeks angka harapan hidup, indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), dan indeks standart hidup layak. Pada tahun 2002 IPM tertinggi terjadi di kota Mataram dan Sumbawa yaitu masingmasing 65,2 dan 61,0 sedangkan IPM Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2004 dengan skor 61,9 (menengah atas) dengan peringkat 5 dari 7 kabupaten dan 2 kota di NTB.
Tabel 21. Skor dan Peringkat IPM Kabupaten/Kota di NTB No
Kabupaten/Kota
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
( 1) Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Mataram Kota Bima NTB
IPM ( 0 – 100 ) 2002 2004 (2) (3) 55,0 57,0 53,9 56,9 56,1 58,7 61,0 63,2 58,4 62,3 59,0 60,2 61,9 65,2 68,8 63,5 57,8 60,6
Peringkat IPM 2002 2004 (4) (5) 6 8 7 9 5 7 2 3 4 4 3 6 5 1 1 2 30 33
Sumber : IPM Propinsi, NTB 2004
77
4.1.4. Kemiskinan, Kompensasi BBM dan BLT Pada tahun 2006 penduduk KSB total berjumlah 111.204 orang, dari jumlah tersebut sebanyak 10.457 orang merupakan penduduk miskin. Penduduk miskin tersebut terdistribusi di 5 kecamatan dengan perincian Kecamatan Taliwang 4.239 jiwa, Kecamatan Brang Rea 1.145 orang, Kecamatan Seteluk 2.237 orang, Kecamatan Jereweh 1.834 orang dan Kecamatan Sekongkang 10.457 orang. Pada tahun 2005 total jumlah rumah tangga di Kabupaten Sumbawa Barat adalah 24.199 dari jumlah tersebut sebanyak 15.118 atau (62,47%) adalah penerima kompensasi BBM. Dengan demikian jumlah rumah tangga miskin di KSB tergolong cukup tinggi. Kemiskinan dan ketertinggalan KSB terlihat pula pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diterima oleh masing-masing kepala keluarga KSB sebagai subsidi BBM mulai Oktober 2005. Menurut data BPS (Oktober 2005), BLT yang dberikan kepada masyarakat Kabupaten Sumbawa-Barat untuk tiap kecamatan menurut jumlah penduduk di masing-masing kecamatan adalah sbb : Sekongkang 989 Kepala Keluarga (KK) (56,14%), Jereweh 1144 KK (27,89%), Taliwang 2834 KK (28%), Seteluk 1390 KK (26%), Brangrea 949 KK (33,25%). Selain kemiskian, angka pengangguran di KSB relatif tinggi yakni 61% dari jumlah angkatan kerja (BPS, 2005). Kecamatan Sekongkang dan Jereweh yang merupakan lokasi Proyek Batu Hijau PTNNT jumlah masyarakat miskin tergolong cukup tinggi. 4.1.5. Potensi Wilayah Potensi bahan galian di Kabupaten Sumbawa Barat dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok bahan galian vital (golongan B) yaitu berupa emas, perak dan tembaga. Kelompok kedua adalah kelompok bahan galian industri (golongan C) diantaranya yaitu : pospat, kaolin, tras, zeolit, gypsum, batu apung, batu gamping, lempung, marmer, pasir kuarsa, bentonit, andesit, dasit, granit, pasir dan sirtu. Potensi kedua kelompok bahan galian tersebut yang terdapat di 5 Kecamatan Kabupaten Sumbawa Barat. Wilayah potensi berdasarkan lereng dan kawasan lindung di Kabupaten Sumbawa Barat adalah wilayah potensi dengan kemiringan 0-15% seluas 46.433,86 Ha atau 25,11 %, wilayah kendala dengan kemiringan 15-40% seluas 50.438,24 atau 27,28% dan kawasan lindung dengan kemiringan > 40 % seluas 87.113,51 Ha.
78
Potensi investasi terbuka di Sumbawa Barat untuk sumberdaya yang bersifat terbarukan sebagai pengganti tambang yakni sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri dan obyek wisata diperlihatkan pada Lampiran 1. 4.2.
Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Nemont Nusa Tenggara
4.2.1. Kontrak Karya PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) menandatangani Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia pada tanggal 2 Desember 1986. Kontrak Karya ini memberikan izin pada PTNNT untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi mineral yang bernilai ekonomis di dalam area Kontrak Karya dengan luas total 87.540 Ha di Pulau Sumbawa, NTB. Untuk wilayah blok Batu Hijau yang telah memasuki tahap produksi/eksploitasi di Kabupaten Sumbawa Barat seluas 51.167 Ha dan Kabupaten Sumbawa seluas 36.683 Ha masih dalam tahap eksplorasi yang saat ini terhenti. Wilayah Kontrak Karya yang akan di teliti dalam disertasi ini adalah blok Batu Hijau atau biasa disebut tambang tembaga dan emas proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara mineral utama tembaga dan emas. 4.2.2.
Lokasi Proyek Tambang tembaga dan emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa
Tenggara terletak di Kecamatan Sekongkang dan Jereweh, Kabupaten Sumbawa Barat tepatnya di kawasan sebelah barat pulau Sumbawa, 1.528 km ke arah Timur Jakarta, Indonesia. Lokasi Batu Hijau dapat dicapai dengan menggunakan seaplane perusahaan dari Mataram dengan jarak 81 km. Lokasi ini juga dapat dicapai dengan menggunakan kapal laut perusahaan atau ferry umum dari Pelabuhan Kayangan Pulau Lombok. Lokasi Proyek Batu Hijau PTNNT di Sumbawa Barat dapat dilihat pada Gambar 24 di bawah ini.
Gambar 24. Lokasi Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa-Barat, NTB Sumber : PT. Newmont Nusa Tenggara, 2004
79
4.2.3.
Sejarah Penemuan Batu Hijau Survey geokimia regional dimulai pada awal 1987-1988 yang menemukan
36 anomali geokimia di Pulau Sumbawa termasuk lokasi Batu Hijau. Deposit mineral di daerah tersebut dalam bentuk tembaga porfiri ditemukan dalam jumlah besar pada tahun 1990 berupa singkapan oksida tembaga yang berasosiasi dengan urat-urat kuarsa melalui periode mencari (eksplorasi) yang cukup panjang sejak tahun 1986 oleh para geologist PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT). Pada Mei 1990 – Mei 1991 pemetaan geologi, pengambilan contoh tanah ditemukan (anomali kuat seluas 250 x 400 m) pada pemboran awal. Selanjutnya tahun 1991 – 1996 dilakukan deliniasi daerah yang mengandung tembaga dan emas dan diikuti dengan studi kelayakan, 1996 adalah pembentukan kerjasama dengan Sumitomo, 1997 pengembangan/konstruksi tambang dan sejak September 1999 percoban produksi tambang dimulai. Setelah melalui kajian teknik dan lingkungan yang mendalam selama enam tahun, persetujuan pengembangan proyek diberikan oleh pemerintah Indonesia. 4.2.4. Masa Produksi dan Umur Tambang Proyek Batu Hijau (Mine lifetime of Batu Hijau Project) Setelah melalui masa eksplorasi yang cukup lama akhirnya pada bulan April 1990 Batu Hijau ditemukan berupa singkapan oksida tembaga berasosiasi dengan urat-urat kuarsa. AMDAL disetujui pada tahun 1996, dilanjutkan dengan masa konstruksi tahun 1998 dan percobaan produksi tambang dimulai pada bulan September 1999. Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) telah memasuki tahun ke kesembilan masa operasi sejak Juni 2000 hingga 2009. Berdasarkan rencana perluasan tambang Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2005, umur penggalian mineral berkadar tinggi (high grade) akan berakhir pada tahun 2017, dilanjutkan dengan pengolahan mineral berkadar sedang (medium grade) dan rendah (low grade) yang akan berlangsung hingga tahun 2027. Mineral berkadar sedang dan rendah - yang saat ini berada pada lokasi penampungan bijih (stockpiles) - akan dimulai setelah tahun 2017. Tahun 2027 akan dilakukan penutupan tambang dan setelah 2027 adalah masa pasca tambang.
80
Dengan demikian umur Proyek Batu Hijau – (Mine Lifetime of Batu Hijau Project) adalah 18 tahun lagi jika diukur dari masa produksi saat ini tahun 2009. Umur tambang dapat dilihat pada Tabel 22 di bawah ini.
Tabel 22. Umur Proyek (mine lifetime) Deposit Mineral Batu Hijau ditemukan 1990 Konstruksi 1997-1999 Produksi 1999 akhir Gran Opening Juni 2000 Masa Produksi (pengolahan mineral high 2000-2017 2017 2017-2027 2027 2027 - yad
grade) Selesai Penambangan Pengolahan Mineral medium dan low grade Tutup Tambang Pasca Tambang
Gambaran masa produksi Proyek Batu Hijau PTNNT dapat di lihat pada gambar 25 dibawah ini.
2017
1999
2027
Gambar 25. Gambaran Masa Produksi Proyek Batu Hijau PTNNT Sumber : PT. Newmont Nusa Tenggara, 2005 4.2.5.
Program Pengembangan Masyarakat PT. Newmont Nusa Tenggara Program pembangunan wilayah dan masyarakat bukan sekedar keinginan
belaka
tetapi
harus
berdasarkan
analisis
kebutuhan
komunitas;
Program
Pembangunan Wilayah dan masyarakat harus di dasarkan kepada peta sosial dan menjadikan potensi sumberdaya daerah sebagai acuan prioritas kegiatan ; program Pembangunan Wilayah dan Masyarakat harus mengacu pada teknologi tepat guna yang efektif dan aman. Kegiatan pertambangan yang dilakukan harus mengikuti prinsip-prinsip tata ruang dan menjadi bagian pembangunan daerah ; konservasi dan melestarikan fungsi-fungsi lingkungan hidup; Program harus sejalan dengan
81
pembangunan infrastruktur, pengembangan sumberdaya manusia dan pengembangan kegiatan penunjang lainnya yang dapat memberikan efek ganda; optimalisasi peningkatan nilai tambah dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan. Kebijakan perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap Pembangunan Wilayah dan Masyarakat akan mempengaruhi pola pikir manajemen perusahaan di dalam melaksanakan kegiatan, sehingga penanganan Pembangunan Wilayah dan Masyarakat dapat terlaksana dengan baik. Karena itu perusahaan harus memiliki komitmen untuk memasukkan pengembangan wilayah dan masyarakat sebagai bagian kinerja terukur perusahaan; memasukkan pembangunan wilayah dan masyarakat kedalam rencana kinerja strategis perusahaan; membangun rasa memiliki perusahaan terhadap masyarakat melalui dialog, pelatihan, karyawan sukarela. Pendanaan merupakan hal yang penting di dalam melaksanakan program pengembangan wilayah dan masyarakat. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu; sistem dan sumber pendanaan program pengembangan wilayah ; hibah; pengucuran dana tetap pertahun sesuai dengan presentase keuntungan; micro loan dari perusahaan, dengan bunga ataupun tanpa bunga; sharing dengan komposisi tetap dengan stakeholders lain, terutama pemerintah daerah; pengurangan komposisi dana secara bertahap; giving, involving, sharing, participating, sesuai kemajuan kegiatan, atau jangka/periode waktu tertentu. Penyediaan dana abadi sebagai jaminan keberlanjutan pengembangan wilayah dan masyarakat pasca tambang, mekanisme pendanaan melalui perbankan. Masyarakat sekitar tambang memerlukan dukungan perusahaan, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan, kesempatan berusaha, pendidikan, kesehatan dan fasilitas lainnya. Manfaat implementasi kegiatan program pengembangan wilayah dan masyarakat harus dapat dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Kebijakan, rencana dan pelaksanaan program wilayah dan masyarakat harus didasarkan kepada kebutuhan riil masyarakat setempat, bukan atas kemauan ataupun pendangan kelompok tertentu ataupun perusahaan. Program pengembangan wilayah dan masyarakat yang dilaksanakan harus menciptakan masyarakat setempat yang mandiri dan sejahtera.
82
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Struktur Ekonomi Sumbawa Barat Sebelum Transformasi Sektor pertambangan memiliki peran yang sangat signifikan bagi pembentukan
nilai output Kabupaten Sumbawa Barat dengan nilai terbesar yakni Rp.11,218 triliun dari 34 sektor dalam Tabel input-output berdasarkan transaksi total atas dasar harga produsen tahun 2007 (Lampiran 2). Disebabkan karena seluruh output pertambangan yang berupa konsentrat diekspor untuk diolah kembali pada pabrik pengolahan diluar negeri maka nilai eksport pertambangan juga menempati peringkat terbesar dari seluruh sektor dimana nilainya sama dengan nilai output diatas. Sebagaimana telah disajikan pada Bab Pendahuluan, sektor pertambangan sangat dominan terhadap pembentukan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Sumbawa Barat sejak tambang tembaga dan emas mulai beroperasi tahun 2000. Dominasi sektor pertambangan terhadap PDRB 2000-2006 diperlihatkan pada Tabel 23 dibawah ini. Tabel 23. Struktur Perekonomian dan Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab. Sumbawa Barat ADHK 2000-2006 Ratarata No 1.
Lapangan Usaha Pertanian
2000 3,23
2001 2,24
2002 2,73
2003 2,85
2004 1,81
2005 1,71
2006 1.75
2.36
2.
Pertambangan dan Penggalian Industri Penggolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan
92,30
94,17
93,28 92,71
95,24
95,26
95.03
94.00
0,24
0,18
0,20
0,23
0,15
0,14
0.14
0.18
0,02
0,02
0,02
0,02
0,02
0,02
0.02
0.02
0,88
0,66
0,78
0,86
0,58
0,58
0.63
0.71
Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keu. Persewaan &Jasa Preusan Jasa-Jasa
1,54
1,20
1,40
1,58
1,02
1,05
1.11
1.27
0,87
0,64
0,81
0,87
0,58
0,65
0.69
0.73
0,21
0,15
0,18
0,20
0,14
0,14
0.15
0.17
0,70
0,53
0,60
0,67
0,46
0,45
0.48
0.56
PDRB Total (juta rp)
100
100
100
100
100
100
100
100
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Sumber : data diolah, 2009
5.2.
Struktur Ekonomi Sumbawa Barat Setelah Transformasi dari Berbasis Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor Non Pertambangan
5.2.1. Struktur Ekonomi Sumbawa Barat dengan dan Tanpa Pertambangan Setelah dilakukan simulasi dengan mengkonstruksi tabel input-ouput Sumbawa Barat
tahun 2007 dengan menjadikan tabel interregional input–output NTB 2005
sebagai proyeksi untuk perkembangan struktur perekonomian Sumbawa Barat mirip perkembangan perekonomian NTB dengan struktur sektor ekonomi yang sama jumlah dan detilnya maka diperoleh Tabel input output baru yang terdiri dari 20 sektor sebagai hasil simulasi. Lampiran 4 dan 5 adalah tabel input-output Sumbawa Barat dan NTB yang terdiri dari 20 sektor tahun 2009 sebagai hasil simulasi. Apabila tambang Newmont diasumsikan habis tahun 2009 maka sektor strategis yang dapat dikembangkan di Sumbawa Barat dari lima sektor dengan nilai terbesar secara berurutan yakni pertanian (33,60 %), perdagangan, hotel dan restoran (20,97 %), bangunan (17,16 %), jasa-jasa (14,17 %) serta pengangkutan dan komunikasi (10,05%). Tabel 24 menunjukkan perbandingan PDRB dengan dan tanpa tambang. Tabel 24. Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB Kab. Sumbawa Barat ADHK 20002006 dan Simulasi Struktur Ekonomi (PDRB) 2009 dengan dan Tanpa Tambang
3,23
2,24
2,73
2,85
1,81
1,71
1.75
InputOutput Simulasi 2009 dengan Tambang (%) 1.68
Pertambangan dan Penggalian Industri Penggolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan
92,30
94,17
93,28
92,71
95,24
95,26
95.03
95.01
0,24
0,18
0,20
0,23
0,15
0,14
0.14
0.13
2.68
0,02
0,02
0,02
0,02
0,02
0,02
0.02
0.04
0.80
0,88
0,66
0,78
0,86
0,58
0,58
0.63
0.86
17.16
Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keu. Persewaan &Jasa Preusan Jasa-Jasa
1,54
1,20
1,40
1,58
1,02
1,05
1.11
1.05
20.97
0,87
0,64
0,81
0,87
0,58
0,65
0.69
0.50
10.05
0,21
0,15
0,18
0,20
0,14
0,14
0.15
0.03
0.58
0,70
0,53
0,60
0,67
0,46
0,45
0.48
0.71
14.17
100
100
100
100
100
100
100
100
100
No Lapangan Usaha
1.
Pertanian
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
PDRB Total (juta rp)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
InputOutput Simulasi 2009 tanpa Tambang (%) 33.60
Sumber : PDRB dan Input-Output diolah, 2009
84
5.2.2. Keterkaitan Antar Sektor yang dapat dikembangkan untuk Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor Non Pertambangan Lainnya A.
Keterkaitan Langsung Kebelakang Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat
mendorong permintaan (demand driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut rangking nilai indeks keterkaitan langsung kebelakang yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, angkutan darat serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung kebelakang ditunjukkan pada Tabel 25 dibawah ini.
8 14 11 4 6 3 1 12 2 13 18 17 15 20 7 10 9 5 16 19
Industri Makanan dan Minuman Hotel dan Restoran Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Perikanan Perkebunan Pertanian Padi Bangunan Pertanian Pangan Lainnya Perdagangan Lembaga Keuangan Komunikasi Angkutan Darat Jasa-jasa Lainnya Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Lainnya Industri Tekstil Kehutanan Angkutan Lainnya Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Indeks Keterkaitan Langsung Kebelakang
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sektor
Ranking
Tabel 25. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Langsung Kebelakang
0.29 0.22 0.14 0.08 0.06 0.04 0.04 0.04 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
85
B.
Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Kebelakang Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat
mendorong permintaan (demand driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut nilai indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang (multiplier output) yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi serta pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, jasajasa lainnya serta angkutan darat. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang ditunjukkan pada Tabel 26 dibawah ini.
8 14 11 4 6 3 1 12 2 13 18 17 20 15 7 10 9 5 16
20
Industri Makanan dan Minuman Hotel dan Restoran Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Perikanan Perkebunan Pertanian Padi Bangunan Pertanian Pangan Lainnya Perdagangan Lembaga Keuangan Komunikasi Jasa-jasa Lainnya Angkutan Darat Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Lainnya Industri Tekstil Kehutanan Angkutan Lainnya Pemerintahan Umum dan 19 Pertahanan
Indeks Keterkaitan Tidak langsung Kebelakang
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Sektor
Rangking
Tabel 26. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Tidak Langsung Kebelakang
0.08 0.07 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
86
C.
Keterkaitan Langsung Kedepan Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat
mendorong penawaran (supply driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut nilai indeks keterkaitan langsung kedepan yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti pertanian padi, perikanan, peternakan, pertanian pangan lainnya dan perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah listrik, gas dan air bersih, perdagangan, angkutan darat, industri makanan dan minuman, komunikasi, industri pengolahan lainnya serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung kedepan ditunjukan pada Tabel 27.
1 6 11 4 13 2 3 15 8 17 10 20 7 12 5 18 14 9 16
20
Pertanian Padi Perikanan Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Perdagangan Pertanian Pangan Lainnya Perkebunan Angkutan Darat Industri Makanan dan Minuman Komunikasi Industri Pengolahan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Pertambangan dan Penggalian Bangunan Kehutanan Lembaga Keuangan Hotel dan Restoran Industri Tekstil Angkutan Lainnya Pemerintahan Umum dan 19 Pertahanan
Indeks Keterkaitan Langsung kedepan
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Sektor
Rangking
Tabel 27. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Langsung Kedepan
0.25 0.21 0.13 0.13 0.08 0.06 0.05 0.03 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
87
D.
Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Kedepan Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi yang dapat mendorong
penawaran (supply driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut nilai indeks keterkaitan langsung kedepan yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti pertanian padi, perikanan, peternakan, pertanian pangan lainnya serta perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah listrik, gas dan air bersih, perdagangan, angkutan darat, industri makanan dan minuman, komunikasi, industri pengolahan lainnya serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan ditunjukkan pada Tabel 28.
1 6 11 4 13 2 3 15 8 17 10 20 7 12 5 18 14 9 16 19
Pertanian Padi Perikanan Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Perdagangan Pertanian Pangan Lainnya Perkebunan Angkutan Darat Industri Makanan dan Minuman Komunikasi Industri Pengolahan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Pertambangan dan Penggalian Bangunan Kehutanan Lembaga Keuangan Hotel dan Restoran Industri Tekstil Angkutan Lainnya Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Indeks Keterkaitan Tidak Langsung kedepan
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sektor
Rangking
Tabel 28. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Tidak Langsung Kedepan
0.07 0.07 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
88
Ringkasan indeks keterkaitan langsung kebelakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang, keterkaitan langsung kedepan, keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan ditunjukkan pada lampiran 6.
5.2.3. Dampak Pengganda (multiplier effect) Sektor yang dapat dikembangkan untuk Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor non Pertambangan lainnya A.
Dampak Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan indeks pengganda pendapatan rumah tangga justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi serta pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, angkutan darat serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda pendapatan rumah tangga ditunjukkan pada Tabel 29 dibawah ini.
8 14 9 11 4 10 6 3 1 2 20 16 12 13 17 18 15 7 5 19
Industri Makanan dan Minuman Hotel dan Restoran Industri Tekstil Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Industri Pengolahan Lainnya Perikanan Perkebunan Pertanian Padi Pertanian Pangan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Angkutan Lainnya Bangunan Perdagangan Komunikasi Lembaga Keuangan Angkutan Darat Pertambangan dan Penggalian Kehutanan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Pengganda Pendapatan RT (MUPRt)
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sektor
Ranking
Tabel 29. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Pendapatan Rumah Tangga (MUPRt)
11.23 1.93 1.63 1.35 1.23 1.19 1.13 1.12 1.08 1.07 1.06 1.04 1.04 1.04 1.03 1.02 1.02 1.02 1.01 1.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
89
B.
Dampak Pengganda Surplus Usaha Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk menarik minat investor menanamkan modalnya berdasarkan indeks pengganda surplus usaha justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi dan pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, industri tekstil, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, bangunan, lembaga keuangan, perdagangan, jasa-jasa lainnya, komunikasi serta angkutan darat. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda surplus usaha ditunjukkan pada Tabel 30 dibawah ini.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
8 9 14 11 10 4 6 12 3 1 2 16 18 13 20 17 15 7 5 19
Industri Makanan dan Minuman Industri Tekstil Hotel dan Restoran Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Pengolahan Lainnya Peternakan Perikanan Bangunan Perkebunan Pertanian Padi Pertanian Pangan Lainnya Angkutan Lainnya Lembaga Keuangan Perdagangan Jasa-jasa Lainnya Komunikasi Angkutan Darat Pertambangan dan Penggalian Kehutanan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Pengganda Surplus Usaha (MuSuS)
Sektor
Rangking
No Sektor
Tabel 30. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Surplus Usaha (MUSuS)
6.20 2.44 1.92 1.46 1.23 1.22 1.15 1.11 1.11 1.10 1.07 1.04 1.03 1.02 1.02 1.02 1.02 1.01 1.01 1.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
90
C.
Dampak Pengganda Pendapatan Pajak Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian fiskal pemerintah Sumbawa Barat berdasarkan indeks pengganda pendapatan pajak justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti perikanan, peternakan, kehutanan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya dan perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri tekstil, industri makanan dan minuman, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, jasa-jasa lainnya, bangunan, hotel dan restoran, angkutan lainnya, komunikasi, angkutan darat serta lembaga keuangan. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda pendapatan pajak ditunjukkan pada Tabel 31.
Sektor
Multiplier Pendapatan Pajak (MuPPj)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
No Sektor
Rangking
Tabel 31. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Pendapatan Pajak (MUPPj)
9 8 11 6 10 20 4 5 1 2 3 12 14 16 17 15 18 7 13 19
Industri Tekstil Industri Makanan dan Minuman Listrik, Gas dan Air Bersih Perikanan Industri Pengolahan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Peternakan Kehutanan Pertanian Padi Pertanian Pangan Lainnya Perkebunan Bangunan Hotel dan Restoran Angkutan Lainnya Komunikasi Angkutan Darat Lembaga Keuangan Pertambangan dan Penggalian Perdagangan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
7.46 6.75 2.39 1.91 1.47 1.40 1.40 1.32 1.16 1.16 1.13 1.13 1.08 1.07 1.04 1.02 1.01 1.01 1.01 1.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
91
D.
Dampak Pengganda Nilai Tambah Total Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk memacu pertumbuhan perekonomian berdasarkan indeks pengganda nilai tambah total justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, industri tekstil, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, bangunan, angkutan lainnya, jasa-jasa lainnya, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi serta angkutan darat. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda nilai tambah total ditunjukkan pada Tabel 32.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
8 9 14 11 4 10 6 3 1 12 2 16 20 13 18 17 15 7 5 19
Industri Makanan dan Minuman Industri Tekstil Hotel dan Restoran Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Industri Pengolahan Lainnya Perikanan Perkebunan Pertanian Padi Bangunan Pertanian Pangan Lainnya Angkutan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Perdagangan Lembaga Keuangan Komunikasi Angkutan Darat Pertambangan dan Penggalian Kehutanan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Pengganda Nilai Tambah Total (MuNTT)
Sektor
Rangking
No Sektor
Tabel 32. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Nilai Tambah Total (MUNTT)
7.46 2.10 1.88 1.41 1.22 1.22 1.14 1.11 1.09 1.08 1.07 1.04 1.03 1.03 1.02 1.02 1.02 1.01 1.01 1.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
92
D.
Dampak Pengganda Tenaga Kerja Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat berdasarkan indeks pengganda tenaga kerja untuk sektor terbarukan adalah peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi dan pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan lainnya, hotel dan restoran, perdagangan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, jasa-jasa lainnya, angkutan darat, komunikasi, lembaga keuangan dan industri tekstil. Sektor pertambangan memiliki indeks pengganda tenaga kerja pada rangking nomor dua karena selama masa operasi pertambangan banyak menciptakan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja Sumbawa Barat maupun tenaga kerja dari luar Sumbawa Barat dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 4237 orang hingga tahun 2007. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda nilai tambah total ditunjukkan pada Tabel 33.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
No 8 7 10 14 13 11 12 4 20 15 6 17 3 1 2 18 9 16 5 19
Sektor Industri Makanan dan Minuman Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Lainnya Hotel dan Restoran Perdagangan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Peternakan Jasa-jasa Lainnya Angkutan Darat Perikanan Komunikasi Perkebunan Pertanian Padi Pertanian Pangan Lainnya Lembaga Keuangan Industri Tekstil Angkutan Lainnya Kehutanan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Multiplier TK
Ranking
Tabel 33. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Tenaga Kerja (MUTk)
12.160 2.003 1.629 1.491 1.487 1.294 1.263 1.222 1.199 1.177 1.135 1.125 1.108 1.081 1.059 1.056 1.010 1.000 1.000 1.000
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 Ringkasan hasil analisis pengganda pendapatan rumah tangga, surplus usaha, pendapatan pajak, nilai tambah total dan tenaga kerja ditunjukkan pada lampiran 7.
93
5.2.4. Keunggulan Komparatif Wilayah Sektor-sektor yang merupakan unggulan komparatif wilayah Kabupaten Sumbawa Barat berdasarkan produksi komoditi pertanian dalam arti luas menurut analisis location quotient (LQ) dengan nilai lebih besar dari satu menjustifikasi hasil temuan Input-Output sebagai prasyarat terjadinya transformasi struktur perekonomian dari pertambangan ke sektor yang dapat diperbaharui (renewable resources). Sektorsektor unggulan yang dapat dikembangkan didaerah tersebut dengan nilai LQ terbesar adalah produksi penangkapan ikan di danau (38,888), produksi budidaya ikan tambak (13,523), produksi penangkapan ikan di waduk/dam (4,986), peternakan (3,085), kedelai (3,187), jagung (1,605) dan padi (1,873) (Gambar 26)
Gambar 26. Grafik Location Quotient Produksi Pertanian di Sumbawa Barat Sumber : Posed BPS 2003, diolah Pengembangan sektor pertanian dalam arti luas yang mempunyai keunggulan komparatif berdasarkan produksi diatas pengembangannya juga didukung oleh ketersediaan lahan yang luas di Kabupaten Sumbawa Barat. Menurut analisis location quation (LQ) dengan nilai lebih besar dari satu satuan masih terdapat lahan kritis dan luas tanamannya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Nilai LQ berdasarkan luas lahan di Kabupaten Sumbawa Barat secara berurutan adalah luas tanaman lainnya (3,972), luas lahan kritis (1,691), luas tanaman kedelai (1,525) dan luas tanaman padi (1,115) (Gambar 27) Pemusatan Penggunaan Luas Lahan di Kabupaten Sumbawa Barat menurut Location Quotient (LQ) 1.691
Luas La ha n Kri ti s
3.972
Luas Tanam La i nnya
1.525
Lua s Ta na m Kedel a i
1.115
Luas Tanam padi
0
1
2
3
4
5
Gambar 27. Grafik Location Quotient Luas Lahan Pertanian di Sumbawa Barat Sumber : Posed BPS 2003, diolah
94
5.3.
Peran Penganggaran untuk Memperbaiki Kinerja Pembangunan
5.3.1. Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah Analisis variabel penciri faktor untuk konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah menggunakan principal component analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 34. Tabel 34 menunjukkan hasil PCA untuk pola asosiasi variabel indikator penciri faktor kinerja pembangunan. Tabel 34. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Pembangunan Simbol
Bidang
X1 Pangsa Keluarga Miskin X2 Laju PDRB X3 Produktifitas Penduduk X4 Produktifitas Wilayah X5 Pangsa PAD X7 PAD Perkapita X8 PAD Luas Wilayah X9 Tingkat Pengangguran Expl.Var Prp.Totl
Factor 1 -0.655 0.096 0.167 0.759 0.958 0.895 0.954 0.029 3.672 0.459 LnIdx_Kpem1 = Indeks Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan
Factor
Factor
2 -0.314 -0.072 0.869 0.186 -0.009 0.012 0.039 0.888 1.683 0.210
3 -0.142 0.943 -0.283 0.274 -0.057 -0.124 0.131 0.129 1.117 0.140
LnIdx_Kpem2 = Indeks Ketimpangan Partisipasi Ekonomi
LnIdx_Kpem3 = Indeks Laju Pertumbuhan Ekonomi
Sumber : data diolah, 2009 Cat : Marked loadings are > .700000 Dari Tabel 34 diatas dapat dijelaskan bahwa : 1.
Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 34 menerangkan bahwa faktor 1 untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) terdapat suatu pola bahwa jika pangsa keluarga miskin
menurun maka akan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kinerja pembangunan untuk produktifitas penduduk, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah. Terdapat pula suatu fenomena bahwa penurunan pangsa keluarga miskin juga disertai dengan peningkatan yang kecil dan tidak signifikan terhadap laju PDRB, produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran. Untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 1
95
(Tabel 34) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. 2.
Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola bahwa jika produktifitas penduduk meningkat maka tingkat pengangguran juga meningkat. Hal ini terjadi karena adanya aktifitas ekonomi pertambangan yang sifatnya terisolir (enclave) menghasilkan nilai output yang luar biasa besar sehingga seolah-olah meningkatkan produktifitas penduduk (X3). Padahal sebenarnya sebagian besar masyarakat
tidak
terserap
dalam
aktifitas
pertambangan.
Untuk
indeks
ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 2 (Tabel 35) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. 3.
Faktor 3 menerangkan bahwa terdapat suatu pola bahwa indeks laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) ternyata berdiri sendiri tidak punya kaitan dengan 8 variabel kinerja pembangunan yang lain. Bahkan berkorelasi negatif atau justru menyebabkan penurunan variabel pangsa keluarga miskin, produktifitas penduduk, pangsa PAD dan PAD Perkapita. Ini dapat terjadi karena adanya eksploitasi sumberdaya mineral yang bersifat massif bersifat terisolir secara ekonomi (enclave), kecilnya penggunaan sumberdaya lokal sehingga menyebabkan kebocoran regional bagi daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam. Untuk indeks laju pertumbuhan ekonomi (Kpem3) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 3 (Tabel 35) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. Gambar 28 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja pembangunan di Propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 29 menunjukkan kinerja pembangunan Kab/Kota di propinsi Bali, NTB dan NTT
96
Gambar 28. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Tabel 35. Kinerja Pembangunan Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi
Daerah
Tipologi I
Kabupaten Badung, Kota Denpasar
Tipologi II
Kabupaten Sumbawa Barat, Ngada
Tipologi III
Kabupaten Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Bima, Dompu, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Lembata, Manggarai, Sikka, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Rote Ndao, Manggarai Barat, Kota Mataram, Bima, dan Kupang
Penciri Idx_Kpem1 Idx_Kpem2 Idx_Kpem3 Idx_Kpem1 Idx_Kpem2 Idx_Kpem3 Idx_Kpem1 Idx_Kpem2
Karakteristik Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi
Idx_Kpem3
Rendah
Sumber : data diolah, 2009 Penciri Idx_Kpem1 Idx_Kpem2 Idx_Kpem3
Karakteristik Kinerja pembangunan dimensi produktifitas wilayah, kapasitas fiskal dan kesejahteraan masyarakat Kinerja pembangunan dimensi ketimpangan partisipasi ekonomi Kinerja pembangunan laju pertumbuhan ekonomi
97
5.3.2. Konfigurasi Spasial Pola Penganggaran Untuk konfigurasi spasial kinerja penganggaran dilakukan dengan menganalisis variabel penciri faktor masing-masing indikator seperti yang akan dibahas secara detil dibawah ini. A.
Pola Penganggaran Perbidang. Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor
kinerja penganggaran perbidang ditunjukkan pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Perbidang Simbol
Bidang
X80 X83 X88 X93 X97 Expl.Var Proporsi Total
Pendidikan dan Kebudayaan Permukiman Olahraga Pertambangan dan Energi Penanaman Modal
Factor (F1) 1 0.913 0.110 -0.239 -0.870 -0.089 1.668
Factor (F2) 2 -0.139 0.894 0.890 -0.031 0.067 1.616
Factor (F3) 3 0.104 0.200 -0.107 0.254 0.971 1.068
0.334
0.323
0.214
LnIdx_KpS1 LnIdx_KpS2
LnIdx_KpS3
Sumber : data diolah, 2009 Cat : - Marked loadings are > .700000 - Antar faktor tidak berkorelasi / ortogonalisasi - Indeks diversitas tidak masuk karena dianggap homogen Dari Tabel 1 menjelaskan bahwa : 1.
Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 36 menerangkan bahwa faktor 1 untuk realisasi anggaran pembangunan per bidang di 34 kab/kota tiga Propinsi yang dianalisis yakni Bali, NTB dan NTT terdapat suatu pola pengalokasian penganggaran bahwa bidang pendidikan dan kebudayaan berasosiasi dengan bidang pertambangan dan energi. Maknanya bahwa ketika APBD di fokuskan pada bidang pendidikan dan kebudayaan maka anggaran untuk bidang pertambangan dan energi akan berkurang atau menurun, demikian pula sebaliknya. Alokasi anggaran bidang pertambangan secara umum di semua daerah yang dianalisis kecil karena investasi dibidang ini sifatnya padat modal, beresiko tinggi dan berada di daerah terpencil. Rasio keberhasilan eksplorasi umumnya dibawah 5%.
98
Dari hasil PCA juga diketahui bahwa pola penganggaran untuk bidang pertanian tidak muncul dalam analisis ini karena hampir homogen di setiap wilayah. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran perbidang (KpS1) untuk faktor 1 (Tabel 36) dengan karakteristik tinggi (Tabel 31). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang pendidikan dan kebudayaan maka anggaran bidang pertambangan dan energi berkurang atau menurun, demikian pula sebaliknya, hal ini terjadi karena kedua bidang ini berasosiasi. 2.
Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang permukiman maka anggaran bidang olahraga juga meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi. Namun peningkatan secara bersama pada kedua bidang tersebut menyebabkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan dan bidang olahraga dan bidang penanaman modal. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran perbidang (KpS2) untuk faktor 2 (Tabel 36) dengan karakteristik rendah (Tabel 37). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang pemukiman maka anggaran bidang olahraga juga meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi. Disebabkan anggaran kedua bidang tersebut meningkat secara bersamaan menyebabkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang olahraga serta bidang penanaman modal karena bidang-bidang tersebut berasosiasi.
3.
Faktor 3 menerankan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang penanaman modal menyebabkan bidang ini berdiri sendiri, tidak berasosiasi dengan bidang-bidang lainnya bahkan berasosiasi negatif yang tinggi dengan bidang olah raga. Fokusing anggaran pada bidang penanaman modal juga mengakibatkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang permukiman serta bidang pertambangan dan energi. Dengan kata lain bidang penanaman modal melemahkan bidang lainnya. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja anggaran perbidang (KpS3) untuk faktor 3 (Tabel 36) dengan karakteristik sedang (Tabel 37). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang penanaman modal maka berasosiasi negatif dengan bidang lainnya artinya ketika anggaran bidang penanaman modal ditingkatkan maka
99
terjadi penurunan anggaran untuk bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang permukiman serta bidang pertambangan dan energi karena bidang tersebut berasosiasi. Gambar 29 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja penganggaran perbidang di propinsi Bali, NTB dan NTT dan kinerja penganggaran bidang persektor di Propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 28).
Gambar 29. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perbidang di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Tabel 37. Kinerja Penganggaran Bidang Persektor di Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, Alor, Lembata, Timor Tengah Utara, Rote Ndao dan Manggarai Barat
Tipologi II
Kabupaten Sumba Timur
Tipologi III
Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jemrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Denpasar, Bima, Dompu, Lombok barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Mataram, Bima, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Manggarai, Ngada, Sikka, Sumba Barat, Timor Tengah Selatan, dan Kota Kupang.
Penciri Idx_KpS1 Idx_KpS2 Idx_KpS3 Idx_KpS1 Idx_KpS2 Idx_KpS3 Idx_KpS1 Idx_KpS2
Karakteristik Tinggi Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang
Idx_KpS3
Sedang
Sumber : data diolah, 2009
100
Keterangan Penciri Idx_KpS1 = Idx_KpS1 = Idx_KpS2 = Idx_KpS3 =
B.
Karakteristik Bidang pendidikan & kebudayaan (+), Pertambangan & energi (-) Bidang pendidikan & kebudayaan (+), Pertambangan & energi (-) Bidang Permukiman (+), olahraga (+) Bidang Penanaman Modal (+)
Pola Penganggaran terhadap Luas Wilayah Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor
kinerja penganggaran terhadap luas wilayah ditunjukkan pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran terhadap Luas Wilayah Simbol X22 X23 X24 X25 X27 X28 X29 X30 X31 X33 X34 X38 X39 X40 X41 X42 X56 Expl.Var Proporsi Total
Bidang Administrasi Pemerintahan Kesehatan Pendidikan dan Kebudayaan Sosial Permukiman Pekerjaan Umum Perhubungan Lingkungan Hidup Kependudukan Pertanian Kepariwisataan Kehutanan dan Perkebunan Perindustrian dan Perdagangan Perkoperasian Penanaman Modal Ketenagakerjaan Rataan Perluas Lahan Total Anggaran Belanja Daerah
Factor 1 0.946 0.989 0.975 0.897
Factor 2
Factor 3
Factor 4
0.920 0.897 0.946 0.958 0.959 0.986 0.849 0.763 0.978 0.916 -0.969 0.966 0.978 11.708
1.723
1.508
1.124
0.689
0.101
0.089
0.066
LnIdx_KpW1 LnIdx_KpW2 LnIdx_KpW3 LnIdx_KpW4n
Sumber : data diolah 2009 Cat : Marked loadings are > .700000 Dari Tabel 38 diatas dapat dijelaskan bahwa : 1.
Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 38 menerangkan bahwa faktor 1 untuk kinerja penganggaran terhadap luas wilayah, bidang-bidang yang berada di faktor 1 muncul secara bersamaan dari 34 kab/kota
101
yang dianalisis dan juga menurun secara bersamaan di daerah-daerah yang lain. Munculnya
bidang
kebudayaan, kependudukan,
sosial,
administrasi pekerjaan
pertanian,
pemerintahan, umum,
kepariwisataan,
kesehatan,
perhubungan, perindustrian
pendidikan
lingkungan dan
dan
hidup,
perdagangan,
perkoperasian dan rataan per luas lahan total APBD merupakan bidang-bidang yang menjadi fenomena perkotaan. Ini diakibatkan oleh akumulasi penduduk didaerah perkotaan dengan kompleksitas permasalahannya sehingga bidang tersebut berasosiasi dan muncul bersamaan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW1) untuk faktor 1 (Tabel 38) dengan karakteristik tinggi (Tabel 39). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan meningkatkan anggaran bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, serta bidang perkoperasian maka akan terjadi penurunan penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan serta bidang penanaman modal disebabkan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. 2.
Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola penganggaran di daerah yang dianalisis bahwa ketika penganggaran di fokuskan pada bidang permukiman atau ketika anggaran bidang permukiman meningkat maka anggaran bidang kehutanan dan perkebunan juga meningkat. Maknanya bahwa jika aktifitas permukiman meningkat maka ada kecenderungan untuk mengkonservasi kehutanan dan perkebunan kearah yang lebih baik dengan tujuan agar pasokan kebutuhan air tercukupi, pengendalian banjir dan kelestarian sumberdaya lahan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW2) untuk faktor 2 (Tabel 38) dengan karakteristik tinggi (Tabel 39). Maknanya apabila Pemda. Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang permukiman maka ada kecenderungan penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan akan meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi.
3.
Faktor 3 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang ketenagakerjaan maka bidang ini ternyata berdiri sendiri bahkan berasosiasi negatif dengan bidang kesehatan, permukiman, perhubungan, lingkungan
102
hidup, kependudukan, pertanian dan perkoperasian. Fokusing penganggaran pada bidang ketenagakerjaan justru menyebabkan penurunan pada bidang-bidang lainnya seperti bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, kepariwisataan, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, penanaman modal dan rataan per luas lahan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW3) untuk faktor 3 (Tabel 38) mempunyai karakteristik sedang (Tabel 39). Maknanya apabila Pemda. Kab. Sumbawa Barat memfokuskan penganggaran bidang ketenagakerjaan maka bidang ini ternyata berdiri sendiri bahkan akan terjadi penurunan penganggaran bidang kesehatan, permukiman, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian dan perkoperasian karena bidang-bidang tersebut berasosiasi negatif. 4.
Faktor 4 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran bidang penanaman modal mengalami penurunan maka bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, permukiman, pekerjaan umum, pertanian, perindustrian dan perdagangan dan bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan secara tajam. Dengan kata lain bidang penanaman modal dan bidang yang disebutkan diatas ada kecenderungan saling melemahkan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW4) untuk faktor 4 (Tabel 38) dengan karakteristik rendah (Tabel 39). Maknanya apabila penganggaran tidak difokuskan pada bidang penanaman modal oleh Pemda. Kab. Sumbawa Barat menyebabkan
penganggaran
bidang
tersebut
mengalami
penurunan
juga
menyebabkan penurunan penganggaran secara tajam untuk bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, permukiman, pekerjaan umum, pertanian, perindustrian dan perdagangan dan bidang ketenagakerjaan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. Gambar 30 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja anggaran perluas wilayah di propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 39 kinerja penganggaran perluas wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT.
103
Gambar 30. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Tabel 39. Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT. Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah
Penciri Idx_Kpw1 Kabupaten Lombok Barat, Lombok Idx_Kpw2 Tengah, Kota Kupang, dan Rote Idx_Kpw3 Ndao Idx_Kpw4n Idx_Kpw1 Idx_Kpw2 Kota Denpasar, Mataram dan Bima Idx_Kpw3 Idx_Kpw4n Kabupaten Badung, Bangli, Idx_Kpw1 Jembrana, Idx_Kpw2 Buleleng, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Idx_Kpw3 Bima, Dompu, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Lembata, Manggarai, Ngada, Sikka, Idx_Kpw4n Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Manggarai Barat.
Karakteristik Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
104
Penciri
Karakteristik Bidang Administrasi pemerintahan, Kesehatan pendidikan & kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan, Perkoperasian, dan Rataan perluas Lahan Total Anggaran Belanja Daerah (+) Bidang Permukiman, Kehutanan dan perkebunan. pendidikan & kebudayaan (+) Bidang Ketenagakerjaan (+), Bidang Penanaman Modal (+)
Idx_Kpw1 =
Idx_Kpw2 = Idx_Kpw3 = Idx_Kpw4 =
C.
Pola Penganggaran Bidang Perkapita Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor
kinerja penganggaran bidang perkapita ditunjukkan pada Tabel 40. Tabel 40. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita Simbol X1 X2 X7 X9 X12 X13 X15 X16 X18 X19 X20 X21 Expl.Var Prp.Totl
Bidang Administrasi Pemerintahan Kesehatan Pekerjaan Umum Lingkungan Hidup Pertanian Kepariwisataan* Perikanan Pertambangan dan energi Perindustrian dan Perdagangan Perkoperasian Penanaman Modal Ketenagakerjaan
Factor 1
Factor 2
Factor 3
Factor 4
0.744 0.707 0.911 0.975 0.877 0.845 0.879 0.779 0.858 0.951 0.871 0.806 6.133 1.830 1.859 1.211 0.472 0.141 0.143 0.093 LnIdx_Kp1 LnIdx_Kp2 LnIdx_Kp3 LnIdx_Kp4
Sumber : data diolah 2009 Marked loadings are > .700000 Dari Tabel 40 diatas dapat dijelaskan bahwa : 1.
Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 40 menerangkan bahwa faktor 1 untuk kinerja penganggaran bidang perkapita, terdapat suatu pola bahwa bidang-bidang yang berada di faktor 1 pada 34 kab/kota yang dianalisis dan juga menurun secara bersamaan di daerah-daerah yang lain. Fokusing penganggaran mengalami peningkatan dan muncul secara bersamaan untuk bidang
105
bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pekerjaan umum, kepariwisataan, perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdagangan dan ketenagakerjaan muncul secara bersamaan yang merupakan bidang yang menjadi fenomena daerah urban (perkotaan). Sebaliknya penganggaran mengalami penurunan untuk bidang lingkungan hidup dan perkoperasian. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp1) untuk faktor 1 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan penganggaran pada bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pekerjaan umum, kepariwisataan, perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdagangan serta ketenagakerjaan maka penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan serta bidang penanaman modal akan mengalami penurunan hal ini disebabkan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. 2.
Faktor 2 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada bidang perkoperasian maka bidang tersebut berdiri sendiri disertai dengan peningkatan penganggaran. Namun disisi lain anggaran untuk bidang bidang pekerjaan umum, kepariwisataan, pertambangan dan energi, penanaman modal dan bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan.
3.
Faktor 3 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada bidang pertanian dan penanaman modal maka anggaran untuk kedua bidang tersebut akan meningkat secara bersamaan karena berasosiasi. Sebaliknya penganggaran bidang pekerjaan umum, lingkungan hidup, kepariwisataan, perikanan mengalami penurunan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp3) untuk faktor 3 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan peningkatan penganggaran pada bidang pertanian dan bidang penanaman modal maka penganggaran bidang pekerjaan umum, lingkungan hidup, kepariwisataan dan perikanan mengalami penurunan disebabkan bidang-bidang tersebut berasosiasi.
4.
Faktor 4 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada peningkatan penganggaran bidang lingkungan hidup maka bidang tersebut berdiri sendiri. Namun disisi lain anggaran untuk bidang administrasi pemerintahan, pekerjaan umum,
106
pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, penanaman modal serta bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp4) untuk faktor 4 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan peningkatan penganggaran bidang lingkungan hidup maka bidang tersebut berdiri sendiri, namun disertai penurunan penganggaran pada bidang administrasi pemerintahan, pekerjaan umum, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, penanaman modal serta bidang ketenagakerjaan ini disebabkan karena bidang tersebut berasosiasi.
Gambar 31. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Gambar 31 diatas menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja penganggaran perkapita di Propinsi
Bali, NTB dan NTT dan Tabel 41 menunjukkan kinerja
penganggaran perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT.
107
Tabel 41. Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Kota Denpasar, dan Kota Mataram Kabupaten Sumbawa Barat, Lembata, Timor Tengah Utara, dan Rote Ndao Kabupaten Jemrana, Bima, Dompu, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Manggarai, Ngada, Sikka, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan Kota Bima, dan Kota Kupang
Penciri Idx_Kp1 Idx_Kp3 Idx_Kp4 Idx_Kp1 Idx_Kp3 Idx_Kp4 Idx_Kp1 Idx_Kp3
Karakteristik Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi
Idx_Kp4
Sedang
Sumber : data dioalah, 2009 Penciri Idx_Kp1 = Idx_Kp3 = Idx_Kp4 =
Karakteristik Bidang Administrasi pemerintahan, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Kepariwisataan, Perikanan, Pertambangan dan Energi, Perindustrian dan Perdagangan, Ketenagakerjaan dan Rataan Perkapita Total Anggaran Belanja Daerah (+) Bidang Pertanian, Penanaman modal (+), Bidang Lingkungan Hidup (+)
5.3.3. Hubungan Fungsional antara Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah dengan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah A.
Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan Dimensi Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan Masyarakat Hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk
indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan dilakukan dengan menganalisis aspek pangsa keluarga miskin, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah (Tabel 42) menggunakan analisis spatial durbin model.
108
Tabel 42. Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan Masyarakat (Kpem1) Arah Pengaruh terhadap Kpem1 Kelompok
Simbol
LnIdx_Kpw1
Instrumen daerah sendiri
Keterangan Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian Dan Perdagangan, Perkoperasian (+)
LnIdx_Kpw3 Bidang Ketenagakerjaan/wilayah (+) LnIdx_Kpw4N
Bidang Kehutanan dan Perkebunan/wilayah (-)
LnIdx_KpS3 Bidang Penanaman Modal (+) LnIdx_KpS2
LnIdx_Kp3
Bidang Permukiman dan Olahraga/penduduk (+) Bidang Pertanian, Penanaman Modal/kapita (+)
LnIdx_Kp4 Bidang Lingkungan/penduduk (+) Sumber : hasil olah Spatial Durbin Model, 2009
Parameter
Nyata tidak elastis Meningkat (+) Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis
Meningkat (+)
Menurun (-)
Meningkat (+)
Meningkat (+)
Meningkat (+)
Menurun (-)
Keterangan : Di duga dengan regresi berganda Nyata P-Level kurang dari 0,01 R= .96729249 R²= .93565476 Adjusted R²= .90767857 Elastis : Parameter (koefisien variabel) > 1,0 Kpem 1 = 0.167472 + 0.948104 LnIdx_Kpw1 + 0.394375 LnIdx_Kpw3 - 0.547514 LnIdx_Kpw4N + 0.275889 LnIdx_KpS3 + 0.304150 LnIdx_Kp3 - 0.295638 LnIdx_Kp4 0.152587 LnIdx_Kpem3 + 0.115022 LnIdx_Kp1 - 0.108080 LnIdx_Kp2 + 0.110524 LnIdx_KpS2
Hasil analisis pola penganggaran di setiap 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT menunjukkan bahwa kinerja pembangunan untuk aspek pangsa keluarga miskin, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah, secara nyata dipengaruhi oleh pola penganggaran di daerah sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pola penganggaran daerah lain. Secara rinci hubungan antara pola penganggaran dengan kinerja pembangunan diatas adalah sebagai berikut :
109
1.
Untuk bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota tersebut pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah (Gambar 32) dan kinerja penganggaran bidang perwilayah (KpW1) propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 43). Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan (Kpem1) untuk penganggaran bidang perwilayah (KpW1) dengan karakteristik rendah (Tabel 43)
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana-IPB 2009
Gambar 32. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bdang Perwilayah (KpW1) Sumber : data diolah, 2009
110
Tabel 43. Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW1) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Daerah Kab. Klungkung, Kota Denpasar, Kota Mataram
Tipologi II
Kab. Badung
Tipologi III
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan serta Perkoperasian Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan serta Perkoperasian Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan serta Perkoperasian
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : data dioalah, 2009 2.
Untuk bidang ketenagakerjaan terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah ditunjukkan dengan Gambar 33 dan kinerja penganggaran bidang perwilayah (KpW3) Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 44). Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) untuk penganggaran bidang perwilayah (KpW3) dengan karakteristik sedang (Tabel 38)
111
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 33. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW3) Sumber : data diolah, 2009 Tabel 44. Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW3) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kab. Badung Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kab. Bima Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Barat Kota Denpasar, Kota Mataram
Penciri Bidang Ketenagakerjaan
Bidang Ketenagakerjaan
Bidang Ketenagakerjaan
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
112
2.
Untuk bidang kehutanan dan perkebunan terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah.
3.
Untuk bidang penanaman modal terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan setiap sektor (21 sektor) masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah.
4.
Untuk bidang permukiman terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pada masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya kecil atau tidak strategis pengaruhnya dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah.
5.
Untuk bidang pertanian dan penanaman modal terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan jumlah penduduk (perkapita) pada masingmasing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah.
6.
Untuk bidang lingkungan hidup terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan jumlah penduduk (perkapita) pada masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam menurunkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah (Gambar 34) dan kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp4) Kab/Kota di propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 45)
113
Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) untuk penganggaran bidang perwilayah (Kp4) dengan karakteristik rendah (Tabel 45)
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Gambar 34. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perkapita (Kp4) Sumber : data dioalah, 2009 Tabel 45. Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita (Kp4) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Daerah Kab. Klungkung, Kota Denpasar, Kota Mataram,
Penciri Bidang Lingkungan hidup
Karakteristik Tingi
Tipologi II
Kab. Badung
Bidang Lingkungan hidup
Sedang
Tipologi III
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar, Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat
Bidang Lingkungan hidup
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
114
B.
Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan untuk Dimensi Ketimpangan Partisipasi Ekonomi Hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk
Indeks ketimpangan partisipasi ekonomi selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis spatial durbin model. Tabel 46 menunjukkan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi. Tabel 46. Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Ketimpangan Partisipasi Ekonomi (Kpem2) Arah Pengaruh terhadap Kpem2 Kelompok
Simbol LnIdx_Kp3 LnIdx_KpW4
Instrumen daerah sendiri Instrumen daerah terkait
Keterangan Bidang Pertanian, Penanaman Modal (+) Bidang Penanaman Modal/wilayah (-)
LnIdx_KpS3
WILnIdx_KpW2 WiLnIdx_KpS1
Bidang Penanaman Modal (+) Bidang Permukiman, Kehutanan dan Perkebunan (+) Bidang Pendidikan dan Kebudayaan (+), Pertambangan dan Energi (-)
Parameter Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis
Meningkat (+) Meningkat (+) Meningkat (+)
Meningkat (+) Menurun (-)
Sumber : hasil olah Spatial Durbin Model Keterangan : Di duga dengan regresi berganda R= .88338969 R²= .78037735 Adjusted R²= .69801885 Elastis : Parameter (koefisien variabel) > 1,0 Kpem 2 = 2.653013 -0.918973 LnIdx_Kp3 + 0.125170 LnIdx_Kp1 + 0.277892 LnIdx_Kpem3 + 0.367217 LnIdx_Kpw4N - 0.384275 LnIdx_Kpem1n - 0.186569 LnIdx_KpS1 + 0.455305 WiLnIdx_Kpw2 - 0.488130 WiLnIdx_KpS1n
Hasil analisis pola penganggaran di setiap 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT menunjukkan bahwa kinerja pembangunan untuk aspek produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran secara nyata dipengaruhi oleh pola penganggaran di daerah sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pola penganggaran daerah lain. Secara rinci hubungan antara pola penganggaran dengan kinerja pembangunan diatas adalah sebagai berikut : 1.
Untuk bidang pertanian dan penanaman modal pola penganggaran didaerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan jumlah penduduk (perkapita) pada masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun
115
kecil atau tidak strategis meningkatkan produktifitas wilayah dan tingkat pengangguran Untuk bidang penanaman modal pola penganggaran didaerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masingmasing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi. Gambar 35 dan kinerja penganggaran bidang perkapita Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 46). Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) untuk penganggaran bidang perwilayah (KpW4) dengan karakteristik rendah (Tabel 47)
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 35. Peta Konfiguras Spasial Penganggaran Bidang Perkapita (KpW4) Sumber : data diolah, 2009
116
Tabel 47. Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW4) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I Tipologi II Tipologi III
Daerah Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao Kota Bima Kab. Badung, Kab. Bangli, Kab. Buleleng Kab. Gianyar, Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kota Denpasar, Kab. Bima Kab. Dompu, Kab. Lombok Timur Kab. Sumbawa, Kota Mataram, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang Lingkungan hidup Bidang Lingkungan hidup
Karakteristik Tinggi Sedang
Bidang Lingkungan hidup Rendah
Sumber : data diolah, 2009 2. Untuk bidang penanaman modal pola penganggaran didaerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan rataan penganggaran persektor masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Gambar 36) dan hubungan kinerja penganggaran bidang persektor (KpS3) Kab/Kota propinsi Bali. NTB dan NTT (Tabel 46)
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 36. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Persektor Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (KpS3) Sumber : data diolah, 2009
117
Tabel 48. Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Persektor Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT (KpS3) Tipologi Tipologi I
Tipologi II Tipologi III
Daerah Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao Kota Bima Kab. Badung, Kab. Bangli, Kab. Buleleng Kab. Gianyar, Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kota Denpasar, Kab. Bima Kab. Dompu, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Mataram, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang Penanaman Modal
Karakteristik
Bidang Penanaman Modal
Sedang
Bidang Penanaman Modal
Rendah
Tinggi
Sumber : data diolah, 2009 Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) untuk penganggaran bidang per sektor
(KpS3) dengan
karakteristik rendah (Tabel 48) diatas. Sedangkan untuk pola penganggaran didaerah yang menjadi mitra dagang suatu daerah pada 34 Kab/Kota tiga propinsi Bali, NTB dan NTT yang mempengaruhi kinerja pembangunan untuk aspek produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran adalah sebagai berikut : 1.
Terdapat suatu pola apabila penganggaran bidang permukiman, kehutanan dan perkebunan dominan didaerah-daerah mitra dagang terhadap rataan luas wilayah masing-masing daerah pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis meningkatkan produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran didaerah sendiri (Gambar 37) dan hubungan kinerja penganggaran bidang perluas wilayah Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 46).
118
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 37. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perkapita (KpW2) Sumber : data diolah, 2009 2.
Terdapat suatu pola apabila penganggaran untuk bidang pendidikan dan kebudayaan dominan didaerah-daerah mitra dagang sedangkan pola penganggaran bidang pertambangan dan energi menurun terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran didaerah sendiri. Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) untuk penganggaran bidang perluas wilayah (KpW2) dengan karakteristik rendah (Tabel 49) dibawah ini.
119
Tabel 49. Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Terhadap Luas Wilayah Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT (KpW2) Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kota Bima
Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao Kab. Badung, Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar, Kab. Jembrana Kab. Karangasem, Kab. Klungkung Kab. Tabanan, Kota Denpasar, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Timur Kab. Sumbawa, Kota Mataram, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang Permukiman, Kehutanan dan Perkebunan Bidang Permukiman, Kehutanan dan Perkebunan
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah Bidang Permukiman, Kehutanan dan Perkebunan
Sumber : data diolah, 2009 3.
Sebaliknya ketika pola penganggaran bidang pertambangan dan energi dominan didaerah-daerah mitra dagang sedangkan penganggaran bidang pendidikan dan kebudayaan menurun terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis meningkatkan produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran didaerah sendiri
C.
Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan untuk Indeks Laju Pertumbuhan Ekonomi Hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk
indeks laju pertumbuhan ekonomi selanjutnya dianalisis dengan spatial durbin model. Tabel 50 menunjukkan indeks laju pertumbuhan ekonomi.
120
Tabel 50. Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Laju Pertumbuhan Ekonomi (Kpem3)
Kelompok Simbol Instrumen daerah WiLnIdx_KpS1 terkait
LnIdx_KpW1 Instrumen daerah sendiri
Keterangan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan (+), Pertambangan dan Energi (-) Bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, Pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian (+)
Bidang Pertanian, Penanaman Modal (+) Sumber : hasil olah Spatial Durbin Model, 2009 LnIdx_Kp3
Arah Pengaruh Terhadap Parameter Kpem 3 Nyata tidak elastis Meningkat (+)
Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis
Meningkat (+)
Meningkat (+)
Keterangan : Di duga dengan regresi berganda R= .70393721 R²= .49552759 Adjusted R²= .30635044 Elastis : Parameter (koefisien variabel) > 1,0 Kpem 3 = -1.23295 + 0.93851 WiLnIdx_KpS1n + 0.50905 LnIdx_Kpem2 - 0.93881 LnIdx_Kpem1 + 0.53498 LnIdx_Kpw1 + 0.64905 LnIdx_Kp3 - 0.11149 LnIdx_KpS3 - 0.74270 WiLnIdx_KpS3 - 0.37746 LnIdx_Kpw4N - 0.14230 LnIdx_Kp2
Hasil analisis pola penganggaran di 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT didaerah-daerah yang menjadi mitra dagang suatu daerah yang mempengaruhi kinerja pembangunan daerah sendiri untuk laju produk domestik regional bruto (PDRB) secara rinci adalah sebagai berikut : 1.
Terdapat suatu pola ketika penganggaran untuk bidang pendidikan dan kebudayaan dominan didaerah-daerah mitra dagang sedangkan pola penganggaran bidang pertambangan dan energi menurun terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan indeks laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) didaerah sendiri (Gambar 38)
dan hubungan kinerja penganggaran
persektor Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 50).
121
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 38. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Persektor (KpS1) Sumber : data diolah, 2009 Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks laju pertumbuhan ekonomi (Kpem3) untuk penganggaran bidang persektor (KpS1) yang menjadi mitra dagang daerah tersebut (KpS1) dengan karakteristik sedang (Tabel 51) dibawah ini. Tabel 51. Hubungan Kinerja Penganggaran Persektor Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kab. Badung
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat Kota Denpasar, Kota Mataram,
Penciri Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Pertambangan dan Energi
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, dan Pertambangan Energi
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Pertambangan dan Energi
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
122
2.
Sebaliknya ketika pola penganggaran untuk bidang pertambangan dan energi dominan didaerah-daerah mitra dagang sedangkan pola penganggaran bidang pendidikan dan kebudayaan menurun terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan laju produk domestik regional bruto (PDRB) didaerah sendiri. Hasil analisis pola penganggaran di setiap 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali,
NTB dan NTT menunjukkan bahwa kinerja pembangunan untuk aspek laju produk domestik regional bruto secara nyata dipengaruhi oleh pola penganggaran di daerah sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pola penganggaran daerah lain. Secara rinci hubungan antara pola penganggaran dengan kinerja pembangunan diatas adalah sebagai berikut : 1.
Untuk penganggaran bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, kependudukan,
sosial,
pekerjaan
pertanian,
umum,
kepariwisataan,
perhubungan, perindustrian
lingkungan dan
hidup,
perdagangan,
perkoperasian di daerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan laju PDRB (Gambar 39) dan hubungan kinerja penganggaran bidang perwilayah Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 50).
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 39. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW1) Sumber : data diolah, 2009
123
Tabel 52. Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT (KpW1) Tipologi Tipologi I
Daerah Kota Denpasar, Kota Mataram,
Tipologi II
Kab. Badung,
Tipologi III
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar, Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, Pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan serta perkoperasian Bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, Pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan serta perkoperasian Bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, Pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan serta perkoperasian
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : diolah, 2009 2.
Untuk penganggaran bidang pertanian dan penanaman modal didaerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan jumlah penduduk (perkapita) pada masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis meningkatkan laju PDRB (Gambar 39) dan hubungan kinerja penganggaran bidang persektor Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 50)
124
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Gambar 40. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (Kp3) Sumber : data diolah, 2009 Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk indeks laju pertumbuhan ekonomi (Kpem3) untuk penganggaran bidang persektor (Kp3) dengan karakteristik rendah (Tabel 53) diatas. Tabel 53. Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT (Kp3) Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kab. Badung
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat Kota Denpasar, Kota Mataram
Penciri Bidang Pertanian dan penanaman modal
Bidang Pertanian dan penanaman modal
Bidang Pertanian dan penanaman modal
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
125
5.4.
Analisis Isi (content analisys) UU No. 11/67 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dengan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara
5.4.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Nilai Tambah dalam UU No. 11/1967 dan UU No. 4/2009 Pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya mineral belum menjadi wacana dalam UU 11/67, UU ini lahir jauh sebelum kerangka berfikir tentang pembangunan berkelanjutan menjadi wacana dunia tahun 90-an. Kerangka berfikir ini 1992 dalam konferensi tingkat tinggi bumi di Rio de Jeneiro disepakati oleh hampir 178 negara didunia termasuk Indonesia untuk digunakan sebagai panduan. Program aksi dunia hasil konferensi Rio tersebut dikenal sebagai agenda 21, yaitu program aksi untuk pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang dapat diadopsi dan diadaptasi oleh negara industri maju maupun negara sedang berkembang, negara kaya maupun negara miskin (Agenda 21 Sektoral, 2000). Agenda 21 disusun berdasarkan laporan komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan (WCED) diketuai oleh Gro Harlem Brutland yang berjudul “Masa Depan Kita Bersama” (Our Common Future) disetujui dalam sidang umum PBB pada tahun 1987 untuk ditindaklajuti. Lebih dari 40 tahun UU 11/1967 digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan sumberdaya mineral di Indonesia. Menurut Sigit (2004) sepanjang kurun waktu 1967-1996 pertambangan Indonesia telah mengalami pertumbuhan pesat. Melalui konsep KKP dan perjanjian karya pengusahaan batubara (PKP2B), tidak kurang dari 376 perusahaan telah mendapat ijin untuk menambang emas, perak, batubara serta mineral logam lainnya. Selama kurun waktu tesebut perusahaan pertambangan mendapat kemudahan regulasi dari pemerintah Indonesia, pemerintah memberikan perlakuan khusus (lex specialis) pada kontrak karya pertambangan dan conjuctive title pada kontraktor yaitu hak berkelanjutan untuk melaksanakan kegiatan sejak tahap survei, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan penjualan hasil usaha pertambangan sehingga dalam dunia pertambangan dikenal istiah a cradle to grave contract (dari sejak buaian hingga keliang lahat). Selama periode itu pula penanaman modal asing (PMA) diatur dengan UU 1/67, untuk bidang pertambangan mineral logam diatur dengan pola Kontrak Karya Pertambangan (KKP), sedang untuk bidang pertambangan batubara diatur dengan pola Perjanjian Kerjasama Pengembangan Pertambangan Batubara disingkat PKP2B. Menurut Sembiring (2009), hak dan kewajiban pelaku usaha menyangkut nilai tambah (hanya diatur dalam kontrak), pemanfaat tenaga kerja setempat, kemitraan tenaga kerja lokal dan program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat tidak diatur dalam
126
UU 11/67. Sedangkan didalam UU 4/2009 mengatur dengan jelas tentang nilai tambah yang mengharuskan pengolahan dan pemurnian hasil tambang didalam negeri, pemanfaatan tenaga kerja setempat, keikutsertaan pengusaha lokal dan penggunaan jasa pertambangan lokal. Beberapa butir perbandingan UU No. 11/67 dan UU No. 4/2009 tentang pelaku usaha dan nilai tambah yang mengutamakan kepentingan lokal dan nasional ditunjukkan pada Tabel 54. Tabel 54. Beberapa Butir Perbandingan UU No. 11/1967 dan UU Minerba No. 4/2009 No 1.
2.
UU No. 11/1967
UU Minerba No. 4/2009
Pelaku Usaha:
Pelaku Usaha:
1. Investor domestik (KP, SIPD, PKP2B) 2. Investor asing (KK, PKP2B) 3. Luas usaha pertambangan tidak dirinci
1. IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan pada badan usaha, koperasi dan perseorangan (pasal 38) 2. IPR (Izin Pertambangan Rakyat) diberikan pada penduduk setempat, naik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan atau koperasi (pasal 67), dengan luas terperinci (pasal 68) 3. IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia, baik BUMN, BUMD, maupun swasta. BUMN dan BUMD mendapat prioritas (pasal 75) Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha:
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha: 1. Keuangan: - KP, sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku - KK/PKP2B, tetap pada saat kontrak ditandatangani 2. Lingkungan (sedikit diatur) 3. Nilai tambah (hanya diatur didalam kontrak) 4. Pemanfaatan tenaga kerja setempat (tidak diatur) 5. Kemitraaan pengusaha lokal (tidak diatur) 6. Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (tidak diatur)
1. Keuangan: membayar pendapatan negara dan daerah: Pajak, PNBP, iuran (pasal 128-133) 2. Lingkungan: - Good mining practices (pasal 95) - Reklamasi, pasca tambang dan konservasi yang telah direncanakan, beseta dana yang disediakan (pasal 96-100) 3. Nilai tambah. Pemegang IUP operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri (pasal 103-104) 4. Mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat (pasal 106) 5. Saat tahap operasi produksi, wajib mengikutsertakan pengusaha lokal (pasal 107) 6. Menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (pasal 108) 7. Wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional seperti konsultasi dan perencanaan (pasal 124)
Sumber : Sembiring, 2009
127
5.4.2. Hubungan Temuan Penelitian dengan Analisis Isi UU No. 11/1967 dan UU No. 4/2009 Didalam UU No. 11/1967 tidak menyebutkan secara jelas tentang pembangunan berkelanjutan nasional maupun daerah sedangkan dalam UU No. 4/2009 pada bagian Menimbang point a menyebutkan “kegiatan usaha pertambangan dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan diluar panas bumi .… mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan sedangkan point b menyebutkan “bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, UndangUndang No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dalam konteks usaha pertambangan di Sumbawa Barat selama masa operasi dan pasca operasi melalui transformasi struktur ekonomi pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan untuk menentukan arah transformasi pengembangan sektor ekonomi lokal sebagai antisipasi habisnya pertambangan haruslah menjadi prioritas pembangunan bagi daerah tersebut juga bagi daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia. Temuan hasil penelitian ini dengan simulasi model Leontif input-output Sumbawa Barat yang mencakup 1) arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal aspek keterkaitan (lingkages) antar sektor dan; 2) arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal aspek dampak pengganda (multiplier effect) 3) model spasial hubungan pola penganggaran dengan kinerja pembangunan (Lampiran ). Dari hasil tersebut selanjutnya dilakukan analisis isi tentang ada atau tidaknya transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam UU 11/1967 dan UU 4/2009. Hubungan antara temuan penelitian dengan analisis isi didiskripsikan sebagai berikut (lampiran 12) Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang yang dapat mendorong permintaan (demand driven) menurut indeks keterkaitan langsung kebelakang dan keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang, demikian pula dengan arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat mendorong penawaran (supply driven) menurut indeks keterkaitan langsung kedepan dan keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan. Secara umum arah transformasi struktur yang merupakan keterkaitan (lingkages) antar
128
sektor diatur dalam UU No. 4/2009 pasal 3 ayat e yang berbunyi “dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah meningkatkan pendapatan masayarakat lokal, daerah dan negara serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Terdapat pula pengaturan secara umum dalam pasal 8 ayat 1 point h berbunyi: kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain adalah pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal. Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal aspek dampak pengganda (multiplier effect) secara umum diatur dalam Pasal 102 yang berbunyi: pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah sumberdaya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengelolaan dan pemurnian serta mineral dan batubara. Sebagai realisasi peningkatan nilai tambah dalam pasal 102, UU 4 /2009 mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah secara tersendiri, hal ini ditegaskan dalam pasal 103 ayat 3 yang berbunyi: ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat 2 pasal 103 diatur dengan peraturan pemerintah. Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pengganda pendapatan rumah tangga diatur dalam UU No. 4/2009 Pasal 3 ayat
e
berbunyi:
dalam
rangka
mendukung
pembangunan
nasional
yang
berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah meningkatkan pendapatan masayarakat lokal, daerah dan negara serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk menarik minat investor menanamkan modalnya berdasarkan pengganda surplus usaha diatur dalam UU No. 4/2009 yakni: 1.
Pasal 8 ayat 1 point h berbunyi: kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain adalah pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal
2.
Pasal 107. Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada didaerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
129
3.
Pasal 124 ayat 1 pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/nasional
4.
Pasal 125 ayat 3 pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian fiskal pemerintah berdasarkan pengganda pendapatan pajak diatur secara umum dalam UU No. 4/2009 Pasal 106 yang berbunyi: pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Secara umum Pasal 106 UU No. 4/2009 juga mengatur arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk memacu pertumbuhan perekonomian berdasarkan pengganda nilai tambah total dan untuk memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat berdasarkan dampak pengganda tenaga kerja. Arah transformasi pengembangan sektor ekonomi lokal sesuai dengan potensi daerah berdasarkan keunggulan komparatif wilayah diatur secara umum dalam UU No. 4/2009 pasal 8 ayat 1 point h berbunyi: kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain adalah pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal. Sedangkan arah transformasi penganggaran yang merupakan hubungan fungsional penganggaran untuk memperbaiki kinerja pembangunan yang merupakan bagi hasil SDA diatur dalam UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Apabila dilihat dari perspektif penganggaran untuk melakukan transformasi ke sumberdaya lokal bagi Kab/Kota penghasil sumberdaya mineral, komposisi pembagian royalty yang hanya 32 % perlu dikaji ulang karena kurang memadai. Sebagaimana diketahui komposisi bagi hasil sumberdaya pertambangan (royalty) dalam UU 33/2004 saat ini adalah 20 % pemerintah pusat, 16 % pemerintah propinsi, 32 % pemerintah Kab/Kota penghasil dan 32 % Kab/Kota lainnya. Disisi lain, dalam konteks transformasi sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal, UU 33/2004 tidak secara rinci mengatur besarnya persentase belanja publik/pembangunan (belanja lansung) dan belanja rutin (belanja tidak langsung) bagi pemerintah Propinsi maupun Kab/Kota untuk pengembangan sektor terbarukan dan sektor strategis non tambang lainnya seperti infrastruktur, energi dan lain-lain. Dari sisi perencanaan pembangunan Sumbawa Barat, arah transformasi struktur ekonomi berbasis sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan yang merupakan potensi lokal untuk mengantisipasi habisnya pertambangan belum terlihat jelas
130
dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (2005-2010), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (2005-2025), perencanaan penganggaran (APBD) tahunan maupun peraturan daerah Kabupaten tersebut. 5.4.3. Performa Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sumbawa Barat Analisis isi juga dilakukan terhadap 45 peraturan daerah (Perda) Kabupaten Sumbawa Barat dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana kesiapan daerah tersebut mengantisipasi habisnya cadangan sumberdaya mineral dan menghadapi kehidupan pascatambang. Jika dikaitkan dengan transformasi struktur ekonomi dari berbasis pertambagan ke sumberdaya lokal terbarukan serta pengembagan sektor-sektor strategis lainnya sebagai pengganti tambang, diketahui bahwa peraturan perundangan yang dibuat oleh Pemkab Sumbawa Barat belum mengarah ke transformasi sumberdaya berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan. 5.4.4. Proses Perubahan Kebijakan dalam Pola Hubungan Stakeholder Hubungan (Relationship) antar stakehoder di Kabupaten Sumbawa Barat mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dan upaya menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency) pada masa pascatambang. Narasi Kebijakan: Kilas Balik 42 Tahun Pertambangan Indonesia Wacana dominan yang berkembang dan menjadi narasi kebijakan kelompok kepentingan pertambangan di Indonesia yang didominasi oleh pengusaha pertambangan adalah: Pertama kebijakan eksploitasi sumberdaya mineral oleh industri pertambangan di Indonesia pada era orde baru dimulai sejak 1967 melalui undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kedua UU tersebut berlandaskan pada pasal 33 UUD 45 yang memberikan hak penguasaan pada negara (HPN) yang bermakna mengatur, mengurus dan menguasai atas sumberdaya alam (Saleng, 2004). Bahwa pertambangan adalah kebijakan yang diputuskan di tingkat
nasional, disetujui atau tidaknya
pertambangan untuk mineral dengan katagori strategis dan vital –menurut undang-undangtersebut tergantung pada kebijakan pemerintah pusat. Bahkan pasal 3 UU 11/1967 secara tegas memberikan penggolangan atas bahan-bahan galian yakni strategis (golongan a), vital (golongan b) dan tidak termasuk golongan a dan b. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bahan galian strategis dan vital pengelolaan dan perizinannya dikeluarkan oleh
131
pemerintah pusat sedangkan bahan galian non strategis dan non vital perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah propinsi berdasarkan SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah) dimuat dalam PP No. 32 tahun 1969. Dengan demikan karakteristik pertambangan untuk golongan srategis dan vital bercorak sentralistik, sektoral dan top down karena merupakan wewenang penuh dari pemerintah pusat yang sangat dominan terhadap bahan galian tersebut. Untuk golongan bahan galian strategis dan vital dalam pengelolaan sumberdaya mineral, merupakan kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pihak investor yang tertuang kontrak karya pertambangan (KKP). Karena KKP landasan hukumnya UUPP dan UUPMA mengakibatkan perumusan KKP hanya mengatur kepentingan dua pihak saja yakni pemerintah pusat yang mewakili negara dan kepentingan investor. Hal ini mengakibatkan kesepakatan-kesepakatan dalam KKP tidak memberikan ruang partisipasi bagi pemerintah propinsi, kabupaten dan masyarakat lokal yang tinggal dekat dengan sumberdaya mineral. Undang-undang pertambangan tidak menyebutkan partisipasi dari pemerintah lokal dan masyarakat setempat dalam negosiasi-negosiasi kesepakatan kontrak antara pemerintah dan pihak investor. Kurang terakomodasinya kepentingan daerah dan masyarakat setempat dalam peraturan perundang-undangan menyebabkan investasi pertambangan selama 40 tahun berdiri diatas pondasi yang rapuh (Agenda 21, 2001). Sebagai konsekuensi dari situasi tersebut ketika perusahaan pertambangan memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi sering terjadinya konflik antara pemerintah daerah, masyarakat lokal dan perusahaan pertambangan. Tidak dilibatkannya pemda dan masyarakat dalam perumusan kontrak karya pertambangan membuat ruang gerak dan pilihan-pilihan masyarakat untuk melakukan inovasi kebijakan menjadi terbatas. Karakter KKP yang demikian itu berlaku seragam bagi kebijakan sumberdaya mineral dengan katagori vital dan strategis selama 42 tahun perjalanan industri pertambangan di Indonesia. Karakter KKP yang demikian itu, terlihat pula pada kontrak karya Proyek Batu Hijau antara pemerintah RI dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) yang ditandatangani 2 Desember 1987. PTNNT sebagai pemegang KKP di satu sisi dan pemerintah daerah dengan sistem perundang-undangan Pemda di sisi lain. Kedua, faktor yang juga turut mendominasi narasi kebijakan nasional industri pertambangan di Indonesia adalah argumentasi yang menekankan pentingnya investasi asing langsung (foreign direct invesment) (Todaro, 2006) yaitu (1) FDI pertambangan bertujuan untuk transfer pengetahuan dan teknologi. Perusahaan-perusahaan multinasional akan membawa pengetahuan dan teknologi yang paling canggih mengenai proses produksi sekaligus memperkenalkan mesin-mesin dan peralatan modern kepada negara-negara dunia ketiga (2) FDI sektor pertambangan mendorong pembangunan bagi negara tuan rumah (host country) (3) FDI sektor pertambangan akan mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten
132
penghasil (4) FDI menjadi sumber tumbuhnya teknologi, proses, produk sistem organisasi dan keterampilan managemen yang baru bagi perusahaan, fasilitas produksi yang lebih murah dan akses pada teknologi, produk, keterampilan dan pendanaan yang baru (5) memberikan kontribusi pada ukuran-ukuran ekonomi lokal seperti peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan PAD. Narasi kebijakan ini mendominasi FDI sektor tambang secara nasional dan juga bagi daerah penghasil. Ketiga, untuk konteks pembangunan daerah wacana yang berkembang tentang pentingnya pertambangan adalah pemerintah daerah akan menerima berbagai bentuk pendapatan dalam bentuk pajak dan non pajak (royalty). Selain itu pertambangan akan menyerap tenaga kerja bagi masyarakat setempat, membuka lapangan usaha, memberikan dampak pengganda (multiplier effect) bagi masyarakat dan dibangunnya infrastruktur di daerah. Keempat, beberapa hasil riset membuktikan bahwa isu-isu lokal pertambangan masih terkooptasi dan belum menjadi mainstrem oleh dominannya narasi global tentang tambang yang telah disebutkan pada point sebelumnya. Isu–isu lokal yang belum terangkat kepermukaan adalah hilangnya aksessibilitas masyarakat setempat terhadap sumberdaya alam, tingginya kebocoran regional, rendahnya dampak pengganda (multiplier effect), rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal. Perspektif jangka panjang tentang pertambangan yang mempunyai umur tertentu dan suatu saat akan habis seolah hilang oleh pola pikir rabun dekat (myopic) pengambil kebijakan dan stakeholder karena terlena oleh keuntungan yang sifatnya sesaat dan jangka pendek. Diskripsi narasi global dan nasional tentang pertambangan hingga saat ini masih berlangsung,
menjadi
mainstrem,
sudah
mendapat
tempat
dan
keyakinan,
menyederhanakan kompleksitas situasi, terpisah dari diskursus sesungguhnya yang berkembang dilapangan. Dalam kasus pertambangan terlihat bahwa perdebatan global ikut bermain dalam konteks kebijakan lokal, sebaliknya aktifitas lokal termarginalisasi dalam narasi global yang dominan (IDS, 2006). Posisi riset ini yang akan dijadikan arusutama (mainstrem) dan debat kebijakan adalah terkait dengan judul penelitian adalah model pembangunan daerah berkelanjutan melalui transformasi struktur ekonomi berbasis sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan (Studi kasus tambang tembaga dan emas proyek batu hijau PTNNT di Sumbawa Barat NTB) dengan mengacu pada tujuan penelitian. Dari hasil wawancara menunjukan bahwa pemangku kepentingan (stakeholder) di Sumbawa Barat yakni pemerintah KSB, DPRD Sumbawa Barat, PTNNT, NGO, lembaga riset, tokoh masyarakat hingga DESDM belum mengarah pada perdebatan (diskursus) dan naratif menghadapi habisnya tambang dan kehidupan pascatambang. Perdebatan tentang pentingnya transformasi struktur ekonomi dari tambang ke sumberdaya lokal terbarukan
133
belum menjadi arusutama (mainstrem) perdebatan masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder), meskipun secara internal institusi sangat mendukung dikembangkannya perdebatan dan wacana perlunya transformasi sumberdaya lokal selain tambang. Misalnya para pejabat Pemda Sumbawa Barat yang diwawancarai sependapat jika perlu kebijakan antisipasi habisnya tambang dan menghadapi pasca tambang dengan mengembangkan sumberdaya lokal (pertanian) yang ada didaerah tersebut. Namun wacana tersebut belum menjadi perdebatan (diskursus) dan narasi kebijakan antar pemangku kepentingan bahkan belum adanya sinergi stakeholder utama pembangunan yakni pemda Sumbawa Barat dan PTNNT. Kebijakan kedua institusi ini masih cenderung berjalan sendiri-sendiri bahkan berlawanan, hal ini terlihat belum adanya strategi bersama menghadapi habisnya tambang dan antisipasi kehidupan pascatambang. Hubungan antar stakeholder dalam diskursus dan naratif kebijakan mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) ditunjukan pada Tabel 55. Tabel 55. Hasil analisis diskursus dan naratif kebijakan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)
Institusi
Pemkab Sumbawa Barat DPRD Sumbawa Barat PT.Newmont Nusa Tenggara
Pemkab Sumbawa Barat KMI
DPRD Sumbawa Barat KBT KMI
PT. Newmont Nusa Tenggara KTA
NGO
Lembaga Riset
Tokoh Masyarakat
DESDM
KBT
KBT
KBT
KLT
KTA
KBT
KTA
KBT
KLT
KMI
KBT
KTA
KTA
KBT
KMI
KBT
KBT
KTA
KMI
KBT KMI
KTA KTA
NGO Lembaga Riset Tokoh Masyarakat DESDM
KMI
Sumber : hasil analisis, 2008 Keterangan : KMI = Kebijakan masih bersifat internal institusi KBT = Kebijakan belum tersosialisasikan / sebatas wacana KLT = Kebijakan belum terkait KTA = Kebijakan bersama tidak ada
134
Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek diskursus dan narasi adalah:
Kesulitan:
1.
Transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan, alokasi belanja pembangunan pada sektor-sektor non tambang dan kesiapan kebijakan belum menjadi diskursus dan naratif pemangku kepentingan (stakeholder) di Sumbawa Barat mengantisipasi habisnya pertambangan
2.
kekhawatiran Sumbawa Barat menjadi kabupaten hantu (ghost regency) pasca tambang belum dianggap sebagai suatu yang membahayakan bagi masa depan Sumbawa Barat oleh pemangku kepentingan (stakeholder) ketika tambang habis. Bahkan stakeholder kunci pembangunan yakni Pemkab. Sumbawa Barat dan PT. Newmont Nusa Tenggara masih berjalan sendiri
Peluang dan Kesempatan Peluang dan kesempatan kearah transformasi struktur ekonomi, alokasi belanja
pembangunan pada sektor-sektor non tambang dan kesiapan kebijakan, baru sebatas wacana secara internal institusi masing-masing stakeholder, khususnya bagi Pemkab. Sumbawa Barat dan PT. Newmont Nusa Tenggara sehingga perlu sebuah forum bersama yang melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mendiskusikan secara terbuka masa depan Sumbawa Barat pasca tambang Jaringan Kerja Aktor Dalam
investasi
pertambangan
sedikitnya
terdapat
empat
pihak
yang
berkepentingan, yaitu pemerintah republik Indonesia yang mewakili kepentingan negara, pemerintah daerah yang mewakili kepentingan daerah dimana investasi pertambangan berada, investor dan masyarakat setempat (Agenda 21, 2001). Selama 42 tahun lebih UU No. 11/1967 digunakan sebagai sumber pengaturan perizinan investasi pertambangan dalam negeri, sedang Kontrak Karya berisi pengaturan hak dan kewajiban investor dan Pemerintah Indonesia dalam proses investasi dan operasi pertambangan asing. Kedua sumber hukum investasi pertambangan ini dapat dikatakan tidak saling berkaitan, baik secara substansial maupun secara hukum. Ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Karya dapat dikatakan berdiri sendiri dalam arti tidak bersumber dari UU No. 11/1967. (Agenda 21, 2001). Meskipun kedua sumber hukum pertambangan ini tidak saling berkaitan, tetapi keduanya mempunyai ciri–ciri yang sama. Kesamaan pertama adalah bahwa keduanya sebagian besar berisikan pengaturan prosedur perizinan dalam aspek teknis dan ekonomis. Dengan perkataan lain kedua sumber hukum pertambangan ini tidak mengatur interaksi
135
antara pertambangan dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Kesamaan lain, keduanya lebih berorientasi pada usaha pertambangan dan bukan pada pengelolaan sumberdaya mineral (mineral resources management) (Agenda 21, 2001). Memaknai UU 11/67 dalam konteks jaringan kerja aktor, menempatkan tujuh (stakeholder) berada pada posisi diametral yakni pemerintah pusat dan investor di satu sisi versus pemerintah daerah dan masyarakat di sisi lain sehingga pertimbanganpertimbangan lokal dan kepentingan daerah dalam industri pertambangan di Indonesia kurang diperhatikan. Dengan demikian ruang gerak pemerintah daerah menjadi terbatas dengan UU 11/67. Kebijakan transformasi sumberdaya mineral di Sumbawa Barat atas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara dalam jangka menengah dan panjang adalah pertarungan konflik kepentingan antara eksekutif, legeslatif, perusahaan, ilmuwan, LSM dan pandangan masyarakat setempat. Transformasi mineral ke sumberdaya lain sulit diterima oleh kelompok yang berpandangan rabun dekat (miopic). Dari hasil wawancara menunjukkan jaringan kerja aktor belum bekerja dengan baik bahkan berjalan sendiri-sendiri, saling melemahkan atau berlawanan, terkecuali pada internal masing-masing institusi. Jaringan kerja aktor mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) ditunjukan pada Tabel 56. Tabel 56. Jaringan kerja aktor mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)
Institusi Pemkab Sumbawa Barat DPRD Sumbawa Barat PT.Newmont Nusa Tenggara
Pemkab Sumbawa Barat
DPRD Sumbawa Barat
RI
RL
PT. Newmont Nusa Tenggara BR
RI
NGO Lembaga Riset Tokoh Masyarakat DESDM
Lembaga Riset
Tokoh Masyarakat
DESDM
TR
TR
TR
RL
RL
RL
RL
RL
RL
RI
RL
KL
RL
RI
RI
RL
RL
BR
RI
RL
RL
RI
RL
NGO
RI
Sumber : hasil analisis, 2009
136
Keterangan : RI = Relasi internal institusi, RL = Relasi lemah, BR = Berlawanan, TR = Tidak ada relasi Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek jaringan kerja aktor adalah:
Kesulitan: Jaringan kerja aktor pembangunan mengantisipasi habisnya pertambangan belum
terbentuk
Peluang dan Kesempatan: Interaksi masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) sebenarnya relatif
intensif namun relasi aktor kearah kerjasama masih belum terarah dalam melihat masa depan Sumbawa Barat pasca tambang Politik dan Kepentingan Apa yang harus dilakukan untuk menghindari penyakit Belanda (ducth deases), kabupaten hantu (ghost regency) atau bencana pertambangan untuk mendesain pembangunan berkelanjutan bagi kabupaten Sumbawa Barat? dengan kata lain, apa yang salah dan bagaimana mengoreksinya. Sehingga diperlukan kebijakan transformasi pertambangan ke sektor-sektor selain tambang dengan basis sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) didaerah setempat untuk pembangunan berkelanjutan di Sumbawa Barat NTB. Politik/kepentingan yang dikembangkan adalah : a.
Memberikan
kesadaran
pada
pemerintah
daerah
dan
masyarakat
bahwa
pertambangan adalah sumberdaya yang tidak terbarukan (unrenewable resources), suatu saat pasti akan habis. Perolehan hasil dari tambang yang dinikmati oleh pemerintah daerah saat ini baik dalam bentuk royalty, pajak dan PAD hanya bersifat sementara dan jangka pendek. Untuk itu pemda dan masyarakat tidak perlu terlena dengan pertambangan karena sangat riskan jika menggantungkan masa depan pada pertambangan b.
Bagaimana mempengaruhi pemangku kepentingan (stakeholder) di kabupaten Sumbawa barat agar bersedia merumuskan kebijakan transformasi sumberdaya mineral ke sumberdaya lokal terbarukan Untuk merumuskan politik kepentingan dalam transformasi sumberdaya mineral
maka harus dirumuskan terlebih dahulu siapa yang paling berkepentingan terhadap
137
transformasi tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan: 1) Masyarakat berkepentingan untuk hidup sejahtera dan layak pasca tambang 2) Pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberlanjutan pembangunan wilayah dan menyediaan sumber-sumber ekonomi potensial bagi rakyatnya 3) PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai perusahaan multinasional berkepentingan meninggalkan nama baik di daerah tempat operasi. Meminimalisir stigma sebagai perusahaan yang penguras sumberdaya alam dan merusak lingkungan. Memandu proses tersebut, pemahaman pada politik, birokrasi dan kekuasaan dan kepentingan yang melatarbelakangi kebijakan. Menurut hasil wawancara, secara faktual dilapangan menunjukkan bahwa politik kepentingan masing-masing stakeholder masih berjalan sendiri-sendiri bahkan untuk stakeholder tertentu justru berlawanan dengan stakeholder lainnya dalam mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) di Sumbawa Barat. Ringkasnya masing-masing stakeholder belum mempunyai kesamaan visi dan persepsi tentang masa depan Sumbawa Barat pascatambang. Hal ini dipridiksikan muncul akibat UU yang bersifat sektoral dalam pengelolaan sumberdaya alam sehingga terjadi bias kepentingan pada tataran implementasinya.
Politik
dan
kepentingan
masing-masing
stakeholder
dalam
mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) ditunjukan pada Tabel 57. Tabel 57. Politik dan kepentingan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)
Institusi Pemkab Sumbawa Barat DPRD Sumbawa Barat PT.Newmont Nusa Tenggara NGO Lembaga Risett Tokoh Masyarakat DESDM
Pemkab Sumbawa Barat
DPRD Sumbawa Barat
KK
KL KK
PT. Newmont Nusa Tenggara KB
NGO
Lembaga Riset
Tokoh Masyarakat
DESDM
KL
KL
KL
KB
KL
KL
KL
KL
KL
KK
KL
KL
KL
KL
KK
KK KK
KK KK KK
KK KK KL KK
Sumber : hasil analisis, 2008 Keterangan : KK = Kepentingan kuat, KL = Kepentingan lemah KB = Kepentingan berlawanan, TB = Tidak berkepentingan
138
Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek politik dan kepentingan adalah:
Kesulitan: Kepentingan masing-masing aktor berbeda dalam melihat masa depan Sumbawa
Barat. Transformasi struktur ekonomi belum menjadi kepentingan bersama
Peluang dan Kesempatan: Forum-forum bersama, media masa dll perlu dimanfaatkan untuk mendiskusikan
transformasi struktur dan kesiapan kelembagaan pasca tambang Ruang Kebijakan Selanjutnya bagaimana agenda sumberdaya mineral yang tidak terbarukan di Sumbawa Barat dengan umur tambang yang tinggal 18 tahun lagi (2009-2027) dapat melahirkan debat kebijakan transformasi struktur ekonomi ke sumberdaya terbarukan selain tambang dari suara-suara yang tersembunyi?. Bagaimana membuat ruang untuk ilmu pengetahuan, penggunaan media untuk mengekspresikan dan mempublikasikan keberatan-keberatan yang ada. Kebijakan transformasi sumberdaya mineral ke sektor lain belum menjadi mainstrem dalam kebijakan Pemda Sumbawa Barat dalam perumusan kebijakan APBD tahunan, Visi Misi Bupati, RPJMD dan RPJMP. Demikian juga perumusan program CSR PT. Newmont Nusa Tenggara masih perlu diarahlan untuk pembangunan berkelanjutan pasca tambang Konflik kebijakan tidak diselesaikan dengan pilihan teknis dan rasional saja antara beragam alternatif. Pembuatan kebijakan tetap pada realisme politik dan masyarakat, dan dari pengetahuan dan kekuasaan. Kebijakan di bangun atas keberhasilan peran serta aktoraktornya; ilmuan, donor, politisi, staf LSM, petani dan lainnya. Ruang kebijakan untuk memilih penyelesain yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal nampak tertutup oleh narasi dominan yang memarginalisasikan transformasi sumberdaya mineral ke sumberdaya pengganti berbasis lokal terbarukan untuk pembangunan berkelanjutan bagi daerah penghasil dengan kata kunci: bagaimana mempengaruhi aktor agar mau menjalankan kebijakan transformasi sumberdaya mineral atas tambang tembaga dan emas proyek batu hijau PT.Newmont Nusa Tenggara.
139
5.5.
Ringkasan Keterkaitan Model dan Aplikasi Hasil Penelitian
5.5.1. Temuan Penelitian
Hasil temuan penelitian menunjukkan keterkaitan tiga model analisis kuantitatif, satu variabel kendali dan aplikasi model. Tiga model kuantitatif adalah model Leontif Input-Output, model keunggulan komparatif wilayah (location quotient) dan model spasial hubungan fungsional pola penganggaran untuk memperbaiki kinerja pembangunan. Sedangkan variabel kendali adalah analisis isi peraturan perundangan yakni UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batuara (Minerba) serta peluang perubahan kebijakan untuk aplikasi model (lampiran 13). Temuan model Leontif input-output menghasilkan arah transformasi struktur pengembangan ekonomi lokal di Sumbawa Barat untuk aspek 1) keterkaitan (lingkage) antar sektor yakni keterkaitan langsung kebelakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang, keterkaitan langsung kedepan serta keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan 2) dampak pengganda (multiplier effect) tiap sektor yakni pengganda pendapatan rumah tangga, pengganda pendapatan surplus usaha, pengganda pendapatan pajak, pengganda nilai tambah total dan pengganda tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rantai bisnis dan industri berbasis pertanian yang di dukung oleh air bersih dan pasokan energi listrik yang memadai adalah paling strategis untuk dijadikan arah pembangunan untuk percepatan proses transformasi struktur ekonomi menuju keberlanjutan dan kemandirian pembangunan wilayah Kabupaten Sumbawa Barat. Basisbasis pertanian utama yang perlu dikembangkan adalah peternakan, perikanan, perkebunan serta tanaman pangan dan hortikultura. Termasuk bagian yang tak terpisahkan dari basis pertanian yang diperlu dikembangkan adalah pengelolaan sumberdaya hutan, terutama untuk mendukung pengembangan sistem pasokan sumberdaya air dan energi listrik yang kompetitif. Pengembangan rantai bisnis dan industri berbasis pertanian tersebut dipridiksikan akan mampu mendorong 1) perkembangan rantai aktifitas ekonomi secara keseluruhan 2) laju pertumbuhan ekonomi 3) peningkatan kapasitas fiskal pemerintah 4) peningkatan daya tarik bisnis bagi dunia usaha 5) peningkatan serapan tenaga kerja dan 6) peningkatan pendapatan masyarakat di Kabupaten Sumbawa Barat.
140
Hasil temuan untuk keunggulan komparatif wilayah (model location quotient) di Sumbawa Barat memperkuat temuan model Leontif Input-Output. Hasil analisis location quotient menunjukkan bahwa Kabupaten tersebut merupakan tempat pemusatan beberapa komoditi pertanian dari aspek produksi seperti penangkapan ikan didanau, budidaya ikan tambak, penangkapan ikan waduk/dam, peternakan, kedelai, jagung dan padi. Pengembangan sektor pertanian dari aspek produksi layak dilakukan di Sumbawa Barat karena Kabupaten tersebut juga merupakan tempat pemusatan potensi lahan pertanian yang belum dimanfaatkan secara optimal baik untuk luas tanaman pertanian lainnya, lahan kritis, maupun potensi lahan untuk tanaman kedelai dan padi. Alokasi anggaran dan kerjasama penganggaran antar daerah untuk pengembangan basis-basis pertanian utama tersebut sesuai dengan sebaran sumberdayanya diketahui mampu meningkatkan 1) laju pertumbuhan ekonomi 2) kapasitas fiskal pemerintah 3) kesejahteraan masyarakat dan 4) partisipasi ekonomi masyarakat. Walaupun demikian, intensitas pengaruh tersebut masih pada level belum elastis dengan indikasi bahwa transformasi struktur ekonomi dapat dipercepat melalui alokasi anggaran dan kerjasama penganggaran antar daerah untuk basis-basis pertanian utama tersebut, dimana level alokasi saat ini masih terlalu rendah dari level yang dibutuhkan. Secara lebih rinci penjelasan tiap dimensi adalah sebagai berikut: a.
Pola penganggaran bidang pertanian terhadap luas wilayah di Sumbawa Barat adalah positif, nyata, tidak elastis meningkatkan dimensi produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan dengan karaktersitik penganggaran untuk Sumbawa Barat adalah rendah sehingga penganggaran bidang pertanian untuk dimensi ini perlu ditingkatkan.
b.
Pola penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan terhadap luas wilayah di Sumbawa Barat adalah positif, nyata, tidak elastis meningkatkan dimensi ketimpangan partisipasi ekonomi dengan karakteristik penganggaran untuk Sumbawa Barat adalah rendah sehingga penganggaran untuk bidang kehutanan dan perkebunan untuk dimensi ini perlu ditingkatkan.
c.
Pola penganggaran bidang pertanian terhadap luas wilayah di Sumbawa Barat adalah positif, nyata, tidak elastis meningkatkan dimensi laju pertumbuhan ekonomi dengan karakteristik penganggaran untuk Sumbawa Barat adalah rendah sehingga penganggaran untuk bidang pertanian untuk dimensi ini perlu ditingkatkan.
141
d.
Pola penganggaran bidang pertanian terhadap jumlah penduduk di Sumbawa Barat adalah positif, nyata, tidak elastis meningkatkan dimensi laju pertumbuhan ekonomi dengan karakteristik penganggaran untuk Sumbawa Barat adalah rendah sehingga penganggaran untuk bidang pertanian untuk dimensi ini perlu ditingkatkan. Pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sektor pertambangan sudah
menjadi wacana dalam UU No. 4/2009 tentang mineral dan batubara. Sedangkan arah transformasi struktur ekonomi untuk keterkaitan (lingkage) antar sektor secara umum diatur dalam pasal 3 dan pasal 8 UU tersebut. Untuk dampak pengganda (multiplier effect) pendapatan rumah tangga secara umum diatur dalam pasal 3, dampak pengganda surplus usaha secara umum diatur dalam pasal 8 ayat 1, pasal 107, pasal 124 ayat 1, pasal 125 ayat 3. Untuk dampak pengganda pendapatan pajak, dampak pengganda nilai tambah total dan dampak pengganda nilai tambah total secara umum diatur dalam pasal 106 UU No. 4/2009. Untuk penggunaan sumberdaya lokal setempat secara umum diatur dalam pasal 8 ayat 1 point h berbunyi: pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal. Sedangkan arah transformasi penganggaran yang merupakan hubungan fungsional penganggaran untuk memperbaiki kinerja pembangunan yang merupakan bagi hasil SDA diatur dalam UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD). Apabila dilihat dari perspektif penganggaran untuk melakukan transformasi ke sumberdaya lokal bagi Kab/Kota penghasil sumberdaya mineral, komposisi pembagian royalty yang hanya 32 % perlu dikaji ulang karena kurang memadai. Sebagaimana diketahui komposisi bagi hasil sumberdaya pertambangan (royalty) dalam UU 33/2004 saat ini adalah 20 % pemerintah pusat, 16 % pemerintah propinsi, 32 % pemerintah Kab/Kota penghasil dan 32 % Kab/Kota lainnya. Disisi lain, dalam konteks transformasi sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal, UU 33/2004 tidak secara rinci mengatur perbandingan besarnya persentase belanja publik/pembangunan (belanja lansung) dan belanja rutin (belanja tidak langsung) bagi pemerintah Propinsi maupun Kab/Kota untuk pengembangan sektor terbarukan dan sektor strategis non tambang lainnya seperti infrastruktur, energi dan lainlain. Peluang perubahan kebijakan untuk mengaplikasikan model yang dikembangkan dalam penelitian ini sebagai upaya mengarusutamakan transformasi struktur ekonomi
142
berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan, mengutamakan keunggulan komparatif wilayah, memprioritaskan arah penganggaran pada sektor-sektor terbarukan (pertanian dalam arti luas) sebagai pengganti tambang, peluangnya masih Kecil di Sumbawa Barat dari perspektif narasi, kepentingan dan jaringan kerja aktor antara pemangku kepentingan (stakeholder). Dengan demikian proses transformasi struktur ekonomi belum mendapat dukungan dari sisi realitas perilaku stakeholder yang diindikasikan dengan belum berkembangnya kesadaran, komunikasi dan jaringan kerjasama. Yang tercakup kedalam para stakeholder tersebut adalah Departemen Energi Sumberdaya Mineral, Komisi VII DPR RI, Pemda Sumbawa Barat, DPRD Sumbawa Barat, PT. Newmont Nusa Tenggara, kalangan pendidikan dan akademisi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
5.5.2. Aplikasi Hasil Penelitian
Kegiatan yang dilakukan untuk mengaplikasikan hasil penelitian ini kepada penggunan (user) dengan langkah-langkah dan kegiatan sebagai berikut: 1.
Kegiatan sosialisasi. Rencana kegiatan sosialisasi hasil penelitian adalah a. Pendekatan persuasif b. Publikasi ilmiah c. dialog dengan aktor kunci d. Seminar e. Diseminasi f. Focus Group Discusi (FGD) g. Lokakarya h. Sarasehan i. Workshop j. Wawancara
2.
Sasaran sosialisasi. a. Pemkab KSB b. DPRD KSB c. Bappeda NTB d. DESDM
143
e. PTNNT f. NGO g. Dunia Pendidikan h. Masyarakat i. Jurnal Ilmiah j. Media massa 3.
Kegunaan. a. Bagi pemda Sumbawa Barat: Memperbaikin arah dan strategi pembangunan mengantisipasi habisnya pertambangan b. Bagi pemerintah pusat: Memperbaiki arah dan strategi kebijakan nasional pertambangan c. Bagi PTNNT: Membuat perencanaan pasca tambang (dokumn tutup tambang)
4.
Aplikasi dalam Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran Sumbawa Barat. a. Model transfomasi menjadi bahan rekomendasi untuk revisi RPJMD 20112025 b. Model transfomasi menjadi bahan rekomendasi dalam RPJMD 2011-2025 c. Mulai 2011-2015. APBD KSB diharapkan dapat diarahkan, difokuskan dan ditingkatkan pada penganggaran bidang bidang Pertanian dalam arti luas d. Mulai 2011-2015. APBD KSB diharapkan dapat diarahkan, difokuskan dan ditingkatkan pada penganggaran bidang bidang Pertanian dalam arti luas
5.
Peluang Aplikasi Model a.
Skenario optimis Pemkab Sumbawa Barat, DPRD dan PTNNT mengetahui bahwa: 1. Tambang sangat dominan terhadap struktur perekonomian Sumbawa Barat 2. Tambang adalah sumberdaya tidak terbarukan 3. Masa penggalian tambang akan berakhir 2016 dan tutup tambang 2027 4. Jika tambang habis ekonomi tambang sulit tergantikan oleh sektor lainnya serta munculnya berbagai masalah seperti pengangguran, royalty hilang dan dampak lainnya
144
b.
Skenario normal Operasi tambang berjalan apa adanya seperti saat ini sesuai mekanisme pasar tanpa perubahan arah kebijakan pembangunan dan penganggaran di Sumbawa Barat hingga tutup tambang tahun 2027
c.
Skenario pesimis Pemkab Sumbawa Barat, DPRD dan PTNNT tidak mengetahui bahwa: 1. Tambang sangat dominan terhadap struktur perekonomian Sumbawa Barat 2. Tambang adalah sumberdaya tidak terbarukan 3. Masa penggalian tambang akan berakhir 2016 dan tutup tambang 2027 4. Jika tambang habis ekonomi tambang sulit tergantikan oleh sektor lainnya serta munculnya berbagai masalah seperti pengangguran, royalty hilang dan dampak lainnya
6.
Rekomendasi
Perlu Peraturan Pemerintah tentang nilai tambah, mengutamakan tenaga kerja setempat, penggunaan barang dan jasa lokal hingga ketingkat Peraturan daerah (Perda)
Revisi RPJMD (2011-2015) dan RPJMP (2005-2025) Sumbawa Barat
Revisi pola dan fokus penganggaran APBD Sumbawa Barat mulai 2011-2015
145
Judul
Model Pembang unan Daerah Berkelan jutan Melalui Transfor masi Struktur Ekonomi Berbasis Pertamba ngan ke Sumberd aya Lokal Terbaruk an
Tujuan Umum
Tujuan Khusus Menganalisis transformasi stuktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan
Transforma si Struktur Ekonomi Berbasis Pertambang an ke Sumberday a Lokal Terbarukan
Menganalisis keterkaitan pola penganggaran (APBD) dan kinerja pembangunan pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan pengaruh spasial kinerja pembangunan antar daerah
Indentifikasi permasalahn Investasi pertambangan dan perubahan kebijakan serta peluang perubahannya ditingkat pusat hingga daerah penelitian
Output Analisis
Arah transformasi struktur ekonomi ke sumberdaya lokal terbarukan dan sektor non tambang lainnya Keunggulan komparatif wilayah meliputi produksi
Hubungan fungsional antara kinerja pembangunan dan Pola Pengalokasian Anggaran Antar Wilayah Ada atau tidak adanya peraturan perundangan yang mendukung transformasi struktur ekonomi mencakup keterkaitan antar sektor, dampak pengganda, penerimaan daerah, alokasi penganggaran dan peluang kearah perubahan kebijakan stakeholder didaerah
Metode Analisis
1. Membangun Tabel InputOutput Sumbawa Barat dengan sektor yang sama jumlah dan detilnya dengan Tabel InputOutput NTB 2. Keunggulan Komparatif Wilayah dengan analisis Location Quation (LQ)
Tiga analisis indikator: a. Multiple Regresion (untuk melihat pada daerah yang dianalisis/daerah tertentu) b. Spatial Autoregresion (Untuk melihat pengaruh variabel tujuan terhadap variabel keadaan. F(x) = Y, F(y) = X c. Spatial Durbin Model ( Untuk melihat pengaruh daerah lain/daerah yang bertetangga)
Analisis Isi dan IDS
Jenis Data
Data Sekunder : 1. Tabel InputOutput Interregional NTB 35 Sektor 2. Tabel InputOutput Sumbawa Barat 34 sektor 2007 3. Podes 2003 (produksi pertanian dan luas lahan)
Sumber Data
BPS Pusat dan BPS Sumbawa Barat
Logaritma Natural: 1. Indeks komposit kinerja pembangunan 2. Indeks komposit pola pengalokasian anggaran, 3. Data aliran barang antar kabupaten/kota
Hasil analisis: 1. Indeks komposit kinerja pembangunan dan peta konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah 2. Indeks Komposit Pola Pengalokasian Anggaran dan peta konfigurasi spasial pola pengalokasian Anggaran
Data Sekunder: Peraturan Perundangan: 1. UU No. 11/1967 2. UU No. 4/2009 3. Perda KSB Data Primer: Kuisioner
DESDM, Pemda Sumbawa Barat
Gambar. Model Transformasi Struktur Ekonomi Berbasis Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan
146
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.
Kesimpulan
6.1.1. Hasil Temuan Analisis Simulasi Input-Output Sumbawa Barat dan Keunggulan Komparatif Wilayah Secara ringkas hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama masa operasi dan setelah penambangan berakhir ada indikasi kuat bahwa ekonomi daerah tidak dapat pulih seperti saat beroperasinya tambang saat ini karena pendapatan daerah dari tambang (pajak maupun non pajak) akan berakhir seiring dengan berakhirnya masa penambangan. Namun dari hasil penelitian ini dapat ditentukan arah transformasi struktur ekonomi selain pertambangan, yang justru dapat didukung sejak awal oleh kekuatan ekonomi pertambangan sekarang, yaitu untuk membangkitkan sektor-sektor ekonomi unggulan berbasis sumberdaya lokal terbarukan (pertanian dalam arti luas) dengan memperkuat keterkaitan antar sektor maupun dampak pengganda sektor melalui penggunaan barang dan jasa di Sumbawa Barat secara optimal untuk memperkecil efek pengurasan (backwash effect) yang terjadi selama ini. Meskipun dampak ekonomi tambang sangat besar yaitu Rp. 9,527 triliun (95,03 %) terhadap PDRB (2006) sulit tergantikan, dan peran pertanian sebesar Rp. 195,380 milyar (33,60 %), namun arah transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sektor-sektor sumberdaya lokal terbarukan (pertanian dalam arti luas) serta sektor non tambang lainnya untuk dikembangkan dalam jangka pendek, menengah dan panjang di Kabupaten Sumbawa Barat dapat diketahui. Dari hasil simulasi ditunjukkan bahwa jika pertambangan di asumsikan habis saat ini maka peran sektor pertanian sebesar 33,60% (sumberdaya terbarukan), perdagangan hotel dan restoran 20.97 %, bangunan 17.16 %, jasa-jasa 14.17% serta transportasi dan komunikasi 10.05%. Dari sisi keterkaitan antar sektor, arah transformasi pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat mendorong permintaan (demand driven) menurut rangking nilai indeks keterkaitan langsung kebelakang (direct backward linkage) dan keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang (direct and indirect backward linkage) justru bukan pertambangan (pertambangan ranking ke-15), melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan
minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, angkutan darat serta jasa-jasa lainnya Dari sisi keterkaitan antar sektor, arah transformasi pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat mendorong penawaran (supply driven) menurut rangking nilai indeks keterkaitan langsung kedepan (direct forward linkage) dan keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan (direct and indirect forward linkage) juga bukan pertambangan (pertambangan ranking ke-13), melainkan sektor terbarukan seperti pertanian padi, perikanan, peternakan, pertanian pangan lainnya serta perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah listrik, gas dan air bersih, perdagangan, angkutan darat, industri makanan dan minuman, komunikasi, industri pengolahan lainnya serta jasa-jasa lainnya. Dari sisi nilai dampak pengganda (multiplier effect) yang besar untuk a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pengganda pendapatan rumah tangga b. menarik minat investor menanamkan modalnya berdasarkan pengganda surplus usaha c. meningkatan kemampuan fiskal pemerintah berdasarkan pengganda pendapatan pajak d. meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengganda nilai tambah total. Arah transformasi pengembangan sektor ekonomi dari dampak pengganda tersebut justru bukan pertambangan (pertambangan ranking ke-17) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya serta sektor non tambang lainnya seperti industri makanan dan minuman, industri tekstil, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, bangunan, angkutan lainnya, jasa-jasa lainnya, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi serta angkutan darat. Sedangkan arah transformasi pengembangan sektor berdasarkan dampak pengganda tenaga kerja lima belas sektor terbesar berdasarkan ranking adalah industri makanan dan minuman, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan lainnya, hotel dan restoran, perdagangan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, peternakan, jasajasa lainnya, angkutan darat, perikanan, komunikasi, perkebunan, pertanian padi dan pertanian pangan lainnya. Pertambangan berada pada ranking ke kedua karena banyak menyerap lapangan kerja dari luar Sumbawa Barat pada masa operasi dengan perbandingan tenaga kerja yang berasal dari Sumbawa Barat sebanyak 1,390 orang (33%), non Sumbawa Barat 2,847 orang (67%) dengan total tenaga kerja pada tahun 2007 sebayak 4,237 orang (100%).
148
Berdasarkan hasil temuan simulasi Model Leontif input-output dari sisi keterkaitan antar sektor maupun dampak pengganda menunjukkan bahwa rantai bisnis dan industri berbasis pertanian yang di dukung oleh air bersih dan pasokan energi listrik yang memadai adalah paling strategis untuk dijadikan arah pembangunan untuk percepatan proses transformasi struktur ekonomi menuju keberlanjutan dan kemandirian pembangunan wilayah Kabupaten Sumbawa Barat. Basis-basis pertanian utama yang perlu dikembangkan adalah peternakan, perikanan, perkebunan serta tanaman pangan dan hortikultura. Termasuk bagian yang tak terpisahkan dari basis pertanian yang diperlu dikembangkan adalah pengelolaan sumberdaya hutan, terutama untuk mendukung pengembangan sistem pasokan sumberdaya air dan energi listrik yang kompetitif. Pengembangan rantai bisnis dan industri berbasis pertanian tersebut dipridiksikan akan mampu mendorong 1) perkembangan rantai aktifitas ekonomi secara keseluruhan 2) laju pertumbuhan ekonomi 3) peningkatan kapasitas fiskal pemerintah 4) peningkatan daya tarik bisnis bagi dunia usaha 5) peningkatan serapan tenaga kerja dan 6) peningkatan pendapatan masyarakat di Kabupaten Sumbawa Barat. Hasil temuan model Leontif juga didukung oleh hasil temuan keunggulan komparatif wilayah (model location quotient) di Sumbawa Barat yang menunjukkan bahwa Kabupaten tersebut merupakan tempat pemusatan beberapa komoditi pertanian dari aspek produksi seperti penangkapan ikan di danau, budidaya ikan tambak, penangkapan ikan waduk/dam, peternakan, kedelai, jagung dan padi. 6.1.2. Hasil Temuan Pembangunan
Peran
Penganggaran
untuk
Memperbaiki
Kinerja
Sementara itu alokasi anggaran daerah saat ini tidak ditujukan untuk pengembangan sektor pertanian yang menjadi sektor basis Sumbawa Barat selama masa operasi dan antisipasi pasca tambang, kecilnya alokasi pendapatan daerah dari tambang (sebesar 32% menurut UU/32/2004) turut menambah masalah tersebut. Belum terdapat alokasi anggaran untuk memperbaiki kinerja pembangunan kearah transformasi struktur ekonomi berbasis sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan di Sumbawa Barat. Alokasi anggaran dan kerjasama penganggaran antar daerah untuk pengembangan basis-basis pertanian utama tersebut sesuai dengan sebaran sumberdayanya diketahui mampu meningkatkan 1) laju pertumbuhan ekonomi 2) kapasitas fiskal pemerintah 3) kesejahteraan masyarakat dan 4) partisipasi ekonomi masyarakat. Walaupun demikian, intensitas pengaruh tersebut masih pada level belum elastis dengan indikasi bahwa transformasi struktur ekonomi dapat dipercepat melalui alokasi anggaran dan kerjasama penganggaran antar daerah untuk
149
basis-basis pertanian utama tersebut, dimana level alokasi saat ini masih terlalu rendah dari level yang dibutuhkan. Artinya penganggaran rantai bisnis dan industri berbasis pertanian yang di dukung oleh air bersih dan pasokan energi listrik di Kabupaten Sumbawa Barat secara relatif berada dibawah rata-rata 34 Kab/Kota di tiga Propinsi yakni Bali, NTB dan NTT sehingga arah transformasi penganggaran di masa depan adalah meningkatkan pengangaran bidang-bidang yang masih rendah tersebut. 6.1.3. Hasil Temuan Analisis Isi (content analysis) Peraturan Perundangan dan Perubahan Kebijakan Dari hasil analisis isi peraturan perundangan diketahui bahwa transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan sesuai dengan hasil model Leontif input-output dan model keuggulan komparatif wilayah dalam penelitian ini masih sulit dilakukan jika merujuk pada UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan karena tidak mengatur mengenai aspek nilai tambah dan penggunaan potensi sumberdaya lokal setempat (tenaga kerja, bahan baku, kemitraan pengusaha lokal). Sedangkan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara sudah mengatur tentang nilai tambah yakni melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang didalam negeri, mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, mengikutsertakan pengusaha lokal serta keterlibatan perusahaan jasa pertambangan lokal/atau nasional dalam konsultasi dan perencanaan. Namun demikian UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara yang disyahkan tgl 12 Januari 2009 masih belum ada pengaturan transformasi ekonomi pasca tambang. Proses transformasi struktur ekonomi juga belum mendapat dukungan dari sisi realitas perilaku stakeholder yang diindikasikan dengan belum berkembangnya kesadaran, komunikasi dan jaringan kerjasama. Yang tercakup kedalam para stakeholder tersebut adalah Departemen Energi Sumberdaya Mineral, Komisi VII DPR RI, Pemda Sumbawa Barat, DPRD Sumbawa Barat, PT. Newmont Nusa Tenggara, kalangan pendidikan dan akademisi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Persoalan transformasi struktur ekonomi saat tambang beroperasi dan pasca penambangan belum terantisipasi dengan baik karena belum berkembangnya wacana pihak-pihak di daerah kearah pengembangan ekonomi lokal terbarukan pasca tambang. Kondisi status quo seperti ini juga disebabkan karena Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah yang ada belum mengatur antisipasi ekonomi daerah pasca tambang maka peluang terjadinya ghost town/regency akan tetap besar
150
6.2.
Saran dan Rekomendasi
1.
Sebagai negara yang memiliki kekayaan sumberdaya mineral, Indonesia perlu melakukan benchmarking dengan negara-negara yang telah berhasil mengelola sumberdaya mineral misalnya Norwegia, Australia dan Canada untuk menghindari terulangnya kasus tambang timah selama 180 tahun di Dabo Singkep yang akhirnya menjadi ghost town setelah pertambangan berakhir.
2.
Perlu dirumuskannya paradigma baru kebijakan pertambangan di tingkat nasional (nasional policy) yakni tafsir pembangunan berkelanjutan sektor pertambangan sebagai bentuk transformasi pertambangan ke sektor lainnya mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan secara terintegrasi sebelum tambang beroperasi, pada masa operasi dan pasca tambang. Hal ini perlu dilakukan mengingat sektor pertambangan tidak dapat berdiri sendiri, perlu sinergi dan sinkronisasi dengan Undang-Undang Perencanaan Pembangunan Nasional (RPJMN), UU/32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU/33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta Undang-Undang lainnya.
3.
Negara sebagai pemilik sumberdaya alam perlu mempertimbangkan kepemilikan saham (golden share) tanpa menyertakan modal dalam pengelolaan sumberdaya alam sesuai dengan amanat UUD 45 pasal 3 “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Nilai ekonomi sumberdaya yang memiliki posisi strategis didalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya memiliki rent lokasi (locational rent) sedangkan Ricardian rent adalah rente sumberdaya berdasarkan kekayaan dan kesusuaian sumberdaya yang dimiliki untuk berbagai penggunaan aktifitas ekonomi, rente tidak lain adalah residual setelah seluruh biaya dibayarkan dan biasanya diterima oleh pemilik sumber daya.
4.
Perlu dirumuskan grand strategy dan peta jalan (road map) yang merupakan exit strategy pengelolaan pertambangan di Sumbawa Barat yang mengarah pada transformasi perubahan struktur ekonomi untuk mengantisipasi habisnya pertambangan yang bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) dengan kendala masa operasi tambang yang pendek dan cadangan yang terus menipis ke sumberdaya lokal terbarukan (renewable resources).
5.
Sebagai konsekuensi dari butir 2 di atas perlu dilakukan revisi terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Sumbawa Barat 2010-2015 dengan rumusan program secara terarah, sistematis, terukur dan terencana dalam instrumen kebijakan perencanaan APBD tahunan Sumbawa Barat.
151
6.
Arah transformasi revisi RPJMD Sumbawa Barat adalah perubahan struktur ekonomi yang saat ini didominasi oleh pertambangan ke sektor pertanian dalam arti luas serta didukung oleh peningkatan penganggaran pada sektor tersebut dalam APBD sebagai instrumen kebijakan utama penganggaran. Menurut hasil temuan penelitian, hal ini perlu dilakukan mengingat penganggaran Kabupaten Sumbawa Barat untuk sektor pertanian relatif rendah dibandingkan dengan 34 Kab/Kota di tiga Propinsi Bali, NTB dan NTT.
7.
Salah satu syarat keberhasilan transformasi adalah meningkatkan kapasitas dan kemampuan fiskal Kabupaten Sumbawa Barat yang secara relatif lebih rendah dibandingkan 34 Kab/Kota di tiga Propinsi Bali, NTB dan NTT. Hal strategis yang perlu diperjuangkan dan dipertimbangan oleh pemerintah pusat maupun pemangku kepentingan lainnya terhadap Kabupaten Sumbawa Barat sebagai Kabupaten penghasil adalah perlunya kepemilikian saham tanpa menyertakan modal (golden share) yang wajar.
8.
Perlu dirumuskannya Peraturan Pemerintah yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk perumusan Peraturan Daerah baik di Sumbawa Barat maupun daerah lainnya
tentang
peningkatan
nilai
tambah
sektor
pertambangan
yang
memprioritaskan penggunaan sumberdaya lokal secara optimal untuk aspek tenaga kerja, potensi sumberdaya lokal daerah setempat, kemitraan dengan pengusaha lokal serta keterlibatan perusahaan jasa pertambangan lokal/atau nasional dalam konsultasi dan perencanaan. 9.
Para pihak (stakeholder) yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, korporat dan masyarakat madani (civil society) perlu duduk bersama untuk mendorong keterbukaan, transparansi dan partisipasi dalam merumuskan kebijakan pembangunan pasca tambang menjadi sebuah diskursus terbuka. Upaya ini diharapkan dapat mempersiapkan kebijakan pembangunan daerah pasca tambang, kebijakan CSR dan program pemberdayaan masyarakat perusahaan serta perbaikan perencanaan dokumen tutup tambang PTNNT sehingga hasil-hasil pertambangan dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat pada masa operasi maupun pasca tambang.
10.
Melakukan sosialisasi hasil penelitian pada pengguna (user) didaerah yakni pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, DPRD KSB, PTNNT dan departeman energi dan sumberdaya mineral.
11.
Apabila pemerintah pusat dan daerah belum siap secara institusional, perut bumi adalah tempat yang paling aman menyimpan sumberdaya mineral, minyak dan gas (Stiglizt, 2007).
152
DAFTAR PUSTAKA
Auty, R, 1993. Sustaining Development in Mineral Economic : The Resource Curse Thesis. London. Routledge Anwar, A. 2001. Kerangka Ekonomi Fundamental Dalam Menghadapi Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bahan kuliah mata kuliah ekonomi sumberdaya alam Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Anwar, A. 2001. Dampak Kelembagaan Hak-Hak Akses dan Penguasaan Sumberdaya Kepada Pengelolaannya (Property Right Institution In Resources Management). Bahan Kuliah Eknomi Sumberdaya Alam – PPs PWD IPB. Tidak dipublikasikan. Anwar, A. 1999. Desentralisasi Spasial Melalui Pembangunan Agropolitan, dengan Mereplikasi Kota-Kota Menengah Kecil di Wilayah Pedesaan. Makalah Lokakarya Pendayaan Sumberdaya Pembangunan Wilayah di Prop. Riau. Tgl. 7-8 Oktober 1999. Tidak dipublikasikan. Agenda 21 Sektoral. 2000. Buku 1. Seri Panduan Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan. Membuat Pembangunan Berlanjut. Upaya Mencapai Kehidupan yang Makin Berkualitas. Proyek Agenda 21 Sektoral. Kerjasama Kantor Menteri Lingkungan Hidup dengan UNDP. Jakarta Agenda 21 Sektoral. 2000. Buku 2. Seri Panduan Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan. Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan. Upaya Mencapai Kehidupan yang Makin Berkualitas. Proyek Agenda 21 Sektoral. Kerjasama Kantor Menteri Lingkungan Hidup dengan UNDP. Jakarta Agenda 21 Sektoral. 2000. Buku 3. Seri Panduan Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan. Indikator Pembangunan Berkelanjutan. Upaya Mencapai Kehidupan yang Makin Berkualitas. Proyek Agenda 21 Sektoral. Kerjasama Kantor Menteri Lingkungan Hidup dengan UNDP. Jakarta Agenda 21 Sektoral. 2001. Agenda Pertambangan Untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Kerjasama UNDP dan Kantor MENLH. Jakarta Amin, A.B. Azahari, H.L. Suhendra, D.I. Hutapea, H. Simanjuntak, T. Daud, H. Suharyono, Suyartono, 2003. Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan (HuluHilir dan Pengembangan Wilayah/Masyarakat) dalam Suryanto (editor). Good Mining Practice. Konsep tentang Pengelolaan Pertambangan yang Baik dan Benar. Studi Nusa Semarang. Semarang, p. 202-224
BPS, 2006. PDRB 33 Propinsi dan Kab/Kota se-Indonesia 2000-2006. BPS. Jakarta. 2006 Bachriadi, D. 1998. Merana Ditengah Kelimpahan. Jakarta. ELSAM Borg, W.R., and M.D. Gall. 1989. Educational Research: An introduction. New York: Longman. Conrad JM, Clark C.W. 1999. Natural Resource Economics. Cambrige University Press. Canbridge.UK. Fraenkel, J.R., and E.W. Norman. 1996. How to Design and Evaluate Research in Education. New York. McGraw - Hill,Inc. Gunawan, I. 1994. A Methodological Approach to Sustainable Resources in Indonesia: Integrating Geografic Information Systems, Mathematical Modeling, and Expert Systems. Dsertasi. Departement of Geography. Texas. A&M University Humpreys, M. Sach, J.D dan Stiglitz, J.E. 2007. Apakah Masalah Kekayaan Sumberdaya Alam?, dalam Humpreys (editors): Escaping The Resource Curse. Columbia University Press. Columbia. p. 1-24 Humpreys, M and Sandhu, ME. 2007. Ekonomi Politik Dana Sumberdaya Alam (editors): Escaping The Resource Curse. Columbia University Press. Columbia. p. 224272 Hadi, P. S. 2001. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Henderson, K.A. 1991. Dimensions of Choice : A Qualitative Approach to Recreation, Parks, and Leisure Research. PA: Venture Publishing, Inc. Indonesian Mining Assosiation (IMA). 2006. 30 tahun IMA Dedikasi Industri Pertambangan Bagi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. IMA. Jakarta. Institute of Development Studies. 2006. Understanding policy processes. A review of IDS research on the environment. University of Sussex. Bringhton. UK. Indahsari, K. 2001. Penentuan Prioritas Pembangunan Berdasarkan Tingkat Perkembangan Kecamatan dan Potensi Wilayah. Tesis tidak dipublikasikan. 8 Februari 2001. IPB
153
Karl, T.R. 2007. Memberi Jaminan Keadilan (dasar pemikiran bagi sebuah kontrak sosial fiskal yang transparan) dalam Humpreys (editors). Escaping The Resource Curse. Columbia University Press. Columbia. p. 298-334 Kontrak Karya Antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara, 1986. Jakarta Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Envirinment and Development). 1988. Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future). Gramedia. Jakarta Krippendorff, K. 1980. Content Analysis : an introduction to its methodology. Beverly Hills: Sage Publications. Laporan Pengembangan Masyarakat (Community Development) PT. Newmont Nusa Tenggara, 2005. Benete. Sumbawa Barat. LPEM UI. 2006. Dampak Ekonomi dan Sosial PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) Bagi Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Sumbawa Barat. LPEM UI. Jakarta Malanuang, L. 2002. Analisis Dampak Ekonomi dan Sosial Tambang Emas dan Tembaga Bagi Masyarakat Komunal dan Pembangunan Wilayah Propinsi NTB (Studi Kasus Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara). Tesis tidak dipublikasikan. 30 Oktober 2002. IPB Munasinghe, M. 1993. The Economist’s Approach ti Sustainable Development bab dari Making Development Sustainable: From Concepts to Action. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Washingto D.C. USA. Margo, Y. 2005. Model Transformasi Struktur Ekonomi Wilayah dari Berbasis Sektor Pertambangan ke Sektor Pertanian (tesis tidak dipublikasikan). Mei 2005. IPB Nazara, S. 2005. Analisis Input Output. Lembaga Penerbitan LPEM UI. Jakarta Riffe, D., S. Lacy, and F.G. Fico. 1998. Analyzing Media Messages: Using Quantitative Content Analysis in Research. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates. Rosylin, Leni. 2008. Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan). Tesis IPB. 2008. Tidak dipublikasikan.
154
Saefulhakim, S (2009). Model dan Instrumen Pemetaan Potensi Ekonomi Daerah. Modul Pelatihan Ditjen Bina Bangda Depdagri (tidak dipublikasikan). Agustus 2009. Jakarta. Saefulhakim, S (2000). Modul Praktikum Pemodelan (tidak dipublikasikan). Juni 2000. IPB Sembiring, SF (2009). Jalan Baru untuk Tambang: Mengalirkan Berkah Bagi Anak Bangsa. Elex Media Komputindo. Jakarta. P.197 Saleng, A. 2004. Hukum Pertambangan. UII Press. Yogyakarta Seragaldin, I. 1993. Making Development Sustainable bab dari Making Development : From Concepts to Action. The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. Washington D.C. USA Seragaldin, I dan Steer, A. 1993. Epilog: Expanding the Capital Stok bab dari Making Development Sustainable: From Concepts to Action. The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. Wasington D.C. USA. Stiglitz, E.J. 2007. Seperti Apa Peranan Negara? dalam Humpreys (editor). Escaping The Resource Curse. Columbia University Press. Columbia. p. 27-61 Salim, E. 1990. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES. Jakarta. Sutton, R. 1999. The Policy Process : an Overview. Working Paper 118. Overseas Development Institute. Portland House House Stag Place, Chameleon Press Ltd, London SW1E 5DP. Sunarto, A. 2007. Analisis Keterkaitan Antara Pola Penganggaran Dengan Kinerja Pembangunan di Wilayah Jawa Bagian Barat. (tesis tidak dipublikasikan). Maret 2007. IPB Sigit, S. 1996. Pidato Pemberian Gelar “doctor honoris causa” dari ITB kepada Drs. Sutaryo Sigit. 9 Maret 1996. ITB. Bandung. Sigit, S. 2004. Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia (Kumpulan Tulisan S. Sigit 1967-2004). Yayasan Minergy Informasi Indonesia. Jakarta. Steer, A dan Ltuz, E 1993. Measuring Environmentally Sustainable development bab dari Making Development Sustainable: From Concepts to Action. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Wasington D.C. USA. Suparmoko, M. 1994. Penghitungan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Konsep, Metode dan Aplikasinya. Jurnal Ekonomi Lingkungan edisi kelima. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Saefulhakim, S. 2005. Materi Studio Penataan Ruang dan Pengembangan Kawasan. Bogor. Fakultas Pertanian. IPB. (tidak dipublikasikan)
155
Todaro, M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi ke 6. (alih bahasa oleh Drs. Haris Munandar, M.A). Penerbit Erlangga. Jakarta. Tietenberg, T. 2000. Environmental and Natural Resources Economics. 5th ed. AddisonWesley. Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. 1967. Jakarta Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 1967. Jakarta Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD). Jakarta. Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Jakarta Pearce. D. 1993. Blueprint 3. CSERGE. Sustainable Economic Development is Continuosly Rising, or at least non-declining, Consumption per Capita, or GNP, or Whatever the Agreed indicator of Development is. London. Earthscan Publications. Pearce, D and Barbier, E. 2000. Sustainable Development: Economics and Environment in the Third World, Earthscan Publications Ltd. Wibowo, RS. 2005. Studi awal Transparansi Ekonomi Ekstraktif di Indonesia. Transparancy International Indonesia. Jakarta. (makalah tidak dipublikasikan) Wanmali, S. 1992. Rural infrastructure, The Settlement System, and Development of The Regional Economy in Southern India. International Food Policy Research Institute.
156