PENGELOLAAN SUMBERDAYA TANAH RAMAH LINGKUNGAN MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN Ali Jamil, Maswar dan Husnain Balai Penelitian Tanah, Bogor
ABSTRAK Sumberdaya tanah Indonesia sangat potensial untuk memenuhi target ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Sebagai gambaran total luasan lahan basah sekitar 40,2 juta Ha baru dimanfaatkan untuk sawah seluas 8,1 juta Ha, demikian juga dari total luasan lahan kering 148 juta ha terdiri dari 102,8 juta ha adalah lahan kering masam dan 45,2 juta Ha lahan kering tidak masam. Potensi lahan sawah dan lahan kering untuk dikembangkan masih sangat luas. Demikian juga luasan lahan gambut sekitar 14,9 juta Ha sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun demikian, pengelolaan tanah yang tidak sesuai dengan harkatnya menimbulkan berbagai permasalahan degradasi lahan dan penurunan kualitas produk pertanian. Dengan demikian, perlu digalakkan kembali program pertanian yang ramah lingkungan untuk tercapainya pertanian berkelanjutan. Pertanian ramah lingkungandidefinisikan sebagai sistem pertanian berbasis ekologi dan memiliki konsep keberlanjutan hasil pertanian yang tinggi serta menguntungkan secara ekonomi.Berbagai teknologi pertanian ramah lingkungan yang dapat dikembangkan untuk lahan sawah diantaranya adalah pemupukan berimbang organik dan anorganik, mengembalikan jerami dan pemberian pupuk organik, teknologi remediasi/bioremediasi dan fitoremediasi, perbaikan sistem irigasi, penggunaan bio pestisida, rotasi tanaman dan mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK). Beberapa teknologi pengelolaan lahan keringramah lingkungan diantaranya adalah konservasi tanah dan air secara vegetatif, mekanik dan kimia, pengelolaan bahan organik dan sisa tanaman, pemanfaatan mikro flora tanah multiguna (MTM), pertanian efisien karbon (CEF). Sedangkan teknologi pengeloaan lahan gambut ramah lingkungan terutama adalah pengelolaan tata air dan penggunaan bahan amelioran (bahan mineral).
Kata kunci: pengelolaan, sumberdaya tanah, ramah lingkungan, berkelanjutan
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini akibat dari sistem pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan harkatnya, berbagai permasalahan degradasi lahan dan kualitas produk pertanian mulai bermunculan. Penggunaan obat-obatan kimia dalam kurun waktu yang panjang misalnya, telah berdampak pada kepunahan musuh alami hama dan penyakit, dan kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi biota tanah. Pada sisi lain, dalam cakrawala komunikasi dan forum internasional perubahan iklim, pertanian sering dinilai dan dicitrakan sebagai salah satu penyebab perubahan iklim melalui: (a) driver utama deforestasi dan pembukaan lahan gambut; (b) degradasi lahan akibat penelantaran dan pembiaran atau pemanfaatan lahan konsesi yang tidak optimal; (c) kebakaran lahan gambut dan pembukaan lahan; dan (d) lahan sawah sebagai sumber gas rumah kaca (metana, CO2, N2O, dll). Berkaitan dengan berbagai permasalahn tersebut, konsep pertanian ramah lingkungan mulai diimpementasikan serta digalakkan dalam rangka mendukung upaya mencapai swasembada pangan dan pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian ramah lingkungan, merupakan salah bagian dari sistem pengembangan pertanian berkelanjutan, yang dapat terlaksana, bila memenuhi lima pilar, yaitu (a) produktif, (b) beresiko kecil, (c) tidak menimbulkan degradasi lahan dan air, (d) menguntungkan secara ekonomi jangka panjang dan (e) diterima oleh masyarakat. Pertanian ramah lingkungan itu sendiri didefinisikan sebagai sistem pertanian berbasis ekologi dan memiliki konsep keberlanjutan hasil pertanian yang tinggi serta menguntungkan secara ekonomi. Sesuai dengan konsep Good Agricultural Practices (GAP) dari FAO yang mendefinisikan pertanian yang baik adalah "practices that address
environmental, economic and social sustainability for on-farm processes, and result in safe and quality food and non-food agricultural products" (FAO COAG 2003 GAP paper). Menurut Sumarno
(2006) terdapat 4 komponen penciri pertanian ramah lingkungan yaitu: 1) pengendalian erosi dan aliran permukaan untuk mitigasi degradasi lahan, 2) bebas dari cemaran polutan yang berasal dari luar usahatani, 3) rendah emisi gas rumah kaca dan 4) produk pertanian bebas residu dan aman konsumsi.
Konsep pertanian ramah lingkungan ini dapat diimplementasikan dengan baik apabila potensi dan tantangan sumberdaya lahan pertanian juga diketahui dengan baik. Sejalan dengan UU No. 41/2009 dimana untuk keperluan kemandirian, keamanan dan ketahanan pangan maka diperlukan upaya penyelamatan lahan pertanian pangan. Dalam upaya mengimplementasikan sistem pertanian yang sehat dan sekaligus ramah lingkungan, maka beberapa yang yang perlu ditindak lanjuti adalah: (1) memproduksi bahan makanan yang berkualitas tinggi (bebas dari senyawa/polutan anorganik racun) dalam jumlah yang cukup, (2) memperbaiki dan mendukung siklus biologis dalam usaha tani dengan memanfaatkan mikrobia, flora dan fauna tanah serta tumbuhan dan tanaman, (3) mengelola dan meningkatkan kelestarian kesuburan tanah, (4) meminimalkan segala bentuk kerusakan dan polusi dalam tanah, serta (5) memanfaatkan dan menghasilkan produk pertanian organik yang mudah dirombak dari sumber yang dapat didaur ulang. Dalam makalah ini dibahas tentang potensi sumberdaya lahan, yaitu lahan basah (termasuk lahan sawah), lahan kering dan lahan gambut serta tantangan dan kendala dalam pengelolaannya. Disamping itu juga dibahas mengenai manajemen pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan untuk berbagai kondisi agroekosistem lahan.
Potensi Sumberdaya Tanah dan Kesesuaian Lahan Potensi sumber daya lahan Indonesia cukup besar, yang mana berdasarkan atlas sumber daya tanah eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000, luas wilayah daratn Indonesia sekitar 188,20 juta ha (Puslitbangtanak, 2000) yang terdiri atas 148 juta ha lahan keringdan 40,20 juta ha lahan basahtermasuk lahan rawa (gambut, pasang surut, lebak) dan lahan yang sudah menjadi sawah permanen, dengan jenis tanah, iklim, fisiografi, bahan induk (volkan yang subur), dan elevasi yang beragam. Dari luasan tersebut, lahan yang telah digunakan terdiri dari lahan sawah seluas 8,1 juta Ha (data audit lahan oleh Kementan 2011), lahan kering masam sesuai untuk kawasan budidaya pertanian adalah 62,6 juta Ha (BBSDLP, 2012). Luas lahan kering yang telah dimanfaatkan hingga sekarang belum dapat dipastikan. Luasan lahan yang telah dimanfaatkan masih terlalu kecil dibandingkan dengan total luasan lahan yang ada. Meskipun lahan yang belum dimanfaatkan memiliki kendala yang tidak kalah besar namun dengan inovasi teknologi dan effort yang tinggi untuk mencapai target swasembada pangan serta surplus beras maka upaya ini diperlukan.
Potensi dan kendala pemanfaatan sumberdaya lahan untuk pertanian
a. Agroekosistem Lahan basah/sawah
Total luas lahan basah di Indonesia adalah 40 juta ha yang sebagian besar berupa hutan, semak belukar dan rumput rawa yang belum dimanfaatkan, dan berada pada lahan gambut, pasang surut ataupun lebak. Sedangkan sebagian kecil sudah berupa sawah yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah pasang surut, dan sawah lebak, dengan total 8,1 juta Ha (audit lahan Kementan, 2011), serta perkebunan kelapa, kelapa sawit, dan hutan tanaman industri (HTI). Lahan sawah, adalah lahan yang pengelolaannya memerlukan genangan air dengan permukaan datar yang dibatasi pematang berada dalam hamparan atau terasering serta ditanam padi sawahterus-menerus atau bergiliran dengan tanaman lain. Lahan sawah yang sehat adalah lahan sawah yang mempunyai kesuburan fisik, kimia, dan biologi dalam kondisi optimum, lapisan/bidang olah >25 cm. Emisi metan dari lahan sawah Sesuai dengan karakteristiknya yaitu memerlukan genangan air, maka lahan sawah merupakan salah satu sumber emisi gas metan (CH 4) ke atmosfer yang signifikan (Sass et al, 1999). Dari hasil estimasi emisi CH4 dari sektor pertanian yang mencapai 205-245 Tg CH4/tahun, 60-100 Tg CH4/tahun dihasilkan dari lahan sawah (Duxbury dan Mosier, 1997). Aplikasi bahan organik segar pada lahan sawah dalam kondisi tergenang akan menstimulir terjadinya kondisi reduktif dan meningkatkan aktivitas bakteri metanogen, sehingga memicu terjadinya dekomposisi secara anaerob yang menghasilkan metan. Tingkat kesuburan lahan sawah (status hara P dan K tanah) telah diteliti dan dipetakan pertama kali oleh Pusat Penelitian Tanah pada tahun 1970 dan kemudian diperbaiki dan disempurnakan untuk 22 provinsi sentra produksi beras pada tahun-tahan selanjutnya. Hasil pengamatan tahun 1995-2000 dibandingkan data tahun 1970an menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan sawah intensifikasi telah mengalami akumulasi hara P dan K di dalam tanah akibat pemupukan yang intensif selama periode revolusi hijau (Setyorini et al., 2003). Hasil updating peta status hara P dan K tahun 2010-2011 di Pulau Jawa menunjukkan trend yang berbeda, dimana status hara K tanah
sawah mengalami penurunan dan status P tanah meningkat akibat penggunaan pupuk yang tidak berimbang (Setyorini et al, 2011). Permasalahan lahan sawah yang umum ditemukan adalah: degradasi tanah sawah, leveling off produktivitas akibat menurunnya kesuburan tanah, soil sickness/fatigueakibat menurunnya kualitas tanah sawah seperti kandungan C-organik yang rendah (<2%), eutrofikasiakibat pengkayaan hara sehingga terjadi pendangkalan badan air dan kelangkaan dan penurunan kualitas air. Hasil penelitian Kasno (2000), 65% lahan sawah memiliki kandungan C organik rendah dari 2%. Penurunan kandungan C organik ini akibat tidak kembalinya bahan organik ke dalam tanah. Pengembalian residu tanaman belum menjadi budaya petani sehingga dalam jangka panjang ini akan berdampak permanen pada penurunan kesuburan tanah atau degradasi lahan. Program Kementerian Pertanian dalam upaya mempertahankan ketahanan pangan nasional adalah peningkatan produksi beras minimal 5% per tahun serta pencapaian surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014 yang dilaksanakan antara lain dengan perbaikan varietas padi melalui bantuan benih padi unggul bersertifikat, pupuk an-organik dan pupuk organik serta bimbingan dan pelatihan metode Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Kontribusi lahan sawah irigasi dalam peningkatan produktivitas padi sangat nyata, namun demikian dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir luas lahan sawah intensif/irigasi semakin menciut dengan laju sekitar 40-50 ribu ha per tahun tanpa diimbangi dengan pencetakan sawah baru yang setara. Penerapan teknologi pengelolaan tanaman serta tanah, air dan pupuk harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi agar selaras dengan potensi produksinya. Perluasan areal pertanian dilakukan dengan program pencetakan sawah baru di luar Jawa. Pencetakan sawah baru di Indonesia dapat berasal dari tanah kering (dry land) dan tanah basah (wetland), keduanya membutuhkan penanganan yang benar. Masing masing tanah tersebut mempunyai kendala kesuburan yang serius, disamping perlunya strategi pengaturan air.Pencetakan sawah baru dari lahan kering di luar pulau Jawa umumnya didominasi tanah jenis Oksisols, Ultisols dan Inseptisols. Produksi padi sawah bukaan baru yang berasal dari tanah kering masam tergolong rendah karena terdapatnya beberapa kendala yaitu (1) belum efektifnya pemanfaatan air berkaitan dengan belum terbentuknya lapisan tapak bajak ( plow pan), (2) rendahnya efisiensi pemupukan karena tingginya kehilangan hara akibat pelindian dan pencucian, (3) terjadinya perubahan fisiko kimia maupun biologi yang meningkatkan kelarutan beberapa unsur hara mikro yang meracuni tanaman dan (4) keracunan besi merupakan penyebab utama gagal panen (Anonymous, 2005).
b. Agroekosistem lahan kering
Secara umum usaha pertanian lahan kering di Indonesia didominasi oleh lahan suboptimal seperti lahan masam yaitu Ultisol dan Oxisol. Variasi iklim dan curah hujan yang relatif tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia mengakibatkan tingkat pencucian basa-basa di dalam tanah cukup intensif, sehingga kandungan basa-basa menjadi rendah dan tanah menjadi masam (Subagyo et al., 2000). Hal inilah yang menyebabkan sebagian besar tanah di lahan kering bereaksi masam (pH 4,65,5) dan miskin unsur hara, yang umumnya terbentuk dari tanah mineral. Mulyani et al. (2004) telah mengidentifikasi lahan kering masam berdasarkan data sumber daya lahan eksplorasi skala 1:1.000.000, yaitu dari total lahan kering sekitar 148 juta ha dapat dikelompokkan menjadi lahan kering masam 102,8 juta ha dan lahan kering tidak masam seluas 45,2 juta ha. Oleh karena itu pengembangan lahan sub-optimal lebih diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan non pangan. Pemanfaatan lahan kering tanpa tindakan konservasi tanah yang tepat menyebabkan terjadinya proses percepatan erosi dan longsor, baik pada lahan pertanian maupun pada lahan nonpertanian. Disisi lain, intensifikasi dan ektensifikasi areal pertanian juga merupakan faktor yang menyebabkan meluasnya kerusakan lahan, hal ini terjadi karena penggunaan pupuk anorganik (kimia) dan pestisida tanpa diimbangi oleh penggunaan bahan organik, sehingga cadangan hara dan bahan organik tanah terkuras. Penurunan kadar bahan organik dan hara tanah, pencemaran tanah oleh logam berat dan bahan kimiawi yang berasal dari sarana produksi pertanian juga merupakan faktor penyebab terjainya degradasi lahan. Dampak dari degradasi yang dipercepat ini adalah berupa penurunan produktivitas tanah, penurunan kualitas lingkungan, dan pemiskinan terutama masyarakat tani yang menggantungkan hidupnya dari pertanian. Menurut Hairiah,et al., (2000) pada umumnya tanah-tanah yang digunakan untuk usaha tani lahan kering khususnya di Indonesia sudah sangat rendah kandungan bahan organiknya (sekitar 0,5 – 1% C-organik) dibandingkan dengan kadar bahan organik tanah sejenis yang masih berupa hutan
sekunder yakni sekitar 1,5 – 4% C-organik atau hutan primer dengan 2 – 6% C-organik. Tanah hutan primer dan hutan sekunder setiap tahunnya menerima penambahan bahan organik sekitar 10 – 12 ton/ha yang berasal dari jatuhan dedaunan, ranting, dan pelapukan akar tanaman.
c. Agroekosistem lahan gambut
Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini (Sanderson et al., 2006). Disisi lain, ekosistemgambut sangat unik, rapuh dan memiliki sifat tidak dapat diperbaharui, proses pembentukannya memerlukan waktu ribuan tahun, bila terjadi kerusakan, sangat sulit untuk diperbaiki atau bahkan tidak bisa pulih sama sekali. Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Joosten dan Clarke, 2002; Hooijer et al., 2006), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer (Alex dan Joosten, 2008; Joosten, 2009). Khusus untuk Indonesia yang mewakili daerah gambut tropika, memiliki luas lahan gambut sekitar 14,93 juta hektar (BBSDLP, 2012), dan berdasarkan data kondisi tahun 2008 gambut Indonesia menyimpan cadangan karbon peringkat ketiga terbesar di dunia (setelah Kanada dan Rusia) yakni sekitar 54.016 Mega ton (Joosten dan Clarke, 2002). Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH 4) dan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer sehingga semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Meski memiliki fungsi strategis, namun alih fungsi atau reklamasi lahan gambut untuk dijadikan lahan pertanian maupun pemukiman serta untuk infrastruktur lainnya telah terjadi semenjak beberapa dekade terakhir dan masih terus berlangsung sampai sekarang. Sebagai gambaran telah terjadi konversi dan/atau pembuatan drainase terhadap lahan gambut dunia dapat dilihat dari laporan Alex dan Joosten (2008) yang mana seluas 65 juta hektar lahan gambut dunia telah didrainase, dan telah mengemisikan CO2 sebanyak 3 Giga ton per tahun. Khusus untuk Indonesia, menurut Hooijer et al.(2006) selama periode 1985 – 2000 sebanyak 20% atau rata-rata sebesar 1,3% per tahun hutan gambut alami telah ditebang dan/atau dikonversi untuk penggunaan lain, dan berdasarkan data konsesi Indonesia, menunjukkan bahwa 27% dari luas area konsesi untuk kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) berada pada lahan gambut, rinciannya adalah 28.009 km 2 untuk perkebunan kelapa sawit dan 19.923 km2 untuk HTI. Hasil kajian terbaru oleh Tim BBSDLP (2013) kondisi gambut Indonesia saat ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi penggunaan/penutupan lahan gambut Indonesia pada tahun 2013. Penggunaan lahan
Luas (juta ha)
%
Hutan
8,28
55,5
Perkebunan Sawit Semak/belukar
1,54 3,8
10,3 25,5
Lahan pertanian
0,7
4,7
0,61 14,93
4,1 100
Bekas Konsesi tambang Jumlah
Apabila terjadi konversi hutan gambut alami yang biasanyadiikuti dengan pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya menarik air (hidropobik) menjadi tidak dapat lagi menyerap air (irreversible drying). Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi kering (aerob) menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri pembusuk mulai mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka karbon yang tersimpan didalam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara dalam bentuk CO2.Pada sisi lain, drainase juga menyebabkan gambut memadat, kombinasi kedua proses tersebut yaitu drainase dan pemadatan menyebabkan permukaan lahan gambut mengalami penurunan (subsidence).
Gambut yang permukaannya menyusut/menurun akan lebih mudah kebanjiran. Gambut yang menyusut secara berlebihan bisa mencapai keadaan dimana lahan gambut tersebut menjadi tidak mungkin lagi didrainase (undrainable). Dalam keadaan demikian lahan tersebut hanya bisa dimanfaatkan untuk perikanan atau tanaman akuatik (tanaman yang beradaptasi untuk keadaan tergenang). Paludiculture (pemeliharaan tanaman dalam keadaan basah atau tergenang) merupakan suatu alternatif penggunaan lahan gambut yang sudah mencapai tingkat undrainable.Paludiculture juga bisa diterapkan untuk memperlambat emisi CO2 dari tanah gambut. Mengingat sangat kompleknya permasalahan yang timbul akibat salah kelola lahan khususnya untuk aktivitas pertanian sampai saat ini, maka perlu dilakukan penataan kembali lahan-lahan pertanian tersebut agar dapat dikelola secara optimal, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dimaksud, semestinya harus dipahami sebagai pertanian yang menerapkan prinsip dasar antara lain: (a) produksi dikontrol oleh keragaman sistem, (b) memadukan tanaman pohon – tanaman pangan – tanaman pakan – ternak – tanaman penutup tanah, (c) mempertahankan kesuburan tanah dengan menggunakan bahan organik, (d) hama dan penyakit dikontrol secara terpadu, dan (e) melaksanakan konservasi tanah dan air.
Pengelolaan Lahan Pertanian Ramah Lingkungan
1. Teknologi pengelolaan lahan sawah Teknologi pengelolaan lahan sawah umumnya banyak terkait dengan pemupukan berimbang, varietas, dan pengairan. Berikut teknologi pengelolaan lahan sawah yang berbasis ramah lingkungan:
a. Melakukan pemupukan berimbang hara makro, beneficial dan mikro
Pemupukan yang tepat dosis, waktu, jenis dan cara aplikasi merupakan persyaratan mutlak untuk teknologi pemupukan. Pemberian pupuk NPK saja tanpa diimbangi pupuk mengandung hara mikro dan beneficial seperti Si menyebabkan produktivitas tanah tidak optimal dan dalam jangka panjang defisiensi unsur mikro dan beneficial akan terjadi.
b. Mengembalikan jerami dan pemberian pupuk organik
Pengurasan hara yang terjadi setiap kali panen, apalagi dengan tingginya intensitas penanaman (IP hingga 3) tanpa diimbangi dengan pengembalian bahan organik dan residu tanaman akan mempercepat degradasi lahan. Aplikasi bahan organik atau sisa tanaman akan mengembalikan unsur hara mikro yang jarang diberikan petani.
c. Penggunaan Pupuk Hayati
Pemanfaatan mikroba unggul seperti mikroba pemfiksasi N, pelarut P dan pendekomposisi limbah pertanian sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah tanah.
d. Teknik remediasi/bioremediasi dan fitoremediasi
Lahan sawah yang tercemar umumnya dapat dipulihkan dengan teknik remediasi/bioremediasi dan fitoremediasi. Berbagai teknologi tersebut mudah diaplikasi untuk lahan sawah
e. Pemanfaatan pembenah tanah
Pembenah tanah merupakan suatu bahan yang dapat digunakan untuk mempercepat pemulihan/perbaikan kualitas tanah. Bahan baku pembenah tanah sangat bervariasi, seperti limbah pertanian meliputi sisa panen, kotoran ternakdan non pertanian seperti zeolit, sampah organik kota, limbah industri makanan, limbah industri agrokimia, dan mempunyai karakteristik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga kualitas pupuk organik dan pembenah tanah yang dihasilkan juga bervariasi mutunya.
f. Perbaikan sistem irigasi
Teknologi sistem irigasi telah mengimbangi kemajuan teknologi pemupukan dan budidaya. Teknologi irigasi macak/macak, intermittent telah diketahui dapat menurunkan resiko kekurangan air dan serangan hama tikus.
g. Penggunaan bio pestisida
Penggunaan pestisida dan herbisida pada lahan sawah sangat tinggi karena tingginya intensitas penanaman dan kekhawatiran petani gagal panen. Tingginya tingfkat penggunaan pestisida tersebut malah memicu sifat resistensi OPT sehingga beradaptasi dengan beberapa jenis pestisida. Untuk itu perlu penggunaan pestisida yang arif sesuai dengan petunjuk penggunaannya. Namun demikian, petani tetap didorong untuk menggunakan bahan bio pestisida dimana penggunaan bahan-bahan ini tidak akan meracuni lingkungan karena terurai secara cepat.
h. Rotasi tanaman
Tanaman perlu dirotasi agar ekosistem tanah menjadi sehat. Melalui akar, tanaman mengeluarkan berbagai asam organik, eksudat akar dan enzim-enzim sehingga bila tanah ditanami tanaman yang sama terus menerus tidak akan trejadi keseimbangan ekosistem dalam tanah. Rotasi tanah sawah dengan tanaman palawija setiap beberapa tahun sekali dapat meningkatkan biodiversitas mikroba dalam tanah sehingga ekosistem tanah menjadi sehat.
i. Mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK)
Mitigasi GRK dari lahan sawah menjadi salah satu kegiatan utama dalam agenda nasional. Tanaman pangan terutama padi sawah merupakan sumber utama emisi GRK terbesar sektor pertanian, maka beberapa teknologi mitigasi harus diterapkan, misalnya dengan penggunaan varietas padi rendah emisi, teknologi pemupukan N berdasarkan bagan warna daun (BWD), bahan organik, pengaturan air yaitu pengairan berselang ( intermittentirrigation), pengolahan tanah, serta penggunaan bahan penghambat nitrifikasi juga merupakan teknologi yang mampu menurunkan emisi GRK dari lahan sawah.
2.
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering a. Implementasi teknologi konservasi tanah dan air Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air, karena setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat tersebut dan tempat-tempat lain yang dialirinya.Jadi, pada prinsipnya konservasi tanah dan air adalah mengupayakan memperlambat laju aliran permukaan, sehingga meningkatkan kapasitas infiltrasi air masuk kedalam tanah, dan menekan laju erosi tanah.Penerapan teknik konservasi tanah dan air pada lahan usahatani di lahan kering dapat berupa: 1. Metode vegetatif Metode vegetatif adalah suatu cara pengelolaan lahan berlereng dengan menggunakan tanaman sebagai sarana konservasi tanah. Teknik vegetaif berupa penanaman vegetasi tetap, budidaya tanaman lorong, strip rumput, penggunaan mulsa,dan lain–lain. Penggunaan tanaman penutup tanah selain bertujuan untuk mencegah atau mengendalikan bahaya erosi juga dapat berfungsi memperbaiki struktur tanah, menambahkan bahan organik tanah, mencegah proses pencucian unsur hara dan mengurangi fluktuasi temperatur tanah. 2. Metode mekanik Cara mekanik adalah cara pengelolaan lahan kering yang berlereng dengan menggunakan sarana fisik seperti pembuatan terasering (teras bangku, gulud dan individu), bangunan dam pengendali, dam penahan, saluran pembuagan air, sumur resapan, embung, parit buntu (rorak), perlindungan kanan kiri tebing sungai dan lain–lain. Tujuannya untuk memperlambat aliran permukaan, dan mengurangi erosi. 3. Metode kimia Cara kimia yaitu dengan pemanfaatan bahan-bahan pemantap tanah dalam hal memperbaiki struktur tanah sehingga tanah akan tetap resisten terhadap erosi.Teknik kimiawi dapat berupa penggunaan bitumen zat kimia sebagai pembenah tanah (soil conditioner). b. Pengelolaan bahan organik dan sisa tanaman Salah satu upaya pengelolaan lahan yang relevan diterapkan pada usaha tani lahan kering adalah peningkatan kadar bahan organik tanah, karena tanah merupakan pool karbon yang sangat penting. Pada sistem usaha pertanian dengan masukan rendah, bahan organik dapat mensuplai sebagian besar hara ke dalam tanah untuk keperluan pertumbuhan dan produksi tanaman, terutama unsur N, P, dan S. Bahan organik tanah juga berperan untuk menjaga (buffer) hara di dalam tanah dan menstabilkan aggregat tanah (Tiessen, et al., 1998). Pada skala yang lebih luas bahan organik dapat berperan melindungi daerah aliran sungai (DAS) dari kerusakan, yakni melalui kontribusinya dalam meningkatkan infiltrasi, air tersedia, pori drainase cepat, serta melindungi tanah dari pencemaran.
c. Pemanfaatan mikro flora tanah multiguna (MTM) Pemanfaatan mikroorganisme tanah sebagai penyubur dan perombak bahan organik tanah yang sesuai dengan kondisi tanah merupakan alternatif yang murah untuk meningkatkan kesuburan tanah, mengefisienkan pemupukan, dan mengurangi bahaya pencemaran. Namun keberhasilan pemanfaatan mikroorganisme ini sangat dipengaruhi oleh kualitasnya. Ketidaksesuaian inokolum dengan kondisi tanah yang diinokulasi dan sistem teknologi produksi (formulasi mikroba dan bahan pembawa yang kurang efisien yang kurang sesuai) merupakan salah satu penyebab ketidakberhasilan pemanfaatannya di lapang.Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilaporkan Balittanah (2005), formula MTM dan jenis mikroorganisme yang dikandungnya yang dapat tumbuh dengan baik, yaitu bakteri pada medium King’s B dari fungi pada medium Potato Dextrose Broth (PDB). d. Pengurangan intensitas pengolahan tanah Pengolahan tanah dapat meningkatkan kehilangan karbon karena beberapa mekanisme yaitu: 1. Merusak agregat tanah yang melindungi bahan organik tanah dari dekomposisi lanjut, 2. Menstimulasi aktivitas mikroba dengan perbaikan aerase tanah, 3. Mencampurkan bahan organik segar ke dalam tanah yang kondisinya lebih memudahkan untuk terdekomposisi. Pengolahan tanah juga dapat menyebabkan tanah lebih mudah tererosi sehingga dapat menyebabkan degradasi tanah. Berkaitan dengan hal ini, pengolahan tanah minimum dan/atau tanpa olah tanah pada usaha pertanian di lahan kering diharapkan dapat mengakumulasikan karbon dalam tanah. Dengan meningkatnya karbon dalam tanah melalui manajemen usahatani tanpa olah tanah atau pengolahan tanah minimum juga dapat meningkatkan produksi melalui perbaikan retensi air/kelembaban tanah. e. Implementasi sistem pertanian efisien karbon (CEF) Sistem pertanian efisien karbon adalah memanfaatkan secara optimal (efisien) karbon yang dikandung oleh produk dan by product (bahan organik sisa tanaman dan ternak).Model CEF ini dapat berbasis tanaman pangan dengan ternak. Pengembangan sistem pertanian tanaman pangan (padi-palawija) yang diintegrasikan dengan ternak selain dapat meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan, juga dapat menurunkan emisi GRK dan meningkatkan kualitas lingkungan, karena ada saling sinergi antara usaha pemeliharaan ternak dengan budidaya tanaman (padi dan/atau palawija). Budidaya tanaman pangan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sedangkan ternak sapi diperuntukkan sebagai sumber tenaga kerja dan pendapatan. Integrasi ternak dan tanaman pangan akan menghasilkan: (a) pupuk organik dan pembenah tanah berupa kompos kotoran hewan dan sisa tanaman, (b) bahan bakar terbarukan berupa biogas (CH 4), biochar dan bahan bakar padat lainnya, dan (c) penurunan emisi GRK melalui pengurangan penggunaan pupuk dan fosil fuel tingkat rumah tangga. 3. Teknologi Pengelolaan Lahan Gambut Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut. Di Indonesia, tanah gambut banyak diusahakan untuk tanaman padi terutama untuk gambut yang tidak terlalu dalam dan ada pula untuk tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet), dan Acasia crasicarpasebagai hutan tanaman industri. a. Pengelolaan tata air Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman pada lahan gambut khususnya tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah di atas water table. Sedangkan untuk tanaman tahunan (jenis pohon) muka air tanah dapat disesuaikan dengan jenis tanaman yang dibudidayakan, seperti: kelapa sawit 50 – 75 cm, karet sekitar 20 cm,.nenas 60 – 90 cm, sagu 20 -40 cm, kacang tanah 65 – 85 cm, ubi kayu 15 – 30 cm, kedelai 25 – 45 cm, jagung 75 cm, ubu jalar 25 cm, asparagus 25 cm, dan sayuran 30 – 60 cm.
b. Penggunaan bahan amelioran (bahan mineral)
Jenis bahan amelioran yang biasa digunakan adalah tanah mineral, abu, kapur/dolomit. Keberadaan bahan mineral pada gambut dapat melindungi karbon organik dari proses mineralisasi melalui perlindungan secara fisik dan/atau stabilsasi secara kimia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kation-kation terutama yang divalent dan trivalent dapat berasosiasi dengan bahan organik, sehingga mampu melindungi karbon organik dari proses degradasi. Kation-kation yang dapat dipertukarkan seperti Al, Ca, Mg and Fe, disamping dapat meningkatkan interaksi antara mineral dengan bahan humik, juga mampu meningkatkan ikatan molekul bahan humik sehingga sulit terdegradasi. Pada kondisi terjadinya pembentukan kompleks antara kation-kation dengan asam-asam organik yang berasal dari hasil dekomposisi bahan organik, ini menunjukkan kation-kation mampu berperan dalam meningkatkan daya sangga ekosistem
PENUTUP Perbaikan management atau pengelolaan lahan pertanian diantaranya dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air, peningkatan efisiensi penggunaan pupuk anorganik, optimalisasi pemanfaatan pupuk organik, perbaikan sistem penggenangan pada lahan sawah, perbaikan pengelolaan limbah organik, penggunaan pupuk hayati serta optimalisasi penggunaan lahan, dapat berkontribusi dalam upaya menekan laju degradasi lahan dan mitigasi emisi GRK dari sektor pertanian. Konservasi tanah dan air, pengelolaan bahan organik, pemanfaatan mikroorganisme tanah multi guna termasuk penggunaan pupuk hayati, dan penerapan sistem pertanian rendah/efisien karbon (CEF) pada usaha pertanian lahan kering memberikan dampak yang positif terhadap produktivitas tanaman dan kelestarian lingkungan. Pengaturan tata air yang baik dan pemanfaatan amelioran merupakan kunci sukses utama pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan usaha pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Alex, K., Joosten H. 2008. Global peatland assesment. Factbook for UNFCCC policies on peat carbon emission. Anonymous.2005. Teknologi sawah bukaan baru areal irigasi Batanghari. http://www.bbp2tp.litbang.deptan.go.id. 22 Januari 2009. BBSDLP.2012. Lahan Sub Optimal:Potensi, peluang, danPermasalahanPemanfaatannyauntukMendukung Program KetahananPangan. Disampaikan dalam Seminar Lahan Suboptimal, Palembang, Maret 2012. Kementrian Ristek dan Teknologi Duxbury, J. M., A. R. Mosier. 1997. Status and issues concerning agricultural emissions of greenhouse gases. InKaiser, H. M., and T. E. Drennen (Eds). Agricultural Dimensionsof Global Climate Change. CRC Press LLC. p229-258. FAO COAG 2003 GAP paper.FAO Committee on Agriculture (COAG). Development of a Framework for Good Agricultural Practices. Hairiah, K., S.R. Utami, D. Suprayogo, Widianto, S.M. Sitompul, Sunaryo, B. Lusiana, R. Mulia, Meine van Noordwijk, and G. Cadisch. 2000. Agroforestry on acid soils in the humid tropics: Managing tree-soil-crop interactions. International Center for Research in Agroforestry. SE Asia Regional Research Programe. Bogor. Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H., Page, S. 2006. PEAT CO2, Assessment of CO2 Emission from drained peatlands in SE Asia. Wetland International and Delft Hydraulics report Q3943. Joosten, H., Clarke, D. 2002. Wise use of mires and peatlands – Background and principles including a framework for decision-making. International Mire Conservation Group / International Peat Society, 304pp. Kasno, A., D. Setyorini, dan Nurjaya.2000.Status Corganik lahan sawah di Indonesia.Konggres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) di Universitas Andalas, Padang. Kementan. 2011. Audit lahan pertanian. http://psp.deptan.go.id/index.php/page/lahan_audit. Diunduh 25 Desember 2013. Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan kering di Indonesia. hlm. 1-32 dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Puslitbangtanak, 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia. Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Sanderson, E.et al. 2006. Setting Priorities for the conservation recovery Wild Tiger:2005-2015, Washington DC, WCS, WWF, Smithsonian, and NFWF-STF. Sass, R.L., Fisher, F.M., Ding, A., Huang, Y., 1999. Exchange ofmethane from rice fields: national, regional, and global budgets.J. eophys. Res. 104, 26943–26951. Setyorini, D., Nurjaya, A. Kasno, Sutono. 2011. Teknologi Pengelolaan Lahan dan Pemupukan Mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Laporan Akhir DIPA TA 2011. Balai Penelitian Tanah, BBSDLP, Badan Litbang Pertanian. Setyorini, D., Sri Rochayati, Sri Adiningsih. 2003. Uji Tanah Sebagai dasar Penyusunan Rekomendasi Pemupukan. Seri Monograf No.2. Sumber Daya Tanah Indonesia. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Subagyo, H., Nata Suharta, dan Agus. B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21-66 dalam Buku Sumber daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.