PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH DAN INOVASI PUPUK UNTUK MENDUKUNG PERTANIAN ORGANIK Ali Jamil, Ladiyani R Widowati, dan Wiwik Hartatik Balai Penelitian Tanah Jalan Tentara Pelajar No. 12, Cimanggu, Bogor
[email protected]
ABSTRAK Sistem pertanian organik adalah pembangunan pertanian yang didekati dengan sustainable agricultural development at low productivity, dimana input yang dipergunakan bersifat alami tidak mengijinkan penggunaan pupuk, pestisida kimia sintetis, serta rekayasa genetika untuk bibitnya. Pengembangan sistem ini sesuai untuk tanah dengan tingkat kesuburan sedang hingga tinggi, karena bila berkesuburan rendah untuk membangun dan mempertahankan pada tingkat kesuburan tanah minimal sedang dibutuhkan input yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama. Mengingat keberlangsungan sistem pertanian organik tergantung kepada keseimbangan hara, yang memperhatikan berapa input yang masuk dan keluar agar produktivitas tanah dan tanaman dicapai pada produktivitas optimum dengan input alami. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak 2003 telah melakukan penelitian berkaitan dengan rekomendasi takaran pupuk organik yang optimum, bahan pengkaya sumber hara pelengkap, pengelolaan bahan organik yang sustain, penggunaan pupuk hayati dan dekomposer, serta inovasi produk pupuk dan pembenah tanah mendukung sistem pertanian organik. Keberlangsungan pertanian organik pada lahan sayuran dataran tinggi telah pula dimonitor dengan mengukur aktivitas mikroba (C-mic, N-mic, respirasi), jumlah populasi mikroba, kadar enzym dan juga fauna tanah sebagai indikator kesehatan tanah. Dapat dinyatakan bahwa sistem pertanian organik adalah sistem yang memperhatikan pengelolaan secara holistik, dengan input yang termonitor, produk yang sehat serta kelestarian sumberdaya lahan yang terjaga. Kata kunci: Pertanian organik, keseimbangan hara, produk sehat, input, output
PENDAHULUAN Sebagai negara agraris, Indonesia dikarunia lahan dan faktor pendukung berupa sinar matahari secara terus menerus sepanjang tahun serta mempunyai curah hujan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air pertanian selain air sungai. Pembangunan pertanian dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan (1) Sustainable agricultual development at high productivity dan (2) sustainable agricultural development at low productivity. Pendekatan pertama dilaksanakan pada budidaya pertanian modern yang mengandalkan input tinggi dari luar (off farm) berupa pupuk dan pestisida yang diaplikasikan pada varietasvarietas tanaman berpotensi hasil tinggi yang merupakan implementasi dari konsep revolusi hijau (green revolution). Pendekatan ini telah diadopsi oleh petani Indonesia dengan baik sejalan dengan penerapan program pemerintah Bimas/Inmas sejak tahun 1970-an yang secara langsung membimbing petani dan menyediakan sarana produksi pertanian yang dibutuhkan. Sebaliknya pada pendekatan kedua, sustainable agricultural development at low productivity, dalam prakteknya sangat mengandalkan input rendah dari alam dan in situ (on farm) yang dapat didaur ulang dengan tujuan menghasilkan produk pangan yang sehat, aman dan berkualitas serta mempertahankan produktivitas dan kesuburan lahan pertanian dalam jangka panjang. Sejalan dengan pendekatan ini, konsep budidaya pertanian organik, menekankan pada upaya-upaya membangun dan
1
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
mengelola kesuburan tanah secara alami dalam jangka panjang dengan menggunakan bahan-bahan alami yang dapat didaur ulang sebagai bentuk dari konservasi energi untuk pelestarian lingkungan. Dalam sitem produksinya, budidaya pertanian organik menganut sistem tertutup (closed systems) dan meminimalkan penggunaan input luar dari bahan-bahan agrokimia sintetis seperti pupuk dan pestisida. Budidaya pertanian organik (organic farming) ini sering pula dinamakan biological agriculture, biodynamic agriculture. Secara umum sistem pertanian organik dapat dilihat sebagai suatu pendekatan sistem pertanian holistik/terpadu antara komponen usahatani tanaman pangan, hortikultura atau perkebunan, pengelolaan hara tanah, ternak, konservasi tanah dan air, dan pengelolaan hama terpadu secara biologis. Komponen teknologi yang diterapkan merupakan teknologi ramah lingkungan untuk mencapai sistem pertanian yang lestari dan berkelanjutan dalam rangka pembangunan kesuburan tanah jangka panjang. Sistem pertanian organik didefinisikan sebagai “kegiatan usahatani secara menyeluruh sejak proses produksi sampai proses pengolahan hasil (pasca-panen) yang bersifat ramah lingkungan dan dikelola secara alami (tanpa penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk yang sehat dan bergizi” (IFOAM, 2002). Ketentuan yang diisyaratkan dalam sistem budidaya pertanian organik antara lain adalah memilih lahan yang bebas bahan agrokimia (pupuk dan pestisida), menyediakan pupuk organik dari bahan yang aman, benih yang bukan merupakan hasil rekayasa genetika atau GMO, pengelolaan tanaman dengan rotasi serta aplikasi pestisida nabati dan agensia hayati untuk perlindungan tanaman. Standar tingkat kesuburan tanah tidak diuraikan di dalam Peraturan Menteri Pertanian : No. 64/Permentan/OT.140/5/2013 maupun lampirannya. Di dalam peraturan tersebut yang diatur adalah investigasi sejarah penggunaan lahan bila akan alih fungsi dari sistem pertanian konvensional menjadi sistem pertanian organik, jenis bahan penyubur, dekomposer dan penambah mineral tanah. Sistem pertanian organik sangat mengandalkan kepada siklus karbon, dimana kadar C-organik menjadi penting karena input yang diijinkan dalam sistem ini harus yang bersifat alami. Agar dihasilkan produksi pangan organik yang optimum dan berkelanjutan tentunya membutuhkan tanah sebagai media tanam yang mempunyai berkesuburan sedang hingga sangat subur, selanjutnya diikuti oleh pengelolaan yang benar. Suatu tanah dikatakan subur bila mempunyai kadar C-organik, P-tersedia/P-potensial, KTK (kapasitas tukar kation), dan kejenuhan basa dari sedang hingga tinggi. Indonesia yang terletak di katulistiwa dikarunia sinar matahari yang cukup sepanjang tahun sehingga suhu cukup tinggi dengan rata-rata 25°C, dan curah hujan yang cukup tinggi menghasilkan kelembaban lebih dari 70%, kondisi ini mendukung proses dekomposisi secara fisik dan biologi sangat aktif. Iklim tersebut mendukung pertumbuhan dan aktivitas fauna tanah dalam memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Selain itu pula curah hujan yang sedang hingga tinggi menyebabkan terjadinya pencucian hara dari lapisan tanah olah ke lapisan yang lebih dalam ataupun terbawa ke badan air. Apabila kecepatan dekomposisi ataupun mineralisasi bahan organik tanah sangat cepat dibandingkan dengan asupannya, maka dengan waktu kadar bahan organik akan menurun. Serta apabila serapan hara dari dalam tanah oleh tanaman lebih tinggi dari jumlah asupan, hal inipun menyebabkan terjadinya penambangan hara. Perhitungan neraca hara diperlukan mengingat keberlangsungan sistem pertanian organik harus tetap terjaga. Dengan diketahuinya neraca hara dari sistem pertanian organik, maka dibutuhkan bahan input alami berupa bahan mineral, pupuk hayati dan pupuk organik yang berkualitas. Peneliti Balai Penelitian Tanah-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak 2003 telah melakukan penelitian dan menghasilkan pupuk dan pembenah tanah alami yang bermanfaat dalam menjaga kesimbangan hara
2
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik
seperti pupuk organik granul dan curah, tithoganik, organomineral fosfat, biochar, pugam, pupuk hayati smart, nodulin, dan Bio-char. Mengingat sistem pertanian organik mempunyai dampak yang cukup besar terhadap kelestarian lingkungan pertanian, kesehatan manusia, serta secara ekonomi tergolong menjanjikan maka dalam tulisan ini akan menguraikan tentang pengelolaan hara dan neracanya, serta inovasi teknologi pupuk mendukung sistem pertanian organik.
POTENSI DAN PERKEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI INDONESIA Potensi lahan pertanian di Indonesia adalah 70 juta ha, tetapi yang efektif untuk produksi pertanian seluas 45 juta ha. Dari luasan tersebut, luasan produk pangan utama dihasilkan dari lahan sawah seluas 8,1 juta ha dan di lahan kering 15,6 juta ha yang dominan dikelola secara konvensional. Pengembangan budidaya pertanian organik masih terbuka luas, tetapi yang menjadi pembatas adalah syarat pengelolaannya. Pengelolaan lahan untuk pertanian organik diatur dalam SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik dan Permentan No. 64/Permentan/OT.140/5/2013 tentang Persyaratan Pertanian Organik. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penggunaan praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan masukan setempat, dengan kesadaran bahwa keadaan regional setempat memang memerlukan sistem adaptasi lokal. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan, bila memungkinkan, cara-cara kultural, biologis dan mekanis, yang merupakan kebalikan dari penggunaan bahan-bahan sintetis, untuk memenuhi fungsi spesifik dalam sistem. Suatu sistem produksi pangan organik dirancang untuk : (a) mengembangkan keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan; (b) meningkatkan aktivitas biologis tanah; (c) menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang; (d) mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk mengembalikan nutrisi ke lahan sehingga meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui; Di dalam SNI 01-6729-2002 diperbolehkan menggunakan bahan masukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2. Sebanyak 39 jenis dapat dikelompokkan menjadi (1) mineral alami; (2) bahan organik; (3) pupuk hayati; (4) dekomposer; (5) pembenah tanah; dan (6) pestisida nabati. Bila mengacu pada persyaratan budidaya pertanian organik, tidak semua lahan pertanian existing tersebut dapat dipergunakan sebagai areal pertanaman pangan organik. Sistem pertanian pangan organik mensyaratkan dalam pengelolaan pangan secara holistik, dengan memperhatikan semua input secara termonitor, tanpa masukan pupuk dan pestisida buatan, dan tindak menggunakan bibit hasil rekayasa genetika. Input utama yakni sumber air pengairan harus termonitor dan terjaga kualitasnya, harus diketahui sejarah penggunaan lahan dalam penggunaan agrokimia dan pestisida sebelumnya, jenis dan kualitas pupuk kandang/organik harus baik, serta memperhatikan pengelolaan lahan seperti rotasi tanaman untuk pencegahan hama penyakit. Pada tahun 2012 luas lahan pertanian 213.023,55 ha terdiri dari luas area pertanian organik yang disertifikasi (organik dan konversi), dalam proses sertifikasi, dijamin PAMOR dan tanpa sertifikasi (Ariesusanty et al., 2013). Sejak didata dari 2007, peningkatan luas areal pertanian organik dari 2007 karena dimulainya pendokumentasian dan wawancara mendalam pada lembaga sertifikasi, dukungan oleh pemerintah karena disahkannya lembaga-lembaga sertifikasi pertanian organik nasional. Tahun 2010 menjadi puncak dalam lima tahun terakhir ini, seiring dengan program Go-Organik 2010 oleh pemerintah.
3
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
Gambar 1. Pertumbuhan luas lahan pertanian organik di Indonesia dengan tahun
Budidaya komoditas organik menyebar di seluruh Indonesia. Sebaran ini berkaitan dengan jenis komoditasnya. Pada tahun 2012, lahan budidaya organik terluas didominasi di pulau Sulawesi dengan luasan sekitar 125.000 ha dengan komoditas utama kopi dan mete. Untuk luasan di pulau lainnnya rata-rata di bawah 3.000 ha. Sedangkan untuk tanaman pangan seperti padi dan palawija dan sayuran, luasan proporsinya lebih sedikit. Dari luasan tersebut, sebagian besar didominasi produk perkebunan, kemudian disusul oleh luas areal padi organik 1261,21 ha, buah-buahan 510,03 ha, sayuran 233,00 ha, dan ikan+udang seluas 94 ha.
TINGKAT KESUBURAN YANG DAPAT DIPERGUNAKAN UNTUK PERTANAMAN ORGANIK Kualitas tanah (soil quality atau soil health) didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk menunjukkan fungsi kritikal sebagai medium utama untuk pertumbuhan tanaman, mempertahankan produktivitas tanaman, mempertahankan kualitas lingkungan, dan menyediakan lingkungan yang sehat bagi tanaman, hewan dan manusia (Mitchell et al., 2000). Sistem pertanian organik adalah holistik dan terbaik adalah sistem tertutup. Bila mengacu pada syarat ini, maka tanah-tanah yang sesuai untuk sistem pertanian organik adalah tanah yang mempunyai tingkat kesuburan tanah yang sedang hingga sangat subur. Suatu tanah dinyatakan subur secara kimia bila mempunyai kadar KTK, C-organik, P-tersedia, kejenuhan basa dari sedang hingga tinggi. Tanah yang subur secara fisik adalah tanah dengan rasio komposisi kadar mineral tanah : bahan organik tanah : air : udara yang ideal seperti tertera pada Gambar 2.
4
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik
Gambar 2. Komposisi ideal tanah mineral
Selama beberapa dekade para peneliti dari berbagai negara dan petani maju berusaha untuk membuat suatu rumusan tentang “minimum data set” untuk penilaian kualitas tanah yang terdiri dari komponen fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat digunakan sebagai indikator kuantitatif dalam penetapan kriteria tanah sehat (Soil Health). Kriteria tersebut di atas bertujuan untuk membuat pengelompokkan atau kelas kualitas tanah pada tanah-tanah dari yang sangat subur sampai yang sangat tidak subur (terdegradasi), sehingga kelas yang tersusun dapat digunakan secara cepat oleh para pengguna dalam menentukan komoditas, teknologi dan pola usahataninya. Komponen kriteria tersebut belum terdapat angka nilai atau kadar tertentu. Tetapi sebagai gambaran bahwa kriteria fisika, kimia, dan bilogi tanah minimum masuk kelas sedang hingga tinggi. Pertumbuhan tanaman membutuhkan lingkungan perakaran yang baik yang dapat berkembang optimal yang dicerminkan dari bobot isi, kedalaman perakaran, dan stabilitas agregat. Ketersediaan air untuk tumbuh dan dapat menyerap hara dengan baik digambarkan oleh kapasitas menahan air. Kemudian sifat kimia tanah yang penting adalah pH, elektrokonduktivitas, dan kapasitas tukar kation (KTK), yang akan menggambarkan dinamika hara dalam tanah. Nilai pH berkaitan dengan [H+], elektrokonduktivitas berkaitan dangan kadar garam (anion dan kation), dan KTK adalah indikator kemampuan suatu tanah untuk memegang dan melepaskan hara dalam tanah. Komponen kimia selanjutnya adalah mineralisasi N, nilai ini berkaitan dengan kapasitas tanah untuk mensuplai N tanah dari penguraian bahan organik yang ada dalam tanah dalam satu satuan waktu, kemampuan mensuplai N sangat berhubungan antara kadar bahan organik tanah, jumlah populasi mikroba pangurai, dan tekstur tanah. Selain N, unsur hara yang menjadi komponen kimia adalah K dan Ca dapat tukar, dimana ketersediaan kedua unsur ditentukan berdasarkan rasio (K/(Ca+Mg), sementara itu proporsi Ca:Mg idealnya dalah 4:1. Di dalam metabolisme tanaman unsur hara tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas produk organik.
5
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
Tabel 1. Indikator kuantitatif dan penerapan kriteria tanah sehat (soil health). Komponen Kimia
Fisika -
Bobot isi Kedalaman Perakaran Laju air infiltrasi Kapasitas menahan air Stabilitas aggregate
-
pH Elektrokonduktivitas Kapasita Tukar Kation Bahan organik Mineralisasi N K dapat ditukar Ca dapat ditukar
Biologi -
C-mic (Microbial biomass carbon) N-mic (Microbial biomass nitrogen) Cacing Enzim Hama penyakit Respirasi mikroba tanah
Komponen biologi tanah yang menjadi indikator tanah yang baik untuk budidaya organik adalah nilai C-mic dan N-mic. Nilai C-mic N-mic memberikan gambaran tentang aktivitas mikroba tanah yang diukur dari pelepasan CO2 dan N, serta dipergunakan sebagai indikator perubahan sifat tanah akibat dari perubahan penggunaan lahan dan stres lingkungan dalam sistem pertanian. Demikian juga hasil pengukuran respirasi mikroba tanah, akan menggambarkan aktivitas total populasi mikroba. Suatu sistem tanah dinamis akan memiliki nilai C-mic, N-mic dan respirasi yang tinggi. Demikian pula hasil pengukuran populasi cacing perunit volume tanah dan enzim (hidrogenase dan fosfatase) menunjukkan suatu tanah subur secara biologi atau tidak. Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik, maka indikator disease suppresivenes harus mempunyai nilai yang rendah. Hasil observasi terhadap perbandingan sifat tanah antara sistem pertanian organik, sistem pertanian konvensional, dan semi organik adalah nilai C-mic dan N-mic yang lebih tinggi, populasi cacing tanah, populasi bakteri dan fungi, aktivitas dehidrogenase dan respirasi yang lebih baik (Hartatik et al., 2009). Begitu pula hasil observasi Moeskops et al., 2012, memperoleh hasil pengukuran aktivitas enzim (Bglucosidase, dehydrogenase), kadar PLFA, dan indeks kualitas tanah yang lebih tinggi pada sistem pertanian organik di Cisarua dibanding dengan sistem pertanaman konvensional.
PENGELOLAAN LAHAN UNTUK SISTEM PERTANIAN ORGANIK Pengelolaan hara tanah dari sumberdaya alam yang tidak tergantikan adalah sangat penting. Keberlanjutan produktivitas lahan dipengaruhi oleh keseimbangan hara antara kebutuhan tanaman (output) dan masukan (input), serta kehilangan hara (erosi). Dalam penghitungan keseimbangan hara dapat didekati dengan persamaan Short Term dan Long Term keseimbangan hara (Widowati et al., 2011) sebagai contoh adalah penghitungan keseimbangan N sebagai berikut: Short term N-balance = (Ninitial + Nmin + Navailable_manure + Nfert) – (Nuptake_marketable + Nuptake_residue + Nharvest) Long term N-balance = (Ninitial + Ntotal_manure + Nfert) – (Nuptake_marketable + Nuptake_residue + Nend) Komponen penghitungan meliputi N initial atau N awal, N tersedia atau termineralisasi dari pukan, N total dari pukan, N dari sumber lainnya, N diambil tanaman yang dipasarkan, N residu dalam tanaman, N tanah saat panen terakhir. Dalam persamaan terebut, jumlah N yang hilang adalah minimalis. Untuk mengawal penerapan keseimbangan hara dan uji tanah secara cepat pada sistem pertanian organik di lapang, Balitbangtan telah menghasilkan PUTS (Perangkat uji Tanah Sawah), PUTK (Perangkat Uji Tanah Kering) dan PUPO (Perangkat Uji Pupuk Organik). Bila pertanian organik telah merambah ke lahan ekosistem rawa maka dapat dipergunakan PUTR (Perangkat Uji Tanah Rawa). PUTS dapat dipergunakan
6
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik
untuk mengukur kadar N, P, K, dan pH tanah secara kuantitatif, disertai dengan rekomendasinya. Rekomendasi yang tercantum adalah dalam bentuk pupuk anorganik lalu dapat dikonversi ke suplai hara dalam bentuk organik. PUTK dapat dipergunakan untuk mengukur kadar hara P, K, pH, Kebutuhan Kapur, dan C-organik tanah, serta dilengkapi dengan rekomendasi pupuk untuk tanaman padi gogo, jagung, kedelai, dan akan dilengkapi dengan rekomendasi sayuran dataran tinggi. PUPO dapat dipergunakan untuk mengukur kualitas pupuk organik curah yang akan dipergunakan pada budidaya organik. Sayuran Budidaya sayuran organik masih didominasi oleh sayuran dataran tinggi, selain variasi sayuran lebih banyak juga bernilai ekonomi tinggi. Diantara jenis budidaya tanaman, budidaya sayuran adalah yang membutuhkan tenaga yang cukup karena siklus hidup yang pendek, mempunyai jenis varietas yang banyak, dan bersifat mudah rusak (rotten). Pada kebun organik yang sudah lebih dari dua tahun, bedengan untuk menanam sudah kuat sehingga untuk konservasi tanah sudah mantap. Tingkat erosi rendah dan sifat fisik tanah sudah baik. Yang memerlukan perhatian besar adalah pengelolaan hara dan tanaman. Pengelolaan hara pada sistem pertanian organik yakni: merotasi sisa bahan organik, pemanfaatan residu tanaman dan pangkasan tanaman dengan pengomposan progresif, menggunakan pupuk organik insitu (pukan), pemanfaatan tumbuhan alami sekitar kebun organik seperti kirinyu dan tithonia, pengkayaan pupuk organik dengan abu sekam, fosfat alam, pupuk hayati, dan rotasi tanaman dengan penutup lahan penambat N mucuna. Adapun hasil evaluasi penggunaanya telah dilakukan oleh tim Peneliti Balai Penelitian Tanah seperti uraian di bawah ini. Pemanfaatan limbah sisa tanaman dan tanaman lain seperti tithonia dan kirinyu yang banyak terdapat di sekitar kebun sayuran mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan, karena mempunyai kadar hara yang hampir setara dengan dengan kompos kotoran ternak. Apabila dikombinasikan dengan kotoran ternak yang telah dikomposkan dapat memberikan hasil sayuran yang optimal pada takaran 20-25 t/ha. Perubahan kualitas tanah yang dikelola sesuai budidaya pertanian organik memperlihatkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan tanah awal pada parameter biologi tanah yaitu nilai C-mic, jumlah total mikroba, serta jumlah mikroba fungsional seperti bakteri penambat N dan bakteri selulolitik. Perubahan sifat-sifat biologi tanah akibat pemberian pupuk organik dalam bentuk kompos lebih nyata dibandingkan sifat kimia tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di beberapa negara dan penelitian Hartatik et al., 2006, yang menunjukkan bahwa nilai C-mic (biomassa karbon mikroorganisme) merupakan parameter indikator kualitas tanah yang jauh lebih peka dibandingkan sifat kimia tanah (seperti C-organik total) maupun sifat fisik tanah dan mempunyai korelasi yang erat dengan sifat biologi tanah lainnya. Tanah yang dikelola menurut budidaya pertanian organik menunjukkan peningkatan kandungan biomassa mikroba (C-mic), jumlah total mikroba, serta jumlah mikro fungsional seperti bakteri penambat N dan bakteri selulolitik dibandingkan tanah awal. Dalam budidaya produk organik sayuran dataran tinggi, penggunaan pupuk hayati di PERMATA Hati Farm hasil pengamatan Hartatik et al., 2005-2006, meningkatkan respirasi tanah sebesar 0,58 CO2/100 g/hari atau meningkat sebesar 20,5%. Pengkayaan pupuk organik (pukan ayam 25 t/ha) dengan abu sekam (sumber K) dan fosfat alam (sumber P) serta diberi pupuk hayati memberikan nilai C-mic tertinggi yaitu sebesar 980,59 ppm dan meningkatkan produksi brokoli sebesar 1,25 t/ha (17%) dibandingkan perlakuan pukan ayam 25 t/ha (praktek petani) saja. Hasil pengkayaan pupuk organik pukan kambing (25 t/ha) dengan abu sekam dan fosfat alam meningkatkan produksi pakcoy 1,06 t/ha (11%), dan meningkatkan produksi wortel 5,74 t/ha (27%) dibandingkan perlakuan pukan ayam 25 t/ha saja.
7
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
Selain pengelolaan hara, pengelolaan tanaman difokuskan kepada rotasi tanaman. Rotasi tanaman memperhatikan aspek kesehatan tanah (memutus rantai hidup hama dan penyakit), serapan/kebutuhan hara, umur panen, dan nilai ekonomi. Rotasi tanaman yang telah dilakukan di kebun organik yakni jenis tanaman berbuah-berdaun-berumbi atau sebaliknya, serta menghidari penanaman tanaman sayuran satu famili yang berturutan. Neraca hara N, P, dan K pada berbagai perlakuan pemberian pupuk organik menunjukkan neraca positif atau terjadi pengkayaan hara, kecuali neraca N yang negatif pada pemberian tithonia, sisa tanaman dan sampah kota pada musim tanam pertama (Setyorini et al., 2004). Hasil pengukuran neraca hara (2005-2006), di perkebunan organik di Permata Hati Farm diperoleh neraca hara N, P, dan K yang positif dengan perlakuan kompos pukan kambing diperkaya abu sekam + fosfat alam (Tabel 2). Sementara hasil penelitian di Masada Farm 2006, perlakuan pukan kambing + abu sekam + fosfat alam + kompos tithonia juga menghasilkan neraca hara N, P, dan K yang positif. Padi sawah Budidaya padi organik hanya mengandalkan bahan organik sebagai sumber hara untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu kualitas pupuk organik sangat penting dalam pemilihan input pupuk yang akan diberikan. Jerami padi merupakan sumber bahan organik utama di lahan sawah, namun karena kandungan hara dalam dalam jerami hanya didominasi oleh kalium, maka diperlukan sumber lain seperti pupuk kandang (ayam, kambing, sapi) atau sumber lain seperti azolla dan turi mini untuk melengkapi kebutuhan hara tanaman. Diantara perlakuan jenis pukan dan dosis pukan yang dicoba, ternyata pukan ayam memberikan sumbangan hara N, P, K yang lebih dibandingkan pukan kambing dan sapi untuk padi Menthik Wangi yang ditanam di Sragen (Hartatik et al., 2009). Perlakuan pukan ayam, sapi dan kambing dosis 20 t/ha saja hanya cukup memenuhi kebutuhan hara N dan P sedangkan K masih kurang. Dengan ditambah dengan masing-masing 1 t/ha azolla, jerami/tithonia sudah mencukupi kebutuhan hara padi. Untuk perlakuan pukan dosis 10 t/ha+arang sekam 300 kg/ha terjadi neraca hara K dan K negatif. Perhitungan neraca hara padi orgnaik yang dipupuk tiga jenis pukan (ayam, kambing, sapi) dikombinasikan dengan jerami dan arang sekam menunjukkan neraca positif untuk N dan P pada dosis tinggi dan neraca negatif untuk hara K. Hal ini berarti input pupuk K yang diberikan belum cukup memenuhi kebutuhan hara K tanaman padi, sehingga tanaman mengambil cadangan hara dari dalam tanah. Sebagai gambaran, untuk tanah Vertisol seperti di Sragen dan Ngawi, mempunyai cadangan K yang tinggi, tetapi bila pertanaman padi organik ditanam pada tanah seperti Inceptisol ataupun Ultisol yang rendah cadangan K, maka dengan waktu akan terjadi defisiensi K. Dosis pukan yang dianjurkan untuk pertanaman padi organik adalah 15-20 t/h dan jerami 5 t/ha.
Tabel 2. Neraca hara N, P, dan K untuk pertanaman Brokoli-Pakcoy dan Wortel-Selada pada sistem pertanian organik Perlakuan Pukan kambing+abu sekam+PH Pukan ayam+abu sekam+PH Pukan kambing+abu sekam+Tithonia+pH Pukan ayam+sekam+Tithonia+pH Pukan kambing+abu sekam Pukan ayam+abu sekam
Neraca hara brokoli-pakcoy N P K ..........kg/ha........ 26 16 32 30 12 6
24 25 26 28 23 24
8 -1 23 15 9 7
Neraca = Input-Output Asumsi : Seluruh pupuk organik dan pengkaya termineralisasi kadar N, P dan K dalam satu periode tanam
8
Neraca hara wortel-selada N P K ........kg/ha........ 35 30 39 32 37 24
26 30 28 33 26 28
12 6 5 11 10 0
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik
Tabel 3. Neraca hara N, P, dan K untuk pertanaman padi Perlakuan Pukan kambing 20 t/ha Pukan sapi 20 t/ha Pukan ayam 20 t/ha Pukan kambing 15 t/ha + jerami 5 t/ha Puka sapi 15 t/ha + jerami 5 t/ha Pukan ayam 15 t/ha + jerami 5 t/ha Pukan kambing 20 t/ha + arang sekam 300 kg/ha Pukan sapi 20 t/ha + arang sekam 300 kg/ha Pukan ayam 20 t/ha + arang sekam 300 kg/ha
N 8 37 18 3 25 16 -16 -22 -5
Neraca Hara P ..........kg/ha........ 17 22 30 12 17 21 21 27 37
K -14 -11 3 -4 -32 2 -17 -26 -8
Neraca = Input-Output Asumsi : Seluruh pupuk organik dan pengkaya termineralisasi kadar N, P, dan K dalam satu periode tanam
Perkebunan Data tentang budidaya tanaman perkebunan secara organik masih lebih sedikit dibandingkan dengan budidaya tanaman sayuran dan padi. Budidaya tanaman perkebunan seperti kopi, teh, kelapa, sagu dan mete umumnya tumbuh secara alami di alam bebas dan tanpa penambahan pupuk anorganik dan pestisida buatan. Tetapi ada juga yang dibudidayakan dengan berusaha mengaplikasikan pupuk organik untuk tanaman kopi di Kabupaten Bener-Meriah, Aceh. Rekomendasi untuk tanaman kopi berumur 3-10 tahun adalah pupuk kandang dan kompos limbah kulit kopi diberikan masing-masing 10 kg/pohon dan 20 kg/pohon (Yufniati et al., 2007). Dari penggunaan tersebut, menunjukkan pertumbuhan tanaman kopi lebih baik dan pupuk organik tersebut dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Produktivitas tanaman perkebunan di Indonesia rata-rata untuk kopi, kakao, dan mete berturutan adalah 745, 850, dan 364 kg/ha. Jika diasumsikan tanaman ini tidak dipupuk maka akan mengandalkan serapan dari dalam tanah. Sebagai ilustrasi, untuk tanaman kopi dengan produksi sebesar 745 kg/ha, maka serapan hara untuk N, P, dan K adalah 16,90; 1,7; dan 17,73 kg/ha. Dengan kata lain terjadi nilai keseimbangan hara yang negatif. Sejumlah hara tersebut diambil dari dalam tanah tanpa ada pengembalian atau penambahan, dengan waktu unsur hara di tempat tersebut akan terkuras. Bila dilakukan pemupukkan 10 t pupuk kandang/th/ha, maka diperkirakan dapat menyumbangkan hara sebesar 22 kg N/ha; 4,5 kg P/ha, 15,75 g K/ha, dimana jumlah asupan K ini masih rendah dari total serapan hara kopi pertahun. Sehingga direkomendasikan untuk menambahkan pupuk kandang 15-20 t/ha yang diperkaya dengan mikroba penambat N.
KUALITAS PUPUK ORGANIK DAN PEREDARANNYA Hasil identifikasi kompos organik oleh Setyorini et al., 2004, menunjukkan bahwa kompos yang terbuat dari berbagai jenis limbah kotoran ternak (sapi, kambing, ayam) dan sisa tanaman (limah pasar, tithonia, kirinyu, sisa tanaman) kadar haranya dari masing-masing bahan organik tersebut sangat bervariasi dan masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Seperti hasil pengamatan Widowati et al., 2012, juga memperoleh hasil yang sama, dimana karakteristik setiap jenis bahan organik mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing (Tabel 4). Dalam periode 100 hari inkubasi, jumlah pelepasan hara N juga
9
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
bervariasi tergantung kepada komposisi struktural, kadar C, N, dan C/N rasio. Pelepasan N tercepat dari residu brokoli, diikuti pukan ayam, dan residu kubis, sedangkan yang sulit melepaskan N adalah jerami padi bahkan terjadi imobilisasi N. Sedangkan untuk unsur hara lainnya masih memerlukan pengamatan yang lebih mendalam, akan tetapi dapat diasumsikan bila penguraian bahan organik adalah bersinergi satu sama lain, maka ketersediaan P dan K diprediksi adalah sama kecepatan ketersediannya dengan N tetapi berbeda dalam kuantitasnya. Semua jenis kompos organik tersebut mempunyai kesesuaian untuk dipergunakan sebagai sumber pupuk organik dalam budidaya pertanian organik. Penambahan pupuk organik, terutama yang berasal dari kotoran ternak meningkatkan kadungan asam humat dan fulfat pada tanah serta aktivitas mikroorganisme yang diukur melalui pelepasan CO2. Pupuk organik sebenarnya telah ada dan dipergunakan sejak sebelum revolusi hijau. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan pangan, maka produksi pangan nasional harus ditingkatkan. Pada periode revolusi hijau tersebut hanya menekankan penggunaan pupuk anorganik N, P, dan K tanpa memperhatikan penggunaan bahan organik. Setelah mengalami produksi yang leveling off dimana penambahan pupuk anorganik tidak diikuti oleh peningkatan produksi maka penggunaan bahan/pupuk organik mulai digalakkan oleh pemerintah dan dikombinasikan dengan istilah Pengelolaan Hara Terpadu. Selanjutnya dengan berkembangnya kesadaran tentang kesehatan pangan dan kelestarian sumberdaya lahan maka pemerintah mencanangkan Go Organik 2010, yakni penggunaan pupuk organik baik pada sistem pertanian konvensional dan apalagi pada budidaya organik. Produsen pupuk mulai melirik untuk memproduksi pupuk organik. Dalam upaya mendukung program pemerintah dalam menggalakkan penggunaan pupuk organik dan membantu monitoring kualitas pupuk, Balai Penelitian Tanah-Balitbangtan, pada tahun 2009 (Hartatik et al., 2009)melakukan sampling pupuk organik padat baik remah maupun granul yang terdapat di pasaran di Jawa Barat. Dari 33 contoh pupuk organik yang sudah memiliki nomor pendaftaran dari Kementarian Pertanian hanya dua contoh atau 6,1%. Pupuk yang memiliki label ada 20 contoh atau 60,6% contoh. Dari ke 33 contoh, kesesuaian mutu pupuk yang berdasarkan persyaratan Permentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 untuk parameter pH 94%; kadar air 18,2%; C-organik 52%; N 97%; P2O5 91%; Fe 45%; As 85%; Pb 97%; K, Mn, Cu, Zn, B, Cd, Co, Mo, dan Hg 100%. Dapat dinyatakan bahwa tidak ada satupun pupuk yang sesuai dengan Permentan untuk seluruh parameter. Ini adalah gambaran sebaran kualitas pupuk organik yang ada saat ini.
Tabel 4. Bahan organik (DM), C-organik (Corg), N-total (Ntot) dan kadar mineral N (semua didasarkan dalam bahan kering), C/N rasio dan komposisi struktural menggunakan metoda Stevenson fractionation yang dimodifikasi (dalam kurung standar deviasi; n = 3) dari organik material yang digunakan dalam penelitian inkubasi Sumber bahan organik
DM (%)
C (%)
Ntotal (%)
Mineral N g/kg
C/N
Jerami Residu Kubis Residu brokoli Kompos Tithonia Pukan kambing Pukan sapi Pukan ayam
40 20 18 46 68 45 74
39,4 39,1 39,1 35,8 14,3 17,8 27,5
0,71 2,50 2,84 2,80 1,25 1,14 2,61
0,018 0,043 0,289 0,039 0,010 1,986 0,056
55,6 15,6 13,8 11,0 11,4 15,6 10,6
Sumber : Widowati et al., 2012
10
Larut air 20,6 (2,15) 26,2 (2,64) 23,9 (2,81) 11,7 (1,89) 1,9 (0,03) 1,3 (0,20) 16,1 (3,37)
Fraksi (% dari bahan organik) Hemicellulose Cellulose 29,0 (3,77) 24,5 (0,67) 31,9 (0,79) 34,2 (7,64) 48,1 (0,57) 47,7 (0,16) 27,5 (4,62)
35,5 (3,65) 38,6 (2,13) 29,1 (1,00) 23,9 (3,84) 8,0 (0,30) 6,7 (0,12) 38,8 (3,10)
Lignin 14,8 (2,07) 10,7 (0,80) 15,1 (0,87) 30,2 (1,92) 42,0 (0,14) 44,4 (1,60) 17,6 (1,77)
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik
Tabel 5. Rata-rata net N termineralisasi selama 100 hari periode inkubasi, dan nilai relatif net N mineralisasi Organik sources
N total † (kg/ha)
Rata-rata Nmin (kg N/ha)
Rata-rata %N Nmin (% of total N)
Jerami Residu kubis Residu brokoli Kompos tithonia Pukan kambing Pukan sapi Pukan ayam
85 150 153 449 255 154 579
-11 36 104 12 42 26 274
-12,9 a* 24,1 bc 68,1 d 2,6 ab 16,6 b 17,1 b 47,3 cd
†
30 t bahan organik baru yang ditambahkan Sumber: Widowati et al., 2012
INOVASI DAN TEKNOLOGI PUPUK UNTUK SISTEM PERTANIAN ORGANIK Teknologi dalam pembuatan pupuk dan jenisnya terus berkembang seiring dengan permintaan pasar. Pupuk organik baik padat maupun cair telah ada aturannya sehingga menjadi penting dalam pembuatannya mengikuti peraturan yang berlaku yakni Permentan No 70 tahun 2011 (Tabel 6.). Dalam aturan pupuk organik yang menjadi kunci utama dalah kadar C, N, dan rasio C/N, serta kadar hara dari bahan organik, mengingat pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah diharapkan akan menyumbangkan sejumlah carbon dan hara (walaupun sedikit) memberikan dampak positif lainnya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menghasilkan beberapa produk pupuk organik (dekomposer, hayati, dan pupuk organik padat) dan pembenah tanah dengan kualitas yang baik. Sampai dengan tahun 2014, terdapat produk pupuk dan dekomposer yang sudah dilisensi (Tabel 7) dan belum dilisensi. Beberapa produk yang mempunyai potensi dan belum dilisensi adalah Tithoganik, Organomineral fosfat, mikroenkapsulasi mikroba hayati, dekomposer, Biochar dan lainnya. Tithoganik adalah pupuk organik berasal dari tithonia yang diperkaya, sehingga mempunyai kadar hara yang lebih lengkap dari dari bahan dasarnya, dan kualitas mengacu kepada permentan. Organomineral fosfat adalah pupuk organik P dari P-alam yang dibuat ukurannya mendekati sub-mikron dengan tujuan meningkatkan kecepatan ketersedian P dan yang diperkaya dengan pupuk kadang sebagai sumber C, humat dan fulfat. Dalam upaya untuk meningkatkan daya simpan pupuk hayati sedang dilakukan penelitian mikroenkapsulasi mikroba hayati, karena pupuk hayati mempunyai periode aktif yang pendek 3-6 bulan. Selanjutnya untuk membenahi tanah agar lebih sehat dan mempunyai kesuburan fisik dan kimia yang meningkat, penggunaan Bio-char dengan komponen utama arang aktif dapat dimanfaatkan agar efisiensi pupuk meningkat serta memberikan kondisi perakaran yang lebih baik.
11
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
Tabel 6. Syarat mutu pupuk organik Permentan 70 tahun 2011 No
Parameter
1. 2. 3.
C – organik
4. 5.
6. 7. 8.
9.
10. 11.
12
Satuan
Standar mutu Granul/Pelet Remah/Curah Murni Diperkaya mikroba Murni Diperkaya mikroba
% %
Min 15 15 – 25 maks 2
Min 15 15 – 25 maks 2
Min 15 15 – 25 maks 2
Min 15 15 – 25 maks 2
% ppm ppm ppm ppm
8 – 20 maks 10 maks 1 maks 50 maks 2
10 – 25 maks 10 maks 1 maks 50 maks 2
15 – 25 maks 10 maks1 maks 50 maks 2
15 – 25 maks 10 maks 1 maks 50 maks 2
%
4–9
4–9
4–9
4–9
MPN/g MPN/g
maks 10 2 maks 10
maks 10 2 maks 10
cfu/g cfu/g %
-
C / N rasio Bahan ikutan (plastik,kaca, kerikil) Kadar Air *) Logam berat: - As - Hg - Pb - Cd pH Hara makro (N + P2O5 + K2O) Mikroba kontaminan: - E. coli, - Salmonella sp Mikroba fungsional: - Penambat N - Pelarut P Ukuran butiran 2-5 mm Hara mikro : - Fe total atau - Fe tersedia - Mn - Zn Unsur lain : - La - Ce
min 4
2
2
2
2
maks 10 2 maks 10
maks 10 2 maks 10
-
min 80
min 10 3 min 10 min 80
-
min 10 3 min 10 -
ppm ppm ppm ppm
maks 9000 maks 500 maks 5000 maks 5000
maks 9000 maks 500 maks 5000 maks 5000
maks 9000 maks 500 maks 5000 maks 5000
maks 9000 maks 500 maks 5000 maks 5000
ppm ppm
0 0
0 0
0 0
0 0
3
3
Tabel 7. Berbagai jenis produk Balitbangtan 2012-2014 mendukung budidaya pertanian organik yang telah dilisensikan No.
Produk
1 2 3 4
M-Dec DSA Nodulin Bio Nutrient
5 6 7 8
SMARt Potensida SMESh/ Biobus Biotara
9
Biosure
10
Agrimeth
12
Manfaat Perombak bahan organik Perombak bahan organik Pupuk hayati kacang-kacangan Pupuk hayati tanaman pangan & hortikultura Pupuk hayati padi Pupuk hayati padi Pupuk hayati kedelai Pupuk hayati padi rawa & perombak bahan organik Pupuk hayati & peningkat produktivitas lahan rawa Pupukhayatipadi, kedelai, cabe
Inventor
Lisensor
Balittanah Balittanah Balittanah Balittanah
PT. Nusa Palapa Gemilang PT. Bintang Timur Pasifik PT. Nusa Palapa Gemilang PT. Nusa Palapa Gemilang
Balittanah Balittanah Balittanah Balittra
PT. Bio Industri Nusantara PT. Petrosida Gresik PT. Bio Industri Nusantara PT. Pupuk Kalimantan Timur
Balittra
PT. Pupuk Kalimantan Timur
Balittanah
Dalamtahanlisensi
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik
PENUTUP Sistem pertanian organik merupakan industri pertanian yang termasuk sustainable agricultural development at low productivity. Meskipun demikian, seiring dengan peningkatan pendapatan dan kesadaran masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi produk organik, merupakan peluang dan tantangan untuk pengembangannya. Pengelolaan hara yang baik dan ditambah dengan saprodi yang berkualitas adalah pendukung dalam pengelolaan lahan pertanian organik agar dapat berproduksi dengan optimum dan berkelanjutan. Pengawalan dan monitoring kualitas lahan pertanian organik harus dilakukan dengan menggunakan teknologi yang telah tersedia, karena sumberdaya lahan adalah sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui.
DAFTAR PUSTAKA Ariesusanty L, S Nuryati, R Wangsa. 2013. Statistik Pertanian Organik Indonesia 2012. Aliansi Organis Indonesia. ISBN 978-602-95923-4-4. 70 hlm. Hartatik W, D Setyorini, LR Widowati, Sri Widati. 2005. Laporan Akhir Dipa: Penelitian Teknologi Pengelolaan Hara pada Budidaya Pertanian Organik. Satker Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hartatik W, D Setyorini, Sri Widati, J Purwani, A Miswan. 2006. Laporan Akhir Dipa: Penelitian Teknologi Pengelolaan Hara pada Budidaya Pertanian Organik. Satker Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian. Hartatik W, Edi Santosa, Sri Widati. 2009. Laporan Akhir Dipa: Penelitian Pupuk Organik dan Organisme Tanah untuk Meningkatkan Kualitas Tanah dan Efisiensi Pupuk dan produktivitas Tanaman Padi dan Sayuran >20% dalam Sistem Pertanian Organik. Satker Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IFOAM (International Federation Organic Movement). 2002. Organic Agiculture World Wide Statistic and Future Prospects. The World Organic Trade Fair Nurnberg, BIO-FACH. Mitchell J, M Gaskel, R Smith, C Fauche, ST Koike. 2000. Soil management and soil quality for organic crop. Vegetable Research and Information Center. Agriculture and Natural Resourches Publication 7248. The University of California. Moeskops B, D Buchan, Sukristiyonubowo, S De Neve, B De Gusseme, LR Widowati, D Setyorini, S Sleutel. 2012. Soil quality indicatora for intensive vegetable production systems in Java, Indonesia. Ecologycal Indicator 18:218-226. Peraturan Menteri Pertanian. 2013. Sistem Pertanian Organik. No. 64/Permentan/OT.140/5/2013. Kemeterian Pertanian. 2013. Setyorini D, W Hartatik, LR Widowati, Sri Widati. 2004. Laporan Akhir Dipa: Penelitian Teknologi Pertanian Organik di Lahan Kering. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Yufniati ZA, Idawanni, F Ferayanti. 2007. Teknologi pupuk organik pada budidaya kopi di Kabupaten Bener-Meriah. http://nad.litbang.deptan.go.id/ind/files/kopi.pdf . (Penyuluh pada BPTP NAD). Widowati LR, De Neve S, Sukristyonubowo, D Setyorini, Kasno A, Sipahutar IA, Sukristyohastomo D. 2011. Nitrogen balances and nitrogen use efficiency of intensive vegetable rotations on Andisols in Central Java, Indonesia. Nutrient Cycling in Agro-ecosystems, 91, 131-143. Widowati LR, Sleutel S, D Setyorini, Sukristyonubowo, De Neve S. 2012. Nitrogen mineralization from amended and unamended intensively managed tropical Andisols and Inceptisols. Soil Research 50: 136-144.
13
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik
Bogor, 18 – 19 Juni 2014
DISKUSI Aris (PT. Agrinos – Jakarta) Saran:
Jalan Pantura di Jawa tidak cocok untuk pengembangan pertanian organik terutama untuk padi, karena irigasi dan drainasenya yang kurang bak. Hal ini karena perbedaan pH air dan pH tanah di daerah tersebut yang sangat menyolok. Bagaimana cara untuk mengatasinya.
Jawab:
Kondisi tanah di daerah Pantura memang buruk dan melewati ambang batas sehingga untuk mengatasinya perlu adanya kerjasama beberapa institusi. Ada beberapa cara untuk mengatasi air irigasi yang kadar garamnya tinggi, misal dengan dicampur air tawar, aplikasi varietas yang tahan dan toleran terhadap kadar garam tinggi dan remediasi dengan bahan organik.
14