PEMANFAATAN PUPUK BIO DAN PUPUK ALAM UNTUK MENDUKUNG BUDIDAYA ORGANIK PADA TANAMAN LADA DAN PANILI Agus Ruhnayat Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK Bakteri penambat nitrogen seperti bakteri Azotobacter dan mikroba pelarut fosfat seperti Bacillus subtilis merupakan pupuk bio sudah banyak diteliti dan dimanfaatkan dibanyak negara namun masih terbatas untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman pangan. Penelitian pemanfaatan pupuk bio dan pupuk alam serta kegiatan penunjangnya pada tanaman rempah baru dimulai pada tahun 90an. Hasil penelitian pada tanaman lada dan panili menunjukkan hasil yang positif. Pemberian bakteri Azotobacter yang dengan pemberian bahan organik seperti serasah daun glirisidia dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lada perdu dan panili. Pupuk lainnya yang berasal dari alam seperti fosfat alam, guano kelelawar, bahan organik (serasah daun bambu) yang banyak tersedia di Indonesia juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lada dan panili. Pupuk bio dan pupuk alam tersebut dapat digunakan untuk menggantikan pupuk buatan apabila lada dan panili akan dibudidayakan secara organik. Kata kunci : Pupuk bio, pupuk alam, budidaya organik, lada, panili
PENDAHULUAN Sampai saat ini masalah kerusakan lingkungan akibat pembangunan ekonomi selalu menjadi bahan perdebatan. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa makin meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka lingkungan hidup cenderung semakin rusak. Hal tersebut terjadi karena eksploitasi terhadap sumber daya alam
64
yang tidak terkendali dan buangan limbah yang meningkat. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Isi dari PP tersebut pada pokoknya mengatur bahwa kegiatan pembangunan ekonomi yang berisiko menimbulkan kerusakan lingkungan diharuskan membuat laporan AMDAL. Perlindungan terhadap lingkungan secara tidak langsung juga terjadi dalam perdagangan dunia. Saat ini konsumen di negara-negara maju seperti Uni Eropah dan Amerika Serikat, dalam menilai suatu produk tidak hanya mempertimbangkan harga dan mutu dalam arti penampilan fisik saja. Produk yang tidak disertai Green Label (Label Hijau) akan mereka kesampingkan dan akhirnya akan kalah bersaing di pasar Internasional. Oleh karena itu dalam perdagangan global, hambatan tarif berangsur-angsur akan dikurangi dan akhirnya ditiadakan selanjutnya secara bertahap akan berubah menjadi hambatan non tarif yang terkait dengan masalah lingkungan. Dampak dari perkembangan ini berakibat makin kompetitifnya produk di pasar internasional, terutama produk
yang dikonsumsi oleh masyarakat negara maju. Keadaan ini dapat mengakibatkan negara berkembang, seperti Indonesia akan sulit untuk menjual produk yang tidak ramah lingkungan di pasar internasional. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor hasilhasil pertanian diantaranya adalah komoditas lada dan panili. Mengacu kepada perubahan perilaku konsumen di negara maju yang sebagian besar menjadi tujuan ekspor komoditas pertanian Indonesia, maka perlu segera diupayakan alternatif pengembangan kedua komoditas tersebut sebagai pelengkap pengembangan yang telah ada. Salah satu altenatif tersebut adalah dengan cara budidaya organik. Komponen teknologi untuk mendukung upaya tersebut sebagian telah diperoleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (dahulu Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat) antara lain adalah pemanfaatan pupuk bio (biofertilizer) dan pupuk alam untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta agensia hayati untuk pengendaliaan penyakit. BUDIDAYA ORGANIK Sejak dicetuskannya konsepsi tentang pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) pada tahun 1987 oleh World Commision on Environment and Development (WCED) mendorong sektor pertanian untuk melaksanakan sistem pertanian yang ramah lingkungan hal tersebut ditandai dengan berkembangnya sistem pertanian organik. Definisi pertanian/budidaya organik secara umum adalah cara
budidaya yang hanya menggunakan masukan organik, bahan kimia sintetik seperti pestisida, pupuk kimia sintetik dan bahan kimia lainnya yang dapat merusak lingkungan dan kesehatan manusia tidak boleh digunakan (Jones dan Doolan, 1998). Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat seperti itu telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Adanya preferensi konsumen inilah yang menyebabkan perdagangan produk pertanian organik di dunia mencapai pangsa 20 % dengan permintaan terus meningkat sebesar 20 % per tahun. Oleh karena itu trend pada abad 21 adalah penyediaan pangan yang diproduksi dengan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk kimia sintetis, termasuk zat pengatur tumbuh. Suatu produk dapat diakui sebagai produk organik apabila telah diinspeksi dan disertifikasi oleh suatu lembaga sertifikasi resmi. Pemilihan lembaga sertifikasi tergantung ke negara mana produk tersebut akan diekspor. Budidaya organik di negara-negara maju telah lama dikembangkan, namun masih terbatas pada tanaman pangan dan sayuran. Peluang ekspor untuk produk organik masih terbuka lebar terutama untuk negara maju seperti Uni
65
Eropah, Amerika dan Jepang (Jones dan Doolan, 1998). Harga produk organik ini bisa mencapai 2 - 8 kali lipat harga produk non organik seperti lada hitam organik di pasar internasional pada saat ini dijual dengan harga US $. 15,1 per kg (www. healthybuyersclub.com, 2007) dan panili organik US $ 63,25 - 70,00 per pound, (www.amadeusvanillabeans. com/store/organic, 2007). Keunggulan lain produk organik ini adalah dapat masuk juga ke pasar non organik. Walaupun produk organik dari beberapa jenis komoditas rempah di pasar internasional telah ada namun saingannya belum begitu banyak. Hal tersebut merupakan peluang untuk Indonesia untuk mengisi pangsa pasar tersebut. Hal tersebut didukung pula telah mulai bermunculan eksportir-ekportir di dalam negeri yang khusus menampung produk organik. Selain lada dan panili, komoditas dari kelompok tanaman rempah yang mempunyai prospek untuk dibudidayakan secara organik antara lain adalah kapolaga, kayumanis dan pala, dari kelompok tanaman industri antara lain melinjo, makadamia dan jambu mete, sedangkan dari kelompok tanaman obat adalah jahe dan kunyit. KEBUTUHAN HARA TANAMAN LADA DAN PANILI Secara umum ada 16 unsur hara yang diakui sebagai unsur hara, sedangkan dari segi pemupukan paling tidak terdapat 12 unsur hara yang penting bagi tanaman. Ke-12 unsur hara tersebut terbagi kedalam dua ke-
66
lompok yaitu unsur hara makro yang berjumlah enam unsur hara dan unsur hara mikro yang berjumlah tujuh unsur hara. Pada dasarnya unsur-unsur hara tersebut di dalam tanah terdapat dalam bentuk tersedia dan tidak tersedia bagi tanaman. Jika unsur hara tidak tersedia bagi tanaman maka pemupukan perlu dilakukan. Dosis pupuk yang harus diberikan tergantung kepada faktor tanah dan tanamannya. Oleh karena itu kebutuhan unsur hara untuk setiap jenis atau varietas tanaman akan berbeda. Dibawah ini akan diuraikan secara singkat mengenai kebutuhan hara tanaman lada dan panili. Lada Secara umum tanaman lada untuk tumbuh dan berproduksi secara baik membutuhkan unsur hara relatif banyak. de Waard (1969) bahkan mengatakan bahwa lada merupakan ta0naman yang rakus unsur hara. Untuk menghasilkan 1 kg buah lada hitam dibutuhkan 32 g N, 5 g P2O5, 28 g K2O, 8 g CaO dan 3 g MgO (de Waard, 1964). Pada tanaman lada varietas Kuching yang pertumbuhannya dan produktivitasnya baik kandungan hara didaunnya adalah 3,10 – 3,40 % N, 0,16 – 0,18 % P2O5, 3,40 – 4,30 % K2O, 1,66 – 1,68 % CaO dan 0,44 – 0,45 % MgO (de Waard, 1969). Hasil-hasil penelitian pemupukan yang telah dilakukan oleh Balittro menunjukkan bahwa tanaman lada sangat responsif terhadap pemupukan (Wahid, 1984). Balittro telah melepas 7 varietas lada yang mempunyai keunggulan berbeda. Untuk keperluan budidaya organik varietas/jenis lada yang akan dipakai
diusahakan yang produktivitasnya sedang dan relatif tahan terhadap hama dan penyakit, seperti Natar I (Belantung). Hal tersebut dipandang perlu mengingat unsur hara yang akan disediakan dari cara budidaya organik relatif sedikit. Tegakan yang digunakan sebaiknya dari pohon hidup jenis leguminosa yang dapat menyuburkan tanah seperti lamtoro dan glirisidia. Hal ini akan membantu mengurangi upaya pemupukan terutama hara N. Panili Seperti halnya tanaman lainnya panili untuk tumbuh dan berproduksi secara baik memerlukan unsur hara. Pemupukan pada tanaman panili saat ini masih terbatas pada pemakaian pupuk organik seperti pupuk kandang. Pemberian pupuk kandang sebanyak 30 kg/pohon/tahun dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi panili (Yufdy, 1995). Ditingkat petani pemberian pupuk jumlah besar seperti urea, TSP dan KCl jarang sekali dilakukan karena dianggap kebutuhan hara tanaman panili hanya sedikit.
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar karena hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa ta-naman panili cukup tanggap terhadap pemberian pupuk NPK yang diberikan secara merata (Ruhnayat dan Rosman, 1993). Untuk memperoleh pertumbuhan tanaman panili yang baik dibutuhkan unsur-unsur hara rata-rata sebesar 272,3 mg NO3/l, 50,3 mg PO4/l, sedangkan kebutuhan unsur hara K belum diketahui karena hubungannya masih linier (Ruhnayat, 2007a). Jumlah unsur hara yang terserap dalam 100 g bahan kering panili terlihat pada Tabel 1. POTENSI BEBERAPA PUPUK BIO DAN PUPUK ALAM SEBAGAI SUMBER HARA TANAMAN Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa kebutuhan unsur hara tanaman lada dan panili relatif cukup besar. Untuk tujuan budidaya organik perlu dicari sumber pupuk yang ramah lingkungan namun tanaman tetap dapat berproduksi secara optimal diantaranya
Tabel 1. Kadar hara pada 100 g bahan kering tanaman panili Unsur hara N P2O5 K CaO MgO Cl Keterangan :
Batang *) (g) 0,758 0,187 1,166 2,191 1,372 0,610
Daun (g) *) 1,181 0,347 1,668 0,072 2,436 0,872
**) 1,94 0,53 2,83 2,26 3,81
Buah *) (g) 1,759 0,453 2,513 1,449 0,735 1,231
Total *) (g) 3,698 0,987 5,347 3,712 4,545 2,713
*) Deinum (1949) **) Ruhnayat (2007)
67
adalah pupuk bio dan pupuk alam. Pupuk bio yang dimaksud adalah mikroba-mikroba yang dapat menyuburkan tanah. Sedangkan yang dimaksud dengan pupuk alam adalah pupuk yang langsung didapat dari alam. Sudah sejak lama pupuk bio dan pupuk alam digunakan untuk miningkatkan produktivitas tanaman. Namun karena unsur hara yang dapat disediakan relatif sedikit, maka sejak tahun enam puluhan penggunaannya mulai dikurangi bahkan ditinggalkan dan perannya digantikan dengan pupuk buatan (anorganik) yang mampu menyediakan unsur hara dalam jumlah dan jenis yang lebih banyak. Masa tersebut dikenal dengan Revolusi Hijau (green revolution). Pada masa revolusi hijau produksi pertanian dapat ditingkatkan (terutama produksi pangan di negara ketiga) secara mencolok (Brush, 1987; Greenland, 1987). Peningkatan produksi akibat revolusi hijau ternyata tidak dapat berlangsung lama. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tanpa pupuk alam terutama bahan organik sistem pertanian akan bersifat rapuh (fragile), mudah terguncang hanya dengan perubahan lingkungan yang kecil saja (Bergeret, 1987). Selain itu pemakaian pupuk buatan memerlukan energi yang relatif besar dan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain meningkatnya kandungan hara diperairan (eutrofikasi) dan air tanah. Pemakaian pupuk N yang berlebih selain menaikan kandungan nitrat dalam air tanah juga dapat meningkatkan efek rumah kaca di atmosfir dan
68
merusak lapisan azon di stratosfir sebagai akibat meningkatnya konsentrasi gas NO2 di atmosfir. Gas NO2 merupakan produk sampingan dari proses denitrifikasi (kehilangan N dalam bentuk gas) (Condrad, 1990; Simarmata et al., 1993). Sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia yaitu pertanian yang berwawasan lingkungan, efisiensi penggunaan energi dan isue Back To Nature (kembali ke alam) serta go organic 2010, maka pemanfaatan bioteknologi tanah (pemanfaatan jasa mikroba tanah dan teknologi pupuk alam) untuk meningkatkan produksi tanaman rempah umumnya dan khususnya tanaman lada dan panili serta mempertahankan produktivitas lahan merupakan suatu alternatif yang perlu diteliti dan dikaji secara seksama. Indonesia sebagai negara tropis kaya akan sumber-sumber pupuk alam dan jenis mikroba tanah yang bermanfaat. Beberapa mikroba tanah yang bermanfaat antara lain adalah dari kelompok penfiksasi (penambat) N yaitu Rhizobium, Azotobacter dan sebagainya, dari kelompok penyedia unsur hara P secara tidak langsung yaitu Mikoriza, pelarut P dan lainnya. Sedangkan sumber pupuk alam yang cukup potensial antara lain adalah sisasisa tanaman, hewan dan pupuk P alam (rock phosphate). Jumlah nitrogen bebas (N2) yang dikandung oleh atmosfir bumi sangat melimpah, tetapi tidak bisa langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Masuknya nitrogen kedalam biosfer sehingga menjadi tersedia bagi tanaman, ter-
utama disebabkan oleh kegiatan mikroorganisme tanah yang mempunyai kemampuan untuk menggunakan nitrogen bebas dari udara dalam proses pembentukan sel-sel jaringan tubuhnya. Hal tersebut disebabkan karena jenis mikroba ini mempunyai enzim nitrogenase yang berfungsi untuk mengikat N2 dari udara, baik secara simbiotik maupun non simbiotik. Fiksasi nitrogen secara simbiotik dilakukan oleh mikroba-mikroba yang umumnya hidup pada perakaran tanaman kacang-kacangan (leguminosa), sedangkan secara non simbiotik dilakukan oleh mikrobamikroba yang hidup bebas di dalam tanah, salah satu yang terpenting adalah bakteri Azotobacter sp. Mikroba dari jenis non simbiotik adalah yang paling sesuai dimanfaatkan pada lada dan panili karena bukan merupakan jenis leguminosa. Bakteri Azotobacter pertama kali ditemukan oleh Beijerinck tahun 1901, merupakan genus dari famili Azotobactericeae, tersebar luas di alam, bersifat aerobik heterotrof (memerlukan O2 dan karbohidat) dan ditemukan pada pH tanah 4,5 – 9,0. Beberapa species yang banyak dikenal adalah Azotobacter chroococum, A. beijerinckii, A. vinelandii dan A. paspali. A. chroococum lebih tersebar luas diberbagai jenis tanah dibandingkan dengan species lainnya. Para ahli sependapat bahwa sumbangan mikroorganisme fikasai N non simbiotik masih rendah apabila dibandingkan dengan yang non simbiotik. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : a). populasi mikroba ini di dalam tanah
umumnya sedikit (103 - 104 per g tanah), b). efisiensi fiksasi rendah, c). sumber karbon dan energi di dalam tanah sedikit, dan d). adanya mikroba tanah lainnya sebagai saingan. Menurut Mengel dan Kirby (1982) rata-rata N yang dapat difiksasi sekitar 5 – 10 kg N/ha, untuk daerah tropis jauh lebih besar yaitu sekitar 60 – 90 kg N/ha. Sedangkan menurut Sarief (1983) ratarata fiksasi N oleh bakteri Azotobacter sebesar 28,8 kg N/ha atau setara dengan perombakan N sebanyak 45,46 kg yang berasal dari amonium sulfat. Secara umum kemampuan Azotobacter untuk menfiksasi N (efisiensi fiksasi) sekitar 10 – 20 mg N/karbohidrat (Arief, 1980). Kemampuan menfiksasi N oleh Azotobacter ini dapat ditingkatkan antara lain dengan cara mengoptimalkan lingkungan tumbuhnya (Shaev et al., 1991; Kennedy dan Tchan, 1982; Bohlool et al., 1992). Populasi Azotobacter di dalam tanah umumnya sedikit. Menurut Rao (1982) populasi A. chroococum di dalam tanah jarang yang melampaui 105 sel per g tanah. Pada tanah latosol populasi A. chroococum ini berkisar antara 101 – 102 per g tanah (Ruhnayat, 1987). Sedangkan menurut Ayanaba (1977) untuk menfiksasi 2,5 g N/ha dibutuhkan Azotobacter sebanyak 107 sel/g tanah. Upaya inokulasi mikroba ini kedalam tanah dan optimalisasi lingkungan tumbuhnya sangat diperlukan untuk meningkatkan populasinya. Hasil penelitian Ruhnayat (1987) menunjukkan bahwa inokulasi Azotobacter disertai dengan pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan po-
69
pulasi Azotobacter di dalam tanah. Sedangkan hasil-hasil penelitian di manca negara pada berbagai tanaman menunjukkan bahwa inokulasi Azotobacter kedalam tanah dapat meningkatkan hasil sekitar 15 – 60 % (Hamdi, 1982; Rao, 1982) dan dapat mengurangi pupuk buatan sampai 30 % (Ayanaba, 1977). Inokulasi Azotobacter akan lebih meningkatkan hasil tanaman apabila dibarengi dengan pemberian bahan organik seperti terlihat pada Tabel 2 (Mishustin, 1970). Selain dapat menyediakan hara N mikroba ini mampu menghasilkan zat tumbuh seperti GA dan IAA sehingga dapat meningkatkan germinasi tanaman (Rao, 1982). Sedangkan hasil penelitian Laksmikumari (1972) dalam Rao (1982) dan Singh (1977) dalam Rao (1982) menunjukkan bahwa Azotobacter dapat pula menekan beberapa patogen tanah, karena dapat menghasilkan eter yang dapat melarutkan mikroba yang bersifat fungisitik.
Dengan demikian diharapkan dengan penggunaan Azotobacter selain dapat menyediakan unsur hara terutama N dan juga dapat menghindari penggunaan pestisida kimiawi yang merupakan syarat mutlak pada budidaya organik. Di dalam tanah terdapat pula mikroba lainnya yang secara tidak langsung dapat menyuburkan tanah diantaranya adalah mikroba pelarut P. Mikroba pelarut P ini di dalam tanah ada dua kelompok yaitu dari kelompok bakteri dan jamur. Pelarut P dari kelompok bakteri antara lain adalah Pseudomonas dan Bacillus, sedangkan dari kelompok fungi adalah Aspergillus dan Penicilium (Alexander, 1977). Mikroba-mikrba tersebut dapat tumbuh pada fosfat tak larut (insoluble phosphate) seperti tricalcium, ferric, aluminium, magnesium phosphate dan dapat merubah P-alam dan tepung tulang menjadi bentuk yang dapat larut.
Tabel 2. Pengaruh inokulasi Azotobacter dan pupuk kandang terhadap hasil beberapa tanaman
Jagung
Pupuk kandang Pupuk mineral
Hasil tanaman tanpa inokulasi (ton/ha) 5,47 5,50
Kentang
Pupuk kandang Pupuk mineral
17,00 10,90
25,30 12,80
Kubis
Pupuk kandang
23,93
19,00
Tomat Pupuk kandang Sumber : Mishustin (1970).
15,80
28,00
Tanaman
70
Jenis pupuk
Peningkatan hasil dengan inokulasi (%) 33,40 12,70
Peranan mikroba pelarut P telah lama diteliti (Geretsen, 1948; Sen dan Paul, 1957). Hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa inokulasi mikroba pelarut P (Bacillus cereus) dapat meningkatkan serapan P dan bobot kering tanaman Lolium multiflorum masing-masing sebesar 40 % dan 50 % (Fernandez et al., 1985). Untuk keperluan budidaya organik pemilihan sumber P alam yang tidak mencemari lingkungan sangat diperlukan. Sumber hara lainnya yang berasal dari alam yang cukup potensial adalah bahan organik sisa-sisa jaringan tanaman seperti hasil pangkasan pohon panjat/penaung dan penutup dan sisa hasil panen. Komposisi kimia hasil pangkasan pohon panjat/penaung seperti lamtoro dan glirisidia cukup lengkap (Smith dan Houter, 1987 dalam Mathius, 1992). Hasil penelitian Wong dan Paulus (1993) menunjukkan bahwa unsur hara yang terkandung dalam bahan kering glirisidia adalah 2,27 % N, 0,182 % P, 1,79 % K, 1,46 % Ca, 0,33 % Mg dan pada lamtoro adalah 2,60 % N, 0,184 % P, 1,82 % K, 1,42 % Ca dan 0,29 % Mg. Selain kandungan haranya relatif cukup tinggi daun glirisidia dan lamtoro ini bisa langsung diberikan kedalam tanah tanpa melalui pengomposan terlebih dahulu karena C/N rationya kurang dari 15 (Pujianto, 1994). Sumber hara lainya yang cukup potensial terutama sebagai sumber hara K adalah abu sekam padi, abu janjang kelapa sawit, abu sabut kelapa, ampas nilam, limbah kulit biji atau buah melinjo, lada, pala dan jambu mete (Ruhnayat, 1995).
HASIL PENELITIAN PEMANFAATAN PUPUK BIO DAN PUPUK ALAM PADA TANAMAN LADA DAN PANILI Penelitian pemanfaatan pupuk bio dan pupuk alam serta kegiatan penunjangnya pada tanaman lada dan panili baru dimulai pada tahun 90-an itupun masih terbatas pada parameter pertumbuhan. Beberepa hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut : Lada perdu Hasil penelitian di rumah atap paranet menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang nyata antara bakteri A. chroococcum, guano kelawar dan kompos daun glirisidia terhadap peningkatan tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun lada perdu (Ruhnayat, 2007b). Pemberian perlakuan A. chroococcum sebanyak 20 ml/tanaman ditambah dengan guano kelelawar sebanyak 15 g/tanaman dan kompos daun gamal sebanyak 0,5 kg/tanaman dapat meningkatkan tinggi tanaman sebesar 70,83 %, jumlah cabang sebesar 153,20 % dan jumlah daun 92,26 % dibandingkan dengan kontrol. Pemberian Azotobacter, guano kelelawar dan kompos daun glirisidia dapat digunakan sebagai pengganti pupuk anorganik untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman lada perdu yang akan dibudidayakan secara organik. Inokulasi Azotobacter dan mikroba pelarut P (Bacillus subtilis) masing-masing sebanyak 108 - 1010 sel/ml/ tanaman serta pemberian fosfat alam sebanyak 42 g/tanaman memberikan pertumbuhan vegetatif tanaman lada
71
perdu terbaik dan tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan pemberian pupuk buatan NPKMg (12:12:17:2) sebanyak 150 g (Ruhnayat, 1999a). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian mikroba bakteri Azotobacter, pelarut P dan fosfat alam dapat dijadikan sumber hara N dan P pada budidaya organik lada perdu. Panili Pemberian pupuk bio Azotobacter sebanyak 100 ml/tanaman (kepadatan 1.5 x 1011 sel azotobacter/ml) dan 200 g bahan organik berupa daun glirisidia kering dapat meningkatkan panjang sulur dan jumlah daun panili umur 1 tahun masing-masing sebesar 148,2 % dan 105,7 % (Ruhnayat, 1999b). Bahan organik disamping sebagai sumber nutrisi dan memperbaik sifat fisik tanah dapat pula berfungsi sebagai salah satu komponen penting dalam pengendali patogen tanah secara terpadu untuk memperbaik kesehatan tanaman (Singh, l971). Bahan organik dapat meningkatkan aktivitas mikroba antagonis, menghasilkan toksin selama proses dekomposisi yang dapat menyebabkan terjadi lisis pada patogen (Linderman dan Gilbert, 1975; Ueda et al., l990). Dengan demikian diharapkan pemberian bahan organik akan dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia pada budidaya organik. Bahan organik lain yang cukup potensial untuk digunakan sebagai sumber pupuk pada tanaman panili adalah serasah daun bambu yang pada umumnya cukup banyak tersedia di sentra-sentra pengembangan panili. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian sera-
72
sah daun bambu sebanyak 250 g/pohon + 5 ml/l air BIO-TRIBA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman panili (Ruhnayat, 2006). Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pengaruh serasah daun bambu sama baiknya dengan pupuk kandang terhadap perumbuhan tanaman panili. Dengan demikian serasah daun bambu dapat digunakan sebagai pengganti pupuk kandang yang relatif mahal. Pemberian mikroba lainnya seperti mikoriza (membantu penyerapan hara P) juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman panili (Trisilawati dan Zaubin, 2002: Trisilawati dan Firman, 2004). Selain itu telah diperoleh pula pupuk organik cair dari tumbuhan dan hewan (guano kelelawar dan tepung ikan), dengan kandungan unsur hara yang cukup tinggi dan lengkap (Ruhnayat et al., 2002). Pupuk organik cair tersebut dapat diaplikasikan pada tanaman panili dalam bentuk pupuk daun. Pemberian pupuk pada tanaman panili akan lebih efektif apabila selain diberikan melalui tanah juga melalui daun (Azmi dan Ruhnayat, 2000; Ruhnayat, 2001). KESIMPULAN DAN SARAN Pupuk bio seperti dari kelompok penambat N (bakteri Azotobacter) dan dari kelompok pelarut P (Bacillus) serta pupuk alam (daun gilisidia, serasah daun bambu dan guano kelelawar) dapat digunakan sebagai pupuk alternatif untuk meningkatkan pertumbuhan lada dan panili organik Disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh pupuk
bio dan pupuk alam terhadap produksi lada dan panili. DAFTAR PUSTAKA Alexander, M., 1977. Introduction to soil microbiology. John Wiley and Sons Inc. New York. 467 p. Arief, D.H., 1980. Sumbangan mikroorganisme non simbiotik terhadap pertanian. Bahan seminar Bagian Produksi Tanaman Fak. Pertanian Unpad Bandung. 12 hal. Ayanaba, A., 1977. Biological nitrogen fixation in farming systems of tropic. John Wiley & Sons. New York. Bergeret, A., 1987. Sistem produksi menurut pendekatan ekologis. P. 44 – 84. In; J Metzner and N. Daldjoeni (Eds.) Ekofarming, Bertani Selaras Alam, Yayasan Obar Indonesia, Jakarta. Bohlool, B.B., J.K. Ladha, D.D. Garrity and T. Goerge, 1992. Biological nitrogen fixation for sustainable agriculture : A Perspective. In; Ladha, J.K., T. George and B.B. Bohlool (eds.). Biological nitrogen fixation for sustainable agriculture, p. 1 – 11. Kluwer Academic Publisher, Dordrecht. Brush, S.B., 1987. Usaha tani di lereng pegunungan Andes (Peru). P. 176 – 185. In; J Metzner and N. Daldjoeni (Eds.) Ekofarming, Bertani Selaras Alam, Yayasan Obar Indonesia, Jakarta.
Condrad, R., 1990. Flux on NOx between soil and atmosphere: Importance and soil microbial metabolism. In; Revsbech, N.P. and J. Sorensen (eds). Denitrification in soil and sediment, p. 105 – 128. Plenum Press, New York and London. Deinum, H.K., 1949. Vanille dalam ; C.J.J van Hall en C. van de Koppel. De Landbouw in de Indische Archipel. IIB : 763 – 784. de Waard, P.W.F., 1964. Pepper cultivation in Serawak. World Crops : 24 – 30. de
Waard, P.W.F., 1969. Foliar diagnosis and yield stability of black pepper (piper nigrum L.) in Serawak. Bull. Roy. Trop. Inst. Amsterdam. 77 pp.
Fernandez, M., C. Cadalia, A. Garate and R. M Esteban, 1985. The electroultrafiltrationmethod for controlling the effect of Bacillus cereus on phosphorus mobilization in calcaraeous soil. Biology and Fertility of Soils I : 97 – 102. Greenland, D.J. (1987). Mengalihkan sifat tepat guna Revolusi Hijau kepada kaum peladang. P. 186 – 199. In; J Metzner and N. Daldjoeni (Eds.) Ekofarming, Bertani Selaras Alam, Yayasan Obar Indonesia, Jakarta. Gerretsen, F.C., 1948. The influece of microorganism on phosphate intake by the plant. Plant and Soil No. 1. 51 – 81.
73
Hamdi, J.A., 1982. Aplication of nitrogen fixing system in soil management. FAO of UNO, Rome. Jones, P.T. and R. Doolan, 1998. The international market for organic food. Rural Industriy Business Servis. Departemen of Primary Industries, Queensland. 45 p. Kennedy, I.R. and Y.T. Tchan. 1992. Biological fixation in nonleguminous field crops; Recent advences. In; Ladha. J.K. T. George and B.B. Bohlool (Eds.). Biological nitrogen fixation for sustainable agriculture, p. 93-118. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. Mathius, I.W., 1992. Penggunaan hijauan glirisidia sebagain pakan pengganti hijauan lamtoro untuk makanan ternak. Jurnal Litbang Pertanian Vol. XI No. 1 : 1 – 5. Mengel, K. and A. Kirby, 1982. Principle of plant nutrition. International Potash Institute, Switzerland. Mishustin, N.E., 1970. The importance of non symbiotic nitrogen fixing microorganisme in agriculture. Plant and Soil 32.
74
Pujianto, 1994. Nilai hara beberapa tanaman penaung pada perkebunan kopi dan kakao. Warata Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 19. 28 – 31. Ruhnayat, A., 1987. Pengaruh pemberian pupuk kandang sapi dan inokulasi Azotobacter terhadap pH tanah, populasi Azotobacter, Corganik tanah, N-total tanah dan hasil tanaman tomat (Lycopersicum esculentum) Var. Berlian pada tanah latosol. Thesis S1 Fak. Pertanian Unpad Bandung. Ruhnayat, A., 1991. Potensi bakteri Azotobacter sp. dan kemungkinan pemanfaatannya pada tanaman rempah dan obat. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Nomor 8. Pulitbangtri. 18 – 21. Ruhnayat, A., 1995. Peranan unsur hara kalium dalam meningkatkan pertumbuhan, hasil dan daya tahan tanaman rempah dan obat. Jurnal Litbang Pertanian Vol. XIV, No. 1 : 10 – 15. Ruhnayat. A., 1999a. Pemanfaatan Azotobacter dan mikroba pelarut P sebagai sumber hara N dan P pada tanaman lada. Laporan Teknis Penelitian Balittro Buku II. 235 – 244.
Ruhnayat, A., 1999b. Pemanfaatan mikroba perombak bahan organik dan Azotobacter pada tanaman panili. Laporan Teknis Penelitian Balittro Buku II. 157 – 164. Ruhnayat, 2007a. Penentuan kebutuhan pokok unsur hara N, P, K untuk pertumbuhan tanaman panili (Vanilla planifolia). Buletin Penel. Tanaman Rempah dan Obat Vol. XVIII No. 1. 49-59. Ruhnayat, 2007b. Effect of Azotobacter, bat guano and glyricidia compost on the growth of bushy black pepper (Piper nigrum L.). Prosiding Seminar XIII Persada. Fak. Kedokteran Hewan IPB. 249-252. Ruhnayat, A. dan R. Rosman, 1993. Respon stek panili terhadap pemberian pupuk N, P dan K. Bul. Penel. Tan. Rempah dan Obat. Vol. VIII No. 2 : 70 – 74. Ruhnayat, A. dan R. Zaubin, 1999. Penentuan nilai kritis, optimal dan selang kecukupan unsur hara NPK tanaman lada perdu. Laporan Teknis Penelitian Balittro Buku II. 189 – 198. Sarief, Saiffudin, 1983. Ilmu tanah pertanian. Bagian Ilmu Tanah fakultas Pertanian Unpad Bandung. Shaev, V.P., V.Y. Smolin and V.I. Strekozova, 1991. The effect of Azosprollum brasilencese Sp7 and Azotobacter chroococcum on nitrogen balance in soil under cropping with oats (Avena sativa
L.) Biol. Fertil. Soils 10 : 290 – 292. Simarmata, T., G. Benckiser and J.C.G. Ottow, 1993. Effect of increasing carbon-nitrate-N ratioon the reliability of acetylene to block the N2Oreductase activity of denitrifying bactreria in soil. Biol. Fertil. Soils 15. 107 – 112. Rao, Subba, N.S., 1982. Biofertilizer in agriculture. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi etc. Saragih, Yan Pieter dan Yadi Haryadi, 1994. Mete. Penebar Swadaya. Jakarta. 33 hal. Sen, A. and Paul, N.B., 1957. Solubilization of phosphates by some commond soil bacteria. Curr. Sei., 26(7) : 22. Ueda, S., Yamashita, M., Nakajima, M., and Kuwabara, Y. l982. Inhibition of microorganisms by spice extracts and flavoring cmpounds. Nippon Shokuin Kogyo Gakkashi 29 (2):111 –116. Wahid, P., 1984. Pengaruh naungan dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman lada . Fak. Pasca Sarjana, IPB. 201 hal. Wong, T.H. and A.D. Paulus, 1993. Evalution of five supports for black pepper. The Pepper Industry Problems and Prospects. Univ. Pertanian Malaysia. 24 – 34.
75
Www.amadeusvanillabeans.com/store/ organic, 2007. Organic vanilla beans. Www.healthybuyersclub.com., Organic spices.
76
2007.
Yufdi, M. Prama, 1995. Budidaya panili menunjang mutu hasil tinggi. Prosiding Temu Tugas Pemantapan Budidaya dan Pengolahan Panili. Balittro. 78 – 85.