COVER DEPAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Jilid 2 Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Tanaman Perkebunan dan Hortikultura Hotel Santika Bengkulu, 08 November 2016
Kementerian Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Kerjasama dengan FAPERTA Universitas Bengkulu FAPERTA Universitas Muhammadyah Bengkulu Badan Penelitian dan Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Jilid 2 Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Tanaman Perkebunan dan Hortikultura Hotel Santika Bengkulu, 08 November 2016
Tim Penyunting : Dedi Sugandi Umi Pudji Astuti Supanjani Eva Oktavidiati Shannora Yuliasari Ahmad Damiri Ruswendi Sri Suryani M Rambe
Redaksi Pelaksana : Taufik Hidayat Taupik Rahman
Desain/Tata letak : Agus Darmadi
ISBN 978-602-9064-37-7 Diterbitkan oleh: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Balitbangtan Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 E-mail:
[email protected] Hak cipta ada pada penulis, tidak diperkenankan memproduksi sebagian atau keseluruhan isi prosiding ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari penulis.
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KATA PENGANTAR Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian kedepan akan semakin beragam dan komplek, untuk itu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dituntut untuk mampu melaksankan seluruh program kerjanya untuk mendukung empat suskes kementerian pertanian dengan melakukan koordinasi, sinkronisasi dan sinergi dengan Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, BUMN/swasta dan petani pengguna. Untuk itu, melalui penyelengggaraan seminar inovasi ini diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk penyebarluasan hasil-hasil penelitian, pengkajian, pengembangan dan penerapan (litkajibangrap) BPTP Bengkulu, maupun lembaga-lembaga penelitian lainya yang ikut serta dalam kegiatan ini. Seminar Nasional dengan tema “Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”, yang telah diselenggarakan pada tanggal 8 November 2016 bertujuan untuk menyebarluaskan inovasi hasil penelitian, pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian spesifik lokasi kepada seluruh pemangku kebijakan bidang pertanian dan pengguna di Provinsi Bengkulu, serta publikasi imiah dalam bentuk prosiding makalah yang disajikan pada saat seminar. Seminar Nasional ini terselenggara atas kerjasama antara Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu - Badan Penelitian dan Pengembangangan Pertanian, Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu dan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI). Makalah yang telah dipresentasikan dan memenuhi syarat, diterbitkan dalam prosiding seminar. Prosiding dibagi menjadi 3 (tiga) jilid buku yang memuat makalah dalam bidang (1) Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Tanaman Pangan, (2) Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Perkebunan dan Hortikultura, (3) Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Peternakan dan Lainnya. Apresiasi dan ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi menyumbangkan pikiran, tenaga dan waktunya selama penyelenggaraan seminar maupun dalam proses penyelesaian prosiding ini. Semoga buku prosiding ini bermanfaat bagi pembaca dan pengambil kebijakan.
Bengkulu, 3 Februari 2017 Kepala BPTP Bengkulu,
Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP
iii
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
LAPORAN KEPALA BPTP EKSPOSE INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK DI PROVINSI BENGKULU Assalammualikum warahmatulahi wabarokatuh.... Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua... Yang Terhormat Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI Yang Kami Hormati : • Komandan Korem 041 Garuda Emas • Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu • Kepala Badan Litbang Statistik Daerah Provinsi Bengkulu • Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) • Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Universitas Dehasen, Universitas Prof. Dr. Ir. Hazairin, Universitas Ratu Samban. • Kepala Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian (BPTP) seluruh Indonesia • Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten/Kota di wilayah Bengkulu • Narasumber/Pemakalah Utama, Peneliti/Penyuluh/Dosen dan seluruh peserta ekspose serta hadirin yang berbahagia. Puji syukur marilah senantiasa kita panjatkan kehadhirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kita masih diberi kesehatan dan kesempatan sehingga dapat hadir pada acara Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu. Bapak Kepala Balitbangtan yang kami mulyakan dan Bapak/Ibu hadirin yang kami hormati, Pembangunan Pertanian Nasional tidak lepas dari pengaruh global menuju pertanian modern (modern agriculture). Ketahanan pangan, bioenergi, pelestarian lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan petani adalah tujuan utama pembangunan pertanian yang perlu terus dilanjutkan. Pertanian modern merupakan suatu cara optimalisasi usahatani untuk menghasilkan bahan pangan yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, termasuk inovasi teknologi pertanian agar berjalan lebih efektif dan efisien. Teknologi pertanian yang inovatif tidak hanya bertujuan untuk peningkatan produksi, tetapi juga meningkatkan kualitas dengan melakukan pengolahan terhadap produk pertanian. Posisi Balitbangtan akan semakin strategis dalam pembangunan pertanian nasional dengan adanya koordinasi dan dukungan intensif lintas sektoral. Hasil inovasi teknologi harus didiseminasikan secara aktif, dimana harus melibatkan peneliti/penyuluh ataupun Perguruan Tinggi sebagai bagian dari diseminasi aktif yang progresif. Untuk itu Badan Litbang Pertanian melalui BPTP Bengkulu menyelenggarakan kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu, bekerjasama dengan Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Badan Penelitian, Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu, dan Perhimpunan Agronomi Indonesia. Melalui kegiatan ini diharapkan terbangunnya komunikasi dan umpan balik antara pakar, peneliti, penyuluh, akademisi, petani, praktisi dan penentu kebijakan lainnya dalam mempercepat pencapaian diseminasi inovasi teknologi pertanian di Provinsi Bengkulu. Bapak Kepala Balitbangtan yang kami hormati, Perlu kami laporkan bahwa kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu, meliputi 3 (tiga) kegiatan, yaitu (1) Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian
iv
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Modern Menuju Pembangunan Pertanian Berkelanjutan” yang dilaksanakan pada hari ini, tanggal 8 November 2016, (2) Pengukuhan Pengurus Komisariat Daerah Bengkulu Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) Masa Bhakti 2016 - 2019, yang dilaksanakan pada hari ini tanggal 8 November 2016, dan (3) Gelar Teknologi dan Temu Lapang Inovasi Teknologi Model Sistem Pertanian Bioindustri, yang dilaksanakan pada tanggal 9 November 2016, di Kabupaten Seluma. Kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian akan dibuka secara resmi oleh Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian RI, sekaligus sebagai keynote speaker dengan materi “Inovasi Teknologi Pertanian Modern Menuju Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”. Pada acara seminar nasional ini akan dipresentasikan 4 makalah utama dengan topik: 1. Arah dan Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan, dalam hal ini akan disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian RI) 2. Kesiapan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Teknologi Pertanian Modern di Provinsi Bengkulu (Kepala Bappeda Provinsi Bengkulu) 3. Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan oleh Prof. Dr. Ir. Dwinardi Apriyanto, M.Sc (Guru Besar Universitas Bengkulu) 4. Peran Peragi dalam Mendukung Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, yang akan disampaikan oleh Prof. Dr. Alnopri, M.Sc (Ketua Komda PERAGI Bengkulu) Perlu kami laporkan juga bahwa makalah penunjang yang akan diseminarkan berjumlah 162 makalah. Makalah berupa hasil penelitian/pengkajian, konsep pemikiran/gagasan dalam bentuk review atau tinjauan, yang terdiri dari beberapa bidang bahasan yaitu bidang tanaman pangan, bidang sosial ekonomi, diseminasi penyuluhan dan kebijakan, bidang hortikultura, bidang peternakan, perkebunan, serta pascapanen dan pengolahan pangan. Seluruh makalah tersebut akan dipresentasikan baik secara oral maupun poster. Seluruh makalah yang akan dipresentasikan pada seminar nasional ini telah melalui dua kali proses evaluasi yang cukup ketat, yaitu evaluasi tahap abstrak dan evaluasi makalah lengkap. Proses evaluasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas makalah. Pada awalnya, abstrak yang masuk berjumlah 278 abstrak. Setelah melalui proses evaluasi, sebanyak 225 abstrak dinyatakan diterima dengan beberapa saran perbaikan. Pada tahap evaluasi makalah lengkap, sebanyak 162 makalah diterima untuk dipresentasikan dari 184 makalah yang masuk ke panitia. Kami mohon maaf karena berdasarkan hasil evaluasi tim evaluator ada beberapa makalah yang tidak dapat kami akomodir dalam seminar nasional ini. Jumlah peserta yang mengikuti seminar pada saat ini adalah 220 orang, berasal dari berbagai kalangan yang terdiri dari unsur birokrat, peneliti/penyuluh lingkup Kementerian Pertanian, Kementerian Ristek, Dosen dan Mahasiswa Perguruan Tinggi, Pengambil Kebijakan, Pemerintah Daerah, Perwakilan Petani dan Organisasi Profesi, yang berasal dari berbagai wilayah di seluruh Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Untuk itu kepada para peserta dari luar daerah Bengkulu kami ucapkan Selamat Datang di Kota Bengkulu. Pada kesempatan ini juga akan dilaksanakan Pengukuhan Pengurus Komisariat Bengkulu Perhimpunan Agronomi Indonesia Masa Bhakti 2016 – 2019 oleh Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) Pusat Bapak Dr. Ir. Muhammad Syakir, MS. Pembentukan Komda Bengkulu PERAGI diinisiasi oleh BPTP Bengkulu bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu, dan telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat PERAGI No. 02/SK/PERAGI/KOMDA/IX/2016, pada tanggal 6 September 2016. Pengurus Komda PERAGI Bengkulu Masa Bhakti 2016 – 2019 terdiri dari 34 orang ahli agronomi yang berasal dari berbagai instansi lingkup Provinsi Bengkulu, antara lain Perguruan Tinggi, Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu, dan BPTP Bengkulu. Kepengurusan Komda
v
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Bengkulu BERAGI meliputi 4 (empat) bidang, yaitu Bidang Penelitian dan Pengembangan, Pengabdian dan Kerjasama, Komunikasi dan Publikasi, serta Bidang Kajian Kebijakan dan Sertifikasi. Pada kegiatan Gelar Teknologi dan Temu Lapang Inovasi Teknologi Model Sistem Pertanian Bioindustri, yang akan dilaksanakan esok hari pada tanggal 9 November 2016, di Kabupaten Seluma, jumlah peserta yang akan hadir adalah 250 orang, berasal dari Jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Seluma, Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten/Kota di wilayah Bengkulu, Penyelia Mitra Tani, Ketua Gabungan Kelompok Tani, dan perwakilan manajemen Hotel dan Restoran di Kota Bengkulu. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut andil mendukung terselenggaranya kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu ini, antara lain kepada: Badan Litbang Pertanian, BBP2TP, segenap panitia seminar dari BPTP Bengkulu, mitra kerjasama Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, BPP Stada Provinsi Bengkulu, dan PERAGI. Demikian juga kami sampaikan terima kasih kepada Santika Hotel, dan semua pihak yang telah membantu demi suksesnya Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian ini. Bapak Kepala Balitbangtan yang kami hormati, Pada saatnya nanti mohon kiranya Bapak berkenan memberikan sambutan dan arahan, sekaligus membuka acara Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian ini secara resmi. Akhir kata, kepada para peserta saya ucapkan selamat mengikuti seluruh rangkaian kegiatan dengan harapan semoga kegiatan ekspose ini mampu menghasilkan rekomendasi yang bermanfaat dan ada tindak lanjut yang konkret dari seluruh stakeholder sebagai upaya kita untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan melalui penerapan inovasi teknologi pertanian modern. Kami mohon maaf, jika dalam penyelenggaraan acara ini masih ada hal-hal yang kurang berkenan bagi Bapak/Ibu. Demikian laporan yang kami sampaikan, lebih dan kurang kami mohon maaf. Bilahi taufik wal hidayah wassalammualaikum warohmatulahi wabarakatuh.
Bengkulu, 8 November 2016 Kepala BPTP Bengkulu,
Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP
vi
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN pada PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN MODERN MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN Bengkulu, 8 November 2016
Bismillaahirrahmaanirrahiim, Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Yang saya hormati, • Komandan Korem 041 Garuda Emas atau yang mewakili •
Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu
•
Kepala Badan Litbang Statistik Daerah Provinsi Bengkulu
•
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Universitas Dehasen, Universitas Prof. Dr. Ir. Hazairin, dan Universitas Ratu Samban
•
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan pejabat struktural dan fungsional lingkup Balitbangtan
•
Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota se-Provinsi Bengkulu
•
Ketua dan Anggota Komda Peragi Provinsi Bengkulu
•
Narasumber, Peneliti, Dosen, Penyuluh dan Perekayasa, peserta seminar serta hadirin yang berbahagia.
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu WaTa’ala, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga pada hari ini kita dapat bertemu dan bersilaturrahmi dalam keadaan sehat wal’afiat, pada acara Ekspose dan Seminar dengan tema ”Inovasi Teknologi Pertanian Modern untuk Mendukung Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan”. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Universitas Bengkulu, Pemprov Bengkulu, khususnya Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu, Badan Litbang Statistik Daerah Provinsi Bengkulu, Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) atas inisiatif kolaborasi dan prakarsanya dalam menyelenggarakan acara ini.
vii
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati, Ekspose dan seminar yang kita laksanakan merupakan salah satu upaya diseminasi hasil penelitian dan pengembangan yang dihasilkan oleh para peneliti, dosen dan mahasiswa dari Balitbangtan dan Perguruan Tinggi kepada pembuat kebijakan, pelaksana dan pengguna teknologi di bidang pertanian. Pada forum ekspose dan seminar ini diharapkan terjadi pertukaran pengetahuan, pengalaman, dan informasi antara para peneliti maupun dengan praktisi dan pengambil kebijakan. Kehadiran berbagai pihak yaitu para pakar, pengambil kebijakan dan praktisi, diharapkan dapat mendorong pengembangan teknologi pertanian spesifik lokasi yang modern dan inovatif berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal khususnya untuk wilayah Provinsi Bengkulu dan sekitarnya. Bapak/Ibu dan Hadirin sekalian yang saya hormati, Pardigma baru ”Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development) mempunyai makna bahwa Balitbang berkomitmen kuat dan memberikan perhatian yang besar terhadap pendayagunan hasil penelitian dan mempercepat proses penerapannya di lapangan. Hal ini berarti inovasi hasil penelitian dan pengkajian pertanian yang telah banyak dihasilkan, perlu dikemas sedemikian rupa sehingga dapat secepatnya sampai kepada khalayak pengguna. Seminar ini merupakan salah satu media untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbangtan dan penelitian lainnya. Selain menyebarkan hasil-hasil penelitian, melalui forum ini juga diharapkan adaanyaa umpan balik dari para pengguna teknologi untuk perbaikan program penelitian di masa depan. Selain melalui seminar, untuk lebih mempercepat proses diseminasi teknologi ini juga dilakukan melalui berbagai media dan metode lainnya. Salah satunya adalah melalui gelar lapang agroinovasi yang merupakan wahana untuk implementasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian pertanian yang dilaksanakan di lahan petani dalam skala yang luas. Kegiatan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu media yang dapat mempertemukan langsung antara sumber teknologi dengan penyuluh sebagai pengguna antara dan petani sebagai pengguna akhir. Balitbangtan juga terus melakukan pembaharuan inovasi yang telah diluncurkan dan dipublikasikan melalui berbagai media termasuk menyediakan informasi dalam bentuk yang mudah dipahami calon pengguna atau petani. Bapak/Ibu, serta hadirin yang saya hormati, Pada kesempatan yang baik ini, sebagai Kepala Badan yang sekaligus juga sebagai Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) periode 2016-2021, menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya dengan terbentuknya Komda Peragi wilayah Bengkulu. Oleh karena itu, kami tetapkan tahun ini sebagai tonggak kebangkitan kembali Komda PERAGI yang diawali dengan pelantikan KOMDA PERAGI wilayah Kalsel pada Agustus lalu, wilayah Maluku pada 12 Oktober, Lampung pada 19 Oktober 2016, dan kali ini Bengkulu pada 8 November 2016. Kami berharap kebangkitan Komda di Kalsel, Maluku, Lampung, dan Bengkulu mampu mendorong kebangkitan Komda PERAGI di wilayah lain di Indonesia. Amin. PERAGI dibentuk dengan maksud menghimpun masyarakat profesi Agronomi di Indonesia. Agronomi adalah ilmu yang mempelajari segala aspek biofisik yang berkaitan dengan usaha penyempurnaan budidaya tanaman. Sedangkan tujuannya adalah: a) Membina dan mengembangkan ilmu dan profesi Agronomi di Indonesia; b) Menciptakan sarana dan wahana untuk lebih meningkatakan dan pengamalan ilmu para anggota bagi pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia, dan c) Lebih mempererat hubungan dan kerjasama antara anggota masyarakat Agronomi di Indonesia. Ekspose inovasi spesifik lokasi ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan mulia PERAGI yaitu dengan mempererat kerjasama antara anggota dan antara organisasi dengan
viii
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
lembaga dan organisasi lain yang mempunyai sifat dan tujuan yang sama, milik pemerintah ataupun swasta serta menyelenggarakan pertemuan ilmiah di tingkat daerah, nasional, regional maupun internasional. Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati, Demikian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan berguna bagi upaya kita dalam mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan melalui teknologi modern dan inovatif dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’alla senantiasa memberikan bimbingan dan petunjukNYA kepada kita semua, sehingga apa yang kita rencanakan dapat terselenggara dengan baik, Amin Ya Robbal ‘Alamin. Wa Billahi taufiq wal hidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Kepala Badan
Dr. Ir. H. Muhammad Syakir, MS
ix
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
x
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ iii LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA ....................................................................................... iv SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN ............... vii DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... xi KEYNOTE SPEECH Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Kepala Badan Litbang Pertanian............................................................................................................ MAKALAH UTAMA ................................................................................................................. ......... Arah dan Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Kementerian Pertanian) .........................................................................................................................
1 5
7
MAKALAH PENUNJANG ....................................................................................................... ......... 33 Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Tanaman Perkebunan dan Hortikultura 1. Aplikasi Kalsium dan Boron untuk Mengatasi Cemaran Getah Kuning pada Buah Manggis Garcinia Mangostana (Odit F. Kurniadinata, Roedhy Poerwanto, Darda Efendi, Ade Wachjar) ..................................... 35 2. Perkembangan Struktur Torpedo Membentuk Tunas pada Tanaman Jambu Mete (Rossa Yunita, dan Ika Mariska) .................................................................................................... 45 3. Peningkatan Pengetahuan Petani Tentang Inovasi Teknologi Pengelolaan Terpadu Tanaman Jeruk di Kabupaten Kepahiang (Sri Suryani M. Rambe dan Kusmea Dinata) .................................................................................. 50 4. Bioaktivitas Ekstrak Daun Mimba dan Kacang Babi terhadap Kutu Daun Serangga Vektor Penyebab CMV dan CHIVMV pada Tanaman Cabai (Djamilah, Agustin Zarkani, dan Tri Sunardi) ................................................................................ 58 5. Upaya Peningkatan Produksi dan Mutu Kopi Rakyat di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu (Afrizon, Shannora Yuliasari dan Tri Wahyuni).............................................................................. 64 6. Pemanfaatan Berbagai Jenis Mulsa dan Vaerietas Mendukung Budidaya Cabai Luar Musim di Lahan Kering (Darman Hary) ................................................................................................................................ 72 7. Tingkat Ketidakmiripan Genotipe-Genotipe Jagung (Zea Mays l.) Generasi S1 dan S2 untuk Pembentukan Tetua (Umi Salamah, Willy Bayuardi Suwarno, dan Hajrial Aswidinnoor) ............................................. 79 8. Efikasi Pengendalian Penyakit Layu (Fusarium Oxysporum) dengan Agen Antagonis untuk Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Caisin (Brassica Campestris) (Sri Swastika dan Rachmiwati Yusuf) .............................................................................................. 87 9. Pengaruh Posisi Bahan Stek terhadap Pertumbuhan Benih Buah Naga ( Hylocereus Polyrhizus) (Bambang Hariyanto) ...................................................................................................................... 93 10. Pengaruh Umur Daun terhadap Efektivitas Pengamatan Anatomi Stomata Jambu Biji (Farihul Ihsan dan Nini Marta)....................................................................................................... 101 11. Aplikasi Beberapa Dekomposer dalam Pengomposan Limbah Kulit Kopi Liberika Tungkal Komposit (Rima Purnamayani dan Araz Meilin) ............................................................................................ 107 12. Serangan dan Memastikan Jenis Penggerek Batang Mangga Rhytidodera spp. di Kota Bengkulu (Teddy Suparno) .............................................................................................................................. 114
xi
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
13. Pengaruh Jenis Kompos dan Waktu Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Manis Secara Organic (Rahmat Wijaya, Nanik Setyowati dan Masdar) ............................................................................. 14. Karakteristik Kentang Merah Spesifik Bengkulu Selama Penyimpanan (Wilda Mikasari, Lina Ivanti, dan Taufik Hidayat) ......................................................................... 15. Penghambatan Pertumbuhan Tanaman Cabai oleh Nematoda Puru Akar Meloidogyne Sp. dan Jamur Fusarium Sp (Imelda Riska Andani, Tunjung Pamekas, dan Djamilah) .............................................................. 16. Pengaruh Beberapa Dekomposer Didalam Pembuatan Pupuk Organik dan Pemanfaatannya pada Tanaman Kopi (Putu Suratmini dan A.a.n. B, dan Sarmudadinata) ........................................................................ 17. Identifikasi Penyakit Utama pada Tanaman Buah Naga Super Merah (Hylocereus Costaricensis) di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu (Reni Andista, Tunjung Pamekas dan Usman Kris Joko Suharjo) .................................................. 18. Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit Mendukung Pengembangan Kawasan Perkebunan di Kabupaten Indragiri Hulu (Anis Fahri, Taufik Hidayat, Heri Widyanto dan Ida Nur Istina) .................................................. 19. Enkapsulasi Acetobacter Xylinum Menggunakan Alginat untuk Memproduksi Nata De Coco (Fahroji dan L.T Nguyen) ................................................................................................................ 20. Preferensi Petani terhadap Cabai Rawit Eksisting di Gorontalo (Muhammad Yusuf Antu, Nanang Buri, Ari Widya Handayani dan Hertina Artanti) ..................... 21. Pengaruh Aplikasi Kerak Boiler terhadap Produksi dan Kandungan Hara pada Tanaman Caisim (Eliartati) ......................................................................................................................................... 22. Penampilan Fenotipik 17 Genotip Anyelir Interspesifik dan Tetua Jantan SK 11_1 di Lahan Terbuka (Dewanti, M., Neni Rostini, Murdaningsih H. K., dan Anas) .......................................................... 23. Dampak Penggunaan Pupuk Kandang terhadap Efisiensi Teknis Usahatani Cabai Rawit di Kabupaten Buleleng-Bali (Jemmy Rinaldi, Ida Bagus Gede Suryawan dan Ni Putu Suratmini) ............................................. 24. Efisiensi Rantai Pemasaran Bawang Merah di Bali (Nyoman Ngurah Arya, I Ketut Mahaputra, dan Jemmy Rinaldi)................................................... 25. Pertumbuhan Eksplan dan Produksi Umbi Mikro Kentang Lokal Bengkulu Secara In Vitro pada Suhu yang Berbeda (Haryuni, Usman Kris Joko Suharjo dan Bambang Gonggo Murcitro) ......................................... 26. Aplikasi Beberapa Bioaktivator Mikroorganisme Lokal terhadap Pertumbuhan dan Produksi Selada (Lactuca Sativa l.) (Parwito dan Susi Handayani) ........................................................................................................ 27. Evaluasi Keragaan Beberapa Semangka Hibrida Koleksi Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Kuswandi, Makful, Sahlan, dan Mega Andini) .............................................................................. 28. Tingkat Kematangan Buah Rambutan terhadap Kualitas Manisan Kering Buah Rambutan (Nofiarli, Kuswandi, Andre Sparta, Mega Andini, Yulia Irawati dan Nini Marta) ........................ 29. Pengkajian Mutu Lada Hijau Kering Selama Penyimpanan (Jhon David dan Taufik Hidayat) .................................................................................................... 30. Kajian Pemasaran Jagung Manis di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar (Emlan Fauzi, dan M. Ferizal) ........................................................................................................ 31. Efektifitas dan Nilai Ekonomi Beberapa Tipe Alat Pengering dalam Meningkatkan Mutu Biji Kakao di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara (Yuliani Zainuddin, Yudi Irawan, Sudarmansyah, dan Baharuddin) ............................................... 32. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Padat (POP) terhadap Produksi dan Kelayakan Usaha Tani Kubis di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu
xii
123 129
137
145
151
159
166 172
177
183
190 197
205
210
217
222 229
235
242
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
(Yulie Oktavia dan Umi Puji Astuti) ................................................................................................ 33. Peningkatan Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Hayati pada Usahatani Cabai di Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong (Herlena Bidi Astuti dan Rudi Hartono) ......................................................................................... 34. Keragaan Sepuluh Genotip Krisan Potong Hasil Persilangan (Kurnia Yuniarto, Rika Meilasari dan Suryawati) .......................................................................... 35. Keragaman Genetik 101 Genotip Krisan (Dendranthema Grandiflora Tzvelev) Berdasarkan Analisis Kluster dan Analisis Komponen Utama (Rika Meilasari, W. A. Qosim, Murdaningsih, N. Rostini, M. Rachmadi, N. Wicaksana, K. Yuniarto dan Suryawati) ............................................................................................................. 36. Produksi Bawang Merah Generasi Kedua Asal Benih Biji Botani Bawang Merah (True Seed Of Shallot) pada Varietas Mentes, Pikatan, dan Bima (Kiki Kusyaeri Hamdani, Agus Nurawan, Liferdi, dan Meksy Dianawati) ..................................... 37. Formulasi dan Tingkat Kesukaan Konsumen terhadap Biskuit dengan Fortifikasi Bayam Hijau (S. Aminah, M. Yanis, T. Ramdhan, dan W. Mikasari) .................................................................... 38. Eksplorasi dan Karakter Morfologi Manggis di Provinsi Bengkulu (Taupik Rahman, Miswarti, dan W.E. Putra) .................................................................................. 39. Analisis Pendapatan Usahatani Cabai dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau (Oktariani Indri Safitri, Dahono, dan Lutfi Izhar) .......................................................................... 40. Eksplorasi dan Konservasi Tanaman Buah di Provinsi Bengkulu (Miswarti, Taupik Rahman dan W.E. Putra) ................................................................................... 41. Hilirisai Penerapan Inovasi Melalui Jejaring Pelaku Inovasi (Tini Siniati Koesno)........................................................................................................................ 42. Pemanfaatan Pupuk Organik Cair (POC) dari Limbah Pertanian Asal Sumber Daya Alami Lokal pada Budidaya Sayuran Bawang Daun (Allium Fistulosum l.) (Agustina E. Marpaung, Bina BR Karo, dan Kusmea Dinata)........................................................ 43. Pemanfaatan Urine Sapi dan Kelinci Sebagai Pupuk Cair dalam Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Bawang Daun (Allium Fistulosum l) (Bina BR Karo, Agustina E. Marpaung, dan Taufiq Hidayat) ........................................................ 44. Kajian Adaptasi Cabai Merah Kencana pada Agroekosistem Dataran Tinggi Musim Kemarau di Kabupaten Rejang Lebong (Rudi Hartono dan Yahumri) ........................................................................................................... 45. Analisis Usahatani Cabai Merah dengan Teknologi Anjuran di Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin Ilir, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Maya Dhania Sari, Dedeh Hadiyanti, dan Suparwoto) ................................................................. 46. Peranan Pendampingan Teknologi terhadap Peningkatan Penegetahuan Petani dan Produksi Cabe di Bengkulu (Ruswendi) ....................................................................................................................................... 47. Prospek Pengembangan Bawang Merah (Allium Ascolonicum L.) di Provinsi Riau (Rachmiwati Yusuf dan Sri Swastika) .............................................................................................. 48. Efektivitas Urin Kelinci terhadap Pertumbuhan dan Hasil Pakcoy serta Selada Pada Budidaya dalam Pot (Ikrarwati, Yudi Sastro dan Susi Sutardi)........................................................................................ 49. Keragaman Genetik dan Evaluasi Plasma Nutfah Jambu Biji (Psidium Guajava L) (Sri Hadiati dan Kuswandi)............................................................................................................. 50. Preferensi Petani terhadap Teknologi Pengolahan dan Sifat Sensori Kopi Petik Merah Spesifik Bengkulu (Shannora Yuliasari dan Afrizon).................................................................................................... 51. Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis dengan Pemberian Beberapa Jenis, Dosis dan Saat Aplikasi Kompos pada Ultisol (Merakati Handajaningsih, Marwanto, Raindra Efendi, dan Jefri Sihombing) .............................. 52. Pengaruh Aplikasi Tepung Cangkang terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Organoleptik Manisan Labu Siam
xiii
250
256 261
267
275
280 286
293 301 307
316
323
330
338
343 349
355 362
371
378
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
(Lina Widawati, Hesti Nur’aini, Septi Widiyawati) ........................................................................ 53. Aplikasi Pra dan Purna Tumbuh Herbisida Berbahan Aktif Campuran Atrazine dan Mesotrione untuk Pengendalian Gulma pada Tanaman Jagung Manis (Marulak Simarmata, Bona Romaston Haloho, dan Yenny Sariasih) ............................................. 54. Pertumbuhan dan Hasil Kangkung, Selada serta Pakcoy pada Tiga Model Akuaponik Mini yang Disusun Vertikal (Yudi Sastro, Nofi a. Rokhma, Ikrarwati, dan Lukman Hakim)....................................................... 55. Aplikasi Pupuk Organik Cair Berbahan Paitan (Tithonia Diversifolia) dengan Dosis dan Konsentrasi yang Berbeda untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Sawi di Tanah Ultisol (Edi Susilo) ...................................................................................................................................... Penutup Daftar Pertanyaan Rumusan Hasil Seminar Nasional Daftar Hadir
xiv
384
392
400
408
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Keynote speech Kepala Badan Litbang Pertanian
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEPALA BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada SEMINAR NASIONAL BPTP BENGKULU 2016
“Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan” PENDAHULUAN Perkembangan lingkungan strategis untuk mewujudkan kedaulatan pangan adalah membangun pertanian modern ramah lingkungan. Pertanian modern merupakan suatu cara optimasilsasi usahatani untuk menghasilkan bahan pangan yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, termasuk usaha teknologi pertanian agar berjalan lebih efektif dan efisien. Teknologi pertanian yang modern dan inovatif tidak hanya bertujuan untuk peningkatan produksi, tetapi juga meningkatkan kualitas dengan melakukan pengolahan terhadap produk pertanian. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern merupakan salah satu unsur penting dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan. Peran teknologi selain untuk meningkatkan produktivitas, juga untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan mutu produk yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing produk pertanian khususnya di pasar global. Sebagai salah satu lembaga penghasil teknologi pertanian modern, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah menunjukkan peranannya yang nyata dengan menghasilkan berbagai teknologi yang telah dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian, baik berupa varietas dan benih unggul, pupuk, biopestisida, teknologi pengolahan serta alat dan mesin pertanian. Potensi Balitbangtan sangat besar karena didukung oleh sumberdaya yang memadai. Balitbangan juga memiliki kemampuan yang memandai dalam kegiatan diseminasi inovasi, baik secara mandiri maupun bekerjama dengan pihak lain. Program Strategis Penelitian dan Pengembangan Pertanian Modern mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan yang dlaksanakan oleh Balitbangtan difokuskan untuk komoditas padi, jagung, kedelai, tebu, sapi, bawang merah dan cabai di samping komoditas unggulan lain yang menjadi priotas program strategis daerah. Sedangkan litbang tematik strategis yang dikembangkan oleh Balitbangtan sebagai berikut: 1. Litbang produksi benih melalui somatik embryogenesis (SE) 2. Litbang nano teknologi untuk produksi pangan dalam bentuk nano selulosa, nanonutrien, maupun nanofortifikan. 3. Litbang transgenik yang dikembangkan untuk pengembangan komoditas dengan karakteristik khusus. 4. Litbang bahan bakar nabati, yang memfokuskan pada penyediaan varietas unggul, teknologi budidaya, pengolahan dan pengelolaan sumber BBN. 5. Pengembangan model pertanian bioindustri berbasis sumber daya lokal dan agroekologi di 33 provinsi. Pertanian ke depan harus menjadi leading sector dalam memenuhi tuntutan kebutuhan pangan dan energi. Transformasi energi berbasis fosil perlu dilakukan ke arah bioenergi. Badan Litbang dalam perspective ke depan harus berada di garda terdepan untuk menjawab tantangan/masalah di masa akan datang melalui risetnya. Indonesia sebagai negara equator penghasil pangan dan energi harus waspada terhadap remote penduduk di luar equator (sebagai salah satu strategi jangka panjang dalam memperebutkan negara equator penghasil pangan dan energi). Paradigma Balitbangtan dalan pengembangan pertanian sudah mulai bergeser pada lahan suboptimal di samping optimasi sumber daya genetik pangan. Potensi sumber daya genetik tanaman perludilakukan revolusi melalui peran teknologi bidang agronomi untuk
1
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
menghasilkan pa ngan dan energi yang berkelanjutan. Kita harus dapat memanfaatkan bonus demografi untuk pengembangan sektor pertanian. Kurikulum dalam pendidikan bidang pertanian perlu dilakukan sesuai dengab perkembangan lingkungan strategis. Pertumbuhan pangan nasional harus kuadratik, tidak boleh linier agar dapat mengimbangi cepatnya pertumbuhan penduduk. Pertanian modern dalam perspektif bioekonomi tidak mengenal limbah, namun biomassa yang dapat diolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang bernilai ekonomi. Implementasi teknologi pertanian inovatif modern perlu segera dilakukan dalam skala masif (minimal 10 ha). Hilirisasi teknologi pertanian modern perlu dilakukan dari hulu sampai pada akses pasar dengan berbasis Teknologi Informasi. Tantangan sektor pertanian, pada tahun 2050 pendudk dunia mencapai 9,6 Trilyun. Pada tahun 2015 penduduk dunia mencapai 7,3 T (60% Di Asia), indonesia: No 4 setelah tiongkok, india dan USA). Untuk itu, pada tahun 2050 produksi pangan harus meningkat minimal 70%. Beberapa hal yang menjadi tantangan, yaitu lahan subur (arable land) terbatas, peningkatan kebutuhan terhadap air bersih (aktivitas pertanian menghabiskan 70% suplai air dunia), perubahan iklim, terbatasnya pasokan energi, dan pengelolaan SDM dan pemerataan kesejahteraan. Kebijakan Pembangunan Pertanian Kebijakan Kementerian Pertanian, meliputi (1) Peningkatan produksi dan provitas; fokus tujuh komoditas, regulasi/deregulasi, membangun infrastruktur, mekanisasi, penguatan on-farm, kredit, asuransi, dan penanganan pascapanen, (2) Hilirisasi produk pertanian; mendorong investasi industri gula, jagung dan sapi, hilirisasi produk kelapa sawit, kakao, kopi, KUR untuk kopi, kakao, kopi, pengolahan hasil padi, jagung dan pangan lainnya, integrasi sawit-sapi, pangan-ternak, (3) Tata niaga domestik; fokus pada 11 Komoditas pangan strategis, regulasi/deregulasi,HPP , memperpendek rantai tata niaga dan stabilisasi harga, sinergitas dengan Kemendag dan Bulog, tokoh Tani Indonesia (TTI), dan (4) Kendalikan impor dan dorong ekspor; Fokus pada 11 Komoditas komersial/ekspor, regulasi/deregulasi pengendalian impor, regulasi/deregulasi mendorong ekspor, peningkatan mutu dan daya saing produk, dan sinergitas Kemendag dan Kemenperin. Indikator Kesejahteraan Petani 2014-2015 adalah NTP dan NTUP tahun 2015 meningkat, kecuali subsektor perkebunan rakyat menurun karena komoditas orientasi ekspor (sawit, karet, kopi, kakao, dll) akibat harga dan krisis global. NTP : Nilai Tukar Petani, indeks yang diterima petani dibagi indeks yang dibayarkan untuk seluruh pengeluaran rumah tangga petani. NTUP: Nilai Tukar Usaha Pertanian, indeks diterima petani dibagi indeks yang dibayarkan untuk usaha pertanian. Pertanian Modern dalam Perspektif Bioekonomi, meliputi Prospective Bio-economi; Securing global nutrition, Ensuring sustainable agricultural production, Producing healthy and safe foods, International cooperation, Technology transfer, Developing biomas-based energy carriers, Using renewable resource for industry. Dengan landasan strategisnya adalah pertanian modern dam implementasi bioekonomi yang meliputi Bioscience, Bioengineering, Automatization, Social engineering, Bioinformatics. Strategi pertanian modern yang inovatif dan berdaya saing di Era MEA, antara lain : • Produksi pangan berkelanjutan; Lahan dan air, Rekayasa teknologi produksi, Peningkatan nilai tambah dan daya saing, Global value change and market intelligence, dan Rekayasa sosial • Energi terbarukan; Bioenergi berbasis tanaman pertanian, dan Pengembangan energ terbarukan berbasis biomassa Strategi Penelitian dan Pengembangan untuk Implementasi Pertanian Modern yang Inovatif; yaitu (1) Nilai tambah dan daya saing produk, (2) Rekayasa teknologi produksi, (3) Bio-prospecting, (4) Keanekaragaman hayati, (5) Lahan dan air, (6) Rekayasa sosial, (7) Global value chain, (8) Bioenergi, (9) Market intelligence Lahan dan Air • Identifikasi, pencegahan dan mitigasi ancaman terhadap kualitas sumberdaya lahan dan biodiversitas dengan pengembangan alert system, serta peningkatan kualitas lahan produktif dengan memanfaatkan nanoteknologi dan bioteknologi
2
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
• Pengembangan sistem informasi land use dan land cover (peta, citra, database, decision support, atau alert system) • Studi dampak lingkungan terhadap perubahan land use dan land cover. • Networking database monitoring untuk pengembangan regulasi terkait pengelolaan sumberdaya lahan dan lingkungan. Rekayasa Teknologi Produksi • Eksplorasi, konservasi dan karakterisasi plasma nutfah tanaman dan hewan. • Perakitan kultivar dan ras unggul berpotensi hasil tinggi. • Pengembangan produk transgenik yang aman dan berpotensi tinggi. • Advanced technology, seperti somatic embryogenesiss (perbanyakan benih), nanocoating (viabilitas benih), nanofluidics (proses fertilisasi), produksi benih secara in vitro, media tanam & packaging • Advanced urban farming system; pengembangan controled environmental agriculture (CEA), dan fully computerized multi-storey plant factory (biosensing, dan nano solar cells)
• • • •
Peningkatan Nilai tambah dan Daya Saing Produk Penanganan pascapanen dengan rendeman yang tinggi serta mutu yang seragam: sensing technology (sortasi & grading), nano-bio-preservative (kesegaran produk pert) Pengembangan pangan sehat: fortifikasi, modifikasi struktur pangan & nano-delivery system dan penemuan sumber pangan baru (biota laut) Pengembangan produk non pangan dengan produk-produk turunan yang bernilai tinggi (teknologi bioproses, separasi, & isolasi yang efisien). Pengembangan material maju berbasis komposit biomassa (serat selulosa)
Teknologi Pertanian Modern yang Diimplementasikan dalam Pembangunan Pertanian Terkini Penelitian dan Pengembangan untuk swasembada beras telah dilakukan pada (1) pengembangan Varietas Unggul Baru (VUB), yaitu Padi amphibi: 9t/ha dan tahan bias, Padi rawa: 8t/ha toleran Fe dan tahan blas, Hibrida:>12-13 t/ha dan tahan HDB/blas, Inbrida:10-11 t/ha dan tahan WBC dan HDB, Padi fungsional ;6-7 t/ha, Fe tinggi (>20 ppm), (2) Pendampingan UPSUS di 31 provinsi, (3) Penyediaan benih sumber (BS, FS, SS):1.194 ton, (4) Teknologi PTT lahan sub optimal, pascapanen dan Alsin 99 teknologi), (5) Sistem informasi Katam dan Standing crop, dan (6) Revitalisasi PPK meningkatkan renemen beras 4% (13 provinsi). Penelitian dan Pengembangan untuk swasembada Jagung 2017 dilakukan dengan (1) pengembangan Varietas unggul baru (VUB) yaitu 3 varietas hibrida genjah umur <100 hari dan potensi hasil 12 t.ha, satu varietas inhibrida toleran kekeringan, dan satu VUB komposit asam amino tinggi; anti oksidan tinggi, (2) Pendampingan UPSUS di 8 provinsi, (3) Penyediaan benih sumber (95 ton), (4) Teknologi budidaya, pascapanen dan alsin, (5) Peta kesesuaian lahan (120 kabupaten), dan (6) Model penanganan pascapanen jagung (4 provinsi). Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi bawang merah, antara lain (1) Varietas unggul baru (VUB) off season, Adaptif musim hujan, dan Provitas >24 t/ha, (2) Diseminasi dan pengawalan UPSUS bawang merah (6 propinsi), (3) Penyediaan benih sumber (BS: 36 ton), (4) Teknologi perbenihan, budidaya, dan pascapanen, dan (5) Peta kesesuaian lahan. Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi kedelai, yaitu (1) pengembangan Varietas unggul baru (VUB) adaptif lahan pasang surut dengan provitas 2,5 t/ha, dan adaptif lahan kering dengan tahan pecah polong dan provitas 3 t/ha, (2) Pendampingan UPSUS di 12 provinsi, (3) Penyediaan benih sumber (662 ton), (4) Teknologi budidaya pascapanen dan alsin, dan (5) Model penanganan pascapanen kedelai Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi cabai, yaitu (1) pengembangan Varietas unggul baru (VUB) off season, adaptif musim hujan, dan provitas > 18 t/ha, (2) diseminasi dan pengawalan UPSUS cabai di 4 provinsi, (3) penyediaan benih sumber (36 kg), (4) peta kesesuaian lahan, dan (5) teknologi budidaya pascapanen dan alsin.
3
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi daging, antara lain (1) pengembangan galur unggul sapi dengan Bobot lahir 25-27 kg: bobot sapi 125-142 kg dan jarak beranak < 14 bulan: konsumsi pakan lebih efisien, (2) Variasi tanaman pakan ternak, tahan lahan salin, lahan masam dan tahan naungan, (3) Model pengembangan integrasi sapi-sawit dan bioindustri berbasisi ternak (2 model), (4) Penyediaan pejantan unggul sap PO (20 ekor), (5) Pendampingan UPSUS 26 provinsi, (6) Teknologi pemuliaan, pakan, reproduksi, veteriner, dan pascapanen (14 teknologi), dan (7) Rekomendasi kebijakan peternakan dan veteriner (4 rekomendasi). Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi Gula melalui (1) pengembangan Varietas unggul baru (VUB) dengan provitas >120 t/ha dan rendemen 14%, (2) Pendampingan UPSUS, kawasan pengembangan tebu, (3) Penyediaan benih unggul (3 juta budset tebu), (4) Sistem informasi tebu terpadu: peta kesesuaian lahan 1:50.000, dan (5) Teknologi budidaya pascapanen dan alsin. Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi bahan bakar nabati, yaitu (1) pwngembangan Varietas unggul (kemiri sunan, jarak pagar) dengan kadar minyak dan provitas tinggi, (2) Tanaman BBN potensial: kelapa sawit, tebu, kelapa, shorgum manis, jarak pagar, kemiri sunan, ubi kayu, sagu, (3) Penyediaan benih unggul dengan teknologi SE, (4) Teknologi pengolahan : Biogas cair (kriobenikembagan), bioetanol fuel grade, bioavtur, biodiesel (distilasi reaktif), bensin nabati/biogasoline, dan (5) Penyediaan teknologi on farm (sambung pucuk pada kemiri sunan dan jarak pagar, teknologi budidaya di lahan bekas tambang) Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi komoditas strategis lainnya, yaitu Penciptaan: Varietas/galur unggul, teknologi budidaya/pakan, pengembangan model tanaman pangan : kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, sorgum, gandum tropika, peternakan: kambing, domba, ayam, itik, babi, tanaman perkebunan: kakao, jambu mete, lada, nilam, jahe, kapas, kelapa, kopi, jarak pagar, kemiri sunan, dan hortikultura : jeruk, mangga, kentang, krisan . Penelitian dan Pengembangan transgenik dilakukan pada tanaman padi untuk menghasilkan benih golden rice dengan kandungan vitamin A tinggi; efisien pemupukan N; toleran kekeringan, tanaman kedelai dengan umur genjah dan efisiensi pemupukan N, tebu dengan rendemen tinggi, kentang yang tahan busuk dan phytoptora, jarak pagar yang toleran kekeringan, gandum yang adaptif iklim tropis, nilam yang tahan penyakit sclerotium Rolfsii, kapas yang toleran kekeringan, dan jahe yang tahan terhadap pseudomonas sp. Penelitian dan Pengembangan Nano Teknologi pada kemasan (nanoselulosa, nanofilm), pangan (nano selulosa, nanonutrien, nanofortifikan), pupuk (nano zeolit, nano pupuk), pPestisida (biopestisida). Litbang produksi benih melalui somatik Embriogenesis (SE), tebu, kopi, jahe, jeruk, bawang merah, nilam, dan kakao. PENUTUP Inovasi teknologi pertanian modern yang perlu dikembangkan untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan adalah berbasis bioekonomi yang terintegrasi dengan Biosciense, Bioengineering, social engineering & bioinformatics Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan memperkuat jejaring pasar produk pertanian menjadi fokus dalam mendorong produk pertanian untuk tetap menjadi andalan di pasar domestik maupun mampu berkompetisi di pasar global
4
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
MAKALAH UTAMA
5
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
6
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
ARAH DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN DIRECTION AND STRATEGY OF FUTURE AGRICULTURE DEVELOPMENT Pantjar Simatupang Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSKP). Jl. Tentara Pelajar No. 3B, Bogor 16111, Email:
[email protected] ABSTRAK Arah dan strategi dapat dipandang sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan program pembangunan jangka panjang sebagai salah satu komponen esensial dari tata kelola pembangunan yang baik. Tulisan ini menguraikan dinamika jangka panjang konteks yang memengaruhi kinerja pertanian global, status perkembangan pertanian Indonesia, dan pemikiran tentang arah dan strategi pembangunan pertanian Indonesia masa depan yang disusun berdasarkan tujuan menurut amanat konstitusi, analisis konteks dan prospek perkembangan tersebut. Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi global diperkirakan akan menimbulkan skenarion badai sempurna (perfect storm): krisis pangan, air dan energi pada 2030. Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Untuk itu, strategi yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan mengadopsi pendekatan agrobiobisnis. Selain untuk penyusunan suatu dokumen perencanaan strategis, tulisan ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi para peneliti dan pendidik pertanian. Kata Kunci : Pertanian Masa depan, Strategi,
ABSTRACT Directions and strategies can be seen as a reference in long-term policy making development program as one of the essential components of the development of good governance. This paper outlines the context of the long-term dynamics that affect the performance of global agriculture, the status of development of agriculture in Indonesia, and thoughts about the direction and strategy of the future agricultural development in Indonesia organized by destination according to the constitutional mandate, the analysis of the context and the development prospects. Climate change, population growth and advancement of the global economy is expected to lead to a perfect storm scenario (perfect storm): the food crisis, water and energy by 2030. Although impressed pessimistic, Indonesia must anticipate these threats in the preparation of policy and strategy of agricultural development in the future. Due to that reason appropriate strategy is the development of agricultural systems bioindustry. Therefore national development strategies must necessarily adopt agricultural paradigm for development and the approach adopted agrobiobussines. In addition to the preparation of a strategic planning document, this paper is also expected to be useful as reference material for researchers and educators agriculture. Keywords : Future agriculture, Strategy,
7
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
I. PENDAHULUAN Planning without action is futile, action without planning is fatal Cornelius Fichtner1 Adagium “rencana tanpa dikerjakan adalah sia-sia, bekerja tanpa perencanaan adalah fatal” merupakan prisip dasar terkenal bagi para perencana dan manajer kebijakan, program atau proyek pribadi, perusahaan, organisasi masyarakat atau pemertintah. Adagium itu menyatakan bahwa setiap pekerjaan mestinya direncanakan. Pekerjaan tanpa direncakan tidak saja berpeluang besar gagal tidak efektif dan tidak efisen, atau tidak berhasil mewujudkan tujuannya tetapi bahkan dapat menimbulkan bencana atau kerugian tak terduga. Setiap manajer kebijkan, program atau proyek haruslah direncanakan. Sebaliknya, perencanaan yang tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan implementasi adalah sia-sia belaka, hanya membuang tenaga, dana dan waktu belaka. Perencanaan dapat dipandang sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan. Perencanaan berbasis ilmu pengetahuan dan data faktual mutlak perlu apalagi berkaitan dengan kebijakan dan program yang menyangkut penggunaan dana besar dan kepentingan orang banyak. Pandangan “kerja,kerja dan kerja” haruslah dipandang sebagai amanat untuk melaksanakan sutau kebijakan, program atau proyek yang sudah direncanakan dengan baik berdasarkan pengetahuan (logis) dan realitas (fakta). Pada masa Orde Lama, pembangunan pertanian dan pembangunan nasional didasarkan pada suatu perencanaan sistematis dan berjenjang yang mencakupRencana Pembanghunan Jangka Panjang (RPJP) untuk selama 25 tahun dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang disusun oleh MPR berdasarkan UUD 1945,selanjutnya oleh Presiden sebagai mandataris MPR dijabarkan kedalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Era Reformasi, GBHN ditiadakan berdasarkan UUD 1945 perubahan, RPJP diganti dengan sebutan Rencana Pembangunan Jangaka Panja Nasiopnal (RPJPN) untuk selama 20 tahun berdasarkan UU 17/2007, Repelita diganti dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun oleh Presiden terpilih yang kemudian dijabarkan menjadi Rencana Strategis Kementerian/Lembaga. Masalahnya ialah RPJPN itu amat umum sehingga dalam praksis RPJMN disusun seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain. Akibatnya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kemungkinan besar tidak konsisten dan koheren dalam jangka panjang. Pembangunan pertanian amat penting untuk menjamin ketahanan pangan dan gizi seluruh rakyat, kesejahteraan ratusan juta rakyat dan fasilitator, dan dinamisator pembangunan nasional, sementara kinerjanya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat eksternal dan tidak menentu. Perencanan jangka panjang amat diperlukan dalam tatakelola pembanganan pertanian jangka panjang. Arah dan strategi adalah landasan perumusan kebijakan dan program dalam suatu dokumen perencanan strategis. Berikut ini diuraikan analisis tentang konteks yang memengaruhi kinerja pertanian global, status perkembangan pertanian Indonesia, dan pemikiran tentang arah dan strategi pembangunan pertanian Indonesia masa depan yang disusun berdasarkan tujuan menurut amanat konstitusi, analisis konteks dan prospek perkembangan tersebut. Selain untuk penyusunan suatu dokumen perencanaan strategis, tulisan ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi para peneliti dan pendidik pertanian.
1
Cornelius Fichtner on Twitter: ":-) Planning without action is futile ...
https://twitter.com/corneliusficht/status/2515541824, diunduh pada 31 Oktober 2016
8
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
II. DINAMIKA LINKUNGAN STRATEGIS GLOBAL 2.1 Kekuatan utama penentu dinamika pertanian global Perubahan demografis Penduduk dunia diproyeksikan akan meningkat sekitar 2,3 milyar jiwa, dari 7,0 miliar jiwa pada 2011 menjadi 9,3 miliar jiwa pada 2050 atau dengan laju pertumbuhan sekitar 0,72 persen per tahun. Hampir seluruh peningkatan penduduk tersebut terjadi di negara-negara berpendapatan rendah. Penduduk negara-negara maju sudah mendekati tahapan stasioner, sedangkan penduduk negara-negara berkembang dan terbelakang berturut-turut meningkat 0.83 %/tahun dan 1,77 %/tahun. Jika dilihat menurut kawasan, pertambahan pendududuk tersebut sebagian besar (89,24 %) terjadi di Afrika dan Asia. Pertambahan penduduk di dua benua ini Penduduk Afrika meningkat 1,1 miliar jiwa, dari 1,04 milyar jiwa pada 2011 menjadi 2,2 miulyar jiwa pada 2050 atau 1.85 %/tahun. Penduduk Asia meningkat 935 juta atau 40,09 % dari pertambahan penduduk dunia namun pertumbuhannya hanya 0,5 %/tahun, jauh lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk Afrika (Tabel 1). Tabel 1. Proyeksi pertumbuhan penduduk dunia 2011-2050 Wilayah
Dunia Negara-negara maju Negara-negara berkembang Negara-negara paling terbelakang Negara-negara berkembang lain Afrika Asia Eropa Amerika Latin dan Karibia Amerika Utara Oseania
Jumlah (juta jiwa) 2011 2050 6974 9306 1240 1312 5734 7994 851 1726 4883 6268 1046 2192 4207 5142 739 719 597 751 348 447 37 55
Pangsa (%) 2011 100 17.8 82.2 12.2 70.0 15.0 60.3 10.6 8.6 5.0 0.5
2050 100 14.1 85.9 18.6 67.4 23.6 55.3 7.7 8.1 4.8 0.6
Pertumbuhan (%/tahun) 2011-2050 0.72 0.14 0.83 1.77 0.62 1.85 0.50 -0.07 0.58 0.63 0.99
% Usia lanjut ( >60 tahun) 2011 2050 11 22 22 32 9 20 5 11 10 23 6 10 10 24 22 34 10 25 19 27 15 24
Source: United Nations (2011)
Dimensi kedua perubahan struktur demografi yang dipandang paling berpengaruh terhadap permintaan pangan ialah urbanisasi yang berlangsung beriringan dengan transformasi struktur ekonomi. Penduduk perkotaan di negara-negara maju meningkat dengan laju 0.52 %/tahun pada 20112030 dan kemudian melambat menjadi 0.29 %/tahun pada 2030-2050 dengan kecepatan urbanisasi 0.29 %/tahun pada 2011-2030 dan 0,23 %/tahun pada 2030-2050. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan di negara-negara berkembang meningkat jauh lebih cepat dari pada di negara-negara maju, yakni dengan laju 2.02 %/tahun pada 2011-2030 dan kemudian melambat menjadi 1,34 %/tahun pada 2030-2050 dengan laju 0.95 %/tahun pada 2011-2030 dan 0,69 %/tahun pada 2030-2050. Perubahan kesejahteraan ekonomi Hukum Engel mengatakan bahwa jumlah maupun kualitas konsumsi pangan meningkat namun pangsa nilai pengeluaran pangan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan pangan. Dengan hukum ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi pangan per kapita meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita namun besaran peningkatannya cenderung menurun. Dengan perkataan lain, elastisitas permintaan pangan terhadap pendapatan lebih tinggi di negara yang pendapatan per kapitanya lebih rendah. Hukum kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan perubahan pola konsumsi pangan seiring dengan perubahan pendapatan ialah hukum Bennet: apabila pendapatannya meningkat maka rumahtangga akan melakukan substitusi bahan pangan pokoknya dengan mengurangi sumber karbohidrat bermutu rendah (ubikayu, barley, sorgum, jagung) dan menambah sumber karbohidrat bermutu tinggi (beras, terigu) dan selanjutnya akan mengurangi sumber karbohidrat maupun sumber protein nabati dan menambah sumber protein (daging, telur, susu) maupun sayuran dan buah-buahan. Hukum Bennet dapat dipakai untuk menjelaskan bahwa diversifikasi pangan akan berjalan seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita (Thomson and
9
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Metz, 1988). Berdasarkan penelitian empiris dengan menggunakan data sejumlah negara Cranfield, et.al. (1998) menggolongkan tiga pola konsumsi menurut tingkat pendapatan (Tabel 2) Tabel 2. Komposisi umum bahan pangan menurut tingkat pendapatan Peringkat nilai pengeluaran 1 2 3 4
Tingkat pendapatan perkapita penduduk Rendah Menengah Tinggi Biji-bijian Produk ternak Produk ternak Produk ternak Biji-bijian Pangan lainnya Sayur dan buah Sayur dan buah Sayur dan buah Pangan lainnya Pangan lainnya Biji-bijian
Sumber: Cranfield, et.al. (1998)
Globalisasi dan diet westernization Globalisasi perdagangan dan investasi telah membuat setiap negara terbuka terhadap investasi asing dalam bidang industri makanan dan minuman, restoran, perdagangan eceran (super markets) dan pertanian. Globalisasi telah menciptakan gelombang “westernization of diet” yang dicirikan oleh transformasi pola pangan dari berbasis diet tradisional menjadi berbasis diet barat (Pingali, 2004). Gelombang westernization of diet dapat diamati dari pertumbuhkembangan restoran cepat saji multinasional seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, yang kini sudah ada di hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Lebih jauh, Kelly, et al (2010) menyatakan bahwa konvergensi pola pangan ke arah diet barat pada tataran global juga diikuti oleh divergensi menurut status sosial ekonomi. Pada awalnya, diet barat diadopsi oleh kelompok penduduk berpendapatan tinggi. Pada tahapan pembangunan yang lebih tinggi, kelompok penduduk berpendapatan tinggi, yang lebih sadar akan resiko kesehatan diet barat dan lebih berkemampuan dalam mengatur pola pangannya, akan cenderung menghindari diet barat sedangkan kelompok penduduk berpendapatan rendah terus meningkatkan adopsinya terhadap diet barat. Fenomena inilah yang disebut divergensi diet . Berdasarkan hipotesis konvergensi dan divergensi diet yang diajukan oleh Kelly, et al (2010), substitusi pola pangan tradisional dengan pola pangan barat (konvergensi ke diet barat) terutama terjadi di negara-negara sedang berkembang. Konvergensi diet yang terjadi menurut status sosial ekonomi penduduk domestik akan menyebabkan kelompok penduduk miskin terperangkap dalam pola pangan barat yang beresiko tinggi menimbulkan sindroma obesitas dan penyakit terkait makanan lainnya. Kelangkaan lahan dan air Peningkatan kelangkaan lahan pertanian merupakan fenomena global. Berikut adalah faktorfaktor utama penyebab penurunan luas lahan pertanian. GiovannuccI, et. al (2012) mengemukakan bahwa sekitar 20.000-50.000 km2 lahan potensial produktif hilang tiap tahun karena erosi dan degradasi dan 2.9 km2 dinilai berisiko tinggi berubah menjadi padang pasir, sejumlah besar diantaranya di negara-negara berkembang. Erosi dan degradasi serta konversi ke penggunaan non pangan diperkirakan menurunkan ketersediaan lahan untuk pangan sebesar 8-20 % hingga 2050.Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, pertumbuhan lahan pertanian global mengalami perlambatan dari 0,17 %/tahun pada 1990-2005 menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-2050. Lahan pertanian mengalami pertumbuhan positif dengan laju yang menurun tajam dari 0,65 %/tahun pada 1990-2005 menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-2050. Namun di negara-negara industri dan transisi ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Lahan pertanian di Afrika Utara juga menurun dengan laju yang semakin tinggi sejak tahun 1990an. Pertumbuhan lahan tertingi ialah di Sub-Sahara Afrika yang mencapai 1,07 %/tahun pada 1990-2005 namun menurun tajam menjadi 0,10 %/tahun pada 20152050. Amerika Latin menduduki peringkat laju pertumbuhan tertinggi kedua pada periode 2015-2050 dengan laju 0,55 %/tahun. Laju pertumbuhan di Asia Timur menurun tajam dari 1,12 %/tahun (peringkat tertinggi pertama) pada 1990-2005 menjadi 0,02 %/tahun pada 2015-2050.
10
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3. Perluasan lahan pertanian global 1961/63-2050 Area
Tanah pertanian yang digunakan (juta ha) 1961/63 1989/91 2005 20015 2030 2050
Pertumbuhan (%/tahun) 1961- 1990- 20152005 2005 2050 0.80 1.07 0.55 1.01 0.64 0.52 0.34 -0.02 -0.11 0.15 0.07 0.07 0.99 1.12 0.02 0.85 0.71 0.15 0.67 0.65 0.27
Sub-sahara Afrika Amerika latin Afrika utara Asia selatan Asia timur China Negara berkembang China dan India Negara industri Negara transisi
133 105 86 191 178 73 693
161 150 96 204 225 94 837
193 164 99 205 259 102 920
236 203 86 206 235 105 966
275 234 84 211 236 109 1040
300 255 82 212 237 112 1086
426 388 291
536 401 277
594 388 247
666 388 247
740 375 234
789 364 223
0.75 -0.02 -0.32
0.66 -0.21 -0.90
0.39 -0.15 -0.23
Dunia
1375
1521
1562
1602
1648
1673
0.30
0.17
0.10
Source: Bruinsma (2011)
Pertanian merupakan pengguna air terbesar. Kedepan, pertanian akan menghadapi masalah kelangkaan air yang kian ketat sebagai konsekuensi dari perpaduan dua kecenderungan berikut. Pertama, peningkatan permintaan air untuk non-pertanian sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi. Kedua, penurunan pasokan baku air sebagai akibat dari perubahan iklim dan degradasi alam. Seperti halnya lahan, nilai manfaat (rente) penggunaan air untuk pertanian secara umum lebih rendah daripada untuk non-pertanian. Oleh karena itu, pertanian akan terus mengalami tekanan kelangkaan air yang semakin berat. GiovannuccI, et. al (20120) mengemukakan bahwa kelangkaan air boleh jadi merupakan faktor yang paling kuat dalam menurunkan hasil pertanian. Kelangkaan air, yang diperburuk oleh tekanan hama dan penyakit tanaman dan hewan, dapat menurunkan hasil pertanian antara 5-25 %. Insiden kekeringan dalam 30 tahun terakhir telah membunuh sekitar 20 %-62 % ternak dan memicu kelaparan di 6 negara Afrika. Perubahan iklim global Dampak utama perubahan iklim global mencakup (Hoffmann, 2011, Keane, et. al. , 2009): 1. Peningkatan suhu mempengaruhi kesehatan tanaman, hewan dan petani, meningkatkan hamapenyakit, menurunkan pasokan air meningkatkan resiko perluasan ariditas dan degradasi lahan. 2. Perubahan pola presipitasi akan memperkuat kelangkaan air dan tekanan kekeringan terhadap tanaman dan mengubah pasokan air. 3. Meningkatkan frekuensi kejadian iklim ekstrim berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman dan ternak serta merusak infrastruktur pertanian. 4. Meningkatkan konsentrasi C02 atmosfir dalam jangka pendek dapat meningkatkan fertilisasi karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman (namun dalam jangka panjang dapat menurunkan produktivitas tanaman). 5. Meningkatkan permukaan air laut yang dapat mengurangi luas lahan dan ketersediaan air tawar untuk pertanian, mengubah kondisi produksi akuakultur dan mengubah infrastruktur perdagangan pertanian. 6. Mempersulit perencanaan produksi pertanian. Tidak dapat dipungkiri, sebagian elemen perubahan iklim dapat berdampak positif terhadap produksi pertanian. Peningkatan konsentrasi C02 atmosfir sampai kadar tertentu dapat fertilisasi karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman tertentu. Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim berpengaruh negatif terhadap produksi pangan global. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4, perubahan iklim dapat menurunkan secara nyata produksi pangan global. Pada periode 2000-2050, perubahan iklim diperkirakan akan dapat menurunkan produk beras 12.7 %, gandum -25.3 %, jagung -0.1%, millet -7.7% dan sorgum -2.5 %. Secara umum, dampak negatif perubahan iklim ternyata lebih buruk di negara-negara sedang berkembang daripada di negaranegara maju. Kiranya dapat diperhatikan bahwa dampak perubahan iklim secara umum lebih parah terhadap makanan pokok di setiap kawasan. Sebagai contoh, untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik, dampak negatif terparah ialah untuk beras yang merupakan bahan pangan pokok di kawasan tersebut.
11
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Untuk Asia Selatan, dampak negatif terparah ialah untuk gandum, beras dan jagung sedangkan untuk kawasan Eropa dan Asia Tengah dampak negatif tertinggi ialah untuk gandum dan jagung yang kesemuanya adalah pangan pokok di masing-masing kawasan. Persebaran demikian memperparah dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan global. Tabel 4. Dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan 2000-2050 (tanpa penyerbukan karbon) (%) Wilayah Asia Selatan Asia Timur dan Pasifik Eropa dan Asia Tengah Amerika Latin dan Karibia Timur Tengah dan Afrika Utara SubSahara Afrika Negara-negara berkembang Negara-negara maju Dunia
Beras -14.4 -9.7 -0.5 -20.5 -36.3 -14.8 -11.2 -12.8 -12.7
Gandum -46.2 1.8 -47.2 14.4 -6.9 -34.6 -9.4 -31.3 -25.3
Jagung -13.7 -1.9 -28.6 -2.15 -16.6 -8.3 6.65 -6.15 -0.1
Millet -14.2 6.25 -4.75 8.0 -4.1 -7.2 -4.3 -7.7 -7.7
Sorghum -15.9 4.05 -6.5 3.3 0.5 -2.6 -5.2 -2.0 -2.5
Keterangan: Rata-rata proyeksi model CSIRO dan NCAR Sumber: Nelson, et.al. 2009.
Pada tahap awal ini akan terjadi persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan dan pemenuhan kebutuhan bioenergi. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hayati dan bioenjinering, bioenergi dapat pula dihasilkan dari sampah organik, selulosa (generasi kedua) dan alga (generasi ketiga), tidak perlu lagi menggunakan bahan pangan sehingga pemenuhan kebutuhan pangan dan bioenergi tidak lagi bersifat trade-off. Oleh karena itulah penggunaan bahan pangan tidak berubah atau bahkan menurun pada periode 2030-2050. 2.2 Ancaman badai sempurna (The perfect strorm): Krisis pangan, energi dan air Perpaduan antara peningkatan kelangkaan dan harga bahan bakar fosil dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi biorefinery telah mendorong peningkatan pesat produksi bioenergi. Pada periode 2015-2050, permintaan komoditas pangan untuk bioenergi diproyeksikan akan tumbuh 2,55 %/tahun sedangkan untuk pangan hanya tumbuh 0,79 %/tahun (Deutsche Bank, 2009). Pangsa permintaan bioenergi meningkat dari 13,36 % pada 2015 menjadi 18,61 % pada 2050. Pada tahap awal, produksi bioenergi masih menggunakan teknologi generasi pertama dengan feedstock komoditas pangan utamanya jagung, kedelai, tebu, ubikayu dan tanaman minyak (khususnya kelapa sawit). Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9, penggunaan beberapa komoditas pangan untuk bionergi meningkat sangat tajam: serealia meningkat dari 65 juta ton pada 2005/2007 menjadi 182 juta ton pada 2050, minyak sayur meningkat dari 7 juta ton pada 2005/2007 menjadi 29juta ton pada 2050, tebu meningkat dari 28 juta ton pada 2005/2007 menjadi 81 juta ton pada 2050, dan ubikayu meningkat dari satu juta ton pada 2005/2007 menjadi delapan juta ton pada 2050 (Tabel 5). Tabel 5. Penggunaan Komoditas Pangan untuk Bioenergi 2005/2007-2050 Komoditas Serealia Serealia Minyak sayur Minyak sayur Sugar (equiv. tebu) Sugar (equiv. tebu) Ubikayu (segar) Ubikayu (segar)
Satuan Juta ton Persentase dalam total penggunaan Juta ton Persentase dalam total penggunaan Juta ton Persentase dalam total penggunaan Juta ton Persentase dalam total penggunaan
2005/ 2007 65 3.2 7 4.8 28 15.1 1 0.4
2030 182 6.7 29 12.6 81 27.4 8 2.3
2050 182 6.1 29 10.3 81 24.3 8 1.8
FAO (2012)
Proyeksi Idso (2011) menunjukkan bahwa dengan menerapkan Iptek maju total produksi pangan dapat meningkat 0,84 %/tahun sementara bila penerapan Iptek maju dikombinasikan dengan fertilisasi C02 maka total produksi pangan dapat meningkat 1,26 %/tahun (Tabel 6). Fertilisasi C02 sangat penting dalam peningkatan produksi pangan. Jelaslah kiranya bawa produksi pangan dunia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Professor John Beddington(2009) kepala dewan ilmuan
12
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
(Chief Scientist) Kerajaan Inggris bahkan memperkirakan scenario badai sempurna (the perfect storm scenario) pada 2030 yang pada intinya memperkirakan bahawa permintaan pangan akan meningkat 1,5 %/tahun, energi 1,5 %/tahun dan air 0,9 %/tahun (akibat petumbuhan penduduk, perubahan struktur demografi, pertumbuhan ekonomi sebagaimana telah dijelaskan di muka), sementara kapasitas produssi pangan dan air cederung menurun (akibat perubahan iklim) dan cadangan energi fosil kian menipis shingga pada 2030 akan terjadi krisis pangan, air dan energi pada tataran global. Tabel 6. Proyeksi Penawaran Pangan Global 2009-2050 Tanaman
Tebu Jagung Beras Gandum Kentang Gula bit Ubikayu Kedelai K. sawit Barley Ubijalar Melon Pisang Jeruk Anggur Apple Kubis Lettuce Total
Pangsa produks i (%)
Produksi 2009 (juta ton)
21.24 10.28 9.44 9.37 4.87 3.88 2.98 2.84 2.25 2.22 1.97 1.22 1.13 0.98 0.97 0.94 0.93 0.30 95.0
1.607 801 667 649 329 233 235 237 212 144 109 106 92,4 66,5 68,5 68,7 73,8 24,7 7.046
Produksi 2050 Iptek maju (juta ton) 1.979 1.283 867 869 416 440 396 289 359 194 42,2 192 147,6 52,6 88,0 151 67,0 24,5 9.474
Iptek maju + fertilisasi C02 (juta ton) 2.243 1.366 982 970 466 515 412 342 404 221 60,0 203 167 66,8 111 166 82,0 28,7 10.677
Pertumbuhan 2009- 2050 (%/tahun) Iptek Iptek maju + maju fertilisasi C02 0,56 0,97 1,47 1,72 0,73 1,15 0,82 1,21 0,64 1,01 2,17 2,95 1,67 1,84 0,53 1,08 1,69 2,21 0,85 1,30 -1,49 -1,10 1,97 2,23 1,46 1,97 -0,51 0,01 0,69 1,51 2,92 3,45 -0,22 0,27 -0,02 0,39 0,84 1,26
Sumber: Idso (2011)
Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Untuk itu, strategi yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan mengadopsi pendekatan agrobiobisnis Semua itu akan dibahas dalam bagian berikut.
III. PERUBAHAN KONTEKS DAN KONTEN PEMBANGUNAN AGRIBISNIS Kemajuan peradaban pada tataran global dalam enam dekade terakhir, telah menyebabkan perubahan mendasar dalam context dan content pembangunan agribisnis. Perubahan context berkaitan dengan perubahan lingkungan strategis sementara perubahan content berkaitan dengan berubahan karakter internal dari sistem agribisnis. Perubahan context dan content telah mengubah arah, issu dan kebijakan, yang berati pula paradigma pembangunan yang tepat untuk memahami dan mengelola pembangunan agribisnis. Faktor-faktor pendorong utama (key drivers) yang mendorong perubahan tersebut diuraikan berikut ini (Simatupang, 2015). Pertama, perubahan tataran persaingan dari persaingan antar perusahaan menjadi persaingan antar rantai nilai. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari globalisasi perekonomian dan perubahan preferensi konsumen hasil usaha agribisnis. Seperti yang dijelaskan oleh Simatupang (1995), globalisasi ekonomi dicirikan oleh liberalisasi perdagangan dan investasi sehingga dayasaing menjadi kunci bagi setiap perusahaan agar dapat bertahan hidup dan tumbuh-kembang. Liberalisasi perekonomian merupakan konsekuensi dari kesepatan World Trade Organization (WTO) dan TrippleT Revolution (Telecommunication, Transportasi, Tourism). Perubahan preferensi konsumen dicirikan oleh perubahan preferensi konsumen dari permintaan terhadap komoditas atau produk menjadi
13
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
permintaan terhadap atribut produk. Selain itu, konsumen juga menuntut adanya transparansi dan ketelusuran (traceability) penggunaan input, produsen dan proses produksi serta sistem logistik hingga produk sampai ke konsumen akhir. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui pengelolaan rantai nilai secara eksklusif. Kedua, kesadaran baru tentang orientasi pembangunan. Kini semakin disadari bahwa orientasi kehidupan manusaia, yang berarti juga orientasi pembangunan setiap negara, bersifat multidimensi. Tidak hanya berdimensi ekonomi, tetapi juga berdimensi sosial dan lingkungan. Dimesi sosial mencakup antara lain keadilan dan pemerataan pembangunan (justice and equity), partisipasi demokratik, dan hak azasi manusia (bahkan juga hewan). Dimensi lingkungan mencakup keberlanjutan sumberdaya alam serta kesehatan, kenyamanan, dan keindahan lingkungan hidup. Seiring dengan itu, usaha agribisnis tidak boleh lagi berorientasi pada perolehan laba sebesar-besarnya (dimensi ekonomi), tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan hidup, keadilan dan pemerataan pembagian hasil usaha, dan hak azasi pegawainya, turut bertanggung jawab atas penghidupan masyarakat sekitar (dimensi sosial), serta bertanggunggung jawab atas kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Keberlanjutan eksistensi perusahaan ditentukan oleh pelaksanaan ketiga dimensi tersebut. Indikator kinerja perusahaan ini dikenal dengan konsep Profit (Ekonomi)-People (Sosial)-Planet (Lingkungan Hidup). Dengan demikian, kesadaran baru itu telah mengubah orientasi nilai manfaat yang diciptakan oleh perusahaan agribisnis dari semata-mata nilai ekonomi menjadi nilai ekonomi plus nilai sosial dan nilai lingkungan hidup. Ketiga, pandangan baru bahwa iklim global adalah barang publik global (global public good) yang kini sudah mengalami perubahan yang mengancam eksistensi kehidupan di bumi. Iklim global adalah barang publik global, yang berarti bahwa iklim mempengaruhi kehidupan setiap orang dimana saja, sehingga setiap orang dimana saja turut beranggung jawab untuk memeliharanya. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah mendekati titik kritis, yang mengancam kenyaman dan eksistensi manuasi dan mahluk hidup hidup secara umum. Perubahan iklim juga juga telah menyebabkan penurunan produksi pertanian global. Perubahan iklim global tersebut merupakan indikasi dari kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Setiap usaha agribisnis berkewajiban untuk turut serta dalam memelihara iklim global. Keempat, kebangkitan bioekonomi. Mengingat bahan fosil diperkirakan akan semakin langka dan mahal sepanjang abad ke-21 dan akan habis keseluruhannya di awal abad ke-22, maka ke depan, perekonomian setiap negara haruslah ditransformasikan dari yang selama ini berbasis pada sumber energi dan bahan baku asal fosil menjadi berbasis pada sumber energi dan bahan baku baru dan terbarukan, utamanya bahan hayati. Era revolusi ekonomi yang digerakkan oleh revolusi teknologi industri dan revolusi teknologi informasi berbasis bahan fosil telah berakhir, dan akan digantikan oleh era revolusi bioekonomi yang digerakkan oleh revolusi bioteknologi dan bioenjinering yang mampu menghasilkan biomassa sebesar-besarnya untuk kemudian diolah menjadi bahan pangan, pakan, energi, obat-obatan, bahan kimia dan beragam bioproduk lain secara berkelanjutan (Kementerian Pertanian, 2014). Bioekonomi itu pastilah berbasis agribisnis penghasil biomassa (agrobiomassa). Banyak negara telah mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan lebih awal dari kebangkitan revolusi bioekonomi tersebut dengan menyusun rencana strategis dan melaksanakannya dengan road map yang komprehensif (Albrecht and Ettling, 2014). Era revolusi bioekonomi menjadi momentum bagi kebangkitan kembali (renaissance) pertanian dan ilmu ekonomi pertanian (Sexton, 2013). Kelima, saturasi teknologi Revolusi Hijau dan kebangkitan Revolusi Hayati. Pingali (2012) mengatakan bahwa periode Revolusi Hijau generasi pertama telah berakhir pada paruh pertama dekade 1980’an. Penelitian Grassini, Eskridge, and Cassman (2013) menunjukkan bahwa tren produktivitas padi, jagung dan gandum menunjukkan tren pertumbuhan menurun sejak akhir dekade 1990’an. Kemajuan bioscience dan bioengineering telah mendorong tumbuh kembangnya Revolusi Hayati (Biorevolution) menggantkan Revolusi Hijau (Green Revolution) yang kini telah mengalami pemudaran atau bahkan telah berubah menjadi sumber permasalahan bagi pertanian. Ciri-ciri Revolusi Hayati itu dan perbandingannnya dengan Revolusi Hijau ditampilkan pada Tabel 1. Penggerak utama Revolusi Hayati itu ialah Revolusi Bioekonomi (sebagaimana diuraikan di atas); Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat. Perubahan iklim global dan internalisasinya dalam sistem ekonomi-politik; Peningkatan kelangkaan sumberdaya lahan dan air; Peningkatan permintaan terhadap jasa lingkungan; Peningkatan jumlah petani marginal. Kementerian Pertanian (2014) telah menyusun kerangka dasar atau strategi induk pembangunan pertanian dalam rangka
14
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
mengambil kesempatan pertama dari kebangkitan Revolusi Hayati tersebut. Namun demikian, kita masih menunggu respon positif dari Pemerintah dan para pihak terkait dalam pelaksanaan gagasan besar tersebut.
IV. ARAH DAN STRATEGI 4.1 Arah pembangunan pertanian jangka panjang Pembangunan pertanian adalah bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia untuk melaksanakan amanat konstitusi menjadi negara yang merdeka, berdaulat dan turut aktif dalam menjaga ketertiban dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menjamin pekerjaan, penghidupan yang layak dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan itu maka dalam jangka panjang pembangunan pertaniqan diarahkan untuk mewujudkan Pertanian Indonesia yang Bermartabat, Mandiri, Maju, Adil dan Makmur(Kementerian Partanian, 2014). Pertanian yang bermartabat berkenaan dengan tingkat harkat kemanusiaan petani Indonesia. Petani Indonesia memiliki kepribadian luhur, harga diri, kebanggaan serta merasa terhormat dan dihormati sebagai petani. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menjamin kedaulatan petani dalam mengelola usahanya serta memberikan perlindungan dan pemberdayaan sehingga berusahatani merupakan pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan dan dapat menjamin penghidupan yang sejahtera bagi seluruh keluarga petani. Pertanian yang mandiri tercermin pada kedaulatan negara dalam pembuatan kebijakan, kedaulatan petani dalam mengelola usahatani, dan kemampuan sektor pertanian. Pada tataran kebijakan, pertanian mandiri berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki kebebasan dan kedaulatan penuh dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembangunan pertanian.Dalam hal petani dan usahataninya, pertanian mandiri berarti bahwa petani Indonesia memiliki kemerdekaan dan kedaulatan dalam mengelola usahataninya. Secara sektoral, pertanian mandiri berarti bahwa bahan pangan pokok, bahan baku industri maupun bahan baku energi hayati (bio-energy) dapat dipenuhi dengan sebesar-besarnya mengandalkan pada hasil produksi pertanian dalam negeri. Pertanian maju terkait dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di sepanjang rantai nilai usaha perrtanian (business governance),tatakelola pembangunan (development governance), dan tingkat kesejahteraan petani. Pertanian maju menerapkan inovasi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru. Pertanian maju juga dicirikan oleh derajat modernisasi tatakelola pertanian yang dibangun oleh pemerintah dengan membuat regulasi dan standar, membangun infrastruktur publik, menyediakan insentif usaha dan menjamin persaingan usaha yang sehat, yang secara keseluruhan disebut lingkungan pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment). Peningkatan nyata kesejahteraan petani yang terbebas dari ancaman kerawanan pangan dan kemiskinan merupakan ciri mutlak dari suatu pertanian yang maju. Pada tahapan yang lebih tinggi, pertanian maju dicirikan oleh tingkat kesejahteraan petani yang setara dengan tingkat penghidupan warga negara yang bekerja di sektor-sektor lainnya. Pertanian yang adil berkaitan dengan pemerataan kesempatan berusahatani, berpolitik, dan akses terhadap jaminan penghidupan (livelihood) secara horizontal antar individu petani, secara spasial antar wilayah (desa-kota, antar pulau, antar kawasan), dan secara sektoral antar bidang pekerjaan. Pemerataan kesempatan berusahatani mencakup pemerataan akses terhadap komponenkomponen utama usahatani yang mencakup lahan, sarana dan prasarana, teknologi, modal, dan pasar. Pemerataan kesempatan berusahatani, berpartisipasi politik dan memperoleh penghidupan saling menguatkan satu sama lain. Pemerataan kesempatan berusahatani merupakan kunci untuk mewujudkan pemerataan memperoleh pekerjaan dan pendapatan (penghidupan), sementara pemerataan kesempatan berpartisipasi politik merupakan kunci untuk mewujudkan pemerataan kesempatan berusaha bagi petani. Selain itu, pemerataan kesempatan berusahatani juga bermanfaat untuk mewujudkan pemerataan memperoleh kesempatan berpartisipasi politik. Pertanian yang makmur dicirikan oleh kehidupan seluruh petani yang serba berkecukupan terbebas dari ancaman rawan pangan dan kemiskinan. Pertanian yang makmur merupakan resultante dari pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, dan adil. Selanjutnya, pertanian yang makmur ini merupakan instrument dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Sehingga secara keseluruhan,
15
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, adil dan makmur merupakan cita-cita luhur pembangunan pertanian sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Karakteristik pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, adil dan makmur saling menguatkan satu sama lain. Kelima karakteristik pertanian ini terrefleksikan dalam perwujudan kedaulatan pangan dan kesejahrteraan petani. Oleh karena itu kiranya dapat dipahami kenapa visi Rencana Strategis Kemeterian Pertanian dirumuskan sebagai berikut: “Terwujudnya Kedaualatan Pangan dan Kesejahteraan Petani” 4.2 Peran strategis sektor pertanian dalam pembangunan nasional Sektor pertanian dapat diarahkan untuk mengemban paling sedikit sepuluh fungsi strategis dalam pembangunan nasional (Kementerian Pertanian, 2014): 1. Ketahanan pangan; 2. Penguatan ketahanan penghidupan keluarga (household livelihoodsecurity); 3. Pengembangan sumberdaya insani; 4. Basis (potensial) untuk ketahanan energi (pengembangan bioenergi); 5. Pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan; 6. Jasa lingkungan alam (ekosistem); 7. Basis (potensial) untuk pengembangan bioindustri; 8. Penciptaan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan; 9. Penguatan daya tahan perekonomian nasional (economic resilient); 10. Sumber pertumbuhan berkualitas. Ketahanan pangan memiliki nilai intrinsik dan nilai instrumental. Secara intrinsik, ketahanan pangan bermanfaat untuk menjamin eksistensi hidup, mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti pula bermanfaat untuk mewujudkan tujuan akhir pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan konstitusi. Secara instrumental, ketahanan pangan bermanfaat untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial serta untuk menjamin keberadaan insan berkualitas tinggi yang merupakan prasyarat pembangunan nasional secara umum. Pertanian di Indonesia masih akan merupakan jangkar atau landasan ketahanan penghidupan (livelihood security) bagi puluhan juta keluarga di Indonesia hingga beberapa dekade mendatang. Sebagai jangkar penghidupan keluarga berarti bahwa pertanian merupakan tumpuan utama dalam memenuhi kebutuhan dasar keluarga yang meliputi pekerjaan yang layak, akses pangan yang terjamin dan pendapatan yang cukup untuk mengakses kebutuhan dasar lainnya. Selain itu, pertanian merupakan bagian dari kegiatan sosial dan budaya bagi penduduk perdesaan. Bagi sejumlah besar petani marginal, pertanian bahkan menjadi andalan untuk dapat bertahan hidup layak. Bagi mereka, pertanian merupakan masalah hidup-mati (survival). Ketahanan pangan juga esensial untuk peningkatan kapasitas insani yang menjadi subjek, objek dan pemanfaat pembangunan nasional. Menurut definisi, ketahanan pangan adalah kondisi terjaminnya akses pangan yang cukup gizi bagi setiap orang untuk setiap waktu, aman bagi kesehatan serta sesuai nilai sosial, agama dan kepercayaan agar dia dapat hidup sehat dan produktif. Rawan pangan akan menyebabkan berbagai sindroma penyakit kurang gizi, termasuk kecerdasan otak, kemantapan psikologis dan kekuatan fisik yang berarti pula penurunan kesejahteraan hidup rakyat sebagai penikmat hasil pembangunan dan kapasitas insani selaku subjek dan objek pembangunan. Energi merupakan kebutuhan dasar kehidupan rakyat dan sarana esensial dalam proses produksi barang dan jasa. Perkembangan terbaru telah membuktikan bahwa perekonomian yang sangat tergantung pada energi asal fosil (Bahan Bakar Minyak, Batubara) akan terus mengalami penurunan daya saing dan hambatan pertumbuhan akibat peningkatan dan instabilitas harga energi seiring dengan kelangkaan dan ketidakpastian pasokan. Ke depan, energi yang berasal dari biomassa (bioenergi) merupakan tumpuan utama sumber pasokan energi terbarukan. Biomassa bahan baku energi dapat dihasilkan oleh usaha pertanian. Dengan demikian, fungsi strategis pertanian yang akan terus meningkat di masa datang ialah pemantapan ketahanan energi. Kemajuan ilmu pengetahuan hayati (bioscience) dan enjinering hayati (bioengineering) telah memungkinkan biomassa untuk diolah menjadi bionergi dan berbagai bioproduk (bioproducts) seperti biomedikal, biokemikal, dan bio-material lainnya. Bioekonomi yang ditopang oleh sistem pertanian ekologis yang juga menghasilkan berbagai jasa lingkungan (ecological services) maupun biomassa sebagai feedstock untuk biorefinery (bioenergi, biofarmaka-biomedika, bioindustri) telah berkembang cepat di banyak negara dan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru perekonomian. Ke depan,
16
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
fungsi bisnis dan ekonomi pertanian akan mengalami proses transformasi dari perspektif agribisnis menjadi biobisnis dan dari agro-industri menjadi bioindustri. Fungsi pertanian dalam penguatan kesehatan masyarakat merupakan resultante dari fungsi pertanian dalam pemantapan ketahanan pangan, pengembangan industri biofarmaka-biomedika serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Fungsi pertanian sebagai penggerak, tumpuan, tulang punggung atau poros, pembangunan nasional berkaitan dengan dampak pertumbuhan sektor pertanian terhadap pertumbuhkembangan sektor-sektor lain dalam perekonomian. Pertumbuhan sektor pertanian mendorong tumbuh-kembangnya kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya. Dampak ini lebih dikenal sebagai dampak pengganda sektor pertanian. Dampak pengganda sektor pertanian bersumber dari hasil sinerginya dengan sektor-sektor lain melalui berbagai media, seperti: (1) Keterkaitan faktor produksi (tenaga kerja, energi dan modal); (2) Keterkaitan input-output antar industri (sektor) dan antar spasial; (3) Keterkaitan konsumsi; (4)Keterkaitan melingkar. Keterkaitan faktor produksi terjadimelalui realokasi antar wilayah,utamanya desa-kota. Keterkaitan input-output (keterkaitan Johnston-Mellor) terjadi melalui peningkatan penggunaan hasilhasil sektor non-pertanian sebagai input dalam usaha pertanian (kaitan ke belakang) dan penggunaan hasil pertanian sebagai input bagi sektor-sektor non-pertanian (kaitan ke depan). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian tergolong sektor kunci (key sector) atau sektor pemimpin (leading sector) dilihat dari kemampuannya dalam menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja dalam perekonomian melalui keterkaitan input-output yang terbukti secara empiris relatif lebih tinggi dibanding sektor-sektor lainnya. Keterkaitan konsumsi tercipta melalui penggunaan nilai tambah yang dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung oleh sektor pertanian untuk membeli hasil produksi seluruh sektor dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Keterkaitan melingkar (keterkaitan Timmer) berkaitan dengan perbaikan kegagalan pasar berkat kebijakan dan hasil pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian yang dapat menciptakan stabilitas sosial-ekonomi dan politik bermanfaat dalam mengurangi resiko usaha sehingga ongkos untuk perlindungan terhadap resiko usaha dapat diminimalisasi. Kualitas pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kemampuannya dalam penciptaan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pembangunan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu tujuan akhir pembangunan sebagai pelaksanaan amanat konstitusi bahwa negara wajib menyediakan lapangan kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat. Pemerataan pembangunan merupakan pelaksanaan amanat konstitusi untuk mewujudkan keadilan sosial. Pemeliharaan lingkungan hidup merupakan bagian dari upaya mewujudkan kesejahteraan hidup dan terjaminnya kelangsungan pembangunan secara berkelanjutan. Dengan demikian, tujuan pembangunan ekonomi tidaklah untuk meraih laju pertumbuhan yang setinggi-tingginya melainkan pertumbuhan tinggi berkualitas, laju dan kualitas pertumbuhan samasama tinggi. Inilah yang disebut prinsip jalur ganda pembangunan: Pro-pertumbuhan (pro-growth), pro warga miskin (pro-poor), pro-lapangan kerja (pro-job) dan pro-keberlanjutan lingkungan hidup (prosustainability). Penelitian di banyak negara, termasuk Indonesia, telah membuktikan bahwa pertumbuhan sektor pertanian adalah yang paling efektif menurunkan prevalensi kemiskinan dibandingkan dengan pertumbuhan seluruh sektor dalam perekonomian. Pertumbuhan sektor pertanian tidak saja efektif menurunkan prevalensi kemiskinan di wilayah perdesaan tetapi juga di wilayah perkotaan. Keunggulan sektor pertanian dalam menciptakan lapangan kerja terwujud tidak saja karena intensif menggunakan tenaga kerja tetapi juga karena memiliki dampak pengganda output antar sektor yang besar. Pertumbuhan sektor pertanian meningkatkan pemerataan pendapatan baik di dalam sektor pertanian sendiri, antar sektor maupun antara wilayah (utamanya desa-kota). Oleh karena berkaitan dengan pengelolaan lahan dan air untuk budidaya tanaman, ternak dan ikan, dengan pengelolaan yang baik maka pembangunan pertanian dapat berfungsi untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Dengan demikian, memacu pembangunan pertanian merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Penguatan daya tahan perekonomian nasional berkaitan dengan daya lenturnya (resilient), kemampuannya dalam mengurangi ancaman, menyesuaikan diri dan pulih kembali dari goncangan eksternal. Pengalaman telah membuktikan bahwa sektor pertanian merupakan jangkar penguat daya tahan dan katup pengaman dalam menghadapi goncangan perekonomian.Tatkala diterpa oleh krisis
17
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
multidimensi pada periode 1997-2000, seluruh sektor dalam perekonomian Indonesia anjlok drastis, bahkan mengalami pertumbuhan negatif kecuali sektor pertanian. Tidak saja yang paling rendah penurunan laju pertumbuhannya, sektor pertanian adalah juga yang paling cepat pulih dari terpaan krisis. lentur terhadap goncangan dan fleksibilitas dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian berfungsi sebagai jangkar penguat dan katup pengaman di masa krisis. 4.3 Paradigma pembangunan nasional: Pertanian untuk pembangunan Fungsi ganda pertanian dalam pembangunan berubah menurut tahapan pambangunan. Telah lama diketahui bahwa pembangunan pertanian yang kuat merupakan prasyarat untuk dapat tumbuh berkembang menjadi negara maju. Sementara itu, fakta empiris juga menunjukkan bahwa peran dan fungsi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi menurun seiring dengan kemajuan ekonomi. Oleh karena irtu, landasan pikir yang paling pas untuk pembangunan ekonomi suatu negara yang berawal dari dominasi pertanian ialah paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for Development), yang menekankan fungsi ganda pertanian dan oleh karena itu pembangunan pertanian dilaksanakan terpadu antar sektor dan berdasarkan pada tahapan perkembangan pembangunan nasional. Sudah barang tentu, penekanan dari setiap fungsi disesuaikan dengan tahapan perkembangan perekonomian. Fungsi penciptaan lingkungan kondusif bagi pembangunan, penggerak pertumbuhan dan penambah kualitas pertumbuhan akan menurun seiring dengan tahapan kemajuan transformasi ekonomi menjauh dari basis pertanian menuju basis industri, jasa dan ilmu pengetahuan serta peningkatan kesejahteraan sehingga seluruh rakyat terbebas dari ancaman rawan pangan dan kemiskinan. Pada tahapan lanjut, pertanian mungkin lebih baik diposisikan sebagai jangkar penguat ketahanan pangan serta pelestarian lingkungan hidup dan sosial budaya nasional. Pada tataran makro, paradigm Pembangunan Untuk Pertanian dilaksanakan dengan strategi transformasi struktural berimbang dan menyeluruh, yang pada intinya merupakan landasan untuk menetapkan posisi sektor pertanian dalam pembangunan nasional, yang berarti pula landasan untuk menetapkan strategi, kebijakan dan program pembangunan pertanian. Transformasi yang esensial dalam merancang rencana jangka panjang pembangunan pertanian mencakup (Kementerian Pertanian, 2014): 1. Transformasi demografi; 2. Transformasi ekonomi (intersektoral); 3. Transformasi spasial; 4. Transformasi institusional (sosial-budaya); 5. Transformasi tatakelola pembangunan. Transformasi demografi berkaitan dengan pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk menurut jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan wilayah tempat tinggal. Dalam hal pemanfaat hasil pembangunan, jumlah dan pertumbuhan penduduk perlu dikendalikan untuk mengurangi tekanan dalam pemenuhan kebutuhan penyediaan pangan dan kebutuhan dasar lainnya, lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai subjek dan objek pembangunan, jumlah, tingkat pendidikan, ketrampilan dan angkatan kerja yang sesuai merupakan kunci keberhasilan transformasi sektoral, transformasi spasial, transformasi institusi, transformasi tatakelola pembangunan dan transformasi pertanian. Secara umum, population dividend dan demographic window merupakan kesempatan yang perlu dioptimalkan dalam perencanaan pembangunan jangka panjang. Transformasi ekonomi (intersektoral) berkaitan dengan perubahan struktur dan relasi antar sektor dalam perekonomian nasional. Fakta terpola berdasarkan pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan bahwa peta jalan kemajuan setiap perekonomian diawali dengan dominasi sektor pertanian (perekonomian berbasis pertanian), dan bahwa kemajuan perekonomian berjalan seiring dengan penurunan peran sektor pertanian dalam penciptaan PDB dan lapangan kerja, yang secara bertahap posisi dominan diambil alih oleh sektor industri (perekonomian berbasis industri), lalu oleh sektor jasa (perekonomian berbasis jasa), dan selanjutnya oleh sektor industri dan jasa berbasis inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Penurunan secara absolut jumlah tenaga kerja di sektor pertanian (Titik Belok Lewis) merupakan penanda dari keberhasilan transformasi intersektoral.Hingga tahun 2013, Indonesia belum berhasil mencapai Titik Belok Lewis. Kegagalan dalam mewujudkan transformasi intersektoral berimbang menyebabkan semakin meningkatnya jumlah petani gurem, munculnya fenomena kemiskinan endemik petani dan perdesaan serta semakin besarnya jenjang
18
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
ketertinggalan kesejahteraan petani dibanding dengan kelompok penduduk lainnya. Akar penyebabnya ialah kesalahan industrialisasi, khususnya penempatan sektor pertanian dalam proses industrialisasi. Transformasi spasial berkaitan dengan perubahan lokasi, aglomerasi dan relasi geografis kegiatan ekonomi dan pemukinan penduduk. Fakta berpola pengalaman bangsa-bangsa, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa setiap perekonomian diawali dengan dominasi wilayah perdesaan yang ditopang oleh sektor pertanian, dan bahwa kemajuan perekonomian berjalan seiring dengan penurunan peranan wilayah perdesaan dalam penciptaan PDB dan lapangan kerja yang secara bertahap posisi dominan diambil alih oleh wilayah perkotaan yang ditopang oleh sektor industri dan atau jasa. Proses transformasi spasial desa-kota terjadi beriringan dengan transformasi sektoral. Di satu sisi, perpindahan urbanisasi merupakan kunci dari pertumbuhan perekonomian perkotaan, utamanya melalui pertumbuhan sektor industri dan jasa. Di sisi lain, urbanisasi merupakan jalan keluar dari cengkeraman kemiskinan bagi penduduk perdesaan, termasuk petani. Urbanisasi juga merupakan proses untuk mencapai Titik Belok Lewis yang juga merupakan prasyarat terjadinya titik belok kecenderungan peningkatan petani gurem. Semakin tingginya senjang kesejahteraan penduduk perdesaan dengan penduduk perkotaan merupakan penanda dari kegagalan transformasi spasial. Mewujudkan transformasi spasial desa-kota yang berimbang dan serasi dengan transformasi perekonomian secara sektoral merupakan agenda pembangunan nasional jangka panjang. Mengintegrasikan perekonomian perdesaan-sektor pertanian-perkotaan merupakan strategi yang tepat untuk itu. Insitusi adalah norma, dalam pengertian peraturan dan organisasi yang menentukan relasi dan pertukaran, sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah aksi kolektif (antar sektor, antar pekerjaan antar perusahaan, antara perusahaan dan pekerja, antara perusahaan dan pemerintahan). Institusi merupakan modal pembangunan yang menentukan pertumbuhan ekonomi dan distribusi hasilhasilnya. Institusi pembangunan mencakup aturan perundangan resmi (modal regulasi), karakter dan organisasi sosial-budaya (modal sosial), dan organisasi advokasi bisnis (modal politik). Transformasi aturan perundangan diarahkan untuk menciptakan lingkungan yang memberdayakan dunia bisnis, termasuk menjamin keamanan dan ketertiban umum, perlindungan hak kepemilikan, menjamin kepastian berusaha, mencegah praktek usaha tidak sehat, yang kesemuanya merupakan prasyarat tumbuh-kembangnya usaha ekonomi swasta, mengurangi ongkos transaksi dan instrumen serta mencegah dan memperbaiki kegagalan pasar.Transformasi modal sosial dilakukan dengan menumbuhkembangkan karakter bangsa, yang terkenal terpercaya, pekerja keras, disiplin, bersemangat kerjasama dan peduli sesama, sebagai habitus seluruh rakyat, yang kesemuanya merupakan modal dasar untuk meningkatkan produktivitas, memacu inovasi dan menurunkan biaya transaksi serta penguatan modal politik. Transformasi politik diarahkan untuk menciptakan sistem pembentukan kebijakan dan tatakelola pemerintahan yang baik, termasuk pembentukan dan pemberdayaan organisasi petani untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan dan dukungan politik para anggotanya. Tatakelola pembangunan (development governance) adalah proses kolektif dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan dan perbaikan kebijakan dan program pembangunan. Sebagai suatu proses kolektif, tatakelola pembangunan merupakan penerapan otoritas ekonomi politik dan administrasi dalam mengelola pembangunan. Tatakelola pembangunan meliputi mekanisme, proses dan institusi melalui mana setiap warga negara, kelompok dan perserikatan memperjuangkan kepentingan, melaksanakan hak-hak hukum dan melakukan kewajiban masing-masing serta mencari resolusi perbedaan diantara mereka. Transformasi tatakelola pembangunan ialah proses dalam mewujudkan tatakelola pembangunan yang baik (good development governance). Transformasi tatakelola pembangunan mencakup transformasi birokrasi pemerintahan sebagai penanggung jawab administrasi pembangunan dan transformasi proses perumusan kebijakan pembangunan. Dalam hal birokrasi pemerintahan, desentralisasi sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundangan merupakan salah satu perwujudan dari transformasi tatakelola pembangunan yang secara teoritis lebih baik dari sentralisasi. Penerapan tatakelola pembangunan yang baik dalam desentralisasi pemerintahan merupakan kunci keberhasilan pembangunan pertanian di masa datang. Paradigma Pertanian untuk Pembangunan berpandangan bahwa strategi yang tepat untuk mewujudkan transformasi ekonomi berimbang itu ialah dengan menjadikan transformasi pertanian sebagai poros transformasi pembangunan nasional. Usaha pertanian terdiri dari usahatani rakyat dan perusahaan besar pertanian, dan kemitraan antara usahatani rakyat dan perusahaan besar pertanian.
19
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Mengingat peranannya dalam menentukan hajat hidup rakyat yang jauh lebih besar, maka perhatian pemerintah mestilah lebih difokuskan untuk pengembangan usahatani rakyat dan kemitraan antara usahatani rakyat dan perusahaan besar pertanian. Transformasi pertanian diarahkan untuk mempercepat komersialisasi usahatani rakyat dalam rangka peningkatan efisiensi, daya saing dan peningkatan skala usahatani. Transformasi pertanian mencakup perubahan orientasi, skala, bentuk, cakupan bidang dan manajemen rantai pasok dan teknologi usaha pertanian menurut komoditas, subsektor, sektor dan lokasi spasial. Paradigma Pembangunan untuk Pertanian, berpandangan bahwa transformasi pertanian merupakan poros penggerak transformasi pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan paradigma ini, proses transformasi pembangunan nasional dikelola sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung dengan terpadu, sinergis, selaras dan berimbang dengan proses transformasi pertanian (Gambar 1).
Gambar 1. Transformasi Pertanian sebagai poros transformasi pembangunan nasional (Kementerian Pertanian, 2014)
4.4 Paradigma pembangunan pertanian: Pembangunan Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai dapat memanfaatkan teknologi Revolusi Hijau pada akhir tahun 1960-an hingga akhir 1980-an. Teknologi Revolusi Hijau telah memungkinkan sektor pertanian, utamanya subsektor padi-beras, tumbuh sangat pesat dan meraih swasembada beras pada tahun 1984. Kini teknologi Revolusi Hijau telah mengalami saturasi hasil dan bahkan telah menimbulkan dampak ikutan sindroma overintensifikasi sehingga hasil uasahatani padi mengalami stagnasi atau bahkan cenderung turun. Pingali (2012) mengatakan bahwa periode Revolusi Hijau (generasi pertama) ialah 1965-1985. Penelitian Grassini, Eskridge, and Cassman (2013) menunjukkan bahwa tren produktivitas padi, jagung dan gandum menunjukkan tren pertumbuhan menurun sejak akhir dekade 1990’an. Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya, kini sangat membutuhkan terobosan (revolusi) teknologi baru pasca Revolusi Hijau (Pingali, 2013). Oleh karena itu, masa depan pertanian Indonesia sangat ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mentrasformasi teknologi Revolusi Hijau menjadi teknologi Revolusi Hayati. Teknologi Revolusi Hijau sangat berbeda dari teknologi Revolusi Hayati Tabel Kesatuan usahatani hayati (biofarming), biomedis dan bioindustri akan menciptakan suatu sektor perekonomian yang sangat dinamis (yang disebut bioekonomi) dan akan menjadi basis utama perekonomian setiap negara maju di masa mendatang. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor pertanian Indonesia sehingga mampu mengemban multi-fungsinya serta menjadi poros transformasi dan motor penggerak pem bangunan nasional sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam membangun bioekonomi nasional. Kemajuan bioscience dan bioengineering telah mendorong tumbuh kembangnya Revolusi Hayati (Biorevolution), yang akan mendorong perubahan mendasar dan cepat pada pertanian global di masa
20
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
datang. Tenaga penggerak utama Revolusi Hayati antara lain: Kecenderungan semakin langkanya energi asal fosil; Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat; Perubahan iklim global dan internalisasi dalam sistem ekonomi-politik; Peningkatan kelangkaan sumberdaya lahan dan air; Peningkatan permintaan terhadap jasa lingkungan; Peningkatan jumlah petani marginal. Konsekuensi dari setiap tenaga penggerak utama tersebut ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 7. Perbandingan Ciri-ciri Revolusi Hijau dan Revolusi Hayati Aspek 1.Sasaran output
Revolusi Hijau Bahanpangan(beras, terigu, jagung)
RevolusiHayati Biomassa (bahanpangan, feedstock biorefinery)
5. Industripengolahan 6. Produk
• Tinggi, eksternal • Intensif • Rendah, lingkungan disesuaikan dengan teknologi Monokultur Tanamanpanganpokok: padi, jagung, gandum Industripangandanpakan Pangandanpakan
7. Kepemilikanteknologi 8. Pelakudisseminasi 9. Dampaksosial-ekonomi 10. Dampaklingkungan
Terbuka Pemerintah Kontroversial Kontroversial
• Rendah, internal • Minimal • Tinggi, atau teknologi disesuaikan dengan lingkungan Sistemplurifarmingterpadu Tanamanpangan, tanaman hutan, rumput, cacing, mikroba, ternak, ikan Bioindustri Pangan, pakan, bionergi, biokimiawi, enzim, biomaterial (plastik, biomedikal, biopartikel) Tertutup Swasta, komunitas, individu, keluarga Kontroversial Kontroversial
2.Sifatteknologi • Input • Pengolahan lahan • Toleransi lingkungan 3. Sistemusahatani 4. Cakupankomoditas
(Kementerian Pertanian, 2014)
Tabel 8. Driving Force Revolusi Hayati No 1. 2.
3.
4
Tren Besar Kelangkaan energi asal fosil makin langka Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat Perubahan iklim global dan internalisasi dalam sistem ekonomi-politik Peningkatan kelangkaan Sumberdaya lahan dan air
5
Peningkatan permintaan terhadap jasa lingkungan dan jasa ameniti
6
Peningkatan petani marginal
Konsekuensi Urgensi sumber energi terbarukan dan berkelanjutan (bioenergi) Trade off food-feed-fuel-fibre berbasis bahan pangan dan petrokimia: urgensi pengembangan bio-produk, perubahan pola hidup, pola konsumsi (bio-kultura) Peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi sistem pertanian
Urgensi efisiensi dan konservasi: pengendalian konversi lahan dan perbaikan jaringan irigasi, pertanian dengan limbah minimal, pertanian dengan minimum input, pertanian ramah lingkungan Peluang pengembangan pertanian ekologis, Kualitas- lansekap pertanian (landscape quality agriculture) Urgensi pengembangan pluriculture (sistem biosiklus terpadu)
(Kementerian Pertanian, 2014)
Kunci utama untuk dapat mewujudkan Revolusi Hayati itu ialah keberhasilan dalam menumbuhkembangkan Biokultura yakni, kesadaran, semangat, nilai budaya, dan tindakan (sistem produksi, pola konsumsi, kesadaran akan jasa ekosistem) memanfaatkan sumberdaya hayati bagi kesejahteraan manusia dalam suatu ekosistem yang harmonis.Biokultura menjadi dalam merumuskan etika dalam mengkaji ulang kondisi saat ini, mengevaluasi kondisi mendatang secara kritis dan menyusun kebijakan kebijakan untuk mewujudkan dan menjaga kelestarian ekosistem. Pada tataran praktis, transformasi pertanian dilaksanakan dengan pendekatan Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan yang mencakup Sistem Usaha Pertanian terpadu (integrated
21
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
farming system) pada tingkat mikro, Sistem Rantai Nilai Terpadu (integrated value chain) pada tingkat industri atau rantai pasok dan Sistem Agribisnis Terpadu pada tingkat industri atau komoditas. Sistem Usaha Pertanian Terpadu yang berlandaskan pada pemanfaatan berulang zat hara atau pertanian biosiklus (bio-cyce farming) seperti sistem integrasi tanaman-ternak-ikan dan sistem integrasi usaha pertanian-energi (biogas, bioelektrik) atau sistem integrasi usaha pertanian-biorefinery yang termasuk Pertanian Hijau (Green Agriculture) merupakan pilihan sistem pertanian masa depan karena tidak saja meningkatkan nilai tambah dari lahan tetapi juga ramah lingkungan.Pengembangan klaster rantai nilai dilaksanakan dengan mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dan komponen-komponen penunjangnya dalam satu kawasan guna memanfaatkan ekonomi aglomerasi.
V. STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN 5.1 Redefinisi pertanian Pertanian pada hakekatnya ialah kegiatan budidaya yang sengaja dilakukan untuk menghasilkan biomassa dan atau mengolah biomassa menjadi bahan pangan, pakan, energi dan beragam bioproduk bernilai tinggi serta jasa lingkungan yang berguna untuk kelangsungan hidup manusia yang sehat dan sejahtera. Kata kuncinya ialah menghasilkan dan atau mengolah biomassa. Dalam hal ini tidak dipersoalkan jenis makhluk hidup yang dibudidayakan. Pertanian pada dasarnya adalah proses produksi biomassa dari segala jenis organisma yang terdiri dari lima kerajaan (Wayne's Word, 1998): 1. Monera: Organisme satu sel yang tidak memiliki nucleus, termasuk bakteri murni (eubacteria) dan cyanobacteria (blue-green algae) 2. Protista: Organisme memiliki sel, termasuk protozoa satu sel dan algae satu sel atau multi-sel 3. Fungi: Termasuk berbagai jenis jamur 4. Tanaman: Termasuk tanaman biomassa, tanaman khusus energi, serta tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan tanaman obat konvensional 5. Hewan: Termasuk cacing, serangga, moluska, serta ikan dan ternak yang konvensional Pengertian di atas di satu sisi konsisten dengan pengertian pertanian modern sebagai: “Agriculture is the art and science of growing plants and raising animals for food, other human needs or economic gain.” (Bareja, 2008). Dalam definisi ini tidak ada pembatasan mengenai jenis tanaman dan hewan yang dibudidayakan. Kata kunci pertanian ialah kemahiran dan kreativitas (seni) dan penerapan ilmu dalam praktek budidaya tanaman dan hewan yang berguna untuk pangan, kebutuhan manusia lainnya atau nilai tambah ekonomi. Jenis tumbuhan dan hewan yang dibudidayakan tidak dibatasi. Budidaya cacing, serangga, moluska dan segala macam hewan atau tanaman nonkonvensional lainnya tercakup dalam arti pertanian modern. Namun demikian, organisme yang dibudidayakan masih terbatas pada tanaman dan hewan. Sebagaimana diketahui, bidaya jamur sudah lama dikenal sebagai salah satu jenis usaha pertanian yang cukup penting. Jamur memiliki kerajaan sendiri, tidak termasuk kerajaan tanaman maupun kerajaan hewan. Perspektif Sistem PertanianBioindustri Berkelanjutan berpandangan bahwa budidaya mikroorganisme, bahkan organisme satu sel pun, termasuk monera, protista dan fungi (bakteri, algae, bakterti, jamur, kapang) termasuk dalam definisi pertanian. Pertanian lazimnya dimaknai sebagai terjemamahan dari bahasa Inggris “agriculture”. Kata “culture” dalam agriculture mengandung dua makna (Munck, 1990). Pertama, cuture diartikan sebagai budaya sosial (makna orisinal). Dengan makna ini, pertanian berfungsi sebagai bagian dari kebudayaan yang direfleksikan dalam tradisi bercocok tanam, budaya pangan, warisan keunikan geografis (varietas tanaman, cita rasa hasil pertanian, panorama alam, kenyamanan lingkungan hidup). Kedua, pertanian dapat pula diartikan sebagai budidaya organisme. Jenis organisme yang dibudidayakan tidak dibatasi, mencakup kelima kerajaan: tanaman, hewan, fungi, protista (algae) dan monera (bakteri). Dengan makna ini, pertanian berfungsi untuk menghasilkan komoditas yang bernilai ekonomi, yaitu biomassa yang dapat bermanfaat langsung sebagai bahan pangan, pakan, dsb, atau sebagai bahan baku bioindustri untuk menghasilkan pangan, pakan, energi dan beragam bioproduk. Perspektif Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan berpandangan bahwa sebagai budidaya organisme, pertanian tidak saja menghasilkan komoditas, tetapi juga berfungsi dalam menghasilkan
22
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
jasa ekologi2. Sistem pertanian dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga menciptakan siklus biogeo-kimia yang tertutup sehingga berperan dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian, pertanian memiliki tiga fungsi yakni fungsi ekonomi, fungsi sosialbudaya dan fungsi ekologis. Pertanian adalah upaya manusia dalam mengelola ekosistem dan skalanya sehingga dapat menghasilkan produk-produk yang lebih bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraannya. Pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem pertanian ekologis atau sistem agroekologi. Agroekologi didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem pertanian dapat dirancang sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh ekosistem, mengurangi tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam. Walau beragam, definisi agroekologi memiliki beberapa kesamaan prisip dasar dalam rangka merekonsiliasi tantangan triple trade-off keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan (Schaller, 2013): 1. Memanfaatkan fungsi ekosistem semaksimal mungkin 2. Maksimisasi biodiversitas fungsional melalui pertanaman campuran, diversifikasi antar petakan dan pergiliran tanaman, serta diversifikasi usahatani (komplementaritas usahatani tanaman, ternak, ikan, serangga, dsb). 3. Memperkuat regulasi biologis melalui penataan rantai makanan di dalam ekosistem. Untuk pengendalian hama-penyakit tanaman misalnya, disarankan untuk menggunakan bilangan ganjil (3,5,7 dsb) dalam menentukan jumlah level rantai makanan. Untuk tiga level rantai makanan, misalnya, promosi rantai makanan level pertama (tumbuhan) dapat dilakukan dengan membatasi keberadaan level kedua (predator) dengan menggunakan level ketiga (serangga bermanfaat). Dengan lebih rinci, Altieri (2012) menjabarkan prisip dasar sistem pertanian ekologis sebagai berikut: 1. Daur ulang biomassa, dengan maksud optimasi dekomposisi bahan organik dan siklus nutrisi 2. Memperkuat sistem immun dari sistem pertanian melalui penguatan biodiversitas fungsional, musuh alami, antagonis, dsb. 3. Menyediakan kondisi lahan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola zat organik dan memperkuat aktivitas biologi tanah 4. Meminimumkan kehilangan energi, air, zat hara, dan sumberdaya genetik dengan memperkuat konservasi dan regenerasi lahan, air, dan agro-biodiversitas 5. Meningkatkan diversitas spesies dan sumberdaya genetik di dalam agroekosistem menurut waktu pada level usahatani dan kawasan lansekap. 6. Memperkuat interaksi dan sinergi bermanfaat diantara sesama komponen agro-biodiversitas, sehingga dengan demikian mempromosikan fungsi-fungsi dan proses-proses ekologis utama. Berdasarkan tujuannya, sistem pertanian ekologis dapat dibedakan menjadi sistem pertanian konservatif ekologis dan sistem pertanian intensif ekologis. Sistem pertanian konservatif ekologis berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, dan proses produksinya mengandalkan pada input internal agroekosistem. Sistem pertanian intensif ekologis berorientasi untuk menghasilkan nilai tambah usahatani sebesar mungkin, termasuk dengan cara menggunggakan input eksternal, namun dengan dampak minimal terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Sistem pertanian konservatif ekologis tidak efektif untuk peningkatan pendapatan petani dan memacu pertumbuhan pertanian secara agregat sehingga kurang sesuai untuk Indonesia hingga beberapa tahun ke depan. Model ini mungkin cocok bagi Negara-negar yang sudah maju. Pertanian intensif ekologis adalah rekaya biosistem. Sebagai sebuah sistem, arsitektur pertanian intensif ekologis dirancang dalam dua tahapan. Pertama, penetapan batas-batas lokasi serta karakteristik sumberdaya dan lingkungan strategis sosial ekonomi tapakan lokasi pengembangan sistem pertanian intensif ekologis tersebut. Batas-batas tapakan, karakteristik sumberdaya dan lingkungan strategis tapakan merupakan penentu skala pengembangan dan alternatif struktur biosistem yang layak dikembangkan di lokasi tersebut. Dalam batas inilah biosistem direkayasa sehingga berkelanjutan secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Skala pengembangan sistem pertanian intensif ekologis dapat mencakup satu perusahaan (usaha pertanian rakyat, perusahaan besar pertanian), 2
Uraian tentang jasa ekologis dapat dibaca pada Millenium Ecosystem Management ( 2005)
23
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
komunitas usaha (kelompok perusahaan, termasuk kelompok tani, kemitraan petani rakyat dan perusahaan besar pertanian), kawasan pengembangan khusus (klaster, zona), kawasan ekologis atau lansekap. Langkah kedua dalam perekayasaan sistem pertanian intensif ekologis ialah rekayasa arsitektur struktur organisme di lokasi pengembangan. Struktur dimaksud mencakup jenis dan populasi setiap spesies dan atau varietas (variasi genetik dalam satau species) sesuai dengan fungsi ekologis masing-masing sehingga terjalin interrelasi harmonis dalam mewujudkan ciri-ciri tersebut di atas. Secara umum, bauran biodiversitas sistem pertanian ekologis tersebut disebut organisme sekawan (companion organisms). Salah satu contohnya ialah budidaya padi dengan pegendalian hama berdasarkan strategi rekayasa ekologis (Heong, 2013), dengan menanam tanaman bunga nektar (tanaman wijen, bunga matahari) yang berfungsi sebagai penarik dan tempat bernaung (refugia) organisme pengganggu di sekeliling petakanan tanamam padi (Winarto, dkk 2013).Fungsi-fungsi ekologis setiap jenis organisme dalam rumpun organisme sekawan tersebut mencakup: 1. Pemanfaatan optimal ruang budidaya: Organisme dapat dibudiyakan secara bersama-sama karena mereka tidak saling bersaing atau bahkan sinergis karena berbeda dalam kebutuhan lahan, hara, air dan matahari, berbeda kedalaman perakaran, berbeda ketinggian, berbeda musim tanam, dsb. 2. Pengendalian hama: Organisme yang bermanfaat dalam pengendalian hama-penyakit, misalnya karena bersifat penarik (pest attractor) atau pemerangkap hama (pest trap), penjauh (pest repellant) 3. Pendukung pollinasi: Organisme yang berkontribusi dalam peningkatan penyerbukan melalui serangga atau organisme lain, termasuk lebah madu dan serangga lainnya serta tanaman penarik serangga 4. Hewan herbivora dan omnivora (ternak dan ikan): Ternak ruminansia, unggas 5. Organisme dekomposer: Jamur, cacing, lalat, dsb untuk media budidaya dan sekaligus mengurai sisa dan limbah biomassa hasil pertanian menjadi bahan pangan, pakan dan pupuk yang selanjutnya dipergunakan dalam budidaya tumbuhan. 6. Sinergi habitat: Integrasi budidaya berbasis lahan dan berbasis air (akuakultur) dalam rangka membangun rantai pangan (food chain) antar organisme budidaya serta daur bahan organik, daur ulang air dan hara.
Gambar 2. Sketsa arsitektur umum sistem pertanian intensif ekologis
24
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Sistem pertanian intensif ekologis terdiri dari lima komponen: subsistem budidaya tanaman darat sekawan, subsistem budidaya ternak, subsistem akuakultur, subsistem budidaya serangga penyerbuk (pollinator), dan subsistem budidaya dekomposer (Gambar 2). Kelima subsistem tersebut saling berinteraksi sinergis dalam suatu aliran sirkuler (semi) tertutup biogeokimia (materi biomassa, hara, air dan energi). Subsistem budidaya tanaman darat sekawan merupakan produsen utama biomassa primer. Tanaman air dalam subsistem akuakultur juga termasuk produsen biomassa primer. Biomassa primer digunakan sebagai pakan ternak dan ikan. Salah satu penciri sistem pertanian intensif ekologis ialah integrasi budidaya pertanian (tanaman-ternak) dengan budidaya perairan (akuakultur), yang dikenal sebagai sistem integrasi pertanian akukultur yang sudad luas diterapkan di Tiongkok, Vietnam dan beberapa daerah di Indonesia. Penciri kedua sistem pertanian intensif ekologis ialah adanya subsistem budidaya serangga (pollinator) yang esensial bagi tanaman budidaya, dan juga berfungsi sebagai usaha komersial. Penciri ketiga ialah subsistem dekomposer. Sisa dan limbah biomassa pertanian diolah dalam budidaya dekomposer, yang mencakup budidaya jamur, biodigester untuk menghasilkan biogas, budidaya cacing, dan budidaya serangga untuk menghasilkan belatung berprotein tinggi. 5.2 Pergeseran dari paradigma agribisnis ke paradigm agrobiobisnis Paradigma agribisnis yang dipelopori oleh Davis and Golberg (1957) dan disempurnakan oleh Davis (1968) dipandang sudah tidak sesuai dengan konteks dan issu pembangunan pertanian kontemporer dalam abad ke 21 ini. Tidak dapat dipungkiri, paradigma agribisnis telah berjasa dalam menyususun kerangka teori dan program operasional pembangunan pertanian dalam era tahun 1960’an hingga tahun 1990’an atau bahkan hingga awal dekade 2000’an, termasuk di Indonesia sejak akhir decade 1980’an. Paradigm agribisnis berpandangan bahwa pertanian adalah usaha komersial yang berorientasi pasar, tergantung pada input eksternal yang dihasilkan oleh lembaga atau perusaanperusahaan lain, industri pengolahan, dan usaha pemasaran yang dilaksanakan oleh perushaanperusahaan lain, fasilitasi dan jasa penunjang yang disediakan oleh lembaga atau perusaan-perusahaan lain, serta iklim usaha (agribusiness enabling environment) yang menentukan aturan main atau koordinasi diantara para pelaku usaha (regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis, infrastruktur bisnis). Dengan demikian, pertanian merupakan subsistem utama dari suatu sistem agribisnis yang terdiri dari lima subsistem (Gambar 3): Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), Subsistem agribisnis usahatani (on-farm agribusiness), Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), Subsistem usaha penunjang agribisnis (agribusiness-supporting enterprises), dan Subsistem lingkungan pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment). Kiranya dicatat bahwa Subsistem Lingkungan Pemberdaya Agribisnis dapat dipandang sebagai subsistem koordinator dalalam konsep Goldberg (1968) dan merupakan komponen tambahan terhadap konsep sistem agribisnis awal yang digagas oleh Davis and Goldberg (1957) dan Saragih (2010). Perubahan context dan content pembangunan seperti yang diuraikan diatas terus mengikis relevansi paradigm agribisnis. Paradigm agribisnis konvensional menekankan pengelolaan sistem agribisnis mulai dari pengadaan prasasaran dan prasana usaha pertanian hingga pengolahan dan pemasaran komoditas hasil pertanian. Penekanan lebih pada sistem logistik komoditas, bukan produk akhir hingga titik penjualan akhir. Sistem agribisnis tidak mencakup subsistem konsumen akhir. Kerjasama antar aktor dalam sistem agribisnis terutama ialah dalam hal informasi pasar, bukan kerjasama dalam rangka peningkatan nilai pada setiap simpul sistem agribisnis. Tataran persaingan masih tetap pada tingkat perusahaan dan komoditas. Konsep ini jelas sudah tidak relevan pada saat persaingan telah bergeser pada tingkat rantai nilai dan poduk spesifik atribut. Oleh karena itulah paradigm agribisnis telah digeser oleh paradigm rantai pasok dan kemudian rantai nilai pertanian (agricultural value chain) pada dekade 1990’an hingga 2000’an. Paradigma agribisnis maupun rantai nilai konvensional menekankan pada laba usaha agribisnis, sama sekali tidak menyebut hal-hal yang berkaitan dengan nilai sosial dan nilai jasa lingkungan.
25
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gambar 3. Sistem Agribisnis (Diolah dari Davis, 1968)
Paradigma agribisnis relevan pada era Revolusi Hijau, namun tidak sesuai dalam era Revolusi Hayati karena beberapa alasan berikut. Pertama, Revolusi Hayati menekankan pentingnya nilai sosial dan jasa lingkungan, sementara paradigma agribisnis tidak memperhatikan. Kedua, paradigma agribisnis mekankan aliran linier komodistas sampai titik penjualan akhir, sehingga mengakibatkan terjadinya aliran keluar zat hara dari kawasan agroekosistem basis usaha pertanian (on farm). Karakteristik inilah yang menyebabkan lahan pertanian mengalami pemiskinan hara sehingga memerlukan penambahan hara dan air dari sumber eksternal (pupuk kimia, air) dalam jumlah yang terus meningkat dan selanjutnya menimbulkan kerusakan lingkungan. Seiring dengan perkembangan bioekonomi baik dari segi ilmu maupun kegiatan perekonomian, kini telah berkembang pula konsep baru, yaitu biobisnis. Definisi biobisnis berbeda menurut perspektif yang digunakan, berbasis teknologi atau berbasis sumberdaya dalam proses produksinya. Dari perspektif basis teknologi, Willoughby (2011) mendefinisikan biobisnis sebagai kegiatan ekonomi yang diabdikan untuk pengembangan atau komersialisasi ilmu hayati (bioscience) atau teknologi berkaitan ilmu hayati, produk atau jasa. Senada dengan Willoughby, Shahi (2006) mendefinisikan biobisnis sebagai kegiatan komersial yang didasarkan pada pemahaman ilmu-ilmu hayati dan proses-proses ilmu hayati, yang mencakup: Biomedikal (termasuk pemeliharaan kesehatan, farmasi, peralatan medis, diagnostik, dll), agri-veteriner dan pangan, lingkungan dan industry, bidang terkait (bioinformatika, bioengineering, teknologi nano, dll). Pada definisi ini, biobisnis berkenaan dengan kegiatan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempergunakan atau dituntun oleh ilmu hayati. Dari basis sumberdaya, biobisnis didefinisikan sebagai kegiatan komersial yang berkaitan dengan produksi biomassa serta konversi dan transformasi biomassa tersebut menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk (European Commission, 2012). Dengan definisi ini, biobisnis mencakup kegiatan komersias dalam sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) yang memproduksi (agro)biomassa, (bio)industri yang mengolah (mengonversi atau mentransformasi) biomassa, serta logistik dan perdagangan yang menghantarkan produk turunan biomassa tersebut kepada konsumen. Definisi yang lebih umum ialah menggabungkan perspektif teknologi dan perpektif basis sumberdaya. Biobisnis ialah kegiatan komersial yang berkaitan dengan pengembangan atau komersialisasi ilmu dan teknologi hayati serta produksi, konversi dan transformasi biomassa tersebut menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk. Agrobiobisnis adalah bagian dari biobisnis yang biomassanya adalah hasil usaha pertanian (agrobiomassa). Berdasarkan definisi biobisnis di atas, agrobiobisnis ialah usaha komersial yang berkaitan dengan sistem rantai nilai agrobiomassa (biomassa hasil pertanian) dan sistem ilmu pengetahuan dan inovasi pendukung rantai nilai agrobiomassa tersebut. Sistem rantai nilai agrobiomassa mencakup usaha pertanian penghasil agrobiomassa, agrobioindustri yang mengonversi dan mentransformasikan agribiomassa menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk, serta agrobiologistik dan pemasaran yang menghantarkan produk turunan agrobiomassa tersebut kepada konsumen. Sedangkan sistem ilmu pengetahuan dan inovasi mencakup pengembangan,
26
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
komersialisasi atau diseminasi, dan penyuluhan ilmu pengetahuan dan innovasi yang dipergunakan dalam rantai nilai agrobiomassa. Paradigma agrobiobisnis disusun dengan lima pilar pemikiran (Simatupang, . Pertama, agrobiobisnis berorientasi untuk memaksimalkan nilai tambah (laba) ekonomi, manfaat sosilpolitik, dan jasa lingkungan lingkungan hidup secara berimbang berdasarkan prinsip bisnis berkelanjutan. Konsep ini berbeda dengan paradigma agribisnis konvenvensional yang hanya berientasi pada perolehan laba ekonomi sebesar-besarnya. Orientasi manfaat sosil-politik dan jasa lingkungan lingkungan hidup secara berimbang dengan laba ekonomi merupakan salah satu pembeda utama paradigm agobiobisnis dari paradigm agribisnis.Paradigma agrobiobisnis berpandangan bahwa nilai tambah sosial-politik dan jasa lingkungan tidak saja secara intrinsik bernilai kebajikan dari perspektif publik bagi masyarakat umum, tetapi juga bernilai instrumental finansial dari perspektif privat bagi perusahaan sendiri. Jasa lingkungan juga bernilai finansial bagi perusahaan karena tiga alasan berikut. Pertama, usaha jasa lingkungan itu sendiri merupakan bidang usaha komersial. Sebagai contoh, pertanian landsekap yang mencipatkan udara sehat serta panorma nyaman dan indah dapat dijadikan sebagai bisnis pariwisata. Usaha jasa pengolahan limbah dan reklamasi lingkungan juga dapat menjadi usaha komersial yang menguntungkan. Kedua, perusahaan dapat memperoleh insentif atau imbalan finansial atas kontribusnya dalam menjaga dan meningkatkan kelestarian sumbar daya alam dan lingkungan hidup, seperti carbon credit, carbon trade, dll. Ketiga, kapitalisasi reputasi perusahaan di mata konsumen yang tercermin dalam harga atau permintaan produk yang lebih tinggi. Landasan pemikiran kedua paradigma agrobiobisnis ialah bahwapertanian adalah rekayasa agroekosistem untuk menghasilkan biomassa dan jasa ekosistem. Perspektif agrobiobisnis berpandangan bahwa pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem pertanian ekologis atau sistem agroekologi (Gambar 2). Dalam perspektif praksis, agroekologi didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem pertanian dapat dirancang sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh ekosistem, mengurangi tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam. Ketiga, seluruh agrobiomassa yang dihasilkan dikonversi dan transformasi menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk, oleh fasilitas pengolahan terpadu berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Fasilitas pengolahan demikian secara agregat disebut agrobioindustri dan secara mikro perusahaan disebut kilang agrobioindustri (agrobiorefinery). Agrobioindustri tidak sama dengan agroindustri. Dari segi cakupan bahan baku atau feedstock, bioindustri lebih luas dari agroindustri. Agroindustri hanya menggunakan sebagian hasil pertanian sebagai bahan bakunya, sementara agrobioindustri menggunakan segala jenis biomassa hasil pertanian, termasuk sisa dan limbah. Dari segi tujuan, agrobioindustri berorientasi pada nilai tambah sebesar-besarnya dengan menghasilkan beragam produk bernilai tinggi dari feedstock biomassa yang digunakan dan dengan dampak lingkungan sekecil-kecilnya. Kilang agrobioindustri paling sesuai dengan konsep industri berkelanjutan. Pertama, perdefinisi kilang agrobioindustri mengintegrasikan beberapa alur proses (platform) pengolahan biomassa untuk menghasilkan beragam produk, sehingga lebih banyak jenis biomassa yang diolah dan menghemat penggunaan input, termasuk feedstock, energi dan input lainnya. Kedua, biokilang dapat mencakup proses pengolahan kembali atau menggunakan kembali sisa dan limbah dari proses pengolahan lainnya. Sebagai contoh, onggok sisa pengolahan ubikayu segar menjadi pati dapat diolah menjadi bahan pakan atau biogas. Ketiga, biokilang dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan sebagai input dalam menghasilkan feedstock. Sebagai contoh, sisa dan limbah proses pengolahan olahan ubikayu menjadi pati, termasuk produk ikutan biodigester, dapat diolah menjadi pupuk yang digunakan sebagai input pada usahatani ubikayu (Gambar 4). Kesatuan sistem pertanian (Gambar 2) dan agrobiobioindustri (Gambar 4) ekologis dalam suatu sistem tertutup disebut sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan (Simatupang, 2014) atau Sistem Pertanian Bio-Siklus (Agus, 2014). Keempat, sistem pertanian intensif ekologis dan agrobioindustri ekologis akan berhasil ditumbuh-kembangkan bila dilaksanakan dengan pendekatan atau paradigma sistem agrobiobisnis. Komponen sistem agrobiobisnis terdiri dari lima blok, yaitu blok Sistem Ilmu Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis (Agrobiobusiness Knowledge and Innovation System), Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobioproduk, Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis, Sektor Masyarakat
27
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Konsumen, dan Sistem Iklim Usaha Agrobiobisnis). Kelima blok tersebut saling berhubungan secara sirkuler dalam mengalirkan produk dagangan (input-ouput), informasi dan aturan main (Gambar 4).
Gambar 4. Sketsa arsitektur agrobioindustri ekologis
Blok Sistem Ilmu Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis berfungsi untuk menyediakan teknologi dan pengetahuan yang diperlukan oleh keempat blok lainnya. Di dalam blok ini termasuk lembaga pendidikan, penelitian, serta pengembangan, komersialisasi dan penyuluhan teknologi. Blok Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa berfungsi untuk meghasilkan agrobiomassa (pertanian, onfarm), mengonversi dan mentransformasi agrobiomassa (agrobioindustri) menjadi beragam bahan pangan, pakan, dan bioproduk bernilai tinggi (agrobioindustri), serta menghantarkannya (agrobiologistik dan pemasaran) kepada konsumen. Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis adalah sektor usaha swasta yang memberi dukungan untuk kelancaran usaha Sistem Ilmu Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis dan Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa. Sistem Iklim Usaha Agrobiobisnis adalah elemen-elemen pembentuk konteks lingkungan strategis bagi keempat blok lainnya. Termasuk dalam blok ini ialah standar, regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis, organisasai konsumen, dan organisasi masyarakat sipil. Kelima, pembangunan inklusif berkelanjutan. Pembangunan agrobiobisnis adalah pilar utama pembangunan nasional dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat secara adil dan merata untuk sepanjang waktu. Kesejahteraan rakyat itu bersifat multi-dimensi, meliputi kesejahteraan ekonomi, sosial-politik, dan lingkungan alam. Kesejahteraan ekonomi tercermin dari tingkat pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kesejahteraan sosial politik tercermin terutama dari partisipasi dalam pembangunan, sosial dan politik, pemerataan pembagian manfaat pembangunan, kebebasan dalam aktualisasi diri. Kesejahteraan terkait lingkungan hidup termasu antara lain kesehatan, kenyamanan dan keindahan lingkungan hidup serta kepastian akan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sepanjang masa. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan berlandaskan pada tiga pilar: Manfaat Ekonomi (Profit), Kemanusiaan dan Keadilan Sosial (People), dan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (Planet).
28
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gambar 5. Sketsa Sistem Agrobiobisnis
Dengan demikian, pembangunan agrobiobisnis diarahkan untuk peningkatan nilai tambah dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi (pro growth), dengan partisipasi sosial-politik yang adil dan merata antar individu, golongan dan wilayah (inclusive, pro-equity), dan memelihara atau bahkan meningkatkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (pro environment). Kiranya dicatat bahwa satu-satunya sektor yang secara alamiah dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup ialah pertanian (dalam arti luas, termasuk kehutanan dan perikanan). Oleh karena itu, tidak boleh tidak agrobiobisnis haruslah dijadikan sebagai tulang punggung pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) atau ekonomi hijau (Green Economy) yang menjadi arus utama arah pembangunan saat ini hingga mesa mendatang. PENUTUP Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi global diperkirakan akan menimbulkan skenarion badai sempurna (perfect storm): krisis pangan, air dan energi pada 2030. Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Selain mengantisipasi perubahan lingkungan strategis, pembangunan pertanian hendaklah ditempatkan pada fungsinya yang bersifat ganda. Pertanian tidaklah semata-mata untuk mewujudkan swasembada pangan dan stabilisasai harga komoditas pangan volatile determinan inflasi. Pembangan pertanian hendaklah ditempatkan sebagai poros dan mesin penggerak transformasi pembangunan nasional menuju negara maju berpendapatan tingggi. Untuk itu, strategi yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan mengadopsi pendekatan agrobiobisnis. Dokumen Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045: Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan yang telah disusun oleh Kementerian Pertanian dapat dijadikan sebagai referensi utama dalam penjabaran lebih lanjut konsep tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Agus, C.
2014. Desain Dan Pola Pengelolaan Sistem Pertanian Bio-Siklus Dalam Mendukung Kemandirian Pangan Dan Energi. Makalah utama pada Seminar Nasional memperingati Hari Pangan Sedunia ke 34, Hotel Grand Clarion, Makassar, 4 November 2014.
29
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Altieri, M. A. 2012. The scaling up of Agroecology: Spreading the Hope for Food Sovereignty and Resilience. SOCLA Rio+20 Position Paper. Albrecht, K. and S. Ettling. 2014. Bioeconomy Strategies Across Globe. Rural 21 March 2014: 1013. Bareja, B.G. 2010. So, What is Agriculture? What is the Definition of Agriculture? http://www.cropsreview.com/what-is-agriculture.html; 20 juli 2014. Beddington, J. 2009. Food, Energy, Water and the Climate: Aperfect stormof global events? webarchive.nationalarchives.gov.uk/.../perfect-storm-paper.pd.. Diunduh pada 30 Oktober 2016. Bruinsma, J. 2011. The Resource Outlook 2050: By How Much do Land, Water and Crop Yields Need to Increase by 2050?’, In P. Conforti.Looking ahead in world food and agriculture: Perspectives to 2050, pp. 233-278. Food And Agriculture Organization, Rome. Cranfield, J. A. L; T.W. Hertel ; J.S. Eales; and P.V. Preckel. 1998. Changes in the Structure of Global Food Demand. GTAP Working Papers. Davis, J.H. and R.A. Goldberg. 1958. A concept of Agribusiness. Boston : Division of Research, Graduate School of Business Administration, Harvard University, xiv, 136 p. Deutsche Bank. 2009. Investing in Agriculture: Far-Reaching Challenge, Significant Opportunity. European Comission. 2012. Strategy for Innovating for Sustainable Growth: A Bioeconomy for Europe. Staf Working Dokumen (2012) 11 Final. European Comission COM (2012) 60 Final. Gill, T. G. (2013). Case studies in agribusiness: An interview with Ray Goldberg. Informing Science: the International Journal of an Emerging Transdiscipline, 16, 203-212. Giovannucci, D., S. Scherr, D. Nierenberg, C. Hebebrand, J. Shapiro, J. Milder, and K. Wheeler. 2012. Food and Agriculture: the future of sustainability. A strategic input to the Sustainable Development in the 21st Century (SD21) project. Department of Economic and Social Affairs, Division for Sustainable Development, United Nations : New York. Goldberg, R.A. 1968. Agribusiness Coordination: A Systems Approach to the Wheat, Soybean, and Florida Orange Economies. Harvard Business School, Boston, xix + 256 pp. Grassini, P., K.M.Eskridge, and K.G. Cassman. 2013. Distiguishing between yield advanses and yield plateaus in historical crop production trend. Nature Communication,December: 111. Heong. K.L. 2012. Three planks in ecological engineering for rice pest management. http://ricehoppers.net/2012/05/three-planks-for-ecological-engineering-for-rice-pestmanagement/; Di unduh pada 7 Juni 2014. Hoffmann , U. 2011. Assuring Food Security in Developing Countries under the Challenges ofClimate Change: Key Trade and Development Issues ofaFundamental Transformation ofAgriculture. UNCTAD Discussion Papers No. 201. Idso, C.D. 2011. Estimates of Global Food Production in the Year 2050: Will We Produce Enough to Adequately Feed the World? Center for the Study of Carbon Dioxide and Global Change. Keane , J., S. Page, ,A. Kergna and J. Kennan. 2009. Climate Change and Developing Country Agriculture: An Overview of Expected Impacts, Adaptation and Mitigation Challenges, and Funding Requirements. ICTSD/International Food & Agricultural Trade Policy Council, Issue Brief No. 2 Kelly, M., C. Banwell, J. Dixon, S. Seubsman, V. Yiengprugsawan, and A. Sleigh. 2010. Nutrition transition, food retailing and health equity in Thailand . Australas Epidemiol 17(3): 4–7. Kementerian Pertanian. 2014. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045: PertanianBioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan. Biro Perencanaan. Jakarta. Kruse, J. 2010. Estimating Demand for Agricultural Commodities to 2050. Global Harvest Initiative Millenium Ecosystem Management. 2005. Ecosystem and Humen Well-being: Synthesis. Island Press, Washington, D.C. Munck, L. 1990. From Biotechnology to Agriculture, from Biorefineries to Agri-industry: An outline of options for cooperation. In L. Munck and R. Rexen (Eds). Agricultural Refineries_a bridge from farm to industry. Department of Biotechnology, Carlsberg Research Centre, Copenhagen, Denmark. Pp.1-29
30
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pingali, P. 2012. Green Revolution: impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the National Academy of Science (PNAS), Vol. 109, no. 31, July: 123022-12308. Pingali, P. L. 2013. Green Revolution: Impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 109 (31, July): 1230212308. Saragih, B. 2010. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. IPB Press : Food and Agribusiness Centre, Bogor, 286 p. Schaller, N. 2013. Agroecology: Different Definitions, Common Principles. Analysis No. 52. Centre for Studies and Strategic Foresight. France. Sexton, R. 2013. The Renaissance of Agricultural Economics. The President’s Column, The Exchange, newsletter of the AAAE, May-June 2013. Accessed at http://www. aaea.org/publications/the-exchange/newsletter-archives/mayjune-2013/presidentscolumn on December 3, 2013. Shahi, G. 2006. Some Considerations: Biobusiness in Developing Countries. 3 rd Asian Biotechnology Conference, Manila, November 10, 2006. Global BioBusiness Institute. Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Simatupang, P. 2010. Introduksi dan Praksis Paradigma Agribisnis di Indonesia: Kontribusi Profesor Bungaran Saragih. Dalam R. Pambudy, F.B.M. Dabukke, dan B. Krisnamurthi (Eds.). Refleksi agribisnis : 65 tahun Profesor Bungaran Saragih. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Simatupang, P. 2014. Perspektif Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Dalam Haryono (Ed)“Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian”, hal 61-79. IAARD Press, Jakarta. Simatupang, P. 2015. Transformasi Paradigma Pembangunan Pertanian: Dari Paradigma Agribisnis ke Paradigma Agrobiobisnis. Dalam F.B.M. Dabukke (Ed), “Membumikan Paradigma Agribusiness: 70 tahun Profesor Bungaran Saragih, hal 271-292. Pusat Pangan Agribisnis-Gaung Persada (GP) Pers, Jakarta. Thomson, A. and M. Metz. 1988. Implications of Economic Policy for Food Security : A Training Manual. Training Materials For Agricultural Planning 40. FA0,Rome. United Nations. 2011. World Population Prospects: The 2010 Revision. Population Division of the Department of Economic and Social Affairs of the United Nations Secretariat.New York. Wayne's Word. 1998. The Five Kingdoms of Life. http://waynesword.palomar.edu/trfeb98.htm; Diunduh pada 11 Juni 2014. Winarto, Y.T., R. Ariefiansyah and J.J. Fox. 2013. Indonesia experiments with sesame in ecological engineering in Indramayu Regency, West Java. http://ricehoppers.net/2013/08/indonesiaexperiments-with-sesame-in-ecological-engineering-in-indramayu-regency-westjava/;Diunduh pada 29 Agustus 2013. Willoughby, K. W. 2011. Biobusiness 2010: Minnesota’s Competitive Position in the Biobusiness Technology Industries. BioBusiness Alliance of Minnesota. Saint Louis Park, Minnesota, USA.
31
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
32
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
MAKALAH PENUNJANG
33
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
34
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
APLIKASI KALSIUM DAN BORON UNTUK MENGATASI CEMARAN GETAH KUNING PADA BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) CALCIUM AND BORON APPLICATION TO OVERCOME YELLOW SAP CONTAMINATIONON MANGOSTEEN FRUIT(Garcinia mangostana L.) Odit F. Kurniadinata1, Roedhy Poerwanto2, Darda Efendi2, Ade Wachjar2 1
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman. Departemen 2Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor, Jawa Barat Email :
[email protected]
2
ABSTRAK Cemaran getah kuning menjadi salah satu masalah utama dalam produksi buah manggis. Cemaran getah kuning pada buah manggis akan menurunkan kualitas buah. Cemaran getah kuning terjadi pada saat getah mencemari permukaan kulit buah atau aril akibat pecahnya saluran getah kuning. Pecahnya saluran getah kuning berkaitan dengan keberadaan kalsium dan boron dalam pericarp buah. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pengaruh kalsium (Ca) dan sumber kalsium dalam mengatasi cemaran getah kuning pada buah manggis; (2) mengetahui pengaruh aplikasi boron (B) sebesar 2.8 g/pohon/tahun terhadap penurunan cemaran getah kuning pada buah manggis; serta (3) mendapatkan waktu aplikasi kalsium dan boron terbaik dalam menanggulangi cemaran getah kuning pada buah manggis. Penelitian dilakukan di kebun manggis Kelompok Tani Manggis Karya Mekar, di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Aplikasi 3.2 kg Ca dolomit /pohon/tahun + 2.8 g B/ pohon/tahun dapat menurunkan cemaran getah kuning pada aril buah manggis mencapai 53 % dan pada kulit mencapai 46%, sedangkan tanaman tanpa kalsium dan boron (kontrol) menghasilkan cemaran getah kuning sebesar 91.66 % pada aril dan 86 % pada kulit. (2) Aplikasi boron sebesar 2.8 g/pohon/tahun mampu menurunkan persentase buah tercemar getah kuning serta skor cemaran getah kuning pada aril dan kulit, namun tidak sebesar aplikasi Ca. (3) Pemupukan kalsium dan boron pada saat antesis dan 1 minggu setelah antesis (MSA) dapat menurunkan persentase buah tercemar getah kuning pada aril. Kata Kunci: getah kuning, manggis, kalsium, boron ABSTRACT The yellow sap contamination became one of the main problems in the mangosteen fruit production asit degrades the quality of the fruit. Contamination occurs when the yellow sap duct is rupture and yellow sap contaminate aryl (pulp) or the rind of mangosteen. Yellow sap duct rupture related to the presence of calcium and boron in fruit pericarp. This study aims to determine the influence of: (1) calcium and a source of calcium (2) boron and (3) obtain the best calcium and boron application time to decrease yellow sap contamination in the mangosteen fruit. The research was conduct in Kampung Cengal, Karacak, Leuwiliang, Bogor. The results showed: (1) Application 3.2 kg of calcium dolomite / tree / year + 2.8 g B / tree / year can reduce yellow sap contamination on aryl reached 53%, and on rind was 46%, while the plant without calcium and boron (controls) showed 91.66% on aryl and 86% on rind was contaminated by yellow sap. (2) Application of boron of 2.8 g / tree / year is able to reduce the percentage of fruit contaminated with the yellow sap, and reduce score on aryl and rind contaminated by yellow sap, but not as much as Ca application. (3) Calcium and boron application at anthesis and 1 week after anthesis (WAA) can reduce the percentage of contaminated fruits by yellow sap in aryl. Keywords: yellow sap, mangosteen, calcium, boron.
35
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Kalsium merupakan unsur hara yang tidak mobil dalam jaringan tanaman. Translokasi kalsium dari akar ke tajuk tanaman sangat dipengaruhi oleh transpirasi, oleh karena itu salah satu kendala yang muncul adalah rendahnya efektifitas serapan kalsium ke jaringan buah manggis. Sebagian besar kalsium yang diserap dari akar akan ditranlokasikan langsung ke jaringan daun, karena sifat kalsium yang tidak mobil dan translokasinya dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh proses transpirasi tanaman. Daun sebagai jaringan tanaman yang aktif bertranspirasi akan menarik kalsium dari akar dan menjadi kompetitor bagi buah. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan translokasi kalsium menuju buah. Pemberian kalsium dengan penyemprotan langsung pada permukaan buah dapat meningkatkan kandungan kalsium pada perikarp buah (Clark et al. 1987; Rosen et al. 2006), namun hal ini tidak praktis dan kurang efisien pada tanaman manggis dalam hal penerapannya di lapangan. Pemberian kalsium pada saat yang tidak tepat melalui tanah akan meningkatkan kandungan kalsium pada jaringan daun, tetapi tidak meningkatkan kalsium pada kulit buah manggis (Dorly 2009; Depari 2011). Hal ini diperjelas pada penelitian yang dilakukan oleh Purnama (2014) yang mendapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan kandungan kalsium pada pericarp buah seiring dengan peningkatan dosis pupuk kalsium yang diberikan. Penelitian lainnya mengindikasikan hubungan antara kandungan boron dengan peningkatan serapan dan fungsi kalsium dalam menurunkan cemaran getah kuning pada buah manggis. Hasil penelitian Saribu (2011) menunjukkan bahwa aplikasi kalsium bersama dengan boron melalui tanah menurunkan cemaran getah kuning pada aril hingga mencapai 0 %. Hasil serupa ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Pechkeo et al. (2007) bahwa aplikasi pemberian kalsium dan boron pada buah manggis mampu meningkatkan kandungan kalsium pada pericarp dan menurunkan potensi cemaran getah kuning pada buah manggis. Namun demikian belum jelas diketahui kaitan boron dalam mendukung serapan dan translokasi kalsium ke jaringan buah manggis serta pengaruhnya terhadap sumber kalsium yang berbeda terhadap penurunan cemaran getah kuning pada pericarp dan aril buah manggis. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan mekanisme serapan dan translokasi kalsium serta teknik aplikasi kalsium dan boron yang paling efektif dan efisien, untuk meningkatkan serapan kalsium pada jaringan buah dan menurunkan cemaran getah kuning pada buah manggis. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pengaruh kalsium dan sumber kalsium dalam mengatasi cemaran getah kuning pada buah manggis; (2) mengetahui pengaruh aplikasi boron sebesar 2.8 g/pohon/tahun terhadap penurunan cemaran getah kuning pada buah manggis; serta (3) mendapatkan waktu aplikasi kalsium dan boron terbaik dalam menanggulangi cemaran getah kuning pada buah manggis. Luaran dari hasil penelitian ini adalah diketahui (1) pengaruh kalsium dan sumber kalsium dalam mengatasi cemaran getah kuning pada buah manggis; (2) pengaruh aplikasi boron sebesar 2.8 g/pohon/tahun terhadap penurunan cemaran getah kuning pada buah manggis; serta (3) didapatkan waktu aplikasi kalsium dan boron terbaik dalam menanggulangi cemaran getah kuning pada buah manggis. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kebun manggis Kelompok Tani Manggis Karya Mekar, di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian terletak pada ketinggian 390- 398 m di atas permukaan laut (dpl). Kebun manggis Leuwiliang didominasi oleh tanaman manggis produktif yang berumur lebih dari 20 tahun. Kebun ini berada pada ketinggian 390398 m dpl, dengan topografi bergelombang dan kemiringan 6-30 %, jenis tanah podsolik dengan tekstur liat yang tinggi dan pH berkisar antara 4.30-5.50. Analisis kimia tanah dan jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor dan kualitas buah di Laboratorium Pasca Panen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama 24 bulan sejak persiapan hingga pengambilan data (dua musim panen), yaitu dimulai pada bulan Maret 2011 hingga April 2013.
36
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Bahan Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman manggis berumur lebih kurang 20 tahun dan telah berproduksi. Pemilihan tanaman sampel dilakukan berdasarkan pada kondisi pertumbuhan tanaman yang baik dan relatif seragam. Tingkat keseragaman dinilai berdasarkan pada kondisi pohon di kebun, yaitu berdasarkan kesamaan diameter batang, ukuran tajuk, tinggi tanaman dan kesesuaian sejarah pemeliharaan, dengan maksud untuk mengurangi keragaman kondisi tanaman. Metode Penelitian Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 3 ulangan, terdiri atas perlakuan dosis pupuk kalsium dan boron sebagai faktor pertama, yang terdiri atas 6 taraf yaitu : 1. Kontrol (tanpa kalsium dan tanpa B) 2. 2.8 g B/ pohon/tahun (6.09 g borat 46/pohon /tahun) 3. 3.2 kg kalsium dolomit/pohon/tahun (10.67 kg dolomit/pohon /tahun) 4. 3.2 kg kalsium kalsit/pohon/tahun (7.11 kg kalsit/pohon/tahun) 5. 3.2 kg kalsium dolomit/pohon/tahun + 2.8 g B/ pohon/tahun 6. 3.2 kg kalsium kalsit/pohon/tahun + 2.8 g B/ pohon/tahun Sedangkan faktor kedua yaitu jumlah tahap pemberian kalsium dan boron pada tanaman manggis per tahun (T), yang terdiri atas 2 taraf yaitu : 1. Pemberian kalsium dan boron pada saat antesis dan pada saat awal stadia I (1 Minggu Setelah Antesis (MSA)). Masing-masing waktu aplikasi diberi kalsium dan boron setengah dari dosis yang ditetapkan. 2. Pemberian kalsium dan boron pada saat antesis dan pada saat akhir stadia I (4 MSA). Masingmasing waktu aplikasi diberi kalsium dan boron setengah dari dosis yang ditetapkan. Setiap taraf perlakuan terdiri atas satu tanaman sehingga diperlukan 36 tanaman manggis dewasa (umur lebih kurang 20 tahun dan telah berbuah) yang relatif seragam dalam lokasi percobaa. Pemberian kalsium pada daerah perakaran manggis dengan cara ditaburkan dalam larikan yang dibuat pada sekeliling pohon manggis di bawah tajuk dengan diameter lebih kurang 2 m, dan kemudian ditutup dengan tanah. Sedangkan aplikasi boron diberikan dengan cara ditaburkan dalam larikan yang dibuat pada sekeliling pohon manggis di bawah tajuk dengan diameter lebih kurang 1.5 m, kemudian ditutup dengan tanah. Kalsium yang digunakan bersumber dari Dolomit (CaMg(CO3)2) dan Kalsit (CaCO3), sedangkan boron bersumber dari pupuk Borat 46. Pelabelan buah Pelabelan buah dilakukan terhadap 100 bunga/pohon. Pelabelan bertujuan untuk menentukan buah-buah yang akan digunakan selama pengamatan. Pemanenan Buah dipanen pada umur 112 hari setelah antesis. Pengamatan Peubah yang diamati adalah : 1. Cemaran getah kuning pada aril. a. Persentase buah tercemar per pohon. Dihitung berdasarkan persentase buah tercemar terhadap jumlah buah contoh (100 buah) per pohon. b. Persentase juring tercemar per buah. Dihitung berdasarkan persentase juring tercemar terhadap jumlah juring per buah (diambil rataan dari seluruh buah contoh yang tercemar per pohon). c. Pengukuran Skor cemaran getah guning pada aril. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skoring yang merujuk pada Kartika (2004) yang dimodifikasi, seperti tercantum pada Tabel 1.
37
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Skor cemaran getah kuning pada aril Skor cemaran getah kuning pada Aril Skor 1 Skor 2
Baik sekali, aril putih bersih, tidak terdapat getah kuning baik diantara aril dengan kulit maupun dipembuluh buah Baik, aril putih, terdapat 1-2 noda (bercak kecil) getah kuning pada satu ujung aril, namun tidak memberikan rasa pahit Cukup baik, terdapat beberapa noda (bercak) getah kuning disalah satu ujung juring atau diantara juring dan mengotori aril Buruk, terdapat noda/gumpalan getah kuning baik di ujung juring, diantara juring atau di pembuluh buah yang menyebabkan rasa buah menjadi pahit Buruk sekali, terdapat noda/gumpalan besar baik di juring, diantara juring atau di pembuluh buah yang menyebabkan rasa buah menjadi pahit, warna aril menjadi bening
Skor 3 Skor 4 Skor 5
2.
Keterangan
Cemaran getah kuning pada kulit. a. Persentase buah tercemar per pohon. Dihitung berdasarkan persentase buah tercemar terhadap jumlah buah contoh (100 buah) per pohon. b. Pengukuran skor cemaran getah kuning pada kulit buah manggis. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skoring yang merujuk pada Kartika (2004) yang dimodifikasi, seperti tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Skor cemaran getah kuning pada kulit Skor cemaran getah kuning pada Kulit Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5
Keterangan Baik sekali, kulit mulus tanpa terlihat getah kuning Baik, kulit mulus dengan 1-5 gumpalan kecil getah kuning yang mengering tanpa mempengaruhi warna buah Cukup baik, kulit mulus dengan 6-10 tetes kecil getah kuning yang mengering dan tidak mempengaruhi warna buah Buruk, kulit kotor karena gumpalan sedang/ besar getah kuning , terdapat 1-2 bekas aliran yang menguning dan membentuk jalur berwarna kuning di permukaan buah Buruk sekali, kulit kotor karena terdapat lebih dari 1 gumpalan besar getah kuning, terdapat banyak jalur-jalur berwarna kuning di permukaan buah, dan warna buah menjadi kusam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Aplikasi kalsium dan boron Aplikasi kalsium dan boron terbukti mampu menurunkan persentase buah tercemar getah kuning pada aril, skor cemaran getah kuning pada aril, dan persentase juring tercemar, baik pada tahun pertama maupun pada tahun kedua percobaan (Tabel 3). Pada tahun pertama, aplikasi dolomit + boron mampu menurunkan persentase buah tercemar getah kuning pada aril hingga menjadi 53 %, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tanpa kalsium dan boron (kontrol) yang menghasilkan cemaran getah kuning pada aril sebesar 91.66 %. Nilai Skor cemaran lebih rendah juga didapatkan pada perlakuan dolomit + boron sebesar 1.68, sedangkan kontrol menunjukkan skor cemaran sebesar 3.01. Pada tahun kedua, aplikasi dolomit + boron menurunkan persentase buah tercemar getah kuning pada aril hingga menjadi 31.66 %, tidak berbeda nyata dengan aplikasi dolomit (36.33%) dan kalsit + boron (33.00%), namun berbeda nyata dengan kontrol (62.66 %). Sedangkan pada peubah persentase juring tercemar per buah, aplikasi dolomit + boron berbeda nyata dengan kontrol namun tidak berbeda nyata dengan aplikasi lainnya, baik pada tahun pertama maupun kedua.
38
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3. Pemupukan kalsium dan boron pada tanaman manggis, terhadap persentase buah tercemar getah kuning pada aril/pohon, persentase juring tercemar dan skor cemaran getah kuning pada aril selama dua tahun. Cemaran getah kuning pada aril Aplikasi kalsium dan boron
Buah tercemar /pohon Juring tercemar /buah Skor (1-5) (%) (%) 2012 2013 2012 2013 2012 2013 Kontrol 91.66 A 62.66 a 30.4 a 33.3 a 2.96 a 3.01 a Boron 85.00 A 57.66 a 26.5 ab 26.7 b 2.45 b 2.45 b Dolomit 63.33 B 36.33 c 19.3 c 18.3 c 1.81 d 1.88 c Kalsit 66.66 B 42.33 b 24.2 bc 20.9 c 1.95 cd 1.80 cd Dolomit + boron 53.33 C 31.66 c 18.7 c 17.3 c 1.80 d 1.68 d Kalsit + boron 68.33 B 33.00 c 22.2 bc 21.8 c 2.05 c 1.81 c Ket.: Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis. Skor cemaran berdasar skor 1-5 dengan nilai 1 (terbaik/tanpa cemaran) hingga nilai 5 (terburuk/ memiliki skor cemaran tertinggi). Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom skor getah kuning menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Dunn 5 %, pada kolom % buah tercemar per pohon dan % juring tercemar per buah menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %.
Aplikasi kalsium dan boron juga mampu menurunkan persentase buah tercemar getah kuning pada kulit buah dan skor cemaran getah kuning pada kulit selama dua tahun percobaan (Tabel 4). Aplikasi dolomit + boron menurunkan persentase cemaran getah kuning pada kulit menjadi 76.66 % pada tahun pertama, sedangkan kontrol menghasilkan 88.33 %. Pada tahun kedua percobaan, aplikasi Aplikasi dolomit + boron menurunkan persentase cemaran getah kuning pada kulit menjadi 46.33 %, sedangkan kontrol masih diatas 85 %. Demikian pula pada skor cemaran getah kuning pada kulit, aplikasi dolomit + boron menunjukkan skor cemaran getah kuning yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, dan tidak berbeda nyata dengan aplikasi kalsium dan boron lainnya. Penurunan persentase buah tercemar getah kuning dan skor cemaran getah kuning pada aril dan kulit buah, sejak tahun pertama percobaan menunjukkan bahwa kalsium menjadi unsur penting utama dalam penurunan tersebut. Aplikasi boron juga mampu menurunkan skor cemaran getah kuning pada aril maupun kulit buah, namun kemampuannya dalam menurunkan persentase buah tercemar getah kuning dan skor cemaran yang terjadi belum sebesar penurunan yang didapat dengan aplikasi kalsium. Kombinasi aplikasi kalsium (baik dari dolomit ataupun kalsit) dan boron terbukti mampu menurunkan persentase buah tercemar pada aril dan kulit serta skor cemaran getah kuning pada aril dan kulit buah, baik pada tahun pertama maupun pada tahun kedua percobaan. Hal ini diduga bahwa dengan aplikasi kalsium, terjadi peningkatan serapan dan tranlokasi kalsium ke jaringan buah. Selain unsur kalsium, kombinasi kalsium dan boron akan menjamin suplai boron terhadap pertumbuhan dan perkembangan buah. Boron memiliki fungsi yang sama dalam meningkatkan kekuatan dinding sel seperti halnya kalsium (Hu et al. 1996). Oleh karena itu boron diduga akan mendukung fungsi dari kalsium dalam peningkatan kekuatan dinding sel-sel epitel sel saluran getah kuning.
39
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 4. Pemupukan kalsium dan boron pada tanaman manggis, terhadap persentase buah tercemar getah kuning pada kulit/pohon dan skor cemaran getah kuning pada kulit buah selama dua tahun. Cemaran getah kuning pada kulit Aplikasi kalsium dan boron
Buah tercemar /pohon (%) 2012
2013
Skor (1-5) 2012
2013
Kontrol 88.33 a 86.00 a 3.01 a 3.00 a B 86.66 ab 73.00 b 2.73 b 2.58 b Dolomit 83.33 ab 52.00 cd 2.26 c 2.13 c Kalsit 85.00 ab 57.00 c 2.20 c 2.18 c Dolomit + boron 76.66 bc 46.33 d 2.11 c 2.08 c Kalsit + boron 71.66 C 50.00 d 2.11 c 2.15 c Ket.: Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis. Skor cemaran berdasar skor 1-5 dengan nilai 1 (terbaik/tanpa cemaran) hingga nilai 5 (terburuk/ memiliki skor cemaran tertinggi). Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom skor getah kuning menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Dunn 5 %, pada kolom % buah tercemar per pohon menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %.
Kombinasi kalsium dan boron akan meningkatkan ketahanan saluran dinding sel terhadap resiko terjadinya pecah pada saat terjadi tekanan terhadap saluran tersebut. Limpun-Udom (2001) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa kandungan kalsium dan boron pada kulit buah manggis normal yang tidak tercemar getah kuning lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang mengalami cemaran getah kuning. Lim et al. (2001) menambahkan bahwa boron memiliki fungsi penting dalam mendukung fungsi kalsium dalam jaringan tanaman khususnya sebagai salah satu komponen penyusun dinding sel. Keberadaan unsur boron akan mendukung peningkatan ketahanan dan rigiditas dinding sel saluran getah kuning. Disebutkan oleh Marschner (1995) dan O’Neill et al. (2004) bahwa seperti hanya kalsium, boron berfungsi sebagai penyusun dinding sel, berfungsi meningkatkan stabilitas dan ketegaran struktur dinding sel dan meningkatkan integritas membran plasma. Selanjutnya Kobayashi et al. (1996) pada hasil penelitiannya melaporkan bahwa boron sebagai asam borat terikat bersama dua rantai rhamnogaladuronan II (RG II) membentuk kompleks boron-polisakarida. Dua molekul rhamnogaladuronan II ini terkait silang satu sama lain oleh asam borat membentuk kompleks boronpolisakarida. Aplikasi kalsium baik bersumber dari dolomit dan kalsit bersama boron akan menjamin ketersediaan kalsium dan boron pada saat pertumbuhan dan perkembangan buah serta mendukung pembentukan dan perkembangan dinding sel pada fase pertumbuhan dan perkembangan buah pada fase generatif tanaman. Adanya tekanan pada endocarp buah akibat pertumbuhan cepat biji dan aril, menyebabkan saluran getah kuning rentan terhadap kerusakan. Keberadaan kalsium baik dari dolomit maupun kalsit dan boron akan meningkatkan kekuatan dinding sel jaringan saluran getah kuning sehingga tidak mudah pecah. Baik dolomit maupun kalsit memberikan pengaruh yang relatif sama dalam menurunkan skor cemaran getah kuning baik pada aril maupun kulit buah manggis. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sumber kalsium tersebut dapat digunakan dalam mengatasi cemaran getah kuning pada buah manggis. Kebutuhan boron bagi tanaman terjadi pada saat memasuki stadia generatif, terutama pada saat antesis (Pechkeo et al. 2007, Hu et al. 1996). Pada stadia ini, tanaman buah-buahan akan menyerap semua unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bunga dan buah. Suplai boron sebagai unsur yang tidak mobil akan bergantung kepada serapan boron dari akar menuju buah melalui xylem. Hu et al. (1996) dan Pechkeo et al. (2007) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan jumlah boron pada jaringan bunga dan buah pada saat tanaman memasuki fase generatif. Peningkatan boron terutama terkait dengan penyusunan dinding sel jaringan buah. Lebih dari 70 % boron pada jaringan sel berada pada dinding sel dan berikatan dengan pektin. Sifat unsur boron yang toksik menyebabkan boron tidak dapat diaplikasikan secara berlebihan. Marshner (1995) menyatakan boron toksik bagi tanaman pada tingkat-tingkat yang berbeda, perbedaan ini berkaitan dengan fungsi boron dan kebutuhan akan boron. Boron terutama akan diserap maksimal pada saat sintesis dinding sel, khususnya pada saat pembentukan lignin dan sebagai penyusun dinding sel. Untuk tanaman manggis, Martias (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa Kadar boron daun optimum (86.5 ppm) mengeliminasi cemaran getah kuning hingga mencapai minimum (2.86 %),
40
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
namun peningkatan boron daun hingga 130 ppm menyebabkan cemaran getah kuning meningkat hingga 40.7 %. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa aplikasi boron dapat menurunkan cemaran getah kuning namun pada jumlah tertentu boron dapat bertindak sebagai toksik bagi tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kalsium mampu meningkatkan tingkat toleransi tanaman terhadap sifat toksik boron. Seperti yang dinyatakan oleh Tisdale et al. (1985) dalam penelitiannya bahwa terdapat hubungan antara kalsium dan boron terhadap tanaman. Pada saat kalsium berada dalam jumlah yang cukup, tanaman akan menjadi lebih toleran terhadap keberadaan boron. Keberadaan kalsium diketahui mampu meningkatkan tingkat toleransi tanaman terhadap keracunan boron dengan melakukan regulasi transportasi boron pada sel tanaman, dan melindungi sel dari masuknya boron ke dalam sel tanaman dalam jumlah berlebih. Hal ini akan meningkatkan efisiensi fungsi boron sebagai salah satu penyusun dinding sel seperti halnya kalsium. Dari hasil percobaan ini didapatkan bahwa sumber kalsium baik dolomit maupun kalsit secara umum memberikan pengaruh yang sama terhadap penurunan cemaran getah kuning. Namun demikian aplikasi boron bersama dengan kalsium yang bersumber dari dolomit cenderung menunjukkan nilai yang lebih baik dalam menurunkan persentase buah tercemar ataupun skor cemaran yang terjadi pada buah manggis. Waktu aplikasi kalsium dan boron Waktu aplikasi kalsium dan boron memberikan pengaruh terhadap persentase buah tercemar getah kuning pada aril pada tahun kedua percobaan, namun tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan skor cemaran getah kuning pada aril pada tahun yang sama. Waktu aplikasi kalsium dan boron hanya memberikan pengaruh terhadap skor cemaran getah kuning pada tahun pertama aplikasi. Sedangkan pada persentase juring tercemar, waktu aplikasi kalsium dan boron tidak memberikan pengaruh baik pada tahun pertama maupun tahun kedua percobaan (Tabel 5). Tabel 5. Waktu pemupukan kalsium dan boron pada tanaman manggis, terhadap persentase buah tercemar getah kuning pada aril/pohon, skor cemaran getah kuning pada aril dan persentase juring tercemar selama dua tahun. Cemaran getah kuning pada aril Waktu aplikasi dan boron
kalsium Buah tercemar /pohon (%)
Juring tercemar /buah (%)
Skor (1-5)
2012 2013 2012 2013 2012 2013 Antesis + 1 MSA 70.00 42.33 b 0.23 0.22 2.08 b 2.10 Antesis + 4 MSA 72.77 45.55 a 0.23 0.23 2.25 a 2.11 Ket.: Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis. Skor cemaran berdasar skor 1-5 dengan nilai 1 (terbaik/tanpa cemaran) hingga nilai 5 (terburuk/ memiliki skor cemaran tertinggi). Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom skor getah kuning menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Dunn 5 %, pada kolom % buah tercemar per pohon dan % juring tercemar per buah menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %.
Waktu aplikasi kalsium dan boron tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan persentase cemaran getah kuning pada kulit buah baik pada tahun pertama maupun kedua. Namun demikian waktu aplikasi kalsium dan boron memberikan pengaruh terhadap skor cemaran getah kuning pada kulit pada tahun pertama aplikasi, sedangkan pada tahun kedua tidak memberikan pengaruh. Aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis + 4 MSA memberikan skor cemaran getah kuning terburuk dibandingkan aplikasi pada saat antesis + 1 MSA (Tabel 6).
41
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 6. Waktu pemupukan kalsium dan boron pada tanaman manggis, terhadap persentase buah tercemar getah kuning pada kulit/pohon dan skor cemaran getah kuning pada kulit buah selama dua tahun. Cemaran getah kuning pada kulit Waktu aplikasi kalsium dan boron
Buah tercemar /pohon (%)
Skor (1-5)
2012 2013 2012 2013 Antesis + 1 MSA 82.22 60.77 2.35 b 2.37 Antesis + 4 MSA 81.66 60.66 2.46 a 2.33 Ket.: Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis. Skor cemaran berdasar skor 1-5 dengan nilai 1 (terbaik/tanpa cemaran) hingga nilai 5 (terburuk/ memiliki skor cemaran tertinggi). Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom skor getah kuning menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Dunn 5 %, pada kolom % buah tercemar per pohon menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %.
Pada tahun kedua, aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis + 1 MSA mampu menurunkan persentase buah tercemar getah kuning pada aril buah lebih baik dibandingkan aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis + 4 MSA. Hal ini diduga bahwa aplikasi kalsium dan boron dapat memenuhi kebutuhan kalsium dan boron setelah dua tahun aplikasi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan buah pada tahap selanjutnya. Sedangkan pada tahun pertama, waktu aplikasi hanya dapat menurunkan skor cemaran getah kuning pada aril dan kulit buah, dengan aplikasi saat antesis + 1 MSA menurunkan skor cemaran getah kuning lebih rendah dibandingkan waktu aplikasi pada saat antesis + 4 MSA. Terdapat keterkaitan antara perkembangan buah dengan kebutuhan kalsium yang tersedia dalam tanah, yaitu terjadinya peningkatan serapan kalsium ke jaringan buah saat perkembangan buah. Peningkatan terjadi mengikuti stadia perkembangan buah, terutama terjadi pada stadia awal perkembangan buah dan kemudian menurun seiring peningkatan tingkat kematangan buah. Disebutkan oleh Tomala et al. (1989) bahwa penyerapan kalsiumke jaringan buah terjadi secara kontinu dan berfluktuasi dalam proses perkembangan buah. Pernyataan ini sesuai dengan Faust (1989), Wilkinson dan Perring (1961), Ford dan Quinlan (1979), Fuhr dan Wieneke (1974), Hu et al. (1996), Pechkeo et al. (2007) dan Wilsdorf (2011) yang menyatakan bahwa secara umum penyerapan kalsium oleh buah terjadi selama stadia awal pertumbuhan dan perkembangan buah. Penyerapan kalsium dan boron secara cepat oleh tanaman terutama terjadi diawal pertumbuhan dan perkembangan buah, yang ditranlokasikan melalui xylem menuju buah. Meningkatnya ukuran buah manggis menyebabkan buah rentan terhadap cemaran getah kuning pada aril maupun kulit buah karena adanya desakan akibat perkembangan buah. Desakan terjadi akibat adanya perbedaan laju pertumbuhan antara aril dan biji terhadap kulit buah. Desakan ini berpotensi menyebabkan terjadinya pecahnya saluran getah kuning pada jaringan pericarp buah yang kemudian mencemari aril (Poerwanto et al. 2010). Aplikasi kalsium dan boron melalui perakaran pada saat antesis diduga dapat memenuhi kebutuhan kalsium terutama pada stadia cepat perkembangan buah tersebut, yaitu pada 1-4 Minggu Setelah Antesis (MSA). Dijelaskan oleh Poovarodom (2009) pada buah manggis terdiri dari tiga stadia perkembangan buah yaitu stadia I 1-4 MSA, stadia II 5-13 MSA, dan stadia III 14-15 MSA. Oleh karena itu aplikasi kalsium dan boron yang dilakukan dua kali pada saat antesis + 1 MSA diduga mampu meningkatkan serapan dan tranlokasi kalsium ke jaringan buah melalui xylem dibandingkan aplikasi pada saat antesis + 4 MSA. Aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis + 4 MSA diduga kurang efektif dalam peningkatan serapan dan translokasi kalsium dan boron ke jaringan buah. Hal ini disebabkan pada saat 4 MSA kebutuhan kalsium dan boron terhadap pertumbuhan dan perkembangan buah tidak setinggi kebutuhan pada saat antesis + 1 MSA. Dijelaskan oleh Rigney dan Wills (1981) dan Poovarodom (2009) bahwa selama perkembangan buah manggis, kebutuhan kalsium pada dinding sel akan mengalami peningkatan namun kemudian akan menurun menjelang pemasakan. Stadia pertumbuhan buah cepat pada tanaman manggis terjadi pada 1-4 MSA. Pada masa ini unsur kalsium dan boron akan ditranlokasikan ke jaringan buah dalam jumlah banyak karena buah menjadi sink yang kuat terhadap berbagai unsur hara (Marschner 1995). Pada stadia ini aliran translokasi kalsium dan boron yang sebelumnya dominan menuju daun akan beralih menuju buah.
42
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis + 4 MSA akan kurang efektif dibandingkan aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis + 1 MSA karena pada saat aplikasi kedua di 4 MSA, kebutuhan kalsium dan boron tidak sebanyak pada saat 1 MSA. Namun demikian aplikasi kalsium dan boron pada saat tahun kedua aplikasi menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap penurunan cemaran getah kuning pada aril dan kulit buah manggis. Selisih waktu 1 MSA dan 4 MSA masih belum dapat menunjukkan pengaruh aplikasi kalsium dalam penurunan cemaran getah kuning secara jelas. Jarak waktu antara 1MSA dan 4 MSA diduga masih terlalu dekat untuk mengetahui pengaruh waktu aplikasi kalsium terhadap penuruunan cemaran getah kuning pada buah manggis. Stadia I yaitu 1-4 MSA merupakan waktu kebutuhan kalsium dan boron yang terpenting bagi tanaman. Aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis berperan penting dalam memenuhi kebutuhan kalsium dan boron untuk menurunkan cemaran getah kuning. Selain itu jumlah dan tingkat stadia pertumbuhan dan perkembangan buah yang berbeda pada satu tanaman diduga mempengaruhi tingkat serapan dan translokasi kalsium dan boron terhadap buah manggis. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh dari perlakuan pemberian kalsium dan boron terhadap seluruh peubah kualitas buah manggis yang diamati diantaranya Bobot Buah Buah Segar, Bobot Kulit Buah Segar, Bobot Biji Segar Total, Bobot Tangkai dan Cupat Segar, Bobot Aril, Kekerasan kulit buah, Diameter transversal, Diameter Longitudinal, Tebal Kulit Buah, Edible portion, Total Padatan Terlarut, dan Total Asam Terlarut (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi kalsium dan boron tidak mempengaruhi kualitas buah yang lain kecuali penurunan persentase buah tercemar, skor dan juring tercemar getah kuning. Oleh karena itu aplikasi kalsium dan boron dapat diterapkan tanpa ada kekuatiran akan mempengaruhi jumlah produksi dan atau kualitas buah lainnya. KESIMPULAN Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Aplikasi 3.2 kg kalsium dolomit/pohon/tahun + 2.8 g B/ pohon/tahun dapat menurunkan cemaran getah kuning pada aril buah manggis mencapai 53 % dan pada kulit mencapai 46%, sedangkan tanaman tanpa kalsium dan boron (kontrol) menghasilkan cemaran getah kuning sebesar 91.66 % pada aril dan 86 % pada kulit. 2. Aplikasi boron sebesar 2.8 g/pohon/tahun mampu menurunkan persentase buah tercemar getah kuning serta skor cemaran getah kuning pada aril dan kulit, namun tidak sebesar aplikasi Ca 3. Pemupukan kalsium dan boron pada saat antesis dan 1 MSA dapat menurunkan persentase buah tercemar getah kuning pada aril. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih diucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah membiayai sebagian besar kegiatan penelitian ini melalui Program Hibah Penelitian Tim PascasarjanaHPTP (HIBAH Pasca) dengan Judul “Pengembangan Teknologi Pengendalian Getah Kuning Buah Manggis” atas nama Prof Dr Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc untuk tahun anggaran 2011 dan 2012 dan atas nama Dr Ir Darda Efendi, M.Si untuk tahun anggaran 2013. Program Hibah Kompetensi dengan Judul “Perbaikan Kualitas Buah Manggis dan Mangga sebagai Upaya Peningkatan Ekspor Buah Tropika Nusantara” atas nama Prof Dr Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc untuk tahun anggaran 2013; serta Program Beasiswa PKPI (Peningkatan Kualitas Publikasi Internasional)-Sandwich Like tahun 2013 di South China Agricultural University (SCAU), Guangzhou, China.
43
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Clark CJ, Smith GS, Walker GD. 1987. The Form, Distribution And Seasonal Accumulation Of Calcium In Kiwifruit Leaves. New Phytol. (1987) 105, 477-86 Depari SOS. 2011. Studi Waktu Aplikasi kalsium terhadap Pengendalian Getah Kuning dan Kualitas Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). [Thesis]. Sekolah PascaSarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dorly. 2009. Studi Struktur Sekretori dan Fitokimia Getah Kuning Serta Pengaruh Aplikasi kalsium pada Buah Manggis. [Disertasi]. Sekolah PascaSarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor. Faust M. 1989. Physiology of Temperate Zone Fruits Trees. John Wiley & Sons, Inc. Canada. Ford EM, Quinlan JD. 1979. The distribution of 45Ca in apple fruits when supplied to the roots at three times during the season. Journal of Horticultural Science, 54, 181-188. Fuhr F, Wieneke J. 1974. Secondary translocation of 45Ca to the fruit of apple trees the year after dormancy. Mech. Regul. Plant Growth. R. Soc. N.Z.12: l7l-175 Hu H, Brown PH, Labavitch.1996. Species variability in boron requirement is correlated with cell wall pektin. Journal of Experimental Botany, Vol. 47, No. 295, pp. 227-232. Kartika JG. 2004. Studi pertumbuhan buah, gejala getah kuning dan burik pada buah manggis (Garcinia mangostana L.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kobayashi M, Matoh T, Azuma JI. 1996. Two chains of rhamnogalacturonan II are cross-linked by borate-diol ester bonds in higher plant cell walls. Plant Physiol. 110, 1017–1020. Lim M, Sdoodee, Chanawerawan, Onthong. 2001. Growth pattern and phonological development of longkong (Aglai dookoo Griff.). Songklanakarin J. Sci.Technol. 23(4): 467-478. Limpun-Udom S. 2001. Influence of Water on the Incidence of Translucent Flesh Disorder in Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Fruits. [Thesis]. Prince of Songkla University, Songkhla. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd edition. Academic Press. London. Martias. 2012. Studi peranan lingkungan (sifat kimia dan fisika tanah serta cuaca) terhadap cemaran getah kuning buah manggis (Garcinia mangostana). [Disertasi]. Sekolah PascaSarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. O’Neill MA, Ishii T, Albersheim P, Darvill AG. 2004. Rhamnogalacturonan II: structure and function of a borate cross-linked cell wall pectic polysaccharide. Annu Rev Plant Biol. 55:109– 139. Pechkeo S, Sdoodee S, Nilnond C. 2007. The Effects of Calcium and Boron Sprays on the Incidence of Translucent Flesh Disorder and Gamboge Disorder in Mangosteen (Garcinia mangostana L.). Kasetsart J. (Nat. Sci.) 41 : 621 - 632 (2007) Poerwanto R, Dorly, Martias M. 2010. Getah kuning pada buah manggis dalam Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura. Seminar Nasional Hortikultura, 25–26 Januari 2010. Perhimpunan Hortikultura Indonesia. Denpasar Bali. Hal. 255–260. Poovarodom S. 2009. Growth and Nutrient Uptake into Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Fruit. The Proceedings of International Plant Nutrition Colloquium XVI, Department of Plant Sciences, UC Davis. Rigney CJ, Wills RBH. 1981 Calcium movement, a regulating factor in the initiation of tomato fruit ripening. HortScience 16:550-551. Saribu DS. 2011. Studi Aplikasi kalsium dan boron terhadap Pengendalian Getah Kuning pada Buah Manggis. [Thesis]. Sekolah PascaSarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tisdale, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 4th edition. Macmillan Publishing Company. New York. Tomala K, Araucz M, Zaczek B. 1989. Growth dynamics and calcium content in McIntosh and Spartan apples. Commun. Soil Sci. Plant Anal. 20:529–537 Wilkinson BG, Perring MA. 1961. Variation in mineral composition of cox’s orange pippin apples. Journal of the science of food and agriculture, 15, 378-384. Wilsdorf R. 2011. Evaluating the seasonal changes in calcium concentration and distribution in apple fruit after application of diffferent calcium fertilisation strategies. [Thesis]. Department of Horticultural Science, Stellenbosch University
44
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PERKEMBANGAN STRUKTUR TORPEDO MEMBENTUK TUNAS PADA TANAMAN JAMBU METE DEVELOPMENT OF TORPEDO STRUCTURE FORMED SHOOTS ON CASHEWNUTS Rossa Yunita, dan Ika Mariska Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 3A Boggor 16111 Telp (0251) 8337975; Faks (0251) 8338820 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Perbanyakan vegetatif melalui kultur in vitro dianggap sebagai teknologi yang berpotensi untuk pengandaan bibit dalam jumlah yang banyak dengan waktu yang relatif cepat.Perbanyakanmelalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui tunas adventif atau tunas lateral (organogenesis) dan embriogenesis somatik. Tahap akhir dari perbanyakan melalui embriogenesi somatik adalah pekembangan struktur torpedo membentuk planlet utuh. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan formulasi media yang tepat untuk pembentukan tunas dari struktur torpedo. Penelitian ini dilakukan di laboratorium kultur jaringan BB Biogen, Bogor, pada bulan Februari – November 2014. Bahan tanaman yang digunakan adalah struktur torpedo. Penelitian ini mengunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 20 ulangan. Faktor pertama adalah konsetrasi BA atau Zeatin atau Kinetin yaitu 0: 0,5 ; dan 1 mg/l. Faktor kedua adalah ABA yaitu 0 dan 0,05 mg/l. Dari penelitian ini diperoleh hasil media yang optimal untuk pembentukan planlet utuh adalah kinetin 1 mg/l + ABA 0,05 mg/l. Kata Kunci: Anacardium occidentale L,BA, Kinetin, ABA. ABSTRACT Vegetative propagation through in vitro culture is considered as a potential technology for plant multiplication in large amounts with a relatively quick time. Propagation through in vitro culture can be done through adventitious buds or lateral buds (organogenesis) and somatic embryogenesis. The final stage of propagation via somatic embryogenesis is development of torpedo into complete intact plantlets. The purpose of this study is to get appropriate media formulations for the formation of structures torpedo shoots. This study was conducted in laboratory tissue culture, ICABIOGRD, Bogor, in the February to November 2014. The plant material used is the structure of the torpedo. This study uses completely randomized factorial design with 20 replications. The first factor is the concentration of BA or Zeatin or Kinetin is 0: 0.5; and 1 mg /l. The second factor is the concentration of ABA 0 and 0.05 mg/l. This study showed that the optimal medium for the formation of t plantlets is mS medium suppletemented with kinetin 1 mg/l + ABA 0.05 mg/l. Keywords: Anacardium occidentale L,BA, Kinetin, ABA PENDAHULUAN Luas areal perkebunan tanaman jambu mete di Indonesia pada tahun 2013 seluas 551.512 ha dengan produksi 116.000 ton. Daerah penghasil utama jambu mete di Indonesia adalah propinsi NTT dengan luas 180.642 ha, Sulawesi Tenggara dengan luas 117.677 ha, Sulawesi Selatan 60.532 ha, NTB 57,086 ha, Jawa Timur 52.243 ha, Jawa Tengah 25.427 ha dan Bali 8.758 ha. (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Akan tetapi produktifitasnya sekitar 164 – 350 kg/ha/thn, masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara lain yang bisa mencapai 800 kg/ha/thn (Darwis, 2008) . Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman jambu mete, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat telah menyeleksi berbagai populasi jambu mete dan saat ini telah diidentifikasi 11 nomor yang memiliki produksi potensi cukup tinggi 932 – 2282 kg/ha/thn. Nomornomor unggul yang ada saat ini jumlah populasinya masih sangat terbatas. Untuk mempertahankan sifat unggul dari pohon induk maka dalam pengembangannya harus diperbanyak secara vegetatif. Tanaman jambu mete merupakan tanaman tahunan yang menyerbuk secara silang dengan waktu regenerasi yang cukup lama yaitu 5-8 tahun, disamping itu perbanyakan secara generatif menghasilkan tanaman yang bervariasi. Salah satu upaya untuk mendukung pengembangan nomornomor yang produktifitasnya tinggi adalah perbanyakan vegetatif dengan mengunakan teknik kultur jaringan(Lestari, 2011) .
45
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Perbanyakan vegetatif tanaman dengan mengunakan teknik kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur organogensis dan embriogenesis. Pada embryogenesis akan diperoleh pembentukan dan pertumbuhan embrio yang berasal dari sel-sel somatik bukan dari peleburan gamet jantan dan betina. Terbentuk struktur yang bipolar dan kondisi fisiologis yang menyerupai embrio zigotik maka perbanyakan melalui pembentukan embrio somatik lebih menguntungkan dari pada pembentukan tunas adventif yang unipolar (Mariska et al, 2001). Tanaman berkayu yang telah berhasil diperbanyak secara in vitro diantranya tanaman mangis malino (Lestari et al, 2013), tanaman jati (Lina et al, 2013), tanaman karet (Sundari, et al 2015), tanaman Mengkudu (Kusumawati et al, 2015). Pada penelitian sebelumnya telah diperoleh media yang tepat untuk menginduksi kalus primer tanaman jambu mete adalah Hevea + 2,4D 20mg/l + BA 0,5 mg/l dengan mengunakan eksplan jaringan meristem. Untuk meningkatkan ukuran kalus, kalus tersebut disubkultur pada media Hevea yang mengadung 2,4D 20 mg/l + glutamin 100 mg/l + arang aktif 2 gr/l. Dan untuk membentuk struktur globular, kalus primer yang berwarna putih di sub kultur pada media Hevea + 2,4D 5 mg/l + BA 0,3 mg/l. Diperoleh pula formulasi media terbaik untuk membentuk struktur hati adalah MS + 2,4-D 1 mg/l + BA 0,5 mg/l dan formulasi media untuk pembentukan struktur torpedo yaitu MS + BA 0,5 mg/l + ABA 0,005 mg/l + arang aktif 3 g/l (Yunita et al, 2015). Pada penelitian ini betujuan untuk memperoleh formulasi media in vitro yang tepat untuk perkembangan struktur terpedo membentuk tunas pada tanaman jambu mete. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), Bogor. Bahan tanamn yang dugunakan pada penelitian ini adalah Struktur embrogenik yang telah berkembang membentuk struktur torpedo (Gambar 1 A). Media dasar yang digunakan pada penelitian ini adalahmedia dasar MS (Murashige & Skoog, 1962). Komposisi media MS dapat dilihat pada tabel 1. Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan yaitu: (1) Pengaruh Kombinasi BA dan ABA terhadap perkembangganstruktur torpedo. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial. Faktor yang pertama adalah konsentrasi BA (0: 0,5 ; dan 1 mg/l) dan faktor yang kedua adalah Konsentrasi ABA yaitu 0 dan 0,05 mg/l. Masing masing perlakuan terdiri dari 20 ulangan. Para meter yang diamati adalah persentase tunas yang terbentuk, jumlah tunas dan penampakan visual biakan. (2) Pengaruh Kombinasi Zeatin dan ABA terhadap perkembanggan struktur torpedo Pada percobaan ini mengunakan rancangan acak lengkap faktorial. Faktor yang pertama adalah konsentrasi Zeatin (0: 0,5 ; dan 1 mg/l) dan faktor yang kedua adalah Konsentrasi ABA yaitu 0 dan 0,05 mg/l. Masing masing perlakuan terdiri dari 20 ulangan. Para meter yang diamati adalah persentase tunas yang terbentuk, jumlah tunas dan penampakan visual biakan. (3) Pengaruh Kombinasi Kinetin dan ABA terhadap perkembanggan struktur torpedo. Percobaan ini mengunakan rancangan acak lengkap faktorial. Faktor yang pertama adalah konsentrasi Kinetin (0: 0,5 ; dan 1 mg/l) dan faktor yang kedua adalah Konsentrasi ABA yaitu 0 dan 0,05 mg/l. Masing masing perlakuan terdiri dari 20 ulangan. Para meter yang diamati adalah persentase tunas yang terbentuk, jumlah tunas dan penampakan visual biakan.
46
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi BA dan ABA terhadap Perkembangan Struktur Torpedo Struktur torpedo yang dikulturkan pada media tanpa zat pengatus tumbuh tidak dapat menginduksi munculnya tunas. Pada tabel 1 dapat diamati struktur torpedo yang dikulturkan pada media yang mengandung BA dan ABA secara umum belum memberikan hasil yang cukup baik dimana struktur terpedo yang dikulturkan pada media MS +BA 0,5 dan 1 mg/l serta media MS + ABA 0,05 tidak mampu menginduksi terbentuknya tunas. Tabel 2. Tunas yang terbentuk pada media MS yang diperkaya BA dan ABA (umur 10 minggu setelah masa tanam). Perlakuan (mg/l) BA 0 ABA 0 BA 0,5 ABA 0 BA 1 ABA 0 BA 0 ABA 0,05 BA 0,5 ABA 0,05 BA 1 ABA 0 ,05
Persentase terbentuk tunas (%)
Jumlah tunas
Visualisasi biakan
0 0 0 0 5 5
0 0 0 0 1 1
Kalus menghitam Kalus menghitam Kalus menghitam Kalus menghitam Tunas hijau Tunas hijau
Pada perlakuan kombinasi BA dan ABA baru mampu menginduksi terbentuknya tunas. Persentase tunas yang terbentuk masih rendah yaitu sebesar 5% dengan jumlah tunas sebanyak 1 tunas. Hasil yang sama juga ditemuai pada tanaman Cassia occidentalis. Dimana pada tahap pendewasaan struktur embriogenesis somatik dapat berkembang dengan baik pada media yang mengandung kombinasi BA dan ABA (Naz et al, 2016). Pengaruh kombinasi Zeatin dan ABA terhadap perkembanggan struktur torpedo Pada Tabel 3 dapat diamati pemberian perlakuan zeatin maupun ABA secara tunggal tidak mampu menginduksi terbentuknaya tunas. Dimana struktur torpedo yang dikulturkan pada media MS + Zeatin atau media MS + ABA tidak mampu berkembang membentuk tunas. Tabel 3. Tunas yang terbentuk pada media MS yang diperkaya Zeatin dan ABA (umur 10 minggu setelah masa tanam) Perlakuan (mg/l) Zeatin 0 ABA 0 Zeatin 0,5 ABA 0 Zeatin 1 ABA 0 Zeatin 0 ABA 0,05 Zeatin 0,5 ABA 0,05 Zeatin 1 ABA 0,05
Persentase terbentuk tunas (%) 0 0 0 0 25 35
Jumlah tunas 0 0 0 0 8 14
Visualisasi biakan Kalus menghitam Kalus menghitam Kalus menghitam Kalus menghitam Tunas hijau Tunas hijau
Struktur torpedo berkembang membentuk tunas ketika eksplant dikuturkan pada media MS yang mengandung kombinasi Zetian dan ABA. Perlakuan Zeatin 0,5mg/l dan ABA 0,05 mg/l dapat menginduksi terbentuknya tunas sebesar 25% dengan jumlah tunas 8. Peningkatan kandungan Zeatin menjadi 1mg/l yang dikombinasikan dengan ABA 0,05 mg/l dapat memacu terbentuknya tunas dari struktur torpedo sebesar 35% dengan jumlah tunas 14. Pendewasaan struktur embrio somatik umumnya dilakukan dengan menambahkan ABA karena ABA berperan sebagai komponen untuk menahan perkecambahan dini, meningkatkan toleransi desikasi sehingga konversi untuk perkecambahan tinggi (Zang et al, 2014).
47
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pengaruh kombinasi Kinetin dan ABA terhadap perkembanggan struktur torpedo Persentasi tunas yang dihasilkan pada dua percobaan sebelmnya relatif masih rendah. Untuk itu perlu dilakukan percobaan ketiga untuk meningkatkan persentase keberhasilan pertumbuhan struktur torpedo membentuk tunas. Tabel 4. Tunas yang terbentuk pada media MS yang diperkaya Kinetin dan ABA (umur 10 minggu setelah masa tanam) Perlakuan Persentase terbentuk Jumlah Visualisasi biakan (mg/l) tunas (%) tunas Kinetin 0 ABA 0 0 0 Kalus menghitam Kinetin 0,5 ABA 0 5 1 Tunas hijau Kinetin 1 ABA 0 5 1 Tunas hijau Kinetin 0 ABA 0,05 0 0 Kalus menghitam Kinetin 0,5 ABA 0,05 35 10 Tunas hijau Kinetin 1 ABA 0,05 55 23 Tunas hijau
A B Gambar 1. A. Struktur torpedo yang digunakan sebagai eksplant B. Tunas yang terbentuk pada media MS + Kinetin 1mg/l + ABA 0,05mg/l. Pemberian Kinetin pada media tanam dapat menginduksi pertumbuhan struktur torpedo berkembang membentuk tunas. Pemberian kinetin (0,5 dan1 mg/l) secara tunggal dapat menginduksi terbentuknya tunas sebesar 5%. Hal yang sama juga terjadi pada tanaman Theobroma cacao L, dimana pemberian Kinetin pada media tanam akan meningakat pertmbuhan pada tahap pendewasaan embrio somatik (Ajijah et al, 2016). Kombinasi Kinetin dan ABA dapat meningkatkan terbetuknya tunas. Perlakuan Kinetin 1mg/l yang dikombinasikan dengan ABA 0,05mg/l memberikan hasil yang cukup besar untuk mengiduksi terbetuknya tunas, dimana jumlah tunas yang terbentuk adalah 55% dengan jumlah tunas sebanyak 23 tunas (Gambar 1 B). KESIMPULAN Zat pengatur tumbuh ABA sangat berperan pada tahap perkembangan struktur torpedo membentuk tunas pada tanaman mete. Kombinasi BA dan ABA pada media MS mampu menginduksi terbentuknya tunas. Formulasi media in vitro yang terbaik untuk perkembangan struktur terpedo membentuk tunas pada tanaman jambu mete adalah media MS yang diperkaya dengan BA 1mg/l dan ABA 0,05 mg/l. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kepada Badan Litbang Pertanian yang telah mendanai penelitian ini melalui program Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional.
48
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Ajijah, N., R. S. Hartati, R. Rubiyo, D. Sukma, S. Sudarsono. 2016. Effective cacao somatic embryo regeneration on kinetin supplemented DKW medium and somaclonal variation assessment using ssrs markers.Agrivita 38(1):80-92. Darwis, A. 2008. Hama dan penyakit utama jambu mete dan usaha pengendaliannya.Hllp://balittro.litbang.deptan.go.id. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015. Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan Kusumawati, E., Y. P. Sari, T. Purnaningsih. 2016.Pengaruh NAA dan BAP terhadap inisiasi tunas mengkudu (morinda citrifolia) secara in vitro. Agrisain 1(1):8-17. Lestari, E. G. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melaui kultur jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1):63-68. Lestari, E. G., M. R. Suhartanto, A. Kurniawati, S Rahayu. 2013. Inisiasi Tunas Ganda Tanaman Manggis Malinau melalui Kultur In Vitro untuk Perbanyakan Klonal. J. Agron. Indonesia 41 (1) : 40 – 46. Lina, F. R., E. Ratnasari, R Wahyono. 2013. Pengaruh 6-benzylamino purine (BAP) dan 6-furfuryl amino purine (Kinetin) pada Media MS terhadap Pertumbuhan Eksp. LenteraBio 2 (1):57–61. Mariska, I. , S Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W. Adil and Y Supriati. 2001. Somatik embryogenesis in different soyben varieties. Proc Workshop on Soyben Biotechnology Al Tolerance on Acid Soils and Disease Resistance. Biotecnology Indonesia – Germany Project. Directorate for Assessment ang Technology, agency for The Assessment and Aplication of Technology Federal Ministry for Education and Research, Central Research Intitute for Food Crops. 14-15 Sept. 1999. Bogor Naz,R. M. Anis,A. A. Alatar . 2016. ISSR marker-based detection of genomic stability inCassia occidentalis L. plantlets derived from somatic embryogenesis. Engeneerin in life sicences. 16(1):17-24. Sundari, L. L.A. M. Siregar, D. S. Hanafiah .2015. Kajian awal : respon eksplan nodus dalam inisiasi tunas mikro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dalam Medium WPM.Jurnal Online Agroekoteknologi 3(1):179-187. Yunita, R., I. Mariska. 2016. Pengaruh kombinasi BA dan 2,4D dalam pembentukan kalus embriogenik pada tanaman Jambu Mete (Anacardium ocidentale L.). Prosiding Seminar PBI Cabang Jakarta. Zhang, L., W. Li, H. Xu, L. Qi, S. Han. 2014. Cloning and characterization of four diffentially espressed cDNA encoding NFYA homologs invilved in responses to ABA during somatic embryogenesis in Japanese Larch. (Larix leptolepis). Journal Plant of Biotechnology 117(2):293-304.
49
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG INOVASI TEKNOLOGI PENGELOLAAN TERPADU TANAMAN JERUK DI KABUPATEN KEPAHIANG IMPROVEMENT OF FARMER’S KNOWLEDGE OF CITRUS PLANTS INTEGRATED MANAGEMENT TECHNOLOGYIN KEPAHIANG DISTRICT Sri Suryani M. Rambe dan Kusmea Dinata Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu Telp. (0736) 23030 e_mail :
[email protected] ABSTRAK Pengembangan kawasan jeruk merupakan salah satu program hortikultura Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Produksi jeruk tahun 2015 menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Permasalahan yang ditemui adalah petani belum menguasai dengan baik cara pengelolaan tanaman jeruk karena pengetahuan petani dan petugas masih sangat terbatas, khususnya tentang pemeliharaan tanaman. Untuk itu diperlukan diseminasi teknologi. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pengetahuan petani tentang inovasi teknologi pengelolaan terpadu tanaman (PTT) jeruk spesifik lokasi. Kajian dilaksanakan tahun 2015 di lokasi pengembangan kawasan jeruk di Kecamatan Sebrang Musi, kabupaten Kepahiang. Ruang lingkup kegiatan meliputi: pelatihan teknologi PTT jeruk, pendistribusian materi penyuluhan (5 komponen teknologi PTT jeruk) dan evaluasi hasil pelatihan. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu petani jeruk yang merupakan peserta pelatihan teknologi PTT jeruk berjumlah 30 orang. Metode pre-test and post-test one group design digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan petani. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik petani dan pengetahuan petani terhadap inovasi teknologi PTT jeruk. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan untuk melihat signifikansi peningkatannya digunakan paired sample T-Test. Hasil kajian memperlihatkan adanya peningkatan pengetahuan petani jeruk yang signifikan sebelum dan sesudah penyuluhan tentang PTT jeruk yaitu sebesar 51,36 (dari 11,73 menjadi 63,09) dikawasan pengembangan jeruk Kecamatan Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang. Pengetahuan petani tentang komponen teknologi yang masih rendah adalah pengendalian hama penyakit tanaman dan dosis pemupukan. Kata Kunci: jeruk, pelatihan, pengetahuan, petani, pengelolaan, terpadu ABSTRACT Development of citrus area is one of the horticulture program in Kepahiang District, the Province of Bengkulu. One of the problems is that the farmers only know a small part of technology of citrus plants integrated management, especially maintenance of citrus plants due to the limited level of knowledge of farmers and field workers. This activity aims to improve farmer‘s knowledge of citrus plants integrated management technology. The activity conducted in 2015 at Sebrang Musi in Kepahiang districts, Bengkulu Province. The scope of activities include: technical training of integrated management of citrus plants (IMCP), spread out of material dissemination (5 technology component of IMCP) and evaluation. Pretest and posttest method was used to evaluate farmer knowledge. The data was analyzed descriptively. To analyze significancy of the knowledge improvement was used paired sample T-Test. The results showed that farmer’s knowledge in Sebrang Musi, Kepahiang District, before and after extension for technology of integrated management of citrus plants at citrus development area, improved significantly up to 51,36 (from 11,73 to 63,09). The farmer’s knowledge which is still limited is controlling pests and diseasesand fertilizer dosage. Key Words: citrus, farmer,integrate, knowledge, management, training,
50
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Salah satu komoditas hortikultura buah-buahan unggulan di Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu adalah komoditas jeruk. Produksi jeruk keprok dan siam pada tahun 2014 dan 2015 di Provinsi Bengkulu berturut turut mencapai 7.264 ton dan 9.048 ton, sedangkan di Kabupaten Kepahiang baru mencapai 2.825 ton dan 1.288 ton (BPS Provinsi Bengkulu, 2016). Produksi jeruk tahun 2015 di Provinsi Bengkulu meningkat dibandingkan produksi tahun 2014, sedangkan di Kabupaten Kepahiang produksinya menurun. Salah satu penyebab masih rendahnya produksi jeruk di Kabupaten Kepahiang adalah karena masih banyak petani yang belum menguasai cara mengelola pertanaman jeruknya sebagai akibat tingkat pengetahuan petani dan petugas yang masih terbatas. Program pengembangan kawasan jeruk RGL untuk meningkatkan produksi jeruk di Kabupaten Kepahiang dilakukan mulai tahun 2015. Program pengembangan kawasan jeruk tahun 2015 sebesar 82 ha, sedangkan target untuk 2016 seluas 50 ha. Kawasan pengembangan jeruk di Kabupaten Kepahiang meliputi kecamatan Sebrang Musi, Kabawetan, Bermani Ilir, Ujan Mas dan Tebat Karai. Keberhasilan dari program pengembangan kawasan jeruk dapat diukur melalui tingkat inovasi teknologi yang diterapkan oleh petani. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai hasil penelitian dalam bentuk paket teknologi yang dapat meningkatkan mutu dan produktivitas produk jeruk. Pengelolaan terpadu tanaman jeruk (PTT jeruk) spesifik lokasi adalah salah satu teknologi yang dihasilkan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu yang merupakan modifikasi dari teknologi pengelolaan terpadu kebun jeruk sehat (PTKJS) yang dihasilkan oleh Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman Sub-tropika. Dalam rangka mendukung pengembangan kawasan jeruk di Kabupaten Kepahiang, perlu dilakukan kegiatan diseminasi teknologi secara luas agar dapat segera diadopsi petani. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan petani di kawasan pengembangan jeruk Kecamatan Sebrang Musi, Kabupaten Kepahiang. METODE PENGKAJIAN Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2015 di Kecamatan Sebrang Musi, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu.Ruang lingkup kegiatan meliputi: pelatihan teknologi PTT jeruk, pendistribusian materi penyuluhan (teknologi PTT jeruk, pemangkasan jeruk, pengendalian OPT jeruk, pembuatan bubur kalifornia, pengendalian penyakit busuk akar) dan evaluasi hasil pelatihan. Responden yang digunakan berjumlah 30 orang yang terdiri dari 3 kelompok tani jeruk. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu petani jeruk yang merupakan peserta pelatihan teknologi pengelolaan terpadu tanaman jeruk.Metode pre-test post-test one group designdigunakan untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan petani (Arikunto, 2002). Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik petani dan pengetahuan petani terhadap inovasi teknologi PTT jeruk. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan (signifikansi peningkatan pengetahuannya) digunakan dilakukan uji statistikpaired sample T-Test (untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi) dengan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2011): t=
𝑋1−𝑋2 2 2 √𝑆1 + 𝑆2 −2 𝑟 ( 𝑆1 )( 𝑆2 ) 𝑛1 𝑛2 √𝑛1 √𝑛2
Dimana : X1 = X2 = S1 = S2 = S12 S22 R
= = =
Rata - rata sampel 1 Rata – rata sampel 2 Simpangan baku sampel 1 Simpangan baku sampel 2 Varians sampel 1 Varians sampel 2 Korelasi antara dua sampel
51
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Wilayah Kegiatan Kecamatan Sebrang Musi termasuk kawasan pengembangan jeruk di Kabupaten Kepahiang dengan luas wilayah 7665 ha dan seluas 4936 ha merupakan lahan kering. Kecamatan ini terdiri dari 13 desa (BPS Kabupaten Kepahiang, 2016). Lahan kering yang ada masih berpeluang untuk dikembangkan menjadi kawasan jeruk. Lokasi wilayah berada pada ketinggian 460-700 m dari permukaan laut (dpl) dengan topografi lahan bergelombang dan berbukit curam dengan kemiringan 15 – 300; jenis tanah Andosol, latosol, dan lain-lain serta curah hujan 2000-3000 mm/tahun. Kelompok tani jeruk di wilayah ini berjumlah 3 kelompok tani (BP3K Sebrang Musi, 2015). Karakteristik Petani Karakteristik petani di kawasan pengembangan jeruk Kepahiang cukup bervariasi. Petani responden di kawasan pengembangan jeruk Kecamatan Sebrang Musi yang terbanyak pada umur 36-45 tahun yaitu sebanyak 34%, sedangkan presentase yang paling rendah adalah petani yang berusia 56-64 tahun yaitu sebanyak 3% (Tabel 1). Usia produktif berada pada kisaran usia 15 – 55 tahun. Hampir seluruh petani responden tergolong usia produktif, dimana pada usia ini, seseorang masih memiliki minat yang tinggi untuk belajar serta mempunyai keinginan untuk mencoba inovasi teknologi atau halhal yang baru. Menurut Mayasari et al. (2012), penyuluhan yang efektif dapat disebabkan oleh usia responden. Tabel 1. Karakteristik peserta pelatihan PTT jeruk di Kecamatan Sebrang Musi tahun 2015 No. 1.
Karakteristik Petani responden Umur
2.
Jumlah Pendidikan
Kelompok 16 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 64 SD SMP SMA Diploma Sarjana
Jumlah 3
Pengalaman usahatani
Jumlah 4 Keaktifan dalam (poktan/gapoktan)
0 0< s/d 3 tahun > 3 tahun berorganisasi
Jumlah (orang) 4 8 10 7 1 30 7 9 13 0 0 30
% 13 27 34 23 3 100 23 30 47 0 0 100
30 0 0 30
100 0 0 100
30
100
Anggota Pengurus
Jumlah Sumber : Data primer (2015)
Pada tabel 1 terlihat bahwa tingkat pendidikan petani berada pada kriteria pendidikan rendah sampai sedang dimana petani yang mempunyai tingkat pendidikan SMP dan SMA adalah yang dominan yaitu berturut-turut sebesar 30% dan 47%, sedangkan yang tingkat pendidikan SD hanya 23%. Tidak ada petani responden yang mempunyai tingkat pendidikan D-3 maupun sarjana. Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan maka pola pikir dan daya penalarannya akan semakin rasional (Saridewi dan Siregar, 2010). Dengan latar belakang pendidikan seperti ini, diharapkan sebagian besar petani mampu memahami inovasi teknologi yang diberikan. Pengalaman petani dalam melaksanakan usahataninya merupakan salah satu karakteristik petani yang diduga mempengaruhi kemampuan petani dalam menerima pengetahuan maupun menerapkan inovasi teknologi yang baru. Peningkatan pengetahuan petani Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang inovasi PTT jeruk adalah dengan menyelenggarakan pelatihan. Tabel 2 memperlihatkan adanya peningkatan pengetahuan petani
52
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
pada kawasan jeruk di Kecamatan Sebrang Musi, Kabupaten Kepahiang sebelum dan sesudah pelatihan dilaksanakan. Pada tabel tersebut terlihat bahwa terjadi perubahan positif (peningkatan) pengetahuan petani peserta pelatihan teknologi PTT jeruk dari nilai 11,7 menjadi 63,0 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 51,36. Tabel 2. Tingkat pengetahuan petani tentang PTT jeruk di kawasan jeruk Kecamatan Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 17
Teknologi Pengertian PTT jeruk Benih sehat Pemangkasan bentuk Cara pemupukan Rekomendasi pupuk Penyebab penyakit utama Metode pengendalian penyakit utama Penggunaan bubur belerang (bubur kalifornia) Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan pestisida yg tepat Panen Koordinasi antar petani/poktan/gapoktan Rata-rata
Sebelum Pelatihan 0 47 26 29 0 8 5 11
Sesudah Perubahan Pelatihan 94 94 100 53 77 51 100 71 11 11 57 49 44 39 72 61
0
22
22
3 0 11,73
17 100 63,09
14 100 51,36
Sumber : Data primer (2015) Hasil analisis data dengan menggunakan paired samples T-test) memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan petani di Kabupaten Kepahiang sebelum dan sesudah pendampingan berbeda secara signifikan yaitu 0,00 (nilai sig < 0,05%). Tabel 3. Hasil paired samples T-test tingkat pengetahuan petani jeruk sebelum dan sesudah pelatihan di Kecamatan Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang tahun 2015 Paired Differences Mean
Pair 1
awal – -6,50 akhir
t
Std. Deviation
Std. Error 95% Confidence Interval of Mean the Difference Lower Upper
1,79
,422
-7,39
-5,61
-15,4
df
Sig. (2-tailed)
29 0,000
Peningkatan pengetahuan yang tinggi tercapai pada beberapa aspek seperti pengertian PTT jeruk, penggunaan benih sehat dan cara pemupukan jeruk. Pengetahuan tentang aspek tersebut mudah dipahami dan mudah diingat, karena dalam pelatihan dilakukan praktek lapang pengamatan benih tanaman jeruk yang sehat serta cara memupuk tanaman jeruk. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan et al. (2010) yang menyatakan bahwa setelah pelaksanaan pelatihan maka komponen teknologi PTKJS yang diadopsi oleh semua petani (100%) antara lain penggunaan bubur kalifornia dan pemangkasan. Petani di lokasi pengembangan kawasan jeruk Kecamatan Sebrang Musi sebagian besar belum pernah menanam jeruk sebelumnya, sehingga walaupun tingkat pengetahuannya meningkat secara signifikan, tetapi pada pengetahuan beberapa aspek lainnya masih perlu diperdalam lagi. Untuk komponen teknologi lainnya seperti rekomendasi pupuk, khususnya tentang dosis pupuk sesuai umur tanaman, petani masih belum menguasai dengan baik. Oleh karena itu masih diperlukan materi tercetak tentang rekomendasi pupuk. Perhitungan kebutuhan pupuk untuk tanaman jeruk produktif yaitu berdasarkan unsur hara yang terangkut tanaman (Sutopo, 2011) juga perlu disampaikan lagi secara rinci, karena tingkat pendidikan petani yang bervariasi sehingga menyebabkan baru sebagian kecil yang mampu memahaminya. Materi lainnya yang masih belum dikuasai petani dengan baik adalah metode pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida yang tepat. Materi ini merupakan aspek penting yang perlu dikuasai petani jeruk, karena tanaman jeruk RGL lebih disukai hama dan penyakit sehingga umumnya tingkat serangan hama penyakitnya juga lebih tinggi. Pemahaman petani terhadap
53
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
komponen pengendalian hama dan penyakit tanaman jeruk masih kurang, hal ini disebabkan karena materi tentang hama dan penyakit memang agak sulit dipahami di tingkat petani yang tingkat pendidikannya relatif rendah hingga sedang. Materi pengendalian hama penyakit tanaman merupakan materi yang paling rumit, sehingga perlu pelatihan yang intensif atau penyelenggaraan sekolah lapang. Dalam pengembangan kawasan agribisnis jeruk, pengelolaan kebun terutama pengendalian hama penyakit perlu perhatian khusus. Penyakit utama yang harus diwaspadai adalah penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration). Penyakit tersebut dapat menurunkan produksi secara drastis sehingga menyebabkan turunnya minat petani dalam berusahatani jeruk dan beralih ke komoditas lainnya (Asaad et al., 2006). Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan berkembangnya penyakit tersebut pada kawasan pengembangan jeruk yang baru. Dalam usaha pengendalian hama dan penyakit tanaman tidak hanya semata-mata mengetahui bahan, alat serta cara pengendaliannya saja, namun petani haruslah mengetahui terlebih dahulu tentang hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka. Hal inilah yang masih dirasakan sulit dipahami petani dilapangan, sehingga sering terjadi ketidaksesuaian antara serangan hama dan penyakit yang terjadi dengan aplikasi pengendalian oleh petani. Rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama dan penyakit jeruk akan berdampak terhadap tingkat serangan hama penyakit dan perilaku petani dalam mengendalikan hama tersebut. Sudarta (2002) menyatakan bahwa pengetahuan petani sangat membantu dan menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan kelanggengan usahataninya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi didalam diri individu (Azwar, 2000). Ancok (1997), menyatakan bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan menyebabkan seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut. Dari hasil kajian ini terlihat bahwa peningkatan pengetahuan petani baru mencapai setengah dari target materi yang diberikan. Hal ini mencerminkan bahwa petani belum mampu menyerap ilmu yang diberikan hanya dengan sekali pelatihan. tetapi masih perlu dibimbing secara lebih intensif. Materi yang diberikan juga sebaiknya tidak sekaligus tetapi sedikit demi sedikit karena kemampuan penerimaan pengetahuan oleh petani juga terbatas. Setelah memperoleh pengetahuan tentang inovasi teknologi, teknologi yang dianjurkan kepada petani tersebut tidak akan begitu saja diterapkan atau diadopsi oleh petani. Suatu inovasi mulai diperkenalkan sampai diadopsi oleh seseorang memerlukan waktu. Pernyataan ini didukung Mardikanto (1993), yang menyatakan bahwa kecepatan seseorang mengadopsi atau menerapkan suatu inovasi atau teknologi baru dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:luas usahatani, tingkat pendidikan, umur petani, keberanian mengambil resiko, aktivitas mencari ide atau informasi baru, dan sumber informasi yang digunakan. Sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sudarta (2002) pengetahuan petani sangat membantu dan menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan kelanggengan usahataninya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Jika pengetahuan tinggi dan individu bersikap positif terhadap suatu teknologi baru di bidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas. David dan Erickson dalam Ridwan et al. (2010) menyatakan bahwa penyerapan suatu inovasi teknologi oleh pengguna berjalan melalui proses dalam tahap-tahap yang sistematis, yaitu: (1) kesadaran (pada tahap ini masyarakat telah mendengar tentang teknologi tersebut tetapi belum mendapat informasi yang memadai untuk mengambil keputusan penggunaan); (2) minat, (pengguna cukup tertarik untuk memiliki teknologi itu); (3) evaluasi (pengguna memutuskan untuk mencoba atau tidak teknologi itu); (4) percobaan (pengguna mencoba teknologi itu); dan (5) penyerapan (pengguna menerapkan teknologi tersebut secara teratur). Korelasi umur dan pendidikan dengan tingkat pengetahuan Dari hasil analisis korelasi ternyata umur petani jeruk dikawasan Sebrang Musi tidak berkorelasi dengan peningkatan pengetahuan petani tentang PTT jeruk (Tabel 4).
54
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 4. Korelasi tingkat pengetahuan petani jeruk sebelum dan sesudah pelatihan di Kecamatan Sebrang Musi tahun 2015
Peningkatan Umur Pendidikan
peningkatan 1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
30 -0,200 0,384 30 0,469* 0,049 30
umur -0,200 0,384 30 1 30 0,059 0,817 30
pendidikan 0,469* 0,049 30 0,059 0,817 30 1 30
Hal ini bertentangan dengan pendapat Mayasari et al. (2012) yang menyatakan bahwa penyuluhan yang efektif dapat dipengaruhi oleh usia responden, karena semakin muda umur petani biasanya akan lebih mudah untuk menerima sesuatu yang baru. Saridewi dan Siregar (2010) juga menyatakan bahwa semakin muda usia petani biasanya mempunyai semangat yang lebih tinggi untuk mengetahui berbagai hal yang belum diketahui, sehingga mereka biasanya berusaha lebih cepat untuk melakukan adopsi inovasi. Menurut Saridewi dan Siregar (2010), tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar, sehingga semakin lama seseorang mengenyam pendidikan maka pola pikir dan daya penalarannya akan semakin rasional. Demikian juga dengan pernyataan Soekartawi (1988), mereka yang berpendidikan tinggi relatif cepat dalam melaksanakan adopsi teknologi. Begitu juga sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah relatif lebih agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Namun tidak demikian halnya dengan hasil evaluasi di kawasan pengembangan jeruk Sebrang Musi Kepahiang. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan petani, semakin tinggi tingkat pendidikan tidak diikuti dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Hal ini diduga terjadi karena sebagian dari peserta pelatihan adalah peserta program pengembangan kawasan jeruk di Kabupaten Kepahiang yang sebelumnya tidak pernah menanam jeruk (belum mempunyai pengalaman dalam bertanam jeruk). Dengan demikian, bukan usia petani saja yang menentukan peningkatan pengetahuan, tetapi pengalaman usahatani juga menentukan peningkatan pengetahuan tentang PTT jeruk. Rukka, et al. (2006) menjelaskan bahwa pengalaman petani dalam berusahatani berpengaruh terhadap cara merespon suatu inovasi. Semakin lama pengalaman berusahatani, maka tingkat respon terhadap suatu teknologi akan semakin tinggi. Hasil kajian memperlihatkan bahwa petani belum mampu menyerap sebagian besar ilmu yang diberikan dalam jangka waktu yang singkat, tetapi masih perlu dibimbing lebih intensif. Dari hasil kajian ini, diperoleh informasi yang akan digunakan untuk menyusun kegiatan diseminasi selanjutnya agar peningkatan pengetahuan menjadi lebih optimal sehingga petani mampu memahami dan mau menerapkan teknologi PTT jeruk dengan baik. Agar setiap inovasi baru dapat diterima dengan baik, petani perlu diberikan pendidikan informal secara terus menerus sesuai dengan kebutuhannya. Kegiatan pendidikan informal yang dibutuhkan tersebut antara lain berupa pelatihan yang lebih intensif, praktek, demonstrasi (demonstrasi hasil dan demonstrasi cara) dan didampingi dengan bahan informasi tercetak yang memuat informasi yang rinci untuk masing-masing komponen teknologi PTT jeruknya, baik yang disajikan berupa leaflet, brosur, buku. Selain itu juga diperlukan bahan informasi elektronik seperti video (VCD) yang bisa dipelajari dengan melihat langsung penerapan teknologi yang dianjurkan. Penyuluh lapangan perlu membimbing petani secara intensif untuk mempercepat peningkatan pengetahuan petani di kawasan jeruk di Kepahiang.
55
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
1. 2. 3.
KESIMPULAN Pengetahuan petani jeruk tentang teknologi PTT jeruk di kawasan pengembangan jeruk Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang meningkat sebesar 51,36 yaitu dari nilai 11,73 menjadi 63,09. Pengetahuan petani jeruk tentang pengendalian hama penyakit dan dosis pupuk masih perlu ditingkatkan karena pemahaman petani tentang aspek tersebut masih rendah. Penyuluhan melalui metode demplot atau demfarm PTT jeruk serta sekolah lapang diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memfasilitasi kajian ini dan kepada Bapak Dr. Dedi Sugandi, MP yang telah membina kami selama ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan penyuluh dan peneliti atas bantuan dan masukannya dalam pelaksanaan kegiatan ini dan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. DAFTAR PUSTAKA Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Arikonto,S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan dan Praktek. Bina asksara. Jakarta Asaad, M., Warda dan Sahardi. 2006. Kajian keragaan teknologi dan dampak serangan penyakit CVPD pada tanaman jeruk siam Malangke. Dalam Prosiding Seminar Nasional Jeruk Tropika Indonesia pada tanggal 28 - 29 Juli 2005 di Batu Malang:253-256 Azwar dan Saifuddin, 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan IV. Pustaka Pelajar. Yogyakarta BP3K Sebrang Musi. 2016. Programa penyuluhan Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sebrang Musi. Kabupaten Kepahiang. BPS Kabupaten Kepahiang. 2016. Statistik Daerah Kecamatan Sebrang Musi. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepahiang. https://kepahiangkab.bps.go.id/webbeta/ website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Kecamatan-Seberang-Musi-2016.pdf. [Diunduh Tgl 1 September 2016]. BPS Provinsi Bengkulu. 2016. Produksi Sayuran dan Buah-Buahan Provinsi Bengkulu. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Mayasari, R., H. Sitoros dan L. Pratama. 2012. Dampak Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat Tentang Malaria di Desa Sukajadi Kabupaten OKU. Jurnal Pembangunan Manusia 6 (3). Ridwan, H.K., A. Ruswandi, Winarno, A. Muharam dan Hadiyanto. 2010. Sifat inovasi dan aplikasi teknologi pengelolaan terpadu kebun jeruk sehat dalam pengembangan agribisnis jeruk di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Jurnal Hortikultura 18: 477-490. Rukka H., Buhaerah dan Sunaryo. 2006.Hubungan karakteristik petani dengan respon petani terhadappenggunaan pupuk organik padapadi sawah(Oryza sativa L.). Jurnal Agrisistem 2 (1): 12 – 18. Sudarta, W. 2002. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, SOCA2 (1): 31 – 34. Saridewi, T.R. dan Siregar, A. N. 2010. Hubungan antara peran penyuluh dan adopsi teknologi oleh petani terhadap peningkatan produksi di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Penyuluhan Pertanian Volume 5 No.1 Mei 2010. http://stpp-bogor.ac.id/userfiles/file/06Dewi%20edited.pdf. [Diunduh Tgl 7 November 2012]. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Sugiyono.2011. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung Sutopo. 2011. Rekomendasi pemupukan untuk tanaman jeruk. Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman Sub-Tropika. http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/rekomendasi-pemupukan-untuktanaman-jeruk/. [Diunduh Tgl 12 Maret 2011].
56
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian HamaTanaman Terpadu. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6)%20 soca-sudarta-pks%20pht(2).pdf. [Diunduh Tgl 15 Desember 2014]. Ridwan, H.K, Sabari , S. B. Rofik, S. Rahman dan R. Agus. 2010. Adopsi Inovasi Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS) di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. J. Hort. 20 (1): 96-102
57
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
BIOAKTIVITAS EKSTRAK DAUN MIMBA DAN KACANG BABI TERHADAP KUTU DAUN SERANGGA VEKTOR PENYEBAB CMV dan ChiVMV PADA TANAMAN CABAI BIOACTIVITY OF Azadirachta indica AND Tephrosia vogelii extract TO VEKTOR INSECTS Aphis gossypii CAUSE OF CMV AND ChiVMV ON Capsicum annum L Djamilah, Agustin Zarkani dan Tri Sunardi ProgramStudiProteksi Tanaman, FakultasPertanian, UniversitasBengkulu Jl. WR. Supratman Kandang LimunTelp (0736)-21170 e-mail :
[email protected] ABSTRAK Salah satu fokus penelitian Universitas Bengkulu yaitu peningkatan produksi cabai merah (Capsicum annum L) dengan perakitan varietas. Namun, kendala utama dalam produksinya yaitu adanya gangguan hama kutudaun Aphis gossypii (Hemiptera: Aphididae). Selain bersifat hama langsung yang merusak bagian muda tanaman, hama ini merupakan serangga vektor utama penyebaran penyakit virus CMV dan ChiVMV dengan tingkat kerusakan hingga 100%. Pemanfaatan insektisida nabati dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pengendalian yang lebih aman dan ramah lingkungan dibandingkan insektisida sintetik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bioaktivitas ekstrak daun mimba (Azadirachta indica) dan daun kacang babi (Tephrosia vogelii) terhadap kutudaun Aphis gossypii pada tanaman cabai. Metode yang digunakan uji residu dan uji sistemik. Ekstraksidilakukan dengan maserasi menggunakan air. Konsentrasi uji yang digunakan yaitu 10%; 20%; 30%; 40%; dan kontrol dengan tiga ulangan untuk residu pada tanaman dan 0,1%; 0,5%; 1% dan kontrol dengan lima ulangan untuk uji sistemik. Perhitungan mortalitas serangga dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam setelah perlakuan. Kedua pengujian tersebut disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Data hasil pengujian persentase mortalitas A. gossypii dianalisis menggunakan Statistical Analysis System (SAS) dan pembanding nilai tengah dengan menggunakan selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat mortalitas A. gossypii tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi 40% pada kedua jenis ekstrak. Rerata waktu kematian pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Uji sistemik menunjukkan bahwa kedua ekstrak bersifat sistemik. Kata Kunci: Insektisida nabati, Capsicum annum L, Aphis gossypii, Azadirachta indica, Tephrosiavogelii ABSTRACT One focus of the research on University of Bengkulu is increased production of red chili pepper (capsicum annuum L) with varieties assembly. However, the main obstacle in the production that is the pest aphids Aphis gossypii (Hemiptera: Aphididae). In addition to direct destructive pests are young parts of plants, insect pests is a major vector of the spread of disease CMV and ChiVMV virusinduced damage of up to 100%. Utilization of botanical insecticides can be used as an alternative control of safer and environmentally friendly than synthetic insecticides. The purpose of this research is to know the bioactivity of extracts of neem leaves (Azadirachtaindica) and leaves Tephrosiavogelii against Aphis gossypii aphids in pepper were tested using the residual and systemic method. Extraction was done by maceration using water. Test concentration used are 10%; 20%; 30%; 40% and control with three replications for residues on plants and 0.1%; 0.5%; 1% and control with five replications for systemic test. Insect mortality calculations performed on 24, 48 and 72 hours after treatment. Both tests are arranged in the completely randomized design (CRD). The test data A. gossypii percentage mortality was analyzed using Statistical Analysis System (SAS) and benchmarking comparisons median value by using multiple hose Duncan at 5% significance level research. The results showed that the mortality rate was highest in Aphis gossypii40 % concentration in the second treatment Jenins extract , Average time of death on all treatments showed different. Systemic Test that the extracts are systemic. Keyword: botanical insecticides, capsicum annum L, Aphis gossypii, Azadirachtaindica, Tephrosiavogelii
58
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan komoditas pertanian penting di Indonesia. Permintaan cabai setiap tahunnyan terus meningkatseiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, sehingga perlu diikuti oleh peningkatan produksinya. Tercatat rata-rata produktivitas cabai tahun 2009 sebesar 5,89 ton/ha dan menurun pada tahun 2010 menjadi 5,61 ton/ha, sehingga mempengaruhi harga di pasar yang menyebabkan melonjaknya harga cabai (BPS, 2010) Salah satu kendala dalam peningkatan produksi cabai adalah adanya serangan kutudaun (Aphis gossypii) dengan daya rusak terhadap tanaman hingga 80%. Selain berperan sebagai hama yang merusak langsung bagiann muda tanaman seperti daun, bunga dan buah. Hama kutudaun juga dikenal sebagai salah satu serangga vektor virus CMV dan ChiVMV yang kombinasi serangan secara bersamaan dapat mengakibatkan gagal panen. Hasil survey lapang yang dilakukan Taufik et.al,(2005) membuktikan bahwa CMV dan ChiVMV merupakan virus utama pada tanaman cabai dan telah menyebar luas di berbagai daerah di Indonesia. Di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu telah terdeteksi beberapa jenis virus yang menyerang tanaman cabai yaituChiVMV, CMV dan infeksi ganda dengan tingkat serangan berurutan adalah 50-80 %, 0-20%, dan 0-50% (Sutrawati et. al., 2012). Di tingkat petani teknik pengendalian kutudaun ini masih menggunakan insektisida sintetik. Pengendalian dengan cara ini dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian yang layak dikembangkan ialah insektisida nabati, karena senyawa insektisida dari tumbuhan mudah terurai di lingkungan (Coats, 1994; Kaufman et.al., 2006) dan relatif aman terhadap organisme bukan sasaran (Donoetal.,1998) Dua jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai sumber insektisida nabati ialah daun mimba (Azadirachta indica) dan daun kacang babi (Tephrosia vogelii ). Kardinan dan Ruhnayat (2003) melaporkan bahwa mimba mampu mengendalikan 127 jenis hama dan juga berperan sebagai fungisida, bakterisida dan antivirus. Sedangkan ekstrak daun T. vogelii telah dilaporkan dapat membunuh, menghambat makan, dan menolak larva P.xylostella (Morallo-Rejesus, 1986). Daun T. vogelii mengandung senyawa rotenoid yang bersifat insektisida termasuk rotenon, deguelin, dan tefrosin (Lambert et. al.,1993). Rotenon bekerja sebagai racun respirasi sel dengan menghambat tranfer elektron dalan NADH-koenzim ubikuinon reduktase dari simtem transpor elektron di dalam mitokondria (Hollingworth, 2001). Meskipun potensi ekstrak daun mimba (A.indica) dan daun kacang babi (T. vogelii) sebagai racun serangga sudah diketahui, toksisitas kedua jenis insektisida nabati ini terhadap kutudaun belum banyak diketahui. Oleh karena itu pengujian ini penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bioaktivitas ekstrak daun mimba (A. indica) dan daun kacang babi (T. vogelii) terhadap kutudaun (A.gossypii) pada tanaman cabai. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus- November 2014, di Laboratorium Proteksi Tanaman, Jurusan Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman cabai Benih cabai diseleksi, kemudian disemai pada nampan persemaian. Benih yang telah disemai 10-14 hari atau berkecambah dan telah tumbuh sepasang daun dipindahkan ke polibag berukuran 13 cm sebanyak satu bibit per polibag untuk diuji residu, sedangkan untuk pengujian sistemik cabai yang berumur 14-20 hari dipindahkan ke dalam gelas plastik. Pemeliharaan cabai yang dilakukan meliputi penyiraman, pemupukkan, penyiangan gulma, dan pengendalian hama secara mekanis. Pemeliharaan dan Perbanyakan Serangga Uji Serangga uji A. gossypii dari pertanaman cabai yang tidak mendapat aplikasi insektisida dipelihara secara massal di Laboratorium Proteksi. Perbanyakan dilakukan pada tanaman cabai berumur 30 hari setelah tanam dan disungkup dengan plastik silindris bagian atas ditutup kain kasa dengan diameter 13 cm dan tinggi 20 cm. Nimfa A.gossypii instar dua yang berumur dua hari dipindahkan ke tanaman cabai dan dibiarkan sampai menjadi instar empat, kemudian nimfa instar empat tersebaut digunakan untuk pengujian.
59
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Ekstraksi Tanaman Tanaman yang digunakan sebagai insektisida nabati untuk pengujian diperoleh dari tanaman yang tumbuh disekitar pekarangan Laboratorium Proteksi. Bahan-bahan tanaman yang berupa daun mimba (A.indica) dan daun kacang babi (T. vogelii) yang akan digunakan untuk pengujian, terlebih dahulu dikering anginkan. Setelah itu bahan tanaman tersebut dipotong kecil-kecil dan dihaluskan dengan blender, kemudian diayak hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40 mesh. Ekstraksi dilakukan dengan air. Metode ekstraksi yang dilakukan adalah menggunakan metode maserasi, yaitu merendam setiap serbuk tanaman dalam pelarut air dengan perbandingan 1:1 (w/v). Perendaman dilakukan selama 24 jam, kemudian disaring pada kertas saring yang diletakkan pada corong Buchner. Ekstrak-ekstrak kasar tersebut disimpan dalam lemari es pada suhu kira-kira 400C hingga saat digunakan. Metode Pengujian Uji Residu pada tanaman Masing-masing ekstrak kasar diencerkan dengan air dan tween. Konsentrasi uji residu pada tanaman menggunakan 4 konsentrasi ekstrak yang berbeda, yaitu 10%; 20%; 30%; 40% dan kontrol dengan tiga kali ulangan untuk setiap perlakuan. Tanaman cabai di polibag disemprot merata dengan ekstrak tanaman hingga basah dan setelah kering angin diinfeskan 10 ekor serangga uji pertanaman, kemudian tanman cabai disungkup. Perhitungan mortalitas serangga dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan. Uji Sistemik pada Tanaman Masing-masing ekstrak diencerkan menggunakan air dan tween. Konsentrasi uji sistemik pada tanaman menggunakan tiga konsentrsi ekstrak yang berbeda , yaitu 0,1%; 0,5%; 1% dan kontrol dengan lima kali ulangan untuk setiap perlakuan. Pengujian sistemik dilakukan dengan cara merendam bagian akar tanaman cabai yang berumur tiga minggu dalam larutan ekstrak tanaman pada gelas plastik, sterofoam berbentuk bulat dimasukkan ke dalam gelas plastik untuk menahan tanaman dan agar serangga uji tidak jatuh ke dalam larutan ekstrak. Diinfeskan 10 ekor serangga uji pertanaman , lalu ditutup dengan gelas plastik yang bagian atasnya ditutup mengunakan kain kasa untuk menghindari serangga uji keluar. Perhitungan mortalitas serangga dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan. Rancangan Percobaan Penelitian ini terdiri dari dua pengujian, yaitu uji residu dan uji sistemik pada tanaman cabai dengan dua jenis ekstrak tanaman. Kedua pengujian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dan parameter yang diamati adalah mortalitas. Analisis Data Data hasil persentase mortalitas Aphis gossypii dianalisis dengan Statistical Analisis System (SAS) dan pembandingan nilai tengah dengan selang berganda duncan pada taraf nyata 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Residu Hasil penelitian uji residu secara umum ekstrak T. vogelii lebih efektif menimbulkan kematian serangga uji dibandingkan ekstrak A. indica pada hampir semua tingkat konsentrasi yang sama. Hal ini terlihat pada pengamatan 24 jam setelah aplikasi (jsa) hingga 48 jsa, menunjukkan bahwa ekstrak T. vogelii lebih toksik dibandingkan ekstrak A.indica. Meskipun dari rerata waktu kematian tidak menunjukkan berbeda tidak nyata diantara perlakuan. Diduga kandungan bahan aktif pada T. vogelii yaitu rotenoida lebih ampuh dibanding kandungan bahan aktif A. indica. Rotenoida dapat menyebabkan kematian serangga uji karena terganggunya sistem respirasi serangga.Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.
60
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Rerata jumlah individu A. gossypii yang mati (ekor) dan waktu kematian pada berbagai perlakuan ekstrak daun A. indica dan T. vogeliipada uji residu pada berbagai waktu pengamatan Waktu Pengamatan Konsentrasi (%) 24 jsa 48 jsa 72 jsa Kontrol 0 0,0000 e 0,0000 e 0,0000 d 10 1,3333 d 4,3333 d 6,3333 c 20 2,6667 d 6,0000bc 7,6667bc Mimba (A.indica) 30 3,0000 c 6,0000bc 8,6667a 40 4,6667b 8,6667a 10,0000a 10 2,6667 d 5,6667 cd 6,6667bc 20 3,6667bc 6,6667ab 8,3333ab Kc. Babi (T.vogelii) 30 4,6667b 8,0000a 9,6667 a 40 6,6667a 9,0000a 10,0000 a Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak 5%; Rerata Jumlah Individu A. gossypii yang mati adalah 10 serangga/tanaman. Sumber : Data primer (2015) Perlakuan
RerataWaktu Kematian (jam) 0,0000 1,3333 1,4333 1,6000 1,6667 1,6667 1,4666 1,6333 1,4333 nyata pada BNT taraf
Semakin tinggi konsentrasi maka semakin efektif menimbulkan kematian kutudaun A.gossypii . Pada perrlakuan ekstrak mimba konsentrasi 40%pada 24jsa menyebabkan kematian sebanyak 4,6667 ekor atau 46,67 %, pada 48 jsa terjadi 8,6667 ekor atau 86,67 % serta pada 72 jsa seluruh serangga uji mati (100%) dengan rerata waktu kematian 1,67 hari atau 40 jsa. Aktifitas biologis dari tanaman mimba disebabkan oleh adanya kandungan senyawa-senyawa bioaktif yang termasuk dalam kelompok limonoid (triterpenoid). Setidaknya terdapat sembilan senyawa limonoid yang telah diidentifikasi diantaranya Azadirachtin, meliantriol, salanin, nimbin dan nimbidin. Azadirachtin adalah senyawa yang paling aktif yang mengandung sekitar 17 komponen sehingga sulit untuk menentukan jenis komponen yang paling berperan sebagai insektisida. Bahan aktif ini terdapat di semua bagian tanaman, tetapi yang paling tinggi terdapat pada biji (Kardinan, 2002). Sedangkan pada perlakuan ekstrak kacang babi konsentrasi 40% kematian yang ditimbulkan 6,6667 ekor (66,67 %) pada pengamatan 24 jsa; 9,00 ekor (90 %)pada pengamatan 48 jsa dan pada pengamatan 72 jsa seluruh serangga uji mati dengan rerata waktu kematian 1,4333 hari atau 34,39 jsa. Aktifitas biologis dari tanaman kacang babi disebabkan oleh adanya kandungan senyawa bioaktif rotenoida. Rotenon bersifat sebagai racun respirasi sel yang bekerja dengan cara menghambat tranfer elektron dalam NADH-koenzim ubiquinon reduktase (kompleks I) dari sistem transpor elektron di dalam mitokondria (Hollingwoth, 2001). Akibatnya aktivitas sel terhambat dan serangga menjadi lumpuh dan mati. Uji Sistemik Kutudaun (A.gossypii) mempunyai tipe mulut pencucuk penghisap sehingga makananya berupa cairan tanaman inangnya. Kalau kematian A. gossypii disebabkan oleh makanan maka ekstrak mimba dan kacang babi diduga bersifat sistemik. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang membuktikan bahwa kedua ekstrak tersebut bersifat sistemik. Hal ini akan dibuktikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 ini kita dapat melihat bahwa ke dua ekstrak yaitu ekstrak mimba dan ekstrak kacang babi mempunyai sifat sistemik. Sifat sistemik adalah jika insektisida dapat masuk ke dalam jaringan tanaman dan di translokasikan ke seluruh jaringan.
61
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Rerata jumlah individu A. gossypii yang mati (ekor) dan waktu kematian pada berbagai perlakuan ekstrak daun A. indica dan T. Vogelii pada uji Sistemik pada berbagai waktu pengamatan Waktu Pengamatan Konsentrasi (%) 24 jsa 48 jsa 72 jsa Kontrol 0 0,0000 d 0,0000 e 0,0000 e 0,1 1,4000 c 3,6000 d 6,2000 d Mimba (A.indica) 0,5 2,2000c 5,4000 c 8,0000 c 1,0 4,8000a 8,2000a 10,0000a 0,1 2,4000 bc 6,0000 bc 8,2000 bc Kc. Babi (T.vogelii) 0,5 3,4000 b 7,0000 b 9,6000ab 1,0 5,0000a 8,8000a 10,0000a Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak 5%; Rerata Jumlah Individu A. gossypiiyang mati adalah 10 serangga/tanaman. Sumber : Data primer (2015) Perlakuan
RerataWaktu Kematian (jam) 0,0000 1,4200 1,6400 1,7000 1,6200 1,8400 1,6200 nyata pada BNT taraf
Pada Tabel 2, uji sistemik ini juga terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi semakin efektif menimbulkan kematian pada serangga uji. Tingkat toksisitas kacang babi lebih tinggi dibanding mimba. Hal ini terlihat bahwa kematian serangga uji pada konsentrasi yang sama dari ekstrak kacang babi lebih tinggi dibanding pada ekstrak mimba, meski secara statistik tidak berbeda nyata. Pada konsentrasi tertinggi (1%) dari kedua ekstrak menunjukkan kematian seluruh serangga uji pada 72 jsa. Hal ini menunjukkan bahwa kematian tersebut akibat bercampurnya insektisida tersebut dengan cairan tanaman atau bersifat sistemik. Insektisida yang disemprotkan ke tanaman dapat bersifat non-sistemik, sistemik, dan sistemik lokal. Aktifitas residu insektisida dari Azadirachtin ini umumnya terjadi antara 7 hingga 10 hari atau lebih lama lagi, tergantung dari jenis serangga dan aplikasinya (Thomson, 1992). Residu dapat terjadi di permukaan jaringan tanaman ataupun di dalam jaringan tanaman. Tingkat toksisitas residu pada permukaan jaringan cenderung akan menurun seiring dengan waktu. Hal ini dapat dikarenakan adanya pencucian oleh air hujan maupun akibat sinar matahari. Untuk meningkatkan daya bunuh insektisidanabati terhadap hama sasaran, sebaiknya penyemprotan dilakukan lebih dari satu kali. Seperti yang telah dilaporkan Rusdy (2009), Aplikasi insektisida nabati ekstrak daun mimbabdilakukan sebanyak tiga kali yaitu aplikasi pertama dilakukan 24jam setelah investasi, aplikasi kedua dilakukan 6 hari setelah aplikasi pertama dan aplikasi ketiga 6 hari berikutnya. Selain itu agar toksisitas insektisida nabati dapat ditingkatkan penggunaannya tidak hanya dilakukan secara tunggal namun dicampur dengan bahan insektisida lain yang efektifitasnya telah diketahui. Seperti yang telah diteliti oleh Irawan (2012) campuran ekstrak daun kacang babi dan ekstrak air buahlerak pada konsentrasi 0,44%-1,32% mengakibatkan mortalitas larva C.pavonana sebesar 30%-90%. Daun kacang babi mengandung senyawa aktif rotenon dan buah lerak mengandung senyawa aktif saponin yang bersifat sebagai surfaktan dan mempunyai struktur bipolar, yaitu memiliki bagian yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik, sehingga campuran ekstrak daun kacang babi dan ekstrak lerak dappat bersifat aditif atau sinergistik. KESIMPULAN 1. Tingkat kematian serangga kutu daun Aphis gossypii lebih tinggi pada perlakuan ekstrak kacang babi dibanding ekstrak mimba 2. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak semakin tinggi mortalitas serangga uji 3. Ekstrak mimba dan ekstrak kacang babi bersifat sitemik UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu yang telah memberikan bantuan dana penelitian dalam program Hibah Kompetisi bantuan dana Penelitian
62
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA [BPS]Badan Pusat Statistika. 2010.Luas Panen, produksi dan produktivitas cabai 2009-2010. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_ subyek=55¬ab. [diunduh pada 10 Februari 2012] Coats, J.R. 1994. Risks form natural versus synthetic insecticides. Annu Rev Entomol 39: 489-515 Dono, D., Priyono, D., Manuwoto, S., Buchori, D. 1998. Pengaruh ekstrak biji Aglia harmsianan Perkins terhadap interaksi antara larva Crocidolomia binotalis Zeller (lepidoptera Pyralidae) dan parasitoidnya, Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae). Bull HPT 10: 38-46 Hollingworth, R.M., “Inhibitors and uncouplers of mitochondrial oxidative phosphorylation”. Di dalam : Krieger, R., Doull, J., Ecobichon, D., Gammon, D., Hogson, E., Reiter, L., Ross, J., editor. “Handbook of Pesticide Toxicology”, Vol 2, Academic Press, San Diego, 2001. hlm 1169 -1227. Irawan, R. 2012. Toksisitas campuran ekstrak daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan buah Sapindus rarak (Sapindaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana. Skripsi. Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Kardinan, A dan A. Ruhnayat. 2003. “Mimba Budidaya dan Pemanfaatan”, Penebar Swadaya, Jakarta. Kaufman, P.B., Kirakosyan, A., McKenzie, Dayanandan, P. Hoyt, J.E., Li, C., “The uses of plant natural products by human and risks associated with their uses”, Di dalam: Cseke, L.J., Kirakosyan, A., Kaufman, P.B., Warber, S.L., Duke, J.A., Brielmann, H.L. 2006. editor. “Natural Products from Plants”, CRC Press Boca Raton. Rusdy, A. 2009. Efektifitas ekstrak nimba dalam pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman selada. J. Flo. 4 (1) : 41-54. Sutrawati, M., Djamilah., Andreani Kinata. 2012. Inveksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus pada cabai di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. J. Fitopatologi Indonesia 8(4): 110115. Taufik, M., Astuti, A.P., Hidayat, S.H. 2005. Survei infeksi Cucumber Mosaic Virus dan Chilli Veinal Mottle Virus pada tanaman cabai dan selaksi ketahanan beberapa kultivar cabai, Agrikultura. 16: 146-152. Thomson, W. T. 1992. Agricultural Chemicals. Book I: Insecticides. Thomson Publications. Fresno, CA.
63
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU KOPI RAKYAT DI KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU EFFORTS TO INCREASE PRODUCTION AND QUALITY COFFEE PEOPLE IN REJANG LEBONG BENGKULU PROVINCE Afrizon, Shannora Yuliasari dan Tri Wahyuni Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian, Km, 6,5 Bengkulu e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu sentra produksi kopi di Provinsi Bengkulu. Produksi maupun mutu kopi yang dihasilkan masih rendah yang disebabkan oleh umur tanaman yang sudah tua atau kurang produktif, penggunaan klon yang belum sesuai, teknik pemeliharaan yang belum optimal, gangguan beberapa hama maupun penyakit (OPT penting), serta teknik panen asalan dan pengolahan yang belum tepat. Kegiatan pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui produksi kopi dan mutu pasca peremajaan sistem sambung dengan klon unggul lokal. Kegiatan dilaksanakan di Desa Talang Ulu Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong pada tahun 2014 - 2016. Peremajaan penyambungan dengan klon unggul lokal dilakukan pada tahun 2014 pada lahan seluas 3 ha milik 15 petani dengan umur tanaman diatas 10 tahun. Pada tahun kedua setelah peremajaan tanaman setengah dari populasi kopi tiap petani dipupuk sesuai dosis anjuran (200 gr urea, 100 gr SP 36 dan 125 gr KCl/ph) dan pupuk kompos sebanyak 5 kg/ph. Selain pemupukan dilakukan juga pemeliharaan tanaman antara lain pemangkasan tanaman yang disesuaikan dengan kondisi tanaman di lapangan serta penyiangan dan pengaturan naungan pohon penaung. Pengamatan produksi dan mutu biji kopi dilakukan pada bulan Mei sampai bulan Juli 2016. Data yang dihimpun adalah produksi kopi yang dipetik merah yang diberi pupuk, produksi tanpa pupuk, jumlah dompolan/cabang, jumlah buah/dompolan dan berat 100 butir. Untuk pengamatan produksi dilakukan 1 kali dua minggu pada 20 tanaman tiap petani. Panen ini dilakukan sampai buah habis pada setiap pohon.Data selanjutnya ditabulasi untuk melihat tingkat produksi kopi. Untuk menilai mutu data yang dihimpun adalah bau (aroma), warna, kadar air dan kadar sari kopi. Hasil kajian memperlihatkan produksi yang cukup signifikan yaitu 120 - 1173 gr/pohon atau rata rata 678,6 gr/pohon (1696,5 kg/ha). Dengan penerapan inovasi teknologi ini terjadi kenaikan produksi yang sangat signifikan yaitu 134 % dari produksi rata rata di Kabupaten Rejang Lebong. Sedangkan tanpa pupuk meningkat sebesar 57,89 %. Hasil pengamatan mutu memperlihatkan mutu yang baik sesuai menurut syarat mutu kopi bubuk SNI 013542-2004yaitu bau (aroma) khas kopi bubuk yang harum, warna normal (coklat tua), kadar air sebesar 2,15%, dan kadar sari kopi sebesar 33,58%. Kata Kunci : Kopi, Klon unggul lokal, Pemeliharaan, Produksi, Mutu ABSTRACT Studies on coffee production and quality improvement of the people held in the District Talang Ulu Rejang Lebong Curup East in 2014 – 2016. Objective assessment is to determine the quality coffee production and post-rejuvenation system connect with local clones. Rejuvenation connecting with local clones carried out in 2014 on an area of 3 ha belonging to 15 farmers with plant age above 10 years. In the second year after replanting half of the population of copies each farmer cultivated according to recommended dosage (200 g urea, 100 gr SP 36 and 125 g KCl / ph) and compost as much as 5 kg / ph. Half the population again fostered a half dose. In addition to the maintenance of plant fertilization also include pruning adapted to the conditions in the field and weeding crops and shade trees shade settings. Observation of the production and quality of coffee beans done in the months of May to July 2016. The data collected are picked red coffee production by fertilizer, no fertilizer production, the number of branches, the number of fruits n and weight of 100 grains. For the production of the observations made 1 time two weeks at 20 plants per farmer. This is done until the fruit harvest runs out on each tree. Data were then tabulated to see the level of coffee production. To assess the quality of the data collected was the smell (aroma), color, moisture content and concentration of coffee extract. The study results showed significant production is 120 - 1173 g / tree or an average of 678,6 g / tree (1696.5 kg / ha). With the implementation of this technological
64
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
innovation occurs very significant increase in production that is 134% of average production in Rejang Lebong. Whereas without fertilizers increased by 57.89%. The observation shows the quality of a good quality suitable according to the quality requirements SNI 01-3542-2004 ground coffee that smell (aroma) typical fragrant coffee powder, normal color (dark brown), water content of 2.15%, and the concentration of coffee extract 33.58%. Keywords: Coffee, local superior clones, Maintenance, Production, Quality PENDAHULUAN Kopi merupakan salah satu komoditas tanaman perkebunan penting di Provinsi Bengkulu dan sebagai salah satu sumber pendapatan bagi petani. Luasan yang diusahakan petani saat ini cukup bervariasi. Pada tahun 2014, pertanaman kopi rakyat di Provinsi Bengkulu seluas 94.232 ha yang diusahakan sebanyak 75.452 kepala keluarga dengan produksi 55.858 ton atau rata-rata 708,51 kg/ha (BPS, 2015). Dibandingkan dengan produksi nasional maupun wilayah penghasil kopi lain di Indonesia, produktivitas kopi di Provinsi Bengkulu masih tergolong rendah. Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu sentra produksi kopi di Provinsi Bengkulu. Dari luasan pertanaman kopi yang ada, 25,10% (23.656 ha) berada di Kabupaten Rejang Lebong. Dari segi luasan pertanaman kopidi Kabupaten Rejang Lebong cukup luas. Hal ini di dukung oleh kesesuaian lahan dan iklim yang sangat sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi. Namun dilihat dari produksi maupun mutu masih rendah tapi sangat berpeluang untuk ditingkatkan. Dalam usahatani budidaya tanaman kopi ditingkat petani tidak terlepas dari permasalahan budidaya diantaranya umur tanaman yang sudah tua atau kurang produktif, penggunaan klon yang belum sesuai, teknik pemeliharaan yang belum optimal dan adanya gangguan beberapa hama maupun penyakit (OPT penting) yang ada di lapangan. Kondisi ini menyebabkan produksi dan mutu biji yang dihasilkan masih rendah. Untuk meningkatan produktivitas tanaman kopi dapat dilakukan dengan menerapkan inovasi budidaya anjuran. Diantaranya dengan penggunaan bahan tanam atau klon yang berkualitas yang merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan pertanaman. Selain itu perlu melakukan pemeliharaan tanaman secara optimal (Pemupukan, pengendalian gulma, pemangkasan dan pengendalian hama penyakit). Penggunaan bahan tanam (klon) ungguldisamping dapat meningkatkan produksi dan mutu kopi juga meningkatkan umur produktif tanaman (Sudarto, 2013).Tujuan utama penggunaaan bahan tanam dengan teknik penyambungan adalah agar sifat klon diwariskan secara utuh kepada keturunannya. Didalam penyambungan ada dua bagian tanaman yang disambung, yaitu bagian batang bawah dan bagian batang atas (entres) yang akan diharapkan hasilnya. Mengingat potensi produksi kopi sangat berpeluang ditingkatkan maka perlu kajian. Kegiatan pengkajian bertujuan untuk mengetahui produksi kopi dan mutu pasca peremajaan sistem sambung dengan klon unggul lokal. METODE PENELITIAN Kajian dilakukan di pertanaman kopi rakyat Desa Talang Ulu Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong dari tahun 2014 sampai bulan Juli 2016. Pelaksanaan kajian menggunakan metode demplot yaitu dengan menggunakan hamparan pertanaman kopi milik 15 orang petani, luas masing masing adalah 0,25 ha. Umur tanaman kopi yang dikaji rata rata diatas 10 tahun dan sudah dilakukan peremajaan dengan sistem sambung sejak tahun 2014. Tahun I setelah penyambungan dilakukan pemupukan dengan dosis sesuai anjuran (dosis anjuran terlampir). Disamping pemupukan dilakukan pemeliharaan tanaman berupa pemangkasan dan penyiangan. Data yang dihimpun adalah produksi kopi yang dipetik merah yang diberi pupuk, produksi tanpa pupuk, jumlah dompolan/cabang, jumlah buah/dompolan dan berat 100 butir. Untuk pengamatan produksi dilakukan 1 kali dua minggu pada 20 tanaman tiap petani. Panen ini dilakukan sampai buah kopi habis pada setiap pohon sampel. Penilaian mutu biji kopi dilakukan pengolahan biji sampai menjadi bubuk kopi siap saji dan data yang dihimpun adalah karakteristik sensori meliputi aroma dancitarasa, serta sifat kimia bubuk kopi yang meliputi kadar air dan kadar sari kopi. Data selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara diskriptif untuk melihat tingkat produksi kopi dan mutu biji kopi yang dihasilkan. Pengaruh perlakuan pemupukan pada tanaman kopi dianalisis dengan uji t-test pada tingkat kepercayaan 95%, yang dibandingkan dengan tanaman kopi tanpa pemupukan.
65
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Kajian Daerah pengkajian berada di Desa Talang Ulu Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong. Daerah ini berada pada ketinggian 650 - 700 m dpl dan memiliki topografi bergelombang. Pada umumnya tekstur tanah di daerah ini adalah lempung dengan warna tanah hitam.Desa ini merupakan salah satu sentra produksi kopi Rakyat di Kabupaten Rejang Lebong. Lebih dari 70 % masyarakat di daerah ini memiliki kebun kopi dengan luasan rata rata berkisar antara 0,25 – 0,75 ha. Pengelolaam tanaman kopi yang dilakukan masyarakat masih tradisisional yang diusahakan secara turun temurun dan tanaman sudah banyak yang tua serta kurang produktif. Sebagian besar umur tanaman diatas 15 tahun dan belum menerapkan teknologi anjuran (jarak tanam rapat, belum melakukan pemupukan dan perawatan sangat minim). Sebagian kecil petani sudah ada yang melakukan peremajaan dengan penyambungan tanaman kopi dengan klon lokal yang dianggap lebih baik dari klon sebelumnya. Produksi kopi masih sangat rendah yaitu rata rata ditingkat petani berkisar antara 700 - 750 kg/ha/tahun. Panen dilakukan dalam kondisi tanaman masih hijau atau dengan ciri adanya beberapa buah dalam dompolan yang sudah kuning sampai merah. Penanganan pasca panen masih dilakukan secara kovensional yaitusetelah dilakukan panen petani langsung mengeringkan buah dengan menjemurnya di pekarangan rumah menggunakan terpal dan sebagian besar menggunakan tanah tanpa alas sebagai lantai jemur.Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mempengaruhi kualitas produksi. Peningkatan Produksi Untuk melihat peningkatan produksi tanaman kopi sudah dilakukan pengamatan produksi kopi yang dipetik merah. Peningkatan produksi tanaman kopi dilihat berdasarkan jumlah cabang produktif per tanaman, jumlah dompolan per cabang produktif, jumlah Buah per dompolan, indeks biji 120 buah/100 g dan rendemen buah. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan pada tanaman kopi dengan dosis penuh sesuai anjuran mampu secara signifikan (p<0,05) meningkatkan produksi kopi petik merah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya variasi produksi setiap pohon yaitu berkisar antara 120 – 1.173 g/pohon atau rata-rata 678,6 g/pohon pada perlakuan dengan pemupukan, sedangkan pada tanaman kopi yang tidak dipupuk sebanyak 10% tanaman kopi belum menghasilkan kopi petik merah pada tiga kali pengamatan hasil panen dan 90% tanaman kopi lainnya memiliki produksi kopi petik merah sekitar 9 – 1.056 g/pohon dan rata-rata 457,61 g/pohon. Banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi kopi, diantaranya adalah pemupukan. Penambahan pupuk kimia dan kompos pada pertanaman kopi ternyata sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Pemupukan sangat diperlukan agar ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman dapat selalu dipenuhi. Dengan ketersediaan hara di tanah yang dibutuhkan tanaman maka pemupukan dapat meningkatkan produksi, meningkatkan mutu hasil dan mempertahankan stabilitas produksi. Menurut Firmansyah(2013), pemberian pupuk untuk tanaman kopi dianjurkan 2 kali dalam satu tahun yaitu pada waktu awal musim hujan dan akhir musim hujan atau tanah dalam kondisi lembab dengan dosis disesuaikan dengan umur tanaman. Selanjutnya dikatakan bahwa pemupukan secara tepat dan efektif akan mendorong tanaman kopi untuk berbunga (Dosis pupuk terlampir). Menurut Isroi (2012), pada dasarnya pemupukan bertujuan untuk meningkatkan kesuburan lahan budidaya sehingga mampu mencukupi kebutuhan unsur hara yang diperlukan tanaman kopi. Faktor lainnya yang mempengaruhi peningkatan produksi adalah kondisi naungan. Pada kajian ini naungan yang sudah ada diatur agar prosentase cahaya yang sampai ke tanaman kopi tidak lebih dari 50 %. Menurut Sakiroh , et.al (2014) tanaman kopi memiliki pertumbuhan yang baik adalah pada naungan antara 50 – 60 %, sehingga perlu panataan naungan yang baik.
66
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Produksi kopi petik merah di Desa Talang Ulu pada tanaman kopi dengan perlakuan pemupukan sesuai dosis pupuk anjuran dan tanpa pemupukan. Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rerata Sumber : Keterangan :
Produksi per pohon (g) Dengan Pemupukan Tanpa Pemupukan 1173 1006 947 1056 383 1007 120 510 776 1050 840 605 681 24 1098 0 422 990 757 84 388 394 1081 0 626 39 366 270 515 326 622 483 1117 171 854 81 422 9 384 132 678,6* 457,61 Data primer (2016) Tanda * menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan (p<0,05) berdasarkan hasil uji T-test pada tingkat kepercayaan 95%.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kebutuhan pupuk yaitu pengambilan hara oleh kopi dan persediaan kandungan hara di dalam tanah. Untuk mendukung pertumbuhannya, tanaman kopi mengambil unsur hara dari dalam tanah. Jumlah kebutuhan unsur hara ini berbeda-beda menurut jenis tanaman kopi tersebut. Selanjutnya unsur hara ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan kopi dalam mendukung pertumbuhan vegetatif dan pembentukan buah. Penggunaan pupuk kompos akan memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Penambahan kompos akan meningkatkan aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman, sehingga dapat membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah, dan menghadapi serangan penyakit (Sutanto, 2002). Menurut Lafran (2009), pemberian kompos pada lahan memiliki banyak manfaat yaitu memperbaiki kondisi fisik tanah dibandingkan untuk menyediakan unsur hara, walaupun dalam kompos unsur hara sudah ada tetapi jumlahnya sedikit. Pupuk kompos berperan dalam menjaga fungsi tanah agar unsur hara dalam tanah mudah dimanfaatkan oleh tanaman. Selanjutnya dikatakan bahwa tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya (mutunya) daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, seperti menjadikan hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak. Pengaruh lain dari pemberian pupuk kompos adalah terhadap jumlah dompolan tiap cabang produksi.Jumlah dompolan/cabang, jumlah buah/dompolan dan berat 100 biji disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan hasil tanaman kopi yant diberi pupuk dengan yang tidak diberi pupuk. Hal ini membuktikan pemberian pupuk mengembalikan ketersediaan hara dalam tanah yang sangat dibutuhkan oleh tanaman kopi dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya.
67
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Pengamatan jumlah dompolan tiap cabang, jumlah buah tiap dompolandan berat 100 butir Desa Talang Ulu Perlakuan
Jumlah dompolan/cabang (buah)
Jumlah buah/dompolan (buah)
Berat 100 butir (g)
Dengan pemupukan dosis 11* 34* 216,2* penuh Tanpa pemupukan 9 27 191,6 Sumber : Data primer (2016) Keterangan : Tanda * menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan (p<0,05) berdasarkan hasil uji T-test pada tingkat kepercayaan 95%.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman kopi adalah bahan tanam/klon. MenurutSagala (2014), klon unggul adalah suatu genotipe tanaman yang memiliki potensi hasil dan sifat-sifat agronomis lebih baik dari pada genotipe standar yang biasa digunakan sebagai bahan tanaman dalam pertanaman komersial. Keunggulan suatu klon ditentukan oleh faktor genetik yang dikandungnya dan diekspresikan dalam bentuk morfologis, susunan anatomis dan proses fisiologis yang menunjang pertumbuhan, potensi hasil dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Perbedaan keunggulan suatu klon dengan klon lainya disebabkan oleh perbedaan susunan genetik yang menunjang ketiga faktor di atas. Dengan jarak tanam kopi 2 x 2 m dan populasi tanaman 2.500/ha, maka produksi yang diperoleh adalah 1.696,5 kg/ha atau kenaikan sebesar 134 % dari produksi yang dikelola secara konvensional, dimana produktivitas kopi rakyat di Kabupaten Rejang Lebong saat ini masih rendah yaitu berkisar antara 700 – 750 kg/ha/th. Pada tanaman yang tidak diberi perlakuan pemupukan, peningkatan produksi akibat penggunaan klon unggul hanya sebesar 1.144,175 kg/ha atau terjadi kenaikan produksi sebanyak 57,89 %. Peningkatan produksi ini lebih kecil dari pada tanaman kopi yang diberi pupuk dosis anjuran walaupun sudah menggunakan klon unggul. Pada penggunaan klon unggul tanpa pemberian pupuk sama sekali ternyata produksi tanaman tidak setinggi tanaman yang diberi pupuk, namun lebih tinggi dari pada tanaman kopi yang tidak dipupuk sama sekali. Hal ini membuktikan bahwa penambahan unsur hara kususnya Nirogen, Phospor dan kalium sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Faktor lain yang mempengaruhi produksi diantaranya adalah kesesuaian agroklimat dan ketersediaan hara pada tanah. Menurut Supriadi (2009), pengembangan potensi suatu komoditi tidak terlepas dari komponen daya dukung diantaranya kesesuaian lahan. Provinsi Bengkulu memiliki agroekosistem yang beragam dan elevasi wilayah dari 0 – 2000 m dpl. Luas wilayah dataran renda (0 – 500 m dpl) yaitu 1.333.258 ha atau 67,37%, dataran sedang (500 – 1.000 m dpl) yaitu 405.688 Ha atau 20.50%, dan dataran tinggi (> 1.000 m dpl) seluas 239.924 Ha atau 12.0% dari luas wilayah (Bappeda dan P3SDA UNIB, 2003). Ketinggian wilayah berhubungan erat dengan iklim setempat, seperti suhu, kelembaban tanah, kondisi udara dan penyinaran matahari. Berdasarkan kondisi agroklimatologi yang dimiliki maka daerah Rejang Lebong berpotensi sebagai wilayah pengembangan kopi (Sukma, 1990) Peningkatan mutu biji kopi Mutu biji kopi dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain bau (aroma), warna, kadar air dan kadar sari kopi. Mutu yang baik dapat diperoleh dengan melakukan panen dalam kondisi matang sempurna (biji berwarna merah) dan dilakukan pengolahan secara basah dan mengikuti tahap tahap penyangraian yang tepat. Penyangraian biji kopi akan mengubah secara kimiawi kandungan kandungan dalam biji kopi, disertai susut bobotnya, bertambah besarnya ukuran biji kopi dan perubahan warna bijinya. Biji kopi setelah disangrai akan mengalami perubahan kimia yang sangat menentukan cita rasa. Pembentukan unsur cita rasa kopi dan kehilangan berat kering sangat terkait erat dengan suhu penyangraian. Berdasarkan suhu penyangraian yang digunakan kopi sangrai dibedakan atas 3 golongan yaitu (1) light roast, suhu yang digunakan sekitar 193 – 199 °C, (2) medium roast, suhu yang digunakan 204°C, dan (3) dark roast, suhu yang digunakan sekitar 213 – 221°C. Proses roasting berlangsung selama 5-30 menit (Ridwansyah 2003). Pada kajian ini, tahap penyangraian dilakukan dengan mesin penyangrai dengan suhu sekitar 200oC (medium roast), selama 30 menit. Tahap penyangraian sangat menentukan warna dan cita rasa
68
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
pruduk kopi yang akan dikonsumsi. Perubahan warna biji dapat dijadikan dasar untuk sistem klasifikasi sederhana. Proses yang terjadi selama penyangraian adalah (1) tahap awal roasting, terjadi pengupan air pada saat suhu penyangraian 100°C. (2) tahap pyrolysis pada suhu 180°C, terjadi perubahan-perubahan komposisi kimia dan pengurangan berat sebanyak 10%. Perubahan sifat fisik dan kimia terjadi selama proses penyangraian, antara lain swelling, penguapan air, terbentuknya senyawa volatil, karamelisasi karbohidrat, pengurangan serat kasar, denaturasi protein, terbentuknya gas CO2 sebagai hasil oksidasi, serta terbentuknya aroma yang khas pada kopi. Swelling selama penyangraian disebabkan karena terbentuknya gas-gas yang sebagian besar terdiri dari CO2, kemudian gas-gas ini mengisi ruang dalam sel atau pori-pori kopi. Tahap akhir dalam pengolahan kopi bubuk adalah penggilingan. Penggilingan kopi skala luas menggunakan gerinda beroda (roller). Gerinda roller ganda dengan gerigi 2 sampai 4 pasang merupakan alat yang paling banyak dipakai. Partikel kopi dihaluskan selama melewati tiap pasang roller. Selama proses penggilingan, sejumlah kandungan CO2 akan terlepas dari kopi. Pengemasan segera mungkin dilakukan setelah penggilingan untuk mencegah terbentuknya tekanan akibat pelepasan CO2. Untuk memperpanjang masa simpan kopi bubuk dikemas dengan menggunakan kemasan vakum dalam aluminium foil atau kantong fleksibel (Ridwansyah, 2003). Untuk biji kopi yang telah disangrai dapat juga langsung dikemas. Pengemasan dilakukan dengan kantong kertas atau aluminium foil. Beberapa industri pengolahan kopi bubuk saat initelah menggunakan kemasan vakum dari kaleng yang mampu menahan tekanan yang terbentuk atau menggunakan kantung yang dapat melepaskan CO2 tapi menerima oksigen. Dari hasil kajian yang dilakukan diperoleh hasil antara lain bubuk kopi yang dihasilkan memiliki bau (aroma) khas kopi bubuk yang harum, warna normal (coklat tua), kadar air sebesar 2,15%, dan kadar sari kopi sebesar 33,58%. Hasil ini telah memenuhi syarat mutu I sesuai dengan SNI 01-3542-2004 tentang kopi bubuk kopi yang dipetik merah (Badan Standardisasi Nasional , 2004, terlampir). Sedangkan untuk bubuk kopi yang dihasilkan oleh petani yang dipetik hijau (panen asalan) menghasilkan bubuk kopi yang tidak memenuhi syarat muti 1 karena kadar sari kopi sebesar 37,69%. Nilai tersebut berada di luar rentang kadar sari kopi pada syarat mutu I kopi bubuk menurut SNI 01-3542-2004. Selain faktor budidaya yang baik mutu bubuk kopi yang dihasilkan juga sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan. Proses pengolahan kopi petik merah secara basah menghasilkan produk berupa biji kopi beras. Untuk mendapatkan kopi bubuk petik merah, dilakukan tahapan proses yang meliputi penyangraian biji kopi, penggilingan, dan pengemasan. Penggilingan kopi diperlukan untuk memperoleh kopi bubuk dan meningkatkan luas permukaan kopi. Menurut SNI 01-3542-2004, kopi bubuk adalah biji kopi yang disangrai (roasted), kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan lain dalam kadar tertentu tanpa mengurangi rasa dan aromanya serta tidak membahayakan kesehatan (BSN 2004). Syarat mutu kopi bubuk menurut SNI SNI 01-3542-2004(terlampir). Peningkatan mutu biji kopi saat ini sangat penting dilakukan. Faktor mutu merupakan salah satu persyaratan yang mulai dituntut oleh konsumen. Selain itu faktor lingkungan pada sistem produksi juga sering dijadikan pertimbangan dalam pembelian kopi. Hal penting yang berkaitan dengan perdagangan kopi di pasar internasional adalah bahwa sebagian besar negara pengimpor/konsumen kopi mensyaratkan kandungan okratoksin-A (OA) yang sangat rendah atau bebas OA. Akhir akhir ini persyaratan impor produk pertanian di negara konsumen kopi semakin ketat terutama yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Selanjutnya dikatakan secara umum kondisi perkopian di Indonesia mutunya cukup memprihatinkan sehingga perlu ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan dari budidaya, panen sampai penanganan pasca panen (Raghuramulu dan Naidu, 2009).
69
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KESIMPULAN 1. Inovasi teknologi peremajaan penyambungan dengan menggunakan klon unggul, pemupukan dan pemeliharaan yang diterapkan dapat meningkatkan produksi kopi petani sebesar 134 %. Sedangkan penggunaan klon unggul tanpa pupuk dapat meningkatkan produksi 57,89 % 2. Panen petik merah yang disertai pengolahan yang sesuai anjuran dapat meningkatkan mutu kopi yang dapat dilihat dari bau (aroma) khas kopi bubuk yang harum, warna normal (coklat tua), kadar air sebesar 2,15%, dan kadar sari kopi sebesar 33,58%. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu yang telah mendanai kegiatan pengkajian melalui Anggaran DIPA BPTP Bengkulu Tahun 2015 - 2016. DAFTAR PUSTAKA Bappeda Prop. Bengkulu dan P3SDA UNIB. 2003. Identifikasi Tata Ruang Provinsi Bengkulu. BPS Provinsi Bengkulu. 2013. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Bengkulu. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia Kopi Bubuk(SNI 01-35422004).http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/ sni/unduh/7670. [Diunduh Tgl 5 Oktober 2015]. Firmansyah. 2013. Rekomendasi Pemupukan Umum Karet, Kelapa sawit, Kopi dan Kakao. Pelita Perkebunan. Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember Isroi. 2012. Pengomposan Limbah Padat Organik. Land to Farmers Income: A Case in Gunung Kidul Regency, Indonesia. Pelita Perkebunan, 9(3), 97 – 104. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor Lafran Habibi, 2009. Pembuatan Pupuk Kompos Dari Limbah Rumah Tangga.Penerbit Titian Ilmu : Bandung. Raghuramulu dan Naidu. 2009. The Ochratoxin-A Contamination in Coffeean itsin Food Safety Issues. Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi. JurusanTeknologiPertanian, FakultasPertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. library.usu.ac.id/download/fp/tekper-ridwansyah4.pdf. [Diunduh Tgl 25 April 2009]. Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta. Hal 25. Sudarto, Yohaner dan RD Medionovianto. Karakteristik dan Alternatif Teknologi Budidaya Kopi (Studi Kasus di Desa Rempek Kecamatan Rangga Kabupaten Lombok Utara). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Kendari 2013. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Supriadi. 2009. Kesesuaian lahan bagi pengembangan kopi Robusta. Jurnal Tanaman Industri dan Penyegar. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar. Bogor. Sagala, A.D. 2012. Kinerja Klon Karet Unggul Anjuran dan Kesesuaiannya pada Berbagai Agroekosistem. Makalah disampaikan dalam Workshop Penggunaan Klon Unggul dan Penyiapan Bahan Tanam Karet Untuk Produktivitas Optimal di Medan Sumatera Utara tanggal 21 Mei 2012. Sakiroh, Sobari dan Maman Herman. 2014. Pertumbuhan, Produksi, dan Cita Rasa Kopi pada Berbagai Tanaman Penaung. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Kopi. Puslit Kopi dan Kakao. Jember
70
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Lampiran Tabel 4. Luas Pertanaman kopi rakyat di Propinsi Bengkulu (ha) Luas Pertanaman No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Muko Muko Bengkulu Utara Kota Bengkulu Seluma Bengkulu Selatan Kaur Lebong Rejang Lebong Kepahiang
TBM
138,00 1.409 1,00 743,00 326,00 1.363 1.750 1.715 803,00 8.248 Sumber : BPS Propinsi Bengkulu 2013.
T. Tua 169,00 3.212 0,00 2.601 84,00 1.701 1.015 158,00 2.521 11.461
Jumlah
TM 1.373 13.945 20,00 13.206 2.688 4.921 5.084 17.040 20.862 79.139
1.680 18.606 21,00 16.550 3.098 7.985 7.849 21.820 24.186 98.848
Tabel 5. Dosis pemupukan tanaman kopi Umur (tahun)
Urea 1 20 2 50 3 75 4 100 5-10 150 >10 200 Sumber : Puslit Kopi dan Kakao Jember
Dosis pupuk (gram/pohon) SP-36 KCl 25 15 40 40 50 50 50 70 80 100 100 125
Kieserit 10 15 25 35 50 70
Tabel 6. Syarat mutu kopi bubuk menurut SNI 01-3542-2004 No
Kriieria Uji
Satuan
Keadaan fisik: - Bau - Warna 2 Kadar air % b/b 3 Kadar sari kopi % b/b 4 Kadar kafein (anhidrat) % b/b 5 Cemaran logam : mg/kg - Timbal (Pb) mg/kg - Tembaga (Cu) mg/kg - Seng (Zn) mg/kg - Timah (Sn) mg/kg - Raksa (Hg) mg/kg - Arsen (As) 6 Cemaran mikroba : Koloni/g - Angka lempeng total Koloni/g - Kapang Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2004)
Persyaratan Mutu I
Mutu II
Normal Normal Maksimum 7,0 20 – 36 0,9 – 2,0
Normal Normal Maksimum 7,0 Maksimum 60 0,45 – 0,9
Maksimum 2,0 Maksimum 30,0 Maksimum 40,0 Maksimum 40,0/250,0 Maksimum 0,03 Maksimum 1,0
Maksimum 2,0 Maksimum 30,0 Maksimum 40,0 Maksimum 40,0/250,0 Maksimum 0,03 Maksimum 1,0
Maksimum 106 Maksimum 104
Maksimum 106 Maksimum 104
1
71
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PEMANFAATAN BERBAGAI JENIS MULSA DAN VAERIETAS MENDUKUNG BUDIDAYA CABAI LUAR MUSIM DI LAHAN KERING UTILIZATION VARIOUS TYPES OF MULCH AND VARIETY TO SUPPORT PLANTING CHILI OUT SEASON IN DRY LAND Darman Hary Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik produksi Desa, PDT,dan Transmigrasi Bengkulu Jln. Argamakmur-Muara Aman, Margasakti Kec. Pd. JayaKab. Bengkulu Utara Email :
[email protected] ABSTRAK Permintaan yang cukup tinggi, kontinu serta cenderung terus meningkat memberikan dorongan kepada masyarakat luas terutama petani untuk mengembangkan tanaman cabai. Keberhasilan usaha tani cabai dipengaruhi rendahnya produkstivitas akibat penggunaan teknologi yang tidak tepat dan ketepatan waktu tanam. Penelitian bertujuan Mengidentifikasi penampilan agronomis pada fase pertumbuhan dan generatif empat varietas cabai yang dibudidayakandengan penggunaan mulsa yang berbeda dan mendapatkan paket teknologi buddaya cabai pada lahan kering di luar musim. Penelitian telah dilakukan dilahan kering pada bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Pebruari 2016. Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok lengkap teracak (RKLT) yang disusun secara faktorial dengan perlakuan varietas moncer F1, MP 999 F1, Unib C3H7, dan Unib C1H3 dengan penggunaan mulsa MPHP, jerami padi dan tanpa mulsa yang masing – masing diulang 3 kali. Data dianalisis menggunakan analisis sidik ragam pada taraf 1 % dan 5 %, dan apabila terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji Duncan Multiple Range test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan pada fase fegetatif (pertumbuhan) tidak ada interaksi antara varietas dan penggunaan mulsa MPHP, jerami padi dan tanpa mulsa tetapi terjadi interaksi pada fase generatif antara varietas moncer F1, MP 999 F1, Unib C3H7 dan Unib C1H3 dengan mulsa MPHP, jerami padi dan tanpa mulsa. Kombinasi pemilihan varietas moncer Fi dan mulsa MPHP direkombinasikan untuk dikembangkan di lahan kering pada penanaman cabai di luar musim karena memiliki produktivitas tertinggi yaitu 6.858 kg per hektar. Kata kunci : Tanaman cabai, mulsa, Varietas, Budidaya luar musim. ABSTRACT Red paper’s demand which is high, continuously and tended to increase encourage people especially farmers to cultivate it. Successful of red paper’s farming is influenced by low level of productivity which causes by used of inappropriate technology and seed time accuracy. This research aim to identify agronomy appearance in growth and generative phase of four varieties of red paper that cultivated by various types of mulch and treated by out of season cultivation on un-irrigated land technology package. Research was done on un-irrigated land on August 2015 to February 2016. Research method is Randomized Complete Block Design that arranged by factorial of Moncer F1, MP 999 F1, Unib C3H7 and Unib C1H3 variety and used of MPHP mulch, straw and without mulch which repeated three times. Data were analyzed by analysis of variance in level 1% and 5%, and if result showed significant differences, data analysis forwarded by Duncan Multiple Range Test (DMRT). Research result showed that in vegetative phase there is not interaction between variety of red paper and various types of mulch utilization but in generative phase, there is interaction between every variety of red paper (Moncer F1, MP 999 F1, Unib C3H7 and Univ C1H3) with MPHP mulch, straw mulch and without mulch. Variety Moncer F1 and MPHP mulch combination is recommended to cultivate on un-irrigated land in out of season seed time because it has highest productivity in comparison with other combination. It produced 6.658 kg/hektare. Keyword: Red paper, Mulch, Variety, Out of Season Cultivation.
72
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Cabai (CapisicumL.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai gizi dan ekonomis penting. Buah cabai dapat dimanfaatkan sebagai sayuran atau bumbu masak, bahan baku industri makanan dan industri obat - obatan. Buah cabai mengandung karbohidrat, protein, lemak, kalsium, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C. Permintaan yang cukup tinggi, kontinu serta cenderung terus meningkat memberikan dorongan kepada masyarakat luas terutama petani untuk mengembangkan tanaman cabai (Prasetya, M.E., 2014). Konsumsi cabai selama periode 2012 – 2014 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, 1,653 kg/kapita (2012), 1,660 kg/kapita (2013), dan 1,680 kg/kapita (2014). Begitupun produksi cabai segar Indonesia dari tahun 2009 hinnga 2013 berturut – turut sebesar 1,38 juta ton, 1,33 juta ton,1,65 juta ton (2011) 1,65 juta ton (2012), 1,73 juta ton (2013) dan pada tahun 2014 produksi cabe nasional di prediksi sebesar 1,87 juta ton (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2013). Tanaman cabai merah memiliki potensi dan prospek yang baik untuk diusahakan, karena tanaman ini relatif mudah dibudidayakan. Menurut Badan Pusat Statistik dan Dirjen Hortikultura (2016), produktivitas cabai nasional pada tahun 2011 sebesar 7,34 ton/ha, 7,93 ton/ha (2012), 8,16 ton/ha (2013), dan 8,35 ton/ha (2014), dan 8,65 ton/ha (2015). Produktivitas cabai merah di Propinsi Bengkulu dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi yaitu 7,41 ton/ha (2011), 5,99 ton/ha (2012), 6,91 ton/ha (2013), 6,21 ton/ha (2014), dan 6,12 ton/ha (2015). Angka tersebut masih jauh dari potensi produktivitasnya yang dapat mencapai 10 – 30 ton/ha (Piay, S.S., dkk. 2010). Masih rendahnya produktivitas cabai merah ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain, pemilihan varietas cabe unggul yang tidak tepat, teknologi bercocok tanam yang masih kurang baik, kesiapan dan ketrampilan petani cabai yang masih kurang, dan penyediaan sarana produksi yang masih belum tepat. Selain rendahnya produktivitas, keberhasilan usaha tani komoditas cabai merah sangat dipengaruhi ketepatan waktu tanam yang mempengaruhi pola produksi. Harga cabai tiga tahun terakhir di propinsi Bengkulu sangat fluktuatif berkisar antara Rp. 5000,- s/d Rp. 35000,- (2013), Rp. 6000,- s/d Rp. 60000,- (2014). Rp.10.000,- s / d Rp 50.000,- (2015) (Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan perdagangan Propinsi bengkulu, 2016) Pada bulan April sampai dengan Agustus harga cabai berkisar antara Rp. 5000,- s/d Rp. 15000,- sedangkan bulan September sampai dengan Maret berkisar antara Rp. 17000,- s/d Rp. 60.000,-. Ketika musim tanam (bulan Pebruari s/d April), petani serentak untuk menanam cabai sehingga luasan tanam cabai tidak terkendali yang menyebabkan produksi cabai melimpah dan harga anjlok. Begitu pula sebaliknya, jika diluar musim (bulan juli s/d September) hanya sedikit petani yang menanam cabai sehingga stok buah cabai di pasar sedikit yang mengakibatkan harga melonjak. Salah satu strategi yang menentukan keberhasilan usaha tani cabai dengan melakukan budidaya cabai merah di luar musim. Kendala utama budidaya cabai merah diluar musim yaitu ketersediaan air yang sangat dibutuhkan tanaman cabai pada saat pertumbuhan vegetatif dan kelebihan air akibat tingginya curah hujan pada saat fase generatif / berbuah. Untuk itu perlu dikaji teknologi budidaya cabai merah yang tepat sehingga dapat menghasilkan produktivitas dan kualitas yang sama dengan budidaya pada saat musim tanam. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penampilan agronomis pada fase pertumbuhan dan poduksi empat varietas cabai dengan penggunaan mulsa yang berbeda serta mendapatkan alternatif penggunaan mulsa dan varietas yang sesuai dalam paket teknologi mendukung budidaya cabai merah di lahan kering pada luar musim. METODE PENELITIAN Kajian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 sampai dengan Pebruari 2016 di lahan percobaan Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik Produksi Desa, PDT, dan Transmigrasi Bengkulu yang terletak di desa Margasakti Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara dengan curah hujan rata – rata 3000 – 4000 mm/tahun, ketinggian 200 M – 300 M dpl, suhu 23º - 31º C, bulan basah Oktober s /d April, bulan kering Mei s / d September, Kelembaban 78 – 86 % (Profil BP2TP, 2013). Berdasarkan hasil analisa tanah sebelum percobaan dilakukan, Lahan percobaan termasuk tanah masam dengan pH 4,85. Kandungan C-organik 2,94 %, N-organik 1,16 %, P- Bray 18,26 ppm, K-dd 0,27 me/100 gr, Na-dd 0,05 me/100gr, Ca-dd 1,27 me/100 gr, dan Mg-dd 1,83 me/100 gr (BPTP Bengkulu, 2015). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) yang disusun secara faktorial, faktor A (varietas cabai merah); PM F1 999 (V1), Unib CH13 (V2), Unib CH37 (V3) dan Moncer F1 (V4) serta faktor B (mulsa) ; Mulsa Plastik Hitam Perak (M1), Jerami Padi (M2), dan Tanpa Mulsa (M3). Perlakuan diulang 3 (tiga) kali dengan ukuran petak / bedengan percobaan1 M x 15 M. Jarak tanam dalam petak / bedengan 80 cm x 60 cm dengan jumlah
73
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
tanaman yang diamati 5 sampel dari 50 tanaman yang diambil secara acak. Pengamatan variabel meliputi tinggi tanaman (cm), lebar kanopi (cm), tinggi dikotom (cm), jumlah buah pertanaman, bobot buah pertanaman (gr), dan hasil panen per petak (kg). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisa varian (anova) pada taraf 1 % dan 5 %. Apabila hasil analisis menunjukkan beda nyata maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Hanafiah, K., 2001). Pelaksanaan percobaan meliputi persiapan lahan (persiapan lahan dan pengolahan lahan) penyiapan bibit (persiapan media tanam dalam polibag, penyiapan benih, penanaman dan penyulaman dalam polibag, dan pemeliharaan tanaman di persemaian), penanaman dan penyulaman bibit di lapangan, pemeliharaan (pemagaran keliling lahan, pemupukan, pewiwilan, pengendalian hama / penyakit, penyiraman, penyiangan, dan pemasangan ajir dan tali rapia), panen, dan pasca panen. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Exiting Lokasi Penelitian Hasil analisis sifat kimia tanah lokasi penelitian sebelum percobaan dilakukan Terlihat pada tabel 1 bahwa nisbah C/N tergolong sangat rendah, kandungan bahan organik C rendah dan N sangat rendah. Kadar P – tersedia dalam tanah tergolong sedang. Sedangkan Kadar K – dd, Na-dd, Ca-dd, Mg-dd dan KTK dalam tanah tergolong rendah dan pH tanah tergolong masam. Menurut Apandie dan Nasih (2001), bahwa nisbah C/N < 8 tergolong harkat sangat rendah, bahan organik < 2 tergolong sangat rendah, dan bahan organik 2 – 4 tergolng rendah. Begitu juga P Bray 16 – 25 digolongkan sedang. K-dd < 0,3 digolongkan sangat rendah. Pemberian pupuk anaorganik (Urea, SP-36, KCl, dan NPK Mutiara), pupuk organik (kotoran kambing), kapur dan pupuk organik buatan sebelum penanaman dan selama fase fegetatif tanaman cabai meningkatkan pH tanah dan nisbah C/N, P Bray, dan Kalium (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisa tanah lahan percobaan sebelum dan setelah percobaan dilakukan. Bahan Organik C N H2O KCL % 5,88 4,85 2,94 1,16 6,6 6,3 3,88 0,34 6,7 6,2 3,82 0,27 6,4 5,5 3,90 0,26 pH
KODE
P Bray I
Nilai Tukar Kation K-dd
ppm 18,26 37,35 15,41 15,37
Sebelum Percobaan MPHP Tanaman Jerami Padi cabai Tanpa Mulsa berumur 65 HST MPHP 5,13 0,3 1,37 Setelah Jerami Padi 5,58 0,34 5,06 Percobaan Tanpa Mulsa 3,12 0,25 3,87 Sumber : Laboratorium Tanah BPTP Bengkulu(2015/2016).
0,27 1,42 0,94 0,55
Na-dd Ca-dd Mg-dd ..........me/100 gr......... 0,050 1,27 1,83 0,11 3,73 1,59 0,15 0,49 3,32 0,13 4,96 2,28
21,44 11,61 10,14 10,48
0,81 1,01 0,34
2,8 2,82 2,45
15,17 16,81 16,32
-
-
KTK
Ketersediaan unsur hara Nitrogen pada penggunaan mulsa MPHP, jerami padi, dan tanpa mulsa menurun pada saat tanaman cabai berumur 65 HST tetapi prosentase unsur N pada lahan MPHP masih lebih tinggi dibandingkan mulsa jerami padi dan tanpa mulsa. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang sangat ekstrim selama proses budidaya tanaman cabai berlangsung. Pada bulan Agustus, September dan Oktober, hari hujan dan jumlah hujan sangat rendah sekali tetapi bulan Nopember dan Desember hari hujan dan jumlah hujan sangat tinggi (Tabel 2). Kondisi ini menyebabkan lahan yang menggunakan mulsa jerami dan tanpa mulsa kehilangan unsur hara N lebih tinggi dibandingkan lahan yang menggunakan MPHP. Menurut Fahrurrozi, dkk. (2009) bahwa penggunaan MPHP mampu mengurangi pencucian hara Nitrogen dan mencegah terjadinya infiltrasi air hujan berlebihan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan unsur hara Nitrogen dalam tanah dapat tercuci, begitu juga suhu yang tinggi dapat menyebabkan beberapa unsur hara seperti N menguap ke udara (Afandie dan Nasih, 2001). Unsur hara kalium dan fosfor digunakan tanaman untuk merangsang pembungaan dan pembentukan buah, sehinnga kebutuhan fosfor dan kalium akan meningkat pada saat tanaman mulai berbunga (Yuhendra, 2011 dalam Rosmanah, S., dkk. 2012). Menurut penelitian Suteja, M.(2008), unsur fosfor berperan dalam pembentukan bagian generatif tanaman . Pada tabel 1 terlihat pada saat tanaman cabai berbunga sampai dengan selesai berproduksi terjadi penurunan ketersediaan jumlah fosfor dan kalium dalam tanah.
74
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Banyaknya curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Bengkulu Utara. Rata – rata Bulan Curah Hujan Bulanan (mm) Juli 124 Agustus 200 September 53 2015 Oktober 97 November 535 Desember 622 Januari 456 2016 Pebruari 491 Sumber : Dinas Pertanian Kab. Bengkulu Utara Prop. Bengkulu (2015 dan 2016). Tahun
Hari Hujan (hari) 11 11 4 6 25 22 18 16
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai Pada faktor utama varietas,nilai F hitung variabel tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom lebih besar dari nilai F tabel pada taraf kepercayaan 99 pesen. Ini menunjukkan bahwa varietas berpengaruh sangat nyata terhadap variabel tinggi tanaman, lebar kanopi, tinggi dikotom. Tetapi faktor utama lainnya (mulsa) untuk variabel tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom lebih kecil dari F tabel pada taraf kepercayaan 95 persen. Ini menunjukkan bahwa penggunaan mulsa tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom (Tabel 3). Kombinasi antara empat varietas dan penggunaan mulsa MPHP, jerami padi dan tanpa mulsa tidak menunjukkan adanyaa interaksi antara keduanya (varietas dan mulsa) terhadap variabel tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom, terlihat dari F hitung ketiga variabel pertumbuhan tersebut lebih kecil dari F tabel. Tabel 3. Rangkuman Nilai F – hiung Variabel Yang Diamati. Variabel No
F hitung TT
LK
TD
JBP
BBP
HPP
SK 1 Kelompok 1,026 ns 2,21 ns 1,32 ns 4,18* 3,26 ns 3,37 ns 2 Kombinasi AB 3,618** 2,37* 4,95** 2,74* 2,24 ns 1,97 ns 3 Varietas (A) 10,889** 7,53** 15,76** 9,14** 11,71** 3,73* 4 Mulsa (B) 0,06 ns 1,16 ns 3,13 ns 3,18 ns 3,75* 4,26* 5 Interaksi 1,168 ns 1,77 ns 2,01 1,38 ns 3,86** 2,76* Sumber : Data Primer (2015 dan 2016) Keterangan : TT :Tinggi tanaman, LK : Lebar Kanopi, TD : Tinggi Dikotom, JBP Pertanaman, BBP : Bobot Buah Pertanaman, dan HPP : Hasil Panen Per Petak Tanaman ns = tidak berbeda nyata pada taraf 5 % * = berbeda nyata pada taraf 5 % ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
5%
1%
3,44 2,26 3,05 3,44 2,55
5,72 3,18 4,82 5,72 3,76
: Jumlah Buah
Hasil uji DMRT pada tabel 4, tanaman tertinggi adalah varietas Moncer F1 dan terendah varietas UNIB C1H3 , tetapi secara statistik tinggi tanaman varietas Moncer tidak berbeda nyata dengan varietas PM 999 F1 dan UNIB C3H7. Tinggi tanaman setiap varietas cabai dikendalikan oleh faktor genetik dan lingkungan (Agus Setiawan, dkk., 2012). Karakter tinggi tanaman memiliki arti penting dalam posisi buah terhadap permukaan tanah. Hasil Kajian Kirana dan Sofiari (2007) dalam Daryanto (2009) menyatakan karakter tinggi tanaman pada cabai berhubungan dengan ketahanan terhadap penyakit antraknosa. Buah dari tanaman yang lebh tinggi dan tidak menyentuh tanah dapat mengurangi percikan air dari tanah ke buah yang merupakan salah satu sumber infeksi cendawan. Varietas Moncer F1memiliki lebar kanopi terbesar dan terendah varietas UNIB C3H7, tetapi secara statistik lebar kanopi varieta moncer tidal berbeda nyata dengan varietas PM 999 F1 dan UNIB C1H3. Dikotom tertinggi terlihat pada varietas Moncer sedangkan dikotom terendah varietas UNIB C1H3, tetapi secara statistik tinggi dikotom varietas Moncer tidak berbeda nyata dengan varietas PM 99 dan UNIB C3H7. Menurut Burlis (2006), perbedaan yang nyata antar varietas baik tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom disebabkan oleh karakter antara varietas itu sendiri. Perkembangan tinggi tanaman masing – masing varietas yang diuji ternyata kurang optimal dibandingkan dengan tinggi masing – masing varietas berdasarkan deskripsi, artinya pertumbuhan tinggi tanaman tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh respon masing – masing varietas terhadap cekaman lingkungan
75
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
seperti fluktuasi curah hujan yang tinggi dan unsur hara yang tersedia bagi tanaman selama masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Lahan kering alamiah selama musim kemarau (Juli, Agustus,September s /d Oktober 2015) belum mengalami perbaikan yang sempurna walaupun telah diberi kapur dan pupuk kandang. Dari peubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman yaitu tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom , varietas Moncer F1 memiliki pertumbuhan tinggi tanaman , labar kanopi, dan tinggi dikotom yang lebih baik, diikuti PM 999 F1 dan UNIB C3H7. Tabel 4. Hasil Uji DMRT Rataan Tinggi Tanaman, Lebar Kanopi, Tinggi Dikotom, Jumlah Buah Pertanaman, Bobot Buah Pertanaman dan Hasil Panen Per Petak Tanaman. JBP BBP HPP HPH No Perlakuan TT (cm) LK (cm) TD (cm) (Buah) (Gram) (Kg) (Kg) 1 V4M1 75,87 a 87,47 a 33,80 a 119 a 495 a 22,86 a 6.858 2 V4M2 75,80 a 78,27 a 32,73 a 100 ab 415 b 18,59 a 5.577 3 V4M3 73,20 a 75,87 a 21,67 a 114 a 472 a 20,24 a 6.072 4 V1M2 72,67 a 72,87 a 18,33 a 122 a 387 c 16,24 b 4,872 5 V1M1 68,53 a 74,93 a 23,33 a 134 a 419 b 19,09 a 5.727 6 V3M1 67,00 a 68,53 b 18,13 a 70 c 499 a 22,40 a 6.720 7 V3M3 66,40 a 68,93 b 14,47 a 63 c 450 a 20,15 a 6.045 8 V1M3 64,33 a 72,40 ab 21,20 a 118 a 369 c 15,59 b 4.677 9 V2M3 63,67 a 75,47 a 8,73 b 89 bc 446 a 19,33 a 5,799 10 V3M2 62,00 ab 66,13 b 10,80 ab 59 c 422 ab 18,51 ab 5,553 11 V2M1 59,20 b 73,87 a 6,73 b 93 b 476 a 21,69 a 6.507 12 V2M2 57,67 b 64,80 b 6,47 b 80 c 406 bc 15,25 b 4.574 Sumber : Data Primer (2015 dan 2016) Keterangan :- TT: Tinggi tanaman, LK: Lebar Kanopi, TD: Tinggi Dikotom, JBP: Jumlah Buah Pertanaman, BBP: Bobot Buah Pertanaman, dan HPP: Hasil Panen Per Petak Tanaman, HPH: Hasil panen Per hektar - Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji DMRT 1 % - a (huruf kecil) artinya tanda (lambang) untuk uji taraf rendah - DMRT 0,01 % artinya beda nyata terkecil pada taraf 1 % (Hanafiah,K. 2001)
Komponen Produksi Nilai F hitung faktor utama (varietas) untuk variabel jumlah buah pertanaman, dan bobot buah pertanaman lebih besar dari nilai F tabel pada taraf kepercayaan 99 pesen serta F hitung hasil panen per petak lebih besar dari F tabel pada taraf kepercayaan 95 persen (Tabel 3). Ini menunjukkan bahwa varietas berpengaruh sangat nyata terhadap variabel jumlah buah pertanaman, dan bobot buah pertanaman serta berbeda nyata terhadap hasil panen per petak tanaman. Sedangkan faktor utama lainnya yaitu mulsa, F hitug untuk variabel jumlah buah pertanaman lebih kecil dari F tabel pada taraf kepercayaan 95 persen, tetapi lebih besar pada variabel bobot buah petanaman dan hasil panen per petak pada taraf kepercayaan 95 persen. Ini menunjukkan bahwa penggunaan mulsa tidak berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah buah pertanaman tetapi berpengaruh nyata terhadap bobot buah pertanaman dan hasil panen perpetak. Pada tabel 3 juga terlihat, F hitung interaksi antara Varietas dan penggunaan mulsa (MPHP, jerami dan tanpa mulsa) untuk variabel jumlah buah pertanaman lebih kecil dari F hitung tabel pada taraf kepercayaan 95 persen. F hitung interaksi variabel bobot buah pertanaman lebih besar dari F tabel pada taraf kepercayaan 99 persen dan F hitung interaksi variabel hasil panen per petak lebih besar dari pada F tabel pada taraf kepercayaan 95 pensen. Ini menunjukkan bahwa penggunaan empat varietas dan macam mulsa tidak berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah buah pertanaman tetapi berpengaruh sangat nyata terhadap variabel bobot buah pertanaman dan berpengaruh nyata terhadap variabel hasil panen per petak. Hasil uji DMRT pada tabel 4, Jumlah buah pertanaman terbanyak adalah varietas PM 999 F1 dan yang paling sedikit UNIB C3H7, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan varietas Moncer. Uji DMRT pada tabel 4, bobot buah pertanaman tertinggi adalah varietas C3H7 dan terendah varietas PM 999 F1, tetapi secara statistik bobot buah varietas UNIB C3H7 tidak berbeda nyata dengan varietas Moncer F1. Begitu juga uji DMRT hasil panen perpetak tertinggi adalah varietas Moncer F1 dan yang terendah PM F1 999, tetapi secara statistik hasil panen per petak varietas Moner tidak berbeda nyata dengan varietas C3H7 dan C1H3.
76
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Dari hasil uji DMRT pada tabel 4, interksi antara empat varietas dengan penggunaan mulsa MPHP lebih baik bila dibandingkan dengan mulsa jerami dan tanpa mulsa. Ini terlihat dari tingginya bobot buah pertanaman dan hasil panen perpetak. Jumlah buah pertanaman tidak berkorelasi positif dengan bobot buah dan hasil panen per petak. Ini disebabkan ukuran dan berat buah antar varietas yang tidak sama (tabel 4), sehingga varietas yang memiliki jumlah buah lebih banyak pertanaman (PM 999 F1) belum tentu memiliki bobot buah pertanaman dan hasil panen perpetak labih tinggi. Kombinasi perlakuan yang memiliki produktivitas tertinggi yaitu varietas Moncer F1 (6.858 kg), Unib C3H7 (6.720 kg), Unib C1H3 (6.507 kg), ketiga varietas tersebut menggunakan mulsa MPHP. Perbedaan komponen produksi antara varietas MP 999 F1, Unib C1H3, Unib C3H7, dan Moncer F1 dapat disebabkan oleh adanya pengaruh kondisi lingkungan seperti ketersediaan unsur hara, cekaman suhu yang tinggi diawal penanaman, curah hujan yang sangat tinggi di masa pertumbuhan, perkembangan dan produksi serta penggunaan mulsa yang berbeda-beda. Menurut Susilawati, dkk,. (2012) bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman cabai sangat dipengaruhi oleh faktor iklim seperti curah hujan. Selain itu varietas yang cocok untuk ditanam pada kondisi lingkungan tertentu menyebabkan tanaman tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Varietas cabai yang memilki keunggulan tertentu di suatu daerah belum tentu cocok untuk ditanam di daerah lain yang memiliki kondisi lingkunganberbeda (Setiawan, A.B., 2012). Salah satu penyakit cabai yang diamati yaitu keriting kuning menunjukkan bahwa jumlah tanaman terserang per petak berbeda, kombinasi perlakuan empat varietas dengan mulsa MPHP mendapat serangan penyakit keriting kuning lebih rendah (6 % – 10,6 %) dibandingkan kombinasi varietas dengan mulsa jerami (11,4 % - 34,6 %) dan tanpa mulsa (11,9 % - 20 %). Penggunaan mulsa MPHP dapat memantulkan cahaya dan panas sinar matahari sehingga mengurangi serangan hama aphis, thrips, dan tungau yang merupakan vektor bagi virus yang menyerang tanaman cabai (Diana, D.R., 2008). Kombinasi Varietas dan Mulsa Varietas memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena untuk mencapai produktivitas tinggi sangat ditentukan oleh potensi daya hasil dari varietas unggul yang ditanam. Menurut Adisarwanto (2005), langkah awal terpenting mencapai produktivitas maksimal dalam bertanam suatu komoditi yaitu memilih varieta yang akan ditanam, Pemilihan varietas sebaiknya mempertimbangkan umur panen, produksi dan tingkat adaptasi terhadap lingkungan tumbuh yang tinggi agar tidak mengalami hambatan dalam pertumbuhannnya. Dari penanmpilan agronomis pertumbuhan tanaman dan produksi diatas maka varietas Moncer secara umum memiliki penampilan agronomis yang lebih baik secara signifikan. Varietas moncer memiliki tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom lebih baik dibanding varietas PM 999, Unib C1H3, dan Unib C3H7. Dari penampilan produksi walaupun buah cabai PM 999 memiliki jumlah lebih banyak dan berukuran lebih kecil, tetapi hasil panen per petak lebih rendah dari varietas moncer dan varietas moncerpun dikategorikan buah cabai berukuran kecil karena memiliki harga yang sama dengan varietas PM F1 999. Berdasarkan penjelasan diatas, maka varietas moncer lebih direkomendasikan untuk dikembangkan dan mulsa MPHP yang digunakan pada budidaya cabai diluar musim tanam. KESIMPULAN 1. Varietas moncer F1 direkomendasikan untuk dikembangkan di lahan kering pada musim tanam di luar musim, karena secara signifikan memiliki penampilan agronomis yang lebih baik dibandingkan dengan varietas PM 999 F1, Unib C1H3, dan Unib C3H7 2. Pada fase fegetatif (pertumbuhan) tidak ada interaksi antara varietas dengan penggunaan mulsa MPHP, jerami padi dan tanpa mulsa tetapi terjadi interaksi pada fase generatif antara vaerietas moncer F1, PM 999 F1, Unib C1H3, dan Unib C3H7 dengan mulsa MPHP, jerami padi, dan tanpa mulsa. Kombinasi perlakuan varietas moncer F1, PM 999 F1, Unib C1H3, dan Unib C3H7 dengan mulsa MPHP lebih baik bila dibandingkan dengan penggunaan mulsa jerami dan tanpa menggunakan mulsa. 3. Kombinasi pemilihan varietas moncer F1 dan penggunaan mulsa MPHP direkombinasikan untuk dikembangkan di lahan marginal pada musim tanam diluar musim karena memiliki produktivitas tertinggi 6.858 kg per hektar.
77
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
UCAPAN TERIMA KASIH 1. Bapak Kepala Balai Pengkajian dan Penerapan Teknis Produksi (BP2TP) Desa, PDT, dan Transmigrasi Bengkulu yang telah membantu terlaksananya penelitian ini dengan baik. 2. Ibu Dr. Ir. Dwi Ganefianti, M.Si. selaku Narasumber dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan hasil penelitian ini. 3. Para Litkayasa BP2TP dan Seluruh Pihak yang ikut membantu terlaksanaya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. 2005. Budidaya kedelai dengan pemupukan yang efektif dan pengoptimalan peran bintil akar. Penebar Swadaya. Jakarta Apandie R. dan Nasih W.Y., 2002. Ilmu kesuburan tanah. Penerbit Kanisius, Jogjakarta. ISBN : 97921-0468-2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.2016. Hasil analisistanah komposit. Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianKementerian Pertanian Daryanto, A. 2009. Studi heterosis dan daya gabung karakter agronomi cabai (Capsicum annuum L.) pada hasil persilangan half diallel. Institut Pertanian Bogor. Diana, D.R. 2008. Kajian pemakaian mulsa dan konsentrasi benzyl amino purine (BAP) terhadap hasil dan kualitas cabai besar. Pasca Sarjana Agronomi UniversitasSebelas Maret Surakarta. Hal. 32. Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan Propinsi Bengkulu. 2016. Perkembangan harga bahan pangan pokok propinsi Bengkulu. Dinas Pertanian Kabupaten Bengkulu Utara. 2016. Rekapitulasi curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Bengkulu Utara bulan Januari 2015 sampai dengan bulan Pebruari 2016. Bengkulu. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016. Produksi cabai besar menurut propinsi tahun 2011 – 2015. Kementerian Pertanian. Fahrurrozi, Idarman T., Bandi H. 2009. Evaluasi berbagai dosis nitrogen untuk teknik produksi tanaman cabai yang menggunakan mulsa. Jurnal Bionatura, Vol. 11, No. 2. Hal. 147 – 154. Hanafiah K. 2001. Rancangan percobaan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Piay,S.S., Ariarti, T., Yuni E., F. Rudi P.H. 2010. Budidaya dan pascapanen cabai merah (Capsicum annumL.). Balai Pengkajian teknologi Pertanian, Jawa Tengah.Badan Penelitian dan Pengembangan. Kementerian Pertanian. ISBN : 978-979-9007-54-4. 60 Hal. Prasetya, M.E. 2014. Pengaruh pupuk NPK mutiara dan pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah keriting varietas arimbi (Capsicum annum L.). Jurnal Agrifor Vol. XIII No. 2 ISSN 1412-6885. Hal. 191 – 198. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Buletin Konsumsi pangan, Volume 4 No.3. Kementerian Pertanian. Rosmanah, S., Wahyu W., dan Irma C.S. 2012. Status hara tanah sawah di Kabupaten Kepahiang berdasarkan hasil uji perangkat uji tanah sawah (PUTS). Dalam Prosiding Seminar Naisonal yang diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 2012 di Bengkulu. Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian di Propinsi Bengkulu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. ISBN : 978-602-9064-06-3. Hal. 63 – 70. Setiawan, A.B.,Setyastuti Purwanti, dan Toekidjo. 2012. Pertumbuhan dan hasil benih lima varietas cabai merah (Capsicum annuum L.) di dataran menengah. Tesis. Fakultas pertanian Universitas Gajah mada. Jogjakarta. Susilawati, R.A. Suwignyo,Munandar,dan M. Hasmeda. 2012. Karakter agronomi dan toleransi varietas cabai merah akibat genangan pada fase generatif. Jurnal Lahan Suboptimal. ISSN : 2252 – 6188. Vol. 1 No. 1 Hal. 22 – 30. Suteja, M. 2008. Pupuk dan cara pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta
78
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
TINGKAT KETIDAKMIRIPAN GENOTIPE-GENOTIPE JAGUNG (Zea mays L.) GENERASI S1 DAN S2 UNTUK PEMBENTUKAN TETUA DISSIMILARITIES MAIZE ((ZEA MAYS L.) GENOTYPES OF S1 AND S2 GENERATION FOR PARENTAL Umi Salamah1, Willy Bayuardi Suwarno2, Hajrial Aswidinnoor2 1
Program Studi Agoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Ratu Samban Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jl. Jendral Sudirman, No.58, Arga Makmur, Bengkulu Utara, Bengkulu, Telp (0737)-522613 e-mail :
[email protected] 2
ABSTRAK Dalam program pemuliaan besarnya keragaman genetik antar populasi calon tetua perlu diperhatikan. Pengembangan varietas jagung unggul baru dilakukan untuk pemilihan tetua dengan melihat ketidakmiripan antar genotipe. Tujuan penelitian ini adalahmenduga tingkat ketidakmiripan genetik antar genotipe uji dengan galur-galur murni yang dievaluasi. Penelitian dilaksanakan selama dua musim, masing-masing untuk generasi S1 dan S2. Percobaan musim ke-1 dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2014, sedangkan percobaan musim ke-2 dilakukan pada bulan Januari sampai Mei 2015. Penelitian ditiap musim dilaksanakan di dua lokasi yaitu Kebun Percobaan IPB Leuwikopo dan Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Dramaga, Bogor. Percobaan ditiap musim-lokasi menggunakan rancangan augmented kelompok lengkap teracak dengan menggunakan 72 genotipe uji, 3 galur murni, dan 5 varietas hibrida F1 sebagai pembanding. Analisis yang digunakan adalah analisis gerombol metode average linkage.Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketidakmiripan genetik antar ketiga galur murni (Mr4, Mr14, dan Nei9008) relatif besar berdasarkan karakter-karakter kuantitatif yang diamati. Beberapa genotipe uji mengelompok pada masing-masing galur murni yang berbeda (Mr4, Mr14 dan Nei9008). Kelompok genotipe yang terbentuk berpotensi untuk dijadikan grup heterotik untuk penelitian lebih lanjut. Kata Kunci: Analisis gerombol, galur murni, genotiope uji ABSTRACT In breeding program that genetic variability inter-population for the parent is important. The development of new maize varieties used for selection of parental with identified dissimilarities among the test genotypes.The objectives of this study were to estimate dissimilarities among the test genotypes and the inbred lines evaluated. The S1 trial was conducted from June to September 2014, and followed by the S2 trial from January to May 2015. Each trial was performed in two locations, namely Cikabayan and Leuwikopo experimental stations of IPB, Dramaga, Bogor. Each trial was arranged in an augmented randomized complete block design with three blocks, consisting of 72 test genotypes, 3 inbred lines, and 5 commercial hybrid varieties as checks. Cluster analyze was used with average linkage method. The results showed thatgenetic dissimilarities were relatively large among the three inbred lines (Mr4, Mr14 and Nei9008) based on the quantitative traits observed. Keywords: Cluster analyze, inbreed line, genotypetest
79
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman yang paling penting di dunia. Jagung memiliki posisi unggul karena pemanfaatannya yang sangat luas dalam berbagai bidang, seperti pangan, pakan ternak, bahan bakar, dan industri (Troyer dan Wellin 2009). Peningkatan produksi jagung menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan potensi untuk memenuhi kebutuhan pangan di masa depan memerlukan kompetisi yang kuat, namun kebutuhan sumber daya yang ada masih terbatas (Meng et al. 2013). Dalam pemenuhan kebutuhan jagung program pemuliaan memiliki metode perbaikan genetik tanaman meliputi pemilihan tetua, hibridisasi, seleksi, evaluasi, dan pengujian daya adaptasi. Genotipe yang diperoleh dari berbagai sumber untuk menghasilkan varietas yang baik perlu diseleksi pada beberapa lingkungan. Variabilitas genetik yang luas merupakan modal dasar dalam program pemuliaan tanaman (Babic et al. 2011). Dalam pemilihan tetua hal yang perlu dilakukan adalah tahapan pembentukan galur murni. Dalam pembentukan hibrida jagung, untuk membentuk galur murni dilakukan melalui tahapan penyerbukan sendiri (selfing). Evaluasi persilangan antar galur murni merupakan tahapan penting dalam pengembangan varietas hibrida jagung (Yustiana et al. 2013). Penampilan hibrida tergantung pada latar belakang genetik galur murni (Suwarno 2014). Pentingnya mengetahui latar belakang sifat unggul suatu tanaman agar dapat mempelajari jenis aksi gen dan transfer sifat. Hal ini akan lebih mudah untuk mempelajari cara kerja gen dan pola pewarisan sifat (Ali et al. 2014). Informasiinformasi populasi yang potensial diperlukan untuk merakit jagung hibrida yang unggul. Populasi yang unggul dibangun dari sumber plasma nutfah yang memiliki keragaman genetik. Dalam pemilihan tetua baru perlu adanya jarak genetik antar tetua guna memberikan peluang dalam menghasilkan kultivar baru dengan variabilitas genetik luas (Tenda et al. 2009). Jarak genetik dapat dijadikan sebagai ukuran kualitas jagung protein (QPM) galur inbrida dan korelasi jarak genetik dengan heterosis akan membantu untuk merancang strategi pemuliaan dan memprediksi penampilan hibrida Wegary et al. (2012). Genotipe-genotipe dengan jarak genetik yang berbeda dapat dijadikan prediksi dalam pemilihan tetua. Salah satu analisis yang digunakan untuk melihat jarak genetik antar genotipe yang berbeda adalah analisis gerombol (cluster). Analisis gerombol dapat melihat adanya persamaan maupun perbedaan dari keseluruhan data yang diteliti. Analisis gerombol merupakan analisis multivariat yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek dari data yang diteliti berdasarkan kesamaan karakteristik yang dimilikinya. Tujuan penelitian ini adalahmenduga tingkat ketidakmiripan genetik antar genotipe uji dengan galur-galur murni yang dievaluasi. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kebun Leuwikopo Percobaan Institut Pertanian Bogor dengan ketinggian 250 m dpl dan Kebun Percobaan Cikabayan Bawah Percobaan Institut Pertanian Bogor dengan ketinggian 180 m dpl Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan selama dua musim masing-masing untuk percobaan generasi S1 dan S2. Percobaan musim ke-1 dilakukan pada bulan Juni sampai September 2014, sedangkan percobaan musim ke-2 dilakukan pada bulan Januari sampai Mei 2015. Alat dan Bahan Materi genetik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 72 galur S1 berasal dari hibrida silang ganda untuk musim ke-1 dan 72 galur S2 hasil selfing S1 untuk musim ke-2. Setiap percobaan menggunakan 3 galur murni koleksi Balitsereal (Mr4, Mr14 dan Nei9008) dan 5 varietas hibrida F1 sebagai pembanding (NK33, NK6326, Pertiwi3, P21, dan P27). Percobaan ditiap lokasi-musim disusun berdasarkan rancangan augmented kelompok lengkap teracak dengan 75 genotipe uji tidak diulang dan lima varietas pembanding (check) diulang tiga kali. Areal percobaan dibuat dalam tiga blok, pada masing-masing blok terdapat 30 plot percobaan. Genotipe uji ditempatkan secara acak pada seluruh blok dan kelima genotipe pembanding ditempatkan pada masing-masing blok. Prosedur Percobaan Persiapan tanam dilakukan dengan mengolah tanah menggunakan mesin bantu traktor. Luas lahan yang digunakan adalah 500 m2. Jarak tanam yang digunakan adalah 70 cm antar baris tanaman dan 20 cm antar tanaman dalam baris. Setiap baris tanaman diberikan label percobaan sesuai dengan
80
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
genotipe yang digunakan. Penanaman dilakukan dengan terlebih dahulu melubangi sedalam 3 cm menggunakan tugal. Jumlah benih yang ditanam sebanyak 2 benih per lubang tanam. Pupuk dasar yang digunakan adalah Urea dan NPK Phonska. Pemupukan dilakukan dua kali selama percobaan. Pemberian pupuk dilakukan seminggu setelah tanam dengan Urea dosis 100 kg ha-1 dan NPK Phonska dosis 200 kg ha-1. Pemupukan kedua dilakukan pada tanaman yang telah berumur 4 minggu dengan Urea dosis 200 kg ha-1 dan NPK Phonska dosis 100 kg ha-1. Pemberian pupuk dilakukan dalam larikan yang berjarak 7–8 cm dari lajur lubang tanam dengan kedalaman 8–10 cm. Penjarangan dilakukan dengan membuat satu tanaman tiap lubang tanam. Penjarangan dilakukan setelah berumur 2 minggu setelah tanam. Pembubunan dilakukan dua minggu setelah penanaman. Pembubunan dilakukan dengan menggunakan cangkul. Hal ini dilakukan untuk memperkokoh tanaman selama tumbuh dan berkembang. Gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman disiangi secara manual menggunakan alat pemotong rumput.Pengendalian hama penyakit dilakukan dengan menggunakan pestisida berbahan aktif karbofuran 17 kg ha-1. Penyakit yang menyerang tanaman jagung adalah bulai (Peronosclerospora maydis dan P. turcicum). Tanaman yang telah di serang penyakit bulai dilakukan dengan mencabut dan dijauhkan dari lahan percobaan. Hal ini dilakukan agar tidak menyerang tanaman yang lainnya. Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 110 hari. Tanaman yang sudah memasuki masa panen memiliki ciri-ciri yaitu warna kelobot telah mongering, biji mengkilap, dan terlihat ada lapisan hitam (black layer) pada pangkal yang menempel pada tongkol di biji serta tingkat kehijauan tanaman menurun. Peubah pengamatan sebagian besar diamati pada 10 tanaman contoh yang diambil secara acak di setiap satuan percobaan (plot). Peubah pengamatan yang akan diamati berdasarkan Descriptors for Maize (CIMMYT 1991)adalah sebagai berikut : 1. Tinggi tanaman (cm). Pengamatan dilakukan setelah stadia pembungaan pada bunga jantan dan betina menggunakan meteran, diukur dari permukaan tanah sampai dasar bunga jantan (tassel). 2. Tinggi letak tongkol. Diukur bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah hingga pangkal tongkol utama (tongkol yang paling atas). 3. Jumlah daun. Pengamatan dilakukan setelah fase pembungaan. 4. Jumlah daun di atas daun tongkol (termasuk teratas). Daun tongkol adalah daun yang berada tepat di bawah tongkol, seringkali agak menutupi tongkol. Pengamatan dilakukan setelah tahap susu (milky stage). 5. Panjang daun (cm). Diukur dari ligule (lidah daun) ke ujung daun. Dipilih dari daun yang berada tepat di bawah tongkol teratas. Pengamatan dilakukan setelah fase pembungaan. 6. Umur berbunga jantan (days to tasseling) (hst). Pengamatan dilakukan pada fase pembungaan saat anthesis (munculnya kotak sari) dengan persentase 50% tanaman dalam setiap baris. 7. Umur berbunga betina (days to silking) (hst). Pengamatan dilakukan pada fase pembungaan saat keluar rambut dengan persentase 50% tanaman dalam setiap baris. 8. Panjang tassel (cm). Pengamatan dilakuakan setelah tahap susu (milky stage) setelah tongkol keluar rambut. 9. Jarak cabang tassel (cm). Jarak antara cabang primer pertama dan terakhir. Pengamatan dilakuakan setelah tahap susu. 10. Jumlah cabang utama tassel. Pengamatan dilakuakan setelah tahap susu (milky stage). 11. Persentase tidak rebah akar (%). Jumlah tanaman tidak rebah akar dibagi jumlah tanaman seluruhnya di dalam plot. Diamati dua minggu sebelum panen (sekitar umur 96 hst). 12. Persentase tidak rebah batang (%). Jumlah tanaman tidak rebah batang dibagi jumlah tanaman seluruhnya di dalam plot. Diamati dua minggu sebelum panen. 13. Diameter tongkol (cm). Pengamatan dilakukan setelah panen dengan menggunakan jangka sorong diukur tepat di tengah-tengah tongkol. 14. Panjang tongkol (cm). Pengamatan dilakukan setelah panen menggunakan penggaris diukur dari pangkal tongkol hingga ke ujung tongkol. 15. Jumlah baris biji dalam tongkol. Pengamatan diukur dengan menghitung baris biji dalam setiap tongkol. 16. Jumlah biji dalam baris. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah biji dalam satu baris per tongkol. 17. Panjang biji (mm). Rata-rata dari 10 biji yang diambil berturut-turut dari satu baris di tengah tongkol, diukur menggunakan jangka sorong. 18. Lebar biji (mm). Diukur pada 10 biji seperti pada panjang biji. 19. Tebal biji (mm). Diukur pada 10 biji seperti pada panjang biji.
81
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
20. Bobot tongkol per tanaman (g). Pengamatan dengan menimbang tongkol utama (tongkol paling besar) yang sudah dibuka klobotnya tetapi belum dipipil. 21. Bobot biji per tongkol (g). Pengamatan dengan menimbang biji dari tongkol yang telah dipipil. 22. Bobot 100 biji (g). Pengamatan dilakukan dengan menimbang bobot 100 biji. 23. Rendemen biji (%). Pengamatan dilakukan dengan mengukur persentase bobot biji per tongkol terhadap bobot tongkol. 24. Kadar air biji panen (%). Biji hasil pipilan dicampur kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan digital seed moisture tester. 25. Produksi (ton ha-1). Dihitung menggunakan rumus berikut: Hasil (ton ha-1) =
100−KA 100−15
x B x JT x 0.7
Keterangan : KA = Kadar air biji kering JT = Jumlah tanaman per ha (71 000 tanaman) B = Bobot biji per tongkol (asumsinya, satu tanaman memiliki satu tongkol produktif) Analisis data Pengelompokan genotipe dilakukan dengan menggunakan analisis gerombol. Analisis gerombol dilakukan untuk mengetahui koefisien ketidakmiripan genetik antar genotipe menggunakan metode Gower. Data yang digunakan dalam pengelompokan adalah data kuantitatif. Perhitungan jarak gerombol dilakukan dengan menggunakan metode average linkage menggunakan software R 3.1.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketidakmiripan kelompok genotipe-genotipe jagung generasi S1 Dari hasil analisis gerombol pada metode Gower menunjukkan bahwa genotipe-genotipe generasi S1 secara keseluruhan terpisah menjadi dua bagianyaitu mengelompok dan terpisah sendiri dengan koefisien ketidakmiripan sekitar 0.28. Hal ini didukung oleh penelitian Efendi et al. (2015) menyatakan bahwa terdapat pengelompokkan dengan menggunakan dendogram menjadi enam kelompok genotipe tanaman jagung yang terdiri dari grup A hingga grup F. Menurut Warburton et al. (2005) galur tidak terklaster berdasarkan fenotipe, adaptasi lingkungan, tipe atau warna biji, umur panen, atau respon heterotik, tapi galur yang berkerabat secara pedigree biasanya berada pada klaster yang sama. Genotipe yang terpisah sendiri adalah PERTIWI3xNK33-84A. Genotipe-genotipe yang mengelompok akan dilihat kedekatannya dengan ketiga galur murni (Mr4, Mr14, dan Nei9008). Genotipe Mr4 dan Mr14 memiliki jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan dengan Nei9008. Ketidakmiripan Mr4 dan Mr14 adalah sebesar ±0.16 sedangkan ketidakmiripan dengan Nei9008 adalah sebesar ±0.18. Genotipe pembanding yang cukup dekat dengan Mr4 adalah NK6323. Terdapat beberapa genotipe yang memiliki kemiripan terhadap Mr4diantaranya adalah P27xNK3379A, NK6326xPERTIWI3-76B, PERTIWI3xNK6326-48B, PERTIWI3xP31-41A, NK6326xP27-28B, P31xNK6326-26A, dan NK33xNK33-12A). Genotipe pembanding yang cukup dekat dengan Mr4 adalah P27. Beberapa contoh genotipe yang memiliki kemiripan terhadap Mr14 adalah genotipe NK6326xP31-112A, P31xNK33-108A, PERTIWI3xP27-90A, NK6326xPERTIWI3-76A, NK33xPERTIWI3-68A, P27xNK6326-67A, PERTIWI3xP27-58B, NK6326xP27-53B, P31xPERTIWI3-52A, NK6326xPERTIWI3-49B, P31xNK33-44A, NK6326xP31-43D, NK6326xP3143B, P27xP31-40A, P27xP31-40B, P27xNK6326-39A, P27xP27-37A, P27xPERTIWI3-35C, P27xPERTIWI3-35B, NK6326xP27-28A, NK6326xP31-24A, dan PERTIWI3xP31-13B. Hibrida sebagai genotipe pembanding yang memiliki kedekatan terhadap Nei9008 adalah PERTIWI3 dan untuk genotipe uji yang dekat dengan Nei9008 diantaranya genotipe P31xNK6326-93B, P27xP3177A, PERTIWI3xNK6326-66B, NK33xP31-55A, PERTIWI3xNK6326-48A, NK6326xNK33-38A, NK33xPERTIWI3-36A, P31xNK6326-26B, dan P27xNK632623-A (Gambar 1). Secara teoritis, heterosis akan meningkat bila jarak genetik dari kedua tetua lebih jauh. Hasil penelitian lain pada komoditas padi menunjukkan bahwa tetua hibrida yang memiliki jarak genetik terjauh adalah tetua Hipa 6 yaitu 0.44 tetapi potensi danrata-rata hasil Hipa 6 tidak lebih tinggi dari Hipa 8 yangmemiliki jarak genetik terdekat antartetuapembentuknya yaitu 0.12 (Mulsanti et al. 2013)
82
Genotipe
Agglomerative Coefficient = 0.61
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gambar 1Dendogram genotipe jagung generasi S1 Ketidakmiripan kelompok genotipe-genotipe jagung generasi S2 Gambar 2 menunujukkan bahwa genotipe-genotipe generasi S2 secara keseluruhan terbagi menjadi dua bagianyaitu mengelompok dan terpisah sendiri dengan koefisien ketidakmiripan sekitar 0.34. Hal ini didukung pada penelitian Randall et al.(2016) menunjukkan koefisien ketidakmiripan yang terbentuk di antara 23 genotip jawawut yang diamati karakter agromorfologinya yaitu berkisar antara 0,24 2,34, dan membagi dua klaster utama, yaitu klaster A dan B. Genotipe yang terpisah sendiri adalahPERTIWI3xNK6326-10B-59. Genotipe-genotipe yang mengelompok akan dilihat kedekatannya dengan ketiga galur murni yaitu Mr4, Mr14, dan Nei9008. Seperti halnya generasi S 1, genotipe Mr4 dan Mr14 memiliki jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan dengan Nei9008. Ketidakmiripan Mr4 dan Mr14 adalah sebesar ±0.16 sedangkan ketidakmiripan dengan Nei9008 adalah sebesar ±0.18. Terdapat beberapa genotipe generasi S2 yang memiliki kedekatan terhadap Mr4 diantaranya yaitu genotipe NK6326xP31-43D-70, P31xPERTIWI3-19A-64, P27xP31-40A-54, NK6326xPERTIWI3-76B-49, PERTIWI3xNK6326-10B-42, P27xPERTIWI3-35A-40, PERTIWI3xNK6326-48A-39, P27xP31-4B-38, NK6326xP31-112A-34, NK6326xP27-28A-23, P27xP31-40A-22, NK6326xP31-43D-18, PERTIWI3xP31-13A-13, dan P31xPERTIWI3-19A-11. Terdapat beberapa genotipe pembanding yang memiliki kedekatan dengan Nei9008, yaitu P31, P27, dan PERTIWI3. Genotipe uji yang memiliki kedekatan dengan Nei9008 diantaranya adalah
83
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
P31xNK6326-26C-68, P27xP31-40B-57, NK6326xNK33-39A-56, PERTIWI3xP31-41A-52, P31xNK6326-93A-48, P31xPERTIWI3-104A-46, P31xNK33-44A-35, PERTIWI3xNK33-56A-30, P27xNK6326-23A-24, P27xNK6326-39A-19, P31xNK6326-93A-15, PERTIWI3xNK33-56A-5, PERTIWI3xP27-58B-4, P31xNK6326-93B-3, P31xNK33-108A-2, dan P31xNK6326-93B-1. Genotipe uji yang memiliki kedekatan terhadap Mr14 adalah NK6326. Genotipe uji yang memiliki kedekatan terhadap Nei9008 diantaranya adalah genotipe P31xNK6326-93B-63, NK6326xP31-71A51, PERTIWI3xNK6326-10C-50, P31xNK33-44A-47, P31xNK6326-93B-43, PERTIWI3xNK3384A-33, P27xPERTIWI3-35A-27, NK6326xP31-112A-12, dan NK6326xP31-24A-10. Menurut Pabendon et al. (2006) menyatakan posisi dari galur murni di dalam kelompokjuga kelihatan menyebar. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kekerabatan di antara galur murni tidak terlalutinggi. Kedudukan hibrida sebagai pembanding dengan genotipe uji yang berasal dari hibrida tersebut memiliki hubungan yang dekat. Ketidakmiripan genetik antar galur murni pada generasi S1 dan generasi S2 menunjukkan nilai yang sama. Hal ini dapat dilihat dari koefisien ketidakmiripan antara Mr4 dan Mr14 sebesar 0.16 dan ketidakmripan keduanya dengan Nei9008 sebesar 0.18. Kelompok genotipe yang terbentuk berpotensi untuk dijadikan grup heterotik, namun memerlukan penelitian lebih lanjut. Menurut Efendi et al. (2015) kesamaan genetikmenunjukkan hubungan kedekatan antaragenotipe. Semakin tinggi kesamaan koefesien genetik semakin besar kesempatanhubungan antara genotipe. Sebaliknya, kecilnya koefisien kemiripan genetik, sehinggakecil kemungkinan hubungan antaragenotipe. Kelompok heterotik grup akan menentukan pengaruh terhadap daya gabung umum dan daya gabung khusus (Fan et al. 2016).
84
Agglomerative Coefficient = 0.64 Genotipe
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gambar 2 Dendogram genotipe jagung generasi S KESIMPULAN Ketidakmiripan genetik antar ketiga galur murni (Mr4, Mr14, dan Nei9008) relatif besar berdasarkan karakter-karakter kuantitatif yang diamati. Kelompok genotipe yang terbentuk berpotensi untuk dijadikan grup heterotik, namun memerlukan penelitian lebih lanjut.
85
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Ali, Q., M, Ahsan., Khan, N.H., Waseem, M., Ali, F. 2014. An overview of Zea mays for the improvement of yield and quality traits through conventional breeding, Nature Science 12(8): 71–84. Babic, M., Violeta, A., Snežana, M.D., Kosana, K. 2011. The conventional and Contemporary technologies in maize (Zea mays. L) breeding at maize Research Institut Zemun Polje, Maydica 49–57. [CYMMIT] International Maize and Wheat Improvement Center. 1991. Discriptors forMaize. Rome (IT). International Board for Plant Genetic Resources. Efendi, R., Sunarti, S., Musa, Y., Farid, M., Rahim, M.D., Azrai, M. 2015. Selection of homozygosity and genetic diversity of maize inbred using Simple Sequence Repeats (SSRs) marker, International Journal of Current Research in Biosciences and Plant Biology 2(3): 19–28. Fan, X.M., Yin, X.F., Bi, Y.D.,Liu, Y.B.,Chen, L., Kang, H.M. 2016. Combining ability estimation for grain yield of maize exotic germplasm using testers from three heterotic groups, Crop Science 5: 2527–2535. Meng, Q., Hou, P., Wu, L., Chen, X., Cui, Z., Zhang, F. 2013. Understanding production potentials and yield gaps in intensive maize production in China, Field Crops Res 143: 91–97. Mulsanti, I.W., Surahman, M., Wahyuni, S., Utami, D.W. 2013. Identifikasi galur tetua padi hibrida dengan marka SSR Spesifik dan pemanfaatannya dalam uji kemurnian. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(1): 1–8. Pabendon, Dahlan, M., Sutrisno, M.L., George, C. 2006. Karakterisasi kemiripan genetik koleksi inbrida jagung berdasarkan marka mikrosatelit. Jurnal Agro Biogen 2(2): 45–51. Randall, A., Yuwariah, Y., Nuraini, A., Nurmala, T., Irwan, A.W., Qosim, W.A. 2016. Karakterisasi dan kekerabatan 23 genotip jawawut (Setaria italic L. Beauv) yang ditanam tumpangsari dengan ubi jalar berdasarkankarakter agromorfologi. Pangan 25(1): 21–32. Suwarno, W.B. 2014. The usefulness of molecular markers approach for developing heterotic groups in maize, Journal Tropical Crop Science 1(2): 4–10. Tenda, E., Tulalo, M., Miftahorrachman. 2009. Hubungan kekerabatan genetik antar sembilan aksesi kelapa asal Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Littri. 15(3): 139–144. Troyer, Af., Wellin, E.J. 2009. Heterosis decreasing in hybrids: yield test inbreds, Crop Science 49: 1969–1976. Yustiana., Syukur. M., Sutjahjo. S.H. 2013. Analisis daya gabung galur-galur jagung tropis di dua lokasi. Jurnal Agronomi Indonesia 41(2): 105–111. Warburton, M.L., Ribaut, J.M., Franco, J., Crossa, J., Dubreuil, P., Betran, F.J. 2005. Genetic characterizationof 218 elite CIMMYT maize inbred lines using RFLPmarkers, Euphytica 142: 97–106. Wegary, D., Vivek, B., Labuschagne, M. 2012. Association of parental genetic distance with heterosis and specific combining ability in quality protein maize, Euphytica 191: 205–216.
86
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
EFIKASI PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU (Fusarium oxysporum) DENGAN AGENS ANTAGONIS UNTUK PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI CAISIN (Brassica campestris)
THE EFFICACY OF AGENTS ANTAGONISTS IN CONTROLLING WILT DISEASE (Fusariuim oxysporum) TO IMPROVE CAISIN (Brassica campestris) GROWTH AND PRODUCTION Sri Swastikadan Rachmiwati Yusuf Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau Jl. KH Nasution 341 Marpoyan KM 10 Telp (0761)-xxxxxx e-mail :
[email protected] ABSTRAK Penelitian “Efikasi Pengendalian Penyakit Layu Dengan Agens Antagonis Untuk Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Caisin” telah dilaksanakan di kebun percobaan dan dilaboratorium Hama Penyakit Tanaman UPT-Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura, Provinsi Riau. Penelitian berlangsung dari Bulan Maret sampai Juni 2013.Penelitian ini bertujuan untuk menguji agens antagonis Gliocladium virens dan Pseudomonas fluorescens serta kombinasinya dalam menekan jamur patogen penyebab penyakit layu Fusarium oxysporum serta efikasinya terhadap pertumbuhan dan produksi pada tanaman caisin. Parameter yang diamati adalah Persentase Tanaman Tumbuh Sehat, Tinggi Tanaman dan Berat Produksi Panen Segar. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu: A. Aplikasi Gliocladium virens GR01., B. Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01., C. Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01., D. Kontrol. Dari hasil penelitian diketahui bahwa aplikasi kombinasi agens antagonis Gliocladium virens GR01 dan Pseudomonas fluorescens PR01 memberikan pengaruh nyata pada semua parameter pengamatan jika dibandingkan dengan aplikasi tunggal agens antagonis. Agens hayati antagonis Gliocladium virens GR01 dan Pseudomonas fluorescens PR01 dapat dikombinasikan untuk pengendalian patogen penyebab penyakit layu Fusarium oxysporum, sehingga dapat menekan persentase tanaman terserang sebesar 12,09 % dan meningkatkan persentase produksi tanaman caisin sebesar 30,61 %. Kata Kunci : Agens antagonis, layu fusarium, caisim
ABSTRACT A Research was carried out in an experiment station and laboratory of Disease Plant Protection UnitFood Crops and Horticulture, Riau Province. The study lasted from March to June 2013. This study aimed to test the agent antagonist Gliocladium virens and Pseudomonas fluorescens and their combinations in suppressing fungal wilt disease-causing by pathogens Fusarium oxysporum and the efficacy on caisin growth and production. Parameters measured were percentage Plants Grow Healthy, High Production Plant and Harvest Fresh Weight. Parameters measured were percentage Plants Grow Healthy, High Production Plant and Harvest Fresh Weight. The design used was completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 4 replications, namely: A. Application Gliocladium virens GR01, B. Application of Pseudomonas fluorescens PR01, C. Applications G. virens GR01 + P. fluorescens PR01, D. Control. The results revealed that the application of a combination of agents antagonist Gliocladium virens and Pseudomonas fluorescens GR01 PR01 significant effect on all parameters when compared with the observation of a single application antagonist agents. Biological agent antagonist Gliocladium virens and Pseudomonas fluorescens PR01 GR01 can be combined to control disease-causing pathogen Fusarium oxysporum, so it can reduce the percentage of plants attacked by 12.09% and increase crop production caisin percentage of 30.61%. Keyword :Antagonistic agent,fusarium wilt, caisim
87
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Caisin termasuk tanaman yang tahan terhadap hujan sehingga dapat ditanam sepanjang tahun, sedangkan pada musim kemarau disediakan air yang cukup untuk penyiraman, tanah yang cocok untuk ditanami caisin adalah tanah gembur, banyak mengandung humus, subur, memiliki drainase dan aerasi yang baik, serta memiliki pH 6-7. Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian 5 meter sampai dengan 1200 meter dari permukaan laut (Haryantoet al. 2003). Masalah yang sering muncul dalam budidaya caisin adalah serangan hama dan penyakit yang dapat menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil tanaman, bahkan dapat mengakibatkan gagal panen (Chalid, 2004). Salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman sayur sawi-sawian termasuk caisin yang sangat berberbahaya adalah penyakit Layu yang disebabkan oleh Jamur Fusarium oxysporum (Puspita et al. 2006). Di Indonesia penyakit layu sudah lama dikenal, tatapi pada umumnya orang menduga bahwa penyakit ini hanya disebabkan oleh bakteri, namun sejak tahun 1970-an perhatian terhadap penyakit layu yang disebabkan jamur Fusarium sudah mulai mendapat perhatian. Penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium ternyata menimbulkan kerugian yang sangat besar di sentra-sentra sayuran di Jawa Barat (Semangun, 2000). Bahkan menurut hasil penelitian Puspitaet al, (2006) penyakit layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium juga menyerang tanaman caisin pada lokasi pengembangan sayuran eksport di Kota Pekanbaru. Taksonomi jamur Fusarium adalah Kingdom : Fungi, Divisi : Ascomycota, Kelas Sordariomycetes, Ordo Hypocreales, FamiliNectriaceae, Genus Fusarium, Species Fusarium oxysporum (Barnet and Hunter, 1972).Gejala serangan dapat muncul pada tanaman di persemaian, baik sebelum muncul ke permukaan tanah (Pre emergence) maupun setelah muncul ke permukaan tanah (Post emergence). Pada tanaman dewasa penyakit ini menyebabkan daun-daun menjadi pucat, bagian tanaman layu dan sedikit demi sedikit seluruh tanaman layu dan akhirnya mati, penyakit layu yang disebabkan oleh Jamur Fusarium oxysporum akan berkembang dalam berkas pembuluh tanaman. Fusarium menginfeksi melalui jaringan meristem ujung akar dan berkembang dalam pembuluh batang. Jamur mengadakan penetrasi melalui jaringan epidermis pada zona memanjangnya akar dan melalui celah-celah yang terjadi karena munculnya akar lateral yang baru (Semangun, 2000). Pengendalian hayati merupakan pengendalian dengan cara menurunkan populasi inokulum atau aktivitas patogen, baik yang aktif maupun yang dorman dengan menggunakan satu atau lebih jenis organisme, baik yang diintroduksikan dari luar maupun melalui manipulasi lingkungan, inang dan antagonis. Pengendalian hayati oleh agens antagonis dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme berikut: antibiosis, kompetisi, hiperparasit (Baker & Cook, 1983), induksi ketahanan tanaman (Van Loon, 2000), dan memacu pertumbuhan tanaman (Kloepper, 1991). Agens antagonis dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen dengan cara mengaktifkan suatu lintasan sinyal dan melibatkan hormon asam jasmonik dan etilen tanaman (Van Loon, 2000). Selain itu, bakteri antagonis khususnya kelompok rizobakteria dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Peningkatan pertumbuhan tanaman tersebut bergantung pada kemampuan agens antagonis menekan mikroba yang mengganggu pertumbuhan tanaman (deleterious microorganism) dan kemampuan agens antagonis menekan pertumbuhan patogen tular tanah, seperti penyebab penyakit rebah kecambah, busuk dan layu (Schippers et al 1987).Pengendalian penyakit tanaman menggunakan agens antagonis berpotensi dikembangkan, hal ini dikarenakan agens antagonis telah tersedia di alam, aman terhadap lingkungan, tidak mempunyai efek residu merugikan, aplikasinya tidak berulang-ulang dan relatif kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya (Baker & Cook, 1983). Beberapa jenis agens antagonis yang efektif, misalnya Jamur Gliocladium sp, diketahui merupakan mikroorganisme yang mampu menekan pertumbuhan patogen tular tanah, sekaligus mampu berperan sebagai penyedia bahan organik bagi pertanaman (Baker, 1989). Gliocladium juga memiliki beberapa spesies yang dapat bersifat sebagai mikoparasit dengan efektivitas yang hampir sebanding dengan Trichoderma.Gliocladium bekerja dengan memproduksi metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antijamur yang mengandung gliotoxin dan viridin, antibakteri atau phytotoxin (Brian et al. 1945 dalam Howell, 1989). Dari golongan bakteri, pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan agens antagonis yang mengkoloni perakaran tanaman (rizobakteria) merupakan alternatif pengendalian yang potensial. Bakteri tersebut dapat berperan sebagai agens antagonis, pemacu pertumbuhan tanaman atau Plant
88
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Kloepper, 1991) dan penginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen (Van Loon, 2000). Di antara bakteri PGPR yang banyak mendapat perhatian adalah Pseudomonas fluorescens yang menunjukkan kemampuannya dalam menekan perkembangan beberapa penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh patogen terbawa tanah (Raaijmakers et al. 1992). Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk pengujian efektifitas agens antagonis dengan mengkombinasikan antara antagonis dari golongan bakteri dengan antagonis dari golongan jamur. Berdasarkan hal tersebut, maka telah dilakukan penelitian dengan judul “Efikasi Pengendalian Penyakit Layu (Fusarium oxysporum schlecht) dengan Agens Antagonis Untuk Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Caisin (Brassica campestris var. Chinensis)”.Adapun tujuan penelitian ini untuk menguji agens antagonis Gliocladium virens dan Pseudomonas fluorescens serta kombinasinya dalam menekan jamur patogen penyebab penyakit layu F.oxysporum serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi pada tanaman caisin. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian telah dilaksanakan di kebun percobaan dan laboratorium Hama Penyakit Tanaman UPT-Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura, Provinsi Riau. Penelitian berlangsung dari Bulan Maret sampai Juni 2013. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah benih caisin, pupuk kandang, pupuk buatan (NPK), isolat jamur Gliodadium virens GR01dan bakteri Pseudomonas fluorescens PR01 (Koleksi LPHP UPT-PTPH Riau), isolat jamur patogen Fusarium oxsysporum, media biakan jamur dan bakteri (PDA, CMS, King’s B, Jagung giling), Cloroc 10 %, aquades, antibiotik, dan bahan lain. Alat yang digunakan adalah ATK, alat-alat laboratorium,alat-alat pertanian dan alat-alat lain. Rancangan Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu : (A). Aplikasi Gliocladium virens GR01; (B). Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01; (C). Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01 dan (D). Kontrol. Parameter yang diamati adalahPersentase Tanaman Tumbuh Sehat, Tinggi Tanaman dan Berat Produksi Panen Segar HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Tanaman Tumbuh Sehat Data persentase tanaman caisin yang tumbuh sehat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase tanaman tumbuh sehat yang diaplikasi dengan berbagai jenis agens hayati dan kombinasinya (%). Perlakuan Tanaman Sehat (%) C (Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01) 79,38 A A (Aplikasi Gliocladium virens GR01) 76,46 B B (Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01) 75,42 B D (Kontrol) 67,29 C Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji lanjut DNMRT taraf 5%.
Dari tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan D (kontrol) memperlihatkan persentase tanaman tumbuh sehat paling rendah yaitu 67,29 % dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan persentase tanaman tumbuh sehat yang paling tinggi adalah pada perlakuan C (Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01) yaitu sebesar 79,38 % dan berbeda nyata dengan semua perlakuan. Dari data diatas terlihat bahwa penekanan tingkat serangan penyakit layu yang disebabkan jamur F.oxysporum pada tanaman caisin adalah sebesar 12,09 %. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan agens antagonis yang dikombinasikan dapat menekan tingkat serangan dan intensitas tanaman terserang yang ditunjukkan dengan tingginya persentase tanaman tumbuh sehat. Perlakuan antagonis secara gabungan antara G.virens dan P. fluorescens memberikan pengaruh positif dalam menekan intensitas penyakit, dimana perkembangan penyakit sangat berkaitan dengan masa inkubasi, kevirulenan patogen, kepatogenan dan lingkungan yang mendukung. Hal tersebut pernah dilaporkan oleh Soesanto et al. (2003), yang menyatakan bahwa penerapan gabungan agensia pengendali yang berbeda mampu memberikan hasil positif yang
89
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
konsisten daripada penerapan secara tunggal. Penggunaan beberapa agensia hayati baik secara tunggal atau gabungan telah banyak diteliti dan berprospek baik, Penggunaan 50 ml suspensi konidium Fusarium non-patogen, yang disiram pada bibit sebanyak tiga kali dengan kepadatan 106 konidium/ml larutan dapat menunda gejala dan menekan intensitas penyakit Fusarium, selain itu jamur antagonis Gliocladium sp. mampu menurunkan intensitas penyakit layu Fusarium (Soesanto, 2006). Nuryani dan Djatnika (1999) melaporkan bahwa Gliocladium sp. mampu menekan pertumbuhan Fusarium sp., penyebab bercak bunga sedap malam. Selain hal tersebut, Gliocladium sp. mampu menekan persentase jumlah tanaman anyelir layu (Nuryani et al., 2003). Sedangkan hasil penelitian Premkumar et al (2006) gabungan Pseudomonas fluorescens, Trichoderma dan VAM Glomus vasciculatum dapat menurunkan tingkat serangan penyakit busuk akar teh yang sangat nyata jika dibandingkan dengan penggunaan secara tunggal.
Tinggi Tanaman Rerata tinggi tanaman caisin, setelah dilakukan analisis statistik dan uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5% dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rerata tinggi tanaman yang diaplikasi dengan berbagai jenis agens hayati dan kombinasinya (cm). Perlakuan Tinggi tanaman (cm) C (Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01) 41,30 A B (Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01) 39,73 B A (Aplikasi Gliocladium virens GR01) 39,30 B D (Kontrol) 36,50 C Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji lanjut DNMRT taraf 5%
Dari Tabel 2 terlihat bahwa rerata tinggi tanaman yang tertinggi terlihat pada perlakuan C (41,30 cm) dan berbeda nyata dengan perlakuan A (39,30 cm), B (39,73 cm) dan D (36,50 cm). Sedangkan perlakuan A dan B tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan D. Secara angka-angka pengamatan tinggi tanaman yang tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01, hal ini disebabkan adanya kombinasi mekanisme pengendalian dan rangsangan pertumbuhan yang dimiliki masing-masing agens antagonis. Menurut Agrios, 1997 agens antagonis tersedia di alam, aman terhadap lingkungan, tidak mempunyai efek residu merugikan, aplikasinya tidak berulang-ulang dan relatif kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya. Dengan adanya kombinasi yang kompatible antara agens antagonis ini, ketersediaan unsur hara yang dapat diserap dan bahan organik pada tanah sehingga menyebabkan tanaman tumbuh lebih baik. Hal ini didukung oleh pendapat Biswas, 2000 dalam Setyowati et al (2006) penggunaan mikroba tanah dalam pertanaman dapat membantu penyediaan unsur Nitrogen (N), fosfor (P) dan Kalium (K) sehingga dapat meningkatkan kualitas tanaman, ditambahkan Rahimi, 2000 dalam Setyowati et al (2006) bahwa mikroba yang diberikan bersama bahan organik juga dapat meningkatkan mutu agregasi tanah. Menurut Kentjanasari et al, 1996 dalam Widyastuti, 2004 bahwa kondisi tanah yang subur dengan agregasi tanah yang baik dapat memacu pertumbuhan tanaman, bahan organik yang mengandung banyak jasad renik tertentu bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman melalui peningkatan aktivitas biologi dan jumlah jasad renik tersebut. Anonim (2001) melaporkan bahwa kehadiran pengontrol biologi yang lazim disebut agens biokontrol Gliocladium spp. mampu mengendalikan patogen tumbuhan terutama patogen tular tanah (soilborne pathogens) berbagai jenis tanaman dengan efektivitas keberhasilan mencapai 60–90 persen. Lebih lanjut dilaporkan bahwa selain sebagai agens biokontrol, agens ini juga merupakan organisme dekomposer dan memproduksi hormon perangsang tumbuh (growth stimulator). Oleh karena itu tanaman yang diproteksi dengan biokontrol ini selain terbebas dari penyakit, juga tumbuh dengan optimum dan selalu tampak lebih sehat dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Pemberian bakteri antagonis P.fluorescens menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap tinggi tanaman jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tingginya tanaman pada perlakuan ini disebabkan peranan P.fluorescen disamping sebagai pengendali hayati juga dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Baker & Cook, 1983 bahwa pengendalian
90
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
hayati oleh bakteri antagonis dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme berikut: antibiosis, kompetisi, hiperparasit induksi ketahanan tanaman (Van Loon, 2000), dan memacu pertumbuhan tanaman (Kloepper et al, 1999). Bakteri antagonis khususnya kelompok rhizobakteria dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Peningkatan pertumbuhan tanaman tersebut bergantung pada kemampuan bakteri antagonis menekan mokroba yang mengganggu pertumbuhan tanaman (deleterious microorganisms) dan kemampuan agens antagonis menekan pertumbuhan patogen tular tanah, seperti penyebab penyakit rebah kecambah, busuk, dan layu (Schippers et al. 1987).Selain itu, bakteri tersebut juga dapat menekan perkembangan penyakit tanaman dengan cara kompetisi unsur besi Fe (III) dan unsur karbon, memproduksi HCN, merangsang akumulasi fitoaleksin sehingga tanaman menjadi lebih tahan, serta mengolonisasi akar dan merangsang pertumbuhan tanaman (Notz et al,2001dalam Rustam, 2005). Berat Produksi Panen Segar Rerata berat produksi panen segar per perlakuan tanaman caisin,dapat dilihat pada Tabelo3 Tabel 3. Berat Produksi panen segar tanaman caisin yang diaplikasi dengan berbagai jenis agens hayati dan kombinasinya (kg) Perlakuan
Berat Total Panen (Kg)
C (Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01)
4,41
A
B (Aplikasi Gliocladium virens GR01)
4,06
Ab
A (Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01)
3,72
B
D (Kontrol)
3,06
C
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji lanjut DNMRT taraf 5%.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa perlakuan C memberikan rerata berat produksi panen segar tertinggi yaitu 4,41 Kg dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan B (4,06 kg), namun jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya terlihat berbeda nyata. Sedangkan hasil paling rendah terdapat peda perlakuan D yaitu sebesar (3,06 kg). Disini jelas terlihat bahwa perlakuan aplikasi kombinasi antagonis G. virens GR01dan P.fluorescens PR01 memberikan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan perlakuan lainnya dan dapat meningkatkan berat produksi panen segar tanaman caisin sebesar 30,61 % . Tingginya berat produksi panen segar pada perlakuan antagonis, baik diberikan secara tunggal maupun secara bersamaan disebabkan lebih besarnya jumlah tanaman sehat per plot dan rerata tinggi tanaman yang juga lebih besar. Dimana dengan adanya peranan agens antagonis dalam tanah yang telah diaplikasikan sebelum tanam bersamaan dengan pupuk organik telah meningkatkan kualitas dan hasil tanaman caisin. Disamping itu dengan adanya mikoroba tanah ini akan memacu pertumbuhan tanaman dengan meningkatnya kemampuan menyerap hara tanaman yang tersedia akibat aktifitas agens antagonis yang akhirnya akan meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman. Dengan semakin meningkatnya kemampuan fotosintesis tanaman maka maka dapat meningkatkan bobot segar tanaman. Sedangkan menurut Bertham et al, (1996) dalam Setyowati et al, (2006) peningkatan berat panen tanaman disebabkan oleh keadaan pertumbuhan tanaman, tanaman yang dapat menyerap nutrisi dengan baik dapat melakukan proses transportasi dengan baik. Pemberian bahan organik yang didekomposisi oleh jamur saprofit mampu memacu jumlah batang dan pertumbuhan tanaman. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di laboratorium dan di lapangan dapat diambil kesimpulan bahwa aplikasi berbagai kombinasi agens antagonis Gliocladium virens GR01 dan Pseudomonas fluorescens PR01 memberikan pengaruh nyata pada semua parameter pengamatan, jika dibandingkan dengan aplikasi tunggal agens antagonis. Agens hayati antagonis Gliocladium virens GR01 dan Pseudomonas fluorescens PR01 dapat dikombinasikan untuk pengendalian patogen penyebab penyakit layu Fusarium oxysporum, sehingga dapat menekan persentase tanaman terserang sebesar 12,09 % dan meningkatkan persentase produksi tanaman caisin sebesar 30,61 %.
91
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Kepala BPTP Riau dan Bapak Indra Fuadi, M.Si yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1997.Plant Pathology.Ed ke-4. San Diego:Academic Press. Anonim, 2002. Teknologi Produksi Sayur Daun Lebar (Leafy Vegetables) Dataran Rendah. Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau. Pekanbaru. Baker, K. F. and R. J. Cook. 1983. Biological Control of Plant Pathogen.Freeman and Company. San Fransisco. Barnett, H.L., and B.B. Hunter., 1972. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Third edition. Burges Publishing Company. Minneapolis. Chalid, N. 2004. Teknologi Pengendalian Hama Penyakit Sayur Dataran Rendah. Dinas Tanaman Pangan Propinsi Riau. Pekanbaru. Djatnika I. 1998. Pengaruh Pseudomonas flourescens Migula terhadap Patogenisitas Fusarium oxysporum Schlecht pada Tanaman Krisan. J. Hort. 8(1):1014-1020. Haryanto, E., Suhartini, T., Rahayu, E. dan Sunarjono,. 2003. Sawi dan Selada. Edisi baru. Penebar Swadaya. Jakarta. Howel,C.R. 1989. Fungi as Biological Control Agents. U.S. Department of Agriculture. College Station, Texas. Kloepper JW. 1991. Plant growth promotion mediated by bacterial rhizosphere colonizers. Di dalam: Keister DL, Cregan PB, editor. The rhizosphere and plant growth. Beltsville symposia in agricultural research; Beltsville, 8-11 May 1989. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 315-326. Nuryani dan I Djatnika.1999. PengendalianBercak Bunga Sedap Malam dengan Bio-GL dan BIO-TRI. Prosiding KongresNasional XV dan Seminar Ilmiah PFIPurwokerto, 16-18 September. Nuryani, W., Hanudin, I Djatmika, Evi, S. DanMuhidin. 2003. Pengendalian penyakit layuFusarium pada Anyelir dengan formulasiPseudomonas fluorescens, Gliocladium sp., dan Trichoderma harzianum. JurnalFitopatologi Indonesia. J. Fitpat. Ind. 7(2):71-75. Puspita, F., Elfina,Y., dan Susanti,Y., 2006. Identifikasi Penyakit pada Tanaman Sawi dan Tingkat Serangannya di lokasi Pengembangan Sayuran Ekspor BBI Hortikultura dan SPMA Padang Marpoyan Pekanbaru. Kumpulan Hasil Penelitian Unggulan Universitas Riau. Lembaga Penelitian Unri. Pekanbaru. 166-168. Rustam, 2005. Pengendalian Penyakit Darah pada Tanaman Pisang dengan Bakteri Antagonis. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Raaijmakers, J.M., M. Leeman, M.M.P. Van Oorschot, I. Van der Sluis, B. Schipper, and P.A.H.M. Bakker, 1992. Dose-Response Relationships in Biological Control of Fusarium wilt of radish by Pseudomonas spp. Phytopathology 85: 1075-1081. Schippers B, Baker AW, Baker PAHM. 1987. Interactions between deleterious and beneficial rhizosphere microorganisms and the effect of cropping practices. Annu Rev Phytopathologi. 25: 339-358. Semangun, H., 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura. Gadjah Mada University Press. Setyowaty.N., H.Bustamam and T.Nurmiyanti. 2003. Effect of microbes fertilizer on Lettuce (Lettuca sativa L) yield, Root diseases and weed growth. Proceding of International Seminar on Organic Farming and Sustainable Agriculture in Tropic and Sub Tropic. Palembang Oct 8-9: 67-72. Soesanto, L. 2006. Fusarium Utama pada Tanaman Pangan, Cara Pengendalian dan Teknik Penyimpanan Konidiumnya. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional II dan Workshop Fusarium, Padang 14-16 Agustus 2006. Van Loon LC. 2000. Systemic induced resistance. Di dalam: Slusarenko A, Fraser RSS, Van Loon LC, editor. Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Netherlands: Kluwer Academic Publishers, 521-574. Winarsih. S., 2007. Pengaruh Bahan Organik pada Pertumbuhan Gliocladium virens dan Daya Antagonisnya terhadap Fusarium oxysporum secara in-vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus No. 3:386-390.
92
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENGARUH POSISI BAHAN STEK TERHADAP PERTUMBUHAN BENIH BUAH NAGA (Hylocereus polyrhizus) EFFECT OF STEM CUTTING POSITION ON GROWTH OF DRAGON FRUIT (Hylocereus polyrhizus) CUTTINGS Bambang Hariyanto Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jln. Raya Solok-Aripan Km. 8, Kotak Pos 27301, Solok e-mail :
[email protected] ABSTRAK Ketersediaan benih merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan suatu perbanyakan tanaman. Stek batang merupakan salah satu perbanyakan vegetatif untuk mendapatkan benih yang seragam dan mempunyai sifat yang sama dengan induknya. Informasi tentang penggunaan posisi bahan stek dan diameter stek serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan stek buah naga belum banyak diketahui. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui posisi bahan stek dan diameter stek yang terbaik yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan stek buah naga dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok Mei-September 2014. Tiga perlakuanyang terdiri dari stek naga bagian ujung dengan diameter stek 2,25-4,87 cm (rata-rata 3,5 cm), stek naga bagian tengah dengan diameter stek 3,21-7,12 cm (rata-rata 4,8 cm), dan stek naga bagian pangkal dengan diameter stek 2,95-7,67 cm (rata-rata 5,2 cm) disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan delapan ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi dan diameter stek berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas stek buah naga. Stek bagian pangkal dengan diameter stek 5,2 cm menghasilkan pertumbuhan yang paling cepat sedangkanstek bagian ujung dengan diameter stek 3,5 cmmenunjukkan pertumbuhan yang paling lambat pada umur 120 hari setelah tanam (hst). Terdapat satu peubah yang berkorelasi nyata dan bernilai positif yaitu panjang tunas dengan diameter tunas (R2 = 0,998). Kata kunci : Stek buah naga, posisi bagian stek, diameter, pertumbuhan ABSTRACT The availability of plant material is one of the important factors in plant propagation development. Stem cutting is one of vegetative propagation techniques to produce homogenous seedlings and true to type. Information about stem cutting position and stem diameter of dragon fruit and it ’s effect on the growth of dragon fruit cutting is very limited. The research aimed to find out the best stem cutting position and stem diameter of dragon fruit on the growth of dragon fruit cutting, was conducted in Indonesian Tropical Fruit Research Institute, Solok from May-September 2014. Three treatments consisting of tip stem cutting with diameter ranged between 2.25 and 4.87 cm (averages 3.5 cm), middle stem cutting with diameter ranged from 3.21 to 7.12 cm (averages 4.8 cm), and basal stem cutting with diameter ranged between 2.95 and 7.67 cm (averages 5.2 cm) were arranged in a randomized block design and eight replications. The results showed that position and diameter of stem cutting significantly affected number of shoots, shoot length, and time of shoots emergence of dragon fruit stem cutting. Among stem cutting positions, the basal stem cutting with diameter of 5.2 cm grew most rapidly 120 days after planting (dap), whereas the tip stem cutting with diameter of 3.5 cm was the slowest growth. There was one variable that significant positive correlation between shoot length and shoot diameter (R2 = 0,998). Keywords: dragon fruit stem cutting, stem cutting position, cutting diameter, growth
93
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Buah naga merupakan salah satu jenis tanaman tropis yang termasuk ke dalam genus Hylocereus dan Selenicereus yang berasal dari Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara (Mc Mahon, 2003 ; Kristanto, 2003). Di daerah asalnya buah naga atau dragon fruit ini dinamai pitahaya atau pitayo roja. Penduduk Indian sering memanfaatkan buah ini sebagai buah meja atau buah yang dikonsumsi segar (Kristanto, 2003). Harga jual yang cukup tinggi, preferensi konsumen serta manfaat bagi kesehatan dan kandungan gizi yang tinggi menyebabkan buah naga berpeluang untuk dikembangkan sebagai komoditas penunjang agribisnis dan peningkatan devisa serta dapat bersaing dengan buah tropis lainnya. Prospek pengembangan tanaman buah naga yang masih besar di beberapa wilayah di Indonesia diperkirakan akan meningkatkan permintaan terhadap benih buah naga. Teknik pembenihan atau perbanyakan tanaman untuk menghasilkan bahan tanamam berkualitas dalam jumlah memadai merupakan hal penting yang harus dipersiapkan bagi pengembangan tanaman buah naga. Perbanyakan vegetatif dengan stek batang merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan benih dalam jumlah banyak dan seragam. Selain waktu yang dibutuhkan relatif singkat, perbanyakan dengan stek batang akan menghasilkan turunan yang identik dengan sifat induknya sehingga keunggulan sifat dapat dipertahankan (Pujiono, 2008). Menurut Raza (1992), penggunaan stek batang merupakan salah satu metode perbanyakan vegetatif paling mudah. Ukuran penanaman stek batang penting untuk hidup awal dan pertumbuhan stek karena secara fisiologis berperan penting dalam penentuan keberhasilan perakaran. Perbanyakan tanaman dengan stek telah banyak dilakukan pada tanaman lain, menghasilkan pertumbuhan yang seragam, saat produksi lebih awal dan lebih tinggi, meningkatkan persentase hidup, jumlah daun, panjang tunas dan jumlah tunas seperti pada Murbei (Guo, et al., 2007), Nilam (Ningsih et al.,2010) dan benih Ara (Yulistyani et al.,, 2014). Faktor fisik seperti panjang stek dan diameter stek merupakan hal yang harus diperhatikan karena berpengaruh terhadap kemampuan bahan stek membentuk akar (Hansen, 1998; Hartmann et al., 2002). Panjang dan diameter stek yang baik untuk masing-masing jenis tanaman berbeda satu dengan lainnya (Palanisamy dan Kumar, 1997; Hartmann et al., 2002). Selain hal tersebut diatas penggunaan jenis media merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam perlakuan bahan stek (Sofyan dan Muslimin, 2006). Hasil penelitian Purwati (2013), menunjukkan bahwa saat muncul tunas, jumlah tunas dan panjang tunas terbaik pada ukuran stek buah naga 20 cm di screen house. Namun demikian belum diketahui informasi yang menjelaskan daya adaptasi dan keragaman pertumbuhan dari ukuran stek tersebut ditanam di lapang, karena tingkat daya adaptasi benih setelah ditanam di lapang menentukan efektifitas dan efisiensi suatu teknik perbanyakan tanaman yang dipilih. Pengamatan karakteristik morfologi perbanyakan stek batang pada jenis tanaman yang berbeda telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti stek batang pada tanaman bugenvil (Panjaitan, et. al.,2008), stek pada tanaman panili (Nugrahini, 2013), dan stek batang pada tanaman murbei (Hutasoit dan Ginting, 2013), sehingga parameter yang digunakan pada penelitian tersebut dapat dijadikan landasan untuk penelitian ini. Namun demikian informasi tentang posisi bahan stek dan diameter stek yang digunakan sebagai bahan stek buah naga dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan benih stek buah naga belum diketahui dan informasinya saat ini masih terbatas. Oleh karena itu, untuk menggali informasi tersebut dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui posisi bahan stek dan diameter stek buah naga yang terbaik yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan benih stek buah naga.
94
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Aripan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok dari Mei - September 2014 dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dan 8 ulangan. Perlakuan yang dicoba sebanyak 3 perlakuan, yaitu stek naga bagian ujung dengan diameter stek 2,25-4,87 cm (rata-rata 3,5 cm), stek naga bagian tengah dengan diameter stek 3,21-7,12 cm (rata-rata 4,8 cm), dan stek naga bagian pangkal dengan diameter stek 2,95-7,67 cm (rata-rata 5,2 cm). Setiap perlakuan dalam satu ulangan terdiri atas 6 tanaman. Tahap awal penelitian dimulai dengan memotong ruas batang (bahan stek) yang sudah tidak produktif lagi, berwarna hijau tua (gelap) dengan panjang stek 60 cm. Selanjutnya stek dipotong menjadi tiga bagian, yaitu bagian ujung yang memiliki ruas batang bagian ujungnya meruncing dan diameternya lebih kecil dari bagian tengah dan pangkal, bagian tengah memiliki ruas batang dan diameter yang lebih besar dari pada bagian ujung serta bagian pangkal memiliki ruas batang dan diameter yang lebih besar dari pada bagian ujung dan tengah dengan masing-masing panjang stek 20 cm. Bahan stek yang digunakan berasal dari pertanaman buah naga varietas Hylocereus polyrhizus yang berumur 3 tahun dan telah berproduksi. Penanaman dilakukan dengan memindahkan stek yang sebelumnya diletakkan di bawah tempat yang ternaungi selama ± 7 hari ke dalam polibag ukuran 15x18 cm yang berisi media tanah, pasir dan pupuk kandang (1:1:1) (v:v:v) dan setiap polibag ditanami satu stek batang buah naga. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan dengan cara mencabut gulma yang tumbuh dan melakukan pengendalian hama dan penyakit. Adapun peubah yang diamati terdiri dari : 1. Jumlah tunas, dihitung dengan cara menghitung jumlah tunas yang tumbuh. 2. Panjang tunas (cm), diukur dengan cara mengukur panjang tunas dari pangkal tunas hingga ujung tunas dengan menggunakan alat pengukur (penggaris). 3. Waktu muncul tunas (hari), diamati setiap hari hingga stek buah naga mengalami pecah tunas pertama kali. 4. Persentase stek bertunas (%), dihitung pada akhir pengamatan (120 hst) dengan kriteria stek buah naga telah tumbuh tunas dengan menggunakan rumus sebagai berikut : a Persentase stek bertunas = ---------- x 100 % b Dimana: a = jumlah stek yang bertunas b = jumlah stek yang ditanam 5. Persentase stek hidup (%), dihitung pada akhir pengamatan (120 hst) dengan kriteria stek buah naga setek buah naga tetap hijau dan telah berakar dengan menggunakan rumus sebagai berikut : a Persentase stek bertunas =---------- x 100 % b Dimana: a = jumlah stek yang hidup b = jumlah stek yang ditanam 6. Diameter tunas (cm), diukur pada akhir pengamatan (120 hst) dengan menggunakan jangka sorong. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan. Bila terdapat perbedaan antar perlakuan, maka analisis data dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %. Adapun untuk mengetahui hubungan antara peubah yang diamati digunakan analisis korelasi Pearson pada taraf 5 %.
95
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan posisi bahan stek batang yang diaplikasikan pada stek buah naga menyebabkan perbedaan jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas yang diperoleh, namun tidak tampak adanya perbedaan pada peubah persentase stek bertunas, persentase stek hidup dan diameter tunas (Tabel 1, 2, dan Tabel 3). Dengan demikian ketiga peubah tersebut merupakan peubah yang memberikan pengaruh yang nyata akibat dari perlakuan posisi bahan stek batang buah naga. Tabel 1. Rata-rata jumlah tunas stek buah naga pada umur 30-120 hari setelah tanam (hst). Jumlah tunas 30 hst 60 hst 90 hst 120 hst Ujung 0 b 0,66 b 1,43 c 2,13 b Tengah 0,18 a 1,28 a 2,08 b 2,73 ab Pangkal 0,10 ab 1,74 a 2,43 a 3,08 a KK (%) 147,73 35,97 16,39 22,66 Keterangan : Angka yang didampingi huruf sama dalam satu kolom berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5 %. Sumber : Data primer (2014) Perlakuan
Adanya perbedaan posisi bahan stek yang diaplikasikan menyebabkan perbedaan jumlah tunas yang dihasilkan. Pada umur 30 hst jumlah tunas yang dihasilkan bervariasi antara 0 – 0,18, dimana stek batang bagian tengah tidak berbeda nyata dengan stek batang bagian pangkal namun berbeda nyata dengan stek batang bagian ujung yang memiliki jumlah tunas paling rendah. Jumlah tunas pada umur 60 hst menunjukkan adanya perbedaan nyata, dimana stek batang bagian pangkal 1,74 tidak berbeda nyata dengan stek batang bagian tengah 1,28 tetapi berbeda nyata dengan stek batang bagian ujung 0,66. Rata-rata pertambahan jumlah tunas pada umur 60 hst berkisar 0,66 – 1,64, tertinggi pada stek batang bagian pangkal dan terendah stek batang bagian ujung. Perbedaan jumlah tunas juga ditunjukkan pada umur 90 – 120 hst, dimana jumlah tunas stek batang bagian pangkal 2,43 berbeda nyata dengan stek batang bagian tengah 2,08 dan stek batang bagian ujung 1,43. Rata-rata pertambahan jumlah tunas pada umur 90 hst berkisar 0,69 – 0,80 tertinggi pada stek batang bagian tengah dan terendah stek batang bagian pangkal. Pada umur 120 hst rata-rata pertambahan jumlah tunas berkisar 0,65-0,70 tertinggi pada stek batang bagian ujung dan terendah stek batang bagian pangkal dan tengah dengan jumlah tunas stek bagian pangkal 3,08 yang tidak berbeda nyata dengan stek bagian tengah 2,73 tetapi berbeda nyata dengan stek bagian ujung 2,13 (Tabel 1 dan Gambar 1).
Jumlah tunas
4 3 ujung
2
tengah 1
pangkal
0 30
60 90 120 Hari setelah tanam (hst)
Gambar 1. Rata-rata laju pertumbuhan jumlah tunas stek buah naga umur 30-120 hari setelah tanam (hst). Sama halnya dengan jumlah tunas, panjang tunas yang dihasilkan juga menunjukkan adanya perbedaan (Tabel 2). Panjang tunas pada umur 30 hst tidak menunjukkan adanya perbedaan akibat dari perlakuan posisi bahan stek, dimana panjang tunas yang dihasilkan berkisar antara 0 – 0,83 cm. Perbedaan panjang tunas pada umur 60 hst ditunjukkan oleh adanya perbedaan panjang tunas stek batang bagian pangkal 7,64 cm yang berbeda nyata dengan stek batang bagian tengah 4,99 cm dan stek batang bagian ujung 2,57 cm. Rata-rata pertambahan panjang tunas pada umur 60 hst berkisar 2,57 – 6,81, tertinggi pada stek batang bagian pangkal dan terendah stek batang bagian ujung. Pada umur 90 hst terlihat adanya perbedaan panjang tunas, dimana panjang tunas stek batang bagian pangkal 17,89 cm dan stek batang bagian tengah 16,01 cm yang berbeda nyata dengan stek bagian
96
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
ujung 11,94 cm. Rata-rata pertambahan panjang tunas pada umur 90 hst berkisar 9.37 – 11.02, tertinggi pada stek batang bagian tengah dan terendah stek batang bagian ujung. Panjang tunas stek batang bagian pangkal yang diperoleh 25,68 cm tidak berbeda nyata dengan stek batang bagian tengah 25,31 cm namun berbeda nyata dengan stek batang bagian ujung 19,83 cm pada umur 120 hst (Tabel 2). Rata-rata pertambahan panjang tunas pada umur 120 hst berkisar 7,79 – 9,30 tertinggi pada stek batang bagian tengah dan terendah stek batang bagian pangkal (Tabel 2 dan Gambar 2). Tabel 2. Rata-rata panjang tunas stek buah naga pada umur 30-120 hari setelah tanam (hst). Perlakuan Ujung Tengah Pangkal KK (%)
30 hst 0a 0,69 a 0,83 a 166,75
Panjang tunas (cm) 60 hst 90 hst 2,57 c 11,94 b 4,99 b 16,01 a 7,64 a 17,89 a 43,14 16,92
120 hst 19,83 b 25,31 ab 25,68 a 23,05
Panjang tunas (cm)
Keterangan : Angka yang didampingi huruf sama dalam satu kolom berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5 %. Sumber : Data primer (2014) 30 25 20 15 10 5 0
ujung tengah pangkal 30 60 90 120 Hari setelah tanan (hst)
Gambar 2. Rata-rata laju pertumbuhan panjang tunas stek buah naga umur 30-120 hari setelah tanam (hst). Percabangan tanaman buah naga yang tersedia sebagai bahan perbanyakan adalah batang pada percabangan lateral (primer dan sekunder). Umumnya semakin menjauh dari pucuk maka diameter batang semakin membesar dan perbedaan diameter tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan stek membentuk akar (Wilson,1993; Hartmann, et al., 2002,). Penggunaan stek sebagai bahan tanam dimaksudkan untuk memperoleh pertanaman yang homogen secara genetik. Dengan lingkungan tumbuh yang seragam diharapkan diperoleh pertumbuhan tanaman yang seragam. Namun dalam penelitian ini diperoleh jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas yang beragam. Penggunaan bahan stek dalam jumlah banyak menyebabkan bahan stek yang diperoleh sangat beragam, baik ukuran diameter stek maupun posisi bagian batang. Ukuran panjang dan diameter stek berhubungan dengan tinggi rendahnya jumlah akumulasi karbohidrat yang terkandung pada bahan stek dan akan mendukung perakaran yang lebih baik dibandingkan bahan stek yang sedikit kandungan karbohidratnya. Hal ini berkaitan dengan adanya perbedaan pada tipe dan variabilitas karbohidrat dan bahan tersimpan lainnya (Leakey,1999 dan Hartman et al,. 2002). Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam metodologi bahwa bahan tanam stek berasal dari posisi bahan stek dan diameter stek yang berbeda yaitu stek batang bagian ujung, stek batang bagian tengah, dan stek batang bagian pangkal sehingga mengandung jumlah akumulasi karbohidrat dan bahan cadangan makanan yang beragam. Stek batang bagian pangkal dan tengah memiliki rata-rata diameter batang yang lebih besar dan memiliki jumlah akumulasi karbohidrat serta bahan cadangan makanan lebih tinggi dari pada stek bagian ujung yang selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan tunas yang ditunjukkan oleh jumlah tunas, panjang tunas dan waktu munculnya tunas. Perbedaan bagian stek dan diameter batang bahan stek ini dapat menyebabkan perbedaan kecepatan pertumbuhan yang dihasilkan. Hasil penelitian Santoso et al. (2008), memperlihatkan bahwa perbedaan diameter stek jarak pagar sebagai bahan tanam menghasilkan pertumbuhan tanaman yang
97
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
berbeda-beda. Demikian pula hasil penelitian Mulyaningsih et. al. (2007), memperlihatkan bahwa penggunaan stek bagian pangkal, tengah, maupun pucuk batang menghasilkan pertumbuhan tanaman yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan pertumbuhan yang dihasilkan dimana penggunaan stek batang bagian pangkal dengan diameter stek 5,2 cm menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi untuk peubah jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas paling cepat yang diikuti oleh stek batang bagian tengah dengan diameter stek 4,8 cm dan terendah pada stek batang bagian ujung dengan diameter stek 3,5 cm (Tabel 1, 2, 3). Pertumbuhan stek dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan seperti bahan stek yang digunakan, lingkungan tumbuh dan perlakuan yang diberikan pada stek (Prastowo et al., 2006). Dalam penelitian ini perlakuan posisi bahan stek yang digunakan hanya berpengaruh terhadap jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah pertumbuhan lainnya yang mencakup persentase stek bertunas, persentase stek hidup dan diameter tunas stek buah naga (Tabel 3). Hasil yang sama diperoleh Mulyaningsih et al. (2007), menunjukkan bahwa keragaman bahan tanam stek menghasilkan diameter batang yang kurang beragam pada tanaman jarak pagar. Tabel 3. Rata-rata waktu muncul tunas, persentase stek bertunas, dan diameter tunas stek buah naga pada umur 120 hari setelah tanam (hst). Waktu muncul Persentase stek Persentase Diameter tunas bertunas stek hidup tunas (hst) (%) (%) (cm) Ujung 44,47 b 95,83 a 95,83 a 4,56 a Tengah 40,62 ab 95,83 a 95,83 a 4,74 a Pangkal 38,54 a 100 a 100 a 4,74 a KK (%) 11,55 5,92 5,92 8,00 Keterangan : Angka yang didampingi huruf sama dalam satu kolom berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5 %. Sumber : Data primer (2014) Perlakuan
Hasil analisis korelasi memperlihatkan bahwa terdapat satu hubungan antar peubah yang berkorelasi nyata dan nilainya positif. Adapun peubah yang berkorelasi nyata dan bernilai positif yaitu panjang tunas dengan diameter tunas (R2 = 0,998) sedangkan peubah lainnya tidak berkorelasi nyata. (Tabel 4). Panjang tunas berkorelasi nyata dan positif dengan diameter tunas menunjukkan bahwa hubungan antara kedua peubah tersebut sangat kuat, signifikan dan searah, dimana semakin panjang tunas yang dihasilkan diikuti oleh penambahan diameter tunas. Habitus tanaman yang tinggi akan menyediakan ruang yang cukup untuk distribusi cahaya dalam kanopi tanaman dan pertumbuhan organ tajuk tanaman. Distribusi cahaya yang merata dalam kanopi memungkinkan setiap tanaman dapat berfotosintesis secara optimal sehingga laju fotosintesis kanopi menjadi tinggi. Laju fotosintesis kanopi yang tinggi akan menghasilkan karbohidrat yang tersedia untuk pertumbuhan tanaman menjadi tinggi (Rouhi et al., 2007). Adapun penyediaan ruang tumbuh yang baik dan didukung dengan ketersediaan karbohidrat yang cukup menyebabkan pertumbuhan stek seperti panjang tunas dan diameter tunas menjadi tinggi. Hal inilah yang menyebabkan panjang tunas dengan diameter tunas berkorelasi positif (Tabel 4). Tabel 4. Nilai koefisien korelasi antar peubah Peubah Jumlah tunas Panjang tunas Diameter tunas Stek bertunas Jumlah tunas 1 Panjang tunas 0,950 1 Diameter tunas 0,931 0,998 * 1 Stek bertunas 0,781 0,548 0,500 1 Keterangan :* = Berkorelasi nyata menurut uji korelasi Pearson pada taraf 5 %
KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa perbedaan posisi bahan stek yang ditanam menyebabkan adanya perbedaan pertumbuhan jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas stek buah naga. Stek bagian pangkal dengan dimeter stek 5,2 cm menghasilkan pertumbuhan yang paling cepat untuk peubah jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas sedangkanstek bagian ujungdengan diameter stek 3,5 cm menunjukkan pertumbuhan yang paling
98
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
lambat pada umur 120 hari setelah tanam (hst). Terdapat satu peubah yang berkorelasi nyata dan bernilai positif yaitu panjang tunas dengan diameter tunas (R2 = 0,998). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak A. Soemargono, Agus Susiloadi, Sahlan yang telah membantu dalam penulisan ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Guo, Z.W., C. Tingting, Y. Yonghua, P. Le,. 2007. A preliminary analysis of a sexual genetic variability in mulberry as revealed by ISSR markers. Int J Agri Biol. 9:928-930. Hansen, J. 1998. Effect of cutting position on rooting, axillary bud break and shoot growth in Stephanotis floribunda. Acta Horticultura 226:159-163. Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, Jr, R.L. Geneve. 2002. Plant Propagation: Principles and Practices. 7th edition. Prentice Hall Inc. 770p. Hutasoit , R., dan T.A. Ginting. 2013. Pengaruh diameter stek batang terhadap pertumbuhan benih pada empat spesies tanaman murbei (Morus sp).Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013.hal : 461-467. Kristanto, D. 2003. Buah naga pembudidayaan di pot dan di kebun. Penebar swadaya. Jakarta. Leakey, R.R.B. 1999. Nauclea diderrichii: rooting of stem cuttings, clonal variation in shoot dominance, and branch plagiotropism.Trees 4:164-169. Mc. Mahon, G. 2003. Pitaya (Dragon Fruit). Departement of Primary Industry, Fisheries and Mines. Darwin. www.horticulture.nt.grov.au. Diakses 25 September 2012. Mulyaningsih, S., Djumali, dan B. Hariyono. 2007. Pengaruh posisi, asal, dan panjang stek, serta ZPT terhadap pertumbuhan stek batang pada tanaman jarak pagar. Prosiding Lokakarya Jarak Pagar II: Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Hlm. 263-268. Ningsih, E. M. N., Y. A. Nugroho,dan Trianitasari. 2010. Pengaruh stek Nilam (Pogostemon cablin, Benth) pada berbagai komposisi media tumbuh dan dosis penyiraman limbah air kelapa. Agrika 4 (1):37-47. Nugrahini, T. 2013. Respon pertumbuhan stek tanaman panili (Vanilla planifolia) terhadap pemberian pupuk kandang ayam dan pupuk organik cair nasa. Media Sains 5 (1) : 30-35. Palanisamy, K., P. Kumar. 1997. Effect of position, size of cutting and enrironmental factors on adventitious rooting in neem (Azadirachta indica A. Juss). Forest Ecology and Management 98:277-288. Panjaitan, L.R.H., J. Ginting, dan Haryati. 2014. Respons pertumbuhan berbagai ukuran diameter batang stek bugenvil (Bougainvillea spectabilisWilld.) terhadap pemberian zat pengatur tumbuh. Jurnal Online Agroekoteknologi 4 (2): 1384-1390. Prastowo, N. H., J. M. Roshetko dan G. E. S. Manurung. 2006. Tehnik pembibitan dan perbanyakan vegetative tanaman buah. World agroforestry centre (ICRAF) and winrock international. Bogor. Pujiono, S. 2008. Penerapan perbanyakan tanaman secara vegetatif pada pemuliaan pohon. Makalah Gelar Teknologi di Pekanbaru Riau dalam rangka Pemasyarakatan Hasil Litbang Kehutanan tanggal 21 Agustus 2008. Purwati, M.S. 2013. Pertumbuhan benih buah naga (Hylocereus costaricensis) pada berbagai ukuran stek dan pemberian hormon tanaman unggul multiguna exlusive. Media Sains, 5 (1) : 1622. Raza, U. 1992. Effect of light and weed competition on the survival and growth of abies pindrows seedlings of various ages in different soils media in the moist temperate forests of Pakistan. Pak J Forest. 42:148-162. Rouhi, V., R. Samson, R. Lemeur, and P. Van Damme. 2007. Photosynthetic gas exchange characteristics in three different almond species during drought stress and subsequent recovery. Environmental and Experimental Botany 59 (2) ; 117 – 129. Santoso, B.B, Hasnam, Hariyadi, S. Susanto, dan B.S. Purwoko. 2008. Perbanyakan vegetatif tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan stek batang: pengaruh panjang dan diameter stek. Bul. Agron. 36 (3): 255 – 262.
99
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Sofyan, A dan I. Muslimin,. 2006. Pengaruh asal bahan dan media stek terhadap pertumbuhan stek batang tembesu (Fragraea fragarans ROXB). Makalah Penunjang pada Ekspose Hasilhasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. Wilson, P.J. 1993. Propagation characteristics of Eucalytus globules Labill. spp. globules stem cutting in relation to their original position in the parent shoot. J. Hort. Sci. 68(5): 715-724. Yulistyani, W., D. S. Sobarna, dan A. Nuraini. 2014. Pengaruh jenis stek batang dan komposisi media tanam terhadap pertumbuhan bibit ara (Ficus carica L.). Agric. Sci 4(1):215-224.
100
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENGARUH UMUR DAUN TERHADAP EFEKTIVITAS PENGAMATAN ANATOMI STOMATA JAMBU BIJI EFFECT OF LEAF AGE ON THE EFFECTIVENESS OF GUAVA STOMATA ANATOMICAL OBSERVATION Farihul Ihsan dan Nini Marta Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jalan Raya Solok-Aripan km 8, Solok, Sumatera Barat, 27301 Email :
[email protected] ABSTRAK Informasi tentang teknik pengamatan anatomi stomata pada jambu biji sangat terbatas. Penelitian anatomi stomata pada jambu biji dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh umur daun terhadap efektivitas pengamatan anatomi stomata jambu biji dengan teknik cetak. Penelitian dilakukan mulai Januari s/d Maret 2015 di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropika), Solok, Sumatera Barat.Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan umur daun, yaitu umur ≤ 10 hari, 11-20 hari, 21-30 hari dan ≥31 hari. Masing-masing perlakuan menggunakan 5 sampel daun dan tiap sampel daun diamati dalam 5 spot pengamatan mikroskop. Preparat stomata dibuat dengan menggunakan teknik cetak. Parameter yang diamati meliputi panjang dan lebar helaian daun, kerapatan, panjang dan lebar stomata serta kerapatan trikoma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang dan lebar helaian daun jambu biji memiliki ukuran yang optimal pada daun umur 11-20 hari, 21-30 hari dan ≥31 hari. Pembuatan preparat dengan teknik cetak untuk pengamatan anatomi stomata tidak efektif dilakukan pada daun umur ≤ 10 hari. Pengamatan stomata preparat daun umur ≤ 10 hari dengan mikroskop juga tidak mudah terlihat karena terhalang oleh trikoma. Daun umur ≥31 hari memiliki ukuran stomata yang maksimal, sehingga sangat baik dijadikan sampel. Kata kunci: teknik cetak, stomata, jambu biji, umur daun ABSTRACT Information on the observation techniques of anatomical guava stomata is limited. The study of stomata anatomy on guava was conducted to determine the effect of leaf age on the effectiveness of guava anatomical stomata observation using printing techniques. The research was conducted from January to March 2015 at the Laboratory of Indonesian Tropical Fruit Research Institute, Solok, West Sumatra, using randomized block design with 4 leaf age treatments, namely ≤ 10 days, 11-20 days, 21-30 days and ≥31 days. Each treatment using 5 leaf samples and each sample was observed in the 5 spot. Stomata preparations were made using printing techniques. The parameters observed were length and width leaf, density, length and width of stomata and density of trichomes. The results showed that the optimal length and width leaf on leaf 11-20 days, 21-30 days and ≥31 days. Leaf ≤ 10 days are not effective for stomata preparations using printing techniques. Additionally, stomata on leaf ≤ 10 days are not easily visible by microscope observation because it was blocked by trichomes. In contrast, the leaf ≥31 days were provided with maximum size stomata, so the leaves are very good to be used as sample. Keywords: printing techniques, stomata, guava, leaf age.
101
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Jambu biji merupakan salah satu komoditas tanaman buah penting dalam perdagangan internasional. Negara-negara yang merupakan negara penghasil jambu biji terbesar antara lain India, Brazil, dan Meksiko (Lim dan Manicom 2003, Panhwar 2005). Di Indonesia Jambu biji belum menjadi komoditas tanaman buah utama. Menurut BPS (2013) produksi jambu biji di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 181.644 ton, namun hanya 48.911 ton yang dapat diekspor dengan nilai 105.025 US$. Nilai ekspor ini hanya 1,01 % dari total nilai ekspor tanaman buah. Tanaman jambu biji memiliki keragaman varietas (Nasution dan Hadiati 2014). Keragaman varietas perlu dipelajari dan dievaluasi untuk menentukan langkah dalam pemuliaan tanaman. Informasi keragaman telah banyak dipelajari berdasarkan karakter makromorfologi. Namun demikian, untuk keperluan mendasar, perlu diketahui karakter mikromorfologi, salah satunya stomata (Hanum et al. 2013). Stomata terdapat pada selaput sel epidermis daun (Prawiranata et al. 1981), yang secara fisiologi berfungsi untuk transpirasi dan respirasi (Mulyani 2006).Terdapat hubungan erat antara stomata dan fotosintesis yang secara tidak langsung berdampak pada pertumbuhan, produksi dan resistensi (Mashud 2007, Hardiyanto et al. 2004). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan antara stomata dan ploidi (Poespodarsono 1988, Griffiths et al. 1996, Damayanti 2007), sehingga pendugaan ploidi dimungkinkan untuk dilakukan dengan pengamatan anatomi stomata. Pengamatan anatomi stomata dapat dilakukan dengan teknik cetak, dan telah dilakukan pada beberapa tanaman (Agustin 2012, Yudha et al. 2013, Sukamto et al. 2010). Teknik cetak banyak menjadi pilihan karena tatalaksananya mudah, biaya dan waktu yang diperlukan sedikit. Dalam menggunakan teknik ini, pengamatan anatomi stomata harus memerhatikan umur sampel daun. Perbedaan umur daun akan memengaruhi kerapatan dan ukuran stomata. Informasi tentang teknik pengamatan anatomi stomata pada jambu biji masih sangat terbatas. Dari Informasi yang ada, ternyata tidak menjelaskan umur daun yang tepat untuk dijadikan sampel, sehingga perlu dilakukan penelitian berkenaan hal ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh umur daun terhadap efektivitas pengamatan anatomi stomata jambu biji dengan teknik cetak. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan mulai Januari s/d Maret 2015 di Laboratorium Balitbu Tropika, Solok, Sumatera Barat.Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun jambu biji varietas Merah Pasaman, kutek bening dan aquadest steril. Alat yang digunakan yaitu mikroskop, slide micrometer, pinset, kamera CCD, computer dan alat tulis. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan 4 perlakuan umur daun, yaitu: A (≤ 10 hari), B (11-20 hari), C (21-30) dan D (≥31 hari). Masing-masing perlakuan menggunakan 5 sampel daun dan tiap sampel daun diamati dalam 5 spot pengamatan mikroskop. Pembuatan preparat Pengamatan anatomi stomata diawali dengan pembuatan preparat. Preparat berfungsi sebagai wadah untuk menaruh bagian atau sel makhluk hidup. Pembuatan preparat yang baik akan memudahkan dalam pengamatan mikroskopis. Preparat dibuat dengan menggunakan teknik cetak (Haryanti 2010 a). Pada permukaan atas dan bawah daun diberi kutek bening untuk mendapatkan cetakan stomata, kemudian dibiarkan ±10 menit. Kutek yang sudah kering diangkat dari daun dengan menggunakan pinset. Lapisan kutek diletakkan pada kaca preparat, ditetesi aquadest sedikit, kemudian ditutup dengan kaca penutup. Preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x hingga 1000x, untuk melihat cetakan stomata. Setiap spot pengamatan mikroskop diambil gambarnya dengan menggunakan kamera CCD.
102
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pengamatan dan analisis data Parameter yang diamati meliputi bentuk, kerapatan, panjang dan lebar stomata, serta kerapatan trikoma. Kerapatan stomata dan trikoma diamati dengan menghitung jumlah stomata dalam luasan tertentu. Panjang dan lebar stomata diamati dengan bantuan “slide glass micrometer” (Gambar 1.) Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan dengan uji F dan dilanjutkan dengan uji lanjut BNT pada taraf 5 %.
Gambar 1. Cara mengamati panjang (P) dan lebar (L) stomata. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan ukuran panjang dan lebar helaian daun jambu biji disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2. Ukuran panjang dan lebar helaian daun memberikan pengaruh yang sama pada daun berumur B (11-20 hari), C (21-31 hari), dan D (≥31 hari), dan berpengaruh pada daun berumur A (≤ 10 hari). Tabel 1. Panjang dan lebar daun jambu biji. Panjang (cm)
Umur Daun
Lebar (cm)
≤ 10 hari 6,20 A 2,40 A 11-20 hari 13,55 B 6,52 B 21-31 hari 14,18 B 6,86 B ≥31 hari 14,32 B 5,49 B Angka rata-rata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut BNT pada taraf nyata 5%.
A Gambar 2.
B
C
D
Daun jambu biji dengan berbagai umur. A) Daun berumur ≤ 10 hari. B) Daun berumur 11-20 hari, C) Daun berumur 21-31 hari. D) Daun berumur ≥31 hari.
Dari pembuatan preparat stomata dengan teknik cetak pada jambu biji diketahui bahwa pembuatan preparat pada teknik ini tidak mudah dilakukan pada daun yang berumur A (≤ 10 hari), dan mudah dilakukan pada daun berumur B (11-20 hari), C (21-31 hari), dan D (≥31 hari). Pada daun A, kutek yang telah dioleskan di atas permukaan daun dan dibiarkan kering, tidak mudah untuk diangkat dari daun. Lapisan epidermis pada daun A masih lunak, sehingga kutek yang dioleskan pada permukaan daun dapat masuk dalam lapisan epidermis dan lapisan di dalamnya. Pada pada daun B,C,
103
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
dan D lapisan epidermis menebal, kutek yang dioleskan tidak dapat masuk kedalam jaringan epidermis, sehingga kutek dapat dilepaskan dengan baik dan dapat mencetak permukaan epidermis. Esau (1965) mengatakan, sejalan dengan pertumbuhan tanaman, epidermis juga tumbuh secara perlahan sehingga permukaan menjadi bertambah besar dan dinding sel menjadi lebih tebal akibat adanya penebalan sekunder yang disebut kutikula. Menurut Salisbury dan Ross (1995), kutikula pada lapisan epidermis berfungsi untuk memperlambat kehilangan air. Kutikula ini juga sangat penting artinya sebagai suatu sistem perlindungan secara mekanis (Hardiyanto et al. 2004). Hasil pengamatan anatomi stomata pada daun jambu biji disajikan Gambar 3. Pengamatan yang dilakukan di permukaan atas daun tidak ditemukan adanya stomata. Stomata hanya ditemukan di permukaan bawah daun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haryanti (2010 b), beberapa tanaman memiliki stomata hanya di permukaan bawah daun saja. Selanjutnya beberapa tanaman memiliki stomata di permukaan atas dan bawah daun, bahkan juga ditemukan beberapa tanaman yang hanya memiliki stomata di permukaan atas daun saja.
b
a c
c A
Gambar 3.
a
c B
C
Pengamatan mikroskopik pada permukaan atas (A), bawah (B) dan penampang melintang (C) daun jambu biji. (a) sel epidermis, (b) stomata dan (c) trikoma.
Pada permukaan daun jambu biji terdapat trikoma. Trikoma adalah rambut-rambut yang tumbuh dari sel-sel epidermis (Mulyani 2006).Pada daun jambu bijitrikoma mengandung senyawakimia flavonoid yangmelindungitanaman darimikroorganisme pengganggu seperti bakteri. Karena keberadaan senyawa inilahmaka daun jambu biji sering digunakan sebagai obat anti bakteri (Samanta et al. 2013). Secara teknis, pengamatan preparat dengan menggunakan mikroskop tidak mudah dilakukan pada daun A, dan mudah dilakukan pada daun B, C, dan D. Hal ini disebabkan karena jumlah trikoma pada daun A lebih banyak, sehingga menghalangi/ menutupi cetakan stomata. Tabel 2. Kerapatan, panjang, dan lebar stomata serta kerapatan trikoma pada permukaan bawah daun jambu biji. Umur Daun
Kerapatan Stomata Panjang Stomata Lebar Stomata Kerapatan Trikoma (buah/mm2) (µm) (µm) (buah/mm2) ≤ 10 hari 273,80 A 16,30 B 14,80 A 50,40 A 11-20 hari 242,80 A 19,60 A 15,90 A 26,40 B 21-31 hari 280,40 A 20,00 A 16,00 A 22,40 B ≥31 hari 275,20 A 20,54 A 15,90 A 18,40 B Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut BNT pada taraf nyata 5%.
Hasil analisis menunjukkan kerapatan stomata tidak memberikan hasil yang berbeda nyata antara daun A, B, C dan D. Lebar stomata juga tidak berpengaruh nyata oleh umur daun. Namun panjang stomata dan kerapatan trikoma dipengaruhi oleh umur daun. Daun B,C dan D memberikan hasil yang sama dan berbeda pada daun A. Daun A mempunyai panjang stomata 16,30 µm dan kemudian akan bertambah besar seiring bertambahnya umur daun, yaitu 19,60 µm pada daun B, 20,00 µm pada daun C dan kemudian 20,54 µm pada daun D. Jumlah trikoma pada daun A berjumlah 50,40 buah/ mm2, dan pada daun B,C, dan D yaitu 6,60, 5,60, dan 18,40 buah/ mm2. Kerapatan stomata tidak berbeda nyata pada semua daun, namun dengan ukuran panjang yang secara nyata lebih kecil dan kerapatan trikoma yang lebih tinggi pada daun muda. Pertambahan ukuran panjang dan lebar hanya berbeda pada ukuran panjang saja, ini berarti pertumbuhan stomata cenderung memanjang. Hal ini mungkin karena posisi 2 sel penjaga somata yang sejajar dengan panjang stomata, dimana 2 sel penjaga tersebut termasuk dalam bagian stomata. Jumlah trikoma yang semakin berkurang seiring
104
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
bertambahnya umur daun, mungkin ini berkaitan dengan fungsinya sebagai pelindung daun. Pada daun muda, sistem pelindung banyak diperankan oleh trikoma dan pada daun tua sistem pelindung banyak diperankan oleh selulosa dan kutin yang menebal pada sel epidermis. Pada angsana (Pterocarpus indicus) ukuran stomata semakin besar pada umur daun semakin tua. Kerapatan stomata sangat sedikit pada daun muda yang kemudian semakin rapat pada daun berumur sedang dan menurun kembali pada daun tua (Yudha 2013). Namun demikian, pada jeruk, stomata lebih rapat pada daun muda dan sedikit pada daun tua (Hardiyanto et al. 2004). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembuatan preparat dengan teknik cetak untuk pengamatan anatomi stomata daun jambu biji tidak efektif dilakukan pada daun berumur ≤ 10 hari. Pengamatan stomata pada preparat daun muda dengan mikroskop tidak mudah terlihat karena terhalang oleh trikoma. Daun berumur ≥31 hari memiliki ukuran stomata yang maksimal sehingga daun ini baik untuk dijadikan sampel. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Kepala Balitbu Tropika dan Koordinator Laboratorium yang telah mengizinkan penggunaan laboratorium dalam penelitian ini. Kepada Ibu Dwi Wahyuni AR. yang telah membantu dalam pelaksanaan teknis penelitian ini dan kepada Prof. Dr. Rochadi Abdulhadi atas arahan dan bimbingan dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini. DAFTAR PUSTAKA Agustin, G., 2012. Kajian Histologi dan Anatomi Mahoni (Swietenia macrophylla King.) yang Terakumulasi Timah Hitam (Pb) di Kota Padang. Padang: Tesis pascasarjana Universitas Andalas. BPS, 2013. Statistik Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan Indonesia 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 75 hal. Damayanti, F., 2007. Analisis jumlah kromosom dan anatomi stomata pada beberapa plasma nutfah pisang (Musasp.) asal Kalimantan Timur. Jurnal Bioscientiae 4 (2): 53-61. Esau, K., 1965. Plant Anatomy, second edition. New York: Jhon Willey and Sons. Griffiths, A.J.F. dkk., 1996. An Introduction to Genetic Analysis. Ed 6th. New York: W. H. Freeman and company. Hanum, L., R.S. Kasiamdari, Santosa, dan Rugayah, 2013. Karakter Makromorfologi dan Mikromorfologi Duku, Kokosan, Langsat dalam Penentuan Status Taksonomi pada Kategori Infraspesies. Biospecies 6 (2) : 23-29. Hardiyanto, A. Sugiyatno, dan L. P. Herawati, 2004. Resistensi Pasif Beberapa Spesies Jeruk Berdasarkan Ketebalan Epiermis Daun dan Kerapatan Stomata. Prosiding Seminar Jeruk Siam Nasional. Surabaya, 15-16 Juni 2004: 396-406. Batu: Puslitbang Hortikultura. Haryanti, S., 2010 a. Pengaruh Naungan yang Berbeda terhadap Jumlah Stomata dan ukuran Porus Stomata Daun Zephyranthes rosea Lindl. Buletin Anatomi dan Fisiologi 18(1): 41-48. Haryanti, S., 2010 b. Jumlah dan Distribusi Stomata pada Daun Beberapa Spesies Tanaman Dikotil dan Monokotil.Buletin Anatomi dan Fisiologi 18 (2): 21-28. Lim T.K., and B.Q. Manicom, 2003. Diseases of guava. In: Ploetz RC, editor. 2003. Diseases of Tropical Fruit Crops. Wallingford, UK: CABI Publishing. pp: 275-289. Mashud, N., 2007. Stomata dan Klorofil Dalam Hubungannya dengan Produksi Kelapa. Buletin Palma No. 32, 2007: 52-59. Mulyani, S., 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius. 329 hal. Nasution, F., and S. Hadiati, 2014. Characterization and clustering of some guava germplasm collections based on leaf and fuit characters. Agrivita 36 (1): 91-96. Panhwar, F., 2005. Genetically evolved of guava (Psidium guajava) and its future in Pakistan. Germany: Virtual Lybrary Chemistry. Poespodarsono, S., 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor: IPB. Prawiranata, W.S., P. Harran, dan P. Tjondronegoro, 1981. Dasar dasar Fisiologi Tumbuhan. Bogor: Departemen Botani, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
105
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Sukamto, L.A., F. Ahmad, dan A.H. Wawo , 2010. Pengaruh Oryzalin Terhadap Tingkat Ploidi Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.). Bul. Littro 21(2): 93 – 102. Salisbury F.B., C.W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 2. Penerjemah: D.R. Lukman dan Sumaryono. Bandung: Penerbit ITB. Hal:139-140. Samanta, K., et al, 2013. Preliminary Physico-phytochemical Study and Pharmacognostical Standardization of Psidium guajava Leaves. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences 4(4): 1-8. Yudha, G.P., Z.A. Noli, dan M. Idris, 2013. Pertumbuhan Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd) dan Akumulasi Logam Timbal (Pb). Jurnal Biologi Universitas Andalas 2(2): 83-89.
106
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
APLIKASI BEBERAPA DEKOMPOSER DALAM PENGOMPOSAN LIMBAH KULIT KOPI LIBERIKA TUNGKAL KOMPOSIT APPLICATION DECCOMPOSER IN COMPOSTING LIBERIKA TUNGKAL COMPOSITE COFFEE HUSK Rima Purnamayani dan Araz Meilin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl. Samarinda Paal V, Kotabaru , Jambi, Telp. 0741-7053525/Fax . 0741-40413 Email :
[email protected] ABSTRAK Kopi Liberika Tungkal Komposit (Libtukom) merupakan varietas unggul tanaman kopi asal Kab. Tanjung Jabung Barat yang sudah dilepas oleh Menteri Petanian sejak Desember Tahun 2013. Luas tanaman perkebunan kopi Libtukom di Kab. Tanjung Jabung Barat mencapai 2.721 hektar. Salah satu keunggulan kopi Libtukom adalah ukuran buah lebih besar dengan buah masak berwarna orange, dan produktivitas lebih tinggi dibanding Robusta. Limbah kulit kopi yang diperoleh dari proses pengolahan kopi dari biji utuh menjadi kopi bubuk. Pengolahan kopi merah diawali dengan pencucian dan perendaman serta pengupasan kulit luar, proses ini menghasilkan 65% biji kopi dan 35% limbah kulit kopi. Limbah kopi sebagian besar dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman kopi dan tanaman disekitarnya. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan April – Desember 2014 di Desa Mekar Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Bahan yang digunakan adalah limbah kulit kopi, pupuk kandang, dolomit, decomposer (cair dan padat) dan air. Aplikasi decomposer yang digunakan adalah : 1) decomposer cair, 2) decomposer padat dan 3) kombinasi decomposer padat dan cair. Perlakuan diulang sebanyak 3 kali, masing-masing sejumlah 1 ton. Dekomposisi dilaksanakan selama 3 bulan dan hasilnya dianalisis kandungan N, P, K serta C-organik. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi dua decomposer menghasilkan kompos yang lebih baik yaitu 1,46% N, 0,07% P, 0,73% K dan 50,39% C-organik. Berdasarkan Standard Nasional Indonesia No. 19-7030-2004 yang mengatur standar kualitas kompos, kandungan N, P, K, dan C kompos kulit kopi libtukom sudah memenuhi persyaratan minimum SNI. Kata kunci : kopi libtukom, kulit kopi, kompos, dekomposer ABSTRACT Coffee Liberika Tungkal Composite (Libtukom) is yielding varieties of coffee plant origin Kab. Tanjung Jabung Barat that have been released by the Ministry of Agriculture since December 2013. Libtukom coffee plantation area in the district. Tanjung Jabung Barat reached 2,721 hectares. One of the benefits of coffee Libtukom is bigger fruit size with ripe fruit, orange, and productivity higher than Robusta. Coffee leather waste obtained from the processing of whole bean coffee into coffee powder .. red Coffee Processing begins with washing and soaking and stripping the outer skin, this process resulted in 65% and 35% coffee bean coffee skin waste. Most of the coffee waste used as fertilizer on coffee plants and plants around it. This activity was conducted in April-December 2014 Mekar JayaVillage, subdistrict Betara, Tanjung Jabung Barat District. Materials used arethe coffee leather waste, manure, dolomite, decomposer (liquid and solid) and water. Applications decomposer used were: 1) liquid decomposer (EM-4) , 2) solid decomposer (Trichoderma sp) and 3) a combination of solid and liquid decomposer. These results indicate that the combined use of two decomposers produces better compost. Based on the Indonesian National Standard No. 19-7030-2004 governing compost quality standards, the content of N, P, K, and C compost coffee skin libtukom already meet the minimum requirements of SNI. Keyword : libtukom coffee, coffee bark, compost, decomposers
107
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Kopi Liberika Tungkal Komposit (Libtukom) merupakan salah satu komoditas unggulan Provinsi Jambi, karena memiliki cita rasa yang khas dan menjadikan Provinsi Jambi sebagai wilayah penghasil kopi jenis Liberika terbesar di Indonesia, dan menjadi sumber mata pencaharian utama bagi penduduk setempat.Kopi Liberika Tungkal Komposit (Libtukom) merupakan varietas unggul tanaman kopi asal Kab. Tanjung Jabung Barat yang sudah dilepas oleh Menteri Petanian sejak Desember Tahun 2013. Kabupaten Tanjung Jabung Barat memiliki kebun kopi Liberika yang cukup luas, luasnya sekitar 2.538 hektare dan tersebar di 6 kecamatan. Kopi jenis liberika ini memang jenis kopi yang paling banyak di budidayakan di Jambi. Kopi ini sangat jarang kita temui di daerah lain di Indonesia, namun orang jambi telah mengembangkan perkebunan jenis liberika sudah puluhan tahun lamanya, sekitar 60 – 70 tahun, hasil dari komoditi kopi ini paling banyak di expor ke malaysia dan singapura, wilayah penghasil kopi di Tanjung Jabung Barat yaitu di Kecamatan Betara 1536 ha. Kecamatan Pangabuan seluas 176,5 hektar, Kecamatan Bram Itam 256 hektar, Kecamatan Kuala Batera seluas 105 hektar, sementara Kecamatan Tungkal Hilir hanya seluas 17 hektar sisanya di tanam secara swadaya oleh petani di tersebar di kecamatan lainya (BPS Tanjab Barat, 2014). Salah satu keunggulan kopi Libtukom adalah ukuran buah lebih besar dengan buah masak berwarna orange, dan produktivitas lebih tinggi dibanding Robusta. Bisa berbuah sepanjang tahun dengan panen sebulan sekali dan 2 x puncak produksi. Panen besar pada bulan Mei, Juni dan Juli, sedangkan panen kecil pada bulan November, Desember dan Januari (Purnamayani et al., 2015) Menurut Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan (2010), dalam 1 hektar areal pertanaman kopi akan memproduksi limbah segar sekitar 1.8 ton. Luas perkebunan kopi libtukom di Tanjab Barat sekitar 2.538 hektare, sehingga dapat menghasilkan limbah kulit kopi sekitar 4.568,4 ton setiap tahunnya. Oleh karena itu potensi dan peluangnya sangat besar untuk dijadikan pupuk organic. Lebih lanjut Mulato et al. (1996) dalam Widyotomo (2013) melaporkan bahwa dari tiap satu ton buah basah akan diperoleh lebih kurang 200 kg kulit kopi kering. Jumlah limbah kopi yang perlu ditangani sebesar 44,6% dari berat buah kopi kering. Penelitian lain melaporkan bahwa limbah kulit buah kopi yang dihasilkan dari proses pengolahan cara basah mencapai 43% bobot buah (Ismayadi et al., 1997 dalam Widyotomo, 2013). Kulit kopi libtukom ini dapat dimanfaatkan sebagai kompos melalui proses pengomposan. Selama ini di petani,, kulit kopi dibiarkan tergeletak begitu saja dan dibiarkan melapuk sendiri. Beberapa petani ada yang mengembalikan limbah kulit tersebut ke pertanaman setelah didiamkan setahun lamanya akan tetapi kualitasnnya kurang baik. Untuk meningkatkan kualitasnya sebagai pembenah tanah, kulit kopi libtukom dapat diolah menjadi kompos. Winaryo et al. (1995) dalam Widyotomo (2013) melaporkan bahwa pengomposan kulit kopi selama 3 bulan dengan komposisi bahan baku 130 kg kulit kopi, 10 kg kulit tanduk kopi, 10 kg sekam padi, 5 kg kapur, 25 kg vertiver, 25 sampah organik dan 15 kg pupuk kandang akan menghasilkan kompos dengan kualitas baik. Erwiyono et al (2001) melaporkan bahwa kompos organik yang diproduksi dari kulit buah kopi memiliki kkandungan karbon (C) dan nitrogen (N) yang terus menyusut dari minggu pertama hingga minggu keenam dan dengan C/N rasio yang ‘relatif stabil pada periode yang sama. Melawati (2002) dalam Widyotomo (2013) menyampaikan bahwa campuran yang mengandung 25-50% limbah kopi dalam kotoran sapi dapat menghasilkan kompos organik dengan struktur yang baik. Strategi untuk mempercepat proses biodekomposisi bahan organik dilakukan dengan memanfaatkan aktivator. Aktivator adalah mikroba dekomposer yang berperan sebagai katalisator untuk mempercepat proses pengomposan dan membuat hasil pengomposan menjadi sempurna dengan mutu yang baik, karena mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. (Widawati, 2005). Penambahan activator ini mempu menyingkat waktu pengomposan dari 8-12 minggu menjadi 4-8 minggu. Aktivator ini ada dua macam yaitu bioaktivator dan activator komersial. Bioaktivator merupakan bahan-bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai aktiviator contohnya jamur, kompos matang, humus, kotoran ternak dan mikroorganisme lokal (MOL). Sedangkan activator komersial merupakan activator buatan pabrik yang banyak beredar di pasaran. Trichoderma spp adalah jamur penghuni tanan yang dapat diisolasi dari perakaran tanaman lapangan. Trichoderma spp memiliki peran sebagai dekomposeer yang dapat mendekompsisi limbah organik menjadi kompos bermutu (Mey, 2009) Dekomposer lain yang beredar di pasaran adalah Effective Microorganism-4, yang merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang
108
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
mengunungkan bagi kesuburan tanah maupun pertumbuhan dan produksi tanaman serta ramah lingkungan. Sebagian besar mengandung mikroorganisme seperti bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), ragi, actinomycetes sp dan jamur fermentasi (Syafira, 2012). Hasil penelitian Baon et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit buah kopi adalah 45,3%, kadar nitrogen 2,98%, fosfor 0,18%, dan kalium 2,26%. Selain itu, kulit buah kopi juga mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Kandungan hara limbah pertanian lainnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan hara limbah pertanian lainnya Limbah pertanian Nitrogen (%) Jerami padi 0.82 Jagung 0.92 Kacang tanah 2.33 Rerumputan 0.84 Gliricida 2.36 Lamtoro 1.43 Sumber : Ruskandi dan Setiawan (2002)
Pospor (%) 0.50 0.29 0.16 0.07 0.21 0.10
Kalium (5) 1.63 1.39 1.10 0.64 2.53 1.39
Tujuan Pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi beberapa decomposer dalam pengomposan limbah kulit kopi libtukom. METODOLOGI Pengkajian ini dilaksanakan di rumah kompos 3 kelompok tani di Kelurahan Mekar Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Timur dari bulan April – Desember 2014. Bahan yang digunakan adalah kulit kopi, pupuk kandang, kapur pertanian, gula, air, terpal decomposer cair dan decomposer padat. Sedangkan alat yang digunakan adalah cangkul, garu, timbangan, ember dan gembor. Prosedur pelaksanaan pengomposan limbah kulit kopi ini adalah : 1. Kulit buah kopi dari pabrik tersebut disikan kedalam bak-bak tempat kompos, 2. bersamaan waktu juga diisikan pupuk kandang, kemudian ditaburi dolomit, gula serta disiram dengan decomposer (EM-4 1 liter/ton atau trichoderma 2 kg/ton) dan juga air 3. Semua bahan tersebut dibuat berlapis-lapis sampai tinggi tumpukan di dalam bak minimal 75 cm. 4. Setelah proses berlangsung, suhu dalam bak naik hingga kurang lebih 50o Celcius, tapi setelah itu suhu akan turun lagi, 5. setiap 2 minggu sekali bahan di bak-bak tersebut dibalik dan jika ternyata terlalu kering maka dilakukan penyiraman 6. setelah 2 bulan kompos dianalisis. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah rancangan acak kelompok dengan perlakuan : 1) Decomposer padat (Trichoderma sp), 2) Decomposer cair (EM-4) dan 3) campuran decomposer padat dan cair. Setiap perlakuan diulang menjadi 3 ulangan dengan 3 kelompok tani yang berbeda, yang masing-masing berjumlah 1 ton campuran. Parameter yang diamati adalah : kandungan hara sebelum dan sesudah pengomposan meliputi: N, P, K, C-organik. Kandungan hara sebelum pengomposan diambil dari limbah kulit kopi yang digunakan untuk pengomposan sebanyak 3 ulangan yang kemudian dikomposit untuk dianalisis. Kandungan hara setelah pengomposan diambil sebanyak 3 sampel secara acak (bagian atas, bagian bawah dan bagian tengah dari tumpukan kompos) dari masing-masing ulangan, kemudian dikomposit. Untuk analisis, setiap ulangan dikomposit sehingga menghasilkan 1 sampel analisis untuk masing-masing perlakuan. Analisis N dilakukan dengan menggunakan metode N-Kjehdahl, analisis P dan K menggunakan metode destruksi sedangkan analisis C-organik menggunakan metode Walkey and Black. Hasil analisis ditampilkan secara tabulasi dan grafik dan dibahas secara analisis deskriptif.
109
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Hara Limbah Kulit Kopi Libtukom Limbah kulit kopi yang diperoleh dari proses pengolahan kopi dari biji utuh menjadi kopi bubuk. Proses pengolahan kopi ada 2 macam, yaitu (1) Pengolahan kopi merah/masak dan (2) Pengolahan kopi hijau/mentah. Pengolahan kopi merah diawali dengan pencucian dan perendaman serta pengupasan kulit luar, proses ini menghasilkan 65% biji kopi dan 35% limbah kulit kopi. Limbah kopi sebagian besar dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman kopi dan tanaman disekitarnya (Muryanto et al., 2004 dalam Purnamayani et al., 2014). Kulit buah kopi merupakan limbah dari pengolahan buah kopi untuk mendapatkan biji kopi yang selanjutnya digiling menjadi bubuk kopi. Kulit kopi tersebut jumlahnya berkisar antara 50 -60 persen dari hasil panen. Bila hasil panen sebanyak 1000 kg kopi segar berkulit, maka yang menjadi biji kopi sekitar 400 – 500 kg dan sisanya adalah hasil sampingan berupa kulit kopi. Limbah kulit kopi belum dimanfaatkan petani secara optimal. Padahal kulit kopi bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan pupuk kompos (Puslitkoka, 2005). Dari hasil data sekunder, potensi produksi kopi libtukom sebesar 1,2 ton/ha/tahun, maka limbah kulit kopi yang dihasilkan adalah sebesar 420 ton/tahun. Kandungan unsur hara pada limbah kulit kopi libtukom disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa potensi kandungan Nitrogen pada limbah kulit kopi sangat tinggi, sehingga berpeluang untuk menggantikan pupuk Nitrogen sebagai suplai bagi tanaman. Kandungan Kalium juga cukup tinggi dalam kulit kopi ini sehingga dapat juga berfungsi sebagai substitusi pupuk Kalium. Kandungan C-total pada limbah kulit kopi sebesar 3.92% dengan rasio C dan N nya yaitu 63.32. Rasio C dan N pada limbah kulit kopi sangat tinggi karena kulit kopi sebagai bahan baku kompos ini terdiri dari kulit buah basah, limbah cair yang mengandung lendir, dan kulit gelondong kering maupun cangkang kering. Cangkang kering inilah yang menyebabkan rasio N dan C pada kulit kopi karena cangkang mengandung lignin (Widyotomo, 2013). Tabel 2. Kandungan hara pada limbah kulit kopi libtukom di Kel. Mekar Jaya Kec. Betara Kandungan Hara Persentase (%) Nitrogen 6,19 Pospor 0,99 Kalium 1,70 Karbon 3,92 C/N (rasio karbon dan nitrogen) 63,32 Sumber : Hasil analisis di Laboratorium Tanah BPTP Bengkulu
Persen (%)
Kualitas Kompos Kulit Kopi Libtukom Kualitas kompos merupakan hal penting karena mempengaruhi kondisi tanah dan tanaman yang akan menyerap unsur-unsur hara dari kompos tersebut. Kandungan hara N, P dan K merupakan unsure hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar. Selain kandungan hara, tingkat stabilitas dan kematangan kompos juga merupakan standar kualitas kompos yang harus dipenuhi. Dari hasil kajian dengan menggunakan dua jenis decomposer ini, diperoleh keragaan unsure hara kompos limbah kulit kopi yang disajikan pada Gambar 1.
Dekomposer Cair
N (%) 0,88
P ( %) 0,06
K (%) 0,70
Dekomposer Padat
0,88
0,08
0,80
Campuran
1,46
0,07
0,73
Gambar 1. Kandungan unsur hara pada kompos kulit kopi libtukom
110
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi dua decomposer menghasilkan kompos yang lebih baik, yaitu kandungan N, P dan K yang lebih tinggi dibandingkan pada penggunaan dekomposer tunggal. Pengamatan visual juga memperlihatkan bahwa pengompossan dengan kombinasi dua decomposer secara fisik lebih cepat melapuk. Dekomposer padat yang digunakan merupakan decomposer yang terdiri dari 1 jenis mikroorganisme yaitu Trichoderma sp, sedangkan decomposer cair yang digunakan terdiri dari beberapa jenis mikroorganisme. Kandungan mikroorganisme pada decomposer cair yaitu : bakteri Fotosintetik (Rhodopseudomonas spp.), bakteri asam laktat (Lactobacillus spp.), ragi / yeast (Saccharomyces spp), Actinomycetes, dan jamur fermentasi (Aspergillus dan Penicilium) (Rahim, 2016). Trichoderma sp. merupakan jamur kosmopolitan,yang sering ditemui di semua jenis tanah, pupuk kandang dan membusuk di jaringan tanaman mendominasi di dalam tanah karena kemampuan metabolismenya yang beragam dan sifat kompetitif agresif, sebagai organisme pengurai, dapat berfungsi sebagai stimulator pertumbuhan tanaman (Setyowati et al. 2003 dalam Haryuni, (2013). Bakteri fotosintetik dan ragi yang terdapat dalam decomposer cair berfungsi membentuk senyawa bermanfaat sebagai substrat bagi mikroorganisme lain. Sedangkan bakteri asam laktat, dapat meningkatkan percepatan perombakan bahan organik; menghancurkan bahan organik seperti lignin dan selulosa serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa beracun yang ditimbulkan dari pembusukan bahan organic. Actinomycetes hidup berdampingan dengan bakteri fotosintetik bersamasama meningkatkan mutu lingkungan tanah dengan cara meningkatkan aktivitas anti mikroba tanah.Jamur fermentasi menguraikan bahan secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester dan zat anti mikroba (Rahim, 2016). Oleh karena itulah, kompos hasil dekomposisi perlakuan campuran antara decomposer padat dan cair mengandung unsure hara makro yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal karena kandungan mikroorgansmenya lebih lengkap. Jika kompos kulit kopi akan diproduksi secara komersial, maka penggunaan decomposer harus diterapkan dan untuk perbaikan kualitas kompos kulit kopi perlu ditambahkan lagi dosis pupuk kandang atau limbah pertanian lainnya. Berdasarkan Standard Nasional Indonesia No. 19-7030-2004 yang mengatur standar kualitas kompos, kandungan N, P, K, dan C kompos kulit kopi libtukom sudah memenuhi persyaratan minimum SNI (Tabel 3). Dalam proses pengomposan, salah satu hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan kompos yang baik, yaitu : Rasio C dan N (C/N). Keseimbangan karbon dan nitrogen yang terkandung dalam sumber bahan baku kompos menjadi factor penentu kemudahan proses pengomposan. Karbon merupakan sumber energi bagi mikroorgasme yang membantu perombahan bahan organic. Sedangkan Nitrogen dibutuhkan mikroorganisme untuk membangun sel tubuhnya. Makin tinggi rasio C/N, bahan baku akan semakin sulit terurai, temperature di bawah kondisi optimum dan suasana pengomposan yang asam. Tabel 4 menyajikan rasio C dan N pada kompos limbah kulit kopi. Dalam Tabel 4 terlihat bahwa penggunaan decomposer dalam kurun waktu 2 bulan belum mampu menurunkan rasio C dan N kompos kulit kopi. Hal ini dapat dicari soluasinya dengan menambahkan dosis decomposer tersebut atau menambah waktu dekomposisi. Dalam proses dekomposisi bahan organik, C digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan bersama N digunakan sebagai penyusun selnya. Kualitas kompos merupakan hal penting karena mempengaruhi kondisi tanah dan tanaman yang akan menyerap unsur-unsur hara dari kompos tersebut. Kandungan hara N, P dan K merupakan unsure hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar. Selain kandungan hara, tingkat stabilitas dan kematangan kompos juga merupakan standar kualitas kompos yang harus dipenuhi.
111
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3. Persyaratan teknis minimal pupuk organik padat No
Parameter
Satuan
1 2 3 4
%
6
C-organik C/N Rasio Bahan Ikutan (Plastik, kaca, kerikil) Kadar air*) Logam Berat As Hg Pb Cd pH
7
Hara Makro (N+P2O5+K2O)
5
Mikroba kontaminan 8 - E. Coli - Salmonella sp Mikroba fungsional -9 Penambat N - Pelarut P 10 Ukuran butiran 2 -5 mm Hara mikro: - Fe total atau - Fe tersedia 11 - Mn - Zn
STANDAR MUTU Granul/Pelet Remah/Curah Diperkaya Diperkaya Murni Murni mikroba mikroba min 15 min 15 min 15 min 15 15-25 15-25 15-25 15-25 maks 2 maks 2 maks 2 maks 2 8-20 10-25 15-25 15-25
%
ppm ppm ppm ppm -
maks 10 maks 1 maks 50 maks 2 4-9
maks 10 maks 1 maks 50 maks 2 4-9
maks 10 maks 1 maks 50 maks 2 4-9
maks 10 maks 1 maks 50 maks 2 4-9
%
min 4
min 4
min 4
min 4
MPN/g MPN/g
maks 102 maks 102
maks 102 maks 102
maks 102 maks 102
maks 102 maks 102
cfu/g cfu/g %
min 80
min 103 min 103 min 80
-
min 103 min 103 -
ppm ppm ppm ppm
maks 9000 maks 500 maks 5000 maks 5000
maks 9000 maks 500 maks 5000 maks 5000
maks 9000 maks 500 maks 5000 maks 5000
maks 9000 maks 500 maks 5000 maks 5000
0 0
0 0
0 0
0 0
Unsur lain 12 - La ppm - Ce ppm Keterangan : *) kadar air atas dasar berat basah
Tabel 4. Rasio C dan N pada limbah kulit kopi berbagai perlakuan PERLAKUAN EM-4 Trichoderma EM4+Tricho
Nitrogen (%) 0,88 0,88 1,46
Karbon (%) 49,15 41,14 50,39
C/N 55,9 46,77 34,5
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari kajian ini adalah penggunaan kombinasi dua decomposer yaitu decomposer cair dan decomposer padat menghasilkan kompos yang lebih baik, yaitu kandungan N, P dan K yang lebih tinggi (1,46% N, 0,07% P, 0,73% K dan 50,39% C-organik) dibandingkan pada penggunaan dekomposer tunggal, akan tetapi belum mampu menurunkan rasio C dan N sesuai dengan kriteria kompos. Oleh karena itu disarankan waktu dekomposisi yang lebih lama sehingga dapat menurunkan rasio C dan N kompos kulit kopi libtukom.
112
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Baon, J.B.; R. Sukasih & Nurkholis (2005). Laju dekomposisi dan kualitas kompos limbah padat kopi: pengaruh activator dan bahan baku kompos. Pelita Perkebunan, 21, 31-42. BPS Tanjab Barat. 2014. Biro Pusat Statistik. Tanjung Jabung Barat. Direktorat Pasca Panen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian (2010). http//ditjendbun.pertanian.go.id/ diakses pada 30 September 2015. Erwiyono, R.; Nurkholis & J.B. Baon (2001).Laju perombakan kulit buah kopi,jerami, dan cacahan kayu denganperlakuan mikroorganisme dan kualitaskompos yang dihasilkan. PelitaPerkebunan, 17, 64-71 Haryuni, 2013. Perbaikan pertumbuhan dan hasil stevia (Stevia rebaudiana Bertoni m) Melalui aplikasi Trichoderma sp. Biosaintifika 5 (2) 2013 Puslitkoka, 2005. Panduan Len gkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka, Jakarta Purnamayani, R., A.Meilin dan J. Hendri. 2014.Teknologi Pembuatan Kompos Limbah Kulit Kopi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Ruskandi dan O. Setiawan. 2003. Kadar Hara Makro Berbagai Jenis Limbah Tanaman Sela dan Pola Tanam Kelapa. Prosiding Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. Bogor. Rahim, 2016. http://suplirahim1960.blogspot.com/2013/05/membuat-em4-plus-labelnya.htm. diakses tanggal 28 Oktober 2016. Syafira, Lia Indah (2012) Pembuatan Pupuk Bokashi Dari Limbah Organik Dan Analisis Kandungan Unsur Nitrogen, Karbon, Fosfor Dan Kalium. Undergraduate thesis, UNIMED. http://digilib.unimed.ac.id/10131/ Widawati, Sri. 2005. Daya Pacu Aktivator Fungi Asal Kebun Biologi Wamena terhadap Kematangan Hara Kompos, serta Jumlah Mikroba Pelarut Fosfat dan Penambat Nitrogen. Jurnal Biodiversitas 6(4) : 240-243. ISSN 1412-033X Widyotomo, S. 2013. Potensi dan Teknologi Diversifikasi Limbah Kopi menjadi Produk Bermutu dan Bernilai Tambah. Review Penelitian Kopi dan Kakao (1) 2013, 63-80.
113
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
SERANGAN DAN MEMASTIKAN JENIS PENGGEREK BATANG MANGGA Rhytidodera SP. DI KOTA BENGKULU ATTACK AND CONFIRMATION OF MANGO Rhytidodera SP. BORER IN BENGKULU CITY Teddy Suparno Jurusan Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian,Universitas Bengkulu, Bengkulu, 38225 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Penggerek batang merupakan masalah utama pada budidaya mangga di wilayah rendah basah. Infomasi mengenai hama ini masih sedikit, sehingga upaya untuk mendapatkan teknologi pengendalian agak sulit dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis pengerek cabang, tingkat serangan OPT pada Kota Bengkulu dan varietas mangga. Penelitian dilakukan dengan metode survey mulai Januari 2013 sampai dengan Desember 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hama penggerek yang menyerang tanaman mangga di kota Bengkulu adalah ada dua jenis Rhytidodera simulans dan Rhytidodera sp. (Coleoptera: Cerambicidae). Hama Rhytidodera sp itu merupakan jenis hama baru. Perilakunya menyerang sama pada semua varietas mangga, yaitu mulai dari pucuk kemudian menuju ke bagian batang utama dan hanya menyerang pada tanaman yang telah berbuah. Pada serangan tahun pertama terjadi 15–30%, pada tahun kedua 20–50% dan tahun ketiga 50–80% pada tahun keempat tinggal menunggu kematiannya. Penggerek batangdapat dikendalikan secara efektifdengan cara manajemen terpadu termasuk control mekanik, kontrol kimia dan praktek agronomipada tahap awalbaik pada pertumbuhanmanggatumbuh daninfestasi penggerek batang, danuntukjangka panjang. Manajemen terpadutelah dikembangkan dan berhasil digunakan di daerah demonstrasi. Kata kunci: Mangifera indica, Rhytidodera simulans, Rhytidodera sp., penggerek cabang mangga, hama baru. ABSTRACT Stem borer is the most important pest on mango in the lowland area. The information about research this pest was still very limited, therefore, it is difficult to arrange its control strategy. The research was intended to collect data on the species of stem borer from some location, its damage severity on some mango varieties. The study was conducted by survey method from January 2013 to December 2014. The research revealed that the stem borer found in some location was two species Rhytidodera sp. and Rhytidodera simulans (Coleoptera: Cerambycidae). Discovered a new species of mango branch borer Rhytidodera sp. The stem borer attacked almost all varieties that were found in Bengkulu City. His behavior has the same on all varieties of mango, i.e. starting from the tip of the shoot and then headed over to the main stem and the only strike at plants that have been fruitful.In the first year of attacks going on 15-30%, in the second year of 20–50% and third year 50–80% in the fourth year of just wait for his death. The stem borer can be effectively controlled by way of the integrated management including mechanic control, chemical control and agronomic practices in the early stages of both mango growing and stem borer infestation, and for long run. The integrated management was developed and successfully employed in the demonstration areas. Keywords: Mangifera indica, Rhytidodera simulans, Rhytidodera sp., mango stem borer, new pest.
114
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Mangga Mangifera indica L. merupakan komoditas tanaman buah yang mempunyai banyak varietas. Masing-masing varietas mangga menghendaki persyaratan agroklimat yang berbeda untuk dapat tumbuh dan berbuah dengan optimal. Oleh karena itu pemilihan varietas dalam pengembangan mangga harus disesuaikan dengan lokasi pengembangan yang dipilih. Salah satu daerah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sentra produksi mangga adalah daerah rendah basah. Hal itu terbukti dengan dilepasnya varietas unggul nasional mangga seperti Gedong Gincu, Sala, dan Lokal Bengkulu yang dikembangkan di daerah rendah basah (Soegito et al. 2005). CABI (2010) mengulas hama mangga yang tersebar di seluruh dunia. Tercatat ada sekitar 307 spesies hama yang menyerang tanaman mangga, 69 spesies di antaranya termasuk serangga yang terdiri atas 40 spesies dari ordo Hemiptera dan Homoptera, 4 spesies dari ordo Coleptera, 4 spesies dari ordo Diptera, 11 spesies dari ordo Lepidoptera, 1 spesies dari ordo Orthoptera, 8 spesies dari ordo Thysanoptera. Di antara 69 spesies itu adalah penggerek cabang mangga. Akibat serangan hama penggerek ini dapat menyebabkan cabang hingga batang utama mangga mengalami kematian. Balitbu(2007) telah memperoleh beberapa informasi hama penggerek batang mangga tersebar di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Hama itu juga dapat ditemukan di Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, di Yogyakarta dan Jawa Timur, Sarawak; Java; Sumatra; Celebes, Ceram, Tenasserim; Thailand; Peninsular Malaysia (Malacca); Sarawak; Java; Sumatra; Celebes, Ceram (Kondo and Razak, 1993). Dari semua varietas mangga yang diamati, tidak satu varietas pun yang terhindar/tahan dari serangan hama ini. Dua jenis penggerek batang mangga yang umum ditemukan di Sumatera Barat dan Sumatera Utara adalah Rhytidodera integra dan Palimna annulata (Muryati et al. 2010). LarvaR. simulans berwarna putih kusam panjangnya sampai 7 cm. Larva instar akhir (mendekati masa pupa) membuat lubang gerek 1 – 1,5 cm. Kumbang aktif pada malam hari. Telur berwarna coklat-merah berbentuk oval, panjangnya sekitar 2 mm, terdiri dari 3 - 5 kelompok. Kumbang mampu hidup 50-100 hari dan menghasilkan telur sekitar 160 butir. Masa perkembangannya diperkirakan 7 - 8 bulan di Indonesia (Balitbu, 2007) dan satu tahun di Malaysia (Kondo and Razak, 1993). Rhytidodera simulans termasukOrder: Coleotera, Family: Cerambicdae. Genus: Rhytidodera, Species: Rhytidodera simulans merupakan hama utama pada tanaman mangga dan biasanya menyerang tanaman yang sudah berbuah (Ithnin and Shamsudin, 1996; Kondo and Razak, 1993). Imago betina meletakkan telur-telurnya di cabang-cabang muda dan telurnya berwarna kuning pada Februari 2006.Kondo and Razak (1993) melaporkan bahwa daur hidup Rhytidodera simulans sekitar 1 tahun. Larvanya dapat ditemukan pada saat cabang tanaman yang diteliti rusak, dewasanya dijumpai dan kawin di bulan Februari 2007 maka daur hidup aktualnya di perkebunan mangga di Malaysia adalah satu tahun. Menurut Muryati et al. 2003, sebanyak 95% tanaman mangga Gedong Gincu, Arumanis dan Marifta yang digunakan sebagai Blok Penggandaan Tempel (BPMT) di Kebun Percobaan Aripan, Balai Penelitian Tanaman Buah (Balitbu) Tropika Solok hancur karena serangan hama penggerek batang dan pada tahun 2013 semua varietas dari mangga Mangifera indica yang sudah berbuah di Bengkulu terserang hama itu. Salah satu kesulitan utama dalam mengatasi penggerek batang adalah keberadaan hama dalam batang tanaman dan siklus hidupnya yang panjang. Dari publikasi yang ada, informasi perilaku lain hama itu sangat sedikit diungkap, oleh karena itu untuk dapat mengendalikan hama ini masih banyak data dasar yang digali, sehingga teknologi pengendalian yang dihasilkan benar-benar dapat dapat mengatasi permasahan hama ini secara mandasar. Guna penyusunan konsep pengendalian, perlu dipertibangkan aspek efisiensi, efektifitas dan ramah lingkungan yang pada dasarnya merupakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Hama penggerek batang termasuk Cerambycidae, yaitu jenis kumbang yang mempunyai antena panjang. Hama-hama yang termasuk ke dalam famili ini biasanya menyerang tanaman berkayu dengan cara larva berkembang dan merusak baik pucuk, batang maupun maupun akar. Larvanya berumur mulai dari mulai beberapa bulan hingga beberapa tahun bergantung pada kualitas nutrisi dan kelembaban jaringan Tanaman inangnya (Linsey 1961). Hama penggerek batang merupakan salah satu permasalahan utama dalam budidaya mangga terutama di daerah rendah basah. Gejala seranganpada tanaman yang rusak berat, dapat mengakibatkan kerusakan bunga dan cabang patah. Pada bekas patahnya cabang, terlihat lubang dan saluran gerekan. Dari lubang gerekan tersebut mengalir cairan getah berwarna hitam. Pada cabang-
115
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
cabang yang mati apabila dibelah pada bekas saluran tersebut seringkali menjadi tempat tinggal semut.Untuk mengetahui spesies penggerek cabang mangga dan pola serangannya pada Mangifera indica var. di Kota Bengkulu serta cara pengendaliannya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis hama penggerek batang mangga dan mempelajari perilakunya di Kota Bengkulu. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan dengan cara survai menggunakan metode purposive random sampling tanaman mangga di pekarangan di Kota Bengkulu. Sampling dilakukan dengan seluruh tanaman di lokasi terpilih. Penelitian untuk mengetahui jenis dan perilaku hama penggerek batang dilakukan mulai bulan Januari 2013 sampai dengan Desember 2014. Untuk mengetahui intensitas serangan, maka pengamatan dilakukan terhadap gejala serangan baik pada pucuk, cabang maupun batang utama, yaitu adanya lubang bekas gerekan serangga, serta kematian jaringan tanaman tersebut. Untuk mengetahui jenis penggerek yang menyerang dilakukan pemangkasan bagian tanaman yang terserang, kemudian dibawa ke laboratorium dan diamati jenis penggereknya. Selain itu diamati juga varietas mangga yang ada dan intensitas serangan penggerek cabang masing-masing. Untuk pengamatan biologi penggerek dilakukan pengambilan sampel cabang/batang terserang dan yang masih ada larva penggerek di dalamnya, kemudian dibawa dan dipelihara di laboratorium untuk biologi dan kemungkinan adanya musuh alami hama tersebut. Biologi penggerek batang. Untuk mengetahui biologi hama, sepasang imago penggerek dipelihara di dalam kotak plastik yang diberi ventilasi dengan dibuat lubang ukuran 5 cm x 5 cm. Bagian tutup kotak pemeliharaan tersebut disimpan di laboratorium sampai imago betina meletakkan telur. Telur yang dihasilkan dipelihara sampai menjadi imago. Larva dipelihara di dalam jaringan cabang mangga yang berfungsi sebagai pakan larva tersebut. Pengamatan dilakukan setiap hari. Parameter yang diamati adalah lama telur, larva, pupa dan dewasa. Musuh alami penggerek batang diamati dengan cara larva yang berasal dari lapangan dibawa dan dipelihara di laboratorium. Pemeliharaan dilakukan Cabang mangga yang dimasukkan ke dalam kotak plastik. Pengamatan dilakukkan setiap dua hari sekali untuk mengetahui organisme yang muncul dari pemeliharaan tersebut. Data hasil pengamatan dianalisis secara diskriptif. Data hasil survai dan pengamatan perilaku hama di laboratorium disajikan dalam bentuk gambar dan analisis arimatik berupa angka rataan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pohon mangga yang terserang penggerek batang mempunyaikanopi yang rusak dan tidak beraturan serta dengan cabang-cabang yang patah (Gambar 1 dan 2). Cabang yang mati mempunyai lubang-lubang gerekan pada sisi bagian bawah di mana cairang berwarna hitam keluar. Jika cabangcabang ini dibelah, lubang gerekan panjang dan besar akan mudah dilihat (Gambar 3). Preferensi terhadap varietas ini dimungkinkan karena adanya kesuaiannya dan keseimbangan nutrisi yang tersedia bagi siklus hidup hama penggerek batang Rhytidodera sp. Selain itu preferensi hama tersebut yang lebih tinggi terhadap varietas tertentu dibandingkan terhadap yang lain kemungkinan disebabkan karena senyawa kimia khas yang dikeluarkan oleh masing-masing varietas berbeda, seperti yang dinyatakan oleh Chenier dan Philogene (1989) yang menyatakan bahwa Cerambycidae dewasa mendapakan inangnya melalui olfaction (indra pembau). Hasil pengangamatan di lapangan terhadap tingkat serangan penggerek batang mangga varietas yang ditanam petani di Kota Bengkulu menunjukkan bahwa tingkat serangan varietas yang telah berbuah adalah 5,81-76,67%. Karena serangannya yang sangat mematikan, maka penggerek batang dikategorikan sebagai serangga hama yang paling merusak, Nielson (1981). Serangga golongan Cerambycidae biasanya merupakan pemakan tanaman varietas Manalagi, Apel, Bengkulen, Lokal Bengkulu, Arumanis, Kuweni dan Golek (Tabel 1). Selain faktor kesesuaian inang, faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan dan hari hujan sangat mempengaruhi kesesuaian habitat bagi perkembangan serangga penggerek batang mangga (Price, 1997). Pada serangan tahun pertama terjadi 15–30%, pada tahun kedua 20–50% dan tahun ketiga 50–80% pada tahun keempat tinggal menunggu kematiannya.
116
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Table 1. Persentase serangan penggerek cabang pada beberapa varietas Mangga yang telah berbuah di Kota Bengkulu pada tahun 2013 Varietas Manalagi Apel Bengkulen Lokal Bengkulu Arumanis Kuweni Golek
Gading Cempaka 32,79 8,11 32,79 32,79 76,67 12,50 32,79
Muara Bangkahulu 23,08 32,79 5,56 15,85 5,56 16,84
Kampung Melayu 11,11 20,83 20,83 34,58 15,84
Gambar 1. Kanopi telah digerek 3 bulan
Lokasi Ratu Agung 11,11 23,63 -
Selebar 11,11 34,35 15,85 5,87 -
Sungai Serut 20,83 15,53 15,67
Teluk Segara 23,84 16,23 8,11 -
Rerata 23,03 8,11 19,45 19,72 35,54 7,51 20,27
Gambar 2. Kanopi telah digerek 1 tahun
Gambar 3. Bekas gerekan ditandai dengan dimakannya jaringan xilem. Hasil identifikasi serangga penggerek cabang di Kota Bengkulu adalah Rhytidodera, Ordo Coleoptera, Familia Cerambycidae, subfamili Lamiinae (Gambar 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10). Penggerek R. simulans sudah diketahui ada di Bengkulu (Pujiastuti dan Adam, 2010). Sedangkan Rhytidodera sp. merupakan jenis baru. Serangga dewasanya diciririkan bentuk badan dengan antena yang panjang, sehingga nama umum penggerek batang ini adalah kumbang berantena panjang. Antenanya dapat berputar ke arah belakang sejajar dengan sejajar badannya. Rhytidodera sp. merupakan spesies mempunyai antena panjang tetapi tidak melebihi panjang tubuhnya. Hama ini meletakkan telurnya yang berbentuk oval pada ranting dari tanaman inang, selanjutnya telur akan menetas 4-12 hari kemudian, panjangnya sekitar 2 mm, terdiri 3-5 kelompok, larva instar 1- 2 (Gambar 6) menggerek kulit dan floem, setelah memasuki instar ke 3 dan instar 4 (Gambar 7 dan 8), larva menggerek kayu ranting kemudian bergerak menuju batang utama, larva berwarna putih panjangnya dapat mencapai 6 cm, larva instar akir berwarna putih sedang pupa (Gambar 9) berwarna krem kusam, kumbang aktif padamalam hari (Gambar 9), kumbang mampu hidup 50-100 hari dan menghasilkan telur sekitar 160 butir, masa perkembangannya 7-12 bulan (tergantung varietasmangga). Sebelum pupasi, larva akan membuat lubang keluar dengan diamenter 1-1,5 cm, dan kemudian menetap didalam liang yang sebagian tertutup oleh serbuk-serbuk penutup.
117
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
A. Larva
B. Dewasa
Gb 5. Lobang gerek Gb.6. Larva instar Gb. 7. Larva instar 4 tampak dari luar 3
Gb. 9. Larva instar 4
Gb. 10. Pupa
Gb. 8. Larva instar 4
Gb. 11. Imago Rhytidodera sp
118
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Kedua jenis kumbang ini aktif pada malam hari (nocturnal) dan kadang-kadang tertarik pada sinar lampu. Umumnya kumbang ini istirahat pada siang hari dan sulit untuk ditemukan saat mereka menjulurkan tubuhnya pada ranting-ranting dan memanjangkan antenanya ke arah depan. Kumbang dewasa dapat terbang sejauh lebih dari 1 km. Menurut Fransceco (2013) Genus Rhytidodera termasuk Ordo Coleoptera, Famili Cerambycidae yang telah diketemukan adalah: R.cristata Pascoe 1866 mempunyai penyebaran di Borneo, R.mutabilis Holzschuh 1993 (Thailand), R. consona Holzschuh 1995 (India, Nepal), R.integrifrons Heller 1897 (Indonesia: Celebes), R. bowringii White 1853 (Nepal, Myanmar, nThailand, Laos, Vietnam, China), R.griseofasciata Pic1912 (China, n-Vietnam), R. grandis Thomson 1865(Laos, Thailand, Borneo), R.robusta Gahan 1891 (India), R.integra Kolbe 1886 di (Korea, China, Taiwan, Vietnam, Laos, R.concolor Nonfried), 1895 (Sumatra), R.simulans (White, 1853) di (Myanmar: Nepal, Thailand and Malaysia), R.siamica Nonfried 1892 (Thailand). Kemudian oleh Suparno (2013) ditemukan spesies baru asal Bengkulu Rhytidodera sp. dan sebelumnya spesies yang berasal dari Sumatra adalah R.concolor Nonfried), 1895. Kunci bergambar dari Fransceco (2013) Rhytidodera White, 1853 yang termasuk tribus Cerambycini Latreille, 1804 adalah sebagai berikut. 1.Pronotum dengan berabungan memanjang ..................2 -.Pronotum keriput tidak teratur...........................7 2.Elytra dengan pita gelap pasca median melintang .............................................................................3 -.Elytra dengan banyak bintik-bintikabu-abu dan/atau berbulu balig kuning....................................... 4 3.Elytradengan 2 duri akut panjang disetiap ujung; berbulu balig badan coklat tua (Borneo)... cristata Pascoe, 1866.
-. Elytra rompang, tidak dipersenjatai pada ujungnya, berbulu balig tubuhnya berwarna coklat muda (Thailand)..... mutabilis Holzschuh, 1993.
4.Elytra membulat pada ujung luar (ne-India, Nepal) ... consona Holzschuh, 1995 -. Elytra rompong miring padaujung luar ............................................................................................ 5 5. Pronotum dengan berabungan punggung dorsal tidak teratur (Indonesia: Celebes) ... ....... integrifrons Heller, 1897.
119
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
-.Pronotum dengan berabungan punggung teratur (Asian species)................................................... 6 6. Tubuh medial kecil (25-35 mm); elytra dengan pola kuning dan berbulu balig abu-abu) (Nepal, Myanmar, n-Thailand, Laos, Vietnam, China)...........bowringii White, 1853.
-.Tubuh lebih besar medial (30-45 mm); elytra dengan hanya berbulu balig abu-abu) (China, nVietnam)...... ..griseofasciata Pic, 1912.
7. Antennae flabellate (Laos, Thailand, Borneo) ....................grandis Thomson, 1865 -. Antennae not flabellate (tidak mengipas) .....................................................................................
8
8. Elytra membulat padaujung luar .................................................................................................. 9 -. Elytra bergigi padaujung luar ................... ................................................................................ 12 9.Tubuh lebih tegar; elytra dengan garis-garis kuning membujur(India) .... robusta Gahan, 1891.
120
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
-.Tubuh lebih memanjangelytra dengan bintik-bintik abu-abu dan berbulu balig kuning .............................................. 10 11. Ttubuh dengan berbulu; balig berbecak (Korea, China, Taiwan, Vietnam, Laos) .......................................................integra Kolbe, 1886 -. Tubuh denganberbulu balig hampir seragam(Sumatra) ........concolor Nonfried, 1895. Note: I do not know really the difference since, apparently, Nonfried did not know R. integra.
12.(Myanmar: Tenasserim, distrbusi telah diketahui setidaknya Nepal, Thailand and Malaysia) ..........................................simulans (White, 1853).
-. (Thailand) ........................................................................... siamica Nonfried, 1892
INDONESIE, Ile de Bencoolen, 12.IV.2013, taille 30 mm. Rhytidodera sp T. Suparno, 2014
121
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Penggerek batangdapat dikendalikan secara efektif dengan cara manajemen terpadu termasuk control mekanik, kontrol kimia dan praktek agronomi pada tahap awal baik pada pertumbuhan mangga tumbuh dan infestasi penggerek batang, dan untuk jangka panjang. Manajemen terpadu telah dikembangkan dan berhasil digunakan di daerah demonstrasi. KESIMPULAN Ditemukan dua spesies penggerek batang mangga Rhytidodera sp. dan R. simulans.Kumbang Rhytidodera sp. merupakan spesies baru dari Kota Bengkulu termasuk ke dalam ordo Coleoptera dan Famili Cerambycidae. Hampir semua varietas mangga yang sudah berbuah ditemukan di Kota Bengkulu diserang penggerek batang dengan tingkat serangan yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA CABI. 2010. Crop protection compendium [CD-ROM]. Wallingord: CAB International Chenier, J.V.R. dan B.J.R. Philogene. 1989. Field Responses of Certain Forest Coleoptera to Conifer Monoterpene and Ethanol. J. Chem. Ecol. 15: 1729-1745. Francesca. 2013. Key to the genus Rhytidodera White 1853. Cerambycoidea Forum. Posted 26/8/2013 Hank, L. M. 1999. Influence of the Host Plant on Reproductive Strategies of Cerambycid Beetles. Ann. Rev. Entomol. 44: 483-595. Ithnin, B. and O.M. Shamsudin, 1996.Insect pests.Mango planting guide. Malaysia Agric. Res. Develop. Inst., 6: 32-42. Kondo, E. and A.R. Razak, 1993. Infectivity of entomopathogenic nematodes, Steinernema carpocapsae, on the mango shoot borer, Rhytidodera simulans. Jap. J. Nematol., 23: 2836. Linsley, E.G. 1959. Ecology of Cerambycidae. Ann. Entomol. 4: 99-138. Muryati, M. Istianto dan Affndi. 2010. Beberapa aspek bioekologi hama penggerek batang mangga. 20(2): 171-178 Nielsen, E.G. 1981. Studying Biology and Control of Borrer Attacking Woody Plant. Ann. Entomol. Soc. Am. 27(4): 251-259 Pena, J.E., 1993. Pests of mango in Florida. Acta Hort. (ISHS), 341: 395-406. Price, W.P. 1997. Insect Ecology. Third edition. John Wiley and Son, Inc. New York. USA. 874P. Pujiastuti, Y dan T. Adam. 2010. Keragaman serangga penggerek batang (Coleoptera : Cerambycidae) pada tanaman mangga dan nangka. Prosiding Semirata Bidang llmu-Ihnu pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2010. flal. 83-g6 Soegito, H. Subakti, Muryati, A. Affandi dan M. Istianto. 2005. Teknologi Produksi Tanaman Mangga di Wilayah Basah. Laporan Akhir RPTP.A. 2005. Balitbu Tropika. 36 hlm.
122
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENGARUH JENIS KOMPOS DAN WAKTU PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG MANIS SECARA ORGANIK INFLUENCE OF COMPOST TYPES AND WEED CONTROL PERIODE ON GROWTH AND YIELD OF SWEET CORN UNDER ORGANIC FARMING Rahmat Wijaya, Nanik Setyowati dan Masdar Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jl. WR Supratman, Bengkulu, Indonesia. e_mail :
[email protected], phone : 08117300478 ABSTRAK Dewasa ini telah terjadi pergeseran ke arah budidaya pertanian yang ramah lngkungan termasuk pertanian organik. Pupuk organik mutlak diperlukan dalam pertanian organik untuk menggantikan pupuk kimia sintetis. Disamping itu, gulma perlu dikendalikan untuk mengurangi penurunan hasil. Penelitian bertujuan untuk membandingkan pengaruh jenis kompos dan waktu pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis.Penelitian dilaksanakan pada bulan JanuariMaret 2016 diKelurahan Padang Serai, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, Indonesia. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan dua faktor. Faktor pertama jenis pupuk terdiri dari sintetik, vermikompos, kompos seresah daun, kompos wedelia dan kompos eceng gondok sedangkan faktor kedua waktu pengendalian gulma yaitu 3 MST maupun 3 dan 6 MST. Jagung manis yang dipupuk dengan kompos pertumbuhan dan hasilnya lebih baik dibandingkan denganyang hanya dipupuk dengan pupuk anorganik. Pertumbuhan dan hasil jagung manis terbaik dihasilkan dari tanaman yang dipupuk dengan kompos wedelia dan vermikompos diikuti oleh kompos eceng gondok dan kompos seresah daun. Berat berangkasan segar dan berat berangkasan kering tanaman tertinggi dihasilkan dari tanaman yang dipupuk dengan kompos wedelia dan vermikompos. Jagung manis yang dipupuk kompos pada dosis 20 ton/ha menghasilkan diameter tongkol berkelobot, diamater tongkol tanpa kelobot dan panjang tongkol tanpa kelobot yang lebih tinggi dibandingkan yang dipupuk dengan pupuk anorganik. Tidak terdapat perbedaan pertumbuhan dan hasil jagung yang gulmanya dikendalikan pada 3 MST dan yang dikendalikan dua kali pada 3 dan 6 MST. Kata kunci : kompos, pengendalian gulma, jagung manis, pertanian organik ABSTRACT There has been a shift towards sustainable agriculture including organic farming system. Organic fertilizer is absolutely necessary for organic farming to replace synthetic fertilizers. In addition, weed control is necessary to prevent yield decrease.This study aimed to compare the influence of different types of compost and weed control period on growth and yield of sweet corn. This research was carried out in January-March 2016 in Padang Serai, Kampung Melayu Subdistrict, Bengkulu City, Indonesia. The design used in the experiment was Complete Random Design with two factors. The first factor was synthetic fertilizer, vermicompost, litter compost, wedelia compost and water hyacinth compost, whereas the second factor was the weed control period which were 3 WAP (weeks after planted) as well as 3 and 6 WAP. Sweet corn plants that nurtured with compost has better growthand yield compared to a plant that just nurtured with inorganic fertilizers. The best growth and yield of sweet corn plants produced from plants fertilized with wedelia compost and vermincompost followed by water hyacinth compost and litter leaves compost. Sweet corn fertilized with wedelia compost and vermicompost provided the highest shoot fresh and dry weight. Sweet corn fertilized with compost of rate 20 ton/Ha gave diameter of unhusked ear, diameter of husked ear as well as length of unhusked ear higher than synthetic fertilizer. Weed control once in 3 WAP (week after planted) as well as twice in 3 and 6 WAP resulted in no significant different on sweet corn growth and yield Keywords : compost, weed control, sweet corn, organic farming
123
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Penggunaan pupuk kimia sitetik dan pestisida sintetik akan memberikan dampak yang panjang baik kepada sifat fisik tanah, kimia tanah bahkan biologi tanah yang berakibat menurunnya fungsi tanah dan memperpendek penggunaan lahan. Pertanian secara konvensional berusaha memacu produksi sebanyak-banyaknya tanpa ada usaha pengembalian sisa panen kembali ke tanah, sehingga kesuburan tanah menurun. Sistem budidaya secara organik merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan dari pertanian secara anorganik. Sistem pertanian organik berorientasi kepada pemanfaatan sumber daya alam, tanpa melibatkan pupuk sintetis, pestisida sintetis dan herbisida sintetis. Penggunaan input yang berupa pupuk organik dan pestisida hayati juga berorientasi kepada peningkatan produksi, pendapatan, berkelanjutan dan ramah lingkugan (Tandisau dan Herawati, 2009 ). Pupuk organik yang berasal dari tanaman atau hewan yang digunakan untuk mensuplai bahan organik juga dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Simanungkalit et al., 2006 ). Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan dapat menyediakan media mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang. Pemberian pupuk organik padat dengan dosis tertentu dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Muhsanati et al 2008). Martadjaya et al (2010), menyatakan tidak ada perbedaan terhadap pertumbuhan dan hasil panen jagung manis yang dipupuk dengan pupuk organik maupun anorganik. Bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan pupuk organik antara lain seresah daun, limbah pertanian maupun gulma seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan wedelia (Wedelia trilobata). Meskipun memiliki dampaknegatif, beberapa jenis gulma dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik (Muktamar et al., 2016; Setyowati et al., 2014a; Setyowati et al., 2014b; Setyowati et al., 2014c). Selain pupuk, masalah yang serius dalam budidaya pertanian organik adalah gulma. Pertumbuhan gulma pada tanaman jagung manis semakin lama akan semakin banyak mulai minggu ke 4 hingga minggu ke 10. Pertumbuhan dan jenis gulma juga meningkat dengan berjalannya waktu. Tanaman jagung yang ditanam akan bersaing dengan gulma dalam memperebutkan ruang tumbuh, unsur hara dan air.Agar tanaman tetap tumbuh dengan baik dan subur maka gulma yang tumbuh harus dikendalikan, khususnya pada periode kritis (Suryaningsih et al, 2011). Penelitian bertujuan untuk menentukan jenis pupuk organik dan waktu pengendalian gulma yang tepat bagi pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2016 diKelurahan Padang Serai, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, dengan ketinggian lahan 5 mdpl. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah jenis kompos terdiri dari: K0=Kontrol (pupuk anorganik dosis 300 kg Urea,150 kg KCl dan 150 TSP/ tanpa pupuk kompos) (Kuyik et al., 2012), KV= Vermikompos 20 ton/ha, KS=Kompos seresah daun 20 ton/ha, KE=Kompos Eceng Gondok 20 ton/ha, KW=Kompos Wedelia 20 ton/ha. Faktor kedua adalah waktu penyiangan gulma yang terdiri dari: P0=Tanaman disiangi satu kali pada umur 3 MST, P1= Tanaman disiangi dua kali pada umur 3 MST dan 6 MST. Penelitian diulang tiga dan pengamatan dilakukan terhadap 5 tanaman sampel pada masing-masing petak. Pengolahan tanah dilakukan satu kali. Setelah tanah diolah dibuat petak percobaan dengan ukuran 3m x 2m ( p x l ) dengan jarak antar blok 1m. Kompos dengan dosis 20 ton/ha diberikan 4 minggu sebelum tanam pada larikan sepanjang lubang tanam. Pada petakkontrol, pupuk diberikan pada saat tanaman berumur 2 MST dan 4 MST dengan dosis Urea: 300 kg/ha, TSP : 150 kg/ha dan KCl: 150 kg/ha.Benih jagung manis ditanam dengan jarak taman 20cm x 70cm dan penyulaman dilakukan pada umur 1 MST. Gulma dikendalikan secara mekanis menggunakan cangkul dan dilakukan pada saat tanaman berumur 3 MST untuk perlakuan satu kali penyiangan dan pada 3 MST dan 6 MST untuk dua kali penyiangan. Pengendalian gulma dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembubunan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukansecara fisik, menggunakan perangkap, mempertahankan predator dan menggunakan pestisida nabati ekstrak daun suren. Untuk pengendaliandengan menggunakan pestisida yang mengandung agen hayati antagonis berupa virus (Spodoptera litura nuclear Polyhedrosis) dilakukan selama tiga minggu yakni pada minggu ke 7 sampai minggu ke 9 setelah tanam. Panen dilakukan dengan kriteria masak secara fisiologis atau telah masuk masa G4 atau (generatif ke 4).
124
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Selanjutnya datadianalisis dengan menggunakan analisis of varians (anova) pada taraf 5%. Data yang menunjukkan berbeda nyata dilakukan uji lanjut dengan uji BNT pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tidak terdapat interaksi antara jenis kompos dan waktu pengendalian gulma. Jenis kompos berpengaruh terhadap seluruh variabel yang diamati kecuali diameter tongkol tanpa kelobot sedangkan waktu pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap semua variabel yang diamati (Tabel 1). Table 1. Rangkuman analisis varian (Anava) pengaruh jenis pupuk kompos dan waktu pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis. Interaksi
Jenis Kompos
Variabel F-hit Prob F-hit Tinggi tanaman 2,05ns .1298 53,39* Jumlah daun 2,45ns .0834 5,76 * Diameter batang 0,98ns .4418 6,08 * Berat berangkasan segar 2,14ns .0867 16,33* Berat berangkasn kering 3,34ns .0324 7,02 * Diameter tongkol berkelobot 2,71ns .0598 9.02 * Diameter tongkol tanpa kelobot 1,39ns .2752 2,24ns Berat tongkol berkelobot 0,98ns .1082 13,14* Berat tongkol tanpa kelobot 1,74ns .1839 8,60 * Panjang tongkol tanpa kelobot 1,77ns .1785 6,22 * Hasil perpetak 0,42ns .7892 11,04* Keterangan : *= berbeda nyata (0,05), ns= berbeda tidak nyata (p<0,05). Sumber : Data primer (2016)
Prob .0000 0036 .0028 .0000 .0014 .0004 .1043 .0001 .0009 .0025 .0001
Waktu Pengendalian F-hit Prob 0,64ns .4330 1,71ns .2062 0,18ns .6711 0,05ns .8142 0,58ns .4528 4,03ns .0625 0,61ns .4423 0,18ns .5859 0,36ns .5243 1,10ns .3063 0,10ns .7463
Tabel 1 menunjukan jenis kompos berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis. Namun waktu pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasiltanaman. Hasil uji lanjut pengaruh jenis pupuk kompos dan waktu pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis ditampilkan pada Tabel 2 dan 3. Table 2. Respon pertumbuhan vegetatif jagung manis terhadap beberapa jeniskompos. Variabel Pengamatan TT JD DB BBS BBK (cm) (helai) (mm) (g/tan) (g/tan) Kompos Wedelia 78,12 a 14,70 a 15,20 a 442,4 a 272,03 a Vermikompos 74,78 ab 14,63 a 15,06 ab 431,0 a 247,66 a Kompos Eceng Gondok 72,93 b 14,23 a 15,00 ab 362,4 b 227,63 ab Kompos Seresah Daun 65,28 c 14,13 a 14,88 b 309,0 b 182,53 bc Kontrol 49,52 d 13,26 b 14,60 c 220,3 c 158,23 c Keterangan: TT= Tinggi tanaman, JD= Jumlah daun, DB= Diameter batang, BBS= Berat berangkasan segar, BBK= Berat berangkasan kering. Huruf yang sama yang berada pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %. Sumber : Data pimer (2016) Jenis Kompos
Table 3. Respon pertumbuhan generatif jagung manis terhadap beberapa jenis kompos Variabel Pengamatan DTB DTTK BTB BTTK PT H (cm) (mm) (g) (g) (cm) (kg/6m2) Kompos Wedelia 55,30 a 50,36 a 294,93 a 266,18 a 20,73 a 9,11 a Vermikompos 55,02 a 48,74 ab 265,6 ab 246,16 a 20,50 a 8,91 a Kompos Eceng Gondok 53,60 a 47,74 ab 277,5 a 233,13 ab 20,16 a 6,58 b Kompos Seresah Daun 49,69 b 44,66 ab 237,5 b 204,01 bc 19,03 a 5,65 bc Kontrol 46,76 b 41,66 b 172,13 c 164,73 c 16,10 b 3,98 c Keterangan: DTB= Diameter tongkol berkelobot, DTTK= Diameter tingkol tanpa kelobot, PT=Panjang tongkol, BTB= Berat Tongkol Berkelobot, BTTK= Berat Tongkol Tanpa Kelobot, H= Hasil perpetak. Huruf yang sama yang berada pada kolom yang sama tidak berbeda nyata. Sumber: Data primer (2016) Jenis Kompos
125
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Aplikasi kompos wedelia dan vermikompos pada dosis 20 ton/ha menghasilkan tanaman jagung yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. Tanaman yang dipupuk dengan kompos eceng gondok dan kompos seresah daun hasilnya juga lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1). Tanaman yang dipupuk dengan kompos lebih tinggi dibandingkan tanaman kontrol. Pada peneltian ini peningkatan tinggi tanamannya berturut-turut 57%, 51%, 47% dan 31% jika dipupuk dengan kompos wedelia, vermikompos, kompos eceng gondok dan kompos seresah daun jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian Pangaribuan (2012)juga menunjukan vermikompos dan kompos tithonia yang diberikan pada tanaman jagung manis dapat meningkatkan tinggi tanaman, berat kering tanaman dan serapan P pada tanaman. Disamping itu vermikompos juga meningkatkan kandungan C-organik dalam tanah, P tersedia dan pH tanah dibandingkan dengan kontrol. Gardner et al (1991) menyatakan, jumlah buku dan ruas sama dengan jumlah daun. Dalam hal ini, jumlah daun yang lebih banyak dihasilkan oleh tanaman yang dipupuk dengan pupuk kompos (Tabel 2). Jumlah daun tanaman yang dipupuk dengan kompos adalah 14 helai, dan 13 helai pada tanaman kontrol. Disamping jumlah daun, kompos juga berpengaruh terhadap diameter batang. Pemberian pupuk organik (kompos) tidak hanya berpengaruh positif pada tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang tetapi juga terhadap luas. Hasil yang sama dilaporkan oleh Zulkifli dan Herman (2014). Luas daun ini pada akhirnya berpengaruh terhadap berat berangkasan. Tanaman yang dipupuk dengan kompos pada dosis 20ton/ha, berat berangkasan segar dan berat berangkasan keringnya lebih tinggi dibandingkan tanaman kontrol (Tabel 2). Handajaningsih (2008) melaporkan, tanaman jagung manis yang dipupuk vermikompos dan kompos lumpur sawit pada dosis 20 ton/ha menunjukan hasil yang berbeda tidak nyata terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis. Hasil penelitian juga menunjukan kenaikan dosis kompos diikuti dengan kenaikan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, berat berangkasan segar dan berat berangkasan kering jagung. Hasil tertinggi didapat pada dosis 20 ton/ha. Pertumbuhan tanaman ditunjukan oleh pertambahan ukuran dan berat kering yang tidak dapat balik (Harjadi, 1988). Panchabanet al(2009), menyatakan penggunaan bahan organik pada tanaman dapat meningkatkan berat kering dari tanaman itu sendiri. Penggunaan pupuk organik mampu memacu pertumbuhan tanaman.Hal ini menjelaskan jika berat kering dari tanaman tersebut masih tinggi, menandakan bahwa bukan hanya ada air tetapi unsur hara dan komponen lainnya terdapat didalamnya dan mengindikasikan bahwa petumbuhan tanaman lebih baik. Secara fisiologis, unsur hara yang ada dalam media tanam dapat diserap dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dari tanaman jagung manis itu sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan kompos dapat meningkatkan berat kering tanaman jagung manis baik yang dipupuk dengan kompos wedelia, vermikompos maupun kompos eceng gondok. Berat berangkasan kering terendah dihasilkan oleh tanaman kontrol (158,23 g) sedangkan berat berangkasan kering yang dihasilkan oleh kompos wedelia sebesar 272,03 g dan tidak berbeda nyata dengan vermikompos dan kompos eceng gondok.Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhsanati et al (2008), bahwa pemberian pupuk kompos tithonia dengan dosis 20ton/ha dapat meningkatkan diameter tongkol tanaman jagung manis, panjang tongkol dan hasil. Pupuk kompos berpengaruh baik terhadap perkembangan vegetatif maupun generatif tanaman jagung manis. Faizal (2014) juga menyatakan, pemberian pupuk kompos dapat meningkatkan diameter tanaman jagung. Muyassir (2013) dan Yeti el al (2012) juga menyatakan bahwa pemberian pupuk organik dapat meningkatkan berat berangkasan kering dari tanaman jagung. Pemberian kompos dapat menaikan pH tanah, KTK dan ketersediaan P2O5. Dalam hal ini perlakuan pupuk kompos diduga dapat menaikan pH tanah dan memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Dengan demikian adanya pupuk kompos dapat menaikan nutrisi tanaman untuk pertumbuhan dan efek lanjutannya ialah penambahan panjang tongkol. Tanaman yang dipupuk dengan kompos seresah daun berat tongkol berkelobotnya naik 36,8 %, vermikomposs 61,2 %, kompos wedelia 71,3 %, sedangkan yang dipupuk dengan kompos eceng gondok naik 54,3 % dibandingkan tanaman kontrol(Tabel3). Pemberian kompos wedelia dan vermikompos dapat menghasilkantongkol tanpa kelobot yang lebih tinggi dibandingkan pupuk kompos eceng gondok, kompos seresah daun maupun kontrol(Tabel 3). Aplikasi kompos wedelia dapat menaikkan berat tongkol tanpa kelobot sebesar 61,58%; vermikompos 49,43 % dan kompos eceng gondok41,52 % dibandingkan tanaman kontrol. Ghosh et al (2013), menyatakan bahwa pemberian vermikompos dapat meningkatkan hasiltanaman jagung manis baik secara kualitas maupun kuantitas.
126
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pertumbuhan jagung manis yang berpengaruh nyata terhadap beberapa parameter pertumbuhan dan hasil tersebut, diikuti dengan kenaikan hasil jagung manis. Tanaman jagung manis yang dipupuk dengan kompos wedelia dan vermikompos hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan kompos eceng gondok. Sedangkan kompos seresah daun hasilnya berbeda tidak nyata dengan tanaman kontrol (Tabel 3).Dibandingkan dengan kontrol, kompos wedelia dan vermikompos masing-masing dapat meningkatkan hasil jagung manis 128% dan 123%. Secara umum hasil jagung manis terbaik didapat dari tanaman yang dipupuk dengan kompos wedelia dan vermikompos selanjutnya oleh kompos eceng gondok dan kompos UNIB, sedangkan tanaman kontrol hasilnya terendah. Kenaikan hasil ini disebabkan karena sifat kimia, fisika dan biologi tanah menjadi lebih baik dan terarah dimana porositas tanah, kandungan nitrogen dan biologi tanah memiliki respon baik terhadap pupuk kompos yang diberikan (Ghosh et al., 2013). Pengaruh Waktu Pengendalian Gulma Perbedaan waktu pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung (Tabel 1). Gulma yang dikendalikan pada umur 3 minggu setelah tanam (MST) dan yang kendalikan 2 kali pada 3 dan 6 MST pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manisnya berbeda tidak nyata. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismail et al (2013), waktu penyiangan yang dilakukan pada umur 2 MST hasil tanaman jagung manisnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang disiangi 3MST atau 4MST. Dengan demikian pada saat periode kritis, gulma pada tamaan jagung manis harus dikendalikan dengan baik. Selanjutnya tanaman jagung manis akan tumbuh tanpa adanya hambatan atau kompetisi dengan gulma pada fase vegetatif maupun fase generatif. Jika gulma dikedalian pada periode kritis tersebut maka tanaman jagung manis dapat tumbuh dengan optimal dan saat jagung manis sudah berumur 6 minggu gulma tidak lagi menjadi pesaing utama dari tanaman jagung manis. Untuk itu gulma pada tanaman jagung manis cukup dikendalikan satu kali pada umur 3MST. Pengendalian gulma yang dilakukan antara 2 sampai 3 MST pada tanaman sorgum dapat menekan kehilangan hasil sebesar 29% - 34% (Tarigan et al, 2013 dan Sitinjak et al, 2015). Penelitian yang dilakukan olehRahayu et al, (2000) dan Simaremare(2010 )menunjukan, titik kritis pengendalian gulma pada tanaman jagung manis terdapat pada umur tanam 21 sampai dengan 28 hari setelah tanam. Hasil dalam penelitian ini menunjukan waktu pengendalian gulma pada umur 3 MST dan umur 3 dan 6 MST, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis. Alasan tersebut diperkuat oleh penelitian Ningsih et al. (2011) dan Puspitasari (2011) yang menunjukan bahwa jenis dan jumlah gulma pada tanaman jagung manis akan meningkat pada umur 4 MST. Dengan demikian untuk mencegah terjadinya persaingan yang tinggi antara tanaman dan gulma, maka gulma perlu dikendalian pada umur3 MST, dan penyiangan yang dilakukan akan menekan pertumbuhan gulma. Hasil penelitian yang dilakukan ini juga membuktikan bahwa pengendalian gulma pada umur tanam 3 MST dapat menurunkan persaingan gulma pada pertanaman jagung manis. KESIMPULAN 1. Tanaman jagung manis yang dipupuk dengan kompos pertumbuhan dan hasilnya lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang hanya dipupuk dengan pupuk anorganik. 2. Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis terbaik diperoleh dari tanaman yang dipupuk dengan kompos wedelia dan vermikompos diikuti oleh kompos eceng gondok dan kompos seresah daun. 3. Tidak ada inteaksi antara jenis kompos dan waktu pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis. DAFTAR PUSTAKA Faizal. 2014. Pengaruh pemberian beberapa dosis kompos dengan stimulator trichoderma terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Zea Mays Saccarata Sturt.L ) varietas Bonanza F1. Fakultas Pertanian. Universitas Muhamadiyah Payakumbuh. Sumatera Barat. Skripsi (tidak dipublikasikan). Gardner, P. F., B. R. Pearce and L. R. Mitchell. 1991. Fsiologi Tanaman Budiadaya. Alih bahasa oleh Susilo, H. : Physiology of Tropical Field Crop. Gajah Mada University Press. Yokyakarta. 428 hal.
127
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Ghosh, B. C., N. Bera, D. Das, and D. K. Swain. 2013. Effect of varying soil and vermicompost mixtures on growing media and yield and quality of sweet corn. Indian Institute of Technology Kharagpur, India. 55(8): 38-42. Handajanisngsih, M. 2009. Growth and yield of sweet corn grown organically using palm oil sludge at different doses and composting methods (Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis yang Dibudidayakan Secara Organik dengan Menggunakan Lumpur Sawit pada Dosis dan Metode Pengomposan yang Berbeda). Jurnal Akta Agrosia 12(2) : 99-105. Harjadi, S. S dan S. Yahya. 1988. Fisiologi Stres Tanaman. PAU IPB. Bogor Ismail, K., W. Pembengo dan F. Zakaria.2013. Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis dan waktu penyiangan berbeda. KIM Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Vol. 1 No. 1. http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIIP/indexdiakses 28 September 2016 Muhsanati., A. Syarif., S. Rahayu. 2008. Pengaruh beberapa takaran kompos tithonia terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Zea mays saccharata). Jurnal Jerami I ( 2 ) : 1-5. Muktamar,Z., D. Putri and N. Setyowati. 2016. Reduction of Synthetic Fertilizer for Sustainable Agriculture: Influence of Organic and Nitrogen Fertilizer Combination on Growth and Yield of Green Mustard International Journal on Advanced Science Engineering Information Technology, 6,3,361-364 Muyassir. 2013. Respon jagung tongkol ganda (Zea mays L.) terhadap pemupukan urea dan kompos. Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan 2(3): 250-254 Pangaribuan, M. 2012. Pengaruh pupuk SP-36, kompos Tithonia diversifolia dan vermikompos terhadap pertumbuhan dan serapan P tanaman jagung (ZeamaysL.) serta P-tersedia pada ultisol Simalingkar. Universitas Sumatra Utara. Medan. Skripsi (tidak dipublikasikan). Puspitasari, V. D. 2011. Studi persaingan gulma terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt). Fakultas Pertanian. Universitas Jember. Skripsi (tidak dipublikasikan). Rahayu, N ., Nasrullah and A.T. Soejono. 2000. The critical period of sweet corn (Zea Mayssaccharata) on weed competiton. Abstrak Program Studi Agronomi, Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setyowati, N., Z. Muktamar, B. Suriyanti and M. Simarmata. 2014a. Growth and Yield of Chili Pepper as Affected by Weed Based Copmpost and N Fetilizer. 2014. International Journal on Advanced Science Engineering Information Technology. 2-14. Setyowati, N., Z. Muktamar, S. Oktiasa and D. W. Ganefianti. 2014b. Growth and Yield of Chili Pepper Under Different Time of Application of Wedelia (Wedelia trilobata) and Siam Weed (Chromolaena odorata) Organic Fertilizer International Journal on Advanced Science Engineering Information Technology. 6-14. Setyowati, N., S. Sudjatmiko, Z. Muktamar and Fahrurrozi. 2014c. Weed Sources Organic Fertilizer for Vegetable Production in Closed Ageiculture System in Humid Tropical Higland of Bengkulu. Proceedings of The 5th International Seminar of Regional Network on Poverty Eradication (RENPER). Banking University of Ho Chi Minh City. 22-24 October 2014. P:559-667 Simanungkalit, R.D.M., D. A. Suriadikarta, R. Saraswati., D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006. Pupuk Organink dan Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian .Jawa Barat. Simaremare, F.S.S. 2010. Periode kritis kompetisi gulma pada dua varietas jagung (Zea maysL.) hibrida. Departemen Budidaya Pertanian. Fakulltas Pertanian. Universitas Bengkulu. Skripsi (tidak dipublikasikan). Sitinjak, L., L. Purba., L.A.P. Putri. 2015. Identifikasi periode kritis persaingan dengan uji interval bebas gulma pada dua varietas tanaman sorgum ( Sorghum bicholor (L.) Muench) dilihat pada aspek pertumbuhan vegetatif. Jurnal Ilmu Pertanian KULTIVAR 9(1):9-18. Suryaningsih.,J. Martin dan A. A. K. Darmadi. 2011. Inventarisasi gulma pada tanaman jagung (Zea mays L.) dilahan sawah Kelurahan Padang Galak, Denpasar Timur, Kodya Denpasar, Provinsi Bali. Jurnal Simbiosis 1(1): 1-8. Tarigan, D. H., T. Irmansyah dan E. Purba. 2013. Pengaruh waktu penyiangan terhadap pertumbuhan dan produksi beberapa varietas sorgum (SorgumBicolor (L.) Moench). Jurnal Online Agroekoteknologi 2(1): 86-94. Yeti, H., Nelvia dan A. Pratama. 2012. Pengaruh pemberian berbagai macam kompos pada lahan ultisol terhadap pertumbuhan dan produksi jagung manis (Zea mays Saccharata Sturt). Jurnal Agrotek. Trop. I (2): 31-37. Zulkifli dan Herman. 2012. Respon jagung manis (Zea mays saccharata Stut ) terhadap dosis dan jenis pupuk organik. Jurnal Agroteknologi 2 (2) : 33-36.
128
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KARAKTERISTIK KENTANG MERAH SPESIFIK BENGKULU SELAMA PENYIMPANAN CHARACTERISTICS OF RED POTATOES OF BENGKULU-SPECIFIC DURING STORAGE Wilda Mikasari, Lina Ivanti dan Taufik Hidayat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian km. 6,5, Kelurahan Semarang, Kota Bengkulu e-mail :
[email protected] ABSTRAK Kentang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dikembangkan di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik kentang merah spesifik Bengkulu selama penyimpanan dan mengetahui kondisi penyimpanan yang dapat mempertahankan mutu kentang merah. Penelitian dilaksanakan mulai Januari s.d. Mei 2014 di laboratorium Pascapanen BPTP Bengkulu. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah lama penyimpanan 0 hari, 7 hari,14 hari, 21 hari,28 hari,35 hari, dan42 hari, faktor kedua adalah suhu penyimpanan (suhu ruang dan suhu dingin 160C). Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap bobot kentang, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar pati, dan kadar gula kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Sementara itu, suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap bobot dan kadar pati, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Selain itu, interaksi antara lama dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot, kadar pati, dan kadar gula kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Penyimpanan pada suhu 160C dapat menghambat penyusutan bobot dan memperpanjang umur simpan kentang merah. Kata kunci : karakteristik, kentang merah, spesifik Bengkulu, penyimpanan ABSTRACT Red potatoe is one of horticulture comodity which is developed in Rejang Lebong District, Bengkulu Province. This research was conducted to study Bengkulu spesific red potatoes during storage and study storage condition which can save red potatoe quality. Research held from Januari until Mei 2014 at Postharvest Laboratory AIAT Bengkulu. Research design was Complete Randomized Design(CRD) with 2factorsandthree replications. First factorwas storage period (0 day, 7 days,14days, 21 days, 28 days,35 days, and 42 days). Second factor wasstorage temperature (room temperature and 16oC temperature). Analysis of Variance result showed that storage period have significant effect to red potatoe weight, but have not significant effect to starch content and sugar content at trust level 95% (P<0.05). Despite that, storage temperature have significant effect to red potatoe weight and starch content, but have not significant effect to its sugar content at trust level 95% (P<0.05).Moreover, interaction between storage period and temperature have not significant effect to red potatoe weight, starch, and sugar content at trust level 95% (P<0.05). Then, storage condition at temperature 16oC could inhibited red potatoe weight losses. Keywords : characteristic, red potatoe, Bengkulu spesific, storage PENDAHULUAN Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki peranan yang cukup strategis. Dikatakan demikian karena kentang dikonsumsi sebagai makanan pokok untuk menyediakan sekitar 5-15% kalori bagi sebagian populasi penduduk di dunia (World Cancer Research Fund/American Institute for Cancer Research, 2007 diacu dalam Thomson, et al., 2009). Sementara itu, di Indonesia kentang dikenal sebagai salah satu komoditas hortikultura yang banyak dikonsumsi sebagai sayuran. Namun walaupun dikonsumsi sebagai sayuran, kentangjuga memiliki peranan antara lain sebagai sumber bahan makanan bergizi yang kaya akan vitamin dan mineral, sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja, serta kesempatan berusaha, bahan baku agroindustri, sebagai komoditas potensial ekspor yang merupakan sumber devisa negara, dan pasar bagi sektor non pertanian, khususnya industri hulu (Sumaryanto dan Friyanto, 2003).
129
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Luas panen kentang di Indonesia pada tahun 2015 (angka sementara) seluas 65.709 ha. Luas ini menurun dibandingkan tahun 2014 sehingga berpengaruh terhadap produksi rata-rata kentang nasional yang menurun sekitar 13,87%dibandingkan tahun 2014. Produksi kentang nasional pada tahun 2015 (angka sementara) sebesar 1.219.558 ton. Kentang merah merupakan salah satu jenis kentang yang dibudidayakan di beberapa wilayah Indonesia seperti di wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah, Bengkulu dan Kabupaten Solok (Sumatera Barat) (Ferizal, 2013). Lebih lanjut, di Kabupaten Solok, komoditas kentang merah merupakan salah satu komoditas unggulan yang dikembangkan (Fauzi, 2016). Sementara itu, di Provinsi Bengkulu kentang merah(varietas Ukemil) banyak dikembangkan di daerah Kabupaten Rejang Lebongyang merupakan kentang olahan spesifik Provinsi Bengkulu. Selain itu, di Kabupaten Karo, tanaman ini sangat disukai petani. Selain karena budidayanya yang mudah pasaran kentang merah saat ini juga sangat menjanjikan. Itu karena, produk hortikultura ini dapat diolah sebagai panganan yang menggiurkan, seperti diolah menjadi keripik (Sofyan, 2010). Walaupun pengembangan kentang merah masih terbatas, namun komoditas ini memiliki potensi dan keunggulan untuk dikembangkan. Keunggulan tersebut terletak pada komposisi nutrisi kentang merah yang cukup lengkap. Menurut United States Department of Agriculture (USDA) (2016), dalam 100 gram kentang merah mengandung 80,96% air, 70 kkal energi, 1,89% protein, 0,14% lemak, 15,90% karbohidrat, 1,70% serat, dan 1,29% gula total. Lebih lanjut, kentang merah juga mengandung mineral kalium dalam jumlah banyak di samping kalsium, zat besi, magnesium, fosfor, kalium, natrium, dan seng. Selain itu, kentang merah juga mengandung vitamin C, thiamin, riboflavin, niacin, vitamin B6, vitamin A, vitamin E dan vitamin K. Diantara kandungan beberapa vitamin tersebut, vitamin C terdapat dalam jumlah yang banyak yakni 8,6 mg/100 gram bahan. Permasalahan pada pengembangan komoditas kentang merah ini yakni sering mengalami kerusakan baik pada saat penanaman, pemanenan, maupun penyimpanan. Secara ekonomi penyimpanan bertujuan mempertahankan mutu kentang selama waktu tertentu agar harganya tidak berfluktuasi dari satu saat panen ke saat panen berikutnya. Selain itu umbi kentang yang dipanen jumlahnya banyak dan memerlukan waktu untuk dilakukan sortasi sebelum dikirim ke industri pengolahan pangan, akibatnya umbi tersebut tidak dapat langsung menjadi produk olahan dalam satu kali produksi (Asgar dan Rahayu, 2014). Lebih lanjut, umur simpan kentang dapat diperpanjang dengan proses penyimpanan dingin. Pendinginan merupakan satu satunya cara yang ekonomis untuk penyimpanan jangka panjang bagi sayuran segar, termasuk kentang. Pendinginan merupakan penggunaan suhu rendah (dibawah suhu kamar) dan pada umumnya ditujukan untuk mempertahankan kesegaran bahan. Driskill et al. (2007), menyatakan bahwa beberapa hal yang perlu diperhatikan pada penyimpanan umbi kentang adalah bagaimana proses mengendalikan penyakit dan pertunasan, meminimalisir penyusutan, dan mengendalikan kualitas penyimpanan. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses-proses tersebut adalah suhu. Sebagai contoh suhupenyimpanan spesifik untuk industri pengolahan kentang beku adalah 8-90C. Kisaran suhu yang ideal yang dapat meminimalkan pengembangan patogen dan memperpanjang dormansi dan dapat menjamin tingkat karbohidrat yang diinginkan untuk diproses. Glukosa dan fruktosa (gula pereduksi) terakumulasi dalam jaringan umbi pada suhu di bawah 70C yang menyebabkan umbi kentang tidak dapat diterima untuk diproses menjadi kentang goreng ketika kadar gula pereduksi mencapai atau melebihi 2,6% dari berat umbi kentang (basis kering). Gula reduksi adalah semua gula yang memiliki kemampuan untuk mereduksi dikarenakan adanya gugus aldehid atau keton bebas. Aldehid dapat teroksidasi langsung melalui reaksi redoks. Namun gugus keton tidak dapat teroksidasi secara langsung, tetapi harus diubah menjadi aldehid dengan perpindahan tautomerik yang memindahkan gugus karbonil ke bagian akhir rantai. Monosakarida yang termasuk gula reduksi antara lain glukosa, fruktosa, dan galaktosa (Winarno, 1992; Serven, 2009). Gula pereduksi tersebut bereaksi dengan asam amino bebas selama pemrosesan, sehingga menimbulkan warna gelap pada kentang goreng dan keripik kentang yang dihasilkan (Scallenberger et al., 1959). Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik kentang merah spesifik Bengkulu selama penyimpanan dan mengetahui kondisi penyimpanan yang dapat mempertahankan mutu kentang merah.
130
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pascapanen BPTP Bengkulu pada bulan Januari s.d. Mei 2014. Bahan yang digunakan adalah kentang merahdan bahan-bahan kimia untuk analisis kimia kentang merah. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, Air Conditioner (AC), kotak kardus dan termometer. Umbi kentang merah disimpan selama 42 hari dengan suhu penyimpanan yang berbeda yakni suhu ruang yang berkisar antara 27-280C (A) dan suhu dingin 160C (B). Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor.Faktor pertama adalah lama penyimpanan (H0 = 0 hari, H1 = 7 hari, H2 = 14 hari, H3 = 21 hari, H4 = 28, H5 = 35 hari, H6 = 42 hari), faktor kedua adalah suhu penyimpanan (T1=suhu ruang, T2=suhu 160C). Parameter yang diamati selama penyimpanan kentang merah, setiap tujuh hari sekali dilakukan pengamatan terhadap bobot kentang merah (bobot awal dan bobot akhir), prosentase cacat/kerusakan (cacat kering, bertunas, busuk ujung, dan busuk), Kadar Gula dan Kadar Pati. Data hasil pengamatan kemudian dianalisis menggunakanAnalysis of Variance (ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% (P<0.05) lalu dilanjutkan dengan uji beda nyata (Duncan). HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Kentang Merah Selama Penyimpanan Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dua arah (Two Way Anova) menunjukkan bahwa lama dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap bobot kentang merah selama penyimpanan pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Namun, interaksi antara suhu dan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kentang merah selama penyimpanan pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Bobot kentang merah rata-rata selama penyimpanan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata bobot kentang merah selama penyimpanan Rata-rata Bobot Kentang (gram) pada Lama Penyimpanan (Hari) Suhu Ruang (27-28oC) Suhu Dingin (16oC) 0 1.826 1.963 7 1.796 1.926 14 1.686 1.820 21 1.600 1.713 28 1.353 1.570 35 1.236 1.403 42 953 1.270 Sumber: Data primer terolah (2014)
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa terdapat keragaman antarperlakuan lama penyimpanan pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05) (Tabel 2). Tabel 2. Hasil uji lanjut Duncan bobot kentang merah selama penyimpanan Lama Penyimpanan Rata-rata Bobot Kentang (gram) (Hari) Selama Penyimpanan 0 1.895,00 a 7 1.861,67 a 14 1.753,33 ab 21 1.656,67 b 28 1.461,67 c 35 1.320,00 c 42 1.111,67 c Ket : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbedanyata (uji Duncan α = 5%) Sumber : Data primer terolah (2014)
Hasil pengamatan terhadap bobot kentang merah yang disimpan 0-42 hari pada suhu ruang dan suhu dingin menunjukkan bahwa kentang merah mengalami penyusutan selama penyimpanan. Penyusutan bobot kentang merah disebabkan oleh proses respirasi dan transpirasi sehingga umbi kentang merah melepaskan karbon dioksida dan air dari dalam umbi ke lingkungan sekitar. Semakin lama penyimpanan, semakin berkurang bobot kentang merah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
131
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
dilakukan oleh Dewi, I. (2016) bahwa umbi Talium paniculatum yang disimpan selama 21 hari pada suhu 390C memiliki penyusutan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu rendah (110C) yaitu sebesar 12,712 gram, sedangkan susut bobot terendah umbi T panicualatum disimpan selama 7 hari sebesar 2,564 gram. Kenaikan susut bobot selama penyimpanan tidak dapat dicegah, kenaikan susut bobot terjadi akibat dari proses fisiologis respirasi dan transpirasi. Kenaikan susut bobot diduga karena tingginya laju respirasi yang terus berlangsung selama proses penyimpanan. Ditambahkan oleh Will et al., (1981 dalam Pertiwi, (2009)) bahwa selama proses respirasi berlangsung menghasilkan gas CO2, air dan energi. Energi berupa panas, air dan gas yang dihasilkan akan mengalami penguapan. Peristiwa penguapan ini menyebabkan porsentase susut bobot mengalami peningkatan selama penyimpanan. Dari Tabel 1 terlihat bahwa penurunan bobot kentang merah selama penyimpananhingga hari ke-42 pada penyimpanan suhu ruang lebih banyak yaitu 953 gram sedangkan pada suhu dingin (16 0C) bobot kentang 1.270 gram. Hal ini sesuai dengan hasil percobaan Asgar dan Rahayu (2014) bahwa semakin lama umbi disimpan, maka semakin besar susut bobotnya. Semakin rendah suhu penyimpanan, maka ada kecenderungan kadar air semakin besar. Hal ini disebabkan oleh pendinginan yang dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme, dimana pada umumnya setiap penurunan suhu 8°C kecepatan reaksi akan berkurang menjadi kira-kira setengahnya (Wiersema, 1989). Penurunan suhu cenderung menurunkan penguapan air umbi kentang. Suhu ruang penyimpanan yang lebih rendah dari pada suhu tumpukan umbi dapat menurunkan penguapan air umbi kentang. Oleh karena itu penyimpanan umbi kentang pada suhu rendah dapat memperpanjang masa simpan. Prosentase Kerusakan Kentang Merah Selama Penyimpanan Selama penyimpanan kentang di gudang, kentang sering terserang berbagai hama dan penyakit seperti Phthorimaea operculella Zell, penyakit busuk kering (Fusarium spp.),busuk lunak (Erwinia carotovora), dan busuk mata (Ralstonia Solanecearum) terutama di gudang-gudang kentang yang sangat sederhana karena kurang cahaya atau gelap dan lingkungan yang lembab (O.S. Gunawan, 2006). Ditambahkan Chailani, S.R. (2010) bahwa faktor suhu penyimpanan akan mempengaruhi perkembangan pathogen pascapanen, umbi disimpan pada suhu dan kelembaban yang cukup tinggi maka secara bertahap penyakit mulai berkembang. Dilakukan pengamatan terhadap kerusakan kentang merah antara lain cacat kering, bertunas, busuk ujungdan busuk lunak. Prosentase cacat/kerusakan kentang merah selama penyimpanan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Prosentase cacat/kerusakan kentang selama penyimpanan Suhu Ruang (27-28oC) Penyimpanan hari Cacat Busuk Bertunas keKering Ujung (%) (%) (%) 0 0 0 0 7 0 0 0 14 0 0 0 21 0 1,68 0 28 12,81 3,78 0 35 0 6.94 0 42 21,99 0 0 Sumber: Data primer (2014)
Busuk (%) 0 0 0 0 0 14,57 12,87
Cacat Kering (%) 0 0 0 0 17,87 15,84 0
Suhu Dingin (16oC) Busuk Bertunas Ujung (%) (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 1,27 0 2,88 0 2,64 0
Busuk (%) 0 0 0 0 0 0 0
Berdasarkan data pada Tabel 3, kerusakan kentang merah terjadi mulai pada penyimpanan hari ke-21. Kentang merah yang disimpan pada suhu ruang mengalami jenis kerusakan yang lebih banyak dibandingkan dengan kentang merah yang disimpan pada suhu dingin. Jenis kerusakan kentang merah yang disimpan pada suhu ruang meliputi cacat kering, bertunas, dan busuk. Sementara kerusakan kentang merah yang disimpan pada suhu dingin hanya berupa cacat kering dan bertunas. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kentang merah setelah penyimpanan hari ke-28 umbi kentang merah mulai terserang jamur Fusarium spp dan mengalami kebusukan/cacat kering. Pada suhu ruang umbi kentang merah yang mengalami kebusukan kering sebanyak 12,81% sedangkan pada suhu dingin lebih banyak yaitu 17,87%. Hal ini disebabkan karena faktor penanganan yang kurang baik, ruang penyimpanan yang lembab sehingga jamur lebih cepat berkembang dibandingkan di ruang
132
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
penyimpanan berventilasi dan cukup cahaya. Menurut Chailani S.R. (2010) bahwa penetrasi jenis jamur Fusarium sp terjadi pada pangkal rambut akar saat pemanenan atau permulaan penyimpanan, dengan masa inkubasi selama 6-8 minggu. Kebusukan umbi yang terlihat hanya dangkal saja, dan selanjutnya umbi akan mengerut terutama pada tepi bercak akhirnya mengering seperti mumi. Menurut hasil penelitian Chailani, S.R. et al., (2008) bahwa serangan jamur Fusarium oxysporum pada permukaan umbi jalar menunjukkan gejala berupa bercak berbentuk tidak teratur, berwarna kelabu dan ukurannya bervariasi. Apabila umbi dibelah melintang, bagian daging umbi berwarna coklat yang muncul dari bagian tepi umbi dan meluas ke tengah umbi. Penyebab kerusakan lain pada kentang merah selama penyimpanan adalah dikarenakan tumbuhnya mata tunas serta tumbuhnya mikroorganisme (jamur, kapang, bakteri) pada permukaan umbi sehingga faktor tersebut akan memperpendek umur simpannya. Purwadi, A. et al.,(2007) menambahkan bahwa yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan kentang jangan sampai ruang simpan kemasukan cahaya, jadi harus benar benar gelap karna cahaya bisa merangsang pertumbuhan tunas. Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terhadap umur simpan adalah kepekaan komoditas terhadap serangan jamur, kapang dan bakteri. Kentang biasanya mempertahankan sifat-sifat baiknya untuk pengolahan bila disimpan pada suhu 10°C atau lebih tinggi, tetapi tidak disarankan menyimpan kentang pada suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar karena pada suhu tersebut kentang cenderung bertunas (Rodriguez et al.,1975). Pada Tabel 3 untuk kerusakan umbi bertunas mulai muncul pada penyimpanan hari ke-21, dimana prosentase kerusakan umbi bertunas lebih besar selama penyimpanan pada suhu ruang mencapai 6,94% dibandingkan penyimpanan suhu dingin yang hanya sebesar 2,88%. Sesuai dengan pendapat Beukema dan Zaag (2007) bahwa suhu gudang penyimpanan dapat mempengaruhi lama masa dormansi umbi kentang. Kentang akan memiliki masa dormansi yang lebih panjang jika disimpan pada suhu dingin 40C daripada disimpan dengan suhu 250C. Dormansi pada umbi kentang dipengaruhi oleh varietas, umur umbi ketika panen, keadaan lingkungan saat tanam, dan kondisi simpan umbi kentang. Sihombing dan Sinaga (1987; dalam Gunawan (2006)) menambahkan bahwa ruang gelap selain menghasilkan temperatur yang rendah juga mereduksi aktivitas pertunasan karena tidak ada rangsangan dari cahaya terhadap hormon pada umbi kentang. Penyimpanan bibit di gudang terang mampu mereduksi porsentase umbi terserang penyakit sebesar 46,598% dan menghasilkan tunas lebih pendek, kekar dan warna tunas hijau ungu bila dibandingkan dengan bibit yang disimpan di gudang gelap. Kadar Gula Berdasarkan hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Demikian pula dengan perlakuan suhu penyimpanan yang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Selain itu, interaksi antara lama dan suhu penyimpanan kadar gula kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Prosentase rata-rata kadar gula kentang merah selama penyimpanan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata kadar gula kentang merah selama penyimpanan (0-42 hari). Kadar gula kentang merah (%) pada Lama Penyimpanan (Hari) Suhu Ruang (27-28oC) Suhu Dingin (16oC) 0 2,20 2,70 7 2,20 2,70 14 2,20 2,65 21 2,30 2,65 28 2,22 2,62 35 2,50 2,50 42 2,50 2,50 Sumber: Data primer terolah (2014)
Hasil pengamatan terhadap kentang merah yang disimpan 0-42 hari pada suhu ruang dan suhu dingin menunjukkan bahwa kadar gula kentang merah mengalami peningkatan selama penyimpanan. Peningkatan kadar gula kentang merah disebabkan terjadi akumulasi gula reduksi akibat adanya perombakan senyawa pati dan polisakarida lain menjadi senyawa gula. Hasil uji lanjut dari analisis
133
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat keragaman antarperlakuan selama penyimpanan pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05) (Tabel 5). Tabel 5. Hasil uji lanjut Duncan kadar gula kentang merah selama penyimpanan Kadar Gula Kentang Merah Lama Penyimpanan (Hari) Selama Penyimpanan (%) 0 2,45a 7 2,45a 14 2,42a 21 2,47a 28 2,48a 35 2,50a 42 2,50a Ket : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbedanyata (uji Duncan α = 5%) Sumber : Data primer (2014)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan kentang merah maka kandungan gula pada kentang merah semakin meningkat, meskipun hasil analisis tidak menunjukkan keragaman. Hal ini karena dalam kentang terjadi akumulasi gula reduksi akibat adanya perombakan senyawa pati dan polisakarida lain menjadi senyawa gula. Peningkatan kandungan gula melibatkan perubahan karbohidrat menjadi gula sederhana, dimana kecepatan perubahan pati menjadi gula lebih besar dari pada penggunaan gula sebagai substrat respirasi, sebaliknya penurunan kandungan gula berarti kecepatan penggunaan gula sebagai substrat respirasi lebih besar daripada pembentukan gula. Kandungan gula yang tinggi pada umbi kentang akan mengakibatkan timbulnya warna coklat pada saat digoreng karena reaksi Maillard (reaksi antara gula-gula reduksi dengan gugus amina primer) dan proses karamelisasi (Winarno, 1992). Ini tidak menguntungkan secara ekonomi karena akan menurunkan kualitas olahan kentang, dilakukan penurunan kadar gula sebelum dilakukan pengolahan dengan melakukan reconditioning. Sejalan dengan hasil penelitian Asgar dan Rahayu (2014) bahwa aktivitas respirasi kentang akan naik apabila kentang dipindahkan dari suhu rendah ke suhu tinggi. Dengan lama reconditioning maka kandungan sukrosa umbi kentang akan menurun. Kadar Pati Kadar pati kentang merah selama penyimpanan dipengaruhi oleh lama dan suhu penyimpanan berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Namun, interaksi antara lama dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar pati kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Perubahan nutrisi umbi kentang olahan selama dalam penyimpanan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpannnya terutama temperatur. Penyimpanan umbi kentang pada suhu ruang dapat mengalami penurunan kandungan pati yang lebih besar apabila dibandingkan dengan peningkatan kandungan gulanya, karena gula hasil perombakan dari pati secara stimular digunakan sebagai energi dalam proses respirasi. Hasil penelitian Asgar, A dan Marpaung (1998) mengatakan bahwa umbi kentang Granola yang disimpan selama 5 hari penurunan kandungan patinya maksimal 0,98%, sedangkan peningkatan kandungan gulanya maksimal 0,36%. Tabel 6. Rata-rata kadar pati kentang merah selama penyimpanan (0-42 hari) Kadar pati Kentang merah (%) pada Lama Penyimpanan (Hari) Suhu Ruang (27-28oC) Suhu Dingin (16oC) 0 16,00 13,60 7 15,86 13,58 14 16,12 13,96 21 16,08 14,32 28 15,98 14,12 35 16,30 14,50 42 15,23 14,54 Sumber: Data primer terolah (2014)
Hasil uji lanjut dari analisis Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat keragaman antarperlakuan selama penyimpanan pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05) (Tabel 7).
134
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 7. Hasil uji lanjut Duncan kadar pati kentang merah selama penyimpanan Kadar Pati Kentang Merah Lama Penyimpanan (Hari) Selama Penyimpanan (%) 0 14,80a 7 14,72a 14 15,04a 21 15,20a 28 15,40a 35 15,05a 42 14,88a Ket : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%) Sumber : Data primer (2014)
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa dengan semakin rendah suhu penyimpanan, maka semakin rendah pati. Hal ini disebabkan oleh adanya perombakan pati menjadi gula akibat pengaruh enzim fosforilase. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Asgar dan Rahayu (2014) bahwa kandungan pati dari suhu 4-10°C berkisar antara 8,40-9,20%. Penurunan kandungan pati paling tinggi terjadi pada umbi yang disimpan pada suhu 4°C karena pada suhu ini aktivitas perombakan pati menjadi gula berlangsung sangat cepat. Selama penyimpanan dalam suhu rendah enzim phosphofructokinase tidak aktif atau dihambat kerjanya (Van Es A and KJ Hartmans, 1987). KESIMPULAN 1. Lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap bobot kentang, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar pati dan kadar gula kentang merah. 2. Penyimpanan umbi kentang merah pada suhu dingin 160C dapat menghambat penyusutan bobot dan memperpanjang umur simpan umbi kentang merah. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu yang telah memfasilitasi tempat pelaksanaan penelitian ini dan teknisi di laboratorium Pascapanen atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Asgar, A. dan S.T. Rahayu. 2014. Pengaruh suhu penyimpanan dan waktu pengkondisian untukmempertahankan kualitas kentang kultivar margahayu. Berita Biologi XIII (3) : 283-293. Asgar, A. dan L. Marpaung, 1998. Pengaruh umur panen dan lama penyimpanan terhadap lualits kentang goring. J. Hort 8 (3).1209:1216. Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016. Luas Panen Kentang MenurutProvinsi,20112015.http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/HortiASEM2015/L. %20Panen%20Kentang.pdf [27 Mei 2016]. ____ .2016. Produksi Kentang MenurutProvinsi,20112015.http://www.pertanian.go.id/ Data5tahun/HortiASEM2015/Produksi%20Kentang.pdf. Beukema, H.P dan D. E van der Zaag. 2007. Introduction to Potato Production. Edisi 3. Pudoc Wageningen. Netherland. 179 p. Isro’illa, D. 2016. Pengaruh suhu dan lama penyimpnan terhadap susut bobot dan kadar saponin umbi (Talinum paniculatum (Jacq) Gaertn. Skripsi. Universitas Nusantara PGRI Kediri. Ferizal, 2013. Melirik peluang budidaya kentang merah. http://jurnalasia.com/2013/12/17/ pada: http://jurnalasia.com/2013/12/17/melirik-peluang-budidaya-kentang merah/#stash.gyncd2n.dpuf [7 Juni 2016]. O.S. Gunawan. 2006. Pengaruh cahaya dan tempat penyimpanan bibit kentang di gudang terhadap pertunasan dan serangan hama penyakit gudang. J. Hort. 16. (2) : 142-150.
135
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pantastico ErB. 1975. Structure of fruits and vegetables. In Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Substropical Fruits and Vegetables.Er.B. Pantastico (Eds), 9. The Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. The Avi Publishing, C0., Inc Pertiwi, C.A.L.P. 2009. Mutu dan umur simpan ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) dalam kemasan plastik pada berbagai suhu penyimpanan. Skripsi. Fakultas teknologi pertanian. Institut Pertanian Bogor. IPB. Purwadi, A., Usada,W., dan Suryadi. 2007. Aplikasi ozon hasil teknologi kimia plasma untuk memprpanjang umur simpan umbi kentang. Prosiding PPI-PDIPTN. Pusteks Akselerator dan Proses Bahan-BATAN. Yogyakarta 10 Juli 2007. Serven AV Gokmen. 2009. Evaluation of maillard reaction in potato crispy by acrylamide, antioxidant capacity, and color. Journal of Food Composition ang Analysis. Vol 22 (6) : 589-595. Siti Rasminah Chailani. 2010. Penyakit penyakit pascapanen tanaman pangan. Universitas Brawijaya Press (UB Press). Siti Rasminah Chailani, Nasir Saleh, A.L. Abadi dan I. Irianti. 2008. Identifikasi jamur pathogen penyebab penyakit pascapanen pada umbi ubi jalar di kabupaten Bangkalan dan Sampang. Agrivita. Jurnal Ilmu Pertanian. Vol 30. Nomor 3 Tahun 2008.p 280-287. Sumaryanto, S. dan S. Friyanto. 2003. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas kentang dan kubis di Wonosobo Jawa Tengah. SOCA No. 3 Vol. (1) : 83-98. Sofyan, E. Melirik potensi kentang merah di Karo. http://www.medanbisnisdaily.com/news/arsip/read/2010/11/15/7558/melirik_potensi_ken tang_merah_di_karo/ [7 Juni 2016]. United States Department of Agriculture Agricultural Research Service [USDA]. 2016. NationalNutrient Database for Standard Reference. https://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/3083?fgcd=&manu=&lfacet=&format=&count= &max=35&offset=&sort=&qlookup=red+potatoe[7 Juni 2016]. Van Es. A. and KJ. Hartmans. 1987. Starch and sugars during tuberization, storage and sprouting. In Storage of potatoes. A. Rastovski, A. Van Es et al (eds), 43-44. Pudoc. Wageningen. Wiersema. S.G.1989. Storage requirement for potato tuber. Postharvest technology thrust. International potato center (CIP, Bangkok, Thailand).9p Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. 18, 40-43. PT Gramedia, Jakarta. World Health Organization. 2007. The world health report 2007: A safer future, globalpublic health security in the 21st centurydiacu dalam Thompson,et al. 2009. Functional food characteristics of potato cultivars (Solanum tuberosum L.):Phytochemical composition and inhibition of 1-methyl-1-nitrosourea induced breast cancer in rats. Journal of Food Composition and Analysis. Vol. (22). : 571-576.
136
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI OLEH NEMATODA PURU AKAR Meloidogyne spp DAN JAMUR Fusarium sp INHIBITION OF RED CHILLI GROWTH BY ROOT KNOT NEMATODE Meloydogyne sp AND FUNGUS Fusarium SP. Imelda Riska Andani1, Tunjung Pamekas2, Djamilah2 1
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu e-mail:
[email protected],
[email protected]
2
ABSTRAK Penyakit puru akar yang disebabkan oleh Meloidogyne spp dan penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh Fusariumoxysporum f.sp. lycopersici merupakan faktor pembatas produksi tanaman cabai. Interaksi kedua patogen tersebut dapat menyebabkan tanaman tumbuh kerdil, daun menguning, layu pada daun dan batang, perontokan daun, nekrosis pada tepi daun, bahkan menyebabkan gagal panen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh populasi nematoda puru akar (Meloidogyne spp) dan jamur Fusarium sp terhadap pertumbuhan tanaman cabai merah. Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan faktor pertama: populasi Meloidogyne spp yang terdiri dari M0 = 0 ekor polibag-1, M1 = 50 ekor polibag-1, M2 = 100 ekor polibag-1, M3 = 150 ekor polibag-1, dan M4 = 200 ekor polibag-1. Faktor kedua: inokulasi Fusarium sp yang terdiri dari F0 = tanpa fusarium dan F1 = dengan fusarium. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara Fusarium sp dan Meloidogyne spp menghambat pertumbuhan tanaman cabai. Kata kunci: cabai merah, Meloidoyne spp, Fusarium sp. ABSTRACT Root-knot disease caused by Meloidogyne spp and Fusarium wilt caused by Fusarium oxysporum f. sp. lycopersici are the main factor influencing chilli production. Interaction of those both pathogens on the plant caused stunting, yellowing of the leaves, stem wilt, leaves fall, and necrotic. The aim of this research was to evaluate the effect of root knot nematode Meloidogyne spp population and Fusarium sp on the growth of chili plant. The research was arranged on Factorial Completedly Randomized Design with three replications. The first factor was Meloidogyne spp population, consist of M0= 0 juveniles polybag-1, M1=50 juveniles polybag-1, M2=100 juveniles polybag-1, M3=150 juveniles polybag-1, and M4= 200 juveniles polybag-1 . The second factor was Fusarium sp. inoculation, consist of F0= without Fusarium sp. and F1= plus Fusarium sp. The result showed that Meloidogyne spp and Fusarium sp. interaction caused higher inhibition of chili growth. Keywords: red chili, Meloidogyne spp. and Fusarium sp. PENDAHULUAN Produksi cabai besar di Provinsi Bengkulu tahun 2014 sebesar 46.166,70 ton, mengalami peningkatan sebesar 6.165,80 ton (15,41%) dibandingkan tahun 2013. Peningkatan produksi cabai besar ini diperkirakan karena kenaikan luas panen sebesar 1.641 hektar (28,34% dibandingkan tahun 2013 seluas 5.791 hektar). Peningkatan luas panen dan produksi tahun 2014 tidak diikuti oleh kenaikan produktivitas jika dibandingkan tahun 2013, dengan produktivitas menurun sebesar 0,70 ton/hektar atau turun 10,07 persen (BPS, 2014). Menurut Adiyoga (1996) rata-rata produktivitas usaha tani cabai (4,3 ton/ha) masih tergolong rendah dibandingkan dengan potensinya (6-10 ton/ha). Salah satu penyebab penurunan produktivitas cabai yaitu adanya serangan nematoda dan penyakit layu fusarium. Meloidogyne spp merupakan parasit akar yang penting dan banyak menyerang tanaman di lahan pengembangan maupun pembenihan, sehingga banyak menimbulkan kerugian bagi petani karena terjadi penurunan produktivitasnya. Serangan Meloidogyne spp. dapat mengurangi produksi tomat dunia 20,20% (Sassre dan Freckman, 1987 dalam Mustika et al., 2002), 15-95% pada wortel (Kurniawan, 2010), dan 20-80% pada padi (Nurjayadi et al., 2015). Meloidogyne spp masuk ke dalam akar dan menginfeksi akar, sehingga akar akan membengkak dan tidak dapat berfungsi dengan baik. Pada bagian akar yang membengkak ini terdapat Meloidogyne spp yang bersarang di dalamnya.
137
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Meloidogyne dewasa terus-menerus bergerak dan menetap di sekitar akar. Dalam gerakan-gerakan tersebut Meloidogyne spp menggigit dan menginjeksikan air ludah pada bagian akar tumbuhan dan menyebabkan sel tumbuhan menjadi rusak (Dropkin, 1989; Munif, 2003). Menurut Mulyadi (2009) apabila tanaman terserang oleh Meloidogyne spp, sistem perakaran yang normal akan berkurang dan menyebabkan jaringan berkas pengangkut mengalami gangguan, akibatnya tanaman mudah layu khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil, pertumbuhan terhambat dan mengalami klorosis. Hikmia et al. (2012) berhasil mengidentifikasi empat spesies Meloidogyne pada wortel, yaitu M. rerania, M. hapla, M. incognita, dan M. Javanica, sementara Aprilyani et al. (2015) berhasil mengindentifikasi beberapa sepesis nematoda M. incognita pada tanaman kentang berdasarkan karakter morfologi dan molekul DNA. Sementara itu, Fusarium sp merupakan patogen tanaman yang dapat menular melalui tanah (soil borne). Cendawan ini dapat bertahan dalam tanah sebagai miselium atau spora tanpa adanya inangm (Wibowo, 2002). Jika terdapat inang maka akan menginfeksi akar, masuk ke jaringan vaskular (xylem), menyebar dan memperbanyak diri, dan menyebabkan inang mengalami kelayuan karena sistem pembuluh pada tanaman inang tersebut tersumbat (Agrios, 2005 ; Huda, 2010). Adanya luka pada perakaran akibat infeksi Meloidogyne spp diduga akan menyebabkan mudahnya infeksi oleh Fusarium sp. Oleh karena itu perlu dievaluasi pengaruh populasi Meloidogyne spp dan Fusarium sp. terhadap pertumbuhan tanaman cabai. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh populasi nematoda puru akar Meloidogyne spp dan jamur Fusarium sp terhadap pertumbuhan tanaman cabai. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai dengan Juli 2016, di Laboratorium Proteksi Tanaman dan di lahan percobaan Proteksi Tanaman, Universitas Bengkulu. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan tiga ulangan, Faktor pertama: populasi Meloidogyne spp yang terdiri dari M0= 0 ekor polibag-1, M1 = 50 ekor polibag-1, M2 = 100 ekor polibag-1, M3 = 150 ekor polibag1, dan M4 = 200 ekor polibag-1. Faktor kkedua: inokulasi Fusarium sp yang terdiri dari F0= tanpa Fusarium sp dan F1= dengan Fusarium sp. Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian meliputi : benih cabai merah varietas Laris, polibag, biakan Meloidogyne spp., isolat Fusarium sp, pupuk kandang sapi, kapas, meteran, cangkul, mistar, nampan, petridish, PDA, tanah steril, drum, mikroskop, autoklaf, tabung reaksi, lampu Bunsen, jangka sorong, dan LAF (Laminar Air Flow). Isolasi Fusarium sp dilakukan dengan menggunakan metode penanaman jaringan, dari bagian tanaman cabai yang menunjukkan gejala terserang F. oxysporum. Identifikasi dilakukan secara makroskopis dan mikrokopis dengan menggunakan buku identifikasi (Booth, 1975). Perbanyakan Meloidogyne spp dilakukan dengan cara mencari tanaman pacar air yang terserang Meloidogyne spp dengan indikator adanya puru akar pada tanaman. Potongan akar tanaman pacar air ukuran 0,5 cm dibenamkan di daerah perakaran tanaman tomat dan cabai sehat yang ditanam dalam tanah steril untuk memperbanyak Meloidogyne spp. Selanjutnya, Meloidogyne spp diekstraksi dan diisolasi dengan metode corong Baermann yang dimodifikasi, Bibit cabai sehat umur tiga minggu, dipindahtanam ke medium tanah dan pupuk kandang (2:1) steril. Inokulasi Meloidogyne spp dilakukan 1 minggu setelah tanaman cabai dipindahtanamkan ke polibag. Inokulasi dilakukan sesuai dengan perlakuan masing-masing dan dilakukan pada sore hari dengan cara menyiramkan suspensi nematoda di daerah sekitar perakaran. Inokulasi fusarium dilakukan 1 jam setelah infestasi Meloidogyne spp, dengan cara menyiramkan suspensi Fusarium sp dengan kerapatan 106 spora/ml sebanyak 1 ml/tanaman di rhizosfer tanaman. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi: Pemupukan NPK saat penanaman, dengan dosis 3 gr polibag-1, penyiraman dilakuakan pada saat pagi dan sore hari, penyulaman dilakukan apabila terdapat tanaman yang mati pada saat umur seminggu setelah pindah tanam, dan pengendalian gulma dilakukan secara mekanik. Variabel yang diamati adalah : tinggi tanaman (cm), diameter batang (cm) diukur 5 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan jangka sorong, jumlah daun per tanaman (helai) dengan menghitung jumlah daun telah membuka sempurna, umur berbunga dengan mengamati saat bunga pertama muncul, dan jumlah buah yang terbentuk. Variabel tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun dihitung satu minggu sekali sejak inokulasi patogen hingga tanaman umur 10 minggu.
138
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis varian pada taraf 5% dan 1% apabila menunjukkan pengaruh nyata atau sangat nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis varian diketahui bahwa inokulasi Fusarium sp dan Meloydogne spp pada cabai merah menunjukkan adanya pengaruh nyata atau sangat nyata pada jumlah daun minggu ke 1-3, diameter batang minggu ke 3-9, tinggi tanaman minggu ke 6 sampai minggu ke 10, dan jumlah buah (Tabel 1). Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis varian terhadap variabel pertumbuhan tanaman cabai Variabel
Fhitung Fusarium Meloidogyne Interaksi Jumlah daun 1 1,581ns 0,613ns 4,968** Jumlah daun 2 0,281ns 2,167ns 6,114** Jumlah daun 3 0,140ns 4,733** 3,553* Jumlah daun 4 0,832ns 2,546ns 1,233ns Jumlah daun 5 0,558ns 1,780ns 1,977ns ns ns Jumlah daun 6 0,841 1,719 1,803ns ns ns Jumlah daun 7 0,945 1,642 1,232ns Jumlah daun 8 0,832ns 1,225ns 1,104ns ns ns Jumlah daun 9 0,867 1,292 1,161ns ns ns Jumlah daun 10 1,240 1,429 1,194ns ns Diameter batang 1 13,537** 1,984 2,548ns Diameter batang 2 8,717** 4,897** 1,447ns ns Diameter batang 3 0,621 4,373* 4,488* Diameter batang 4 1,486ns 4,279* 4,153* Diameter batang 5 0,044ns 2,951* 3,622* Diameter batang 6 1,686ns 4,104* 3,148* Diameter batang 7 3,311ns 4,763** 3,356* Diameter batang 8 1,765ns 3,892* 3,116* Diameter batang 9 7,346* 3,416* 3,151* Diameter batang 10 15,509* 3,790* 2,806ns ns ns Tinggi tanaman 1 0,091 0,821 0,456ns ns ns Tinggi tanaman 2 0,142 1,515 1,024ns Tinggi tanaman 3 0,184ns 2,603ns 1,228ns ns ns Tinggi tanaman 4 0,391 2,715 1,164ns ns ns Tinggi tanaman 5 0,218 1,815 1,283ns Tinggi tanaman 6 4,258ns 0,640ns 5,490** Tinggi tanaman 7 4,095ns 0,611ns 5,586** Tinggi tanaman 8 3,353ns 0,560ns 5,414** Tinggi tanaman 9 3,793ns 0,731ns 6,228** Tinggi tanaman 10 3,349ns 0,634ns 5,791** Umur berbunga 0,515ns 1,928ns 2,351ns ns ns Jumlah buah 3,840 2,511 4,248* Ket : * = berpengaruh nyata, ** = berpengaruh sangat nyata, ns = berpengaruh tidak nyata Sumber: Data primer (2016)
Pengaruh Inokulasi Fusarium sp Terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai Secara umum hasil dari analisis varian menunjukkan bahwa inokulasi Fusarium sp tidak berpengaruh nyata terhadap semua variabel pengamatan kecuali pada diameter batang pada minggu ke 1, 2, 9, dan 10 (Tabel 1). Walaupun inokulasi Fusarium sp tidak berpengaruh secara statistik tetapi dari nilai rata-rata semua variabel terlihat bahwa pada perlakuan inokulasi Fusarium (F1) lebih kecil daripada perlakuan F0. Hasil ini menunjukkan bahwa adanya Fusarium sp dapat menghambat pertumbuhan tanaman cabai, khususnya jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman (Tabel 2).
139
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Pengaruh inokulasi Fusarium sp terhadap jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman cabai Minggu ke JD (helai) DB (cm) TT (cm) (msi) F0 F1 F0 F1 F0 F1 a b 1 4,2 6,1 0,18 0,15 7,5 7,2 2 6,1 6,8 0,23a 0,21b 13,3 12,7 3 9,8 9,8 0,31 0,29 17,4 17,2 4 13,5 12,0 0,35 0,32 24,2 22,6 5 18,6 14,8 0,42 0,37 32,0 28,7 6 30,8 23,4 0,47 0,41 47,5 34,4 7 38,4 29,6 0,53 0,46 50,7 36,8 8 47,2 37,8 0,55 0,49 53,6 39,2 9 47,7 38,1 0,59a 0,51b 56,2 40,3 10 48,2 39,2 0,62a 0,52b 58,0 41,7 Ket : JD = jumlah daun, DB = diameter batang, TT = tinggi tanaman, F0 = tanpa fusarium F1 = dengan fusarium. Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT 5%. msi = minggu setelah inokulasi. Sumber : Data primer (2016)
Dari Tabel 2 terlihat bahwa jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman cabai meningkat dari minggu pertama setelah pindah tanam sampai minggu ke 10 dengan pola yang sama dengan peningkatan lebih besar pada perlakuan F0 daripada F1. Hal ini berarti bahwa inokulasi Fusarium sp berpengaruh negatif terhadap pertambahan jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman. Adanya jamur Fusarium sp pada jaringan xylem akan mengganggu penyerapan unsur hara sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman cabai (Semangun, 2007). Tabel 3. Pengaruh inokulasi Fusarium sp terhadap umur berbunga dan jumlahbuah tanaman cabai. Fusarium Umur Berbunga (hari) Jumlah Buah (buah) F0 57,2 7,46 F1 55,9 3,26 Ket : UB = umur berbunga, JB = jumlah buah, F0 = tanpa fusarium, F1 = dengan fusarium Sumber: Data primer (2016)
Inokulasi Fusarium sp berpengaruh tidak nyata secara statistik terhadap umur berbunga dan jumlah buah namun berpengaruh nyata pada nilai rataan, terlihat bahwa perlakuan F1 memiliki nilai terendah dibandingkan dengan perlakuan F0. Hal ini dikarenakan adanya Fusarium sp dapat menganggu pertumbuhan tanaman cabai, pada umur berbunga rataan tertinggi pada F0 yaitu dengan rata-rata 57,2 serta pada jumlah buah F0 juga merupakan rataan tertinggi yaitu 7,46. Hal ini berarti dengan adanya Fusarium sp akan merespon tanaman cabai cepat berbunga namun tidak mendukung terbentuknya buah (Tabel 3). Pengaruh Inokulasi Meloidogyne spp terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai Hasil analisis anova secara umum menunjukkan bahwa inokulasi Meloidogyne spp berpengaruh nyata pada jumlah daun minggu ke 3 dan diameter batang minggu ke 2-10 (Tabel 1).Dari nilai rata-rata jumlah daun dapat dilihat bahwa inokulasi Meloidogyne spp dapat menghambat pertambahan jumlah daun tanaman cabai. Hal yang sama terjadi pada variabel diameter batang dan tinggi tanaman cabai. Pengamatan jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman minggu pertama sampai minggu ke 10 mengalami peningkatan, namun peningkatan laju yang paling rendah berada pada perlakuan M4 dibandingkan dengan perlakuan M3,M2,M1, dan M0 (Tabel 4). Hal ini dikarenakan bahwa pada perlakuan M4, populasi nematoda 200 ekor polibag-1, tanaman cabai terserang paling parah dibandingkan dengan tanaman lain. Tingginya populasi nematoda Meloidogyne spp akan membutuhkan makanan yang banyak juga yang diambil dari tanaman cabai sehingga ketersediaan nutrisi bagi pertumbuhan tanaman cabai menjadi sangat berkurang. Sebagai akibatnya pertambahan jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman akan menjadi kecil. Dilaporkan bahwaMeloidogyne spp mengganggu transportasi unsur hara pada jaringan pembuluh tanaman cabai. Gejala kerusakan pada akar biasanya selalu diikuti oleh pertumbuhan tanaman yang lambat dikarenakan terhambatnya penyerapan unsur hara oleh akar yang akhirnya terjadi defisiensi hara, seperti daun menguning dan layu pada cuaca kering dan panas (Munif, 2003).
140
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Inokulasi Meloidogyne spp dapat mempengaruhi kecepatan pembungaan yang terlihat pada umur berbunga dan jumlah buah, bahwa perlakuan M4 akan lebih cepat berbunga dibandingkan dengan perlakuan lainnya namun lebih lambat dalam membentuk buah Hal ini dikarenakan tanaman yang terganggu akan mengalami stress sehingga akan memicu pertumbuhan bunga. Tabel 4. Pengaruh inokulasi Meloidogyne spp terhadap jumlah daun, diameter batang dan tinggi tanaman cabai Nematoda M0 M1 M2 M3 M4
1 4,8 3,6 3,8 4,8 3,6
2 6,1 6,6 7,1 7,3 5,0
3 11,5a 8,5b 10,0b 10,8b 8,3b
Jumlah daun (helai) pada minggu ke 4 5 6 7 8 17,6 22,0 40,0 48,0 57,6 11,1 13,8 22,8 31,5 39,5 12,5 15,8 23,5 28,8 36,3 12,5 17,1 26,0 33,1 43,8 10,1 14,6 23,5 28,5 35,3
9 58,5 39,8 36,5 44,3 35,5
10 60,5 41,3 36,5 44,3 35,8
Diameter batang (cm) pada minggu ke 2 3 4 5 6 7 8 9 10 M0 0,29a 0,38a 0,41a 0,47a 0,54a 0,62a 0,64a 0,67a 0,73a b ab a ab ab ab ab ab M1 0,20 0,24 0,29 0,33 0,39 0,44 0,46 0,51 0,57b b abc ab ab b abc abc abc M2 0,22 0,28 0,34 0,39 0,43 0,51 0,53 0,56 0,58b M3 0,21b 0,31bc 0,34b 0,44b 0,46b 0,50bc 0,53bc 0,54bc 0,55b M4 0,19b 0,27c 0,30b 0,36b 0,37b 0,40c 0,45c 0,46c 0,46b Tinggi tanaman (cm) pada minggu ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 M0 8,1 15,3 22,1 30,3 39,0 51,9 56,8 58,7 61,6 63,7 M1 6,8 11,6 14,8 19,8 24,7 36,5 38,0 41,0 42,3 45,0 M2 7,5 12,7 16,8 23,0 29,9 38,6 40,3 42,1 43,9 45,4 M3 7,3 13,5 17,9 24,2 32,7 42,3 45,1 48,6 51,6 52,6 M4 7,1 11,9 15,0 19,7 25,5 35,6 38,6 41,6 42,8 44,2 Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT 5%. M0 = Tanpa nematoda, M1 = 50 ekor nematoda, M2 = 100 ekor nematoda, M3 = 150 ekor nematoda, M4 = 200 ekor nematode Sumber : Data primer (2016) 1 0,18 0,18 0,18 0,15 0,13
Tabel 5. Pengaruh inokulasi Meloidogyne spp terhadap umur berbunga dan jumlah buah tanaman cabai Meloidogyne M0 M1 M2 M3 M4
Umur Berbunga (hari) 56,5 61,0 64,3 6,0 39,0
Jumlah Buah (butir) 9,66 4,16 3,66 6,33 3,00
Ket
: M0 = Tanpa nematoda, M1 = 50 ekor nematoda, M2 = 100 ekor nematoda, M3 = 150 ekor nematoda, M4 = 200 ekor nematode Sumber : Data primer (2016)
Interaksi antara Meloidogyne spp dengan Fusarium sp Pada Tabel 1 terlihat bahwa interaksi inokulasi Meloidogyne spp dan Fusarium sp berpengaruh nyata terhadap semua variabel pengamatan kecuali pada jumlah daun minggu ke 4-10, diameter batang pada minggu ke 1 dan 2, tinggi tanaman pada minggu 1-5, dan umur berbunga. Pada Tabel 6,7, dan 8 terlihat bahwa nilai rata-rata perlakuan M4F1 yang paling rendah. Hal ini dikarenakan M4 merupakan perlakuan tertinggi dengan jumlah populasi 200 ekor pertanaman dan F1 merupakan perlakuan yang diinokulasikan dengan Fusarium sp sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat akibat adanya serangan ganda oleh cendawan Fusarium dan Meloidogyne spp yang menyebabkan penyakit layu fusarium cepat berkembang dan masuk ke dalam tanaman, kemudian menetap serta mengambil sumber makanan dari tanaman cabai tersebut.
141
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 6. Pengaruh interaksi Meloidogyne spp dan Fusarium sp terhadap jumlah dauntanaman cabai Perlakuan
Jumlah daun (helai) minggu ke 1 2 3 M0F0 5,0a 6,6a 12,3a ab ab M0F1 4,6 5,6 10,6a M1F0 3,0ab 5,3ab 7,0a ab ab M1F1 5,0 8,0 10,0a ab bc M2F0 4,6 7,3 8,3ab M2F1 3,0ab 7,0bc 11,6ab M3F0 4,0ab 5,3bc 9,0ab b bc M3F1 5,6 9,8 12,6abc b bc M4F0 4,3 6,0 12,3bc M4F1 3,0b 4,0c 4,3c Ket : M0F0 = 0 nematoda + 0 fusarium, M0F1 = 0 nematoda + fusarium, M1F0 = 50 nematoda + 0 fusarium, M1F1 = 50 nematoda + fusarium, M2F0 = 100 nematoda + 0 fusarium, M2F1 = 100 nematoda + fusarium, M3F0 = 150 nematoda + 0 fusarium, M3F1 = 150 nematoda + fusarium, M4F0 = 200 nematoda + 0 fusarium, M4F1 = 200 nematoda + fusarium. Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT 5%. Sumber : Data primer (2016)
Tabel 7. Pengaruh interaksi Meloidogyne spp dan Fusarium sp terhadap diameter batangtanaman cabai Perlakuan
Diameter batang (cm) minggu ke 3 4 5 6 7 8 9 M0F0 0,36a 0,40a 0,46a 0,54a 0,67a 0,69a 0,73a M0F1 0,39ab 0,42a 0,48a 0,53ab 0,57ab 0,59ab 0,62ab M1F0 0,23abc 0,28ab 0,35ab 0,38ab 0,43ab 0,44ab 0,49ab abcd M1F1 0,25 0,30abc 0,33ab 0,41ab 0,46ab 0,47ab 0,54ab M2F0 0,28abcd 0,34abc 0,40ab 0,43ab 0,50b 0,52ab 0,59b M2F1 0,29bcde 0,34abc 0,38ab 0,44ab 0,52b 0,54b 0,54b bcde abc ab ab b b M3F0 0,31 0,35 0,46 0,47 0,51 0,55 0,56b cde bcd abc ab b bc M3F1 0,31 0,33 0,42 0,44 0,50 0,52 0,52b M4F0 0,34de 0,38cd 0,48bc 0,50b 0,53b 0,57bc 0,57b M4F1 0,20e 0,23d 0,24c 0,25c 0,26c 0,33c 0,33c Ket : M0F0 = 0 nematoda + 0 fusarium, M0F1 = 0 nematoda + fusarium, M1F0 = 50 nematoda + 0 fusarium, M1F1 = 50 nematoda + fusarium, M2F0 = 100 nematoda + 0 fusarium, M2F1 = 100 nematoda + fusarium, M3F0 = 150 nematoda + 0 fusarium, M3F1 = 150 nematoda + fusarium, M4F0 = 200 nematoda + 0 fusarium, M4F1 = 200 nematoda + fusarium. Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT 5%. Sumber : Data primer (2016)
Tabel 8. Pengaruh interaksi Meloidogyne spp dan Fusarium sp terhadap tinggi tanaman cabai Perlakuan
Tinggi tanaman (cm) minggu ke 6 7 8 9 10 M0F0 60,1a 66,0a 68,9a 73,6a 76,0a ab ab ab ab M0F1 43,6 47,6 48,6 49,5 51,4ab ab abc abc ab M1F0 39,3 41,0 45,0 46,3 50,3abc M1F1 33,6ab 35,0abc 37,0abc 38,3b 39,6abc ab abc abcd bc M2F0 48,6 51,0 53,0 55,0 57,1bcd abc bcd bcd bc M2F1 28,6 29,6 31,3 32,8 33,8bcd abc bcd bcd bcd M3F0 39,6 42,6 45,6 48,6 50,8bcd M3F1 45,0bc 47,6bcd 37,0bcd 52,8bcd 54,5bcd bc cd cd cd M4F0 50,0 53,0 55,6 57,3 59,2cd c d d d M4F1 21,3 24,3 27,6 28,3 29,3d Ket : M0F0 = 0 nematoda + 0 fusarium, M0F1 = 0 nematoda + fusarium, M1F0 = 50 nematoda + 0 fusarium, M1F1 = 50 nematoda + fusarium, M2F0 = 100 nematoda + 0 fusarium, M2F1 = 100 nematoda + fusarium, M3F0 = 150 nematoda + 0 fusarium, M3F1 = 150 nematoda + fusarium, M4F0 = 200 nematoda + 0 fusarium, M4F1 = 200 nematoda + fusarium. Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT 5%. Sumber : Data primer (2016)
142
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 7 menunjukkan bahwa interaksi pada perlakuan M4F1 sangat terlihat jelas. Hal ini dikarenakan perlakuan M4F1 memiliki nilai rata-rata umur berbunga paling cepat dan memiliki nilai rata-rata paling rendah, hal ini dikarenakan perlakuan M4F1 adalah perlakuan yang tertinggi dengan populasi Meloidogyne spp 200 ekor tanaman-1 dan dengan fusarium. Sehingga akan mempercepat proses pembungaan namun akan menghambat pertumbuhan buah. Tanaman yang terserang paling parah yaitu pada perlakuan M4F1, hal ini menunjukkan bahwa pada tanaman yang diinokulasi Meloidogyne spp dan Fusarium sp sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai. Walaupun dari masing-masing perlakuan memiliki kemampuan sendiri dalam menyerang inangnya, tetapi serangan pada tanaman akan lebih cepat dan parah apabila keduanya dikombinasikan. Meloidogyne spp menyebabkan luka pada akar untuk masuk kedalam tanaman dan memblokir fungsi akar, sedangkan Fusarium sp memanfaatkan luka tersebut sebagai jalan masuk kedalam tanaman dan menginfeksi jaringan tanaman, dengan kerja sama kedua penganggu tanaman inilah yang akan mengakibatkan cepatnya tanaman cabai terserang penyakit. Serangan Meloidogyne spp ditandai adanya puru pada akar. Patogen ini merupakan parasit penyerang bagian akar tanaman cabai, luka yang disebabkan Meloidogyne spp inilah dimanfaatkan Fusarium sp untuk masuk dengan cepat kedalam jaringan tanaman cabai. Oleh karena itu, perlu upaya agar kedua patogen tersebut tidak berada bersama pada satu tempat. Hal ini sangat penting, mengingat Fusarium dapat tertular tanah dan bertahan lama dalam tanah (Wibowo, 2002), sementara Meloidogyne spp. merupakan parasit penting yang memiliki distribusi yang luas dan mampu menginfeksi berbagai macam tanaman pertanian (Nurjayadi et al., 2015) dan masih sangat tergantung dengan penggunaan nematisida sintetik (Mustika, 2002). KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Keberadaan Fusarium sp akan menghambat pertumbuhan diameter batang tanaman cabai. 2. Keberadaan Meloidogyne spp mampu menghambat pertumbuhan jumlah daun dan diameter batang tanaman cabai. Semakin tinggi populasi Meloidogyne spp maka penghambatan pertumbuhan tanaman cabai akan semakin besar. 3. Adanya interaksi antara Fusarium sp dan Meloidogyne spp akan mempercepat penghambatan pertumbuhan tanaman cabai. DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W. 1996. Produksi dan konsumsi cabai merah. Hal: 4-13 dalam A.S. Duriat, A.W. W. Hadisoeganda, T.A Soetiarso dan L. Prabaningrum (Eds.) Teknologi produksi cabai merah. BALITSA. Bandung Agrios GN. 2005. Plant pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press. San Diego, California, USA. 907 p. Aprilyani, Supramana, A dan G. Suastika. 2015. Meloidogyne incognita penyebab umbi berbintil pada kentang di beberapa sentra produksi kentang di Jawa. J. Fitopat. Ind. 5(10)143-149. Badan Pusat Statisk. 2014. Luas panen, produksi dan produktivitas cabai 20092013.http://www.pbs.go.id/tabsub/view.php?kat=3dantabel=1dandaftar=1danid_subyek=55dannotab=62 (Diunduh 14 Maret 2016). Booth S. 1975. The Genus fusarium. The Lavenham Press Ltd. England. Dropkin, VH. 1989. Introduction of plant nematology. John Wiley & Sons. New York. USA. 304 p. Hikmia Z, Supramana, dan G. Suastika. 2012. Identifikasi spesies Meloidogyne spp. penyebab umbi bercabang pada tanaman wortel di Jawa Timur. J. Fitopat. 8(3 73-78. Huda, M. 2010. Pengendalian layu Fusarium pada tanaman pisang (Musa paradisiaca L.) secara kultur teknis dan hayati. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kurniawan, W. 2010. Identifikasi penyakit umbi bercabang pada wortel, Daucus carota (L.), di Indonesia. Tesis. IPB, Bogor. Mulyadi. 2009. Nematologi pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Munif, A. 2003. Prinsip-prinsip pengelolaan nematoda parasit tumbuhan di lapangan. Makalah pada Pelatihan “ Identifikasi dan pengelolaan nematioda parasit utamatumbuhan:. Pusat
143
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Kajian Pengendalian Hama Terpadu (PKPHT)-HPT. Institut Pertanian Bogor. 26-29 Agustus 2009. 10 h. Mustika, I, H. Marwoto, R. Harni, dan S.H. Nazarudin. 2002. Pengendalian nematoda pada tanaman tomat dengan menggunakan bakteri Pasteuria penetrans. J. Fitopat. Ind. 5(1):20-25. Nurjayadi, M.Y., A. Munif, dan G. Suastika. 2015. Identifikasi nematoda puru akar, Meloidogyne graminicola, pada tanaman padi di Jawa Barat. J. Fitopat. Ind. 4(8)113-120. Semangun H. 2007. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wibowo, A. 2002. Pengendalian penyakit layu Fusarium pada pisang dengan menggunakan isolat nonpatogenik Fusarium sp. J. Fitopat. Ind. 6(2) 65-70.
144
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENGARUH BEBERAPA DEKOMPOSER DI DALAM PEMBUATAN PUPUK ORGANIK DAN PEMANFAATANNYA PADA TANAMAN KOPI THE INFLUENCE OF SOME DECOMPOSERS IN THE ORGANIK FERTILIZER MANIFACTURES AND UTILIZATION OF THE COFFEE PLANT Putu Suratmini dan A.A.N.B. Sarmudadinata Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Jl.ByPass Ngurah Rai, Pesanggaran , Denpasar Email :
[email protected] ABSTRAK Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diharapkan mampu meningkatkan nilai devisa ekspor Indonesia. Umumnya tanah-tanah di Indonesia berkadar bahan organik rendah bahkan di J a wa kandungannya kurang dari 1 %, sehingga pemupukan organik sangat diperlukan. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui pengaruh dekomposer (MOL) dalam fermentasi pupuk organic dan pemanfaatan pupuk organik hasil fermentasinya pada pertanaman kopi. Pengkajian dilakukan di Desa Sanda,Tabanan tahun 2015. Pada pengkajian ini ada dua tahap kegiatan yaitu tahap I adalah proses pembuatan pupuk organik dari limbah ternak kambing dan Ada 4 perlakuan yang diberikan pada kotoran kambing yaitu :P1(tanpa fermentasi/kontrol), P2(fermentasi dengan MOL ganas (daun gamal + nasi basi), P3 (fermentasi dengan MOL buah busuk, P4 (fermentasi dengan Rumino bacillus (RB). Tahap II adalah pemberian pupuk hasil tahap I pada tanaman kopi sebanyak 40 pohon kopi yang telah berumur diatas 5 tahun dibagi dalam 4 perlakuan dengan 10 ulangan dan diberikan sebanyak 10 kg/pohon/tahun. Perlakuan yang diberikan yaitu: 1) K1 : pupuk kompos tanpa fermentasi, 2) K2 : pupuk kompos MOL ganas, 3) pupuk kompos MOL buah busuk dan 4) pupuk kompos RB. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Parameter yang diamati meliputi: (1) kadar NPK dari kompos, 2) produksi kopi gelondongan basah, kering matahari dan kering oven/pohon dan 3) produksi biji basah, biji kering matahari dan kering oven per pohon. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Kompos hasil fermentasi dengan MOL ganas (P2) memberikan kandungan unsur hara makro (NPK) lebih tinggi dibandingkan desngan kontrol (P1) maupun dengan perlakuan P3 dan P4. Perlakuan K2 (pupuk kompos MOL ganas) memberikan berat kopi gelondongan basah 4,88%, berat biji basah 12.6%, dan berat biji kering oven 6.35% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol (K1 = pupuk yang tidak difermentasi). Kata kunci : dekomposer, pupuk organik, tanaman kopi ABSTRACT Coffee is one of the commodities that are expected to increase the foreign exchange value of Indonesian exports. Generally land in Indonesia has low levels of organic matter and in Java even less than 1%. So organic fertilizer is needed. The purpose of the assessment is to determine the role of decomposers (local microorganism) in the fermentation of goat manure (feces) and the utilization of result fermentation in coffee plant. The assessment was done at Sanda village, Tabanan 2015. In this assessment, there are two phases, namely Phase I activities is the process of making organic fertilizer from goat manure (feces) with some decomposer. There were four treatments were: 1) goat manure without fermentation, 2) goat manure fermented with MOL ganas (Gliricidia leaves + rotten rice), 3) goat manure fermented with MOL rotten fruit, 4) goat manure fermented with Rumino bacillus(RB). Phase II is the provision of fertilizer results of Phase I of the coffee plant as many as 40 coffee trees that have been over the age of 5 years were divided into 4 treatments with 10 replications and given as much as 10 kg / tree / year. The treatments were: 1) K1: compost without fermentation, 2) K2: compost with MOL ganas, 3) K3: compost with MOL rotten fruit and 4) K4: compost with Ruminobaciilus. The design used was a randomized block design (RBD). The parameters observed were: (1)the content NPK nutrient of compost, 2) the coffee production of wet logs, sun-dry and oven-dry/ tree and (2) the production of wet seed, sun dry and dry oven seed. The result showed that the content of NPK nutrients in organic fertilizer fermented with MOL ganas (P2) look higher compared to the control (P1) and the other treatment P3 and P4. Treatment K2 (fertilizer with MOL ganas) provide weight of wet logs cofee 4.88%, weight of wet seed 12.6% and weight of dry oven seed 6.35% higher compared to the control treatment (K1= fertilizer without fermentation). Keywords: decomposers, organic fertilizer, the coffee plant
145
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Hingga saat ini, kopi masih menjadi komoditas andalan ekspor hasil pertanian Indonesia selain kelapa sawit, karet, dan kakao. Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diharapkan mampu meningkatkan nilai devisa ekspor Indonesia (Mayrowani, 2013). Indonesia merupakan produsen utama kopi dunia dan menempati urutan ketiga penghasil kopi setelah Brazil dan Vietnam, dengan volume ekspor mencapai 10.620.000 kantung ( satu kantung berisi 60 kg) di tahun 2012. Brazil, Vietnam dan Indonesia adalah produsen utama kopi robusta di dunia. Luas perkebunan kopi di Indonesia adalah 1.240.000 ha yang terdiri dari 933.000 ha kopi robusta dan 307.000 ha kopi arabika (Wahyuni dan Kariada. 2015). Saat ini produksi kopi Indonesia telah mencapai 600 ribu ton pertahun dan lebih dari 80% berasal dari perkebunan rakyat. Luas perkebunan kopi di Indonesia yang dikelola oleh perusahaan besar hanya sekitar 47.000 ha, sedangkan luas perkebunan kopi rakyat mencapai 1,2 juta ha (BPS, 2014). Area kopi rakyat ini sebagian besar berada di lahan kering masam dengan produktivitas rendah. Hasil penelitian Prayuginingsih et al.(2010) mendapatkan bahwa mutu dan produktivitas kopi rakyat umumnya rendah. Beberapa faktor penyebabnya antara lain: a) teknologi budidaya dan pengolahan pasca panen belum sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia; b) penurunan kesuburan dan kualitas tanah; c) lemahnya pengawasan kualitas di setiap tahap produksi sejak tanam, pengolahan hingga tata niaga kopi. Hal ini berakibat pada rendahnya pendapatan petani. Hasil pengamatan Kasno (2003) terhadap tanah pertanian baik lahan sawah maupun lahan kering diperoleh bahwa umumnya tanah-tanah di Indonesia berkadar bahan organik rendah bahkan di Jawa kandungannya < 1 % (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Untuk meningkatkan kadar bahan organic tanah satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan pemupukan organik (pupuk kandang atau kompos). Bahan organik tanah menentukan sifat biologi, kimia dan fisika tanah yang pada akhirnya sangat menentukan daya dukung tanah terhadap tanaman (Mulyanto, 2004). Kurniaty et al. (2010) menyatakan penambahan bahan organik akan memberikan kondisi yang dapat membantu pergerakan air dan udara dalam media menjadi lebih baik. Kondisi ini juga akan mempengaruhi penyerapan unsur hara oleh tanaman. Dewasa ini seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan produk pangan berkualitas dan semangat kembali ke alam maka permintaan produk pertanian organik semakin meningkat. Kopi sebagai salah satu aset produk Indonesia yang terkenal di dunia, sekarang ini banyak diusahakan atau diproduksi secara organik dan dikenal dengan kopi organik. (Winarni et al., 2013). Hal ini merupakan peluang yang sangat besar bagi petani kopi untuk memanfaatkan limbah ternak peliharaanya sebagai pupuk tanaman kopi. Petani di Desa Sanda Tabanan (lokasi pengkajian) umumnya selain menanam kopi juga memelihara ternak kambing, sehingga kotoran/feses kambing cukup berpotensi sebagai pupuk tanaman kopi. Petani memelihara kambing baik untuk dijual maupun untuk produksi susu dan limbah ternak yang dihasilkan dipakai untuk memupuk tanaman kopinya. Pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik, baik limbah padat maupun cair merupakan salah satu pengelolaan sumberdaya terbarukan (renewable resources), yang dapat meningkatkan kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologis. Penambahan bahan organik kedalam tanah pada siklus usahatani selain berdampak positif terhadap kesububuran lahan juga berdampak terhadap efisiensi terhadap penggunaan input luar. Primavesi (1999) menambahkan bahwa dengan penambahan bahan organik, pertumbuhan serta distribusi akar menjadi lebih baik dan memberikan efek penyangga (buffering) terhadap kesuburan tanah, karena itu unsur-unsur hara yang terikat dalam tanah (khususnya P) akan menjadi lebih tersediabagi akar. Upaya ini sekaligus untuk menghemat penggunaan pupuk anorganik karena selain harganya cenderung mahal, penggunaan pupuk yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pupuk organik mengandung unsur-unsur hara baik makro maupun mikro yang dibutuhkan oleh tumbuhan supaya dapat tumbuh dengan subur. Pupuk organik merupakan dekomposisi bahanbahan organik atau proses perombakan senyawa yang komplek menjadi senyawa yang sederhana dengan bantuan mikroba. Agar kotoran ternak lebih cepat bisa dimanfaatkan untuk pupuk atau kotoran ternak lebih cepat mengalami dekomposisi/perombakan, maka kotoran ternak perlu diproses terlebih dahulu melalui fermentasi dengan decomposer (mikroba deckomposer). Berdasarkan hal tersebut pengkajian pembuatan pupuk organik dengan menggunakan mikroba decomposer dan pemanfaatannya pada tanaman kopi ini dilakukan. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui pengaruh Mikro Organisme Lokal (MOL) dalam fermentasi kotoran kambing dan pemanfaatan hasil fermentasinya pada pertanaman kopi.
146
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODOLOGI Pengkajian dilakukan di Desa Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan tahun 2015. Lokasi ini termasuk dalam agroekosistem lahan kering, dataran tinggi beriklim basah. Pada pengkajian ini ada dua tahap kegiatan yang dilakukan yaitu: Tahap I adalah proses pembuatan pupuk organik dari limbah padat (kotoran/feces) ternak kambing dengan beberapa decomposer. Tahap II adalah pemberian pupuk hasil tahap I pada tanaman kopi. Kegiatan tahap I meliputi: pembuatan pupuk organik dengan memanfaatkan Mikro Organisme Lokal (MOL) pada kotoran (feses) kambing yang dilakukan melalui proses fermentasi secara an aerob selama 14 hari. Ada 4 perlakuan yang diberikan pada pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing yaitu : P1 : pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing tanpa proses fermentasi. Kotoran kambing/feses kambing dibiarkan ditumpuk selama 3 bulan tanpa perlakuan apa-apa P2 : pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing dengan pemberian MOL ganas (daun gamal + nasi basi) atau kombinasi gamal dengan nasi basi. Adapun Bahan yang diperlukan didalam pembuatan MOL ganas ini meliputi : (1) 2 kg daun gamal, (2) 100 gram nasi basi, (3) 200 gram gula merah dan (4) 2 liter air beras. Bahan-bahan tersebut dicampur menjadi satu di dalam jirigen, kemudian didiamkan selama 14 hari. Setelah 14 hari bahan kemudian disaring dan disimpan. Untuk menjaga MOL agar tetap hidup perlu ditambahkan gula merah dan air beras setiap 1 minggu sekali. MOL yang telah jadi kemudian digunakan untuk menfermentasi bahan kotoran ternak selama 14 hari dengan cara ditutup dengan terpal atau plastik gelap. P3: pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing dengan pemberian MOL buah. Pembuatan MOL buah dibuat dari berbagai macam buah busuk (pepaya, pisang) sebanyak 2 kg ditambah 200 gram gula merah dan 2 liter air kelapa. Buah-buahan busuk di potong kecil kecil kemudian dicampur dengan bahan yang lain dan dimasukkan ke dalam jirigen. Dibiarkan selama 14 hari kemudian baru disaring dan dikemas. Untuk menjaga MOL agar tetap hidup setiap 1 minggu sekali ditambahkan gula merah dan air kelapa. MOL yang telah jadi kemudian digunakan untuk memfermentasi bahan kotoran ternak selama 14 hari dengan cara ditutup dengan terpal atau plastik gelap. P4: Pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing dengan pemberian Rumino bacillus (RB). Sebelum digunakan dalam proses fermentasi, dekomposer RB perlu diaktivasi terlebih dahulu dalam media air. Sebanyak 10 liter air bersih ditambahkan gula pasir dan pupuk urea sebanyak 0,5% kemudian diaduk hingga terlarut. Ke dalam larutan dimasukkan sebanyak 0,5% dekomposer RB kemudian didiamkan selama 30 menit. Larutan RB semprotkan secara merata pada feses kemudian difermentasi dengan menutup dengan terpal atau plastik selama 14 hari. Sesudah 14 hari semua kotoran yang sudah difermentasi dibuka dan siap digunakan Hasil kegiatan tahap I ini dan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap produktivitas tanaman, pupuk diaplikasikan pada tanaman kopi. Sebanyak 40 pohon kopi yang telah berumur diatas 5 tahun dibagi dalam 4 perlakuan atau masing perlakuan terdapat 10 tanaman sebagai ulangan : K1 : Pohon kopi mendapat pupuk kompos tanpa fermentasi 10 kg/pohon/tahun K2 : Pohon kopi mendapat pupuk kompos MOL ganas 10 kg/pohon/tahun K3 : Pohon kopi mendapat pupuk kompos MOL buah busuk 10 kg/pohon/tahun K4 : Pohon kopi mendapat pupuk kompos RB 10 kg/pohon/tahun Pemberian pupuk dilaksanakan dengan sistem lorak sekeliling tajuk tanaman dengan membuat lobang sedalam + 20 cm, kemudian pupuk dimasukkan ke dalam lubang dan sesudahnya lubang ditutup kembali dengan tanah. Waktu pemberian pupuk adalah menjelang akhir musim hujan yaitu bulan Pebruari-Maret 2015 dan panen dilakukan pada bulan Oktober-November 2015. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 10 ulangan. Pemberian pupuk 10 kg/pohon/tahun berdasarkan hasil pengkajian Guntoro (2012) yang mengatakan bahwa pupuk organik padat yang dibutuhkan tanaman kopi adalah 10 kg/pohon/tahun dan diberikan dua kali yaitu pada awal dan akhir musim penghujan. Parameter yang diamati meliputi : (1) produksi kopi gelondongan basah, kering matahari dan kering oven per pohon dan (2) produksi biji basah, biji kering matahari dan kering oven per pohon. Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis dengan analisa sidik ragam (análisis varian), apabila pengujian sidik ragam menunjukkan pengaruh perbedaan yang nyata, maka pengujian dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan.
147
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Pupuk organik yang dihasilkan dari kegiatan tahap I yaitu fermentasi dengan berbagai dekomposer, kemudian digunakan untuk kegiatan tahap II yaitu :sebagai pupuk tanaman kopi sesuai dengan perlakuan. Untuk mengetahui kandungan unsur hara terutama unsur makro yang dikandung oleh masing-masing pupuk setelah fermentasi dilakukan pengambilan sampel sebanyak 200 gram pada masing-masing kompos untuk dianalisis di laboratorium. Tabel 1. Kandungan unsur hara kotoran/feses kambing yang difermentasi dengan berbagai jenis dekomposer Peubah1)
Perlakuan P1 92,67 8,1 35,85 1,93 1,10 3,51 45,35 23
P2 93,34 7,8 49,83 2,07 1,34 4,39 41,63 20
Bahan kering (%) pH KTK (cmol(+)/kg) N total (%) P2O5 (%) K2O (%) C Organik (%) C/N ratio Sumber : data primer (2015) Keterangan : 1) hasil analisis laboratorium Balittanah Bogor P1 : Feses kambing tanpa fermentasi (didiamkan selama 3 bulan) P2 : Feses kambing yang difermentasi MOL ganas (2 minggu) P3 : Feses kambing yang difermentasi MOL buah busuk (2 minggu) P4 : Feses kambing yang difermentasi MOL Rumino bacillus (2 minggu)
P3 93,95 7,9 50,76 1,80 1,13 3,23 36,98 21
P4 92,43 4,5 57,21 1,91 0,99 2,39 41,48 22
Dari hasil analisis terlihat bahwa fermentasi menggunakan dekomposer Rumino bacillus (P4) menghasilkan pupuk organik dengan pH asam (4,5), sedangkan dengan MOL ganas (P2) ataupun MOL buah (P3) menghasilkan pH agak basa/basa dan hampir sama dengan pH pupuk organik tanpa fermentasi (P1) (tabel 1). C/N ratio dari pupuk organik yang difermentasi dengan beberapa dekomposer dan pupuk organik yang tidak difermentasi berkisar dari 20-23. Jadi C/N ratio dari pupuk organik yang difermentasi dan yang tidak difermentasi tidak jauh berbeda. Kandungan unsur hara NPK pada pupuk organik yang difermentasi dengan MOL ganas terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yan lain. kandungan N dan P pada pupuk organik yang difermentasi dengan MOL ganas (P2) lebih tinggi 7,25% dan 21.82% dibandingkan dengan pupuk tanpa fermentasi (P1), sedangkan kandungan N dan P pupuk organik yang difermentasi dengan RB (P4) dan MOL buah (P3) lebih rendah dibandingkan dengan pupuk tanpa fermentas (P1). Kandungan K pada pupuk organik yang difermentasi dengan MOL ganas (P2) lebih tinggi 25,14%, sedangkan kandungan K pada pupuk organik yang difermentasi dengan RB (P4) dan MOL buah (P3) lebih rendah dibandingkan dengan pupuk organik tanpa fermentasi (P1). Kandungan unsur hara NPK pupuk organik tanpa fermentasi (K1) tidak berbeda jauh dengan kandungan NPK pupuk yang difermentasi (K2) maupun K3 dan K4 akan tetapi pupuk tanpa fermentasi memerlukan waktu sampai 3 bulan baru bisa digunakan, sedangkan dengan fermentasi pupuk sudah siap digunakan kurun wkatu 2- 3 minggu. Pemberian pupuk organik hasil kegiatan tahap I pada tanaman kopi menunjukkan bahwa tanaman kopi yang mendapat perlakuan K2 (kompos dengan MOL ganas) memiliki produksi kopi gelondongan basah tertinggi yakni sebesar 9840 gram/pohon atau 4,88% nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan K1(tabel 2). Sedangkan produksi kopi gelondongan basah antara perlakuan K3 dan K4 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K1 (kontrol). Pada proses pengeringan melalui penjemuran dengan sinar matahari diperoleh produksi kopi gelondongan kering matahari juga paling tinggi pada perlakuan K2 dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jika dirata-ratakan jumlah total kadar air kopi gelondongan pada semua perlakuan adalah sebesar 61,13%.
148
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Produktivitas tanaman kopi pada perlakuan pemupukan organik Peubah1)
K1 (kontrol)
Gelondongan basah Gelondongan kering matahari Gelondongan kering oven 700C Biji Basah Biji Kering matahari Biji Kering oven 700C Sumber: Data primer (2015)
9381,8b 4137,72b 3642,59a 4909,50c 2442,9a 2114,68b
Perlakuan K2 K3 (MOL (MOL buah) ganas) 9840a 9433,4b 4207,74a 4117,68 b a 3675,24 3679,03a a 5528,11 4988,38c 2534.32a 2510,57a 2249,42a 2156,48ab
K4 (RB) 9516ab 3930,11c 3454,31a 5346,09b 2259,81a 2175,36ab
Identik dengan produksi kopi gelondongan basah, produksi biji basah pada perlakuan K2 juga paling tinggi, yakni sebesar 5528,11 gram/pohon. Produksi K2 ini lebih tinggi 12,60% dibandingkan dengan perlakuan K1, lebih tinggi 10.82% dibandingkan dengan K3 dan lebih tinggi 3,41% dibandingkan dengan K4 dan berbeda nyata (P>0,05). Produksi biji kopi kering matahari paling tinggi pada perlakuan K2 akan tetapi hasil ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan yang lain. Berat kering oven biji kopi tertinggi juga terlihat pada perlakuan K2 yakni sebesar 2249,42 gram/pohon atau 6.35% nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan K1 (kontrol). Sedangkan berat kering oven biji kopi pada perlakuan K2 dan K4 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata baik dengan perlakuan K3 maupun dengan kontrol (K1). Pemberian pupuk organik yang difermentasi dengan MOL ganas(K2) memberikan berat kopi gelondongan basah, berat biji basah dan berat biji kering oven yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan K1(kontrol) (pupuk organik kotoran kambing tanpa fermentasi). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena kandungan bahan dasar dari fermentor yang dipakai adalah tanaman jenis leguminosa (daun gamal) dimana kandungan proteinnya cukup tinggi sebagai sumber nitrogen mikroba. Begitu juga dengan penggunaan nasi busuk yang merupakan sumber karbohirat bagi mikroba sehingga proses dekomposisinya berjalan lebih baik. Dibandingkan dengan kontrol (K1), Berat kopi gelondongan basah, berat biji basah dan berat biji kering oven terlihat lebih tinggi pada K2 ( kompos dengan MOL ganas), hal ini disebabkan karena Kandungan unsur hara NPK pada kompos dengan Mol ganas (K2) lebih tinggi. Ketiga unsur hara tersebut secara umum dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar. Pupuk N sangat penting untuk pertumbuhan vegetatif, pupuk P berperanan penting dalam pertumbuhan generatif dan pupuk K berperanan dalam menguatkan batang dan perakaran tanaman. Peranan unsur hara nitrogen, posfor dan kalium pada tanaman sangatlah penting karena dapat memacu pertumbuhan tanaman baik vegetatif maupun generatif. Nitrogen diperlukan untuk merangsang pertumbuhan vegetatif, meningkatkan kandungan klorofil daun memperbesar ukuran daun. Sedangkan unsur Posfor dan Kalium selain membantu pertumbuhan vegetatif juga membantu di dalam proses pembentukan dan pengisian biji. Setyorini et al. (2006) menyatakan pemberian pupuk organik memberikan pengaruh positif bagi perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga lebih ramah lingkungan, akan tetapi pemupukan organik bersifat slow release sehingga tersedia lebih lambat bagi tanaman dibandingkan pemupukan kimia. Hartatik dan Widowati (2006) menyatakan pemupukan organik berdampak positif terhadap peningkatan total mikroba, pelarut posfor, selulotik, rhizobia dan mikrobia lainnya. Selain itu pula dinyatakan proses biologi merupakan proses awal yang terjadi sebelum terjadinya proses fisik dan kimia pada lahan. Sejalan dengan itu hasil penelitian Rubiyo et al. (2006) mendapatkan bahwa pemberian kompos yang difermentasi dengan Rumino bacillus (RB) sebanyak 10 kg per pohon pada kopi robusta di Kabupaten Buleleng Bali, mampu meningkatkan produksi kopi sebanyak 63% dibandingkan dengan tanpa pemupukan. Pupuk organic yang difermentasi dengan MOL ganas termasuk pupuk dengan Bahan bahan organik yang memiliki kandungan N (Nitrogen) tinggi dan C (Karbon) tinggi. Dimana N diperoleh dari tanaman gamal dan C diperoleh dari nasi busuk (karbohidrat tinggi). Menurut Firmansyah (2010), bahan organik yang digunakan untuk pupuk organik terbagi menjadi dua yaitu : 1) bahan organik yang memiliki kandungan N (Nitrogen) tinggi dan C (Karbon) tinggi, contohnya pupuk kandang, daun legume (gamal, lamtoro, kacang-kacangan) atau limbah rumah tangga, 2) bahan organik yang memiliki kandungan N (Nitrogen) rendah dan C (Karbon) tinggi, contohnya dedaunan yang gugur, jerami, serbuk gergaji. Pupuk organic hasil fermentasi dengan MOL ganas mempunyai pH 7.8 (agak basa). Menurut Hanafiah (2005) dengan pH netral sampai agak basa (pH 7-8) akan memberikan
149
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
dampak yang lebih baik pada tanah karena penyerapan unsur hara menjadi optimal. Pada pH dibawah 6,5 dapat terjadi defisiensi Ca, P dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn dan Fe. Sedangkan pada pH diatas 7.5 dapat terjadi defisiensi P,B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca, Mg juga toksisitas B dan MO. KESIMPULAN 1. Kompos hasil fermentasi dengan MOL ganas (K2) memberikan kandungan unsur hara makro (NPK) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (kompos tanpa fermentasi) maupun dengan perlakuan kompos hasil fermentasi dengan MOL buah dan kompos dengan RB (Rumino bacillus) 2. Kompos hasil fermentasi dengan MOL ganas (K2) memberikan berat kopi gelondongan basah , berat biji basah dan berat biji kering oven lebih tinggi 4.88%, 12.6% dan 6.35% dibandingkan dengan perlakuan kontrol (kompos tanpa fermentasi) . DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2014. St atistik Indonesia. B adan Pusat Statistik, Jakarta. Guntoro, S. 2012. Meramu pakan ternak dari limbah perkebunan. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hartatik, W., dan L.R. Widowati. 2006. Pupuk Kandang. Dalam: Simanungkalit, R.D.M., Suriadikarta, D.A., Saraswati, R., Setyorini, D., Hartatik, W, editor. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: 2006. Balai Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal. 59-82. Kasno, A., D. Setyorini, dan Nurjaya. 2003. Status C-organik lahan sawah di Indonesia. Buku II. Agustian et al., (Eds.) Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Kearifan Pendayagunaan Sumberdaya Tanah sebagai Aset Utama Peningkatan Kemampuan Pembangunan Daerah. Padang, 21-23 Juli 2003, pp. 480-495. Kurniaty, R., B. Budiman dan M. Suartana. 2010. Pengaruh Media dan Naungan Terhadap Mutu Bibit Suren (Toona sureni MERR.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7 (2): 77 – 83. Mayrowani, H. 2013. Kebijakan penyediaan teknologi pasca panen kopi dan masalah pengembangannya. Forum Peneltian Agro Ekonomi 31(1): 31-49. Mulyanto, B. 2004. Pengelolaan bahan organik tanah untuk mendukung kelestarian pertanian di lahan basah. Prosiding Simposium Nasional Pertanian Organik Keterpaduan Teknik Pertanian Tradisional dan Inovatif. Fakultas Pertanian IPB dan Asia Network of Organik Recycling, Bogor 30 November 2004 Primavesi, A.M. 1999. More rice with good soil fertility management . Leisa15 (3 dan 4):50 Rubiyo, Suharyanto dan S. Guntoro. 2006. Pengk ajian system usaha tani kopi robusta, integrasi dengan ternak kambing di Bali. Makalah symposium kopi. 2006. Surabaya, 2 -3 Agustus 2006. Pusat Penelitian kopi dan Kakao Indonesia Setyorini, D., Saraswati, R. Dan E.K. Anwar. 2006. Kompos. Dalam: Simanungkalit, R.D.M., Suriadikarta, D.A., Saraswati, R., Setyorini, D., Hartatik, W, editor. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal. 11-40. Suriadikarta, D.A., dan R.D.M. Simanungkalit. 2006. Pendahuluan. Dalam: Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit et al. (Eds.). Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, pp. 1-10. Wahyuni, M.A. dan K. Kariada. 2015. Analisa penetapan harga pokok pemasaran kopi arabika kawasan MPIG kintamani kabupaten bangle. Bunga Rampai model Pengembangan Pertanian Perdesaan berbasis Inovasi. Balai pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Badan penelitian dan Penngembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. hal 131-138. Winarni,E., Rita Dwi Ratnani, Indah Riwayati. 2013. Pengaruh jenis pupuk organic terhadap pertumbuhan tanaman kopi, Momentum. Vol. 9 No.1 Hal. 35-39
150
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
IDENTIFIKASI PENYAKIT UTAMA PADA TANAMAN BUAH NAGA SUPER MERAH (Hylocereus costaricensis) DI KABUPATEN KEPAHIANGPROVINSIBENGKULU IDENTIFICATION OF MAJOR DISEASES ON RED SUPER DRAGON FRUIT (Hylocereus costaricensis) IN KEPAHIANG DISTRICT, PROVINCE OF BENGKULU Reni Andista1, Tunjung Pamekas2 dan Usman Kris Joko Suharjo1 1
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jl. W.R.Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371 Telp : (0736) 21290 e-mail :
[email protected]
2
ABSTRAK Buah naga (Hylocereus sp.) merupakan salah satu tanaman tropika yang populer dan diminati karena memiliki banyak khasiatnya bagi kesehatan tubuh. Pengembangan tanaman buah naga merupakan salah satu program unggulan Dinas Pertanian Kabupaten Kepahiang. Namun demikian, upaya pengembangan itu menghadapi hambatan terkait dengan serangan penyakit tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit utama pada tanaman buah naga berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda di Kabupaten Kepahiang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 sampai dengan bulan September 2015, di 3 kebun buah naga Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu dan di Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Pemilihan kebun buah naga dilakukan dengan metode stratified sampling dan pengambilan sampel tanaman sakit dilakukan dengan metode purposive sampling sebanyak 10 % dari jumlah tanaman sakit dari jumlah tanaman per kebun. Isolasi patogen dilakukan dengan 2 cara yaitu penanaman jaringan dan pengenceran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 4 penyakit utama yang menyerang tanaman buah naga di daerah tersebut yaitu penyakit kuning sulur, penyakit karat merah kecoklatan (Cephaleuros sp), penyakit putih sulur (Pleiochaeta sp., Fusarium sp.), dan penyakit busuk sulur (Trihocladium sp., Acremonium sp., dan Sclerotium sp). Kata kunci : Buah naga super merah, penyakit utama, Bengkulu ABSTRACT Dragon fruit (Hylocereus sp.) is one of the most exotic tropical plants. It is very popular in Indonesia due to its nutrition values. The fruit has been extensively grown by the local government of Kepahiang district. The objective of this research was to identify and measure the disease severity of the major diseases on dragon fruits at three different elevations in Kepahiang district. The research was carried out from May 2015 to September 2015 on three dragon fruit orchards at District of Kepahiang and at the Laboratory of Plant Protection Departement, College of Agriculture, Bengkulu University. The sampling methods employed in this research were stratified sampling and purposive sampling, in which 10 % of the crop population in each orchard was used as the object of observation. Identification of the pathogens has been done by tissue culture and dilution methods. The results showed that four major diseases we`ve found at each orchard causing yellowish vine, brownish red rust (Cephaleuros sp.), whitish vine wilt (Pleiochaeta sp., Fusarium sp.), and vine wilt (Trihocladium sp. , Acremonium sp., and Sclerotium sp). Keywords: super red dragon fruit, diseases infection, Bengkulu PENDAHULUAN Buah naga mulai dikembangkan dan dibudidayakan secara komersial di Indonesia pada sekitar tahun 2000 (Jaya, 2010). Ada 4 jenis buah naga yang sudah dibudidayakan, yaitu buah naga daging merah (Hylocereus polyrizus), buah naga daging putih (H. undatus), buah naga daging merah super (H. costaricensis), dan buah naga kulit kuning (Selenecerius megalanthus) (Renasari, 2010). Untuk memenuhi permintaan pasar domestik yang cukup tinggi maka upaya peningkatan produksi melalui perluasan budidaya harus dilakukan, sehingga budidaya buah naga merupakan peluang bisnis yang menjanjikan di bidang pertanian, khususnya pada tanaman hortikultura yang sudah mendunia tersebut. Permintaan buah naga di pasaran terus meningkat, maka semakin berkembang pula budidayanya. Buah naga ini mulai populer dan digemari oleh masyarakat Indonesia karena rasanya
151
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
yang manis dan memiliki beragam manfaat dan khasiat untuk kesehatan serta kaya akan nutrisi, seperti vitamin C, beta karoten, kalsium, dan karbohidrat serta mengandung gula yang cukup tinggi (Kristanto, 2008). Tanaman buah naga tidak lepas dari adanya gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang menyerang, kerusakan oleh OPT berpengaruh terhadap hasil panen seperti penurunan jumlah dan mutu produksi yang mengakibatkan kerugian ekonomi (Palungkun dan Indrayani, 1992). Peluang terjadinya outbreak hama atau penyakit ini dikarenakan penanaman suatu komoditas pertanian yang secara luas dan monokultur serta dengan jarak tanam yang rapat (Jaya, 2009). Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu sangat potensial sebagai daerah penghasil buah naga. Sejauh ini, belum ada data mengenai penyakit yang menyerang pada tanaman buah naga di Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Mengingat data penyakit sangat penting untuk perkembangan perkebunan buah naga di Kabupaten Kepahiang, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi penyakit utama pada tanaman buah naga berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda di Kabupaten Kepahiang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi penyakit utama tanaman buah naga Super Merah di Kabupaten Kepahyang Provisnsi Bengkulu. METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan September 2015 di kebun buah naga Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu dan di Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Pengambilan sampel kebun penelitian diambil dengan metode stratified sampling dengan melihat ketinggian tempat semua kecamatan yang ada di Kabupaten Kepahiang. Kemudian semua kecamatan dikelompokkan berdasarkan 3 ketinggian tempat yang berbeda. Kebun penelitian berada pada 3 tempat yang berbeda ketinggiannya yang mewakili semua Kecamatan di Kabupaten Kepahiang, ketiga kebun tersebut adalah : 1= kebun buah naga pada ketinggian < 500 m dpl, 2= kebun buah naga pada ketinggian 500-600 m dpl dan 3= kebun buah naga pada ketinggian > 600 m dpl. Bahan yang digunakan adalah sampel bagian tanaman buah naga yang sakit, sampel tanah di sekitar perakaran tanaman sakit, medium Potato Dextrose Agar (PDA), medium Natrium Agar (NA), alkohol 96 %, aquades, NaOCL 1 %, tisu, dan kertas saring steril. Sedangkan alat yang digunakan adalah mikroskop dan perangkatnya, cawan petri, tabung reaksi, gelas ukur, gelas erlenmeyer, pipet tetes, pipet mikron, jarum ent/ose, pinset, bunsen, ent case, vortex, gunting, timbangan analitik, dan ruang inkubasi. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi: Pengamatan kondisi lahan buah naga, isolasi dan identifikasi patogen. 1. Pengamatan kondisi lahan buah naga. Pada tahap ini dilakukan survei lahan buah naga di Kabupaten Kepahiang. Survei lahan dilakukan dengan mengamati ketinggian tempat, kelembaban, temperatur kebun, kondisi tanaman, jarak tanam, jenis buah naga yang ditanam, dan sejarah lahan. 2. Isolasi dan identifikasi patogen. a) Isolasi patogen dilakukan dengan metode menanam jaringan dan pengenceran. Isolasi dengan metode menanam jaringan dilakukan sebagai berikut : Bahan tanaman sakit dibersihkan dari tanah atau kotoran yang melekat dengan air mengalir. Kemudian bahan tanaman sakit dipotong antara bagian yang sehat dan sakit dengan ukuran 1 x 1 cm2. Potongan direndam dalam larutan NaOCl 1% selama 1 menit. Selanjutnya potongan tanaman sakit diangkat dengan pinset steril dan dikeringkan di atas tisu steril untuk menghilangkan sisa-sisa larutan NaOCl. Selanjutnya potongan tanaman sakit diletakkan di atas media tumbuh (PDA/NA). Kemudian diinkubasikan di suhu kamar selama 5-7 hari. Hifa-hifa jamur atau koloni bakteri yang tumbuh pada potongan tanaman sakit selanjutnya diamati dan direisolasi ke medium PDA/NA baru hingga didapatkan biakan murni. Isolasi dengan metode pengenceran dilakukan sebagai berikut : Tanah dari rizosfer tanaman sakit dibersihkan dari sisa-sisa tanaman. Kemudian tanah sebanyak 10 g dicampur dengan 90 ml aquades steril dan dihomogenkan. Sebanyak 1 ml suspensi diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml aquades steril dan dihomogenkan. Proses tersebut diulangi sampai diperoleh pengenceran 10-5. Sebanyak 1 ml suspensi dengan pengenceran 10-5 diteteskan di atas medium PDA/NA yang telah membeku, selanjutnya cawan
152
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
petri diinkubasikan di suhu kamar selama 5-7 hari. Hifa-hifa jamur atau koloni bakteri yang tumbuh pada potongan tanaman sakit selanjutnya diamati dan direisolasi ke medium PDA/NA baru hingga didapatkan biakan murni. b) Identifikasi patogen Identifikasi makroskopisdilakukandenganmengamatibentuk (lingkaran konsentris), warna koloni, elevasi (permukaan miselium), ketebalan koloni,dan keberadaan miselium udara. Identifikasi mikroskopis dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop dengan meliputi bentuk dan ukuran konidia, bentuk konidiofor dan fialit, warna konidia. Semua data makroskopis dan mikroskopis patogen akan dipakai untuk mengidentifikasi patogen berdasarkan buku identifikasi Domsch (1993), Barnet (1988) dan Bergey’s (2007). Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dilengkapi dengan gambar-gambar. HASIL DAN PEMBAHASAN Tanaman buah naga tidak terlepas dari gangguan OPT apalagi kondisi tanaman buah naga di setiap lahan secara umum kurang terawat. Setelah dilakukan pengamatan ditemukan beberapa penyakit yang menyerang tanaman buah naga di setiap lahan, seperti terlihat dalam Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Jenis penyakit yang ditemukan di 3 lahan penelitian Jenis penyakit Kuning sulur Putih sulur Karatmerah kecoklatan Busuk sulur Ket: + (ada), - (tidak ada). Sumber : Data Primer (2016)
Kepahiang + + + +
Lahan Ujan Mas + +
Kabawetan + + + +
1. Penyakit kuning sulur Gejala penyakit kuning sulur yaitu sulur berwarna kuning sebagian atau menyeluruh ini cukup banyak ditemukan pada kebun naga pada umumnya. Pada sulur tidak ditemukan bekas tusukan atau gigitan yang menyebabkan sulur menguning (Gambar 1). Untuk mengetahui jenis penyakit yang menyerang, maka dilakukan dengan cara pengamatan gejala di lapangan, setelah itu dilanjutkan dengan uji laboratorium yaitu isolasi dan identifikasi. Namun, pada tahap isolasi dengan cara penanaman jaringan tidak ditemukan patogen yang tumbuh pada medium PDA tersebut. Sulur menguning diduga akibat kondisi lingkungan yang tidak menyediakan hara dalam jumlah cukup sehingga menyebabkan gangguan fisiologis.
Gambar 1. Gejala penyakit kuning sulur pada tanaman buah naga super merah. Sumber: Data primer (2015) Bagian yang mengalami klorosis dapat menghambat pertumbuhan tanaman atau bahkan gagal untuk membentuk bunga dan buah, selain itu sulur yang klorosis akan lebih rentan terhadap penyakit. Menurut Kristanto (2008) gejala menguning pada sulur merupakan tanda kekurangan unsur nitrogen.
153
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
2. Penyakit putih sulur Gejala penyakit putih sulur yaitu sulur berwarna putih yang timbul dan permukaan tidak rata seperti kerak. Kerak putih menyebar di permukaan sulur dan kemudian akan berubahmenjadi kerak berwarna coklat (Gambar 2 dan 3).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Gejala dan patogen Fusarium sp. penyebab penyakit putih sulur pada tanaman buah naga super merah. Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = Konidia. Sumber: Data primer (2015)
(a)
(b)
Gambar 3. Gejala dan patogen Pleiochaeta sp. penyebab penyakit putih sulur pada tanaman buah naga super merah. Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = Konidia Sumber: Data primer (2015) Berdasarkan hasil uji laboratorium bahwa secara makroskopis koloni (Gambar 2b) berbentuk (c) bulat, berwarna putih dan sedikit kekuningan dengan permukaan yang tidak rata. Secara mikroskopis jamur ini memiliki karakter seperti konidia (Gambar 2c) tidak berwarna, berbentuk lonjong dengan ujung yang meruncing, bersel 3-4 dan bersekat antara 2-3. Penyakit ini disebabkan oleh jamur fusarium sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barnett (1988) bahwa jamur Fusarium sp. menyerang jaringan tanaman yang masih lunak (basah) dan bertahan dalam jaringan kering. Faktor lain yang menunjang keberadaan Fusarium sp. di dalam jaringan tanaman kering adalah suhu. Keberhasilan jamur tersebut untuk menginfeksi dan hidup di dalam jaringan memerlukan suhu antara 28-30 0C (Windels, 1993). Selain karena luka pada jaringan tanaman, jamur Fusarium sp. juga mudah menginfeksi apabila tanaman mengalami stres karena suhu tinggi (Domsch et al., 1993). Namun, penyakit putih sulur ini tidak hanya berasosiasi pada satu jenis patogen saja. Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium, pada hari ke-7 memperlihatkan koloni (Gambar 3b) berbentuk bulat yang memiliki lingkaran konsentris, berwarna putih yang tebal, seperti gumpalan kapas dengan permukaan tidak rata dan tidak memiliki miselium udara. Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis (Gambar 3c) bahwa patogen ini memiliki ciri, seperti konidia sederhana yang lurus, dengan warna yang gelap dan memiliki 5 sel. Berbentuk elips, dinding sel bagian tengah lebih tebal dan gelap di banding dinding sel pada bagian pinggir yang tipis dan terang. Penyakit putih sulur tersebut disebabkan oleh jamur Pleiochaeta sp. Ini juga sesuai dengan pernyataan Barnett (1988). 3. Penyakit karat merah kecoklatan Gejala penyakit karat merah adalah timbulnya karat berwarna merah kecoklatan yang agak timbul dan menyebar dipermukaan secara tidak beraturan, kadang dilapisi dengan lapisan berwarna putih transparan seperti lilin (Gambar 4). Gejala ini biasanya menyerang pada sulur utama.
154
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gambar 4. Gejala penyakit karat merah kecoklatan pada tanaman buah naga super merah. Sumber: Data primer (2015) Pengamatan pertama dilakukan dengan cara pengamatan gejala di lapangan, setelah itu dilanjutkan dengan uji laboratorium yaitu isolasi dan identifikasi. Namun, pada tahap isolasi dengan cara penanaman jaringan tidak ditemukan patogen yang tumbuh pada medium PDA tersebut. Hal ini disebabkan oleh patogen yang menyerang penyakit karat merah kecoklatan merupakan parasit obligat. Patogen dapat tumbuh dengan baik pada inang yang masih hidup. Menurut Supriyadi (2004), berdasarkan sifat hidupnya parasit dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu obligat dan fakultatif. Parasit obligat yaitu parasit yang hanya bisa hidup jika berada pada inang. Parasit fakultatif yaitu parasit yang mampu hidup di lingkungan air jika tidak ada inang disekitarnya. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan pustaka yang memiliki gejala yang mirip dengan penyakit tersebut. Menurut Gokhale et al (2012) bahwa penyakit tersebut berasosiasi dengan patogen Cephaleuros sp. Kejadian penyakit sebagian besar dikendalikan dari faktor iklim dan terjadi di tempat yang spesifik. Biasanya berada di tempat basah dengan drainase yang buruk. Wilayah dengan curah hujan tinggi merupakan tempat yang paling banyak terjadinya penyakit ini. Kejadian penyakit ini sering terlihat pada sulur utama. Sulur yang terinfeksi tidak menimbulkan masalah ekonomi yang berarti. 4. Penyakit busuk sulur Gejala bercak berair berukuran kecil yang berwarna kuning agak orange dan coklat kemudian gejala tersebut membesar dan menyebar ke seluruh bagian sulur. Tekstur sulur yang terserang sangat berair dan mudah sobek. Bagian busuk sulur tercium bau tidak enak (Gambar 5,6 dan 7). Gejala busuk sulur dapat muncul di bagian tengah sulur, pangkal sulur, maupun ujung sulur. Sulur yang sudah bergejala lanjut akan lepas dan tertinggal hanya lapisan kayu saja, lapisan lilin dan daging sulur terkelupas. Terdapat juga gejala penyakit busuk sulur berwarna hitam yang menyebar ke permukaan sulur. Apabila tidak dilakukan pengendalian maka lama-kelamaan gejala tersebut menjadi kering yang berwarna hitam pekat. Kejadian penyakit ini biasanya terjadi pada saat musim penghujan dan kelembaban yang tinggi.
2
(a)
(b)
(c)
1
Gambar 5. Gejala dan patogen Acremonium sp. penyebab penyakit busuk sulur pada tanaman buah naga super merah. Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = 1 (hifa), 2 (konodia) Sumber: Data primer (2015) .
155
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
2
(a)
(c )
(b)
1
Gambar 6. Gejala dan patogen Trichocladium sp. penyebab penyakit busuk sulur pada tanaman buah naga super merah. Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = 1(hifa), 2 (konidia). Sumber: Data primer (2015)
(a)
(c)
(b)
Gambar 7. Gejala dan patogen Sclerotium sp. penyebab penyakit busuk sulur pada tanaman buah naga super merah. Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = hifa. Sumber: Data primer (2015) Berdasarkan hasil uji laboratorium memperlihatkan koloni (Gambar 5b) berbentuk bulat dengan tepi tidak rata yang berwarna merah dan tidak memiliki miselium udara. Berdasarkan pengamatan secara mikroskopis (Gambar 5c), hifa hyaline tidak bersekat dan konidia berbentuk bulat. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Acremonium sp. Sesuai dengan pernyataan Barnett (1988) bahwa miselium membengkok, ramping, konidiahyalin, berselsatu, terikat sendiri , apikal, dan bersifat saprofit. Sedangkan jamur jenis lain yang berasosiasi dengan penyakit busuk sulur ini memiliki koloni (Gambar 6b) berbentuk bulat, berwarna hijau gelap yang tebal, dengan permukaan yang rata dan tidak memiliki miselium udara. Pada pengamatan secara mikroskopis (Gambar 6c), bahwa hifa bersekat, berwarna hyalin, konidia berbentuk elips dan bersekat 2-3. Penyakit tersebut disebabkan oleh jamur Trichocladium sp. Ini sesuai dengan pernyataan Barnett (1988). Patogen lain yang berasosiasi dengan penyakit busuk sulur memiliki ciri koloni tunggal (Gambar 7b) yang berbentuk bulat, berwarna putih yang tipis dengan permukaan rata. Berdasarkan hasil uji mikroskopis (Gambar 7c) bahwa karateristik dari jamur tersebut memiliki hifa yang hyaline. Penyakit yang menyerang adalah jamur Sclerotium sp. Sesuai dengan pernyataan Barett (1988) bahwa mempunyai hifa yang hyalin dan bersekat. 5. Bercak orange buah Penyakit bercak orange pada buah naga memiliki gejala bercak berwarna orange pada permukaan kulit buah (Gambar 8). Gejala bercak berbentuk bulat yang dikelilingi halo kosentris dan tersebar secara merata di permukaan kulit buah. Bercak akan menyebar ke seluruh bagian permukaan kulit buah. Gejala yang terlihat terdapat bekas tusukan tepat di tengah lingkaran bercak tersebut. Ada juga bercak yang berwarna hitam memenuhi permukaan kulit buah (Gambar 8b). Sebagai gejala lanjut kulit buah menjadi kasar dan permukaan yang tidak rata, serta warna merah pada buah mejadi pudar atau berkurang dan kulit terkelupas (Gambar 8c). Pengamatan gejala penyakit buah ini tidak termasuk kedalam interval pengamatan selama penelitian, sehingga data tersebut dijadikan hanya sebagai data pendukung. Data informasi ini digunakan untuk mengetahui dampak dari cara budidaya tanaman yang dilakukan oleh pengelola kebun.
156
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gambar 8. Gejala penyakit bercak orange buah pada tanaman buah naga super merah Sumber: Data primer (2015) Menurut Octaviani (2012) bahwa penyakit ini berasosiasi dengan patogen Alternaria sp. Berdasarkan wawancaranya kepada petani di pantai Trisik, bahwa gejala bercak orange ini akibat dari serangan belalang. Keberadaan belalang di pantai Trisik memang sangat banyak. Petani menduga luka tersebut akibat dari gigitan belalang dan banyak terjadi pada buah yang masih muda. Penyakit dapat berkembang pada bagian tanaman apabila terdapat luka bekas gigitan atau akibat alat mekanis yang merusak bagian tanaman pada saat melakukan perawatan tanaman. 6. Klorosis buah Gejala klorosis buah ditemukan di salah satu lahan penelitian yaitu lahan Kepahiang. Gejala klorosis dapat dilihat pada Gambar (9) yang menunjukkan warna merah pada buah yang tidak merata.
Gambar 9. Gejala klorosis buah Sumber: Data Primer (2015) Penyebab gejala tersebut merupakan salah satu dampak pemeliharaan tanaman yang kurang terawat, seperti pemupukan yang tidak rutin dilakukan. Gejala sehubungan dengan kekurangan unsur hara ini dapat terlihat dimulai dari sulur, warnanya yang hijau agak kekuningan selanjutnya berubah menjadi kuning. Pada tanaman dewasa pertumbuhan yang terhambat ini akan berpengaruh pada pertumbuhan, yang dalam hal ini perkembangan buah tidak sempurna. Kondisi buah pada Gambar (9) dapat menurunkan kualitas dan harga jual buah itu sendiri, sehingga tidak diminati oleh konsumen. Konsumen menyukai buah naga yang masih segar dan berkualitas bagus. KESIMPULAN Hasil identifikasi menunjukkan bahwa penyakit utama yang menyerang tanaman buah naga super merah di Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu adalah Kuning sulur, Putih sulur (Pleiochaeta sp., Fusarium sp.), Karat merah kecoklatan (Cephaleuros sp.) dan busuk sulur (Trihocladium sp., Acremonium sp., dan Sclerotium sp. DAFTAR PUSTAKA Barnet, H. L and Hunter, B. B. 1988. Illustrated genera of imperfect fungi. United States of Amerika Bergeys. 2007. Revised road map to the phylum firmicutes (online). www.bergey’s volt_3_outline.pdf. [Diunduh Tgl 20 April 2015]. Domsch, K. H., Gams, W and Anderson, T. H. 1993. Compendium of soil fungi. Volume 1. IHWVerlag, Eching.
157
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gokhale, M. V and Shaikh S. S. 2012. Host range of a parasitic alga Cephaleuros virescens Kunz. ex Fri. from Maharashtra state, India. Plant Sciences Feed 2 (1) : 1-4 (http://psf.lifescifeed.com/fulltext/PSF-2012-002-001.pdf). [Diuduh tgl 15 Mei 2015]. Jaya, I. K. D. 2009. Studi pendahuluan tentang praktek budidaya dan potensi pengembangan tanaman buah naga (Hylocereus spp.) di Kabupaten Lombok Utara. Seminar Nasional “Kebijakan dan Penelitian di Bidang Pertanian untuk Pencapaian Kebutuhan Pangan dan Agroindustri”. Fakultas Pertanian UNRAM, 14 Maret 2009. Jaya, I. K. D. 2010. Morphology and physiology of pitahaya and it future prospects in Indonesia. Crop Agro. 3:44-50. Kristanto, D. 2008. Buah Naga : pembudidayaan di pot dan di kebun. Jakarta: Penebar Swadaya. Octaviani, R. D. 2012. Hama dan penyakit tanaman buah naga (hylocereus sp.) Serta budidayanya di Yogyakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Palungkun, R. dan Indrayani, Y. H. 1992. Hama penyakit sayur dan palawija. Ed ke-1. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Renasari, N. 2010. Budidaya tanaman buah naga super red di Wana Bekti Handayani. Skripsi (tidak dipublikasikan). Purwokerto: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Supriyadi, H. 2004. Penyakit infeksi dan non infeksi. Dalam: Pelatihan dasar karantina ikan tingkat ahli dan terampil. pusat karantina ikan. Agustus 2004. Jakarta.5 hal. Windels, C. E. 1993. Fusarium. In Singeletton, L. L., Mihail, J. D., and Rush, J. D., (Ed), Methods for Research on Soilborne Phytopathogenic Fungi. APS Press. The American Phytopathological Society, St. Paul Minnessota 115-126
158
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PRODUCTIVITY IMPROVEMENT OF PALM TO SUPPORT PLANTATION AREA DEVELOPMENT IN THE INDRAGIRI HULU DISTRICT Anis Fahri, Taufik Hidayat, Heri Widyanto dan Ida Nur Istina Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian (BPTP) Riau Jl. Kaharuddin Nasution No. 341, km 10. Pekanbaru.Telp. 0761-674206. Email :
[email protected] ABSTRAK Peningkatan produktivitas kelapa sawit mendukung pengembangan kawasan perkebunan kelapa sawit dilaksanakan pada tahun 2015 di desa Bukit Meranti Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif paket teknologi pemupukan kelapa sawit dalam rangka pengembangan kawasan perkebunan kelapa sawit. Kajian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok 3 perlakuan dengan 5 (lima) ulangan. Paket teknologi yang diuji adalah sebagai berikut adalah: 1) Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg per pohon ; 2) Urea 2,0 kg + TSP 1,0 kg + KCl 2 kg + Kieserit 0,5 kg + Borax 0,05 kg per pohon; 3)Urea 1 kg + TSP 0,5 kg + KCl 1 kg + Kieserit 0,5 kg per pohon. Pupuk kandang sebanyak 15 kg/pohon diberikan sebagai pupuk dasar.Hasil penelitian menunjukkan Paket Teknologi 1 menghasilkan produksi sebesar 19.205 kg/ha/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi 2 sebesar 16.215 kg/ha/th dan cara petani 15.171 kg/ha/th. Disamping itu rata - rata pendapatan Paket Teknologi 1 sebesar Rp. 10.015.705 per hektar/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi 2 sebesar Rp. 9.133.390 per hektar/th dan cara petani sebesar Rp. 8.705.105 per hektar/th. Kata Kunci: Pengembangan kawasan, produktivitas, kelapa sawit dan pemupukan. ABSTRACT Study of increased productivity palm oil to regional development to held in 2015th on Bukit Meranti village Seberida District, Indragiri Hulu. This study aimed to obtain alternative technology packages of palm oil fertilizer that increased the productivity. The study prepared using a randomized block design with 3 treatment and 5 replication. Technology package tested were as follows: 1) Urea 3.0 kg + 1.5 kg TSP + KCl 3 kg + kieserite 0.75 kg + Borax 0,075 kg per tree; 2) Urea 2.0 kg + 1.0 kg TSP + KCl 2 kg + Kieserit 0.5 kg + Borax 0.05 kg per tree; 3) Urea 1 kg + 0.5 kg TSP + KCl 1 kg + Kieserit 0.5 kg per tree. Manure as much as 15 kg / tree given as basal fertilizer. The results showed the Technology Package 1 resulted in the production of 19,205 kg /ha / yr is higher than the Technology Package 2 of 16,215 kg /ha/yr and a way for farmers to 15,171 kg/ha /yr. Besides, the average income of the Technology Package 1 Rp. 10,015,705 per hectare / year higher than the introduction of the Technology Package 2 Rp. 9,133,390 per hectare / yr and the way farmers Rp. 8,705,105 per hectare / yr. Keywords : Regional development, increased productivity, palm oil and fertillizer PENDAHULUAN Kelapa sawitmerupakan komoditas perkebunan unggulan dan sumber bahan baku industri bahan pangan, kosmetika bahkan bahan baku sumber energi alternatif. Selain itu limbah pabrik kelapa sawit berupa cangkang dimanfaatkan sebagai arang briket, dan tandan kosong sebagai bahan baku kompos sedangkan limbah cairnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Melihat kegunaannya, maka pengembangan komoditas ini akan memberikan pengaruh sebagai penyedia lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani sebesar 1,72 % (Syahza, 2003). Dari factor ekonomi pendapatan rata-rata petani kelapa sawit di KAbupaten Kampar, Provinsi Riau sebesar Rp. 22.859.950/hektar/tahun melebihi tingkat minimum regional (UMR) Provinsi Riau (Wigena dkk, 2009) Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau pada tahun 2013 mencapai 2, 40 juta hektar, (BPS Riau, 2014); 45 % diantaranya adalah perkebunan rakyat. Produksi perkebunan rakyat pada umumnya jauh dibawah perkebunan milik negara maupun perkebunan swasta dengan tingkat produktivitas antara 12 hingga 16 ton tandan buah segar (TBS) per hektar sementara potensi produksi
159
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
komoditas ini bisa mencapai 30 ton/ha. Produktivitas CPO perkebunan rakyat rata-rata 2.5 ton dan 0.33 ton minyak inti (PKO) per hektar sementara pada perusahaan perkebunan rata-rata mencapai 4.82 ton CPO dan 0.91 ton PKO per hektar (BBP2TP, 2008). Permasalahan rendahnya produksi perkebunan kelapa sawit rakyat adalah belum diterapkannya teknologi secara tepat mulai dari penggunaan bibit unggul, teknologi budidaya dan panen/pasca panen. Penggunaan bibit asalan akan berdampak dalam jangka panjang yakni produksi yang rendah. Selain itu dalam budidaya, petani pada umumnya hanya menerapkan teknologi sederhana yang diketahui secara tidak langsung dari petani lainnya sesuai dengan kemampuan finansialnya. Pemupukan dilakukan tidak tepat jenis maupun dosisnya sehingga cenderung tidak sesuai dengan prinsip pemupukan berimbang maupun sesuai dengan kebutuhan tanaman. Disamping itu petani belum memanfaatkan bahan organik seperti pupuk kandang yang bermanfaat untuk memperbaiki kesuburan lahan. Pemupukan dapat dilakukan menggunakan pupuk anorganik maupun pupuk organik. Penggunaan pupuk anorganik dirasakan mahal oleh petani dan sering kali tidak tersedia,selain itu memiliki sifat yang mudah larut dan mudah menguap (Luma, 2012). Pemupukan pada tanaman kelapa sawit membutuhkan biaya yang sangat besar sekitar 30% terhadap biaya produksi atau sekitar 60 % terhadap biaya pemeliharaan (Sugiyono et al., 2005). Penggunaan pupuk organik memberikan keuntungan berupa sifat tidak mudah menguap, tidak mudah larut, ramah lingkungan dan meningkatkan kandungan hara selain memperbaiki sifat tanah; penggunaan pupuk anorganik dan organik secara bersamaan memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Khaswarina, (2001) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik (OST) dan ¼ dosis anjuran NPKMg memberikan pertumbuhan lebih baik. Karakteristik lahan di Provinsi Riau pada umumnya termasuk dalam kelompok tanah dengan pH rendah yang menyebabkan unsur hara terikat asam organik tanah dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman yang berdampak pada rendahnya produktivitas. Penggunaan bahan organik merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produksi usahatani kelapa sawit. Bahan organik dapat menetralkan asam-asam organik yang bersifat meracuni, meningkatkan pH, dan memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman (Mawardi et al, (1999). Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi ilmiah alternatif teknologi usahatani kelapa sawit yang efisien dan meningkatan produktivitas kelapa sawit rakyat. METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di Desa Bukit Meranti, Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau pada T.A. 2015. Kajian dilakukan sebanyak 2 unit, pada tofografi lahan datar dan berbukit dengan sudut kemiringan < 150 . Kajian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 (lima) kali ulangan. Paket teknologi yang diuji adalah sebagai berikut adalah: 1) Patek 1 (Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg per pohon) ; 2) Patek 2 ( Urea 2,0 kg + TSP 1,0 kg + KCl 2 kg + Kieserit 0,5 kg + Borax 0,05 kg per pohon); 3) Patek cara petani (Urea 1 kg + TSP 0,5 kg + KCl 1 kg + Kieserit 0,5 kg per pohon). Pupuk kandang sebanyak 15 kg/pohon diberikan sebagai pupuk dasar. Tanaman kelapa sawit yang digunakan adalah kelapa sawit rakyat yang sudah berproduksi berumur lebih > 5 tahun. Pemupukan dilakukan pada piringan tanaman dengan cara membenamkannya. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan melakukan pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman menggunakan prinsip pengendalian terpadu. Pengendalian gulma khususnya pada piringan dilakukan menggunakan herbisida. Data yang dikumpulkanyang terdiri dari hasil panen (kg) dan usahatani kelapa sawit. Analisis usahatani kelapa sawit dilakukan berdasarkan data hasil tabulasi masing-masing responden. Nilai dari data yang diperoleh dikelompokan dalam dua bagian, yaitu penerimaan dan pengeluaran. Selisih antara keduanya merupakan manfaat bersih (net benefit). Nilai penerimaan dan biaya tersebut kemudian diprediksi selama 25 tahun berdasarkan umur produktif tanaman kelapa sawit dan discount factor sebesar 10%. Present Value of Net Returns (PVNR), merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskonto dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskontokan pada saat ini, bentuk persamaan adalah sebagai berikut:
160
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PVNRi = ∑𝑛𝑡=1
(𝐵−𝐶)𝑡𝑖 (1+𝑟)𝑡
...............................................
5
Keterangan: PVNRi = Present Value Net Return komodi i (Rp per hektar) B = Benefit usahatani tahun t komoditas i (Rp per hektar) C = Cost usahatani tahun t komoditas i (Rp per hektar) r = Interest rate t = Jangka waktu analisis (tahun) (Rustiadi etal., 2011) HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Karakterisitik keluarga petani kooperator pada kajian ini digambarkan oleh umur, tingkat pendidikan, pekerjaan utama, jumlah anggota keluarga, luas kepemilikan lahan, pengalaman berusahatani dan pendapatan yang diterima rumah tangga petani. Petani pada lokasi kajian sebagian besar merupakan petani PIR perkebunan karet, yang transmigrasi dari pulau Jawa pada tahun 1982. Berdasar karakteristik rumah tangga petani diperoleh data bahwa sebagian besar responden baik petani berada pada kelompok usia kerja. Jika dilihat dari usia yang sebagian besar tergolong usia produktif dapat dikatakan keluarga memiliki sumberdaya yang cukup produktif untuk mencari nafkah. Usia istri cukup mendukung mencari kegiatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian keluarga berada pada usia diatas 40 tahun, hal ini memperjelas berbagai temuan hasil penelitian yang menyatakan bahwa sektor pertanian bukan sektor yang diminati generasi muda, khususnya yang berumur dibawah 40 tahun. Tingkat pendidikan petani sebagian besar (40%) menempuh pendidikan Sekolah Dasar, (30 %) menempuh pendidikan hingga tamat SLTP ; 30 persen menempuh pendidikan tingkat SLTA dan pendidikan tinggi.Alasan yang dikemukan oleh petani mengenai rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh adalah keterbatasan biaya untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan suami dan istri yang rendah , sehingga sulit untuk mencari pekerjaan pada sektor formal. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai pekebun karet dan kelapa sawit. Jumlah anggota keluarga petani padi dan petani kelapa sawit tergolong tidak terlalu besar. Jumlah rata – rata anggota keluarga petani 5,50 jiwa (6 Orang/KK). Lahan bagi petani merupakan faktor produksi yang sangat penting selain sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia. Petani secara umum memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan lahan tempatnya berusaha, karena dari lahan tersebut diharapkan mampu menghidupkan keluarga petani. Petani menggantungkan semua harapannya kepada apa yang dihasilkan oleh lahan tersebut, hubungan ini biasanya terjadi pada petani yang menjadikan usahatani sebagai satu – satunya andalan untuk menghidupi keluarganya. Sebagian besar Keluarga petani sebagai pemilik lahan. Luas kepemilikan lahan sawah sekitar 1,0 sampai 2,0 hektar, dengan luas rata – rata 1,50 ha. Hasil analisa contoh tanah unit percobaan terlampir pada tabel 1.
161
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Hasil analisa tanah pada unit percontohan Desa Bukit Meranti, Kecamatan Seberida, Inhu (2015) No 1
2 3
4 5 6
7
Topografi Lahan Datar Bergelombang
Uraian Tekstur (%) Pasir Debu Liat PH (Ekstrak 1,5) H2O KCl Bahan Organik C N C/N P dan K Potensial: Ekstrak HCl 25% (mg/100g) P 2O 5 K2O P tersedia Bray-1 P2O5 (ppm) Morgan (K2O) ppm NTK (NH4-Acetat 1N. pH7) Cmol/kg Ca Mg K Na Jumlah KTK KB+ (%) Al3+ (Cmol/kg) H+ (Cmol/kg)
61 35 4
65 22 13
4,2 3,1
4,9 4,1
2,88 0,18 16
0,64 0,08 8
4 1
3 1
2,2 6
0,0 7
0,48 0,13 0,01 0,05 0,67 7,79 9 0,38 0,73
0,47 0,16 0,01 0,04 0,68 3,28 21 0,92 0,43
Dari data hasil analisa tanah, diketahui bereaksisangat masam, dengan tingkat kesuburan rendah. Tahapan pembangunan kelapa sawit secara garis besar terbagi dalam dua periode, yaitu berdasarkan fase vegetatif atau tanaman belum menghasilkan (TBM) mulai setelah bibit ditanam sampai tanaman berumur 2,5 – 3 tahun dan fase generatif atau tanaman menghasilkan (TM). Pemeliharaan tanaman belum menghasilkan ditujukan untuk menyiapkan tanaman agar mampu memberikan produksi yang tinggi, sedangkan tanaman menghasilkan pengelolaan tanaman terutama pada perawatan dan pengaturan penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida. Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Belum Menghasilkan Pada tahap pembangunan kebun kelapa sawit penggunaan sarana produksi yang utama adalah tenaga kerja dan bibit. Penggunaan tenaga kerja terutama untuk persiapan lahan, seperti pembersihan lahan dari gulma, pengaturan jarak tanam dengan memberi ajir sebagai penanda lubang tanam, pembuatan lubang tanam, dan penanaman.Rata-rata penggunaan bibit sebanyak 120 batang/hektar, pola tanam kelapa sawit yang umum digunakan adalah pola segitiga sama sisi dengan jarak 9 x 9 meter antara barisan dan 7,79 dalam barisan. Secara umum budidaya kelapa sawit yang dilakukan petani belum melaksanakan paket teknologi yang direkomendasikan, terutama penggunaan bibit dan pupuk. Bibit tanaman yang digunakan petani biasanya adalah bibit atau kecambah yang tidak bersertifikat, dibeli dari pedagang bibit keliling yang katanya berasal dari Balai Penelitian Kelapa Sawit Marihat. Kendala utama bagi perkebunan rakyat untuk memperoleh bibit unggul bersertifikat adalah kurangnya informasi untuk mendapatkan bibit tersebut dan kurangnya permodalan usahataniImplikasi dari penggunaan sarana produksi adalah timbulnya biaya usahatani, biaya rata-rata pada tahap pembangunan kebun yang digunakan saat pembukaan lahan serta perawatan dan pengendalian hama dan penyakit sebesar Rp 7.515.288/ha.
162
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit pada tahun pertama. Input usahatani
Volume
Bibit (tanaman / ha) Urea(kg / ha) SP-36 (kg/ha) KCl (kg / ha) Dolomit (kg/ ha) Herbisida (l / ha) Tenaga Kerja ( HOK / ha) Biaya peralatan (Rp/ha/th) Jumlah Sumber : Data diolah (2015)
120 56 50,29 56 50,30 11 44,07 1
Biaya (Rp/ha) 2.469.257 296.800 286.629 425.600 56.000 603.428 3.268.000 109.575 7.515.288
Persentase (%) 32,86 3,95 3,81 5,66 0,76 8,03 43,48 1,45 100
Pengelolaan tanaman pada tahun kedua terutama pada pengendalian gulma dan pemupukan. Rata-rata penggunaan pupuk urea sebesar 56,00 kg/ha/th, SP-36 dan KCl sebanyak pemupukan 64,43 kg/ha/th dilakukan 1 - 2 kali dalam satu tahun. Pemupukan dilakukan dengan menyebarkan secara merata pada daerah bokoran, atau daerah di bawah pelepah daun kelapa sawit. Pengendalian gulma dilakukan dengan penyemprotan herbisida, dan penebasan gulma dibawah tajuk tanaman atau membersihkan piringan tanaman dengan rata-rata penggunaan sebanyak 10,96 liter/hektar/tahun. Kebutuhan tenaga kerja sebanyak 13,32 HOK untuk pekerjaan pengendalian gulma, pemupukan, dan perawatan tanaman. Tabel 3. Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit pada tahun kedua. Input usahatani
Volume
Urea (kg/ha) SP-36 (kg/ha) KCl (kg/ha) Dolomit (kg/ha) Herbisida (l/ha) Tenaga Kerja (HOK /ha) Peralatan (Rp/ha/th) Jumlah Sumber : Data diolah (2015)
56,00 63,43 63,43 50,30 10,96 13,32 1
Biaya (Rp/ha) 296.800 361.542 482.057 56.000 603.428 1.065.951 109.575 2.975.354
Persentase (%) 9,97 12,15 16,20 1,88 20,28 35,82 3,68 100
Untuk tanaman berumur dua tahun biaya rata-rata yang dikeluarkan hanya 39,59% dari biaya tahun pertama, yakni sebesar Rp. 2.975.3540/ hektar. Biaya pembelian pupuk sebesar Rp 1.196.400/hektar (40,21 %), kemudian diikuti biaya pembelian pestisida terutama herbisida sebesar Rp. 603.428/hektar atau (20,28%) dan biaya tenaga kerja sebesar 1.065.951/hektar atau sebesar 35,82 % dan biaya peralatan sebesar Rp. 109,575.- (3,68 %). Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Menghasilkan Tanaman kelapa sawit mulai berbunga setelah berumur 2,5 tahun dan bisa panen setelah 5,5 bulan dari penyerbukan. Pada lahan dengan pertumbuhan tanaman serta pengelolaan yang baik, produksi sudah dapat diperoleh setelah tanaman berumur 31 bulan, mulai berbuah “buah pasir” . Tabel 4. Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit pada tahun ketiga. Input usahatani Urea (kg/ha) SP-36 (kg/ha) KCl (kg/ha) Herbisida (l / ha) Tenaga Kerja ( HOK / ha) Peralatan Jumlah Sumber : Data diolah (2015)
Biaya (Rp/ha) 669.314 514.269 957.771 603.429 992.914 103.750 3.843.807
Volume 126,29 90,29 126,29 10,97 12,41 1,0
163
Persentase (%) 17,41 13,38 24,96 15,68 25,83 3,45 100
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pemupukan kelapa sawit biasanya dilakukan 1 sampai 2 kali per tahun pada saat awal musim hujan dan akhir musim hujan. Faktor kemampuan untuk membeli dan jenis pupuk yang tersedia mempengaruhi dosis pupuk yang digunakan. Rekomendasi pemupukan tersebut akan sulit diterapkan ditingkat petani, mengingat kisaran biaya per pohon yang sangat tinggi.. Penggunaan sarana produksi, seperti pupuk Urea, TSP, KCl, Kiserit, dan Borax dan herbisida pada tanaman berproduksi berumur 4 sampai 25 tahun relatif sama, sehingga biaya usahatani diasumsikan sama. Demikian juga halnya dengan curahan tenaga kerja untuk perawatan tanaman seperti pemupukan dan pengendalian gulma. Rata-rata biaya produksi teknologi introduksi 1 pada tahun 4 s/d 25 dapat diformulasikan adalah biaya produksi ditambah biaya panen (Tabel 5). Hasil kelapa sawit relatif mudah dan lancar untuk dipasarkan, petani pekebun hanya menyiapkan TBS di tepi jalan kemudian pedagang pengumpul akan membawa ke peron atau tempat penimbangan. Setelah penimbangan, petani langsung mendapat pembayaran dari penjualan TBS. Tabel 5. Biaya produksiusahatani kelapa sawit umur 4 s/d 25 tahun pada tapografi lahan datar dan berbukit.Desa Bukit Meranti, 2105. Tapografi lahan
Uraian Datar
Paket teknologi 1 7.670.000 (150 x prod)* (Rp/ha/th) Paket teknologi 2 6.120.000 (150 x prod)* (Rp/ha/th) Paket teknologi 3 4.420.000 (150 x prod)* (Rp/ha/th) Rata – rata 6.070.000 (150 x prod)* (Rp/ha/th) Sumber : data primer (2105) Keterangan: *) Biaya panen Rp 150/kg TBS
Rata - rata Berbukit
7.270.000 + (150 x prod)*
7.470.000 + (150 x prod)*
5.720.000+ (150 x prod)*
5.920.000+ (150 x prod)*
4.420.000 + (150 x prod)*
4.420.000 + (150 x prod)*
5.803.333 (150 x prod)*
Penggunaan input produksi lebih tinggi dibanding Paket Teknologi introduksi 1 dan Paket Teknologi Introduksi 2 lebih tinggi dibandingteknologi cara petani. Harga tandan buah segara ditentukan oleh pedagang pengumpul berdasarkan harga pasar atau harga DO dari pabrik dan juga berdasar kepada kualitas buah. Pemanenan dilakukan setiap dua minggu sekali atau 24 kali panen dalam satu tahun. Penerimaan , biaya dan pendapatan usahatani kelapa sawit tersaji pada Tabel 6. Tabel 6. Uraian
Rata-rata produksi, pendapatan dan nilai B/C ratio usahatani kelapa sawit. Desa Bukit Meranti, 2105. Topografi lahan Datar Produksi (kg/ha/th)
Pendapatan (Rp/ha/th)
Paket teknologi 1 21.168 12.281.330 Paket teknologi 2 17.486 11.106.000 Teknologi cara petani 17.703 11.058.730 Rata – rata 18.785 11.482.020 Sumber : data primer (2105) Keterangan: *) Biaya panen Rp 150/kg TBS
Topografi lahan Berbukit B/C ratio
Produksi (kg)
Pendapatan (Rp/ha/th)
B/C ratio
1,15 1,25 1,50 1,30
17.235 14.937 12.639 14.937
7.750.080 7.160.780 6.351.480 7.087.446
0,82 0,71 1,01 0,85
Rata-rata produksi Paket Teknologi introduksi 1 sebesar 19.205 kg/ha/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi introduksi 2 sebesar 16.215 kg/ha/th dan cara petani 15.171 kg/ha/th. Disamping itu rata - rata pendapatan Paket Teknologi introduksi 1 sebesar Rp. 10.015.705 per hektar/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi introduksi 2 sebesar Rp. 9.133.390 per hektar/th dan cara petani sebesar Rp. 8.705.105 per hektar/th. Kemudian rata – rata nilai B/C ratio Paket Teknologi introduksi 1 sebesar 0,985 lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi introduksi 2 sebesar 0,98 dan lebih rendah dibanding nilai B/C ratio cara petani sebesar 1,25 . Penggunaan input produksi lebih tinggi pada Paket Teknologi introduksi 1 dan Paket Teknologi introduksi 2 dibanding Teknologi cara petani meningkatkan hasil tanaman tetapi belum diikuti dengan peningkatan pendapatan. Hal ini disebabkan pada tanaman tahunan respon dari pupuk
164
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
yang diberikan baru akan berdampak pada waktu jangka panjang, minimal 6 bulan setelah aplikasi pemupukan. Disamping itu respon pemupukan juga dipengaruhi oleh bibit tanaman yang digunakan. Jika bibit yang digunakan meruapakan bibit unggul bersertifikat maka pemupukan yang diberikan akan menghasilkan produksi lebih tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Rata- rata produksi Paket Teknologi introduksi 1(Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg per pohonsebesar 19.205 kg/ha/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi introduksi 2 sebesar 16.215 kg/ha/th dan cara petani 15.171 kg/ha/th. Disamping itu rata-rata pendapatan Paket Teknologi introduksi 1 sebesar Rp. 10.015.705 per hektar/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi introduksi 2 sebesar Rp. 9.133.390 per hektar/th dan cara petani sebesar Rp. 8.705.105 per hektar/th. 2. Rata-rata produksi pada topografi lahan datar sebesar 18.785 kg/ha/th dan pendapatan sebesar Paket Teknologi introduksi 1 sebesar 19.205 kg/ha/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi introduksi 2 sebesar 16.215 kg/ha/th dan cara petani 15.171 kg/ha/th. Disamping itu rata-rata produksi pada topografi lahan berbukit sebesar Rp. 11.482 ha/th dan pendapatan sebesar Rp. 7.087.446 per hektar/ th. Saran 1. Peningkatan produksi dan pendapatan usahatani kelapa sawit rakyat di desa Bukit Meranti Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu perlu penerapan Paket teknologi introduksi 1 (Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg per pohon) 2. Untuk mendiseminasikan penerapan paket teknologi introduksi 1, Petani kelapa sawit memerlukan dukungan pemerintah daerah dan akses lembaga permodalan. DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Propinsi Riau Dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik. Propinsi Riau. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Indragiri Hulu Dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Indragiri Hulu. [BBP2TP]. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian . 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Khaswarina,S. 2001. Keragaan Bibit Kelapa Sawit Terhadap Pemberian Berbaga Kombinasi Pupuk di Pembibitan Utama. Jurnal Natur Indonesia III (2):138-150. Luma HS., 2012. Pemberian Pupuk Majemuk dan Kompos Tandan Kosong kelapa Sawit pada Media Tanam untuk Pertumbuhan Kelapa Sawit di Main nursery. Makalah. http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/2501/1/ Jurnal%20Hendra%20Luma%20S.pdf Mawardi, E., Syafei dan A Thaher, 1999. Pemanfaatan kaptan Super Fosfate (KSP) dalam paket tampurin untuk meningktkan produktivitas kubah gambut. BPTP Sukarami. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID) Crespent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Sugiyono, E.S. Sutarta, W. Darmosarkoro, dan H.Santoso. 2005. Peranan Perimbangan K, Ca dan Mg Tanah Dalam Penyusunan Rekomendasi Pemupukan Kelapa Sawit. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Sawit. Medan, 19-20 April 2005. Hal 43 - 56 Syahza A. 2003. Potensi Pembangunan Industri Minyak Goreng di Daerah Riau. Sosiohumaniora. Vol 5 No. 1. Maret 2003. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Bandung. Wigena IGP, H. Siregar, Sudradjat, dan Santun RP Sitorus. 2009. Desain Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Sistem Dinamis (Studi Kasus Kebun Kelapa Sawit Plasma PTP Nusantara V Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). JAE. Volume 27 No 1. Hal 81 – 108
165
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
ENKAPSULASI Acetobacter xylinum MENGGUNAKAN ALGINAT UNTUK MEMPRODUKSI NATA DE COCO ENSAPSULATION OF Acetobacter xylinum USING ALGINATE TO PRODUCE NATA DECOCO Fahroji1 dan L.T Nguyen2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau 2 Asian Institute of Technology, Thailand Jl. Kaharuddin Nasution 341, Pekanbaru Email:
[email protected]
ABSTRAK Acetobacter xylinum merupakan bakteri penghasil selulosa. Salah satu selulosa yang dihasilkan oleh bakteri yaitu nata de coco yang diproduksi menggunakan air kelapa sebagai bahan utama. Biasanya starter kultur A. xylinum digunakan dalam bentuk cair. Ada beberapa kerugian kultur starter dalam bentuk cair seperti tidak mudah dalam pengemasan dan transportasi, memerlukan tempat yang luas untuk penyimpanan, dan kualitas tidak stabil. Enkapsulasi A. xylinum menggunakan metode ekstrusi dengan alginat sebagai bahan pembawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh alginat sebagai bahan enkapsulasi terhadap viabilitas A. xylinum dan kemampuannya untuk memproduksi nata de coco. Perlakuan dalam penelitian ini adalah penggunaan alginat dengan konsentrasi berbeda yaitu 2%, 3%, dan 4%. Proses ekstrusi dilaksanakan dalam skala laboratorium menggunakan injektor suntik. Suspensi sel ditangkap menggunakan larutan 0,1 M kalsium klorida sehingga bead mengeras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air bead berkisar antara 94,74 – 96,02%, diameter bead 1,89 – 2,09 mm dan berat bead 3,79 – 5,71 mg. Jumlah bakteri pada konsentrasi alginat 2% adalah 7,04 log CFU/g berbeda nyata dengan konsentrasi alginat 4% sebanyak 6,87 log CFU/g. Berat nata de coco yang dihasilkan berkisar antara 72,48 – 81,70 g/100ml dan tidak berbeda nyata dengan kontrol yang dihasilkan oleh kultur cair A. xylinum. Kata kunci: Acetobacter xylinum, enkapsulasi, ekstrusi, nata de coco ABSTRACT Acetobacter xylinum is bacteria that produce cellulose. The most famous of cellulose which is produced by bacteria is nata de coco which is made using coconut water as main material. A. xylinum culture is usually used in liquid form. There are several disadvantages of liquid culture including difficult for packaging and transportation, require huge space for storage, and unstable quality. Encapsulated A. xylinum was conducted by extrusion method using alginate as carrier material. The objectives of this study were to evaluate the effect of alginate as an encapsulation material on the viability of A. xylinum and its ability to produce nata de coco. The treatment in this study was application different concentration of alginate (2%, 3% and 4%). Extrusion process was conducted in laboratory scale using syringe needle. The Cell suspension through a syringe needle in the form of droplets to free-fall into stirred 0.1 M CaCl2 solution.The results pointed out moisture content was 94.74 – 96.02%, diameter 1.89 – 2.09 mm/bead and weight 3.79 – 5.71 mg/bead. The viability of A. xylinum at 2% alginate was 7.04 log CFU/g. It was significantly different with that at 4% alginate (6.87 log CFU/g). The weight of nata de coco yielded by encapsulated A. xylinum was 72.48 – 81.70 g/100ml and was not significantly different compared to that resulted by liquid culture. Key words: Acetobacter xylinum, encapsulation, extrusion, nata de coco PENDAHULUAN Acetobacter xylinum adalah bakteti Gram negatif yang memproduksi selulosa sebagai metabolit sekunder. Bakteri ini juga menghasilkan metabolit primer berupa asam asetat. A. xylinum merupakan bakteri obligat anaerob yang memerlukan oksigen untuk pertumbuhan. Substrat utama yang diperlukan A. xylinum adalah glukosa (Mohammad et al., 2014). Acetobacter xylinum umumnya digunakan untuk menghasilkan bakterial selulosa. Bakterial selulosa adalah selulosa murni dan tidak mengandung hemiselulosa, pektin, dan lignin, yang merupakan komponen selulosa pada tanaman dan sulit untuk dipisahkan. Bakterial selulosa mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan selulosa dari tanaman seperti kemurniannya tinggi,
166
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
daya regang yang kuat, struktur yang halus, dan biodegradable (Shen et al., 2016). Bakterial selulosa yang paling terkenal adalah nata de coco yang dibuat menggunakan air kelapa sebagai bahan utama. Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi nata de coco adalah nutrisi, suhu, pH, dan metode fermentasi (Afreen dan Lokeshappa, 2014). Acetobacter xylinum sebagai kultur starter nata de coco biasanya digunakan dalam industri pangan dalam bentuk cair. Ada beberapa kerugian kultur starter dalam bentuk cair seperti tidak mudah dalam pengemasan dan transportasi, memerlukan tempat yang luas untuk penyimpanan, dan kualitas tidak stabil. Dalam bentuk cair, A. xylinum tidak dapat langsung digunakan setelah kultivasi. Hamad and Handayani (2014) menyatakan bahwa A. xylinum menghasilkan nata de coco yang optimum pada hari ke 7-13 setelah kultivasi. Oleh karena itu, diperlukan metode yang tepat untuk mengatasi kerugian seperti yang disebutkan diatas. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah mengubah kultur starter dalam bentuk cair menjadi padat dengan menggunakan teknik enkapsulasi. Teknik enkapsulasi yang umum digunakan adalah ekstrusi karena teknik ini mudah dan murah. Material yang sering digunakan untuk enkapsulasi adalah alginat.Alginat memiliki keunggulan antara lain non-toksik, sederhana, biokompabilitas dan murah (Krasaekoopt et al., 2003) Hasil akhir dari enkapsulasi menggunakan metode ekstrusi adalah material berupa butiranbutiran bulat kecil yang disebut bead. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh alginat sebagai bahan enkapsulasi terhadap viabilitas A. xylinum dan kemampuannya untuk memproduksi nata de coco. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur A. xylinumTISTR 975 yang diperoleh dari the ThailandInstitute of Science and Technology Research, air kelapa, sukrosa, (NH4)2SO4, K2HPO4, g ekstrak yeast, MgSO4, alginat, asam asetat, kalsium klorida, aquades dan kapas. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah autoclave, beaker glass, tabung reaksi, erlenmeyer, pipet, inkubator, petridis, pH meter, shaker, bunsen, jarum suntik Tahapan penelitian Penyiapan kultur A. xylinum Acetobacter xylinum TISTR 975 diinokulasi pada medium Hassid Barker (HB). Medium HB dibuat dengan mencampurkan 100 g sukrosa, 6 g (NH4)2SO4, 5 g K2HPO4, 2,5 g ekstrak yeast, dan 2 g MgSO4. Semua bahan dicampur dan diaduk sehingga homogen dan disterilisasi menggunakan autoclave kemudian didinginkan. Larutan diinkubasi pada suhu 30oC selama 5 hari. Semua proses dilakukan dalam keadaan steril. Penumbuhan pada medium air kelapa Air kelapa yang diperkaya dengan 6% (b/v) sukrosa dan 0,6% (b/v) (NH4)2SO4 dipersiapkan sebagai medium pertumbuhan A. xylinum. Asam asetat diperlukan untuk mengatur pH medium menjadi 4,5. Medium disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Sebanyak 10% inokulum pada medium HB ditransfer ke dalam medium air kelapa. Kurva pertumbuhan bakteri ditentukan dengan menggunakan plate count method. Viabilitas awal ditentukan pada fase stasioner awal karena A. xylinum pada fase ini lebih stabil pada proses enkapsulasi (Corcoran et al., 2004). Enkapsulasi A. xylinum Enkapsulasi A. xylinum diproduksi dengan menggunakan metode ekstrusi. Konsentrasi alginat yang digunakan sebagai bahan pembawa yaitu 2,3, dan 4%. Alginat dilarutkan dalam air deionisasi sehingga konsentrasi alginat menjadi 4, 6, dan 8%. Setelah diaduk hingga homogen, starter A. xylinum ditambahkan sehingga konsentrasi alginat menjadi 2,3, dan 4% (perbandingan air deionisasi dan starter A. xylinum 1:1). Campuran diaduk menggunakan magnetik stirer sehingga diperoleh campuran yang homogen. 0.1 M kalsium klorida (CaCl2) digunakan sebagai hardening solution sehingga suspensi bisa mengeras membentuk butiran kecil. Suspensi sel diinjeksikan melalui jarum suntik 0,55 mm untuk membentuk droplet ke dalam larutan CaCl2 yang diaduk menggunakan magnetik stirer. Bead dibiarkan dalam larutan CaCl2 minimal 30 menit untuk proses gelasi sehingga dihasilkan butiran bead. Bead kemudian dicuci dengan air aquades dan disimpan pada suhu 4oC. Semua proses dilaksanakan dalam keadaan steril
167
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Produksi nate de coco Air kelapa yang diperkaya dengan 6% (b/v) sukrosa dan 0,6% (b/v) (NH4)2SO4 dipersiapkan sebagai medium pertumbuhan A. xylinum terenkapsulasi. Setelah larutan disterilisasi dan didinginkan, ditambahkan 1% (b/v) A. xylinum terenkapsulasi. Air kelapa yang telah ditambahkan A. xylinum terenkapsulasi digoyang-goyang menggunakan shaker selama 1 jam kemudian diinkubasi pada suhu 30oC selama 12 hari untuk memproduksi nata de coco. Hasil dibandingkan dengan kontrol yaitu nata de coco yang dihasilkan dari fermentasi menggunakan A. xylinum cair sebanyak 10% (v/v) pada medium yang sama. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAK) dengan 3 faktor perlakuan yaitu konsentrasi alginat 2, 3, dan 4% dengan 3 kali ulangan. Data yang diamati meliputi viabilitas A. xylinum menggunakan metode plate count, kadar air bead menggunakan metode AOAC, diameter bead menggunakan mikroskop berskala, berat bead menggunakan timbangan digital, dan berat nata de coco menggunakan timbangan digital. Data yang diperoleh dianalisa dengan sidik ragam (ANOVA) dan untuk mengetahui pengaruh dari faktor perlakuan dilakukan uji BNT pada α = 5% menggunakan program SPSS versi 17. HASIL DAN PEMBAHASAN Kurva pertumbuhan nata de coco Pertumbuhan A. xylinum dievaluasi selama 7 hari. Fase lag terjadi selama 3 hari dimana pada fase ini tidak terjadi pertumbuhan A. xylinum yang berarti. Pada fase ini, A. xylinum beradaptasi pada lingkungan yang baru termasuk pH, suhu, dan nutrisi. Aktivitas pada fase ini termasuk pembelahan sel, sintesis enzim dan bahan genetik, aktivitas metabolisme, dan aktivitas molekul yang lain (Parija, 2014). Fase eksponensial terjadi dari hari ke 3-4 dimana viabilitas bakteri sebanyak 5.99 - 7.85 log CFU/ml. Pada fase ini, sel membelah secara eksponensial pada kecepatan konstan. Jumlah sel baru per unit waktu proporsional dengan jumlah sel yang ada (Parija, 2014). Fase stasioner terjadi setelah inkubasi selama 4 hari. Fase ini disebabkan karena faktor pertumbuhan yang terbatas seperti berkurangnya nutrisi dan terbentuknya asam asetat sehingga pH menurun (Parija, 2014). Viabilitas awal A. xylinum adalah 5,32 log CFU/ml dan meningkat menjadi 7,85 log CFU/ml pada fase stasioner awal. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2013) menunjukkan bahwa fase stasioner terjadi pada hari ke-4. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan berbedaan pertumbuhan A. xylinum. Kongruang (2008) menyatakan bahwa fase stasioner terjadi pada hari ke-8, sementara Lestari et al. (2014) menyebutkan bahwa fase stasioner A. xylinum terjadi pada hari ke-2 \
Viabilitas (log CFU/ml)
9
8
7
6
5 0
1
2
3
4
5
6
7
hari
Gambar 1. Kurva pertumbuhan A. xylinum dalam medium air kelapa selama 7 hari pada suhu 30oC
168
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Karakteristik bead Bead yang dihasilkan dari penelitian ini berbentuk bulat kecil dan berwarna putih (Gambar 2). Bead yang dihasilkan mempunyai tekstur yang kenyal karena pengaruh kalsium klorida. Proses pembentukan bead melibatkan interaksi natrium alginat dan kalsium klorida. Ketika larutan natrium alginat yang berisi A. xylinum diteteskan ke dalam larutan CaCl2, ion Na+ bertukar dengan ion Ca2+. Setelah itu, ion Ca2+ berinteraksi dengan unit asam guluronik yang merupakan bagian dari alginat untuk membentuk jaringan tiga dimensi(Sengupta, 2007). Hasil pengukuran diameter dengan mikroskop berskala dengan perbesaran 40x menunjukkan bahwa bead tidak berbentuk bulat sempurna (Gambar 1b)
2%
3%
4% b
a
Gambar 2. A. xylinum terenkapsulasi menggunakan alginat dengan konsentrasi yang berbeda (a). Kenampakan mikroskopis bead dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40x (b) Alginat dengan konsentrasi yang berbeda sebagai bahan enkapsulan menghasilkan karakteristik fisik yang berbeda. Kadar air bead yang mengandung 2% alginat berbeda nyata (p<0,05) dengan bead yang mengandung 3% dan 4% alginat. Kadar air bead berbanding terbalik dengan konsentrasi alginat. Kadar air bead yang mengandung 2% alginat lebih tinggi karena alginat lebih banyak menyerap air dibandingkan dengan alginat 3% dan 4%. Berat bead dengan 2% alginat berbeda nyata (p<0,05) dengan bead yang mengandung 3% dan 4% alginat. Menurut Cuadroset al. (2012), kadar air sedikit menurun dengan bertambahnya konsentrasi alginat pada pembuatan pada gel alginat sedikit menurun pada pembuatan fiber kalsium alginat. Semakin tinggi konsentrasi alginat mengakibatkan bead semakin berat. Hal ini karena semakin besar masa jenis mengakibatkan semakin berat benda tersebut, massa jenis alginat (1.601 kg/m3) (Sun-Waterhouseet al., 2013) lebih besar daripada massa jenis air (1.000 kg/m3)(Müller et al., 2005). Table 1. Karakteristik A. xylinum terenkapsulasi menggunakan alginat dengan konsentrasi yang berbeda Alginat (%)
Kadar air (%) c
2
96.02 ± 0.06
3
95.24 ± 0.12 b
berat bead (mg) 3.75 ± 0.00
a
4.39 ± 0.00 b
Diameter (mm) 1.89 ± 0.16 a 1.95 ± 0.19 ab
4 94.74 ± 0.07 a 5.71 ± 0.00 c 2.09 0.11 b *Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) menggunakan uji BNT **Sumber: data primer diolah (2016)
Diameter bead meningkat dengan bertambahnya konsentrasi alginat. Hal ini sesuai dengan penelitian Das and Senapati (2008) yang menyatakan bahwa peningkatan ukuran partikel proporsional dengan konsentrasi sodium alginat. Alginat digunakan sebagai bahan enkapsulasi A. xylinum karena keunggulan sifatnya dibandingkan dengan polisakarida lainnya, seperti sifat pengikat ion yang selektif dan transisi gel alginat tidak dipengaruhi oleh suhu (Draget et al., 2005).
169
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Produksi nata de coco Tabel 2.
Berat nata de coco dan viabilitas A. xylinum yang dihasilkan dari 1% (b/v) A. xylinum terenkapsulasi setelah fermentasi selama 12 hari
Alginat (%)*
log CFU/g
Berat nata de coco (g/100 ml)
2
7.04 ± 0.04 b
81.70 ± 12.28 a
3
6.95 ± 0.05 ab
73.57 ± 4.46 a
4
6.87 ± 0.11 a
72.46 ± 7.73 a
Kontrol 82.13 ± 9.94 a *Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) menggunakan uji BNT **Sumber: data primer diolah (2016)
Acetobacter xylinum terenkapsulasi diuji viabilitas dan kemampuannya untuk memproduksi nata de coco. A. xylinum terenkapsulasi diinokulasi pada medium air kelapa dan hasilnya dibandingkan dengan A. xylinum cair (tanpa proses enkapsulasi). Tabel 2 menunjukkan viabilitas A. xylinum terenkapsulasi dengan 2% alginat berbeda nyata dengan viabilitas dengan 4% alginat, tetapi tidak berbeda nyata viabilitas dengan 3% alginat. Enkapsulasi menggunakan alginat dengan metode ekstrusi tidak menyebabkan kerusakan sel bakteri sehingga viabilitasnya tinggi (Serna-Cock dan Vallejo-Castillo, 2013). Berat nata de coco yang dihasilkan sedikit menurun dengan meningkatnya konsentrasi alginat, tetapi berat nata de coco yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Ini disebabkan karena viabilitas A. xylinum terenkapsulasi dengan 2% alginat lebih tinggi daripada 3% dan 4% alginat. Penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan 2% alginat menghasilkan viabilitas Lactobacillus casei terenkapsulasi lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan 4% alginat (Mandal et al., 2006).Berat nata de coco yang dihasilkan dari A. xylinum terenkapsulasi tidak berbeda nyata dengan berat nata de coco yang dihasilkan dari A. xylinum cair (tanpa proses enkapsulasi) karena viabilitas A. xylinum terenkapsulasi tinggi (6,89-7,04 log cfu/g) tidak jauh berbeda dengan viabilitas starter cair (7,00 log cfu/ml). Hal ini mengindikasikan bahwa enkapsulasi A. xylinum tidak berpengaruh terhadap berat nata de coco yang dihasilkan. Potensi kelebihan penggunaan starter A. xylinum terenkapsulasi dibandingkan starter cair adalah bead dapat digunakan lagi untuk fermentasi selanjutnya karena masih mengandung A. xylinum setelah proses fermentasi (Nugroho dan Aji, 2015), umur simpan lebih lama dan menghemat penggunaan tempat dalam selama penyimpanan dan transportasi. KESIMPULAN • Alginat merupakan bahan yang mampu melindungi A. xylinum dalam proses enkapsulasi • Konsentrasi alginat 2% menghasilkan viabilitas A. xylinum tertinggi dibandingkan dengan konsentrasi alginat 3 dan 4% • A. xylinum terenkapsulasi tidak berpengaruh nyata terhadap berat nata de coco yang dihasilkan dibandingkan dengan menggunakan kultur cair A. xylinum UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Laboratorium Bioprocess Technology, Food Engineering and Bioprocess Technology, Asian Institute of Technology, Thailand yang telah membantu penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Afreen, S.S., Lokeshappa, B. 2014. Production of bacterial cellulose from Acetobacter xylinum using fruits wastes as substrate. The International Journal of Science and Technoledge, 2(8), 57. Corcoran, B. M., Ross, R. P., Fitzgerald, G. F., Stanton, C. 2004. Comparative survival of probiotic lactobacilli spray-dried in the presence of prebiotic substances. Journal of Applied Microbiology, 96(5), 1024–1039. Cuadros, T. R., Skurtys, O., & Aguilera, J. M. 2012. Mechanical properties of calcium alginate fibers produced with a microfluidic device. Carbohydrate polymers, 89(4), 1198-1206.
170
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Draget, K. I., Smidsrod, O., Skjak-Braek, G. 2005. Alginates from algae. Biopolymers Hamad, A., Handayani, N. A. 2014. Pengaruh umur starter Acetobacter xylinum terhadap produksi nata de coco. Techno Jurnal Ilmu Teknik, 15(1) Kongruang, S. 2008. Bacterial cellulose production by Acetobacter xylinum strains from agricultural waste products. Applied Biochemistry and Biotechnology, 148(1-3), 245–256 Krasaekoopt, W., Bhandari, B., Deeth, H. 2003. Evaluation of encapsulation techniques of probiotics for yoghurt. International Dairy Journal, 13(1), 3–13. Lestari, P., Elfrida, N., Suryani, A., Suryadi, Y., & others. 2014. Study on the production of bacterial cellulose from Acetobacter xylinum using agro-waste. Jordan J Biol Sci, 7, 75–80 Mandal, S., Puniya, A. K., & Singh, K. (2006). Effect of alginate concentrations on survival of microencapsulated Lactobacillus casei NCDC-298. International Dairy Journal, 16(10), 1190-1195. Mohammad, S. M., Rahman, N. A., Khalil, M. S., Abdullah, S. R. S. 2014. An overview of biocellulose production using Acetobacter xylinum culture. Advances in Biological Research, 8(6), 307–313. Müller, M., Solenthaler, B., Keiser, R., & Gross, M. 2005, July. Particle-based fluid-fluid interaction. In Proceedings of the 2005 ACM SIGGRAPH/Eurographics symposium on Computer animation (pp. 237-244). ACM. Nugroho, DA, Aji, P. 2015. Characterization of Nata de Coco Produced by Fermentation of Immobilized Acetobacter xylinum. Agriculture and Agricultural Science Procedia 3: 278 – 282 Parija, S. C. 2014. Textbook of microbiology & immunology. Elsevier Health Sciences. Sengupta, A. K. 2007. Ion exchange and solvent extraction: a series of advances (Vol. 18). CRc Press Serna-Cock, L., Vallejo-Castillo, V. 2013. Probiotic encapsulation. African Journal of Microbiology Research, 7(40), 4743-4753. Shen, X., Shamshina, J. L., Berton, P., Gurau, G., Rogers, R. D. 2016. Hydrogels based on cellulose and chitin: fabrication, properties, and applications. Green Chemistry, 18(1), 53-75. Sun-Waterhouse, D., Wadhwa, S. S., & Waterhouse, G. I. 2013. Spray-drying microencapsulation of polyphenol bioactives: a comparative study using different natural fibre polymers as encapsulants. Food and Bioprocess Technology, 6(9), 2376-2388. Zhang, L., Liu, C., Li, D., Zhao, Y., Zhang, X., Zeng, X., Yang, Z., Li, S., 2013. Antioxidant activity of an exopolysaccharide isolated from Lactobacillus plantarum C88. International journal of biological macromolecules, 54, 270-275.
171
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PREFERENSI PETANI TERHADAP CABAI RAWIT EKSISTING DI GORONTALO FARMERS PREFERENCES OF EXISTING CAYENNE PEPPER IN GORONTALO Muhammad Yusuf Antu1, Nanang Buri1, Ari Widya Handayani1 dan Hertina Artanti2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Muh. Van Gobel No.270 Iloheluma Kec. Tilong Kabila, Kab. Bone Bolango, Gorontalo 96183 Email :
[email protected] 2
ABSTRAK Preferensi petani terhadap cabai rawit berbeda-beda, karena terkait permintaan pasar dan konsumen. Hal tersebut menjadi pertimbangan petani untuk melakukan kontinuitas budidaya, khususnya penggunaan varietas cabai rawit. Oleh karena itu tujuan dari kajian adalah untuk mengetahui tingkat preferensi petani terhadap cabai rawit yang eksisting di Bongomeme Gorontalo. Kajian dilaksanakan pada Juni sampai Desember 2015 di Gorontalo. Kajian menggunakan metode survey dengan melibatkan 25 orang petani sebagai responden. Analisis preferensi petani terhadap varietas cabai rawit diukur menggunakan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA), dengan variabel preferensi meliputi warna, ukuran, harga, penampilan, umur panen, proses budidaya, dan memperoleh benih. Varietas yang diukur tingkat preferensinya adalah varietas cabai rawit lokal Malita FM, varietas cabai rawit hibrida Dewata dan Sret. Hasil kajian menunjukkan bahwa karakteristik petani khususnya pengalaman dan usia sangat menentukan tingkat preferensi. Selanjutnya hasil analisis bahwa petani memiliki preferensi yang kuat terhadap varietas cabai rawit Dewata dibanding dengan varietas Malita FM dan Sret. Varietas dewata berada pada posisi mendekati ketiga variabel utama preferensi yang meliputi (1) preferensi visual, harga, dan proses budidaya, (2) memperoleh benih, dan (3) umur panen, sehingga varietas tersebut dijadikan varietas rekomendasi. Kata kunci : Cabai rawit, preferensi, petani ABSTRACT Preferences farmers on different cayenne pepper, due to market demand and consumer related. This is a consideration farmer to make the cultivation continuityin particular the use of varieties of cayenne pepper. Therefore the aim of the study was to assess the preference farmers to the existing cayenne pepper in Bongomeme Gorontalo. Studies carried out in June and December 2015 in Gorontalo. Studies using survey involving 25 farmers as respondents. Analysis of farmers preferences to varieties of cayenne pepper is measured using principal component analysis or Principal Component Analysis (PCA), with preference variables including color, size, price, appearance, harvesting, cultivation process, and obtain seeds. Varieties were measured thelevel of preferences include varieties of Dewata, Malita FM, and Sret. The results showed that the characteristics of the farmers, especially the experience and age will determine the preferences. Results of the analysis of the preferences of farmers have a strong preference for varieties of cayenne pepper Dewata compared with Malita FM and Sret. Varieties Dewata are in no position away from the three main variable preferences that include (1) a visual preference, price, and the cultivation process, (2) obtaining the seed, and (3) harvesting, so that these varieties are used varieties of recommendation. Keywords : Cayenne pepper, preferences, farmers PENDAHULUAN Salah satu komoditas hortikultura sebagai penyumbang inflasi adalah cabai rawit, karena pada waktu-waktu tertentu khususnya pada musim hujan, produksi cabai rawit kurang baik. Hal ini yang menjadi penyebab rendahnya produksi pada bulan tertentu disbanding dengan kebutuhan atau konsumsi, sehingga berdampak pada kenaikan harga. Selain itu menurunnya harga disebabkan panen raya hanya pada musim tertentu. Menurut Sutardi (2014) cabai rawit dan cabai merah memberikan andil inflasi sebesar 0,02% - 0,03% dan 0,08% - 0,1%. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia yang suka cabai rawit segar, sehingga menyebabkan harga menjadi tinggi. Disisi lain secara nasional produk cabai rawit tidak bisa masuk industri di Indonesia karena kualitasnya rendah. Kualitas rendah ini tidak lepas dari soal pemupukan dan pestisida.
172
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tingginya permintaan akan cabai rawit khususnya di Gorontalo menjadi pendorong bagi petani untuk mengusahakan atau berbudidaya cabai rawit sesuai dengan keinginan dan preferensi konsumen dipasaran. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lim et al. (2013), dalam merencanakan sebuah produk harus berorientasi pada konsumen dan pasar. Permintaan pasar yang menjadi dasar petani untuk menentukan varietas yang akan dibudidayakan yaitu cabai rawit yang sangat pedas, seperti halnya cabai rawit lokal yang terkesan sangat pedas. Selain itu preferensi lainnya adalah cabai rawit yang dapat menjangkau pasar, karena daya simpannya yang lama pada suhu ruang serta harga yang optimal. Menurut Fachrista et al, (2012), preferensi merupakan minat dan keinginan yang ditunjukkan oleh konsumen atau petani terhadap kombinasi atribut –atribut suatu produk yang baru maupun lama yang paling disukai. Sedangkan menurut Sanjur (1982),preferensi konsumen adalah derajat kesukaan atau tidak suka seseorang terhadap suatu produk, selain itu preferensi yang dilakukan masyarakat terhadap suatu produk lebih dikenal dengan sebutan preferensi konsumen. Selai itu terkait preferensi, dimana tekanan konsumen dapat secara implisit terdapat dalam permintaan varietas tanaman yang hasilnya tinggi, mutu prima, aman dikonsumsi yang akan berdampak pada akselerasi diseminasi (Adiyoga, 2011). Berdasarkan permasalahan, kegiatan kajian dilakukan sebagai upaya untuk mengungkapkan preferensi petani terhadap cabai rawit yang dibutuhkan konsumen dan pasar. Sehingga upaya tersebut akan menjadi langkah selanjutnya petani untuk merencanakan penerapan dan kontinuitas budidaya, khususnya penggunaan varietas cabai rawit eksisting. Oleh karena itu yang menjadi tujuan dari kajian adalah untuk mengetahui tingkat preferensi petani terhadap cabai rawit yang eksisting di Bongomeme Gorontalo. METODOLOGI Kajian dilaksanakan pada Juni sampai Desember 2015 di Kecamatan Bongomeme Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Lokasi tersebut merupakan wilayah kawasan pengembangan hortikultura provinsi Gorontalo. Kajian menggunakan metode survey dengan melibatkan 25 orang petani sebagai responden. Analisis data dilakukan melalui wawancara dengan petani dan menggunakan kuesioner. Preferensi petani terhadap varietas cabai rawit diukur menggunakan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) pada perangkat lunak MINITAB ver. 16. Variabel preferensi meliputi warna, ukuran, harga,penampilan, umur panen, proses budidaya, dan memperoleh benih. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani dan Deskripsi varietas cabai rawit Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa preferensi terhadap varietas cabai rawit tidak dihubungkan dengan tingkat jenis kelamin petani, karena petani baik perempuan maupun laki-laki dapat menilai dan mengukur tingkat kesukaannya terhadap cabai rawit, baik yang dibudidayakan maupun yang dikonsumsinya. Selain itu terkait dengan pengalaman dalam berusahatani cabai rawit rata-rata + 6 bulan. Pengalaman petani berhubungan dengan usia petani, karena semakin lama petani dalam berusahatani, maka semakin meningkat pula pengalaman dalam budidaya yang menjadi usahanya. Pengalaman usaha tani berpengaruh terhadap daya respon, tanggapan, penerimaan petani terhadap suatu informasi teknologi yang disampaikan kepada petani (Novia, 2011). Menurut Hendarini (2011) preferensi dipengaruhi oleh umur, dimana preferensi anak-anak akan sangat berbeda dengan orang dewasa, kemudian pereferensi juga dipengaruhi oleh waktu dan kondisi produk yang disediakan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2, bahwa deskripsi varietas yang menjadi informasi produk merupakan suatu atribut untuk dipertimbangkan petani untuk mengetahui potensi hasil cabai rawit dan umur panennya, karena atribut tersebut salah satu yang akan menjadi dasar petani untuk melakukan budidaya. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa sesuai deskripsi, varietas Sret produksinya lebih tinggi dibanding dengan varietas cabai rawit Dewata dan Malita FM, namun pada kenyataannya sesuai preferensi petani lebih memilih cabai rawit Dewata karena faktor umur panen, sedangkan untuk cabai rawit Malita FM lebih unggul pada tingkat kepedasannya. Menurut Basuki et al, (2014) petani enggan mengadopsi varietas apabila belum mengetahui secara jelas informasi keunggulan suatu varietas, sehingga perlu adanya bukti-bukti baik penampilan dan preferensi harga.
173
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Karakteristik petani Karakteristik Responden (n=25) Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Umur 18-39 Tahun 40-60 Tahun Pengalaman 6-12 bulan 13-24 bulan Sumber : Data primer (2015)
Jumlah (n)
Persentase (%) 9 16
36 64
15 10
40 60
2 23
8 92
Tabel 2. Deskripsi varietas cabai rawit Komponen Dewata1) Sret2) Umur panen 65 HST 90 -100 HST Produksi 14 ton/ha 13,3 ton/ha Sumber : 1).Anonim (2005), 2).Anonim (2016), 3).Hikmawati (2015)
Malita FM3) 120 HST 8 – 15 ton/ha
Preferensi Petani Terhadap Visual Cabai Rawit Cabai rawit merupakan sayuran khas yang digemari masyarakat di Gorontalo karena kepedasannya. Alasan tersebut menjadi kriteria utama dalam memilih cabai rawit. Selain kepedasan, cabai rawit juga ditentukan oleh parameter lainya seperti ukuran dan umur berbuah (Gambar 1). Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa ukuran cabai rawit yang kecil menjadi pilihan pasar (pedagang dan konsumen), dengan alasan bahwa cabai rawit yang buahnya kecil jumlah per buahnya akan menjadi lebih besar apabila dalam takaran wadah satu kilo gram, sehingga ketika dijual dalam bentuk eceran akan terlihat banyak. Faktor tersebut yang menjadi pertimbangan petani untuk menentukan cabai rawit berdasarkan ukurannya. Sementara itu untuk kriteria umur berbuah, petani lebih menyukai cabai rawit yang umur berbuahnya genjah (umur panen + 60 hari), alasannya adalah petani dapat mengejar harga pasar yang sesuai, selain itu umur cabai rawit yang genjah dapat menjaga kestabilan harga dan ketersediaan cabai rawit di pasaran. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa keputusan petani dalam memilih varietas cabai rawit dipengaruhi oleh penampilan (warna dan ukuran), umur panen, proses budidaya hingga harga. Menurut Musaddad et al (2013) penampilan visual baik warna dan bentuk merupakan parameter kunci bagi konsumen dalam menilai kualitas produk, karena disamping menjadi indikator kesegaran, juga dapat mengekspresikan kesehatan dan kebersihan bahan. Apabila terjadi penyimpangan terhadap penampilan produk, maka produk tersebut tidak akan layak jual (unmaketable).
Gambar 1. Preferensi petani terhadap cabai rawit
174
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Analisis Preferensi Menurut Nurmalinda et al (2014) preferensi merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka untuk melihat kinerja dari suatu produk yang dihasilkan, artinya konsumen dalam memilih suatu produk mengarah pada selera yang lebih baik dan sempurna. Pada Gambar 2 menunjukkan hasil analisis preferensi petani terhadap cabai rawit menggunakan analisis PCA, didapatkan bahwa komponen utama mampu menjelaskan keragaman sebesar 100%, dengan komponen pertama sebesar 84.4% dan komponen kedua sebesar 15.6%. Pada Gambar 2, menunjukkan bahwa tingkat preferensi petani terhadap varietas cabai rawit ditentukan oleh tiga kelompok preferensi yaitu (1) preferensi visual, harga, dan proses budidaya, (2) memperoleh benih, dan (3) umur panen. Kelompok preferensi tersebut pada dasarnya diharapkan menyatu, dimana vektornya menjadi satu atau saling berdekatan. Sementara dalam kenyataannya petani memberikan penilaian yang berbeda terhadap cabai rawit yang disukai, misalnya untuk cabai rawit Malita FM dimana harga, proses budidaya dan preferensi visual disukai. Namun untuk umur panen dan mendapatkan benih bersertifikat vektornya berbanding terbalik atau berkorelasi negatif dengan preferensi lainnya. Selain itu untuk cabai rawit Sret menjauh dari semua vektor preferensi, sehingga varietas tersebut sulit untuk direkomendasi dan dikembangkan petani. Hal ini berbeda dengan varietas cabai rawit Dewata, varietas tersebut meskipun korelasinya lemah dengan kelompok atau vektor preferensi satu, akan tetapi sangat dekat dengan umur panen, artinya petani dapat mengejar waktu panen meskipun harganya Rp. 45.000 – Rp.55.000 per kg dibawah dari cabai rawit Malita FM sebesar Rp. 85.000 – Rp. 100.000 per kg. Berdasarkan pengamatan bahwa umur panen cabai rawit Malita FM sekitar 4 - 5 bulan, sedangkan untuk cabai rawit Dewata umur panennya + 2 bulan. Hal ini yang menjadi daya tarik petani memilih cabai rawit dewata untuk dikembangkan sebagai usahataninya. Menurut Astuti (2013), suatu inovasi akan mudah diterima oleh petani apabila inovasi teknologi dapat meningkatkan produksi suatu usaha tani dibandingkan dengan cara konvensional yang biasa dilakukan oleh petani sebelumnya. Benih yang mudah didapatkan dan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas cabai sebelumnya dapat meningkatkan adopsi petani.
1.5
Dewata Umur Panen
Second Component (15,6%)
1.0
Malita FM
Sre t
0.5
Warna Merah Warna Kuning Ukuran
Memperoleh Benih
Harga Penampilan
0.0
Proses Budidaya
-0.5
-1.0 -3
-2
-1
0 1 First Component (84,4%)
2
3
Gambar 2. Analisis komponen Utama Petani Terhadap Preferensi Cabai Rawit KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian bahwa petani memiliki preferensi yang kuat terhadap varietas cabai rawit Dewata dibanding dengan varietas malita FM dan Sret. Varietas Dewata berada pada posisi tidak menjauh dari ketiga variabel utama preferensi yang meliputi (1) preferensi visual, harga, dan proses
175
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
budidaya, (2) memperoleh benih, dan (3) umur panen, sehingga varietas tersebut dapat dijadikan sebagai varietas rekomendasi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada saudara Ibrahim Laita dan Nurul Aisyah, SP yang telah membantu dalam menyelesaikan seluruh rangkaian penelitian. DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W. 2011, Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keputusan konsumen untuk membeli kentang, bawang merah, dan cabai merah. Jurnal Hortikultura 21 (3); 280-94. Anonim. 2005. Keputusan Menteri Pertanian tentang pelepasan cabai rawit hibrida dewata No. 345/Kpts/SR.120/9/2005. http://www.perundangan.pertanian.go.id. [Diunduh Tgl 29 Agustus 2016] Anonim. 2016. Cabai sret. Cabai Sret. http://bibitbunga.com/bintang-asia-cabe-rawit-sret/. [Diunduh Tgl 29 Agustus 2016]. Astuti, P., Ismono, R.H., Situmorang, S. 2013. Faktor–faktor penyebab rendahnya minat petani untuk menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Ilmu–Ilmu Agribisnis1 (1): 87 – 92. Basuki, R.S., Arshanti, I.W., Zamzani, L., Khaririyatun, N., Kusandriani, Y., Luthfy. 2014. Studi adopsi cabai merah varietas tanjung-2 hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Jurnal Hortikultura 24 (4) : 355-362. Fachrista, I.A, Issukindarsyah., Rusmawan, D., Dewi, H.A. 2012. Preferensi petani kabupaten Bangka Selatan terhadap beberapa varietas unggul baru padi sawah. Artikel Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energy Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura. Hendarini, A.T . 2011. Persepsi masyarakat terhadap manfaat kesehatan dan pengembangan produk minuman fungsional dari ekstrak daun hantap (Sterculia oblongata r.brown). [Tesis] Pasca Sarjana IPB : 96 hlm. Hikmawati. 2015. Mengenal rica malita (Capsicum frutescens L.) cabe lokal spesifik Gorontalo serta hama dan penyakit yang menyerang. http://www.bkpgorontalo.org. [Diunduh Tgl 29 Agustus 2016]. Lim, J.H., Seo, J.Y., Shim, M.S. 2013. Characteristics that affect Japanese consumer preference for chrysanthemum, Korean Journal of Hort. Sci. & Tech. (31) 5 : 640-6477. DalamNurmalinda dan Hayati, NQ. 2014. Preferensi konsumen terhadap krisan bunga potong dan Pot. Jurnal Horikultura. 24 (4): 363-372. Musaddad., Setiasih., Kastaman. 2013. Laju perubahan mutu kubis bunga di olah minimal pada berbagai pengemasan dan suhu penyimpanan. Jurnal Hortikultura 23 (2): 184 – 194. Novia, R.A. 2011. Respon petani terhadap kegiatan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian 7 (2): 22 48-60. Nurmalinda., Hayati, N,Q. 2014. Judul preferensi konsumen terhadap krisan bunga potong dan pot. Jurnal Hortikultura 24 (4): 363 – 372. Sanjur, D. 1982. Social and culture perspective in nutrition: Prentice Hall, new York. Sutradi D. 2014. pemerintah kesulitan stabilkan produksi cabai. http://radarpena.com/read/2014/04/23/10797/18/1/pemerintah-kesulitan-stabilkanproduksi-cabai. [Diunduh Tgl 31 Januari 2015].
176
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENGARUH APLIKASI KERAK BOILER TERHADAP PRODUKSI DAN KANDUNGAN HARA PADA TANAMAN CAISIM THE EFFECT OF BOILER CRUST APLICATION ON MUSTARD (Brassica Juncea L.) YIELD AND NUTRIENT CONTENT Eliartati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Jl. Kaharuddin Nasution No. 341 Pekanbaru
[email protected] ABSTRAK Pemanfaatan lahan marginal untuk budidaya sayuran memerlukan penambahan bahan amelioran untuk memperbaiki kesuburannya. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan amelioran adalah kerak boiler yang banyak dijumpai di daerah perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Fisika Tanah Balai Penelitian Tanah di Laladon Bogor dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kerak boiler terhadap produksi dan kandungan hara pada tanaman caisim. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang dimaksud adalah A0 (kontrol/tanpa kerak boiler), A1 (kerak boiler 250 mg/pot), A2 (kerak boiler 500 mg/pot) dan A3 (kerak boiler 1000 mg/pot). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kerak boiler tidak berpengaruh nyata terhadap parameter pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun dan panjang daun) dan hasil tanaman (berat basah tanaman), tetapi terdapat kecenderungan peningkatan parameter pertumbuhan dan hasil tanaman sejalan dengan peningkatan dosis kerak boiler yang diberikan. Di lain pihak pemberian kerak boiler berpengaruh nyata terhadap kadar P, K, Ca, dan Mg tanaman, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar N tanaman. Tinggi tanaman, lebar daun, berat basah tanaman, serta kadar P, K, Ca dan Mg tertinggi diperlihatkan oleh perlakuan kerak boiler 1000 mg/pot. Hasil tanaman caisim meningkat 0,6 % - 6 % dibandingkan dengan kontrol. Kata kunci : kerak boiler, caisim, brassica juncea ABSTRACT The utilization of marginal land for cultivation of vegetables requires the addition of ameliorant to improve its fertility. One of the materials that can be used as ameliorant is the boiler crust which is abundantly produced in any oil palm plantations. This study aimed to determine the effect of boiler crust on yield and nutrients content of mustard. This research was conducted in the greenhouse Soil Physics Laboratory of Soil Research Institute in Laladon Bogor from May to August 2012. This study used a completely randomized design with 4 treatments and 5 replications. The treatmentswere A0 (control / no boiler crust), A1 (boiler crust 250 mg / pot), A2 (boiler crust 500 mg / pot) and A3 (boiler crust 1000 mg / pot). The results showed that the boiler crust did not significantly influence on growth parameters (plant height, leaf number, leaf width and leaf length) and results from parameter (plantfresh weight), but there was an increasing trend of growth parameters and yield in accordance with the increase of boiler crust doses. On the other hand, boiler crust significantly influenced on P, K,Caand Mg content of mustard, whereas N content of mustard was not significantly influenced by the addition of boiler crust. The greatest of plant height, leaf width, fresh weight, and P, K, Ca and Mg contentof mustardwas shown by application of the boiler crust dose 1000 mg/pot. The yield of mustard increased about 0.6% - 6% as compared to control. Keywords: boiler crust, mustard, brassica juncea PENDAHULUAN Caisim (Brassica juncea L.) sebagai salah satu jenis tanaman sayuran yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia, baik sebagai sayur maupun produk olahannya. Tanaman caisim termasuk famili Brassicaceae yang dibudidayakan sebagai tanaman penghasil biji dan tanaman sayuran (Poincelot, 2004). Tanaman caisim berasal dari Asia Tengah dan Himalaya. Tanaman caisim banyak ditanam di Asia Tengah, Himalaya, India dan Cina terutama di Provinsi Sichuan. Di India, Cina, Jepang dan Eropa tanaman caisim ditanam sebagai tanaman penghasil biji. Tanaman caisim pertama kali dikembangkan sebagai tanaman sayuran di Cina (Phillips dan Rix, 1993).
177
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Iklim dan tanah di Indonesia juga cocok untuk perkembangan tanaman caisim. Caisim dapat tumbuh pada daerah yang beriklim panas maupun dingin, pada tanah yang subur dengan kandungan air yang cukup (Phillips dan Rix, 1993), pH tanah berisar antara 6,0 - 7,0 dan kelembaban tanah 0,25 Bar (Poincelot, 2003). Tanaman muda tidak tahan terhadap kekeringan (Phillip dan Rix, 1993). Maraknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi perumahan, kolam ikan dll menyebabkan ketersedian lahan subur untuk usaha pertanian terutaman usaha tani tanaman sayuran makin berkurang. Akibatnya usaha tani sayuran dilakukan pada lahan sub optimal seperti lahan kering masam. Luas lahan kering masam di indonesia 108.775.830 ha dengan luas potensial untuk pengembangan pertanian 62.647.199 ha (Mulyani dan Sarwani, 20013). Proses pelapukan dan pencucian hara pada tanah-tanah yang terbentuk di daerah iklim tropika basah berjalan sangat intensif, akibatnya tanah menjadi masam dengan kejenuhan basa rendah dan kejenuhan aluminium tinggi (Subagyo et al. 2000). Usaha tani sayuran yang dilakukan pada lahan seperti ini memerlukan penanganan khusus, antara lain dengan melakukan ameliorasi melalui penambahan bahan amelioran. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai amelioran adalah kerak boiler yang banyak dijumpai di daerah tempat pengolahan kelapa sawit. Kerak boiler berasal dari pembakaran cangkang dan serat kelapa sawit pada suhu tinggi. Kerak boiler merupakan abu yang mengeras pada dindingdinding boiler saat terjadinya pembakaran cangkang dan serat kelapa sawit pada tungku pembakaran. Kerak boiler memiliki massa yang lebih berat daripada fly ash (abu terbang), memiliki pori - pori relatif lebih banyak seperti batu apung dan ukurannya bervariasi dari kecil sampai besar Komposisi kimia kerak boiler antara lain SiO2 65,06%; CaO 8,61%; K2O 8,41%; Mg 6,9%; P2O5 3,24%; Al2O3 2,2%; Fe2O3 2,09%; Na2O 0,17%; MnO 0,09%, SO3767 ppm; CuO 316 ppm dan ZnO 31 ppm (Eliartati et al., 20114). Pada umumnya kerak boiler digunakan oleh Pabrik Kelapa Sawit sebagai pengeras jalan di sekitar pabrik dan belum dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Sementara itu penelitian pemanfaatan kerak boiler lebih banyak diarahkan pada pemanfataannya sebagai bahan pengganti semen (Altwair et al., 2011 and Karim et al., 2011) dan campuran aspal (Borhan et al., 2010), sedangkan penelitian pemanfaatannya di bidang pertanian belum ada. Jumlah kerak boileryang dihasilkan + 5% dari jumlah bahan yang dibakar (Borhan et al., 2010). Berdasarkan komposisi kimia dan jumlah ketersediaannya, kerak boiler berpotensi digunakan sebagai bahan pengganti kapur untuk meningkatkan pH tanah, sumber Si pada tanaman padi keuatan jerami padi serta sumber unsur hara makro dan mikro terutama K bagi tanaman. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pemanfaatan kerak boiler di bidang pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kerak boiler terhadap produksi dan kandungan hara tanaman caisim. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Fisika Tanah Balai Penelitian Tanah di Laladon Bogor dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2012. Bahan yang digunakan adalah kerak boiler dari pabrik pengolahan kelapa sawit (komposisi kimia Tabel 1), tanah Podsolik Merah Kuning, benih caisim, Urea, KCl, SP-36, serta bahan-bahan kimia untuk analisis. Alat yang digunakan antara lain pot plastik, hand sprayer, meteran, muffle furnace, spectrophotometer, flamephotometerdan alat-alat lain yang diperlukan untuk analisis.
178
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Komposisi kimia kerak boiler kelapa sawit Senyawa SiO2 (%) TiO2 (%) Al2O3 (%) Fe2O3 (%) MnO (%) CaO (%) MgO (%) Na2O (%) K2O (%) P2O5 (%) SO3 (ppm) ZnO (ppm) CuO (ppm) SrO (ppm) Cr2O3 (ppm) Rb2O (ppm) LOI (%) Sumber : Eliartati et al., 2014
Jumlah 65,06 0,11 2,20 2,09 0,09 8,61 6,90 0,17 8,41 3,24 767,00 31,00 316,00 73,00 200,00 373,00 2,93
Unsur Si (%) Ti (%) Al (%) Fe (%) Mn (%) Ca (%) Mg (%) Na (%) K (%) P (%) S (ppm) Zn (ppm) Cu (ppm) Sr (ppm) Cr (ppm) Rb (ppm) -
Jumlah 30,42 0,07 1,17 1,46 0,07 6,16 4,16 0,12 6,98 1,42 307,00 25,00 252,00 62,00 137,00 341,00 -
Pelaksanaan kegiatan terdiri dari beberapa tahap, yaitu penggilingan kerak boiler, persiapan media tanam, pembibitan, penanaman dan panen. Penggilingan kerak boiler dilakukan menggunakan mesin penggiling batu kapur. Kerak boiler yang telah halus diayak dengan ayakan 500 μm (32 mesh).
a b Sumber : Eliartati et al., 2014 Gambar 1 Kerak boiler sebelum (a) dan setelah (b) digiling Tanah untuk media tanam diambil sampai kedalaman 20 cm. Tanah dikeringudarakan, kemudian dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 5 mm. Tanah ditimbang 4,5 kg berat kering udara (BKU). Tanah dicampur kerak boiler yang sudah dihaluskan dan diaduk secara merata, kemudian dimasukkan ke dalam pot plastik dan diinkubasi selama satu minggu. Pembibitan menggunakan bak plastik dengan media campuran tanah dan kompos. Bibit dipindahkan pada umur 2 minggu atau saat bibit mempunyai 4 daun. Setiap pot ditanami dengan 2 tanaman yang dipelihara sampai panen. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemupukan, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pemberian pupuk dilakukan sekali yaitu pada saat tanam dengan dosis Urea 400 kg/ha, SP-36 300 kg/ha dan KCl 200 kg/ha atau Urea 3,2 gr/pot, SP-36 2,4 gr/pot dan KCl 1,6 gr/pot. Penyiraman dilakukan dua kali yaitu pagi dan sore hari. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan mengikuti konsep pengendalian hama dan penyakit terpadu. Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam (HST) dengan cara memotong bagian atas tanaman. Bagian atas tanaman ditimbang untuk mengetahui berat basah tanaman yang digunakan untuk mencerminkan produksi tanaman. Kemudian bagian yang dipanen dimasukkan ke dalam amplop kertas untuk selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC
179
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
selama 24 jam atau sampai berat menjadi tetap. Setelah kering tanaman ditimbang untuk mengetahui berat kering tanaman, kemudian digiling untuk digunakan dalam analisis kadar hara tanaman. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan, sehingga diperoleh 20 satuan percobaan. Perlakuan yang dimaksud adalah : A0 : Kontrol (tanpa kerak boiler) A1 : Kerak boiler 250 mg/pot (100 kg/ha) A2 : Kerak boiler 500 mg/pot (200 kg/ha) A3 : Kerak boiler 1000 mg/pot (400 kg/ha) Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, berat basah tanaman serta kadar hara N, P, K, Ca dan Mg tanaman.Data hasil pengamatan dianalisis secara statistika menggunakan Analisys of Variance (ANOVA) dengan uji F pada tarafnyata 5 %. Jika perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Hasil pengukuran tinggi tanaman, panjang daun terpanjang, lebar daun terlebar, jumlah daun dan berat basah tanaman disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan berbagai dosis kerak boiler tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun dan berat basah tanaman. Hal ini diduga disebabkan jumlah unsur hara yang terlepas dari kerak boiler sangat sedikit, sehingga belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil penelitian Eliartati et al., (2014) yang menunjukkan bahwa kelarutan kalium dari kerak boiler dengan pelarut H2O hanya 0,06% dan dengan pelarut HCl 0,05 N 0,19%. Dengan demikian dibutuhkan waktu yang lebih lama agar terjadi pelepasan unsur hara secara maksimal dari kerak boiler. Tabel 2. Pengaruh aplikasi kerak boiler terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman caisim umur 30 HST Perlakuan Kontrol (Tanpakerak boiler) Kerak boiler 250 mg/pot Kerak boiler 500 mg/pot Kerak boiler 1000 mg/pot KK (%)
Tinggi Tanaman (cm) 41,06 a 41,02 a 41,92 a 42,48 a 4,40
Jumlah Daun (helai) 11 a 11 a 11 a 11 a 9,22
Panjang Daun (cm) 38,42 a 38,50 a 39,54 a 39,02 a 4,31
Lebar Daun (cm) 15,30 a 14,90 a 15,42 a 15,50 a 6,98
Berat Basah (gr/tan) 111,84 a 113,98 a 112,52 a 118,54 a 12,46
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata menurut Duncan Multiple Range Test pada taraf nyata 5 %. Sumber : Diolah dari data primer
Walaupun secara statistik tidak berpengaruh nyata, tetapi secara angka-angka terlihat adanya kecenderungan pemberian kerak boiler meningkatkan tinggi tanaman, panjang daun terpanjang, lebar daun terlebar dan berat basah tanaman sejalan dengan peningkatan dosis abu boiler yang diberikan (Tabel 2). Perlakuan kerak boiler dosis 1000 mg/pot memperlihatkan tinggi tanaman, lebar daun terlebar dan berat basah tanaman yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil penelitian Purwati et al. (2007) menunjukkan bahwa abu sisa (fly ash) pembakaran kulit kayu dari boiler industri pulp and paper meningkatkan pertumbuhan tanaman akasia baik di rumah kaca maupun di lapangan. Selain itu hasil penelitian Harmalinda (2012) menunjukkan bahwa pemberian terak baja baik tanpa maupun dikombinasikan dengan bahan organik mampu meningkatkan produksi tanaman caisim. Kandungan senyawa CaO dan MgO dalam kerak boiler (Tabel 1) dapat meningkatkan pH tanah. Seperti yang dikemukakan oleh Ai Dariah et al. (2015) bahwa senyawa CaO dan MgO dalam tanah akan bereaksi dengan air membentuk CaCO3 dan MgCO3 yang berperan dalam penurunan Aldd.Pada tanah mineral masam, sumber kemasaman tanah yang utama adalah Al 3+ yang akan menyumbangkan H+ ke dalam larutan tanah melalui proses hidrolisis.Selain itu pengapuran juga
180
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
berfungsi meningkatkan aktivitas mikroba tanah (Shah et al., 1990; Andersson dan Nilsson, 2001). Mikroba mempunyai peranan penting dalam penyediaan unsur hara dalam tanah, melalui aktifitasnya dalam proses dekomposisi bahan organik dan mineral tanah. Kandungan unsur hara esensial yang terdapat pada kerak boiler (Tabel 1) akan meningkatkan ketersediaanya dalam tanah. Walaupun sumbangan terhadap ketersediaan unsur hara dalam tanah kecil, tetapi mempunyai peranan cukup penting dalam menyokong pertumbuhan dan perkembangan tanaman caisim. Tanaman membutuhkan unsur hara yang cukup agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Kadar N, P, K, Ca dan Mg Tanaman Setelah Panen Data hasil analisis statistik kadar N, P, K, Ca dan Mg tanaman setelah panen disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat kerak boiler berpengaruh nyata terhadap kadar P, K, Ca dan Mg tanaman setelah panen, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar N tanaman setelah panen. Tabel 3. Pengaruh aplikasi kerak boiler terhadap kadar hara N, P, K, Ca, dan Mg tanaman caisim umur 30 HST Perlakuan
Variabel yang Diamati K Ca (%) (%) 1,64 b 0,99 b
Kontrol (Tanpakerak boiler)
N (%) 4,14 a
P (%) 0,40 b
Kerak boiler250 mg/pot
4,20 a
0,44 b
1,76 ab
Kerak boiler 500 mg/pot
4,28 a
0,44 b
1,71 ab
1,14 ab 1,15 ab
Mg (%) 0,106 b 0,112 ab 0,114 ab
Kerak boiler 1000 mg/pot 4,13 a 0,49 ab 1,81 a 1,21 a 0,122 a KK (%) 7,30 7,34 5,76 12,24 8,81 Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata menurut Duncan Multiple Range Test pada taraf nyata 5 % Sumber : Diolah dari data primer
Pada Tabel 3 terlihat bahwa kadar N tanaman tidak dipengaruhi oleh pemberian kerak boiler. Hal ini diduga karena pada komposisi kerak boiler tidak terdapat N (Tabel 1). Nitrogen bersifat volatil sehingga hilang pada saat terjadi pembakaran cangkang dan serat kelapa sawit. Dengan demikian pemberian kerak boiler tidak menyumbangkan N ke dalam tanah, sehingga N yang diserap tanaman berasal dari tanah dan pupuk an organikyang diberikan. Kadar P, K, Ca dan Mg tanaman cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan dosis kerak boiler yang diberikan. Hal ini diduga disebabkan kerak boiler yang diberikan meningkatkan ketersediaan P, K, Ca dan Mg tanah dengan jalan melepaskan sebagian unsur hara yang dikandungkan ke dalam tanah, sehingga jumlah yang diserap oleh tanaman juga meningkat. Makin banyak jumlah kerak boiler yang diberikan, makin banyak unsur hara yang dilepaskan. Selain itu kerak boiler yang diberikan diduga meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH tanah akan meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Ai Dariah et al. (2015) pada tanah mineral masam, sumber kemasaman tanah yang utama adalah Al3+ yang akan menyumbangkan H+ ke dalam larutan tanah melalui proses hidrolisis. Pada tanah masam sebagian besar unsur hara terdapat dalam bentuk tidak tersedia karena berikatan dengan Al. Peningkatan pH tanah akan menurunkan Al dd tanah yang menyebabkan unsur hara lepas dan menjadi tersedia bagi tanaman. Sejalan dengan hasil penelitian Bintang dan Lahuddin (2007) menunjukkan bahwa peningkatan pH tanah meningkatkan Ntotal, P tersedia dan K-tukar tanah ultisol.
1.
2.
KESIMPULAN Pemberian kerak boiler memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman caisim. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan dan hasil tanaman caisim yang mendapat perlakuan kerak boiler lebih baik dibandingkan dengan tanpa perlakuan kerak boiler. Pemberian kerak boiler dapat meningkatkan hasil tanaman caisim berkisar antara 0,6 – 6 %. Pemberian kerak boiler meningkatkan kadar hara P, K, Ca dan Mg tanaman caisim.
181
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah mendanai penelitian ini serta Bapak Dr Ir Iskandar, Bapak Dr Ir Basuki Sumawinata, M.Agr dan Ibu Dr Ir. Sri Djuniwati, MSc (alm) atas bimbingan dan saran selama penelitian ini dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Ai Dariah, S. Sutono, N.L. Nurida, W. Hartatik dan E. Pratiwi. 2015. Pembenah tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan 9(2) : 67-84. Altwair, N.M., M.A.M Johari dan S.F.S. Hashim. 2011. Influence of calcination temperature on characteristics and pozzolanic activity of palm oil waste ash. Aust. J. Basic & Appl. Sci.5(11) 1010-1018. Andersson, S. dan S.I. Nilsson. 2001. Influence of pH and temperature on microbial activity, substrate availability of soil-solution bacteria and leaching of dissolved organic carbon in a mor humus. Soil Biol. Biochem 33 : 1181–1191. Bezdicek, D.F., T. Beaver dan D. Granatstein. 2003. Subsoil ridge tillage and lime effects on soil microbial activity, soil pH, erosion, and wheat and pea yield in the Pasific Northwest, USA. Soil & Tillage Research 74 : 55-63. Available online at www.sciencedirect.com. Bintang dan Lahuddin. 2007. Suplai hara N, P, K dan perubahan pH serta pertumbuhan tanaman kedelai dengan pemberian abu serbuk gergaji pada tanah Ultisol. Prosiding Seminar Nasional Inovasi dan Alih TeknologiSpesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. Medan, 5 Juni 2007. Hal : 296-303 Borhan, M.N., A. Ismail and R.A. Rahmat. 2010. Evaluation of palm oil fuel ash on asphalt mixtures. Aust. J. Basic & Appl. Sci.4(10) : 5456-5463. Eliartati, Iskandar dan B. Sumawinata. 2014. Pengaruh penambahan abu boiler terhadap kualitas kompos tandan kosong kelapa sawit. Agrica Ekstensia 8(1) : 26-38. Karim, Md.R., M.F.M. Zain, M. Jamil dan Md.N Islam. 2011. Strength of concrete as influence by palm oil fuel ash. Aust. J. Basic & Appl. Sci. 5(5) : 990-997. Mulyani, A. dan M. Sarwani. 2013. Karakteristik dan potensi lahan sub optimal untuk pengembangan pertanian di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan 7(1) : 47-55. Phillips, R. dan M. Rix. 1993. Vegetables. A Pan Garden Plants Series. Pan Books Ltd. London. Poincelot, R.P. 2004. Sustainable Horticulture : Today and Tomorrow. Pearseon Education, Inc. Upper Saddle River. New Jersey. Purwati, S., R. Soetopo dan Y. Setiawan. 2007. Potensi penggunaan abu boiler industri pulp dan kertas sebagai bahan pengkondisi tanah gambut pada aeral hutan tanaman industri. BS 42(1) : 817. Shah, Z., W.A. Adams dan C.D.V. Haven. 1990. Composition and activity of the microbial population in an acidic upland soil and effects of liming. Soil Biol. Biochem 22, 257–264. Subagyo, H., N. Suharta dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Dalam Buku Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal. 21-66.
182
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENAMPILAN FENOTIPIK 17 GENOTIP ANYELIR INTERSPESIFIK DAN TETUA JANTANSK 11_1 DI LAHAN TERBUKA PHENOTYPIC PERFORMANCE OF 17 INTERSPECIFIC CARNATION GENOTYPES AND MALE PARENT SK 11-1 IN THE OPEN FIELD 1
Dewanti, M.1, Neni Rostini2, Murdaningsih H. K.2, Anas2 Balai Penelitian Tanaman Hias, Jl. Raya Ciherang-Pacet, Cianjur 43253 2 Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Selama ini anyelir dibudidayakan di bawah rumah lindung. Genotip anyelir interspesifik hasil persilangan Dianthus caryophyllus L. x Dianthus chinensis secara visual cocok dimanfaatkan sebagai tanaman hias taman, sehingga perlu dilakukan percobaan penanaman genotip-genotip tersebut di lahan terbuka. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotip anyelir interspesifik yang berpenampilan unggul sebagai tanaman hias taman. Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Penelitian Tanaman Hias Cipanas-Cianjur, dari bulan Juni 2015 sampai Desember 2015. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan terdiri dari 17 genotip anyelir interspesifik dan satu tetua jantan SK 11_1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotip C5 memiliki perpaduan enam karakter unggul sebagai tanaman hias taman, yaitu tanaman kokoh, daun panjang dan lebar, umur genjah dan diameter bunga cukup besar. Genotip B5 dan E6 memiliki empat karakter unggul sebagai tanaman hias taman, yaitu tanaman pendek, umur genjah, kesegaran bunga bertahan lama, jumlah bunga mekar per satu waktu cukup banyak. Genotip C8, C4, C10, C14, E1, D6 dan E4 masing-masing memiliki tiga karakter unggul sebagai tanaman hias taman. Genotip-genotip tersebut dapat dijadikan sebagai genotip anyelir taman harapan. Kata kunci : penampilan fenotipik, anyelir interspesifik, tanaman hias taman. ABSTRACT Up to now, carnation is cultivated under protected houses. Interspecific carnation genotype product of interspecific hybridization between Dianthus caryophyllus L. x Dianthus chinensis, in a visual manner suitable be used as landscape ornamental plant, so need to be cultivated in the open field. The objective of this study was to get some interspecific carnation genotype which has superior performance as landscape ornamental plant. The experiment was conducted at the Indonesian Ornamental Crops Research Institute experiment station in Cipanas – Cianjur, from June 2015 – December 2015. The experiment was arranged using randomized block design (RBD). The treatment consisted of 17 genotypes of interspecific carnation and one male parent SK 11_1. The result showed that C5 genotype has six superior characters as landscape ornamental plant, i.e steady plant, length and width leaf, early flowering and large flower diameter. B5 and E6 genotype have four superior characters as landscape plant, i. e. Short plant, early flowering, long vase life and large number of bloomed flower per period. C8, C4, C10, C14, E1, D6 and E4 genotypes have three superior characters as landscape plant. That genotypes could became as expected landscape carnation genotypes. Keywords : phenotypic performance, interspecific carnation, landscape ornamental plant PENDAHULUAN Anyelir (Dianthus caryophyllus L.) merupakan salah satu komoditas bunga potong komersial yang sangat penting di dunia, selain mawar dan krisan (Tarannum dan Hemla Naik, 2014). Ketiga komoditas bunga potong ini menguasai hampir 50% pasar bunga potong dunia (Jawaharlal et al. 2010). Anyelir komersial yang ada saat ini merupakan turunan dari spesies D. caryophyllus yang berasal dari Eropa bagian selatan dan Asia bagian barat (Mii et al. 1990). Anyelir potong mulai menduduki pasar domestik tahun 1987 (Hardjoko, 1999). Di Indonesia anyelir dikenal sebagai tanaman hias bunga potong yang dibudidayakan di bawah rumah lindung/rumah serre. Anyelir sebagai tanaman hias taman belum berkembang, namun melihat komoditas tanaman hias taman yang cenderung meningkat permintaan pasarnya, maka sudah seharusnya mulai merakit anyelir taman.
183
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Anyelir bunga potong memiliki beberapa karakter baik, yaitu warna bunga yang sangat bervariasi, kesegaran bunga yang cukup lama, memiliki petal bunga ganda (Jawaharlal et al. 2010). Namun anyelir potong masih ada beberapa kekurangan, seperti siklus pertanaman yang lama atau umur berbunga lama, perlu penopang untuk tumbuh tegak, kurang tahan terhadap penyakit layu bakteri dan Fusarium, serta setek tunas lama berakar. D. chinensis yang merupakan tanaman hias taman memiliki beberapa kelebihan, yaitu mudah dibudidayakan, berbunga cepat, tanaman kompak, perbanyakan dengan setek tunas mudah dan cepat berakar, menghasilkan banyak serbuk sari, serta agak tahan terhadap penyakit utama anyelir, yaitu layu Fusarium. Kekurangan D. chinensis adalah memiliki petal bunga tunggal (Jawaharlal et al. 2010). Hibridisasi interspesifik dapat menjadi strategi yang efektif dalam pemuliaan tanaman hias (Kato et al., 2008). Persilangan antar spesies anyelir dengan karakter yang sangat berbeda diharapkan dapat menghasilkan turunan tipe baru dengan karakter warna dan pola warna baru atau siklus hidup yang lebih pendek (Demmink, 1978). Hibrid hasil persilangan antara anyelir dengan spesies Dianthus lain dapat menjadi sumber yang bermanfaat bagi penyediaan karakter-karakter genetik untuk mencapai tujuan program pemuliaan anyelir (Office of The Gene Technology Regulator, 2015). Beberapa karakter yang menjadi tujuan perakitan anyelir tipe taman adalah cepat berbunga, tinggi tanaman kurang dari 50 cm, memiliki warna bunga yang cerah dan kuat, berbunga sepanjang musim, pertumbuhan yang vigor, kompak, percabangan yang bagus, kesegaran bunga lama dan jumlah bunga banyak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan hybrid F1 anyelir yang berpenampilan unggul sebagai tanaman hias taman. BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di lahan terbuka Kebun Percobaan Penelitian Tanaman Hias Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, dengan ketinggian 1.100 m dpl, dari bulan Juni 2015 sampai Desember 2015. Penelitian ditata dalam rancangan acak kelompok lengkap dengan 18 perlakuan dan tiga ulangan. Macam perlakuan terdiri dari 17 genotip F1 hasil persilangan Dianthus caryophyllus x Dianthus chinensis, yaitu : B5, C1, C4, C5, C8, C9, C10, C12, C14, C15, C16, D6, E1, E2, E3, E4, E6 dan tetua jantan SK 11_1. Bahan lainnya adalah humus bambu, pupuk kandang, Urea, SP36, KCl, pupuk NPK (15:15:15), dan gandasil D. Pestisida yang digunakan yang berbahan aktif : carbofuran 3%, mancozeb 80%, imidakloprit 200 gL-1, dikofol 191 gL-1 dan detametrin 25 gL-1. Bibit anyelir interspesifik ditanamdi bak - bak pertanaman yang berisi campuran sekam bakar, tanah, humus bambu dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 1, pada dasar lubang tanam diberi carbofuran 3% sekitar 2 g. Pemupukan dasar diberikan saat penanaman bibit dengan dosis urea 4 g/tanaman, SP36 3 g/tanaman dan KCl 3 g/tanaman. Setiap perlakuan terdiri atas sepuluh tanaman dengan tiga ulangan. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Pengamatan pada setiap ulangan dilakukan pada lima tanaman. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman mulai berbunga, pengamatan meliputi pengamatan terhadap beberapa karakter batang, daun dan bunga, meliputi : (1) Tinggi tanaman (cm), (2) Diameter batang (cm), (3) Panjang daun (cm), (4) Lebar daun (cm), (5) Umur inisiasi berbunga (hst), (6) Umur bunga mekar, (7) Diameter bunga (cm), (8) Lama kesegaran bunga (hari), (9) Jumlah bunga mekar dalam satu waktu, (10) warna batang, (11) warna daun, (12) warna petal, (13) warna putik, (14) warna anther. Pengamatan warna menggunakan color chart The Royal Horticultural Society. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan sidik ragam. Karakter-karakter yang berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5% selanjutnya dikelompokkan berdasarkan uji Scott-Knott pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan ini menggunakan SK 11_1 sebagai pembanding, karena genotip ini cocok digunakan sebagai tanaman hias tipe taman. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman mulai berbunga. Penampilan batang dan daun 18 genotip uji berwarna hijau dengan sedikit perbedaan bila dicocokkan dengan color chart. Batang genotip C10 berwarna hijau dan ungu tua pada setiap ruasnya.
184
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Warna putik dan anthera ke-17 genotip sangat beragam dan berbeda dari warna putik dan anthera tetua jantannya, yaitu genotip SK 11_1. Genotip C4 dan C5 memiliki warna anthera seperti tetua jantan, yaitu Black Group 202 B. Warna bunga ke-18 genotip sangat beragam. Genotip B5 dan C10 memiliki warna bunga merah cerah. Bunga genotip D6 dan E1 berwarna salem. Empat belas genotip lainnya memiliki warna bunga merah keunguan (Tabel 1.). Menurut Qud et al. (1995) dalam Nurmalinda et al. (2011), pada komoditas tanaman hias, warna bunga merupakan kontributor utama terhadap nilai ekonomi bunga. Hasil uji F menunjukkan hampir semua karakter terukur yang diamat berbeda nyata pada taraf uji 5% atau 1%, kecuali karakter jumlah cabang yang tidak berbeda antar semua genotip uji. Hal ini menunjukkan bahwa setiap genotip memiliki karakter-karakter tersendiri, yang menjadi penciri genotip tersebut. Tabel 1. Karakter warna batang, daun, bunga 18 genotip anyelir taman Genotip
Warna Petal
Warna Putik
Warna Anther
Warna batang
Warna daun
B5
RG 53A
RPG 72A
WG 155A
GG 137A
GG 139A
C1
RPG 63B
PG N 79C
GPG 186B
GG 138B
GG 137A
C4
RPG N 74A
RPG 72A
BG 202B
GG 137A
GG 137A
C5
RPG N 66A
PG N 79C
BG 202B
GG 137B
GG 137A
C8 C9
RPG N 66B RPG N 66A RG 53B/ RPG N 66A
PG N 79C RPG 61A
GG 201D GPG N 187B
GG 139A GG 137A
RPG 59A
GPG N 187D
GG 139A GG 138B GG 138B PG N 79C
C12 C14
RPG N 74A RPG N 57A
RPG 61A RPG 59A
GG 201B GPG N 187C
GG 138A GG 137A
GG 139A GG 137A
C15
RPG N 74A
PG N 79C
GG 201A
GG 138 A
GG 137A
C16
RPG N 74A
PG N 79C
GWG 156B
GG 138B
GG 137A
D6
RG 52C
RG 53C
GYG 161A
GG 137A
GG 139A
E1
RPG 58C
RPG 61B
GWG 159B
GG 137A
GG 137A
E2
RPG N 66A
RPG 71A
PG N 77B
GG 137A
GG 137A
E3
RPG N 66A
RPG 61A
GWG 156B
GG 138B
GG 137A
E4
RPG N 57C
RPG 61A
BG 202C
GG 138B
GG 137A
C10
GG 137A
E6
RPG N 74A RPG 72A GG 201A GG 138A GG 137A RPG 67A/ RPG 70A/ SK11_1 BG 202B GG 137A GG 138A RPG 61B WG 155C Keterangan: RG = Red Group, PG = Purple Grup, RPG = Red Purple Group,GPG = Greyed Purple Group, WG = White Group, GWG 159 = Green White Group, GWG 156 = Greyed White Group, GG = Grey Group, BG = Black Group, GYG = Greyed Yellow Group Sumber : Data primer (2015).
Hasil uji lanjut karakter tinggi tanaman menunjukkan bahwa ke-18 genotip terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I hanya ada satu genotip, E4 dengan rata-rata tinggi 47,22 cm. Kelompok II terdiri dari sembilan genotip dengan kisaran tinggi 30,81 cm – 33,86 cm, sedangkan kelompok III terdiri dari delapan genotip dengan kisaran tinggi 25,10 cm – 29,80 cm. Seluruh genotip dengan kisaran tinggi yang dimiliki sudah sesuai dijadikan tanaman hias taman. Karakter ini perlu dikombinasikan dengan karakter-karakter yang lain untuk bisa dijadikan sebagai anyelir taman harapan (Tabel 2.). Berdasarkan penampilan diameter batang ke-18 genotip yang ditanam di lapangan terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I terdiri dari lima genotip dengan rata-rata diameter batang antara 0,327 cm – 0,360 cm. Kelompok II terdiri dari sepuluh genotip dengan rata-rata diameter batang berkisar antara 0,290cm – 0,317 cm, sedangkan kelompok III terdiri dari tiga genotip dengan rata-rata diameter batang sebesar 0,283 cm (Tabel 2.).
185
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Hasil uji lanjut karakter tinggi tanaman (Ttan), diameter batang (DBt), panjang daun (PDn) dan lebar daun (LDn) Karakter T Tan D Bt 1. B5 29,800 c 0,297 b 2. C1 27,890 c 0,313 b 3. C4 33,823 b 0,330 a 4. C5 33,867 b 0,340 a 5. C8 32,753 b 0,307 b 6. C9 31,900 b 0,360 a 7. C10 29,300 c 0,283 c 8. C12 30,810 b 0,297 b 9. C14 33,257 b 0,303 b 10. C15 32,767 b 0,327 a 11. C16 28,067 c 0,313 b 12. D6 28,897 c 0,317 b 13. E1 33,253 b 0,310 b 14. E2 25,100 c 0,283 c 15. E3 27,610 c 0,310 b 16. E4 47,223 a 0,283 c 17. E6 25,300 c 0,290 b 18. SK 11_1 31,267 b 0,327 a Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang Scott-Knott pada taraf 5% Sumber : Data primer (2015). No.
Genotip
P Dn L Dn 8,290 a 0,967 b 8,143 a 0,990 b 8,750 a 1,033 b 8,610 a 0,967 b 8,080 a 0,947 b 8,543 a 1,097 b 9,207 a 1,117 a 7,667 b 0,960 b 9,237 a 1,240 a 7,763 b 0,830 b 8,343 a 0,933 b 8,847 a 1,307 a 6,037 c 0,960 b 8,607 a 1,077 b 7,747 b 0,913 b 9,007 a 1,233 a 6,807 c 0,933 b 9,073 a 1,310 a sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
Genotip C10, B5 dan E4 memasuki masa inisiasi pembungaan berturut-turut 37,933; 35,267 dan 34,933 hari setelah tanam, tidak berbeda nyata dengan genotip E3 yang mulai muncul kuncup bunga pada 32,733 hari setelah tanam. Genotip SK 11_1, C5, C8 dan E1 memasuki masa inisiasi pembungaan hampir bersamaan, yaitu berturut-turut 23,333; 23,800; 24,200 dan 24,267 hari setelah tanam. Genotip E6 paling cepat memasuki masa pembungaan, yaitu 20,267 hari setelah tanam (Tabel 3.). Menurut Marwoto dkk. (1995) kecepatan pembungaan berhubungan dengan lamanya akumulasi fotosintat yang dibutuhkan untuk mengubah status fisiologi dari fase vegetatif ke fase generatif. Induksi pembungaan memerlukan ketersediaan energi yang cukup besar, dan setiap genotip memiliki kemampuan mengakumulasi fotosintat yang berbeda yang dipengaruhi oleh faktor genetik. Bila karakter umur inisiasi pembungaan dihubungkan dengan karakter tinggi tanaman, panjang dan lebar daun, terlihat bahwa genotip-genotip SK 11_1, C5, C8 dan E1 yang memiliki tinggi tanaman rendah, daun panjang dan lebar lebih mampu mengakumulasi fotosintat yang dipergunakan untuk beralih dari masa pertumbuhan vegetatif ke generatif dibandingkan genotip lainnya. Karakter jumlah cabang ke-18 genotip tidak berbeda nyata, jumlah cabang berkisar antara 5,003 – 7,330 cabang. Penampilan rata-rata panjang daun terbagi menjadi tiga kelompok. Tiga belas genotip tergabung dalam kelompok I dengan rata-rata panjang daun berkisar antara 8,08 cm – 9, 24 cm. Kelompok II terdiri dari tiga genotip dengan rata-rata panjang daun berkisar antara 7,67 cm – 7,76 cm. Kelompok III terdiri dari dua genotip dengan rata-rata panjang daun 6,04 cm – 6,81 cm. Penampilan rata-rata lebar daun terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok I terdiri dari lima genotip dengan rata-rata lebar daun berkisar antara 1,15 cm – 1,31 cm. Kelompok II terdiri dari 13 genotip dengan rata-rata lebar daun berkisar antara 0,83 cm – 1,10 cm. Penampilan rata-rata umur inisiasi berbunga terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I dengan kisaran rata-rata umur inisiasi berbunga antar 32,73 hst – 37,93 hst terdiri dari empat genotip. Kelompok II terdiri dari sembilan genotip dengan rata-rata umur inisiasi berbunga berkisar antara 24,27 hst – 29,13 hst. Kelompok III terdapat empat genotip dengan kisaran rata-rata umur inisiasi berbunga antara 20,27 hst – 24,20 hst (Tabel 3.). Penampilan rata-rata umur bunga mekar terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok I terdiri dari tiga genotip dengan kisaran rata-rata umur bunga mekar antara 52,4 hst – 56,4 hst. Kelompok II terdiri dari satu genotip (E3) dengan rata-rata umur bunga mekar sebesar 48,73 hst. Dua belas genotip
186
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
tergabung dalam kelompok III dengan kisaran rata-rata umur bunga mekar antara 40,93 hst – 45,87 hst. Kelompok IV terdiri dari dua genotip, E6 dan SK 11_1 dengan rata-rata kelompok sebesar 35,2 hst. Penampilan rata-rata diameter bunga ke-18 genotip terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I terdiri dari dua genotip (B5 dan D6) dengan rata-rata diameter bunga kelompok sebesar 4,185 cm. Kelompok II terdiri dari delapan genotip dengan kisaran rata-rata diameter bunga antara 3,74 cm – 3,94 cm. Ddelapan genotip tergabung dalam kelompok III dengan kisaran rata-rata diameter bunga antara 3,44 cm – 3,66 cm. Jumlah putik 18 genotip yang dikaji beragam, genotip C8, C9, C15, B5 dan SK 11_1 memiliki putik 2 buah. Bunga 13 genotip lainnya memiliki putik 2 dan/atau 3 buah per tanaman. Genotip B5 dan SK 11_1 memiliki anther terbanyak, 10,38 dan 10,00 buah, sedangkan genotip C15 hanya memiliki 0,200 anther. Jumlah ini menunjukkan bahwa bunga-bunga genotip C15 ada yang memiliki anther dan ada yang yang tidak beranther. Penampilan lama kesegaran bunga terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I terdiri dari lima genotip dengan rata-rata lama kesegaran bunga berkisar antara 8,80 hari – 9,67 hari. Kelompok II terdiri dari 12 genotip dengan rata-rata lama kesegaran bunga berkisar antara 7,40 hari – 8,13 hari. SK 11_1 termasuk kelompok III dengan rata-rata lama kesegaran bunga sebesar 6,50 hari. Tabel 3. Hasil uji lanjut karakter umur inisiasi bunga (UIB), umur bunga mekar (UBM), diameter bunga (DB), lama kesegaran bunga (LKB) dan jumlah bunga mekar per satu waktu (JBMW) Karakter UIB UBM DB 1. B5 35,267 a 53,867 a 4,190 a 2. C1 27,933 b 44,667 c 3,940 b 3. C4 27,733 b 45,867 c 3,830 b 4. C5 23,800 c 41,733 c 3,943 b 5. C8 24,200 c 41,000 c 3,660 c 6. C9 27,733 b 42,267 c 3,770 b 7. C10 37,933 a 56,400 a 3,743 b 8. C12 27,533 b 44,467 c 3,827 b 9. C14 25,600 b 42,533 c 3,920 b 10. C15 29,133 b 45,733 c 3,663 c 11. C16 28,267 b 45,267 c 3,580 c 12. D6 26,733 b 42,733 c 4,180 a 13. E1 24,267 c 40,933 c 3,440 c 14. E2 28,067 b 42,733 c 3,500 c 15. E3 32,733 a 48,733 b 3,803 b 16. E4 34,933 a 52,400 a 3,657 c 17. E6 20,267 c 37,067 d 3,440 c 18. SK11_1 23,333 c 33,333 d 3,457 c Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom berdasarkan uji Scott-Knott pada taraf 5% Sumber : Data primer (2015). No.
Genotip
LKB JBMW 9,267 a 2,890 e 7,533 b 1,600 h 8,867 a 2,600 f 7,600 b 3,933 d 7,733 b 6,600 a 7,400 b 3,067 e 8,800 a 2,600 f 8,133 b 4,600 b 8,000 b 2,933 e 8,067 b 2,867 e 8,000 b 4,800 b 7,533 b 3,667 d 7,533 b 3,733 d 8,133 b 4,267 c 8,067 b 2,867 e 9,667 a 3,867 d 9,067 a 4,533 b 6,500 c 2,333 g yang sama tidak berbeda nyata
Karakter lama kesegaran bunga adalah salah satu karakter yang menentukan nilai ekonomi tanaman hias tersebut. Variasi lama kesegaran bunga antar genotipe berhubungan dengan variasi akumulasi karbohidrat sejak genotip tersebut mampu menghasilkan daun berlebih (Mehmood et al., 2014). Daun adalah unit fungsional penting untuk fotosintesis yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan hasil bunga bagi beberapa tanaman. Jumlah daun berlebih dengan kandungan klorofil tinggi meningkatkan fotosintesis dan karbohidrat. Karbohidrat merupakan sumber energi untuk menumbuhkan pentul bunga, bunga mekar dan ketahanan kesegaran bunga (Tarannum dan Hemla Naik, 2014). Penampilan rata-rata jumlah bunga mekar per satu waktu terbagi menjadi delapan kelompok dengan rentang rata-rata kelompok antara 1,6 kuntum sampai dengan 6,6 kuntum bunga. Genotip C5 memiliki perpaduan enam karakter unggul sebagai tanaman hias taman, yaitu tanaman kokoh, daun panjang dan lebar, umur genjah dan diameter bunga cukup besar. Genotip B5 dan E6 memiliki empat karakter unggul sebagai tanaman hias taman, yaitu tanaman pendek, umur genjah, kesegaran bunga bertahan lama, jumlah bunga mekar per satu waktu cukup banyak. Genotip
187
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
C8, C4, C10, C14, E1, D6 dan E4 masing-masing memiliki tiga karakter unggul sebagai tanaman hias taman. Genotip-genotip tersebut dapat dijadikan sebagai genotip anyelir taman harapan
C4
C5
C10
C8
C16
B5
D6
E1 E4 E6 Gambar 1. Tanaman dan bunga sepuluh genotip potensial sebagaitanaman hias tipe taman Bila dicermati hasil pengamatan karakter-karakter kuantitatif populasi di rumah serre dan populasi di lapang terdapat perbedaan. Karakter tinggi tanaman 18 genotip yang ditanam di lapang lebih rendah bila dibandingkan tinggi 18 genotip tersebut saat ditanam di rumah serre. Diameter batang populasi yang ditanam di lapang sebagian juga menjadi lebih kecil. Karakter jumlah cabang genotip yang di luar rumah serre lebih sedikit dibanding genotip yang di rumah lindung. Hal ini sejalan dengan pendapat Hanzel et al. (1955) bahwa peningkatan temperatur menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang cepat, penambahan pasangan daun sebelum masa inisiasi pembungaan, ruas batang yang lebih pendek, batang tanaman yang lebih lemah dan pengurangan jumlah cabang (Office of The Gene Technology Regulator, 2015). KESIMPULAN DAN SARAN 1. Sebagian besar genotip uji memiliki kombinasi karakter yang sesuai dengan karakter anyelir taman, yaitu tanaman pendek, diameter batang besar, genjah, bunga bertahan lama dan jumlah bunga mekar/waktu banyak
188
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
2. Genotip B5, C4, C5, C8, C10, C16, D6, E1, E4 dan E6 potensial dijadikan sebagai tanaman hias tipe taman. 3. Perlu dilakukan pengujian penampilan anyelir interspesifik di daerah dataran rendah atau menengah, sehingga anyelir interspesifik sebagai tanaman hias taman dapat dimanfaatkan di daerah-daerah dengan berbagai ketinggian tempat. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepeda Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian yang telah membiayai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Demmink, J. F. 1978. Interspesific crosses in carnation In Quagliotti, L. and A. Balldi (Eds.). Genetic and breeding of carnation and gerbera. Institute of Plant Breeding and Seed Production. Turin, Italy. 289 p. Hardjoko, B. 1999. Anyelir dalam Supari Dh. (Ed.) Seri Praktek Ciputri Hijau : Tuntunan Membangun Agribisnis. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. p. 219-234. Jawaharlal, M., Ganga, M., Padmadevi, K., Jegadeeswari, V. Dan Karthikeyan, S. 2010. A Technical guide on carnation. Department of Floriculture and Landscaping, Horticultural College and Research Institute. Tamil Nadu Agricultural University, Coimbatore. Kato, J., Ohashi, H., Ikeda, M., Fujii, N., Ishikawa, R., Horaguchi H., Amano, J., Hayashi, M., dan Mii, M. 2008. Unreduced gametes are the major causal factor for the production of polyploid interspecific hybrids in Primula. Plant Biotechnology 25 : 521 – 528 Marwoto, B., T. Sutater, Lia S dan E. Setyawati. !995. Characterization and selection of chrysanthemum result crosses of selected cultivars. Progres Report I. Program Biobrees. Balai Penelitian Tanaman Hias. Jakarta. Mehmood, M. A., M. S. A. Khan and Ahmad, N. 2014. Growth, Yield and Quality (Dianthus caryophyllus L.) cultivars under lath house conditions. Journal of Ornamental Plants 4 (1) : 27 – 32. Mii, M., M. Buiatti dan F. Gimelli. 1990. Carnation In P. V. Ammirato, D. R. Evans, W. R. Sharp dan Y. P. S. Bajaj (Eds.). Handbook of Plant Cell Culture, Volume 5, Ornamental Species. McGraw-Hill, Inc. The United States of America. p. 284 – 318 Nurmalinda, S. Kartikaningrum, N. Q. Hayati dan D. Widyastoety. 2011. Preferensi konsumen terhadap anggrek phalaenopsis, vanda dan dendrobium. J. Hort. 21 (4) : 372 – 384. Office of The Gene Technology Regulator. 2015. The biology of Dianthus caryophyllus L. (Carnation). Department of Health & Ageing. Australian Government. 27 p. Tarannum, M. S. And B. Hemla Naik. 2014. Performance of carnation (Dianthuscaryophyllus L.) genotypes for qualitative and quantitative parameters to assess genetic variability among genotypes. American International Journal of Research in Pormal, Applied and Natural Sciences 5 (1) : 96 – 101.
189
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAMPAK PENGGUNAAN PUPUK KANDANG TERHADAP EFISIENSI TEKNIS USAHATANI CABAI RAWIT DI KABUPATEN BULELENG-BALI IMPACT OF MANURE ADDITION TO TECHNICAL EFFICIENCY OF CAYENNE FARMING IN BULELENG REGENCY-BALI Jemmy Rinaldi, Ida Bagus Gede Suryawan dan Ni Putu Suratmini Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Jl. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar-Bali e-mail:
[email protected] ABSTRAK Cabai rawit merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.Namun produksi yang dihasilkan petani relatif rendah sehingga dapat dikategorikan tidak efisien secara teknis.Salah satu teknologi untuk meningkatkan produksi cabai rawit yaitu penggunaan pupuk kandang.Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi cabai rawit, dan (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi cabai rawit. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali pada bulan NopemberDesamber 2015 dengan pertimbangan kabupaten tersebut merupakan daerah pengembangan kawasan agribisnis cabai rawit dan salah satu sentra cabai rawit di Bali. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh dengan metode survei menggunakan kuesioner.Responden dalam kajian ini sebanyak 20 orang petani cabai rawit yang terbagi menjadi 8 orang petani yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang dan 12 orang yang tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang. Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan stochastic frontier menggunakan alat analisis frontier 4.1.Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi cabai rawit adalahpenggunaan pupuk ZA, curahan tenaga kerja dan penggunaan benih.Sedangkan faktor yang berpengaruh negatif adalah penggunaan pupuk Urea.Faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi cabai rawit tidak ada. Petani yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang berada pada kategori efisien secara teknis, sedangkan yang tidak menerapkan berada pada kategori tidak efisien secara teknis. Kata kunci : cabai rawit, efisiensi, produksi, stochastic frontier ABSTRACT Hot chili is one commodity of horticulture that has high economic values, however, the production gained by farmer were relatively low,therefore, it can be categorized technically inefficient. One of the technologies which can improve production is the utilization of cow manure as organic fertilizer. This study was aimed to (1) analyze factors that affect hot chili production, and (2) analyze factors that affect hot chili production inefficiency. This study was conducted in Buleleng during November and December 2015 since this Regency is one of the agribusiness development centers for hot chili in Bali. Data collected were primary data from survey method using questioner. There were 20 farmers assigned as respondent that were divided into 2 groups, one group of 8 farmers who applied manure fertilizer, and another group of 12 farmers who did not apply manure fertilizer. Data collected were analyzed with stochastic frontier approach using frontier 4.1 analysis tool. Results showed that factors that positively affect production improvement of hot chili were the utilization of ZA fertilizer, employment of labors, and seed utilization, whereas factor that negatively affects was the utilization of Urea fertilizer. There was not any factor affecting inefficiency of hot chili production. Technology applied using manure fertilizer was technically at the efficient category, otherwisetechnology applied without manure fertilizer was technically at inefficient category. Key words: hot chili, efficiency, production, stochastic frontier
190
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Kontribusi sub sektor hortikultura terhadap pembangunan sektor pertanian dari tahun ke tahun cenderung meningkat yang ditandai dengan peningkatan beberapa indikator makro seperti produk domestik bruto (PDB), volume ekspor, penyerapan tenaga kerja dan nilai tukar petani (NTP) (Litbang Pertanian, 2012). Komoditas cabai termasuk komoditas utama atau unggulan hortikultura nasional disamping bawang merah, kentang, mangga, manggis, jeruk, salak, jambu biji kristal, anggrek dan krisan. Cabai merupakan komoditas pertanian yang merakyat karena dibutuhkan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari karena hampir semua jenis masakan menggunakan bumbu cabai, sehingga volume peredarannya di pasaran sangat besar. Harga komoditas cabai cukup menarik untuk diamati, dimana harga dipasar sangat berfluktuatif dimana pada waktu tertentu (perubahan musim dan hari raya) harga cabai dapat melonjak tajam dan pada waktu tertentu pada waktu produksi melimpah harga drastis turun (Setiadi, 2002). Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional sehingga impor cabe masih diperlukan sekitar 16.000 ton per tahun, rataan produksi cabai nasional baru mencapai sekitar 4,35 t/ha, sedangkan potensinya dapat mencapai 10 – 20 t/ha (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2010). Berbagai kendala yang dihadapi dalam agribisnis cabai yang salah satunya adalah penerapan teknologi budidaya belum optimal yang menyebabkan produksi cabai kurang maksimal. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi beberapa kendala terutama pada budidaya tanaman dilakukan dengan menerapkan teknologi budidaya rendah input kimia dan teknologi budidaya konservasi yang diimplementasikan pada Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) cabai. Pengelolaan Tanaman Terpadu merupakan suatu pendekatan budidaya tanaman yang berdasarkan pada keseimbangan ekonomi dan ekologi, dengan tujuan utamanya adalah meraih keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan, antara proses alami dan teknologi, dengan selalu mengingat keberlanjutan dari usahatani tersebut (Setiawati, 2010). Bali merupakan daerah pengahasil cabai terutama cabai rawit, karena lebih diminati masyarakatnya dibandingkan cabai besar dan cabai keriting. Produksi cabe rawit segar dengan tangkai tahun 2012 di Bali sebesar 16,04 ribu ton dengan luas panen sebesar 3,36 ribu hektar, dan rata-rata produktivitasnya 4,78 ton per hektar. Dibandingkan tahun 2011, terjadi penurunan produksi sebesar 1.02 ribu ton (-5,95 %). Penurunan ini disebabkan penurunan produktivitas sebesar 0,82 t/ha (14,70%) (Pusdatin, 2014). Produktivitas cabai relatif masih rendah yang disebabkan oleh karena adanya serangan hama penyakit dan penerapan teknologi budidaya yang belum maksimal. Salah satu teknologi yang dapat meningkatkan produksi cabai ditingkat petani adalah penggunaan pupuk kandang/organik. Salah satu daerah yang dijadikan kawasan pengembangan cabai terutama cabai rawit d Bali yaitu kabupaten Buleleng. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi cabai rawitdi kabupaten Buleleng, Bali, dan (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi cabai rawit di Kabupaten Buleleng, Bali. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bontihing, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali pada bulan Nopember-Desember 2015. Penentuan lokasi secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan: (1) Buleleng merupakan daerah pengembangan kawasan agribisnis cabai rawitdi Bali, dan (2) Buleleng merupakan salah satu sentra produksi cabai rawit di Bali. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yaitu data dalam bentuk angka-angka, bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan responden/petani cabai rawit menggunakan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait serta hasil penelitian yang berkaitan langsung dengan topik penelitian. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan cara pengambilan contoh acak kelompok (stratified random sampling) yaitu kelompok yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang dan tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang. Sampel petani yang akan dijadikan contoh sebanyak 20responden yaitu kelompok petani yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang sebanyak 8 responden dan kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang sebanyak 12 responden. Metode analisis yang digunakan adalah model ekonometrika
191
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
untuk menduga hubungan antar variabel tak bebas dari suatu fungsi produksi dalam usahatani cabai rawit. Beberapa faktor yang mendasari pemilihan suatu model adalah: (1) tingkat kesesuaian dan kecocokan model (goodness of fit), (2) layak tidaknya parameter dugaan, dan (3) hasil pengujian (uji t) parameter dugaan (Koutsoyiannis, 1977; Intriligator,1978). Analisis produksi menggunakan model fungsi produksi Stochastic Frontier Cobb-Douglas. Adapun model penduga fungsi produksi,dilakukan pada kedua kelompok responden yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang dan tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang adalah sebagai berikut: LnY = Lnβ0 + β1LnX1 + β2LnX2 + β3LnX3 + β4LnX4 + β5LnX5 + β6LnX6 +vi - ui….. (1) dimana: Y = Produksi cabai rawit(kg) β0 = Konstanta X1 = Luas lahan (ha) X2 = Benih (gram) X3 = Pupuk Kandang (kg) X4 = Pupuk Urea (kg) X5 = Pupuk ZA (kg) X6 = Tenaga Kerja (HOK) vi- ui = Error term (ui) efek inefisiensi teknis model βi = Koefisien parameter penduga, dimana i = 1,2,3, … n Nilai koefisien yang diharapkan :β 1, β 2, β 3, β 4, β 5, β 6, β 7> 0. Sedangkan penentu nilai parameter distribusi efek inefisiensi teknis pada penelitian ini dibangun dengan model sebagai berikut: ui = δ0 + δ1Z1+ δ2Z2+ δ3Z3+ δ4 Z4+ δ5Z5+ δ6Z6+ w1it …….………….…………..………....... (2) dimana: ui = Efek inefisiensi teknis δ0 = Konstanta Z1 = Status Lahan(1= milih sendiri, dan 2= menyakap) Z2 = Umur (tahun) Z3 = Pengalaman usahatani cabai rawit (tahun) Z4 = Jumlah anggota keluarga (persil) Z5 = Dummy pupuk kandang (1= menggunakan, dan 0 = tidak menggunakan) wit =Error term δi = Koefisien parameter penduga, dimana i = 1,2,3, … n Nilai koefisien yang diharapkan adalah :δ 1, δ2, δ3, δ4, δ5, δ6< 0. Agar diperoleh persamaan fungsi produksi potensial maka dilakukan estimasi terhadap fungsi produksi frontier usahatani cabai rawit.Dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi frontier stokastik (stochastic frontier production function) untuk menganalisis efisiensi.Model frontier seperti translog model dapat diestimasi dengan menggunakan MLE (Maximum Likelihood Estimastion). HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Produksi Cabai Rawit di Kabupaten Buleleng Hasil pendugaan dengan model stochastic frontier menggambarkan kinerja terbaik (best practice) dari petani responden pada tingkat teknologi yang ada.Pendugaan dilakukan dengan metode Maximum LikelihoodEstimate (MLE). Dari enam variabel yang diduga relevan, variabel-variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi petani responden adalah: luas lahan, penggunaan benih, penggunaan pupuk ZA dan tenaga kerja. Luas lahan dan penggunaan pupuk ZA berpengaruh nyata pada taraf α sebesar 1%.Luas lahan berpengaruh negatif terhadap produksi, sedangkan penggunaan pupuk ZA berpengaruh positif terhadap produksi.Curahan tenaga kerja berpengaruh nyata pada taraf α sebesar 5% dan berpengaruh positif terhadap produksi.Sedangkan penggunaan benih berpengaruh nyata pada taraf α sebesar 10% dan berpengaruh positif terhadap produksi.Penggunaan pupuk kandang dan pupuk Urea tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai rawit.Tetapi jika dilihat dari nilai tratio pupuk kandang mendekati berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi cabai rawit yang
192
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
bernilai positif.Sedangkan penggunaan pupuk urea dilihat dari nilai t-ratio bernilai negatif, yang artinya penggunaan tersebut dapat mengurangi produksi cabai rawit (Tabel 1). Tabel 1. Pendugaan fungsi produksi dengan metode maksimum likelihood estimatepada usahatani cabai rawit di kabupaten Buleleng, Bali tahun 2015 Parameter
Variabel
Koefisien
β0 Konstanta -2.43417 β1 Luas Lahan -0.67694 β2 Benih 0.52800 β3 Pupuk Kandang 0.01601 β4 Pupuk Urea -0.03284 β5 Pupuk ZA 0.35060 β6 Tenaga Kerja 1.13194 Sumber: Data Primer (2015) Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf α 10% ** = berpengaruh nyata pada taraf α 5% *** = berpengaruh nyata pada taraf α 1%
Standard-error
t-ratio
0.84446 0.24828 0.36302 0.01254 0.09084 0.09372 0.54147
-2.88251 -2.72654 1.45447 1.27653 -0.36157 3.74108 2.09049
*** * *** **
Hasil pendugaan dari luas lahan usahatani cabai rawit yang digarap petani diperoleh nilai koefisien sebesar -0,68. Angka ini menunjukkan bahwa penambahan sebesar 1 persen luas lahan yang digarap (dimana input lainnya tetap), dapat mengurangi produksi cabai rawit sebesar 0,68 persen. Implikasinya adalah jika petani ingin meningkatkan produksi cabai rawit, maka luas lahan tidak perlu ditingkatkan. Hal ini disebabkan kesulitan petani dalam memelihara dan mengendalikan hama penyakit pada usahatani cabai rawit, karena jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usahatani relatif sedikit. Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh nyata dan bernilai positif terhadap produksi cabai (Saptana et al., 2010; Susanti, 2014; dan Harahap 2013). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak luas lahan yang diusahakan petani dalam melakukan usahatani cabai merah besar mampu meningkatkan produksi karena petani lebih semangat dalam memelihara tanamannya. Jumlah penggunaan pupuk ZA diduga berpengaruh nyata dengan nilai koefisien diperoleh sebesar 0,35. Angka ini menunjukkan bahwa setiap penambahan sebesar 1 persen penggunaan pupuk ZA, maka akan meningkatkan produksi cabai rawit sebesar 0,35 persen. Artinya, jika petani menambahkan penggunaan pupuk ZA, maka produksi cabai rawit akan semakin meningkat dan pendapatan petani dari komoditas cabai rawit akan semakin bertambah. Implikasinya adalah, jika petani ingin meningkatkan produksi cabai rawit maka perlu dilakukan penambahan penggunaan pupuk ZA pada usahatani cabai rawit. Curahan tenaga kerja diduga berpengaruh nyata dengan nilai koefisien sebesar 1,13. Artinya, setiap penambahan 1 persen curahan tenaga kerja pada usahatani cabai rawit, dapat meningkatkan produksi cabai rawit sebesar 1,13 persen.Implikasinya jika petani ingin meningkatan produksi cabai rawit, maka penggunaan curahan tenaga kerja memang perlu ditingkatkan terutama pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama penyakit pada tanaman cabai rawit. Tenaga kerja paling responsif dibandingkan variabel lainnya karena memiliki koefisien yang paling besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan tenaga kerja berpengaruh nyata positif, yang artinya setiap penambahan satu satuan tenaga kerja yang dicurahkan akan menambah peningkatan produksi cabai rawit (Harahap, 2013; Susanti, 2014 dan Fitri, 2016). Akan tetapitidak sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa input tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai rawittetapi bernilai positif (Saptana et al., 2010) Sedangkan variabel lain yang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai rawit adalah penggunaan pupuk urea dengan nilai koefisien negatif. Artinya penggunaan pupuk Urea secara tidak nyata dapat mengurangi produksi cabai rawit.Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan pupuk N berpengaruh nyata mengurangi produksi cabai merah dengan tingkat kepercayaan 95 persen (Saptana et al., 2010). Jumlah penggunaan benih berpengaruh nyata dengan nilai koefisien sebesar 0,53. Artinya penambahan sebesar 1 persen benih dimana input lain tetap, dapat meningkatkan produksi sebesar 0,53 persen. Implikasinya adalah jika petani ingin meningkatkan produksi cabai rawit, maka penggunaan benih pada saat persemaianperlu ditingkatkan jumlahnya, tidak sebatas kebutuhan luasan yang akan diusahakan.Sebab, ketika tanaman hasil persemaian dipindahkan ke lahan pertanaman ada
193
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
kemungkinan mati karena tidak dapat beradaptasi.Oleh karena itu kelebihan benih yang disemai dapat menggantikan tanaman yang mati setelah dipindah ke lahan tanam atau melakukan penyulaman.Sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan benih berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi cabai (Harahap, 2013 dan Susanti, 2014). Sedangkan variabel input pupuk kandang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai rawit. Sejalan dengan hasil tersebut, Susanti (2014) juga memperoleh hasil yang sama yaitu pupuk kandang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai. Begitu juga hasil penelitian Merismon (2014), menyatakan bahwa penggunaan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan produksi cabai merah. Hal ini diduga bahwa penggunaan input pupuk kandang yang diberikan pada usahatani cabai rawit di Desa Bontihing belum sepenuhnya dapat langsung meningkatkan produksi cabai rawit karena penggunaannya baru dilakukan selama satu tahun. Berbeda dengan hasil penelitian Saptana et al (2010), menyatakan bahwa pupuk kandang berpengaruh positif terhadap produksi cabai merah besar dengan tingkat kepercayaan 99 persen. Faktor Inefisiensi Produksi Cabai Rawit di Kabupaten Buleleng Fungsi inefisiensi teknis dalam penelitian ini digunakan lima variabel yang diduga mempengaruhi inefisiensi produksi cabai rawit. Dari kelima variabel inefisiensi teknis yang diamati, tidak ada variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi produksi cabai rawit. Artinya dari kelima variabel tersebut tidak ada faktor yang dapat meningkatkan inefisiensi prroduksi cabai rawit. Hal ini diduga kelima variabel tersebut sama-sama berperan terhadap peningkatan produksi. Nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan efisien karena menghasilkan nilai yang lebih besar dari 0,70 sebagai batas efisiensi (Coelli, 1998). Hal ini dikarenakan Kabupaten Buleleng merupakan salah satu sentra produksi cabai rawit di Provinsi Bali sehingga menghasilkan efisiensi rata-rata sebesar 75,17 persen (Tabel 2). Tabel 2. Pendugaan fungsi inefisiensi produksi cabai rawit dengan frontier di desa Bontihing,kecamatan Kubutambahan, kabupaten Buleleng, Bali tahun 2015 Parameter Variabel Koefisien δ0 Konstanta 0.08883 δ1 Status Lahan -0.36538 δ2 Umur 0.04576 δ3 Pengalaman usaha -0.12275 δ4 Jumlah Anggota Keluarga -0.32063 δ5 Dummy Pupuk Kandang -0.09235 mean efficiency Sumber: Data primer (2015) Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf α 10% ** = berpengaruh nyata pada taraf α 5% *** = berpengaruh nyata pada taraf α 1%
Standard-error 0.99359 0.97825 0.03740 0.20367 0.85396 0.30666 0.75168
t-ratio 0.08940 -0.37350 1.22340 -0.60267 -0.37546 -0.30114
ns ns ns ns ns ns
Berdasarkan sebaran tingkat efisiensi teknis usahatani cabai rawit menggunakan pupuk kandang lebih efisien dibandingkan dengan tanpa pupuk kandang .Hal ini ditunjukkan bahwa petani yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang dalam usahatani cabai rawit memiliki nilai rata-rata efisiensi sebesar 0,860 yang lebih besar dibandingkan nilai rata-rata efisiensi petani yang tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang yaitu sebesar 0,680. Berdasarkan nilai ratarata efisiensi kedua kelompok tersebut, maka dapat dikatakan usahatani cabai rawit dengan menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang dikatakan efisien secara teknis dengan nilai efisiensi > 0,70. Sedangkan usahatani cabai rawit yang diusahakan dengan tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang dianggap tidak efisien secara teknis dengan nilai efisiensi rata-rata < 0,70 (Tabel 3).
194
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3.
Sebaran petani menurut tingkat efisiensi teknis cabai rawit berdasarkan status penggunaan pupuk kandang di kabupaten Buleleng, Bali tahun 2015
No.
Tingkat Efisiensi
1. 2. 3.
< 0,50 0,50 - 0,69 0,70 - 0,90
Status Penggunaan Pupuk Kandang
4. > 0,90 Total Efisiensi rata-rata Sumber: Data Primer (2015)
Memakai
%
Tidak Memakai
%
0 2 2
0.00 25.00 25.00
2 4 3
16.67 33.33 25.00
3 12
25.00 100,00
4 8
50.00 100,00 0,860
Series1; 5; Memakai Pupuk Series1; 2; Kandang Series1; 8; 0,94610 0,97846
Series1; 4; 0,98429
Series1; 3; 0,67414
Tidak Pupuk KandangSeries1; 7; Series1;Memakai 1;
Series1; 0,86954 6; 0,74145
Tingkat Efisiesi Teknis
Tingkat Efisiensi Teknis
Series1; 1; 0,99940
0,680
Series1; 7; 0,68296
0,99936
0,96151 Series1; 2; 0,91409 Series1; 3; 0,77921 Series1; 4; 0,61351
Series1; 9; 0,84242 Series1; 12; 0,71141 Series1; 6; 0,61691
Series1; 8; Series1; 11; 0,51279 0,50775 Series1; 10; 0,42734
Series1; 5; 0,27087
Gambar 1. Sebaran tingkat efisiensi teknis usahatani cabai rawit dikabupaten Buleleng, Bali tahun 2015 Sebaran petani yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang sebagian besar atau sebesar 75 persen berada pada posisi efisien secara teknis. Sedangkan 25 persen masih berada pada tingkat efisiensi diatas 0,50. Lain halnya pada petani yang tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang yaitu 50 persen petani berada pada kondisi ushatani yang efisiensi secara teknis, tetapi 50 persen berada pada kondisi tidak efisien secara teknis dan bahkan berada pada tingkat efisiensi dibawah 0,50. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kandang mampu meningkatkan efisiensi teknis usahatani cabai rawit di kabupaten Buleleng (Tabel 3 dan Gambar 1). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor yang mempengaruhi produksi dan berpengaruh positif adalah penggunaan pupuk ZA, curahan tenaga kerja dan penggunan benih. Sedangkan faktor yang berpengaruh negatif yaitu luas lahan. 2. Faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi tidak ada. Tingkat efisiensi teknis yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang lebih besar dibandingkan tingkat efisiensi produksi yang tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang. Saran Peningkatkan produksi dari usahatani cabai rawit di Kabupaten Buleleng dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan yaitu: 1. petanidiharapkan dapat meningkatkan curahan tenaga kerja dalam pemeliharaan tanaman cabai rawit seperti melakukan penyiangan agar pertumbuhan tanaman baik dan mengurangi serangan hama dan penyakit. 2. petanidiharapkan menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandangdalam berusahatani cabai rawit agar produksi meningkat dan tingkat efisiensi teknisnya juga meningkat.
195
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
3. Pemerintah daerah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan memfasilitasi petani dalam usahatani cabai rawit, terutama penyediaan pupuk kandang untuk usahatani cabai rawit serta mendiseminasikan teknologi penggunaan pupuk kandangagar produksi dan pendapatan petani meningkat. DAFTAR PUSTAKA Coelli, T., D. S. P. Rao and G. E. Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publishers, Boston. Direktur Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2010. Statistik Hortikultura tahun 2010. Dirjen Hortikultura , Departemen Pertanian, Jakarta 125 hal. Fitri M. 2016. Analisis Efisiensi Tenaga Kerja Usahatani Cabai Rawitdi Kelurahan Guntung Tinggi Kecamatan BatulicinKabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan.Jurnal Ziraa’ah Volume 41 No. 1, Pebruari 2016:21-26. Harahap F. 2013. Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Usahatani Cabai di Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang. Economics Development Analysis Journal Vol. 2 No. 4 (2013): 446-455. Intriligator, M.D. 1978.Econometric Models, Techniques and Applications.Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs. New Jersey. Pusdatin Pertanian. 2014. Statistik Pertanian (Agricultural Statistic) 2014. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. Koutsoyiannis. 1977. Theory of Econometrics, second edition. The Macmillan Press Limited. United Kingdom. Litbang Pertanian. 2012. Panduan Umum Program Dukungan Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura (PDPKAH).Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Merismon.2014. Pertumbuhan Hasil Cabai Besar (Capsicum annuum L.) di Tanah Gambut yang Diberi Pupuk Kandang Kotoran Sapi.Prosiding seminar Nasional Lahan Suboptimal. Palembang, 26-27 September 2014. Hlm:140-1 – 140-8. Saptana, A. Daryanto, H.K. Daryanto dan Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis Produksi Usahatani Cabai Merah Besar dan Perilaku Petanu Menghadapi Risiko. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 28 No.2, Oktober 2010: 153-188. Setiawati, W. 2010.Modul Pelatihan SL-PTT Cabai Merah – Bawang Merah.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Susanti. 2014. Efisiensi teknis Usahatani Cabai merah keriting di Kabupaten Bogor: Pendekatan Stochastic Production Frontier. Thesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.IPB.
196
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
EFISIENSI RANTAI PEMASARAN BAWANG MERAH DI BALI THE EFFICIENCY OF THE MARKETING CHAIN OF SHALLOT IN BALI Nyoman Ngurah Arya, I Ketut Mahaputra, dan Jemmy Rinaldi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jl. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Selatan, Bali, 80222,Telp. (0361) 720498 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Kinerja pemasaran merupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan suatu komoditas pertanian.Efisiensi pemasaran sering digunakan untuk menilai kinerja pemasaran.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rantai pemasaran bawang merah dan menganalisis efisiensi masingmasing rantai pemasaran yang ada. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dengan pertimbangan bahwa: 1) daerah tersebut sebagai sentra produksi bawang merah di Bali, dan 2) sebagai lokasi Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Bawang Merah. Pengambilan data dilakukan dengan dua metode, yakni: Focus Group Discussion (FGD) dan Survei. Metode FGD dilakukan terhadap 10 orang petani yang berasal dari 10 kelompoktani yang ada di Kecamatan Kintamani dan lima orang pedagang pengumpul yang ada di lokasi penelitian. Metode survei dilakukan kepada 9 orang pedagang grosir dan 15 orang pedagang pengecer di pasar Kabupaten Klungkung, Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan. Responden pedagang grosir dan pengecer ditentukan dengan teknik snowball sampling. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.Analisis kualitatif dilakukan terhadap rantai pemasaran, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan terhadap efisiensi pemasaran dengan pendekatan marjin pemasaran, farmer share, dan rasio keuntungan atas biaya pemasaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa, terdapat dua jenis rantai pemasaran bawang merah, yakni: pertama, rantai pemasaran yang melibatkan petani – pedagang pengumpul – pedagang grosir –pedagang pengecer – konsumen dan kedua rantai pemasaran yang melibatkan petani – pedagang pengumpul – pengecer – konsumen. Kedua rantai pemasaran tersebut cukup efisien, namun rantai pemasaran kedua lebih efisien daripada rantai pamasaran pertama. Kata kunci: bawang merah, Bali, efisiensi, pemasaran ABSTRACT Marketing performance is a very important aspect in the development of agricultural commodities. Marketing efficiency is often used to assess marketing performance. This study aims to identify marketing chain of shallot and analyze the efficiency of each marketing chain. The study was conducted in the district of Kintamani, Bangli regency, Bali Province by considering: 1) the area as a center production of shallot in Bali, and 2) as the location of Agribusiness Region Development Program of Shallots. Data was collected by two methods, namely: Focus Group Discussion (FGD) and Surveying. The method of FGD performed against 10 farmers from 10 farmers group that is in the district of Kintamani and five village traders in the research sites. Survey method conducted to 9 wholesalers and 15 retailers in the market of Klungkung, Denpasar, and Tabanan city. Respondents of wholesalers and retailers are determined by the snowball sampling. The data was analyzed by descriptive qualitative and quantitative. Qualitative analysis was conducted on marketing chain, while the quantitative analysis conducted on the marketing efficiency by marketing margin, farmer share, and the ratio of profit on marketing costs. The results showed there are two types marketing chains, namely: the first, marketing chain is involving farmers – village traders - wholesalers - retailers – consumers and the second, marketing chain is involving: farmers – village traders - retailers consumers. Both types of marketing chain are quite efficient, but the second type of marketing chain more efficient than the first. Keywords: shallot, Bali, efficiency, marketing
197
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Bawang merah (alium ascalonicum L.) merupakan tanaman sayuran yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dapat dikembangkan di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi.Komoditas ini selalu dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga, restoran, hotel, dan industri pengolahan makanan sebagai pelengkap bumbu masak. Jumlah konsumsi bawang merah pada tahun 2012 sebesar 904 ribu ton atau 2,48 kg/kap/th. Konsumsi bawang merah di dalam negeri hingga tahun 2019 dipekirakan mengalami pertumbuhan sebesar 2,39%/th (Anonim, 2013). Peningkatan tersebut seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan msyarakat, dan pertumbuhan industri pengolahan makanan.Kementerian Pertanian telah menetapkan bawang merah sebagai komoditas unggulan nasional dan dimasukkan dalam program Pengembangan Kawasan Pertanian, seperti yang tertuang dalam Permentan Nomor 50 Tahun 2012. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang ditetapkan sebagai lokasi program tersebut, khususnya komoditas bawang merah. Produktivitas bawang merah di Bali (rata-rata 11,75 t/ha/th) lebih tinggi daripada rata-rata nasional (9,85 t/ha/th) dan tertinggi di antara seluruh provinsi penghasil bawang merah di Indonesia (BPS, 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa Provinsi Bali, walaupun memiliki luas wilayah yang relatif sempit dibandingkan provinsi lainnya, namun memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan bawang merah. Kabupaten Bangli, khususnya Kecamatan Kintamani, merupakan daerah penghasil bawang merah terbesar di Bali. Kontribusinya terhadap total produksi bawang merah di Bali rata – rata 93,70% per tahun (BPS Provinsi Bali, 2015). Budidaya bawang merah telah dilakukan oleh petani setempat secara turun-temurun, menggunakan jenis bawang merah lokal yang telah berkembang di lokasi setempat sejak dahulu.Usahatani bawang merah dilakukan hampir sepanjang tahun. Penanaman bawang merah paling luas terjadi pada bulan Juni/Juli (sasih kasa). Seperti halnya komoditas hortikultura pada umumnya, bawang merah juga memiliki sifat yang mudah rusak, oleh karenanya penyalurannya ke konsumen akhir perlu diatasi secara baik.Kinerja pemasaran merupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan suatu komoditas pertanian.Walaupun memiliki biaya produksi per unit cukup rendah suatu agribisnis belum tentu berdaya saing tinggi jika biaya pemasaran yang dibutuhkan untuk menyampaikan produk kepada konsumen sangat tinggi.Oleh karena itu upaya meningkatkan daya saing agribisnis seyogyanya tidak hanya ditempuh melalui peningkatan efisiensi produksi untuk menekan biaya produksi per unit produk, tetapi dilengkapi pula dengan upaya peningkatan efisiensi pemasaran dalam rangka menekan biaya pemasaran dari petani kepada konsumen (Irawan, 2007).Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rantai pemasaran bawang merah dan menganalisis efisiensi masing-masing rantai pemasaran yang ada. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dengan pertimbangan bahwa: 1) daerah tersebut sebagai sentra produksi bawang merah di Bali, dan 2) sebagai lokasi Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Bawang Merah. Penelitian dilakukan pada Bahan yang digunakan adalah alat tulis-menulis dan kuisioner, Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan skunder.Pengambilan data primer dilakukan dengan dua metode, yakni: Focus Group Discussion (FGD) dan Survei. Metode FGD dilakukan terhadap 10 orang petani yang berasal dari 10 kelompoktani yang ada di Kecamatan Kintamani dan lima orang pedagang pengumpul yang ada di lokasi penelitian. Metode survei dilakukan kepada 9 orang pedagang grosir dan 15 orang pedagang pengecer di pasar Kabupaten Klungkung, Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan. Responden pedagang grosir dan pengecer ditentukan dengan teknik snowball sampling.Pengambilan data terhadap pegadang grosir dan pengecer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuisioner terstruktur.Data skunder diperoleh dari dokumen-dokumen dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan materi penelitian ini. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.Analisis kualitatif dilakukan terhadap rantai pemasaran, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan terhadap efisiensi pemasaran dengan pendekatan margin pemasaran, farmer share, dan rasio keuntungan atas biaya pemasaran.
198
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Marjin Pemasaran Marjin pemasaran sering digunakan sebagai indikator efisiensi pemasaran.Besarnya marjin pemasaran bergantung pada panjang-pendeknya saluran pemasaran, aktivitas yang dilaksanakan, dan keuntungan yang diharapkan oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat (Jumiati et al., 2013).Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayarkan konsumen, yang dirumuskan(Widiastuti dan Harisudin, 2013), sebagai berikut: Mp = Pr – Pf …………………………………………… (1) Marjin pada setiap lembaga pemasaran merupakan selisih antara harga jual dan harga beli pada setiap lembaga pemasaran, yang secara matematis diformulasikan sebagai berikut: Mpi = Ps – Pb ………………………………………….. (2) Marjin pemasaran terdiri atas dua komponen, yakni: komponen biaya dan keuntungan, sehingga: Mpi = c + π ……………………………………………... (3) Berdasarkan persamaan-persamaan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan: Pr – Pf = c + π…………………………………………... (4) Pf = Pr – c – π ………………………………………….. (5) Keterangan: Mp = marjin pemasaran Pr = harga di tingkat lembaga pemasaran tujuan pemasaran petani Pf = harga yang diterima petani Mpi = marjin pemasaran pada lembaga pemasaran ke-i Ps = harga jual pada setiap lembaga pemasaran Pb = harga beli pada setiap lembaga pemasaran c = biaya pemasaran pada setiap lembaga pemasaran π = keuntuganpada setiap lembaga pemasaran
Bagian harga yang diterima petani Bagian harga yang diterima petani (famer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima petani dengan harga di tingkat konsumen yang dinyatakan dalam persentase. Secara matematis farmer’s share dirumuskan sebagai berikut: Pf Fs = X 100% Pr dimana, Fs = farmer’s share Pf = harga yang diterima petani Pr = harga yang dibayarkan oleh konsumen
Rasio Keuntungan atas Biaya Pemasaran Distribusi marjin pemasaran pada setiap lembaga pemasaran dapat diketahui dari persentase keuntungan dengan biayayang dikeluarkan pada masing-masing lembaga pemasaran. Secara matematis, persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: πi Ri = ci
X 100%
dimana, Ri = rasio antara keuntungan dan biaya pada lembaga pemasaran ke-i πi = keuntungan lembaga pemasaran ke-i ci = biaya lembagapemasaran ke-i
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Tanam Kecamatan Kintamani terdiri atas 48 desa, delapan desa di antaranya sebagai penghasil bawang merah terbesar di Bali.Delapan desa tersebut berada di bagian timur kaki Gunung Batur dan di sekitar Danau Batur.Struktur tanahnya remah, bertekstur lempung berpasir hingga pasir berlempung, dan pH-nya netral.Petani setempat telah mampu memanfaatkan air Danau Batur sebagai sumber
199
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
pengairan, sehingga ketersediaan air sangat mendukung pelaksanaan usahani.Kondisi ini sesuai dengan Sumarni dan Hidayat (2005) dan Setiawati et al (2007) bahwa, tanaman bawang merah menghendaki tanah berstruktur remah dengan pH netral dan ketersedian air pengairan yang cukup. Terdapat empat komoditas sayuran utama yang diusahakan di lokasi penelitian, yakni: bawang merah, cabe merah besar, tomat, dan kubis. Keempat komoditas tersebut ditanam dengan pola diversifikasi.Lahan usahatani yang dikelola setiap petani umumnya dibagi menjadi 2 – 4 bagian menurut jenis sayuran yang akan ditanam. Masing-masing sayuran memiliki luas tanam yang berbedabeda pada setiap musim tanam, disesuaikan dengan musim dan kecenderungan permintaan pasar.Terdapat empat musim tanam di lokasi penelitian, yakni pada Maret/April (sasih kasanga), Juni/Juli (sasih kasa), September/Oktober (sasih kapat), dan Desember/Januari (sasih kaenem).Bawang merah merupakan komoditas yang paling dominan, karena ditanam pada setiap musim tanam.Penanaman bawang merah paling luas (minimal 50% lahan usahatani yang dikelola) dilakukan pada musim tanam Juni/Juli, karena cuaca sangat mendukung pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitasnya. Pada musim tanam September/Oktober, luas tanam bawang merah paling rendah (sekitar 19,45% lahan usahatani yang dikelola), karena tingkat serangan hama dan penyakit paling tinggi. Kondisi tersebut berdampak terhadap efisiensi usahatani yang rendah, karena membutuhkan biaya produksi yang tinggi, tetapiproduksinya relatif rendah. Rantai Pasar Pemasaran adalah segala kegiatan yang menyangkut penyampaian produk atau jasa mulai dari produsen sampai konsumen (Shinta, 2011).Hasil Analisis menunjukkan bahwa terdapat dua saluran pemasaran, seperti tampak pada Gambar 1.Rantai pasar pertama senada dengan hasil penelitian Sumaiyah et al. (2013) di Kabupaten Pamekasan dan hasil penelitian Brahmantyo (2015) di Kabupaten Bantul, yang terdiri atas petani produsen – pedagang pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer – konsumen.Jumlah pedagang pengumpul bawang merah di lokasi penelitian cukup banyak, sekitar 60 orang.Jumlah pedagang/penjual dan pembeli yang banyak dalam suatu pasar sebagai salah satu ciri pasar bersaing sempurna (Adam, 2014).Jumlah pedagang pengumpul yang cukup banyak berdampak positif terhadap petani sebagai produsen, mereka sulit untuk mempermainkan harga dan transmisi harga cenderung positif dan seluruh petani memperoleh harga yang relatif sama sesuai dengan kualitas produknya. Petani juga selalu memonitor harga yang berlaku di pasar.
Rantai pasar I Petani
Pedagang pengumpul
Pedagang grosir
Pedagang pengecer
Pedagang pengecer
Konsumen
Konsumen
Rantai pasar II Petani
Pedagang pengumpul
Gambar 1. Rantai pasar baang merah di Bali tahun 2015 Gambar 1 menunjukkan bahwa, rantai pemasaran I lebih panjang daripada rantai pasar II. Rantai pasar II tanpa melibatkan pedagang grosir, namun pedagang pengumpul langsung menjual kepada pedagang pengecer.Petani menjual produksi bawang merah pada umumnya setelah disimpan 2 – 3 minggu setelah panen dan dalam keadaan sudah bersih dari daun, sehingga pedagang pengumpul dapat langsung mengemasnya ke dalam karung jaring. Setiap petani sudah memiliki langganan pedagang pengumpul tertentu yang selalu membeli produksinya. Hubungan jual-beli tersebut telah terjalin bertahun-tahun. Pedagang pengumpul juga berasal dari desa setempat, sehingga hubungan mereka sangat erat. Penjualan bawang merah kepada pedagang pengumpul dilakukan di rumah petani masing-masing. Pembayaran yang dilakukan pedagang pengumpul umumnya dilakukan secara tunai setelah baang merah ditimbang. Pedagang pengumpul selanjutnya menjual bawang merah kepada pedagang grosir dan pedagang pengecer di pasar Kota Klungkung, Denpasar, dan Tabanan.Pedagang grosir yang membeli
200
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
bawang merah di pasar Kota Klungkung umumnya berasal dari Kabupaten Klungkung, Karangasem, dan Gianyar, sedangkan pedagang pengecer berasal dari Kabupaten Klungkung. Pedagang grosir dan pengecer yang membeli bawang merah di pasar Kota Denpasar berasal dari Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Pedagang grosir di pasar Kota Tabanan berasal dari Kabupaten Tabanan dan Jembrana, sedangkan pedagang pengecer berasal dari Kabupaten Tabanan. Setiap pedagang pengumpul umumnya menjual bawang merah dalam dua jenis kemasan, yakni kemasan 60 kg dan 30 kg. Kemasan yang berkapasitas 60 kg untuk pedagang grosir, sedangkan yang berkapasitas 30 kg untuk pedagang pengecer. Seperti halnya dengan petani, setiap pedagang pengumpul juga telah memiliki pelanggan pedagang grosir yang tetap. Pembayaran yang diterima oleh pedagang pengumpul dari pedagang grosir dan pengecer juga tunai. Setiap pedagang pengumpul menjual bawang merah dalam satu kali penjualan rata-rata 1,5 t/hr pada periode September – Oktober 2015. Marjin Pemasaran Harga bawang merah yang diterima petani dari pedagang pengumpul rata-rata Rp 11.500,00/kg. Pedagang pengumpul selanjutnya menjual kembali bawang merah tersebut kepada pedagang grosir dengan harga rata-rata Rp 12.500,00/kg, sedangkan kepada pengecer dengan harga rata-rata Rp 13.000,00/kg. Secara detail harga dan marjin pemasaran disajikan pada Tabel 1. Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul meliputi pembelian karung jaring, transportasi, dan bongkar-muat, sedangkan pedagang grosir dan pengecer hanya mengeluarkan biaya transportasi dan bongkar-muat. Khusus biaya bongkar-muat di pasar ditanggung bersama antara pedagang pengumpul dan pedagang grosir serta pedagang pengecer. Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa margin keuntungan tertinggi pada kedua pola saluran pemasaran dinikmati oleh pedagang pengecer. Total marjin pemasaran pada rantai pasar pertama lebih tinggi daripada rantai pasar kedua, dengan selisih sebesar Rp 750,00/kg. Hal ini mengindikasikan bahwa, rantai pasar yang pendek lebih efisien daripada rantai pasar yang panjang atau dengan pernyataan lain semakin panjang rantai pasar cenderung kurang efisien. Temuan ini senada dengan Sukayana et al. (2013) yang menyimpulkan bahwa, semakin pendek saluran pemasaran maka margin pemasaran totalnya semakin rendah atau saluran pemasaran yang pendek lebih efisien daripada saluran pemasaran yang panjang. Hal yang sama juga ditemukan oleh Istiyanti (2010) dan Jumiati et al. (2013) bahwa, semakin panjang rantai pasar cenderung memperkecil bagian yang diterima petani dan memperbesar biaya yang dikeluarkan oleh konsumen.
201
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Harga, biaya dan distribusi marjin pemasaran bawang merah di Bali pada bulan September – Oktober 2015 Uraian
Rantai pasar I Harga dan biaya (Rp/kg)
Distribusi marjin (%)
Rantai pasar II Harga dan biaya (Rp/kg)
Distribusi marjin (%)
Petani Biaya usahatani
8.863
8.863
Harga jual
11.500
11.500
Keuntungan
2.637
2.637
Pedagang Pengumpul a. Margin pemasaran: - Biaya
393
9,83
393
12,10
- Keuntungan
607
15,17
1.107
34,05
b. Harga jual
12.500
13.000
Pedagang grosir
-
a. Margin pemasaran: - Biaya
300
7,50
-
-
- Keuntungan
1.200
30,00
-
-
b. Harga jual
14.000
-
Pedagang pengecer a. Margin pemasaran: - Biaya
217
5,42
217
6,67
- Keuntungan
1.283
32,08
1.533
47,18
b. Harga jual
15.500
14.750
4.000
3.250
Total marjin pemasaran Sumber: Data primer (2015)
Ditinjau dari distribusi margin pemasarannya, pada Tabel 1 tampak bahwa, keuntungan yang paling tinggi diperoleh oleh pedagang pengecer (32,08% pada rantai pasar I dan 47,18% pada rantai pasar II). Keuntungan yang tinggi tersebut disebabkan pedagang pengecer mengeluarkan biaya pemasaran yang paling rendah dan menjual bawang merah dengan harga yang paling tinggi dibandingkan dengan lembaga pemasaran di bagian hulunya. Bagian Harga yang Diterima Petani Hasil análisis menunjukkan bahwa bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) pada rantai pasar II lebih tinggi daripada rantai pasar I. Hal ini disebabkan pada rantai pasar I lembaga pemasaran yang terlibat lebih banyak daripada rantai pasar II. Dapat dinyatakan, semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dala suatu rantai pasar dapat berdampak terhadap semakin rendahnya bagian harga yang diterima petani. Bagian harga yang diterima masing-masing lembaga pemasaran dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Bagian harga yang diterima oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran bawang merah di Bali pada September – Oktpber 2015 Uraian
Rantai pasar I Harga dan biaya (Rp/kg)
Bagian harga (%)
Rantai pasar II Harga dan biaya (Rp/kg)
Bagian harga (%)
Harga jual
11.500
74,19
11.500
77,97
Pedagang Pengumpul
-
-
a. Margin pemasaran:
-
-
- Biaya
393
393
- Keuntungan
607
1.107
Petani
202
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
b. Harga jual
12.500
Pedagang grosir
-
-
a. Margin pemasaran:
-
-
- Biaya
300
-
- Keuntungan
1.200
b. Harga jual
14.000
Pedagang pengecer
-
-
a. Margin pemasaran:
-
-
- Biaya
217
217
- Keuntungan
1.283
1.533
b. Harga jual
15.500
14.750
4.000
3.250
Total marjin pemasaran Sumber: Data primer (2015)
80,65
13.000
88,14
90,32
-
Rasio Keuntungan atas Biaya Pemasaran Hasil análisis terhadap rasio keuntungan atas biaya pemasaran menunjukkan bahwa, pedagang pengecer memiliki rasio yang paling tinggi dibandingkan lembaga pemasaran lainnya, seperti tampak pada Tabel 3. Hal ini disebabkan pedagang pengecer mengeluarkan baya pemasaran yang paling rendah dan memperoleh harga jual paling tinggi dibandingkan lembaga pemasaran lainnya yang terlibat. Tabel 3. Rasio keuntungan atas biaya pemasaran pada setiap lembaga pemasaran bawag merah di Bali pada September – Oktober 2015 Uraian
Rantai pasar I Harga dan biaya Rasio (π/c) (Rp/kg)
Rantai pasar II Harga dan biaya Rasio (π/c) (Rp/kg)
Petani Harga jual
11.500
11.500
Pedagang Pengumpul
-
-
a. Margin pemasaran:
-
-
- Biaya
393
- Keuntungan
607
b. Harga jual
12.500
13.000
Pedagang grosir
-
-
a. Margin pemasaran:
-
-
- Biaya
300
-
- Keuntungan
1.200
b. Harga jual
14.000
-
Pedagang pengecer
-
-
a. Margin pemasaran:
-
-
- Biaya
217
217
- Keuntungan
1.283
b. Harga jual
15.500
14.750
4.000
3.250
Total marjin pemasaran Sumber: Data primer (2015)
393 1,54
4,00
5,92
203
1.107
2,81
-
1.533
7,08
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KESIMPULAN 1. Terdapat dua jenis rantai pasar bawang merah di Bali pada periode September – Oktober 2015. Pertama, rantai pasar yang melibatkan petani – pedagang pengumpul – pedagang grosir –pedagang pengecer – konsumen. Kedua rantai pemasaran yang melibatkan petani – pedagang pengumpul – pengecer – konsumen. Kinerja kedua rantai pemasaran tersebut cukup efisien. 2. Rantai pemasaran jenis kedua lebih efisien daripada rantai pamasaran jenis pertama. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sedalam-dalamnya kami sampaikan kepada seluruh petani sayuran di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali atas kesediaannya meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman yang telah membantu mengumpulkan data dalam studi ini. Kepada Bapak Kepala BPTP Bali, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas perkenannya telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan tugas pendampingan pengembangan kawasan agribisnis bawang merah di Bali. DAFTAR PUSTAKA Adam, P. 2014. Dinamika harga dalam pasar persaingan sempurna dengan fungsi permintaan bentuk ekponensial dan fungsi penawaran bentuk conweb linear.Paradigma:18(2): 49-56. Anonim.2013. Studi Pendahuluan: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pedrtanian 20915 – 2019. Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. BPS Provinsi Bali. 2015. Bali dalam angka. Brahmantyo, A. 2015.Tata niaga bawang merah. Studi kasus: Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Skripsi.e-journal. uajy.ac.id Irawan, B. 2007.Fluktuasi harga, transmisi harga dan marjin pemasaran sayuran dan buah. Analisis kebijakan pertanian: 5(4): 358 – 373. Istiyanti, E. 2010.Efisiensi pemasaran cabe merah keriting di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman. Jurnal Pertanian MAPETA: XII(2): 116-124. Jumiati, E., Darwanto, D.H., Hartono, S., dan Masyhuri. 2013. Analisis saluran pemasaran dan marjin pemasaran kelapa Dalam di daerah perbatasan Kalimantan Timur. Jurnal AGRIFOR: XII(1): 1-10. Setiawati, W., R.Murtiningsih, G.A. Sopha, dan T.Handayani.2007.Budidaya Tanaman Sayuran.Petunjuk Teknis.Balai Penelitian Tanaman Sayuran.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Shinta, A. 2011. Manajemen Pemasaran. Cetakan Pertama. Universitas Brawijaya Press. Sukayana, I M., Darmawan, D.P., dan Wijayanti, N.P.U. 2013.Rantai nilai komoditas kentang Granola di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. E-journal Agribisnis dan Agrowisata: 2(3): 99-108. Sumaiyah, S., S. Subari, dan A.H.M. Ariyani. 2013. Analisis integrasipasar bawang merah di Kabupaten Pamekasan.Agriekonomika: 2(1): 76 – 85. Sumarni, N. dan A. Hidayat.2005.Budidaya Bawang Merah.Panduan Teknis PTT Bawang Merah No.3.ISBN:979-8304-49-7.Balai Penelitian Tanaman Sayuran.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Widiastuti, N. dan Harisudin, M. 2013. Saluran dan marjin pemasaran jagungdi Kabupaten Grobogan.SEPA: 9(2): 231 – 240.
204
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PERTUMBUHAN EKSPLAN DAN PRODUKSI UMBI MIKRO KENTANG LOKAL BENGKULU SECARA IN VITRO PADA SUHU YANG BERBEDA THE GROWTH AND YIELD OF LOCAL POTATO CROPS GROWN IN VITRO AT DIFFEREN TTEMPERATURES OF INCUBATION Haryuni, Usman Kris Joko Suharjo dan Bambang Gonggo Murcitro Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jl. W. R. Supratman Kandang limun Bengkulu Telp. (0736) 21290 e-mail :
[email protected] ABSTRAK Pengelolaan pertanaman kentang selama ini suhu tinggi merupakan salah satu faktor penghambat pembentukan umbi pada dataran rendah dan medium. Penelitian ini bertujuan untuk:Membandingkan pengaruh suhu inkubasi terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil umbi mikro secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 hingga Januari 2016 dilaksanakan di Laboratorium Agronomi Divisi Bioteknologi dan Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan suhu inkubasi (T) yaitu suhu rendah dan suhu tinggi, dan tiga kali ualangan. Analisis data menggunakan analisis varian ( uji F taraf 5% ). Perbandingan rata-rata antar perlakuan dilakukan dengan uji beda rata-rata DMRT. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan suhu rendah mampu meningkatkan jumlah cabang utama, jumlah ruas total per tanaman tinggi tanaman, jumlah tanaman berumbi, total umbi per botol, diameter umbi. Kata Kunci : In-vitro, Kentang. ABSTRACT The potato crop management during high temperature is one factor inhibiting the formation of bulbs in the lowland and medium. This study aims to: Compare the effect of incubation temperature on plant growth and tuber yield micro in vitro. This research was conducted in September 2015 until January 2016 was conducted in the Laboratory of Agronomy and Biotechnology Division of Plant Tissue Culture, Faculty of Agriculture, University of Bengkulu. The design used in this study is completely randomized design (CRD) with treatment incubation temperature (T) comprising: a low temperature and high temperature, which is repeated 3 times. Analysis of data using analysis of variance (F test level of 5%). The average ratio between treatments carried out with different test average DMRT. The results showed a low- temperature treatment is able to increase the number of main branches, the total number of segments per plant height, number of bulbous plants, a total of tubers per bottle, the diameter of the bulbs. Keywords: In-vitro, Potatoes PENDAHULUAN Kentang (Solanum tuberosum L ) merupakan bahan pangan keempat di dunia setelah padi, jagung dan gandum (International Potato Center, 2013). Kentang merupakan salah satu jenis tanaman umbi yang memiliki nilai gizi. Di Indonesia tanaman kentang sudah menjadi bahan pangan alternatif, sebagai sumber karbohidrat yang bermanfaat untuk meningkatkan energi dalam tubuh sehingga manusia dapat bergerak berfikir dan melakukan aktivitas lainnya (Haris, 2010). Indonesia merupakan penghasil kentang terbesar di Asia Tenggara (Deptan, 2008). Provinsi Bengkulu tidak termasuk sebagai sentra produksi kentang di Indonesia, tetapi Provinsi Bengkulu memiliki dataran tinggi yang cocok untuk pengembangan kentang yaitu di Kabupaten Rejang Lebong (BPTP Bengkulu, 2012). Produksi kentang di Indonesia terus meningkat pada 3 tahun terakhir, tahun 2012 produksi kentang di Indonesia sebesar 1.094.240 ton pada tahun 2013 sebesar 1.124.282 ton dan pada tahun 2014 mencapai 1.316.016 ton (BPS, 2015). Tanaman kentang merah merupakan tanaman spesifik lokasi di Propinsi Bengkulu, namun dalam sistem budidaya kentang merah belum ditemukan teknologi yang spesifik. Pemerintah Provinsi Bengkulu telah menetapkan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kapahiang sebagai kawasan produksi kentang karena mempunyai karakteristik wilayah dan agroekosistem yang sesuai (Damari et al., 2011).
205
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Setiap tahun kebutuhan kentang terus meningkat namun hingga saat ini produksi tanaman kentang dari petani belum mampu memenuhi kebutuhan kentang di Indonesia. Ketidak mampuan tersebut diakibatkan masih rendahnya produktivitas kentang yang ditanam oleh petani (Medina, 2014). Upaya peningkatan produksi kentang di Indonesia menghadapi berbagai kendala seperti sulitnya memperoleh umbi yang berkualitas tinggi, kerena umumnya benih lokal yang digunakan saat ini sudah tertular dengan berbagai macam penyakit dan virus (Semangun 2006). Pengusahaan tanaman kentang di dataran tinggi sangat terbatas karena luas lahan dataran tinggi sangat terbatas hanya sekitar 6,5 juta hektar yang tersebar di seluruh pulau-pulau di Indonesia (Wicaksana, 2001). Selain terbatasnya lahan, perluasan lahan ke dataran rendah juga memiliki kendala seperti suhu tinggi dan serangan hama dan penyakit, untuk mengatasi permasalahan kentang di dataran medium dapat dilakukan dengan merakit teknologi budidaya tanaman kentang dan mendapatkan varietas baru yang toleran dengan suhu tinggi (Sunarjono, 2007). Penggunaan umbi kentang sebagai bahan perbanyakan secara in vitro sebagai bibit kentang mempunyai beberapa keuntungan, antara lain bersifat seragam yang sama dengan induknya, penyediaan bibit tidak tergantung musim dan dapat disesuaikan dengan musim tanam yang tepat, dapat menggunakan kultivar-kultivar yang sudah beradaptasi dengan lingkungan setempat, ekonomis dalam penyimpanan dan transportasi (Wattimena, 2000). Keberhasilan kultur jaringan tanaman dalam perbanyakan tanaman mikro tanaman kentang tergantung pada media yang digunakan. Umbi mikro akan terbentuk sepanjang tahun tanpa dipengaruhi musim dan bisa disimpan secara in vitro dengan melakukan subkultur (Ahmed et al., 2007). Berdasarkan hal-hal di atas perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan tanaman dan pembentukan umbi mikro kentang yang terbaik dengan pada suhu inkubasi yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk Membandingkan pengaruh suhu inkubasi terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil umbi mikro secara in vitro. METODOLOGI Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Agronomi Divisi Bioteknologi dan Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2015 – Januari 2016. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan suhu inkubasi (T) terdiri atas:Suhu rendah (20-21 0C) dan Suhu tinggi (27-28 0C), yang diulang sebanyak 3 kali. Formula dasar terdiri dari auksin, sitokinin, air kelapa, asam organik, dan chitosan dan arang aktif. Media MS adalah media Murashage and Skoog (1964). Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu : (1). Percobaan pertumbuhan tanaman dan (2). Percobaan produksi umbi mikro. 1. Pertumbuhan Tanaman Percobaan pertumbuhan tanaman dilakukan dengan menanam 2 stek mikro kentang masingmasing dengan 1 tunas aksilar tanpa daun dan akar pada 10 ml media padat MS, yang mendapat suplemen vitamin, asam amino dan ZPT seperti pada percobaan induksi umbi mikro. Tanaman diinkubasi sesuai dengan perlakuan, pada umur 6 minggu tanaman dipanen. Variabel pengamatan pertumbuhan kentang terdiri atas : 1. Jumlah cabang utama (buah), pengamatan dilakukan dengan menghitung cabang yang keluar dari batang utama. Pengamatan dilakukan pada setiap minggu selama 6 minggu. 2. Jumlah ruas total setiap tanaman (buku), pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah ruas setiap tanaman. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 6 minggu. 3. Tinggi tanaman (mm), pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi dengan menggunakan mistar. Pengamatan dilakukan pada saat panen. 2.
Produksi Umbi Mikro Produksi umbi mikro kentang dilakukan dengan mengadopsi metode Zhung and Donnelly (1997), yang telah dimodifikasi Suharjo (2008), yang terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap induksi stolon dan induksi umbi mikro
206
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tahap pertama, induksi stolon dengan menanam tiga stek mikro yang masing-masing mempunyai 5 (lima) ruas tanpa pucuk dan tanpa akar di dalam media cair selama 6 minggu pada ruang kultur.. Media cair yang digunakan adalah media MS 0 tanpa agar, yang mendapat tambahan gula 30 g/l, GA3 (0,4 mg/l) dan BAP (0,5 mg/l), dengan pH media 5,7. Media disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121 0C dan tekanan 15 psi selama 15 menit. Tahap kedua, induksi umbi mikro eksplan pada tahap induksi stolon yang berusia 6 minggu dipindahkan ke media induksi umbi mikro. Komposisi media pada tahap ini sama dengan komposisi media induksi stolon, kecuali tanpa GA3 dan BAP, degan gula ditingkatkan menjadi 80 g/l. Media berisi eksplan dipelihara pada ruangan yang berbeda dengan suhu sesuai perlakuan pada kondisi gelap total. Efek gelap diberikan dengan membungkus botol kultur dengan menggunkan kain berwarna hitam selama 10 minggu. Variabel pengamatan peroduksi umbi mikro kentang terdiri atas:. 1. Jumlah tanaman berumbi (buah), pengamatan dilakukan dengan menghitung tanaman yang berumbi. Pengamatan dilakukan pada saat panen. 2. Jumlah umbi per tanaman (buah), pengamtan dilakukan dengan menghitung jumlah umbi per tanaman. Pengamatan dilakukan pada saat panen. 3. Total umbi per botol (buah), pengamatan dilakukan menghitung jumlah umbi pada setiap botol. Pengamatan dilakukan pada saat panen. 4. Berat umbi per botol (g), pengamatan dilakukan dengan menimbang berat umbi dengan menggunakan timbangan digital analitik merk Cheetah seri JA5003B. Pengamatan dilakukan pada saat panen. 5. Diameter umbi (mm), pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter umbi menggunakan jangka sorong digital merk Krisbow K W 06-77, Model No: 111-011. Pengamatan dilakukan pada saat panen. Analisis Data Data hasil pengamatan variabel pertumbuhan eksplan dan produksi umbi mikro dianalisis secara statistik menggunakan analisis varian (uji F) pada taraf 5%. Perbandingan rata-rata antar perlakuan dilakukan dengan uji beda rata-rata DMRT (Gomez and Gomez, 1984 ). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel jumlah tanaman berumbi, jumlah umbi per tanaman, diameter umbi, berat umbi per botol, total umbi per botol , tinggi tanaman yang menyebar secara normal sehingga tidak ditransformasi. Untuk data variabel jumlah cabang utama dan jumlah ruas total tiap tanaman tidak menyebar secara normal sehingga perlu ditransformasi (Bartlett, 1937). Data yang telah menyebar normal dilakukan analisis varian (uji F). Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap semua variabel yang diamati, kecuali jumlah cabang utama dan jumlah ruas total tiap tanaman (Tabel 1). Tabel 1.
Hasil analisis varian (anava) pada taraf 5% untuk variabel pertumbuhan tanaman kentang yang diamati
No Variabel Pengamatan F hitung Suhu 1 Jumlah Cabang Utama 4,57 ns 2 Jumlah Ruas Total Per Tanaman 0,37 ns 3 Tinggi Tanaman 329,03* 4 Jumlah Tanaman Berumbi 867,94 * 5 Jumlah Umbi Per Tanaman 615,27 * 6 Total Umbi Per Botol 367,91 * 7 Berat Umbi Per Botol 111,48 * 8 Diameter Umbi 488,94 * Keterangan: * Berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%. ns:Berpengaruh tidak nayata pada uji taraF 5%. Sumber : Data primer (2016).
207
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pengaruh Suhu Rendah dan Suhu Tinggi Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman tumbuh lebih baik pada suhu rendah dibandingkan pada suhu tinggi. Tiga variabel pertumbuhan yang diamati menyatakan rata-rata hasil pengukuran yang lebih tinggi pada suhu rendah (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh suhu inkubasi terhadap variabel pertumbuhan eskplan dan produksi umbi mikro tanaman kentang. No Variabel Pengamatan 1 Jumlah Cabang Utama (buah) 2 Jumlah Ruas Total Per Tanaman (buku) 3 Tinggi Tanaman (cm) 4 Jumlah Tanaman Berumbi (buah) 5 Total Umbi Per Botol (buah) 6 Diameter Umbi (mm) Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak taraf 5%. Sumber : Data primer (2016)
Suhu tinggi Suhu rendah 2,37 a 1,91 a 2,03 a 2,14 a 3,81 a 2,49 a 3,67 a 0b 6,38 a 0b 7,01 a 0b sama pada baris yang sama berbeda nyata pada
Selain itu, suhu rendah juga berpengaruh positif terhadap pengumbian, pada suhu tinggi tidak terbentuk umbi sama sekali (Tabel 2). Hal ini diduga pertumbuhan dan pengumbian tanaman kentang dipengaruhi oleh suhu. Menurut Salisbury and Ross (1992) bahwa pada suhu rendah laju respirasi menurun dan sebaliknya pada suhu tinggi laju respirasi akan meningkat. Peningkatan laju respirasi akan diikuti dengan berkurangnya karbohidrat seperti gula yang dihasilkan dari proses fotosintesis, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kentang. Pada gilirannya pertumbuhan tanaman kentang menjadi terhambat. Penghambatan pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh laju respirasi yang tinggi, laju pembelahan sel dan pemanjangan sel yang rendah (Gunawan, 1992). Pada suhu rendah produksi umbi mikro yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan produksi pada suhu tinggi (Tabel 2). Suhu rendah akan menurunkan laju respirasi dan giberellin endogenus sehingga menyebabkan stolon berhenti memanjang. Stolon lebih banyak mengakumulasi karbohidrat untuk membentuk umbi. Pada suhu tinggi diduga laju respirasi dan giberelin meningkat sehingga kentang yang banyak mengandung pati hasil dari translokasi sukrosa sebagian besar hilang oleh respirasi dan giberelin endogenus yang tinggi. Oleh karena itu terjadi pemanjangan stolon sehingga pembentukan umbi terhambat. Suhu optimum untuk pengumbian in vitro adalah 15 0C-20 0C (Wattimena, 1995). Kemampuan tanaman menghasilkan umbi tinggi pada kondisi gelap tanpa cahaya. Akibatnya umbi membesar sampai ukuran maksimum, selanjutnya umbi tersebut tumbuh sebuah tunas etiolasi. KESIMPULAN Perlakuan suhu rendah mampu meningkatkan jumlah tanaman berumbi, diameter umbi, total umbi per botol, jumlah cabang utama, jumlah ruas total per tanaman dan tinggi tanaman. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Usman Kris Joko Suharjo yang telah mendanai dan membantu dalam penyelesaian penelitian skripsi ini. DAFTAR PUSTAKA Ahmed, M.B.R., Sultana, M., Khatun, M.A., Razvy, M.M., Hannan, R., Islam, dan Hossain, M.M. 2007. Standardization of a suitable protocol for in vitro clonal propagation of Acorus calamus L. An important medicinal plant in Bangladesh. American- Eurasian J.Sci.Res. 2:136-140. J. Agron. Indonesia 38 (2) : 144 – 149. Bartlett, M.S. 1937. A note on the multyping factors for various x 2 approximations, J.R. Statist. Soc. B (15): 107-240. BPS. 2015. Produksi Tanaman Sayuran Kentang (Ton) Tahun 2012-2014. http://www.bps.go.id/site/resultTab. Diakses 22 April 2015. BPTP Bengkulu. 2012. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI). Laporan Akhir Tahun. BPTP Bengkulu, Bengkulu.. W.H Freeman an Co. San
208
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Fransisco. 642 P. Damari A., Makruf E dan Yartiwi. 2011. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Kentang Merah Terhadap Jarak Tanam dan Dosis Pupuk yang Berbeda Di Kabupaten Rejang Lebong, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bengkulu. Deptan. 2008. Basis Data Statistik Peretanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Gomez, K. A and Gomez, A.A. 1984. Statiscal Proccedures For Agricultural Research. John Wiley and Sons. Diterjemahkan oleh E.Syamsuddin dan J. S Baharsyah. 1995. Prosedur Stastistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi kedua, UI Press, Jakarta. Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan. PAU Bioteknologi. IPB, Bogor. Haris dan Hestiana, J. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Kentang Pada Berbagai Dosis Pemupukan. Jurnal Agrisistem, 6 (1): 15- 22. International Potato Center. 2013. Potato. http://cipotato.org/potato. Diakses 22 Januari 2016. Jakarta. Medina, J.D. 2014. Manajemen resiko produksi benih kentang aeroponik risk management of aeroponic potatoes seed production. Agric. Sci. J. I (4) :235-243 Murashige, T., Skoog, F. 1964. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15:473-497. Salisbury, F.B. and Ross, C.R. 1992. Plant Physiology. Diterjemahkan oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono. 1995. Fisiologi tumbuhan. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Semangun, H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Suharjo, U.K.J., Fahrurrozi, dan Sudjatmiko, S. 2008. Memacu Pembentukan Umbi Mikro Kentang Pada Suhu Tinggi Dengan Aplikasi Paclobutrazol, Coumarin, CCC, dan Anycmidol. Prosiding Seminar Pekan Kentang Nasional, Lembang, Bandung, 22- 23 Agustus 2008. Sunarjono, H. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta. Wattimena, G.A. 1992. Zat Pengatur Tumbuh. Heds Projects-Universitas Bengkulu, Bengkulu 1019 Februari 1992. Wattimena, G.A. 1995. In vitro micropropagation as an alternative technologi for potato production. Final Report PSTC-USA ID. Department of Agronomy, Bogor Agricultural University. Wattimena, G.A. 2000. Perakitan Kultivar Kentang Unggul Indonesia secara Cepat denganMetode Turunan Klonal Biji Tunggal dan Pra - Evaluasi Secara In Vitro. Agron. 29 (3):78 – 84. Wattimena, G.A. 1987. Diktat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU, Bioteknologi. Institut. Pertanian Bogor, Bogor. Wicaksana, N. 2001. Penampilan fenotipik dan beberapa parameter genetik 16 genotip kentang pada lahan sawah didataran medium. Zuriat. 12 (1) : 15-20. Zhung and Donelly. 1997. In - vitro bioassays for salinity tolerance screening of potato. Potato Research 40. 285- 295.
209
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
APLIKASI BEBERAPA BIOAKTIVATOR MIKROORGANISME LOKAL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSISELADA (Lactuca sativa L.) APPLICATION OF SOME LOCAL BIOACTIVATOR MICROORGANISM ON THE GROWTH AND PRODUCTION OF LETTUCE (Lactuca sativa L.) Parwito dan Susi Handayani Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Ratu Samban Jl. Jenderal Sudirman No 87 Arga Makmur Bengkulu Utara Telp (0737)-522613 e-mail :
[email protected] ABSTRAK Mikroorganisme lokal sebagai cairan yang terbuat dari limbah atau bahan-bahan organik yang ada disekitar kita mengandung mikroba serta mengandung sifat-sifat kimia yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis bioaktivator mol terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman selada. Penelitian ini dilaksanakan bulan Juli sampai September 2014, di Kelurahan Lingkar Timur Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan satu faktor yaitu bioaktivator mol (BM), sebagai rancangan perlakuan yang terdiri atas : BM 0: Tanpa bioaktivator mol, BM 1: Bioaktivator mol rebung bambu, BM 2: Bioaktivator mol bonggol pisang, dan BM 3: Bioaktivator mol maja. Hasil penelitian menunjukkan dalam pembuatan mol setelah satu bulan bahan mol berwarna coklat sampai kehitaman dan bau mol yang tajam. Hal ini dimungkinkan mol sudah matang dalam proses fermentasi anaerobik dan bahan siap digunakan. Sisa hasil pengomposan anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60% dengan warna cokelat gelap sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses pengomposan secara anaerobik sedikit, sehingga umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari proses pengomposan secara aerobik. Sedangkan pertumbuhan tanaman selada pada saat persemaian serta saat setelah pindah tanam masih relatif lambat. Semua perlakuan bioaktivator mikro organisme lokal yang diaplikasikan ke tanaman selada menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan selada dibandingkan tanpa perlakuan (kontrol). Perlakuan bioaktivator mikroorganisme lokal terbaik terhadap bobot segar selada adalah mol dari bonggol pisang BM 2 (64,17 g). Kata Kunci: Bioaktivator, mikroba, mol, selada ABSTRACT Local microorganisms as a liquid made from waste or organic materials that exist around us contain microbes and chemical properties that affect the growth of the microbes. This study aimed to get the kind of bio-activator best mole in enhancing the growth and yield of lettuce. This study was conducted from July to September 2014, in Kelurahan Lingkar Timur Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu. This study was conducted using a randomized block design (RAK) with one factor, namely bioactivator mol (BM), as the design of treatment consisting of: BM 0: Without bio-activator mol, BM 1: bio-activator mole bamboo shoots, BM 2: bio-activator mol banana weevil and BM 3: bio-activator maja mole. The results showed in the manufacturing of material mole after one month resulted in moles with sharp odor. It was indicating that mole had matured following anaerobic fermentation and materials being ready for use. Waste products of anaerobic composting in the form of sludge containing water as much as 60% with the color of dark brown to black. Loss of nutrients in the anaerobic composting process a little bit, so it generally higher nutrient content than the aerobic composting process. While the growth of lettuce plants at the time of the nursery and after transplanting is still relatively slow. All micro-organisms bio-activator treatment of locally applied to lettuce plants showed a positive influence on the growth of lettuce compared to that of the untreated (control). The best local bio-activator treatment of microorganisms on fresh weight of lettuce was the moles of banana weevil BM 2 (64.17 g). Keywords: Bio-activator, microbes, moles, lettuce
210
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Kebutuhan pangan perkotaan khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami peningkatan sebanding dengan bertambahnya jumlah penduduk kota. Permintaan pasar untuk komoditas hortikultura khususnya sayur-sayuran semakin meningkat baik jumlah maupun jenisnyaTidak seimbangnya persediaan produksi dengan permintaan selada di dalam negeri menyebabkan Indonesia mengimpor komoditas ini (Rukmana, 2000). Secara umum, jumlah selada yang diimpor meningkat setiap tahunnya. Selada yang didominasi oleh jenis sayuran dataran tinggi belum banyak diusahakan di Indonesia. Apalagi jenis yang sudah diusahakan di Indonesia juga masih terbatas (Haryanto dkk., 2003). Peningkatan produksi selada dapat dilakukan dengan pemupukan, pengaturan jarak tanam, dan memilih varietas tanaman yang unggul (Rukmana, 2000). Untuk mendapatkan produksi yang tinggi, perlu adanya penelitian yang mendukung serta pemanfaatan teknologi tepat guna, mulai dari teknik budidaya sampai pada penanganan pasca panennya. Pemupukan adalah salah satu teknik budidaya untuk meningkatkan produksi tanaman selada (Nazaruddin, 1999). Pemberian input dalam bentuk pupuk organik pada tanah dapat mengubah dan memperbaiki sifat-sifat tanah, baik fisik, kimia dan biologi tanah (Sutanto, 2002). Selanjutnya menurut Munir (1996) pengaruh pemberian bahan organik ke dalam tanah sebagai berikut, yaitu : struktur tanah menjadi lebih baik, aerasi tanah menjadi lebih baik, mempunyai efek pengikat yang baik atas partikelpartikel tanah, dan kapasitas menahan air meningkat. Salah satu peran pupuk organik dalam memperbaiki biologi tanah adalah keberadaan mikroba tanah maupun pada tanaman. Mikroba tanah akan menguntungkan bila kehadirannya berperan dalam siklus mineral, fiksasi nitrogen, perombakan residu pestisida, proses humifikasi, proses menyuburkan tanah, perombakan limbah berbahaya, biodegradasi, bioremidiasi, mineralisasi, dekomposisi, dan lain-lain. Keberadaan mikroba tanah banyak jenis dan macamnya, salah satu mikroba yang berperan dalam memperbaiki tanah dan tanaman adalah keberadaan bioaktivator. Salah satu bioaktivator yang berperan memperbaiki pertumbuhan tanaman yang murah namun tetap menjaga kelestarian lingkungan adalah Mikroorganisme Lokal (MOL). Mol diperoleh dari beberapa sumber bahan di sekitar kita diantaranya dari mol bonggol pisang, mol rebung dan mol buah maja. Untuk melihat keefektifan dari masingmasing bioaktivator mol tersebut maka penelitian ini bertujuan mendapatkan bioaktivator mol terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman selada. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan bulan Juli sampai September 2014, di Kelurahan Lingkar Timur Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu.Bahan penelitian yang digunakan adalah benih selada, rebung bambu, air beras, gula merah/gula pasir, bonggol pisang, maja, pupuk kandang dan topsoil. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, cangkul, parang/sabit, meteran, jangka sorong, timbangan digital, kertas label, plastik, polybag, alat tulis dan alat-alat laboratorium untuk analisis tanah dan tanaman. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakanrancangan acak kelompok (RAK) dengan satu faktor yaitu bioaktivator mol (BM), sebagai rancangan perlakuan yang terdiri atas : BM 0: Tanpa bioaktivator mol, BM 1: Bioaktivator mol rebung bambu, BM2: Bioaktivator mol bonggol pisang, BM3: Bioaktivator mol maja. Perlakuan diatas diulang 3 kali sehingga diperoleh 12 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan terdapat 6 unit percobaan (polybag), sehingga terdapat total 72 polybag. Penempatan perlakuan dalam satu kelompok percobaan dilakukan secara acak. Pembuatan MOL Mol dari rebung dibuat dengan mencampurkan 1 kg rebung bambu, 2,5-3 liter air beras dan gula pasir atau gula jawa sebanyak 1-2 ons. Setelah bahan tersedia, rebung diiris tipis atau ditumbuk, setelah itu dimasukan ke dalam jerigen/tong/ember kemudian dimasukkan gula merah 1-1,5 kg yang telah dihaluskan dan air cucian beras sebanyak 2,5 – 3 liter selanjutnya ditutup rapat wadah dengan plastik dan diberi selang yang disambungkan ke botol yang berisi air dan didiamkan selama 15 hari. Selanjutnya mol disaring dan siap digunakan. Mol dari bonggol pisang dibuat dengan mencampurkan 1 kg bonggol pisang, 2,5 – 3 liter air beras, dan gula pasir atau gula jawa sebanyak 1/5 kg. Setelah semua bahan siap, bonggol pisang diiris tipis atau ditumbuk, setelah itu dimasukkan ke dalam jerigen/tong/ember kemudian dimasukkan gula merah 1 -1,5 kg yang telah dihaluskan dan air cucian beras sebanyak 2,5 – 3 liter selanjutnya ditutup
211
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
rapat wadah dengan plastik dan diberi selang yang disambungkan ke botol yang berisi air dan didiamkan selama 15 hari. Mol disaring dan siap digunakan. Mol dari buah maja dibuat dengan mencampurkan 1 buah maja, 6 liter air beras, dan 4 liter urine sapi. Setelah semua bahan siap, buah maja di kupas kulitnya dan diiris tipis atau dicincang, setelah itu dimasukan ke dalam jerigen/tong/ember kemudian dimasukkan air cucian beras dan urine selanjutnya ditutup rapat wadah dengan plastik dan diberi selang yang disambungkan ke botol yang berisi air dan didiamkan selama 15 hari. Mol disaring dan siap digunakan. Pemeliharaan tanaman selada terdiri atas penyiraman, pemupukan dan pengendalian gulma, hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari dengan volume air 200 ml. Pemupukan dilakukan setiap 5 hari sekali dengan dosis 100 ml per tanaman dari mol yang diuji cobakan. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila serangan hama atau penyakit telah ada dan dilakukan secara manual. Panen dilakukan pada umur 56 hari setelah semai. Selada daun dapat dipanen bila daun telah cukup banyak dan lebar serta berwarna hijau muda, batang sudah terbentuk dan tanaman belum berbunga. Data dikumpulkan dari semua tanaman selada di polybag yang diukur dan selanjutnya dianalisis secara statistik. Pengukuran tanaman sawi meliputi variabel: tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dilakukan setiap minggu. Bobot basah sawi, panjang akar, dilakukan pada waktu panen. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang dicobakan. Apabila dari hasil analisis tersebut berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95% (Steel & Torrie 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Mikroorganisme Lokal (MOL) MOL adalah cairan yang berbahan dari berbagai sumber daya alam yang tersedia setempat. MOL mengandung unsur hara makro dan mikro dan juga mengandung mikroba yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan dan sebagai agen pengendali hama penyakit tanaman. Berdasarkan kandungan yang terdapat dalam MOL tersebut, maka MOL dapat digunakan sebagai pendekomposer, pupuk hayati, dan sebagai pestisida organik terutama sebagai fungsida (Purwasasmita dan Kunia, 2009). Dalam proses pembuatan mikroorganisme lokal dengan menggunakan beberapa bahan diantaranya menggunakan bonggol pisang, rebung, dan buah maja dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 1). Peroses pematangan mol dibawah ini (Gambar 1b) dilakukan secara anaerobik dengan menggunakan jerigen plastik yang ditutup rapat lalu diberi selang untuk mengeluarkan gas-gas hasil dari pengomposan dan ujung selang dimasukkan ke dalam botol yang berisi air, agar udara dapat keluar namun tidak dapat masuk lagi ke jerigen untuk menjaga keadaan anaerobik dalam jerigen tersebut. Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis pada struktur kimia dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa udara).
Gambar 1. Pembuatan mikro organisme lokal (MOL) a. berbahan bonggol pisang, rebung dan Buah maja, b. Fermentasi dilakukan di jerigen Hasil penelitian menunjukkan dalam pembuatan mol setelah satu bulan bahan mol berwarna coklat sampai kehitaman (Gambar 2) dan bau mol yang tajam. Hal ini dimungkinkan mol sudah matang dalam proses fermentasi anaerobik dan bahan siap digunakan. Hal ini diperkuat dalam
212
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Samekto (2006), bahwa proses anaerobik umumnya dapat menimbulkan bau yang tajam. Sisa hasil pengomposan anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60% dengan warna cokelat gelap sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses pengomposan secara anaerobik sedikit, sehingga umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari proses pengomposan secara aerobik.
Gambar 2.Hasil dari pembuatan Mikroorganisme lokal (Mol) Proses fermentasi yang didapatkan dalam pembuatan mol diatas menunjukkan bahwa mol berwarna coklat sampai kehitaman (gambar 2). Hal ini dikarenakan adanya aktivitas mikroorganisme yang membantu dalam proses pematangan. Ini dikuatkan oleh pendapat Indriani (1999), pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan kebahan yang akan dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan. Aplikasi bioaktivator Mikroorganisme Lokal (MOL) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Selada Pengamatan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil selada meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar dan bobot segar tanamandisajikan Tabel 1. Berdasarkan hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi bioaktivator mikro organisme lokal (MOL) berbeda sangat nyata pada semua variabel yaitu pada semua minggu setelah pindah tanam. Tinggi tanaman menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan dan pada semua umur ditunjukkan pada Tabel 2. Secara umum perlakuan semua bioaktivator mikro organisme lokal yang ke tanaman selada menunjukkan pengaruh yang positif terhadap variabel tinggi tanaman selada. Pada perlakuan aplikasi bioaktivator MOL menunjukkan pada semua umur 1 MSPT (minggu setelah pindah tanam) sampai 6 MSPT terlihat perlakuan BM 2 menghasilkan tinggi tanaman yang terbaik dan diikuti BM 1, dan BM 3. Tinggi tanaman selada terendah dicapai oleh tanpa bioaktivator B 0 (kontrol) pada semua umur 1 MSPT sampai 6 MSPT
213
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Hasil Uji F pada aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal terhadap variabel tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar dan bobot segar tanaman No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Variabel
Perlakuan
Tinggi tanaman 1 MSPT Tinggi tanaman 2 MSPT Tinggi tanaman 3 MSPT Tinggi tanaman 4 MSPT Tinggi tanaman 5 MSPT Tinggi tanaman 6 MSPT Jumlah daun 1 MSPT Jumlah daun 2 MSPT Jumlah daun 3 MSPT Jumlah daun 4 MSPT Jumlah daun 5 MSPT Jumlah daun 6 MSPT Diameter batang 1 MSPT Diameter batang 2 MSPT Diameter batang 3 MSPT Diameter batang 4 MSPT Diameter batang 5 MSPT Diameter batang 6 MSPT Panjang akar Bobot segar tanaman Keterangan : **
36,88** 36,88** 43,86** 48,15** 47,80** 45,89** 6,40** 6,40** 14,61** 6,40** 18,10** 15,57** 10,66** 10,66** 10,66** 15,66** 7,54** 12,78** 6,55** 12,94**
Koefisien keragaman 14,71 14,71 13,67 12,05 11,23 9,81 19,46 19,46 16,76 19,46 12,25 12,31 11,81 11,81 11,81 10,54 15,52 15,12 22,78 37,54
= berpengaruh sangat nyata
Sumber : Data primer (2014) Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa rataan tertinggi tinggi tanaman selada pada umur 6 MSPT terdapat pada perlakuan BM 2 yaitu sebesar 20,17 cm, lalu berturut-turut diikuti oleh BM 1 (17,17 cm), BM 3 (14,00 cm) dan tinggi tanaman yang terendah adalah perlakuan BM 0 (kontrol) yaitu 10,42 cm. Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman minggu ke-1 sampai minggu ke-6 terhadap aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal Tinggi minggu ke1 2 3 4 5 6 Kontrol (BM 0) 4,92 d 4,92 d 5,50 d 6,75 d 8,17d 10,42 d Mol Rebung (BM 1) 8,50 b 8,50 b 10,42 b 12,08 b 14,50 b 17,17 b Mol Bonggol Pisang (BM 2) 11,92 a 11,92 a 13,92 a 15,75 a 17,93 a 20,17 a Mol Buah Maja (BM 3) 7,00 c 7,00 c 8,42 b 9,83 c 11,72 c 14,00 c Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Sumber : Data primer (2014) Perlakuan
Aplikasi bioaktivator mikroorganisme lokal bonggol pisang (BM 2) menunjukkan perlakuan bioaktivator yang terbaik. Hal ini diduga karena mikroorganisme yang ada di bonggol pisang lebih banyak sehingga dalam fermentasi / perombakan menghasilkan unsur hara yang baik untuk tanaman pada saat diaplikasikan.
214
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3. Rata-rata jumlah daun minggu ke-1 sampai minggu ke-6 terhadap aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal Jumlah daun minggu ke1 2 3 4 5 6 Kontrol (BM 0) 3,00 b 3,00 b 3,00 b 3,00 b 4,50 c 5,50 c Mol Rebung (BM 1) 3,67 ab 3,67 ab 4,67 a 3,67 ab 6,67 a 7,67 b Mol Bonggol Pisang (BM 2) 4,50 a 4,50 a 5,50 a 4,50 a 7,50 a 8,83 a Mol Buah Maja (BM 3) 3,00 b 3,00 b 3,67 b 3,00 b 5,67 b 6,67 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Sumber : Data primer (2014) Perlakuan
Data hasil pengamatan dan uji f jumlah daun 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 MSPT dapat dilihat pada tabel 1, dimana perlakuan bioaktivator berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Rataan jumlah daun umur pada 1, 2, 3, 4, 5, 6 MSPT perlakuan bioaktivator MOL dapat dilihat pada Tabel 3. Dimana perlakuan yang terbaik dilihat dari rerata jumlah daun pada bioaktivator MOL dari bonggol pisang (BM 2) dan terendah pada kontrol (tanpa perlakuan). Hal ini bioaktivator menggunakan bonggol pisang sangat baik karena mikroba yang ada di bonggol sangat banyak sehingga perombakan dapat terjadi dengan baik dan tanaman dapat memanfaatkan untuk pertumbuhannya. Hal ini dikemukakan Suhastyo (2011) dalam Ole (2013) yaitu Bonggol pisang mengandung mikrobia pengurai bahan organik. Mikrobia pengurai tersebut terletak pada bonggol pisang bagian luar maupun bagian dalam. Jenis mikrobia yang telah diidentifikasi pada MOL bonggol pisang antara lain Bacillus sp., Aeromonas sp., dan Aspergillus nigger Mikrobia inilah yang biasa menguraikan bahan organik. Mikrobia pada MOL bonggol pisang akan bertindak sebagai dekomposer bahan organik yang akan dikomposkan. Tabel 4. Rata-rata diameter batang minggu ke-1 sampai minggu ke-6 terhadap aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal Diameter batang minggu ke1 2 3 4 5 6 Kontrol (BM 0) 0,45 c 0,45 c 0,45 c 0,50c 0,58 c 0,75 c Mol Rebung (BM 1) 0,56 b 0,57 b 0,57 b 0,65 b 0,82 ab 0,95 b Mol Bonggol Pisang (BM 2) 0,66 a 0,67 a 0,67 a 0,77 a 0,88 a 1,25 a Mol Buah Maja (BM 3) 0,57 b 0,57 b 0,57 b 0,67 b 0,72 bc 0,88 bc Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Sumber : Data primer (2014) Perlakuan
Pada variabel diameter batang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan dari umur tanaman 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 MSPT terlihat pada tabel 1. Perlakuan yang terbaik pada minggu setelah pindah tanam variabel pengamatan diameter batang yang menggunakan bioaktivator mol dari bonggol pisang. Ini mungkin dikarenakan pemberian mikroorganisme lokal dapat meningkatkan mikroorganisme yang ada didalam tanah sehingga dapat merombak bahan organik dan selanjutnya bahan organik tersebut dapat dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhannya. Pengamatan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil tanaman selada meliputi rata-rata panjang akar dan bobot segar tanaman selada dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Rata-rata panjang akar dan bobot segar terhadap aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal Perlakuan Panjang akar (cm) Bobot segar (g) Kontrol (BM 0) 4,25 c 16,50 c Mol Rebung (BM 1) 6,25 ab 39,50 b Mol Bonggol Pisang (BM 2) 7,48 a 64,17 a Mol Buah Maja (BM 3) 5,25 bc 27,83 bc Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Sumber : Data primer (2014)
Hasil pengamatan panjang akar tertinggi dicapai oleh perlakuan bioaktivator mol dari bonggol pisang BM 2 (7,48 cm). Hal ini diduga karena tanah yang diberi mikroorganisme lokal menjadi
215
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
gembur dan mampu memperbaiki sifat biologi tanah sehingga mempengaruhi pertumbuhan akar dan pengalokasian hara pada tanaman. Bobot segar selada tertinggi dicapai oleh perlakuan mikroorganisme lokal dari bonggol pisang BM 2 (64,17 g), dari rebungBM 1 (39,50 g), dari buah Maja (27, 83 g), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan BM 0 tanpa bioaktivator mol. Bobot basah sawi terendah dicapai oleh perlakuan bioaktivator tapai maupun rebung. Bobot segar selada tertinggi ini diduga karena penyerapan unsur hara dan air secara maksimal sehingga bobot segar selada dapat bertambah dan sebaliknya pada bobot segar selada terendah. KESIMPULAN 1. Pembuatan Mikroorganisme lokal (MOL) dalam wadah jerigen menunjukan mengalami fermentasi yang cukup baik yang ditandai dengan warna bahan coklat sampai kehitaman dan pertumbuhan tanaman selada pada saat persemaian serta saat setelah pindah tanam masih relatif lambat. 2. Semua perlakuan bioaktivator mikro organisme lokal yang diaplikasikan ke tanaman selada menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan selada kecuali tanpa perlakuan (kontrol). Perlakuan bioaktivator mikroorganisme lokal terbaik terhadap bobot segar selada adalah mol dari, bonggol pisang BM 2 (64,17 g) UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (Ditlitabmas) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai skim Hibah Program Penelitian Dosen Pemula pada tahun 2014.
DAFTAR PUSTAKA Haryanto, E., T. Suhartini, E., Rahayu dan H.H. Sunarjono. 2003. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta. Indriani, Y.H. 1999. Membuat Kompos secara Kilat. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Karakteristik, klasifikasi dan Pemanfaatannya. Pustaka Jaya. Jakarta. Nazaruddin. 1999. Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya. Jakarta. Ole, Moses Benediktus Bengngo (2013) penggunaan mikroorganisme bonggol pisang (Musa paradisiaca) sebagai dekomposer sampah organik. S1 thesis, UAJY. http://ejournal.uajy.ac.id/3963/3/2BL01047.pdf[Diunduh Tgl 5 Agustus 2014]. Purwasasmita M, Kunia K. 2009. Mikroorganisme lokal sebagai pemicu siklus kehidupan dalam bioreaktor tanaman. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia- SNTKI 2009. Bandung 19-20 Oktober 2009. Rukmana, R. 2000. Bertanam Selada dan Andewi. Kanisius. Yogyakarta. Samekto. 2006. Pupuk Kompos. Penerbit Citra Aji Parama. Yogyakarta. Steel and Torrie 1993 Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrika. Alih Bahasa Ir. Bambang Sumantri. Principles and Procedure of Statistic. Gramedia. Jakarta. Suhastyo, A. A. 2011. Studi Mikrobiologi dan Sifat Kimia Mikroorganisme Lokal yang Digunakan pada Budidaya Padi Metode SRI (System of Rice Intensification). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta.
216
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
EVALUASI KERAGAAN BEBERAPA SEMANGKA HIBRIDA KOLEKSI BALAI PENELITIAN TANAMAN BUAH TROPIKA EVALUATION OF PERFORMANCE OF SOME HYBRID WATERMELON FROM INDONESIAN TROPICAL FRUIT RESEARCH INSTITUTE Kuswandi, Makful, Sahlan, Mega Andini Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jl Raya Solok-Aripan km 8 Solok, Sumatera Barat 20137, HP.085375084114 email:
[email protected] ABSTRAK Semangka hibrida hasil silangan Balitbu Tropika memiliki keragaman yang tinggi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaan hibrida semangka koleksi Balitbu Tropika dan untuk mengevaluasi keunggulan masing-masing hibrida. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumani, Balitbu Tropika pada bulan April sampai dengan Juli 2016. Materi yang digunakan terdiri dari 19 kombinasi persilangan. Percobaan merupakan penelitian deskriptif. Data hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk rataan dan gambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hibrida yang diuji memiliki keragaman dalam ukuran, warna kulit buah, warna daging buah, ketebalan kulit buah dan kemanisan. Belum ditemukan semangka hibrida yang memiliki tiga karakter unggul, yang terdiri dari bobot buah sedang, TSS tinggi, dan kulit buah agak tebal. Hibrida yang memiliki keunggulan berupa rasa manis dan tahan simpan adalah BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, dan BT4xBT4P. Kata kunci : semangka, hibrida, TSS, keragaan. ABTRACT Watermelon hybrid result of crossing by Balitbu Tropika has a high diversity. The objective of the research was to determine the performance of hybrid watermelon of Indonesian Tropical Fruit Research Institute (ITFRI) collection and to evaluate the superiority of each hybrid. The research has been conducted at Sumani Experimental Garden, ITFRI in April until July 2016. The material used consists of 19 cross combinations. The experiment was a descriptive study. The data was displayed in the form of average and pictures. The results showed that the hybrids were tested have diversity in size, fruit skin color, flesh color, skin thickness, and sweetness of the fruit. Have not found hybrids have three excellent characters, consisting of medium fruit weight, TSS value is high, and rather thick rind. Hybrid has the advantage of a sweet taste and shelf life is BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, and BT4xBT4P. Keywords : watermelon, hybrids, TSS, performance. PENDAHULUAN Semangka (Citrulus lannatus Thumb (Matsum) Nakai) diyakini berasal dari Afrika dan menyebar ke seluruh wilayah di dunia. Tanaman komersil ini memiliki kandungan air > 90 %. (Kumar et al. 2012; Prabhakar et al. 2013). Disamping itu, kandungan lycopene pada daging buah semangka dipercaya mampu mengurangi resiko terserang kanker (Naz et al. 2014). Selain daging buahnya kaya dengan berbagai macam vitamin, ternyata kulit buahnya mengandung senyawa polisakarida yang banyak digunakan sebagai anti kanker, anti pembekuan darah, anti virus dan anti oksidan (Romdhane et al. 2017). Kesuksesan dalam program pemuliaan semangka hibrida di Indonesia sampai saat ini masih sangat terbatas. Kondisi serupa juga terjadi di negara tetangga Malaysia. Kendala yang dihadapi dalam program pemuliaan semangka antara lain kurangnya sumber daya genetik dan cekaman lingkungan seperti kelembaban tinggi, curah hujan, dan serangan hama dan penyakit yang menyebabkan gagal panen. Hal ini menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap varietas komersil yang dirilis oleh perusahaan benih asing (Bahari et al. 2012). Pemuliaan hibrida pada tanaman menyerbuk silang seperti semangka memiliki beberapa kelebihan dibandingkan varietas bersari bebas, antara lain dalam peningkatan nilai yang mengarah kepada heterosis, dan stabilitas hasil yang lebih tinggi (Longin et al. 2012). Program pemuliaan semangka pada awalnya bertujuan untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi (Gusmini dan
217
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Wehner 2005). Selanjutnya juga diarahkan kepada perakitan varietas tahan cekaman abiotik (Wakindiki dan Kirambia 2011) dan biotik (Levi et al 2012). Disamping itu pemuliaan semangka mulai mengarah kepada perakitan varietas dengan kandungan nutrisi tinggi seperti varietas dengan kandungan citrullin, β-carotene, dan lycopene yang tinggi. Program pemuliaan juga diarahkan kepada perakitan aneka warna daging buah, dan tekstur daging renyah. (Park and Choi 2012, Kim et al. 2015). Balai Penelitian Tanaman Buah (Balitbu) Tropika sampai saat ini telah memiliki delapan galur semangka yang telah stabil secara genetik. Kedelapan galur terdiri dari tiga nomor dengan warna daging merah dan lima nomor dengan warna daging kuning. Kedelapan galur ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai tetua dalam mendapatkan varietas unggul baru, baik hibrida maupun varietas bersari bebas. Penelitian ini merupakan tahapan evaluasi dari hibrida silang tunggal yang dihasilkan dari kombinasi persilangan berbagai galur inbred yang dilakukan oleh tim pemulia semangka Balitbu Tropika. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaan hibrida semangka koleksi Balitbu Tropika dan untuk mengevaluasi keunggulan masing-masing hibrida. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumani, Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika pada bulan April sampai dengan Juli 2016. Materi yang digunakan terdiri dari 19 kombinasi persilangan, yaitu BT1 x BT3, BT1 x BT4, BT1 x SGP, BT3 x BT1, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, BT4 x BT4P, BT4P x BT4, BT4P x BT1, BT4P x BT5, BT5 x BT4, BT5 x BT1, BT5 x BT3, BT5 x BT4, BT6 x SGP, dan SGP x BT6. Kesembilan belas hasil silangan berasal dari lima galur dengan warna daging kuning dan tiga galur dengan warna daging merah. Masing-masing hibrida ditanam di dalam bedengan berukuran 16 x 6 m, dengan jumlah 30 tanaman per bedengan. Peubah yang diamati terdiri dari bobot buah, panjang buah, panjang tangkai buah, lingkar buah, tebal kulit buah, warna kulit buah, warna daging buah, warna biji dan total padatan terlarut (TSS). Seleksi hibrida didasarkan kepada karakter yang disukai petani seperti bobot buah berkisar antara 4-6 kg, warna daging merah atau kuning, rasa manis, dan tahan simpan.. Percobaan merupakan percobaan deskriptif. Data hasil pengamatan ditampilkan dalam bentuk rataan dan gambar. HASIL DAN PEMBAHASAN Hibrida hasil persilangan galur murni koleksi Balitbu Tropika berjumlah 19 hasil silangan. Nomor silangan yang memiliki bobot buah tertinggi adalah BT4 X BT4P dan BT5 x BT3 dengan rerata bobot per buah mencapai 7,7 kg, sedangkan bobot buah paling ringan dimiliki oleh BT4P x BT1, yaitu 2,3 kg (Tabel 1). Konsumen memiliki preferensi yang berbeda terhadap bobot buah semangka, petani lebih menyukai buah berukuran 4-5 kg karena akan menghasilkan produksi yang tinggi, sementara konsumen buah untuk konsumsi rumah tangga lebih menyukai buah berukuran kecil dengan bobot maksimal 3 kg per buah, karena satu buah langsung habis dikonsumsi satu keluarga tanpa harus disimpan jika bersisa. Galur semangka koleksi Balitbu Tropika dan hasil silangannya umumnya berbentuk bulat, sehingga memiliki panjang buah yang tidak terlalu panjang tetapi lingkar buahnya cukup besar. Panjang buah terpanjang terdapat pada hasil silangan BT4P x BT4 yaitu 22,7 cm dan panjang buah terpendek pada hasil silangan BT3 x BT6, yaitu 15 cm. Lingkar buah terlebar ditemukan pada hibrida hasil silangan BT4 x BT4P, yaitu 74,8 cm, dan lingkar buah terkecil ditemukan pada hibrida hasil silangan Bt3 X BT6, yaitu 50 cm.
218
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Karakter hibrida semangka Balitbu Tropika yang berhubungan dengan produksi. Aksesi
Bobot buah
Panjang Buah
Lingkar Buah
Tebal Kulit
Warna kulit
Warna daging
Warna biji
TSS
1
BT1 x BT3
4.5
20
62.5
1.2
HjMuda lorek
Merah
Hitam
9
2
BT1 x BT4
4.2
21
61.5
1
HjMuda lorek
Merah
Hitam
9.8
3
BT1xSGP
5.6
23
67.3
1.4
Hj Gelap Polos
Merah
hitam
11.2
4
BT3xBT1
5
21.4
66.3
1.2
Hj Gelap Polos
Merah
9.8
5
BT3 x BT5
5.1
22
66.5
1.1
Hj Gelap Polos
Merah
hitam Coklat tua
6
BT3 x BT6
1.9
15
50
1.2
Hijau Gelap
Merah
Hitam
10
7
BT4 x BT2
5.3
21.9
66.8
1
hjMuda Polos
Kuning
Coklat
10.3
8
BT4 x BT4P
7.7
26
74.8
1.2
HjGelap Polos
Kuning
Coklat
9
9
BT4 x BT6
3.1
19
56
0.9
Hj Gelap Polos
Coklat
8.2
10
BT4xBT4P
6.8
25
73
1
Hj Gelap Polos
hitam
11.2
11
BT4PxBT4
5.5
22.7
67.7
1.1
Hj Gelap Polos
Kuning Merah kuning Merah kuning
hitam
9
12
BT4P x BT1
2.3
17.5
51
1.1
hjMuda Polos
Kuning
Coklat
7.2
13
BT4P x BT5
2.7
17
54
1
hjMuda Polos
Kuning
8.2
14
BT5 x BT4
5.4
21.7
66.1
1.1
HjMuda lorek
Kuning
Coklat Coklat tua
15
BT5xBT1
4.9
21
66
0.8
Hj Gelap Polos
Merah
hitam
9.8
16
BT5 x BT3
7.7
25
74
0.8
HjMuda lorek
Kuning
Coklat
9.6
17
BT5xBT4
4.1
20
62
1.1
Hj Gelap Polos
Kuning
hitam
11.4
18
BT6xSGP
4.9
21.5
65
1.1
Hj Gelap Polos
Merah
hitam
11
19
SGP x BT6
4.4
20.8
64.8
1.4
Hj Gelap Polos
Merah
Hitam
10.2
9.5
9.1
Sumber : data primer (2016).
Tebal kulit buah paling tebal ditemukan pada hasil silangan BT1 x SGP, yaitu 1,4 cm. kulit buah paling tipis ditemukan pada hasil silangan BT5 x BT3 dan BT5 x BT1, yaitu 0,8 cm. tebal kulit biasanya berhubungan dengan umur simpan buah. Menurut Kuswandi et al. (2014) Buah yang berkulit tipis cenderung akan mempunyai umur simpan yang pendek. Walaupun demikian, kulit buah yang terlalu tebal juga tidak memenuhi persyaratan buah berkualitas baik karena memiliki edible portion rendah. Warna kulit semangka hibrida koleksi Balitbu Tropika ada tiga, yaitu hijau muda berlorek, hijau muda polos, dan hijau gelap polos. Menurut Park et al. (2016) penampilan kulit buah merupakan karakter penting pada pemuliaan semangka, karena karakter inilah yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Studi genetik biasanya membicarakan pewarisan warna kulit buah, pola garis pada kulit buah dan bentuk buah. Buah semangka dengan warna hijau muda berlorek merupakan buah semangka pada umumnya yang biasa ditemukan di pasaran. Semangka dengan warna kulit buah hijau tua polos biasanya identik dengan karakter berkulit tebal, tekstur kulit buah lentur, sehingga tahan pecah dan tahan simpan. Sedangkan warna kulit buah hijau muda polos diduga terbentuk akibat terjadinya penggabungan dua karakter resesif pada saat pembentukan warna kulit. Dalam sebuah hasil persilangan biasanya warna kulit buah hijau muda polos akan tertutupi oleh warna kulit buah hijau gelap polos dan hijau muda berlorek. Hasil silangan yang memiliki warna kulit buah hijau muda polos adalah BT4 x BT2. (Gambar 1).
219
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gambar 1. Keragaan warna kulit buah semangka koleksi Balitbu Tropika Seperti diketahui, warna daging buah semangka biasanya berwarna merah dan kuning. Warna daging buah merah kuning biasanya terjadi ketika tanaman betina dengan merah diserbuki bunga jantan dari tanaman yang warna daging buahnya kuning atau sebaliknya. Hasil silangan yang memiliki warna daging merah kuning adalah BT4 x B P dan BT4P x BT4 (Gambar 2).
Gambar 2. Keragaan warna daging buah semangka Balitbu Tropika TSS atau total padatan terlarut biasanya berhubungan dengan kemanisan, walaupun sebenarnya kemanisan pada buah juga dipengaruhi oleh total asam. Hasil silangan yang memiliki ratarata TSS paling tinggi adalah BT5 X BT4 yaitu 11,4 briks, sedangkan rata-rata TSS paling rendah terdapat pada BT4P x BT1, yaitu 7,2 briks. Berdasarkan hasil dialog dengan beberapa orang petani mitra di beberapa lokasi pengujian semangka Balitbu Tropika yang telah dilaksanakan sejak tahun 2009, disimpulkan bahwa buah semangka yang diminati petani dan konsumen kalangan menengah ke bawah biasanya memiliki bobot buah 4-5 kg, rasa manis (TSS ≥ 10 briks), dan berkulit agak tebal sehingga tidak mudah pecah selama pengangkutan (Tabel 2). Dari ketiga karakter unggul yang dijadikan sebagai kriteria seleksi, ternyata tidak satupun hibrida yang unggul pada ketiga kriteria tersebut. Tabel 2. Nomor silangan semangka yang memiliki keunggulan pada bobot buah, TSS, dan ketebalan kulit buah. No. 1. 2. 3.
Karakter Bobot buah sedang ( 4-5 kg) TSS (≥ 10 briks) Kulit buah agak tebal (1,1 1,3 cm)
Hibrida BT1 x BT3, BT1 x BT4, BT3xBT1, BT5xBT1, BT5xBT4, BT6xSGP, SGP x BT6 BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, BT4xBT4P BT1 x BT3, BT1 x BT4, BT1xSGP, BT3xBT1, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, BT4xBT4P, BT4PxBT4, BT4P x BT5, BT5 x BT4, BT5xBT1, BT5 x BT3, BT5xBT4, BT6xSGP, SGP x BT6
Sumber : data primer (2016).
220
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Hibrida yang memiliki keunggulan berupa rasa manis dan tahan simpan adalah BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, dan BT4xBT4P. Hibrida yang memiliki keunggulan pada bobot buah 4-5 kg dan rasa manis belum ditemukan. KESIMPULAN Semangka hibrida yang dihasilkan Balitbu Tropika berjumlah 19 nomor silangan. Hibrida tersebut memiliki keragaman dalam ukuran, warna kulit buah, warna daging buah, ketebalan kulit buah dan kemanisan. Belum ditemukan hibrida yang memiliki tiga karakter unggul, yaitu bobot buah sedang, TSS tinggi, dan kulit buah agak tebal. Hibrida yang memiliki keunggulan berupa rasa manis dan tahan simpan adalah BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, dan BT4xBT4P. DAFTAR PUSTAKA Bahari, M., Rafii, M.Y,Saleh, G.B and Latif. M.A. 2012. Combining ability analysis in complete diallel cross of watermelon (Citrullus lanatus (Thumb.)Matsum. & Nakai). The ScientificWorld Journal: 1-6. doi:10.1100/2012/543158. Gusmini, G and T.C.Wehner. 2005. Foundations of yield improvement in watermelon. Crop Sci. 45:141–146. Kumar,V, Shirol, A.M., Mulge, R, Thammaih, N. and Kumar, P. 2012. Genotype x environmental interaction in watermelon (Citrullus lanatus Thunb.) genotypes for yield and quality traits. Karnataka J. Agril. Sci., 25:248-252. Levi, A, Thies, JA,Wechter, WP, Harrison, HF,Simmons, AM, Reddy, UK, Nimmakayala, P, Fei, Z. 2012. High frequency oligonucleotides: targeting active gene (HFO-TAG) markers revealed wide genetic diversity among Citrullus spp. accessions useful for enhancing disease or pest resistance in watermelon cultivars. Genet Resour Crop Evol. 1-14. DOI 10.1007/s10722-012-9845-3. Kim, H, Han, D, Kang, J, Choi, Y, Levi, A, Lee, GP, Park, Y. 2015. Sequence characterized amplified polymorphism markers for selecting rind stripe pattern in watermelon (Citrullus lanatus L.). Hort. Environ. Biotechnol. 56(3):341-349. DOI 10.1007/s13580-015-0017-1 Kuswandi, Sobir, Suwarno, WB. 2014. Keragaman Genetik Plasma Nutfah Rambutan di Indonesia Berdasarkan Karakter Morfologi. J.Hort. 24(4) : 289-298. Longin, C.F.H., J. Muhleisen, H.P. Maurer, H. Zhang, M. Gowda, J.C. Reif. 2012. Hybrid breeding in autogamous cereals. Theor Appl Genet 125:1087–1096. Naz A., M.S.Butt, M.T.Sultan, M.M.N Qayyum, R.S Niaz. 2014. Watermelon lycopene and allied health claims. EXCLI Journal 13:650-666. Park, Y, Choi, S. 2012. Watermelon production and breeding in South Korea. Israel J. Plant Sci. 60:415-423. Park, SW, Kim, KT, Kang, SC, Yang, HB. 2016. Rapid and practical molecular marker development for rind traits in watermelon. Hortic. Environ. Biotechnol. 57(4):*-*. Korean Society for Horticultural Science and Springer 2016. DOI 10.1007/s13580-016-0005-0 Prabhakar, M, Hebbar, S.S. and Nair, A.K. 2013. Influence of various sources and levels of fertilizer applied through fertigation on hybrid watermelon grown in rabi-summer. J. Hortl. Sci. 8(1):60-64. Romdhane, M, Haddar, A, Ghazala, I, Jeddou, KB, Helbert, CB, Chaabouni, SE. 2017. Optimization of polysaccharides extraction from watermelon rinds: Structure, functional and biological activities. Food Chemistry 216: 355–364. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.08.056. Wakindiki IIC, Kirambia RK. 2011. Supplemental irrigation effects on yield of two watermelon (Citrulus lanatus) cultivars under semi-arid climate in Kenya. African Journal of Agricultural Research 6(21):4862-4870.
221
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
TINGKAT KEMATANGAN BUAH RAMBUTAN TERHADAP KUALITAS MANISAN KERING BUAH RAMBUTAN THE MATURITY INDEX OF RAMBUTAN FRUIT ON THE QUALITY OF RAMBUTAN DRIED CANDIED Nofiarli, Kuswandi, Andre Sparta, Mega Andini, Yulia Irawati dan Nini Marta Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jalan Raya Solok Aripan Km 8 Solok, Sumatera Barat Email :
[email protected] ABSTRAK Rambutan merupakan buah yang sangat populer di Asia. Di Asia terdapat lebih dari 200 jenis varietas rambutan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan varietas terbaik dan indeks kematangan terbaik buah rambutan sebagai bahan dasar manisan kering buah rambutan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2015 di Laboratorium Pasca Panen Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Data yang diperoleh di analisis secara anova, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey’s. Perlakuannya adalah Korong Gadang dengan indeks kematangan A (25% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Korong Gadang dengan indeks kematangan B (50% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Korong Gadang dengan Indeks kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Sitangkue dengan indeks kematangan A (25% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Sitangkue dengan indeks kematangan B (50% warna kulit dan rambut buah berwarna merah) dan Sitangkue dengan Indeks kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah). Pengamatan yang dilakukan adalah Rendemen manisan dan uji organoleptik terhadap rasa, aroma, warna dan penampilan. Pengamatan lain adalah kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar karbohidrat dan vitamin C. Perlakuan terbaik adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah). Pelakuan ini memiliki kadar vitamin C dan karbohidrat tertinggi yaitu 33,8 mg dan 84,73 %.. Perlakuan ini sangat cocok dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan manisan kering rambutan. Uji organoleptik memberikan hasil yang tidak berbeda nyata secara statistik. Kata kunci : Rambutan, varietas, manisan kering ABSTRACT Rambutan is a fruit which is very popular in Asia. In Asia, there are more than 200 kinds of rambutan varieties. The purpose of this research was to determine the best variety and appropriate rambutan maturity level as a basic raw material for rambutan fruit dried candied. This research was conducted in January to February 2015 in the Post Harvest Laboratory, ITFRI, Solok, West Sumatera, Indonesia. This research used completely randomized design with six treatments and three replications. The treatments were Korong Gadang with A maturity index (25% fruit rind and hair red color), Korong Gadang with B maturity index (50% fruit rind and hair color red), Korong Gadang with the C maturity index (75% fruit rind and hair red color), Sitangkue with A maturity index (25% fruit skin and hair red color), Sitangkue with B maturity index (50% fruit rind and hair red color) and Sitangkue with the C maturity index (75% fruit rind and hair red color). The observations made were candied yield and organoleptic test on aroma, color and appearance. Another observation was water content, ash content, fiber content, carbohydrate content, and vitamin C. The best treatment was Korong Gadang varieties with C harvest index. This treatment had higher of vitamin C content and carbohydrate of 33.8 mg and 84.73%. This treatment was very suitable as a basic raw material for making rambutan dried candied.The organoleptic test gave the result was not significant base on statistical analysis. Keyword : Rambutan, Dried Candied
222
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Rambutan (Nephelium lappaceum L.) di duga berasal dari Indonesia dan Malaysia. Rambutan di tanam hampir di semua wilayah di Asia Tenggara (Siebert 1991) dan sangat populer di Asia (Kondo, et al., 2001). Rambutan termasuk dalam family Sapindaceae, satu famili dengan buah subtropika leci dan longan (Marisa, 2006).Buah rambutan bisa di konsumsi dalam bentuk segar, buah kaleng, atau setengah jadi. Buah ini memiliki kesegaran rasa dan penampilan yang eksotik (Ong et al., 1998). Pada saat panen raya ketersediaan buah rambutan sangat banyak, sehingga harga buah rambutan bisa jatuh sangat drastis. Untuk itu, maka perlu usaha untuk meningkatkan nilai tambah rambutan (Sukasih dan Setiadjit, 2015). Disamping itu, rambutan merupakan buah yang memiliki masa simpan sangat pendek.Daya simpan yang pendek membuat buah rambutan sulit untuk didistribusikan dengan tujuan untuk penjualan jarak jauh (Hastuti et al., 2013). Menurut Srilaong et al., (2002) komersialisasi rambutan menjadi sangat terbatas karena kehilangan hasil selama penyimpanan dan sangat mudah mencoklat. Oleh karena itu, pengolahan buah rambutan menjadi berbagai produk olahan menjadi sangat perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah buah rambutan. Disamping itu, menurut Vega-Gálvez et al., (2015) dan Shahdadi et al., (2015) produk makanan sampingan (kering) berbahan dasar buah dapat meningkatkan gizi dan menjaga kesehatan. Pengeringan buah dapat meningkatkan daya simpan dan mencegah pertumbuhan mikro organisme (Horuz dan Maskan, 2015; Arinola, 2016; dan Fayose, 2016). Oleh karena itu, pengolahan buah rambutan menjadi manisan kering merupakan solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan buah rambutan. Buah rambutan memiliki kadar air yang tinggi dengan ketebalan daging yang bervariasi dari sangat tipis sampai tebal berdasarkan varietas. Hal ini terjadi karena rambutan memiliki keragaman jenis yang sangat tinggi. Menurut Sonwai (2012) terdapat lebih dari 200 jenis rambutan yang tersebar di seluruh kawasan tropik asia. Untuk itu, pemilihan varietas yang tepat untuk menjadi bahan baku pembuatan manisan kering menjadi sangat perlu. Kriteria yang diperlukan adalah buah dengan kadar air rendah dan daging tebal. Berdasarkan kriteria di atas, maka dipilih varietas Sitangkue dan Korong Gadang karena kedua varietas ini memiliki karakter kadar air rendah dan daging buah tebal. Rambutan adalah buah non klimaterik (Leong, 1982), dan tidak akan melanjutkan proses pematangan buah setelah diambil dari batang. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu untuk melakukan pemanenan pada kondisi kualitas optimal untuk di makan segar dengan penampakan visual buah yang baik (O’Hare, 1995). Rasa merupakan parameter utama dalam menentukan kualitas suatu produk makanan. Rasa manisan yang diinginkan oleh konsumen adalah rasa manis dengan rasa buah yang segar. Namun demikian, rasa manisan akan ditentukan oleh produk asal manisan itu sendiri. Maka pemilihan tingkat kematangan yang tepat sangat menentukan dalam mendapatkan kualitas manisan terbaik. Berdasarkan hal diatas maka tujuan penelitian ini adalah menentukan varietas terbaik dan tingkat kematangan yang tepatbuah rambutan sebagai bahan dasar manisan kering buah rambutan. BAHAN DAN METODA Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2015 di Laboratorium Pasca Panen Balai Penelitian Tanaman Tropika (Balitbu Tropika), Solok, Sumatera Barat. Varietas yang digunakan adalah rambutan varietas Sitangkue dan Korong Gadang. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuannya adalah Korong Gadang dengan tngkat kematangan A (25% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Korong Gadang dengan tingkat kematangan B (50% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Korong Gadang dengan Tingkat kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Sitangkue dengan Tingkat kematangan A (25% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Sitangkue dengan Tingkat kematangan B (50% warna kulit dan rambut buah berwarna merah) dan Sitangkue dengan Tingkat kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah). Jumlah sampel yang digunakan adalah 100 buah per perlakuan. Bahan dan alat yang digunakan adalah rambutan varietas Korong Gadang dan Sitangkue, alumunium foil, alat panen rambutan, kantong plastik, pisau, aneka wajan, oven, tanur, dan aneka alat tulis. Buah rambutan dipanen menurut tingkat kematangan tertentu sesuai perlakuan. Kulit buah di kupas dan di ambil isinya, kemudian di potong menjadi dua bagian. Selanjutnya biji dikeluarkan dan di ambil daging buahnya. Selanjutnya daging buah segar langsung dioven selama 24 jam pada suhu 70oC.
223
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pengamatan yang dilakukan adalah rendemen manisan. Rendemen dihitung dengan perbandingan antara berat kering akhir bahan dengan berat basah awal bahan. Uji berikutnya adalah uji organoleptik terhadap rasa, aroma, warna dan penampilan terhadap 25 orang panelis di Balitbu Tropika (panelis berumur antara 15 – 40 tahun) tergolong panelis smi terlatih. Uji organoleptik didasarkan pada penilaian spesifik secara skoring oleh panelis dengan kriteria sebagai berikut : 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (suka), 4 (sangat suka), dan 5 (sangat suka sekali). Pengamatan lain adalah kadar air dengan motode oven pada suhu 105oC selama 4 jam, kadar abu dengan metode tanur pada suhu 550oC selama 4 jam, kadar serat dengan metode gravimetri, kadar karbohidrat dengan metode spektrofotometri dan vitamin C dengan metode titrimetri. Data yang diperoleh di analisis secara anova, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey’s. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan software STAR 2.0.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada gambar 1 terlihat bahwa varietas Korong Gadang, memiliki rendemen manisan berbanding lurus terhadap tingkat kematangan. Semakin matang buah yang digunakan sebagai bahan dasar pembutan manisan, maka akan semakin tinggi rendemen manisan yang didapatkan. Rendemen tertinggi terdapat pada tingkat kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah) yaitu 20,73%. Sementara pada rambutan varietas Sitangkue, rendemen tidak di tentukan oleh tingkat kematangan buah. Rendemen tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A (25% warna kulit dan rambut buah berwarna merah)yaitu 24,90%. Dari grafik pada gambar 1.dapat terlihat bahwa varietas Sitangkue memiliki rendemen lebih besar dari pada varietas Korong Gadang.
%
Rendemen; Rendemen; SA; 24,89 Rendemen; Rendemen; Rendemen; KC; 20,73 KB; 19,39 SC; 19,09 KA SB; 18,87 Rendemen; KA; 15,18 KB KC SA SB SC
Gambar 1. Rendemen manisan kering rambutan
A B Gambar 2. Rambutan Sitangkue (A) dan Rambutan Korong Gadang (B) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengauh nyata terhadap rasa manisan rambutan (Tabel 1). Angka penerimaan panelis tertinggi diperoleh pada varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan B (3,28 (suka)), sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai panelis adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan A (2,88 (tidak suka)). Rasa manisan kedua varietas rambutan adalah memiliki rasa khas buah rambutan dengan dominasi rasa manis.
224
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Data uji organoleptik rasa, aroma, warna dan penampilan Perlakuan Rasa Aroma Korong Gadang dengan tingkat kematangan A 2,88 ns 2,44 ns Korong Gadang dengan tingkat kematangan B 3,28 2,36 Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 3,24 2,32 Sitangkue dengan tingkat kematangan A 3,08 2,36 Sitangkue dengan tingkat kematangan B 3,12 2,32 Sitangkue dengan tingkat kematangan C 3,04 2,6 Ns = Non siknifikan (tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%)
Warna 2,72 ns 2,8 2,64 2,84 2,52 2,68
Penampilan 2,48 ns 2,76 2,8 2,64 2,6 2,72
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter aroma (Tabel 1). Dari data terlihat bahwa perlakuan varietas Sitangkue dan tingkat kematangan C (2,6 (suka)) adalah perlakuan yang paling disukai, sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C dan perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B (2,32 (tidak suka)). Pada penentukan kualitas produk, aroma dan komponen volatil adalah karakter utama yang harus diperhatikan dan dievaluasi (Mujic et al, 2014). Aroma sebagian besar produk makanan terdiri dari gabungan ratusan senyawa (Plutowska dan Wardencki, 2007). Senyawa phenol adalah senyawa yang menentukan rasa dan aroma buah (Senglina, 2009). Sebagian besar senyawa volatil yang paling mudah menguap adalah golongan senyawa terpen, keton dan lakton (Singh dan Singh, 2012). Warna adalah parameter penting dalam uji organoleptik (Sukasih dan Setyadjit, 2015). Variabel warna sangat berhubungan dengan tipe dan kualitas pigmen dalam makanan (Ozkan, 2003). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap warna manisan kering rambutan (Tabel 1). Perlakuan yang paling disukai oleh panelis adalah perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan A (2,84 (suka)), sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai adalah perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B (2,52 (tidak suka)). Perubahan warna pada manisan rambutan terjadi karena adanya proses karamelisasi. Proses ini terjadi selama proses pengeringan. Menurut Shahdadi et al., (2015), selama proses pengeringan, oksidasi pigmen, enzim dan non enzim menyebabkan perubahan warna pada produk. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap penampilan manisan kering rambutan (Tabel 1).Perlakuan yang paling disukai oleh panelis adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C (2,8 (suka)), sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai oleh panelis adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan A (2,48 (tidak suka)). Kombinasi warna dan tekstur merupakan faktor utama yang menentukan penampilan produk makanan. Menurut Priyono et al., (2014), Suhu 80oc dan lama pengeringan diatas 12 jam akan menghasilkan manisan kering belimbing menjadi keras. Tabel 2. Data kadar air dan kadar abu Perlakuan Kadar Air (%) Korong Gadang dengan tingkat kematangan A 2,44 ns Korong Gadang dengan tingkat kematanga B 2,36 Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 2,32 Sitangkue dengan tingkat kematangan A 2,36 Sitangkue dengan tingkat kematangan B 2,32 Sitangkue dengan tingkat kematangan C 2,60 Ns = Non siknifikan (tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%)
Kadar Abu (%) 1,61 ns 1,51 1,32 1,87 1,84 1,64
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air manisan kering rambutan (Tabel 2). Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan C (2,60%) sedangkan kadar air terendah terdapat pada perlakuan varietas Korong gadang dengan tingkat kematangan C dan perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B (2,32%). Kandungan
225
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
kadar air akan berpengaruh terhadap warna suatu produk makanan. Menurut Ozkan (2003) menyatakan bahwa kandungan air berpengaruh pada refleksi warna pada manisan aprikot. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu manisan kering rambutan (Tabel 2). Kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B (1,84%), sedangkan perlakuan yang memiiki kadar abu terendah adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C (1,32%). Kadar abu akan menunjukkan kandungan mineral pada bahan. Menurut Olaoye and Onilude (2008), Widaningrum et al., (2008) mengatakan bahwa kadar abu mengindikasikan adanya kandungan mineral dalam makanan. Pada Rambutan, vitamin C adalah kandungan vitamin tertinggi dibanding dengan vitaminvitamin lainnya (Kimbal, 1999). Berdasarkan data pada gambar 2, dapat dilihat bahwa tingkat kematangan berbanding lurus dengan kadar vitamin C. Pada varietas Sitangkue, semakin matang buah yang digunakan, maka kadar vitamin C akan semakin menurun. Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A (25,45 mg), sedangkan tingkat kematangan C memiliki kandungan vitamin C terendah (16,45 mg). Berbanding terbalik dengan varietas Sitangkue, pada varietas Korong Gadang, semakin tinggi indeks kematangan, maka kadar vitamin C akan semakin tinggi. Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada tingkat kematangan C (33,8 mg) sedangkan kadar vitamin C terendah terdapat pada tingkat kematangan A (17,02 mg). Dari kedua varietas terlihat bahwa varietas Korong Gadang memiliki kadar vitamin C lebih tinggi dari pada varietas Sitangkue pada semua tingkat kematangan. Menurut Sukasih dan Setyadjit (2015), kisaran kandungan vitamin C daging buah segar rambutan adalah 56,68 mg/100 g. Ringeisen (2012) menambahkan bahwa kandungan vitamin C pada buah kering lebih rendah dari buah buah segar.
Vit C; KC; 33,8
Vit C; SA; 25,45 Vit C; KB; Vit C; KA; Vit C; SB;Vit C; SC; 17,09 17,02 16,99 16,95
S A
%
Gambar 2. Kandungan vitamin c manisan kering rambutan
%
Karbohidrat; Karbohidrat; KC; 84,73 Karbohidrat; KA; 82,38 SA; 81,22 Karbohidrat; Karbohidrat; SB; 77,42 Karbohidrat; SC; 75,9 KB; 73,73 SA
Gambar 3. Kandungan Karbohidrat Manisan Kering Rambutan Berdasarkan data pada gambar 3 terlihat bahwa pada varietas Sitangkue, kenaikan tingkat kematangan menyebabkan penurunan kandungan karbohidrat. Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A (81,22%) dan terendah pada tingkat kematangan C (75,9 %). Sedangkan pada varietas Korong Gadang terjadi perubahan kandungan karbohidrat yang fluktuatif.
226
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pada tingkat kematangan A kandungan karbohidratnya adalah 82,38 %. Pada tingkat kematangan B terjadi penuruan kandungan karbohidrat menjadi 73,73 % dan naik lagi pada tingkat kematangan C menjadi 84,73 %. Pada varietas Sitangkue, tingkat kematangan mempengaruhi kandungan serat. Semakin tinggi tingkat kematangan, maka akan semakin rendah kandungan serat. Kandungan serat tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A dan terendah pada tingkat kematangan C. Sedangkan pada varietas Korong Gadang terjadi fluktuasi kandungan serat. Kandungan serat tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A dan terendah pada tingkat kematangan B.
%
Kadar Kadar Serat; KA;KadarSerat; KC; 2,708Serat; KB;2,617 Kadar Kadar Serat; SB; Serat; SA; 2,557 2,498 2,5 Kadar Serat; SC; SA 2,39
SB
Gambar 4. Kandungan serat manisan kering rambutan KESIMPULAN Varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C (75 % warna kulit dan rambut buah berwarna merah) merupakan perlakuan yang paling disukai dan memiliki kadar vitamin C dan karbohidrat tertinggi yaitu 33,8 mg dan 84,73 %, serta sangat cocok dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan manisan kering rambutan. DAFTAR PUSTAKA Arinola, S. O. Ogunbusola, E. M. and Adebayo, S. F. 2016. Effect of Drying Methods on the Chemical, Pasting and Functional Properties of Unripe Plantain (Musa paradisiaca) Flour. British Journal of Applied Science & Technology 14(3) : 1-7. Fayose, F and Huan, Z. 2016. Heat Pump Drying of Fruits and Vegetables: Principles and Potentials for Sub-Saharan Africa. International Journal of Food Science. Volume 2016. Hastuti, S., Kurnianti, Y.D., and Fahry, M. 2013. Produksi Rambutan Kering Dengan Variasi Konsentrasi Larutan Kapur Dan Karakteristik Pengeringan. Jurnal Agrointek, Volume 7 No 1. Horuz, E. and Maskan, Medeni. 2015.Hot air and microwave drying of pomegranate (Punica granatum L.) arils. J Food Sci Technol. volume 52(1) : 285–293. Kimball, D.A. 1999. Citrus processing a complete guide second edition. Maryland : Aspen Publisher. Leong, PC., 1982. Summary report on mango and rambutan project in Singapore. In: Proceedings of the Workshop on Mango and Rambutan, 18-25 April 1982, University of the Philippines at Los Banos, College, Laguna, Philippines, pp. 30-33. Marisa. 2006. Ascorbic acid and mineral composition of longan (Dimocarpus longan), lychee (Litchi chinensis) and rambutan (Nephelium lappaceum) cultivars grown in Hawaii. Journal of Food Composition & Analysis, vol 19 (2006), pp. 655 – 663. Olaoye, O.A. dan A.A., Onilude. 2008. Microbiological, proximate analysis and sensory evaluation of baked products from blends of wheat-breadfruit flours. African Journal of Food Agriculture Nutrition and Development. Vol. 8(2) : 192-203. O’Hare, T.J. 1995. Postharvest physiology and storage of rambutan. Postharvest Biology and Technology 6 (1995) : 189-199.
227
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Ong, P.K.C, Acree,T.E dan E.H. Lavin. 1998. Characterization of volatiles in rambutan fruit (Nephelium lappaceum L.). Journal of Agricultural Food Chemistry, 46 (1998), pp. 611 – 615. Ozkan, M., Kirca, A. Egul, dan Cemeroglu B. 2003. Effect of moisture content on CIE color values in dried apricots. Eur Food Res Technol 216 : 217–219. Plutowska, B., dan Wardencki W. 2007. Aromagrams–aromatic profiles in the appreciation of food quality. Food Chem 101: 845–872. Priyono, Suci, R.P, Sukirman, JFX.S. 2014.Training Use Of Papaya (Carisa papaya L.) Dried Fruit Papaya Into Sweets (Case Study In The Village Bendotretek, Prambon District, District Sidoarjo). International Journal of Small Business and Entrepreneurship Research. Vol.2, No.3, pp.33-41. Ringeisen, H. Blake. 2012. Concentrated solar fruit drying of tomatoes. ProQuest LLC. 789 East Eisenhower Parkway. Seglina, D., Krasnova, I., Heidemane, G., and Ruisa, S. 2009. Influence Of Drying Technology On The Quality Of Dried Candied Chaenomeles Japonica During Storage. Agronomijas Vestis, pp 113 – 118. Shahdadi, F. Mirzaei, H. O. and Garmakhany, A. D. 2015. Study of phenolic compound and antioxidant activity of date. J Food Sci Technol 52 (3) : 1814–1819. Siebert, B. 1991. Nephelium lappaceum L., di dalam Verheij EWM & Coronel, RE (eds.), Sumberdaya nabati Asia Tenggara 2 (buah-buahan yang dapat dimakan), PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Prosea Indonesia dan European Commission, Jakarta. Singh, Zora and Singh, S. Pal. 2012. “Mango” in Crop Post-Harvest: Science and Technology Perishables. A John Wiley & Sons, Ltd., Publication. Chapter 6, P 108 – 142. Sonwai, S dan Ponprajhanuvud, Punnee. 2012. Characterization of physicochemical and thermal properties and crystallization behavior of krabok (Irvingia Malayana) and rambutan seed fat. Journal of Oleo Science. 61 (12) : 671 – 679. Srilaong, V., Kanlayanarat, dan S., Tatsumi, Y., 2002. Changes in commercial quality of ‘‘Rong rieng’’ rambutan in modified atmosphere packing. Food Sci. Technol. Res. 8, 337–341. Sukasih, Ermi dan Setyadjit. 2015. Development of new product : rambutan pulpy juice. Procedia Food Science 3 (2015) : 413 – 425. Vega-Gálvez, A. Zura-Bravo, Liliana, Lemus-Mondaca, R. Martinez-Monzó, J. Quispe-Fuentes, I. Puente, L and Karina, D.S. 2015. Influence of drying temperature on dietary fibre, rehydration properties, texture and microstructure of Cape gooseberry (Physalis peruviana L.). J Food Sci Technology 52 (4) : 2304–2311. Widaningrum, N. Setyawandan, dan D.A. Setyabudi. 2008. The effect of spicy and frying temperature on chemical properties of chikpea (Phaseolusradiatus). Postharvest Journal 5 (2) : 45-54.
228
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENGKAJIAN MUTU LADA HIJAU KERING SELAMA PENYIMPANAN IMPROVING QUALITY OF PEPPER GREEN DRY DURING STORAGE Jhon David1 dan Taufik Hidayat2 1
Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat 2 Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
[email protected]
ABSTRAK Lada hijau kering adalah merupakan diversifikasi produk lada, dan salah satu kriteria mutu lada hijau kering yang baik adalah warna hijau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan mutu lada hijau kering selama penyimpanan pada berbagai suhu dalam tiga jenis kemasan. Penelitian dilaksanakan di Desa Sahan dan Laboratorium tahun 2016, dengan bahan baku utamanya lada hijau. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua factorial, faktor pertama adalah jenis kemasan ( Ko= kemasan LDPE, K1= PP, k3= aluminium foil), faktor kedua adalah tingkatan suhu ( T0= 200C, T1 = 300C =suhu ruangan) dengan jumlah ulangan 6, dan dilakukan pengamatan selama 4 bulan. Parameter yang diamati yaitu karakteristik bahan seperti , warna, kadar air, kadar minyak atsiri, pH, dan uji organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma, dan penerimaan umum dengan metode scoring. Hasil penelitian menunjukkan jenis kemasan, suhu ruang, dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap mutu lada hijau kering. Jenis kemasan aluminium foil pada ruangan bersuhu 300C dapat mempertahankan warna hijau hingga 4 bulan, kadar air 5,32%, kadar minyak 2,12-2,45 dan pH 4-5. Kata kunci : lada hijau kering, mutu, penyimpanan, suhu, jenis kemasan ABSTRACT Dried green pepper is a pepper product diversification, and one of the quality criteria of dried green pepper is a good green color. This study aimed to determine changes in the quality of green pepper dry during storage at various temperatures in the three types of packaging. The research was conducted in the village of Sahan and Laboratories in 2016, the main raw material of green pepper. This study uses a completely randomized design with two factorial, the first factor is the type of packaging (Ko = packaging LDPE, K1 = PP, k3 = aluminum foil), the second factor is the degree of temperature (T0 = 200C, T1 = 300C = room temperature) with a number of Deuteronomy 5, and was observed for 4 months. The parameters observed were the characteristics of materials and packaging, color, moisture content, oil content, pH and organoleptic tests that include color, flavor, aroma, and the general acceptance of the scoring method. The results showed the type of packaging, the temperature of the room, and storage time influences the quality of dried green pepper. Types of aluminum packaging foil at room temperature of 300C can maintain the green color until 4 months, the water content of 5.32%, oil content from 2.12 to 2.45 and a pH of 4-5. Keywords: dried green pepper, quality, storage, temperature, type of packaging
229
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Diantara produk lada tersebut, lada hijau kering (dehydrated green pepper) merupakan salah satu produk olahan lada yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan produk lada hitam dan putih. Nilai lada hijau kering mencapai US$ 3.950/kg, sedangkan lada putih mencapai US$ 2.168/kg dan lada hitam mencapai US$ 1.1117/kg (Nair, 2006). Lada hijau merupakan salah satu produk lada yang diolah dengan cara mempertahankan warna hijaunya. Dikenal beberapa bentuk lada hijau tergantung proses pembuatannya, yaitu lada hijau dalam larutan garam yang dikalengkan atau dibotolkan (canned green pepper), lada hijau kering (dehydrated green pepper) dan lada hijau kering beku. Lada hijau dapat digunakan baik sebagai hiasan dalam makanan maupun sebagai rempah ( Nurdjanah N dan Hoerudin, 2008) Persyaratan buah lada untuk pembuatan lada hijau kering yaitu buah dalam kondisi segar, agak muda, warna hijau agak gelap, dan cukup keras (Pruthi, 1992). Varitas lada berpengaruh terhadap mutu produk akhir. Perlakuan pendahuluan sebelum pe-ngeringan bertujuan untuk mencegah reaksi pencoklatan (browning) agar lada yang dihasilkan tetap berwarna hijau. Pencoklatan yang terjadi selama pengolahan lada hijau merupakan proses enzimatis yang dikatalisasi oleh enzim polifenolase dengan adanya oksigen (Vergeshe, 1991). Pencoklatan enzimatis terjadi karena komponen fenolik terkonversi menjadi melanin coklat yang dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase (Weller et al., 1997). Menurut Mathew (1993), komponen utama senyawa fenolik pada lada yang responsif terhadap reaksi pencoklatan diidentifikasi sebagai 3,4-dihydroxy-6-(N-ethylamino) benza-mide. Lada hijau kering yang bermutu baik ditandai oleh warnanya yang hijau alami, bentuk relatif utuh, aroma dan rasa mendekati aslinya, bebas dari kontaminasi kotoran dan mikroorganisme. Kadar minyak dan piperin merupakan komponen kimia yang memberikan kontribusi terhadap rasa dan aroma lada hijau (Mathew, 1993). Oleh karena itu, tingginya kadar minyak dan piperin merefleksikan tingginya mutu lada hijau kering. Mutu lada hijau kering dipengaruhi oleh mutu bahan baku, perlakuan pendahuluan sebelum pengeringan, dan metoda pengeringan (Pruthi, 1992). Pada prinsipnya proses pengolahan lada hijau kering melalui beberapa tahap, yaitu pemisahan buah lada dari tangkainya, pencucian, blansir sebagai perlakuan pendahuluan, dan pengeringan. Minyak atsiri dan piperin merupakan senyawa kimia yang berkontribusi terhadap rasa dan aroma lada hijau kering. Oleh karena itu, tingginya kadar minyak atsiri dan piperin merefleksikan tingginya mutu lada hijau kering. Piperin merupakan senyawa utama yang memberikan rasa pedas khas lada. Senyawa tersebut merupakan alkaloid yang berbentuk trans-trans 1-piperolipiperidin. Minyak atsiri merupakan komponen volatil yang memberikan kontribusi terhadap aroma (flavor) lada hijau kering. Aroma lada hijau kering lebih baik daripada lada putih dan lada hitam karena kandungan monoterpena yang tinggi sehingga dapat menghasilkan kualitas aroma lada yang optimal. Kelompok monoterpen secara umum memberikan aroma top-pepperynote, sesquiterpena memberikan aroma pepper odor, sedangkan senyawa sesquiterpena beroksigen merupakan body dari aroma lada Lada hijau kering memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimilimencapaiki lada putih dan lada hitam, yaitu warnanya hijau alami menyerupai buah lada segar. Rendemen lada hijau kering yang dihasilkan pada umumnya berkisar antara 18-21%. Lada hijau kering akan terjaga aroma dan rasanya untuk jangka waktu yang lama bila disimpan pada suhu 20- 25oC serta terhindar dari cahaya dan kelembapan udara yang tinggi. METOLODOGI PENELITIAN Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah lada hijau segar yang diperoleh dari petani lada di desa Sahan, kecamatan Seluas Kab. Bengkayang.. Bahan lainnya adalah antara lain asam sitrat, asam malat dan asam tartrat sebagai zat anti pencok-latan dan toluen yang digunakan untuk pengukuran kadar air. Penelitian dilakukan pada 2016 di desa sahan dan Laboratorium. Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu (1) karak-terisasi lada hijau segar yang meliputi uji warna, kadar air, kadar minyak atsiri, pH dan bulk density; (2) peng-olahan lada hijau kering.Penelitian dirancang secara Acak Lengkap faktorial, dengan dua faktor, faktor pertama jenis kemasa yang terdiri dari 3 jenis yaitu jenis kemasan ( Ko= kemasan LDPE, K1= PP, k3= aluminium foil), faktor kedua adalah tingkatan suhu ( T0= 200C, T1 = 300C =suhu ruangan) dengan jumlah ulangan 5, dan dilakukan pengamatan selama 4 bulan
230
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi buah lada segar bertujuan untuk mengetahui mutu awal buah lada yang akan dikering-kan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi warna, kadar air, kadar minyak atsiri, bulk density dan pH, seperti yang tertera pada Tabel 1. Dari kajian yang dilakukan didperoleh bahwa warna buah lada segar 16,23 yang diukur dalam derajat, dan nilai pH adalah sebesar 5,68 sepeti yang ditunjukkan dalam tabel 1.
Tabel 1. Penampakan buah segar lada hijau Parameter Warna (a*) Kadar air (%) Kadar atsiri (%) Densitas kamba (g/l) pH
buah lada segar 16,23 75,28 3,72 610,85 5,68
Warna merupakan parameter penting yang harus diperhatikan dalam mutu lada hijau karena menentukan kesan awal penerimaan produk oleh konsumen. Pengukuran warna dilaku-kan menggunakan notasi Hunter dengan notasi a* menyatakan warna kromatik merah-hijau. Menurut Francis (1998), pada notasi Hunter nilai +a* (positif) berkisar antara 0 - (+100) menyatakan warna merah sedangkan –a* (negatif) berkisar dari 0 - (-80) menyatakan warna hijau. Semakin ne-gatif nilai a* menunjukan semakin tinggi intensitas kehijauannya. Nilai warna lada hijau hasil pengukuran dengan notasi Hunter terdapat di dalam kisaran warna hijau. Warna hijau ini disebabkan karena pengaruh klorofil yang terkandung di dalamnya. Nilai kadar air lada hijau segar diperoleh pada kisaran angka 75,28 persen (b/b). Kandungan kadar air yang tinggi dalam bahan dapat mengaktifkan enzim penyebab kerusakan bahan, salah satunya adalah reaksi pencoklatan akibat aktivitas fenolase (Eskin ,1990). Untuk mence-gah kerusakan bahan, perlu dilakukan pengurangan kadar air lada hingga maksimal 12 % (Nature’s, 2007). Kadar minyak atsiri lada hijau segar sebesar 3,72% . Minyak atsiri menimbulkan bau khas pada lada serta bersifat mudah menguap sehingga pada suhu ruang aromanya dapat dengan mudah ditangkap oleh indera penciuman. Densitas kamba (Bulk density) pada lada hijau segar sebesar 610,85 g/l. Densitas kamba merupakan nilai perbandingan bobot kamba suatu bahan dengan volume yang ditempatinya, termasuk ruang kosong yang ter-bentuk. Dapat diduga bahwa densitas kamba merupakan salah satu karak-teristik buah lada yang lebih ditentukan oleh sifat genetik/jenis buah lada, cara budidaya serta lingkungan tumbuhnya Besarnya nilai densitas kamba pada lada hijau segar dipengaruhi oleh tingginya jumlah air yang terkandung di dalamnya. Sedangkan nilai pH lada hijau segar sebesar 5,68. Besarnya nilai pH sangat erat kaitannya dengan aktivitas fenolase. Nilai pH menentukan besar-nya aktifitas enzim fenolase. Menurut Variyar et al. (1988) enzim fenolase aktif pada kisaran pH 3-8,5 dan optimal pada pH 7. Fenolase merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap reak-si pencoklatan pada lada serta buah-buahan dan sayursayuran lainnya. Nilai pH lada hijau segar yang akan di-pakai terdapat dalam kisaran pH aktif-nya fenolase sehingga amat memung-kinkan terjadinya reaksi pencoklatan (browning). Tabel 2. Pengaruh jenis kemasan terhadap mutu selama masa simpan Jenis kemasan
K0
K1
K2
Lama simpan (hari) 30 60 90 120 30 60 90 120 30 60 90 120
Uraian mutu Kadar air (%) 8,10 6,86 5,24 5,13 8,25 7,57 6,38 5,82 8,15 6,67 6,28 5,37
Atsiri (%) 3,69 3,48 2,95 2,45 3,75 3,27 2,86 2,72 3,21 3,00 2,59 2,37
231
pH
Warna
Rasa
Aroma
5,79 6,38 4,85 5,35 5,23 5,83 4,21 5,48 5,38 5.00 4,84 5,62
4 4 4 3 4 4 3 3 4 4 4 3
4 3,5 3,5 3 4 4 3 3 4 3 3 2
4 3 3 2,5 4 4 3 3 4 3,5 3,5 3
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Warna Selama penyimpanan terjadi perubahan warna pada lada hijau kering dari hijau cerah menjadi hijau kecoklatan.. Menurut Muchtadi (1989),pigmen-pigmen alam biasanya mengalami perubahan kimia sebagaimana terjadi pada pematangan buah-buahan. Degradasi warna dapat terjadi selama penyimpanan yang disebabkan oleh reaksi enzim polifenol oksidase atau fenolase, substrat fenol, tembaga, dan oksigen. Perubahan warna pada buah dan sayur, yang dikenal dengan istilah browning, merupakan suatu proses enzimatis. Enzim yang berperan pada browning tersebut adalah enzim polifenol oksidase. Enzim tersebut berperan pada perubahan warnayang terjadi pada buah dan sayur. Reaksi enzimatis tersebut menghasilkan warna cokelat pada buah dan sayur yang dikenal dengan sebutan browning (Anonymous, 2010). Enzim ini terdapat pada semua tanaman dengan konsentrasi yang berbeda. Salah satu cara untuk mengurangi reaksi browning adalah blanching, tetapi blanching bahan pada suhu 100ºC tidak dapat menginaktifkan semua enzim fenolase. Aktivitas enzim polifenolase mencapai optimum pada suhu 73-78°C (Bandyopadhyay et al.,1990). Degradasi warna lada hijau kering dapat pula disebabkan oleh pemanasan. Warna lada hijau kering dalam kemasan aluminium foil yang disimpan pada suhu 20ºC dapat bertahan dengan baik sampai hari ke-90, sedangkan pada suhu 40°C hanya bertahan sampai hari ke-60. Penyimpanan pada suhu rendah lebih baik dari pada suhu tinggi dalam mempertahankan warna karena laju reaksinya lebih kecil dibanding pada suhu tinggi. Menurut Muchtadi (1989), setiap kenaikan suhu 10ºC kecepatan reaksi enzimatik dan nonenzimatik rata-rata akan bertambah dua kali lipat. Semakin tinggi suhu semakin besar laju alir udara dan semakin lama waktu oksidasi mengakibatkan penurunan warna semakin besar (Budikarjono, 2007). Menurut KIM et al. (2003), penyimpanan pada suhu di atas 40°C akan mempercepat konversi klorofil menjadi feopitin. Tabel 2. Pengaruh suhu pengeringan terhadap mutu lada hijau kering Jenis kemasan
T0= 20 0C
T1=30 0C
Lama simpan (hari) 30 60 90 120 30 60 90 120
Uraian mutu Kadar air (%) 8,40 7,38 5,50 5,32 7,48 7,13 6,47 6,04
Atsiri (%) 3,48 3,00 2,74 2,24 3,52 3,21 2,83 2,31
pH
Warna
Rasa
Aroma
5,55 6,25 5,38 5,00 5,04 6,36 5,10 4,96
4 3 3 3 4 4 4 3
4 3,5 3,5 3 4 4 3,5 3
4 3 3 3 4 4 3,5 3,5
Kadar Air Kadar air lada hijau kering selama penyimpanan mengalami perubahan dalam semua kemasan. Lada yang disimpan pada suhu 20°C dan 30°C untuk semua jenis kemasan mengalami peningkatan kadar air. Menurut Syarief dan Halid (1993) dalam Wigati, D (2009), jika kelembapan ruangan lebih rendah daripada kadar air bahan maka sebagian air dalam bahan akan menguap. Perubahan kadar air disebabkan karena sifat bahannya yang higroskopis. Komoditas rempah-rempah beserta produknya bersifat higroskopis dan sensitif terhadap air yang dapat menyebabkan discoloration, ketengikan, pertumbuhan jamur, dan serangan serangga. Jika kelembapan lingkungan relatif tinggi, maka bahan akan menyerap sejumlah air dari lingkungan untuk menyesuaikan dengan kelembapan relatif. Hal ini menyebabkan nilai kadar air bahan mengalami peningkatan. Perubahan kadar air bahan juga dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan. Kemampuan permeabilitas tiap kemasan berbeda-beda dan akan berpengaruh terhadap laju transmisi uap air. Semakin rendah laju transmisi uap air suatu kemasan, semakin sedikit jumlah uap air yang mampu menembus kemasan. Laju transmisi uap air pada kemasan LDPE paling tinggi dibanding PP dan aluminium foil. Hal ini menyebabkan laju peningkatan kadar air pada kemasan tesebut paling tinggi, diikuti kemasan PP dan aluminium foil. Perubahan kadar air pada aluminium foil paling rendah karena nilai transmisi uap airnya juga paling rendah. Menurut Chuansin et al. (2006), kemasan aluminium foil memiliki sifat perlindungan terhadap air lebih baik dibanding polietilen. Kadar air lada hijau kering selama empat bulan penyimpanan adalah 11,78%. Standar maksimum kadar air lada hijau kering di pasaran adalah 12%, sedangkan menurut standar Esa (2007), maksimum 13%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kadar air lada hijau kering hasil penyimpanan memenuhi standar lada hijau di pasaran maupun standar Esa.
232
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Kadar Minyak Atsiri Dari penelitian memperlihatkan bahwa selama penyimpanan, kadar minyak atsiri lada hijau kering mengalami penurunan yang cukup nyata. Penurunan kadar minyak pada kemasan LDPE dan PP cukup besar dibandingkan aluminium foil. Hal ini dapat diketahui dengan terciumnya bau khas minyak lada yang cukup kuat keluar dari dalam kemasan, sedangkan dari aluminium foil tidak tercium bau. Penurunan kadar minyak atsiri selama penyimpanan dapat disebabkan oleh proses penguapan. Terjadinya penguapan air selama penyimpanan mengakibatkan kehilangan minyak atsiri yang disebabkan oleh proses oksidasi dan resinifikasi. Proses penguapan berpengaruh tidak terlalu signifikan dibanding dengan proses oksidasi dan resinifikasi. Menurut Mathew (1993), beberapa komponen minyak atsiri lada dapat rusak karena adanya pemanasan. Pada akhir penyimpanan, lada hijau kering yang dikemas dalam aluminium foil kemudian disimpan pada suhu 20ºC menghasilkan kadar minyak atsiri tertinggi yaitu 2,76,00%,dan terendah (2,15%) dari kemasan LDPE pada suhu penyimpanan 30°C. Menurut Esa (2007), kadar minyak atsiri lada hijau kering minimal 1%. Kadar minyak atsiri selama empat bulan penyimpanan masih berada di atas nilaiminimum kadar minyak atsiri menurut Esa (2007). Jenis kemasan yang paling baik untuk mempertahankan minyakatsiri lada hijau kering secara berurutan adalah aluminium foil, PP, dan LDPE. Penyimpanan pada suhu 20ºC dapat mempertahankan kadar minyak atsiri lada hijau kering. pH Selama penyimpanan kualitas lada hijau kering khususnya nilai pH mengalami perubahan nilai pH. Pada pH awal berada pada kisaran 5,11 dan setelah disimpan berubah menjadi 5,85-6,02. Perubahan pH sangat erat kaitannya dengan aktivitas enzim fenolase yaitu enzim yang bertanggung jawab terhadap reaksi pencokelatan enzimatis pada lada hijau kering. Menurut Variyar et al. (1998), aktivitas enzim fenolase pada lada hijau terjadi pada kisaran pH 3,0-8,5 dan optimum pada pH 7. Pada nilai pH mendekati 3, aktivitas enzim fenolase semakin rendah bahkan beberapa sudah inaktif. Penurunan pH mungkin disebabkan oleh meningkatnya asam-asam organik yang terbentuk akibat proses oksidasi terpene pada minyak atsiri. Nilai pH lada hijau kering yang dihasilkan berkisar antara 5,85-6,02, dan berada pada kisaran pH aktif enzim fenolase. Hal ini mendukung terjadinya reaksi pencokelatan enzimatis selama penyimpanan lada hijau kering. Uji Organoleptik Lada Hijau Kering Warna Warna adalah salah satu atribut penting dari lada hijau kering. Gould (1974) menambahkan bahwa warna merupakan faktor mutu yang sangat penting dalam menilai produk-produk makanan. Dari hasil penelitian terlihat bahwa sampai hari ke 90 semua sampel berada pada skor nilai 3-4. Nilai tersebut menunjukkan warna lada masih diterima oleh konsumen.. Naik atau turunnya nilai hijau selama penyimpanan dapat dipengaruhi oleh penilaian subjektif panelis terhadap sampel. Rata-rata skor yang diberikan oleh panelis adalah 3 (netral). Penurunan kesukaan disebabkan oleh pencokelatan warna lada hijau akibat proses browning enzimatis dan pengaruh pemanasan. Rasa Atribut rasa dari lada hijau kering juga merupakan hal penting karena dapat memberikan rasa pedas dan panas akibat senyawa piperin yang dikandungnya. Nilai rata-rata yang diberikan konsumen sampai pada hari ke 90 berkisar antara 3-4. Penurunan rasa pedas terjadi seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Akan tetapi penurunan nilai tersebut masih dapat diterima oleh panelis sampai akhir penyimpanan. Penurunan kesukaan terhadap rasa lada hijau kering sampai akhir penyimpanan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan karena panelis masih merasakan pedas sampai akhir pengujian. Berdasarkan hasil evaluasi sensori terhadap rasa, diketahui kandungan piperin pada sampel masih tinggi karena rasanya masih pedas Aroma Aroma yang berasal dari minyak atsiri merupakan ciri khas lada hijau kering. Penurunan aroma terjadi selama penyimpanan. Sebagian besar panelis masih memberi penilaian netral terhadap semua sampel. Penerimaan umum panelis terhadap lada hijau kering mengalami penurunan selama masa penyimpanan. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh warna, rasa, dan aroma yang dapat mempengaruhi penilaian terhadap penerimaan umum.
233
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KESIMPULAN Perlakuan dengan menggunakan jenis kemasan aluminum foil dan dikombinasikan dengan suhu penyimpanan pada kisaran 30 0C merupakan perlakuan yang terbaik untuk mempertahankan mutu lada hijau kering, dengan masa simpan 4 bulan ( 120) hari dengan kandungan air 5,32 % dan penerimaan akan konsumen yang relative baik. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2010. Enzymatic brpwning [online]. [www.food-info.net (Diakses Tgl. 25 april 2012) Bandyopadhyay, C., V.S. Narayan, and P.S. Variyar. 1990. Phenolic of green pepper berries (Piper nigrum). J. Agric. Food Chemi. 3: 1696-1699. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Dalam Herawati. H. 2008. J. Litbang Pertanian, 27(4): 124-130. Budhikarjono, K. 2007. Perbaikan kwalitas minyak sawit sebagai bahan baku sabun melalui proses pemucatan dengan oksidasi. J. Teknik Kimia. 1(2): 54-59. Chuansin S, Vearasip S, Srichuwong E Dan Pawelzik. selection of packaging materials for soybean seed storage. (online) available http;//www.tropentag.de/ 2006/abstract/full/229.pdf (Diakses Tgl. 6 april 2012). Djubaedah, E., djumarman, E. H. Lubis, dan T. Hendraswaty. 2004. Pengaruh konsentrasi garam, penambahan jenis asam terhadap mutu lada hijau dalam botol selama penyimpanan. J. Teknol dan Industri Pangan. 15(3): 188-198. [Esa] European Spice Association. 2007. Quality Minima Document. Business and Technical Meeting, 2 November 2007. 16 hlm. Francis, F.J. 1998. Food Colour. In Food Analysis. Suzzana, S. (ed). Aspen publisher Inc., Maryland, p.599-612. Gould, W.A. 1974. Tomato Production, Processing, and Quality Evaluation, Wesport, The AVI Publishing. Company. 445 P. Hidayat, T dan Risfaheri, 1994. Pengaruh kondisi blanching dan sulfitasi terhadap mutu lada hijau dehidrasi. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. 19 (3-4) : 43-48. Iyengar R.J.A. and Mc. Evily, 1992. Anti browning agents : Alternatives to the use of sulfite in foods ; Trends in food Technology.. Elsevier trends. Journal. United Kingdom. 3 ; 60-63 Kim, M., J. LEE, and E. CHOE. 2003. Pigment changes in fried dough containing spinach powder during Storage in the dark. J. of Food Science. 68(6): 1925. Muchtadi, T.R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 189 hlm. Mathew,A.G. 1993. Chemical constituent of pepper international pepper community. Bulletin 16(2): 18-22. Murdiati, W. 2010. Metode acellerated shelf life testing (aslt) di pt. tudung putra putri jaya. skripsi. Fateta. IPB. 94 hlm. Nurdjannah, N. 1996. Diversifikasi Produk Lada. Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor. hlm. 222-234 Nudjannah N dan Hoerudin, 2008. Pengaruh Perendaman Dalam Asam Organik Dan Metoda Pengeringan Terhadap Mutu Lada Hijau Kering. Buletin Litro. Vol XIX No 2. 2008 Hal. 181-196 Pruthi, J.S. 1992. Simple innovation in canning, botling, bulk preservation, and storage of green pepper (Piper nigrum L.) in brine. International Pepper News Bull. 16(1): 17-27. Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L. Green, and S.R.J. Robins. 1981. Spices. Longman. New York. Vol. 1: 59-65. Syarief, R., S. Santausa, dan S.T. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 189 hlm. Variyar, P.S., B. Pendhakar, A. Banerjee, and I. Bandyaopadhyay. 1988. Blackening in green pepper berries. Phytochemistry. 27(3): 715-717.
234
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KAJIAN PEMASARAN JAGUNG MANIS DI DESA SAREEKECAMATAN SEULAWAH KABUPATEN ACEH BESAR THE STUDY OF MARKETING SWEET CORN IN SAREE VILLAGE SEULAWAH SUBDISTRICT ACEH BESAR DISTRICT Emlan Fauzi1 dan M.Ferizal2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Jalan Irian KM 6,5 Bengkulu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, Jalan Pnyak Makam, Lampineung, Aceh e-mail :
[email protected]
2
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui bentuk saluran dan seberapa besar marjin pemasaran jagung manis di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar. Penelitian dilakukan pada bulan September sampai dengan Nopember 2011. Metode penentuan responden dilakukan dengan carasnowball sampling. Dimana penentuan responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani jagung manis. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 25 orang. Analisa data dilakukan dengan pendekatan analisa marjin pemasaran dan harga yang diterima petani dibagi dengan harga yang dibayar konsumen akhir (farmers share). Dari hasil penelitian terdapat dua saluran pemasaran. Saluran pemasaran I adalah saluran pemasaran tingkat kabupaten dengan persentase penjualan sebesar 16,7%. Pada saluran ini pedagang pengecer membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp. 2.800,-/Kg. Pedagang pengecer saluran I menjual jagung manis di pasar Saree. Harga jual jagung manis sebesar Rp.3.800,-/Kg.Saluran pemasaran II adalah saluran pemasaran tingkat ibukota propinsi dengan persentase penjualan 33,3 %. Pada saluran ini pedagang grossir membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.2.800,/Kg. Kemudian pedagang grossir menjual jagung manis ke pedagang pengecer yang berada di pasar Ule Kareng dan Peunayong Banda Aceh dengan harga Rp.4.500,-/Kg.Margin pemasaran jagung manis di daerah penelitian dari petani sebagai produsen sampai kepada konsumen pada saluran I sebesar Rp.1.300,-/kg dan pada saluran II sebesar Rp.3.687,5,-/kg. Kata Kunci : Margin, Pemasaran, Jagung Manis ABSTRACT This study aimed to determine the shape of the level marketing and how big the marketing margin sweet corn in Saree village Seulawah Subdistrict of Aceh Besar district. The study was conducted in September to November 2011. The method of determining the respondent is done by snowball sampling. Where the determination of the respondents based on information obtained from sweet corn growers. The number of respondents in this study was 25 people. Data analysis using analytical approach to marketing margin and the price received by farmers divided by the price paid by consumers end (farmers share). The results showed that there are two level of marketing. The first level marketing is district level with a percentage of sales 16.7%. The retailer at this level buys sweet corn directly from retailers at a price Rp.2.800,-/Kg. Theseretailers selling sweet corn at the market Saree. The sale price of sweet corn is Rp.3.800,-/Kg. The second level is the provincial capital level marketing with a percentage of sales 33.3%. In this level marketing, the grosser traders buy sweet corn from dealers gatherers at a price Rp.2.800,-/Kg. Grossir trader then sells sweet corn to retailers in the Ule Kareng and Peunayong Banda Aceh market at a price Rp.4.500,-/Kg. Analysis data showed marketing margin at level marketing I (district level marketing) is Rp.1.300/kg and marketing margin at level marketing II (provincial capital level market) is Rp.3.687,5/Kg. Keywords: Margin, Marketing, Sweet Corn
235
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara agraris yang dikarunia kekayaan alam hayati tropika, tanah yang subur dan air yang cukup sepanjang tahun. Letak dan struktur geologis territorial yang dikelilingi oleh pegunungan memberikan keuntungan tersendiri yaitu tanah yang sangat cocok digunakan untuk kegiatan pertanian. Sektor pertanian merupakan roda penggerak perekonomian yang memegang peranan sangat penting (Winaryono, 2004). Hortikultura sebagai sub sektor pertanian meliputi sayuran, tanaman hias dan buah-buahan, banyak diusahakan oleh petani terutama di pedesaan. Sektor ini perlu mendapat dukungan dan perhatian yang serius, terutama dalam meningkatkan produksi lewat budidaya yang lebih baik. Alasannya, sektor ini berperan dalam hasil pertanian hortikultura, misalnya sayur-sayuran, sebagai bahan makan oleh masyarakat, juga merupakan sumber pendapatan bagi petani dan iklim Indonesia sangat cocok untuk pengembangan sayuran. Tanaman jagung manis atau sweet corn merupakan jenis jagung yang belum lama dikenal dan baru dikembangkan di Indonesia. Sweet corn semakin popular dan banyak dikonsumsi karena memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan jagung biasa. Selain itu umur produksinya lebih singkat (genjah) yaitu 70 – 80 hari sehingga sangat menguntungkan (Marvelia, dkk, 2006). Besar kecilnya produksi yang dihasilkan petani dipengaruhi oleh kemampuan keterampilan dan pengetahun petani, serta juga kemampuan petani dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki. Apabila petani ingin mendapatkan keuntungan yang maksimal dalam usahanya haruslah memperhatikan faktor-faktor produksi yang ada. Faktor produksi dalam suatu kegiatan usahatani sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi dan tingkat pendapatan yang akan diterima oleh petani. Dengan pengalokasian penggunaan faktor-faktor produksi yang efektif dan efisien akan dapat menghasilkan produksi yang optimal, dengan produksi yang optimal maka pendapatan yang dihasilkan dari usahatani akan meningkat. Usahatani yang efisien apabila memiliki produktivitas tinggi. Sedangkan produktivitas adalah gabungan dari efesiensi fisik dengan kapasitas lahan. Efisiensi fisik adalah banyaknya produksi yang dihasilkan dari satu kesatuan input. Sedangkan kapasitas lahan adalah kemampuan lahan untuk menyerap tenaga kerja dan modal sehingga memberikan hasil yang sebesar-besarnya pada tingkat teknologi tertentu (Mubyarto, 1995). Untuk mencapai tujuan peningkatan produksi yang maksimal maka harus diupayakan secara maksimal serta efisiensi yang tinggi dari penggunaan faktor-faktor usahatani jagung manis. Faktorfaktor yang mempengaruhi produksi jagung manis meliputi luas lahan, jumlah benih, tenaga kerja, jumlah pupuk dan jumlah pestisida. Melalui peningkatan produksi diharapkan pendapatan petani meningkat. Kegiatan pemasaran berpengaruh terhadap pendapatan petani, karena terkait dengan tingkat harga yang diterima petani. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem pemasaran yang baik dalam kegiatan usahatani jagung manis. Dengan sistem pemasaran yang baik, ada kerja sama yang saling mengguntungkan antara petani produsen dengan lembaga pemasaran, dimana harga yang diterima petani tidak terlalu rendah sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas petani (Sarasutha, 2002). Selain itu dalam pemasaran komoditi pertanian sering dijumpai saluran pemasaran yang terlalu panjang, sehingga akan cenderung mengakibatkan marjin pemasaran yang terlalu tinggi dan pada akhirnya menyebabkan bagian yang diterima petani sangat kecil. Selain itu dalam pemasaran komoditi pertanian sering dijumpai saluran pemasaran yang terlalu panjang, sehingga akan cenderung mengakibatkan marjin pemasaran yang terlalu tinggi dan pada akhirnya menyebabkan bagian yang diterima petani sangat kecil.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk saluran dan seberapa besar marjin pemasaran jagung manis di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar.
236
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODOLOGI Metode Penentuan Lokasi Lokasi penelitian ini bertempat di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa Desa Saree merupakan salah satu daerah produksi tanaman jagung manis. Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan Nopember 2011. Metode Pengambilan Sampel Metode penentuan responden dilakukan dengan carasnowball sampling. Dimana penentuan responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani jagung manis. Dari produsen diperoleh informasi tentang jumlah pedagang pengumpul atau pedagang pengecer yang membeli jagung manis. Kemudian dari pedagang pengumpul diperoleh informasi tentang pedagang pengecer yang membeli produk mereka, sehingga sampai ke konsumen. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 25 orang yang terdiri dari petani jagung, pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada responden yang menjadi objek penelitian melalui pengisian daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait serta studi pustaka atau literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu observasi, wawancara, dan studi pustaka. Observasi yaitu merupakan pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung ke objek penelitian, wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya-jawab atau wawancara langsung kepada responden untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dengan alat bantu berupa kuisioner, sedangkan studi pustaka yaitu metode pengumpulan data yang bersumber dari buku-buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Metode Analisis Data Untuk menganalisis besarnya margin pemasaran jagung manis dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Limbong dan Sitorus. 1987) : Mji = Psi – Pbi i = Mji – bti Sehingga total margin pemasaran adalah : Mji = ∑𝑖=𝑛 𝑖=1 𝑀𝑗𝑖 Dimana : Mji : Margin pemasaran pada lembaga pemasaran ke-i (Rp/Kg) Psi : Harga jual lembaga pemasaran ke-i (Rp/Kg) Pbi : Harga beli lembaga pemasaran ke-i (Rp/Kg) i : Keuntungan Harga beli lembaga pemasaran ke-i (Rp) bti : Biaya pemasaran lembaga pemasaran ke-i (Rp) i : 1, 2, 3, ……..n Untuk menganalisis perbandingan harga yang diterima oleh petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir atau yang disebut farmers share dapat dicari dengan rumus berikut : FS =
𝑃 ×100 % 𝐾
Dimana : FS : Farmers share P : Harga yang diterima petani (Rp/Kg) K : Harga yang dibayar konsumen akhir (Rp/Kg) Untuk menganalisis share keuntungan lembaga pemasaran dapat dicari dengan rumus berikut : FS Keuntungan =
𝐾𝑒𝑢𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑚𝑏𝑎𝑔𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑠𝑎𝑟𝑎𝑛 ×100 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑗𝑢𝑎𝑙
237
%
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Saluran Pemasaran Jagung Manis Produk jagung manis sampai kepada konsumen akan melewati saluran pemasaran. Saluran pemasaran akan melibatkan beberapa lembaga pemasaran. Saluran pemasaran adalah saluran yang digunakan produsen untuk menyalurkan produknya sampai kepada konsumen. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, saluran pemasaran jagung manis terdapat tiga bentuk saluran pemasaran, yaitu 1. Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer Konsumen 2. Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Grossir PedagangPengecer konsumen 3. Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Luar Aceh Adapun lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran jagung manis dimulai dari produsen sampai ke konsumen. Saluran pemasaran jagung manis pada penelitian ini dimulai dari petani sebagai produsen sampai ke pedagang pengecer di Aceh. Petani menjual hasil produksi jagung manis ke pedagang pengumpul desa yang menjadi langganannya. Pedagang pengumpul desa yang menjadi langganan ada dua orang pedagang pengumpul desa. Dari hasil penelitian terdapat dua saluran pemasaran. Saluran pemasaran I adalah saluran pemasaran tingkat kabupaten dengan persentase penjualan sebesar 16,7 %. Pada saluran ini pedagang pengecer membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.2800,-/Kg. Pedagang pengecer saluran I menjual jagung manis di pasar Saree. Harga jual jagung manis yang dijualnya seharga Rp.3800,-/Kg. Saluran pemasaran II adalah saluran pemasaran tingkat ibukota propinsi dengan persentase penjualan 33,3 %. Pada saluran ini pedagang grossir membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.2800,-/Kg.. Kemudian pedagang grossir menjual jagung manis ke pedagang pengecer yang berada di pasar Ule Kareng dan Peunayong di Banda Aceh dengan harga Rp. 4.500,-/Kg. Pedagang pengecer membeli dalam jumlah yang sedikit, hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko kerugian penjualan. Harga jual jagung manis sampai di Banda Aceh adalah berkisar seharga Rp. 6.000-6.500/Kg. Pedagang pengecer berhubungan langsung dengan konsumen sehingga kebutuhan konsumen dapat diketahui oleh pedagang pengecer tentang kualitas, kuantitas, harga dan daya beli konsumen. Analisis Margin Pemasaran Jagung Manis Margin pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran jagung manis yang terjadi di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Tabel 1. Margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran I No 1
Uraian Share (%) Petani 65,789* Harga jual 2 Pedagang Pengumpul Desa 7,694** Harga beli Harga jual Biaya pemasaran Keuntungan pemasaran Margin pemasaran 3 Pedagang Pengecer 10.258** Harga beli Harga jual Biaya pemasaran Keuntungan pemasaran Margin pemasaran Total biaya pemasaran Total keuntungan Total Margin pemasaran Sumber : Data primer diolah, 2011 Keterangan : tanda * : Share harga yang diterima petani ** : Share keuntungan lembaga pemasaran
238
Jumlah (Rp/Kg) 2500 2500 2800 84,581 215,419 300 2800 3800 610,186 389,814 1000 694,767 605,233 1300
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa share harga yang diterima petani sebesar 65,789 %. Petani lebih menikmati harga karena 65,789 % dikuasai oleh petani, sedangkan 34,211 % tersebar ke lembaga pemasaran yang lain. Sementara total margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran I sebesar Rp. 1.300,-/kg yang terdiri dari total biaya pemasaran Rp. 694,186,-/kg dan tingkat keuntungan sebesar Rp. 605,233,-/kg. Margin yang terbesar diterima oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp. 1000,-/kg. Hal ini terjadi karena biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer lebih besar dari pada pedagang pengumpul desa dan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan jagung manis pedagang pengecer juga menjual dengan harga jual yang lebih tinggi dari pada pedagang pengumpul desa. Tingginya harga jual jagung manis yang ditetapkan pedagang pengecer pada saluran I ini karena penjualan jagung manis dilakukan di pasar kabupaten. Sedangkan keuntungan yang terbesar terjadi pada pedagang pengecer dengan share keuntungan 10.258 %. Pedagang pengecer lebih banyak mendapatkan keuntungan daripada pedagang pengumpul desa. Share keuntungan pedagang pengecer lebih besar yaitu 10,258 % dibandingkan dengan pedagang pengumpul desa yang hanya sebesar 7,694 %. Besarnya margin pemasaran pada saluran pemasaran II jagung manis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran II No 1
Uraian Petani Harga jual 2 Pedagang Pengumpul Desa Harga beli Harga jual Biaya pemasaran Keuntungan pemasaran Margin pemasaran 3 Pedagang grosser Harga beli Harga jual Biaya pemasaran Keuntungan pemasaran Margin pemasaran 4 Pedagang Pengecer Harga beli Harga jual Biaya pemasaran Keuntungan pemasaran Margin pemasaran Total biaya pemasaran Total keuntungan Total Margin pemasaran Sumber : Data primer diolah, 2011 Keterangan : tanda * : Share harga yang diterima petani
Share (%) 40,40*
Jumlah (Rp/Kg) 2500
7,694** 2500 2800 84,581 215,419 300 10,329** 2800 4500 1235,212 464,788 1700 15,178** 4500 6187,5 749,407 938,093 1687,5 1984,619 1402,881 3687,5
** : Share keuntungan lembaga pemasaran Berdasarkan tabel 2 dapat dilhat bahwa share harga yang diterima petani sebesar 40,40 %. Petani hanya menguasai 40,40 % dari harga jual jagung manis. Sedangkan 59,60 % lagi tersebar ke lembaga pemasaran lain yaitu pedagang pengumpul desa, pedagang grossir, dan pedagang pengecer. Perbedaan harga jual jagung manis dari pedagang pengumpul desa ke pedagang grossir, Rp.2.800,-/kg dan pedagang grossir ke pedagang pengecer Rp.4.500,-/kg. Pedagang pengecer menjual jagung manis kepada konsumen sebesar Rp.6.000,-/kg. Perbedaan harga jual dari masing-masing lembaga pemasaran menyebabkan perbedaan margin pemasaran serta keuntungan yang diperoleh masingmasing lembaga pemasaran. Pedagang pengecer memiliki keuntungan yang lebih banyak dibandingkan lembaga pemasaran yang lain. Share keuntungan yang didapatkan oleh pedagang pengecer paling besar yaitu sebesar 15,178 %.
239
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Total margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran II sebesar Rp.3.687,5,-/kg yang terdiri dari total biaya pemasaran Rp.1.984,619,-/kg dan total keuntungan sebesar Rp.1.402,881,/kg. Margin pemasaran dan biaya pemasaran yang terbesar diterima oleh pedagang grossir yaitu sebesar Rp.1.700,-/kg dan Rp.1.235,212,-/kg. Hal ini dikarenakan harga jual yang lebih tinggi. Besarnya harga jual yang ditetapkan oleh pedagang grossir terjadi karena pedagang grossir membeli langsung ke pedagang pengumpul desa dengan jarak tempuh yang cukup jauh, sehingga biaya pembelian juga besar. Dalam hal ini biaya pembelian adalah biaya transportasi untuk mengangkut jagung manis. Tingkat keuntungan yang diperoleh oleh pedagang dari pemasaran jagung manis adalah sebesar 89,72 %. Dimana, diperoleh dari total pendapatan pedagang jagung manis yaitu sebesar Rp.1.316.829,-/kg dibagi dengan total penerimaan pedagang jagung manis yaitu sebesar 1.467.707,/kg. Berdasarkan tabel 1 dan 2 dapat dijelaskan bahwa dari kedua saluran pemasaran share harga yang terbesar diterima petani adalah 65,789 % yang terjadi pada saluran pemasaran I. Hal ini terjadi karena lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran I lebih sedikit. Selain itu dari kedua saluran pemasaran yang terjadi total margin pemasaran, total biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran yang terbesar adalah terjadi pada saluran pemasaran II yaitu masing-masing sebesar Rp. 3.687,5,-/kg, Rp.1.984,619,-/kg dan Rp.1.402,881,-/kg . Besarnya total margin pemasaran, total biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran terjadi karena harga jual ke konsumen pada saluran pemasaran II lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual pada saluran pemasaran I. Dari kedua saluran pemasaran yang terjadi dapat diketahui bahwa saluran pemasaran yang panjang maka akan menyebabkan besarnya margin yang akan diperoleh. Hal ini sejalan dengan pendapat Azzaino (1983) yang menyatakan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam suatu penyaluran barang, maka akan semakin besar perbedaan harga yang harus dibayar konsumen, yang menyebabkan tingginya margin pemasaran. KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat tiga bentuk saluran pemasaran jagung manis yang terdapat daerah penelitian, yaitu : ➢ Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer Konsumen ➢ Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Grossir Pedagang Pengecer Konsumen ➢ Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Luar Aceh
2. Dari kedua saluran pemasaran, share harga yang terbesar diterima petani adalah 65,789 % yang terjadi pada saluran pemasaran I. Saran Petani hendaknya menjual hasil produksi jagung manis melalui saluran pemasaran kedua. Pada saluran pemasaran kedua ini harga jual ke konsumen lebih tinggi sehingga margin pemasaran yang diperoleh juga lebih tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada Ir. T.Iskandar, MSi selaku Kepala BPTP Aceh, M.Ismail, SP selaku anggota tim yang telah banyak membatu dalam penelitian ini.
240
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Budidaya Jagung Manis. http://www.agrobisnis.com. (Diakses 13 Maret 2010). Anonim. 2009. Agribisnis Jagung.www.matanews.com. Diakses 13 Maret 2012) Azzaino. 1983. Pengantar Tata Niaga Pertanian. IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008, Aceh Dalam Angka 2007. Kerjasama Badan Pusat Statistik NAD dan Bapeda NAD, hal 197 – 207. Darwis. V. 2009. Analisis Usahatani, Pemasaran, dan Penetapan Harga Minimum Regional Tembakau Rakyat (Studi Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Limbong dan Sitorus. 1987. Pengantar Tata Niaga Pertanian. IPB. Bogor. Marvelia, Awalita, Sri Darmanti dan Sarjana Parman. 2006. Produksi Jagung Manis (Zea Mays L. Saccharata) yang Diperlakukan Dengan Kompos Kascing Dengan Dosis Yang Berbeda. Jurnal Anatomi dan Fisiologi. 14 (2): 7-18. Oktober 2006. Semarang Mubyarto. 1995.Pengantar Ekonomi Pertanian, Cetakan keempat. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta. Nazir. Muhammad. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Sarasutha, IG. 2002. Kinerja Usahatani dan Pemasaran Jagung di Sentra Produksi. Jurnal Litbang Pertanian. 21 (2): 39-47. 2002. Makassar Swastha. B. 1992. Saluran Pemasaran, Konsep dan Strategi, Analisa Kuantitatif.BPFE, Yogyakarta.
241
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
EFEKTIFITAS DAN NILAI EKONOMI BEBERAPA TIPE ALAT PENGERING DALAM MENINGKATKAN MUTU BIJI KAKAO DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI SULAWESI TENGGARA
EFFECTIVENESS AND THE ECONOMICS VALUE OF SOME TYPE OF DRYER EQUIPMENT IN IMPROVING THE QUALITY OF COCOA BEANS IN KONAWE REGENCY SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE Yuliani Zainuddin1, Yudi Irawan1, Sudarmansyah2 Baharuddin1 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Prof Muh. Yamin No. 89 Kendari E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Upaya peningkatan mutu produksi kakao dapat dilakukan menggunakan alat pengering biji kakao. Perlakuan melalui penggunaan alat pengering diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan mutu kakao. Tujuan kajian untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi penggunaan alat pengering terhadap mutu, respon petani dan nilai ekonomi beberapa tipe pengering biji kakao. Kajian ini dilaksanakan bulan Januari-Desembertahun 2015 di DesaAndomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe melibatkan sebanyak 16 responden yang merupakan anggota kelompok Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) kakao Sejahtera. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok. 5 ulangan, data dianalisis secara statistik dengan Anova dan dilanjutkan dengan uji DMRT α = 0.05, analisis respon petani dengan pendekatan analisis prilaku petani serta analisis usahatani B/C ratio. Hasil kajian menunjukkan penanganan pasca panen kakao menggunakan oven Tipe BPTP II Sultra, lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan alat pengering lainnya.Respon petani tertinggi adalah pada penggunaan alat pengering para-para, oven Tipe BPTP II Sultra, solar cell, dibanding dengan type system blower. Kelebihan penggunaan alat pengering oven Tipe BPTP II Sultra, prodak akhir biji kakao yang dihasilkan dapat memunculkan khas aroma dan cita rasa khas cokelat juga menekan rasa pahit dan sepat yang ada dalam biji kakao. Pendapatan petani tertinggi diperoleh pada alat pengering para-para dengan bantuan sinar matahari, oven BPTP-II Sultra, dan sistem blower yang diintroduksi menguntungkan dan layak diusahakan dengan B/C ratio masing-masing 3,67 dan 3,16 dan 2,96 sedangkan terendah pada alat pengering solar cell Kata Kunci : theobroma cacao, alat pengering, mutu biji, analisis usahatani. ABSTRACT To improve the quality of cocoa production can be done using dryer cocoa beans. The treatment through the use of the dryer is expected to improve productivity and quality of cocoa. The studies objective were to determine the effectiveness and efficiency of using dryers on the quality, the response of farmers and the economic value of some types of cocoa beans dryers. This study was conducted in January-December 2015 in the Andomesinggo village, Besulutu sub-district and Konawe district involving as many as 16 respondents who are members of the Institute for Public Economics (LEM) cocoa Sejahtera. The study was conducted using a randomized block design. 5 replicates, the data were statistically analyzed by ANOVA followed by DMRT α = 0.05 farmer response analysis with behavioral analysis approach farmers and farm analysis B / C ratio. Results of the study showed postharvest handling of cocoa using oven Type of BPTP II southeast sulawesi more efficiently and effectively than with others dryers. The highest response of farmers is the dryer rack, oven type of BPTP II southeast sulawesi, Solar cells, compared with a blower type system. Advantages of using dryers oven type of BPTP II southeast sulawesi, The last product of cocoa beans produced can bring a distinctive aroma and distinctive taste of chocolate also suppress bitter and astringent flavors that exist in cocoa beans. The highest Farmers' income earned on the dryer rack with sunlight, oven type of BPTP II southeast sulawesi and blower system is being introduced profitable and viable with B/C ratio respectively 3.67 and 3.16 and 2,96 while the lowest was in the dryer solar cell. Keywords : theobroma cacao, dryers, seeds quality, farm analysis
242
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Produksi kakao Indonesia mencapai 1.315.800ton per tahun atau setara dengan 15% dari totalproduksi kakao dunia. Indonesia menempati posisi ketiga penghasil kakao dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan luas areal 1.462.000 ha dan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir areal perkebunannya meningkat pesat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8% per tahun (Karmawati et al., 2010). Kakao Indonesia mampu menyumbangkan devisa bagi negara sebesar US$ 668 juta per tahun atau nomor tiga dari sektor pertanian setelah kelapa sawit dan karet (Anonim,2010a). Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan beragam. Keberagaman mutu biji kakao Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, seperti minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu pada seluruh tahapan proses pengolahan biji kakao rakyat, serta pengelolaan biji kakao yang masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi). Kemampuan Indonesia sebagai negara produsen kakao tidak diimbangi dengan kemampuan mengolahnya. Indonesia hanya mampu menyediakan bahan baku bagi industri negara lain, sedangkan industri pengolahan di dalam negeri masih mengimpor bahan olah dari luar, hal ini kurang menguntungkan bagi agroindustri dalam negeri. Pengolahan biji kakao lebih lanjut di dalam negeri sangat diperlukan, mengingat jumlah perusahaan pengolahan kakao masih sangat sedikit. Pengolahan kakao primer (biji kakao) menjadi kakao olahan selain dapat memberikan nilai tambah pada kakao itu sendiri, juga dapat meningkatkan pendapatan petani serta memberikan alternatif pasar yang lebih beragam bagi petani (Anonim, 2010b). Sulawesi Tenggara merupakan salah satu sentra penghasil kakao di Indonesia. Pada tahun 2013, produksi kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 185.201 ton yang sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat dengan total luas pertanaman kakao mencapai 245.624 ha (BPS, 2014). Dari tahun 2011 – 2013, rata-rata produktivitas kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 0,9 ton/ha/tahun.Sampai saat ini, kurang lebih 90% petani menjual kakao dalam bentuk biji. Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi adalah mutu biji kakao yang dihasilkan masih tergolong rendah dan kalah bersaing dengan negara-negara penghasil kakao di pasar internasional. Salah satu parameter mutu yang kurang diperhatikan adalah kadar air. Adapun faktor yang turut menentukan mutu biji kakao adalah karakteristik fisik (seperti jumlah biji per 100 gram, biji terfermentasi dan kadar biji berjamur/berserangga), kimia Padahal, di era perdagangan global, perhatian dan persaingan mutu semakin ketat. Kadar air biji yang diharapkan setelah pengeringan adalah 6%, yang bertujuan untuk memudahkan pelepasan nibs dari kulitnya, juga mencegah agar tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme pembusuk sehingga dapat memperpanjang umur simpan (Napitupulu, 2012). Akan tetapi, tiap jenis pengeringan memiliki kendala masing-masing, baik dalam hal efektivitas pengeringan, kebutuhan sumber daya, pembiayaan, dan pengaruhnya terhadap aspek mutu biji kakao. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan menghasilkan rekomendasi mengenai jenis pengering yang dapat secara efektif meningkatkan mutu kakao dan efisien dari segi ekonomi sehingga dapat mendukung petani dalam meningkatkan mutu biji kakao, khususnya di Kabupaten Konawe. Peningkatan mutu biji kakao di Sulawesi Tenggara terutama di Kabupaten Konawe perlu terpadu dengan proses penanganan pasca panen kakao. Salah satu tahapan penting proses penanganan panen kakao sebagai bahan baku standar mutu yang sudah ditetapkan untuk diolah menjadi makanan dan minuman cokelat. Fermentasi bertujuan untuk membentuk cita rasa khas cokelat dan mengurangi rasa pahit serta sepat dalam biji kakao. Peningkatan mutu hasil kakao ini juga ikut meningkatkan pendapatan petani kakao. Secara umum, jenis pengeringan biji kakao dapat dibagi menjadi dua, yaitu sun drying dan artificial drying. Sun drying memerlukan sinar matahari sebagai sumber energi, sumber panas dan sinar ultraviolet. Pengeringan ini dilakukan secara terbuka, membutuhkan hembusan angin yang besar dari udara sehingga pengeringan berlangsung lambat. Walaupun tipe pengeringan ini tergolong murah karena memanfaatkan energi matahari dan angin, tetapi pengeringan secara terbuka menyebabkan rawan kontaminasi dari udara, debu dan kerikil dari lingkungan sekitar. Selain itu, pengeringan ini dilakukan hanya jika cuaca memungkinkan. Proses fermentasi dan, pengeringan bertujuan untuk meningkatkan citarasa biji kakao. Polyphenol dan alkaloid berpengaruh terhadap rasa dari kakao. Keberagaman dan ukuran tumpukan biji kakaoyang berbeda menyebabkan temperatur dan konsentrasi metabolit mikroba menjadi berbeda. Padaproses fermentasi, kandungan epicatechin dan theobromine berkurang akibat adanya difusi keluar darikotiledon biji dan oksidasi serta kondensasi dari polifenol. Jwnlah epicatechin dan theobromine yang tertinggal di biji sangat berpengaruh terhadap rasa dari kakao. Perbedaan dalam aktivitas mikroba pada fermentasi berpengaruh pada rasa dari biji kakao dan
243
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
produk cokelat yang dihasilkan. Oleh karena itu, pengendalian terhadap kondisi fermentasi dapat harus dilakukan (Camu, 2008; Payne et aI.,2010). Proses fermentasi biji kakao secara konvensional atau fermentasi spontan pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 5 hari. Fermentasi bertujuan untuk melepaskan pulp (cairan berupa lender yang terdapat pada permukaan kulit biji kakao), menghentikan pertumbuhan kecambah pada biji, serta membentuk warna dan cita rasa zkhas, tujuan lain dari fermentasi biji kakao adalah untuk menghasilkan biji yang tahan terhadap hama dan jamur selama penyimpanan. Fermentasi dapat dilakukan di dalam kotak yang terbuat dari kayu berukuran 60 x 40 em yang dapat menampung sekitar 100 kg biji kakao basah. Selanjutnya kotak ditutup dengan karung goni/daun pisang selama 36-48 jam. Sebagian besar pulp yang menempel pada biji kakao akan terkonversi menjadi alkohol, asam asetat dan asam laktat. Pada hari ke 3 dilakukan aerasi dengan pengadukan agar fermentasi biji merata. Aerasi dilakukan setiap 48 jam sekali, kemudian biji kakao dikeluarkan dari kotak fermentasi setelah 8-10 hari (Afoakwa, 2010). Fermentasi biji kakao juga dapat dilakukan dengan penambahan mikroorganisme seperti bakteri asam laktat dan bakteri asam asetat. Cara lain untuk meningkatkan kualitas biji kakao dan proses fermentasi yaitu dengan membuang sebagian pulp yang melekat pada biji sebelum difermentasi. Pulp yang terlalu banyak dapat menghasilkan rasa asam serta tekstur yang jurang bagus untuk biji kakao (Bernaert at al.• 2011) Sedangkan pengeringan buatan (artificial drying) menggunakan bahan bakar. Prinsip kerjanya adalah pemanasan secara konduksi (penghantaran panas) atau konveksi (pengaliran panas) yang bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan pangan, berbentuk solid. Untuk mengantisipasi cuaca yang tidak menentu tersebut maka pengeringan yang baik adalah pengeringan yang dilakukan dengan alat pengering (Napitupulu 2012). Perubahan cuaca di Indonesia saat ini bisa dikatakan tidak stabil. Dengan adanya perubahan cuaca yang tidak menentu ini dapat mengganggu aktivitas para petani di Indonesia khususnya petani kakao dalam hal proses pengeringan. Oleh sebab itu, diperlukan kajian mengenai jenis pengeringan yang tepat untuk petani kakao, berdasarkan mutu biji kakao yang diperoleh dan analisa ekonominya. Tujuan kajian untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi penggunaan alat pengering terhadap mutu, respon petani dan nilai ekonomi beberapa tipe pengering biji kakao. METODOLOGI PENGKAJIAN Waktu dan Tempat Kajian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Desember tahun 2015 di Desa Andomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe yang merupakan salah satu daerah potensi kakao. Kajian ini melibatkan 16 orang petani responden yang merupakan anggota kelompok lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) kakao sejahtera yang terdiri atas 4 kelompok tani dan masing-masing diwakili 4 orang pada setiap kelompok. Komponen Teknologi Alat Pengering Biji Kakao Buah kakao masak setelah panen difermentasi selama 24–36 jam, dilanjutkan dengan fermentasi biji pada kotak fermentasi selama kurang lebih 120 jam. Kemudian, sebanyak 100 kg biji kakao hasil fermentasi, masing-masing dikeringkan menggunakan empat tipe pengering yang berbeda : a. Tipe BPTP-II Sultra b. Para-para dengan sinar matahari, c. Solar cell, dan d. Blower dengan bahan bakar kayu dan solar Adapun lama waktu pengeringan pada masing-masing tipe pengering disesuaikan, sampai kadar air biji kakao mencapai 6 – 8%. Setelah itu, biji kakao kering dianalisa sifat fisiko-kimianya. Metode Analisis Biji kakao yang telah memenuhi syarat kadar air 6 – 8%, diangkat dari pengering, ditimbang per jenis pengering yang digunakan untuk kemudian dihitung rendemennya (wet basis) dengan rumus : Rendemen : Bobot akhir x 100% Bobot awal Kemudian dilakukan pengujian sampel untuk mengetahui kadar air, bobot biji kering, kadar kotoran, kandungan lemak dan katekin pada biji kakao. Data yang diperoleh dari pengujian ini dikelompokkan
244
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
ke dalam data primer. Survey mengenai respon petani terhadap teknologi dan hasil yang diperoleh dari kegiatan pengkajian. Dari segi sosial ekonomi, dilakukan pula survey dengan melakukan wawancara langsung menggunakan kuesioner yang telah disusun sesuai tujuan penelitian, untuk mengukur respon petani kakao terhadap pelaksanan kegiatan pengkajian. Survey dilakukan terhadap para petani kakao di daerah kajian. dianalisis dengan mengidentifikasi masalah di lokasi terhadap perilaku petani untuk peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani diukur dengan melakukan identifikasi dan analisis. Adapun cara menggali Aspek Perilaku petani dengan cara menyusun pertanyaan yang berkaitan dengan prioritas masalah yang akan dibuat materi penyuluhan yang meliputi aspek Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan. Dari Hasil Wawancara/penggalian Instrument kemudian direkapitulasi dengan cara menghitung Persentase Jawaban yang benar . Setelah itu kita beri kriteria Tinggi, Sedang dan Rendah. Tabel 1. Rumusan Tingkat Perilaku (Tinggi, Sedang dan Rendah) No. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Pengetahuan dan Sikap Lebih Besar 60% 31 % s/d 60% 0% s/d 30% Keterampilan Lebih Besar 40% 21% s/d 40% 0% s/d 20%
Kategori Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah
Sumber: PPMKP Ciawi 2013.
Analisis data digunakan pada pengkajian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada empat perlakuan pengeringan sebanyak 5 (lima) kali ulangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Responden Identitas petani responden yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani responden yang meliputi : umur petani responden, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan luas lahan petani responden. Karakteristik petani responden terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Petani Responden No 1.
Uraian Persentase (%) Umur 18,75 - 15-30 Tahun 68,75 - 31-50 tahun 12,5 - > 51 tahun 2. Pendidikan 56,25 - SD 12,50 - SMP 31,25 - SLTA 3. Pengalaman berusahatani 68,75 - 5-10 tahun 31,25 - 11-20 tahun 4.. Luas Lahan (Ha) 44,25 - 1-2 Ha 42,75 - 2,5 – 4 Ha 13,00 - 4,5 -7 Ha Sumber : Data primer yang diolah, 2015.
Umur petani akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan kerja dan sikap petani responden dalam mengelola usahatani, terutama dalam hal pengambilan keputusan petani responden yang umurnya masih tergolong muda memiliki kemampuan untuk maju dan kemampuan menerima inovasi baru dari luar yang sifatnya membangun lebih besar dibandingkan dengan petani yang berumur lebih tua. Petani yang berusia muda lebih berani untuk mengambil resiko dalam mengambil keputusan untuk kemajuan usahataninya, dibanding petani yang berusia tua yang cenderung bersifat terlalu hatihati, terutama dalam hal menerima teknologi baru (Soekartawi 2005). Bahwa makin muda petani
245
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun biasanya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut.umur petani responden di Desa Andomesinggo berada pada klasifikasi tenaga kerja produktif yaitu seluruh responden (100%) berada pada tingkat kerja produktif (31-50 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa petani responden di Desa Andomesinggo masih dalam usia produktif. Dengan usia yang masih produktif responden masih bisa meningkatkan usahataninya, karena masih memiliki tenaga yang cukup kuat dan mampu menerima dan menerapkan inovasi baru dalam bidang teknologi pertanian Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi cara berfikirnya sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas cara berfikirnya. Tingkat pendidikan petani responden tergolong dalam kategori rendah karena 56,25 % berada pada kisaran 0-6 tahun atau setingkat hanya tamatan sekolah dasar (SD). Hal ini menunjukkan bahwa petani kurang memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat memahami permasalahan mereka dan kurang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Tingkat pendidikan mempengaruhi keterbukaan seseorang dalam menerima beberapa inovasi, dalam hal ini inovasi teknologi pertanian. Menurut Saridewi (2010), tingkat pendidikan seseorang dapat mengubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Pengalaman Berusahatani. Pengalaman usahatani petani berdasarkan hasil penelitian memiliki pengalaman lebih dari 5-10 tahun yaitu 68,75%, hal ini menunjukkan bahwa petani sangat berpengalaman dalam budidaya kakao Hal ini menunjukan bahwa pengalaman usahatani petani responden sudah cukup lama sehingga petani responden di Desa Andomesinggo lebih matang dengan berbagai pengalaman dalam berusahatani, baik usaha yang dapat meningkatkan maupun yang dapat menurunkan hasil produksi pertanian. Luas lahan. Luas lahan petani berdasarkan hasil kajian rata-rata berada pada luasan 1-2 Ha yaitu 44,25%, namun tergolong kurang luas.Hal ini menunjukkan bahwa produksi yang dicapai juga terbatas sesuai dengan luas lahan yang dimiliki. Menurut Hernanto (1993), luas lahan usahatani dapat menentukan pendapatan, taraf hidup dan derajat kesejahteraan rumah tangga petani. Luas kepemilikan lahan dapat berpengaruh terhadap adopsi teknologi, karena semakin luas lahan usahatani, semakin tinggi hasil produksi sehingga ikut meningkatkan pendapatan petani. Penanganan Pasca Panen Penanganan pascapanen kakao dengan menggunakan beberpa tipe alat pengering biji kakao terhadap bobot 100 biji sebelum dikupas, bobot biji setelah dikupas, rendemen dan kadar lemak dapat dilihat pada tabel 2. alat pengering oven tipe BPTP II Sultra dilakukan dengan fermentasi sejak pada saat buah di panen hingga pada kotak fermentasi. Fermentasi buah selama 2-3 malam dan fermentasi biji pada kotak fermentasi selama 5 hari. Pelaksanaan fermentasi biji kakao dilakukan sesuai dengan standar. Tabel 2.
Penagaruh aplikasi beberapa alat pengering biji kakao terhadap bobot 100 biji sebelum dikupas, 100 bobot biji setelah dikupas, rendemen dan kadar lemak
Rataan bobot Rataan bobot 100 biji 100 biji Rataan Rataan kadar Perlakuan sebelum setelah rendemen (%) lemak (%) dikupas (g) dikupas (g) Para-para dengan sinar matahari 95,20a 76,40a 31,22b 40,16a Oven tipe BPTP II Sultra 102,40a 81,80a 36,76a 43,08a Solar cell (Solar system) 99,00a 78,00a 35,14a 34,31b System Blower 102,80a 80,20a 35,29a 31,83b Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama, dan angka-angka yang diikuti huruf kapital yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan pada α = 0.05.
Dari tabel 2 menunjukkan bahwa hasil pengeringan bobot 100 biji kakao sebelum dan setelah dikupas dengan penggunaan Oven tipe BPTP II Sultra lebih tinggi, efektif dan efisien walaupun tidak berbeda nyata dengan alat pengering lainnya. Pada rendemen biji kakao terbaik dan berbeda nyata pada penggunaan alat pengering oven tipe BPTP II Sultra, solar cell Untuk kadar lemak biji kakao tertinggi dan berbeda nyata pada penggunaan alat oven tipe BPTP II Sultra dan para-para. Selain itu hasil pengering biji kakao dengan penggunaan oven tipe BPTP II Sultra memunculkan khas aroma dan cita rasa khas cokelat dan menekan rasa pahit serta sepat yang ada dalam biji kakao. Hasil penelitian bahwa perbaikan mutu biji kakao rakyat menggunakan pengering tipe BPTP II Sultra membentuk cita
246
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
rasa khas cokelat, menekan rasa pahit dan sepat yang ada dalam biji kakao. Biji kakao yang dilakukan melalui proses fermentasi dengan menggunakan alat oven tipe BPTP II Sultra dapat menurunkan kadar air biji kakao hingga 7% selama kurang dari 80 jam dibandingkan dengan para-para selama 6084 jam. (Baharuddin, dkk 2014). Produk-produk hasil olahan coklat yang utama saat ini adalah lemak dan tepung coklat. Kandungan lemak pada biji kakao berkisar 55-60%. Proses pemisahan lemak dan tepung ini dilakukan terhadap biji kakao yang telah terfermentasi. Pemisahan lemak coklat dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya ekstraksi dengan menggunakan pelarut atau dengan pengepresan (Venter dkk., 2007). Selain kadar lemak, ukuran berat biji juga turut menentukan mutu biji kakao. Ukuran berat biji sering dinyatakan dalam jumlah biji per 100 gram. Suhendi dkk. (2004) menyatakan bahwa ukuran berat biji kakao yang dikehendaki adalah lebih dari 1 g per biji. Dengan demikian, jelas bahwa biji kakao dengan penggunaan alat pengering mampu menghasilkan mutu (ukuran berat) biji standar (dikehendaki). Mulato dkk. (2009) menyatakan bahwa ukuran berat biji sangat dipengaruhi oleh jenis (klon) tanaman, kondisi lingkungan (curah hujan) selama perkembangan buah dan tindak agronomis pada tanaman. Respon Petani terhadap alat pengering kakao Respon petani terhadap suatu invoasi baru perlu dilakukan dengan melakukan identifikasi dan analisis perilaku petani kakao. Pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian akan mempengaruhi sikap dan pada akhirnya melahirkan perbuatan (keterampilan). Dengan adanya wawasan petani dengan baik tentang teknologi alat pengering, akan mendorong adanya perubahan perilaku. Respon petani terhadap penggunaan alat pengering kakao dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Respon petani terhadap penggunaan alat pengering kakao di DesaAndomesinggo Kec. Besulutu Kabupaten Konawe Tahun 2015 Respon Petani No.
Uraian
1. 2. 3. 4.
papa-para dengan sinar matahari Oven Tipe BPTP II Solar cell (Solar system) Blower dengan bahan bahkar kayu dan solar Rataan
Mengetahui (Pengetahuan) (%) 91,50 85,20 84,25 70,75 82,93
Menerima (Sikap) (%) 81,25 75,00 75,10 50,20 70,38
Melakukan (Keterampilan) (%) 56,25 35,10 34,25 26,05 37,91
Pada Tabel 3 diketahui bahwa respon petani terhadap penggunaan alat pengering kakao tertinggi pada alat pengering para-para dengan masing-masing pengetahuan 91,50% sikap 81,25% dan keterampilan 56,25%. Respon petani tertinggi pada teknologi pengeringan dengan menggunakan parapara karena murah dan mudah dilakukan terutama pada musim kemarau. Penggunaan oven tipe BPTP II Sultra respon petani untukpengetahuan sebesar 85,20%, sikap 75.00% dan keterampilan 35.10%, terutama dapat digunakan pada musim penghujan.Pada kondisi ini walaupun sebagian petani memiliki pendidikan formal yang rendah, tetapi pemahaman tentang teknologi penggunaan alat pengering kakao khususnya pada alat pengering para-para dan oven tipe BPTP II Sultra sudah cukup tinggi karena teknologi eksisting petani yaitu menggunakan alat pengering para-para dengan sinar matahari selain menghemat bahan bakar, mutu biji kakao lebih baik dan memunculkan aroma cita rasa cokelat.Sebaliknya dengan menggunakan alat pengering solar cell dan blower selain bahan bakar yang digunakan banyak serta mutu biji kakao yang dihasilkan kurang baik. Penggunaan Solar cell pada musim penghujan terlalu panjang tidak dapat mengeringkan biji kakao bahkan terserang penyakit dan berjamur sedangkan penggunaan system blower sulit digunakan petani karena menggunakan dua bahan bakar kayu dan solar dan membutuhkan waktu yang lama sehingga biaya yang dikeluarkan lebih mahal.
247
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Analisis Usahatani Harga kakao tergantung pada kadar air dan alat pengering yang digunakan serta lamanyadalam pengeringan biji kakao. Secara umum kebiasaan petani dalam menjual biji kakao dengan kadar air 1214%, sehingga harga jual biji kakao dapat lebih murah. Analisis usahatani penggunaan alat pengering biji kakao disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis usahatani alat pengering kakao di Desa Andomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe Tahun 2015 Uraian
Para-para + Sinar Matahari Total Biaya (Rp) 1.220.000 1.500 Produktfitas (kg/ha) Harga/Kg 38.000 5.700.000 Penerimaan pendapatan 4.480.000 3,67 B/C ratio 4,07 R/C Ratio Keterangan : Data primer yang diolah, 2015
Alat pengering biji kakao Oven BPTP II Solar cell Sultra 1.594.000 2.440.000 1.500 1.500 38.000 38.000 5.700.000 5.700.000 4.106.000 3.260.000 3,16 2,05 3,57 2,34
Sistem Blower 1.440.000 1.500 38.000 5.700.000 4.260.000 2,96 3,96
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh petani tertinggi yaitu dengan penggunaan alat pengering para-para dengan bantuan sinar matahari, oven BPTP-II Sultra, dan sistem blower yang diintroduksi menguntungkan dengan B/C ratio masing-masing 3,67 dan 3,16 dan 2,96. dibandingkan dengan alat pengering solar cell karena total biaya yang dikeluarkan lebih rendah, juga dapat digunakan untuk mengantisipasi pada saat musim penghujan dalam meningkatkan mutu biji kakao.Dalam analisis usahatani pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa penggunaan alat pengering kakao layak digunakan untuk meningkatkan mutu biji kakaodengan B/C ratio > l di Desa Andomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe. Penggunaan alat pengering dengan solar cell walaupun kurang menguntungkan masih tetap digunakan terutama pada saat musim penghujan tidak tinggi, sedangkan tipe BPTP II dapat digunakan oleh petani setiap saat jika dibutuhkan. Alat pengering para-para dengan sinar matahari dan solar cell tetap digunakan setiap saat namun jika pada saat musim penghujan tinggi tidak bisa digunakan karena banyak biji kakao rusak akibat terserang penyakit/pathogen pada saat pengeringan/penjemuran. KESIMPULAN 1. Penanganan pasca panen kakao penggunaan oven tipe BPTP II Sultra lebih efektif dan efisien dibanding dengan alat pengering lainnya. 2. Respon petani tertinggi adalah pada penggunaan alat pengering para-para, oven Tipe BPTP II, Solar cell, dibanding dengan type system blower. Kelebihan penggunaan alat pengering oven Tipe BPTP II Sultra, prodak akhir biji kakao yang dihasilkan dapat memunculkan aroma dan cita rasa cokelat. 3. Pendapatan petani tertinggi diperoleh pada alat pengering para-para dengan bantuan sinar matahari, oven BPTP-II Sultra, dan sistem blower yang diintroduksi menguntungkan dan layak diusahakan dengan B/C ratio masing-masing 3,67 dan 3,16 dan 2,96 sedangkan terendah pada alat pengering solar cell. DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2010). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Anonim. 2010a. Potensi Kakao Indonesia. http://lrptn.co./potensi-kakao-indonesia/.Diakses pada tanggal 29 Desember 2014. Anonim. 2010b. Industri Pengolahan Kakao MengajakKerjasama. Agrobost. Portal Agrobisnis danPertanian. Diakses pada tanggal 29 Desember 2014. Afoakwa, E., 2010, Chocolate Science and Technology, Blackwell publishing, John Wiley & Sons Ltd, West Sussex. United Kingdom Beckett, T. S., 2009, Industrial Chocolate Manufacture and Use, 4 ed., Blackwell Publishing,UK Bemaert, H., Camu, N., Lohmueller, T., 2011, Method for Processing Cocoa Beans, US Patent 20110070332A1
248
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
BPS Sulawesi Tenggara. 2012. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2012. __________________. 2013. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2013. __________________. 2014. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2014. Camu, N., Tom, D.W., Addo, S.K., Jemmy, S.T., Herwig, B., Luc, D.V., 2008, Fermentation of cocoa beans: influence of microbial activities and polyphenol concentrations on the flavor of chocolate, Jurnal of Science of Food and Agriculture, vol. 88, no. 13, pp. 2288-2297 Hernanto, F. 1993. Ilmu Usahatani. Penerbit swadaya. Jakarta. Irawan, Y., Baharudin, M. Taufiq Ratule. 2013. Kajian Peningkatan Mutu Biji Kakao Melalui Penggunaan Beberapa Tipe Alat Pengering. [tidak dipublikasi] Karmawati, E., Zainal Mahmud, M. Syakir, J. Munarso, K.Adiana, dan Rubino. 2010. Budidaya dan PascaPanen Kakao. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perkebunan. KementerianPertanian. Mulato, S., Widyotomo, S., Misnawi dan Suharyanto, E., 2009. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. Napitupulu, F.H., Putra Mora Tua. 2012. Perancangan dan Pengujian Alat Pengering Kakao dengan Tipe Cabinet Dryer untuk Kapasitas 7,5 kg Per-Siklus. Jurnal Dinamis, Vol. II, No. 10, Januari 2012. Padmowihardjo,S. 1999. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta Universitas Terbuka. PPMKP Ciawi 2013. Mengemas Materi dan Media Penyuluhan sesuai Kebutuhan. Badan Pengembangan SDM Pertanian. PPMKP Ciawi Bogor 2013. Soekartawi, 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasinya, Raja Grafindo Persada : Jakarta. Baharuddin, Yudi Irawan, 2014. Di download 19 Oktober 2016 (http://sultra.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option com_contennt dan view) peningkatan-produktivitas dan mutu kakao melalui penggunaan alat engering tipe BPTP II Sultra. Venter, M. J., Kuipers, N. J. M., de Haan, A. B. (2007) Modelling and experimental evaluation of high pressure expression of cocoa nibs, Journal of Food Engineering, 80, 1157-1170.
249
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK PADAT (POP) TERHADAP PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHA TANI KUBIS DI KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU PRODUCTION AND FINANSIAL ANALYZE CABBAGE FARMER INFLUENCE OF USING SOLID ORGANIC FERTILIZER (POP) IN REJANG LEBONG DISTRICT-BENGKULU PROVINCE Yulie Oktavia dan Umi Puji Astuti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Kota Bengkulu Telp. 0736 (23030) Fax. 0736 345568 Email :
[email protected] ABSTRAK Dalam budidaya tanaman kubis, petani biasanya melakukan eksploitasi penggunaan bahan kimia terutama dalam penggunaan pupuk dan pestisida. Menyikapi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertanian konvensional, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanianorganik. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui dosis penggunaan Pupuk Organik Padat (POP) terhadap produksi tanaman kubis dan menganalisis kelayakan Usaha Tani (UT) kubis dengan mengunakan POP. Pengkajian dilakukan di lahan petani kooperator kegiatan Model Sistem Pertanian Bio-Industri Tanaman-Ternak di Desa Air Meles Kec. Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong pada bulan Maret hingga bulan Juni 2016. Pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu dosis POP dengan 4 taraf perlakuan yaitu I : Tanpa Kompos, II : dosis 5 ton/ha, III : dosis 10 ton/ha dan IV : dosis 15 ton/ha dengan 5 kali ulangan. Varietas kubis yang digunakan adalah varietas Grand 11. Data dikumpulkan pada saat panen yaitu : 1) Data teknis (tinggi tanaman, berat basah krop, diameter krop dan jumlah daun), 2) Data UT kubis. Analisis data dilakukan dengan : 1) Analisis of Variance (ANOVA) dan dianjutkan dengan uji lanjut DMRT dan 2) Analisis finansial Usaha Tani Kubis dengan menggunakan beberapa dosis POP. Penggunaan dosis POP sebanyak 15 ton/ha pada tanaman kubis memberikan hasil yang lebih baik dari dosis 0,5,10 ton/ha dengan produksi sebanyak 34,286 ton. Penggunaan beberapa dosis POP layak untuk diusahakan yang ditunjukan dengan nilai B/C >1 dengan kondisi harga jual pada saat pengkajian yang cukup tinggi (Rp. 4000,-/kg). Kata Kunci : Kubis, POP, Produksi ABSTRACT Usually conventional farmingusing exploitation of chemicals, especially the use of fertilizers and pesticides. It`s too many negative impacts from conventional farming. the attention of the world community began slow to move to the organic farming. The assessment aims to determine the dosage of Solid Organic Fertilizer (SOF) on the production of cabbage and analyze the Feasibility Farming (UT) of Cabbage. The assessment was done in the land farmer cooperators in Farming System Model Bio-Industrial Plant-Animal activities in Air Meles Village. Subdistrict East Curup District Rejang Lebong in March through June 2016. This study used randomized block design (RBD) with a single factor, namely POP dosage with 4 levels of treatment. Cabbage varieties used is Grand 11 varieties. Data collected during the harvest,: 1) Technical data (height, weight wet crop, crop net diameter and number of leaves), 2) the data of Farming system. Data analyze is done by 1) Analysis of Variance (ANOVA) and DMRT Analyze and 2) A financial analysis Farming Cabbage. SOF doses up to 15 tons/ha on cabbage gives better results than other doses with production of 34.286 tons. The use of multiple doses of SOF shown the B / C>1 for condition of the selling price at the time the assessment is quite high (Rp. 4000,- / kg). Keywords : cabbage, SOF, income, production
250
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Menyikapi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertanian konvensional, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser menuju pertanian yang ramah lingkungan. Salah satu upaya alternatif yang dapat dilakukanadalah dengan mengembangkan pertanian organik yang merupakan suatu sistem yang mampu menjaga keselarasan diantara komponen ekosistem secara berkesinambungan dan lestari. Pertanian organik ini mengandalkan kebutuhan hara melalui penggunaan pupuk organik. Pertanian ramah lingkungan merupakan konsep model pertanian yang bertujuan agar kegiatan ekonomi tidak merusak lingkungan, dengan tetap memperhatikan keterkaitan antara ekologi, ekonomi, dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Usaha tani sayuran biasanya menggunakan input yang tinggi terutama dalam penggunaan pupuk anorganik, untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Penggunaan input kimia yang tinggi jika dipakai terus menerus akan dapat merusak kondisi tanah (Puspita et al, 2015). Alternatif bijaksana yang dapat dipilih dengan menggunakan kompos. Kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja didalamnya. Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, kotoran hewan dan lain-lain. Penggunaan kompos bukan hanya menyediakan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman namun dapat menggemburkan tanah, memperbaiki tekstur dan struktur tanah, meningkatkan porositas, aerase dan komposisi mikroorganisme tanah sehingga memudahkan pertumbuhan akar tanaman, daya serap air yang lebih lama pada tanah, menghemat pemakaian pupuk kimia, menjadi salah satu alternatif pengganti pupuk kimia karena harganya lebih murah, dan ramah lingkungan (Murbandono,2000). Menurut Simanungkalit et al. (2006) kompos merupakan sumber hara makro dan mikro mineral secara lengkap meskipun dalam jumlah relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo, dan Si). Selain itu, kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri, dan alga). Variasi dalam kuantitas macam-macam nutrien esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman sangat besar. Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu kabupaten di provinsi bengkulu yang mempunyai potensi yang cukup luas dalam pengembangan tanaman sayuran. Salah satu tanaman sayuran yang dikembangkan diantaranya adalah tanaman kubis. Pada tahun 2015, tercatat pengembangan areal kubis mencapai 2.517 ha dengan produksi 914.792 kuintal (Statistik Pertanian Rejang Lebong, 2015). Kubis merupakan tanaman yang banyak digemari untuk digunakan sebagai sumber protein, vitamin A, Vitamin C, Vitamin B1, Vitamin B2 dan Niacin (Setiawati et al, 2001). Dalam budidaya tanaman ini petani biasanya mengeksploitasi penggunaan bahan kimia terutama penggunaan pupuk dan pestisida. Suatu usahatani memiliki tujuan untuk menghasilkan manfaat bagi pelakunya,untuk mengevaluasi manfaat atau keuntungan petani dalam melakukan budidaya tanaman perlu dilakukan analisis finansial untuk melihat jumlah biaya yang dikeluarkan dan diterima oleh petani (Herdiyansyah dan Rohayana, 2014).Untuk mengkaji kelayakan usahatani kubis dengan menggunakan POP, dilakukan analisis finansial.Hal ini untuk menepis keraguan petani sayuran konvensional untuk beralih menjadi petani sayuran organik. POP yang dikembangkan merupakan campuran dari pemanfaatan limbah kulit kopi. Penambahan bahan organik berupa pemberian kompos kulit kopi dapat memenuhi nutrisi untuk pembentukan daun. Secara umum pengomposan dengan sistem aerobik termasukpengomposan limbah kulit kopi adalah modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau biologi dengan kehadiran oksigen (Sahputra et al, 2013). Pengkajian bertujuan untuk : 1) mengetahuipengaruh dosis POP terhadap produksi tanaman kubis dan 2) menganalisis kelayakan Usaha Tani pada beberapa dosis POP yang digunakan dalam pengkajian.
251
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Pengkajian dilakukan di lokasi kegiatan Model Sistem Pertanian Bio-Industri TanamanTernak Spesifik Lokasi di Desa Air Meles Kec. Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada bulan Maret hingga bulan Juni 2016 dilahan petanikooperator. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa kondisi tanah di lokasi pengkajian mempunyai kandungan hara sebagai berikut: N-total 0,47 %, P2O53,94 %, K2O 0,51 % dan pH 6,18. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu dosis POP dengan 4 perlakuan, yaitu : perlakuan I : Tanpa Kompos, perlakuan II : dosis 5 ton/ha, perlakuan III : dosis 10 ton/ha dan perlakuan IV : dosis 15 ton/ha dengan 5 kali ulangan. Penggunaan dosis POP dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman kubis terhadap pupuk an organik yang direkomendasikan. Varietas kubis yang digunakan adalah Grand 11. Data yang dikumpulkan pada saat panen yaitu : tinggi tanaman yang diukur dari permukaan tanah, berat basah krop; krop dibersihkan dari daun-daun yang kuning dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik, diameter bersih krop; diukur dengan cara membersihkan daun yang tidak layak, krop dipotong dua bagian yang sama diameter diukur dengan menggunakan mistar dan jumlah daun; dihitung dengan cara memisahkan satu persatu daun lalu dihitung.Data kelayakan usaha tani yang dikumpulkan antara lain : biaya input produksi, produksi dan harga produksi, data yang ambil merupakan data Usaha Tani (UT) yang diterapkan pada penggunaan dosis POP. Data teknis dianalisis dengan Analisis of Variance (ANOVA). Rerata antar perlakuan diuji lanjut dengan DMRT. Untuk mengetahui kelayakan dan keberhasilan usahatani digunakan analisis finansial rumus (Oetama et al, 2014) : Benefit Cost Ratio (B/C) B/C =
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑈𝑇−𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑈𝑇 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑈𝑇
Dimana : Pd = Pendapatan Usahatani Kriteria uji : Apabila B/C >0, maka usahatani dikatakan menguntungkan Apabila B/C <0, maka usahatani dikatakan tidak menguntungkan Apabila B/C = 0, maka usahatani dikatakan tidak untung dan tidak rugi atau impas. Break Event Point (BEP)
TC Y PY
BEP harga (Rp/Kg)
=
BEP produksi (Kg)
=
𝑇𝐶 𝑌 𝐹𝐶 𝑃𝑌
= Total Biaya = Produksi = Harga Produksi
HASIL DAN PEMBAHASAN Aplikasi Beberapa Dosis POP pada Tanaman Kubis Aplikasi penggunaan POP pada tanaman kubis menunjukkan pertumbuhan yang beragam terhadap berat basah krop, diameter krop, jumlah daun dan tinggi tanaman.. Hasil analisis sidik ragam dari aplikasi beberapa dosis POP pada tanaman kubis yang dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT menunjukkan hasil sebagai berikut :
252
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Pengaruh beberapa dosis pemberian POP terhadap berat basah krop, diameter krop, jumlah daun dan tinggi tanaman. Berat Basah Krop (g) 1 Tanpa Kompos 294,0 c 2 5 ton/ha 319,2 c 3 10 ton/ha 706,0 b 4 15 ton/ha 1161,2 a Sumber : Pengamatan Th. 2015 No.
Dosis POP
Diameter Krop (cm) 13,8 c 14,7 bc 15,0 b 18,4 a
Jumlah Daun (helai) 29,3ab 27,2 b 28,2 ab 31,0 a
Tinggi Tanaman (cm) 29,0 a 29,2 a 29,5 a 29,7 a
Pada Tabel 1. menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan pemberian POP terhadap parameter berat basah krop, diameter krop dan jumlah daun. Pada parameter tinggi tanaman tidak menunjukkan terdapat beda nyata, tinggi merupakan salah satu parameter pertumbuhan tanaman. Tanaman setiap waktu terus tumbuh yang menunjukkan telah terjadi pembelahan dan pembesaran sel. Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, fisiologi dan genetik tanaman. Berat basah krop pada perlakuan dosis pemupukan POP 15 ton/ha menunjukkanperbedaan yang sangat nyata terhadap ke 3 perlakuan dosis lainnya, perlakuan kontrol menunjukkan berat basah krop yang terendah yaitu294 g, sedangkan pada perlakuan dosis POP 15 ton/ha menunjukkan berat 1.161 gram. Penggunaan dosis POP 15 ton/ha mampu menghasilkan produktivitas sebanyak 34,3 ton/ha. Kandungan unsur hara yang ada pada POP yang dihasilkan menunjukkan bahwa N yang tersedia sebanyak 6,06 %, P2O5 4,09 %, K2O 0,40% dan pH H2O 8,9 lebih tinggi dibandingkan hasil analisis kompos dari penelitian Isroi (2005)jika menggunakan kompos yang matang kandungan haranya kurang lebih mengandung 1,69% N, 0,34% P2O5, dan 2,81% K. Pada penggunaan dosis kompos 15 ton/ha memiliki kandungan N dan P yang cukup tinggi. Setiawatiet al, (2007), memberikan rekomendasi sebagai berikut untuk tanaman kubis: Urea sebanyak 100 kg/ha, ZA 250 kg/ha, TSP atau SP-36 250 kg/ha dan KCl 200 kg/ha. Dengan menggunakan dosis kompos 10-15 ton dapat memenuhi kebutuhan N dan P pada tanaman kubis.Namun demikian POP yang digunakan belum dapat memenuhi kebutuhan unsur K untuk tanaman kubis karena unsur K yang dihasilkan relatif sedikit (0,40 %). Pada perlakuan kompos 15 ton/ha, berat basah krop berkorelasi positif dalam menghasilkan diameter dan jumlah daun dibandingkan perlakuan yang lain. Berat basah krop, diameter dan jumlah daun berturut-turut sebagai berikut 1.116,2 kg, 18,4 cm dan 31,0 helai daun, diduga pada kondisi 1015 ton/ha merupakan kondisi yang optimal dalam ketersediaan unsur hara.Suatu tanaman akan tumbuh subur apabila segala unsur hara yang dibutuhkan cukup tersedia dan dalam bentuk yang sesuai untuk diserap tanaman (Dwidjoseputro, 1983). Waktu penanaman pada kegiatan pengkajian dilakukan pada musim kering dengan curah hujan yang relatif sangat terbatas, namun tanaman dapat bertahan dengan produktivitas 8 ton/ha. Beberapa hasil penelitian lain seperti Suriadikarta (2006) berpendapat bahwa bahwa bahan organik khususnya pupuk kompos dan urine kelinci juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam menyediakan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik disamping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba. Selain mendapatkan kebutuhan akan unsur hara dari POP, pada tanaman kubis juga ditambahkan penggunaan POC, yang diberikan dengan konsentrasi 1:15 yang diaplikasikan langsung ke tanaman. Kebutuhan tanaman terhadap unsur harajuga dapat diperoleh melalui pemberian pupuk cair (Arinong et al. 2011) Aplikasi biourine juga dapat ikut membantu memberikan tambahan makanan pada pertumbuhan tanaman. Aplikasi biourine dengan disemprot ke daun akan secara langsung diserap oleh stomata daun, dikarenakan didalam biourine terdapat zpt jenis auksin seperti IAA (Indol Asetic Acid) yang dapat menginisiasi pemanjangan sel dengan cara mempengaruhi pengendoran atau pelunturan dinding sel (Rao, 1994). Kajian Bilad (2011) tentang dosis pupuk organik dan konsentrasi biourine menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi biourine dan dosis pupuk organik secara tunggal mampu meningkatkan N-total tanah, peningkatan N dalam tanah kemungkinan disebabkan oleh
253
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
mikroorganisme yang terdapat dalam biourine yang mampu merombak senyawa organik yang terdapat dalam biourine. Analisis Kelayakan Finansial Penggunaan POP Pada Tanaman Kubis Untuk mengetahui kelayakan Usaha Tani dengan penggunaan POP pada beberapa dosis dilakukan analisis Benefit Cost Ratio (B/C ratio) dan Break Event Point (BEP). Hasil analisis kelayakan finansial penggunaan POP pada tanaman kubis pada lahan petani seluas 1 ha di Desa Air Meles Atas dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Analisis kelayakan finansial UT kubis dengan menggunakan beberapa dosis POP. Dosis POP (ton/ha)
No
Uraian
1.
Biaya Input
0
5
10
15
a. Sarana Produksi (Rp)
2.500.000
6.270.000
9.300.000
13.770.000
b. Tenaga kerja (Rp)
6.930.000
6.930.000
6.930.000
6.930.000
c. Total Biaya (Rp)
9.430.000
13.200.000
16.230.000
20.700.000
2.
Produksi Kubis (Kg)
8.400
9.114
20.172
34.286
3. 4.
Harga Jual (RP/kg) (Current) Penerimaan UT (Rp)
4.000 33.600.672
4.000 36.457.872
4.000 80.687.328
4.000 137.145.600
5.
Keuntungan UT (Rp)
24.170.672
23.257.872
64.457.328
116.445.600
6.
B/C
3,56
2,76
4,97
6,63
7.
BEP Harga(Rp)
1.123
1.448
805
604
BEP Produksi (ton/ha)
2.358
3.300
4.058
5.175
Sumber : Data primer diolah, 2015
Dari hasil analisis UT kubis dengan menggunakan POP menunjukkan bahwa pada setiap penggunaan dosis POP memiliki nilai B/C > 1, nilai ini menunjukan bahwa pada setiap penggunaan dosis POP pada UT kubis layak untuk diusahakan. Kondisi ini terjadi karena harga jual di tingkat petani pada saat pengkajian relatif cukup tinggi yaitu Rp. 4000,-/kg. Dari pemantauan harga pasar, Laporan Dinas Pertanian Kab. Rejang Lebong, pada kondisi harga 3 tahun terakhir (th 2014- 2016), harga jual kubis di tingkat petani yang terendah pada harga jual Rp. 357,-/kg dan harga tertinggi mencapai Rp. 4.286,-/kg. Harga jual pada saat dilakukan pengkajian merupakan harga yang memberikan keuntungan yang cukup besar pada kurun waktu 3 tahun terakhir, berikut merupakan trend harga jual kubis di tingkat petani di Kabupaten Rejang Lebong (Grafik 1). Apabila dilihat dari rata-rata harga kubis selama tiga tahun maka pada harga Rp. 2.126,-/kg, maka usahatani kubis pada saat itu masih menguntungkan karena BEP harga pada setiap perlakuan pemberian kompos lebih kecil dari harga rata-rata.
2014 2015 2016
Grafik 1. Trend harga jual kubis di tingkat petani pada tahun 2014-2016 (Rp/kg)
Produksi yang diperoleh dari ke-4 dosis POP dan harga jual pada saat itu, menunjukkan nilai B/C yang tinggi, sehingga petani dapat memperoleh keuntungan yang cukup tinggi. Menurut Soekartawi (1991) semakin tinggi B/C rasio dari suatu UT, maka usaha tersebut semakin layak dan keuntungan yang di dapat juga semakin besar.
254
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
BEP UT kubis dengan menggunakan beberapa dosis POP 15 ton/ha menunjukkan BEP dengan harga terendah Rp. 604,- dengan produksi sebanyak 5,2 ton/ha. Artinya agar UT kubis tidak mengalami kerugian, dengan produksi 34,286 ton/ha petani harus menjual produknya minimal dengan harga Rp. 604,-/kg dan apabila harga jual kubis Rp.4.000,-/kg petani harus dapat memproduksi kubis sebanyak 5,2 ton. KESIMPULAN Penggunaan dosis POP sebanyak10 dan 15 ton/ha pada tanaman kubis memberikan hasil yang lebih baik dari dosis lainnya dengan produksi sebanyak 34,286 ton. Penggunaan beberapa dosis POP layak untuk diusahakan yang ditunjukan dengan nilai B/C >1 dengan kondisi harga jual pada saat pengkajian yang cukup tinggi (Rp. 4000,-/kg). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Wahyu Wibawa, MP yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Arinong. A. R dan Chrispen Dalrit Lasiwua. 2011. Aplikasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi liquid organic fertilizer application on growth and production of mustard. Jurnal Agrisistem, Vol. 7 No. 1. Bilad (2011),http://www.ipard.com/, diakses 10 Juni 2016. Dwidjoseputro. 1988. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta Gardner, F.P., R. B. Pearce dan R. I. Mitchell. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 428 hlm. Herdiansyah, E dan Rohayana, D. 2014. Analisis ekonomi dan kendala pada budidaya kedelai lahan sawah di Desa Rejo Binangun Kabupatrn Lampung Timur. Prosiding Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti, Bogor. Hal. 159-1. Murbandono, Hs., 2000. Membuat Kompos . Penebar Swadaya , Jakarta Oetama. D.S. N, Emy Kernalis dan Arnoldy Arby. 2014. Analisis usahatani padi sawah dan usahatani kedelai di Kecamatan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sosio Ekonomika Bisnis Vol 17. (2). Rao, S. N. S. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman, Edisi Kedua,UI-Press, Jakarta. Sahputra. A., Asil Barus dan Rosita Sipayung. 2013. Pertumbuhan dan produksi bawang merah (allium ascalonicum .l) terhadap pemberian kompos kulit kopi dan pupuk organik cair. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.2, No.1: 26-35. Setiawati. W., Rini Murtiningsih., Gina Aliya Sopha dan Tri Handayani. 2001. Petunjuk Teknis budidaya sayuran. Balitsa. Simanungkalit, R. D. M., D. A. Suriadikarta, R., Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006. Pupuk organik dan pupuk hayati:Organik fertilizer and biofertilizer.Balai Penelitian dan Pengembangan Lahan Pertanian, Bogor. Soekartawi. 1991. Agribisnis teori dan aplikasi. Rajawali Press. Suriadikarta (2006), D.A. Hartatik dan G. Syamsidi,2003. Penerapanpengelolaan hara terpadu pada lahan sawah irigasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional PERHIMPI. Biotrop, 9-10 September 2003. Yamin, A. 2014. Pengaruh pemberian urin kelinci dan kompos terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman caisim (Brassica juncea, L.) Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Surabaya.
255
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI DALAM PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN HAYATI PADA USAHATANI CABAI DI MOJO REJO KABUPATEN REJANG LEBONG KNOWLEDGE IMPROVEMENT OF FARMER FOR BIOLOGICAL CONTROL PEST PLANT DISEASES AT CHILI FARMING IN MOJO REJO REJANG LEBONG Herlena Bidi Astuti dan Rudi Hartono Balai Pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 38119. Telp (0736) 345568.Website : www.bengkulu.litbang.pertanian.go.id Email:
[email protected] ABSTRAK Tingkat pengetahuan petani dalam pengendalian hama penyakit secara hayati masih sangat kurang ditambah lagi dengan masifnya promosi berbagai merek dagang pestisida membuat informasi tentang pengendalian HPT secara hayati semakin jarang terdengar. Penelitian ini bertujuan untu mengetahui peningkatan pengetahuan petani sebelum dan setelah di lakukan penyuluhan tentang pengendalian HPT cabai secara hayati. Metode yang digunakan adalah pre-test post-test one group design dengan jumlah responden sebanyak 31 orang yang ditentukan secara purposive. Peningkatan pengetahuan responden diuji dengan menggunakan statistic paired sample t test. Hasil uji analisis diketahui nilai signifikansi kurang dari 0,05 yang artinya ada perbedaan nyata antara pengetahuan petani sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Nilai rata-rata pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 3, 52 dan setelah dilakukan penyuluhan adalah 7, 23. Kata kunci : peningkatan, pengetahuan, hpt hayati, usahatani cabai ABSTRACT The level of knowledge of farmers in biological pest management are still lacking coupled with more promotion of various trademarks of pesticides to make information about biological countermeasures of pests and diseases are more rarely heard. This study aims to determine the increase in farmers' knowledge before and after doing counseling on prevention of pests and diseases biologically chili. The method used is the pre -test post-test design one group with the number of respondents as many as 31 people were determined by purposive. Increased knowledge of the respondents tested using statistical paired sample t-test. Test results analysis showed significance values less than ( ≤ ) 0.05 , which means there is a real difference between farmers' knowledge before and after counseling. Where in the know the average value of knowledge before the extension was 3, 52 and after the extension was 7, 23 . Keywords : improvement, knowledge, biological pests and plant diseases, chili farming PENDAHULUAN Budidaya cabai hingga kini masih sangat diminati oleh petani walaupun harga komoditas ini sangat fluktuatif. Kebutuhan akan cabai yang terus meningkat menjanjikan keuntungan bagi usahatani cabai, banyak petani yang mendapatkan keutungan berlipat namun banyak juga yang gagal karena harga yang murah atau serangan hama penyakit yang masif. Hama dan penyakit tanaman menjadi faktor penyebab utama turunnya produktivitas tanaman, Puluhan tahun lamanya hingga sekarang para petani mengendalikan hama dan penyakit dengan bahan-bahan kimia buatan pabrik seperti insektisida, fungisida, bakterisida, dan masih banyak lainnya dengan harga yang relatif mahal. Untuk mengurangi resiko kegagalan dalam usahatani cabai petani sering menggunakan berbagai macam pestisida dalam jumlah yang besar tanpa memperhatikan keberlangsungan hayati ataupun keamanan pangan dari cabai yang di hasilkan. Tingkat pengetahuan petani akan cara penanggulangan hama penyakit secara hayati masih sangat kurang di tambah lagi dengan gencarnya promosi produk berbagai merek dagang pestisida membuat informasi akan pengendalian hama secara hayati semakin tidak terdengar. Pada kondisi inilah diperlukan sosialisasi dan diseminasi teknologi agar berbagai inovasi penanggulangan hama penyakit dapat tersampaikan ke petani sebagai pengguna. Dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian, diseminasi tidak bisa dipisahkan dengan penelitian dan pengkajian sehingga berbagai hasil
256
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
penelitian dapat tersebar keberbagai kalangan khususnya petani sebagai pengguna karena diseminasi merupakan penyebaran teknologi kepada pengguna sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal pada masyarakat. ( Basuno,2003) Peningkatan pengetahuan petani akan mempengaruhi keputusan dalam penerapan suatu teknologi pertanian sehingga diperlukan diseminasi inovasi teknologi untuk itu kajian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pengetahuan petani dalam peanggulangan HPT hayati pada usahatani cabai di Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong. METODOLOGI Penelitian dilakukan pada bulan November 2015 di Desa Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong. Sampel penelitian adalah anggota kelompok tani cabai di Desa Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong. Jumlah sampel adalah 31 orang petani yang diambil secara purposive sampling. Pengambilan data menggunakan pendekatan pre-test post-test one group design yaitu eksperimen yang dilakukan pada satu kelompok tanpa kelompok pembanding. Arikunto (2002) mengungkapkan “pre-test posttest one group design adalah penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum eksperimen (pre-test) dan sesudah ekperimen (post-test) dengan satu kelompok subjek. Pengambilan data menggunakan kuesioner yang harus di jawab oleh petani responden sebelum dilakukan penyuluhan. Untuk melihat peningkatan pengetahuan petani responden, kuesioner yang sama di bagikan kembali setelah penyuluhan selesai . Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan dilakukan uji statistik digunakan statistic paired sample t test . rumus t-test yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi dengan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2011) t=
𝑋1−𝑋2 2 2 √𝑆1 + 𝑆2 −2 𝑟 ( 𝑆1 )( 𝑆2 ) 𝑛1 𝑛2 √𝑛1 √𝑛2
Dimana : X1 = Rata - rata sampel 1 X2 = Rata – rata sampel 2 S1 = Simpangan baku sampel 1 S2 = Simpangan baku sampel 2 S12 = Varians sampel 1 S22 = Varians sampel 2 r = Korelasi antara dua sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Karakteristik Responden Petani responden rata-rata berusia 36, 9 tahun usia yang masih sangat muda dan berada pada usia yang produktif. Pada usia yang masih relatif muda, masih sangat besar peluang untuk menerima inovasi untuk perbaikan teknologi usahatani yang di terapkan seperti di jelaskan dalam Soekartawi (1988) bahwa usia yang muda petani akan lebih mudah untuk menerima informasi dan menerapkan inovasi baru. Pengalaman rata-rata petani responden yaitu 7 tahun, dimana setiap petani responden sudah lebih dari 5 kali musim tanam melakukan usahatani cabai sehingga sudah banyak melihat dan mengalami berbagai kondisi iklim, serangan hama dan juga fluktuasi harga. Pengalaman ini akan membuat petani belajar cara yang paling efektif dalam penerapan usahatani cabai dan juga mempelajari kondisi yang paling menguntungkan dalam kegiatan usahataninya. Rata-rata pendidikan formal petani responden 9,1 tahun artinya sudah berada di atas wajib belajar pemerintah 9 tahun. Lama pendidikan seseorang akan mempengaruhi wawasan dan kemampuan nalar serta berpikir seseorang sehingga akan mempengaruhi kemampuan dalam manajemen usaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sejalan dengan hasil penelitian Hutuaruk (2009) bahwa lama pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan dan berpengaruh positif terhadap produktifitas hasil pertanian yang di lakukan.
257
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
b. Tingkat Pengetahuan Petani Pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian mempengaruhi sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan (keterampilan). Dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan perilak (Astuti dan Honorita, 2013)
Table. Pengetahuan petani terhadap pengendalian hama dan penyakit secara hayati. No 1 2 3 4 5
Item pengetahuan Pengendalian busuk buah Pembuatan tanaman penghalang/ border Benih berlabel Pengelolaan lahan dan trichoderma Perangkap hama Pergiliran Pestisida
Nilai rata 9 0 1 8 2 0
Keterangan 99 % mengetahui 100 % tidak mengetahui 90 % tidak mengetahui 80 % mengetahui 80 % tidak mengetahui 100 % tidak mengetahui
Pengetahuan petani terhadap penyebab busuk buah sudah cukup baik, petani dominan menjawab penyebab busuk buah adalah lalat buah dan jamur. Sebagaimana diketahui bahwa penyebab utama busuk buah pada cabai adalah lalat buah cendawan Colletotrichum sp. Untuk mencegah dan menangani penyakit busuk buah petani dominan (99 %) menjawab dengan sanitasi atau pembersihan lahan, menggunakan lem perangkap dan melakukan penyemprotan pestisida. Dari jawaban petani bisa dilihat bahwa petani sudah menyadari akan cara –cara pencegahan dan penanganan busuk buah namun lahan yang bersih / sanitasi dimaksud bukan hanya membersihkan gulma atau rumput pengganggu tanaman melainkan juga petani harus membuang sisa buah yang jatuh disekitar tanaman karena ketika buah cabai busuk tidak segera dibuang maka larva yang ada di dalam buah akan segera berubah menjadi pupa dan menetas menjadi lalat buah baru. Pengetahuan petani akan pembuatan tanaman penghalang/pagar atau border sangat rendah 100 % karena petani belum mengetahui tentang pembuatan border. Petani masih beranggapan penyemprotan sebelum terserang penyakit adalah cara pencegahan yang paling baik padahal tanaman pagar bisa mencegah tertularnya tanaman dari hama penyakit yang ada di sekitar lahan. Penggunaan border dapat di lakukan dengan menanam jagung 5-6 baris rapat (15-20 cm) sekeliling kebun 2-3 minggu sebelum tanam cabai dengan tujuan membuat penghalang agar serangga vektor dan penyakit lain dari kebun tetangga tidak masuk ke lahan tanaman cabai. Saat ini petani umumnya menggunakan insektisida untuk pengendalian berbagai serangan hama penyakit yang merusak tanaman terutama pada tanaman yang tidak memiliki ketahanan terhadap hama-ham tersebut. Pengendalian menggunakan bahan kimia seringkali menimbulkan permasalahan baru diantaranya adalah pencemaran lingkungan yang menyebabkan keracunan bagi petani pengguna, matinya musuh alami dari hama yang diharapkan dapat menekan populasi hama secara alamiah dan bisa juga menyebabkan serangga menjadi resisten sehingga penggunaan selanjutnya harus dengan dosis yang lebih tinggi selain itu penggunaan insektisida kimia dapat menimbulkan risurjensi hama atau meningkatnya populasi hama setelah penggunaan insektisida. Hasil penelitian Kusheryani (2006) menjelaskan bahwa tanaman yang diusahakan secara organik dengan menggunakan tanaman penolak hama yaitu tanaman daun bawang, selasih dan tagetes menunjukkan hasil dan pertumbuhan cabang tanaman yang lebih baik daripada cara-cara konvensional. Untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman tentulah tanaman harus sehat sejak di pembibitan atau pemilihan benih karena benih yang terkontaminasi penyakit tanaman akan membuat tanaman tidak sehat dan menyebabkan kegagalan dalam usahatani. Untuk memastikan benih yang dipilih adalah sehat bisa dengan menggunakan benih berlabel dan dominan petani (99%) tidak menggunakan benih berlabel dan menganggap benih bisa diambil dari tanaman yang secara kasat mata terlihat sehat. Pengelolaan lahan perlu di jadikan perhatian yang serius karena jamur dan beberapa hama seperti ulat Gangsir (Brachytrypes portentosus) dapat menyerang tanaman sejak tanaman baru dipindahkan kelahan tanam. 80 % petani sudah mengetahui pemanfaatan jamur trikoderma untuk mencegah serangan jamur pada akar dan pangkal batang tanaman. Ismail dan tenrirawe (2012) menjelaskan, Trichoderma spp. mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai agens hayati dalam pengendalian penyakit tanaman, hal ini karenakan sifat Trichoderma spp. sebagai cendawan antagonis yang dianggap aman bagi lingkungan karena cendawan ini berasal dari tanah dan
258
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
dapat berfungsi sebagai pengurai unsur hara tanaman serta dalam pengendalian penyakit memberikan hasil yang cukup memuaskan. Untuk mencegah serangan hama penyakit tanaman di lakukan dengan pembuatan perangkap, dalam membuat perangkap, kita memanfaatkan sifat phototaksis postitif dalam menangkap serangga. Serangga umumnya tertarik dengan warna merah, biru, hijau, dan kuning. Dari ketiga warna tersebut, warna kuning yang paling banyak serangga yang tertarik, kemudian disusul warna biru, hijau, dan merah. Sebanyak 80 % petani responden belum mengetahui pembuatan perangkap dengan menggunakan perangkap berwarna kuning. Perangkap warna dapat dimaksimalkan untuk fokus menangkap serangga tertentu. Misal lalat buah, bisa menggunakan buah tiruan yang berwarna kuning kemudian diberi perekat atau bisa juga papan kuning ditambahkan metil eugenol atau pheromon sebagai zat penarik melalui aroma untuk memperkuat daya tarik. Pemanfaatan pestisida terkadang tidak bisa dihindari selama proses produksi, namun pemanfaatan pestisida yang berimbang dan tidak berlebihan masih harus terus di sosialisasikan kepada petani, 100 % atau semua petani responden belum mengetahui bahwa harus dilakukan pergiliran pestisida dalam penyemprotan hama penyakit. Sembayang (2013) menjelaskan beberapa dampak negatif pestisida : (1) timbulnya resistensi hama sasaran, (2) resurjensi (timbul lagi hama sasaran), (3) residu pestisida, penggunaan pestisida berlebih pada tanaman cabai dengan perkiraan 30 x penyemprotan permusim, (4) terbunuhnya musuh-musuh alami tanaman penting pada cabai dan (5) terjadinya pencemaran lingungan. Aplikasi pestisida hanya digunakan bila populasi hama atau kerusakan yang ditimbulkan mencapai ambang ekonomi (ambang pengendalian) hama sasaran. Jenis pestisida yang digunakan juga hendaknya bersifat efektif dan dosis penggunaannya sesuai dengan rekomendasi penyemprotan. c. Perubahan Pengetahuan Petani. Untuk melihat perubahan pengetahuan petani setelah di lakukan penyuluhan tentang penanggulangan hama penyakit secara hayati dilakukan uji t dari skor penilaian setiap point jawaban yang di pilih oleh petani responden dan di dapatkan hasil bahwa nilai signifikansi kurang dari ( ≤ ) 0,05 yang artinya ada perbedaan nyata antara pengetahuan petani sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Dimana di ketahui nilai rata-rata pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 3, 52 dan setelah dilakukan penyuluhan adalah 7, 23. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indraningsih (2011) bahwa penyuluhan dapat memberikan peningkatan persepsi petani terhadap inovasi teknologi dan akan lebih baik lagi jika materi penyuluhan ini terkait langsung dengan aspek kebutuhan dan preferensi petani terhadap teknologi lokal. Peningkatan persepsi petani juga akan semakin tajam jika pada diri petani terdapat keberanian untuk mengambil resiko dan lebih berorientasi ekonomi. Sejalan pula dengan hasil penelitian Bahua (2015) bahwa kompetensi dan kinerja penyuluh berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku petani dalam menerapkan teknologi pertanian. Kartasapoetra (1997)menjelaskan bahwa, penyuluh pertanian merupakan agen bagi perubahan perilaku petani, yaitu dengan mendorong masyarakat petani untuk mengubah perilakunya menjadi petani dengan kemampuan yang lebih baik dan mampu mengambil keputusan sendiri, yang selanjutnya akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Melalui peran penyuluh, petani diharapkan menyadari akan kekurangannya atau kebutuhannya, melakukan peningkatan kemampuan diri dan dapat berperan di masyarakat dengan lebih baik.
KESIMPULAN 1. Petani cabai masih berada pada kisaran usia produktif dengan pengalam usahatani cabai selama tujuh tahun dan rata-rata pendidikan juga cukup tinggi yaitu diatas wajib belajar 9 tahun. 2. Statistic uji t diketahui ada perubahan pengetahuan petani setelah dilakukan penyuluhan HPT secara hayati. Pengetahuan petani tentang penanggulangan HPT cabai secara hayati sebelum dilakukan penyuluhan sangat rendah yaitu 3,52 namun setelah dilakukan penyuluhan pengetahuan petani menjadi meningkat menjadi 7,23.
259
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Arikonto,Suharsimi.2002. Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan dan Praktek. Bina asksara. Jakarta Astuti UP dan Honorita Bunayyah. 2013.Pengetahuan Petani Dalam Teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Terpadu di Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan Spesifik Lokasi Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Provinsi Bengkulu . Halaman 133-132 Bahua Ikbal Muhammad. 2015. Pengaruh Kompetensi pada Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Perilaku Petani Jagung di Provinsi Gorontalo. repository.ung.ac.id Basuno edi. 2003. Kebijakan Sistem Diseminasi Teknologi Pertanian : Belajar Dari BPTP NTB. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 1 No 3. Halaman 238-254 Hutuaruk Erwin Husudungan. 2009. Pengaruh Pendidikan Dan Pengalaman Petani Terhadap Tingkat Produktivitas Tanaman Kopi Dan Kontribusi Terhadap Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis. Universitas Sumatera Utara (USU) Indraningsih Suci kurnia. 2011. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan petani Dalam Adobsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Jurnal AgroEkonomi. Vol 2. Halaman 1-24 Ismail Nurmasita Dan Tenrirawe Andi. Potensi Agen Hayati Treichoderma Spp. Sebagai Agens Pengendali Hayati. Prosiding Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Program Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. Hal 177-189 Kartasapoetra AG. 1997. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bina Aksara. Kusheryani Ina dan Sandra Arifin Aziz. 2006. Pengaruh Jenis Tanaman Penolak Organisme Pengganggu Tanaman Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Kedelai ( Glycini max (L.) Merr ) Yang Diusakan Secara Organik. Bul. Agronomi Volume 34 no 1 halaman 39-45 Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi pertanian. Penerbit Jakarta : Universitas Indonesia ( UIPress) Semabayang Lukas. 2013. Teknik Pengendalian Penyakit Kuning Pada Tanaman Cabai. BPTP Sumatera Utara Sugiyono.2011. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung
260
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KERAGAAN SEPULUH GENOTIP KRISAN POTONG HASIL PERSILANGAN PERFORMANCE OF TEN CUT CHRYSANTHEMUM HYBRIDIZATION GENOTYPES Kurnia Yuniarto, Rika Meilasari dan Suryawati Balai Penelitian Tanaman Hias Jl. Raya-Ciherang, Segunung PO. Box 8 Sindanglaya, Pacet, Cianjur, Jawa Barat 43253 email :
[email protected] ABSTRAK Program pemuliaan krisan secara konvensional melalui persilangan yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias telah menghasilkan sejumlah genotip F1. Keragaan dari setiap genotip perlu diketahui untuk mengetahui keunggulan dari genotip-genotip krisan yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan dari sepuluh genotip krisan potong hasil persilangan di Balithi. Penelitian dilakukan di dalam rumah plastik Balai Penelitian Tanaman Hias Kebun Percobaan Cipanas dari bulan Januari – Juli 2016. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan menggunakan 10 genotip krisan yang diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah internode, jumlah bunga, respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan warna bunga tabung. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pada semua karakter pengamatan kecuali karakter warna bunga tabung. Genotip F memiliki karakter tinggi tanaman yang paling tinggi, sedangkan genotip G memiliki karakter jumlah internode dan jumlah bunga yang terbanyak diantara sepuluh genotip yang diuji. Respon time dari sepuluh genotip yang diuji berkisar antara 59 sampai 84 hari, dimana genotip B merupakan genotip dengan respon time tersingkat dan genotip F merupakan genotip dengan respon time terlama. Bentuk bunga bervariasi yaitu tunggal untuk genotip A,C,H dan J, semi ganda untuk genotip F, ganda untuk genotip D, E, dan I, dan dekoratif untuk genotip B dan G. Warna bunga pita beragam yang terdiri dari white group, yellow group, yellow orange group, red group, red purple group, greyed yellow group, greyed orange group dan greyed red group, sedangkan warna bunga tabung hanya terdiri dari satu grup warna yaitu yellow green group. Kata Kunci : genotip, keragaan, krisan, persilangan. ABSTRACT Chrysanthemum conventional breeding programs through hybridization conducted in Indonesian Ornamental Crops Research Institute has produced a number of F1 genotype. The performance of each genotype needs to know to determine the superiority of the chrysanthemum genotypes. The purpose of this study was to determine the performance of ten genotypes of cut chrysanthemum from hybridization in IOCRI. The study was conducted in a plastic house of Cipanas installation of IOCRI from January to July 2016. The study used randomized block design (RBD) with 10 chrysanthemum genotypes as a treatment were repeated three times. Observations were made on plant height, internode number, number of flowers, response time, flower shape, color of ray floret and color of disc florets. The results of this study showed there are differences in all characters except the character of color of disc florets. F genotype has the highest of plant height, while the G genotype has the most of internode number and flower number among the ten genotypes. The response time of ten genotypes was ranged from 59 to 84 days, in which the B genotype is the shortest and F genotype is the longest. The flower shape diverse among genotypes, single flower shape for A, C, H and J genotypes, semi-double flower shape for F genotype, double flower shape for D, E, and I genotypes, and decorative flower shape for B and G genotypes. Ray floret color diverse group there are white group, yellow group, yellow orange group, red purple group, greyed yellow group, greyed orange group and greyed red group, while the color of disc florets only has one group that is yellow green group. Keywords : genotype, performance, chrysanthemum, hybridization
261
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Bunga potong krisan merupakan bunga potong yang sangat diminati konsumen tanaman hias di Indonesia. Bentuk bunga, warna bunga, kemudahan untuk dirangkai dan harganya yang relatif murah dibandingkan bunga potong lainnya merupakan alasan utama yang menjadikan bunga potong krisan lebih disukai oleh para pengguna tanaman hias. Bagi pengguna yang pada umumnya pendekor, bunga potong krisan umumnya dijadikan sebagai pilihan utama karena dalam satu tangkainya untuk krisan tipe spray memiliki jumlah kuntum bunga yang banyak, dengan harga yang tergolong relatif murah. Selain itu Purwanto dan Martini (2009) juga menyatakan bahwa warna bunga juga menjadi dasar pilihan bagi konsumen, dimana pada umumnya konsumen lebih menyukai warna merah, putih dan kuning sebagai warna dasar krisan. Tidak mengherankan hingga saat ini permintaan terhadap krisan lebih tinggi dibandingkan dengan bunga potong lainnya. Produksi bunga potong krisan menunjukkan kecenderungan yang meningkat secara signifikan. Pada tahun 2005 produksi krisan di Indonesia sebesar 47.465.794 tangkai, kemudian meningkat pada tahun 2006 yaitu sebesar 63.716.256 tangkai. Pada tahun 2007 produksi meningkat menjadi 66.979.260 tangkai. Peningkatan produksi yang signifikan terjadi pada tahun 2008 menjadi 101.777.126 tangkai. Pada tahun 2009 produksi krisan sebesar 107.847.072 tangkai dan pada tahun 2010 produksi krisan meningkat menjadi 185.232.970 tangkai. Pada tahun 2013 produksi bunga krisan mencapai angka 387.208.754 tangkai (Kementerian Pertanian, 2016). Peningkatan produksi yang terus menerus ini menunjukkan besarnya minat masyarakat terhadap bunga potong krisan. Balai Penelitian Tanaman Hias sebagai institusi pemerintah yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan tanaman hias telah melakukan program pemuliaan tanaman krisan untuk menghasilkan varietas-varietas unggul baru krisan. Genus krisan sangat bervariasi baik secara morfologi maupun tingkat ploidinya (dari 2n = 2x = 18, hingga 2n = 36, 54, 72, hingga 90) dengan sejarah evolusi yang kompleks (Liu et al., 2012 dalam Baliyan et al., 2014). Kumar et al. (2006) juga menyatakan bahwa krisan yang dibudidayakan sebagian besar memiliki keragaman genetik yang tinggi. Program pemuliaan krisan secara konvensional melalui persilangan yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias telah menghasilkan sejumlah genotip F1. Keragaan dari setiap genotip perlu diketahui untuk mengetahui keunggulan dari genotip-genotip krisan yang dihasilkan. Dengan mengetahui keunggulan dari setiap genotip yang diuji kita akan dapat mendaftarkan lebih banyak lagi varietas unggul baru krisan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan dari sepuluh genotip krisan potong hasil persilangan di Balithi. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kebun Percobaan Cipanas dari bulan Januari – Juli 2016 dengan ketinggian lokasi 1100 m dpl. Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian berupa 10 genotip krisan potong hasil persilangan yaitu genotip A, B, C, D, E, F, G, H, I dan J. Bahan penelitian lainnya berupa pupuk kandang, pupuk NPK, growmore, dithane, confidor, reagent. Alat yang digunakan antara lain lampu, timer, instalasi listrik, net/tali rambang dan Royal Horticulture Society Color Chart. Percoban dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang sebanyak tiga kali dengan genotip krisan sebagai perlakuan. Sepuluh genotip krisan ditanaman di rumah lindung pada bedengan dengan jarak tanam 12,5 x 12,5 cm.Krisan merupakan tanaman hari pendek dimana tanaman akan segera berbunga jika panjang hari kurang dari 14.5 jam (Crockett, 1977). Berdasarkan hal tersebut maka dalam budidaya krisan di Indonesia diperlukan penambahan cahaya agar bagian vegetatif tanaman dapat tumbuh kuat (Hasim dan Reza, 1995) dan ketinggian tanaman krisan dapat mencapai tinggi yang diinginkan pada waktu panen (Rukmana dan Mulyana, 1997). Penambahan cahaya lampu dilakukan selama 4 jam mulai pukul 22.00 sampai pukul 02.00 setiap hari selama sekitar 4 minggu atau tanaman telah mencapai tinggi 30 cm. Penyiraman pada tanaman krisan muda berumur 1-2 minggu dilakukan setiap hari sekali. Pada minggu selanjutnya penyiraman dilakukan melihat kondisi tanah. Pemupukan susulan dilakukan pada satu bulan setelah tanam yaitu dengan menambahkan pupuk urea 150 kg/ha. Pupuk ditabur dalam larikan dan ditimbun kembali. Pemberian pupuk daun dilakukan bersamaan dengan penyemprotan pestisida setiap minggu sekali. Pembersihan gulma dilakukan 2 minggu sekali atau tergantung pertumbuhan gulma. Pengamatan dilakukan saat tanaman telah berbunga yang meliputitinggi tanaman, jumlah internode, jumlah bunga, respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan warna bunga tabung. Pengamatan tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga kuncup / bunga tertinggi yang dibentuk
262
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
oleh tanaman. Respon time (waktu respon) adalah jumlah hari yang diperlukan dari saat dimatikan penyinaran lampu tambahan sampai tanaman krisan berbunga dan siap panen. Bentuk bunga dilihat secara visual apakah termasuk katergori tunggal, ganda, semi ganda, anemon atau dekoratif (Balai Penelitian Tanaman Hias, 2009). Warna bunga pita (kuntum bunga) dan bunga tabung (piringan bunga) diamati dengan membanding warna kuntum bunga dan piring bunga dengan RHS Color Chart (The Royal Horticultural Society Color Chart).Data pengamatan untuk karakter tinggi tanaman, jumlah bunga dan jumlah internode dianalisis menggunakan analis sidik ragam dan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5% menggunakan program MSTATC. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi tanaman, jumlah bunga dan jumlah internode Data tinggi tanaman, jumlah bunga dan jumlah internode dari 10 genotip krisan potong yang diuji dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tinggi tanaman, jumlah bunga dan jumlah internode 10 genotip krisan potong yang diuji Genotip Tinggi tanaman A 76.83 bc B 91.56 cd C 64.17 ab D 89.01 cd E 89.61 cd F 94.71 d G 84.74 cd H 54.47 a I 81.22 cd J 61.61 a Sumber : Data primer (2014).
Jumlah bunga 10.89 ab 14.22 bc 10.67 ab 8.89 a 11.33 ab 17.33 c 22.78 d 8.00 a 9.56 a 7.56 a
Jumlah internode 31.33 a 40.78 ef 35.89 bcd 33.44 abc 37.56 cde 38.78 def 42.11 f 32.11 ab 33.56 abc 32.22 ab
Hasil analisis sidik ragam dari karakter tinggi tanaman menunjukkan terdapatnya perbedaan yang nyata dari 10 genotip krisan potong yang diuji. Tinggi tanaman berkisar dari 54,47 cm sampai 94,71 cm. Tabel 1. menunjukkan keragaan tinggi tanaman krisan dimana genotip F memiliki karakter tinggi tanaman yang paling tinggi dan genotip H merupakan genotip dengan karakter tinggi tanaman yang paling pendek. Hasil penelitian Yuniarto, et al (2004) terhadap karakter morfologi progeni 13 pasang persilangan krisan juga menunjukkan terdapatnya keragaman yang luas pada karakter tinggi tanaman dan jumlah daun dari genotip krisan yang diuji. Hal yang sama juga terdapat pada hasil penelitian Warsito dan Marwoto (2003) dimana hasil analisis dari 15 klon harapan krisan yang diuji menunjukkan terdapatnya keragaman pada karakter tinggi tanaman. Tinggi tanaman merupakan hal yang akan menentukan panjang tangkai bunga dari bunga potong krisan. Panjang tangkai bunga pada bunga potong kisan merupakan salah satu karakter yang menjadi indikator penentuan kualitas dari bunga potong krisan. Pada bunga potong krisan, kelas mutu AA yang merupakan kelas tertinggi dengan syarat mutu untuk karakter panjang tangkai bunga minimal 80 cm (Direktorat Budidaya Tanaman Hias, Dirjen Hortikultura). Berdasarkan syarat mutu tersebut, maka dari 10 genotip yang diuji terlihat terdapat 6 genotip yang memenuhi persyaratan tersebut yaitu genotip B, D, E, F, G dan I. Karakter jumlah bunga menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata diantara genotip-genotip krisan potong yang diuji. Pada Tabel 1. terlihat bahwa genotip G memiliki karakter jumlah bunga terbanyak dan berbeda nyata dengan genotip-genotip lainnya yaitu mencapai 22,78 kuntum. Semakin banyak kuntum bunga yang terdapat dalam satu tangkai bunga maka hal tersebut akan semakin disukai oleh konsumen. Umumnya pasar menginginkan minimal terdapat 10 kuntum bunga pada satu tangkai bunga krisan. Jika dilihat dari hasil pengamatan maka terdapat 6 genotip diantara krisan yang diuji yang memenuhi kriteria tersebut yaitu genotip A, B, C, E, F dan G. Jumlah internode pada tanaman krisan menggambarkan jumlah daun yang dimilikinya. Daun merupakan tempat fotosintesis. Semakin banyak jumlah daun yang dimiliki oleh tanaman secara fisiologis akan menjamin proses fotosintesis yang lebih banyak, sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih baik. Keragaan jumlah internode sepuluh genotip krisan potong yang diuji dapat dilihat pada
263
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Pengamatan terhadap jumlah internode dari genotip-genotip krisan potong yang diuji menunjukkan keragaman yang besar dimana kisaran nilainya berkisar antara 31,33 hingga 42,11. Genotip G menunjukkan nilai jumlah internode terbanyak, sedangkan genotip A memiliki jumlah internode yang paling sedikit. Jika kita lihat data tinggi tanaman dan jumlah bunga, terlihat bahwa genotip G memiliki tinggi tanaman 84,74 cm, dimana secara statistik tidak berbeda nyata dengan genotip F yang merupakan genotip dengan tinggi tanaman yang paling tinggi. Sedangkan untuk jumlah bunga, terlihat bahwa genotip G merupakan genotip dengan karakter jumlah bunga terbanyak. Hal ini sejalan dengan jumlah internode yang dimiliki oleh genotip G dimana genotip ini memiliki jumlah internode yang paling banyak. Respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan warna bunga tabung Data respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan warna bunga tabung dari sepuluh genotip krisan potong yang diuji dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan warna bunga tabung 10 genotip krisan potong yang diuji No
Genotip
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A B C D E F G H I J
Respon time (hari) 72 59 65 61 61 84 71 72 71 76
Bentuk bunga
Warna bunga pita
Warna bunga tabung
Tunggal Dekoratif Tunggal Ganda Ganda Semi Ganda Dekoratif Tunggal Ganda Tunggal
Yellow group 6A Yellow orange group 15 B Red purple group 70 B Yellow group 5A White group NN 155 D Greyed orange group 167 A Greyed yellow group 160 A Red purple group 71 D Greyed red group 181A Yellow group 6A
Yellow green group N 144 A Tidak ada/tidak terlihat Yellow green group 144 A Yellow green group N 144 A Yellow green group 144 A Yellow green group 144 B Tidak ada/tidak terlihat Yellow green group 144 A Yellow green group 144 A Yellow green group 144 B
Sumber : Data primer (2014). Respon time dari sepuluh genotip yang diuji berkisar antara 59 sampai 84 hari, dimana genotip B merupakan genotip dengan respon time tersingkat dan genotip F merupakan genotip dengan respon time terlama. Informasi karakter respon time dari suatu genotip sangat penting bagi petani karena berdasarkan data ini petani dapat memprediksi waktu panen bunga potongnya, sehingga pengaturan waktu tanam dan pemberian hari pendek dapat diatur sesuai keinginan kapan waktu panen bunga yang diinginkan. Hal ini sangat bermanfaat bagi para petani krisan pada saat menyesuaikan saat panen bunga potong krisan dengan waktu-waktu permintaan bunga potong krisan yang tinggi. Karakter bentuk bunga dari genotip diuji menunjukkan terdapatnya keragaman yaitu bentuk bunga tunggal untuk genotip A,C,H dan J, bentuk bunga semi ganda untuk genotip F, bentuk bunga ganda untuk genotip D, E, dan I, dan bentuk bunga dekoratif untuk genotip B dan G. Bentuk dan warna bunga merupakan karakter bunga yang penting dari tanaman krisan (Li, et al., 2016). Gambar bunga dari genotip krisan potong yang diuji dapat dilihat pada Gambar 4.
Genotip A
Genotip B
264
Genotip C
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Genotip D
Genotip E
Genotip H
Genotip F
Genotip I
Genotip G
Genotip J
Gambar 4. Bunga dari genotip-genotip krisan potong yang diuji Struktur inflorescence krisan terdiri dari dua morfologi bunga yang berbeda yaitu ray floret atau bunga pita dan disc floret atau bunga tabung. Bunga pita memiliki petal dengan warna-warna yang menyolok dan tanpa stamen, bunga pita ini memegang peranan penting dalam menarik polinator. Sedangkan bunga tabung memiliki serbuk sari atau pollen yang fertil yang digunakan dalam proses reproduksi pada krisan (Liu, et al., 2016). Hasil pengamatan menunjukkan terdapatnya variasi yang beragam pada warna bunga pita. Genotip A, D dan J memiliki warna bunga pita kuning (yellow group), genotip B termasukdalam yellow orange group,genotip C dan H memiliki warna bunga pita dalam grup yang sama yaitu red purple group, genotip E termasukdalam white group, genotip F termasukdalam greyed orange group, genotip G termasukdalam greyed yellow group dan genotip I termasukdalam greyed red group. Pengamatan terhadap karakter warna bunga tabung menunjukkan bahwa semua genotip memiliki warna bunga tabung dalam grup warna yang sama yaitu yellow green group. Bentuk dan warna bunga akan menentukan keindahan dari tanaman krisan. Warna bunga pita krisan dipengaruhi oleh keberadaan pigmen antosianin dan karotenoid. Keberadaan antosianin saja akan menghasilkan warna bunga pink hingga violet, karotenoid saja akan menghasilkan warna bunga krem hingga kuning, dan keberadaan kedua pigmen akan menghasilkan warna tembaga hingga oranye (Teixera da Silva, et al., 2013).
1. 2. 3. 4. 5.
KESIMPULAN Keragaan dari sepuluh genotip krisan potong hasil persilangan di Balithi menunjukkan terdapatnya keragaman pada karakter tinggi tanaman, jumlah bunga, jumlah internode, respon time, bentuk bunga dan warna bunga pita. Genotip F memiliki karakter tinggi tanaman yang paling tinggi, sedangkan genotip G memiliki karakter jumlah internode dan jumlah bunga yang terbanyak diantara sepuluh genotip yang diuji. Respon time dari sepuluh genotip yang diuji berkisar antara 59 sampai 84 hari. Genotip B merupakan genotip dengan respon time tersingkat dan genotip F merupakan genotip dengan respon time terlama. Keragaan bentuk bunga bervariasi yaitu tunggal untuk genotip A,C,H dan J, semi ganda untuk genotip F, ganda untuk genotip D, E, dan I, dan dekoratif untuk genotip B dan G. Karakter warna bunga pita dari genotip yang diuji sangat beragam yang terdiri dari white group, yellow group, yellow orange group, red purple group, greyed yellow group, greyed orange group dan greyed red group, sedangkan warna bunga tabung hanya terdiri dari satu grup warna yaitu yellow green group.
265
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Dr. Ridho Kurniati, SP, MSi atas saran dan masukannya, Wisnu Aji Wibawa SP, Ika Haerawati STP dan Yiyin Nasihin, SP atas bantuannya dalam kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanaman Hias. 2009. Panduan Karakterisasi Tanaman Hias Krisan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Baliyan, D., A. Sirohi, M. Kumar, V. Kumar, S. Malik, S. Sharma and S. Sharma. 2014. Comparative genetic diversity analysis in chrysanthemum : A pilot study based on morpho-agronomic traits and ISSR markers. Scientia Horticulturae 167 : 164-168. Crockett, J. 1977. Green House Gardening. Time Life Books, Alexandria. Virginia. 209 p. Direktorat Budidaya Tanaman Hias, Dirjen Hortikultura. Acuan Standar Mutu Bunga Potong Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev Syn. Chrysanthemum morifolium Ramat). Hasim, I. dan M. Reza. 1995. Krisan. Penebar Swadaya. Jakarta. 108 hal. Kementerian Pertanian. https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. Diakses tanggal 30 September 2016. Kumar, S., K. V. Prasad and M. L. Choudhary. 2006. Detection of genetic variability among chrysanthemum radiomutants using RAPD markers. Current Science, Vol. 90, No. 8. Pp 1108 – 1113. Teixeira da Silva, J.A., H. Shinoyama, R. Aida, Y. Matsushita, S.K. Raj and F. Chen. 2013. Chrysanthemum Biotechnology : Quo vadis?,Critical Reviews. Plant Sciences 32:1, 21– 52. Li, P, F. Zhang, S. Chen, J. Jiang, H. Wang, J. Su, W. Fang, Z. Guan and F. Chen. 2016. Genetic diversity, population structure and association analysis in cut chrysanthemum (Chrysanthemum morifolium Ramat.). Mol Genet Genomics. 9 p. Liu, H., M. Sung, D. Du, H. Pan, T. Cheng, J. Wang, Q. Zhang and Y. Gao. 2016. BMC Genomic 17 : 398. Purwanto, A. W dan Tri Martini. 2009. Krisan, Bunga Seribu Warna. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 73 hal. Rukmana, R. dan A.E. Mulyana. 1997. Krisan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 108 hal. Warsito, A dan B. Marwoto. 2003. Evaluasi daya hasil dan adaptasi klon-klon krisan. J.Hort 13 (4) : 236 – 243. Yuniarto, K., M. Haeruman K., W. Astika dan B. Marwoto. 2004a. Variabilitas genetik karakter morfologi progeni 13 pasang persilangan krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev). Prosiding Seminar Nasional Florikultura, Bogor, 4-5 Agustus 2004, 263-270.
266
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
.KERAGAMAN GENETIK 101 GENOTIP KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev) BERDASARKAN ANALISIS KLUSTER DAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA GENETIC VARIABILITY OF 101 CHRYSANTHEMUM GENOTYPES(Dendranthema grandiflora Tzvelev) BASED ON CLUSTER ANALYSIS AND PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS Rika Meilasari1, W. A. Qosim2, Murdaningsih2, N. Rostini2, M. Rachmadi2, N. Wicaksana2, K. Yuniarto1dan Suryawati1 1
Balai Penelitian Tanaman Hias Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Jl. Raya-Ciherang, Segunung PO. Box 8 Sindanglaya, Pacet, Cianjur, Jawa Barat 43253 2
email :
[email protected] ABSTRAK Krisan merupakan salah satu tanaman hias yang banyak diminati oleh konsumen. Produksi bunga krisan termasuk dalam lima besar diantara tanaman hias lainnya di Indonesia. Hasil persilangan diantara varietas-varietas krisan diduga akan menghasilkan keragaman genetik yang luas pada genotip-genotip progeninya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pengelompokan dari 101 genotip krisan berdasarkan ketidakmiripan (dissimilarity) karakter fenotipiknya dan karakter yang memberikan kontribusi besar dalam pola pengelompokan berdasarkan analisis kluster dan analisis komponen utama. Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kebun Percobaan Cipanas dari bulan September 2013 – Februari 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan menggunakan 101 genotip krisan yang diulang sebanyak dua kali. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, diameter batang, panjang daun, lebar daun, jumlah internode, panjang internode, diameter bunga, diameter bunga tabung, diameter tajuk, jumlah bunga pita, jumlah bunga tabung, jumlah bunga per tanaman, jumlah cabang, panjang pedisel, umur mulai berbunga, respon time, lama kesegaran bunga, warna bunga, bentuk bunga, tipe bunga dan kekompakan bunga.Hasil penelitian menunjukkan terdapat ketidakmiripan yang tinggi pada genotipgenotip krisan yang dikaji. Pengamatan pada batas nilai koefisien ketidakmiripan 1,37 pada dendrogram menunjukkan bahwa 101 genotip krisan terbagi dalam 6 kelompok. Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa genotip-genotip krisan tersebar dalam empat kuadran yang berbeda. Berdasarkan nilai PC yang diperoleh dari analisis komponen utama terdapat tujuh karakter yang berkontribusi besar terhadap variasi pengelompokan 101 genotip krisan yaitu tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, diameter bunga, jumlah cabang, panjang pedisel dan umur mulai berbunga. Kata Kunci : analisis kluster, analisis komponen utama, keragaman genetik, krisan, persilangan ABSTRACT Chrysanthemum is one of the ornamental plants are much in demand by consumers. Chrysanthemum flower production in the top five among other ornamental plants in Indonesia.The result of hybridizationbetween varieties of chrysanthemum is expected to produce a broad genetic diversity in the progeny genotypes. The purpose of this study was to determine the pattern of grouping of 101 chrysanthemum genotypes based dissimilarity phenotypic characters and characters that make a major contribution in the pattern groupings based on cluster analysis and principal component analysis. The study was conducted at Cipanas installation of IOCRI from September 2013 to February 2014. The study used randomized block design (RBD) using 101 genotypes chrysanthemum were repeated twice. Observations were made on plant height, stem diameter, leaf length, leaf width, internode number, inter-node length, flower diameter, diameter of the disc florets, canopy diameter, number of ray florets, disc florets number, number of flowers per plant, number of branches, length of pedicel, age started flowering, response time, pot life, flower color, flower shape, flower type and compactness of flowers. The results showed a high dissimilarity in chrysanthemum genotypes studied. Observations on the dissimilarity coefficient value limit of 1.37 at dendrogram showed that 101 genotype chrysanthemums are divided into six groups. The results of principal component analysis showed that the genotypes chrysanthemums scattered in four different quadrants. Based on the value PC obtained from principal component analysis, there are seven characters that contribute to variation genotype grouping 101 chrysanthemum ie plant height, leaf length, leaf width, flower diameter, number of branches, pedicel length and age started flowering. Keywords : cluster analysis, principal component analysis, genetic variability, Chrysanthemum, hybridization
267
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Tanaman krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev)merupakan salah satu tanaman hias dari famili asteraceae yang banyak diminati konsumen dan cocok digunakan baik sebagai bunga potong maupun tanaman hias pot. Data dari Kementerian Pertanian (2015) menunjukkan bahwa pada tahun 2013 produksi bunga krisan menempati urutan teratas diantara produksi bunga potong lainnya di Indonesia dimana produksinya mencapai 387.208.754 tangkai. Terkait dalam hal sosial ekonomi, krisan merupakan tanaman hias kedua terpenting di dunia (Teixera da Silva, et al., 2013), dengan negara produksi utama meliputi Belanda, China, Jepang dan Korea Selatan (Li et al., 2016). Sedangkan untuk krisan pot, selain bentuk dan warna bunga yang beragam, memiliki keunggulan dari tanaman pot lainnya karena petani dapat mengatur waktu pembungaan krisan sesuai dengan yang diinginkan. Krisan merupakan tanaman yang menyerbuk silang. Hasil persilangan diantara varietasvarietas krisan diduga akan menghasilkan keragaman genetik yang luas pada genotip-genotip progeninya. Melalui hibridisasi, diharapkan dapat mengumpulkan karakter-karakter yang diiginkan dari tetua terpilih pada progeni yang dihasilkan. Semakin jauh jarak genetik dari tetua yang disilangkan maka peluang diperolehnya variabilitas yang luas akan semakin tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka informasi mengenai kekerabatan dari tetua persilangan sangat diperlukan dalam program pemuliaan. Kekerabatan genetik antara dua tanaman atau populasi diukur berdasarkan kemiripan sejumlah karakter, dengan asumsi karakter-karakter berbeda menggambarkan perbedaan susunan genetiknya (Kartikaningrum, 2002). Balai Penelitian Tanaman Hias telah mendapatkan 100 genotip klon F1 hasil persilangan dengan krisan pot sebagai tetua betina yaitu varietas “Garden Mum Red”, “Surf” dan “Sunny Ursula”. Tetua jantan yang digunakan terdiri dari dua tipe krisan pot yaitu varietas “Bonny” dan “Miramar” dan dua tipe krisan potong yaitu varietas “Swarna Kencana” dan “Tirta Ayuni”. Lima dari tetua persilangan merupakan krisan introduksi dengan karakter morfologi yang bervariasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pengelompokan dari 101 genotip krisan berdasarkan ketidakmiripan (dissimilarity) karakter fenotipiknya dan mengetahui karakter apa yang memberikan kontribusi besar dalam pola pengelompokan berdasarkan analisis kluster dan analisis komponen utama. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kebun Percobaan Cipanas dari bulan September 2013 – Februari 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan menggunakan 101 genotip krisan yang diulang sebanyak dua kali. Adapun genotip-genotip krisan yang digunakan merupakan genotip F1 krisan hasil persilagan dari 5 populasi persilangan yaitu populasi A (persilangan ”Garden Mum Red” x ”Bonny”) sebanyak 22 genotip, populasi B (persilangan ”Garden Mum Red” x ”Swarna Kencana”) sebanyak 29 genotip, populasi C (persilangan ”Garden Mum Red” x ”Miramar”) sebanyak 7 genotip, populasi D (persilangan ”Surf” x ”Tirta Ayuni”) sebanyak 9 genotip dan populasi E (persilangan ”Sunny Ursula” x ”Bonny”) sebanyak 29 genotip serta 5 varietas tetua persilangan yaitu ”Garden Mum Red”, ”Bonny”, ”Sunny Ursula”, ”Miramar” dan ”Surf”. Genotip krisan ini ditanam dalam pot plastik berdiameter 15 cm dan dibudidayakan sebagai krisan pot. Pengamatan dilakukan saat tanaman telah berbunga. Adapun karakter yang diamati meliputitinggi tanaman, diameter batang, panjang daun, lebar daun, jumlah internode, panjang internode, diameter bunga, diameter bunga tabung, diameter tajuk, jumlah bunga pita, jumlah bunga tabung, jumlah bunga per tanaman, jumlah cabang, panjang pedisel, umur mulai berbunga, respon time, lama kesegaran bunga, warna bunga, bentuk bunga, tipe bunga dan kekompakan bunga. Data pengamatan diseragamkan menjadi data kualitatif dengan melakukan skoring. Penentuan skoring terhadap karakter tinggi tanaman didasarkan pada UPOV (2010) dimana tinggi tanaman dibagi atas 3 kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan skor 3, 5 dan 7. Berdasarkan Cahyono (1999) karakter tinggi krisan pot untuk kualitas yang bagus sekitar 20-25 cm. Skoring untuk karakter diameter tajuk juga akan dibagi atas tiga kelas dan berdasarkan Cahyono (1999) kualitas krisan pot yang bagus adalah yang memiliki diameter tajuk lebih dari 20 cm. Berdasarkan hal tersebut maka skoring untuk karakter tinggi tanaman adalah : (3) : x< 20 cm ; (5) : 20 cm ≤ x ≤ 25 cm ; (7) : x > 25 cm dan skoring untuk karakter diameter tajuk adalah : (3) : x< 20 cm ; (5) : 20 cm ≤ x ≤ 25 cm ; (7) : x > 25 cm.
268
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Penentuan skoring terhadap karakter panjang daun, lebar daun, diameter bunga, diameter bunga tabung, jumlah bunga pita, jumlah bunga per tanaman, jumlah cabang dan panjang pedisel berdasarkan UPOV (2010) akan dibagi atas 3 kelas dengan skor 3 (pendek/sempit/kecil/sedikit), 5 (sedang/medium), dan 7 (tinggi/lebar/besar/banyak). Mengacu pada hal tersebut maka untuk karakter diameter batang, jumlah internode, panjang internode dan jumlah bunga tabung juga akan dibagi dalam 3 kelas dengan skor yang sama. Adapun untuk karakter-karakter ini karena tidak ditentukan ukuran untuk setiap skor maka dari hasil data pengamatan akan dibagi ke dalam 3 kelas dari kisaran terendah sampai tertinggi. Penentuan skoring untuk karakter respon time akan mengacu pada karakter respon group pada UPOV (2010) yaitu : (1) : x < 6 minggu (2) : 6 minggu ≤ x < 6.5 minggu (3) : 6.5 minggu ≤ x < 7 minggu (4) : 7 minggu ≤ x < 7.5 minggu (5) : 7.5 minggu ≤ x < 8 minggu (6) : 8 minggu ≤ x <8.5 minggu (7) : 8.5 minggu ≤ x < 9 minggu (8) : 9 minggu ≤ x < 10 minggu (9) : 10 minggu ≤ x <11 minggu (10) : 11 minggu ≤ x <12 minggu (11) : x ≥12 minggu. Penentuan skoring untuk karakter umur mulai berbunga dan lama kesegaran bunga karena perhitungan juga didasarkan waktu maka skoring akan dibagi mengacu pada skoring respon time dengan pembagian kelas berdasarkan kisaran data pengamatan dari terendah hingga tertinggi. Penentuan skoring untuk warna bunga mengacu pada UPOV (2010) dengan didasarkan pada warna dasar bunga menurut RHS Color Chart yaitu : (1) : White (2) : Yellow (3) : Yellow Orange (4) : Orange (5) : Orange Red (6) : Red (7) : Red Purple (8) : Purple (9) : Greyed Orange (10) : Greyed Red. Penentuan skoring untuk bentuk bunga mengacu kepada Panduan Karakterisasi Tanaman Hias Krisan Balithi (2009) yaitu : (1) : Tunggal (2) : Ganda (3) : Semi ganda (4) : Anemon (5) : Dekoratif. Penentuan skoring untuk tipe bunga dan kekompakan bunga didasarkan pada penilaian tipe bunga dan kekompakan bunga, untuk tipe bunga yaitu : (1) : Spray (2) : Standar dan untuk kekompakan bunga yaitu : (1) : Tidak Kompak (2) : Kurang Kompak (3) : Kompak. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System (NTSYS), program ini digunakan untuk mengetahui dan melihat struktur dari data multivariat (Rohlf, 2000). Data karakter fenotipik yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan standarisasi menggunakan fungsi STAND. Matriks rata-rata jarak taksonomis diperoleh menggunakan fungsi SIMINT dan koefisien DIST. Analisis kluster dilakukan berdasarkan matriks rata-rata jarak taksonomis dengan menggunakan metode unweighted pair-group method based on arithmetric avarage (UPGMA) (Tatineni et al., 1996). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis kluster pada penelitian ini menunjukkan nilai koefisien ketidakmiripan pada dendrogram mencapai angka 2,37. Matriks rata-rata jarak taksonomis merupakan matriks dissimilarityyang memuat angka-angka koefisien yang secara kuantitatif menggambarkan hubungan tingkat ketidakmiripan di antara genotip yang dibandingkan. Semakin besar nilai angka koefisien ketidakmiripan, maka semakin besar pula ketidakmiripan di antara dua genotip. Demikian pula semakin kecil nilai angka koefisien ketidakmiripan, maka semakin kecil pula tingkat ketidakmiripan di antara dua genotip (Kurniawan, 2000). Tingginya nilai koefisien ketidakmiripan ini mengindikasikan keragaman yang luas dari 101 genotip krisan yang diuji. Dendrogram pengelompokan genotip krisan berdasarkan matriks rata-rata jarak taksonomis dapat dilihat pada Gambar 1. Pada nilai koefisien jarak taksonomis 2,37 terlihat bahwa genotip krisan terbagi dalam dua kelompok besar, dimana kelompok pertama terdiri dari 99 genotip dan kelompok kedua terdiri dari 2 genotip yaitu D.09 dan Surf. Jika kita hubungkan dengan hasil pengamatan terhadap karakter bunga, kedua genotip ini memiliki tipe bunga standar yang berbeda dengan 99 genotip lainnya yang bertipe spray. Selain itu kedua genotip ini sama-sama memiliki diameter bunga yang besar dan bentuk bunga dekoratif. Jika kita tinjau dari segi latar belakang genetiknya, genotip D.09 merupakan genotip hasil persilangan dengan tetua betina “Surf”.
269
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Gambar 1. Dendrogram 101 genotip krisan Pengamatan pada batas nilai koefisien jarak taksonomis 1,37 yang ditunjukkan dengan garis putus-putus pada dendrogram menunjukkan bahwa genotip-genotip krisan yang dikaji terbagi dalam 6 kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok dengan jumlah genotip terbesar yaitu sebanyak 64 genotip. Kelompok pertama sebagian besar didominasi oleh genotip dari populasi E yaitu sebanyak 29 genotip, kemudian 15 genotip dari populasi A, 12 genotip dari populasi B, 4 genotip dari populasi C dan 1 genotip dari populasi D. Pada kelompok ini terlihat bahwa seluruh genotip E dan sebagian besar dari genotip A dan C berkumpul di kelompok ini. Hal ini diduga terdapatnya kemiripan antar genotip-genotip dengan tetuanya dimana populasi A berasal dari persilangan “Garden Mum Red” dengan “Bonny”, populasi C berasal dari persilangan “Garden Mum Red” dengan “Miramar” dan populasi E berasal dari persilangan “Sunny Ursula” dengan “Bonny”. Varietas tetua persilangan yaitu “Garden Mum Red”, “Sunny Ursula” dan “Bonny” terdapat dalam kelompok pertama, dan “Garden
270
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Mum Red” dengan “Sunny Ursula” berada pada satu sub kluster dengan jarak yang dekat yang mengindikasikan kemiripan di antara kedua varietas tersebut. Kelompok kedua terdiri dari 6 genotip dimana semuanya dari populasi A yaitu genotip A.05, A.06, A.16, A.17, A.13 dan A.23. Hal ini mengindikasikan terdapatnya tingkat kemiripan yang tinggi antar 6 genotip A tersebut dan ketidakmiripan yang tinggi antar keenam genotip dari populasi A tersebut dengan tetuanya. Kelompok ketiga terdiri dari 27 genotip yaitu 16 genotip dari populasi B, 6 genotip dari populasi D, 3 genotip dari populasi C, 1 genotip dari populasi A dan satu tetua persilangan yaitu “Miramar”. “Miramar” merupakan tetua jantan dari persilangan populasi C. Kelompok keempat dan kelima masing-masing terdiri dari satu genotip yaitu B.03 pada kelompok empat dan D.07 pada kelompok lima. Hal ini menunjukkan terdapatnya ketidakmiripan yang tinggi antara genotip B.03 dan D.07 dengan tetuanya maupun dengan genotip-genotip lainnya. Kelompok enam terdiri dari 2 genotip yaitu D.09 dan “Surf”, dimana seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa “Surf” merupakan tetua betina dari populasi D. Hal ini menunjukkan di antara genotip pada populasi D, genotip D.09 menunjukkan tingkat kemiripan yang paling tinggi dengan tetua betinanya, sekaligus menunjukkan ketidakmiripan dengan genotip-genotip dari populasi D lainnya. Keragaman dari genetik krisan juga telah dilaporkan pada beberapa hasil penelitian terdahulu. Hasil penelitian Jie et al. (2007) pada 45 varietas krisan yang dianalisis menggunakan metode AFLP menunjukkan terdapat variasi di antara varietas krisan yang diuji dan hasil analisis kluster menunjukkan 45 varietas krisan tersebut terbagi dalam 6 kelompok yang berbeda. Kim et al. (2014) melaporkan hasil penelitiannya terhadap 15 spesies krisan asli Korea yang menunjukkan bahwa 15 spesies krisan yang ditelitinya diklasifikasikan dalam 3 grup berdasarkan analisis kluster dan PCA, dimana grup pertama terdiri dari 9 spesies, grup kedua terdiri dari 1 spesies dan grup ketiga terdiri dari 5 spesies. Klasifikasi tersebut didasarkan pada pengamatan terhadap karakter pembungaan dan pertumbuhan tanaman secara umum. Sejalan dengan dua penelitian tersebut, hasil penelitian analisis keragaman terhadap 24 genotip krisan yang dilakukan oleh Baliyan et al. (2014) berdasarkan karakter morfo-agronomi, telah membagi 24 genotip krisan tersebut dalam 4 grup yang berbeda. Adapun dendrogram berdasarkan aplikasi ISSR yang dilakukannya membagi 24 genotip krisan dalam 2 kelompok besar, dimana kelompok pertama merupakan kelompok tunggal dan kelompok kedua terbagi lagi menjadi dua kelompok, sub kelompok pertama terbagi lagi menjadi 2 sub kelompok dan sub kelompok kedua terbagi lagi menjadi 5 sub kelompok. Analisis komponen utama (Principal Component Analysis / PCA) juga dilakukan pada genotip-genotip krisan untuk melihat pola pengelompokan dan karakter yang memberikan kontribusi keragaman dalam pengelompokan. Hasil analisis komponen utama yang tergambar dalam grafik biplot menunjukkan bahwa genotip-genotip krisan tersebar dalam empat kuadran yang berbeda, dimana sebagian besar genotip berkumpul mendekati titik utama. Adapun genotip yang berada pada titik-titik terjauh adalah genotip B.03 pada kuadran 1, D.01 dan Surf pada kuadran 2) dan genotip A.04 pada kuadran 4 (Gambar 2.).
271
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
1,0
PC 2
0,5
-1,5
0,0 -1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
-0,5
-1,0
-1,5
Pop A
Pop B
PC 1 Pop C
Pop D
Pop E
Tetua
Gambar 2. Grafik biplot PCA 101 genotip krisan Hasil analisis menunjukkan bahwa pengelompokan genotip menggunakan analisis komponen utama ini relatif sama dengan hasil pengelompokan genotip dengan menggunakan analisis kluster. Genotip B.03 yang berada pada sumbu PC 2 positif terjauh pada analisis kluster juga berada pada kelompok tersendiri yaitu pada kelompok empat. Genotip D.01 yang berada pada sumbu PC 1 positif terjauh pada analisis kluster berada pada kelompok tiga. “Surf” yang berada pada sumbu PC 2 negatif terjauh pada analisis kluster terdapat pada kelompok keenam bersama dengan genotip D.09 yang pada grafik biplot terlihat terletak berdekatan dengan “Surf”. Sebagian besar genotip yang berada pada titik tengah merupakan genotip-genotip yang berada pada kelompok pertama, kedua dan ketiga pada dendrogram hasil analisis kluster. Pada analisis komponen utama, kita dapat melihat kontribusi variasi karakter-karakter yang berperan dalam pengelompokan dari nilai PC. Menurut Zubair (2004) dalam Maxiselly (2011) PC yang memiliki nilai kontribusi variasi > 50% menunjukkan bahwa pengelompokan yang terjadi berasal dari variasi karakter-karakter yang diamati. Adapun PC yang berpengaruh dalam pengelompokan adalah PC memiliki nilai eigenvalue > 1 (Jeffers, 1966). Data selengkapnya nilai PC 1 – 5 dapat dilihat pada Tabel 1.
272
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Nilai PC dan eigenvalue dari 101 genotip krisan yang diuji No Karakter PC1 PC2 PC3 1 Tinggi Tanaman 0.822 0.098 0.112 2 Diameter Batang 0.510 -0.018 -0.412 3 Panjang Daun 0.774 -0.044 -0.035 4 Lebar Daun 0.730 0.006 -0.113 5 Jumlah Internode -0.152 0.306 -0.436 6 Panjang Internode 0.502 -0.169 0.197 7 Diameter Bunga 0.845 0.015 0.006 8 Diameter Bunga Tabung 0.545 0.616 0.189 9 Diameter Tajuk 0.580 -0.009 0.143 10 Jumlah Bunga Pita 0.406 -0.608 -0.041 11 Jumlah Bunga Tabung 0.529 0.528 0.096 12 Jumlah Bunga per Tanaman -0.599 0.211 -0.344 13 Jumlah Cabang -0.727 0.067 -0.195 14 Panjang Pedisel 0.738 0.173 0.236 15 Umur Mulai Berbunga 0.097 0.495 -0.717 16 Respon Time 0.517 0.440 -0.501 17 Lama Kesegaran Bunga 0.238 -0.546 -0.133 18 Warna Bunga -0.466 0.124 0.130 19 Bentuk Bunga 0.186 -0.645 -0.394 20 Tipe Bunga 0.253 -0.509 -0.316 21 Kekompakan Bunga 0.343 -0.223 -0.324 Eigenvalue 6.335 2.719 1.864 Persentase 30.168 12.946 8.877 Kumulatif 30.168 43.114 51.991 Sumber : Data Primer (2014)
PC4 0.109 -0.017 0.304 0.374 0.389 0.341 -0.060 -0.156 0.514 -0.091 -0.160 0.367 0.240 -0.146 -0.157 -0.087 0.335 0.348 -0.182 -0.286 0.024 1.433 6.825 58.816
PC 5 0.052 0.018 -0.116 -0.012 0.128 -0.446 -0.241 0.035 0.043 0.361 -0.144 -0.149 -0.202 0.235 -0.004 0.010 0.045 0.244 -0.088 -0.430 0.565 1.135 5.406 64.222
Pada penelitian ini terlihat bahwa PC1 sampai PC 5 memiliki nilai eigenvalue> 1. Nilai kumulatif eigenvalue pada PC 5 adalah sebesar 64,222%, hal ini menunjukkan bahwa sampai PC 5 dapat menggambarkan 64,222% keragaman dari total keragaman pada genotip-genotip krisan yang dikaji. Adapun karakter yang memiliki nilai PC > 0.7, baik bernilai positif maupun negatif, merupakan karakter yang memberikan kontribusi variasi dalam pengelompokan (Jeffers, 1966). Pada PC 1 terdapat enam karakter yang memberikan kontribusi variasi dalam pengelompokan yaitu karakter tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, diameter bunga, jumlah cabang dan panjang pedisel. Pada PC 2 tidak terdapat karakter yang memberikan kontribusi variasi dalam pengelompokan genotip krisan. Pada PC 3 terdapat satu karakter yang memberikan kontribusi variasi dalam pengelompokan genotip krisan yaitu umur mulai berbunga. Pada PC 4 dan 5 tidak terdapat karakter yang memberikan kontribusi variasi dalam pengelompokan genotip krisan. Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pada pengelompokan genotip krisan terdapat tujuh karakter yang berkontribusi besar terhadap variasi pengelompokan yaitu tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, diameter bunga, jumlah cabang, panjang pedisel dan umur mulai berbunga. Hasil penelitian Mukharjee et al. (2013) yang meneliti keragaman genetik pada 40 varietas krisan yang berbeda yang terdiri dari krisan tipe spray dan standar menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang luas di antara varietas-varietas krisan yang diuji. Pengelompokan krisan yang diuji dengan menggunakan principle coordinate analysis(PCA) menunjukkan bahwa sebagian besar dari kultivar-kultivar krisan tipe spray mengelompok pada titik yang berdekatan, dan semua krisan tipe standar kecuali satu atau dua, mengelompok pada satu grup. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan dimana dua genotip tipe standar yaitu D.09 dan “Surf” tergabung dalam satu kelompok, dan kedua genotip ini terpisah dengan 99 genotip lainnya yang bertipe spray.
273
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KESIMPULAN 6. Hasil analisis kluster menunjukkan terdapat ketidakmiripan yang tinggi diantara 101 genotip krisan yang diteliti, dimana dari gambar dendrogram pada batas nilai koefisien ketidakmiripan 1,37 genotip krisan terbagi dalam 6 kelompok. 7. Pada grafik biplot dari hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa genotip-genotip krisan tersebar dalam empat kuadran yang berbeda. 8. Berdasarkan nilai PC yang diperoleh dari analisis komponen utama terdapat tujuh karakter yang berkontribusi besar terhadap variasi pengelompokan 101 genotip krisan yaitu tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, diameter bunga, jumlah cabang, panjang pedisel dan umur mulai berbunga. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan biaya penelitian melalui beasiswa program magister. DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanaman Hias. 2009. Panduan Karakterisasi Tanaman Hias Krisan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Baliyan, D., A. Sirohi, M. Kumar, V. Kumar, S. Malik, S. Sharma and S. Sharma. 2014. Comparative genetic diversity analysis in Chrysanthemum : A pilot study based on morpho-agronomic traits and ISSR markers. Scientia Horticulturae 167 : 164 – 168. Cahyono, F.B. 1999. Chrysanthemum Pot. Tuntunan Membangun Agribisnis. Edisi Pertama. PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia Jakarta. Hal. 353-367 Jeffers, J.N.R. 1966. Two Case Studies in The Aplication of Principals Component Analysis. In Applied Statistics. Jie, H., H. Nan, L. I. Yu-ge and S. Fu-de. 2007. Genetic diversity of chrysanthemum cultivars revealed by AFLP analysis. Acta Horticulturae Sinica 34 (4) : 1041 – 1046. Kartikaningrum, S. 2002. Kekerabatan Antar Genus Anggrek Sub Tribe Sarchantinae Berdasarkan Fenotip dan Pola Pita DNA melalui Teknik Random Amplified Polymorphic DNA. Universitas Padjadjaran. Tesis. Kementerian Pertanian. https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. Diakses tanggal 30 September 2016. Kim, S. J., C. H. Lee, J. Kim and K. S. Kim. 2014. Phylogenetic analysis of Korean native Chrysanthemum species based on morphological characteristics. Scientia Horticulturae 175 : 278 – 289. Kurniawan, H. 2002. Diversitas Genetik Plasma Nutfah Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L) Lamb.) Asal Indonesia Berdasarkan Analisis Kluster Karakter Fenotipik. Universitas Padjadjaran. Tesis. Li, P, F. Zhang, S. Chen, J. Jiang, H. Wang, J. Su, W. Fang, Z. Guan and F. Chen. 2016. Genetic diversity, population structure and association analysis in cut chrysanthemum (Chrysanthemum morifolium Ramat.). Mol Genet Genomics. 9 p. Maxiselly, Y. 2011. Keragaman dan Pola Penyebaran Talas Spesies Colocasia esculenta dan Xanthosoma sagittifolium di Jawa Barat. Universitas Padjadjaran. Tesis. Mukherjee, A. K., A. Dey, L. Acharya, . K. Palai and P. C. Panda. 2013. Studies on genetic diversity in elite varieties of Chrysanthemum using RAPD and ISSR marker. Indian Journal of Biotechnology. Vol. 12, pp 161-169. Rohlf, J. F. 2000. NTSYS pc. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System. Version 2.1. User Guide. Department of Ecology and Evolution State University of New York. 38 p. Teixeira da Silva, J.A., H. Shinoyama, R. Aida, Y. Matsushita, S.K. Raj and F. Chen. 2013. Chrysanthemum Biotechnology : Quo vadis?,Critical Reviews. Plant Sciences 32:1, 21– 52. UPOV. International Union for The Protection of New Varieties of Plants. 2010. TG/26/5/Corr.2. Geneva.
274
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PRODUKSI BAWANG MERAH GENERASI KEDUA ASAL BENIH BIJI BOTANI BAWANG MERAH (True Seed of Shallot) PADA VARIETAS MENTES, PIKATAN, DAN BIMA PRODUCTION OF SHALLOT FROM SECOND GENERATION OF TRUE SEED (True Seed of Shallot) ON VARIETY OF MENTES, PIKATAN AND BIMA Kiki Kusyaeri Hamdani, Agus Nurawan, Liferdi, Meksy Dianawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian(BPTP) Jawa Barat Jl. Kayuambon 80, Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat, Telp. 081219192065 Email :
[email protected] ABSTRAK Benih merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas tanaman. Selain umbi, benih biji botani bawang merah dapat menjadi alternatif sumber benih yang menghasilkan umbi yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi berbagai varietas bawang merah generasi kedua asal benih biji botani. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah Desa Silih Asih, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mulai April sampai Juni 2016. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 10 ulangan. Varietas yang diuji adalah Mentes, Pikatan, dan Bima. Data dianalisis dengan uji F dan dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal dan uji korelasi pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan varietas mempengaruhi tinggi tanaman umur 5 dan 7 minggu setelah tanam, diameter umbi, bobot brangkasan basah, dan bobot kering umbi. Varietas Pikatan dan Mentes menghasilkan bobot kering umbi masingmasing sebesar 8,22 g dan 7,92 g dan berbeda nyata dengan varietas dominan yaitu Bima sebesar 6,52 g. Sedangkan untuk produksi, varietas Pikatan memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu 16,10 ton/ha akan tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Mentes dan Bima. Kata kunci : bawang merah, produksi, benih biji, varietas ABSTRACT Seed is one of the factors that determine the productivity of the plant. Besides the bulbs, true seed of shallot can be an alternative source of seeds that produce quality bulbs. The aim of the study was to know the production of second generation from true seed of shallot on variety of Mentes, Pikatan, and Bima. The research was conducted at rice field in Silih Asih Village, Pabedilan Subdistrict, Cirebon Regency, Jawa Barat Province from April to Juni 2016. The research was arranged in Completely Randomized Block Design with ten replications. Varieties were tested consist of Mentes, Pikatan, and Bima. The data were analyzed by F test and continued with the contrast orthogonal test and correlation test at level 95%. The result showed that the different varieties affect plant height at 5 and 7 weeks after planting, bulb diameter, weight of wet stover, and dry weight of bulb. Variety of Pikatan and Mentes produced the dry weight of bulb 8,22 g and 7,92 g respectively and significantly different from the dominant variety that Bima by 6,52 g. Whereas for the production, Pikatan has a higher yield 16,10 ton/ha but not significantly different compared to Mentes and Bima. Keywords : Shallot, production, trueseed, variety PENDAHULUAN Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang menjadi prioritas pengembangan pada Permentan No 45 tahun 2015 (Kementerian Pertanian, 2015). Komoditas tersebut menjadi sangat penting, karenamempengaruhi kehidupan petani dan perekonomian makro inflasi. Pada tingkat rumah tangga, bawang merah merupakan sayuran bumbu yang kebutuhan hariannya cukup tinggi. Permintaan terhadap bawang merah yang terus meningkat perlu diimbangi dengan peningkatan produksi bawang merah.Pasokan yang tidak merata sepanjang tahun akibat iklim dan pengusahaan lahan dapat mempengaruhi luas panen, sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan bawang merah.Kondisi demikian menyebabkan harga bawang merah melonjak tinggi dan umbi untuk bibit pun ikut dijual sebagai umbi konsumsi, sehingga ketersediaan umbi konsumsi dan umbi bibit menjadi langka. Kondisi ini mengakibatkan dibukanya impor bawang merah. Jawa Barat merupakan salah satu propinsi sentra komoditas bawang merah dengan wilayah sentra produksi tersebar di Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Bandung (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2013). Produksi umbi bawang merah Jawa Barat tahun
275
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
2014 sebesar 130.082 ton, dengan luas panen sebesar 12.532 ha dan rata-rata produktivitas sebesar 10,38 ton per ha (BPS Jawa Barat, 2015). Rendahnya produktivitas tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor. Salah satu permasalahan dalam upaya untuk meningkatkan produksi bawang merah di Indonesia adalah terkait dengan bibit, dimanabibit sulit diperoleh saat menjelang musim tanam, harga bibit mahal, dan produktivitas bibit rendah karena penyakit terbawa umbi. Selain itu, akibat dari keterbatasan benih sumber tersebut, umumnya petani menggunakan bibit dari umbi konsumsi yang diperbanyak secara turun temurun dalam jangka waktu yang lama sehingga mutunya menurun (rendah). Bawang merah yang umumnya dibudidayakan secara vegetatif tersebut, mengakibatkan mudahnya dalam penyebaran virus dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berdampak terhadap penurunan produksi bawang merah (Lot et al., 1998; Dovas et al., 2001). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat 3 macam virus yang umum menyerang tanaman bawang merah yaitu Onion Yellow Dearf Virus (OYDV), Shallot Laten Virus (SLV) dan Leek Yellow Stip Virus (LYSV) (Dovas et al. 2001). Penelitian lainnya ditemukan virus Onion Yellow Dearf Virus (OYDV) pada tanaman bawang merah kultivar Tawangmangu Biru dari Blumbang, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah dan bibit bawang merah kultivar Philiphine Bima dari Srigading, Sandel, Bantul, DIY (Arisuryanti dan Daryono, 2008). Selanjutnya ditemukan bahwa umbi bawang merah yang diperoleh dari penangkar benih dan petani di Jawa Barat dan Jawa Tengah terinfeksi oleh OYDV, SLV, dan GCLV (Wulandari, et al., 2015). Oleh karena itu, usaha peningkatan produksi bawang merah harus dimulai dengan tersedianya bibit/benih berkualitas agar bisa berproduksi lebih tinggi dan kualitasnya bagus. Iriani (2013) menyatakan bahwa benih varietas unggul bawang merah bersertifikat diperlukan sebagai syarat utama untuk mengawali proses produksi agar memperoleh hasil yang tinggi dan berkualitas prima.Penggunaan benih yang bermutu tinggi yaitu mutu fisik, genetik, fisiologi, dan patologi merupakan upaya untuk peningkatan produksi (Sadjad 1993). Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis benih bawang merah dengan menggunakan benih berupa biji (Maemunah, 2010). Bahan tanam bawang merah dari biji yang dikenal dengan nama TSS (True Seed of Shallot) ini selanjutnya diproduksi menjadi umbi mini yang merupakan generasi kedua asal benih biji bawang merah. Beberapa keuntungan bibit asal umbi mini tersebut yaitu bebas dari penyakit tular umbi. Pengembangan umbi mini sebagai sumber benih menjadi salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk perbaikan kualitas bibit bawang merah yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas bawang merah serta pendapatan petani. Sampai saat ini, penggunaan umbi mini untuk budidaya bawang merah belum banyak dilakukan di Jawa Barat. Penyebabnya antara lain ketersediaan umbi mini sebagai sumber benih yang sehat masih jarang karena belum banyak yang memproduksi benih asalnya yaitu TSS.Belum banyaknya produksi benih TSS yang menjadi cikal bakal umbi mini disebabkan oleh : 1) teknik produksi TSS yang baik dan efisien masih belum diketahui sepenuhnya; 2) produksi TSS di dataran tinggi dan penggunanya berada di dataran rendah menyebabkan perkembangan TSS menjadi lambat; 3)secara sosial budaya, kebanyakan lahan bawang merah adalah sewa, fanatisme benih umbi dari Brebes, dan belum terbiasa dilakukannya pembibitan dengan sistem tanam pindah akibat waktu produksi lebih panjang, merepotkan, dan rawan kematian saat dipindah ke lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi berbagai varietas bawang merah generasi kedua asal benih biji botani. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Desa Silih Asih, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon pada bulan April - Juli 2016. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan tiga varietas dan diulang sepuluh kali. Varietas yang diuji adalah Mentes (V1), Pikatan (V2), dan Bima (V3). Bahan dan alat yang digunakan adalah benih umbi bawang merah, pupuk organik, pupuk kimia (NPK, Urea, SP36, KCl), pestisida, jangka sorong, meteran, timbangan digital, dsb. Umbi yang digunakan pada pengkajian ini adalah umbi hasil penanaman dari biji TSS yang telah disimpan selama 3 bulan. Pelaksanaan penelitian meliputi 1) persiapan lahan; 2) penanaman; 3) pemupukan; 4) penyiangan; 5) penyiraman; 6) pengendalian hama dan penyakit; dan 7) panen.
276
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun per anakan, jumlah anakan per rumpun, bobot basah brangkasan per rumpun, bobot kering per umbi per rumpun, dan hasil per hektar. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan sidik ragam dan untuk melihat perbedaan antar varietas serta perbandingan antara varietas unggul dan kontrol dilakukan uji lanjut kontras ortogonal pada taraf kepercayaan 95%. Analisis lainnya yang digunakan yaitu analisis korelasi pada taraf kepercayaan 95% (Gomez and Gomez, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Varietas bawang merah yang diuji adalah varietas unggul baru yang terdiri dari varietas Mentes dan Pikatan sedangkan sebagai pembanding yaitu varietas Bima yang merupakan varietas dominan yang ditanam petani. Deskripsi ketiga varietas bawang merah tersebut tercantum di dalam deskripsi varietas (Tabel 1). Tabel 1. Deskripsi varietas bawang merah yang digunakan pada display varietas asal bibit umbi mini Deskripsi Umur tanaman Tinggi tanaman Jumlah rumpun Bentuk daun Warna daun Jumlah daun per rumpun Bentuk umbi Warna umbi Berat umbi rata-rata Diameter umbi Produksi umbi Susut bobot Ketahanan simpan dalam keadaan normal Sumber : Waluyo dan Sinaga (2015)
Mentes 58 HST 42,07 cm 8-12 anakan Bulat Hijau muda 41-43 helai/rumpun Bulat Pucat 5-10 gr 1-2,27 cm 7,10-27,58 ton/ha 32,20% Tahan 3-4 bulan
Pikatan 55 HST 39 cm 8 anakan Agak pipih dan sedikit berkerut Hijau tua 27-36 helai/rumpun Bulat keriput Merah 5-30 gr 1,69-3 cm 6,20-23,31 ton/ha 42,01% Tahan 6 bulan
Bima 60 HST 25-44 cm 7-12 anakan Silindris Hijau 14-50 helai/rumpun Lonjong Merah muda
9,9 ton/ha 21,5%
Keragaman antar varietas sudah mulai terlihat pada fase vegetatif. Hasil analisis ragam pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada ketiga varietas bawang merah yaitu varietas Mentes, Pikatan, dan Bima terhadap tinggi tanaman baik pada umur 5 MST maupun 7 MST, diameter umbi, bobot brangkasan basah, dan bobot kering umbi. Tabel 2.Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, diameter umbi, bobot brangkasan basah per rumpun, hasil per hektar, dan bobot kering umbi Tinggi Jumlah Bobot tanaman (cm) Jumlah Diamater Perlakuan daun anakan brangkasan 5 7 umbi (cm) (helai) (anakan) basah (gr) MST MST Mentes (V1) 43.8 46.5 5.4 6.9 2.19 96.2 Pikatan (V2) 46.3 50.2 5.7 6.2 2.25 109.6 Bima (V3) 36.7 38.9 4.9 5.9 1.95 69.2 Uji F * * Ns ns * * V1,V2 vs V3 * * Ns ns * * V1 vs V2 * * Ns ns ns ns Keterangan : * = berbeda nyata (P=0,05); ns = non significant (tidak berbeda nyata) Sumber : Data primer (2016)
Hasil (ton/ha) 15.54 16.10 12.12 ns ns ns
Bobot kering umbi (gr) 7.92 8.22 6.52 * * ns
Berdasarkan uji lanjut dengan menggunakan uji kontras orthogonal pada taraf kepercayaan 5%, menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada varietas unggul baru yaitu Mentes (V1) dan Pikatan (V2) berbeda nyata dengan varietas Bima (V3) pada umur 5 dan 7 minggu setelah tanam (MST). Jika dilihat dari deskripsi varietas bawang merah (Tabel 1), menunjukkan bahwa varietas Mentes dan Pikatan memiliki tinggi tanaman yang lebih unggul dibandingkan dengan varietas Bima. Selanjutnya, pada kedua umur tersebut, tinggi tanaman V1 berbeda nyata dengan V2. Sampai umur 7 MST, varietas Pikatan memiliki tinggi tanaman yang lebih unggul dibandingkan varietas Mentes dan berbeda halnya
277
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
dengan karakteristik pada deskripsi varietas dimana varietas Mentes memiliki rata-rata tinggi tanaman lebih unggul dibandingkan dengan varietas Pikatan. Hal ini diduga bahwa potensi tinggi tanaman pada varietas Pikatan lebih muncul dibandingkan varietas Mentes. Faktor lokasi menjadi salah satu faktor keluarnya potensi dari suatu varietas. Menurut Andrio (2015) bahwa suatu varietas bawang merah memerlukan lingkungan yang bersifat spesifik lokasi yang optimal untuk dapat tumbuh dan berdaya hasil tinggi. Setiap varietas memiliki tinggi tanaman yang berbeda. Tinggi tanaman merupakan salah satu indikator pertumbuhan. Selain faktor lingkungan, tinggi tanaman suatu varietas dikendalikan juga oleh faktor genetik. Menurut Kuruseng dan Wahab (2006), bahwa potensi gen suatu tanaman akan optimal jika didukung oleh faktor lingkungan yang berperan dalam penampilan karakter dalam gen tersebut. Selain besarnya diametar daun, tinggi tanaman pada bawang merah yang dominannya merupakan tinggi daun memiliki arti penting bagi tanaman bawang merah. Semakin tinggi tanaman, semakin luas permukaan daun yang melakukan fotosintesis. Daun merupakan organ utama dalam proses fotosintesis. Artinya daun berfungsi sebagai organ yang menghasilkan asimilat (source) yang akan ditranslokasikan ke organ lainnya (sink). Semakin tinggi tanaman atau daun pada bawang merah maka akan berkorelasi dengan semakin tingginya jumlah kandungan klorofil yang berdampak terhadap tingginya asimilat yang dihasilkan. Besarnya asimilat yang dihasilkan dan ditranslokasikan mempengaruhi besarnya bobot brangkasan basah dan bobot kering umbi bawang merah. Diameter umbi, bobot brangkasan, dan bobot kering umbi pada varietas Mentes dan Pikatan berbeda nyata dengan Bima. Sedangkan ketiga peubah tersebut di antara varietas Mentes dan Pikatan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Varietas Mentes dan Pikatan yang memiliki diameter umbi yang lebih besar dibandingkan Bima diduga berpengaruh terhadap bobot brangkasan basah (terdiri atas umbi, akar, dan daun) serta berat kering umbi. Pada beberapa peubah di atas, sebagian besar hampir tidak jauh berbeda dengan deskripsi varietas bawang merah (Tabel 1). Adanya perbedaan pada semua komponen pertumbuhan antar varietas bawang merah yang diujikan sangat dimungkinkan dipengaruhi oleh faktor genetik sehingga variasi tersebutdapat dijadikan penciri dari suatu varietas. Terkait hal tersebut, bahwa ketersediaan varietas yang sesuai dengan lingkungannya dan memiliki potensi hasil yang tinggi merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi daya hasil dan adaptasi varietas (Ambarwati dan Yudono, 2003). Tabel 3. Analisis korelasi peubah yang diamati Peubah Hsl TT5 TT7 JD DU Hsl 18 27 4 -2 TT5 73* 15 19 TT7 29 16 JD 10 DU JA BB BKU Keterangan : ns = tidak berbeda nyata, * = beda nyata pada P<0.05 Hsl = hasil, TT5 = tinggi tanaman umur 5 MST, TT7 = tinggi tanaman umur 7 MST, JD = jumlah daun, DU = diameter umbi, JA = jumlah anakan, BB = bobot brangkasan basah, BKU = bobot kering umbi Sumber : Data primer (2016)
JA 12 19 1 -7 -8 -
BB -1 42* 56* 3 17 -17 -
BKU 11 47* 41 23 7 15 23 -
Kontribusi setiap karakter pertumbuhan terhadap komponen hasil baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dianalisis melalui analisis korelasi. Nilai koefesien korelasi menunjukkan keeratan hubungan satu peubah dengan peubah lainnya dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi. Analisis korelasi antar peubah disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada umur 5 MST berkorelasi positif dan berbeda nyata dengan tinggi tanaman pada umur 7 MST, berat brangkasan basah, dan berat kering umbi. Sedangkan tinggi tanaman pada umur 7 MST berkorelasi positif dan nyata dengan berat brangkasan basah. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman mempengaruhi hasil baik terhadap berat brangkasan basah maupun berat kering umbi.
278
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KESIMPULAN 1. Varietas mempengaruhi tinggi tanaman umur 5 dan 7 minggu setelah tanam, diameter umbi, bobot brangkasan basah, dan bobot kering umbi. 2. Varietas Pikatan dan Mentes menghasilkan bobot kering umbi masing-masing sebesar 8,22 g dan 7,92 g dan berbeda nyata dengan varietas dominan yaitu Bima sebesar 6,52 g. Sedangkan untuk produksi, varietas Pikatan memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu 16,10 ton/ha akan tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Mentes dan Bima. DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, Yudono, P. 2003. Keragaan stabilitas hasil bawang merah. Jurnal Ilmu Pertanian : Vol. 10(2) : 1-10. Andrio, S., Mariati, Luthfi A., Siregar, M. 2015. Tanggap pertumbuhan vegetatif dan generatif bawang merah terhadap konsentrasi dan lama perendaman GA3 di dataran rendah. Jurnal Online Agroekoteknologi : Vol. 3(1): 310-319. Arisuryanti, T., Daryono, B.S. 2008. Observasi dan identfifikasi virus yang menginfeksi bawang merah di Jawa. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia : Vol. 14 (2): 55-62. BPS Jawa Barat. 2015. Jawa Barat dalam angka 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat. 2013. Laporan akhir kegiatan tahun 2013. Dovas, C., Hatziloukas, E., Salomon, R., Barg, E., Shiboleth, Y., Katis, N. 2001. Incidence of viruses infecting Allium spp. in Greece. European Journal of Plant Pathology : Vol. 107(7): 677684. Gomez, A.K., Gomez, A.A. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi 2. Terjemahan. UI Press. Iriani, E. 2013. Prospek pengembangan inovasi teknologi bawang merah di lahan sub optimal (lahan pasir) dalam upaya peningkatan pendapatan petani. Jurnal Litbang Propinsi Jawa Tengah : Vol. 11(2): 231-243. Kementerian Pertanian. 2015. Kepmentan No.45 tentang penetapan kawasan cabai, bawang merah, dan jeruk nasional. Kuruseng, M.A., Wahab, A. 2006. Respon berbagai varietas tanaman terhadap waktu perompesan daun di bawah tongkol. Jurnal Agrisistem : Vol : 2(2): 87-95. Lot, H., Chovelon, V, Souche, S., Delecolle, B. 1998. Effects on onion yellow dwarf and leek yellow stripes viruses on symptomalogy and yield loss of three french garlic cultivars. Journal of Plant Disease : Vol. 82(12): 1381-1385. Maemunah. 2010. Viabilitas dan vigor benih bawang merah pada beberapa varietas setelah penyimpanan. Jurnal Agroland : Vol. 17 (1): 18-22. Sadjad S. 1993. Dari benih kepada benih. Grafindo. Jakarta. 144p. Waluyo, N., Sinaga, R. 2015. Bawang merah yang dirilis oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran. http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/ ...file/.../5-buku-publikasi.html?. [Diunduh tanggal 10 Agustus 2016]. Wulandari, A.W., Hidayat, S.H., Sobir. 2015. Deteksi virus pada bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) dengan metode dot immuno binding assay (detection of shallot viruses (Allium cepa var. ascalonicum) by dot immuno binding assay). Jurnal Hortikultura : Vol. 25 (4): 350-356.
279
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
FORMULASI DAN TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN TERHADAP BISKUIT DENGAN FORTIFIKASI BAYAM HIJAU FORMULATION AND CUSTOMER PREFERENCE ON BISCUITS WITH SPINACH FORTIFICATION S. Aminah1, M. Yanis1, T. Ramdhan1, W. Mikasari2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Balai Pengkajian Teknologi Petanian Bengkulu Jl. Raya Ragunan No. 30 Pasar Minggu Jakarta Selatan e-mail:
[email protected] 2
ABSTRAK Konsumsi maupun pemanfaatan sayuran dalam produk pangan baik sebagai diversifikasi maupun fortifikasi masih terbatas dikalangan masyarakat. Oleh karena perlu upaya untuk menjadikan bayam sebagai salah satu bahan fortifikan untuk memberikan keragaman olahan maupun perbaikan nutrisi, seperti pada biskuit. Penelitian bertujuan untuk memperoleh konsentrasi fortifikan dan tingkat kesukaan terhadap biskuit yang difortifikasi dengan bayam hijau. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium BPTP Jakarta mulai Agustus sampai Nopember 2015. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan jumlah panelis sebagai ulangan. Perlakuan terdiri dari 3 (tiga) konsentrasi bayam segar yang ditambahkan pada formula biskuit, yaitu 5%, 10% dan 15%. Parameter pengamatan meliputi preferensi konsumen terhadap warna (kecerahan), rasa, aroma, tekstur dan overall, dengan 1 - 6 skala hedonic sedangkan uji mutu hedonik dilakukan terhadap rasa bayam dan aroma bayam. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesukaan konsumen terhadap biskuit bayam tidak dipengaruhi oleh konsentrasi bayam yang berbeda. Penggunaan konsentrasi bayam sampai 15% masih dapat diterima oleh konsumen baik terhadap warna, aroma, rasa, terkstur maupun secara overall. Berdasarkan uji mutu hedonik memperlihatkan bahwa aroma bayam pada biskuit mulai tercium pada penggunaan konsentrasi bayam diatas 10%, demikian halnya dengan rasa bayam (nilai 2.5 dan 2.9). Kata kunci: fortifikasi, sayuran, bayam, biskuit, preferensi ABSTRACT Consumption and utilization of vegetables in food products both as diversification and fortification still limited among the people. Therefore, efforts are needed to make the spinach as an ingredient fortification to give a diversity of product and improved nutrition, such as biscuits. This study was aimed to get fortification concentration and level of preference on biscuits with fortified of green spinach. The research was conducted in BPTP Jakarta Laboratory start from August to November 2015.This study used completely randomized design with the number of panelist as replication. The treatment consist of three concentration of fresh spinach is added to formula biscuit, which are 5%, 10% and 15%. Parameters included the observation of customer preference to color, flavor, aroma, texture and overall on 1 – 6 hedonic scales, while the hedonic quality conducted on spinach flavor and aroma spinach. The data were analyzed using analysis of variance by Duncan test at 95% level. The results showed that the level of customer preference on spinach biscuits not affected by different concentration of spinach. The use of spinach concentration could be accepted up to 15% for color, aroma, flavor, texture and overall. Based on the hedonic test showed that the aroma of spinach on biscuits began to smell on the spinach concentrations over 10%, and same for flavor of spinach (a value of 2.5 and 2.9). Keywords: fortification, vegetables, spinach, biscuits, preference
280
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Sayuran merupakan sumber nutrisi yang penting untuk kesehatan tubuh manusia. Konsumsi sayuran di Indonesia masih cukup rendah dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Jepang dan Thailand. Tingkat konsumsi sayuran masyarakat Indonesia berkisar 91 gram/hari/orang (Balitbangkes, 2014 dalam http://health.kopas.com). Jumlah ini masih berada dibawah standar FAO untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, yaitu minimal 75 kg/kapita/tahun sedangkan standar kecukupan untuk sehat adalah 91,25 kilogram per kapita per tahun. Sayuran seperti bayam mengandung banyak makro dan mikro nutrisi yang dibutuhkan untuk kesehatan tubuh, seperti zat besi, vitamin A, asam folat yang dapat ditambahkan ke dalam produk pangan melalui fortifikasi (Akhtar et al., 2011; Britto et al., 2014). Salah satu upaya untuk itu adalah menambahkan sayuran pada produk olahan sehingga tidak hanya dikonsumsi sebagai menu makan sehari-hari akan tetapi dalam bentuk sajian yang berbeda, seperti produk olahan yang ditambahkan sayuran. Selain bertujuan untuk menambahan nilai gizi, memberikan pilihan cita rasa, memberikan nilai tambah, juga memberikan pilihan kepada masyarakat untuk dapat mengkonsumsi sayuran dalam bentuk yang lain. Fortifikasi juga merupakan pelengkap dari makanan bayi berbahan baku baik sayuran maupun buah dalam bentuk puree untuk melengkapi kebutuhan unsur mikro (Mejia & Bower, 2015; Boroski et al., 2011; Swieca et al., 2014). Fortifikasi sayuran dapat dilakukan dengan cara sederhana dan mudah untuk diaplikasikan ditingkat usaha skala rumah tangga. Bahan fortifikan dapat dalam bentuk segar maupun powder sayuran yang sudah dikeringkan sehingga dapat disimpan lebih lama. Selain itu fortifikasi juga dapat dilakukan dengan cara coating terhadap produk (Ozguven et al., 2016; Borneo & Aguirre, 2008). Teknologi pengolahan sayuran melalui fortifikasi dapat memberikan peluang bagi masyarakat atau kelompok olahan untuk menawarkan produk lain yang memiliki nilai fungsional sehingga bisa bersaing dengan produk sejenisnya yang sudah ada dipasaran. Salah satu syarat dalam melakukan fortifikasi diantaranya adalah bahan fortifikasi tidak merubah citarasa produk sehingga produk masih dapat diterima oleh konsumen. Oleh karena itu produk fortifikasi membutuhkan uji organoleptik agar produk yang telah difortifikasi tidak hanya memperbaiki atau meningkatkan nutrisinya akan tetapi rasa, warna maupun karakteristik fisik lainnya dapat diterima konsumen. Bahan fortifikan yang mengandung zat besi tinggi dapat mempengaruhi warna produk menjadi kurang cerah dan tidak diminati konsumen. Hal ini dapat diatasi diantaranya dengan menambahkan zat polyphenol untuk mengurangi perubahan warna produk, seperti puree pisang (Habeych et al., 2016). Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap biskuit yang difortifikasi dengan bayam hijau. METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan meliputi bayam hijau segar, tepung terigu, tepung gula, margarin, telur, baking powder dan bahan pendukung lainnya. Alat yang digunakan, meliputi food processor, pisau, timbangan, blender, kompor, panci, oven, dan alat pengolahan lainnya. Formulasi biskuit dengan perlakuan konsentrasi bayam yang berbeda disajikan pada tabel 1. Proses pembuatan biskuit diawali dengan pembuatan bahan fortifikan, selanjutnya proses pembuatan biskuit bayam disajikan pada gambar 1. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 (empat) perlakuan konsentrasi bayam terhadap formula biskuit termasuk kontrol. Parameter pengamatan meliputi karakterirtik fisik dan uji organoleptik yang terdiri dari uji tingkat kesukaan dan mutu hedonik. Uji tingkat kesukaan dilakukan terhadap warna, rasa, aroma, tekstur dan overall dengan skor 1 – 6 skala hedonik, sedangkan uji mutu hedonik dilakukan terhadap aroma bayam dan rasa bayam. Pembuatan Bahan Fortifikan 1. Siapkan bayam segar, lakukan sortasi, selanjutnya cuci bersih dan tiriskan. 2. Pisahkan batang dan daun bayam. 3. Cacah daun bayam dengan menggunakan pisau tajam atau menggunakan alat pencacah seperti, food processor sampai daun bayam tercacah merata. 4. Timbang bayam yang sudah dicacah sesuai perlakuan. 5. Bahan baku fortifikasi bayam segar siap diguanakan. Formulasi Biskuit Bayam
281
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Formula biskuit dengan perlakuan konsentrasi bayam yang berbeda Jenis bahan
Perlakuan konsentrasi bayam (%) 5 10 15 30 300 300 50 50 10 10 65 65 1 1 3 3 3 3 3 3 60 60
0 0 300 50 10 65 1 3 3 3 60
Bayam segar (g) TepungTerigu (g) Margarine (g) Susu bubuk (g) Gula halus (g) Kuning telur (btr) Baking Powder (g) Garam (g) Vanili (g) Air dingin (ml)
15 45 300 50 10 65 1 3 3 3 60
Proses Pembuatan Biskuit Bayam Mixing I Pembentukan krim selama 15 menit
Margarine Kuning Telur Gula Halus
Susu Full Cream Garam Baking Powder Vanili
Mixing II Selama 10 menit
Mixing III Selama 10 menit
Tepung Terigu Air matang Bayam cacah
Adonan Kalis
Dicetak dengan ukuran seragam
Pemanggangan dalam oven selama 30 menit, T = 150 oC Biskuit bayam Gambar 1. Tahapan pembuatan biskuit bayam Analisa data Untuk mengetahui pengaruh jenis perlakuan terhadap parameter yang diamati, data hasil pengamatan akan dianalisis menggunakan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
282
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Dan Karakteristik Fisik Biskuit Bayam Fortifikasi bayam terhadap biskuit menggunakan bayam hijau segar dalam bentuk cacahan. Penggunaan konsentrasi bayam berdasarkan persentase penggunaan terigu pada formula biskuit. Data karakteristik fisik biskuit dengan penambahan konsentrasi bayam mulai 0%, 5%, 10% sampai 15% disajikan pada tabel 2. Tabel 2 . Data karakteristik fisik biskuit dengan fortifikasi bayam Konsentrasi bayam (%)
Adonan (g)
0 5 10 15
490 521 465 537
Rendemen biskuit Jumlah keping Berat (g) 85 288 114 383 115 408 118 393
Tabel 2. memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan bayam maka semakin bertambah berat adonan dan jumlah keping biskuit yang terbentuk juga semakin bertambah. Rendemen biskuit yang terbentuk dipengaruhi oleh penambahan bayam, terlihat bahwa jumlah biskuit lebih banyak dibandingkan dengan tanpa penambahan bayam (kontrol). Penambahan bayam sebesar 5%, 10% dan 15% masing-masing memiliki rendemen biskuit berturut-turut sekitar 34%, 35% dan 38%. Secara lebih detil peningkatan rendemen dapat dilihat pada gambar 2.
Rendemen (gram)
450 400 350 300 250 200 0
5 10 Konsentrasi bayam (%)
15
Gambar 2. Grafik rendemen biskuit dengan fortifikasi bayam Berdasarkan gambar 2. memperlihatkan bahwa rendemen tertinggi diperoleh pada konsentrasi bayam 10%, selanjutnya grafik mengalami penurunan pada konsentrasi 15%. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi adonan menjadi lembek dan sulit dibentuk atau dicetak sehingga tidak keseluruhan adonan dibentuk menjadi biskuit. Tingginya kadar air pada sayuran dapat mempengaruhi tekstur adonan. Oleh karena itu dalam melakukan fortifikasi dengan menggunakan bahan segar seperti sayuran, jumlah bahan fortifikan yang akan ditambahkan perlu disesuikan dengan jenis produk yang akan difortifikasi karena dapat berpengaruh terhadap proses produksinya. Dalam melakukan fortifikasi harus dipertimbangkan kemudahan dalam aplikasinya selain ketersediaan bahan bakunya dan preferensi konsumennya (Allen et al., 2006) Uji organoleptik Uji organoleptik terhadap biskuit bayam dilakukan pada uji tingkat kesukaan konsumen dengan skala hedonik dan uji mutu hedonik. Uji tingkat kesukaan konsumen Uji tingkat kesukaan terhadap biskuit bayam dilakukan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan overall dengan menggunakan 1 – 6 skala hedonik. Hasil penilaian hedonik disajikan pada tabel 3.
283
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3. Data uji tingkat kesukaan terhadap biskuit bayam Parameter mutu Rasa Tekstur Overall 5 4.7a 4.3a 4.1a 3.5a 3.9a 10 5a 4.8a 4.5a 3.6a 4.6a a a a a 15 4.8 4.7 4.6 4.2 4.7a Ket: 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak tidak suka, 4=agak suka, 5= suka, 6= sangat suka Konsentrasi bayam (%)
Warna
Aroma
Berdasarkan tabel 3. memperlihatkan bahwa penambahan bayam pada biskuit mulai konsentrasi 5%, 10% sampai 15% tidak mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen terhadap keseluruhan parameter hedonik. Konsumen tidak memberikan penilaian yang berbeda terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan penampakan secara keseluruhan pada penggunaan konsentrasi bayam mulai 5%, 10% sampai 15%. Hal yang sama dilaporkan pada penelitian Ogunsina et al ( 2010) bahwa fortifikasi tepung kelor sebanyak 20% pada biskuit tidak memberikan penilaian yang berbeda terhadap warna. Biskuit bayam masih dapat diterima konsumen dengan penggunaan konsentrasi bayam sampai 15% baik terhadap warna, rasa, aroma, tekstur aupun penampakan secara keseluruhan (overall). Dengan demikian menunjukkan bahwa fortifikasi dengan bayam segar masih dapat dilakukan sampai 15% berdasarkan tingkat kesukaan konsumen. Menurut Oyeyinka et al (2016) bahwa penambahan nutrisi pada suatu produk sebagai fortifikan tidak boleh melampaui tingkat kesukaan konsumen, artinya bahwa faktor penerimaan konsumen tetap menjadi prioritas untuk semua faktor mutu. Uji mutu hedonik Uji mutu hedonik dilakukan terhadap aroma bayam dan rasa bayam pada biskuit yang difortifikasi dengan bayam hijau segar. Hasil uji mutu hedonik disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Data uji mutu hedonik terhadap biskuit bayam Konsentrasi bayam (%) 5 10 15 Keterangan: Rasa bayam 1= sangat terasa 2= terasa 3= agak terasa 4= tidak terasa 5=sangat tidak terasa
Parameter mutu Aroma bayam 3.1a 2.3ab 2.6b
Rasa bayam 3a 2.5a 2.9a
Aroma bayam 1= sangat tercium 2= tercium 3= agak tercium 4= tidak tercium 5= sangat tidak tercium
Berdasarkan tabel 4, menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bayam berpengaruh terhadap aroma, kecuali rasa. Terlihat bahwa pada konsentrasi 10% aroma bayam sudah mulai tercium pada biskuit. Akan tetapi rasa bayam tidak memberikan respon yang berbeda mulai 5%, 10% sampai 15%. Fortifikasi bayam pada biskuit dengan konsentrasi 5% memperlihatkan skor nilai 3,1 (agak tercium) terhadap aroma bayam sedangkan konsentrasi 10% dan 15% masing-masing memperlihatkan skor nilai 2,3 (tercium) dan 2,6 (tercium). KESIMPULAN Fortifikasi terhadap biskuit dapat dilakukan dengan menggunakan bayam segar dengan konsentrasi optimum sebesar 10% dengan konsistensi adonan yang mudah diproses dan dibentuk menjadi biskuit. Berdasarkan tingkat kesukaan konsumen fortifikasi bayam terhadap biskuit dapat dilakukan sampai 15% dan dapat diterima konsumen dengan tingkat kesukaan agak suka. Aroma dan rasa pada biskuit bayam sudah mulai tercium dan terasa pada konsentrasi 10%.
284
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Setyadjid, MappSc atas masukan dan saran dalam penelitian dan tim pascapanen BPTP Jakarta yang telah aktif dalam melalukan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Allen, L.H., De Benoist, B., Dary, O., Hurrell, R., 2006. Guidelines on food fortification with micronutrients. World Health Organization. http://www.who.int/nutrition/publications/guide_food_fortification_ micronutrients.pdf Akhtar, S., Anjum, F.M., Anjum, M.A. 2011. Micronutrient fortification of wheat flour: Recent development and strategies, Food Research International, 44: 652–659 Boroski, M., de Aguiar, A. C., Boeing, J. S., Rotta, E. M., Wibby, C. L., Bonafe, E. G., et al. (2011). Enhancement of pasta antioxidant activity with oregano and carrot leaf. Food Chemistry, 125(2), 696–700. Brittoa, J.C., Cançadob, R., Guerra-Shinohara, E.M. 2014. Concentrations of blood folate in Brazilian studies prior to and after fortification of wheat and cornmeal (maize flour) with folic acid: a review. Brazilian Journal of Hematology and Hemotherapy:36(4):275–286 Habeych, E., Kogelenberg, V., Sagalowicz, L., Michel, M., Galaffu, N. 2016. Strategies to limit colour changes when fortifying food products with iron. Food Research International, 88: 122–128 Maharani, D. 2014. Orang Indonesia Kurang makan. http://health.kopas.com. [15 Juli 2016]. Mejia, L. A., & Bower, A. M. 2015. The global regulatory landscape regarding micronutrient fortification of condiments and seasonings. Annals of the New York Academy of Sciences. http://dx.doi.org/10.1111/nyas.12854 Ozguven, M.G., Karadag, A., Duman, S., Ozkal, B., Ozçelik, B. 2016. Fortification of dark chocolate with spray dried black mulberry (Morus nigra) waste extract encapsulated in chitosancoated liposomes and bioaccessability studies. Food Chemistry: 201: 205–212 Ogunsina, B., Radha, C., Indrani, D., 2010. Quality characteristics of bread and cookies enriched with debittered Moringa oleifera seed flour. Int. J. Food Sci. Nutr. 62, 185–194. Oyeyinka, A.T., Oyeyinka, S.A. 2016. Moringa oleifera as a food fortificant: Recent trends and prospects. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences.Article in Press. Swieca, M., Seczyk, L., Gawlik-Dziki, U., & Dziki, D. 2014. Bread enriched with quinoa leaves – The influence of protein–phenolics interactions on the nutritional and antioxidant quality. Food Chemistry, 162, 54–62.
285
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
EKSPLORASI DAN KARAKTER MORFOLOGI MANGGIS DI PROVINSI BENGKULU EXPLORATION AND MORPHOLOGIC CHARACTER OF MANGOSTEEN IN BENGKULU PROVINCE Taupik Rahman, Miswarti, dan W. E. Putra Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119. Telp. (0736) 23020 e-mail :
[email protected] ABSTRAK Tanaman buah manggis merupakan komoditas yang banyak dijumpai di Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengumpulkan plasma nutfah manggis yang tersebar di sentra penghasil manggis serta mengetahui karakteristiknya. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan bulan Oktober 2015 di Provinsi Bengkulu. Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah tanaman buah diawali dengan studi pustaka dan kunjungan lapangan ke masing-masing BP4K/BPP/Dinas Pertanian/Kelompok Tani setempat yang ada di masing-masing wilayah. Informasi tersebut digunakan sebagai informasi untuk penelusuran ke lahan atau tempat tanaman buah tersebut tumbuh atau ditanam. Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau keberadaan tanaman yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat. Setiap tanaman yang ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk melengkapi data karakterisasi. Data yang diperoleh berupa data karakter kualitatif tanaman seperti bentuk kanopi, pola percabangan dan warna daun muda; serta data karakter kuantitatif tanaman seperti tinggi tanaman, kerapatan daun, bobot buah dan tebal kulit buah. Data yang telah terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Eksplorasi yang telah dilakukan di Provinsi Bengkulu memperoleh sebanyak 28 genotip tanaman manggis yang terdiri dari 9 genotip ditemukan dilahan dataran rendah, 9 genotip ditemukan di lahan dataran sedang dan 10 genotip ditemukan di lahan dataran tinggi. Kata Kunci: eksplorasi, karakterisasi, manggis ABSTRACT Mangosteen is commodities easily found in the province of Bengkulu. The research aims to explore and collect germplasm scattered in around central mangosteen producer and knowing its characteristics. The study was conducted from March to October 2015 in Bengkulu. Exploration of fruit crop germplasm search begins with the literature study and field visits to each BP4K/BPP Department of Agriculture/local farmer groups that exist in each region. The information is used as information to search for site of plant grown or planted. The next phase was visiting to site where plants presence or cultivated by local farmers or grow wild. Each plant that was found treated as sample material for observation. It also conducted interviews with farmers and secondary data from relevant agencies to complete the data. Data collected in two groups, qualitative characters such as canopy shape, branch pattern and pubesence color; quantitative characters such as plants heights,leaf density, fruits weight, and width of pericarp. Data collected were tabulated and analyzed descriptively. Exploration results collected in Bengkulu province were 28 genotypes consisting of 9 genotypes found in lowlands, 9 genotypes found in the midlands and 10 genotypes were found in the highlands. Keywords: Exploration, Characterization, Mangosteen
286
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang sangat besar (negara biodiversity) disebabkan oleh geografisnya terletak antara dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua lautan yaitu lautan pasifik dan antlantik. Sumberdaya genetik tanaman buah tropika sangat beragam karena didukung oleh iklim tropik basah. Keanekaragaman buah-buahan tropika tersebut merupakan aset yang sangat berharga untuk meningkatkan daya saing nasional di bidang bisnis buah-buahan tropika di tingkat internasional. Keanekaragaman genetik tersebut akan menjadi tidak berguna jika tidak dimanfaatkan secara bijak dan dikelola secara berkelanjutan (Yufdi, 2015). Berkembangnya pembangunan yang pesat mengakibatkan semakin cepat beralih fungsinya lahan pertanian menjadi lahan non pertanian serta semakin banyaknya varietas unggul sehingga menyebabkan varietas lokal maupun jenis liarnya keberadaannya semakin sedikit bahkan menjadi punah (Sastrapradja, 1996 dalam Hadiatmi, 2002). Padahal plasma nutfah merupakan aset penting yang dimiliki sehingga harus dilestarikan karena plasma nutfah terkandung sifat-sifat yang diperlukan untuk pembentukan atau perbaikan sifat tanaman sesuai yang dikehendaki dan diharapkan menjadi pertumbuhan baru sektor pertanian kedepannya khususnya dibidang hortikultura buah-buahan yang beraneka ragam yang tersebar di wilayah Indonesia. Upaya yang dilakukan untuk pemenuhan materi genetik untuk perbaikan tanaman diperlukan langkah-langkah pengumpulan materi genetik seperti eksplorasi, inventarisasi, karakterisasi, serta evaluasi karakter yang dimiliki serta memanfaatkannya (Berthaud, 1997). Eksplorasi merupakan suatu kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengkarakterisasi untuk mengamankan plasma nutfah dari kepunahan. Provinsi Bengkulu memiliki sebaran populasi manggis yang beragam, mulai dari agroekosistem dataran rendah hingga agroekosistem dataran tinggi dengan potensi serta peluang pasarnya cukup cerah untuk dikembangkan. Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan yang besar termasuk manggis perlu didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya buah-buahan. Disamping itu besarnya keanekaragaman jenis suatu komoditas buah-buahan juga merupakan modal dasar melakukan usaha pemuliaan tanaman (Uji, 2004). Salah satu varietas unggul manggis yang sudah dilepas tahun 2009 adalah manggis Rejang Lebong (manggis marel). Kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan turun ke lapangan yang bertujuan untuk mengumpulkan dan mengkoleksi semua sumber keragaman genetik yang tersedia dan diharapkan dapat diperoleh bibit-bibit/varietas unggul baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan ini diperlukan pengumpulan informasi tentang kekayaan plasma nutfah buah manggis yang ada di Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengumpulkan plasma nutfah manggis yang tersebar di sentra penghasil manggis serta mengetahui karakteristiknya. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di Provinsi Bengkulu pada bulan Maret sampai dengan Oktober 2015. Bahan dan alat yang digunakan ialah tanaman manggis yang telah berproduksi, kuisioner, Global Position System (GPS), meteran, timbangan, jangka sorong dan alat tulis. Eksplorasi tanaman manggis dilakukan secara purposive sampling, eksplorasi dilakukan di 4 Kabupaten sentra manggis yaitu Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Lebong, Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Bengkulu Utara. Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah tanaman buah diawali dengan studi pustaka pembuatan paspor karakterisai tanaman manggis yang dilanjutkan dengan kunjungan lapangan ke masing-masing BP4K/BPP/Dinas Pertanian/Kelompok Tani setempat yang ada di masing-masing wilayah. Informasi tersebut digunakan sebagai informasi untuk penelusuran ke lahan atau tempat tanaman buah tersebut tumbuh atau ditanam. Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau keberadaan tanaman yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat ataupun tumbuh liar. Setiap tanaman yang ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadap karakter morfologi tanaman manggis menggunakan standar yang telah ditetapkan oleh Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PPVT) (2007). Karakter kualitatif meliputi bentuk kanopi, pola cabang, warna daun muda, warna daun tua, bentuk daun, susunan helaian daun, bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, tepi daun, tekstur permukaan atas, pola tandan buah, warna kelopak bunga, warna mahkota bunga, posisi bunga, pola tandan buah, bentuk buah, bercak disekitar kupat, warna
287
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
kupat, warna tangkai buah, warna buah matang, tekstur aril, rasa aril, warna aril, bentuk biji, warna biji. Sedangkan karakter kuantitatif terdiri dari tinggi tanaman, bobot buah, tebal kulit buah. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk melengkapi data. Data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Tanaman Manggis di Provinsi Bengkulu Tanaman manggis yang ditemukan dalam eksplorasi ini tumbuh di pekarangan, ladang, kebun polikultur dan hutan tanpa ada perawatan sehingga tanaman manggis dapat digolongkan sebagai tanaman kebun yang tidak dibudidayakan secara intensif. Dari beberapa pernyataan responden diketahui bahwa sebagian besar tanaman manggis merupakan warisan turun temurun dari ayah/ibu ataupun kakek/nenek responden, tumbuh di sekitar halaman rumah dan belum ada budidaya secara intensif dari responden untuk meningkatkan hasil produksi seperti pemupukan, peremajaan, pemangkasan dan pengendalian OPT (Organisme Penggangu Tanaman). Hasil eksplorasi tanaman manggis diperoleh 28 genotip tanaman manggis yang berasal dari 4 Kabupaten di Provinsi Bengkulu. 9 Genotip tanaman manggis berasal dari agroekologi dataran rendah (<400 mdpl), 9 genotip berasal dari agroekologi dataran menengah (400 – 800 mdpl) dan 10 genotip berasal dari agroekologi dataran tinggi (<800 mdpl). Hasil eksplorasi manggis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil eksplorasi tanaman manggis di Provinsi Bengkulu No
Kabupaten
Kecamatan
Desa
Agroekologi
1
Benteng
Sukarami
Dataran Rendah
2
Bengkulu Utara Lebong
Taba Penanjung Ulu Palik, Padang Jaya Lebong Sakti
Jumlah genotip 7
Batu Layang, Padang jaya Magelang Baru, Ujung Tanjung 3 Pal VIII, Curup Tengah
Dataran Rendah
2
Dataran Sedang
9
Dataran Tinggi
10
3 4
Rejang Lebong
Bermani Ulu
Jumlah Sumber : Data primer (2015)
Kode Genotip M1, M2, M3, M4, M5, M6, M7 M18, M19 M20, M21, M22, M23, M24, M25, M26, M27, M28 M8, M9, M10, M11, M12, M13, M14, M15, M16, M17
28
Pengamatan yang dilakukan terhadap 28 genotip tanaman manggis menghasilkan karakter kualitiatif dan kuantitatif sebagai berikut : Karakter Kualitatif Penampilan plasma nutfah manggis pada 28 genotip yang diamati diperoleh bahwa hampir semua karakter kualitatif yang diamati adalah seragam atau variasi keragamannya rendah. Secara umum manggis di provinsi Bengkulu memiliki susunan daun yang berhadap-hadapan dengan tepi daun rata. Daun bagian atas berwarna hijau mengkilat dan daun bagian bawah memiliki warna yang berbeda dangan daun bagian atas yakni berwarna hijau. Warna daun muda merah bata muda dan coklat kemerahan. Bunga manggis tumbuh di ujung/ terminal, dengan sepal dan calyc berwarna kuning dengan tepi merah. Tangkai buah berwarna hijau, dengan kupat berwarna coklat. Warna buah manggis berwarna ungu-ungu tua dengan aril berwarna putih salju dengan tekstur lembek sampai sedang. Rasa buah asam manis dengan benuk biji spheroid berwarna coklat. Di Provinsi Bengkulu terdapat 7 karakter kualitatif yang menunjukkan variasi pada genotip tanaman manggis yang diamati seperti bentuk kanopi, pola percabangan, bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, pola tandan buah dan bentuk buah, karakter kualitatif tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
288
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Karakteristik kualitatif manggis Bentuk pangkal daun Rounded Rounded Rounded
No
Genotip
Bentuk kanopi
Pola percabangan
Bentuk daun
Bentuk ujung daun
1 2 3
M01 M02 M03
Oblong Oblong Oblong
Horizontal Horizontal Horizontal
Elliptic Elliptic Elliptic
Acuminate Acuminate Acuminate
4
M04
Oblong
semi-tegak
Elliptic
Obtuse
Shortly attenuate
5 6 7
M05 M06 M07
Oblong Oblong Pyramidal
semi-tegak semi-tegak semi-tegak
Elliptic Elliptic Elliptic
Obtuse Acuminate Acuminate
Rounded Rounded Rounded
8
M08
Spherical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
Shortly attenuate
9
M09
Spherical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
10
M10
Spherical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
11
M11
Spherical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
12 13
M12 M13
Spherical Spherical
Horizontal Horizontal
Elliptic Elliptic
Acuminate Acuminate
14
M14
Spherical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
15
M15
Spherical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
16
M16
Elliptical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
17
M17
Elliptical
tak bearturan
Elliptic
Acuminate
18
M18
Spherical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
19
M19
Spherical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
20
M20
Oblong
Horizontal
Elliptic
Acuminate
21
M21
Oblong
Horizontal
Elliptic
Obtuse
22
M22
Elliptical
Horizontal
Elliptic
Acuminate
23
M23
Spherical
semi-tegak
Elliptic
Acuminate
24
M24
Pyramidal
semi-tegak
Elliptic
Acuminate
25
M25
Oblong
Horizontal
Elliptic
Acuminate
26
M26
Oblong
Horizontal
Oblong
Acuminate
27
M27
Oblong
semi-tegak
Elliptic
Acuminate
28
M28
Oblong
Horizontal
Elliptic
Acuminate
Shortly attenuate Shortly attenuate Shortly attenuate Oblique Cuneate Shortly attenuate Shortly attenuate Shortly attenuate Shortly attenuate Shortly attenuate Rounded Shortly attenuate Rounded Shortly attenuate Shortly attenuate Shortly attenuate Shortly attenuate Shortly attenuate Shortly attenuate Shortly attenuate
Pola tandan buah
Bentuk buah
Satu Satu Satu Satu, dua, tiga sampai 12 Satu Satu Satu Satu, dua, tiga sampai 12
Gepeng Gepeng Gepeng
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu Satu
Bulat Bulat
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu
Gepeng
Satu, dua, tiga sampai 12
Gepeng
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu
Gepeng
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Satu
Bulat
Gepeng Gepeng Gepeng Gepeng Bulat
Sumber : Data primer (2015)
Hasil pengamatan karakter kualitatif tanaman manggis diketahui bahwa bentuk kanopi tanaman manggis bervariasi yakni oblong, spherical dan pyramidal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Mansyah. et al (2007), bahwa teradapat variasi bentuk kanopi dan bentuk buah pada tanaman manggis di provinsi Bengkulu. Selanjutnya Purnomo. et al (1996) menyatakan bahwa bentuk kanopi menentukan produksi dan kualitas buahnya.
289
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pola percabangan tanaman manggis terdapat tiga bentuk yakni horizontal, semi-tegak dan tak beraturan. Bentuk daun, bentuk ujung daun dan bentuk pangkal daun memiliki sedikit variasi. Bentuk daun manggis didominasi oleh bentuk elliptic, hanya 1 aksesi yang memiliki bentuk oblong yakni aksesi M26. Sementara bentuk ujung daun di dominasi oleh bentuk acuminate dan 3 aksesi berbentuk obtuse. Bentuk pangkal daun cukup bervariasi yakni di dominasi oleh shortly attenuate 19 aksesi dan bentuk rounded 7 aksesi, dan bentuk pangkal daun oblique dan cuneate masing-masing satu aksesi. Menurut Geleta. et al (2007) variasi genetik dapat terjadi karena mutasi, introgresi, rekombinasi, adaptasi pada lingkungan baru dan seleksi yang terjadi secara terus menerus. Perubahan yang terjadi pada tanaman manggis dimungkinkan terjadi karena tanaman manggis yang ditemukan di lapangan merupakan tanaman manggis yang tidak diupayakan secara intensif dan tumbuh pada lahan polikultur sehingga faktor lingkungan berperan besar dalam variasi bentuk morfologi tanaman manggis. Berdasarkan eksplorasi yang dilakukan ditemukan dua pola tandan buah pada tanaman manggis, tanaman dengan pola tandan buah satu dan tanaman manggis dengan pola tandan buah lebih dari satu. Pola tandan buah manggis umumnya satu namun dari hasil eksplorasi ditemukan juga pola tandan buah lebih dari satu berjumlah tiga tanaman. Pola tandan ini telah jarang ditemukan dan harus dilestarikan. Bentuk buah manggis yang ditemukan dua bentuk yaitu gepeng dan bulat. Tanaman manggis yang ditemukan pada dataran rendah (M1, M2, M3, M4, M5, M6, M7, M18 dan M19) memiliki bentuk buah yang gepeng sementara buah manggis yang ditemukan di dataran sedang dan tinggi berbentuk bulat (M8, M9, M10, M11, M12, M13, M14, M15, M16, M17, M20, M21, M23, M24, M25, M26, M27dan M28), kecuali pada genotip 22 yang ditemukan pada dataran sedang namun, memiliki bentuk gepeng. Variasi morfologi tanaman manggis sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Van steenis (1981) telah mengidentifikasi dua bentuk buah manggis, buah manggis berbentuk bulat dengan dasar yang sedikit datar dan buah yang berbentuk bulat. Morton (1987) telah menemukan manggis liar yang memiliki 4 carpel dengan 4 biji yang berkembang sempurna. Thomas (1997) menemukan buah manggis yang tidak memiliki biji di Yan Bukit Pinang Malaysia. Mansyah et al (1999) telah menemukan manggis di Sumatera Barat memiliki variabilitas yang besar dalam hal panjang daun, berat buah, dan ketebalan kulit buah. Mansyah et al (2005) menemukan manggis di Tembilahan, Pulau Sumatera bentuk buah gepeng, tangkai buah yang sangat pendek dengan stigma yang berbentuk elips. Karakter Kuantitatif Hasil pengamatan terhadap karakter kuantitatif (Tabel 3) memperlihatkan bahwa karakter kuantitatif tinggi tanaman, kerapatan daun, tebal kulit buah dan bobot buah memiliki variasi yang beragam antar genotip tanaman. Tabel 3. Karakteristik kuantitatif manggis di Provinsi Bengkulu No
Genotip
1
M01
Tinggi (m) 9
2
M02
3
tanaman
43
Tebal kulit buah (cm) 1.02
11
26
1.08
73.3
M03
10
86
0.92
93.75
4
M04
10
41
0.97
53.33
5
M05
7
36
1.03
80
6
M06
6
62
1.1
82.5
7
M07
7
42
1
44.44
8
M08
8
32
1
124
9
M09
9
60
1.04
111.67
10
M10
9
30
1.06
66.67
11
M11
9
50
0.9
107.67
12
M12
9
32
0.88
138.75
13
M13
9
28
0.95
140
Kerapatan Daun
290
Bobot Buah (gr) 85
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
14
M14
8.5
24
0.93
96
15
M15
9
32
0.92
79
16
M16
6
44
1.15
129
17
M17
9
40
0.98
120
18
M18
8
51
0.88
75
19
M19
9
43
0.90
76.67
20
M20
8
32
1.12
137.50
21
M21
7
37
1.13
123.34
22
M22
12
42
1.23
112.50
23
M23
11.5
26
1.40
112
24
M24
8
40
1.11
105.56
25
M25
8
36
1
157.14
26
M26
8
80
1.14
130.45
27
M27
7
20
1.45
98.33
28
M28
8
30
0.86
69
Nilai Maksimal
12
86
1.45
157.14
Nilai Minimal
6
20
0.86
44.44
40.92
1.04
100.81
Rata-rata 8.57 Sumber : Data primer (2015)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman manggis mempunyai tinggi tanaman yang berbeda, tanaman yang tertinggi pada genotip M 22 yaitu 12 m dan yang terendah sebesar 6 m. Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan umur tanaman. Sebagian besar responden tidak dapat memastikan usia tanaman dengan akurat karena tanaman manggis yang dimiliki tidak diusahakan secara intensif. Tanaman manggis tumbuh secara liar di kebun/pekarangan responden. Kerapatan daun memiliki nilai yang sangat beragam dengan nilai yang tertinggi diperoleh 86 lembar (genotip M03) sedangkan yang terendah pada sebesar 20 lembar (genotip M27). Kerapatan daun menunjukkan kemampuan tanaman untuk menangkap cahaya matahari. Menurut Xiong (2016) daun adalah organ penting tanaman untuk fotosintesis dan media pertukaran energy bagi tanaman dan lingkungan. Bobot buah memiliki variasi yang cukup beragam dengan nilai maksimum 157,14 gr dan nilai minimum 44,44 gr. Terlihat juga bahwa manggis yang tumbuh di dataran rendah memiliki bobot di bawah rata-rata semua ganotip manggis, sementara manggis yang tumbuh pada dataran sedang dan dataran tinggi memiliki bobot buah yang lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa performance manggis di dataran sedang dan tinggi lebih baik dibandingkan manggis di dataran rendah. Menurut Fisher (2007), ketinggian tempat mempengaruhi berat buah, diameter buah dan waktu pematangan buah. Setiap kenaikan ketinggian sebesar 100 m akan memperpanjang siklus pisang selama 1 bulan. Buah persik yang ditanam pada dataran tinggi mengalami penundaan masa panen 20 – 40 hari. Waktu pematangan buah yang lebih lama ini memberikan kesempatan buah untuk berkembang dengan sempurna sehingga memiliki ukuran yang lebih besar daripada buah yang ditanam pada dataran rendah. Terdapat keunikan pada genotip manggis yang ditemukan di daerah Pal VIII (M8-M15) yaitu saat manggis muda buah berbentuk seperti puting susu, namun ketika telah masak buah berubah menjadi bentuk bulat. Fenomena perubahan buah dari puting susu menjadi bulat tidak ditemukan pada genotip lainnya. Meskipun manggis termasuk agamospermy obligat (Richards, 1990) sehingga tidak ada keragaman genetik pada tanaman manggis. Ternyata tetap ditemukan keragaman dalam populasi manggis disebabkan oleh beberapa faktor seperti lingkungan, mutasi alami dan perubahan genetik (Ramage et al, 2004). KESIMPULAN Hasil eksplorasi dan pengamatan plasma nutfah manggis di Provinsi Bengkulu diperoleh sebanyak 28 genotip tanaman manggis. Di Provinsi Bengkulu terdapat 12 karakter morfologi yang
291
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
menunjukkan variasi dalam genotip manggis yaitu pola kanopi, bentuk buah, pola percabangan, bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, pola tandan buah, tinggi tanaman, kerapatan daun, tebal kulit buah dan bobot buah. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang mendanai atau yang berperan serta besar dalam tulisan ini (jika ada). Ucapan terima kasih ditulis dengan menggunkan huruf Times New Roman 12 dan spasi tunggal (1 spasi). DAFTAR PUSTAKA Berthaud, J. 1997. Strategies for Concervation of Genetic Resources in Relation with Their Utilization. Euphytica 96: Hal 1-12. Fisher, G., G Ebert dan P.ludders. 2007. Production, seeds and carbohydrates contents of cape gooseberry (Physalis peruviana L.) fruits grown attwo constrating Colombian altitudes. Journal of applied botany and food quality 81, Hal : 29-35. Geleta, M. 2007. Genetic diversity, phylogenetic and molecular systematics of Guizotia Cass. (Asteraceae). Alnarp : Swedish University of Agricultural Sciences. Hadiatmi, Tiur, S.Silitonga, Sri G. Budiarti, dan Buang Abdullah. 2002. Eksplorasi Plasma Nutfah Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Mansyah, E, Anwarudinsyah MJ, Sadwiyanti L, Susiloadi A. 1999. Genetics variability of mangosteen base on isozymes analysis and its relationship to phenothypic variability. Zuriat 10, Hal 1-10. Mansyah, E, Santoso PJ, M. Jawal AS. 2005. Genetic variation of mangosteen (Garcinia mangostana L.) progenesis derived from polyembrionic seed based on RAPD markers. Proceeding of 6th National Congress on genetics, 12- 14 May, 2005, Kuala Lumpur, Malaysia, Hal 8790. Mansyah, E, Sobir, Edi Santosa dan Roedhy Poerwanto. 2007. Assessment of Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) technique in Mangosteen (Garcinia mangostana L.) grown in different Sumatera Region. Journal of Horticulture and Forestry Vol. 2(6) Hal : 127-134. Morton J. 1987. Mangosteen. In: Morton JF (ed) Fruits of Warm Climates, Miami, FL, Hal : 301-304. Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PPVT). 2007. Panduan Pengujian Individual Kebaruan, Keunikan, Keseragaman, dan Kestabilan Manggis (Garcinia mangostana L). Departemen Pertanian. Purnomo, S., S. Handayani dan S. Hosni. 1996. Penentuan Kriteria dan Seleksi Kultivar mangga Produktif. Jurnal Hortikultura 6(4): Hal : 325-334. Richards AJ. 1990. Plant breeding system. Second edition. Departement of Agricultural and Enviromental Sciences University of New Castle Upon Tyne. Chapman and Hall. London. Hal : 529. Thomas SC. 1997. Geographic parthogenesis in a tropical forst tree. American Journal of Botany 84. Hal : 1012-1015. Uji, T. 2004. Keanekaragaman Jenis, Plasma Nutfah dan Potensi Buah-buahan Asli Kalimantan. BioSmart 6(2) : Hal : 117-125. Van Steenis CGGJ. 1981. Flora. Jakarta : Paradnya Paramitha. Hal : 495. Verheij, E.W.M. 1999. Garcinia mangostana L. In E.W.M. Verheij and R.E.Coronel. Buah-buahan yang dapat dimakan. Plant Resources of South East Asia (Prosea). Bogor. Xiong, Dongliang., Dan Wang., Shaobing Peng., Jianliang Huang., dan Yong Li. 2016. Leaf density explains variation in leaf mass per areain rice between cultivars and nitrogen treatments. Annals of Botany. Hal: 1-9. Yufdi, P. 2015. Community Fruit Catalogue. Garcinia and Nephelium in Sijunjung, West Sumatera.
292
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CABAI DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU CHILI FARMING INCOME ANALYSIS OF IN BINTAN REGENCY OF RIAU ISLANDS SUPPORT DEVELOPMENT SUSTAINABLE Oktariani Indri Safitri1, Dahono2, dan Lutfi Izhar2 1
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan (LPTP) Riau 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl. Pelabuhan Sungai Jang No. 38 Tanjungpinang e-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Pertanian berkelanjutan diperlukan dalam mencapai tujuan pembangunan dengan cara membuka lahan untuk dijadikan lahan pertanian sebagai salah satu bentuk sistem usahatani. Usahatani cabai dapat membantu membangun pertanian modern dan inovatif menjadi salah satu solusi di masa depan. Kabupaten Bintan merupakan salah satu daerah sentra produksi cabai di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki potensi wilayah yang kondusif untuk pengembangan tanaman cabai. Tujuan kajian adalah mengetahui jumlah pendapatan dan menganalisis kelayakan usahatani yang diperoleh petani cabaidi Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Kajian dilaksanakan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau dimulai pada bulan Januari sampai dengan Desember 2014. Metode yang digunakan adalah survey dengan teknik penentuan sampel secara sengaja (purposive sampling), jumlah responden sebanyak 20 orang. Data dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi dan rata-rata. Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan usahatani cabai selama satu musim tanam sebesar Rp. 446.000.000,-/ha dengan B/C-Ratio 3,43 dan R/C-Ratio 4,43. Nilai BEP (Breakevenpoint) untuk volume produksi pada 4.062 kg/ha dan BEP harga produksi Rp. 7.222,-/kg/ha yang berarti bahwa sangat efisien dan menguntungkan dalam berusahatani cabai. Kata Kunci: Pendapatan, Cabe, Berkelanjutan, Bintan ABSTRACT Sustainable agriculture is necessary for achieving the development goals with landclearing for agriculture could be as one farming systems activity. Chili farming can facilitate modern and innovative agricultural practices for development sustainable supported and could be one of agribusiness solutions in the future. Bintan regency is one of the central areas of the chili production in Riau Islands Province that has the potential area that is conductive to the development of pepper plants. This study was aimed to find out how much income could be obtained analyze the viability by chili farmers and in Bintan Regency of Riau Islands. The research was done in Bintan Regency of Riau Islands, beganinFebruary 2013untilApril2013. The method used was survey with purposive sampling design, the number of farmer respondents was 20 people. Data was analyzed with tabulation and average methods. The study showed that average income of chili farming with during one planting season was Rp 446.000.000,-/ha with B/ C-Ratio of 3,43 and R/C-Ratio of 4,43. Value of BEP (Breakevenpoints) for volume production at 4.062 kgs/ha and BEP production price Rp7.222,/kgs which means that it is very efficient and favorable for manage chilifarming. Keywords: Income, Chili, Sustainable, Bintan PENDAHULUAN Pertanian berkelanjutan diperlukan dalam mencapai tujuan pembangunan. Menurut organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO), pertanian berkelanjutan adalah keberhasilan pengelolaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan masuia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam. Semua definisi pertanian berkelanjutan memberikan penekanan terhadap upaya mempertahankan produktivitas pertanian, sehingga kebutuhan dan permintaan masyarakat dapat terpenuhi tanpa menguras sumber daya alam yang berlebihan. Dengan demikian sistem pertanian berkelanjutan tidak hanya menghasilkan produk yang sehat tetapi juga bersinergi terhadap rantai ekologi. Membuka lahan untuk dijadikan lahan pertanian sebagai salah satu bentuk sistem usahatani. Usahatani cabai dapat membantu membangun pertanian modern dan inovatif
293
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi salah satu solusi di masa depan (Badan Litbang, 2015). Salah satu ciri pertanian modern yaitu usahatani yang dilakukan berorientasi kepada keuntungan. Usahataniyang dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga tetapiuntuk dapat meningkatkan pendapatan petani, untuk itulah harus diupayakan peningkatan kemampuan dan keterampilan petani dalam melaksanakan usahataninya. Disamping itu pula usahatani yang dijalankan harus pula memperhatikan kebutuhan gizi (Hernanto,F. 1988). Cabai merupakan salah satu komoditas yang tidak pernah ditinggalkan masyarakat Indonesia. Bisa dibilang cabai sudah menjadi bagian budaya orang-orang Indonesia. Cabai merupakan bumbu dapur yang keberadaannya wajib ada. (Syukur Muhammad, 2012). Cabai juga bermanfaat sebagai bahan baku produk kesehatan dan memiliki peluang ekspor yang tinggi. Tentunya kondisi ini dapat meningkatkan pendapatan petani Indonesia sehingga tidak heran jika cabai menjadi komoditas pertanian dengan nilai ekonomi tinggi (Prajnanta, 2011) Menurut Sumarni (2005), cabai ditanam pada dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter dpl, tanah sawah, tegalan yang gembur, subur, tidak terlalu liat dan cukup air. Cabai dapat beradaptasi dengan baik pada temperatur 24 – 27°C dengan kelembaban yang tidak terlalu tinggi dengan pH tanah yang optimal antara 5,5 – 7. Jenis tanah yang baik antara lain andosol, regosol, latosol, ultisol dan grumosol dan lempung berpasir (Alex S. 2012). Provinsi Kepulauan Riau berdiri berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2002 yang mencakup luas Wilayah 251.810 Km2, daratan: 10.595 Km2 (4%), lautan: 241.215 Km2 (96%). Jumlah Pulau: 2.408 buah, pulau berpenghuni: 394 buah dan Pulau Terluar: 19 buah.Wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang beribukota di Tanjungpinang terbagi dalam 5 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Lingga, Kabupaten natuna, Kota Batam dan Kota Tanjungpinang. Kabupaten Karimun merupakan wilayah dengan luas terbesar yaitu 2.873,20 Km2 atau 27,12 %, sementara Kota tanjungpinang merupakan wilayah dengan luas terkecil yaitu 239,50 Km2 atau 2,26 % (BPS Kepri, 2011). Tanah di Kabupaten Bintan berdasarkan analisis tanah maka jenis tanah yang merupakan tanah berbasis alluvial dengan ordo tanah inceptisols merupakan jenis tanah yang sesuai untuk budidaya tanaman sayuran. Kondisi pH 5-6 yang sedikit masam memerlukan penambahan kapur sebanyak minimal 2 ton/ha. Kondisi unsur hara makro P yang cukup tinggi sehingga tidak membutuhkan tambahan pupuk P,sedangkan unsur hara K cukup rendah sehingga memerlukan tambahan pupuk. Kondisi bahan organik yang rendah memerlukan tambahan pupuk hayati atau pupuk kandang yang dapat meningkatkan kandungan organik tanah (BPS Kepri, 2007). Karakteristik wilayah percobaan yang berbukit dengan kemiringan lahan kurang dari 5% mengharuskan penanaman menggunakan pola terasering bertingkat dengan guludan digunakan untuk mencegah erosi. Pencegahan erosi lainnya dilakukan dengan menggunakan mulsa plastik hitam/perak, selain keuntungan pengunaan mulsa ini adalah dapat mempertahankan kelembaban media tanaman didalam mulsanya, efisien pengunaan air, mengemat tenaga kerja dan menekan pertumbuhan gulma (Hamid Abdul dan Haryanto Munir. 2011). Kabupaten Bintan merupakan salah satu daerah sentra produksi cabai di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki potensi wilayah yang kondusif untuk pengembangan tanaman cabai. Dengan keunggulan komparatif yang dimiliki dalam hal potensi wilayah dan tenaga kerja diharapkan mampu meningkatkan pendapatan usahatani cabai. Analisis perhitungan dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai produksi dan harga jual yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan petani dalam berusahatani cabai serta menganalisis kelayakan usahatani yang diperoleh oleh petani cabai. Usahatani cabai skalanya relatif kecil dan adanya ketergantungan terhadap harga jual yang selalu berfluktuasi setiap waktu akan mempengaruhi hasil usahatani sertapendapatan petani. Berdasarkan uraian diatas mendorong peneliti untuk melaksanakan penelitian tentang analisis pendapatan usahatani cabai dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. BAHAN DAN METODE Kajian ini dilaksanakan pada Bulan Januari - Desember 2014 di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposivesampling) dengan
294
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra cabai yang ada di Provinsi Kepulauan Riau selain Kota Batam. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode survey. Sebanyak 25% dari 80 petani cabai menjadi responden atau dua puluh orang petani. Teknik pengambilan sampel yaitu dengan mengelompokkan data. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan quisioner dan data sekunder yang diperoleh dari instansi yang terkait serta literatur pustaka. Selanjutnya data yang diperoleh dari responden dianalisis secara kuantitatif dan di diskriptifkan. Sedangkan untuk menghitung rasio pendapatan/keuntungan digunakan rumus sebagai berikut (Soekartawi, 2002): Tingkat pendapatan petani cabai digunakan rumus pendapatan sebagai berikut: Pd = TR–TC Dimana: TR = Y.Py TC = FC+VC π = TR – TC Keterangan: Pd TR TC FC VC Y Py π
= = = = = = = =
Pendapatan Usahatani Total Penerimaan(total revenue) Total BiayaProduksi(total cost) Biaya Tetap(fixed cost) Biaya Variabel (variablecost) Produksi yang dihasilkan Harga Produksi Keuntungan
Sedangkan untuk mengetahui Benefit Cost Ratio (B/C) digunakan rumus sebagai berikut: B/C-Ratio = Keuntungan Biaya Produksi Dengan Kriteria: B/CRatio < 1 : tidak memberikan keuntungan B/CRatio > 1 : Untung B/CRatio = 1 : Impas
Sedangkan untuk mengetahui analisis kelayakan usahatani dengan menggunakan Revenue Cost Ratio (R/C), rumus sebagai berikut: R/C-Ratio = Total Penerimaan Total Biaya Produksi Dengan Kriteria: R/CRatio < 1 : tidak memberikan keuntungan (tidak efisien) R/CRatio > 1 : Untung (efisien) R/CRatio = 1 : Impas
Sedangkan untuk mengetahui Titik Impas/Break Even Point (BEP) Produksi dan Harga digunakan rumus sebagai berikut : BEP Produksi = Biaya Produksi Harga Jual Dengan Kriteria : Nilai BEP Produksi ≥ produksi yang diterima petani maka usaha tersebut tidaklayak. Nilai BEP produksi < produksi yang diterima petani maka usaha tersebut layak.
BEP Harga = Biaya Produksi Jumlah Produksi Dengan Kriteria : Nilai BEP harga ≥ harga jual yang diterima petani maka usaha tersebut tidak layak. Nilai BEP harga < harga jual yang diterima petani maka usaha tersebut layak.
295
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Petani Kabupaten Bintan mempunyai potensi pertanian hortikultura yang cukup menjanjikan. Akan tetapi, belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat dari luas lahan potensi yang tersedia cukup luas, yaitu mencapai 8.302 Ha, sedangkan lahan yang telah digunakan sebesar 1.165 Ha. Luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan hortikultura khususnya sayuran di Bintan 21.611 Ha, sedangkan luas lahan yang diusahakan 3.664 Ha (BPS Kabupaten Bintan, 2015). Karakterisrik petani responden. Hasil wawancara yang dilakukan pada 20% responden menunjukkan variasi yang berbeda, mulai dari usia, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan luasan kepemilikan lahan. Usia petani responden yang ada lokasi penelitian bervariasi antara17 sampai diatas 46 tahun. 35% atau sebanyak 7 responden berada pada usia 36-45 tahun, 25% atau sebanyak sebanyak 25 responden berada pada usia 26-35 tahun,10% atau sebanyak 2 responden berada pada usia 17-25 tahun, dan sisanya 30% berada di atas usia 46 tahun atau sebanyak 6 responden. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani dilakukan oleh masyarakat yang berada pada golongan usia produktif sampai dengan usia yang tidak produktif. Umur petani responden dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1.
Jumlah petani responden berdasarkan kelompok usia di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Tahun 2014
Karakteristik Individu
Kategori
Jumlah(orang)
Persentase (%)
Usia (tahun)
17 – 25 26 – 35
2 5
10 25
36 – 45
7
35
> 46
6
30
20
100%
Jumlah Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014
Pendidikan. Strata pendidikan formal petani responden adalah 50% berada pada tingkat SLTA, 10% atau sebanyak 10 responden.SLTP sebanyak 2 responden atau sebesar 10%, dan sisanya adalah SD sebesar 40% atau sebanyak 8 responden. Pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah petani responden berdasarkan kelompok pendidikan di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Tahun 2014 Karakteristik Individu
Kategori
Jumlah(orang)
Persentase (%)
Pendidikan
SD SLTP
8 2
40 10
SLTA
10
50
20
100%
Jumlah Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014
Pengalaman berusahatani. Persentase pengalaman petani responden dalam melakukan usahatani cabai sangat bervariasi mulai 1 tahun hingga 30 tahun. 3 5 % petani memiliki pengalaman sebagai petani cabai selama 11 hingga 20 tahun, 40% dari 21 hingga 30 tahun dan sisanya 1 hingga 10 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani cabai telah cukup lama diusahakan oleh masyarakat setempat. Dengan demikian, pengalaman petani dalam berusahatani cabaitelah cukup. Pengalaman berusahatani responden dapat dilihat pada Tabel 3.
296
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3. Jumlah petani responden berdasarkan kelompok pengalaman berusahatani cabai di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Tahun 2014 Karakteristik Individu Pengalaman (tahun)
berusahatani
cabai
Kategori
Jumlah(orang)
Persentase (%)
1 – 10 11 – 20 21 – 30
5
25
7 8 20
35 40 100%
Jumlah Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014
Luas kepemilikan lahan (Ha).Persentaseluas kepemilikan lahan petani antara0,50-1,00 hektar adalah yang terbanyak(70%), sedangkan sisanya memiliki luas kepemilikan antara 1,5-2,00 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani cabai memerlukan pembukaan lahan baru dalam membangun pertanian modern dan inovatif berkelanjutan dalam rangka mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan. Luas kepemilikan lahan (Ha) responden dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Persentase responden berdasarkan karakteristik individu KabupatenBintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Karakteristik Individu
Kategori
Jumlah(orang)
Persentase (%)
Luasan kepemilikan lahan (ha)
0,25 – 1,00
14
70
1,25 – 2,00
6
30
20
100%
Jumlah Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014
Menurut Jannah (2012), luas kepemilikan lahan mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani. Keuntungan petani dengan luas penguasaan lahan usahatani yang lebih besar adalah kemampuan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, selain dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga, juga memungkinkan berinvestasi pada sektor pertanian atau di sektor non pertanian. Investasi yang ditanamkan petanian menghasilkan tambahan pendapatan bagi rumah tangga petani (Utami, 2015). 2. Kelayakan Usaha Permasalahan petani dalam melaksanakan usahatani, tentunya tidak terlepas dari masalah biaya dan pendapatan. Maksud dari biaya disini adalah semua nilai dari input produksi selama proses produksi berlangsung. Biaya usahatani dalam penelitian ini terdiri atas biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel meliputi biaya sarana produksi, dan biaya tenaga kerja. Sedangkan biaya tetap meliputi peralatan dan mesin. Tabel 5. Analisis pendapatan usahatani cabai di Kabupaten Bintan Provisi Kepulauan Riau Harga Satuan (Rp)
Komponen Usahatani A. Nilai Produksi (kg) Rata-rata Penerimaan B. Biaya – Biaya 1. Biaya Variabel Benih Cabe Bintang Asia
Penerimaan
32,000
Volume 18,000
130,000
Nilai (Rp) 576.000.000
4
520,000
1,500
2,400
3,600,000
10,000
2,000
20,000,000
Saprodi - Pupuk Kandang - NPK Subur
297
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
- NPK Buah - Mulsa
11,500
300
650,000
16
3,450,000 10,400,000
- Pestisida Nabati
3.000.000
1
3.000.0000
- Pestisida Kimia
1.775.000
1
1.775.0000
- Dupont
173,000
15
2,595,000
2,000
2,000
4,000,000
- Furadan 2 kg
35,000
15
525,000
- Tali Rapiah
60,000
10
600,000
- Solar
7,000
200
1,400,000
- Ajir
500
- Dolomit/Kapurtani
20.000
10,000,000
Tenaga kerja - Bendungan (15 x 8 m)
5,000,000
5,000,000
- Buka Lahan
6,500,000
6,500,000
- Bajak Lahan
5,000,000
5,000,000
- Pupuk Dasar
4,000,000
4,000,000
- Bedengan
5,000,000
5,000,000
- Pemasangan Ajir
2,500,000
2,500,000
- Pemupukan
8,000,000
8,000,000
- Penyiangan
4,000,000
4,000,000
- Penyulaman
2,500,000
2,500,000
- Panen
4,000,000
4,000,000
- Sortasi
1,500,000
1,500,000
800,000
800,000
- Pengepakan Total Biaya Variabel
108,070,000
2. Biaya Tetap - Mesin 175 Dong Hai
2,300,000
2
4,600,000
620,000
1
620,000
- Mesin Motoyama
2,100,000
1
2,100,000
- Dinamo 3 KW
2,300,000
1
2,300,000
- Pompa NSS 50
- Selang Daito
100
760,000
525,000
1
525,000
45,000
1
45,000
- Selang Air
4,000
10
40,000
- Paralon 3"
100,000
1
100,000
- Elbow 3"
17,000
1
17,000
- Paralon 2"
72,000
40
4,500
100
450,000
- Gerobak - Sekop Kayu
- Soket
7,600
2,880,000
- Kran Air Besar
54,000
4
216,000
- Paralon 1"
16,000
1
16,000
- Lem paralon
70,000
3
210,000
- Selang fuso
12,000
100
1,200,000
380,000
10
3,800,000
- Drum
298
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
- Cangkul
101,000
3
303,000
- Parang
75,000
3
225,000
- Ember
15,000
3
45,000
- Garpu
35,000
2
70,000
- Pembolong Mulsa
50,000
2
100,000
8,000
3
24,000
642,000
2
1,284,000
- Gayung - Handsprayer Total Biaya Tetap
21,930,000
Total Biaya yang dikeluarkan (B1+B2) Pendapatan bersih (Nilai Produksi - Total Biaya)
130,000,000 446,000,000
B/C Ratio
3.43
R/C Ratio
4.43
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014
Biaya produksi adalah biaya yang berhubungan dengan kegiatan produksi yang terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya produksi akan selalu muncul dalam setiap kegiatan ekonomi dimana usahanya selalu berkaitan dengan produksi (Hernanto, 1996 ; Kartasapoetra, 1998). Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan. Biaya tidak tetap tergantung pada volume produksi yang dihasilkan. Besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan merupakan faktor penentu terhadap harga jual terendah dari produk yang dihasilkan (Taufik, 2010). Petani dihadapkan pada biaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pendapatan yang optimal. Menurut Karneta Railia (2014), pendapatan usahatani cabai yang diterima oleh petani sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan dan rendahnya pengeluaran. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan atau nilai penerimaan total dikurangi dari keseluruhan biaya produksi dalam proses usahatani tersebut (Jannah, 2012). Hasil analisis usahatani cabai menujukkan bahwa rata-rata penerimaan petani per hektar sebesar Rp.576.000.000,- dengan nilai pendapatan Rp.446.000.000,-atau B/C-Ratio 3,43 dan R/CRatio 4,43. Produksi cabai rata-rata per hektar mencapai 18.000kg/ha. Sedangkan total biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah Rp.130.000.000,-/ha/musim tanam. Nilai B/C–Ratio dan R/C-Ratio lebih besar atau sama dengan satu berarti usaha tani tersebut menguntungkan (Soekartawi,2002). Sedangkan BEP produksi 4.062 kg dengan harga satuan Rp. 32.000,- serta BEP harga Rp. 7.222,- . Hasil analisis usahatani padi dengan sistem tanam benih langsung per hektar per musim tanam disajikan pada Tabel 5. KESIMPULAN Hasil analisis usahatani cabai di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau memberikan keuntungan yang layak bagi petani dengan nilai B/C-Ratio 3,43 dan R/C-Ratio 4,43 atau rata-rata pendapatan sebesar Rp. 446.000.000,-/ha/musim tanam. Sedangkan BEP produksi 4.062 kg dengan harga satuan Rp. 32.000,- serta BEP harga Rp. 7.222,-. DAFTAR PUSTAKA Alex S. 2012. Usaha Tani Cabai. Kiat Jitu Bertanam Cabai di Segala Musim. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2015. Sistem Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan Berkelanjutan. Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. 2011. Kepri Dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. BPS Kabupaten Bintan. Bintan Dalam Angka, 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan. BPS 2007. Propinsi Kepulauan Riau Dalam Angka.
299
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Distanhutnak Kepri.2010. Identifikasi dan Inventarisasi Potensi Pertanian Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010. Laporan Akhir Dinas Pertanian Kehutanan dan Peternakan Propinsi Kepulauan Riau. Hamid Abdul dan Haryanto Munir. 2011. Bertanam Cabai Hibrida Untuk Indutri. Harga dan Pasar Lebih Terjamin. AgroMedia Pustaka. Jakarta Hernanto. 1996. IlmuUsahatani. Penebar Swadaya. Jakarta Jannah,E.M.2012. Analisis Keuntungan Usahatani dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Petani Ubi kayu pada Sentra Agroindustri Tapioka di Kab. Lampung Tengah. Jurnal Informatika Pertanian Vol.21 No.2/Desember 2012. Hal.95-105. Jakarta. Kartasapoetra,G. 1998. Marketing Produk Pertanian dan Industri. Rineka Cipta. Jakarta Karneta Railia, 2014. Analisis Kelayakan Usahatani Cabe Merah Keriting (Capsicum annum L) dan Kacang Panjang (Vigna sinesis L) Secara Rotasi Menggunakan Teknologi Olah Limbah Pada Lahan Sub Optimal.Prosiding Seminar Nasional, Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri Di Lahan Sub Optimal. Hal 671-681. Palembang. Prajnanta, Final, 2011. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta Sihotang, B. 2010. http://www.ideelok.com/budidaya-tanaman/cabe. diakses 14 Pebruari 2013. Soekartawi. 2002.Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia. Press.Jakarta. Sumarni, N dan A. Muharam. 2005. Budidaya Cabai Merah. Panduan Teknis PTT Cabai Merah No. 2. Balitsa. Syukur Muhammad, SP, M.Si. Dr, 2012.Cabai Prospek Bisnis dan Teknologi Mancanegara. Tim Penulis Agriflo. Agriflo, Jakarta Taufik. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Penanganan Pasca Panen. Balai Pengkajian Pertanian. Sulawesi Selatan Utami, Cahyaning Desy. 2015. Analisis Biaya dan Usahatani Cabai Merah (Capsicum Annum L) Di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri. Buana Sains Vol 15 No 1 : 91-99.
300
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
EKSPLORASI DAN KONSERVASI TANAMAN BUAH DI PROVINSI BENGKULU EXPLORATION AND CONSERVATION OF FRUITS IN BENGKULU PROVINCE Miswarti, Taupik Rahman dan W. E. Putra Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119. Telp. (0736) 23020, Faximile (0736) 345568 e-mail :
[email protected] ABSTRAK Tanaman buah merupakan komoditas yang banyak dijumpai di Provinsi Bengkulu. Kekayaan buah lokal yang ada di Bengkulu serta belum terdokumentasinya dengan baik, kalau dibiarkan akan mengalami kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengumpulkan buah-buahan spesifik yang tersebar di seluruh kabupaten/kota serta mengetahui penyebarannya. Penelitian dilaksanakan mulai Maret sampai dengan oktober 2015 di Bengkulu. Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah tanaman buah diawali dengan studi pustaka dan kunjungan lapangan ke masing-masing BP4K/BPP/Dinas Pertanian/Kelompok Tani setempat yang ada di masing-masing wilayah. Informasi tersebut digunakan sebagai informasi untuk penelusuran ke lahan atau tempat tanaman buah tersebut tumbuh atau ditanam.Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau keberadaan tanaman yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat ataupun tumbuh liar. Setiap tanaman yang ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk melengkapi data. Data dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil eksplorasi yang berhasil dikumpulkan di Provinsi Bengkulu sebanyak 145 genotip yang terdiri dari jenis durian 38 genotip, jeruk 23 genotip, mangga 17 genotip, manggis 35 genotip, dan pisang 32 genotip.Sedangkan tanaman buah yang telah di konservasi berjumlah 160 tanaman yang terdiri dari jeruk 88 tanaman, mangga 19 tanaman, manggis 17 tanaman, durian 9 batang dan pisang 27 tanaman. Kata Kunci: eksplorasi, konservasi, buah, Provinsi Bengkulu ABSTRACT Fruits commodities are often found in the province of Bengkulu. The research aims to explore and collect specific fruits scattered throughout the district / city and understands its spread. The study was conducted from March to October 2015 in Bengkulu Province. Exploration or fruit crop germplasm search begins with the literature study and field visit to each BP4K / BPP / Department of Agriculture / local farmer groups that exist in each region. The information is used as information to search for area or location where that fruits were planted or grown. Next is a visit to the site of that plant planted or grown wild. Each plant which is found collected as sample material for observation. It also conducted interviews with farmers and secondary data from relevant agencies to complete the data. Data collected were tabulated and analyzed descriptively. Exploration results collected 145 plant genotypes in Bengkulu Province consisting of 38 genotypes types of durian, 23 genotypes of orange, 17 genotype of mango, 35 genotypes of mangosteen and 32 genotypes of banana. Meanwhile, fruit that has been in the conservation were 160 plants consisting of 88 plants orange, 19 mango plants, 17 plants mangosteen, durian 9 plants and banana 27 plants. Key Words: exploration, conservation, fruit, Bengkulu Province
301
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang sangat besar (negara biodiversity) disebabkan oleh geografisnya terletak antara dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua lautan yaitu lautan pasifik dan atlantik. Sumberdaya genetik tanaman buah tropika sangat beragam karena didukung oleh iklim tropik basah. Keanekaragaman buah-buahan tropika tersebut merupakan aset yang sangat berharga untuk meningkatkan daya saing nasional di bidang bisnis buah-buahan tropika di tingkat internasional. Keanekaragaman genetik tersebut akan menjadi tidak berguna jika tidak dimanfaatkan secara bijak dan dikelola secara berkelanjutan (Yufdi, 2015) Berkembangnya pembangunan yang pesat mengakibatkan semakin cepat beralih fungsinya lahan pertanian menjadi lahan non pertanian serta semakin banyaknya varietas unggul sehingga menyebabkan varietas lokal maupun jenis liarnya keberadaannya semakin sedikit bahkan menjadi punah (Sastrapradja, 1996 dalam Hadiatmi, 2002). Padahal plasma nutfah merupakan aset penting yang dimiliki sehingga harus dilestarikan karena plasma nutfah terkandung sifat-sifat yang diperlukan untuk pembentukan atau perbaikan sifat tanaman sesuai yang dikehendaki dan diharapkan menjadi pertumbuhan baru sektor pertanian kedepannya khususnya dibidang hortikultura buah-buahan yang beraneka ragam yang tersebar di wilayah Indonesia. Upaya yang dilakukan untuk pemenuhan materi genetik untuk perbaikan tanaman diperlukan langkah-langkah pengumpulan materi genetik seperti eksplorasi, inventarisasi, karakterisasi, serta evaluasi karakter yang dimiliki serta memanfaatkannya (Berthaud, 1997). Eksplorasi merupakan suatu kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengkarakterisasi utuk mengamankan plasma nutfah dari kepunahan. Tanaman buah di Provinsi Bengkulu tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan potensi serta peluang pasarnya cukup cerah untuk dikembangkan. Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan yang besar perlu didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya buah-buahan. Disamping itu besarnya keanekaragaman jenis suatu komoditas buah-buahan juga merupakan modal dasar melakukan usaha pemuliaan tanaman (Uji, 2004). Kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan turun ke lapangan yang bertujuan untuk mengumpulkan dan mengkoleksi semua sumber keragaman genetik yang tersedia dan diharapkan dapat diperoleh bibit-bibit/varietas unggul baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan ini diperlukan pengumpulan informasi tentang kekayaan plasma nutfah buah dan potensi yang dimilikinya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengumpulkan buah-buahan spesifik yang tersebar di seluruh kabupaten/kota serta mengetahui penyebarannya. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Provinsi Bengkulu mulai bulan Maret sampai dengan Oktober 2015. Bahan dan alat yang digunakan ialah tanaman buah difokuskan pada 5 jenis buah yaitu durian, jeruk, mangga, manggis, dan pisang yang telah berproduksi, kuisioner, Global Position System (GPS), meteran, timbangan, jangka sorong, ATK. Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah tanaman buah diawali dengan studi pustaka dan kunjungan lapangan ke masing-masing BP4K/BPP/Dinas Pertanian/Kelompok Tani setempat yang ada di masing-masing wilayah. Informasi tersebut digunakan sebagai informasi untuk penelusuran ke lahan atau tempat tanaman buah tersebut tumbuh atau ditanam. Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau keberadaan tanaman yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat ataupun tumbuh liar. Setiap tanaman yang ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Pengamatan Tanaman dilakukan berdasakan standar identifikasi tanaman yang ditetapkan IPGRI (International Plant Genetic Resources Institute) untuk karakterisasi tanaman buah. Karakter kualitatif meliputi bentuk kanopi, pola cabang, warna daun muda, warna daun tua, bentuk daun, susunan helaian daun, bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, tepi daun, tekstur permukaan atas, pola tandan buah, warna kelopak bunga, warna mahkota bunga, posisi bunga, pola tandan buah, bentuk buah, bercak disekitar kupat, warna kupat, warna tangkai buah, warna buah matang, tekstur aril, rasa aril, warna aril, bentuk biji, warna biji. Sedangkan karakter kuantitatif terdiri dari tinggi tanaman, ukuran bunga, bobot buah, tebal kulit buah. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk melengkapi data. Data dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
302
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Eksplorasi Provinsi Bengkulu mempunyai lahan kering mencapai 4,57 ha juta yang terdiri dari 3,44 juta ha lahan masam dan 1,13 juta lahan tidak masam (Hidayat dan Mulyani, 2002). Luas lahan kering di Provinsi Bengkulu yang berpotensi untuk sektor pertanian seluas 796.800 ha (BPS Provinsi Bengkulu, 2010). Lahan-lahan masam atau marginal biasanya mempunyai kandungan hara yang rendah sehingga membutuhkan input yang tinggi dalam pengelolaan tanaman. Potensi sumberdaya alam yang marginal tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan produksi tanaman lahan kering termasuk tanaman buah. Tanaman buah yang diidentifikasi umumnya tumbuh pada lahan kering. Sebagian besar tanaman tersebut tumbuh di lahan pekarangan dan lahan kebun polikultur kecuali tanaman durian umumnya tumbuh di hutan dan kebun polikultur. Wawancara yang dilakukan dengan petani bahwa tanaman buah umumnya tumbuh dan berkembang secara alamiah tanpa pemeliharaan dan merupakan tanaman warisan leluhurnya. Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan data curah hujan selama 10 tahun (Tabel 1) bahwa Provinsi Bengkulu memiliki iklim zona A (Q=0,1) yang sangat basah (berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt Ferguson). Tabel 1. Perhitungan data curah hujan (2003 –2013) untuk menentukan klasifikasi iklim menurut Schmidt – Ferguson Tahun Bulan Jan Feb 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Ratarata
172 210 233 597 520 174 449 235 268 198 443
326 203 176 449 164 205 237 388 113 101 388
318.09 250
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
76 142 246 345 452 475 322 396 278 131 304
347 258 163 284 124 226 570 239 376 340 227
150 401 343 76 318 84 195 197 192 182 265
99 85 378 346 184 79 294 213 488 173 255
149 184 195 65 208 72 292 326 142 140 506
300 107 327 1 38 227 177 235 75 95 194
187 335 215 29 127 190 210 343 53 37 371
572 137 412 14 177 294 333 553 105 190 154
190 547 481 72 491 758 347 339 232 537 486
609 608 639 340 815 794 344 374 537 508 388
BK
BB
0 0 0 3 1 0 0 0 1 1 0
10 11 12 6 11 9 12 12 10 10 12
287.91 286.73 218.45 235.82 207.18 161.45 190.64 267.36 407.27 541.45 0.54
10.45
Sumber : Data sekunder diolah (2016)
Tabel 2. Keadaan iklim Provinsi Bengkulu tahun 2015 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rataan Sumber : BMKG (2016)
Suhu udara (oC) 30,2 26,8 27,2 26,9 27,8 27,5 27,1 27,1 26,6 27,6 27,0 26,7 328,50 27,38
Kelembaban Udara (%) 85 84 81 85 83 82 80 82 83 83 86 86 1.000 83,33
Curah hujan (mm) 365,38 289,88 290,38 417,00 148,13 153,50 89,50 119,88 68,25 35,30 330,88 437,88 2.746,13 228,84
Berdasarkan tabel diatas, suhu udara rataan dipeoleh sebesar 27,38oC dengan suhu terendah pada bulan Oktober (26,6oC) dan yang tertinggi pada bulan Januari (30,2oC). Suhu optimum tanaman berbeda-beda menurut tanamannya dan berbeda sesuai tahap perkembangannya. Menurut Verheij (1999) pertumbuhan tanaman manggis lambat bila suhu dibawah 20oC dengan batas temperatur
303
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
tertinggi 38-40oC. Kelembaban rataan bulanan berkisar 83,33%, kelembaban terendah terjadi pada bulan Juli (80%) dan yang tertinggi pada bulan November-Desember (86%). Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa curah hujan terdistribusi merata sehingga curah hujan tidak menjadi pembatas utama. Ashari (2006) tanaman buah mempunyai daya toleransi terhadap kondisi iklim. Tetapi titik kritis adalah saat pembungaan. Apabila saat pembungaan curah hujan tinggi maka proses pembungaan akan terganggu, tepung sari akan menjadi busuk dan tidak mempunyai viabilitas lagi. Berdasarkan data di atas maka tanaman buah-buahan sangat cocok tumbuh pada iklim yang ada di Provinsi Bengkulu. Realisasi Eksplorasi Hasil eksplorasi dan pengamatan plasma nutfah tanaman buah di lapangan yang berhasil dikumpulkan di Provinsi Bengkulu sebanyak 145 genotip yang terdiri dari jenis durian 38 genotip, jeruk 23 genotip, mangga 17 genotip, manggis 35 genotip, dan pisang 32 genotip (Tabel 3 ). Prosea (1991) di kawasan Asia Tenggara dilaporkan terdapat sekitar 400 jenis buah-buahan yang dapat dimakan. Tabel 3. Hasil eksplorasi plasma nutfah tanaman buah di Provinsi Bengkulu, 2015 N o 1 2 3 4
Benteng Bengkulu Utara Kepahiang Rejang Lebong
5 6 7 8
Lebong Seluma Bengkulu Selatan Kota Bengkulu
9
Kabupaten
Kecamatan Taba Penanjung Ulu Palik, Padang Jaya Kepahiang, Hujan Mas Bermani Ulu, Bermani Ulu Raya, Curup Tengah Lebong Sakti, Air Dingin Seluma Selatan Seginim Sungai Serut, Selebar, Gd. Cempaka Kinal
Kaur Jumlah Sumber : Data Primer diolah (2016)
Durian 24 1
Jumlah genotip Mangga Manggis 7 1 3 2 1 10
4
Jeruk 5 3 1
Pisang 1 4 8 4
8 -
3 1 2 8
2 2 10
9 1
3
4
12
1 38
23
17
35
32
Hasil pengamatan secara morfologis terhadap 38 genotip durian lokal di Provinsi Bengkulu menunjukkan keragaman. Durian lokal tersebut sangat beragam baik rasa, aroma, tekstur dan warna daging buah, juga bervariasi dari bentuk buah, bentuk duri, warna kulit dan biji. Nama lokal durian oleh petani dinamai sesuai dengan bentuk buah atau warna daging buah seperti durian kuning, durian belimbing, durian terong, dan durian lai serta umumnya durian tersebut dapat dimakan. Durian terong populasinya sudah mulai langka, banyak ditebang oleh petani dan nilai jualnya rendah karena ukuran buah yang sangat kecil. Menurut Uji (2007) bahwa di dunia terdapat 27 jenis durio dan 20 jenis ada di Indonesia serta 9 jenis diantaranya merupakan durio yang dapat dimakan masing-masing adalah Durio dulcis (lahong), D. Excelsus (apun), D.grandiflorus (sukang), D. graveolens (tuwala), D. kutejensis (lai), D.lowianus (terutung), D.oxleyanus (kerantungan), D.testudinarum (durian sekura) dan D. zibenthinus. Hasil eksplorasi terhadap 23 genotip tanaman jeruk terdapat variasi mulai dari ukuran yang kecil (jeruk kalamansi) sampai yang berukuran besar (jeruk bali). Jeruk yang ditemukan terdiri dari jenis jeruk peras, jeruk purut lokal, jeruk purut, jeruk bali, jeruk kalamansi, jeruk siam, jeruk gerga, jeruk nipis, jeruk nipis lokal, dan jeruk sunkist. Dua jenis jeruk yaitu kalamansi dan gerga telah berkembang menjadi usaha rakyat. Jeruk kalamansi tanamannya banyak ditemukan di Kabupaten Bengkulu Tengah sedangkan pengolahan pasca panen menjadi sirup dikembangkan di Kota Bengkulu. Jeruk gerga banyak di jumpai di Kabupaten Lebong dan telah dipasarkan melalui pasar modern yang ada di Bengkulu. Jeruk gerga secara morfologi mirip dengan jeruk siam, namun yang membedakannya ukuran buah lebih besar dan kulit jeruk lebih tebal dibanding dengan jeruk siam. Hasil eksplorasi diperoleh 17 genotip mangga di Provinsi Bengkulu dengan 9 jenis yaitu mangga bengkulu, bembam, mangga manalagi, bacang, mangga gedong, mangga udang, mangga indramayu, mangga apel. Menurut Gruezo (1991) dalam Uji (2007) bahwa Indonesia terdapat 40 jenis mangifera, dan 23 jenis mangga yang dapat dimakan serta 14 jenis diantaranya telah dibudidayakan.
304
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Mangga Bengkulu merupakan mangga lokal yang karakteristik morfologi mempunyai ukuran panjang buah rata-rata 15,71 cm, diameter buah 10,57 cm, berat buah 709,64 g, tekstur daging buah sedang, buah tidak beraroma, dengan Total padatan terlarut (TPT) 10,46% Brix (Miswarti 2015). Hasil pengamatan terhadap 35 genotip manggis lokal di Provinsi Bengkulu menunjukkan keragaman yang rendah. Secara morfologi manggis lokal tersebut memiliki dua bentuk yaitu bentuk bulat dan gepeng, sedangkan karakter lainnya umumnya memiliki kemiripan. Hasil pengamatan terhadap 32 genotip tanaman pisang terdapat variasi mulai dari ukuran buah yang kecil sampai yang berukuran besar. Nama pisang lokal yang ditemukan terdiri dari jenis Pisang ambon curup, pisang jantan, pisang kreak, pisang rotan, pisang udang, pisang nangka, pisang batu, pisang ketan, pisang serindit, pisang rawas, pisang moli, pisang hutan, pisang rajo serai, pisang kepok lenggang, pisang tenggayak, pisang rusa, pisang kapal, dan pisang mas. Pisang Ambon Curup merupakan salah satu pisang yang memiliki rasa yang khas warna kuning, kandungan air rendah serta wangi dibandingkan dengan jenis ambon yang ditanam pada daerah di luar Kabupaten Rejang Lebong. Ada satu jenis pisang yang mempunyai warna kulit ungu yaitu pisang hutan. Pisang hutan ini tumbuh disepanjang pengunungan dengan tipe tandan adalah horizontal. Konservasi eks-situ Berkembangnya pembangunan fisik di Provinsi Bengkulu menyebabkan banyak lahan subur yang beralih fungsi sehingga banyak plasma nutfah yang hilang termasuk tanaman buah. Plasma nutfah merupakan aset yang sangat berharga untuk pembentukan varietas unggul, oleh karena itu keberadaan plasma nutfah harus terus menerus dijaga agar dapat dimanfaatkan tanpa mengenal batas waktu. Untuk menyelamatkan dan mencegah hilangnya sumberdaya genetik selain dilakukan eksplorasi juga dilakukan konservasi eks-situ. Konservasi plasma nutfah secara eks-situ tersebut telah dilakukan dengan menanam ke lima jenis buahan seperti mangga, manggis, durian, jeruk dan pisang di media pot dan lahan kebun koleksi di sekitar halaman kantor BPTP Bengkulu. Jenis dan jumlah tanaman yang telah dikoleksi di halaman kantor BPTP Bengkulu disajikan pada Tabel 2 berikut ini.. Tabel 2. Koleksi plasma nutfah tanaman buah yang di koleksi BPTP Bengkulu Tahun 2015 No 1
Komoditas Jeruk
2
Mangga
3
Manggis
4
Durian
5
Pisang
Jenis/varietas Jeruk Kalamansi Jeruk Gergah Jeruk Peras Jeruk Sunkist Jeruk Siam Jeruk Bali Mangga Bengkulu Mangga Gedong Bembam Manggis penum Manggis marel Durian Bentara Durian Sitokong Durian Lai Pisang Ambon Curup Pisang Batu/Kepok Pisang Raja Sere Pisang Udang Pisang Nangka Pisang Kapal Pisang Serindit Pisang mas
Jumlah tanaman (pohon) 62 17 1 4 3 1 16 1 2 3 14 1 4 4 1 18 2 1 1 2 1 1 160
Jumlah Sumber : Data Primer diolah (2016)
Plasma nutfah tanaman buah yang telah dikoleksi tersebut diatas dipelihara sehingga tersedia materi genetik untuk dimanfaatkan dalam program pemuliaan.
305
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KESIMPULAN Hasil eksplorasi dan pengamatan plasma nutfah tanaman buah di Provinsi Bengkulu sebanyak 145 genotip terdiri dari durian 38 genotip, jeruk 23 genotip, mangga 17 genotip, manggis 35 genotip, dan pisang 32 genotip. Berdasarkan kondisi Iklim, Provinsi Bengkulu memiliki potensi untuk pengembangan buah- buahan. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada Kepala BPTP Bengkulu yang telah mengalokasikan dana dalam DIPA TA 2015 sehingga kegiatan ini dapat terlaksana. DAFTAR PUSTAKA Ashari, S. 2006. Pengantar Biologi Repreduksi Tanaman. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Berthaud, J. 1997. Strategies for Concervation of Genetik Resources in Relation with Their Utilization. Euphytica 96:1-12 [BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2016. Data Curah Hujan, Suhu Udara dan Kelembaban Udara Stasiun Klimatologi Klas I Pulau Baai. [BPS] Badan Provinsi Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi bengkulu Hadiatmi, Tiur, S.Silitonga, Sri G. Budiarti, dan Buang Abdullah. 2002. Eksplorasi Plasma Nutfah Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Hidayat, A dan Mulyani. A 2002. Lahan kering untuk pertanian dalam buku teknologi pengelolaan lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor Miswarti, E. Makruf, Afrizon, W.E. Putra, T. Rahman, dan E. Kristanto. 2015. Sumberdaya Genetik Tanaman Hortikultura dan Pangan di Provinsi Bengkulu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Prosea. 1991. Edoble Fruit and Nuts. Bogor. Plant Resources of South-East Asia Uji, T. 2007. Keanekaragaman, Persebaran, dan Potensi Jenis-jenis Garcinia di Indonesia. Berk. Penel. Hayati : 12 (129-135). Uji, T. 2004. Keanekaragaman Jenis, Plasma Nutfah dan Potensi Buah-buahan Asli Kalimantan. BioSmart 6(2) : 117-125 Verheij, E.W.M. 1999. Garcinia mangostana L. In E.W.M. Verheij and R.E.Coronel. Buah-buahan yang dapat dimakan. Plant Resources of South East Asia (Prosea). Bogor Yufdi, P. 2015. Community Fruit Catalogue. Garcinia and Nephelium in Sijunjung, West Sumatera.
306
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HILIRISAI PENERAPAN INOVASI MELALUI JEJARING PELAKU INOVASI (Studi Kasus: Implementasi Inovasi Demplot Usahatani Bawang Merah Di Kabupaten Kediri, Jawa Timur) STREAM OF ACCELERATION AND APPLICATE INNOVATIONTHROUGH NETWORKING PRINCIPALS OF INNOVATOR (case study: Demplot of farming Innovation Implementation of onion in Kediri) Tini Siniati Koesno Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jln. Raya Karangploso Km.4, Malang, Tlp.(0341) 494052, 485056; Fax. (0341)471255 Email:
[email protected] ABSTRAK Hilirisasi inovasi teknologi, sebagai akibat rangkaian jejaring melibatkan aktor teknis dan sosial. Aktor (pelaku) tersebut mempunyai kontribusi sama dalam membangun jejaring. Jejaring menjadi efektif, tergantung kekuatan relasi diantar aktor tersebut. Jejaring Aktor salah satu kunci keberhasilan penyebar-luasan dan hilirisasi inovasi teknologi. Oleh karena itu diperlukan informasi pelaku jejaring inovasi dan kinerjanyanya dengan mengidentifikasi: pelaku inovasi; pemetaan alur jejaring pelaku inovasi; kinerja jejaring; metoda dan media yang digunakan. Kegiatan tersebut menggunakan studi kasus demplot “Imple-mentasi Inovasi Usahatani Bawang Merah di Sidowareg, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri. Kegiatan dilakukan pada September s/d Nopember 2015 dengan menggunakan metode survey. Responden adalah gapoktan terdiri dari 7 poktan dari unsur pengurus (ketua, sekretaris dan bendahara) dan petugas lapangan. Hasil identifikasi pelaku inovasi dipetakan menjadi tiga, yaitu berperan: 1. sumber informasi (generating agent) berasal dari a) pemkab: Dinas Pertanian, BKP, BPP; b) UPT Kementan (BPTP dan Balai Besar Pelatihan); c) R&D Perusahaan Saprotan., 2. saluran informasi atau media (dilevery agent): PPL, POPT, Mantri Tani, BP3K, KTNA, P4S, Kios Saprotan; dan 3. pengguna informasi, Receiving agent: petani. Hasil identifikasi Akses generating agent ke dilevery agent: a) pemkab: Dinas Pertanian (42,9%), BKP (28,57%), BPP (42,9%); b) UPT Kementan: BPTP (57,14%) dan Balai Besar Pelatihan (57,14%); dan c) R&D Perusahaan Saprotan (71,43%). Semua generating agent memiliki akses ke dilevery agent: PPL (100%); POPT (83%); BP3K (83%); Mantri Tani (33%); KTNA (33%); P4S (17%) dan Kios Saprotan (17%). BPTP Jatim sebagai Generating agent, yang berperan merakit dan sebagai sumber pembaharuan inovasi, serta bertanggung jawab memperderas hilirisasi inovasi ke dilevery dan receiving agent (petani), perlu lebih meningkatkan kinerjanya, agar terjadi percepatan penerapan inovasi ke pengguna. Selain itu perlu menjalin jejaring dengan KTNA dan P4S serta mantri tani. Kata Kunci: Hilirisai, Inovasi, Jejaring, Pelaku Inovasi ABSTRACT Stream of acceleration and applicate technological innovation, as a result of a series of networking involves technical and social actors. Actor (perpetrators) have the same contribution in building the network. Network to be effective, depending on the strength of the partnership needed between these actors. Networking Actors one of the key successes of the promulgation and technological innovation hilirisasi.Therefore required information networking innovations and offender performance by identifying: the perpetrator of the innovation; mapping the flow of network principals of innovation; the performance of the network; methods and media used. These activities use the case study demo plot "Implementation Innovation of farming village of Sidowareg in the red onion, Plemahan Subdistrict, district of Kediri. The activities carried out in September until November 2015 by using method survey. The respondent is a union of farmer group composed of 7 farmer groups of Trustees (Chairman, Secretary and Treasurer) and officers of the Court. The results of the identification of the perpetrator of the innovation is mapped into three, namely: 1. the role of information sources (generating agent) comes from a) District Government: Department of agriculture, food security body, the PANTHERS; b) Agriculture ministry (Great Hall and AIAT Training); c) R&D Company Saprotan., 2. information channel or media (delivery agent): PPL, POPT, Mantri Tani, BP3K, KTNA, P4S, Saprotan; and 3. the user information, the Receiving agent: farmers. The results of the identification of generating agent Access to delivery agent: a) the District Government: Department of agriculture (42,9%), BKP (28,57%), BPP (42,9%); b) Technical Conduction Unit of Agricultural
307
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Ministery: BPTP (57,14%) and Training Centre 57,14%); and c) R&D Agricultural Facilities Production Company (71,43%). BPTP East java as Generating agent, which acts to assemble and as a source of innovation, renewal and responsible for accelerate downstream innovation to the dilevery and receiving agent (farmer), needs to further improve its performance, the acceleration of the implementation of innovation in order to the user. In addition need to establish networks with KTNA and P4S and mantri tani. Keywords: Stream of Innovation, Networking, Actors Of Innovation PENDAHULUAN Fluktuasi harga bawang merah kerap membuat heboh masyarakat konsumen ketika harga melangit, maupun di pihak produsen ketika harga jatuh dibawah biaya produksi. Kondisi ini bila dibiarkan akan mengganggu stabilitas ekonomi, yang berdampak pada meningkatkan inflasi. Akhirnya pada tanggal 29 Oktober 2013 pemerintah menetapkan bawang merah sebagai komoditas utama yang perlu mendapat perhatian khusus. Perlu diketahui bahwa fluktuasi harga dipicu oleh kebutuhan pasokan yang setiap hari harus tersedia di pasar. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan bawang merah di tingkat petani produsen bersifat musiman dan potensi pengembangannya terbatas pada wilayah tertentu. Menjadikan daerah tersebut memacu produksi dengan menanam berulang kali tanpa jedah. Akhirnya tingkat serangan hama dan penyakit tinggi, biaya produksi menjadi meningkat, berdampak terhadap harga jual ke konsumen. Untuk menghadapi permasalahan tersebut, sepatutnya petani bergerak brsama-sama dalam suatu wadah kelembagaan usahatani (poktan atau Gapotan), agar efisien (Aritonang, 2012) . Selanjutnya kelembagaan ini perlu membentuk jejaring usaha anatar poktan dan gapoktan. Melalui jejaring tersebut, para petani di masing-masing wilayah sentra produksi dapat mengatur pola produksi yang berdasarkan kebutuhan pasar (Laksono dan Wulandari, 2011). Untuk tujuan tersebut, maka semua unsur-unsur yang terlibat dalam jejaring bersama-sama membahas rakitan inovasi teknologi melalui pengaturan pola tanam, penggunaan varietas yang mampu beradaptasi dengan musim hujan, management pengendalian OPT serta perlu bersepakat untuk mengatur pengendalian harga (Priyatma, 2013) Selain itu melalui kegiatan jejaring dapat menuai beberapa manfaat, diantaranya: dapat meningkatkan posisi tawar petani dengan pihak lain; dapat membangun satuan skala usaha yang menguntungkan; terbangunnya komitmen yang jelas dan terukur diantara pelaku bisnis; menjalin kemitraan usaha, yang selanjutnya bisa menjadi embrio kelembagaan ekonomi petani yang berbadan hukum, seperti koperasi tani atau badan usaha milik petani (BUMP) Hal tersebut selaras dengan Badan Litbang Pertanian (2011) telah mengembangkan pendekatan percepatan adopsi inovasi teknologi pertanian melalui Spektrum Diseminasi Multi Channel yang dikenal SDMC. Perluasan spektrum inovasi teknologi pertanian dan perluasan/percepatan adopsi inovasi pertanian tidak hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan penyuluhan formal, namun juga diperankan oleh berbagai pihak di lingkungan masyarakat, termasuk kelembagaan non formal Untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan efektivitas interaksi antara BPTP Jawa Timur dengan kelembagaan petani akan dilaksanakan dengan kegiatan “peningkatan kapasitas jejaring pelaku inovasi” (Koesno, 2015) Untuk meningkatkan kapasitas tersebut, perlunya mengetahui ruang lingkup kegiatan tersebut meliputi (i) Identifikasi pelaku inovasi pertanian (petani kooperator, P4S, Kontak Tani/Kontak Tani Andalan, pelaku usaha, penyuluh swadaya, stakeholders), (ii) pemetaan hubungan keterkaitan jejaring kerja diantara pelaku inovasi untuk transfer inovasi pertanian, (iii) mengidentifikasi dan mengukur kinerja media dan metoda yang digunakan, (iv) menyelenggarakan percontohan atau peragaan inovasi pertanian (bawang merah) sebagai tempat menggali data dan informasi. Apabila diketahui ukuran kinerja masing-masing pelaku inovasi, akan mempermudah para pelaku tersebut memposisikan diri demi percepatan penerapan inovasi. Demikian halnya dengan jenis media dan metoda yang direspon pelaku inovasi paling berdampak terhadap percepatan penerapan inovasi pada pengambangan bawang merah (Koesno, et al., 2015)
308
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Kegiatan dilaksanakan di desa Sidowarek, kecamatan Plemahan sebagai sentra bawang merah di kabupaten Kediri. Pelakasanaan kegiatan yaitu mengambil study kasus pada petani pelaksanaan demplot pembibitan bawang merah, yang kegiatan dimulai bulan September sampai dengan Desember 2015. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode deskriptif. Sesuai dengan tujuan kegiatan ini adalah untuk mendiskripsikan atau memetakan secara faktual dan sistematis mengenai fakta dan keadaan, sifat hubungan antara pelaku inovasi (Nasir, 1999) Dalam mendiskripsikan hasil kegiatan membutuhkan dua (2) jenis data, yaitu data primer yang bersifat kualitatif dan data sekunder yang cenderung bersifat kuantitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung ke sumber informasi yaitu: petani pelaksana, penyuluh dan petugas lapang di tingkat desa hingga kabupaten. Data sekunder diperoleh dari laporan Dinas Pertanian kabupaten Kediri, Programa Penyuluhan Pertanian, serta data dan informasi yang diperoleh melalui desk study literatur. Metode pengambilan data dan informasi dilakukan melalui dua cara, yaitu: survey atau observasi dan fokus group diskusi (FGD) langsung dengan petani untuk mengetahui skala permasalahan dalam pengembangan kegiatan selanjutnya. Untuk memudahkan keperluan analisis, data-data yang diperoleh terlebih dahulu ditabulasi, kemudian dianalisa secara diskriptif. Melaksanakan identifikasi pelaku inovasi (petani kooperator, P4S, dan Kontak Tani/Kontak Tani Andalan, pelaku usaha, penyuluh swadaya) untuk jejaring kerja dalam rangka transfer inovasi pertanian.Melaksanakan identifikasi karakteristik petani pelaku utama inovasi. Hal ini erat hubungannya dengan tingkat penerapan inovasi serta pemilihan media dan metoda diseminasi. Menggali data dan informasi untuk mengukur kinerja media dan metoda diseminasi dilakukan melalui FGD. Caranya yaitu dengan menyebarkan daftar pertanyaan seputar media dan metode diseminasi yang digunakan dan disukai petani. Sebagai responden adalah pengurus tujuh poktan (ketua, sekretaris, bendahara, seksi produksi dan usaha) yang tergabung dalam gapoktan Notoprojo. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi Jejaring Pelaku Inovasi pada study kasus petani pelaksana kegiatan demplot bawang merah, meliputi hasil identifikasi: pelaku inovasi; jejaring pelaku inovasi dan aksesibilitas terhadap sumber inovasi; serta hasil identifikasi penggunaan dan kinerja media dan metoda yang digunakan oleh petani sebagai pelaku utama penerapan inovasi 1. Identifikasi Pelaku Inovasi Dalam suatu system Jejaring Pelaku Inovasi, berdasarkan peranan masing-masing pelaku, dibedakan menjadi tiga (3), yaitu pelaku yang berperan sebagai: sumber informasi; saluran informasi atau media; dan pengguna informasi (petani). Sumber Informasi atau Generating Agent Sumber informasi pertanian, disebut sebagai Generating Agent adalah lembaga atau institusi yang bertanggung jawab menggali, mengolah, menghasilkan dan menyediakan serta menyebarkanluaskan informasi pertanian yang dijamin dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya serta mudah digunakan dan dimengerti petani. Hasil identifikasi kelembagan yang bertindak sebagai sumber informasi adalah: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, Balai besar Pelatihan Pertanian Ketindan, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Kediri, BP3K, R and D perusahaan pupuk dan obatobatan, melalui Kios saprotan yang ada di wilayah tersebut. Saluran Informasi atau Delivery Agent Saluran Informasi adalah individu atau petugas yang bertanggung jawab menyalurkan dan atau menyampaikan informasi ke pengguna akhir informasi, yaitu petani. Di wilayah kegiatan, dileveri agent dilakukan oleh: penyuluh pertanian, POPT, Mantri Tani, pedagang saprotan, dan petani maju. Bisa juga atas nama kelembagaan petani seperti: KTNA, P4S yang dianggap mampu menyampaikan informasi pertanian kepada pelaku utama, seperti pada tabel 1.
309
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Table 1. Hasil identifikasi Pelaku Inovasi Pertanian di Sidowareg Saluran Informasi Atau Media (Delivery Agent)
Sumber Informasi (Generating Agent)
No 1. a. b. c. 2. a. b.
Penerima (Recieveing Agent)
Pemerintah Daerah: Dinas Pertanian Kabupaten Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana 1. Penyuluhan Kab. 2. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan 3. 4. Kementerian Pertanian: 5. Balai Besar Pelatihan Pertanian 6. 7. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Penyuluh Lapang POPT Mantri Tani BP3K P4S KTNA Kios Saprotan
Petani Pengguna (user akhir) Jenis usahatani: Bawang Merah
3. Research and Development Perusahaan Saprotan (R & D) Sumber: Data Primer (2015)
Penerima atau Recieveing Agent Pada Permentan nomor 82 tahun 2013, bahwa yang namanya Pelaku Utama inovasi (petani) adalah Warga Negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usahatani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan. Dalam jejaring pelaku inovasi, pelaku utama adalah bertindak sebagai Recieveing Agent. Hasil Karakteristik Recieveing Agent, dicirikan dengan: umur, pendidikan, kepemilikan lahan, dan komoditi yang diusahakan. Beberapa faktor tersebut mempengaruhi kemampuan perkembangan mental dan proses mental pelaku utama dalam mengambil keputusan dalam penerapan inovasi (Soekartawi, 1988). Hasil identifikasi karakteristik pelaku utama pada kegiatan analisis jejaring pelaku inovasi, disajikan pada tabel 2. Umur, kisaran umur pelaku utama inovasi ternyata masih didominasi oleh kaum menjelang manula hingga manula (56 %); sedangkan pelaku utama yang berusia produkti hingga produktif mapan yaitu 44 %. Adapun dukungan pendidikan yang dimiliki pelaku utama tersebut 61,1 % berpendidikan SD; 33,3 % berpenddikan SMP dan 22,2 % berpendidikan SMA. Hampr semua pelaku utama pekerjaannya adalah bertani (94,4 %). Hal ini dibuktikan dengan 61,11 % pelaku utama sebagai responden memiliki lahan garapan yang memiliki Status kepemilikan lahan. Kisaran kepemilikan lahan responden antara 0,146 s/d 0,286 ha, adalah Terbanyak 28 %; 22,2 % responden memiliki lahan garapan 0,143 ha; dan 16,7% responden memiliki lahan garapan 0,36 s/d 0,43 ha. Sisanya 33,1 % responden memiliki lahan garapan antara 0,50 s/d 1,36 ha. Mencermati kondisi kepemilikan lahan pelaku utama inovasi dengan komoditi utama hortikultura (bawang merah), maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan lahan cukup relevan untuk jenis usahatani tersebut.
310
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Karakteristik Recieveing Agent atau Pelaku Utama No. 1. a. b. c. d. 2. a. b. c. 3. a. b.
Karakteristi Recieveing Agent atau Pelaku Utama Kelompok umur (tahun): 30-40 Muda produktif 41-50 Usia mapan Prod. 51-60 Menjelang manula 61-70 Usia manula Pendidikan Sekolah dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Pekerjaan: Pemilik dan penggarap Pelaku utama dan P.Usaha
Status Kepemilikan Lahan a. Pemilik b. Sewa c. Penggarap d. Pemilik dan Penggarap 5. Luas Kepemilikan Lahan: (50-950 ru setara 0,07-1,357 ha) a. 50-100 ru setara 0,07-0,143 ha b. 102-200ru setara 0,146-0,286 ha c. 250-300ru setara 0,357-0,429 ha d. 350-400ru setara 0,500-0,571 ha e. 500 ru setara 0,714 ha f. 600 ru setara 0,857 ha g. 950 ru setara 1,357 ha Sumber: Data Primer (2015)
Persentase (%)
Keterangan Intepretasi
22,2 22,2 28 28
Pekerjaan petani Mayoritas didominasi oleh kelompok usia menjelang manula hingga manula
61,1 33,3 22,2
Pendidikan pelaku utama mayoritas adalah Sekolah Dasar (61,1 %)
94,4 5,6
Hampr semua pelaku utama pekerjaannya adalah bertani (94,4 %)
61,11 11,11 16,67 11,11
Sekitar 61,11 % pelaku utama memiliki lahan garapan
4.
22,2 27,8 16,7 11,1 5,6 11,1 5,6
Kisaran kepemilikan lahan: a. Terbanyak 28% antara 0,146 s/d 0,286 ha b. 22,2 % memiliki lahan 0,143 ha c. 16,7% memiliki lahan 0,36 s/d 0,43 ha.
Identifikasi Aksessibilitas Pelaku Jejaring Inovasi Dalam suatu system Jejaring Pelaku Inovasi: sumber informasi, saluran informasi atau media, dan pengguna informasi (petani), dipetakan seperti pada gambar 1. Masing-masing pelaku inovasi mempunyai peranan dan hubungan keterkaitan. Pada skema gambar 1, menunjukkan bahwa pelaku delivery agent: Penyuluh Pertanian Lapang mendapatkan informasi dari semua pelaku sumber informasi (generating agent), dengan persen aksesibilitas 100 %. Ini membuktikan cakupan tugas penyuluh Lapang adalah menyelesaikan semua permasalahan usahatani di semua komodi di tingkat desa. Keadaan ini secara langsung berpengaruh terhadap kelembagaan BP3K tempat tersimpulnya para penyuluh memiliki akses 83 % dari sumber informasi. Peran petugas POPT juga tinggi untuk mendapatkan akses dari sumber informasi (83 %), ini disebabkan karena jangkauan wilayah kerja se kecamatan. Berbeda dengan Mantri tani hanya 33 %, karena tugas mantri tani sifatnya koordinatif program sebagai kepanjangan tangan dari dinas kabupaten yang ada di tingkat kecamatan (UPTD). Kedua pelaku delivery agent tersebut, bersamaan bernaung dalam satu management Dinas Pertanian Kabupaten Kediri. Sedangkan Penyuluh Lapang, memiliki satuan wilayah kerjanya berada di dalam wilayah kerja BP3K Kecamatan, yang tersimpul dalam management Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3) Kabupaten Kediri.
311
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pelaku Generating Agent
Pelaku Delivery Agent
% % Akses ke Akses ke Delivery Agent Generating Agent 1. Pemerintah Daerah: Penyuluh Lapang a. Dinas Pertanian Kabupaten (42,9 %) b. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten (28,57 %) c. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan (42,9 %) 2. Kementerian Pertanian: a. Balai Besar Pelatihan Pertanian (71,43 %) b. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur (57,14 %) 3. Research and Develop-ment Perusahaan Saprotan (R & D) (71,43 %)
Pelaku Recieveing Agent % Akses ke Delivery Agent 100 %
100 %
POPT
83 %
50 %
Mantri Tani
33 %
25 %
Ka.BP3K
67 % 75 %
KTNA 33 % 12,5 %
P4S KIOS SAPROTAN/PETU GAS
17 % 12,5 % 17 % 63 %
Sumber: Data Primer (2015)
Gambar 1. Skema Jejaring Inovasi Pertanian di desa Sidowareg,Kecamatan Plemahan Kabupaten Kediri Aksesibilitas Recieveing Agent ke Delivery Agent, dihitung berdasarkan kehadiran selama satu siklus kegiatan diselenggarakan dari persiapan hingga panen, terdapat 8 kali tatap muka (pertemuan atau kegiatan di lahan) dengan poktan. Masing-masing Delivery Agent memberikan kontribusi akses ke Recieveing Agent sebagai berikut: PPL (100%), BP3K (75%), Kios/Petugas Perusahaan Obat (63%), POPT (50%), Mantri Tani (25 %) serta KTNA dan P4S (12,5%). Keterlibatan tertinggi diraih oleh PPL, dianggap wajar karena sebagai penyuluh di wilayah kerjanya harus mengawal pelaksanaan penerapan inovasi bersama BPTP Jatim hingga panen. Demikian dengan lembaga penyuluhan BP3K sebagai satmingkal penyuluh dan petugas lapang lainnya seperti POPT dan Mantri Tani. Keberadaannya sangat strategis untuk hilirisasi inovasi, sebagai tempat pertemuan antara petani dan petugas. Selama kegiatan tersebut, Petugas Perusahaan Obat memainkan peran cukup tinggi bila dibandingkan POPT, KTNA dan P4S. Artinya, dia menyadari posisi perannya di tempat yang tepat yaitu di sentra bawang merah yang sarat dengan serangan OPT. Tingginya peran tersebut, dimaksudkan agar perusahaan memperoleh keuntungan dari situasi tersebut. Berbeda dengan POPT, misinya hanya membawa atau menyampaikan anjuran pengendalian, untuk selanjutnya dilakukan oleh PPL. Nampak peran KTNA dan P4S tidak nampak. Menurut Syahyuti (2014), Seharusnya petani juga menjadi pelaku aktif dalam konsep metode belajar dari petani ke petani (farmer to farmer learning). Secara konseptual pendekatan ini diyakini bisa lebih efektif. Komunikasi antar petani diharapkan akan lebih efektif, karena sesama mereka memiliki kesamaan bahasa, persepsi terhadap persoalan, dan metode pemecahan masalah. Empati, sebagai salah satu syarat komunikasi, akan lebih
312
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
terjamin. Hal ini diwadahi dengan pendirian berbagai Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S), di mana petani belajar dari petani secara langsung. Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) merupakan wadah pelatihan pertanian dan pedesaan yang didirikan, dimiliki, dikelola oleh petani secara swadaya baik perorangan maupun berkelompok. Kinerja Media dan Metoda Pada prakteknya, delivery agent untuk menyalurkan informasi ke pengguna, menggunakan berbagai media atau saluran informasi sebagai alat bantu yang dapat dengan mudah dipahami oleh pengguna pelaku utama inovasi (petani). Hasil identifikasi media informasi yang digunakan oleh pelaku utama, adalah media elektronik dan media cetak. Hasil pengukuran Kinerja dua (2) jenis media tersebut, ternyata pelaku utama inovasi lebih sering menerima pesan melalui media elektronik: TV, Radio dan Internet, dibandingkan Media Cetak berupa leaflet dan broseur yang biasa disebarkan oleh BPTP maupun Dinas Provinsi (table 2). Tabel 2. Kinerja media diseminasi Kinerja Penggunaan Media Diseminasi (5) Media Elektronik Lokasi Kegiatan Sidowareg
Televisi Swasta TV RI Nasional Poktan Tentrem 50 33 Sumber: Data Primer (2015)
Daerah (DohoTV) 11
Radio Swasta RPW Internet Lokal Keliling 16,7 0 11
Media Cetak Leaflet
Brosur
5,6
0
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap responden sebagai pelaku utama, ternyata mereka lebih sering menerima informasi melalui media Televise Swasta Nasional , yakni mencapai 50%. Kemudian disusul oleh sebanyak 33 % responden menyatakan menerima pesan melalui media TV RI; 16,7 % responden menerima pesan melalui Siaran Radio Swasta Daerah dan 11 % responden sudah menggunakan fasilitas internet untuk mencari informasi inovasi pertanian, dan sekitar 11 % lainnya responden menggunakan media Doho TV, yang merupakan stasiun TV lokal milik pemerintahan kabupaten Kediri. Alasan mereka menyukai televisi, karena pesan yang disampaikan menarik, atraktif, dan terkesan sebagai hiburan bagi pemirsa. Selain itu pesan yang disampaikan melalui media televisi menggabungkan beberapa indera penerimaan, yakni melalui indera penglihatan (83 %) dan indera pendengaran (11 %). Namun demikian, apa yang dilihat dan didengar, belum tentu langsung diadopsi. Perlu diketahui bahwa Proses adopsi itu merupakan proses mental yang melalui lima (5) tahapan, bisa secara berurutan, atau lompatan dari proses mental tersebut. Hal ini tergantung dari kemampuan proses mental seseorang dalam menerima pesan tersebut (Arifin Moekadas, 1985) Selanjutnya pada prakteknya, dalam penyampaian media diseminasi, atau penyuluhan, diperlukanlah suatu strategi, yang dilakukankan melalui berbagai metoda diseminasi. Diantaranya yang diamksud berbagai metoda tersebut yaitu melalui pertemuan (temu lapang, temu karya, dan temu ilmiah) dan pembelajaran petani (kursus tani dan sekolah lapang atau SL). Hasil identifikasi kinerja penggunaan metoda diseminasi tersebut, disajikan pada table 3. Tabel 3. Kinerja penggunaan metoda diseminasi Lokasi Kegiatan Sidowareg
Temu Lapang Poktan Tentrem 72,2 Sumber: Data Primer (2015)
Pertemuan Temu Karya 5,6
Kinerja Metoda Diseminasi (%) Pembelajaran Petani Temu Ilmiah Kursus Sekolah Lapang 5,6 28 83,3
Demplot 44
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa ukuran kinerja metode diseminasi 83,3 % responden sebagai pelaku inovasi telah mengikuti kegiatan pembelajaran sekolah lapang dan 72,2 % responden sering mengikuti kegiatan Temu Lapang Petani dan 44 % mengikuti pelaksanaan demplot (sebagai demonstrator maupun anggota). Memang akhir-akhir ini, metode yang banyak digunakan yaitu pembelajaran petani dalam bentuk sekolah lapang (SL), (Syahyuti, 2014). Alasannya yaitu, metode ini menerapkan falsafah penyuluhan “learning by doing”. Artinya peserta belajar inovasi sambil mengerjakan praktek usahataninya di lahan.(Roger, 2003). Metode berikutnya yang sering diikuti responden yaitu Temu lapang (72,2 %). Kegiatan ini sebenarnya menyatu dalam kegiatan demplot.
313
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Salah satu kegiatannya, menyelenggarakan temu lapang petani yang bisa dilakukan pada awal, pertengahan atau pada akhir kegiatan. Pada kegiatan demplot sendiri, responden hanya 40 % yang terlibat sebagai petani kooperator, sedangkan anggota kelompok tani lainnya, terlibat dalam kegiatan temu lapang. Oleh sebab itu, kegiatan temu lapang menduduki rating ke dua setelah sekolah lapang. KESIMPULAN 1. Hilirisasi dalam penyebarluasan inovasi teknologi, digambarkan sebagai suatu rangkaian jejaring Pelaku Inovasi, dibedakan menjadi tiga (3), yaitu berperan sebagai: sumber informasi; saluran informasi atau media; dan pengguna informasi (petani) 2. Hasil identifikasi pelaku jejaring inovasi, bertindak sebagai sumber informasi (generating agent), adalah: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Kediri, BP3K, R and D perusahaan pupuk dan obat-obatan, melalui Kios saprotan yang ada di wilayah tersebut; Bertindak sebagai 3. Di wilayah kegiatan, dileveri agent dilakukan oleh: penyuluh pertanian, POPT, Mantri Tani, pedagang saprotan, dan petani maju. Bisa juga atas nama kelembagaan petani seperti: KTNA, P4S yang dianggap mampu menyampaikan informasi pertanian kepada pelaku utama, 4. Karakteristik recieveing agent (petani)meliputi keadaan: Umur, didominasi56 % oleh kaum menjelang manula hingga manula, 44 % berusia produkti.Selanjutnya dukungan pendidikan 61,1 % berpendidikan SD; 33,3 % berpenddikan SMP dan 22,2 % berpendidikan SMA. Pekerjaanpelaku utama adalah bertani (94,4 %), karena 61,11 % responden memiliki lahan garapan yang memiliki Status kepemilikan.Hasil identifikasi diperoleh 22,2 % memiliki lahan garapan 0,143 ha; 28 %responden antara 0,146 s/d 0,286 ha; 16,7% responden memiliki lahan garapan 0,36 s/d 0,43 ha dan sisanya 33,1 % responden memiliki lahan garapan antara 0,50 s/d 1,36 ha. 5. Pada identifikasi aksesibilitas pelaku jejaringinovasi, rating akses tertinggi dari generating agent ke pelaku delivery agent adalah Balai Besar Pelatihan serta R&D Saprotan, mencapai 71,43 %; kemudian BPTP Jatim 57,14 %; Dinas Pertanian Kabupaten dan BP3K memiliki akses ke delivery sebesar 42,9 % dan akses terendah yaitu BKP3 kabupaten 28,57 %. 6. Penyuluh Pertanian Lapang sebagai dilevery agent memiliki akses informasi 100 %dari semua pelaku sumber informasi (generating agent), POPT 83 %, Ka. BKP3K 67 %kemudian Mantri tani dan KTNA masing-masing 33 % 7. Delivery agent menyalurkan informasi melalui berbagai media dan metoda. Hasil identifikasi media informasi yang digunakan oleh pelaku adalah media elektronik dan media cetak. 8. Hasil pengukuran Kinerja media ternyata pelaku utama inovasi lebih sering menerima pesan melalui media elektronik: TV, Radio dan Internet, dibandingkan Media Cetak berupa leaflet dan brosur yang biasa disebarkan oleh BPTP maupun Dinas Provinsi. 9. Pesn yang diterima melalui media elektronik, yaituTelevise Swasta Nasional, mencapai 50%. Kemudian 33 % responden menerima pesan melalui media TV RI; 16,7 % responden menerima pesan melalui Siaran Radio Swasta Daerah dan 11 % responden sudah menggunakan fasilitas internet untuk mengakses inovasi pertanian, dan sekitar 11 % lainnya responden menggunakan Doho TV, merupakan stasiun TV lokal milik pemerintahan kabupaten Kediri. 10. Pengukuran hasil kinerja penggunaan metoda diseminasi, menunjukkan bahwa 83,3 % responden telah mengikuti pembelajaran sekolah lapang dan 72,2 % responden sering mengikuti kegiatan Temu Lapang Petani dan 44 % mengikuti pelaksanaan demplot (sebagai demonstrator maupun anggota). Metode paling banyak digunakan yaitu pembelajaran petani melalui sekolah lapang (SL). Alasannya yaitu, metode ini menerapkan falsafah penyuluhan “learning by doing”. Artinya peserta belajar inovasi sambil mengerjakan praktek usahataninya di lahan. Saran 1. BPTP Jawa Timur,Sebagai lembaga vertical agar meningkatkan kinerja aksesibilitas ke delivery agent melalui berbagai media dan metoda diseminasi, minimal mempunyai nilai akses sama dengan Balai Besar pelatihan yaitu 71,43 %;
314
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
2. Aksesibilitaskomunikasi BPTP Jatim ke delivery agent: P4S, KTNA, mantriTani, perlu ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas dengan melibatkan mereka atau menciptakan kegiatan melalui berbagai metoda diseminasi. UCAPAN TERIMA KASIH Keberhasilan menggali data dan informasi untuk kepentingan pemetaan jaringan hilirisasi inovasi, dari generating agent, delivery agent hingga receiving agent, adalah berkat kerja keras petugas lapangan. Oleh sebab itu ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ka. BPP Plemahan berserta Crew, Gapoktan Notoprojo, dan PPOPT. Selain itu ucapan terimakasih untuk Kepala BPTP Jatim Ka. Lab. Diseminasi Wonocolo yang memberi kepercayaan dan fasilitasi terselenggaranya kegiatan pemetaan hilirisasi inovasi dari sumber hingga ke pengguna. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011. Pedoman Umum Spektrum Diseminasi Multi Chanel (SDMC). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Badan Litbang Pertanian, 2003. Panduan umum pelaksanaan penelitian dan pengkajian serta program informasi, komunikasi dan diseminasi di BPTP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta BKP3K Plemahan. 2014. Programa Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri. Ibrahim, J.T., A. Sudiyono dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Bayumedia. Malang Indra Aritonang. 2012. Strategi Pengembangan Sistem Jaringan Komunikasi Inovasi Pertanian Melalui Cyber Extension. Institut Pertanian Bogor. Laksono, A.D. dan R.D. Wulandari. 2011. Analisis potensi penyebaran informasi kesehatan melalui jejaring sosial (Studi Kasus Pada ‘Forum Jejaring Peduli AIDS’). Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberda-yaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. email;
[email protected]. Kasryno, F. 2006. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) ujung tombak diseminasi teknologi pertanian berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Revitalisasi Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Cisarua, 21 Nopember 2006. Koesno, T.S., A. Muhariyanto dan H.A. Dewi. 2015. Peningkatan Kapasitas Komunikasi dalam Rangka Akselerasi dan Efektivitas Pemasyarakatan Inovasi hasil Litkaji di Jawa Timur. Sub. Kegiatan: Peningkatan kapasitas pelaku inovasi pertanian melalui demplot bawang merah d ideas Sidowareg, Plemahan, Kediri. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Nasir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Pangarsa, N., A. Muhariyanto dan H. Ariyanto, 2007. Pengkajian efektifitas media komunikasi massa BPTP Jawa Timar di lima wilayah kabupaten. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Permentan nomor 42. 2013. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/ OT.140/3/2013. Tentang Pedoman Penilaian Petani Berprestasi. Kementerian Pertanian, Jakarta. Syahyuti. 2014. Peran strategis penyuluh swadaya dalam paradigma baru penyuluhan pertanian Indonesia.Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Priyatma, J.E. 2013. Potensi Teori Jejaring Aktor Untuk Memahami Inovasi Teknologi.Teknik Informatika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovations. Fith Ed. Simon & Schuster Publisher. Inc. New York. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press Van Den Ban A.W., dan Hawkins HS., 1996 Penyuluhan Pertanian, Kanisius, Yogyakarta.
315
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI LIMBAH PERTANIAN ASAL SUMBER DAYA ALAMI LOKAL PADA BUDIDAYA SAYURAN BAWANG DAUN (Allium fistulosumL.) UTILIZATION OF LIQUID ORGANIC FERTILIZER FROM AGRICULTURAL WASTES OF RESOURCES LOCAL ORIGIN NATURAL ON LEEK VEGETABLES (Allium fistulosumL.) Agustina E. Marpaung1, Bina Br Karo1 dan Kusmea Dinata2 1
Kebun Percobaan Berastagi, Balai Penelitian Tanaman Sayuran 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jln. Raya Medan Berastagi Km 60, Berastagi 22156 Email :
[email protected]
ABSTRAK Bawang daun merupakan salah satu komoditi sayuran yang pemanfaatannya banyak digunakan oleh konsumen sebagai bumbu memasak. Saat ini salah satu yang menjadi kendala adalah kualitas produk yang dihasilkan dan produktivitas yang rendah. Peningkatan kualitas produk dan produktivitas dapat dilakukan dengan pendekatan pertanian ramah lingkungan, berupa pemanfaatan pupuk organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk organik cair (POC) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang daun. Penelitian dilaksanakan bulan Mei s/d Juli 2016 di KP Berastagi(ketinggian ± 1340 meter dpl dan jenis tanah andisol. Rancangan percobaan yang digunakan adalah split plot faktorial dengan tiga ulangan. Petak utama : Teknik aplikasi (A1. Semprot dan A2. Siram). Anak petak : Dosis pupuk organik cair (D0.Tanpa POC, D1. 10 ml/l air, D2. 20 ml/l air, D3. 30 ml/l air dan D4.40 ml/l air). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi bawang daun tidak dipengaruhi oleh teknik aplikasi POC. Pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan pertumbuhan (tinggi 17,49 -21,07%; diameter batang 23,16-25,52%; jumlah anakan 39,91%) dan produksi (bobot bersih per tanaman 44,70%, bobot anakan 46,45% dan produksi per plot 42,99%) daun bawang dibanding tanpa pemberian POC. Pemberian POC dosis 20 ml/l air dengan cara siram dapat meningkatkan panjang batang dan panjang daun bawang daun (13,67 cm dan 61,67 cm) dibanding perlakuan lainnya. Katakunci : Allium fistulosum L, pemanfaatan, dosis, pupuk organik cair, teknis ABSTRACT Leek is one of vegetable commodities that used of lot consumer as seasoning. This time, one of matters is the product quality and productivity still low. To increase the quality and productivity can be done with environmental friendly approach, with using the organic fertilizer. The research aims are to know the effect of liquid organic fertilizer to growth and yield of leek. The research was conducted from May - July 2016 in the Berastagi experimental farm, with altitude ± 1340 meters above sea level, the soil type andisol. The experimental design used was a split plot factorial with three replications. The main plot is application technique (A1. Spray and A2. watered). The subplot is dosage of liquid organic fertilizer (D0. Without liquid organic fertilizer, D1. 10 ml/l water, D2. 20 ml/l water, D3. 30 ml/l water and D4. 40 ml/l water). The results showed that growth and yield of leek no effected by application technique. Liquid organic fertilizer dose 20 ml/l water can increase growth (height 17,49 -21,07%; stem diameter 23,16-25,52%; tillers number 39,91%) and production (net weight per plant 44,70%; tillers weight per plant 46,45% and production per plot 42,99%) of leek compare to without liquid organic fertilizer. Liquid organic fertilizer dose 20 ml/l water with watered application technique can increase stem and leave length of leek (13,67 cm and 61,67 cm) compare to another treatment. Keywords: Allium fistulosumL,utilization, dose, liquid organic fertilizer, technique
316
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Kebutuhan terhadap sayur-sayuran semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk. Oleh karena itu, sayur-sayuran perlu ditingkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. (Kumarawati, et al., 2013; Mujib, et al., 2014). Bawang daun (Allium fistulosumL.) merupakan salah satu jenis sayuran daun yang biasa digunakan untuk sayuran ataupun bumbu penyedap masakan. Di samping itu, bawang daun juga sering digunakan dalam pengobatan karena kandungan senyawa yang terdapat dalam bawang daun dapat berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan dalam bawang daun dapat berfungsi sebagai antihiperlipidemia sehingga dapat mengurangi resiko penyakit anterosklerosis serta penyakit jantung koroner (Yamamoto dan Yasuoka, 2009). Dikalangan petani, ketergantungan dalam menggunakan pupuk kimia sintetis hampir mencapai 100%, sedangkan penggunaan pupuk organik masih kurang. Pemberian pupuk kimia sintetis bukanlah jaminan untuk memperoleh hasil maksimal tanpa diimbangi pupuk organik, dimana hasil penelitian Sopha dan Uhan (2013) mengatakan bahwa pupuk organik mampu mengurangi penggunaan pupuk kimia. Hal ini didukung oleh Susi (2009) bahwa penggunaan dosis pupuk kimia sintetis yang berlebihan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, apalagi penggunaan secara terus menerus dalam waktu lama akan menyebabkan produktivitas lahan menurun dan mikroorganisme penyubur tanah berkurang. Peningkatan efisiensi pemupukan dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik. Salah satu sumber bahan organik yang banyak tersedia disekitar petani adalah pupuk kandang. Pemberian pupuk organik dapat mengurangi dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia (Martin, etal., 2006),menyumbangkan unsur hara bagi tanaman serta meningkatkan serapan unsur hara oleh tanaman (Taufiq, et al., 2007). Penggunaan pupuk organik alam (daun kerinyu, daun paitan dan bonggol pisang) yang dapat dipergunakan untuk membantu mengatasi kendala produksi pertanian khususnya tanaman sayuran daun, yaitu Pupuk Organik Cair. Pupuk organik cair merupakan salah satu jenis pupuk yang banyak beredar di pasaran. Pupuk organik cair kebanyakan diaplikasikan melalui daun atau disebut sebagai pupuk cair foliar yang mengandung hara makro dan mikro esensial. Pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat mendorong dan meningkatkan pembentukan klorofil daun dan pembentukan bintil akar pada tanaman leguminosae sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara, dapat meningkatkan vigor tanaman sehingga tanaman menjadi kokoh dan kuat, merangsang pertumbuhan cabang produksi, serta meningkatkan pembentukan bunga dan bakal buah (Anonim, 2004 dalam Rizqiani, 2007). Pupuk organik cair juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman sawi (Manullang, et al., 2014; Arinong dan Lasiwua, 2011), kentang (Parman, 2007), tomat (Rehatta, et al., 2014), kacang kedelai (Hamzah, 2014), jagung manis (Syofia, et al., 2014) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk organik cair (POC) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang daun. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan bulan Mei s/d Juli 2016 di KP Berastagi pada lahan seluas 120 m2, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, (ketinggian ± 1340 meter dpl dan jenis tanah andisol. Metoda penelitian berupa perlakuan dosis pupuk organik cair (POC) dari bahan limbah pertanian yang diolah sendiri. Petak utama : teknik aplikasi (A1. Semprot dan A2. Siram). Anak petak : dosis pupuk organik cair (D0. Tanpa POC, D1. 10 ml/l air, D2. 20 ml/l air, D3. 30 ml/l air dan D4. 40 ml/l air). Populasi tanaman terdiri dari 50 tanaman. Bibit bawang daun merupakan varietas lokal. Data diolah menggunakan Rancangan percobaan split plot faktorial dengan tiga ulangan. Prosedur penelitian dilakukan dua tahap, yaitu: 1. Tahap pembuatan pupuk organik cair Proses pembuatan pupuk organik cair (POC) terbuat menggunakan sisa-sisa limbah bahan organik, berupa : daun kerinyu, daun paitan dan bonggol pisang (dengan campuran 1 : 1 : 2) yang dicacah terlebih dahulu. Kemudian dikomposkan (aerob) selama 1 bulan dengan ditambah larutan IM4(100 gram gula merah, 50 ml bioaktivator EM4, air bersih). Setelah 1 bulan, bahan diaduk dan dimasukkan ke dalam drum dan ditambah air dengan perbandingan 2:1 (anaerob) serta100 gram gula merah + 50 ml bioaktivator EM4. Drum ditutup dengan rapat, kemudian selang dimasukan lewat
317
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
lubang tutup drum dan direkatkan sehingga tidak ada celah udara, sedangkan ujung selang yang lain masuk kedalam botol yang telah diberi air dan dibiarkan selama 2 minggu. Kemudian dipisahkan cairan dengan ampasnya dengan cara disaring dan cairan disimpan dalam drum/jerigen yang kemudian ditutup rapat. Pupuk organik cair ini merupakan pengganti pupuk daun yang biasa diberikan pada tanaman dengan cara disemprotkan. 2. Tahap penerapan POC Lahan diolah dan dibersihkan, pembuatan bedengan dengan ukuran 1 m x 2 m, dimana jarak antar perlakuan 70 cm dan jarak antar ulangan 1 m. Pupuk dasar ditebar merata di atas bedengan berupa pupuk organik 4 kg/plot. Kemudian pupuk ditutup dengan tanah dan dipasang mulsa. Dibuat lubang tanam pada mulsa dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Pupuk organik cair diberikan dengan cara dan dosis sesuai dengan perlakuan yang diuji 1 x 2 minggu dimulai tanaman berumur 4 minggu setelah tanam. Pemeliharaan meliputi penyiangan, penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama menggunakan insektisida berbahan aktif Pofenofos, Klorantranilipol 50 g/l, Imidakloprid dengan konsentrasi 0,5 – 1,0 cc/l air, sedangkan untuk mengendalikan penyakit dilakukan penyemprotan fungisida Mankozeb atau Difenokonasol 250 g dengan konsentrasi 2 g/ltr air. Pengendalian dilakukan tergantung pada tingkat serangan hama dan penyakit tanaman di lapangan. Pemanenan bawang daun dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam. Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman dan diamater batang pada umur 6 dan 10 minggu setelah tanam, jumlah anakan, panjang batang dan daun, bobot per tanaman (bersih dan anakan) dan produksi per plot. Data-data dari peubah yang diamati diuji dengan uji ANOVA (uji F) dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata menurut BNJ pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman dan Diameter Batang Berdasarkan hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman dan diameter batang pada umur 6 dan 10 minggu setelah tanam (MST) menghasilkan bahwa perlakuan teknik aplikasi tidak berpengaruh nyata terhadap diameter batang dan tinggi tanaman umur 6 MST, namun berpengaruh nyata pada tinggi tanaman umur 10 MST. Perlakuan dosis pupuk organik cair (POC) berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan diameter batang (Tabel 1). Tabel 1. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis POC terhadap tinggi tanaman dan diameter batang umur 6 dan 10 MST Perlakuan Teknik Aplikasi A1.Semprot A2.Siram Koefisien Keragaman/ (%) Dosis Pupuk Organik Cair D0.Tanpa POC D1.10 ml/l air D2.20 ml/l air D3.30 ml/l air D4.40 ml/l air KK (%) Keterangan : Angka rata-rata yang di menurut uji BNJ.05
Tinggi Tanaman (cm) 6 MST 10 MST
Diameter Batang (cm) 6 MST 10 MST
46,55 a 48,48 a 3,33
0,66 a 0,70 a 6,20
55,26 b 57,94 a 1,62
0,99 a 0,94 a 4,11
49,08 b 60,87 b 0,70 c 0,95 b 57,17 a 66,32 b 0,81 ab 1,15 ab 62,18 a 73,77 a 0,91 a 1,28 a 58,25 a 71,33 a 0,88 ab 1,16 ab 58,40 a 67,33 ab 0,80 bc 1,27 a 2,26 2,26 6,78 3,97 ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
Tinggi tanaman daun bawang pada umur 6 MST tidak berbeda nyata antara perlakuan pada teknik aplikasi, namun pada umur 10 MST, teknik aplikasi siram (57,94 cm) nyata lebih tinggi dibanding teknik aplikasi semprot. Sedangkan perlakuan dosis POC pada umur 6 dan 10 MST, diperoleh pertumbuhan tanaman dengan pemberian POC lebih tinggi dibanding tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis POC, diperoleh dosis 20 ml/l air nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya (62,18 cm dan 73,77 cm). Diameter batang tidak menghasilkan perbedaan yang nyata pada perlakuan teknik aplikasi pada umur 6 dan 10 MST. Sedangkan perlakuan dosis POC, diperoleh pertumbuhan tanaman dengan pemberian POC lebih tinggi dibanding tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis
318
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
POC, diperoleh dosis 20 ml/l air nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya (0,91 cm dan 1,28 cm). Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman 17,49% -21,07% dan diameter batang 23,16% -25,52% dari perlakuan tanpa pemberian POC. Hal ini dikarenakan pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat mendorong dan meningkatkan pembentukan klorofil daun sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara, dapat meningkatkan vigor tanaman (Anonim, 2004 dalam Rizqiani, 2007), sehingga diperoleh pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Jumlah Anakan Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik aplikasi dan dosis pupuk organik cair (POC) berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis POC terhadap jumlah anakan Perlakuan
Jumlah Anakan (anakan)
Teknik Aplikasi A1.Semprot 5,28 b A2.Siram 5,72 a KK (%) 3,35 Dosis Pupuk Organik Cair D0.Tanpa POC 4,57 b D1.10 ml/l air 6,90 a D2.20 ml/l air 7,60 a D3.30 ml/l air 7,30 a D4.40 ml/l air 6,63 a KK (%) 6,57 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan teknik aplikasi dan dosis POC sangat berperan dalam pembentukan anakan bawang daun. Dimana pada perlakuan teknik aplikasi siram nyata lebih tinggi dibanding teknik aplikasi semprot (5,72 anakan). Pada perlakuan dosis pupuk organik cair diperoleh jumlah anakan dengan pemberian POC lebih tinggi dibanding tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis POC, diperoleh jumlah anakan yang lebih tinggi pada dosis 20 ml/l air dari perlakuan lainnya (7,60 anakan). Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan jumlah anakan sebesar 39,91% dari perlakuan tanpa pemberi POC. Panjang Batang dan Daun Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa panjang batang dan daun menghasilkan interaksi yang nyata antara perlakuan teknik aplikasi dan dosis pupuk organik cair (POC) (Tabel 3 dan 4). Tabel 3. Interaksi antara teknik aplikasi dan dosis POC terhadap panjang batang Panjang Batang (cm) Teknik Aplikasi Semprot Siram
Dosis Pupuk Organik Cair (ml/l air) 0 10.60 b B 12.00 bc A
10 11.73 ab B 12.77 ab A
20 11.67 ab B 13.67 a A
30 11.33 ab B 12.20 bc A
40 12.00 a A 11.03 c B
KK (%) 2,28 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan teknik aplikasi semprot pada setiap taraf dosis pupuk POC diperoleh dosis POC 10 ml/l air menghasilkan panjang batang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya (11,73 cm). Sedangkan pada teknik aplikasi siram pada setiap taraf dosis pupuk POC diperoleh dosis POC 20 ml/l
319
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
air menghasilkan panjang batang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya (13,67 cm). Pada perlakuan dosis POC, secara umum diperoleh teknik aplikasi siram nyata lebih tinggi menghasilkan panjang batang dibanding dengan teknik semprot pada setiap taraf dosis POC yang diberikan. Tabel 4. Interaksi antara teknik aplikasi dan dosis POC terhadap panjang daun Panjang Daun (cm) Teknik Aplikasi
Dosis Pupuk Organik Cair (ml/l air) 0 42.80 c B 54.67 b A
Semprot Siram
10 53.60 b B 56.00 ab A
20 60.13 a A 61.67 a A
30 59.80 a A 58.57 ab A
40 55.60 ab A 54.67 b A
KK (%) 2,48 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan teknik aplikasi semprot dan siram pada setiap taraf dosis pupuk POC diperoleh dosis POC 20 ml/l air menghasilkan panjang daun nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya, yaitu masing-masing 60,13 cm dan 61,67 cm. Pada perlakuan dosis POC, pada taraf dosis 0 dan 10 ml/l air POC diperoleh teknik aplikasi siram nyata lebih tinggi menghasilkan panjang daun dibanding dengan teknik semprot, sedangkan pada taraf dosis 20, 30 dan 40 ml/l air POC tidak dijumpai perbedaan yang nyata antara teknik aplikasi semprot dengan siram. Sehingga diperoleh bahwa penggunaan POC dosis 20 ml/l air dengan cara siram dapat meningkatkan panjang batang bawang daun (13,67 cm), sedangkan panjang daun semakin meningkat dengan menggunakan teknik aplikasi semprot maupun siram dan pemberian POC dosis 20 ml/l air (61,67 cm). Bobot per Tanaman (Bersih dan Anakan) dan Produksi per Plot Data dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik aplikasi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot per tanaman (bersih dan anakan) dan produksi per plot, sedangkan perlakuan dosis pupuk organik cair (POC) berpengaruh nyata (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis POC terhadap bobot per tanaman (bersih dan anakan) dan produksi per plot Perlakuan Teknik Aplikasi A1.Semprot A2.Siram KK (%) Dosis Pupuk Organik Cair D0.Tanpa POC D1.10 ml/l air D2.20 ml/l air D3.30 ml/l air D4.40 ml/l air KK (%) Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti menurut uji BNJ. 05
Bobot per Tanaman (g) Bersih Anakan 44,86 a 43,83 a 1,51
46,92 a 52,06 a 11,55
Produksi per Plot (kg/2 m2) 4,53 a 4,46 a 2,47
35,67 b 36,50 b 3,73 b 54,07 ab 62,77 ab 5,40 ab 64,50 a 68,17 a 6,54 a 57,17 a 63,67 ab 5,60 ab 54,67 ab 65,83 ab 5,60 ab 8,49 11,62 10,00 oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
Perlakuan teknik aplikasi tidak berpengaruh nyata pada bobot per tanaman dan produksi per plot. Sedangkan perlakuan dosis POC, diperoleh bahwa bobot per tanaman (bersih dan anakan) serta
320
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
produksi per plot menghasilkan nilai yang lebih tinggi dengan adanya pemberian POC dibanding tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis POC, pemberian POC 20 ml/l air menghasilkan bobot per tanaman (bersih dan anakan) serta produksi per plot nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya, yaitu masing-masing 64,50 g; 68,17 g dan 6,54 kg/2 m2 dan terdapat kecendrungan bila dosis ditingkatkan maka produksi semakin menurun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rohmiyati, et al., (2006), bahwa konsentrasi yang tinggi pada POC akan memperlambat serapan hara oleh tanaman. Dengan demikian diperoleh bahwa pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan produksi bawang daun, yaitu bobot bersih per tanaman 44,70%, bobot anakan 46,45% dan produksi per plot 42,99% dibanding tanpa pemberian POC. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair dapat menyediakan nutrisi yang dibutuhkan bawang daun, sehingga menghasilkan produksi yang baik. Hal ini didukung oleh Taufiq, et al.,(2007), bahwa pemberian pupuk organik dapat menyumbangkan unsur hara bagi tanaman serta meningkatkan serapan unsur hara oleh tanaman.
Gambar 1. Tanaman Bawang Daun KESIMPULAN 1. Pertumbuhan dan produksi bawang daun tidak dipengaruhi oleh teknik aplikasi POC. 2. Pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan pertumbuhan (tinggi 17,49 -21,07%; diameter batang 23,16-25,52%; jumlah anakan 39,91%) dan produksi (bobot bersih per tanaman 44,70%, bobot anakan 46,45% dan produksi per plot 42,99%) daun bawang dibanding tanpa pemberian POC. 3. Pemberian POC dosis 20 ml/l air dengan cara siram dapat meningkatkan panjang batang dan panjang daun bawang daun (13,67 cm dan 61,67 cm) dibanding perlakuan lainnya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) dalam : Rizqiani, N.F., Ambarwati, E. dan Yuwono, N.W. 2007.Pengaruh dosis dan frekuensi pemberian pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil buncis (Phaseolus vulgaris L.) dataran rendah.Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 7(1):43-53. Arinong, A.R., Lasiwua, C.D. 2011. Aplikasi pupuk organic cair terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. Jurnal Agrisistem 7(1): 47 - 54, ISSN 1858. Hamzah, S. 2014. Pupuk Organik Cair dan Pupuk Kandang Ayam berpengaruh kepada pertumbuhan dan produksi kedelai(Glycine max L.). Agrium 1(3):228 – 234. Kumarawati, N.P.M., Supartha, I.W., Yuliadhi, K.A. 2013. Struktur komunitas dan serangan hamahama penting tanaman kubis (Brassica oleracea L.).E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika 2 (4): 252-259. ISSN: 2301- 6515. Martin, E.C., Slack, D.C., Tanksley, K.A.,Basso, B. 2006. Effects of fresh and composted dairy manure aplications on alfalfa yield and the environment in Arizona. Agron. J., 98:80-84.
321
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Manullang, G.S., Rahmi, A., Astuti, P. 2014. Pengaruh jenis dan konsentrasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi (Brassica juncea L.) varietas tosakan. Jurnal AGRIFOR XIII(1):33 – 40, ISSN : 1412 – 6885. Mujib, A., Syabana, M.A., Hastuti, D. 2014. Uji efektivitas larutan pestisidanabati terhadap hama ulat krop (Crocidolomia pavonana L.) pada tanaman kubis (Brassica oleraceae). Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan 3(1):67-72, ISSN 2302-6308. Parman, S. 2007. Pengaruh pemberian pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi XV(2):21 – 31. Rehatta, H., Mahulete, A., Pelu, A.M. 2014. Pengaruh konsentrasi pupuk organik cair bioliz dan pemangkasan tunas air/wiwilan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Miller). Jurnal Budidaya Pertanian 10(2):88 – 92. Rohmiyati, S.M., Surya, M.,Hastuti, P.B. 2006. Pengaruh dari pengenceran dan waktuinkubasi bahan organik terhadap pakcoy (Brassica juncea)]. Buletin Ilmiah Instiper 13(1):1 - 11. Susi, K. 2009. Aplikasi pupuk organik dan nitrogen pada jagung manis. Agritek., 17(6):1119-1132, ISSN 0852-5426. Sopha, G.S., Uhan, T.S. 2013. Application of liquid organic fertilizer from city waste on reduce urea application on chinese mustard (Brassica juncea L) cultivation. AAB Bioflux 5(1):39-44. Syofia, I., Munar, A., Sofian, M. 2014. Pengaruh pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas tanaman jagung manis (Zea Mays Saccharata Sturt). Agrium 1(3):208 – 218. Taufiq, A., Kuntyastuti, H., Prahoro, C., Wardani, Y. 2007. Pemberian kapur dan pupuk kandang pada sukkun di lahan kering masam. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan26(2):78-85. Yamamoto, Y., Yasuoka, A. 2009, Welsh onion attenuates hypelipidemia in rats fed on high-fat hinghsucroe diet. Biosci. 74(2): 404.
322
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PEMANFAATAN URINE SAPI DAN KELINCI SEBAGAI PUPUK CAIR DALAM PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG DAUN (Allium fistulosum L) UTILIZATION OF URINE COW AND RABBIT AS LIQUID ORGANIC FERTILIZER TO INCREASING THE GROWTH AND PRODUCTION OF LEEK (Allium fistulosum L.) Bina Br Karo1, Agustina E. Marpaung1 dan Taufiq Hidayat2 1
Kebun Percobaan (KP)-Berastagi, Balai Penelitian Tanaman Sayuran 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jln. Raya Medan-Berastagi Km 60, Berastagi 22156 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Bawang daun memiliki nilai ekonomis yang cukup penting dan prospek bawang daun cukup baik untuk pemenuhan konsumen domestik maupun untuk permintaan ekspor. Produktivitas bawang daun di tingkat petani masih rendah salah satu penyebabnya adalah pemupukan yang belum optimal.Penggunaan urin kelinci dan sapi sebagai pupuk cair diharapkan dapat meningkatkan hasil bawang daun. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untukmengetahui pengaruh urin kelinci dan sapi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang daun. Penelitian dilaksanakan bulan Januari s/d April 2016 di KP Berastagi(ketinggian ± 1340 meter dpl dan jenis tanah andisol.Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor I :Jenis urin (U1.Urine sapi dan U2.Urine kelinci).Faktor II :Dosis (D0.Tanpa pemberian urin, D1.50 ml/l air, D2. 100 ml/l air, D3. 150 ml/l air dan D4.200 ml/l air).Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan urine sapi maupun kelinci dapat dilakukan pada usaha bawang daun. Pemberian urine 200 ml/l air dapat meningkatkan produksi (bobot kotor per tanaman 50,28%, bobot bersih per tanaman 40,00%, dan produksi per plot 49,63%. Katakunci : Allium fistulosum L, penggunaan urin, dosis pupuk. ABSTRACT Leek has the high economic value. Leek has a good prospect to supply domestic consumer and export demand. Leek productivity on farmer lever still low, the one of the caused is the fertilization not optimal yet. Utilization of rabbit and cow urine as liquid fertilizershoped to increase the leek yielding. Therefore, research conducted with aims to know the effect of rabbit and cow urine to growth and yield of leek. The research was conducted from January - April 2016 in the Berastagi experimental farm, with altitude ± 1340 meters above sea level, the soil type andisol. The experiment using a randomized block design (RBD) factorial with three replications. The first factor istype of urine (U1.Cow urine and U2.Rabbit urine).The second factor is dosage (D0.Without urine application, D1.50 ml/l water, D2. 100 ml/l water, D3. 150 ml/l water and D4.200 ml/l water).The results showed that using the cow and rabbit urine can be done at the leek business. Giving urine of 200 ml / l of water can increase the production (weight of 50.28% gross per plant, net weight per plant 40.00%, and the yield per plot 49.63% Keywords: Allium fistulosum L, use of urine, dose of fertilizer.
323
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Bawang daun daun sering disebut bawang prai (Allium fistulosumL) merupakan salah satu jenis sayuran daun yang biasa digunakan untuk sayuran ataupun bumbu penyedap masakan memiliki nilai ekonomis yang cukup penting. Prospek bawang daun cukup baik untuk pemenuhan konsumen domestik maupun untuk permintaan ekspor. Pada saat ini produktivitas di tingkat petani masih rendah akibat menggunakan pemupukan yang belum optimal. Untuk memenuhi permintaan pasar dalam jumlah yang banyak maka produksi bawang daun harus ditingkatkan melalui budidaya yang intensif. Budidaya yang intensif diantaranya pemberian pupuk yang berimbang (Susantidiana, 2011). Urine termasuk pupuk organik cair yang dapat menambah bahan organik tanah sehingga dapat memperbaiki kesuburan tanah, agar mempertahankan keadaan bahan organik tanah tersebut, tanah pertanian harus selalu ditambahkan bahan organik minimal 8 – 10 ton/ha setiap tahunnya (Nazari,et al. 2012). Pemberian pupuk organik sesuai dosis anjuran dapat menigkatkan bobot umbi grade besar 53.25%, grade sedang 25.42% dan menurunkan bobot umbi grade kecil sebesar 1.52% (Marpaung,et al. 2014). Penggunaan pupuk organik (cair kotoran sapi) dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlahdaun, dan hasil tanaman sawi (Arinong dan Lasiwua, 2011).Urin ini yang sering di abaikan, dibuang begitu saja bahkan slama ini dianggap sebagai kotoran ternyata bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair,urin umumnya mengandung unsur hara, terutama nitrogen (N) yang tinggi, mudah larut dan tersedia bagi tanaman, tetapi mudah hilang dalam bentuk gas amonia (Indriyatidan Anas, 2013). Tabel 1 .Kandungan urin setelah satu bulan didalam wadah plastik (2016) Bahan Nitrogen (%) P2O5 (%) K2O(%) Urin Sapi 1,02 0,21 1,22 Urin Kelinci 1,27 0,08 1,87 Sumber: Feri Gunawan 2016, Laboratorium Fakultas Pertanian UISU Medan
C-Organik (%) 13,61 16,71
Penggunaanurine kelinci dan urin sapi yang telah difermentasi berpengaruh terhadap luas daun, volume akar dan bobot kering bibit kakao pada umur 16 mst.Penggunaan urin sapi dengan konsentrasi 25 % dapat menyamai penggunaan pupukan organik pada pembibitan kakao (Rosniawaty, et al. 2015). Konsentrasi urin sapi 37,5% memberikan pengaruh terbaik terhadap pertambahan tinggi batang, diameter batang dan pertambahan jumlah daun bibit umur 4-12 MSA (Minggu Setelah Aplikasi), serta nisbah pupus akar dan bobot kering akar bibit umur 12 MSA (Ariesandi, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan dosis urinyang tepat untuk peningkatan produksi bawang daun. Hipotesis yang diajukan adalah diperoleh interaksi yang positif antara jenis dan dosis urin dalam peningkatan produksi bawang daun. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari s/d April 2016 di kebun percobaan Berastagi,Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo,dengan ketinggian ± 1340 meter dari permukaan laut,jenis tanah andisol.Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor I :jenis urine(U1 =sapi, U2=kelinci). Faktor II : dosis urin (D0=0, D1= 50 mi/l air, D2 = 100 ml/l air, D3 = 150 mi/l air dan D3 = 200 mi/l air). Prosedur pelaksanaannya adalah dibuat buat petak percobaan dengan ukuran 1 m x 1 m. Jarak antar perlakuan 0,3 m dan jarak antar ulangan 0,6 m, tinggi bedengan 30 cm. Dipermukaan bedengan dipasang mulsa lalu dibuat jarak tanam 20 x 20 cm dilobang tanam diberi pupuk kandang sebanyak 1,5 kg/plot (60 g/lobang tanam) dan pupuk anorganik dengan dosis N 90 kg/ha dan P2O5sebanyak 90 kg/ha. Urin sapi dan urine kelinci yang telah disimpan selama satu bulan diberikan sesuai perlakuan di cor sebanyak 50 ml/tanaman setiap minggu dari umur 4 – 8 minggu setelah tanam. Untuk mencegah serangan hama tanaman, dilakukan penyemprotan insektisida berbahan aktif Pofenofos, Klorantranilipol 50 g/l, Imidakloprid dengan konsentrasi 0,5 – 1,0 cc/l air, untuk mengendalikan penyakit tanaman dilakukan penyemprotan fungisida Mankozeb atau Difenokonasol 250 g dengan konsentrasi 2 g/ltr air. Penyemprotan dilakukan 1 x 4 hari atau tergantung tingkat serangan hama/penyakit tanaman di lapangan.Pemanenan dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam.Parameter yang diamati adalah : tinggi tanaman dan diameter batang umur 6 dan 10 minggu setelah tanam, jumlah anakan, bobot kotor dan bersih per tanaman, panjang batang, panjang daun dan produksiper plot.Data yang diperoleh dianalisa dengan uji F dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata BNJ pada taraf 5%.
324
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman Hasil anlisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pada umur 6 dan 10 minggu setelah tanam (MST) perlakuan dosis urin memberi pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, namun perlakuan jenis urin dan interaksi antara kedua perlakuan memberi pengaruh (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh jenis dan dosis urin terhadap tinggi tanaman umur6 dan 10 minggu setelah tanam (2016) Tinggi Tanaman (cm)
Perlakuan Jenis urine U1.Sapi U2.Kelinci
6 MST
10 MST
47,25 a 46,88 a
77,63 a 77,69 a
Dosis urine D0.Tanpa pemberian urin 39,62 b D1.50 ml/l air 47,70 a D2.100 ml/l air 48,57 a D3.150 ml/l air 50,26 a D4.200 ml/l air 49,19 a KK (%) 6,30 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menurut uji BNJ. 05 MST : Minggu setelah tanam
69,42 b 78,18 a 80,77 a 78,38 a 81,57 a 5,96 tidak berbeda nyata
Pada umur 6 dan 10 MST perlakuan pemberian urin mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman nyata lebih tinggi dari perlakuan tanpa pemberian urin. Sedangkan diantara perlakuan pemberian urin tidak dijumpai perbedaan yang nyata. Dimana pertumbuhan bawang daun tertinggi pada umur 6 MST dijumpai pada perlakuan dosis 150 ml/l air (50,26 cm), sedangkan pada umur 10 MST, teringgi dijumpai pada perlakuan dosis 200 ml/l air (81,57 cm). Pemberian urine dosis 150 – 200 ml/l air dapat meningkatkan tinggi tanaman 14,05 – 21,16 %. Hal ini karena urin mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Mayura, et al.(2015), bahwa dengan pemberian urin sapi pada konsentrasi 25% memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan bibit tanaman kayumanis ceylon. Diameter Batang Diameter batang bawang daun pada umur 6 dan 10 MST tidak dipengaruhi oleh perlakuan jenis urine, tetapi nyata dipengaruhi oleh perlakuan dosis urin(Tabel 3). Perlakuan dosis urin pada umur 6 MST nyata menghasilkan diameter batang yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian urin, yaitu 0,69 -0,78 cm berbanding 0,54 cm, dan pada umur 10 MST 1,15 – 1,27 cm berbanding 0,95 cm. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pemberian urine 100 -150 ml/l air dapat meningkatkan diameter batang tanaman bawang daun sebesar 23,33 – 30,85 %. Hal ini didukung penelitian Desiana, et al.(2013), bahwa pemberian urine sapi berpengaruh nyata terhadap peningkatan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjangakar, bobot segar tanaman dan bobot kering tanaman.
325
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3. Pengaruh jenis dan dosis urine terhadap diameter batang umur6 dan 10 minggu setelah tanam Perlakuan
6 MST
Jenis urine U1.Sapi U2.Kelinci
Diameter Batang (cm) 10 MST
0,71 a 0,69 a
1,19 a 1,12 a
Dosis urin D0.Tanpa pemberian urin 0,54 b 0,95 b D1.50 ml/l air 0,69 a 1,15 ab D2.100 ml/l air 0,72 a 1,27 a D3.150 ml/l air 0,78 a 1,15 ab D4.200 ml/l air 0,76 a 1,25 a KK (%) 8,49 10,84 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05 MST : Minggu setelah tanam
Jumlah Anakan Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh nyata terhadap jumlah anakan namun perlakuan jenis urine dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata (Tabel 4). Tabel 4. Pengaruh jenis dan dosis urine terhadap jumlah anakan Perlakuan
Jumlah Anakan (anakan)
Jenis urine U1.Sapi U2.Kelinci
6,16 a 5,81 a
Dosis urine D0.Tanpa pemberian urin 4,93 b D1.50 ml/l air 5,93 ab D2.100 ml/l air 6,23 a D3.150 ml/l air 6,13 a D4.200 ml/l air 6,70 a KK (%) 11,45 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan dosis urine nyata menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan tanpa pemberian urine, yaitu 5,93 – 6,70 berbanding 4,93 anakan. Diantara perlakuan dosis urin diperoleh dosis200 ml/l air dapat meningkatkan jumlah anakan pada tanaman bawang daun 26,36%. Halini dikarenakan urine mengandung unsur nitrogen yang tinggi, dimana kandungan unsur N yang lebih banyak akan merangsang tumbuhnya anakan sehingga akan diperoleh hasil panen dengan jumlah umbi yang lebih banyak karena faktor anakan berpengaruh terhadap jumlah umbi (Wahyu, 2013). Bobot Kotor dan Bersih per Tanaman Berdasarkan hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh nyata terhadap bobot kotor dan bersih per tanamannamun perlakuan jenis urine dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata (Tabel 5).
326
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 5. Pengaruh jenis dan dosis urin terhadap bobot kotor dan bersih per tanaman Bobot per Tanaman (g)
Perlakuan
Kotor
Jenis urine U1.Sapi U2.Kelinci
116,73 a 124,71 a
Dosis urine D0.Tanpa pemberian urin D1.50 ml/l air D2.100 ml/l air D3.150 ml/l air D4.200 ml/l air
69,35 b 120,83 a 135,33 a 138,60 a 139,50 a
Bersih 57,87 a 62,80 a 41,00 b 62,33 a 63,00 a 67,00 a 68,33 a
KK (%) 15,08 14,08 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan dosis urinenyata menghasilkan bobot kotor dan bersih per tanaman yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian urin, dimana peningkatan bobot kotor pertanaman mencapai 50,28% dan bobot bersih pertanaman 40,00%.Terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi dosis urin yang diberikan, maka akan semakin meningkat bobot per tanaman. Dimana bobot kotor dan bersih per tanaman tertinggi dijumpai pada perlakuan dosis 200 ml/l air, yaitu masing-masing 139,50 g dan 68,33 g. Hal ini diduga karena urine menganadung unsur hara yang dapat membantu pertumbuhan dan produksi tanaman, ini sesuai dengan hasil penelitian Karo, et al.(2014), bahwa pemberian urine kelinci dengan cara disiram dapat meningkatkan produksi kentang, khususnya persentase ketang grade besar, (47,21%). Panjang Daun dan Batang Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh nyata terhadap panjang daun namun dan tidak pada panjang batang,perlakuan jenis urinedan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata (Tabel 6). Tabel 6.
Pengaruh jenis dan dosis urineterhadap panjang daun dan batang Panjang (cm)
Perlakuan Jenis urine U1.Sapi U2.Kelinci
Daun
Batang
65,23 a 65,10 a
12,55 a 12,57 a
Dosis urine D0.Tanpa pemberian urin 56,92 b D1.50 ml/l air 65,82 a D2.100 ml/l air 68,05 a D3.150 ml/l air 66,23 a D4.200 ml/l air 68,82 a KK (%) 6,94 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menurut uji BNJ. 05
12,45 a 12,57 a 12,87 a 12,28 a 12,63 a 4,00 tidak berbeda nyata
Perlakuan dosis urinenyata menghasilkan panjang daun yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian urin, dimana meningkat sebesar 15,63 - 19,29%. Pemberian urine200 ml/l air menghasilkan panjang daun teringgi dari perlakuan lainnya (68,82 cm). Hal ini diduga karena urine mengandung unsure hara nitrogen yang sangat berperan terhadap pertumbuhan vegetative.Djafar,et al. (2013), mengatakan bahwa pemberian urine kelinci berpengaruh nyata pada tinggi tanaman 3 dan 4 MST, jumlah daun 3 dan 4 MST, luas daun, bobot basah tanaman, bobot kering tanaman, dan produksi per plot pada tanaman sawi.
327
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Produksi per Plot Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh nyata terhadap produksi per plot namun perlakuan jenis urine berpengaruh tidak nyata dan interaksi kedua perlakuan memberi pengaruh tidak nyata (Tabel 7). Tabel 7. Pengaruh jenis dan dosis urineterhadap produksi per plot Produksi per Plot (kg/1 m2)
Perlakuan Jenis urine U1.Sapi U2.Kelinci
1,00 a 1,02 a
Dosis urine D0.Tanpa pemberian urin D1.50 ml/l air D2.100 ml/l air D3.150 ml/l air D4.200 ml/l air KK (%) Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom menurut uji BNJ. 05
0,58 b 1,02 a 1,19 a 1,12 a 1,14 a 16,29 yang sama tidak berbeda nyata
Perlakuan dosis urine nyata menghasilkan produksi per plot yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian urine, yaitu 1,02 – 1,19 kg berbanding 0,58 kg. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pemberian urine 200 ml/l air dapat meningkatkan produksi per plot 49,63 % pada tanaman bawang daun. Hal ini karena urine mengandung unsur hara bagi tanaman sehingga dapat berproduksi dengan sempurna, sesuai dengan penelitian (Alfarisidan Manurung, 2015) yang mengatakan bahwa pupuk organik urine sapi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi jagung manis pada konsentrasi 75 cc/l.
Gambar 1. Pertumbuhan Tanaman Bawang Daun dengan Pemberian Urin KESIMPULAN 1. Penggunaan urine sapi maupun kelinci dapat dilakukan pada usaha bawang daun. 2. Pemberian urine 200 ml/l air dapat meningkatkan produksi (bobot kotor per tanaman 50,28%, bobot bersih per tanaman 40,00%, dan produksi per plot 49,63%. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ririn Hariati SP. Alumni Universitas Methodis Medan dan Yodik Syahputra Marpaung Mahasiswa Univesitas Methodis Medan yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
328
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Alfarisi, N., Manurung, T. 2015. Pengaruh pemberian pupuk urin sapi terhadap pertumbuhan dan produksi jagung manis (Zea mays saccharata) dengan penggunaan EM4. Jurnal Biosains 1(3):93-99. Ariesandy,W. 2014.Pengaruh kombinasi tanah dengan kompos daun sebagai campuran media tanam dan konsentrasi urin sapi terhadap pertumbuhan bibit kopi Arabika (Coffea arabica L.) kultivarlini S 795.Agric. Sci. J., I (4) : 8-17. Arinong, A.R., Lasiwua, C.D. 2011. Aplikasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi.Jurnal Agrisistem. 7(1):47-54. Desiana, C., Banuwa, I.S., Evijal,R., Yusnani, S. 2013. Pengaruh pupuk organik cair urin sapi dan limbah tahu terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L ). J. Agrotek Tropika1(1): 113-119. Djafar, T.A., Barus, A., Syukri. 2013. Respon pertumbuhan dan produksi sawi (Brassica juncea L ) terhadap pemberian urin kelinci dan pupuk guano’, Jurnal Online Agroekoteknologi1(3):646 -654, ISSN No. 2337- 6597. Indriyati, L.T., Anas, I. 2013. Jerapan nitrogen-urine oleh ziolet dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.).J. Tanah Lingk. 15(2): 84-90, ISSN 14107333. Karo, B., Marpaung,A.E., Lasmono, A. 2014. Efek tehnik penanaman dan pemberian urin kelinci terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kentang granola (Solanum tuberosum L), Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi PertanianLampung, hlm. 285197, ISBN 978-979-3263-42-7. Marpaung, A.E., Karo, B., Lasmono, A. 2014. Respon penggunaan pupuk organik NPK dengan pengurangan pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang (Solanum Tuberosum). Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian Lampung, hlm. 200-210, ISBN 978-979-3263-42-7. Mayura, E., Yudarfis,Idris, H. 2015. Pengaruh pemberian urin sapi pada pertumbuhan benih tanaman kayumanis ceylon (Cinnamomum zeylanicum Blume.) Prosiding Seminar Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat Bogor, 29 April 2015, hlm. 45-49. Nazari, Y.A., Soemarno, Agustina, L. 2012.Pengelolaan kesuburan tanah pada pertanaman kentang dengan apikasi pupuk organik dan anorganik.Indonesian Green Technology Journal1(1):7-12. Rosniawaty, S., Sudirja, R., Afrianto, H. 2015. Pemanfaatan urin kelinci dan urin sapi sebagai alternatif pupukorganik cairpada kakao (Theobroma cacao L.). Jurnal Kultivasi 14(1):32-36. Susantidiana. 2011. Peran media tanam dandosis pupuk urea, SP-36, KCl terhadap pertumbuhan tanaman bawang daun (Allium fistulosum L.) dalam polybag.Agronobis 3(5):17-21. Wahyu, D.E. 2013.Pengaruh pemberian berbagai komposisi bahan organik pada pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.).Jurnal Produksi Tanaman1(3): 2129.
329
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KAJIAN ADAPTASI CABAI MERAH KENCANA PADA AGROEKOSISTEM DATARAN TINGGI MUSIM KEMARAU DI KABUPATEN REJANG LEBONG ASSESSMENT OF ADAPTATION OF RED CHILI KENCANA ON HIGHLAND AGROECOSYSTEMS DRY SEASON IN THE DISTRICT REJANG LEBONG Rudi Hartono dan Yahumri Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu E-mail :
[email protected] ABSTRAK Masih rendahnya tingkat produktivitas cabai di Provinsi Bengkulu disebabkan oleh penerapan teknologi ditingkat petani belum memadai, seperti penggunaan varietas yang unggul dan bermutu yang adaptif. Oleh karena itu perlu adanya kajian adaptasi varietas cabai merah spesifik lokasi di Kabupaten Rejang Lebong sebagai salah satu strategi dasar untuk memacu produksi dalam rangka memenuhi permintaan yang semakin meningkat. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengkaji adaptasi varietas cabai kencana pada agroekosistem dataran tinggi di musim kemarau. Pengkajian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2015 di Kabupaten Rejang Lebong. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan 3 perlakuan yaitu cabai merahvarietas Kencana (V1), Hibrida (V2), dan Lokal (V3) dengan 8 ulangan. Pengkajian dilaksanakan di lahan 4 orang petani dengan luas plot pengkajian masing-masing berukuran 800m2(per satuan usaha).Data pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai yang terkumpul dianalisis dengan Analisis of Variant (Anova) dan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa varietas yang diintroduksi yaitu varietas kencana dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim kekeringan, dapat ditanam diluar musim serta mampu berproduksi dengan baik dengan hasil rerata sampai panen keempat sebanyak 129,32 g/ per pohon. Dengan demikian penggunaan paket teknologi terutama pada komponen varietas unggul cabai kencana dapat dikembangkan oleh petani di Desa Mojorejo dan sekitarnya. Kata Kunci: Adaptasi, cabai merah kencana, dataran tinggi ABSTRACT The low level of productivity of chili in Bengkulu Province caused by the application of technology is not adequate for farmers, such as the use of superior varieties and quality adaptive. Therefore, it is necessary to study adaptation of specific varieties of red chili in Rejang Lebong as one of the basic strategies to boost production in order to meet the ever increasing demand. The purpose of this study was to assess the adaptation of varieties of chili golden highland agroecosystems in the dry season. The assessment was carried out from January to December 2015 in Rejang Lebong. The experimental design used was a randomized block design (RBD) nonfactorial with 3 treatments, red chili varieties Kencana (V1), Hybrid (V2), and local (V3) with 8 replications. The assessment was conducted in four farmers land plot with an area of study each measuring 800 m2 (per unit of effort). Data growth and productivity of pepper plants were analyzed by analysis of Variant (ANOVA) and the test continued with Duncan Multiple Range Test (DMRT) at 5%.The study showed that the introduced varieties are golden varieties can grow and adapt well to the climatic conditions of drought, can be grown out of season and can produce well. Thus the use of the technology package, especially on components golden chili varieties can be developed by farmers in Mojorejo and surrounding areas. Keywords: Adaptation, highland, red chili kencana
330
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Cabai (Capsicum annum L.)merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di Indonesia, baik sebagai komoditas yang dikonsumsi di dalam negeri maupun sebagai komoditas ekspor. Sebagai sayuran, cabai merah selain memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, juga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatannya sebagai bumbu masak atau sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman dan obat-obatan membuat cabai merah semakin menarik untuk diusahakan (Sumarni dan Muharam, 2005). Di Indonesia tanaman tersebut dibudidayakan sebagai tanaman semusim pada lahan bekas sawah dan lahan kering atau tegalan. Namun demikian, syaratsyarat tumbuh tanaman cabai merah harus dipenuhi agar diperoleh pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil buah yang tinggi. Kabupaten Rejang Lebong memiliki luas wilayah 151.576 ha yang terdiri dari 15 kecamatan. Topografi wilayah Rejang Lebong bergelombang hingga berbukit dengan ketinggian 100-1.000 m di atas permukaan laut. Curah hujan berkisar antara 2.377-3.508 mm sepanjang tahun. Kabupaten Rejang Lebong juga terkenal sebagai daerah sentra produksi hortikultura di provinsi Bengkulu. Salah satu komoditas unggulan hortikultura adalah sayur-sayuran yaitu cabai besar dengan produksi 37.251,30 ton atau 80,69 persen dari total produksi cabai besar di Provinsi Bengkulu dengan produktivitas ratarata tahun 2014 mencapai 6,21 ton/ha (Kementan, 2015; BPS, 2015). Akan tetapi produktivitas tersebut masih rendah jika dibandingkan rata-rata produktivitas nasional sebesar 8,35 ton/ha. Masih rendahnya produktivitas cabai merah di Kabupaten Rejang Lebong disebabkan oleh faktor-faktor produksi tidak terpenuhi secara optimal, salah satu diantaranya adalah penggunaan benih yang unggul dan berkualitas. Menurut Syukur et al. (2010) bahwa penggunaan benih bermutu dari varietas unggul merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi di bidang pertanian, jika bibit yang ditanam tidak memiliki sifat unggul maka akan sangat berisiko akan serangan hama penyakit dan menyebabkan hasil produksi tidak optimal. Karida dan Aribawa (2014) melaporkan bahwa kebanyakan petani, terbiasa menggunakan benih dari hasil panen sendiri yang mutunya belum terjamin, karena petani tidak mampu membeli benih dari varietas hibrida yang harganya mahal dan bersifat sekali pakai. Disamping benih/biji yang kurang berkualitas, petani juga menanam bibit dari satu jenis varietas secara terus menerus, dari musim ke musim tanam berikutnya, sehingga produktivitasnya menurun dan rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut, tetapi pertumbuhannya di dataran tinggi lebih lambat. Suhu udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman 0 0 cabai merah adalah 25-27 C pada siang hari dan 18-20 C pada malam hari (Wien, 1997). Suhu malam 0 0 di bawah 16 C dan suhu siang hari di atas 32 C dapat menggagalkan pembuahan (Knott dan Deanon 1970). Suhu tinggi dan kelembaban udara yang rendah menyebabkan transpirasi berlebihan, sehingga tanaman kekurangan air. Akibatnya bunga dan buah mudah gugur. Pembungaan tanaman cabai merah tidak banyak dipengaruhi oleh panjang hari. Kelembaban tanah dalam keadaan kapasitas lapang 0 (lembab tetapi tidak becek) dan temperatur tanah antara 24-30 C sangat mendukung pertumbuhan tanaman cabai merah. Temperatur tanah yang rendah akan menghambat pengambilan unsur hara oleh akar. Informasi mengenai teknologi spesifik lokasi, terutama daya adaptasi cabai kencana pada dataran tinggi di Provinsi Bengkulu terutama diluar musim (off season) dengan pendekatan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengatasi faktorfaktor pembatas produksi tanaman dirasa masih kurang. Sehingga perlu dilakukan kajian untuk mengetahui daya adaptasi cabai merah kencana yang dibandingkan dengan cabai hibrida dan cabai lokal. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui daya adaptasi cabai merah kencana pada aspek karakter agronomis (pertumbuhan dan produksi) di lahan kering dataran tinggi diluar musim.
331
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Pengkajian dilaksanakan di lahan kering dataran tinggi iklim basah di Desa Mojorejo, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong dengan ketinggian tempat 1.047 m dari permukaan laut, penanaman dilaksanakan pada musim kemarau (MK) dari bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2015. Pengkajian dilakukan dilahan petani dan melibatkan 4 petani sebagai pelaksana, dengan luasan 3.200m2. Percobaan lapangan yang dilakukan terfokus pada uji adaptasi varietas unggul baru (VUB) cabai merah Kencana, sedangkan hibrida dan lokal sebagai pembanding. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 8 ulangan. Perlakuan terdiri atas 3 perlakuan yaitu varietas cabai merah (Varietas Kencana, Hibrida dan Lokal). Petani kooperator sebanyak 4 orang dengan luas plot pengkajian masing-masing berukuran 800m2(per satuan usaha). Pengkajian dilaksanakan dengan pendekatan teknologi PTT cabai merah dataran tingggi. Komponen teknolgi PTT yang diterapkan disajikan pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Teknologi PTT cabai merah yang diterapkan di lokasi pengkajian tahun 2015. No 1 2 3 4
Komponen Teknologi Penggunaan Varietas Unggul Persemaian Pengolahan Tanah Pemupukan
Keterangan Kencana, Hibrida dan Lokal Persemaian khusus di bedengan Olah Tanah Sempurna (Maximum Tillage) Spesifik Lokasi (per satuan usaha 800 m2) Pupuk Organik 1,2 t, Phonska 50 kg, SP-36 75 kg, ZA 50 kg, NPK Mutiara 15 kg, KCl 15 kg. 5 Pengendalian Hama dan Penyakit PHPT 6 Penggunaan Mulsa Mulsa Plastik Hitam-Perak (MPHP) 7 Pengaturan Populasi Tanaman Jarak Tanam 30 x 150 cm 8 Panen Tepat waktu Penyiangan 9 Manual dan khemis Sumber: Data Primer (2015)
Bahan yang digunakan pada percobaan ini diantaranya adalah pupuk kimia, pestisida (herbisida, insektisida, dan fungisida), benih cabai merah keriting (Varietas Kencana, Hibrida, Lokal). Peralatan yang diperlukan dalam percobaan ini adalah timbangan, ATK (mistar, handcounter, kalkulator, pena, amplop dll), plastik, cangkul, ember, sprayer, tali, ajir dan meteran. Benih cabai merah kencana diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayur-sayuran (Balitsa) Lembang Jawa Barat yang merupakan benih sumber dengan kelas benih penjenis (breeder seed). Varietas cabai kencana yang digunakan pada kegiatan ini merupakan varietas yang cocok dibudidayakan diluar musim (off season), baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, pada lahan sawah atau tegalan dengan ketinggian 0-1000 m dpl dan tumbuh optimum pada dataran medium dengan ketinggian 510-550 m dpl pada musim kemarau basah dengan umur panen antara 95-98 hari setelah tanam (HST). benih cabai hibirda diperoleh dari kios setempat dan benih cabai lokal diperoleh dari petani kooperator. Pelaksanaan Kegiatan adalah sebagai berikut: (1) Pupuk organik berupa pupuk kandang ayam diaplikasikan bersamaan dengan waktu olah tanah atau pada saat tanam (2) Pupuk dasar berupa SP-36 dan NPK Phonska semua dosis diaplikasikan sebelum pemasangan mulsa (3) Selanjutnya pemasangan mulsa plastik dan pembuatan lubang tanam (4) Bibit ditanam pada umur 4-5 minggu dengan jarak tanam 30 x 150 cm pola satu baris (5) Pupuk susulan berupa pupuk ZA diberikan sebanyak 3 kali yaitu pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST), 6 MST dan 9 MST. Kemudian untuk pupuk NPK Mutiara dan pupuk KCl diberikan dengan cara dikocor dengan interval 2 minggu 1 kali. Parameter tanaman yang diamati adalah komponen pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman, lebar kanopi, jumlah daun, jumlah tunas dan jumlah cabang), Komponen hasil antara lain (jumlah bunga, jumlah buah, panjang buah dan hasil panen), serta curah hujan, suhu dan kelembaban selama pengkajian. Data pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai yang terkumpul dianalisis dengan Analisis of Variant (Anova) dan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% bila dalam uji F memperlihatkan pengaruh yang nyata.
332
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Pengkajian Desa Mojorejo memiliki luas wilayah 1.159 ha (6,70%) dari luas 17.295 wilayah Kecamatan Selupu Rejang. Topografi lokasi pengkajian bergelombang hingga berbukit dengan ketinggian tempat dari permukaan laut rata-rata 968,31 m dpl (BPS, 2015). Jumlah hari hujan di Kecamatan Selupu Rejang selama pelaksanaan pengkajian terjadi 161 hari atau rata-rata 15 hari per bulan. Demikian juga dengan curah hujan yang terjadi selama kurun waktu yang sama yaitu 2.717 mm atau rata-rata 247 mm perbulan. Sedangkan suhu dan kelembaban rata-rata kurun waktu September-Oktober yaitu 24,2oC dan 70,2% (BPP Mojorejo, 2015). Dari hasil pengamatan terhadap curah hujan dan hari hujan pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2016 terjadi penurunan yang ekstrim dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Dari grafik 1 menunjukkan bahwa hari hujan pada bulan Juli terjadi sebanyak 4 kali, bulan Agustus 9 kali, bulan September 1 dan bulan Oktober 6 kali dengan rerata curah hujan berturut-turut 48,6 mm/bulan, 88 mm/bulan, 15 mm/bulan dan 122,7 mm/bulan. Kemudian terjadi peningkatan intensitas curah hujan sebanyak 18 kali dengan rerata curah hujan 440,4 mm/bulan pada akhir bulan November. 472,5 395,2 365
500 400 300
277,1
440,4
249,8 242,6
200 100
88
122,7
48,6 24 23 20 23 16 17 4 9 15 1 6 18
Curah Hujan (mm/bulan) Hari Hujan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11
Bulan
Grafik 1. Rerata hasil pengamatan terhadap hari hujan dan curah hujan
di Kecamatan Selupu Rejang tahun 2015 Komponen Pertumbuhan Vegetatif Hasil analisis pada komponen pertumbuhan yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada umur 3 minggu setelah tanam (MST) dan umur 6 MST varietas kencana dan hibrida berbeda nyata dibandingkan dengan varietas lokal. Sedangkan pada umur 9 HST cabai hibrida memiliki tinggi tanaman yang berbeda nyata dibandingkan dengan kencana dan lokal. Pada parameter tinggi tanaman umur 3 MST tertinggi cabai hibrida 27,65 cm, diikuti oleh cabai kencana 26,56 cm, dan terendah cabai lokal 17,18 cm. Tinggi tanaman umur 6 MST tertinggi cabai hibrida 50,65 cm, diikuti cabai kencana 49,80 cm, selanjutnya tinggi tanaman pada umur 9 MST tertinggi cabai hibrida 59,75 cm, kemudian diikuti tinggi tanaman cabai kencana dan cabai lokal yang sama yaitu 56,18 cm. Tabel 2. Rerata tinggi tanaman dan lebar kanopi tiga varietas cabai merah pada umur 3 MST, 6 MST dan 9 MST tahun 2015. Parameter
Perlakuan Hibrida
Kencana
Lokal Tinggi Tanaman (cm) 3 MST 26,56 a 27,65 a 17,18 b 6 MST 49,80 a 50,65 a 43,39 b 9 MST 56,18 b 59,75 a 56,18 b Lebar Kanopi (cm) 3 MST 13,66 a 14,00 a 10,11 b 6 MST 34,53 a 35,91 a 31,29 b 9 MST 49,39 a 45,26 b 43,74 b Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT. Sumber: Data primer (2015).
333
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Hasil analisis pada parameter lebar kanopi menunjukkan bahwa varietas kencana dan hibrida berbeda nyata dibandingkan dengan cabai lokal pada umur 3 MST dan 6 MST. Sedangkan umur 9 MST varietas kencana berbeda nyata dibandingkan dengan cabai hibrida dan cabai lokal. Pada parameter lebar kanopi umur 3 MST tertinggi cabai hibrida 14,00 cm, diikuti oleh cabai kencana 13,66 cm, dan terendah cabai lokal 10,11 cm. Lebar kanopi umur 6 MST tertinggi cabai hibrida 35,91 cm, diikuti cabai kencana 34,53 cm, dan terendah cabai lokal 31,29 cm. Selanjutnya lebar kanopi pada umur 9 MST tertinggi cabai kencana 49,39 cm, kemudian diikuti lebar kanopi cabai hibrida dan cabai lokal masing-masing 45,26 cm dan 43,74 cm. Dengan demikian, semakin tinggi tanaman maka produksi buah akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman sangat memengaruhi produksi buah cabai. Dengan semakin tinggi tanaman maka akan meningkatkan percabangan tanaman sehingga kemungkinan produksi bunga dan buah juga meningkat (Sujitno dan Dianawati, 2015). Hasil analisis keragaman terhadap jumlah daun, jumlah tunas, dan jumlah cabang pada fase pertumbuhan 3 MST sampai dengan 15 MST masing-masing varietas disajikan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Rerata jumlah daun, jumlah tunas, dan jumlah cabang tiga varietas cabai merah pada umur 3 MST, 6 MST, 9 MST, 12 MST, dan 15 MST. Parameter
Kencana
Perlakuan Hibrida
Lokal Jumlah Daun (helai) 3 MST 107,83 a 106,78 a 87,80 b 6 MST 157,36 a 166,30 a 133,89 b 9 MST 349,88 a 318,64 a 355,59 a 12 MST 388,08 a 392,08 a 373,08 a 15 MST 484,69 a 490,95 a 486,99 a Jumlah Tunas 3 MST 5,90 a 5,41 a 6,09 a 6 MST 10,73 b 10,48 b 11,76 a 9 MST 9,50 c 10,68 b 11,99 a 12 MST 9,50 b 9,91 b 11,99 a 15 MST 9,50 b 9,91 b 11,99 a Jumlah Cabang 3 MST 2,15 a 2,44 a 0,75 b 6 MST 4,66 a 4,04 b 2,79 c 9 MST 7,60 a 7,20 a 5,95 b 12 MST 9,71 a 9,41 a 7,88 b 15 MST 11,73 a 11,88 a 10,49 b Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT. Sumber: Data primer terolah (2015).
Parameter jumlah daun menujukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada varietas kencana dan hibrida terhadap varietas lokal pada umur tanaman 3 MST dan 6 MST dan selanjutnya pada fase pertumbuhan tanaman 9 MST sampai dengan 15 MST tidak terdapat perbedaan yang nyata antar varietas. Varietas kencana dan hibrida mampu beradaptasi dengan baik dan masa juvenilitasnya berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan varietas lokal, hal tersebut ditunjukan pada jumlah daun yang terbentuk lebih banyak yaitu varietas kencana 107,83 helai dan vareitas hibrida 106,78 helai pada umur 3 MST, sedangkan pada umur 6 MST jumlah daun yang terbentuk tertinggi pada varietas hibrida berjumlah 166,30 helai yang diikuti oleh varietas kencana berjumlah 157,36 helai. Hasil analisis terhadap parameter jumlah tunas yang terbentuk terdapat perbedaan yang nyata pada varietas lokal terhadap varietas kencana dan hibrida pada fase pertumbuhan jumlah tunas dari umur 3 MST sampai dengan umur 15 MST, dimana jumlah tunas yang terbentuk tertinggi yaitu varietas lokal sebanyak 11,99 tunas dan mulai konstan pada umur 9 MST sampai umur 15 MST. Dari parameter jumlah cabang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada varietas kencana dan hibrida dibandingkan dengan varietas lokal pada umur 3 MST, 9 MST, 12 MST dan 15 MST. Sedangkan pada umur 6 MST varietas kencana berbeda nyata dibandingkan dengan varietas hibrida dan varietas lokal. Pada fase pertumbuhan 15 MST menunjukkan bahwa jumlah cabang tertinggi yaitu varietas hibrida sebanyak 11,88 cabang, diikuti oleh varietas kencana sebanyak 11,73 cabang dan terendah varietas lokal sebanyak 10,49 cabang. Perbedaan keragaan pertumbuhan masingmasing varietas ditentukan oleh sejumlah genotipe dan mempunyai kemampuan beradaptasi yang
334
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
berbeda terhadap lingkungan tertentu. Ciri -ciri tertentu dari suatu pertumbuhan dipengaruhi oleh genotipe sedangkan yang lainnya dipengaruhi oleh lingkungan (Marliah et al., 2011). Komponen Pertumbuhan Generatif Komponen pertumbuhan generatif yang diamati selama pengkajian terhadap ketiga varietas yaitu jumlah bunga, jumlah buah, hasil panen dan panjang buah. Hasil analisis keragaman disajikan pada Tabel 4, 5, dan 6. Tabel 4. Rerata jumlah bunga tiga varietas cabai merah pada umur 3 MST, 6 MST, 9 MST, 12 MST, dan 15 MST tahun 2015. Parameter
Kencana
Jumlah Bunga 3 MST 4,60 a 6 MST 17,00 a 9 MST 64,08 a 12 MST 68,78 a 15 MST 81,34 a Jumlah Buah 3 MST 0,00 a 6 MST 2,80 a 9 MST 46,39 a 12 MST 62,46 a 15 MST 69,21 a Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti nyata pada taraf 5 % uji DMRT. Sumber: Data primer terolah (2015).
Perlakuan Hibrida 5,84 a 18,99 a 35,00 b 33,09 c 23,16 c
Lokal 1,44 b 6,38 b 47,91 b 45,64 b 39,06 b
0,08 a 0,00 a 3,28 a 0,38 b 52,94 a 27,71 b 65,41 a 37,83 b 75,83 a 54,46 b huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
Hasil analsis terhadap jumlah bunga menunjukkan bahwa varietas kencana dan hibrida berbeda nyata dibandingkan varietas lokal pada umur 3 MST dan 6 MST, namun pada umur 9 MST sampai dengan umur 15 MST varietas kencana berbeda nyata dibandingkan dengan varietas hibrida dan lokal. Sedangkan pada umur 12 MST dan umur 15 MST berbeda sangat nyata pada varietas kencana dibandingkan dengan varietas hibrida. Dari Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah bunga pada varietas kencana terjadi peningkatan dari umur 3 MST sampai dengan umur 15 MST yaitu sebanyak 81,34 bunga, sedangkan varietas hibrida dan varietas lokal terjadi penurunan mulai umur 12 MST dan 15 MST. Penurunan jumlah bunga pada varietas hibrida dari 35,00 bunga menjadi 33,09 bunga dan 23,16 bunga, selanjutnya varietas lokal dari 45,64 bunga menjadi 45,64 bunga dan 39,06 bunga. Hasil analisis pada parameter hasil panen per pohon terhadap tiga varietas menunjukkan bahwa varietas hibrida berbeda nyata dibandingkan dengan varietas kencana dan lokal pada hasil panen kesatu dan kedua, selanjutnya tidak ada perbedaan yang nyata hasil panen ketiga dan keempat pada semua varietas. Dari hasil panen pertama dan kedua menunjukkan bahwa varietas hibrida menghasilkan hasil panen tertinggi 40,63 gram/pohon dan 50,20 gram/pohon, diikuti varietas kencana 17,09 gram/pohon dan 21,69 gram/pohon, dan selanjutnya varietas lokal 7,09 gram/pohon dan 18,31 gram/pohon (Tabel. 5). Tabel 5. Rerata hasil panen per pohon pada tiga varietas cabai merah yang diamati sampai minggu keempat. Parameter
Kencana
Hasil Panen (g/pohon) Ke-1 17,09 b Ke-2 21,69 b Ke-3 51,04 ab Ke-4 29,60 a Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti nyata pada taraf 5 % uji DMRT.
Perlakuan Hibrida
Lokal
40,63 a 7,08 b 50,20 a 18,31 b 69,59 a 42,91 a 37,10 a 29,60 a huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
Dari Tabel5 menunjukkan bahwa varietas kencana dan varietas lokal mengalami peningkatan hasil panen yang signifikan dibandingkan varietas hibrida. Hasil panen keempat pada semua varietas
335
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
mengalami penurunan, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa varietas kencana sudah beradaptasi dengan baik pada lingkungan pertumbuhannya. Penurunan hasil panen cabai hibrida dibandingkan dengan hasil panen pertama diduga tidak optimalnya pertumbuhan tanaman karena disebabkan oleh kekurangan air pada fase pertumbuhan vegetatif hingga generatif tanaman sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dimana fungsi air merupakan komponen lingkungan abiotik yang sangat diperlukan oleh tanaman dalam menyerap (absorbsi) unsur hara dari dalam tanah dan membantu proses fotosintesis. Menurut Syukur et al. (2010) tingkat produksi cabai akan sangat tergantung pada kondisi lingkungan cabai tersebut ditanam dan genotipenya. Hasil pengamatan terhadap jumlah bunga juga menunjukkan penurunan jumlah bunga pada varietas hibrida dan varietas lokal, sedangkan pada varietas kencana tidak terjadi penurunan jumlah bunga tapi diduga terjadinya penurunan hasil panen disebabkan oleh bunga yang terbentuk menjadi buah menurun dan juga secara morfologis buah yang dihasilkan varietas kencana tidak sepanjang varietas hibrida dan varietas lokal. Hasil analisis terhadap rerata panjang buah terhadap tiga varietas cabai merah disajikan pada Tabel. 6 berikut: Tabel 6. Rerata panjang buah tiga varietas cabai merah tahun 2015. Perlakuan Panjang Buah (cm) Kencana 10,94 b Hibrida 11,99 ab Lokal 12,76 a Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT. Sumber: Data primer terolah (2015).
Berdasarkan hasil analisis terhadap panjang buah menunjukkan bahwa panjang buah varietas lokal berbeda nyata dengan varietas kencana, varietas lokal dengan varietas hibrida tidak berbeda nyata, sedangkan varietas hibrida dengan varietas kencana tidak berbeda nyata. Dari hasil pengukuran bahwa varietas lokal memiliki panjang buah terpanjang 12,76 cm yang diikuti oleh varietas hibrida 11,99 cm dan terpendek varietas kencana 10,94 cm (Gambar 1).
Gambar 1. Keragaan panjang buah cabai varietas hibrida, kencana dan lokal Penurunan rerata hasil panen per pohon pada tiga varietas cabai merah keriting pada minggu keempat juga diduga interval panen yang terlalu dekat dan akibat cekaman lingkungan abiotik terutama pada curah hujan dan hari hujan pada saat pertumbuhan generatif tanaman, hal tersebut sejalan dengan Yusniwati et al. (2008) bahwa cekaman kekeringan pada pertumbuhan reproduktif mengakibatkan ketidaknormalan pembungaan, aborsi embrio, ketidaknormalan perkembangan biji dan buah.
336
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KESIMPULAN Cabai merah varietas Kencana dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim kekeringan dan dapat ditanam diluar musim dengan hasil rerata sebanyak 129,32 g/pohon. Dengan demikian penggunaan varietas unggul cabai kencana dapat dikembangkan oleh petani di Desa Mojorejo, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong. DAFTAR PUSTAKA Aribawa, I.B. dan I.K. Karida. 2014. Adaptasi beberapa klon cabai di lahan kering dataran tinggi beriklim basah di Bali. Prosiding seminar nasional inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi. Banjarbaru, 6-7 Agustus 2014. halaman: 413-418. BPS, 2015. Kabupaten Rejang Lebong Dalam Angka 2015. http://rejanglebongkab. bps.go.id/webbeta/backend/pdf_publikasi/statistik-daerah-kabupaten-rejang-lebong statistik-daerah-kecamatan-selupu-rejangg-2015.pdf [diakses pada tanggal 22 Desember 2015]. Karida, I.K. dan I.B. Aribawa. 2014. Adaptasi beberapa galur cabai (Capsicum annum) secara organik pada lahan medium iklim basah di Bali. Prosiding seminar nasional pertanian organik. Bogor, 18-19 Juni 2014, halaman: 233-238. Kementan, 2015. Produktivitas sayuran Indonesia dan produktivitas cabai besar menurut provinsi tahun 2010-2014. http://www.pertanian.go.id/ap_pages/mod/datahorti. [diakses tanggal 4 Januari 2015]. Knott, J.E. and J.R. Deanon. 1970. Vegetable production in Southeast Asia. Univ. of Phillipines College of Agricultural College. Los Banos, Laguna, Phillipines. P: 97-133. Marliah, A., M. Nasution, dan Armin. 2011. Pertumbuhan dan hasil beberapa varietas cabai merah pada media tumbuh yang berbeda. J. Floratek (6): 84-91. Sujitno, S. dan M. Dianawati. 2015. Produksi panen berbagai varietas unggul baru cabai rawit (Capsicum frutescens) di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Barat. Prosiding seminar nasional masyarakat biodiversitas Indonesia. Juli 2015, Vol (1), No. 4, hal: 874-877. Sumarni, N., dan A. Hidayat. 2005. Juknis Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan HortikulturaBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Syukur, M., Sujiprihati, S., Yunianti, R., dan Kusumah, D. A. (2010). Evaluasi daya hasil cabai hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam dua tahun. Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy): 38 (1): 43-51. Wien, H.C. 1997. The physiology of vegetable crops. Cab. International. Yusniwati, Sudarsono, H. Aswidinnoor, S. Hendrastuti, dan D. Santoso. 2008. Pengaruh Cekaman Kekeringan Terhadap pertumbuhan, hasil, dan kandungan prolina daun cabai. Agrista Vol (12), No. 1, hal: 19-27.
337
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
ANALISIS USAHATANI CABAI MERAHDENGAN TEKNOLOGI ANJURAN DI DESA LUBUK SAUNG, KECAMATAN BANYUASIN III, KABUPATEN BANYUASIN, SUMATERA SELATAN RED CHILI PRODUCTION ANALYSIS USING SUGGESTED TECHNOLOGY IN LUBUK SAUNG VILLAGE, SUB –DISTRICT BANYUASIN III, BANYUASIN REGENCY, SOUTH SUMATERA Maya Dhania Sari, Dedeh Hadiyanti, Suparwoto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Burlian No. 83 Km. 6 Palembang e-mail :
[email protected] ABSTRAK Cabai merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomis tinggi. Namun produktivitas cabai merah di Sumatera Selatan relatif masih rendah, oleh karena itu diperlukan penerapan teknologi baru untuk meningkatkan produksi cabai merah. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pendapatan usahatani cabai merah dengan penerapan teknologi anjuran dan teknologi petani, serta untuk mengetahui kelayakan penerapan teknologi anjuran. Pengkajian dilaksanakan di Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan dari bulan April sampai Desember 2015, pada lahan petani kooperator dengan luasan 2500 m2. Metode yang digunakan observasi dan dianalisis dengan uji kelayakan finansial B/C dan MBCR. Kajian di lapangan menggunakan 2 varietas, yakni varietas Kencana dan varietas Lokal sebagai pembanding. Dalam pengkajian ini petani kooperator menerapkan paket teknologi anjuran, yakni menggunakan Varietas Kencana dan pemakaian pupuk kandang, Sedangkan petani non kooperator menerapkan teknologi cara petani setempat. Hasil menunjukkan produksi cabai merah pada penerapan teknologi anjuran sebesar 6,48 ton/ha, sedangkan produksi yang dicapai dengan teknologi petani sebesar 1,8 ton/ha. Pendapatan pada penerapan teknologi anjuran Rp.100.538.000/musim (B/C 3,42) lebih besar daripada pendapatan teknologi petani Rp. 26.763.000/musin (B/C 2,9), dan nilai MBCR 3,72. Dengan demikian teknologi anjuran layak untuk dikembangkan. Kata Kunci: Cabai Merah, Pendapatan, Teknologi anjuran ABSTACT Red Chili is one of horticultural commodity that has a high economic value. It is too bad that the production of the Red Chili in South Sumatera is still low. Because of that, it is important to implement new technology in order to increase the production of Red Chili. The goal of this research is to know the income of Red Chili farmer and appropriateness of using the suggested technology by using superior variety and manure. The research was held in Desa Lubuk Saung, Banyuasin III District, Banyuasin Regency, South Sumatera from April 2015 until December 2015, in a 2500m2 field. Research methods were observation. Then, the data were analyzed using financial B/C and MBCR qualification. Field study used 2 varieties. Those were Kencana and Local variety as comparison. In the research, volunteer farmer used Kencana, and manure. While non-volunteer used local method. The result showed that the suggested technology produced 6.48 ton/ha, while local method only produced 1.8 ton/ha. The income of the suggested technology is Rp100.538.000/season (B/C 3.42). It is much bigger than local methods that only gained Rp26.763.000/season (B/C 2.9) and (MBCR 3.72). Thus, suggested technology is worth to be implemented. Keywords: Red Chili, Income, Suggested Technology.
338
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Cabai (Capsicum annuum, L.) termasuk suku Selaneceae merupakan salah satu komoditas unggulan nasional yang tidak tersubstitusi, mempunyai nilai ekonomi dan dayaguna yang tinggi, serta daya adaptasi yang kuat. Berbagai daya tarik tersebut menyebabkan minat masyarakat petani dalam mengusahakan cabai sebagai kooditas andalan meningkat dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. (Wahyudi, D dan Sehat Tan, S, 2010). Komoditas ini memiliki potensi sebagai jenis sayuran buah untuk dikembangkan karena cukup penting peranannya baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daerah, nasional maupun komoditas ekspor. Dengan beragamnya kebutuhan manusia dan makin berkembangnya teknologi, maka kebutuhan bahan baku cabai akan terus meningkat di setiap tahunnya. Beberapa alasan penting pengembangan komoditas cabai merah besar, antara lain adalah (1) tergolong sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi, (2) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan nasional, (3) menduduki posisi penting dalam hampir seluruh menu masakan di Indonesia, (4) memiliki prospek ekspor yang baik, (5) mempunyai daya adaptasi yang luas, dan (6) bersifat intensif dalam menyerap tenaga kerja (Saptana et al, 2010). Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah tumbuhan perdu yang berkayu, dan buahnya berasa pedas yang disebabkan oleh kandungan kapsaisin. Di Indonesia tanaman tersebut dibudidayakan sebagai tanaman semusim pada lahan bekas sawah dan lahan kering atau tegalan. Namun demikian, syarat-syarat tumbuh tanaman cabai merah harus dipenuhi agar diperoleh pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil buah yang tinggi. Potensi hasil cabai merah sekitar 12-20 t/ ha. (Sumarni dan M uharram, 2005). Rata-rata produktivitas cabai merah di Sumatera Selatan periode tahun 2011-2015 sebesar 2,71 ton/ha, masih sangat rendah bila dibandingkan rata-rata produksi nasional pada periode yang sama sebesar 8,16 ton/ha (BPS, 2015). Hidajat et al. (2000) menyatakan penyebab rendahnya produktivitas, antara lain tidak menggunakan benih bermutu.. Rendahnya produksi di Sumatera Selatan disebabkan karena sebagian petani masih menggunakan benih varietas lokal. Menurut Sumarni dan Muharam (2003), penggunaan benih berkualitas merupakan kunci utama memperoleh hasil yang tinggi. Selain menggunakan benih varietas unggul, pemakaian pupuk kandang sesuai rekomendasi juga sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi cabai merah. Dalam budidaya cabai, pemakaian pupuk kandang atau kompos merupakan kebutuhan pokok, disamping penggunaan pupuk buatan. Pupuk kandang atau kompos, selain dapat mensuplai unsur hara bagi tanaman (terutama hara mikro), juga dapat memperbaiki struktur tanah, memelihara kelembaban tanah, mengurangi pencucian hara, dan meningkatkan aktifitas biologi tanah (Sumarni dan Muharam, 2003). Untuk meningkatkan produksi cabai merah di Sumatera Selatan, maka diperlukan perbaikan teknologi budidayanya. Penggunaan varietas unggul dan pemupukan sesuai rekomendasi/anjuran merupakan salah satu teknik untuk meningkatkan produksi maupun produktivitas cabai merah. Varietas Kencana merupakan cabai keriting unggul baru di lepas tahun 2011 yang harus dikembangkan dan diintroduksikan ke berbagai sentra produksi cabai karena mempunyai karakteristik yang menonjol seperti toleran terhadap genangan dan berdaya hasil tinggi di atas 20 ton/ha. Introduksi cabai varietas Kencana diharapkan mampu memenuhi pasokan cabai sepanjang tahun untuk mengatasi gejolak harga cabai yang selalu terjadi terutama pada musim basah dan kemarau basah sehingga kebijakan swasembada cabai yang diinginkan dapat terpenuhi (Setiawati, W et al, 2016). Oleh karena itu diharapkan dengan teknologi yang dianjurkan kepada petani dapat meningkatkan hasil cabai merah, sehingga pendapatan petani juga bertambah. Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pendapatan usahatani cabai merah dengan penerapan teknologi anjuran dan teknologi petani, serta untuk mengetahui kelayakan penerapan teknologi anjuran.
339
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Pengkajian dilaksanakan di Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan dari bulan April sampai Desember 2015, pada lahan petani kooperator dengan luasan 2500 m2. Pengkajian menggunakan metode observasi.Dalam pengkajian ini petani kooperator menerapkan paket teknologi anjuran budidaya cabai merah dan petani non kooperator menerapkan teknologi cara petani setempat. Komponen teknologi anjuran terdiri dari penggunaan varietas unggul dan pupuk kandang. Secara rinci teknologi anjuran dan teknologi petani budidaya cabai merah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen tekologi budidaya cabai merah di Desa Lubuk Saung,Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komponen teknologi Benih Varietas Pengolahan tanah Penanaman Pemupukan (kg/ha) Pupuk kandang Penyiangan gulma
8. Pengedalian OPT Sumber: Data primer (2016)
Teknologi anjuran Berlabel/bermutu Unggul Kencana Tanah diolah + bedengan Jarak tanam 60 x 60 cm 400 kg urea/ha, 400 kg SP-36/ha, 200 kg KCL/ha, 200 kg NPK/ha 20 ton/ha Penyiangan dilakukan 2-3 kali/tergantung kondisi lapang Sistem monitoring
Teknologi cara petani Petani Lokal Tanah diolah + bedengan Jarak tanam 60 x 60 cm 150 kg urea/ha, 200 kg SP36/ha, 200 kg KCL/ha, 400 kg NPK/ha 700 kg/ha 2-3 kali Kadang-kadang
Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan sisa tanaman dan rumput. Kemudian tanah diolah sebanyak dua kali sedalam 30-40 cm dan dibuat guludan setinggi ±30 cm dengan jarak antar guludan ±50 cm. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 60 x 60 cm. Penyiraman dilakukan sesuai kebutuhan. Penyiangan dilakukan 3 kali pada umur 2, 4 dan 8 minggu setelah tanam, dengan cara manual/mencabut gulma. Penyiangan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan pembumbunan Pupuk kandang diberikan seminggu sebelum tanam disebarkan merata di atas garitan, dicampur pada tanah bedengan atau diberikan pada lubang tanam sebagai pupuk dasar. Pemberian pupuk urea dilakukan pada saat tanam dan pada waktu tanaman berumur satu bulan, sedangkan pupuk SP-36, NPK dan KCl diberikan seluruhnya pada tanaman umur satu minggu setelah tanam.Pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT) dilakukan sesuai dengan jenis dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan hama dan penyakit tersebut. Data dianalisis disusun secara tabulasi dan dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif. Komponen teknologi pada penelitian ini tidak menggunakan mulsa dikarenakan petani di Desa Lubuk Saung Kabupaten Banyuasin menerapkankan pola tanam cabai merah – katuk – palawija. Katuk merupakan salah satu komoditas sayuran andalan petani setempat. Penggunaan mulsa mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman katuk dan palawija. Analisis Data Parameter yang diamati pada pengkajian ini meliputi produktivitas cabai merah, sarana produksi dan tenaga kerja. Analisis yang digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis imbangan pendapatan atas biaya (B/C) (Malian, 2004) (RAVC) B C ratio = ------------TVC Dimana: BC ratio P TVC RAVC Q
= Nisbah pendapatan terhadap biaya = Harga jual (Rp/kg) = Biaya Total (Rp/ha/musim) = (QxP) – TVC = Total produksi (kg/ha/musim)
Dengan keputusan: BC Ratio > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan BC Ratio = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas BC Ratio < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan
340
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Untuk melihat tingkat kelayakan teknologi dilakukan analisis marginal benefit cost ratio (MBCR) yang digunakan sebagai berikut: MBCR = Pendapatan usahatani pola perbaikan – pendapatan usahatani pola petani dibagi dengan biaya usahatani pola perbaikan – biaya usahatani pola petani. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Desa Lubuk Saungtermasuk Saung Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin memiliki luas wilayah 149 hektar. Secara umum lahan di Desa Lubuk Saung merupakan lahan kering yang ditanami karet, palawija, dan sayuran seperti cabai merah dan katuk. Petani di Desa Lubuk Saung menanam cabai merah pada musim penghujan dari bulan September sampai Oktober. Varietas cabai merah yang digunakan petani yaitu varietas lokal hasil seleksi sendiri. Sebagian besar petani memiliki lahan sendiri. Petani yang tidak memiliki lahan menyewa lahan garapan dengan sistem bagi hasil. Analisis Usahatani Cabai Merah Untuk mengetahui sejauh mana teknologi anjuran dapat meningkatkan pendapatan petani di Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, maka dilakukan analisa usahatani seperti pada tabel 2. Tabel 2.
Hasil analisis usahatani cabai merah dengan luasan 10.000 m2 di DesaLubuk Saung
No
Uraian
I
Kebutuhan Saprodi Benih Urea Sp-36 KCL NPK Pupuk Kandang Pestisida Total A (Rp) Tenaga kerja Pengolahan lahan Persemaian Penanaman Pemupukan Penyiangan Pengendalian Hama Penyakit Pemanenan Total B (Rp)
II
Total A + B (Rp) Hasil cabai (kg/1ha) Harga cabai (Rp/kg) Penerimaan Pendapatan BC ratio MBCR Sumber: Data primer (2016)
Teknologi Anjuran Nilai (Rp) %
Teknologi Petani Nilai (Rp)
%
300.000 880.000 112.000 1.600.000 1.700.000 12.000.000 1.020.000 17.612.000
35.000 250.000 410.000 1.520.000 800.000 700.000 730.000 4.427.000
0,4 2,7 4,4 16,5 8,7 7,6 7,9 47,9
1,0 3,0 0,4 5,5 5,9 41,3 3,5 60,6
600.000 50.000 200.000 300.000 100.000 600.000
2,1 0,2 0,7 1,0 0,3 2,1
9.600.000 11.450.000 29.062.000 6.480 20.000 129.600.000 100.538.000 3,45 3,72
33,0 39,4 100
400.000 50.000 200.000 200.000 100.000 500.000 3.360.000 4.810.000 9.237.000 1.800 20.000 36.000.000 26.763.000 2,9
4,3 0,5 2,2 2,2 1,1 5,4 36,4 52,1 100
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa biaya produksi pada teknologi anjuran lebih besar dibandingkan dengan teknologi petani. Biaya produksi usahatani teknologi anjuran paling banyak dikeluarkan untuk pembelian pupuk kandang sebesar 41,3% (Rp. 12.000.000,-) dari biaya produksi. Besarnya biaya produksi dari penggunaan Varietas Unggul (Varietas Kencana) dan pupuk kandang berbanding lurus dengan hasil yang dicapai, yaitu sebesar 6,48 ton/ha lebih besar dibandingkan teknologi petani sebesar 1,8 ton/ha. Sepwanti et al (2016) menyatakan bahwa Varietas Unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang penting untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani cabai.
341
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pemakaian pupuk kandang juga berperan penting dalam peningkatan hasil cabai merah. Menurut Las et al (2003), peran teknologi varietas dan pemupukan sangat nyata dalam peningkatan produktivitas maupun produksi. Simamora (2006) menyatakan bahwa suatu tanaman akan tumbuh subur apabila unsur hara yang dibutuhkan cukup tersedia dalam bentuk yang sesuai untuk diserap tanaman. Pupuk kandang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah melalui perannya sebagai sumber makanan mikroba di dalam tanah (Sugito et al., 1995). Besarnya hasil dari usahatani dengan teknologi anjuran menyebabkan meningkatnya pendapatan petani. Dengan harga jual cabai merah saat panen Rp. 20.000,-, petani memperoleh pendapatan sebesar Rp. 100.538.000,-., lebih besar dari pendapatan dengan menggunakan teknologi petani sebesar Rp. 26.763.000,- . Besarnya pendapatan ini menunjukkan bahwa teknologi anjuran layak diusahakan dengan nilai MBCR 3,72. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparwoto et al (2012), yang meneliti peningkatan pendapatan petani cabe merah melalui perbaikan teknologi usahatani di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan mendapatkan hasil bahwa teknologi perbaikan budidaya cabe merah memberikan keuntungan lebih besar daripada teknologi petani. KESIMPULAN Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan: 1. Pendapatan usahatani cabai merah dengan penerapan teknologi anjuran sebesar Rp. 100.538.000,lebih besar dari teknologi petani Rp. 26.763.000,2. Teknologi penggunaan Varietas Unggul (Varietas Kencana) dan pemakaian pupuk kandang layak untuk diterapkan, dengan nilai B/C 3,45 dan MBCR 3,72 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2015. www.pertanian.go.id/Data5tahun/Horti/BEM2015 Hidayat, A., R. Rosliani, A.A. asandhi, dan N. Sumarni. 2003. Optimasi penggunaan input produksi dalam usahatani sayuran Leisa di dataran tinggi. Laporan Hasil Penelitian. Balitsa. Lembang. Las, I., B. Suprihatno, A.A.Drajat, Suwarno, B. Abdullah dan Satoto. 2003. Innovasi teknologi varietas unggul padi : Pekembangan, arah dan strategi ke depan. Dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Malian, A. Husni. 2004. Analisis ekonomi usahatani dan kelayakan finansial teknologi pada skala pengkajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (The Participating Development of technology Transfer Project (PAATP). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Marlina, Neni. 2010. Pemanfaatan Jenis Pupuk Kandang Pada Cabai Merah (Capsicum annum). Jurnal Pemanfaatan Jenis Pupuk Kandang. Saptana; Daryanto, A; Daryanto, H.K; dan Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis Produksi Usahatani Cabai Merah Besar dan Perilaku Petani Dalam Menghadapi Resiko. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 28 No.2, Oktober 2010 : 153 – 188 Sepwanti, C; Rahmawati, M; Kesumawati, E. 2016. Pengaruh Varietas dan Dosis Kompos yang Diperkaya Trichoderma harzianum Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Cabai Maerah (Capsicum annuum L.). Jurnal Kawista 1(1);68-74. Setiawati, W; Koesandriani, Y; Hasyim, A. 2016. Sumbangsih Cabai Keriting Varietas Kencana Dalam Menghadapi Kebijakan Swasembada Cabai. http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id/Buku_Inovasi/4557.Wiwin%20S%20sumbangsih%20cabai%20keriting.pdf 15 Oktober 2016. Simamora, S. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Agromedia, Jakarta. Sugito Y, Nuraini Y, Nhayati E. 1995. Sistem pertanian organik. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang Sumarni, N dan Muharam, A. 2003. Budidaya Cabai Merah, Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang. Wahyudi, D dan Sehat Tan, S. 2010. Kajian Efektivitas Media Diseminasi Dalam Inovasi Teknologi PTT Cabai di Kabupaten Cirebon dan Ciamis Propinsi Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di Pedesaan. ISBN 978-979-1415-49-1.
342
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PERANAN PENDAMPINGAN TEKNOLOGI TERHADAP PENINGKATAN PENEGETAHUAN PETANI DAN PRODUKSI CABE DI BENGKULU MENTORING ROLE TECHNOLOGY TO INCREASE FARMERS KNOWLEDGE AND CHILI PRODUCTION AT BENGKULU Ruswendi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 e-mail :
[email protected] ABSTRAK Pendampingan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura, merupakan suatu wujud peningkatan produksi hortikultura dan pendapatan petani secara nasional. Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi dalam pengembangan tanaman hortikultura, termasuk komoditas cabe. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendampingan pengembangan kawasan cabai terhadap peningkatan kemampuan dan produksi petani dalam berusahatani cabe di Bengkulu. Diseminasi peranan pendampingan pengembangan kawasan cabe di Bengkulumenggunakan metode survei, dilakukan di 5 Kabupaten pada tahun 2015. Metode pendampingan yang dilakukan melalui pertemuan tatap muka dan pelatihan. Pengambilan data dilakukan pada awal dan akhir kegiatan pendampingan, berupa data primer meliputi; karakteristik, timgkat pengetahuan responden terhadap usahatani cabe, produksi, kendala dan pemecahanan masalah. Data dikumpulkan melalui wawancara, tatap muka dan pertemuan terfokus menggunakan daftar pertanyaan. Selanjutnya dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif membandingkan hasil dicapai dengan hasil sebelumnya (before and after). Hasil kajian menunjukan adanya pengaruh diseminasi pendampingan pada petani, terhadap perbaikan kemampuan penguasaan usahatani cabe, terutama terhadap komponen teknologi penggunaan pupuk organik; penggunaan varietas unggul; dan sistim tanam sebesar 47,37%; 38,89% dan 33,33%. Serta juga berdampak pada peningkatan luas garapan petani sebesar 22,22% dari sebelum pendampingan rata-rara 0,207 ha menjadi 0,253 ha setelah pendampingan dan peningkatan produksi cabai merah sebesar 28,57% dari sebelum pendampingan rata-rara sebanyak 4,13 t/ha menjadi 5,31 t/ha setelah pendampingan. Kata kunci : Pendampingan, peningkatan, pengetahuan petani, produksi cabe, Bengkulu ABSTRACT Mentoring the development of horticulture agribusiness region, represents one of the efforts to increase horticultural production and farmer income nationally. Bengkulu Province is one of the areas that have potency in the development of horticultural crops, including chili. This study aims to understand the impact of Mentoring the development of horticulture agribusiness regionto capacity and production improvement of farmers in chili farming on Bengkulu Province. Dissemination of Mentoring the development of horticulture agribusiness regionwere done by survey conducted in 5 regency in 2015. The method conducted through face to face meetings and training. Data were collected at the beginning and the end of the mentoring activities, in the form of primary data consist of; characteristics, respondents' knowledge level of chili farming, production, constraints and problem solving. Data were collected through interviews, face-to-face meeting and focused meetings using questionnaires. Data were analyzed using descriptive analysis comparing the results achieved with previous results (before and after). Results of the study shows the influence of dissemination mentoring to farmers, the improvement in the ability of chili farming, especially the use of organic fertilizers technology components; the use of improved varieties; and planting system at 47.37%; 38.89% and 33.33%. As well as the impact on farmers of arable area increase of 22.22% from the prior mentoring average 0.207 ha to 0,253 ha after mentoring and increased production of red chili 28.57% of the average before mentoring 4.13 t/ha to 5.31 t/ha after mentoring. Keywords: Mentoring, Increase, farmers knowledge, Chili production, Bengkulu
343
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Kebijakan pendampingan pengembangan kawasan pertanian nasional, merupakan suatu wujud peningkatan produksi pangan nasional dan pendapatan petani melalui implementasi inovasi dan transfer teknologi dalam suatu model diversifikasi usahatani secara terpadu. Termasuk pendampingan pengembangan hortikultura komoditas cabe yang merupakan salah satu pangan unggulan nasional dan diharapkan mampu mengoptimalkan penggunaan sumberdaya pertanian, mewujudkan pemerataan pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi di daerah (Kementan, 2014). Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi dalam pengembangan komoditas hortikultura, termasuk cabe merah sebagai komoditas pangan unggulan nasional yang pengembangannya tersentra di daerah dataran tinggi dan medium. Tanaman cabe merah mempunyai daya adaptasi cukup luas dari dataran tinggi sampai dataran rendah, namun rerata produktivitas cabe merah relatif rendah yaitu hanya sekitar 5,61 t/ha (Kementan, 2011) bila dibandingkan dengan potensi hasil yang berkisar antara 12–20 t/ha (Soetiarso dan Setiawati, 2010). Namun komoditas cabe merah ini selain merupakan salah satu jenis tanaman sayuran bernilai ekonomi tinggi juga memiliki karakteristik unik, yaitu; merupakan ikon nasional sekaligus sebagai pemicu inflasi; memiliki sebaran wilayah dan potensi pasar cukup luas. Maka untuk pengembangannya diperlukan dukungan pemerintah (Dirjen Hortikultura, 2013). Hal ini mulai diwujudkan dengan program pengembangan kawasan hortikultura komoditas cabe, dengan sasaran untuk peningkatan produktivitas dan pengendalian senjang harga dan fluktuasi produksi menjadi lebih merata sepanjang tahun. Sehinggadiperlukan inovasi pola produksi cabe merah yang dapat menghasilkan sepanjang tahun, sekaligus mendukung pendapatan petani cabe merah menjadi lebih stabil dan terus-menerus. Melalui pendampingan ini sangat memberi peluang petani cabe untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan pengetahuan maupun keterampilan guna menjamin produktivitas dan kualiltas hasil tanaman cabe diwilayah sentra produksi, serta percepatan penyebaran atau diseminasi inovasi bagi pengguna. Baik itu aspek peningkatan teknologi produksi dan pengemdalian HPT, panen dan pascapanen, pemberdayaan petani, penguatan kelembagaan serta mendorong terjadinya kemitraan. Sehingga perlu diketahui sampai sejauh mana pengaruh pendampingan pengembangan kawasan produksi cabe dan introduksi inovasi teknologi sesuai kondisi wilayah, terhadap peningkatan kemampuan dan produksi petani dalam berusahatani cabe merah di Bengkulu. METODE PENELITIAN Diseminasi peranan pendampingan pengembangan kawasan cabe di Bengkulumenggunakan metode survei, dilakukan pada Tahun 2015 pada 5 (lima) wilayah kawasan pengembangankomoditas cabe, meliputi; 1) Kabupaten Rejang Lebong, 2) Kabupaten Kepahiang, 3) Kabupaten Lebong, 4) Kabupaten Kaur, dan 5) Kabupaten Mukomuko. Metode pendampingan dilakukan secara bertahap melalui pendekatan; secara parisipatif, pertemuan tatap muka, pelatihan serta penyiapan dan penyebaran bahan informasi sesuai kondisi. Pengambilan data dilakukan pada awal dan akhir kegiatan pendampingan, berupa data primer meliputi; karakteristik, tingkat pengetahuan responden terhadap usahatani cabe, produksi, kendala dan pemecahanan masalah. Data dikumpulkan melalui wawancara, tatap muka dan pertemuan terfokus menggunakan daftar pertanyaan. Selanjutnya dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif membandingkan hasil dicapai dengan hasil sebelumnya (before and after). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil kajian diseminasi peranan pendampingan pengembangan kawasan komoditas cabeterhadap peningkatan pengetahuan petani dan produksi cabe di Bengkulu yang dilaksanakan di 5 (lima) wilayah kawasan pengembangan komoditas cabe, antara lain di; 1) Kabupaten Rejang Lebong, 2) Kabupaten Kepahiang, 3) Kabupaten Lebong, 4) Kabupaten Kaur, dan 5) Kabupaten Mukomuko, memberikan gambaran hasil yang meliputi :
344
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Karakteristik Petani Cabe Keadaan karakteristik petani di wilayahpengembangankawasan cabe menggambarkan tingkat keragaman cukup bervariasi, bila dilihat berdasarkan kondisi umur berkisar antara 29–51 tahun dengan tingkat pendidikan 6–12 tahun (SD sampai SLTA) serta pengelolaan lahan usahatani cabe antara 0,1–0,3 ha dan pengalaman usahatani cabe 2–10 tahun (Tabel 1). Terlihat bahwa petani cabe pada sentra kawasan pengembangan memiliki umur rata-rata 40,63 tahun dan secara umum masih tergolong usia produktif, berkisar antara 29 tahun sampai dengan 51tahun. Dilihat dari sebaranumur petani terlihat dari sebaran umur pelaku usahatani cabe, jumlah terbesar berada pada kelompok umur 31–40 tahun(43,33%) dan umur 41–50 tahun (40,00%). Kondisi ini jelas memperlihatkan petani di wilayah kawasan pengembangan cabe merupakan pelaku usaha produktif dan sangat berpotensi dalam pengembangan usahatani cabe dan pengembangan inovasi teknologi sesuai sumberdaya pertanian wilayah, karena menurut Suharyanto et all., (2001) secara umum tenaga kerja sektor pertanian masih didominasi tenaga kerja dengan umur > 50 Tahun. Artinya pelaku usaha di wilayah sentra kawasan pengembangan cabe di Bengkulu umumnya berada pada kondisl fisik produktif, yaitu mencapai 93,33% berada pada usia 50 tahun. Tabel 1. Karakteristik responden di sentra kawasan pengembangan cabe berdasarkan kelompok; umur, pendidikan, penggelolaan lahan dan pengalaman usaha. No. 1.
Karakteristik Petani Contoh Umur (tahun)
2.
Jumlah Pendidikan (tahun)
3.
Jumlah Luas lahan usaha (ha)
4.
Jumlah Pengalaman usaha (tahun)
Kelompok 20–30 31–40 41–50 51–60 6 9 12 0,1 0,2 0,3 2–4 5–7 8–10
Jumlah Sumber : Data terolah 2016.
Jumlah (orang) 3 13 12 2 30 2 20 8 30 2 8 20 30 14 10 6
% 10,00 43,33 40,00 6,67 100,00 6,67 66,67 26,66 100,00 6,67 26,66 66,67 100,00 46,67 33,33 20,00
30
100,00
Begitu juga dengan tingkat pendidikan petani padasentra kawasan pengembangan cabe selain memiliki kondisi fisik sangat produktif (rata-rata berumur 40,63 tahun), juga memiliki jenjang pendidikan cukup layak. Sebagian besar memiliki tingkat pendidikan berada pada level pendidikan 6 tahun (setingkat SD), yaitu sebesar 66,67% berada pada jenjang pendidikan 9 Tahun (setingkat SMP) dan 26,66% pada jenjang pendidikan 12 Tahun (setingkat SLTA). Jenjang pendidikan seseorang akan mempengaruhi nilai-nilai dianut, cara berpikir, cara pandang, maupun persepsinya terhadap suatu masalah dihadapi (Simanjuntak et all., 2010). Begitu juga Bandolan et all. (2008) menyampaikan, bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi yang diaplikasikan dalam proses berusahatani. Dengan kondisi tingkat pendidikan sebagian besar tamatan SMP dan SMA ini akan sangat membantu petani kawasan cabe dalam proses transfer, menerima, dan mengaplikasikan inovasi teknologi pedampingan dan pembinaan secara terpadu serta. Kondisi ini secara tidak langsung, juga dapat mendorong percepatan produktivitas usahatani cabe dan pendapatan masyarakat pada wilayah sentra kawasan pengembangan cabe di Bengkulu. Dilihat dari luas lahan usahatani, umunya petani pada wilayah sentra kawasan pengembangan cabe di Bengkulu memiliki lahan usahatani antara 0,1 – 0,3 ha, atau dengan rerata luas lahan garapan sebesar ± 0,207 ha. Dimana rerata luas lahan garapan ini termasuk pada kategori lahan garapan dengan jumlah terbesar berada pada luasan 0,3 ha (berkisar antara 0,2 – 0,3 ha) yang mencapai 66,67. Menurut Drakel (2008) besar kecilnya luas lahan diusahakan petani, akan mempengaruhi aktivitas mereka dalam melakukan kegiatan usahatani. Kondisi luas lahan garapan petani cabe ini berkaitan dengan ketersediaan modal dan resiko uasahatani cabe yang culup tinggi, sehingga untuk dapat
345
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
meningkatkan produktivitas usahatani mereka perlu di dukung dengan berbagai inovasi yang secara bersamaan saling menguntungkan. Termasuk upaya pendampingan dalam bentuk kegiatan diseminasi inovasi melalui pengawalan, percontohan, pelatihan dan pertemuan. Sudiman (2006) menyampaikan bahwa aktivitasyang dapat dilakukan individu untuk dapat meningkatkan kualitas keahliannya, adalah melalui upaya pendidikan dan pelatihan. Begitu juga dengan pengalaman usaha, umumnya petani pada sentra pengembangan kawasan cabe cukup variatif (2 – 10 tahun). Dilhat dari tingkatan kategori pengalaman usahanya, maka pengalaman usaha petani cabe tertinggi berada pada tingkatan kategori 2 - 4 tahun sebesar 46,67%, kemudian kategori 5-7 tahun dan 8-10 tahun masing-masing sebesar 33,33% dan 30,00%. Karena pengalaman usaha merupakan faktor cukup berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani cabe yang memerlukan pengembangan pengetahuan, kreativitas danketerampilan sesuai dengan kemajuan teknologi. Novia (2011) berpendapat, bahwa pengalaman usahatani sangat berpengaruh terhadap daya respon, tanggapan, dan penerimaan terhadap suatu informasi teknologi yang disampaikan kepada petani. Pengalaman usaha ini juga berkaitan dengan umur pelaku usaha, dimana semakin tinggi umur seseorang akan semakin banyak pengalaman yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ber usahatani cabe, semakin panjang umur petani semakin banyak pengalaman penerapan teknologi dan upaya penanganan dalam menghadapi permasalahan dalam keberhasilan petani berusahatani cabe. Selaras dengan pendapat Latifah et all., (2010) bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka akan semakin banyak peluang dan cara yang dapat dilakukan dalam menghadapi permasalahan dialaminya. Peranan Pendampingan Kegiatan diseminasi pendampingan pengembangan kawasan agribisnis cabeyang dilaksanakan di Bengkulu, terfokus pada kegiatan pendampingan inovasi teknologi dan pengembangan kawasan yang dilakukan melalui berbagai upaya diseminasi inovasi. Baik itu pertemuan tatap muka, pelatihan penyebaran media informasi maupun pecontohan langsung dilahan petani dengan harapan dapat memberikan dukungan terhadap peningkatan; kemampuan, produksi, pendapatan dan pengembangan usahatani cabe. Berdasarkan kajian pada 5 wilayah pengembangan kawasan cabe, dapat digambarkan peranan kegiatan pendampingan melalui implementasi inovasi teknologi yang dilakukan pada petani pegembangan kawasan cabe telah memberi pengaruh terhadap upaya perbaikan usahatani cabe, baik itu dalam hal peningkatan pengetahuan atau kemampuan petani; peningkatan produktivitas; dan pengembangan usahatani cabe di Bengkulu (Tabel 2). Peningkatan pengetahuan petani Bila dilihat dari kajian peningkatan pengetahuan atau kemampuan petani cabe, peranan pendampingan inovasi teknologi pada usahatani cabe di Bengkulu telah memberikan pengaruh positif terhadap perbaikan pengetahuan petani pada penguasaan teknologi. Terutama dalam hal komponen teknologi penggunaan pupuk organik; penggunaan varietas unggul; dan sistim tanam, tejadi peningkatan sebesar 47,37%; 38,89%; dan 33,33%. Dimana tingkat pengetahuan petani cabe sebelum dan sesudah pendampingan yang digambarkan berdasarkan penerapan komponen teknologi penggunaan pupuk organik; penggunaan varietas unggul; dan sistim tanam adalah sebesar 66, 67%; 60,00%; dan 60,00% (sebelumnya) menjadi 93, 33%; 83,33%; dan 80,00% (sesudah pendampingan). Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa melalui diseminasi inovasi teknologi,terlihat adanya peranan pendampingan dan pengawalan inovasi.Baik melalui pertemuan, pelatihan, percontohan dan penyebaran bahan informasi berupa folder secara berkala, memperlihatkan adanya peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia terhadap penerapan inovasi yang semakin optimal pada pengembangan kawasan cabe di Bengkulu. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan, kreativitas dan keterampilan, serta kemampuan petani (Demitriaet all. 2006).
346
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Pengaruh peranan pendampingan terhadap perbaikan peningkatan pengetahuan petani, produksi dan usahatani pada pengembangan kawasan cabe di Bengkulu. No
Peranan Pendampingan Terhadap Perbaikan
1.
Pengetahuan penguasaan komponen teknologi; - Pupuk organik (%) - Varietas unggul (%) - Sistim tanam (%) Produksi (t/ha) Luasan usahatani (ha)
2. 3.
Pendampingan Sebelum Sesudah
Peningkatan (%)
63,33 60,00 60,00 4,13 0,207
47,37 38,89 33,33 28,57 22,22
93,33 83,33 80,00 5,31 0,253
Sumber : Data terolah 2016
Peningkatan produksi Seperti tergambar pada Tabel 2, terlihat adanya pengaruh peranan pendampingan teknologi terhadap peningkatan produksi cabe pada wilayah pengembangan kawasan komoditas cabe di Bengkulu sebesar 28,57%. Dimana sebelum pendampingan dilakukan produksi cabe rata-rata petani hanya sebesar 4,13 t/ha dan setelah adanya kegiatan pendampingan produksi cabe rata-rata petani mencapai 5,31 t/ha atau terjadi peningkatan sekitar 1,18 t/ha. Peningkatan produksi cabe petani ini selain berbanding lurus dengan peningkatan pengetahuan petani, secara tidak langsung berhubungan juga dengan peningkatan luasan garapan usahatani cabe. Ini terlihat dari luas garapan petani cabe ratarata sebelum pendampingan seluas 0,207 ha dan setelah pendampingan menjadi 0,253 ha, atau terjadi pengembangan luasan usahatani setiap petani sebesar 22,22%. Saptana et all., (2010) menyatakan bahwa luas lahan garapan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi cabe merah, dimana untuk penambahan 1 persen luas lahan garapan cabe merah dapat meningkatkan produksi cabe merah besar sekitar 0,8575 persen. KESIMPULAN 1. Berdasarkan karakteristik petani, tingkatan umur, pendidikan, pengaalaman usaha dan luas garapan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemamapuan petani dan produksi cabe. 2. Kegiatan pendampingan inovasi teknologi pada petani pengembangan kawasan cabe telah berperan nyata terhadap peningkatan pengetahuan petani dan peningkatan produksi cabe pada kawasan pengembangan cabe di Bengkulu. DAFTAR PUSTAKA Bandolan, Y., Aziz A. dan Sumang. 2008. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Rambutan di Desa Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem, Desember 2008, Vol. 4 No. 2. Demitria D, Harianto, Sjafri M dan Nunung. 2006. Peran Pembangunan Sumberdaya Manusia dalam Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Petani di Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum Pascasarjana. IPB. Vol.33. No.3. Juli 2010. hal. 155-164. Dirjen Hortikultura. 2013. Program dan Kebijakan Pengembangan Hortikultura TA. 2013. Makalah disampaikan pada acara Workshop Evaluasi Outcome. Analisis Potensi Impact dan Baseline Study. Tanggal 16-19 April 2013 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura di Solo. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta Drakel, A. 2008. Analisis Usahatani Terhadap Masyarakat Kehutanan di Dusun Gumi Desa Akelamo Kota Tidore Kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan Volume I Oktober 2008. Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian. Permentan no.50 tahun 2012. Jakarta. Kementerian Pertanian. 2014. Rancangan Model Pengembangan Kawasan Pertanian Tahun 20152019. Kementerian Pertanaian RI. Jakarta Latifah EK, Hartoyo dan Guhardjo S. 2010. Persepsi Sikap dan Strategi Koping Keluarga Miskin Terkait Program Konversi Minyak Tanah Ke LPG di Kota Bogor. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 3 (2) : 122-132
347
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Novia, R.A. 2011. Respon petani terhadap kegiatan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian 7 (2): 22 48-60. Saptana, Daryanto A., Heny K. Daryanto dan Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis Produksi Usahatani Cabai Merah Besar dan Perilaku Petani Dalam Menghadapi Risiko. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanaian. Bogor, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 28. No.2, Oktober 2010 : 153 – 188. Simanjuntak M, Puspitawati H dan Djamaludin MD. 2010. Karakteristik Demografi Sosial dan Ekonomi Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 3 (2) : 101-113. Soetiarso, TA dan Setiawati, W. 2010. Kajian Teknis dan Ekonomis Sistem Tanam Dua Varietas Cabai Merah Di Dataran Tinggi. Badan Litbang Pertanian. J. Hort., vol. 20, no. 3, hlm. 284-98. Sudiman. 2006. Kajian Teoritis Pelatihan Ketrampilan Usaha Terpadu Bagi Petani Sebagai Upaya Alih Komoditas. Tesis; Program Pascasarjana. Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta. Suharyanto, Destialisma dan I.A. Parwati. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruh Adopsi Teknologi Tabela di Provinsi Bali. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. Denpasar.
348
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PROSPEK PENGEMBANGAN BAWANG MERAH (Allium ascolonicum L.) DI PROVINSI RIAU PROSPECTS OF SHALLOT (Allium ascolonicum L.) DEVELOPMENTIN RIAU PROVINCE Rachmiwati Yusuf dan Sri Swastika Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Jl. KH Nasution 341 Marpoyan KM 10 Telp (0761)-xxxxxx e-mail :
[email protected] ABSTRAK Permintaan bawang merah semakin meningkat seiring peningkatan jumlah konsumen dan daya beli masyarakat. Provinsi Riau merupakan daerah pengembangan bawang merah khususnya Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui keuntungan dan kelayakan pendapatan petani bawang merah di Provinsi Riau dan prospek pengembangannya. Penelitian dilakukan pada tahun 2015 di Pekanbaru dengan analisis deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan wawancara langsung ke petani di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti lembaga tingkat desa hingga kecamatan, Dinas Pertanian, kantor Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi terkait lain. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui kondisi yang dialami petani dalam melakukan sistem budidaya bawang merah. Analisis kuantitatif yang dipilih adalah analisis pendapatan usahatani, dan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Ratio). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan bersih petani bawang per musim panen sebesar Rp.252.000.000,00/ha dengan kisaran R/C ratio adalah 1,48 sampai 2,67, sehingga usaha bawang merah menguntungkan dan layak diusahakan. Dari trend linear menunjukkan bahwa pengembangan agribisnis bawang merah di Provinsi Riau sangat prospektif berdasarkan data luas panen, produksi, produktivitas dan konsumsi bawang merah per kapita dalam rumah tangga setahun dalam 5 (lima) tahun terakhir terus mengalami peningkatan searah kenaikan garis trend. Aspek-aspek yang mendukung prospek pengembangan bawang merah di Provinsi Riau antara lain ketersediaan lahan yang sesuai untuk komoditas bawang merah, kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan bawang merah dan peluang pasar. Kata Kunci: Prospek, budidaya bawang merah, Provinsi Riau ABSTRACT The demand of shallot increased with increasing number of consumers and purchasing power. Riau Province is a particular area of development shallots Kampar Regency and Pekanbaru. The purpose of this study was to determine the benefits and feasibility of shallot farmer income in Riau Province and its development prospect.The study was conducted in 2015 in Pekanbaru with descriptive analysis. The data used in this study are primary data and secondary data. Primary data collection was done by direct interview to the farmers in the field. While secondary data is the data obtained from institutions associated with the research institutions such as village and sub-district level, The Department of Agriculture, the Central Statistics Agency (BPS) and other related agencies. Qualitative analysis was conducted to determine the conditions experienced by farmers in conducting system of shallot cultivation. Quantitative analysis is selected farm income analysis, and analysis of the balance of receipts and expenses (R / C Ratio). The results showed that the average net income of farmers of onions per seasonRp.252.000.000,00 / ha with a range of R / C is 1.48 to 2.67, so that businesses profitable onion and viable. Of linear trend indicates that the development of agribusiness shallot in Riau highly prospective based on data harvested area, production, productivity and per capita consumption of shallot in a household a year within 5 (five) years continued to increase in the direction of the increase in the trend line. The Aspects support the development prospects of shallot in Riau Province are the availability of land suitable for commodities shallots, government policies that support the development of onion and market opportunities. Keywords : Prospect, Shallot cultivation, Riau Province
349
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Bawang merah (Allium ascolonicum L.) merupakan salah satu komoditas tanaman sayuran dengan beragam manfaat antara lain sebagai sayuran, bumbu penyedap masakan, bahan obat tradisional untuk kesehatan dan kecantikan. Penelitian menunjukkan bahwa kandungan quercetin flavonoid pada bawang merah dapat mengobati katarak, penyakit jantung dan kanker dan senyawa organosulfur dapat menurunkan tekanan darah dan kolesterol. Umbi bawang merah dapat dimanfaatkan untuk obat cacing, anti-inflamasi, antiseptik, antispasmodik, karminatif, diuretik, ekspektoran, obat penurun panas, hipoglikemik, hipotensi, lithontripic, obat perut dan tonik (Kumar, 2010). Permintaan bawang merah semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah konsumen dan daya beli masyarakat. Dengan menjamurnya bisnis kuliner di berbagai daerah menjadi salah satu penyebab meningkatnya kebutuhan pasar akan bawang merah. Jumlah produksi bawang merah nasional belum dapat memenuhi kebutuhan pasar baik dalam negeri maupun ekspor. Bawang merah memiliki pengaruh besar dalam perekonomian terutama terjadinya inflasi harga yang disebabkan dinamika produksi terutama saat off season. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan agribisnis bawang merah adalah ketersediaan benih bermutu. Keputusan penggunaan suatu jenis benih sangat dipengaruhi oleh ketersediaan benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila benih yang akan digunakan tidak tersedia di lapang, maka sebagian besar petani pengguna benih lokal dan impor akan mencari benih tersebut di tempat lain (Theresia V dkk, 2016). Harga benih yang mahal menyebabkan petani tidak mampu membeli benih yang mengakibatkan areal pengusahaan bawang merah cenderung menurun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ginting et al. (2013) yang menunjukkan bahwa koefisien harga benih juga bernilai negatif yang menandakan bahwa semakin tinggi harga benih, maka keinginan petani untuk memperluas areal tanam bawang merah semakin kecil. Provinsi Riau merupakan daerah pengembangan bawang merah khususnya Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru yang ditetapkan sebagai kawasan cabai, bawang merah dan jeruk nasional dalam Permentan No.45/Kpts/PD.200/1/2015. Provinsi Riau belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen akan bawang merah. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap bawang merah selalu didatangkan dari luar Riau seperti Pulau Jawa, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Upaya pengembangan bawang merah di Provinsi Riau telah tercatat seperti tersaji pada tabel berikut : Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Provinsi Riau tahun 2011 – 2015 Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, No
Data
1 Luas Panen (Ha) 2 Produksi (Ton) 3 Produktivitas (Ton/Ha) Keterangan : -) Data tidak tersedia
2011 -
2012 -
Tahun 2013 3 12 4
2014 14 59 4,23
2015 41 140 3,42
Menurut laporan hasil Sensus Pertanian tahun 2013 di Provinsi Riau, subsektor perkebunan terlihat mendominasi usaha pertanian. Peningkatan pertumbuhan jumlah rumah tangga usaha pertanian tertinggi antara tahun 2003 sampai tahun 2013 terjadi di subsektor perkebunan, yang mengalami pertumbuhan sebesar 32,95 persen. Sedangkan pada periode yang sama, subsektor hortikultura mengalami pertumbuhan negatif paling besar, yaitu tercatat sebesar 95,76 ribu rumah tangga (BPS, 2013). Peralihan penggunaan fungsi lahan yang terjadi menurut Kusnitarini (2006) adalah bahwa penggunaan sumberdaya lahan akan mengarah kepada penggunaan yang secara ekonomi lebih menguntungkan yaitu ke arah penggunaan yang memberikan penerimaan keuntungan ekonomi yang paling tinggi. Penggunaan lahan untuk pertanian merupakan salah satu penggunaan lahan yang mempunyai nilai land rent rendah dibandingkan dengan penggunaan untuk sektor non-pertanian. Konversi lahan rawan terjadi pada daerah yang memiliki lahan pertanian yang luas, semakin luas lahan pertanian di suatu daerah maka konversi lahan yang terjadi akan semakin besar skalanya (Ruswandi, 2005). Penilaian kesesuian lahan pada dasarnya dapat berupa pemilihan lahan yang sesuai untuk tanaman tertentu yang sesuai dengan kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dan persyaratan tumbuh tanaman yang akan dievaluasi (Sitorus, 1998).
350
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Untuk penambahan sentra produksi baru bawang merah dengan perluasan sentra produksi/agribisnis baru harus memperhatikan kesesuaian agroklimat bawang merah. Kondisi agroklimat yang cocok untuk bawang merah di dataran rendah adalah yang memiliki karakterisitik sebagai berikut (Anonim, 2007): (a) ketinggian tempat < 300m, (b) jenis tanah alluvial dan regosol, dan (c) tipe iklim (klasifikasi Oldeman dan Irsal) C3 = 5 – 6 bulan basah dan 4 – 6 bulan kering; atau D3 = 3 – 4 bulan basah dan 4 – 6 bulan kering; atau E3 = 3 bulan basah dan 4 – 6 bulan kering. Provinsi Riau merupakan wilayah yang beriklim tropis dengan suhu udara maksimum berkisar antara 34,0°C - 35,4 °C dan suhu minimum berkisar antara 19,2°C – 20,2°C. Sementara intensitas curah hujan mencapai 50 mm/hari. Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, Provinsi Riau mempunyai tipe iklim Af, sedangkan menurut Schmidt dan Ferguson tipe iklim berkisar antara A-B-C, daerah Provinsi Riau beriklim tropis basah (Anonim, 2015). Salah satu konsep yang perlu diperhatikan dalam identifikasi kesesuaian lahan yaitu kesesuaian lahan aktual (saat ini) dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual didasarkan pada kesesuaian lahan untuk penggunaan tetentu pada kondisi saat ini, sedangkan klas kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan tertentu setelah dilakukan perbaikan lahan terpenuhi (Djikerman, dkk, 1985). Secara faktual lahan bawang merah ditanami juga berbagai komoditas antara lain Bawang Merah, Cabe, Kacang Tanah secara tumpang sari, sehingga dalam setahun masih dapat diperoleh keuntungan dari total pendapatan ketiga komoditas tambahan tersebut (Anonim, 2006). Petani saat ini memiliki ciri-ciri antara lain: (i) mengusahakan lahan yang sempit, (ii) produk yang dihasilkan cenderung untuk kebutuhan pasar, dengan tujuan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, (iii) penerapan teknologi modern sudah dilakukan di dalam usahataninya, (iv) berpenghasilan ganda (tidak selalu menggantungkan sumber nafkahnya di sektor pertanian saja), (v) fungsi lahan pertanian lebih sebagai penenang ekonomi mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi satu - satunya (Shanin dalam Subali, 2005). Melihat kondisi yang ada perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keuntungan dan kelayakan pendapatan petani bawang merah di Provinsi Riau dan prospek pengembangannya dengan mengoptimalkan potensi kesesuaian sumberdaya alam, ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang tersedia. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Kampar dan Pekanbaru pada bulan November 2015. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan wawancara langsung dengan petani di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti lembaga tingkat desa hingga kecamatan, Dinas Pertanian, kantor Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi terkait lain. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui kondisi yang dialami petani dalam melakukan sistem budidaya bawang merah. Analisis kuantitatif yang dipilih adalah analisis pendapatan usahatani, dan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Ratio). Analisis kelayakan usaha digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian usaha dalam menerapkan suatu teknologi. Sebagai tolak ukur adalah nisbah penerimaan dan biaya atau R/C ratio. Apabila R/C ratio > 1, maka usaha layak secara finansial (Rahmanto, Bambang, et. al., 1988). Secara sederhana dapat ditulis : R R/C = C R = Py.Y C = FC + VC R/C = {(Py.Y) / (FC +VC)} Keterangan : R = Penerimaan C = Biaya Py = Harga output Y = Output FC = Biaya tetap (fixed cost) VC = Biaya tidak tetap (variabel cost)
351
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Pengembangan Provinsi Riau merupakan daerah dengan iklim tropika basah menurut klasifikasi Koppen dan iklim sangat basah hingga agak basah menurut Schmidt and Fergusson. Jenis lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya pertanian yaitu lahan basah dan lahan kering seluas 3,76 juta hektar sebagaimana seluas 3,40 juta hektar (90,20%) diusahakan untuk 3 tanaman perkebunan utama yaitu kelapa sawit, kelapa dan karet. Sementara pemanfaatan lahan untuk tanaman hortikultura masih sangat minim yaitu berupa lahan pekarangan atau lahan garapan yang tidak dalam satu hamparan yang luas. Provinsi Riau memiliki lahan gambut seluas 3,9 juta hektar yaitu 26% dari luas lahan gambut di Indonesia (Wahyunto et al.,2005) dengan pengelolaan yang tepat lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian khususnya tanaman hortikultura. Bawang merah di Provinsi Riau dikembangkan di 2 (dua) Kabupaten/Kota yaitu Kampar dan Pekanbaru. Semakin meningkatnya permintaan dan konsumsi bawang merah maka Pemerintah Kabupaten Kampar terutama Bupati Kampar menggagas akan menjadikan Kabupaten Kampar menjadi sentra bawang merah di Riau dan bahkan di Sumatera. Budidaya bawang merah dilakukan dengan meniru sistem budidaya yang telah diterapkan oleh petani bawang di Cirebon dan Brebes. Dukungan yang luar biasa baik dari pemerintah pusat dan daerah membuat petani hortikultura bersemangat untuk melakukan usahatani bawang merah. Bentuk dukungan tersebut antara lain dengan bantuan modal berupa paket sarana produksi, pembinaan teknis budidaya dan pendampingan penerapan teknologi dari hulu ke hilir. Distribusi bawang merah saat panen yang masih kurang baik menyebabkkan harga belum stabil. Letak geografis Provinsi Riau yang strategis sangat menguntungkan untuk pengembangan bawang merah khususnya ekspor bawang merah. Pemasaran bawang merah kebanyakan masih dujual dalam bentuk segar tidak menjamin kestabilan harga sehingga pengolahan bawang merah menjadi bentuk produk olahan juga dapat membantu meningkatkan nilai jual bawang merah.
Analisis Usaha Tani Tabel 2. Rincian biaya rata-rata usahatani bawang merah per hektar di Pekanbaru tahun 2015. Komponen Biaya a. Biaya Variabel 1. Benih 1200kg/Ha 2. Pupuk Pupuk Makro - Pupuk kandang - Dolomit -NPK - TSP -Urea -KCL - ZA Pupuk Mikro - Mg - Cu - Super K - ZPT - Ca - Br 3. Pestisida - Benomyl - Amnistar - Dalsane - Dithame - Prevator - Decis - Perekat 4. Tenaga Kerja 5. Bahan Bakar
kebutuhan (kg/hektar)
harga (Rp)
Total Jumlah
1.200
38.000
Rp45.600.000
20.000 2.000 500 150 200 200 400
270 700 10.000 8.000 5.000 10.000 10.000
Rp5.400.000 Rp1.400.000 Rp5.000.000 Rp1.200.000 Rp1.000.000 Rp2.000.000 Rp4.000.000
2 pcs 2 pcs 2 pcs 2 pcs 2 pcs 2 pcs
100.000 100.000 100.000 80.000 100.000 100.000
Rp200.000 Rp200.000 Rp200.000 Rp160.000 Rp200.000 Rp200.000
4 pcs 4 pcs
50.000 50.000
Rp200.000 Rp200.000
4 pcs 4 pcs 4 pcs 4 pcs 3 pcs 6 x 60 HOK 200 liter
50.000 50.000 50.000 50.000 25.000 60.000 8.000
Rp200.000 Rp200.000 Rp200.000 Rp200.000 Rp75.000 Rp21.600.000 Rp1.600.000
352
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
b.Biaya Tetap sewa lahan per hektar Total Biaya Total Penerimaan = 8.400 kg x Rp 30.000 Analisis Kelayakan (R/C )
Rp3.000.000 Rp94.235.000 Rp252.000.000
= Rp 252.000.000 / Rp 94.235.000 = 2,67
Sumber : Data Primer (2015)
Pada análisis usahatani terlihat bahwa biaya terbesar dalam budidaya bawang merah adalah benih dan tenaga kerja. Harga benih yang tinggi dipengaruhi oleh jarak yang jauh dari sentra benih menyebabkan tingginya biaya pengiriman benih. Selain itu ada resiko kerusakan benih selama di perjalanan. Pengembangan bawang merah selain untuk konsumsi, usahatani perbenihan bawang merah juga sangat layak dilirik sebagai bisnis yang menjanjikan. Pada kondisi panen optimal dan harga tinggi diperoleh R/C 2,67. Hasil ini menunjukkan bahwa usahatani bawang merah ini sangat layak secara finansial. Dengan skenario bahwa saat panen produktivitas adalah 7 ton/Ha dengan harga jual Rp. 20.000,- /Kg maka R/C adalah 1,48. Dengan R/C > 1 maka usahatani bawang merah juga masih menguntungkan meskipun harga mencapai harga terendah di Provinsi Riau. Dengan pengelolaan lahan dan penerapan teknologi budidaya bawang merah yang tepat dapat memenuhi kebutuhan bawang merah di Provinsi Riau bahkan untuk skala nasional. Apabila Provinsi Riau telah menjadi sentra bawang di pulau Sumatera maka bawang merah akan menjadi sumber devisa dengan ekspor ke negara-negara ASEAN. KESIMPULAN Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan bersih petani bawang per musim panen sebesar Rp.252.000.000,00/ha dengan kisaran R/C ratio adalah 1,48 sampai 2,67, sehingga usaha bawang merah menguntungkan dan layak diusahakan. Dari trend linear menunjukkan bahwa pengembangan agribisnis bawang merah di Provinsi Riau sangat prospektif berdasarkan data luas panen, produksi, produktivitas dan konsumsi bawang merah per kapita dalam rumah tangga setahun dalam 5 (lima) tahun terakhir terus mengalami peningkatan searah kenaikan garis trend. Aspek-aspek yang mendukung prospek pengembangan bawang merah di Provinsi Riau antara lain ketersediaan lahan yang sesuai untuk komoditas bawang merah, kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan bawang merah dan peluang pasar. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kepada Kepala BPTP Riau dan Tim PKAH BPTP Riau. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006, Road Map Pascapanen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Bawang Merah, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian Anonim, 2007, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian Anonim, 2015, https://www.riau.go.id/home/bankdatafile/laporan-kinerja-instansi-pemerintahprovinsi-riau.pdf , visited 16 September 2016 [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2013, Laporan Hasil Sensus Pertanian Tahun 2013 Djikerman, J. C dan D. W, Dianingsih. 1985. Evaluasi Lahan. Unibraw Pres. Malang Ginting, M., T. Sebayang, dan Iskandarini. 2013. Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Petani terhadap Luas Tanam Bawang Merah Berdasarkan Pendapatan Petani di Kabupaten Dairi. Universitas Sumatera Utara. Kumar, K. P. Sampath, Debjit Bhowmik, Chiranjib, Biswajit, and Pankaj Tiwari. 2010. Allium cepa: A tradisional medicinal herb and its health benefits. J. Chem. Pharm. Res., 2(1): 283291 Kusnitarini Y., 2006, Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IPB Bogor. Rahmanto, B dan Made Oka Adnyana. 1988. Potensi SUTPA dalam Meningkatkan Kemampuan Daya Saing Komoditas Pangan di Jawa Tengah. Prosiding Ekonomi Pedesaan dan
353
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian.Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Ruswandi A, Rustiadi E, Mudikdjo K. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Dinamika Perubahan Penguasaan Lahan di Kawasan Bandung Utara. IPB Bogor Sitorus, S. 1998. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Tasito. Bandung. Subali, A. 2005. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumah Tangga Petani. [Skripsi].Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera, 1990 –2002. Wetlands International-Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). Theresia, V dkk., Analisis Persepsi Petani Terhadap Penggunaan Benih Bawang Merah Lokal dan Impor di Kabupaten Cirebon, Jawa BaratJurnal Penyuluhan, Maret 2016 Vol. 12 No. 1
354
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
EFEKTIVITAS URIN KELINCI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PAKCOY SERTA SELADA PADA BUDIDAYA DALAM POT EFFECTIVENESS OF RABBIT URINE ON GROWTH AND YIELD OF CHINESE CABBAGE AND LETTUCE ON CULTIVATION IN POTS Ikrarwati, Yudi Sastro dan Susi Sutardi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jl. Ragunan Raya no. 30 Pasar Minggu, Jakarta Selatan Email :
[email protected] ABSTRAK Urin kelinci merupakan limbah yang potensial dimanfaatkan sebagai pupuk karena ternak kelinci prospektif dikembangkan di Jakarta. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian urin kelinci terhadap pertumbuhan serta hasil tanaman pakcoy dan selada pada budidaya dalam pot. Penelitian dilakukan di wilayah kerja BPTP Jakarta pada Januari-Maret 2016. Penelitian terdiri atas 2 tahap, 1) Penentuan dosis dan intensitas pemberian urin kelinci pada tanaman pakcoy dan selada, 2) Pengujian pembanding dengan teknologi eksisting petani. Tahap 1 dirancang menggunakan rancangan faktorial tiga faktor. Faktor pertama merupakan tehnik penyediaan urin kelinci yaitu dengan fermentasi dan tanpa fermentasi, faktor kedua yaitu empat taraf dosis pemberian yaitu 0%, 20%, 40% dan 60%, faktor ketiga berupa dua taraf intensitas aplikasi yaitu 1 kali/minggu dan 2 kali/minggu. Penelitian tahap 2 disusun menggunakan rancangan acak kelompok. Perlakuan penelitian terdiri atas i) pemupukan urin kelinci berdasar hasil terbaik dari tahap 1, ii) pemupukan NPK, dan iii) kontrol. Penelitian tahap 1 menunjukkan perlakuan TF60%1x memberikan hasil terbaik dengan tiggi tanaman 15,2cm; jumlah daun 6,4; berat segar 37g; dan berat kering 3,6g untuk selada dan tiggi tanaman 14,9 cm; jumlah daun 9,1; berat segar 62,4g; dan berat kering 6,2g untuk pakchoy. Penelitian tahap 2 menunjukkan pertumbuhan selada dengan aplikasi urin kelinci (tinggi tanaman 15,2 cm, jumlah daun 6,4, berat segar 37g, berat kering 3,6g) sama baik dengan aplikasi NPK (tinggi tanaman 16,1cm, jumlah daun 6,5, berat segar 39,5g, berat kering 4g). Hasil pakchoy dengan aplikasi urin kelinci (berat segar 62,4g; berat kering 6,2g) lebih baik dibanding penggunaan NPK (berat segar 54,5g; berat kering 5,7g). Kata kunci: dosis, pakcoy, selada, urin kelinci ABSTRACT Rabbit urine is a potential waste for fertilizer because rabbit is a prospective cattle to developed in Jakarta. This study aimed to determine the effect of rabbit urine application on the growth and yield of chinese cabbage and lettuce on cultivation in pots. The study was conducted at BPTP Jakarta in January-March, 2016. The study consisted of two stages, i.e. 1) Determination of the fermentation, dose and intensity of rabbit urine on chinese cabbage and lettuce plants, 2) Studycomparison with existing technology by farmers. Phase 1 was designed using a three-factor factorial design with five replications. The first factor was the technical provision of rabbit urine which are fermented and unfermented, the second factor was four levels of rabbits urine dose were 0%, 20%, 40% and 60%, the third factor was the level intensity of application i.e. 1 times/week and 2 times/week. Phase 2 was designed using a randomized block design. Treatment consisted of i) fertilizing rabbit urine based on the best results of phase 1, ii) NPK fertilization, and iii) control (without fertilizer). The results of phase 1 showed TF60%1x gave the best results with 15,2cm plant height; 6.4 number of leaves; 37g fresh weight; and the dry weight 3,6g to plant lettuce and 14.9 cm plant height; 9.1 number of leaves; fresh weight 62,4g; and the dry weight 6,2g to chinese cabbage. Research phase 2 shows the growth of lettuce with rabbit urine application (15.2 cm plant height, leaf number 6.4, 37g fresh weight, dry weight 3,6g) equally well with NPK application (16,1cm plant height, leaf number 6, 5, 39,5g fresh weight, dry weight 4g). The yield of chinese cabbage with rabbit urine application (fresh weight 62,4g; dry weight 6,2g) was better than NPK (fresh weight 54,5g; dry weight 5,7g). Keywords: chinese cabbage, dose, lettuce, rabbit urine
355
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Budidaya pertanian di Jakarta sebagai Ibukota Negara masih terus berlangsung dengan karakteristik pertanian perkotaan yaitu penerapanmetode produksi intensif, menggunakan danmemanfaatkan kembalisumber daya alamdanlimbahperkotaanuntuk menghasilkanberbagai macamtanaman (FAO, 2009). Tanaman hortikultura seperti sayuran daun pakcoy dan selada merupakan komoditas yang banyak ditanam baik untuk tujuan ekonomis maupun dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga sendiri dengan pemanfaatan pekarangan dan lahan yang terbatas. Pengembangan budidaya sayuran di Jakarta juga perlu didukung oleh ketersediaan sarana produksi, diantaranya adalah ketersediaan pupuk. Pupuk memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman untuk dapat berproduksi dengan optimal. Penggunaan pupuk kimia yang terus menerus telah mengakibatkan dampak negatif bagi tanah dan lingkungan berupa rusaknya struktur fisik serta fungsi biologi tanah (Hong, 1991; Karama et al., 1991). Terkait dengan pertanian perkotaan yang memanfaatkan limbah perkotaan, maka kotoran kelinci memiliki potensi sebagai sumber pupuk organik dalam budidaya sayuran. Ternak kelinci menghasilkan feses sebanyak 100 – 300 g/ekor/hari (Sadjimin et al., 20016) dan urin sebanyak 50-65 ml/ekor/hari (Bahar et al., 2014) Kotoran kelinci baik padat (feces) maupun cair (urin) dikenal sebagai sumber pupuk organik yang potensial untuk tanaman. Sementara itu, ternak kelinci merupakan ternak yang potensial untuk dikembangkan di DKI Jakarta berkenaan dengan Perda yang melarang pemeliharaan dan pengembangan unggas di wiayah Provinsi Jakarta serta keterbatasan lahan untuk mengembangkan ternak ruminansia besar seperti sapi dan kambing. Saat ini, terdapat sedikitnya 11 peternak kelinci di DKI Jakarta dengan jumlah kepemilikan 5-30 ekor (Bahar, 2014) dan terus bertambah dengan adanya kegiatan “Bioindustri” di kawasan Marunda - Jakarta Utara dan Pekayon – Jakarta Timur. Oleh karena itu penelitian terkait pemanfaatan limbah kelinci sebagai sumber hara dalam teknis budidaya pertanian perkotaan yang berlahan sempit penting untuk dilakukan. Urin kelinci merupakan limbah kelinci yang paling banyak diperoleh daripada kotoran kelinci. Penelitian tentang pemanfaatan urin kelinci terhadap beberapa komoditas telah dilakukan diantaranya Oikeh dan Asiegbu (2003) yang meneliti pemupukan dengan menggunakan lumpur kotoran atau pupuk kandang kelinci sebesar 20 ton/ha pada tanaman tomat memberikan hasil yang terbaik yaitu 42-47 ton/ha. Djafar et al. (2003) melaporkan aplikasi 60ml/L urin kelinci yang dikombinasikan dengan guano meningkatkan produktifitas tanaman sawi. Sementara itu, aplikasi urin kelinci pada tanaman tomat dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tetapi tidak nyata meningkatkan produksi buah tomat (Nugraheni et.al., 2011). Namun, penelitian yang komprehensif terkait teknis pemanfaatan urin kelinci pada budidaya sayuran dalam pot sebagai bentuk teknis pertanian perkotaan belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pengelolaan urin dengan fermentasi, dosis/takaran dan intensitas pemberian urin kelinci terhadap pertumbuhan serta hasil tanaman pakcoy dan selada pada teknis budidaya dalam pot.
METODOLOGI Penelitian dilakukan di rumah kassa BPTP Jakarta dan kelompok tani Mahoni, MarundaJakarta Utara pada Januari sampai dengan April 2016. Penelitian terdiri atas 2 tahap yaitu 1) Penentuan tehnik penyediaan urin kelinci, dosis dan intensitas pemberian urin kelinci terbaik untuk tanaman pakcoy dan selada, 2) Pengujian pembanding dengan teknologi eksisting petani. Komposisi hara urin kelinci yang digunakan dalam penelitian ini mengandung C-organik 0,32%; N 0,60%; P2O5 18%; K2O 0,12%; Na 0,04%; Ca 37 ppm; Mg 0,01%; Fe 1,1 ppm; Mn 0,2 ppm; Cu 1,2 ppm; Pb 0,2 ppm; Cd 0,05 ppm; Co 0,5 ppm; Mo 0,05 ppm; Se 0,1 ppm; sedangkan S, Zn, Al, B, Cr, Ni, As, Hg tidak terdeteksi.
Pengujian Pengaruh Fermentasi, Dosis dan Intensitas Pemberian Urin Kelinci Penelitian tahap 1 dirancang menggunakan rancangan faktorial tiga faktor 2 x 3 x 2 dengan lima ulangan. Faktor pertama merupakan tehnik penyedian urin kelinci yaitu dengan fermentasi (F) dan tanpa fermentasi (TF), faktor kedua yaitu empat taraf dosis pemberian urin kelinci yaitu 0%, 20%, 40% dan 60%, faktor ketiga berupa dua taraf intensitas aplikasi yaitu 1 kali/minggu dan 2 kali/minggu. Fermentasi urin dilakukan secara anaerob dengan penambahan EM4 dan molase 10%, difermentasi selama 30 hari. Perlakuan urin tanpa fermentasi dilakuakan dengan menampung urin pada wadah tertutup rapat dan disimpan selama 30 hari tanpa penambahan bahan apapun.
356
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Aplikasi pemupukan dilakukan dengan mencampur urin kelici dan air sesuai dosis 20%, 40% dan 60%. Diaplikasikan sebanyak 200 ml per pot tanam.
Pengujian Pembanding Dengan Teknologi Eksisting Petani Penelitian tahap 2 disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan penelitian terdiri atas 1) pemupukan urin kelinci berdasar hasil terbaik dari tahap 1; 2) pemupukan NPK, dan iii) kontrol (tanpa pemupukan). Aplikasi NPK pada tanaman selada dan pakchoy dilakukan 2 kali, saat sebelum tanam sebanyak 3 g/pot dan setelah 14 hari sebanyak 2 g/pot (modifikasi Susila, 2006)
Pengamatan dan Analisa Data Peubah pertumbuhan dan hasil tanaman yang diamati pada komoditas selada dan pakcoy meliputi tinggi tanaman setiap minggu, jumlah daun setiap minggu, berat segar panen dan berat kering. Berat kering diukur setelah sampel dioven pada suhu 600C selama tiga hari. Data yang diperoleh dianalisa sidik ragam, hasil yang menunjukkan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian pengaruh fermentasi, dosis dan intensitas pemberian urin kelinci Interaksi antara perlakuan fermentasi urin kelinci, takaran pemberian dan intensitas aplikasi pemupukan urin kelinci berpengaruh nyata terhadap variabel pertumbuhan serta hasil tanaman selada dan pakcoy (tabel 1 dan 2). Perlakuan TF 60% 1x memberikan hasil yang terbaik pada komoditas selada dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan TF 60% 2x, TF 40% 2x dan TF 20% 2x. Sementara itu, semua interaksi dengan perlakuan F (urin yang difermentasi) memberikan hasil yang terendah baik pada komponen pertumbuhan maupun hasil. Bahkan interaksi perlakuan F dengan konsentrasi urin 60% menyebabkan kematian pada tanaman selada (tabel 1). Hasil pengujian pada tanaman pakcoy (tabel 2) menunjukkan TF 60% 1x dan TF 60% 2x memberikan hasil yang terbaik dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain (tabel 2). Sejalan dengan pengujian pada komoditas selada, semua interaksi dengan perlakuan F memberi hasil terendah pada semua variable pengamatan tetapi tidak sampai terjadi kematian tanaman seperti pada selada. Proses fermentasi urin kelinci memanfaatkan EM4 dan dilakukan secara anaerob. EM4 merupakan bioaktivator yang mengandung banyak sekali ikroorganisme pemecah bahan-bahan organik. Mikroorganisme dapat meningkatkan penyerapan unsur hara,karena mikroorganisme dapat meningkatkan penyerapan karbohidrat dan beberapa unsure lainnya (Margaretha dan Itang 2008). Dalam urin kelinci terdapat bahan-bahan organik seperti nitrogen, posfor dan kalium yang dibutuhkan tanaman. Namun tidak dapat langsung diserap oleh tanaman karena masih dalam bentuk senyawa yang perlu dipecah menjadi bentuk ion-ion yang mudah diserap tanaman. Dengan adanya fermentasi zat-zat tersebut dapat diserap dengan mudah oleh tanaman. Akan tetapi, pada penelitian ini urin yang difermentasi justru menyebabkan gangguan pada pertumbuhan tanaman. Hal ini diduga karena N yang terdapat pada urin kelinci dalam bentuk NH4+ dan NO3- pada proses fermentasi dirubah menjadi NO3 dan NO2 yang mudah lepas ke udara atau sumber N pada urin kelinci dimanfaatkan juga oleh mikroba karena carbon dan nitrogen merupakan sumber makanan utama bagi bakteri anaerob. Carbon dibutuhkan untuk mensuplai energi dan nitrogen yang dibutuhkan untuk membentuk struktur sel bakteri (Aelita et.al., 2013). Penelitian Makiyah et.al. (2015) menunjukkan proses fermetasi pada ampas tahu mengalami penurunan kandungan N, P dan K sejalan dengan lamanya waktu fermentasi.
357
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Respons tanaman selada terhadap pupuk urin kelinci Perlakuan 1
Tinggi tanaman (cm) minggu ke2 3
4
Berat segar (g)
Jumlah daun minggu ke4
1
2
3
Berat kering (g)
TF 60 % 1x 2.3 ab
5.4 abc
9.9 ab
15.2 a
2.6 ab 4.1 a
5.6 a
6.4 a
37.0 a
3.6 a
TF 60% 2x 2.1 ab
5.3 abc
9.8 ab
14.3 a
2.8 a
5.3 ab
6.4 a
31.3 ab
3.0 abc
TF 40 % 1x 1.8 b
4.5 c
8.2 b
12.2 b
2.6 ab 3.9 ab 5.1 ab
5.5 ab
25.6 bc
2.5 bc
TF 40 % 2x 2.3 ab
6.0 ab
10.8 a
15.8 a
2.7 a
4.1 a
5.3 ab
6.2 a
35.9 a
3.3 ab
TF 20 % 1x 2.0 b
4.8 ab
8.2 b
11.2 b
2.4 ab 4.2 a
5.0 ab
5.4 ab
18.9 c
2.2 c
TF 20 % 2x 2.6 a
6.4 a
10.4 a
14.3 a
2.8 a
4.2 a
5.1 abc
5.5 ab
32.7ab
3.3 ab
F 60 % 1x
0.8 c
2.1 de
1.6 de
Mati e
1.6 c
2.1 c
1.6 f
Mati d
Mati d
Mati d
F 60 % 2x
1.3 c
0.8 e
0.5 e
Mati e
2.2 bc 0.8 d
0.6 f
Mati d
Mati d
Mati d
F 40 % 1x
1.3 c
3.2 d
4.6 c
6.5 c
2.0 bc 3.7 ab 4.3 bcd
4.9 b
3.7 d
0.5 d
F 40 % 2x
1.1 c
2.3 d
2.9 cd
3.6 d
1.9 bc 3.0 bc 3.2 e
3.0 c
0.8 d
0.1 d
F 20 % 1x
1.1 c
2.7 d
4.0 c
5.2 cd
1.6 c
4.0 c
2.6 d
0.4 d
4.1 a
2.9 bc 3.9 cde
F 20 % 2x 1.2 c 2.5 d 3.0 cd 3.5 d 1.7 c 2.9 bc 3.5 de 3.2 c 0.9 d 0.2 d Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%
Tabel 2. Respons tanaman pakcoy terhadap pupuk urin kelinci Perlakuan
3
4
Berat segar (g)
6.5 a
7.5 a
9.1 a
62.4 a
6.2 ab
6.2 ab
6.1 bc
8.6 a
71.2 a
6.7 a
3.1 ab
5.8 bc
6.6 ab
7.8 abc
47.6 b
5.4 bc
13.1 b
3.6 a
6.4 ab
5.9 bcd
8.0 ab
46.1 b
4.7 2c
10.2 b
10.6 cd
3.0 abc 5.4 c
5.2 bcd
6.7 bcd
19.9 c
2.9 d
10.8 b
11.1 c
3.5 a
5.9 bc
4.9 cd
6.6 bcde
29.9 c
3.7 d
5.2 e
7.8 c
9.0 de
2.4 cd
4.1 d
6.1 bc
6.8 bcd
7.43 d
0.9 e
2.4 c
4.9 e
6.8 cd
6.5 fg
2.6 bcd 3.9 de
4.67 cd
5.0 fg
3.74 d
0.4 e
1.8 c
5.4 e
8.2 c
8.8 e
1.6 e
3.9 d
6.0 bc
6.43cdef
8.14d
1.10e
2.0 c
4.9 e
6.5 cd
6.8 f
2.6 bcd 3.9 de
5.0 cd
5.71def
4.96d
0.82e
Tinggi tanaman (cm) minggu ke-
Jumlah daun minggu ke-
1
2
3
4
1
2
TF 60 % 1x
5.7 a
11.0 a
13.4 a
14.9 a
3.6 a
TF 60% 2x
4.9 ab
10.8 ab
13.2 a
14.8 a
3.4 a
TF 40 % 1x
4.8 ab
9.7 bc
13.0 a
13.2 b
TF 40 % 2x
5.2 ab
10.6 ab
13.0 a
TF 20 % 1x
4.4 b
7.9 d
TF 20 % 2x
4.9 ab
9.4 c
F 60 % 1x
2.0 c
F 60 % 2x F 40 % 1x F 40 % 2x
Berat kering (g)
F 20 % 1x
1.7 c 4.7 e 7.0 c 7.7 ef 1.7 e 3.8 de 4.9 cd 5.12efg 5.39d 0.78e F 20 % 2x 2.1 c 4.3 e 5.1 d 5.2 g 2.2 de 3.36 e 4.5 d 4.10g 2.42d 0.50e Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%.
Pengaruh faktor tunggal menunjukkan urin tanpa fermentasi dan dosis 60% secara signifikan memberikan hasil lebih baik pada pertumbuhan serta hasil pakcoy dan selada sedangkan perlakuan intensitas aplikasi tidak memberi pengaruh yang signifikan (Tabel 3 dan 4). Urin kelinci tanpa perlakuan fermentasi menghasilkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen yang signifikan lebih tinggi pada tanaman selada. Hal ini menunjukkan dalam pengelolaan urin kelinci untuk diaplikasikan sebagai pupuk pada sayuran selada tidak perlu difermentasi, karena dengan disimpan secara alami memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini diduga karena selama proses fermentasi kandungan N dalam urin kelinci banyak yang lepas dari Faktor konsentrasi menunjukkan pemberian 60% urin kelinci menghasilkan pengaruh terbaik pada variabel hasil yaitu berat segar dan berat kering. Pada variabel jumlah daun, semua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata, sedangkan pada variabel tinggi tanaman terjadi hal yang menarik, yaitu pada minggu 2 dan 3 perlakuan urin 60% signifikan memberikan hasil yang lebih
358
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
rendah dari perlakuan yang lain tetapi pada minggu ke-4 perlakuan urin 60% secara signifikan memberikan hasil yang terbaik. Intensitas pemberian 1 kali/minggu ataupun 2 kali/minggu tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada semua variabel pengamatan baik pertumbuhan maupun hasil. Sehingga untuk efisiensi, maka aplikasi pemupukan dilakukan 1 kali/minggu. Tabel 3. Respons tanaman selada terhadap faktor tunggal perlakuan fermentasi, konsentrasi dan intensitas pemupukan. Perlakuan Faktor tunggal
Tinggi tanaman (cm) minggu ke1 2 3 4
Jumlah daun minggu ke1 2 3 4
Berat segar (g)
Berat kering (g)
Faktor 1 Tanpa fermentasi
2.2 a
13.8 a
2.6 a
4.1 a
5.2 a
5.9 a
30.3 a
3.0 a
Fermentasi
1.1 b 2.3 b 2.8 b
5.4 a 9.5 a
4.8 b
1.8 b
2.5 b
2.9 b
3.8 b
2.0 b
0.29 b
Konsentrasi 60%
1.6
3.4 b 5.4 b
14.7 a
2.3
2.8
3.3
6.4
34.4 a
3.3 a
Konsentrasi 40%
1.6
4.0 a 6.6 a
9.5
2.3
3.7
4.5
4.9
16.5
1.6 b
Konsentrasi 20%
1.7
4.1 a 6.4 ab
8.5
2.1
3.6
4.4
4.5
13.8
1.5 b
1.5
3.8
10.06
2.12
3.47
4.24
5.26
17.56
1.83
Faktor 2
Faktor 3 Intensitas 1x/mgg
6.1
Intensitas 2x/mgg 1.8 3.9 6.2 10.27 2.36 3.19 3.83 4.84 20.41 1.98 Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%.
Hasil yang sejalan ditunjukkan pada komoditas pakcoy. Urin kelinci yang tidak difermentasi secara signifikan memberi hasil terbaik pada semua variable pengamatan. Sementara itu, perlakuan konsentrasi memberi pengaruh berbeda nyata pada semua variable pengamatan. Konsentrasi 60% memberikan hasil yang terbaik, diikuti konsntrasi 40% dan 20%. Perlakuan intensitas berpengaruh nyata terhadap variable tinggi tanaman dan jumlah daun, intensitas pemupukan 2x per minggu menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi pada pakcoy, tetapi tidak berbeda nyata terhadap variabel komponen hasil. Tabel 4. Respons tanaman pakcoy terhadap faktor tunggal perlakuan fermentasi, konsentrasi dan intensitas pemupukan. Perlakuan
Tinggi tanaman (cm) minggu ke1 2 3 4
Jumlah daun minggu ke1 2 3 4
Faktor 1 Tanpa fermentasi 5.0 a 9.9 a 12.3 a 12.9 a 3.4 a Fermentasi 2.0 b 4.9 b 6.9 b 7.3 b 2.2 b Faktor 2 Konsentrasi 60% 3.8 8.0 a 10.3 a 11.3 a 3.0 a Konsentrasi 40% 3.5 7.6 a 10.2 a 10.5 b 2.7 ab Konsentrasi 20% 3.3 6.6 b 8.3 b 8.6 c 2.6 b Faktor 3 Intensitas 1x/mgg 3.4 7.3 9.9 a 10.7 a 2.6 a Intensitas 2x/mgg 3.6 7.5 9.2 b 9.6 b 3.0 b Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%
359
Berat segar (g)
Berat kering (g)
6.0 a 3.8 b
6.0 a 5.2 b
7.8 a 5.5 b
46.2 a 5.3 b
4.9 a 0.8 b
5.2 a 5.0 a 4.6 b
6.1 a 5.9 a 4.9 b
7.4 a 7.0 a 5.6 b
36.2 a 26.7 b 14.4 c
3.6 a 3.0 b 2.0 c
4.9 6.0 a 7.0 a 25.1 2.9 4.9 5.2 b 6.3 b 26.4 2.8 huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pengujian pembanding dengan teknologi eksisting petani Berdasar pengujian pengaruh fermentasi, dosis dan intensitas pemberian urin kelinci pada tahap sebelumnya, kombinasi perlakuan aplikasi urin kelinci yang memberi hasil terbaik adalah TF60%1x. Perlakuan tersebut kemudian diujikan di tingkat petani dengan teknologi pemupukan eksisting petani sebagai pembanding dan juga tanpa pemupukan sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan aplikasi urin kelinci TF 60% 1x memberi hasil tidak berbeda nyata dibanding NPK pada pertumbuhan dan hasil selada maupun pakcoy. Sementara itu, perlakuan urin kelinci dan NPK signifikan memberi hasil lebih tinggi dibanding kontrol (Tabel 5). Hal ini menunjukkan pemanfaatan urin kelinci dapat menggantikan penggunaan NPK pada budidaya selada dan pakcoy. Urin kelinci memiliki kandungan hara N 2,0%; P2O5 1,3%; dan K2O 1,2% (Jerry Purser, 2013); N 2,62%, P2,46%, K 1,86%. Sementara itu penelitian Ikrarwati et al., (2016) menunjukkan hasil analisa urin kelinci menunjukkkan kandugan N 0,6%; P 2O5 18 ppm dan K2O 0,12% (Ikrarwati et al. 2016). Kandungan hara yang terdapat pada urin kelinci terbukti cukup untuk memenuhi kebutuhan hara utuk pertumbuhan selada dan pakcoy. Tabel 5. Respon pertumbuhan dan hasil tanaman selada dan pakcoy terhadap pemberian pupuk urin kelinci dan NPK Perlakuan
Tinggi tanaman (cm) minggu ke1
2
Jumlah daun minggu ke-
3
4
1
2
3
4
Berat segar (g)
Berat kering (g)
SELADA TF 60 % 1x
2.3
5.4 a
9.9 a
15.2 a
2.6
4.1
5.6 a
6.4 a
37.0 a
3.6 a
NPK
2.2
5.9 a
11.0 a
16.1 a
2.6
4.2
5.5 a
6.5 a
39.5 a
4.0 a
kontrol
1.8
3.9 b
5.7 b
7.6 b
2.3
3.6
4.2 b
4.0 b
7.4 b
0.9 b
PAKCOY TF 60 % 1x
5.7 a
11.0 a
13.4 a
14.9 a 3.6 a
6.5 a
7.5 a
9.1a
62.4 a
6.2 a
NPK
3.1 b
8.3 b
13.2 a
15.6 a 2.4 b
4.9 b
7.6 a
9.3a
54.5 a
5.7 a
kontrol 2.8 b 5.2 c 6.1 b 5.9 b 2.9 ab 3.9 c 4.5 b 4.5b 3.9 b 0.7 b Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemupukan urin kelinci dengan dosis 60% dan intensitas aplikasi satu kali perminggu pada tanaman pakcoy dan selada dapat memberikan hasil yang sama dengan pemupukan NPK. Pemanfaatan limbah kelinci dalam bentuk urin untuk budidaya pakcoy dan selada dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, serta mengurangi permasalahan limbah yang muncul dari peternakan kelinci. Selain itu, pemanfaatan urin kelinci sebagai pupuk pada tanaman sayuran daun memiliki potensi mudah diadaptasikan karena prosesnya yang sederhana dan mudah untuk diaplikasikan. KESIMPULAN Secara keseluruhan, hasil penelitian mennunjukkan aplikasi urin kelinci tanpa fermentasi dengan dosis 60% dan diaplikasikan satu kali perminggu, dapat menggantikan penggunaan NPK pada tanaman selada dan pakcoy. Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan perlakuan yang memberi hasil terbaik pada pertumbuhan selada dan pakcoy adalah urin tanpa fermentasi dosis 60% aplikasi 1x/minggu (TF60%1x) dengan tiggi tanaman 15,2 cm; jumlah daun 6,4; berat segar 37 g; dan berat kering 3,6 g untuk tanaman selada dan tiggi tanaman 14,9 cm; jumlah daun 9,1; berat segar 62,4 g; dan berat kering 6,2 g untuk tanaman pakchoy. Pengaruh faktor tunggal menunjukkan urin tanpa fermentasi dan dosis 60% memberikan hasil yang terbaik, sedangkan perlakuan intensitas aplikasi tidak berpengaruh pada komoditas selada tetapi berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan pakcoy. Penelitian tahap 2 menunjukkan pertumbuhan dan hasil tanaman selada dengan aplikasi urin kelinci (tinggi tanaman 15,2 cm, jumlah daun 6,4, berat segar 37 g, berat kering 3,6 g) sama baik dengan aplikasi NPK (tinggi tanaman 16,1cm, jumlah daun 6,5, berat segar 39,5 g, berat kering 4g).
360
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Hasil tanaman pakchoy dengan aplikasi urin kelinci (berat segar 62,4 g; berat kering 6,2 g) lebih baik dibanding penggunaan NPK (berat segar 54,5 g; berat kering 5,7 g) UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, Badan Litbang Pertanian, yang telah mendanai penelitian ini melalui DIPA anggaran BPTP Jakarta. Terima kasih juga disampaikan kepada tim pengkaji dan Kelompok Tani Mahoni yang telah melakukan penelitian ini secara bersama. DAFTAR PUSTAKA Aelita, A. Dharma dan B. Arifin. 2013. Fermentassi Anaerobic Limbah Kulit Singkong dan Kotoran Kelinci Untuk Produkssi Biogas. Jurnal Kimia Unand. Vol 2(2). Bahar, S., B. Bakrie, U. Sente, D. Andayani, dan B.V. Lotulung. 2014. Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kelinci di Wilayah Perkotaan DKI Jakarta. Buletin Pertanian Perkotaan. Vol. 4 (2). Djafar, T. A., A. Barus dan Syukri. 2013. Respon Pertumbuhan dan Produksi Sawi ( Brassica juncea l ) Terhadap Pemberian Urine Kelinci Dan Pupuk Guano. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.3. FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations). 2009. "Urban and Peri-urban Agriculture, Household Food Security and Nutrition" Ikrarwati, Y. Sastro, C.S. Ammatillah, N.A. Rokhmah, S. Sutardi, L. Hakim, K. Mayasari. 2016. Kajian Budidaya Sayuran Dengan Pemanfaatan Urin dan Feses Kelinci Sebagai Pupuk dan Media Tanam. Laporan Tahunan Balai Penggkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Jerry Purser. 2013. Animal Manure As Fertilizer. Extension Agriculture Resource Management Agent. www.uaf.edu/ces. Hong, G.B. 1991. Syarat Tanah Untuk Pemupukan Efektif. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua. Puslittanak. Bogor. Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I. Manwan. 1991. Penggunaan Pupuk Organik Pada Tanaman Pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua. Puslittanak. Bogor. Makiyah, M., W. Sunarto, dan A.T. Prasetya. 2015. Analisis Kadar NPK Pupuk Cair Limbah Tahu dengan Penambahan Tanaman Thitonia diversivolia. Indonesian Journal of Chemical Science. Margaretha dan A.N. Itang.2008. Optimasi Penambahan Unsure Hara NPK Pada Limbah Biogas Dan Kompos Kambing Sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Organik Granul Denngan Menggunakan Program Linear. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol 13 (1): 27-33 Nugraheni E.D. dan Paiman. 2011. Pengaruh Konsentrasi dan Frekuensi Pemberian Pupuk Urin Kelinci Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat (Lycopersicum esculentum Mill). Oikeh S. O. dan J. E. Asiegbu, 2003. Pertumbuhan Dan Tanggapan Hasil Tanaman Tomat Terhadap Sumber-Sumber Dan Tingkat Pupuk Organik Di Tanah Ferralitic. Universitas Nigeria : hal 21-25. Diakses, 27 Juni 2010. Samkol dan Lukefarh, 2008. Produksi Peran Pupuk Organik Kelinci Menuju Penanggulangan Kemiskinan di Asia Timus Selatan. Pusat Peternakan dan Pengembangan Pertanian, Kamboja. Diakses, 21 Jaanuari 2016. Sajimin, Y. C. Rahardjo dan N.D. Purwantari. 2006. Potensi Kotoran Kelinci Sebagai Pupuk Organik Dan Pemanfaatannya Pada Tanaman Pakan Dan Sayuran. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci. Bogor. Hal. 156-161. Susila, D. A. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Agroforestry and Sustainable Vegetable Production in Southeast Asian. Wathershed Project SANREM-CRSP – USAID.
361
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
KERAGAMAN GENETIK DAN EVALUASI PLASMA NUTFAH JAMBU BIJI (Psidium guajava L) GENETIC DIVERSITY AND EVALUATION OF GUAVA (Psidium guajava L.) GERMPLASM Sri Hadiati dan Kuswandi Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jl Raya Solok-Aripan km 8 Solok, Sumatera Barat 20137, HP.085375084114 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Jambu biji merupakan tanaman yang menyerbuk silang, sehingga memiliki keragaman yang tinggi. Tujuan penelitian untuk mengetahui keragaman genetik, pengelompokan aksesi serta mengevaluasi aksesi-aksesi potensial sebagai materi pemuliaan dalam rangka mendapatkan varietas unggul baru. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Aripan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika dari tahun 2013 sampai tahun 2014. Karakterisasidilakukan terhadap 11 aksesi jambu biji.Sebanyak 22 karakter (12 kuantitatif dan 10 kualitatif) diamati untuk mengetahui keragamannya. Setiap aksesi dikarakter sebanyak 10 daun dan 5-10 buah yang mengacu pada minimum descriptor yang diterbitkan oleh UPOV. Data karakter kuantitatif dianalisis secara statistik. Pengelompokan menggunakan metode average linkage dalam paket cluster di perangkat lunak R versi 3.0.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik yang tinggi baik pada karakter kuantitatif maupun kualitatif yang diamati. Karakter kuantitatif yang mempunyai keragaman tinggi (KK > 30%) yaitu tebal daging (62,75%), diameter core (51,33%), bobot daging (39,91%), dan bobot buah (33,11%). Karakter kualitatif yang beragam yaitu yaitu bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk buah dan bentuk pundak buah. 11 aksesi jambu biji yang diamati dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok pada koefisien ketidakmiripan 50% dan dapat mengelompokkan aksesi berdaging merah dan putih secara terpisah. Aksesi 10.12 memiliki banyak sifat unggul dan berpeluang untuk dikembangkan sebagai varietas unggul ke depannya. Kata Kunci : jambu biji, keragaman, pengelompokan, evaluasi ABSTRACT Guava is a cross-pollinated crop, so it has a high diversity. The aimed of this research was to determin the genetic diversity of guava, clustering the guava germplasm and evaluate guava potential as breeding materials in order to get new varieties. The research was carried out at the Aripan Experimental Farm of Indonesian Tropical Fruits Research Institute (ITFRI) from 2013 to 2014. Characterization conducted on 11 accessions of guava. A total of 22 characters (12 quantitative and 10 qualitative) were observed to determine its diversity. Each accession was characterized as many as 10 leaves and 5 fruits refer to the minimum descriptor issued by UPOV.The data of quantitative characters were analyzed by statistic. Clustering used average linkagemethod in R version 3.0.1 program.The result showed that there was a high genetic diversity both in quantitative and qualitative characters were observed. Quantitative characters that have a high diversity (CV > 30%) are thick flesh (62.75%), core diameter (51.33%), the weight of flesh (39.91%), and fruit weight (33.11%). The diversity of qualitative characters is leaf shape, leaf tip shape, fruit shape and form of the fruit shoulder. As many as 11 accessions of guava observed can be classified into four groups on the dissimilarity coefficient of 50% and can be grouped of fleshy red and white accessions separately. 10.12 accession had many superior characteristic and likely to be developed as future varieties. Key Words: guava, diversity,clustering,evaluation.
362
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan tanaman buah yang berasal dari wilayah tropis Amerika. Tanaman ini kemudian menyebar ke seluruh wilayah tropis dan sub tropis di seluruh dunia. Komoditas ini termasuk ke dalam famili Myrtaceae Buahnya kaya akan nutrisi yang penting bagi kesehatan manusia. Buah jambu biji mengandung vitamin A dan B, serta sangat kaya akan kandungan vitamin C, bahkan lebih tinggi dibandingkan jeruk (Delgado et al., 2007; Chandra dan Mishra, 2007; Pommer dan Murakami, 2009; Santos et al., 2011). Tanaman jambu biji merupakan tanaman diploid yang memiliki 22 kromosom. Beberapa jenis di antaranya ada juga yang triploid, sehingga tidak berbiji (Rajan et al., 2005). Tanaman ini termasuk ke dalam genus Psidium yang terdiri dari 150 spesies, yang sebagian besar diantaranya dapat dimakan. Kerabat terdekat jambu biji antara lain Jambu Brazil (Psidium guineense), Jambu Gunung (Psidium montanum), Jambu Cheri (Psidium cattleianum), Jambu nenas (Acca sellowiana) dan Jambu Chili (Ugni myricoides) (Mehmooda et al., 2014). Jambu biji umumnya merupakan tanaman menyerbuk silang, sehingga memiliki keragaman genetik yang sangat tinggi (Balasubrahmanyan, 1959), dan juga terjadi penyerbukan sendiri meskipun dengan persentase yang rendah seperti yang telah dilaporkan oleh Singh dan Sehgal (1968). Petani banyak yang masih memperbanyak jambu biji menggunakan biji (generatif), sehingga menyebabkan munculnya variasi cukup besar yang terlihat sejak fase bibit (Kareem et al., 2013). Upaya untuk mendapatkan tanaman yang true to type perlu dilakukan dengan menggunakan perbanyakan secara vegetatif seperti cangkok, okulasi, sambung dan stek. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropika) sebagai lembaga penelitian buah tropika memiliki setidaknya 20 aksesi jambu biji yang berasal dari beberapa wilayah Indonesia. Aksesi-aksesi tersebut memperlihatkan keragaman baik warna daging, bentuk, maupun ukuran buahnya. Keragaman genetik yang tinggi diperlukan dalam pemilihan tetua untuk perakitan varietas. Semakin beragam tetua yang digunakan maka akan meningkatkan peluang untuk mendapatkan karakter yang dituju. Informasi tentang keragaman genetik dan hubungan kekerabatan/pengelompokan penting untuk program perbaikan varietas (Pommer, 2012). Pengelompokan plasma nutfah jambu biji selain menggunakan penanda molekuler juga dapat dilakukan dengan menggunakan penanda morfologi seperti yang telah dilakukan oleh Cosera et al., (2012) dan Mehmood et al., (2014). Penggunaan penanda morfologi memiliki kelebihan seperti lebih murah dan mudah digunakan (Stoskopf et al.,1993). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman genetik, pengelompokan aksesi serta mengevaluasi aksesi-aksesi potensial sebagai materi pemuliaan dalam rangka mendapatkan varietas unggul baru. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Aripan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Solok mulai tahun 2013 sampai tahun 2014. Bahan yang digunakan adalah 11 aksesi jambu biji koleksi KP Aripan. Alat-alat yang digunakan adalah timbangan digital, jangka sorong digital, penggaris, dan hand refractometer. Prosedur Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan melakukan karakterisasi yang mengacu kepada Guidelines for the conduct of tests for distinctness, homogeneity and stability on Guava (UPOV, 1987). Setiap aksesi dikarakter sebanyak 10 daun dan 5 – 10 buah. Peubah yang diamati meliputi karakter kuantitatif dan kualitatif. Karakter kuantitatif meliputi panjang dan lebar daun, panjang tangkai buah, bobot buah, lebar buah, tinggi buah, diameter core, bobot daging, tebal daging, TSS (Total Soluble Solid), kadar air, dan edible portion. Karakter kualitatif yang diamati meliputi bentuk helaian daun, kelengkungan penampang daun, melipatnya daun, bentuk buah, bentuk pundak buah, dan warna daging buah.
363
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Analisis data Data karakter kuantatif yang diperoleh dari 11 aksesi jambu biji selanjutnya dihitung nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien keragaman. Analisis korelasi antar karakter menggunakan korelasi Pearson dengan tingkat singnifikansi 95%. Data karakter kuantitatif dan kualitatif selanjutnya digunakan untuk analisis kluster / dendogram. Data kuantitatif dikualitatifkan dengan cara scoring dengan kriteria 3) rendah, 5) sedang, dan 7) tinggi. Peubah kuantitatif yang dikualitatifkan adalah sebagai berikut: a). Bobot buah : 3) rendah ≤ 301,64 g, 5) sedang 301,65 – 380,17 g, dan 7) berat ≥ 380,18 g; b). Lebar buah: 3) sempit ≤ 7,82 cm, 5) sedang 7,83-8,74 cm, 7) lebar ≥ 8,75 cm; c). Tinggi buah: 3) rendah ≤ 7,83 cm, 5) sedang 7,84-8,75 cm, 7) tinggi 8,76 cm; d). Bobot daging : 3) ringan ≤ 253,55 g, 5) sedang 253,56341,96 g, 7) berat ≥ 341,97 g; e). Tebal daging: 3) tipis≤ 2,33 cm, 5) sedang 2,34-3,46 cm, 7) tebal ≥ 3,47 cm; f).TSS : 3) rendah ≤ 10,0 briks, 5) sedang 10,01-11,52 briks 7) tinggi ≥ 11,53 briks; g). Edible portion: 3) rendah ≤ 81,01%, 5) sedang 81,02-90,5%, 7) tinggi ≥ 90,51%. Penghitungan jarak genetik antaraksesi dilakukan dengan metode Gower, kemudian dilanjutkan dengan pengelompokan hirarkis menggunakan metode average linkage dalam paket cluster di perangkat lunak R versi 3.0.1. Analisis klaster ini bertujuan untuk mengelompokkan aksesi berdasarkan kesamaan/ketidaksamaan karakter (Basweti dan Hanson, 2012). Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk dendrogram dan plot analisis koordinat utama. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan statistik terlihat bahwa 12 karakter kuantitatif yg diamati beberapa karakter menunjukkan keragaman yang tinggi ( > 30%). Karakter yang mempunyai keragaman tertinggi yaitu tebal daging (62,75%), kemudian disusul diameter core (51,33%), bobot daging (39,91%), dan bobot buah (33,11%). Karakter yang mempunyai keragaman kecil yaitu kadar air (1,60%), panjang daun (8,57%), dan lebar daun (10,73%). Tebal daging jambu biji bervariasi dari 0,93 cm – 4,60 cm, diameter core berkisar 0 – 6,14 cm, dan bobot daging berkisar 94,98 g – 430,37 g (Tabel 1). Hasil penelitian Mehmood et al., (2014) pada 132 aksesi jambu biji juga menunjukkan bahwa karakter panjang dan lebar daun mempunyai keragaman yang kecil ( 18,51% dan 15,62%) dibandingkan karakter lainnya. Tabel 1. Nilai minimum, maksimum, rata-rata, standar deviasi dan koefisien keragam 12 karakter kuantitatif daun dan buah pada 11 aksesi jambu biji. Karakter
Minimum
Panjang daun (cm) 10,67 Lebar daun (cm) 5,56 Bobot buah (g) 132,80 Lebar buah (cm) 6,00 Tinggi buah (cm) 5,34 Panjang tangkai buah (cm) 1,65 Diameter core (cm) 0,00 Bobot daging (g) 94,98 Tebal daging (cm) 0,93 TSS (⁰ briks) 8,48 Kadar air (%) 82,25 Edible portion (%) 71,511 Sumber : Data primer (2013-2014)
Maksimum 14,59 8,13 458,70 9,67 9,69 2,73 6,14 430,37 4,60 13,73 86,13 100,000
Rata-rata 13,28 6,85 290,38 8,00 8,01 2,11 4,03 239,87 1,90 11,64 83,57 80,686
Standar deviasi 1,14 0,74 96,16 1,11 1,15 0,34 2,07 95,72 1,19 1,73 1,34 9,170
Koefisien keragaman (KK)(%) 8,57 10,73 33,11 13,87 14,41 15,91 51,33 39,91 62,75 14,90 1,60 11,37
Pada Tabel 2 terlihat bahwa karakter kualitatif pada jambu biji yang menunjukkan keragaman yaitu bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk buah dan bentuk pundak buah. Karakter yang tidak beragam yaitu lengkungan ibu tulang daun, dimana semua aksesi mempunyai lengkungan yang lurus. Dengan adanya keragaman yang tinggi pada karakter kuantitatif dan kualitatif tersebut di atas, akan memudahkan pemulia untuk menyeleksi aksesi-aksesi tersebut.
364
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Data karakterisasi baik karakter kuantitatif maupun kualitatif yang diperoleh selanjutnya dianalisis cluster untuk mengetahui pengelompokan dari aksesi-aksesi yang diuji. Aksesi yang tergabung dalam satu kelompok biasanya mempunyai banyak kesamaan karakter sehingga mempunyai jarak genetik yang dekat. Di dalam persilangan, semakin jauh jarak genetik antar tetua yang digunakan, maka semakin berpeluang untuk memperoleh hibrid dengan tingkat heterosis karakter tertentu yang tinggi (Hadiati et al., 2009).
Gambar 1. Dendrogram pengelompokan 11 aksesi jambu biji koleksi Balitbu Tropika berdasarkan karakter morfologi. Hasil analisis cluster menunjukkan bahwa 11 aksesi jambu biji mengelompok menjadi empat kelompok pada koefisien ketidakmiripan sekitar 50 % (Gambar 1). Aksesi-aksesi yang tergabung dalam kelompok I, II, III mempunyai warna daging buah putih, sedangkan aksesi yang tergabung dalam kelompok IV mempunyai warna daging buah merah, kecuali aksesi 10.1 yang berdaging putih. Aksesi Kbnrmbtn mempunyai ciri yang berbeda dengan aksesi lainnya, yaitu bentuk daun trullate, helaian daun melipat, bentuk buah bulat telur, bentuk pundak buah berleher, serta ukuran buah yang panjang dibandingkan aksesi lainnya. Sedangkan aksesi Bipara mempunyai ciri karakter yang khas yaitu buah tidak berbiji sama sekali sehingga semua bagian buah dapat dimakan.
365
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Karakter kualitatif daun dan buah pada 11 aksesi jambu biji Aksesi WijayaMerah
10.6
10.7
10.8
10.9
10.1
10.11
10.12
Kristal
Bipara
KbnRmbtn
bulat panjang
bulat panjang
bulat panjang
bulat telur
kuat
sedang
sedang
seperti layangan kuat
trullate
sedang
seperti layangan kuat
oblong
kuat
seperti layangan kuat
tidak melipat tidak melipat
tidak melipat
tidak melipat
tidak melipat
tidak melipat
tidak melipat
tidak melipat
tidak melipat
melipat
▪ Lengkungan ibu lurus tulang daun ▪ Bentuk pangkal membulat
lurus
lurus
lurus
lurus
lurus
lurus
lurus
lurus
lurus
lurus
tumpul
membulat
membulat
tumpul
tumpul
tumpul
tumpul
membulat
tumpul
membulat
▪ Bentuk ujung
meruncing
meruncing
tumpul
tumpul
meruncing
tumpul
meruncing
meruncing
tumpul
meruncing
runcing
▪ Bentuk
lonjong
bulat
bulat
bulat
bulat
bulat
bulat
bulat
bulat
▪ Bentuk pundak ▪ Ukuran leher
membulat dan lebar sangat lebar
membulat dan membulat dan lebar lebar sangat lebar sangat lebar
membulat dan lebar sangat lebar
membulat dan lebar sangat lebar
membulat dan lebar sangat lebar
membulat dan membulat dan lebar lebar sangat lebar sangat lebar
membulat dan lebar sangat lebar
empat persegi bulat telur panjang truncate berleher
▪ Warna daging
merah
merah
merah
putih
putih
merah
putih
Daun : ▪ Bentuk ▪ Kelengkungan penampang ▪ Melipatnya
seperti layangan seperti layangan sedang kuat tidak melipat
kuat
Buah :
merah
Sumber : Data primer (2013-2014)
366
putih
Sangat lebar
sedang
putih
putih
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pengelompokan aksesi jambu biji juga dapat dilakukan menggunakan analisis koordinat utama (Principal Coordinate Analysis/PCoA). Baik dendrogram maupun PCoA sama-sama menggunakan matriks jarak dalam pembuatan plotnya. Plot PCoA menunjukkan bahwa aksesi Wijaya Merah, 10.1, 10.6, 10.11, 10.7, dan 10.8 berada pada kelompok yang sama, sedangkan Bipara, 10.9, 10.12, dan Kristal berada pada kelompok yang lain. Sementara aksesi KbnRmbtn posisinya terpisah jauh dari kedua kelompok (Gambar 2). Koordinat Utama Jambu Biji Koleksi Balitbu Tropika Analisis 10.9
0.1
10.8 10.7
10.12
10.11
0.0
10.6
10.1
-0.1
Kristal
KbnRmbtn
-0.4
-0.3
-0.2
Koordinat 2
WijayaMerah
Bipara
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
Koordinat 1
Gambar 2. Analisis Koordinat Utama pengelompokan aksesi jambu biji. Pada kelompok jambu biji berdaging putih, aksesi yang memiliki ketidakmiripan terkecil yaitu antara aksesi Kristal dan 10.12 dengan koefisien ketidakmiripan antara keduanya sekitar 23,81 % atau kemiripan sebesar 76,19%. Kemiripan antara kedua aksesi tersebut antara lain pada karakter kelengkungan daun sedang, daun tidak melipat, bentuk pundak buah bulat melebar, dan warna daging buah putih (Gambar 3). Pada kelompok jambu biji berdaging merah, aksesi yang memiliki ketidakmiripan terkecil yaitu antara aksesi 10.6dan 10.11 dengan koefisien ketidakmiripan antara keduanya sekitar 7 % atau kemiripan sebesar 93%. Kemiripan antara kedua aksesi tersebut hampir pada semua karakter baik kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mempermudah pemeliharaan dan meningkatkan efisiensi penggunaannya dalam koleksi plasma nutfah, maka sebaiknya kedua aksesi tersebut dipilih salah satu saja. Sedangkan aksesi-aksesi yang memiliki persamaan genetik kecil atau berjarak genetik jauh baik digunakan sebagai tetua persilangan agar diperoleh efek heterosis yang tinggi. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa karakter-karakter yang mempunyai korelasi positip nyata yaitu panjang daun dan lebar daun (0,624*), bobot buah dan bobot daging (0,975**), lebar buah dan bobot daging (0,93**), bobot daging dan tebal daging (0,745**), diameter core dan TSS (0,646*), bobot daging dan edible portion (0,714*), tebal daging dan edible portion (0,898**). Sebaliknya, karakter yang mempunyai korelasi negatif dan nyata yaitu diameter core dan tebal daging (-0,918**), diameter core dan edible portion (-0,805**) (Tabel 3).
367
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3. Koeefisien korelasi antar 12 karakter kuantitatif pada 11 aksesi jambu biji PD LD BB LB TB PTB 1,00 0,624* 0,046 -0,005 0,359 0,112 1,000 -0,091 -0,084 0,121 0,108 1,000 0,976 0,549 0,549 1,000 0,487 0,228 1,000 -0,409 1,000
DC BDB TDG -0,081 0,077 -0,012 -0,474 0,047 0,307 -0,275 0,975** 0,590 -0,204 0,93** 0,506 -0,246 0,546 0,331 -0,128 0,275 0,245 1,000 -0,461 -0,918** 1,000 0,745** 1,000
TSS -0,296 -0,403 0,070 0,130 -0,501 0,499 0,646* -0,063 -0,436 1,000
KA EP PD -0,268 0,133 LD -0,088 0,455 BB -0,551 0,557 LB -0,560 0,462 TB -0,483 0,492 PTB -0,262 0,021 DC 0,004 -0,805** BDB -0,481 0,714* TDG -0,146 0,898** TSS -0,300 -0,530 KA 1,000 -0,072 EP 1,000 Keterangan : PD: panjang daun; LD: lebar daun; BB: bobot buah; LB: lebar buah; TB: tinggi buah; PTB: panjang tangkai buah; DM: diameter core; BDB: bobot daging buah; TDG: tebal daging buah; TSS: total soluble solid; KA: kadar air; EP: edible portion. *: nyata pada 5% Sumber : Data primer (2013-2014)
10.12 Kbnrmbtn 10. Bipara Kristal KbnR Bip Kri 12 mbtn 3. Keragaan buah jambu Gambar ara biji aksesi kbnrmbtn, stalBipara, Kristal, dan 10.12 Dari 11 aksesi jambu biji yang dievaluasi, aksesi 10.12 memiliki keunggulan paling banyak. Jumlah karakter unggul yang dimiliki aksesi 10.12 sama banyak dengan jambu Kristal yang telah dilepas pada tahun 2007. Keunggulan aksesi 10.12 yaitu memiliki ukuran buah yang besar (bobot buah : 429,68 g ; lebar buah: 9,5 cm; tinggi buah : 9,27 cm), bobot daging yang berat (363,4 g ), rasa buah yang manis (13,01 briks ), tetapi kekurangannya adalah daging buah lebih tipis dan edible portion lebih rendah dibanding jambu biji Kristal (Tabel 4).
368
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 4. Karakter kuantitatif buah pada 11 aksesi jambu biji Aksesi
Bobot Buah (g)
Lebar Buah (cm)
Tinggi Buah (cm)
Bobot Daging (g)
Tebal Daging (cm)
TSS (briks)
Edible portion (%)
WijayaMerah
259.46
7.59
8.29
206.11
1.54
8.94
79.44
10.6
250.09
7.65
7.61
198.75
1.32
12.15
79.78
10.7
255.92
8.11
7.58
199.39
1.21
11.96
71.51
10.8
223.11
7.12
6.9
165.14
1.19
12.53
73.3
10.9
388.68
9.25
8.43
313.13
2.05
13.04
80.45
10.1
270.6
7.9
7.52
201.07
1.29
13.02
73.9
10.11
256.68
7.8
7.38
192.38
1.21
12.13
74.81
10.12
429.68
9.5
9.27
363.44
1.63
13.01
85.82
Kristal
458.7
9.67
8.29
430.37
4.6
11.31
93.82
Bipara
267.60
7.64
8.72
267.60
3.82
8.48
100
KbnRmbtn 223.93 6.89 Sumber : Data primer (2013-2014)
9.68
171.3
1.29
10.24
76.5
KESIMPULAN • Koleksi jambu biji di Kebun Percobaan Aripan-Solok mempunyai keragaman genetik yang tinggi baik pada karakter kuantitatif maupun kualitatif. Karakter kuantitatif yang mempunyai keragaman tinggi (KK > 30%) yaitu tebal daging (62,75%), diameter core (51,33%), bobot daging (39,91%), dan bobot buah (33,11%). Karakter kualitatif yang beragam yaitu yaitu bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk buah dan bentuk pundak buah. • 11 aksesi jambu biji yang diamati dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok pada koefisien ketidakmiripan 50% dan dapat mengelompokkan aksesi berdaging merah dan putih secara terpisah. • Aksesi 10.12 memiliki banyak sifat unggul dan berpeluang untuk dikembangkan sebagai varietas unggul ke depannya. DAFTAR PUSTAKA Balasubrahmanyan,V.R.1959.Studiesonblossom biologyofguava.IndianJ.Hortic. 16: 69–75. Basweti, E.A. & Hanson, J. 2012.Variation in morphological and agronomic characteristics of quartin clover (Trifolium quartinianum) accessions.World Journal of Agricultural Sciences 8 (2): 179-185. Cosera, S.M., Ferreiraa,M.F.S., Ferreiraa, A.,Mitreb, L.K., Carvalhoc, C.R.& Clarindo, W.R. 2012. Assessment of genetic diversity in Psidium guajava L. using different approaches. Scientia Horticulturae 148: 223–229 Chandra, R & Mishra, M. 2007. Biotechnological interventions for improvement of guava (Psidium guajava L.). Proc. Ist IS on Guava Eds. Acta Hort. 735: 117-126. Delgado, S.H., Ramı´rez, J.S.P., Cedillo, A.N.& Perez, N.M.2007. Morphological and genetic diversity of Mexican guava germplasm. Plant Genetic Resources: Characterization and Utilization 5(3): 131–141. Hadiati, S., Yuliati, S., dan Sukartini. 2009. Pengelompokan dan jarak genetik plasma nutfah nenas berdasarkan karakter morfologi. J. Hortikultura19(3): 264-274. Kareem, A., Jaskani, M.J., Fatima, B., &Sadia, B. 2013. Clonal multiplication of guava through soft wood cuttings under mist condition. Pak. J. Agric. Sci. 50: 23–27. Mehmooda, A., Jaskania, M.J., Khana, I.A., Ahmada, S., Ahmad, R., Luoc, S., & Ahmad, N.M. 2014. Genetic diversity of Pakistani guava (Psidium guajava L.) germplasm and its implications for conservation and breeding. Scientia Horticulturae 172 : 221–232. Pommer, C.V & Murakami, K.R.N. 2009. Breeding guava (Psidium guajava L.) In S.M. Jain, P.M. Priyadarshan (eds.), Breeding Plantation Tree Crops: Tropical Species, DOI 10.1007/9780-387-71201-7 3, Springer Science+Business Media. Pommer, C.V. 2012. Guava world-wide breeding: major techniques and cultivarsand future challenges. Acta Hortic. 959: 81–88.
369
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Rajan, S., Yadava, L.P., Kumar, R., &Saxena, S.K. 2005. Selection possibilities for seed content— A determinant of fresh fruit quality in guava (Psidium guajava L.). Journal of Applied Horticulture 7(1):52-54. Santos, C.A.F, Correa, L.C, &da Costa, S.R. 2011. Genetic divergence among Psidium accession based on biochemical and agronomic variables. Crop Breeding and Apllied Biotechnology 11 : 149-156. Singh, R. and Sehgal, O.P. 1968. Studies on the blossom biology of Psidium guajava L.(guava) II: Pollen studies, stigmatal receptivity, pollination and fruit set. Indian J. Hortic. 25: 52–59. Stoskopf, N.C., Tomes, D.T. & Christie, B.R. 1993. Plant breeding theory and practice,Westview Press, Inc., Colorado. (UPOV) International Union for the Protection of New Varieties of Plants. 1987. Guidelines for the conduct of tests for distinctness, homogeneity and stability on Guava. UPOV.
370
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PREFERENSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN SIFAT SENSORI KOPI PETIK MERAH SPESIFIK BENGKULU FARMER'S PREFERENCE ON PROCESSING TECHNOLOGY AND SENSORY PROPERTIES OF SPECIFIC RED COFFEE BEANS OF BENGKULU Shannora Yuliasari dan Afrizon Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 E-mail :
[email protected] ABSTRAK Salah satu teknologi untuk meningkatkan mutu kopi adalah teknologi pengolahan kopi petik merah. Teknologi yang digunakan adalah pengolahan kopi secara basah. Kajian bertujuan untuk mengetahui preferensi petani terhadap teknologi pengolahan kopi petik merah serta sifat sensori kopi bubuk petik merah. Kajian ini menggunakan metode survei dengan observasi langsung dan wawancara, uji sensori dengan petani dan konsumen sebagai panelis, serta analisis laboratorium. Responden yang digunakan adalah petani kopi di Desa Air Meles dan Talang Ulu, Kecamatan Curup Timur, Kabupaten Rejang Lebong sebanyak 39 orang. Parameter yang diamati adalah preferensi petani terhadap teknologi pengolahan kopi petik merah, atribut sensori meliputi aroma, rasa, aftertaste, dan citarasa secara keseluruhan dari minuman kopi, serta parameter mutu berupa kadar air dan kadar sari kopi. Hasil kajian menunjukkan secara keseluruhan diketahui bahwa sebanyak 82,69% petani responden sudah memahami tahapan teknologi pengolahan kopi petik merah dan kopi petik merah yang diolah dengan pengolahan yang tepat akan menghasilkan biji kopi dengan kualitas yang lebih baik. Kopi bubuk yang dihasilkan dengan sistem panen asalan tidak memenuhi syarat mutu I menurut standar mutu kopi bubuk (SNI No. 01-3542-2004) karena kadar sari kopi sebesar 37,69%. Sedangkan kopi bubuk petik merah telah memenuhi syarat mutu I yang ditunjukkan dengan bau (aroma) khas kopi bubuk yang harum, warna normal (coklat tua), kadar air sebesar 2,15%, dan kadar sari kopi sebesar 33,58%. Kopi bubuk petik merah memiliki sifat sensori yang lebih baik dibandingkan kopi panen asalan, yang dapat dilihat dari bau (aroma), citarasa, aftertaste, kekentalan, dan penerimaan secara keseluruhan (overall). Kata kunci: kopi, pengolahan, petik merah, preferensi, sensori ABSTRACT One of the many technics to improve the quality of coffee is by processing the red beans, it means that the coffee beans being used are the beans that ripen on the tree. In this case the technology being used is the wet coffee processing. The study aims to determine the preference of farmers to red coffee beans processing technology as well as the sensory properties of red beans powder. The study used a survey method with direct observation and interviews, sensory test by farmers and consumers as panelists, as well as laboratory analysis. Respondents were 39 coffee farmers in Desa Air Meles and Talang Ulu, Kecamatan Curup Timur, Kabupaten Rejang Lebong. The parameters measured were the preference of farmers to red beans processing technology, sensory attributes include aroma, taste, aftertaste and overall flavor of the coffee drinks, as well as quality parameters such as water content and concentration of the coffee extract. The overall results showed that 82.69% of the respondent-farmers already understood the stages of red coffee processing technology and that the red beans with appropriate processing will produce coffee beans with a better quality. The coffee powder produced by random harvesting systems do not meet the quality requirements number I, according to the quality standards of ground coffee (SNI No. 01-3542-2004) because of the coffee extract content is 37.69%, while red beans powder has qualified the quality requirements number I, indicated by the aroma of the typical fragrant coffee powder, normal color (dark brown), water content of 2.15%, and the content of the coffee extract by 33.58%. Coffee powder of the red beans has better sensory properties than the randomly harvested coffee beans, which can be detected from the aroma, taste, aftertaste, viscosity, and overall acceptance. Keywords: coffee, processing, red coffee beans, preference, sensory
371
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Kopi merupakan salah satu komoditas pertanian di sub sektor perkebunan yang mempunyai peluang besar untuk dikembangkan. Di Provinsi Bengkulu, kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan utama setelah kelapa sawit dan karet. Jenis kopi yang banyak dikembangkan di Provinsi Bengkulu adalah kopi robusta dengan luas areal mencapai 86.666 ha atau 95,79% dengan produksi 54.799 ton. Salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu yang menjadikan kopi sebagai komuditas unggulan adalah Kabupaten Rejang Lebong. Luas areal kopi di Kabupaten Rejang Lebong mencapai 22.166 ha dengan produksi sebesar 13.556 ton (BPS Provinsi Bengkulu, 2015). Peluang ini harus dapat diwujudkan dengan membuat produk kopi bubuk yang memiliki nilai tambah yang lebih baik dibandingkan dengan produk kopi bubuk yang telah ada di pasaran, baik itu dari segi kualitas maupun kuantitas. Kopi termasuk dalam kelompok pangan penyegar berupa minuman yang diseduh. Minuman tersebut diperoleh dari seduhan kopi dalam bentuk bubuk (Sunarharum, et al., 2014). Kopi bubuk adalah biji kopi yang disangrai (roasted), kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan lain dalam kadar tertentu tanpa mengurangi rasa dan aromanya serta tidak membahayakan kesehatan (BSN 2004). Teknologi pascapanen kopi telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia dan digunakan sebagai Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan pascapanen kopi oleh Ditjen Perkebunan. Teknologi yang dikembangkan adalah teknologi pengolahan kopi petik merah secara basah (Ditjen Perkebunan, 2011). Penanganan pascapanen kopi dimulai dari cara panen. Pemanenan buah kopi dilakukan secara manual dengan memetik buah yang telah masak. Ukuran kematangan buah ditandai oleh perubahan warna kulit buah dari hijau tua ketika masih muda menjadi merah pada saat masak penuh. Tanaman kopi tidak berbunga serentak dalam setahun, oleh karena itu ada beberapa cara pemetikan, yaitu (1) pemetikan selektif terhadap buah masak, (2) pemetikan setengah selektif dilakukan terhadap dompolan buah masak, (3) secara lelesan dilakukan terhadap buah kopi yang gugur karena terlambat pemetikan, dan (4) secara rampasan merupakan pemetikan terhadap semua buah kopi termasuk yang masih hijau, biasanya dilakukan pada akhir panen (Mayrowani, 2013). Panen kopi petik merah adalah panen kopi dengan memetik kopi yang benar-benar matang dan merah. Biji kopi secara alami mengandung cukup banyak senyawa organik calon pembentuk citarasa dan aroma khas kopi. Senyawa kimia yang terpenting tedapat di dalam kopi adalah kafein dan caffeol. Kafein yang menstimuli kerja saraf, sedangkan caffeol memberikan flavor dan aroma khas kopi (Mussatto, et al. 2011). Untuk memperoleh hasil yang bermutu tinggi, buah kopi harus dipetik setelah betul-betul matang. Pada kondisi yang benar-benar matang, senyawa tersebut berada dalam jumlah maksimum (Sunarharum, et al., 2014). Permasalahan kopi di tingkat petani di Provinsi Bengkulu tidak saja dalam hal jumlah, tetapi juga dalam hal mutu bubuk kopi yang relatif belum dapat bersaing. Menurut Sugandi, et al. (2014), rekomendasi kebijakan pengembangan kopi di Provinsi Bengkulu, antara lain (1) peningkatan peremajaan (grafting) dari 65% menjadi 82% melalui penyambungan, (2) peningkatan penggunaan klon unggul berkualitas dari 25% menjadi 69% melalui program bantuan bibit, (3) peningkatan kapasitas SDM petani melalui pelatihan dan intensitas penyuluhan dari 10% menjadi 48%, (4) penegakan regulasi panen petik merah yang diiringi dengan kelayakan harga dari 0% menjadi 14%. Saat ini, pengolahan kopi petik merah di tingkat petani di Provinsi Bengkulu masih sulit diterapkan karena alasan keamanan sehingga jumlah kopi masak atau petik merah sangat sedikit. Terkadang petani kopi menjual dalam bentuk buah kopi yang telah kering (kopi asalan), karena tidak adanya perbedaan harga yang signifikan di tingkat petani antara buah kopi yang berwarna merah, kuning, dan hijau. Selain itu, petani belum termotivasi untuk melakukan panen petik merah karena belum yakin dengan melakukan panen kopi petik merah dapat meningkatkan kualitas bubuk kopi. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui preferensi petani terhadap teknologi pengolahan kopi petik merah serta mengevaluasi sifat sensori kopi minuman kopi petik merah. Makalah ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa melalui panen kopi petik merah dapat diperoleh kualitas biji kopi yang baik dan aroma bubuk kopi yang harum yang dapat memenuhi keinginan konsumen.
372
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODOLOGI PENELITIAN Kajian dilaksanakan di Desa Air Meles dan Talang Ulu, Kecamatan Curup Timur, Kabupaten Rejang Lebong pada bulan Oktober 2015 sampai dengan Juli 2016. Metode yang digunakan adalah(1) metode survei dengan observasi langsung dan wawancara untuk mengetahui preferensi petani terhadap teknologi pengolahan kopi petik merah, (2) uji sensori dengan melibatkan petani responden dan konsumen sebagai panelis untuk mengamati preferensi konsumen terhadap atribut sensori yang meliputi aroma, rasa, aftertaste, dan citarasa secara keseluruhan dari minuman kopi, serta (3) analisis laboratorium untuk menganalisis kadar air dan kadar sari kopi.Responden yang digunakan adalah petani kopi di Desa Air Meles dan Talang Ulu, Kecamatan Curup Timur, Kabupaten Rejang Lebong sebanyak 39 orang. Uji sensori menggunakan 80 orang panelis yang terdiri dari 39 orang petani responden dan 41 orang konsumen kopi. Sampel bubuk kopi yang digunakan untuk uji sensori dan analisis laboratorium adalah kopi bubuk petik merah dan kopi bubuk panen asalan. Pengukuran preferensi petani terhadap teknologi pengolahan petik merah dan preferensi konsumen terhadap atribut sensori dirancang dengan uji hedonik dengan skor 1 sampai 5, yang menyatakan sangat tidak setuju/suka (1), tidak setuju/suka (2), cukup setuju/suka (3), setuju/suka (4), dan sangat setuju/suka (5). Analisis data preferensi dilakukan dengan analisis deskriptif. Data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Perbedaan karakteristik sensori pada kopi petik merah dan panen asalan dilakukan dengan uji t pada tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Karakteristik responden yang diperoleh antara lain umur dan tingkat pendidikanyang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik responden No.
Karakteristik Petani
1.
Umur (tahun)
2.
Tingkat pendidikan
Kelompok
Jumlah (orang)
%
18 – 27 28 – 37 38 – 47 48 – 57 > 58 SD SMP SMA Perguruan Tinggi
5 24 28 21 2 9 12 29 30
6,25 30 35 26,25 2,5 11,25 15,00 36,25 37,50
Sumber : Data primer diolah (2015)
Responden yang digunakan pada pengkajian ini adalah responden yang mengkonsumsi kopi minimal tiga kali dalam seminggu. Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa mayoritas responden (35%) berumur 38 – 47 tahun. Kondisi ini menunjukkan responden yang terbiasa mengkonsumsi kopi adalah responden dengan usia 38 – 47 tahun. Kebiasaan mengkonsumsi kopi pada usia produktif tersebut dapat dikaitkan dengan manfaat kopi yang dapat mengurangi rasa kantuk. Suatu studi menunjukkan bahwa kafein dari segelas kopi dapat meningkatkan kadar adrenalin dan kerja sistem pembuluh darah. Sehingga bila kafein diminum di pagi hari, akan meningkatkan semangat kerja dan kemampuan kerja fisik (Armada, 2008). Tabel 1 menunjukkan sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan SMA (36,25%) dan perguruan tinggi (37,50%). Pendidikan formal sangat mempengaruhi tingkat perilaku seseorang dalam pengambilan keputusan dan memilih produk yang dibutuhkan. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir, keterampilan, sikap dan pengambilan keputusan dan tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi dalam menerima informasi (Nazariah, 2015).
373
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Preferensi Petani terhadap Teknologi Pengolahan Kopi Petik Merah Salah satu teknologi pengolahan yang dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas produk kopi adalah pengolahan kopi petik merah. Teknik pengolahan yang digunakan adalah teknologi pengolahan kopi secara basah. Proses pengolahan kopi secara basah menghasilkan produk berupa biji kopi beras. Preferensi petani terhadap teknologi pengolahan kopi petik merah diukur pada saat pelaksanaan pelatihan teknologi pengolahan kopi petik merah. Data primer diperoleh dari pengamatan lapangan serta wawancara terstruktur dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Atribut teknologi pengolahan kopi petik merah yang menjadi indikator pengukuran preferensi petani responden adalah (1) cara panen kopi petik merah, (2) teknik sortasi sebelum pengolahan kopi seacar basah, (3) teknik pengupasan kulit buah kopi dengan alat pulper, (4) proses fermentasi biji kopi, (5) teknik pencucian biji kopi, (6) proses pengeringan biji kopi dan kadar air yang aman untuk penyimpanan biji kopi, (7) kemudahan pengolahan kopi secara basah, dan (8) pengolahan kopi secara basah dapat meningkatkan kualitas dan harga kopi. Berdasarkan hasil survey menunjukkan seluruh petani (100%) sudah memahami cara panen kopi petik merah secara selektif. Sebagian besar petani (92,3%) sudah memahami teknik sortasi sebelum pengolahan kopi secara basah. Tahap sortasi bertujuan untuk memisahkan buah yang masak dengan buah yang busuk dan hijau (Prastowo, et al., 2010). Sebanyak 84,6% petani responden telah memahami teknik pengupasan kulit buah kopi petik merah dengan alat pengupas kulit buah kopi (pulper). Akan tetapi, hanya 56,4% petani responden yang memahami proses fermentasi biji kopi. Selanjutnya, sebanyak 87,2% petani telah memahami teknik pencucian biji kopi. Pada tahap pengeringan ini, sebanyak 84,6% petani telah memahami teknik pengeringan biji kopi dengan cara penjemuran dan sekaligus memahami kadar air yang aman untuk penyimpanan biji kopi. Sebanyak 79,5% petani responden menyatakan pengolahan kopi secara basah mudah diterapkan oleh petani, dan 76,9% petani responden memahami bahwa pengolahan kopi secara basah dapat meningkatkan kualitas dan harga kopi. Berdasarkan hasil survey tersebut secara keseluruhan diketahui bahwa sebanyak 82,69% petani responden sudah memahami tahapan teknologi pengolahan kopi petik merah dan kopi petik merah yang diolah dengan pengolahan yang tepat akan menghasilkan biji kopi dengan kualitas yang lebih baik. Tingginya tingkat pemahaman petani responden terhadap teknologi pengolahan kopi secara basah juga didukung karena sebagian besar petani responden berlatar belakang pendidikan SMP (15,0%) dan SMA (36,25%). Drakel, A (2008) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir terhadap respon-respon inovatif dan perubahan-perubahan yang dianjurkan. Preferensi Konsumen terhadap Sifat Sensori Kopi Petik Merah Preferensi konsumen terhadap atribut sensori yang meliputi aroma, rasa, aftertaste, dan citarasa secara keseluruhan dari minuman kopi diukur terhadap sampel minuman kopi petik merah dan kopi panen asalan. Aroma merupakan suatu nilai yang terkandung dalam produk yang langsung dapat dinikmati oleh konsumen. Aroma suatu produk dalam banyak hal menentukan bau atau tidaknya suatu produk, bahkan aroma atau bau lebih kompleks dari pada rasa. Aroma atau bau merupakan komponen penting penentu flavor kopi. Aroma spesifik kopi muncul setelah proses penyangraian. Selama proses penyangraian akan terjadi reaksi kimia pada biji kopi (reaksi maillard) membentuk senyawa organik kompleks pembentuk aroma (Sacchetti, et al.,2009). Keberadaan caffeol secara alami dalam biji kopi memberikan flavor dan aroma khas kopi (Mussatto, et al. 2011). Asam-asam organik yang terdapat dalam kopi merupakan komponen yang membentuk aroma kopi saat diseduh (Baggenstoss et al. 2008).Penyangraian dengan suhu tinggi dan durasi yang lama menyebabkan terjadinya perubahan warna biji kopi menjadi kecoklatan dan makin gelap.Perubahan warna menjadi coklat tua disebabkan karena karamelisasi gula menjadi warna cokelat tua.Selain itu, warna yang terbentuk pada bubuk kopi dipengaruhi oleh reaksi maillard yang terjadi antara asam amino atau protein dengan adanya jumlah gula (Nebesny, et. al., 2007).Reaksi maillard adalah reaksi browning non-enzimatik yang menghasilkan senyawa kompleks dengan berat molekul tinggi.
374
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Overall
Aroma 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0
Kekentalan
Rasa dalam mulut
Aftertaste Kopi Petik Merah
Gambar 1. Hasil uji sensori minuman kopi bubuk petik merah dan kopi panen asalan Rasa menjadi atribut penting yang mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap produk pangan.Biji kopi beras belum mempunyai karakter cita rasa khas kopi tetapi hanya mengandung senyawa-senyawa prekursor pembentuk cita rasa.Karakter cita rasa kopi baru terbentuk setelah biji kopi mengalami proses penyangraian. Selama proses penyangraian terjadi reaksi kimiawi yang kompleks sehingga terbentuk komponen-komponen kimiawi pembentuk karakter kopi yang bersifat khas. Cita rasa pada kopi dipengaruhi oleh hasil degradasi beberapa senyawa seperti karbohidrat, alkaloid, senyawa mudah menguap, dan trigonelin.Keasaman dan rasa pahit terbentuk dari komponen non volatile dalam kopi.Asam klorogenat merupakan salah satu komponen kimia kopi yang terdekomposisi bertahap seiring dengan pembentukan aroma volatile dan senyawa polimer.Sedangkan kafein menjadi penyumbang rasa pahit pada kopi bubuk (Oktadina et al. 2013). Penerimaan umum panelis menunjukkan tingkat penerimaan panelis terhadap produk secara umum dan menyeluruh. Penilaian didasarkan pada kesukaan panelis terhadap atribut aroma, rasa, aftertaste, dan kekentalan yang digabungkan dan dinilai secara keseluruhan. Kopi bubuk petik merah memiliki sifat sensori yang lebih baik dibandingkan kopi panen asalan, yang dapat dilihat dari bau (aroma), citarasa, aftertase, kekentalan, dan penerimaan secara keseluruhan (overall), dengan tingkat kesukaan rata-rata 3,8, dibandingkan kopi bubuk panen asalan 3,3. Hasil analisis menunjukkan secara keseluruhan dari parameter yang diuji, yaitu aroma, rasa, aftertaste, kekentalan dan penerimaan umum (overall) minuman kopi bubuk petik merah secara signifikan lebih disukai panelis dibandingkan kopi panen asalan (p<0,05). Hal ini sejalan dengan pendapat Mussatto, et al.(2011) dan Sunarharum, et al. (2014), senyawa kimia yang terpenting terdapat di dalam kopi adalah kafein dan caffeolakan berada pada jumlah maksimum jika pada kondisi biji kopi yang benar-benar matang (petik merah), sehingga memberikan aroma dan citarasa khas kopi yang lebih kuat. Kadar Air dan Kadar Sari Kopi Kadar air mempengaruhi umur simpan dan ketahanan bahan terhadap mikroorganisme. Daya simpan suatu bahan dapat diperpanjang dengan menghilangkan sebagian air dalam bahan sehingga mencapai kadar air tertentu. Semakin rendah kadar air maka semakin kecil kemungkinan bahan terkontaminasi oleh mikroorganisme pada saat penyimpanan. Kadar air maksimum untuk kopi bubuk berdasarkan SNI Kopi Bubuk No. 01-3542-2004 adalah maksimal 7% wb atau 7,0% db. Syarat mutu kopi bubuk berdasarkan SNI No. 01-3542-2004 dapat dilihat pada Lampiran 1. Kadar air yang tinggi pada kopi bubuk akan menyebabkan penggumpalan pada bubuk kopi dan menyebabkan kerusakan. Kopi bubuk petik merah dan kopi panen asalan yang dihasilkan melalui kajian ini memiliki kadar air sebesar 2,15% dan 2,09%. Berdasarkan parameter kadar air, kedua jenis kopi tersebut memenuhi persyaratan SNI kopi bubuk karena memiliki kadar air kurang dari 7%db (BSN, 2004). Parameter kadar sari dihitung untuk menentukan tingkat kemurnian dari kopi bubuk. Kadar sari menyatakan jumlah total padatan kopi yang telarut. Jika nilai kadar sari tinggi maka jumlah padatan kopi yang terlatut pun tinggi. Perhitungan kadar sari dilakukan dengan mengekstrak kopi bubuk dengan air panas lalu dihitung perubahan beratnya setelah dioven. Suhu air penyeduh berperan terhadap proses ekstraksi kopi. Suhu air yang tinggi akan menghasilkan hasil ekstraksi yang baik. Suhu air penyeduh yang digunakan berkisar antara 80ºC hingga 95ºC (BSN, 2004).
375
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Hasil pengkajian menunjukkan kopi bubuk petik merah memiliki kadar sari kopi sebesar 33,58%. Berdasarkan nilai kadar sari kopi, kopi bubuk petik merah yang dihasilkan melalui pengkajian ini memenuhi syarat mutu I sesuai dengan SNI 01-3542-2004. Nilai syarat kadar sari untuk mutu I adalah maksimum 20 – 36% (BSN, 2004). Kopi bubukpanen asalan yang dihasilkan oleh petani memiliki nilai kadar sari kopi sebesar 37,69%. Nilai tersebut berada di luar rentang kadar sari kopi pada syarat mutu I, namun masih berada dalam syarat mutu II, yaitu kurang dari 60% (BSN, 2004). Semakin banyak jumlah padatan larut air semakin baik cita rasa kopi yang dihasilkan, karena padatan terlarut memberikan cita rasa pada hasil seduhan kopi (Pastiniasih 2012). KESIMPULAN Petani responden yang telah memahami tahapan teknologi pengolahan kopi petik merah dan kopi petik merah yang diolah dengan pengolahan yang tepat akan menghasilkan biji kopi dengan kualitas yang lebih baik sebanyak 82,69%. Kopi bubuk petik merah memiliki sifat sensori yang lebih baik dibandingkan kopi panen asalan, yang dapat dilihat dari bau (aroma), citarasa, aftertase, kekentalan, dan penerimaan secara keseluruhan (overall), dengan tingkat kesukaan rata-rata 3,8, dibandingkan kopi bubuk panen asalan 3,3. Kopi bubuk petik merah memenuhi syarat mutu I menurut SNI kopi bubuk No. 01-3542-2004 berdasarkan parameter kadar air (2,15%), dan kadar sari kopi (33,58%). UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu yang telah mendanai kegiatan pengkajian melalui Anggaran DIPA BPTP Bengkulu Tahun 2015. DAFTAR PUSTAKA Armada, N. 2008. Faktor yang Mempengaruhi Pembelian Konsumen Kopi Bubuk Instan (Kasus di Giant Botani Square, Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Baggenstoss J, Poisson L, Kaegi R, Perren R, dan Escher F. 2008.Coffe roasting and aroma formation: application of different time and temperature conditions. Journal of Agricultural and Food Chemistry 56(14):5386- 5846. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2015. Produksi Padi dan Palawija Provinsi Bengkulu Tahun 2014.http://bengkulu.bps.go.id. [6 Mei 2016]. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia Kopi Bubuk (SNI 01-35422004). http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/unduh/7670. [Diunduh Tgl 5 Oktober 2015]. [Dirjen Perkebunan] Direktur Jenderal Perkebunan. 2011. Pedoman Teknis Penanganan Pascapanen Kopi. Direktur Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. http://ditjenbun.pertanian.go.id. [diakses pada tangal 13 Juni 2016]. Drakel, Arman. 2008. Analisis usahatani terhadap masyarakat kehutanan di dusun gumi desa akelamo kota tidore kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan Volume I Oktober 2008. Mussatto, S.I., Machado, E.M.S., Martins, S., Teixeira, J.A. 2011. Production, composition, and application of coffee and its industrial residues. Food Bioprocess Technol 4: 661–672. Doi:10.1007/s11947-011-0565-z Mayrowani, H. 2013. Kebijakan penyediaan teknologi pascapanen kopi dan masalah pengembangannya. Forum Penelitian Aro Ekonomi 31 (1): 31 – 49. Nazariah. 2015. Percepatan difusi teknologi ptt kedelai di provinsi aceh. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 24 – 25 Agustus di Bogor, Temu teknis jabatan fungsional non peneliti: halaman :93-99. Nebesny, E., Budryn, G., Kula, J., Madja, T. The effect of roasting method on headspace composition of robusta coffee bean aroma. Eur Food Res Technol (2007) 225:9–19. doi 10.1007/s00217-006-0375-0.
376
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Oktadiani D, Dwi Argo M, Hermanto B. Pemanfaatan Nanas (Ananas Comosus L. Merr) untuk Penurunan Kadar Kaffein dan Perbaikan Citarasa Kopi dalam pembuatan kopi bubuk. Malang. Universitas Brawijaya. Pastiniasih L. 2012. Pengolahan Kopi Instan Berbahan Baku Kopi Lokal Buleleng [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Prastowo, B., Karmawati, E., Rubijo, Siswanto, Indrawanto, C., Munarso, S.J. 2010. Budidaya dan Pascapanen Kopi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. 70 p. Sacchetti, G., Di Mattia, C., Pittia, P., & Mastrocola, D. (2009). Effect of roasting degree, equivalent thermal effect and coffee type on the radical scavenging activity of coffee brews and their phenolic fraction. Journal of Food Engineering, 90, 74–80. Sunarharum, W.B., Williams, D. J., Smyth, H. E. 2014. Review: Complexity of coffee flavor: A compositional and sensory perspective. Food Research International 62; 315–325. doi.org/10.1016/j.foodres.2014.02.030 Lampiran 1. Syarat Mutu Kopi Bubuk Menurut SNI 01-3542-2004 No
Kriieria Uji
Keadaan fisik: - Bau - Warna 2 Kadar air 3 Kadar sari kopi 4 Kadar kafein (anhidrat) 5 Cemaran logam : - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Seng (Zn) - Timah (Sn) - Raksa (Hg) - Arsen (As) 6 Cemaran mikroba : - Angka lempeng total - Kapang Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2004)
Satuan
Persyaratan Mutu I
Mutu II
% b/b % b/b % b/b
Normal Normal Maks 7,0 20 – 36 0,9 – 2,0
Normal Normal Maks7,0 Maks 60 0,45 – 0,9
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 2,0 Mak 30,0 Maks 40,0 Maks 40,0/250,0 Maks 0,03 Maks 1,0
Maks 2,0 Maks30,0 Maks 40,0 Maks 40,0/250,0 Maks 0,03 Maks 1,0
Koloni/g Koloni/g
Maks106 Maks104
Maks106 Maks104
1
377
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG MANIS DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA JENIS, DOSIS DAN SAAT APLIKASI KOMPOS PADA ULTISOL GROWTH AND YIELD OF SWEET CORN UNDER DIFFERENT TYPES OF COMPOST, DOSAGE AND TIME OF APPLICATION ON ULTISOL Merakati Handajaningsih, Marwanto, Raindra Efendi, Jefri Sihombing Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian - Universitas Bengkulu email:
[email protected] ABSTRAK Jagung manis dibudidayakan dengan sistem organik sebagai upaya untuk memproduksi tanaman yang berkelanjutan dan aman bagi konsumen. Tanah jenis Ultisol yang memiliki masalah dengan kesuburan dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan menambahkan bahan organik berupa kompos. Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan respon tanaman jagung manis terhadap 3 jenis kompos dengan dosis dan saat aplikasi kompos yang berbeda. Penelitian dilakukan dengan 2 kegiatan pada musim yang sama di Kota Bengkulu, masing-masing menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap, diulang 3 kali. Jenis kompos yang digunakan adalah kompos sapi, BIOM-3G, dan kompos EM-4. Penelitian I mengombinasikan kompos dengan waktu aplikasi yang berbeda yaitu 0 Hari Sebelum Tanam (HSbT), 5 HSbT, dan 10 HSbT. Penelitian II jenis kompos dikombinasikan dengan dosis yang terdiri atas 10 ton/ha, 15 ton/ha, dan 20 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan saat aplikasi kompos 5 atau 10 HSbT menghasilkan pertumbuhan dan hasil jagung yang lebih baik dibandingkan aplikasi kompos saat tanam. Jenis kompos sapi lebih baik dibandingkan BIOM3G dan kompos EM4. Dosis kompos tidak berpengaruh pada hasil jagung manis. Bobot tongkol tertinggi 241,86 gram diperoleh dari saat aplikasi kompos 5 HSbT. Kata Kunci : jagung manis, Ultisol, kompos, Bio-M3G, pertumbuhan, hasil ABSTRACT Sweet corn is cultivated with organic system in an attempt to produce crops that are not only sustainable but also safe for consumers. Soil type Ultisol which has problems with fertilitycould be improved its productivity by adding organic matter such as compost. Research objectives were to compare the response of sweet corn plants to three types of composts with different dose and time of application; and to present the correlation between vegetative plant organs and yield components. The study was conducted in two separate experiments in the same season in Bengkulu City, each of them used Randomized Complete Block Design, 3 replicates. Types of compost used were cow compost, BioM-3G, and compost EM-4. The First study combining 3 typesof composts withdifferent applications, namely 0 Days Before Planting (DBP), 5 DBP, and 10 DBP. Research II combined types of composts with different doses, consisting of 10 tons/ha, 15 tons / ha, and 20 ton / ha. The results showed that time application of compost 5 or 10 DBP generated better growth and yield of corn than the application of compost at day of planting. Cow compost was better than BIOM3G and EM4 compost. Compost dose had no effect on yield of sweet corn. Highest harvested corn i.e. 241.86 grams was obtained from 5 DBP compost application. Keywords: sweet corn, Ultisol, compost, Bio-M3G, growth, yield PENDAHULUAN Budidaya jagung manis secara organik dilakukan sebagai upaya untuk memproduksi tanaman yang aman bagi konsumen maupun lingkungan. Pemberian input anorganik berupa pemberian pupuk sintetik dalam jumlah yang cukup besar dan terus-menerus dapat menimbulkan dampak negatif yaitu kesuburan tanah. Penurunan kualitas tanah dapat berupa berkurangnya biomassa mikroorganisme yang ada di dalam tanah, tanah menjadi keras, serta meningkatnya kemasaman tanah (Zhen et al., 2014). Sistem pertanian berkelanjutan merupakan pilihan yang semakin marak dikembangkan untuk mengurangi dampak negatif terhadap pertanian konvensional berupa tingginya input pupuk anorganik. Upaya peningkatan produksi dan kualitas jagung manis di tanah Ultisol dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan pemberian kompos. dan saat pengaplikasian yang tepat. Tanah yang digunakan sebagai media tumbuh tanaman harus mempunyai kandungan hara yang cukup untuk menunjang proses pertumbuhan tanaman sampai berproduksi. Salah satu pendekatan yang dilakukan yaitu dengan pemberian bahan organik untuk memperbaiki struktur tanah yang semakin
378
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
lama semakin menurun akibat pemberian pupuk kimia yang berlebihan (Suliasih dkk., 2010; Adriano et al., 2012). Pupuk hayati (Biofertilizer) merupakan pupuk yang bahan dasarnya berasal dari sel hidup, atau bentuk lain dari mikroba penambat N, mikroba pelarut phosphate, atau mikroba perombak selulosa, dapat diaplikasikan melalui bahan tanam maupun tanah untuk mempercepat proses tersedianya unsur hara bagi tanaman. Selain dapat meningkatkan ketersediaan hara, pupuk hayati juga bermanfaat untuk: 1) melindungi akar dari penyakit (US Compost Council, 2008), 2) menstimulasi sistem perakaran, 3) mengeliminasi tingkat beberapa logam berat, 4) sebagai metabolit pengatur bioreaksi tanaman, dan 5) bioaktivator perombak bahan organik (Abdurachman dkk.,2008). Beberapa jenis amelioran yang dapat digunakan adalah pupuk kandang sapi, Bio-M3G, dan kompos EM4. BioM3G adalah kompos dengan penambahan mikrobia hasil isolasi dari sejumlah cendawan dekomposer bahan organik yang kaya selulosa yang sangat agresif (Adiprasetyo et al., 2014) yang bila dipadukan dengan mikrobia berguna dan dekomposer lainnya akan mampu mengurai bahan organik limbah pertanian, peternakan dan bahkan limbah organik rumah tangga. Kompos adalah pupuk alami (organik) yang berasal dari limbah pertanian seperti jerami padi, janjang kosong sawit (jangkos), rumput-rumputan, pelepah pisang, dedaunan serta bahan organik lain misalnya kotoran sapi yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat proses pembusukan bila diperlukan (Wied, 2004). Pengomposan dilakukan untuk menurunkan rasio C/N sehingga tidak terjadi persaingan antara tanaman dan mikroorganisme yang dapat menurunkan perumbuhan dan hasil tanaman (Supanjani, 2009). Pupuk kompos dapat memperbaiki struktur tanah, menambah cadangan unsur hara tanaman, serta menambah kandungan bahan organik tanah. Pupuk kompos dapat memperbaiki sifat kimia tanah seperti memperbaiki pH tanah, meningkatkan kandungan C- organik, serta meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan sifat biologi pada tanah miskin seperti Ultisol (Riwandi dkk.,2014). Peningkatan biomassa mikrobia dan perbaikan lingkungan mikro membantu penyediaan unsur hara (Zhen et al., 2014). Peningkatan KTK dapat mengurangi kehilangan hara akibat pencucian dan berdampak pada peningkatan efektifitas tanaman dalam menggunakan hara. Unsur mikro juga mampu disediakan dari keberadaan kompos (US Compost Council, 2008) Dengan berbagai manfaat yang diperoleh dari adanya kompos dalam tanah maka kompos telah lama menjadi bagian penting dalam budidaya tanaman terutama tanaman hortikultura. Bahan-bahan kompos yang digunakan pada budidaya jagung manis misalnya janjang kosong kelapa sawit (Handajaningsih, 2009), brangkasan jagung (Yulia dkk., 2014), biochar sekam dan serbuk gergaji (Adiwirman dkk., 2014), atau kompos kotoran kambing (Saputra, 2013). Adiprasetyo et al., 2014 mengaplikasikan Bio-M3G pada tanaman kelapa sawit, sedangkan Handajaningsih et al., (2015) melakukan penelitian Bio-M3G serta kompos residu sayur pada tanaman cabe. Unsur hara dari bahan organik bersifat lambat tersedia, tingkat ketersediaan unsur hara sangat bergantung pada jenis bahan organik (Hapsoh et al., 2015), hal ini disebabkan tingkat dekomposisi bahan organik berbeda-beda Raviv, 2005). Oleh karena itu perlu diteliti tingkat inkubasi bahan organik dalam menyediakan unsur hara khususnya untuk tanaman jagung manis. Masnag (2003) menyatakan bahwa peningkatan efisiensi unsur hara dapat dilakukan dengan berbagai teknik yaitu tepat jenis, tepat waktu, tepat cara, dan tepat dosis pupuk yang diperlukan oleh tanaman. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perlakuan jenis, dosis dan saat aplikasi kompos yang berbeda terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis pada Ultisol. Luaran Luaran penelitian ini adalah penentuan saat aplikasi kompos dan jenis kompos untuk budidaya jagung manis secara organik di Ultisol.
379
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Penelitian dalam bentuk percobaan lapangan di Ultisol Kota Bengkulu. Dua set penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2012 pada satu hamparan lahan dengan tingkat kemiringan berbeda. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok lengkap, dengan 2 faktor. Penelitian I, faktor pertama adalah perlakuan jenis kompos (P) yang terdiri dari P 1= kompos kotoran sapi, P2= BIOM3G (Biofertilizer Multi Mikroba Multi Guna) dan P3= Kompos EM-4 (Effective Microorganism 4). Faktor kedua adalah saat aplikasi kompos (D) yaitu D1= 0 hari sebelum tanam, D2= 5 hari sebelum tanam, D3 = 10 hari sebelum tanam. Pada penelitian II jenis kompos yang digunakan sama dengan penelitian set I, sedangkan faktor ke dua adalah dosis kompos terdiri atas 5 ton/ha, 15 ton/ha, dan 25 ton/ha. Penelitian diulang 3 kali, setiap unit percobaan terdapat 30 tanaman Jenis kompos yang digunakan berupa pupuk kandang sapi yang diperoleh dari Kota Bengkulu dan kompos EM-4 serta BIOM3G diperoleh dari Laboratorium Ilmu Tanah dan Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Lahan percobaan diolah dan dibuat petakan 2 m x 3,6 m dengan jarak antar perlakuan 50 cm dan jarak antar ulangan 100 cm. Kompos pada penelitian I ditempatkan sesuai dengan perlakuan dengan dosis 25 ton/ha. Kompos disebarkan secara merata di petakan kemudian di aduk dengan pencangkulan. Pada penelitian II kompos disebar merata kemudian dicampur dengan cangkulan ringan pada petakan 7 hari sebelum tanam Varietas benih jagung manis yang digunakan adalah varietas Super Sweet Corn. Penanaman dilakukan dengan cara tugal dengan jarak tanam 60 cm x 40 cm, setiap lubang dimasukkan 2 benih. Penjarangan dilakukan dua minggu setelah tanam menyisakan 1 tanaman di setiap lubang tanam. Pemanenan dilakukan saat tanaman berumur 65 hari setelah tanam. Lima tanaman setiap petak menjadi sampel pengamatan yang terdiri atas : Tinggi tanaman dan jumlah daun diukur seminggu sekali dimulai satu minggu setelah penanaman hingga saat anthesis. Diameter batang diukur saat tanaman berumur 2 dan 4 mst serta saat tanaman mencapai anthesis. Luas daun diukur dengan menggunakan leaf area meter, diambil dari daun pada dua tanaman per petak. Tingkat kehijauan daun diukur dengan menggunakan alat SPAD. Pada saat panen dilakukan pengukuran terhadap bobot akar, batang, daun, bobot tongkol berkelobot dan tanpa kelobot, serta diameter tongkol. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan uji F, perbandingan nilai tengah dilakukan dengan Duncan Multiple Range Test dengantingkat kepercayaan 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Interaksi Antar Perlakuan Berdasarkan hasil pengujian statistik diketahui bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan jenis kompos dan saat aplikasi pada semua variabel kecuali pada diameter batang minggu ke-2. Demikian pula interaksi antara jenis dan dosis kompos tidak mempengaruhi seluruh variabel pertumbuhan maupun hasil jagung manis. Tabel 1. Interaksi jenis dan saat aplikasi kompos terhadap diameter batang (mm) jagung manis minggu ke 2 Perlakuan
Saat Aplikasi (HSbT) 0 5 10 Kompos k. sapi 4.961 a 4.756 ab 4.981 a BioM3G 4.842 a 4.521 ab 4.809 a Kompos EM-4 4.118 b 4.397 ab 4.665 ab Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT taraf 5%
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kompos EM-4 yang diberikan pada saat tanam menghasilkan diameter batang lebih rendah dibandingkan dengan diameter batang dari perlakuan kompos kotoran sapi dan BioM3G saat tanam atau 10 hari sebelum tanam. Kompos adalah bahan organik yang telah mengalami pelapukan, dengan bantuan mikrobia tanah (Yang et al., 2009). Unsur – unsur hara yang ada pada kompos dilepas secara lambat hingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Morgan et al.,
380
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
2009). Raviv (2005) mengungkapkan bahwa masa dekomposisi dan hasil akhir kompos dipengaruhi oleh bahan kompos dan suhu saat pengomposan berlangsung. Data penelitian ini juga menunjukkan bahwa kompos EM-4 yang diaplikasikan 5 dan 10 hari sebelum tanam mengakibatkan diameter batang jagung lebih besar. Berbeda dengan kompos EM-4, kompos kotoran sapi dan BioM3G direspon cepat oleh tanaman jagung untuk meningkatkan ukuran diameter batang. Diameter batang yang lebih besar dapat memperbaiki aliran air dan unsur hara yang diserap akar untuk dialirkan ke seluruh tanaman karena salah satu fungsi batang adalah menyerap dan mengalirkan air dan hara dari hasil penyerapan akar, serta mentranslokasikan fotosintat dari source ke seluruh tanaman. Saat Aplikasi Kompos Saat aplikasi kompos mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pada jumlah daun minggu ke-5, berat tongkol berkelobot, berat tongkol tanpa kelobot, diameter tongkol tanpa kelobot, berat basah akar, berat basah daun, dan berat kering daun (Tabel 2). Namun demikian, kompos yang diberikan pada 5 dan 10 hari sebelum tanam tidak memberikan pengaruh berbeda pada variabel –variabel tersebut. Tabel 2. Pengaruh saat aplikasi kompos terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis. Variabel Jumlah daun mgg ke-5 Bobot tongkol berkelobot (g) Bobot tongkol tanpa kelobot (g) Diameter tongkol (mm) Bobot kering daun (g)
Saat aplikasi (HSbT) 0 5.80 b 186.37 b 124.15 b 40.94 b 16.22 b
5 6.35 a 241.86 a 159.99 a 45.16 a 19.26 ab
10 6.24 a 236.73 a 155.75 a 45.07 a 22.33 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT taraf 5%
Pertumbuhan dan hasil jagung lebih baik jika kompos diberikan 5 atau 10 hari sebelum tanam dibandingkan dengan kompos yang diberikan bersamaan dengan saat tanam. Hal tersebut berbeda dengan hasil yang diperoleh dari penelitian Saputra (2013) yang mendapatkan bahwa perbedaan saat aplikasi kompos hanya direspon oleh tanaman jagung pada awal pertumbuhan saja dan tidak mempengaruhi hasil maupun komponen hasil jagung kecuali tingkat kemanisan. Jenis Kompos Perlakuan jenis kompos secara tunggal mempengaruhi pertumbuhan dan hasil jagung manis yang diamati Tabel 3. Tabel 3. Rerata pertumbuhan dan hasil jagung manis akibat perlakuan tiga jenis kompos Jenis kompos Kotoran Sapi Bio-M3G Kompos EM-4 Tinggi tan mgg ke-2 28.91 a 26.07 b 29.1 a Tinggi tan mgg ke-4 82.35 a 67.22 b 76.88 a Tinggi tan mgg ke-6 180.44 a 147.51 b 165.11 ab Diam. batang mgg ke-4 10.88 a 8.10 b 10.47 a Diam. batang mgg ke-6 22.57 a 17.47 c 19.80 b Jumlah daun minggu ke-4 5.44 a 4.71 b 5.15 a Jumlah daun minggu ke-6 8.84 a 7.64 b 7.97 b Tingkat kehijauan daun 40.89 a 36.71 b 38.08 b Bobot tongkol berkelobot 260.41 a 179.79 b 224.77 ab Bobot tongkol tanpa kelobot 174.78 a 115.44 b 149.68 a Diameter tongkol 45.78 a 40.51 b 44.89 a Bobot basah akar 54.16 a 32.70 b 44.73 ab Bobot basah batang 216.84 a 139.68 b 182.81 a Bobot basah daun 76.53 a 50.95 b 70.01 a Bobot kering batang 55.33 a 35.74 b 46.24 a Bobot kering daun 22.07 a 14.83 b 20.91 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT taraf 5% Variabel
Jenis kompos kotoran sapi dan kompos EM-4 tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap variabel tinggi tanaman, diameter batang minggu ke-4, jumlah daun minggu ke-4 dan ke-6,
381
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
berat tongkol tanpa kelobot, diameter tongkol, bobot basah akar, batang, daun, serta bobot kering batang dan daun. Respon tanaman jagung manis yang lebih baik dengan penambahan bahan organik juga diperoleh dari penelitian-penelitian lain (Adiwirman dkk., 2014 dan Yulia dkk., 2014). Penambahan kompos meningkatkan kualitas kesuburan tanah yang signifikan pada tanah marjinal Ultisol di Bengkulu (Riwandi dkk., 2014) yang memberikan kemungkinan untuk diusahakan berbudidaya tanaman dengan pemberian input sintetik rendah (Riwandi dkk., 2015). Dosis kompos dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis. Hasil penelitian Hasanudin dkk., (2007) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang pada berbagai dosis mampu menurunkan Al-dd sekaligus meningkatkan pH tanah yang diikuti peningkatan P tanah menjadi tersedia. Penambahan kompos ke dalam tanah juga mampu menambah unsur hara tanah (US Council, 2008; Adriano et al., 2012), namun demikian ketersediaan jumlah yang ada dan faktor lingkungan memungkinkan unsur-unsur tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Handajaningsih dkk., 2015). Kim and Li (2016) memperoleh data bahwa jumlah P yang terserap oleh tanaman akan menentukan alokasi fotosintat ke organ-organ tanaman yang berbeda. KESIMPULAN Kesimpulan penelitian ini adalah kompos kotoran sapi dan kompos –EM4 menghasilkan pertumbuhan dan hasil jagung manis yang lebih baik dibandingkan dengan kompos Bio-M3G. Aplikasi kompos 5 dan 10 hari sebelum tanam berdampak lebih baik bagi pertumbuhan dan hasil jagung manis dibandingkan aplikasi kompos saat tanam. UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Mucharromah, MSc. (almh.) atas dedikasinya yang luar biasa dalam pengembangan bakteri multiguna BIOM3G yang digunakan dalam penelitian ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Yen Efrieni, MS. (almh.) atas sumbangan informasinya tentang peranan mikrobia tanah. DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, A., Dariah, A., dan Mulyani, A. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. J. Litbang Pertanian. Vol 27 (2): 43 – 49. Adiprasetyo, T., Purnomo, B., Handajaningsih, M., and Hidayat. 2014. The usage of Biom3g-to improve and support land system of independent oil palm smallholders.Intl. J. on Advanced Sci. Eng. Inform. Tech. Vol. 4 (5) : 43 – 46. Adiwirman, Saleh, M., dan Nelvia. 2014. Studi respon dua varietas jagung manis pada berbagai formula media tumbuh selama dua periode tanam. Dalam Prosiding Seminar Nasionalyang diselenggarakan pada tanggal 19 – 21 Agustus di Lampung, Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat : Buku I: 9 – 11. Adriano, M. de L., Gutierrez, F., Dendooven, L., and Salvador-Figueroa, M. 2012. Influence of compost and liquid bioferment on the chemical and biological characteristics of soil cultivated with banana (Musa spp. L.). J. Soil Sci. Plant Nutr. : Vol. 12 (1): 33 – 43. Duong, T. T. T. 2013. Compost effects on soil properties and plant growth. Thesis for Doctor of Philosophy. Soils. School of Agriculture, Food, and Wine. The University of Adelaide. Handajaningsih, M. 2009. Growth and yield of Sweet Corn grown organically using palm oil sludge at different doses and composting methods. Akta Agrosia. Vol 12 (2): 99 – 105. Handajaningsih, M., Siswanto, U., Adiprasetyo, T., Hidayat, Purnomo, B., Marwanto, and Nuri, L. 2015. The suitability of different sources of biofertilizers to support sustainability of organic vegetables practice in Bengkulu province of Indonesia. Dalam Prosiding Seminar Internasional yang diselenggarakan pada tanggal 12 – 13 Oktober 2015 di Bengkulu, Judul prosiding: Proceeding International Seminar and Expo on “Promoting Local Resources for Food and Health”: pp. 250 – 253. Hapsoh, Gusmawartati, and Yusuf, M. 2015. Combination of compost material from organic waste of municipal and agricultural to compost quality. J. Tropical Soils. Vol 20 (1): 59 – 65.
382
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Hasanudin, Mitriani, dan Barchia, F. 2007. Pengaruh pengapuran dan pupuk kandang terhadap ketersediaan hara P pada timbunan tanah pasca tambang batubara. Akta Agrosia. Edisi Khusus Nomer 1: 1-4. Kim, H.J. and Li, X. 2016. Effect of phosphorus and shoot and root growth, partitioning, and phosphorus utilization efficiency in Lantana. HortSci. Vol 51 (8): 1001 – 1009. Masnang, A. 2003. Konversi penggunaan lahan kawasan hulu dan dampaknya terhadap kualitas sumberdaya air di kawasan hilir. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Morgan, K.T., Cushman, K.E., and Sato, S. 2009. Release mechanism for slow- and controlled release fertilizers and strategies for their use in vegetable production. HortTechnology, vol. 19 (1) : 10 – 12. Raviv, M. 2005. Production of high-quality composts for horticultural purposes : A Mini review. HortTechnology, vol 15 (1): 52-57. Riwandi, Handajaningsih, M., dan Hasanudin. 2014 Dalam Prosiding Seminar Nasionalyang diselenggarakan pada tanggal 19 – 21 Agustus di Lampung, Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat : Buku I: 540 – 546. Riwandi, Handajaningsih, M., Hasanudin, and Munawar, A. 2015. Soil quality improvement using compost and its effects on organic corn production. J. Tropical Soils. Vol 20 (1):11 – 19. Saputra, D. 2013. Pengaruh Lama Inkubasi Pupuk Kandang Kambing terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Suliasih, Widawati, S., dan Muharam,A. 2011. Aktivitas pupuk organik dan bakteri pelarut fosfor untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dan aktivitas mikroba tanah. J.Hortikultura. Vol 20 (3): 241 – 246. Supanjani. 2009. Pembuatan kompos dan pupuk organik cair. Teknologi Tepat Guna. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu. US Compoct Council. 2008. USCC Factsheet : Compost and Its Benefits. http://www.bae.ncsu.edu/topic/composting/pubs/us-composting-basics.pdf Diakses 12 September 2016. Wied, H.P. 2004. Memproses sampah. Penebar Swadaya. Jakarta. Yang, J., Kloepper, J.W., and Ryu, C.M. 2009. Rhizosphere bacteria help plants tolerate abiotic stress. Trend in Plant Science, 14: 1 – 4. Yulia, A.E., Silvina, F., dan Setyaningsih, F. 2014. Aplikasi kompos brangkasan jagung dan pupuk N,P,K pada tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt). Dalam Prosiding Seminar Nasionalyang diselenggarakan pada tanggal 19 – 21 Agustus di Lampung, Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat : Buku I: 37 – 43. Zhen, Z., Liu, H., Wang, N., Guo, L., Meng, J., Ding, N., Wu, G., and Jiang, G. 2014. Effects of manure compost application on soil microbial community diversity and soil microenvironments in a temperate cropland in China. PLoS ONE. Vol 9 (10): e108555. Diakses melalui doi:10.1371/journal.pone.0108555.
383
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENGARUH APLIKASI TEPUNG CANGKANG TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN ORGANOLEPTIK MANISAN LABU SIAM THE EFFECT OF SHELL FLOURS APPLICATION ON PHYSICAL, CHEMICAL AND ORGANOLEPTICOF CHAYOTE DRIED CANDIES Lina Widawati1, Hesti Nur’aini2, Septi Widiyawati 2 1
2
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Dehasen Program Studi Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Dehasen Jl. Meranti Raya No.32 Kota Bengkulu Telp (0736)-22027 e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Cangkang merupakan salah satu limbah peternakan yang memiliki kandungan kalsium yang dapat digunakan dalam pengolahan pangan. Ion kalsium akan berikatan dengan pektin membentuk Capektinat atau Ca-pektat yang tidak larut dalam air, sehingga menghasilkan produk dengan tekstur yang lebih baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis rendemen serta mengevaluasi pengaruh tepung cangkang siput, cangkang telur ayam dan cangkang kerang terhadap sifat fisik, kimia dan organoleptik manisan labu siam. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pembuatan tepung cangkang siput, cangkang telur dan cangkang kerang, aplikasi 3 jenis tepung cangkang tersebut pada pengolahan manisan labu siam, dengan variasi konsentrasi sebesar 0,5% dan 1%, serta tahap analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tepung cangkang antara 60-70%. Ditinjau dari sifat kadar air, semua perlakuan memenuhi syarat mutu manisan kering, yaitu kurang dari 25%. Ditinjau dari tekstur, manisan yang paling keras yaitu dengan perlakuan perendaman tepung cangkang telur ayam baik 0,5% maupun 1%. Ditinjau dari sifat sensoris (warna, rasa, dan tesktur), panelis memberikan penilaian antara suka hingga netral terhadap manisan labu siam. Kata Kunci: manisan labu siam, tepung cangkang siput, tepung cangkang telur dan tepung cangkang kerang ABSTRACT The shell is one of the livestock waste that contains calcium that can be used in food processing. Calcium ions will bind with pectin to form Ca-pektat or Ca-pektinat that insoluble in water, resulting in a product with better texture. The aim of this study is to analyze the yield and to evaluate the influence of snail shell, egg shell and shell flours on physical, chemical and organoleptic chayote dried candies. The research was conducted in three phases, namely the snail shell, egg shell and shell flours processing, application of the three types of shell flour on the processing of chayote candies, with varying concentrations of 0.5% and 1%, and the analysis phase. The results showed that the yield of shell flour between 60-70%. Judging from the water content, all treatments meet the quality requirements of dried candied, ie less than 25%. Judging from the texture, candied hardest is by soaking treatment egg shells flour either 0.5% or 1%. Judging from the sensory properties (color, flavor, and texture), panelists give like to neutral assessment between the chayote dried candies. Keywords : chayote dried candies, snail shell flour, egg shell flour and shells flour PENDAHULUAN Cangkang merupakan salah satu limbah peternakan yang menjadi masalah industri pengolahan pangan yang berbahan baku cangkang. Cangkang memiliki komposisi CaCO3 yang bisa menyebabkan polusi karena aktivitas mikroba di lingkungan. Sejauh ini limbah cangkang mudah terkontaminasi mikroba dan kecernaan mineral kalsiumnya yang masih rendah. Disamping itu, keberadaanya dapat menyebabkan pencemaran lingkungan karena sulit didegradasi oleh mikrobia tanah. Potensi limbah cangkang di Indonesia cukup besar. Namun, potensi tersebut hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal khususnya sebagai bahan pangan(Komarayati, 2005). Cangkang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan baku untuk industri makanan, yang salah satunya adalah Cookies. Cangkang juga dapat dimanfaatkan sebagai pangan ternak dan juga dimanfaatkan untuk hiasan kerajinan. Beberapa cangkang atau kerabang yang dapat diolah untuk bahan pangan diantaranya adalah cangkang telur, cangkang siput dan cangkang kerang.Cangkang telur merupakan salah satu limbah peternakan yang menjadi masalah egg breaking plant dan industri
384
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
pengolahan pangan yang berbahan baku telur (Komarayati, 2005).Tepung cangkang kerang merupakan olahan tepung berbahan kulit kerang hijau atau kerang air tawar yang dihaluskan sampai menjadi tepung. Tepung cangkang kerang mengandung kalsium yang tinggi yang dapat menguatkan tulang. Selain itu, tepung cangkang kerang juga mengandung kalsium, vitamin, protein dan mineral-mineral lain.Sementara itu tepung cangkang siput merupakan tepung cangkang hewan yang terbuat dari cangkang siput dan memiliki kandungan protein, lemak, kalsium, fosfor dan serat kasar (Idan, 2015). Menurut Umar (2000) cangkang telur ayam ras mengandung hampir 95,1% terdiri atas garamgaram organik, 3,3% bahan organik (terutama protein) dan 1,6% air. Sebagian besar bahan anorganik terdiri atas persenyawaan kalsium karbonat (CaCO3) sekitar 98,5% dan magnesium karbonat (MgCO3) sekitar 0,85%, sedangkan protein yang membentuk cangkang telur terdiri atas lapisan membran protein yang membentuk musin dan kretin. Komposisi tepung siput mentah adalah air (7,59 %), protein (59,27 %), lemak (3,62 %), kalsium (6,40 %), fosfor (0,85 %), dan serat kasar (2,47 %), sedangkan komposisi kandungan tepung cangkang kerang adalah meliputi calsium (Ca) sebesar 30% s/d 40% , phospor (P) sebesar 1% dan protein sebesar 3% s/d 4%, Tepung cangkang kerang ini diperoleh dengan cara menggiling cangkang kerang dari mulai ukuran yang besar hingga kecil(Kompiang, 1999). Kalsium adalah zat penting yang dibutuhkan oleh tubuh untuk memperkuat tulang dan gigi. Kalsium sangat penting dalam pengaturan jumlah besar aktivitas sel yang vital, fungsi syaraf dan otot, serta kerja hormon, pembekuan darah, motilitas seluler, dan untuk pembentukan kerabang. Salah satu sumber kalsium adalah kalsium karbonat dengan kadar kalsium adalah 40% (Widodo, 2002). Cangkang memiliki banyak kandungan kalsium. Pada pengelolaan pangan, kalsium dapat digunakan untuk menetralkan atau menurunkan kandungan asam pada buah. Kalsium ini tergolong pada basa kuat. Selain itu kalsium juga dapat mengeraskan jaringan produk yang akan dikeringkan contohnya dalam proses pembuatan manisan yaitu melakukan perendaman dengan kalsium hidroksida (Ca(OH)2. Dalam proses pembuatan manisan kendala yang sering dihadapi adalah tekstur buah yang lunak, oleh sebab itu perlu adanya penanganan yaitu dilakukan perendaman dalam larutan kalsium hidroksida yang bertujuan untuk mempertahankan tekstur buah terhadap suhu buah pada saat pemanasan bahkan dapat memperbaiki testur buah yang lunak. Penggunaan konsentrasi kalsium hidroksida berdampak pada peningkatan kadar air tetapi tidak berdampak pada kadar vitamin (Fitriyono, 2012). Labu siam (Sechium edule Swartz) merupakan salah satu tumbuhan obat Indonesia dari suku Cucurbitaceae yang sekarang belum banyak diteliti.Produksi labu siam di Provinsi Bengkulu terus mengalami peningkatan karena sangat cocok tumbuh dan berproduksi terus sepanjang tahun. Labu siam memiliki harga yang cukup murah sehingga selalu menjadi pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan makanannya. Selain itu, buah labu siam digemari orang karena rasanya yang enak dan dingin, namun buah ini masih terbatas dalam pengolahan, kebanyakan masyarakat mengenal buah ini sebagai sayuran dan obat (Haryono, 2013). Labu siam mengandung serat sekitar 1,7 g per 100 g buah. Selain itu dilaporkan bahwa labu siammerupakan sayuranpenurun kolesterol,pencegah hipertensi, bagus sebagai sumber nutrisi ibu hamil dan menyusui, baik untuk penderita asam urat, diabetes dan penderita sariawan, serta menjaga kesehatan ginjal (Elisabeth, 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Agustini (2006), membuktikan bahwa mengkonsumsi labu siam dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Manisan labu siam adalah buah-buahan yang direndam dalam air gula selama beberapa waktu. Tujuan pemberian gula dengan kadar yang tinggi pada manisan buah labu siam, selain untuk memberikan rasa manis, juga untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme (jamur, kapang)(Soetanto, 1996).Dalam penelitian ini, untuk mempertahankan bentuk (tekstur) serta menghilangkan getah pada buah labu siam, yaitu dengan menambahkan kalsium yang diperoleh dari tepung cangkang telur, tepung cangkang siput dan tepung cangkang kerang. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang: “Aplikasi Tepung Cangkang Siput, Cangkang Telur, Cangkang Kerang Dalam Pengolahan Manisan Labu Siam”.
385
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016, bertempat di Laboratorium Fakultas Pertania`n Universitas Dehasen Bengkulu dan Laboratorium Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu siam, cangkang siput sawah (Filopaludina javanica), cangkang telur ayam ras (Gallus gallus domesticus), cangkang kerang laut (Corbula Faba), garam dapur, gula pasir, natrium benzoat, vanili.Alat-alat yang digunakan untuk membuat manisan labu siam antara lain: pisau, panci, pengaduk, saringan, baskom, lilin, kantong plastik, kompor, tungku dan alat analisis. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu : 1. Pembuatan tepung cangkang telur, tepung cangkang siput dan kerang 2. Aplikasi tepung cangkang dalam pengolahan manisan labu siam 3. Analisis rendemen tepung cangkang, analisis kimia (kadar air), fisik (tekstur), dan organoleptik (warna rasa, tekstur) manisan labu siam. Analisis organoleptik menggunakan 20 orang panelis terlatih. Perlakuan yang diberikan adalah penambahan tepung cangkang telur, cangkang siput, dan cangkang kerang. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah perlakuan penambahan tepung cangkang 3 taraf dan konsentrasi tepung cangkang 2 taraf. 1. Perlakuan tepung cangkang (T) T1 = Tepung cangkang siput sawah (Filopaludina javanica) T2 = Tepung cangkang telur ayam ras (Gallus gallus domesticus) T3 = Tepung cangkang kerang laut (Corbula faba) 2. Perlakuan konsentrasi penambahan tepung cangkang (K) K1 = Konsentrasi 0,5% K2 = Konsentras 1,0% HASIL DAN PEMBAHASAN Randemen Tepung Cangkang Rendemen adalah perbandingan jumlah (kuantitas) suatu bahan yang dihasilkan sebelum dan sesudah pengolahan yang dinyatakan dalam satuan (%). Semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan menandakan nilai suatu bahan yang dihasilkan semakin banyak. Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah tepung cangkang siput, tepung cangkang telur ayam ras dan tepung cangkang kerang. Rendemen tepung cangkang siput dan tepung cangkang telur sebesar 60%, sedangkan rendemen tepung cangkang kerang sebesar 70%. Hal ini menunjukkan bahwa rendemen yang diperoleh masih tinggi karena hasil diatas 50%. Menurut Umar (2000), terjadinya perbedaan hasil rendemen tepung cangkang dipengaruhi oleh ketebalan kerabang. Faktor yang mempengaruhi ketebalan kerabang adalah faktor keturunan, perubahan musim, temperatur, makanan, umur dan kesehatan. Apabila kekurangan mineral kalsium, phosphor, dan vitamin D maka kerabang telur yang dihasilkan akan kurang baik. Kesemuanya ini juga dipengaruhi oleh kandungan CaCO3 dalam kerabang. Beberapa penemuan menyatakan bahwa semakin keras keadaan kerabang, maka semakin kecil pula kandungan proteinnya. Kadar Air Manisan Labu Siam Hasil rerata analisis kadar air manisan labu siam dengan perendaman dalam larutan tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 1.
386
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Hasil rerata analisa kadar air manisan labu siam (%) Konsentrasi tepung cangkang
Jenis tepung cangkang Siput Telur ayam ras Kerang a c 0,5% 23,51 18,24 19,91 b a c 1,0% 23,15 18,59 19,59 b Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya perbedaan yang nyata pada taraf signifikansi 5%, (pada kolom yang sama) Sumber : Data primer (2016)
Tabel 1 menjelaskan rerata analisis kadar air manisan labu siam dengan perlakuan aplikasi tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang menunjukkan tidak berbeda nyata baik pada perlakuan konsentrasi 0,5%, maupun 1,0%. Namun aplikasi tepung cangkang siput, cangkang telur dan cangkang kerang memberikan pengaruh terhadap kadar air manisan labu siam yang berbeda nyata. Kadar air tertinggi dicapai pada perlakuan perendaman dalam larutan tepung cangkang siput dengan konsentrasi 0,5% yaitu sebesar 23.51%. Hal ini diduga karena kadar air tepung cangkang siput lebih besar dibandingkan dengan tepung cangkang telur dan tepung cangkang kerang. Menurut Kompiang (1999), tepung cangkang siput memiliki kadar air sebesar 7,54%, tepung cangkang telur 1,6% dan tepung cangkang kerang sebesar 5, 83%. Lebih lanjut Haryanti (2009), menyatakan bahwa kadar air pada suatu produk erat hubungannya dengan peningkatan air oleh protein, yaitu peningkatan air yang tinggi akan mengurangi pelepasan air selama pemasakan, dengan demikian kadar air produk akan tinggi.Selain itu dapat disebabkan karena terjadinya perbedaan suhu pada saat proses penjemuran manisan labu siam. Semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin banyak molekul air yang menguap dari manisan labu siam yang dikeringkan sehingga kadar air yang diperoleh semakin rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Winarno (2002), yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin cepat terjadi penguapan, sehingga kandungan air di dalam bahan semakin rendah. Penguapan tersebut juga diakibatkan karena terjadinya perbedaan tekanan uap antara air pada bahan dengan uap air di udara. Tekanan uap air pada bahan umumnya lebih besar dari tekanan uap air udara sehingga terjadi perpindahan masa cair dari bahan ke udara. Selain itu dengan semakin besarnya energi panas yang dibawa udara akibat dari makin tingginya suhu pengeringan maka jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan manisan labu siam semakin banyak. Hal ini diperkuat oleh Histifarina (2004) menyatakan bahwa kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin besar dengan meningkatnya suhu udara pengering sehingga kadar air yang dihasilkan semakin rendah. Kadar air manisan labu siam hasil penelitian ini berkisar antara 19,59 s.d 23,51 %. Hal ini sudah sesuai dengan standar mutu manisan kering yang diatur dalam SNI No. 1718-1996, yang menerangkan bahwa kadar air manisan kering maksimal adalah 25%. Menurut Lisdiana (1998), perendaman buah ke dalam larutan yang mengandung kalsium memiliki pengaruh terhadap kadar air manisan kering labu siam, yang salah satunya disebabkan karena kalsium dapat mengurangi getah pada labu siam. Glikoprotein pada getah hilang dan glikoprotein bersifat mengikat kalsium sehingga air yang terkandung dalam bahan terikat dengan getah menjadi bebas dan air bebas lebih mudah dihilangkan sehingga air yang terdapat dalam manisan labu siam akan semakin berkurang. Semakin lama perendaman maka maka kadar air manisan labu siam yang dihasilkan akan semakin rendah yang bisa diartikan bahwa selama perendaman, getah semakin banyak terikat dengan larutan tepung cangkang, sehingga banyak air yang terbebas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo (2002) yang menyatakan bahwa larutan kalsium bersifat higroskopis dan mengurangi kadar getah suatu bahan. Tekstur Manisan Labu Siam Hasil rerata analisis tekstur manisan labu siam dengan perendaman dalam larutan tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 2.
387
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Hasil rerata analisa tekstur manisan labu siam (g/mm2) Konsentrasi tepung cangkang
Jenis tepung cangkang Siput Telur ayam ras Kerang a c 0,5% 85,99 56,67 69,67 b a c 1,0% 78,74 58,53 68,42 b Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya perbedaan yang nyata pada taraf signifikansi 5%, (pada kolom yang sama) Sumber : Data primer (2016)
Analisis tekstur (kekerasan) dalam penelitian ini menggunakan alat yakni penetrometer yang mengukur tingkat kekerasan bahan dengan menghitungberat beban yang dibutuhkan untuk menusuk sampel dengan kedalaman 1 mm2. Oleh karena itu, penetometer dilengkapi jarum penusuk dan penyangga beban.Semakin keras sampel yang diukur maka berat beban yang dibutuhkan untuk menusuk bahan akan semakin tinggi. Hasil rerata analisis tekstur manisan labu siam berkisar antara 56,67 g/mm2 hingga 85,99 2 g/mm . Nilai tekstur terbesar adalah pada perlakuan tepung cangkang siputyaitu dengan kisaran 78,7485,99 g/mm2, kemudian diikuti dengan perlakuan tepung cangkang kerang dengan kisaran 68,42- 69,67 g/mm2 dan nilai tekstur terkecil adalah tepung cangkang telur ayam yaitu dengan kisaran 68,42-56,67 g/mm2. Hasil ini sesuai dengan standar tekstur untuk manisan kering, yakni 60-70 g/mm2(Histifarina, 2004). Tabel 2 menjelaskan bahwa, tidak ada perbedaan yang nyata pada tekstur labu siam dengan perendaman larutan tepung cangkang siput, cangkang telur ayam maupun cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi 0,5% dan 1,0%. Akan tetapi jenis tepung cangkang memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini diduga karena kandungan kalsium masing-masing tepung cangkang yang berbeda yaitu 6.40% kalsium pada tepung cangkang siput, 98,5% kalsium pada tepung cangkang telur dan 30-40% kalsium pada tepung cangkang kerang (Kompiang, 1999), sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa tekstur manisan labu siam dengan aplikasi tepung cangkang dari yang paling lunak hingga yang paling keras berturut-turut adalah manisan dengan aplikasi tepung cangkang telur ayam, cangkang kerang dan cangkang siput. Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa semakin besar kadar kalsium dalam tepung cangkang yang digunakan, maka semakin besar gaya yang diperlukan untuk memecah manisan kering labu siam, yang berarti tekstur manisan tersebut semakin keras. Hal ini disebabkan oleh kandungan kalsiumdalam tepung cangkang yang diaplikasikan pada air perendam, karena dalam larutan ion kalsium dapat berikatan dengan pektin membentuk Ca-pektat yang tidak larut (Winarno, 2002). Garam Ca-pektat yang tidak larut ini akan mengikat material-material di antara sel-sel dan membantu mengurangi pemecahan struktur yang disebabkan panas selama pengolahan (Pujihartati, 1994) sehingga semakin tinggi kadar kalsium, maka makin banyak pula pektin yang terikat menjadi Capektat. Dengan banyaknya Ca-pektat yang terbentuk akan mengurangi potensi pengikatan air oleh pektin sehingga pada proses pengeringan, penguapan air akan terjadi lebih banyak dan manisan yang dihasilkan pun akan mempunyai tekstur yang keras. Lebih lanjut Fitriyono(2012), mengungkapkanbahwa kandungan kalsium mempengaruhi tekstur olahan pangan. Semakin tinggi kandungan kalsium maka tekstur buah semakin keras, sebaliknya semakin rendah kandungan kalsium maka tekstur buah akan semakin lunak, oleh sebab itu perlu adanya perendaman dalam larutan kalsium hidroksida yang terdapat pada tepung cangkang untuk memperbaiki struktur buah yang lunak. Desrosier (2008) mengungkapkan bahwa penambahan garam kalsium pada buah akan memantapkan gel kalsium pektat yang mendukung jaringan dan memelihara struktur, bahkan setelah proses pemanasan. Menurut Eskin (1977), hal ini terjadi karena adanya pembentukan garam dari ion kalsium dengan gugus karboksil sehingga terdapat ikatan silang antara dua karboksil tersebut. Jika ikatan-ikatan menyilang terjadi dalam jumlah besar, maka bahan akan semakin kukuh terhadap gangguan mekanis. Jika dibandingkan antara tekstur manisan labu siam dengan tekstur manisan yang lain adalah terjadi perbedaan. Menurut Kompiang (1999), Setiap jenis makanan memiliki tekstur yang berbedabeda, tergantung dari komposisi bahan pangan, proses pengolahan, atau tingkat kematangan untuk komoditi buah dan sayur.Tekstur yang dimiliki makanan tersebut mempengaruhi mutu produk yang akhirnya mempengaruhi penerimaan kosumen produk pangan tersebut.
388
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Sifat Sensoris Warna Manisan Labu Siam Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam dengan perendaman dalam larutan tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam Konsentrasi Tepung Cangkang
Jenis Tepung Cangkang Siput Telur Ayam Ras Kerang 0,5% 2.10 a 2.55 a 2.75 a 1,0% 2.00 a 2.60 a 2.25 a Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya perbedaan yang nyata pada taraf signifikansi 5%, (pada kolom yang sama) Skala : 1= sangat suka; 2 = suka; 3 = netral; 4 = tidak suka; 5 = sangat tidak suka (pada kolom yang sama) Sumber : Data primer (2016)
Berdasarkan tabel 3 hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam dengan aplikasi tepung cangkang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% dan jenis cangkang menunjukkan tidak beda nyata, dengan rentang skala penilaian dari suka hingga netral. Jika ditinjau dari tampilan warnanya secara subyektif, sampel manisanlabu siam hasil perlakuan perendaman tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% mengalami perbedaan. Manisan dengan aplikasi tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, mempunyai warna lebih terang dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 1,0% dengan warna agak keputihan dan memudar. Warna manisan labu siam pada aplikasi tepung cangkang siput konsentrasi 0,5% warnanya sedikit kecoklatan, sedangkan perlakuantepung cangkang siput konsentrasi 1,0% warnanya coklat. Perlakuan tepung cangkang telur ayam ras dengan konsentrasi 0,5% dengan warna kuning pekat, kemudian dengan konsentrasi 1,0% warnanya berubah menjadi kuning keputihan atau kuning pucat. Untuk perlakuan tepung cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5% memiliki warna coklat, kemudian dengan konsentrasi tepung cangkang kerang 1,0% mengalami perbedaan warna coklat gelap. Perbedaan warna manisan labu siam pada setiap perlakuan diduga disebabkan oleh persentase tepung cangkang yang tinggi, yang diberikan pada manisan labu siam. Semakin tinggi konsentrasi tepung cangkang maka warna manisan labu siam semakin memudar dan menurun. Adanya pengaruh tepung cangkang terhadap kerusakan pigmen pada bahan labu siam menyebabkan warnanya semakin menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (2002), yang menyatakan pigmen sangat peka terhadap pengaruh-pengaruh kimia, fisik dan mekanik sebelum dan selama pengolahan. Sifat Sensoris Rasa Manisan Labu Siam Hasil rerata tingkat kesukaan panelisterhadap rasa manisan labu siam dengan aplikasi tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam Konsentrasi Tepung Cangkang
Jenis Tepung Cangkang Siput Telur Ayam Ras Kerang a a 0,5% 2.25 2.45 2.70 a a a 1,0% 2.15 2.60 2.40 a Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya perbedaan yang nyata pada taraf signifikansi 5%, (pada kolom yang sama). Skala : 1= sangat suka; 2 = suka; 3 = netral; 4 = tidak suka; 5 = sangat tidak suka (pada kolom yang sama) Sumber : Data primer (2016)
Berdasarkan tabel 4, diketahui bahwa hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa manisan labu siam dengan perlakuan konsentrasi larutan tepung cangkang dan jenis tepung cangkang menunjukkan tidak ada beda nyata. Rerata tingkat kesukaan panelisterhadap rasa manisan labu siam
389
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
berkisar antara suka hingga netral. Meskipun demikian, peneliti mengamati bahwa terdapat perbedaan rasa manisan labu siam hasil penelitian. Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan konsentrasi larutan perendam yang digunakan, semakin tinggi konsentrasiyang diberikan maka rasa manisan labu siam juga semakin tidak enak. Menurut Fitriyono(2012), menyatakan bahwa larutan kalsium hidroksida yang terdapat pada tepung cangkang digunakan untuk memperbaiki struktur buah yang lunak. Penggunaan kalsium berdampak pada kadar air yang akan mempengaruhi rasa dari buah yang dijadikan manisan. Sifat Sensoris Tekstur Manisan Labu Siam Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur manisan labu siam dengan aplikasi tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 4. Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam Konsentrasi Tepung Cangkang
Jenis Tepung Cangkang Siput Telur Ayam Ras Kerang a a 0,5% 2.05 2.20 2.40 a a a 1,0% 1.95 2.25 2.00 a Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya perbedaan yang nyata pada taraf signifikansi 5%, (pada kolom yang sama) Skala : 1= sangat suka; 2 = suka; 3 = netral; 4 = tidak suka; 5 = sangat tidak suka (pada kolom yang sama) Sumber : Data primer (2016)
Berdasarkan tabel 4, diketahui bahwa hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa manisan labu siam dengan perlakuan konsentrasi larutan tepung cangkang dan jenis tepung cangkang menunjukkan tidak ada beda nyata, dengan skala nilai rata-rata “suka”. Jika dibandingkan dengan parameter warna dan rasa, penilaian panelis terhadap tekstur manisan labu siam pada setiap perlakuan cenderung lebih tinggi. Perlakuan perendaman dalam larutan tepung cangkang pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki tekstur manisan kering labu siam yang dihasilkan. Kandungan kalsium dalam tepung cangkang akan bereaksi dengan pektin di dalam jaringan labu siam, sehingga pektin yang bersifat larut dalam air akan berubah menjadi Ca-pektinat yang bersifat tidak larut dalam air. Reaksi inilah yang menyebabkan manisan labu siam mempunyai tekstur yang kenyal dan tidak lembek (Winarno, 2002). KESIMPULAN Rendemen tepung cangkang siput dan tepung cangkang telur ayam ras berkisar 60% sedangkan rendemen tepung cangkang kerang sebesar 70%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil rendemen yang diperoleh masih tinggi yakni diatas 50%.Rerata kadar air manisan labu siam masih memenuhi syarat SNI yaitu kurang dari 25%. Pada analisis tekstur, tekstur terkecil yaitu pada manisan labu siam dengan perlakuan perendaman dengan tepung cangkang telur ayam ras. Sedangkan pada analisis organoleptik (warna, rasa dan tekstur)manisan labu siam dengan perlakuan aplikasi tepung cangkang siput, cangkang telur dan cangkang kerang menunjukkan tidak beda nyata pada taraf signifikansi 5%baik pada perlakuan konsentrasi 0,5%, maupun 1,0%. DAFTAR PUSTAKA Agustini Kurnia. 2006. Pengaruh lama pemberian formula ekstrak buah labu siam terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Tikus Putih Jantan, Departemen Farmasi Universitas Indonesia. Jakarta.www.pps.ui.ac.id/ui-Jurnal.pdf. Diunduh tanggal 17 Oktober 2016 DSN-SNI No. 1718. 1996. Syarat Mutu Manisan. Badan Standarisasi Nasional.Jakarta Desrosier,N.W. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan, UI Press, Jakarta. Elisabeth, D A A. 2008. Labu Siam, Jadi Cantik karena Kaya Manfaat Kesehatan. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Edisi 19, th VI desember 2008. BPTP Bali Eskin, N.A.M, Henderson and Townsend,R.J. 1971. Biochemistry of Food. Academis Press. New York.
390
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Fitriyono. 2012. Aplikasi Pengolahan Pangan. Pusat Antar Universitas, IPB. Bogor. Haryati.2009. Analisa Bahan Makanan dan Hasil Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Haryono. 2013. Studi Identifikasi Makanan Olahan Lokal Provinsi Bengkulu. Skripsi Fakultas Pertanian. Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Bengkulu. Histifarina. 2009. Pengkajian Penerapan Teknologi Pengolahan Manisan Mangga Kering di Kabupaten Indramayu. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan teknologi Pertanian. Vol 12. No 2 Juli 2009 Hal 91-98 Idan. 2015. Pemanfaatan Tepung Cangkang Kerang terhadap Performen Burung Puyuh. USU. Medan Juliyanto. 2010. Pembinaan Kelompok Melalui Pengolahan Labu Siam di Kecamatan Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan Pertanian 5 (1). Komarayati. 2005. Pemanfaatan Cangkang Telur sebagai Flavor. Skripsi. FPIK-IPB. Bogor. Kompiang. 1999. Analisa Bahan dan Pertanian. Liberty.Yogyakarta. Lisdiana. 1998. Membuat Aneka Manisan. Kanisius. Yogyakarta. Pujihartati,V. 1994, Peranan CaCl2 dalam Perendaman Buah Pepaya (Carica papaya). Skripsi. FTP UGM. Yogyakarta. Soetanto, Edi. 1996. Manisan Buah-buahan. Kanisius. Yogyakarta. Umar. 2000. Pemanfaatan Cangkang Telur sebagai Matrik Penyangga pada Imobilisasi Enzim Protease. Skripsi Teknologi Hasil pertanian. IPB. Bogor. Widodo, 2002. Kalsium dan Pengolahan Pangan. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Lampiran Syarat mutu manisan Uraian Keadaan (kenampakan, bau, rasa, dan jamur) Kadar Air Jumlah Gula (dihitung sebagai sukrosa) Pemanis Buatan
Persyaratan Normal tidak berjamur Maks 25 % (b/b) Min. 40 % Tidak ada Yang diizinkan untuk makanan Tidak ada Maks. 50 mg/kg
Zat Warna Benda Asing (daun, tangkai, pasir dan lain-lain) Bahan Pengawet (dihitung sebagai SO2) Cemaran Logam: Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Timah (Sn)
Maks. 50 mg/kg Maks. 2,5 mg/kg Maks. 40 mg/kg Maks. 150 mg/kg
Arsen Pemeriksaan Mikrobiologi : Golongan Bentuk coli Bakteri Escherrichia coli
Maks. 1,0 mg/kg Tidak ada Tidak ada
Smber: DSN - SNI No.1718, 1996
391
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
APLIKASI PRA-DAN PURNA-TUMBUH HERBISIDA BERBAHAN AKTIF CAMPURAN ATRAZINE DAN MESOTRIONE UNTUK PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN JAGUNG MANIS PRE AND POST-EMERGENCE APPLICATION OF HERBICIDE MIXTURE OF ATRAZINE AND MESOTRIONE FOR WEED CONTROL IN SWEET CORN Marulak Simarmata1, Bona Romaston Haloho1, dan Yenny Sariasih2 1
Jurusan Budi Daya Pertanian,2Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jalan W.R. Supratman Kandang Limun, Bengkulu 38371 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kehadiran gulma pada budidaya tanaman dapat menyebabkan kehilangan hasil sehingga sudah keharusan untuk mengendalikan gulma dengan metode dan waktu yang tepat. Penggunaan herbisida atau bahan kimia yang mematikan gulma merupakan pilihan yang sangat praktis. Herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione direkomendasikan untuk jagung, sorgum, dan tebu. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas aplikasi pra- dan purna-tumbuh herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione pada tanaman jagung manis yang dibudidayakan dengan kompos bahan organik yang berbeda. Penelitian dilaksanakandi Kelurahan Kandang Limun, Kecamatan Muara Bangkahulu, Bengkulu, pada bulan April hingga Juli 2014. Perlakuan yang diuji disusun dalam rancangan petak terpisah (split plot design) dengan 3 ulangan sebagai kelompok. Petak utama adalah pemberian kompos organik kotoran sapi 10 ton ha-1, tandan kosong kelapa sawit (TKKS) 20 ton ha-1, dan tanpa bahan organik; sedangkan anak petak adalah pengendalian gulma dengan herbisida campuran atrazine dan mesotrione dengan aplikasi pra-tumbuh, aplikasi purna-tumbuh, disiang 2x, dan tanpa pengendalian gulma sebagai kontrol. Data pengamatan diuji secara statistik dengan analisis varian dan diuji lanjut dengan LSD (P≤0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman jagung manis mengalami keracunan ringan terhadap herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione sampai tiga minggu setelah aplikasi. Ada interaksi antara perlakuan kompos bahan organik dengan metode pengendalian gulma terhadap peningkatan hasil tongkol jagung manis. Katakunci: atrazine, kompos organik, mesotrione, pra-tumbuh, purna tumbuh ABSTRACT Weeds are always interfere withthe crops and caused yield lost, therefore weeds should be controlled at the right time by inappropriate measures. Using herbicides to control weeds is a good measure because of the effectiveness and efficiency. A relatively new introduced herbicide, which active ingredients were mixture of atrazine and mesotrione was recommended to use in corn, sorghum, and sugarcane.This study was aimed to compare the effectiveness of pre-and post-emergence applications of herbicide mixture of atrazine and mesotrione for weed control in sweet corn treated with different organic compost. The research was conducted in the village of Kandang Limun, District of Muara Bangkahulu, Bengkulu, from April to July 2014. The treatments were arranged in a split-plot design with 3 replications. The main plot was the application of organic compost included compost of cow manure at 10 ton ha-1,compost of oil palm empty fruit bunches (EFB) at 20 ton ha-1, and without organic compost; while the subplot was pre-emergence application of herbicide, post-emergence application, two times of hand weeding, and without weeding as a control. Data collected were subjected to analysis of variance at 5 % level and means for significant influences of the treatments were separated using LSD at P ≤ 0.05. The results showed that sweet corn plants were suffered to light injury from herbicide mixture of atrazine and mesotrione until3 weeks after application. An interaction between organic compost and the weed control measures increased the yield of sweet corn significantly which was observed as corn cob without husk. Keywords:atrazine, mesotrione, organicmatters, pre-and post-emergence
392
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) merupakan tanaman hortikultura yang dibudidayakan di Indonesia sejak tahun 1980an. Buah jagung manisbanyak dikonsumsi karena rasa yang lebih manis dibandingkan jagung biasa. Hal in disebabkan kadar sukrosa mencapai 4 – 5 %, sedangkan jagung biasa hanya 2 – 3 %. Produksi jagung manis di Indonesia masih tergolong rendah yaitu 4-5 ton ha-1, sedangkan negara lain seperti di USA bisa mencapai 10 – 15 ton ha-1(USDA, 2015). Usaha memenuhi kebutuhan domestik jagung manis adalah dengan meningkatkan produksi dalam negeri melalui perluasan areal tanam dan sekaligus dengan perbaikan teknik budidaya. Pemberian kompos bahan organik pada areal penanaman jagung manis merupakan teknologi budidaya yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman seperti N, Pdan K (Brady and Weil, 2010; Brown and Cotton, 2011). Bahan organik juga dapat menyehatkan tanah dengan memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah (Simanungkalit, 2006; Taguiling, 2013). Bahan organik yang banyak digunakan dalam budidaya tanaman adalah berupa pupuk kandang, tetapi dewasa ini bahan organik hijau yang diperoleh dari sumber daya lokal berupa sisa panen tanaman, kompos gulma, dan limbah organik dari biomassa tumbuhan sudah banyak digunakan. Bahan organik hijau dapat digunakan setelah terlebih dahulu mengalami dekomposisi dan mineralisasi (Simanungkalit, 2006; Setyowati et al., 2008; Taguiling, 2013). Brady and Weil (2010), menyatakan bahwa ketersediaan hara bagi tanaman tergantung pada tipe bahan organik yang termineralisasi dan hubungan antara karbon dan nutrisi lain, misalnya rasio antara C/N, C/P, dan C/S.Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan salah satu bahan organik yang tersedia di sekitar pabrik pengolahan kelapa sawit dan belum banyak digunakan.Pengomposan TKKS dapat menggunakan bio aktivator EM-4 untuk mempercepat dekomposisi sehingga unsur hara yang ada pada TKKS dapat dimanfaatkan tanaman (Ichwan, 2007).Menurut Sentanaet al.(2010), kompos TKKS dapat mensuplai hara yang penting bagi tanaman seperti C, N, P, dan K, dan juga dapat memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah. Budidaya tanaman tentu tidak terlepas dari kehadiran gulma yang menimbulkan kerugian pada pertumbuhan dan hasil tanaman (Monaco et al., 2002). Aplikasi bahan organik juga dapat merubah komposisi gulma yang muncul sehingga mempengaruhi dalam pemilihan metode pengendalian gulma (Simarmataet al., 2015). Berbagai metode pengendalian dapat dilakukan untuk mencegah kerugian yang ditimbulkan gulma seperticara preventif, manual, kultur teknis, biologi, kimia, dan terintegrasi.Cara kimia dengan menggunakan herbisida banyak dilakukan karena cara-cara yang lain tidak efektif, tidak cukup waktu, gulma sulit dikendalikan, dan juga karena lahan yang luas. Salah satu herbisida yang direkomendasikan untuk budidaya jagung adalah herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione yang dipasarkan dengan nama Calaris@ (Woodyard et al., 2009). Atrazine ditemukan pada tahun 1952, dengan nama kimia 6-chloro-N-ethyl-N’-(1methylethyl)-1,3,5-triazine-2,4-diaminetermasuk dalam golongan herbisida triazine (Monaco et al., 2002). Mekanisme kerjanya menghambat fotosistem II dalam reaksi fotosintesis (Muller, 2008). Resistensi pada gulma timbul akibat penggunaan yang intensif dari atrazine untuk jangka waktu yang panjang (Schooler et al., 2008;. Williams II et al.,2010). Salah satu pendekatan untuk mencegah resistensi gulma pada herbisida tertentu adalah dengan mencampur dua jenis herbisida yang memiliki mekanisme yang berbeda seperti pencampuran atrazine dan mesotrione (Woodyard et al., 2009). Mesotrione dengan nama kimia 2-(4-(metilsulfonil)-2-nitrobenzonyl)sikloheksana-1,3-dione, adalah herbisida yang relatif baru dalam keluarga triketone, efektif untuk mengendalikan spesies gulma yang tahan terhadap atrazine (James et al., 2006). Mesotrione menghambat pigmen karoten dalam jaringan tanaman.Gejala yang nampak pada gulma adalah kehilangan warna hijau pada daun, bleaching, dan kematian (James et al.,2006;. Schooler et al., 2008).Rasio campuran herbisida Calaris@berbahan aktif atrazine dan mesotrione adalah masing masing 500 dan 50 g L-1, dimana herbisida ini ini secara luas digunakan sebagai herbisida selektif untuk jagung, gandum, sorgum, dan tebu dengan metode aplikasi pra- dan purna tumbuh (James et al., 2006; Woodyard et al., 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas metode pengendalian gulma secara kimiawi dengan herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione yang diaplikasi pra- dan purna-tumbuh pada tanaman jagung manis yang dibudidayakan dengan pemberian kompos pupuk kandang dan kompos TKKS.
393
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kandang Limun, Kecamatan Muara Bangkahulu pada bulan April hingga bulan Juli 2014. Lahan penelitian adalah jenis tanah ultisol pada ketinggian tempat adalah 22 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan letak geografis03o 45’ 08” LS dan 102o 16’ 59” BT. Dua perlakuan yang diteliti adalah penggunaan kompos bahan organik dalam budidaya jagung manissebagai petak utama dan metode pengendalian gulma sebagai anak petak disusun dalam rancangan petak terbagi (split plot design) yang diulang tiga kali. Petak utama terdiri dari kompos bahan organik kotoran sapi 10 ton ha-1, kompos TKKS 20 ton ha-1, dan tanpa bahan organik sebagai kontrol, sedangkan anak petak adalah cara pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione yang diaplikasi pra-tumbuh, purna-tumbuh pada 2 minggu setelah tanam (MST), disiang 2x (2 dan 4 MST), dan tanpa pengendalian gulma sebagai kontrol. TKKS terlebih dahulu dikomposkan selama satu bulan dengan menggunakan bioaktivator EM-4 dan kotoran sapi sudah dalam kompos siap pakai. Lahan penelitian dibersihkan dari tumbuhan pengganggu dan diolah manual dengan menggunakan cangkul hingga kedalaman 25 cm. Sebanyak 12 petak ukuran 3m x 1,6 m dibentuk pada setiap ulangan dan bahan organik pupuk kandang dan kompos TKKS dicampur merata pada petak percobaan sesuai dosis perlakuan. Penanaman dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm dilakukan dengan menugal pada kedalaman 3 cm. Setiap lubang tanam ditanam 2 benih ditambah 5 butir insektisida Furadan 3Guntuk mencegah benih dari serangga, kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah. Aplikasi herbisida pra-tumbuh dilakukan setelah penanaman dan purna-tumbuh. Dosis herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione adalah 1,0 kg b.a. ha-1 dengan penambahan non-ionik Surfaktan 1 % v/v pada volume semprot 400 L ha-1. Larutan herbisida disemprot dengan menggunakan alat penyemprot punggung pada tekanan 15 psi dengan menggunakan nozzle flat warna biru. Penyemprotan diarahkan pada permukaan tanah untuk aplikasi pra-tumbuh dan pada vegetasi gulma dan tanaman untuk aplikasi purna tumbuh. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiramansetiaphariapabilatidakturunhujan, penjarangan pada satu MST menjadi satu tanaman per lubang tanam, dan pengendalian hama dan penyakit sesuai dengan keperluan. Pengendalian gulma dilakukan sesuai perlakuan. Pemupukandiberikan pada larikan berjarak 10 cm dari tanaman dan larikan ditutup dengan tanah setelah pemberian pupuk. Pupuk yang diberikan terdiri dari Urea, SP-36, dan KCl masing-masing 400, 300, dan 150 kg ha-1. Pupuk Urea diberikan dua kali yaitu 1/3 dosis pada saat tanam dan 2/3 dosis pada 4 MST. Sedangkan SP-36 dan KCl diberikan pada saat penanaman. Pemanenan dilakukan setelah tanaman 65 hari atau 2/3 bagian dari jumlah tanaman pada luasan panen telah mencapai stadia masak yang dicirikan dengan warna biji kuning. Pengamatan meliputi variabel pertumbuhan antara lain keracunan tanaman akibat perlakuan herbisida, variabel pertumbuhan maksimum pada saat berbunga 50 persen antara lain tinggi tanaman (cm), indeks luas daun, dan tingkat kehijauan daun; variebel hasil antara lain berat segar tongkol tanpa kelobot, panjang tongkol, diameter tongkol, dan tingkat kemanisan biji. Keracunan tanaman diamati secara visual setiap minggu dengan mengikuti metode Burrill et al., (1976). Intensitas keracunan tanaman di hitung berdasarkan kerusakan daun tanaman akibat keracunan herbisida, yang ditetapkan dengan rumus persamaan [1] (Tabel 1). Dk I= x 100 %............................................... [1] Dk + Do Dimana I= intensitas keracunan tanaman (%), Dk adalah daun yang keracunan, Do adalah daun yangtidak keracunan.
394
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Intensitas dan deskripsi keracunan keracunan tanaman(Burril et al., 1976) Intensitas Keracunan Tanaman 0 – 10 11 – 20 21 – 30 31 – 40 41 – 50 51 – 60 61 – 70 71 – 80 81 – 90 91 – 100
Deskripsi Tanaman Tidak keracunan Keracunan sangat ringan Keracunan cukup ringan Keracunan ringan Keracunan sedang Keracunan kurang parah Keracunan cukup parah Keracunan parah Keracunan sangat parah Tanaman mati
Tingkat kehijauan daun diamati dengan menggunakan Chlorophyll Meter SPAD. Indeks luas daun ditentukan dengan 0,75 x luas daun x (jumlah daun/jarak tanam). Tingkat kemanisanbuah (brix) diukur dengan menggunakan Hand-Held Refractometer. Data pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan soft ware CoStat 6,4. Apabila terdapat pengaruh yang nyata dalam analisis varian (ANOVA) pada taraf 5%, maka rerata pengamatan diuji lanjut dengan uji LSD taraf P≤ 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Gulma Hasil analisis vegetasi sebelum pengolahan lahan penelitian menunjukkan 14 spesies gulma terdiri dari9 spesies berdaun lebar yaitu Borreria leaves, Boreria palustris, Eupatorium odoratum, Melastoma affine, Mimosa pudica, Porophyllum ruderale, Pueraria javanica, Richardia brasiliensis dan Stachytarpheta indica, dan 5 spesies gulma rerumputan yaitu Axonopus compressus, Digitaria sanguinalis, Imperata cylindrica, Ishaemum timorense dan Paspalum conjugatum (Simarmata et al., 2015). Pada akhir penelitian gulma yang tumbuh menurun menadi 13 spesies dimana yang dominan menjadi Borreria leavis, Borreria palustris, Peuraria javanica, and Syndrella nodiflora. Lima gulma yang tidak muncul lagi adalah Eupatorium odoratum, Ishaemum timorense, Melastoma afine, Porophyllum ruderale, and Richardia brasiliensis. Empat spesies gulma yang baru tumbuh adalah namely Ageratum conyzoides, Eleusine indica, Phyllanthus urinaria, and Syndrella nodiflora. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran vegetasi gulma akibat perlakuan pengendalian secara kimia (Hasanuddin, 2013; Simarmata et al., 2015). Efektifitas metode pengendalian gulma secara kimia terhadap pertumbuhan gulma nampak pada pengamatan berat kering biomassa gulma secara total pada akhir penelitian dalam persentase dari kontrol dalam Tabel 2 (Simarmata et al., 2015). Biomassa gulma dapat ditekan hingga 25, 25.75, dan 26,73 persen dengan herbisida campuran atrazine dan mesotrione aplikasi purna-tumbuh masing-masing pada kompos kotoran sapi, tanpa kompos, dan TKKS. Dengan tertekannya pertumbuhan gulma sehingga tanaman bebas dari kompetisi dandapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil. Tabel 2. Pengaruh metode pengendalian gulma terhadapbiomassa gulma di akhir penelitian (% dari kontrol) Bahan Organik
Biomassa Gulma ( % dari kontrol ) Pra- tumbuh
Purna-Tumbuh
Penyiangan 2x
Tanpa bahan organik
42,83
25,75
42,21
Kompos kotoran sapi Kompos TKKS
37,06
25,00
37,52
37,80
26,73
50,31
Sumber: Simarmata et al., 2015
395
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis Jagung manis tumbuh baik dengan daya perkecambahan >90 %. Akan tetapi intensitas curah hujan khususnya bulan ketiga penelitian kurang mencukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan jagung manis. Data lengkap keadaan hujan di lokasi penelitian yaitu pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli adalah masing-masing 569, 444, 43, dan 204 mm bulan dengan hari hujan 17, 17, 7, dan 15 hari. Keadaan curah hujan yang kurang ini berpengaruh pada fase produktif tanaman sehingga ukuran tongkol nampak dibawah ukuran rata-rata. Tabel 3. Intensitas keracunan tanaman jagung manis akibat perlakuan herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione Intensitas Keracunan Tanaman ( % ) 1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA Kontrol / Penyiangan 2x 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.00 a Aplikasi Pra-Tumbuh 18.38 b 12.43 c 6.73 b 0.87 a Aplikasi Purna-Tumbuh 16.73 b 8.30 b 4.82 b 1.07 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji LSD (P ≤ 0.05) Cara Aplikasi Herbisida
Tanaman jagung manis juga mengalami keracunan terhadap perlakuan herbisida pada awal pertumbuhan hingga 3 minggu setelah aplikasi herbisida (Tabel 3). Intensitas keracunan keracunan tanaman jagung manis akibat perlakuan herbisida campuran atrazine dan mesotrione diamati hingga 4 minggu setelah aplikasi (MSA) herbisida. Pada Tabel 3, nampak bahwa pertumbuhan tanaman jagung manis mengalami keracunan sangat ringan terhadap perlakuan herbisida pra- dan purna-tumbuh dengan intensitas < 20 % pada pengamatan 2 MSA, dan < 10 % pada 3 MSA, tetapi tanaman tumbuh normal setelah 4 MSA. Keracunan visual pada jagung adalah merupakan gejala yang terjadi sebagai respon fisiologis tanaman terhadap senyawa kimia atrazine dan mesotrione. Gejala ini dimati pada perubahan warna dan bentuk daun setelah aplikasi herbisida dengan mengacu pada Burril et al., (1976). Tingkat keracunan yang rendah dan pemulihan setelah 4 MSA menunjukkan bahwa tanaman jagung manis tahan terhadap campuran herbisida atrazine dan mesotrione dengan aplikasi pra- dan purna-tumbuh. Keracunan ringan dan pemulihan yang cepat dari tanaman jagung terhadap campuran herbisida atrazine dan mesotrione juga dilaporkan pada pada tanaman jagung (Mawardi, 2010; Hasanuddin, 2013). Tabel 4. Data pengamatan pertumbuhan pada saat berbunga meliputi tinggi tanaman (TT), tingkat kehijauan daun(TKD), dan indeks luas daun (ILD); komponen hasil dan hasil meliputi kemanisan (TKB), panjang tongkol (PT), diameter tongkol (DT), dan berat segar tongkol (BST). Bahan Organik Kontrol
Kot. Sapi
TKKS
Pengendalian Gulma Kontrol Herbisida Pra-tumbuh HerbisidaPurna-tumbuh Penyiangan 2x Kontrol Herbisida Pra-tumbuh Herbisida Purna-tumbuh Penyiangan 2x Kontrol Herbisida Pra-tumbuh Herbisida Purna-tumbuh Penyiangan 2x Bahan Organik Pengendalian Gulma Interaksi
TT (cm) 124,45 125,09 130,35 121,81 140,77 142,45 146,49 133,12 121,93 131,08 128,90 139,02 ns ns ns
TKD
ILD
45,64 45,33 44,81 44,42 46,88 46,98 49,22 45,96 43,50 44,43 43,66 45,10 ns ns ns
1,19 1,19 1,21 1,17 1,32 1,35 1,38 1,31 1,20 1,26 1,25 1,28 ns ns ns
TKB 7,47 7,25 7,45 7,65 7,70 8,27 8,10 7,90 7,47 7,50 7,60 7,83 * ns ns
PT (cm) 14,69 13,95 16,70 16,35 17,03 18,22 16,59 17,62 14,34 16,12 16,31 14,93 * ns ns
DT (cm) 5,56 5,76 5,74 5,84 5,59 5,74 5,65 5,69 5,44 5,64 5,52 5,55 ns ns ns
BST (gram) 198,01 174,50 192,53 204,86 206,67 257,93 225,83 227,22 184,03 202,77 230,13 228,57 ns ns *
Ket.: ns = non significant atau tidak berpengaruh nyata dan * = berpengaruh nyata pada pada analisis varian ANOVA ( P ≤ 0.05).
Data pengamatan pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil tanaman jagung manis serta rekapitulasi analisis varian (ANOVA) disajikan pada Tabel 4. Terdapat interaksi perlakuan bahan organik dengan cara pengendalian gulma terhadap hasil jagung manis dalam bentuk tongkol tanpa
396
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
kelobot. Perlakuan bahan organik sendiri berpengaruh pada panjang tongkol dan tingkat kemanisan buah. Variabel pengamatan yang lain yaitu tinggi tanaman, tingkat kehijauan daun, indeks luas daun, dan diameter tongkol tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan bahan organik dan cara pengendalian gulma. Walaupun perlakuan kompos bahan organik dan pengendalian gulma tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman jagung manis, tetapi kombinasi perlakuan menunjukkan interaksi yang nyata terhadap hasil tongkol tanpa kelobot dan uji lanjut terhadap interaksi tersebut disajikan pada Tabel 5. Hasil tongkol pada perlakuan cara pengendalian gulma atau cara aplikasi herbisida berbeda nyata pada semua petak utama. Pada pemberian kompos bahan organik kotoran sapi cara pengendalian gulma dengan herbisida pra-tumbuh mengasilkan berat tongkol yang paling tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan herbisida purna-tumbuh, penyiangan 2x dan kontrol; sedangkan pada kompos bahan organik TKKS berat tongkol paling tinggi adalah pada perlakuan herbisida purna-tumbuh kemudian penyiangan 2x dan berbeda nyata dengan perlakuan herbisida pra-tumbuh dan kontrol. Sedangkan antara pemberian bahan organik menunjukkan bahwa kompos kotoran sapi memberikan hasil yang paling tinggi dalam perlakuan anak petak herbisida pra-tumbuh, dan dalam herbisida purna-tumbuh pemberian kompos bahan organik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada perlakuan tanpa pengendalian gulma, dengan kompos TKKS justru menurunkan hasil dalam berat tongkol tanpa kelobot. Tabel 5. Pengaruh interaksi pemberian bahan organik dan metode pengendalian gulma terhadap berat tongkol tanpa klobot (gram tanaman-1) Herbisida PraHerbisida PurnaPenyiangan 2x Tumbuh Tumbuhan Tanpa Bahan Organik 198.01 ab 174.50 a 192.53 a 204.86 a B A B B Kompos Kotoran Sapi 206.67 b 257.93 c 225.83 b 227.22 b A C B B Kompos TKKS 184.03 a 202.77 b 230.13 b 228.57 b A B C C Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu baris atau satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji LSD (P ≤ 0.05) Bahan Organik
Kontrol
Secara keseluruhan terjadi peningkatan hasil jagung manis yang diamati pada tongkol tanpa klobot dengan perlakuan pengendalian gulma dibandingkan dengan tanpa pengendalian gulma. Hal ini dapat dijelaskan karena pengendalian gulma dengan perlakuan herbisida baik secara pra-tumbuh maupun purna-tumbuh dapat menekan pertumbuhan gulma dan memberikan ruang dan unsur hara yang cukup bagi tanaman sehingga tanaman akan tumbuh baik dan hasil akan meningkat. Hasil pada perlakuan pengendalian gulma dengan herbisida pra- dan purna-tumbuh tidak berbeda dengan penyiangan 2x, menunjukkan bahwa aplikasi herbisida sangat efektif menekan karena hasil dapat menyamai penyiangan 2x. Tabel 6. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap panjang tongkol dan tingkat kemanisan buah Bahan Organik Panjang Tongkol (cm) Tingkat Kemanisan Buah Tanpa Bahan Organik 15.43 a 7.46 a Kompos Bahan Organik Kotoran Sapi 17.18 b 7.99 b Kompos Bahan Organik TKKS 15.42 a 7.60 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji LSD (P ≤ 0.05)
Pada Tabel 6 dapat dilihat pengaruh bahan organik terhadap panjang tongkol dan tingkat kemanisan buah jagung manis. Perlakuan bahan organik pupuk kandang dapat meningkatkan secara nyata komponen hasil berupa panjang tongkol dan tingkat kemanisan. Hal ini dapat dijelaskan karena kompos kotoran sapi mengandung hara yang sudah tersedia bagi tanaman sehingga pertumbuhan dan hasil yang nampak pada panjang tongkol yang semakin meningkat. Kotoran sapi sebagai kompos organik juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah sehingga komponen hasil seperti panjang tongkol dan tingkat kemanisan juga akan bertambah. Disamping itu ketersediaan hara akan menstimulasi kemanisan jagung manis. Berbeda dengan kompos bahan organik TKKS yang walaupun mengandung hara, tetapi ketersediaannya lebih rendah karena rasio C/N yang lebih tinggi dan tentu akan lebih lambat terdekomposisi dan tingkat ketersediaan hara pada tanaman lebih rendah.
397
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Untuk menjelaskanpengaruh interaksi pengendalian gulma dengan pemberian bahan organik pada hasil tanaman jagung manis adalah akibat peningkatan biomassa bagian atas tanaman sebagai pengaruh dari pengendalian dan penekanan biomassa gulma pada areal pertanaman sudah dilaporkan oleh Simarmata et al., (2015). Tabel 7. Pengaruh metode pengendalian gulma terhadap biomassa jagung manis dan biomassa gulma (persentase dari kontrol). Bahan Organik
Biomassa jagung manis ( % dari kontrol ) Pra- tumbuh
Purna-Tumbuh
Penyiangan 2x
Tanpa bahan organik
132,13
179,14
149,73
Kompos kotoran sapi Kompos TKKS
136,92
180,21
150,61
149,25
195,64
159,95
Sumber: Simarmata et al., 2015
Seperti nampak pada Tabel 7 (Simarmata et al., 2015), pengendalian gulma dengan herbisida campuran atrazine dan mesotrione yang diaplikasi purna-tumbuh dapat meningkatkan biomassa jagung manis menjadi 180,21 dan 195,64 persen dari kontrol pada masing-masing petak utama kotoran sapi dan TKKS. Dengan metode pengendalian menggunakan herbisida campuran atrazine dan mesotrione dan waktu aplikasi purna-tumbuh dapat mengendaliakn gulma sehingga tanaman bebas dari kompetisi dan akan tumbuh dengan baik. Hasil tanaman meningkat dengan nyata diamati pada hasil tongkol dan komponen hasil seperti panjang tongkol. KESIMPULAN Herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione sangat efektif mengendalikan gulma dan meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung manis baik aplikasi pra-tumbuh maupun purna-tumbuh. Tanaman jagung manis mengalami keracunan sangat ringan terhadap herbisida atrazine dan mesotrione hingga 3 minggu setelah aplikasi. Interaksi yang nyata antara metode pengendalian gulma dan pemberian bahan organik nampak pada hasil tanaman jagung manis, dimana hasil tertinggi yaitu 257,93 gram tanaman-1diperoleh dari interaksi pengendalian gulma dengan aplikasi herbisida secara pra-tumbuh dengan bahan organik kotoran sapi. Bahan organik kotoran sapi dapat meningkatkan secara nyata panjang tongkol dan tingkat kemanisan buah. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini disampaikan terima kasih kepada Ketua Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, dan Panitia Seminar Nasional BPTP Bengkulu, yang memfasilitasi sehingga hasil penelitian ini dapat disampaikan dalam Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Modern Tahun 2016. Penghargaan juga disampaikan kepada mahasiswa Agroekoteknologi yang turut membantu pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Brady, N.C. and R.R. Weil. 2010. The Nature and Properties of Soil. Prentice Hall Inc. New Jersey. Brown, S. and M. Cotton. 2011. Changes in Soil Properties and Carbon Content Following Compost Application: Results of on-Farm Sampling. Compost Sci. & Utilization, 19(2):87-96. Burrill, L.C, J. Cardenas, E. Locatelli. 1976. Field Manual for Weed Control Research. International Plant Protections Center.Oregon State University, Corvalis. Hasanuddin.2013. Aplikasi beberapa dosis herbisida campuran atrazine dan mesotrione pada tanaman jagung. J Agrista, 17(1):36–41. Ichwan, B. 2007. Pertumbuhan dan hasil jagung manis (Zea mays saccarata Sturt) pada berbagai konsentrasi EM-4 dan waktu fermentasi janjang kelapa sawit. J Agronomi, 11(2):91-94. James, T.K, A. Rahman, J. Hicking. 2006. Mesotrione, a new herbicide for weed control in maize. New Zealand Plant Protection, 59:242-249. Mawardi, I. 2010. Pengujian efikasi lapang herbisida Calaris 550 SC (berbahan aktif atrazin dan mesotrion) untuk pengendalian gulma umum pada budidaya jagung. J Gulma Tumbuhan Invasif Tropika, 1:57-64.
398
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Monaco, T.J., S.C. Weller, and F.M. Ashton. 2002. Weed Science Principles and Practices, 4th edition. John Wiley & Sons, New York. Muller, G. 2008. History of the Discovery and Development of Triazine Herbicide. In. LeBaron H.M, Farland J.M, Burnside, O (eds.). The Triazine Herbicide. Elsevier Inc. Atlanta. Schooler, S., T. Cook, A. Bourne, G. Prichard, and M. Julien. 2008. Selective herbicides reduce alligator weed (Alternanthera philixeroides) biomass by enhancing competition. Weed Sci. 56(2):259-264. Sentana, S., Suyanto, Subarto, M.A. Suprapedi dan Sudiyana. 2010. Pengembangan dan pengujian inokulum untuk pengomposan limbah tandan kosong kelapa sawit. J Rekayasa Proses, 2(4):35-39. Setyowati, N., U. Nurjanah dan D. Haryanti. 2008. Gulma Tusuk Konde (Wedelia trilobata) san Kirinyu (Chlomolaena odorata) Sebagai Pupuk Organik Pada Sawi (Brassica chinensis L.).J Akta Agrosia, 11(1):47-56. Simanungkalit, R.D.M. 2006. Prospek Pupuk Organik dan Pupuk hayati di Indonesia. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Pengembangan dan Penelitian Bogor. Simarmata, M.C.D. Sitanggang, Djamilah. 2015. The shifting of weed compositions andbiomass production in sweet corn field treated with organic composts and chemical weed controls. Agrivita, 37(3):226-236). Taguiling, M.A.L.G., 2013. Quality Improvement of Organic Compost Using Biomass. European Sci J. 9(13):319-341. USDA, 2015. Vegetable Summary: Sweet Corn. Online (Diunduh: http://www.agmrc.org/commodities-products/vegetables/sweet-corn/). William II, M.M., C.M. Boerboom, T.L. Rabaey. 2010. Significance of atrazine in sweet corn weed management systems. Weed Technol. 24(2):139-142. Woodyard, A.J., J.A. Hugie, D.E. Riechers. 2009. Interactions of mesotrione and atrazine in two weed species with different mechanisms for atrazine resistance. Weed Sci. 57(4):369-378.
399
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PERTUMBUHAN DAN HASIL KANGKUNG, SELADA SERTA PAKCOY PADA TIGA MODEL AKUAPONIK MINI YANG DISUSUN VERTIKAL THE GROWTH AND YIELD OF SPINACH, LETTUCE, AND PAKCOY ON THREE MODEL OF MINI-AQUAPONICS ARRANGED VERTICALLY Yudi Sastro, Nofi A. Rokhma, Ikrarwati, dan Lukman Hakim Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jl. Raya Ragunan No. 30. Pasar Minggu, Jakarta selatan (12540) email :
[email protected] ABSTRAK Pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan masih belum optimal. Salah satu strategi yang diduga dapat meningkatkan peran pekarangan tersebut adalah melalui teknologi akuaponik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh model akuaponik yang disusun secara vertikal dalam mendukung pertumbuhan dan hasil kangkung, selada, dan pakcoy skala rumah tangga di perkotaan. Model yang dikaji meliputi kombinasi talang air dengan pot, pipa PVC, dan pot tergantung pada panel. Perlakuan diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan lima ulangan. Aspek pengujian meliputi model akuaponik, posisi arah pertanaman, serta letak baris tanaman. Parameter pengamatan meliputi peubah pertumbuhan dan hasil tanaman. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANAVA) dan dilanjutkan Uji Jarak Berganda Duncan’s (DMRT), masing masing pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa model akuaponik mini yang disusun secara vertikal berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kangkung, selada, dan pakcoy. Model pot tergantung pada panel nyata memberikan performa pertumbuhan dan hasil tanaman paling baik. Posisi arah pertanaman timur dan barat memberikan performa pertumbuhan dan hasil terbaik. Pertumbuhan dan hasil tanaman berkurang secara linier dengan semakin rendah posisi baris tanaman. Perlu dilakukan perbaikan struktur rangka dan kemiringan pertanaman serta posisi unit akuaponik pada saat diimplementasikan di lapangan. Kata kunci : akuaponik, pekarangan, perkotaan ABSTRACT Utilization of the yard as food source is still not optimal. One of strategy that is expected to increase the role of the yard as food source is through aquaponics technology. This research aimed to study the effect of the model mini-aquaponics arranged vertically in supporting the growth and yield of spinach, lettuce, and pakcoy in urban households scale. The model examined were combinations of gutters and pot, PVC pipe, and pot that hanged at the panel. The treatments were arranged using a completely randomized block design with five replications. The aspect of testing includes aquaponic model, position of the crop, and the location of the crop rows.The observation parameters were plant growth and yields variables. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and followed Duncan's Multiple Range Test (DMRT) 95%. The results showed that the model of mini-aquaponics arranged vertically significantly affect growth and yield of spinach, lettuce, and pakcoy. The pot that hanged at the panel model provides the best plant growth and yield. The growth and yield performance were at east and west planting position. Plant growth and yield decrease linearly in line with position of the crop rows. The need is to improve of the models, especialy at slope planting structure and the position of aquaponics unit when it is implemented in the field. Keywords: aquaponic, houseyard, urban PENDAHULUAN Perubahan iklim global dan peristiwa anomali cuaca menuntut strategi penyediaan pangan secara mandiri oleh masing-masing individu keluarga mutlak diperlukan. Salah satu strategi penyediaan pangan tersebut adalah melalui pemanfaatan pekarangan. Luas lahan pekarangan di Indonesia mencapai 10,3 juta hektar atau setara 14% dari luas lahan pertanian eksisting (Badan Litbang Pertanian, 2011; Sastro et al., 2015a). Hingga saat ini pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan masih belum berkembang dengan baik. Perlu dilakukan berbagai upaya sehingga lahan pekarangan tersebut termanfaatkan secara optimal. Salah satu diantaranya adalah melalui budidaya terpadu antara tanaman dengan ikan dalam system budidaya akuaponik (Sastro dan Lestari, 2012; Sastro, 2015; Herawaty et al., 2015).
400
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Akuaponik adalah sistem produksi pangan berkelanjutan yang menggabungkan budidaya ikan dengan tanaman di dalam lingkungan simbiosis (Rakocy et al., 2003; Rakocy et al, 2006; Pantanella et al., 2011; Pantanella et al., 2012). Dalam budidaya hewan air, limbah padat dan ammonia menumpuk di dalam air, sehingga bersifat toksik bagi ikan. Pada akuaponik, limbah kaya hara yang berasal dari kolam pemeliharaan ikan dialirkan pada sub sistem hidroponik tanaman, dirombak oleh mikroba dan diserap oleh akar tanaman, dan air yang telah bersih dan kaya oksigen selanjutnya diresirkulasi kembali ke dalam kolam pemeliharaan ikan (Rakocy et al, 2007; Nelson, 2007; Bocek, 2010; AES, 2010). Sistem suplai hara melalui resirkulasi demikian akan mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah keracunan pada ikan (Diver et al., 2006; Bishop et al., 2009). Jenis tanaman yang sesuai untuk ditanam dalam akuaponik meliputi, sawi, selada, kemangi, tomat, okra, buncis, kacang polong, kol, selada air, lobak, dan bawang (Diver, 2006; Amadori, 2012). Sementara itu, jenis hewan air yang dapat dipelihara meliputi udang ikan nila, lele, mas, patin, dan belut (Backyard Aquaponics, 2011; Aquaponics Community, 2011). Tanaman dan ikan tersebut umumnya diterapkan dalam tiga model akuaponik, yakni media bed, rakit apung, dan NFT (Lennard et al., 2006; Somervile et al. 2014,). Ketiga model tersebut umumnya berukuran relatif besar dan tidak sesuai ditempatkan pada lahan sempit di pekarangan, khususnya di perkotaan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan modifikasi, diantaranya dengan cara mengatur system pertanaman secara vertikal. Budidaya secara vertikal telah terbukti dapat menghemat lahan dan dapat diterapkan di pekarangan sempit di perkotaan (Sastro et al., 2015b). Pada tahun 2013, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta telah membuat prototipe akuaponik mini secara vertikal yang dinamakan ‘wolkaponik”. Namun demikian kelayakan teknis model wolkaponik tersebut masih perlu diuji secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan teknis tiga model wolkaponik yaitu model kombinasi talang air dan pot, pipa PVC, dan pot tergantung pada panel dalam mendukung pertumbuhan dan hasil sayuran kangkung, selada, dan pakcoy pada skala rumah tangga di perkotaan. METODOLOGI Penelitan dilakukan di BPTP Jakarta pada bulan Maret sampai dengan November 2014. Aspek pengujian meliputi perbedaan antar model akuaponik, posisi arah pertanaman, serta posisi baris tanaman. Tiga model akuaponik yang diuji meliputi kombinasi talang air dengan pot, model pipa PVC diameter 2,5 inch, dan model pot tergantung pada panel (Gambar 1). Sementara itu, posisi arah pertanaman berdasarkan arah mata angin yaitu Timur, Barat, Utara, dan Selatan, sedangkan posisi baris tanaman berdasar tingkat penempatan tanaman mulai tertinggi sampai terendah yaitu tingkat/baris pertama, kedua, dan seterusnya hingga baris kelima.
Model Aquaponik yang diuji. A) Model kombinasi talang air dengan pot, B) Model pipa PVC berdiameter 2,5 inch, dan C) model pot tergantung pada panel.
401
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pada akuaponik model A, tanaman di tanam di dalam pot plastik berdiameter 12 cm yang berisi media zeolit 20 mesh+kompos (3:1) yang diletakan dalam wadah talang air. Akuaponik model B menggunakan pipa PVC berdiameter 2,5 inch yang dibuat lubang berukuran diameter 5 cm. Pada lubang ditempatkan pot plastic hidroponik yang berisi media zeolit 20 mesh. Pada Model C, tanaman di tanam dalam pot berdiameter 17 cm yang berisi media tanam zeolit 20 mesh+kompos (3:1). Pada model A dan B, resirkulasi air dilakukan dengan cara melewatkan air pada talang atau pipa yang dimulai dari kolam pemeliharaan ikan melewati talang baris pertama (paling atas) hingga baris ke lima (paling bawah) dan selanjutnya kembali ke dalam kolam yang ikan di bawahnya. Sementara itu, pada model C, air direskulasi dengan sistem tetes, dimulai dari pot baris pertama hingga baris terakhir dan kembali kedalam kolam pemeliharaan ikan. Setiap jenis tanaman ditanam secara langsung menggunakan benih pada media pertanaman. Jumlah benih tanaman terdiri 20 benih kangkung pada model A dan C serta 5 benih untuk model B, serta masing-masing 5 benih selada dan pakcoy untuk model A dan C serta 3 benih untk model B. Penjarangan tanaman selada dan pak coy dilakukan 3 minggu setelah tanam dengan meninggalkan 2 tanaman untuk model A dan C serta 1 tanaman untuk model B. Perlakuan penelitian diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan lima ulangan. Tanaman uji meliputi kangkung, selada, dan pakcoi. Ikan yang digunakan adalah ikan lele sebanyak 100 ekor per unit model akuaponik yang dikaji. Peubah yang diamati adalah peubah pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman dan jumlah daun serta peubah hasil tanaman meliputi berat panen segar dan berat kering tanaman. Pengamatan tinggi dan jumlah daun tanaman dilakukan pada 14 dan 21 hari setelah tanam untuk kangkung dan 14, 21, dan 35 hari untuk selada dan pakcoy. Sementara itu, hasil panen diukur pada pengamatan terakhir pada masing-masing komoditas uji. Perbedaan antar perlakuan pada masing-masing peubah pengamatan dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANAVA) dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT), masing-masing pada taraf kepercayaan 95% (Gomez dan Gomez, 1984). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil perhitungan statistic, tidak terdapat interaksi yang nyata antar perlakuan yang diujikan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil tanaman, baik pada kangkung, selada, maupun pakcoy. Respon pertumbuhan dan hasil tanaman terlihat pada masing-masing factor perlakuan secara tunggal, yakni model akuaponik mini, arah pertanaman, dan posisi baris tanaman. Pengaruh Model Aquaponik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kangkung, Selada dan Pakcoy Tiga model akuaponik yang diujikan member berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kangkung, selada, dan pakcoy. Secara umum model aquaponik yang menghasilkan pertumbuhan tanaman dari yang terbaik sampai yang terendah secara berturut-turut yaitu model pot tergantung pada panel, model kombinasi talang air-pot, dan model pipa PVC. Model pot secara umum nyata memberikan performa pertumbuhan dan hasil tanaman paling baik (Tabel 1). Ketiga model aquaponik memberi hasil yang berbeda pada masing-masing komoditas uji. Pada komoditas selada dan pakcoy, model pot tergantung pada panel dan model kombinasi talang airpot menghasilkan komponen pertumbuhan yang secara nyata lebih tinggi dibanding model pipa PVC. Akan tetapi, pada komponen hasil, model pot tergantung pada panel memberikan hasil yang signifikan lebih tinggi dibanding kedua model yang lain. Sementara itu, hasil yang berbeda ditunjukkan pada komoditas kangkung, model pipa PVC menghasilkan komponen pertumbuhan dan hasil yang nyata lebih tinggi dibanding dua model lainnya (Tabel 1).
402
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1. Pengaruh model aquaponik terhadap pertumbuhan dan hasil kangkung, selada dan pakcoy Model
14 HST
Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun 21 28 35 14 21 28 HST HST HST HST HST HST Kangkung
Kombinasi Talang23.9 a Pot Pipa PVC 27.1 b Pot Tergantung 23.0 a Pada Panel
Berat Berat 35 Panen Kering (g) HST (g)
34.5 a
-
-
6.8 ab
9.3 a
-
-
32.9 a
2.6 a
42.1 b
-
-
7.8 b
11.3 b
-
-
45.2 b
5.6 b
35.1 a
-
-
6.0 a
8.4 a
-
-
34.2 a
2.5 a
Selada Kombinasi Talang6.8 b Pot Pipa PVC 4.4 a Pot Tergantung 5.2 a Pada Panel
13.3 b
17.7 b
22.0 b
3.2 a
4.7 a
5.1 a 5.6 b 18.8 b
1.4 b
9.4 a
11.8 a
11.9 a
2.7 a
4.2 a
4.4 a 4.5 a 5.9 a
0.5 a
12.1 b
16.3 b
21.0 b
2.9 a
4.7 a
4.9 a 5.2 b 25.1 c
1.7 c
Pakcoy Kombinasi Talang7.3 a Pot Pipa PVC 11.0 b Pot Tergantung 8.8 a Pada Panel
14.0 a
16.0 a
17.0 ab
3.1 a
4.1 a
4.8 a 4.9 a 9.7 a
1.1 a
13.9 a
14.5 a
15.0 a
3.4 a
4.5 a
5.3 ab 5.5 a 12.0 a
1.0 a
16.0 b
20.0 b
21.5 b
4.0 b
5.3 b
5.8 b 6.2 b 55.1 b
4.2 b
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama pada satu komoditas menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 95%, HST = hari setelah panen Secara umum, model pot tergantung pada panel memberikan hasil terbaik pada komoditas selada dan pakcoy. Hal ini disebabkan karena model pot tergantung pada panel mempunyai kapasitas media tanam lebih besar dibandingkan model pot-talang air maupun model pipa PVC. Selain itu, pada sistem pot, resirkulasi air yang melewati media pertanaman dilakukan menggunakan sistem tetes sehingga pasokan air dan hara sepanjang waktu pertanaman tetap terjaga dengan baik. Berbeda dengan model kombinasi talang air–pot dan pipa PVC, suplai air dan hara ke dalam media menggunakan sistem absorbsi/penyerapan. Pada saat suhu harian sangat tinggi, penguapan sangat tinggi sehingga seperempat bagian atas media tanam akan menjadi kering. Kondisi demikian berpengaruh terhadap kecepatan tumbuh, serta derajat pertumbuhan dan hasil tanaman. Pengaruh suplai air dan suplai nutrisi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman diantaranya telah dilaporkan oleh Uchida dan Silva (2000), Mao et al. (2003), dan Sadeghian dan Yavari (2004). Pengaruh Posisi Pertanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kangkung, Selada, Pakcoy Pertumbuhan dan hasil tanaman kangkung yang ditanam pada model kombinasi talang-pot tertinggi pada posisi pertanaman sebelah timur. Pada model pipa PVC dan model pot tergantung pada panel, pertumbuhan dan hasil tertinggi diperoleh pada posisi barat. Hal serupa terjadi pada pakcoy. Model kombinasi talang-pot nyata memberikan pertumbuhan dan hasil tertinggi pada posisi sebelah timur, sedangkan pada model pipa PVC dan model pot tergantung pada panel, pertumbuhan dan hasil tertinggi diperoleh pada posisi timur dan barat (Tabel 2). Hasil yang berbeda ditunjukkan pada komoditas selada. Pada model kombinasi talang-pot, pertumbuhan dan hasil selada terbaik diperoleh pada posisi selatan dan timur, pada model pipa PVC hasil terbaik diperoleh pada posisi timur, sedangkan pada model pot tergantung pada panel hasil terbaik diperoleh pada posisi selatan dan barat (Tabel 2). Terdapat perbedaan respon tanaman terkait dengan posisi arah pertanaman pada masing-masing model akuaponik yang diuji. Hal tersebut diduga disebabkan adanya perbedaan fisiologi antar tanaman. Sebagai contoh adalah selada yang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi penyinaran yang lebih lemah dibandingkan sayuran jenis lainnya (Li dan Kubota, 2009; Stutte et al., 2009; Zukauskas et al., 2011; Samuollene et al., 2012). Namun demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa posisi pertanaman timur dan barat paling ideal dalam mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman. Fakta tersebut terkait erat dengan kuantitas dan kualitas penyinaran yang diterima olehtanaman. Intensitas dan lama penyinaran berpengaruh sangat nyata terhadap laju fotosintesa dan pertumbuhan tanaman (Samuollene et al., 2009; Kratky et al., 2013; Olle dan Virsile, 2013; Shing et al., 2015).
403
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 2. Pengaruh posisi pertanaman terhadap pertumbuhan dan berat panen kangkung, selada, dan pakcoy pada tiga model aquaponik Model Kombinasi Model Pot Tergantung Posisi Model Pipa PVC Talang-Pot Pada Panel Pertanaman TT JD BP TT JD BP TT JD BP Kangkung Utara 36.0 a 9.7 a 34.2 a 38.0 a 11.3 a 36.6 a 38.0 b 9.0 b 34.8 b Selatan 35.1 a 9.7 a 35.3 a 39.5 a 11.4 a 41.7 b 36.5 b 8.3 ab 41.7 c Barat 33.4 a 8.7 a 29.9 a 45.3 b 11.6 a 42.3 b 36.3 b 8.8 b 47.3 c Timur 32.7 a 11.6 b 65.0 b 45.4 b 11.1 a 53.1 c 32.6 a 7.8 a 19.4 a Selada Utara 18.7 a 4.5 a 8.4 a 13.2 a 4.3 b 6.4 b 21.6 a 4.7 a 21.6 b Selatan 24.7 b 5.8 b 26.7 c 10.6 a 3.9 b 5.9 b 26.3 b 5.2 ab 32.6 c Barat 18.8 a 5.8 b 16.3 b 7.5 a 2.2 a 4.2 a 18.4 a 5.8 b 28.1 c Timur 25.2 b 6.2 b 22.7 bc 20.0 b 4.3 b 7.3 c 22.0 a 4.8 a 13.7 a Pakcoy Hijau Utara 21.8 a 4.6 a 8.5 a 15.4 b 6.2 b 10.6 a 25.5 c 6.6 ab 39.1 a Selatan 21.8 a 4.6 a 8.5 a 8.3 a 4.7 a 7.3 a 17.0 a 5.8 a 23.4 a Barat 19.5 a 6.2 b 6.5 a 12.9 b 6.1 b 14.3 b 20.3 b 7.8 b 132.4 b Timur 19.1 a 7.2 b 23.5 b 14.0 b 6.3 b 15.7 b 21.8 b 7.2 b 121.0 b Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama pada satu komoditas menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 95%. TT = Tinggi Tanaman, JD = Jumlah Daun, BP = Berat Panen Pengaruh Posisi Baris Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kangkung, Selada, dan Pakcoy Posisi baris pertanaman pada setiap model akuaponik yang diuji berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan berat hasil panen kangkung, selada, dan pakcoy. Penurunan pertumbuhan dan hasil setiap tanaman tersebut linier dengan semakin bawah posisi baris tanaman (Tabel 3). Serupa dengan pengaruh arah pertanaman, respon tanaman tersebut terkait erat dengan intensitas dan lama penyinaran ((Samuollene et al., 2009; Kratky et al., 2013; Olle dan Virsile, 2013; Shing et al., 2015). Posisi baris teratas akan mendapatkan intensitas dan lama penyinaran yang lebih baik dibandingkan baris di bawahnya sehingga memberikan respon pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan baris di bawahnya. Berdasarkan hasil pengujian ini maka perlu dilakukan modifikasi pada setiap model yang dikembangkan. Modifikasi yang mutlak harus dilakukan terkait dengan posisi baris tanaman adalah dengan mengatur posisi kemiringan pertanaman minimal 20o. Dengan pengaturan demikian maka kesempatan tanaman untuk mendapatkan cahaya matahari, mulai dari baris pertama hingga ke lima akan sama sehingga dapat memberikan hasil yang juga sama.
404
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 3. Pengaruh posisi baris pertanaman terhadap pertumbuhan dan berat panen kangkung, selada, dan pakcoy pada tiga model aquaponik Model Kombinasi TalangModel Pot Tergantung Posisi Model Pipa PVC Pot Pada Panel Baris TT JD BP TT JD BP TT JD BP Kangkung 1 33.7 a 11.3 b 61.8 c 39.7 a 12.6 b 62.9 c 37.5 b 9.7 b 74.3 c 2 38.7 b 9.2 a 31.0 b 38.1 a 11.4 b 44.3 b 38.1 b 10.8 b 60.0 c 3 37.7 b 8.7 a 26.0 b 47.9 b 11.1 b 43.6 b 32.0 a 9.0 b 28.5 b 4 31.8 a 7.0 a 12.7 a 42.0 b 10.0 b 32.0 ab 31.0 a 7.6 a 19.5 a 5 32.6 a 8.2 a 10.1 a 39.0 a 8.9 a 24.8 a 33.8 a 7.5 a 16.3 a Selada 1 23.0 a 5.5 a 27.0 c 22.0 c 6.7 c 16.0 c 17.2 a 4.8 a 56.0 c 2 22.3 a 5.7 a 20.6 b 17.1 b 5.6 b 10.7 b 21.7ab 4.8 a 44.3 b 3 23.5 a 4.9 a 18.0 b 16.5 b 5.4 b 9.1 b 26.9 b 4.8 a 43.3 b 4 20. 6 a 5.7 a 16.9 b 16.1 b 5.2 b 8.8 b 23.9ab 4.8 a 21.0 a 5 22.0 a 5.3 a 13.0 a 13.8 a 3.1 a 5.5 a 22.9ab 4.3 a 18.5 a Pakcoy 1 19.1 b 7.2 b 23.5 b 11.8 b 5.1 a 13.0 a 24.8 b 11.8 b 150.1 d 2 21.1 b 6.1 b 36.3 b 16.4 b 6.3 a 12.0 a 23.9ab 6.5 a 99.0 c 3 21.8 b 4.6 a 8.4 a 9.6 a 5.7 a 12.0 a 21.7 a 6.6 a 91.5 c 4 9.3 a 4.5 a 2.3 a 10.0 a 5.7 a 11.3 a 22.2 a 6.5 a 48.1 b 5 8.5 a 4.4 a 2.2 a 14.6 b 6.2 a 12.0 a 20.8 a 5.7 a 30.6 a Baris 1 posisi paling atas, baris 5 posisi paling bawah. Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama pada satu komoditas menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 95% TT = Tinggi Tanaman, JD = Jumlah Daun, BP = Berat Panen KESIMPULAN DAN SARAN Perbedaan model akuaponik mini berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kangkung, selada, dan pakcoy. Akuaponik mini vertikal model pot memberikan performa pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan model pipa PVC dan model pot-talang. Demikian juga dengan posisi arah dan baris pertanaman. Arah pertanaman sebelah timur dan barat memberikan pertumbuhan dan hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan posisi utara dan selatan. Demikian juga dengan posisi baris tanaman, terjadi penurunan pertumbuhan dan hasil secara linier sejalan dengan semakin rendahnya baris pertanaman. Berdasarkan hasil penelitian, direkomendasikan untuk dilakukan perbaikan struktur model, kemiringan rangka, serta pengaturan posisi akuaponik pada saat diimplementasikan di lapangan. Dengan modifikasi dan pengaturan demikian maka tanaman akan mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan air, hara, dan cahaya matahari yang diperlukan dalam pertumbuhan UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan terima kasih kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian atas pendanaan kegiatan penelitian melalui DIPA BPTP Jakarta T.A. 2014. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada kelompok teknisi BPTP Jakarta atas peran sertanya dalam pelaksanaan kegiatan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Amadori, M. 2012. Fish, Lettuce and Food Waste Put New Spin on Aquaponics. Environmental Science and Forestry (ESF). Aquaponics Community. 2011. Bluegill or Bream Grower. Retrieved December.
405
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Backyard Aquaponics. 2011. Fish Page: Other Species Retrieved December. Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Kementerian Pertanian. Jakarta. Bishop, M., S. Bourke, K. Connolly and T. Trebic. 2009. Baird’s Village Aquaponics project: AGRI 519/CIVE 519 Sustainable Development Plans. Holetown, Barbados: McGill University. Bocek, A. 2010. Water Harvesting and Aquaculture for Rural Development. Retrieved December. Diver, S. 2006. Aquaponics–Integration of Hydroponics and Aquaculture. Appropriate Technology Transfer for Rural Areas (ATTRA). Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Jhon Willey and Sons. New York. Harris, L. Kasimu. 2012. Aquaponics being taught in Vietnamese community. http://www.louisianaweekly.com/aquaponics-being-taught-in-vietnamese-community/. Louisiana Weekly. Retrieved February. Herawati, E., Y. Sastro, B. Bakrie, and A.D. Nugroho. 2015. Urban Agriculture Development in Jakarta City : some experiences in developing the sustainable urban agriculture in Indonesia. International Workshop of Urban Farming. FAO-AIT. Bangkok. Kratky, B.A., C. Bernabe, E. Araki, F. White, and S. Miyasaki. 2013. Shading reduce yields of edible ginger rhizomes grown in sub-irrigated pots. Root Crops-2. College of Tropical Agriculture and Human Resources. University of Hawaii. Manoa. Hawaii. Lennard, W.A. and B.V. Leonard. 2006. A comparison of three different hydroponicsub-systems (gravel bed, floating and nutrient film technique) in an aquaponictest system. Aquac. Int. 14:539–550. Lennard, W. 2012. Aquaponics System Design Parameters : Fish to plant ratio (Feeding Rate Ratios). Aquaponics Fact Sheet Series. Li, Q. and C. Kubota. 2009. Effect of supplemental light quality on growth and phytochemical of baby leaf lettuce. Environmental and Experiment Botany 67:59-64. Mao, X., M. Liu, X. wang, C. Liu, Z. Hou, and J. Shi. 2003. Effects of deficit irrigation on yield and water use of greenhouse grown cucumber in the North China Plain. Journal of Agronomy and Crop Science 61 (3): 219-228. Nelson, R. L. 2007. 10 sistems around the world. Aquaponics Journal, 46 (3): 8. Olle, M. And A. Virsile. 2013. The effect of light-emitting diode lighting on greenhouse plant growth and quality. Agricultural and Food Science 22: 223-234. Pantanella, E, M. Cardarelli, P.P. Danieli, A. MacNiven and G. Colla. 2011. Integrated Aquaculture Floating Agriculture: Is It a Valid Strategy to Raise Livelihood. Proc. XXVIIIth IHC–IS on Horticulture for Development. Acta Hort. 921. Pantanella, E., M. Cardarelli, G. Colla, E. Rea, and A. Marcucci. 2012. Aquaponics vs.hydroponics: production and quality of lettuce crop. Acta Horticultura. 927:887–893. Rakocy, J. E., R.C. Shultz, D. S. Bailey, and E.S. Thoman. 2003. Aquaponic production of tilapia and basil: comparing a batch and staggered cropping system. Acta Hortaculturae 648:63–69. Rakocy, J.E., T.M. Losordo, and M.P. Masser. 2006. Recirculating aquaculture tank production systems: Integrating fish and plant culture. Southern Region Aquaculture Center Publication 454:1–16. Rakocy, J. 2007. Ten Guidelines for Aquaponics System. Aquaponics Journal 46 3rd quarter :14-17. Rokhmah, N.A., C. S. Ammatillah, dan Y. Sastro. 2014. Vertiminaponik, mini akuaponik untuk lahan sempit di perkotaan. Buletin Pertanian Perkotaan Vol. 2 (2): 14-22. Rogosa, E. 2010. Aquaponics: How does aquaponics work?. Retrieved November. Sadeghian, S.Y. and N. Yavari. 2004. Effect of Water-Deficit Stress on Germination and Early Seedling Growth in Sugar Beet. Journal of Agronomy and Crop Science 190 (2): 138-144. Samuoliene, G., A. Urbonaviciute, P. Dhucovskis, Z. Bliznikas, P. Vitta, and A. Zukauskas. 2009. Decrease in nitrate concentration in leafy vegetables under solid-state illuminator. Hortscience 44:1857-1860.
406
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Samuoliene, G., A. Brazaitite, R. Sirtautas, a. Novickovas, and P. Dhucovskis. 2012. LED lighting and seasonality effect antioxidant properties of baby leaf lettuce. Food Chemistry 134:1494-1499. Sastro, Y dan I.P. Lestari. 2012. Potensi budidaya tanaman system akuaponik dalam mendukung pengembangan pertanian di perkotaan. Buletin Pertanian Perkotaan 2 (1): 20-28. Sastro, Y. 2015. Akuaponik: Budidaya tanaman terintegrasi dengan ikan, permasalahan keharaan dan strategi mengatasinya. Buletin Pertanian Perkotaan 5 (1): 33-42. Sastro, Y., B. Bakrie dan T. Ramdhan. 2015a. Pertanian Perkotaan: Solusi Ketahanan Pangan Masa Depan. Jakarta: IAARD Press. Sastro, Y., C.S. Ammatillah, dan I.P. Lestari. 2015b. Analisa pertumbuhan dan produksi sayuran dalam dua model mini wallgarden di DKI Jakarta. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Pertanian 18 (1): 95-104. Shing, D., C. Basu, M.M. Wollweber, and B. Roth. 2015. LEDs for Energy Efficient Greenhouse Lighting. https://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/1406/1406.3016.pdf. September. Somerville, C., M. Cohen, E. Pantanella, A. Stankus, and A. Lovatelli. 2014. Small-scale Aquaponics Food Production : Integrated Fish and Plant Farming. FAO. Rome. Stutte, G.W., S. Edney, and T. Skerrit. 2009. Photoregulation of bioprotectant content of red leaf lettuce with light-emmiting diodes. Hortscience 44:79-82. Uchida, R. And J. A. Silva. 2000. Plant Management in Hawaii’s Soil, Approaches for Tropical and Subtropical Agriculture. College of Tropical Agriculture and Human Resources. University of Hawaii. Manoa. Hawaii. Zukauskas, A., Z. Bliznikas, K. Brieve, A. Novickovas, G. Samuoliene, A. Urbonaviciute, J. Jankauskiene, and P. Dubchovkis. 2011. Effect of supplementary pre-harvest LED lighting on the antioxidant properties of lettuce cultivars. Acta Horticulture 907:87-90.
407
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
APLIKASI PUPUK ORGANIK CAIR BERBAHAN PAITAN (Tithonia diversifolia) DENGAN DOSIS DAN KONSENTRASI YANG BERBEDA UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN HASIL SAWI DI TANAH ULTISOL LIQUID ORGANIC FERTILIZER APPLICATION BASED TITHONIA DIVERSIFOLIA DOSAGE AND CONCENTRATION WITH DIFFERENT TO BOOST GROWTH AND RESULTS MUSTARD IN ULTISOL Edi Susilo Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Ratu Samban Penulis untuk korespondensi: HP. 085235229104 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Sayuran sawi merupakan komoditi yang memiliki prospek cukup baik, karena dibutuhkan sehari-hari oleh masyarakat dan permintaannya cenderung meningkat. Seiring berkembangnya jaman dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pemenuhan bahan makanan yang sehat dan berkualitas maka berkembang secara pesat sistem pertanian organik. Dampak positif budidaya secara organik yaitu terjaganya kualitas produksi dan kelestarian lahan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi paitan sebagai bahan pupuk organik cair (POC) terhadap tanaman sawi di tanah ultisol. Penelitian dilaksanakan bulan September sampai Desember 2015 di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Ratu Samban Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu Dosis yang terdiri atas : 0 ml per tanaman, 50 ml per tanaman, 150 ml per tanaman, dan 250 ml per tanaman. Faktor kedua yaitu Konsentrasi yang terdiri atas : 1 POC : 5 liter air ; 1 POC : 10 liter air dan 1 POC : 15 liter air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis POC berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar (terpanjang dosis 250 ml sebesar 9,75 cm). Perlakuan konsentrasi berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar (konsentrasi 1 POC : 10 liter air sebesar 9,47 cm) dan bobot segar (konsentrasi 1 POC : 15 liter air sebesar 43,85 g). Terdapat Interaksi yang nyata antara dosis dan konsentrasi terhadap jumlah daun dan terbanyak dicapai oleh interaksi kontrol dan konsentrasi POC : air = 1 : 5. Kata kunci : paitan, sawi, ultisol, pupuk organik cair ABSTRACT Vegetables are cabbage is a commodity that has good prospects, as required by the community every day and demand is likely to continue to rise. The positive impact of organic farming systems that maintain the quality of production and land conservation. The study aimed to obtain information Tithonia plants as a liquid organic fertilizer to the ground mustard plants in ultisol. The research was conducted from September to December 2015 at the Faculty of Agriculture Experimental Farm University of Ratu Samban Arga Makmur North Bengkulu. The research method using a randomized block design with two factors. The first factor is the dose consisting of 0 ml per plant, 50 ml per plant, 150 ml per plant, and 250 ml per plant. The second factor is concentration consisting of 1 POC: 5 liters of water ; 1 POC : 10 liters of water and POC: 15 liters of water. The results showed that the dose POC significant effect on root length (longest dose of 250 ml of 9.75 cm). Concentration treatment very significant effect on root length (POC concentration of 1: 10 liters of water amounted to 9.47 cm) and fresh weight (concentration 1 POC: 15 liters of water amounted to 43.85 g). There is a real interaction between dose and concentration on the number of leaves and the highest achieved by the interaction of control and concentration POC: water = 1: 5. Keywords: Tithonia, mustard, ultisol, fertilizer
408
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
PENDAHULUAN Sayuran merupakan komoditi yang memiliki prospek cukup baik, karena keberadaannya dibutuhkan sehari-hari dan permintaan sayuran cenderung terus meningkat sebagaimana jenis tanaman hortikultura lainnya. Pada umumnya sayuran mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi dibanding komoditas lain karena sayuran senantiasa dikonsumsi setiap saat. Hasil sensus Direktorat Jenderal Hortikultura, menunjukkan bahwa pada tahun 2007 konsumsi sayuran masyarakat Indonesia hanya mencapai 40,9 kg/kapita/tahun dan buah-buahan hanya sebesar 34,06 kg/kapita/tahun. Dimana angka tersebut masih terlihat kecil karena tingkat konsumsi sayuran yang dianjurkan minimum 65 kg/kapita/tahun. Seiring dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan semakin sadarnya masyarakat dengan pentingnya mengkonsumsi sayuran, kebutuhan masyarakat terhadap sawi semakin lama semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan ini tidak diimbangi dengan produksi sawi yang masih rendah baik dalam segi kualitas maupun kuantitasnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (2012), produksi sawi di Indonesia dari tahun 2008 - 2011 mengalami fluktuasi yang dapat dilihat secara berturut – turut : 565,636 ton (2008), 562,838 ton (2009), 583,770 ton (2010) dan 580,969 ton (2011). Perkembangan jaman sekarang seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pemenuhan bahan makanan yang sehat dan berkualitas maka berkembang secara pesat sistem pertanian organik. Dampak positif yang dihasilkan dalam budidaya tanaman secara organik yaitu dapat terjaganya kualitas produksi dan kelestarian lahan terutama lingkungan pertanian. Aplikasi bahan organik ke dalam tanah baik pupuk organik padat maupun pupuk organik cair adalah salah satu cara yang tepat untuk mendapatkan bahan makanan yang sehat dan aman. Berdasarkan data statistik pertanian organik Indonesia tahun 2010, luas area pertanian organik di Indonesia mencapai 238.872,24 ha. Dari beberapa tipe lahan organik dalam SPOI 2011, total jumlah produsen adalah 12.512 (termasuk petani kecil dan perusahaan). Nilai ini menurun 10% dari tahun 2010 (13.794). Tanaman sawi merupakan salah satu tanaman yang responsif terhadap pemupukan. Kondisi lingkungan yang terganggu (tidak subur) maka berdampak secara signifikan terhadap pertumbuhan dan hasil budidaya sawi ini. Untuk mengatasi permasalahan lahan yang kurang subur salah satunya yaitu perlu adanya masukan bahan organik pada tanah tersebut. Salah satu bahan organik yang perlu dicobakan pada lahan adalah penggunaan pupuk organik berbahan baku paitan. Paitan merupakan salah satu tanaman yang berbentuk perdu yang keberadaanya melimpah di lokasi tertentu namun pemanfaatannya belum banyak digunakan. Menurut Nagarajah dan Nizar (1982), bahwa dari hasil penelitian pada 100 sampel daun dan batang lunak paitan di Sri Lanka mengandung kisaran 3,3 - 5,5% N, 0,2 - 0,5% P dan 2,3 - 5,5% K. Sehingga pada penelitian ini perlu dicoba pemanfaatan paitan sebagai bahan pembuatan pupuk organik cair guna menunjang pertumbuhan dan hasil sawi yang ditanam di tanah ultisol. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi paitan sebagai pupuk organik cair pada tanaman sawi di tanah ultisol terutama dengan menguji pupuk dengan dosis dan konsentrasinya. Luaran hasil penelitian yang diharapkan yaitu membantu mengatasi masalah yang dihadapi petani terutama mahalnya pupuk anorganik dengan disubtitusi dengan pupuk organik terbaik berbahan paitan ini khususnya pada tanaman sayuran.
409
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
METODE PENELITIAN Penelitian akan dilaksanakan selama empat bulan mulai bulan September sampai Desember 2015. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Ratu Samban Kecamatan Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara. Bahan penelitian yang digunakan adalah paitan, gula merah, benih sawi, tanah ultisol, terasi, air cucian beras, air kelapa, pupuk kandang dan dekomposer. Peralatan yang digunakan adalah cangkul, timbangan, mistar, tali rafia, ajir, ember, kantong panen, papan nama, parang, pisau, polybag, jerigen plastik, selang, wadah plastik, termometer, pH meter digital, lakban, kertas label, ember, dan alat tulis. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu Dosis (D) yang terdiri atas : D0 : 0 ml per tanaman (kontrol), D1 : 50 ml per tanaman, D2 : 150 ml per tanaman, D3 : 250 ml per tanaman. Faktor kedua yaitu Konsentrasi (K) yang terdiri atas : K1 : konsentrasi POC : air = 1 : 5, K2 : POC : air = 1 : 10, dan K3 : POC : air = 1 : 15. Dari perlakuan tersebut di atas diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 36 kombinasi satuan percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri atas tiga polybag berukuran berat 5 kg media tanah, sehingga terdapat total 108 media polybag. Kegiatan awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengumpulan bahan paitan dari lokasi yang banyak ditumbuhi tanaman tersebut. Bahan lain berupa dekomposer, terasi, air kelapa, air cucian beras dan gula yang disiapkan sebelum pelaksanaan penelitian dimulai. Proses pembuatan pupuk organik cair sebagai berikut : disiapkan bahan paitan 4 kg, dekomposer 150 ml, gula 100 g, air cucian beras 3 liter, air kelapa 3 liter, dan air secukupnya. Bahan selain paitan diaduk sampai homogen, kemudian ditambahkan bahan paitan yang telah dicacah halus. Kemudian dimasukkan ke dalam jerigen dengan menutupnya plastik yang telah dilubangi sebagai saluran udara lewat selang yang terhubung ke air yang berada di botol mineral. Pematangan dan pengadukan pupuk organik cair dilakukan dengan cara mengaduk larutan di dalam jerigen dengan cara mengguncang jerigen tersebut. Pengadukan ini dilakukan setiap 3 hari sekali selama masa fermentasi 3 minggu. Media topsoil ultisol disiapkan sebanyak 540 kg. Media ini dibagi ke dalam 108 polybag. Masing-masing bagian dengan berat 5 kg ini dicampur dengan pupuk kandang sebanyak 50 g. Topsoil ultisol dan pupuk organik tersebut dicampur secara komposit dan dimasukkan ke polybag. Media ini didiamkan selama seminggu untuk mendapatkan media yang baik. Benih sawi sebanyak 1 sachet disemai ke media tanah di nampan. Setelah berumur 3 minggu setelah semai, maka bibit ini dipindah ke media polybag yang telah disiapkan sebelumnya. Setiap media polybag ditanam sebanyak 3 bibit sawi. Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan POC sesuai perlakuan dosis dan konsentrasi pada penelitian ini, penyiraman, pengendalian hama penyakit dan pengendalian gulma. Pemupukan dilakukan dengan cara sistem siram atau sistem cor pada media tanah. Pengendalian hama dilakukan setiap saat bila terdapat serangan pada pertanaman sawi tersebut. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabut langsung setiap saat bila terdapat gulma tumbuh yang berada di sekitar tanaman. Pemanenan dilakukan bila tanaman sawi telah berumur 35 hari setelah tanam. Pemanenan sawi dilakukan dengan cara mencabut batangnya sampai akar kemudian berangkasan dimasukkan dalam kantong dan diberi label sesuai dengan kode perlakuan. Hasil panen tanaman sawi ini langsung diamati sesuai variabel pengamatan. Data dikumpulkan dari semua tanaman yang diukur. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara statistik. Pengukuran sawi meliputi : tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, dan bobot tanaman. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang dicobakan. Apabila dari hasil analisis tersebut berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).
410
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Aplikasi Pupuk Organik Cair Berbahan Paitan dengan Dosis dan Konsentrasi yang Berbeda Terhadap Tanaman Sawi di Tanah Ultisol Pengamatan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil tanaman sawi meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, dan bobot tanaman disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rekapitulasi aplikasi pupuk organik cair berbahan paitan terhadap tanaman sawi Perlakuan Interaksi No Variabel pengamatan Dosis Konsentrasi (D x K) (D) (K) 1 Tinggi tanaman 0,96 tn 0,18 tn 1,63 tn 2 Jumlah daun 1,41 tn 1,34 tn 3,04 * 3 Panjang akar 5,02 ** 7,84 ** 1,34 tn 4 Bobot tanaman 0,28 tn 9,18 ** 1,84 tn Keterangan : ** = berpengaruh sangat nyata * = berpengaruh nyata tn = tidak berpengaruh nyata
Koefisiensi keragaman 6,99 16,66 19,81 23,94
Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk organik cair menunjukkan berpengaruh sangat nyata terhadap variabel panjang akar tanaman sawi, namun tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot tanaman. Pada perlakuan konsentrasi pupuk organik cair menunjukkan berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar dan bobot tanaman namun tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun. Pengaruh interaksi antara dosis pupuk organik cair dan konsentrasi pupuk organik cair terdapat perbedaan yang nyata pada variabel jumlah daun disajikan pada Tabel 1. Tabel 2. Rataan tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman sawi terhadap aplikasi pupuk organik cair berbahan pahitan Tinggi tanaman Jumlah daun Perlakuan (cm) (helai) Dosis : Kontrol (D0) 33,83 9,54 50 ml per tanaman (D1) 34,04 8,63 150 ml per tanaman (D2) 34,17 8,42 250 ml per tanaman (D3) 32,71 8,63 Konsentrasi : POC : air = 1 : 5 (K1) 33,50 9,06 POC : air = 1 : 10 (K2) 33,59 8,31 POC : air = 1 : 15 (K3) 33,99 9,03 Perlakuan dosis pupuk organik cair tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman sawi. Namun terdapat kecenderungan bahwa perlakuan dosis POC 50 ml per tanaman maupun 150 ml per tanaman menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi jika dibandingkan kontrol maupun perlakuan dosis 250 ml per tanaman. Perlakuan konsentrasi POC tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman sawi. Namun terdapat kecenderungan bahwa konsentrasi POC dengan perbandingan POC : air = 1 : 15 (K3) menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan POC : air = 1 : 5 (K1) maupun POC : air = 1 : 10 (K2). Tidak terdapat interaksi yang nyata antara dosis POC dengan konsentrasi POC terhadap tinggi tanaman sawi ditunjukkan Tabel 1. Perlakuan dosis pupuk organik cair tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman sawi. Namun terdapat kecenderungan bahwa perlakuan dosis POC 0 ml per tanaman menghasilkan jumlah daun sawi yang lebih banyak jika dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan konsentrasi POC tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman sawi. Namun terdapat kecenderungan bahwa
411
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
konsentrasi POC dengan perbandingan POC : air = 1 : 15 (K3) dan kontrol mampu menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak jika dibandingkan dengan perlakuan POC : air = 1 : 5 (K1). Terdapat interaksi yang nyata antara dosis POC dengan konsentrasi POC terhadap jumlah daun tanaman sawi ditunjukkan Tabel 1. Tabel 3. Rataan panjang akar dan bobot tanaman sawi terhadap aplikasi pupuk organik cair berbahan pahitan Panjang akar Bobot tanaman Perlakuan (cm) (g) Dosis : Kontrol (D0) 7,33 b 35,13 50 ml per tanaman (D1) 8,67 ab 38,17 150 ml per tanaman (D2) 7,75 b 36,11 250 ml per tanaman (D3) 9,75 a 35,70 Konsentrasi : POC : air = 1 : 5 (K1) 7,16 b 32,99 b POC : air = 1 : 10 (K2) 9,47 a 31,98 b POC : air = 1 : 15 (K3) 8,50 a 43,85 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Perlakuan dosis pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap panjang akar sawi. Panjang akar terpanjang dicapai oleh perlakuan POC 250 ml per tanaman meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan POC 50 ml per tanaman. Panjang akar terpendek dicapai oleh perlakuan kontrol walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan 150 ml per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk organik berbahan paitan ini mampu memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sawi khususnya panjang akar. Pada variabel panjang akar dengan perlakuan dosis tanpa POC atau kontrol ternyata menghasilkan panjang akar terendah, sedangkan dosis tertinggi atau 250 ml per tanaman menghasilkan panjang akar terpanjang. Hal ini menunjukkan terdapat kecenderungan semakin tinggi dosis ternyata akan menghasilkan panjang akar yang lebih panjang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Susilo dan Nely (2014) yang menyatakan bahwa dosis POC terbaik adalah 200 ml per tanaman dan terendah tanpa perlakuan POC. Perlakuan konsentrasi POC berpengaruh nyata terhadap panjang akar sawi. Panjang akar terpanjang dicapai oleh perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 10 (K2) walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 15 (K3). Panjang akar terpendek dicapai oleh perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 5 (K1). Terdapat interaksi yang nyata antara dosis POC dengan konsentrasi POC terhadap panjang akar tanaman sawi ini ditunjukkan Tabel 4. Perlakuan dosis pupuk organik cair tidak berpengaruh nyata terhadap bobot tanaman segar sawi. Terdapat kecenderungan bahwa bobot tanaman tertinggi dicapai oleh perlakuan 50 ml per tanaman dan bobot tanaman terendah dicapai oleh kontrol. Perlakuan konsentrasi POC berpengaruh nyata terhadap bobot tanaman sawi. Bobot tanaman tertinggi dicapai oleh perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 15 (K3) dan berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 5 (K1) maupun perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 10 (K2). Perlakuan pupuk organik cair berbahan paitan ini ternyata cukup memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan dan hasil tanamana sawi khususnya panjang akar dan bobot tanaman segar. Pupuk organik cair berbahan paitan memberikan pengaruh nyata terhadap panjang akar dan bobot tanaman. Paitan yang tergolong gulma ini ternyata cukup baik sebagai bahan pembuatan pupuk organik cair. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Susilo, et. al., (2015) yang menyatakan bahwa penggunaan POC yang berbahan gulma berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot akar, bobot 100 butir dan bobot biji per tanaman kedelai. Ditambahkan, perlakuan terbaik adalah POC Tithonia diversifolia dan Tridax procumbens yang mampu meningkatkan jumlah daun (18,67 dan 18,83 helai), jumlah polong (60 dan 49,83 polong), jumlah polong bernas (60 dan 49,17 polong), bobot kering akar (2,97 dan 2,23 g) dan bobot biji per tanaman (11,80 dan 10,90 g). Pupuk organik cair berbahan paitan ini ternyata memberikan respon pertumbuhan terhadap tanaman sawi yang cukup baik hal ini ditandai dengan berpengaruhnya POC terhadap variabel hasil
412
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
sawi khususnya bobot tanaman segar. POC berbahan paitan ini mengandung beberapa unsur makro dan mikro. Menurut Hakim dan Agustian (2003) rata-rata kandungan hara tithonia cukup tinggi, yaitu 3,16 % N, 0,38% P, 3,45% K. Tithonia yang dikomposkan akan menghasil cairan yang disebut dengan ekstrak tithonia, 100 kg tithonia segar akan menghasilkan 20 liter ekstrak tithonia (Nofrizal, 2007). Dari kandungan unsur hara di atas menunjukkan bahwa kandungan Nitrogen cukup tinggi, hal ini akan berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Menurut Salisbury dan Ross (1995), selain mengandung unsur nitrogen yang berfungsi menyusun semua protein, asam amino dan klorofil, pupuk organik cair juga mengandung unsur hara mikro yang berfungsi sebagai katalisator dalam proses sintesis protein dan pembentukan klorofil. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan pupuk organik cair memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaruh Interaksi Dosis dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair Berbahan Paitan Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Sawi Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan dosis dan konsentrasi pupuk organik cair berbahan paitan terhadap jumlah daun sawi ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh interaksi dosis dan konsentrasi POC berbahan paitan terhadap jumlah daun Konsentrasi Rataan Dosis K1 K2 K3 ---------------------------cm-----------------------------Kontrol (D0) 10,88 a 9,63 ab 8,13 bc 9,54 50 ml per tanaman (D1) 7,63 bc 9,13 abc 9,13 abc 8,63 150 ml per tanaman (D2) 9,25 ab 6,75 c 9,25 ab 8,42 250 ml per tanaman (D3) 8,50 abc 7,75 bc 9,63 ab 8,63 Rata-rata 9,06 8,31 9,03 Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05. Interaksi antara dosis dan konsentrasi pupuk organik cair berbahan paitan berpengaruh nyata terhadap jumlah daun sawi. Interaksi antara kontrol dan konsentrasi POC : air = 1 : 5 (kontrol K1) mampu menghasilkan jumlah daun terbanyak walaupun tidak berbeda nyata dengan interaksi D0K1, D1K2, D1K3, D2K1, D2K3, D3K1, dan D3K3 selanjutnya berbeda nyata terhadap D1K1, D0K3, D2K2 dan D3K2. Kombinasi antara dosis POC dan konsentrasi POC berbahan paitan ini menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik terutama pada jumlah daun. Pertumbuhan maupun peningkatan pertumbuhan tanaman sawi ini diduga karena terdapat perbaikan pembentukan klorofil dan pengaruh pupuk organik cair mampu meningkatkan vigor tanaman. Menurut Rizqiani dkk, (2007), penggunaan pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat meningkatkan pembentukan klorofil daun, meningkatkan vigor tanaman sehingga tanaman menjadi kokoh serta meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan. KESIMPULAN Perlakuan dosis POC berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar dengan panjang akar terpanjang dicapai dosis 250 ml sebesar 9,75 cm. Perlakuan konsentrasi berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar dengan panjang akar terpanjang dicapai oleh konsentrasi 1 POC : 10 liter air sebesar 9,47 cm dan bobot segar tertinggi dicapai oleh perlakuan konsentrasi 1 POC : 15 liter air sebesar 43,85 g. Terdapat Interaksi yang nyata antara dosis POC dan konsentrasi POC terhadap variabel jumlah daun dan terbanyak dicapai oleh interaksi kontrol dan konsentrasi POC : air = 1 : 5 (kontrol K1) waupun tidak berbeda nyata dengan D0K1, D1K2, D1K3, D2K1, D2K3, D3K1, dan D3K3 DAFTAR PUSTAKA Pusat Statistik. 2012. Produksi Tanaman Pangan. http://www.bps.go.id/ booklet/Booklet_Agustus_2012.pdf. Diakses 10 18 Januari 2014. Hakim, N dan Agustian, 2003. Gulma Tithonia dan Pemanfaatannya sebagai Sumber Bahan Organik dan Unsur Hara untuk Tanaman Hortikultura. Laporan Penelitian Tahun I Hibah Bersaing. Proyek Peningkatan Penelitian Perguruan Tinggi DP3M Ditjen Dikti. Unand. Padang. Badan
413
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Mattjik A A, I. M Sumertajaya., 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Bogor: IPB Press. Nagarajah S, and B. M Nizar. (1982). Wild sunflower as a green manure for rice in the midcountry wet zone. Trop. Agric. J. 138:69-79. Nofrizal. 2007. Ternak Sebagai Sumber Pupuk Dalam Pertanian Organik. Tabloid Suara Afta Pertanian. Edisi 46/Desember-2007. Rizqiani, N. F. Ambarwati, E. dan Yuwono, N. W. 2007. Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Dataran Rendah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol 7: 43-53. Salisbury B. F. dan Ross, C. C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Susilo, E. H, Pujiwati. Parwito. 2015. Aplikasi Pupuk Organik Cair Berbahan Gulma Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Tanah Ultisol. Di dalam : Soedjijono. et. al., (eds.), Peningkatan Kapasitas Peneliti dalam Memasuki Fase Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Prosiding Seminar Nasional ; Malang, 6 Juni 2015. LPPM Universitas Kanjuruhan Malang Jawa Timur. Hal 291-295. Susilo. E, Nely. R. 2014. Pemanfaatan Limbah Biogas yang Diperkaya MOL pada Waktu dan Dosis Aplikasi yang Berbeda untuk Meningkatkan Hasil Selada (Lactuca sativa L.). Di dalam : Suliansyah I. et al., (eds.), Membangkitkan Patriotisme Pertanian “Sebuah Harapan untuk Pemerintahan Baru”. Prosiding Seminar Nasional dan Lokakarya FKPTPI ; Padang, 8-10 September 2014. Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang Sumatera Barat. Hal. 402-410.
414
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
DAFTAR PERTANYAAN No. Makalah 1
3
5
Judul Makalah
Saran/Pertanyaan
Aplikasi Kalsium dan Boron untuk Mengatasi Cemaran Getah Kuning pada Buah Manggis
1. M.Taufik/Univ. Bengkulu - Apakah lingkungan berpengaruh terhadap kandungan getah kuning karena terdapat perbedaan kontrol pada tahun 2012 lebih tinggi dibanding tahun 2013 2. Abdul Kodir/BPTP Sumsel) - Apa yang menjadi masalah dari getah kuning tersebut? Getah kuning merupkan penyakit atau bukan?idealnya berapa takaran kalsium dan boron yang sesuai? 1. Darman Hary (Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik Prod. Desa) - Hal yang utama yang akan dipasarkan berupa kulit atau buah? Apakah getah kuning dapat mempengaruhi kualitas? Peningkatan Pengetahuan 1. M. Taufik/Universitas dan Penerapan Inovasi Bengkulu) Teknologi Pengelolaan - Mengapa yang dikaji adalah Terpadu Tanaman Jeruk di pendidikan petani? Berapa Provinsi Bengkulu lama pengkajian dilakukan? Apakah dampaknya dapat meningkatkan kualitas/produksi hasil jeruk itu sendiri? 2. Dr. Wahyu Wibawa - Peningkatan maksimal adalah 100%, bukan lebih dari 100% karena akan membingungkan 3. Dr. Umi Pudji - Di indikator no 11 apakah para petani sudah tahu pentingnya koordinasi antar petani di PTKJS, bukan koordinasi antar kelompok? Upaya Peningkatan Produksi 1. M.Taufik/Univ. Bengkulu) dan Mutu Kopi Rakyat di - Apakah sambung pucuk dari Kabupaten Rejang Lebong klon unggul memang dapat Provinsi Bengkulu meningkatkan produksi kopi menjadi 2 ton? - Tabel dibuat lebih bagus
dan melihat segi kepatutan. - Kesimpulan gunakan kata
Tanggapan Pemakalah - Lingkungan memang berpengaruh. Pada tahun 2012 curah hujan lebih banyak sedangkan kandungan kalsium dipengaruhi oleh air - Getah kuning merupakan penyakit fisiologis. Getah kuning menjadi masalah karena berpengaruh terhadap kualitas dalam sehingga sulit untuk mengejar market oriented. Kalsium diserap oleh tanaman dalam bentuk oksalat - Tergantung dari target pemasaran. Biasanya produk utama adalah buah dalam bentuk segar, namun bisa juga dijual kulitnya. BPTP bertugas untuk melakukan pendampingan terhadap teknologi kepada petani. Kajian telah dilakukan selama 4 tahun. Permasalahan dalam budidaya jeruk umumnya adalah mengenai hama dan penyakit
Yang nilainya 100 tidak ditampilkan
Untuk koordinasi petani pada awalnya tidak tahu dan setelah penjelasan sudah sangat paham - Sambung pucuk dari klon unggul memang berpotensi menghasilkan produksi yang tinggi bisa mencapai 2 ton. Umurnya baru 2 tahun. Biasanya tahun pertama dan kedua naiknya nanti pada saat puncak
yang baik (bau=aroma) 6
Tingkat Ketidakmiripan Genotipe-Genotipe Jagung (Zea mays L.) Generasi S1 dan S2 untuk Pembentukan Tetua Dissimilarities Maize ((Zea mays L.) Genotypes
1. Marakati - Apakah keistimewaan dari ketiga tetua itu? - Apakah keistimewaan dari ketiga tetua itu?
415
Keistimewaanya yaitu tahan penyakit bulai. Keistimewaanya yaitu tahan penyakit bulai.
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
8
for parental Efikasi Pengendalian Penyakit Layu dengan Agens Antagonis untuk Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Caisin
14
Karakteristik Kentang Merah Spesifik Bengkulu Selama Penyimpanan
25
Pertumbuhan Eksplan dan Produksi Umbi Mikro Kentang Lokal Bengkulu secara Invitro pada Suhu yang Berbeda Kajian Pemasaran Jagung (Studi Banding di Desa Saree Kab Aceh Besar)
29
31
Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Padat (POP) terhadap Produksi dan Kelayakan Usahatani Kubis di Kab Rejang Lebong Kab Bengkulu
32
Peningkatan Pengetahuan Petani Dalam Penanggulangan Hama penyakit Tanaman Hayati Pada Usahatani Cabai Di Mojo Rejo KabupatenRejang Lebong (Herlena Bidi dan Rudi Hartono)
1. Parwito/Univ. Pasundan) - Apakah di kebun percobaan UPT Riau sudah endemik fusarium? Apakah sudah dilakukan penelitian sebelumnya?
- Sudah dilakukan penelitian sebelumya, sudah banyak yang terserang. Petani sudah dianjurkan untuk menggunakan agen hayati namun tetap melakukan penyemprotan denga pestisida kimia sehingga residu sudah melebihi batas. - Menggabungkan atau kombinasi antara agan hayati dan pestisida nabati semakin baik. Dosisnya sama, perbandingan 50:50.
2. Infetusitorius/BP2TP Kemenristek) - Gabungan antara 2 agen hayati (glikodium dan pseudomonas) apakah baik? Kira-kira dosis yang diberikan sama atau lebih rendah? 1. Dr. Umi Pudjiastuti Saran diterima dan makalah - Bagaimana cara penyimpanan akan diperbaiki. kentang tersebut (dihamparkan/dalam karung); kesimpulan hanya mengulan pembahasan. 2. Dr. Shannora - Lama penyimpanan bukan perlakuan tetapi waktu untuk mengamati. Variabel apa yang diamati pada - Variabel yang diamati penelitian? Pada poster tidak adalah pertumbuhan dan dicantumkan pengumbian
1. Ir. Sri Suryani - Keismpulan harus kalimat lengkap 2. Andi Ishak, M. Si. - Saluran pemasaran lebih diperjelas lagi. 1. Ir. Ahmad Damiri - Hasil analisis tanah tidak dijelaskan perhitungan tingkatan penggunaan POP?
Saran diterima dan makalah akan diperbaiki.
Dr. Umi Pudji Astuti 1. Di metodologi data yang diambil apa? 2. Kesimpulan, implikasinya seperti apa? 3. Tabel 1 masih banyak terdapat kesalahan
1. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik petani dan teknologi pengendalian OPT 2. Kesimpulan akan diperbaiki
Ir. Sri Suryani Rambe,M.Agr 1. Karakteristik petani tabelnya sebaiknya lengkap 2. Metode ditambah data yang diukur 3. Tabelnya masih terlalu
416
Perhitungan menggunakan interval
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
37
Eksplorasi dan Karakterisasi Manggis di Provinsi Bengkulu
39
Eksplorasi dan Konservasi Tanaman Buah di Provinsi Bengkulu (Miswarti, Taupik Rahman Dan Wawan Ep)
43
Kajian adaptasi cabai merah kencana pada agroekosistem dataran tinggi musim kemarau di kabupaten Rejang Lebong ( Rudi Hartono dan Yahumri)
45
Peranan pendampingan teknologi terhadap peningkatan pengetahuan dan produksi cabai di Provinsi Bengkulu (Ruswendi)
48
Keragaman Genetik dan Evaluasi Plasma Nutfah
sederhana, dibuat tabel untuk pre dan post test, berapa peningkatannya? Dr. Wahyu Wibawa 1. Tujuan sebaiknya diperbaiki tidak “mengetahui” 2. Kesimpulan belum menyimpulkan, perlu diperbaiki 3. Kata yaitu sebaiknya tidak digunakan 1. Dr. Wahyu Wibawa - Apakah hanya ada 28 genotipe manggis di Bengkulu atau hanya sejumlah ini yang ditemukan? 2. Dr. Umi Pudji Astuti - Apa justifikasi pengembilan komoditas manggis? Apa implikasi dai kesimpulan no 2? - Dari semua manggis di Provinsi Bengkulu mana kandungan getah kuning yang paling sedikit? Di daerah mana? Varietasnya apa? 1. Dr. Umi Pudji Astuti - Kenapa alasan pemilihan kelima komoditas tanaman buah yang diambil tidak dicantumkan?
Dr. Umi Pudji Astuti 1. Apakah hanya dengan melakukan 1 kali penanaman dapat disimpulkan bahwa cabai tersebut dapat beradaptasi di luar musim 2. Sebaiknya kesimpulan kedua dirubah. Kalimat “dapat dikembangkan”menjadi “alternatif varietas cabe di luar musim” Dr Umi Pudji Astuti 1. Tujuan tidak konsisten. Bila ada kata pengaruh maka pada metodologi harus ada korelasi Sri Suryani Rambe 1. Pada tabel 2, apakah ada pengaruh pendampingan terhadap luasan usahatani? 2. Apa produksi meningkat karena adanya pengaruh pendampingan tahun 2015 atau karena apa? Pengaruh apa yang paling dominan dalam pembentukan keragaan
417
- Jumlah genotipe akan ditambah - Genotipe manggis adalah sama - Justifikasi akan diperkua - Kesimpulan akan diperbaiki - Manggis di dataran tinggi mengandung getah kuning lebih banyak dibanding manggis dataran rendah. Varietasnyan MO8 dan MO5
Alasan pemilihan 5 komoditas akan dimasukkan dalam makalah
Data peningkatan luasan dan produksi dikumpulkan dengan melakukan wawancara sebelum dan sesudah musim tanam
Jambu biji merupakan tanaman yang melakukan
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
49
Jambu Biji
genetik jambu biji?
penyerbukan silang sehingga kemungkinan untuk terjadinya keragaman genetik lebih besar
Preferensi Petani Terhadap Teknologi Pengolahan dan Sifat Sensori Kopi Petik Merah Spesifik Bengkulu (Dr. Shanora)
1. Dr. Wahyu Wibawa - Istilah preferensi biasanya digunakan untuk PP, apa jika untuk teknologi juga menggunakan istilah preferensi? - Kategori umur yang dicantumkan bermacammacam, apa kriterianya? 2. Ir. Siswani DD - Proses fermentasi 56% masih rendah, apakah perlu difermentasi ? 1. Ratna AD - Apa perbedaan antara kompos kotoran sapi dengan kompos EM4?
Dalam tulisan ini, istilah preferensi lebih untuk sifat sensori kopi.
50
Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis dengan Pemberian Berbagai Jenis, Dosis dan Saat Aplikasi Kompos pada Ultisol
52
Aplikasi Pra- dan PurnaTumbuh Herbisida Berbahan Aktif Atrazine dan Mesotrione untuk Pengendalian Gulma Pada Tanaman Jagung Manis
52
Aplikasi Pupuk Organik Cair Berbahan Paitan (Tithonia diversifolia) dengan Dosis dan Konsentrasi yang Berbeda untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Sawi di Tanah Ultisol (Edi Susilo)
53
Pertumbuhan dan Hasil Kangkung, Selada Serta Pakcoy Pada Tiga Model Akuaponik Mini yang Disusun Vertikal
Teknologi pengolahan pada tahap fermentasi, ada yang melakukan ada juga yang tidak Terjadi kesalahan dalam menjelaskan istilah, sebenarnya EM4 adalah dekomposer yang digunakan dalam pembuatan kompos. - Aplikasi pada saat sebelum tanam dan 14 HST, penyiangan dilakukan pada umur 1424 hari setelah tanaman tumbuh. - Pada umur 28 HST gulma masih tetap ada.
1. Dahono (LPTP Kepri) - Pertanyaan : Kapan aplikasi herbisida pra dan purna tumbuh dan bagaimana dengan umur penyiangan yang dilakukan 2 kali? - Apakah pada fase generatif masih ada gulma, mengingat pertumbuhan gulma sudah tertekan akibat tanaman jagung yang pertumbuhannya sudah maksimal? 1. M. Taufik/Univ.Bengkulu) - POC memang - POC ada yang berbahan menggunakan mikroorganisme ada yang mikroorganisme lokal tidak, kajian yang dilakukan (MOL) yang berbahan dari menggunakan mikroorganisme bonggol pisang. Bahan lain atau tidak? seperti gula merah digunakan untuk - Dijelaskan konsentrasi POC mendukung MOL. POC 50, 150 serta 250. Tetapi dari makin encer makin baik perlakuan antara 250 dengan 50 konsentrasinya tidak berbeda nyata? Gula merah digunakan untuk apa? 2. Yartiwi/BPTP Bengkulu) - Apakah POC yang digunakan sudah dianalisis kandunga - Belum dilakukan analisis haranya (misalnya NPK/CN)? kandungan unsur haranya Dalam penentuan dosis POC sehingga kedepan dilakukan menggunakan panduan perbaikan baik darimana? kandungannya dan perlakuan akan dikaji ulang. 1. Dahono (LPTP Kepri) - Dapat diterapkan pada - Apakah hasil penelitian ini bisa daerah kepulauan bahkan diterapkan pada daerah-daerah ada buku yang akan terbit kepulauan?; Bagaimana mengenai “Konsep mengatasi hasil yang ekonomis Pertanian di Kepulauan”
418
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
hanya pada basis 1-3 dari atas?
419
(Konsep Kepulauan Seribu). - Hasil penelitian menunjukkan hasil yang ekonomis terdapat pada basis 1-3 dari atas. Penyempurnaan penelitian dengan mengubah arah kemiringan.
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
RUMUSAN HASIL SEMINAR NASIONAL Di Hotel Santika Bengkulu, 8 November 2016 1.
Seminar Nasional yang dilaksanakan tanggal 8 November 2016 di Hotel Santika bertema Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di buka oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian merupakan bagian dari pelaksanaan Kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu. Seminar Nasional dihadiri 220 orang peserta, berasal dari berbagai kalangan yang terdiri dari unsur birokrat, peneliti/penyuluh lingkup Kementerian Pertanian, Kementerian Ristek, dosen dan mahasiswa Perguruan Tinggi, Pengambil Kebijakan, Pemerintah Daerah, Perwakilan Petani dan Organisasi Profesi yang berasal dari berbagai wilayah (24 Provinsi) di seluruh Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo,Bali dan Nusa Tenggara Barat. 2. Seminar Nasional ini merupakan salah satu upaya mewujudkan dan meningkatkan Scientific Recognition yang dihasilkan oleh para peneliti, penyuluh, dosen dan penentu kebijakan, pelaksana dan pengguna teknologi di bidang pertanian. Dari seminar ini diharapkan terjadi pertukaran pengetahuan, pengalaman, dan informasi antara para peneliti, praktisi dan pengambil kebijakan. 3. Makalah yang diseminarkan terdiri atas 4 makalah utama dan 162 makalah pendukung yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu makalah yang dipresentasikan secara oral dan poster dari berbagai aspek, bidang tanaman pangan, bidang sosial ekonomi, diseminasi penyuluhan dan kebijakan, bidang hortikultura, bidang peternakan, perkebunan, serta pasca panen dan pengolahan pangan. 4. Paradigma baru “Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development) mempunyai makna bahwa Balitbang berkomitmen kuat dan memberikan perhatian yang besar terhadap pendayagunaan hasil penelitian dan mempercepat proses penerapannya di lapangan. 5. Peranan Inovasi Teknologi menuju Pertanian Modern dan Berkelanjutan mendudukan sektor Pertanian menjadi Leading dalam memenuhi tuntutan kebutuhan pangan dan energi. Melalui kegiatan RISETnya, Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian dalam perspective ke depan harus berada di garda terdepan untuk menjawab tantangan/masalah di masa akan datang. 6. Inovasi teknologi pertanian modern perlu dikembangkan untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis bioekonomi yang terintegrasi dengan Biosciense, Bioengineering, social engineering dan Bioinformatics. 7. Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan memperkuat jejaring pasar produk pertanian menjadi fokus dalam mendorong produk pertanian untuk tetapmenjadi andalan dipasar domestik maupun mampu berkompetisi di pasar global. 8. Masa depan Pertanian Indonesia sangat ditentukan oleh transformasi teknologi Revolusi Hijau menjadi Revolusi Hayati (Biorevolution). Kegiatan Biorevolution antara lain : biofarming, biomedis dan bioindustri yang akan menciptakan suatu sektor perekonomian yang sangat dinamis (yang disebut bioekonomi) dan akan menjadi basis utama perekonomian negara di masa mendatang. Oleh karena itu pembangunan sektor pertanian di Indonesia harus mampu berperan multi-fungsi serta menjadi poros transformasi dan motor penggerak pembangunan nasional. 9. Peran perguruan tinggi dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan antara lain menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang pertanian dan menciptakan dan melakukan inovasi teknologi dimulai dari kegiatan riset dasar dan terapan yang mendukung pertanian berkelanjutan. 10. Peran Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) diharapkan dalam meningkatkan produktivitas melalui misinya antara mengembangkan peran yang bermakna dalam
420
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
pengembangan pertanian nasional dan peningkatan kesejahteraan petani serta mengembangkan IPTEK pertanian yang selaras dengan kebutuhan masyarakat. 11. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas tanaman pangan dan hortikultura dilakukan melalui teknologi pengelolaan tanaman terpadu (benih unggul, penggunaan bahan organik, penggunaan alat mesin pertanian modern, pemupukan spesifik lokasi, pengendalian hama penyakit secara bijaksana, dan panen yang tepat). Melalui upaya peningkatan produksi, kualitas dan pendapatan petani bidang perkebunan dilakukan antara lain melalui perbaikan klon unggul, pemupukan dan panen tepat waktu. Peningkatan produksi dan populasi ternak sebagai sumber penghasil pangan asal ternak harus diikuti dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan melalui optimalisasi pemanfaatan dukungan sumberdaya alam pertanian sebagai pakan alternatif hasil ikutan atau limbah pertanian dalam mewujudkan pertanian modern berkelanjutan. 12. Dari hasil eksplorasi plasma nutfah diperoleh berbagai komoditas yaitu tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, perkebunan dan peternakan. Tindak lanjut yang diperlukan adalah penelitian selanjutnya dari Balit komoditas, konservasi tanaman agar tidak punah dan pengembangannya oleh pemerintah daerah. 13. Hasil kajian bidang penyuluhan menunjukkan bahwa berbagai metode dan media penyuluhan mampu merubah perilaku sasaran penyuluhan berupa peningkatan pengetahuan petani dan penerapan inovasi teknologi yang direkomendasikan.Oleh karena itu, metode dan media penyuluhan perlu terus dikembangkan dengan inovasi terkini yang berbasis IT. Bengkulu, 8 November 2016 Tim Perumus : Dr. Rudi Hartono, MP (Ketua) Dr. Wahyu Wibawa, MP (Anggota) Dr. Umi Pudji Astuti, MP (Anggota) Ir. Sri Suryani M.Agr (Anggota) Ir. Ruswendi, MP (Anggota) Ir. Ahmad Damiri, M.Si (Anggota) Dr. Eva Oktafidianti (Anggota) Dr. Supanajani (Anggota)
421
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Daftar Hadir SEMINAR NASIONAL BPTP BENGKULU 2016 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 `17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Nama Moh Takdir Mulyadi Sri Budhi Lestari Yong farmanta Sigid handoko Minangsari dewanti Majestika Adri Kgs a Koda Riadi taregan Ika ns Ragapadmi P Rahmiwati yusuf Yossie yumiati Darman hary Sumilah Lina widawati Ratna andam dewi Muhammad ichwan Dahono Umi salamah Atra romeida Farihul ihsan Nofiarli Ika Ferry Y Fiana Podesta Dwi Fitriani Endang Wisnu Reni Andesta Imelda Riska Andani Pantjar Simatupang Busyra Rika Meilasari Jonni Firdaus Reissa Yunita Lela Nurletina Tri Sudaryono Prasatyo Linda Harta Rika Dwi Yulihartika Evi Andriani Kiky Nurfitri Sari Ummul Khair Hade Wahyuni Amelia Wulandari Herlena Bidi Astuti
Instansi BPTP Balitbangtan Jambi BPTP Balitbangtan Yogyakarta BPTP Balitbangtan Jambi BPTP Balitbangtan Jambi Balai Penelitian Tanaman Hias Disnak dan Keswan Prov. Bengkulu BPTP Balitbangtan Jambi BPTP Balitbangtan SUMSEL Bakorluh Prov. Bengkulu PUSLITBANGBUN BB Biogen BPTP Balitbangtan Riau UNiversitas Dehasen Bengkulu BPPTP Bengkulu BPTP Balitbangtan Sumatera Barat Universitas Dehasen BPTP Balitbangtan Sumatera Barat BPTP Balitbangtan Sumatera Barat LPTP Universitas Ratu Samban Universitas Bengkulu (UNIB) Blitbu Tropika Blitbu Tropika Balingtan UNIB UNIB BPTP Balitbangtan Yogyakarta UNIB UNIB PSE – KP BPTP Balitbangtan Jambi BALITHI BPTP Balitbangtan SULTENG BB-Biogen BPTP Balitbangtan Jambi BPTP Baltbangtan Jawa Timur UNIB BPTP Balitbangtan Bengkulu UNIVED UNIVED UNIB UNIB BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu 422
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92
Suardi Taufik Hidayat Eko Kristanto Zainani Alfayanti Kusmea Dinata Jhon Firison Hamdan Rudi Hartono Wahyu Wibawa Narkum A Sembiring Sundari Anggita T Tuti Tutuarina Wawan Eka Putra Supanjani Hertina Artati Liferdi Eva Oktavidianti Nurhaita M Taufik Sumardi Nadrawati Tunjung Parolus Neli Definiati Nasriati Fahrurrozi Andi Ishak Dini Yuliani Nyoman Suyasa Ni Putu Suratmini Ade Ayu Putu Parwati M Taufik Jemmy Rinaldi Ketut Mahaputra Nyoman Ngurah Arya Fauziah Merakati Handajaningsih Afrizon Heryan Iswadi Busri Saleh Yartiwi Haryuni Odit Ferry K Hidayat Saiful Yayu zurriyati
BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu Karantian Pertanian Karantian Pertania BBP2TP Bogor BBP2TP Bogor UNIB BPTP Balitbangtan Bengkulu UNIB BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Jawa Barat Universita Muhammadiyah Bengkulu (UMB) UMB UNIB UNIB UNIB UNIB UMB BPTP Balitbangtan Lampung UNIB BPTP Balitbangtan Bengkulu BB- Padi BPTP Balitbangtan Bali BPTP Balitbangtan Bali BPTP Balitbangtan Bali UNIB BPTP Balitbangtan Bali BPTP Balitbangtan Bali BPTP Balitbangtan Bali Dinas Pertanian Prov. Bengkulu UNIB BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu UNIB BPTP Balitbangtan Bengkulu UNIB Univ Mulawarman KALTIM PEMDA LPTP Kepri 423
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141
Sarina Fithri Mufriantie Rita Feni Elma Basri Nila Wardani Suryani Gohan Octora Manurung Hengki. S Youzon HP Doth Suryadi Djamilan Rina Delfi Emperus Sitorus Misnarti Hotlan Sinurat Lukman H Nana Sutrisna Sukmaya Adetya Rahman Riswita Liferdi Erni Gustiani Yayan Rismayanti Meksi Dianawati Agus Nurawan Wuri Marsigit Oswaid M Iskandar Ishaq Ririn Harini Irwansyah Dilisti Erpan Ramon Zul effendi Yeni Eliza Bungati Bandi Bandi Hermawan R Kiko R Nila Wardani Suryani Gohan O Manurung Melli Fitriani Tofik Hemey P. Melda A Matriyani Endriani Hesti Pujiwati Syafrizal
Univ. Hazairin Bengkulu Univ. Muhammadiyah Bengkulu Univ. Muhammadiyah Bengkulu BPTP Balitbangtan Lampung BPTP Balitbangtan Lampung BPTP Balitbangtan Lampung BPTP Balitbangtan Lampung Bapeda Prov. Bengkulu Bapeda Prov. Bengkulu UNIB UNIB Karantina Bengkulu BPPTP Bengkulu Bapeda Prov Bengkulu BPPTP Bengkulu UNIB BPTP Balitbangtan JABAR BPTP Balitbangtan JABAR BPTP Balitbangtan JABAR BPTP Balitbangtan SULSEL BPTP Balitbangtan JABAR BPTP Balitbangtan JABAR BPTP Balitbangtan JABAR BPTP Balitbangtan JABAR BPTP Balitbangtan JABAR UNIB BPTP Balitbangtan JABAR BPTP Balitbangtan JABAR Univ. MUhammadiyah Bengkulu BPP STADA Bengkulu Univ. Dehasen Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan SUMSEL BPTP Balitbangtan SULTRA UNIB Sekretariat Balitbangtan BPTP Balitbangtan Lampung BPTP Balitbangtan Lampung BPTP Balitbangtan Lampung LPTP Kepri UNIB Karantina BAPEDA Prov. Bengkulu Dinas Pertanian Kota Bengkulu BPTP Balitbangtan Lampung UNIB BKP3 Kota Bengkulu 424
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176
Maya Dhania Sari Edi Susilo Parwito Alnopri Risuan Anwa R Novitri Parlin H Sinaga Diahirianti Marulak S Kuswandi Sukarmin Sri Hadiati Harmanto Waluyo Harwi Kusnadi Aulia Evi Susanti Zulfa wilman Fahroji Sri Swastika Rachmiwaty yusuf Eliartati Marsid Jahari Ina Zulaehah Yudi Sastro Teddy Suparno Rahmat Wijaya Nurwati Ari Widyastuti Siti Maryam H T. Marbun Yulie Oktavia Hertina Artanti Johardi Siswani Dwi Daliani Sri S Rambe
BPTP Balitbangtan SUMSEL UNRAS UNRAS UNIB / Ka PERAGI UNIHAZ Univ. Muhammadiyah Bengkulu Univ. Muhammadiyah Bengkulu Ka. Komnas SDG Bengkulu UNIB BALITBU Tropika BALITBU Tropika BALITBU Tropika BPTP Balitbangtan SUMSEL BPTP Balitbangtan SUMSEL BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan SUMSEL LPTP KEPRI BPTP Balitbangtan RIAU BPTP Balitbangtan RIAU BPTP Balitbangtan RIAU BPTP Balitbangtan RIAU BPTP Balitbangtan RIAU BALINGTAN BPTP Balitbangtan Jakarta UNIB UNIB BPTP Balitbangtan Yogyakarta BPTP Balitbangtan Yogyakarta BPTP Balitbangtan SUMUT BPTP Balitbangtan SUMUT BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu BPTP Balitbangtan Bengkulu
425
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
426