I S B N : 978-979-98691-7-3
prosiding
SEMINAR NASIONAL KETAHANAN PANGAN DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN :
TANTANGAN DAN PELUANG IMPLEMENTASI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF NASIONAL
RABU 07 OKTOBER 2015 POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH
KPN POLITANI
PROSIDING SEMINAR NASIONAL TAHUN 2015
KETAHANAN PANGAN DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN:
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi dalam Perspektif Nasional
07 OKTOBER 2015
Penyelenggara: POLITENIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH
Prosiding Seminar Nasional: Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan : Peluang dan Tantangan Implementasi teknologi dalam Perspektif Nasional Editor : Ir. Gusmalini M.Si Ir. John Nefri, M.Si Ir. Irwan Roza, M.P Ir. Irwan A, M.Si Dr. Ir. Agustamar, M.P Perdana Putera, S.T, M.Eng Auzia Asman, SP, M.P Amrizal, S.Kom, M.Kom Jamaluddin, S.Si, M.Si Rince Alfia Fadri, S.ST, M.Biomed Indra Laksmana, S.Kom, M.Kom Ir. Harmailis, M.Si Ir. M. Syakib Sidqi, M.Si Yenni, SE Annita, SP Drh. Ulfa Mohtar Lutfi, M.Si
Layout :
Fanny Yuliana Batubara, ST, MT
Sampul :
Amrizal, S.Kom, M.Kom, dan Indra Laksmana
ISBN : 978-979-98691-7-3 Penerbit :
Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Alamat: Jl. Raya Negara Km 7 Tanjung Pati Kecamatan Harau Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat 26271 Fax : 0752-7750220 Telp : 0752-7754192 Web : http://semnas2015.politanipyk.ac.id e-mail :
[email protected]
KATA PENGANTAR
Puji Dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penyusunan prosiding seminar nasional ini dapat diselesaikan. Prosiding ini merupakan kumpulan makalah dari para peneliti yang terdiri dari dosen, peneliti, praktisi dan pembuat kebijakan yang disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema“Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan : Peluang dan Tantangan Implementasi teknologi dalam Perspektif Nasional” yang diselenggarakan di Kampus Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh pada tanggal 7 Oktober 2015. Prosiding ini terdiri dari materi/makalah utama yang disampaikan narasumber yaitu Kudang.B.Seminar dan Sutrisno.S.Mardjan. Makalah penunjang berjumlah 65 judul yang dikelompokkan atas 4 bidang yaitu : a. Bidang Teknologi Pertanian: b. Bidang Teknologi Pangan; c. Pertanian dan Perkebunan d. Peternakan dan Sosial Ekonomi Pertanian. Pelaksanaan seminar dan penyelesaian prosiding ini tidak akan terwujud tanpa partisipasi dan kerjasama semua Panitia Seminar, Direktur beserta seluruh jajaran pimpinan, Pusat penelitian dan Pengabdia kepada masyarakat, para pemakalah, editor dan para pendukung yaitu Semen Padang, KPN Politeknik pertanian Negeri Payakumbuh, Bank Syariah mandiri (BSM) Cabang Payakumbuh, dan Bank Nagari Cabang Payakumbuh. Semoga Prosiding ini bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam memajukan ilmu pengetahuan. Tanjung Pati, Oktober 2015 Ketua Panitia,
SAMBUTAN KETUA PELAKSANA
Pada Pembukaan Seminar Nasional Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan, Rabu 07 Oktober 2015 Assalamualaikum Wr. Wb Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya seminar nasional ini dapat diselenggarakan. Shalawat beserta salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke alam yang ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Seminar nasional ini mengambil tema : “Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan : Peluang dan Tantangan Implementasi teknologi dalam Perspektif Nasional” Seminar Nasional ini dikuti oleh pemakah oral 30 judul, pemakalah poster 5 judul sedangkan makalah yang masuk prosiding sebanyak 65judul. Panitia mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu antara lain Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh serta sponsor seminar nasional yaitu PT. Semen Padang, Bank Nagari Cabang Payakumbuh, Bank Syariah Mandiri, dan KPN Politani. Kepada para peserta kami mengucapkan selamat datang di Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh dan Selamat mengikuti Seminar, dan terimakasih secara khusus Prof. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr. atas kesediaan menjadi pemakalah kunci dan pemakalah utama. Selanjutnya kepada seluruh hadirin kami mohon kerjasamanya agar kegiatan dapat terlaksana dengan lancar. Ketua Panitia,
Perdana Putera
SAMBUTAN DIREKTUR
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH Pada Pembukaan Seminar Nasional Ketahanan Pangan Dan Pertanian Berkelanjutan, Rabu 07 Oktober 2015 Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh Pertama kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt tuhan yang maha kuasa, dengan ridhonya Politeknik Pertranian Negeri Payakumbuh dapat menyelenggarakan seminar “ KETAHANAN PANGAN DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN: Peluang Dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional” Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi besar dan sumber daya alam yang melimpah untuk produk pertanian. Disektor pertanian Indonesia memiliki berbagai jenis tanaman, hal ini didukung dengan kondisi iklim tropis yang berbeda. Teknologi pertanian sebagai penerapan dari ilmu-ilmu teknik pada kegiatan pertanian atau dalam pengertian lebih luas yaitu suatu penerapan prinsip-prinsip matematika dan sains dalam rangka pendayagunaan sumber daya pertanian dan sumber daya alam secara ekonomis untuk kesejahteraan manusia. Keberagaman teknologi yang dibuat untuk membantu jarak waktu yang lama kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat-perangakat mesin, seperti komputer, dan lain sebagainya. Sumbangan IPTEK terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia tidaklah dapat dipungkiri. IPTEK pada satu sisi telah membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Ilmu pertanian dan perkembangan teknologi sangatlah tidak dapat dipisahkan untuk zaman sekarang ini. Keduanya jalan bersamaan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan manusia melalui ketahanan pangan dan produkproduk sandang dan papan. Ilmu dan teknoogi pertanian secara luas mencakup berbagai penerapan ilmu yang terfokus pada budidaya, pemeliharaan, pemanenan, peningkatan mutu hasil panen, penanganan, pengelolaan dan pengamanan hasil, dan pemasaran hasil sebagai objek formal ilmu pertanian tersebut. Dalam perspektif nasional terjadi keterlambatan dalam implementasi teknologi dibidang pertanian dibandingkan negara maju yang muncul terkait ketepatgunaan teknologi namun demikian ini juga menjadi peluang tersendiri kedepan menuju kedaulatan pangan di Indonesia. Untuk itu melalui kita mengharapkan untuk memberikan kontribusi pemikiran yang bisa menyelesaikan ataupun mengurangi permasalahan bidang nasional secara umum dan bidang pertanian secara khusus. Akhir kata, mewakili Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak, khususnya Panitia yang telah bekerja keras untuk terselenggaranya acara seminar ini serta sponsor seminar nasional yaitu PT. Semen Padang, Bank Nagari Cabang Payakumbuh, Bank Syariah Mandiri, dan KPN Politani. Kepada para peserta kami mengucapkan selamat datang di Politeknik Pertanian
Negeri Payakumbuh dan Selamat mengikuti Semuinar , serta kami mohon kerjasamanya agar kegiatan dapat terlaksana dengan lancar. Sembari mengharap ridho Allah SWT, Seminar Ketahanan Pangan Dan Pertanian Berkelanjutan: Peluang Dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional secara resmi dibuka “ Wabillahi Taufik Walhidayah Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Direktur Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
Ir. Gusmalini, M.Si
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................
iii
SAMBUTAN KETUA PELAKSANA ..................................................................
iv
SAMBUTAN DIREKTUR ....................................................................................
v
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
vi
A. TEKNOLOGI PERTANIAN 1
Evaluasi Kinerja Oven Pengering Kakao (Theobroma cocoa L.) Dengan Sistem Kendali Suhu Berbasis Mikrokontroler Renny Eka Putri, Andasuryani dan Ferdiansyah……………………………..
2
Pendayagunaan Irigasi Air Tanah Dengan Tenaga Surya Untuk Menunjang Budidaya Pertanian Pada Lahan Tadah Hujan Delvi Yanti ………………………………………………………………………
3
Effect of Coal FlyAsh Addition To The Characteristics of Mechanical Board Coconut Fiber Composites Maryam, Junaidi, Yunizurwan dan Desniorita………………………………..
4
Sistem Pakar Deteksi Dini Penyakit Hama Cabe Kopay Dengan Teknik Forward Chaining Lilik Suhery dan Abdi Yeki Putra……………………………………………….
5
Applications in Promoting Online Store OpenCart Animal Products Syukriadi dan Muthia Dewi……………………………………………………
6
Arahan Peruntukan Lahan Basin Payakumbuh Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Dan Pertanian Berkelanjutan Er Prabawayudha, Reni Ekawaty dan Harmailis…………………………………….
7
Perancangan Konsultasi Pertanian Online Dalam Rangka Mengoptimalkan Peran Praktisi Dalam Meningkatkan Industri Pertanian Di Kabupaten Lima Puluh Kota Arif Budiman, Rosda Syelly dan Dilson………………………………………..
8
Aktivitas Abu Terbang Batubara Membunuh Wereng Batang Padi Coklat (Nilaparvata lugens) Hafiz Fauzana, F.X. Wagiman dan Edhi Martono……………………………
9
Modifikasi Alat Pengering Gambir Rodesri Mulyadi, Elvin Hasman, Mulianti…………………………………….
10 Pengelolaan Keuangan Industri Mikro-Kecil menggunakan Aplikasi Berbasis Jaringan dengan Proses yang Disederhanakan Mohammad Riza Nurtam, Imelfina Musthafa, Amrizal, Indra Laksmana… 11 Uji Kelayakan Mengembang pada Tanah Lempung dengan Metoda Load Swelling Test di Kota Padang Fanny Yuliana Batubara, Zulnadi dan Jamaluddin.……………………. 15 Perbandingan metode RLE (Run Length Encoding) dan Huffman untuk pemampatan citra Indra Kelana Jaya……………………………………………………………….. B. TEKNOLOGI PANGAN 1
Pembuatan Beras Analog Berbahan Dasar Tepung Sagu Dengan Tiga Rasa Syuryani Syahrul dan Maizarni…………………………………………………
2
The Study Of The Various Ways Sapodillafruit Curing (Achras zapota, L.) Against Chemical And Physical Properties Of The Fruit During Curing Mislaini R, Santosa,dan Ariyanto………………………………………………
3
Suplemen Makanan Kesehatan (Health Food) Bernutrisi Tinggi Dari Chlorella Dan Minyak Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) Syahrul dan Dewita……………………………………………………………….
4
Pengembangan Produk Bakso Ikan Patin (Pangasius hypopthalamus) Aneka Warna Dalam Bentuk Bakso Instan Sebagai Makanan Tambahan Anak Sekolah Suardi Loekman, Mirna Ilza dan Syahrul……………………………………...
5
Kajian sifat antibakteri dan antijamur dari Senyawa kimia teripang kasur (Stichopus vastus Sluiter) Dari Perairan Natuna Kepulauan Riau. Mery Sukmiwati, Enda Mora dan Emma Susanti……………………………..
6
Deteksi Formalin Dan Boraks Pada Bakso Yang Dijual Disekitar Kota Payakumbuh Ferawati, Endang Purwati, Yulianti Fitri Kurnia dan Sakinah Putri……...
7
Penggunaan Ubi Kayu (Manihot utilissima) Pada Pembuatan Wuak Piuak Sebagai Pengembangan Makanan Tradisional Kabupaten Lima Puluh Kota Mimi Harni dan Rince Alfia Fadri……………………………………………...
8
Efek Isoflavone Kedelai Terhadap Kanker Payudara Dalam Perspektif Molekular Dewi Rusnita………………………………………………………………………
9
Pengaruh Pemberian Konsentrasi Getah Buah Pepaya Pada Kemasan Yang Berbeda Terhadap Organoleptik Dadih Kerbau Refika Komala dan Busari………………………………………………………
10 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Mutu Tepung Cassava Termodifikasi Santosa, Omil C. Chatib, Kasma Iswari, dan Hervika Fuji Astuti………… 11 Proses Pembuatan Minuman Kawa Daun di Sumatera Barat Making Rilma Novita, Andi Eviza dan Sri Kembaryanti Putri ……………………… 12 Iptek Bagi Masyarakat (IbM) Keripik Singkong Aneka Rasa Di Payakumbuh Irwan roza , Evawati, Mimi Harni ……………………………………………. 13 Identifikasi Aktifitas Antioksidan dan Total Fenol Larutan Lidah Buaya (Aloe vera) dan Telur Asin Mentah dengan Suhu Pemanasan dan Konsentrasi yang Berbeda dalam Proses Pengasinan Deni Novia dan Indri Juliyarsi…………………………………………………. 14 Potential Starch Zingiberaceae as Raw Material Films as Galamai Packaging Wenny Surya Murtius dan Purnama Dini Hari………………………………. 15 Effect of Storage on Security Microbiology Ground Beef Rendang Packaging Bottle Mutia Elida, Sri Aulia Novita, dan Elviati……………………………………. 16 Peran Bubuk Tempe Instan Terhadap Profil Lipid Serum Tikus Model Hiperglikemik Susi Desminarti, Rimbawan, Faisal Anwar, dan Adi Winarto……………... C. PERTANIAN DAN PERKEBUNAN 1
Efek Mikoriza Indigenus Dan Bahan Organik Setempat Terhadap Pertumbuhan Tanaman Tanaman Kakao Muliadi Karo-Karo, Muzakkir, Ardi Sardina Abdulah dan Wiwik Hardaningsih……………………………………………………………………..
2
Pengaruh Jenis Substrat Umbi-Umbian Dalam Produksi Pigmen Angkak Menggunakan Monascus purpureus Alfi Asben dan Deivy Andhika Permata………………………………………..
3
Optimization Of Composting Organic Waste Household Fermentation With Time To Repair pH and Al -dd Ultisol Kiki Amelia………………………………………………………………………...
4
Parasitisasi Parasitoid Telur Walang Sangit (Leptocorisa oratorius Fabricus) Asal Kabupaten Agam dengan topografi berbeda Fri Maulina, Novri Nelly, Hidrayani dan Hasmiandy Hamid……………..
5
Efektifitas Predator Famili Coccinellidae Dalam Mengendalikan Hama Thrips sp. Pada Tanaman Cabai Wilna Sari ………………………………………………………………………..
6
Aplikasi Pupuk Organik Cair Asal C.odorata + Sabut Kelapa Dan Asam Humat Untuk Tanaman Stroberi (Fragariavirginiana) Jamilah dan Dera Permana…………………………………………………….
7
Keragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Indigenous Pada Berbagai Lahan Perkebunan Kopi Sumatera Barat Ardi Sardina Abdulah, Syafrison, Muzakkir dan Muliadi Karo-Karo….…
8
Sterilisasi dan Induksi Biji Manggis Melalui Kultur In Vitro Andre Sparta dan Rahayu Triatminingsih……………………………………..
9
Dry material digestibility and Organic Materials and VFA levels of Cocoa Pod on Defaunasi Agencia And Protein Supplementation By Pass From Weeds Cromolaena odorata Afrini Dona , Mardiati Zein dan Hera Dwi Triani ………………………….
10 Pengaruh perlakuan benih dengan ryzhobactria terhadap intensitas serangan penyakit bercak coklat dan produksi padi sawah metode SRI Yulensri, Agustamar, Misfit Putrina dan Pon Aliza ………………………… 11 Eksplorasi Dan Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula Indigenous terhadap Viability Dan Vigor Benih Padi Eka Susila, Nelson Elita,,Yefriwati dan Adrialis…………………………….. 12 Pengaruh Frekuensi Penyemprotan Pupuk Bio Terhadap Pertumbuhan Bibit Sirsak (Annona muricata L.) Hasil Sambungan Andre Sparta, Nini Marta, Mega Andini………………………………………. 13 Pengelompokan Aksesi Rambutan Berdasarkan Karakter Vegetatif Kuswandi dan Sri Hadiati………………………………………………………. 14 Studi Pendahuluan Pemanfaatan Batang Pisang Sebagai Mulsa Di Pembibitan Pepaya Nini Marta, Mizu Istianto, Kuswandi, Andre Sparta………………………… 15 The Diversity Of Fungi Mikorhiza Arbuskula (Fma) Indegenus In Rhizosfir Peanuts Plants (Arachis hypogea L) On Different Elevation Surya Marizal, Muzakir, Amaliyah Syariyah dan Yefriwati…………………
16 Kajian Burik Pada Buah Manggis Fardedi, Nina Maryana, Sjafrida Manuwoto, Roedhy Poerwanto………... 17 Upaya Perakitan Tanaman Gandum (triticum aestivum l.) Berumur Genjah dengan Anakan Banyak Melalui Hibridisasi Fitri Ekawati, Irfan Suliansyah dan P.K Dewi Hayati………………………. 18 Karakteristik Mikroorganisme Lokal (MOL) dari Berbagai Sumber Bahan Organik Yun Sondang, Rina Alfina, Khazy Anty………………………………………... 19 Identifikasi, Karakterisasi dan Pelestarian Plasma Nutfah Ubi Jalar (ipomoea batatas l.) di Daerah Sentra Produksi Kabupaten Solok Ngakumalem Sembiring, Wiwik Hardaningsih , Anidarfi, dan Kasno Hakim………………………………………………………………………………. 20 Isolasi dan Karakterisasi Rhizobakteria Pelarut Posfat Potensial Asal Kacang Tanah (Arachis hypogaea L) Anidarfi, Ngakumalem Sembiring, Auzia Asman dan Lenny Rozeira.……
D. PETERNAKAN DAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN 1
Diskursus Teknologi: Posisi Pengetahuan Lokal Mendukung Kedaulatan Pangan Ferdinal Asmin
2
Pengaruh Bahan Tambahan Berbeda Terhadap Kualitas Pelepah Sawit Fermentasi Irzal Irda dan Debby Syukriani………………………………………………
3
Pengaruh Penggunaan Semak Kembang Bulan (Tithonia diversifolia) Terhadap Performa Itik Pitalah Montesqrit, Dwi Ananta dan Yulia Mimi……………………………………
4
Analisis Sikap Multiatribut Fishbein Terhadap Produk Rendang Telur di Kampung Rendang Kota Payakumbuh Elfi Rahmi dan James Hellyward……………………………………………
5
Usaha Penetasan dan Pemanfaatan Tepung Keong Mas Dalam Ransum Itik Nilawati ,Ngakumalem Sembiring............................................................
6
Ukuran Organ Pencernaan Ayam Pedaging Yang Diberi Tepung Kemangi (Ocimum basillicum Linn.) Sebagai Feed Additive Sadarman, El Adi Mamalindo dan Eniza Saleh……………………………..
7
Bali Cattle Reproductive Performance Evaluation on Livestock Group "Koto Saiyo” Subdistrict Koto VII District Sijunjung… Maiyontoni dan Rini Elisia…………………………………………………….
8
Performans Sapi Siap Potong di Rumah Potong Hewan Payakumbuh Reswati dan Khalil………………………………………………………………
9
Identifikasi Marka Kualitatif Ayam Kampung Di Kecamatan Sentajo Raya Kabupaten Kuantan Singingi Rusfidra, R. Pristiani, dan Syafruddin Dt. Tan Marajo…………………….
10
Strategi Pengembangan Agroindustri Kerupuk Ubi Kayu Kubang Sawahlunto Yuni Ernita dan Nofialdi………………………………………………………..
11
Model Permintaan Jagung Pipilan di Kabupaten Lima Puluh Kota Mukhlis, Riva Hendriani dan Syakib Sidqi…………………………………..
12
Analisis Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Dalam Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Kabupaten Siak Roza Yulida, Eri Sayamar, Rosnita dan Risky Nurjannah…………………
13
Pengetahuan Ibu Lansia Tentang Status Gizi Lansia Di Kelurahan Padang Tiakar Hilir Rince Alfia Fadri………………………………………………………………………..
14
Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi pada Usaha tani Padi Sawah Di Kabupaten Kampar Dengan Metode DEA (Data Envelopment Analysis ) Jumatri Yusri, Fajar Restuhadi dan Lena Marjelita……………………………….
15
Pemberian Infusa Daun Bangun-Bangun (Coleus Amboinicus, Lour) Dalam Meningkatkan Produksi Susu Sapi Perah Nelzi fati, Sujatmiko, Ulva Mohtar Lutfi…………………………………………….
16
Peningkatan bobot badan sapi dengan penambahan Permen jilat pada ransum Yurni Sari Amir dan Imelfina Musthafa………………………………………
17
Model Penyebaran Teknologi Embrio Transfer Sapi Potong Lintas Wilayah Kota Di Provinsi Sumbar Yusnaweti, Muhamad Reza dan Wedy Nasrul……………………………………….
Teknologi Pertanian
EVALUASI KINERJA OVEN PENGERING KAKAO (Theobroma cocoa L.) DENGAN SISTEM KENDALI SUHU BERBASIS MIKROKONTROLER Renny Eka Putri, Andasuryani1 dan Ferdiansyah2 Pengajar Jurusan Teknik Pertanian Unand Alumni Jurusan Teknik Pertanian Unand
1
2
Abstract The basic principle of the dryer is the heat flow from the source so as to produce a sufficiently high temperature in the drying chamber. Drier designed using an electric element (heater) as a heat source. The resulting heat is blown into the drying chamber by a blower. Drying temperature control system is done by adjusting the drying temperature remained steady at the desired temperature by using a microcontroller. The drying time is the time taken from the material included in the dryer until the moisture content of the material to reach 7%. The results showed the drying time on the set point of 50 oC, 55 oC, and 60 oC were 24 hours, 20 hours and 19 hours, respectively. The drying time required to dry the material faster at the higher temperature. Keywords : dryer; microcontroller;temperature control system
PENDAHULUAN Kakao merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan sebagai penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja petani, mendorong agribisnis dan agroindustri serta pengembangan wilayah. Pada tahun 2004 devisa ekspor kakao + US$.547 juta, nomor tiga setelah minyak sawit, dan karet dengan Petani yang terlibat dalam bidang onfarm +800 ribu petani. Kurun waktu 36 tahun areal kakao mengalami peningkatan cukup signifikan dan penyebarannya semakin berkembang dari 8 provinsi, saat ini mencakup 30 provinsi begitu juga produksi terus berkembang. Propinsi Sumatera Barat dijadikan sebagai sentra kakao (coklat) di Indonesia bagian barat. Komoditi kakao ini sangat besar perkembangannya, hal ini terlihat pada tahun 2004-2005 meningkat luas lahan tanam dari 13.197 Ha menjadi 25.042 Ha (Zein, 2008). Meningkatnya luas pertanaman kakao di Sumatera Barat ini tentu saja akan meningkatkan produksi biji kakao dan hal ini perlu dukungan penerapan teknologi yang benar dalam proses pascapanen kakao untuk menjadi biji kakao yang bermutu. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Proses pengeringan biji kakao oleh petani dilakukan dengan penjemuran, dimana biji dihamparkan di atas alas tertentu seperti terpal, tikar atau lantai semen. Penjemuran pada lantai jemur bisa menyebabkan terkontaminasi kotoran ternak, unggas, atau debu. Selain itu adanya asam asetat pada biji kakao bisa menyebabkan alas/lantai jemur cepat rusak. Tujuan utama pengeringan adalah mengurangi kandungan air dalam biji sampai jumlah air yang aman untuk proses selanjutnya atau untuk penyimpanan. Pada biji kakao yang tidak dicuci tujuan pengeringan adalah untuk menghentikan proses fermentasi agar tidak terjadi over fermented. Secara umum tujuan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air agar aman disimpan, biasanya sampai kadar air 7 sampai dengan 10 % (Muljohardjo, 1987). Otomatosasi pengeringan dilakukan dengan mengatur suhu pengeringan tetap stabil pada suhu yang diinginkan. Otomatisasi dapat dilakukan dengan menggunakan mikrokontroler. Mikrokontroler merupakan sebuah teknologi baru yang dapat diterapkan pada alat pengering tipe rak untuk melakukan pengontrolan suhu pengeringan. Mikrokontroler memiliki tingkat akurasi yang A- 1
Teknologi Pertanian
cukup baik, dan dapat digunakan untuk mengontrol suhu secara terus menerus serta memungkinkan kita untuk mendapatkan suhu yang dikehendaki dengan presisi yang lebih tinggi. Mikrokontroler dirancang dengan membutuhkan komponen tambahan yang minimum, dan piranti ini terutama dipakai untuk sistem yang berorentasi kontrol (Simajuntak, 2001). Tujuan dari penelitian adalah 1) menghasilkan prototipe alat pengering yang dapat bekerja secara otomatis, 2) menerapkan sistem kontrol suhu berbasis mikrokontroler pada alat pengering tipe rak menggunakan energi listrik dan 3) merancang sistem pengaturan suhu pada ruang pengering menguji kinerja alat pengering. METODA PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium Pasca Panen dan Instrumentasi Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Alat dan Bahan
Mulai Persiapan Alat Pengering Tipe rak Pembuatan Sistem Kontrol Suhu Persiapan buah kakao Pengujian
Data - data
Selesai Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Alat pengering yang digunakan dalam penelitian terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut : 1) Sumber panas (heater), 2) Ruang pengering yang dijadikan tempat rak pengering, 3) Rak pengering dan 4) Kipas
Alat yang digunakan, antara lain: satu unit alat pengering tipe rak menggunakan tenaga listrik, sistem kontrol suhu berbasis mikrokontroler AT89S51, termocouple, blower, thermometer, thermohigrometer, timbangan digital, stopwatch, alat tulisdan alatalat pendukung lainnya. Bahan yang digunakan adalah biji kakao sebanyak 14 kg. Tahapan penelitian
TEP-FPUA
SKALA
:
SATUAN
:
cm
TANGGAL
:
31 MAI 2005
1 : 5
DIGAMBAR : ELDO FARIS L. NO BP
: 01 118 040
DILIHAT
: ANDASURYANI, STP. MSi.
PERINGATAN :
OVEN TIPE RAK
01
A4
Gambar 2. Alat Pengering Tipe Rak
Tahapan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada diagram alir berikut.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 2
Teknologi Pertanian
Pembuatan Alat Kontrol Suhu
Kadar Air, 3) Suhu, 4) Error /Kesalahan Pembacaan, 5) Laju Pengeringan dan 6) Waktu Pengeringan HASIL DAN PEMBAHASAN Alat pengering tipe rak (tray dryer) yang berukuran 70 x 30 x 60 cm. Jumlah rak yang ada pada alat pengering tipe rak ini adalah sebanyak 3 buah, satu unit rak memuat kakao yang akan dikeringkan sebanyak 4,5 kg. Energi panas yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari elemen pemanas (heater) yang menyala menggunakan energi listrik (220VAC).
Gambar 3. Diagram Alir Rangkaian
Persiapan biji kakao Buah sebelum difermentasi terlebih dahulu diperam selama 5 hari sebelum buah dipecah untuk diambil bijinya. Biji-biji kakao tersebut kemudian dimasukkan kedalam kotak fermentasi dan siap untuk difermentasi selama 7 hari. Setelah dilakukan proses fermentasi kemudian biji kakao dikeringkan. Pengujian Pengujian sistem kontrol pada alat pengering tipe rak dalam keadaan berisi dimana setiap rak diisi dengan biji kakao sesuai kapasitasnya, dilakukan sebanyak 3 kali perlakuan, dengan set point 50, 55 dan 60oC. Biji kakao yang akan dikeringkan sebanyak 4,5 kg setiap proses penngeringan. Pengamatan Setelah pengujian alat dilakukan dan didapatkan kesimpulan bahwa alat sudah bekerja sebagai mana mestinya, maka penelitian dilanjutkan pada tahapan pengamatan 1) Kadar Air Bahan, 2) Perubahan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 4. Sistem Kontrol Suhu
Pengujian Sistem Kontrol Pada Pengering Dalam Keadaan Kosong
Alat
Berdasarkan pengujian, pada perlakuan I set point 50oC waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu set point (50oC) adalah 16 menit. Suhu plenum cendrung stabil berada dalam set point dengan rata-rata suhu plenum 50,86oC, suhu terendah yaitu 50oC dan suhu tertinggi 52oC. Dari penelitian yang dilakukan masih terdapat eror suhu sebesar 2 oC dari suhu set point. Perlakuan II set point 55oC, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu set point (55oC) adalah 19 menit. Suhu plenum stabil berada dalam set point dengan rata-rata suhu plenum sama dengan set point yaitu 55oC, dan tidak terjadi eror pada perlakuan ini. Perlakuan III set point 60oC waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu set point adalah 25 menit. Suhu plenum cendrung stabil berada A- 3
Teknologi Pertanian
dalam set point dengan rata-rata suhu plenum 60,95oC, suhu terendah yaitu 60oC dan suhu tertinggi 61oC. Dari penelitian yang dilakukan masih terdapat eror suhu sebesar 1 oC dari suhu set point. Penelitian Utama Hasil dari pengamatan dan perhitungan yang dilakukan pada penelitian utama adalah sebagai berikut : Kadar air awal bahan Kadar air awal bahan diukur dengan metode oven. Rata-rata kadar air awal bahan dari penelitian ini adalah 56%. Bahan yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 16.
Suhu Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan didapatkan pada perlakuan I set point 50oC, rata-rata suhu lingkungan diamati adalah 27oC, rata-rata suhu plenum 51oC dan suhu pada sensor 51 oC. Grafik penyebaran suhu selama proses pengeringan dapat dilihat pada Gambar 18. Dari grafik dapat silihat bahwa sistem kontrol dapat berjalan lancar dimana suhu dalam ruang pengering hampir sama dengan set point walaupun masih ditemukan eror lebih kurang 2 oC. 60 50 40 30 20
SuhuSensor Setpoint SuhuPlenum SuhuLingkungan
10 0 5 0 5 0 0 0 0 0 0:1 1:0 1:4 3:0 4:3 6:0 7:3 9:0 10:3012:0013:3015:0016:3018:0019:3021:0022:30
Gambar 5. Proses Pengeringan Biji Kakao
Perubahan kadar air bahan Dari hasil pengukuran penurunan persentase kadar air terlihat bahwa penurunan kadar air pada awal proses pengeringan berjalan cepat, hal ini disebabkan masih banyaknya kandungan air bebas pada bahan sehingga pada tahap ini proses penguapan air sangat mudah terjadi. Penurunan kadar air bahan dari kadar air awal 58% hingga kadar air akhir 7% lebih cepat terjadi pada perlakuan III (set point 60oC) yang merupakan perlakuan dengan suhu pengeringan tertinggi, dengan demikian dapat disimpulkan proses penurunan kadar air berbanding lurus dengan suhu pengeringan.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 6. Grafik pengamatan suhu pada perlakuan I pada penelitian utama
Pada perlakuan II set point 55oC, rata-rata suhu lingkungan diamati adalah 26,55oC, ratarata suhu plenum 55oC, dan suhu pada sensor 55 oC. Grafik penyebaran suhu selama proses pengeringan dapat dilihat pada Gambar 19. Dari grafik dapat dilihat bahwa butuh waktu 1 jam setelah bahan dimasukkan ke dalam alat pengering suhu mencapai set point. Kemudian sistem kontrol dapat berjalan lancar dimana suhu dalam ruang pengering hampir sama dengan set point dan tidak terdapat error.
A- 4
Teknologi Pertanian
pengeringan maka laju pengeringan semakin cepat.
70 60 50
Waktu pengeringan
40 30 20 10
SuhuPlenum
0
SuhuSensor
SuhuLingkungan
5 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0:1 1:0 1:4 3:0 4:3 6:0 7:3 9:0 10:3 12:0 13:3 15:0 16:3 18:0 19:3
Set point
Gambar 7. Grafik pengamatan suhu pada perlakuan II pada penelitian utama
Perlakuan III set point 60oC, rata-rata suhu lingkungan diamati adalah 26,84oC, rata-rata suhu plenum 58, dan suhu pada sensor 61 oC. Grafik penyebaran suhu selama proses pengeringan dapat dilihat pada Gambar 20. Dari grafik dapat dilihat bahwa butuh waktu 2,5 jam setelah bahan dimasukkan ke dalam alat pengering suhu mencapai set point. Kemudian sistem kontrol dapat berjalan lancar dimana suhu dalam ruang pengering hampir sama dengan set point dan masih terdapat eror. 70 60 50 40 30 20
SuhuPlenum Suhulingkungan SuhuSensor Set Point
10 0 5 0 5 0 0 0 0 0 0:1 1:0 1:4 3:0 4:3 6:0 7:3 9:0 10:30 12:00 13:30 15:00 16:30 18:00
Gambar 8. Grafik pengamatan suhu pada perlakuan III pada penelitian utama
Laju pengeringan Laju pengeringan yang didapatkan pada penelitian ini pada perlakuan I (set point 50 oC) adalah 0.03950 kg/jam.Pada perlakuan II (set point 55 oC) laju pengeringan adalah 0.07124 kg/Jam dan pada perlakuan III (set point 60 oC) laju pengeringan adalah 0,04132 kg/Jam. Laju pengeringan tercepat adalah pada perlakuan III (setpoint 60 oC), semakin tinggi suhu Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Waktu pengeringan yang ditetapkan pada penelitian ini adalah waktu yang terpakai mulai dari bahan dimasukkan dalam alat pengering sampai kadar air bahan mencapai 7% . Pada perlakuan I (setpoint 50 oC), waktu pengeringan yaitu selama 24 jam. Pada perlakuan II (setpoint 55 oC), waktu pengeringan yaitu selama 20 jam. Pada perlakuan III(setpoint 60 oC), waktu pengeringan yaitu selama 19 jam. Semakin tinggi suhu pengeringan maka waktu yang diperlukan untuk mengeringkan bahan semakin cepat. Pengeringan kakao dengan cara tradisional membutuhkan waktu 2 hari, apabila cuaca tidak bagus (musim hujan) membutuhkan waktu sampai 7 hari untuk menghasilkan biji kakao kering 7%. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Telah dihasilkan suatu alat pengering tipe rak dengan menggunakan sumber energi listrik sebagai bahan baker dilengkapi dengan sistem kontrol suhu berbasis mikrokontroler. 2. Set point ini bisa diubah sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan pada proses pengeringan dengan menggunakan alat pengering tipe rak untuk komoditi selain biji kakao. 3. Dengan menggunakan sistem kontrol suhu berbasis mikrocontroller pangontrolan suhu dilakukan secara otomatis dan kontinyu sampai proses pengeringan selesai sehingga case hardening yang dapat mengurangi mutu produk dapat dihindarkan. 4. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringakan biji kakao dari kadar air awal 56% hingga kadar air 7%, perlakuan
A- 5
Teknologi Pertanian
I (setpoint 50 oC) yaitu selama 24 jam, perlakuan II (setpoint 55 oC) yaitu 20 jam dan perlakuan DAFTAR PUSTAKA Andi Nalwan, Paulus. 2003. Teknik Interface dan Pemprograman Mikrokontroler. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
singkat pengeringan bahan pangan. PAU - GIZI, UGM. 11-7-1996.Simajuntak, Hendri. 2001. Dasar-Dasar Mikroprosesor. Kanisius. Yogyakarta Zein, Masrul. 2008. “Evaluasi Pengembangan Kakao di Sumatera Barat” Seminar nasional Teknologi Pertanian : Seri Komoditi dan Teknologi Pengolahan Kakao” . 22 Agustus 2008.Padang.
Muljoharjo, M. 1987. Pengeringan Bahan Pangan. Makalah yang disampaikan dalam kursus
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 6
Teknologi Pertanian
PENDAYAGUNAAN IRIGASI AIR TANAH DENGAN TENAGA SURYA UNTUK MENUNJANG BUDIDAYA PERTANIAN PADA LAHAN TADAH HUJAN Delvi Yanti Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas E-mail:
[email protected] ABSTRACT This research aims at developing the use of solar cell to water the ground water irrigation in order to support agricultural cultivation in rain-fed field. The location of this research was agricultural land (ricefield) in Singkarak village, X Koto Singkarak sub-district, Solok district. This research was conducted with the design and technical test of ground water irrigation with solar cell, the analysis of irrigation water demand with cropwat and the analysis of financial feasibility. The result of analysis showed that the potential of solar energy in Singkarak village could be used to activate the water pump of irrigation. The result of measurement showed that battery which its capacity was 12 V and 100 Ah needed four hours to be charged by five units of 50 Wp panel PV. Battery as the source of power was able to activate water pump of 125 Watt for 7,52 hours and mean debit that was able to be pumped is 17,45 litre/minute. From 24 periods of plantation time planned in rain-fed field, there were only three periods of plantation that the operational hours of their water pumps were able to be covered by the battery namely January 2, February 2, and November 2. Based on the result of financial analysis, these three periods of plantation were financially feasible in their implementation because the value of B/C ratio > 1 and NPV > 0. Key word: ground water, agricultural cultivation, irrigation, rain-fed field, solar cell
I. PENDAHULUAN Peningkatan produktifitas lahan sawah menjadi issu yang sangat popular disaat sekarang. Adanya program ketahanan pangan wilayah guna memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi wacana yang harus dapat diselesaikan secepatnya. Perlu adanya upaya peningkatan produktifitas padi yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan wilayah. Berbagai cara dilakukan dalam rangka meningkatkan produksi pangan antara lain dengan ekstensifikasi yaitu usaha peningkatan produksi pangan dengan meluaskan areal tanam, diversifikasi yaitu penganekaragaman tanaman yang diusahakan pada suatu lahan, dan intensifikasi yaitu usaha peningkatan produksi pangan dengan cara-cara yang intensif pada lahan yang sudah ada, antara lain dengan penggunaan bibit unggul, pemberian Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
pupuk yang tepat serta pemberian air irigasi yang efektif dan efisien. Sesuai dengan Kebijakan Nasional Sumberdaya Air Indonesia tahun 1994-2020 menekankan peningkatan efisiensi dan pemerataan penggunaan air permukaan dan air tanah dalam mendukung proses produksi tanaman. Pergeseran manajemen air menyebabkan pemberian air irigasi yang efektif dan efisien sulit dilaksanakan terutama pada sawah tadah hujan. Hambatan usahatani pada lahan tadah hujan adalah terbatasnya jumlah curah hujan, sementara jika irigasi lahan tadah hujan diusahakan dengan penggunaan pompa, yang menjadi kendala adalah biaya operasional yang mahal, karena pompa sangat tergantung pada BBM. Teknologi dan peralatan pompa untuk memperoleh air telah tersedia dan mudah diperoleh, tetapi BBM (bensin) yang biasa digunakan sebagai sumber tenaga penggerak A- 7
Teknologi Pertanian
pompa kadangkala menjadi kendala, baik dari sisi ketersediaan maupun harga. Biaya untuk membeli BBM secara rutin menjadi biaya operasional yang wajib dikeluarkan petani, sehingga pada saat-saat tertentu memusingkan petani karena bertepatan dengan biaya produksi lainnya. Pemanfaatan tenaga surya untuk menggerakan pompa merupakan salah satu solusi untuk menggurangi biaya operasional yang harus dikeluarkan petani. Tenaga surya merupakan sumber energi yang paling menjanjikan mengingat sifatnya yang berkelanjutan (sustainable) serta jumlahnya yang sangat besar. Matahari merupakan sumber energi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan kebutuhan energi masa depan setelah berbagai sumber energi konvensional berkurang jumlahnya serta tidak ramah terhadap lingkungan. Sistem teknologi tenaga surya yang digunakan pada pompa tidak membutuhkan bahan bakar minyak sehingga tidak memerlukan iuran dari para pengguna air, tidak membutuhkan tenaga operator untuk mengoperasikannya, dan memiliki usia pakai yang lebih lama. Pendayagunaan air tanah dengan memanfaatkan tenaga surya menjadi salah satu solusi untuk permasalah irigasi pada sawah tadah hujan. Meskipun air tanah termasuk sumber daya yang dapat diperbaharui, air tanah merupakan sumber daya yang dapat habis dan rusak. Tidak seperti air permukaan, deplesi dan degradasi air tanah tidak dapat dipulihkan secara sempurna dan oleh karenanya manajemen air tanah harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Air tanah dapat berkelanjutan jika ekstraksinya dibatasi sebesar kemampuan pengisian kembali (rechargecapacity). Tujuan yang ingin dicapai adalah mengembangkan teknologi pendayagunaan irigasi air tanah dengan tenaga surya untuk menunjang budidaya pertanian pada lahan tadah hujan.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan rancangbangun dan uji teknis irigasi air tanah dengan tenaga surya, analisis kebutuhan air irigasi dengan cropwat, dan analisis kelayakan finansial.Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: (a) data agroklimat selama 10 tahun, data jenis tanaman yang dibudidayakan, dan data tanah (b) data pompa: debit pompa dan jam operasi pompa, (c) data baterei dan panel surya, dan (d). data biaya produksi. Pengambilan data dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara. Rancangbangun dan Operasi Pompa Penentuan sistem operasional irigasi air tanah sangat tergantung kapasitas sumber energi dan kapasitas panel surya untuk menangkap sinar matahari. Kegiatan operasi pompa ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan air irigasi yang harus disuplai, dihitung dengan persamaan berikut: = ( (
)
.....(1)
)
/
Pengukuran Kebutuhan Air Irigasi Pemberian air irigasi dapat dipandang sebagai kebutuhan air irigasi dikurangi hujan efektif dan sumbangan air tanah. Kebutuhan air irigasi dihitung dengan menggunakan software cropwatt dengan 24 rencana waktu tanam. Analisis Teknis Irigasi Air Tanah dengan Tenaga Surya Analisis teknis irigasi air tanah yang dilakukan meliputi: a. Debit yang mampu dihasilkan pompa, dihitung dengan persamaan: =
( (
) )
…(2)
A- 8
Teknologi Pertanian
b. Jam operasi pompa yang terlayani oleh sumber energi (baterei), dihitung dengan persamaan: ( )= (
(
)
)
(
− diefisiensi baterei
)
....(3)
c. Lama pengisian baterei ( ) (
=
( (
) )
)
+ diefisiensi baterei …(4)
keterangan : deifisiensi baterei adalah 20 % dari arus yang diperlukan. Analisis FinansialIrigasi Air Tanah dengan Tenaga Surya Kriteria-kriteria yang digunakan dalam melakukan suatu evaluasi terhadap investasi proyek berpedoman pada Husnan dan Suwarsono (1997) dalam Istalaksana dan Payung (2013), yaitu: 1) NPV (Net Present Value), 2) IRR (Internal Rate off Return), 3) Net B/C (Net Benefit-Cost Ratio), 4) Pay Back Period (PBP). Suatu kegiatan produksi dinyatakan layak apabila nilai Net Present Value (NPV) > 0 atau nilai B/C ratio > 1. Kelayakan finansial dapat diketahui dari: a.
= ∑
b.
=
( ∑ ∑
) (
)
(
)
…..(5) …..(6)
dengan, NVP = net present value (Rp) Bt = aliran kas masuk pada tahun ke-t (Rp) Ct = aliran kas keluar pada tahun ke-t (Rp) t = tahun ke-t i = tingkat suku bunga (%/tahun) n = umur ekonomi alat (tahun)
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian merupakan sawah tadah hujan pada lahan pertanian Nagari Singkarak yang berada di wilayah pemerintahan Kecamatan X Koto Singkarak Kabupaten Solok. Secara geografis Nagari Singkarak pada posisi 0°42’05” LS dan 100°43’40”. Keadaan iklim Nagari Singkarak disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis sampel tanah, didapatkan jenis tanah pada lokasi penelitian adalah liat. Tabel 1. Data Curah Hujan, Kecepatan Angin, Kelembaban, Temperatur, dan Penyinaran Matahari di Lokasi Pengujian
Semua unsur iklim sangat mempengaruhi kebutuhan air irigasi yang harus dipenuhi dan kinerja irigasi air tanah sangat ditentukan oleh radiasi matahari dan lamanya penyinarannya. Rata-rata lama penyinaran matahari adalah 37,38 % atau 4,13 jam/hari, artinya rata-rata lama penyinaran matahari yang diubah menjadi tenaga listrik sepanjang hari adalah 4,13 jam. Efektivitas rata-rata waktu sinar matahari bersinar di negara tropis seperti Indonesia adalah 5 jam, dan 5 jam ini sudah menjadi semacam perhitungan rumus baku efektivitas sinar matahari yang diserap oleh panel surya (1Anonim, 2015). Kebutuhan Air Irigasi Banyak faktor yang mempengaruhi dalam pemberian air irigasi. Salah satu faktor yangmempengaruhi adalah waktu tanam. Untuk luas lahan 0,691761 ha selama satu musim tanam (140 hari) diperlukan air irigasi yang berberda-beda, data kebutuhan air irigasi selama satu musim tanam disajikan pada Tabel A- 9
Teknologi Pertanian
2. Semakin rendah curah hujan maka evapotranspirasi semakin tinggi, sehingga jumlah kebutuhan air irigasi semakin besar, begitu juga sebaliknya. Pada skenario waktu tanam yang dibuat, kebutuhan air irigasi tertinggi adalah bulan Juni 1 (Tabel 2) dan pada bulan tersebut merupakan bulan dengan curah hujan terendah (Tabel 1). Tabel 2. Kebutuhan Air Irigasi Berdasarkan Periode Waktu Tanam
Waktu Tanam Januari 1 Januari 2 Februari 1 Februari 2 Maret 1 Maret 2 April 1 April 2 Mei 1 Mei 2 Juni 1 Juni 2 Juli 1 Juli 2 Agustus 1 Agustus 2 September 1 September 2 Oktober 1 Oktober 2 November 1 November 2 Desember 1 Desember 2
Kebutuhan Air Irigasi (liter/hari) 11.517,82 6.655,73 11.601,82 7.367,25 10.317,12 11.339,94 14.383,69 10.816,18 13.237,34 13.924,16 15.910,50 11.819,23 12.051,46 12.733,34 14.536,86 9.551,24 12.881,58 8.315,96 9.595,71 9.768,65 11.320,17 7.125,14 8.968,19 8.938,54
Perbedaan jumlah kebutuhan air irigasi setiap waktu tanam tidak terlepas dari faktor iklim. Sebagaimana yang dikemukan oleh Kasim et al (2006), jumlah evapotranspirasi kumulatif selama pertumbuhan tanaman yang harus dipenuhi oleh air irigasi, dipengaruhi oleh jenis tanaman, radiasi surya, sistim irigasi, lamanya pertumbuhan, hujan dan faktor lainnya. Jumlah air yang ditranspirasikan tanaman tergantung pada jumlah lengas yang tersedia di daerah perakaran, suhu dan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
kelembaban udara, kecepatan angin, intensitas dan lama penyinaran, tahapan pertumbuhan, tipe dedaunan. Hasil Uji Teknis Irigasi Air Tanah dengan Tenaga Surya Pompa yang digunakan untuk irigasi air tanah mempunyai beban sebesar 125 watt, sedangkan sumber energi (baterei) yang digunakan berkapasitas 12 volt dan 100 Ah. Berdasarkan kapasitas baterei yang tersedia, maka pompa mampu beroperasi selama 7,52 jam, dengan Depth of Discharge (DoD) baterai sebesar 80 %. Depth of Discharge (DoD) adalah suatu definisi yang menentukan batas kedalaman pengeluaran daya (discharge) yang terdapat pada baterei tersebut. Daripada kedalaman pengeluaran DoD 100%, pabrik baterai selalu memberi rating DoD baterai 80%, yang berarti bahwa hanya 80% dari energi yang tersedia yang terkeluarkan dan 20% tetap di cadangan (diefisiensi baterei 20%). Baterei yang tidak dikuras habis-habisan sampai 100% kosong akan mencegah pengerusakan dan memperpanjang usia baterei (Anonim, 2015). Panel surya yang digunakan untuk mengubah photon (dari sinar matahari) ke listrik berkapasitas 50 Wp, maka untuk mengisi baterei berkapasitas 100 Ah dan 12 V dibutuhkan 5 unit panel surya, sehingga waktu untuk mengisi baterei sampai penuh (diefisiensi baterei 20 %) yang diperlukan adalah selama 4 jam. Dengan kondisi penyinaran matahari pada daerah penelitian rata-rata selama 4,13 jam/hari (Tabel 1), maka kebutuhan untuk pengisian baterei dapat terpenuhi. Adapun data hasil pengujian pompa irigasi disajikan pada Tabel 3
A- 10
Teknologi Pertanian Tabel 3. Data Debit Irigasi Air Tanah dengan Tenaga Surya Volume Waktu Debit Ulangan (liter) (menit) (liter/menit) 1 25 1,37 18,29 2 25 1,38 18,07 3 25 1,43 17,44 4 25 1,43 17,44 5 25 1,45 17,24 6 25 1,45 17,24 7 25 1,45 17,24 8 25 1,45 17,24 9 25 1,45 17,24 10 25 1,47 17,05 17,45 Rata-rata
Berdasarkan Tabel 3, debit rata-rata pompa adalah 17,45 liter/menit. Kondisi ini masih jauh dibawah spesifikasi pompa yang memiliki debit air maksimum 30 liter/menit. Hasil penelitian Zaini dan Razali (2012) juga menunjukan bahwa debit air rata-rata keluar dari pompa (60 W) selama pengujian sebesar 227 liter/jam, dimana kondisi ini masih jauh dibawah spesifikasi pompa yang memiliki debit air maksimum 2400 liter/jam. Hal ini menunjukkan bahwa inverter belum mampu menjaga arus AC keluar tetap konstan. Jam operasi pompa untuk masing-masing waktu tanam tergantung pada besarnya kebutuhan air irigasi dan debit yang dihasilkan. Lamanya jam operasi pompa berdasarkan waktu tanam disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jam Operasi Pompa Berdasarkan Waktu Tanam
Waktu tanam yang jam operasi pompanya mampu dipenuhi oleh baterei sebagai sumber energi *)
Berdasarkan Tabel 4, dari 24 skenario waktu tanam didapatkan 3 waktu tanam yang jam operasi pompanya mampu dipenuhi oleh baterei sebagai sumber energi, yaitu Januari 2, Februari 2, dan November 2. Hal ini disebabkan oleh sumber energi (baterei) dengan kapasitas 100 Ah dan 12 V hanya mampu beroperasi 7,52 jam untuk melayani pompa dengan beban 125 W. Analisis Finansial Irigasi Air Tanah dengan Tenaga Surya Penerapan irigasi air tanah dengan tenaga surya menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan air irigasi pada lahan tadah hujan, namun belum tentu akan memberikan keuntungan secara finansial kepada petani. Menurut Soeharto (1998), dalam proses mengkaji kelayakan proyek atau investasi dari aspek finansial, pendekatan konvensional yang dilakukan adalah dengan
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 11
Teknologi Pertanian
menganalisis perkiraan arus kas keluar dan masuk selama umur proyek. Dalam analisis finansial penerapan irigasi air tanah dengan tenaga surya tidak menggunakan umur proyek melainkan umur ekonomis, karena dalam perhitungan tidak ada reinvestasi. Asset berupa perlengkapan kantor dan beberapa jenis alat produksi memiliki umur ekonomis lebih kecil dari umur proyek yaitu 3-5 tahun. Analisis kelayakan irigasi air tanah dengan tenaga surya, hanya dilakukan untuk bulan tanam yang jam operasinya mampu dipenuhi oleh baterai sebagai sumber energi. Hasil analisis finansial disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Finansial Irigasi Air Tanah dengan Tenaga Surya
Waktu Tanam Januari 2 Februari 2 November 2
NPV 3.158.137,91 2.335.312,67 2.615.301,82
B/C Ratio 1,11 1,08 1,09
Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present value benefit dan present value biaya. Nilai NPVuntuk masing-masing waktu tanam dengan discount faktor 11% adalah sebesar Rp. 3.158.137,91 (Januari 2), Rp 2.335.312,67 (Februari 2), dan Rp 2.615.301,82 (November 2). Nilai ini menunjukkan hasil bersih (net benefit) yang diterima selama 5 tahun mendatang, jika diukur dengan nilai sekarang. NPV untuk ketiga waktu tanam yang direkomendasikan menunjukkan angka positif, sehingga investasi dinyatakan layak. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) merupakan nilai perbandingan antara NPV yang bernilai positif dengan NPV yang bernilai negatif. Nilai Net B/C untuk masing-masing waktu tanam adalah 1,11 (Januari 2), 1,08 (Februari 2), dan 1,09 (November 2). Nilai Net B/C untuk ketiga waktu tanam yang direkomendasikan lebih besar dari 1, sehingga investasi dinyatakan layak.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil analisis menunjukkan potensi energi surya di Nagari Singkarak, dapat dimanfaatkan untuk penggerak pompa air irigasi. Hasil pengukuran memperlihatkan, baterei dengan kapasitas 12 V dan 100 Ah membutuhkan waktu selama 4 jam untuk pengisian dengan panel PV 50 Wp sebanyak 5 unit. Baterei sebagai sumber energi mampu menggerakkan pompa dengan daya 125 Watt selama 7,52 jam dan debit rata-rata yang mampu dipompakan adalah 17,45 liter/menit. Dalam pemanfaatannya, dari 24 periode waktu tanam yang direncanakan pada lahan tadah hujan, hanya tiga waktu tanam yang jam operasi pompanya mampu dipenuhi oleh baterei, yaitu Januari 2, Februari 2, dan November 2. Berdasarkan hasil analisis finansial, ketiga waktu tanam tersebut dapat dikatakan layak secara finansial dalam penerapannya, karena nilai B/C ratio > 1 dan NPV > 0. Saran Dalam pemanfaatan air tanah untuk irigasi dengan menggunakan pompa perlu diperhatikan atau dikaji volume ketersediaan air tanah agar dalam penerapan pompa irigasi dapat dilakukan secara berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2015. Pembangkit Listrik Tenaga Surya. http://dayasurya.weebly.com (diakses tanggal 19 September 2015)
1
Anonim. 2015. Bagaimana bikin listrik di rumah pakai solar panel. http://greenlifestyle.or.id/. (diakses tanggal 19 September 2015)
2
Istalaksana dan Paulus Payung. 2013. Rancang Bangun dan Evaluasi Tekno-Ekonomi Alat Perontok Pokem (Setaria italica). Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 14 No. 3. [Desember 2013] 209-214 Kalsim, Dedi Kusnadi., Budi Indra Setiawan, Asep Sapei, Prastowo, Erizal. 2006. Perancangan Irigasi dan Drainase Interaktif Berbasis Teknologi Informasi. Departemen Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
A- 12
Teknologi Pertanian Soeharto, Iman. 1998. Manajemen Proyek: Dari Konseptual Sampai Operasional (Jilid 1). Edisi Kedua. Erlangga, Jakarta.
Pengembangan Irigasi Air Tanah. Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Lhokseumawe
Zaini dan Dahlan. 2012. Analisis Pemanfaatan Pompa Air Tenaga Surya untuk
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 13
Teknologi Pertanian
EFFECT OF COAL FLY ASH ADDITION TO THE CHARACTERISTICS OF MECHANICAL BOARD COCONUT FIBER COMPOSITES Maryam1), Junaidi2), Yunizurwan1), Desniorita1) Agro-Industrial Engineering, Politeknik ATI Padang, Jl. Bungo Pasang – Tabing, Padang Mechanical Engineering, Politeknik Negeri Padang, Limau Manis, Padang – West Sumatra
1) 2)
email :
[email protected] ABSTRACT Shortage of supply to meet the human need wood to be anticipated because it would endanger the preservation of forests and the continuation of the timber industry. One way to overcome this is by substitution of the use of wood composite board products. Composite board can be made of materials leftover wood or non-wood such as sawdust, coconut coir fiber, fiber bunches of palm, bamboo, bagasse and low density wood fiber. The purpose of this study were 1) to get the best composition in the manufacture of composite board from coconut husk and coal fly ash with a polyester matrix and 2) determine the mechanical characteristics of the resulting composite board. Materials used are coconut husks, fly ash and polyester resins. Variations addition of fly ash is 0%, 15%, 30%, 45% and 60%. Method for making composite used is a method ofcompressionmolding. This molding process using a clamp (hydraulic) as emphasis. The tools used are cold clamp, hot clamp and test equipment three-point bending test. The best composition in the manufacture of composite board is 15% fly ash, 30% resin and 55% coco fiber. The mechanical characteristics of the test results obtained by Modulus of Rupture (MOR)2.15 x 102kgf / cm2, Modulus of Elasticity (MOE) 0.41 x 104kgf / cm2, and a compressive strength parallel to the fiber 0.47 x 102kgf / cm2. Keywords: composite board, fly ash, coco fiber, mechanical
PENDAHULUAN Kebutuhan manusia akan kayu terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang akan mengakibatkan terjadinya eksploitasi hutan. Kekurangan pasokan yang besar tersebut perlu segera diantisipasi karena akan membahayakan kelestarian hutan dan kelanjutan industri perkayuan. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menyubtitusi penggunaan kayu dari produk papan komposit dari bahan-bahan sisa kayu atau non kayu seperti : serbuk gergaji, serat sabu kelapa, serat TKS, bambu, ampas tebu dan serat kayu berkerapatan rendah (Maloney, 1993). Material komposit terus dikembangkan para ahli dalam berbagai aspek. Dunia industri membutuhkan material yang memiliki sifat-sifat istimewa yang sulit didapat dari logam. Komposit merupakan material alternatif yang dapat digunakan untuk Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
memenuhi kebutuhan tersebut. Teknologi komposit terus diaplikasikan demi memenuhi tuntutan efisiensi produk industri yang membutuhkan material yang kuat, ringan, tahan aus, tidak korosif dan ramah lingkungan. Komposit adalah gabungan dari dua atau lebih material yang terdiri dari matriks yang berfungsi sebagai pengikat, material penguat (reinforcement) yang berfungsi sebagai penguat dan bahan tambahan lainnya. Penggunaan material komposit saat ini sudah sangat luas, tidak terbatas hanya satu bidang tetapi mulai dari alat rumah tangga seperti meja, kursi, lemari dan sebagainya hingga pemanfaatannya pada aplikasi automotif, pesawat terbang sampai di bidang hiburan seperti mainan dan karya seni. Hal tersebut menuntut ketersediaan sumber daya supaya industri komposit tetap berlanjut tanpa merusak lingkungan. Oleh karena itu perlu ada penelitian yang mengkaji tentang A- 14
Teknologi Pertanian
material komposit dengan fiber yang berasal dari serat alami. Penggunaan serat alami diharapkan bisa menggantikan serat sintesis yang selama ini sering digunakan yaitu serat kaca dan serat karbon. Serat alami (natural fibre) seperti rami, bambu, serta sabut kelapa sudah diketahui sebagai material dengan kekuatan tinggi. Serat tersebut tersedia melimpah bahkan tertumpuk sebagai limbah karena kurang dimanfaatkan. Serat sabut kelapa sebagai elemen penguat sangat menentukan sifat mekanik dari komposit karena meneruskan beban yang didistribusikan oleh matrik. Serat sabut kelapa yang dikombinasikan dengan poliester sebagai matrik, akan menghasilkan komposit alternatif yang bermanfaat untuk dunia industri. Pada pembuatan komposit diperlukan juga material pengisi (filler) dan material penambah (additive). Filler dan additive pada prinsipnyaadalah bertujuan untuk memodifikasi sifat dari resin dan mengurangi biaya pembuatan. Bahan additive yang bisa ditambahkan antara lain : pasir, gypsum, abu sekam, dan abu batubara (fly ash). Resin poliester di bidang komposit merupakan matriks polimer yang sangat sering digunakan karena mudah didapat, harganya murah dan mudah dalam aplikasinya. Pemilihan serat alami, matriks, dan metode fabrikasi komposit yang tepat serta terjangkau oleh masyarakat luas merupakan pilihan yang tepat. Penelitian mengenai material komposit bermatriks polimer yang berasal dari serat alami menjadi penting untuk dilakukan. Selain itu diharapkan akan diperoleh pengetahuan mengenai teknik pembuatan komposit yang memiliki konfigurasi struktur yang sesuai dengan memiliki sifat mekanis yang baik untuk aplikasi di bidang teknik maupun bidang lainnya. Tujuan penelitian ini adalah 1) mendapatkan komposisi terbaik dalam pembuatan papan komposit dari sabut kelapa dan abu terbang batubara (fly ash) dengan matriks poliester dan 2) mengetahui Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
karakteristik mekanis papan komposit yang dihasilkan. Manfaat penelitian ini adalah 1) Menghasilkan papan komposit yang homogen dan cocok untuk aplikasi dinding maupun plafon rumah, 2) mengembangkan jenis produk komposit dari serat alami dan 3) meningkatkan nilai ekonomi serat sabut kelapa dan abu terbang batubara (fly ash). METODE Penelitian ini dilaksanakan di Workshop/Bengkel Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Padang mulai bulan Agustus sampai dengan September 2015. Bahan yang digunakan adalah sabut kelapa, fly ash, resin poliester dan katalis. Variasi penambahan fly ash dapat dilihat pada Tabel 1. Alat yang digunakan adalah kempa dingin, kempa panas dan alat uji threepoint bending test. Metode pembuatan komposit yang digunakan adalah metode cetakan tekan (Compression Molding). Proses cetakan ini menggunakan kempa (hydraulic) sebagai penekannya. Fiber yang telah dicampur dengan resin dimasukkan ke dalam rongga cetakan, kemudian dilakukan pengempaan dingin selanjutnya dilakukan pengempaan pemanasan. Pengempaan panas dilakukan pada suhu 130 ˚C selama 15 menit dengan tekanan 25 kgf/cm2. Untuk menyeragamkan kadar air lembaran papan komposit dan melepaskan tegangan sisa yang terdapat dalam lembaran sebagai akibat pengempaan panas, maka dilakukan pengkondisian selama 2 minggu, kemudian dilakukan pengujian (Setyawati, dkk, 2006). Tabel 1. Variasi Perlakuan Penelitian
A- 15
Teknologi Pertanian
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat mekanis papan komposit adalah sifat yang berhubungan dengan ukuran kemampuan papan untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya.Yang termasuk ke dalam sifat mekanis papan komposit adalah keteguhan patah, keteguhan lentur dan kuat tekan sejajar serat. 1. Modulus of Rupture (MOR) MOR atau modulus patah menunjukkan beban maksimum yang dapat ditahan per satuan luas sampai patah.Hasil penelitian menunjukkan nilai MOR papan kompositcukup tinggi berkisar 57,69 – 215,46 kgf/cm2 seperti terlihat pada Tabel 2. Gambar 1 memperlihatkan grafik nilai MOR terhadap presentase fly ash.Jika dibandingkan dengan standar JIS A 5908-2003 yang menyatakan nilai MOR papan partikel sebesar minimal 0,8 x 102 kgf/cm2, maka nilai MOR papan komposit hasil penelitian ini hampir seluruhnya memenuhi standar kecuali pada persentase fly ash 60% masih di bawah standar. Nilai MOR tertinggi pada persentase fly ash 15%. Menurut Sudarsono, dkk (2010), nilai MOR dipengaruhi oleh volume dan distribusi serat. Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa persentase fly ash memberikan pengaruh nyata terhadap nilai MOR papan komposit.
Gambar 1. Grafikmodulus patah (MOR)
2.
Modulus of Elasticity (MOE) Modulus elastisitas (MOE) merupakan ukuran ketahanan dalam menahan beban sebelum patah (sampai batas proporsi). Semakin tinggi nilai modulus elastisitas, maka akan semakin elastis. Nilai MOE papan komposit diperoleh berkisar 0,14 x 104 – 0,41 x 104 kgf/cm2 seperti terlihat pada Tabel 2. Gambar 2 memperlihatkan grafik nilai MOE terhadap presentase fly ash. Standar JIS A 5908-2003 mensyaratkan nilai MOE minimal 2,0 x 104 kg/cm2.Dengan demikian nilai MOE papan komposit yang diperoleh seluruhnya tidak memenuhi standar.Hal tersebut karena kurang sempurnanya pencampuran resin, serat sabut kelapa (SSK) dan fly ash. Pengadukan bahanbahan tersebut masih dilakukan secara manul. Penambahan fly ashmemberikan sifat kaku kepada papan komposit yang dihasilkan sehingga nilai MOE cenderung rendah.
Tabel 2. Sifat Mekanis papan komposit pada berbagai variasi perlakuan
Gambar 2. Grafik modulus lentur (MOE)
Menurut Maloney (1993) menyatakan bahwa nilai MOE dipengaruhi oleh kandungan dan jenis perekat yang digunakan, daya ikat perekat dan panjang serat. Berdasarkan analisis Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 16
Teknologi Pertanian
sidik ragam menunjukkan bahwa persentase fly ash tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai MOE papan komposit. 3. Kuat tekan sejajar serat Hasil pengujian kuat tekan sejajar serat berkisar 0,27 x 102 – 0,87 x 102 kgf/cm2 seperti terlihat pada Tabel 2. Gambar 3 memperlihatkan kuat tekan sejajar serat terhadap presentase fly ash. Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa persentase fly ash memberikan pengaruh nyata terhadap kuat tekan sejajar serat papan komposit. kuat tekan sejajar serat (kgf/cm2)
100.00 80.00 60.00 kuat tekan sejajar serat
40.00 20.00 0.00
0 45 Persentase fly ash (%)
Gambar 3. Grafik nilai kuat tekan sejajar serat
Faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap sifat-sifat papan partikel adalah jenis kayu, macam dan ukuran, partikel jenis dan jumlah perekat, kadar air, mat dan distribusinya, kesejajaran partikel dan pelapisan menurut kerapatan papan, profil kerapatan dan bahan tambahan (Maloney, 1977). Menurut Kolmann et al. (1975), sifat fisik dan mekanik papan partikel dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis kayu, tipe dan ukuran partikel, tipe dan jumlah perekat, penyebaran dan perekatan partikel, kadar air serta proses pembuatannya. Jenis kayu menentukan seberapa rendah berat jenis papan partikel yang akan dihasilkan. Pada umumnya kayu dengan berat jenis rendah akan menghasilkan papan dengan kekuatan lebih tinggi daripada kayu dengan berat jenis tinggi (Maloney, 1977). Aspek terpenting dari geometri partikel adalah panjang partikel dan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
nisbah tebal ke panjang (Haygreen dan Bowyer, 1996). Kenampakan papan partikel secara langsung dipengaruhi oleh geometri partikel ini adalah sifat-sifat mekanik (seperti keteguhan lengkung, keteguhan tekan sejajar permukaan dan lain-lain). Karakteristik permukaan papan, reaksi terhadap kelembaban (seperti terhadap penyerapan air kaitannya dengan perubahan dimensi). Sifat mekanik dan karakteristik permukaan dan sifat-sifat pengerjaannya seperti pemotongan dengan gergaji, pemboran, pengetaman dan penghalusan (Maloney,1977). Secara umum pencampuran partikel dan perekat cukup merata atau homogen akan menghasilkan papan partikel dengan kualitas yang baik. Pencampuran partikel dan perekat yang cukup rata, maka rekatan antar partikel akan lebih kompak, tetapi sebaliknya bila campuran partikel dengan perekat tidak merata maka rekatan antar partikel kurang kompak sehingga papan partikel yang dihasilkan kualitasnya juga kurang baik. KESIMPULAN 1. Komposisi terbaik dalam pembuatan papan komposit adalah 15% fly ash, 30% resin dan 55% serat sabut kelapa. 2. Hasil pengujian sifat mekanis diperoleh MOR 2,15 x 102 kgf/cm2 , MOE sebesar 0,41 x 104 kgf/cm2, dan kuat tekan sejajar serat 0,47 x 102 kgf/cm2. SARAN 1. Papan ini bisa digunakan untuk keperluan dinding dan plafon. 2. Perlu dikembangkan alat yang bisa memproduksi papan ini secara massal. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Politeknik ATI Padang yang telah memberikan dana, Politeknik Negeri Padang yang telah memfasilitasi peralatan dan pengujian dalam penelitian ini. A- 17
Teknologi Pertanian
DAFTAR PUSTAKA Haygreen, J.G. And J.L.Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu (Terjemahan Sujipto, A.H).Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Japanese Standard Association. 2003. Japanese Industrial Standard Particleboard. JSA 5908.Japanese Standard Association.Jepang Kollman, F. F. P. E. W, Kuenzi dan A. J Stamm, 1975, Principles of WoodScience and Technology II, Springer-Verlag Berlin HeidelbergNew York. Maloney, T.M.1977. Modern Particle Board and Dry Process Fiberboard
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Manufacturing.Miller Freeman Inc.San Fransisco Maloney, T.M. 1993. Modern Particle board and Dry Process Fiberboard Manufacturing. Miller Freeman Publications. USA. Setyawati, Dina, Y S Hadi, M Y Massijaya, dan N Nugroho. 2006. Kualitas Papan Komposit Berlapis Finir dari Sabut Kelapa dan Plastik Polietilena Daur Ulang : Variasi Ukuran Partikel Sabut Kelapa. Jurnal Perennial, 2(2) : 5-11. Sudarsono, Rusianto T, Suryadi Y.2010. Pembuatan Papan partikel Berbahan Baku Sabut Kelapa dengan Bahan Pengikat Alami (Lem Kopal). Jurnal Teknologi. Vol. 3(1
A- 18
Teknologi Pertanian
MODIFIKASI ALAT PENGERING GAMBIR Rodesri Mulyadi(1), Elvin Hasman(1), Mulianti(2) (1)
Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh (2) Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Padang E-mail :
[email protected] ABSTRACT
It has been done research of modification gambir drier equipment for in creased and quality of gambir (Uncaria Gambir Roxb). Gambir drier equipment tahat had been modification to cousist of : oven with measured 160x90x210 cm, mode from thick aluminium plate : tray with measured 80 x 70 cm, mode from aluminium (2 mm) that have supported with aluminium block ( 1 x 1 cm) head fluid pipe that completed with filter to prevent includedof dirt from heat source (heater), hole of steam over the oven and door with completed of transparans glass. Output of test the gambir drier equipment in Siguntur Muda village to indicate the increased of gambir quality and efficiency of industrial activity. The proved of this fact with result of analysis gambir in visual or analysis of moisture content and suspense solid in water and suspense solid in alcohol gradually as 16,37 %, 6,8 %, 6,07 %, 14,52 %, where as product of gambir drying up by industrial is visual colour is cream, special smell and sound form and light. Result of moisture content analysis, as content, suspense solid in alcohol gradually as 20,125 % ; 9,2075 % ; 10,125 % and 19,8125 %. Keywords :gambir, special smell, moisture content
A.
PENDAHULUAN
Salah satu komoditi hasil pertanian dan perkebunan yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan adalah tanaman gambir (Uncharia Gambir Roxb), dengan sentra pengolahan gambir terkonsentrasi di kabupaten Lima Puluh Kota, yaitu di kecamatan Pangkalan dengan luas area 5.930 hektar dengan total produksi 1.350 ton gambir dan kabupaten Pesisir Selatan yaitu kecamatan Tarusan seluas 2.120 hektar, dengan produksi 139 ton (Dinas Perkebunan TK.I Sumatera Barat, thun 1995). Proses Pengolahan gambir masih dilakukan secara tradisional, dimana daun gambir yang baru dipetik diikat dengan tali plastik, dipadatkan dan diremas untuk selanjutnya dikempa, dicetak dan dikeringkan. Selama ini menurut pemantauan sistim pengeringan yang dilakukan petani gambir kurang efisien dan memakan waktu yang lama. Menurut kebiasaan petani gambir, pengeringan dilakukan dengan cara Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
meletakkan gambir yang sudah dicetak dalam wadah kemudian ditempatkan diatas para-para yang terletak 1,5 m diatas dapur perebusan dan diharapkan sumber panas dari dapur perebusan bersamaan dengan asap yang terbawa. Selain itu pengeringan dilakukan juga dengan bantuan sinar matahari. Dengan kedua cara tersebut, satu segi pengeringannya sangat tergantung kepada cuaca. Bila musim hujan tiba otomatis pengeringan gambir memerlukan waktu yang lebih lama dan Dikhawatirkan akan teroksidasi dan merusak kwalitas gambir. Disegi lain dengan menggunakan para-para dikhawatirkan gambir akan terkontaminasi oleh asap dari dapur perebusan serta kotoran lainnyayang merusak kualitas gambir. Untuk mengantisipasi hal ini perlu dibuat suatu peralatan yang dapat menjamin kualitas gambir yang dihasilkan. Dalam hal ini maka dirancang suatu modifikasi alat pengering gambir yang hemat A- 19
Teknologi Pertanian
energi dengan memanfaatkan pancaran panas C. HASIL DAN PEMBAHASAN. dari dapur perebusan dengan mengisolasi a. Konstruksi modifikasi alat pengering panas dalam suatu alat pengering sederhana gambir. sehingga dapat mengefisiensi pengeringan gambir baik dari segi kualitas maupun dari segi Lubang Rak waktu, sesuai standar kualitas gambir (SP-47- Pelepasan 1976) pada tabel 1. Atap Tabel 1. Standar Kwalitas Gambir (SP-47-1976).
115 cm
Pintu
95 cm
Saring Pipa Aliran Uap an Panas
Gambar 1. Disain Alat Pengering Gambir
B.METODE PENELITIAN. 1. Bahan. a. Bahan yang digunakan untuk pembuatan modifikasi alat pengering gambir hemat energi antara lain. - Plat aluminium 2 mm. - Plat aluminium 1 mm. - Seng. - Besi profil (L). - Kaca Bening (Transparan) - Balok Aluminium 1 x 1 cm - Kawat kasa. - Pipa baja Ø 15 cm. - Mur/baut. - Engsel. - Plat baja b. Bahan baku dalam rangka uji coba alat adalah gambir basah. 2. Peralatan yang digunakan dalam uji coba adalah : - Pisau. - Cetakan gambir. - Tungku/dapur perebusan.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Modifikasi konstruksi hemat energi terdiri dari oven yang dilengkapi dengan 4 buah kaki tegak, pipa aliran panas dan rak. 1. Oven yang terbuat dari bahan aluminium terdiri dari empat belas buah rak penampung gambir basah - Ukuran oven 160 x 90 x 120 cm. - Ukuran tiap rak 80 x 70 cm. 2. Rak/tray yang terbuat dari bahan aluminium berlobang-lobang dengan ketebalan palat 2 mm. - Ukuran 80 x 70 cm. - Balok aluminium penumpu rak 1 x 1 cm. 3. Pipa aliran panas yang dilengkapi saringan untuk menghindari masuknya kotoran dari dapur perebus dan berfungsi sebagai pendistribusi uap panas. 4. Pada sisi atas oven dilengkapi dengan lubang pelepasan uap air sebanyak 2 buah. 5. Pintu dilengkapi kaca transparan.
A- 20
Teknologi Pertanian
b. Hasil disain peralatan. Spesifikasi alat hasil rancangan berupa : 1. Nama alat : Pengering Gambir Hemat Energi. 2. Sistim Peralatan : Oven pengering aliran uap panas dari dapur perebusan dilengkapi dengan 4 kaki tegak. 3. Ukuran alat : - Tinggi = 210 cm - Panjang = 160 cm - Lebar = 90 cm 4. Bahan : Plat aluminium 5. Bentuk : Balok dengan atap berbentuk limas. 6. Sumber panas : Radiasi panas dari dapu perebusan. 7. Kapasitas : 70 kg gambir basah. 8. Suhu ruang oven : 68o C (maksimum). c. Hasil Uji coba kerja alat pengering gambir hemat energi. Uji coba alat pengering gambir adalah dalam rangka merealisasi kegiatan penelitian sesuai dengan skedul yang telah dibuat. Pelaksanaan dilaksanakan didesa Siguntur Muda, kecamatan Tarusan, kabupaten Pesisir Selatan, dimana tujuan uji coba ini adalah untuk melihat sejauh mana keberhasilan alat yang dibuat sehingga dapat mengatasi permasalahan petani gambir dalam proses pengeringan. Uji coba alat pengering gambir dilakukan menggunakan oven pengering yang terdiri dari 5 tray (rak). Bahan yang akan dikeringkan diletakkan pada wadah yang terbuat dari aluminium dan disusun dalam oven mulai rak paling bawah (rak I) sampai rak paling atas (rak V). Proses pengeringan berakhir bila seluruh rak telah mencapai tingkat kekeringan yang diinginkan. Dalam uji coba pengeringan selama 12 jam dengan rincian : - Pada hari I selama 4,5 jam - Pada hari II selama 4,5 jam - Pada hari III selama 3 jam. Sebagai perbandingan dilakukan juga pengeringa secara tradisional dengan ukuran bera bahan yang sama dengan oven pengering. Kondisi suhu dan lama pengeringan serta hasil Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
penimbangan dapat dilihat pada tabel 2 dan 3. Dari data pengamatan terlihat bahwa rak paling bawah (rak I) merupakan pengeringan maksimal dengan berat gambir yang telah dikeringkan 5,3 gram dibandingkan dengan cara tradisional 8,46 gram dengan waktu pengeringan 12 jam. Tabel 2. Kondii Suhu dan Lama Pengeringan padaUji Coba Alat Pengering (Oven) dan Cara Tradisional.
Tabel 3. Hasil Penimbangan Berat Gambir Sebelum dan Sesudah Pengeringan Setelah 12 Jam
Tabel 4. Perbandingan Hasil Analisa Gambir Dengan Oven dan Cara Tradisi
A- 21
Teknologi Pertanian
Dari hasil pengeringan tampak bahwa tingkat kekeringan pada tiap-tiap rak berbeda, makin keatas kekeringan makin kecil. Hal ini dapat diatasi dengan menukar letak rak secara bergantian tiap periode. Gambir kering yang didapat dengan cara pengeringan tradsional maupun menggunakan oven dianalisa berdasarkan standar perdagangan (SP-43-1976) yang direvisi tahun 1985, berupa analisa penampakan/visual yang meliputi warna, bau dan bentuk, maupun analisa kimia yang meliputi kadar air, abu, bahan tak larut dalam air, bahan tak larut dalam alkohol. Hasil analisa dilihat pada tabel 4. D. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan Berdasarkan pengamatan dan analisa yaang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan : 1. Pengeringan menggunakan oven, kondisi suhunya relatif bisa diatur melalui klep pada pipa aliran panas (klep dapat dibuka dan ditutup). 2. Pengeringandengan menggunakan oven tidak dipengaruhi oleh faktor cuaca dan dapat dilakukan terus menerus selama masih berlangsung proses pengempaan 3. Dari hasil analisa terlihat bahwa kadar air dari gambir yang dikeringkan dengan oven lebih kecil dari pada kadar air yang
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
4.
dikeringkan secara tradisional (dapat dilihat dari hasil analisa). Pengeringan dengan menggunakan oven ternyata dapat meningkatkan mutu dan efisiensi kerja pengrajin.
Saran. 1. Untuk lebih sempurnanya alat modifikasi ini tidak tertutup kemungkinan untuk memperbaiki alat ini juga dapat digunakan untuk pengeringan bahan-bahan lain (ikan, kerupuk dll). 2. Khusus sebagai alat pengering gambir akan lebih baik menggunakan rak dari bambu karena temperatur rak relatif sama dengan temperatur sinar matahari. DAFTAR PUSTAKA BIPIK Propinsi Sumatera Barat. 1991. Informasi Industri Komoditi Gambir Padang. Djumarman, Ir. 1993. Perbandingan Beberapa Cara Pengolahan Gambir (Uncaria Gambir Rocbs. Dinamika Penelitian BIPA Vol. 3 No. 5 Tahun 1992. Mc. Cabe dan Smith. 1985. Unit Operation of Chemical Engineering, Third Edition, Mc. Graw Hill & Co, Japan. Walter L. Badger dan Julius T. 1989. Introduction To Chemical Engineering. Mc. Graw Hill Book Company, Page 464
A- 22
Teknologi Pertanian
SISTEM PAKAR DETEKSI DINI PENYAKIT HAMA CABE KOPAY DENGAN TEKNIK FORWARD CHAINING Lilik Suhery, M.Kom, 1)Abdi Yeki Putra, A.Md
1)
Sekolah Tinggi Teknologi Payakumbuh email:
[email protected]
1
Abstract Agriculture have meaning which is necessary for human life, during life human being, during that also agriculture will remain. That thing is caused by food represent requirement of human being most fundamental besides water and air. Food represent result of from which agriculture every year requirement of food will progressively mount because human being population continue to increase. Matter which of tentejadi many resulted loss caused by disease of overdue crop to be diagnosed and have reached hard phase and cause the happening of failure of crop. Especially at crop of chilli. At this research will be made by expert system application which give information concerning pest disease of crop of chilli and can diagnose symptoms disease of crop. At the same time solution give of counter measures which later earn using to lessen or minimize damage risk at crop. T h i s r e s e a c h u s e d f o r w a r d c h a i n i n g m e t h o d s a n d this Expert system implementation made with Microsoft VisualStudio 2010 and SQL Server 2008 Keywords: Forward Chainning, Sistem Pakar, Cabe Kopay
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 23
Teknologi Pertanian
PENDAHULUAN Sistem pakar adalah sistem berbasis komputer yang menggunakan pengetahuan (knowledge), fakta dan teknik penalaran dalam memecahkan masalah yang biasanya hanya dapat dipecahkan oleh seorang pakar dalam bidang tersebut. Menurut Nurkholis (2014) Fordward Chaining merupakan metode pencarian atau teknik pelacakan ke depan yang dimulai dengan informasi yang ada dan penggabungan rule untuk menghasilkan suatu kesimpulan atau tujuan (conclusion). Cabe kopay (koto panjang),yang pertama kali ditemukan oleh Syaiful Yondri,di Kelurahan Koto Panjang, Kenagarian Lampasi, Payakumbuh pada tahun 2005. Masyarakat setempat pada umumnya memilih bercocok tanam cabe kopay, karena hasilnya sangat memuaskan. Ditinjau dari segi hasil buah yang bisa mencapai 3cm, panjangnya dan panen dalam 1 batang dapat menghasilkan 1.5kg cabe, sehingga kopay sangat menjanjikan untuk taraf hidup masyarakat. Namun pada saat sekarang ini petani sudah banyak merasa rugi dan susah menangani penyakit dan hama pada tanaman cabe kopay. Mereka banyak yang salah dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Penafsiran jenis penyakit dan hama cabe berdasarkan ciri-ciri yang terdapat pada cabe. Sehingga dalam penanganan penyakit dan hama pada cabe sering terjadi kesalahan, yang akhirnya menyebabkan keadaan cabe semakin memburuk, karena jenis penyakit dan hama tidak sesuai dengan jenis obat dan pestisida yang digunakan. Selain itu juga banyaknya penggunaan bahan kimia yang berlebihan, yang membuat hasil panen kurang memuaskan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada beberapa perkebunan cabe di sekitar Kota Payakumbuh, yang menanam cabe kopay masih banyak para petani yang kewalahan dalam merawat dan mengobati Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
penyakit cabe, karena kurangnya pengetahuan akan jenis penyakit berdasarkan ciri-ciri yang terdapat pada tanaman cabe kopay. Meskipun mereka bisa menerka jenis Penyakit dan hama yang mengganggu tananam cabe kopay, tapi keputusan yang mereka ambil masih sering terjadi kesalahan, sehingga petani sering kecewa dengan perawatan yang mereka berikan terhadap cabe yang mereka tanam. Untuk itu perlu dibuatkan sebuah sisitem pakar yang dapat menentukan jenis-jenis hama dan penyakit pada cabe kopay serta perawatannya yang lebih akurat. Sehingga petani dapat dengan lebih mudah dalam memberikan setiap perawatan dan solusi pengobatan dari penyakit dan hama sesuai dengan prosedur yang baik, sehingga kesalahan dalam menentukan jenis penyakit dan hama serta perawatan yang dilakukan dapat dikurangi. Dan pada akhirnya dapat meningkatkan hasil panen sesuai dengan yang diharapkan. Dengan adanya sistem pakar, manfaat yang dapat dirasakan Masyarakat adalah Masyarakat dapat lebih mudah dalam mendeteksi, mengatasi penyakit dan hama serta merawat cabe kopay untuk dapat menghasilkan hasil panen yang lebih baik sesuai dengan keinginan petani cabe kopay. METODE PENELITIAN Untuk melengkapi dan mendukung materi dalam uraian pada pembahasan, dibutuhkan sejumlah data atau informasi yang berkaitan dengan penelitian. Pengumpulan data dan informasi mengenai kebutuhan sistem yang akan di bangun dilakukan pengamatan di tempat penelitian, yaitu di perkebunan petani yang ada di sekitar kota payakumbuh. Pengamatan secara langsung kebun cabe yang dimiliki oleh petani diperlukan agar dapat dilakukan analisis terhadap kebun cabe. a.
Metode Pengembangan Sistem Dalam penelitian ini metode pengembangan sistem yang digunakan adalah
A- 24
Teknologi Pertanian
perancangan langsung aplikasi yang akan di gunakan untuk analisis penyakit/hama. Model ini dimulai dengan mengumpulkan data dan kebutuhan teknologi yang diperlukan oleh operator yang akan menggunakan aplikasi ini nantinya. Pengembangan sistem ini dalam pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan tiga tahap siklus pengembangan model, yaitu :
Gambar 2.1 Model Prototype
Pada tahap ini penulis mulai dengan mengumpulkan segala kebutuhan. Penulis melakukan analisa kebutuhan dan mengidentifikasi segala kebutuhan yang akan di perlukan. Dari analisis tersebut dapat di tetapkan tujuan perancangan aplikasi ini dan juga mendapatkan usulan dan solusi dari pengguna nantinya. Tahap yang dilakukan antara lain : 1) Menganalisa sistem yang telah berjalan pada tempat penelitian. 2) Melakukan indentifikasi jenis penyakit hama pada cabe kopay dan cara penanggulangannya. 3) Usulan penyelesaian masalah, analisis disini adalah dengan meninjau dari sisi kebutuhan, pihak yang terlibat, faktor pendukung dan kendala yang dihadapi.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
b.
Membangun Dan Memperbaiki Sistem Yang Dirancang
Setelah mengetahui definisi aplikasi yang akan dikembangkan maka tahapan berikutnya adalah Perancangan sistem yang dimaksudkan untuk membuat pemodelan sementara terhadap aplikasi baru yang dapat membantu masyarakat untuk mendeteksi jenis hama pada tanaman padi dan pembuatan program untuk sistem aplikasi. Design yang dimaksudkan meliputi perancangan aplikasi dan perancangan database. 1) Desain Aplikasi Untuk perancangan Aplikasi, didesain menggunakan Unified Modelling Language (UML). Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengembangan sistem, selain itu penggunaan UML lebih cocok digunakan dalam perancangan aplikasi bersifat object oriented. Perancangan aplikasi yang penulis lakukan dengan menggunakan tools UML ini meliputi : a. Indentifikasi Actor b. Perancangan Use Case Diagram c. Perancangan Use Case Scenario d. Perancangan Activity Diagram e. Perancangan Sequence Diagram f. Perancangan Class diagram 2) Desain Basis Data Pada desain basis data ini, data-data yang digunakan dalam suatu aplikasi akan disimpan dalam database. Desain basis data dilakukan dengan merancang tabel-tabel atau record store yang digunakan untuk menyimpan data. Pada tahapan ini penulis lakukan : a. Penerjemahan class diagram ke dalam basis data. b. Menampilkan struktur basis data. 3) Desain Interface Pada tahap ini, penulis melakukan perancangan terhadap user interface dari aplikasi ini. Perancangan yang dilakukan
A- 25
Teknologi Pertanian
meliputi halaman-halaman yang ada dalam aplikasi. 4) Desain Alur Komunikasi Pada tahap ini dijelaskan desain alur komunikasi data, dimana terdapat penjelasan mengenai proses permintaan data dari client ke server. Gambar 1. Desain Interface Form Menu Utama
-
Pengkodean Sistem
Pada tahapan ini dilakukan tahap pembuatan program yang telah dirancang sebelumnya menggunakan Visual Studio 2010 untuk membuat user interface dan source code dan SQL Server 2008 Enterprise untuk database nya. Pada tahapan ini juga penulis mencantumkan kelengkapan software dan hardware yang digunakan untuk membuat aplikasi ini. -
Form Menu Utama ini berfungsi untuk menampung semua menu yang ada pada aplikasi ini. Pada Form ini user akan menemukan menu-menu yang tersedia, dan user cukup mengklik untuk menjalankan menu yang dipilih. b.
b.
form
informasi
kondisi
Pengujian Aplikasi
Pada tahap ini dilakukan evaluasi untuk mendapatkan tanggapan dari pengguna untuk mengetahui apakah sistem yang sudah jadi sudah sesuai dengan yang diharapkan, Evaluasi sistem ditentukan dengan melakukan wawancara langsung. Pengujian dilakukan dengan menggunakan spesifikasi sebagai berikut a.
Tampilan tanaman
Hardware Pendukung
1. Laptop Acer Aspire 4750” 2. Processor Intel ( R ) Core ( TM ) i3-2310M @ 2.10 Ghz 4. Memory 2 GB Software Pendukung
1. Microsoft Windows 7 Professional 32 bit 2. Microsoft Visual Studio 2010 Ultimate 3. Microsoft SQL Server 2008 Enterprise 4. Visual Paradigm for UML 12.0
Gambar 2.Tampilan form informasi kondisi tanaman
Di dalam form ini menampilkan kondisi tanaman, pencarian jenis gejala berdasarkan nama penyakit dan menampilkan jenis gejala. Setelah di pilih jenis gejala, selanjutnta tinggal klik tombol cek penyakit. c.
Tampilan solusi pengecekan
setelah
melakukan
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Desain Interface Form menu utama
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 26
Teknologi Pertanian
Form tambah user berguna untuk menambah user pengguna yang akan menggunakan aplikasi. 4.
Gambar 3 Tampilan form solusi
Form ini akan menampilkan jenis solusi dari jenis-jenis gejala yang telah di pilih sebelumnya dan kemungkinan penyakit yang menyerang tanaman cabe. d.
Tampilan form update informasi
KESIMPULAN
Setelah dilakukan pembuatan sistem pakar pendeteksi dini penyakit hama cabe kopay dapat disimpulkan bahwa : 1. Aplikasi pendeteksi hama cabe ini, dapat mempermudah petani dalam pengecekan jenis-jenis hama/penyakit pada cabe. 2. Aplikasi ini menunjang media pelayanan sehingga petani tidak harus bertanyatanya tentang penyakit yang menyerang tanaman cabe mereka. 3. Aplikasi ini dirancang dengan metode pengembangan sistem model prototype dengan perancangan aplikasi dan alur proses sistem yang menggunakan diagram UML DAFTAR PUSTAKA R.H Sianipar. 2014. Pemograman Basic.Net. Bandung : Informatika.
Visual
Suprianto,Dodit. 2010. Membuat Aplikasi Desktop menggunakan MySQL dan VB.Net secara Professional. Jakarta : Mediakita. Gambar 4 Tampilan form update informasi
Form ini berguna untuk mengupdate penyakit,gejala dan solusi yang akan dilakukan terhadap tanaman cabe. e.
Tampilan form Add User
Novian Adi Putranto. 2012. UML Class Diagram Prabowo, Sigit. 2014. Jenis Jenis Diagram UML. Jakarta Ati Sri Duriat, 2007. Penyakit Penting Tanaman Cabei Dan Pengendaliannya, Balai Penelitian Tanaman Dan Sayuran. Bandung Nurkholis, 2014. Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Dan Hama Tanaman Dengan Metode Forward Chainning Berbasis Multi User Pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Holtikultura Kab.Grobogan
Gambar 5 Tampilan form Add User
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 27
Teknologi Pertanian
PERANCANGAN KONSULTASI PERTANIAN ONLINE DALAM RANGKA MENGOPTIMALKAN PERAN PRAKTISI DALAM MENINGKATKAN INDUSTRI PERTANIAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Arif Budiman, M.Kom, 1)Rosda Syelly, M.Kom, 1)Dilson, M.Kom
1)
1
Sekolah Tinggi Teknologi Payakumbuh email:
[email protected] Abstract
The purpose of this research is to provide applications that can connect the (1) farmers and or (2) practitioners and professional in agriculture in the city of Lima Puluh Kota and surrounding that, to be able to communicate and consult with each other on agriculture. The involvement of practitioners of agriculture is expected to be helped boost agricultural production and than as the alternatives for farmers to obtain agricultural extension from non governments agencies. This application is designed not as an agricultural extension applications, only for consultation that is "accidential". Applications designed using the Unified Modeling Language (UML) approach and implemented using PHP, Mysql and Jquery.
PENDAHULUAN Kapubaten Limapuluh Kota adalah daerah yang mayoritas masyarakatnya adalah petani. Berdasarkan angka hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Kabupaten Lima Puluh Kota sebanyak 69.805 dikelola oleh rumah tangga, sebanyak 15 dikelola oleh perusahaan pertanian berbadan hukum dan sebanyak 18 dikelola oleh selain rumah tangga dan perusahaan berbadan hukum. (sensus Pertanian BPS 2013). Tingginya angka petani tersebut dengan sendirinya akan paralel dengan tingginya kebutuhan untuk berdiskusi dan berkonsultasi untuk mendapatkan informasi di bidang pertanian. Petani yang sudah mempunyai kelompok tani, akan saling berdiskusi dan bertukar pengalaman diantara kelompok tani ataupun dengan kelompok tani yang lainnya dan juga mendapatkan penyuluhan dari lembaga resmi penyuluhan pertanian, namun bagi mereka yang melakukan usaha pertanian tanpa bergabung dengan kelompok tani (petani konvensional yang menggarap sawah/ladang sendiri) tentunya sulit untuk mendapatkan informasi tentang pertanian, biasanya kelompok tani golongan ini hanya belajar dari pengalaman bertani. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Pada penelitian ini, akan dirancang bagaimana petani dapat berkonsultasikepada praktisi pertanian (dalam hal ini adalah profesional pertanian dan akademisi pertanian) kapan saja dan dimana saja, karena dengan tersedianya jadwal konsultasi tanpa batas, diharapkan dapat meningkatkan keahlian dan kemampuan petani di kabupaten Limapuluh Kota, baik dalam meningkatkan hasil produksi pertanian, maupun dalam memanajemen gangguan hama tanaman, karena menurut Yulianto, 2009, terjadi peningkatan perubahan perilaku petani setelah mendapatkan penyuluhan atau konsultasi pertanian. dilain hal, meningkatkan peran praktisi pertanian (dosen pertanian, teknisi pertanian dll) yang memang tersedia di Kabupaten Limapuluh Kota diharapkan menjadi modal awal untuk mendongkrak industri pertanian, dan merubah pola fikir masyarakat pertanian kabupaten Limapuluh kota kearah pemikiran pertanian yang modern dengan memanfaatkan fasilitas internet atau media komunikasi lainnya. METODE PENELITIAN Aplikasi Konsultasi online untuk pertanian ini akan dirancang menggunakan metode prototype. Dengan menggunakan A- 28
Teknologi Pertanian
metode prototype, pengembangan Aplikasi dapat fleksibel mengikuti alur terbaik dalam membuat pola konsultasi antara petani dengan praktisi pertanian, serta memungkinkan untuk melakukan ujicoba sebelum menerapakan aplikasi yang sebenarnya. Adapun pendekatan yang digunakan dalam perancangannya adalah Unified Modelling Language (UML). Berikut adalah tahapan atau langkah kerja dalam perancangan aplikasi ini :
HASIL DAN PEMBAHASAN Unified Modelling Language Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana aplikasi konsultasi ini dibangung, atau bagaimana rancangan ini divisualisasikan sesuai tahapan UML. Use Case Petani Pribadi / Kelompok
Start Gambar 2. User case Petani Pribadi / Kelompok Reqierement Analysis
Literatur Study Layout and Coding
Desain Database
Testing Implementing
Pada gambar 2 diatas, dapat dijelaskan bahwasanya, untuk bisa melakukan konsultasi tani, petani harus terdaftar terlebih dahulu. Setelah melakukan login, petani bisa mengirimkan pertanyaan seputar pertanian yang digelutinya. Use Case Praktisi Pertanian
Stop
Gambar 1. Langkah Kerja Perancangan Aplikasi Konsultasi Pertanian
Sebelum kasus ini diangkat, ada penilaian tersendiri tentang perlu tidaknya mengangkat kasus konsultasi tani ini, mengingat banyaknya kebutuhan akan informasi dari para petani, dan tersedianya tenaga akademisi dan praktisi profesional pertanian, maka rasanya kasus ini layak untuk diteliti dan diterapkan. Pada tahap lebih jauh, setelah pemetaan dan studi pustaka, dilakukan perancangan layout dan coding, yang akan mengikuti pola Unified Modelling Language (UML). Ujicoba adalah langkah berikutnya. Setelah aplikasi dibuat, dilakukan dulu ujicoba, baik dari sisi user, mapun dari sisi admin sistem. Setelah dirasa cocok, barulah instalasi atau pemakaian. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 3. User case Praktisi Pertanian
Use case Praktisi Pertanian ini menjelaskan bagaimana seorang praktisi pertanian, baik itu dosen, maupun profesional pertanian dapat turut serta memberikan konsultasi. Untuk bisa ikut, praktisi harus mendaftar dulu, dan login kesistem untuk mengakses pertanyaan-pertanyaan yang dikirimkan oleh petani.
A- 29
Teknologi Pertanian
Activity Diagram Petani Konsul
Gambar 4 : Activity Diagram Petani Konsul
Pada gambar diatas, dijelaskan bagaimana alir kerja sistem dimulai dan diakhir, serta proses-proses apa yang dilakukan oleh petani dalam menggunakan sistem. Activity Diagram Praktisi Pertanian
Gambar 7 : Sequence diagram Petani Konsul
Pada gambar sequence diatas, terlihat bagaiman interaksi antar object didalam dan disekitar sistem dari sisi praktisi pertanian, baik itu dalam bentuk display, pengguna ataupun yang lainnya yang ada didalam sistem. Class Diagram
Gambar 5 : Activity Diagram Praktisi Pertanian
Pada gambar diatas, dijelaskan bagaimana alir kerja sistem dimulai dan diakhir, serta proses-proses apa yang dilakukan oleh praktisi pertanian dalam menggunakan sistem. Sequence Konsul Petani
Gambar 8 : Class diagram Konsultasi Tani
Class diagram dari aplikasi ini meggambarkan struktur dan descripsi dari class, package, dan object serta hubungan satu dengan yang lainnya.
Gambar 6 : Sequence Diagram Petani Konsul
Pada gambar sequence diatas, terlihat bagaiman interaksi antar object didalam dan disekitar sistem, baik itu dalam bentuk display, pengguna ataupun yanglainnya. Sequence Praktisi Pertanian Konsul Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 30
Teknologi Pertanian
Rancangan Login
Rancangan Tanggapan
Gambar 9 : Layout Form Login Sistem
Layout diatas digunakan untuk fasilitas login baik bagi petani, maupun bagi praktisi yang akan ikut dalam konsultasi pertanian ini Rancangan Konsultasi
Gambar 11 : Layout Praktisi
Pada form diatas, praktisi akan mendapatkan beberapa pertanyaan dari petani. Praktisi hanya membutuhkan klik pada tanggapan, dan kolom tanggapan akan aktif dan dapat dikirimkan kembali kepetenai. KESIMPULAN
Gambar 10 : Layout Form Petani Konsultasi
Layout Form petani digunakan untuk melakukan pengisian pertanyaan kepada praktisi yang tersedia, artinya praktisi yang sudah register akan langsung terdaftar didalam praktisi yang tersedia. Pertanyaan yang ada akan dikirim dan menunggu tanggapan dari praktisi yang dipilih.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
1. Praktisi pertanian, baik itu dosen pertanian, profesional pertanian dapat ikut serta dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari para petani secara langsung. 2. Petani dapat mengajukan pertanyaan atau konsultasi dengan praktisi pertanian kapan saja dan dimanasaja selama ada akses internet. 3. Menggunakan Unified Modelling Language, kita bisa memvisualisasikan aplikasi yang akan dibangun dan cocok digunakan untuk pengembangan aplikasi berbasis OOP (object Oriented Programming) 4. Banyaknya pelaku pertanian di Kabupaten Limapuluh Kota yang dapat memanfaatkan konsultasi online ini secara gratis. 5. Bagi dosen pertanian dan praktisi pertanian, aplikasi ini dapat dijadikan
A- 31
Teknologi Pertanian
sebagai wadah untuk melakukan salah satu item tridarma pendidikan yaitu Pengabdian kepada Masyarakat.
Irawati. 2009. Pemberdayaan masyarakt melalui transformasi Sistem Pertanian SRI (The System of Rice Intensification) di Kabupaten Limapuluh Kota.
REFERENSI
Rasyid
Azhar, 2010. Kepuasan kerja penyuluh Pertanian di Kabupaten Bogor.
A, 2012. Metode Komunikasi Penyuluhan Pada Petani Sawah
Yulianto,
2009. Penyuluhan Kecamatan Bantul.
Bappenas, 2012. Profile Kegiatan Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah Kabupaten Limapuluh Kota.
Evaluasi dampak Pertanian di Imogiri Kabupaten
BPS, 2013. Angak Sementara Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Lima Puluh Kota.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 32
Teknologi Pertanian
POTENTIAL STARCH ZINGIBERACEAE AS RAW MATERIAL FILMS AS GALAMAI PACKAGING Wenny Surya Murtius dan Purnama Dini Hari Agriculture Technology of Andalas University, Padang-Indonesia Abstract The study was aimed to determine characteristics of Zingiberaceae starch as raw material films as galamai packaging. Galamai is a traditional food from West Sumatera Indonesia. Semimoist foods with high sugar content, has a short shelf life. Rhizome of the Zingiberaceae, including: Curcuma xanthorrhiza, Curcuma domestica, Zingiber officinale var. rubrum and Zingiber officinale var. amarum, used as a treatment in this study, and as a control use of Mannihot uttilisima starch. The results showed Curcuma xanthorrhiza starch is more potential to be films as galamai packaging. Where yield: 12.67%, water content: 57.39, amylosa: 46%, amylopektin: 54% and the temperature of gelatinization: 81,10C. However, antimicrobial activity against microorganisms that grow on galamai relatively low: 3.75 mm.
Key Word : Potential, Material, Packaging
INTRODUCTION Edible films are made of materials that can be eaten, serves as a barrier to mass transfer (eg contact with oxygen, moisture and fat), and as an additive carrier and to improve food safety (Haris, 2001). Han, J.H (2014) reported edible films enhance the quality of food products, pretecting them from physical, chemical, and biological deterioration. The application of edible films and coatings can readily improve the physical strength of food products, reduce particle clustering, and improve visual and tactile features on product surfaces. It can also protect food products from moisture migration, microbial growth on the surface, light induce chemical changes, and oxidation of nutrients. Krochta, J.M, E.A. Baldwin and M. Nisperos-Carriedo(1994), component or edible film base material is a hydrocolloid that is made of polysaccharides (cellulose, modified cellulose, starch, agar, alginate, pectin, dextrin) and protein (collagen, gelatin, egg whites). In addition, fat and composites. Han, J.H (2014) reported edible films are produced from edible biopolymers and food grade additives. Various Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
biopolymers ca be mixed together to form a film with unique properties that combine the most desirable attributes of each component. Each type of coating has advantages and disadvantages that must be combined with other materials. To maintain consistency in the manufacture of edible film solution, it should be added filler such as glycerol. Fennema, OR (1985) explains, glycerol is used as a plasticizer, which serves to reduce brittleness or cracks, increase the flexibility of the films, refine and narrow the results of the films. Han, J.H (2014) reported, in most cases, plasticizers are required ingredients for edible films, especially for polysaccharides and proteins. These film structures are often brittle and stiff due to extensive interactions between polymer molecules. Edible films can carry various active agents, such as emulsifiers, antioxidants, antimicrobials, nutraceuticals, flavors, colorants, and can enhance food quality and safety, up to the level where the additives interfere with physical and mechanical properties of the films (Han, J.H, 2014). Ustunol, Z (2009), reported edible film can serve as carriers for a wide range of food A- 33
Teknologi Pertanian
additives, including antimicrobials, which can reduce microbial growth at meat and poultry surfaces to improve product safety and extend product shelf life. Antimicrobial films means that the packaging is able to act as a coating and also able to deter and suppress the growth of microorganisms. Some natural antimicrobial compounds that are easily found are a group of essential oils, flavonoids, oleoresin and its derivatives such as phenol, kurkuminoid, alkaloids, terpenoids, tannins and so on. Such compounds contained in the Zingiberaceae, as dominant in Curcuma xanthorrhiza (Xanthorizol), Curcuma domestica (Curcumin) and essential oils other, Zingiber officinale var. Amarum (Zingiberine), Zingiber officinale var. rubrum) are also Zingiberin. In addition to its antimicrobial compounds the Zingiberaceae also contains starch respectively: 41.45% (Hayani, 2006), 40-50% (Atmaja, 2008), 44.25% and 52.9% (Winarti.C and Harnani, 2012), means the potential to be used as raw material in the manufacture of edible film. Furthermore, antimicrobial activity will be measured against microorganisms that grow on galamai. Galamai is tradisional food in West Sumatera, Indonesia. It’s maked from rice flour, palm sugar, and coconute milk. The materials are mixed and cooked on high temperatured until compact and elastic dough are formed. Galamai has a sweet taste, chewy texture and is very suitable as a snack. When packaged plastic, have a short shelf life. Damage galamai marked with a rancid smell and then the surface appears white. Traditional food so that it can not serve as a souvenir for turism. Thus this study aims to determine the characteristics of Zingiberaceae starch as raw material for edible film galamai packaging.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
MATERIALS AND METHODS Materials The Zingiberaceae (Curcuma xanthorriza, Curcuma domestica, Zingiber officinale var. rubrum and Zingiber officinale var. amarum) starch and Mannihot uttilisima starch was produced by precipitated basic materials (2 h). Previously, Curcuma xantorriza, Curcuma domestica, Zingiber officinale var. rubrum and Zingiber officinale var. amarum and Mannihot uttilisima starch was produced by using juice extractor. Isolation of Microorganism Microorganism was prepared from contaminated galamai and was removed to Potato Dextrose Agar (PDA) medium. Potato Dextrose Broth (PDB) were used with growth media for antimicrobial activity analysis. ANALYSIS Moisture content (Gravimetri) The sample is weighed as much as 2 g in a porcelain cup known weight. The cup is inserted into the oven at a temperature of 100 0 C until 105 0C or until constant weight. The sample is introduced into the desiccator and immediately weighed after it reaches room temperature. Weight loss is calculated as the percentage of water content. (Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi,1997) Yield Weigh rhizome to be taken before the shredded starch, then weigh the resulting starch. Starch obtained divided by the initial weight of 100% multiply the percent of yield. Amylosa (Spectrofotometri) Weigh 5 g of sample, dissolve in KOH solution and dilute with distilled water. Perform dilution with a dilution factor of 10 : 1. Add to HCl and reagent B. Measure absorbance at 589 nm wavelength.
A- 34
Teknologi Pertanian
Amylopektin Amylopektin value obtained by different. Gelatinization temperature (Brabender Amylograf) Weigh starch weighing 10 g, mix in 100 ml of distilled water. Enter into the tool, press the button on the chart monitored and observed approximately 30 minutes. Agar diffusion method Films were cut into 6 mm diameter, which were dried and placed on the surface of the previously inoculated PDA plates. Plates were incubated for 24 h at 30 0C, following incubation plates were examined for zone of no growth indicated by halos around (clear zone) the disk. (Davidson, P.M, Sofos, J.N, Branen, A.L, 2013). The test was done in triplicate. Statistical design This research was designed by Complete Random Design (CRD) with 3 replications. Treatments wereA= Manihot uttilissima starch(control), B= Curcuma xantorrizastarch, C =Curcuma domestica starch, D= Zingiber officinale var. rubrum starchand E= Zingiber officinale var. amarum starch. RESULT AND DISCUSSION Terms of a material can be used as raw material for edible film is edible and biodegradable. Krochta (2002) reported the most beneficial characteristics of edible films are their edibility and inherent biodegradability. Han, J.H (2014) reported to maintain their edibility, all film components (biopolymers, plasticizers, and other additives) should be food grade ingredients, and all process facilities and equipment should be acceptable for food processing. With regard to biodegradability, all components ahould be biodegradable and environmentally safe. The main film forming materials are biopolymers, such as polysacharides, lipids, proteins. They can be used alone or in Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
combination. Polysaccharides film forming materials include starch, non starch carbohydrates, gums, and fibers. The polysaccharides have simple monomers compared to proteins, which have 20 common amino acids. However, the conformation of polysaccharide structures is more complicated and unpredictable, resulting in much larger molecular weights than proteins. Most carbohydrates are neutral, while some gums are charged negatively with very exceptional cases of positive charge. (Han, J.H, 2014) Starches derived from the rhizome of the Zingiberaceae are edible and biodegradable and easy to obtain, because the films that will be produced is used as a galamai packaging and to be sold. Han, J.H (2014) reported the use biodegradable materials for food packaging in the food service business is attractive because it reduces the total amount of synthetic materials and appeals to environmentally conscious consumers. However, it is obvious that the period of disintegration of edible films through biodegradation mechanisms should be longer than the expected shelf life of the packaged products. Pavlath A.E and William, O (2009) reported a product is not only safe to eat, but still has acceptable taste, texture and appearance after being removed from its natural enviroment. Table 1. Data analysis Zingiberaceae starch as raw material for films.
Note: * Intake of starch done only once laundering ** Not analyzed
A- 35
Teknologi Pertanian
Use of starch for producing films has a long history. Kramer, M.E (2009) reported the early Apollo astronauts are foods coated with starch based films to prevent the crumbs from becoming airborne and floating around the weightless environment of the cabin. Starch, being one of the largest component biomasses produced on earth, is abundant and readily available for use in edible films. Starch based films are similar to plastic films in their properties, they are odorless, tasteless and colorless. They are nontoxic, biologically absorbable and semipermeable to carbon dioxide and are good berriers to oxygen. (Ustunol, Z, 2009). Starch based edible films can enhance food quality, safety and stability. They can control mass transfer between components within a product. (Garcia, M. A., Adriana, P., Miriam, N. M and Noemi, E. Z, 2009) Furthermore, starch is meant here is the wet starch, starch so that the water levels are still too high. It aims to be contained in the antimicrobial component is not much material is lost, because of the processing that passed too little. Moreover, it is known that the antimicrobial component in Zingiberaceae, consisting of one or more of the active component. So that the antimicrobial activity of the extract, which is higher than that found in the material as a whole. Yasni, S. (2013) Reported antimicrobial activity of active components extracted is greater than the powder. The use of materials containing antimicrobial compounds galamai aims to avoid damage caused by the activity of microorganisms, so as to extend the shelf life galamai. Han, J.H (2014), various food grade preservatives and natural antimicrobials that have been incorporated into edible film materials to inactivate spoilage or pathogenic microorganisms on the surface of susceptive food products effectively. Antimicrobial agents can also be incorporated into film forming solutions to achieve active packaging Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
functions. They provide additional active functions to the edible films system to protect food products from oxidation and microbial spoilage, resulting in quality improvement and enhanced safety. Min, S.C., Harris, L.J., Han, J.H., Krochta, J.M (2005), various natural phenolic compounds have been included in edible film materials and applied to microbiologically sensitive foods to inactivate contaminated spoilage or pathogenic microorganisms. Furthermore, the antimicrobial compound contained in Zingiberaceae generally present in the form of essential oil fraction. Neswati, W.S, Murtius, A. Prastica, (2015), Applications of edible films containing essential oils (EOs) of red ginger gave affect sensory of galamai.Each Zingiberaceae antimicrobial compounds will provide different inhibitory effects on the growth of microbes. Yasni, S (2013) describes the antimicrobial compound on each type of herb has a different activity for different types of microbes. Ustunol, Z (2009) reported, essential oils has also been investegated in production of antimicrobial edible films and coatings. Although antimicrobial properties of essential oils have been recognized for centuries, there has been renewed interest in their use because of consumer demand for natural ingredients and additives. Based on the characteristics of the Zingiberaceae starch as raw material for edible film, Curcuma xanthorrizha starch is the best starch. Thus testing the antimicrobial Curcuma xanthorrizha starch against microorganisms that grow on galamai. Murtius, W. S., Ira, D. S and Neswati (2015),dominant microorganism on galamai are gram negative bacterium and fungi, where bacterium grew up first than fungi. And Fardiaz (1992), microorganism that commonly contaminated food with high fat content are fungi and gram negative bacteria. However, the antimicrobial activity of ginger starch obtained is low (3,75 mm).
A- 36
Teknologi Pertanian
Starch is the main polysaccharide energy storage material in the plant kingdom. It is a mixture of the predominantly linear α- (1-4) glucan or amylose, and the highly branched, high molecular weight glucan or amylopectin. Of the two polymers, amylose is more closely associated with the ability to form films due to its predominant linear nature. Starch is both abundant in nature and readily available as an inexpensive commersial product. A film can be made from any type of starch that contains amylose. Amylose and amylopectin molecules are packaged into semi crystalline aggregates and these aggregates are systematically packaged into starch granules. In these tightly packed starch granules, the starch molecules have little affinity for water and are not functional. (Kramer, M. E., 2009). Heat can applied to native starch in the presence of sufficient water, granules begin to open up, swell and hydrate, which initiates the process of gelatinization or loss of granular and molecular order. Gelatinization occurs over a range of temperatures, and is dependent upon the type of starch and its modification. The most apparent change upon starch gelatinization is a dramatic increase in viscocity. Monitoring the viscocity through heating and gelatinization steps is used to characterize defferent starches. (Kramer, M. E., 2009). A range of temperatures, for gelatinization of starch Zingiberaceae are 79,7 until 88,4 0C. A range of temperatures are best for heating process preparation edible films.
ACKNOWLEDGMENT
CONCLUSION
Hayani, Eni. 2006. Analisis kandungan kimia rimpang temulawak. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Temu Teknis NAsional Tenaga Fungsional Pertanian. Bogor
Curcuma xanthorrizha starch is a starch of the Zingiberaceae potentially be used as a raw material edible films for galamai packaging, with the yield nearing Mannihot uttilisima starch, gelatinization temperature suitable for the manufacture of edible films and content amylosa high.
The author greatfully acknowledges the financial support from Hibah Bersaing National Competitive Direktorat General of Higher Education Government of Indonesia. REFERENCES Atmaja.D.A. 2008. Pengaruh Ekstrak Kunyit (Curcuma Domesticai) Terhadap Gambaran Mikroskopik Mukosa Lambung Mencit Balb/C Yang Diberi Parasetamol. Fakuktas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Davidson, P.M, Sofos, J.N, Branen, A.L. 2013. Antimicrobial In Food. Third Eddition. CRC Press, Boca Raton Fardiaz. 1992.Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel Garcia, M. A., Adriana, P., Miriam, N. M and Noemi, E. Z. 2009. Characterization of Starch and Composite Edible Films and Coatings. Springer. New York. Han, J.H. 2014. Edible Films and Coatings: A Review. Pepsico Inc. Plano, Texas, USA Haris. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka untuk Pengemas Lempuk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 3, No.2, 2001. Hal 99-106. Bengkulu: Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Kramer, M.E. 2009. Srtucture and Function of Starch-Based Edible Films and Coatings. Springer. New York. Krochta, J. M. 2002. Proteins As Raw Materials For Films And Coatings: Definitions, Current Status, and
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 37
Teknologi Pertanian
Opportunities. In: Gennadios, A. (Ed.), Protein-Based Films and Coatings. CRC Press, Boca Raton, FL, pp. 1-41 Krochta, J.M, E.A. Baldwin and M. NisperosCarriedo. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Co. Inc. Landcaster. Basel Pavlath A.E and William, O. 2009. Edible Film and Coatings: Why, What and How?. Springer. New York. Min, S.C., Harris, L.J., Han, J.H., Krochta, J.M. 2005. Listeria mMonocytogeneses Inhibition by Whey Protein Films and Coatings Incorporating Lysozyme. J. Food Protect. 68 (11). 2317-2325 Murtius, W. S., Ira, D. S and Neswati. 2015. Antimicrobial Activity of Jackfruit’s Straws Films Which has been enriched by Temulawak (Curcuma Xanthorrhizza, ROXB.) toward Microorganism on Galamai. GSTF Journal of BioSciences (JBio) Vol.3 No.2, August 2015.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Neswati, W.S, Murtius, A. Prastica. 2015. Characteristics of Jackfruit Straw’s Edible Film Enriching by Gingers Red (Zingiber officinale, Rosc.). Ijaseit. Vol 5 (2015) No. 2 Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. 172 hal. Ustunol, Z. 2009. Edible Films and Coatings for Meat and Poultry. Springer. New York. Winarti.C dan Hernani. 2012. Kandungan Bahan Aktif Jahe Dan Pemanfaatannya Dalam Bidang Kesehatan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor Yasni, S. 2013. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Produk Ekstractif Rempah. IPB Press. Bogor. Indonesia.
A- 38
Teknologi Pertanian
UJI KELAYAKAN MENGEMBANG PADA TANAH LEMPUNG DENGAN METODA LOAD SWELLING TEST DI KOTA PADANG Fanny Yuliana Batubara, (1)Zulnadi, (1)Jamaluddin
(1) (1)
Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Email :
[email protected] ABSTRAK
There are many plastic clays that swell considerably when water is added to them and then shrink with the loss of water. Foundation constructed on thesed clays are subsected to large uplifting forces caused by the swelling. These forces will induce heaving, cracking, and breakup of both building foundations and slab on grade members. This research aims to identification and find out the swelling potential of clayey soil in Padang City’s Limau Manih area by using Load Swelling Test Method (ASTM D4546-90). The result of both Technical Classification Test and Atterberg’s Limit Tests can be concluded that the clayey soils in Limau Manih area has high swelling potential. On the other hand, results from Load Swelling Test Method showed that the clayey soil didn’t swell at all. From swelling potential test on undisturbed specimens, there was no sign of swelling potential, instead of the soil shrank by 0,331%. Also, on 12x hits, 25x hits, and 50x hits the soil did not swell, instead of its shrank by 0,328%, 0,319%, 0,111% Key words: Claeyey Soil, Swelling Potential, Load Swelling Test, Compaction PENDAHULUAN Tanah merupakan material yang selalu berhubungan dengan teknologi konstruksi sipil. Karena besarnya pengaruh tanah terhadap perencanaan seluruh konstruksi, maka tanah menjadi komponen yang sangat diperhatikan dalam perencanaan konstruksi. Dari berbagai jenis tanah, tanah lempung adalah tanah yang banyak ditemukan dalam kebanyakan problema keteknikan. Tanah lempung, sesuai dengan karakteristiknya adalah tanah yang dapat mengalami penyusutan (shrinkage) dan pengembangan (swelling). Penyusutan dan pengembangan tanah ini akan memberikan pengaruh besar terhadap konstruksi yang ditahannya. Pengaruh ini contohnya antara lain: 1. Kenaikan (heave) dan retak-retak (cracking) pada perkerasan jalan raya. 2. Kenaikan (heave) dan pecah atau jebol (buckling) pada lantai dasar dan bendungan. Oleh karena itu, untuk mengamati perilaku mengembang (swelling) pada tanah lempung dan bagaimana akibat dari karakteristik tanah lempung ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Uji Potensi Mengembang Pada Tanah Lempung Dengan Metoda Load SwellingTest. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentikasi dan mengetahui potensi mengembang pada tanah lempung di Kota Padang dengan metoda Load Swelling test (uji pengembangan beban). Manfaat dari penelitian ini yaitu diharapkan agar dapat membantu dalam mengetahui perilaku potensi mengembang tanah lempung khususnya di Kota Padang sehingga diharapkan juga dapat diketahui cara penanggulangan pencegahan dari sifat kembang (swell) tanah ini.
METODOLOGI PENELITIAN Program Penelitian Pekerjaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pekerjaan lapangan yaitu mengambil sampel tanah terganggu (disturbed sample) dan tanah tak terganggu (undisturbed sample). Pekerjaan di laboratorium dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah jurusan Teknik Sipil Universitas Andalas. Langkah-langkah umum penelitian adalah sebagai berikut
A- 39
Teknologi Pertanian
seterusnya hingga melewati batas kondisi air pori awal. Untuk masing-masing kondisi dipakai masa pembebanan 24 jam.
Gambar 2: Grafik Hubungan Log P Dengan Angka Pori (E) Menggunakan Metode B (ASTM D4546-90)
ANALISA DAN PEMBAHASAN Analisa Sifat Fisik Tanah Uji Klasifikasi Teknik
Percobaan Laboratorium Uji Tekanan Mengembang Metode Load Swelling Test (Metode B) Uji laboratorium ini berdasarkan ASTM D4546-90. Dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Siapkan contoh tanah didalam ring konsolidometer, sebelum dibasahi diberi seating pressure (σse) minimal 1 kPa. 2. Lakukan pembacaan dalam waktu 5 menit dan atur alat deformasi extensometer untuk pembacaan awal nol. 3. Tambah tekanan vertikal awal ( σ1 ), dalam pengujian ini tekanan vertical awal (σ1 ) yang diberikan adalah 25 kPa. 4. Lakukan pembacaan dial dalam waktu 5 menit dan contoh tanah digenangi sesegera mungkin setelah pembacaan deformasi dan deformasi dicatat dalam waktu 48 jam (dimana pengembangan primer berlangsung sempurna). 5. Lakukan penambahan beban vertikal yang dibutuhkan untuk mencegah pengembangan. Dengan variasi beban tambahan berturut-turut 5 kPa, 10 kPa, 20 kPa, 40 kPa, 80 kPa, 100 kPa dan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
a. Sistem Klasifikasi AASHTO dan Unified Berdasarkan sistem klasifikasi AASHTO tanah daerah Limau Manih termasuk ke dalam kelompok A-7-5 dengan nilai LL= 119.37 %, nilai PL = 51.54 % dan lolos saringan no. 200 = 95.53 % sedangkan berdasarkan sistem klasifikasi Unified tanah Limau Manih merupakan tanah lempung organic dengan plastisitas tinggi (LL > 50 %) dengan simbol kelompok MH dan OH. b. Kriteria Skempton (1953) Menurut kriteria Skempton
yang
dinyatakan dalam persamaan 2.1, nilai aktivitas tanah lempung Limau Manih, Padang yaitu: Ac
= Indeks Plastsitas / (C-10) = 67.83 / (17.64 - 10) = 8.878
Berdasarkan nilai aktivitas tersebut, tanah lempung Limau Manih dikategorikan sebagai lempung yang aktif dan ekspansif dimana nilai Ac > 1.25. Lempung yang aktif menunjukkan potensi yang tinggi untuk mengembang.
A- 40
Teknologi Pertanian
c. Klasifikasi Tanah Ekspansif Menurut Holtz & Gibbs (1956) Menurut Haltz & Gibbs yang mengklasifikasikan tanah ekspansif berdasrkan kadar kolloid menurut USBR seperti yang terdapat pada tabel 2.3, dengan Plasticity Index sebesar 67.83 % tanah lempung Limau Manih termasuk tanah yang memiliki derajat pengembangan yang sangat tinggi (very high). d.
Kriteria Chen (1965) Chen mengklasifikasikan tanah ekspansif berdasarkan persen lolos saringan nomor 200 dan batas cair seperti yang disajikan dalam Tabel 2.4. Menurut klasifikasi tersebut, tanah lempung Limau Manih yang mempunyai persen lolos saringan nomor 200 sebesar 95.53 % dan batas cair sebesar 119.37 % termasuk memiliki derajat pengembangan sangat tinggi (very high). Menurut Rina dan Andriani (2010) pada Tabel 1 dibawah ini mengungkapkan bahwa permukaan spesifik lanau memiliki permukaan spesifik yang besar dibandingkan kerikil dan batu. Permukaan spesifik tanah berbanding lurus dengan luas permkaan tanah. Semakin besar nilai permukaan spesifik, luas permukaan tanah/partikel tanah juga semakin besar.. Luas permukaan partikel tanah yang besar mengakibatkan air sebagai salah satu penyebab pengembangan dapat dengan leluasa terikat pada permukaan tanah. Hal ini dapat memicu terjadi potensi pengembangan tanah (expansive soils). Tabel 1 Conoh perhitungan permukaan spesifik Batu Kerikil Lanau Panjang sisi (m) 1 0.01 0.00001 Luas Permukaan 6 6x10-4 6x10-10 (m2) Massa (gr) 2x108 2 2x10-8 Permukaan 3x10-8 3x10-4 3x10-2 Spesifik (m2/gr)
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
e. Kriteria Altmeyer (1955) Altmeyer mengklasifikasikan tanah ekspansif berdasarkan batas susut. Karena dalam penelitian ini tidak dilakukan pengujian batas susut, maka derajat pengembangan tanah lempung Limau Manih berdasarkan kriteria ini tidak dapat ditentukan. Kriteria Tanah Ekspansif Berdasarkan Uji Minerologi Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji minerologi, sehingga derajat pengembangan tanah lempung Limau Manih dengan kriteria ini tidak dapat ditentukan. Kriteria Tanah Ekspansif Berdasarkan Batasbatas Konsistensi Tanah a. Kriteria Raman (1967) Raman mengklasifikasikan tanah ekspansif berdasarkan nilai Indeks Plastis (Plasticity Index)dan Indeks Susut tanah (Shrinkage Index) yang disajikan dalam Tabel 2.6. Berdasarkan tabel tersebut, tanah lempung Limau Manih yang mempunyai Indeks Plastis (Plasticity Index) sebesar 67.83 % dikategorikan sebagai tanah yang mempunyai derajat pengembangan yang sangat tinggi (very high). Pengelompokan derajat pengembangan menurut kriteria Raman ini hampir sama juga dengan kritera Holtz dan Gibbs yaitu yang berpengaruh terhadap pengembangan adalah kadar air. b.
Kriteria Seed (1962) Seed mengklasifikasikan potensial pengembangan tanah berdasarkan persentase lolos saringan 0.002 mm, nilai aktifitas dan persentase pengembangan yang disajikan dalam grafik pada Gambar 2.1 Data didapat dari tanah lempung Limau Manih adalah: Persentase lolos saringan 0.002 mm = 17.64 % Aktifitas = 8.878 A- 41
Teknologi Pertanian
Berdasarkan gambar tersebut tanah lempung Limau Manih mempunyai potensial pengembangan yang tinggi (high). c. Kriteria Chen (1988) Nilai Indeks Plastisitas (Plasticity Index) tanah lempung Limau Manih yang diperoleh dari pengujian batas konsistensi tanah (Atterberg Limit) adalah sebesar 67.83 %. Menurut kriteria Chen pada Tabel 2.7, tanah lempung Limau Manih ini digolongkan sebagai tanah yang mempunyai potensi pengembangan yang sangat tinggi (very high). d.
Kriteria William (1958) William mengklasifikasikan tanah ekspansif berdasarkan fraksi lempung dan Indeks Plastisitas (Plasticity Index). Menurut kriteria William pada Gambar 2.2, tanah lempung Limau Manih yang mempunyai fraksi lempung sebesar 17.64 % dan Indeks Plastisitas (Plasticity Index) sebesar 67.83 % digolongkan sebagai tanah yang mempunyai potensi pengembangan yang tinggi (high).
e. Kriteria Snethen (1977) Snethen mengklasifikasikan tanah ekspansif berdasarkan Batas Cair (Liquid Limit) dan Indeks Plastisitas (Plasticity Index). Menurut kriteria Snethen pada Tabel 2.8, tanah lempung Limau Manih yang mempunyai Batas Cair (Liquid Limit) sebesar 119.37 % 4mempunyai potensi pengembangan yang tinggi (high). Sedangkan dari nilai Indeks Plastisitas (Plasticity Index) yang bernilai sebesar 67.83 %, tanah lempung Limau Manih mempunyai potensi pengembangan yang tinggi (high) juga. Analisa Sifat Mekanis Tanah Hasil Uji Pemadatan Dalam pengujian pemadatan diperoleh nilai kadar air optimum (w opt) untuk pukulan 12x pukulan, 25x pukulan dan 50x pukulan secara Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
berturut-turut yaitu 45 %, 43.2 % dan 35 %. Sedangkan kepadatan kering maksimumnya yaitu (γdry maksimum) 1.04 gram/cm3, 1.042 gram/cm3 dan 1.11 gram/cm3. Pada penelitian ini pengujian pemadatan tanah merupakan pengujian pendahuluan dan menjadi patokan dalam pengujian pengembangan tanah dengan metode load swelling test, dimana dalam membuat sampel untuk uji pengembangan selalu mengkondisikan benda uji pada kondisi kadar air optimum. Berdasarkan hasil uji pemadatan tersebut, dapat diketahui bahwa semakin besar jumlah pukulan maka nilai berat isi kering semakin besar dan kadar air optimum akan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena pada pemadatan butiran-butiran tanah akan merapat sehingga berat tanah akan semakin besar. Semakin besar energi pemadatannya maka berat volume kering tanah semakin besar. Namun terhadap kadar air akan semakin kecil, karena tanah yang dipadatkan membentuk hubungan terdispersi atau hubungan antar partikel berupa menyatunya permukaanpermukaan antar partikel. Sehingga ruang udara ataupun air menjadi kecil. Adapun grafik hasil pengujian pemadatan tanah dapat dilihat pada Gambar 3, Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6 berikut:
25 tumbukan 50 tumbukan
12 tumbukan
Gambar 3 Grafik Pemadatan dengan 12 pukulan, 25 pukulandan 50 pukulan
A- 42
Teknologi Pertanian
1.85 1.84 1.83 1.82 1.81 1.8 1.79 1.78
Angka pori (e) Gambar 4 Grafik Pemadatan dengan 12 pukulan
2 eo=1.8429 3 evo=1.8335 4
1 %=0.331
20
3. dial III (JENUH) 4. dial IV 5. dial V
5 6
σsp= 0 kPa
1. dial I 2. dial II
6. dial VI
Log P, kPa
Gambar 7 Grafik hubungan antara angka pori (e) dengan log P pada kondisi tanah asli (undisturbed)
Berdasarkan Gambar 7 diatas, dapat dihitung besarnya persentase mengembang (percent swelling) dengan menggunakan persamaan (2.3) Gambar 5 Grafik Pemadatan dengan 25 pukulan
Δh h0
x100
1.8335 1.8429 1 1.8429
x100 0.331%
Nilai tekanan mengembang (swelling pressure) pada gambar dilambangkan dengan simbol σsp = 0 kPa. Dari besarnya persentase mengembang,tersebut dapat disimpulkan bahwa tanah tersebut mengalami penyusutan. b.
Sampel 1.28
tanah 1
Hasil Uji Pengembangan dengan Metode Load Swelling Test a. Sampel tanah pada kondisi tanah asli (Undisturbed)
Angka pori (e)
1.26
Gambar 6 Grafik Pemadatan dengan 50 pukulan
%= -
1.24
eo = 1.25825
4 σsp = 0 kPa
20
12x
2 3 evo =1.250843
0.328
1.22 1.2
untuk
5 6
pukulan 1. dial I 2. dial II 3. dial III (JENUH) 4. dial IV 5. dial V 6. dial VI
Log P, kPa
Gambar 8 Grafik hubungan antara angka pori (e) dengan log P pada 12x pukulan
Berdasarkan Gambar 8 diatas, dapat dihitung besarnya persentase mengembang (percent swelling) dengan menggunakan persamaan (2.3)
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 43
Teknologi Pertanian
h0
x100
1.2508 1.25825 1 1.25825
x100 0.328%
Nilai tekanan mengembang (swelling pressure) pada gambar dilambangkan dengan simbol σsp = 0 kPa. Dari besarnya persentase mengembang, tersebut dapat disimpulkan bahwa tanah tersebut mengalami penyusutan. b. Sampel tanah untuk 25x pukulan
1
%=-0.111
eo =1.0787 32 evo =1.0764 4
σsp = 0 kPa 20
5 6
1. dial I 2. dial II 3. dial III (JENUH) 4. dial IV 5. dial V 6. dial VI
Log P, kPa
Gambar 10 Grafik hubungan antara angka pori (e) dengan log P pada 50x pukulan
1.32 1
Angka pori (e)
1.3
eo = 1.2885
2 3 evo =1.2812 4 %= -0.319
1.28 1.26
5
1.24 1.22
1.1 1.09 1.08 1.07 1.06 1.05 1.04 1.03
Angka pori (e)
Δh
σsp = 0 kPa 20
6
1. dial I 2. dial II 3. dial III (JENUH) 4. dial IV 5. dial V 6. dial VI
Berdasarkan Gambar 9 diatas, dapat dihitung besarnya persentase mengembang (percent swelling) dengan menggunakan persamaan (2.3) h0
x100
1.2812 1.2885 1 1.2885
Δh h0
Log P, kPa
Gambar 9 Grafik hubungan antara angka pori (e) dengan log P pada 25x pukulan
Δh
Berdasarkan Gambar 10 diatas, dapat dihitung besarnya persentase mengembang (percent swelling) dengan menggunakan persamaan (2.3)
x100 0.319 %
Nilai tekanan mengembang (swelling pressure) pada gambar dilambangkan dengan simbol σsp = 0 kPa. Dari besarnya persentase mengembang,tersebut dapat disimpulkan bahwa tanah tersebut mengalami penyusutan. c. Sampel tanah untuk 50x pukulan
x100
1.0764 1.0787 1 1.0787
x100 0.111%
Nilai tekanan mengembang (swelling pressure) pada gambar dilambangkan dengan simbol σsp = 0 kPa. Dari besarnya persentase mengembang,tersebut dapat disimpulkan bahwa tanah tersebut mengalami penyusutan. Tabel 2 Rekapitulasi hasil uji potensi mengembang berdasarkan uji Metode B (Load Swelling Test)
Swelling Pressure, σsp Percent Swelling
Tanah Asli
12x Pukulan
25x Pukulan
50x Pukulan
0 kPA
0 kPa
0 kPa
0 kPa
-0.331 %
-0.328 %
-0.319%
-0.111 %
Berdasarkan Tabel 2 diatas, terlihat persentase mengembang (percent swelling) pada masing-masing pukulan bernilai negatif dimana pada pengujian tersebut mengalami penyusutan. Semakin besar jumlah pukulan yg dilakukan, maka semakin kecil nilai persentase mengembang (percent swelling). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan - Dari hasil Uji Klasifikasi teknik dan
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 44
Teknologi Pertanian
- Uji hasil batas-batas konsistensi, tanah lempung Limau Manih mempunyai potensi pengembangan yang tinggi. - Dari hasil uji laboratorium dengan metoda load swelling test pada tanah asli ternyata tanah di Limau Manih tidak mengalami pengembangan, yang terjadi adalah penyusutan sebesar 0,331%. - Dari hasil uji laboratorium dengan metoda load swelling test pada tanah yang dipadatkan 12x pukulan, 25x pukulan,dan 50x pukulan tidak mengalami pengembangan, yang terjadi adalah penyusutan sebesar 0,328%, 0,319%, 0,111%. - Potensi mengembang tanah lempung tidak bisa ditentukan hanya dari uji klasifikasi tanah untuk itu perlu dilakukan uji minerologi untuk mengetahui jenis mineral yang ada dalam tanah lempung. Saran - Potensi mengembang tanah lempung tidak bisa ditentukan hanya dari uji klasifikasi tanah untuk itu perlu dilakukan uji minerologi untuk mengetahui jenis mineral yang ada dalam tanah lempung. - Penelitian sifat mengembang pada tanah memerlukan benda uji yang banyak agar diperoleh hasil yang lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA American Association of State Highway and Transportation Official, AASHTO Material, Part II, Washington D.C, 1982. Andriani, Rina Yuliet, Problema Tanah Mengembang dan tanah Gambut dalam Rekayasa Sipil, teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Andalas; 2010 Annual Books of ASTM Standarts, American Society of Testing Material, Philadelphia, 1990.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Bowles, J.E, Foudation Analysis and Design. McGraw-Hill Kogakusha.Ltd; Tokyo, Japan, 1977.
Das, Braja M, (translated by Mochtar.N.E and Mochtar I.B.), “Mekanika Tanah (Prinsipprinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid I”, Erlangga, Jakarta, 1995. Das,
Braja M, Priciple of Geotechnical Engineering. PWS Publisher.1983.
Das,
Braja M, Priciple Engineering. Publishing.1990.
of
Foundation PWS-KENT
Das, Braja M, Advanced Soil Mechanics. McGraw Hill. Singapore. 1983.
Grim, R.E., Clay Mineralogy, McGraw-Hill Book Company, New York, 1953. Hardiyatmo, hary Christady, Teknik Pondasi 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Holtz, W.G., and H.T Gibbs, Engineering Properties of Expansive Soils, Trans ASCE. p.641,1956. Holtz, R.D, and Williams Kovacs, An Introduction to Geotechnical Engineering, Prentice Hall Inc, New Jersey, USA, 1981.
Laporan Praktikum, Mekanika Tanah, Fakultas Teknik, Universitas Andalas. Lambe, T.W., Compacted Clay:Structure, Trans ASCE, vol. 125, pp. 682-717, 1960. Proctor, R.R., Design and Construction of Rolled Earth Dams, Engineering News Record, vol. 3, 245-248, 286-289, 348-351, 372-376, 1933.
Seed, H.B., and C.K Chan, Thixotropic Characteristics of Compacted Clay, Trans ASCE, vol. 124. pp. 894-916, 1959. Skempton, A.W, The Colloidal Activity of Clays, Proceddings, 3rd, International Conference Soils Mechanics and Foundation Engineering, London vol.1, 57-61, 1953. Yuliet, Rina. Studi Perilaku Mengembang dengan Metode ASTM D4546-90 (A,B,C) dan Kekuatan Geser pada Lempung Montmorillonite, Karang Nunggal, Tesis ITB, 2001.
A- 45
Teknologi Pertanian
APPLICATIONS IN PROMOTING ONLINE STORE OPENCART ANIMAL PRODUCTS Syukriadi1 dan Muthia Dewi2 1 2
Unit Pelaksana Teknis Komputer Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
Prodi Peternakan, Jurusan Budidaya Tanaman Pangan, Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Jln. Raya Negara km.7 Tanjung Pati 26271 kec. Harau, Kab. Limapuluh Kota E-Mail :
[email protected]
Abstract Currently the online sales system known as the online store has been growing very rapidly because it is very profitable and easy to apply. A website can have a major role in promoting a product such as livestock products. One is the OpenCart software used to create an online store instantly and free of charge to promote the sale of farm products. OpenCart addition there are several other applications to create an online store such as freeway, osCommerce, prestashop and others. There are two ways to design a website or an online site that first we have to buy a domain or website name as www.bosbreedingfarm.web.id and hosting to put the results of the design of the website. The second is offline not connected to the internet and application use that application xampp for local server (localhost) and MySQL database and application OpenCart. In the virtual world has plenty of online shops where products such as electronic goods, clothes and food. The author tries to make an online store to promote dairy products such as cows, goats, chickens, ducks and cattle feed. The most important thing in the marketing of livestock products is a priority to consumers who are in the provinces because of concerns distributed livestock products. Keywords: Online Store, Software Opencart, livestock products
PENDAHULUAN Pada awalnya, untuk bisa menampilkan sesuatu dalam internet supaya dapat dilihat semua orang di dunia, seseorang harus menguasai bahasa pemrograman, seperti Php, Ap, Ajax CSS, Java dan masih banyak lagi, yang merupakan bahasa pemrograman web. Bagi mereka yang punya uang, bisa saja membayar programmer web untuk membuatkan website.1) Sekarang dengan hadirnya CMS (Content Management System) semua orang bisa membuat website sendiri dalam waktu yang singkat, dan tidak perlu menguasai bahasa pemrograman web. Banyak sekali CMS yang bisa didapatkan secara gratis, dan salah satu jenis CMS untuk toko online adalah Opencart Transaksi penjualan online sudah banyak dilakukan terutama produk elektronik, baju, dan makanan Penjualan online harus didukung oleh tingkat keamanan dari situs yang dibuat, promosi situs dari berbagai media dan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
kepercayaan atau kenyamanan dari konsumen. Penulis mencoba membuat toko online khusus menjual hewan ternak dan pakan ternak, karena tidak adanya sistem pengiriman hewan ternak melalui perusahaan jasa pengiriman seperti TIKI dan JNE, maka penulis melayani konsumen yang berada dalam satu propinsi saja karena dapat diantar langsung ke alamat konsumen, sedangkan penjualan pakan ternak bisa dilakukan melalui perusahaan jasa pengiriman karena pakan ternak dapat dikemas. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini metode yang digunakan antara lain : 1. Studi literatur yang berkaitan dengan disain dan implementasi website dengan aplikasi Opencart dan pembuatan database website secara localhost menggunakan aplikasi Xampp. Adapun nama toko online nya adalah Bos Breeding Farm.
A- 46
Teknologi Pertanian
2. Pengumpulan data atau informasi mengenai ternak (Sapi, Kambing, Ayam, Itik, dan pakan ternak) yang akan di promosikan atau dijual 3. Perancangan sebuah aplikasi website sederhana menggunakan aplikasi Opencart. 4. Implementasi dari hasil perancangan dengan perangkat lunak Opencart dan database MySQL menggunakan Xampp. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Halaman Utama Website
Halaman utama website menampilkan 2 buah slide show header yang berisi nama toko online yang bernama Bos Breeding Farm dan animasi binatang ternak. Diatas slide show header terdapat item-item dari binatang ternak yang akan di promosikan untuk produk yang akan dijual seperti sapi, kambing, ayam, itik, dan pakan ternak. Isi (content) website berisi gambar binatang ternak berisi harganya dan ada fasilitas lihat secara detailnya.
Pada detail pembelian menampilkan produk atau binatang ternak yang akan di jual seperti sapi, kambing, ayam, itik, dan pakan ternak. Selain itu menampilkan gambar, harga dan deskripsi dari binatang ternak berupa berapa ketersediaan, bobot badan, harga, panjang badan. Setelah konsumen melihat hal diatas, kalau setuju maka konsumen meng klik gambar keranjang (cart) berapa banyak yang akan dibeli setelah itu konsumen mengisi formulir data-data dari indentitas konsumen.
Gambar 2 : Detail Pembelian Sapi Simental
Gambar 3 : Detail Pembelian Kambing
Gambar 1 : Halaman Utama Website
b. Halaman Detail Pembelian / Cart
Pada halaman ini menampilkan detail pembelian dan Cart (keranjang pembelian) Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 47
Teknologi Pertanian
- Specials : berisi harga khusus atau
binatang ternak yang favorit di jual
Gambar 4 : Detail Pembelian Telur Itik
c. Halaman Contact Us, Information, Custumer Service dan lainnya
Pada bagian footer atau halaman bawah website terdapat kolom :
1. Contact Us - Nomor Telepon : berisi nomor telepon kantor / perusahaan - Nomor Hp : berisi nomor ponsel kantor - Email Us : berisi email perusahaan - Chat Us : bisa berkomunikasi melalui yahoo massenger 2. Information - About Us : berisi tentang perusahaan Bos Breeding Farm - Delivery Information : Informasi pemesanan konsumen - Privacy Policy : berisi aturan - Term and Condition 3. Customer Service - Contact Us : berisi nomor kontak untuk pelayanan konsumen - Return : berisi kalau ada yang complain terhadap hewan ternak yang dikirimkan - Site Map : berisi alamat dari perusahaan 4. Extras - Brands : pada penjualan binatang ternak, pada bagian br\ands berisi jenis dari sapi, kambing, itik, ayam dan jenis pakan ternak - Gift Vouchers : berisi pemberian voucher khusus bagi konsumen - Affiliates : berisi afisiliasi dengan perorangan atau dengan perusahaan lain Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 5 : Halaman Footer
d. Traffict tentang Penjualan dan Sales Promotion Pada halaman administrator terdapat grafik dari jumlah order dan jumlah konsumen. Selain itu ada tampilan berupa angka-angka dari : 1. Total Order : Menampilkan jumlah pemesanan produk (binatang ternak) 2. Total Sales : Menampilkan orang yang membantu menjual produk (sales) 3. Total Costumers : Menampilkan jumlah konsumen 4. People Order : Jumlah konsumen yang melakukan kunjungan ke website
KESIMPULAN Dalam transaksi online, nama domain dari toko online perlu di promosikan ke media lain seperti media cetak seperti Koran dan majalah serta media TV atau radio agar toko online
A- 48
Teknologi Pertanian
lebih di kenal masyarakat. Harga dari binatang ternak dan pakan ternak perlu di pantau setiap hari karena harganya bisa mengalami fluktuasi / berubah-rubah. Kondisi ternak dan pakan ternak juga di cek kondisinya baik di kandang sendiri maupun di kandang mitra, karena kepercayaan konsumen merupakan modal utama dalam transaksi online DAFTAR PUSTAKA Sadeli, Muhammad. Toko Baju Online dengan Php dan MySql Menggunakan Adobe Dreamweaver CS 6, Jakarta : Penerbit Maxikom, 2013
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Afandi Achmad & Bunafit Nugroho. Tanya Jawab seputar Joomla, Jakarta : Penerbit Mediakita, 2008 Gunadi I Made. Joomla Website Magic, Jakarta : Penerbit Jasakom E-Learning, April 2008 Hakim Lukmanul, Musalini Uus. Buku Sakti menjadi Programmer Sejati PHP, Jakarta : Penerbit Solusi Media, 2006 Syafii,
M. Panduan Membuat Aplikasi Database dengan PHP 5, MySQL, PostgreSQL, Oracle, Jakarta : Penerbit Andi, 2005
A- 49
Teknologi Pertanian
ARAHAN PERUNTUKAN LAHAN BASIN PAYAKUMBUH UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN 1) 1)
Er Prabawayudha, 1) Reni Ekawaty,
1)
Harmailis
Dosen Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Land evaluation is a process of analysis to determine land potency for a particular use to assist land use planning and management. The purpose of this study is: 1) to know the slope, erosion sensitivity and precipitation in Payakumbuh Basin; 2) to investigate the potential land for land allotment in the basin direction Payakumbuh. Method of this study used map overlay of the variables for land allotment, by decree of the Minister of Agriculture/837/KPTS/UM/1980. Slope extracted from SRTM satellite imagery 30m resolution, soil and rainfall map obtained from maps digitition from the relevant authorities. Scoring and weighting is done to get the desired results based on the magnitude effect of each variable. The results showed the low and very low land potency to be preserved as protected and buffer areas, scattered in the structural hills at south, east and north Payakumbuh Basin, as well as the upper slopes of Marapi Stratovolcan and Sago. Characteristics of higher land potency has flat to gentle slopes, alluvial soil type and low to moderate rainfall. Moderate to high land potency available in almost Payakumbuh City and some sub-districts in Limapuluh Kota, among Payakumbuh Sub-District, southern part of Harau and western part of Lareh Sago Halaban. Higher potential land can be designated for the cultivation of annual crops for food resilience and sustainable agriculture. Keywords: land evaluation, payakumbuh basin, land utility, food resilience, sustainable agriculture.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemahaman terhadap potensi dan permasalahan wilayah terutama aspek fisik lahan sangat penting dipertimbangkan dalam evaluasi lahan yang bercorak pertanian. Sebagai tempat berbagai kegiatan, lahan merupakan aset yang harus terlindung dari berbagai bentuk degradasi. Selain itu, lahan dapat mempunyai potensi fisik dan sosial ekonomi yang tinggi untuk mendukung berbagai kegiatan agropolis guna mendukung ketahanan pangan. Kajian potensi dan keterbatasan lahan menjadi sangat penting dalam konteks pertanian berkelanjutan. Lahan merupakan sumber alam yang penting bagi kehidupan dan perencanaan serta pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan sehingga diperlukan pelestarian, pengelolaan dan perlindungan. Evaluasi lahan merupakan suatu proses analisis untuk mengetahui potensi lahan untuk penggunaan tertentu yang berguna untuk membantu perencanaan penggunaan dan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
pengelolaan lahan. Pendekatan multi disiplin dalam evaluasi lahan mutlak diperlukan agar hasil yang diperoleh memberikan gambaran sebenarnya tentang kondisi lahan, sehingga pemanfaatannya dapat menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Proses penilaian keragaan atau kinerja lahan pada penelitian ini meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei dan studi karakteristik dan kualitas lahan berupa lereng, kepekaan terhadap erosi serta curah hujan sesuai dengan SK Mentan/837/KPTS/UM/1980. Basin Payakumbuh merupakan wilayah yang dibatasi secara fisiografis, berbentuk cekungan dengan struktur geologi bagian selatan berupa Stratovulkan Marapi dan Sago, sedangkan bagian utara, timur dan barat berupa Perbukitan Struktural Bukit Barisan. Karakteristik lereng di bagian tepi cekungan yang curam memberikan potensi degradasi lahan yang tinggi apabila pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Pada akhirnya, wilayah hilir yang sangat A- 50
Teknologi Pertanian
potensial dan padat penduduk seperti Kota Payakumbuh akan mendapat efek negatif di kemudian hari. Kajian peruntukan lahan Basin payakumbuh perlu dilakukan untuk pengendalian bahaya degradasi atau penekanan resiko kerusakan lahan selama penggunaannya untuk suatu maksud tertentu. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan untuk memecahkan masalah jangka panjang terhadap penurunan kualitas lahan yang disebabkan oleh pengunaannya saat ini. Dalam evaluasi ini, memperhitungkan dampak penggunaan lahan di Basin Payakumbuh, merumuskan alternatif penggunaan lahan serta mendapatkan cara pengelolaan yang lebih baik. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi potensi lahan yang dapat digunakan untuk arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan, yakni kawasan lindung, penyangga, kawasa budidaya tanaman tahunan dan kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah 1). Mengetahui kemiringan lereng, kepekaan erosi dan curah hujan di Basin Payakumbuh; 2). Mengetahui potensi lahan untuk arahan peruntukan lahan di Basin Payakumbuh. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian adalah Basin Payakumbuh dengan Area Of Interest (AOI) kiri atas 100o 15’BT dan 0o15’LU serta kanan bawah 100o60’ dan 0o30’ LS. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratotium Sistem Informasi Geografis Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh dalam jangka waktu tiga bulan. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pengolahan dan analisis data adalah seperangkat komputer dengan spesifikasi Processor Intel Core2Duo, RAM 4GB, Hardisc 500GB, Printer warna Cannon Pixma IP2770, Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
alat tulis kantor, Citra Satelit SRTM resolusi 30m lembar N00E99, N00E100, S01E100 dan S01E99, peta tanah skala semi detil Provinsi Sumatera Barat, peta curah hujan Provinsi Sumatera Barat serta data curah hujan dan hari hujan beberapa stasiun di daerah penelitian. Peta dasar yang digunakan adalah Peta Topografi Lembar Bukittinggi, Suliki, Batusangkar, Pangian, Payakumbuh, Batusasak dan Pangkalan Koto Baru. Penyusunan Karakteristik Lahan Karakteristik lahan merupakan kondisi atau atribut lahan yang dapat diukur dan diperkirakan. Karakteristik lahan menunjukkan kondisi lahan secara umum dan belum menujukkan kualitasnya untuk mendukung suatu penggunaan lahan tertentu. Karakteristik lahan yang digunakan sebagai masukan dalam evaluasi lahan ini adalah kemiringan lereng, jenis tanah yang mencerminkan karakteristik lahan terhadap kepekaan erosi serta curah hujan. Ketiga variabel yang digunakan tersebut sesuai dengan SK Mentan/837/KPTS/UM/1980. Klasifikasi Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan merupakan proses penilaian komponen-komponen lahan secara sistematik dan pengelompokkanya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat–sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaan lahan. Kemampuan lahan yang digunakan dalam kajian ini menggunakan 4 (empat) kelas, yakni tinggi, sedang rendah dan sangat rendah. Keempat kelas kemampuan lahan tersebut kemudian diturunkan untuk melakukan arahan peruntukan lahan. Kelas kemampuan tinggi diarahkan untuk penggunaan lahan berupa budidaya tanaman semusim dan permukiman. Kelas kemampuan lahan sedang dapat diarahkan sebagai kawasan budidaya tanaman tahunan atau kawasan hutan dengan penebangan bebas. Kelas kemampuan rendah diperuntukkan sebagai kawasan penyangga atau hutan produksi dengan penebangan terbatas, sedangkan kelas A- 51
Teknologi Pertanian
kemampuan sangat rendah hanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung saja. Evaluasi Kemampuan Lahan (Skoring dan Pembobotan) Metode ini didasarkan pada pemberian nilai pada masing-masing satuan lahan sesuai dengan karakteristiknya. Untuk mendapatkan arahan peruntukan lahan dalam suatu wilayah, maka nilai dari sejumlah faktor dijumlahkan setelah masing-masing dikalikan dengan nilai timbang sesuai dengan besarnya pengaruh relatif terhadap degradasi lahan. Nilai timbangan adalah 20 untuk lereng lapangan, 15 untuk jenis tanah dan 10 untuk intensitas hujan. Tabel 1. Klasifikasi kemiringan lereng
Tabel 2. Klasifikasi kepekaan terhadap erosi (jenis tanah)
Tabel 3. Klasifikasi intensitas hujan
Arahan peruntukan lahan
Penentuan arahan penggunaan lahan meliputi kegiatan pengumpulan data mengenai faktor-faktor fisik wilayah yang diperlukan, baik secara 1angsung melalui maupun secara tidak langsung dengan memanfaatkan sumber Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
data yang tersedia, perhitungan guna menetapkan arahan pemanfaatan lahan menurut kriteria yang ditentukan, memberikan arahan pemanfaatan lahan, meliputi letak, luas dan perincian peruntukannya. Kriteria penetapan arahan peruntukan lahan memperhatikan dan memperhitungkan faktorfaktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan. Dalam hal ini lahan yang setelah ketiga nilai faktor dikalikan dengan angka penimbang masing-masing mempunyai jumlah nilai sama dengan atau lebih dari 175 menunjukan bahwa wilayah yang bersangkutan perlu dijadikan, dibina dan dipertahankan sebagai hutan lindung. Skor 125-174 diarahkan sebagai kawasan penyangga atau hutan produksi dengan penebangan terbatas, skor kurang dari 125 dengan lereng antara 8-15% diperuntukkan sebagai kawasan budidaya tanaman tahunan atau hutan produksi dengan penebangan bebas. Skor kurang dari 125 dengan lereng <8% dapat dijadikan sebagai kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman HASIL DAN PEMBAHASAN AOI Basin Payakumbuh Area Of Interest (AOI) Basin Payakumbuh kiri atas 100o 15’BT dan 0o15’LU serta kanan bawah 100o60’ dan 0o30’ LS dengan luas keseluruhan 1.456 Km2. Kabupaten terluas yang masuk dalam AOI ini adalah Kabupaten Limapuluh Kota. Posisi daerah kajian terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. AOI Basin Payakumbuh
A- 52
Teknologi Pertanian
Kemiringan Lereng Kemiringan lereng Basin Payakumbuhsebagian besar adalah datar dengan kemiringan lereng 0-8% seluas 587 Km2 atau 40,3%. Kemiringan lereng dengan luas paling rendah adalah curam dengan luas 136 km2 atau 9,3%. Sebaran kemiringan lereng Basin Payakumbuh terlihat pada Gambar 2. Jenis Tanah/Kepekaan Erosi Jenis tanah mayoritas sesuai dengan klasifikasi FAO adalah aluvial, seluas 286 km2 atau 19,6% dari total luas Basin Payakumbuh. Adapun jenis tanah yang lain adalah andosol, brown forest soil, grumosol, latosol, litosol, mediteran dan planosol. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 4. Intensitas hujan Basin Payakumbuh
Arahan Peruntukan Lahan Arahan peruntukan lahan hasil overlay peta antara peta lereng, peta jenis tanah dan peta intensitas hujan memberikan sebaran dan luas masing-masing peruntukan seperti yang tertera dalam tabel 4. dan Gambar 5. di bawah ini. Tabel 4. Arahan peruntukan lahan Basin Payakumbuh.
Gambar 2. Kemiringan Lereng Basin Payakumbuh
Gambar 3. Jenis Tanah basin Payakumbuh
Intensitas Hujan Intensitas hujan rata-rata tahunan sebesar 2500-3500 mm/tahun sesuai dengan Gambar 4. dibawah ini.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 5. Kelas potensi lahan dan arahan peruntukan.
Pembahasan Evaluasi lahan di Basin Payakumbuh meliputi interpretasi karakteristik fisik lahan serta kajian potensi penggunaan lahan. Karakteristik fisik wilayah yang diinterpretasi adalah kemiringan lereng yang mencerminkan topografi, jenis tanah yang mencerminkan
A- 53
Teknologi Pertanian
kepekaan terhadap erosi, serta curah hujan yang mewakili kondisi iklim dan hidrologi. Basin Payakumbuh memiliki topografi yang beragam, antara datar, bergelombang, berbukit hingga bergunung. Di daerah ini terdapat satu gunungapi aktif yakni Marapi dan satu gunung berapi dorman yaitu Gunung Sago. Sebesar 136,8 Km2 wilayah Basin Payakumbuh memiliki topografi yang berbukit hingga bergunung dengan kemiringan lebih dari 45%. Sebarannya meliputi Bagian selatan berupa Stratovulkan Marapi dan Sago, sebelah utara berupa perbukitan strutural Pangkalan Koto Baru, sebelah Barat mearupakan perbukitan struktural Suliki Gunung Mas serta sebelah timur berupa perbukitan struktural Harau. Selebihnya, 1.132 Km2 (78%) adalah wilayah dengan kemiringan datar hingga bergelombang tersebar di Kota Payakumbuh, Sebagian Kecamatan Payakumbuh, Harau bagian selatan serta Lareh Sago Halaban sebelah barat. Sesuai dengan peruntukannya, kawasan dengan topografi berbukit hingga bergunung dengan kemiringan lereng lebih dari 45% memiliki potensi yang rendah, sehingga disarankan hanya digunakan sebagai kawasan lindung dan penyangga saja. Sedangkan daerah dengan topografi datar hingga landai memiliki potensi sedang hingga tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya dan permukiman. Ditinjau dari segi geomorfologi regional, basin Payakumbuh berada pada rangkaian “Bukit Barisan” dan merupakan bagian dari Volcanic Arc atau busur gunungapi di Pulau Sumatera. Struktur geologi regional sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Sumatera. Struktur geologi memiliki sesar atau patahan berupa sesar normal dan sesar geser pada bagian tengah sehingga membentuk daerah ini menjadi cekungan. Sesar yang berkembang di Basin Payakumbuh adalah sesar normal Kelok Sembilan – Solok Bio Bio, sesar normal Batu Balang, sesar normal Bukik Bulek Banjar Laweh, sesar normal Koto Alam, sesar normal Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Bukik Bapanasan, sesar geser Taratak dan sesar geser Suliki. Variabel bencana memang tidak diperhitungkan secara ilmiah dalam kajian ini. Oleh karena dampak yang ditimbulkan sangat mempengaruhi potensi lahan, maka potensi bencana seperti tanah banjir dan longsor yang kerap terjadi di Basin Payakumbuh dianalisis secara kualitatif dengan memperthitungkan sebaran spasial serta pengaruhnya terhadap potensi lahan. Pengaruh pembatas alamiah berupa topografi dan bentuklahan di Basin Payakumbuh memberikan pengaruh terhadap kondisi curah hujan, hidrologi serta jenis tanah. Efek berikutnya adalah menurunkan potensi lahan dengan terjadinya bencana seperti banjir dan longsor. Beberapa kawasan di Basin Payakumbuh sangat rentan terhadap gerakan tanah. Struktur geologi yang berupa patahan juga berakibat rentannya wilayah ini dari bahaya gerakan tanah. Kawasan rawan gerakan tanah berada di jalur Payakumbuh – Suliki – Koto Tinggi - Baruah Gunuang. Selain itu, jalur Payakumbuh - Mahek dan jalur Payakumbuh - Mungka - Simpang Kapuak juga berpotensi longsor. Jalur PangkalanKapur IX juga memiliki potensi bencana yang sama. Bentuk Basin Payakumbuh yang seperti mangkuk menyebabkan air mengalir menuju satu kawasan, akibatnya banjir genangan sering terjadi pada daerah dengan elevasi paling rendah. Kawasan rawan banjir yang ada di Basin Payakumbuh terdapat di Kota Payakumbuh sepanjang aliran Batang Agam, Kecamatan Harau bagian selatan, Kecamatan Mungka, dan sepanjang aliran Batang Sinamar di Kecamatan Lareh Sago Halaban. Selain menyebabkan banjir genangan, tingginya curah di Basin Payakumbuh juga menyabakan banjir limpasan yang kerap terjadi di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Guguak, Kecamatan Bukik Barisan, Kecamatan Luak, Kecamatan Payakumbuh, Kecamatan Akabiluru,
A- 54
Teknologi Pertanian
Kecamatan Situjuah Limo Nagari dan Kecamatan Gunuang Omeh. Beberapa gambaran kondisi fisik Basin Payakumbuh di atas memberikan pelajaran untuk mertindak arif dalam memperlakukan lahan. Beberapa kawasan yang memiliki potensi rendah, lereng curam, jenis tanah yang peka erosi serta curah hujan tinggi diarahkan untuk menjadi kawasan lindung dan penyangga. Hal ini senada dengan kebijakan penataan ruang Kabupaten Limapuluh Kota sebagai pemangku kepentingan paling dominan di basin Payakumbuh, dimana pemantapan pelestarian dan perlindungan kawasan lindung dilakukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan, sumberdaya alam/buatan dan ekosistemnya, meminimalkan resiko dan mengurangi kerentanan bencana, mengurangi dampak pemanasan global yang berprinsip partisipasi, menghargai kearifan Budaya Minang, serta menunjang pariwisata, penelitian, dan edukasi. Pengembangan pemanfaatan lahan pada kawasan dengan potensi tinggi juga harus dioptimalkan baik untuk fungsi pengembangan fasilitas pelayanan maupun sebagai kawasan agropolitan untuk mendukung ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Pada lahan potensial ini perlu didorong untuk pengembangan sistem agribisnis melalui penetapan kawasan agropolitan untuk peningkatan komoditi pertanian unggulan disertai pengelolaan hasil untuk memberikan nilai tambah. Pengembangan kelengkapan prasarana wilayah dan prasarana lingkungan juga diarahkan untuk mendukung pengembangan sentra produksi pertanian, industri pertanian, ekowisata dan pusat permukiman secara terpadu dan efisien. Kawasan budidaya perlu dikembangkan untuk mendukung pemantapan sistem agribisnis melalui dorongan terwujudnya sentar industri berbasis pertanian-perkebunan dan ekowisata. Dengan demikian hasil evaluasi lahan untuk arahan peruntukan lahan di Basin Payakumbuh ini dapat membantu dalam mewujudkan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
ketahanan ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. KESIMPULAN Setelah dilakukan evaluasi untuk arahan peruntukan lahan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kondisi fisik Basin Payakumbuh sebagian besar berlereng datar seluas 587 km2 (40%), jenis tanah aluvial seluas 286 km2 (19,6%) dan memiliki intensitas hujan hujan tahunan sebesar 2500-3500 mm/tahun. 2. Hasil analsis peruntukan lahan menunjukkan kelas potensi sangat rendah seluas 373 km2 (25,6%) perlu dipertahankan sebagai hutan lindung potensi lahan rendah seluas 149 km2 (10,2%) diarahkan sebagai kawasan penyangga atau hutan produksi dengan penebangan terbatas, potensi lahan sedang seluas 347 km2 (24,8%) diperuntukkan sebagai kawasan budidaya tanaman tahunan atau hutan produksi dengan penebangan bebas dan potensi tinggi seluas 587 km2 (40,3%) dapat dijadikan sebagai kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1980. Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indosesia No 837/KPTS/UM/1980. Tersedia di: http://www.scribd.com/doc [15 Juli 2015]. Barber, A.J., Crow, M.J. and Milson, J.S. 2005. Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution. The Geological Society, London. Er Prabawayudha dan Weri Susena. 2008. Identifikasi Potensi Banjir dan Tanah Longsor di Kecamatan Harau Kabupaten Limapuluh Kota dengan Pendekatan Interpretasi Citra dan Sistem Informasi Geografis. Laporan Penelitian DIPA Politani Negeri Payakumbuh. A- 55
Teknologi Pertanian
Er Prabawayudha. 2012. Pemanfaatan Citra Peginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Kajian Alternatif Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Tesis. Program Studi Penginderaan Jauh UGM. Yogyakarta.
http://www.psg.bgl.esdm.go.id Oktober 2011].
[15
Reddy, M.A. 2008. Textbook of Remote Sensing and Geograpical Information System. Third Edition. BS Publication, Hyderabad. Sari. 2010. Dinamika Bentang Alam dan Pengaruhnya terhadap Aspek Fisik Lahan Daerah Solok-Singkarak Provinsi Sumatera Barat. Tersedia di:
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 56
Teknologi Pertanian
PERBANDINGAN METODE RLE (RUN LENGTH ENCODING) DAN HUFFMAN UNTUK PEMAMPATAN CITRA Indra Kelana Jaya Institut Sains dan Teknologi TD. Pardede (ISTP) Email:
[email protected] ABSTRAK Pemampatan (compressi) citra adalah teknik mengkodekan piksel- piksel di dalam citra sehingga diperoleh representasi memori yang minimal. Citra mengandung dua hal yaitu (1) kemungkinan suatu piksel dengan piksel tetangganya memiliki intensitas yang sama (duplikasi data), (2) mengandung bagian (region) yang sama, sehingga bagian yang sama ini tidak perlu dikodekan berulang kali. Pemampatan citra bertujuan mengurangi duplikasi data di dalam citra sehingga memori yang dibutuhkan lebih sedikit daripada representasi citra semula. Metode Run Length Encoding (RLE) dilakukan dengan serangkaian pasangan nilai (p,q) untuk setiap baris piksel, nilai pertama (p) menyatakan derajat keabuan, sedangkan nilai kedua (q) menyatakan jumlah piksel berurutan yang memiliki derajat keabuan. Metode Huffman menggunakan prinsip nilai (atau derajat) keabuan yang sering muncul di dalam citra akan dikodekan dengan jumlah bit yang lebih sedikit sedangkan nilai keabuan yang frekuensi kemunculannya sedikit dikodekan dengan jumlah bit yang lebih panjang. Metode RLE dan Huffman dapat memberikan manfaat yang sangat besar dalam industri multimedia yakni proses pengiriman data pada saluran komunikasi. Kata Kunci : pemampatan, region, derajat keabuan, piksel, frekuensi, run length encoding, huffman
PENDAHULUAN Citra adalah representasi (gambaran) kemiripan atau imitasi dari suatu objek. Citra terbagi atas 2 yaitu (1) citra bersifat analog dan (2) citra yang bersifat digital. Citra digital dapat mewakili matriks dan disebut piksel (picture element) yaitu elemen terkecil dari sebuah citra. Piksel memiliki dua parameter yaitu koordinat dan intesistas atau warna. Nilai yang terdapat pada koordinat (x,y) adalah f(x,y) yang merupakan fungsi besar intensitas atau warna dari piksel. Pemampatan (compress) citra merupakan teknik untuk mengkodekan piksel-piksel di dalam citra sehingga diperoleh representasi memori yang minimal. Citra mengandung duplikasi data yaitu ketetanggaan intensitas yang sama antar piksel (sehingga penyimpanan setiap piksel memboroskan tempat) dan mengandung bagian (region) yang sama (bagian yang sama ini tidak perlu dikodekan berulang kali). Secara umum yang digunakan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
pada proses pemampatan citra adalah mengurangi duplikasi data di dalam citra sehingga memori yang dibutuhkan untuk merepresentasikan citra menjadi lebih sedikit dari pada representasi citra awal. Metode Run Length Encoding (RLE) dilakukan dengan membuat rangkaian pasangan nilai (p,q) untuk setiap baris piksel, nilai pertama (p) menyatakan derajat keabuan, sedangkan nilai kedua (q) menyatakan jumlah piksel berurutan yang memiliki derajat keabuan tersebut. Metode Huffman proses mengurutkan nilai keabuan berdasarkan frekuensi kemunculannya, dan gabungan dua pohon yang frekuensi kemunculannya paling kecil. Proses terus berlanjut sampai tersisa satu pohon biner. Pemberian label 0 untuk pohon sisi kiri dan 1 untuk pohon sisi kanan. Serta telusuri barisan label sisi dari akar ke daun yang menyatakan kode Huffman. Pemanpatan citra ini sangat berguna di bidang multimedia, sehingga perlu dilakukan
A- 57
Teknologi Pertanian
proses analisa perbandingan antara metode RLE dan Huffman, untuk mengetahui metode yang paling cocok untuk diterapkan dalam bidang multimedia a. Citra Digital i. Jenis Citra Digital 1. Citra Biner Citra biner adalah citra dengan setiap piksel hanya dinyatakan dengan sebuah nilai dari dua kemungkinan (yaitu 0 dan 1). Nilai 0 menyatakan warna hitam dan nilai 1 menyatakan warna putih. Citra jenis ini banyak di pakai dalam pemrosesan citra, misalnya untuk kepentingan memperoleh tepi bentuk suatu objek dengan nilai 1 bit per piksel. Citra yang direpresentasikan sebagai citra biner sangat cocok digunakan untuk citra yang menggambarkan text, fingerprint, atau rencana arsitektur suatu contoh citra biner seperti ditunjukkan pada Gambar 1. pada citra tersebut hanya ada dua warna: putih untuk tepi, dan hitam untuk latar.
Gambar 2 Citra Abu-abu (graysclae)
3. Citra RGB atau True Color Citra RGB masing–masing pixel mempunyai sebuah warna khusus. Warna dideskripsikan oleh kombinasi warna merah (red), hijau (Green), biru (Blue). Jika masing–masing komponen (Merah, Hijau, Biru) mempunyai range antara 0–255, maka total range yang digunkan untuk citra RGB adalah 155 pangkat 3 atau 16.777.216 kemungkinan jenis warna pada citra ini. Karena di butuhkan 24 bit per piksel, maka citra ini disebut pula dengan citra warna 24 bit. Citra warna ini dipandang sebagai penumpukan tiga matriks: masing-masing matriks merepresentasikan nilai-nilai merah, hijau, dan biru pada setiap piksel. Hal ini, berarti bahwa setiap piksel berkaitan dengan tiga nilai, seperti ditunjukkan pada Gambar 3
Gambar 1 Citra Biner
2. Citra Abu – Abu ( Grayscale) Citra ini menangani gradasi warna hitam dan putih yang tentu saja menghasilkan efek warna abu-abu Masing-masing pixel berisikan warna abu–abu dengan intensitas berkisar antara 0 (hitam) sampai 255 (putih). Tiap pixel dapat direpresentasikan oleh nilai 8 bit atau satu byte. Citra grayscale dengan range nilai yang lain juga digunakan. Akan tetapi pada umumnya citra tersebut memiliki range pangkat dua dari 8 bit, seperti ditunjukkan pada Gambar 2 Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 3 Citra warna
4. Citra Indeks Efisiensi storage dan kemudahan dalam handling file, sebuah gambar akan diasosiasikan dengan peta warna (color map) atau color pallete. Color Pallete adalah sebuah daftar sederhana yang A- 58
Teknologi Pertanian
berisikan semua warna yang digunakan pada sebuah citra. Masing–masing pixel tidak berisikan nilai warna (seperti halnya mode RGB), akan tetapi nilai yang terdapat pada gambar merupakan sebuah index yang merujuk warna pada map. Cara tersebut sangat efektif digunakan jika sebuah gambar mempunyai kedalaman warna 256 atau kurang dari itu, karena index hanya memelukan satu byte. Beberapa format citra (misalnya GIF) hanya mengizinkan 256 jenis warna atau kurang pada setiap citranya. Pada gambar jenis indeks ditunjukkan suatu citra indeks. Pada citra ini nilai-nilai piksel, bukan menunjukkan level intensitas keabuan, tetapi merupakan indeks yang menunjukkan pada peta warna. Misalnya, suatu piksel diberi label 5 berkaitan dengan 0.2902 0.0627 0.0627.
Gambar 4 Citra Indeks ii. Pemampatan Citra
Representasi citra digital membutuhkan memori yang besar. Contoh, citra Lena dalam format bitmap yang berukuran 512 x 512 pixel membutuhkan memori sebesar 32 KB (1 pixel=1 byte) untuk representasinya. Semakin besar ukuran citra maka semakin besar pula memori yang dibutuhkannya. Duplikasi data pada citra dapat berarti dua hal. Pertama, besar kemungkinan suatu pixel dengan pixel tetanggganya memiliki intensitas yang sama, sehingga penyimpanan setiap pixel memboroskan tempat. Kedua, citra banyak mengandung bagian (region) yang sama, sehingga bagian yang sama ini tidak perlu dikodekan berulang kali karena mubazir atau redundansi. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Pemampatan citra atau kompresi citra (image compression) bertujuan meminimalkan kebutuhan memori untuk merepresentasikan citra digital. Prinsip umum yang digunakan pada proses pemampatan citra adalah mengurangi duplikasi data di dalam citra sehingga memori yang dibutuhkan untuk merepresentasikan citra menjadi lebih sedikit dari pada representasi citra semula. Ada dua proses utama dalam persoalan pemampatan citra: a. Pemampatan citra (Image Compression) Pada proses ini, citra dalam representasi tidak mampat dikodekan dengan representasi yang meminimumkan kebutuhan memori. Citra dengan format bitmap pada umumnya tidak dalam bentuk mampat. Citra yang sudah dimampatkan disimpan ke dalam arsip dengan format tertentu. Format JPG dan GIF sebagai format citra yang sudah dimampatkan. b. Penirmampatkan citra (Image Decompression) Citra yang sudah dimampatkan harus dapat dikembalikan lagi (decoding) menjadi representasi yang tidak mampat. Proses ini diperlukan jika citra tersebut ditampilkan ke layar atau disimpan kedalam arsip dengan format tidak mampat. Dengan kata lain, penirmampatan citra mengembalikan citra yang termampatkan menjadi data bitmap. iii. Teknik Pemanpatan Citra Ada dua teknik yang dapat dilakukan dalam melakukan pemampatan citra yaitu: a. Lossless compression Lossless compression merupakan pemampatan citra dimana hasil dekompresi dari citra yang terkompresi sama dengan citra aslinya, tidak ada informasi yang hilang. Ratio kompresi citra metode ini sangat rendah. Banyak aplikasi yang memerlukan kompresi tanpa cacat, seperti pada aplikasi radiografi, pemampatan citra hasil diagnosa medis atau A- 59
Teknologi Pertanian
gambar satelit, di mana kehilangan gambar sekecil apapun menyebabkan hasil yang tak diharapkan. Contohnya Run Length Encoding (RLE), Entropy Encoding (Huffman, aritmatika), dan adaptive dictionary based (LZW). b. Lossy Compression Lossy Compression adalah pemampatan citra di mana hasil pemampatan dari citra yang termampatkan tidak sama dengan citra aslinya karena ada informasi yang hilang, tetapi masih bisa di tolerir oleh persepsi mata. Mata tidak dapat membedakan perubahan kecil pada gambar. Metode ini menghasilkan ratio pemampatan yang lebih tinggi dari pada metode lossles. Contohnya adalah color reduction, chroma subsampling, dan transform coding seperti transformasi fourier, wavelet, dan lain-lain. iv. Metode RLE (Run Length Encoding) Metode RLE digunakan untuk memampatkan citra yang memiliki kelompokkelompok pixel berderajat keabuan sama. Pemampatan citra dengan metode RLE dilakukan dengan membuat rangkaian pasangan nilai (p, q) untuk setiap baris pixel, nilai pertama (p) menyatakan derajat keabuan, sedangkan nilai kedua (q) menyatakan jumlah pixel berurutan yang memiliki derajat keabuan tersebut (dinamakan run length). Sistem Kerja Metode RLE (Run Length Encoding) a. RLE berkeja dengan mengurangi ukuran fisik dengan adanya pengulangan string dari deretan karakter /byte data. b. String perulangan ini dinamakan RUN dan biasanya dikodekan dalam 2 byte. Byte pertama merupakan jumlah perulangan dan byte kedua adalah karakter yang diulang v. Metode Huffman Metode pemampatan Huffman menggunakan prinsip bahwa nilai (derajat) keabuan yang sering muncul di dalam citra akan dikodekan dengan jumlah bit yang lebih sedikit sedangkan nilai keabuan yang frekuensi kemunculannya sedikit dikodekan dengan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
jumlah bit yang lebih panjang. Algoritma metode Huffman: a. Urutkan secara menaik (ascending order) nilai-nilai keabuan berdasarkan frekuensi kemunculannya (atau berdasarkan peluang kemunculan, pk, yaitu frekuensi kemunculan (nk) dibagi dengan jumlah pixel di dalam gambar (n)). Setiap nilai keabuan dinyatakan sebagai pohon bersimpul tunggal. Setiap simpul diassign dengan frekuensi kemunculan nilai keabuan tersebut. b. Gabung dua buah pohon yang mempunyai frekuensi kemunculan paling kecil pada sebuah akar. Akar mempunyai frekuensi yang merupakan jumlah dari frekuensi dua buah pohon penyusunnya. c. Ulangi langkah 2 sampai tersisa hanya satu buah pohon biner. Agar pemilihan dua pohon yang akan digabungkan berlangsung cepat, maka semua pohon yang ada selalu terurut menaik berdasarkan frekuensi. Beri label setiap sisi pada pohon biner. Sisi kiri dilabeli dengan 0 dan sisi kanan dilabeli dengan 1. Simpul-simpul daun pada pohon biner menyatakan nilai keabuan yang terdapat di dalam citra semula. d. Telusuri pohon biner dari akar ke daun. Barisan kbel-label sisi dari akar ke daun menyatakan kode Huffman untuk derajat keabuan yang bersesuaian. Setiap kode Huffman merupakan kode prefiks, yang artinya tidak ada kode biner suatu nilai keabuan yang merupakan awalan bagi kode biner derajat keabuan yang lain. Dengan cara ini, tidak ada ambiguitas pada proses penirmampatan citra. Sistem Kerja Meode Huffman sebagai berikut : 1. Mengubah sebuah string atau masukan dari user dan menghitung kemunculan setiap huruf. Setelah itu buat daftar dari huruf tersebut beserta peluang kemunculannya karena huruf tersebut akan menjadi daun dalam A- 60
Teknologi Pertanian
2.
pohon Huffman. Kode ini biasanya identik dengan pohon biner yang diberi label 0 untuk cabang kiri dan 1 untuk cabang kanan. Mengubah kembali daftar yang telah dibuat untuk kemudian membedakan daun (berupa huruf dengan peluang terkecil) dan penjumlahan 2 daun yang akan menjadi akar dari daun sebelumnya.
PEMBAHASAN 1. Metode RLE Pemampatan citra dengan metode RLE dilakukan dengan membuat rangkaian pasangan nilai (p, q) untuk setiap baris pixel, nilai pertama (p) menyatakan derajat keabuan, sedangkan nilai kedua (q) menyatakan jumlah pixel berurutan yang memiliki derajat keabuan tersebut. Perhitungan RLE adalah sebagai berikut adalah tinjau citra 10 x 10 pixel dengan 8 derajat keabuan yang dinyatakan sebagai matriks derajat keabuan sebagai berikut:
Pasangan nilai untuk setiap baris run yang dihasilkan dengan metode pemampatan RLE: Hasil Kompresi (0, 3), (1, 2), (2,1), (4,1), (5,1), (6,1), (7,1) (0, 4), (1, 1), (2, 1), (3,1), (5,1), (7,1), (8,1) (0, 4), (1, 1), (2, 2), (5,1), (7,1), (8,1) (0, 4), (1, 1), (2, 2), (4,1), (7,1), (8,1) (0, 4), (1, 1), (2, 2), (3,1), (6,1), (7,1) (0, 4), (1, 2), (2, 1), (3,1), (5,1), (6,1) (0, 4), (1, 3), (2, 1), (4,1), (5,1) (0, 4), (1, 3), (2, 1), (4,2) (0, 5), (1, 3), (3, 1), (4,1) (0, 3), (1, 4), (2, 1), (4,1), (6,1) Hasil pengodean : 031221415161710411213151 718104112241718104112241 718104112231617104122131 5161 04132141051331410314 214161 Semuanya ada 56 pasangan nilai atau 56 x 2 = 112 piksel. Ukuran citra sebelum pemampatan (1 derajat keabuan = 3 bit) adalah 100 x 3 bit = 300 bit, sedangkan ukuran citra setelah pemampatan (derajat keabuan = 3 bit, run length = 4 bit): (56 x 3) + (56 x 4) bit = 392 bit Rasio pemampatan = (100% −
100%)
= 30.66%, yang artinya 30.66% dari citra semula telah dimampatkan. 2. Metode Huffman Pembahasan Metode Huffman terdapat citra yang berukuran 64 x 64 dengan 8 derajat keabuan (k) dan jumlah seluruh pixel (n) = 64 x 64 = 4096. Setiap simpul di dalam pohon berisi pasangan nilai a:b, yang dalam hal ini a menyatakan nilai keabuan dan b menyatakan peluang kemunculan nilai keabuan tersebut di dalam citra. Dari pohon Huffman tersebut kita memperoleh kode untuk setiap derajat keabuan sebagai berikut:
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 61
Teknologi Pertanian
Metode Pemampatan Huffman adalah sebagai berikut: 1. Contoh citra 64x64 dengan 8 derajat keabuan (k) K 0 1 2 3 4 5 6 7
nk 790 1023 850 656 329 245 122 81
P (k ) = « ft / n 0.19 0.25 0.21 0.16 0.08 0.06 0.03 0.02
2. Kode untuk setiap derajat keabuan sebagai berikut : 0=00 2=01 4=1110 6=111101 1=10 3=110 5=11111 7=111100 3. Ukuran citra sebelum dimampatkan (1 derajat keabuan = 3 bit) adalah 4096 x 3 bit = 12288 bit. 4. Ukuran citra setelah pemampatan (790 x 2 bit) + (1023 x 2 bit) + (850 x 2 bit) + (656 x 3 bit) + (329 x 4 bit) + (245 x 5 bit) +(122 x 6 bit) + (81 x 6 bit) = 11053 bit Jadi, kebutuhan memori telah dikurangi dari 12288 bit menjadi 11053 bit. Jelas ini tidak banyak menghemat, tetapi jika 256 nilai keabuan yang digunakan (dibanding dengan 8 derajat keabuan seperti pada contoh di atas) , penghematan memori dapat bertambah besar. Rasio pemampatan = (100% −
100%)
= 10%, yang artinya 10% dari citra semula telah dimampatkan yait 12288. Implementasi dari kedua metode pemampatan ini, diterapkan dengan menggunakan aplikasi matlab, seperti ditunjukkan pada Gambar 7 dibawah ini:
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
PENUTUP Kesimpulan 1. Metode RLE memiliki tingkat kontras tertinggi walaupun sudah dimampatkan dibandingkan dengan metode Huffman. 2. Metode RLE yang memiliki kinerja bagus dari metode Huffman, hal ini dapat dilihat dari hasil pemampatan. Saran Perlu melakukan proses pembandingan dengan metode pemampatan lainnya untuk mendapatkan metode yang paling baik yang dapat digunakan untuk pemampatan citra. Ini sangat dibutuhkan untuk pengiriman citra. DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir, 2013, Teori dan Aplikasi Pengolahan Citra , Andi, Yogyakarta Arhami Muhammad, 2005, Pemrograman Matlab, Andi, Yogyakarta Aditya Wijaya, Suryarini Widodo, Kinerja dan Performa Algoritma Kompressi Lossless terhadap Objek Citra Digital, Gunadarma Coding Amir Ali, Tinjauan Penggunaan Algoritma Zero dan Run Length Encoding sebagai pengkode awal pada pemampatan citra warna hasil dekomposisi wavelet, FMIPA UNM RH Sianipar, Pemrograman Matlab dalam Contoh dan Terapan, Informatika Bandung
A- 62
Teknologi Pertanian
AKTIVITAS ABU TERBANG BATUBARA MEMBUNUH WERENG BATANG PADI COKLAT (NILAPARVATA LUGENS) Hafiz Fauzana(1), F.X. Wagiman (2), Edhi Martono (2) (1) Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau (2) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada E-mail :
[email protected] Abstrak Brown planthopper, Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae), is the main pest of rice that threatened Indonesia food security. The coalfly ashcontributeto controlthe brownplanthoppers.The coalflyashcontributeto controlthe brown planthopper. The coal fly ash activity needs to be studied under semifield and field conditions. The purposeofthe studywas to assessactivity ofcoalflyashto brown planthoppertested infieldandsemi-field conditions. The coalflyashobtainedfromPT. PLN(Govermental Electricity Corporation Ltd.) TanjungJatiBPowerStation in JeparaDistrict, Central Java.Pot experimentswere using the differencedosesof coalflyashas atreatmentthat was 0, 20, 40, and80g/clump. The experiment was arrangedbased oncompleterandomizedblock design(RCBD) withfivereplications. Field experimentswere testing the effect ofcoalflyashon the populationof brown planthopperwere doneby comparing thetreatmentandcontrolof coalflyash. The semi field experiment showed an effective dose of 80 g/hill which was equal to 20 tons/ha. Field trial compared the effect of coal fly ash dosage of 20 tons/ha to control the brown planthopper population. The findings showed that the activity of coal fly ash significantly reduced the brown planthopper population until day 7 (H +7). Keyword : Brown planthopper,Nilaparvata lugens, coal fly ash, activity, control, rice
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 63
Teknologi Pertanian
PENGELOLAAN KEUANGAN INDUSTRI MIKRO-KECIL MENGGUNAKAN APLIKASI BERBASIS JARINGAN DENGAN PROSES YANG DISEDERHANAKAN Mohammad Riza Nurtam1, Amrizal1, Indra Laksmana1, Imelfina Musthafa2 Program Studi Mesin dan Peralatan Pertanian, Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh 2) Program Studi Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
1)
Email:
[email protected] Abstrak Usaha kecil menengah (UKM) merupakan salah satu pilar ekonomi Indonesia. Kekuatan UKM telah terbukti mampu menyokong keberlangsungan ekonomi Indonesia pada saat krisis moneter 1998 dan 2008. Namun tingginya jumlah UKM ternyata tidak mencerminkan kelangsungan hidup UKM. Pertumbuhan jumlah UKM juga dibayangi dengan kematiannya yang tidak sedikit. Ada banyak penyebab kemunduran bahkan kematian bisnis UKM, diantaranya pengelolaan keuangan yang kurang baik. Pengelolaan keuangan tentu terkait dengan pengetahuan dan keahlian pebisnis dalam hal akuntansi. Pengetahuan dan keahlian ini didapatkan melalui banyak cara seperti pendidikan formal, pelatihan maupun pengalaman bisnis. Namun tidak semua pebisnis UKM memiliki pengetahuan ini. Meskipun demikian pengelolaan keuangan UKM dapat dipermudah dengan penggunaan teknologi informasi berupa program akuntansi baik yang rumit maupun yang sederhana. Ada banyak kasus dimana para pengelola bisnis UKM masih merasa kesulitan dalam penggunaan aplikasi pengelolaan keuangan ini, dikarenakan banyak bagian yang memang mutlak didasari pengetahuan akuntansi. Dalam paper ini, kami melakukan studi perbandingan penggunaan aplikasi pengelolaan keuangan yang tersedia di pasaran dengan aplikasi yang kami bangun di laboratorium dengan pendekatan penyederhaan proses serta bagian lainnya. Keyword: Pengelolaan Keuangan, UMKM, sistem informasi keuangan
PENDAHULUAN Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000. Sementara usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan kekayaan bersih antara Rp. 50.000.000 sampai Rp. 500.000.000 atau memiliki hasil penjualan tahunan antara Rp 300.000.000 sampai Rp Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
2.500.000.000. Sementara usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan kekayaan sampai Rp 10.000.000.000 dan penjualan hingga Rp. 50.000.000.000. Dengan kriteria diatas dapat kita nilai bahwa kemampuan finansial usaha mikro dan kecil cukup baik. Kemampuan finansial yang baik terebut merupakan salah satu modal bagi usaha mikro-kecil untuk bertahan dalam pasang surut bisnis terutama pada saat kondisi krisis keuangan dan ekonomi. Kenyataannya, pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, banyak perusahaan besar yang bangkrut, tidak terkecuali UMKM.
A- 64
Teknologi Pertanian
Meningkatnya kehancuran bisnis pada umkm umumnya disebabkan karena ketahanan kapital rendah namun fleksibilitas bisnis UMKM yang tinggi (modal kecil dan inovasi tinggi) menyebabkan meningkatnya jumlah usaha setelah krisis (Mulyanto, et al, 2006). Bahkan dengan melihat gambar 1, terlihat bahwa usaha tidak berbadan hukum yang sebagian bear adalah usaha mikro, menurun jumlahnya pada saat krisis keuangan tahun 1997 sebanyak kirakira dua juta usaha, namun telah kembali menyamai jumlah ketika sebelum krisis hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun. Hal ini menggambarkan kemampuan UMKM yang memang lebih tahan banting menghadapi krisis keuangan (Mulyanto, et al, 2006).
Gambar 1: Banyaknya Usaha Tidak Berbadan Hukum (BPS, 2015)
Namun dibalik itu, UMKM juga memiliki masalah dalam operasionalnya. Seperti terlihat pada Tabel 1, terdapat beberapa kendala yang menggangu operasional UMKM, salah satunya adalah kendala pengelolaan keuangan. Tabel 1: Karakter UMKM (Mulyanto, et al, 2006)
Kekuatan
Kelemahan
Penyerapan tenaga kerja tinggi Penciptaan lapangan kerja tinggi Inovasi dan produktifitas tinggi
Kendala pengelolaan keuangan Upah rendah Jaminan sosial rendah Keamanan rendah Kualitas kerja rendah
LATAR BELAKANG Dalam penelitian ini, sebuah lingkup usaha industri mikro-kecil dipilih agar dapat lebih mendalami masalah pengelolaan keuangan yang dihadapi pengusaha. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
(preliminary research) dari serangkaian penelitian yang ditujukan untuk lebih mendalami ruang lingkup penelitian (domain). Seperti telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, para pengusaha UMKM mengalami banyak kendala, diantaranya kendala pengelolaan keuangan, tidak terkecuali pada objek penelitian yaitu industri mikrokecil yang merupakan sedikit bagian dari UMKM. Sama seperti UMKM lainnya, kendala pengelolaan keuangan yang dialami usaha mikro-kecil (Mulyanto, et al, 2006) adalah: 1. Pembauran uang pribadi dan perusahaan. 2. Tidak menggunakan kembali keuntungan sebagai modal. Perusahaan berorientasi konsumsi, sehingga mengakibatkan kurangnya penyertaan laba ke dalam modal 3. Perusahaan industri lebih menguntungkan dibandingkan jasa. Selain itu menurut survey dan singkat yang telah kami lakukan, faktor yang menyebabkan kendala terebut antara lain: 1. Beragamnya tingkat pendidikan pengusaha dan pekerja pada usaha industri mikro-kecil dan sebagian besar berpendidikan akhir setingkat SMA. 2. Rendahnya pengetahuan akuntansi yang dimiliki pengusaha. 3. Rendahnya literasi informasi dan literasi komputer pengusaha indusrti mikro-kecil Penggunaan Teknologi Informasi dalam Pengelola Ada banyak hal yang mempengaruhi penggunaan informasi akuntansi oleh pengusaha, antara lain jenjang pendidikan, ukuran perusahaan, lama usaha serta latar belakang pendidikan (Aufar, 2013). Bahkan pengusaha dengan jenjang pendidikan formal yang rendah cenderung tidak memiliki persiapan dan penggunaan informasi akuntansi yang memadai dibandingkan pengusaha yang memiliki pendidikan formal lebih tinggi (Aufar, 2013). Selama ini teknologi belum dimanfaatkan A- 65
Teknologi Pertanian
dengan intens dalam pengelolaan keuangan oleh industri mikro-kecil, penggunaannya cenderung hanya terfokus pada tugas utama saja, misalnya penggunakan permesinan berbasis teknologi robotika atau internet sebagai sarana penjualan (Purnomo, 2011) Hal ini perlu diubah karena pentingnya teknologi bahkan tidak hanya untuk tugas utama saja, namun juga untuk tugas pendukung seperti pengelolaan keuangan (Purnomo, 2011). Diantara upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong peningkatan adopsi teknologi dalam pengelolaan keuangan industri mikro-kecil antara lain: 1. Mengadakan pelatihan-pelatihan pengelolaan keuangan, baik secara manual atau berbantukan komputer (Putra & Rustiarini, 2013) 2. Merancang sistem akuntansi untuk industri mikro-kecil (Sochih, 2008) (Warsono, Sagoro, Ridha, & Darmawan, 2010) 3. Merancang aplikasi pengelolaan keuangan yang baik dan mudah digunakan. SIM, Aplikasi Pengelolaan Keuangan Sederhana Sistem pengelolaan keuangan sangatlah penting perannya dalam pengelolaan keuangan, baik secara manual maupun terotomatisasi menggunakan teknologi informasi. Dalam penelitian ini kami merancang sebuah aplikasi bantu pengelolaan keuangan dengan proses yang disederhanakan. Aplikasi ini digunakan dalam survey, dan datanya dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut, mengenai : 1. Fitur apa saja yang perlu disediakan kepada para pengusaha industri mikrokecil. 2. Bagaimana urutan prioritas fitur-fitur tersebut berdasarkan signifikansinya didalan pengelolaan keuangan? Untuk penelitian pendahuluan ini, fitur yang diberikan adalah: 1. Single entry. Dimana setiap transaksi Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
2.
3. 4. 5.
cukup dicatat satu kali, dan seara otomatis sistem akan memutuskan akan melakukan perubahan pada kas, utang, piutang, dan lainnya. Hal ini berbeda dengan program open source HomeBank misalnya yang menggunakan metode double entry (buku besar). Metode double entry ini menyulitkan bagi yang kurang memahami teknik dasar akuntansi. Berbasis web sehingga tidak perlu instalasi pada perangkat bergerak maupun komputer pribadi, cukup diakses menggunakan peramban (browser) internet. Penyetelan akun kas sederhana Pencatatan transaksi berkonsep uang keluar – uang masuk Laporan keuangan Laba-Rugi Neraca Aliran Kas
HASIL DAN PEMBAHASAN Aplikasi SIM dibangun dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP serta database MariaDB/MySQL dengan antarmuk HTML5. Berdasarkan perancangan fitur yang telah direncanakan aplikasi dibangun dengan tampilan seperti tampak pada gambar 2.
Gambar 2: Tampilan Awal SIM
Menu data master berfungsi sebagai manajemen data master antara lain manajemen akun kas, manajemen pengguna, jenis aliran kas, serta jenis transaksi. Akun kas serta jenis A- 66
Teknologi Pertanian
transaksi telah diatur diawal penggunaan dan dapat langsung digunakan tanpa perlu pengaturan lebih lanjut atau dengan pengaturan seperlunya, disesusaikan dengan kebutuhan perusahaan. Dari hasil survey awal yang didapat memperlihatkan bahwa aplikasi ini cukup mudah digunakan dan fiturnya telah lengkap.
Gambar 3: Kelengkapan Fitur
AKUNTANSI PADA UMKM (Survei pada Perusahaan Rekanan PT. PLN (Persero) di Kota Bandung). Universitas Widyatama. Mulyanto, Dede. 2006. Usaha Kecil dan Persoalannya di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Purnomo, M. (2011). Adopsi Teknologi Oleh Usaha Mikro Kecil Menengah. Jurnal Dinamika Manajemen, 2(2), 109–117. Putra, I. G. C., & Rustiarini, N. W. (2013). Penerapan Sistem Akuntansi Berbasis Komputer Bagi Usaha Mikro Kecil Menengah ( UMKM ) untuk Meningkatkan Kinerja Keuangan Unit Usaha (pp. 305–313). Sochih, M. (2008). PERANCANGAN SISTEM AKUNTANSI PADA INDUSTRI KECIL. JURNAL PENDIDIKAN AKUNTANSI INDONESIA, VI(1), 94–106.
Gambar 4: Kemudahan Pemakaian
Warsono, S., Sagoro, E. M., Ridha, M. A., & Darmawan, A. (2010). Akuntansi UMKM Ternyata Mudah Dipahami dan Dipraktikkan. Asgard Chapter.
KESIMPULAN
Dari penelitian awal yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa usaha industri mikro-kecil memiliki kendala pengelolaan keuangan yang sama dengan UMKM lainnya. Untuk mengatasi kendala pengelolaan keuangan tersebut, aplikasi yang dirancang telah cukup memadai dan diharapkan dapat digunakan dalam pengelolaan keuangan di industri mikrokecil. DAFTAR PUSTAKA
Aufar, A. (2013). FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN INFORMASI Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
A- 67
Teknologi Pangan
PENGEMBANGAN PRODUK BAKSO IKAN PATIN (Pangasius hypopthalamus) ANEKA WARNA DALAM BENTUK BAKSO INSTAN SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN ANAK SEKOLAH
1)
Suardi Loekman1, Mirna Ilza1 dan Syahrul1 Staf Pengajar Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau
ABSTRAK Di provinsi Riau, ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang saat ini sedang dikembangkan sebagai salah satu kluster pengembangan budidaya ikan nasional oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Produksi ikan patin budidaya di provinsi Riau pada tahun 2011 sebesar 40 ribu ton, dan diperkirakan pada tahun 2012 produksinya meningkat menjadi 60 ribu ton, (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau, 2012). Keberhasilan disektor hulu harus dibarengi juga dengan sektor hilirnya, hal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar kelimpahan produksi tidak menjatuhkan harga ikan. Dengan demikian diversifikasi pengolahan ikan patin menjadi solusinya, dan bakso merupakan salah satu produk olahan ikan patin yang saat ini sedang dikembangkan menjadi makanan tambahan anak sekolah sebagai makanan jajanan. Hasil penelitian kami sebelumnya bahwa konsumen anak sekolah umumnya menerima bakso ikan patin aneka warna yang diujikan. Selanjutnya komposisi proksimat bakso aneka warna dengan konsentrasi terpilih adalah untuk kadar air berkisar antara 70,55 – 70,90 % ; kadar abu 0,89 – 1,43 % ; kadar protein 12,58 – 12,72 %; kadar lemak 0,66 – 0,84 % ; dan kadar karbohidrat 15,25 – 15,86 %. Maka dari itu untuk melengkapi penelitian ini diperlukan penelitian lanjutan guna mengetahui daya tahan bakso dalam bentuk bakso ikan patin instan aneka selama penyimpanan dengan kemasan menarik dan mengamati mutunya. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan produk bakso ikan patin aneka warna menjadi produk bakso instan sebagai makanan jajanan anak sekolah dan mengamati karakteristik mutunya selama penyimpanan dalam kemasankombinasi plastik HDPE dan aluminium foil. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai produk unggulan daerah untuk makanan tambahan anak sekolah, dan sekaligus mendukung program gerakan makan ikan (gemarikan) di provinsi Riau Keyword : bakso instan , aneka warna, makanan jajanan
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Keberadaan anak sekolah yang masih duduk di kelas 7 sampai 12 hampir sebagian besar waktunya dihabiskan di lingkungan sekolah. Selama berada di lingkungan sekolah, anak-anak tersebut membutuhkan asupan energi untuk menunjang aktivitas mereka. Asupan energi dapat diperoleh dari makanan dan minuman yang mereka konsumsi baik dari bekal yang dibawa dari rumah maupun dengan membeli makanan jajanan di sekolah. Salah satu makanan jajanan anak sekolah yang umumnya disukai anak-anak adalah bakso. Selain anak-anak, bakso juga digemari masyarakat umum, karena memiliki rasa enak dan tekstur yang empuk dan lembut dan penyajiannya yang mudah. Disisi lain salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini belum tumbuh budaya makan ikan terutama pada Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
daerah –daerah yang jauh dari sentra perikanan. Hal ini dapat diukur dari tingkat konsumsi ikan masih dibawah standar yang telah ditetapkan oleh Food agriculture organization (FAO) bahwa masyarakat Indonesia mengkonsumsi ikan sebesar 32,39 kg /kapita/tahun (Darmono 2012) masih rendah dari negara tetangga seperti penduduk Malaysia, Thailand, dan Singapura yang konsumsi ikannya sudah melebihi 40 kg per kapita per tahun. Rendahnya tingkat konsumsi ikan di Indonesia disebabkan karena beberapa fakta, seperti rendahnya mutu produk perikanan dan terbatasnya diversifikasi produk olahan. Di provinsi Riau, ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang saat ini sedang dikembangkan sebagai salah satu cluster pengembangan budidaya ikan nasional oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Produksi ikan
B- 1
Teknologi Pangan
patin budidaya di provinsi Riau pada tahun 2011 sebesar 40 ribu ton, dan diperkirakan pada tahun 2012 produksinya meningkat menjadi 60 ribu ton. (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau, 2012). Oleh karena itu untuk meningkatkan konsumsi ikan diperlukan suatu keanekargaman produk makanan jajanan yang ditawarkan berbasis ikan. Dengan demikian difortifikasi atau substitusi hasil perikanan pada makanan jajanan terutama produk bakso. dapat dilakukan. Ikan patin (Pangasius hypopthalamus) adalah bahan pangan dengan kandungan protein tinggi, sehingga dapat disubtitusikan sebagai sumber protein dalam makanan jajanan bakso. Mengingat daging ikan patin memiliki kandungan Protein sebesar 14,53%, air sebesar 82,22%, abu sebesar 0,74%, dan lemak sebesar 1,09% (Subagja, 2009 dalam Muhammad, 2009). Permasalahan yang dijumpai saat ini pada produk bakso adalah warna, di mana produk bakso yang ada warnanya kusam dan tidak menarik. Hal inilah menyebabkan anak-anak sekolah kurang tertarik terhadap bakso, oleh sebab itu perlu pengembangan tampilan produk bakso dengan aneka warna yang berasal dari pewarna alami seperti beras angkak (merah), daun katuk (hijau) dan wortel (kuning). Untuk mengatasi masalah tersebut, telah dilakukan penelitian sebelumnya dan hasil penelitian menunjukan bahwa anak sekolah sangat menerima produk bakso ikan patin aneka warna. Dengan demikian untuk pengembangan selanjutnya perlu suatu penelitian inovatif yang mengkaji pemanfaatan ikan patin untuk dijadikan bakso ikan patin instan beraneka warna, yang nantinya akan dijadikan produk unggulan daerah Riau sebagai makanan jajanan tambahan anak sekolah guna mendukung program gerakan makan ikan (Gemarikan).
merupakan suatu alternatif yang strategis, namun produk bakso yang ada saat ini belum banyak berkembang. Berdasarkan hasil penelitian kami sebelumnya bahwa bakso ikan patin yang beraneka warna, sangat disukai oleh konsumsen anak-anak sekolah. Mengingat bakso termasuk produk semi basah, sehingga daya awetnya singkat (2-3 hari) sehingga perlu suatu terobosan untuk memperpanjang masa simpannya dengan cara mengolahnya dalam bentuk bakso ikan patin instan aneka warna. Maka dari itu dalam penelitian ini diajukan rumusan sebagai berikut: 1. Apakah bakso ikan patin aneka warna dapat diolah dalam bentuk bakso instan yang bermutu dan berapa lama masa simpannya. 2. Bagaimana karakteristik mutu bakso ikan patin instan aneka warna yang dihasilkan selama penyimpanan dengan kemasan plastic HDPE dan aluminium foil. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah umengembangkan produk bakso ikan patin aneka warna hasil penelitian terdahulu menjadi bakso ikan patin instan aneka warna dan mengamati mutunya selama penyimpanan pada suhu ruang dalam kemasan plastik HDPE dan aluminium foil. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberi informasi tentang pembuatan bakso ikan patin yang tepat untuk menghasilkan produk bakso ikan patin instan aneka warna yang bermutu tinggi. 4. Kontribusi/Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai makanan jajanan tambahan anak sekolah berbahan baku ikan patin, guna mendukung program nasional gerakan makan ikan (gemarikan) dan akan disebarluaskan melalui jurnal nasional terakreditasi dan modul teknologi tepat guna
2 Rumusan Masalah Untuk meningkatkan konsumsi ikan khususnya ikan patin melalui produk bakso Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 2
Teknologi Pangan
METODE PENELITIAN 1. Bahan Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) hasil budidaya di kabupaten Kampar, Riau. Selain itu juga digunakan bahanbahan penyusun pembuatan bakso ikan patin adalah tepung tapioka, gula, bawang merah, bawang putih, merica bubuk, sukrosa, sorbitol, bawang putih, garam, pewarna alami ( daun katu, wortel dan angkak) dan bahan kimia untuk analisis mutu (heksan, kertas saring, K2S04, H2S04, HgO, NaOH, H3B03, Hel, dan Na2S203 dan bahan kemasan. 2. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan, yaitu persiapan dan penanganan awal ikan patin, pembuatan surimi, pembuatan bakso ikan patin dan analisis mutu bakso yang dihasilkan.
Gambar 1. Diagram alir pembuatan surimi ikan patin
Bagan alir penelitian tahap pembuatan bakso ikan patin.
Pemilihan dan Penanganan Awal Daging Ikan Patin Daging ikan patin dipilih dari ikan yang berukuran minimal 500 – 1000 gram per ekor. lkan segar dibersihkan, dibuang kepala dan ekor, juga dibersihkan bagian dalam perut. Selanjutnya dipisahkan daging dari tulang belakang dan kulit, sehingga diperoleh daging lumat ikan segar. Bagan alir rencana penelitian, dan capaian dan keluaran (out put) dari setiap tahapan.Bagan alir Penelitian Tahap pembuatan surimi Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Bakso Ikan Instan
Penilaian Mutu Bakso Penilaian mutu bakso yang dihasilkan adalah penilaian organoleptik (uji kesukaan) dan analisis proksimat bakso terpilih.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 3
Teknologi Pangan
Uji organoleptik (penerimaan konsumen /hedonik) Pengujian organoleptik terhadap produk dilakukan dengan. Uji kesukaan (hedonic) dengan panelis anak sekolah. Dengan jumlah 80 orang. Analisis proksimat Analisis proksimat produk meliputi kadar air, protein, lemak, dan abu dianalisis menurut metode AOAC (1996) sedangkan kadar karbohidrat dianalisis dengan metode By Difference. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh merupakan hasil pengujian secara kimia (proksimat), dan organoleptik. Data hasil uji organoleptik dengan uji hedonik dianalisis berdasarkan persentase penerimaan panelis dan skor modus dari masing-masing taraf perlakuan. Persentase penerimaan dihitung dengan menjumlahkan persentase panelis yang menyatakan sangat tidak suka (2), tidak suka (3), biasa (4) dan suka (5). Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui daya terima panelis terhadap bakso yang dihasilkan. Semua data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis secara deskripsi. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Rendemen Surimi Proses fillet yang telah dilakukan terhadap ikan patin dengan ukuran berat 500 – 1.000 gram per ekor, menghasilkan daging fillet sekitar 50 % dan daging tetelan 10 % - 20 %. Dengan demikian daging lumat yang dihasilkan berkisar 60 – 70 %. Rendemen daging ikan sangat bervariasi tergantung jenis ikan, ukuran, bentuk tubuh dan umur (Suzuki 1981 diacu dalam Nurfianti 2007). Selanjutnya proses pembuatan surimi ikan patin menghasilkan rendemen sekitar 50–60 %. Terjadinya penurunan rendemen surimi daging ikan patin ini dapat disebabkan larutnya protein dalam garam dan air karena adanya proses pengadukan dan pengepresan selama Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
proses pencucian. Menurut Venugopal et al. (1994), setelah mengalami poses pencucian maka akan menyebabkan semakin berkurangnya rendemen karena semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air, antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak dan darah. Selanjutnya menurut Poernomo et al. (2006), akibat adanya proses pemerasan, air yang berada dalam daging giling ikut tereduksi yang menyebabkan berkurangnya bobot daging dari setiap pemerasan, juga terdapatnya daging yang menempel pada kain saring. Hasil analisis terhadap Protein Larut Garam (PLG) dan Protein Larut Air (PLA) dari surimi ikan patin adalah 1,94 % PLG dan 1,68 % PLA. Protein yang larut dalam larutan garam ialah protein myofibril, yang merupakan bagian terbesar dalam jaringan otot ikan yaitu aktomiosin (Nurfianti 2007). Sedangkan jenis protein yang larut dalam air ialah protein sarkoplasma. Jenis ini banyak terdapat didalam sel otot. Protein sarkoplasma dalam otot jumlahnya mencapai 20-50% dari total protein (Nurfianti 2007). . 2. Uji Fisik Bakso Berdasarkan hasil uji fisik yang dilakukan terhadap bakso ikan aneka warna sebagai jajanan makanan anak sekolah dapat dilihat pada Tabel 5 Tabel 5. Rekapitulasi nilai uji fisikbakso ikan patin aneka warna.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa nilai rata-rata Uji lipat bakso ikan patin aneka warna adalah sebesar 3. Hal ini berarti bahwa gel bakso ikan patin aneka warna yang dihasilkan B- 4
Teknologi Pangan
memiliki kriteria sedikit retak bila dilipat seperempat lingkaran. Menurut Hastings et al. (1990). Uji lipat digunakan untuk menunjukkan kekuatan dan elastisitas gel. Masih rendahnya nilai uji lipat ini diduga akibat menurunnya sifat kelarutan protein miofibril sehingga hanya sebagian protein yang terekstrak oleh garam. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah (Erdiansyah 2006) Selanjutnya nilai rata-rata bakso ikan patin aneka warna hasil penelitian menunjukkan nilai sebesar 52,87%. Kadar WHC ini berkorelasi dengan kandungan protein, di mana semakin tinggi kandungan protein akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun meningkat. Menurut Kramlich (1971) diacu dalam Granada (2011), daya ikat air sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein, dan penggunaan garam. . Surimi yang digunakan sebagai bahan baku mengalami penurunan kadar air sehingga dapat meningkatkan daya mengikat air dan kekuatan gel. Hasil penilaian secara organoleptik pada Tabel 5 menunjukkan bahwa parameter warna dan rasa menghasilkan nilai rata-rata sebesar 8 (baik); sedangkan nilai bau dan tekstur ratarata 7 (agak baik). Hasil ini menunjukkan bahwa larutnya komponen-komponen flavor yang terkandung dalam bakso ikan masih dalam katagori penerimaan. Nilai organoleptik bakso ikan patin aneka warna ini dapat dipengaruhi oleh bahan bumbu-bumbu dan proses pencucian pada pembuatan surimi sebagai bahan bakunya. Penilaian organoleptik bakso ikan patin aneka warna instan meliputi warna, rasa, aroma dan tekstur. Nilai organoleptik didasarkan pada tingkat penerimaan konsumen dengan panelisnya anak sekolah berjumlah 80 orang melalui uji kesukaan. Pewarna alami yang digunakam pada bakso ikan patin aneka warna instan adalah pewarna alami yang aman, tidak menimbulkan residu dan menambah nilai gizi produk. Menurut Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Ariatmo (2004) bahwa penggunaan pewarna alami pada produk makanan akan lebih aman bagi kesehatan tubuh jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Bakso ikan patin aneka warnainstan memiliki warna yang tidak berbeda dengan bakso ikan patin aneka warna sebelum dikeringkan. Warna hijau bakso ikan berasal daun katuk yang mengandung khlorofil, vitamin C, protein nabati dan karbohidrat (Astuti, 1997). Demikian juga dengan warna kuning dari wortel yang kaya karoten yang merupakan senyawa kimia pembentuk vitamin A (Berlian Nur, dan Hartuti, 2003). Warna merah bakso ikan berasal dari angkak yang merupakan hasil dari beras yang difermentasi menggunakan jamur Monascus purpureus. Penilaian terhadap rasa bakso ikan patin aneka warna instan untuk semua taraf perlakuan, panelis memberikan nilai organoleptik 8 (sangat baik). Hal ini menunjukan bahwa semua taraf perlakuan, disukai panelis. Menurut Rukmana dan Harahap (2003) bahwa produk aneka warna manimbulkan rangsangan rasa pada anak usia sekolah. Menurut Soekarto (1990), Rasa merupakan campuran dari tanggapan cicipan dan bau yang diramu oleh kesan lain seperti penglihatan rupa, sentuhan, dan pendengaran. Pada dasarnya rasa di pengaruhi komposisi dari produk pangan. Penambahan pewarna alami pada produk pangan dapat berpengaruh rasa dari produk pangan. Pada penilaian aroma dan tekstur bakso ikan patin aneka warna instanm panelis memberikan nilai 7 (baik). Rasa suatu produk dapat dipengaruhi oleh adanya penambahan bumbu saat proses pembuatannya; sedangkan tekstur makanan ditentukan oleh kandungan air yang terdapat pada produk tersebut (Fellows, 2000). 3. Uji Kimia (Komposisi Proksimat) Analisis proksimat merupakan suatu cara untuk mengetahui kandungan zat-zat makanan yang ada dalam suatu makanan sehingga dapat menentukan kualitas suatu makanan, yaitu: B- 5
Teknologi Pangan
kadar abu, air, lemak, protein dan karbohidrat. Hasil analisis proksimat yang telah dilakukan terhadap bakso ikan aneka warna dalam kondisi basah dan kering (Instan) dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Nilai Komposisi proksimatbakso ikan aneka warna dalam keadaan basah dan kering (instan).
Keterangan: B = Basah ; K = Kering (Instan) Tabel 6 menunjukkan hasil analisis proksimat pada bakso ikan patin aneka warna dalam kondisi basah memiliki kadar air berkisar 65,39 - 66,41 % , kadar abu 1,16 % - 1,87 % , kadar protein 6,39 % - 7,13 %, kadar lemak 2,21% - 3,42 %, dan kadar karbohidrat 22,38% - 23,60 %. Sedangkan dalam kondisi kering (instan) memiliki kadar air berkisar 4,84 - 5,45 % , kadar abu 1,31 % - 1,35 % , kadar protein 50,63 % - 50,78 %, kadar lemak 7,48% - 7,62 %, dan kadar karbohidrat 35,13% - 35,42 %. Dengan demikian komposisi proksimat bakso ikan patin aneka warna dalam kondisi basah telah memenuhi standar SNI 01-3819-1995. Hal yang sama juga nilai proksimat terutama bakso ikan patin aneka warna instan, di mana semua atribut komposisi proksimat (Kadar air, protein, lemak, abu dan karbohidrat) memenuhi standar SNI. V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
1. Karakteristik fisik bakso ikan patin aneka warna menunjukan bahwa nilai, WHC 52,87%. dan uji lipat cukup baik. 1. Karakteristik kimia bakso ikan patin aneka warna instan yang dihasilkan terdiri dari air berkisar 4,84 - 5,45 % , kadar abu 1,31 % - 1,35 % , kadar protein 50,63 % - 50,78 %, kadar lemak 7,48% - 7,62 %, dan kadar karbohidrat 35,13% - 35,42 %. 2. Hasil penilaian secara organoleptik pada Tabel 5 menunjukkan bahwa parameter warna dan rasa menghasilkan nilai rata-rata sebesar 8 (baik); sedangkan nilai bau dan tekstur rata-rata 7 (agak baik). 2 Saran Saran pada penelitian ini adalah bahwa bakso ikan patin aneka warna instan yang dihasilkan sevara organoleptik dapat diterima oleh panelis (anak sekolah). Oleh sebab itu bakso ikan patin aneka warna instan dapat disosialisasikan kepada masyarakat luas untuk dijadikan usaha rumah tangga. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana dengan baik berkat dukungan dana Desentalisasi Lembaga Penelitian Universitas Riau Tahun Anggaran 2015. Sehubungan dengan itu kami penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Riau dan Ketua Lembaga Penelitian UR atas bantuan dana tersebut. DAFTAR PUSTAKA AOAC, 2005. Official methods of Analysis AOAC International sixteenth edition. Association of Official Analyticcal chemist Maryland. Astawan, 2011. M. Makanan Pokok Bukan Hanya Nasi, http://banjarmasinpost.co.id Buckle, A, K, at al., 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia, Press. 364 halaman.
B- 6
Teknologi Pangan
Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Edisi III. Diterjemahkan oleh Muchjii Maljohardjo. UI-Press. Jakarta. 614 hal. Dewita dan Syahrul, 2010. Kajian konsentrat protein ikan patin dan masa simpannya dalam kemasan berbeda. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi DP2M Dikti Tahun 2010. Lembaga Penelitian Universitas Riau.(tidak dipublikasikan). http://riaupos.co.id, , February 7, 2011: Ketahanan Pangan dan Politik Beras. Kartika, Hastuti dan Supartono. 1988. Pedoman Uji Indrawi Bahan Pangan dan Gizi. Pusat Antara Universitas Pangan dan Gizi, yogyakarta. 168 halaman.
Saanin, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta, Bandung 502 halaman. Soekarto, S. T. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian, Bharata Karya Aksara. Jakarta. Sumantadinata, K. 1983. Mengkaji Suplementasi Protein Terhadap Karakteristik Fisika, Kimia dan Organoleptik Kripik Sagu, Laporan penelitian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 94 hal. Tidak diterbitkan.
Syahrul, Mirna Ilza dan Erdiansyah, 2011. Pemanfaatan Konsentrat Protein Ikan Patin Dalam Pembuatan Fish Cake. Laporan penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.(tidak dipublikasikan). Syahrul , Mirna Ilza dan Mera, 2011. Karakteristik Mutu Burger Dengan Penambahan Konsentrat Protein Ikan Patin Selama Penyimpanan Suhu Dingin. Laporan penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.(tidak dipublikasikan) Syahrul dan Irasari, dan Fifit Arizona 2008. Studi Penerimaan Konsumen Terhadap Tortilla Dari bahan Baku Konsentrat Protein Ikan Patin Berbeda. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.(Tidak dipublikasikan). Wikipedia, 2007, Sagu. Haryanto, B. dan Pangloli, P.1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Bogor
.Syahrul, dan Tabrani. 2005). Kajian Mutu dan Daya Simpan Tepung Cincaluk Udang Rebon (Atya sp.). Jurnal Lembaga Penelitian Universitas Riau. Syahrul, Irasari, dan DE Agustianingsih.Karakteristik Bakso Dengan Penambahan Konsentrat Protein Ikan Patin.Laporan penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. (tidak dipublikasikan)
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 7
Teknologi Pangan
SUPLEMEN MAKANAN KESEHATAN (“HEALTH FOOD“) BERNUTRISI TINGGI DARI CHLORELLA DAN MINYAK IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus) HealthFood Supplements("Health Food") Highly Nutritious From Chlorella And OilCatfish(Pangasius hypopthalmus) Syahrul dan Dewita Jurusan Teknologi Hasil Perikanan Universitas Riau Kampus Bina Widia Jl. HR Soebrantas Km 12,5 Simp. Baru Panam Pekanbaru, Riau e-mail:
[email protected] ABSTRACT The utilization of microalgae as a food ingredient considered effective, because in addition to alternative food sources also contains nutrients chlorella microalgae in particular is very good for health. This microalgae rich in protein (60.5%), fat (11%), carbohydrates (20.1%), water, dietary fiber, vitamins and minerals Besides these microalgae contain pigments (chlorophyll), tocopherol and the active component (antimicrobial and antioxidants). This is what underlies microalgae is very useful to be used as a source of raw materials of health food supplements. Currently the health food supplements have become a necessity for people to maintain their health in order to remain vibrant. This study aims to produce high nutritious health food supplements from raw material chlorella enriched with fish protein concentrate and oil catfish. The method used in the manufacture of high nutritious health food supplement is a method of microencapsulation with different formulations. The results showed that the best formulations based on the profile of amino acids, fatty acids and standards AAE per day especially essential fatty acids oleic and linoleic is formulation B (chlorella 2%, 1% fish oil and fish protein concentrate 1% Keywords : Health food supplements, fishprotein concentrate, chlorellaandoilcatfish
I.
PENDAHULUAN
Chlorella sp. merupakan salahsatu jenis mikroalgae yang dapat tumbuh di air tawar, payau dan asin dan memiliki kandungan gizi yang sangat baik. Dalam keadaan kering mengandung protein 55-60%, tergantung pada sumbernya 1,2. Mikroalgae ini juga kaya gamma-linolenic (GLA), alpha-linolenic acid (ALA), linolenicacid (LA), stearidonic acid (SDA), eicosapentaeonic (EPA), docosahexaenoic acid (DHA), dan 3,4 arachidonic acid (AA) . Selain itu juga sebagai sumber vitamin (vitamin B1, B2, B3, B6, B9, B12, Vitamin C, Vitamin D dan Vitamin E) dan mineral (potasium, kalsium, krom, tembaga, besi, magnesium, manganese, fosfor, selenium, sodium, dan seng) 3,4. Mengingat fungsi mikroalgae tersebut sangat bermanfaat, maka sangat baik dijadikan sumber bahan baku untuk suplemen makanan kesehatan. Saat ini suplemen makanan kesehatan telah menjadi suatu kebutuhan bagi Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
masyarakat untuk menjaga kesehatannya agar tetap prima. Akan tetapi suplemen makanan kesehatan yang beredar di pasaran saat ini harganya relatif mahal, maka hanya terjangkau pada masyarakat golongan menengah ke atas dan sulit bagi masyarakat golongan bawah. Keadaan ini telah mendorong para peneliti untuk berbuat suatu penelitian yang dapat mengatasi masalah tersebut. Walaupun kandungan gizinya sudah baik namun masih perlu ditingkatkan melalui fortifikasi dengan sumber zat gizi lain seperti ikan patin, karena ikan patin kaya asam amino dan asam lemak terutama asam lemak omega9. Hasil penelitian Dewita et al (2012) diketahui bahwa ikan patin yang diolah menjadi konsentrat protein ikan mengandung protein 79,6 % ; sedangkan penelitian Syahrul et al (2013) menyatakan bahwa kandungan lemak ikan patin kaya akan asam lemak omega-9. Dilain pihak mikroalga Chlorella, yakni organisme dari ganggang hijau air tawar
B- 8
Teknologi Pangan
dari jenis Chlorella pyrenoidosa, berwarna hijau tua dan mengandung komponen gizi seperti karbohidrat, klorofil, chlorella growth factor, vitamin dan serat. Mikroalga mempunyai potensi besar untuk menghasilkan berbagai senyawa biokimia penting untuk makanan, pengobatan medis, penelitian, dan pemanfaatan lain dan masih banyak senyawa biokimia penting yang belum ditemukan dari mikroalga (Raja et al.,2008). Dengan demikian untuk menghasilkan suatu produk unggulan, diperlukan komponen fungsional pangan dari sumber lain terutama ikan patin. sehingga perlu dipadukan secara enkapsulasi (Jackson, et al. 1991), dan hasil kombinasi inidiharapkan akan membentuk suatu produk makanan kesehatan bernutrisi tinggi dan memberikan sensasi nyaman bagi konsumennya. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi suplemen makanan kesehatan bernutrisi tinggi dari bahan baku chlorella yang diperkaya dengan konsentrat protein ikan dan minyak ikan patin. Penelitan ini diharapkan menghasilkan suatu formula terbaik suplemen makanan kesehatan berbasis mikroalgae yang diperkaya komponen fungsional pangan dari ikan patin yang baik dan tepat. Dengan demikian perlu suatu penelitian guna menghasilkan produk suplemen makanan kesehatan yang dapat diterima konsumen dan bernutrisi tinggi sehingga mampu meningkatkan kesehatan masyarakat. 2. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu serbuk chlorella dari Balitbang provinsi Riau dan ikan patin dari petani budidaya ikan patin di kabupaten Kampar, Riau. Bahan lainnya adalah bahan yang digunakan untuk pembuatan konsentrat protein ikan (KPI) adalah ikan patin (Pangasius hypothalmus), NaHCO3 0,5 N, isopropil alkohol 70 % (food grade), dan bahan kemasan (kertas aluminium, dan kapsul).
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Bahan- bahan yang digunakan untuk analisis adalah bahan-bahan untuk analisis proksimat, profil asam amino dan asam lemak. Alat-alat utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah ayakan 100 mesh, oven (Memmert), alat Soxhlet, dan instrumen spray drier. Prosedur penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode eksprimen, yaitu melakukan percobaan pembuatan suplemen makanan kesehatan dengan memfortifikasi konsentrat protein ikan dan minyak ikan patin, pada chlorella secara enkapsulasi (Faldt, et al. 1995). Bahan-bahan tersebut diperoleh dari mikroalgae chlorella kering hasil budidaya untuk serbuk chlorella sedangkan konsentrat protein ikan dan minyak ikan patin dari limbah pengolahan fillet ikan patin berupa daging serpihan, kepala, tulang, ekor dan lemak perut. Suplemen makanan yang dihasilkan dari penelitian ini diproses dengan cara mikroenkapsulasi menggunakan spray drier. Dengan demikian suplemen makanan ini merupakan blending dari bahan baku minyak ikan patin, mikroalga chlorella dan konsentrat protein ikan patin yang terenkapsulasi. Bahan penyalut yang digunakan adalah maltodekstrin dan twinn 80 (formulasinya dilihat pada Tabel 1). Formulasi yang digunakan untuk memproduksi suplemen makanan kesehatan adalah komponen fungsional pangan konsentrat protein ikan (Dewita, et al. 2011), minyak ikan (Wresdiyati et al. 2010) dan chlorella (Tabel 1) Tabel 1. Formulasi (%) enkapsulasi minyak ikan, chlorella dan konsentrat protein ikan menjadi suplemen makanan kesehatan
B- 9
Teknologi Pangan
Keterangan : MC = Mikroalgae Chlorella MI = Minyak Ikan patin KPI = Konsentrat Protein Ikan patin DT = Dextrin TW = Twinn 80 A B C D E
= Minyak ikan + Chlorella(60 : 40) = Minyak Ikan patin + Chlorella + KPI (20 : 40 : 40) = Minyak ikan + Chlorella + KPI (30 : 35 : 35) = Minyak ikan + Chlorella(40 : 60) = Minyak ikan + Konsentrat protein ikan (KPI) (40 : 60)
Karakterisasi suplemen makanan kesehatan Karakterisasi suplemen makanan kesehatan meliputi analisis protein, lemak, profil asam amino dan profil asam lemak dianalisis menurut metode AOAC (2005). Method 969.33. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis secara deskripsi.
Profil Asam Amino Suplemen Makanan Kandungan asam amino esensial suplemen makanan kesehatan formulasi B dan C memenuhi asupan standar AAE per hari. Semua asam amino esensial yang terdapat pada suplemen makanan kesehatan mempunyai fungsi masing-masing. Sebagaimana dinyatakan Anonim (1992), bahwa methionine berfungsi untuk membantu menghilangkan zat beracun dalam hati, menstimulasi regenerasi hati dan mengurangi kadar cholesterol darah ; sedangkan leucine berfungsi membantu pemecahan protein otot, membantu penyembuhan patah tulang. Profil asam amino esensial suplemen makanan kesehatan dengan berbagai formulasi dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3. Kandungan asam amino esensial suplemen makanan dengan berbagai Formulasi
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Gizi Suplemen Makanan Kandungan gizi suplemen makanan kesehatan hasil blending minyak ikan patin, mikroalga chlorella dan konsentrat protein ikan patin terenkapsulasi dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Nilai gizi suplemen makanan berbahan baku minyak ikan patin, chlorella, dan konsentrat protein ikan patin sesuai formulasi.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa berdasarkan kandungan protein, formulasi terbaik adalah formulasi B dan C. Hal ini disebabkan karena dalam formulasi B dan C terdapat bahan baku sumber protein yaitu chlorella dan konsentrat protein ikan. Sedangkan formulasi lainya didominasi kandungan lemak. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Selanjutnya menurut Widyastuti, (2013).Isoleucine diperlukan dalam produksi dan penyimpanan protein oleh tubuh dan pembentukan hemoglobin, serta fungsi kelenjar timus dan kelenjar pituitari, untuk pertumbuhan yang optimal, mempertahankan keseimbangan nitrogen dalam tubuh, pembentukkan asam amino non-esensial lainnya, penting untuk pembentukkan hemoglobin dan menstabil kan kadar gula dalam darah. Phenylalanine diperlukan untuk meningkatkan mood, kadar endokrin dan aprodisiaka (Anonim, 2013).
B- 10
Teknologi Pangan
Valina bermanfaat untuk pertumbuhan, pada sistem saraf dan pencernaan, membantu gangguan pada saraf otot, mental, emosional, insomnia dan gugup, memacu koordinasi otot, memperbaiki jaringan yang rusak, dan menjaga keseimbangan nitrogen dalam tubuh (Sapoetra, 2013). Profil Asam Lemak Esensial Suplemen Makanan Kesehatan Asam lemak essensial merupakan jenis asam lemak yang sangat dibutuhkan tubuh untuk proses biologis namun tidak dapat dihasilkan oleh tubuh sehingga perlu asupan melalui makanan. Kandungan asam lemak esensial suplemen makanan kesehatan yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 4. Kandungan asam lemak esensial suplemen makanan kesehatan dengan berbagai formulasi
rantai (Mayes, 1999 dalam W Haryanti 2012(. 4. KESIMPULAN Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kandungan gizi suplemen makanan kesehatan hasil blending minyak ikan patin, konsentrat protein ikan patin dan chlorella secara enkapsulasi dengan beberapa formulasi menunjukkan bahwa formulasi B dan C merupakan formulasi terbaik berdasarkan kandungan protein, lemak, profil asam amino esensial dan asam lemak esensial. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 2005. Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry, Washington, D.C. Babadzhanov, A.S., et al. “Chemical Composotion of Spirulina platensis Cultivated in Uzbekistan”. Chemistry of Natural Compounds. Vol 43. 2004. Ciferri, O. “Spirulina, the Edible Microorganism”. Microbiological Reviews. Vol 47. 1983. Dewita, Isnaini dan Syahrul, 2011. Pemanfaatan Konsentrat Protein Ikan Patin Untuk Pembuatan Biskuit dan Snack. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol. 17 (1) : 30 - 34
Pada Tabel 4 terlihat bahwa kandungan asam lemak esensial suplemen makanan kesehatan formulasi B dan C lebih tinggi dibanding formulasi lainnya, terutama kandungan asam lemak oleat dan linoleat, karena minyak ikan patin kaya asam lemak tersebut (Syahrul et al, 2013) Asam oleat merupakan asam lemak golongan MUFA (mono unsaturated fatty acid) yang mempunyai struktur 18:1 D9 dengan rumus molekul CH3(CH2)7C=C(CH2)7COOH, dan merupakan golongan omega -9 karena memiliki ikatan ganda pada posisi 9 dari ujung
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Dewita , dan Syahrul, 2012. Pola Penerimaan Anak Sekolah Terhadap Produk Makanan jajanan Berbahan Baku Konsentrat Protein Ikan Baung (Hemibagrus nemurus) Di Kabupaten Kampar, Riau. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol. 15 (3) : 216 222. Dewita , dan Syahrul, 2014. Diversifikasi Dan Fortifikasi Produk Olahan Berbasis Ikan Sebagai Produk Unggulan Daerah Riau. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol. 20.(3) : 156 164 .
B- 11
Teknologi Pangan
Faldt, P. Dan B. Bergenstahl. 1995. Fat Encapsulation in Spray Dried Powders. J. Am. Oil Chem. Soc. 72 : 171 – 176
perspective on biotechnlogical potential of microalgae.Crit Rev Microbiol, 34:34-77.
Hartadiyati Wasikin Haryanti, 2012. Potensi Omega 9-Asam Oleat Pada Daging Buah Alpukat Dalam Penurunan Kolesterol Serum Darah. Jurusan Pendidikan Biologi IKIP PGRI Semarang.download.portalgaruda.org/a rticle.php?article=7034&val=532
Syahrul, Irasari dan Made Astawan. 2013. Ekstraksi Minyak Kaya Asam Lemak Omega-9 Dari Limbah Fillet ikan patin Sebagai Komponen Pangan Fungsional dan Aplikasinya Pada Produk pangan. JurnaL Bernas Februari Vol.9 .(1) : 27 - 32 Wresdiyati T, Asturi S, Irvan M, Astawan M.. 2010. The Profile of Antioxidant Superoxide Dismutase (SOD) in Liver of Isoflavone, Zn, and Vitamin E-treated Rats. Media Kedokteran Hewan 26(2):98-105
Jackson, LS. Dan K. Lee. 1991. Microencapsulation and the Food Industry. Lebenam- Wiss. U- Technol. 24 : 289 _ 297. Raja, R., Hemaiswarya, S., Ashok Kumar, N., Sridhar, S., Rengsamy, R. 2008.A
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 12
Teknologi Pangan
EKSTRAKSI MINYAK KAYA ASAM LEMAK OMEGA-9 DARI LIMBAH FILLET IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypothalmus) SEBAGAI KOMPONEN PANGAN FUNGSIONAL DAN APLIKASINYA PADA PRODUK PANGAN N Irasari, dan Sumarto Jurusan Teknologi Hasil Perikanan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau ABSTRAK Di Indonesia ikan patin termasuk salah satu jenis ikan air tawar ekonomis penting yang dikenal dengan sebutan catfish. Mengingat ikan patin memiliki kandungan lemak yang tinggi terutama kaya asam lemak tidak jenuh omega 9, sehingga ikan patin sangat potensial untuk menghasilkan komponen fungsional pangan. Dalam pengolahan ikan patin seperti fillet ikan, ikan asin, ikan asap (salai) dan produk turunannya akan menyisakan limbah sekitar 20 – 60%. Limbah padat hasil pengolahan ikan patin tersebut umumnya berupa gumpalan lemak, kepala, jeroan, sisa daging pada tulang, dan biasanya tidak dimanfaatkan bahkan dibuang. Padahal Limbah padat tersebut memiliki potensi sebagai sumber komponen fungsional pangan terutama minyak ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengekstrak minyak dari limbah padat pengolahan ikan patin sebagai komponen fungsional pangan terutama mengenai profil asam lemak dan aplikasinya pada produk pangan. Ekstraksi minyak ikan dilakukan menggunakan metode wet rendering yang dimodifikasi. Berdasarkan hasil penelitian, kadar minyak pada ikan patin adalah 12,1%; demikian juga dengan kandungan asam lemak jenuhnya (SAFA),sebesar 23,83% ; sedangkan kandungan asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) adalah 21,75%. Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) pada ikan patin siam 13,24%. Kualitas minyak ikan patin yang dihasilkan pada penelitian ini masih memenuhi standar FDA (Food and Drug Administration), dengan kata lain kualitas minyak ikan tersebut masih bagus. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ikan air tawar hasil budidaya patin siam dapat dijadikan sebagai sumber asam lemak yang dibutuhkan oleh tubuh terutama kandungan asam lemak omega-9, omega-6 dan omega-3. Kata kunci : Ekstraksi minyak, limbah fillet, asam lemak kaya omega-9
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Provinsi Riau, kabupaten Kampar ditetapkan sebagai daerah sentra pengembangan ikan patin, di mana produksi ikan patin yang dihasilkan kabupaten Kampar sekitar 120 ton per hari. (Dinas Perikanan Kabupaten Kampar, 2014). Selama ini, industri pengolahan ikan patin yang berkembang di Riau adalah fillet ikan dan ikan asap. Limbahnya yang berupa gumpalan lemak, kepala, jeroan, dan sisa daging pada tulang, umumnya dibuang. Oleh karena itu perlu memanfaatkan limbah ini dalam upaya pengembangan industri pangan dengan konsep zero waste. Hasil penelitian Syahrul et al,( 2011) menunjukkan bahwa ikan patin merupakan sumber minyak ikan dengan rendemen sekitar 12.11 %. dengan kandungan asam lemak dominan adalah asam lemak omega-9 (asam Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
oleat) dengan kadar 20.34 % dari total asam lemak. Asam lemak omega-9 (asam oleat) merupakan bagian dari asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) yang belakangan ini banyak menarik perhatian ilmuwan. Penelitian akhirakhir ini membuktikan bahwa omega-9 berperan sangat penting bagi kesehatan manusia (Astawan, 2009) Pembuatan minyak ikan kaya omega-9 dari limbah ikan patin merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi terhadap ikan patin. Mengingat sifatnya yang mudah teroksidasi, maka minyak ikan patin kaya omega-9 ini perlu distabilisasi dengan teknik enkapsulasi dan penambahan antioksidan (vitamin E atau BHT). Enkapsulat minyak ikan patin kaya omega-9 yang dihasilkan dapat diaplikasikan pada berbagai produk pangan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
B- 13
Teknologi Pangan
Mengingat Provinsi Riau merupakan daerah potensial penghasil ikan patin, di mana limbahnya belum dimanfaatkan secara optimal, maka perlu ada penelitian khusus dalam rangka memanfaatkan potensi tersebut. Oleh karena itu penelitian ini dirancang untuk mengekstrak asam lemak omega-9 dari limbah industri pengolah fillet dan industri ikan asap yang berlokasi di daerah Riau. Minyak ikan patin kaya omega-9 yang dihasilkan bersifat tidak stabil akibat proses oksidasi pada ikatan rangkapnya. Untuk menstabilkannya perlu dilakukan penelitian tentang teknik enkapsulasi dan penambahan antioksidan. Selanjutnya, dalam penelitian ini akan dilakukan aplikasi enkapsulat minyak ikan patin kaya omega-9 pada pembuatan bubur instan. Konsumsi bubur instan yang mengandung omega-9 diharapkan dapat memperbaiki profil lemak darah konsumen, yaitu menurunkan kadar total kolesterol, LDL (“kolesterol jahat”) dan trigliserida, serta meningkatkan kadar HDL (“kolesterol baik”). Profil lemak darah yang baik akan berkontribusi positif terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat, khususnya terhadap pencegahan berbagai penyakit degeneratif (aterosklerosis, penyakit jantung koroner, stroke, dan hipertensi). B. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah ikan patin sebagai sumber minyak kaya omega-9 dan aplikasinya pada produk pangan (bubur instan). Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) Melakukan ekstraksi minyak ikan kaya omega-9 dari limbah ikan patin yang berasal dari industri pengolah fillet dan industri ikan asap yang berlokasi di Provinsi Riau. Ekstraksi akan dilakukan dengan teknik yang telah dikembangkan sebelumnya yaitu dengan penggunaan dietil ether. (2) Melakukan uji mutu fisik, kimia, dan sensori, serta analisis komposisi asam Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
lemak terhadap perolehan minyak ikan patin. (3) Melakukan teknik enkapsulasi terhadap minyak blending antara minyak sawit dan minyak ikan patin dengan rasio berbeda.. (4) Melakukan aplikasi minyak blending terkapsulasi pada pembuatan bubur instan. (5) Melakukan pengujian khasiat bubur instan yang mengandung minyak blending terenkapsulasi pada anak balita gizi kurang C. Keutamaan Penelitian Belakangan ini, masyarakat dunia cenderung memilih bahan pangan berdasarkan kepada fungsi fisiologisnya. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, maka industri pangan berlomba-lomba untuk menciptakan berbagai jenis pangan fungsional (functional foods) yang menonjolkan fungsi fisiologis dari zat yang terkandung di dalam produk. Fungsi fisiologis tersebut terutama diarahkan untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Asam lemak omega-9 merupakan komponen pangan fungsional yang mulai banyak diminati oleh masyarakat dunia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan manusia, khususnya sebagai pangan fungsional. . Keberadaan bahan pangan lokal (indigenus) yang kaya asam lemak omega-9 sangat diperlukan di Indonesia untuk pengembangan diversifikasi pangan. Oleh karena itu upaya pencarian bahan pangan sumber asam lemak omega-9 indigenus sangat perlu dilakukan. Limbah ikan patin merupakan sumber asam lemak omega-9 yang sangat murah, sehingga keberadaannya sangat diperlukan untuk kemajuan industri pangan dan kesehatan penduduk Indonesia. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Riau, dan Departemen B- 14
Teknologi Pangan
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam penelitian ini melibatkan mahasiswa S1 kedua perguruan tinggi, di mana keterlibatan mereka dalam rangka penyelesaian tugas akhir mereka berupa penulisan skripsi. 1. Bahan Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan patin yang diperoleh dari usaha budidaya ikan patin di provinsi Riau. Limbah yang digunakan berupa bagian lemak, jeroan, kepala dan daging yang melekat pada tulang. 2. Metode Analisis Penelitian ini akan dilakukan selama dua tahun, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tahapan Aktivitas Penelitian dan Target yang Hendak Dicapai
iodin, dan bilangan asam akan dilakukan dengan metode AOAC (2005).. 3.
Analisis Profil asam lemak Asam-asam lemak diekstraksi dari contoh dengan cara hidrolisis menggunakan basa, sesuai dengan metode AOAC (2005). Hasil ekstraksi kemudian dimetilasi menjadi asam lemak metil ester dengan menggunakan BF3 dalam methanol. Jumlah asam methil ester dapat diukur dengan menggunakan Kromatografi Gas (GC). Dari kromatogram yang dihasilkan dapat ditentukan jenis dan kadar asam-asam lemak yang tergolong ke dalam asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA), dan asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) 4.
Analisis sensori Uji sensori (organoleptik) terhadap warna, bau, rasa dan penerimaan secara umum terhadap minyak ikan kaya omega-9 dan bubur instan akan dilakukan dengan 30 orang panelis. Pengujian dilakukan berdasarkan tingkat kesukaan dengan skor 1 - 7, dimana skor 7 menyatakan sangat suka, 6 : suka, 5 : agak suka, 4 : netral, 3 : agak tidak suka, 2 : tidak suka, serata 1 : sangat tidak suka. 5.
Analisis rendemen enkapsulat minyak patin Rendemen enkapsulat minyak patin kaya omega-9 dihitung dengan rumus X = [berat enkapsulat minyak (g) / berat limbah (g] x 100 %
Analisis Mutu 1. Analisis sifat fisik Analisis sifat fisik minyak ikan kaya omega-9 hasil ekstraksi dari limbah ikan patin yang meliputi warna, berat jenis, dan viskositas akan dilakukan dengan metode AOAC (2005). 2.
Analisis sifat kimia Analisis sifat kimia minyak ikan kaya omega-9 hasil ekstraksi dari limbah ikan patin yang meliputi angka penyabunan, bilangan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Minyak Ikan Rendemen minyak ikan patin dihitung dengan cara membandingkan minyak ikan yang dihasilkan dengan berat awal limbah ikan sehingga didapatkan persentase rendemen minyak ikan. Rendemen minyak ikan patin dilakukan dengan menggunakan suhu ekstraksi 80 100°C selama 60 menit. Hasil penelitian 1.
B- 15
Teknologi Pangan
menunjukan bahwa rendemen minyak ikan patin diperoleh sebesar 12.1% 2. Karakteristik minyak ikan patin Karakteristik fisik minyak ikan patin siam yang dihasilkan adalah berwarna kuning kecoklatan dan kurang kental; sedangkan karakteristik kimia dari analisis kualitas minyak ikan yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 2. Kualitas Minyak Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)
Dari Tabel 2 diatas, dapat dilihat bahwa minyak ikan patin siam memiliki kadar minyak sebanyak 121.05 gr, angka penyabunan 295.361, angka iodium 80.3344 dan angka asam 0.05. Angka penyabunan didefinisikan sebagai reaksi yang terjadi karena adanya proses pendidihan minyak/lemak dengan senyawa alkil kemudian dilakukan pengasaman larutan yang dihasilkan yang kemudian akan didapat gliserol dan campuran asam lemak. Angka penyabunan atau jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 g lemak yang didapat dari hasil penelitian ini adalah 295,36 mg/gr Penentuan angka penyabunan dilakukan untuk mengetahui sifat minyak dan lemak. Pengujian sifat ini dapat digunakan untuk membedakan lemak yang satu dengan yang lainnya. Selain itu juga untuk mengetahui tingkat ketengikannya (rancidity), mudah mengalami ketengikan atau tidak. Semakin tinggi bilangan penyabunannya berarti asam lemaknya semakin tinggi sehingga minyak tersebut mudah tengik. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Angka iodium dapat menyatakan derajat ketidakjenuhan dari minyak atau lemak dan dapat juga dipergunakan untuk menggolongkan minyak “pengering” dan minyak “bukan pengering”. Jenis minyak mengering (drying oil) adalah minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi, dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka. Istilah “minyak setengah mengering” berupa minyak yang mempunyai daya mengering lebih lambat (Ketaren, 2005). Penentuan angka iodium dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui banyaknya ikatan rangkap yang terkandung dalam minyak ikan. Hasil penelitian menunjukkan kandungan iodium pada ikan patin siam adalah 88,41 mg/gr, kandungan ini masih jauh di bawah standar mutu angka iodium yang ditetapkan FDA yaitu maksimum 210 mg/gr. Angka iodium dapat menyatakan derajat ketidakjenuhan dari minyak atau lemak dan dapat juga dipergunakan untuk menggolongkan minyak “pengering” dan minyak “bukan pengering”. Jenis minyak mengering (drying oil) adalah minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi, dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka. Istilah “minyak setengah mengering” berupa minyak yang mempunyai daya mengering lebih lambat (Ketaren, 2005). Angka asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak akibat reaksi hidrolisis seperti reaksi kimia, pemanasan, proses fisika atau reaksi enzimatis. Besarnya angka asam tergantung dari kemurnian dan umur dari minyak atau lemak. Angka asam yang diperoleh dari hasil penelitian pada minyak ikan patin siam adalah sebesar 0,46 mg/gr ; berarti masih berada di bawah limit maksimum untuk asam lemak bebas yang di tetapkan FDA yaitu 1,5 mg/gr.
B- 16
Teknologi Pangan
Angka asam yang besar menunjukkan terbentuknya asam lemak bebas yang besar dari hidrolisis minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik. Selain itu keberadaan asam lemak bebas ini biasanya dijadikan indikator awal terjadinya kerusakan lemak, karena asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi jika dibandingkan dalam bentuk esternya. Kualitas suatu minyak dipengaruhi oleh asam lemak bebas yang terdapat di dalam minyak tersebut. Semakin tinggi asam lemak bebas maka semakin rendah kualitas minyaknya, karena asam lemak bebas menghasilkan flavour yang tidak enak pada minyak tersebut.
4. Profil asam lemak Profil asam lemak blending minyak ikan patin dan minyak sawit merah dengan berbagai rasio dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Profil asam lemak dominan blending minyak sawit merah dan minyak ikan patin Terenkapsulasi
3. Enkapsulasi Minyak Proses mikroenkapsulasi menggunakan spray dryer. Kondisi proses menggunakan parameter suhu inlet 180C dan suhu outlet 90C. Kecepatan aliran udara 20 menit an kecepatan aliran emulsi 5 mL/menit. Formulasi enkapsulasi yang digunakan adalah bahan pengisinya adalah maltodektrin dan twin dengan perbandingan 1:1. Komposisi adalah sebagai berikut: Volume larutan yang diinginkan 500 mL satu kali proses. Perbandingan bahan yang akan disalut adalah dengan bahan pengisi 1:1, sisanya akuades sebagai pelarut. Pada penelitian ini komposisi bahan yang akan disalut adalah minyak 66.66 gram, malto dekterin 30 gram dan isolat protein kedelei 30 gram, akuades sebagai pelarut ditambahkan hingga volume emulsi menjadi 500 mL. Hasil mikroenkapsulasi pada sampel yang digunakan minyak ikan merupakan bentuk butir halus dengan ukuran partikel 0.3 – 0.2 um. Hasil dari proses enkapsulasi ini diharapkan mencapai 75%, namun dalam proses terjadi kehilangan hasil enkapsulasi hal ini karena terdapatnya penempelan pada permukaan tabung pengering dan juga terbuang melalui aliran udara. Hasil dari enkapsulasi minyak ikan patin dengan menggunakan kombinasi penyalut maltodekstrin dan isolat protein kedelei menghasilkan rendemen sekitar 60 %. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah asam lemak tak jenuh tertingi terdapat pada rasio blending 50 : 50 , yaitu 59,29% dan yang terendah pada rasio 60 : 40 yaitu 39,68 %. Asam lemak tak jenuh dianggap bernilai gizi lebih baik karena lebih reaktif dan merupakan antioksidandi dalam tubuh. Asam lemak tidak jenuh juga sangat bermanfaat untuk mempertahankan kesehatan tubuh dan menjaga kestabilan kadar kolesterol. Sedangkan asam lemak jenuh tertinggi terdapat pada rasio 60 : 40 yaitu 31,02% Berdasarkan panjang rantainya, asam lemak jenuh yang terdapat pada blending minyak ikan dan sawit termasuk ke dalam kelompok asam lemak jenuh rantai panjang ; di mana salah satu jenis asam lemak jenuh paling dominan adalah asam palmitat. Asam palmitat pada blending minyak ikan dan sawit berkisar 14,46 – 27,09 %. Dari segi gizi, asam palmitat merupakan sumber kalori penting namun memiliki daya antioksidasi yang rendah (Wikipedia, 2010). Selanjutnya asam lemak tak jenuh dari blending minyak ikan dan sawit lebih banyak dibanding asam lemak jenuhnya. Menurut Dwi (2006), bahwa derajat ketidakjenuhan asam B- 17
Teknologi Pangan
lemak tak jenuh dibagi atas 3 golongan, yaitu asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) dan asam lemak tak jenuh ganda (PUFA). Pada Tabel 3 asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) blending minyak ikan dan sawit berkisar 30,39 – 40,14 % ; sedangkan asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) berkisar 9,29 – 19,15 %. Asam lemak tak jenuh dianggap bernilai gizi lebih baik karena lebih reaktif dan merupakan antioksidandi dalam tubuh. Asam lemak tidak jenuh juga sangat bermanfaat untuk mempertahankan kesehatan tubuh dan menjaga kestabilan kadar kolesterol.
asam lemak omega-6 dan omega-3. Oleh sebab itu diperlukan penelitian lanjutan mengenai aplikasi enkapsulasi minyak ikan patin kaya omega-9 tersebut pada produk pangan khususnya bubur instan dan daya simpannya selama penyimpanan.
KESIMPULAN DAN SARAN
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana dengan baik berkat dukungan dana Desentralisasi Lembaga Penelitian Universitas Riau Tahun Anggaran 2015. Sehubungan dengan itu kami penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Riau dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UR atas bantuan dana tersebut.
1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rendemen minyak ikan patin dilakukan dengan menggunakan suhu ekstraksi 80 - 100°C selama 60 menit, dengan rendemen minyak ikan patin sebesar 12,1 %. Hasil analisis komposisi asam lemak minyak ikan patin diperoleh total SFA, MUFA, PUFA, EPA dan DHA masing-masing sebesar 26,79%, 25,47%, 10,38%, 0,73%, 2,53%. Kadar minyak ikan patin siam yang diperoleh tergolong tinggi dibanding ikan air tawar lainnya, dan kualitas minyak ikan patin pada penelitian ini masih di bawah standar maksimum FDA (Food and Drug Administration), yang berarti kualitas minyak ikan tersebut masih bagus. Hasil dari enkapsulasi minyak ikan patin dengan menggunakan kombinasi penyalut maltodekstrin dan isolat protein kedelei menghasilkan rendemen sekitar 60%. 2. Saran
Berdasarkan penelitian ini disarankan untuk bahwa limbah padat dari pengolahan ikan patim siam dapat dimanfaatkan untuk memproduksi komponen fungsional asam lemak omega-9 dan asam lemak lainnya seperti
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
AOAC. 2005. Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry, Washington, D.C. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, S. Yasni, dan S. Budioyanto. 1989. Analisis Pangan, Petunjuk Laboratorium. Bogor. IPB Press. Astawan, M. 2008. Sehat dengan Hidangan Hewani. Penebar Swadaya, Jakarta. Astawan, M.2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian.Penebar Swadaya, Jakarta. Astawan, M dan D. Muchtadi. 2009. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta Astawan, M, T. Wresdiyati, I.I. Arief, E. Suhesti. 2011a. Gambaran Hematologi Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diinfeksi Escherichia coli Enteropatogenik dan Diberikan Probiotik. Media Peternakan 34(1):713
B- 18
Teknologi Pangan
Astawan, M., T. Wresdiyati, I.I. Arief. 2011b. Potensi bakteri asam laktat probiotik indigenus sebagai antidiare dan imunomodulator. Jurnal Teknolologi dan Industri Pangan XXII (1): 11-16
Superoxide Dismutase (SOD) in Liver of Isoflavone, Zn, and Vitamin E-treated Rats. Media Kedokteran Hewan 26(2):98-105
Baraas F, 1994. Mencegah Serangan Jantung Dengan Menekan Kolesterol. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Pedoman Pangan Fungsional. Jakarta Conti, M., Moramd, P.C., Levillaind, P. & Lemonnier, A. 1991. Improve fluorometric determination of malonaldehyde. J. Clin. Chem. Soc. 103: 6472-6477. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau, 2011. Laporan Tahunan Budidaya Ikan Air Tawar. Pekanbaru.. Grundy, S.M. 1999.. Nutrition and diet in the management of hyperlipidemia and atherosclerosis, dalam Modern Nutrition in Health and Diseases (Shills et. al). Lea & Febiger . Philadelpia: 1119-1214 Kiernan, J.A. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory & Practiice. Pergamon Press, London. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1986. Principles and Procedures of Statistics, A Biometrical Approach. McGraw-Hill Book Company, Singapore. Syahrul et al, 2011. Kajian Profil Asam Lemak Pada Beberapa Ikan Air Tawar Hasil Budidaya. Laporan penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.(tidak dipublikasi). Wresdiyati T, Mamba K, Adnyane IKM, and Aisyah US. 2002. The effect of stress condition on the intracellular antioxidant copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) in the rat kidney : an immunohistochemical study. Hayati. 9(3):85-88. Wresdiyati T, Asturi S, Irvan M, Astawan M.. 2010. The Profile of Antioxidant Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 19
Teknologi Pangan
PEMBUATAN BERAS ANALOG BERBAHAN DASAR TEPUNG SAGU DENGAN TIGA RASA Syuryani Syahrul1 dan Maizarni2
Staf Pengajar Politknik Pertnian Negeri Payakumbuh Teknisi Labor Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
1) 2)
ABSTRACT The research of analog rice which used sago flour as main compositiom is done in the laboratory of the food processing Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh in November 2013 to February 2014. This is a preliminary study on analog rice based material sago flaour. The analog rice is made in 3 (three) flavors ie no flavor, pandan flavor and carrots. Observations conducted on raw materials obtained: the pith of sago starch content of 40.62%, the starch content of sago flavor 81.90%, protein content of sago flavour 5.33 % and fat content of sago flour 0.03%. Observations for the third analog rice produced are: rice water content ranges from 3.41% to 5:43%, ash content of about 1%, protein content ranges from 5:46% to 8.65%. Fat content ranges from 4.8% to 7.8% and carbohydrate content ranges from 77.9% to 84.79%. And organoleptic assessment of third-flavored analog rice by panel team, generally is acceptable in terms of taste, odor, color and texture. But in terms of flavor, most preferred by panelist is pandan flavor.
1. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Beras analog adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras dengan bentuk menyerupai beras dan dapat berasal dari kombinasi tepung lokal (Samad 2003; Deptan 2011). Metode pembuatan beras analog terdiri atas dua cara yaitu metode granulasi dan ekstrusi. Perbedaan pada kedua metode ini adalah tahapan gelatinisasi adonan dan tahap pencetakkan. Hasil cetakan metode granulasi adalah butiran sedangkan hasil cetakan metode ekstrusi adalah bulat lonjong dan sudah lebih menyerupai beras. Pembuatan beras analog yang telah dipatenkan oleh Kurachi (1995) dengan metode granulasi diawali dengan tahap pencampuran tepung, air, dan hidrokoloid sebagai bahan pengikat. Proses pencampuran dilakukan pada suhu 30-80 oC sehingga sebagian adonan telah mengalami gelatinisasi (semigelatinisasi). Setelah itu adonan dicetak menggunakan granulator, kemudian dikukus (gelatinisasi) dan dikeringkan. Beras analog dapat diolah dari bahan baku singkong, tepung sagu, jagung, umbi-umbian Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
dan sebagainya. Zat gizi yang terkandung pada beras analog bisa diatur sedemikian rupa sehingga bisa menyerupai kandungan gizi beras padi. Beras analog diharapkan bisa mensubstitusi beras padi dan dapat diproduksi dalam skala besar. Beras analog bisa menjadi sumber karbohidrat selain beras padi dan dapat mencegah krisis pangan di Indonesia sebab Indonesia adalah pengonsumsi beras terbesar di dunia. Munculnya beras analog ini karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa mengonsumsi beras (nasi) dalam keseharian karena itu jagung, sorgum, singkong, sagu, dan umbi-umbian yang merupakan sumber karbohidrat harus diolah dulu menjadi bentuk beras (beras analog) agar dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat walaupun untuk merubahnya menjadi bentuk beras mengeluarkan sejumlah biaya. Untuk merobah sumber karbohidrat tersebut menjadi beras analog memerlukan teknologi yang mudah diadopsi oleh masyakat. Teknologi yang digunakan dalam pembuatan beras analog dapat menggunakan teknologi ekstruksi dengan sistem tekanan atau dapat dilakukan secara manual menggunakan peralatan sederhana.
B- 20
Teknologi Pangan
Pengolahan dan bahan baku beras analog dapat disesuaikan dengan karakteristik di masing-masing daerah. Sebagai contoh untuk daerah Mentawai yang banyak menghasilkan tepung sagu maka beras analog dapat dibuat dari sagu. Karena itu diperlukan uji coba pembuatan beras analog dari tepung sagu untuk melihat penerimaan konsumen dari segi organoleptik dan nilai gizinya. Dalam pembuatan beras analog dari tepung sagu perlu ditambahkan sumber serat sebagai pengikat tepung sagu. Serat tersebut bisa diambil dari umbi talas atau singkong. 2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian beras analog ini adalah: 1. Untuk melihat tingkat keberhasilan proses pembuatan beras analog berbahan dasar tepung sagu 2. Untuk melihat mutu beras analog yang dihasilkan dengan berbahan dasar tepung sagu 3. Untuk mengetahui beras analog yang paling disukai konsumen II. BAHAN DAN METODE 1. Waktu dan Tempat Proses pembuatan beras analog sagu ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh mulai dari bulan November 2013 sampai dengan Februari 2014 2. Bahan dan Alat 2.1 Bahan a. Bahan untuk pembuatan produk Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan beras analog sagu ini adalah tepung sagu, singkong, wortel, daun pandan dan minyak goreng.
benzene, kertas saring, alkohol, PCA dan KH2PO4 . 2.2 Alat a. Alat pengolahan Peralatan pengolahan yang digunakan dalam pembuatan beras analog sagu adalah: timbangan, panci, pisau, wajan, kompor, cetakan, saringan, sendok goreng, Blender, saringan, dan oven pengering. b. Alat pengujian Peralatan pengujian yang digunakan adalah: timbangan analitik, oven penegring, desikator, cawan porselen, spatula, Erlenmeyer, gelas ukur, pipet ukur, pipet tetes, buret, labu destilasi, labu kjedhal, cawan petri dan inkubator. 3. Proses Pengolahan 3.3.1 Persiapan Bahan dan Peralatan Semua peralatan yang dibutuhkan untuk pengolahan sudah harus dipersiapkan dalam keadaan bersih dan bahan yang akan digunakan yaitu singkong dicuci bersih, dikupas, dipotong, dan dihancurkan, kemudian wortel juga dicuci bersih dan dihancurkan .Untuk tepung sagu diayak agar tidak ada lagi butiran kasar. Daun pandan dihaluskan dan ditambah air untuk mengambil ekstraknya. Masing-masing bahan yang akan digunakan ditimbang berdasarkan formula yang telah ditentukan seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Formulasi beras analog sagu ( tanpa rasa, rasa pandan dan rasa wortel
b. Bahan untuk pengujian produk Bahan yang digunakan untuk menguji mutu beras analog sagu adalah : selenium, asam sulfat pekat, NaOH 30 %, asam borax 40 %, indicator Conway, HCl 0,01 N, petroleum Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 21
Teknologi Pangan
3.2 Penghancuran singkong Singkong dan wartel dihancurkan dengan blender kemudian ditarok di tempat yang terpisah, tujuannnya adalah untuk mendapatkan adonan yang halus sehingga singkong dan wortel akan mudah menyatu dengan tepung sagu. 3.3 Pencampuran Tepung sagu dan bubur singkong dicampur dengan perbandingan 1 bagian tepung sagu dan 1 bagaian bubur singkong untuk beras analog tanpa rasa dan beras analog rasa pandan, sedangkan untuk beras analog rasa wortel dibuat perbandingan 1 bagian tepung sagu dan 1/2 bagain bubur singkong dan 1/2 bagian bubur wortel. Jumlah air yang ditambahkan disesuaikan dengan konsistensi adonan sampai bisa dicetak. 3.4. Pencetakan Pencetakan dilakukan dengan menggunakan saringan plastik yang lobangnya bisa menghasilkan beras analog yang seragam dengan ukuran lebih kurang sama dengan beras biasa. Pencetakan langsung dilakukan di atas tampah atau loyang alumanium yang dialas kain saring 3.5 Pengeringan sebelum penyangraian Sebelum proses penyangraian beras analog perlu dikering anginkan sebentar bisa menggunakan oven pengering atau sinar matahari. Tujuannya adalah agar tidak hancur pada saat proses penyangraian. 3.6 Penyangraian/gelatinisasi Penyangraian beras analog dimaksudkan agar terjadi proses gelatinisasi pati sehingga dihasilkan konsistensi beras analog yang lebih keras dan tidak mudah hancur. Proses penyangraian dilakukan dengan menambahkan sedikit minyak. Selama proses penyangraian dilakukan pembalikan dengan hati-hati agar beras yang dihasilkan tidak hancur.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
3.7 Pengeringan terakhir Setelah penyangraian dilakukan proses pengeringan terakhir, pengeringan bisa menggunakan oven atau sinar matahari sampai kadar air 4-5 %. 3.8 Pengemasan Setelah selesai pengeringan segera dilakukan pengemasan agar tidak terjadi penyerapan uap air kembali yang bisa menyebabkan tumbuhnya jamur. Pengemasan beras analog sebaiknya menggunakan bahan kemasan yang kedap udara untuk menghindari masuknya uap air yang akan menyebabkan tumbuhnya jamur. 3.5. Pengamatan Pengamatan yang dilakukan meliputi: 3.5.1 Bahan baku Pengamatan yang dilakukan adalah kadar pati empulur sagu, kadar pati tepung sagu, kadar protein tepung sagu dan kadar lemak tepung sagu. 3.5.2. Beras analog Pengamatan yang dilakukan terhadap beras analog meliputi : kadar air, kadar pati, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, mikrobiologi dan organoleptik. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Bahan Baku (empulur sagu dan tepung sagu) Hasil pengujian terhadap bahan baku beras analog dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengujian bahan baku beras analog (empulur sagu dan Tepung sagu)
B- 22
Teknologi Pangan
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar pati empulur sagu cukup tinggi yaitu 40,62 %, sehingga sangat layak digunakan sebagai salah satu sumber makanan pokok yang harus tetap dilestarikan meskipun banyak sumber pati lain yang menjadi pilihan. Namun kadar protein dan kadar lemaknya tidak terdeteksi. Empulur sagu menghasilkan tepung sagu yang dijadikan sebagai bahan baku pembuatan beras analog. Tepung sagu setelah dilakukan pengujian didapat kadar patinya 81.90 %, protein 5,33 % dan lemak 0.03 %. Tepung sagu dibandingkan sumber karbohidrat lainnya kaya akan kandungan karbohidrat tapi miskin zat gizi lain. Tepung sagu dapat dijadikan sebagai bahan baku beras analog dengan range 30-50 % dari total bahan baku yang digunakan. Seperti formulasi yang digunakan oleh IPB (Istitut Pertanian Bogor) yang menggunakan tepung sagu sebanyak 30 % dari total keseluruhan bahan yang digunakan. Tepung sagu juga telah dipilih untuk produksi beras analog secara komersial yang digabungkan dengan sorgum 30 % dan jagung 40 % di Jawa Timur (http://www.ristek.go.id, 2013). Banyak keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan bahan baku sagu, sorgum dan jagung, diantaranya adalah ke tiga jenis bahan tersebut mempunyai indeks glikemik yang rendah sangat cocok untuk penderita diabetes, memberikan rasa kenyang yang lama, dan pemanfaatan lahan kritis. Supaya masyarakat dapat menerima sagu, sorgum dan jagung sebagai makanan pokok salah satu caranya adalah dengan mengolahnya menjadi beras analog. Kemudian Widara, (2012) telah mencobakan 2 formula dalam proses pembuatan beras analog, formula A ( tepung jagung 40%, tepung sorgum 30%, maizena 15%, pati sagu aren 15% dan GMS 2%). Formula B (tepung jagung 40%, mocaf 30%, maizena 30% dan GMS 2%). Ke dua formula beras analog tersebut menghasilkani karakteristik yang hampir sama. Tepung sagu yang rendah kadar serat dan miskin dengan zat gizi protein dapat dilakukan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
penambahan serat dan ditingkatkan kadar proteinnya. Penambahan umbi-umbian seperti talas dan singkong atau penambahan tepung jagung dan sorgum dapat menaikan kadar serat pati sagu. 2.
Produk Beras Analog
2.1 Hasil Pengujian Proksimat Beras analog sagu Hasil pengujian proksimat beras analog dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengujian proksimat beras analog sagu tanpa rasa, rasa pandan dan rasa wortel dalam persen (%)
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar air beras analog sagu berkisar antara 3,41 % sampai dengan 5,43 %, dengan kadar air yang rendah beras analog sagu sudah cukup aman disimpan dari serangan kapang tapi cara pengemasan yang dilakukan harus benar-benar kedap udara agar tidak terjadi peningkatan kadar air. Sedangkan kadar air beras padi menurut Bulog (1983) adalah 14 %. Kadar abu beras analog sagu sekitar 1 %, protein berkisar 5,46 -8,65 %, kadar lemak berkisar antara 4,8 – 7,8 % dan kadar karbohidrat 77,9 – 84,7 %. Kandungan protein beras analog yang diproduksi oleh IPB Bogor adalah 8 - 12 %, sedangkan kandungan protein beras padi adalah 6-8 % (http://www.ristek.go.id, 2013). Kadar lemak beras analog sagu yang diolah dengan cara manual cukup tinggi yaitu 4,83 – 7,81 %. Hal ini disebabkan pada saat penyangraian (gelatinisasi) adanya penambahan minyak goreng. Penambahan minyak goreng pada saat penyangraian bertujuan agar beras analog tidak lengket pada wajan. Sedangkan beras analog yang diolah dengan menggunakan mesin screw B- 23
Teknologi Pangan
ekstruder bertekanan mempunyai kadar lemak yang rendah karena proses gelatinisasinya tidak ditambahkan minyak goreng. Nilai gizi beras analog dapat diatur sesuai kebutuhan. Itulah salah satu keistimewaan beras analog dibanding beras padi. Untuk menaikan kandungan protein beras analog sagu dapat ditambahkann tepung kacang-kacangan dan untuk menaikan kandungan seratnya dapat ditambahkan tepung jagung, sorgum, mocaf dan umbi-umbian. 2.2 Hasil Pengujian Organoleptik Nasi dari Beras Analog sagu Hasil penilaian organoleptik terhadap tiga jenis beras analog sagu yang dibuat di Labor Pengolahan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil penilaian organoleptik nasi dari tiga jenis beras analog sagu oleh Tim Panel .
setelah nasi sudah menjadi dingin. Mengkonsumsi nasi dari beras analog sagu akan terasa nikmat dalam kaadaan masih panas. Sementara menurut Herawati, et al (2013) menyatakan bahwa pembentukan granula butiran beras artifial instant yang optimal dapat dilakukan dengan mempergunakan alat tween ekstruder dengan menggunakan kadar air 60 %, putaran screw 168 rpm, temperature screw 95 oC, konsentrasi GMS (emulsifier) 2 % dan lama steaming 5 menit. Beras analog yang diinginkan adalah bentuk butiran beras yang kokoh, tekstur nasi yang lembut serta waktu tanak yang lebih singkat dengan cita rasa yang dapat diterima. Untuk membentuk butiran beras analog yang baik dibutuhkan serat sebagai bahan pengikat yang diambilkan dari tepung-tepungan (tepung jagung, tepung sorgum dan tepung mocaf). 2.3 Hasil Pengujian Mikrobiologi Tiga Jenis Beras Analog sagu Hasil pengujian mikrobiologitiga jenis beras analog sagu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil pengujian mikrobiologi (total mikroba) tiga jenis beras analog sagu
Penilaian organoleptik: Sangat suka, suka, biasa, tidak suka, sangat tidak suka Dari Tabel 4 dapat dilihat hasil penilaian organoleptik oleh Tim Panel terhadap nasi dari beras analog rasa pandan paling disukai dari segi warna, aroma dan rasa, setelah itu beras analog sagu rasa wortel disukai dari segi warna dan aroma, kemudian barulah beras anakog sagu tanpa rasa. Khusus dari segi tekstur Tim Panel memberikan nilai suka untuk semua rasa beras analog. Nasi dari dari tiga jenis beras analog sagu hasil penilaian organoleptik oleh Tim Panel secara keseluruhan dapat diterima baik dari segi warna, aroma, rasa dan tekstur. Kekurangan nasi yang berasal dari beras analog sagu adalah tekstur akan mengeras Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa total mikroba untuk setiap gram beras analog sagu adalah sekitar 104, kalau dilhat dari ketentuan SNI 01-2713-1999 (BSN, 1999) mengenai batasan maksimum cemaran mikroba dalan bahan pangan untuk total mikroba yaitu 1 x 106 CFU/gram maka jumlah mikroba dalam beras analog sagu masih di bawah ambang batas. Jumlah mikroba 104 sebenarnya ini tidak terlalu menjadi masalah karena beras analog sagu dimasak dulu sebelum dikonsumsi.
B- 24
Teknologi Pangan
V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dari hasil uji coba pembuatan beras analog sagu di Laboratorium Pengolahan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh dapat diambil kesimpulan seperti berikut : 1. Tepung pati sagu dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan beras analog. 2. Dalam pembuatan beras analog dari pati sagu harus dicampur dengan bahan lain yang mengandung serat supaya didapatkan beras analog yang kompak karena serat berfungsi sebagai bahan pengikat. kalau tidak ditambahkan bahan serat akan menyebabkan beras analog mudah patah atau hancur. Contoh sumber serat adalah umbi-umbian seperti ubi kayu dan talas, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk tepung. Pada uji coba yang telah dilakukan perbandingan yang terbaik adalah 1 bagian pati sagu dicampur dengan 1 bagian bubur ubi kayu segar. 3. Dilihat dari segi nilai gizi maka ke tiga jenis beras analog menghasilkan protein berkisar 5,46 -8,65 %, kadar lemak berkisar antara 4,8 – 7,8 % dan kadar karbohidrat 77,9 – 84,7 % , perbedaan hanya dari segi penilaian organoleptik (rasa, warna dan aroma) 4. Dari segi rasa dan aroma beras analog yang paling disukai adalah rasa pandan, setelah Itu beras analog rasa wortel, dan yang terakhir tanpa rasa 5. Beras analog mempunyai indeks glukemik yang rendah karena itu sangat cocok dikonsumsi oleh penderita diabetes 6. Jagung, sorgum dan ubi kayu bisa dijadkan sebagai makanan pokok alternatif dan akan diterima dengan baik oleh masyarakat setelah dirubah dulu menjadi beras analog walaupun untuk itu diperlukan sejumlah biaya pengolahan.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
2. Saran 1. Beras analog sangat cocok diproduksi dalam jumlah besar terutama sekali untuk diberikan kepada penderita diabetes atau penyakit tertentu yang sedang melakukan diet gizi. 2. Pembuatan beras analog dengan metode granulasi yang menggunakan bahan baku pati sagu dan ubi kayu segar perbandingan yang terbaik untuk kedua jenis bahan tersebut disarankan menggunakan 1:1. 3. Dalam pembuatan beras analog sebaiknya komposisi gizinya diatur sesuai kebutuhan, misalnya untuk penderita diabetes, manula, dan lain-lain. DAFTAR PUSTAKA Alam N dan Soleh MS. 2009. Karakteristik pati dari batang pohon aren pada berbagai fasePertumbuhan. Budijanto, S. 2011. Pengembangan rantai nilai serelia lokal (indigenous sereal) untuk memperkokoh pangan nasional. IPB. Bogor Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman umum gerakan penganekaragaman konsumsi pangan. Jakarta. Badan Pertahanan Pangan. Deptan RI. Herawati, Heny; Feri Kusnandar; Dede R. Adawiyah dan Slamet Budijanto. 2013. Teknologi proses pembentukan butiran beras artifisial instan dengan metoda ekstruder. IPB. Bogor. http://jual-beras analog blogspot.com/2013/07 http:///www. ristek. Go. Id, october 7, 2013 id. Wikipedia. Otg/wiki/sagu. october 7, 2013 Kurachi, A. 1995. Process for Producing Artificial Rice UAS. 5403606 Mishra, A; Mishra, H.N dan Rao, PS. 2012. Preparation of rice analogues using extrusion technology. International Journal of Food Science and Technology. B- 25
Teknologi Pangan
Riaz, MN. 2000. Extruders in food applications CRC Press. Boca Paton Samad, MY. 2003. Pembuatan beras tiruan (artificial rice) dengan bagan baku ubi kayu dan sagu. BPPT VII. IB 02. Suba Santika Widara dan Slamet Budijanto. 2012. Studi pembuatan beras analog dari berbagai sumber karbohidrat menggunakan nteknologi hot extrusion. IPB. Bogor. Lampiran 1. Bagan Alir Pembuatan Beras Sagu
Lampiran 2. Dokumentasi Beras Analog Sagu
Singkong Pengupasa n Pencucian Penghancura n Hancuran singkong
Pati sagu
Pencetakan sagu Penyangraian Pengeringan Beras analog sagu
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 26
Teknologi Pangan
ANALISIS SIKAP MULTIATRIBUT FISHBEIN TERHADAP PRODUK RENDANG TELUR DI KAMPUNG RENDANG KOTA PAYAKUMBUH Elfi Rahmi, James Hellyward Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Kampus Unand Limau Manis Padang e-mail :
[email protected]
ABSTRACT The objective of this research was to analyze consumer attitude of ‘Rendang Telur’ product that is produced by ‘Kampung Rendang’ in Payakumbuh City. The research methodtology used combination case study and survey. Case study were conducted to define object the reseacrh. Survey were conducted for collecting the data from 60 respondents who were purposively selected in Padang. Data were collected by using quesionare. Data that were collected related with atributtes of product, the attributes were positive statement about tecture, taste, ingredient, colour/performance, and packaging. Collected data were analyzed by fishbein analysis, there was Attitude Toward Object Model. From fishbein analysis, the result of the research showed that ’rendang telur’ product of three home industries, they were Dapoer Rendang Riry, Erika and Yolanda got the score 11.64, 12.65 and 3.97. It was mean, the consumers had positif attitude of ‘rendang telur’ product, and agreed with the positive statements of attributes that it was of ‘rendang telur’. Rendang Telur Erika got the highest score, it was mean it more delicious than two others. Keyword : rendang telur, attitude of consumers, attributes of product, fishbein, marketing
PENDAHULUAN Kota Payakumbuh merupakan daerah sentra produksi ayam ras petelur. Sehingga telur sebagai produk utama dari usaha ayam ras petelur menjadi salah penggerak usaha rumah tangga makanan khas Kota Payakumbuh, yaitu rendang telur. Rendang telur khas Kota Payakumbuh merupakan salah usaha rumah tangga yang dapat meningkatkan nilai tambah dari produk telur, karna pada awalnya telur yang diolah menjadi rendang tersebut adalah telur yang pecah atau retak, bukan telur utuh, sehingga telur pecah/retak yang tadinya nyaris terbuang atau terpaksa dijual dengan harga rendah bisa memberikan nilai ekonomis yang relatif lebih tinggi, baik oleh peternak maupun oleh usaha rumah tangga. Rendang telur yang dijual di Kota Payakumbuh memiliki bentuk yang khas, dari namanya konsumen akan membayangkan telur bulat setelah direbus yang direndang, akan tetapi tidak demikian halnya, rendang telur memiliki bentuk seperti kerupuk yang diselimuti dedak-dedak seperti dedak rendang Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
yang sangat kering. Rendang telur banyak dibeli konsumen sebagai oleh-oleh dan salah satu suguhan di acara-acara tertentu seperti kenduri dan hajatan. Rasanya yang gurih dan enak banyak digemari masyarakat, akan tetapi rasa telurnya sendiri pada rendang telur tersebut hampir tidak terasa, karena dalam pengolahannya telur dicampur tepung tapioka yang telah dibumbui dan didadar, dipotong segi, kemudian digoreng baru dimasukkan ke dalam santan yang sedang direndang. Industri rumah tangga/usaha rendang telur dalam perkembangannya semakin bertambah jumlah produsennya dan terletak di lokasi yang terpusat di Kelurahan Parit Lampasi Kota Payakumbuh. Sehingga hal ini menjadi ikon tersendiri bagi pemerintah daerah dengan menamakan kawasan tersebut sebagai kampung rendang, dan bahkan pemerintah membuatkan gapura saat memasuki kawasan tersebut yang bertuliskan selamat datang di Kampung Rendang Kota Payakumbuh. Sebagai ikon daerah setempat diharapkan outlet-outlet rendang ini seharusnya ramai B- 27
Teknologi Pangan
dikunjungi konsumen dan menjadi salah satu daerah tujuan wisata kuliner di Sumatera Barat. Beberapa outlet rendang telur yang merupakan pionir yang sudah dikenal diantaranya Usaha Rendang Yolanda, Usaha Rendang Erika, dan Usaha Rendang Dapoer Riry Family. Masih banyak lagi usaha rendang lainnya yang terdapat di kawasan Kampung Rendang Payakumbuh. Namun sayangnya dari hasil survey pra penelitian, di outlet-outlet penjualan rendang terlihat sangat sepi pengunjung, meskipun menurut informasi dari penjual, selalu ada pembeli atau pengunjung setiap harinya. Meskipun demikian setiap produsen tetap memproduksi rendang setiap hari. Hal ini disebabkan karena dalam memasarkan produknya, ketiga usaha rendang ini melakukan kerjasama dengan toko pusat oleholeh di luar kota, yaitu di Kota Padang seperti Christine Hakim, Sherly, Mahkota, bahkan toko pusat oleh-oleh di luar propinsi, seperti Jakarta, Bandung, Batam, Surabaya, dan lainlain. Namun persoalannya muncul karena beberapa toko pusat oleh-oleh mempunyai persyaratan untuk memasarkan rendang tersebut harus dengan menggunakan merk dagang toko pusat oleh-oleh tersebut, bukan menggunakan merk dagang usaha rendang yang memproduksi.Hal ini merupakansalah satu kelemahan produsen rendang, karena tidak berupaya keras untuk membangun merk. Selain itu, hal ini juga merugikan produsen rendang, karena akan sulit mengidentifikasi produk mana yang lebih memiliki kualitas rasa yang enak, sehingga bisa membangun merk. Kelemahan lainnya yaitu, jika ada salah satu produk yang mendapatkan testimoni tidak bagus dari konsumen maka akan merusak citra makanan khas Payakumbuh secara keseluruhan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kualitas rendang sangat ditentukan oleh waktu, jika terjadi perputaran penjualan yang lama, menyebabkan menurunnya kualitas rasa. Idealnya faktor utama/atribut yang biasanya dipertimbangkan konsumen untuk memutuskan melakukan pembelian terhadap Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
produk makanan adalah rasa. Apalagi produk rendang merupakan makanan khas yang kaya bumbu dan teknis pembuatan yang sedikit rumit, sehingga sangat menentukan dan mempengaruhi rasa. Takaran bumbu yang kurang tepat ataupun teknis memasak yang berbeda akan mempengaruhi rasa dan tampilan rendang yang diproduksi. Termasuk dalam hal baru diproduksi dan sudah lama diproduksi, karena kualitas rasa yang sudah lama jeda waktu produksi dengan waktu konsumsi akan sangat terasa, dan otomatis akan menurunkan minat konsumen untuk melakukan pembelian ulang. Rasa juga terkait dengan ada tidaknya zat yang berbahaya bagi tubuh misalnya terlalu terasa penyedap makanan dan lain-lain. Oleh karena itu strategi pemasaran yang paling tepat untuk langkah awal bagi produk makanan adalah dengan mempertahankan kualitas produk, karena produk makanan terkait dengan citarasa konsumen.Hal ini sangat diperlukan oleh produsen untuk melakukan evaluasi terhadap produk yang diproduksi sehingga bisa lebih meningkatkan kualitas dan memenangkan pasar. Menurut Peter & Olson (1999), Engel, et.all,.(1994), Schiffman & Kanuk (1994), sikap diartikan evaluasi dari seseorang, menunjukkan penilaian langsung dan umum terhadap suatu produk. Riset pasar atau riset konsumen merupakan salah satu kegiatan penting untuk mengetahui sikap konsumen terhadap suatu produk. METODOLOGI 1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain survai dengan menggunakan unsur contoh (sampling element) yaitu individu konsumen yang berasal dari populasi mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Unit contoh (sampling unit) yang tersedia untuk dipilih adalah mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Pemasaran dan Kewirausahaan. Metode survai dengan unsur contoh dilakukan dengan alasan supaya memperoleh hasil analisis yang sesuai dengan tujuan penelitian yang diharapkan B- 28
Teknologi Pangan
(Sumarwan, 2000). Dengan asumsi mahasiswa merupakan kelompok individu yang bisa mewakili kelompok konsumen yang bisa memberikan evaluasi terhadap suatu objek dan memudahkan dalam teknis pengumpulan data. Jumlah seluruh responden adalah 60 orang mahasiswa. Jika konsumen langsung yang dijadikan responden membutuhkan waktu dan biaya yang relatif lama, selain itu dari pengalaman penelitianyang melibatkan responden konsumen langsung,sering terjadi penolakan dari konsumen, tidak mau menyediakan waktu untuk mengisi kuesioner, tidak fokus dalam memahami pertanyaan pada kuesioner, tidak memahami cara pengisisian pilihan jawaban, sehingga tidak efektif dan efisien dalam mencapai tujuan penelitian.
(e) Kandungan gizi/telurnya masih terasa (f) Kemasan menarik Setiap responden diminta untuk menyatakan sikapnya dalam 5 angka skala : Sangat penting Sangat tidak penting +2 +1 0 -1 -2
2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara tertulis disertai penjelasan sebelum responden mengisi kuisioner. Untuk bisa menjawab semua pertanyaan yang ada di kuesioner tentang evaluasi terhadap atribut produk, semua responden diwajibkan untuk melakukan uji organoleptik masing-masing dari merek/produksi Usaha Rendang Dapoer Rendang Riry Family, Usaha Rendang Erika, dan Usaha Rendang Yolanda.Sesuai dengan metode analisis yang digunakan, responden akan mengisi kuisioner sebelum dan sesudah melakukan uji organoleptik untuk beberapa atribut produk yang dievaluasi.
Skor rata-rata setiap variabel digunakan untuk menghitung skor Model Sikap Multiatribut Fishbein. Model ini menggambarkan sikap konsumen terhadap semua jenis rendang untung masing-masing merek berdasarkan sikap konsumen terhadap keenam atribut produk tersebut. Untuk setiap merek perlu menilai kepercayaan konsumen untuk masing-masing atribut(Eugene dan Israel, 1984).
3. Peubah Penelitian Peubah penelitian adalah atribut produk yang paling menonjol yang biasa dijadikan penilaian bagi konsumen dalam keputusan pembelian, yaitu terdiri dari dua kelompok variabel. Yang pertama variabel ei adalah variabel kepentingan terhadap enam atribut produk yaitu : (Variabel ei) (a) Tekstur renyah, empuk (b) Rasa sesuai selera, enak, gurih (c) Tidak ada zat berbahaya (misal terlalu terasa penyedap) (d) Warna/bentuk menarik Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Variabel kelompok kedua, variabel bi yaitu variabel evaluasi tingkat kepercayaan, bahwa rendang telur dari tiga merek tersebut memilikike enam atribut pada variabel kepentingan (variabel ei) sebelumnya.Setiap responden diminta untuk menyatakan sikapnya terhadap pernyataan apakah semua jenis rendang dari 3 merek tersebut memiliki atribut di atas dalam 5 angka skala : Sangat baik Sangat buruk +2 +1 0 -1 -2
4. Model Analisis dan Cara Penyimpulan Hasil Penelitian Model Sikap Fishbein yang digunakan pada penelitian ini adalah menghitung Ao (Attitude toward the object), yaitu sikap seseorang terhadap sebuah objek, yang dikenali lewat atribut-atribut yang melekat pada obyek tersebut. Dengan mengenali sebuah obyek melalui cara melihat, meraba, mencoba akan mempunyai sikap tertentu terhadap obyek. Sehingga setelah melihat dan mencoba semua rendang dari tiga merek yang menjadi objek penelitian, responden mahasiswa sebagai contoh konsumen dapat menilai apakah rendang yang telah dicoba memenuhi harapan yang sesuai dengan derajat kepentingan atribut tersebut yang dinilai sebelum mencoba produk (Engel, et.al, 1994). Pengukuran sikap dilakukan dengan mengukur keseluruhan B- 29
Teknologi Pangan
atribut (multiatribut), dengan rumus (Fishbein, 1963) : Ao = Σ(bi x ei) Dimana : Ao = sikap terhadap produk rendang telur, daging suir dan rendang rabu Bi = tingkat kepercayaan konsumen terhadap atribut i pada produk rendang ei = tingkat kepentingan konsumen terhadap atribut i pada produk rendang Σ = penjumlahan dari sejumlah atribut i Penilaian dengan metode ini diambil dari perhitungan nilai rataan atribut seluruh responden, lalu diformulasikan ke dalam Metode Analisis Fishbein. Hasil formulasi tersebut berupa nilai dari varibel-variabel Fishbein yang ditampilkan dalam suatu tabel. Setelah itu semua hasil analisis Fishbein untuk setiap rendang akan dilihat perbandingan perolehan nilai setiap merek yaitu yang diproduksi oleh Usaha Rendang Dapoer Riry Family, Usaha Rendang Erika, Usaha Rendang Yolanda. HASIL DAN PEMBAHASAN Responden diminta terlebih dahulu mengisi kuisioner untuk memberikan pendapatnya terhadap pentingnya keenam atribut produk pada rendang telur sebelum melakukan uji organoleptik. Ini yang disebut sebagai evaluasi komponen ei dari sikap konsumen. Hasil evaluasi tingkat kepentingan atribut tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. berikut : Tabel 1. Evaluasi tingkat kepentingan (ei) produk rendang telur (n=60)
atribut
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Dari hasil evaluasi tingkat kepentingan, responden berpendapat bahwa atribut yang paling penting adalah rasa, karena terlihat dari perolehan skor tertinggi adalah rasa yang enak dan gurih. Sedangkan yang terendah adalah kemasan.Ini artinya konsumen akan mempertimbangkan atribut rasa sebagai atribut terpenting dalam memilih produk rendang telur. Sumarwan (2000), dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam memilih produk makanan konsumen akan lebih mementingkan atribut internal dibandingkan dengan atribut eksternal (kemasan). Kemasan merupakan atribut eksternal yang dimiliki oleh semua produk makanan, salah satu fungsi penting dari kemasan adalah untuk melindungi produk tetap aman dan higienis untuk dikonsumsi. Namun dengan semakin tingginya tingkat persaingan setiap produsen mencoba merancang kemasan semenarik mungkin agar menarik minat konsumen sehingga berfungsi sebagai alat pemasaran yang efektif. Walaupun skor kepentingan kemasan adalah paling rendah bukan berarti responden menganggap kemasan tidak penting, hanya saja tingkat kepentingannya lebih kecil dibandingkan atribut lainnya.Puspita dan Nugrahani (2014), hasil penelitiannya (produk obat) juga memperoleh skor tingkat kepentingan internal (kualitas khasiat) lebih tinggi dibandingkan atribut eksternal (layanan). Sedangkan hasil evaluasi tingkat kepercayaan (bi) pada atribut produk rendang telur dari setiap merek usaha rendang telur dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4. berikut : Tabel 2. Frekuensi skor tingkat kepercayaan (bi) atribut produk rendang telur merek Dapoer Rendang Riry Family (n=60)
B- 30
Teknologi Pangan
Pada merek Dapoer Rendang Riry Family atribut yang memperoleh skor tertinggi adalah rasa yang enak dan gurih. Akan tetapi kandungan telurnya tidak terlalu terasa, hal ini terlihat dari perolehan skor yang rendah pada atribut tersebut. Merek redang telur Dapoer Rendang Riry Familyjustru paling memiliki kamasan yang paling menarik, terlihat dari perolehan skor tingkat kepercayaan di atas skor tingkat kepentingan, bahkan untuk atribut kemasan Dapoer Rendang Riry memperoleh skor tertinggi dibanding dua merek lainnya. Tabel 3. Frekuensi skor tingkat kepercayaan (bi) atribut produk rendang telur merek Rendang Erika (n=60)
Pada merek Rendang Erika, teksturnya yang renyah dan empuk yang lebih dominan, dan sama halnya dengan Dapoer Rendang Riry Family kandungan telur tidak lagi begitu terasa. Hal ini disebabkan pembuatan rendang telur adalah dengan campuran tepung tapioka yang dibumbui, didadar kemudian digoreng, sehingga menjadi makanan yang lebih menyerupai kerupuk. Mulyana dan Syarif (2007) dalam penelitiannya analisis fishbein terhadap susu kental manis juga memasukkan atribut kandungan nilai gizi, namun karena produknya susu tentu perolehan skornya tinggi. Tabel 4. Frekuensi skor tingkat kepercayaan (bi) atribut produk rendang telur merek Rendang Yolanda (n=60)
Pada merek Rendang Yolanda, perolehan skor jauh lebih rendah dibanding dengan dua merek sebelumnya. Bahkan ada satu atribut yang memiliki nilai/skor negatif yaitu terkait tampilan produk (warna dan bentuk yang kurang menarik). Padahal Rendang Yolanda adalah pioneer dalam usaha rendang telur ini di Kota Payakumbuh. Dengan seiring berkembangnya industri rendang ini, seharusnya setiap merek dagang senantiasa memelihara bahkan meningkatkan kualitas, disertai kemampuan inovasi produk dan manajemen usaha serta pemasaran yang tepat. Tabel 5. Hasil analisis sikap multiatribut Fishbein terhadap produk rendang telur untuk ketiga merek (n=60)
Berdasarkan nilai/skor Fishbein,skor sikap total pada produk Rendang Erika lebih besar dari dua produk lainnya. Ini artinya responden lebih menyukai rendang telur yang diproduksi oleh Rendang Erika. . KESIMPULAN Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa konsumen memiliki sikap positif terhadap produk rendang telur, ini terlihat dari perolehan total skor positif untuk semua merek. Ini artinya konsumen memiliki preferensi yang positif terhadap produk rendang telur yang diproduksi di Kampung Rendang Kota Payakumbuh. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu, diantaranya para mahasiswa responden yang telah membantu sebagai panelis untuk memperoleh data yang diperlukan dalam menjawab tujuan penelitian
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 31
Teknologi Pangan
ini, dan pemilik usaha rendang yaitu Bapak Haris Budiman, Ibu Rika dan Saudari Elsa. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian skim Dosen Muda Tahun 2015, maka terkhusus terimakasih juga kepada LPPM DAFTAR PUSTAKA Engel, J.F., Roger D.B., Paul W.N. 1994. Perilaku Konsumen Edisi Keenam Jilid 1. Binarupa Aksara. Jakarta Eugene, D.J., Israel, D.N. 1984. Alternative Questionnare Formats for Country Images Study. Journal of Marketing Reseacrh 21, November : 463-471.
Unand yang telah mendanai pelaksanaan penelitian ini.
Schiffman, L & Kanuk, L.L. 2008. Consumer Behaviour 7th Edition Sumarwan, U. Analisis Sikap Multiatribut Fishbein Terhadap Produk Biskui Sandwich Coklat. Media Gizi dan Keluarga, Desember 2000, XXIV (2) : 79-85.
Fishbein, M. 1963. An Investigation of the relationship between beliefs about an object and the attitude toward that object. Human Relations 16, Agustus : 233-240. Mulyana, M dan Syarif, R. Analisis Sikap Dan Perilaku Konsumen Terhadap Pembelian Produk Studi Kasus Produk Susu Kental Manis Coklat Indomilk Pada Konsumen Jakarta. Jurnal Ilmiah Kesatuan Nomor 2 Volume 9, Oktober 2007. Peter & Olson. 1999. Consumer Behaviour and Marketing Strategy. 5th Edition. Boston, MA : Irwin Puspita dan Nugrahani. 2014.Analisis Sikap Multiatribut Fishbein Mengenai Atribut Obat Herbal Merek Tolak Angin Sido Muncul di Kota Bandung. Jurnal Sosioteknologi Volume 13, Nomor 1, April 2014
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 32
Teknologi Pangan
DETEKSI FORMALIN DAN BORAKS PADA BAKSO YANG DIJUAL DISEKITAR KOTA PAYAKUMBUH Ferawati, Endang Purwati, Yulianti Fitri Kurnia and Sakinah Putri Faculty of Animal Husbandry, Andalas University, Campus II Payakumbuh, West Sumatra E-mail/Phone:
[email protected] / 081389770972 ABSTRACT The aims of this research was to identify formalin and borax contained in meatball sold around Payakumbuh city. This research used meatball collected from 5 different booths and examined in veterinary public health laboratory, Bukittinggi. The qualitative examination of formalin contained in meatball was carried out using the formalin test kit that contain of reagent I and reagent II. Whereas, the examination of borax contained in meatball was carried out by qualitative laboratory test using flame method and quantitative methods using acidbase titration. The result showed that all sample examined did not contain formalin, proven by there was no colour change on the test. While, the experimental borax identification result on all sample were tested did not generate a green flame which means no detected any borax content in the sample. The Quantitative research to determined levels of formalin and borax content in meatball can not be done because the qualitative research generate a negative value. It means all sample was safe to consume. Key words: meatballs, formalin, borax
PENDAHULUAN Kecenderungan mengkonsumsi makanan cepat saji dewasa ini sudah menjadi kebiasaan bagi generasi muda baik pelajar, mahasiswa, maupun para karyawan yang merupakan bagian terbesar dari populasi masyarakat Indonesia. Sisi praktis dan rasanya yang cukup lezat menjadi alasan masyarakat memilih mengkonsumsi makanan cepat saji. Salah satu jenis makanan cepat saji yang populer adalah bakso, karena harganya yang relatif murah sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat luas. Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang memiliki nilai gizi yang tinggi yaitu mampu menyumbangkan asam amino essensial yang lengkap. Karena kandungan gizi yang tinggi tersebut, bakso menjadi media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Bila penanganan bakso tidak tepat maka akan menyebabkan kerusakan pada bakso dan gangguan kesehatan pada manusia yang mengkonsumsinya. Bakso memiliki masa penyimpanan yang relatif singkat, usaha untuk memperpanjang Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
masa simpan bakso adalah dengan penambahan bahan pengawet alami, memperbaiki kemasan dan penggunaan suhu penyimpanan yang lebih rendah dari suhu ruang (Ngudiwaluyo dan Suharjito, 2003). Tetapi cara ini dinilai kurang ekonomis sehingga produsen bakso lebih memilih cara yang lebih mudah yaitu dengan menggunakan formalin atau boraks. Senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal, atau formalin), merupakan aldehida yang berbentuk gas atau cair yang dikenal sebagai formalin, atau padatan yang dikenal sebagai paraformaldehyde atau trioxane. Berdasarkan beberapa penelitian menyatakan bahwa formalin tergolong sebagai karsinogen, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan timbulnya kanker. Para ahli pangan sepakat bahwa semua bahan yang terbukti bersifat karsinogenik tidak boleh digunakan dalam bahan makanan maupun minuman (Aras, 2013). Menurut peraturan menteri kesehatan RI No.722/Menkes/IX/1988, asam borat dan senyawanya merupakan salah satu jenis bahan tambahan pangan yang dilarang digunakan dalam produk makanan. Meskipun boraks B- 33
Teknologi Pangan
berbahaya bagi kesehatan ternyata masih banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan tambahan makanan, karena selain berfungsi sebagai pengawet, boraks juga memperbaiki tekstur bakso hingga lebih kenyal dan lebih disukai konsumen (Warni, 2013). Disisi lain BPOM mengingatkan bahwa mengkonsumsi makanan berkadar boraks tinggi dalam kurun waktu 5–10 tahun dapat meningkatkan resiko kanker hati. Oleh karena itu, bakso yang dijual di pasar tradisional dan pasar swalayan diwajibkan bebas formalin dan boraks. Meskipun demikian, berdasarkan penelitian Faradila dkk. (2014) ditemukan 20 sampel pedagang bakso yang beredar di kota Padang menggunakan formalin sebagai pengawet. Sehubungan dengan hal diatas penulis menganggap sangat penting dilakukan penelitian tentang keamanan bakso yang beredar di kota Payakumbuhterutama berkaitan dengan kandungan formalin dan boraks. Hal ini ditujukan untuk melindungi masyarakat agar mengkonsumsi pangan yang memenuhi kriteria ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal), sehingga tidak merugikan serta membahayakan kesehatan konsumen. METODOLOGI Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif. Populasi penelitian adalah pedagang bakso yang diambil secara acak tersebar di kota Payakumbuh, baik pedagang bakso gerobak, warung bakso maupun rumah makan franchise yang ada di kota Payakumbuh. Dari survei yang dilakukan, diambil 5 sampel pedagang bakso yang tersebar di kota Payakumbuh yang memiliki pelanggan relatif lebih banyak dibanding pedagang bakso lainnya yaitu: 1. Bakso Istiqomah yang berlokasi di kelurahan Tiakar, kecamatan Payakumbuh Timur 2. Bakso Trisno yang berlokasi di kelurahan Ibuh, kecamatan Payakumbuh Barat 3. Bakso Cak Karno yang berlokasi di kelurahan Labuah Baru, kecamatan Payakumbuh Utara Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
4. Bakso Ateng yang berlokasi di kelurahan Parik Rantang, kecamatan Payakumbuh Barat 5. Bakso Hockey Iga yang berlokasi di kelurahan Parik Rantang, kecamatan Payakumbuh Barat Sampel diambil sebanyak 4 kali ulangan, sehingga total keseluruhan sampel yang dianalisa adalah sebanyak 20 sampel dengan tujuan untuk mendapatkan hasil analisa yang lebih akurat. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai Juli tahun 2015. Sementara identifikasi kandungan formalin dan boraks dilakukan di Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Baso, Bukittinggi. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisa laboratorium adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, kapas, lumping, pipet tetes, bakso, asam sulfat, methanol, air serta Test Kit Formalin dengan merek Chemkit yang terdiri dari cairan pereaksi I formalin dan serbuk pereaksi II formalin. Langkah-langkah pemeriksaan laboratorium untuk analisa kandungan formalin sesuai dengan metode yang dilakukan Faradila dkk. (2014) yaitu sampel bakso diberi label secara sistematis, sampel diiris tipis dan dimasukkan kedalam lumpang yang sudah diberi sedikit air kemudian dihaluskan. Diambil 1 ml larutan tersebut kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi dan diteteskan 3-5 tetes cairan pereaksi I formalin dan tutup tabung reaksi menggunakan kapas. Kemudian ditambahkan 1 mg serbuk pereaksi II formalin, kocok tabung reaksi dan diamkan selama 5 menit. Dilihat perubahan warna yang muncul. Bila terdapat perubahan warna menjadi ungu maka berarti bakso tersebut mengandung formalin. Sementara langkah-langkah pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk uji kandungan boraks (BPOM, 2007) adalah diambil 10 gram sampel diblender dengan air kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 2 menit dan diambil supernatannya. Sebagian supernatannya dikeringkan di atas penangas air B- 34
Teknologi Pangan
sampai kering kemudian sebagian abu ditambah sedikit asam sulfat dan metanol kemudian dibakar. Amati apakah terbentuk nyala berwarna hijau. HASIL DAN PEMBAHASAN Semua sampel yang sudah diperiksa terlebih dahulu sifat fisiknya meliputi tekstur, warna dan aromanya. Tekstur normal menunjukkan relatif padat, warna putih keabuan dan aroma khas daging yang direbus. Sampel yang mengandung formalin biasanya menunjukkan tekstur yang kenyal menyerupai bola karet, warna akan putih pucat mengkilat dan bau khas daging kurang menonjol. Hal ini disebabkan oleh sifat antimikrobial formalin melalui beberapa cara seperti merusak asam Deoksiribonukleat (DNA), denaturasi protein dan merusak selaput dinding sel. Karena sifat formalin yang sangat mudah larut dalam air, maka jika dicampur kedalam bakso, formalin dengan mudah terserap. Selain itu, karena sifatnya yang mampu membunuh mikroba bakso tidak akan mengalami kerusakan dalam waktu yang relatif lebih lama dibanding bakso yang tidak menggunakan formalin (Saraswati, 2009). Analis kandungan formalin pada 20 sampel bakso menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini dibuktikan tidak adanya perubahan warna yang muncul setelah uji dilakukan. Analisis boraks pada bakso di laboratorium dilakukan menggunakan metode nyala api. Sampel yang mengandung boraks akan menunjukkan reaksi nyala api berwarna hijau, sedangkan pada sampel yang tidak mengandung boraks akan menghasilkan reaksi nyala api berwarna biru. Dari keseluruhan sampel yang dianalis kandungan boraksnya tidak satupun memperlihatkan nyala api berwarna hijau. Hal ini menunjukkan bahwa hasil analisa kandungan boraks pada 20 sampel bakso adalah negatif. Berdasarkan hasil analisis dan uraian diatas maka hal ini menggambarkan tingkat pengetahuan para pedagang bakso dikota Payakumbuh akan bahaya penggunaan boraks
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
dan formalin di dalam bahan makanan sudah cukup baik. Tingkat pengetahuan dan sikap para pedagang bakso ini merupakan salah satu faktor penting agar tidak terjadi penyimpangan atau pencemaran bahan toksik kedalam bakso seperti formalin maupun boraks. Dari hasil survei dan wawancara yang dilakukan pada pedagang bakso diperoleh informasi bahwa bakso yang tidak terjual dalam satu hari akan disimpan di dalam kulkas. Dengan perlakuan tersebut para penjual berpendapat bahwa bakso tersebut akan bertahan hingga 4 hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Kok dan Park (2007) yang menyatakan bahwa bakso akan memiliki umur simpan mencapai 5 hari bila di simpan di suhu refrigerasi. Tidak ditemukannya kandungan boraks dan formalin di dalam sampel bakso yang diuji, juga tidak terlepas dari adanya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh dan BPOM akan bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan boraks dan formalin pada makanan. Hal ini tentu saja diiringi dengan pemeriksaan rutin secara intensif pada makanan maupun jajanan yang dijual beredar di kota Payakumbuh. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 5 pedagang bakso yang tersebar di kota Payakumbuh dapat disimpulkan bahwa bakso yang dijual telah bebas dari cemaran formalin dan boraks. Hal ini sudah memenuhi standar SNI 01-3818-1995 yang menyatakan bahwa boraks dan formalin tidak boleh ada didalam bakso sehingga bakso aman untuk dikonsumsi. DAFTAR PUSTAKA Aras, F., 2013. Uji Formalin 3, (online), (http://faisal-aras.blogspot.com/. Diakses pada hari Jum’at tanggal 13 Maret 2015)
B- 35
Teknologi Pangan
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia [SNI] 01-3818-1995. Standar Mutu Bakso Daging Sapi. Balai Besar POM. 2007. Instruksi kerja: Identifikasi boraks dalam makanan. Surabaya Faradila, Alioes. Y, Elmatris. 2014. Identifikasi formalin pada bakso yang dijual pada beberapa tempat di kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol 3, No. 2: 156-158. Kok, T. N and Park, J.W. 2007. Extending the shelf life of set fish ball. Journal Food Quality 30:1-27. Ngudiwaluyo, S. Dan Suharjito, 2003. Pengaruh Penggunaan Sodium Tripoly Phosfat Terhadap Daya Simpan Bakso Sapi Dalam Berbagai Suhu Penyimpanan. http://www.pustaka iptek.com. [12 Maret 2014] Saraswati, Tyas R. 2009. Penelitian pengaruh formalin, diazepam, dan minuman beralkohol terhadap sistem tubuh. URL: HYPERLINK Http://ejournal.undip.ac.id/index.php/sm /article/download/3279/2943. Diunduh 6 Maret 2015. Warni, S.A. 2013. Analisis boraks pada bakso daging sapi C dan D yang dijual di daerah Lakarsantri Surabaya menggunakan spektrofotometri. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol 2, No.2: 1-1
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 36
Teknologi Pangan
PENGGUNAAN UBI KAYU (Manihot utilissima) PADA PEMBUATAN WUAK PIUAK SEBAGAI PENGEMBANGAN MAKANAN TRADISIONAL KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Mimi Harni, Rince Alfia Fadri Teknologi Pangan, Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Jl Raya Negara Km 7 Tanjung Pati,Payakumbuh, 26271 E-mail:
[email protected] ABSTRACT This research had been done in Food Processing, Chemical and Microbiology Laboratoryof Agricultural Polytechnic State of Payakumbuh. The aim of this research was to determine the formulation of the percentage of cassava that can be added to reduce the use of rice in wuak piuak without change means in terms of nutritional value. Complete Random Design was used in this case by five Treatments and three repetitions. One treatment as a control without the addition of cassava (basic formulation) and 4 treatments with the addition of cassava 25, 50, 75 and 100%. Advanced test from data was done by using Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) at 5 % real level. Based on research that has been done the treatment chosen is the addition of cassava 100% (E), although based on chemical analysis of this treatment is the lowest. The addition of cassava 100% selected to substitute treatment without the addition of cassava (control). The resultof chemical analysis of this treatment are: 51,27% moisture content, 1,18%ash, 2,09% fat and 34,36% starch content. Keywords: wuak piuak, cassava, starch, amylose, amylopectin
1.
PENDAHULUAN
Wuak piuak adalah sejenis lapek yang merupakan salah satu makanan tradisional Kecamatan Harau. Makanan ini cukup digemari oleh masyarakatdan sering dijadikan sebagai penganan pengganti sarapan. Masyarakat Kecamatan Harau sampai saat ini masih menggemari wuak piuak ini karena rasanya yang enak. Wuak piuak dapat dijumpai dalam acara badu a (syukuran) dan dalam acara adat di Kecamatan Harau. Wuak piuak sampai saat ini belum ada pengembangan baik dari segi formulasi ataupun prosesnya, hal ini akan menimbulkan kekhawatiran minat masyarakat terhadap wuak piuak akan berkurang bahkan dapat hilang sama sekali. Inovasi dan kreasi baru sangat diperlukan untuk eksistensi wuak piuak dikalangan masyarakat lokal maupun internasional. Upaya yang dapat dilakukan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
adalah dengan cara menjadikan wuak piuak sebagai makanan tradisional yang lebih menarik, baik ditinjau dari nilai gizi ataupun penampilannya sehingga akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Salah satu inovasi baru yang dapat dilakukan adalah dengan memodifikasi bahan baku wuak piuak yang semula hanya berasal dari beras diganti dengan memanfaatkan ubi kayu. Inovasi ini juga diharapkan dapat menunjang program pemerintah dalam rangka sosialisasi program pangan non beras. i. Berdasarkan latar belakang diatas maka timbul ide untuk mengembangkan wuak piuak yang memang telah digemari oleh masyarakat dengan cara mengurangi penggunaan beras dan mengganti dengan ubi kayu sehingga diharapkan wuak piuak tetap dapat menjadi makanan tradisional Kecamatan Harau yang digemari dengan nilai gizi yang lebih baik
B- 37
Teknologi Pangan
serta dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Penelitian bertujuan untuk menentukan formulasi yang tepat berapa persentase ubi kayu yang dapat ditambahkan dengan mengurangi penggunaan beras pada wuak piuak dengan organoleptik yang masih dapat diterima dan mempunyai nilai gizi yang masih baik. II. METODE PENELITIAN Waktu dan tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada Labor Pengolahan Pangan, Labor Mikrobiologi dan Labor Kimia Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh dengan lama penelitian enam bulan. Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah beras, ubi kayu, gula, kelapa, susu skim, kantong semar, selenium, asam sulfat pekat, NaOH 30%, asam borat 3%, Indikator Conway, asam sulfat 0,025 N, kapas, peteroleum benzen, kertas saring, kain saring, alkohol 80%, NaOH 45%,, aquades, HCl 25%. Alat yang digunakan antara lain adalah panci, pengukus, kompor, penumbuk, timbangan, blender, pengaduk, cetakan, buret, erlemeyer, pipet tetes, gelas piala, pengangas air, gelas ukur, pendingin balik, spatula, tanur, labu ukur, piring, gelas dan sendok, labu Kjdahl, labu ukur 100 ml, alat destilasi, Soxhlet, oven dan desikator. Rancangan penelitian Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Langkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan tiga ulangan. Uji lanjutan dilakukan dengan Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata 5%. Adapun masing-masing perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : A : Tanpa penambahan ubi kayu (kontrol) B : Penambahan ubi kayu 25 % C : Penambahan ubi kayu 50% D : Penambahan ubi kayu 75% E : Penambahan ubi kayu 100% Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Pelaksanaan penelitian a. Beras direndam selama 30 menit kemudian digiling dengan blender sampai halus tanpa dilakukan proses pengayakan b. Kupas ubi kayu, cuci dan parut sampai halus dengan menggunakan pemarut. Ubi kayu yang telah diparut tadi dibuang airnya dengan cara diremas dengan tangan sampai air seluruhnya keluar c. Campur beras tumbuk dengan susu skim, vanile, garam dan aduk sampai merata. d. Tambahkan ubi kayu yang diparut tadi ke dalam campuran tadi selanjutnya aduk kembali hingga merata e. Tambahkan santan kelapa sebanyak 170 ml dan aduk f. Masukkan adonan satu sendok ke dalam kantong semar yang sudah dicuci bersih dan diblanching kemudian masukan potongan gula aren di bagian tengahnya selanjutnya ditutup kembali dengan adonan sebanyak satu sendok g. Kukus selama 30 menit. Formulasi wuak piuak dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Pengamatan penelitian Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian adalah meliputi uji kadar air, uji kadar abu, kadar pati, 3.5.4 kadar lemak III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar air wuak piuak Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan penambahan ubi kayu dalam pembuatan wuak piuak berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air (taraf nyata 5%). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini :
B- 38
Teknologi Pangan Tabel 1. Rata-rata kadar air dari wuak piuak
Kadar abu Pada uji sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan penambahan ubi kayu pada wuak piuak tidak berpengaruh nyata pada kadar abu (taraf nyata 5%). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini : Tabel 2. Rata-rata kadar abu dari wuak piuak
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada baris yang sama dan huruf besar yang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata menurut uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5%. Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai kadar air tertinggi berasal dari perlakuan penambahan ubi kayu 100% (E). Hal ini terjadi karena bahan baku yang digunakan dalam pembuatan wuak piuak berasal dari ubi kayu yang telah dikeluarkan airnya. Dari analisa bahan baku yang digunakan ubi kayu yang telah dikeluarkan airnya ini mempunyai kadar air 48,9% sedangkan kadar air beras yang telah direndam setengah jam adalah 31%. Dari bahan baku sudah terlihat kalau kadar airnya jauh berbeda, selain itu dari tabel di atas juga terlihat bahwa semakin tinggi penambahan ubi kayu kadar air semakin meningkat. Menurut Departemen Kesehatan RI (2001) bahwa kadar air ubi kayu 62,5% sedangkan kadar air beras adalah 13%. Dari tabel di atas terlihat wuak piuak termasuk ke dalam makanan semi basah dan basah. Walaupun wuak piuak merupakan makanan semi basah tapi daya tahannya dapat lebih dari satu hari. Hal ini terjadi karena kemasan yang digunakan berupa kantong semar dimana setelah proses pemasakan kantong semar akan menjadi kering sehingga wuak piuak dapat bertahan lebih lama. Menurut De Man (1997) bahwa kadar air untuk makanan semi basah adalah 20-40% sedangkan makanan basah adalah besar dari 40%. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada baris yang sama dan huruf besar yang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata menurut uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5%. Kadar abu dari semua perlakuan saling berbeda tidak nyata, nilai kadar abu semakin meningkat dengan semakin tingginya penambahan ubi kayu hal ini berhubungan dengan tingkat sanitasi bahan dan pengolahan. Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan dan erat hubungannya dengan kemurnian serta kebersihan suatu bahan. Menurut Sudarmadji, Haryono dan Suhardi (1984), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Semakin tinggi kadar abu dalam bahan maka proses pembuatan tersebut diduga kurang bersih sehingga persyaratan kadar abu sangat penting untuk mengetahui tingkat kebersihan atau kemurnian suatu bahan. Tingginya nilai kadar abu pada perlakuan penambahan ubi kayu 100% (E) kemungkinan berasal dari ubi kayu yang diparut dengan mesin. Penggunaan mesin pemarut menyebabkan bertambahnya kontaminasi dari alat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin tingginya penambahan ubi kayu maka semakin meningkat kadar abu wuak piuak. Penyebab B- 39
Teknologi Pangan
lain adalah berdasarkan kandungan mineral ubi kayu jauh lebih tinggi dari kandungan mineral beras.
Tabel 4. Rata-rata kadar pati dari wuak piuak
Kadar Lemak Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan penambahan ubi kayu dalam pembuatan wuak piuak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak (taraf nyata 5%). Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3.Rata-rata kadar lemak dari wuak piuak
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada baris yang sama dan huruf besar yang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata menurut uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5%. Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa penambahan ubi kayu (A). Semua perlakuan mempunyai kandungan lemak yang rendah, namun lebih tinggi dari kandungan bahan baku hal ini disebabkan karena adanya penambahan santan pada wuak piuak. Dari tabel di atas terlihat semakin banyak penambahan ubi kayu semakin rendah kandungan lemak dari wuak piuak. Hal ini terjadi karena kandungan lemak ubi kayu lebih rendah dari kandungan lemak beras. Menurut Standar Nasional Indonesia (2009) kadar lemak beras 1,9 gram sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI (2001) kandungan lemak ubi kayu 0,30 gram. Kadar Pati Pada uji sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan penambahan ubi kayu pada wuak piuak berpengaruh nyata pada kadar pati (taraf nyata 5%). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini : Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada baris yang sama dan huruf besar yang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata menurut uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5%. Dari tabel di atas terlihat bahwa kandungan pati tertinggi terdapat pada wuak piuak yang terbuat dari perlakuan tanpa penambahan ubi kayu (kontrol) dimana pengurangan penggunaan beras menyebabkan turunnya kandungan pati pada wuak piuak. Menurut Standar Nasional Indonesia (2009) bahwa kandungan pati beras yang terdapat dalam bentuk karbohidrat adalah 77,7 gram sedangkan kandungan pati ubi kayu (karbohidrat) adalah34,7 gram (Departemen Kesehatan RI (2001). Dari data di atas terlihat pengurangan beras menyebabkan penurunan kandungan karbohidrat dalam bentuk pati. Pada penelitian ini ubi kayu diharapkan sebagai pengganti penggunaan beras pada berbagai makanan. Penggantian beras diharapkan tidak merubah sifat organoleptik wuak piuak yang dihasilkan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Dari penelitian yang telah dilakukan khususnya pada uji kimia perlakuan terbaik adalah tanpa penambahan ubi kayu (kontrol) sedangkan perlakuan penambahan ubi kayu 100% berada dibawah. B- 40
Teknologi Pangan
b.
c.
Perlakuan yang dipilih adalah dengan penambahan ubi kayu 100% (E) karena perlakuan ini diharapkan akan menggantikan perlakuan tanpa penambahan ubi kayu (A). Hasil uji kimia perlakuan penambahan ubi kayu 100% (E) adalah : kadar air 51,27%, kadar abu 1,18%, kadar lemak 2,09% dan kadar pati 34,36%.
.
Saran Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, disarankan untuk mengganti penggunaan santan dengan kelapa parut dengan tujuan untuk menurunkan kadar air sehingga akan memperpanjang masa simpan dari wuak piuak yang akan dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A, D. Fardiaz, N.L.Puspitasari, Sedarnawati, S. Budiyanto. 1989. Analisa Pangan. PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Buckle, K.A, R.A, Edwards, G.H, Fleet dan M Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. De Man, JM. 1997. Kimia Makanan. Diterjemahkan: Padmawinata, K. ITB. Bandung. Departemen Kesehatan RI. 2001. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta. Lingga, P dkk. 1989. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Jakarta Standar Nasional Indonesia. 2009. Tepung Beras. Badan Standar Nasional Indonesia. Jakarta
Sudarmadji, S, B. Haryono dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 41
Teknologi Pangan
PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRASI GETAH BUAH PEPAYA PADA KEMASAN YANG BERBEDA TERHADAP ORGANOLEPTIK DADIH KERBAU Refika Komala, Busari Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Sawahlunto/Sijunjung Emeil:
[email protected] Abstract Dadih are the result of natural fermentation water buffalo milk in bamboo by mikrobaorganisme producing lactic acid found naturally in water buffalo milk and still based on household-scale industry, the packaging is identical maintain bamboo, for its own marketing usually sold in the market traditional. This study aims to determine the effect of papaya fruit gum concentration in the manufacturing of dadih stored in different packaging are tubes of bamboo and plastic cup of the organoleptic in different packaging. The study was conducted herd Durian kalek Long Causeway and surrounding villages in the district Sijunjung. using research panelis drawn from several buffaloes each treatment using 250 ml. Research using completely randomized design 3x3x2 factorial pattern with three replications with 3 Factor A (concentration of fruit papaya latex): A0 = 0 cc (Control) 0.1 cc A1 = A2 = A3 = 0.2 cc and 0.3 cc factor B (storage time) B1 = 1 day B2 = storage of 2 day storage B3 = 3 days storage factor C (Type Packaging): C1= Cup Plastic C2= Bamboo. Data were analyzed by analysis of variance, and if significantly different proceed with further DNMRT. Variables measured Taste, color, texture, aroma and consistency. The results of organoleptic test panelis to taste the preference level (C1) ranges from 1.3-3.9 and (C2) ranged from 3.0-3.9. 2. The color ranges from 3.6-4.1 C1 to C2 range 3.5-4.2. 3. Texture (C1) ranges from 3.1-4.1 to 3.5-4.3 ranges (C2) C1 4. Aroma ranges from 3.1-4.1 to 3.5-4.3 ranges (C2) 5.Vicosity C1 to C2 range 3.5-4.1 3.5-4.2 range. Conclusions in this study that the packaging does not affect the level of A penelis against curd with giving sap of papaya fruit. Penelis more tends to choose the flavor, color, texture, aroma and viscosity at a concentration of 0.1 cc with the storage time 2 days on each package either C1 or C2. Keywords: Packaging, Papaya Fruit Latex, Dadih, Organoleptik
PENDAHULUAN Populasi sapi dan kerbau di Sumatera Barat dilihat pada tahun 2011 sebanyak 105.954 ekor, pada tahun 2012 sebanyak 113.370 ekor. Sedangkan di kabupaten Sijunjung pada Tahun 2006 yang jantan 11.819 ekor dan betina 25.702 ekor dan pada tahun 2013 jantan sebanyak 4.095 ekor dan betina 7.397 ekor, secara statistik jumlah ternak kerbau mengalami penurunan. Penurunan jumlah ternak di Sijunjung dikarenakan mungkin lahan sudah banyak yang ahli fungsi seperti menjadi lahan tambang emas atau bangunan lainnya, akan tetapi jika kita lihat dari jumlah perbandingan antara jantan dan betina lebih banyak yang betina itu artinya produksi susu yang dihasilkan juga lebih banyak dan ini bisa dimanfaatkan untuk pembuatan dadih yang memiliki nilai gizi yang tinggi tetapi belum dikenal secara luas seperti halnya keju, yoghurt dan kefir. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Dadih merupakan hasil permentasi alami air susu kerbau di dalam bambu oleh mikrobaorganisme penghasil asam laktat yang terdapat secara alami pada air susu kerbau dan pembuatanya masih berdasarkan skala industry rumah tangga, kemasannya masih identik mempertahankan bambu, untuk pemasarannya sendiri biasanya dijual dipasar-pasar tradisional sebagai makanan sehari-hari bagi masyarakat atau sebagai makanan tradisional, dadih ini juga dihidangkan pada acara-acara adat, biasanya di Sumatera Barat. Kualitas dadih juga dipengaruhi oleh jenis bambu yang digunakan dan lamanyawaktu penyimpanan, makin lama dadih disimpan maka kualitas dadih dalam bentuk rasa, warna, aroma dan tingkat kesukaan orang untuk menkosumsinya akan menurun. Daya tahan simpan dadih biasanya dadih yang disimpan dalam suhu 4 ° C daya tahan selama 5-6 hari sedangkan dalam suhu ruang antara 2-4 hari.
B- 42
Teknologi Pangan
Pembuatan dadih selain asam laktat dapat digunakan penambahan getah buah pepaya kerena getah buahpepaya mengandung enzim protease yang mampu memisahkan protein dengan air karena dilihat dari fungsinya enzim ini mampu melunakkan daging dan mengentalkan dadih. Sampai saat ini untuk jumlah pemakaian enzim papain atau protease dalam getah buah untuk pembuatan dadih belum dapat diketahui berapa standarisasinya dan juga kemasan yang memiliki kualitas baik dari segi komposisi kimia dan organoleptik sehingga lebih praktis dan disukai konsumen
METODE PENELITIAN Bahan baku yang digunakan adalahsusu kerbau sebanyak 250 ml susu, getah buah papaya dari tiap perlakuan yang berasal dari peternak. Peralatan yang digunakan untukpengolahan dadih adalahMilk can, pipet tetes, gelas ukur, tabung reaksi, kompor gas, panci, plastik, bambu, cup plastic, bambu, karet gelang, saringan, ember dan sodet, tisu, sunlight, Quesioner untuk 10 orang panelis. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian ekperimen dan untuk pengujian organoleptik dengan memberikan questioner kepada panelis dan wawancara langsung dengan panelis. Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial sebagai faktor A (Konsentrasi getah buah pepaya) dan Faktor B (lama Penyimpana) dan faktor C (kemasan) Faktor A (konsentrasi getah buah pepaya) A0 = 0 cc (Kontrol) A1 = 0,1 cc / 250 ml A2 = 0,2 cc / 250 ml A3 = 0,3cc/ 250 ml
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Faktor B (lama penyimpanan) B1 = penyimpanan1 hari B2 = penyimpanan 2 hari B3 = penyimpanan 3 hari Faktor (C) jenis kemasan ; C1 = Bambu C2= Cup Plastik Tahapan-tahapan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Pengambilan dan persiapan bambu Bambu yang diguanakan dalam pembuatan dadih ini diambil bambu yang masih segar dan tidak yang kering dan bagian luarnya telah dibersihkan (Zakaria,dkk 1998 dalam Renaya 2010).), kemudia bambu tersebut dipotongpotong sesuai dengan kapasitas susu yang akan diteliti dengan ukuran panjang 30 cm dengan diameter 5 cm (Sughita 1994). 2. Pengambilan getah buah papaya Getah buah papaya diambil langsung dari beberapa buah papaya muda yang disadap dengan pisau sadap pada pagi hari sampai konsentrasi mencukupi (BKBT,IPB 2011). 3. Pengambilan susu dan pasteurisasi susu Pengambilan susu dilakukan dengan pemerahan langsung pada kerbau yang sedang laktasi yaitu pengambilan pada jam 09.00 wib karena mengikuti pola yang diterapkan oleh peternak tersebut, setelah didapatkan susu tesebut langsung dilakukan penyaringan agar benda-benda asing tidak masuk kedalam wadah yang akan mencemari susu (Abarwala 1962 dalam kasmawati 2011) selanjutnya dilakukan Pateurisasi pada suhu rendah Low temperature Long Time (LTLT) 62,80C selama 10 menit. Kemasan seperti Cup Plastik sebelumnya dilakukan sterilisasi, dengan dicelupkan kedalam air panas dan ditiriskan. Selain menggunakan kemasan utama, perlakuan kemasan juga dilakukan dengan cara memindahkan susu yang sudah difermentasi pada tabung bambu selama 6 jam, ke dalam kemasan cup palstik.
B- 43
Teknologi Pangan
4. Pembuatan dadih setelah susu selesai dipasteurisasi, susu langsung dimasukan kedalam kemasan bambu sesuai dengan perlakuan, kemudian bambu ditutup dengan plastik dan dikat dengan karet gelang, sedangkan untuk kemasan cup plastik sebelumnya susu dimasukan ke dalam bambu dan difermentasi selama lebih kurang 6 jam, selain menggunakan kemasan utama, perlakuan kemasan juga dilakukan dengan cara memindahkan susu yang sudah difermentasi pada tabung bambu selama 6 jam tadi kemudian dimasukan ke dalam kemasan cup palstik sebanyak 250 ml dan disimpan pada suhu kamar sesuai dengan faktor lamanya penyimpanan dan ditutup susu disimpan pada suhu kamar (25-27 0C), Zakaria dkk (1998) dalam Renaya (2010). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Rasa Data hasil penelitian didapatkan hasil rataan rasa terhadap dadih kerbau dengan penambahan konsentrasi getah buah pepaya yang disimpanpada kemasan yang berbeda dapat di lihat pada tabel 1. Tabel 1. Rataan tingkat kesukaan Panelis terhadap rasa dadih kerbau.
Keterangan : 1= Tidak suka, 2= Agak Tidak suka, 3= Netral, 4= Agak Suka , 5= suka 6 = sangat suka Skala hendonik menunjukkan nilai dengan skala numarik pada konsentrasi dan lama penyimpan dadih yang simpan pada kemasan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
yang berbeda. Kemasan cup plastik (C1) berkisar 1.3-3.9 dan untuk kemasan bambu(C2) berkisar 3.0-3.9. Ini berarti bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa dadih kerbau berada di antara agak tidak suka (2) pada kemasan C1 dan agak suka (4) pada kemasan C2. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi getah buah pepaya berpengaruh nyata (P<0.01) antar perlakuan baik faktor A,B maupun faktor C terhadap rasa dadih kerbau yang disimpan pada kemasan cup plastik maupun bambu. Hal ini berarti antar panelis memiliki tingkat kesukaan yang bervariasi terhadap rasa dadih kerbau, hal ini juga dipengaruhi oleh konsentrasi getah buah pepaya yang digunakan, lama penyimpanan dan kemasannya, karena pada penelitian ini jelas ada perbedaan yang agak mencolok antara kemasan C1 dan C2 dimana C1 pada konsentrasi 0.3 cc dengan lama penyimpanan 2 hari kesukaan panelis mendekati agak tidak suka (2) nilai ini relatif rendah. Kemudian juga terdapat interaksi yang nyata (P<0.01) antara perlakuan terhadap rasa dadih kerbau. Setelah dilakukan uji lanjut dengan DNMRT bahwa terjadi peningkatan yang nyata (P<0.05) daya suka panelis terhadap rasa dadih kerbau yang diberi konsentrasi getah buah pepaya mulai dari pemberian 0.3 cc, 0.2 cc 0 cc sampai 0.1 cc dan yang paling tertinggi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa dadih adalah pada konsnetrasi 0.1 cc dengan lama penyimpan 2 hari dan yang paling terendah daya suka panelis yaitu terdapat pada konsentrasi 0.3 cc ini cendrung kesukaan panelis menurun dengan lama penyimpanan 2 hari, kemudian juga tidak terdapat pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap rasa dadih kerbau dengan lama penyimpan antara penyimpanan 1 hari dengan 3 hari, akan tetapi penelis lebih cendrung menyukai dengan lama penyimpanan 1 hari dengan konsentrasi getah buah pepaya 0.1 cc baik pada cup palstik (C1) maupun bambu (C2), tetapi kemasan yang digunakan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata B- 44
Teknologi Pangan
(P<0.05) karena daya suka panelis hampir sama terhadap rasa dadih kerbau yang disimpan pada setiap kemasan. 2.Warna Tabel 2. Rataan Tingkat Kesukaan panelis terhadap warna dadih kerbau.
penyimpanan 2 hari dengan konsentrasi 0.1 baik pada C1 maupun C2, tetapi kemasan yang digunakan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) karena daya suka panelis hampir sama terhadap konsentrasi getah buah terhadap warna dadih kerbau yang disimpan pada kemasan yang berbeda ini berarti kemasan tidak mempengaruhi daya suka panelis terhadap dadih kerbau hal ini menunjukkan baik kemasan C1 maupun bambu C2 hampir sama. 3 Tekstur Tabel 3. Rataan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur dadih.
Skala hendonik menunjukkan nilai dengan skala numarik pada konsentrasi dan lama penyimpan yang disimpan dalam kemasan yang berbeda pada C1 berkisar 3.6-4.1 untuk C2 berkisar 3.5-4.2. Ini berarti bahwa tingkat rasa berada di antara mendekati agak tidak suka (agak suka) dan mendekati suka (5) baik pada C1 maupun pada C2. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi getah buah pepaya berpengaruh nyata (P<0.01) terhdap warna dadih kerbau yang disimpan pada kemasan yang berbeda. Terdapat interaksi yang nyata (P<0.01) antara konsentrasi getah buah pepaya yang disimpan disetiap kemasan baik pada C1 dan C2. Setelah dilakukan uji lanjut dengan DNMRT bahwa terjadi peningkatan yang nyata (P<0.05) daya suka panelis terhadap warna dadih kerbau yang diberi konsentrasi getah buah pepaya mulai dari pemberian 0.3 cc sampai 0.1 cc kecuali pada 0 cc (kontrol) daya suka panelis menurun karena tanpa pemberian getah buah pepaya, kemudian juga tidak terdapat pengaruh yang nyata (P<0.05) pada warna dadih kerbau dengan lama penyimpan antara penyimpanan 1 hari dengan 3 hari hampir sama akan tetapi penelis lebih cendrung menyukai lama Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Skala hendonik menunjukkan nilai dengan skala numarik pada konsentrasi dan lama penyimpan yang disimpan dalam kemasan yang berbeda pada C1 berkisar 3.1-4.1 untuk C2 berkisar 3.5-4.3 Ini berarti bahwa tingkat rasa berada di antara mendekati agak tidak suka (agak suka) dan mendekati suka (5) baik pada C1 maupun pada C2. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa antar perlakuan hasilnya berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap tekstur dadih kerbau yang diberi getah buah pepaya yang simpan pada kemasan yang berbeda. Terdapat interaksi yang sangat nyata (P< 0.01) antara konsentrasi getah buah pepaya dengan lama penyimpanan terhadap tekstur dadih kerbau hal ini disebabkan, kemudian juga terjadi interaksi yang sangat nyata (P<0.01) antara konsentrasi getah buah pepaya dengan kemasan yang berbeda. Setelah dilakukan uji lanjut dengan DNMRT bahwa terjadi B- 45
Teknologi Pangan
peningkatan yang nyata (P<0.05) daya suka panelis terhadap tekstur dadih kerbau yang diberi konsentrasi getah buah pepaya mulai dari pemberian 0 cc (kontrol), 0.2 cc sampai 0.3 cc dan yang tertinggi kesukaan panelis terhadap tekstur adalah pada konsentrasi pada 0.1 cc, kemudian juga terdapat pengaruh yang nyata (P<0.05) pada tekstur dadih kerbau dengan lama penyimpan antara penyimpanan 3 hari, 1 hari dengan 2 hari hampir sama akan tetapi penelis lebih cendrung menyukai lama penyimpanan 2 hari dengan konsentrasi 0.1 baik pada C1 maupun C2, tetapi kemasan yang digunakan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) karena daya suka panelis hampir sama terhadap konsentrasi getah buah terhadap tekstur dadih kerbau yang disimpan pada kemasan yang berbeda ini berarti kemasan tidak mempengaruhi daya suka panelis terhadap tekstur dadih kerbau hal ini menunjukkan baik kemasan C1 maupun bambu C2 hampir sama penilaiannya karena waktu penyimpanan juga relatif tidak terlalu lama. 4. Aroma Tabel 4. Rataan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma dadih kerbau
Skala hendonik menunjukkan nilai dengan skala numarik pada konsentrasi dan lama penyimpan yang disimpan dalam kemasan yang berbeda pada C1 berkisar 3.1-4.1 untuk C2 berkisar 3.5-4.3 Ini berarti bahwa tingkat rasa berada di antara mendekati agak tidak suka (agak suka) dan mendekati suka (5) baik pada C1 maupun pada C2. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa antar perlakuan hasilnya berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap aroma dadih kerbau yang diberi getah buah pepaya yang simpan pada kemasan yang berbeda. Terdapat interaksi yang sangat nyata (P< 0.01) antara perlakuan baik konsentrasi getah buah pepaya dengan lama penyimpanan maupun terhadap kemasan yang digunakan terhadap kekentalan dadih. Kemudian juga terjadi interaksi yang sangat nyata (P<0.01) antara konsentrasi getah buah pepaya dengan kemasan yang berbeda. Setelah dilakukan uji lanjut dengan DNMRT bahwa terjadi peningkatan yang sangat nyata (P<0.01) terhadap daya suka panelis terhadap aroma dadih kerbau yang diberi konsentrasi getah buah pepaya mulai dari pemberian 0.3 cc, 0.2 cc, 0 cc (kontrol) dan yang tertinggi kesukaan panelis terhadap aroma adalah pada konsentrasi 0.1 cc, yaitu tingkat kesukaan konsumen sudah mendekati angka 4 (agak suka) kemudian juga terdapat pengaruh yang nyata (P<0.05) pada aroma dadih kerbau dengan lama penyimpan 2 hari, 3 hari dengan 1 hari. Pada aroma panelis lebih cendrung menyukai lama penyimpanan 1 hari dengan konsentrasi 0.2 cc pada kemasan C2 dengan angka kesukaan panelis agak mendekati suka (5) dan pada kemasa C1 cendrung pada lama penyimpanan 3 hari dengan konsentrasi 0.1 cc panelis juga memberikan penilaian tingkat kesukaan agak mendekati angka suka (5) tetapi kemasan yang digunakan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) karena daya suka panelis terhadap konsentrasi getah buah terhadap aroma dadih kerbau yang disimpan pada kemasan yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang berarti daya suka panelis terhadap aroma tidak terlalu berbeda baik pada kemasan C1 mauun C2 terhadap aroma dadih kerbau.
B- 46
Teknologi Pangan Tabel 5.Rataan tingkat kesukaan panelis terhadap kekentalan dadih kerbau
Skala hendonik menunjukkan nilai dengan skala numarik pada konsentrasi dan lama penyimpan yang disimpan dalam kemasan yang berbeda pada C1 berkisar 3.5-4.1 untuk C2 berkisar 3.5-4.2 Ini berarti bahwa tingkat kekentalan berada di antara mendekati skor suka (5) baik pada kemasan C1 maupun pada kemasan C2. Berdasarkan hasil sidik ragam Setelah dilakukan menunjukkan bahwa antar perlakuan konsentrasi pada 0.3 cc dengan skor panelis terhadap kekentalan yaitu mendekati angka agak suka (4), kemudian juga terdapat pengaruh yang nyata (P<0.05) pada kekentalan dadih kerbau dengan lama penyimpan antara penyimpanan 3 hari, 1 hari dengan 2 hari tetapi penelis lebih cendrung menyukai lama penyimpanan 2 hari dengan konsentrasi 0.3 baik pada C1 maupun C2, tetapi kemasan yang digunakan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) karena daya suka panelis hampir sama terhadap konsentrasi getah buah terhadap kekentalan dadih kerbau yang disimpan pada kemasan yang berbeda ini berarti kemasan tidak mempengaruhi daya suka panelis terhadap kekentalan dadih kerbau hal ini menunjukkan baik kemasan C1 maupun bambu C2 hampir sama penilaian panelis karena waktu penyimpanan dan konsentarasi yang digunkana juga relatif tidak terlalu jauh perbedaan.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kekentalan dadih kerbau yang diberi getah buah pepaya yang simpan pada kemasan yang berbeda. Terdapat interaksi yang sangat nyata (P<0.01) antara konsentrasi getah buah pepaya dengan lama penyimpanan terhadap kekentalan dadih kerbau, kemudian juga terjadi interaksi yang sangat nyata (P<0.01) antara konsentrasi getah buah pepaya dengan kemasan yang berbeda dan juga ada interaksi yang yang sangat nyata (P<0.01) antara lama penyimpanan dengan kemasan dan juga terdapat interaksi yang tidak nyata (P<0.01) antara konsentrasi, lama penyimpanan dan kemasan pada kekentalan dadih kerbau yang diberi konsnetrasi getah buah pepaya pada kemasan yang berbeda. Setelah dilakukan uji lanjut dengan DNMRT bahwa terjadi peningkatan yang nyata (P<0.05) daya suka panelis terhadap kekentalan dadih kerbau yang diberi konsentrasi getah buah pepaya mulai dari pemberian 0.2 cc, 0 cc sampai 0.1 cc dan yang tertinggi kesukaan panelis terhadap kekentalan adalah pada KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap dadih rasa, warna, tekstur dan aroma yang paling disukai adalah pemberian getah buah pepaya dengan konsentrasi 0.1 cc dengan lama peyimpanan 2 hari pada masing-masing kemasan C1 maupun C2. Kecuali kekentalan yang paling disukai pada pemberian konsentrasi getah buah pepaya 0 cc (kontrol) dengan penyimpanan 2 hari pada kemasan bambu. DAFTAR PUSTAKA Alkhudri, 2007. Prosiding. Seminar dan Loka karya Nasional Usaha Ternak Kerbau, Jambi 22 Juli-23 Juni 2007. Azahra,Putri. 2012. Nilai Gizi Dan Manfaat Susu
B- 47
Teknologi Pangan
Kerbau.http://www.blospot/.Diakse s pada tanggal 10 Desember 2013 pukul 09.00 WIB Renaya.2010. dadih. http://www.dadih.net/content/view/. Di akses 11 Desember 2013 pukul 10.00 WIB.
Rusfidra,
A. 2006. Dadih susu kerbau fermentasi menurunkan kolesterol. http://www.cimbuak.net/content/vie w/673/54/. Diakses pada 10 Desember, pukul 09.00 WIB
.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 48
Teknologi Pangan
PROSES PEMBUATAN MINUMAN KAWA DAUN DI SUMATERA BARAT MAKING PROCESS OF KAWA DAUN DRINK IN WEST SUMATERA Rilma Novita1) Andi Eviza 2) Sri Kembaryanti Putri 1) 1)
Departement of Agricultural Technology, Polytechnic of Agricultural Payakumbuh Departement of Cultivation of Plantation Crop, Polytechnic of Agricultural Payakumbuh Email :
[email protected]
2)
Abstract The research was conducted to determine the makingprocess of a beveragefrom coffee leaves in West Sumatra which is called Kawa Daun. Kawa Daun is made from the leaves of coffee which is “didiang” until dry and then brewed as tea brewing. This beverage have a distinctive flavor and aroma similar to coffee. The study was conducted in 9 locations in 3 districts in West Sumatra. This research was conducted by collecting primary data in direct interviews with beverage maker at 9 different locations. The results obtained showed that the raw material for making beverages come from Tabek Patah , Tanah Datar, West Sumatra. The beverage was made by boiling the leaves (kawa daun) in water with concentration 20 g/L until 50 g/L. And found in 4 locations adding other additional material in the process of making beverage. Keywords : coffee leaf, beverage
PENDAHULUAN Minuman Kawa Daun (MKD) adalah minuman yang terbuat dari daun kopi yang didiang sampai kering kemudian diseduh seperti menyeduh teh. Daun kopi yang sudah didiang biasa disebut kawa daun. Minuman kawa daun saat ini cukup populer di tengah masyarakat Sumatera Barat. Minuman dengan citarasa dan aroma mirip kopi ini sudah dikenal sejak lama. Dalam tulisannya Zed (2011) mengatakan “Bagi orang Minang, yang sudah mengenal tanaman kopi jauh sebelum kedatangan Belanda, daun kopi lebih penting daripada buahnya. Daun kopi dikonsumsi untuk minum “kawa” (Arab, qahwa), yakni semacam minuman teh dari daun kopi, dengan cangkir dari batok kelapa (tempurung) yang dituangkan dari tempat penyimpannnya berupa “perian bambu” dengan tutupnya dari bahan “ijuk”.” Minuman kawa daun berkembang sebagai alternatif minuman yang menyehatkan seperti halnya teh. Penampakan minuman kawa daun Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
yang menyerupai teh dan rasanya yang khas membuat minuman ini cukup mudah diterima oleh masyarakat. Minuman ini disajikan di warung-warung tradisional lengkap dengan gorengan atau bahan makanan lain. Pemasarannya pun saat ini tidak hanya di Sumatera Barat, tetapi sudah sampai di kota di pulau Jawa seperti Bandung. Menurut Campa, dkk (2012) daun kopi mengandung senyawa mangiferin dalam jumlah tinggi yang berpotensi untuk dijadikan teh dari daun kopi. Senyawa ini telah diuji pengaruhnya sebagai anti-diabetes, dan anti-inflamasi. Minuman kawa daun dahulunya hanya muncul dan ditemukan di waktu dan tempat tertentu misalnya di hari balai di Sungai Tarab. Tahun 2004 minuman ini kembali muncul di daerah Tanjung baru dan terus berkembang sampai saat ini. Tidak ada literatur ilmiah yang melaporkan proses pengolahan minuman kawa daun Sumatera Barat sehingga perlu didokumentasikan dan
B- 49
Teknologi Pangan
dilestarikan sebagai potensi lokal Sumatera Barat. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan pada bulan Maret-Mei 2015. Penelitian dilakukan di 9 lokasi penjualan minuman kawa daun (warung) yang tersebar di 3 Kabupaten di Sumatera Barat. Ketiga kabupaten tersebut adalah Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam dan Kabupaten 50 Kota. Lokasi penelitian dipilih setelah dilakukan survey ke 30 tempat di tiga kabupaten di Sumatera Barat . Warung yang dipilih untuk pengambilan data didasarkan kepada rata-rata jumlah pengunjung perhari yaitu 50-100 pengunjung. Dalam pengujian organoleptik terhadap suatu produk pangan, jumlah panelis agak terlatih untuk bisa menilai produk disukai atau tidak berjumlah 20-25 panelis, sedangkan panelis tidak terlatih berjumlah 50-100 panelis atau lebih. METODE Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data primer. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan pembuat minuman kawa daun di warung yang diambil sebagai tempat penelitian. Ditetapkan 9 warung kawa daun sebagai tempat untuk mempelajari proses pembuatan minuman kawa daun yang terdistribusi sebagai berikut : 1. Kabupaten Tanah Datar diambil 3 warung yang terletak di Tanjung Baru, Salimpaung dan Aia Angek. Selanjutnya disebut T1, T2 dan T3. 2. Kabupaten Agam diambil 3 warung yang terletak di Jambu Air, Biaro dan Garegeh. Selanjutnya disebut A1, A2 dan A3 3. Kabupaten 50 Kota diambil 3 warung yang terletak di Payakumbuh. Selanjutnya disebut P1, P2 dan P3. Pengamatan yang dilakukan di setiap warung adalah : 1. Sumber bahan baku 2. Proses pembuatan minuman kawa daun Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
3. Warna air seduhan HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara dengan peracik minuman kawa daun di 9 lokasi yang tersebar di 3 kabupaten dan pengamatan langsung proses pembuatan minuman kawa daun, diperoleh data tabel 1. Tabel 1. Sumber daun, formula, bahan tambahan dan warna air seduhan di 9 lokasi.
Sumber : Wawancara, 2015
1. Sumber Bahan Baku Proses pengolahan daun kopi segar menjadi daun kopi kering secara tradisional dilakukan masyarakat dengan cara didiang di atas tungku/perapian yang terdapat di dapur tradisional. Saat ini, daun kopi segar diambil dari kebun kopi secara acak untuk kemudian dibakar di atas perapian dengan jarak 1 m antara daun dan api. Daun dibakar pada satu sisi untuk kemudian dibalik agar sisi lain juga ikut terbakar. Daun yang sudah kering (kadang gosong) selanjutnya dijual ke penjual minuman kawa daun untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Sumber daun kawa terbanyak berasal dari daerah Tabek Patah, Kabupaten Tanah Datar. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa di daerah Tabek Patah terdapat 2 produsen daun kawa yang memasok kebutuhan bahan baku untuk beberapa warung minuman kawa daun yang terdapat di Kabupaten Tanah Datar, Agam dan 50 Kota.
B- 50
Teknologi Pangan
Sehingga setiap warung kawa memiliki citarasa masing-masing. Ada minuman kawa daun yang berasa tawar, sedang dan agak pahit. Untuk meningkatkan penerimaan konsumen, minuman kawa daun dapat diberi tambahan gula, susu dan jahe saat dikonsumsi sesuai selera konsumen. Namun konsumen tertentu menyukai minuman kawa daun dengan rasa agak pahit. Gambar 1. Bahan baku MKD
2. Proses Pembuatan Minuman Kawa Daun Bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan minuman kawa daun adalah daun kawa, air dan bahan tambahan jika menggunakan bahan tambahan. Peralatan yang dibutuhkan adalah penangas/sumber api (tungku/kompor minyak tanah), wadah pemasakan (belanga/dandang/panci) dan batang pengaduk. Air dan daun kawa ditakar dalam suatu perbandingan antara 20 g/L sampai 50 g/L. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan teh yang diseduh dengan perbandingan 2 g/250 ml air. Air dan daun kawa kemudian dimasak sampai mendidih selama lebih kurang 15-30 menit (20-50 g/L). Waktu pemasakan tergantung volume air yang digunakan. Setelah mendidih, minuman kawa daun sudah bisa dihidangkan. Minuman kawa daun disajikan dalam keadaan panas sehingga penangas selalu dalam keadaan hidup dengan api kecil. Tungku tradisional digunakan oleh warung T1, T3, A2, A3, P1 dan P2 dan proses pemasakan dilakukan dengan kayu. Kayu yang digunakan bervariasi dan diantaranya dicampur kayu kulit manis. Sedangkan T2, A1, dan P3 menggunakan kompor minyak tanah. Perbandingan air dan jumlah daun kawa yang dilarutkan, berhubungan dengan rasa minuman kawa daun yang dihasilkan. Pengetahuan perbandingan air dan daun kawa untuk menghasilkan minuman, didapatkan oleh penjual minuman kawa daun dari sumber yang bervariasi diantaranya dari penjual daun kawa, uji coba sendiri dan dari warisan leluhur. Tidak ada standar baku dalam proses pemasakan. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 2. Bagan alir pembuatan MKD
Warung minuman kawa daun T1, memberi bahan tambahan berupa benalu kopi dengan tujuan untuk menambah khasiat dan memperbaiki citarasa. Warung T3 a memberi bahan tambahan gula merah dan beras pulut untuk menambah cita rasa. Sedangkan warung A1 memberi tambahan gula merah dan kayu manis untuk menambah aroma dan citarsa minuman. Cara penyajian minuman kawa daun di 9 lokasi adalah sama yaitu minuman kawa daun disajikan dengan tempurung dan potongan bambu sebagai penyangga. dan penyajiannya pada gambar 3.
B- 51
Teknologi Pangan
KESIMPULAN
Gambar 3. Penyajian MKD
3. Warna Air Seduhan Perbandingan air dan jumlah daun kawa yang dilarutkan, berhubungan dengan penampakan dan warna minuman kawa daun yang dihasilkan. Daun kawa memiliki warna coklat +5 dibuat dengan memasak daun kawa sebanyak 40-50 g/L. Namun korelasi antara konsentrasi dan warna air seduhan masih perlu diteliti lebih lanjut karena dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu pemasakan, waktu pemasakan, cara pemasakan, alat pemasakan, bahan tambahan yang digunakan dan faktor-faktor lain yang perlu diuji lebih lanjut. Secara keseluruhan, air seduhan minuman kawa daun yang diamati, memiliki warna lebih tua daripada warna air seduhan teh fermentasi.
Minuman kawa daun berasal dari Sumatera Barat dengan sumber bahan baku di Nagari Tabek Patah, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar. Minuman ini dibuat dengan cara memasak kawa daun dengan air sampai mendidih. Pemasakan dilakukan dengan konsentrasi 20-50 g/Lelama 15-30 menit. Minuman kawa daun berwarna coklat dan lebih coklat dari warna air seduhan teh. Dalam pembuatan minuman ini dapat ditambahkan benalu kopi, gula merah, beras pulut dan kayu manis. kawa daun, dan alternatif bentuk produk olahan berbasis kawa daun sehingga potensi kawa daun sebagai produk lokal Sumatera Barat mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar dalam perekonomian.Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk mengetahui kandungan bahan aktif dan berkhasiat dalam minuman Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk mengetahui kandungan bahan aktif dan berkhasiat dalam minuman Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui dana Hibah Bersaing tahun 2014 pelaksanaan tahun 2015 DAFTAR PUSTAKA Campa, C., L. Mandolot, A.Rakotondravao, Luc P. R. Bidel, A. Gargadennec, E. Couturon, P. La Fisca, J. J. Rakotomalala, C. J. Allemand and A. P. Davis. 2012. A survey of mangiferin and hydroxycinnamic acid ester accumulation in coffee (Coffea) leaves: biological implications and uses. Annals of Botany 110: 595–613
Gambar 4. Warna air seduhan MKD
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Zed, M. 2011. Dilema Ekonomi Melayu: Dari Melayu Kopidaun hingga Kapitalisme Global. Innovatio, Vol. X, No. 2, JuliDesember 2011 : 209-2
B- 52
Teknologi Pangan
PENGARUH LAMA FERMENTASI TERHADAP MUTU TEPUNG CASSAVA TERMODIFIKASI (THE EFFECT OF FERMENTATION TIME TOWARD THE QUALITY OF MODIFIED CASSAVA FLOUR) Santosa1), Omil C. Chatib1), Kasma Iswari2), dan Hervika Fuji Astuti 3) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas, Telp. 0751 – 72772, Kampus Limau Manis, Padang – 25163 2) BPTP Sumatera Barat di Sukarami, Solok 3) Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas, Telp. 0751 – 72772, Kampus Limau Manis, Padang – 25163
1)
e-mail :
[email protected] ABSTRACT West Sumatra Province isa region rich of tubers commodities, especially cassava. Along with the development of technology and the people’s needs for food, the cassava is processed into Mocaf flour (Modified Cassava Flour) by fermentation. The research was conducted in September 2014 until February 2015 at the Laboratoryof Food Processing Engineering andAgricultural Products, Department of Agricultural Engineering; Laboratory of Chemistry, Biochemistry of Agricultural Products and Nutrition Food, Department of Agricultural Technology; and Laboratory of Non Ruminant Nutrition, Faculty of Animal ScienceAndalas University, Padang. This research aims to determine the best Mocaf quality treatment with fermentation time of 0, 12, 24, 36, 48, 60, and 72 hours using the method of completely randomized design (CRD) analysis. The results showed that the best Mocaf flour quality obtained by fermentation time of 72 hours with the chip moisture content of 10.16%, flour moisture content of 10.15%, protein content of 1.938%, fat content of 0.806%, carbohydrate content of 85.931%, and the whiteness of 96.419 % which already meet the standards of SNI 7622-2011. Key words: Cassava, Fermentation, Quality, Mocaf, Completely Randomized Design
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 53
Teknologi Pangan
1. PENDAHULUAN Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan ditingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik dalam jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan harus dijaga dan diperjuangkan karena merupakan salah satu bagian dari ketahanan nasional yang memiliki peranan yang sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Terdapat beberapa unsur yang mempengaruhi ketahanan pangan yaitu: ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah pangan adalah diverifikasi pangan dengan pemanfaatan komoditi pangan lokal sebagai bahan baku yang bernilai gizi dengan harga yang cukup murah, sehingga dapat dihasilkan produk baru yang bernilai ekonomis dengan nilai gizi yang terpenuhi dengan baik. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, salah satu solusi pengganti beras dan merupakan bahan pangan alternatif yang mampu dikembangkan untuk menjaga ketahanan pangan adalah ubi kayu. Provinsi Sumatera Barat merupakan daerah yang kaya dengan komoditas umbi-umbian terutama ubi kayu. Produksi ubi kayu tahun 2013 mencapai 232.335 ton produksi dengan luas panen 5.580 ha. Berdasarkan data tersebut, maka permintaan pasar terhadap ubi kayu terus meningkat hal ini disebabkan pemanfaatan utama dari bahan pangan tersebut diolah menjadi kripik singkong. Seiring perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat akan bahan pangan lainnya, ubi kayu diolah menjadi tepung ubi kayu. Hasil olahan dari tepung ubi kayu yang diproduksi di Piladang Sumatera Barat banyak digunakan untuk perusahaan mie kering, roti, dan kue-kue basah. Mengingat tingginya kebutuhan konsumen akan bahan makanan dan munculnya beragam jenis makanan maka industri tepungubi kayu yang terdapat di daerah tersebut belum mampu memenuhi Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
permintaan pasar. Hal ini disebabkan karena alat pengolahan dan mesin yang digunakan belum memadai sehingga kapasitas produksi secara rata-rata masih rendah dan tidak berkelanjutan. Mengatasi permasalahan di atas maka dibuatlah inovasi baru, yaitu tepung Modified Cassava Flour (MOCAF). Tepung MOCAF diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel ubi kayu dengan cara fermentasi. Sifat dan karakteristik tepung ini mempunyai aroma yang khas, sehingga aroma dan cita rasa yang khas dapat menutupi aroma ubi kayu seperti pada tepung cassava atau tapioka. Hasil uji coba menunjukkan bahwa MOCAF dapat digunakan sebagai food ingredient dengan penggunaan yang sangat luas. MOCAF ternyata tidak hanya bisa dipakai sebagai bahan pelengkap, namun dapat langsung digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan, mulai dari mie, bakery, cookies hingga makanan semi basah. Pemanfaatannya akhir-akhir ini telah dikembangkan pengolahan tepung ubi kayu yang dimodifikasi dengan menggunakan mesin jenis hammer mill, yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku pangan pengganti beras, seiring peningkatan asupan karbohidrat yang bersumber dari beras mencapai 62,2 % per tahun. Mutu MOCAF dipengaruhi oleh lama fermentasi dan organoleptik produk olahan. Hasil analisis mutu menunjukkan bahwa bubuk tepung yang dibuat dari ubi kayu yang difermentasi sempurna memiliki derajat putih yang lebih bagus dibandingkan produk olahan dari ubi kayu yang tidak difermentasi dan yang difermentasi kurang sempurna. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui mutu terbaik dari MOCAF yang dibuat dari ubi kayu dengan perlakuan lama fermentasi. Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui mutu MOCAF dari ubi kayu dengan perlakuan lama fermentasi. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan mutu terbaik dari tepung cassava termodifikasi (MOCAF). B- 54
Teknologi Pangan
2. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September 2014 ‒ Februari 2015 bertempat di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Teknik Pertanian, Laboratorium Kimia, Biokimia Hasil Pertanian dan Gizi Pangan Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, dan Laboratorium Nutrisi Non Ruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ubi kayu mentah yang diperoleh dari lahan pertanian di Piladang Kabupaten Lima Puluh Kota, dan larutan Bimo‒CF. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, ember, mesin pengiris, mesin pengayak, mesin pembuat tepung, timbangan digital. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan lama waktu fermentasi (0, 12, 24, 36, 48, 60, dan 72 jam), dengan jenis ubi kayu yang digunakan adalah ubi kayu putih. Pengamatan yang dilakukan meliputi rendemen, kadar air chip, kadar air tepung, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, dan derajat putih. Penelitian dilakukan dengan tujuh perlakuan dengan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan SPSS menggunakan ANOVA, jika ada beda nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf signifikasi 0,05 %.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan bahan baku ubi kayu yang berasal dari Piladang Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Proses pembuatan Modified Cassava Flour (MOCAF) meliputi pengupasan kulit, pengirisan, fermentasi, pengeringan, dan penepungan. Proses fermentasi dilakukan dengan 7 perlakuan (0 jam, 12 jam, 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam, dan 72 jam) dengan tiga kali ulangan. Setelah proses fermentasi, chip dikeringkan dengan memasukkan bahan ke dalam oven dengan suhu 60 °C, proses fermentasi dan proses pengeringan menggunakan oven dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Proses Fermentasi dan Proses Pengeringan Menggunakan Oven
Hasil pengeringan chip, kemudian dilakukan proses penepungan, hasil tepung MOCAF dapat dilihat pada Gambar 2. Tahapan kegiatan berikutnya terdiri dari pengambilan data kemudian menganalisis kadar air chip, kadar air tepung kadar abu, kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, dan derajat putih.
Gambar 2. Hasil Tepung MOCAF
HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1
Hasil Fermentasi Tepung MOCAF
terhadap
Mutu
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
3.2 Rendemen Rendemen adalah persentase bahan baku utama yang menjadi produk akhir atau perbandingan produk akhir dengan bahan baku B- 55
Teknologi Pangan
utama. Rendemen harus dipertimbangkan sebelum memproduksi produk secara besarbesaran karena rendemen ini penentu keuntungan yang kita dapatkan. Hasil analisis rata-rata rendemen tepung MOCAF dapat dilihat pada Tabel 1.
sampai beratnya menjadi konstan. Grafik kadar air chip dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 1. Hasil Analisis Rata-rata Rendemen Tepung MOCAF Lama Fermentasi Waktu Fermentasi 0 Jam Waktu Fermentasi 12 Jam Waktu Fermentasi 24 Jam Waktu Fermentasi 36 Jam Waktu Fermentasi 48 Jam Waktu Fermentasi 60 Jam Waktu Fermentasi 72 Jam
Rendemen (%) 45,464 45,064 45,817 43,262 42,135 41,823 40,763
Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan lama fermentasi 0 jam (tanpa fermentasi) berdasarkan Tabel 1 yaitu sebesar 45,464 % dan rendemen terendah adalah pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu sebesar 40,763 %. Dapat dilihat bahwa semakin lama waktu fermentasi MOCAF pada masing-masing perlakuan akan menurunkan rendemen MOCAF yang dihasilkan. Pada proses fermentasi pembuatan MOCAF, singkong mengalami perlakuan perendaman. Penurunan rendemen MOCAF dikarenakan selama perendaman terdapat komponen-komponen singkong yang larut dalam air. Selama proses fermentasi terjadi penghancuran selulosa pada singkong menjadi bertekstur lembut serta pelubangan dinding granula pati (Umar, 2013). Semakin lama waktu fermentasi hingga pada waktu tertentu akan semakin banyak pula dinding selulosa yang pecah sehingga mengakibatkan turunnya rendemen MOCAF yang dihasilkan. Kadar Air Chip Pengamatan kadar air chip ubi kayu dilakukan dengan menggunakan oven dengan suhu 105 °C. Chip yang sudah kering di oven
Gambar 3. Grafik Kadar Air Chip MOCAF
Penurunan persentase kadar air dari perlakuan 0 jam (tanpa perlakuan) sampai pada perlakuan 72 jam cenderung menurun, yang dapat dilihat pada Gambar 3. Kadar air terendah diperoleh pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu 10,157 %, sedangkan kadar air tertinggi pada perlakuan 0 jam (tanpa fermentasi) yaitu 11,255 %. Rendahnya kadar air pada perlakuan 72 jam disebabkan karena semakin lama waktu fermentasi maka semakin meningkat aktivitas enzim dalam mendegradasi pati sehingga semakin banyak jumlah air terikat yang terbebaskan, akibatnya tekstur bahan menjadi lunak dan berpori. Keadaan ini dapat memperbesar penguapan air selama proses pengeringan berlangsung, dengan demikian kadar air akan semakin menurun Semakin lama waktu fermentasi ternyata dapat memperkecil kandungan air dalam tepung MOCAF, kadar air ini sudah memenuhi standarnya yaitu di bawah 13 % yang sesuai dengan SNI 76222011 tepung MOCAF. Perlakuan terbaik didapatkan dengan nilai kadar air 10,157 % pada perlakuan lama fermentasi 72 jam. Rendahnya kadar air yang terdapat pada chip dengan lama fermentasi 72 jam mampu memperpanjang umur simpan. Menurut Deman (1997), kadar air dalam bahan dapat mempengaruhi penurunan mutu secara kimia dan mikrobiologi. Beberapa kerusakan yang mungkin terjadi adalah pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan dan dan hidrolis lemak yang menyebabkan ketengikan.
Kadar Air Tepung Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 56
Teknologi Pangan
Kadar air dalam bahan pangan merupakan parameter yang sangat penting untuk diketahui karena kandungan kadar air dalam bahan pangan menentukan umur simpan bahan pangan tersebut. Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan (Winarno, 2002). Standar tepung pada umumnya memiliki kadar air di bawah 13 % yang lebih rendah dari bahan pangan lain sehingga, membuat tepung memiliki umur simpan yang lebih lama, begitu juga dengan kadar air tepung MOCAF. Grafik kadar air tepung MOCAF dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Kadar Air Tepung MOCAF
Penurunan persentase kadar air dari perlakuan 0 jam (tanpa perlakuan) sampai pada perlakuan 72 jam cenderung menurun, yang dapat dilihat pada Gambar 4. Kadar air terendah diperoleh pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu 10,146 %, sedangkan kadar air tertinggi pada perlakuan 0 jam (tanpa fermentasi) yaitu 11,201 %. Kadar air yang diperoleh dari hasil penelitian telah memenuhi standar mutu tepung MOCAF sesuai SNI 7622-2011 dimana kadar air dibawah 13 %.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Rendahnya kadar air pada perlakuan 72 jam disebabkan karena selama proses fermentasi berlangsung maka proses degradasi pati oleh mikroorganisme yang mampu menyebabkan penurunan bahan dalam mempertahankan air. Semakin lama waktu fermentasi maka semakin meningkat aktivitas enzim dalam mendegradasi pati sehingga semakin banyak jumlah air terikat yang terbebaskan, akibatnya tekstur bahan menjadi lunak dan berpori. Keadaan ini dapat memperbesar penguapan air selama proses pengeringan berlangsung, dengan demikian kadar air akan semakin menurun dalam jangka pengeringan yang sama. Rendahnya kadar air yang terdapat pada tepung MOCAF dengan lama fermentasi 72 jam mampu memperpanjang umur simpan tepung MOCAF. Selain itu, dengan kadar air yang rendah juga mampu mengurangi resiko kerusakan pada tepung MOCAF. Menurut Deman (1997), kadar air dalam bahan dapat mempengaruhi penurunan mutu secara kimia dan mikrobiologi. Beberapa kerusakan yang mungkin terjadi adalah pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan dan hidrolisis lemak yang menyebabkan ketengikan. 3.5 Kadar Abu Kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Kadar abu ini juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap bertahan selama proses pembakaran dan pemijaran senyawa organik (Soebito, 1988). Grafik kadar abu tepung MOCAF disajikan dalam Gambar 5.
B- 57
Teknologi Pangan
Gambar 5. Grafik Kadar Abu Tepung MOCAF
Peningkatan persentase kadar abu dari perlakuan lama fermentasi 72 jam sampai pada 0 jam (tanpa perlakuan) yang terlihat pada Gambar 5 cenderung meningkat dengan perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan lama fermentasi 0 jam dengan kadar abu 0,223 % dan tertinggi pada lama fermentasi 72 jam dengan kadar abu 0,779 %, standar SNI 7622-2011 menyatakan mutu MOCAF terbaik yang memiliki kadar abu di bawah 1,5 %. Kadar Protein Protein merupakan molekul makro yang tersusun atas asam-asam amino yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Asam amino terdiri atas unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Unsur nitrogen menjadi unsur utama dan khas penyusun senyawa makro protein karena unsur nitrogen ini tidak ditemukan pada senyawa makro lain seperti karbohidrat dan lemak (Almatsier, 2004). Grafik kadar protein tepung MOCAF dapat dilihat pada Gambar 6.
Kadar protein terendah terdapat pada 0 jam (tanpa fermentasi) seperti yang terlihat pada Gambar 6 yaitu sebesar 1,408 %, sedangkan kadar protein tertinggi pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu sebesar 1,938 %. Tingginya protein yang terkandung dalam tepung juga menjadi bahan pelengkap nilai gizi bagi tepung itu sendiri. Tingginya kadar protein yang dihasilkan juga disebabkan karena kadar air pada perlakuan lama fermentasi 72 jam lebih rendah sehingga komponen yang lain lebih tinggi konsentrasinya. Selain itu selama proses fermentasi berlangsung protein juga mampu meningkat seiring meningkatnya massa sel mikroorganisme yang tumbuh selama fermentasi berlangsung sehingga mampu menambah kadar protein tepung MOCAF yang dihasilkan (Wang, 1979). Kadar Lemak Lemak merupakan senyawa makro yang memiliki nilai energi tertinggi dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Lemak juga banyak digunakan sebagai citarasa dan memberikan tekstur yang lebih baik pada produk, namun lemak ini juga mampu sebagai parameter kerusakan bahan makanan dengan ketengikannya. Grafik kadar lemak tepung MOCAF disajikan dalam Gambar 7.
Gambar 7. Grafik Kadar Lemak Tepung MOCAF Gambar 6. Grafik Kadar Protein Tepung MOCAF
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 58
Teknologi Pangan
Kadar lemak tertinggi berdasarkan Gambar 7 terdapat pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu 0,806 %, sedangkan kadar lemak terendah adalah 0 jam (tanpa perlakuan) yaitu sebesar 0,458 %. Berdasarkan analisis sidik ragam nilai signifikannya yaitu 0,075. Lama fermentasi memberi pengaruh terhadap kadar lemak yang dihasilkan. Semakin lama waktu fermentasi kadar lemak yang dihasilkan semakin tinggi karena semakin lama waktu fermentasi maka bobot air bahan semakin menurun sehingga kosentrasi komponen lain lebih meningkat dan juga diduga adanya penambahan lemak dari peningkatan lemak dapat dihasilkan dari perombakkan asam lemak pada ubi kayu yang disebabkan oleh sekresi mikroba itu sendiri. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Ferdiaz (1993), sebagian besar penyusun massa sel mikroba adalah protein akan tetapi juga terdapat sebagian kecil pospolipid. Kadar Karbohidrat Kandungan utama dari ubi kayu adalah karbohidrat. Karbohidat pada ubi kayu sebagian besar adalah pati yang terdiri dari 17 % - 20 % amilosa dan sisanya adalah amilopektin (Muharam, 1992). Karbohidrat pada tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana, pentosa, dekstrin, selulosa, dan pati. Pati merupakan komponen utama dalam karbohidrat yang sangat penting dalam menentukan syarat mutu tepung cassava. Kadar karbohidrat dalam makanan tidak ditentukan secara langsung, tetapi dengan metode yang disebut “carbohydrate by difference”. Grafik kadar karbohidrat tepung MOCAF disajikan dalam Gambar 8.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 8. Grafik Kadar Karbohidrat Tepung MOCAF
Kadar karbohidrat tepung MOCAF berdasarkan pada Gambar 8 yaitu cenderung menurun. Kadar karbohidrat tertinggi terdapat pada 0 jam (tanpa perlakuan) yaitu 86,597 %, sedangkan kadar karbohidrat terendah terdapat pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu 85,931 %. Semakin lama fermentasi maka kadar karbohidrat yang terkandung dalam tepung semakin menurun. Derajat Putih Derajat putih menujukkan kemampuan suatu bahan untuk memantulkan cahaya yang mengenai permukaan bahan tersebut. Derajat putih suatu bahan pangan merupakan tingkat keputihan yang dibandingkan dengan MgO yang memiliki derajat putih 94,6 %. Pengujian derajat putih tepung sangat penting untuk dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang menunjukkan mutu dari tepung cassava tersebut. Perbedaan nilai derajat putih dipengaruhi oleh perubahan warna serta terjadinya reaksi pencoklatan pada tepung singkong selama pengeringan. Menurut Muharam (1992), perbedaan kandungan polifenol dan distribusinya di dalam ubi kayu merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya reaksi perubahan warna. Derajat putih merupakan warna dari tepung yang dihasilkan dapat dilihat
B- 59
Teknologi Pangan
dengan menggunakan alat ColorFlex EZ. Grafik derajat putih tepung MOCAF disajikan dalam Gambar 9.
2.
3.
Gambar 9. Grafik Derajat Putih Tepung MOCAF
Derajat putih yang tertinggi diperoleh pada perlakuan lama fermentasi 72 jam dengan hasil 96,419 % dan terendah pada perlakuan 0 jam (tanpa perlakuan) 94,791 %. Hasil derajat putih tersebut diatas standar SNI 7622-2011 yang menyatakan mutu MOCAF terbaik memiliki derajat putih diatas 87 %. Semakin lama waktu fermentasi maka memberi pengaruh nyata yang signifikan terhadap derajat putih tepung MOCAF yang dihasilkan. Semakin lama waktu fermentasi maka tepung yang dihasilkan akan cenderung semakin putih, ini disebabkan adanya degradasi senyawa kompleks oleh mikroorganisme sehingga bahan berpigmen yang ada di dalamnya juga ikut terurai dan larut dalam air. Selain itu, proses fermentasi juga mampu menghambat reaksi maillard yang mampu menyebabkan produk berwarna kecoklatan dengan merombak gula pereduksi menjadi asam-asam organik. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Tepung MOCAF yang dihasilkan setelah lama fermentasi 72 jam dapat Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
4.
memenuhi parameter standar SNI 7622-2011. Tepung MOCAF yang dihasilkan memiliki mutu terbaik pada perlakuan 72 jam yang dapat dilihat dari derajat putih, yaitu lebih putih, rendemen yang dihasilkan lebih sedikit, kadar air yang rendah. Lama waktu fermentasi memberi pengaruh yang tidak signifikan terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, dan derajat putih, akan tetapi memberi pengaruh yang signifikan terhadap rendemen tepung MOCAF. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai terbaik kadar air 10,55 % terdapat pada lama fermentasi 72 jam, kadar protein 1,938 %, kadar lemak 0,806 %, karbohidrat 85,931 %, derajat putih 96,419 % sedangkan kadar abu 0,223 % pada lama fermentasi 0 jam.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Deman, J.M. 1997. Kimia Makanan. Edisi ke2. Diterjemahkan oleh : Kosasih Podmawinata. ITB. Bandung. Ferdiaz, S. 1993. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Muharam, S. 1992. Sifat Karakteristik FisikoKimiadan Fungsional Tepung Singkong (Manihot esculenta Crantz) dengan Modifikasi Pengukusan, Penyangraian, dan Penambahan GMS serta Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar. IPB. Bogor. Umar, Muhammad. 2013. Tepung MOCAF Pengganti Tepung Terigu. 2013. Diakses di http://stppyogyakarta.ac.id/w
B- 60
Teknologi Pangan
p-content/ uploads/ 2014/ 06/ lombakarilendah.pdf, [2 Januari 2015]. Sudarmadji, et al. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Soebito, S. 1988. Analisa Farmasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wang., D.I.C. Cooney dan C.C. Demei. 1979. Fermentation and Enzymes Technology. John Wiley and Sons Inc. New York. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 61
Teknologi Pangan
IPTEK BAGI MASYARAKAT (IBM) KERIPIK SINGKONG ANEKA RASA DIPAYAKUMBUH
1)
Irwan roza , Evawati, Mimi Harni 1) Program Studi Teknologi Pangan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh email :
[email protected]
ABSTRACT The program aims is to increase the production capacity and the product quality of traditional food in traditional food business, namely cassava chips in Payakumbuh. The application of the casava’s chopper/slicer machine, the mixing of seasoning (Molen) and the oil dryer (spinner) have been able to increase the production capacity and quality of cassava chips which produced by the partners. As a result, the comparation of the production before could only increased to 60 kgs per week and now can be increased to 180 kgs per week. The casava chips anekarasa productshave been produced by using this technology processinghave been selling to the market with assorted flavors (fresh, spicy, savory, maicih, and brown). Based on the chemical test, the qualityvariety flavors cassava chips which have been processed using the mechanical machines as desribed above , it has the quality standard and meet SNI requirement and can be stored up to 1 month with 5.2% water contents, 15.3% fat content and 0.48% fatty acid. The financial analysis for the varietyflavors of cassava chips anekarasa products by adding seasoning ingredients which content antioxidant is marketable with cost variety of flavors per 100 grams packaging is Rp. 5000. Therefore, anekarasa chips of variety flavors can still be sold and can compete with similiar products such as chips maicih 250 grams packaging with price Rp. 25,000 to Rp 30,000 in the markets competiton. Keywords; Slicer, molen spinner, chips, and cassava
PENDAHULUAN Untuk meningkatkan daya tarik masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang berbasis singkong sebagai sumber kalori/karbohidrat perlu adanya usaha diversifikasi produk olahan. Diversifikasi diarahkan kepada suatu produk baru yang digemari oleh masyarakat dari semua kalangan usia, praktis, harganya relatif murah sehingga bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanpa adanya pengembangan teknologi, singkong dan produknya akan terhimpit keberadaannya sebagai makanan tradisional akibat berkembangnya makanan siap saji yang lebih praktis. Dari hasil diskusi dengan mitra mengenai permasalahan yang menyangkut keripik singkong yang dialami oleh kelompok adalah terobosan berupa produk yang masih baru di masyarakat sehingga dapat memberikan nilai tambah pada produk dan pendapatan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
mayarakat. Permasalahan pokok yang tergambar dari pertemuan adalah pengeanekaragaman produk olahan singkong dengan produksi yang sangat rendah dimana per minggu menghasilkan keripik singkong 60 kg , dijual dengan menggunakan plastik polyetilen ukuran 10 kg. Faktor pembatas dari permasalahan ini adalah belum tersedianya teknologi proses untuk diversifikasi produk dari singkong. Dari segi pengolahan singkong dapat dikembangkan menjadi keripik singkong aneka rasa yang kaya antioksidan. Pemerintah Kota Payakumbuh bekerja sama dengan instansi terkait yaitu Badan Ketahanan Pangan dan Perguruan Tinggi Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Program Studi Teknologi Pangan selalu berupaya untuk mengembangkan produk lokal yang ada dan penganekaragaman konsumsi pangan supaya produk yang dihasilkan sesuai dengan standar persyaratan.
B- 62
Teknologi Pangan
Pengusaha lokal keripik yang sangat berkeinginan untuk mengembangkan usahanya dan produk dapat diterima di pasar swalayan dan ditoko makanan adalah usaha makanan tradisional ‘GIVIC’ dan usaha keripik ‘MAR’, yang berlokasi di Koto Nan Ampek Kodya Payakumbuh dan Sicicncin Mudik Kecamatan Payakumbuh Timur. Namun pengusaha terkendala tidak ada alat pemotong (slicer), serta mesin pengaduk bumbu (molen) yang menyebabkan secara manual ketebalan tidak seragam dan keripik banyak yang pecah dan hancur serta kapasitas produksinya rendah. Disamping itu produk yang dihasilkan setelah pengadukan dengan bumbu terlalu berminyak. Sehingga perlu alat spinner untuk menghilangkan minyak. Permasalahan ini timbul dikarenakan minimnya informasi yang diperoleh. Berkat kegigihan dari mitra I dan mitra II, dan hasil pertemuan dilokasi dengan Tim Pengabdian ini, dan bersama mereka diuji cobakan dan merumuskan kendala yang terjadi terhadap alat dan mesin yang tepat serta menawarkan metode yang cocok sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Pembuatan mesin untuk peningkatan produksi makanan tradisonal ini, diharapkan berkapasitas tinggi, efisien, sesuai kebutuhan sehingga dapat mengatasi permasalahan yang ada dalam proses produksi dikalangan pengusaha mitra. Dengan adanya alat pemotong (slicer) dan pengaduk bumbu mekanis, dan penghilangan minyak (spinner), diharapkan dapat mengurangi beban produsen dalam hal upah tenaga kerja. Jika dalam satu hari, upah tenaga kerja adalah Rp 80.000,ditambah biaya bahan bakar berupa kayu bakar yang jika dirupiahkan sebesar Rp 2.500,- yang artinya dalam sekali produksi pengusaha harus menghabiskan uang rata-rata sebanyak Rp 82.500,- untuk upah tenaga kerja dan biaya bahan bakar. Dengan penggunaan mesin ini akan mengurangi upah tenaga kerja dan penggunaan kayu bakar bisa dikurangi dengan cepatnya proses pemotongan. Berkembangnya usaha keripik singkong aneka rasa ini, akan berdampak terhadap Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
keluarga dengan meningkatnya ekonomi dan status sosial serta akan berdampak terhadap lingkungan dimana akan lebih banyak tenaga kerja yang terserap dan diharapkan akan menjadi pemicu bagi pengusaha keripik singkong lainnya untuk berkembang. METODE PELAKSANAAN Permasalahan Mitra Berdasarkan diskusi dengan Mitra dan observasi lapangan ke lokasi Mitra, ditemukan beberapa permasalahan yang harus dicarikan solusi menjadikan singkong sebagai produk unggulan daerah untuk dijadikan berbagai produk olahan berbasis singkong dengan penganekaragaman produk dalam rangka pemanfaatan sumber daya lokal dan pangan lokal daerah. Produk yang dipilih adalah ‘Keripik singkong aneka rasa’ dengan bahan baku utama singkong berdasarkan beberapa keunggulan antara lain : 1 Pengembangan Produk Belum adanya diversifikasi produk olahan sejenis dari sumber bahan pangan lokal dari singkong menjadi keripik singkong anekarasa dengan aneka rasa untuk pengembangan produk unggulan daerah Kota Payakumbuh dimana merupakan produk baru dan belum ada lagi produk sejenis yang beredar di pasaran khususnya Payakumbuh atau Sumatera Barat, sehingga terbuka peluang pasar yang luas, karena di kota Payakumbuh merupakan sentra penghasil singkong, sehingga dimasa yang akan datang diharapkan dengan pengembangan produk terjadi peningkatan taraf ekonomi masyarakat umumnya dan pengusaha keripik singkong anekarasa khususnya. 2 Teknologi Proses Teknologi proses yang ditransfer kepada masyarakat berupa produk Keripik singkong anekarasa berbagai macam rasa (tawar, pedas,gurih, maicih, dan coklat) yang berkhasiat untuk kesehatan dan sumber pemenuhan zat gizi karbohidrat. Perancangan B- 63
Teknologi Pangan
alat pemotong (slicer) dan pengaduk bumbu (molen), yang bisa meningkatkan produksi serta alat kemasan (sealer)
3 Mutu Kimianya (Kadar Minyak) Daya tahan simpan dari keripik singkong rendah dikarenakan tingginya kadar minyak/lemak yang menyebabkan produk tersebut cepat mengalami ketengikan dalam proses penyimpanan, karena terjadinya proses oksidasi dan hidrolisa. Makanya perlu adanya alat spinner untuk mengurangi kadar minyak pada keripik singkong. 4 Mutu organoleptik Hasil pengujian dibandingkan dengan produk keripik dari daerah lain yang sudah maju (keripik Maicih) bahwa keripik produk mitra berminyak sehingga rasanya kurang gurih, warna dari keripik yang suram akibat pengaduk tidak homogen. Kenampakan, tektur dan potongan keripik singkong tidak seragam karena pemotongan masih manual sehingga mempengaruhi kenampakan dan penampilan keripik singkong. Kemasan yang digunakan tidak dapat menahan proses terjadinya proses oksidasi sehingga produk yang dihasilkan tidak tahan lama dan menyebabkan keripik singkong cepat mengalami ketengikan, serta belum mempunyai label dan belum ada pengurusan izin Depkes. SOLUSI YANG DITAWARKAN 1 Metode pendekatan a. Memperbaiki teknologi proses mulai dari penyediaan bahan baku sampai proses pembuatan keripik singkong aneka rasa. Untuk memperagakan cara pembuatan, lansung dilakukan di tempat mitra dan demo ini diikuti oleh kedua mitra pelaksana. Memperbaiki penampilan dengan menyeragamkan potongan keripik singkong aneka rasa dengan menggunakan alat pemotong (slicer) dan untuk rasa menggunakan alat pengaduk bumbu (molen). Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
b. Memperbaiki mutu kimianya (kadar minyak) yaitu dengan menggunakan mesin spinner sehingga proses pemisahan minyak dari keripik lebih cepat dan efektif serta minyak dapat terpisah dengan sempurna. Proses ketengikan (oksidasi) akan terjadi apabila minyak kontak dengan udara akan teroksidasi, sehingga makanan yang masih mengandung minyak tinggi dan penangannya kurang sempurna akan mudah tengik. c. Memperbaiki proses pengemasan dengan menggunakan kemasan yang lebih kecil (100g) dengan menggunakan standing pouch alumaniumfoil, dan alat sealer dan pelabelan. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan diperoleh hasil seperti diuraikan sebagai berikut : Perbaikan Hygienes Ruangan Produksi dan Pengemasan Hasil pelaksanaan program IbM di lapangan yang pertama sekali adalah perbaikan lokasi produksi sehingga kehygyne ruang produksi lebih terjamin dan ruang produksi lebih luas dan lebih layak. Mitra sudah berhasil melaksanankan perbaikan lokasi produksi makanan khas Payakumbuh khususnya keripik singkong aneka rasa yaitu usaha makanan khas ‘GIVIC’ yang berlokasi di Jalan SD 55 Bulakan Kandi Koto Nan Ampek Payakumbuh. Pada lokasi baru ini ada bangunan semi permanen dengan ukuran 4 x 8 m untuk meletakkan 2 unit tungku pengolahan, mesin-mesin yang dibuat serta produk yang dihasilkan. Perbaikan Proses Produksi dengan Alat Mekanis Slicer, Molen, dan spinnner Perbaikan proses produksi khususnya untuk pemotongan (slicer), untuk meningkatkan kapasitas kerja pemotongan keripik singkong maka perlu dibuat mesin pemotong (slicer) yang mempunyai kapasitas B- 64
Teknologi Pangan
kerja yang lebih besar jika dibandingkan dengan pemotongan secara manual. Demikian juga halnya mengaduk bumbu (molen) untuk mencampurkan keripik singkong yang telah digoreng dengan bumbu-bumbu sehingga pengadukan bumbu seragam dibandingkan dengan cara manual. Spinner pada pengolahan keripik singkong anekarasa terutama untuk rasa pedas dan gurih berfungsi untuk mengurangi kandungan minyak yang ada pada keripik singkong yang terdapat pada saat pengadukan bumbu. Untuk lebih jelasnya hasil pengujian alat slicer, molen dan spinner dapat dilihat pada Tabel 1, 2, dan 3. Tabel 1. Hasil perbandingan pengujian kinerja mesin peranjang singkong (slicer) dan Manual
Tabel 2. Hasil perbandingan pengujian
Tabel 2. penggunaan alat pencampur bumbu (molen) dan Manual
Tabel 3. Hasil pengujian alat spinner (pengeringan minyak).
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Kerusakan produk keripik singkong anekarasa umumnya disebabkan oleh minyak yang terdapat pada bumbu. Minyak bersifat mudah tengik akibat reaksi oksidasi dan kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang merusak bahan pangan berminyak biasanya termasuk tipe mikroorganisme non patogen. Umumnya mikroorganisme merusak minyak atau lemak dengan menghasilkan cita rasa tidak enak, di samping menimbulkan perubahan warna (discoloration). Dari rangkaian proses pembuatan keripik singkong aneka rasa ini terlihat pada penggunaan mesin yang dibuat dan diterapkan pada pengusaha industri kecil makanan ini dapat meningkatkan kapasitas produksi mereka. Jika pengolahan berlangsung secara kontinu mulai dari pemotongan singkong, penggorengan, pengadukan/pencampuran bumbu dan penirisan, maka kapasitas terendah pada proses ini adalah pada proses pemotongan, yaitu 25,52 kg / jam, sehingga jika dalam satu hari bekerja efektif 5 jam, maka produksi keripik singkong sehari dapat mencapai 5 x 25,52 kg = 127,6 kg dalam sehari. Dengan bekerja selama 6 hari seminggu, maka kapasitas produksi keripik anekarasa dapat mencapai 765 kg. Proses penggorengan keripik singkong aneka rasa merupakan proses yang tidak terlalu lama, dimana untuk penggorengan keripik dengan berat 5 kg hanya membutuhkan waktu sekitar 4 menit, sehingga kapasitas penggorengan dalam 1 jam dapat mencapai 75 kg. Pengemasan Pengemasan berfungsi sebagai wadah agar mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusiannya. Dari segi promosi, pengemas berfungsi sebagai daya tarik konsumen. Ada lima persyaratan pengemasan yaitu, penampilan, perlindungan, fungsi, harga dan biayanya.
B- 65
Teknologi Pangan
Kemasan yang digunakan untuk keripik singkong anekarasa selama ini dilakukan dengan plastik Polyetilen dalam proporsi yang besar yaitu 10 kg dan diikat dengan karet gelang, sehingga secara keseluruhan tidak menarik dan jika kemasan dibuka produk akan cepat menjadi layu dan tidak cryspi lagi. Untuk mengatasi masalah tersebut produk dibungkus dengan jumlah yang lebih kecil yaitu untuk berat 100g dan 150 g dengan kemasan standing pouch alumanium foil yang diberi label yang menarik sehingga dapat meningkatkan nilai jual dari produk keripik singkong anekarasa ini. Uji Kimia Kerusakan yang sering terjadi pada produk pangan yang mengandung lemak dan minyak tinggi adalah ketengikan (Rancidity). Proses ketengikan merupakan problem utama yang sering dijumpai pada lemak, minyak dan bahan olahan makanan yang mengandung lemak. Proses demikian jelas tidak diharapkan karena menyebabkan perubahaan warna, rusaknya vitamin, bahkan penurunan nilai gizi (Fachruddin, 1998). Pada Tabel 4. Dapat dilihat uji kimia keripik singkong aneka rasa, berdasarkan untuk kadar air, kadar lemak dan kadar Asam lemak bebas Tabel 4. Uji kimia keripik singkong aneka rasa (Pedas dan gurih)
Sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-4305-1996 bahwa kadar air untuk keripik singkong maksimum 6% dan kadar Asam Lemak Bebasnya adalah maksimum 0,7%. Pada produk keripik singkong anekarasa sampai penyimpanan 2 bulan kadar Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
FFA dari keripik singkong anekarasa 0,55% sedangkan untuk keripik singkong biasa pada peyimpanan 30 hari kadar FFA nya 0,8 % . Jadi ada keripik singkong yang manual tanpa pemakaian spinner kadar FFA nya pada penyimpanan selama 30 hari tidak lagi memenuhi standar SNI yang ada. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar minyak pada keripik singkong, sehingga selama penyimpanan akan mengalami oksidasi dan hidrolisa sehingga produk keripik singkong mengalami peningkatan kadar FFA. Analisa Finansial Analisa finansial terhadap produk keripik singkong anekarasa aneka rasa dengan penambahan bumbu yang bahannya mengandung antioksidan layak untuk dipasarkan, dengan biaya produksi per kemasan keripik singkong aneka rasa (100 gr) Rp. 5000,Dengan demikian keripik anekarasa ini masih bisa dijual bisa bersaing dengan produk sejenis seperti keripik maicih dengan harga perkemasan (250 gr) Rp 25.000 – Rp 30.000 untuk persaingan pasar. Jika dijual dengan harga Rp 5000 per kemasan (100 gr) maka keuntungan yang diperoleh jika dibandingkan dengan keripik biasa (sanjai) adalah 150 %. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Keripik singkong anekarasa yang cara pengolahannya memakai alat mekanis yaitu slicer, molen dan spinner mempunyai standar mutu yang memenuhi SNI sampai penyimpanan 1 bulan dengan kadar air 5,2 %, kadar lemak 15,3% serta kadar asam lemak bebasnya 0,55% Mesin perajang singkong yang diterapkan pada industri makanan untuk membuat keripik aneka rasa singkong aneka rasa pada perusahaan rumah tangga ‘GIVIC’ mempunyai kapasitas yang cukup besar yaitu 25,52 kg/jam atau 765.6 kg/minggu. Mesin pengaduk bumbu keripik anekarasa mempunyai kapasitas yang cukup besar yaitu B- 66
Teknologi Pangan
38,13 kg/jam atau 1.143,9 kg perminggu dengan hasil bumbu yang merata pada keripik anekarasa, sehingga sudah dapat memenuhi kebutuhan pengembangan produk mitra Mesin pengering minyak spinner yang diterapkan pada industri keripik anekarasa ini mempunyai kapasitas 152,5 kg/jam atau 4,575 kg perminggu dengan hasil yang cukup memuaskan dimana keripik singkong aneka rasa tidak lagi terlihat berminyak seperti pada penirisan secara manual. Penerapan mesin perajang singkong, pengaduk bumbu dan pengering minyak ini sudah dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kualitas keripik singkong anekarasa yang dihasilhan pihak mitra, sehingga produksi yang selama ini 60 kg perminggu sudah dapat meningkat menjadi 180 kg perminggu. Penerapan mesin mesin diatas akan dapat meningkatkan produksi jika pemasaran produk dapat dikembangkan, disamping itu mesin pengaduk bumbu dan spinner dapat digunakan untuk produk makanan selain keripik singkong anekarasa yang memerlukan pengadukan bumbu dan pengeringan produk dari minyak atau cairan lainnya.
Fachruddin, L. 1998. Memilih dan Memanfaatkan Bahan Tambahan Makanan. Trubus griwidya. Bogor. Gsianturi. 2003. Memperkuat Ketahanan Pangan dengan Umbi-umbian. Gizi.net.H, Nur dan R.M. Sinaga. Penyunting Ati Srie Duriat, Yusdar Hilman. 1998. Keripik Kentang Salah Satu Diversifikasi Produk. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Puast Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Ketaren, 2000. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta. Lingga, P dkk. 1989. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Jakarta Soebijanto. T.P. 1993. HFS dan Industri Singkong lainnya. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta
Saran Perluasan pemasaran produk untuk dapat meningkatkan
produksi
dan
keuntungan
pengusaha mitra.. DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Limapuluh Kota. 2008. Kecamatan Harau dalam Angka tahun 2007. Payakumbuh. Buku Profil Pangan Lokal Sumber Karbohidrat. 1999/2000. Proyek diversifikasi Pangan dan Gizi Biro Perencanaan Departemen Pertanian. Cui,
S. W. 2005. Food Carbohidrates Chemistry, Physical Properties, adn Aplications. CRC Press, Boca Raton, London, New York, Singapore.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 67
Teknologi Pangan
IDENTIFIKASI AKTIFITAS ANTIOKSIDAN DAN TOTAL FENOL LARUTAN LIDAH BUAYA (Aloe Vera) DAN TELUR ASIN MENTAH DENGAN SUHU PEMANASAN DAN KONSENTRASI YANG BERBEDA DALAM PROSES PENGASINAN Deni Novia dan Indri Juliyarsi Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang e-mail :
[email protected] ABSTRACT Aloe vera is one of the plants with antioxidants and high phenol. The research objectives was see the absorption aloe vera solution on antioxidant activity and phenols total in the salting process of different heating and concentration. This study used a randomized complete block design factorial 2x3, 3 groups with factor A used extraction temperature (the room and 800C temperature for 15 minutes) and factor B concentration of aloe vera (2, 8, and 14%). Observations were made on the solution of aloe vera and raw salted egg yolk with marinating for 13 days for antioxidant activity and phenols total. If the results of variance influential then further Duncan's test, to antioxidant activity and phenol total. Based on the research that had been done obtained the highest antioxidant activity and phenol total on the solution to room temperature 2% respectively 24.89% and 0.84%, while the salted eggs produced there is no real interaction between different heating and concentrations of antioxidant activity and phenols total. Keywords: solution of aloe vera, antioxidant activity, phenols total, raw salted eggs.
PENDAHULUAN Lidah buaya termasuk salah satu tanaman herbal Indonesia berkhasiat. Menurut Trubus (2010) lidah buaya mengandung senyawa aktif seperti saponin, anthraquinon (aloin barbaloin, anthranol, asam aloetat, aloe emodin, yak ether), enzim oksidase, katalase, lipase, aminase, amylase, vitamin B1, B2, B6, B12, vitamin C, kalsium, natrium, kalium, mangan, seng, polisakarida, karbohidrat, asam amino, lemak, vitamin, mineral dan hormon. Khasiat lidah buaya sangat luas yaitu antibiotic, antiseptic, antibakteri, anti kanker, anti virus, anti cendawan, anti infeksi, anti radang, anti pembengkakan, anti aterosklerosis, anti inflamasi dan laksatif. Selain itu lidah buaya dapat digunakan sebagai suplemen immunomodulator. Beberapa kelebihan lidah buaya yang lain adalah digunakan sebagai alternative pengawet alami secara tradisional (Council of Europe, 2013), suplemen yang aman dan efektif (FDA, 2010), ekstraknya mengandung antioksidan yang lebih tinggi dari antioksidan sintetis BHT dan tokoferol (Anilakumar et al., Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
2010), potensial sebagai antibakteri dan antijamur (Arumkumar dan Muthuselvan, 2009). Namun lidah buaya memiliki senyawa antinutrisi seperti aloin dan saponin sehingga dalam ekstraksi selama 60 menit perlu dipanaskan 800C untuk menghambat zat antinutrisi dan meningkatkan aktifitas antioksidan (Narsih et al., 2012). Penelitian ini membandingkan penggunaan lidah buaya dengan pemanasan suhu 800C selama 15 menit dan tanpa pemanasan. Kemudian juga kosentrasi yang tepat akan mempengaruhi aktifitas antioksidan. Hasil penelitian Novia et al. (2014)a pembuatan telur asin memanfaatkan air sisa penirisan getah gambir dapat memperpanjang umur simpan dari telur asin rebus yang dihasilkan disebabkan oleh senyawa tanin yang dikandungnya. Ditambahkan Novia et al (2014)b selama pengasinan terjadi proses adsorbs sehingga meningkatkan kandungan mineral telur asin. Sejalan dengan penelitian Adriyanto dkk. (2013) pembuatan telur asin menggunakan ekstrak kulit kayu akasia dengan B- 68
Teknologi Pangan
kosentrasi terendah (5%) menghasilkan telur asin dengan aktifitas antioksidan dan total fenol paling tinggi, peningkatan kosentrasi akan menurunkan kandungannya. Hasil penelitian Mega dkk. (2013), penambahan lidah buaya pada pembuatan susu kedelai dan susu sapi, tertinggi sebanyak 21g bentuk jus. Proses pembentukan telur asin herbal terjadi melalui proses difusi aloe vera melalui poripori kulit telur. Adapun tujuan penelitian adalah melihat pengaruh pemanasan dan kosentrasi yang berbeda larutan lidah buaya pada proses pengasinan terhadap aktifitas antioksidan dan total fenol kuning telur asin mentah. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan telur itik Tegal (Anas javanica) dengan kulit telur bewarna hijau kebiruan, umur maksimal 48 jam sebanyak 180 butir dengan berat 65-70 gram yang diperoleh dari peternak itik di Piai Kel. Pisang Kec. Pauh Padang. Lidah buaya diperoleh dari pekarangan di Koto Parak Kel. Pisang Kec. Pauh Padang. Kemudian abu sekam, garam dan air. Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, spektrofotometer, sendok stainlees steel. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen menggunakan rancangan acak kelompok pola factorial 2x3, 3 kelompok dengan factor A suhu ekstraksi yang digunakan (air suhu ruang dan suhu 800C selama 15 menit) dan factor B kosentrasi lidah buaya (2, 8, dan 14%). Jika hasil sidik ragam berpengaruh maka dilakukan uji lanjut Duncan’s, terhadap total fenol dan aktifitas antioksidan. Proses pembuatan telur asin adalah 1) lidah buaya diambil dagingnya, dipotong kecil-kecil dan ditambahkan air suhu (A1) ruang tergantung kosentrasi lidah buaya (faktor B yaitu; 2, 8, dan 16%), dan diblender. Kemudian setengah dari masing-masing perlakuan dipanaskan pada suhu 800C selama 15 menit (A2), 2) Masing-masing perlakuan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
dicampurkan dengan abu sekam dan garam. 3)Telur itik umur maksimal 2 hari dengan berat 65-75 g yang telah dibersihkan dibagi secara acak masing-masing perlakuan dan direndam menggunakan larutan pengasinan lidah buaya. 13 hari. 3) Kuning telur asin mentah yang dihasilkan, dilakukan analisis total fenol dan aktifitas antioksidan HASIL DAN PEMBAHASAN Aktifitas antioksidan dan total fenol larutan lidah buaya Hasil penelitian pengaruh pemanasan larutan lidah buaya dengan kosentrasi yang berbeda terhadap aktifitas antioksidan dapat dilihat pada Gambar 1.
Aktifitas Antioksidan (%) A1 24.89 18.72
B1
A2 22.95 18.04
B2
19.75 17.24
B3
Gambar 1. Aktifitas antioksidan larutan lidah buaya
Ket : A1 : suhu ruang, A2 : suhu 800C selama 15 menit B1 :kosentrasi 2%, B2 : 8% dan B3 : 14%
Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa aktifitas antioksidan larutan lidah buaya tertinggi pada suhu ruang atau tanpa pemanasan, kosentrasi 2% (A1B1) sebesar 24.89%, kemudian dengan semakin tinggi kosentrasi terjadi penurunan aktifitas antioksidan. Pemanasan larutan lidah buaya 800C selama 15 menit terjadi peningkatan aktifitas antioksidan pada kosentrasi 8% (A2B2) yaitu 22.95%, kemudian menurun lagi pada kosentrasi 14% (A2B3). Hasil penelitian total fenol larutan lidah buaya dengan pemanasan dan kosentrasi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.
B- 69
Teknologi Pangan
Total Fenol (%) A1 0.84 0.67
B1
A2
0.69 0.62
0.60 0.45
B2
B3
Gambar 2. Total fenol larutan lidah buaya
Ket : A1 : suhu ruang, A2 : suhu 800C selama 15 menit B1 :kosentrasi 2%, B2 : 8% dan B3 : 14% Pada Gambar 2 terlihat total fenol larutan lidah buaya hasil penelitian paling tinggi pada A1B1 yaitu tanpa pemanasan, kosentrasi 2% sebesar 0.84%, hal ini sejalan dengan hasil aktifitas antioksidan juga paling tinggi. Kemudian mengalami penurunan dengan meningkatnya kosentrasi. Pemanasan akan meningkatkan total fenol dari larutan lidah buaya dalam jumlah yang tidak signifikan. Paling tingginya total fenol perlakuan A1B1 sejalan dengan aktifitas antioksidan dari larutan lidah buaya. Aktifitas antioksidan kuning telur asin mentah Penelitian pengaruh pemanasan dan kosentrasi larutan lidah buaya yang berbeda dalam pembuatan telur asin terhadap aktifitas antioksidan terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Aktifitas antioksidan (%) telur asin hasil penelitian
Berdasarkan hasil analisis keragaman, tidak terdapat interaksi antara pemanasan dan kosentrasi yang berbeda terhadap aktifitas antioksidan telur asin hasil penelitian. Berbeda tidak nyatanya aktifitas antioksidan kuning telur asin mentah disebabkan oleh proses difusi lidah buaya ke dalam telur tidak dipengaruhi oleh pemanasan dan kosentrasi lidah buaya sehingga datanya hampir sama secara statistik. Aktifitas antioksidan tertinggi pada perlakuan A2B3 yaitu 15.19%. Pada perlakuan A2B3 larutan lidah buaya yang digunakan dengan kosentrasi 14%, jauh lebih rendah dari ekstrak jahe yang digunakan sedangkan yang ditambahkan pada penelitian Suryatno dkk. (2012) yaitu ekstrak jahe 50%. 19.424%. Ditambahkan oleh Andriyanto dkk. (2013) pembuatan telur asin menggunakan ekstrak kulit kayu manis 15% dengan lama pemeraman 14 hari mengandung aktifitas antioksidan 21.194%. Aktifitas antioksidan terendah pada perlakuan A1B2 yaitu 9.44%, data ini lebih tinggi dari telur asin yang tanpa penambahan apapun. Menurut Suryatno dkk. (2012) telur asin tanpa penambahan ekstrak jahe dengan lama pengasinan 14 hari adalah 1.994%. Aktifitas antioksidan dari telur asin dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif yang ada di dalamnya. Menurut Trubus (2010) lidah buaya mengandung senyawa aktif seperti saponin, anthraquinon (aloin barbaloin, anthranol, asam aloetat, aloe emodin, yak ether), enzim oksidase, katalase, lipase, aminase, amylase, vitamin B1, B2, B6, B12, vitamin C, kalsium, natrium, kalium, mangan, seng, polisakarida, karbohidrat, asam amino, lemak, vitamin, mineral dan hormon. Total fenol telur asin Hasil penelitian pemanasan larutan lidah buaya dengan kosentrasi yang berbeda terhadap total fenol dapat dilihat pada Gambar 2.
Ket :A1: suhu ruang, A2 : suhu 800C selama 15 menit B1 :kosentrasi 2%, B2 : 8% dan B3 : 14%
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 70
Teknologi Pangan
A1 0.68 0.50
B1
A2
0.58 0.52
B2
Universitas Andalas, Ketua LPPM Unand, Dekan Fakultas Peternakan dan Ketua Prodi Peternakan. 0.69 0.62
B3
Gambar 2. Total Fenol (%) telur asin hasil penelitian
Ket : A1 : suhu ruang, A2 : suhu 800C selama 15 menit B1 :kosentrasi 2%, B2 : 8% dan B3 : 14%
Hasil analisis keragaman tidak terdapat interaksi antara pemanasan dan kosentrasi lidah buaya yang berbeda terhadap total fenol. Total fenol yang didapatkan berkisar antara 0.50 – 0.69%. Total fenol yang dihasilkan jauh lebih tinggi dari telur asin hasil penelitian Suryatno dkk. (2012) yang dibuat memanfaatkan ekstrak jahe 50% dengan lama pemeraman 14 hari yaitu 0.074%, sedangkan tanpa penambahan ekstrak jahe 0.038%. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan larutan lidah buaya yang tertinggi aktifitas antioksidan dan total fenolnya adalah tanpa pemanasan dengan kosentrasi 2%, sedangkan telur asin terbaik dari larutan lidah buaya pemanasan suhu 800C selama 15 menit, kosentrasi 14% dengan aktifitas antioksidan 15.19% dan total fenol 0.69%. UCAPAN TERIMAKASIH Penghargaan dan ucapan terimakasih ditujukan kepada pihak-pihak yang telah mendukung terlaksananya penelitian hibah bersaing ini, khususnya kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai penyandang dana pada Hibah Penelitian Nomor: 030/SP2H/PL/DIT.bLITABMAS/II/2015, Tanggal 05 Februari 2015, selanjutnya Rektor Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
DAFTAR PUSTAKA Andriyanto, A., M.A.M. Andriani, E. Widowati. 2013. Pengaruh penambahan ekstrak kayu manis terhadap kualitas sensoris, aktivitas antioksidan dan aktivitas antibakteri pada telur asin selama penyimpanan dengan metode penggaraman basah. The influenced of Cinnamon extract addition to sensory characteristic, antioxidant activity and antibacterial activity on salted eggs during storage in method wet salting. J.Teknosains Pangan 2(2): 13-20. www.ilmupangan.fp.uns.ac.id Anilakumar, K.R., K.R. Sudarshanakrishna, G. Chandramohan, N. Ilaiyaraja, F. Khanum, A.S. Bawa. 2010. Effect of Aloe vera gel extract on antioxidant enzymes and azoxymethane-induced oxidative stress in rats. Indians J. Exp. Biol. 48(8):837-842 Arunkumar, S and M. Muthuselram. 2009. Analysis of phytochemical constituents and antimicrobial activities of Aloe vera L against clinical pathogens. Word Journal of Agricultural Science. 5(5):572-576 Council of Europe. 2013. Risk profie Aloe vera. Cas No.85507-69-3’. Date of reporting 13.05.2013. 1-24 FDA. 2000. Message on the internet about HACCP inspection at aloe product manufactures. http://www.iasc.org/haccp.html Mega, I.P., Nardani, Sumardi, Bagus M.H. 2013. Pengaruh penambahan lidah buaya (Aloe vera sp) terhadap sifat fisik dan kimia susu sapi segar dan susu kedelai. J. Bioproses Komoditas Tropis. 1(1):80-87 Narsih, S.Kumalaningsih, Wignyanto and S. Wijana. 2012. Identification of aloin and saponin and chemical composition B- 71
Teknologi Pangan
of volatile constituents from Aloe vera (L) Peel. J.Agric.Food.Tech. 2(5):7984 Novia, D., I. Juliyarsi, A. Sandra, Yuherman and Rifki Muhammad. 2014a. Soaking Salted Egg in Gambier Liquid Waste Inhibit Bacterial Growth. Pak. J. Biol. Sci. 17(3):424-428 ________ S. Melia and I. Juliyarsi. 2014b. Utilization of Ash in The Salting Process on Mineral Content Raw Salted Eggs. Asian J. Poult. Sci. 8(1):1-8
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Suryatno, H., Basito, E. Widewati. 2012. Kajian organoleptik, aktivitas antioksidan, total fenol pada variasi lama pemeraman pembuatan telur asin yang ditambah ekstrak jahe (Zingiber officinale Roscoe). A study on organoleptic, antioxidant activity, total phenol on duration of aging variation of salty eggs making added by ginger extract (Zingiber officinale Roscoe) J. Teknosains Pangan. 1(1):118-125 www.ilmupangan.fp.uns. ac.id
B- 72
Teknologi Pangan
ISOLASI DAN KARAKTERISASI RHIZOBAKTERIA PELARUT POSFAT POTENSIAL KACANG TANAH (Arachis hypogaea L) Anidarfi, Ngakumalem Sembiring dan Auzia Asman[1], Lenny Rozaira[2] [1] Dosen Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Teknisi Laboratorium Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Email :
[email protected]
[2]
Abstract Phosphate in the soil is nutrient elements which are instrumental to the process of plant growth. Phosphate in the soil is a vital nutrient for plant growth peanuts especially charging pods. The availability of phosphate elements aided by bacterial solvent phosphate (BPF) which is plentiful in the area of rhizosfer. The purpose of this research was to get BPF and knowing the nature and potential of solvent type of bacteria for phosphate is obtained. Isolation and characterization of bacteria using Pikovskaya and King's B media. The results of this research obtained the highest population density of BPF encounter in Pasaman 6.3 x 105CFU. Retrieved 6 isolates of bacterial origin of the phosphate solvent rhizosfir peanuts i.e., isolates A, B, C, D, E and F. With the rate of growth of the BPF isolates, it is best to isolate A (y = 1.493 x + 0.187), ability of P dissolving is isolate E with halozone ratio 1,41. Key word: bacteria solvent phosphate potential, peanuts
,I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L) merupakan tanaman palawija bernilai ekonomi tinggi, menjadi sumber kebutuhan gizi masyarakat terutama protein dan lemak nabati. Dibandingkan kacang-kacangan lainnya seperti kedelai, kacang tanah relatif membutuhkan masukan (input) yang rendah, dengan resiko kegagalan kecil, harga jual tinggi dan stabil serta pemasaran yang mudah. Berdasarkan potensinya tersebut kacang tanah memiliki potensi yang cukup baik untuk meningkatkan pendapatan petani (Hidayat, Kartaatmaja dan Rais, 1999).Produktivitas kacang tanah di Indonesia masih sangat rendah, yakni sekitar 1,1 ton/ha. Namun dari beberapa hasil penelitian, produksi tanaman kacang tanah dapat mencapai 2–3 ton/ha (Kasno, 2005)., 2005).Hal tersebut menggambarkan bahwa produksi kacang tanah memiliki prospek untuk dapat ditingkatkan. Masalah utama yang dihadapi untuk meningkatkan produktifitas kacang tanah adalah semakin sempitnya lahan subur karena beralih fungsi ke penggunaan non pertanian Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
serta rendahnya kesuburan tanah (Andrianto dan Indarto, 2004).Oleh karena itu, perlu dicari teknologi alternatif yang prospektif untuk mengatasi masalah tersebut, khususnya masalah kesuburan tanah.Untuk tumbuh baik, kacang tanah membutuhkan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya. Unsur P seringkali tidak tersedia dengan cukup pada tanah kurang subur, seperti pada tanah masam.Menurut Adisarwanto (2001), didalam brangkasan kacang tanah terdapat 0,21 % P, sedangkan di dalam bijinya terkandung P sebanyak 4,01 g/100g bahan, artinyaketersediaannya sangat dibutuhkan. Unsur P berperan utama dalam transfer energi, sintesis protein, dan reaksi biokimia lainnya (Pelczar dan Chan., 1992). Ketersediaan P dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah, pada tanah masam P akan bersenyawa dengan Al dan Fe membentuk AlP dan Fe-P, sehingga efektifitas pemupukan P menjadi rendah karena sebagian P berubah menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Ketersediaan P di dalam tanah dipengaruhi oleh aktivitas organisme pelarut fosfat, contohnya adalah bakteri pelarut fosfat B- 73
Teknologi Pangan
(BPF).Golongan bakteri tersebut dapat menyuburkan tanah karena mampu melarutkan P dengan mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah seperti oksalat, suksinat, fumarat, malat. Asam organik tersebut bereaksi dengan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau Mg2+ membentuk khelat atau komplek organik yang stabil sehingga ion P akan terbebas, dan dapat diserap tanaman (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006).Hasil penelitian Widiawatidan Suliasih (2006) menyatakan bahwa bakteriPseudomonas dan Bacillus merupakan bakteripelarut fosfat yang memiliki kemampuan terbesarsebagai biofertilizer dengan cara melarutkan unsurfosfat yang terikat pada unsur lain (Fe, Al, Ca, danMg), sehingga unsur P tersebut menjadi tersediabagi tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untukmengisolasi dan mengidentifikasi bakteriyang dapat melarutkan fosfat pada tanahkonvensional dan tanah organik. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Kebun Percobaan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Penelitian dilaksanakan daribulan April – Oktober 2015. Pengambilan Sampel Rhizosfir Sampel tanah sumber isolat bakteri pelarut fosfat adalah rhizosfir kacang tanah berasal dari daerah sentra produksi kacang tanah, yakni Kabupaten Tanah Datar, Agam dan Pasaman. Metode yang digunakan dalam pengambilansampel adalah metode composite sampling (Hyde,et al., 2009). Setiap lokasi diambil 5 titikpengambilan sampel secara acak. Pengambilansampel tanah dilakukan pada jarak 8 cm daripangkal akar dengan kedalaman 15 cm di sekitarperakaran tanaman kacang tanah. Tanah kemudiandikompositkan dan dimasukan ke kantong plastiklalu dibawa ke laboratorium. Sampel tanah yangtelah diambil sebanyak 1 kg pada setiap
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
titik,750gram untuk isolasi dan 250 gram untuk analisiskandungan tanah. Isolasi Bakteri Pelarut Fosfat Isolasi bakteri pelarut fosfat dilakukan menggunakan metode pengenceran (Platting Method). Diambil sebanyak 10 gram tanah dan dilakukan pengenceran (serial dilution method) hingga faktor pengenceran 10-5. Koloni yang membentuk zona bening dimurnikan dengan cara streak for singel colony pada media pikovskaya (Pelczar dan Chan,2006). Pengamatan Makroskopis Koloni Bakteri Pengamatan makroskopis yang dilakukan meliputi bentuk koloni, bentuk permukaan koloni, bentuk tepi koloni serta warna koloni. Deskripsi morfologi koloni disesuaikan dengan struktur makroskopis koloni bakteri (Waluyo, 2000). Pemurnian Isolat Bakteri Pelarut Fosfat Pemurnian bakteri dilakukan dengan menumbuhkan koloni bakteri menggunakan jarumose secara aseptis dan digoreskan pada mediaPikovskaya. Media tersebut diinkubasi selama 72jam pada suhu 30oC sehingga didapatkan isolatmurni. Isolat bakteri yang akan dimurnikanditentukan dari perwakilan tiap kelompok yangmemiliki ciri yang sama. Uji Fosfatase Uji fosfatase dilakukan untuk melihat kemampuanhidup bakteri pelarut fosfat. Media selektifPikovskaya yang sudah disterilkan di tuang kedalam cawan petri dan di biarkan hingga beku.Isolat bakteri yang akan diuji kemudian diambilsedikit dan dititikan pada lima secara diagobal, lalu diamati selama 48 jam padasuhu 30°C. Kemampuan hidup bakteri pelarutfosfat pada media ditandai dengan terbentuknyazona bening (halo) di sekitar koloni bakteri. Karakterisasi Bakteri Pelarut Fosfat Karakterisasi yang akan dilakukan meliputi pengamatan morfologi bakteri.Pengamatan sel secara makroskopis meliputipengamatan B- 74
Teknologi Pangan
morfologi koloni bakteri. Pengamatandilakukan dengan mengamati bentuk, elevasi,tepian dan warna koloni bakteri yang tumbuh padamedia Pikovskaya.
media Pikovskaya dapat dilihat pada Gambar 1.
HASIL Isolasi Bakteri Pelarut Posfat Hasil kepadatan koloni bakteri pelarut fosfat pada setiap daerah asal rhizosfir kacang tanah denganmenggunakan metode cawan hitung (Total PlateCount) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kepadatan koloni BPF pada setiap rhizosfir kacang tanah
No.
Asal rhizosfer
Rerata kepadatan Koloni Bakteri (CFU/g) 1. Pasaman 6,3 x 105 2. Tanah Datar 5,5 x 105 3. Agam 8,7 x 104 Keterangan : CFU= Colony Forming Unit Makroskopis dan motility koloni BPF Berdasarkan hasil isolasi bakteri dari rhizosfir kacang tanah diperoleh 5 isolat pontensial, 3 isolat dari daerah Pasaman dan 2 isolat dari daerah Agam dan 1 isolat dari Tanah Datar. Keenam isolat tersebut disajikan pada Tabel 2.
A
B
D
E
C
F
Gambar 1. Isolat rhizobakteria pelarut fosfat dari daerah Kabupaten Pasaman (A, B dan C), Agam (D dan E) dan Tanah Datar (F).
Uji Melarutkan Posfat Uji kemampuan melarutkan fosfat, isolat BPF yang diperoleh ditumbuhkan pada media pikovskaya yang mengandung unsur P yang tidak larut. Kemampuan isolat BPF dalam melarutkan fosfat pada media Pikovskaya ditunjukan dengan terbentuknay zona bening (halozone)di sekitar koloni isolat. Tabel 3. Kemapuan isolat BPF menghasilkan zona bening pada media Pikovskaya setalh inkubasi selama 10 hari.
Tabel 2. Bentuk makroskopis koloni dan motility BPF rhizofir kacang tanah dari daerah Kabupaten Pasaman, Agam dan Tanah.
*Satuan dalam mm
Tampilan koloni BPF Hasil pengamatan bentuk makroskopis koloni BPF rhizofir kacang tanah dari daerah Kabupaten Pasaman, Agam dan Tanah pada
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Laju pertumbuhan BPF Laju pertumbuhan isolat BPF pada media Kings’B broth yang diamati menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm dapat dilihat pada Gambar 2.
B- 75
Teknologi Pangan
Gambar 2. Laju pertumbuhan isolat Bakteri pelarut fosfat asal Pasaman (A, B, C); Agam (D, E) dan Tanah Datar (F)
PEMBAHASAN Rhizosfir kacang dari daerah Pasaman memiliki kepadatan koloni bakterisebesar 6,3 x 105CFU, Tanah Datar 5,5 x 105CFU dan Agam 8,7 x 104CFU (Tabel 1). Bakteri pelarut fosfat seringditemukan berasosiasi didalam tanah,sebab didalam tanahterdapat akar tanaman yang dapatdimanfaatkan oleh mikroba sebagai nutrisiyaitu berupa eksudat yang dikeluarkanoleh tanaman, sehingga bakteri akanberasosiasi di rhizosfer tanaman.Menurut Widawati dan Suliasih, (2006) aktivitas dan jumlah bakteri tanahmeningkat dengan semakin dekatnya jarak bakteritanah tersebut dari akar tanaman. Hasil isolasi bakteri pelarut fosfat padarhizosfir Pasaman diperoleh3 isolatbakteri pelarut fosfat sedangkan padarhizosfir Agam diperoleh 2 isolat dan Tanah Datar 1 isolat. Meskipun pada rhizosfir Pasaman ditemukan lebih banyak BPF akan tetapi kemampuannyamelarutkan fosfat dia isolatnya (A dan C) sangat kecildibandingkan dengan isolat yangdidapatkan dari rhizosfirAgam yaituisolat D dan F, sedangkan isolat E asal Tanah Datar merupakan isolat dengan
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
kemampuan melarutkan P paling rendah dibandingkan silat yang lain (Tabel 3) Dalam aktivitasnya, mikroba pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik diantaranya ialah asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan a-ketobutirat (Alexander, 1978; Subba Rao, 1994; Illmer et al., 1995; Beaucamp dan Hume, 1997). Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga mengakibatkan terjadinya pelarutan P. Asam organik mampu meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme, diantaranya adalah : (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang bermuatan positif (Nagarajah et al., 1970 dalam Premono, 1994); (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P melalui pembentukan kompleks logam organik (Beaucamp dan Hume, 1997); dan (3) modifikasi muatan permukaan tapak jerapan oleh ligan organik (Havlin et al., 1999). Dari keenam isolat, produksi asam organik paling efektif adalah isolat B, D dan E. Asamasam organik yang dihasilkan oleh isolat B, D dan E diduga lebih besar dibandingkan yang dihasilkan oleh isolat lainnya (A, C dan F). Adanya perbedaan tersebut memungkinkan terbentuknya ikatan Al-OH lebih banyak. Adanyakompleks Al-OH akan memberikan recovery yangbesar terhadap aktivitas enzim phosphatase sehinggaterjadi peningkatan perpindahan molekul-molekulenzim dari larutan tanah menuju insoluble complexs.Hasil penelitian Rao et al.(1996) menunjukkankehadiran kompleks Al-OH meningkatkan hingga48% aktivitas enzim phosphatase dalam insolublecomplexs. Bakteri pelarut fosfat menghasilkan asamasam organik tersebut melalui proses katabolisme glukosa dalam siklus asam trikarboksilat (TCA), yang merupakan lanjutan reaksi glikolisis. Widiawati dan Suliasih (2006) melaporkan bahwa pelarutan fosfat oleh BPF sebagai biofertilizermelalui mekanisme melarutkan fosfat yang masih terjerat didalam B- 76
Teknologi Pangan
tanah seperti unsur Fe, Al, Ca dan Mg sehingga unsur-unsur tersebut dapat dilarutkan oleh bakteri selanjutnya menjadi unsur yang tersedia bagi tanaman. Ligan organik seperti asam tartrat, oksalat, malat dan sitrat yang mengandung gugus karboksil (COOH), alifatic-OH, fenolik-hydroksil sangat efektif dalam pelarutan mineral dan pembentukan chelat dengan unsur Al, Fe, Ca serta unsur lain dan menurunkan pH media (Violante dan Gianfreda, 2000). Kemampuan daya tumbuh dan pelarutan P oleh isolat yang diperoleh menunjukkan bahwa isolat A, B, C, D dan E memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan biofertilizer guna meningkatkn ketersediaan P bagi tanaman kacang tanah. Namun isolat F selain memilik laju pertumbuhan yang lambat, juga kemampuan pelarutan P yang lebih kecil, sehingga dapat dikatakan potensinya untuk meningkatkan ketersedian P kurang potensial. SIMPULAN Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat BPFyang potensial untuk dijadikan biofertilizer pada rhizosfir kacang tanah asal Agam dan Pasaman meliputi adalah isolat E, D, B, A dan C dengan rasio terbentuk halozone 0,67 – 1,41. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto. T. 2001. Meningkatkan produksi kacang tanah di lahan sawah dan lahan kering. Penebar Swadaya. Jakarta. Andrianto dan Indarto. 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani Kedelai, KacangHijau dan Kacang Panjang. Yogyakarta: Absolut Alexander, M. 1978. Introduction to Soil Microbiology. 2nd ed. Willey Eastern Limited.New Delhi. Beauchamp, E.G and D.J. Hume. 1997. Agricultural soil manipulation: The use of bacteria, manuring and plowing. In J.D. van Elsas., J.T. Trevors and E.M.H. Wellington (eds). Modern Soil Microbiology. Marcel Dekker, New York. p643-664. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Havlin, J.L., J.D. Beaton., S.L. Tisdale., and W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Sixth ed. Prentice Hall, New Jersey. Violante, A. and L. Gianfreda. 2000. Role of Biomoleculesth in the formation and reactivity toward nutrients and organi cs of var i abl e charge miner al s and organomineral complexes in soil environment. Soil Biochem. 10: 207270. Hidayat, J.R., S. Kartaatmadja, dan S.A. Rais. 1999. Teknik Produksi Benih Kacang Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.54 hlm. Illmer, P., A. Barbato and F. Schinner. 1995. Solubilizing of hardly soluble AlPO withP-solubilizing microorganism. Soil Biol. Biochem. 27:265-270. Kasno, A. 2005.Profil dan perkembangan teknik produksi kacang tanah di Indonesia.Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan Bogor. Premono, E.M. 1994. Jasad renik pelarut fosfat, pengaruhnya terhadap P tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Rao, M.A., L. Gianfreda, A.A. Palmiero, and Violante. 1996. Interaction of acid phosphatase with clays, organic molecules and organo-mineral complexes.Soil Sci 161: 751-760. Subba Rao, N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke dua. Terjemahan Herawati Susilo. UI Press. Suriadikarta, R.D.M dan Simanungkalit, D.A. 2006.Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Pelczar, M.J. dan Chan. E. C. S. 2006. Dasardasar Mikrobiologi Jilid 2, UI Press. Jakarta. Waluyo, L., 2008, Teknik Metode Dasar Mikrobiologi, Universitas Muhamadiyah Malang Press,Malang.
B- 77
Teknologi Pangan
KAJIAN SIFAT ANTIBAKTERI DAN ANTIJAMUR DARI SENYAWA KIMIA TERIPANG KASUR (Stichopus vastus Sluiter) DARI PERAIRAN NATUNA KEPULAUAN RIAU. Mery Sukmiwati1, Enda Mora2, Emma Susanti2. Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univ. Riau. 2) Staf Pengajar Sekolah Tinggi Farmasi Riau.
1)
e-mail:
[email protected] ABSTRAK Teripang merupakan salah satu sumber daya perairan yang belum termanfaatkan secara optimal. Hewan laut ini memiliki kandungan senyawa bioaktif yang cukup potensial, oleh karena itu teripang dapat dimanfaatkan sebagai sumber alternative oleh industri farmasi sebagai bahan baku obat dan industri pengolahan hasil perikanan. Tujuan dari penelitian ini untuk menggali dan mengembangkan potensi kandungan bioaktif pada teripang kasur sebagai antibakteri dan antijamur terhadap Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermlis, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan antijamur terhadap Candida albicans, Trihopyton mentagrophytes. Pengujian aktivitas antibakteri dan antijamur dengan metode difusi dari hasil KVC berbagai kosentrasi (250μg/ml, 500 μg/ml, 750 μg/ml, 1000 μg/ml) sebelumnya dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif pada teripang kasur Hasil pengukuran diameter zona hambat larutan uji ekstrak metanol teripang S vastus terhadap 4 spesies bakteri dan 2 spesies jamur yaitu: bakteri S. epidermilis dengan diameter zona hambat 13,26 mm, dan S. aureus 11 mm, P.aeruginosa 10,97 mm dan E.coli 10,33 mm. Diameter zona hambat dari jamur Candida albicans 9,77 mm dan T. mentagropytes (9,12 mm). Dari hasil KVC berbagai kosentrasi menunjukkan aktivitas maksimum antibakteri yang memiliki aktivitas interaksi tertinggi pada kosentrasi 1000μg/ml adalah Stapylococcus epidermilis dan untuk jamur adalah Candida albicans. Kata kunci: Isolasi, Antibakteri dan antijamur, Stichopus vastus 2
PENDAHULUAN Dalam bidang obat-obatan, pencaharian senyawa-senyawa baru yang bersifat antimikroba dari hasil metabolisme merupakan salah satu upaya dalam pengembangan obat antibiotik. Kelompok senyawa tersebut meliputi β-laktam (penisilin) sefalosporin dan karbapenem (Von Nussbaum, et al., 2006). Seiiring dengan perjalanan waktu dari akhir abad yang lalu hingga sekarang kemampuan senyawa-senyawa antibiotik tersebut mulai berangsur-angsur menurun, disebabkan mikroorganisme yang menjadi target ikut mengembangkan kekebalan terhadap senyawasenyawa tersebut. Seperti contoh, kloramfenikol (Chloramphenicol), yang ditemukan pada pertengahan abad 19, sebagai produk kimia dari organisme Streptomyces venezuaelae, dimana senyawa kimia tersebut mampu menurunkan tingkat kematian akibat penyakit tipes (thyphoid) (Van der Bergh, et Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
al., 1999), namun sejak kurun waktu tahun 1970-an gejala kekebalan S. thypii terhadap obat ini mulai muncul (Lampe, et al., 1974). Gejala yang sama juga ditemukan pada obatobat antibiotik yang lainnya, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian senyawa-senyawa antimikroba baru dan sekaligus pengembangannya, karena sampai saat ini penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri masih mengandalkan antibiotic sintetik. Hal ini menimbulkan kekuatiran akan munculnya strain bakteri baru yang resisten terhadap antibiotik (Tirtodiharjo, 2011) Teripang atau timun laut adalah organisme laut dari phylum Echinodermata, merupakan salah satu sumber daya perairan yang belum dimanfaatkan secara optimal, yang memiliki kandungan protein dan kolagen yang sangat tinggi, selain itu teripang mengandung mineral, mukopolisakarida, glucosaninoglycans, omega-3, 6, dan 9, asam amino dan chondroitin (Jahawar et al., 2002).
B- 78
Teknologi Pangan
Beberapa hasil penelitian lainnya membuktikan bahwa senyawa steroid pada teripang mempunyai aktifitas antibakteri pada teripang spesies Cucumaria frondosa (Haug et al., 2002 ), aktifitas antijamur pada teripang spesies Psoulus patagonicus (Murray et al., 2001) Kandungan antibakteri dan antifungi pada teripang dapat meningkatkan kemampuannya untuk tujuan perawatan kulit. (Aminin, 2001). Beberapa senyawa bioaktif yang terdapat pada teripang antaralain: teripang Holothuria sp sebagai antibakteri dan antifungi. Dari hasil penelitian
(Kaswandi
dan
Lian,
2000)
menunjukan bahwa bahan aktif dari teripang Holothuria
tubolos
dapat
menghambat
pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae Salah satu tujuan penelitian ini untuk menggali dan mengembangkan potensi kandungan bioaktif yang ada pada teripang, yang diketahui teripang memiliki senyawa steroid yang berpotensi sebagai antimikroba. Kajian fungsi biologis dari senyaawa tersebut belum banyak dilakukan. Berdasarkan pembahasan tersebut di atas maka isolasi masing-masing komponen senyawa pada Stichopus vastus perlu dilakukan dalam upaya mencari alternative//kandidat obat baru yang bersifat antibiotik sebagai antibakteri dan antijamur. METODE PENELITIAN. Bahan dan alat. Sampel teripang S vastus berasal dari perairan Natuna Kepulauan Riau. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah methanol, n-heksan, etil asetat, butanol, DMSO media pertumbuhan bakteri dan jamur. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah : rotary evaporator Heidolph VV 2000, HPLC, spektrofotometer UV-Visible merk Hitachi U2001,spektrofotometer IR merk Shimadzu 3 type IR Prestige-21, spektrofotometer NMR merk JEOL type ECA 500 dengan medan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
magnet 500 MHz, (1H-NMR, 13C-NMR, DEPT, COSY, HMQC dan HMBC) lampu ultraviolet 365 dan 254 mm, seperangkat alat destilasi, Chamber, inkubator, cawan petri, pipet mikro, kolom kromatografi, oven vakum, hot plate, fisher jhon melting point apparatus. Ekstraksi dan Fraksinasi Ekstraksi dilakukan terhadap teripang S. vastus dengan metode meserasi. Sebanyak 1000 g teripang dirajang halus, masukan ke dalam botol gelap, kemudian ditambahkan methanol p.a sampai bahan terendam (2000 ml) dibiarkan selama 3 hari, dan dikocok sesekali. Setelah 3 hari perendaman diambil maseratnya dengan cara disaring dan diulangi perendaman sampai 3 kali. Maserat yang diperoleh disentrifuge dengan kecepatan 6000 rpm pada suhu 4 oC selama 10 menit. Maserat methanol dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator sampai didapat ekstrak kental dan timbang beratnya. Selanjutnya ekstrak kental methanol difraksinasi menggunakan corong pisah dengan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya. Fraksi diawali dengan pelarut non polar n-heksana sebanyak 4 x 200 ml, sehingga diperoleh fraksi n-heksana dan fraksi air. Fraksi n-heksana diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator dan diperoleh fraksi kental n-heksana. Fraksi air selanjutnya difraksinasi dengan etil asetat, sebanyak 4x200 ml sehingga diperoleh fraksi etil asetat dan fraksi air. Fraksi etil asetat kemudian diuapkan dengan rotary evaporator dan diperoleh fraksi kental etil asetat. Fraksi air selanjunya difraksinasi dengan n-butanol, sehingga diperoleh sebanyak 4x200 ml, sehingga diperoleh dua fraksi, yaitu fraksi n-butanol dan fraksi sisa. Fraksi n-butanol diuapkan dengan rotary evaporator dan diperoleh fraksi kental n-butanol. Fraksi sisa diambil 5 % untuk menetukan berat kering fraksi sisa. Selanjutnya fraksi yang aktif di uji aktivitas antimikroba dan anti jamur.
B- 79
Teknologi Pangan
Isolasi dan pemurnian senyawa bioaktif Stichopus vastus.
Isolasi dan pemurnian senyawa bioaktif Stichopus vastus.
Pemurnian senyawa bioaktif Stichopus vastus dilakukan melalui ekstraksi dan fraksinasi mengunakan pelarut heksan, etil asetat, butanol dan air. Fraksi aktif lalu dipisahkan secara kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi vacum cair (KVC) dan kromatografi kolom. Selanjutnya uji kemurnian dilakukan dengan HPLC.
Pemurnian senyawa bioaktif Stichopus vastus dilakukan melalui ekstraksi dan fraksinasi mengunakan pelarut heksan, etil asetat, butanol dan air. Fraksi aktif lalu dipisahkan secara kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi vacum cair (KVC) dan kromatografi kolom. Selanjutnya uji kemurnian dilakukan dengan HPLC.
Uji Aktivitas Antibakteri / Antijamur. Mikroba uji yang digunakan S aureus, S epidermilis, E coli, P aeruginosa , C albicans dan T mentagrophytes yang diperoleh dari Universitas Gajah Mada. Uji aktivitas anti bakteri menggunakan metode difusi agar (Lay, 1994). Untuk melihat efektivitas bakteri uji digunakan pembanding antibiotic yaitu kroramfenikol. Sebanyak 100μl suspensi mikroba dipipe lalu dimasukkan ke dalam cawan Petri steril kemudian masukkan media NA sebanyak 12 ml dalam kondisi cair, kemudian goyang cawan petri hingga homogen dan biarkan memadat. Selanjutnya letakan kertas cakram steril yang mengandung 10μl larutan uji di atas permukaan media, lalu diinkubasi selama 1824 jam pada suhu 37oC untuk bakteri, dan 3 sampai 5 hari pada suhu kamar (25 – 27o C) untuk jamur. Selanjutnya diamati adanya pertumbuhan mikroba dan diukur diameter hambatan. Sebagai control negative digunakan kertas cakram steril yang ditetesi dengan DMSO. Sebagai pembanding digunakan Kloramfenikol dan Nistatin 0,3 % sebanyak 10μl (30μl/cakram) type IR Prestige-21, spektrofotometer NMR merk JEOL type ECA 500 dengan medan magnet 500 MHz, (1HNMR, 13C-NMR, DEPT, COSY, HMQC dan HMBC) lampu ultraviolet 365 dan 254 mm, seperangkat alat destilasi, Chamber, inkubator, cawan petri, pipet mikro, kolom kromatografi, oven vakum, hot plate, fisher jhon melting point apparatus. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Uji Aktivitas Antibakteri/Antijamur. Mikroba uji yang digunakan S aureus, S epidermilis, E coli, P aeruginosa , C albicans dan T mentagrophytes yang diperoleh dari Universitas Gajah Mada. Uji aktivitas anti bakteri menggunakan metode difusi agar (Lay, 1994). Untuk melihat efektivitas bakteri uji digunakan pembanding antibiotic yaitu kroramfenikol. Sebanyak 100μl suspensi mikroba dipipe lalu dimasukkan ke dalam cawan Petri steril kemudian masukkan media NA sebanyak 12 ml dalam kondisi cair, kemudian goyang cawan petri hingga homogen dan biarkan memadat. Selanjutnya letakan kertas cakram steril yang mengandung
10μl
larutan
uji
di
atas
permukaan media, lalu diinkubasi selama 1824 jam pada suhu 37oC untuk bakteri, dan 3 sampai 5 hari pada suhu kamar (25 – 27o C) untuk jamur. Selanjutnya diamati adanya pertumbuhan mikroba dan diukur diameter hambatan. Sebagai control negative digunakan kertas cakram steril yang ditetesi dengan DMSO.
Sebagai
pembanding
digunakan
Kloramfenikol dan Nistatin 0,3 % sebanyak 10μl (30μl/cakram) 4
B- 80
Teknologi Pangan
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Aktivitas Antibakteri Uji aktivitas antibakteri dan antijamur hasil fraksinasi ekstrak methanol teripang S vastus terhadap daya hambat minimum dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Hasil Uji Fraksi heksan dengan KVC terhadap aktivitas bakteri
Tabel 3. Hasil Uji Fraksi heksan dengan KVC terhadap aktivitas jamur.
Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat fraksi heksan hasil Hasil uji KVC ekstrak metanol teripang S vastus terhadap 4 spesies bakteri dan 2 spesies jamur yaitu: bakteri S. epidermilis dengan diameter zona hambat 13,26 mm, dan S. aureus 11,00 mm, P.aeruginosa 10,97 mm dan E.coli 10,33 mm. Diameter zona hambat dari jamur Candida albicans 9,77 mm dan T. mentagropytes (9,12 mm). Dari fraksi n-heksan, menunjukkan hasil aktivitas maksimum antibakteri yang paling baik pada kosentrasi 1000 μg/ml ekstrak methanol teripang. Sedangkan untuk jenis bakteri yang digunakan sebagai mikroba uji yang memiliki aktivitas interaksi yang tinggi Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
dengan fraksi n-heksan dan dengan kosentrasi 1000μg/ml ekstrak metanol teripang kasur (Stichopus vastus) adalah Stapylococcus epidermilis dan untuk jamur adalah Candida albicans yaitu pada fraksi heksan hasil KVC ekstrak methanol teripang yang sama. Perbedaan besarnya diameter zona hambat yang terbentuk pada masing-masing kosentrasi dapat disebabkan oleh adanya perbedaan besar kecilnya kandungan zat aktif antibakteri yang terkandung dalam fraksi heksan serta kecepatan difusi bahan antibakteri dalam medium agar. Semakin tinggi kosentrasi maka semakin banyak pula kandungan zat aktif didalamnya sehingga memiliki laju difusi yang lebih besar. Dari hasil uji fraksi heksan hasil KVC terhadap aktivitas bakteri pada kosentrasi yang berbeda menunjukkan bahwa hasil aktivitas maksimum antibakteri yang paling baik adalah pada kosentrasi 1000μg/ml ekstrak metanol teripang.Untuk jenis jamur yang digunakan sebagai mikroba uji tidak memiliki aktivitas interaksi yang tinggi pada kosentrasi 1000μg/ml ekstrak metanol teripang. Pengujian aktivitas antimikroba terhadap jamur Candida albicans dan T. mentagrophytes pada berbagai kosentrasi tidak menunjukkan aktivitas, jika dibandingkan dengan kontrol positif nistatin 100 UI yang memberikan daya hambat katagori sedang dengan diameter 16mm. Bahan uji yang digunakan tidak dapat menghambat pertumbuhan jamur ini karena stuktur dinding sel jamur yang kokoh. Dinding sel jamur terdiri dari membrane sel jamur, untk dapat merusak membrane sel jamur senyawasenyawa metabolik sekunder harus dapat berikatan dengan ergosterol yang merupakan penyusun membrane sel. Saat membentuk/berikatan dengan ergosterol maka akan terbentuk pori dan melalui pori tersebut konstituen esensial sel jamur seperti ion K, asam-asam karboksilat, asam amino dan ester fosfat keluar sehingga meyebabkan kematian sel jamur.
B- 81
Teknologi Pangan
Perbedaan aktivitas masing-masing bahan uji terhadap bakteri dan jamur dapat disebabkan oleh perbedaan marfologi dari bakteri dan jamur. Secara marfologi dinding sel bakteri tersusun atas peptidoglikan. Sedangkan marfologi dinding sel jamur tersususn atas kitin. Kitin pada jamur berbentuk mikrofibril selulosa, yang merupakan struktur utama dinding sel jamur yang terdiri dari jalinan rantai-rantai polisakarida yang saling bersilang berbentuk anyaman (Pratiwi, 2008). Perbedaan struktur dinding sel antara bakteri dan jamur hal ini memberikan pertahanan yang lebih kuat terhadap sel jamur, sehingga sulit untuk senyawa antimikroba yang terdapat pada ekstrak metanol teripang untuk merusak dinding sel jamur, sehingga ekstrak metanol teripang tidak memberikan aktivitas dan tidak dapat membentuk terjadinya zona hambat terhadap jamur. Perbedaan aktivitas juga dapat dipengaruhi oleh perbedaan komposisi dan struktur dinding sel bakteri. Bakteri Gram Positif memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tebal (20-80nm) sehingga pertahannya lebih kuat dan sulit untuk dirusak oleh senyawa-senyawa metabolik sekunder. Sedangkan Gram negatif yang memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tipis (510nm) akan lebih sensitiv atau mudah dirusak oleh senyawa-senyawa metabolik sekunder yang mempunyai potensi merusak atau menghambat sintesis dinding sel.
dari jamur Candida albicans 9,77 mm dan T. mentagropytes (9,12 mm). Dari fraksi nheksan, menunjukkan hasil aktivitas maksimum antibakteri yang paling baik pada kosentrasi 1000 μg/ml ekstrak methanol teripang. Sedangkan untuk jenis bakteri yang digunakan sebagai mikroba uji yang memiliki aktivitas interaksi yang tinggi dengan fraksi n-heksan dan dengan kosentrasi 1000μg/ml ekstrak metanol teripang kasur (Stichopus vastus) adalah Stapylococcus epidermilis dan untuk jamur adalah Candida albicans yaitu pada fraksi heksan hasil KVC ekstrak methanol teripang yang sama Berdasarkan pengukuran diameter zona hambat hasil KVC ekstrak methanol teripang dan senyawa pembanding dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini. Gambar 1. Zona hambat dari hasil KVC dan senyawa pembanding dari masingmasing mikroba.
`KESIMPULAN. Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat fraksi heksan hasil Hasil uji KVC ekstrak metanol teripang S vastus terhadap 4 spesies bakteri dan 2 spesies jamur yaitu: bakteri S. epidermilis dengan diameter zona hambat 13,26 mm, dan S. aureus 11,00 mm, P.aeruginosa 10,97 mm dan E.coli 10,33 mm. Diameter zona hambat Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 82
Teknologi Pangan
DAFTAR PUSTAKA Aminin DL, Agafonova IG, Berdyshev EV, Isachenko EG, Avilov SA, Stonik VA, 2001. Immunomodulatory properties of Cucumariosides from the edible fareastern Holothurian Cucumaria japonica. Journal of Medical Food 4 (3): 127-135. Goad, L.J., 1978. Produk Alami Lautan, Dari segi kimiawi dan biologi. Academic Press Inc, Jakarta Hamel, J.F., and A. Mercier. 1996. Early development, settlement growth and spatial distribution of the sea cucumber Cucumaria Frondosa (Echinodermata)Holothuroidea).Canadi an Journal of Fisheries and Aquatic Science 53:253–271 Harbone, J.B. Metode Fitokimia, Penunyun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, Terbitan Kedua, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung, 1987. Hashimoto, Y., 1979. Marine toxin and other bioactive marine metabolites. Japan Scientific Societies Press, Tokyo. Haug, T. Kjuu, AK., Styrvold., O.B., Sandsdalen, E., Olsen, O.M. and Stensvag, K (2002). Antibacterial Activity in Strongylocentrotus drobachieensis (Echinoidea), Cucumaria frondosa (holothuroidea) and Asterias rubens (Asteroidea), Journal of Invertebrate Pathology 81:94-102. Liu, H.H. W.C. Ko and M.L. Hu, 2002. Hypolipidemic effect of glycol amino glycans from sea cucumber Metriatyla scabra in rats fed a cholesterol supplement diet, Journal Agriculture Food Chemistry50: 3602 – 3606. Massin, C. 1999. Reef dwelling Holothuroidea (Echinodermata) of the Spermonde Archipelago (South West Sulawesi, Indonesia Martoyo, J., N. Aji dan T. Winanto, 2006. Budidaya Teripang, Cetakan 6. Edisi Mojica, Elmer R.,and Merca, F.,E. 2005. Biological Properties of Lectin from Sea Cucumber (Holothuria scabra Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Jaeger).Journal of Biological Science 5(4): 472-477, 2005. Institute of Chemistry, College of Arts and Sciences, University of the Phillipines Los Banos, Laguna, Phillipines Murray, A.P., Muniain, C. Seldes, A.M., and Maier, M (2001). Patagonicoside A : a 8 Pivkin, M,. V. 2000. Filamentous Fungi Associated With Holothurian From the Sea of Japan, Off the Primorye Coast of Russia. Pacific Institute of Bioorganic Chemistry.Far East Branch of the Russian Academy of Science, 690022, Vladivostok, Russia. Purwati, P. dan Wirawati, I. 2009. Holothuriidae (Echinodermata, Holothuroidea, Aspidochirotida) perairan dangkal Lombok Barat, Bagian I.Genus Holothuria, Jurnal Oseanologi 2(21):1-25 Ridzwan, B. H., M.A. Kaswandi, Y. Azman and M. Fuad, 1995. Screening for antibacterial agents in three species of Sea cucumber from Coastal areas of Sabah.Gen.Pharmacol.26:1539 – 1543. Robinson T., Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, diterjemahkan oleh K. Padmawinata, Penerbit ITB Bandung, 1995. Stonik,V.A.and G. B.Elyakov. 1988. Structure and biologic activities of sponge and sea cucumber toxins, in handbook of Natural Toxins and Venom. A. Marcel Dekker, New York. pp. 107 – 120 Sukmiwati, M. 2011. Keanekaragaman Teripang (Holothuroidea) Dan Jenis Yang Berpotensi Sebagai Antioksidan Dari Perairan Natuna Kepulauan Riau. Disertasi. Univesitas Andalas Padang. Tian, F., Zhang. . Tong, Y, Yi., Y., Zhang. S., Li.L.(2005)P.E.A new sulfated saponin from Sea cucumber, exhibits anti angiogenic and anti tumor activities in vivo and in vitro. Cancer Bology and herapy, 4, 874-882 Volk, W. A. dan M. F. Wheeler, Mikrobiologi Dasar,Ed.V. Jilid 1 & 2, diterjemahkan oleh Sumarto Adisumartono, Erlangga, Jakarta, 1993
B- 83
Teknologi Pangan
EFFECT OF STORAGE ON SECURITY MICROBIOLOGY GROUND BEEF RENDANG PACKAGING BOTTLE Mutia Elida1), Sri Aulia Novita2), dan Elviati,3)
Program Studi Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian Program Studi Mesin Peralatan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian 3 Program Studi Manajemen Perkebunan, Jurusan Budidaya Tanaman Perkebunan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, Jl Raya Negara Km 7 Tanjung Pati, Kabupaten Limapuluh Kota Sumbar 26571,
[email protected] 1
2
Abstract Ground beef rendang safety studies are packed with bottles that have undergone a sterilization process and stored at room temperature up to 105 days in storage is done to look at the safety and shelf life of beef rendang pieces. Analysis of antimicrobial activity was tested by the method of contact at 1 , 15 , 30 , 45 , 60 , 90 and 105 days of storage . Supporting parameters tested were water content. Results showed that the bottles can inhibit the growth of microbes , fungi and yeast , gram-positive bacteria S. aureus and B. cereus , and still below the standard threshold BPOM. Rendang as semi- moist food (Intermediates moisture food) with a moisture content range of 21.6 - 26.6 % strongly support the extension of shelf life . Keywords : ground beef Rendang , sterilization , antimicrobial , gram positive
PENDAHULUAN Rendang termasuk makanan kemasan siap saji, dibuat dengan memasak daging di dalam campuran santan, cabe merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, daun kunyit, daun salam, daun jeruk, serai, garam, dan pala. Pemasakan dilakukan sampai sebagian besar air menguap sehingga campuran santan, cabe dan bumbu tersisa sebagai pasta hitam yang gurih dan berminyak. Cara pembuatan rendang sangat beragam, keragaman tersebut tentu akan berpengaruh terhadap cita rasa dan komposisi nilai gizi rendang yang dihasilkan. Keragaman ini akibat perbedaan komposisi bumbu yang digunakan. Berbagai ragam jenis rendang seperti rendang daging kering, rendang daging potong dan rendang daging giling mulai di produksi oleh pengusaha rendang di Kota Payakumbuh baik dalam kemasan plastik maupun kemasan botol. Rendang daging giling dibuat dari daging jenis sirloin (bagian has luar) karena akan menghasilkan rendang yang lebih empuk dibandingkan dengan daging sapi jenis lamusir Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
atau bagian daging lainnya. Daging digiling halus kemudian dibulatkan dan dimasak bersama campuran santan, bumbu dan rempah serta daun-daunan. Pemasakan dengan menggunakan panas sangat bermanfaat untuk mematikan mikroba dan meningkatkan cita rasa. Proses pemasakan daging menjadi rendang tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap kadar protein serta beberapa jenis vitamin dan mineral. Beberapa vitamin dan mineral justru meningkat akibat pemakaian rempah-rempah yang cukup berarti. Rendang potong pada umumnya tahan selama 2-3 hari pada suhu kamar, masa simpan ini dapat diperpanjang dengan melakukan pengemasan pada botol yang dikemas secara aseptik. Pada kondisi ini rendang bisa bertahan sampai 1 tahun. Produk rendang harus tetap dijaga kualitasnya selama pengolahan, penyimpanan serta distribusi, karena pada tahap ini produk pangan sangat rentan terhadap terjadinya rekontaminasi, sehingga produk menjadi tidak layak dan aman untuk dikonsumsi. Kerusakan
B- 84
Teknologi Pangan
terutama dari mikroba patogen yang berbahaya bagi tubuh dan mikroba perusak, yang mengkontaminasi produk mulai dari persiapan bahan dan bumbu, pemasakan, pekerja, serta higienis lingkungan produksi. Penambahan rempah dan bumbu yang mengandung bahan aditif berupa zat antimikroba alami. Efek penghambatan pertumbuhan mikroba oleh suatu jenis rempah-rempah bersifat khas. Setiap jenis senyawa antimikroba mempunyai kemampuan penghambatan yang khas untuk satu jenis mikroba tertentu (Frazier dan Westhoff, 1988). Beberapa jenis rempah-rempah yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang cukup kuat adalah bawang merah , Bawang putih, cabe dan, jahe (Jenie et al, 1992), dan Lengkuas (Rahayu, 1999). Proses pengemasan yang aseptik seperti sterilisasi akan membuat rendang lebih tahan lama akibat adanya pengaruh panas terhadap bahan, disamping adanya aktivitas antimikroba bumbu terhadap mikroorganisme patogen dan pembusuk yang mungkin mencemari rendang. Tujuan dari penelitian ini adalah : mengetahui umur simpan rendang daging giling botol yang disimpan pada suhu kamar melalui kajian mikrobiologi .
K-telurit, Bacillus Agar base, Egg Yolk Emulsion, NA, NB dan larutan pengencer.
METODE
rendang segar. Analisis kadar air dilakukan
1. Tempat dan Waktu Kegiatan ini dilakukan di UKM “Rendang Yet” Labuah Baru dan Labor Pengolahan Pangan, Kimia serta Labor Mikrobiologi Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.
dengan
2. Bahan dan Peralatan a. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah adalah daging sapi giling, kelapa, cabe, jahe, lengkuas, bawang merah, bawang putih, garam, daun jeruk, daun salam, daun kunyit. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, selenium, asam sulfat, benzen, kertas saring, alkohol 80%, NaOH 45%, HCl 25%. Untuk uji mikrobiologi dibutuhkan, media PCA, VJA. Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
b. Alat Alat yang digunakan adalah peralatan pengolahan pangan : mesin parut kelapa, mesin peras santan, mesin parut bumbu, kompor, kuali, baskom, pisau, blender, pengaduk, timbangan , autoclaf, presto, botol, segel plastik. Alat lain yang dibutuhkan adalah alat gelas untuk pengujiankimia dan mikrobiologi seperti analitik , erlenmeyer, tabung reaksi, buret, gelas ukur, tanur, oven pengering, cawan porselen, cawan aluminium. Untuk uji mikrobilogi digunakan petridish, tabung rekasi, oven, dan laminar flow. 3. Pelaksanaan Pelaksanaan pembuatan rendang dan formulasi mengacu pada Elida (2014) yaitu : mulai dari a. Persiapan bahan,b. Penghalusan bumbu,c. Pencucian dan pemotongan daging, d. Pemarutan kelapa dan pemerasan santan,e. Pemasakan, f. Pembotolan, g. Ekhausting, h. Sterilisasi, j. Pendinginan, dan h.Pelabelan. 4. Pengujian Analisis dilakukan terhadap pH, kadar air, sifat organoleptik dan mutu mikrobiologi metode
sedangkan
distilasi
analisis
(AOAC,
mutu
1990)
mikrobiologi
dilakukan dengan metode Hitungan Cawan (Fardiaz, 1989) pada berbagai umur simpan 1 hari, 15 hari, 30 hari, 45 hari, 60 hari, 75 gari, 90 hari dan 105 hari. Pengukuran aktivitas mikroba dengan metoda Kontak yaitu dengan menyiapkan bumbu rendang pada media NB dan disterilisasi. Siapkan bakteri uji S.aureus dan B.cereus yang berumur 24 jam , kemudian inokulaskan ke dalam media rendang dengan berbagai konsentrasi dan di inkubasi dalam shaker suhu 300 dengan kecepatan 150 rpm dan
B- 85
Teknologi Pangan
lakukan plating setelah waktu 0 jam, 3, 6, 24 dan 30 jam untuk bakteri dan 0.4,8, 24,48 jam untuk kapang. Inkubasi cawan selama 24-48 jam untuk bakteri dan 2 -3 hari untuk kapang. Hitung koloni dan hitung jumlah log Nt/No untuk setiap konsentrasi dan bakteri uji. Disamping itu juga dilakukan pengujian organoleptik. HASIL DAN PEMBAHASAN Ph
Hasil pengukuran pH rendang daging giling ternyata cukup rendah yaitu 4.0-5,5 (Gambar 1), dan tidak ada perbedaan yang nyata pada penyimpanan 1 hari sampai 75 hari penyimpanan tetapi berbeda dengan penyimpanan 90 dan 105 hari. Pada kisaran ini mikroba pembusuk tidak mampu berkembang dengan baik pada suasana asam. Menurut Bell, Neaves, dan Williams (2005), mikroorganisme tumbuh baik pada kisaran pH netral 7.0 (6.5 -7.5), hanya beberapa yang tumbuh baik pada pH dibawah 4.0. Bakteri yang tidak tahan asam seperti golongan proteolitik, gram negatif berbentuk batang tidak dapat tumbuh pada bahan pangan yang bersifat asam karena bakteri mempunyai kisaran pH pertumbuhan yang sempit berkisar 4.0–9.0, kapang pada kisaran 1.5 – 11.0, dan khamir pada kisaran pH 1.5 – 8.5. Semakin rendah pH makanan maka semakin awet, karena semakin sedikit mikroorganisme yang bisa hidup, tetapi akan mudah dirusak oleh kapang.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 1. Nilai pH rendang daging giling pada berbagai umur penyimpanan
Kadar Air Rata-rata nilai kadar air dari rendang daging giling botol setelah penyimpanan 105 hari berkisar 26% (Gambar 2). Kisaran ini menunjukkan bahwa rendang daging potong tergolong pada makanan semi basah (Intermediet moisture food) dengan kisaran kadar air 20-50% dengan umur simpan 2 – 3 hari pada suhu ruang tanpa kemasan botol. Waktu pemasakan yang lama dan pengemasan yang aseptis memberikan pengaruh yang baik terhadap peningkatan kadar air rendang daging giling. Keadaan ini akan menghambat kerusakan hirolisis lemak akibat adanya air sehingga proses ketengikan dapat dihambat dan umur simpan dapat diperpanjang. Menurut Christian (2000), makanan golongan IMF ini mempunyai kisaran aw 0,6 – 0,85 atau kadar air 10-40% dimana pada keadaan ini bakteri perusak tidak akan tumbuh kecuali bakteri golongan halofilik, tetapi kapang dan kamir akan tumbuh dengan baik.
B- 86
Teknologi Pangan
Gambar 2. Nilai pH rendang daging giling pada berbagai umur penyimpanan
Menurut Muchtadi dan Fitriyono (2010), produk PSB (Pangan Semi Basah) dapat disimpan beberapa bulan jika ditunjang dengan kemasan yang tepat. Daya tahannya dipengaruhi oleh komposisi bahan proses pengolahan, teknologi pengolahan, sistim pengemasan dan bumbu sebagai bahan pengawet. Uji Organoleptik Pengujian organoleptik giling
rendang
aging
dilakukan terhadap 20 panelis yang
meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, rasa dan, penampakan. Hasil rata-rata uji organoleptik diperoleh seperti pada Gambar 3 berikut.
Keterangan : 3 =sangat suka 2= Suka Tidak suka
sangat suka oleh panelis, dan terjadi sedikit penurunan nilai penampakan pada hari ke 105 tetapi masih disukai. Warna coklat tua sampai coklat kehitaman lebih disukai oleh panelis, dengan tekstur daging yang empuk, dan rasa yang merupakan perpaduan keseimbangan antara bumbu dan rempah. Warna rendang yang dihasilkan akibat terjadinya reaski mailard atau pencoklatan non enzimatis antara gula pereduksi dengan protein yang berasal dari protein daging. Menurut Muchtadi, Palupi dan Astawan (1992) reaksi Mailard bertanggung jawab terhadap perubahan warna dan flavor dari pada produk yang mengandung karbohidrat tinggi dan protein. Dari segi penampakan dengan pemilihan kelapa yang baik dan pemasakan dengan api yang kecil, teknik pengadukan yang baik akan dihasilkan tekstur yang disukai. Mutu Mikrobiologis Total mikroba dan total kapang kamir rendang potong untuk secara keseluruhan masih rendah sampai hari ke 105 penyimpanan dan masih masih berada dibawah ambang batas yang ditetapkan BPOM yaitu 106 koloni/gr untuk kategori makanan basah. Begitu juga untuk total S. aureus dan B. cereus masih dibawah batas maksimum, dan dikatakan bahwa rendang daging potong masih layak dan aman untuk dikonsumsi pada penyimpanan suhu ruang. Hal ini terkait dengan penurunan kadar air bahan sekitar 26 %, dimana penurunan kadar air ini berbanding dengan penurunan aw bahan dengan semakin lamanya waktu pemasakan 4-6 jam. Menurut Lund, Parker dan Gould (2000), kapang pembusuk akan tumbuh pada aw diatas 0.8, dan khamir pada aw 0.88, sedangkan bakteri pada aw 0.9. Hasil seperti pada Tabel 1 berikut.
1=
Gambar 3. Grafik uji organoleptik rendang daging giling botol Dari data pengujian terlihat bahwa secara umum penyimpanan samapi hari ke 105 semua parameter masih berada pada penilaian Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 87
Teknologi Pangan
tinggi suhu dan lama waktu pemasakan. Pertumbuhan mulai terlihat pertumbuhan pada hari ke 75 penyimpanan, tetapi masih berada dibawah ambang batas penyebab keracunan yaitu 105 koloni/gr (Davird, Rue dan Linton, 2000).Hasil seperti pada Gambar 1.
S. aureus adalah bakteri yang toleran terhadap penurunan aw dan toksin yang dihasilkan akan looses activity pada suhu pemanasan 800 C. Pertumbuhan mulai terlihat pertumbuhan pada hari ke 90 penyimpanan, tetapi masih berada dibawah ambang batas penyebab keracunan yaitu 106 koloni/gr (Lund et al, 2000). S. aureus adalah kompetitor yang jelek dan sangat sensitif terhadap senyawa antimikroba Zat antimikroba yang terdapat pada rempah- sebagian besar merupakan senyawa fenol dan turunannya, seperti gugus vanilamid pada kapsaisin yang terdapat pada cabe merah, kurkumin pada kunyit. Menurut Rahayu (2000), penghambatan buhan sel mikroba oleh komponen fenol atau alkohol dari rempah-rempah disebabkan kemampuan untuk mendenaturasi protein dan merusak membran sel dengan cara melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel karena senyawa ini mampu melakukan migrasi dari fase cair ke fase lemak. Beberapa senyawa turunan fenol juga mampu menurunkan tegangan permukaan sel (Pelczar dan Reid, 1979). Kombinasi antara senyawa antimikroba dan pH dapat memperkuat aktivitas antimikroba bumbu. Pengaruh pada pertumbuhan B. cereus cenderung menurun sejalan dengan makin Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Aktivitas antimikroba Bumbu rendang dengan konsentrasi 10% bersifat bakterisidal sampai waktu kontak 30 jam menghambat pertumbuhan B. cereus pada setiap periode waktu kontak. Kondisi yang asam pada bumbu menyebabkan fenol yang terkandung pada bumbu dapat bekerja menghambat pertumbuhan B. cereus. Senyawa fenol pada pH rendah akan bermuatan positif, sehingga fenol tidak akan terionisasi. Perbedaan muatan ini menyebabkan terjadinya tarik-menarik antara fenol dengan dinding sel sehingga fenol secara keseluruhan dalam bentuk molekulnya akan lebih mudah melekat atau melewati dinding sel bakteri Gram positif dan tidak terdapatnya asam teikoat pada dinding sel bakteri. Hasil seperti pada Gambar 4. Begitu juga dengan kapang terjadi penurunan dengan semakin lamanya waktu kontak. Hal ini didukung oleh kondisi rendang yang terdispersi dalam minyak yang banyak sehingga akan menghambat penetrasi kapang ke dalam rendang. Hasil seperti pada Gambar 5. Zat antimikroba pada bumbu dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), ataupun germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). .
Gambar 4. Pengaruh waktu kontak terhadap jumlah B.cereus dan S. aureus
B- 88
Teknologi Pangan
Practice. Blackwell Publishing. Victoria. Australia David, Rue, dan Linton. 2000. Food Safety& Sanitation. Prentice Hall. New Jersey. Elida, M., Elviati dan S.A Novita. 2014. IbPE pengembangan Usaha Rendang Padang Berpotensi Eksport di Kota payakumbuh. Gambar 5. Pengaruh waktu kontak terhadap jumlah kapang
KESIMPULAN 1. pH Rendang daging giling botol berkisar 4 – 5.5, denghan kisaran kadar air 21.6 -26.6 sampai penyimpanan 105 hari pada suhu ruang 2. Rendang daging giling botol masih aman dan layak untuk dikonsumsi sampai penyimpanan 105 hari suhu kamar, dimana total mikroba, total kapang-kamir, total S. sureus dan B.cereus masih dibawah standar yang ditetapkan oleh BPOM untuk standar makanan basah 106 koloni/gr, dan 105 koloni.gr. 3. Aktivitas antimikroba bumbu rendang dengan metoda uji kontak terlihat terjadinya penuruan jumlah bakteri uji S. aureus, B.cerus, dan kapang setelah waktu mencapai 30 jam untuk bakteri dan 24 jam untuk kapang.
Frazier W.C. dan Westhoff D.C 1988. Food Microbiology, 4* ed. Tata McGraw Hill Co., Inc., New York Jenie, B.S.L., Undriyani, K. dan Dewanti, R. Pengaruh konsentrasi jahe dan waktu kontak terhadap aktivitas beberapa mikroba penyebab kerusakan pangan. Bul Ilmu & Teknol. Pangan I11 (2) Lund, B.M., T.C. Parker dan G.W. Gould. 2000.The Microbiological Safety and Quality of Food. Vol 1 da 2. Rahayu, W.P. 2000. Aktivitas antimikroba bumbu masakan tradisional hasil olahan industri terhadap bakteri patogen dan perusak. Bul. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XI, No. 2, Th. 2000 Rahayu W.P. 1999. Aktiviats antimikroba lengkuas (Alpinia galanga L. SWARTZ) Prosiding Seminar Nasional Makanan Tradisional . Yogyakarta 16 Maret 1999. ISBN 979-95554-18.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dikti melalui program IbPE dan Politeknik Pertanian yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melaksanakan kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990.Official methods of Analysis of the Assosiation of Official Analytical Chemists Wasinghton, DC :AOAC Bell, C., P, Neaves, dan A.P. Williams. 2005. Food Microbiology and Laboratory Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
B- 89
Teknologi Pangan
PERAN BUBUK TEMPE INSTAN TERHADAP PROFIL LIPID SERUM TIKUS MODEL HIPERGLIKEMIK Susi Desminarti1, Rimbawan2, Faisal Anwar2, dan Adi Winarto3 1Teknologi Pangan Politeknik Pertanian Negeri, Payakumbuh 2Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Bogor 3Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor E-mail:
[email protected]
Abstract The objective of this study was to evaluate the effect of instant tempe powder on lipid profile in serum of hyperglycemic model rats. A total of twenty five male Spraque Dawley rats of two months old were used in this study. The rats were divided into 5 goups : group I (normal, 100 % standard feed), group II ( hyperglicemic, 100 % standard feed), group III (hyperglycemic, 20 % fresh tempe powder + 80% standard feed), group IV (hyperglycemic, 20 % instant tempe powder + 80% standard feed), and group V (hyperglycemic, 35 % instant tempe powder + 65% standard feed). The hyperglycemic condition was achieved by streptozotocin induced with 45 mg/kg bw single dose of intraperitoneal injection. The evaluated parameters within 8 weeks’ period of study were lipid profile serums. The results of the study showed that the substitution of instant tempe powder at 35 % to 65% standard feed indicated the highest potential as a functional food to improve lipid profile in hyperglycemic model rats. The fifth group had the lower levels of cholesterol, LDL, and TG (35.34 %, 42.60 %, 35.82 ; respectively; p>0.05) than the second group. However, the fifth group had a higher HDL level (37.84 %; p>0.05) compare to second group. The potency of instant tempe powder as a functional food in improve lipid profile was found as good as it in fresh tempe powder (p>0.05). It seem to be other beneficial of instant tempe powder. Keywords: instant tempe powder; lipid profile; hyperglycemic rats model
Pendahuluan Peningkatan kadar lipid darah (kolesterol total, LDL, VLDL, dan penurunan kadar HDL telah teridentifikasi berkontribusi terhadap perkembangan dislipidemia (Ross 1999), sebagai konsekuensi dari penyakit diabetes (Pushparaj et al. 2000; Pepato et al. 2003; dan merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner (Mironova et al. 2000). Lipid darah dapat dijadikan sebagai faktor risiko patogenesis hiperglikemik. Pada kondisi hiperglikemik terjadi metabolisme lipid dan lipoprotein yang tidak normal. Meningkatnya radikal oksigen bebas pada hiperglikemik diakibatkan oleh peningkatan kadar glukosa darah dan terbentuknya radikal bebas melalui proses autooksidasi (Ivorra et al. 1989). Hiperglikemia menginduksi pembentukan gula reduksi melalui glikolisis dan polyol pathway. Gula pereduksi ini mudah bereaksi dengan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
lipid dan protein sehingga meningkatkan produksi ROS (Kaneto et al. 1996). Perubahan profil lipid pada kondisi hiperglikemik merupakan akibat meningkatnya pelepasan asam lemak bebas dari sel lemak yang resisten insulin (Adiels et al. 2006). Asam lemak bebas yang berlebih dikonversi menjadi trigliserida di hati, meningkatkan produksi VLDL dan sintesis apolipoprotein B, serta menurunkan aktivitas enzim lipoprotein lipase. Peningkatan fraksi lipid ini berdampak pada peningkatan trigliserida dan LDL dan penurunan HDL (Elbouwarej et al. 2011) Sumber isoflavon di antaranya adalah kedelai dan produk olahannya di antaranya tempe (Wang & Murphy 1994). Diet yang kaya isoflavon dapat menurunkan risiko penyakit tertentu (Anderson et al. 1995). Penelitian pada manusia dan hewan membuktikan bahwa kedelai dapat memperbaiki profil lipid (Lichtenstein 2001). B- 90
Teknologi Pangan
Komponen spesifik isoflavon kedelai seperti genistein dapat meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi, dan mencegah akumulasi lipid teroksidasi di plasma (Kirk et al. 1998; Anthoni et al. 1998). Meta analisis oleh Anderson et al. (1995), menyimpulkan bahwa hampir 60 % efek hipokolesterol dari kedelai pada manusia terkait dengan kandungan isoflavonnya. Bubuk tempe instan merupakan salah satu produk olahan dari tempe yang mempunyai beberapa keunggulan di antaranya adalah tahan disimpan lama, praktis, mudah dan cepat disajikan, namun sampai saat ini belum ada bukti tentang efek bubuk tempe instan terhadap profil lipid pada kondisi hiperglikemik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi bubuk tempe instan terhadap profil lipid pada serum tikus hiperglikemik. Metode Penelitian Pemeliharaan Hewan Pada penelitian ini digunakan 25 ekor tikus jantan Spraque Dawley umur delapan minggu. Tikus percobaan dibagi menjadi lima kelompok, tiap kelompok perlakuan terdiri atas 5 ekor tikus. Tahap persiapan tikus meliputi masa adaptasi selama 10 hari dengan pemberian ransum standar dan air minum secara ad libitum. Setelah 10 hari masa adaptasi, tikus untuk kelompok hiperglikemik diinduksi dengan streptozotocin (STZ, Sigma Chemical Co), dosis tunggal 45 mg/kg bb injeksi tunggal intraperitonial. Tikus kelompok tidak hiperglikemik diberi buffer sitrat dengan volume yang sama. Konfirmasi hiperglikemia dilakukan pada hari ke tiga setelah injeksi dan tikus yang digunakan adalah tikus dengan konsentrasi glukosa plasma lebih dari 250 mg/dl (Gutierrez & Vargaz 2006). Darah diambil dari vena ekor tikus. Tikus dibagi ke dalam lima kelompok perlakuan yaitu: 1. I = Kelompok normal, 100 % ransum standar 2. II = Kelompok hiperglikemik, 100 % ransum standar Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
3.
III = Kelompok hiperglikmeik, 20 % BTS + 80 % ransum standar 4. IV = Kelompok hiperglikemik, 20 % BTI + 80 % ransum standar 5. V = Kelompok hiperglikemik, 35 % BTI + 65 % ransum standar Ransum 20 % dan 35 % bubuk tempe segar dan instan dibuat dengan cara mencampurkan 20 % dan 35 % bubuk tempe dengan 80 % dan 65 % ransum standar. Pemberian ransum pada seluruh kelompok percobaan selama dua bulan. Pada akhir penelitian, semua tikus dikorbankan dengan cara dibius terlebih dahulu melalui suntikan ketamin 15-20 mg/kg per intraperitonial. Setelah tikus dikorbankan, darah diambil melalui jantung untuk pengujian kadar kolesterol total, trigliserida, HDL, dan LDL. Prosedur analisis kolesterol total (Cholesterol CHOD-PAP, FulitestR CHOL), trigliserida (tryglycerides GPO-PAP, FulitestRTG), HDL (HDL-Cholestol precipatin reagent, FulitestRHDL- CHOL), dan LDL (LDL-Cholesterol, FulitestRLDL- CHOL). Analisis data. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh berupa angka akan dianalisa menggunakan sidik ragam (ANOVA). Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata maka untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji beda Duncan pada taraf nyata 5 % (Steel & Torie 1993). Pengolahan data menggunakan SPSS statistical software versi 16. Persetujuan etik. Persetujuan etik diperoleh dari Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta dengan nomor: LB.03.04/KE/4915/2010. Hasil dan Pembahasan Pada penelitian ini digunakan bubuk tempe instan dan bubuk tempe segar sebagai pembanding. Bubuk tempe segar adalah tempe yang langsung dikeringkan tanpa dilakukan B- 91
Teknologi Pangan
proses gelatinisasi. Bubuk tempe instan yang digunakan pada penelitian ini mengandung 40,35 % protein, 22,42 % lemak, 11,28 % air, 1,63 % abu, dan 24,32 % karbohidrat (by difference), serta kadar isoflavon genistein sebanyak 5,41 mg/100g bb, isoflavon daidzein 37,82 mg/100g bb. Sedangkan bubuk tempe segar mengandung 41,56 % protein, 23,55 % lemak, 11,70 % air, 1,25 % abu, dan 21,94 % karbohidrat (by difference), serta kadar isoflavon genistein sebanyak 2,49 mg/100g bb, isoflavon daidzein 33,24 mg/100g bb. Asupan Ransum dan Asupan Isoflavon Hasil pengamatan asupan ransum pada hewan coba diamati setiap hari selama 8 minggu. Berdasarkan asupan ransum dan kandungan isoflavon pada bubuk tempe instan diperoleh jumlah isoflavon aglikon (daidzein + genistein) yang dikonsumsi. Data hasil pengamatan asupan ransum dan asupan total isoflavon aglikon disajikan pada Tabel 1 dan asupan isoflavon genistein dan daidzein dapat dilihat pada Gambar 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa asupan ransum ke lima kelompok perlakuan hampir sama berkisar antara 17,69±1,39 g/hr hingga 19,48±0,62 g/hr. Berdasarkan uji Anova tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05), asupan ransum ke lima kelompok perlakuan. Hasil perhitungan asupan isoflavon total (aglikon) perlakuan V (hiperglikemik, 35 % BTI + 65 % ransum standar) adalah yang tertinggi dan berbeda nyata (p<0.05) (Tabel1). Apabila dibandingkan dengan perlakuan III (hiperglikemik, 20 % BTS + 80 % ransum standar) dan perlakuan IV (hiperglikemik, 20 % BTI + 80 % ransum standar) maupun perlakuan I (normal, 100 % ransum standar) dan perlakuan II (hiperglikemik, 100 % ransum standar).
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Tabel 1
Rata-rata asupan ransum dan asupan isoflavon aglikon tikus percobaan
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0.05). I (normal, 100 % ransum standar), II (hiperglikemik, 100 % ransum standar), III (hiperglikemik, 20 % BTS + 80 % ransum standar), IV (hiperglikemik, 20 % BTI + 80 % ransum standar), dan V (hiperglikemik, 35 % BTI + 65 % ransum standar). Profil lipid Profil lipid yang diamati adalah lipoprotein berdensitas rendah (LDL), kolesterol total (Kol-T), trigliserida (TG) dan lipoprotein berdensitas tinggi (HDL). Hasil pengamatan profil lipid serum disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 1. Persentase perubahan profil lipid kelompok III, IV, dan V dibandingkan dengan kelompok II dapat dilihat pada Gambar 2. Secara umum dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa pemberian bubuk tempe segar (III) dan instan (IV dan V) dapat menurunkan LDL, Kol-T, dan trigliserida meski kadarnya masih lebih besar daripada kelompok I serta meningkatkan kadar HDL serum meski masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan kelompok II (hiperglikemik + ransum standar), tetapi masih di atas atau di bawah kelompok I (normal + ransum standar). Berdasarkan hasil uji Anova dan dilanjutkan dengan uji beda dengan metoda DNMRT (Tabel 2), terlihat bahwa pemberian bubuk tempe segar dan instan dapat menurunkan LDL serum, meskipun rata-rata kadar LDL kelompok III, IV, dan V berbeda tidak nyata (p>0.05) dibandingkan kelompok A dan B, namun B- 92
Teknologi Pangan
pemberian bubuk tempe menunjukkan perbaikan kadar LDL. Rata-rata kadar kolesterol total kelompok perlakuan pemberian tempe segar dan instan (kelompok III, IV, dan V) tidak berbeda nyata (p>0.05) apabila dibandingkan kelompok kontrol normal (I), maupun kelompok hiperglikemik (II) berbeda tidak nyata (p>0.05). Meskipun demikian, pemberian bubuk tempe segar dan instan menunjukkan pola penurunan rata-rata kadar kolesterol total serum bila dibandingkan dengan kelompok kontrol hiperglikemik (kelompok II), bahkan kadar kolesterol total tikus hiperglikemik yang diberi bubuk tempe instan sebanyak 35 % lebih rendah bila dibandingkan kadar kolesterol total kelompok kontrol normal (kelompok I). Tabel 2 Profil lipid serum.
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0.05). I (normal, 100 % ransum standar), II (hiperglikemik, 100 % ransum standar), III (hiperglikemik, 20 % BTS + 80 % ransum standar), IV (hiperglikemik, 20 % BTI + 80 % ransum standar), dan V (hiperglikemik, 35 % BTI + 65 % ransum standar). Hasil pengamatan kadar trigliserida (Tabel 2), pemberian bubuk tempe segar dan instan lebih rendah apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol hiperglikemik yang diberi ransum standar (kelompok II), tetapi masih lebih tinggi bila dibandingkan kelompok normal yang diberi ransum standar (kelompok I). Penurunan kadar trigilserida terlihat jelas pada perlakuan substitusi bubuk tempe instan Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
sebanyak 35 % ke dalam ransum standar (kelompok I) sudah memperlihatkan perbedaan tidak nyata (p>0.05) bila dibandingkan dengan kelompok normal dengan ransum standar (kelompok I), sedangkan substitusi bubuk tempe segar dan instan sebanyak 20 % ke dalam ransum standar (kelompok III dan IV) masih memperlihatkan perbedaan yang nyata (p<0.05) bila dibandingkan kelompok I berdasarkan hasil uji Anova dan dilanjutkan dengan uji beda metoda DNMRT (Tabel 2). Pola yang sama juga terlihat pada kadar HDL untuk kelompok pemberian bubuk tempe segar dan instan menunjukkan kecenderungan rata-rata kadar HDL serum yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok hiperglikemik dengan ransum standar (kelompok II). Meskipun, hasil uji Anova dan dilanjutkan dengan uji beda DNMRT (Tabel 2), terlihat bahwa kadar HDL kelompok pemberian bubuk tempe segar dan instan berbeda tidak nyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok hiperglikemik yang diberi ransum standar (kelompok II). Menurut Lee (2006), terjadinya peningkatan kadar triglierida dan kolesterol plasma pada kondisi hiperglikemik karena mobilisasi asam lemak bebas dari deposit periferal yang mengakibatkan peningkatan kadar trigliserida serum. Dalam hal ini, insulin berperan menghambat hormon sensitif lipase dan mengaktifkan lipoprotein lipase (LPL). Pengaruh tempe terhadap profil lipid masih bervariasi berdasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan. Pada penelitian ini secara keseluruhan profil lipid serum tikus percobaan untuk substitusi bubuk tempe segar dan instan, maing-masing sebanyak 20 dan 35% pada perlakuan III, IV dan V memperlihatkan penurunan terhadap kadar LDL (22.17 %, 24.70 % dan 42.60 %), kadar Kol-T (21.89 %, 22.17 %, dan 34.14 %), dan kadar TG (26.19 %, 33.20 % dan 35.82%) dan ada kecenderungan peningkatan kadar HDL (37.84 %, 34.41 % dan 37.84 %), apabila dibandingkan dengan perlakuan II (hiperglikemik, 100 % ransum standar), namun B- 93
Teknologi Pangan
kadarnya masih di bawah kelompok I (normal + ransum standar). Pada Gambar 36 terlihat bahwa pada kelompok V ditemui penurunan LDL, Kol-T, dan TG dan peningkatan HDL paling tinggi dibandingkan kelompok hiperglikemik yang diberi ransum standar II ((kelompok II). Pada penelitian ini hanya memperhitungkan asupan isoflavon aglikon (daidzein dan genistein) adalah sebanyak 1.45 mg/berat badan tikus/hari hingga 2.61 mg/ berat badan tikus/hari (Tabel 1) selama 8 minggu, dan belum memperhitungkan jenis isoflavon aglikon lainnya seperti glisitein, F2, dan equol serta jenis isoflavon glukosida dan senyawa metabolit lainnya yang diduga berkontribusi terhadap profil lipid darah. Meskipun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan Sabudi et al. (1997), melalui pemberian tempe sebanyak 100 % selama 28 hari dapat menurunkan kolesterol (11.47 %), trigliserida (7.78 %) dan LDL (8.92 %) serta meningkatkan HDL(4.18 %) plasma tikus. Selanjutnya Lee (2006) menyatakan suplementasi genistein dan isolat protein kedelai sebanyak 600 mg/kg ransum dan 200 g/kg ransum selama 3 minggu dapat memperbaiki kolesterol total, HDL, dan trigliserida tikus diabetik yang diinduksi dengan STZ. Kemudian Din et al. (2011), melakukan pemberian kedelai yang telah dimasak sebanyak 30, 60, dan 90 mg/70 kg BB manusia atau setara dengan 0.54 mg/200 gram BB, 1.07/200 gram BB, dan 1.61 gram/200 gram tikus Albino jantan selama 3 bulan menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan (p<0.05) terhadap kolesterol total (9.25 %, 12.90 %, dan 16.28 %), LDL (25.71 %, 35.81 %, dan 39.16 %), TG (6.36 %, 8.38 %, dan 14.92 %) serta peningkatan yang signifikan (p<0.05) terhadap kadar HDL (6.99 %, 11.26 %, 9.46 %). Shim et al. (2008), menyatakan bahwa dosis isoflavon yang efektif untuk memperbaiki metabolisme lipid pada tikus diabetes adalah lebih besar dari 3.0 mg/kg BB tikus/hari selama 7 minggu. Diet yang mengandung 3 sampai 30 mg/kg/ BB tikus/hari Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
ekstrak isoflavon kedelai secara signifikan dapat menurunkan kadar kolesterol plasma, sebaliknya tidak mempengaruhi kadar trigliserida, namun dapat meningkatkan HDL plasma tikus diabetik. Kemudian Lee (2006) menyatakan bahwa serum kolesterol dan trigliserida menurun secara signifikan serta meningkatkan HDL-K pada tikus diabetik yang diberi diet mengandung genistein 60 mg/100 gram diet selama 3 minggu. Penelitian pada manusia oleh Arbai (1994), pada laki-laki hiperlipidemia yang diberikan tempe sebanyak 150 gram/hari selama 2 minggu, dan Utari (2011), pada wanita menopause, menyimpulkan tempe yang diberikan sebanyak 160 gram/hari selama 4 minggu dapat memperbaiki profil lipid darah. Hal yang sama juga disampaikan oleh Jayagopal et al. (2002), suplementasi dengan protein kedelai 30g/hari dan isoflavon 132 mg/hari selama 12 minggu secara signifikan menurunkan kolesterol total dan LDL pada wanita posmenopausal diabetes tipe 2. Kemampuan efek hipokolesterolamik kedelai telah diyakini dapat menurunkan kolesterol dan penyerapan asam lemak dari saluran cerna, serta meningkatkan eksresi asam lemak (Lin et al. 2004). Teori yang disampaikan oleh Potter (1995) dan Manzoni et al. (2003) bahwa terdapat empat mekanisme penurunan kolesterol oleh protein kedelai, yaitu melalui 1) peningkatan pengaturan reseptor LDL hepatik yang berfungsi mengambil kolesterol darah, 2) penurunan kolesterol eksogen, 3) peningkatan ekskresi asam empedu dan sterol feses, dan 4) peningkatan aktivitas enzim HMG CoA reduktase, yang mana enzim ini berfungsi untuk mensintesis kolesterol endogen yang digunakan untuk membuat asam empedu dan mengeksresikan sterol melalui feses sehingga kolesterol darah menjadi turun. Selain itu, isoflavon kedelai juga dapat meningkatkan aktivitas enzim cholesterol 7β-hydrolase sehingga pembuangan LDL, sintesis dan pengeluaran asam empedu menjadi meningkat (Potter 1998). B- 94
Teknologi Pangan
Efek hipokolesterolemik dari fitoestrogen dapat dijelaskan melalui dua mekanisme, yaitu meningkatkan regulasi reseptor LDL dan/atau menghambat sintesis kolesterol endogeneus. Fitoestrogen menstimulasi pembersihan kolesterol melalui peningkatan aktivitas reseptor LDL (Sirtori et al. 1995). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pemberian bubuk tempe dapat menurunkan kadar kolesterol total, namun berbeda tidak nyata (p>0.05) bila dibandingkan dengan kelompok hiperglikemik. Hasil penelitian ini sejalan dengan Fu et al. (2010), melalui pemberian genistein sampai 5 g/kg diet selama 4 minggu pada mencit induksi STZ mempengaruhi kolesterol total secara tidak nyata. Kenaikan HDL berhubungan dengan penurunan trigliserida pada darah. Transfer trigliserida menuju hati akan lebih banyak menghasilkan HDL karena sisa protein dari pelepasan trigliserida akan meningkatkan terbentuknya HDL (Potter 1995). Weggemans & Trautwein (2003) melaporkan bahwa isoflavon dapat menurunkan LDL dan meningkatkan HDL yang mana akan mempercepat pengeluaran kolesterol dari jaringan periferal untuk dimetabolisme dan diekresikan oleh hati. Pada sel otot halus arteri, HDL juga berkompetisi dengan reseptor LDL sehingga ambilan dan degradasi LDL menjadi terhambat. Meningkatnya konsentrasi HDL juga dapat melindungi LDL akibat reaksi oksidasi yang mana HDL terlebih dahulu teroksidasi. Peningkatan HDL juga akan meningkatkan sintesis reseptor LDL dan meningkatkan aktivitas enzim lecithin cholesterol acyltransferase (LCAT). Enzim LCAT berperan untuk meningkatkan pembentukan kolesteril ester yang disimpan sebagai droplet lemak pada sitoplasma (Groff & Gropper 2000). Simpulan Bubuk tempe instan dapat memperbaiki profil lipid serum pada tikus model hiperglikemik. Potensi substitusi bubuk tempe Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
instan (sebanyak 20 % dan 35%) dalam memperbaiki kadar lipid serum tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan substitusi 20 % bubuk tempe segar. Pemberian bubuk tempe instan sebanyak 35 % (kelompok V) mempunyai kadar kolesterol-total, LDL, dan trigliserida lebih rendah sebanyak 35.34 %; 42.60 %; dan 35.82% serta kadar HDL lebih tinggi sebanyak 37.84 % dibandingkan dengan kelompok hiperglikemik yang diberi ransum standar (kelompok II), meskipun tidak berbeda nyata (p>0.05).
DAFTAR PUSTAKA Adiels M, Olofsson S, Taskinen M, Boren J. 2006. Diabetic dyslipidaemia. Curr Opin Lipidol 17:238-246. Anderson JW, Johnstone BM. 1995. Metaanalysis of the effects of soy protein intake on serum lipids. N. Engl. J. Med. 333: 276-282. Anthony MS, Clarkson TB, Williams JK. 1998. Effects of soy isoflavones on atherosclerosis: potential mechanisms. Am.J. Clin.Nutr. 68:1390S–1393S. Arbai, Arsiniati MB. 1994. Efek normolitik “tempe A5” dan “tempe” terhadap profil lipid penderita dislipidemia [Disertasi]. Surabaya: Program Pascasarjana, Universitas Airlangga. Din S, Batta O, Azim HA, Fattah A. Effect of soy beans on lipid profile of female and male albino rats. Australian J of Basic and Appl. Sci. 5: 14-22. Elboudwarej O, Hojjat H, Safarpoor S, Vazirian S, Ahmadi S. 2011. Dysfunctional HDL and cardiovascular disease risk in individuals with diabetic dyslipidemia. J Diabetes Metab S:4-13. Fu Z et al. 2010. Genistein induces pancreatic β-cell proliferation through activation of multiple signaling pathways and prevents insulin-deficient diabetes in mice. Endocrinology 151:3026-3037.
B- 95
Teknologi Pangan
Groff JL, Gropper SS. 2000. Lipid. Dalam Advanced Nutrition and Human Metabolism. Eds 3. United States: Wadsworth Thompson Learning.
HepG2 cells and LDL receptor upregulation by its alpha’ constituent subunit. Journal of Nutrition 133: 2149-2155.
Gutierrez RMP, Vargas RS. 2006. Evaluation of the wound healing properties of Acalyphalangiana in diabetic rats. Fitoterapia 77:286-289.
Mironova MA, Klein RL, Virella GT, LopesVirella MF. 2000. Anti-modified LDL antibodies, LDL-containing immune complexes and susceptibility of LDL to in vitro oxidation in patients with type -2 diabetes. Diabetes 49:1033-1049.
Ivorra MD, Paya M, Villar A. 1989. A review of natural products and plants as potential antidiabetic drugs. [Abstract] Journal of Ethnopharmacology 27:243–275. Jayagopal V et al. 2002. Beneficial effects of soy phytoestrogen intake in postmenopausal women with type 2 diabetes. Diabetes Care 25:17091714. Kaneto H et al. 1996. Reducing sugars trigger oxidative modification and apoptosis in pancreatic β-cells by provoking oxidative stress through the glycation reaction. Biochem J 320:855-863. Kirk EA, Sutherland P, Wang SA, Chait A, LeBoeuf RC. 1998. Dietary isoflavones reduce plasma cholesterol and atherosclerosis in C57BL/6 mice but not LDL receptor-deficient mice. J. Nutr. 128:954–959. Lee Jeong-Sook. 2006. Effects of soy protein and genistein on blood glucose, antioxidant enzim acivities, and lipid profile in stretozotocin-induced diabetic rats. Life Sciences 79:15781584. Lichtenstein AH. 2001. Clin. Nutr. 73: 667–668.
Got soy?. Am. J.
Lin Y, Meijer GW, Vermeer MA, Trautwein EA. 2004. Soy protein enhances the cholesterollowering effect of plant sterol esters in cholesterol-fed hamsters. J. Nutr. 134: 143-148. Manzoni C et al. 2003. Subcellular localization of soybean 7S globulin in Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Pepato MT et al. 2003. Cissus sicyoides (Princess wine) in the long term treatment of streptozotocin-diabetic rats. Biotechnol. Applied Biochem. 37:15-20. Potter
SM. 1998. Soy protein and cardiovascular disease: the impact of bioactive components in soy. Nutritional Review 56: 231-235.
Pushparaj P, Tan CH, Tan BKH. 2000. Effects of Averrhoa bilimbi leaf extract on blood glucose and lipids in streptozotocin-diabetic rats. J. Ethnopharmacol. 72:69-76. Ross
RN. 1999. Atherosclerosis- An Inflammatory Disease. Eng. J. Med. 340: 115-126.
Sabudi S I-Nyoman, Marsono Y. Astuti M. 1997. Pengaruh tempe sebagai sumber protein terhadap profil lipid darah tikus. Prosiding Serninar Tek. Pangan: 131-144. Shim Jee-youn, Kim YJ, Lee Hye-Sung. 2008. Effects of soybean isoflavone extract on the plasma lipid profiles and antioxidant enzyme activity in streptozotocin-induced diabetic rats. Nutrition Research and Practice 2(4): 218-226. Sirtori CR et al. 995. Soy and cholesterol reduction: clinical experience. Journal of Nutrition 125 (Suppl.): 598-605. Steel RGD, Torie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, suatu pendekatan biometrik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. B- 96
Teknologi Pangan
Utari DM. 2011. Efek intervensi tempe terhadap profil lipid. Superoksida dismutase, LDL teroksidasi, dan malonadialdehyde pada wanita menopause. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wang H, Murphy PA. 1994. Isoflavone composition of American and Japanese
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
soybeans in Iowa: effects of variety, crop year, and location. J Agric Food Chem 1994;42:1674-7. Weggemans RM, Trautwein EA. 2003. Relation between soyassociated isoflavones and LDL and HDL cholesterol concentrations in humans: a meta-analysis. European Journal of Clinical Nutrition 57: 940–946.
B- 97
Teknologi Pangan
THE STUDY OF THE VARIOUS WAYS SAPODILLAFRUIT CURING (Achras zapota, L.) AGAINST CHEMICAL AND PHYSICAL PROPERTIES OF THE FRUIT DURING CURING Mislaini R1, Santosa1,dan Ariyanto2 Faculty of Agricultural Technology, Agricultural Engineering Department, ,LimauManis, Padang Laboratory of Food Processing Engineeringandagricultural products, Faculty of Agricultural Technology, Andalas University Padang 1
2
e-mail :
[email protected] ABSTRACT This research was conductedin Food Processing Engineering Laboratory and the Results of Agriculture, Faculty of Agricultural Technology and the Laboratory of Non-Ruminants Nutrition,Faculty of Animal Husbandry at the University of Andalas, Padang. This research aims to study the influence of different curing ways against the physical properties and chemical as well as getting the right method for curing sapodilla fruit. This research was conducted by giving four ways of curing treatment iscuring gliricidialeaves20% of the weight of the fruit, calcium carbide at 1000 ppm,fumigationfor 10 minutes, and without treatment as a control, with three times repetition.The results showed that curing sapodilla fruit by using gliricidialeaves20% of the weight of the fruit has a long curing ± 78 – 96 hours to reach optimum maturity,on curing sapodilla fruit by using calcium carbide at 1000 ppm has along curing ± 66 – 78 hours to reach optimum maturity, on curing sapodilla fruit with fumigation for 10 minutes hasalong curing ± 84hours to reach optimum maturity,whereas for the control has a long curing ± 102 – 114hours to reach optimum maturity. Theway of curing that generate a uniform level of maturity in a relatively short period of time with quality remains good and low coston curing sapodillafruit is a calcium carbide 1000 ppm. keywords- sapodilla fruit, gliricidialeaves, calcium carbide, curing, fumigation
PENDAHULUAN Sawo merupakan buah yang cukup diminati baik di pasar lokal maupun luar negeri, produksi buah sawo di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2005 sebanyak 83.787 ton menjadi 127.876 ton pada tahun 2009. Pada tahun 2010 buah sawo di Indonesia sebanyak 122.813 ton, tahun 2011 sebanyak 118.138 ton, dan tahun 2012 sebanyak 135.332 ton (BPS RI, 2013). Buah sawo tergolong ke dalam buah klimaterik, produksi dan etilen mengalami lonjakan produksi pada saat buah matang. Perbedaan tingkat ketuaan buah saat dipanen menyebabkan kematangan buah tidak seragam, selain itu pedagang juga menjual buah sawo di Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
pasaran dalam keadaan matang sehingga untuk mendapatkan buah yang kematangannya seragam dalam jumlah besar perlu dilakukan pemacuan kematangan yang disebut dengan istilah pemeraman. Ada beberapa teknik pemeraman yang biasa dilakukan oleh petani yaitu dengan menggunakan dedaunan, seperti daun lamtoro, daun gamal, daun mindi, dan daun pisang, ada juga dengan cara pengasapan dengan menempatkan buah didalam tanah dan dialasi dengan daun, kemudian ditutup dan disalurkan asap ke dalamnya. Selain itu, para petani juga sering menggunakan karbid, gas etilen, dan ethrel atau ethepon untuk memeram buah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh cara pemeraman yang berbeda B- 98
Teknologi Pangan
terhadap sifat fisik mendapatkan metode pemeraman buah sawo.
dan yang
kimia serta tepat untuk
METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Februari – April 2015 di Laboratorium TPHP PS-TEP, Fakultas Teknologi Pertanian, dan Laboratorium Gizi Non Ruminansia, Fakultas Peternakan, Universitas Andalas, Padang. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah sawo matang fisiologis, kalsium karbida ( ) dengan konsentrasi 1000 ppm konsentrasi terbaik pada pemeraman buah alpokat (Rahman, 2013), daun gamal, daun pisang, iod, indikator amilum, dan aquades. Alat yang digunakan yaitu forge gauge, refraktometer, oven, timbangan digital, infrared thermometer, kardus, sabut kelapa, kertas semen, kain basah beserta kain kering, labu ukur, dan erlenmeyer. C. Pelaksanaan Penelitian Buah sawo sebanyak 35 buah untuk masing-masing perlakuan yang diambil secara acak, ditempatkan di dalam wadah pemeraman. Lalu masukkan daun gamal 20 % dari berat buah sawo yang disusun merata dalam kardus. Pemeraman dengan perlakuan kalsium karbida, pada wadah pemeraman terlebih dahulu diletakkan kertas semen. Selanjutnya masukkan kalsium karbida dengan konsentrasi 1000 ppm, kemudian dilapisi kain basah dan kering. Selanjutnya buah sawo dimasukkan kedalam kardus dan bagian atas kardus ditutup rapat. Sedangkan pemeraman buah sawo tanpa perlakuan, dilakukan hanya dengan memasukkan buah kedalam kardus dan menutup rapat bagian atasnya. Pemeraman dengan pengasapan dilakukan didalam tanah, hamparkan daun pisang dibagian dasar dan semua sisi lubang, masukkan buah sawo kedalam lubang secara teratur. Kemudian tutup dengan daun pisang Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
dan letakkan papan diatasnya, masukkan potongan bambu gelendongan sebagai saluran untuk menghembuskan asap kedalam lubang. Selanjutnya timbun lubang dengan tanah hingga cukup tebal. Kemudian pengasapan dilakukan 2x setiap 12 jam dengan cara membakar sabut kelapa kering dengan bantuan minyak tanah dan mengarahkan asapnya kedalam lubang melalui potongan bambu selama 10 menit. Setelah pengasapan, buah dibiarkan selama 24 jam kemudian buah sawo diangkat dari dalam lubang, diangin-anginkan kemudian dimasukkan kedalam kardus dan ditunggu sampai buah sawo dianggap matang seragam. D. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap sifat fisik seperti: susut berat, kekerasan, kadar air dan sifat kimia seperti: total padatan terlarut dan uji vitamin C. Selain itu parameter yang diamati adalah suhu lubang pemeraman dan uji organoleptik. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Susut Berat
Hasil pengukuran perubahan susut berat buah sawo selama pemeraman dapat dilihat pada grafik Gambar 1.
Gambar 1. Rata - Rata Grafik Susut Berat Buah Sawo selama Pemeraman
Susut berat yang terjadi pada pemeraman tanpa perlakuan adalah 5,69 %, daun gamal
B- 99
Teknologi Pangan
adalah 2,37 %, karbid adalah 3,32 %, dan pengasapan adalah 2,96 %. Susut berat tertinggi pada pemeraman buah sawo tanpa perlakuan atau kontrol disebabkan suhu ruang yang tinggi dan ketersediaan Oksigen (O2) yang lebih banyak sehingga proses transpirasi dan respirasi lebih tinggi. Susut berat terendah pada pemeraman menggunakan daun gamal disebabkan karena ketersediaan daun gamal yang banyak di dalam wadah pemeraman menghambat masuknya Oksigen (O2) sehingga proses respirasi dan transpirasi yang terjadi lebih rendah. Hal ini diperjelas oleh Supriyatmi (2011) menyatakan bahwa ketersediaan O2 yang tinggi dan fluktuasi suhu mempercepat proses penguapan air, hilangnya air dan komponen lain sebagai penyusun daging buah melalui penguapan air juga menyebabkan peningkatan susut berat bahan. Perubahan berat yang terjadi pada buah sawo bersamaan dengan waktu pemeraman. Penurunan berat buah sawo disebabkan oleh kehilangan kadar air selama pemeraman berlangsung. Menurut Pantastico (1986) bahwa meningkatnya susut berat sebagian besar disebabkan transpirasi yang tinggi dimana pembukaan dan penutupan kulit menentukan jumlah kehilangan air. Kader (1992) juga menyatakan bahwa kehilangan air berpengaruh langsung terhadap kerusakan tekstur, kandungan gizi, kelayuan, dan pengkriputan. Hal ini juga dijelaskan oleh Winarno (2002) bahwa kehilangan berat pada buah dan sayuran selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi sehingga menimbulkan kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut.
2. Kekerasan
Hasil pengamatan kekerasan selama penyimpanan terdapat pada Gambar 2:
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 2. Rata - Rata Grafik Kekerasan Buah Sawo selama Pemeraman
Penurunan kekerasan untuk pemeraman buah sawo tanpa perlakuan dari 729,51 kPa menjadi 42,46 kPa selama 114 jam pemeraman, daun gamal dari 710,12 kPa menjadi 42,04 kPa selama 96 jam pemeraman, karbid dari 734,61 kPa menjadi 41,19 kPa selama 78 jam pemeraman, dan pengasapan dari 705,59 kPa menjadi 38,78 kPa selama 84 jam pemeraman. Pantastico (1986) juga menyatakan bahwa lunaknya buah disebabkan oleh perombakan protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut. Saat buah menjadi matang, kandungan pektat dan pektinat yang larut semakin meningkat, sedangkan jumlah zat-zat pektat seluruhnya menjadi semakin berkurang. Terjadinya perubahan pektin, ketegaran buah berkurang. Pantastico (1993) menambahkan bahwa komposisi jaringan buah turut menentukan kekerasan buah. Perbedaan kekerasan dapat dianggap sebagai variasi dari kandungan pati, pektin dan kalsium dari masing-masing varietas. Pematangan buah yang cepat menyebabkan penguraian substrat didalam buah juga lebih cepat sehingga buah menjadi lunak. Hal ini diperjelas oleh Kays (1991) bahwa etilen dapat mempercepat pematangan buah. Pemberian etilen berpengaruh nyata terhadap waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak klimaterik. Perubahan tingkat keasaman dalam jaringan juga akan mempengaruhi aktivitas beberapa enzim diantaranya adalah enzim-enzim B- 100
Teknologi Pangan
pektinase yang mampu mengkatalis degradasi protopektin yang tidak larut menjadi substansi pektin yang larut. Perubahan komposisi substansi pektin ini akan mempengaruhi kekerasan buah-buahan.
3. Kadar Air
Pengukuran kadar air buah sawo selama pemeraman dilakukan setiap 6 jam, pengamatan kadar air mengalami fluktuas, ini disebabkan sampel yang diambil secara acak untuk semua perlakuan. Hasil pengamatan kadar air selama pemeraman dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Rata - Rata Grafik Kadar Air Buah Sawo selama Pemeraman
Nilai kadar air diawal pemeraman lebih rendah dibandingkan diakhir pemeraman untuk semua perlakuan disebabkan buah sawo yang dipakai diawal pemeraman dalam kondisi matang fisiologis dan masih mentah sehingga kandungan patinya belum banyak yang terhidrolisis menjadi gula dan air.
4. Total Padatan Terlarut (TPT)
Selama pemeraman selain terjadi perubahan fisik juga terjadi perubahan kimia, perubahan kimia tersebut salah satunya adalah TPT. Pengukuran TPT buah sawo adalah untuk mengetahui jumlah gula yang dihasilkan dari proses perombakan pati menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti fruktosa, glukosa dan sukrosa pada buah selama pemeraman. Hasil Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
pengukuran Total Padatan Terlarut (TPT) dapat dilihat pada Gambar 4. Perubahan nilai TPT pada pemeraman buah sawo tanpa perlakuan dari 23,83 0Brix diawal pemeraman menjadi 17 0Brix diakhir pemeraman, daun gamal dari 22,16 0Brix diawal pemeraman menjadi 16 0Brix diakhir pemeraman, kalsium karbida dari 21,16 0Brix diawal pemeraman menjadi 16 0Brix diakhir pemeraman, dan pemeraman dengan 0 pengasapan dari 20,66 Brix diawal pemeraman menjadi 15,83 0Brix diakhir pemeraman. Menurut Morton (1987) kandungan total padatan terlarut sawo Meksiko Selatan adalah 17,4 – 23,7 0Brix.
Gambar 4. Rata - Rata Grafik Total Padatan Terlarut Buah Sawo selama Pemeraman
Winarno (2002) menambahkan kenaikan TPT terjadi karena terhidrolisisnya karbohidrat menjadi senyawa glukosa dan fruktosa, sedangkan penurunan TPT terjadi karena kadar gula sederhana yang mengalami perubahan menjadi alkohol, aldehid dan asam.
5. Vitamin C
Kandungan vitamin C pada buah tergantung dari jenis komoditas buah itu sendiri, tingkat kematangan dan faktor-faktor fisiologis dan perlakuan pascapanen yang menyebabkan perubahan kimia. Hasil pengukuran kandungan vitamin C buah sawo selama pemeraman dapat dilihat pada Gambar 5.
B- 101
Teknologi Pangan
Gambar 5. Rata - Rata Grafik Vitamin C Buah Sawo selama Pemeraman
Perubahan kandungan vitamin C buah sawo menurun selama pemeraman untuk setiap perlakuan. Penurunan kandungan vitamin C buah sawo tertinggi selama pemeraman yaitu dengan menggunakan kalsium karbida sebesar 0,017 %. Hal ini disebabkan karena pada pemeraman menggunakan karbid terdapat pemacu etilen berupa kalsium karbida yang bersifat panas jika bereaksi dengan air. Hal ini diperjelas oleh Sudarmaji, S (1996) bahwa vitamin C adalah vitamin yang paling tidak stabil dari semua vitamin dan mudah rusak selama pemprosesan dan penyimpanan. Disamping itu sangat mudah larut didalam air dan mudah teroksidasi dan proses tersebut dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta oleh alkalis tembaga dan besi. Sumber vitamin C dalam makanan adalah buah dan sayur. Buah yang masih mentah lebih banyak mengandung vitamin C, semakin tua buah maka semakin berkurang kandungan vitamin C nya.
6. Suhu Lubang Pemeraman
Pengukuran suhu didalam lubang dilakukan setiap 6 jam sekali selama 36 jam dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 6.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Gambar 6. Rata - Rata Grafik Suhu Lubang Pemeraman selama Pemeraman
Suhu lubang pemeraman tertinggi pada saat jam ke 0 dan jam ke 12 yaitu 37,4 oC dan 42,87 o C, hal ini disebabkan karena pengasapan dilakukan 2 kali selama berada didalam lubang pemeraman pada jam ke 0 dan jam ke 12. Pada saat jam ke 6 suhu lubang menurun menjadi 25,13 0C, hal ini disebabkan karena panas asap didalam lubang pemeraman berkurang dan juga pada saat pengukuran suhu dipengaruhi kondisi lingkungan yang sangat dingin pada tengah malam. Suhu pemeraman meningkat kembali pada jam ke 12 karena pengasapan kembali dilakukan, seiring waktu suhu didalam lubang pemeraman kembali menurun pada jam ke 18 menjadi 31,93 oC, pada jam ke 24 menjadi 25,56 oC, pada jam ke 30 menjadi 25,60 oC, dan diakhir pemeraman suhu menjadi 24,97 oC pada jam ke 36.
7. Uji Organoleptik A. Warna Tingkat kesukaan panelis terhadap warna buah sawo selama pemeraman mengalami penurunan untuk semua perlakuan, panelis lebih menyukai warna buah pada awal pemeraman dibandingkan akhir pemeraman. Penilain panelis pada pemeraman tanpa perlakuan mengalami penurunan dari 3,67 menjadi 2,70, daun gamal mengalami penurunan dari 3,57 menjadi 2,90, kalsium karbida 1000 ppm mengalami penurunan dari 3,60 menjadi 2,55, sedangkan pengasapan B- 102
Teknologi Pangan
mengalami penurunan dari 3,67 menjadi 2,73. Penurunan penilaian panelis ini disebabkan karna buah sawo masih cerah ketika baru panen dan seiring waktu pemeraman warna buah sawo mulai pucat atau gelap. B. Rasa Penilain panelis terhadap rasa buah sawo pada pemeraman tanpa perlakuan mengalami peningkatan dari 1 menjadi 4,80, daun gamal dari 1 menjadi 4,70, karbid dari 1 menjadi 4,10, sedangkan pengasapan mengalami peningkatan dari 1 menjadi 4,40. Hasil penilaian panelis terhadap rasa dapat dikatakan sangat tidak suka diawal pemeraman untuk semua perlakuan karna buah masih mentah dan memiliki getah yang banyak. Peningkatan penilaian panelis terhadap rasa buah sawo disebabkan karena selama pemeraman buah sawo mengalami pematangan yang menyebabkan meningkatnya jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis dan kenaikan zat-zat atsiri yang memberi rasa khas pada buah. C. Aroma Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma selama pemeraman mengalami peningkatan untuk semua perlakuan, pemeraman tanpa perlakuan mengalami peningkatan dari 1,97 menjadi 4,70, daun gamal mengalami peningkatan dari 1,93 menjadi 4,60, karbid mengalami peningkatan dari 1,93 menjadi 4,05, sedangkan pengasapan mengalami peningkatan dari 1,9 menjadi 4,47. D. Kekerasan Penilain panelis terhadap kekerasan buah sawo tanpa perlakuan mengalami peningkatan dari 1,70 menjadi 4,50, daun gamal mengalami peningkatan dari 1,70 menjadi 4,50, karbid mengalami peningkatan dari 1,73 menjadi 4,45, sedangkan pengasapan mengalami peningkatan dari 1,70 menjadi 4,50. Seiring waktu pemeraman tekstur buah sawo berubah menjadi lunak dan disukai panelis.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan: 1.Cara pemeraman yang menghasilkan buah sawo dengan tingkat kematangan seragam dan waktu relatif singkat adalah menggunakan karbid 1000 ppm. 2.Pemeraman buah sawo tanpa perlakuan memiliki lama pemeraman ± 102 – 114 jam untuk mencapai kematangan optimal, pemeraman dengan daun gamal memiliki lama pemeraman ± 78 – 96 jam, pemeraman dengan karbid memiliki lama pemeraman ± 66 – 78 jam dan pemeraman dengan pengasapan memiliki lama pemeraman ± 84 jam. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Produksi Buah-buahan dan Sayuran Tahunan di Indonesia, 1995-2013. Jakarta. Statistics%20Indonesia%2095-13.html [28 Oktober 2014]. Kader, A.A. 1992. Modified Atmosphere during Transport and Strorage. In Postharvest Technology of Horticultura Crops (Kader,). University of California, Devision of Agriculture and Natural Recources, Publication No. 3311. Kays, S.J. 1991. Postharvest Physiologi of Perishable Plant Products. An A VI Book. New York. Morton, J. 1987. Sapodilla. p. 393–398. In: Fruits of warm climates. Julia F. Morton, Miami, FL. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/mo rton/sapodilla.html. [23April 2015]. Pantastico. 1993. Fisiologi Pascapanen Penanganan dan Pemanfaatan Buahbuahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Gadjah Mada Universitas Press. Yogyakarta. B- 103
Teknologi Pangan
. 1986. Fisiologi Pascapanen Penanganan dan Pemanfaatan Buahbuahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Gajah Mada Universitas Press. Yogykarta. Rahman, A. 2013. Kajian Penggunaan Kalsium Karbida (CaC) terhadap Mutu Fisik dan Lama Pemeraman Buah Avokad (Persea americanamiller). [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Andalas. Padang.
Peluang dan Tantangan Implementasi Teknologi Dalam Perspektif Nasional
Sudarmaji, S. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. PAU Pangan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Supriyatmi. 2011. Penggunaan Kombinasi adsorban untuk Memperpanjang Umur Simpan Buah Pisang Cavandish. Teknologi Agroindustri. BPPT. Jakarta. Winarno, F.G. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. M-BRIO PRESS. Bogor. Cetakan I.
B- 104