PERANAN TEKNOLOGI DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL Sumarno Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor
PENDAHULUAN Kekhawatiran akan kekurangan pangan yang sudah terjadi sejak akhir abad ke XVIII, seperti yang dikatakan oleh Thomas Malthus (1798) bahwa “bumi tidak dapat lagi menyediakan pangan yang cukup bagi penghuninya, karena telah melewati batas carrying capacity”, ternyata tidak terbukti. Bahkan pada abad ke XX pun masih banyak pemikir dunia yang meramalkan bahaya kelaparan besar (great famine) akan terjadi, seperti dinyatakan Ehrlich (1968) dan Brown and Kane (1994). Kelaparan skala besar justru telah terjadi pada periode abad XVIII-XIX di berbagai bagian dunia, seperti Irlandia (1840), China (1780-1790), India (1940) (Greenland, 1987). Bahkan hingga sekarang pun masih terdapat 700-800 juta orang di dunia yang menderita lapar, kurang gizi atau kekurangan pangan, terutama penduduk negaranegara Afrika, sebagian Asia dan sedikit di Amerika Latin. Program Millenium Development Goal PBB, salah satunya adalah mengurangi penderita kekurangan pangan tersebut menjadi tinggal 50% pada tahun 2015. Secara umum, sebenarnya ketersediaan pangan dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap pangan pada 30 tahun terakhir (1975-2005) jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi 30 tahun sebelumnya (1940-1975). Hal ini tercermin dari harga bahan pangan pokok (beras, gandum, jagung) di pasar internasional dan nasional yang lebih rendah pada tahun 2000 dibandingkan pada awal tahun 1900-an. Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya peningkatan produksi pangan selama 35 tahun terakhir adalah akibat penerapan teknologi produksi. Produksi beras Indonesia pada tahun 1950-1960 hanya sekitar 7 juta-8 juta ton per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 100 juta orang, Indonesia harus mengimpor beras sekitar satu juta ton per tahun. Pada tahun
38
2000-2005 produksi beras nasional mencapai 31-32 juta ton, atau 400% produksi tahun 19501960, dan dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia hanya mengimpor 0,1 juta ton per tahun (Deptan, 2005). Kenaikan produksi beras yang spektakuler pada kurun waktu 35 tahun terakhir adalah kontribusi dari penerapan teknologi yang lebih maju, yang sering disebut sebagai Teknologi Revolusi Hijau. Kenaikan produksi karena peranan teknologi juga diperoleh pada jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan pada tingkat kenaikan produksi yang lebih rendah pada kacang-kacangan. Namun kenaikan produktivitas kacang-kacangan tersebut terdeflasi oleh penyusutan areal tanam sehingga produksi total per tahun menurun. Sebagian kalangan mengkritik adopsi teknologi revolusi hijau pada sistem produksi pangan yang diterapkan pada kurun waktu 35 tahun terakhir. Argumentasi yang sering dikemukakan adalah: (1) petani menjadi tergantung pada sarana produksi asal industri/di luar usahatani, (2) adanya pencemaran lingkungan oleh residu kimiawi sarana produksi, (3) pemiskinan keanekaragaman hayati, (4) kurang terjaminnya keamanan konsumsi produk pertanian, (5) pertanian dikhawatirkan menjadi tidak berkelanjutan (non sustaniable) (IRRI, 2004; Sumarno 2006, Pranadji et al., 2004). Hal-hal tersebut pada taraf tertentu ada benarnya, tetapi sebetulnya dapat dicegah, diantisipasi dan dihindarkan. Berbagai konsep perbaikan sistem produksi padi dan tanaman pangan lainnya telah diajukan agar produktivitas tetap tinggi, bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan. Konsep yang diajukan antara lain, Agroekoteknologi (Sumarno dan Suyamto, 1995), Usahatani Ramah Lingkungan (Sumarno et.al. 2000), Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak ( Pasandaran et.al., 2005), Pengelolaan Sumberdaya dan Tanaman Terpadu (PTT) (Makarim dan Las, 2005) dan Teknologi Revolusi Hijau Lestari (Sumarno, 2006).
Pertanian input organik (PIO), pertanian input rendah (LISA, low input sustainabile agriculture), SRI (System for Rice Intensification) (Uphoff and Gani, 2003), sebenarnya tidak merupakan kepastian untuk keberlanjutan sistem produksi pertanian, karena tidak adanya kepastian kecukupan penyediaan hara tanaman, dan adanya risiko kegagalan panen oleh ancaman hama penyakit. Di samping itu, dengan penerapan ke tiga “teknologi alternatif” tersebut produktivitas padi tidak optimal, yang dapat berakibat terhadap rendahnya ketahanan pangan nasional. Kurang dipahaminya prinsip dasar teknologi produksi tanaman pangan oleh masyarakat, berakibat petani dan pejabat sering terkecoh/tertipu oleh berbagai teknologi semu (pseudo technology) yang tidak rasional dari segi proses biologis, fisiologis dan agronomis tanaman. Pertanian memang merupakan ilmu terapan yang sangat kompleks, penerapan multi disiplin keilmuan, termasuk ilmu tanah, hara dan pemupukan, biokimia, genetika dan breeding, teknik perbenihan, fisiologi, agronomi, entomologi, phytopatologi, biologi, teknik pengairan, panen dan pasca panen, ekonomi dan pemasaran. Kita merasa kagum, bagaimana petani yang tidak tamat SD, atau kadang-kadang iliterat, dapat mengaplikasikan begitu banyak ilmu secara harmonis dan berhasil. Para ilmuwan spesialis justru sering berselisih paham dalam menghadapi masalah yang relatif sederhana, misalkan antara: pemulia dengan pemeriksa mutu benih; fisiologis/agronomis dengan pathologis, agronomis dengan ekonom pertanian, dan sebagainya. Oleh karena itu teknologi yang ditemukan oleh ahli spesialis harus serasi atau kompatible dengan sistem usahatani petani secara keseluruhan, dari segi kepraktisan, ergonomik, ekonomis, ekologis, sosiologis, dan serasi dengan ketersediaan tenaga kerja, modal serta sarana prasarana yang ada di lokasi setempat. Bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, ketahanan pangan nasional masih harus diupayakan dengan berbagai strategi. Dengan ketersediaan lahan garapan yang sangat terbatas, penerapan teknologi yang paling produktif tetapi ramah lingkungan merupakan keharusan. Kesalahan pemilihan strategi dan kebijakan teknologi dapat berakibat lemahnya ketahanan pangan nasional.
Proyeksi tingkat swasembada (selfsufficiency) bahan pangan pokok kawasan negara-negara di dunia menurut studi Leach (1995) dari SEI-Stockholm menyatakan bahwa negara-negara Amerika, Eropa, Amerika Selatan akan mengalami surplus pangan yang cukup besar hingga tahun 2050, sedangkan negara-negara di Asia, Afrika, Kepulauan Pasifik akan mengalami defisit. India dan Indonesia yang akan mengalami defisit sekitar 5-8% merupakan jumlah defisit yang banyak, karena jumlah penduduknya yang besar. Indonesia mengalami defisit cukup besar karena impor gandum, kacang-kacangan, daging dan susu yang masih besar. Proyeksi tersebut berdasarkan pada pertumbuhan produksi pangan tahun 1990-1995 yang cukup besar bagi Indonesia. Apabila pertumbuhan produksi pada tahun 2006-2025 menjadi rendah, mungkin proyeksi kecukupan produksi pangan Indonesia 92% pada tahun 2025 sukar dicapai. Hal tersebut menunjukkan pentingnya penerapan teknologi yang paling produktif bagi ketahanan pangan nasional. Teknologi Produksi Tanaman Pangan Berbeda dengan teknologi pada industri manufaktur nonbiologis yang rantai prosesnya relatif pendek dan waktu produksinya singkat, teknologi produksi pertanian memiliki rantai proses yang panjang dan waktunya lama. Di samping itu juga terjadi interaksi berbagai sarana produksi dengan lingkungannya yang sangat kompleks dan tidak sepenuhnya dapat dikendalikan. Media produksi pertanian yang sangat luas pada alam terbuka juga memungkinkan terjadinya pengaruh alamiah, seperti keragaman kesuburan tanah, keracunan mineral, serangan hama penyakit dan sebagainya yang tidak mudah diatasi. Teknologi produksi tanaman pangan dalam peran mendukung kecukupan produksi untuk ketahanan pangan nasional, terdapat pada berbagai komponen, yaitu: Sumber Daya Lahan, Air dan Iklim Tersedianya teknologi sumber daya lahan (tanah), air dan iklim merupakan dasar untuk berproduksi pangan secara optimal. Pemahaman tentang karakteristik sumber daya lahan sangat penting, terutama dari aspek ketersediaan hara mineral, bahan organik,
39
kesuburan kimiawi, fisik, biologis, tekstur, struktur, drainase, aerasi, ketahanan terhadap erosi, dan sebagainya. Oleh karena itu diperlukan adanya sistem karakterisasi sumberdaya lahan yang mudah dipahami oleh penyuluh serta petani, seperti sistem klasifikasi tanah berdasarkan kualitas tanah (soil quality) yang dianjurkan dan diterapkan di Amerika Serikat (Wander et.al., 2002). Air dan iklim sangat menentukan produksi tanaman pangan, terutama terkait dengan ketersediaan air, pengaruhnya terhadap epidemi hama penyakit, terkait dengan ketersediaan energi surya untuk fotosintesis dan sebagainya. Penggunaan air secara efektif-efisien, serta upaya memanen air hujan untuk cadangan pengggunaan di musim kemarau, merupakan teknologi yang harus disampaikan kepada petani (Fagi, 2006). Penggunaan peta pewilayahan komoditas, peta bendungan hara mineral dalam tanah, dan peta kesesuaian lahan belum memadai dalam memberikan dukungan ketahanan pangan nasional. Peta AEZ (Agroekological Zone) juga belum dapat dimanfaatkan secara operasional dalam pembangunan pertanian tanaman pangan. Akurasi data luas lahan pertanian, luas lahan potensial untuk dibuka sebagai lahan pertanian baru dan luas konservasi lahan pertanian juga masih diragukan. Data tersebut sangat penting bagi perencanaan pertahanan pangan nasional. Sarana Biologis, Varietas dan Benih Pemahaman adaptasi varietas unggul terhadap lingkungan dan musim tanam merupakan komponen teknologi yang penting. Penerapan teknologi revolusi hijau 1970-2005 satu varietas unggul nasional menjadi anjuran hampir semua wilayah sentra produksi padi. Di masa depan, perlu disediakan dan dipilih varietas unggul spesifik lokasi dan musim tanam, agar dapat memperoleh produktivitas maksimal. Pemanfaatan program komputer sistem pakar seperti yang dianjurkan oleh Makarim (2006) pada waktu yang akan datang perlu digalakkan. Teknologi varietas hibrida yang sangat berhasil pada tanaman jagung, diperkirakan tidak akan banyak berkembang pada varietas padi. Hal ini dikarenakan tingkat heterosis pada
40
tanaman padi rendah, tidak seperti pada tanaman jagung (Sumarno, 2006). Varietas tanaman menyerbuk sendiri bersifat homogen-homozigot, yang dapat ditanam berpuluh generasi tanpa mengalami penurunan kemampuan genetik. Istilah “degenerasi” yang sering disebut bagi benih varietas tanaman menyerbuk sendiri (padi, kedelai, kacangkacangan lain, gandum), sebenarnya tidak ada maknanya, atau tidak benar. Benih padi varietas unggul dapat dibuat dari pertanaman varietas unggul murni seperti varietas Ciherang; Way Apu Buru, dan sebagainya, asalkan dipilih dari malai-malai yang sehat, tidak ada gejala tertular penyakit. Hal demikian dapat dilakukan apabila benih bersertifikat dari penangkar benih formal belum tersedia. Pernyataan bahwa benih bersertifikat dari penangkar selalu lebih tinggi produksinya dibanding benih buatan petani sendiri, sebenarnya tidak selalu benar. Banyaknya atau prosentasi benih baru (bersertifikat yang dibeli dari penangkar formal) yang ditanam oleh petani dalam suatu kawasan, disebut dengan istilah laju pergantian benih (LPB) atau seed replacement rate. Pada skala nasional, misalkan kebutuhan benih sesuai areal tanam 11 juta ha sebanyak 275.000 ton per tahun, tetapi benih bersertifikat yang terjual hanya 100.000 ton, maka LPB = 36%. Di Indonesia angka LPB sekitar 40% sebenarnya sudah termasuk tinggi dibandingkan India, Bangladesh, Myanmar, Philipina atau Thailand. LPB = 40% bukan berarti 60% areal sawah ditanami benih varietas tidak unggul, atau benih asalan. Maknanya 60% areal ditanami benih asal petani sendiri atau benih berasal dari penangkar non formal (tidak disertifikasi). Hanya di USA yang angka LPB untuk tanaman menyerbuk sendiri mencapai 100% karena petani tidak ada yang mau menyediakan benih dari hasil panenannya sendiri. Untuk tanaman gandum (terigu), padi, barle, kedelai dan tanaman menyerbuk sendiri lainnya, petani Amerika Latin dan Eropa sebagian juga masih menggunakan benih sendiri, sehingga angka LPB tidak mencapai 100%. Dari banyak studi tidak ada bukti konklusif bahwa benih bersertifikat dengan benih tanpa sertifikat, produktivitasnya berbeda. Program pemuliaan tanaman abad XXI justru mengarah kepada varietas unggul tidak homogen. Varietas campuran (blend) dari beberapa galur sejenis (isogenik), atau blend beberapa
varietas yang morfologinya hampir sama, justru dianjurkan agar memiliki daya sangga genetik (genetic buffering capacity) yang besar sehingga bersifat stabil. Yang diperlukan pada masa kini dan masa yang akan datang adalah varietasvarietas yang berbeda untuk setiap wilayah dan musim tanam. Setiap blok sawah dengan sifat agroklimat berbeda harus disediakan varietas unggul berbeda. Demikian juga tanaman musim hujan memerlukan varietas berbeda dengan varietas musim kemarau. “Gene deployment” atau penanaman banyak varietas dengan gen ketahanan (terhadap hama penyakit) yang berbeda, sangat dianjurkan agar terjadi stabilitasi gen ketahanan dan juga stabilisasi biotipe hama dan ras penyakit. Penanaman satu varietas pada areal sangat luas, apalagi secara nasional, tidak bijaksana dan tidak dianjurkan. Sarana Produksi Sintetis Sarana produksi sintetis berupa pupuk mineral, insektisida, fungisida, rodentisida, herbisida, akan tetap menjadi komponen penting utama dalam sistem produksi pangan di masa depan. Pemahaman teknik penggunaannya secara tepat, efektif, efisien, dan aman lingkungan masih harus dirumuskan agar secara mudah dan praktis dapat dilakukan oleh petani. Selanjutnya rumusan ini perlu disosialisasikan kepada penyuluh lapang agar disampaikan kepada petani dan para pekerja (buruh lapang) pertanian. Banyak kritik dikemukakan, bahwa teknologi pertanian canggih dengan menggunakan bahan kimia berbahaya (pestisida, herbisida) tidak diajarkan kepada petani karena berbahaya dan dampak negatifnya terhadap pelaku pekerja, mutu produk, lingkungan dan keanekaragaman hayati (Treitz and Narain, 1988). Kritik tersebut perlu direspon positif. Pemahaman tentang “penambangan” nutrisi/mineral hara oleh tanaman setiap kali panen, kebutuhan nutrisi tanaman untuk dapat menghasilkan secara optimal, ketersediaan melalui pupuk mineral dan bahan organik sumber hara, perlu ditekankan pentingnya bagi penyuluh dan pejabat pertanian. Banyaknya formulasi pupuk alternatif yang ditawarkan di pasaran, kemungkinan disebabkan karena masyarakat pertanian kurang paham tentang standar pupuk. Mengikuti ketentuan FAO/UN, bahwa bahan yang kandungan salah satu hara makro
N, P, K kurang dari 5%, maka bahan tersebut tidak boleh disebut sebagai pupuk (FAO, 1998). Bahan organik, kompos, kotoran ternak, dan sejenisnya yang kandungan hara makronya kurang dari 2,5% tidak bisa disebut sebagai pupuk (fertilizer), tetapi hanya boleh disebut sebagai sumber hara organik. Penggunaan istilah pupuk kimia untuk Urea, TSP, KCl, ZA dan sejenisnya menurut pedoman yang disusun FAO (1998) tersebut juga tidak tepat, yang tepat adalah pupuk mineral. Semua hara (nutrisi) tanaman diserap dalam bentuk ion anorganik, seperti NO 3-; NH4+; H2PO4-; HPO4=; K+ dan ion lainnya. Pertanian dengan masukan organik pun oleh akar tanaman akan diserap dalam bentuk ion anorganik. Pertanian memang dapat didefinisikan sebagai “proses sintesa unsur anorganik berasal dari dalam tanah, air dan udara menjadi senyawasenyawa organik atas bantuan sinar matahari dalam media tanaman”. Dengan dasar definisi tersebut, semua kegiatan pertanian adalah pertanian organik, dan mustahil ada pertanian anorganik atau nonorganik. Istilah yang sangat populer dan mendunia “pertanian organik” sebenarnya salah kaprah; penyebutan yang benar mungkin “pertanian menggunakan sarana organik” atau “pertanian input organik.” Apapun input yang diberikan oleh manusia, tanaman telah mempunyai mekanismenya sendiri dalam menyerap hara dari dalam tanah atau melalui daun. Hara mineral mikro seperti Fe, Zn, Mn dan sebagainya dapat diserap melalui daun, tetapi kuantitas yang diperlukan sangat sedikit. Bahan dasar hasil panen yang utama bagi tanaman adalah air (H2O) dan CO2 yang ada di udara dan jumlahnya relatif cukup tidak terbatas. Dengan bantuan energi sinar matahari dan menggunakan khlorophil daun, H2O dan CO2 disintesa menjadi glukosa C6H12O6. Proses sintesa “sederhana” ini tidak dapat dilakukan atau ditiru diindustri buatan manusia hingga sekarang. Apabila manusia dapat membuat alat, enzim, dan pabrik yang dapat menirukan proses alamiah pada tanaman, maka dunia tidak memerlukan pertanian lagi. Proses tersebut masih merupakan rahasia ilmu Allah yang belum tergantikan oleh kepandaian manusia hingga saat ini. Adanya mineral N, P, K, Ca, Mg, Zn, Fe, S, Si dan unsur lainnya (total 16 unsur) adalah bahan pembentuk senyawa turunan
41
dalam berbagai senyawa seperti protein, asam amino, karbohidrat, fruktosa, sukrosa, vitamin, tanin, lignin, serat, dan seterusnya. Besarnya penggunaan hara mineral dari dalam tanah untuk panen 5 ton gabah kering + 6 ton jerami padi per ha adalah 123 kg N; 48 kg P2O5; 143 kg K2O; 6 kg S; 520 kg SiO2, atau dalam bentuk pupuk setara dengan 264 kg Urea + 105 kg SP36 + 226 kg KCl per ha (Tabel 1 dan Tabel 2). Di tanah sawah, efisiensi penyerapan hara hanya sekitar 40-50%, jadi penambangan hara tersebut musti diimbangi dengan pemberian pupuk 528 kg Urea + 210 kg SP36 + 456 kg KCl, agar hara mineral dalam tanah tidak semakin berkurang. Penggunaan bahan organik sebagai penggganti pupuk mustahil dapat memenuhi kecukupan hara yang diperlukan tanaman. Tabel 1. Penyerapan Hara dari Dalam Tanah Panen Padi 5 ton GKG + 6 ton Jerami per ha Dalam Dalam Setara Total jerami gabah pupuk*) ------------------- kg/ha -------------------N 48 75 123 264 Urea P2O4 16 32 48 105 SP-36 K2O 120 23 143 226 KCl S 6 6 12 Si 420 100 520 *) Efisiensi dianggap 100% Sumber: Better Crops (2004). Si tersedia melimpah dalam tanah Hara
Pengguna bahan organik sebagai pengganti pupuk mineral pada masa sebelum teknologi revolusi hijau memberikan produktivitas padi sawah yang rendah, antara 2,5-3,2 ton GKG/ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertanian dengan input organik tidak akan dapat
memenuhi kebutuhan produksi guna mendukung ketahanan pangan nasional. Penelitian di USA pada 362 lokasi jelas menunjukkan bahwa penghentian pemberian pupuk NPK menurunkan produksi sereal hingga 40% (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa pupuk mineral merupakan persyaratan utama guna memperoleh produksi yang tinggi untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Tabel 3. Perbedaan Hasil Tanaman Semusim antara Dipupuk dengan Tanpa Pupuk, Rata-rata 362 Lokasi Percobaan di Sentra Produksi Amerika Serikat, 2002-2004
Tanaman
Hasil biji kering (t/ha) + pupuk NPK sesuai Tanpa Penurunan rekomendasi pupuk (%) setempat 7,65 4,52 (- 41) 6,16 4,48 (- 17) 4,64 4,48 (- 19) 2,15 1,18 (- 16)
Jagung Padi Sorgum Gandum (terigu) Kapas 0,76 0,48 Kedelai 2,28 2,28 Kacang 2,28 2,28 tanah Bahan organik tanah berkisar 1,4%-3,6% Sumber: Stewart et al. (2005).
(- 17) 0 0
Indonesia sebagai negara tropis, di alam tersedia tanaman inang dan “makanan” hama sepanjang tahun yang merupakan kondisi ideal bagi perkembangan serangga hama dan pathogen penyakit. Siklus hidup hama penyakit berlangsung sepanjang tahun. Akibat dari kondisi ini maka sebaran dan populasi hama dan penyakit akan bertambah meluas. Hama penyakit yang pada tahun 1930-1950 an sangat
Tabel 2. Pengurasan Hara oleh Tanaman Padi Sawah dalam 5 tahun (10 kali panen) Hara
Dalam jerami
Dalam gabah
Total
Setara kotoran ternak Ton/ha/5 thn 82
Setara pupuk mineral Kg/ha/5 thn 2.640 Urea 1.050 SP-36 2.260 KCl
--------- kg/ha/5 tahun --------N 480 750 1.230 P2O5 160 320 480 K2O 1.200 230 1.430 S 60 60 120 Si 4.200 1.000 5.200 Kebutuhan kotoran ternak *) : 82 ton/5 thn/ha : 16,4 ton/thn/ha : 8,21 ton/ha/musim Apabila efisiensi 100%, tetapi faktanya ± 20%, berarti kebutuhan riil bisa 3-5 kali 8 ton = 24-40 ton/ha/musim Sumber: Better Crops (2004).
42
minor, ada kemungkinan besar akan menjadi OPT yang ganas dan meluas pada tahun 2000 dan tahun selanjutnya. Hal tersebut bukan semata-mata digunakannya pestisida sehingga membunuh parasit dan predator, tetapi juga disebabkan oleh penanaman padi yang lebih luas dan tersedianya tanaman inang padi sepanjang tahun, dan oleh varietas padi yang seragam (satu-dua varietas pada hamparan luas) serta oleh berkurangnnya periode “bero”, yang dapat memutus siklus hidup. Pestisida yang efektif, selektif, atau berdaya bunuh narrow spectrum, tidak meninggalkan residu (mudah terurai), dan tidak meracuni manusia, ternak dan fauna lain, sangat dibutuhkan untuk pengendalian hama penyakit. Prinsip PHT (pengendalian hama terpadu) pada dasarnya adalah pemanfaatan semua komponen pengendalian secara tepat dan efektif, sehingga penggunaan pestisida menjadi minimal. Namun apabila seluruh komponen pengendalian kurang efektif, penggunaan pestisida secara rasional dan mengikuti ketentuan harus dilakukan, guna menyelamatkan hasil panen. Dasar pemahaman dan teknik penggunaan pestisida harus diajarkan kepada petani dan pekerja lapang, agar penggunaan pestisida tidak membahayakan dan ramah lingkungan. Penggunaan pestisida nabati dan sarana pengendalian biologis menggunakan parasit, predator dan antagonis akan bertindak sebagai fungsi preventif-protektif. Namun dalam kondisi terjadi epidemi hama/penyakit yang berat, penggunaan pestisida sintetik perlu dilakukan. Pelatihan keselamatan penggunaan pestisida harus diberikan kepada petani dan terutama pekerja lapang.
tidak alergi atau anti untuk menjadi petani. Kebutuhan akan alsintan adalah mutlak dalam rangka modernisasi pertanian. Komponen yang mendesak untuk dipersiapkan antara lain adalah: (1) traktor pengolah tanah roda empat (four wheel tractor) skala kecil, (2) alat penanam yang ergonomis (seeder atau transplanter), (3) mesin penebar pupuk (fertilizer spreader/injector), (4) mesin penyiang (cultivator), (5) mesin pemanen (harvester/ reaper) dan perontok (thresher). Mekanisasi skala kecil-menengah, seperti yang dilakukan petani Taiwan, Korea dan Jepang, perlu dikembangkan di Indonesia. Penyediaan alsintan bagi kelompok tani perlu difasilitasi dan dibantu oleh pemerintah melalui kredit, subsidi harga, atau bantuan gratis. Harga beras yang dipertahankan murah bagi konsumen kota perlu dikompensasi dengan harga subsidi untuk pembelian alsintan oleh petani. Industri alsintan perlu didorong untuk berkembang, diberikan fasilitas dan insentif agar harga produk alsintan murah. Skema bantuan subsidi alsintan bagi petani merupakan subsidi langsung bagi petani untuk mencapai ketahanan pangan, lebih bermanfaat dibandingkan dengan subsidi benih. Dibandingkan dengan petani tahun 1950-1970, petani tahun 2000-an tidak lagi mencangkul penuh, tidak memikul hasil panen, dan tidak harus menumbuk padi untuk memperoleh beras. Pada masa yang akan datang petani untuk pengolahan tanah memerlukan traktor beroda empat, menanam dan memanen menggunakan mesin, sehingga pada tahun 2025 semua pekerjaan pertanian telah dilakukan secara maksimal (full mechanized). Kelestarian Lingkungan dan Keberlanjutan
Alat Mesin Pertanian (Alsintan) Kebutuhan penggunaan alsintan merupa-kan keharusan teknologi abad XXI. Manfaat alsintan tidak hanya untuk efisiensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, tetapi juga untuk kenyamanan kerja, prestise pekerjaan, dan merubah citra usaha pertanian. Dalam kaitannya dengan efisiensi, mekanisasi menentukan daya saing produk, mutu produk, tingkat harga, kelimpahan ketersediaan produk dan kontinyuitas suplai. Pejabat berwenang perlu menyusun program mekanisasi di bidang produksi pangan agar generasi muda
Teknologi untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sistem produksi pertanian lebih terkait dengan pemahaman kaidah teknik produksi, membuat dan melaksanakan ketentuan teknologi tidak harus meniadakan teknologi. Sebagai bandingan setiap tahun ribuan orang tewas akibat penggunaan mesin alat transportasi cepat. Tetapi tidak ada segolongan orang yang anti terhadap penggunaan mesin transportasi (sepeda motor, mobil, kereta api, kapal laut, kapal udara). Penerimaan yang lebih baik harus berlaku terhadap teknologi pertanian, yang sebenarnya jauh lebih aman.
43
Program untuk mendapatkan pertanian yang ramah lingkungan serta berkelanjutan harus juga secara simultan memperhatikan delapan faktor yang sangat terkait, yaitu: (1) peningkatan kebutuhan pangan yang timbul oleh adanya pertambahan penduduk, yang berarti perlunya penambahan produksi pangan, (2) lahan pertanian yang sangat terbatas, kurang mencukupi dan bahkan terjadi penyusutan, (3) keharusan menggunakan varietas unggul berproduksi tinggi yang memerlukan pupuk sintetis dosis tinggi dan proteksi dari gangguan hama penyakit, (4) kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati, (5) keberlanjutan dan kelestarian mutu sumberdaya lahan dan air, (6) keamanan konsumsi dan keselamatan kerja petani, (7) ketahanan pangan nasional masa kini dan masa yang akan datang, dan (8) kelayakan ekonomi usaha pertanian saat ini dan masa yang akan datang. Untuk memenuhi delapan kepentingan tersebut harus diikuti dengan tersedianya teknologi maju yang ramah lingkungan.
kayaan mikroba tanah, (5) perawatan agroekosistem wilayah hulu, tengah dan hilir, (6) perawatan kesuburan tanah dan penyediaan hara secara optimal dengan menambahkan pupuk mineral, (7) pengendalian OPT secara terpadu, (8) penyediaan, pengawetan, dan pemanfaatan sumber air secara efektif-efisien, (9) pencegahan terjadinya cemaran polusi, residu B3 dari luar lahan, dan (10) pendidikan dan penyadaran petani tentang pertanian yang berkelanjutan. Operasionalisasi rakitan TRHL tersebut perlu penjabaran dari masing-masing komponen disesuaikan kebutuhan dan permasalahan agroekologi spesifik.
Pengelolaan teknologi sejalan dengan Agroekoteknologi (Sumarno dan Suyamto, 1995), Usahatani Ramah Lingkungan (Sumarno et al., 2000), Pengelolaan Sumberdaya dan Tanaman Terpadu (PTT) oleh Makarim dan Las (2005)’ Abdurachman et al., (2006) dan Teknologi Revolusi Hijau Lestari (Sumarno, 2006) berupaya mendekati delapan kepentingan tersebut secara bersama-sama. Penyempurnaan rumusan teknologi masih diperlukan untuk mencapai misi pertanian sebagai usaha yang layak secara ekonomis, menjaga kelestarian lahan dan lingkungan, mampu menyediakan pangan nasional, dan bersifat berkelanjutan (sustainable) seperti yang disarankan oleh Harwood (1987).
PERTANIAN TANAMAN PANGAN BERBASIS IPTEK
Untuk memberikan koreksi dan perbaikan terhadap teknologi Revolusi Hijau tahun 1970-2005, Sumarno (2006) menyarankan rakitan sepuluh komponen sebagai Teknologi Revolusi Hijau Lestari disertai daftar periksa (check list) enam belas aspek. Kesepuluh komponen Teknologi Revolusi Hijau Lestari itu adalah: (1) keharusan pola tanam multi spesies dan rotasi tanaman menyertakan tanaman kacang-kacangan, (2) penanaman multi varietas, rotasi varietas dan varietas adaptif lokasimusim spesifik, (3) pengolahan tanah disertai pembenaman bahan organik, dan pelumpuran tanah secara sempurna, (4) penggunaan bahan organik, penambat nitrogen hayati dan peng-
44
Rumusan teknologi revolusi hijau lestari ini perlu kesepakatan nasional, karena ini untuk merespon kritik perlunya teknologi ramah lingkungan, dan melestarikan sumberdaya pertanian, demi kepentingan seluruh bangsa dan untuk mengakhiri konflik tentang pilihan teknologi pertanian.
Manusia sejak zaman purba tidak dapat dipisahkan dari pangan. Pada zaman purba kondisi alam masih mampu menyediakan pangan bagi semua manusia yang jumlahnya masih sedikit, menghasilkan buah, umbi, sereal, sayuran dan lain-lain secara alamiah, tidak perlu adanya campur tangan manusia. Kondisi alamiah ini dengan bertambahnya manusia berangsur menyusut, menjadi usaha pertanian menetap dan intensif, manakala jumlah manusia menjadi semakin banyak, sehingga ketersediaan lahan per kapita menjadi semakin menyempit. Indonesia memiliki lahan usaha pertanian (pangan) yang sangat sempit bila ditinjau dari jumlah penduduknya yang sangat banyak. Proporsi lahan pertanian per kapita sudah sedemikian sempitnya, sehingga merupakan nilai land-man ratio terkecil di dunia, sekitar 365 m2 per kapita. Kondisi sangat sempitnya lahan ini memiliki dampak dan konsekuensi negatif sebagai berikut: (1) Usaha pertanian dengan skala mikro, kurang dari 25 are per usahatani menjadi kurang efisien walaupun produktivitasnya tinggi.
(2) Usahatani tidak dapat lagi menjadi lapangan usaha pokok, petani harus memiliki pekerjaan lain (off-farm). (3) Pendapatan usahatani rendah, kesejahteraan petani rendah, dan petani cenderung miskin. (4) Keinginan untuk memperoleh produksi maksimal guna mencukupi kebutuhan keluarga, mengharuskan sistem usahatani dilakukan secara sangat intensif yang sering bertentangan dengan kaidah kelestarian lingkungan. (5) Terjadi paradoks, antara kebutuhan teknologi untuk maksimalisasi produktivitas dengan kemampuan pembiayaan untuk menyediakan input dan alsintan, yang sering berakibat penggunaan input tidak seimbang, kurang memperhatikan sustainabilitas dan pengaruh negatif terhadap lingkungan. (6) Pada tataran nasional, upaya pencukupan produksi pangan mengharuskan adanya pembinaan untuk peningkatan produktivitas per satuan luas melalui pemanfaatan teknologi yang paling sesuai. (7) Pertanian input rendah yang sering dianggap lebih sustainable (berkelanjutan) tetapi produktivitasnya rendah, menjadi bertentangan dengan program pencukupan produksi pangan nasional. (8) Terjadi konflik antara segolongan orang yang memikirkan lingkungan sebagai fokus utama dan menganggap penggunaan input sintetis berbahaya, dengan pihak yang memikirkan kebutuhan dan kecukupan pangan nasional yang mengharuskan penggunaan input sintetis hasil industri. (9) Tidak adanya kesepakatan nasional dalam penggunaan teknologi akan berakibat kebingungan petani yang sebenarnya tidak memahami konsep lingkungan, keberlanjutan dan bahkan aspek tehnis cara kerja input sintetis seperti pupuk pestisida, herbisida dan sebagainya. (10)Dalam kondisi tidak ada kesepakatan/kesepahaman tentang konsep teknologi, kelestarian lingkungan dan keberlanjutan, tetapi disepakati pentingnya produksi pangan yang harus terus meningkat, dimanfaatkan oleh orang-orang “kreatif-komersial” untuk menawarkan dan mengkampanyekan temuan teknologi super-hebat yang dapat me-
ngatasi permasalahan produktivitas, lingkungan, pendapatan, efisiensi, keberlanjutan dan sekaligus kualitas, bahkan ketahanan pangan nasional, tanpa bukti ilmiah. Menghadapi hal-hal tersebut, nampaknya belum ada kesepakatan di antara para pejabat, pembina, dan penyuluh pertanian, dalam hal kebijakan penggunaan teknologi, pemahaman makna teknologi, dasar ilmiah teknologi, atau efikasi/kemanfaatan teknologi. Teknologi pertanian belum dipahami oleh semua lapisan masyarakat, seolah-olah masih merupakan proses yang gelap, sehingga kebutuhan hara tanaman seolah-olah dapat diganti dengan produk ajaib yang dikemas dengan istilah tehnis ilmiah seperti bioenzym, pro-vitamin, hormon, prekursor, katalis dan sebagainya. Pertanian berbasis iptek pada dasarnya adalah praktek pertanian yang mendasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah terbukti secara ilmiah dan meyakinkan secara praktik empiris. Pertanian berbasis iptek harus memanfaatkan secara integratif komponen ilmu pertanian, termasuk ilmu tanah, fisiologi, agronomi, pemuliaan tanaman, pathologi, entomologi dan sebagainya. Hasil penelitian yang sahih (valid) juga harus mendasari pertanian berbasis iptek. Pertanian berbasis iptek yang telah berhasil di negara-negara maju perlu menjadi acuan sistem pertanian Indonesia. Perlu dibangun trust (kepercayaan) kepada ilmuwan pertanian. Teknik hidrophonik dan airophonik adalah contoh pertanian berbasis iptek. Kebutuhan hara (nutrisi tanaman) telah dapat disediakan secara tepat guna memperoleh pertumbuhan dan produksi optimal. Larutan hara (nutrisi) sesuai ilmu fisiologi-agronomi dapat disediakan secara tepat dosis dan tepat waktu sehingga tanaman tumbuh dan berproduksi optimal. Seandainya tanaman padi cukup ekonomis untuk diproduksi secara hidrophonik, kebutuhan haranya dihitung dan disediakan, sehingga tanaman dapat tumbuh optimal tanpa harus menggunakan bahan-bahan ajaib. Kepentingan teknologi pertanian modern masa depan dalam kaitannya dengan ketahanan pangan nasional, ranking kepentingan (rank order of importance) dari berbagai komponen teknologi adalah sebagai berikut: (1) Pengetahuan dan praktek pertanian ekologisberkelanjutan oleh pejabat, penyuluh dan pe-
45
tani; (2) Pupuk mineral dan bahan organik sesuai kebutuhan tanah; (3) Ketersediaan alsintan sesuai kebutuhan; (4) Pengendalian OPT dan ketersediaan sarana pengendalian (pestisida, herbisida); (5) Ketersediaan dan efisiensi penggunaan air; (6) Varietas unggul adaptif, benih bermutu; (7) Prosesing dan standarisasi produk; (8) Reklamasi dan pembukaan lahan pertanian baru. Ke delapan komponen utama teknologi pertanian tersebut perlu diramu dalam rakitan Teknologi Revolusi Hijau Lestari seperti dibahas pada bab sebelumnya. Pilihan teknologi alternatif bagi individu petani tetap diperbolehkan, tetapi tidak perlu menjadi konflik secara nasional sehingga membingungkan masyarakat petani. Usaha pertanian dalam skala nasional, bagaimanapun kondisinya, adalah bertujuan untuk menyediakan bahan pangan secara mencukupi dan bermutu bagi bangsa Indonesia. Persyaratan teknologi pertanian masa depan adalah: (a) mengutamakan produktivitas, efisiensi masukan, dan mutu produk, (b) kelestarian lingkungan dan keberlanjutan, (c) tersedia dalam rakitan SOP (Standar Operasional dan Prosedural) atau Panduan Operasional Budi daya Baku (POB) sebagai sarana Precision Farming. Dalam penyusunan POB terdapat empat belas komponen yang perlu ditentukan, sesuai kebutuhan agroekologi dan kondisi sosial ekonomi setempat yaitu: (1) Ketentuan pola tanam tahunan dan rotasi tanaman; (2) Pilihan penggunaan varietas unggul adaptif lokasimusim; (3) Teknik penyiapan pesemaian; (4) Penentuan waktu tanam dan teknik penanaman; (5) Penyiapan lahan menjadikan media tumbuh optimal; (6) Pengkayaan bahan organik tanah dan pemupukan mineral; (7) Kondisi lahan saat penanaman; (8) Pengelolaan air irigasi dan drainasi; (9) Pengendalian-pencegahan OPT dan gulma; (10) Pengeringan lahan menjelang panen; (11) Penentuan waktu panen optimal; (12) Panen dan penanganan pasca panen; (13) Mutu hasil panen dan pengkemasan; (14) Pemasaran produk. Penyusunan POB dengan komponen seperti tersebut dilakukan secara berjenjang dari tingkat nasional dengan target agroekologi utama, dilakukan oleh Litbang Pertanian, pakar ahli, Direktorat Teknis, dan penyuluh di pusat, yang akan menjadi acuan POB propinsi. Pada
46
tingkat propinsi, penyuluh, dengan target agroekologi spesifik wilayah propinsi, dan akan menjadi acuan POB kabupaten. Kabupaten menyusun POB kabupaten berdasarkan target agroekologi lokasi spesifik yang akan menjadi acuan POB kecamatan. Di tingkat kecamatan POB disusun oleh penyuluh lapang bersama kelompok tani dengan target lokasi spesifik. Kelompok tani hamparan menyusun POB hamparan mengacu POB kecamatan disesuaikan kebutuhan dan kondisi setempat. Dengan cara ini akan tersedia panduan budidaya baku, sesuai dengan kondisi lokasi spesifik berbasis iptek. Konsep manajemen teknologi ini merupakan koreksi terhadap paket teknologi anjuran nasional yang seragam untuk semua petani. Tanpa ada pemahaman yang pasti tentang teknologi pertanian, akan timbul konflik pendapat dan konsep secara berkepanjangan, yang tidak bermanfaat dan bahkan akan membahayakan ketahanan pangan nasional. Sudah tiba saatnya kita menyerukan: “Masyarakat, pakar, pembina, pelaku pertanian, marilah bersatu”. KESIMPULAN 1. Secara nasional ketahanan pangan masa depan sangat memerlukan dukungan teknologi revolusi hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan . 2. Pupuk mineral, bahan organik, mekanisasi, teknologi hemat air yang didukung oleh penggunaan varietas unggul spesifik lokasi/ musim dan penggunaan pestisida/herbisida secara rasional, masih merupakan tulang punggung teknologi pertanian tanaman pangan. 3. Teknologi produksi perlu dirakit dalam SOP atau POB (Panduan Operasional Budidaya Baku) yang bersifat spesifik lokasi/musim dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan. 4. Pertanian input organik dapat dipraktekkan oleh beberapa individu petani yang lahannya subur, kandungan mineral dalam tanah cukup tinggi, tetapi tidak boleh menjadi anjuran nasional, apabila ketahanan pangan nasional akan dicukupi oleh produksi dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA Abdulrachman, S. 2006. Integrated Crop Management, Experiences in Lowland Rice in Indonesia. International Rice Conference, Bali, September 2005. Balai Besar Penelitian Padi – Puslitbangtan Bogor. Better Crops International. 2002. Rice Production Special Supplement Publication. Vol. 16, May 2002. Brown, L.R. and H. Kane. 1994. Reassessing the Earth’s Population Carrying Capacity. Full House Publ, New York. Deptan. 2005. Seratus Tahun Departemen Pertanian R.I. Departemen Pertanian, Jakarta. Ehrlich, P. 1968. The Population Bomb. Balantine Book. New York. Fagi, A.M. 2006. Tataguna Air Irigasi di Tingkat Usahatani. Buletin IPTEK Tanaman Pangan. Vol. 1, No. 1 (dalam proses pencetakan). FAO. 1998. Guide to Efficient Plant Nutrient Management. Land and Water Development Div., FAO of United Nationa,s, Rome. Greenland, D.J. 1997. The Sustainability of Rice Farming. IRRI-CAB International. Walling Ford, Oxon, United Kingdom. Harwood, R.R. 1987. Low Input Technologies for Sustainable Agriculture System. In: V.W.Ruttan and C.e. Pray. (eds.) Policy for Agricultural Research. West View Press. Boulder, Colorado, USA. IRRI.
2004. IRRI’s Environment Sustainable Development. IRRI, Los Banos, Philippines.
Leach, G. 1995. Global Land & Food in the 21st Century, Trends & Issues for Sustainability. Stockholm Environment Institute, Polestar Series Report No. 5. Stockholm, Sweden. Makarim, A.K. dan I. Las. 2005. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi, melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Hal. 115-127. Dalam: B. Suprihatno et.al. (eds.). Inovasi Teknologi Padi. Buku I. Puslitbangtan, Bogor. Malthus, T. 1798. Essay on the Principle of Population. In: A. Flew (ed.). 1982. An Essay on the Principle of Population. Penguin Books. London.
Pasandaran, E., A. Djajanegara, K. Kariyasa, da nF. Kasryno. 2005. Kerangka Konseptual Integrasi Tanaman-Ternak di Indonesia. Hal 11-31. Dalam: E. Pasandaran, A.M. Fagi dan F. Kasryno (eds.) Integrasi TanamanTernak di Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Pranadji, T., Saptana dan W.K. Sejati. 2005. Pengelolaan Serangga dan Pertanian Organik Berkelanjutan di Pedesaan. Forum Penel. Agroekonomi, Vol. 23 (1): 38-47. Stewart, W.M., D.W. Dibb., and T.J. Smyth. 2005. The Contribution of Fertilizers Nutrients to Food Production, Agron. J. 97 (1): 1-6. ASA, Wisconsin, USA. Sumarno dan Suyamto. 1998. Agroekologi sebagai Dasar Pembangunan Sistem Usaha Pertanian Berkelanjutan. Hal. 235-256. Proc. Analisis Ketersediaan Sumber Daya Pangan dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Sumarno, I.G. Ismail da nSoetjipto. 2000. Konsep Usahatani Ramah Lingkungan, hal. 55-74. Dalam: A.K. Makarim et.al. (eds.). Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Pros. Simp. Penel. Tanaman Pangan IV. Puslitbangtan, Bogor. Sumarno. 2006. Mengapa Hibrida Padi Tidak Sesukses Hibrida Jagung? Sinar Tani, Jakarta. Sumarno. 2006. Merakit Teknologi Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan Nasional di Masa Depan. Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Pertanian. BBPSDL, Bogor (dalam percetakan). Treitz, W. and I.M. Narain. 1988. Conservation and Management of the Environment and Natural Resources in Developing Countries, p. 137-150. In: E. Javier and U. Renborg (eds.). The Changing Dynamics of Global Agriculture. ISNAR, DSE, CTA. DSE/ZEL, Feldafing Germany. Uphoff, N. and A. Gani. 2003. Opportunities for Rice Self-Sufficiency with the System of Rice Intensification (SRI), p. 419-442. Dalam: F. Kasryno et.al. (eds.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Jakarta, Wander, M.W., G.L. Walters and D.A.c. Grant. 2002. Soil Quality, Science and Process. Agron.J. 94: 23-32.
47