TTIIN NJJA AU UA AN N PPU USSTTA AK KA A
PERANAN PEREMPUAN DALAM PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA Albiner Siagian Pengajar pada Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU
ABSTRACT A phenomenon found in many regions and countries today is the trend towards the socalled “feminization of agriculture”, or the growing dominance of woman in agriculture production and the concomitant decrease of men in that sector. This trend makes it more imperative than ever to take action to enhance women’s ability to carry out their tasks in agriculture production and their other contributions to food security. This development goes hand in hand with the increasing number of female-headed household around the world. This paper tries to discuss the role of women in increasing of food security of the household. Key word: food security, gender equality, gender mainstreaming PENDAHULUAN Pada World Food Summit (WFS) tahun 1996 di Roma, para kepala negara atau wakil pemerintah dari negara-negara anggota Food and Agricultural Organization (FAO) mempertegas kembali hal setiap orang untuk memiliki akses terhadap pangan yang aman dan bergizi. Hal ini sejalan dengan hak setiap orang untuk memperoleh pangan yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas. Ini juga didasarkan pada hak asasi manusia untuk bebas dari rasa lapar seperti yang tercantum dalam The Universal Declaration of Human Rights. Hal ini pula yang melandasi komitmen para peserta WFS untuk menghasilkan deklarasi Roma tentang ketahanan pangan dunia tahun 1996 (Rome Decalaration on World Food Security). Selanjutnya pada WFS lima tahun berikutnya (World Food Summit: five years later atau yang dikenal dengan istilah WFS:fly), komitmen tersebut diperkuat lagi dengan dibentuknya Aliansi Internasional Mengikis Kelaparan (International Alliance Against Hunger). Tujuan dari aliansi ini adalah mewujudkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan serta kelaparan sesuai dengan salah
satu tujuan pembangunan millennium (The Millennium Development Goals). 1 Salah satu butir kesepakatan dalam aliansi tersebut adalah perlunya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan mendapat perhatian dalam upaya peningkatan ketahanan pangan. Ini merupakan kerangka rencana aksi FAO untuk meningkatkan peran wanita dalam ketahanan pangan yang juga merupakan tema Hari Ibu Sedunia pada tahun 1997: “Mainstreaming Women as Agents of Food Security”. Kesetaraan dan Pengarusutamaan Gender Dewasa ini, kesetaraan gender menjadi isu yang sangat penting dan merupakan komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia. Oleh karena itu, setiap ngara terikat dan wajib melaksanakan komitmen tersebut. Secara formal, upaya mewujudkan kesetaraan gender dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000
1
Salah satu butir tujuan pembangunan millennium adalah mengurangi jumlah penduduk dunia yang kelaparan hingga setengah dari jumlahnya pada tahun 2000 paling lambat tahun 2010
222
Tabel 1. Perbedaan biologis antara perempuan dan lelaki Perempuan Lelaki • Vagina • Penis • Indung telur (ovarium) • Kantung zakar (scrotum) • Sel telur (ovum) • Buah zakar (testis) • Uterus Ciri primer • Sperma (mani) • Haid • Prostat (kelenjar) • Hamil • Melahirkan • Menyusui Bersifat bawaan, kodrat, ciptaan Tuhan, tidak berubah oleh pengaruh zaman, Waktu, ras/suku/bangsa, kultur, agama, atau ideologi • Bulu dada/tangan • Kulit halus Ciri sekunder • Jakun • Dada besar (tidak semua mutlak) • Suara berat • Suara lebih bernada tinggi • Kumis Sumber: Hubeis (2005)
tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004, dan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Di tingkat daerah, strategi perwujudan kesetaraan gender diatur dalam Kepmendagri Nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah (Inpres, 2000). Berbicara tentang gender bukan sematamata berkenaan dengan jenis kelaminperempuan atau lelaki-tetapi berkenaan dengan konstruksi dan relasi sosial antara perempuan dan lelaki. Perempuan dan lelaki memang berbeda, tetapi bukan berarti berbeda dalam hal potensi, kompetensi, dan kesempatan (Hubeis, 2005). Memang, dalam praktiknya, perbedaan jenis kelamin sering dikaitkan dengan perbedaan peran dan fungsi sosial. Tak jarang jenis pekerjaan tertentu hanya diperuntukkan untuk lelaki walaupaun belum tentu perempuan tidak bisa melakuakan pekerjaan itu. Karenanya, kesetaraan gender harus dimaknai sebagai suatu kondisi yang adil dan setara dalam hubungan kerja sama antara perempuan dan lelaki, bukan upaya menyamakan perempuan dengan lelaki. Kesetaraan gender tidak harus dilihat secara sempit sebagai isu perempuan saja. Itu adalah isu yang memerlukan kerja sama antara perempuan dengan lelaki atas dasar kesetaraan hak, kesejahteraan bersama, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Untuk mencapai kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan, strategi 223
pembangunan⎯termasuk pembagunan pertanian⎯harus berarusutama gender. United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) mengartikan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) sebagai “a comperhensive strategi that involves both women-oriented programming and the integration of women/gender issues into overall existing programmes, throughout the programme cycle” (UNESCO, 2003). Hal senada juga dinyatakan dalam Kepmendagri Nomor 132 Tahun 2003. Inti dari pengarusutamaan gender (PUG) adalah pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan lelaki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program pembangunan. Tujuan PUG dalam pembangunan adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan pembangunan nasional berperspektif gender dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa, dan bernegara. Ruang lingkup PUG adalah seluruh aspek perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional (Hubeis, 2005). Ketahanan Pangan Menurut FAO, ketahanan pangan dikatakan eksis apabila setiap orang pada setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses terhadap pangan yang aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi dan selera makan untuk hidap secara sehat dan aktif. Undang-
Peranan Perempuan dalam Peningkatan Ketahanan Pangan Keluarga (242-246) Albiner Siagian
undang Nomor 7 tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan memiliki beberapa aspek, yaitu ketersediaan, keterjangkauan, kelayakan, dan kesesuaian pangan (UU Pangan, 1996). Lawan kata dari ketahanan pangan adalah kerawanan pangan (food insecurity). Kerawanan pangan terbagi dua, yaitu kerawanan pangan kronik (chronic food insecurity) dan kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity). Kerawanan pangan kronik terjadi apabila individu atau rumah tangga secara terusmenerus tidak mampu menyediakan atau menghasilkan sendiri pangan untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara itu, kerawanan pangan sementara diakibatkan oleh bencana alam atau kerusuhan sosial. Kerawanan pangan terjadi menakala rumah tangga, masyarakat, atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi baku kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan individu (Suryana, 2004). Akibat dari kerawanan pangan adalah menurunnya status gizi dan kesehatan masyarakat. Salah satu indikasi kerawanan pangan adalah tingginya prevalensi kurang gizi pada balita. Analisis data SUSENAS tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 5 juta balita (27,5%) menderita kurang gizi. Dari jumlah tersebut 1,5 juta (8,3%) menderita gizi buruk. Selain itu, kerawanan gizi juga ditandai oleh rendahnya konsumsi energi dan protein (defisit energi dan protein). Saat ini hampir 50% keluarga mengalami defisit energi dan protein (konsumsi rata-rata energi per kapita, masingmasing, lebih kecil dari 2200 kkal/hari dan 50 gram/hari). Gender dan Ketahan Pangan Berbagai studi telah mengungkapkan bahwa perempuan memainkan peran dalam ketahanan pangan rumah tangga maupun nasional. Perempuan berperan dalam produksi, pengolahan, dan distribusi pangan di tingkat rumah tangga. Ibu adalah anggota keluarga yang paling menentukan jenis makanan yang terhidang di meja makan untuk dimakan oleh setiap anggota keluarga.
Berdasarkan perkiraan FAO, perempuan menghasilkan leih dari 50% produk pangan dunia (FAO, 1995). Di Sub-Sahara Afrika, sebanyak 60-80% perempuan bekerja baik pada produksi pangan untuk rumah tangga maupun untuk dijual (FAO, 1994). Di Asia, perempuan menghasilkan lebih kurang 50% dari produksi pangan total wilayah ini. Selanjutnya, untuk wilayah Amerika Latin dan Karibia, sekitar 2555% perempuan bekerja di sub sektor produksi pangan (Karl, 1996). Partisipasi perempuan pada produksi pangan cukup bervariasi di wilayah Pasifik (dari 38% di Fiji hingga 71% di Papua New Guinea). Walaupun persentasenya lebih rendah, hal yang sama juga terjadi di Eropa. Di wilayah ini, persentase penduduk yang bekerja di sektor produksi pangan adalah 2,3-21,9%. Dari angka ini, perempuan mengambil bagian 10,4-44,5% (FAO, 1994). Pada tingkat ASEAN, Thailand menduduki posisi tertinggi menurut jumlah perempuan yang bekerja di bidang produksi pangan (60%). Posisi berikutnya, berturut-turut, ditempati oleh Indonesia (54%), Filipina (47%), dan Malaysia (35%). Selain pada sub sektor produksi pangan, konstribusi perempuan yang tidak kalah pentingnya dalam ketahanan pangan, antara lain adalah pada kelangsungan keanekaragaman hayati, suatu hal yang sangat penting dalam upaya peningkatan ketahanan pangan. Karena perempuan bertanggung jawab untuk menyediakan pangan bagi anggota keluarganya, mereka sering memiliki pengetahuan khusus mengenai nilai gizi dan keragaman tanaman sumber pangan. Hal ini akan berkontribusi terhadap ketahanan pangan keluarga (Karl, 1996). Perempuan melakukan sebagian besar dari pekerjaan mengolah dan manyiapkan makanan pada tingkat rumah tangga. Oleha karena itu, hal ini perlu mendapat perhatian besar. Kesalahan dalam proses pengolahan dan penyiapan pangan pada tingkat rumah tangga akan menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas gizi pangan, dan pada akhirnya menurunkan ketahanan pangan. Selain itu, perempuan juga memiliki peran besar dalam kegiatan yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan kesehatan keluarga, seperti mencari kayu bakar, mengangkat air,
Peranan Perempuan dalam Peningkatan Ketahanan Pangan Keluarga (223-227) Albiner Siagian
224
mencuci, memasak, mengurus anak, dan merawat keluarga yang sakit. Akhirnya, perempuan juga bertanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarga. Fakta menunjukkan bahwa banyak perempuan di samping sebagai ibu rumah tangga, mereka juga berperan sebagai kepala keluarga. Konsekuensinya adalah merekalah yang paling bertanggung jawab dalam menghidupi keluarganya. Di Indonesia, persentase keluarga yang dikepalai oleh perempuan adalah 17%. Angka ini sedikit di atas persentase tingkat global yang sebesar 15%. Semua ini menunjukkan betapa besarnya kontribsi perempuan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan.
ketahanan pangan yang berarusautama gender dapat dilakukan dengan beberapa hal seperti yang disebutkan berikut ini. 1.
Memutakhirkan data peran perempuan pada sektor pertanian Secara ‘legowo’ dan besar hati kita mengakui peranan perempuan dalam ketahanan pangan. Selama ini peran perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan luput dari survei atau sensus. Hal ini akan berakibat pada lahirnya kebijakan yang bias gender. Untuk itu perlu pemutakhiran data mengenai peran perempuan (kuantitas dan jenis) dalam sektor pertanian, khususnya sub sektor produksi pangan. 2.
Pengarusutamaan Gender dan Ketahanan Pangan Saat ini, fenomena yang menarik di bidang pertanian, termasuk sub sektor produksi pangan, adalah apa yang disebut sebagai feminisasi pertanian (feminization of agriculture). Feminisasi pertanian adalah kecenderungan meningkatnya dominasi wanita pada sub sektor produksi pertanian dan secara bersamaan menurunnya peran laki-laki pada sub sektor ini. Penyebab utamanya adalah meningktnya jumlah lelaki yang merantau dari desa ke kota meninggalkan pekerjaannya sebagai petani (Saito, dkk, 1994). Peran ini kemudian digantikan oleh perempuan. Hal ini juga didukung oleh meningkatnya jumlah wanita yang berperan sebagai kepala wanita. Mau tidak mau perempuan harus turun tangan bekerja di sektor pertanian pertanian. Berdasarkan berbagai fakta yang telah disebutkan di atas cukup beralasanlah isu gender dimasukkan dalam upaya peningkatan ketahanan pangan di tingkat global, regional, nasional, dan rumah tangga. Dengan demikian pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan lelaki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantaun dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program pembangunan pertanian, termasuk subsektor produksi, distribusi, dan konsumsi pangan⎯pengarusutamaan gender bidang pertanian dan ketahanan pangan⎯sangat mendesak untuk diimplementasikan. Untuk itu, kata kuncinya adalah kebijakan yang tidak bias gender. Kebijakan peningkatan
Meningkatkan akses perempuan ke sumber daya Akses ke sumber daya adalah penting untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Karena perempuan memainkan peran krusial dalam sektor ini, peningkatan produktiviats akan sangat tergantung pada kesempatan mereka mengakses sumber daya (misalnya lahan atau pelatihan/penyuluhan). 3.
Meningkatkan akses perempuan ke modal atau kredit Konsekuensi langsung dari terbatasnya akses perempuan ke lahan adalah akses ke keredit yang terbatas. Di pedesaan, lahan pertanian sering digunakan sebagai agunan pinjaman dari bank. Kalau perempuan tidak memiliki hak kepemilikan atas lahan, maka dapat dipastikan mereka⎯terutama perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga⎯akan kesulitan meminjam uang ke bank. 4.
Meningkatkan keikutsertaan perempuan dalam organisasi masyarakat Keikutsertaan perempuan dalam organisasi masyarakat sangat penting untuk meningkatkan akses mereka ke sumber informasi. Organisasi ini akan dapat menyalurkan aspriasi perempuan (petani) baik ke pemerintah maupun ke lembaga lain yang dapat mendukung peran mereka. 5.
Meningkatkan kesempatan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan Kita harus mengakui bahwa banyak pekerjaan hanya diperuntukkan pada lelaki walaupun sebenarnya pekerjaan itu dapat
Peranan Perempuan dalam Peningkatan Ketahanan Pangan Keluarga (223-227) Albiner Siagian
225
dilakukan oleh perempuan. Ini juga kebijakan yang tidak berarusutama gender. Penyediaan kesempatan kerja tidak boleh diskrinatif. Berbagai temuan telah membuktikan bahwa perempuan akan membelanjakan lebih banyak pendapatannya untuk kesejahteraan keluarga (untuk pangan dan kesehatan) daripada lelaki. Oleh karena itu, pemberian kesempatan kerja bagi perempuan juga berarti meningkatkan ketahan pangan rumah tangga.
6.
Meningkatkan akses perempuan ke pelatihan dan penyuluhan Pada umumnya, pelatihan dan penyuluhan, terutama bidang pertanian berorientasi pada peningkatan kemampuan lelaki. Sudah saatnya kesempatan ini juga, secara proporsional disediakan bagi perempuan. Ini dapat dilakukan melalui diseminasi inovasi dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi yang sesuai. 7.
Meningkatkan komitmen politik pemberdayaan perempuan Salah satu kekhawatiran dampak implementasi otonomi daerah adalah berkurangnya perhatian terhadap perempuan. Hal ini, salah satunya, disebabkan kecilnya keterwakilan perempuan dalam eksekutif maupun legislatif. Untuk itu diperlukan komitmen politik dari pihak DPRD dan pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang berarusutama gender. PENUTUP Gender dan ketahanan pangan memang terkait erat. Perempuan ada di setia tahapan produksi pangan: dari pengolahan lahan sampai kepada pemenenan; dari pengolahan pangan sampai dengan tersaji di meja makan. Perempuan nyaris bagai robot yang tidak pernah lelah. Atau dengtan kata lain dikatakan “A Women’s work is never done”.
Apakah kita membiarkan hal ini terus terjadi? Atau, apakah kita ingin ketahanan pangan kita tetap rapuh? Kalau tidak, pengarusutamaan gender dalam setiap kebijakan perbaikan ketahanan pangan menjadi sangat penting. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2003. Survesi Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS, 2003) FAO. 1994. Woman, Agriculture and Rural Development: A Synthesis Report of the Africa Region. Rome. FAO. 1995. A Fairer Future for Rural Woman. Rome Hubeis, A.V. 2005. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Keterjaminan Pangan dan Gizi Keluarga. Malakah ini disampaikan pada Semiloka Nasional Memerangi Gizi Buruk dari Perspektif Gender, Bogor 30 Agustus 2005 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Karl, M. 1996. Inseparable: the Crutial Role of Women in Food Security. Manila Kepmendagri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah Saito, A. K. dkk. 1994. Raising the Productivity of Women Farmers in Sub-Saharan Africa. World Bank Discussion Papers, Africa Technical Department Series Suryana, A. 2004. Ketahanan Pangan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS UNESCO. 2003. UNESCO’S Gender Mainstreaming Implementation Framework for 2002-2007. Paris.
Peranan Perempuan dalam Peningkatan Ketahanan Pangan Keluarga (223-227) Albiner Siagian
226