PROSIDING SEMINAR NASIONAL
PENGELOLAAN LAHAN BERKELANJUTAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Diselenggarakan atas Kerjasama: Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Komda Aceh Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh
Di Gedung Academic Activity Center (AAC) Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 16 – 17 September 2014 Editor: Syakur Suwardi Fikrinda Manfarizah
Diterbitkan oleh: Percetakan & Penerbit SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS Darussalam, Banda Aceh
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
PENGELOLAAN LAHAN BERKELANJUTAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Diselenggarakan atas Kerjasama: Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Komda Aceh Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Aceh
Di Gedung Academic Activity Center (AAC) Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 16 – 17 September 2014
Editor: Syakur Suwardi Fikrinda Manfarizah
SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
PENGELOLAAN LAHAN BERKELANJUTAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL Penerbit: SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS Kampus Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh 23111 ACEH-INDONESIA Telp. 0651-7552440 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit ISBN: 978-602-1270-17-2
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prosiding Seminar Nasional: Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional / Syakur [et al.] – Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2015. Xv, 400 p.; ilus. 20 cm Bibliografi ISBN: 978-602-1270-17-2 Dicetak di Banda Aceh, Indonesia
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar Kata Sambutan Ketua Panitia BIDANG KONSERVASI TANAH DAN AIR Potensi dan Keberlanjutan Budidaya Padi Sawah di Lahan Gambut Pantai Timur Sumatera Utara, Abdul Rauf dan Rahmawaty
1
Pengaruh Aplikasi Hidrogel Terhadap Beberapa Karakteristik Tanah, Abraham Suriadikusumah
9
Pertanian Terpadu Berbasis Rambutan Menunjang Pertanian Berkelanjutan di Lahan Kering, Bachrul Ibrahim, Muh. Jayadi, dan Asmita Ahmad
17
Aliran Permukaan, Erosi dan Kadar Hara Sedimen akibat Tindakan Konservasi Tanah Vegetatif pada Pertanaman Kelapa Sawit, Zahrul Fuady, Halus Satriawan, dan Nanda Mayani
27
Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah Terdegradasi di Kabupaten Belitung Timur, D. Subardja, Erna Suryani, dan A. Kasno
36
Efek Salinitas pada Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi Sawah di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, Wan Arfiani Barus, Abdul Rauf , B. Sengli J. Damanik(Ϯ), dan Rosmayati
47
Panen Air Hujan Menggunakan Rorak dan Saluran Resapan dalam Pengelolaan Lahan Pala Berkelanjutan Kabupaten Aceh Selatan, Fachruddin, Mustafril, Budi Indra Setiawan, dan Prastowo
54
Analisis Kualitas Tanah yang Telah Mengalami Konversi Lahan Menjadi Lahan Industri Batu Bata di Kabupaten Serdang Bedagai, Muhammad Rizwan, dan Abdul Rauf
65
Pengaruh Kadar Air terhadap Dekomposisi Bahan Gambut, Putri Oktariani, G. Djajakirana, dan B. Sumawinata
73
Akumulasi Logam Berat dan Respon Tanaman Padi terhadap Ameliorasi Gambut Dengan Dregs, Nelvia
80
Manajemen Restorasi Rawa Tripa di Provinsi Aceh, Hairul Basri dan Ahmad Reza Kasuri
88
Manajemen Lahan dalam Konteks Tataguna pada Pembukaan Lahan Transmigrasi di Gampong Owaq Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah, Zulkifli Nasution, Ichwana, Ashfa, dan Kansih Sri Hartini
99
BIDANG BIOLOGI DAN BIOTEKNOLOGI TANAH Pengaruh Pemberian Azospirillum Sp. Menggunakan Carrier Kompos dan Pupuk Urea dalam Meningkatkan Serapan Nitrogen serta Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.), Wanda Syahdul Haq, Sarifudin, dan T. Sabrina
109
Peningkatan Ketahanan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) terhadap Cekaman Air Melalui Penggunaan Va-Mikoriza Di Rumah Kasa, Asmarlaili Sahar Hanafiah, T. Sabrina, Diana Sofia Hanafiah dan Yossi C Manurung
118
Dampak Pemupukan Nitrogen Terhadap Hama Penggerek Batang dan Pelipat Daun Padi, Hendrival
125
Pengaruh Gulma Siam Terhadap Kandungan Bahan Organik Tanah dan Pertumbuhan Sawi di Entisol, Fikrinda dan Nazir Akhmad
134
Pemanfaatan Kompos Jerami Dan Biochar pada Dosis Pupuk NPK yang Berbeda untuk Meningkatkan Kesehatan Tanah dan Hasil Tanaman Padi Berbasis Teknologi IPAT-BO, Ania Citraresmini, Bobby Clinton Siregar, Emma Trinurani Sofyan, Tien Turmuktini dan Tualar Simarmata
142
Seleksi Isolat-Isolat Bakteri Pelarut Kalium dan Pemanfaatannya dalam Penyediaan Kalium untuk Pertumbuhan Tanaman, Diyan Herdiyantoro, Mieke Rochimi Setiawati, dan Ridha Hudaya
152
Efek Residu Pupuk Organik dan Penambahan Pupuk Anorganik terhadap Sifat Kimia dan Biologi Tanah pada Lahan Sawah Tadah Hujan, Elli Afrida, Abdul Rauf, Hamidah Hanum, dan Didik Harnowo
160
Kandungan P Tanah dan Pertumbuhan Jagung yang Dipengaruhi Oleh Aplikasi Mikroba Pelarut Fosfat dan Pupuk P pada Tanah Marginal, Betty Natalie Fitriatin, Anny Yuniarti, dan Tien Turmuktini
167
Seleksi Isolat Bakteri Penambat N2 Asal Tanah dan Tanaman Padi Sawah dalam Meningkatkan Pertumbuhan dan Kandungan N Planlet Padi Sawah, Mieke Rochimi Setiawati, Pujawati Suryatmana, dan Diyan Herdiyantoro
175
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L) Merr ) pada Ultisol Yang Diinokulasi dengan Rhizobakteri Penghasil Fitohormon IAA, Agustian, Muthia Oktaviana, dan Lusi Maira
182
Dampak Inkubasi Kombinasi Kompos Jerami dan Biochar pada Berbagai Dosis Pupuk NPK terhadap C-Organik dan Populasi Mikroba Tanah serta Hasil Tanaman Padi Berbasis Teknologi Budidaya IPAT-BO, Ania Citraresmini, Ivan Ezer Barus, Yuliati Machfud, dan Tualar Simarmata
190
BIDANG KESUBURAN TANAH Biochar dan Kompos Memperbaiki Sifat Kimia dan Biologi Tanah Andisol pada Dataran Tinggi Aceh Tengah, Sufardi, Muyassir, dan Darwin Efendi
201
Ameliorasi Air Laut Untuk Tanah Gambut Dataran Rendah Sumatera, Sarifuddin, Zulkifli Nasution, A. Rauf dan B. Mulyanto
213
Fosfor Total, P Tersedia Tanah dan Serapan P Tanaman Jagung akibat Pemberian Kompos Sampah Pasar dan Pupuk Fosfat pada Fluventic Eutrudepts, Yusra
221
Formula Pupuk untuk Lahan Padi Sawah Tercemar Kadmium dan Timbal, Rija Sudirja, Benny Joy, Santi Rosniawaty, Ade Setiawan, dan Dadang Supriatna
230
Pengaruh Bahan Organik Terhadap Sifat Kimia Tanah Abu Vulkanis yang Dikapur serta Produksi tanaman gandum (Triticum aestivum L.) Di Alahan Panjang, Syafrimen Yasin, Irfan Suliansyah, Gusnidar, Juniarti, dan Irwan Darfis
239
Peningkatan Fosfat Larut dari Batuan Fosfat dengan Campuran Limbah Cair Industri Tapioka dan Asam Sulfat pada Waktu Inkubasi Berbeda, Ainin Niswati, Riana Maulida, Abdul Kadir Salam, dan Sri Yusnaini
248
Peningkatan Kualitas Limbah Cair Agroindustri Nanas dengan Penambahan Limbah Kepala Udang sebagai Bahan Dasar Pembuatan Pupuk Organik Cair, Sri Yusnaini, Ainin Niswati, dan Udin Hasanudin
256
Dinamika Respirasi Tanah Selama Pertumbuhan Tanaman Jagung Akibat Pemberian Kombinasi Biomassa Azolla dan Pupuk Urea, Dermiyati, Tia Amendia Putri, Ainin Niswati dan Sri Yusnaini
262
Hasil Dan Kadar Gula Jagung Manis Dengan Aplikasi Pupuk Hayati dan berbagai Sumber Pupuk P , Asritanarni Munar, Alridiwirsah, dan Dani Prayoga
271
Keragaman Genetik Padi Lokal Aceh Toleran Nitrogen Rendah, Bakhtiar, Muyassir, dan Chairunas
278
Respons Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Terhadap Intensitas Cahaya Rendah, Taufan Hidayat , Zaitun, Hasanuddin
285
BIDANG KLASIFIKASI TANAH DAN EVALUASI LAHAN Karakterisasi Ultisol Di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN I Pulau Tiga Aceh Tamiang, Teti Arabia, Ashabul Anhar, Fikrinda, dan Noor Faiqoh Mardatin
291
Karakteristik dan Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Jagung (Zea mays L.) di Daerah Tropika Basah Sulawesi Selatan, Risma Neswati, Christianto Lopulisa, dan Hernusye Husni
301
Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Memetakan Daya Dukung Lahan Permukiman di Banda Aceh, Indonesia, Muhammad Rusdi, Ruhizal Roosli, dan Mohd Sanusi S. Ahamad
309
Evaluasi Kemampuan Lahan untuk Pertanian di Sub Das Krueng Sieumpo Aceh, Halus Satriawan, Erwin Masrul Harahap, Rahmawaty, dan Abubakar Karim
317
Analisis Kesesuaian Lahan Tanaman Padi Sawah sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Aceh Selatan, Mustafril
327
Fluks CO2 Andisol dari Tanaman Hortikultura di Bogor Jawa Barat, Jon Hendri, Suwardi, Basuki Sumawinata, dan Dwi Putro Tejo Baskoro
337
Analisis Sumberdaya Lahan Kakao Rakyat Dengan Mengintegrasikan Komunitas Fauna Tanah, Hasbullah Syaf dan Laode Muhammad Harjoni Kilowasid
347
Karakteristik Kimia dan Total Elemental Oksida Abu Vulkanis Gunung Sinabung Kabupaten Karo Pasca Erupsi Januari 2014, Dian Fiantis, Shamshuddin Jusop, dan Eric Van Ranst
356
Penilaian Potensi Lahan Berdasarkan Analisis Kemampuan Lahan di Kecamatan Lhok Nga Kabupaten Aceh Besar, Manfarizah, Syamsidah Djuita, dan Abubakar Karim
365
Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Pengembangan Tanaman Manggis di Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar, Syamsidah Djuita, Zainabun, dan Syakur
374
Daftar Peserta Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional, Kerjasama HITI Komda Aceh, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala dan Bappeda Aceh, Tanggal 16 – 17 September 2014 Di Gedung AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
384
MANAJEMEN RESTORASI RAWA TRIPA DI PROVINSI ACEH Management of Tripa Swamp Restoration in Aceh Province Hairul Basri1 dan Ahmad Reza Kasuri2 1)
Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh; Kontak person : Email:
[email protected]
2)
Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh; Kontak person : Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang manajemen restorasi rawa Tripa. Penelitian ini dilakukan di Kawasan Gambut Rawa Tripa Provinsi Aceh seluas 62.000 hektar. Secara geografis kawasan ini terletak pada 03 0 44’-030 56’ LU dan 960 23’ - 960 46’ BT. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metoda deskriptif melalui kegiatan survai lapangan. Untuk analisa hidrologi, data utama yang digunakan adalah data sekunder seperti data iklim dan karakteristik DAS. Pengumpulan data primer ditujukan untuk analisa hidraulika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari kawasan TPSF menjadi perkebunan sawit menyebabkan terjadinya pengeringan air dari kawasan TPSF (Tripa Peat Swamp Forest). Manajemen restorasi TPSF dapat dilakukan dengan manajemen air yang terkendali, rekayasa aliran air, perbaikan sistem drainase, pengaturan ulang alokasi ruang di TPSF, dan perlindungan sempadan sungai dan sempadan pantai. Kunci: Rawa Gambut, pengelolaan air, sistem drainase
ABSTRACT The objective of the research was to provide information about the Tripa swamp restoration management. This research was conducted in the area of Tripa Peat Swamp Area of 62,000 hectares in Aceh Province. Geographically the area located at 03 0 44’-030 56’ NL and 960 23’ - 960 46’ EL. The study was conducted by using descriptive method through field surveys. For hydrological analysis, the secondary data such as climate data and watershed characteristics was used in this study. Primary data collection was intended for hydraulic analysis. The results showed that the change in land use of the area TPSF into palm oil plantations cause the water draining from the area TPSF (Tripa Peat Swamp Forest). TPSF restoration management can be done with a controlled water management, engineering the flow of water, improvement of drainage system, resetting the allocation of space in the TPSF, and protection of riparian and coastal border. Key words: Peat swamp, water management, drainage system,
PENDAHULUAN Lahan basah (wetlands) adalah salah satu ekosistem yang paling penting di bumi karena kondisi hidrologi yang unik dan perannya sebagai zona peralihan antara sistem daratan dan perairan (Mitsch dan Gosselink, 2011). Lahan basah, sebagai zona peralihan antara tanah dan air, memberikan perlindungan alami terhadap banjir ekstrim, sebagai simpanan air tawar, penyimpanan karbon jangka panjang serta memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun, banyak lahan basah, khususnya dataran banjir sungai, delta dan muara, telah terdegradasi akibat aktivitas manusia (Verhoeven et al., 2006). Dalam konteks hidrologi, rawa gambut memiliki peran yang sangat penting sebagai pengatur hidrologi. Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga mempunyai daya menyerap air yang sangat besar hingga 850% dari berat keringnya (Dreissen and Suhardjo, 1975). Kawasan 88
gambut dan terutama kubah gambut berfungsi penambat (reservoir) air tawar dan melepasnya kembali secara perlahan‐lahan ke sungai. Pada musim kemarau kandungan air yang ada di bawah permukaan gambut akan terlepas secara perlahan, namun dengan debit air yang masih cukup besar dan pada saat musim hujan kawasan rawa gambut akan terendam/banjir kembali (Barkah dan Sidiq, 2009). Namun, fungsi hidrologi lahan rawa tersebut terus menurun seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan ekonomi akan lahan yang memacu alih fungsi lahan lahan rawa menjadi lahan budidaya. Hutan Rawa Bergambut di Kawasan Rawa Tripa (Tripa Peat Swamp Forest = TPSF) terdapat di Provinsi Aceh atau tepatnya di Kecamatan Darul Makmur (Kabupaten Nagan Raya) dan Kecamatan Babahrot (Kabupaten Aceh Barat Daya). Ditinjau dari segi pengelolaan wilayah sungai, kawasan Rawa Tripa terletak di hilir Wilayah Sungai (WS)Tripa–Batee. Kondisi hidroklimatologi Rawa Tripa sangat dipengaruhi oleh kondisi sungai-sungai yang mengalir melalui rawa dan Samudera Hindia. Imbuhan air ke dalam sistem rawa sangat dipengaruhi oleh over bank flow banjir di sungai-sungai tersebut dan imbuhan akibat air hujan. Rawa gambut memiliki peran penting sebagai pengatur hidrologi karena berfungsi sebagai daerah penangkap air pada saat banjir dan kemudian melepaskannya secara perlahan pada saat musim kering. Di samping areal TPSF merupakan ekosistem air yang sangat penting sebagai pengatur hidrologi, rawa Tripa juga mempunyai keanekaragaman. Selain itu, terdapat aneka biotik dan non-biotik yang merupakan plasma nuftah endemik kawasan ini. Beberapa hewan dan tumbuhan yang ada di kawasan ini telah lama dimanfaatkan secara lestari oleh penduduk setempat sebagai sumber pangan dan sumber ekonomi. Aktivitas perkebunan di kawasan rawa Tripa dengan membangun parit atau kanal cenderung tidak sesuai dengan kaidah konservasi karena memiliki kemampuan drainase yang besar. Hal ini telah mempercepat proses menurunnya secara berlebihan kandungan air di areal hutan rawa gambut. Penurunan air permukaan menyebabkan lahan gambut mengalami kekeringan dan pada kondisi kekeringan yang ekstrim, gambut akan sulit menyerap air kembali karena memiliki sifat kering tak balik (irresversible drying). Drainase berlebihan menyebabkan gambut akan mengalami subsidence (penurunan permukaan tanah), kondisi ini disebabkan oleh berkurangnya kandungan air dan mempercepat proses mineralisasi gambut akibat oksidasi. Selain itu, oksidasi tersebut meningkatkan emisi gas rumah kaca ke dalam atmosfir. Selanjutnya, pengeringan lahan gambut juga menyebabkan fungsi gambut sebagai penyimpan air menjadi terganggu. Oleh karena itu, areal hutan gambut rawa Tripa perlu direstorasi agar dapat berfungsi kembali sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak. Restorasi merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan dan memperbaiki kondisi ekosistem yang telah rusak (Ward, and Elliot, 1995). Restorasi dapat didefinisikan sebagai proses yang intens dalam membantu pemulihan dan pengelolaan integritas ekologi suatu ekosistem yang rusak termasuk berbagai variabel keragaman hayati penting, struktur dan proses-proses ekologi konteks sejarah dan kewilayahan, dan kelestarian praktik-praktik budaya (Clewell et al., 2005, Perrow & Davy, 2002). Tujuan utama restorasi lahan rawa adalah mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem rawa awal. Namun, tujuan utama ini tidak dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu singkat. Karena realita di lapangan, pemanfaatan lahan rawa sebagai areal perkebunan kelapa sawit 89
telah berlangsung lama dan cenderung tidak ramah lingkungan dan menyebabkan terdegradasinya areal hutan gambut rawa Tripa (TPSF). Untuk itu perlu dilakukan kajian yang mendasar dan komprehensif terhadap dinamika ekologis rawa gambut di areal TPSF untuk mendukung upaya rencana restorasi areal TPSF. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Gambut Rawa Tripa Provinsi Aceh seluas lebih kurang 62.000 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya seluas 37.200 ha atau sekitar 60 persen, dan wilayah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya seluas 24.800 ha atau sekitar 40 persen dari luas areal. Luas kawasan rawa gambut Tripa tersebut termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Secara geografis kawasan ini terletak pada 030 44’-030 56’ LU dan 960 23’ - 960 46’ BT. Kawasan yang termasuk ke dalam wilayah studi adalah bagian hilir Wilayah Sungai (WS) Tripa-Batee. Kawasan WS Tripa Batee memiliki beberapa DAS dengan tiga sungai utama yaitu : DAS Krueng Tripa, DAS Krueng Seumayam dan DAS Krueng Batee. Kegiatan studi ini dilaksanakan mulai Mei sampai dengan Agustus 2013. Analisa kondisi hidrologi untuk menyusun program restorasi lahan di kawasan gambut rawa Tripa membutuhkan ketersediaan data sekunder dan data pengamatan langsung. Data sekunder yang dibutuhkan bersumber dari stasiun pengumpulan data tetap. Sedangkan kajian terdahulu yang dijadikan rujukan bersumber dari instansi teknis terkait. Data hujan di peroleh dari beberapa stasiun penakar hujan seperti : PT. Socfindo (2006-2012), BPP Tadu (2010-2012), BPP Darul Makmur (2010-2012), Stasiun Beutong (2012-2013), Stasiun Alu Ie Mirah (20122013). Kondisi antropogenik secara kualitatif melalui wawancara dengan penduduk yang berdomisili di kawasan rawa Tripa. Selanjutnya, hidrometri sungai dan kanal rawa dilakukan melalui pengukuran langsung di lapangan (2013). Peralatan yang digunakan antara lain perahu untuk hidrometri, current meter, Echosounder, Measure tape dan tali tambang. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kajian Antropogenik Rawa tripa merupakan hilir dari 3 (tiga) DAS utama yakni DAS Krueng Tripa, Krueng Batee dan Krueng Seumayam. Selanjutnya, beberapa DAS lain yang berukuran lebih kecil seperti DAS Krueng Seunaam dan DAS Alu Ie Mirah juga melintasi Rawa Tripa. Kawasan Rawa Tripa yang secara administratif berlokasi di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Bahbarot, Kabupaten Abdya. Desa-desa yang berada di kawasan Rawa Tripa secara umum berlokasi di hilir sungai-sungai yang melintasi Rawa Tripa. Hasil dari wawancara dengan penduduk memberikan informasi bahwa beberapa desa yang berlokasi dihilir berdekatan dengan bantaran sungai sering mengalami banjir. Dari konteks hidrologi, kawasan Rawa Tripa dikatagorikan sebagai daerah banjir. Hal ini disebabkan oleh lokasinya yang berada di hilir beberapa sungai yang melintasi Rawa Tripa. Hasil wawancara dan observasi lapangan memberikan informasi bahwa sejumlah desa di Kecamatan Darul Makmur seperti Desa Kuta Trieng dan Desa Seunaam sering mengalami banjir dan tinggi air mencapai 1-2 meter. Frekuensi banjir yang terjadi lebih dari 90
satu kali dalam setahun. Banjir tersebut menyebabkan warga mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Selanjutnya, banjir yang melanda Kecamatan Darul Makmur dan sebagian Kecamatan Bahbarot akibat meluapnya Krueng Ie Mirah menyebabkan penduduk mengungsi. Hasil pemetaan banjir seperti yang dijelaskan sebelumnya memberikan informasi bahwa periode (lamanya) banjir 1-5 hari. Informasi yang diperoleh dari penduduk bahwa lamanya banjir tersebut cenderung lebih panjang di bandingkan dengan lamanya banjir 20 (dua puluh) tahun yang lalu, yang pada umumnya lamanya banjir 1-2 hari. Dengan kata lain, banjir telah surut pada hari ke dua. Jika terjadi banjir, sumber air untuk minum penduduk adalah menggunakan air gallon (aqua) dan air sumur yang ada di lokasi pengungsian. Lama genangan di Kawasan Rawa Tripa disajikan pada Gambar 1. Dari konteks sanitasi lingkungan, sebagian besar penduduk tidak memiliki WC/kakus dan sumur di dalam rumah. Penduduk menggunakan sungai sebagai tempat untuk MCK (mandi, cuci dan kakus). Hal ini menyebabkan kondisi sungai terkontaminasi dengan limbah rumah tangga. Namun, belum diperoleh informasi bahwa kondisi ini menyebabkan terjadinya wabah penyakit seperti disentri dan penyakit kulit yang dialami penduduk. Dalam periode 5 (lima) tahun terakhir, pada musim kemarau sumur penduduk di kawasan Rawa Tripa seperti Desa Alue Bili Kecamatan Bahbarot yang memiliki topografi yang lebih tinggi mengalami penurunan muka air sumur 1-2 meter. Sementara itu, sumur penduduk yang berada di desa yang memiliki topografi yang lebih rendah mengalami penurunan muka air sumur sekitar 20 cm. Penurunan muka sumur pada musim kemarau tersebut belum menjadi permasalahan serius bagi penduduk pada saat ini. Dengan kata lain, air sumur masih dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan air untuk MCK. Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah petani dan nelayan. Tanaman utama yang dibudidayakan oleh petani antara lain kelapa sawit, kakao, padi, palawija, pisang, dan jagung. Namun, fenomena yang terjadi lima tahun terakhir menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit menjadi tanaman yang paling digemari oleh penduduk. Kelapa sawit tersebut pada umumnya dibudidayakan di bantaran sungai-sungai di Kawasan Rawa Tripa. Hasil oberservasi lapangan menunjukkan bahwa bantaran sungai bagian hilir Krueng Tripa, Krueng Batee dan Krueng Seumayam yang digunakan sebagai lahan budidaya kelapa sawit telah mengalami erosi tebing (stream bank erosion) yang menyebabkan tanaman kelapa sawit jatuh ke badan sungai. B. Manajemen Air Rawa Untuk merestorasi lahan gambut yang sudah rusak akibat kekeringan dan kebakaran, manajemen air rawa merupakan strategi kunci untuk mengembalikan fungsi‐fungsi ekologi dan hidrologi. Selanjutnya, restorasi lahan gambut Tripa melalui manajemen air rawa tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : (1) Mendesain dan memodifikasi kanal dan bangunan air agar kelebihan air dapat dibuang ke dalam keadaan air sungai/laut; (2) Mengatur keseimbangan air di lahan sesuai dengan kebutuhan; dan (3) Penempatan dan pembangunan bangunan air yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan air di lahan sesuai dengan kebutuhan .
91
Gambar 1. Peta lama genangan banjir di kawasan Rawa Tripa Manajemen air yang diterapkan untuk pengelolaan air di lahan gambut adalah sistem drainase terkendali. Pengontrolan tinggi muka air (water table control) diperlukan untuk menjaga agar supaya tidak terjadi over drainage dan tinggi air tetap konstan sesuai dengan kebutuhan tanaman kelapa sawit. Tinggi muka air yang harus dipertahankan untuk kelapa sawit pada lahan gambut 60 cm. Prinsip utama dalam penyekatan parit atau saluran di lahan gambut dapat di lihat pada Gambar 2. Melalui penyekatan ini diharapkan muka air tanah di lahan gambut meningkat dan gambut tidak mengalami kekeringan. Barkah dan Sidiq (2009) menyatakan bahwa ukuran bangunan pengendali terutama lebar saluran tergantung komoditas yang diusahakan, untuk tanaman padi memerlukan kondisi lahan tetap tergenang sehingga relatif sempit agar aliran muka air relatif terkendali, dan untuk tanaman perkebunan yang memerlukan kedalaman muka air tanah relatif dalam sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan kedalaman zone perakarannya. Ilustrasi manajemen air dengan sistem terkendali dapat dilihat pada Gambar 3. C. Rekayasa Aliran Sungai pada Manajemen Air di Rawa Tripa Manajemen air di Rawa Tripa pada prinsipnya ditujukan untuk mengatur keseimbangan air. Melalui pengaturan keseimbangan air ini diharapkan tidak terjadi over drainage dan tinggi air tetap konstan sesuai dengan kebutuhan tanaman kelapa sawit. Tinggi jagaan air maksimum di saluran tidak melebihi 60 cm. Selanjutnya, pengaturan keseimbangan air ini bukan hanya memerlukan modifikasi desain kanal untuk pengendalian drainase, tetapi juga memerlukan suatu rekayasa aliran air yang dapat mengatur pemasukan air (recharge water) dan pengeluaran air (discharge water) secara seimbang dan terkendali pada lahan rawa gambut. Dengan kata lain, pada saat air di lahan rawa gambut dalam kondisi berlebihan di musim penghujan maka air harus dikeluarkan (discharge). Di sisi lain, pada musim kemarau dimana air telah berkurang drastis di lahan rawa gambut dan tidak dapat memenuhi kebutuhan air 92
minimal yang dapat dipertahankan setinggi 60 cm, maka diperlukan pemasukan air (recharge water) dari sungai yang dapat dialirkan ke areal lahan rawa gambut tersebut.
Sumber : Barkah dan Sidiq, 2009
Gambar 2. Prinsip Utama dalam Penyekatan Parit atau Saluran di Lahan Gambut
Bangunan kontrol Tanggul Sungai
Elevasi muka air
Dasar saluran Elevasi lahan
Gambar 3. Manajemen air dengan sistem drainase terkendali
Sumber air alternatif untuk menjaga keseimbangan di lahan rawa gambut Tripa adalah sungai yang melintasi lahan rawa gambut. Sungai Krueng Seumayam merupakan sungai yang memiliki pengaruh besar terhadap keseimbangan air di lahan rawa gambut. Oleh karena itu, rekayasa aliran Sungai Krueng Seumayam menjadi alternatif untuk pembuatan bendung. Rekayasa aliran sungai pada manajemen air di Rawa Tripa yang berkaitan dengan deskripsi pola aliran dan 93
tipikal kontruksi bangunan air (bendung) serta penentuan elevasi mercu bendung untuk menaikkan elevasi muka air air sungai agar dapat dialirkan ke lahan rawa gambut. Sistem tata air rawa merupakan bentuk sistem yang terintegrasi antara banjir, topografi dan geologi permukaan. Pada kondisi rawa Tripa, pembentukan rawa akibat banjir sangat dipengaruhi oleh struktur geologi pembentukan dataran banjir (aluvial) yang terlapisi oleh struktur organik (gambut). Satuan endapan aluvium sungai dan pantai di sepadan antara Krueng Tripa sampai Krueng Batee, terdiri dari lempung, pasir, dan kerakal. Deskripsi sayatan geologi di Rawa Tripa dideskripsikan pada Gambar 4.
Gambut
Sungai
Aluvial Batuan
Gambar 4. Sayatan geologi permukaan Rawa Tripa
Sungai Krueng Batee
Saluran drainase saluran alami Rawa Tripa
Saluran drainase Sungai Krueng Seumayam
Saluran drainase
Samudera Hindia
Saluran alami
saluran alami Rawa Tripa Saluran alami
Saluran drainase Sungai Krueng Tripa
Gambar 5. Skema recharge water dan discharge water Rawa Tripa aktual pada musim kemarau 94
Gambar 4 menunjukkan bahwa formasi gambut selalu berada di atas formasi aluvial. Pada titik-titik tertentu, ketinggian air di sungai mencapai lapisan gambut. Pada titik yang lain, aliran sungai berada pada formasi aluvial. Pada kondisi alamiah, terjadi aliran secara lateral dan diagonal di dalam gambut. Proses aliran ini sangat mudah diamati pada musim kemarau. Pada puncak musim kemarau, kemungkinan elevasi aliran air sungai berada di bawah formasi gambut sangat besar. Untuk menaikkan ketinggian air sungai sehingga mencapai lapisan gambut, perlu dilakukan suatu rekayasa terhadap elevasi sungai. Rekayasa aliran sungai bertujuan untuk menaikkan elevasi muka air hingga mencapai lapisan gambut pada saat tertentu. Skematisasi aliran terhadap sistem air rawa pada musim kemarau disajikan pada Gambar 5. Rekayasa aliran tersebut harus tetap memperhatikan kondisi banjir dan dampak terhadap lingkungan. Pada rawa yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan, rekayasa aliran sungai tidak dilakukan. Pada kegiatan yang bersifat merehabilitasi lahan dan mengendalikan over drainage, rekayasa aliran berfungsi untuk menjaga muka air tanah dan muka air di saluran transpor utama. Secara alamiah, suplai air ke dalam Rawa Tripa diperoleh melalui hujan dan aliran saluran alamiah. Sedangkan aliran air yang keluar dari sistem rawa terjadi akibat adanya saluran drainase lahan. Saluran drainase lahan yang terdapat di Rawa Tripa terdiri atas saluran drainase alami dan saluran drainase buatan. Permasalahan akan terjadi bila air yang dikeluarkan dari Rawa Tripa lebih besar daripada air yang masuk ke dalam sistem rawa. Konstruksi yang direkomendasikan sebagai bangunan untuk merekayasa elevasi aliran sungai di Rawa Tripa adalah bangunan pelimpah sederhana berbentuk bendung. Jenis bangunan yang direkomendasikan berupa bendung tetap atau bendung gerak. Kedua tipe bangunan ini nantinya dapat dipilih salah satu setelah dilakukan perencanaan teknis detail serta dampak bangunan terhadap lingkungan. Pemilihan lokasi bendung untuk keperluan pengendalian recharge ke dalam Rawa Tripa adalah di Sungai Krueng Seumayam. Berdasarkan data topografi parameter hidrologis DAS Krueng Seumayam dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter Hidrologis DAS Krueng Seumayam No 1 2 3 4 5
Parameter Hidrologis Catchment area (pada site AWLR) Elevasi hulu sungai Elevasi hilir sungai (pada site bendung) Slope rata-rata sungai Panjang sungai utama
Keterangan = 110,60 km2 = + 1.660,00 m = + 13,00 m = 0,000041 = 64.17 km
Selain kondisi pada Tabel 1, sungai Krueng Seumayam dipilih sebagai lokasi bendung karena : (1) merupakan sungai utama yang membelah Rawa Tripa; (2) memiliki tampang sungai yang lebih stabil bila dibandingkan dengan sungai Krueng Tripa dan sungai Krueng Batee; (3) memiliki pengaruh banjir lebih dominan bila dibandingkan dengan sungai Krueng Tripa dan sungai Krueng Batee terhadap kejadian banjir di Rawa Tripa; (4) areal sepadan sungai merupakan kawasan perkebunan yang memiliki ketebalan gambut berkisar antara 0,50 m sampai >2,00 m; (5) merupakan outlet utama bagi 64% areal gambut yang drain sehingga akan 95
memudahkan untuk dilakukan pengawasan dan pengendalian; (6) memiliki stasiun pemantauan debit dan hujan. Setelah dilakukan rekayasa terhadap aliran di Seumayam, maka sistem tata air di Rawa Tripa pada puncak musim kemarau mengalami perubahan. Perubahan tersebut adalah terjadinya recharge kedalam sistem rawa dan pengendalian atau penutupan drainase keluar dari rawa. Skema di Rawa Tripa akibat adanya pengaturan recharge dan discharge disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa seluruh saluran drainase dilakukan pengurangan volume drain. Tindakan ini dilakukan dengan merekayasa saluran yang terdapat di dalam areal perkebunan secara sistem jaringan, pembuatan bangunan pelengkap, rekayasa pelindung tebing atau lainnya. Tujuan dari rekayasa di saluran adalah untuk mempertahankan water table dari atas permukaan tanah tidak kurang dari 60 cm.
Sungai Krueng Batee
Saluran drainase Rawa Tripa
Bendung Saluran drainase Sungai Krueng Seumayam
Saluran drainase
Samudera Hindia
Hujan dan saluran alami
Rawa Tripa Hujan dan saluran alami
Saluran drainase Sungai Krueng Tripa
Gambar 6. Skema recharge dan discharge rencana Rawa Tripa pada musim kemarau setelah dibangun bendung D. Konservasi DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki keterkaitan secara menyeluruh antara bagian hulu, tengah dan hilir DAS. Kawasan Rawa Tripa yang merupakan bagian hilir dari DAS-DAS yang melintasinya merupakan daerah dimana tempat terkonsentrasi air sebelum mencapai laut. Kawasan Rawa Tripa didominasi oleh tanah Histosol seluas 34.551 Ha (56,96 %), Entisol seluas 19.458 Ha (32,08 %) dan Inceptisol seluas 6.648 Ha ( 10,96 %) (Sufardi et al. , 2013).
96
Secara perlahan, proses endapan sedimen pada kawasan Rawa Tripa membentuk tanah alluvial. Hal ini dapat dilihat dari lapisan tanah alluvial tersebut masih bercampur dengan tanah histosol pada lapisan dasar tanahnya. Sehingga, hal ini mengindikasikan bahwa ratusan tahun yang lalu seluruh jenis tanah di kawasan Rawa Tripa pada awalnya adalah termasuk ke dalam jenis tanah Histosol. Perubahan dari penggunaan lahan dari rawa menjadi lahan budidaya yang memerlukan drainase (pembuangan air gambut) menyebabkan terjadi perubahan kondisi an-aerob menjadi aerob yang memacu terjadinya pelapukan bahan organik pada tanah gambut. Proses pelapukan bahan organik ini menyebabkan hilangnya bahan organik dan menyebabkan terjadinya subsidance (penurunan muka tanah gambut) dan berkurangnya kemampuan gambut untuk menyerap air. Hasil dari observasi lapangan tentang berbagai kedalaman tanah di Rawa Tripa disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kedalaman Bahan Gambut di Lokasi Rawa Tripa No Kedalaman 1 Gambut (cm) (Ha) a < 200 2.844, 46 b 200-300 19.411,40 c >300 12.296,22 2 Non Gambut (<50 cm) 26.105,20 Total 60.657,29
Luas Areal (%) 4,69 32,00 20,27 43,04 100,00
Sumber : Sufardi et al. , 2013.
Gambut yang memiliki kedalaman > 3 m harus menjadi daerah konservasi, sementara gambut yang < 3 m dapat dipertimbangkan menjadi areal budidaya. Demikian juga daerah bantaran sungai (sisi kiri dan kanan) sungai juga termasuk areal konservasi. Arahan alokasi ruang di areal TPSF dapat dilihat pada Gambar 7.
AK
AK
Budidaya
Areal Konservasi (AK)
Budidaya
AK
AK H1
Kubah gambut H2 <3m
Tanah gambut > 3 m
<3m Sungai
Sungai Bantaran Sungai
Tanah mineral
Bantaran Sungai
Gambar 7. Arahan alokasi ruang di lahan TPSF
97
Upaya mitigasi banjir dilakukan merelokasi perumahan penduduk yang yang berada di bantaran sungai bagian hilir di Kawasan Rawa Tripa atau menyesuaikan konstruksi bangunan rumah seperti rumah panggung yang lebih tinggi dari tinggi ancaman banjir yang terjadi. Selanjutnya, lokasi yang perlu dikonservasi segera adalah untuk areal sempadan sungai dan sempandan pantai. Berikutnya adalah areal gambut yang tersisa yang memiliki kedalaman > 3 m. SIMPULAN DAN SARAN 1. Restorasi lahan rawa di TPSF dapat diimplementasikan melalui manajemen air yang terkendali, rekayasa aliran sungai pada manajemen tata air, dan konservasi DAS. 2. Untuk menjaga keseimbangan air di lahan rawa TPSF dapat dilakukan dengan rekayasa aliran air Sungai Krueng Seumayam dengan pembuatan bendung sederhana yang dapat mengendalikan recharge water dan discharge water di areal TPSF. 3. Konservasi DAS di aeral TPSF dapat dilakukan dengan mengatur alokasi ruang gambut sesuai dengan yang direkomendasikan, perbaikan sistem pembuang air rawa, perlindungan sempadan sungai dan pantai. DAFTAR PUSTAKA Barkah, B.S dan Sidiq, M (1999). Panduan Penyekatan Parit/Kanal dan Pengelolaannya Bersama Masyarakat Di areal Hutan Rawa Gambut MRPP Kabupaten Musi Banyuasin, Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Clewell, A., Rieger, J., Munro, J (2005). Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects. 2nd Edition. Society for Ecological Restoration International. Driessen, P.M and Suhardjo, H (1976). On The Defective Grain Formation of Sawah Rice on Peat, Bulletin 3. Soil Research Insitute, Bogor. Mitsch, W.J., and Gosselink, J. G. (2011). Wetlands. Ecological Studies, Vol. 190, John Wiley & Sons. Perrow, M.R., and Davy, A.J. 2002. Handbook of Ecological Restoration. Volume 1. Principles of restoration. Cambridge: Cambridge University Press. Sufardi, Syamaun,A.A, Khairullah dan Sugianto. 2013. Disain Teknis Rehabilitasi Lahan. Studies for The Rehabilitation and Management of The Tripa Peat-Swamp Forest. 229-286. Verhoeven, J.T.A., Beltman, B., Bobbink, R., and Whigham, D.F. (2006) Wetlands and Natural Resource Management, Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Ward, A.D., and Elliot, W.I. (1995). Environmental hydrology. Lewis Publishers, CRC Press Inc., New York.
98