Implementasi Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Provinsi Banten
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (PLP2B) DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI BANTEN Implementation of Law on the Protection of Agricultural Land Sustainable Food (PLP2B) in Supporting Food Security in Banten Province Ahmad Makky Arrozi dan Saptana Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian Jl. Ahmad Yani No. 70 Bogor 16161 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The success of agricultural development is determined by land use and land use as well as possible. The government has issued Law No. 41 of 2009 on The Protection of Agricultural Land Sustainable Food (PLP2B). This study aimed to assess the implementation of Law No. 41 of 2009 in support of food security. There are seven different critical node in the implementation of Law No. 41 of 2009 to support food security which includes: (1) the need to support regional regulation, (2) Understanding of the characteristics of agricultural land resources, (3) Identification of the type of land based on the type of irrigation and land class; (4) Farmers' land tenure structure, (5) The phenomenon of land use changes and increasingly out of control, (6) Division and fragmentation of land; and (7) The importance of the development of the information center. Based on the study conducted fundamental thing is the need for more regional regulation and formal legally set up the technical implementation and follow-up operation in the field. With the local regulations set technical implementation of sustainable agricultural land protection the provision of land for agriculture become more secure, the phenomenon of conversion of agricultural land is getting out of control, and support agricultural development programs can be focused on the region, thus indirectly contributing to the support national food security . Keywords: law no.41 of 2009, the protection of agricultural land sustainable food, food security
ABSTRAK Keberhasilan pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh penatagunaan lahan dan pemanfaatan lahan dengan sebaik-baiknya.Pemerintah telah mengeluarkan UndangUndang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji implementasi UU No. 41 Tahun 2009 dalam mendukung ketahanan pangan. Terdapat tujuh simpul kritis dalam implementasi UU No 41 Tahun 2009 mendukung ketahanan pangan yang mencakup: (1) Dukungan Peraturan Daerah; (2) Pemahaman terhadap karakteristik sumberdaya lahan pertanian; (3) Identifikasi tipe lahan berdasarkan jenis irigasi dan kelas lahan; (4) Struktur penguasaan lahan petani; (5) Fenomena alih fungsi lahan yang semakin tidak terkendali; (6) Perpecahan (division) dan perpencaran (fragmentation) lahan; dan (7) Pentingnya pengembangan pusat informasi. Berdasarkan kajian yang dilakukan hal yang mendasar adalah perlu adanya Peraturan
519
Ahmad Makky Arrozi dan Saptana
Daerah lainnya yang secara legal dan formal yang mengatur hingga teknis pelaksanaan dan tindak lanjut operasionalisasi di lapang. Dengan adanya peraturan yang daerah mengatur secara teknis implementasi perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan maka penyediaan lahan untuk pertanian menjadi lebih terjamin, fenomena alih fungsi lahan pertanian semakin terkendali, serta dukungan program-program pembangunan pertanian dapat difokuskan pada kawasan tersebut, sehingga secara tidak langsung berkontribusi dalam mendukung ketahanan pangan secara Nasional. Kata kunci: undang-undang no. 41 tahun 2009, perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, ketahanan pangan.
PENDAHULUAN
Para pemikir ekonomi pembangunan telah lama menyadari pentingnya peranan sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian secara keseluruhan, terutama pada tahap-tahap awal pembangunan (Lewis, 1954; Johnton dan Mellor, 1961; Kuznet, 1964).Keberhasilan pembangunan pertanian tidak akan pernah lepas dari upaya secara terus-menerus melakukan pemanfaatan lahan dengan sebaik-baiknya. Lahan menduduki fungsi yang sangat penting dalam pengembangan usaha pertanian. Oleh karena itu, keberadaan lahan pertanian perlu dijaga dan dikembangkan secara terus menerus sehingga mampu mendukung peningkatan produksi dan ketahanan pangan Nasional. Menyadari akan arti penting keberadaan lahan pertanian, Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Dengan adanya UU tersebut, pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan lahan pertanian secara intensif dalam suatau kawasan pertanian pangan berkelanjutan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Guna mendukung UU.41 Tahun 2009, diterbitkan peraturan turunan dari UU.41 Tahun 2009 yang dituangkan dalam PP No. 1 Tahun 2011 (Tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), PP No.12 Tahun 2012 (Tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan); PP No. 25 Tahun 2012 (Tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan); PP No. 30 Tahun 2012 (Tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Seluruh PP tersebut, diharapkan dapat menjamin keberlangsungan lahan pertanian ditingkat daerah. Salah satu Provinsi yang telah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) adalah Provinsi Banten melalui Perda No. 2 Tahun 2011.Perda RTRW menyebutkan peruntukan lahan pertanian seluas 216.577 Ha berserta peruntukan komoditasnya. Didalamnya juga ditetapkan 4 Kabupaten untuk pengembangan lahan pertanian berkelanjutan yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandegelang, Kabupaten Serang dan Kota Serang. Namun, Perda RTRW ini dapat ditinjau ulang tiap 5 tahun sekali, terutama apabila ada landasan hukum diatasnya yang mengalami perubahan. Sehingga perubahan kawasan pertanian masih sangat mungkin terjadi.
520
Implementasi Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Provinsi Banten
Penelitian ini ditujukan untuk : (1) menganalisis konsepsi kebijakan UU No. 41 Tahun 2009; (2) Evaluasi kinerja implementasi UU No. 41 Tahun 2009 dalam mendukung ketahanan pangan; dan (3) mengidentifikasi permasalahanpermasalahan pokok dan merumuskan alternatif strategi operasionalisasi di lapang.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan melalui proses penghimpunan data yang kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, guna mengetahui efektivitas, efisiensi, akuntabilitas. Metoda analisis dilakukan dengan analisis kebijakan. Analisis kebijakan ialah proses atau kegiatan mensintesa informasi, termasuk hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi desain kebijakan publik (Williams, 1971; Weimer and Vining, 1989; Weimer and Vining, 1999). Kebijakan publik ialah keputusan atau tindakan pemerintah yang berpengaruh terhadap atau mengarah tindakan individu dalam kelompok masyarakat. Karakteristik dasar analisis kebijakan. Pertama, analisis kebijakan merupakan suatu proses atau kegiatan “sintesa” informasi yang berarti pemaduan, berbagai informasi, termasuk hasil penelitian, sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang selaras. Hal ini berarti obyek analisis kebijakan ialah proses penyusunan dan paket kebijakan. Kegiatan utama analisis kebijakan ialah pengumpulan informasi secara sistematis dan penarikan kesimpulan logis dari informasi tersebut. Dengan demikian, analisis kebijakan berdasarkan pada kaidah ilmiah. Kedua, salah satu sumber utama informasi yang menjadi bahan analisis kebijakan ialah hasil-hasil penelitian. Kajian lapang lebih bersifat pendalaman dan klarifikasi. Hal ini berarti bahwa analisis kebijakan merupakan proses pengolahan lebih lanjut hasil-hasil penelitian sehingga siap digunakan dalam pengambilan keputusan dan desain kebijakan publik. Oleh karena itu, analisis kebijakan haruslah menghasilkan rekomendasi kebijakan. Ketiga, output analisis kebijakan ialah rekomendasi opsi desain kebijakan publik. Hal ini berarti bahwa output kebijakan adalah berupa nasehat atau petunjuk operasional tentang bahan pengambilan keputusan publik bagi spesifik pengambil kebijakan. Oleh karena itu, analisis kebijakan haruslah disajikan secara jelas, singkat, padat, lengkap dan seksama. Keempat, klien analisis kebijakan ialah para pengambil kebijakan publik (Biro Perencanaan) dan kelompok kepentingan (interest groups) atas kebijakan pemerintah tersebut. Klien pengguna analisis kebijakan bersifat spesifik. Hal ini berkaitan langsung dengan output analisis kebijakan yang berupa rekomendasi kebijakan. Kelima, analisis kebijakan berorientasi klien (client oriented). Hal ini merupakan implikasi dari sifat analisis kebijakan yang menghasilkan saran atau rekomendasi kebijakan siap-guna pengambil kebijakan. Hal ini berarti analisis kebijakan haruslah didasarkan pada "dari, oleh dan untuk pengambil kebijakan". 521
Ahmad Makky Arrozi dan Saptana
Analisis kebijakan hanya dilakukan apabila ada permintaan atau "patut diduga" benar-benar dibutuhkan pengambil kebijakan.
TINJAUAN KONSEPTUAL REVITALISASI PERTANIAN
Revitalisasi Pertanian secara umum Pada awal tahun 1970-an Hayami dan Rutan (1987) menggulirkan pemikiran, yang disebut Induced Innovation Model. Pada model tersebut dijelaskan adanya keterkaitan antara empat faktor penggerak pembangunan pertanian, yaitu: (1) sumberdaya alam (resource endowment), (2) sumberdaya budaya (cultural endowment), (3) teknologi (technology), dan (4) kelembagaan (institutions). Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report/WDR) (2008), yang bertemakan ”Agriculture for the Development” menyatakan bahwa investasi yang lebih besar dan lebih baik dalam bidang pertanian (dalam arti luas termasuk agribisnis) di negara-negara berkembang, yang sebagian besar berada di Asia, merupakan langkah vital dan stratejik bagi kesejahteraan 600 juta penduduk miskin. Negara-negara berkembang akan gagal mencapai targetnya untuk mengurangi sampai setengah penduduk dunia dari tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah pada tahun 2015, kecuali jika sektor pertanian dan pedesaan mendapatkan prioritas. Pertumbuhan pertanian berdasarkan penelitianpeneltian yang sangat ekstensif (700 studi) sangat diyakini masih merupakan cara paling efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin di pedesaan. Krisnamurthi (2006) mengungkapkan pentingnya sejarah dalam kontek revitalisasi pertanian, dikatakan bahwa sejarah menjadi penting bukan karena romantisme nostalgia atau mengagungkan kebanggaan prestasi, tetapi justru karena dapat menjadi cermin untuk mengenal jati diri dan untuk memperbaiki hari esok dalam lintasan sejarah itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa cermin itu bukan untuk mencari kekurangan dan kesalahan, tetapi sebagai modal untuk melangkah ke depan secara lebih baik. Revitalisasi pertanian memiliki tiga pilar pengertian, yaitu: (a) sebagai kesadaran akan pentingnya pertanian; (b) bentuk rumusan harapan masa depan akan kondisi pertanian yang lebih baik; serta (c) sebagai kebijakan dan strategi besar melakukan proses revitalisasi pertanian (Krisnamurthi, 2006). Peran revitalisasi pertanian tidak hanya sebatas membangun kesadaran pentingnya pertanian semata, tetapi juga terkait dengan adanya perubahan paradigma pola pikir masyarakat yang memandang pertanian tidak hanya sekedar bercocok tanam menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi. Sektor pertanian mempunyai efek pengganda (multiplier efect) yang besar terkait dengan adanya keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) dengan sektor-sektor lainnya, terutama industri pengolahan dan jasa. Disamping itu, kontribusi sektor pertanian harus diartikan secara lebih luas, sebagai suatu kegiatan penciptaan nilai tambah mulai dari usahatani hingga makanan yang tersaji di atas meja kita, from farm to table business. 522
Implementasi Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Provinsi Banten
Strategi pembangunan pertanian yang akan dan telah dilaksanakan Kementerian Pertanian selama periode 2010-2014 dilakukan melalui revitalisasi pertanian dengan fokus pada tujuh aspek dasar yang disebut dengan “Tujuh Gema Revitalisasi”, yang terdiri dari : (1) Lahan, (2) Perbenihanan dan Perbibitan, (3) Infrastruktur dan sarana, (4) Sumberdaya manusia, (5) Pembiayaan petani, (6) Kelembagaan petani, dan (7) Teknologi dan industri hilir (Renstra Kementan, 20102014).
Revitalisasi Lahan Batasan pengertian mengenai tanah (land) tidak hanya mencakup tanah dalam pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga air, vegetasi, lanscape, dan komponen-komponen iklim mikro suatu ekosistem. Implikasinya, konsep pengelolaan sumberdaya lahan harus mengakomodasikan konstelasi nilai dari keseluruhan komponen tersebut. Bahkan tak jarang seringkali konsep tersebut berkembang lebih luas, terkait dengan kontek permasalahan sosial ekonomi yang di kaji (Sumaryanto et al., 2002). Lahan memiliki arti penting, bukan saja tempat tumbuhnya tanaman dan ternak diusahakan, lahan memiliki makna fisik, ekonomi dan sosial bagi petani. Revitalisasi lahan dilaksanakan rencana aksi sebagai berikut (Renstra Kementan, 2010-2014): Pertama, Audit lahan, dilakukan dengan membangun database baik tabular maupun spasial yang lengkap dan akurat melalui re-inventarisasi dan re-evaluasi potensi sumber daya lahan pertanian dengan pengembangan sistem informasi geografi (SIG) atau pemetaan tanah sistematis dan tematik; Kedua, Mengimplementasikan secara efektif Undang-Undang No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dengan Peraturan Pemerintah. UU PLP2B dan Peraturan Pemerintah pendukungnya merupakan perangkat hukum untuk melindungi lahan pangan produktif dan menekan laju konversi lahan pertanian; Ketiga, Melakukan upaya-upaya perlindungan, pelestarian dan perluasan areal pertanian terutama di luar Jawa sebagai kompensasi alih fungsi lahan terutama di Jawa : (1) Melakukan upaya pengendalian alih fungsi lahan melalui penyusunan dan penerapan perangkat peraturan perundangan; (2) Melestarikan dan/atau mempertahankan kesuburan lahan-lahan produktif dan intensif, (3) melakukan upaya rehabilitasi dan konservasi lahan terutama pada lahan pertanian Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu; dan (4) Melakukan upaya reklamasi dan optimasi lahan pada lahan-lahan marginal dan sementara tidak diusahakan atau bernilai Indeks Pertanaman (IP) rendah. Keempat, Mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian terlantar yang meliputi lahan pertanian yang selama ini tidak dibudidayakan (lahan tidur), dan kawasan hutan yang telah dilepas untuk keperluan pertanian tetapi belum dimanfaatkan, atau lahan pertanian yang masih dalam kawasan hutan;
523
Ahmad Makky Arrozi dan Saptana
Kelima, Membantu petani dalam sertifikasi lahan, mendorong pengelolaan dan konsolidasi lahan, advokasi petani dalam pengelolaan warisan agar tidak terbagi menjadi lahan sempit dalam upaya mengurangi fragmentasi, dan/atau terkonversi lahan non-pertanian. Upaya-upaya tersebut dimaksudkan untuk menekan laju alih fungsi lahan pertanian dan fragmentasi lahan serta mendorong pengembangan usahatani berskala ekonomi; Keenam, Mempertahankan kesuburan tanah dan memperbaiki kondisi lahan marjinal melalui upaya-upaya yang akan dilakukan sebagai berikut : (1) Melakukan perbaikan dan pencegahan kerusakan tanah dengan menerapkan teknologi konservasi tanah dan air untuk mengurangi erosi dan mencegah longsor serta meningkatkan produktivitas lahan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.47/Permentan/OT.140/10/2006, tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan; (2) Melakukan penanaman tanaman pohon (buahbuahan dan perkebunan) di daerah kawasan aliran sungai, dan turut serta dalam sistem komunikasi dan koordinasi lintas sektor dalam upaya mengurangi pembabatan dan kerusakan hutan dan rangka memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumberdaya lahan dan air serta lingkungan di kawasan hulu; dan (3) Mendorong petani untuk menggunakan sistem pemupukan berimbang yang dikomplementasikan dengan pupuk organik, dan menerapan praktek budidaya pertanian yang tepat guna dan ramah lingkungan; dan Ketujuh, Optimalisasi sumberdaya air yang eksisting dan pengembangan sumber air alternatif baik air tanah maupun permukaan, melalui: (a) Rehabilitasi, optimalisasi, dan peningkatan/pengembangan jaringan irigasi baik tingkat utama maupun usahatani; (b) Upaya peningkatan efisiensi penyaluran dan pemanfaatan air; (c) Perbaikan struktur fisik tanah dan penambahan bahan organik, serta penerapan berbagai teknologi koservasi tanah dan air; (d) pengembangan dan memantapkan kelembagaan petani pemakai air, serta meningkatkan kualitas SDM, penyadaran, kepedulian dan partisipasi petani.
KONSEPSI UU PLP2B DAN IMPLEMENTASINYA
Konsepsi Kebijakan Lahirnya UU. No.41 Tahun 2009 tentang PLP2B diharapkan menjadi landasan fundamental bagi pembangunan sektor pertanian Nasional. Pemerintah Pusat maupun Daerah dituntut untuk menjamin ketersediaan dan perlindungan lahan pertanian pangan lahan serta cadangan pertanian pangan berkelanjutan yang berada baik di dalam maupun diluar kawasan pertanian pangan. Dengan dijaminnya ketersediaan dan perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan ini diharapkan dapat mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan Nasional. Pelaksanaan UU. No.41 Tahun 2009, dilaksanakan dengan terlebih dahulu dengan membuat perencanaan dan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan pertanian 524
Implementasi Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Provinsi Banten
pangan. Beberapa pertimbangan dalam perencanaan yaitu pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk, petumbuhan produktivitas, kebutuhan pangan Nasional serta musyawarah petani. Dengan pertimbangan tersebut, diharapkan dapat tersusun perencanaan jangka panjang, menengah dan tahunan. Dalam penyusunannya, perencanaan nasional menjadi acuan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dan perencanaan Provinsi menjadi acuan perencanaan kabupaten/kota. Sedangkan penetapannya meliputi: Kawasan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Semua hasil penetapan tersebut, dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Tahunan baik nasional melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP), provinsi, maupun kabupaten/kota. Pengembangan kawasan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dilakukan dengan baik intensifikasi maupun ekstensifikasi. Intensifikasi lahan dapat dilakukan dengan peningkatan kesuburan tanah, peningkatan kualitas benih/bibit, diversivikasi tanaman pangan, pengembangan irigasi, pengembangan teknologi, pengembangan inovasi, penyuluhan, jaminan akses modal serta pencegahan dan penanggulangan hama tanaman. Ekstensifikasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan percetakan lahan, penetapan lahan pertanian pangan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi lahan pangan berkelanjutan. Titik kritis dari UU No. 41 Tahun 2009 ini berada pada Pasal 44 yang mengatur tentang alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pada Pasal tersebut dijelaskan bahwa alih fungsi lahan pada dasarnya dilarang kecuali untuk kepentingan umum dengan persyaratan tertentu yang cukup ketat antara lain disediakannya lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialih fungsikan. Terdapat ancaman pidana apabila terjadi alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan seperti yang dijelaskan secara detail pada Pasal 72 hingga Pasal 74 dalam UU tersebut. Oleh karena itu, dalam penyusunan Perda mengenai PLP2B harus memperhatikan berbagai aspek dan melibatkan berbagai instansi terkait.
Implementasi UU PLP2B dalam mendukung Ketahanan Pangan Terkait dengan UU No.41 Tahun 2009. Provinsi sudah melakukan review tentang tata ruang yang dituangkan dalam Perda No.2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Banten langsung merespon amanah UU tersebut meskipun pada waktu itu produk hukum turunannya yang berupa peraturan pemerintah belum ada. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Banten melalui Bappeda akan melakukan beberapa kajian terkait dengan lahan pertanian pangan berkelanjutan seperti kajian tentang pendetailan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang sudah direncanakan dalan Perda RTRW dan kajian tentang alih fungsi lahan pertanian di Provinsi Banten. Hasil kajian tersebut diharapkan 525
Ahmad Makky Arrozi dan Saptana
dapat memperbaiki perda melalui mekanisme revisi yang dapat dilakukan setiap lima tahun. Pemerintah daerah sampai saat ini baru menetapkan kawasan untuk program LP2B, khususnya di Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang dan Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang. Meskipun sampai saat ini, lahan tersebut masih belum secara detail penatagunaan lahannya. Status lahan tersebut masih kawasan pertanian dan belum secara khusus disebutkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Hal ini menjadikan status lahan tersebut masih belum terikat peruntukannya.Sedangkan apabila statusnya sudah LP2B, maka lahan tersebut sudah terikat peruntukkannya.Secara khusus, fungsi kawasan tersebut sudah tertuang dalam Perda RTRW. Kewenangan Kabupaten/Kota yaitu membuat Rancangan Detail Tata Ruang sesuai dengan acuan Perda RTRW Provinsi Banten tersebut. Meskipun demikian, khusus untuk Kabupaten Tangerang acuan yang digunakan yang lebih atas yaitu Perpres No. 54 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang “JABODETABEK PUNJUR”. Hal ini diperbolehkan mengingat acuan yang digunakan tersebut memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibanding dengan Perda RTRW Provinsi Banten.
SIMPUL-SIMPUL KRITIS DAN PROSPEK IMPLEMENTASI PLP2B
Simpul-Simpul Kritis Hasil penelitian menunjukkan bahwa simpul-simpul kritis dalam implementasi PLP2B serta implikasinya terhadap pengelolaan sumberdaya lahan pertanian dalam rangka mendukung ketahanan pangan mencakup 7 aspek. Ketujuh aspek tersebut adalah: (1) Perlunya dukungan Peraturan Daerah; (2) Karakteristik sumberdaya lahan pertanian; (3) Tipe lahan berdasarkan jenis irigasi dan kelas lahan; (4) Struktur penguasaan lahan yang kecil dan makin kecil; (5) Alih fungsi lahan yang tidak terkendali; (6) Perpecahan (division) dan perpencaran (fragmentation) lahan; dan (7) Pengembangan Pusat Informasi.
Perlunya dukungan Peraturan Daerah Terkait dengan UU No.41 Tahun 2009. Provinsi sudah melakukan review tentang tata ruang yang dituangkan dalam Perda No.2 Tahun 2011Tentang RencanaTata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Banten langsung merespon amanah UU tersebut meskipun pada waktu itu produk hukum turunannya yang berupa peraturan pemerintah belum ada. Pemerintah daerah harus segera menerbitkan Perda terkait implementasi UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang didalamnya mengatur : (1) Menuangkan amanat UU No.41 Tahun 2009 secara kongkrit dalam Perda RTRW; (2) Mengalokasikan lahan
526
Implementasi Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Provinsi Banten
yang secara khusus sebagai kawasan yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan pada masing-masing kabupaten/kota; (3) Melakukan pengaturan dan penatagunaan lahan pada kawasan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan; (4) Merumuskan aturan main terutama yang mengatur insentif bagi yang melaksanakan dan disinsentif bagi yang melanggar undang-undang tersebut; dan (5) Menegakkan aturan hukum (law enforcement) terkait pelaksanaan undang-undang tersebut.
Karakteristik Sumberdaya Lahan Lahan merupakan sumberdaya alam yang paling utama, karena lahan merupakan tempat pijakan bagi tanaman tumbuh, hewan dan manusia untuk dapat hidup dan beraktivitas. Ditinjau dari sudut ekonomi sumberdaya lahan merupakan barang ekonomi yang ketersediaannya sudah tertentu atau tetap (fixed), sementara di sisi lain kebutuhan (demand) terhadap lahan meningkat dan semakin meningkat dari waktu kewaktu. Oleh karena itu, tanpa adanya implementasi UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan maka dapat mengancam ketahanan pangan nasional.
Tipe Lahan Berdasarkan Jenis Irigasi dan Kelas Lahan Jenis irigasi merupakan tinjauan lahan dari aspek kualitasnya atau kesuburannya (land fertility). Berdasarkan kajian di Provinsi Banten menunjukkan bahwa tingkat produktivitas lahan pada jenis irigasi yang lebih baik (kualitas bangunan dan ketersediaannya) adalah lebih baik. Kondisi ini memberikan insentif ekonomi yang lebih baik, seperti: nilai sewa yang lebih tinggi, sistem bagi hasil yang dengan bagian yang lebih besar, penyerahan nilai gadai yang lebih tinggi dan harga jual lahan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, implementasi perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diprioritaskan pada lahan-lahan sawah beririgasi.
Struktur Penguasaan Lahan yang Kecil dan Makin Mengecil Telah banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa struktur penguasaan lahan sangat menentukan sistem usahatani yang diterapkan petani. Struktur penguasaan lahan yang kecil dan makin mengecil mendorong pengusahaan lahan cenderung ke pola yang intensif baik dalam penggunaan input maupun tenaga kerja. Namun, pola usahatani yang intensif dalam penggunaan tenaga kerja telah menimbulkan menurunnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian, yang oleh Geerzt apa disebut involusi pertanian. Pada daerah-daerah yang padat penduduk, seperti kasus di Provinsi Banten maka implementasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan perlu diintegrasikan dengan konsolidasi lahan dan dukungan akses reform.
527
Ahmad Makky Arrozi dan Saptana
Alih Fungsi Lahan yang Tidak Terkendali Ancaman alih fungsi lahan pertanian di Provinsi Banten berkaitan dengan pengembangan pembangunan di Kecamatan Kesemen antara lain pembangunan Kawasan Minapolitan, Kawasan Situs Purbakala dan Kawasan Banten Water Front City. Selain itu, permasalahan alih fungsi lahan pertanian terjadi karena mudahnya Pemerintah Daerah memberikan ijin penggunaan lahan dan juga ijin mendirikan bangunan terutama untuk perumahan. Saat ini, perijinan untuk perumahan merupakan yang terbesar sehingga sudah jelas akan berpengaruh pada konvensi lahan. Pada umumnya Pemda berdalih bahwa perijinan yang diberikan akan menambah pemasukan APBD dan dengan APBD yang meningkat diharapkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat juga turut terangkat. Pengendalian alih fungsi lahan dapat dilakukan dengan sistem insentif dan disinsentif. Sistem insentif yang dapat diberikan antara lain pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB), bantuan program-program pembangunan pertanian, dan dukungan infrastruktur pertanian (Gudang Penyimpanan/Cold Storage, pengembangan Sub Terminal Agribisnis, Pasar Pertanian Modern). Sementara itu, sistem disinsentif bagi pelaku alih fungsi lahan adalah mencetak lahan sawah irigasi 2-3 kali lipat lahan yang terkonversi dengan kualitas yang sama dan infrastruktur pendukungnya.
Perpecahan, Perpencaran, dan Konsolidasi Lahan Faktor lain yang turut berpengaruh langsung terhadap efisiensi pemanfaatan lahan adalah perpecahan lahan (land division) dan perpencaran (land fragmentation) lahan. Perpecahan tanah adalah pembagian lahan milik seseorang ke dalam petakan-petakan kecil melalui pola pewarisan. Sedangkan perpencaran tanah adanya kenyataan sebuah usahatani di bawah satu managemen yang terdiri atas beberapa bidang lahan yang terserak, hal ini terjadi perolehan lahan melalui warisan maupun melalui pembelian. Fenomena ini cukup intensif terjadi di Provinsi Banten. Suatu usaha untuk meningkatkan efisiensi usahatani dari lahan-lahan yang mengalami fragmentasi adalah melalui konsolidasi lahan. Konsolidasi lahan dapat dilakukan dalam pengusahaan lahan pertanian. Konsolidasi pengusahaan lahan dapat dilakukan untuk pengusahaan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan permintaan pasarnya cukup besar dan kontinyu, misalnya komoditas padi organik untuk memasok pasar modern dan golongan menengah atas, komoditas jagung hibrida untuk memasok pabrik pakan ternak setempat, kelompok komoditas hortikultura (sayur dan buah) untuk memasok pasar di kota-kota Provinsi Banten. Konsolidasi pengusahaan lahan melalui Program pemerintah (Departemen Pertanian) juga pernah dilakukan secara luas untuk komoditas padi melalui program Corporate Farming. Program ini dapat diterapkan pada kawasan lahan pertanian pangan yang dilindungi.
528
Implementasi Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Provinsi Banten
Pengembangan Pusat Informasi Informasi merupakan input utama dalam sistem pengambilan keputusan. Pengembangan pusat informasi tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan haruslah mencakup ketersediaan lahan baik dari jumlah maupun kualitas (luas baku sawah), sistem penguasaan lahan yang ada (pemilikan dan penguasaan lahan), distribusi dan akses masyarakat petani terhadap lahan, penatagunaan lahan, dan sistem administrasi pertanahan. Hingga kini pusat data dan informasi yang bertanggung jawab dalam implementasi UU No 41 Tahun 2009 adalah Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini Kanwil BPN Provinsi Banten. BPN telah mengkoordinasikan dua kali konsinyering dengan pemangku kepentingan lain, yaitu dengan BAPPEDA dan Dinas Teknis Terkait. Pengembangan pusat informasi berguna untuk mempermudah eksekusi suatu aktivitas dan merupakan determinan dari sistem koordinasi, yang sangat berpengaruh terhadap implementasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Prospek Implementasi PLP2B Keberadaan Perda RTRW di Provinsi Banten menjadi sangat strategis dan sarat muatan politis. Adanya celah revisi yang dapat dilakukan setiap lima tahun sekali menjadi peluang untuk merubah tata ruang yang telah ditetapkan sebelumnya dengan dalih untuk pembangunan sarana umum dan peningkatan pendapatan daerah tersebut. Kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan LP2B masih dapat berubah fungsi/alih fungsi lahan apabila ada “Kepentingan Nasional” yang lebih besar seperti pengembangan Sumber Daya Energi. Apabila hal ini tidak diawasi, maka peraturan ini tidak akan menghentikan alih fungsi lahan pertanian pangan yang semakin besar. Penerapan lahan LP2B memiliki konsekuensi kepada Pemerintah Daerah untuk memberikan Insentif terhadap lahan pertanian pangan tersebut sebagaimana di amanahkan dalam PP No.12 Tahun 2012 Tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Insentif yang dimaksud beberapa diantanya adalah pengembangan infrastruktur pertanian, penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian dan jaminan penerbitan sertifikat hak atas tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Hal ini tentu menjadikan beban anggaran tersendiri bagi Pemerintah Daerah meskipun dalam pembiayaannya sudah diatur dalam PP No. 30 Tahun 2012 Tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Ketahanan pangan nasional dapat dilihat dari rasio antara produksi dan konsumsi pangan masyarakatnya. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, maka tuntutan pangan pun akan semakin tinggi pula. Untuk mencukupi kebutuhan pangan tersebut maka perlu meningkatkan produksi pangan nasional yang salah satunya dapat dilakukan dengan perlindungan dan 529
Ahmad Makky Arrozi dan Saptana
pengembangan lahan pertanian pangan.Permasalahan utama dalam perlindungan dan pengembangan lahan pertanian yaitu besarnya arus alih fungsi lahan pertanian di setiap daerah, termasuk di Provinsi Banten. Oleh karena itu, Pemerintah menerbitkan UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dengan adanya peraturan tersebut, diharapkan alih fungsi lahan pertanian dapat dibendung sehingga ketahanan pangan nasional kita tetap terjamin stabilitasnya. Amanah UU No.41 Tahun 2009 di repon oleh pemerintah Provinsi Banten dengan menerbitkan Perda No. 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten. Perda ini juga dijadikan acuan oleh Kabupaten/Kota untuk menyusun Rencana Detail Tata Ruang Wilayah.Namun, implementasi dari peraturan diatas masih belum efektif dan masih jauh dari harapan. Permasalahannya justru dari pemerintah yang ingin mengembangkan fasilitas untuk masyarakat umum dan juga untuk mencari pendapatan daerah melalui kemudahan perijinan penggunaan lahan dan perijinan mendirikan bangunan. Terdapat 7 simpul kritis dalam implementasi UU No 41 Tahun 2009 yang mencakup:(1) Perlunya dukungan Peraturan Daerah; (2) Karakteristik sumberdaya lahan pertanian; (3) Tipe lahan berdasarkan jenis irigasi dan kelas lahan; (4) Struktur penguasaan lahan yang kecil dan makin kecil; (5) Alih fungsi lahan yang tidak terkendali; (6) Perpecahan (division) dan perpencaran (fragmentation) lahan; dan (7) Pengembangan Pusat Informasi. Perlu adanya Peraturan Daerah lainnya yang secara legal dan formal yang mengatur hingga teknis pelaksanaan dan tindak lanjut di lapang. Misalnya Peraturan Daerah yang mengatur secara ketat perijinan penggunaan lahan dan pendirian bangunan di lahan yang diairi oleh irigasi teknis. Dengan adanya peraturan yang mengatur hingga masalah teknis tersebut, peluang untuk alih fungsi lahan pertanian pangan semakin kecil dan secara tidak langsung berkontribusi dalam menjaga ketahanan pangan secara Nasional.
DAFTAR PUSTAKA Johnston, B. F. and Mellor, J. W., 1961. The Role of Agriculture in Economic Development. American Economic Review. 51 (4) : 566-593. Kementan. 2010-1014. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta. Krisnamurthi, B. 2006. Revitalisasi Pertanian : Sebuah Konsekuensi Sejarahdan Tuntutan Masa Depan. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Kuznet, S. 1964. Economic Growth and Contribution of Agriculture. In Eicher, C. K. and Witt, L. W. (eds). Agriculture in Economic Development. Mc.Graw Hill. New York. Lewis, W. A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labour. Manchester School of Economic and Social Studies. 22 : 139-191.
530
Implementasi Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Provinsi Banten
Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Patanas Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. Sumaryanto, Syahyuti, Saptana, B. Irawan, dan A. M. Hurun. 2002. Dimensi Sosial Ekonomi Masalah Pertanahan di Indonesia: Implikasinya Terhadap Pembaharuan Agraria. Makalah disampaikan Dalam Rangka Ekspose Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
531