TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN DAN AIR MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Hilman Manan Direktur Jenderal Pengelolan Lahan dan Air
PENDAHULUAN Sampai saat ini, sektor pertanian masih tetap memegang peran strategis dan utama sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional. Ada lima pertimbangan fundamental yang memposisikan sektor pertanian sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional, yaitu: (1) penyedia pangan untuk ketahanan nasional; (2) penyedia lapangan kerja sebesar 44 persen dari 94 juta tenaga kerja nasional; (3) penghasil devisa sebesar 2,55 milyar US $ dan penyumbang produk domestik bruto sebesar 15,23 persen; (4) penyedia bahan baku sektor industri dan pengembangan teknologi lintas sektor; dan (5) pendistribusi dan penyeimbang pembangunan antar sektor. Peran strategis sektor pertanian yang besar ini belum sepenuhnya mendapat dukungan yang memadai dari berbagai sektor lainnya, termasuk subsektor infrastruktur pertanian dan pedesaan, baik mengenai jumlah, kualitas, dan aksesibilitas di tingkat nasional sampai ke tingkat kabupaten sehingga efisiensi, produktivitas, dan daya saing produk pertanian masih rendah. Menurut Bank Dunia (1998), kontribusi infrastruktur lahan dan air sebagai media terpenting dalam pembangunan pertanian terhadap produksi pertanian berkisar antara 16-68 persen dan dirasakan perannya sampai saat ini masih belum memadai sehingga perlu penanganan lebih serius lagi. Sektor pertanian masih menghadapi permasalahan pelik berupa laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi sekitar 1,4-1,5 persen per tahun, pasokan air untuk sektor pertanian yang semakin menurun, kebutuhan air untuk sektor perkotaaan dan industri yang semakin meningkat, dan luas pemilikan lahan per keluarga semakin menurun, terutama di Jawa. Permasalahan-permasalahan tersebut diperburuk dengan fragmentasi lahan pertanian yang disebabkan oleh sistem pewarisan lahan kepada anggota keluarga. Dengan demikian,
88
posisi dukungan pengelolaan lahan dan air untuk mendorong sektor pertanian semakin memerlukan suatu pemikiran yang komprehensif untuk menghadapi tantangan yang lebih besar di kemudian hari. Di lain pihak, anomali iklim, baik lokal, regional dan global, secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Kejadian tanah longsor, musim kemarau yang berkepanjangan, gempa bumi, tsunami, banjir bandang, kebakaran lahan pertanian, pencemaran air, intruisi air laut dan lain sebagainya merupakan faktor yang sulit dihindari dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan pertanian dan perdesaan di tingkat lapangan. Kejadian ini merupakan bagian dari penanganan pengelolaan lahan dan air yang secara langsung dan tidak langsung perlu diperhatikan untuk mempertahankan ketersediaan pangan nasional. KINERJA DAN PERMASALAHAN LAHAN DAN AIR PERTANIAN Aspek Lahan Pertanian Luas lahan pertanian di Indonesia saat ini hanya sekitar 76 juta ha, dimana sekitar 8,4 juta ha merupakan lahan basah, yang terdiri dari lahan sawah beririgasi teknis, setengah teknis, sederhana, desa, lahan pasang surut dan lahan sawah tadah hujan. Sementara luas lahan kering sekitar 68 juta ha yang digunakan sebagian besar untuk subsektor perkebuan, dengan luas sekitar 18 juta ha, padang penggembalaan dan padang rumput sekitar 2,3 juta ha dan sisanya merupakan lahan pekarangan, tegalan huma dan hutan rakyat. Dari luas lahan pertanian tersebut, belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan optimal, karena berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi di tingkat lapang, mulai dari aspek sosial, budaya, teknis dan ekonomis, bahkan kadangkala sampai dengan aspek politis. Permasalahan lahan dan air di sektor pertanian pada umumnya me-
nyangkut aspek kesuburan tanah dan pasokan air yang memadai dan media penunjang pertumbuhan komoditas. Permasalahan ini tidak dapat berdiri sendiri dan tidak terpisahkan dari pandangan sektor lain terhadap tanah dan air. Banyak pihak mempunyai pandangan dan kepentingan terhadap lahan dan air tersebut. Sektor pertanian berupaya untuk berkonsultasi serta berkoordinasi dengan sektor lain seperti pertanahan nasional, rencana tata ruang wilayah kabupaten dalam, penyediaan sumber daya air, reklamasi lahan pertanian bekas penambangan, konservasi lahan dan air, pemanfaatan air tanah, dan pembukaan lahan baru sebagai cadangan lahan serta penetapan lahan abadi nasional untuk pertanian. Luas penggunaan lahan per kapita di Indonesia sangat rendah yaitu sekitar 900 m2. Sebagian besar penduduk Indonesia berdomisili di pedesaan yang identik dengan penguasaan lahan pertanian. Jumlah petani yang mengusahakan lahan pertanian dengan luas di bawah 0,5 ha semakin bertambah setiap tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (19932003), telah terjadi penambahan sekitar 3,0 juta ha, atau dengan kata lain terjadi penambahan petani kecil/gurem sekitar 2,4 persen per tahun (HKTI, 2003) Secara nasional, angka konversi lahan sawah menjadi peruntukan lainnya sebesar 110.000 ha per tahun, sedangkan konversi lahan sawah menjadi komoditas lainnya sekitar 77.500 ha per tahun. Akihr-akhir ini konversi lahan sawah ini semakin mengkhawatirkan, dan jika tidak diantisipasi melalui penetapan regulasi dan kebijakan mulai dari tingkat nasional hingga desa, maka dapat mengancam kedaulatan pangan bangsa. Pemerintah sedang mempersiapkan regulasi tentang lahan pertanian abadi yang diharapkan dapat mengurangi alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukan lahan pada sektor lain. Di samping itu, luas lahan kritis dan lahan marginal setiap tahun semakin meningkat akibat berbagai kejadian alam dan usaha manusia pada lahan tersebut atau pada bagian hulu dari suatu kawasan pertanian yang sulit dikendalikan. Pada tahun 2003 luas lahan kritis di Indonesia mencapai 33 juta ha atau bertambah dari 29 juta ha dari tahun 2000. Pada waktu yang bersamaan lahan marginal yang diartikan sebagai lahan kering yang tidak dimanfaatkan atau kurang produktif akibat berbagai kendala sifat fisik, kimiawi dan biologis
atau lahan yang terbatas ketersediaan sumber daya air, infrastruktur dan aksesibilitas juga meningkat. Sebetulnya dengan pengelolaan yang tepat dan berkelanjutan serta diikuti dengan masukan teknologi memadai, maka diharapkan kondisi lahan pertanian menjadi semakin baik dan tentunya dapat memberikan kontribusi yang lebih besar. Aspek Air untuk Pertanian Kebutuhan air untuk pertanian senantiasa berkembang setiap tahun, akibat meningkatnya tuntutan dan kebutuhan di tingkat lapangan, dan pertumbuhan penduduk serta kebutuhan sektor lain yang semuanya memerlukan air sebagai basis usaha ekonomis dan sosial. Pada awal tahun 1970-an air dirasakan oleh masyarakat sebagai pemberian Tuhan terutama pada musim hujan, tetapi sekarang telah terjadi pergeseran dimana air sudah mempunyai nilai ekonomis dan harus dimasukkan ke dalam biaya produksi. Hal ini muncul disebabkan salah satunya adalah akibat pasokan air sudah semakin langka. Permasalahan air yang dihadapi Indonesia adalah keterbatasan sumber daya air di satu sisi, dan di sisi lainnya meningkatnya kebutuhan air untuk sektor pertanian, industri, perkotaan dan pemukiman, pertambangan, pembangkit tenaga listrik, pariwisata, air minum, kesehatan dan lain-lain. Sementara itu, regulasi tentang penggunaan sumber daya air yang terkoordinasi dan holistik untuk melayani kebutuhan seluruh sektor belum tersosialisasikan secara baik ke seluruh lapisan masyarakat. Pada waktu bersamaan, upaya pengendalian pembalakan liar dan pelestarian serta pengelolaan hutan sebagai “sumber mata air” di bagian hulu belum dapat terkendali dengan baik. Akibatnya penyediaan air untuk sektor pertanian semakin berkurang, walaupun prasarana pengairan telah tersedia. Dengan kelangkaan air ini maka pembangunan pertanian belum memberikan kontribusi optimal dalam ketahanan dan swasembada pangan nasional. Kinerja prasarana irigasi yang dikelola oleh pemerintah masih terbatas pada 4,8 juta ha dari total 5,7 juta ha pada lahan irigasi sawah, dan itu pun terbatas pada penyediaan jaringan utama. Sebagian besar jaringan irigasi tesebut belum berfungsi optimal akibat berbagai faktor, antara lain keterbatasan sumber daya air, pengelolaan daerah tangkapan air (catchment area) belum terkendali, kualitas
89
bangunan irigasi menurun, partisipasi sektor swasta dan masyarakat sebagai penerima manfaat masih rendah, pandangan pihak tentang air masih bervariasi, dan dana operasi dan pemeliharaan dari pemerintah pusat maupun daerah sangat terbatas. Di dalam sektor pertanian, pelayanan air irigasi untuk masyarakat masih terfokus pada padi sawah. Hal ini terkait dengan peran beras yang masih dianggap merupakan suatu komoditas makanan utama dan politis, yang perlu diamankan dan dipenuhi setiap tahun, sehingga perlu penyediaan air yang mencukupi untuk seluas 4,5 juta ha. Untuk memenuhi ketersediaan air lahan padi sawah di Indonesia, beberapa pakar masih mempunyai persepsi yang berbeda. Di satu pihak, jaringan irigasi dituntut untuk dapat memberi jaminan agar tanaman padi dapat ditanami dua kali dalam setahun, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Sementara di sisi lain, beberapa pihak berpendapat bahwa jaringan irigasi tidak memberi jaminan tanam dua kali setahun, tetapi hanya sekali. Di beberapa jaringan irigasi teknis dan setengah teknis di Jawa, irigasi sebenarnya harus dapat menjamin ketesediaan air untuk pertanaman dua kali padi. Namun akibat berbagai perubahan ekosistem terutama di bagian hulu dimana kawasan daerah tangkapan air sudah berubah menyebabkan pasokan air ke bendung mengalami penurunan. Para pengambil kebijakan di sektor pengairan dan pertanian pun tidak dapat memberi jaminan adanya pasokan air secara memadai kepada petani, walaupun kondisi ini memungkinkan mengakibatkan kegagalan panen. Terjadinya kegagalan panen identik dengan terganggunya stabilitas ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga petani maupun nasional. Untuk ini perlu suatu dukungan pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan layanan prima kepada stakeholder mulai dari tingkat pusat sampai tingkat lapang dalam dukungan prasarana serta ketersediaan dana realisasi, sehingga sasaran produksi dan ketahanan pangan dapat terkendali secara nyata. NERACA LAHAN DAN AIR UNTUK PERTANIAN Pesatnya laju pembangunan nasional di berbagai bidang yang berbasis pada peman-
90
faatan sumberdaya lahan telah membawa implikasi terhadap pelanggaran tata ruang dan pemanfaatan lahan untuk ketahanan pangan. Otonomi daerah yang sudah berjalan enam tahun telah mendorong peningkatan permintaan lahan yang tinggi. Laju pertumbuhan permintaan/pemanfaatan lahan multi sektoral yang semakin meningkat akan semakin sulit diimbangi penyediaannya, baik melalui pemanfaatan lahan yang ada maupun pembukaan lahan baru. Pada kondisi demikian, penggunaan lahan untuk pertanian seringkali dikorbankan dan ditempatkan pada prioritas terakhir. Konsekuensinya, laju konversi lahan pertanian terutama lahan sawah produktif dengan infrastruktur irigasi yang baik tidak dapat dihindari. Keragaan neraca luas lahan sawah selama tahun 1981-2002 disajikan pada Tabel 1. Tampak bahwa sebelum tahun 1999 terjadi pengurangan luas lahan sawah di Jawa, sebaliknya di luar Jawa bertambah. Penambahan di luar Jawa lebih besar dari pengurangan di Jawa, sehingga secara umum di Indonesia masih terjadi penambahan luas sawah. Setelah tahun 1999, baik di Jawa maupun luar Jawa terjadi pengurangan luas sawah. Menurut data BPS tahun 2004 besaran laju alih fungsi lahan pertanian dapat dikelompokan sebagai berikut : (1) alih fungsi lahan sawah ke non sawah = 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian = 110.164 ha pertahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya = 77.556 ha pertahun; dan (2) alih fungsi lahan kering pertanian ke nonpertanian sebesar 9.152 ha per tahun. Berkaitan dengan UU No.7 tahun 2004, maka jika dilihat dari segi tugas dan tanggung jawab di bidang irigasi maka kewenangan pemerintah hanya sebatas pada operasi dan pemeliharaan pada jaringan irigasi primer dan sekunder. Sementara itu pada jaringan irigasi tersier dan sekunder diserahkan kepada pemakai air itu sendiri, yaitu perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Dengan demikian, semangat peningkatan partisifatif P3A lebih ditonjolkan, yang tentu saja perlu adanya bimbingan dan pembinaan yang berkelanjutan. Dari segi kewenangan pemerintah, maka perlu pengawasan tanggung jawab penangganan irigasi antara Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pertanian, karena di tingkat pelaksana di lapangan kerancuan sering terjadi.
Tabel 1. Neraca Luas Lahan Sawah menurut Wilayah di Indonesia, 1981-2002 Wilayah Tahun 1981-1999 Jawa Luar Jawa
Pengurangan
Penambahan
1.002005 625.459
518.224 2.702.939
- 483,831 + 2.077.480
1.627.514
3.221.163
+ 1.593.649
167.150 396.009
18.024 121.278
- 107.482 - 274.732
Indonesia 563.159 Sumber : Revitalisasi Pertanian, Juni 2005
139.302
Indonesia Tahun 1999 - 2002 Jawa Luar Jawa
Dalam hal manajemen irigasi, isu yang muncul adalah peningkatan partisipasi masyarakat dan stakeholder irigasi, desentralisasi pengelolaan irigasi, sumber pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi serta transparansi dalam pengelolaan irigasi. Sehubungan dengan arah baru kebijakan sektor pertanian, pengelolaan irigasi juga menghadapi tantangan untuk merubah orientasi pengelolaan dari dukungan pada budidaya monokultur (padi) menjadi budidaya berbagai jenis tanaman (diversifikasi) dan pengembangan pertanian dalam satu kesatuan agribisnis. Aspek ini juga memunculkan isu menyangkut manajemen yang masih banyak terjadi, baik dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan irigasi maupun pengelolaan jaringan irigasi yang telah dibangun. Akibatnya, muncul masalah-masalah seperti areal irigasi yang tidak produktif (idle land) karena pemilihan lokasi yang tidak tepat (misplaced), bangunan yang tidak berfungsi karena desain dan konstruksi yang tidak memenuhi kelayakan teknis atau sulit dioperasikan oleh petani, inefisiensi karena desain dan kontruksi yang buruk, dan sebagainya. Pengembangan pertanian lahan rawa, khususnya rawa pasang surut yang oleh berbagai kalangan dikatakan mempunyai potensi cukup besar dihadapkan pada isu lingkungan hidup, dimana pengembangan tata air makro dan mikro yang perlu dibangun cenderung mempercepat kerusakan lingkungan rawa itu sendiri. Penataan air sebagai upaya untuk usahatani pada daerah rawa pasang surut merupakan hal mutlak. Seperti halnya di daerah irigasi teknis, di daerah rawa pasang surut juga dihadapkan masalah yang sama tentang kewenangan dalam operasi dan pemeliharaan saluran/jaringan irigasi.
Neraca
- 423.857
TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN DAN AIR Lahan Basah (1) Reklamasi Lahan Sawah Berkadar Bahan Organik Rendah Dampak revolusi hijau di Indonesia sudah terlihat secara nyata pada lahan sawah yang secara intensif diusahakan dengan tanaman padi dan palawija yang menggunakan masukan yang tinggi dalam rangka mencapai swasembada beras (Tabel 2). Tabel 2. Arah Produktivitas, Dosis Pupuk dan Pestisida pada Lahan Sawah di Jawa, 1980-1999. Komponen 1980 3,86 1. Produktivitas padi (ton/ha) 268 2. Dosis pupuk anorganik (kg/ha) 3. Dosis pestisida 1,74 (kg/ha) Sumber: Seta dan Mahpudin (2002)
1990 5,02
1999 4,82
403
417
3,44
6,00
Terlihat bahwa pada periode tahun 1980-1990, produktivitas padi meningkat 40,2 persen seiring dengan peningkatan penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sebesar 97,7 persen. Pada periode 1990-1999, terjadi penurunan produktivitas padi sebesar 3,47 persen bersamaan dengan peningkatan penggunaan pupuk anorganik sebesar 4 persen dan pestisida sintesis 74,42 persen. Fenomena ini menunjukkan bahwa tanaman padi pada sudah tidak respons lagi terhadap pemberian pupuk anorganik dan pestisida ke dalam tanah.
91
Menurut Karama (1990) penurunaan kualitas kesuburan tanah sangat terkait dengan penurunan kadar bahan organik tanah. Luas lahan sawah di Jawa dan beberapa sentra produksi padi di luar Jawa yang kandungan bahan organik tanah kurang dari 1 persen sudah mencapai luas 65 persen dari luas lahan sawah. Pada tahun 1999, luas lahan sawah di Jawa yang mempunyai kandungan bahan organik kurang dari 1 persen sudah mencapai sekitar 85 persen. Hal ini memberikan indikasi bahwa salah satu indikator penurunan produksi padi (levelling off) adalah akibat penurunan kandungan bahan organik tanah. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka prediksi ancaman ketahanan pangan nasional semakin nyata dan memerlukan suatu reorientasi peningkatan kesuburan tanah sawah. Menurut beberapa hasil penelitian Departemen Pertanian (2005) di Jawa Timur menunjukkan bahwa beberapa petani telah mengunakan pupuk urea sampai dengan 650 kg/ha. Hal ini jelas memang di luar rekomendasi yang diberikan di wilyah tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Departemen Pertanian telah berupaya untuk memperbaiki kualitas tanah sawah di Jawa melalui berbagai regulasi dan implementasi secara bertahap di tingkat lapang. Peraturan Menteri pertanian nomor 1 tahun 2006 tentang rekomendasi pemupukan N,P, dan K pada lahan sawah spesifik lokasi sudah memberikan rekomendasi pemupukan per kecamatan di sentra produksi padi dan sekaligus memberikan rekomendasi penggunaan jerami sebesar 5 ton/ha dan pupuk kandang sebesar 2 ton/ha. Di samping itu, Departemen Pertanian juga telah mengeluarkan kebijakan penerapan pertanian organik dengan mulai mencari model dan kawasan spesifik, walaupun terbatas pada lokasi tertentu. Bahkan para petani di Jawa Timur sudah mulai menggunakan pupuk kandang dan pupuk organik untuk usahatani hortikultura, walaupun masih dalam kawasan yang terbatas. Hasil penelitian dari Universitas Sebelas Maret (2005) menunjukkan bahwa penerapan pupuk organik pada lahan sawah untuk pertanaman padi dan palawija berturut turut selama 4 musim tanam telah memberikan peningkatan kadar bahan organik tanah hingga mencapai 2 persen dengan dosis 2-5 ton /ha. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan air
92
ke depan akan berupaya memperbaiki dan meningkatkan kandungan bahan organik tanah sawah petani melalui kegiatan reklamasi lahan sawah berkadar bahan organik rendah. Berdasarkan data dari Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2003) luas lahan berirgasi sekitar 4,3 juta ha dan sebagian besar lahan ini berada di Jawa. Pada tahun 1999, sebanyak 85 persen luas tersebut mempunyai kadar bahan organik rendah (1%). Dengan demikian dari sekitar 3,85 juta ha lahan mengalami kekurangan bahan organik tanah, yang perlu direklamasi melalui perbaikan kesuburan tanah dalam upaya untuk melestarikan ketahanan pangan dan peningkatan produktivitas yang lebih baik melalui pemanfaatan pupuk organik berbudaya lokal. Pada saat ini, penerapan cara ini sangat tepat, dikaitkan dengan keterbatasan dan ketersediaan pupuk anorganik di tingkat petani dan sekaligus mengurangi kebutuhan pupuk nasional serta memberikan peluang pada perusahaan pupuk untuk mendapatkan devisa negara melalui ekspor ke luar negeri. Beberapa kebijakan yang telah disusun Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan da Air walaupun masih tahap awal yaitu : (a) sosialisasi dan diseminasi Peraturan Menteri Pertanian nomor 1 tahun 2006 tentang Pemupukan N, P, dan K pada lahan sawah sepsifik lokal; (b) penyuluhan dan gerakan petani untuk tidak membakar jerami dan membawa ke luar dari lahan sawah; (c) prediksi kandungan N,P,K dan pH tanah sawah dengan alat Perangkat Uji Tanah sawah(PUTS); (d) pengadaan alat pengolah pupuk organik; dan (e) pelatihan dan demonstrasi pembuatan pupuk kompos Kegiatan ini baru dimulai TA 2006 dan sudah dilaksanakan di 13 provinsi sentra produksi padi walaupun masih terbatas pada beberapa kabupaten di setiap provinsi. Pengadaan alat PUTS masih terbatas pada 2200 unit, pengadaan alat pengolah pupuk organik sebanyak 81 unit yang dapat memberikan pelayanan pada areal sekitar 10-20 ribu ha. (2) Pengembangan Sistem Intensifikasi Padi SRI merupakan suatu pola usahatani yang terkait dengan pengelolaan hubungan antara tanah, air dan tanaman padi di tingkat lapang secara intensif tanpa menggunakan
pupuk dan pestisida sintesis. Pola usahatani sebenarnya berasal dari Madagaskar dan dikembangakan di Indonesia oleh para petugas lapang di balai proteksi tanaman pangan yang menggunakan bahan alami. Secara konkrit, usahatani ini mempraktekkan pola usahatani “back to nature”. Pada saat ini, petani telah mengimplementasikan di tingkat lapang atas bimbingan para PPL dan petugas Dinas Pertanian Kabupaten dan kerja sama dengan swasta di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dalam luas yang relatif kecil. Direktorat jenderal Pengelolaan Lahan dan Air memfasilitasi dan mengembangkan pola ini ke dalam bentuk yang lebih ilmiah dan fasilitasi pelatihan serta dukungan teknis dari aspek lahan dan air. Pengembangan SRI sebenarnya suatu tahapan menuju pertanian organik, walaupun belum sepenuhnya dapat diterapkan secara utuh sebagaimana diminta dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Beberapa syarat yang diminta dalam pertanian organik, antara lain: (1) menghindari penggunaan bibit hasil rekayasa genetika; dan (2) menghindari penggunaan pestisida sintesis, pupuk kimia sintesis, zat pengatur tumbuh, dan hormon serta bahan aditif sintesis. Hal ini dipandang masih sulit untuk diterapkan karena keterbatasan penyediaan bahan-bahan organik lokal dan berkualitas serta memenuhi persyaratan kimiawi dan fisik untuk meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman di tingkat petani. (3) Teknologi Tata Air Mikro dan Surjan Teknologi tata air mikro dan surjan sudah lama dikembangkan di lahan rawa pasang surut dan lebak dalam rangka menghindari pertanaman dari pengaruh banjir pada waktu pasang dan penyediaan air di waktu air surut. Dalam teknologi ini, pembangunan saluran cacing, pintu klep otomatis dan tanggul pengaman banjir merupakan suatu paket teknologi yang dapat membantu pertumbuhan tanaman. Sistem surjan adalah suatu teknologi pembentukan bentang muka lahan yang terbagi atas tabukan dan guludan. Pada bagian tabukan diusahakan tanaman padi sawah dan pada bagian guludan ditanami dengan tanaman palawija dan hortikultura. Kegiatan ini telah banyak berhasil dalam pemanfaatan lahan usahatani di Kalimantan dan Sumatera.
(4) Konsolidasi pengelolaan usahatani (corporate farming) Teknologi konsolidasi pengelolaan usahatani di tingkat lapang adalah suatu penggabungan pengelolaan lahan dengan kepemilikan sempit dalam skala yang lebih luas sehingga layak diusahakan secara ekonomis. Dalam pengelolaan lahan ini tidak ada perubahan pemilikan lahan dan bentang muka lahan, sehingga tidak menimbulkan masalah sosial di antara petani. Dalam pengelolaannya diperlukan suatu pemahaman yang baik dan ketersedian lapangan kerja di luar sektor pertanian bagi petani yang bersedia melepaskan pekerjaannya. Para petani pemilik lahan pada prinsipnya menyewakan atau melakukan bagi hasil atau mengontrakkan lahannya pada pengelola lahan, dan apabila memungkinkan mereka dapat menjadi tenaga kerja di lahan usahatani tersebut atas kesepakatan yang dibuat antara petani dengan pengelola lahan tersebut. Pada umumnya, berdasarkan pengalaman di lapangan, ketersediaan lapangan kerja dan ketrampilan petani di luar sektor pertanian yang terbatas menjadi kendala dan permasalahan yang dihadapi petani. (5) Pengembangan Irigasi Tetes Pengembanagn irigasi tetes telah dikembangkan sejak beberapa tahun yang lalu untuk komoditas yang mempunyai nilai ekonomis seperti palawija, hortikultura, dan tanaman perkebunan. Pendampingan dan opersional irigasi tetes sangat ditentukan oleh kelayakan sumber air dan kemampuan petani untuk membiayai operasinal irigasi tersebut. Beberapa petani/kelompok tani yang telah berhasil dalam pengembangan irigasi tetes di beberapa kabupaten seperti di Jawa Barat dan Sumatera Utara untuk pengembangan komoditas sayur dataran rendah, dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan petani. (6) Penerapan Pemupukan Berimbang Penerapan pemupukan berimbang berdasar uji tanah memerlukan data analisa tanah. Namun demikian, karena daya jangkau (aksesibilitas penyuluh dan petani untuk menganalisis contoh tanah masih rendah, menyebabkan rekomendasi pupuk untuk padi besifat umum dan seragam untuk seluruh Indonesia. Akibatnya, pupuk yang diberikan tidak berimbang dan
93
efisiensi pemupukan menjadi rendah karena kemungkinan suatu unsur hara diberikan secara berlebihan, sebaliknya unsur hara lainnya diberikan secara lebih rendah dari yang dibutuhkan tanaman. Ketidak tepatan pemberian pupuk menyebabkan kurang termanfaatkannya sebagian unsur hara yang diberikan, rendahnya produksi pertanian, serta polusi lingkungan. Dalam rangka membantu petani meningkatkan ketepatan pemberian dosis pupuk N, P, dan K untuk padi sawah, maka pada T.A. 2006 dilaksanakan pengadaan 2000 unit Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). PUTS ini akan disebarluaskan pada 13 provinsi sentra produksi padi. Disamping pendistribusian PUTS juga akan dilaksanakan pelatihan penggunaannya di 13 provinsi tersebut. Lahan Kering (1) Usahatani Konservasi Terpadu Dalam rangka penyelamatan kesuburan lahan, pemerintah bersama sama dengan pemerintah daerah telah banyak melakukan konservasi tanah dan air terutama pada lahan yang bertopografi berombak dan bergelombang di lahan pertanian, terutama pada lahan yang mempunyai curah hujan relatif rendah. Kegiatan yang dilaksanakan dapat bersifat mekanis, kimiawi dan biologis, antara lain dengan menerapan usahatani konservasi terpadu, melalui pengusahaan tanaman-tanaman penguat teras, pembuatan bangunan konservasi air, rorak, teras bangku dan lainlain. Di samping itu, pemberian subsidi ternak dan bibit tanaman yang dapat menghasilkan sangat membantu petani dalam mempercepat konservasi lahan di kawasan tersebut. (2) Pengembangan Embung dan Pemanenan Air Untuk mengatasi kekeringan maka salah satu strategi teknologi yang diterapkan pada pengelolaan lahan dan air yang paling murah cepat dan efektif serta hasilnya langsung terlihat adalah dengan memanen aliran permukaan dan air hujan di musim penghujan melalui water harvesting. Teknologi ini sudah berkembang sangat pesat dan luas tidak saja di negara maju seperti Eropa, tetapi juga telah berkembang di Asia seperti di Cina yang padat
94
penduduk dan luas pemilikan lahannya sangat terbatas. Upaya ini dibarengi dengan memperbesar daya simpan air tanah di sungai, waduk dan danau yang akan dapat menjaga pasokan sumber-sumber air untuk keperluan pertanian. (3) Amoliorasi dan Pemupukan Memperbaiki kondisi tanah lahan pertanian dapat dilakukan dengan ameliorant berupa kapur, abu sekam atau gergajian dengan dosis tergantung jenis tanah dan komoditas yang ditanam. Pemberian kapur merupakan cara yang sudah lama dikenal untuk perbaikan tanah yang tingkat kemasamannya cukup tinggi. Pemberian kapur pada tanah pertanian tidak dimaksudkan untuk mencapai pH netral untuk menghilangkan kemasaman secara berkelanjutan. Pada tahun 2007 kegiatan amoliorasi akan dilaksanakan di provinsi Aceh, sebagai akibat dari lahan- lahan pertanian yang terkena Tsunami. (4) Pengembangan Irigasi Bertekanan dan Pompanisasi Salah satu upaya pemenuhan kebutuhan air untuk pertanian diantaranya melalui pengembangan irigasi bertekanan dan pompanisasi. Irigasi bertekanan merupakan salah satu alternatif teknologi aplikasi irigasi, yang secara teoritis mempunyai efisiensi irigasi lebih tinggi dibanding irigasi permukaan. Oleh karena itu, teknologi irigasi bertekanan lebih tepat diharapkan pada daerah-daerah yang relatif kering, yang memerlukan teknologi irigasi hemat air. Teknologi irigasi ini juga diperlukan untuk usahatani dengan teknik budidaya tanaman tertentu. Dalam penerapannya, efisiensi irigasi bertekanan tinggi hanya dapat dicapai apabila jaringan irigasi dirancang dengan benar dan dioperasikan secara tepat. Sementara itu, irigasi pompa merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan air tersebut dengan pemanfaatan pompa air. Dalam pemanfaatan pompa air tersebut sumber airnya dapat berasal dari air permukaan dan air tanah. PENUTUP Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air sejak tahun 2006 telah menyediakan teknologi pengelolaan lahan dan air secara
baik dan benar, melalui berbagai teknologi pengelolaan lahan dan air yang diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan yang ramah lingkungan seperti kegiatan penyediaan air melalui pengaturan air pada musim hujan dan penyediaan air pada musim kemarau.
Disamping itu, pengelolaan lahan dan air juga memperhatikan kualitas lingkungan agar pengelolaan lahan pertanian yang berkelanjutan, seperti: perbaikan kualitas lahan dan penyediaan teknologi pemupukan berimbang.
95