PROSPEK PENGEMBANGAN UBI JALAR MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN DAN KETAHANAN PANGAN PENDAHULUAN Ubi jalar atau Ipomoea batatas L menyimpan potensi yang besar baik sebagai pangan alternatif maupun pengembangan potensi bisnis. Ubi jalar cukup popular di masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah timur Indonesia, yaitu Papua dan Papua Barat yang menggunakan ubi jalar sebagai bahan makanan pokok. Meskipun kandungan gizinya lebih rendah daripada beras, namun menurut World Health Organization (WHO) ubi jalar merah mempunyai kandungan vitamin A (retinol) sebanyak 4 (empat) kali wortel atau sebesar 7.700mg/100 gram, sehingga baik untuk pencegahan kebutaan dan penyakit mata karena memenuhi nilai harian kebutuhan gizi (Gambar 1).
% Nilai harian
Per satuan (77.0 gram) 0
5
10
15
20
25
30
Vita,min A
40
45
50 62.2%
Vita,min C Mangaan Tembaga Serat Vitamin B6 Kalium
Besi Kalori (95)
Gambar 1. Kandungan bahan makanan dalam ubi jalar berkulit yang dipanggang Sumber : World’s Healthiest Foods, 2010. Di antara bahan makanan pokok, ubi jalar putih mengandung kalsium tertinggi dibandingkan beras, jagung, terigu dan sorghum. Bahkan kandungan kalsium tersebut dapat mencapai 51mg/100 gram untuk ubi jalar kuning (Direktorat Gizi, 2010). Dibandingkan dengan sayur-sayuran, ubi jalar bahkan menduduki peringkat pertama dalam kandungan bahan makanan dan mencapai skor 184 sedangkan peringkat kedua dicapai kentang (83) dan disusul bayam hijau (76). Data ini menunjukkan besarnya manfaat bahan makanan bagi kesehatan yang terkandung dalam ubi jalar (Food Reference, 2010). Kandungan kalori yang rendah sangat baik bagi kesehatan dan juga masyarakat yang berkepentingan untuk melakukan pola makan rendah kalori. Oleh karena itu dalam rangka mendorong program diversifikasi pangan selain beras, maka ubi jalar menjadi salah satu bahan pangan pokok penting terkait dengan berbagai fungsinya bagi kesehatan (Tabel 1).
Tabel 1. Daftar komposisi bahan makanan per 100 gram Komposisi
Beras Kalori (kal) 360 Protein (g) 6.8 Lemak (g) 0.7 Karbohidrat (g) 78.9 Kalsium (mg) 6.0 Besi (mg) 1.0 Fosfor (mg) 140 Vit. B1 (mg) 0.12 Sumber: Direktorat Gizi, 2010.
Kandungan / 100 gram Jagung Terigu Sorgum 361 365 332 8.7 8.9 11.0 4.5 1.3 3.3 72.4 77.3 73.0 9.0 16.0 28.0 5.0 1.0 4.0 380 106 287 0.27 0.12 0.38
Ubi Jalar 152 1.5 0.3 35.7 29 0.8 64 0.17
Berdasarkan Tabel 1, dapat dipahami mengapa masyarakat Papua mempunyai struktur tulang yang kuat dan besar karena banyak mendapat pasokan kalsium dari sumber makanan pokok ubi jalar. Komposisi bahan makanan yang terkandung dalam ubi jalar ini memberi alternatif sumber bahan pangan pokok rendah kalori selain beras. Bahan pangan alternatif ini sangat baik dikonsumsi oleh penderita penyakit diabetes yang mengharuskan konsumsi bahan pangan rendah kalori dan karbohidrat dengan Glycemix Index yang rendah. Ubi jalar tidak meningkatkan kadar gula darah secara drastic karena karbohidrat di dalamnya termasuk rendah (Hasyim dan Yusuf, 2008). Selain sebagai sumber karbohidrat, potensi ubi jalar dalam rangka penganekaragaman pangan pokok bersumber daya lokal sangat baik. Hal ini terutama disebabkan oleh potensi produktivitasnya yang tinggi dan potensi pasar lokal, regional dan internasional yang cukup baik. Tingkat harga ubi jalar yang rendah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat menjadi salah satu faktor penting untuk mendorong usaha diversifikasi pangan pokok selain beras. Ubi jalar merupakan bahan pangan lokal sumber karbohidrat yang dimanfaatkan umbi akarnya dan dibedakan berdasarkan warna umbinya, yaitu putih, kuning, merah/jingga dan ungu. Ubi jalar dapat diolah menjadi berbagai jenis pangan olahan bahkan berpotensi sebagai bahan baku industri modern (industri perekat, fermentasi, tekstil, farmasi dan kosmetik) seperti yang terdapat di negara maju seperti Amerika Serikat. Di Indonesia ubi jalar dimanfaatkan sebagai bahan baku tepung, nasi instan, bakpia, donat, keripik, mie dan beras mutiara. Tepung ubi jalar dapat diolah menjadi berbagai produk pangan serupa dengan bahan pangan berbahan tepung terigu, misalnya permen, es krim, roti, kue dan beberapa minuman sirop. Pemanfaatan tepung ubi jalar sebagai pengganti terigu bukan hal baru. Bahkan di negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat tepung ubi jalar lebih populer dibandingkan terigu. Oleh karena itu, melalui pengkajian pustaka tentang ubi jalar makalah ini disusun untuk memberi gambaran tentang potensi ekonomi ubi jalar di tingkat nasional dan internasional. KINERJA PRODUKSI DAN KONSUMSI Produksi Masyarakat pada umumnya mengenal ubi jalar berdasarkan warna umbinya. Masyarakat awam terhadap jenis varietas ubi jalar tersebut. Dari 22 jenis varietas yang ditanam di Indonesia, sebagian besar (12 varietas) berumbi kuning dan bervariasi dari kuning muda sampai kuning tua, sebanyak enam varietas berumbi warna merah/jingga, dan tiga varietas berumbi putih. Ubi jalar dapat tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi dan rata-rata dapat dipanen pada umur empat bulan. Varietas Kalasan mempunyai umur panen terpendek, yaitu dua bulan dan mempunyai produktivitas tertinggi mencapai 40 ton/ha. Varietas Cilembu mempunyai umur tanam terpanjang, yaitu tujuh bulan dan produktivitas yang rendah hanya 20
ton/ha. Varietas Papua Solossa, Papua Pattipi dan Sawentar mempunyai umur tanam enam bulan dan mempunyai rata-rata produktivitas 25 ton/ha (Puslitbangtan, 2009). Menurut data luas areal panen selama periode 1970-2009, Provinsi Papua dan Jawa Barat merupakan dua daerah dengan luas panen ubi jalar terbesar di Indonesia. Sedangkan menurut tingkat produksi, Provinsi Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan dengan Papua (Kementan, 2010). Hal ini terkait dengan jenis varietas yang ditanam di dua provinsi tersebut. Di Papua, varietas yang ditanam adalah Papua Solussa, Papua Pattipi dan Sawentar yang berumur panjang (6 bulan) dengan tingkat produktivitas rata-rata 24-25 ton/ha (Rauf dan Lestari, 2009). Sementara itu di Jawa Barat lebih banyak ditanam varietas dengan umur genjah (kurang dari enam bulan) dengan rata-rata produktivitas yang lebih tinggi dari ketiga varietas yang ditanam di Papua.Data satu dekade terakhir (2000-2009) menunjukkan bahwa luas areal ubi jalar di Provinsi Papua sekitar 17,9 persen dari luas areal panen ubi jalar nasional dan pada tahun 2009 mencapai 35 ribu ha. Dalam periode yang sama, luas areal ubi jalar di Provinsi Jawa Barat sekitar 16,9 persen dari luas areal panen ubi jalar nasional dan pada tahun 2009 mencapai 33 ribu ha. Selain kedua provinsi tersebut, luas areal panen ubi jalar tiap provinsi rata-rata di bawah 20 ribu ha (Tabel 2). Tabel 2. Luas areal panen ubi jalar di sepuluh provinsi penghasil utama, 2000-2009 Provinsi
Luas Panen (000 Ha) 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Papua
32,9
30,8
26,5
52,4
29,7
27,6
29,2
30,6
34,0
35,0
Jawa Barat
35,4
28,6
34,1
30,0
31,4
30,8
29,8
28,1
27,3
33,4
Jawa Timur
18,4
17,6
14,8
15,3
14,9
13,8
13,8
14,0
13,8
16,2
NTT
19,9
16,7
16,7
10,9
16,3
12,9
14,5
12,9
13,4
12,9
Sumatera Utara
13,6
12,5
12,4
14,3
12,2
12,0
10,6
12,1
10,3
12,4
Jawa Tengah
12,6
11,8
10,8
11,3
11,5
11,2
9,4
10,6
8,5
8,8
Bali
5,9
4,8
5,9
5,6
6,2
7,1
7,2
7,1
6,4
6,3
Sulawesi Utara
2,7
2,1
1,7
3,0
3,7
4,5
3,8
3,6
4,3
5,4
Sulawesi Selatan
8,5
9,2
8,2
5,7
6,9
4,9
5,0
5,5
6,2
5,4
Lampung
4,5
4,4
4,1
4,3
4,7
4,6
4,4
4,8
5,0
4,6
39,9
42,6
42,2
44,8
47,0
49,0
48,8
47,6
45,4
43,5
194, 3
181, 0
177, 3
197, 5
184, 5
178, 3
176, 5
177, 0
174, 6
183, 9
Lainnya Indonesia
Sumber: Kementerian Pertanian, 2010. Luas areal panen ubi jalar nasional pada tahun 2009 mencapai sekitar 184 ribu ha dan mengalami penurunan rata-rata 0,7 persen/tahun. Diantara sepuluh provinsi penghasil utama, Papua, Bali, Sulawesi Utara dan Lampung mengalami pertumbuhan luas areal yang positip (meningkat), bahkan mencapai 8,01 persen/tahun untuk Provinsi Sulawesi Utara. Hal ini memberi keyakinan bahwa luas areal tanam masih berpotensi untuk ditingkatkan, mengingat masih terdapat banyak lahan yang belum diusahakan khususnya di Provinsi Papua.
Pertumbuhan luas areal panen ubi jalar di luar ke empat provinsi di atas mengalami penurunan selama 2000-2009 dan yang terbesar terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan (4,92 persen/tahun). Selama tahun 2000-2009, Provinsi Jawa Barat rata-rata memasok sebesar 20,2 persen dari total produksi ubi jalar nasional atau rata-rata mencapai 379 ribu ton per tahun. Sementara itu, Provinsi Papua rata-rata menghasilkan sebesar 17,3 persen dari total produksi ubi jalar nasional atau rata-rata sebesar 318 ribu ton per tahun. Selain kedua provinsi tersebut rata-rata produksi tiap provinsi per tahun di bawah 200 ribu ton (Tabel 3). Meskipun luas areal panen di Provinsi Jawa Barat cenderung menurun selama 2000-2009, namun produksi ubi jalar dalam periode yang sama justru meningkat tajam rata-rata mencapai 2,21 persen/tahun. Demikian juga dengan pertumbuhan produksi ubi jalar di Provinsi Papua, selama 2000-2009 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,25 persen/tahun. Tabel 3. Produksi ubi jalar di sepuluh provinsi penghasil utama, 2000-2009 Provinsi
2000 385,8 281,1 193,6
2001 2002 298,0 367,8 283,6 257,3 189,7 168,8
Jawa Barat Papua Jawa Timur Jawa Tengah 142,3 131,7 126,9 Sumatera Utara 127,0 118,2 118,2 NTT 156,4 147,1 133,1 Bali 65,2 53,5 68,0 Sumatera Barat 32,9 30,3 37,6 Sulawesi Selatan 73,4 80,4 77,7 Sulawesi Utara 23,4 18,0 15,0 Lainnya 346,6 384,9 379,1 1.828 1.735 1.750 Indonesia Sumber: Kementerian Pertanian, 2010.
Produksi (000 Ton) 2003 2004 2005 2006 346,9 389,6 390,4 389,0 512,4 298,5 273,9 290,4 167,6 165,0 150,6 150,5
2007 375,7 306,8 149,8
2008 376,5 337,1 136,6
2009 469,6 343,3 162,6
139,5
144,1
144,6
123,5
143,4
117,2
147,1
135,7 86,7 64,9
117,3 126,4 72,5
115,7 99,7 88,5
102,7 111,3 92,1
117,6 102,4 91,2
114,2 107,3 88,2
140,1 103,6 79,0
45,0
55,5
50,4
53,8
53,8
61,8
77,5
61,8
76,5
53,5
54,3
58,8
66,5
68,4
25,6 405,4 1.991
32,4 423,9 1.902
38,7 451,0 1.857
37,3 449,3 1.854
35,5 451,9 1.887
42,1 434,2 1.882
53,1 413,5 2.058
Apabila 50 persen areal untuk ubi jalar ditanami dengan varietas yang berumur genjah dengan produktivitas 30 ton/ha, dan 50 persen lagi varietas umur dalam dengan produtivitas 10 ton/ha, maka produksi ubi jalar nasional akan mencapai 3,68 juta ton ubi basah. Potensi hasil ini sekitar 79 persen lebih tinggi dari produksi ubi jalar yang dicapai pada tahun 2009, yaitu sebesar 2,06 juta ton (Tabel 3). Kesenjangan produksi antara aktual dengan potensial ini disebabkan oleh variasi varietas yang ditanam dan kesesuaikan varietas terhadap iklim di berbagai daerah. Hal ini yang menyebabkan produktivitas rata-rata nasional rendah, yaitu sekitar 11,19 ton/ha. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan produksi yang dicapai pada tahun 2010 akan meningkat sebagaimana kecenderungan produksi yang terjadi selama periode 2000-2009 yang meningkat sebesar 1,33 persen/tahun. Berdasarkan perkembangan luas areal (Tabel 2) dan produksi (Tabel 3), diperoleh pertumbuhan luas areal ubi jalar nasional -0,61 persen dan pertumbuhan produksi 1,33 persen per tahun selama periode 2000-2009. Dengan demikian, maka pertumbuhan produktivitas adalah 1,93 persen. Jika diasumsikan bahwa pertumbuhan produksi selama periode 2010-2020 masih konsisten mengikuti pertumbuhan produksi selama periode 2000-2009, maka proyeksi
luas areal panen dan produksi selama periode 2010-2020 adalah seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Proyeksi luas areal dan produksi ubi jalar nasional periode 2010-2020 Komponen produksi
Tahun
Pertumbuhan (%/th)
2009
2010
2015
2020
Luas panen (000 ha)
183,9
182,8
177,3
171,9
-0,61
Produktivitas (ton/ha)
11,19
11,41
12,55
13,82
1,93
Produksi (ribu ton) 2.058 Sumber: perhitungan penulis.
2.085
2.226
2.376
1,33
Konsumsi Berdasarkan data neraca bahan makanan, proporsi penggunaan ubi jalar sebagai bahan baku pakan, benih, bahan pangan dan yang tercecer selama tahun 2000-2009 meningkat dengan laju peningkatannya jauh lebih rendah dari tingkat pertumbuhan produksi (Tabel 5). Oleh karena itu, usaha peningkatan produksi ubi jalar harus didorong untuk industri pangan dengan tujuan pasar ekspor. Sebagian besar ubi jalar digunakan untuk pangan yang pada tahun 2009 mencapai 1.499 ribu ton atau sekitar 73 persen dari total produksi. Bahan baku ubi jalar yang tercecer relatif masih tinggi, mencapai 186 ribu ton atau sekitar 9,04 persen dari total produksi pada tahun 2009. Hal ini merupakan inefisiensi yang tidak seharusnya terjadi secara terus-menerus. Sementara, penggunaan ubi jalar untuk bibit relatif tetap berkisar 171 ribu ton per tahun dan sisanya digunakan untuk bahan baku industri pakan sekitar 37 tibu ton (Tabel 5). Kecenderungan ini terus berlanjut dengan tingkat pertumbuhan yang relatif kecil di bawah satu persen/tahun sampai dengan tahun 2020. Tabel 5. Produksi dan konsumsi ubi jalar di Indonesia, 2000-2009 Tahun
Produksi (000 ton) 1.828 1.735 1.749 1.991 1.902 1.857 1.854 1.887 1.882 2.058
Pakan 36 35 35 40 38 37 37 37 371) 371)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertumbuhan 1,2 0,4 %/Tahun 1) Angka estimasi peneliti Sumber: Neraca Bahan Makanan, 2010 (diolah).
Konsumsi (000 ton) Benih Tercecer 164 183 157 161 159 155 179 200 171 190 167 185 167 185 170 185 1711) 1811) 1711) 1861) 0,1
0,4
Pangan 1.437 1.374 1.387 1.562 1.491 1.457 1.454 1.487 1.4931) 1.4991) 0,3
Selama sepuluh tahun ke depan (2010-2020), diproyeksikan pertumbuhan penggunaan ubi jalar untuk pakan, benih, dan pangan cenderung meningkat dan lebih efisien. Hal ini tercermin dari volume ubi jalar yang tercecer relatif tetap dengan tingkat pertumbuhan nol persen/tahun (Tabel 6). Tingkat pertumbuhan ini berimplikasi akan terdapat kelebihan produksi yang tumbuh sebesar 1,2 persen per tahun, sehingga perlu didorong peningkatan pemasaran
ubi jalar dan produk olahannya untuk pangsa pasar internasional, karena pasar domestik cenderung tetap. Tabel 6. Proyeksi penggunaan ubi jalar di Indonesia, 2010-2020 Tahun
Pakan 37 38 38 38 38 38 38 38 38 39 39
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Pertumbuhan 0,3 %/Tahun Sumber: Hasil proyeksi peneliti, 2010.
Konsumsi (000 ton) Bibit Tercecer 172 186 173 188 173 185 174 185 175 185 176 185 176 185 177 185 178 185 178 185 179 185 0,4
Pangan 1.506 1.512 1.519 1.525 1.532 1.538 1.545 1.552 1.558 1.565 1.572
0,0
0,4
Berdasarkan data konsumsi per kapita selama periode 2002-2009, diduga kenaikan proporsi konsumsi ubi jalar selain desebabkan oleh pertumbuhan penduduk, juga oleh perkembangan industri pakan dan pangan yang menggunakan ubi jalar sebagai bahan baku. Laju konsumsi per kapita sendiri turun sebesar 2,68 persen/tahun, sedangkan jumlah penduduk mengalami peningkatan dengan laju 1,25 persen/tahun dalam periode yang sama (Tabel 7). Tabel 7. Konsumsi per kapita ubi jalar dan jumlah penduduk Indonesia, 2002-2009 Tahun
Konsumsi 1) (kg per kapita/tahun) 2,704 3,224 5,304 3,796 3,016 2,392 2,652 2,236
Jumlah Penduduk2) (juta jiwa) 210,858 213,656 216,443 219,210 221,954 224,670 227,345 229,965
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertumb (%/th) -2.68 1.25 1) Sumber: Konsumsi Rata-rata per kapita seminggu menurut jenis makanan dan golongan pengeluaran per kapita sebulan, 2002-2009. 2) Sumber: Statistik Indonesia, 2002-2009. Sampai dengan tahun 2020, peningkatan proporsi penggunaan ubi jalar sebagai bahan baku pangan diperkirakan masih banyak dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk. Hal ini berimplikasi bahwa peluang diversifikasi menggunakan bahan baku ubi jalar masih memungkinkan untuk ditingkatkan, karena tingkat konsumsi per kapita masih rendah. Program diversifikasi pangan berbahan ubijalar ini akan sangat bermanfaat untuk mengimbangi produksi ubi jalar yang diproyeksikan akan terus meningkat. Sejalan dengan program diversifikasi pangan lokal berbahan ubi jalar, pengembangan industri hilir berbahan baku ubi jalar yang
mampu menciptakan nilai tambah domestik dan mengangkat citra ubi jalar menjadi produk olahan berprestise menjadi sangat penting, untuk mempersiapkan daya saing produk ubi jalar di pasar internasional. POTENSI EKONOMI Nasional Ubi jalar di Indonesia belum dianggap sebagai komoditas penting, sementara di negaranegara maju ubi jalar justru lebih penting dan mahal dibandingkan komoditas lain seperti beras dan terigu. Sebab di negara-negara maju ubi jalar tidak saja menjadi bahan baku pangan, namun juga menjadi bahan baku industri non-pangan (fermentasi, tekstil, perekat, kosmetik dan farmasi). Indonesia mempunyai potensi besar untuk mengembangkan ubi jalar, baik sebagai bahan baku industri pangan maupun non-pangan. Hal ini didukung oleh potensi luas areal dan produktivitas yang telah dikemukakan di atas. Sehubungan dengan proyeksi produksi yang cenderung meningkat, perlu diketahui potensi ekonomi ubi jalar untuk pasar domestik dan ekspor. Tingkat pemanfaatan ubi jalar di pasar domestik yang masih rendah memberi peluang untuk peningkatan produk yang ditujukan untuk pasar internasional sebagai bahan baku pangan maupun industri non-pangan yang telah banyak berkembang di negara lain, termasuk di beberapa negara Asia, seperti: Singapura, Jepang dan Korea. Pengembangan ubi jalar untuk berbagai produk olahan sangat prospektif, karena selain sifat ubi jalar yang multi guna, juga teknologi pengolahan hasil pertanian sudah cukup maju di Indonesia. Dengan teknologi pengolahan, ubi jalar dapat dijadikan berbagai produk olahan seperti: chip, pati, tepung, saos, selai, kripik, kroket, tape, kremes, brem, getuk, pilus, ubi goreng, ubi rebus, nasi ubi, dan sebagainya (SPS IPB, 2004). Dalam bentuk produk olahan, ubi jalar dapat ditingkatkan derajatnya setara dengan beras. Bahkan ubi jalar merupakan bahan baku industri pangan dan non-pangan yang lebih banyak kegunaannya dari pada beras. Sifat multi guna ubi jalar ini tercermin dari banyaknya produk olahan yang dapat dihasilkan dari ubi jalar, seperti terlihat pada pohon industri berikut (Gambar 2). Pemanfaatan teknologi pengolahan untuk industri ubi jalar sangat penting dalam rangka mengakselerasi upaya penganekaragaman (diversifikasi) pangan. Selama lebih dari 60 tahun Indonesia sangat bergantung pada beras. Ironinya, meskipun teknologi usahatani padi maju pesat, namun Indonesia belum berhasil memenuhi kebutuhan beras dari produksi sendiri, sehingga masih bergantung pada impor. Keberhasilan program diversifikasi pangan akan mengurangi ketergantungan pada beras impor (Swastika, 2010).
Gambar 2. Pohon industri pengolahan ubi jalar Sumber: Ginting dkk., 2006. Internasional Dari 111 negara penghasil ubi jalar di dunia, Indonesia mempunyai pangsa produksi sekitar satu persen dari produksi dunia. Meskipun pangsanya hanya sekitar satu persen, Indonesia tahun 2009 merupakan negara produsen ubi jalar ke tiga setelah China dan Uganda. (Tabel 8). Bahkan tahun 1990 Indonesia menempati urutan kedua setelah China. Pada tahun 2009 China mempunyai pangsa lebih dari 75 persen dari produksi ubi jalar dunia.
Tabel 8. Lima negara produsen utama ubi jalar di dunia, 1990- 2009 1990 1 China Indone 2 sia Viet 3 Nam
1995 104.9 00 China 1.971 Uganda Indone 1.929 sia Viet 1.693 Nam
Produksi (‘000 Ton) 2000 2005 2009 117.3 118.1 102.7 81.21 76 China 83 China 49 China 3 2.223 Nigeria
2.171 Uganda Indone 4 Uganda 1.686 sia Viet 5 Jepang 1.402 Jepang 1.181 Nam 10.82 11.37 Lainnya 6 Lainnya 1 Lainnya 122.7 136.0 Dunia 22 Dunia 08 Dunia Sumber: FAO, September 2010 (diolah).
2.468 Nigeria 2.398 Uganda Indone 1.828 sia Viet 1.611 Nam 12.55 9 Lainnya 139.0 47 Dunia
3.205 Uganda Indone 2.604 sia
2.766
1.857 India
1.120
1.443 Jepang 15.74 9 Lainnya 127.6 07 Dunia
1.026 19.46 0 107.6 42
2.058
Dari Tabel 8 terlihat bahwa produsen terbesar ubi jalar di dunia adalah China yang selama 20 tahun terakhir menguasai tiga perempat produksi dunia. Kuantitas produksi ubi jalar di China dari tahun ke tahun cenderung menurun, sedangkan di negara lain cenderung meningkat. Karena proporsi produksi China yang demikian tinggi maka penurunan produksi ini sangat berpengaruh terhadap produksi ubi jalar dunia, namun tidak menggeser posisi China sebagai produsen utama (Gambar 3). Potensi lahan yang luas dan produktivitas varietas yang dikembangkan di Indonesia merupakan faktor pendukung untuk mengembangkan usahatani dan industri berbahan baku ubi jalar di masa mendatang. Usaha untuk merebut persaingan yang masih terbuka ini dapat dilakukan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi tanaman ubi jalar, disertai pengembangan industri pengolahan ubi jalar.
Gambar 3. Proporsi produksi ubi jalar sepuluh negara produsen utama di dunia, 2009 Sumber : Data sekunder, 2010 (diolah).
Sebagai salah satu produsen utama dunia, Indonesia turut andil dalam persaingan global pasar ubi jalar. Pada tahun 1990 Indonesia menempati posisi ke-19 sebagai eksportir ubi jalar diantara 38 negara. Pada tahun 1995 posisi Indonesia meningkat menjadi negara ekportir utama ke-8, bersaing dengan 50 negara lainnya. Memasuki tahun 2000 Indonesia menempati posisi ke-4 negara eksportir utama bersaing dengan 71 negara, posisi ke-3 pada tahun 2005 (diantara 72 negara eksportir utama), dan tahun 2007 kembali menduduki peringkat ke-5 dengan jumlah pesaing sebanyak 80 negara eksportir (Tabel 9). Tabel 9. Lima negara eksportir utama ubi jalar di dunia, 1990-2007 Ekspor (Ton) 1990
1995
2000
2005
2007
1 China
331.3 18 China
42.31 5 AS
17.5 84 AS
32.67 9 AS
40.56 0
Domini 2 ka
9.458 Belgia
23.31 1 China
13.6 68 China
27.06 3 China
16.03 5
3 AS
6.654 AS
11.94 Dominik 7 a
9.76 Indone 6 sia
11.11 3 Israel
12.34 3
4 Belgia
Domini 4.426 ka
10.96 Indone 3 sia
7.42 9 Israel
10.95 Peranci 5 s
10.11 1
Malays 5 ia
3.706 Italia
6.768 Israel
6.36 Dominik 9 a
Indone 8.040 sia
8.389
Lainny a
14.88 Lainny 1 a
32.95 0 Lainnya
27.9 83 Lainnya
40.36 2 Lainnya
58.56 1
Dunia
370.4 43 Dunia
128.2 54 Dunia
82.7 99 Dunia
130.2 12 Dunia
145.9 99
Sumber: FAO, September 2010 (diolah). Pasar ekspor ubi jalar dunia mengalami pergeseran posisi eksportir utama. Sebelum tahun 2000 eksportir utama ubi jalar adalah China, namun sejak tahun 2000 Amerika Serikat (AS) menjadi eksportir terbesar dunia. Kuantitas ekspor ubi jalar China menurun drastis sejak tahun 1990 dari di atas 300 ribu ton menjadi di bawah 20 ribu ton pada tahun 2007. Eksportir utama ditempati oleh AS, meskipun tidak termasuk dalam kategori sepuluh besar produsen utama dunia (Tabel 8). Diduga ubi jalar yang diekspor AS merupakan reekspor dari beberapa negara produsen lain, sehingga secara kumulatif volume ekspor AS sangat besar, melampaui China. Kemampuan AS dalam merebut pasar ekspor ubi jalar beserta produknya tidak lepas dari daya saing dari produk yang dihasilkan. Sebagai salah satu produsen utama ubi jalar, Indonesia sangat potensial untuk meningkatkan daya saing terutama di pasar internasional. Pada tahun 2007 Indonesia meraih 6 persen pangsa ekspor dunia (Gambar 4).
Gambar 4. Proporsi ekspor ubi jalar sepuluh negara eksportir utama di dunia, 2007 Sumber : Data sekunder, 2010 (diolah). Negara-negara Eropah merupakan importir utama dunia (Tabel 10). Namun negara tersebut mengimpor bahan mentah (ubi jalar) dan mengekspor produk olahan berbahan baku ubi jalar. Indonesia, China dan AS merupakan negara eksportir dengan harga yang rendah di pasar internasional, sehingga ubi jalar dari ketiga negara tersebut mampu bersaing di pasar internasional. Tabel 10. Lima negara importir utama ubi jalar di dunia,1990-2007 1995 1990 1 Italia 100.385 Italia 45.096 2 Belgia 88.519 Belgia 33.691 3 Belanda 17.517 Belanda 16.232 4 AS 8.665 Kanada 12.371 5 Perancis 7.977 AS 9.959 Lainnya 25.553 Lainnya 29.356 Dunia 248.616 Dunia 146.705 Sumber: FAO, September 2010 (diolah).
Impor (Ton) 2000 Kanada 19.117 Italia 14.811 Inggris 7.431 AS 6.825 Perancis 5.367 Lainnya 38.088 Dunia 91.639
2005 Inggris 25.382 Kanada 25.315 Singapura 17.346 Jepang 13.892 Malaysia 7.830 Lainnya 55.085 Dunia 144.850
2007 Inggris 37.055 Kanada 24.911 Perancis 15.650 Jepang 14.573 Albania 12.701 Lainnya 74.720 Dunia 179.610
Jumlah negara pengimpor terus mengalami peningkatan dan lebih banyak dibandingkan jumlah negara pengekspor. Artinya peluang di pasar internasional masih sangat terbuka, karena permintaan dari berbagai negara maju terus meningkat. Pada tahun 2007, lebih dari 50 persen negara importir utama berasal dari negara-negara maju (Gambar 5).
Gambar 5. Proporsi impor ubi jalar sepuluh negara importir utama di dunia, 2007 Sumber : Data sekunder, 2010 (diolah). Meskipun Jepang memproduksi ubi jalar, namun tingkat harga ubi jalar di Jepang tercatat sebagai harga produsen tertinggi di dunia (Gambar 6). Selama hampir dua dekade terakhir (1991-2008) harga produsen di Jepang menjadi yang tertinggi di dunia, bahkan pernah mencapai di atas US$ 2.000/ton. Diantara negara ekportir ubi jalar, China merupakan negara ekportir dengan harga produsen terendah sepanjang tahun. Harga produsen ubi jalar di Indonesia juga termasuk rendah. Hal ini merupakan salah satu keunggulan untuk meraih pangsa pasar internasional. Namun demikian, sejak tahun 2000 harga ubi jalar di tingkat produsen di Indonesia dan negara produsen lain cenderung meningkat. Harga Produsen (US$/ton)
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0
1991
1995
2000
2005
2008
2,044
1,553
1,107
1,623
1,830
293
351
337
399
467
Indonesia
61
101
54
110
246
China
34
82
41
53
76
Jepang AS
Tahun
Gambar 6. Harga produsen ubi jalar di beberapa negara terpilih ($/Ton), 1991-2008 Sumber : Data sekunder, 2010 (diolah).
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Ubi jalar di Indonesia mempunyai potensi pengembangan yang prospektif sebagai bahan baku industri, baik untuk industri pangan maupun non-pangan. Hal ini ditopang oleh potensi lahan, teknologi budidaya, dan produktivitas yang memadai di tingkat usahatani, serta dukungan teknologi pengolahan hasil yang cukup maju. Keberhasilan dalam pengolahan ubi jalar untuk berbagai produk pangan dan non-pangan olahan akan meningkatkan derajat ubi jalar setara dengan beras dan mempercepat upaya divesrsifikasi pangan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada beras. Selain itu, berbagai produk olahan dari ubi jalar dapat diekspor ke berbagai negara yang permintaannya terus meningkat. Dengan demikian, produk industri ubi jalar mempunyai daya saing yang tinggi di pasar internasional. Dari sisi petani, kehadiran industri pengolahan ubi jalar di perdesaan, selain menciptakan nilai tambah, juga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat perdesaan, dimana sebagian besar masyarakat miskin berdomisili. Implikasi Kebijakan Meningkatkan produksi ubi jalar melalui perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan produktivitas dengan penerapan teknologi maju budidaya (intensifikasi) ubi jalar serta mendorong industri pengolahan ubi jalar, dengan memberi kemudahan dan insentif bagi investor untuk melakukan investasi dalam industri pengolahan ubi jalar di perdesaan. Mempromosikan secara intensif produk olahan dari ubi jalar sebagai bahan makanan sehat dan bergizi di tempat-tempat strategis, seperti hotel, restauran, media elektronik dan media cetak, dengan melibatkan tokoh publik. Meningkatkan promosi dan lobi multilateral untuk meraih pangsa pasar produk ubi jalar di pasar internasional.