iii
SKRIPSI
PENGEMBANGAN BERAS ARTIFICIAL DARI UBI KAYU (Manihot esculenta Crant.) DAN UBI JALAR (Ipomoea batatas) SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN
Oleh : VERA LISNAN F24104106
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
iv
PENGEMBANGAN BERAS ARTIFICIAL DARI UBI KAYU (Manihot esculenta Crant.) DAN UBI JALAR (Ipomoea batatas) SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : VERA LISNAN F24104106
2008 DEPERTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
v
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGEMBANGAN BERAS ARTIFICIAL DARI UBI KAYU (Manihot esculenta Crant.) DAN UBI JALAR (Ipomoea batatas) SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : VERA LISNAN F24104106
Dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1986 di Jakarta Tanggal Lulus :
Menyetujui, Bogor,
Mei 2008
Dr.Ir. Endang Prangdimurti, M.Si Dr. Ir. Sri Widowati, M.AppSc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Januari 1986. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Soedjatno. W. Lisnan dan Thian Yoen Hong. Penulis telah menempuh pendidikan Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Umum di Kristen Yusuf, Jakarta (1992-2004). Penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004, melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan akademis dan nonakademis. Dalam kegiatan akademis, penulis berpartisipasi dalam Program Kreativitas Mahasiswa (2007) dan training HACCP System Auditor oleh Mbriobotekindo (2006), sedangkan dalam kegiatan non akademis, penulis aktif dalam beberapa keorganisasian dan kepanitiaan antara lain: Pengurus fgw Student Forum (2005-2008), Panitia Seminar Internasional Susu dan Produk Susu
(2005),
Bendahara National Student Paper Competition (2006), BAUR (2006), Panitia Seminar Internasional Butcher and Retail Product (2006), Panitia Seminar Fgw First National laboratories Conference (2007). Penulis juga memiliki pengalaman kerja selama masa perkuliahan sebagai Asisten Praktikum Kimia IPB (2006), Asisten Praktikum Biokimia IPB (2007), dan Public Relation International Dairy Federation Bali Symposium (2008). Semasa kuliah penulis berhasil menjadi juara ketiga leadership scholarship dari PT. Nutrifood Indonesia beserta training leadership dari Dale Carnigie. Penulis melakukan penelitian sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian dengan judul Pengembangan Beras Artificial dari Ubi kayu (Manihot esculenta Crant.) dan Ubi jalar (Ipomea batatas) sebagai Upaya Diversifikasi Pangan dibawah bimbingan Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si dan Dr. Ir. Sri Widowati, MAppSc.
vii
Vera Lisnan. F24104106. Pengembangan Beras Artificial Ubi kayu (Manihot esculenta Crant.) dan Ubi jalar (Ipomoea batatas) sebagai Upaya Diversifikasi Pangan. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si dan Dr. Ir. Sri Widowati, M.AppSc
RINGKASAN Pemerintah Indonesia tengah berupaya hingga kini agar ketergantungan penduduk Indonesia terhadap beras dapat dikurangi. Pada Hari Pangan tahun 2000, pemerintah menetapkan program ketahanan pangan melalui penganekaragaman pangan (diversifikasi). Banyaknya sumber daya pangan lain selain beras yang berpotensi namun kurang dimanfaatkan sebagai makanan pokok memungkinkan diversifikasi pangan dapat diwujudkan. Komoditi-komoditi pertanian yang masih dapat dikembangkan dan dimanfaatkan lebih luas antara lain serealia (jagung, sorgum), umbi-umbian (ubi jalar, ubi kayu, kentang, talas, garut) serta tanaman pohon (sagu, pisang). Penelitian ini bertujuan mengembangkan produk pangan baru berbasis ubi kayu dan ubi jalar yakni beras artificial sebagai alternatif pangan pendamping nasi dan menentukan formula yang tepat dalam pembuatan beras artificial serta menganalisis sifat fisik, kimia, dan sensorinya. Dalam penelitian ini dilakukan pemilihan formula yang tepat dalam pembuatan beras artificial dari empat formula yaitu 60:40, 70:30, 80:20, dan 90:10 untuk rasio tepung: pati, berdasarkan analisis sensori uji hedonik, jumlah tepung dalam rasio formula dan rendemen. Selanjutnya dilakukan analisis fisik (derajat putih, uji amilografi, bobot 1000 butir, daya serap air, dan densitas kamba) dan analisis kimia (proksimat, kadar amilosa, kadar serat pangan, dan daya cerna pati in vitro) untuk bahan baku dan produk beras artificial. Proses pembuatan beras artificial meliputi pencampuran tepung, pati, dan air, dilanjutkan dengan proses penghabluran menggunakan ayakan 8 mesh, proses pembutiran dengan mesin pembutir, penyangraian selama 5-7 menit pada suhu 4550°C, dan pengeringan menggunakan oven selama 60°C selama 72 jam. Hasil rendemen pembuatan beras artifisial ubi kayu dan ubi jalar menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pati dalam rasio formula maka rendemen semakin meningkat. Pemilihan formula terbaik dilakukan berdasarkan hasil analisis sensori, jumlah tepung yang digunakan dalam rasio formula, dan hasil rendemen. Formula terpilih untuk beras artifisial ubi kayu adalah 70:30, sedangkan untuk beras artifisial ubi jalar adalah 80:20 untuk tepung:pati. Hasil analisis kimia beras artificial ubi kayu formula 70:30 meliputi kadar kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, serat larut, serat tidak larut, kadar amilosa, dan daya cerna pati in vitro berturut-turut 6.0%, 0.7% (bk), 0.7% (bk), 1.9% (bk), 96.7% (bk), 6.0%, 7.1%, 29.6%, 62.4%. Sedangkan analisis kimia beras artificial ubi jalar formula 80:20 meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, serat larut, serat tidak larut, kadar amilosa, dan daya cerna pati in vitro berturut-turut adalah 6.3%, 1.0% (bk), 0.8% (bk), 2.3% (bk), 95.9% (bk), 4.8%, 7.1%, 31.7%, 54.8%.
viii
KATA PENGANTAR Segala puji syukur atas kasih, berkat dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk suka dan duka selama penelitan dan penulisan tugas akhir yang membuat penulis menjadi lebih dewasa. Penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan baik secara moril maupun material yang sangat berarti dari berbagai pihak dalam pelaksanaan dan penyelesaian tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian sebagai penyumbang dana untuk penelitian ini. 2. Papa, mama, dan koko yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, dan kepercayaan yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis hingga saat ini. Cinta kasih kalian tidak akan pernah terganti dan terlupakan. 3. Dr. Ir. Endang Prandimurti, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, dukungan serta nasehat membangun kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian tugas akhir. 4. Dr. Ir. Sri Widowati, MAppSc selaku dosen pembimbing akademik kedua yang telah membantu dan memberikan bimbingan serta nasehat membangun kepada penulis selama penelitian dan penyelesaian tugas akhir. 5. Dase Hunaefi, STP., MFood.ST selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan pikiran demi perbaikan skripsi ini. 6. Keluarga di Tanjung Priok, Ieie Ling-Ling, dan Icong Budi yang senantiasa memberikan nasehat dan memotivasi penulis serta Feli, Devi, dan Niko untuk hari-hari penuh kebahagiaan. 7. Teman-teman di Mbrio : Bu Wida, Bu Titi, Bu Etna, Bu Weni, Mbak Natria, Mbak Lina, Tori, Hendy, Erick, Pak Ichan, Mas Vikri dan Mas Poli atas nasehat dan dukungan kepada penulis selama menghadapi penelitian serta hari-hari yang membahagiakan selama penulis magang di Mbrio. 8. Teman-teman satu penelitian : Kak Arga, Mbak Prima, Rhais, Kak Hendra, dan Kak Akhyar atas kerjasama, dukungan, bantuan, dan semangat kepada penulis dari awal penelitian sampai tahap akhir penulisan. Semoga sukses.
ix
9. Teman-teman seperjuangan : Hans, Sherly, Willine, dan Yuliana atas persahabatan yang indah serta suka maupun duka selama 4 tahun di IPB. Semoga sampai kapanpun kenangan kita bersama tidak akan terlupakan. 10. Teman-Teman dalam penulisan : Rhais, Bima, dan Mpus atas bantuan dalam penyelesaian tugas akhir penulis dan waktu-waktu bersama di PITP. 11. Yoan dan Mpin atas pinjaman bukunya. 12. Pak Gatot dan Bu Rubiah atas bantuan, nasehat, dan saran kepada penulis selama tugas akhir. 13. Bu Hetty, Pak Heru, Bu Pia, staff, dan analis BB Pascapanen Bogor atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 14. Teman-teman ITP 40 : Andreas, Hendy, Kak Sarwo, Kak Aji atas bantuan dan bimbingan selama penulis menyelesaikan tugas akhir. 15. Golongan D dan teman-teman ITP 41 atas kebersamaannya selama ini. 16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan moril dan material yang diberikan. Semoga Tuhan memberkati dan semoga persahabatan kita tidak akan pernah lekang dimakan waktu. Thank you and good luck for you all. Bogor, April 2008 Penulis
x
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii DAFTAR TABEL ............................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii I. PENDAHULUAN.......................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG .............................................................................. 1 B. TUJUAN DAN SASARAN ...................................................................... 3 C. MANFAAT................................................................................................ 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4 A. PENGANEKARAGAMAN PANGAN ................................................... 4 B. UBI KAYU (Manihot esculenta) .............................................................. 5 1. Ubi kayu Secara Umum........................................................................5 2. Tepung Ubi kayu................................................................................. 8 3. Pati Ubi kayu (Tapioka)....................................................................... 9 C. UBI JALAR (Ipomea batatas) .................................................................. 12 1. Ubi jalar Secara Umum....................................................................... 12 2. Tepung Ubi jalar................................................................................. 15 3. Pati Ubi jalar....................................................................................... 16 D. BERAS ARTIFICIAL............................................................................... 18 III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 20 A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................... 20 B. METODE PENELITIAN .......................................................................... 20 1. Persiapan Bahan Baku ........................................................................ 20 2. Analisis Fisik dan Kimia Terhadap Bahan Baku Beras Artificial ...... 22 3. Pembuatan Beras Artificial.................................................................23 4. Metode Pemasakan Beras Artificial ................................................... 23 5. Analisis Fisik dan Kimia Terhadap Beras Artificial ……………......24 6. Analisis Sensori Terhadap Beras Artificial ………………………... 24
xi
7. Pemilihan Formula Terbaik.................................................................25 C. RANCANGAN PERCOBAAN………………………………………….25 D. METODE PENGAMATAN……………………………………………..26 Analisis Sifat Fisik……………………………………………………….26 1. Derajat Putih………………………………………………………….26 2. Bobot 1000 Butir……………………………………………………..26 3. Uji Amilografi………………………………………………………..26 4. Daya Serap Air……………………………………………………….27 5. Densitas Kamba…………………………………………………….. 27 Analisis Sifat Kimia……………………………………………………. 27 1. Proksimat…………………………………………………………… 27 a. Kadar Air………………………………………………………... .27 b. Kadar Abu………………………………………………………... 28 c. Kadar Lemak………………………………………………………29 d. Kadar Protein…………………………………………………….. 29 e. Kadar Karbohidrat……………………………………………….. 30 2. Kadar Amilosa……………………………………………………… 30 3. Kadar Serat Pangan…………………………………………………. 31 4. Daya Cerna Pati in vitro…………………………………………….. 33 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 35 A. PEMBUATAN BAHAN BAKU .............................................................. 35 1. Tepung Ubi kayu dan Ubi jalar……………… .................................. 35 2. Tepung Pati Ubi jalar………………………………….. ................... 35 B. ANALISIS FISIK DAN KIMIA BAHAN BAKU BERAS ARTIFICIAL36 1.
Uji Amilografi……………………………………………………… 36
2.
Warna (Whiteness Meter)………………………………………...… 40
3.
Proksimat…………………………………………………............... 42
4.
Kadar Serat………………………………………………................ 46
5.
Kadar Amilosa…………………………………………….............. 47
6.
Daya Cerna Pati in vitro…………………………………................ 49
C. PEMBUATAN BERAS ARTIFICIAL ...................................................... 51 D. METODE PEMASAKAN BERAS ARTIFICIAL……………………….54
xii
E. ANALISIS FISIK DAN KIMIA TERHADAP BERAS ARTIFICAL..... 56 1.
Daya Serap Air……………………………………………...............56
2.
Densitas Kamba…………………………………………................. 57
3.
Bobot 1000 Butir…………………………………………................58
4.
Proksimat………………………………………………….............. 59
5.
Kadar Serat………………………………………………............... 63
6.
Kadar Amilosa…………………………………………….............. 65
7.
Daya Cerna Pati in vitro…………………………………............... 66
F. ANALISIS SENSORI BERAS ARTIFICIAL ........................................... 68 G. PEMILIHAN FORMULA TERBAIK..................................................... 71 V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 72 A. KESIMPULAN...................... ................................................................... 72 B. SARAN....................... .............................................................................. 72 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 73 LAMPIRAN ......................................................................................................... 78
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 1
Data produksi dan konsumsi beras tahun 2003-2006......................... 1
Tabel 2
Komposisi kimia ubi kayu.................................................................. 6
Tabel 3
Komposisi kimia tepung ubi kayu ...................................................... 10
Tabel 4
Komposisi kimia tapioka.................................................................... 10
Tabel 5
Komposisi kimia ubi jalar ................................................................ 14
Tabel 6
Hasil uji amilografi bahan baku beras artificial ubi kayu.................. 37
Tabel 7
Hasil uji amilografi bahan baku beras artificial ubi jalar................... 38
Tabel 8
Kadar serat campuran tepung pada berbagai rasio ............................. 46
Tabel 9
Komposisi kimia keempat bahan baku beras artificial ubi kayu ....... 43
Tabel 10
Komposisi kimia keempat bahan baku beras artificial ubi jalar ........ 43
Tabel 11
Kadar serat pada keempat formula beras artificial ubi kayu ............. 46
Tabel 12
Kadar serat pada keempat formula beras artificial ubi jalar .............. 47
Tabel 13
Jumlah beras artificial yang sudah tergelatinisasi sempurna ............. 55
Tabel 14
Densitas kamba produk beras artificial..............................................58
Tabel 15
Bobot 1000 butir produk beras artificial ............................................ 59
Tabel 16
Komposisi kimia produk beras artificial ubi kayu ............................. 60
Tabel 17
Komposisi kimia produk beras artificial ubi jalar ............................. 60
Tabel 18
Kadar serat produk beras artficial ubi kayu........................................64
Tabel 19
Kadar serat produk beras artficial ubi jalar........................................ 64
Tabel 20
Hasil analisis sensori beras artificial ubi kayu mentah.......................68
Tabel 21
Hasil analisis sensori beras artificial ubi jalar mentah ....................... 69
Tabel 22
Hasil analisis sensori beras artificial ubi kayu matang ...................... 70
Tabel 23
Hasil analisis sensori beras artificial ubi jalar matang ....................... 70
xiv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Proses pembuatan tepung ubi kayu .................................................... 9 Gambar 2 Bagan proses pembuatan tapioka ....................................................... 12 Gambar 3 Proses pembuatan tepung ubi jalar ..................................................... 17 Gambar 4 Proses pembuatan pati ubi jalar.......................................................... 18 Gambar 5 Proses pembuatan tepung ubi kayu/ubi jalar ...................................... 21 Gambar 6 Proses pembuatan pati ubi jalar.......................................................... 22 Gambar 7 Proses pembuatan beras artificial ...................................................... 24 Gambar 8 Hasil analisis warna bahan baku beras artificial ubi kayu dengan whiteness meter...................................................................................41 Gambar 9 Hasil analisis warna bahan baku beras artificial ubi jalar dengan whiteness meter....................................................................................42 Gambar 10 Kadar amilosa pada keempat formula beras artificial ubi kayu........ 48 Gambar 11 Kadar amilosa pada keempat formula beras artificial ubi jalar.........48 Gambar 12 Daya cerna pati in vitro keempat formula beras artificial ubi kayu .. 50 Gambar 13 Daya cerna pati in vitro keempat formula beras artificial ubi jalar ... 50 Gambar 14 Mesin pembutir .................................................................................. 52 Gambar 15 Beras artificial mentah........................................................................53 Gambar 16 Hasil rendemen pembuatan beras artifisial ........................................ 54 Gambar 17 Beras artificial matang ..... ................................................................. 55 Gambar 18 Daya serap air keempat produk beras artificial ubi kayu...................56 Gambar 19 Daya serap air keempat produk beras artificial ubi jalar....................57 Gambar 20 Kadar amilosa produk beras artificial ubi kayu.................................65 Gambar 21 Kadar amilosa produk beras artificial ubi jalar.................................66 Gambar 22 Daya cerna pati in vitro produk beras artificial ubi kayu...................67 Gambar 23 Daya cerna pati in vitro produk beras artificial ubi jalar....................67
15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil analisis sidik ragam sensori parameter aroma pada beras artifisial ubi kayu mentah .............................................................. 78
Lampiran 2
Hasil analisis sidik ragam sensori parameter aroma pada beras artifisial ubi jalar mentah ............................................................... 78
Lampiran 3
Uji Duncan parameter warna pada beras artificial ubi kayu mentah 78
Lampiran 4
Uji Duncan parameter warna pada beras artificial ubi jalar mentah 78
Lampiran 5
Uji Duncan parameter secara umum pada beras artificial ubi kayu mentah ........................................................................................... 79
Lampiran 6
Uji Duncan parameter secara umum pada beras artificial ubi jalar mentah ........................................................................................... 79
Lampiran 7
Hasil analisis sidik ragam sensori parameter tekstur (kelengketan) pada beras artifisial ubi kayu matang ............................................ 79
Lampiran 8
Uji Duncan parameter tekstur (kelengketan) pada beras artificial ubi jalar mentah ............................................................................. 79
Lampiran 9
Uji Duncan parameter rasa pada beras artificial ubi kayu matang 80
Lampiran 10 Uji Duncan parameter rasa pada beras artificial ubi jalar matang 80 Lampiran 11 Uji Duncan parameter warna pada beras artificial ubi kayu matang 80 Lampiran 12 Hasil analisis sidik ragam sensori parameter warna pada beras artifisial ubi jalar matang ............................................................... 80 Lampiran 13 Hasil analisis sidik ragam sensori parameter aroma pada beras artifisial ubi kayu matang .............................................................. 81 Lampiran 14 Hasil analisis sidik ragam sensori parameter aroma pada beras artifisial ubi jalar matang .............................................................. 81 Lampiran 15 Uji Duncan parameter secara umum pada beras artificial ubi kayu matang ........................................................................................... 81 Lampiran 16 Uji Duncan parameter secara umum pada beras artificial ubi jalar matang ........................................................................................... 81
16
Lampiran 17 Uji Duncan warna (Whiteness meter) pada bahan baku beras artificial ubi kayu .......................................................................... 82 Lampiran 18 Uji Duncan warna (Whiteness meter) pada bahan baku beras artificial ubi jalar........................................................................... 82 Lampiran 19 Uji Duncan kadar air pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu .......................................................................... 83 Lampiran 20 Uji Duncan kadar air pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar........................................................................... 83 Lampiran 21 Uji Duncan kadar abu pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu .......................................................................... 83 Lampiran 22 Uji Duncan kadar abu pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar........................................................................... 83 Lampiran 23 Uji Duncan kadar protein pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu .......................................................................... 84 Lampiran 24 Hasil analisis sidik ragam kadar protein pada keempat formula bahan baku beras artifisial ubi jalar ............................................... 84 Lampiran 25 Uji Duncan kadar lemak pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu .......................................................................... 84 Lampiran 26 Uji Duncan kadar lemak pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar........................................................................... 84 Lampiran 27 Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat pada keempat formula bahan baku beras artifisial ubi kayu .............................................. 85 Lampiran 28 Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat pada keempat formula bahan baku beras artifisial ubi jalar ............................................... 85 Lampiran 29 Uji Duncan kadar serat tidak larut pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu ........................................................ 85 Lampiran 30 Uji Duncan kadar serat tidak larut pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar ........................................................ 85 Lampiran 31 Uji Duncan kadar serat larut pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu ................................................................ 86 Lampiran 32 Uji Duncan kadar serat larut pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar ................................................................. 86
17
Lampiran 33 Uji Duncan kadar amilosa pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu .......................................................................... 86 Lampiran 34 Uji Duncan kadar amilosa pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar........................................................................... 86 Lampiran 35 Uji Duncan daya cerna pati pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu ................................................................ 87 Lampiran 36 Uji Duncan daya cerna pati pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar ................................................................. 87 Lampiran 37 Uji Duncan daya serap air pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu .......................................................................... 87 Lampiran 38 Uji Duncan daya serap air pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar........................................................................... 87 Lampiran 39 Hasil analisis sidik ragam bobot 1000 butir pada keempat formula beras artifisial ubi kayu ................................................................. 88 Lampiran 40 Uji Duncan bobot 1000 butir pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar ................................................................. 88 Lampiran 41 Hasil analisis sidik ragam densitas kamba pada keempat formula beras artifisial ubi kayu ................................................................. 88 Lampiran 42 Hasil analisis sidik ragam densitas kamba pada keempat formula beras artifisial ubi jalar .................................................................. 88 Lampiran 43 Uji Duncan kadar air pada beras artificial ubi kayu ..................... 89 Lampiran 44 Uji Duncan kadar air pada beras artificial ubi jalar ...................... 89 Lampiran 45 Uji Duncan kadar abu pada beras artificial ubi kayu .................... 89 Lampiran 46 Uji Duncan kadar abu pada beras artificial ubi jalar .................... 89 Lampiran 47 Uji Duncan kadar protein pada beras artificial ubi kayu .............. 90 Lampiran 48 Hasil analisis sidik ragam kadar protein pada beras artifisial ubi jalar................................................................................................ 90 Lampiran 49 Uji Duncan kadar lemak pada beras artificial ubi kayu ................ 90 Lampiran 50 Uji Duncan kadar lemak pada beras artificial ubi jalar ................ 90
18
Lampiran 51 Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat pada beras artifisial ubi kayu ......................................................................................... 91 Lampiran 52 Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat pada beras artifisial ubi jalar.......................................................................................... 91 Lampiran 53 Uji Duncan kadar serat tidak larut beras artificial ubi kayu ......... 91 Lampiran 54 Uji Duncan kadar serat tidak larut pada beras artificial ubi jalar . 91 Lampiran 55 Uji Duncan kadar serat larut pada beras artificial ubi kayu.......... 91 Lampiran 56 Uji Duncan kadar serat larut pada beras artificial ubi jalar .......... 92 Lampiran 57 Uji Duncan kadar amilosa pada beras artificial ubi kayu ............. 92 Lampiran 58 Uji Duncan kadar amilosa pada beras artificial ubi jalar.............. 92 Lampiran 59 Uji Duncan daya cerna pati pada beras artificial ubi kayu ........... 92 Lampiran 60 Uji Duncan daya cerna pati pada beras artificial ubi jalar ............ 93 Lampiran 61 Uji Duncan rendemen pembuatan beras artifisial ubi kayu .......... 93 Lampiran 62 Uji Duncan rendemen pembuatan beras artifisial ubi jalar ........... 93 Lampiran 63 Lembar analisis sensori beras artificial ubi kayu mentah ............. 94 Lampiran 64 Lembar analisis sensori beras artificial ubi kayu matang ............. 95 Lampiran 65 Lembar analisis sensori beras artificial ubi jalar mentah.............. 96 Lampiran 66 Lembar analisis sensori beras artificial ubi jalar matang.............. 97
19
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap konsumsi beras sebagai makanan pokok telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Beras telah menjadi pemasok utama karbohidrat bagi mayoritas bahkan hampir seluruh masyarakat Indonesia. Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras telah menjadi sebuah masalah pangan yang berkelanjutan. Persepsi masyarakat bahwa jika belum mengkonsumsi beras (nasi) maka dikatakan belum makan meskipun perut telah diisi dengan makanan. Persepsi yang telah mendarah daging ini menjadi suatu konsep pemikiran yang menyimpang. Hal inilah yang menyebabkan tingginya tingkat konsumsi beras perkapita penduduk Indonesia tiap tahunnya (Samad 2003). Pemerintah bersama para ilmuwan kini berupaya keras mencari sumber-sumber bahan pangan baru selain beras mengingat besarnya ketergantungan
masyarakat
Indonesia
terhadap
satu
macam
sumber
karbohidrat saja. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang sangat cepat menyebabkan tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia secara signifikan terus meningkat tiap tahunnya. Masalah yang terjadi adalah peningkatan konsumsi beras ini tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah beras yang diproduksi negara Indonesia (Tabel 1). Pada saat yang bersamaan keberadaan berbagai pangan lokal sumber karbohidrat sudah terlupakan. Hal ini menjadi penyebab utama terjadinya impor beras oleh Indonesia setiap tahunnya untuk mencukupi kebutuhan akan beras dalam negeri.
Tabel 1 Data produksi dan konsumsi beras tahun 2003-2006 Tahun 2003 2004 2005 2006
Kebutuhan (ton) 33.372.463 33.669.384 33.768.921 33.936.784
Sumber : Departemen Pertanian, 2008
Produksi Tersedia (ton) 30.892.021 31.200.941 31.351.097 31.454.937
Impor (US$) 186.099.713 37.761.623 5.699.079 83.217.040
20
Pemerintah
Indonesia
tengah
berupaya
hingga
kini
agar
ketergantungan penduduk Indonesia terhadap beras dapat dikurangi. Pada Hari Pangan tahun 2000, pemerintah mencanangkan ketahanan pangan melalui penganekaragaman pangan (diversifikasi). Banyaknya sumber daya pangan lain selain beras yang berpotensi namun kurang dimanfaatkan sebagai makanan pokok memungkinkan diversifikasi pangan dapat diwujudkan. Komoditi-komoditi
pertanian
yang
masih
dapat
dikembangkan
dan
dimanfaatkan lebih luas antara lain serealia (jagung), umbi-umbian (ubi jalar, ubi kayu, kentang, talas, garut) serta tanaman pohon (sagu, pisang). Di Indonesia, ubi kayu adalah makanan pokok ketiga terpenting, setelah beras dan jagung (Darjanto dan Murjati 1980). Ubi kayu termasuk bahan pangan yang kaya akan karbohidrat. Tanaman ini banyak terdapat di daerah tropis, khususnya negara Indonesia, khususnya di daerah Jawa, Sumatra Selatan, dan Kalimantan (Lingga et al. 1986). Hingga saat ini, produksi tanaman ubi kayu di Indonesia cukup besar namun belum dioptimalkan pemanfaatannya sebagai makanan sumber karbohidrat. Padahal jika ubi kayu diolah dengan baik, hasilnya tidak kalah dengan bahan pangan lainnya. Ubi kayu masih dipandang merupakan makanan inferior bagi sebagian orang sehingga belum banyak yang mengembangkannya dalam skala yang bernilai ekonomis tinggi. Mayoritas masyarakat Indonesia mengonsumsi ubi kayu sebagai makanan ringan, bukan sebagai makanan pokok. Ubi kayu biasanya diolah dengan cara direbus, digoreng, atau dikukus. Perlunya dikembangkan suatu produk pangan baru berbasis ubi kayu untuk meningkatkan nilai ekonomis dari ubi kayu sendiri mengingat potensi ubi kayu sebagai salah satu alternatif pengganti nasi. Di Indonesia, ubi jalar masih dianggap sebagai makanan inferior. Hal tersebut ditandai dengan penurunan konsumsi ubi jalar seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Sebaliknya terjadi pada beras, semakin tinggi pendapatan masyarakat, konsumsi beras akan meningkat. Sebagai bahan pangan sumber karbohidrat utama, ubi jalar menduduki tingkat keempat setelah beras, jagung dan ubi kayu (Darmardjati dan Widowati 1994). Ubi
21
jalar di Indonesia umumnya dikonsumsi dalam bentuk olahan primer yaitu dibuat menjadi makanan kecil seperti ubi rebus, ubi kukus, ubi panggang, keripik ubi, dan kolak ubi. Hanya di beberapa daerah Papua dan Maluku, ubi jalar dijadikan sebagai makanan pokok tetapi sudah banyak yang beralih ke beras. Produk olahan ubi jalar seperti tepung, pasta, puree, dan mash ubi jalar yang berasal dari industri pangan pada umumya diekspor, bukan untuk konsumsi dalam negeri. Pemanfaatan ubi kayu dan ubi jalar sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan yang siap santap dan mudah diperoleh. Salah satunya melalui pengembangan beras artifisial sebagai pengganti nasi. Produk ini diharapkan dapat mendukung program diversifikasi pangan dan meningkatkan nilai tambah ubi kayu dan ubi jalar yang selanjutnya dapat meningkatkan produktivitas petani, dan pada akhirnya dapat membantu mewujudkan swasembada pangan di Indonesia.
B. TUJUAN DAN SASARAN Penelitian ini bertujuan mengembangkan produk pangan baru berbasis ubi kayu dan ubi jalar yakni beras artificial sebagai alternatif pangan pendamping nasi dan menentukan formulasi yang tepat dalam pembuatan beras artifisial serta menganalisis sifat fisik, kimia, dan sensorinya. Sasaran penelitian ini adalah mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras dengan memberikan produk alternatif pendamping beras sehingga mengatasi masalah impor dan harga beras yang semakin meningkat.
C. MANFAAT Manfaat dari penelitian
ini adalah memberikan informasi tentang
pembuatan produk yang berbasis bahan pangan lokal. Di lain pihak juga memberikan alternatif pengolahan ubi kayu dan ubi jalar dalam bentuk yang lebih mudah dikonsumsi masyarakat sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis dari tanaman ubi kayu dan ubi jalar.
22
II. TINJAUAN PUSTAKA A. PENGANEKARAGAMAN PANGAN Salah satu langkah kebijaksanaan pangan dan gizi adalah Penganekaragaman
Konsumsi
Pangan
atau
dikenal
dengan
sebutan
Diversifikasi Konsumsi Pangan. Diversifikasi pangan diartikan sebagai upaya untuk menganekaragamkan pola konsumsi pangan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk (Almatsier 2001). Penganekaragaman pangan sangat penting untuk menghindari ketergantungan pada satu jenis makanan, misalnya beras. Pemanfaatan sumber daya alam yang beraneka ragam jenisnya turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adanya diversifikasi pangan mendorong munculnya pemikiran untuk mengganti makanan pokok nasi dengan bahan pangan lainnya yang juga dapat berfungsi sebagai sumber karbohidrat. Beberapa produk makanan yang mungkin dapat menggantikan beras adalah ubi kayu, ubi jalar, talas, dan umbiumbian lainnya. Bahan-bahan pangan ini masih belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk dikonsumsi masyarakat. Adapun kendala yang dihadapi adalah bahan pangan tersebut tidak tahan lama sehingga harus diolah lebih lanjut dengan tujuan memperpanjang umur simpannya. Selain itu, adanya persepsi masyarakat yang menyebutkan jika mengonsumsi bahan pangan lain selain beras dianggap kurang bergengsi dibandingkan jika mengonsumsi nasi. Sebagai tanaman yang cukup potensial, tentunya umbi-umbian tersebut sudah sepatutnya untuk dikembangkan. Hasilnya selain dapat digunakan sebagai penganekaragaman menu rakyat, juga mempunyai prospek yang penting sebagai bahan dasar industri. Maka tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa tanaman umbi-umbian tersebut jika dikembangkan akan dapat menjadi tanaman komersial di bidang pertanian, paling tidak tanaman umbi-umbian yang lain bisa setaraf popularitasnya dengan ubi kayu. Soenardi
(2002)
menyebutkan
bahwa
mengubah
kebiasaan
mengonsumsi nasi dengan makanan lain tidaklah mudah. Terlebih lagi jika hanya nasi diganti dengan bahan lain sementara lauk-pauknya tetap seperti
23
untuk menemani nasi. Hal tersebut tentulah akan ditolak masyarakat karena berdasarkan kebiasaan lauk-pauk tersebut lebih enak rasanya jika dikonsumsi bersama dengan nasi. Namun bila bahan pangan tersebut diolah dalam bentuk lain meskipun campuran lauknya menggunakan selera tradisional atau yang telah mengena di lidah tentulah akan lebih mudah diterima karena merupakan resep baru dengan selera baru.
B. UBI KAYU (Manihot esculenta) 1. Ubi kayu Secara Umum Ubi kayu atau singkong termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, famili Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas. Umbi yang terbentuk merupakan akar yang berubah bentuk dan fungsinya sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan (Grace 1977). Komposisi kimia ubi kayu disajikan pada Tabel 2 Dari segi komposisi zat gizinya, kandungan utama ubi kayu adalah karbohidrat. Oleh karena itu ubi kayu dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat pendamping beras. Umbi ubi kayu memiliki bentuk bulat memanjang dengan daging umbi yang mengandung pati. Pada umumnya umbi ubi kayu direbus, dikukus atau digoreng untuk dikonsumsi. Selain itu, ubi kayu dapat pula digunakan sebagai bahan baku industri pangan, kimia, farmasi, dan tekstil. Daun ubi kayu yang masih muda banyak mengandung vitamin A sehingga baik untuk hidangan sayur, sedangkan daunnya yang tua dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Ubi kayu memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat tumbuh di lahan kering dan kurang subur, daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi, daun dan umbi dapat diolah menjadi aneka makanan (Lingga 1986). Umbi ubi kayu dapat diolah menjadi gula cair (high fructose) dan makanan ternak serta dapat pula sebagai bahan bakar yang disebut etanol.
24
Tabel 2 Komposisi kimia ubi kayu (per-100 g bahan) No
Komponen
Ubi kayu
Ubi kayu
putih
kuning
146.00
157.00
1.
Kalori (kkal)
2.
Protein (gram)
0.80
0.80
3.
Lemak (gram)
0.30
0.30
4.
Karbohidrat (gram)
34.70
37.90
5.
Air (gram)
62.50
60.00
6.
Kalsium (mg)
33.00
33.00
7.
Fosfor (mg)
40.00
40.00
8.
Zat besi (mg)
0.70
0.70
9.
Asam askorbat (mg)
30.00
30.00
10. Thiamin (mg)
0.06
0.06
11. Vitamin A (IU)
0.00
385.00
75.00
75.00
12. Bagian yang dapat dimakan (%) Sumber : Departemen Kesehatan (1992)
Hampir seluruh bagian dari tanaman ubi kayu dapat dimanfaatkan namun hingga saat ini tanaman ini masih jarang dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh masyarakat. Kelemahan utama yang menyebabkan ubi kayu kurang diterima secara menyeluruh dan hanya dimanfaatkan sebagai makanan pokok di daerah pedesaan disebabkan karena kandungan racun glikosida sianogenik (linamarin). Glikosida tersebut tidak bersifat racun, tetapi asam sianida (HCN) yang dibebaskan oleh enzim linamerase secara hidrolisis yang bersifat racun (Tjokroadikoesoemo 1986). Menurut Balagopalan et al. (1988) di dalam ubi kayu terdapat glikosida sianogenik yang terdiri dari 93% Linamarin dan 7% Lotaustralin. Linamarin disintesis dari asam amino valin dan isoleusin. Glikosida tersebut tidak bersifat toksik tetapi asam sianida yang dibebaskan oleh enzim linamarinase secara hidrolisis bersifat toksik. Pembebasan HCN terjadi melalui dua tahap. Pertama, hidolisa oleh Linamarinase
25
menghasilkan sianohidrin dan glukosa. Kedua, tahap dissosiasi sianohidrin menjadi HCN dan aldehida. Menurut Grace (1977), berdasarkan kandungan HCN-nya maka ubi kayu dibagi menjadi dua kategori penting, yaitu ubi kayu pahit (Manhihot palmata) dan ubi kayu manis (Manihot aipi). Selanjutnya Darjanto dan Murjati (1980) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar HCN dalam umbi ubi kayu adalah varietas (faktor genetik), lingkungan, umur, dan cara bertanam. Umbi ubi kayu, baik yang mempunyai rasa manis maupun pahit selalu mengandung HCN. Pada umumnya yang tergolong pahit mempunyai kadar HCN lebih tinggi dibandingkan dengan yang mempunyai rasa manis. Akibat pengupasan dan perendaman ubi kayu terjadi penurunan kadar HCN, derajat putih, kadar protein dan kenaikan pH selama penyimpanan 0-6 hari. Pengupasan umbi merupakan cara terbaik untuk mengurangi racun, karena pada umumnya kulit umbi mempunyai kadar HCN 3-5 kali lebih besar daripada daging umbi. Menurut Darjanto dan Murjati (1980), pada umumnya dapat dikatakan bahwa umbi yang dapat dimakan itu hanya mengandung HCN kurang dari 50 mg/HCN/kg, sedang yang sangat beracun mengandung lebih dari 100 mg/HCN/kg, yang beracun sedang mengandung antara 50100 mg/HCN/kg, dan biasanya setelah direbus masih dapat dimakan. Balagopalan et al. (1988) mengatakan meskipun ubi kayu mengandung racun yang membahayakan, namun ubi kayu telah dikonsumsi secara umum tanpa adanya efek keracunan yang berarti. Hal ini dikarenakan metode pengolahan secara tradisional mampu mengurangi kandungan sianida umbi hingga batas yang tidak membahayakan kesehatan. Proses pengolahan yang mampu mereduksi kandungan sianida dalam ubi kayu adalah perendaman, pengeringan, perebusan, fermentasi, dan kombinasi dari proses-proses tersebut. Menurut Darjanto dan Murjati (1980), hal ini disebabkan glukosida yang mengandung HCN pada ubi kayu adalah suatu bahan padat yang tahan terhadap pemanasan hingga
26
suhu 140OC. Hal ini berarti bahwa dengan perlakuan perebusan saja belum cukup untuk menghilangkan HCN dengan sempurna. Selanjutnya diberitahukan bahwa menurut Darjanto dan Murjati (1980) banyaknya HCN yang terkandung di dalam umbi-umbi dari satu pohon itu tidak selalu sama, bahkan antara umbi-umbi yang kecil, pertengahan dan yang besar dari satu pohon itu sering terdapat perbedaan kadar HCN yang sangat besar. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar HCN dalam umbi adalah sifat jenis tanaman, keadaaan tanah, iklim, umur tanaman, dan cara bertanam.
2. Tepung Ubi kayu Menurut SNI 01-2997-1992, tepung ubi kayu adalah tepung yang dibuat dari bagian umbi ubi kayu yang dapat dimakan, melalui penepungan ubi kayu iris/parut/bubur kering dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan kebersihan. Tepung ubi kayu memiliki rasa netral (bland) yang menguntungkan karena memungkinkan pencampurannya dengan bermacam-macam bahan makanan lain maupun bumbu-bumbu (Tjahjadi 1989). Proses pembutatan tepung ubi kayu cukup sederhana dan dapat dilakukan baik dalam skala rumah tangga maupun skala industri kecil. Tepung ubi kayu dapat dibuat melalui dua cara, yaitu melalui proses pembuatan ubi kayu iris kering atau melalui pembuatan ubi kayu parut kering, yang kemudian ditepungkan. Proses pembuatan tepung ubi kayu selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1. Proses pengolahan tepung ubi kayu yang lebih sederhana dibanding proses pengolahan tapioka dan jumlah kebutuhan air dalam proses pengolahan tapioka, memberikan keuntungan bagi produsen tepung ubi kayu. Jumlah kebutuhan air dalam proses pengolahan tepung ubi kayu sepertiga sampai seperempat dari jumlah limbah cair dalam produksi tapioka.
27
Skema A
Skema B
Ubi kayu segar
Ubi kayu segar
Dikupas
Dikupas
Dicuci
Dicuci
Diparut
Dipotong
Diperas airnya
Dikeringkan
Dikeringkan
Ditepungkan
Ditepungkan
Tepung ubi kayu Gambar 1 Proses pembuatan tepung ubi kayu (Grace 1977).
Manfaat tepung ubi kayu sangat luas. Tepung ubi kayu dapat digunakan sebagai bahan baku utama atau sebagai bahan campuran untuk pembuatan berbagai jenis makanan antara lain roti, mie, kue-kue, donat, biskuit dan lainnya (Grace 1977). Komposisi zat gizi ubi kayu yang telah mengalami proses pengolahan menjadi tepung ubi kayu ditunjukkan pada Tabel 3.
3. Pati Ubi kayu (Tapioka) Tapioka adalah pati berupa tepung yang diperoleh dari hasil ekstraksi ubi kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai industri. Selain kandungan utamanya yang berupa pati, tapioka masih mengandung sedikit protein dan lemak, seperti pada Tabel 4.
28
Tabel 3 Komposisi kimia tepung ubi kayu (per-100 g bahan) Komponen
Jumlah (%)
Air
11.5
Pati
83.8
Lemak
0.9
Protein
1.0
Serat
2.1
Abu
0.7
HCN (ppm)
29.0
Sumber : Darjanto dan Murjati (1980)
Tabel 4 Komposisi kimia tapioka (per 100 g bahan) Komposisi
Jumlah (%)
Serat
0.5
Air
15
Karbohidrat
85
Protein
0.5 – 0.7
Lemak
0.2
Energi (kalori)
307
Sumber : Grace (1997)
Menurut
Darjanto dan Murjati (1980), untuk dibuat tapioka
umbinya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Kadar proteinnya harus rendah, sedapat mungkin kurang dari 1,3%. Tapioka yang mengadung protein lebih dari 2% warnanya kurang putih dan tepungnya tidak dapat disimpan lebih lama serta akan lekas off flavor. Selain itu pekerjaan membuat tepung dari umbi yang banyak mengandung protein menjadi lebih sukar dan memakan waktu lama karena banyaknya lendir yang menghambat proses pengendapan pati. 2. Tepungnya mempunyai viskositas yang tinggi (kental).
29
3. Umbinya boleh mengandung HCN lebih dari pada 100 mg per-kg umbi. Dalam
pembuatan tapioka, umbinya diparut dan sel-sel
akan rusak sehingga enzim linamerase dapat memecah linamarin (sianogenik glukosida) menjadi glukosida dan HCN. Proses pembuatan tapioka membutuhkan banyak sekali air karena air dalam pengendapan harus sering diperbaharui, maka baik glukosida maupun HCN akan terbuang.. 4. Ampas, serat, serta kotoran lain tidak boleh terdapat banyak di dalam umbi segar, agar dapat diperoleh rendemen yang tinggi. 5. Ubi kayu yang ditanam berumur panjang. Pada umur 8-12 bulan umbi sudah banyak mengadung pati. Waktu panen yang terlalu lama akan menghasilkan umbi yang berkayu (Lingga et al. 1986).
Sebagai bahan baku industri pangan, tapioka telah banyak digunakan sebagai sumber karbohidrat (sumber kalori) maupun sebagai pengental (thickener). Bagan proses pembuatan tapioka dapat dilihat pada Gambar 2. Dalam pembuatan tapioka berbagai faktor harus diperhatikan untuk memperoleh tapioka yang bermutu tinggi. Mutu tapioka ditentukan oleh kadar air, kotoran, derajat putih dan kekentalan. Derajat putih sangat ditentukan oleh kebersihan air yang digunakan dalam proses pembuatan tapioka. Kekentalan tapioka yang biasa diuji dengan alat viskosimeter Engler, dipengaruhi oleh umur ubi kayu. Ubi kayu muda menghasilkan tapioka dengan kekentalan yang rendah. Umur yang baik untuk pembuatan tapioka minimal 8 bulan (Somaatmadja 1984). Keuntungan dari tapioka adalah harganya murah dan dapat memberikan dekstrin dengan kelarutan yang baik, cita rasa netral serta warna terang pada produk (Radley 1976). Tapioka memiliki rasa boyak (bland) sehingga tidak mengganggu terbentuknya cita rasa makanan (Furia 1968). Karena itu tapioka digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan beras artifisial dalam penelitian ini. Salah satunya adalah
30
membentuk viskositas yang lebih tinggi sehingga tepung ubi kayu dapat menggumpal dan membentuk butiran.
Ubi kayu
Pengupasan kulit dan pencucian
Pemarutan
Pengendapan pati dengan penambahan air
Pengendapan
Pemisahan air
Pengeringan
Tapioka Gambar 2 Bagan proses pembuatan tapioka. (Lingga et al. 1986).
C. UBI JALAR (Ipomoea batatas) 1. Ubi jalar Secara Umum Dalam bahasa latin ubi jalar disebut Ipomoea batatas. Tanaman ini tergolong famili Convolvulaceae (suku kangkung-kangkungan), dan terdiri tidak kurang dari 400 species. Tanaman ini termasuk jenis tanaman yang memerlukan penyinaran (hari) pendek, sekitar 11 jam per hari. Tanaman ini merupakan tanaman yang sangat efisien dalam mengubah energi matahari ke bentuk energi kimia berupa karbohidrat. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya kalori yang diasimilasikan per satuan luas dan waktu, yakni mencapai 215 kg/kal/ha/hari. Sedangkan tanaman-tanaman lain
31
hanya bisa mencapai 150 kg/kal/ha/hari (Lingga et al. 1986). Oleh karena itu para ahli menyebut ubi jalar sebagai tanaman yang paling efisien menyimpan energi matahari dalam bentuk bahan makanan. Daun ubi jalar berselang-seling berbentuk spiral sepanjang batang dengan pola 2/5 filotaksi. Bentuk dan ukuran daun sangat bervariasi dengan pola shouldered, toothed, entire, parted, dan lobed. Begitu pula pola warna daun dan tangkainya sangat bervariasi dan dapat digunakan sebagai petunjuk dalam pengenalan varietasnya. Bentuk dan penampakan bunga mirip dengan bunga tanaman hias morning glories, dengan panjang 1.5 – 2 inch dan lebar bagian mulut bunga 1-1,5 inch. Warna bunga lembayung muda hingga ungu tua. Umbi tanaman ubi jalar adalah akar yang membesar dan sebagai makanan cadangan bagi tanaman, dengan bentuk antara lonjong sampai agak bulat. Warna kulit umbi bervariasi ada yang putih kotor, kuning, merah muda, jingga dan ungu tua. Warna daging putih, krem, merah muda, kekuning-kuningan, dan jingga tergantung jenis dan banyaknya pigmen yang terdapat pada kulit. Pigmen yang terdapat di dalam ubi jalar adalah karotenoid dan antosianin. Ubi jalar merupakan sumber energi yang baik dalam bentuk karbohidrat. Komposisi kimia ubi jalar dipengaruhi oleh varietas, lokasi, dan musim tanam. Pada musim kemarau, varietas yang sama akan menghasilkan kadar tepung yang lebih tinggi dibanding musim penghujan. Komposisi kimia ubi jalar ditunjukkan dalam Tabel 5. Selain
sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga merupakan
sumber vitamin dan mineral. Diharapkan dengan mengonsumsi ubi jalar sebagai makanan tambahan dapat meningkatkan asupan vitamin A dan C yang pada beras sangat rendah kadarnya. Ubi jalar mengandung vitamin A dalam bentuk pro-vitamin A sampai mencapai 7000 IU/100g (Damarjati dan Widowati 1994). Mineral Ca pada ubi jalar cukup tinggi yakni sekitar 30 mg/100g bahan. Selain mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh, ubi jalar juga mengadung zat anti gizi yakni tripsin inhibitor, dengan jumlah 0.26 – 43.6 IU/100g ubi jalar segar. Tripsin inhibitor
32
tersebut akan menutup gugus aktif enzim tripsin sehingga aktivitas enzim tersebut terhambat dan tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pemecah protein. Namun demikian, aktivitas tripsin inhibitor tersebut dapat dihilangkan dengan pengolahan sederhana yakni dengan cara pengukusan, perebusan dan pemasakan.
Tabel 5 Komposisi kimia ubi jalar (per-100 g bahan) No.
Komposisi
Ubi jalar putih
kuning
123.00
123.00
1
Kalori (kal)
2
Protein (g)
1.80
1.80
3
Lemak (g)
0.70
0.70
4
Karbohidrat (g)
27.90
27.90
5
Kalsium (mg)
30.00
30.00
6
Fosfor (mg)
49.00
49.00
7
Zat besi (mg)
0.70
0.70
8
Natrium (mg)
-
-
9
Kalium (mg)
-
-
10
Niacin (mg)
-
-
11
Vitamin A (SI)
12
60.00
7700.00
Vitamin B1 (mg)
0.90
0.90
13
Vitamin B2 (mg)
-
-
14
Vitamin C (mg)
22.00
22.00
15
Air (g)
68.50
68.50
16
Bagian yang dapat dimakan (%)
86.00
86.00
Sumber : Departemen Kesehatan, 1992
Senyawa lain yang tidak menguntungkan pada ubi jalar adalah senyawa-senyawa penyebab flatulensi. Flatulens disebabkan oleh beberapa jenis gula oligosakarida seperti stakiosa, rafinosa dan verbaskosa. Komponen gas yang dominan yang keluar adalah gas karbondioksida dan
33
gas hydrogen sulfide. Dalam jumlah kecil juga dihasilkan gas metana, nitrogen dan oksigen. Oligosakarida penyebab flatulens ini tidak dapat dicerna oleh bakteri karena tidak adanya enzim galaktosidase, tetapi dicerna oleh bakteri pada usus bagian bawah (Palmer 1982). Winarno (1981) mengatakan, pada proses pengolahan ubi jalar yang modern, biasanya ubi jalar dikupas menggunakan larutan basa atau dengan menggunakan uap panas. Penggunaan ubi jalar selain direbus atau dibuat makanan yang langsung dikonsumsi juga dibuat tepung dan sirup glukosa. Sirup glukosa ubi jalar diperoleh dengan hidrolisis pati dengan katalis asam atau enzim, kemudian dinetralkan dan dipekatkan seperti pada pembuatan sirup jagung. Hidrolisa pati dengan katalis asam diperoleh rendemen yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan katalis enzim. Namun hidrolisis menggunakan katalis enzim dapat mencegah hilangnya flavor dan perubahan warna sirup. Pemanfaatan ubi jalar di Indonesia pada umumnya masih relatif sedikit dan baru dikonsumsi dalam bentuk olahan primer yaitu dibuat menjadi makanan kecil seperti ubi rebus, ubi kukus, ubi panggang, keripik ubi, dan kolak ubi. Hanya di beberapa daerah Irian Jaya dan Maluku ubi jalar dikonsumsi sebagai makanan pokok. Namun konsumsi komoditas ini juga telah semakin berkurang secara bertahap karena masyarakat setempat cenderung beralih mengkonsumsi beras. Produk olahan lainnya antara lain keremes, keripik/ceriping, dan sebagainya. Selain itu ubi jalar juga digunakan dalam pembuatan saos sebagai pengisi (filler). Produk-produk ini umumnya diproduksi oleh industri pangan skala kecil seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Meskipun akhir-akhir ini telah diproduksi berbagai produk olahan ubi jalar seperti tepung, pasta, dan mash ubi jalar oleh beberapa industri pangan, tetapi semua produk ini diekspor atau bukan untuk konsumsi dalam negeri.
2. Tepung Ubi jalar Tepung ubi jalar memiliki kegunaan yang sangat beragam, baik sebagai bahan baku industri pangan maupun industri kimia. Kelebihan ubi
34
jalar bentuk tepung dibandingkan dengan bentuk segar atau bentuk sawut maupun chip adalah penyimpanan menjadi lebih mudah dan lebih praktis dengan kebutuhan ruang yang lebih sedikit, daya simpan lebih lama, memudahkan transportasi serta memungkinkan bentuk olahan berikutnya lebih beragam. Di India, tepung ubi jalar diproduksi dengan cara dikeringkan menggunakan sinar matahari dan tepung ini digunakan untuk produkproduk roti (bakery), kue (bread) dan bahan ”pudding”. Tepung ubi jalar ini juga dapat diproduksi dengan pengering semprot (spray drier) atau pengering bertingkat (cabinet drier) dari irisan-irisan yang dibuat. Irisanirisan yang sudah kering digiling dengan ukuran mesh tertentu untuk mendapatkan tepung ubi jalar (Gambar 3). Penambahan metabisulfit pada perendaman irisan-irisan ubi jalar berguna untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan pada ubi jalar (Winarno 1992). Tepung ubi jalar apabila diproduksi secara komerisal dalam jumlah besar dapat menggantikan sebagian peranan tepung gandum. Kelebihan tepung ubi jalar dibanding tepung gandum adalah harga tepung ubi jalar lebih murah, lebih manis dan lebih banyak mengandung vitamin A dan lysine. Selain kelebihan tepung ubi jalar yang disebutkan diatas, tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai pengganti dari jenis tepung lain, misalnya sepuluh persen tepung terigu diganti dengan tapioka atau tepung sorgum dalam pembuatan roti (Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat 1999).
3. Pati Ubi jalar Di Jepang, setengah dari total produksi ubi jalar dibuat tepung pati untuk digunakan pada industri tekstil, industri kertas, kosmetik, bahan dari pembuatan lem dan industri-industri makanan. Dalam pembuatan produkproduk makanan atau tepung pati, kulit dan ampasnya digunakan untuk menghasilkan pektin atau dicampur dengan daunnya untuk makanan ternak (Winarno 1981).
35
Ubi jalar
Diiris dengan ketebalan 2 mm
Dicuci dan direndam selama 5 menit
Dikeringkan
Digiling
Diayak
Tepung ubi jalar Gambar 3 Proses pembuatan tepung ubi jalar (Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat IPB1999).
Pembuatan tepung pati ubi jalar pada dasarnya sama dengan pembuatan tepung pati ubi kayu, yakni meliputi pencucian, pengupasan, pemarutan atau penghancuran, perendaman hasil parutan dalam air disertai pengadukan,
penyaringan
dan
pemerasan
sampai
semua
pati
keluar/terpisah dari ampasnya (Gambar 4). Endapan pati selanjutnya dijemur hingga kadar airnya mencapai 7-9% (Harnowo et al. 1994). Untuk istilah selanjutnya pati yang berbentuk tepung ini biasa disebut sebagai pati ubi jalar. Besarnya kandungan pati pada varietas-varietas ubi jalar sangat bervariasi. Analisis terhadap 12 varietas ubi jalar di Balittan Malang (Rahayuningsih dan Antarlina 1993) menunjukkan bahwa kadar pati ubi jalar berkisar 34,1-57,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa varietasvarietas ubi jalar tertentu secara genetik memiliki potensi menghasilkan pati tinggi. Umur panen berpengaruh terhadap kandungan pati dalam ubi jalar, maka penundaan panen ubi jalar hendaknya tidak lebih dari 20 hari
36
(umur panen tidak lebih dari 130 hari) sebab akan menurunkan kadar pati ubi jalar (Harnowo et al. 1994). Ubi jalar
Pencucian
Pengupasan
Penghancuran
Perendaman
Penyaringan
Pemerasan
Pati ubi jalar Gambar 4 Proses pembuatan pati ubi jalar (Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat IPB 1999).
D. BERAS ARTIFICIAL Beras artificial adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras (Samad 2003). Beras aritificial yang dibuat adalah beras artificial dengan bentuk seperti sagu mutiara (bulat). Diharapkan dengan bentuk beras artificial yang mendekati bentuk beras asli ini, secara psikologi masyarakat yang mengonsumsinya merasa mengonsumsi “beras”. Beras artificial yang dibuat pada percobaan ini merupakan hasil olahan ubi kayu dan ubi jalar yang terbentuk butiran (bulat-bulat) kemudian disangrai agar bagian luarnya tergelatinisasi. Tahap-tahap pembuatannya sama dengan tahap pembuatan sagu mutiara yakni pencampuran, penghabluran, pembutiran, sortasi, penyangraian, dan pengeringan (Sulaksono 1989).
37
Tahap pertama adalah pencampuran tepung dan tepung pati sesuai formula dan penambahan air sampai membentuk adoanan, dilanjutkan penghabluran. Menurut Mohamed (2006), penghabluran adalah proses perubahan ukuran dan perubahan bentuk, tanpa adanya perubahan kimia. Tujuan dari penghabluran adalah untuk menghancurkan campuran adonan tepung, tepung pati, dan air yang menggumpal akibat pembasahan. Jika adonan yang digunakan adalah adonan kering maka akan sulit untuk mengalami pembutiran. Penghabluran dapat dilakukan dengan cara meremasremas adonan diatas ayakan yang berdiameter 1-2 mm atau dengan menggunakan mesin penghablur. Tahapan selanjutanya adalah proses pembutiran (Anonim 1988). Cara yang paling sederhana pada proses pembutiran adalah dengan memasukkan adonan hasil penghabluran ke dalam wadah yang beralas bulat. Wadah tersebut kemudian diputar secara horizontal sehingga tepung ubi kayu dan tepung ubi jalar saling bertumbukan dan membentuk bulatan. Cara yang lebih mudah adalah dengan menggunakan mesin pembutir yang berbentuk silinder yang dapat berputar pada porosnya. Mesin pembutir ini dapat dibuat dari stainless steel atau alumunium. Agar butir-butir ubi kayu dan ubi jalar yang dihasilkan seragam maka perlu dilakukan sortasi. Butir-butir ubi kayu dan ubi jalar yang telah terbentuk disangrai agar bagian luarnya tergelatinisasi. Butir-butir yang dihasilkan kemudian dikeringkan (Anonim 1988).
38
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian utama ini adalah ubi kayu putih segar, ubi jalar putih segar, pati ubi kayu (tapioka) komersial, Na bisulfit 0.3%, dan air. Bahan-bahan kimia untuk analisis, antara lain: K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO4, NaOH-Na2S2O3, HCl 4M, pelarut heksan, pati murni (soluble starch), air destilata, buffer Na-asetat, α-amilase (Sigma, A7595), dinitrosalisilat, amilosa murni, NaOH, etanol 95%, asam asetat 1N, larutan iod, enzim pepsin (Sigma, P7000-256), pankreatin P-1625 (Sigma, P-1625), aseton, etanol 78%. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin pembutir dan penyangrai, botol semprot, oven biasa, timbangan, ayakan 6, 8, dan 10 mesh, kain lap, loyang, baskom, saringan, penangas air, cawan petri, sendok, mesin pemarut, kompor, panci, perlengkapan untuk uji organoleptik, Brabender
Viscograph,
whiteness
meter
Kett
Electric,
soxhlet,
spektrofotometer, tanur, neraca analitik, kertas saring, kapas, inkubator, serta alat-alat gelas.
B. METODE PENELITIAN 1. Persiapan Bahan Baku Persiapan bahan baku yaitu pembuatan tepung ubi kayu, tepung ubi jalar, dan pati ubi jalar. Tahapan pembuatan tepung adalah pengupasan disertai perendaman dalam air untuk mencegah pencoklatan. Selanjutnya dilakukan perajangan (penyawutan) pada ubi kayu dan ubi jalar segar yang telah bersih dan dikupas. Khusus untuk sawut ubi jalar dilakukan perendaman dalam Na bisulfit 0.3% selama 1 jam. Pengeringan sawut menggunakan pengering rak pada suhu 60°C selama 1-2 hari. Setelah sawut ubi kayu dan ubi jalar mengering, sawut digiling menjadi tepung dan dilakukan pengayakan (Gambar 5)
39
Ubi kayu / Ubi jalar
Pengupasan + Perendaman
Pengirisan dengan mesin sawut
Perendaman dalam Na bisulfit 0,3% selama 1 jam (khusus ubi jalar)
Penirisan Pengeringan (60OC, 1-2 hari)
Penggilingan
Pengayakan (80 Mesh)
Tepung Ubi kayu / Ubi jalar Gambar 5 Proses pembuatan tepung ubi kayu / tepung ubi jalar.
Bahan baku lainnya yang dibutuhkan adalah pati ubi jalar yang dibuat dari ubi jalar. Tahapannya adalah pengupasan disertai perendaman dalam air untuk mencegah reaksi pencoklatan. Pemarutan ubi jalar dilakukan menggunakan mesin parut kelapa yang dilanjutkan dengan pengadukan menggunakan homogenizer selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan pemerasan/pengepresan menggunakan alat pres tahu. Tahap pengadukan dan pengepresan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan rasio akhir berat ubi jalar segar : volume air sebesar 1:10. Hasil pengeperesan ubi jalar diendapkan selama 24 jam sampai diperoleh endapan pati. Pengeringan endapan pati dilakukan selama 1-2 hari pada
40
suhu 60°C menggunakan oven. Setelah pati mengering, pati digiling dan dilakukan pengayakan (Gambar 6).
Ubi jalar
Pengupasan + Perendaman
Pemarutan
Pengadukan selama 15 menit
Pengepresan/Pemerasan
Pengendapan (24 jam)
Pengeringan (1-2 hari, 60°C)
Penggilingan
Pengayakan (80 Mesh)
Pati ubi jalar Gambar 6 Proses pembuatan tepung pati ubi jalar.
2. Analisis Fisik dan Kimia Terhadap Bahan Baku Beras Artificial Tepung, pati, dan keempat rasio formula beras artificial ubi kayu dan ubi jalar dianalisis sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik meliputi derajat putih dan uji amilografi (Bhattacharya 1979). Sedangkan untuk sifat kimia meliputi analisis proksimat (AOAC 1995), kadar amilosa (Juliano 1972), kadar serat pangan (Asp et al. 1983), dan daya cerna pati in vitro (Muchtadi 1989).
41
3. Pembuatan Beras Artificial Tahap pertama dalam pembuatan beras artificial ubi kayu dan ubi jalar adalah pencampuran antara tepung (ubi kayu/ubi jalar) dengan pati (ubi kayu/ubi jalar). Selanjutnya pencampuran tepung dengan pati pada berbagai rasio akan disebut sebagai formula. Rasio pencampuran masingmasing adalah 60:40, 70:30, 80:20 dan 90:10 untuk tepung:pati. Pertamatama diambil seperempat bagian berat campuran tepung yang digunakan untuk membuat adonan awal. Campuran tepung untuk adonan awal tersebut ditambahkan air sebanyak 80-90% dari berat campuran tepung yang digunakan untuk membuat adonan awal. Tahap selanjutnya adalah penghabluran. Penghabluran ini dilakukan dengan menggunakan ayakan yang berdiameter 8 mesh. Setelah itu tepung yang telah mengalami penghabluran dilakukan proses pembutiran dengan mesin pembutir berupa pengering molen yang pengatur panasnya tidak di nyalakan. Pada saat pembutiran, sesekali disemprotkan air dan sesekali ditambahkan campuran tepung (sesuai dengan perbandingan), sehingga total air seluruhnya yang dipergunakan adalah 65-75% dari berat awal campuran tepung. Butiranbutiran yang dihasilkan disortasi dengan ayakan 6, 8 dan 10 mesh. Butiran disangrai pada suhu 45-50°C selama 5, 6, dan 7 menit berturut-turut untuk 10, 8, dan 6 mesh. Butiran selanjutnya dikeringkan pada suhu 60°C selama 72 jam. Diagram alir proses pembuatan beras artifisial dapat dilihat pada Gambar 7.
4. Metode Pemasakan Beras Artificial (Pamularsih 2006) Beras artifisial mentah direbus dalam air mendidih dengan perbandingan berat beras artifisial : volume air yang ditambahkan = 1:8. Setiap satu menit diambil 10 butir beras artifisial dan ditekan diantara cawan petri lalu diamati jumlah butir beras yang telah mengalami gelatinisasi sempurna (bagian tengah sudah tidak berupa tepung). Penentuan waktu pemasakan ditentukan sampai seluruh butir beras (dari 10 butir) telah tergelatinisasi sempurna.
42
Tepung ubi kayu / tepung ubi jalar
Pati ubi kayu/ pati ubi jalar
Pencampuran tepung:pati
60:40
70:30
80:20
90:10
Penambahan air (80-90% dari berat total adonan awal) Penghabluran dengan menggunakan ayakan 8 mesh Pembutiran Pensortasian dengan ayakan 6, 8 dan 10 mesh Penyangraian ( T = 45-50°C; t = 5-7 menit) Pengeringan (T = 60°C; t = 72 jam) Beras Artificial Gambar 7 Proses pembuatan beras artificial.
5. Analisis Fisik dan Kimia Terhadap Beras Artificial Seluruh formula beras artificial ubi kayu dan ubi jalar dianalisis sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik meliputi bobot 1000 butir, daya serap air (Syamsir et al. 2006), dan densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992). Sedangkan untuk sifat kimia meliputi analisis proksimat (AOAC 1995), kadar amilosa (Juliano 1972), kadar serat pangan (Asp et al. 1983), dan daya cerna pati in vitro (Muchtadi 1989).
6. Analisis Sensori Terhadap Beras Artificial Analisis sensori beras artificial diujikan kepada 22 panelis semi terlatih dengan menggunakan uji hedonik (metode rating). Analisis sensori dilakukan untuk beras artificial matang dan mentah. Parameter yang
43
digunakan untuk beras artificial mentah antara lain warna, aroma, dan penampakan secara umum. Sedangkan parameter tekstur, rasa, warna, aroma, dan penampakan secara umum adalah parameter yang digunakan untuk beras artificial matang. Panelis diminta untuk memberikan nilai kesukaan terhadap masing-masing parameter dengan 7 skala angka numerik, yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = agak tidak suka, 3 = suka, 4 = netral, 5 = suka, 6 = agak suka, dan 7 = sangat suka menggunakan kuisioner pada Lampiran 63-66. Analisis data dilakukan menggunakan SPSS.
7. Pemilihan Formula Terbaik Pertama-tama dilakukan pemilihan formula terbaik masing-masing untuk beras artificial ubi kayu maupun beras artificial ubi jalar. Pemilihan berdasarkan formula yang paling disukai oleh panelis dari hasil analisis sensori, jumlah tepung yang digunakan dalam rasio formula, dan hasil rendemen.
C. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap sederhana dengan satu faktor, yaitu rasio tepung : pati yang digunakan (faktor A). Metode rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yij = µ + Ai + Єij Keterangan: Yij = Nilai hasil pengamatan µ
= Nilai tengah umum
Ai = Pengaruh sebenarnya rasio tepung : pati ke-i Єij = Faktor galat
44
D. PROSEDUR ANALISIS Analisis Sifat Fisik 1. Derajat Putih Pengukuran derajat putih dilakukan dengan Whiteness Meter Kett Electric. Sampel beras artificial dimasukkan ke dalam tabung pipih, kemudian ditutup dengan penutup yang terbuat dari kaca. Setelah itu, tabung pipih tersebut dimasukkan ke dalam alat Whiteness Meter Kett Electric. Nilai derajat putih akan terbaca pada layar. Standar yang digunakan adalah BaSO4.
2. Bobot 1000 butir Beras artificial dipilih yang memiliki butir yang utuh dan baik. Beras artificial tersebut kemudian diambil sebanyak 1000 butir kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik untuk diketahui bobotnya. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga ulangan.
3. Uji Amilografi (Bhattacharya 1979) Uji
amilografi
menggunakan
alat
Brabender
Viscograph.
Parameter yang dilihat adalah (1) suhu awal gelatinisasi yaitu suhu pada saat kurva mulai menunjukkan kenaikan viskositas, (2) suhu pada puncak gelatinisasi, (3) viskositas saat suhu puncak tercapai, (4) viskositas pada awal suhu 93oC, (5) viskositas pada suhu 93oC setelah 20 menit, (6) viskositas pada awal suhu 50oC, dan (7) viskositas pada suhu 50oC setelah 20 menit. Viskositas dinyatakan dalam satuan BU (Brabender Unit). Cara pengujian amilograf adalah dengan melarutkan 45 gram sampel berupa tepung ke dalam 450 ml air destilata. Sampel tersebut kemudian
dimasukkan
ke
dalam
bowl.
Lengan
sensor
dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal diatur pada suhu 30°C dan pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah sehingga pada saat mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap menit. Setelah pasta mencapai suhu 93°C selama 20 menit, mesin
45
dimatikan kemudian dinyalakan kipas angin untuk menurunkan suhunya. Penurunan suhu diatur 1.5°C setiap menit. Ketika mencapai suhu 50°C, mesin dinyalakan kembali. Setelah pasta mencapai suhu 50°C selama 20 menit, mesin dimatikan kembali.
4. Daya Serap Air pada Suhu 80°C (Syamsir et al. 2006, dimodifikasi) Sebanyak 20 ml air dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml yang kemudian diletakkan di atas penangas air 80°C. Kemudian 2 g beras artificial mentah dimasukkan ke dalam gelas piala tersebut dan dipanaskan selama 20 menit, ditiriskan dan ditimbang berat bahan setelah dimasak.
Daya Serap Air (%) = b-a x 100 % a Keterangan : a = berat contoh sebelum dicelupkan (g) b = berat contoh setelah dicelupkan (g)
5. Densitas Kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian berat bubuk dengan volume wadah. Sampel sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml, diketuk-ketuk 25 kali. Volume beras artifisial dibaca, kemudian densitas kamba dihitung dengan rumus : berat contoh (g) Densitas kamba = Volume yang terbaca (ml)
Analisis Sifat Kimia 1. Proksimat a. Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995) Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak mengalami degradasi pada suhu 100ºC. Pertama-tama, cawan alumunium kosong
46
dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C. Cawan tersebut lalu diangkat dan didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai cawan dingin. Cawan yang telah dingin kemudian ditimbang dan dicatat beratnya. Setelah itu, sampel sebanyak ± 5 gram dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C sampai beratnya konstan. Cawan tersebut lalu diangkat, didinginkan di dalam desikator, dan ditimbang berat akhirnya. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Kadar air (% bb) =
(x - y) × 100% a
Keterangan: x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat sampel awal (g)
b. Kadar Abu, Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Perhitungan: Kadar Abu (% bb) =
W2 × 100 % W1
Kadar Abu(% bk) =
100 100 – Kadar Air
Keterangan: W1 = Berat sampel (g)
x Kadar Abu (% bb)
47
W2 = Berat abu (g) c. Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC 1995) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (Soxhlet), yang berisi pelarut (dietil eter atau heksana). Reflux dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus : Kadar Lemak (% bb) = berat lemak (g) x 100% berat sampel (g) Kadar Lemak (% bk) =
100
x Kadar Lemak (% bb)
100 – Kadar Air
d. Kadar Protein, Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC 1995) Pengukuran protein dilakukan dalam 3 tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel sebanyak 150 mg dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal dan ditambahkan 1.9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4 pekat. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air . Air cucian dipindahkan ke labu distilasi. Ditambah larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml, kemudian didestilasi. Gelas Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol) diletakkan dibawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dibawah larutan H3BO3. Kondesat akan mengalami
48
perubahan warna dari ungu menjadi hijau. Kondesat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang telah distandardisasi. Titrasi dihentikan sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus:
Kadar N (%) = (ml HCl-ml blanko) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel Kadar Protein (% bb) = % N x faktor konversi
Kadar Protein(% bk) =
100
x Kadar Protein (% bb)
100 – Kadar Air
e. Kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat diukur dengan rumus by difference yaitu : Kadar karbohidrat (%bb) = (100- % air- % abu- % lemak- % protein) Kadar karbohidrat (%bk) = (100- % abu- % lemak- % protein)
2. Kadar Amilosa (Juliano 1972) Pembuatan Kurva Standar Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar kemudian didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan juga asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. Selanjutnya larutan tesebut juga ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit. Larutan kemudian diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
49
Penetapan Sampel Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml asetat 1 N serta 2 ml larutan iod. Larutan selanjutnya ditambah akuades sampai tanda tera, dikocok, didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan rumus: A Kadar Amilosa (%) =
FP x
S
x 100% W
Keterangan: A = absorbansi sampel pada panjang gelombang 620 nm S = slope kemiringan pada kurva standar FP = faktor pengenceran, yaitu 0,05 W = berat sampel (gram)
3. Kadar Serat Pangan, Metode Multienzim (Asp et al. 1983) Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-phospat 0,1 M pH 6 dan diaduk agar terbentuk suspensi. Selanjutnya ditambahkan 0,1 ml enzim termamyl ke dalam erlenmeyer berisi sampel. Erlenmeyer lalu ditutup dengan erlenmeyer berisi sampel. Erlenmeyer lalu ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air dengan suhu 100OC selama 15 menit sambil diaduk sesekali. Sampel diangkat dan didinginkan, lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1,5 menggunakan HCl 4 N. Selanjutnya enzim pepsin sebanyak 100 mg ditambahkan ke dalam erlenmeyer berisi sampel, ditutup, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu
50
40OC selama 1 jam. Erlenmeyer kemudian diangkat, ditambahkan air destilata, dan pH diatur menjadi 6,8 menggunakan NaOH. Setelah pH 6,8 tercapai, ditambahkan enzim pankreatin sebanyak 100 mg ke dalam erlenmeyer, erlenmeyer ditutup, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40°C selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH menjadi 4,5 menggunakan HCl. Larutan sampel dengan pH 4,5 lalu disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0,5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan 2 kali pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata.
Residu (Serat Tidak Larut) Sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan @ x 10 ml aseton. Sampel lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama satu malam atau hingga mencapai berat konstan. Sampel yang telah kering kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setelah itu sampel diabukan dengan tanur pada suhu 550°C selama 5 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Filtrat (Serat Larut) Filtrat diatur volumenya menjadi 100 ml dan ditambahkan 400 ml etanol 95% hangat (60°C). Filtrat dibiarkan mengendap selama 1 jam. Filtrat tersebut kemudian disaring dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0,5 gram celite kering (berat tepat diketahui).filtrat lalu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Selanjutnya filtrat dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama satu malam atau hingga mencapai berat konstan. Filtrat lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setelah itu, filtrat diabukan dengan tanur pada suhu 550°C selama 5 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
51
Blanko Penetapan blanko dapat dilakukan dengan cara yang seperti prosedur untuk sampel, tetapi dilakukan tanpa penambahan sampel. Perhitungan : (D1-I1-B1) % Serat Tidak Larut (IDF) =
x 100% Berat sampel (D2-I2-B2)
% Serat Larut (SDF)
=
x 100% Berat sampel
% Total Serat (TDF)
= (SDF + IDF) (%)
Keterangan : D = Berat setelah pengeringan (gram) I = Berat setelah pengabuan (gram) B = Berat blanko bebas abu (gram) = (D- I)blanko
4. Daya Cerna Pati in vitro (Muchtadi 1989) Sampel yang dibuat suspensi dalam aquades (1%), kemudian diapanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 90°C. Setelah itu, sampel didinginkan dan diambil sebanyak 2 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-fosfat 0,1 M juga ditambahkan ke dalam tabung reaksi, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit, dan didinginkan. Setelah dingin, ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan enzim amilase yang telah dilarutkan dalam buffer Na-fosfat 0,05 M. Larutan tersebut kemudian diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 30 menit. Sampel dipipet sebanyak 1 ml sampel dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain. Setelah itu, ke dalam tabung reaksi ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat, dan 1,6 gram NaOH
52
dalam 100 ml aquades. Larutan tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 100°C selama 10 menit sampai terbentuk warna oranye. Warna merah oranye yang terbentuk lalu diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kurva standar maltosa murni diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Daya cerna pati beras dihitung sebagai berikut: a % Daya Cerna Pati =
x 100% b
Keterangan: a = kadar maltosa sampel setelah reaksi enzimatis b = kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzimatis
53
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN BAHAN BAKU Tepung Ubi kayu dan Tepung Ubi jalar Jumlah ubi kayu yang diproses menjadi tepung ubi kayu sebanyak dua kwintal dan dihasilkan tepung sebanyak 45 kg. Sedangkan tepung ubi jalar yang dihasilkan sebanyak 23.5 kg dari 80 kg ubi jalar. Hasil rendemen tepung ubi kayu sebesar 22.5% dan tepung ubi jalar sebesar 29.4%. Proses yang dilalui dalam pembuatan kedua jenis tepung adalah bahan segar dikupas secara manual disertai dengan perendaman dalam air bersih. Tujuan dari perendaman tersebut adalah mengurangi reaksi pencoklatan yang akan terjadi pada ubi kayu dan ubi jalar apabila dibiarkan pada udara terbuka. Tahap selanjutnya dilakukan pengirisan dengan mesin sawut agar hasil potongan yang diperoleh lebih tipis sehingga mempercepat pengeringan dan menghasilkan warna tepung yang lebih putih (Santosa et al. 1994). Perendaman metabisulfit yang dilakukan dalam pembuatan tepung ubi jalar bertujuan untuk menghasilkan tepung ubi jalar dengan derajat putih yang tinggi. Larutan natrium bisulfit akan menghambat terjadinya reaksi mailard karena bisulfit akan berikatan dengan gugus aldehid dari gula sehingga gugus aldehid tersebut tidak dapat bereaksi dengan senyawa-senyawa yang memiliki gugus NH (Winarno 1992).
Pati Ubi Jalar Tepung pati ubi jalar yang digunakan dalam pembuatan beras aritficial ini diperoleh dengan cara membuat sendiri sedangkan untuk pati ubi kayu (tapioka) digunakan tapioka komersial. Dalam pembuatan pati ubi jalar digunakan sebanyak 19 kg ubi jalar segar dengan menghasilkan tepung pati sebanyak 2.45 kg. Sehingga dihasilkan rendemen pati yang rendah yaitu sebanyak 12.9%. Tahap pembersihan dan pengupasan bertujuan untuk membebaskan tanah atau kotoran lainnya. Setelah proses penghacuran, perlu ditambahkan air secukupnya yang dilanjutkan dengan proses pengadukan yang bertujuan untuk memisahkan empulur pati sehingga dihasilkan rendemen
54
pati yang maksimal. Proses pengepresan menggunakan kain mori atau kain fanel yang bersih dengan tujuan untuk memisahkan pati dengan ampas. Selanjutnya dilakukan proses pengendapan selama 24 jam dengan tujuan pati mengendap dan pembuangan air dilakukan bila air dalam baskom telah mulai jernih dan yang tersisa adalah endapan pati (Lembaga Pengabdian kepada Masyarkat 1999).
B. ANALISIS FISIK DAN KIMIA TERHADAP BAHAN BAKU BERAS ARTIFICIAL Analisis Fisik Bahan Baku 1. Uji Amilografi Analisis amilografi dilakukan untuk melihat sifat dari gelatinisasi pati. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula pati dalam air yang bersifat irreversible dan diakhiri dengan hilangnya sifat kristal dari granula pati (Winarno 1992). Suhu gelatinisasi pati berbeda untuk setiap jenis bahan. Suhu gelatinisasi umumnya dibagi menjadi tiga tahap yaitu: suhu awal, suhu puncak dan suhu akhir. Hasil uji amilografi ubi kayu dan ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati mulai mengembang. Tabel 6 menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi keempat formula ubi kayu
berkisar 63-69ºC. Sedangkan berdasarkan
Tabel 7, diketahui bahwa suhu awal gelatinisasi keempat formula ubi jalar berkisar 76.5-78ºC. Menurut Banks et al. (1973), granula pati
yang
berukuran kecil lebih resisten dibandingkan granula yang berukuran besar. Penyerapan akan semakin intensif seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan sehingga menyebabkan granula membesar hingga pada suatu titik pembesaran granula pati bersifat irreversible (tidak dapat kembali ke bentuk semula) (Winarno 1992). Semakin meningkat suhu pemanasan, semakin meningkat pengembangan granula. Pembesaran granula pati menyebabkan peningkatan viskositas larutan pati secara bertahap (Parker 2003). Setelah pembesaran pati mencapai maksimal, granula pati akan pecah sehingga pemanasan lebih lanjut akan
55
menurunkan viskositas larutan pati dan kurva amilogram membentuk sebuah puncak viskositas (Parker 2003). Tetapi adanya fraksi amilosa dalam granula pati akan membatasi perkembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa pati, semakin kuat ikatan intramolekul (Banks et al. 1973).
Tabel 6 Hasil uji amilografi bahan baku beras artificial ubi kayu Sampel
Suhu Awal Gelatinisasi (°C)
Suhu Viskositas Puncak (°C)
Viskositas Puncak (BU)
Viskositas T=93°C (BU)
Viskositas T=93°C setelah 20 mnt (BU)
Viskositas T=50°C (BU)
1 2 3 4 5 6
63 66 67.5 69 64.5 64.5
82.5 85.5 87 90 79.5 73.5
740 700 700 620 380 1160
620 640 640 600 340 480
400 400 420 400 270 340
660 660 680 680 395 800
Keterangan: 1 = Rasio tepung:pati = 2 = Rasio tepung:pati = 3 = Rasio tepung:pati = 4 = Rasio tepung:pati = 5 = Tepung 6 = Pati
Viskositas T=50°C setelah 20 menit (BU) 660 640 640 620 375 780
60 : 40 70 : 30 80 : 20 90 : 10
Menurut BeMiller (1996), amilosa dapat menyerap air empat kali beratnya sehingga viskositas meningkat. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian ini. Tabel 6 menunjukkan bahwa viskositas keempat formula ubi kayu saat tercapai suhu puncak gelatinisasi berkisar 620-740 BU sedangkan Tabel 7 menunjukkan, keempat formula ubi jalar tidak memiliki viskositas puncak. Hal ini disebabkan lebih tingginya kadar amilosa ubi jalar dibandingkan ubi kayu sehingga proses gelatinisasi akhir berada pada suhu yang tinggi (>93ºC) dan belum mencapai puncaknya. Menurut Banks et al. (1973), terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi gelatinisasi pati, kandungan amilosa yang tinggi dan ukuran granula pati
56
yang kecil lebih resisten terhadap gelatinisasi dibandingkan granula yang berukuran besar. Viskositas puncak sistem pati perlu diketahui sebagai pertimbangan pemilihan jenis pati untuk dijadikan bahan suatu produk pangan.
Tabel 7 Hasil uji amilografi bahan baku beras artificial ubi jalar Sampel
Suhu Awal Gelatinisasi (°C)
1 2 3 4 5 6
76.5 76.5 78 78 91.5 76.5
Suhu Viskositas Puncak (°C)
93
Keterangan: 1 = Rasio tepung:pati = 2 = Rasio tepung:pati = 3 = Rasio tepung:pati = 4 = Rasio tepung:pati = 5 = Tepung 6 = Pati
Viskositas Puncak (BU)
Viskositas T=93°C (BU)
800
160 160 320 100 20 800
Viskositas T=93°C setelah 20 mnt (BU) 220 200 280 140 60 740
Viskositas T=50°C (BU) 330 320 320 240 100 1260
Viskositas T=50°C setelah 20 menit (BU) 330 320 320 240 100 1140
60 : 40 70 : 30 80 : 20 90 : 10
Pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu, viskositas mengalami penurunan saat kondisi dipertahankan pada suhu 93ºC selama 20 menit tetapi viskositas semakin meningkat saat suhu diturunkan menjadi 50ºC. Sedangkan untuk keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar, viskositas mengalami peningkatan saat kondisi dipertahankan pada suhu 93ºC selama 20 menit dan viskositas semakin meningkat saat suhu diturunkan menjadi 50ºC. Hal ini disebabkan karena pasta dalam kondisi panas memiliki kemampuan untuk mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Hal tersebut menyebabkan pasta memiliki viskositas yang rendah. Sedangkan pasta yang mengalami proses pendinginan membuat energi kinetik tidak cukup lagi untuk melawan kecenderungan molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang
57
amilopektin pada bagian pinggir luar granula. Molekul-molekul tersebut menggabungkan butir pati yang membengkak menjadi semacam jaringjaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi pati setelah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Proses tersebut menyebabkan viskositas naik karena air yang sebelumnya bebas akan terperangkap di dalam kristal pati (Winarno 1992). Pada suhu 50ºC setelah 20 menit, viskositas keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu mengalami penurunan dari 680 sampai dengan 620 (BU) sedangkan keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar konstan pada viskositas 340 BU. Penurunan viskositas dapat disebabkan karena terjadinya sineresis, yaitu keluarnya cairan dari suatu gel pati. Air yang semula berada di dalam rongga jaringan butir pati akan keluar karena proses pengadukan yang terjadi secara terus-menerus (Winarno 1992). Hasil uji amilografi menunjukkan bahwa keempat formula beras artificial ubi jalar yang tidak memiliki viskositas puncak, mempunyai nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan keempat formula ubi kayu (640720 BU). Hal tersebut dapat disebabkan kandungan amilosa ubi jalar lebih tinggi dibandingkan ubi kayu. Amilosa memiliki sifat lebih menyerap air dibandingkan dengan amilopektin. Akan tetapi, ikatan intramolekul amilosa yang kuat menyebabkan granula pati membutuhkan energi yang besar untuk pecah. Setelah pecah, molekul di dalam pati akan keluar. Molekul-molekul amilosa kemudian berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada bagian pinggir luar granula, sehingga terbentuk mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi pati setelah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Proses retrogradasi menyebabkan viskositas semakin tinggi (Winarno 1992). Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa, viskositas yang dibentuk semakin tinggi 2. Warna (Whiteness Meter) Warna suatu bahan pangan merupakan sifat fisik yang sangat penting, karena secara langsung mudah diamati oleh indera penglihatan
58
manusia. Mutu suatu bahan pangan seringkali juga dapat dinilai melalui karakter warna yang dimilikinya. Pengujian warna bahan pangan selama ini dilakukan secara subyektif dengan analisis sensori, maupun secara obyektif menggunakan instrumen. Hasil analisis warna menunjukkan bahwa derajat putih tepung ubi kayu lebih rendah dibandingkan tepung ubi jalar sedangkan pati ubi kayu lebih tinggi atau lebih putih dibandingkan pati ubi jalar. Menurut Santosa et al. (1994), kendala dalam pengolahan tepung ubi jalar yaitu timbulnya reaksi pencoklatan non enzimatis. Oleh karena itu sebelum menjadi tepung, ubi jalar dibuat menjadi bentuk sawut kering, hal ini disebabkan bentuk sawut mempunyai permukaan yang lebih luas dan bila dilakukan perendaman kemungkinan akan mendapatkan warna yang lebih putih. Derajat putih keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu tidak berbeda nyata (p>0.05), sama halnya dengan keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar (Lampiran 17 dan 18). Gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa derajat putih rata-rata keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu (80.2-84.4) lebih tinggi dibandingkan keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar (80.6-81.8). Gambar 8 dan 9 juga menunjukkan bahwa pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu dan ubi jalar terjadi peningkatan derajat putih yang diimbangi dengan peningkatan jumlah pati pada rasio formula.
120
100.0±0.0c 100
84.4±0.4b
b 82.9±0.3b 80.8±5.6 80.1±0.7b
69.4±0.2a
80
60
40
20
0 1
2
3
4
5
6
For mul a
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
59
Gambar 8
Hasil analisis warna bahan baku beras artificial ubi kayu
dengan whiteness meter. Keterangan : 1 = Rasio tepung : tepung pati = 60 : 40 2 = Rasio tepung : tepung pati = 70 : 30 3 = Rasio tepung : tepung pati = 80 : 20 4 = Rasio tepung : tepung pati = 90 : 10 5 = Tepung 6 = Tepung Pati
Analisis warna dengan Whitness Meter menggunakan standar BaSO4 = 110. Sebelumnya Whiteness Meter dikalibrasi dengan MgO = 81.6. Contoh perhitungan analisis warna ulangan 1 pada sampel ubi kayu rasio tepung :pati = 60:40 sebagai berikut: Hasil pembacaan pada Whiteness Meter = 92.2 Derajat putih = Hasil pembacaan pada Whiteness Meter
x
100%
Nilai Standar BaSO4 = 92.2 x 100% = 83.8% 110
91.6±1.1c
95
90
85
b 81.8±0.3b 81.6±1.0 81.0±0.4b 80.5±0.3b
78.5±0.5a
80
75
70 1
2
3
4
5
6
For mul a
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
60
Gambar 9
Hasil analisis warna bahan baku beras artificial ubi jalar
dengan whiteness meter. Keterangan : 1 = Rasio tepung : tepung pati = 60 : 40 2 = Rasio tepung : tepung pati = 70 : 30 3 = Rasio tepung : tepung pati = 80 : 20 4 = Rasio tepung : tepung pati = 90 : 10 5 = Tepung 6 = Tepung Pati
Analisis Kimia Bahan Baku 1. Proksimat Analisis proksimat adalah suatu cara yang dilakukan untuk mengetahui kadar suatu komponen tertentu dalam bahan pangan secara estimasi. Analisis proksimat merupakan analisis dasar dari suatu bahan pangan yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat.
Tabel 9 Komposisi kimia keempat bahan baku beras artificial ubi kayu Formula
K.air (%)
K.abu (%) K.lemak (bk) (%) (bk)
K.protein (%) (bk)
60:40
5.7±0.19a
0.5±0.11a
0.6±0.09a
1.7±0.29a
70:30
6.0±0.15ab
0.7±0.13a
0.7±0.13ab 2.0±0.08ab
96.0±0.50
80:20
6.4±0.32ab 0.8±0.14ab 0.8±0.04bc 2.3±0.21ab
95.8±0.72
90:10
6.8±0.44
b
1.0±0.08
b
1.0±0.03
b
2.6±0.44
b
K. KH by difference (%bk) 96.0±0.70
95.6±1.01
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
61
Tabel 10 Komposisi kimia keempat bahan baku beras artificial ubi jalar Formula
K.air (%)
K.abu (%) K.lemak (bk) (%) (bk)
60:40
5.7±0.22a
1.1±0.05b
0.7±0.02a
70:30
5.9±0.28a
0.8±0.11a
0.8±0.07ab 2.4±0.01a
80:20
6.3±0.24
ab
ab
90:10
6.6±0.18b
0.9±0.09
1.0±0.08ab
0.9±0.03
ab
1.0±0.08b
K.protein K. KH by (%) (bk) difference (%bk) 2.2±0.21a 97.2±0.46 96.6±0.44
a
96.1±0.24
2.4±0.22a
95.4±0.02
2.4±0.06
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Kadar air merupakan salah satu parameter yang cukup penting pada produk tepung karena berkaitan dengan mutu dari produk tepung tersebut. Semakin rendah kadar airnya maka produk tepung tersebut semakin baik mutunya karena dapat memperkecil media untuk tumbuhnya mikroba yang dapat menurunkan mutu pada produk tepung. Berdasarkan Tabel 9 dan 10 diketahui bahwa kadar air keempat formula ubi jalar (5.7-6.6%) tidak berbeda jauh dengan kadar air ubi kayu (5.7-6.8%). Mengacu pada standar SNI 01-2997-1992, kisaran kadar air yang diperoleh dari hasil penelitian ini telah memenuhi standar mutu tepung yaitu maksimum 15%. Hasil analisis sidik ragam kadar air yang dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20, menunjukkan bahwa kadar air keempat formula ubi jalar tidak berbeda nyata (p>0.05), sedangkan keempat formula ubi kayu berbeda nyata karena nilai signifikansi yang diperoleh < 0.05. Abu atau mineral merupakan komponen yang tidak mudah menguap pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik atau bahan alam (Soebito 1988). Pada Tabel 9 dan 10 dapat dilihat bahwa kadar abu keempat formula ubi jalar (0.8-1.1% (bk)) tidak berbeda jauh dengan kadar abu keempat formula ubi kayu (0.5-1.0% (bk)). Berdasarkan SNI 01-2997-1992, kadar abu kedua jenis umbi tersebut memenuhi kadar SNI, yaitu maksimum 2%. Antara kedua jenis ubi tersebut diketahui bahwa
62
kadar abu untuk keempat formula ubi jalar lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu keempat formula tepung ubi kayu. Hal ini berhubungan dengan perbedaan kandungan mineral yang terdapat pada kedua jenis umbi tersebut. Hasil analisis sidik ragam kadar abu (Lampiran 21 dan 22) menunjukkan adanya perbedaan nyata antar keempat formula ubi kayu dan antar keempat formula ubi jalar. Dengan semakin rendahnya jumlah pati yang digunakan pada rasio formula tersebut, kadar abu semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena pada tepung ubi, kadar abu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pati. Hal ini berhubungan dengan perbedaan proses pengolahan yang dilakukan. Pati diperoleh dari proses dekantasi dan pencucian berulang-ulang dalam air. Hal ini menyebabkan mineral yang terkandung dalam umbi ikut terlarut dalam air cucian, sehingga air mineralnya menjadi berkurang. Selain itu sebagian mineral ikut terbuang selama ampas pada saat ekstraksi pati. Lemak merupakan polimer yang tersusun dari unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa kadar lemak keempat formula ubi jalar (0.7-1.0% (bk)) lebih tinggi 0.1% (bk) untuk setiap formula dibanding kadar lemak keempat formula ubi kayu (0.60.9% (bk)). Dalam SNI 01-2997-1992 kandungan lemak tidak termasuk ke dalam syarat mutu yang ditetapkan. Secara umum, nilai kadar lemak kedua jenis ubi tersebut tergolong rendah. Kadar lemak yang rendah dapat menyebabkan umur simpan tepung lebih lama. Hal tersebut dikarenakan tepung terhindar dari reaksi oksidasi, sehingga tepung juga terhindar dari ketengikan (Sediaoetama 1986). Selain itu juga, nilai gizi tepung dapat tetap dipertahankan. Hasil analisis sidik ragam kadar lemak (Lampiran 25 dan 26) menunjukkan adanya perbedaan nyata antar keempat formula ubi kayu. Sedangkan antar keempat formula ubi jalar tidak berbeda nyata (p>0.05) tetapi pada keempat formula ubi jalar terjadi peningkatan kadar lemak dengan peningkatan jumlah tepung yang digunakan dalam rasio formula. Leach (1965) melaporkan bahwa proses pemurnian pada pembuatan pati
63
secara komersial tidak dapat menghilangkan secara keseluruhan substansisubstansi lemak maupun protein. Hal ini diduga karena ada sebagian lemak yang ikut terbuang bersama-sama protein larut air pada waktu pencucian yaitu lemak yang terdapat dalam bentuk lipoprotein. Selain itu lemak juga ikut terbuang bersama-sama ampas. Semakin
banyak
kandungan
nitrogen
pada
tanah
tempat
tumbuhnya tanaman, menyebabkan kandungan protein pada tanaman tersebut semakin tinggi (Juliano 1979). Oleh karena itu, kandungan protein sampel yang rendah dapat disebabkan rendahnya kandungan nitrogen pada tanah tempat tumbuhnya. Pada Tabel 9 dan 10 diketahui bahwa kandungan protein pada keempat formula ubi jalar (2.2-2.4% (bk)) berada dalam kisaran kadar protein keempat formula ubi kayu (1.7-2.6% (bk)). Kandungan protein tidak termasuk dalam spesifikasi mutu tepung, sehingga tidak ditetapkan batas minimumnya. Walaupun kandungan protein sedikit, cadangan protein dapat merupakan pelengkap nilai gizi. Hasil analisis ragam kadar protein (Lampiran 23 dan 24) menunjukkan adanya perbedaan nyata antar keempat formula ubi kayu dan antar keempat formula ubi jalar. Hal ini berhubungan dengan jumlah tepung pati yang digunakan, kadar lemak meningkat dengan meningkatnya jumlah tepung yang digunakan dalam rasio formula. Pada tepung ubi, jumlah protein yang dikandung relatif lebih tinggi daripada jumlah tepung pati. Hal ini disebabkan karena protein-protein yang larut air sebagian ikut terbuang dalam air pencucian pati dan sebagaian protein juga terdapat dalam ampas yang dibuang sehingga tepung pati mempunyai kadar protein yang lebih rendah. Karbohidrat pada tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana, pentosa, dextrin, selulosa dan pati (Ahza 1983). Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa jumlah karbohidrat pada keempat formula ubi kayu lebih tinggi dibandingkan keempat formula ubi jalar. Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat (Lampiran 27 dan 28) menunjukkan adanya perbedaan nyata antar keempat formula ubi kayu dan antar keempat formula ubi jalar. Hal ini disebabkan perbedaan jumlah pati
64
yang digunakan, semakin sedikitnya jumlah pati yang digunakan maka kadar karbohidrat semakin kecil. Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian besar karbohidrat pada tepung umbi-umbian berasal dari pati. 2. Kadar Serat Dari Tabel 11 dan 12 dapat dilihat bahwa keempat formula ubi kayu memiliki kadar serat larut berkisar 4.1-6.4% dan serat tidak larut berkisar 6.5-9.2% sedangkan untuk keempat formula ubi jalar, kadar serat larut berkisar 3.7-5.1% dan kadar serat tidak larut berkisar 6.3-9.2%. Hasil ini tidak memenuhi syarat mutu tepung berdasarkan SNI 01-2997-1992, yaitu maksimum kadar serat sebesar 3%.
Tabel 11 Kadar serat pada keempat formula beras artificial ubi kayu Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Serat larut (%) 6.4±0.5b 6.4±0.3b 5.2±0.3ab 4.1±0.5a
Serat tidak larut (%) 6.5±0.8a 7.5±0.3ab 8.2±0.6bc 9.2±0.4c
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Tabel 12 Kadar serat pada keempat formula beras artificial ubi jalar Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Serat larut (%) 5.1±0.5b 5.3±0.4b 4.2±0.1ab 3.7±0.5a
Serat tidak larut (%) 6.3±0.2a 7.1±0.4ab 7.6±0.6bc 9.2±0.2c
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Hasil analisis sidik ragam kadar serat tidak larut dan kadar serat larut (Lampiran 29-32) menunjukkan adanya perbedaan nyata antar keempat formula ubi kayu dan ubi jalar. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah tepung pati yang digunakan. Tepung pati mengandung serat sangat rendah jika dibandingkan dengan tepung. Hal ini dapat terjadi
65
karena pada proses ekstraksi pati, sebagian serat dalam ukuran besar yang terdapat dalam ampas telah dipisahkan, sedangkan sebagian serat yang berukuran kecil terbawa dalam air bersama-sama protein larut air dan gula-gula sederhana.
3. Kadar Amilosa Pada Gambar 10 dan 11 terlihat bahwa kandungan amilosa keempat formula ubi kayu berkisar 31.5-33.6% sedangkan keempat formula ubi jalar berkisar 32.0-34.5%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua jenis pati umbi tersebut
termasuk ke dalam golongan ”high
amilose” atau ”non waxy”, karena mempunyai kandungan amilosa >30% (Juliano 1972). Walaupun pati ubi kayu bukan dari golongan waxy starch, pati ubi kayu memiliki perilaku yang sama dengan waxy starch. Diketahui bahwa kadar amilosa pada ubi jalar lebih tinggi daripada ubi kayu. Hal ini disebabkan karena pati ubi jalar mengandung sepertiga bagian amilosa (Onwuene 1978) sedangkan pati ubi kayu mengadung 17%
amilosa
(Norman, 1980).
31
33.6±0.7b
31.5±0.9a
30
Rata-rata(%)
33.0±0.1ab 29
31.7±1.0ab
28 27
26 25 60:40
70:30
80:20
90:10
Form ula
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 10 Kadar amilosa pada keempat formula beras artificial ubi kayu.
66
32
34.5±0.5b
33.7±0.7ab
31
32.0±1.0a
30
33.5±0.2ab
29
28
27
26 60:40
70:30
80:20
90:10
F o r mul a
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 11 Kadar amilosa pada keempat formula beras artificial ubi jalar.
Hasil analisis sidik ragam kadar amilosa (Lampiran 33 dan 34) menunjukkan adanya perbedaan nyata antar keempat formula ubi kayu dan ubi jalar. Hal ini berhubungan dengan jumlah tepung pati yang digunakan, semakin rendah jumlah tepung pati yang digunakan dalam rasio formula maka kadar amilosa semakin rendah. Febriyanti (1990) melaporkan bahwa pati memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung.
4. Daya Cerna Pati in Vitro Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Prinsip dari metode ini adalah menghidrolisis pati dengan penambahan enzim α-amilase. Pada penelitian ini penentuan daya cerna pati yang dilakukan
secara in vitro menggunakan metode yang
dikembangkan oleh Muchtadi (1989). Gambar 12 dan 13 menunjukkan bahwa daya cerna keempat formula ubi kayu berkisar antara 64.3-71.4% sedangkan keempat formula ubi jalar berkisar antara 55.0-60.7%. Pada Gambar 12 dan 13 diketahui
67
bahwa daya cerna ubi kayu lebih tinggi dibandingkan ubi jalar. Hal ini dipengaruhi oleh komposisi amilosa dan amilopektin. Menurut Miller et al (1992), daya cerna pati dari bahan pangan berkadar amilosa tinggi adalah lebih rendah dibandingkan dengan daya cerna dari bahan pangan berkadar amilopektin tinggi. Amilopektin dicerna lebih cepat dibandingkan dengan amilosa, karena amilopektin mempunyai struktur terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi. Hasil analisis sidik ragam daya cerna pati (Lampiran 35 dan 36) menunjukkan adanya perbedaan nyata antar keempat formula ubi kayu dan ubi jalar. Hal ini disebabkan karena jumlah tepung pati yang digunakan, dengan jumlah tepung pati yang digunakan semakin meningkat maka daya cerna pati semakin tinggi. Hal ini sebanding dengan jumlah amilosa yang terdapat dalam formulasi tersebut.
80
71.4±1.7
65.3±7.3 61.3±7.9
70
64.3±0.5
Rata-rata(%)
60 50 40 30 20 10 0 60:40
70:30
80:20
90:10
Formula
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 12 Daya cerna pati in vitro keempat formula beras artificial ubi kayu.
68
64
60.7±1.1a 62
60
58..3±0.4bc
58
56.0±0.4ab
55.0±1.2a
56 54
52 50 48 60:40
70:30
80:20
90:10
F o r mul a
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 13 Daya cerna pati in vitro keempat formula beras artificial ubi jalar.
C. PEMBUATAN BERAS ARTIFICIAL Tahap pertama dalam pembuatan beras artificial adalah pencampuran tepung, tepung pati, dan air. Rasio tepung dan pati dari beras artificial dibagi menjadi empat formula yaitu 60:40, 70:30, 80:20, dan 90:10. Tujuan utama penelitian ini yaitu mengembangkan produk berbahan dasar ubi kayu dan ubi jalar, maka keempat formula tetap mempertahankan jumlah tepung yang lebih besar daripada jumlah pati yang digunakan untuk membentuk butiran beras artificial. Selain itu kadar protein, lemak, dan serat tepung yang lebih tinggi dibandingkan pati sangat dibutuhkan oleh masyarakat (Darjanto dan Murjati 1980). Penambahan air pada campuran tepung dan pati merupakan faktor yang sangat penting terhadap hasil akhir. Penambahan air yang berlebihan menyebabkan adonan hasil penghabluran menempel pada mesin pembutir sehingga menghambat proses produksi dan mengurangi rendemen, solusinya dengan penghabluran ulang. Hasil penghabluran yang tidak sempurna juga terjadi jika penambahan air terlalu sedikit, adonan menjadi kering sehingga
69
pembutiran menjadi terhambat dan rendemen rendah, penyemprotan air pada adonan hasil penghabluran dapat menjadi solusinya. Jumlah air yang ditambahkan dalam pembuatan beras artifisial sehingga dihasilkan adonan yang baik adalah 65-75%. Menurut Mohamed (2006), penghabluran adalah proses perubahan ukuran dan/atau perubahan bentuk, tanpa adanya perubahan kimia. Tujuan penghabluran adalah menghancurkan adonan yang menggumpal saat penambahan air dengan menggunakan ayakan 8 mesh. Tahap selanjutnya adalah proses pembutiran dengan mesin pembutir berupa pengering molen yang pemanasnya tidak di nyalakan (Gambar 14). Butiran-butiran yang dihasilkan disortasi dengan ayakan 6, 8, dan 10 mesh dengan tujuan untuk menyeragamkan ukuran butiran beras yang dihasilkan sehingga dapat mencegah kematangan yang tidak merata pada saat penyangraian. Pada kedua tahap ini apabila tidak segera dilakukan tahap selanjutnya, maka adonan/butiran-butiran beras harus segera ditutup dengan kain basah untuk mencegah terjadinya penguapan.
(a)
(b)
70
Gambar 14 Mesin pembutir (a) Tenaga listrik (b) Manual.
Butir-butir beras yang dihasilkan akan disangrai menggunakan wajan pemasak di atas kompor gas pada suhu 45-50OC selama 5, 6, dan 7 menit berturut-turut untuk 10, 8, dan 6 mesh. Pada saat penyangraian harus diperhatikan suhu dan waktu. Jika suhu kurang dari 45OC atau waktu kurang dari 5-7 menit maka lapisan terluar dari butir-butir beras tidak tergelatinisasi sempurna akibatnya bagian dalam dari butir-butir beras tidak terlindungi sempurna sehingga pada saat pemasakan beras akan hancur. Jika suhu penyangraian lebih dari 50OC atau waktu lebih dari 5-7 menit maka butir-butir beras hasil penyangraian menjadi terlalu kering, retak, tidak kenyal, dan berwarna gosong. Hal ini juga dapat menyebabkan beras artifisial akan hancur pada saat pemasakan. Proses pengukuran suhu penyangraian dengan melakukan pemasakan air sebanyak 1 liter di dalam wajan dengan besar api seperti dalam proses penyangraian selama 5-7 menit. Setelah dilakukan proses diatas, suhu air dalam wajan diukur dengan termometer.
Gambar 15 Beras artificial mentah.
71
Hasil analisis sidik ragam rendemen beras artificial (Lampiran 61 dan 62) menunjukkan antar keempat formula (ubi kayu dan ubi jalar) berbeda nyata (p<0.05). Kandungan serat yang lebih rendah pada tepung akan menghasilkan tekstur yang halus sehingga lebih mudah membentuk butiran beras artificial. Menurut Grace (1977), kadar serat tepung lebih tinggi dibandingkan dengan tapioka yang telah mengalami proses pencucian yang berulang sehingga serat dan kotorannya telah dibuang. Sesuai dengan Gambar 16, rendemen beras artificial semakin kecil dengan menurunnya jumlah tepung pati yang digunakan dalam rasio formula. Pada penggunaan tepung sebanyak 100%, adonan rasio formula beras tidak dapat membentuk butiran pada saat proses pembutiran. Menurut Banks et al. (1973), kandungan amilosa yang tinggi lebih resisten terhadap gelatinisasi sehingga lebih sulit untuk menggumpal dan membentuk butiran. Kadar amilosa pati ubi jalar sebesar sepertiga (Onwuene, 1978) sedangkan kadar amilosa pati ubi kayu sebesar 17% (Norman 1980). Alasan inilah yang mempengaruhi perbedaan besar rendemen beras artificial ubi kayu dan ubi jalar (Gambar 16).
80
70±1.4d 64.5±0.7c
70 Rendemen (%)
60
52.5±0.7d
50
46.5±2.1c 46.0±1.4b 41.0±1.4a
40
34±0.0b
30.5±0.7
Ubi kayu a
Ubi jalar
30 20 10 0 60:40
70:30
80:20
90:10
Rasio tepung:pati
Ket: Angka pada diagram batang yang berwarna sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 16 Hasil rendemen pembuatan beras artifisial.
72
Sesuai dengan hasil penelitian Pamularsih (2006), penambahan protein pada pembuatan sagu mutiara mempengaruhi ukuran sagu mutiara yang dihasilkan. Secara umum, semakin tinggi jumlah protein yang ditambahkan maka ukuran butiran sagu mutiara semakin rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi jumlah protein yang ditambahkan maka proses pembutiran semakin sulit. Penyebabnya adalah tekstur isolat protein kedelai yang tekstur seperti serat
dan
sehingga menghambat butir pati.
Menit ke5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
D. METODE BERAS ARTIFICIAL
Ubi kayu 0 0 2 3 4 8 9 9 10 9
Ubi jalar 0 0 2 5 4 8 7 9 8 9
mempunyai benang, berseratbergranula dapat penyatuan butir-
PEMASAKAN
Analisis hasil penetuan metode pemasakan beras artificial (Tabel 13) menunjukkan bahwa seluruh beras artifisial akan matang dengan metode perebusan menggunakan air mendidih dengan perbandingan berat beras artificial : volume air yang ditambahkan = 1:8 selama 15 menit. Setelah tahap perebusan, beras artificial matang direndam dalam air matang (suhu ruang) selama 1 menit. Tujuan dari tahap ini adalah mengurangi kelengketan beras artificial matang.
Tabel 13 Jumlah beras artificial yang sudah tergelatinisasi sempurna
73
15
10
10
(a) Gambar 17 Beras artificial matang (a) ubi kayu
(b) (b) ubi jalar
E. ANALISIS FISIK DAN KIMIA TERHADAP BERAS ARTIFICIAL Analisis Fisik Beras Artificial 1. Daya Serap Air Daya serap air produk beras artificial ubi kayu dengan formula tepung:tepung pati 60:40, 70:30 , 80:20, dan 90:10 berturut-turut adalah 206.7, 193.3, 153.3, dan 68.3. Sedangkan daya serap air produk beras artificial ubi jalar rasio tepung:pati 60:40, 70:30, 80:20, dan 90:10
74
berturut-turut adalah 167.7, 151.7, 80.0, dan 23.3. Hasil analisis daya serap air menunjukkan bahwa daya serap air produk ubi kayu lebih besar dibandingkan dengan ubi jalar (Gambar 18 dan 19). Menurut Harper (1981),
tingginya
kandungan
amilopektin
menghasilkan
daya
pengembangan yang lebih tinggi.
250
206.7±7.6c 200
193.3±7.6c
rata-rata(%)
153.3±10.4b 150
100
68.3±7.6a
50
0 1
2
3
4
Form ula
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang samamenunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 18 Daya serap air keempat produk beras artificial ubi kayu.
Analisis sidik ragam daya serap pati menunjukkan adanya perbedaan nyata antar keempat produk beras artificial ubi kayu dan antar keempat produk beras artificial ubi jalar (Lampiran 37 dan 38). Hal ini berhubungan dengan peningkatan jumlah pati dalam rasio formula beras artificial (ubi kayu dan ubi jalar). Hal ini disebabkan karena daya serap air tepung pati lebih tinggi daripada daya serap tepung. Daya serap air ini dipengaruhi oleh densitas kamba dan bobot 1000 butir. Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa densitas kamba beras artificial ubi jalar lebih besar dibandingkan ubi kayu, maka hasil ini sesuai dengan Gambar 18 dan Gambar 19 bahwa daya serap beras artificial ubi jalar lebih rendah. Hal ini disebabkan karena dengan rongga yang lebih
75
besar (densitas kamba rendah) maka kemampuan untuk menyerap air lebih besar.
250
186.7±12.6d Rata-rata(%)
200
151.7±10.4c 150
80.0±15.0b
100
23.3±7.6a
50 0 60:40
70:30
80:20
90:10
Form ula
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 19 Daya serap air keempat produk beras artificial ubi jalar.
2. Densitas Kamba Tabel 14 menunjukkan bahwa densitas kamba untuk produk beras artificial ubi kayu (0.57 g/ml) tidak berbeda jauh dengan produk beras artificial ubi jalar (0.59 g/ml). Dapat disimpulkan, kedua jenis beras artificial sangat porous dan ringan (mengembang). Hasil analisis sidik ragam densitas kamba tidak berbeda nyata antar keempat produk ubi kayu dan antar keempat produk beras artificial ubi jalar (Lampiran 41 dan 42). Hal ini berarti kedua jenis beras artificial sangat porous dan ringan (mengembang). Menurut Winarno (1992), semakin tinggi kandungan amilosa suatu bahan maka produk yang dihasilkan akan memiliki porositas yang rendah, sehingga densitas kambanya akan tinggi (padat). Kadar amilosa kedua produk beras artificial tidak berbeda jauh, oleh karena itu densitas kamba kedua jenis produk beras artifisial tidak berbeda.
Tabel 14 Densitas kamba produk beras artificial Formula
Rata-rata (g/ml)
76
60:40 70:30 80:20 90:10
Ubi kayu 0.57 0.57 0.57 0.57
Ubi jalar 0.59 0.60 0.59 0.59
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
3. Bobot 1000 Butir Bobot seribu butir beras menunjukkan bobot dari tiap butir beras yang menentukan hasil produksi. Bobot seribu butir dapat dilakukan dengan menimbang bobot seribu butir beras dengan timbangan semi analitik dengan ulangan tiga kali. Tujuan analisis bobot seribu butir adalah untuk mengetahui keseragaman besarnya butiran beras dari masing-masing formula produk beras artificial.
Tabel 15 menunjukkan bahwa bobot 1000 butir produk beras artificial ubi kayu lebih besar dibandingkan produk beras artificial ubi jalar. Hal ini menunjukkan bahwa butiran pada produk beras artificial ubi kayu lebih besar dibandingkan dengan ubi jalar. Analisis sidik ragam bobot 1000 butir menunjukkan bahwa bobot seribu butir tidak berbeda nyata antar keempat produk ubi kayu dan antar keempat produk ubi jalar (Lampiran 39 dan 40). Hasil diatas menunjukkan bahwa butiran produk beras artificial ubi kayu lebih besar dibandingkan ubi jalar dan hasil produksi pada beras artificial ubi kayu serta ubi jalar memiliki keseragaman ukuran. Hal ini disebabkan karena jumlah pati yang terdapat pada ubi jalar lebih sedikit dibandingkan dengan ubi kayu sehingga sulit terjadi pembutiran yang lebih besar lagi. Rata-rata jumlah pati pada ubi jalar sebesar 20% sedangkan jumlah pati pada ubi kayu sebesar 33.6% (Grace 1977). Pada produk yang memiliki densitas kamba besar, seharunys memiliki bobot 1000 butir yang besar juga. Pada penelitian ini terjadi hal yang sebaliknya (Tabel 14 dan 15). Hal ini disebabkan karena beras
77
artificial sulit mengalami pembutiran sehingga ukuran yang diperoleh dari beras artificial ubi jalar lebih kecil dibandingkan ubi kayu yang mempengaruhi bobot 1000 butirnya. Tabel 15 Bobot 1000 butir produk beras artificial Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Bobot ± standar deviasi (g) Ubi kayu Ubi jalar 17.10± 0.10 16.00± 0.00 a 17.17± 0.06 16.06± 0.06 b 17.10± 0.00 16.00± 0.00 a 17.10± 0.10 16.00± 0.00 a
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Analisis Kimia Beras Artifisial 1. Proksimat Kandungan air dalam bahan makanan menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 1992). Kadar air merupakan parameter utama yang terlibat dalam reaksi perusakan bahan pangan (deMan 1997). Berbagai reaksi biokimia yang menyebabkan kerusakan bahan dapat berlangsung dengan media air, sehingga makin tinggi kadar air suatu bahan makin besar resiko kerusakan bahan (Winarno 1992).
Tabel 16 Komposisi kimia produk beras artificial ubi kayu K.protein Formula K.air (%) K.abu (%) K.lemak (bk) (%) (bk) (%) (bk) 60:40
5.7 ±0.2a
0.5 ±0.1ab
0.6±0.1a
1.6 ±0.2a
K. KH by difference (%bk) 97.3±0.7
70:30
6.0 ±0.2ab
0.7±0.1ab
0.7 ±0.1ab
1.9 ±0.07ab
96.7±0.5
80:20
6.4 ±0.3ab
0.8±0.1ab
0.8 ±0.03ab
2.2 ±0.4ab
96.2±0.7
90:10
6.8 ±0.4b
1.0 ±0.1b
0.9 ±0.02b
2.4±0.4b
95.7±1.0
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
78
ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Tabel 17 Komposisi kimia produk beras artificial ubi jalar K.protein Formula K.air (%) K.abu (%) K.lemak (bk) (%) (bk) (%) (bk) 60:40
5.7 ±0.2a
0.8±0.04a
0.7±0.03a
2.1±0.2a
K. KH by difference (%) 96.4±0.4a
70:30
5.9 ±0.2 a
0.9 ±0.1ab
0.8±0.05ab
2.3 ±0.0a
96±0.4ab
80:20
6.3 ±0.3ab
1.0 ±0.1ab
0.8±0.03bc
2.3 ±0.05a
95.9±0.2b
90:10
6.6 ±0.4ab
1.0 ±0.1b
0.9 ±0.02c
2.3±0.2a
95.8±0.0b
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Tabel 16 dan 17 menunjukkan bahwa kadar air dari produk ubi kayu berkisar 5.7-6.8% dan produk ubi jalar berkisar 5.7-6.6%. Kedua jenis produk ini memiliki kadar air yang tidak berbeda jauh karena proses pengeringan yang dilakukan dalam pembuatannya mengalami proses yang sama. Kadar air yang rendah pada produk beras artificial memang diinginkan karena akan menjaga daya tahan produk beras artificial. jumlah kandungan air pada bahan, terutama bahan-bahan hasil pertanian akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroba. Kadar air dari beras artificial masih berada dibawah 12% sehingga masih jauh dibawah kadar air untuk pertumbuhan kapang. Hasil analisis sidik ragam kadar air (Lampiran 43 dan 44) menunjukkan tidak berbeda nyata antar keempat produk beras artificial ubi kayu maupun ubi jalar. kadar air dari beras artificial masih berada dibawah 12% sehingga masih jauh dibawah kadar air untuk pertumbuhan kapang. Semakin besar kadar abu suatu bahan makanan menunjukkan semakin tinggi mineral yang dikandung oleh bahan makanan tersebut (Sediaoetama 1986). Kadar mineral suatu bahan sangat dipengaruhi oleh kondisi mineral tanah tempat tumbuhnya. Pada Tabel 16 dan 17 diketahui
79
bahwa kadar abu produk ubi jalar (0.8-1.0% (bk)) lebih tinggi dibandingkan ubi kayu (0.5-1.0%(bk)). Hasil analisis sidik ragam kadar abu (Lampiran 45 dan 46) menunjukkan berbeda nyata antar keempat produk beras artificial ubi kayu maupun antar keempat produk. Perbedaan jumlah tepung pati pada rasio formula yang menyebabkan terjadinya perbedaan kadar abu. Pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar abu pada beras artificial ubi kayu dan ubi jalar dibandingkan dengan kadar abu pada saat formula tepung bahan baku. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada saat proses pembuatan beras artificial menggunakan alat evaporator yang menyebabkan bahan baku terkena kontaminasi permukaan silinder logam pada evaporator. Pada Tabel 16 dan 17 diketahui bahwa kadar lemak keempat produk beras artificial ubi kayu (0.6-0.9% (bk)) tidak berbeda jauh dengan keempat produk ubi jalar (0.7-0.9% (bk)). Hasil analisis sidik ragam kadar lemak (lampiran 49 dan 50) menunjukkan adanya perbedaan nyata antar keempat produk beras artificial ubi kayu maupun antar keempat produk ubi jalar. Hal ini disebabkan karena perbedaan jumlah tepung pati yang digunakan sehingga mengakibatkan perbedaan jumlah lemak pada bahan baku dan juga produk beras artificial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar lemak pada beras artificial ubi kayu dan ubi jalar dibandingkan dengan kadar lemak pada formulasi tepung bahan baku. Hal ini kemungkinan karena adanya proses pengeringan yang menyebabkan kadar air ubi jalar yang akan dibuat menjadi tepung menurun sehingga dapat menyebabkan kadar lemak pada masa yang tertinggal atau pada tepung yang dihasilkan meningkat. Selain itu kemungkinan dapat disebabkan karena larutnya beberapa komponen larut lemak akibat pemanasan seperti karotenoid yang kurang tahan dengan panas yang tinggi sehingga ikut terhitung sebagai kadar lemak pada bahan. Analisis protein pada penelitian ini menggunakan metode Kjeldahl. Cara tersebut menentukan kadar protein
bahan pangan dengan
80
menganalisis kadar nitrogennya. Pada Tabel 16 dan 17 diketahui bahwa kadar protein keempat produk beras artificial ubi kayu berkisar (1.6-2.4% (bk)) sedangkan kadar protein keempat produk beras artificial ubi jalar berkisar (2.1-2.3% (bk)). Hasil analisis sidik ragam kadar protein (Lampiran 47 dan 48) menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antar keempat produk beras artificial ubi kayu maupun ubi jalar. Hal ini disebabkan karena perbedaan jumlah tepung pati yang digunakan sehingga mengakibatkan perbedaan jumlah protein pada bahan baku dan juga produk beras artificial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah protein pada
keempat produk beras artificial dibandingkan keempat
formula untuk ubi kayu dan ubi jalar. Hal ini diakibatkan karena dengan meningkatnya suhu pengeringan, maka jumlah protein yang terdenaturasi juga meningkat. Karbohidrat adalah zat gizi penting dalam kehidupan manusia karena berfungsi sebagai sumber energi utama manusia. Karbohidrat dapat memenuhi 60-70% kebutuhan energi tubuh. Selain itu, karbohidrat juga penting dalam menentukan karakteristik bahan pangan seperti rasa, warna, dan tekstur (Winarno 1992). Pada umumnya serealia dan umbi-umbian mengandung karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi yaitu pati. Tabel 16 dan 17 menunjukkan bahwa kadar karbohidrat produk beras ubi kayu (95.7-97.3 %bk) tidak berbeda jauh dengan produk beras ubi jalar (95.8-96.4 %bk). Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat (lampiran 51 dan 52) menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar keempat produk beras artificial ubi kayu maupun keempat produk beras artificial ubi jalar. Hal ini disebabkan karena perbedaan jumlah tepung pati yang digunakan sehingga mengakibatkan perbedaan jumlah lemak pada bahan baku dan juga produk beras artificial. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi peningkatan kadar karbohidrat pada keempat produk beras dibandingkan dengan keempat formula untuk ubi kayu dan ubi jalar. Menurut Desroseier (1963) menurunnya kadar air bahan pangan selama proses pengeringan
81
menyebabkan meningkatnya kadar karbohidrat di dalam massa yang tertinggal. Jumlah karbohidrat yang ada persatuan berat di dalam bahan pangan kering lebih besar dibandingkan dalam bahan pangan segar. Dengan demikian adanya proses pengeringan akan menurunkan kadar airnya dan setelah menjadi prosuk kadar karbohidratnya meningkat bila dibandingkan dengan kadar karbohidrat pada tepung. 2. Kadar Serat Menurut
Muchtadi
(2000)
berbagai
definisi
serat
serta
penggolongannya sebagai berikut: serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar, yaitu asam sulfat (H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1,25%). Serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Oleh karena itu, kadar serat kasar nilainya lebih rendah dibandingkan dengan kadar serat pangan, karena asam sulfat dan natrium hidroksida mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menghidrolisis komponen-komponen pangan dibandingkan dengan enzim-enzim pencernaan. Secara umum serat pangan didefinisikan sebagai kelompok polisakarida dan polimerpolimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem gastro-intestinal bagian atas tubuh manusia. Serat pangan total terdiri dari komponen seat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Serat pangan larut diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat Pada Tabel 18 dan 19 diketahui bahwa kadar serat larut keempat produk beras ubi kayu berkisar 3.8-6.8% dengan kadar serat tidak larut berkisar 6.2-8.6% (bk). Sedangkan untuk keempat produk beras ubi jalar memiliki kadar serat larut berkisar 3.4-5.0% dan kadar serat tidak larut berkisar 5.9-7.9%. Hasil analisis sidik ragam kadar serat larut dan tidak larut (lampiran 53-57) menunjukkan adanya perbedaan nyata
antar
keempat produk beras ubi kayu maupun ubi jalar. Hal ini disebabkan karena perbedaan jumlah tepung pati yang digunakan. Pada umumnya kadar pati maksimum jika kadar serat rendah.
82
Tabel 18 Kadar serat produk beras artficial ubi kayu Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Serat larut (%) 6.8±0.5c 6.0±0.3bc 4.9±0.2b 3.8±0.5a
Serat tidak larut (%) 6.2 ±0.7a 7.1 ±0.3ab 7.7±0.5ab 8.6±0.5b
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Tabel 19 Kadar serat produk beras artficial ubi jalar Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Serat larut (%) 3.4±0.5a 3.9±0.3ab 4.8 ±0.1b 5.0 ±0.5b
Serat tidak larut (%) 5.9±0.3a 6.6±0.4ab 7.1±0.6bc 7.9±0.3c
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Produk yang memiliki kandungan serat kasar yang rendah mutunya akan semakin baik karena selain teksturnya menjadi halus, rendahnya kandungan serat kasar dapat meningkatkan daya cerna β-karoten dalam tubuh. Menurut Sosrosoedirdjo (1972) kadar serta kasar umbi dipengaruhi oleh varietas, umur panen dan cara pemupukkan. Menurut Shreve et al. (1977) serat kasar pada umbi mengandung komponen selulosa dan lignin. Adanya perlakuan perendaman dengan larutan NaOH pada awal pembuatan tepung membuat senyawa lignin menjadi rusak dan terpisah dengan komponen selulosa sehingga serat kasar pun menjadi rusak.
3. Kadar Amilosa Berdasarkan Gambar 19 dan 20 diketahui bahwa kadar amilosa keempat produk beras ubi jalar (30.0-32.5%) lebih tinggi dibandingkan keempat produk beras ubi kayu (29.6-31.7%). Hasil analisis sidik ragam kadar amilosa (Lampiran 57 dan 58) menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar keempat produk beras artificial ubi kayu maupun ubi jalar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar amilosa semakin
83
menurun dengan berkurangnya jumlah tepung pati dalam rasio formula. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Febriyanti (1990) yang melaporkan bahwa pati memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung.
35
29.6±0.6a
34
30.9±0.3 ab 33
29.6±0.9
a
31.7±0.8b
32
31
30
29
28 60:40
70:30
80:20
90:10
F o r mul a
Ket: Angka yang diikuti oleh huuf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 20 Kadar amilosa produk beras artificial ubi kayu.
36 35
30.0±0.4a
31.3±0.7ab 31.7±0.3ab
Rata-rata(%)
34
32.5±0.8b
33 32 31 30 29 60:40
70:30
80:20
90:10
Form ula
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 21 Kadar amilosa produk beras artificial ubi jalar.
84
Amilosa dan amilopektin merupakan molekul-molekul penyusun pati yang sangat berperan dalam menentukan karakteristik produk pangan yang dihasilkan. Amilosa merupakan fraksi terlarut dari pati, bila kedua fraksi dari pati dipisahkan dengan menggunakan air panas. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan (1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan (1,4)-D-glukosa (Winarno 1992). 4. Daya Cerna Pati in Vitro Pati yang mengandung lebih banyak amilosa bersifat lebih resisten terhadap pencernaan pati dibandingkan pati yang lebih banyak mengandung amilopektin karena struktur linier amilosa yang bersifat kompak (Rashmi dan Urooj 2003). Analisis sidik ragam daya cerna pati in vitro pada produk beras artificial (Lampiran 59 dan 60) menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar keempat produk beras artificial ubi kayu maupun ubi jalar.
68
65.9±0.5c
Rata-Rata(% )
66 64 62
64.7±1.2c
62.4±0.3b 59.9±1.2
a
60 58 56 54 60:40
70:30
80:20
90:10
Formula
Ket: Angka yang oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 22 Daya cerna pati in vitro produk beras artificial ubi kayu.
85
60
57.2±1.2c
58
54.8±0.5bc
Rata-rata(%)
56 54
51.3±1.2a
52.5±0.3ab
52 50 48 46 44 60:40
70:30
80:20
90:10
Form ula
Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Gambar 23 Daya cerna pati in vitro produk beras artificial ubi jalar.
Gambar 21 dan 22 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan daya cerna pati yang diimbangi dengan peningkatan kadar amilosa pada keempat produk beras ubi kayu maupun ubi jalar. Daya cerna produk beras ubi kayu (59.9-67.4%) lebih tinggi dibandingakan ubi jalar (51.3-57.2%). Hal ini karena jumlah amilopektin pada ubi kayu lebih tinggi dibandingkan ubi jalar. Menurut Miller et al. (1992), daya cerna pati dari bahan pangan berkadar amilosa tinggi adalah lebih rendah dibandingkan dengan daya cerna dari bahan pangan berkadar amilopektin tinggi. Amilopektin dicerna lebih cepat dibandingkan dengan amilosa karena amilopektin
mempunyai
struktur
terbuka
sehingga
lebih
mudah
tergelatinisasi.
F. ANALISIS SENSORI BERAS ARTIFICIAL Hasil analisis sidik ragam sensori menunjukkan bahwa panelis ratarata menyukai beras artificial ubi kayu dengan formula 60:40, dan tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 70:30. Pada beras artificial ubi jalar, panelis paling menyukai formula 80:20, dan tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 90:10.
86
Tabel 20 Hasil analisis sensori beras artificial ubi kayu mentah Formula
Aroma
Warna
60:40 70:30 80:20 90:10
5.1 5.0 4.6 4.6
5.3b 5.1b 4.1a 4.3a
Penerimaan umum 5.2b 5.0ab 4.6a 4.5a
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Keterangan: 1 = sangat tidak suka 2 = agak tidak suka 3 = tidak suka 4 = netral
5 = suka 6 = agak suka 7 = sangat suka
Hasil analisis sidik ragam sensori beras artificial ubi kayu dan ubi jalar mentah dapat dilihat pada Lampiran 1-6. Pada Tabel 20 dan 21 diketahui bahwa panelis lebih menyukai warna formula 60:40, dan tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 70:30 untuk beras artificial ubi kayu serta formula 80:20 untuk beras ubi jalar. Hasil analisis sidik ragam sensori aroma beras artificial mentah menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai formula 60:40 untuk beras artificial ubi kayu mentah. Sedangkan untuk beras artificial ubi jalar, panelis berpendapat bahwa keempat formula beras ubi jalar memiliki aroma yang sama. Hasil analisis sidik ragam analisis sensori secara umum, panelis lebih menyukai beras artificial ubi kayu mentah dengan formula 60:40, dan tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 70:30 serta formula 90:10 untuk beras artificial ubi jalar mentah.
Tabel 21 Hasil analisis sensori beras artificial ubi jalar mentah Formula
Aroma
Warna
60:40 70:30 80:20 90:10
5.1 5.3 5.3 5.4
5.3b 4.0a 5.2b 5.9c
Penerimaan umum 5.0a 4.7a 5.3ab 5.6b
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
87
Data analisis sidik ragam sensori beras artificial matang ditunjukkan pada Lampiran 7-16. Tabel 20 dan 21 menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai formula 60:40 yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 70:30 untuk beras ubi kayu, dan formula 80:20 yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 90:10 untuk beras ubi jalar. Data analisis sensori rasa untuk beras artificial matang menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai formula 60:40 untuk beras ubi kayu, dan formula 80:20 yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 90:10 untuk beras ubi jalar. Dari analisis sidik ragam sensori warna beras artificial matang, panelis lebih menyukai formula 60:40 yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 70:30 untuk beras ubi jalar dan formula 80:20 yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 90:10 untuk beras ubi jalar. Sedangkan untuk analisis sidik ragam aroma beras artificial matang, panelis lebih menyukai formula 60:40 yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 70:30 untuk beras ubi kayu dan panelis berpendapat bahwa keempat formula beras ubi jalar memiliki aroma yang sama. Berdasarkan analisis sidik ragam sensori secara umum, panelis lebih menyukai formula 60:40 untuk beras ubi kayu dan formula 80:20 yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 90:10 untuk beras ubi jalar.
Tabel 22 Hasil analisis sensori beras artificial ubi kayu matang Formula
Kelengketan
Rasa
60:40 70:30 80:20 90:10
3.1a 3.5ab 3.9b 3.7b
3.0a 3.6b 3.8b 3.8b
Warna Aroma Penerimaan Umum 2.7a 3.2a 2.7a a a 2.7 3.3 3.2b 4.6b 3.8b 3.9c b ab 4.6 3.6 3.8c
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Keterangan: 1 = sangat tidak suka 2 = agak tidak suka 3 = tidak suka 4 = netral
5 = suka 6 = agak suka 7 = sangat suka
88
Tabel 23 Hasil analisis sensori beras artificia ubi jalarl matang Formula
Kelengketan
Rasa
60:40 70:30 80:20 90:10
3.7bc 4.0c 2.8a 3.0ab
3.7ab 4.1b 3.1a 3.6ab
Warna Aroma Penerimaan Umum 3.2ab 2.9 3.6b b 3.5 3.0 3.8b 3.0a 3.1 2.9a a 2.8 3.0 2.9a
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Keterangan: 1 = sangat tidak suka 2 = agak tidak suka 3 = tidak suka 4 = netral
5 = suka 6 = agak suka 7 = sangat suka
G. PEMILIHAN FORMULA TERBAIK Formula terbaik dipilih berdasarkan tiga pertimbangan yaitu formula yang paling disukai oleh panelis dari hasil analisis sensori, jumlah tepung yang digunakan dalam rasio formula, dan hasil rendemen. Berdasarkan hasil analisis sensori parameter rasa dan keseluruhan umum pada beras artificial ubi kayu matang, panelis lebih menyukai formula 60:40. Sedangkan untuk parameter tekstur, warna, dan aroma, panelis lebih menyukai formula 60:40 yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 70:30. Jumlah tepung yang digunakan dalam formula 70:30 lebih banyak dibandingkan formula 60:40 dengan rendemen formula 70:30 (65%) yang tidak berbeda jauh dengan formula 60:40 (70%). Oleh karena itu dilakukan pemilihan formula 70:30 sebagai formula terbaik untuk beras artificial ubi kayu. Panelis lebih menyukai formula 80:20 yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan formula 90:10 untuk seluruh parameter pada analisis sensori beras artifisial ubi jalar matang. Jumlah tepung formula 90:10 lebih banyak dibanding formula 80:20 tetapi hasil rendemen formula 90:10 masih rendah (31%). Oleh karena itu dipilih formula 80:20 sebagai formula terbaik untuk beras artificial ubi jalar.
89
Beras artficial ubi kayu formula 70:30 memiliki kadar karbohidrat (96,7% bk) dan daya cerna pati (62.4%)yang lebih tinggi dibandingkan kadar karbohidrat (95.9% bk) dan daya cerna pati (54.8%) beras artificial ubi jalar formula 80:20. Oleh karena itu beras artificial ubi kayu formula 70:30 baik untuk orang dewasa yang membutuhkan
banyak energi sedangkan beras
artificial ubi jalar formula 80:20 baik untuk konsumen yang menderita diabetes. Daya cerna pati rendah berarti kemampuan pati untuk dihidrolisis menjadi gula-gula sederhana bersifat rendah sehingga dapat berdampak pada lambatnya peningkatan kadar glukosa darah.
90
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Proses pembuatan beras artificial meliputi pencampuran tepung, pati, dan air, dilanjutkan dengan proses penghabluran menggunakan ayakan 8 mesh, proses pembutiran dengan mesin pembutir, penyangraian selama 5-7 menit pada suhu 45-50°C, dan pengeringan menggunakan oven selama 60°C selama 72 jam. Hasil rendemen pembuatan beras artifisial ubi kayu dan ubi jalar menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pati dalam rasio formula maka rendemen semakin meningkat. Pemilihan formula terbaik dilakukan berdasarkan hasil analisis sensori, jumlah tepung yang digunakan dalam rasio formula, dan hasil rendemen. Formula terpilih untuk beras artifisial ubi kayu adalah 70:30, sedangkan untuk beras artifisial ubi jalar adalah 80:20 untuk tepung:pati. Hasil analisis kimia beras artificial ubi kayu formula 70:30 meliputi kadar kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, serat larut, serat tidak larut, kadar amilosa, dan daya cerna pati in vitro berturut-turut 6.0%, 0.7% (bk), 0.7% (bk), 1.9% (bk), 96.7% (bk), 6.0%, 7.1%, 29.6%, 62.4%. Sedangkan analisis kimia beras artificial ubi jalar formula 80:20 meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, serat larut, serat tidak larut, kadar amilosa, dan daya cerna pati in vitro berturut-turut adalah 6.3%, 1.0% (bk), 0.8% (bk), 2.3% (bk), 95.9% (bk), 4.8%, 7.1%, 31.7%, 54.8%.
B. SARAN Beras artifisial merupakan produk yang dapat diterapkan di industri sehingga diharapkan produk ini dapat menjadi alternatif pendamping nasi. Oleh karena itu diharapakan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terutama dalam hal perbaikan tekstur dan bentuk, pembuatan beras artificial instan, dan sosialisasi produk beras artificial sebagai alternatif pendamping nasi.
91
DAFTAR PUSTAKA Ahza, A.B. 1983. Pengolahan Mie dan Roti. Di dalam: Pendidikan dan Latihan Tenaga Pembina Wilayah Bina swadaya dalam Bidang Pengolahan Pangan Tradisional. 28 November-12 Desember 1983. Bogor. Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. [Anonim]. 1988. Sagu Mutiara Indonesia. Di dalam: Sulaksono. Modifikasi Pengolahan dan Nutrifikasi Sagu Mutiara. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Asp, N.G., Johansson, C.G., Hallmer, H., Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J Agricultural Food Chemistry 31 : 476 – 482. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International. Virginia: USA AOAC International. Balagopalan, C., G. Padmaja, S.K. Nanda dan S.N. Morthy. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. Florida: CRC Press. Boca Raton. Banks, W., C. T. Greenwood., D. D. Muir. 1973. The Structure of Starch. Di dalam: G.G. Virch dan L. F. Green (ed.). Molecular Structure and Functions of Food Carbohydrate. London: Applied Sci. Publ. Ltd. BeMiller, J.N., dan R.L. Whistler. 1996. Carbohydrates. Di dalam: O.R. Fennema. Food Chemistry. 3rd ed. New York. Basel: Marcel Dekker. Bhattacharya, K. R. 1979. Gelatinization Temperature of Rice Starch and Its Determination. Di dalam: Proceedings of The Workshop on Chemical Aspect of Rice Grain Quality. IRRI, los Banos. PP 232-247. BSN. 1992. Tepung Singkong. SNI 01-2997-1992. BSN. 1992. Tapioka. SNI 01-3451-1994. Darjanto dan Murjadi. 1980. Khasiat, Racun dan Makanan Ketela Pohon. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Damardjati, D.S. 1988. Struktur kandungan gizi beras. Di dalam: Padi-Buku 1. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Damardjati, DjokoSaid dan S.Widowati. 1994. Pemanfaatan ubijalar dalam program diversifikasi guna mensukseskan swasembada pangan. Malang: Balitan No. 3 : 1-25. Ubi 1-2.
92
DeMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. K. Panduwinata, penerjemah. Bandung : ITB Press. Departemen Pertanian. 2008. Keseimbangan Permintaan dan Ketersediaan beras untuk Konsumsi, 2003 – 2006. http://www.deptan.go.id. 07 April 2008. Departemen Kesehatan. 1992. Daftar Kandungan Gizi Makanan. Jakarta: Bharata. Desrosier, N.W. 1963. The Technology of Food Preservation, 3rd ed. Wesport, Connecticut: Teh AVIPubl Company Inc. Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Beberapa Varietas Tepung Singkong (Manihot esculenta CRANZT.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Fennema, O.R. 1976. Principles of Food Science, Part I Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc. Furia, T.E. 1968. Hand Book Of Food Additives. Cleveland, Ohio: CRC press Inc. Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Roma: FAO of United Nations. Harnowo, D., S.S. Antarlina., dan H. Mahagyosuko. 1994. Pengolahan Ubijalar Guna Mendukung Diversifikasi Pangan dan Agroindustri. Malang: Balitan No.3. 145-160. Ubi I-II. Harper, J.M. 1981. Extruction of Food. Vol II. Florida: CRC Press Inc. Juliano, B.O. and Kongseree. 1968. Physico Chemical Properties of Rice Grain and Starch Foom Line Differing in Amilosa Content and Gelatinization Temperature. J. Agr and Food Chem 20: 714 -717. Juliano, B.O. 1972. The rice caryopsis and its composition. Di dalam: D.F. Houston (ed). Rice Chemistry and Technology. St. Paul, Minnesona: American Associaton of Chemists Inc. Knight, J.W. 1974. Speciality Food Starches. Di dalam: E.V. Araulo, B. Nestel dan M.Compbell. Cassava Processing and Storage. Proceeding of an Interdisciplinary Workshop; Phattaya, Thailand, 17-19 April 1974 Leach, H.W. 1965. Gelatinization of Starch. Di dalam: R.L.Whistler and E.F.Paschall ed Starch Chemistry and Technology Vol I. New York: Acad Press. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat IPB. 1999. Cara Pengolahan Tepung Ubijalar. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
93
Lingga, P et al,. 1986. Bertanam Umbi-Umbian. Jakarta: Penebar Swadaya. Miller, J.B, Pang, E. Bramall L. 1992. Rice: a high or low glycemic index food? Am J Clin Nutr 56: 1034-1036. Mohamed, K.R. 2006. Penghabluran Semula (Recrystallization). Http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/15/cakrawala/penelitian.htm. [7 Mei 2007]. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Muchtadi, D. 2000. Sayur-Sayuran Sumber Serat&Antioksidan: Mencegah Penyakit Degeneratif. Bogor: IPB Press. Norman, E. B.1980. Enzym Technology in The Manufacture of Sugar From Cereal. Di dalam: G.E.Inglett dan Lars Munch (ed.). Academic Press New York. Onwuene, I. C. 1978. The Tropical Tuber Crops, Yams, Cassava, Sweet Potato and Cooyams. New York: Johm Wiley dan Son. Chicester. Palmer. 1982. Carbohydrate in Sweet Potato. Di dalam: Sweet Potato Proceeding of the First International Symposium. Taiwan: AVRDC, Shanbiz. Pamularsih, E. 2006. Pengolahan Sagu (Metroxylon sp) menjadi Sagu Mutiara Instan sebagai Upaya Diversifikasi Pangan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Parker, R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar. Thomson Learning. United States of America. Purwadaria, H.K. 1990. Buku Peganangan Penanganan Pasca Panen Ubi Kayu. Deptan-FAO-UNDP. Radley, J.A. 1976. Sausage Production Technology. London: Applied Science Publishers, Ltd. Rahayuningsih, St. A. dan S.S. Antarlina. 1993. Hasil Analisis Komposisi Kimia Beberapa Klon Ubijalar. Malang: Balitan. Rashmi, S. Dan A. Urooj. 2003. Effects of Processing on Nutritionally Important Strach Fractions in Rice Varieties. International Journal of Food Sciences and Nutrition. 54:27-36. Samad, M.Y. 2003. Pembuatan Beras Tiruan dengan Bahan Baku Ubi kayu dan Sagu. Di dalam: Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri; Vol II, hal 36-4001.
94
Santosa, B. A. Susilo, et al,. 1994. Evaluasi sifat-sifat fisik kimia tepung dan varietas ubi jalar. Malang: Balitan No. 3: 9199. Ubi I-4. Sediaoetama, A.J. 1986. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta Timur: Penerbit DIAN RAKYAT. Shreve, R.N and Brink, J.K. 1977. Chemical Process Industries. Auckland: Mc Graw hill Book Co. Soebito, S. 1988. Analisis farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soenardi, T. 2002. Makanan Alternatif untuk Ketahanan Pangan Nasional. Penerbit Buku Kompas. Sulaksono. 1989. Modifikasi Pengolahan dan Nutrifikasi Sagu Mutiara [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Somaatmadja, D. 1984. Aspek Teknologi Pengolahan Ubi kayu. Di dalam: Konsultsi Teknis Pemanfaatan Sumberdaya Alam Sub Sektor Pertanian. Bogor: Departemen Pertanian dan Pusbangtepa IPB. Sosrosoedirdjo. 1972. Bercocok Tanam Ketela Pohon. Jakarta: YasaGuna. Syamsir.E., et al., 2006. Teknologi Pengolahan Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Tjahjadi, C. 1989. Pemanfaatan Singkong sebagai Bahan Makanan. Di dalam: Seminar Nasional Peningkatan Nilai Tambah Singkong. Bandung: Universitas Padjadjaran. Tjokroadikoesoemo, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: Gramedia. Winarno, F.G. 1981. Penanganan Singkong dan Ubi Jalar. Kumpulan Pikiran dan Gagasan Tertulis. Bogor: Pusbangtepa, IPB. ___________.1982. Sweet Potato Processing and by Product Utilization in the Tropics. Di dalam: Sweet Potato Proceeding of the First International Symposium. Taiwan: AVRDC, Shanbiz. ___________. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absoption in Rice [Thesis]. Madison: Department of Food Science. University of Wisconsin.
95
Wirakartakusumah, M.A., K. Abdullah, dan A.M. Syarief. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor: PAU Pangan Gizi, IPB.
96
Lampiran 1 Hasil analisis sidik ragam sensori parameter aroma pada beras artificial ubi kayu mentah Sumber Keragaman JK db Model 934.273(a) 25 PANELIS 51.273 21 SAMPEL 4.773 3 Galat 31.727 63 Total 966.000 88 a R Squared = .967 (Adjusted R Squared = .954)
KT 37.371 2.442 1.591 .504
Fhitung 74.206 4.848 3.159
p .000 .000 .031
Lampiran 2 Hasil analisis sidik ragam sensori parameter aroma pada beras artificial ubi jalar mentah Sumber Keragaman Model PANELIS SAMPEL Error Total
Jk 682.830(a) 43.966 .580 30.170 713.000
db 25 21 3 63 88
KT 27.313 2.094 .193 .479
Fhitung 57.034 4.372 .403
p .000 .000 .751
a R Squared = .958 (Adjusted R Squared = .941)
Lampiran 3 Uji Duncan parameter warna pada beras artificial ubi kayu mentah Formula 80:20 90:10 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 4.14 4.27 5.14 5.27
Lampiran 4 Uji Duncan parameter warna pada beras artificial ubi jalar mentah Formula 70:30 80:20 60:40 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 3 4.00 5.23 5.27 5.91
97
Lampiran 5 Uji Duncan parameter secara umum pada beras artificial ubi kayu mentah
Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 4.50 4.64 5.00 5.00 5.23
Lampiran 6 Uji Duncan parameter secara umum pada beras artifical ubi jalar mentah Formula 70:30 60:40 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 4.73 5.00 5.27 5.27 5.64
Lampiran 7 Hasil analisis sidik ragam sensori parameter tekstur (kelengketan) pada beras artificial ubi kayu matang Sumber Keragaman JK db Model 1202.966(a) 25 PANELIS 81.466 21 SAMPEL 8.216 3 Error 52.034 63 Total 1255.000 88 a R Squared = .959 (Adjusted R Squared = .942)
KT 48.119 3.879 2.739 .826
Fhitung 58.259 4.697 3.316
p .000 .000 .025
Lampiran 8 Uji Duncan parameter tekstur (kelengketan) pada beras artificial ubi jalar matang Formula 70:30 60:40 90:10 80:20
Subset for alpha = .05 1 4.14 4.41
2 4.41 5.00
3
5.00 5.23
98
Lampiran 9 Uji Duncan parameter rasa pada beras artificial ubi kayu matang Formula 80:20 90:10 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 4.09 4.23 4.45 4.45 5.00
Lampiran 10 Uji Duncan parameter rasa pada beras artificial ubi jalar matang Formula 70:30 60:40 90:10 80:20
Subset for alpha = .05 1 2 3.82 4.23 4.23 4.41 4.41 4.91
Lampiran 11 Uji Duncan parameter warna pada beras artificial ubi kayu matang Formula 80:20 90:10 60:40 70:30
Subset for alpha = .05 1 2 3.45 3.45 5.27 5.32
Lampiran 12 Hasil analisis sidik ragam sensori parameter warna pada beras artificial ubi jalar matang Sumber Keragaman JK db Model 949.330(a) 25 PANELIS 84.375 21 SAMPEL 5.580 3 Error 31.670 63 Total 981.000 88 a R Squared = .968 (Adjusted R Squared = .955)
KT 37.973 4.018 1.860 .503
Fhitung 75.538 7.992 3.700
p .000 .000 .016
99
Lampiran 13 Hasil analisis sidik ragam sensori parameter aroma pada beras artificial ubi kayu matang Sumber Keragaman JK db Model 1135.920(a) 25 PANELIS 73.148 21 SAMPEL 5.670 3 Error 41.080 63 Total 1177.000 88 a R Squared = .965 (Adjusted R Squared = .951)
KT 45.437 3.483 1.890 .652
Fhtiung 69.682 5.342 2.899
p .000 .000 .042
Lampiran 14 Hasil analisis sidik ragam sensori parameter aroma pada beras artificial ubi jalar matang Sumber Keragaman JK db Model 1270.557(a) 25 PANELIS 86.330 21 SAMPEL 13.307 3 Error 70.443 63 Total 1341.000 88 a R Squared = .947 (Adjusted R Squared = .927)
KT 50.822 4.111 4.436 1.118
Fhitung 45.452 3.677 3.967
Lampiran 15 Uji Duncan parameter secara umum pada beras artificial ubi kayu matang Formul a 80:20 90:10 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 4.14 4.23
2 4.23 4.77
3
4.77 5.27
Lampiran 16 Uji Duncan parameter secara umum pada beras artificial ubi jalar matang Formula 70:30 60:40 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 4.18 4.45 4.45 5.14 5.14
p .000 .000 .012
100
Lampiran 17 Uji Duncan warna (Whiteness Meter) pada bahan baku beras artificial ubi kayu Sampel 5 4 2 3 1 6
Subset for alpha = .05 1 2 3 69.4667 80.1667 80.8333 82.9667 84.4000 100.0000
Keterangan : 1 = Rasio tepung : pati = 60 : 40 2 = Rasio tepung : pati = 70 : 30 3 = Rasio tepung : pati = 80 : 20 4 = Rasio tepung : pati = 90 : 10 5 = Tepung 6 = Pati
Lampiran 18 Uji Duncan warna (Whitteness Meter) pada bahan baku beras artificial ubi jalar Sampel 5 4 3 2 1 6
Subset for alpha = .05 1 2 3 78.5667 80.5667 81.0667 81.6667 81.8333 91.6667
Keterangan : 1 = Rasio tepung : pati = 60 : 40 2 = Rasio tepung : pati = 70 : 30 3 = Rasio tepung : pati = 80 : 20 4 = Rasio tepung : pati = 90 : 10 5 = Tepung 6 = Pati
101
Lampiran 19 Uji Duncan kadar air pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu Subset for alpha = .05 1 2 5.6900 6.0200 6.0200 6.4000 6.4000 6.7950
Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Lampiran 20 Uji Duncan kadar air pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 5.7500 5.9200 6.2900 6.2900 6.6500
Lampiran 21 Hasil analisis sidik ragam kadar abu pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 .5300 .7650 .7650 .8300 .8300 1.0400
Lampiran 22 Uji Duncan kadar abu pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar Formula 70:30 80:20 90:10 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 .8500 .9400 .9400 1.0900 1.0900 1.1150
102
Lampiran 23 Uji Duncan kadar protein pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 1.7000 2.0400 2.0400 2.3200 2.3200 2.5850
Lampiran 24 Hasil analisis sidik ragam kadar protein pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
JK ,069 ,087 ,156
db
KT 3 4 7
,023 ,022
Fhitung 1,059
p ,459
Lampiran 25 Uji duncan kadar lemak pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu Formul a 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 .6500 .7400 .7400 .8500 .8500 .9750
Lampiran 26 Uji Duncan kadar lemak pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 3 .7400 .8300 .8300 .8650 .8650 .9550
103
Lampiran 27 Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
JK .220 4.500 4.720
db
KT 3 4 7
.073 1.125
Fhitung .065
p .976
Lampiran 28 Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
JK 3.495 9.840 13.335
db 3 4 7
KT 1.165 2.460
Fhtiung .474
p .717
Lampiran 29 Uji Duncan kadar serat tidak larut pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu Fomula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 3 6.5650 7.5600 7.5600 8.2550 8.2550 9.2100
Lampiran 30 Uji Duncan kadar serat tidak larut pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 3 6.3050 7.1000 7.1000 7.5850 7.5850 8.5250
104
Lampiran 31 Uji Duncan kadar serat larut pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 4.0900 5.2600 5.2600 6.3900 6.4400
Lampiran 32 Uji Duncan kadar serat larut pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar
Formula 90:10 80:20 60:40 70:30
Subset for alpha = .05 1 2 3.6950 4.1900 4.1900 5.0800 5.2850
Lampiran 33 Uji Duncan kadar amilosa pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu Formula 70:30 90:10 80:20 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 31.5000 31.7200 31.7200 32.9900 32.9900 33.6350
Lampiran 34 Uji Duncan kadar amilosa pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar Formula 80:20 90:10 70:30 60:40 .
Subset for alpha = .05 1 2 32.0500 33.5200 33.5200 33.6800 33.6800 34.4950
105
Lampiran 35 Uji Duncan daya cerna pati in vitro pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi kayu Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 3 59,8950 62,3950 65,8750 67,3700
Lampiran 36 Uji Duncan daya cerna pati in vitro pada keempat formula bahan baku beras artificial ubi jalar Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 3 54.9850 55.9850 55.9850 58.3050 58.3050 60.7350
Lampiran 37 Uji Duncan daya serap air pada beras artificial ubi kayu Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 3 68.3333 153.3333 193.3333 206.6667
Lampiran 38 Uji Duncan daya serap air pada beras artificial ubi jalar Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
1 23.3333
Subset for alpha = .05 2 3
4
80.0000 151.6667 186.6667
106
Lampiran 39 Hasil analisis sidik ragam bobot 1000 butir pada beras artificial ubi kayu
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
JK .010 .047 .057
db
KT 3 8 11
.003 .006
Fhitung .571
p .649
Lampiran 40 Uji Duncan bobot 1000 butir pada beras artificial ubi jalar Formula 60:40 80:20 90:10 70:10
Subset for alpha = .05 1 2 16.0000 16.0000 16.0000 16.0667
Lampiran 41 Hasil analisis sidik ragam densitas kamba pada beras artificial ubi kayu Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
JK .000 .001 .001
db
KT 3 8 11
.000 .000
Fhitung .667
p .596
.
Lampiran 42 Hasil analisis sidik ragam densitas kamba pada beras artificial ubi jalar Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
JK .000 .001 .001
db
KT 3 8 11
.000 .000
Fhtiung 1.000
p .441
107
Lampiran 43 Uji Duncan kadar air pada beras artificial ubi kayu Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 5,6900 6,0200 6,0200 6,4000 6,4000 6,7950
Lampiran 44 Uji Duncan kadar air pada beras artificial ubi jalar Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 5,6900 6,0200 6,0200 6,4000 6,4000 6,7950
Lampiran 45 Uji Duncan kadar abu pada beras artificial ubi kayu Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 ,5050 ,7200 ,7200 ,7800 ,7800 ,9750
Lampiran 46 Uji Duncan kadar abu pada beras artificial ubi jalar Formula 70:30 80:20 90:10 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 ,8000 ,8800 ,8800 1,0150 1,0150 1,0500
108
Lampiran 47 Uji Duncan kadar protein pada beras artificial ubi kayu Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 1,6050 1,9150 1,9150 2,1750 2,1750 2,4050
Lampiran 48 Hasil analisis sidik ragam kadar protein pada beras artificial ubi jalar
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
JK .088 .103 .191
db
KT 3 4 7
.029 .026
Fhitung 1.132
Lampiran 49 Uji Duncan kadar lemak pada beras artificial ubi kayu Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 ,6150 ,6950 ,6950 ,7950 ,7950 ,9100
.
Lampiran 50 Uji duncan kadar lemak pada beras artificial ubi jalar Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 3 ,7000 ,7750 ,7750 ,8100 ,8100 ,8950
p .436
109
Lampiran 51 Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat pada keempat formula beras artificial ubi kayu Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
JK 2.815 9.940 12.755
db
KT 3 4 7
.938 2.485
Fhitung .378
p .775
Lampiran 52 Hasil analisis sidik ragam kadar karbohidrat pada keempat formula beras artificial ubi jalar Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
JK .415 2.020 2.435
db
KT 3 4 7
.138 .505
Fhtiung .274
p .842
Lampiran 53 Uji Duncan kadar serat tidak larut pada beras artificial ubi kayu Formula 60:40 70:30 80:20 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 6,1900 7,1050 7,1050 7,7300 7,7300 8,5900
Lampiran 54 Uji Duncan kadar serat tidak larut pada beras artificial ubi jalar Formula 60:40 80:20 70:30 90:10
Subset for alpha = .05 1 2 3 5,9450 6,6550 6,6550 7,1350 7,1350 7,9600
Lampiran 55 Uji Duncan kadar serat larut pada beras artificial ubi kayu Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 3 3,8100 4,9250 6,0100 6,0100 6,0750
110
Lampiran 56 Uji Duncan kadar serat larut pada beras artificial ubi jalar Subset for alpha = .05 1 2 3,4500 3,9300 3,9300 4,7900 4,9750
Formula 90:10 80:20 60:40 70:30
Lampiran 57 Uji Duncan kadar amilosa pada beras artificial ubi kayu Subset for alpha = .05 1 2 29,5650 29,6050 30,8800 30,8800 31,7200
Formula 90:10 70:30 80:20 60:40
Lampiran 58 Uji Duncan kadar amilosa pada beras artificial ubi jalar Formula 80:20 90:10 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 30,0350 31,2900 31,2900 31,6900 31,6900 32,5100
Lampiran 59 Uji Duncan daya cerna pati in vitro pada beras artificial ubi kayu Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 3 51,3350 52,4650 52,4650 54,8500 54,8500 57,2450
111
Lampiran 60 Uji Duncan daya cerna pati in vitro pada beras artificial ubi jalar
Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
Subset for alpha = .05 1 2 3 51,3350 52,4650 52,4650 54,8500 54,8500 57,2450
Lampiran 61 Uji Duncan rendemen pembuatan beras artifisial ubi kayu Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
1 41.0000
Subset for alpha = .05 2 3
4
46.0000 64.5000 70.0000
Lampiran 62 Uji Duncan rendemen pembuatan beras artificial ubi jalar Formula 90:10 80:20 70:30 60:40
1 30.5000
Subset for alpha = .05 2 3
4
34.0000 46.5000 52.5000
112
Lampiran 63 Lembar analisis sensori beras artificial ubi kayu mentah .
UJI RATING HEDONIK Produk
: Beras Artificial Ubi kayu Mentah
Nama
:
Tanggal
:
Petunjuk Dihadapan Anda terdapat 4 contoh beras artificial ubi kayu belum matang (mentah). Anda diminta untuk menilai parameter warna, aroma, dan secara keseluruhan (overall) dari masing-masing sampel. Perhatikan sampel dari paling kiri terlebih dahulu, kemudian berilah penilaian tentang kesukaan Anda terhadap masing-masing parameter dengan menuliskan angka pada kotak di bawah sesuai dengan keterangan dibawah. Setelah selesai menilai pindahlah ke contoh di sebelah kanannya dan lakukan hal yang sama hingga contoh yang terakhir. Sampel Warna 245 129 843 721 Keterangan
:1 2 3 4 5 6 7
= Sangat tidak suka = Tidak suka = Agak tidak suka = Netral = Agak suka = Suka = Sangat suka
Parmeter Aroma
overall
113
Lampiran 64 Lembar analisis sensori beras artificial ubi kayu matang
UJI RATING HEDONIK Produk
: Beras Artificial Ubi kayu Matang
Nama
:
Tanggal
:
Petunjuk Dihadapan Anda terdapat 4 contoh beras artificial ubi kayu matang. Anda diminta untuk menilai parameter kelengketan, rasa, aroma, warna, dan secara keseluruhan (overall) dari masing-masing sampel. Perhatikan sampel dari paling kiri terlebih dahulu, kemudian berilah penilaian tentang kesukaan Anda terhadap masing-masing parameter dengan menuliskan angka pada kotak di bawah sesuai dengan keterangan dibawah. Setelah selesai menilai pindahlah ke contoh di sebelah kanannya dan lakukan hal yang sama hingga contoh yang terakhir. Penilaian Kelengketan
Rasa
245 129 843 721 Keterangan
:1 2 3 4 5 6 7
= Sangat tidak suka = Tidak suka = Agak tidak suka = Netral = Agak suka = Suka = Sangat suka
Parameter Aroma
Warna
Overall
114
Lampiran 65 Lembar analisis sensori beras artificial ubi jalar mentah
UJI RATING HEDONIK Produk
: Beras Artificial Ubi jalar Mentah
Nama
:
Tanggal
:
Petunjuk Dihadapan Anda terdapat 4 contoh beras artificial ubi jalar belum matang (mentah). Anda diminta untuk menilai parameter warna, aroma, dan secara keseluruhan (overall) dari masing-masing sampel. Perhatikan sampel dari paling kiri terlebih dahulu, kemudian berilah penilaian tentang kesukaan Anda terhadap masing-masing parameter dengan menuliskan angka pada kotak di bawah sesuai dengan keterangan dibawah. Setelah selesai menilai pindahlah ke contoh di sebelah kanannya dan lakukan hal yang sama hingga contoh yang terakhir. Sampel Warna 245 129 843 721 Keterangan
:1 2 3 4 5 6 7
= Sangat tidak suka = Tidak suka = Agak tidak suka = Netral = Agak suka = Suka = Sangat suka
Parmeter Aroma
overall
115
Lampiran 66 Lembar analisis sensori beras artificial ubi kayu matang
UJI RATING HEDONIK Produk
: Beras Artificial Ubi jalar Matang
Nama
:
Tanggal
:
Petunjuk Dihadapan Anda terdapat 4 contoh beras artificial ubi jalar matang. Anda diminta untuk menilai parameter kelengketan, rasa, aroma, warna, dan secara keseluruhan (overall) dari masing-masing sampel. Perhatikan sampel dari paling kiri terlebih dahulu, kemudian berilah penilaian tentang kesukaan Anda terhadap masingmasing parameter dengan menuliskan angka pada kotak di bawah sesuai dengan keterangan dibawah. Setelah selesai menilai pindahlah ke contoh di sebelah kanannya dan lakukan hal yang sama hingga contoh yang terakhir. Penilaian Kelengketan
Rasa
245 129 843 721
Keterangan
:1 2 3 4 5 6 7
= Sangat tidak suka = Tidak suka = Agak tidak suka = Netral = Agak suka = Suka = Sangat suka
Parameter Aroma
Warna
Overall