PROPOSAL PENELITIAN TA.2015
KAJIAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN REGIONAL DAN GLOBAL
Tim Peneliti: RENI KUSTIARI
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
1
KAJIAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN REGIONAL DAN GLOBAL I.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Sebagai
Negara
dengan
populasi
penduduk
yang
besar,
Indonesia
menghadapi banyak tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Di Indonesia ketahanan pangan masih merupakan isu yang sangat penting karena beberapa alasan, yaitu masih banyak masyarakat yang berada pada kondisi kerawanan pangan, tingkat pertumbuhan penduduk, migrasi internal dan urbanisasi yang tinggi menyebabkan peningkatan permintaan pangan. Selain itu, peningkatan pendapatan dan daya beli mengakibatkan perubahan pola nutrisi. Di sisi lain, kapasitas produksi pangan nasional cenderung terus menurun akibat terjadinya konversi lahan sawah (pertanian) ke non-pertanian, degradasi ketersediaan air dan jaringan irigasi, serta terjadinya kompetisi dalam penggunaan lahan dan air yang semakin ketat. Harga pangan meningkat dari waktu ke waktu dan volatile karena globalisasi, shock keuangan, spekulasi dan meningkatnya kompetisi penggunaan pangan untuk sumber energi. Tantangan terkait dengan produksi pangan terjadi di tingkat lokal, nasional, regional dan global. Hal ini terkait erat dengan phenomena lain seperti permintaan untuk pakan, enerji, industri kimia dan bahan baku industri. Perdagangan dapat terjadi di tingkat global atau regional. Perdagangan dapat mendukung tujuan ketahanan pangan melalui dampaknya terhadap pendapatan, ketersediaan (atau akses) dan harga (tingkat dan volatilitas). Perdagangan akan meningkatkan pendapatan, melalui peningkatan produktivitas komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara-negara lain. Negara yang memiliki surplus pangan, dapat mengekspor pangan dan menggunakan pendapatan yang dihasilkan untuk mengimpor komoditas yang tidak diproduksi lokal dengan harga lebih murah dibandingkan dengan jika memproduksi sendiri. Peningkatan produksi dan produktivitas ini mendukung pertumbuhan ekonomi,
2
lapangan kerja dan pendapatan dan karenanya kemampuan untuk membeli pangan akan meningkat. Perdagangan akan meningkatkan ketersediaan pangan di tingkat global dan lokal karena membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan. Ada banyak negara yang bergantung pada perdagangan dalam pemenuhan kebutuhan pangannya, termasuk Inggris dan negara-negara di benua Afrika. Negara mendapat manfaat dari pasokan pangan yang lebih beragam dan tidak dapat tumbuh secara lokal berkat perdagangan karena itu akan meningkatkan insentif untuk memproduksi lebih banyak lagi. Dengan akses ke permintaan global, produsen dapat menjual surplus pangannya, meningkatkan produksi, serta meningkatkan efisiensi melalui skala ekonomi. Hal ini akan meningkatkan pendapatan, menurunkan biaya, dan mengurangi limbahkarena memungkinkan barang-barang pertanian diproduksi dengan cara yang lebih efisien dan berkelanjutan. Hal ini akan menjadi semakin penting karena perubahan iklim telah mempengaruhi negara-negara eksportir maupun importir produk pertanian. Perdagangan akan berdampak pada harga melalui diversifikasi risiko. Kegagalan panen di satu negara akan memiliki dampak ke negara lain, yaitu melalui perubahan harga sehingga risiko dirasakan oleh konsumen di negara lain. Hal ini dapat terjadi mengingat kerentanan pertanian terhadap kekeringan, penyakit dan hama. Negara “net importer” akan terkena dampak fluktuasi harga internasional lebih parah daripada negara yang swasembada.Sehubungan dengan pentingnya isu ketahanan pangan maka penelitian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan berikut: (1) Bagaimana situasi produksi dan konsumsi pangan beberapa tahun terakhir dan kedepan, (2) Bagaimana kondisi ketahanan pangan nasional saat ini, dalam perspektif regional dan dan global; (2) Kebijakan pertanian, kebijakan makro dan perdagangan apa yang diperlukan untuk mendukung terwujudnya kemandirian dan ketahanan pangan nasional. 1.2.
Dasar Pertimbangan
3
Penerapan komitmen perdagangan regional dan global di suatu negara akan berpengaruh pada kondisi ketahanan pangan negara tersebut. Ketahanan pangan menunjukkan kemampuan sebuah negara untuk memenuhi kebutuhan pangannya (Khudori 2004). Dengan masih tingginya tingkat kerawanan pangan masyarakat Indonesia dan masih pentingnya sektor pertanian sebagai sumber pendapatan, maka perlu dikaji pengaruh perdagangan terhadap ketahanan pangan. Empat pilar ketahanan pangan adalah: (1) peningkatan ketersediaan pangan; (2) memperbaiki akses terhadap pangan; (3) memperbaiki kecukupan nutrisi pada pangan; dan meningkatkan manajemen dan perlindungan terhadap krisis global. Ketahanan pangan melibatkan stakeholders secara luas dan perlu peningkatan kinerja berbagai aspek. Berdasarkan pertimbangan di atas, kajian ini diperlukan untuk mengulas tentang intisari perjanjian perdagangan regional dan global serta kebijakan yang perlu dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Salah satu faktor untuk memahami kebijakan apa yang mungkin diambil pemerintah suatu negara menghadapi liberalisasi perdagangan adalah dengan mengetahui strategi yang digunakan dalam memperkuat ketahanan pangannya (FAO 2003). Dalam upaya pencapaian ketahanan pangan Indonesia sudah membentuk Dewan Iklim dan Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai oleh presiden dan mempunyai net working dengan propinsi dan kabupaten. Selain itu sudah dibuat Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) dan matrik kerja ketahanan pangan lintas kementerian. Namun keberadaan dari Dewan ini belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, kajian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi kebijakan/program nasional apa yang sudah ada dan diperlukan untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan. Selain itu juga diperlukan kebijakan makro dan perdagangan yang diperlukan untuk mendukung terwujudnya kemandirian dan ketahanan pangan. Komitmen politik untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional juga tercermin dalam UU Pangan No 18/2012. Lingkup pengaturan
Penyelenggaraan Pangan meliputi: (a). perencanaan Pangan; (b). Ketersediaan Pangan; (c.) keterjangkauan Pangan; (d). konsumsi Pangan dan Gizi;(e). Keamanan Pangan; (f). label dan iklan Pangan; (g). pengawasan; (h). sistem informasi Pangan;
4
(i). penelitian dan pengembangan Pangan; (j). kelembagaan Pangan; (k). peran serta masyarakat; dan (l). penyidikan. Perencanaan pangan harus memperhatikan: (a). pertumbuhan dan sebaran penduduk; (b). kebutuhan konsumsi Pangan dan Gizi; (c.) daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan kelestarian lingkungan; (d). pengembangan sumber daya manusia dalam Penyelenggaraan Pangan; (e). kebutuhan sarana dan prasarana Penyelenggaraan Pangan; (f). potensi Pangan dan budaya lokal; (g). rencana tata ruang wilayah; dan (h). rencana pembangunan nasional dan daerah. Rencana pangan nasional sekurang-kurangnya memuat: (a). kebutuhan konsumsi Pangan dan status Gizi masyarakat; (b). Produksi Pangan; (c.) Cadangan Pangan terutama Pangan Pokok; (d). Ekspor Pangan; (e). Impor Pangan; (f). Penganekaragaman Pangan; (g). distribusi, perdagangan, dan pemasaran Pangan, terutama Pangan Pokok; (h). stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok; (i). Keamanan Pangan; (j). penelitian dan pengembangan Pangan; (k). kebutuhan dan diseminasi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Pangan; (l). kelembagaan Pangan; dan (m). tingkat pendapatan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan. Ketersediaan pangan melalui produksi dalam negeri dilakukan dengan: (a). mengembangkan produksi yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya
lokal;
(b).
mengembangkan
efisiensi
sistem
usaha
pangan;
(c.)
mengembangkan sarana, prasarana, dan teknologi untuk produksi, penanganan pascapanen,
pengolahan,
dan
penyimpanan
pangan;
(d).
membangun,
merehabilitasi, dan mengembangkan prasarana produksi; (e). mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif; dan (f). membangun kawasan sentra produksi. Pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga pangan, mengelola cadangan pangan pokok, dan distribusi untuk mewujudkan kecukupan pangan yang aman dan bergizi bagi masyarakat. Dalam mewujudkan keterjangkauan pangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan kebijakan di bidang: (a). distribusi;(b). pemasaran;(c.) perdagangan; (d). stabilisasi pasokan dan harga pangan; dan (e). Bantuan Pangan. Distribusi pangan dilakukan untuk memenuhi pemerataan ketersediaan pangan ke
5
seluruh wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkelanjutan sehingga perseorangan dapat memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, beragam, bergizi, dan terjangkau. Distribusi pangan dilakukan melalui: (a). pengembangan sistem distribusi Pangan yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara efektif dan efisien; (b). pengelolaan sistem distribusi Pangan yang dapat mempertahankan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; dan (c.) perwujudan kelancaran dan keamanan distribusi Pangan. Penganekaragaman konsumsi pangan dilakukan dengan: (a). mempromosikan penganekaragaman
konsumsi
Pangan;
(b).
meningkatkan
pengetahuan
dan
kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam Pangan dengan prinsip Gizi seimbang; (c.) meningkatkan keterampilan dalam pengembangan olahan Pangan Lokal; dan (d). mengembangkan dan mendiseminasikan teknologi tepat guna untuk pengolahan Pangan Lokal. Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui: (a). Sanitasi; (b). pengaturan terhadap bahan tambahan pangan; (c.) pengaturan terhadap pangan produk rekayasa genetik; (d). pengaturan terhadap Iradiasi pangan; (e). penetapan standar kemasan pangan; (f). pemberian jaminan keamanan pangan dan mutu pangan; dan (g). jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan. Dalam melaksanakan penyelenggaraan pangan, pemerintah berwenang melakukan pengawasan yang dilakukan terhadap pemenuhan: (a). ketersediaan dan/atau kecukupan Pangan Pokok yang aman, bergizi, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat; dan (b). persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan serta persyaratan label dan iklan Pangan. Pengawasan terhadap ketersediaan dan/atau kecukupan Pangan Pokok dilaksanakan
oleh
lembaga
pemerintah
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan di bidang Pangan terkait dengan persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan, serta persyaratan label dan iklan. Penelitian dan pengembangan Pangan dilakukan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi Pangan serta menjadi dasar dalam merumuskan
6
kebijakan Pangan yang mampu meningkatkan kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan. Hal ini diarahkan untuk menjamin penyediaan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi Pangan agar mendapatkan bahan Pangan yang bermutu dan aman dikonsumsi bagi masyarakat. Penelitian dan pengembangan Pangan dilakukan dengan: (a). menciptakan produk Pangan yang berdaya saing di tingkat lokal, nasional, dan internasional; (b). mempercepat pemuliaan dan perakitan untuk menghasilkan varietas unggul sumber Pangan yang toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik, tahan terhadap organisme pengganggu tumbuhan atau wabah penyakit hewan dan ikan, dan adaptif terhadap perubahan iklim; (c.) merekayasa inovasi teknologi dan kelembagaan sistem budi daya tanaman, hewan, dan ikan sebagai sumber Pangan yang dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing, serta melestarikan keanekaragaman hayati; (d). merekayasa inovasi teknologi dan
kelembagaan
pascapanen,
pengolahan,
dan
pemasaran
hasil
untuk
mengembangkan produk Pangan Olahan berbasis Pangan Lokal, peningkatan nilai tambah, pengembangan bisnis Pangan, dan pengayaan komposisi kandungan Gizi Pangan yang aman dikonsumsi; (e). menciptakan produk Pangan Lokal yang dapat menyubstitusi Pangan Pokok dengan memperhatikan kesesuaian kandungan vitamin dan zat lain di dalamnya; (f). mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lahan, air, iklim, dan genetik guna mempertahankan dan meningkatkan kapasitas Produksi Pangan nabati dan hewani secara nasional; dan (g). menghasilkan rekomendasi kebijakan pembangunan Pangan. Selain
itu
ada
juga
UU
Hortikultura
No
13/2010.
UU
mengatur
penyelenggaraan hortikultura meliputi: (a). perencanaan; (b). pemanfaatan dan pengembangan sumber daya; (c). pengembangan hortikultura; (d). distribusi, perdagangan, pemasaran, dan konsumsi; (e). pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal; (f). sistem informasi; (g). penelitian dan pengembangan; (h). pemberdayaan; (i). kelembagaan; (j). pengawasan; dan (k). peran serta masyarakat. Perencanaan hortikultura harus memperhatikan: (a). pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi; (b). daya dukung sumber daya alam dan lingkungan; (c). rencana pembangunan nasional dan daerah; (d). rencana tata ruang wilayah; (e). pertumbuhan ekonomi dan produktivitas; (f). kebutuhan prasarana dan sarana
7
hortikultura; (g). kebutuhan teknis, ekonomis, dan kelembagaan; dan (h). perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perencanaan hortikultura mencakup aspek: (a). sumber daya manusia; (b). sumber daya alam; (c). sumber daya buatan; (d). sasaran produksi dan konsumsi; (e). kawasan hortikultura; (f). pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal; dan (g). penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sumber daya hortikultura terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam; dan sumber daya buatan harus dimanfaatkan secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya buatan mengutamakan yang mengandung komponen hasil produksi dalam negeri. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan keahlian dan keterampilan sumber daya manusia hortikultura untuk memenuhi standar kompetensi. Terhadap produk unggulan hortikultura yang telah ditetapkan, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban menjamin ketersediaan: (a). prasarana dan sarana hortikultura yang dibutuhkan; (b). distribusi dan pemasaran di dalam negeri atau ke luar negeri; ©. pembiayaan; dan (d). penelitian dan pengembangan teknologi. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah merencanakan dan menetapkan kawasan hortikultura dengan memperhatikan aspek: (a). sumber daya hortikultura; (b). potensi unggulan yang ingin dikembangkan; (c). potensi pasar; (d). kesiapan dan dukungan masyarakat; dan (e). kekhususan dari wilayah. Kegiatan distribusi produk perlu dilakukan guna menjaga keamanan pangan serta ketepatan jumlah, mutu, dan waktu pasokan dari produsen sampai ke pasar dan/atau konsumen. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi distribusi produk hortikultura agar terlaksana secara efektif dan efisien. Fasilitasi distribusi produk berupa: (a). kemudahan perizinan tempat penampungan; (b). kemudahan izin perjalanan; (c). penyediaan informasi mengenai produk, harga, pasar, dan sebaran lokasi produksi; (d). penyediaan lapangan dan bangunan penampungan dan/atau gudang yang memadai, baik di pelabuhan, bandar udara, maupun terminal; (e). penertiban berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
8
perundangundangan; dan (f). kemudahan tersedianya sarana angkutan dari sentra produksi sampai ke konsumen. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban membangun sistem pemasaran yang efektif dan efisien melalui penyelenggaraan : (a). pasar induk hortikultura di kawasan hortikultura; (b). pasar hortikultura berkala di lokasi strategis; (c). pasar lelang; (d). bursa komoditi; dan (e). kontrak budidaya. Pembiayaan penyelenggaraan hortikultura yang dilakukan oleh Pemerintah bersumber
dari
anggaran
pendapatan
dan
belanja
Negara.
Pembiayaan
penyelenggaraan hortikultura yang dilakukan oleh pemerintah daerah bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pembiayaan usaha hortikultura yang dilakukan oleh pelaku usaha bersumber dari dana pelaku usaha, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lainnya yang sah. Sistem
informasi
hortikultura
mencakup
pengumpulan,
pengolahan,
penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi hortikultura. Sistem informasi digunakan untuk keperluan: (a). perencanaan; (b). pemantauan dan evaluasi;©. pengelolaan pasokan dan permintaan produk hortikultura; dan (d). pertimbangan penanaman modal. Penelitian dan pengembangan hortikultura wajib dilakukan secara terusmenerus oleh Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, pelaku usaha, dan/atau masyarakat secara sendiri-sendiri atau dalam bentuk kerja sama di dalam dan di luar negeri, dengan tidak membahayakan kesehatan manusia, merusak keanekaragaman hayati, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pemberdayaan usaha hortikultura meliputi: (a). penguatan kelembagaan pelaku usaha dan peningkatan kualitas sumber daya manusia;(b). pemberian bantuan teknik penerapan teknologi dan pengembangan usaha; (c.) fasilitasi akses kepada lembaga pembiayaan atau permodalan; (d). penyediaan data dan informasi; (e). fasilitasi pelaksanaan promosi dan pemasaran; (f). bantuan sarana dan prasarana hortikultura sertifikasi kompetensi bagi perseorangan yang memiliki keahlian usaha hortikultura. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memfasilitasi
9
pembentukan lembaga pengembangan hortikultura dan dapat dibentuk di tingkat pusat, tingkat provinsi dan/atau tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan. Lembaga pengembangan hortikultura merupakan lembaga yang bersifat mandiri, profesional, dan nirlaba. Lembaga pengembangan hortikultura terdiri atas unsur: (a). tokoh masyarakat; (b). pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha hortikultura; (c.) pakar dan akademisi; dand. konsumen produk dan jasa hortikultura. Pengawasan dilakukan dalam rangka menjamin mutu, sarana dan/atau produk hortikultura agar sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan serta menanggulangi berbagai dampak negatif yang merugikan masyarakat luas. Hal ini dilaksanakan
secara
berjenjang
oleh Pemerintah,
pemerintah
provinsi,
dan
pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran serta masyarakat. Penyelenggaraan hortikultura dapat dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dilakukan dalam hal: (a). penyusunan perencanaan; (b). pengembangan kawasan; (c) penelitian; (d). pembiayaan; (e). pemberdayaan; (f). pengawasan. Sementara itu, komitmen politik untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan petani tercermin dalam UU No 19/2013. . Lingkup pengaturan Perlindungan
dan
Pemberdayaan
Petani
meliputi:
(a).
perencanaan;
(b).
Perlindungan Petani; (c). Pemberdayaan Petani; (d). pembiayaan dan pendanaan; (e). pengawasan; dan (f). peran serta masyarakat. Perencanaan harus dilakukan dengan berdasarkan pada: (a). daya dukung sumber daya alam dan lingkungan; (b). rencana tata ruang wilayah; (c). perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (d). tingkat pertumbuhan ekonomi; (e). jumlah Petani; (f). kebutuhan prasarana dan sarana; dan (g). kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian dengan kelembagaan dan budaya setempat. Strategi Perlindungan Petani dilakukan melalui: (a). prasarana dan sarana produksi Pertanian; (b). kepastian usaha; (c). harga Komoditas Pertanian; (d). penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; (e). ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa; (f). sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim; dan (g). Asuransi Pertanian.
10
Strategi Pemberdayaan Petani dilakukan melalui: (a). pendidikan dan pelatihan; (b). penyuluhan dan pendampingan; (c). pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian; (d). konsolidasi dan jaminan luasan lahan Pertanian; (e). penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan; (f). kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan (g). penguatan Kelembagaan Petani. Pembiayaan dan pendanaan untuk kegiatan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang dilakukan oleh Pemerintah bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Pembiayaan dan pendanaan dilakukan untuk mengembangkan Usaha Tani melalui: (a). lembaga perbankan; dan/atau (b). Lembaga Pembiayaan. Selanjutnya, Pemberdayaan
laporan
Petani
hasil
pengawasan
disampaikan
secara
kegiatan
Perlindungan
berjenjang
dari
dan
pemerintah
kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi dan selanjutnya dari pemerintah provinsi kepada Pemerintah pusat. Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani secara perseorangan dan/atau berkelompok. 1.3.
Tujuan Secara umum penelitian bertujuan untuk menentukan alternative kebijakan
nasional yang diperlukan untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memotret situasi pangan regional dan global 2. Mengidentifikasi kinerja ketahanan pangan nasional 3. Mengidentifikasi dinamika kebijakan mendukung ketahanan pangan nasional 1.4.
Keluaran Sesuai dengan tujuan penelitian di atas maka keluaran yang diharapkan dari
penelitian ini adalah: 1. Informasi tentang kinerja ketahanan pangan 2. Informasi tentang dinamika kebijakan mendukung ketahanan pangan nasional 3. Informasi tentang perkiraan dampak kebijakan pertanian, makro dan perdagangan terhadap kemandirian dan ketahanan pangan.
11
II.
Tinjauan Pustaka
Perdagangan Global dan Regional Kegiatan ekonomi internasional memiliki kecenderungan untuk membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan manfaat bagi Negara anggota. Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global. Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk meningkatkan integrasi ekonomi global. Organisasi ini terdiri dari berbagai bentuk, tergantung tingkat kerjasamanya yang mengarah ke tingkat integrasi yang berbeda antara Negara peserta. Keberadaan aturan perdagangan multilateral atau global (WTO), kesepakatan perdagangan regional (AFTA), dan kerjasama regional tidak mengikat (APEC),akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan nasional. WTO adalah contoh dari sistem perdagangan multilateral. Sistem perdagangan multilateral lebih baik karena aturannya lebih transparan, setara dan wajib diikuti oleh semua negara anggota. Perjanjian WTO tentang Pertanian memiliki 3 pilar utama yaitu akses pasar, dukungan domestik, dan kompetisi ekspor. WTO telah menyetujui untuk memberikan pengecualiaan untuk beberapa negara untuk menerapkan pembatasan kuantitatif (QR). Selain itu, telah diterapkan klausul Special and Differential
Treatment untuk negara miskin dan negara berkembang. Prinsip dasar yang berlaku bagi seluruh anggota WTO adalah (1). Prinsip
Most Favored Nation (MFN), yakni semua negara anggota tanpa terkecuali harus menggunakan aturan perdagangan yang sama tanpa diskriminatif. Hal ini berarti misalnya kebijakan perdagangan yang diperlakukan oleh satu negara anggota berlaku juga terhadap negara lain. Prinsip MFN dapat dikatakan sebagai penerapan standar dari kebijakan perdagangan global; (2). Prinsip national treatment dimana
12
menekankan bahwa kebijakan domestik perdagangan suatu negara tidak boleh bertentangan dengan kebijakan perdagangan dengan negara lain. Misalnya, jika suatu negara melarang masuknya suatu produk impor karena mengandung kandungan cemaran tertentu seperti aflatoxin, maka kebijakan domestik dalam negeri Indonesia harus juga melarang produk petani dalam negeri yang mengandung cemaran yang sama; (3). Prinsip single undertaking, yang berarti negara tidak dapat memilih untuk mengabaikan salah satu perjanjian walaupun negara tersebut tidak melihat manfaat dari perjanjian tersebut. Dengan prinsip ini, negara anggota WTO harus komitmen pada semua perjanjian yang telah disepakati dalam WTO. Sedangkan
perjanjian
perdagangan
regional
adalah
kesepakatan
perdagangan antara negara negara dalam suatu kelompok negara berdasarkan komunitas negara tertentu berdasarkan geografi, bahasa, sejarah dan sebagainya. Perjanjian tersebut akan mendorong peningkatan perdagangan dan pertumbuhan diantara negara negara anggotanya. ASEAN Free Trade Area atau AFTA adalah perjanijian regional didirikan pada tahun 1992. Tujuan dari AFTA adalah untuk meningkatkan
daya
saing
wilayah
ASEAN
sebagai
basis
produksi
yang
diperdagangkan di pasar dunia. Langkah penting dalam tujuan ini adalah liberalisasi perdagangan melalui penghapusan tarif dan hambatan non-tarif antara anggota ASEAN. Instrumen utama untuk membuat ASEAN menjadi kawasan perdagangan bebas adalah Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Agreement. Tujuan dari Skema CEPT adalah untuk mengurangi tingkat tarif yang dikenakan pada berbagai produk yang diperdagangkan di kawasan ini menjadi antara 0 % dan 5 % pada tahun 2003 untuk enam negara anggota asli, yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Dengan penerapan AFTA, anggota ASEAN harus memiliki tarif efektif yang umum di antara negara ASEAN, namun tingkat tarif dengan negara-negara non-ASEAN akan terus ditentukan oleh masing-masing negara anggota. Pada prinsipnya, kawasan perdagangan bebas meliputi semua produk manufaktur dan pertanian, meskipun timeline untuk mengurangi tarif dan menghapus pembatasan kuantitatif dan hambatan non-tarif berbeda beda.
13
Produk dalam Inclusion List adalah produk yang telah mengalami liberalisasi segera
melalui
penurunan
intra-regional (CEPT)
tingkat
tarif,
penghapusan
pembatasan kuantitatif dan hambatan non-tarif lainnya. Produk dalam Daftar Pengecualian sementara dapat terlindung dari liberalisasi perdagangan hanya untuk jangka waktu tertentu. Namun, semua produk ini harus ditransfer ke dalam Inclusion List dan proses penurunan tarif harus dimulai agar tarif dapat ditekan menjadi antara 0 % dan 5 %. Produk dalam Sensitive List terdiri dari produk pertanian yang belum diproses, yang diberi kerangka waktu yang lebih lama sebelum terintegrasi dalam kawasan perdagangan bebas. Produk dalam Daftar Umum Exception adalah produk yang secara permanen dikecualikan dari perdagangan bebas dengan alasan untuk melindungi keamanan nasional, melindungi moral publik, melindungi manusia, binatang atau tanaman hidup dan kesehatan dan melindungi artikel artistik, sejarah atau arkeologi nilai. Malaysia telah dikecualikan senjata dan minuman beralkohol untuk konsesi di bawah Skema CEPT. Target minimal tarif 0 % sampai 5 % dipercepat dua kali sebagian, sebagai reaksi terhadap krisis keuangan tahun 1997 yang menyebabkan wilayah tersebut ke dalam resesi.Target utama dari AFTA adalah untuk menghilangkan pajak impor untuk semua produk untuk mencapai dampak maksimal dalam meningkatkan daya saing ekonomi kawasan ASEAN terhadap seluruh dunia. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan pasar yang terintegrasi di mana akan ada aliran bebas barang di kawasan ini. AFTA Council telah sepakat bahwa target tanggal untuk mencapai tujuan ini akan menjadi 2010 untuk enam negara anggota ASEAN asli dan 2015 untuk anggota ASEAN yang lebih baru, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam. AFTA telah membebaskan barang-barang tertentu yang diimpor dari Kamboja, Lao PDR, Myanmar dan Vietnam dari pembayaran tingkat CEPT untuk kondisi tertentu. Tarif rata-rata saat pada barang yang diperdagangkan antara anggota ASEAN diperkirakan sekitar 3,5 %, turun dari 12,76 % saat AFTA melepas tahun 1993. Pakta perdagangan bebas ASEAN menawarkan hak istimewa bebas bea untuk produk yang diperdagangkan antara negara-negara anggota yang memiliki minimal 40 % kandungan lokal.
14
Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang berperan aktif dalam pembentukan APEC maupun pengembangan kerjasamanya. Keikutsertaan Indonesia dalam APEC sangat didorong oleh kepentingan Indonesia untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri dalam menghadapi perdagangan bebas dunia.
Kontribusi Indonesia terbesar bagi APEC adalah disepakatinya komitmen
bersama yang dikenal juga sebagai Bogor Goals yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi secara penuh pada tahun 2010 untuk ekonomi yang sudah maju, dan tahun 2020 untuk ekonomi berkembang. Komitmen ini menjadi dasar dalam berbagai inisiatif untuk mendorong percepatan penghapusan tarif perdagangan maupun investasi antar anggota APEC. Manfaat APEC bagi perdagangan Indonesia daintaranya: 1) benchmark untuk mengukur tingkat kesuksesan liberalisasi perdagangan forum kerja sama tersebut, (2) memacu Indonesia mempersiapkan diri secara serius menuju era liberalisasi perdagangan dan investasi, (3) prinsip open regionalism, yaitu isu nondiskriminasi dan perlakuan yang sama bagi negara nonanggota (most favored nation/MFN) merupakan salah satu daya tarik APEC. Kebijakan perdagangan yang dicanangkan oleh pemerintah dan diperjuangkan dalam forum perdgangan dunia maupun APEC mencakup: (a) kebijakan bea masuk (tariff policy), (b) penghapusan kuota, (c) pembebasan bea masuk atau konsesi, (d) kebijakan non-tariff lainnya. Dalam hal ini forum APEC perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing produk dan daerah Indonesia (Kuncoro, 2007). Indonesia memiliki kepentingan dalam keanggotaan APEC terutama dalam akses kepada pasar global dan regional.
Melalui forum APEC dapat diperoleh
peluang untuk mengembangkan pasar lebih luas dan memasarkan produk-produk pertanian. Tujuan forum ini selain untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi kawasan juga mengembangkan dan memproyeksikan kepentingan-kepentingan kawasan dalam konteks multilateral. Salah satu pilar APEC yaitu fasilitasi perdagangan dan investasi secara langsung akan memberikan dampak positif bagi dunia usaha di Indonesia yakni kemudahan arus barang dan jasa dari Indonesia ke anggota APEC lainnya
15
Keanggotaan APEC terdiri dari 21 ekonomi yang terdiri dari Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Meksiko, PNG, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Chinese Taipei, Thailand, AS dan Vietnam. Dengan mengetahui potensi ekspor
Indonesia ke kawasan APEC
sebaliknya mengetahui komoditas apa yang diimpor oleh Indonesia yang berasal dari kawasan APEC, maka akan terbuka kemungkinan dilakukannya imbal beli antara Indonesia dengan negara-negara kawasan APEC sehingga masalah menumpuknya stok akan dapat diatasi.
16
III. METODOLOGI 3.1.
Kerangka Pemikiran Kebijakan perdagangan sangat mempengaruhi kondisi ketahanan pangan
suatu Negara. Dalam memformulasikan suatu kebijakan ketersediaaan data dan informasi sangatlah penting. Selanjutnya dengan suatu kebijakan dan programprogram yang dilaksanakan, pemerintah dapat berperan mempercepat pencapaian ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Situasi ketahanan pangan nasional, kawasan dan dunia merupakan informasi yang sangat berguna untuk menentukan kebijakan yang harus ditempuh dengan mempertimbangkan keberadaan dan konsekwensi kerjasama yang sudah ada, seperti kerjasama Regional Rice Reserve (ASEAN dan ASEAN Plus 3). Selanjutnya, perlu juga diketahui kebijakan apa saja yang telah dan perlu dilakukan? Dengan mengetahui data dan informasi yang lengkap tentang situasi ketahanan pangan diharapkan kebijakan dan program yang dirancang akan memberikan manfaat yang efektif dalam upaya pencapaian ketahanan pangan . Tahapannya disajikan pada Gambar 3.1.1. Ketahanan pangan Rumah tangga
Ketahanan pangan Nasional
Pertumbuhan ekonomi Situasi ketahanan pangan
Kebijakan pertanian, makro ekonomi dan perdagangan Pengambil kebijakan
Gambar 3.1.
Alur Pikir Meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional
17
3.2.
Data, Sumber Data dan Lokasi Penelitian
3.2.1. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data perimer. Data sekunder yang digunakan berupa data yang terkait dengan kebijakan pertanian, kebijakan makro ekonomi dan kebijakan perdagangan yang bersumber dari berbagai stakeholders. Data primer diperoleh melalui survey dengan wawancara langsung pada Rumah tangga pedesaan dengan menggunakan kuesioner. Selain menggunakan metode survey digunakan juga teknik FGD (Focus Grup Discussion). Unsur-unsur yang dilibatkaan dalam kegiatan FGD: minimal terdiri dari unsur: ketua kelompok tani, tokoh masyarakat, dan pejabat daerah. Unit analisis yang digunakan dalam studi ini adalah rumah tangga petani di tingkat desa yang mengusahakanan komoditas tanaman utama. Dalam hal ini dipilih komoditas beras, jagung, kedelai, dan daging sapi. 3.3.2. Lokasi Penelitian Karena output penelitiaan ini diharapkan menghasilkan data dan informasi terkini yang berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga maka empat provinsi yang dipilih yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan yang mewakili daerah sentra produksi, khususnya padi, jagung, kedelai dan daging sapi. Pada tiap provinsi dipilih lokasi 2 kabupaten yang dapat mewakili komoditas tertentu . Pada masing-masing kabupaten dipilih 15 rumah tangga tani. 3.4. Metode Analisis Untuk menjawab tujuan penelitian pertama yaitu mengidentifikasi kinerja ketahanan pangan akan digunakan data primer (untuk ketahanan pangan di tingkat rumah tangga) dan data sekunder yang menggambarkan kinerja ketahanan pangan tingkat nasional, regional dan global yang dikumpulkan dari berbagai instansi di tingkat nasional dan internasional. Analisis data yang digunakan adalah analisis
18
deskriptif kuantitatif yang dilakukan dengan menghitung rataan, pertumbuhan dan persentase. Untuk menjawab tujuan kedua yaitu mengidentifikasi dinamika kebijakan mendukung ketahanan pangan nasional akan digunakan meliputi data sekunder yang yang dikumpulkan dari berbagai instansi di tingkat nasional. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Untuk menjawab tujuan ketiga yaitu menganalisi perkiraan dampak kebijakan pertanian, makro dan perdagangan terhadap kemandirian dan ketahanan pangan akan digunakan data sekunder yang terkait dengan makro ekonomi dan perdagangan. Tujuan ketiga akan menggunakan analisis model keseimbangan umum (CGE). III. JADWAL DAN ANGGARAN 1.1.
Jadual Pelaksanaan
Penelitian ini akan dilakukan dalam tahun anggaran 2014. Secara rinci jadual Pelaksanaan kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 3.1. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan Persiapan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul :
Pembuatan dan Perbaikan Proposal Survey I Survey II Survey III Pengol data Lap draft Seminar Lap final
19
Ags Sep Okt Nov Des