Analisis Kebijakan
31
Politik Pangan, Upaya Dalam Membentuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional. Pendahuluan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Pemenuhan kebutuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Pengertian pangan sendiri juga memiliki dimensi yang luas, mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia yang sehat dan produktif yang harus memperhatikan keseimbangan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat, dan zat esensial lain; serta pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial dan budaya. Dengan demikian, pangan tidak hanya berarti pangan pokok tetapi juga jenis pangan yang lainnya. Mengingat pentingnya hal ini, setiap negara akan mendahulukan pembangunan ketahanan pangannya sebagai fondasi bagi pembangunan sektorsektor lainnya. Konsekuensi hal itu, pemerintah berperan sebagai pelopor dalam tanggung jawab perwujudan ketahanan pangan nasional. Pembangunan ketahanan pangan untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional, daerah sampai rumahtangga. Pangan juga merupakan komoditas ekonomi sehingga pembangunan pangan juga dikaitkan dengan peluang pasar dan peningkatan daya saing, yang dibentuk dari keunggulan spesifik lokasi, keunggulan kualitas serta efisiensi dengan penerapan teknologi inovatif. Karena produksi pangan nasional sebagian besar dilaksanakan petani dengan skala usaha kecil dan masyarakat miskin di pedesaan maka pembangunan ketahanan pangan sangat strategis untuk memperkuat ekonomi pedesaan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Kerangka sistem ketahanan pangan pada hakekatnya mencakup tiga aspek penting, yaitu : (1) Ketersediaan, yaitu pangan tersedia untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk baik jumlah maupun mutunya serta aman; (2) Distribusi, dimana pasokan pangan dapat menjangkau ke seluruh wilayah sehingga harga pangan stabil dan terjangkau oleh rumahtangga; dan (3) Konsumsi, yang berfungsi mengarahkan rumahtangga agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan. Politik dan Kebijakan Pangan Pangan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memecah belah umat atau bangsa. Pangan tidak hanya sebagai komoditas ekonomi dan sosial tetapi juga komoditas politik, sehingga sering muncul istilah perwujudan ketahanan pangan nasional akan memperkuat ketahanan bangsa dan sebaliknya. Pengalaman masa lalu menunjukkan, kekurangan pangan tidak hanya dapat berdampak negatif pada kondisi sosial ekonomi tetapi juga dapat menimbulkan instabilitas politik. Bahkan sebuah rezim pemerintahan yang sedang berkuasa dapat tumbang karena tidak mampu mengendalikan situasi instabilitas penyediaan pangan. Oleh
32
Bab III. Analisis Arah Kebijakan Makro Pembangunan Pertanian
karena itu aspek stabilitas pangan termasuk ketahanan pangan merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa dan senantiasa menjadi agenda prioritas pembangunan nasional. Pada kabinet Indonesia Bersatu, operasionalisasi kebijakan stabilitas pangan dirumuskan secara integratif dengan program peningkatan ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang kuat dicirikan oleh kemandirian pangan yang tinggi dalam menjamin penyediaan kebutuhan pangan di tingkat nasional, daerah maupun rumahtangga. Kemandirian pangan yang tinggi merupakan syarat keharusan pencapaian stabilitas pangan nasional. Pendekatan kecukupan pangan tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi pangan tetapi juga peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk petani. FAO memprediksi bahwa penduduk dunia akan menjadi 8 miliar pada tahun 2030 dan mayoritas penduduk dunia tinggal di negara sedang berkembang dan negara miskin. Penduduk negara berkembang akan tergantung pangannya dari impor pangan yang semakin besar. Impor pangan negara-negara berkembang akan menjadi 270 juta ton pada tahun 2030, sementara ekspor pangan negara maju akan melonjak menjadi 280 juta ton. Kecenderungan ini semakin memperlihatkan betapa pentingnya upaya peningkatan kemandirian pangan. Beras sebagai pangan pokok utama dan pertama bagi masyarakat Indonesia termasuk masyarakat yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok bukan beras seperti sagu, jagung dan umbi-umbian. Beras juga merupakan sumber energi dan protein utama dalam pola konsumsi masyarakat, sebagai wage goods dan political goods. Di sisi lain, pasar beras internasional yang tipis, harga tidak stabil, pasar oligopoli dan Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah penduduk sekitar 210 juta orang, maka kemandirian dalam produksi beras menjadi kebijakan penting. Pasar pangan/beras domestik yang amat besar ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk memperkuat sektor pertanian dalam negeri. Harus diakui sejak pemerintahan Orde Baru, kebijakan pemerintah dalam hal pangan bias pada soal perberasan. Salah satu instrumen yang dibentuk seperti penetapan dan pengendalian harga dasar yang setiap tahun disesuaikan dengan masukan, inflasi dan faktor lainnya. Sejak tahun 2005, pemerintah melakukan penyempurnaan dan penyesuaian kebijakan perberasan dalam Inpres No. 2 tahun 2005, yang salah satunya sudah tidak diberlakukan lagi istilah harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) tetapi diubah dengan harga pembelian pemerintah (HPP). Masih terkait dengan upaya penstabilan harga harga beras sebagai upaya untuk mencegah anjloknya harga gabah/beras terutama pada saat panen raya, pemerintah melalui Departemen Pertanian sejak tahun 2003 menyediakan dana untuk membeli gabah petani pada tingkat harga yang ditetapkan pemerintah melalui program DPM-LUEP (Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan). Program ini dilaksanakan di daerah-daerah sentra produksi padi. Hasil evaluasi menunjukkan program DPM-LUEP dinilai cukup berhasil, khususnya dalam meningkatkan stabilitas harga jual gabah petani dan ketersediaan pangan di tingkat lokal. Keberhasilan tersebut mendorong beberapa Pemda ikut menyediakan dana melalui APBD yang dapat digunakan untuk mendukung
Analisis Kebijakan
33
program. Bahkan lebih dari itu, sudah ada Pemda yang telah mendorong inisiasi pembelian beras dari LUEP di wilayahnya sebagai upaya membantu penyaluran (outlet) hasil pembelian gabah petani. Meskipun belum dapat dianggap memadai, langkah seperti itu relatif searah dengan tujuan menjaga stabilisasi harga pangan. Selain program DPM-LUEP, masih terdapat sejumlah program dan upaya lain yang dilakukan oleh Departemen Pertanian untuk membantu Pemda dalam mengembangkan stabilisasi pangan di wilayahnya. Dukungan Departemen Pertanian mencakup pemberian bantuan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pertanian, alokasi dana dan bantuan material. Berbagai pelatihan telah digelar untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani dan petugas pertanian dalam mengembangkan pertanian pangan. Dukungan alokasi dana untuk pengembangan pertanian dan peningkatan ketahanan pangan di daerah disalurkan dalam bentuk dana Dekonsentrasi untuk kegiatan non-fisik di propinsi dan dana Tugas Pembantuan yang disalurkan ke propinsi untuk kegiatan fisik lintas kabupaten/kota dan ke kabupaten/kota untuk kegiatan fisik dan operasionalnya. Dalam rangka meningkatkan kemandirian pangan, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk memfokuskan pengembangan pangan pada lima komoditas pangan strategis, yaitu: padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi. Dalam jangka pendek kelima komoditas ini diharapkan dapat mencapai tingkat swasembada sehingga ketergantungan terhadap pasar impor dan kemungkinan gangguan instabilitas penyediaannya dapat diredam. Data produksi padi nasional menunjukkan bahwa komoditas ini telah mengalami surplus sejak tahun 2004. Oleh karena itu kebijakan pengembangan padi periode 2006-2010 diarahkan untuk mempertahankan swasembada secara berkelanjutan. Produksi jagung diharapkan dapat mencapai swasembada pada tahun 2007. Untuk kedelai, sampai tahun 2010 sasaran yang diharapkan adalah terpenuhinya 65 persen kebutuhan nasional dari produksi domestik. Swasembada kedelai ditargetkan baru akan dicapai pada tahun 2015. Untuk komoditas gula dan sapi potong, swasembada produksi diharapkan tercapai masing-masing pada tahun 2009 dan 2010. Swasembada dalam konteks kemandirian masih memberi toleransi terhadap penyediaan pangan melalui impor, tetapi dalam proporsi relatif kecil, tidak lebih dari 10 persen dari total produksi. Pencapaian Ketahanan Pangan Nasional Secara agregat nasional, situasi pangan pada lima tahun terakhir (20002005) menunjukkan perkembangan yang positip yang ditunjukkan oleh beberapa indikator sebagai berikut : (a) Produksi beberapa komoditas pangan penting cenderung meningkat; (b) Pergerakan harga-harga pangan relatif stabil. Peningkatan harga pangan lebih disebabkan adanya kenaikan BBM; (c) Kualitas konsumsi masyarakat semakin membaik dan (d) Peningkatan kesejahteraan petani terutama sebelum adanya kenaikan harga BBM. Selama periode 2000-2005 bahan pangan sumber karbohidrat strategis mengalami peningkatan, yaitu : padi 0,82 persen; jagung 4,56 persen; kacang tanah 2,71 persen, sedangkan kedelai mengalami penurunan 3,94 persen. Kecuali
34
Bab III. Analisis Arah Kebijakan Makro Pembangunan Pertanian
susu yang mengalami penurunan 5,33 persen, komoditas sumber protein hewani meningkat dengan kisaran 5,84 (daging sapi) sampai dengan 9,31 persen (daging ayam ras). Peningkatan pangan tersebut juga diikuti oleh peningkatan ketersediaan energi sebesar 0,57 persen dan protein hewani sebesar 3,98 persen. Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa sejak tahun 2004, Indonesia berswasembada beras dan sampai tahun 2006 masih menunjukkan hal yang demikian. Hasil perhitungan neraca beras nasional tahun 2006 mengindikasikan adanya surplus ketersediaan. Stok awal tahun 2006 mencapai 3.8 juta ton yang sebagian besar merupakan stok yang dikuasai masyarakat. Dengan tingkat produksi yang mencapai 31.0 juta ton dan kebutuhan konsumsi sebesar 30.9 juta ton maka pada akhir tahun 2006 diperkirakan masih terdapat stok sebesar 3.9 juta ton. Situasi demikian mengindikasikan kemantapan peningkatan produksi beras di dalam negeri, sehingga impor beras untuk kebutuhan masyarakat belum diperlukan. Stabilitas harga diukur dengan perkembangan harga rata-rata dan koefisien harga. Selama tahun 2001-2005, perkembangan harga pangan pokok dan strategis di Jawa dan Bali cenderung stabil. Demikian pula koefisien harganya juga relatif stabil, kecuali cabe merah. Bahkan harga gabah (GKP) tingkat petani juga cenderung stabil dan lebih tinggi dari harga HPP. Rata-rata harga gabah (GKP) tahun 2006 (sampai Juni 2006) mencapai Rp.2038,7 per kilogram, melebihi harga HPP yang besarnya Rp. 1730,0 per kilogram. Dari segi konsumsi pangan masyarakat, baik kuantitas maupun kualitas pangan yang dikonsumsi menunjukkan perbaikan. Dari segi kuantitas, konsumsi energi tahun 2005 sebesar 1996 Kalori/kapita/hari lebih tinggi dibandingkan pada tahun sebelumnya. Demikian pula untuk protein pada tahun 2005 mencapai 55,3 gram/kapita/hari. Apabila mengacu pada patokan kecukupan yang direkomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII (energi : 2000 Kalori dan protein : 52,0 gram/kapita/hari) maka konsumsi masyarakat sudah mendekati patokan tersebut bahkan untuk protein sudah melebihi dari yang dianjurkan. Kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan oleh nilai Pola Pangan Harapan (PPH) juga meningkat, dari 66,3 pada tahun 1999 menjadi 78,2 pada tahun 2005. Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai indikator kesejahteraan rumahtangga petani menunjukkan nilai relatif stagnan selama tahun 2006. Bahkan bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2004, kesejahteraan petani cenderung menurun. Sebagai gambaran, NTP pada bulan April 2006 sebesar 101,11 sedangkan NTP pada bulan April 2004 lebih besar yaitu 103,30 (1993=100). Namun penurunan NTP bukan disebabkan oleh aspek produksi dalam arti insentif kebijakan pangan telah mampu memberikan dampak peningkatan produksi dan perbaikan harga output. Akan tetapi dengan adanya kenaikan harga BBM yang mengakibatkan peningkatan harga pangan dan non pangan, sehingga pendapatan petani yang diterima tidak mampu mengimbangi pengeluaran konsumsinya baik berupa pengeluaran pangan maupun non pangan.
Analisis Kebijakan
35
Pencapaian Swasembada Pangan Strategis Sebagai Aksi Ketahanan Pangan Nasional Ketahanan pangan nasional dicerminkan oleh kemandirian pangan. Kondisi ini menuntut pemenuhan kebutuhan pangan yang diutamakan bersumber dari produksi dalam negeri, dan menentukan pengelolaan sistem pangan dalam negeri sesuai dengan kepentingan nasional serta tidak tunduk pada tekanan negara lain. Departemen Pertanian telah menetapkan program prioritas pencapaian swasembada komoditas strategis sebagai berikut : Padi Data produksi padi nasional menunjukkan bahwa komoditas ini telah mengalami surplus sejak tahun 2004. Oleh karena itu kebijakan pengembangan padi periode 2006-2010 diarahkan untuk mempertahankan swasembada secara berkelanjutan. Upaya pemenuhan kebutuhan beras akan ditempuh melalui tiga cara yaitu : (a) Peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi usahatani terobosan; (b) Peningkatan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam, pengembangan tanaman padi ke areal baru, rehabilitasi irigasi dan pencetakan sawah baru dan (c) Peningkatan penanganan panen dan pasca pnen untuk menekan kehilangan hasil dan peningkatan mutu produk, melalui pengembangan dan penerapan alat dan mesin pertanian (alsintan). Peningkatan produktivitas tidak hanya diarahkan pada lahan optimal (sawah irigasi) tetapi juga pada lahan sub-optimal seperti lahan sawah tadah hujan, lahan kering dan lahan rawa lebak/pasang surut. Peningkatan produktivitas padi nasional ini sangat dimungkinkan bila ditinjau dari potensi pengembangan varietas unggul dan kesiapan teknologi padi di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jagung Peningkatan kapasitas produksi jagung diupayakan melalui: (1) Peningkatan produktifitas, (2) Perluasan areal tanam, (3) Peningkatan efisiensi produksi, (4) Penguatan kelembagaan petani, (5) Peningkatan kualitas produk, (6) Peningkatan nilai tambah dan perbaikan akses pasar, (7) Pengembangan unit usaha bersama, (8) Perbaikan permodalan, (9) Pewilayahan komoditas atas dasar ketersediaan, nilai tambah, daya saing dan pendapatan, serta (10) Pengembangan infrastruktur dan pengaturan tata niaga dan insentif usaha. Strategi peningkatan produksi tersebut masih memerlukan dukungan kebijakan harga, tataniaga, subsidi, pembiayaan, investasi, moneter, standarisasi dan karantina. Upaya untuk mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar 4,24 persen per tahun sampai tahun 2010 akan lebih mengandalkan pada peningkatan produktivitas sebesar 3,38 persen per tahun, sedangkan laju peningkatan areal panen diproyeksikan sebesar 1,0 persen per tahun. Hal ini ditempuh dengan memperluas penggunaan benih hibrida dan komposit unggul dengan benih berkualitas disertai dengan penerapan teknologi budidaya maju.
36
Bab III. Analisis Arah Kebijakan Makro Pembangunan Pertanian
Kedelai Prospek pengembangan kedelai cukup cerah, mengingat konsumsi kedelai dalam bentuk pangan olahan terutama tahu, tempe dan kecap akan terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat akan kesehatan. Pencapaian program swasembada kedelai pada tahun 2015 memerlukan dukungan kebijakan investasi. Arah pengembangan komoditas kedelai mulai dari subsistem hulu hingga subsistem hilir. Oleh karena itu dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif sangat diharapkan dalam upaya pengembangan kedelai. Program aksi peningkatan produksi kedelai melalui : (a) Perluasan areal tanam; (b) Pengembangan pusat pertumbuhan, (c) pengembangan usaha dan (d) Pengembangan kemitraan. Perluasan areal tanam dilakukan dengan peningkatan IP pada lahan sawah irigasi sederhan, lahan sawah tadah hujan atau lahan kering. Wilayah sasarannya adalah proopinsi NTB, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Utara, NAD dan Sulawesi Selatan. Gula Pengembangan industri gula memerlukan investasi yang sangat besar, sehingga konsistensi kebijakan pemerintah dalam perspektif jangka panjang menjadi kunci keberhasilan. Salah satu kebijakan dengan mempertahankan kebijakan yang kini diterapkan seperti tataniaga impor. Dukungan pemerintah yang diperlukan berupa fasilitasi dan infrastruktur sebagai berikut : (a) Perlindungan dan penyediaan fasilitas berproduksi (proteksi, promosi jaminan keamanan dan tax holiday) untuk jangka waktu tertentu; (b) Pengembangan sistem pembiayaan bagi petani tebu dan pelaku usaha pergulaan; (c) Penguatan lembaga penelitian dan pengembangan serta lembaga pendidikan pergulaan termasuk pengembangan sinergi antar lembaga tersebut; (d) Pengembangan infrastruktur (irigasi, jalan, pelabuhan); (e) Penyusunan rencana induk pengembangan industri gula berbasis tebu dan (f) Promosi investasi dalam mendukung percepatan pengembangan industri gula terpadu. Daging sapi Pengembangan usaha peternakan sapi potong untuk menghasilkan daging sapi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi domestik melalui antara lain : (a) Mempercepat umur beranak pertama dari sekitar 4,5 tahun menjadi kurang dari 3,5 tahun; (b) Memperpendek jarak beranak dari 18 bulan menjadi sekitar 12-14 bulan; (c) Menekan angka kematian anak dan induk; (d) Mengurangi pemotongan ternak produktif dan ternak kecil/muda; (e) Mendorong perkembangan usaha pembibitan penghasil sapi bibit; (f) Mendorong swasta untuk menambah populasi ternak produktif dan (g) Impor sapi bakalan muda yang siap digemukkan selama lebih dari 4 bulan. Secara khusus kebijakan teknis yang dilakukan sebagai berikut : (a) Mengembangkan agribisnis sapi pola integrasi tanaman-ternak berskala besar dengan mendekatan LEISA dan zero waste; (b) Mengembangkan dan memanfaatan sapi lokal unggul sebagai bibit memalui pelestarian, seleksi dan
Analisis Kebijakan
37
persilangan dengan sapi introduksi; (c) Pengembangan BIB daerah dan teknologi embrio transfer secara selektif; (d) Memanfaatkan teknologi veteriner untuk menekan angka kematian; (e) Mengembangkan dan memanfaatkan produksi biogas dan kompos secara massal dan (f) pengembangan SNI produk kompos. Penutup Pangan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memecah belah umat atau bangsa. Pangan tidak hanya sebagai komoditas ekonomi dan sosial tetapi juga komoditas politik. Oleh karena itu aspek stabilitas pangan termasuk ketahanan pangan merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa dan senantiasa menjadi agenda prioritas pembangunan nasional. Operasionalisasi kebijakan tersebut dirumuskan secara integratif dengan program peningkatan ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang kuat dicirikan oleh kemandirian pangan yang tinggi dalam menjamin penyediaan kebutuhan pangan di tingkat nasional, daerah maupun rumahtangga. Secara agregat nasional, situasi pangan pada lima tahun terakhir (20002005) menunjukkan perkembangan yang positip yang ditunjukkan oleh beberapa indikator sebagai berikut : (a) Produksi beberapa komoditas pangan penting cenderung meningkat; (b) Pergerakan harga-harga pangan relatif stabil. Peningkatan harga pangan lebih disebabkan adanya kenaikan BBM; (c) Kualitas konsumsi masyarakat semakin membaik dan (d) Peningkatan kesejahteraan petani terutama sebelum adanya kenaikan harga BBM. Dalam rangka meningkatkan kemandirian pangan, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk memfokuskan pengembangan pangan pada lima komoditas pangan strategis, yaitu: padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi. Swasembada beras telah dicapai sejak tahun 2004 dan diharapkan untuk komoditas lainnya dalam jangka pendek dapat mencapai tingkat swasembada sehingga ketergantungan terhadap pasar impor dan kemungkinan gangguan instabilitas penyediaannya dapat diredam.