LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 9
Bab 1 - 1.1
Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
o o o o o o o o o o o o o o o o
Upaya Peningkatan Ketahanan Pangan . . . . . . . . . . . . . . .10 Indonesia Mampu Atasi Rawan Pangan . . . . . . . . . . . . . . .12 Mewujudkan Kedaulatan Pangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .14 Fungsikan Kembali Dewan Ketahanan Pangan . . . . . . . . .16 Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani . . . . . . . . . .18 Hak Rakyat Atas Pangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .20 Hati-hati, Tekanan Permintaan Pangan . . . . . . . . . . . . . . . .22 Hutan dan Ketahanan Pangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .24 Era Pangan Murah Sudah Berlalu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .26 Perlu Tekad Mengatasi Masalah Pangan . . . . . . . . . . . . . . .28 Strategi Pangan Berkelanjutan di Asia . . . . . . . . . . . . . . . .30 Mencermati Rantai Pangan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .34 Solusi Dasar Masalah Pangan 2035 . . . . . . . . . . . . . . . . . . .36 Ketahanan Pangan Indikator Keberhasilan Pembangunan 38 Ketahanan Pangan dan Gandum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .40 Kembangkan Food Estate dengan Bijaksana . . . . . . . . . . .42
Suara Agribisnis
9
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 10
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
5 – 18 pril 2005
Upaya Peningkatan Ketahanan Pangan “PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN dalam UU No. 7/1996 berbeda dengan yang dianut pemerintahan Orde Baru, yang mengartikan ketahanan pangan sebagai pencapaian swasembada beras,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Apa perbedaan prinsipnya? Undang-Undang Nomor 7/1996 tentang Pangan menyatakan, “Ketahanan Pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Pengertian ketahanan pangan tersebut lebih luas dari sekadar kemandirian pangan. Kemandirian telah ditegaskan dalam peraturan perundangan, misalnya PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan, dinyatakan, (1) pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari produksi dalam negeri; (2) pengelolaan sistem cadangan pangan ditentukan sendiri sesuai kepentingan nasional, sehingga tidak tunduk pada tekanan negara lain. Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting sebagai indikator keberhasilan peningkatan ketahanan pangan, yaitu: (a) Ketersediaan, yang berarti, pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman; (b) Distribusi, pasokan pangan dapat menjangkau ke seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga; dan (c) Konsumsi; yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsinya sesuai kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Ketahanan pangan di tingkat wilayah belum dapat merefleksikan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Pada tataran ini, muncul masalah banyaknya balita dengan bobot badan di bawah standar dan angka harapan hidup masih rendah. Umumnya, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, kepulauan, dan daerah perbatasan kurang bisa mengakses pangan akibat terbatasnya sarana dan prasarana seperti jalan dan alat transportasi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat di wilayah tersebut sangat rentan terhadap masalah kerawanan pangan. Tantangan dan permasalahan apa yang dihadapi ke depan? Dalam aspek ketersediaan antara lain: (i) Tingginya laju peningkatan kebutuhan beberapa komoditas pangan yang lebih cepat daripada laju peningkatan produksi; (ii) Terbatasnya infrastruktur irigasi; (iv) Meningkatnya jumlah petani gurem, luas garapan kurang dari 0,5 ha; (v) Terbatasnya fasilitas permodalan di pedesaan dan meningkatnya suku bunga Kredit Ketahanan Pangan (KKP) rata-rata 2%; (vi) Lambatnya penerapan teknologi akibat kurangnya insentif ekonomi; (vii) Rendahnya kemampuan
10
Suara Agribisnis
mengelola cadangan pangan; (viii) Masih berlanjutnya pemotongan ternak betina produktif; (ix) Adanya gangguan hama dan penyakit pada tanaman dan ternak; (x) Rentannya produksi pangan domestik karena dampak anomali iklim dan menurunnya kualitas lingkungan. Dalam aspek distribusi, beberapa permasalahan strategis adalah: (i) Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan untuk menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah terpencil; (ii) Keterbatasan sarana dan kelembagaan pasar; (iii) Banyaknya pungutan resmi dan tidak resmi; dan (iv) Tingginya biaya angkutan dibanding negara lain. Sementara itu, dalam aspek konsumsi antara lain: (i) Besarnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan akses pangan rendah; (ii) Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi; (iii) Masih dominannya konsumsi sumber energi karbohidrat yang berasal dari beras; (iv) Rendahnya kesadaran dan penerapan sistem sanitasi dan higienis rumah tangga; dan (v) Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan. Bagaimana upaya mengurangi bahkan menghilangkan akar permasalahan-permasalahan tersebut? Dalam aspek ketersediaan diupayakan melalui, (i) Peningkatan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan; (ii) Pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan; (iii) Peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri; dan (iv) Pengembangan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. Dalam aspek distribusi, upaya peningkatan ketahanan pangan antara lain diarahkan pada: (i) Meningkatkan sarana dan prasarana untuk efisiensi distribusi dan perdagangan pangan; (ii) Mengurangi dan atau menghilangkan Perda yang menghambat distribusi pangan antardaerah; (iii) Mengembangkan kelembagaan dan sarana fisik pengolahan dan pemasaran di pedesaan; Dalam aspek konsumsi; upaya peningkatan ketahanan pangan diarahkan pada: (i) Meningkatkan kemampuan akses pangan rumah tangga sesuai kebutuhan baik jumlah, mutu, keamanan, maupun keseimbangan gizi; (ii) Mendorong, mengembangkan, dan memfasilitasi peran serta masyarakat (LSM, Organisasi Profesi, Organisasi Massa) dalam memenuhi hak atas pangan khususnya bagi kelompok kurang mampu; (iii) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan dan pangan bersubsidi kepada golongan masyarakat rawan pangan; dan (iv) Mempercepat proses diversifikasi pangan ke arah konsumsi yang beragam dan bergizi seimbang. Bagaimana strategi penerapannya? Secara umum, dapat ditempuh strategi jalur ganda (twin track strategy); yaitu: (a) Memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat; dan (b) Menggerakkan seluruh stakeholders (pemerintah, masyarakat, LSM, organisasi profesi, organisasi massa, organisasi sosial, dan pelaku usaha). Memfokuskan upaya pada pengentasan masyarakat dan rumah tangga rawan pangan, serta masyarakat dan rumah tangga miskin, untuk memenuhi hak atas pangan masyarakat rawan pangan dan gizi serta masyarakat miskin.*** Suara Agribisnis
11
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 10
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
5 – 18 pril 2005
Upaya Peningkatan Ketahanan Pangan “PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN dalam UU No. 7/1996 berbeda dengan yang dianut pemerintahan Orde Baru, yang mengartikan ketahanan pangan sebagai pencapaian swasembada beras,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Apa perbedaan prinsipnya? Undang-Undang Nomor 7/1996 tentang Pangan menyatakan, “Ketahanan Pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Pengertian ketahanan pangan tersebut lebih luas dari sekadar kemandirian pangan. Kemandirian telah ditegaskan dalam peraturan perundangan, misalnya PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan, dinyatakan, (1) pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari produksi dalam negeri; (2) pengelolaan sistem cadangan pangan ditentukan sendiri sesuai kepentingan nasional, sehingga tidak tunduk pada tekanan negara lain. Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting sebagai indikator keberhasilan peningkatan ketahanan pangan, yaitu: (a) Ketersediaan, yang berarti, pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman; (b) Distribusi, pasokan pangan dapat menjangkau ke seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga; dan (c) Konsumsi; yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsinya sesuai kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Ketahanan pangan di tingkat wilayah belum dapat merefleksikan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Pada tataran ini, muncul masalah banyaknya balita dengan bobot badan di bawah standar dan angka harapan hidup masih rendah. Umumnya, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, kepulauan, dan daerah perbatasan kurang bisa mengakses pangan akibat terbatasnya sarana dan prasarana seperti jalan dan alat transportasi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat di wilayah tersebut sangat rentan terhadap masalah kerawanan pangan. Tantangan dan permasalahan apa yang dihadapi ke depan? Dalam aspek ketersediaan antara lain: (i) Tingginya laju peningkatan kebutuhan beberapa komoditas pangan yang lebih cepat daripada laju peningkatan produksi; (ii) Terbatasnya infrastruktur irigasi; (iv) Meningkatnya jumlah petani gurem, luas garapan kurang dari 0,5 ha; (v) Terbatasnya fasilitas permodalan di pedesaan dan meningkatnya suku bunga Kredit Ketahanan Pangan (KKP) rata-rata 2%; (vi) Lambatnya penerapan teknologi akibat kurangnya insentif ekonomi; (vii) Rendahnya kemampuan
10
Suara Agribisnis
mengelola cadangan pangan; (viii) Masih berlanjutnya pemotongan ternak betina produktif; (ix) Adanya gangguan hama dan penyakit pada tanaman dan ternak; (x) Rentannya produksi pangan domestik karena dampak anomali iklim dan menurunnya kualitas lingkungan. Dalam aspek distribusi, beberapa permasalahan strategis adalah: (i) Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan untuk menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah terpencil; (ii) Keterbatasan sarana dan kelembagaan pasar; (iii) Banyaknya pungutan resmi dan tidak resmi; dan (iv) Tingginya biaya angkutan dibanding negara lain. Sementara itu, dalam aspek konsumsi antara lain: (i) Besarnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan akses pangan rendah; (ii) Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi; (iii) Masih dominannya konsumsi sumber energi karbohidrat yang berasal dari beras; (iv) Rendahnya kesadaran dan penerapan sistem sanitasi dan higienis rumah tangga; dan (v) Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan. Bagaimana upaya mengurangi bahkan menghilangkan akar permasalahan-permasalahan tersebut? Dalam aspek ketersediaan diupayakan melalui, (i) Peningkatan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan; (ii) Pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan; (iii) Peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri; dan (iv) Pengembangan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. Dalam aspek distribusi, upaya peningkatan ketahanan pangan antara lain diarahkan pada: (i) Meningkatkan sarana dan prasarana untuk efisiensi distribusi dan perdagangan pangan; (ii) Mengurangi dan atau menghilangkan Perda yang menghambat distribusi pangan antardaerah; (iii) Mengembangkan kelembagaan dan sarana fisik pengolahan dan pemasaran di pedesaan; Dalam aspek konsumsi; upaya peningkatan ketahanan pangan diarahkan pada: (i) Meningkatkan kemampuan akses pangan rumah tangga sesuai kebutuhan baik jumlah, mutu, keamanan, maupun keseimbangan gizi; (ii) Mendorong, mengembangkan, dan memfasilitasi peran serta masyarakat (LSM, Organisasi Profesi, Organisasi Massa) dalam memenuhi hak atas pangan khususnya bagi kelompok kurang mampu; (iii) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan dan pangan bersubsidi kepada golongan masyarakat rawan pangan; dan (iv) Mempercepat proses diversifikasi pangan ke arah konsumsi yang beragam dan bergizi seimbang. Bagaimana strategi penerapannya? Secara umum, dapat ditempuh strategi jalur ganda (twin track strategy); yaitu: (a) Memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat; dan (b) Menggerakkan seluruh stakeholders (pemerintah, masyarakat, LSM, organisasi profesi, organisasi massa, organisasi sosial, dan pelaku usaha). Memfokuskan upaya pada pengentasan masyarakat dan rumah tangga rawan pangan, serta masyarakat dan rumah tangga miskin, untuk memenuhi hak atas pangan masyarakat rawan pangan dan gizi serta masyarakat miskin.*** Suara Agribisnis
11
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 12
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
25 Januari – 7 Februari 2006
Indonesia Mampu Atasi Kerawanan Pangan PETA KERAWANAN PANGAN yang dibuat Deptan menunjukkan, terdapat 100 kabupaten rawan pangan, 30 di antaranya sangat rawan. ”NTB saja yang selalu mengalami surplus beras juga terjadi rawan pangan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA Bagaimana sebenarnya kondisi pangan dunia? Kofi Annan, Sekjen PBB, pertengahan tahun lalu menyatakan bahwa 25.000 orang mati setiap hari akibat kelaparan dan kemiskinan. Kelaparan bukan hanya monopoli negara-negara miskin dan berkembang. Di negara adidaya Amerika Serikat pun sekitar 38 juta orang menderita kelaparan. Maka kemiskinan dan kelaparan merupakan musuh bersama dunia yang harus dilawan. Konferensi Tingkat Tinggi FAO di Roma tahun 1996 menyepakati mengurangi kelaparan dari 840 juta orang menjadi separuhnya pada 2015. Sampai kini hanya 25 juta orang yang dapat dibebaskan dari kelaparan, maka target 2015 diyakini tidak tercapai. Dalam catatan FAO, penduduk Afrika, Asia Selatan, China, dan Amerika Latin termasuk kategori yang mengalami rawan pangan. Negara-negara tersebut umumnya mengalami lilitan hutang yang besar dari lembaga-lembaga donor. Maka sangat manusiawi jika ada kebijakan pengampunan utang bagi negara-negara miskin. Kebijakan internal negara-negara berkembang juga tidak diarahkan agar masyarakat bebas dari kemiskinan dan kelaparan. Kebijakan apa yang dimaksud? Kebijakan yang tidak mendorong kemajuan sektor pertanian. Sektor pertanian telah terbukti sangat efektif mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Umumnya di negara berkembang sektor pertanian tidak mendapat insentif ekonomi yang memadai. Input produksi yang mahal, pasar terfragmentasi, dan harga produk pertanian yang tidak merangsang peningkatan produktivitas. Sedangkan di negara-negara maju sarat proteksi berupa subsidi dan tarif impor yang tinggi. Banyak pula negara berkembang yang terlalu cepat meliberalisasikan sektor pangannya mengikuti paradigma pasar bebas. Indonesia pun tidak lepas dari persoalan itu. Di masa krisis awal 1998, dengan intervensi kuat dari IMF, kita harus meliberalisasi sektor pangan. Tarif impor pangan dipatok maksimum 5%. Apa masalah utama penyebab kerawanan pangan? Kerawanan pangan terjadi karena kurangnya ketersediaan pangan yang berhubungan dengan kapasitas produksi di daerah itu. Kekurangan ini, dalam situasi mendesak bisa ditutupi oleh impor. Tapi jangan terlalu mudah untuk mengimpor. Produksi nasio-
12
Suara Agribisnis
nal harus diupayakan untuk mengimbangi laju konsumsi. Ini tentunya memerlukan kebijakan yang memberikan insentif ekonomi yang cukup bagi petani. Masalah lain, sulit didistribusikan dengan harga terjangkau sehingga pangan tidak akan merata diakses oleh keluarga. Aspek distribusi juga sangat menentukan ketahanan pangan dan asupan gizi bagi anggota keluarga. NTB misalnya, selalu mengalami surplus beras setiap tahunnya namun soal rawan pangan juga terjadi. Faktor lain yang sangat penting adalah daya beli masyarakat untuk memenuhi konsumsi yang memenuhi syarat gizi seperti energi dan protein. Dari data yang ada sebenarnya ketersediaan energi dan protein domestik telah melebihi kebutuhan. Namun sebagian masyarakat kita masih kurang kalori dan protein karena daya beli yang rendah. Kita memahami bahwa daya beli berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 16,67% pada 2004. Ada indikasi tahun ini jumlahnya meningkat. Jika bangsa ini mau bebas dari kelaparan, kemiskinan harus diberantas. Upaya mengatasi masalah dengan memberikan bantuan, bukan solusi jangka panjang. Proses pemberdayaan untuk memandirikan masyarakat agar mereka mampu mengatasi persoalannya harus menjadi paradigma di masa depan. Apa yang perlu dilakukan ke depan? Pertama, persepsi masyarakat bahwa pangan itu hanya beras perlu dikoreksi. Budaya lokal yang sejak dahulu kala mengonsumsi non-beras patut didorong karena justru akan mendiversifikasi pola makannya. Kedua, masalah kelancaran distribusi mesti diatasi. Masalah klasik adalah infrastruktur transportasi, seperti kejadian di Yahukimo (Papua). Tampaknya anggaran pemerintah 5 tahun ke depan perlu diarahkan membangun untuk infrastruktur pedesaan. Ini akan sangat membantu akses pangan secara fisik, dan mencegah disparitas harga pangan yang lebar antar daerah. Ketiga, masalah konsumsi yang berkaitan dengan kemiskinan. Akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan masyarakat. Pembangunan pertanian dan pedesaan menurut pengalaman Indonesia sangat efektif untuk menyediakan lapangan kerja. Peningkatan pendapatan petani akan meningkatkan daya beli pangan dan nonpangan pedesaan. Sektor industri dan jasa di pedesaan pun secara gradual tercipta karena pasar sudah ada. Keempat, pendidikan pedesaan khususnya bagi anak-anak perempuan. Menurut penelitian FAO, generasi “melek” aksara menjadi petani dan pekerja yang lebih produktif. Anak-anak perempuan akan menjadi ibu yang lebih baik dalam mengasuh anak-anaknya dan mengatur gizi keluarga. Dan kelima, koordinasi kebijakan dan implementasi sektoral dan vertikal. Masalah peningkatan ketahanan pangan bangsa menyangkut multisektor dan tingkat pemerintahan mulai dari pusat sampai ke daerah. Oleh karena itu, Dewan Ketahanan Pangan mulai dari pusat, provinsi, sampai ke kabupaten/kota yang telah dibentuk pada pemerintahan yang lalu perlu direvitalisasi. Presiden dan/atau Wakil Presiden perlu memimpin kelembagaan ini secara langsung.***
Suara Agribisnis
13
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 12
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
25 Januari – 7 Februari 2006
Indonesia Mampu Atasi Kerawanan Pangan PETA KERAWANAN PANGAN yang dibuat Deptan menunjukkan, terdapat 100 kabupaten rawan pangan, 30 di antaranya sangat rawan. ”NTB saja yang selalu mengalami surplus beras juga terjadi rawan pangan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA Bagaimana sebenarnya kondisi pangan dunia? Kofi Annan, Sekjen PBB, pertengahan tahun lalu menyatakan bahwa 25.000 orang mati setiap hari akibat kelaparan dan kemiskinan. Kelaparan bukan hanya monopoli negara-negara miskin dan berkembang. Di negara adidaya Amerika Serikat pun sekitar 38 juta orang menderita kelaparan. Maka kemiskinan dan kelaparan merupakan musuh bersama dunia yang harus dilawan. Konferensi Tingkat Tinggi FAO di Roma tahun 1996 menyepakati mengurangi kelaparan dari 840 juta orang menjadi separuhnya pada 2015. Sampai kini hanya 25 juta orang yang dapat dibebaskan dari kelaparan, maka target 2015 diyakini tidak tercapai. Dalam catatan FAO, penduduk Afrika, Asia Selatan, China, dan Amerika Latin termasuk kategori yang mengalami rawan pangan. Negara-negara tersebut umumnya mengalami lilitan hutang yang besar dari lembaga-lembaga donor. Maka sangat manusiawi jika ada kebijakan pengampunan utang bagi negara-negara miskin. Kebijakan internal negara-negara berkembang juga tidak diarahkan agar masyarakat bebas dari kemiskinan dan kelaparan. Kebijakan apa yang dimaksud? Kebijakan yang tidak mendorong kemajuan sektor pertanian. Sektor pertanian telah terbukti sangat efektif mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Umumnya di negara berkembang sektor pertanian tidak mendapat insentif ekonomi yang memadai. Input produksi yang mahal, pasar terfragmentasi, dan harga produk pertanian yang tidak merangsang peningkatan produktivitas. Sedangkan di negara-negara maju sarat proteksi berupa subsidi dan tarif impor yang tinggi. Banyak pula negara berkembang yang terlalu cepat meliberalisasikan sektor pangannya mengikuti paradigma pasar bebas. Indonesia pun tidak lepas dari persoalan itu. Di masa krisis awal 1998, dengan intervensi kuat dari IMF, kita harus meliberalisasi sektor pangan. Tarif impor pangan dipatok maksimum 5%. Apa masalah utama penyebab kerawanan pangan? Kerawanan pangan terjadi karena kurangnya ketersediaan pangan yang berhubungan dengan kapasitas produksi di daerah itu. Kekurangan ini, dalam situasi mendesak bisa ditutupi oleh impor. Tapi jangan terlalu mudah untuk mengimpor. Produksi nasio-
12
Suara Agribisnis
nal harus diupayakan untuk mengimbangi laju konsumsi. Ini tentunya memerlukan kebijakan yang memberikan insentif ekonomi yang cukup bagi petani. Masalah lain, sulit didistribusikan dengan harga terjangkau sehingga pangan tidak akan merata diakses oleh keluarga. Aspek distribusi juga sangat menentukan ketahanan pangan dan asupan gizi bagi anggota keluarga. NTB misalnya, selalu mengalami surplus beras setiap tahunnya namun soal rawan pangan juga terjadi. Faktor lain yang sangat penting adalah daya beli masyarakat untuk memenuhi konsumsi yang memenuhi syarat gizi seperti energi dan protein. Dari data yang ada sebenarnya ketersediaan energi dan protein domestik telah melebihi kebutuhan. Namun sebagian masyarakat kita masih kurang kalori dan protein karena daya beli yang rendah. Kita memahami bahwa daya beli berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 16,67% pada 2004. Ada indikasi tahun ini jumlahnya meningkat. Jika bangsa ini mau bebas dari kelaparan, kemiskinan harus diberantas. Upaya mengatasi masalah dengan memberikan bantuan, bukan solusi jangka panjang. Proses pemberdayaan untuk memandirikan masyarakat agar mereka mampu mengatasi persoalannya harus menjadi paradigma di masa depan. Apa yang perlu dilakukan ke depan? Pertama, persepsi masyarakat bahwa pangan itu hanya beras perlu dikoreksi. Budaya lokal yang sejak dahulu kala mengonsumsi non-beras patut didorong karena justru akan mendiversifikasi pola makannya. Kedua, masalah kelancaran distribusi mesti diatasi. Masalah klasik adalah infrastruktur transportasi, seperti kejadian di Yahukimo (Papua). Tampaknya anggaran pemerintah 5 tahun ke depan perlu diarahkan membangun untuk infrastruktur pedesaan. Ini akan sangat membantu akses pangan secara fisik, dan mencegah disparitas harga pangan yang lebar antar daerah. Ketiga, masalah konsumsi yang berkaitan dengan kemiskinan. Akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan masyarakat. Pembangunan pertanian dan pedesaan menurut pengalaman Indonesia sangat efektif untuk menyediakan lapangan kerja. Peningkatan pendapatan petani akan meningkatkan daya beli pangan dan nonpangan pedesaan. Sektor industri dan jasa di pedesaan pun secara gradual tercipta karena pasar sudah ada. Keempat, pendidikan pedesaan khususnya bagi anak-anak perempuan. Menurut penelitian FAO, generasi “melek” aksara menjadi petani dan pekerja yang lebih produktif. Anak-anak perempuan akan menjadi ibu yang lebih baik dalam mengasuh anak-anaknya dan mengatur gizi keluarga. Dan kelima, koordinasi kebijakan dan implementasi sektoral dan vertikal. Masalah peningkatan ketahanan pangan bangsa menyangkut multisektor dan tingkat pemerintahan mulai dari pusat sampai ke daerah. Oleh karena itu, Dewan Ketahanan Pangan mulai dari pusat, provinsi, sampai ke kabupaten/kota yang telah dibentuk pada pemerintahan yang lalu perlu direvitalisasi. Presiden dan/atau Wakil Presiden perlu memimpin kelembagaan ini secara langsung.***
Suara Agribisnis
13
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 14
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
12 – 25 Juli 2006
Mewujudkan Kedaulatan Pangan “KEDAULATAN PANGAN kita akan terwujud jika kita mampu menetapkan kebijakan yang tepat. Kebijakan yang kita butuhkan saat ini adalah kebijakan proteksi sekaligus promosi,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. (Menteri Pertanian periode 2000—2004) saat diwawancarai AGRINA. Apakah kebijakan yang sudah diterapkan pada 2000 – 2004 masih relevan saat ini? Proteksi sangat kita butuhkan dalam perdagangan internasional yang tidak adil. WTO itu hanya adil buat negara-negara yang maju, buat kita tidak adil. Memang free trade sesuai buat yang kuat, tapi tidak buat kita. Saya tidak tahu bagaimana dulu kita menyetujui free trade atau memang tidak bisa untuk tidak setuju karena kita belum mempunyai kedaulatan. Kita harus proteksi tapi sekaligus promosi. Kalau kita hanya proteksi, semakin lama proteksinya semakin tinggi dan tidak bisa kita pertahankan. Karena itu sambil memproteksi, kita juga harus promosi melalui peningkatan produktivitas dan kualitas. Jika nanti perdagangan internasional sudah adil, kita preteli proteksi itu secara sedikit demi sedikit. Kalau masih belum adil, tidak perlu kita pura-pura mampu bersaing dengan orang yang lebih mampu dari kita. Jadi jangan naif. Dengan ditandatanganinya Letter of Intend (LoI), negara kita dibuat telanjang. LoI itu dibuat supaya semuanya bisa masuk ke sini. Dan memang tiba-tiba Indonesia menjadi importir pangan terbesar di dunia. Selama 2000—2004 kita terapkan kebijakan proteksi dan promosi sebagai bentuk kedaulatan kita. Kedaulatan dalam membuat kebijakan, merumuskan, melaksanakan, dan merevisi bila dirasa itu suatu kebutuhan. Hasilnya, pertanian kita termasuk pangan bertumbuh di atas 4%. Hal ini diakui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bagaimana kita bisa menerapkan kebijakan tersebut jika petani sebagai salah satu stakeholder agribisnis belum memiliki lembaga? Lembaga petani sebenarnya sudah ada, dalam bentuk kelompok-kelompok yang telah lama dibina. Kemudian asosiasi petani juga sudah semakin kuat, kita punya HKTI, KTNA, petani sawit, petani tebu, petani tembakau, dan petani cengkeh, itu sudah wellorganized. Sekarang pekerjaan pemerintah itu mengidentifikasi yang perlu dikembangkan atau fasilitas yang diberikan supaya mereka itu bisa bekerjasama. Para pengusaha sudah menyadari hanya kalau petani menjadi makmur, maka dunia usaha bisa berkembang. Itu dengan pahit baru disadari setelah reformasi yang baru lalu itu. Jadi sudah lebih baik. Cuma masih ada tetap keinginan-keinginan birokrasi dan mungkin juga politikus
14
Suara Agribisnis
menggunakan paradigma lama dalam keadaan yang baru ini. Fasilitas apa yang perlu diberikan pemerintah kepada petani? Misalnya kredit. Kredit penting, tapi kredit hanya untuk memperlancar usaha. Ada faktor-faktor lain yang jauh lebih penting. Buktinya, selama 2000—2004 kredit tidak ada tapi tetap bisa bertumbuh, tapi kalau ada kredit akan lebih hebat lagi. Menurut hemat saya, kita jangan kembali pada cara lama, mau kasih subsidi yang terlalu besar. Masalah mendasar, tingkat suku bunga nasional itu terlalu tinggi, 18%. Jika tingkat suku bunga nasional 5—6%, tentu untuk pertanian bisa 7—8%, seperti di Malaysia dan Thailand. Kita belum mampu membuat tingkat bunga itu kompetitif dengan negara-negara lain. Apa petani kita sudah tidak butuh subsidi? Subsidi masih dibutuhkan petani kita, tapi harus kita pikirkan bagaimana subsidi yang efisien dan efektif, jangan terjadi penyelewengan. Dikaitkan dengan keberatan WTO tentang subsidi, tidak usah terlalu takut karena itu bagian dari kedaulatan kita. Jadi, sebagai negara yang berdaulat, kita harus bisa melakukan apapun di republik ini untuk meningkatkan ketahanan pangan, menanggulangi kemiskinan, dan juga membangun pedesaan. Bagaimana mewujudkan kedaulatan pangan? Dalam rangka inilah saya ada sedikit pikiran mengenai revitalisasi pertanian. Jadi kita mengapresiasi ide revitalisasi karena ada kesadaran baru mengenai pentingnya pertanian. Lebih tepat jika revitalisasi sistem dan usaha agribisnis karena masalah pertanian itu sebagian besar ada di luar pertanian. Misalnya, infrastruktur, perbankan, perdagangan, pelabuhan, dan lainnya. Bila semua ini tidak diperbaiki, maka pertanian dan ketahanan pangan akan jalan di tempat. Dalam waktu dekat mewujudkan kedaulatan pangan, sebaiknya tugaskan Menko Perekonomian untuk secara sadar bekerjasama dengan menteri terkait dan merumuskan target. Kalau itu tidak mungkin, maka Presiden harus secara aktif take over itu ketahanan pangan, kalau perlu kasih kepada Wakil Presiden untuk mengurusnya. Bila memungkinkan, buat Menko Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Jika tidak memungkinkan juga, satu dari lima menteri, yaitu pertanian, kehutanan, kelautan, perindustrian, dan perdagangan diminta menjadi koordinator. Jadikan dia sebagai menteri senior yang bisa mengundang menteri lainnya. Sekarang ini semua sibuk. Semua capek tapi hasilnya tidak ada. Kalau istilah saya, sudah kerja keras, tidak kerjasama, dan tidak kerja smart. Kita perlu kerja keras untuk mendapatkan hasil. Tapi kerja keras saja tidak cukup. Kita membutuhkan kerjasama. Kerjasama tapi tidak keras juga tidak ada gunanya, harus kerja keras dan kerjasama. Walau sudah kerja keras dan kerjasama, bila tidak kerja smart maka tidak berhasil. Kalau sudah kerja smart tapi tidak kerja keras dan kerjasama juga tidak ada gunanya. Harus kerja keras, kerja sama, dan kerja smart. Itulah ramuan dalam mewujudkan kedaulatan pangan kita. ***
Suara Agribisnis
15
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 14
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
12 – 25 Juli 2006
Mewujudkan Kedaulatan Pangan “KEDAULATAN PANGAN kita akan terwujud jika kita mampu menetapkan kebijakan yang tepat. Kebijakan yang kita butuhkan saat ini adalah kebijakan proteksi sekaligus promosi,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. (Menteri Pertanian periode 2000—2004) saat diwawancarai AGRINA. Apakah kebijakan yang sudah diterapkan pada 2000 – 2004 masih relevan saat ini? Proteksi sangat kita butuhkan dalam perdagangan internasional yang tidak adil. WTO itu hanya adil buat negara-negara yang maju, buat kita tidak adil. Memang free trade sesuai buat yang kuat, tapi tidak buat kita. Saya tidak tahu bagaimana dulu kita menyetujui free trade atau memang tidak bisa untuk tidak setuju karena kita belum mempunyai kedaulatan. Kita harus proteksi tapi sekaligus promosi. Kalau kita hanya proteksi, semakin lama proteksinya semakin tinggi dan tidak bisa kita pertahankan. Karena itu sambil memproteksi, kita juga harus promosi melalui peningkatan produktivitas dan kualitas. Jika nanti perdagangan internasional sudah adil, kita preteli proteksi itu secara sedikit demi sedikit. Kalau masih belum adil, tidak perlu kita pura-pura mampu bersaing dengan orang yang lebih mampu dari kita. Jadi jangan naif. Dengan ditandatanganinya Letter of Intend (LoI), negara kita dibuat telanjang. LoI itu dibuat supaya semuanya bisa masuk ke sini. Dan memang tiba-tiba Indonesia menjadi importir pangan terbesar di dunia. Selama 2000—2004 kita terapkan kebijakan proteksi dan promosi sebagai bentuk kedaulatan kita. Kedaulatan dalam membuat kebijakan, merumuskan, melaksanakan, dan merevisi bila dirasa itu suatu kebutuhan. Hasilnya, pertanian kita termasuk pangan bertumbuh di atas 4%. Hal ini diakui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bagaimana kita bisa menerapkan kebijakan tersebut jika petani sebagai salah satu stakeholder agribisnis belum memiliki lembaga? Lembaga petani sebenarnya sudah ada, dalam bentuk kelompok-kelompok yang telah lama dibina. Kemudian asosiasi petani juga sudah semakin kuat, kita punya HKTI, KTNA, petani sawit, petani tebu, petani tembakau, dan petani cengkeh, itu sudah wellorganized. Sekarang pekerjaan pemerintah itu mengidentifikasi yang perlu dikembangkan atau fasilitas yang diberikan supaya mereka itu bisa bekerjasama. Para pengusaha sudah menyadari hanya kalau petani menjadi makmur, maka dunia usaha bisa berkembang. Itu dengan pahit baru disadari setelah reformasi yang baru lalu itu. Jadi sudah lebih baik. Cuma masih ada tetap keinginan-keinginan birokrasi dan mungkin juga politikus
14
Suara Agribisnis
menggunakan paradigma lama dalam keadaan yang baru ini. Fasilitas apa yang perlu diberikan pemerintah kepada petani? Misalnya kredit. Kredit penting, tapi kredit hanya untuk memperlancar usaha. Ada faktor-faktor lain yang jauh lebih penting. Buktinya, selama 2000—2004 kredit tidak ada tapi tetap bisa bertumbuh, tapi kalau ada kredit akan lebih hebat lagi. Menurut hemat saya, kita jangan kembali pada cara lama, mau kasih subsidi yang terlalu besar. Masalah mendasar, tingkat suku bunga nasional itu terlalu tinggi, 18%. Jika tingkat suku bunga nasional 5—6%, tentu untuk pertanian bisa 7—8%, seperti di Malaysia dan Thailand. Kita belum mampu membuat tingkat bunga itu kompetitif dengan negara-negara lain. Apa petani kita sudah tidak butuh subsidi? Subsidi masih dibutuhkan petani kita, tapi harus kita pikirkan bagaimana subsidi yang efisien dan efektif, jangan terjadi penyelewengan. Dikaitkan dengan keberatan WTO tentang subsidi, tidak usah terlalu takut karena itu bagian dari kedaulatan kita. Jadi, sebagai negara yang berdaulat, kita harus bisa melakukan apapun di republik ini untuk meningkatkan ketahanan pangan, menanggulangi kemiskinan, dan juga membangun pedesaan. Bagaimana mewujudkan kedaulatan pangan? Dalam rangka inilah saya ada sedikit pikiran mengenai revitalisasi pertanian. Jadi kita mengapresiasi ide revitalisasi karena ada kesadaran baru mengenai pentingnya pertanian. Lebih tepat jika revitalisasi sistem dan usaha agribisnis karena masalah pertanian itu sebagian besar ada di luar pertanian. Misalnya, infrastruktur, perbankan, perdagangan, pelabuhan, dan lainnya. Bila semua ini tidak diperbaiki, maka pertanian dan ketahanan pangan akan jalan di tempat. Dalam waktu dekat mewujudkan kedaulatan pangan, sebaiknya tugaskan Menko Perekonomian untuk secara sadar bekerjasama dengan menteri terkait dan merumuskan target. Kalau itu tidak mungkin, maka Presiden harus secara aktif take over itu ketahanan pangan, kalau perlu kasih kepada Wakil Presiden untuk mengurusnya. Bila memungkinkan, buat Menko Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Jika tidak memungkinkan juga, satu dari lima menteri, yaitu pertanian, kehutanan, kelautan, perindustrian, dan perdagangan diminta menjadi koordinator. Jadikan dia sebagai menteri senior yang bisa mengundang menteri lainnya. Sekarang ini semua sibuk. Semua capek tapi hasilnya tidak ada. Kalau istilah saya, sudah kerja keras, tidak kerjasama, dan tidak kerja smart. Kita perlu kerja keras untuk mendapatkan hasil. Tapi kerja keras saja tidak cukup. Kita membutuhkan kerjasama. Kerjasama tapi tidak keras juga tidak ada gunanya, harus kerja keras dan kerjasama. Walau sudah kerja keras dan kerjasama, bila tidak kerja smart maka tidak berhasil. Kalau sudah kerja smart tapi tidak kerja keras dan kerjasama juga tidak ada gunanya. Harus kerja keras, kerja sama, dan kerja smart. Itulah ramuan dalam mewujudkan kedaulatan pangan kita. ***
Suara Agribisnis
15
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 16
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
2 – 15 Mei 2007
Fungsikan Kembali Dewan Ketahanan Pangan “BERAS BUKAN HANYA KOMODITAS DI INDONESIA, beras sudah menjadi harga diri bangsa. Oleh karena itu diperlukan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) untuk menyusun satu kebijakan perberasan nasional,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian Periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Apa alasannya Profesor menyebut demikian? Jika beras hanya sebagai komoditas, maka saat harganya naik, konsumsinya diturunkan atau diversifikasi dengan komoditas lain. Dan bila harganya turun, maka konsumsinya meningkat. Beras tidak bisa begitu. Bagi masyarakat Indonesia, beras adalah makanan pokok yang setiap hari mereka butuhkan. Jadi bagaimana kebijakan yang harus diambil? Kebijakan perberasan itu pada dasarnya adalah menyeimbangkan kepentingan produsen dan konsumen. Dari sisi konsumen, beras merupakan makanan pokok yang harus tersedia sehingga itu menjadi kepentingan nasional. Kemudian dari sisi produsen, sebagian besar petani kita adalah petani padi. Apalagi sebagian besar PDB pertanian juga dari padi. Ada sekitar 17% PDB pertanian, padi terbesar di antara komoditas lain. Jadi padi itu dari segi produsen dan konsumen sangat penting. Karena itu sering menjadi komoditas politik karena melibatkan banyak orang. Lain halnya karet, sekalipun nilai ekspornya besar tapi produsen dan konsumennya sedikit. Konsumen dan produsen memiliki kepentingan yang berbeda. Konsumen mau harga beras murah, sedangkan produsen menginginkan harga tinggi sehingga terjadi saling adu kuat untuk mempengaruhi pemerintah. Kebetulan petani padi kita terdiri dari petani kecil, tidak terorganisir, tidak mempunyai kekuatan politik, bahkan dulu dikooptasi oleh partai politik. Konsumen sebenarnya juga tidak terorganisir tapi karena mereka tinggal di kota kalau ribut mendapat perhatian dari politikus dan media massa. Tak heran bila sering kepentingan konsumen lebih diutamakan. Harga beras murah berarti tidak merangsang produksi sehingga harus impor? Bila ingin dapat harga murah berarti pasokan harus diperbanyak. Tapi jika harga murah berarti produksi dalam negeri tidak bisa meningkat karena petani tidak bergairah menanam padi. Oleh karena itu impor saja. Kebetulan kalau mengimpor itu harganya dumping. Thailand, AS, Jepang, China, dan India menjual beras di pasar internasional jauh lebih rendah daripada harga di dalam negeri mereka. Harga pada tingkat konsumen di India dan Indonesia sama, tapi kalau dia mau menjual supaya laku, harganya dibikin rendah. Sebenarnya jika tidak ada dumping, petani kita bisa bersaing dengan siapa pun di dunia
16
Suara Agribisnis
ini karena produktivitas padi kita termasuk yang tertinggi di dunia. Waktu saya tinggalkan Departemen Pertanian, produktivitas padi kita secara nasional rata-rata 4,6 ton/ha, Thailand 2,5 ton, dan Filipina 2,8 ton. Yang di atas kita produktivitasnya adalah China, Jepang, dan Korea. Bagaimana agar produsen dan konsumen sama-sama diuntungkan? Pada periode 2000—2004, kebijakan kita adalah tidak mau harga terlalu tinggi yang berarti menguntungkan petani tapi merugikan konsumen. Dan juga tidak mau harga terlalu rendah, merugikan petani dan menguntungkan konsumen. Oleh karena itu diusahakan sedemikian rupa supaya harga tetap stabil, petani masih senang dan tidak terlalu memberatkan konsumen. Konsumen kita macam-macam, ada yang kaya dan ada pula yang miskin. Untuk konsumen miskin dibuat kebijakan beras untuk golongan miskin yang kita sebut raskin. Jadi kita biarkan harga di dalam negeri sedikit lebih tinggi yaitu Rp2.200,00/kg tetapi orang miskin kita kasih raskin yang harganya hanya Rp1.000,00/kg. Apakah cukup hanya dengan kebijakan itu? Secara sederhana kebijakan perberasan pada 2000—2004 dan sampai sekarang ingin dipertahankan, yakni kebijakan proteksi sekaligus promosi. Proteksi artinya melindungi petani dari praktik perdagangan beras internasional yang tidak adil. Dan promosi adalah meningkatkan produktivitas dan daya saing usaha tani padi kita. Proteksi dan promosi ini digabungkan sebab tidak mungkin melakukan peningkatan produktivitas dan daya saing apabila tidak ada proteksi. Misalnya, kita tingkatkan produktivitas sehingga produsi dalam negeri meningkat. Kemudian karena perdagangan internasional tidak adil, maka impor masuk. Jadi, produksi dalam negeri meningkat berbarengan dengan masuknya beras impor. Akibatnya harga turun merugikan petani sehingga mereka tidak mau lagi berproduksi. Dalam keadaan seperti itu, impor makin lama makin besar lagi. Karena itu kita buat kebijakan promosi sekaligus proteksi bagi petani dari beras impor. Bagaimana dengan kondisi sekarang yang hanya mempermasalahkan beras impor? Masalah kita bukanlah impor beras atau tidak. Masalah kita adalah kemampuan produksi di dalam negeri yang semakin berkurang. Dan masalah ini jarang dibicarakan, sebab jika dibicarakan berhubungan dengan prestasi pemerintah. Untuk mengatasinya, kita perlu memfungsikan kembali DKP yang telah dibentuk pada masa pemerintahan yang lalu. Dengan DKP kita bisa merumuskan kebijakan pangan nasional. Sekarang masingmasing departemen punya kebijakan perberasan sendiri-sendiri dan sering tidak berkaitan satu departemen dengan departemen lainnya. Dengan kembali berfungsinya DKP, institusi ini bisa mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kemelut perberasan. DKP dapat meneruskan kebijakan yang telah disusun pemerintahan yang lalu atau membuat kebijakan baru tapi tetap memperhatikan kepentingan perberasan nasional bukan sektoral. DKP juga menjadi koordinator perumusan kebijakan dan program serta mengevaluasinya.*** Suara Agribisnis
17
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 16
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
2 – 15 Mei 2007
Fungsikan Kembali Dewan Ketahanan Pangan “BERAS BUKAN HANYA KOMODITAS DI INDONESIA, beras sudah menjadi harga diri bangsa. Oleh karena itu diperlukan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) untuk menyusun satu kebijakan perberasan nasional,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian Periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Apa alasannya Profesor menyebut demikian? Jika beras hanya sebagai komoditas, maka saat harganya naik, konsumsinya diturunkan atau diversifikasi dengan komoditas lain. Dan bila harganya turun, maka konsumsinya meningkat. Beras tidak bisa begitu. Bagi masyarakat Indonesia, beras adalah makanan pokok yang setiap hari mereka butuhkan. Jadi bagaimana kebijakan yang harus diambil? Kebijakan perberasan itu pada dasarnya adalah menyeimbangkan kepentingan produsen dan konsumen. Dari sisi konsumen, beras merupakan makanan pokok yang harus tersedia sehingga itu menjadi kepentingan nasional. Kemudian dari sisi produsen, sebagian besar petani kita adalah petani padi. Apalagi sebagian besar PDB pertanian juga dari padi. Ada sekitar 17% PDB pertanian, padi terbesar di antara komoditas lain. Jadi padi itu dari segi produsen dan konsumen sangat penting. Karena itu sering menjadi komoditas politik karena melibatkan banyak orang. Lain halnya karet, sekalipun nilai ekspornya besar tapi produsen dan konsumennya sedikit. Konsumen dan produsen memiliki kepentingan yang berbeda. Konsumen mau harga beras murah, sedangkan produsen menginginkan harga tinggi sehingga terjadi saling adu kuat untuk mempengaruhi pemerintah. Kebetulan petani padi kita terdiri dari petani kecil, tidak terorganisir, tidak mempunyai kekuatan politik, bahkan dulu dikooptasi oleh partai politik. Konsumen sebenarnya juga tidak terorganisir tapi karena mereka tinggal di kota kalau ribut mendapat perhatian dari politikus dan media massa. Tak heran bila sering kepentingan konsumen lebih diutamakan. Harga beras murah berarti tidak merangsang produksi sehingga harus impor? Bila ingin dapat harga murah berarti pasokan harus diperbanyak. Tapi jika harga murah berarti produksi dalam negeri tidak bisa meningkat karena petani tidak bergairah menanam padi. Oleh karena itu impor saja. Kebetulan kalau mengimpor itu harganya dumping. Thailand, AS, Jepang, China, dan India menjual beras di pasar internasional jauh lebih rendah daripada harga di dalam negeri mereka. Harga pada tingkat konsumen di India dan Indonesia sama, tapi kalau dia mau menjual supaya laku, harganya dibikin rendah. Sebenarnya jika tidak ada dumping, petani kita bisa bersaing dengan siapa pun di dunia
16
Suara Agribisnis
ini karena produktivitas padi kita termasuk yang tertinggi di dunia. Waktu saya tinggalkan Departemen Pertanian, produktivitas padi kita secara nasional rata-rata 4,6 ton/ha, Thailand 2,5 ton, dan Filipina 2,8 ton. Yang di atas kita produktivitasnya adalah China, Jepang, dan Korea. Bagaimana agar produsen dan konsumen sama-sama diuntungkan? Pada periode 2000—2004, kebijakan kita adalah tidak mau harga terlalu tinggi yang berarti menguntungkan petani tapi merugikan konsumen. Dan juga tidak mau harga terlalu rendah, merugikan petani dan menguntungkan konsumen. Oleh karena itu diusahakan sedemikian rupa supaya harga tetap stabil, petani masih senang dan tidak terlalu memberatkan konsumen. Konsumen kita macam-macam, ada yang kaya dan ada pula yang miskin. Untuk konsumen miskin dibuat kebijakan beras untuk golongan miskin yang kita sebut raskin. Jadi kita biarkan harga di dalam negeri sedikit lebih tinggi yaitu Rp2.200,00/kg tetapi orang miskin kita kasih raskin yang harganya hanya Rp1.000,00/kg. Apakah cukup hanya dengan kebijakan itu? Secara sederhana kebijakan perberasan pada 2000—2004 dan sampai sekarang ingin dipertahankan, yakni kebijakan proteksi sekaligus promosi. Proteksi artinya melindungi petani dari praktik perdagangan beras internasional yang tidak adil. Dan promosi adalah meningkatkan produktivitas dan daya saing usaha tani padi kita. Proteksi dan promosi ini digabungkan sebab tidak mungkin melakukan peningkatan produktivitas dan daya saing apabila tidak ada proteksi. Misalnya, kita tingkatkan produktivitas sehingga produsi dalam negeri meningkat. Kemudian karena perdagangan internasional tidak adil, maka impor masuk. Jadi, produksi dalam negeri meningkat berbarengan dengan masuknya beras impor. Akibatnya harga turun merugikan petani sehingga mereka tidak mau lagi berproduksi. Dalam keadaan seperti itu, impor makin lama makin besar lagi. Karena itu kita buat kebijakan promosi sekaligus proteksi bagi petani dari beras impor. Bagaimana dengan kondisi sekarang yang hanya mempermasalahkan beras impor? Masalah kita bukanlah impor beras atau tidak. Masalah kita adalah kemampuan produksi di dalam negeri yang semakin berkurang. Dan masalah ini jarang dibicarakan, sebab jika dibicarakan berhubungan dengan prestasi pemerintah. Untuk mengatasinya, kita perlu memfungsikan kembali DKP yang telah dibentuk pada masa pemerintahan yang lalu. Dengan DKP kita bisa merumuskan kebijakan pangan nasional. Sekarang masingmasing departemen punya kebijakan perberasan sendiri-sendiri dan sering tidak berkaitan satu departemen dengan departemen lainnya. Dengan kembali berfungsinya DKP, institusi ini bisa mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kemelut perberasan. DKP dapat meneruskan kebijakan yang telah disusun pemerintahan yang lalu atau membuat kebijakan baru tapi tetap memperhatikan kepentingan perberasan nasional bukan sektoral. DKP juga menjadi koordinator perumusan kebijakan dan program serta mengevaluasinya.*** Suara Agribisnis
17
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 18
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
11 – 24 Juli 2007
Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani “BILA DIPILAH KONSEP PEMBANGUNAN PERTANIAN dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia dan kesejahteraan petani, maka ketahanan pangan adalah makronya serta pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani adalah mikronya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000— 2004, saat diwawancarai AGRINA. Apa sebenarnya pengertian ketahanan pangan? Ketahanan pangan adalah ketersediaan dan konsumsi pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan terjangkau harganya oleh masyarakat. Ketahanan pangan itu bisa pada level nasional, regional, lokal, dan keluarga. Hanya dengan ketahanan pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan berkeadilan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada petani dan penduduk Indonesia. Dalam pengertian ketahanan pangan seperti itu, pembangunan pertanian adalah sisi penawarannya. Jika bisa menyediakan pangan melalui pembangunan pertanian, satu sisi dari ketahanan pangan itu sudah terisi. Kendati pun produksi meningkat tetapi jika tidak ada kemampuan dari konsumen untuk membeli pangan itu, maka ketahanan pangan itu masih rapuh. Aspek permintaan erat kaitannya dengan aspek pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat datang dari segi pertanian dan nonpertanian. Hanya dengan peningkatan pendapatan rakyat secara terus menerus, peningkatan produksi pertanian itu bisa menjadi suatu ketahanan pangan. Agar ketahanan pangan kita kuat, pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani meningkat, maka sektor industri dan jasa harus berkembang dengan baik. Dengan demikian, ada pasar untuk produk pertanian, sebagian dari tenaga kerja di pertanian bisa pindah dari pertanian, serta sumberdaya yang tersedia buat petani menjadi lebih banyak sehingga kesejahteraannya bisa meningkat. Bagaimana dengan konsep pembangunan pertaniannya sendiri? Pembangunan pertanian kita sekarang sudah banyak berubah dari sebelumnya, tapi paradigma mengenai pertanian tidak banyak berubah. Inilah sumber hambatan utama untuk kemajuan pertanian kita yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan ketahanan pangan. Pertanian masih banyak dipandang sebagai way of life. Jadi, karena neneknya dulu mengupayakan padi, dia hanya tahu tanam padi, dan karena nenek saya seperti itu maka saya juga harus seperti itu. Agar pertanian bisa maju, paradigma kita terhadap pertanian harus berubah menjadi pertanian sebagai bisnis. Contohnya, bila ada seseorang memelihara kambing yang
18
Suara Agribisnis
tujuannya untuk dijual ke pasar dan memperoleh keuntungan berarti dia sudah berbisnis. Sebagai pebisnis dia memilih memelihara kambing karena laku dijual tapi bila kambing tidak laku, dia akan memelihara ternak yang lain, seperti domba atau ayam. Jika dulu pertanian bisa dilihat sebagai salah satu sektor karena industri hulu dan hilirnya belum menjadi penting bagi pertanian. Tidak demikian lagi halnya saat ini, pendekatan sektoral tidak cocok lagi untuk pembangunan pertanian. Pertanian harus dilihat secara bersama-sama dengan sektor hilir, hulu, dan jasa penunjangnya. Jadi pendekatan sektoral harus dirubah menjadi pendekatan intersektoral. Itulah paragdigma baru yang dibutuhkan. Jika dulu semuanya sentralistis, sehingga membanguan pertanian itu direncanakan dan dilaksanakan dari Pasarminggu, Jakarta (Deptan). Mana bisa membangun pertanian dari Pasarminggu? Pembangunan pertanian harus dari Wamena, Tarutung, Sidempuan, Garut, dan tempat lain, artinya membangun dari bawah. Desentralisasi sangat sesuai dengan pembangunan pertanian. Jadi, desentralisasi juga merupakan paradigma baru untuk pembangunan pertanian. Peranan pemerintah daerah menjadi lebih penting. Kini kita tidak hanya membangun pertanian saja tapi juga membangun mulai dari hulu, usaha tani, hilir, dan jasa penunjangnya. Kita membangun keseluruhan sistem dan usaha agribisnis. Jadi, bila pemerintah mengatakan ingin merevitalisasi pertanian, hal itu sudah tidak cukup lagi. Kita harus merevitalisasi sistem dan usaha agribisnis. Jadi revitalisasi sistem dan usaha agribisnis tidak semata-mata tanggung jawab menteri pertanian tetapi juga tanggung jawab menteri-Menteri terkait dan terutama semua pelaku agribisnis. Jika itu paradigmanya, apa kebijakannya? Kebijakan yang dibutuhkan sistem dan usaha agribisnis kita adalah kebijakan proteksi sekaligus promosi. Proteksi artinya melindungi petani kita dari praktik perdagangan internasional yang tidak adil. Dan promosi adalah meningkatkan produktivitas dan daya saing dari usaha tani kita. Proteksi dan promosi ini digabungkan bersama-sama sebab tidak mungkin kita melakukan promosi dengan meningkatkan produktivitas dan daya saing apabila tidak ada proteksi. Misalnya, kita tingkatkan produktivitas supaya produksi dalam negeri meningkat. Kemudian karena perdagangan internasional yang tidak adil, maka impor masuk. Produksi dalam negeri meningkat, dan impor masuk sehingga harga turun, sehingga merugikan petani dan membuatnya tidak mau lagi berproduksi. Dalam keadaan yang seperti itu, volume impor makin lama makin besar, dan petani makin lama makin miskin. Oleh karena itu peningkatan produktivitas dan daya saing harus dibarengi proteksi bagi para petani itu dari komoditas impor. ***
Suara Agribisnis
19
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 18
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
11 – 24 Juli 2007
Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani “BILA DIPILAH KONSEP PEMBANGUNAN PERTANIAN dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia dan kesejahteraan petani, maka ketahanan pangan adalah makronya serta pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani adalah mikronya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000— 2004, saat diwawancarai AGRINA. Apa sebenarnya pengertian ketahanan pangan? Ketahanan pangan adalah ketersediaan dan konsumsi pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan terjangkau harganya oleh masyarakat. Ketahanan pangan itu bisa pada level nasional, regional, lokal, dan keluarga. Hanya dengan ketahanan pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan berkeadilan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada petani dan penduduk Indonesia. Dalam pengertian ketahanan pangan seperti itu, pembangunan pertanian adalah sisi penawarannya. Jika bisa menyediakan pangan melalui pembangunan pertanian, satu sisi dari ketahanan pangan itu sudah terisi. Kendati pun produksi meningkat tetapi jika tidak ada kemampuan dari konsumen untuk membeli pangan itu, maka ketahanan pangan itu masih rapuh. Aspek permintaan erat kaitannya dengan aspek pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat datang dari segi pertanian dan nonpertanian. Hanya dengan peningkatan pendapatan rakyat secara terus menerus, peningkatan produksi pertanian itu bisa menjadi suatu ketahanan pangan. Agar ketahanan pangan kita kuat, pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani meningkat, maka sektor industri dan jasa harus berkembang dengan baik. Dengan demikian, ada pasar untuk produk pertanian, sebagian dari tenaga kerja di pertanian bisa pindah dari pertanian, serta sumberdaya yang tersedia buat petani menjadi lebih banyak sehingga kesejahteraannya bisa meningkat. Bagaimana dengan konsep pembangunan pertaniannya sendiri? Pembangunan pertanian kita sekarang sudah banyak berubah dari sebelumnya, tapi paradigma mengenai pertanian tidak banyak berubah. Inilah sumber hambatan utama untuk kemajuan pertanian kita yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan ketahanan pangan. Pertanian masih banyak dipandang sebagai way of life. Jadi, karena neneknya dulu mengupayakan padi, dia hanya tahu tanam padi, dan karena nenek saya seperti itu maka saya juga harus seperti itu. Agar pertanian bisa maju, paradigma kita terhadap pertanian harus berubah menjadi pertanian sebagai bisnis. Contohnya, bila ada seseorang memelihara kambing yang
18
Suara Agribisnis
tujuannya untuk dijual ke pasar dan memperoleh keuntungan berarti dia sudah berbisnis. Sebagai pebisnis dia memilih memelihara kambing karena laku dijual tapi bila kambing tidak laku, dia akan memelihara ternak yang lain, seperti domba atau ayam. Jika dulu pertanian bisa dilihat sebagai salah satu sektor karena industri hulu dan hilirnya belum menjadi penting bagi pertanian. Tidak demikian lagi halnya saat ini, pendekatan sektoral tidak cocok lagi untuk pembangunan pertanian. Pertanian harus dilihat secara bersama-sama dengan sektor hilir, hulu, dan jasa penunjangnya. Jadi pendekatan sektoral harus dirubah menjadi pendekatan intersektoral. Itulah paragdigma baru yang dibutuhkan. Jika dulu semuanya sentralistis, sehingga membanguan pertanian itu direncanakan dan dilaksanakan dari Pasarminggu, Jakarta (Deptan). Mana bisa membangun pertanian dari Pasarminggu? Pembangunan pertanian harus dari Wamena, Tarutung, Sidempuan, Garut, dan tempat lain, artinya membangun dari bawah. Desentralisasi sangat sesuai dengan pembangunan pertanian. Jadi, desentralisasi juga merupakan paradigma baru untuk pembangunan pertanian. Peranan pemerintah daerah menjadi lebih penting. Kini kita tidak hanya membangun pertanian saja tapi juga membangun mulai dari hulu, usaha tani, hilir, dan jasa penunjangnya. Kita membangun keseluruhan sistem dan usaha agribisnis. Jadi, bila pemerintah mengatakan ingin merevitalisasi pertanian, hal itu sudah tidak cukup lagi. Kita harus merevitalisasi sistem dan usaha agribisnis. Jadi revitalisasi sistem dan usaha agribisnis tidak semata-mata tanggung jawab menteri pertanian tetapi juga tanggung jawab menteri-Menteri terkait dan terutama semua pelaku agribisnis. Jika itu paradigmanya, apa kebijakannya? Kebijakan yang dibutuhkan sistem dan usaha agribisnis kita adalah kebijakan proteksi sekaligus promosi. Proteksi artinya melindungi petani kita dari praktik perdagangan internasional yang tidak adil. Dan promosi adalah meningkatkan produktivitas dan daya saing dari usaha tani kita. Proteksi dan promosi ini digabungkan bersama-sama sebab tidak mungkin kita melakukan promosi dengan meningkatkan produktivitas dan daya saing apabila tidak ada proteksi. Misalnya, kita tingkatkan produktivitas supaya produksi dalam negeri meningkat. Kemudian karena perdagangan internasional yang tidak adil, maka impor masuk. Produksi dalam negeri meningkat, dan impor masuk sehingga harga turun, sehingga merugikan petani dan membuatnya tidak mau lagi berproduksi. Dalam keadaan yang seperti itu, volume impor makin lama makin besar, dan petani makin lama makin miskin. Oleh karena itu peningkatan produktivitas dan daya saing harus dibarengi proteksi bagi para petani itu dari komoditas impor. ***
Suara Agribisnis
19
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 20
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
12 – 25 Desember 2007
Hak Rakyat Atas Pangan “BUSUNG LAPAR sudah menjadi bagian dari keadaan kita dari dulu hingga sekarang. Tapi seharusnya sekarang sudah tidak ada lagi. Ternyata hal itu belum dapat kita tanggulangi semua,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA. Apakah kita tidak mampu menanggulanginya? Kejadiannya belakangan ini sudah lebih kecil dibandingkan masa lalu. Dan busung lapar hanya terjadi pada kantong-kantong masyarakat tertentu, bukan lagi berlangsung secara nasional. Jadi busung lapar sekarang ini bukan lagi masalah nasional tapi masalah lokal, bahkan mungkin hanya terjadi pada beberapa keluarga dalam suatu daerah. Hal itu terjadi mungkin disebabkan kemiskinan, budaya, rendahnya tingkat pendidikan, dan keterisolasian. Masalah kelaparan atau busung lapar itu bersifat lokal, sehingga harus diselesaikan oleh Kepala Desa dan Camat dengan bantuan Kepala Daerah. Jika Kepala Desa, Camat, dan Kepala Daerah tidak menyadari masalah itu, maka tidak akan pernah kita menyelesaikan masalah tersebut sekalipun produksi dan pendapatan kita meningkat. Hak atas pangan, apa maksud dan bagaimana kondisinya sekarang ini? Hak atas pangan itu timbul dari rasa kemanusiaan kita, bahwa makhluk hidup terutama manusia harus makan sepanjang hidupnya. Jadi pangan tidak bisa dilihat sebagai komoditas perdagangan saja, tapi pangan juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Namun hak atas pangan itu bisa terwujud hanya jika rakyat menuntut haknya. Karena itu harus ada pendidikan politik dan sosial kepada rakyat agar mereka menuntut haknya. Jika rakyatnya belum mengerti mengenai haknya tersebut, sebaiknya wakil rakyat mengerti yang dituntut dan dibutuhkan rakyat. Kemudian pemerintah mempersiapkan diri untuk memenuhi tuntutan itu secara wajar. Dari dulu kita sibuk mengenai pembangunan pertanian, dan hasilnya produksi pangan meningkat. Tapi masalah kerawanan pangan dan busung lapar bukanlah masalah pertanian. Masalah itu lebih banyak berkaitan dengan kesehatan, sosial, pendidikan, dan pendapatan keluarga. Sayangnya ini belum menjadi prioritas pengelola aspek tersebut. Jadi sekalipun produksi pangan meningkat tetap saja ada orang yang kurang gizi, busung lapar, dan kelaparan karena ketersediaan pangan hanyalah salah satu aspek dari masalah pangan kita. Apakah ketersediaan pangan kita sudah tercukupi? Jika bicara sumber kalori seperti beras, jagung, sagu, ketela pohon, kita sudah lumayan baik ketersediaannya. Yang kita sangat ketinggalan adalah sumber protein dan
20
Suara Agribisnis
lemak yang bersumber dari ternak dan ikan. Hal itu disebabkan sejak Orde Baru penekanan kita ke beras dan bidang perkebunan melulu. Bidang peternakan dan perikanan relatif tertinggal. Ini yang membuat anak-anak kita perutnya gendut dan tubuhnya kecil. Tidak mengherankan jika anak-anak muda kita sering kalah dalam pertandingan olah raga internasional. Jika kita perhatikan, anak-anak sekolah di pedesaan rata-rata tinggi dan bobot badannya lebih kecil dibandingkan anak-anak pada masa 50 tahun silam. Ini berarti ada masalah kekurangan gizi yang sangat fundamental di negeri kita ini. Data FAO menyebutkan, konsumsi protein hewani kita masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asean. Misalnya, konsumsi daging ayam Indonesia hanya 4,5 kg/kapita/tahun, Malaysia 20 kg/kapita/tahun, serta Jepang dan Amerika Serikat 45 kg/kapita/ tahun. Bagaimana jalan keluar mengatasi busung lapar dan kelaparan yang bersifat lokal tersebut? Soal kelaparan seolah-olah diambil alih pemerintah, itu kurang tepat. Seharusnya sadarkan manusia itu supaya ia menyelesaikan masalah kelaparannya. Kelihatannya kejam, tapi hanya dengan cara begitu masalah dapat kita selesaikan dengan baik. Karena itu dibutuhkan strategi, kesabaran, ketekunan, dan kerjasama. Kita tidak lagi bicara secara teoritis tentang visi misi tapi tindakan di tingkat grassroot. Upayakan agar institusi di grassroot bersama-sama dengan pemda menyelesaikan masalah kelaparan yang mereka alami. Dalam UU Otonomi Daerah disebutkan, Bupati dan Walikota bertanggungjawab atas ketahanan pangan di daerahnya. Karena itu, organisasi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang sudah dibuat pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota agar diaktifkan kembali. Pada waktu lalu telah berjalan mulai dari DKP pusat sampai daerah. Yang menjadi masalah kita adalah konsistensi. Hal-hal yang telah dibuat pada masa-masa sebelumnya tidak pernah mau dipelajari atau diteruskan oleh penerusnya sehingga seolah-olah kita memulai dari nol lagi. Program Raskin dilanjutkan dan diperbaiki sistemnya. Dan baik sekali bila program tersebut tidak hanya beras tetapi ditambah dengan minyak goreng, telur, dan lauk-pauk. Kemudian program pemanfaatan halaman rumah untuk bertanam, beternak, atau berkolam, sebaiknya digalakkan lagi terutama di pedesaan dan pinggir-pinggir kota. Dengan itu semua gizi masyarakat kita bisa diperbaiki. Dalam jangka panjang kita harus melihat pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dengan mengikutsertakan rakyat di dalamnya harus menjadi fokus. Kita harus segera menemukan model pembangunan baru yang membuat pertumbuhan dengan cepat pada bidang-bidang yang rakyat dapat ikut serta di dalamnya, bukan sebagai penonton. ***
Suara Agribisnis
21
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 20
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
12 – 25 Desember 2007
Hak Rakyat Atas Pangan “BUSUNG LAPAR sudah menjadi bagian dari keadaan kita dari dulu hingga sekarang. Tapi seharusnya sekarang sudah tidak ada lagi. Ternyata hal itu belum dapat kita tanggulangi semua,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA. Apakah kita tidak mampu menanggulanginya? Kejadiannya belakangan ini sudah lebih kecil dibandingkan masa lalu. Dan busung lapar hanya terjadi pada kantong-kantong masyarakat tertentu, bukan lagi berlangsung secara nasional. Jadi busung lapar sekarang ini bukan lagi masalah nasional tapi masalah lokal, bahkan mungkin hanya terjadi pada beberapa keluarga dalam suatu daerah. Hal itu terjadi mungkin disebabkan kemiskinan, budaya, rendahnya tingkat pendidikan, dan keterisolasian. Masalah kelaparan atau busung lapar itu bersifat lokal, sehingga harus diselesaikan oleh Kepala Desa dan Camat dengan bantuan Kepala Daerah. Jika Kepala Desa, Camat, dan Kepala Daerah tidak menyadari masalah itu, maka tidak akan pernah kita menyelesaikan masalah tersebut sekalipun produksi dan pendapatan kita meningkat. Hak atas pangan, apa maksud dan bagaimana kondisinya sekarang ini? Hak atas pangan itu timbul dari rasa kemanusiaan kita, bahwa makhluk hidup terutama manusia harus makan sepanjang hidupnya. Jadi pangan tidak bisa dilihat sebagai komoditas perdagangan saja, tapi pangan juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Namun hak atas pangan itu bisa terwujud hanya jika rakyat menuntut haknya. Karena itu harus ada pendidikan politik dan sosial kepada rakyat agar mereka menuntut haknya. Jika rakyatnya belum mengerti mengenai haknya tersebut, sebaiknya wakil rakyat mengerti yang dituntut dan dibutuhkan rakyat. Kemudian pemerintah mempersiapkan diri untuk memenuhi tuntutan itu secara wajar. Dari dulu kita sibuk mengenai pembangunan pertanian, dan hasilnya produksi pangan meningkat. Tapi masalah kerawanan pangan dan busung lapar bukanlah masalah pertanian. Masalah itu lebih banyak berkaitan dengan kesehatan, sosial, pendidikan, dan pendapatan keluarga. Sayangnya ini belum menjadi prioritas pengelola aspek tersebut. Jadi sekalipun produksi pangan meningkat tetap saja ada orang yang kurang gizi, busung lapar, dan kelaparan karena ketersediaan pangan hanyalah salah satu aspek dari masalah pangan kita. Apakah ketersediaan pangan kita sudah tercukupi? Jika bicara sumber kalori seperti beras, jagung, sagu, ketela pohon, kita sudah lumayan baik ketersediaannya. Yang kita sangat ketinggalan adalah sumber protein dan
20
Suara Agribisnis
lemak yang bersumber dari ternak dan ikan. Hal itu disebabkan sejak Orde Baru penekanan kita ke beras dan bidang perkebunan melulu. Bidang peternakan dan perikanan relatif tertinggal. Ini yang membuat anak-anak kita perutnya gendut dan tubuhnya kecil. Tidak mengherankan jika anak-anak muda kita sering kalah dalam pertandingan olah raga internasional. Jika kita perhatikan, anak-anak sekolah di pedesaan rata-rata tinggi dan bobot badannya lebih kecil dibandingkan anak-anak pada masa 50 tahun silam. Ini berarti ada masalah kekurangan gizi yang sangat fundamental di negeri kita ini. Data FAO menyebutkan, konsumsi protein hewani kita masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asean. Misalnya, konsumsi daging ayam Indonesia hanya 4,5 kg/kapita/tahun, Malaysia 20 kg/kapita/tahun, serta Jepang dan Amerika Serikat 45 kg/kapita/ tahun. Bagaimana jalan keluar mengatasi busung lapar dan kelaparan yang bersifat lokal tersebut? Soal kelaparan seolah-olah diambil alih pemerintah, itu kurang tepat. Seharusnya sadarkan manusia itu supaya ia menyelesaikan masalah kelaparannya. Kelihatannya kejam, tapi hanya dengan cara begitu masalah dapat kita selesaikan dengan baik. Karena itu dibutuhkan strategi, kesabaran, ketekunan, dan kerjasama. Kita tidak lagi bicara secara teoritis tentang visi misi tapi tindakan di tingkat grassroot. Upayakan agar institusi di grassroot bersama-sama dengan pemda menyelesaikan masalah kelaparan yang mereka alami. Dalam UU Otonomi Daerah disebutkan, Bupati dan Walikota bertanggungjawab atas ketahanan pangan di daerahnya. Karena itu, organisasi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang sudah dibuat pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota agar diaktifkan kembali. Pada waktu lalu telah berjalan mulai dari DKP pusat sampai daerah. Yang menjadi masalah kita adalah konsistensi. Hal-hal yang telah dibuat pada masa-masa sebelumnya tidak pernah mau dipelajari atau diteruskan oleh penerusnya sehingga seolah-olah kita memulai dari nol lagi. Program Raskin dilanjutkan dan diperbaiki sistemnya. Dan baik sekali bila program tersebut tidak hanya beras tetapi ditambah dengan minyak goreng, telur, dan lauk-pauk. Kemudian program pemanfaatan halaman rumah untuk bertanam, beternak, atau berkolam, sebaiknya digalakkan lagi terutama di pedesaan dan pinggir-pinggir kota. Dengan itu semua gizi masyarakat kita bisa diperbaiki. Dalam jangka panjang kita harus melihat pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dengan mengikutsertakan rakyat di dalamnya harus menjadi fokus. Kita harus segera menemukan model pembangunan baru yang membuat pertumbuhan dengan cepat pada bidang-bidang yang rakyat dapat ikut serta di dalamnya, bukan sebagai penonton. ***
Suara Agribisnis
21
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 22
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
9 – 22 Januari 2008
Hati-hati, Tekanan Permintaan Pangan! “PADA AKHIR 2007, telah kelihatan tanda-tanda perubahan konteks pertanian dan agribisnis secara nasional dan global. Perubahan konteks ini sudah barang tentu membutuhkan perubahan pendekatan, strategi, dan program untuk pembangunan sistem dan usaha agribisnis ke depan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA. Perubahan konteks yang bagaimana dimaksud? Sejak krisis moneter lalu sampai pertengahan 2007, pertanian termasuk di dalamnya keseluruhan agribisnis kita dalam konteks excess supply (tekanan suplai). Saat itu laju pertumbuhan produksi pertanian lebih besar daripada pertumbuhan permintaan hasilhasil pertanian. Akibatnya, harga produk pertanian mengalami stagnasi sangat lama. Pertanian menjadi bidang yang kurang menguntungkan dan menarik buat para petani khususnya di bidang pangan. Dalam konteks seperti itu, strategi pembangunan pertanian dan sistem agribisnis lebih ditekankan untuk menanggulangi masalah yang timbul karena adanya tekanan suplai tadi. Strategi yang diambil adalah memberi insentif kepada produsen, yakni petani, agar tetap mau berproduksi dan meningkatkan pendapatannya. Contoh-contoh insentif itu seperti subsidi, pengurangan pajak, dan bujet untuk pembangunan infrastruktur dan kelembagaan di bidang pertanian. Di samping itu, para petani juga dilindungi dari persaingan yang tidak adil di perdagangan internasional. Apa dampaknya excess demand bagi agribisnis kita? Excess demand (tekanan permintaan) dalam pengertian laju pertumbuhan permintaan hasil-hasil pertanian lebih besar daripada pertumbuhan produksi pertanian secara nasional dan global. Akibatnya, harga produk pertanian menjadi meningkat secara luar biasa. Berbeda dengan konteks ekses suplai, dalam excess demand ini pertanian menjadi lebih diuntungkan, pembangunan pertanian menjadi jauh lebih mudah dibandingkan saat ekses suplai. Dengan harga yang tinggi, para petani dengan atau tanpa insentif akan berusaha lebih giat untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan excess demand merupakan kesempatan baru bagi sistem dan usaha agribuisnis di on-farm dan off-farm. Kendati pun demikian, on-farm agribisnis masih butuh uluran tangan pemerintah karena harga produk pertanian yang meningkat diikuti juga peningkatan biaya produksi sehingga adakalanya marjin buat petani akhirnya tidak berubah. Namun sebaliknya para konsumen akan sangat menderita khususnya konsumen miskin termasuk di dalamnya petani miskin. Mereka harus melakukan penyesuaian
22
Suara Agribisnis
yang sangat sulit terhadap kenaikan harga. Jika tidak pintar-pintar menghadapi masalah excess demand ini dapat mengakibatkan masalah kemiskinan semakin parah, ditambah masalah baru, yakni kelaparan. Masyarakat dan pemerintah harus waspada mengenai masalah ini. Pemerintah jangan terpesona dengan peningkatan Produk Domesik Bruto (PDB) pertanian. Peningkatan itu sebagian besar disebabkan peningkatan harga sebagai akibat excess demand tadi, namun ketersediaan produk pertanian masih menjadi masalah. Dan itu kelihatan dari harga pangan yang masih terus meningkat, khususnya saat terjadi gangguan alam. Apa penyebab utamanya? Penyebab dari peningkatan pertumbuhan permintaan ini ada 3 hal, yaitu pertama, pertumbuhan bahan bakar nabati (BBN) yang menggunakan produk pertanian dalam jumlah yang jauh lebih besar; kedua pertumbuhan ekonomi yang spektakuler di China dan India yang mengakibatkan pertumbuhan konsumsi hasil pertanian yang lebih besar; dan ketiga pertambahan penduduk dunia termasuk penduduk Indonesia yang membutuhkan bahan makanan lebih banyak. Dan excess demand itu diperparah lagi karena biaya distribusi yang meningkat sangat tinggi sebagai akibat naiknya harga minyak bumi. Apa yang perlu dilakukan menghadapi hal tersebut? Pertama, mencegah excess demand dengan meningkatkan produksi lebih hebat lagi. Tidak hanya nilai produk pertanian yang meningkat tapi produksi fisiknya juga harus meningkat. Kedua, perlu diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan membuat obsesi terhadap beras bisa dikurangi sehingga memberi fleksibilitas bagi para konsumen. Untuk itu peningkatan prosesing di off-farm menjadi sangat penting. Ketiga, perbaikan infrastruktur untuk distribusi agar daerah-daerah terpencil tidak mengalami lonjakan harga yang bisa menimbulkan kelaparan lokal dan regional. Dan keempat, koordinasi antarinstansi di pusat dan antara pusat dengan daerah yang mengurus masalah pangan ini menjadi lebih penting. Dalam hal ini peranan Menko Perekonomian dan Menko Kesejahteraan Rakyat sangat penting karena urusan tersebut tidak bisa lagi diatasi Departemen Pertanian sendirian. Departemen Pertanian harus bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Perum Bulog, Departemen Kesehatan, dan Departemen Sosial. Sewaktu terjadi ekses suplai pendekatan sektoral pertanian yang dominan bisa dimengerti. Namun sesudah adanya excess demand maka pendekatan yang sebanding antara produksi dan konsumsi, yakni sistem pangan menjadi sama pentingnya. Oleh karena itu pendekatan sistem dan usaha agribisnis pangan menjadi semakin relevan.***
Suara Agribisnis
23
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 22
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
9 – 22 Januari 2008
Hati-hati, Tekanan Permintaan Pangan! “PADA AKHIR 2007, telah kelihatan tanda-tanda perubahan konteks pertanian dan agribisnis secara nasional dan global. Perubahan konteks ini sudah barang tentu membutuhkan perubahan pendekatan, strategi, dan program untuk pembangunan sistem dan usaha agribisnis ke depan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA. Perubahan konteks yang bagaimana dimaksud? Sejak krisis moneter lalu sampai pertengahan 2007, pertanian termasuk di dalamnya keseluruhan agribisnis kita dalam konteks excess supply (tekanan suplai). Saat itu laju pertumbuhan produksi pertanian lebih besar daripada pertumbuhan permintaan hasilhasil pertanian. Akibatnya, harga produk pertanian mengalami stagnasi sangat lama. Pertanian menjadi bidang yang kurang menguntungkan dan menarik buat para petani khususnya di bidang pangan. Dalam konteks seperti itu, strategi pembangunan pertanian dan sistem agribisnis lebih ditekankan untuk menanggulangi masalah yang timbul karena adanya tekanan suplai tadi. Strategi yang diambil adalah memberi insentif kepada produsen, yakni petani, agar tetap mau berproduksi dan meningkatkan pendapatannya. Contoh-contoh insentif itu seperti subsidi, pengurangan pajak, dan bujet untuk pembangunan infrastruktur dan kelembagaan di bidang pertanian. Di samping itu, para petani juga dilindungi dari persaingan yang tidak adil di perdagangan internasional. Apa dampaknya excess demand bagi agribisnis kita? Excess demand (tekanan permintaan) dalam pengertian laju pertumbuhan permintaan hasil-hasil pertanian lebih besar daripada pertumbuhan produksi pertanian secara nasional dan global. Akibatnya, harga produk pertanian menjadi meningkat secara luar biasa. Berbeda dengan konteks ekses suplai, dalam excess demand ini pertanian menjadi lebih diuntungkan, pembangunan pertanian menjadi jauh lebih mudah dibandingkan saat ekses suplai. Dengan harga yang tinggi, para petani dengan atau tanpa insentif akan berusaha lebih giat untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan excess demand merupakan kesempatan baru bagi sistem dan usaha agribuisnis di on-farm dan off-farm. Kendati pun demikian, on-farm agribisnis masih butuh uluran tangan pemerintah karena harga produk pertanian yang meningkat diikuti juga peningkatan biaya produksi sehingga adakalanya marjin buat petani akhirnya tidak berubah. Namun sebaliknya para konsumen akan sangat menderita khususnya konsumen miskin termasuk di dalamnya petani miskin. Mereka harus melakukan penyesuaian
22
Suara Agribisnis
yang sangat sulit terhadap kenaikan harga. Jika tidak pintar-pintar menghadapi masalah excess demand ini dapat mengakibatkan masalah kemiskinan semakin parah, ditambah masalah baru, yakni kelaparan. Masyarakat dan pemerintah harus waspada mengenai masalah ini. Pemerintah jangan terpesona dengan peningkatan Produk Domesik Bruto (PDB) pertanian. Peningkatan itu sebagian besar disebabkan peningkatan harga sebagai akibat excess demand tadi, namun ketersediaan produk pertanian masih menjadi masalah. Dan itu kelihatan dari harga pangan yang masih terus meningkat, khususnya saat terjadi gangguan alam. Apa penyebab utamanya? Penyebab dari peningkatan pertumbuhan permintaan ini ada 3 hal, yaitu pertama, pertumbuhan bahan bakar nabati (BBN) yang menggunakan produk pertanian dalam jumlah yang jauh lebih besar; kedua pertumbuhan ekonomi yang spektakuler di China dan India yang mengakibatkan pertumbuhan konsumsi hasil pertanian yang lebih besar; dan ketiga pertambahan penduduk dunia termasuk penduduk Indonesia yang membutuhkan bahan makanan lebih banyak. Dan excess demand itu diperparah lagi karena biaya distribusi yang meningkat sangat tinggi sebagai akibat naiknya harga minyak bumi. Apa yang perlu dilakukan menghadapi hal tersebut? Pertama, mencegah excess demand dengan meningkatkan produksi lebih hebat lagi. Tidak hanya nilai produk pertanian yang meningkat tapi produksi fisiknya juga harus meningkat. Kedua, perlu diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan membuat obsesi terhadap beras bisa dikurangi sehingga memberi fleksibilitas bagi para konsumen. Untuk itu peningkatan prosesing di off-farm menjadi sangat penting. Ketiga, perbaikan infrastruktur untuk distribusi agar daerah-daerah terpencil tidak mengalami lonjakan harga yang bisa menimbulkan kelaparan lokal dan regional. Dan keempat, koordinasi antarinstansi di pusat dan antara pusat dengan daerah yang mengurus masalah pangan ini menjadi lebih penting. Dalam hal ini peranan Menko Perekonomian dan Menko Kesejahteraan Rakyat sangat penting karena urusan tersebut tidak bisa lagi diatasi Departemen Pertanian sendirian. Departemen Pertanian harus bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Perum Bulog, Departemen Kesehatan, dan Departemen Sosial. Sewaktu terjadi ekses suplai pendekatan sektoral pertanian yang dominan bisa dimengerti. Namun sesudah adanya excess demand maka pendekatan yang sebanding antara produksi dan konsumsi, yakni sistem pangan menjadi sama pentingnya. Oleh karena itu pendekatan sistem dan usaha agribisnis pangan menjadi semakin relevan.***
Suara Agribisnis
23
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 24
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
23 Januari – 5 Februari 2008
Hutan dan Ketahanan Pangan “FAO (BADAN PANGAN DAN PERTANIAN PBB) telah memberi peringatan tentang akan terjadinya krisis pangan termasuk di Indonesia tahun ini. Oleh karena itu, kita harus mencari solusi untuk mengatasinya. Sumberdaya hutan menjadi salah satu solusinya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Bukankah hutan bagi kita hanya sebagai penyedia kayu? Memang selama ini ada kecenderungan kuat demikian. Perguruan tinggi juga lebih banyak menekankan silvikultur, bukan sumberdaya hutan dan kawasan. Belakangan ini sudah ada pergeseran persepsi pada pengelolaan sumberdaya hutan. Pergeseran persepsi perlu dihargai sebagai perubahan yang amat positif tetapi komitmen ke arah tersebut masih belum terlihat kuat. Hal itu terlihat dari belum adanya pertanda perubahan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Hutan perlu dilihat sebagai kawasan yang di dalamnya terbentuk ekosistem dan habitat bagi amat banyak makhluk hidup. Hutan juga merupakan sistem hidrologis yang menjamin tersedianya air di segala musim. Hutan juga mengandung unsur keindahan bagi manusia. Dengan begitu, sumberdaya hutan tidak hanya kayu tetapi seluruh sistem hubungan makhluk hidup dengan alam dalam suatu keseimbangan yang amat harmonis. Oleh karena itu, hutan juga adalah suatu teladan sistem pengendalian hama secara terpadu amat canggih yang barangkali di luar jangkauan daya nalar manusia untuk bisa memahaminya secara sempurna. Bagaimana kaitannya hutan sebagai salah satu solusi krisis pangan? Selain berbagai sumberdaya yang telah disebutkan, hutan juga mengandung berbagai bahan pangan dan bahan non-pangan lain yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Kita mengetahui bahwa sejak lama sejumlah kelompok masyarakat tertentu sangat tergantung pada sagu yang telah tersedia secara alami di kawasan hutan. Dari berbagai kajian terbukti, satu pohon sagu bisa menghasilkan sekitar 25 kg sagu basah, atau cukup untuk keperluan keluarga beberapa minggu. Tetapi kemudian kelompok masyarakat tersebut dibujuk untuk mengonsumsi beras. Kita juga mengetahui hutan menyediakan bahan makanan yang bernilai ekonomis tinggi, seperti sarang burung walet, rebung, buah-buahan yang amat disukai oleh masyarakat. Dan berbagai tanaman yang berguna untuk obat dan pemeliharaan kecantikan. Akibatnya, banyak yang berebut untuk mendapatkan hak pengelolaan dan pemanfaatan sarang burung walet yang bermukim di goa-goa di tengah hutan. Bagaimana pula kaitannya dengan ketahanan pangan?
24
Suara Agribisnis
Dalam rangka ketahanan dan keamanan pangan, kita sudah perlu memperhatikan potensi hutan tersebut sebagai penyedia pangan untuk masyarakat. Ketahanan pangan menyangkut ketersediaan berbagai bahan pangan di setiap tempat dalam jumlah dan kualitas yang memadai, di setiap saat, bagi setiap orang, dan pada harga yang terjangkau. Dan keamanan pangan menyangkut bebasnya bahan pangan dari berbagai sisa-sisa pestisida yang mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia. Hal ini sesuai dengan produksi pangan dari hutan yang sama sekali bebas dari penggunaan bahanbahan kimia tersebut. Atas dasar pertimbangan itu, kita perlu memikirkan hubungan lestari masyarakat dengan hutan, serta memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari. Selama ini, masyarakat di sekitar hutan sudah tahu betul cara-cara pemungutan hasil secara lestari tersebut, termasuk menghindarkan kebakaran hutan. Yang seringkali mengganggu adalah iming-iming “pihak luar”. Model pengelolaan hutan dengan sistem HPH menjadi kurang sesuai dengan prinsip pemanfaatan secara lestari tersebut, terlebih bagi ekosistem hutan yang amat rapuh seperti umumnya di Provinsi Papua. Banyak pemilik HPH ternyata kemudian menimbulkan kerusakan amat berat bagi ekosistem yang ada di hutan sehingga sulit bahkan tidak mungkin dipulihkan kembali. Alternatifnya, melibatkan partisipasi yang lebih luas dari masyarakat melalui sistem perhutanan sosial dan hutan kemasyarakatan. Pola manajemen seperti ini tidak perlu mengganggu agroindustri berbasis kayu di hilir (bubur kayu, kayu gergajian). Melalui organisasi koperasi yang kuat dan mandiri, pasokan bahan mentah ke industri hilir bisa tetap terjamin, dan masyarakat bisa memanen kayu secara lestari. Apakah kawasan hutan yang telah rusak dapat dialihkan untuk tanaman pangan? Kawasan hutan yang telah rusak oleh pengelolaan HPH adalah satu potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan ketahanan pangan dan keamanan pangan. Tetapi, pengelolaannya kelak bisa menimbulkan benturan-benturan baru akibat perbedaan kepentingan yang tidak bisa dikompromikan atau diintegrasikan. Oleh sebab itu, mengalihkan kawasan hutan yang rusak tersebut menjadi lahan pertanian tanaman pangan harus dipelajari dan dipertimbangkan dengan matang. Lebih baik bila dengan penuh kesabaran, ekosistem yang telah rusak itu dipulihkan, paling tidak mendekati kondisi awal. Selama masa transisi, hutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan, namun harus tetap dalam rambu-rambu pengelolaan sumberdaya hutan.***
Suara Agribisnis
25
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 24
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
23 Januari – 5 Februari 2008
Hutan dan Ketahanan Pangan “FAO (BADAN PANGAN DAN PERTANIAN PBB) telah memberi peringatan tentang akan terjadinya krisis pangan termasuk di Indonesia tahun ini. Oleh karena itu, kita harus mencari solusi untuk mengatasinya. Sumberdaya hutan menjadi salah satu solusinya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Bukankah hutan bagi kita hanya sebagai penyedia kayu? Memang selama ini ada kecenderungan kuat demikian. Perguruan tinggi juga lebih banyak menekankan silvikultur, bukan sumberdaya hutan dan kawasan. Belakangan ini sudah ada pergeseran persepsi pada pengelolaan sumberdaya hutan. Pergeseran persepsi perlu dihargai sebagai perubahan yang amat positif tetapi komitmen ke arah tersebut masih belum terlihat kuat. Hal itu terlihat dari belum adanya pertanda perubahan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Hutan perlu dilihat sebagai kawasan yang di dalamnya terbentuk ekosistem dan habitat bagi amat banyak makhluk hidup. Hutan juga merupakan sistem hidrologis yang menjamin tersedianya air di segala musim. Hutan juga mengandung unsur keindahan bagi manusia. Dengan begitu, sumberdaya hutan tidak hanya kayu tetapi seluruh sistem hubungan makhluk hidup dengan alam dalam suatu keseimbangan yang amat harmonis. Oleh karena itu, hutan juga adalah suatu teladan sistem pengendalian hama secara terpadu amat canggih yang barangkali di luar jangkauan daya nalar manusia untuk bisa memahaminya secara sempurna. Bagaimana kaitannya hutan sebagai salah satu solusi krisis pangan? Selain berbagai sumberdaya yang telah disebutkan, hutan juga mengandung berbagai bahan pangan dan bahan non-pangan lain yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Kita mengetahui bahwa sejak lama sejumlah kelompok masyarakat tertentu sangat tergantung pada sagu yang telah tersedia secara alami di kawasan hutan. Dari berbagai kajian terbukti, satu pohon sagu bisa menghasilkan sekitar 25 kg sagu basah, atau cukup untuk keperluan keluarga beberapa minggu. Tetapi kemudian kelompok masyarakat tersebut dibujuk untuk mengonsumsi beras. Kita juga mengetahui hutan menyediakan bahan makanan yang bernilai ekonomis tinggi, seperti sarang burung walet, rebung, buah-buahan yang amat disukai oleh masyarakat. Dan berbagai tanaman yang berguna untuk obat dan pemeliharaan kecantikan. Akibatnya, banyak yang berebut untuk mendapatkan hak pengelolaan dan pemanfaatan sarang burung walet yang bermukim di goa-goa di tengah hutan. Bagaimana pula kaitannya dengan ketahanan pangan?
24
Suara Agribisnis
Dalam rangka ketahanan dan keamanan pangan, kita sudah perlu memperhatikan potensi hutan tersebut sebagai penyedia pangan untuk masyarakat. Ketahanan pangan menyangkut ketersediaan berbagai bahan pangan di setiap tempat dalam jumlah dan kualitas yang memadai, di setiap saat, bagi setiap orang, dan pada harga yang terjangkau. Dan keamanan pangan menyangkut bebasnya bahan pangan dari berbagai sisa-sisa pestisida yang mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia. Hal ini sesuai dengan produksi pangan dari hutan yang sama sekali bebas dari penggunaan bahanbahan kimia tersebut. Atas dasar pertimbangan itu, kita perlu memikirkan hubungan lestari masyarakat dengan hutan, serta memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari. Selama ini, masyarakat di sekitar hutan sudah tahu betul cara-cara pemungutan hasil secara lestari tersebut, termasuk menghindarkan kebakaran hutan. Yang seringkali mengganggu adalah iming-iming “pihak luar”. Model pengelolaan hutan dengan sistem HPH menjadi kurang sesuai dengan prinsip pemanfaatan secara lestari tersebut, terlebih bagi ekosistem hutan yang amat rapuh seperti umumnya di Provinsi Papua. Banyak pemilik HPH ternyata kemudian menimbulkan kerusakan amat berat bagi ekosistem yang ada di hutan sehingga sulit bahkan tidak mungkin dipulihkan kembali. Alternatifnya, melibatkan partisipasi yang lebih luas dari masyarakat melalui sistem perhutanan sosial dan hutan kemasyarakatan. Pola manajemen seperti ini tidak perlu mengganggu agroindustri berbasis kayu di hilir (bubur kayu, kayu gergajian). Melalui organisasi koperasi yang kuat dan mandiri, pasokan bahan mentah ke industri hilir bisa tetap terjamin, dan masyarakat bisa memanen kayu secara lestari. Apakah kawasan hutan yang telah rusak dapat dialihkan untuk tanaman pangan? Kawasan hutan yang telah rusak oleh pengelolaan HPH adalah satu potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan ketahanan pangan dan keamanan pangan. Tetapi, pengelolaannya kelak bisa menimbulkan benturan-benturan baru akibat perbedaan kepentingan yang tidak bisa dikompromikan atau diintegrasikan. Oleh sebab itu, mengalihkan kawasan hutan yang rusak tersebut menjadi lahan pertanian tanaman pangan harus dipelajari dan dipertimbangkan dengan matang. Lebih baik bila dengan penuh kesabaran, ekosistem yang telah rusak itu dipulihkan, paling tidak mendekati kondisi awal. Selama masa transisi, hutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan, namun harus tetap dalam rambu-rambu pengelolaan sumberdaya hutan.***
Suara Agribisnis
25
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 26
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
20 Februari – 4 Maret 2008
Era Pangan Murah Sudah Berlalu “ERA PANGAN MURAH GLOBAL sudah berlalu paling sedikit untuk sementara yang jangkanya tidaklah pendek. Solusinya, di dalam negeri kita harus mampu swasembada pangan strategis,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004 saat diwawancarai AGRINA. Apakah hal ini kelanjutan dari yang telah Profesor sampaikan pada AGRINA No. 71 yang lalu? Ya. Saya ingin menyampaikan solusinya secara komprehensif. Namun sebelumnya saya ingin sampaikan lagi faktor yang menyebabkan terjadinya tekanan permintaan terhadap pangan sehingga harganya meningkat. Pertama, prestasi pertumbuhan ekonomi China dan India yang konsisten menyebabkan peningkatan permintaan pangannya naik secara signifikan. Kedua, harga minyak bumi yang telah beranjak naik sejak 1970an meningkat lagi secara nyata pada akhir 1990-an. Ketiga, bioenergi. Perkembangan bioenergi mengakibatkan kompetisi antara energi dengan pangan dan pakan. Keempat, penduduk dunia yang terus bertambah juga menyebabkan excess demand. Dan kelima, global warming. Global warming sudah mengakibatkan kegagalan panen di mana-mana, baik karena kekeringan maupun banjir dan bencana alam lain. Keempat hal tersebut, kecuali global warming, menyebabkan permintaan dunia untuk produk pertanian dan pangan bertumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan suplai. Ini berakibat terjadinya excess demand yang menyebabkan harga produk pertanian dan pangan meningkat secara global. Faktor kelima, kendati pun tidak berakibat pada excess demand, tapi pada waktu-waktu tertentu dapat mengurangi penawaran yang pada akhirnya menyebabkan tambahan kenaikan harga. Lima fenomena tersebut bukanlah fenomena musiman, tapi itu fenomena jangka panjang. Bukan perubahan musim tapi perubahan era atau zaman. Zaman excess supply ke zaman excess demand. Zaman harga pangan murah ke zaman harga pangan mahal. Bagaimana solusinya? Usaha pemerintah mengurangi pajak impor adalah salah satu solusi yang benar untuk sementara. Selain itu, para konsumen harus dibantu agar dapat melakukan diversifikasi pangan ke arah bahan makanan yang harganya lebih murah dan berasal dari dalam negeri. Dan kebijakan raskin perlu diteruskan untuk membantu konsumen dengan pendapatan rendah. Di samping itu, para petani harus dibantu agar lebih cepat lagi dalam peningkatan produksi dan produktivitas pangan, dan tekad swasembada untuk bahan pangan pokok harus diperkuat. Dan swasembada dimaksud tidak hanya mampu meme-
26
Suara Agribisnis
nuhi kebutuhan sendiri, melainkan juga dapat mengekspor pangan strategis tersebut. Beberapa solusi harus kita lakukan segera saat ini secara bersamaan. Pertama, kemandirian pangan strategis supaya tidak tergantung negara lain yang dapat mengubah kebijakan sesuai kebutuhan mereka. Kita ini negara besar, jika negara lain mengubah kebijakannya dan kita sudah sempat tergantung, maka kita akan sulit membuat penyesuaian. Sekali lagi saya tekankan, hal ini harus menyadarkan kita tentang pentingnya kemandirian pangan. Untuk makanan pokok, kita tidak boleh tergantung pada orang lain. Kedua, kebijakan proteksi dan promosi yang telah kita terapkan sejak 2000 masih relevan dilanjutkan meskipun untuk sementara kebijakan proteksi dikurangi sebagai usaha penyesuaian bagi konsumen agar mereka tidak terlalu menderita. Namun usaha peningkatan produksi dan produktivitas melalui kebijakan promosi harus lebih digalakkan. Produksi dan produktivitas dapat ditingkatkan dengan cara aplikasi teknologi paling mutakhir, perbaikan infrastruktur transportasi dan irigasi, memperlancar perdagangan, perbaikan SDM, pendidikan petani melalui penyuluhan-penyuluhan, kelembagaan pertanian, dan organisasi petani dan pelaku dunia usaha agribisnis. Apa solusi selanjutnya? Ketiga, berkaitan dengan kemandirian pangan dan swasembada pangan, maka desentralisasi dan privatisasi kebijakan pertanian dan pangan kita menjadi lebih penting. Kita harus memanfaatkan budaya pangan lokal sebagai upaya diversifikasi pangan. Kita harus memanfaatkan iklim lokal untuk tujuan produksi yang menyesuaikan diri dengan spesifikasi lokal. Kita harus memberikan iklim usaha yang lebih kondusif agar petani dan dunia usaha dapat bekerja lebih efisien dan efektif. Keempat, koordinasi antarinstansi di pusat, antarinstansi pusat dan daerah perlu ditingkatkan dalam rangka implementasi kebijakan proteksi dan promosi. Untuk ini Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dari pusat sampai ke daerah perlu diaktifkan dan diperkuat. Sewaktu excess supply terjadi, masalah pangan kita adalah bagaimana membantu petani, maka leadership untuk ketahanan pangan diharapkan datang dari pertanian (Departemen Pertanian). Tapi sekarang masalah yang kita hadapi adalah bagaimana membantu konsumen, maka leadership yang kita butuhkan barangkali berpindah ke Departemen Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian, atau Departemen Sosial. Usaha untuk membantu petani sekarang menjadi jauh lebih mudah dibandingkan pada waktu yang lalu. Usaha membantu petani sebagai produsen jauh lebih mudah dibandingkan membantu konsumen pada saat ini. Jika semua ini berjalan dengan lancar, maka saya yakin dalam jangka menengah dan panjang di dalam negeri kita bisa menyesuaikan diri dengan baik terhadap akibat negatif dari excess demand global tersebut.***
Suara Agribisnis
27
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 26
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
20 Februari – 4 Maret 2008
Era Pangan Murah Sudah Berlalu “ERA PANGAN MURAH GLOBAL sudah berlalu paling sedikit untuk sementara yang jangkanya tidaklah pendek. Solusinya, di dalam negeri kita harus mampu swasembada pangan strategis,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004 saat diwawancarai AGRINA. Apakah hal ini kelanjutan dari yang telah Profesor sampaikan pada AGRINA No. 71 yang lalu? Ya. Saya ingin menyampaikan solusinya secara komprehensif. Namun sebelumnya saya ingin sampaikan lagi faktor yang menyebabkan terjadinya tekanan permintaan terhadap pangan sehingga harganya meningkat. Pertama, prestasi pertumbuhan ekonomi China dan India yang konsisten menyebabkan peningkatan permintaan pangannya naik secara signifikan. Kedua, harga minyak bumi yang telah beranjak naik sejak 1970an meningkat lagi secara nyata pada akhir 1990-an. Ketiga, bioenergi. Perkembangan bioenergi mengakibatkan kompetisi antara energi dengan pangan dan pakan. Keempat, penduduk dunia yang terus bertambah juga menyebabkan excess demand. Dan kelima, global warming. Global warming sudah mengakibatkan kegagalan panen di mana-mana, baik karena kekeringan maupun banjir dan bencana alam lain. Keempat hal tersebut, kecuali global warming, menyebabkan permintaan dunia untuk produk pertanian dan pangan bertumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan suplai. Ini berakibat terjadinya excess demand yang menyebabkan harga produk pertanian dan pangan meningkat secara global. Faktor kelima, kendati pun tidak berakibat pada excess demand, tapi pada waktu-waktu tertentu dapat mengurangi penawaran yang pada akhirnya menyebabkan tambahan kenaikan harga. Lima fenomena tersebut bukanlah fenomena musiman, tapi itu fenomena jangka panjang. Bukan perubahan musim tapi perubahan era atau zaman. Zaman excess supply ke zaman excess demand. Zaman harga pangan murah ke zaman harga pangan mahal. Bagaimana solusinya? Usaha pemerintah mengurangi pajak impor adalah salah satu solusi yang benar untuk sementara. Selain itu, para konsumen harus dibantu agar dapat melakukan diversifikasi pangan ke arah bahan makanan yang harganya lebih murah dan berasal dari dalam negeri. Dan kebijakan raskin perlu diteruskan untuk membantu konsumen dengan pendapatan rendah. Di samping itu, para petani harus dibantu agar lebih cepat lagi dalam peningkatan produksi dan produktivitas pangan, dan tekad swasembada untuk bahan pangan pokok harus diperkuat. Dan swasembada dimaksud tidak hanya mampu meme-
26
Suara Agribisnis
nuhi kebutuhan sendiri, melainkan juga dapat mengekspor pangan strategis tersebut. Beberapa solusi harus kita lakukan segera saat ini secara bersamaan. Pertama, kemandirian pangan strategis supaya tidak tergantung negara lain yang dapat mengubah kebijakan sesuai kebutuhan mereka. Kita ini negara besar, jika negara lain mengubah kebijakannya dan kita sudah sempat tergantung, maka kita akan sulit membuat penyesuaian. Sekali lagi saya tekankan, hal ini harus menyadarkan kita tentang pentingnya kemandirian pangan. Untuk makanan pokok, kita tidak boleh tergantung pada orang lain. Kedua, kebijakan proteksi dan promosi yang telah kita terapkan sejak 2000 masih relevan dilanjutkan meskipun untuk sementara kebijakan proteksi dikurangi sebagai usaha penyesuaian bagi konsumen agar mereka tidak terlalu menderita. Namun usaha peningkatan produksi dan produktivitas melalui kebijakan promosi harus lebih digalakkan. Produksi dan produktivitas dapat ditingkatkan dengan cara aplikasi teknologi paling mutakhir, perbaikan infrastruktur transportasi dan irigasi, memperlancar perdagangan, perbaikan SDM, pendidikan petani melalui penyuluhan-penyuluhan, kelembagaan pertanian, dan organisasi petani dan pelaku dunia usaha agribisnis. Apa solusi selanjutnya? Ketiga, berkaitan dengan kemandirian pangan dan swasembada pangan, maka desentralisasi dan privatisasi kebijakan pertanian dan pangan kita menjadi lebih penting. Kita harus memanfaatkan budaya pangan lokal sebagai upaya diversifikasi pangan. Kita harus memanfaatkan iklim lokal untuk tujuan produksi yang menyesuaikan diri dengan spesifikasi lokal. Kita harus memberikan iklim usaha yang lebih kondusif agar petani dan dunia usaha dapat bekerja lebih efisien dan efektif. Keempat, koordinasi antarinstansi di pusat, antarinstansi pusat dan daerah perlu ditingkatkan dalam rangka implementasi kebijakan proteksi dan promosi. Untuk ini Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dari pusat sampai ke daerah perlu diaktifkan dan diperkuat. Sewaktu excess supply terjadi, masalah pangan kita adalah bagaimana membantu petani, maka leadership untuk ketahanan pangan diharapkan datang dari pertanian (Departemen Pertanian). Tapi sekarang masalah yang kita hadapi adalah bagaimana membantu konsumen, maka leadership yang kita butuhkan barangkali berpindah ke Departemen Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian, atau Departemen Sosial. Usaha untuk membantu petani sekarang menjadi jauh lebih mudah dibandingkan pada waktu yang lalu. Usaha membantu petani sebagai produsen jauh lebih mudah dibandingkan membantu konsumen pada saat ini. Jika semua ini berjalan dengan lancar, maka saya yakin dalam jangka menengah dan panjang di dalam negeri kita bisa menyesuaikan diri dengan baik terhadap akibat negatif dari excess demand global tersebut.***
Suara Agribisnis
27
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 28
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
19 Maret – 1 April 2008
Perlu Tekad mengatasi Masalah Pangan “MEMANG ADA MASALAH BESAR dengan ketahanan pangan kita, khususnya pangan strategis, seperti beras, jagung, tebu, dan gula. Kedelai hanyalah pemicu yang membuat kita terkejut dan sadar,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA. Mengapa kita terkejut? Apakah kejadian tersebut terjadi secara tiba-tiba? Kita sebagai bangsa, khususnya pemerintah, tidak proaktif mengantisipasi tren perubahan yang telah terjadi beberapa tahun terakhir. Yaitu bergesernya excess supply (kelebihan penawaran) menjadi excess demand (kelebihan permintaan) terhadap produksi pangan secara global. Dan sekarang dampak perubahan itu telah terjadi. Harga pangan membubung tinggi dan konsumen menjerit di mana-mana. Jika konsumen beras, jagung, dan gula terorganisir dengan baik, dampaknya akan fatal dibandingkan demontrasi konsumen antara kedelai, yaitu para perajin tahu dan tempe. Ingat, kita punya 40 juta masyarakat miskin! Sebagian besar pendapatan mereka dibelanjakan untuk beras, gandum, jagung, gula, minyak goreng, dan kedelai. Saya tidak menakut-nakuti, tapi saya ingin menyadarkan bangsa ini bahwa kita punya problem serius dalam ketahanan pangan. Masalah ketahanan pangan kita ini bukanlah masalah jangka pendek. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa, khususnya pemerintah, harus punya strategi jangka panjang untuk mengatasi masalah pangan tersebut. Sementara strategi jangka pendeknya cukup melakukan upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dalam negeri sendiri. Dari upaya-upaya tersebut kita bertujuan mewujudkan ketahanan pangan yang kuat dengan sasaran antara swasembada beras yang berkelanjutan. Swasembada beras sebagai sasaran antara menuju ketahanan pangan, apakah kita mampu untuk itu? Tergantung bagaimana kita menanganinya. Jika ditangani secara tepat, sekalipun ada kelangkaan secara global dapat kita buat surplus. Jangankan kedelai yang kita impor hanya 1 juta ton lebih, impor beras yang 5 juta ton bisa kita buat tidak impor. Memang itu membutuhkan waktu, dari mengimpor 5 juta ton sampai tidak mengimpor beras kita butuh waktu 4 tahun. Jadi pada 2004 kita telah mencatat prestasi swasembada beras. Jika kurang percaya dengan data produksi yang tersedia, kita dapat dibuktikan dari fenomena harga ratarata beras nasional. Sekalipun impor beras kita larang pada 2004, harga beras di dalam negeri tidak naik. Itu berarti persediaan beras dalam negeri pada kondisi cukup.
28
Suara Agribisnis
Sebenarnya dimana kesalahan pembangunan pertanian kita? Sekarang ini saya lihat pembangunan pertanian itu seolah-olah hanya oleh pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, dan yang diperjuangkan adalah budget in yang bertambah besar. Budget for tidak dipedulikan. Dengan kata lain, anggaran di departemen yang diperjuangkan, sedangkan anggaran untuk pembangunan pertanian diabaikan. Padahal budget in itu hanya bisa melayani 30% dari pembangunan pertanian, tepatnya pembangunan sistem agribisnis, dan yang 70% lagi tidak tahu dikelola siapa. Di situlah salahnya. Selain itu, belum kelihatan ada konsep yang komprehensif untuk mengatasi excess demand. Masih ditangani secara sporadis seperti kebakaran jenggot. Sebelumnya tidak pernah ada yang bicara tentang sejuta hektar kedelai, sekarang di mana-mana pejabat ngomong hal tersebut. Di mana kita bisa dapat lahan sejuta hektar untuk kedelai dalam waktu singkat? Sebaiknya kita berpikir secara tenang dan smart sehingga memperoleh solusi yang tepat mengatasinya. Bagaimana solusi mengatasi tingginya permintaan akan pangan ini? Pertama, harus ada tekad yang kuat secara nasional, mulai dari pemerintah, pengusaha, sampai petani. Tidak cukup tekad yang kuat dari pemerintah saja, sebab pembangunan sistem agribisnis bukan hanya tanggung jawab pemerintah tapi tugas dan tanggung jawab seluruh masyarakat. Yang membangun siatem agribisnis itu adalah petani dan pengusaha, sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi dan memberikan kemudahan kepada petani dan pengusaha. Jadi, harus ada tekad yang kuat. Selanjutnya, harus ada organisasi untuk mewujudkan tekad tersebut karena dengan Deptan saja tidak cukup, sehingga dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP). DKP diketuai oleh Presiden dan waktu itu Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian karena kita dalam kondisi excess supply sehingga perlu banyak membantu petani. Tapi sekarang dalam kondisi excess demand yang perlu dibantu adalah konsumen sehingga Ketua Harian DKP saat ini lebih tepat dijabat oleh Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Kesehatan, atau Menteri Sosial. Kedua, kebijakan proteksi dan promosi yang telah kita terapkan sejak 2000 masih relevan dilanjutkan meskipun untuk sementara kebijakan proteksi dikurangi sebagai usaha penyesuaian bagi konsumen agar mereka tidak terlalu menderita. Namun usaha peningkatan produksi dan produktivitas melalui kebijakan promosi harus lebih digalakkan. Produksi dan produktivitas dapat ditingkatkan dengan cara aplikasi teknologi paling mutakhir, perbaikan infrastruktur transportasi dan irigasi, memperlancar perdagangan, perbaikan SDM, pendidikan petani, penguatan kelembagaan sistem agribisnis, dan pengefektifan organisasi petani dan pelaku dunia usaha agribisnis.***
Suara Agribisnis
29
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 28
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
19 Maret – 1 April 2008
Perlu Tekad mengatasi Masalah Pangan “MEMANG ADA MASALAH BESAR dengan ketahanan pangan kita, khususnya pangan strategis, seperti beras, jagung, tebu, dan gula. Kedelai hanyalah pemicu yang membuat kita terkejut dan sadar,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA. Mengapa kita terkejut? Apakah kejadian tersebut terjadi secara tiba-tiba? Kita sebagai bangsa, khususnya pemerintah, tidak proaktif mengantisipasi tren perubahan yang telah terjadi beberapa tahun terakhir. Yaitu bergesernya excess supply (kelebihan penawaran) menjadi excess demand (kelebihan permintaan) terhadap produksi pangan secara global. Dan sekarang dampak perubahan itu telah terjadi. Harga pangan membubung tinggi dan konsumen menjerit di mana-mana. Jika konsumen beras, jagung, dan gula terorganisir dengan baik, dampaknya akan fatal dibandingkan demontrasi konsumen antara kedelai, yaitu para perajin tahu dan tempe. Ingat, kita punya 40 juta masyarakat miskin! Sebagian besar pendapatan mereka dibelanjakan untuk beras, gandum, jagung, gula, minyak goreng, dan kedelai. Saya tidak menakut-nakuti, tapi saya ingin menyadarkan bangsa ini bahwa kita punya problem serius dalam ketahanan pangan. Masalah ketahanan pangan kita ini bukanlah masalah jangka pendek. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa, khususnya pemerintah, harus punya strategi jangka panjang untuk mengatasi masalah pangan tersebut. Sementara strategi jangka pendeknya cukup melakukan upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dalam negeri sendiri. Dari upaya-upaya tersebut kita bertujuan mewujudkan ketahanan pangan yang kuat dengan sasaran antara swasembada beras yang berkelanjutan. Swasembada beras sebagai sasaran antara menuju ketahanan pangan, apakah kita mampu untuk itu? Tergantung bagaimana kita menanganinya. Jika ditangani secara tepat, sekalipun ada kelangkaan secara global dapat kita buat surplus. Jangankan kedelai yang kita impor hanya 1 juta ton lebih, impor beras yang 5 juta ton bisa kita buat tidak impor. Memang itu membutuhkan waktu, dari mengimpor 5 juta ton sampai tidak mengimpor beras kita butuh waktu 4 tahun. Jadi pada 2004 kita telah mencatat prestasi swasembada beras. Jika kurang percaya dengan data produksi yang tersedia, kita dapat dibuktikan dari fenomena harga ratarata beras nasional. Sekalipun impor beras kita larang pada 2004, harga beras di dalam negeri tidak naik. Itu berarti persediaan beras dalam negeri pada kondisi cukup.
28
Suara Agribisnis
Sebenarnya dimana kesalahan pembangunan pertanian kita? Sekarang ini saya lihat pembangunan pertanian itu seolah-olah hanya oleh pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, dan yang diperjuangkan adalah budget in yang bertambah besar. Budget for tidak dipedulikan. Dengan kata lain, anggaran di departemen yang diperjuangkan, sedangkan anggaran untuk pembangunan pertanian diabaikan. Padahal budget in itu hanya bisa melayani 30% dari pembangunan pertanian, tepatnya pembangunan sistem agribisnis, dan yang 70% lagi tidak tahu dikelola siapa. Di situlah salahnya. Selain itu, belum kelihatan ada konsep yang komprehensif untuk mengatasi excess demand. Masih ditangani secara sporadis seperti kebakaran jenggot. Sebelumnya tidak pernah ada yang bicara tentang sejuta hektar kedelai, sekarang di mana-mana pejabat ngomong hal tersebut. Di mana kita bisa dapat lahan sejuta hektar untuk kedelai dalam waktu singkat? Sebaiknya kita berpikir secara tenang dan smart sehingga memperoleh solusi yang tepat mengatasinya. Bagaimana solusi mengatasi tingginya permintaan akan pangan ini? Pertama, harus ada tekad yang kuat secara nasional, mulai dari pemerintah, pengusaha, sampai petani. Tidak cukup tekad yang kuat dari pemerintah saja, sebab pembangunan sistem agribisnis bukan hanya tanggung jawab pemerintah tapi tugas dan tanggung jawab seluruh masyarakat. Yang membangun siatem agribisnis itu adalah petani dan pengusaha, sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi dan memberikan kemudahan kepada petani dan pengusaha. Jadi, harus ada tekad yang kuat. Selanjutnya, harus ada organisasi untuk mewujudkan tekad tersebut karena dengan Deptan saja tidak cukup, sehingga dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP). DKP diketuai oleh Presiden dan waktu itu Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian karena kita dalam kondisi excess supply sehingga perlu banyak membantu petani. Tapi sekarang dalam kondisi excess demand yang perlu dibantu adalah konsumen sehingga Ketua Harian DKP saat ini lebih tepat dijabat oleh Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Kesehatan, atau Menteri Sosial. Kedua, kebijakan proteksi dan promosi yang telah kita terapkan sejak 2000 masih relevan dilanjutkan meskipun untuk sementara kebijakan proteksi dikurangi sebagai usaha penyesuaian bagi konsumen agar mereka tidak terlalu menderita. Namun usaha peningkatan produksi dan produktivitas melalui kebijakan promosi harus lebih digalakkan. Produksi dan produktivitas dapat ditingkatkan dengan cara aplikasi teknologi paling mutakhir, perbaikan infrastruktur transportasi dan irigasi, memperlancar perdagangan, perbaikan SDM, pendidikan petani, penguatan kelembagaan sistem agribisnis, dan pengefektifan organisasi petani dan pelaku dunia usaha agribisnis.***
Suara Agribisnis
29
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 30
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
7 – 20 Januari 2009
Strategi Pangan Berkelanjutan di Asia “MANUSIA BUTUH MAKAN SETIAP HARI. Namun alam memberikan hasil panen di tempat dan waktu tertentu. Semua usaha pertanian dan manusia di Asia terus berusaha menghadapi masalah ini sehingga membutuhkan perhatian penuh sampai nanti,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Bagaimana kita melihat produksi beras di Asia? Pertama, mengenai geografi dan iklim. Di Asia dijumpai satu lahan luas di bagian utara khatulistiwa, terdapat area pegunungan, dataran yang luas, dan sungai. Kondisi ini cocok untuk memproduksi beras dalam skala besar dengan irigasi dan mekanisasi yang memadai. Bagian selatan khatulistiwa kita menemukan kepulauan besar, Filipina dan Indonesia, serta benua Australia sampai ke selatan. Kepulauan tersebut terdiri dari gunung berapi dengan areal relatif kecil untuk dapat memproduksi beras. Negara-negara di bagian utara khatulistiwa mempunyai kesempatan yang bagus dalam hal lahan serta suplai air untuk memproduksi beras. Kecuali Jepang yang mempunyai daerah vulkanik yang luas, dan Bangladesh yang terlalu sering mengalami banjir. Negara-negara lainnya mempunyai dataran rendah dan menengah yang luas. Untuk menghasilkan gambaran secara menyeluruh kita harus melihat waktu panen. Di wilayah utara angin musim bergerak dari barat ke timur, lalu kembali lagi. Hal ini menentukan waktu panen. Saat Asia bagian utara khatulistiwa panen, Asia di bagian selatan ekuator tidak panen, demikian sebaliknya. Bagaimana kondisi perdagangan beras di Asia? Ekonomi perberasan di Asia mendekati sebuah ekonomi regional “alamiah”. Dalam kenyataannya selama berabad-abad, setiap musim panen di suatu daerah di Asia akan menghasilkan aliran perdagangan. Hal itu disebab pasar beras internasional terlalu kecil dibandingkan total konsumsi. Selama bertahun-tahun, pasar beras internasional hanya sekitar 4%—5% dari total konsumsi, dan berkembang menjadi 7%—8%, sehingga perdagangan beras bukan lagi merupakan bisnis yang “tidur”. Perubahan iklim dan suplai air memberikan ekstra tekanan dalam sistem ini. Akhirakhir ini penelitian yang dilakukan CAPSA di tujuh negara memperlihatkan variasi hasil panen di tingkat lokal, dan produksi meningkat secara dramatis pada tahun-tahun terjadi El Nino, dan pengaruhnya meluas sampai Malaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh dan Vietnam, di samping negara-negara lain yang secara tradisional telah terpengaruh El Nino seperti Filipina dan Indonesia. Bagaimana kaitan antara produksi dan konsumsi masing-masing negara?
30
Suara Agribisnis
Kawasan Asia mempunyai variasi yang unik dalam ekonomi. Jepang yang telah maju, macan ekonomi, lentur, dan cakap. Raksasa ekonomi yang sedang muncul, yaitu China dan India. Negara berkembang berorientasi ekspor, seperti Vietnam. Negara dengan fase stagnasi panjang dan menjanjikan dalam jangka panjang, seperti Indonesia, Filipina, dan Sri Lanka. Negara berpenduduk padat Bangladesh. Negara dengan lahan tertutup seperti Laos, dan yang sedang memulihkan ekonominya seperti Kamboja. Dan negara-negara Asia tengah yang baru terbentuk. Serta tidak lupa negara Pasifik, seperti Australia dan Selandia Baru. Di antara negara-negara ini ada tiga negara yang bergantung pada impor beras, yaitu Indonesia, Filipina, dan Bangladeshh. Indonesia, satu-satunya negara yang memproduksi dan mengonsumsi beras dalam jumlah besar. Namun musim menjadi karunia karena saat Indonesia membutuhkan beras, negara-negara di bagian utara khatulistiwa sedang panen. Hal ini berarti saat panen padi di Indonesia, negara-negara di bagian utara khatulistiwa sedang musim kering. Filipina yang sama posisinya seperti Indonesia bervariasi dalam hal musim. Filipina menghadapi keterbatasan lahan dibandingkan Indonesia, dan juga lebih banyak perkotaan daripada Bangladeshh dan Indonesia. Bangladesh didominasi oleh dataran rendah dan menengah pada delta sungai terbesar di dunia, Sungai Gangga dan Brahmaputra, yang menjadi langganan banjir tak tertandingi di dunia. Jadi, lebih dari Indonesia dan Filipina, lahan menjadi kendala tetap bagi Bangladeshh. Bagaimana dengan perkembangan lahan untuk padi dan produktivitasnya? Luas area meningkat secara substansial mulai 1960-an sampai 1990-an di Bangladesh dan Indonesia, dan sedikit di Filipina. Saat ini hanya sedikit peningkatan di Indonesia dan Filipina, sementara Bangladesh pertumbuhannya stagnan. Produktivitas telah meningkat, Indonesia telah mencapai 4 ton per ha pada 1980-an. Di Bangladesh dan Filipina stagnan pada level yang lebih rendah. Di Indonesia dan Bangladesh produksi saat ini hanya meningkat sedikit, serta Filipina akhir-akhir ini meningkat pertumbuhan produksinya meskipun berjalan lambat. Produktivitas menjadi satu-satunya sumber kenaikan produksi. Masih banyak potensi kenaikan hasil. Di Jawa sebagai contoh, produktivitas padi sekitar 6 ton per ha bahkan ada yang lebih tinggi. Semua itu tidak terlepas dari sukses revolusi hijau. Harus diakui, revolusi hijau pada dasarnya adalah pertemuan antara potensi teknis dari varietas padi yang telah dikembangkan dengan investasi masyarakat dalam skala besar. Namun di negara yang kebutuhan kalori penduduknya sangat tergantung pada beras dan sumber daya lahan terus berkurang, maka secara politik sangat beralasan apabila beras menjadi komoditas politis. Ini terjadi di Bangladesh, Filipina, dan Indonesia. *** Bagaimana menyangkut kebijakan dan politik di berbagai negara secara terinci? Indonesia melindungi petani padi melalui pajak impor sebesar Rp430 per kg dan Suara Agribisnis
31
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 30
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
7 – 20 Januari 2009
Strategi Pangan Berkelanjutan di Asia “MANUSIA BUTUH MAKAN SETIAP HARI. Namun alam memberikan hasil panen di tempat dan waktu tertentu. Semua usaha pertanian dan manusia di Asia terus berusaha menghadapi masalah ini sehingga membutuhkan perhatian penuh sampai nanti,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA. Bagaimana kita melihat produksi beras di Asia? Pertama, mengenai geografi dan iklim. Di Asia dijumpai satu lahan luas di bagian utara khatulistiwa, terdapat area pegunungan, dataran yang luas, dan sungai. Kondisi ini cocok untuk memproduksi beras dalam skala besar dengan irigasi dan mekanisasi yang memadai. Bagian selatan khatulistiwa kita menemukan kepulauan besar, Filipina dan Indonesia, serta benua Australia sampai ke selatan. Kepulauan tersebut terdiri dari gunung berapi dengan areal relatif kecil untuk dapat memproduksi beras. Negara-negara di bagian utara khatulistiwa mempunyai kesempatan yang bagus dalam hal lahan serta suplai air untuk memproduksi beras. Kecuali Jepang yang mempunyai daerah vulkanik yang luas, dan Bangladesh yang terlalu sering mengalami banjir. Negara-negara lainnya mempunyai dataran rendah dan menengah yang luas. Untuk menghasilkan gambaran secara menyeluruh kita harus melihat waktu panen. Di wilayah utara angin musim bergerak dari barat ke timur, lalu kembali lagi. Hal ini menentukan waktu panen. Saat Asia bagian utara khatulistiwa panen, Asia di bagian selatan ekuator tidak panen, demikian sebaliknya. Bagaimana kondisi perdagangan beras di Asia? Ekonomi perberasan di Asia mendekati sebuah ekonomi regional “alamiah”. Dalam kenyataannya selama berabad-abad, setiap musim panen di suatu daerah di Asia akan menghasilkan aliran perdagangan. Hal itu disebab pasar beras internasional terlalu kecil dibandingkan total konsumsi. Selama bertahun-tahun, pasar beras internasional hanya sekitar 4%—5% dari total konsumsi, dan berkembang menjadi 7%—8%, sehingga perdagangan beras bukan lagi merupakan bisnis yang “tidur”. Perubahan iklim dan suplai air memberikan ekstra tekanan dalam sistem ini. Akhirakhir ini penelitian yang dilakukan CAPSA di tujuh negara memperlihatkan variasi hasil panen di tingkat lokal, dan produksi meningkat secara dramatis pada tahun-tahun terjadi El Nino, dan pengaruhnya meluas sampai Malaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh dan Vietnam, di samping negara-negara lain yang secara tradisional telah terpengaruh El Nino seperti Filipina dan Indonesia. Bagaimana kaitan antara produksi dan konsumsi masing-masing negara?
30
Suara Agribisnis
Kawasan Asia mempunyai variasi yang unik dalam ekonomi. Jepang yang telah maju, macan ekonomi, lentur, dan cakap. Raksasa ekonomi yang sedang muncul, yaitu China dan India. Negara berkembang berorientasi ekspor, seperti Vietnam. Negara dengan fase stagnasi panjang dan menjanjikan dalam jangka panjang, seperti Indonesia, Filipina, dan Sri Lanka. Negara berpenduduk padat Bangladesh. Negara dengan lahan tertutup seperti Laos, dan yang sedang memulihkan ekonominya seperti Kamboja. Dan negara-negara Asia tengah yang baru terbentuk. Serta tidak lupa negara Pasifik, seperti Australia dan Selandia Baru. Di antara negara-negara ini ada tiga negara yang bergantung pada impor beras, yaitu Indonesia, Filipina, dan Bangladeshh. Indonesia, satu-satunya negara yang memproduksi dan mengonsumsi beras dalam jumlah besar. Namun musim menjadi karunia karena saat Indonesia membutuhkan beras, negara-negara di bagian utara khatulistiwa sedang panen. Hal ini berarti saat panen padi di Indonesia, negara-negara di bagian utara khatulistiwa sedang musim kering. Filipina yang sama posisinya seperti Indonesia bervariasi dalam hal musim. Filipina menghadapi keterbatasan lahan dibandingkan Indonesia, dan juga lebih banyak perkotaan daripada Bangladeshh dan Indonesia. Bangladesh didominasi oleh dataran rendah dan menengah pada delta sungai terbesar di dunia, Sungai Gangga dan Brahmaputra, yang menjadi langganan banjir tak tertandingi di dunia. Jadi, lebih dari Indonesia dan Filipina, lahan menjadi kendala tetap bagi Bangladeshh. Bagaimana dengan perkembangan lahan untuk padi dan produktivitasnya? Luas area meningkat secara substansial mulai 1960-an sampai 1990-an di Bangladesh dan Indonesia, dan sedikit di Filipina. Saat ini hanya sedikit peningkatan di Indonesia dan Filipina, sementara Bangladesh pertumbuhannya stagnan. Produktivitas telah meningkat, Indonesia telah mencapai 4 ton per ha pada 1980-an. Di Bangladesh dan Filipina stagnan pada level yang lebih rendah. Di Indonesia dan Bangladesh produksi saat ini hanya meningkat sedikit, serta Filipina akhir-akhir ini meningkat pertumbuhan produksinya meskipun berjalan lambat. Produktivitas menjadi satu-satunya sumber kenaikan produksi. Masih banyak potensi kenaikan hasil. Di Jawa sebagai contoh, produktivitas padi sekitar 6 ton per ha bahkan ada yang lebih tinggi. Semua itu tidak terlepas dari sukses revolusi hijau. Harus diakui, revolusi hijau pada dasarnya adalah pertemuan antara potensi teknis dari varietas padi yang telah dikembangkan dengan investasi masyarakat dalam skala besar. Namun di negara yang kebutuhan kalori penduduknya sangat tergantung pada beras dan sumber daya lahan terus berkurang, maka secara politik sangat beralasan apabila beras menjadi komoditas politis. Ini terjadi di Bangladesh, Filipina, dan Indonesia. *** Bagaimana menyangkut kebijakan dan politik di berbagai negara secara terinci? Indonesia melindungi petani padi melalui pajak impor sebesar Rp430 per kg dan Suara Agribisnis
31
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 32
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
menetapkan harga beras dalam negeri lebih tinggi dibanding harga pasar dunia. Filipina dan Indonesia mempunyai sistem pembelian dan distribusi secara nasional, yaitu BULOG di Indonesia dan National Food Authority di Filipina. Di Bangladesh, The National Trading Corporation juga telah melakukannya dan masih berpartisipasi dalam perdagangan. Indonesia mempengaruhi harga domestik pada level petani melalui harga pembelian, pembelian secara lokal, dan sistem distribusi yang dikoordinasi oleh Badan Ketahanan Pangan. Alokasi untuk riset sekitar 1% dari GDP pertanian di Bangladesh, sedangkan Indonesia di bawah 0,1%. Investasi untuk irigasi di Indonesia secara serius sangat kurang dan tidaklah mungkin mengambil 30% dari total bujet pemerintah untuk rehabilitasi sistem irigasi. Situasi yang sama juga dijumpai di Filipina. Hal ini diperlukan upaya jangka panjang bukan saja dari orang-orang yang bekerja pada riset pertanian, tetapi diperlukan kerjasama pemerintahan pusat dan pemda, swasta, serta masyarakat. Dapat dikatakan bahwa negara-negara Asia menjadi korban dari awal kesuksesannya dalam peningkatan hasil panen dan produksi. Kepuasan, ketidakpedulian telah mendominasi, dan alokasi bujet untuk pertanian secara nasional diabaikan. Sementara Bank Dunia yang mempunyai banyak sumber dana telah mengabaikan pertanian. Namun Bank Dunia, setelah 27 tahun, menyatakan, pada 2008 perkembangan dunia ke arah pertanian. Mungkin hal tersebut disebabkan krisis harga pangan yang melanda dunia. Mengapa bisa terjadi lonjakan harga beras pada 2008? Lonjakan harga beras terjadi karena adanya permintaan yang lebih besar secara regional. Namun peningkatan menjadi lonjakan harga karena masing-masing negara hanya memikirkan kepentingan negerinya sendiri. Sebagai contoh, India dan Vietnam sebagai eksportir tiba-tiba melarang ekspor beras. Lalu Filipina melakukan tender terbuka dalam suasana kepanikan kekurangan beras. Akibatnya, harga beras dalam tempo beberapa bulan pun melonjak dari sekitar US$ 400 per ton menjadi US$1.000. Hal ini menimbulkan kecemasan yang luar biasa di seluruh Asia, teristimewa negara-negara pengimpor beras. Lonjakan ini juga diperparah karena adanya unsur spekulasi dari para pedagang. Tapi pada intinya adalah kurangnya kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan para pengusaha di Asia ditambah dengan tidak tersedianya data yang akurat dan terpercaya bagi pengambil keputusan. Bagaimana upaya bersama untuk menanggulangi lonjakan harga beras tersebut pada masa yang akan datang? Harga ditentukan oleh suplai dan demand. Karena itu, agar harga jangan bergejolak, harus ada usaha untuk bisa mengontrol kekuatan suplai dan demand, khususnya kekuatan suplai. Selain itu, pengalaman 2008 menunjukkan, kebijakan yang tidak terkoordinasi bisa menimbulkan kepanikan dan juga menimbulkan krisis harga. Beberapa upaya bersama yang dapat dilakukan. Pertama, mengembangkan suatu stok beras regional Asia. Barangkali ide ini cukup menarik buat negara-negara pengimpor tetapi tidak cukup menarik bagi negara-negara pengekspor beras. Jadi, ide itu walaupun tampaknya bagus sangat sulit untuk merealisasikannya.
32
Suara Agribisnis
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Kedua, usaha yang lebih realistis adalah melakukan koordinasi yang lebih baik antara negara-negara di Asia yang didasarkan pada data yang akurat mengenai keadaan produksi dan konsumsi. Dengan demikian bisa mengurangi kesalahan prediksi dari pengambilan keputusan dan mengurangi adanya spekulator yang memanfaatkan informasi yang tidak akurat. Ketiga, kerjasama penelitian untuk meningkatkan produksi dan produktivitas antara negara-negara di Asia masih perlu dikembangkan. Dengan demikian kemampuan produksi regional bertambah. Dan keempat, perhatian negara-negara di Asia dan juga organisasi internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia sudah sangat berkurang untuk pertanian khususnya pembangunan infrastrukturnya. Untuk mencegah krisis pada masa yang akan datang, negara-negara di Asia dengan bantuan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia dapat mengalokasi bujet yang lebih besar untuk pembangunan pertanian, khususnya mengalokasikan bujet yang lebih besar untuk beras. ***
Suara Agribisnis
33
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 32
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
menetapkan harga beras dalam negeri lebih tinggi dibanding harga pasar dunia. Filipina dan Indonesia mempunyai sistem pembelian dan distribusi secara nasional, yaitu BULOG di Indonesia dan National Food Authority di Filipina. Di Bangladesh, The National Trading Corporation juga telah melakukannya dan masih berpartisipasi dalam perdagangan. Indonesia mempengaruhi harga domestik pada level petani melalui harga pembelian, pembelian secara lokal, dan sistem distribusi yang dikoordinasi oleh Badan Ketahanan Pangan. Alokasi untuk riset sekitar 1% dari GDP pertanian di Bangladesh, sedangkan Indonesia di bawah 0,1%. Investasi untuk irigasi di Indonesia secara serius sangat kurang dan tidaklah mungkin mengambil 30% dari total bujet pemerintah untuk rehabilitasi sistem irigasi. Situasi yang sama juga dijumpai di Filipina. Hal ini diperlukan upaya jangka panjang bukan saja dari orang-orang yang bekerja pada riset pertanian, tetapi diperlukan kerjasama pemerintahan pusat dan pemda, swasta, serta masyarakat. Dapat dikatakan bahwa negara-negara Asia menjadi korban dari awal kesuksesannya dalam peningkatan hasil panen dan produksi. Kepuasan, ketidakpedulian telah mendominasi, dan alokasi bujet untuk pertanian secara nasional diabaikan. Sementara Bank Dunia yang mempunyai banyak sumber dana telah mengabaikan pertanian. Namun Bank Dunia, setelah 27 tahun, menyatakan, pada 2008 perkembangan dunia ke arah pertanian. Mungkin hal tersebut disebabkan krisis harga pangan yang melanda dunia. Mengapa bisa terjadi lonjakan harga beras pada 2008? Lonjakan harga beras terjadi karena adanya permintaan yang lebih besar secara regional. Namun peningkatan menjadi lonjakan harga karena masing-masing negara hanya memikirkan kepentingan negerinya sendiri. Sebagai contoh, India dan Vietnam sebagai eksportir tiba-tiba melarang ekspor beras. Lalu Filipina melakukan tender terbuka dalam suasana kepanikan kekurangan beras. Akibatnya, harga beras dalam tempo beberapa bulan pun melonjak dari sekitar US$ 400 per ton menjadi US$1.000. Hal ini menimbulkan kecemasan yang luar biasa di seluruh Asia, teristimewa negara-negara pengimpor beras. Lonjakan ini juga diperparah karena adanya unsur spekulasi dari para pedagang. Tapi pada intinya adalah kurangnya kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan para pengusaha di Asia ditambah dengan tidak tersedianya data yang akurat dan terpercaya bagi pengambil keputusan. Bagaimana upaya bersama untuk menanggulangi lonjakan harga beras tersebut pada masa yang akan datang? Harga ditentukan oleh suplai dan demand. Karena itu, agar harga jangan bergejolak, harus ada usaha untuk bisa mengontrol kekuatan suplai dan demand, khususnya kekuatan suplai. Selain itu, pengalaman 2008 menunjukkan, kebijakan yang tidak terkoordinasi bisa menimbulkan kepanikan dan juga menimbulkan krisis harga. Beberapa upaya bersama yang dapat dilakukan. Pertama, mengembangkan suatu stok beras regional Asia. Barangkali ide ini cukup menarik buat negara-negara pengimpor tetapi tidak cukup menarik bagi negara-negara pengekspor beras. Jadi, ide itu walaupun tampaknya bagus sangat sulit untuk merealisasikannya.
32
Suara Agribisnis
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Kedua, usaha yang lebih realistis adalah melakukan koordinasi yang lebih baik antara negara-negara di Asia yang didasarkan pada data yang akurat mengenai keadaan produksi dan konsumsi. Dengan demikian bisa mengurangi kesalahan prediksi dari pengambilan keputusan dan mengurangi adanya spekulator yang memanfaatkan informasi yang tidak akurat. Ketiga, kerjasama penelitian untuk meningkatkan produksi dan produktivitas antara negara-negara di Asia masih perlu dikembangkan. Dengan demikian kemampuan produksi regional bertambah. Dan keempat, perhatian negara-negara di Asia dan juga organisasi internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia sudah sangat berkurang untuk pertanian khususnya pembangunan infrastrukturnya. Untuk mencegah krisis pada masa yang akan datang, negara-negara di Asia dengan bantuan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia dapat mengalokasi bujet yang lebih besar untuk pembangunan pertanian, khususnya mengalokasikan bujet yang lebih besar untuk beras. ***
Suara Agribisnis
33
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 34
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
15 – 28 April 2009
Mencermati Rantai Pangan “RANTAI PANGAN DAPAT MENIMBULKAN pertumbuhan nilai tambah yang cukup besar namun juga menghasilkan tambahan biaya. Siapa yang mendapat nilai tambah atau keuntungan dan siapa yang membayar tambahan biayanya?,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancara AGRINA. Apa yang dimaksud dengan rantai pangan? Sekarang ini ada tren terbentuknya rantai pangan (food chain) dari petani sebagai produsen pangan sampai ke konsumen yang tertata sangat rapi antara satu matarantai dengan matarantai lainnya. Motor atau penggerak dari rantai pangan ini adalah supermarket yang membangun suatu manajemen yang tidak terputus dari petani hingga ke konsumen. Pola ini dapat menghasilkan produk pangan dalam jumlah yang besar dengan kualitas sesuai minat konsumen. Dan biaya terhadap nilai akhir produk menjadi lebih kecil. Rantai pangan melakukan modernisasi dalam sistem tataniaga, memperpendek tataniaga, dan menyederhanakan tananiaga sehingga rantai pangan bisa berkembang lebih cepat. Rantai pangan dapat merangsang pertumbuhan yang cukup besar tapi pertumbuhan besar itu selain menimbulkan nilai tambah yang besar juga menghasilkan tambahan biaya. Siapa yang mendapat nilai tambah atau keuntungan dan siapa yang membayar tambahan biayanya? Memang pertanyaan sering muncul saat kita membahas tentang rantai pangan. Dalam hukum pasar, keuntungan akan jatuh kepada pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi lebih besar dan mempunyai informasi lebih baik. Dalam konteks ini umumnya petani dalam posisi ekonomi yang lemah dan kurang informasi. Dengan demikian, sebagian besar dari biaya itu akan dibebankan kepada petani. Sementara sebagian besar keuntungan akan dinikmati supermarket. Jadi, perkembangan rantai pangan tersebut memang dapat menjadi sumber pertumbuhan sistem agribisnis. Namun di satu sisi kalau tidak dikelola dengan baik, petani hanyalah pekerja keras dengan keuntungan marginal. Di sisi lain, keuntungan yang besar jatuh ke tangan pelaku rantai pangan yang besar-besar terutama supermarket. Kondisi seperti itu terjadi karena sering setelah beberapa waktu rantai pangan beroperasi, supermarket berada pada posisi monopsoni terhadap petani dan monopoli terhadap konsumen akhir. Bagaimana cara menanggulangi hal tersebut?
34
Suara Agribisnis
Pertama, kurangi bahkan hilangkan posisi monopsoni dari suatu supermarket. Caranya, perbanyak rantai pangan sehingga menimbulkan persaingan yang lebih banyak antar-supermarket. Dengan demikian akan menghilangkan sifat supermarket yang monopsoni terhadap petani dan monopoli terhadap konsumen. Jadi, keuntungan monopsoni dan monopoli akan hilang, dan nilai tambah menjadi terbagi pada banyak rantai pangan. Kedua, munculkan persaingan yang sehat antara supermarket dengan pasar tradisional. Namun pasar tradisional perlu dimodernisasi agar bisa menjadi saluran alternatif bagi produk-produk pangan petani. Modernisasi atau pengembangan pasar tradisional tidak hanya dari aspek fisik tetapi juga dari segi institusi dan menajemennya. Pengelola memiliki visi bisnis dan mampu berperan sebagai agen perantara produsen dan konsumen. Maksudnya, ia mampu mengaitkan antara petani dan pedagang kecil sebagai penjual dengan konsumen sebagai pembeli. Bahkan pasar-pasar tradisional harus difasilitasi dengan perlengkapan modern yang dibutuhkan penjual dan kosumen. Tujuannya agar bahan pangan yang diperjualbelikan menjadi lebih baik dan lebih tahan lama, misalnya dilengkapi mesin pengepakan dan pendingin. Dengan demikian baru pasar tradisional menjadi pesaing terhadap rantai pangan. Ketiga, para petani perlu mendapat bantuan informasi, terutama mengenai harga dan permodalan, agar jangan terikat pada suatu supermarket. Untuk itu asosiasi seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), dan asosiasi komoditas sejenis bahkan koperasi agribisnis para petani dapat memberikan sumbangsih yang besar. Oleh karena itu, koperasi agribisnis para petani tidak hanya mengurusi kegiatan on-farm tapi juga bergerak pada kegiatan off-farm baik di hulu maupun di hilir. Keempat, pemerintah daerah dapat berperan penting sebagai penyuluh mengenai informasi terutama informasi harga dan sebagai fasilitator untuk pengembangan organisasi petani. Pemda perlu membuat sistem yang membuat petani dengan mudah dapat mengakses informasi yang diperlukannya. Dan sebagai fasilitator, Pemda berupaya mengembangkan organisasi petani supaya berorientasi bisnis dan mempunyai posisi tawar yang kuat terhadap pembeli produk mereka.***
Suara Agribisnis
35
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 34
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
15 – 28 April 2009
Mencermati Rantai Pangan “RANTAI PANGAN DAPAT MENIMBULKAN pertumbuhan nilai tambah yang cukup besar namun juga menghasilkan tambahan biaya. Siapa yang mendapat nilai tambah atau keuntungan dan siapa yang membayar tambahan biayanya?,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancara AGRINA. Apa yang dimaksud dengan rantai pangan? Sekarang ini ada tren terbentuknya rantai pangan (food chain) dari petani sebagai produsen pangan sampai ke konsumen yang tertata sangat rapi antara satu matarantai dengan matarantai lainnya. Motor atau penggerak dari rantai pangan ini adalah supermarket yang membangun suatu manajemen yang tidak terputus dari petani hingga ke konsumen. Pola ini dapat menghasilkan produk pangan dalam jumlah yang besar dengan kualitas sesuai minat konsumen. Dan biaya terhadap nilai akhir produk menjadi lebih kecil. Rantai pangan melakukan modernisasi dalam sistem tataniaga, memperpendek tataniaga, dan menyederhanakan tananiaga sehingga rantai pangan bisa berkembang lebih cepat. Rantai pangan dapat merangsang pertumbuhan yang cukup besar tapi pertumbuhan besar itu selain menimbulkan nilai tambah yang besar juga menghasilkan tambahan biaya. Siapa yang mendapat nilai tambah atau keuntungan dan siapa yang membayar tambahan biayanya? Memang pertanyaan sering muncul saat kita membahas tentang rantai pangan. Dalam hukum pasar, keuntungan akan jatuh kepada pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi lebih besar dan mempunyai informasi lebih baik. Dalam konteks ini umumnya petani dalam posisi ekonomi yang lemah dan kurang informasi. Dengan demikian, sebagian besar dari biaya itu akan dibebankan kepada petani. Sementara sebagian besar keuntungan akan dinikmati supermarket. Jadi, perkembangan rantai pangan tersebut memang dapat menjadi sumber pertumbuhan sistem agribisnis. Namun di satu sisi kalau tidak dikelola dengan baik, petani hanyalah pekerja keras dengan keuntungan marginal. Di sisi lain, keuntungan yang besar jatuh ke tangan pelaku rantai pangan yang besar-besar terutama supermarket. Kondisi seperti itu terjadi karena sering setelah beberapa waktu rantai pangan beroperasi, supermarket berada pada posisi monopsoni terhadap petani dan monopoli terhadap konsumen akhir. Bagaimana cara menanggulangi hal tersebut?
34
Suara Agribisnis
Pertama, kurangi bahkan hilangkan posisi monopsoni dari suatu supermarket. Caranya, perbanyak rantai pangan sehingga menimbulkan persaingan yang lebih banyak antar-supermarket. Dengan demikian akan menghilangkan sifat supermarket yang monopsoni terhadap petani dan monopoli terhadap konsumen. Jadi, keuntungan monopsoni dan monopoli akan hilang, dan nilai tambah menjadi terbagi pada banyak rantai pangan. Kedua, munculkan persaingan yang sehat antara supermarket dengan pasar tradisional. Namun pasar tradisional perlu dimodernisasi agar bisa menjadi saluran alternatif bagi produk-produk pangan petani. Modernisasi atau pengembangan pasar tradisional tidak hanya dari aspek fisik tetapi juga dari segi institusi dan menajemennya. Pengelola memiliki visi bisnis dan mampu berperan sebagai agen perantara produsen dan konsumen. Maksudnya, ia mampu mengaitkan antara petani dan pedagang kecil sebagai penjual dengan konsumen sebagai pembeli. Bahkan pasar-pasar tradisional harus difasilitasi dengan perlengkapan modern yang dibutuhkan penjual dan kosumen. Tujuannya agar bahan pangan yang diperjualbelikan menjadi lebih baik dan lebih tahan lama, misalnya dilengkapi mesin pengepakan dan pendingin. Dengan demikian baru pasar tradisional menjadi pesaing terhadap rantai pangan. Ketiga, para petani perlu mendapat bantuan informasi, terutama mengenai harga dan permodalan, agar jangan terikat pada suatu supermarket. Untuk itu asosiasi seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), dan asosiasi komoditas sejenis bahkan koperasi agribisnis para petani dapat memberikan sumbangsih yang besar. Oleh karena itu, koperasi agribisnis para petani tidak hanya mengurusi kegiatan on-farm tapi juga bergerak pada kegiatan off-farm baik di hulu maupun di hilir. Keempat, pemerintah daerah dapat berperan penting sebagai penyuluh mengenai informasi terutama informasi harga dan sebagai fasilitator untuk pengembangan organisasi petani. Pemda perlu membuat sistem yang membuat petani dengan mudah dapat mengakses informasi yang diperlukannya. Dan sebagai fasilitator, Pemda berupaya mengembangkan organisasi petani supaya berorientasi bisnis dan mempunyai posisi tawar yang kuat terhadap pembeli produk mereka.***
Suara Agribisnis
35
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 36
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
29 April – 12 Mei 2009
Solusi Dasar Masalah Pangan 2035 “AGAR SWASEMBADA BERAS BERKELANJUTAN, tidak bisa hanya melalui pendekatan produksi. Perlu dilakukan pendekatan lain dan merumuskan solusi dasarnya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancara AGRINA. Mengapa pemenuhan pangan tidak cukup dilihat dari pendekatan produksi? Selama ini para akademisi maupun para birokrat kita melihat soal pemenuhan pangan melulu melalui pendekatan produksi. Jika ada kekurangan pangan, usahanya adalah peningkatan produksi. Kalau kita melihat jauh ke depan, katakanlah 25 tahun yang akan datang pada 2035, menurut proyeksi para ahli kependudukan, sekalipun program keluarga berencana (KB) sukses, penduduk kita akan mencapai sekitar 350 juta jiwa. Menjadi pertanyaan, jika pendekatan kita seperti pendekatan selama ini, yaitu pendekatan peningkatan produksi dengan keadaan sumberdaya alam yang sudah tidak bisa lagi dikembangkan dan aplikasi teknologi semakin terbatas, maka sangat sulit membayangkan pada 2035 kita akan mampu menyediakan pangan pokok seperti beras pada tingkat konsumsi per kapita seperti sekarang. Dengan tingkat konsumsi per kapita seperti sekarang ini, 139 kg per kapita per tahun, pada 2035 kita membutuhkan sekitar 50 juta ton beras. Untuk menghasilkan 50 juta ton beras, kita membutuhkan sawah dengan produktivitas rata-rata 5 ton GKG per ha seluas sekitar 11 juta ha. Data menunjukkan, sekarang ini kita hanya mempunyai sekitar 6,5 juta ha sawah sehingga sangat sulit membayangkan bagaimana mendapatkan areal baru untuk mencapai 11 juta ha tadi. Jadi, masalahnya pertambahan permintaan lebih besar daripada kemampuan berproduksi. Apa yang menghambat peningkatan produksi? Pertambahan permintaan itu tidak bisa diatasi semata-mata dengan menggenjot produksi disebabkan oleh beberapa persoalan pokok. Pertama, penambahan areal sawah (ekstensifikasi) sangat sulit dilakukan. Kedua, selain terbatasnya lahan, suplai air juga semakin berkurang. Masalah utama pada waktu lalu untuk peningkatan produksi adalah penyediaan lahan baru. Lahan telah menjadi faktor pembatas produksi yang nyata. Pada masa yang akan datang faktor pembatas produksi tersebut ditambah seretnya ketersediaan air. Usahausaha melalui penelitian dan manajemen untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan air menjadi sangat krusial pada masa yang akan datang. Apalagi dengan adanya kompetisi penggunaan air antara pertanian dan kegiatan nonpertanian. Ketiga, sistem pertanian kita semakin gurem sehingga perlu ada reorganisasi perta-
36
Suara Agribisnis
nian supaya petani bisa bekerja pada skala usaha yang ekonomis untuk sebuah keluarga. Keempat, sulit meningkatkan produktivitas rata-rata karena produktivitas kita saat ini, sekitar 4,6 ton GKG per ha, sudah cukup tinggi dibandingkan negara-negara produsen beras dunia. Dan kelima, hambatan dari luar pertanian dengan adanya ancaman global warming. Bila tidak diantisipasi dari sekarang, akibat global warming pada masa yang akan datang bisa lebih parah, seperti kebanjiran, kekeringan, ledakan serangan hama dan penyakit. Apa solusi pokok yang perlu kita lakukan? Pertama, mengurangi konsumsi beras per kapita secara lambat laun sehingga pada tahun 2035 itu konsumsi per kapita kita bisa 60% dari sekarang. Karena itu konsumsi beras per kapita harus turun sekitar 2% per tahun, dan angka itu tidaklah berat. Agar konsumsi beras per kapita bisa turun, harus ada keberanian membiarkan harga beras relatif tinggi dibandingkan harga pangan pokok lain, seperti jagung, singkong, sagu, dan ubi. Dengan kata lain, pengurangan konsumsi beras per kapita itu harus diiringi dengan diversifikasi ke produk nonberas. Hal ini berarti diperlukan inovasi-inovasi dalam proses pengolahan dan penyajian produk pangan nonberas tersebut agar lebih bergizi, lebih bergengsi, dan lebih murah dibandingkan beras. Telah lama kita membicarakan diversifikasi tapi selalu kandas oleh perasaan urgensi untuk peningkatan produksi beras. Barangkali beras sudah terlalu dipolitisasi. Kedua, kendati pertambahan penduduk kita sudah menurun, tetapi dilihat dari nilai absolut pertambahan penduduk kita masih cukup besar. Karena itu usaha-usaha mengurangi pertambahan penduduk ini harus lebih digiatkan sampai kita mencapai pada tingkat pertambahan penduduk yang mendekati zero growth. Dengan dua pendekatan ini, tekanan untuk peningkatan produktivitas rata-rata per ha dan produksi total menjadi lebih berkurang. Namun usaha-usaha untuk peningkatan produktivitas melalui penelitian dan aplikasi teknologi harus terus ditingkatkan. Harapan yang diberikan oleh penemuan-penemuan baru di bidang bioteknologi harus kita gunakan dengan prinsip kehati-hatian. Dan dari segi kelembagaan pemerintah, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) perlu diperkuat dan diisi oleh Menteri Pertanian senior sehingga mampu bertindak sebagai koordinator terhadap departemen lain yang terkait urusan pangan.***
Suara Agribisnis
37
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 36
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
29 April – 12 Mei 2009
Solusi Dasar Masalah Pangan 2035 “AGAR SWASEMBADA BERAS BERKELANJUTAN, tidak bisa hanya melalui pendekatan produksi. Perlu dilakukan pendekatan lain dan merumuskan solusi dasarnya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancara AGRINA. Mengapa pemenuhan pangan tidak cukup dilihat dari pendekatan produksi? Selama ini para akademisi maupun para birokrat kita melihat soal pemenuhan pangan melulu melalui pendekatan produksi. Jika ada kekurangan pangan, usahanya adalah peningkatan produksi. Kalau kita melihat jauh ke depan, katakanlah 25 tahun yang akan datang pada 2035, menurut proyeksi para ahli kependudukan, sekalipun program keluarga berencana (KB) sukses, penduduk kita akan mencapai sekitar 350 juta jiwa. Menjadi pertanyaan, jika pendekatan kita seperti pendekatan selama ini, yaitu pendekatan peningkatan produksi dengan keadaan sumberdaya alam yang sudah tidak bisa lagi dikembangkan dan aplikasi teknologi semakin terbatas, maka sangat sulit membayangkan pada 2035 kita akan mampu menyediakan pangan pokok seperti beras pada tingkat konsumsi per kapita seperti sekarang. Dengan tingkat konsumsi per kapita seperti sekarang ini, 139 kg per kapita per tahun, pada 2035 kita membutuhkan sekitar 50 juta ton beras. Untuk menghasilkan 50 juta ton beras, kita membutuhkan sawah dengan produktivitas rata-rata 5 ton GKG per ha seluas sekitar 11 juta ha. Data menunjukkan, sekarang ini kita hanya mempunyai sekitar 6,5 juta ha sawah sehingga sangat sulit membayangkan bagaimana mendapatkan areal baru untuk mencapai 11 juta ha tadi. Jadi, masalahnya pertambahan permintaan lebih besar daripada kemampuan berproduksi. Apa yang menghambat peningkatan produksi? Pertambahan permintaan itu tidak bisa diatasi semata-mata dengan menggenjot produksi disebabkan oleh beberapa persoalan pokok. Pertama, penambahan areal sawah (ekstensifikasi) sangat sulit dilakukan. Kedua, selain terbatasnya lahan, suplai air juga semakin berkurang. Masalah utama pada waktu lalu untuk peningkatan produksi adalah penyediaan lahan baru. Lahan telah menjadi faktor pembatas produksi yang nyata. Pada masa yang akan datang faktor pembatas produksi tersebut ditambah seretnya ketersediaan air. Usahausaha melalui penelitian dan manajemen untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan air menjadi sangat krusial pada masa yang akan datang. Apalagi dengan adanya kompetisi penggunaan air antara pertanian dan kegiatan nonpertanian. Ketiga, sistem pertanian kita semakin gurem sehingga perlu ada reorganisasi perta-
36
Suara Agribisnis
nian supaya petani bisa bekerja pada skala usaha yang ekonomis untuk sebuah keluarga. Keempat, sulit meningkatkan produktivitas rata-rata karena produktivitas kita saat ini, sekitar 4,6 ton GKG per ha, sudah cukup tinggi dibandingkan negara-negara produsen beras dunia. Dan kelima, hambatan dari luar pertanian dengan adanya ancaman global warming. Bila tidak diantisipasi dari sekarang, akibat global warming pada masa yang akan datang bisa lebih parah, seperti kebanjiran, kekeringan, ledakan serangan hama dan penyakit. Apa solusi pokok yang perlu kita lakukan? Pertama, mengurangi konsumsi beras per kapita secara lambat laun sehingga pada tahun 2035 itu konsumsi per kapita kita bisa 60% dari sekarang. Karena itu konsumsi beras per kapita harus turun sekitar 2% per tahun, dan angka itu tidaklah berat. Agar konsumsi beras per kapita bisa turun, harus ada keberanian membiarkan harga beras relatif tinggi dibandingkan harga pangan pokok lain, seperti jagung, singkong, sagu, dan ubi. Dengan kata lain, pengurangan konsumsi beras per kapita itu harus diiringi dengan diversifikasi ke produk nonberas. Hal ini berarti diperlukan inovasi-inovasi dalam proses pengolahan dan penyajian produk pangan nonberas tersebut agar lebih bergizi, lebih bergengsi, dan lebih murah dibandingkan beras. Telah lama kita membicarakan diversifikasi tapi selalu kandas oleh perasaan urgensi untuk peningkatan produksi beras. Barangkali beras sudah terlalu dipolitisasi. Kedua, kendati pertambahan penduduk kita sudah menurun, tetapi dilihat dari nilai absolut pertambahan penduduk kita masih cukup besar. Karena itu usaha-usaha mengurangi pertambahan penduduk ini harus lebih digiatkan sampai kita mencapai pada tingkat pertambahan penduduk yang mendekati zero growth. Dengan dua pendekatan ini, tekanan untuk peningkatan produktivitas rata-rata per ha dan produksi total menjadi lebih berkurang. Namun usaha-usaha untuk peningkatan produktivitas melalui penelitian dan aplikasi teknologi harus terus ditingkatkan. Harapan yang diberikan oleh penemuan-penemuan baru di bidang bioteknologi harus kita gunakan dengan prinsip kehati-hatian. Dan dari segi kelembagaan pemerintah, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) perlu diperkuat dan diisi oleh Menteri Pertanian senior sehingga mampu bertindak sebagai koordinator terhadap departemen lain yang terkait urusan pangan.***
Suara Agribisnis
37
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 38
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
13 – 26 Mei 2009
Ketahanan Pangan Indikator Keberhasilan Pembangunan “KETAHANAN PANGAN SUATU NEGARA dikatakan baik jika semua penduduk di suatu negara setiap saat memiliki akses terhadap makanan dalam volume dan mutu yang sesuai bagi suatu kehidupan yang produktif dan sehat,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., saat diwawancara AGRINA. Mengapa demikian? Akses setiap individu terhadap pangan yang cukup merupakan hak asasi manusia yang berlaku secara universal. Oleh sebab itu sampai sejauh mana suatu negara menghormati hak asasi warganya juga dapat diukur dari ketahanan pangan yang dicapainya. Bahkan ketahanan pangan dapat dijadikan salah satu indikator penting bagi keberhasilan pembangunan nasional, di samping indikator pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Berbagai kejadian yang dapat dikategorikan sebagai krisis pangan yang muncul secara berulang menunjukkan ketahanan pangan negara ini relatif rapuh. Ketahanan pangan yang tangguh tidak akan mudah goyah apabila terjadi penurunan produksi pangan maupun gejolak ekonomi. Sebagai contoh, yang saat ini masih terasa membekas, adanya rush pembelian bahan makanan oleh masyarakat, terutama di kota besar, sekitar awal 1998. Akibat pembeli yang panik, kondisi sosial dan politik yang tidak stabil saat itu, membuat ekonomi nasional menjadi ikut terpengaruh. Keadaan yang lebih parah terjadi di beberapa daerah, seperti Papua, yang mengalami bencana kekurangan pangan. Kejadian tersebut menggambarkan betapa lemahnya ketahanan pangan kita. Banyak alasan untuk membenarkan kejadian tersebut, antara lain adanya penurunan produksi pangan karena El Nino ataupun akibat adanya krisis ekonomi. Perubahan iklim, seperti El Nino, sebenarnya bukanlah sesuatu yang tidak dapat diduga. Peringatan dini akan timbulnya musim kering yang berkepanjangan sudah cukup banyak diberikan. Persiapan untuk menghadapi gejala alam yang sering terjadi secara berulang seharusnya sudah dilakukan. Namun apapun juga alasannya, keadaan tersebut memberi peringatan bahwa ada yang kurang tepat dalam strategi pembangunan yang ditujukan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Apa penyebab rapuhnya ketahanan pangan di Indonesia? Ketahanan pangan nasional di negara ini selalu dipersepsikan dengan tingkat produksi atau ketersediaan bahan pangan, terutama beras. Ketersediaan pangan yang cukup tidak menjamin terjadinya ketahanan pangan. Apabila dilakukan perhitungan antara jumlah seluruh bahan pangan yang diproduksi di Indonesia, baik yang diperdagangkan
38
Suara Agribisnis
maupun dikonsumsi sendiri, dengan jumlah penduduk, dapat diperkirakan bahwa ketersediaan pangan mencukupi. Jika ketersediaan bahan pangan per kapita yang menjadi acuan ketahanan pangan, maka Indonesia akan dengan mudah mencapainya. Namun definisi ketahanan pangan tidak identik dengan ketersediaan pangan. Memang akses individu atau rumah tangga terhadap pangan mensyaratkan adanya ketersediaan pangan, tetapi ini tidak berarti ketersediaan pangan sama dengan ketahanan pangan. Bukti empiris di banyak negara menunjukkan, insiden kelaparan dan kekurangan makan bukan disebabkan kurangnya ketersediaan pangan di tingkat nasional, tetapi oleh kegagalan individu untuk memperoleh akses terhadap pangan. Mengapa ketersediaan pangan tidak sama dengan ketahanan pangan? Ketersediaan pangan merupakan konsep ketahanan pangan yang sudah mulai ditinggalkan. Pendekatan ketersediaan pangan sebagai gambaran ketahanan pangan menjadi kurang tepat diterapkan di negara sedang berkembang yang masih mengalami ketimpangan ketahanan pangan pada tingkat nasional dan tidak memperhitungkan akses individu atau rumah tangga terhadap pangan. Bahkan pendekatan ketersediaan pangan ini secara implisit mengasumsikan, aksesibilitas setiap individu atau rumah tangga terhadap pangan yang tersedia tidak mengalami hambatan. Kenyataan menunjukkan asumsi ini sulit terpenuhi di Indonesia. Apa alasannya ketahanan pangan kita dikaitkan dengan ketersediaan pangan? Pendekatan ketersediaan pangan tercermin dari berbagai kebijakan yang bertujuan memaksimumkan produksi pangan, terutama beras. Berbagai kebijakan di bidang pertanian, seperti kebijakan harga output maupun harga input, kebijakan penyediaan sarana dan prasaran, bahkan kebijakan dan pengembangan sebagian besar diarahkan untuk peningkatan produksi padi. Ketersediaan pangan yang berasal dari impor dianggap dapat menciptakan ketergantungan ataupun menghabiskan devisa negara. Oleh sebab itu sejauh mungkin perlu diusahakan swasembada pangan (beras). Jika swasembada di tingkat nasional sudah tercapai, maka langkah selanjutnya adalah menjamin ketersediaan pangan di tingkat regional yang selanjutnya diatur distribusinya oleh pemerintah melalui Perum Bulog. Agar individu atau rumah tangga dapat memiliki akses terhadap pangan tersebut, pemerintah mengendalikan harga di tingkat konsumen. Dengan perkataan lain, konsumen diuntungkan oleh adanya pendekatan persediaan pangan.***
Suara Agribisnis
39
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 38
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
13 – 26 Mei 2009
Ketahanan Pangan Indikator Keberhasilan Pembangunan “KETAHANAN PANGAN SUATU NEGARA dikatakan baik jika semua penduduk di suatu negara setiap saat memiliki akses terhadap makanan dalam volume dan mutu yang sesuai bagi suatu kehidupan yang produktif dan sehat,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., saat diwawancara AGRINA. Mengapa demikian? Akses setiap individu terhadap pangan yang cukup merupakan hak asasi manusia yang berlaku secara universal. Oleh sebab itu sampai sejauh mana suatu negara menghormati hak asasi warganya juga dapat diukur dari ketahanan pangan yang dicapainya. Bahkan ketahanan pangan dapat dijadikan salah satu indikator penting bagi keberhasilan pembangunan nasional, di samping indikator pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Berbagai kejadian yang dapat dikategorikan sebagai krisis pangan yang muncul secara berulang menunjukkan ketahanan pangan negara ini relatif rapuh. Ketahanan pangan yang tangguh tidak akan mudah goyah apabila terjadi penurunan produksi pangan maupun gejolak ekonomi. Sebagai contoh, yang saat ini masih terasa membekas, adanya rush pembelian bahan makanan oleh masyarakat, terutama di kota besar, sekitar awal 1998. Akibat pembeli yang panik, kondisi sosial dan politik yang tidak stabil saat itu, membuat ekonomi nasional menjadi ikut terpengaruh. Keadaan yang lebih parah terjadi di beberapa daerah, seperti Papua, yang mengalami bencana kekurangan pangan. Kejadian tersebut menggambarkan betapa lemahnya ketahanan pangan kita. Banyak alasan untuk membenarkan kejadian tersebut, antara lain adanya penurunan produksi pangan karena El Nino ataupun akibat adanya krisis ekonomi. Perubahan iklim, seperti El Nino, sebenarnya bukanlah sesuatu yang tidak dapat diduga. Peringatan dini akan timbulnya musim kering yang berkepanjangan sudah cukup banyak diberikan. Persiapan untuk menghadapi gejala alam yang sering terjadi secara berulang seharusnya sudah dilakukan. Namun apapun juga alasannya, keadaan tersebut memberi peringatan bahwa ada yang kurang tepat dalam strategi pembangunan yang ditujukan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Apa penyebab rapuhnya ketahanan pangan di Indonesia? Ketahanan pangan nasional di negara ini selalu dipersepsikan dengan tingkat produksi atau ketersediaan bahan pangan, terutama beras. Ketersediaan pangan yang cukup tidak menjamin terjadinya ketahanan pangan. Apabila dilakukan perhitungan antara jumlah seluruh bahan pangan yang diproduksi di Indonesia, baik yang diperdagangkan
38
Suara Agribisnis
maupun dikonsumsi sendiri, dengan jumlah penduduk, dapat diperkirakan bahwa ketersediaan pangan mencukupi. Jika ketersediaan bahan pangan per kapita yang menjadi acuan ketahanan pangan, maka Indonesia akan dengan mudah mencapainya. Namun definisi ketahanan pangan tidak identik dengan ketersediaan pangan. Memang akses individu atau rumah tangga terhadap pangan mensyaratkan adanya ketersediaan pangan, tetapi ini tidak berarti ketersediaan pangan sama dengan ketahanan pangan. Bukti empiris di banyak negara menunjukkan, insiden kelaparan dan kekurangan makan bukan disebabkan kurangnya ketersediaan pangan di tingkat nasional, tetapi oleh kegagalan individu untuk memperoleh akses terhadap pangan. Mengapa ketersediaan pangan tidak sama dengan ketahanan pangan? Ketersediaan pangan merupakan konsep ketahanan pangan yang sudah mulai ditinggalkan. Pendekatan ketersediaan pangan sebagai gambaran ketahanan pangan menjadi kurang tepat diterapkan di negara sedang berkembang yang masih mengalami ketimpangan ketahanan pangan pada tingkat nasional dan tidak memperhitungkan akses individu atau rumah tangga terhadap pangan. Bahkan pendekatan ketersediaan pangan ini secara implisit mengasumsikan, aksesibilitas setiap individu atau rumah tangga terhadap pangan yang tersedia tidak mengalami hambatan. Kenyataan menunjukkan asumsi ini sulit terpenuhi di Indonesia. Apa alasannya ketahanan pangan kita dikaitkan dengan ketersediaan pangan? Pendekatan ketersediaan pangan tercermin dari berbagai kebijakan yang bertujuan memaksimumkan produksi pangan, terutama beras. Berbagai kebijakan di bidang pertanian, seperti kebijakan harga output maupun harga input, kebijakan penyediaan sarana dan prasaran, bahkan kebijakan dan pengembangan sebagian besar diarahkan untuk peningkatan produksi padi. Ketersediaan pangan yang berasal dari impor dianggap dapat menciptakan ketergantungan ataupun menghabiskan devisa negara. Oleh sebab itu sejauh mungkin perlu diusahakan swasembada pangan (beras). Jika swasembada di tingkat nasional sudah tercapai, maka langkah selanjutnya adalah menjamin ketersediaan pangan di tingkat regional yang selanjutnya diatur distribusinya oleh pemerintah melalui Perum Bulog. Agar individu atau rumah tangga dapat memiliki akses terhadap pangan tersebut, pemerintah mengendalikan harga di tingkat konsumen. Dengan perkataan lain, konsumen diuntungkan oleh adanya pendekatan persediaan pangan.***
Suara Agribisnis
39
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 40
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
11 – 24 November 2009
Ketahanan Pangan dan Gandum “KETANGGUHAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL tidak semata-mata diukur dari ketersediaan pangan atau swasembada beras. Tetapi bagaimana setiap masyarakat Indonesia dapat terpenuhi kebutuhannya akan pangan baik dalam jumlah maupun mutu,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA. Apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan? Ketahanan pangan merupakan suatu konsep yang pengertiannya mengalami revisi sesuai dengan konteks permasalahan pangan. Definisi ketahanan pangan yang secara luas telah diterima adalah jika semua penduduk pada setiap saat dapat mengakses pangan dalam jumlah dan mutu yang sesuai bagi kehidupan yang produktif dan sehat. Akses terhadap pangan yang cukup merupakan hak asasi manusia yang berlaku di manapun. Fenomena kekurangan pangan yang masih sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan, negara kita belum memiliki ketahanan pangan yang berkelanjutan. Ketahanan pangan yang tangguh ditandai dengan kemampuan mengatasi berbagai gejolak pangan akibat penurunan produksi maupun karena adanya kegagalan pasar. Paradigma yang sampai saat ini dianut pemerintah dalam membangun sistem ketahanan pangan masih cenderung menggunakan pendekatan ketersediaan pangan. Pendekatan ketersediaan pangan menganggap bahwa ketahanan pangan dicapai jika persediaan bahan pangan yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seluruh penduduk Indonesia. Pendekatan ini kurang memperhatikan aspek akses individu atau rumah tangga terhadap pangan yang tersedia. Akibatnya, kecukupan pangan yang terjadi pada tingkat nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat rumah tangga. Bagaimana meningkatkan ketahanan pangan nasional? Ketahanan pangan nasional yang tangguh akan sulit dicapai dan dipertahankan jika masih mengandalkan pada swasembada beras. Di satu sisi, konsumsi beras terus menunjukkan kenaikan, sedangkan di sisi lain produksi padi sulit ditingkatkan. Diperkirakan konsumsi beras per kapita per tahun saat ini sekitar 139 kg, belum lagi peningkatan akibat pertumbuhan jumlah penduduk. Sedangkan konsumsi beras per kapita per tahun di Jepang sekitar 60 kg dan Thailand sekitar 80 kg. Ketahanan pangan nasional yang tangguh dapat dicapai dengan menurunkan konsumsi beras dan diversifikasi pangan. Salah satu sumber bahan pangan untuk diversifikasi adalah gandum yang pasar dunianya lebih aman dibandingkan beras. Perdagangan gan-
40
Suara Agribisnis
dum dunia rata-rata sebesar 100 juta ton per tahun. Sedangkan perdagangan beras dunia berfluktuasi antara 11 juta—25 juta ton per tahun. Namun bukan saja volume perdagangan gandum yang jauh lebih besar daripada beras, tetapi juga lebih banyak sumber penawaran yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Mengapa gandum? Karena penerimaan masyarakat terhadap sumber bahan pangan lain, seperti jagung, singkong, ubi jalar, dan sagu, hanya bersifat lokal. Sedangkan tepung terigu hasil olahan dari gandum telah diterima secara nasional dengan tingkat konsumsi per kapita per tahun yang terus meningkat. Saat ini Indonesia membutuhkan sekitar 3,8 juta ton terigu per tahun, setara dengan 4,5 juta—5 juta ton biji gandum. Di samping mengimpor gandum untuk diproses menjadi terigu, Indonesia juga mengimpor terigu langsung dari luar negeri, sekitar 10%—14% dari pangsa terigu nasional. Sekitar 70% tepung terigu diserap industri kecil yang memproduksi mi basah, mi kering, roti, biskuit, gorengan, dan penggunaan langsung oleh rumah tangga. Dengan demikian pada dasarnya pengguna utama terigu adalah perusahaan kecil, menengah, dan industri rumah tangga. Ada sekitar 30.000 perusahaan tradisional skala kecil, menengah, dan industri rumah tangga yang tergantung pada terigu sebagai bahan baku. Diperkirakan industri tersebut mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak 700 ribu orang. Jumlah tersebut di luar tenaga kerja yang terserap di sektor pemasarannya, seperti distributor, grosir, toko, warung, dan penjaja. Jumlah itu perlu ditambah lagi dengan tenaga kerja yang diserap industri berbahan baku terigu skala besar dan modern yang diperkirakan sekitar 100 ribu orang. Gandum yang diimpor dan diolah menjadi tepung terigu dan kemudian diolah lebih lanjut menjadi bentuk-bentuk turunannya ternyata memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional dan sekaligus menciptakan lapangan kerja. Sehingga dengan demikian industri terigu tidak saja diharapkan ikut menyumbang pada persediaan bahan pangan nasional, tetapi juga ikut memperbaiki aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan melalui peningkatan pendapatan rumah tangga dan harga pangan yang terjangkau. Lebih jauh lagi, melihat potensi keragaman sumberdaya lahan yang dimiliki Indonesia, besar kemungkinan komoditas gandum juga dapat diusahakan secara ekonomis di dalam negeri. Identifikasi lahan-lahan yang berpotensi, ketinggian 600– 1.000 m di atas permukaan laut, untuk ditanami gandum dan penelitian adaptasi varietas gandum yang cocok ditanami di berbagai wilayah di Indonesia tampaknya perlu lebih diintensifkan. Dengan demikian kita mampu memproduksi gandum sendiri sehingga tidak sepenuhnya tergantung impor.***
Suara Agribisnis
41
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 40
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
11 – 24 November 2009
Ketahanan Pangan dan Gandum “KETANGGUHAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL tidak semata-mata diukur dari ketersediaan pangan atau swasembada beras. Tetapi bagaimana setiap masyarakat Indonesia dapat terpenuhi kebutuhannya akan pangan baik dalam jumlah maupun mutu,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA. Apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan? Ketahanan pangan merupakan suatu konsep yang pengertiannya mengalami revisi sesuai dengan konteks permasalahan pangan. Definisi ketahanan pangan yang secara luas telah diterima adalah jika semua penduduk pada setiap saat dapat mengakses pangan dalam jumlah dan mutu yang sesuai bagi kehidupan yang produktif dan sehat. Akses terhadap pangan yang cukup merupakan hak asasi manusia yang berlaku di manapun. Fenomena kekurangan pangan yang masih sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan, negara kita belum memiliki ketahanan pangan yang berkelanjutan. Ketahanan pangan yang tangguh ditandai dengan kemampuan mengatasi berbagai gejolak pangan akibat penurunan produksi maupun karena adanya kegagalan pasar. Paradigma yang sampai saat ini dianut pemerintah dalam membangun sistem ketahanan pangan masih cenderung menggunakan pendekatan ketersediaan pangan. Pendekatan ketersediaan pangan menganggap bahwa ketahanan pangan dicapai jika persediaan bahan pangan yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seluruh penduduk Indonesia. Pendekatan ini kurang memperhatikan aspek akses individu atau rumah tangga terhadap pangan yang tersedia. Akibatnya, kecukupan pangan yang terjadi pada tingkat nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat rumah tangga. Bagaimana meningkatkan ketahanan pangan nasional? Ketahanan pangan nasional yang tangguh akan sulit dicapai dan dipertahankan jika masih mengandalkan pada swasembada beras. Di satu sisi, konsumsi beras terus menunjukkan kenaikan, sedangkan di sisi lain produksi padi sulit ditingkatkan. Diperkirakan konsumsi beras per kapita per tahun saat ini sekitar 139 kg, belum lagi peningkatan akibat pertumbuhan jumlah penduduk. Sedangkan konsumsi beras per kapita per tahun di Jepang sekitar 60 kg dan Thailand sekitar 80 kg. Ketahanan pangan nasional yang tangguh dapat dicapai dengan menurunkan konsumsi beras dan diversifikasi pangan. Salah satu sumber bahan pangan untuk diversifikasi adalah gandum yang pasar dunianya lebih aman dibandingkan beras. Perdagangan gan-
40
Suara Agribisnis
dum dunia rata-rata sebesar 100 juta ton per tahun. Sedangkan perdagangan beras dunia berfluktuasi antara 11 juta—25 juta ton per tahun. Namun bukan saja volume perdagangan gandum yang jauh lebih besar daripada beras, tetapi juga lebih banyak sumber penawaran yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Mengapa gandum? Karena penerimaan masyarakat terhadap sumber bahan pangan lain, seperti jagung, singkong, ubi jalar, dan sagu, hanya bersifat lokal. Sedangkan tepung terigu hasil olahan dari gandum telah diterima secara nasional dengan tingkat konsumsi per kapita per tahun yang terus meningkat. Saat ini Indonesia membutuhkan sekitar 3,8 juta ton terigu per tahun, setara dengan 4,5 juta—5 juta ton biji gandum. Di samping mengimpor gandum untuk diproses menjadi terigu, Indonesia juga mengimpor terigu langsung dari luar negeri, sekitar 10%—14% dari pangsa terigu nasional. Sekitar 70% tepung terigu diserap industri kecil yang memproduksi mi basah, mi kering, roti, biskuit, gorengan, dan penggunaan langsung oleh rumah tangga. Dengan demikian pada dasarnya pengguna utama terigu adalah perusahaan kecil, menengah, dan industri rumah tangga. Ada sekitar 30.000 perusahaan tradisional skala kecil, menengah, dan industri rumah tangga yang tergantung pada terigu sebagai bahan baku. Diperkirakan industri tersebut mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak 700 ribu orang. Jumlah tersebut di luar tenaga kerja yang terserap di sektor pemasarannya, seperti distributor, grosir, toko, warung, dan penjaja. Jumlah itu perlu ditambah lagi dengan tenaga kerja yang diserap industri berbahan baku terigu skala besar dan modern yang diperkirakan sekitar 100 ribu orang. Gandum yang diimpor dan diolah menjadi tepung terigu dan kemudian diolah lebih lanjut menjadi bentuk-bentuk turunannya ternyata memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional dan sekaligus menciptakan lapangan kerja. Sehingga dengan demikian industri terigu tidak saja diharapkan ikut menyumbang pada persediaan bahan pangan nasional, tetapi juga ikut memperbaiki aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan melalui peningkatan pendapatan rumah tangga dan harga pangan yang terjangkau. Lebih jauh lagi, melihat potensi keragaman sumberdaya lahan yang dimiliki Indonesia, besar kemungkinan komoditas gandum juga dapat diusahakan secara ekonomis di dalam negeri. Identifikasi lahan-lahan yang berpotensi, ketinggian 600– 1.000 m di atas permukaan laut, untuk ditanami gandum dan penelitian adaptasi varietas gandum yang cocok ditanami di berbagai wilayah di Indonesia tampaknya perlu lebih diintensifkan. Dengan demikian kita mampu memproduksi gandum sendiri sehingga tidak sepenuhnya tergantung impor.***
Suara Agribisnis
41
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 42
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
20 Januari – 2 Februari 2010
Kembangkan Food Estate dengan Bijaksana “KITA BERGEMBIRA BAHWA PENGUSAHA BESAR mau masuk pada bidang pangan melalui food estate dengan motivasi untuk mendapatkan manfaat ekonomi jangka panjang dari agribisnis berbasis pangan tersebut,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancara AGRINA. Mengapa demikian? Pangan akan tetap menjadi masalah di negara kita akibat pertambahan penduduk meski sudah berkurang masih tetap tinggi. Sehingga suplai pangan seringkali ketinggalan dibandingkan permintaan pangan. Hal tersebut sudah terjadi belakangan ini dengan indikasi harga pangan meningkat yang dapat berakibat tidak terjangkaunya harga pangan tersebut oleh penduduk miskin. Tren ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negara di dunia. Kita bersyukur di Indonesia beberapa tahun terakhir ini kenaikan harga pangan masih pada level tidak mengkhawatirkan, tetapi tidak ada jaminan pada masa yang akan datang harga pangan tidak meningkat lagi. Selain itu, khusus di Indonesia, konversi lahan pertanian sangat besar dan dengan teknologi yang ada tingkat produktivitas sudah maksimal. Sedangkan permintaan akan pangan terus bertambah karena pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan. Jika tren ini tidak berubah, Indonesia akan mengalami lonjakan harga pangan sangat signifikan kecuali kita rela mengimpor pangan dari negara lain. Tapi impor bahan pangan tidak bisa terlalu diandalkan karena negara lain juga mengalami seperti Indonesia. Karena itu selalu harus dicari usaha-usaha baru untuk meningkatkan penawaran pangan dari dalam negeri. Upaya baru apa yang dapat dilakukan? Dari lahan tradisional yang ada di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi tampaknya makin terbatas kemungkinan untuk peningkatan produksi, baik dari perluasan areal maupun peningkatan produktivitas. Oleh karena itu mesti dicari areal-areal baru di luar wilayah tersebut yang kebanyakan harus membuka lahan hutan konversi dengan semua konsekuensi dampak lingkungan yang diakibatkannya. Namun keputusan harus diambil bagaimana membuka lahan baru yang berasal dari hutan konversi dan luar hutan tetapi dampak lingkungan tetap minim. Wajar jika ada pemikiran untuk pembukaan lahan baru di Papua, khususnya Kabupaten Merauke. Namun di sana jumlah tenaga tenaga kerja terbatas, barangkali memang konsep food estate atau pertanian skala besar dengan tingkat mekanisasi yang lebih intensif merupakan opsi yang masuk akal. Kendati pun kepadatan penduduk di Papua itu sangat rendah, pada umumnya lahan-lahan di sana telah ada pemiliknya seca-
42
Suara Agribisnis
ra tradisional. Karena itu, jika ada pembukaan lahan, maka hak-hak tradisional ini harus bisa dihargai dan diberi nilai ekonomi yang pantas. Bukan hanya nilai ekonomi jangka pendek tetapi nilai ekonomi jangka panjang dari lahan itu. Sehingga pada jangka menengah dan panjang tidak menimbulkan masalah sosial yang pelik. Hal seperti ini harus dicegah dalam pengembangan food estate di Papua. Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam pengembangan food estate? Pengembangan food estate janganlah dilakukan hanya sebagai usaha untuk memanfaatkan sumberdaya alam seperti kayu dan dana yang disediakan dalam bentuk subsidi yang berlebihan dari pemerintah. Hal seperti ini sudah kita alami berulang kali dan contoh yang paling jelas adalah proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah beberapa waktu lalu. Namun tuntutan pengembangan infrastruktur yang memadai untuk pengembangan food estate pantas dikabulkan. Harus dicegah masyarakat setempat tercabut dari akarnya lalu berpindah ke kota dan menjadi masalah sosial di perkotaan. Barangkali petani bisa diikutkan sebagai pemilik dari food estate tersebut jadi mereka bisa sebagai pemilik sekaligus pekerja. Investasi petani berupa lahan dan pengusaha menginvestasikan modal dan kemampuan manajemennya. Ini dapat menjadi konsep bisnis baru yang di dalamnya terjadi kerjasama saling menguntungkan antara masyarakat lokal dengan pengusaha dari luar. Pemerintah daerah khususnya tingkat kabupaten harus memfasilitasi pengusaha agar dapat bekerjasama dengan masyarakat setempat secara saling menguntungkan. Pemerintah daerah melalui bantuan pemerintah pusat dapat memberi bantuan penyediaan infrastruktur yang memadai. Dan setiap pengusaha yang akan mengembangkan food estate diharuskan membuat studi kelayakan dan mendiskusikannya dengan para stakeholder, LSM, dan dunia akademik. Dengan demikian dijamin adanya transparansi dan kejujuran serta mencegah kemungkinan eksploitasi yang merugikan masyarakat lokal. Pemerintah jangan terlalu ambisius dalam pengembangan food estate, steady but sure. Merauke telah memberi pemikiran yang relatif lama tentang hal ini. Karena itu mari kita mulai food estate dari sana dan kita batasi di sana saja dulu. Jika sudah menunjukkan keberhasilan baru dikembangkan ke daerah lain.***
Suara Agribisnis
43
LO Buku Bs 1.1
4/6/10
10:20 AM
Page 42
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Bab 1.1 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
20 Januari – 2 Februari 2010
Kembangkan Food Estate dengan Bijaksana “KITA BERGEMBIRA BAHWA PENGUSAHA BESAR mau masuk pada bidang pangan melalui food estate dengan motivasi untuk mendapatkan manfaat ekonomi jangka panjang dari agribisnis berbasis pangan tersebut,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancara AGRINA. Mengapa demikian? Pangan akan tetap menjadi masalah di negara kita akibat pertambahan penduduk meski sudah berkurang masih tetap tinggi. Sehingga suplai pangan seringkali ketinggalan dibandingkan permintaan pangan. Hal tersebut sudah terjadi belakangan ini dengan indikasi harga pangan meningkat yang dapat berakibat tidak terjangkaunya harga pangan tersebut oleh penduduk miskin. Tren ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negara di dunia. Kita bersyukur di Indonesia beberapa tahun terakhir ini kenaikan harga pangan masih pada level tidak mengkhawatirkan, tetapi tidak ada jaminan pada masa yang akan datang harga pangan tidak meningkat lagi. Selain itu, khusus di Indonesia, konversi lahan pertanian sangat besar dan dengan teknologi yang ada tingkat produktivitas sudah maksimal. Sedangkan permintaan akan pangan terus bertambah karena pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan. Jika tren ini tidak berubah, Indonesia akan mengalami lonjakan harga pangan sangat signifikan kecuali kita rela mengimpor pangan dari negara lain. Tapi impor bahan pangan tidak bisa terlalu diandalkan karena negara lain juga mengalami seperti Indonesia. Karena itu selalu harus dicari usaha-usaha baru untuk meningkatkan penawaran pangan dari dalam negeri. Upaya baru apa yang dapat dilakukan? Dari lahan tradisional yang ada di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi tampaknya makin terbatas kemungkinan untuk peningkatan produksi, baik dari perluasan areal maupun peningkatan produktivitas. Oleh karena itu mesti dicari areal-areal baru di luar wilayah tersebut yang kebanyakan harus membuka lahan hutan konversi dengan semua konsekuensi dampak lingkungan yang diakibatkannya. Namun keputusan harus diambil bagaimana membuka lahan baru yang berasal dari hutan konversi dan luar hutan tetapi dampak lingkungan tetap minim. Wajar jika ada pemikiran untuk pembukaan lahan baru di Papua, khususnya Kabupaten Merauke. Namun di sana jumlah tenaga tenaga kerja terbatas, barangkali memang konsep food estate atau pertanian skala besar dengan tingkat mekanisasi yang lebih intensif merupakan opsi yang masuk akal. Kendati pun kepadatan penduduk di Papua itu sangat rendah, pada umumnya lahan-lahan di sana telah ada pemiliknya seca-
42
Suara Agribisnis
ra tradisional. Karena itu, jika ada pembukaan lahan, maka hak-hak tradisional ini harus bisa dihargai dan diberi nilai ekonomi yang pantas. Bukan hanya nilai ekonomi jangka pendek tetapi nilai ekonomi jangka panjang dari lahan itu. Sehingga pada jangka menengah dan panjang tidak menimbulkan masalah sosial yang pelik. Hal seperti ini harus dicegah dalam pengembangan food estate di Papua. Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam pengembangan food estate? Pengembangan food estate janganlah dilakukan hanya sebagai usaha untuk memanfaatkan sumberdaya alam seperti kayu dan dana yang disediakan dalam bentuk subsidi yang berlebihan dari pemerintah. Hal seperti ini sudah kita alami berulang kali dan contoh yang paling jelas adalah proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah beberapa waktu lalu. Namun tuntutan pengembangan infrastruktur yang memadai untuk pengembangan food estate pantas dikabulkan. Harus dicegah masyarakat setempat tercabut dari akarnya lalu berpindah ke kota dan menjadi masalah sosial di perkotaan. Barangkali petani bisa diikutkan sebagai pemilik dari food estate tersebut jadi mereka bisa sebagai pemilik sekaligus pekerja. Investasi petani berupa lahan dan pengusaha menginvestasikan modal dan kemampuan manajemennya. Ini dapat menjadi konsep bisnis baru yang di dalamnya terjadi kerjasama saling menguntungkan antara masyarakat lokal dengan pengusaha dari luar. Pemerintah daerah khususnya tingkat kabupaten harus memfasilitasi pengusaha agar dapat bekerjasama dengan masyarakat setempat secara saling menguntungkan. Pemerintah daerah melalui bantuan pemerintah pusat dapat memberi bantuan penyediaan infrastruktur yang memadai. Dan setiap pengusaha yang akan mengembangkan food estate diharuskan membuat studi kelayakan dan mendiskusikannya dengan para stakeholder, LSM, dan dunia akademik. Dengan demikian dijamin adanya transparansi dan kejujuran serta mencegah kemungkinan eksploitasi yang merugikan masyarakat lokal. Pemerintah jangan terlalu ambisius dalam pengembangan food estate, steady but sure. Merauke telah memberi pemikiran yang relatif lama tentang hal ini. Karena itu mari kita mulai food estate dari sana dan kita batasi di sana saja dulu. Jika sudah menunjukkan keberhasilan baru dikembangkan ke daerah lain.***
Suara Agribisnis
43