Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bio-Industri di Lahan Suboptimal Haryono Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian PENDAHULUAN Sebaran lahan sub-optimal di Indonesia cukup luas meliputi; lahan kering iklim kering, lahan kering masam dan lahan rawa (basah). Salah satu lahan suboptimal yang mempunyai potensi dan peran strategis dalam mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan adalah lahan rawa. Lahan rawa menjadi alternatif pengembangan pertanian, terutama tanaman pangan setelah terjadinya konversi lahan-lahan sawah irigasi teknis yang terus meningkat setiap tahunnya. Peranan yang penting dan strategis dalam mendukung ketahanan pangan dan sekaligus pengembangan wilayah masih perlu ditingkatkan dengan penerapan teknologi pengelolaan yang tersedia dengan tetap memperhatikan kondisi agroekosistem lahan rawa yang bersifat labil atau rapuh. Lahan rawa menjadi tumpuan untuk produksi pertanian baik untuk tanaman pangan (padi, jagung, kedelai); tanaman hortikultura (sayur dan buah) dan tanaman perkebunan (kelapa) serta komoditas tanaman industri yang saat ini sedang berkembang yaitu kelapa sawit dan karet. Produksi ternak, baik itu ruminansia besar dan kecil serta pengembangan unggas pada beberapa lokasi sangat prospek untuk dikembangkan. Secara nasional kontribusi lahan rawa terhadap ketahanan pangan (khususnya beras) berdasarkan perkiraan dari hasil perluasaan areal, peningkatan provitas dan indeks pertanaman pada program P2BN mencapai 14-15% dari total produksi nasional (BBSDLP, 2011). Sedangkan di Sumatera Selatan prosentase mencapai sekitar 30% atau setara 1,5 juta ton GKG. Komoditas-komoditas yang sesuai dan adaptif dikembangkan di lahan rawa baik yang berbasis tanaman pangan dan perkebunan memberikan kontribusi terhadap pendapatan baik itu petani, buruh tani, pengusaha, penyuplai dan pedagang serta kemajuan wilayah. Infrastruktur yang menunjang saat ini menjadikan potensi bio-industri di lahan rawa menjadi sangat menjanjikan. POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN Potensi lahan rawa cukup luas, di Indonesia diperkirakan luasnya mencapai 33,4 juta hektar(24,2% luas lahan total di Indonesia), terdiri dari rawa pasang surut seluas 20 juta hektar dan rawa lebak seluas 13,4 hektar (Subagyo dan Widjaja-Adhi, 1998). Lahan pasang surut meliputi; lahan potensial seluas 2,07 juta ha; lahan sulfast masam seluas 6,7 juta ha; lahan gambut seluas 10,89 juta ha; dan lahan salin seluas 0,44 juta (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Provinsi Sumatera Selatan mempunyai potensi rawa pasang surut dan rawak lebak berturut-turut 379.450 hektar dan 129.062 hektar, dengan luas fungsionalnya mencapai 156.763 hektar untuk rawa pasang surut dan 49.992 hektar untuk rawa lebak (Dinas PU Pengairan, 2010). Pengembangan lahan rawa bukan tidak memiliki kendala dan hambatan. Lahan rawa tergolong lahan yang marginal, yakni lahan yang mempunyai 1
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
beberapa faktor pembatas yang menyebabkannya kurang baik untuk pertanian. Namun dengan dukungan inovasi teknologi serta kebijakan pemerintah marginilitas dapat dihilangkan. Lahan rawa diharapkan dan saat ini sedang berlangsung merupakan kawasan-kawasan pertumbuhan dan produsen pangan di masing-masing provinsi terutama dikawasan eks-transmigrasi. Menurut Suryana (2004), pengembangan dan pemanfaatan lahan rawa untuk berbagai kepentingan, antara lain; (1) Peningkatan ketahanan pangan nasional dan diversifikasi produk, (2) Pengembangan agribisnis dan agroindustri dan (3) Peningkatan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan provitas dan intensitas pertanaman (IP) pada lahan-lahan yang selama ini telah diusahakan serta perluasan areal atau extensifikasi merupakan strategi yang dapat ditempuh untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Teknologi yang telah dihasilkan dan sedang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian dalam bentuk rekomendasi paket teknologi usahatani mendukung pertanian agribisnis di lahan rawa (Suryana, 2004). Agroindustri yang dikembangkan di lahan sub optimal lahan rawa ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah, sekaligus pemanfaatan limbah atau hasil samping untuk menghasilkan produk-produk turunan sekaligus mengurangi dampak lingkungan. PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN Eco-farming atau pertanian ramah lingkungan (PRL) merupakan sistem pertanian yang mengelola seluruh sumberdaya pertanian dan input usahatani secara bijak, berbasis inovasi teknologi untuk mencapai peningkatan produktivitas berkelanjutan dan secara ekonomi menguntungkan serta diterima secara sosial budaya dan berisiko rendah atau tidak merusak/mengurangi fungsi lingkungan. Kementerian Pertanian sudah meluncurkan konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045 sebagai upaya memberikan acuan dan arah pembangunan khususnya di sektor pertanian ke depan. Visi pembangunan pertanian 2013-2045 yakni terwujudnya sistem pertanian bioindustri berkelanjutan yang menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumberdaya hayati pertanian dan kelautan tropika. Bioindustri berkelanjutan memandang lahan pertanian tidak semata-mata merupakan sumberdaya alam, namun juga industri yang memanfaatkan seluruh faktor produksi untuk menghasilkan pangan untuk ketahanan pangan, maupun produk yang lain, yang dikelola menjadi bioenergi serta bebas limbah dengan menerapkan prinsip mengurangi, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang (reduce, reuse and recycle). Dalam perspektif sistem pertanian bioindustri berkelanjutan terdapat aspek pembaharuan, dimana usaha pertanian yang dilakukan berbasis ekosistem intensif dengan memaksimumkan pendapatan dan nilai tambah melalui rekayasa ekologis. Di dalamnya terdapat pola usahatani tanaman multikultura, baik yang diwujudkan melalui diversifikasi horizontal, vertikaldan temporal, dapat juga berupa integrasi usahatani tanaman-ternak-ikan. Pengolahan seluruh hasil pertanian dilakukan dengan konsep whole biomas biorefinerydenganmelipatgandakan ragam produk dan nilai tambah hasil pertanian dan mengurangi limbah. 2
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Bioindustri pertanian juga merupakan integrasi usaha pertanian dengan memadukan tanaman-ternak- dan atau ikan dengan prinsip biodigesterbiorefineryyangdalam implementasinya akan mengurangi ketergantungan energi, mengurangi penggunaan input eksternal, mengurangi limbah atau ramah lingkungan dan mengurangi kebocoran hara dari agroekosistem. RANCANG BANGUN PERTANIAN LAHAN RAWA BERKELANJUTAN Rancang bangun pertanian ini disusun oleh Balitbangtan dengan konsep pendekatan kawasan. Inovasi teknologi dan kelembagaan yang telah dihasilkan melalui berbagai tahapan verifikasi, validasi dan diseminasi diharapkan dapat mengoptimalisasi sumberdaya lahan yang tersedia di lahan rawa (BBSDLP, 2011). Penggunaan varietas unggul, pemupukan, pengelolaan air, pemanfaatan alat dan mesin pertanian (alsintan), managemen budidaya serta kelembagaan yang sesuai, inovatif, terpadu, berwawasan agribisnis dan berkelanjutan dengan konsep ecofarming estate system. Terpadu dalam penetapan komoditas (terutama tanaman pangan, hortikultura dan ternak), serta keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya dan tanaman. Oleh sebab itu, penerapan Sistem Integrasi Tanaman Ternak (SITT) juga menjadi basis utama dalam pengembangan lahan rawa, yang membangun interaksi sinergis untuk mencapai produktivitas tanaman pangan (padi) (BBSDLP, 2011). Tanaman menghasilkan limbah (bahan organik) yang biasa diolah menjadi pakan sumber serat untuk ternak dan kompos. Sementara itu ternak akan menghasilkan kotoran padat/cair yang dimanfaatkan sebagai pupuk (pupuk kandang) untuk tanaman atau sebagai sumber biogas. Sekam padi sebagai limbah dari Rice Milling Unit (RMU) dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk mengeringkan gabah hasil panen. Pemanfaatan sekam sebagai bahan bakar mesin pengering padi (box dryer) menjadi fenomena tersendiri sebagai salah satu keberhasilan inovasi Balitbangtan di lahan rawa pasang surut, khususnya di Provinsi Sumatera Selatan. Pengoperasian box dryer ternyata menguntungan secara ekonomis baik bagi pemilik gabah, pengusaha RMU dan pedagang beras. Hasil analisis finansial uji coba box dryer BBS yang berkapasitas 10 t menunjukkan penggunaan box dryer BBS lebih efisien dibanding dengan penjemuran yang diperlihatkan oleh nilai R/C kedua cara tersebut, yaitu 1,28 untuk box dryer BBS dan 1,07 untuk penjemuran (Raharjo et al., 2009). Limbah yang dihasilkan dari pemanfaatan sekam sebagai bahan bakar box dryer berupa arang sekam yang merupakan arang hayati (biochar) yang mempunyai banyak manfaat selain sebagai cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian, terutama padi sawah. Dengan demikian sistem ini akan meningkatkan produktivitas tanah dengan konsep zero waste. Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan sistem usahatani dalam upaya meningkatkan pendapatan petani, maka Model Pertanian Lahan Rawa Berkelanjutan (PLR) dikembangkan dalam bentuk sistem usaha agribisnis yang berpola pada mix farming estate berbasis tanaman pangan, sayur-sayuran dan ternak. 3
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KEBUTUHAN INOVASI DAN TEKNOLOGI Pengembangan pertanian yang ramah lingkungan untuk mendukung bioindustri sangat membutuhkan inovasi dan teknologi yang dapat mengatasi keterbatasan dan kendala di lahan suboptimal, khususnya lahan rawa. Sebagai salah satu prioritas dalam agenda riset nasional (ARN) 2015-2019, bidang pangan bersama-sama energi dan air merupakan bidang-bidang yang saling berkait dan mendukung satu sama lain. Pemanfaatan lahan suboptimal untuk menyediakan lahan-lahan pertanian yang akan menyuplai bahan pangan harus didukung oleh penelitian dan pengkajian (Litkaji). Pada saat yang sama Litkaji akan menghasilkan teknologi produksi yang selanjutnya akan meningkatkan produksi dan ketersedian pangan. Hal tersebut tergambar dari diagram sebab-akibat ARN Bidang Pangan-EnergiAir 2015-2019 yang saat ini sedang difinalisasi di Kementerian Riset dan Teknologi (Balitbangtan, 2014). Untuk itu didalam menyusun rencana Litkaji atau riset ke depan harus sesuai dengan agenda yang telah disusun di dalam ARN 2015-2019. Pada prioritas bidang pangan (pertanian), peningkatan produksi pangan di lahan sub optimal merupakan prioritas pertama yang harus diteliti, selain bioindustri kelapa sawit dan pangan berbasis sumberdaya kelautan. Menurut DRN dan Kemen Ristek (2014), peningkatan produksi di lahan-lahan sub optimal dapat dilakukan melalui: (i) Perbaikan daya adaptasi tanaman dan potensi hasil, yaitu dengan mengembangkan varietas toleran dan berdaya hasil baik, (ii) Perbaikan kondisi agroekosistem lahan sub optimal sehingga dapat digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian, dan (iii) Kombinasi antara kedua upaya perbaikan varietas adaptif dan perbaikan kondisi agroekosistem pertanian. Berdasarkan kedua metoda tersebut maka peran bioteknologi adalah sangat penting, mengingat dapat berperan pada kedua methoda tersebut. Selanjutnya di dalam roadmap teknologi pangan di lahan suboptimal digambarkan pada tahun pertama dumulai dengan perencanaan peneltian dan pengembangan untuk mendapatkan varietas adaptif untuk lahan suboptimal yang dilanjutkan dengan produksi bibit varietas tanaman adadtif. Dengan dukungan produksi alsintan dan budidaya tanaman, pada tahun ketiga dimulai dengan ujicoba skala demplot sampai tahun keempat yang akan menghasilkan Model Budidaya dan pada akhirnya pada tahun kelima (2019) akan dihasilkan rekomendasi kebijakan. Memperhatikan hal-hal diatas, pengembangan pertanian di lahan suboptimal merupakan pilihan yang tepat karena sejalan dengan ARN 2015-2019, dimana untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional tidak dapat lagi hanya bergantung hanya kepada lahan-lahan produktif yang ada saat ini. Inovasi akan menghasilkan teknologi yang dapat mengatasi kendala kimia, biologi dan fisik serta sosial kelembagaan pada lahan suboptimal. Pilihan kita untuk memanfaatkan lahan suboptimal secara bijak dengan memperhatikan dampak-dampak yang mungkin timbul terhadap lingkungan juga membutuhkan inovasi dan teknologi untuk menjamin keberhasilannya. KESIMPULAN Bioindustri berkelanjutan memandang lahan pertanian tidak semata-mata merupakan sumberdaya alam, namun juga industri yang memanfaatkan seluruh 4
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
faktor produksi untuk menghasilkan pangan untuk ketahanan pangan, maupun produk yang lain, yang dikelola menjadi bioenergi serta bebas limbah dengan menerapkan prinsip mengurangi, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang (reduce, reuse and recycle). Dalam perspektif sistem pertanian bioindustri berkelanjutan terdapat aspek pembaharuan, dimana usaha pertanian yang dilakukan berbasis ekosistem intensif dengan memaksimumkan pendapatan dan nilai tambah melalui rekayasa ekologis. Arah pengembangan lahan rawa dengn konsep bioindustri adalah menuju pertanian terpadu dalam pola estate dalam satu hamparan untuk mencapai provitas dan keuntungan usahatani yang optimal dan berkelanjutan, serta mampu berkontrubusi secara signifikan terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Sasaran pengembangan lahan rawa berada pada wilayah-wilayah yang prioritas dengan tingkat kerberhasilan yang tinggi, investasi rendah, namun berdampak luas dan strategis terkait dengan potensi kendala yang ada. Inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan yang harus dijadikan dasar didalam pengembangan lahan suboptimal yang fragile agar tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Kerusakan yang terjadi pada lahan-lahan suboptimal sebagian bersifat irreversibel atau tidak dapat balik. Kasus-kasus pembukaan lahan gambut yang masif untuk lahan kelapa sawit menjadi salah satu contoh. Sesuai dengan agenda riset nasional (ARN) 2015-2019, maka pengembagan dan pemanfaatan lahan suboptimal untuk produksi pangan menjadi prioritas utama penelitian dan pengkajian di sektor pangan (pertanian). PUSTAKA ACUAN Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. State of The Art & Grand Design Pengembangan Lahan Rawa. Balitbangtan 2014, 2014. Usulan Penyempurnaan Draft Agenda Riset Nasional (ARN) 2015-2019. Dewan Riset Nasional & Kedeputian Relevansi &Produktivitas IPTEK Kementerian Riset dan Teknologi, 2014. Agenda Riset Nasional 20152019 (draft 1.2) Raharjo, B, Sutrisno dan Yanter Hutapea, 2009. Succes Story Pengembangan Mesin Pengering Berbahan Bakar Sekam Di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatanekam Di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan.Prosiding Seminar BBP2TP, 10 Pebruari 2009. Bogor.s Subagyo dan Widjaja-Adhi (1998). Peluang dan Kendala Penggunaan Lahan Rawa untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. Studi Kasus Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor 10-12 Pebruari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Suryana, A. 2004. Peranan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Mendukung Pembangunan Agribisnis Wilayah. Prosiding Seminar 5
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Lokakarya Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Palembang, 28-29 Juni 2004. Widjaja-Adhi dan Alihamsyah (1998). Pengemabangan Lahan Pasang Surut , Potensi, Prospek dan Kendala serta Teknologi Pengelolaannya untuk Pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia.
6
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Sustainable Management of Suboptimal Wetlands for Strengthening Bioindustry in Indonesia Benyamin Lakitan Ministry of Research and Technology, Republic of Indonesia and College of Agriculture, Sriwijaya University, Inderalaya, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Managing suboptimal wetlands for productive, inclusive, yet sustainable agriculture is very challenging. At present, local community manages this wetland for cultivating rice and few other adaptable crops, catching fishes and other aquatic biotas from public waters, and raising livestock (duck and buffalo). Rice-centered agriculture, as commonly practiced by local farmers, seems to be not very promising. Recently, Government of Indonesia encourages establishment of bioindustry-oriented agribusiness. Transforming current traditional agriculture into bioindustry-oriented agribusiness should be executed by gradually inserting newly introduced practices while continuing traditional ones so that local community will not be left behind. The transformation requires capacity in absorbing and implementing some relevant technologies such as fermentation and biorefinery. Targeted products of bioindustry might be started with simpler and familiar products such as processed animal feed and organic fertilizers, fermented foods and drinks, biofuels at time it is economically feasible, and finally move forward to more sophisticated biorefinery industries. Keywords: fermentation, biotechnology
biorefinery,
inclusive,
biofuel,
bioprocess,
INTRODUCTION Soil-less culture technology for growing crops had been well developed and is now available; however, for case of Indonesia, commercial use of the technology (hydroponic or aeroponic) is limited only for high value and fast growing horticultural crops. Major food crops have never been commercially grown in soil-less culture since application of this system will not be profitable. In order to make it profitable, most of agricultural crops have to be grown on soil. At present, however, almost all fertile and suitable lands have been used for agriculture. Currently, only suboptimal lands are available for agriculture. Conversion of agricultural lands for other uses has worsened the situation. Technologies are needed to overcome some agronomic constraints in suboptimal lands in order to make them suitable for agriculture. In cases of wetlands, technologies needed include those for effectively and efficiently managing water resource, neutralizing soil and water pH, enriching soil nutrients, and developing tolerant varieties. Application of these technologies will directly increase production cost. Coupled with generally low crop productivity in suboptimal lands and low price of commodities produced, it will be very hard to 7
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
achieve a profitable and sustainable conventional agriculture under these circumstances. A management breakthrough is required for making agriculture program viable in suboptimal wetlands in Indonesia. Solely growing conventional food crops, i.e. rice, in this wetland does not seem to be economically promising. In fact, many local farmers have commenced to convert their crop from rice to estate crops such as oil palm or rubber. Recently, Government of Indonesia has encouraged establishment of bioindustry. This industry will require bio-materials as inputs and technology as its tool for processing inputs into outputs. The industry will not only focused on producing food products, but could also produce health products, cosmetics, biofuels, organic fertilizers, industrial chemicals, and intermediary products. Therefore, crops grown in suboptimal wetlands should no longer be solely focused on food crops. Crop selection will be more based on business prospect, environmental sustainability, and social acceptance. SCOPE OF BIOINDUSTRY Spectrum of bioindustry is very wide. It may be from as simple as decomposing biomaterial to produce organic fertilizer, producing traditional fermented food to very high-tech and sophisticated industry. Any bioindustry should use bio-material as raw material and/or use microorganism or enzyme extracted from or synthesized by the organism in one or more processing stages. In short, bioindustry should use biomaterial or engage bioprocess. The end products are very diverse. They might be in form of organic fertilizer, processed animal feed, fermented foods or beverages, including functional foods; biofuels including bioethanol and biodiesel; drugs or other health products; cosmetics or other beauty products; and many other beneficial products, including for enhancing degradation of solid wastes/pollutants and bioremediation. Bioindustry may also include all services directly associated with these end products as their core businesses. Raw materials may be harvested or extracted from cultivated crops or indigenous wild plants, domesticated or wild animals, and cultured or caught fishes and other aquatic/marine biotas, including single-cell microorganisms. There are two common processes in bioindustry: fermentation and biorefinery. Fermentation has been incorporated in processing food (dairy, fish and meat products) and alcoholic beverages, or for producing natural additives and supplements such as antioxidants, flavors, colorants, preservatives, and sweeteners. Natural foods and additives derived from fermentation are more desirable than the synthetic products produced by chemical processes. POTENTIAL BIO-MATERIALS PRODUCED IN SUBOPTIMAL WETLANDS Wetlands occupy transitional zone between land and water, characterized by the presence of water, either permanently or periodically; waterlogged soils or high water table soil; and vegetation specifically adapted to wet conditions. Thus, it lacks of flood-intolerant species. Therefore, wetland ecosystems have relatively low biodiversity compared to nutrient-rich terrestrial ecosystem with favorable agroclimate. However, lower biodiversity may not be always directly translated 8
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
into lower total biomass production. Undisturbed native forest in tropical wetlands may also be as dense as other ecosystems but with less diverse plant species. Since most of domestication and breeding of agricultural crops have been more concentrated for well-aerated, non-waterlogged soils; therefore, less available cultivars or varieties of major crops are suitable for wetlands, with exception of rice. Nonetheless, productivity of rice grown in natural wetlands (tidal and inland swamps) is currently still much lower than in irrigated paddy fields. While growing conventional agricultural crops is still worth of pursuing, it may also wise to consider to domesticate and cultivate well adapted native plant species for biomass production, including native fast-growing aquatic plants such as freshwater macroalgae, division of Charophyta which includes Spirogyra sp. Khola and Ghazala (2012) had studied biodiesel extraction from this macroalgae. It is fair to assume that some species found in suboptimal wetlands might be very unique and cannot be found in other ecosystems. There may be native plants that are suitable as raw material for bioindustry. Their biomass might be profitable to be used for organic fertilizer or animal feed processing industries, raw materials for biofuel production, or they may contain beneficial chemical substances for health or cosmetics. Surely, these hypotheses still need to be further explored. Indonesia should not wait until some foreign researchers do this exploration. Hopefully Indonesia will not too late to realize the benefits, i.e. to realize it after the species have been domesticated in the other part of the world. Indonesia may benefit from the high biodiversity, only if domestic experts know exactly what Indonesia is having and know how to earn benefits from the resources. Research on native species should not only focus on or stop at identifying and classifying the species. It needs to be extended further and explored deeper, especially on traditional use of the plants by local community, types and concentration of targeted chemical substances, and agroclimatic and technical requirements for cultivating the plant species. If it is wisely practiced, cultivating native plant species will not drastically change local ecosystem. It should be managed such that it causes minimal impact to the environment. Local community has been familiar with the plant species; therefore, it will not require extra effort to introduce and develop farming methods for the species. These approaches will provide good foundation for establishing inclusive and sustainable future agriculture for the suboptimal wetlands. TARGET PRODUCTS AND STAGES OF DEVELOPMENT At present, the most common economic activities of local farmers in suboptimal wetlands in Indonesia (Sumatera and Kalimantan) are (1) growing mainly rice as staple crops and seasonal horticultural crops during dry season; but oil palm and rubber are catching up in recent years; (2) catching fish in public waters; and (3) raising livestock such as ducks and water buffalo. These activities will be maintained as primary livelihoods of local communities. Insertion of economic activities associated with establishment of bioindustry will be executed gradually. It will be started with domesticating local species or cultivating more familiar introduced crops which will be used as raw materials for simple, less sophisticated bioindustry such as for producing 9
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
processed animal feed or organic fertilizers. Then, it will be followed by modernizing traditional fermentation practices of local crop, fish, and animal products. These fermentation-based bio-industries will be aimed to produce widely acceptable and higher economic value fermented foods and beverages. Later, use of locally produced biomass will be diversified to produce biofuels and heat energy, in addition to previously developed animal feed and organic fertilizer bio-industries. However, this option should consider economic feasibility of biofuel produced with reference to price of fossil fuel at time of initiation. It should not be initiated if biofuel has not been competitive, compared to fossil fuels. More sophisticated bioindustry that requires high technologies might be positioned last in line, except if there is an immediate need of national interest, supported by availability of required technologies. In this case, local community should not be left behind. Local community can play role as supplier of raw materials, cultivating crops as source of the required bio-material. Inclusivity should always be one of main considerations in bioindustry development scenario and in managing suboptimal land in Indonesia. REQUIRED TECHNOLOGIES 1.1. Fermentation Technologies Even though fermentation seems to be old-fashioned for bioindustry, it is still be one of major technologies primarily used in bioindustry. Recently, more researches and technology development activities focused on application of solidstate fermentation (SSF) to produce some metabolites relevant for the food processing industry, i.e., flavors, enzymes (a-amylase, fructosyl transferase, lipase, pectinase), organic acids (lactic acid, citric acid) and xanthan gum. The SSF reproduces the natural microbiological processes like composting and ensiling. In industrial applications this natural process can be utilized in a controlled way to produce a desired product. SSF has become a very attractive alternative to submerged fermentation (SmF) for specific applications due to the recent improvements in reactor designs. The SSF is defined as any fermentation process performed on a non-soluble material that acts both as physical support and source of nutrients in absence of free flowing liquid (Rodrıguez-Couto and Angeles-Sanroman, 2006). Singhania et al. (2009) also observed that during the past few years, there have been significant developments in SSF technology. The SSF has built up credibility in recent years in bioindustry due to its potential applications in the production of biologically active secondary metabolites, apart from feed, fuel, food, industrial chemicals and pharmaceutical products, and has emerged as an attractive alternative to submerged fermentation (SmF). Bioremediation, bioleaching, biopulping, and biobeneficiation are amongs major applications of SSF in bioprocesses. Due to continuous efforts in the areas of biochemical engineering such as modeling aspects and bioreactor design, SSF is now on the way to commercialization even for processes which were earlier thought feasible only for SmF. Furthermore, utilization of agro-industrial residues as substrates in SSF processes provides other avenue and value-addition to these otherwise under- or non-utilized residues. In the future, SSF technology would be well developed at 10
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
par with SmF if rationalization and standardization continues in current trend (Singhania et al., 2009). Fermentation technology will continuously be further developed. For instance, ethanol is produced in large scale from sugarcane by fermentation of sugars and distillation. This is currently considered as an efficient biofuel technology, leading to significant reduction on greenhouse gases emissions. However, some improvements in the process can be introduced in order to improve the use of energy. Low temperature fermentation and vacuum extractive fermentation can be implemented as alternatives to the conventional fermentation processes in ethanol production. The alternative system increased ethanol production between 3.3% to 4.8% and reduced steam consumption up to 36% (Palacios-Bereche et al., 2014). 1.2. Biorefinery Technologies Separation. Biorefineries use a variety of separation methods often to produce high value co-products from the various feed streams. Separation methods and technologies related to biorefining including pre-extraction of hemicellulose and other value-added chemicals, detoxification of fermentation hydrolyzates, and ethanol product separation and dehydration. For future biorefineries, extractive distillation with ionic liquids and hyperbranched polymers, adsorption with molecular sieve and bio-based adsorbents, nanofiltration, extractive-fermentation, membrane pervaporation in bioreactors, and vacuum membrane distillation (VMD) hold significant potential (Huang et al., 2008). Huang et al. (2008) focused on separation technologies incorporating bioethanol as a principal product and found thatthere were two key separation steps in the biorefinery that offers challenges and opportunities. Firstly, separation of fermentation inhibitors after the pre-extraction of hemicelluloses from lignocellulosic biomass. Here the promising separation technologies are the three in situ detoxification hybrid processes including extractive-fermentation, membrane pervaporation-bioreactor, and VMD–bioreactor, which can eliminate the inhibition of products and inhibitory compounds, increase the fermentation yield and productivity, and reduce (fresh) water consumption due to recycle. Currently, ion exchange resin (IER) method is the preferred choice for detoxification and will be still used in the future biorefinery because of its high detoxification efficiency, easy (continuous) operation and flexible combination of different anion and cation exchangers. Secondly, key separation challenge in biorefinery is the azeotropic nature of ethanol–water mixture posing challenges to remove the last amounts of water producing fuel grade ethanol. For ethanol–water azeotropic separation, promising technologies are the extractive distillation with ionic liquid and hyperbranched polymers, adsorption with molecular sieve and bio-based adsorbents. Extraction. Azmir et al. (2013) believed that use of bioactive compounds in different commercial sectors such as pharmaceutical, food and chemical industries signifies the need of the most appropriate and standard method to extract these active components from plant materials. Along with conventional methods, numerous new methods have been established but till now no single method is regarded as standard for extracting bioactive compounds from plants. The 11
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
efficiencies of conventional and non-conventional extraction methods mostly depend on the critical input parameters; understanding the nature of plant matrix; chemistry of bioactive compounds and scientific expertise.The increasing economic significance of bioactive compounds and commodities rich in these bioactive compounds may lead to find out more sophisticated extraction methods in future. Conversion. Pragya et al. (2013) pointed out that large scale production of micro algal biofuels, via many available conversion techniques, faced a number of technical challenges which have made the current growth and development of the algal biofuel industry economically unviable. Similar concern was expressed by Bahadar and Khan (2013). A particular challenge to research in this field is the transition from pilot studies to industrial operations (up-scaling phase), which often exposes algae cells and their products to hostile environments, thus reducing yields. Hence, a need exists to integrate algae cell engineering with predictive bioprocess engineering to ensure economic and environmental feasibility and minimize the number of full-scale trials that fail. A biorefinery integrates biomass conversion processes to produce bio-based products (food, feed, chemicals, materials) and bioenergy (biofuels, power and/or heat). By producing multiple products, a biorefinery takes advantage of the various components in biomass and their intermediates therefore maximizing the value derived from the biomass feedstock. A biorefinery could, for example, produce one or several low-volume, but high-value, chemical or nutraceutical products and a low-value, but high-volume liquid transportation fuel such as biodiesel or bioethanol. At the same time generating electricity and process heat, for its own use and perhaps enough for sale to local utility. The high-value products increase profitability, the high-volume fuel helps meet energy needs, and the power production helps in lowering energy costs and reducing greenhouse gas emissions from traditional power plant facilities. A bio-based industry might consider an infinite number of combinations of biorefining alternatives to obtain value-added products. However, one of the most important aspects to consider is a well-defined methodology for synthesizing complex biorefinery structures in order to transform materials into products. To achieve this, the interaction among different areas during synthesis and analysis of bio-based processes should be intensive (Moncada et al., 2014). As an example, Moncada et al. (2014) explored the possibilities of integrating bio-refineries based on different generations of feedstock. They conducted study on techno-economic and environmental analysis of two biorefinery scenarios based on sugarcane. Cultivation of micro-algae Chlorella sp. using CO2-rich streams derived from fermentation and cogeneration systems. Extracted oil from the micro-algae is used as the raw material to obtain biodiesel and glycerol as additional products to electricity, ethanol, and sugar produced from sugarcane. This integrated biorefinery showed better performance from environmental and economic perspectives. CONCLUSIONS There are possibilities for suboptimal wetlands to contribute on establishing bioindustry-oriented agribusiness. However, this will requires long gradual processes that should be carefully planned such that it will culminate in an 12
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
inclusive, sustainable, and productive agricultural system as expected. Current agriculture practiced by local farmers should be considered as the reference point and the local community must be involved along the way of progressing phases. Ecological concern should be raised during periodical monitoring and evaluation; and should always be considered in planning the following programs and activities. Research and development activities should be focused on creating or improving relevant technologies required for strengthening the industry. REFERENCES Azmir J, Zaidul ISM, Rahman MM, Sharif KM, Mohamed A, Sahena F, Jahurul MHA, Ghafoor K, Norulaini NAN, Omar AKM. 2013. Techniques for extraction of bioactive compounds from plant materials: A review. Journal of Food Engineering 117:426–436 Bahadar A, Khan MB. 2013. Progress in energy from microalgae: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews 27:128–148 Huang HJ, Ramaswamy S, Tschirner UW, Ramarao BV. 2008. A review of separation technologies in current and future biorefineries. Separation and Purification Technology 62:1–21 Khola G, Ghazala B. 2012. Biodiesel production from algae. Pakistan Journal of Botany 44: 379-381 Moncada J, Tamayo JA, Cardona CA. 2014. Integrating first, second, and third generation biorefineries: Incorporating micro algae into the sugarcane biorefinery. Chemical Engineering Science 118:126–140 Palacios-Bereche R, Ensinas A, Modesto M, Nebra SA. 2014. New alternatives for the fermentation process in the ethanol production from sugarcane: Extractive and low temperature fermentation. Energy 70:595-604 Pragya N, Pandey KK, Sahoo PK. 2013. A review on harvesting, oil extraction and biofuels production technologies from microalgae. Renewable and Sustainable Energy Reviews 24:159–171 Rodrıguez-Couto S, Angeles-Sanroman M. 2006. Application of solid-state fermentation to food industry - A review. Journal of Food Engineering 76:291–302 Singhania RR, Patel AK, Soccol CR, Pandey A. 2009. Recent advances in solidstate fermentation. Biochemical Engineering Journal 44:13–18
13
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Peningkatan Daya Saing Agroindustri Melalui Pengembangan Teknologi Inovasi Hasbi Kepala Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya Staf Pengajar Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62711580664 email:
[email protected]
ABSTRAK Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut pendekatan industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara industri bukan lagi tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal ini bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih mendasar adalah mentransformasikan budaya (pola pikir, sikap mental dan perilaku) masyarakat industri di kalangan para petani.Agroindustri adalah perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi. Pengembangan agroindustri dapat dilakukan berdasarkan pendekatan besarnya sumberdaya yang dimiliki (bahan baku agroindustri) dan permintaan pasar. Pemgembangan SDM sebagai kekuatan dan andalan masa depan bangsa hanya dapat tercapai jikalau sistem pengetahuan, pendidikan dan pembudayaan mendapat perhatian utama. Peran daya kreativitas dan inovasi secara cepat dan efisien menentukan. Ini hanya dapat dicapai, jikalau penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Produk agroindustri, semakin ke hilir, umumnya semakin besar nilai tambah. Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, dan bukan lagi pengembangan komoditas dan lebih difokuskan pada pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan agroindustri. Minimal ada tiga pendekatan dasar untuk mengembangkan agroindustri, yaitu menjadikannya sebagai basis pembangunan dan pemberdayaan ekonomi rakyat (economic basic approach), sebagai motor penggerak pembangunan wilayah (regional approach) dan dilaksanakan dengan pendekatan lintas sektoral (intersector approach).
PENDAHULUAN Kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang relatif memberi nilai tambah kecil dan belum mengandalkan produk olahan (agroindustri). Produk olahan mempunyai potensi nilai tambah lebih besar, walaupun pada akhir-akhir ini ekspor produk olahan telah semakin meningkat. Dengan mengekspor produk primer, maka nilai tambah yang besar akan berada di luar negeri, sebaliknya bila Indonesia mampu 14
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mengekspor produk olahannya, maka nilai tambah terbesarnya akan berada di dalam negeri. Syarat menjadi negara kuat, kita tidak lagi hanya mengandalkan ekonomi nasional pada penjualan barang mentah, terutama produk pertanian.Nilai tambah ekspor barang mentah tidak ada. Negara maju dengan pendapatan tinggi tidak tergantung pada perdagangan bahan mentah, tetapi pada produk turunan yang bernilai tinggi. Sudah saatnya Indonesia keluar dari jebakan kelas “Mentah” jika ingin menjadi negara maju. Secepatnya beralih ke faktor-faktor produksi bernilai tinggi, yaitu agroindustri. Belajar dari kelemahan tersebut, maka sudah selayaknya pengembangan pertanian ke depan dilakukan terintegrasi dengan agroindustri. Pengembangan pertanian seharusnya berorientasi pada tiga hal, yaitu: (1) pendekatan pembangunan pertanian reorientasi dari pendekatan produksi ke pendekatan bisnis, dengan demikian sejak aspek usaha dan pendapatan menjadi dasar pertimbangan utama; (2) pembangunan pertanian bukan semata pembangunan sektoral, namun juga terkait dengan sektor lain (lintas/inter-sektoral); (3) pembangunan pertanian bukan pengembangan komoditas secara parsial, melainkan sangat terkait dengan pengembangan wilayah, khususnya perdesaan yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan kesejahteraan petani. Meskipun negara kita subur tetapi kita masih harus mengimpor kedelai untuk pembuatan tempe, tomat untuk produksi saus, gandum untuk mi, bawang putih untuk bumbu dapur dan beragam hasil pertanian lain untuk industri jamu tradisional. Kita memang tidak perlu punya cita-cita swasembada untuk semua hasil produk pertanian. Eranya memang tidak demikian lagi. Konsumen sudah menggeser kebutuhan dan keinginannya. Konsumen lebih menghargai jaminan kualitas, kenyamanan dan kekhasan produk. Agroindustri merupakan solusi penting untuk menjembatani keinginan konsumen dan karakteristik produk pertanian yang variatif dan tidak bisa disimpan lama. Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut pendekatan industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara industri bukan lagi tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal ini bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih mendasar adalah mentransformasikan budaya (pola pikir, sikap mental dan perilaku) masyarakat industri di kalangan para petani. Kebudayaan industri tersebut antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, pertama pengetahuan merupakan landasan utama dalam menentukan langkah atau tindakan dalam pengambilan keputusan (bukan berdasarkan kebiasaan semata). Kedua, perekayasan harus menggantikan ketergantungan pada faktor alam. Ketiga, kemajuan teknologi merupakan sarana utama dalam pemanfaatan sumber daya. Keempat, efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya agar penggunaan sumber daya tersebut hemat. Kelima, mekanisme pasar merupakan media utama transaksi barang dan jasa. Keenam, profesionalisme merupakan karakter yang menonjol.
15
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
AGROINDUSTRI Agroindustri merupakan industri dengan komoditas pertanian sebagai bahan baku utamanya. Secara spesifik, agroindustri dapat diartikan sebagai industri pengolahan hasil-hasil pertanian yang mencakup hasil pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan serta kehutanan. Sedangkan industri pupuk dan obat-obatan (bahan baku bukan berasal dari komoditas pertanian) serta alat/mesin pertanian merupakan industri pendukung (supporting industries) bagi agroindustri. Dalam sistem yang lebih lengkap, industri jasa keuangan, transportasi, telekomunikasi, energi, penelitian dan pengembangan, asuransi, hukum, pendidikan merupakan industri komplementer dengan pengembangan agroindustri. Agroindustri adalah perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi (Brown, 1994). Berbagai tingkat pengolahan dapat dilakukan yaitu mulai dari kegiatan sederhana seperti pembersihan, pemisahan (grading), sampai kegiatan yang lebih komplek seperti penyosohan, pemasakan, pencampuran, penyulingan dan sebagainya. Seperti diketahui terdapat sejumlah manfaat akan diperoleh dari perubahan (transformasi) komoditas pertanian menjadi produk tertentu. Brown (1994) menggolongkan agroindustri kedalam empat level, yaitu: 1) agroindustri level 1 aktivitas prosesnya berupa pembersihan, pengkelasan, dan penyimpanan, 2) agroindustri level 2 aktivitas prosesnya berupa pemisahan, penggilingan, pemotongan, dan pencampuran, 3) agroindustri level 3 aktivitas prosesnya berupa perebusan, pengalengan, pembekuan, ekstraksi, dan pasteurisasi, dan 4) agroindustri level 4 aktivitas prosesnya berupa pengubahan kandungan kimia dan teksturisasi. PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI Secara makro keberhasilan pembangunan agroindustri sangat ditentukan oleh kondisi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah semua aspek yang terkait secara langsung kedalam sistem agroindustri yaitu menyangkut benih/bibit (first generation); budidaya pertanian dalam arti luas (second generation); pengolahan hasil pertanian (third generation) dan pemasaran (fourth generation); input yang meliputi teknologi, SDM, bahan baku, modal, informasi; output yang meliputi kualitas dan kuantitas serta daya saingnya pada pasar lokal, regional dan global. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah semua aspek yang terkait secara tak langsung ke dalam sistem agroindustri yang mencakup; iklim usaha yang kondusif, pasar, kebijakan pemerintah dan finansial. Pengembangan agroindustri merupakan pilihan yang strategis untuk menggerakkan roda perekonomian dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini, memungkinkan karena adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja, mengingat sifat agroindustri yang padat karya dan bersifat massal. Agroindustri yang berbasis pada masyarakat tingkat menengah dan bawah ini merupakan sektor yang sesuai untuk menampung banyak tenaga kerja dan menjamin perluasan berusaha sehingga akan efektif dalam upaya meningkatkan perekonomian di perdesaan. 16
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengembangan agroindustri dapat dilakukan berdasarkan pendekatan besarnya sumberdaya yang dimiliki (bahan baku agroindustri) dan permintaan pasar. Keanekaragaman produk pertanian merupakan potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi berbagai produk olahan, dan tuntutan pasar dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap bahan pangan olahan. pengembangan agroindustri di masing-masing wilayah mempunyai ciri yang spesifik akibat bervariasinya sumber daya, pola usaha tani dan sistem kelembagaan yang dianut masyarakat setempat. Pengembangan agroindustri harus memperhatikan skala usaha, sehingga pada skala yang menguntungkan dan efisien dalam menghadapi kendala yang cukup beragam. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam membangun agroindustri dapat dilakukan dengan tiga pola pengembangan, yaitu pola skala besar terintegrasi, pola kemitraan skala besar dengan petani kecil, dan pola skala kecil di lingkungan petani (skala rumah tangga). Pengembangan agroindustri mencakup: 1) penganekaragaman (diversifikasi) produk; 2) pembangunan sarana dan prasarana; 3) membangun kelembagaan; 4) mengubah pola fikir petani dari production oriented ke industry oriented, melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan untuk mencetak tenaga profesional; dan 5) menumbuh kembangkan kegiatan produktif yang saling terkait mulai dari sub sistem produksi, sub sistem pengolahan sampai sub sistem distribusi dan pemasarannya. Apabila pada produksi pertanian kendali dominan pada unsur-unsur alami, maka pada agroindustri kendali sentral ada pada sumberdaya manusia dan perangkat teknologi serta institusi sebagai hasil rekayasanya. Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (agroindustri ) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, yaitu pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan agroindustri yang berdaya saing. Untuk itu, salah satu strategi pembangunan pertanian ke depan adalah pengembangan agroindustri perdesaan, yang merupakan pilihan strategis dalam peningkatan pendapatan dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Selama ini masyarakat perdesaan cenderung menjual produk dalam bentuk segar (primer), karena lokasi industri umumnya berada di daerah urban (semi urban). Akibatnya nilai tambah produk pertanian lebih banyak mengalir ke daerah urban, termasuk menjadi penyebab terjadinya urbanisasi. PERAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) Keadaan SDM umumnya masih sangat rendah, hal ini berkaitan erat dengan tingkat pendidikan yang rata-rata hanya sampai sekolah lanjutan pertama (SMP). Sedangkan bagi petani yang pendidikan lebih maju umumnya pergi dan pindah ke luar desa atau memilih pekerjaan lain. Namun dari segi ketenagakerjaan hampir 95% berada pada umur produktif (20 sampai 45 tahun). Hal ini sangat menguntungkan sekali karena pada umumnya pada tingkat umur ini produktivitas kerjanya sangat baik dan lebih efisien. Pemgembangan SDM sebagai kekuatan dan andalan masa depan bangsa hanya dapat tercapai jikalau sistem pengetahuan, pendidikan dan pembudayaan mendapat perhatian utama. Mereka memiliki kemampuan untuk secara efisien 17
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mengembangkan, menerapkan dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan produktivitas yang tinggi. peran daya kreativitas dan inovasi secara cepat dan efisien menentukan. Ini hanya dapat dicapai, jikalau penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Habibie (2004) menyatakan, sampai sekarang ini Indonesia belum dapat mengandalkan pengembangan prasarana Iptek, pendidikan dan pengetahuan pada industri, apalagi pembentukan dan pembinaan SDM-unggul dalam arti yang luas. Oleh karena itu pemerintah harus mengambil inisiatif dan menyediakan dana untuk mengembangkan pusat-pusat keunggulan Iptek, pendidikan dan pengetahuan, baik yang berkaitan dengan agroindustri maupun industri manufaktur dan idustri jasa, yang pasar domestik Indonesia cukup potensial dan meyakinkan. Agar masa depan suatu bangsa dapat mengandalkan pada keunggulan SDMnya, maka perhatian harus diberikan kepada peningkatan produktivitas dan daya saing yang erat kaitannya dengan proses pembudayaan, pengetahuan, pendidikan, dan penelitian. Strategi pembangunan yang mengandalkan SDM dan yang berwawasan pengembangan SDM melalui proses pembudayaan, pengetahuan, pendidikan, penelitian untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing, akan selalu berdampak positip dalam usaha mengembangkan agroindustri. Pada era sekarang dan ke depan, sumberdaya manusia yang berkualitas yang kemudian disebut sebagai human capital yang dimiliki oleh suatu negaralah yang akan menentukan daya saing dalam memperoleh keuntungan ekonomi. Hal ini diperkuat oleh pendapat ekonom peraih nobel tahun 1992 –Gary S. Becker- yang menyatakan bahwa: ”human capital is as much part of the wealth of nation as are factories, housing, machinery, and other physical capital”. PERAN AGROINDUSTRI PENCIPTAAN NILAI TAMBAH Nilai tambah (value added) bagi komoditas pertanian dan agroindustri adalah nilai yang diberikan pada produk sebagai akibat dari penerapan teknologi pengolahan. Nilai tambah tidak sama dengan laba. Nilai tambah tidak selalu berarti perbedaan harga komoditas pertanian dengan harga jual produk agroindustrinya. Peningkatan daya manfaat (usefulness) suatu produk juga merupakan nilai tambah. Peningkatan nilai tambah, yang dicerminkan melalui berbagai aspek seperti nilai jual dan daya manfaat yang lebih tinggi, serta diversifikasi produk akan meningkatkan kemampuan produk menembus pasar (Yuliati, 2007). Produk agroindustri, semakin ke hilir, umumnya semakin besar nilai tambahnya karena semakin banyak teknologi yang diterapkan dalam proses pengolahannya. Sebagai contoh, industri pengolahan udang. Proses pembekuan udang mampu memberikan nilai lebih bagi udang yang diekspor, namun industri pengolahan udang menjadi udang yang cepat saji seperti udang tempura atau nugget udang memberikan nilai yang lebih besar untuk jumlah udang yang sama. Peningkatan nilai tambah dilakukan salah satunya dengan menerapkan teknologi pengolahan yang berorientasi pada permintaan pasar. Nilai tambah produk membutuhkan penelitian, inovasi, dan teknologi yang tepat guna. Dukungan pemerintah dalam kegiatan R&D sangat dibutuhkan. 18
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Hasil analisis Supriati et al. (2006) menunjukkan bahwa pada periode 1998 – 2003 dominasi agroindustri skala besar/sedang dalam penguasaan nilai tambah. Agroindustri skala besar/sedang pada tahun 1998 dan 2003 yang berjumlah 0,71 dan 0,59 persen dari jumlah agroindustri dan hanya menyerap tenaga kerja sekitar 43 persen ternyata menguasai pangsa output 86 persen dan pangsa nilai tambah 90 persen. Sedangkan agroindustri skala rumah tangga yang berjumlah 92 persen (1998) dan 91 persen (2003) dan menyerap tenaga kerja sekitar 44 persen, hanya menghasilkan nilai ouput 7 persen dan nilai tambah 7 persen saja. Rendahnya produktivitas tenaga kerja dan nilai tambah pada agroindustri skala kecil dibandingkan agroindustri besar disebabkan banyak faktor, antara lain tingkat pendidikan dan keterampilan tanaga kerja yang umumnya relatif terbatas, dan tingkat teknologi yang digunakan cenderung masih sederhana. Oleh karena itu pada masa mendatang perlu upaya untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan teknologi khususnya pada agroindustri skala kecil. Gandum akan dihargai lebih mahal kalau sudah digiling menjadi tepung terigu, dan akan lebih tinggi lagi keitika diolah menjadi roti. Harga roti juga akan lebih mahal kalau diberi layanan tambahan berupa pengiriman ke rumah konsumen dengan menggunakan mobil roti atau disajikan di coffee shop hotel berbintang lima. Suatu waktu di salah satu tempat rekreasi saya terkesan dengan pedagang yang menjual pisang bakar menggunakan gerobak. Pisang bakar ditambah susu kental manis dan keju, hargannya Rp. 2.500,- per buah, sementara harga pisang di pasar Cuma Rp. 7.000,- per sisir yang isinya sekitar 20 buah. Demikian juga ikan tangkapan nelayan yang harga per kilonya hanya sekian ribu rupiah akan berlipat tiga atau empat kali lipat ketika sudah dibersihkan dan dijual di supermarket, apalagi kalau sempat diolah dan dikalengkan menjadi ikan sarden. Pada dasarnya nilai tambah bukan diukur dari apa yang sudah dilakukan termasuk segala biaya yang harus dikeluarkan tetapi diukur dari persepsi nilai di benak konsumen. Karena nilai tambah diukur dengan persepsi konsumen, maka peran pemasaran menjadi termasuk brand menjadi penting. Roti yang sama bisa dihargai lebih mahal kalau dijual dengan merk Holland Bakery, Delicius, atau Sari Roti. Kopi Kapal Api, daging Kibif, minyak goreng Bimoli atau sambal ABC dihargai lebih tinggi oleh konsumen bukan sekedar karena proses pengolahan yang berkualitas tetapi karena kerja keras membangun Brand dan mengkomunikasikannya ke konsumen. Konsumen memang percaya dengan persepsinya. Jadi kalau kita bisa memberi persepsi lebih tinggi melalui valuecreation dan dilengkapi dengan aplikasi pemasaran yang benar maka agroindustri akan memberi sumbangan lebih besar. Selama ini komoditas pertanian sering didera gonjang ganjing anjloknya harga karena pasokan berlimpah. Agroindustri bisa menjadi sarana melepaskan diri dari situasi commodity-like-trap.
19
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PERAN AGROINDUSTRI DAYA SAING Mutu hasil pertanian hingga saat ini masih sangat bervariasi, mulai dari yang bermutu sangat baik hingga sangat buruk. Namun demikian jumlah hasil bermutu kurang baik sangat banyak. Berbagai kasus ditolaknya produk pertanian indonesia di luar negeri disebabkan rendahnya mutu hasil. Disamping itu, rendahnya mutu akan menyebabkan daya saing produk lokal dengan impor akan melemah. Peningkatan mutu agar sesuai dengan standar mutu internasional adalah tantangan paling besar dalam agroindustri. Persoalan mutu menyangkut aspek yang sangat luas yang dimulai dari varietas, lahan, teknologi budidaya, perlindungan tanaman hingga cara panen dan perlakuan pascapanen serta berikutnya agroindustri. Persaingan perdagangan komoditas agro semakin ketat. Beberapa Negara, seperti Thailand melakukan evaluasi daya saing kompetitifnya (competitive advantage) secara periodik untuk mengukur posisi daya saing negaranya. Oleh karena itu daya saing produk agroindustri sangat menentukan dalam memasuki pasar global atau bersaing di pasar lokal. Agenda pengembangan daya saing dilaksanakan melalui (1) program peningkatan mutu dan standardisasi, (2) program pengembangan pemasaran, dan (3) efisiensi dalam produksi. Program peningkatan mutu dan standardisasi dilakukan melalui upaya-upaya antara lain: (1) penyusunan dan penerapan standar (SNI dan standar lainnya sesuai negara tujuan ekspor), meliputi perumusan standar, sosialisasi, dan pembinaan; (2) penerapan sistem jaminan mutu (akreditasi, sertifikasi, pembinaan teknis); (3) peningkatan pengawasan mutu produk untuk menjamin keamanan pangan. Program pengembangan pemasaran antara lain meliputi upaya-upaya: (1) peningkatan kapasitas pemasaran dari para pelaku usaha; (2) pengembangan kelembagaan pemasaran ; (3) peningkatan market inteligence dan informasi pasar; (4) peningkatan promosi hasil pertanian baik di pasar domestik maupun pasar internasional; (5) pengendalian impor bagi produk-produk strategis yang banyak melibatkan petani kecil. Program dalam efisiensi biaya produksi meliputi: (1) peningkatan produktivitas dengan biaya tetap; dan (2) peningkatan produktivitas dengan mengurangi biaya produksi. Program ini dapat dilakukan dengan membangun klaster agroindustri. Oleh karena itu, untuk mewujudkan agroindustri yang mampu menghasilkan produk-produk olahan yang bermutu dan memiliki daya saing maka perlu dikembangkan cara-cara pengolahan hasil pertanian yang berorientasi Good Manufacturing Practices (GMP). Selain itu, untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan perlu diterapkan Hazards Analysis Critical Control Point (HACCP). Dengan menerapkan GMP dan HACCP pada industri pengolahan di pedesaan diharapkan dapat meningkatkan mutu dan nilai tambah secara optimal sehingga dapat memberikan konstribusi yang signifikan pada perekonomian pedesaan. Oleh karena itu produk yang mempunyai daya saing kompetitif tinggi adalah produk yang mempunyai mutu di atas standar yang ditetapkan dan efisien, baik dalam pemasaran maupun efisien biaya produksi. Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan 20
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, dan bukan lagi pengembangan komoditas dan lebih difokuskan pada pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi finished product) dan yang utama produk akhir (final product) yang berdayasaing. Sumatera Selatan dengan potensi bahan baku komoditi unggulan perkebunan (sawit, karet, kopi dan kelapa) pengembangan produk (porduct development) baru seperti pengembangan berbagai jenis industri oleo-pangan dan industri oleo-kimia perlu didorong pengembangannya. Demikian pula pengembangan industri pengolahan karet lanjutan seperti industri ban otomotif dan barang jadi lain dari karet, pengembangan agroindustri kopi dan klaster industri pengolahan kelapa hendaknya segera diwujudkan. FORMULASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI Minimal ada tiga pendekatan dasar untuk mengembangkan agroindustri, yaitu menjadikannya sebagai basis pembangunan dan pemberdayaan ekonomi rakyat (economic basic approach), sebagai motor penggerak pembangunan wilayah (regional approach) dan dilaksanakan dengan pendekatan lintas sektoral (intersector approach). LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN 1. Usulan Kebijakan a. Perlu pengaturan standar mutu komoditas agroindustri, peningkatan peran pemerintah khususnya Pemerintah Kabupaten dan Kota dan mendorong peran swasta untuk melakukan pengendalian mutu dan standarisasi. b. Memacu pemasaran produk agroindustri pada pasar global yang proaktif dan ofensif, dengan melakukan kerjasama yang harmonis dan ofensif antara dunia bisnis, birokrasi dan akademisi. c. Perlu melakukan penyesuaian dengan lembaga-lembaga perwakilan di negaranegara pasar potensial untuk melakukan tugas promosi, membangun jaringan pasar sebagai market intelligence. d. Peran pemerintah yang selama ini sebagai pelaksana pembangunan hendaknya semakin digeser kearah hanya terbatas sebagai pembuat kebijakan, fasilitator, motivator dan dinamisator. e. Perlu deregulasi dan rasionalisasi untuk meningkatkan efisiensi manajemen dan delivery system guna meningkatkan daya saing. f. Perlu kebijaksanaan moneter untuk menurunkan tingkat suku bunga dalam upaya mendorong tumbuhnya investasi agroindustri. g. Perlu kebijakan menggalang kemitraan yang saling menguntungkan antara usaha besar, kecil dan masyarakat tani. h. Perlu mendorong pengembangan teknologi terapan dan proses produksi baru agroindustri dengan melakukan inovasi yang intensif. i. Membuat kebijakan jangka panjang pembangunan agroindustri
21
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
2. Usulan Program a. Program untuk melakukan inovasi intensif terhadap komoditas unggulan, sehingga pohon industri setiap komoditas semakin ke hilir dan pembangunan agroindustri memiliki peluang pengembangan dari hulu sampai ke hilir. b. Perlu program Sistem Informasi Manajemen baik sistem produksi, pasar dan pemasaran, perdagangan, preferensi konsumen, standar mutu sehingga agroindustri yang akan dibangun mempunyai arah yang jelas. c. Program pengembangan jaringan perdagangan, meningkatkan akses pasar dan merebut pangsa pasar baik regional maupun global. d. Program memperkuat koordinasi lembaga kerjasama antara pemerintah/birokrasi, dunia bisnis dan akademisi untuk berpartisipasi aktif dalam mengembangkan agroindustri. e. Program meningkatkan kualitas SDM agroindustri secara berkelanjutan. LANGKAH-LANGKAH OPERASIONAL 1. Perlu dikembangkan produk unggulan dan andalan yang berbasis keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif. 2. Pertanian yang dibangun terintegrasi agroindustri dengan menerapkan kaidahkaidah industri, sehingga diperoleh produk dengan mutu yang baik, seragam dan kontinyu. 3. Peningkatan kualitas SDM dengan pendidikan dan pelatihan agroindustri untuk menghasilkan SDM yang berketerampilan tinggi, berpola pikir industri, berwawasan global dan bermotivasi unggul dan terbaik. 4. Koperasi bukan lagi tempat berkumpulnya masyarakat yang mengharapkan bantuan dan kemudahan pemerintah, tetapi merupakan organisasi tempat berkumpulnya manusia yang berwawasan wirausaha dan berpandangan pasar global. 5. Pengelolaan Sumber Daya Alam bukan lagi tempat menunggu karunia Tuhan, tetapi merupakan media untuk memenuhi kebutuhan bahan baku agroindustri. 6. Pengembangan dan pemanfaatan Iptek Agroindustri tepat sasaran, yaitu teknologi yang sesuai dengan tantangan agroindustri dan produk yang dihasilkan. 7. Penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang memacu pengembangan agroindustri. 8. Dukungan pemasaran dan perdagangan yang memacu pemasaran produk agroindustri. 9. Perlu ditingkatkan kegiatan R & D yang mengarah kepada upaya penemuan “adaftif technology”. Dalam hal ini perlu dilakukan kajian teknologi yang kontinu dalam membentuk cash flow technology/techno-entreprenuership. 10. Perlu penciptaan iklim usaha yang kondusif agar pihak pemodal semakin tertarik untuk membangun agroindustri. 11. Perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan kualitas produk, melalui pembakuan standar, penerapan labelisasi dan perbaikan teknologi pada semua tingkatan proses agroindustri. 12. Memperkuat sistem informasi pasar. 13. Memperpendek saluran pemasaran. 14. Membangun pusat-pusat pemasaran. 22
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
15. Meningkatkan keterkaitan antara produsen dan prosesor 16. Meningkatkan pelayanan untuk koordinasi antara produsen, pemakai jasa dan peneliti. 17. Membuat pewilayahan komoditas 18. Membangun infrastruktur khususnya jalan dan pelabuhan laut. PENUTUP Perkembangan agroindustri selama ini dinilai belum dapat mengimbangi tuntutan dengan potensi yang tersedia dan pangsa pasar. Disadari pula bahwa pengembangan agroindustri merupakan tugas yang sangat berat dan multidimensional sehingga diperlukan partisipasi seluruh lembaga pemerintah dan nonpemerintah, para pakar, lembaga masyarakat serta para praktisi di bidang pertanian, industri dan ekonom, dan sarana pendukungnya. Oleh karena itu, peran dan komitmen pimpinan daerah sangat menentukan dalam mengembangkan agroindustri. Minimal ada tiga pendekatan dasar untuk pembangunan agroindustri saat ini, yaitu menjadikannya sebagai basis pembangunan dan pemberdayaan ekonomi rakyat (economic basic approach), sebagai motor penggerak pengembangan wilayah (regional approach) dan dilaksanakan dengan pendekatan lintas sektoral (intersectoral approach). Pengelolaan agroindustri haruslah bersifat: 1) terpadu antar satu subsistem dengan subsistem lain atau antar sektor secara harmonis dan komprehensif, 2) terkoordinasi antar instansi pembina dari perencanaan hingga pelaksanaan, dan 3) terpantau pelaksanaannya agar dapat selalu dikoreksi, diperbaiki dan ditingkatkan pengembangannya. DAFTAR PUSTAKA Amin Azis, M. (ed.). 1993. Pasar Global Agroindustri. CIDES, Jakarta. Brown, J.G. 1994. Agroindustrial Investment and Operation. The Word Bank, Washington, D.C. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian Melalui Agroindustri Perdesaan. Departemen Pertanian Habibie, B.J. 2004. Beberapa Pemikiran tentang Peran Sumberdaya Manusia dalam Membangun Masa Depan Bangsa. Disampaikan di hadapan Guru Besar, Dosen dan Mahasiswa Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 10 Februari 2004. Hasbi. 2001. Rekayasa sistem kemitraan usaha Pola Mini Agroindustri Kelapa Sawit. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Porter, M.E. 1980. Competitive Strategy. Mc Millan Pub. Co. Inc. New York. 23
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Said, E. G. dan Wiyandi, S. 1993. Pengembangan Agroindustri di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Supriyati., A. Setiyanto., E. Suryani & H. Tarigan. 2006. Analisis Peningkatan Nilai Tambah Melalui Pengembangan Agroindustri. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian & Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Walker, J. W. 1992. Human Resources Strategy. McGraw-Hill, Inc. New York. Yuliati, K. 2007. Pengembangan Agroindustri di Indonesia (Draft Publikasi).
24