35
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN
Benito Heru Purwanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah M ada, Yogyakarta
Abtrak. Gambut dapat terlonggok dalam rejim suhu yang tinggi di tempat yang kekurangan oksigen sebagai akibat dari kondisi terendam selama jangka waktu yang panjang serta substratum mineral dasarnya rendah hara. Gambut o mbrogenous tanah gambut dari Indonesia memiliki karakteristik fisik dan kimia yang dicirikan oleh kerapatan lindak (bulk density) yang rendah mulai dari 0,1 sampai 0,2 g cm-3, dengan kapasitas menahan air yang relatif tinggi (sekitar 100% berdasarkan berat), tetapi berubah men jadi hid rofobik ket ika lebih-kering, pH rendah, dan kandungan hara yang rendah. Kualitas substrat gambut yang diuji dengan 13 C NMR CPMAS menunjukkan proporsi alkil, O-alkil, aro matik, dan C karbonil di C total berkisar antara 14,5-27,8 %, 18,636,0%, 32,3-49,8%, 10,4-13,6% dan masing-masing. Hasil in i menunjukkan C aro matik sebagai kelo mpo k gugus fungsional C yang dominan dalam SOM gambut tropis. FTIR spectroscopy menunjukkan bahwa gambut dangkal mempunyai absorpsi pada spektrum 3400 cm-1 , 2920–2860 cm-1 , 1720 cm-1 , 1600-1650 cm-1 , 1380–1440 cm-1 , and 1400 cm-1 ). Disimpu lkan bahwa gambut dalam mempunyai tingkat aro matik yang lebih banyak daripada gambut dangkal dan gambut dangkal mengandung lebih banyak senyawa senyawa yang mudah terdekomposisi daripada gambut dalam sebagai akibat usikan yang telah diberikan pada gambut. Pengelolaan lahan gambut dapat dibincangkan sejauh mana pengelolaan tersebut dapat menjamin keberlan jutan manfaat dari gambut. Pengelo laan yang berkelanjutan berarti bagaimana pengelolaan gambut yang sekarang dapat mengambil manfaat dari gambut tanpa membahayakan generasi mendatang mengambil manfaat dari gambut tersebut Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan perlu memperhitungkan sejauh manakah manfaat tersebut dapat lestari.
PROSES PEMBENTUKAN GAMBUT Memb incangkan pengelolaan gambut tidak b is a terlepas dari proses pembentukannya. Gambut terbentuk ketika proses produksi bio massa melebih i proses perombakannya. Pembentukan gambut ditandai oleh kemampuan ekosistem yang unik untuk mengu mpulkan dan menyimpan bahan organik mat i, di bawah kondisi jenuh air, kandungan oksigen rendah, unsur-unsur beracun dan ketersediaan hara rendah. Tanah gambut tropika u mu mnya berbeda dengan tanah gambut daerah beriklim sedang karena berasal dari vegetasi kayu, dan terletak d i daerah dengan curah hujan dan suhu tinggi. Suhu adalah faktor utama pelonggok gambut di belahan bumi utara. Suhu lingkungan yang cukup tinggi untuk pertumbuhan tanaman, namun terlalu rendah untuk pertumbuhan dan aktifitas mikrobia, sehingga laju pelonggokan bahan sangat kuat (International Peat
421
B. H. Purwanto
Society, 2002). Oleh karena itu, pada awalnya gambut tidak diduga ada di daerah tropika karena suhu lingkungan yang cukup tinggi untuk pertumbuhan tanaman maupun mikrobia, h ingga Kooders menerbitkan deskripsi luas hutan gambut tropis pada tahun 1895 (Andriesse, 1988). Temuan tersebut mementahkan teori bahwa gambut hanya terbentuk di lingkungan yang bersuhu rendah dan iklim d ingin. Bahkan, suhu bukan satu satunya faktor yang mengendalikan pembentukan gambut, karena gambut dapat terlonggok dalam rejim suhu yang tinggi di tempat yang kekurangan oksigen sebagai akibat dari kondisi jenuh air dalam jangka waktu yang panjang serta substratum mineral dasarnya yang rendah hara (Notohadiprawiro 1997). Sedang Chap man (2002) menyatakan bahwa, karena kapasitas panas yang besar, suhu air lebih rendah dari suhu sekitar yang mengarah kepada pelambatan proses dekomposisi bahan organik dan percepatan pelonggokan gambut. Penelit ian yang dilaku kan di Sarawak (Malaysia), Su matera dan Kalimantan oleh Diemont et al. (1992) menyatakan bahwa awal mu la pembentukan gambut di Asia Tenggara adalah ketika terjadi kenaikan permu kaan laut sejak akhir zaman Pleistosen,. Selama berabad-abad berikutnya, terjad i deposisi lateral yang cepat sebagai endapan pantai. Pelonggokan gambut di Indonesia paling cepat terjadi pada tahap awal pembentukannya, dengan rata-rata 2 – 5 m/ 1000 tahun. Penelitian pembentukan gambut di Sarawak menduga gambut terdalam yang terbentuk 4300 BP yang lalu teraku mulasi pada laju 4,7 m/ 1000 tahun, sedangkan yang terbentuk 3900 BP teraku mulasi dengan laju 3 m/ 1000 tahun, tetapi yang terbentuk 2300 tahun yang lalu terakumu lasi dengan laju 2,2 m/ 1000 tahun (Andriese 1988). Laju pembentukan gambut di daerah tropis tersebut jauh melampaui kecepatan pembentukan gambut di daerah yang bersuhu dingin. Pembentukan gambut di daerah pantai Maine, USA hanya terakumu lasi pada laju 0,66 m/1000 tahun. (Cameron et al. 1990). Tampak bahwa semakin lama laju pertumbuhan gambut tersebut semakin menurun, yang dalam lingkungan global pada saat ini diperkirakan laju pertumbuhan gambut hanya 2 m/1000 tahun (Notohadiprawiro 1997). Tetapi karena perubahan yang kuat dari intensitas hujan dan periode hujan pada periode belakangan ini, maka laju aku mu lasi gambut menjadi semakin lambat dan kemungkinan saat ini pelonggokan gambut sangat kecil terjadi di Indonesia, terutama di daerah Kalimantan yang mempunyai bulan kering 3- 5 bulan. Kekurangan air pada periode tersebut dan kehilangan gambut akibat oksidasi selain karena usikan terhadap lahan gambut akan tetapi juga karena perubahan iklim, laju degradasinya diperkikaran 1 m/ 1000 tahun. Gambaran pelambatan pertumbuhan gambut tersebut harus diperhitungkan dalam pengelolaan lahan gambut, sehingga wajar bahwa dalam lingkungan yang tidak terusikpun pertumbuhan gambut dapat terlampaui oleh proses perombakannya. Apalagi dalam lingkungan yang terusik, laju pertu mbuhan gambut akan mudah terlampau i oleh laju pero mbakan gambut. Kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan gambut dipicu oleh kenaikan muka air laut, maka pertu mbuhan gambut tropika terpengaruh oleh 422
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan
lingkungan iklim global dan dalam masa yang sangat lama. Oleh sebab itu bersifat tidak dapat diperbaharui, atau dalam waktu yang lama.
SIFAT DAN KUALITAS SUBSTRAT GAMBUT TROPIKA Gambut yang terbentuk di daerah beriklim sedang dikenal sebagai gambut omb rogenous (Bog), yaitu terbentuk semata-mata sebagai akibat dari pasokan air atmosfer dan topogenous tanah gambut (Fen), yang berarti air yang statis dan sebagai akibat dari posisi topografi (Chapman 2002). Di Indonesia, kubah-kubah gambut ombrogenous terletak pada topografi di atas batas tertinggi pasang sungai pada musim hujan, sehingga gambut dapat menumpuk untuk kedalaman yang cukup besar (hingga 20 m) (Rieley et al. 1997). Deposit tanah organik yang menempati bagian tengah kubah umu mnya dikenal sebagai gambut omb rogenous, sementara di sekitarnya dan di sepanjang pinggiran kubah gambut didominasi oleh gambut topogenous. Hampir semua gambut di Indonesia adalah gambut ombrogenous, gambut topogenous hanya dijumpai di beberapa lokasi terpencil dan relatif tidak signifikan. Karakteristik fisik dan kimia tanah gambut topogenous lebih menguntungkan untuk tanaman dibandingkan gambut ombrogenous . Gambut ombrogenous dari Indonesia dan Malaysia memiliki karakteristik fisik dan kimia u mu m, seperti kerapatan lindak (bulk density) rendah (0,1 - 0,2 g cm-3 ), kapasitas menahan air relatif tinggi (100% berdasarkan berat), tetapi berubah menjad i hidrofobik ketika lebih kering (Diemont dan Pons 1992). pH u mu mnya rendah, sekitar 3,1-4,6 pada lapisan atas dan 3,0-4,2 pada lapisan bawah (Yonebayashi et al. 1997). Kadar abu gambut berkisar 2,4 - 16,9% dan cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman (Mutalib et al., 1992). Uji Kandungan N umu mnya tinggi (Radjagukguk 1992), K, Ca, dan Mg biasanya kurang dari 1,0; 0,5-5,0 kg dan 1,0-10,0 cmo l-1 , Zn, Fe dan Mn jarang melebih i 5; 35 dan 50 pg ha-1 (Lim Tie, 1992). Survei rawa pasang surut untuk pemukiman transmigrasi sampai dengan tahun 1983 menunjukkan bahwa tanah gambut di Indonesia memiliki ketebalan 0,4 hingga lebih dari 10 m. Dari daerah rawa pasang surut yang di survei tersebut, 36,2% diklasifikasikan sebagai gambut dangkal (0-100 cm), 14% sebagai gambut mediu m (100-200 cm) dan 49,8% d iklasifikasikan sebagai gambut dalam (>200 cm) (Radjagukguk, 1992). Jelas sekali bahwa sekitar 50% dari lahan gambut tersebut memiliki ketebalan > 2 m. Gambut dalam diperkirakan mencapai luas 8,8 juta ha yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Perwakilan spektru m 13 C CPMAS NM R CPMAS tanah gambut ditunjukkan pada Gambar 1. Puncak sinyal utama yang diamat i pada 32-33 pp m (CH2 dalam rantai alkil lurus), 55-57 ppm (metho xyl), 61-64 pp m (alkohol primer), 72-85 pp m (alkohol sekunder), 103-105 ppm (asetal ), 114-116 dan 128-133 ppm (aril), 148-152 ppm (O-aril), dan 171-175 pp m (karboksil / amida karbonil) atas sampel. 423
B. H. Purwanto
Gambar 1.
13
C CPMAS NMR spectra dari gambut dalam (Riau 1 dan 2), dan gambut dangkal (Lampung 13 dan Lampung 79)
Tabel 1 menunjukkan ko mposisi C yang diperkirakan dengan spe ktra 13C NM R CPMAS. Proporsi alkil, O-alkil, aro matik, dan C karbonil d i C total berkisar antara 14,527,8 %, 18,6-36,0%, 32,3-49,8%, 10,4-13,6% dan masing-masing. Ko mposisi C rata-rata untuk tanah gambut tropis diperoleh dengan mengeluarkan data untuk sampel Sakata (Jepang) adalah 22,7%, 28,2%, 36,9%, dan 12,1% untuk alkil, O-alkil, aro matik, dan C karbonil, masing-masing. Hasil ini menunjukkan C aro mat ik sebagai kelo mpok gugus fungsional C yang dominan dalam SOM gambut tropis. Tabel 1.
Ko mposisi C yang diperkirakan menggunakan spektra 13C NMR CPMAS
Soil
Carbonyl C (160-190 ppm, %)
Aromatic C (110-160 ppm, %)
O-alkyl C (45-110 ppm, %)
Alkyl-C (0-45 ppm, %)
Lampihong Lampung 13 Lampung 6 Lampung 79 Pulau Pinang Rawa Pening Riau 1 Riau 2 Sarawak Sakata
13.4 13.6 11.9 12.9 10.7 11.0 13.0 10.4 12.3 17.0
39.2 41.6 40.1 36.6 32.3 37.4 37.2 33.0 34.7 49.8
25.6 22.8 27.2 21.7 31.7 34.2 25.5 36.0 29.0 18.6
21.8 21.9 20.7 27.8 25.3 17.9 24.3 20.6 24.0 14.5
424
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan
Dilaporkan bahwa nilai rata-rata proporsi alkil, O-alkil, aro matik, dan C karbonil dalam dua belas gambut dari Norweg ia masing -masing 36,7%, 48,8%, 8,5%, dan 5,9%. Gambut dari Kanada 19-30%, 36-60%, 15-28%, dan 5-9% dengan urutan yang sama. Dengan demikian, gambut tropis lebih banyak mengandung C aro mat ik dan karbonil daripada gambut subartik. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan perbedaan dalam kandungan lignin dari vegetasi utama pembentuk gambut. Kandungan lignin setara dengan 37% dari C aro mat ik adalah > 600 g kg -1 berdasarkan berat kering, dengan asumsi ko mposisi C rata-rata adalah C aro mat ik lign in: alkil C: C = 6 metho xyl: 3: 1. Nilai ini jauh lebih t inggi dari kandungan lignin tanaman, < 400 g kg -1 pada umumnya. Hal ini menunjukkan perkembangan dekomposisi dan oksidasi bahan alifatik di dalam gambut sehingga secara residual terjadi peningkatan kandungan aromatiknya. Fraksi O-alky l, termasuk di dalan N-alky l C berasal dari karbohidrat maupun protein atau peptide. Fraksi O-alky l in i termasuk didalamnya bahan- bahan yang mudah didekomposisi dan bahan yang masih tersisa dari dekomposisi. Sedangkan sumber utama dari alkyl C adalah lipid terutama dalam kondisi anoksik yang didalamnya termasuk senyawa -senyawa yang tahan terhadap dekomposisi seperti kutin, suberin dan waxes.
Gambar 2. FTIR Spektrogram dari gambut dalam Top of Form Bottom of Form FTIR spectroscopy menunjukkan bahwa gambut dangkal mempunyai absorpsi pada spektrum 3400 cm-1, 2920 – 2860 cm-1, 1720 cm-1, 1600-1650 cm-1, 1380 – 1440 425
B. H. Purwanto
cm-1, dan 1400 cm-1 (Gambar 2). Absorpsi pada panjang gelombang 1510 cm-1 hanya ditemu kan pada gambut dalam, sedangkan absorpsi pada panjang gelombang 1170 – 950 cm-1 ditemu kan baik pada gambut dalam maupun gambut da ngkal tetapi dengan intensitas yang lebih tinggi pada gambut dangkal daripada gambut dalam. Absorpsi pada panjang gelombang 1510 cm-1 merupakan peregangan (streching) dari rantai aromatik C=C, sedangkan peregangan pada rantai C-O pada panjang gelo mbang 1170 - 950 cm-1 dapat berasal dari polisakarida. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gambut dalam mempunyai tingkat aro matik yang lebih banyak daripada gambut dangkal dan gambut dangkal mengandung lebih banyak senyawa yang mudah terdekomposisi daripada ga mbut dalam sebagai akibat usikan yang telah diberikan pada gambut.
USIKAN DAN KEBERLANJUTAN MANFAAT LAHAN GAMBUT Secara konvensional gambut ditakrifkan sebagai bahan organik yang seluruhnya vegetatif. Dalam ilmu tanah, gambut bukanlah entitas alam yang tersendiri atau terpisah, melainkan berasosiasi dengan tanah-tanah lainnya yang mempunyai kandungan bahan mineral yang sangat beragam. Sebagai konsekuensinya gambut juga mengandung bahan -bahan yang merupakan transisi antara tanah organik dan tanah mineral. Oleh karena itu, sudah seharusnya pengelolaan lahan gambut tidak hanya memperhitungkan substrat sebagai bahan pembentuk gambut tetapi juga memperhitungkan lingkungan pembentukannya . Notohadiprawiro (1997) menyebutkan bahwa usikan pertanian dapat menyebabka n pengaruh yang besar terhadap gambut, sedangkan kehutanan dan perikanan lebih rendah tingkat usikannya terhadap gambut. Pengelolaan lahan gambut dapat dibincangkan sejauh mana pengelolaan tersebut dapat menjamin keberlan jutan manfaat dari gambut. Berkelanjutan berarti adanya suatu kepercayaan bahwa generasi sekarang dapat berbuat sesuatu, sehingga generasi mendatang dapat mengenyam taraf kehidupan yang lebih baik. Pengelolaan berkelan jutan berarti bagaimana pengelolaan gambut yang sekarang dapat mengambil manfaat tanpa membahayakan generasi mendatang untuk mengambil manfaat dari gambut tersebut (Notohadiprawiro, 1996). Berbagai man faat dari lahan gambut disarikan oleh Maltby (1997); Rieley (2005) baik yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung yang bisa diperoleh adalah perlindungan dari tekanan alam, rekreasi dan edukasi, produksi tanaman dan manfaat lainnya bagi ko munitas lokal. Dalam hal in i manfaat gambut diperoleh atas fungsinya dalam hubungannya dengan ko munitas manusia (fungsi sosial dan ekonomi). Disamping itu, gambut juga mempunyai manfaat yang secara tidak langsung yang terkait dengan fungsi ekologinya, yaitu retensi sedimen, pemerangkapan hara (nutrient detention), dan penyeimbangan iklim mikro, fungsi keseimbangan hidrologi kawasan, wildlife resources, dll. Memperhatikan ragam manfaat gambut tersebut, maka pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan perlu memperhitungkan sejauh manakah manfaat tersebut dapat lestari.
426
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Andriesse, J.P. 1988: Nature and management of tropical peat soils. FA O So il Bulletin 59. Ro me. Cameron, C.C., Palmer, C.A. and Esterle, J.S. 1990: The geology of selected peat -forming environment in temperate and tropical lat itudes. International of Journal of Coal Geology. 16, 127-13 Chap man, D. 2002: Peatland and environ mental change. John Wiley & Sons Ltd. 301p Diemont, W.H. and Pons, L.J. 1992: A preliminary note on peat format ion and gleying in the Mahakam in land floodplain, East Kalimantan, Indonesia. In Tropical Peat, Proceedings of the International Sy mposium on Tropical Peatland. Sarawak. Malaysia. Ed. S.L. Tan, B. A zis, J. Samy, Z. Salmah, H.S. Petimah, and S.T. Choo. pp. Muhamed, M. 2002: The peat soils of Sarawak. Status Report The Peat of Sarawak (STRAPEAT). 16p.74-80, MARDI, Sa rawak Muhamed, M. 2002: The peat soils of Sarawak. Status Report The Peat of Sarawak (STRAPEAT). 16p. Notohadiprawiro, T. 1997: Twenty-five years experience in peatland development for agriculture in Indonesia. In Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands, Ed. J.O. Rieley and S.E. Page, p 301-310, Samara Publishing Ltd., Cardigan Radjagukguk, B. 1992: Utilizat ion and management of peatlands in Indonesia for agriculture and forestry. In Tropical Peat, Proceedings of the International Symposiu m on Tropical Peatland. Sarawak. Malaysia. Ed. S.L. Tan, B. A zis, J. Samy, Z. Salmah, H.S. Petimah, and S.T. Choo. pp. 21 -27 Rieley, J.O. 1992: The ecological of tropical peatswamp forest -A Southeast Asian perspective. In Tropical Peat, Ed. S.L. Tan, B. A zis, J. Samy , Z. Salmah, H.S. Petimah, and S.T. Choo., p. 244-254, MARDI, Sarawak. Rieley. J.O. 2005. Environ mental and Economic Importance of Lowland Tropical Peatlands of Southeast Asia: Focus on Indonesia. In : Ro le of Tropical Peatlands in Global Change Processes. Yonebayashi, K., Okazaki., M ., Kaneko, N and Funakawa, S. Tropical Peatland Soil Ecosystem in Southeast Asia: Their Characterizat ion and Sustainable Utilizat ion. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands, Palangkaraya, Indonesia. pp 103-112 Tie, Y.L. and Lim, J.S. 1992: Characteristics and classification of organic soils in Malaysia. In Tropical Peat, Ed. S.L. Tan, B. Azis, J. Samy, Z. Salmah, H.S. Petimah, and S.T. Choo., p. 107-113, MARDI, Sarawak.
427
B. H. Purwanto
428