Prosiding Seminar Nasional PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI UNTUK MITIGASI EMISI GRK DAN PENINGKATAN NILAI EKONOMI Jakarta, 18-19Agustus 2014
PENANGGUNGJAWAB: Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
PENYUNTING: A. Wihardjaka Eni Maftu’ah Salwati Husnain Fahmuddin Agus
REDAKSI PELAKSANA: Widhya Adhy Emo Tarma Mega Yuni Hikmawati Kartika Ratnawati Widias Utari H.Z. Yani Nurhayani
Diterbitkan tahun 2014 oleh : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12, Kampus Penelitian Pertanian, Cimanggu, Bogor 16114 Telp (0251) 8323012, Fax (0251) 8311256 e-mail :
[email protected], website : bbsdlp.litbang.pertanian.go.id Sumber dana: ICCTF Fase II TA 2012-2014 ISBN 978-602-8977-83-8
KATA PENGANTAR Luas lahan gambut Indonesia saat ini sekitar 14,9 juta ha. Sebagian lahan gambut tersebut sudah digunakan untuk pertanian dan sebagian terlantar atau terdegradasi yang ditumbuhi semak belukar. Selain tidak produktif, lahan gambut terlantar tersebut menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK). Pengelolaan lahan gambut harus memperhatikan karakteristik gambut, kondisi hidrologi, dan kedalaman gambut. Pengaturan kedalaman muka air tanah, pemupukan dan ameliorasi lahan gambut terdegradasi merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas gambut dan menekan emisi GRK. Pengelolaan lahan gambut terlantar atau terdegradasi yang ditutupi oleh semak belukar merubah lahan terlantar menjadi lahan produktif dan berpotensi menurunkan emisi GRK nasional yang diamanatkan di dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011. Prosiding ini terdiri atas 25 makalah yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut yang dilaksanakan pada tanggal 18-19 Agustus 2014 di Jakarta. Makalah dalam prosiding ini sudah melalui proses editing sebelum dan sesudah pelaksanaan seminar. Makalah yang dipresentasikan adalah hasil dari kegiatan penelitian kerjasama Kementerian Pertanian dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam pogram Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Fase II, yang dilaksanakan di lima provinsi yaitu Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua. Kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penelitian dan penyusunan prosiding ini diucapkan terima kasih. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi pengguna yang memperhatikan kelestarian lahan gambut dalam antisipasi perubahan iklim dan menambah wawasan dalam pengelolaan gambut terdegradasi secara berkelanjutan.
Jakarta, Oktober 2014 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Dr. Ir. Haryono, MSc
i
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................
i
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG PERTANIAN .................
vii
RUMUSAN ................................................................................................. Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi: Trade-off Keuntungan Ekonomi dan Aspek Lingkungan Fahmuddin Agus, Wahyunto, Hendri Sosiawan, I G.M. Subiksa, Prihasto Setyanto, Ai Dariah, Maswar, Neneng L. Nurida, Mamat H.S., Irsal Las .......
ix
1
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut: Sintesis dari Empat Lokasi Penelitian I G.M. Subiksa, I G.P. Wigena, Diah Setyorini, Salwati, Nurhayati, Tuti Sugiarti, Anang Firmansyah .........................................................................
25
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut dan Pemberian Bahan Amelioran: Sintesis Lima Lokasi Penelitian Prihasto Setyanto, Titi Sopiawati, Terry Ayu Adriani, Ali Pramono, Anggri Hervani, Sri Wahyuni, A. Wihardjaka ..............................................
45
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi: Analisis Sosial Ekonomi dan Lingkungan Mamat H.S., Neneng L. Nurida, Irawan, Sukarman, Anny Mulyani, Meli Fitriani, Arsil Saleh, Irsal Las.......................................................................
63
Indonesian Peatland Map : Method, Certainty, and Uses Wahyunto, Kusumo Nugroho, Sofyan Ritung, Yiyi Sulaeman ......................
81
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut Lokasi Demplot ICCTF Jabiren, Kalimantan Tengah Hendri Sosiawan, Budi Kartiwa, Wahyu Tri Nugroho, Haris Syahbuddin ..
97
Respon Tanaman Tumpangsari (Kelapa Sawit + Nenas) terhadap Ameliorasi dan Pemupukan di Lahan Gambut Terdegradasi Masganti, I G.M. Subiksa, Nurhayati, Winda Syafitri ..................................
117
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas dan Keuntungan Sistem Tumpangsari (Kelapa Sawit + Nenas) di Lahan Gambut Provinsi Riau Nurhayati, Suhendri Saputra, Aris Dwi P., Ida Nur Istina, Ali Jamil ..........
133
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat terhadap Pertumbuhan dan Emisi CO2 pada Pembibitan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Ida Nur Istina , Benny Joy, Aisyah D. Suyono, Happy Widiastuti, Heri Widianto .......................................................................................................
147
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran (Studi Kasus Desa Arang-Arang Provinsi Jambi) Salwati, R. Purnamayani, Firdaus, Lutfi Izhar ............................................
161
iii
Aspek Agronomis dan Analisis Finansial Tanaman Karet dan Nenas Terhadap Berbagai Perlakuan Amelioran di Lahan Gambut M.S. Mokhtar, M.A. Firmansyah, W.A. Nugroho .........................................
177
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial Penggunaan Beberapa Jenis Amelioran di Lahan Gambut Terdegradasi Kalimantan Barat Tuti Sugiarti, Jafri, Juliana C. Kilmanun ..................................................
185
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.) Menggunakan Perangkap Feromon pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) di Lahan Gambut Provinsi Riau Hery Widyanto, Suhendri Saputra, Suryati ...................................................
195
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.) Plantation in Papua Peat Land, Indonesia Anggri Hervania, Randy Sanjaya, A. Wihardjaka, Prihasto Setyanto, Maswar .........................................................................................................
205
Emisi gas CO2 dari Pertanaman Jagung (Zea mays) dan Nenas (Ananas comosus) di Lahan Gambut, Kalimantan Barat Titi Sopiawati, A. Wihardjaka, Prihasto Setyanto, T. Sugiarti .....................
215
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Provinsi Jambi terhadap Emisi CO2 Terry Ayu Adriany, A. Wihardjaka, Prihasto Setyanto, Salwati ...................
225
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit (Elaeis guinensis) dan Nenas (Ananas comosus) dengan Beberapa Perlakuan Amelioran Sri Wahyuni, A. Wihardjaka, Prihasto Setyanto, Nurhayati, Hery Widianto ..
237
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari Karet dan Nenas di Lahan Gambut Kalimantan Tengah Ali Pramono, W.A. Nugraha, M.A. Firmansyah, A. Wihardjaka, Prihasto Setyanto ........................................................................................................
249
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut Jabiren, Kalimantan Tengah Prihasto Setyanto, A. Wihardjaka, Eni Yulianingsih, Fahmuddin Agus ......
263
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya: Studi Kasus di Provinsi Kalimantan Barat Heri Wibowo, Tuti Sugiyarti, Setiari Marwanto, Fahmuddin Agus .............
273
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Riau Hery Widyanto, Nurhayati, Ai Dariah, Ali Jamil .........................................
285
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) dan Lahan Semak Belukar di Pelalawan, Riau Sarmah, Nurhayati, Hery Widyanto, Ai Dariah ...........................................
295
iv
Dampak Ameliorasi Tanah Gambut Terhadap Cadangan Karbon Tanaman Kelapa Sawit dan Karet Ai Dariah,Erni Susanti .................................................................................
307
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut Ditinjau dari Aspek Dinamika Cadangan Karbon Tanaman Erni Susanti, Ai Dariah ................................................................................
319
Cadangan Karbon dan Laju Subsiden pada Beberapa Jenis Penggunaan Lahan dan Lokasi Lahan Gambut Tropika Indonesia Maswar, Fahmuddin Agus ...........................................................................
333
DAFTAR HADIR ......................................................................................
345
DAFTAR ACARA .....................................................................................
349
v
vi
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN TEMU STAKEHOLDER (NETWORK MEETING) dan SEMINAR NASIONAL PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Jakarta, 18-19 Agustus 2014 Assalaamu’alaikum warohmatullaahi wabarakaatuh, Salam sejahtera untuk kita semua. Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Saudara-saudara para hadirin yang saya hormati, Saya mengapresiasi pelaksanaan acara yang akan membahas hasil kegiatan kerjasama antara Badan Litbang Pertanian dengan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) serta dukungan Saudara-saudara para hadirin sekalian. Rangkaian acara yang meliputi Temu Stakeholder berupa “Talk Show” dan Seminar Nasional yang akan diselenggarakan hari ini dan besok serta Focus Group Discussion (FGD) yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2014 diharapkan dapat merumuskan kebijakan pengelolaan berkelanjutan lahan gambut terdegradasi yang didasarkan pada hasil penelitian ilmiah. Acara ini juga diharapkan dapat membangun jejaring (networking) antara berbagai kalangan yang berkaitan dengan keilmuan dan kebijakan penggunaan lahan gambut, sehingga lahan gambut terdegradasi dapat dioptimalkan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan. Saudara-saudara para hadirin sekalian Lahan gambut merupakan sumberdaya yang tergolong sebagai lahan suboptimal. Teknologi hidrologi dan pengelolaan tanah mampu meningkatkan peran ekonomi lahan gambut sehingga dalam dua dekade terakhir lahan ini semakin berperan penting sebagai lahan penghasil produk pertanian. Di samping peran penting dalam sektor pertanian, lahan gambut juga mempunyai fungsi sangat strategis sebagai penghasil jasa lingkungan. Akan tetapi seringkali pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian menurunkan fungsi lingkungannya sehingga pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga kelestariannya bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, juga harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat. Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan sangat penting mengingat pentingnya lahan gambut sebagai penyimpan karbon, pentingnya peran hutan gambut sebagai peyimpan keanekaragaman hayati dan mengingat rapuhnya ekosistem lahan gambut jika dikonversi ke penggunaan lain selain hutan.
vii
Kondisi aktual di lapangan saat ini memperlihatkan bahwa sudah cukup luas terjadi deforestasi dan konversi lahan untuk kegiatan pertanian, perumahan dan perkotaan. Dari sekitar 14,9 juta ha luas total lahan gambut, sekitar 8,3 juta ha berupa hutan, baik hutan primer, maupun hutan sekunder. Sekitar 3 juta ha lahan gambut dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Disamping cukup luasnya lahan yang produktif, sekitar 4,2 juta ha lahan gambut merupakan lahan terdegradasi yang tidak produktif yang ditumbuhi oleh semak belukar atau merupakan lahan terbuka. Lahan terdegradasi ini selain tidak produktif juga merupakan sumber emisi gas rumah kaca. Pada umumnya lahan terdegradasi tersebut berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Akan tetapi berbagai kendala teknis, sosial dan aturan perundangundangan menyebabkan lahan ini menjadi lahan terlantar. Untuk itu diperlukan berbagai gagasan bagaimana agar lahan terdegradasi ini bisa berubah menjadi lahan yang bermanfaat ekonomi dan sekaligus memperbaiki kondisi lingkungannya. Emisi gas rumah kaca yang salah satunya bersumber dari lahan gambut yang sudah dikonversi dan didrainase, merupakan masalah global dan nasional yang banyak diperbincangkan. Secara nasional, lahan gambut merupakan salah satu tumpuan utama penurunan emisi gas rumah kaca seperti dituangkan di dalam Peraturan Presiden No. 61/2011. Di dalam forum internasional lahan gambut tropis banyak diperbincangkan karena pentingnya fungsi lingkungannya. Saudara-saudara para hadirin yang saya hormati, Dari rangkaian acara talk show, seminar dan Focus Group Discussion saya berharap akan dihasilkan gagasan yang implementatif tentang pemanfaatan lahan gambut terdegradasi. Dari seminar yang akan dilaksanakan hari ini dan besok, saya berharap akan dapat ditampilkan data hasil penelitian yang menyumbangkan kepada ilmu pengetahuan dan dapat ditampilkan pada berbagai media, termasuk publikasi pada jurnal nasional maupun internasional. Seminar juga diharapkan akan memberikan arahan pengelolaan lahan gambut untuk memaksimalkan manfaat ekonominya dan meminimalkan dampak lingkungannya. Temu lapang yang akan dilaksanakan pada tanggal 20 Agustus di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat diharapkan menjadi media penyampaian hasil penelitian serta media untuk mendapatkan umpan balik dari pengguna teknologi. Dengan membacakan Bismillahirrahmanirrahim, rangkaian acara Talk show dan seminar ini saya buka secara resmi. Selamat berdiskusi. Wabillahittaufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Kepala Badan Litbang Pertanian Dr. Ir. Haryono, MSc
viii
RUMUSAN SEMINAR NASIONAL DAN NETWORK MEETING PENELITIAN PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI UNTUK MITIGASI EMISI GRK DAN PENINGKATAN NILAI EKONOMI Tema : Peningkatan Manfaat Ekonomi dan Penurunan Dampak Lingkungan Lahan Gambut Terdegradasi Hotel Le Meridien, Jakarta 18-19 Agustus 2014 I. UMUM Pemerintah Republik Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 26% secara unilateral dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020, relatif terhadap emisi business as usual (BAU). Salah satu sasaran utama aksi mitigasi nasional dari sektor berbasis lahan (pertanian dan kehutanan) adalah lahan gambut. Disadari bahwa tidak mudah mencegah emisi GRK dari lahan gambut, namun melalui penerapan inovasi teknologi yang tepat maka tingkat emisi yang terjadi bisa dikurangi. Program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Fase II bertujuan untuk merakit berbagai teknologi yang dapat diaplikasikan untuk menekan emisi GRK dari lahan gambut, sekaligus meningkatkan manfaat lahan tersebut. Tujuan utama ICCTF Fase II adalah memetakan lahan gambut terdegradasi, mengembangkan strategi dan kebijakan pengurangan emisi GRK pada lahan gambut, meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kapasitas lembaga dalam mengelola dan memonitor lahan gambut dan membangun networking kelembagaan antara lembaga penelitian nasional dan internasional, lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (NGO). Untuk mencapai tujuan tersebut maka telah dilaksanakan serangkaian penelitian mulai tahun 2012 sampai pertengahan 2014. Hasil penelitian dibahas dalam 1) network meeting dan 2) Seminar Ilmiah pengelolaan lahan gambut. Acara Seminar Nasional dan network meeting Penelitian Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi untuk Mitigasi Emisi GRK dan Peningkatan Nilai Ekonomi dibuka oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Panelis dalam acara network meeting adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan dan Ketua Himpunan Gambut Indonesia. Peserta lebih kurang 110 orang yang berasal dari Badan Meteorologi,
ix
Geofisika dan Klimatologi, Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Sekretariat Indonesia Climate Change Trust Fund, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Perguruan Tinggi (UGM, IPB, Universitas Jambi), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, PTPN, Biro Perencanaan Kementerian Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, dan Balai Penelitian di lingkup Badan Litbang Pertanian. II.
HASIL SEMINAR DAN TALKSHOW
Acara Talkshow dan seminar ilmiah menghasilkan rumusan sebagai berikut : 1. Mengingat kompleksnya masalah lahan gambut maka jejaring (networking) yang sudah ada perlu lebih ditingkatkan dengan melibatkan stakeholder yang lebih luas, termasuk stakeholder yang terlibat dalam peraturan dan perundang-undangan tata guna lahan, sosial ekonomi pertanian dan kelembagaan. 2. Perkiraan luas lahan gambut yang berbeda-beda sering mendatangkan masalah, karena akan menyulitkan dalam perencanaan penggunaan dan usaha penurunan dampak lingkungan serta inventarisasi emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan gambut. Untuk itu diperlukan penguatan one map policy. 3. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, memperkirakan luas lahan gambut di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua sekitar 14,9 juta hektar. Peta tersebut mempunyai tingkat ketelitian cukup tinggi (83,6%) untuk Sumatera dan Kalimantan. Akan tetapi tingkat ketelitian lebih rendah untuk Papua kerena relatif rendahnya jumlah dan sebaran data survei tanah di Papua. Untuk itu survei tanah gambut ke depan perlu diprioritaskan di Provinsi Papua dan Papua Barat. 4. Sekitar 4,2 juta hektar lahan gambut di Indonesia merupakan lahan terdegradasi yang ditumbuhi semak belukar atau lahan terbuka dan lahan bekas tambang. Lahan tersebut selain tidak produktif juga merupakan sumber emisi GRK. Untuk itu perlu direhabilitasi menjadi lahan yang bernilai ekonomi tanpa meningkatkan masalah lingkungan, terutama emisi GRK. 5. Ada tiga alternatif pemanfaatan lahan gambut terdegradasi, yaitu: (a) direstorasi menjadi hutan, (b) dibiarkan pulih (recover) secara alami atau (c) dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan tujuan ekonomi lainnya sesuai dengan potensi dan karakteristiknya. Berbagai analisis menunjukkan bahwa alternatif ketiga yaitu merehabilitasi menjadi lahan pertanian merupakan alternatif yang paling prospektif. 6. Secara umum pengelolaan lahan gambut terdegradasi harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu: (a) hidrotopografi; (b) kondisi eksisting sosial masyarakat; (c) ketersediaan tenaga kerja, (d) keadaan sosial ekonomi (e) dukungan regulasi yang lebih mensinergikan berbagai kepentingan nasional, (f) dukungan infrastruktur, (g) penguasaan lahan, (h) dukungan pendanaan dan (i) dukungan teknologi yang mudah dan murah.
x
7.
Status lahan seringkali menghambat pemanfaatan lahan gambut terdegradasi, utamanya masih tumpang tindihnya status lahan dengan kehutanan yang tidak boleh dikonversi. Salah satu pendekatan untuk mendorong pemanfaatan lahan terlantar adalah melalui mekanisme tukar guling (land swap). Misalnya, hutan gambut pada areal penggunaan lahan lain (APL) dijadikan sebagai kawasan lindung dan semak belukar gambut di kawasan hutan dirubah statusnya menjadi APL. Mekanisme ini memerlukan reformasi hukum dan kebijakan dalam sistem tata kelola dan peruntukan lahan yang didasarkan pada reposisi dan sinkronisasi kebijakan lintas kementerian.
8.
Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyimpulkan bahwa emisi GRK yang dihasilkan oleh lahan gambut yang ditanami untuk komoditas pertanian tidak nyata berbeda dengan emisi dari lahan gambut terdegradasi. Oleh karena itu pengembangan pertanian pada lahan gambut seharusnya difokuskan pada lahan gambut terdegradasi sehingga hutan gambut dapat dikonservasi.
9.
Dalam menjawab berbagai isu lingkungan berkaitan dengan pengelolaan lahan gambut, perlu dihasilkan scientific evidence yang didasarkan pada hasil penelitian yang sahih dan dikomunikasikan dalam jurnal ilmiah internasional terakreditasi. Selain itu, dalam pengelolaan lahan gambut seharusnya semua pihak (Kementerian Pertanian, Kehutanan, Perdagangan, Lingkungan Hidup, Pekerjaan Umum, pemerintah daerah dan swasta) mempunyai satu suara dan mengacu satu basis data.
10. Peraturan perundangan atau regulasi yang berhubungan dengan pemanfaatan gambut untuk pengembangan pertanian perlu dievaluasi kembali, misalnya ketentuan yang berkenaan dengan ketebalan gambut, jenis substratum dan kematangan gambut; apakah faktor tersebut menentukan produktivitas dan dampak lingkungan. Dengan kemajuan teknologi pengelolaan gambut, faktor-faktor tersebut tidak lagi menjadi pembatas produksi pertanian. Hubungan faktor-faktor tersebut dengan dampak lingkungan perlu dikaji lebih dalam. 11. Pemanfaatan lahan gambut terdegradasi untuk pengembangan pertanian perlu dimonitor, diverifikasi dan dievaluasi secara terus menerus melalui pendekatan ilmiah terutama dampaknya terhadap emisi GRK. Hal ini perlu dilakukan agar tujuan awal pemanfaatan lahan gambut terdegradasi untuk mitigasi sesuai dengan sasaran. 12. Dalam pengelolaan lahan gambut aspek yang paling penting untuk diperhatikan adalah pengelolaan air dan pengelolaan kesuburan tanah. Pengelolaan air harus dirancang untuk satu satuan hidrologi (jangan hanya bersifat parsial). Namun untuk mewujudkan hal ini diperlukan biaya yang relative mahal, sehingga perlu dirumuskan pihak yang harus bertanggungjawab terhadap pembangunan infrastruktur untuk mendukung pengelolaan air di lahan gambut, terutama untuk pertanian rakyat.
xi
Pengelolaan kesuburan tanah ditujukan untuk meningkatkan dan menyeimbangkan ketersediaan hara terutama N, P, K, Mg serta hara mikro terutama Cu, Zn dan B. 13. ICCTF telah meninggalkan beberapa aset antara lain adalah sejumlah tenaga peneliti dan teknisi terampil di BPTP dan di lingkup BBSDLP; lima sampai tujuh buah subsidence stick pada setiap lokasi, dua set Infra Red Gas Analizer (IRGA), masingmasing satu di BPTP Kalimantan Barat dan Riau; empat set Gas Chromatography (GC), masing-masing satu set di BPTP Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, serta plot penelitian. Untuk itu kegiatan ini patut dilanjutkan untuk menjawab beberapa research questions yang belum terjawab pada ICCTF Fase 2. 14. Hasil penelitian ICCTF perlu dipublikasi baik pada jurnal nasional maupun internasional agar visibility dari hasil penelitian Badan Litbang Pertanian dapat ditingkatkan dan hasil penelitian dapat lebih banyak diacu oleh berbagai kalangan untuk mengembangkan model pengelolaan berkelanjutan lahan gambut terdegradasi dan sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam pengelolaan lahan gambut. Untuk itu diperlukan dukungan Balitbang Pertanian dalam penyebaran hasil-hasil penelitian melalui publikasi ilmiah, baik skala nasional maupun internasional. Jakarta, 19 Agustus 2014 Tim Perumus: 1. Dr. Ir. Sukarman (Ketua) 2. Prof. Dr. Ir. Masganti (Anggota) 3. Dr. Ir. Saleh Mukhtar (Anggota) 4. Dr. Ir. Ai Dariah (Anggota) 5. Dr. Ir. Neneng L. Nurida (Anggota) 6. Dr. Ir. Salwati (Anggota) 7. Dr. Ir. A. Wihardjaka (Anggota) 8. Dr. Ir. Eni Maftu'ah (Anggota)
xii
1
PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI : TRADE-OFF KEUNTUNGAN EKONOMI DAN ASPEK LINGKUNGAN
SUSTAINABLE MANAGEMENT OF DEGRADED PEATLAND : TRADE-OFF BETWEEN ECONOMIC AND ENVIRONMENTAL BENEFITS Fahmuddin Agus1, Wahyunto2, Hendri Sosiawan3, I G.M. Subiksa1, Prihasto Setyanto4, Ai Dariah1, Maswar1, Neneng L. Nurida1, Mamat H.S.2, Irsal Las2 1
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Bogor 16114.
2
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No.12, Bogor 16114 3
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi ,Jl. Tentara Pelajar No. 1A, Bogor 16111
4
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jakenan-Jaken Km. 05, Pati 59182
Abstrak. Lahan gambut terdegradasi menjadi sumber masalah lingkungan karena merupakan sumber emisi gas rumah kaca (GRK) dan rentan kebakaran. Lahan ini tidak produktif sementara kebutuhan untuk perluasan lahan pertanian sangat tinggi. Penelitian Indonesian Climate Change Trust Fund II dilakukan untuk mendelineasi lahan gambut terdegradasi, mengembangkan metode pengelolaan, mempelajari dampak pengelolaan terhadap hasil tanaman, tingkat keuntungan dan emisi GRK serta menganalisis biaya penurunan emisi (opportunity cost). Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2012 sampai Agustus 2013 di Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Papua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sekitar 3,7 juta ha (26% dari 14,9 juta ha luas total) lahan gambut tergredasi yang ditumbuhi semak belukar ditambah sekitar 0,6 juta ha lahan terdegradasi bekas tambang. Sebagian lahan ini berpotensi untuk perluasan lahan pertanian. Selain meningkatkan nilai ekonomi, rehabilitasi lahan gambut terdegradasi menjadi lahan pertanian cenderung menurunkan emisi GRK. Lahan gambut terdegradasi terdapat pada berbagai kawasan peruntukan, termasuk areal penggunaan lain (APL), hutan lindung (HL), hutan produksi konversi (HPK) dan hutan produksi (HP). Dibutuhkan suatu rasionalisasi peruntukkan kawasan dan reposisi kebijakan agar lahan terdegradasi yang berada di dalam kawasan hutan dapat direhabilitasi untuk pertanian dan lahan hutan gambut di areal APL dapat dikonservasi untuk mempertahankan fungsi lingkungannya. Kunci keberhasilan pertanian di lahan gambut adalah pengelolaan drainase dan pemupukan N, P, K, Mg serta pupuk mikro Cu, Mn, dan B. Dengan pengelolaan yang tepat pertanian di lahan gambut dapat memberikan hasil dan keuntungan yang setara dengan pertanian di lahan mineral. Pemberian amelioran seperti pupuk kandang dan pupuk gambut adakalanya meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, terutama bila sistem pertanian cukup intensif atau tanah sangat miskin hara. Menelantarkan lahan gambut terdegradasi berarti menghilangkan kesempatan bagi pengelola lahan untuk mendapatkan keuntungan (opportunity cost) yang berkisar antara 5,7 sampai Rp. 53 juta ha-1 tahun-1. Konservasi hutan
1
Fahmuddin Agus et al.
gambut yang tersisa sangat efektif untuk menurunkan jumlah emisi CO2, namun biaya penurunan emisi sangat tinggi (≥US$5/t CO2); jauh melebihi harga karbon yang berlaku di pasaran dunia yang hanya ≤ US$1/t CO2. Ini berarti bahwa perdagangan karbon saja tidak dapat menjadi solusi penurunan emisi, tetapi perlu diperkuat dengan insentif untuk menggunakan lahan gambut terdegradasi dan disinsentif serta aturan untuk menghindari konversi hutan gambut. Kata kunci: Biaya penurunan emisi, drainase, gas rumah kaca, opportunity cost, pemupukan, semak belukar Abstract. Degraded peatlands is a source of environmental problems as they are a source of greenhouse gas (GHG) emissions and fire prone. These land are unproductive, while the need for the expansion of agricultural land is very high. Research of the Indonesian Climate Change Trust Fund II was carried out to delineate the degraded peatlands, developed methods of management, evaluate the management impacts on crop yields, profitability and GHG emission reduction as well as analyzing the cost (opportunity cost) of emission reduction. The experiment was conducted from September 2012 to August 2013 in the provinces of Riau, Jambi, West Kalimantan, Central Kalimantan and Papua. The results showed that there are about 3.7 million ha (26% of total area of 14.9 million ha) of degraded peatland covered by shrubs plus about 0.6 million ha of bareland from open mining. Most of these lands have the potential for expansion of agriculture. In addition to increasing the economic value, the rehabilitation of degraded peatlands to agriculture tends to reduce GHG emissions and simultaneously improve the condition of the land. Degraded peatland are distributed in various areas of land allotment including non forest production area (APL), protection forest (HL), convertible production forest (HPK) and forest production (HP) areas. It takes an allotment area rationalization and repositioning policies that degraded land inside the forest area can be rehabilitated for agriculture and forest land in the APL can be conserved to maintain the environmental function. The key to the success of agriculture is the management of peatland drainage and fertilization of N, P, K, Mg and micro fertilizer Cu, Mn and B. With proper management, peatland agriculture can generate crop yield and profits on par with agriculture on the mineral land. Application of ameliorants like Manure and Peat Fertilizer can sometimes enhance the growth and production of crops, especially when the system is quite intensive and/or the soil is very poor of nutrients. Squandering degraded peatlands entails opportunity costs to landholders ranging between IDR 5.7 to 53 million ha-1 year-1. Conservation of remaining peat forests is very effective for reducing the amount of CO2 emissions, but the emission reduction cost is very high (≥US $ 5 / t CO2); far exceeding the prevailing carbon price in the world market of only ≤US $ 1/t CO2. This means that carbon trading per se cannot be a solution to emission reduction, but it needs to be strengthened with incentives for the use of degraded peatlands and disincentives as well and regulations to avoid conversion of peat forest. Keywords: Cost of emission reduction, drainage, fertilization, greenhouse gases, opportunity cost, shrubs.
2
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
PENDAHULUAN Indonesia memiliki lahan gambut terluas di negara-negara tropis, yaitu sekitar 14,9 juta ha (Ritung et al., 2011). Dalam keadaan alami, hutan gambut berfungsi sebagai penyimpan, bahkan penambat (sequester) karbon (C) (Agus et al. 2013; Agus et al., 2012; Husnain et al., 2014). Namun peningkatan kebutuhan terhadap sumberdaya lahan menyebabkan tingginya tekanan untuk pemanfaatan lahan gambut sebagai penghasil berbagai komoditas pertanian, sebagai lahan permukiman dan pertambangan (Gunarso et al., 2013). Apabila hutan gambut dibuka dan didrainase maka fungsinya akan berubah dari penyimpan menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) (Jauhiainen et al., 2012; Drösler et al., 2013). Emisi GRK merupakan masalah global dan nasional yang banyak diperbincangkan. Selain mengemisi GRK, lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsidence) apabila hutan gambut dikonversi dan didrainase. Subsidence menyebabkan lahan gambut kehilangan fungsi sebagai penyimpan dan pengatur tata air serta memperpendek masa produktif untuk pertanian (Volk 1973; Stephens and Stewart 1969; Hooijer et al., 2012; Aich et al., 2013; Agus and Sarwani 2013; Wösten et al., 2008). Program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Fase II bertujuan untuk: (i) mendelineasi lahan gambut terdegradasi, (ii) menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis riset, (iii) meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan untuk pengelolaan dan pelaksanaan penelitian terkait dengan emisi GRK dan (iv) memperkuat jejaring nasional dan internasional untuk diseminasi dan pertukaran informasi hasil penelitian dan pengelolaan lahan gambut.
METODE PENELITIAN Program penelitian ICCTF II ini dilaksanakan di lima provinsi yaitu Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Papua. Masingmasing lokasi mempunyai ciri komoditas yang dikembangkan, kematangan dan ketebalan gambut (Tabel 1). Lokasi di Provinsi Riau mewakili lahan gambut sangat dalam (>3 m) yang dominan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit; lokasi di Provinsi Jambi mewakili lahan gambut dangkal sampai dalam yang dominan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit; lokasi Provinsi Kalimantan Tengah mewakili lahan dengan dominasi gambut sangat dalam untuk dievaluasi kelayakan dan keberlanjutannya untuk perkebunan karet rakyat; Provinsi Kalimantan Barat dengan dominasi gambut berkedalaman sedang sampai sangat dalam, dievaluasi untuk keberlanjutan tanaman pangan dan hortikultura; dan Provinsi Papua dengan dominasi gambut dangkal dimonitor emisi GRKnya dari perkebunan sagu tradisonal. Lokasi pewakil seperti pada Tabel 1 diperuntukkan bagi pengamatan intensif plot penelitian dan plot demonstrasi. Untuk lahan gambut nasional (Pulau Sumatera,
3
Fahmuddin Agus et al.
Kalimantan, dan Papua) dan untuk kabupaten dan lokasi penelitian terpilih dilakukan kegiatan pemetaan dengan skala berturut-turut 1:250.000; 1:50.000 dan 1:5.000. Tabel 1. Lokasi pewakil, komoditas yang dimonitor, kematangan dan ketebalan gambut No. Kabupaten/ Provinsi
Desa/ Kecamatan
Komoditas
Kematangan dan ketebalan gambut
1
Kab. Pelelawan, Riau
Telok ogong, Kec. Bandar Sei Kijang
Kelapa sawit
Saprik-Hemik 4-6 m
2
Kab. Muaro Jambi,
Arang-arang
Kelapa sawit
Hemik- saprik
3
Jambi Kab. Pulang Pisau,
Kec. Kumpeh Jabiren
Karet
1,5 - 450m Hemik- saprik
Kalimantan Tengah
Kec. Jabiren
Kab. Kuburaya,
Banjarsari, Rasau jaya II
Palawija/
Saprik/hemik
Kalimantan Barat
Kec Rasau jaya
Sayuran
3-4m
Mioko lama,
hutan sagu
hemik-fibrik
4
5. Kab. Mimika Papua
5-7 m
Distrik Naena Mukti
2-3 m
Program ini terdiri atas beberapa kegiatan yaitu: 1. Pemetaan dan rekomendasi pemanfaatan lahan gambut terdegradasi di Sumatera, Kalimantan dan Papua; kabupaten terpilih dan lokasi penelitian pada berbagai skala. 2. Pengembangan model (plot demonstrasi dan penelitian) pengelolaan lahan gambut berkelanjutan untuk mitigasi emisi GRK dan optimalisasi produksi tanaman. 3. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia melalui pelatihan dan sosialisasi. 4. Penyusunan rekomendasi kebijakan pengelolaan berkelanjutan lahan gambut terdegradasi berdasarkan pertimbangan ekonomi dan lingkungan. 5. Publikasi dan pengembangan jejaring (networking) lembaga penelitian nasional dan internasional, lembaga pemerintah dan NGO, perguruan tinggi dan kelompok tani dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Penelitian pengembangan model (plot demonstrasi, Kegiatan 2) menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan amelioran yang bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Amelioran yang digunakan adalah pugam (pupuk dan amelioran khusus lahan gambut), pupuk kandang (pukan), kompos tandan kosong kelapasawit (tankos) dan tanah mineral untuk lokasi Kalimantan Tengah serta perlakuan pupuk dasar (kontrol). Tanaman indikator adalah kelapa sawit di Jambi dan Riau, karet di Kalteng dan jagung di Kalbar. Di Kalbar dibandingkan juga dolomit (Ca Mg(CO3)2) dan
4
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
campuran dolomit dengan pupuk kandang serta Trichoderma; suatu praktek yang biasa diterapkan oleh petani setempat.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pemetaan Lahan Gambut Terdegradasi Sebaran luas lahan gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua berdasarkan penggunaan dan tingkat degradasinya disajikan pada Tabel 2. Hutan rawa gambut alami digunakan sebagai dasar acuan "lahan gambut tidak terdegradasi". Apabila kawasan hutan gambut telah terganggu, ditandai dengan pengurangan kerapatan vegetasi hutan dan telah didrainase, diasumsikan lahan tersebut telah mengalami proses degradasi.Lahan gambut terdegradasi ini pada umumnya menjadi sumber emisi dari dekomposisi gambut, walaupun secara agronomis lahannya bisa sangat produktif. Dengan demikian istilah terdegradasi lebih dikaitkan dengan indikator lingkungan,walaupun indikator tersebut sering tidak relevan dengan indikator agronomi, sosial dan ekonomi. Dari 14,9 juta ha lahan gambut Indonesia, sekitar 8,3 juta ha (56%) ditutupi hutan, baik hutan primer, maupun hutan sekunder. Lahan ini direkomendasikan untuk tetap dipertahankan sebagai hutan. Sekitar 1,5 juta ha lahan digunakan untuk perkebunan, terutama kelapa sawit dan karet dan 0,7 juta ha untuk tanaman pangan dan hortikultura. Di samping lahan konservasi (hutan) dan lahan produkstif (pertanian) terdapat pula sekitar 4,4 juta ha lahan gambut terdegradasi, 3,7 juta ha di antaranya berupa lahan semak belukar dan 0,7 juta ha berupa lahan terbuka dan lahan bekas tambang (Gambar 1). Lahan pertanian eksisting di lahan gambut direkomendasikan untuk intensifikasi agar hasil persatuan luas dapat ditingkatkan sehingga perluasan lahan pertanian ke lahan hutan dan dampak lingkungan dapat diminimalkan.Lahan gambut yang ditumbuhi semak belukar merupakan sumber emisi, namun tidak memberikan keuntungan ekonomi. Untuk itu lahan ini diarahkan untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif (Agus et al., 2012). Di beberapa kabupaten yang menjadi lokasi penelitian atau pemetaan ICCTF terlihat begitu dominan sumberdaya lahan gambut.Lahan ini sangat menentukan laju pertumbuhan ekomi daerah, bahkan berkontribusi dalam pertembuhan ekonomi nasional. Di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau; Kabupaten Kuburaya, Provinsi Kalimantan Barat; dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, lebih dari 50% lahannya merupakan lahan gambut. Dari luas total lahan gambut di Kabupaten Kuburaya dan Kabupaten Pulang Pisau, lebih dari 50%nya berketebalan >3 m. Di Kabupaten Muaro Jambi, luas lahan gambut 37% dari total luas lahan, namun 81% di antaranya berketebalan >3 m (Tabel 2). Ini menunjukkan bahwa di provinsi dan kabupaten tersebut peluang perluasan lahan pertanian ke depan lebih banyak pada lahan gambut, termasuk lahan gambut yang berketebalan >3m.
5
Fahmuddin Agus et al.
Gambar 1. Sebaran luas tutupan lahan gambut (ha) di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua (Sumber: Diolah dari Wahyunto et al., prosiding ini).
Tabel 2. Luas lahan gambut di beberapa kabupaten berdasarkan peta skala 1:50.000. Kabupaten/Provinsi Pelalawan/ Riau Muaro Jambi/ Jambi Kubu Raya/ Kalimantan Barat Pulang Pisau/ Kalimantan Tengah Mimika/ Papua Teluk Bintuni/ Papua Barat
Luas Luas lahan Gambut Kabupaten (ha) (ha/%) 1.392.494 700.639 54,1% 544.655 200.112 36,7% 698.520 523.404 75% 975.180 616.231 63,2% 1.782.528 237.954 13,3% 1.959.453 125.312 6,4%
Ketebalan Gambut <3m (ha; %) >3m (ha; %) 213.060 487.579 30% 70% 38.417 161.695 19% 81% 273.436 249.968 52% 48% 295790 320.441 48% 52% 237.954 100,0% 125.312 100,0%
2. Pengelolaan Tanah Gambut Sebagai ekosistem lahan rawa, keberadaan air pada lahan gambut, baik lahan gambut berupa hutan maupun lahan pertanian sangat penting, terutama untuk menjaga fluktuasi muka air yang optimal untuk budidaya tanaman.Untuk itu dievaluasi fuktuasi
6
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
muka air lahan gambut secara temporal dan spasial melalui survei topografi, instalasi piezometer di lahan dan rambu ukur di saluran drainase. Dinamika spasial elevasi muka air pada piezometer diamati melalui pengamatan secara manual, sedangkan dinamika temporal elevasi muka air pada saluran inlet dan outlet diamati secara otomatik menggunakan automatic water logger. Hasil penelitian di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa secara temporal elevasi muka air tanah di lahan gambut berfluktuasi mengikuti dinamika muka air sungai dan saluran tersier. Kedalaman air tanah pada puncak musim kemarau mencapai 100 cm, melebihi jangkauan perakaran tanaman karet yang optimal pada kisaran 50- 60 cm. Pada puncak musim hujan (November) kedalaman muka air tanah <60 cm, dan bulan Mei yang merepresentasikan akhir musim hujan kedalaman air tanah berkisar 65-80 cm. Semakin jauh suatu titik dari saluran drainase, semakin dangkal muka air tanahnya semakin dangkal membentuk pola seperti kubah di antara dua saluran drainase. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dinamika temporal elevasi muka air pada lahan sangat dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi muka air saluran inlet, dan tidak dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi muka air saluran outlet. Untuk mempertahankan kedalaman air tanah pada kisaran optimal maka pintu air pada saluran tersier yang berfungsi sebagai canal blocking harus difungsikan secara optimal sehingga ketinggian muka air di saluran tersier tidak fluktuatif dan muka air tanah tetap stabil pada kisaran yang dikehendaki. Saluran sekunder adakalanya berfungsi sebagai sarana transportasi, seperti kasus di lokasi Kalimantan Tengah.Untuk itu dipasang pintu tabat di bagian hilir terutama pada malam hari sewaktu tidak ada lalu-lintas penggunaan saluran sekunder. Dengan demikian durasi tinggi muka air optimal pada saluran akan bertahan lebih lama dan ini berpengaruh positif pada pengurangan kedalaman muka air di lahan dan dan penurunan laju subsidence (Wösten et al., 2008; Couwenberg and Hooijer 2013). 3. Produksi Tanaman Pada Lahan Gambut Penggunaan pupuk dan amelioran diharapkan dapat meningkatkan produksi dan keuntungan dan menurunkan emisi GRK. Stabilitas gambut akibat pemberian amelioran sangat terkait dengan adanya proses kompleksasi asam-asam organik sehingga lebih tahan terhadap degradasi dan mengurangi daya meracun asam fenolat. Amelioran pada dasarnya digunakan untuk mengurangi cekaman lingkungan terhadap media perakaran tanaman agar akar tanaman dapat tumbuh optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan amelioran bervariasi antar lokasi. Di Jambi amelioran, terutama pupuk kandang, berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun hasil tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, namun pada lokasi
7
Fahmuddin Agus et al.
lain, hasil tanaman tidak terpengaruh nyata oleh amelioran (Tabel 3). Tidak nyatanya pengaruh perlakuan di lokasi penelitian Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah disebabkan karena komposisi dan jumlah hara yang diberikan pada perlakuan Pupuk Dasar (kontrol) merupakan dosis yang ideal untuk mendukung pertumbuhan tanaman sehingga kekahatan hara pada lahan gambut sudah teratasi hanya dengan pemberian pupuk dasar. Ini dibuktikan dengan hasil tanaman yang hampir setara dengan tingkat produksi rata-rata nasional. Di lokasi Riau, amelioran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Di lokasi Kalimantan Tengah (Kalteng), amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan batang dan produksi getah karet. Di lokasi Kalimantan Barat, amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun hasil jagung. Hal ini disebabkan karena ketersediaan hara, khususnya P dan K dari residu pupuk sebelumnya cukup tinggi, ditambah dengan hara dari pupuk dasar. Tabel 3. Rata-rata produksi tanaman di lokasi penelitian ICCTF Hasil TBS, Jambi (sawit umur 6 tahun) (t/ha/th)
Hasil TBS, Riau (sawit umur 6 tahun) (t/ha/th)
Hasil getah karet, Kalteng umur 5 tahun (t/ha/5bulan)
Hasil jagung, Kalbar (t/ha/musim)
Pupuk dasar (Kontrol)
11,4 a
18,5 a
1,6 a
2,7 a
Pugam
17,4 ab
19,3 a
1,9 a
3,8 a
Pukan
18,8 b
19,6 a
1,8 a
3,0 a
Perlakuan
Tankos/TM
17,7 a
20,1 a
1)
1,2 a
Dolomit
3,5 a
Cara petani 1)
2)
3,4 a
2)
Tankos; TM= tanah mineral; Pugam = pupuk gambut; Pukan = Pupuk kandang.
4. Analisis Finansial Aplikasi Pemupukan dan Amelioran pada Lahan Gambut Terdegradasi Respon tanaman tidak selalu memberikan gambaran apakah petani diuntungkan atau tidak dengan penambahan input pertanian. Hasil analisis cost benefit usahatani jagung di lokasi Kalbar menunjukkan bahwa aplikasi pupuk dasar berupa kombinasi dari 100 kg kiserit (MgSO4.H2O), 15 kg CuSO4, 300 kg urea, 200 kg SP-36 dan 150 kg KCl memberikan keuntungan tertinggi dengan B/C rasio 1,66 dan keuntungan bersih Rp. 5,28 juta/ha (Tabel 4). Pemberian amelioran memberikan peningkatan hasil, namun penambahan biaya untuk amelioran tidak sebanding dengan penambahan keuntungan sehingga keuntungan bersih dan B/C rasio lebih rendah dengan pemberian amelioran.
8
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
Penggunaan Pupuk Kandang pada lokasi ini memberikan keuntungan terendah karena tingginya biaya pengadaan 5 t/ha pupuk kandang. Untuk tanaman kelapa sawit di Jambi dan Riau diberikan pupuk dasar berupa 2 kg Urea; 2 kg SP-36; 2,5 kg KCl; 1,2 kg Kieserit per pohon sekali dalam enam bulan dan pupuk mikro 0,15 kg CuSO4; 0,15 kg ZnSO4 dan pupuk Boron dalam bentuk 0,30 kg Borax (Na2B4O7·10H2O) untuk setiap pohon per tahun. Perlakuan Pugam tidak menggunakan SP-36 dan pupuk mikro karena sudah dikandung di dalam Pugam. Keuntungan tertinggi di Jambi dicapai dengan penggunaan pupuk kandang. Ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dasar saja tidak cukup dan bahkan hampir tidak layak secara ekonomi karena hanya menghasilkan B/C rasio 1,02. Pemberian pugam dan Tankos juga belum memberikan keuntungan yang memuaskan dengan B/C rasio mendekati 1,0. Untuk lokasi Riau, semua perlakuan memberikan keuntungan yang memuaskan, namun keuntungan tertinggi dicapai dengan menggunakan pugam. Untuk tanaman karet di Kalteng diberikan pupuk dasar sebanyak 0,25 kg Urea, 0,20 kg SP-36 dan 0,25 kg KCl per pohon sekali dalam enam bulan. Perlakuan amelioran terdiri dari 2 kg pugam, 4 kg pupuk kandang atau 6 kg tanah mineral sekali dalam enam bulan. Secara umum budi daya karetpaling menguntungkandengan hanya pemberian pupuk dasar. Pemberian pugam dan pukan meningkatkan hasil tanaman (Tabel 4) dan keuntungan bersih (NPV), namun B/C rasio yang lebih rendah dibandingkan B/C rasio pupuk dasar menunjukkan bahwa penambahan biaya untuk kedua jenis amelioran ini tidak memperikan proporsi keuntungan yang lebih tinggi. Perlakuan tanah mineral memberikan NPV dan B/C rasio paling rendah karena pengadaannya memerlukan biaya transpor yang sangat tinggi.
9
Perlakuan
TBS Kelapa Sawit, Jambi NPV (juta B/C Rp/ha/th)
TBS kelapa sawit, Riau NPV (juta B/C Rp/ha/th)
Getah karet, Kalteng NPV (juta Rp/ha/th)
Perkebunan sagu3)
Jagung,Kalbar Keuntungan (juta Rp/ha/musim)
B/C
B/C
Pupuk dasar
2,19
1,02
22,17
1,15
58,16
1,98
5,28
1,66
Pugam
9,86
1,08
50,07
1,41
69,45
1,76
5,21
1,55
Pukan
22,11
1,21
25,86
1,17
67,33
1,46
0,76
1,07
8,85
1,06
18,09a1)
1,12
17,272)
1,19 3,48
1,42
4,19
1,49
Tankos/ TM Dolomit+ Pukan+ Trichoderma Dolomit Tanpa perlakuan Rata-rata Semak belukar4) Hutan4) 1)
Keuntungan (jutaRp/ha/musi m)
5,73 10,75
32,70
53,05
3,78
B/C
1,4
5,73
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2)
Tankos; TM= tanah mineral; Pugam = pupuk gambut; Pukan = Pupuk kandang.; NPV = Net present value; TBS = Tandan buah segar; df = discount factor (suku bunga). Sumber:http://pphp.deptan.go.id/xplore/view.php?file=PENGOLAHAN-HASIL/PENGOLAHAN%20HASIL/8Profil%20Usaha/PROFIL%20INVESTASI%20BIOENERGI/PROFIL%20SAGU%20FINAL.doc (diunduh: 9 Agustus 2014). 3)
4)
Tidak tersedia data dan diasumsi nilai ekonomi nol bagi petani walaupun ada kemungkinan petani mendapatkan hasil tertentu dari hutan dan belukar
Fahmuddin Agus et al.
10 Tabel 4. Nilai bersih terkini (NPV) atau keuntungan bersih usahatani sawit, karet dan jagung di lokasi penelitian ICCTF.
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
5.
Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Cadangan Karbon
Emisi GRK diukur dengan metode sungkup tertutup (closed chambers) dengan menggunakan alat Gas Chromatography di kelima lokasi atau Infrared Gas Analyzer (IRGA) di lokasi Riau dan Kalbar. Cadangan karbon pada biomas diukur dengan gabungan metode tidak langsung melalui pengukuran lingkar batang pohon dan cara langsung melalui penimbangan biomas tumbuhan dan necromass (jaringan tumbuhan yang mati). Cadangan karbon tanah gambut diukur dengan cara langsung (direct technique) melalui pengukuran berat isi dan kandungan C tanah gambut per lapisan mulai dari lapisan permukaan sampai lapisan transisi antara tanah gambut dengan tanah mineral. 5.a. Emisi GRK berdasarkan pengukuran gas chromatography Pada umumnya perlakuan pemupukan dan ameliorant tidak nyata mempengaruhi jumlah emisi GRK, kecuali untuk perlakuan Tankos di Riau dan Jambi yang memberikan jumlah emisi lebih rendah dari perlakuan lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya C/N rasio Tankos dan imobilisasi N dari tanah gambut ke dalam Tankos sehingga emisi menurun. Emisi dari hutan sagu di Papua ternyata tidak lebih rendah dibandingkan dengan emisi di lokasi lainnya. Namun angka rata-rata tahunan sangat dipengaruhi oleh data pada bulan April 2013 yang emisinya sangat tinggi (Gambar 2) disebabkan keadaan yang relatif kering. Diduga bahwa jika pengamatan dilakukan secara lebih intensif (dua kali atau sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan) jumlah perkiraan emisi tahunan akan jauh lebih rendah dibandingkan angka yang terlihat pada Tabel 1.
11
Fahmuddin Agus et al.
Tabel 5. Emisi CO2-e (t/ha/tahun) yang diukur dengan gas chromatography (GC) di lima lokasi penelitian ICCTF Jambi (sawit umur 6tahun)
Riau (sawit umur 6 tahun)
Kalteng (Karet, umur 5 tahun (t/ha/5bulan)
Kalbar (jagung)
Pupuk dasar (tanpa ameliorant)
15,8 a
28,4 a
20,4 a
20,8 a
Pugam
19,0 a
30,7 a
18,7 a
26,6 a 26,0 a
Perlakuan
Pukan
17,4 a
25,4 a
21,8 a
Tankos/TM
12,5 b1)
17,4 b1)
19,8 a2)
Papua (hutan sagu)
19,4 a
Dolomit 33.2 a
Cara petani Tanpa pupuk dan amelioran
19,9 a 34,93)
1)
Tankos; 2)TM= tanah mineral; 3)Tidak termasuk emisi CH4 sebanyak 10.0 t CO2e /ha/tahun; Pugam = pupuk gambut; Pukan = Pupuk kandang.
Karbon Dioksida
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 11-Apr
17-Jul
22-Okt
7-Mar
Pengamatan
Metana
Fluks CH4 (mg m-2 hari-1 )
700 600 500 400 300 200 100 0 11-Apr
17-Jul
22-Okt
7-Mar
Pengamatan
Gambar 1. Fluks CO2 dan CH4 dari gambut di Timika Papua pada pertanaman sagu. Selain dekomposisi gambut, emisi GRK juga bersumber dari biomas tumbuhan akibat perubahan penggunaan lahan (Tabel 6). Pengukuran emisi dari dekomposisi gambut menggunakan IRGA, membandingkan perbedaan antar perlakuan dan antara lahan budidaya dengan lahan yang ditutupi oleh semak belukar. Data generic dari literatur
12
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
juga dikutip untuk mendapatkan angka emisi dekomposisi gambut dan cadangan C hutan gambut sekunder dan primer. Sebagaimana hasil pengukuran dengan GC, data IRGA tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antar perlakuan untuk lokasi Riau dan Kalbar (data Kalbar untuk masing-masing perlakuan masih dalam proses). Emisi pada perkebunan kelapa sawit di Riau lebih tinggi dibandingkan emisi dari hutan terdegradasi (semak belukar) (Tabel 6). Semak belukar di lokasi penelitian Riau merupakan hutan terdegradasi dengan pohon berketinggian maksimum 5 m. Untuk lokasi Kalbar, semak belukar didominasi oleh tumbuhan paku resam, melastoma dan alang-alang dengan tinggi tumbuhan <1 m. Emisi gambut dari semak belukar Kalbar ini setara bahkan sedikit lebih tinggi dari emisi pada kebun nenas. Untuk lokasi Jambi, Kalteng dan Papua, karena tidak ada pengukuran pada lahan semak belukar maka untuk membandingkan emisi dari semak belukar, hutan primer dan hutan sekunder dengan lahan budidaya digunakan data dari IPCC (2006 dan 2013). Tabel 6 juga menampilkan peningkatan (+) atau penurunan tingkat emisi dari dekomposisi gambut bila semak belukar, hutan gambut sekunder atau hutan gambut primer dikonversi menjadi lahan pertanian. Pada umumnya konversi lahan menyebabkan peningkatan emisi, namun untuk lokasi Kalbar, konversi atau rehabilitasi belukar gambut menjadi lahan budidaya nenas cenderung menyebabkan penurunan emisi dari dekomposisi gambut. Untuk tanaman sagu, data IPCC (2006; 2013) juga mengindikasikan penurunan emisi dari dekomposisi gambut bila semak belukar dirubah menjadi perkebunan sagu tradisional (dengan drainase dangkal). 5.b. Emisi dari biomas tumbuhan karena perubahan penggunaan lahan (above ground emission) Seperti halnya emisi dari dekomposisi gambut, emisi dari kehilangan biomas tumbuhan akibat perubahan penggunaan lahan juga lebih besar bila hutan primer dikonversi menjadi lahan budidaya. Emisi terendah, bahkan ada kalanya negatif didapatkan bila semak belukar dijadikan lahan perkebunan. Emisi gabungan dari kedua sumber (dekomposisi gambut dan biomas), tertinggi bila hutan gambut dikonversi, terutama hutan gambut primer dan terendah bila semak belukar dijadikan lahan pertanian (Tabel 6).
13
Fahmuddin Agus et al.
Tabel 6. Emisi dari dekomposisi gambut, diukur dengan menggunakan Infrared Gas Analyzer (IRGA), cadangan C (C stock) dan emisi dari perubahan penggunaan lahan untuk lima lokasi ICCTF Lokasi Perlakuan
Jambi (sawit umur 6 tahun)
Riau (sawit umur 6 tahun
Kalteng (Karet, umur 5 tahun (t/ha/5bulan)
Kalbar (jagungnenas)
Papua, sagu
Emisi CO2 dari dekomposisi gambut (t/ha/tahun) Pupuk dasar (tanpa 60,73) ameliorant) Pugam 64,03) 62,8 Pukan 73,53) 67,1 Tankos/TM/Dolomit 61,73) 60,9 Dolomit 52.9 +Pukan+Tricoderma 40,44) 65.03) 55,04) 47,03) 5,54) Rata-rata 4) 3) 4) 3) Semak belukar 19,4 45,3 19,4 50,3 19,44) Hutan gambut 19,44) 19,44) 19,44) 19,44) 19,44) sekunder Hutan gambut primer 05) 05) 05) 05) 05) Penggunaan lahan Peningkatan emisi CO2dari dekomposisi gambut akibat perubahan penggunaan awal lahan (t/ha/tahun)8) Semak belukar 21,0 19,7 35,6 -3,3 -13,9 Hutan gambut sekunder 21,0 45,6 35,6 27,6 -13,9 Hutan gambut primer 40,4 65,0 55,0 47,0 5,5 Lahan budidaya 406) 406) 636) 10 407) 6) 6) Semak belukar 30 61 30 10 306) 6) 6) 6) 6) Hutan gambut 155 155 155 155 1556) sekunder Hutan gambut primer 1966) 1966) 1966) 1966) 1966) Penggunaan lahan Emisi CO2 biomas dan necromas dari perubahan penggunaan lahan (t/ha/tahun)9) awal Semak belukar -1,5 3,1 -4,8 0,0 -1,5 Hutan gambut 16,9 16,9 13,5 21,3 16,9 sekunder Hutan gambut primer 22,9 22,9 19,5 27,3 22,9 Net emisi dari biomas dan dekomposisi gambut (t CO2/ha/tahun)10) Semak belukar 19,6 22,8 30,8 -3,3 15,4 Hutan rawa sekunder 37,9 62,5 49,1 48,9 3,0 Hutan rawa primer 1)
63,3 3)
87,9 4)
74,5 5)
74,3
28,4
Tankos; TM= tanah mineral; Data IRGA; IPCC (2013); IPCC (2006); 6)Santosa at al. (2014); 7)Assumed the same as oil palm plantation;8)Peningkatan emisi CO2 dari dekomposisi gambut akibat perubahan penggunaan lahan = (emisi pada lahan budidaya-emisi penggunaan lahan awal);9)Emisi biomas dan nekromas dari perubahan penggunaan lahan = (Cadangan C penggunaan lahan awal) – (Cadangan C pada lahan budidaya)*3.67;10)Net emisi dari biomas dan dekomposisi gambut = (Peningkatan emisi CO2 dari dekomposisi gambut) + (Emisi CO2 biomas dan necromas dari perubahan penggunaan lahan; 11)Dolomit; Pugam = pupuk gambut; Pukan = Pupuk kandang
14
2)
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
5.c. Cadangan karbon tanah gambut dan subsidence Cadangan karbon pada tanah (below ground carbon stock) gambut sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, sedangkan kerapatan karbon (carbon density) ditentukan oleh berat isi (BI) (Gambar 3). Tabel 7 memperlihatkan bahwa ketebalan gambut sangat bervariasi antar lokasi penelitian. Gambut di Papu berketebalan rata-rata <1 m, di lokasi Kalteng, Kalbar dan Riau >3 m, sedangkan di lokasi jambi antar 2-3 m. Kerapatan karbon rata-rata berkisar antara 51-61 kg/cm3, kecuali Papua yang hanya sekitar 38 kg/cm3. Sesuai dengan ketebalannya, cadangan C gambut tertinggi ditemukan di lokasi Kalteng dan Riau dan terendah di lokasi Papua. Tabel 7. Ketebalan gambut, cadangan karbon, dan kerapatan karbon pada berbagai lokasi lahan gambut tropika Indonesia Lokasi Papua
Ketebalan gambut (cm)
Cadangan C (ton ha-1)
Kerapatan C (kg m-3)
90
338
38
Kalteng
628
3614
58
Kalbar
379
2055
54
Riau
576
2930
51
Jambi
228
1451
61
Gambar 1. Keterkaitan hubungan antara bulk density (BD) dengan kerapatan karbon gambut
15
Fahmuddin Agus et al.
Laju penurunan permukaan (subsidence) paling tinggi di lokasi Kalbar, sedangkan antara lokasi Kalteng, Riau dan Jambi hampir sama. Di lokasi Papua sejauh ini belum tercatat terjadinya subsidence (Tabel 8). Hal ini disebabkan dangkalnya saluran drainase dan tanah berada dalam keadaan becek. Biasanya subsidence akan menurun dengan semakin lamanya lahan didrainase. Data laju subsidence berguna dalam menentukan berapa lama lahan dapat digunakan (drainability). Semakin tinggi laju subsidence semakin pendek umur pakai lahan gambut. Tabel 8. Kecepatan penurunan permukaan tanah (subsidence rate) pada masing-masing lokasi kegiatan ICCTF. Lokasi
Penggunaan Lahan
Subsidence (cm th-1) Mak
Min
Rata-rata
Papua
Hutan sagu
0
0
0
Kalteng
Karet + Nenas
4,7
2,7
3,8
Kalbar
Tanaman semusim
6,8
4,7
5,6
Riau
Kelapa sawit + Nenas
4,0
2,5
3,3
2,0
2,7
Jambi
Kelapa sawit + Nenas
4,5
6. Opportunity Cost Ringkasan dari keuntungan bersih terkini (NPV), potensi net emisi dari perubahan penggunaan lahan (gabungan emisi dari biomas dan dekomposisi gambut) serta keuntungan yang hilang (opportunity cost) per unit masa CO2 yang berpotensi teremisi disajikan pada Tabel 9. Opportunity cost (OC) sering digunakan sebagai acuan penetapan biaya penurunan emisi GRK dalam perdagangan karbon. OC yang tinggi (kasus semak belukar di Jambi, Riau dan Kalteng) dapat diterjemahkan sebagai besarnya kerugian ekonomi bila lahan dipertahankan sebagai semak belukar sedangkan potensi penurunan emisi sangat kecil. OC untuk mempertahankan hutan primer dan sekunder di Kalbar paling rendah (USD 5 dan USD7/t CO2); menggambarkan bahwa harapan keuntungan ekonomi konversi lahan tidak begitu besar, namun potensi emisi yang dapat dikurangi cukup tinggi. Ini berarti bahwa usaha pencegahan deforestasi (avoided deforestation) cukup menarik dan relatif lebih terjangkau oleh investor pasar karbon. Semakin tinggi opportunity cost, semakin sulit (semakin tinggi biaya) konservasi hutan dan semakin besar tekanan untuk konversi. Sebaliknya semakin rendah OC, semakin mudah mempertahankan hutan untuk penurunan emisi CO2 asalkan ada imbalan kepada pemilik lahan. Untuk kasus Riau, OC penurunan emisihutan primer paling rendah rendah (USD 34/ t CO2) dan untuk mempertahankan semak belukar paling tinggi (USD 131/t CO 2). Ini
16
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
disebabkan, karena jumlah emisi CO2 yang dapat dikurangi bila hutan dipertahankan, paling tinggi. OC negatif mempunyai arti bahwa mempertahankan semak belukar dari konversi menjadi pertanian jagung tidak layak secara ekonomi dan lingkungan karena emisi pada lahan pertanian jagung-nenas lebih rendah dari semak belukar dan keuntungan ekonominya juga cukup tinggi dibandingkan semak belukar. Mempertahankan semak belukar di Kalbar atau sagu di Papua tidak hanya menghilangkan kesempatan mendapatkan keuntungan ekonomi berturut-turut sebanyak Rp 3,78 juta dan 5,73 juta/ha/ tahun, tetapi juga menghilangkan kesempatan menurunkan emisi CO2 bertutut-turut sebanyak 3,3 dan 15,4 ton CO2/ha/tahun. OC paling rendah berdasarkan penelitian ini adalah USD 5/t CO2 (dari konservasi hutan primer terhadap konversi menjadi pertanian jagung). Angka ini jauh lebih tinggi dari harga karbon yang berlaku di pasaran dunia saat ini yang hanya
Penggunaan lahan
Kelapa Sawit, Jambi
Kelapa sawit, Riau
Karet, Kalteng
Jagung-nenas, Kalbar
Sagu,Papua
NPV atau keuntungan bersih (juta Rp./ha/tahun) Lahan budidaya Penggunaan lahan awal
10.75
32.7
53.05
3.78
5.73
Net emisi dari biomas dan dekomposisi gambut karena perubahan penggunaan lahan (t CO2/ha/tahun)
Semak belukar Hutan gambut sekunder Hutan gambut primer
19.6
22.8
30.8
-3.3
-15.4
37.9
62.5
49.1
48.9
3.0
63.3
87.9
74.5
74.3
28.4
Keuntungan yang hilang (opportunity cost) (USD/t CO2) Semak belukar Hutan gambut sekunder Hutan gambut primer
50
131
157
-104
-34
26
48
98
7
175
15
34
65
5
18
7. Capacity building Sampai saat inijumlah sumberdaya manusia dan kemampuan lembaga dalam memonitor aspek lingkungan (khusunya emisi gas rumah kaca) dan mengelola
17
Fahmuddin Agus et al.
sumberdaya lahan gambut masih terbatas. Pelatihan tentang pengukuran emisi karbon dan pengelolaan lahan gambut dan penguatan kapasitas lembaga dalam monitoring langsung lahan gambut menjadi sangat penting. Pelatihan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia (capacity building) terdiri dari kegiatan di kelas (teoritis) dan praktek di lapangan yang dilengkapi dengan perhitungan, analisis dan interpretasi data dan presentasi hasil pelatihan, sedangkan nara sumber pelatihan berasal dari Badan Litbang Pertanian. Materi pelatihan meliputi 1) Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, 2) Perubahan Iklim, 3) Pengukuran cadangan karbon pada tanah gambut dan tanaman, 4) Pengukuran GRK di lahan gambut dengan GC, 5) Pengukuran GRK di lahan gambut dengan IRGA, 6) Penggunaan AWS/ pengukuran piezometer dan 7) Estimasi emisi GRK dari sektor pertanian dan perubahan penggunaan lahan. Pelatihan telah dilaksanakan di lima provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Papua, Jambi, Riau, dan Kalimantan Tengah. Peserta pelatihan di tiap provinsi sekitar 22-32 orang seperti yang dapat dilihat pada Tabel 10.
(a)
(b)
(b)
(b)
Gambar 2. Pelaksanaan pelatihan di kelas(a) dan di lapangan (b). Pada umumnya peserta pelatihan di lima provinsi hanya sedikit memahami topik pelatihan, bahkan terdapat peserta yang tidak memahami sama sekali topik pelatihan (Gambar 4). Heterogenitas peserta pelatihan akan berdampak terhadap pemahaman terhadap materi pelatihan baik teori maupun praktek di lapangan. Ketertarikan peserta terhadap pendalaman materi pelatihan cukup besar, meskipun latar belakang masing-
18
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
masing peserta cukup beragam (Gambar 5). Bila dikaitkan dengan keterkaitan dengan tugas sehari-hari peserta pelatihan, sebagian kecil peserta di Kalimantan Barat dan Papua menyatakan tidak ada keterkaitan dengan tugas mereka, namun peserta tetap berkeinginan untuk mendalami materi pelatihan. Sedikit berbeda dengan peserta di Jambi, meskipun tidak ada yang menyatakan ketidakterkaitan dengan tugas, namun <5% peserta menyatakan tidak tertarik untuk mendalami materi pelatihan (Gambar 6). Fakta tersebut menunjukkan bahwa penugasan untuk mengikuti pelatihan perlu mempertimbangkan preferensi staf yang ditunjuk.
. Gambar 3. Pemahaman dan ketertarikan peserta terhadap topik pelatihan sebelum pelatihan dilakukan
Gambar 4. Pendapat peserta tentang manfaat pelatihan dan kesesuaian materi di 5 provinsi
19
Fahmuddin Agus et al.
Tabel 10. Peserta pelatihan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan institusi dalam pengelolaan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Barat, Papua dan Jambi No
Kalimantan Barat
1
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Balingtan
Papua
Jambi
Bapedalda Prov Papua
Balitbangda Provinsi
BKPP Pelalawan
BLH Provinsi
Bappeda Provinsi Papua Bappeda Kab. Mimika BLH Kab. Mimika BPTP Papua
Sekdes ArangArang Ketahanan Pangan Provinsi BPP. Kumde Ulu
BLM Prov. Riau
BMKG
BP2KP Indragiri Hilir
BP Kapet DAS KAKAB BPDAS Kahayan)
BPAKP Muaro Jambi BPDAS Bt.Hari
Dinas Kehutanan Kab. Kampar Dinas Perkebunan Bangkinang
BPTP Kalteng
Bakorluh
Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Kampar Dinas Pertanian Kab. Pelalawan
Disbunhut Kab. Pulang Pisau
Dinas Pertanian Provinsi
Dinas Tan. Pangan, Hortikultura Prov Riau
Universitas Palangkaraya
Dinas Kehutanan Provinsi Fakultas Pertanian UNJA
Dinas THP Tembilahan, Indragiri Hilir Dishutbun Meranti
Universitas PGRI
Dishutbun Muaro Jambi
Faperta UIR
Dinas Pertanian Muaro Jambi
Faperta UNRI
Dinas Perkebunan Provinsi Bappeda Muaro Jambi
PTPN 3
17
LH. Muaro Jambi
Univ. Lancang Kuning
18
BPTP Jambi
UNSYIAH
2 4 5 6
Bappeda Kubu Raya BLHD Provinsi Kalbar BP3K
7
BP4K Kab. Kubu Raya
8
BPTP Kalbar
9
Dinas Pertanian Provinsi
10
Disbunhutan Kab. Kubu Raya
11
Distanak Kab. Kubu Raya Fak. Pertanian UNTAN
12 13
Petani
14
WWF-ID
15
16
Dinas Kehutanan Kab. Mimika Dinas Peternakan Dinas Pertanian Tan Pangan dan Perkebunan Kantor Ketahanan Pangan UNCEN UNDP Yapeda (LSM)
Dinas kehutanan dan Perkebunan Muaro Jambi
Riau
BPTP Prov. Riau
Kalimantan Tengah
Disbun Provinsi
Universitas Muhamadyah
UIN, SUSKA, Riau
Hampir 100% peserta menyatakan materi yang diberikan sesuai dengan harapan mereka dan hanya <10% peserta di Provinsi Jambi dan Riau yang menyatakan kurang sesuai dengan harapan mereka. Kekurangsesuaian materi yang dirasakan peserta disebabkan karena latar belakang peserta yang tidak terkait dengan materi pelatihan
20
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
sehingga harapan mereka sebelum pelatihan tidak terpenuhi dari materi pelatihan yang diterima. Praktek pengukuran karbon dalam tanah dan tanaman dianggap cukup sulit (37,070,6% peserta). Rumitnya perhitungan karbon dalam tanaman mungkin menjadi salah satu penyebab sulitnya materi tersebut dipahami peserta. Pemahaman peserta terhadap materi yang diberikan sangat berkaitan erat dengan latar belakang peserta dan persepsi peserta terhadap materi. Bagi peserta yang mempunyai latar belakang keterkaitan dengan materi yang diberikan, tentu tidak sulit memahami materi yang diberikan, namun bagi peserta yang latar belakangnya sangat tidak relevan dengan materi yang diberikan tentu akan menganggap sulit dan kurang memahami materi yang diberikan. C-dalam tanaman Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam pelatihan pengukuran karbon dan emisi GRK ke depan adalah sebagai berikut: 1) Waktu penyelenggaraan yang lebih lama agar dapat dipahami secara baik, 2) Perlu adanya standarisasi pengukuran dalam pengukuran karbon dan GRK agar ada kesamaan interpretasi hasil analisis, 3) Waktu praktek di lapangan dan interpretasinya perlu mendapat porsi waktu yang lebih banyak sehingga peserta lebih terlatih, 4) Peserta pelatihan diprioritaskan bagi staf/instansi yang akan terlibat langsung dalam pengukuran karbon dan emisi di masing-masing provinsi dan 5) Perlu dipertimbangkan ketersediaan instrumen pengukuran GRK di provinsi sehingga materi pelatihan sinkron dengan kebutuhan setempat.
Kesimpulan Implikasi Kebijakan Terdapat sekitar 3,7 juta ha lahan gambut terdegradasi ditambah sekitar 0,6 juta ha lahan kosong dan lahan bekas tambang yang sebagian di antaranya berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Akan tetapi lahan terlantar tersebut tersebar pada berbagai peruntukan kawasan termasuk pada areal hutan lindung, hutan suaka alam dan sebagainya yang tidak legal dikembangkan untuk pertanian. Dalam jangka pendek perlu dipercepat langkah-langkah rehabitasi lahan gambut terlantar yang berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL). Dalam jangka menengah perlu dikaji pemanfaatan lahan terlantar di luar kawasan APL, misalnya melalui mekanisme land swap (tukar guling); hutan gambut pada areal penggunaan lahan lain (APL) dijadikan sebagai kawasan lindung dan belukar gambut di kawasan hutan dirubah statusnya menjadi APL. Mekanisme ini akan memerlukan reformasi hukum dan kebijakan dalam sistem tata kelola dan peruntukan lahan. Opportunity cost penurunan emisi dari lahan hutan dan hutan terdegradasi relatif tinggi; minimal USD 5/t CO2. Nilai ini jauh melebihi harga karbon di pasar internasional yang hanya kurang dari USD 1/t CO2. Ini berarti mekanisme pasar karbon semakin sulit
21
Fahmuddin Agus et al.
diharapkan untuk menurunkan emisi GRK dari lahan gambut. Untuk itu selain tetap memperjuangkan aspek financing pada berbagai forum United Nations Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) di dalam negeri penurunan emisi dapat ditempuh dalam kerangka adaptasi yang bersinergi dengan penurunan emisi.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F., A. Dariah, E. Runtunuwu dan E. Susanti. 2012. Emission reduction options for peatlands in the Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Journal of Oil Palm Research 24: 1378–87. http://palmoilis. mpob.gov.my/publications/joprv24aug2012-Fahmuddin.pdf. Agus, F., P. Gunarso, B.H. Sahardjo, N. Harris, M. van Noordwijk, and T.J. Killeen. 2013. Historical CO2 emissions from land use and land use change from the oil palm industry in Indonesia, malaysia and Papua New Guinea. In Reports from the Technical Panels of RSPOs 2nd Greenhouse Gas Working Group. T. J. Killeen and J. Goon (eds.). Roundtable on Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur, Malaysia.pp. 65–88. http://www.rspo.org/file/GHGWG2/5_historical_CO2_ emissions_Agus_et_al.pdf. Agus, F., and M. Sarwani. 2013. Review of emission factor and land use change analysis used for the renewable fuel standard by USEPA. Dalam Prosiding seminar nasional pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, Bogor, 4 Mei 2012. Y. Sulaeman, E. Husen, M. Anda, M. Noor, M.H. Swanda, Maswar, A. Fahmi (eds.) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Hal. 29–46. Aich, S., C.W. McVoy, T.W. Dreschel, and F. Santamaria. 2013. Estimating soil subsidence and carbon loss in the Everglades agricultural area, Florida using geospatial techniques. Agriculture, Ecosystems & Environment, 171: 124–133. doi:10.1016/j.agee.2013.03.017. Couwenberg, J., and A. Hooijer. 2013. Towards robust subsidence-based soil carbon emission factors for peat soils in South-East Asia, with Special Reference to Oil Palm Plantations. Mires and Peat, 12: 1–13. Gunarso, P., M.E. Hartoyo, F. Agus, and T.J. Killeen. 2013. Oil palm and land use change in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. In Reports from the Technical Panels of RSPOs 2nd Greenhouse Gas Working Group, T.J. Killeen and J. Goon. Roundtable on Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur, Malaysia. pp. 29–64. http://www.rspo.org/file/GHGWG2/4_oil_palm_and_land_use_change_Gunarso _et_al.pdf. Hooijer, A., S. Page, J. Jauhiainen, W.A. Lee, X.X. Lu, A. Idris, and G. Anshari. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences 9 (3): 1053–1071. doi:10.5194/bg-9-1053-2012. Husnain, H., I.G.P. Wigena, A. Dariah, S. Marwanto, P. Setyanto, and F. Agus. 2014. CO2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitigation and
22
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
Adaptation Strategies for Global Change 19 (6): 845–862. doi:10.1007/s11027014-9550-y. Jauhiainen, J., A. Hooijer, and S.E. Page. 2012. Carbon Dioxide emissions from an Acacia plantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences 9(2): 617– 630. doi:10.5194/bg-9-617-2012. Drösler, M., L.V. Verchot, A. Freibauer, G. Pan, C. Wang C.D. Evans, R.A. Bourbonniere, J.P. Alm, S. Page, F. Agus, K. Hergoualc’h, J. Couwenberg, J.i Jauhiainen, S. Sabiham. 2013. “CHAPTER 2: Drained Inland Organic Soils.” In 2013 Supplement to the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Wetlands, IPCC, Geneva. Ritung, S.. Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, C. Tafakresnanto. 2011. Peta lahan gambut Indonesia skala 1:250.000. Kementerian Pertanian, Jakarta. Stephens, J.C., and E.H. Stewart. 1969. Effect of climate on organic soil subsidence.. Agricultural Research Service, U.S.D.A. Ft. Lauderdale, Florida, USA, 647–56. Volk, B.G. (Deltares). 1973. “1973 Volk Subsidence_soil Tey_ Temperature_ Water Depth Everglades.pdf”. Soil and Crop Science Society of Florida. Wösten, J.H.M., E. Clymans, S.E. Page, J.O. Rieley, and S.H. Limin. 2008. Peat–water interrelationships in a Tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena 73 (2): 212–224. doi:10.1016/j.catena.2007.07.010.
23
2
RESPON TANAMAN KARENA PENGARUH AMELIORASI TANAH DI LAHAN GAMBUT : SINTESIS DARI EMPAT LOKASI PENELITIAN
CROPS RESPONSES TO AMELIORATION ON PEAT SOIL : SYNTHESIS OF FOUR ICCTF RESEARCH SITES I G.M. Subiksa1, I G.P. Wigena1, Diah Setyorini1, Salwati2, Nurhayati3, Tuti Sugiarti4, Anang Firmansyah5 1
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Bogor 16114.
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Raya Jambi-Palembang, Km 16, Pondok Meja, Mestong, Muaro Jambi. 3
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharuddin Nasution No. 341, Km 10, Marpoyan, Pekanbaru . 4
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Jl. Budi Utono No. 45, Siantan, Pontianak. 5
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Jl. G. Obos Km 5, Palangkaraya.
Abstrak. Penelitian respon tanaman karena pengaruh ameliorasi tanah di lahan gambut telah dilakukan tahun 2013-2014 di empat lokasi yaitu Jambi, Riau, Kalteng dan Kalbar. Penelitian bertujuan untuk melakukan verifikasi teknologi ameliorasi untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman perkebunan dan jagung, serta melihat pengaruhnya terhadap dinamika sifat kimia tanah. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan amelioran yang bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Amelioran yang digunakan adalah Pugam, Pukan, Tankos, Tanah mineral dan kontrol. Tanaman indikator adalah kelapa sawit di Jambi dan Riau, karet di Kalteng dan jagung di Kalbar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan amelioran bervariasi antar lokasi. Di Jambi amelioran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun produksi TBS kelapa sawit. Di antara amelioran, Pukan lebih unggul dibandingkan amelioran lainnya. Fluktuasi temporal produksi TBS berkorelasi dengan kedalaman muka air tanah. Di Riau amelioran berpengaruh nyata terhadap produksi TBS kelapa sawit dan Pugam lebih unggul dibandingkan dengan amelioran lainnya. Di Kalteng, amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan batang dan produksi getah karet, namun ada kecendrungan penambahan lilit batang lebih tinggi dengan amelioran. Di Kalbar, amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun produksi jagung, namun ada kecendeungan Pugam memberikan hasil jagung lebih tinggi dibandingkan kontrol maupun amelioran lainnya. Sementara itu perlakuan cara petani yang memberikan input lebih banyak jenis amelioran dan dosis, menghasilkan biji jagung yang lebih besar. Database sifat kimia tanah pada masing petak perlakuan menunjukkan bahwa tingkat kemasaman tanah di empat lokasi tergolong
25
I G.M. Subiksa et al.
ekstrim masam. Status hara P dan K di Jambi dan Riau cukup tinggi tetapi di Kalteng dan Kalbar rendah. Kaca kunci: Amelioran, pugam, pukan, tankos, kelapa sawit, karet, jagung, sifat kimia tanah Abstract. Research on crops response due to ameliorant application on peatland has been carried out in 2013 - 2014 at 4 locations namely Jambi, Riau, Central Kalimantan and West Kalimantan. The objectives are to verify the amelioration technologies to increase the growth and production of oil palm, rubber and corn and to study their effect on the dynamics of soil chemical properties. Research using randomized complete block design with 4 kinds of ameliorant treatments which varies between one location to another. Ameliorant studied were Pugam, Manure, EFB compost and mineral soil and control. Crops indicator were oil palm at Jambi and Riau, rubber at Central Kalimantan and corn at West Kalimantan. The results revailed that the effects of ameliorant treatment vary between locations. In Jambi ameliorant significantly affect the growth and production of oil palm FFB. Among ameliorants, Manure is superior to the other. The temporal FFB production fluctuation has correlation with the depth of water table. In Riau ameliorant significant effect on the production of oil palm FFB and Pugam superior compared to other ameliorants. In Central Kalimantan, ameliorant no significantly effect on stem growth and latex production, but there is a tendency that ameliorant affect the higher latex. In West Kalimantan, ameliorant did not significantly affect the growth and production of corn, but there is a tendency that Pugam gave a higher corn yield than the control or other ameliorant treatments. Meanwhile the conventional farmer practices that provide more input, both in terms of types and doses, has greater size of corn grain. The database of soil chemical properties in each treatment plot shows that the level of soil acidity in 4 locations classified as extremely acid. P and K nutrient status in Jambi and Riau quite high but low in Central Kalimantan and West Kalimantan. The higher nutrient status of two first location were due to fertilizer residue from the previous application. Keyword: Ameliorant, pugam, pukan, tankos, palm oil, rubber, corn, soil chemical properties
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perluasan areal pertanian terkendala oleh terbatasnya lahan-lahan yang sesuai sehingga terpaksa mengarah pada lahan-lahan sub optimal, termasuk lahan gambut. Indonesia mempunyai lahan gambut tropis terluas didunia, yaitu sekitar 14.9 juta hektar yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Hasil karakterisasi lahan menunjukkan sekitar 6 juta ha diantaranya cukup sesuai untuk pengembangan pertanian bila dilakukan
26
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut
reklamasi yang terencana. Sampai saat ini sebagian lahan ini sudah dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Dalam dua dekade terakhir pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi polemik global. Pemanfaatan lahan gambut menjadi dilematis karena terjadi pertentangan antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dari aspek ekonomi, jelas bahwa pemanfaatan lahan gambut telah menjadi sumber pendapatan bagi petani, perusahaan perkebunan dan pemerintah. Namun dari aspek lingkungan, pemanfaatan lahan gambut menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global, berkurangnya keragaman hayati dan fungsi hidrologi. Secara inheren, gambut memiliki daya dukung rendah terhadap pertumbuhan tanaman, baik dari aspek fisik, kimia maupun biologi tanahnya. Bulk density yang rendah menyebabkan kapasitas sangga (bearing capacity) rendah sehingga tanaman mudah roboh (Agus dan Subiksa, 2008). Sifatnya yang masam, miskin hara serta kandungan asam organic fenolat yang tinggi menyebabkan perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman terganggu (Stevenson, 1994). Karena masam dan miskin hara, aktivitas biologi tanah juga sangat terbatas baik jenis maupun populasinya. Resultante dari semua sifat tanah ini menyebabkan gambut tergolong lahan marginal dan rapuh. Proses dekomposisi gambut yang disebabkan oleh aktivitas biologi menyebabkan emisi karbon dari lahan gambut tergolong tinggi (Page et al., 2011). Upaya peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah dilakukan melalui serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan menjadi kunci peningkatan produktivitas lahan (Subiksa, 2000). Drainase yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman mampu mengurangi kondisi drainase berlebihan (over drained) yang memicu emisi karbon. Pengalaman empiris, baik oleh petani maupun lembaga penelitian menunjukkan bahwa pupuk kandang serta bahan amelioran yang kaya dengan kation polivalen menjadi amelioran yang sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas lahan dan stabilitas gambut. Stabilitas gambut sangat terkait dengan adanya proses kompleksasi asam-asam organik sehingga lebih tahan terhadap degradasi sehingga emisi karbon berkurang. Kompleksasi asam-asam organic fenolat oleh kation polivalen mengurangi sifat meracun asam-asam tersebut sehingga perkembangan akar tanaman tidak terganggu. Pemupukan dengan pupuk makro dan mikro penting untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman. Ameliorasi dan pemupukan bersifat sinergis karena ameliorasi meningkatkan efektivitas pemupukan. Mengingat bahwa pemanfaatan lahan gambut adalah suatu yang dilematis, maka pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan didukung oleh teknologi yang teruji dapat menurunkan atau memperkecil emisi GRK, namun secara simultan dapat meningkatkan
27
I G.M. Subiksa et al.
produktivitas dan keuntungan usahatani. Pada tahun 2010-2011, Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melaksanakan suatu penelitian pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dengan dukungan dana dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF-BAPPENAS). Kegiatan dilakukan di empat lokasi di Sumatra dan Kalimantan. Pada tahun 2013, kegiatan dilanjutkan untuk melihat dampak penelitian dan perlakuan terhadap keberlanjutan produktivitas lahan dan mitigasi GRK. Penelitian ini bertujuan melakukan verifikasi teknologi ameliorasi untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman pangan dan tanaman perkebunan, serta pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah gambut.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di empat Provinsi yaitu Jambi, Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Tiga lokasi pertama adalah kegiatan lanjutan dari kegiatan tahun 2011, sedangkan lokasi terakhir adalah kegiatan baru. Kegiatan di Provinsi Jambi dilakukan di Desa Arang-arang, Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muaro Jambi. Kegiatan di Provinsi Riau dilakukan di Desa Teluk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang Kabupaten Pelalawan. Kegiatan di Kalteng dilakukan di Desa Jabiren Kecamatan Jabiren Kabupaten Pulang Pisau. Kegiatan di Kalbar dilakukan di Desa Rasau Jaya II Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya. Tanah gambut di lokasi Jambi diklasifikasikan sebagai Typic Haplosaprist, lokasi Riau Typic Haplohemist, lokasi Kalteng Typic Haplohemist dan Kalbar Typic Haplohemist (Ritung et al., 2011). 1. Provinsi Jambi dan Riau Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RCBD) dengan 4 perlakuan amelioran dan 4 ulangan. Tanaman utama sebagai indikator adalah kelapa sawit umur 6 tahun. Perlakuan amelioran adalah Pugam, Pupuk Kandang (Pukan), Kompos Tandan Kosong (Tankos) dan Kontrol. Komposisi dan dosis perlakuan ditampilkan pada Tabel 1. Pupuk dasar diberikan untuk seluruh perlakuan, kecuali perlakuan Pugam tidak diberikan lagi pupuk SP-36 dan unsur mikro. Aplikasi perlakuan amelioran dilakukan dua kali setahun, awal musim hujan dan akhir musim hujan. Pada aplikasi kedua dan seterusnya, dosis amelioran dikurangi antara 40 – 50%. Sebelum aplikasi, dilakukan pengambilan contoh tanah secara acak pada beberapa piringan tanaman kelapa sawit dan ditandai pohon tempat pengambilan contoh untuk pengambilan contoh tanah berikutnya. Piringan dibersihkan dengan radius 2 m dari
28
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut
batang pokok dan batasi piringan dengan saluran dangkal. Amelioran dan pupuk ditaburkan secara merata dalam piringan. Tabel 1. Perlakuan amelioran pada demplot ICCTF di Jambi dan Riau No
Perlakuan
1. 2.
Pertama: Sebelum perlakuan 5.0 kg/phn
Pemberian Amelioran/Pupuk Kedua: Ketiga: 6 bulan sesudah 12 bulan sesudah pemberian pertama pemberian pertama 3.0 kg/phn 3.0 kg/phn
Kontrol* PUGAM A (tanpa SP 36 dan pupuk mikro) (kg/phn) 3. Pupuk Kandang* (kg/phn) 10 6.0 4. Kompos Tandan Kosong sawit* 15 9.0 (kg/phn) Pupuk Dasar: 1. Urea (kg/phn) 2 2 2. SP-36 (kg/phn) 2 2 3. KCl (kg/phn) 2.5 2.5 4. Kiserit (kg/phn) 1.2 5. Pupuk Mikro: CuSO4 (kg/phn/th) 0,15 ZnSO4 (kg/phn/th) 0.15 Borax (kg/phn/th) 0.30 Keterangan: Perlakuan PUGAM tidak diberikan pupuk SP-36 dan pupuk mikro.
1. 2. 3. 4.
6.0 9.0
2 2 2.5 1.2 0,15 0.15 0.30
Pengamatan dilakukan terhadap : Lebar lingkar tajuk dengan mengukur ujung tajuk terluar dari pangkal batang. Jumlah pelepah daun yang sudah berkembang Jumlah tandan buah Tandan buah segar yang dipanen.
2. Provinsi Kalteng Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RCBD) dengan empat perlakuan amelioran dan empat ulangan. Tanaman indikator utama adalah tanaman karet berumur lima tahun. Perlakuan amelioran adalah Pugam, Pupuk Kandang, Tanah Mineral dan Kontrol. Komposisi dan dosis perlakuan ditampilkan pada Tabel 2. Pupuk dasar diberikan untuk seluruh perlakuan, kecuali perlakuan Pugam tidak diberikan lagi pupuk SP-36. Aplikasi perlakuan dilakukan dua kali setahun awal musim hujan dan akhir musim hujan. Sebelum aplikasi, dilakukan pengambilan contoh tanah secara acak pada beberapa piringan tanaman karet dan tandai pohon tempat pengambilan contoh untuk pengambilan contoh tanah berikutnya. Piringan tanaman karet radius 1 m dari batang pokok dan batasi piringan dengan saluran dangkal. Amelioran dan pupuk ditaburkan secara merata dalam piringan.
29
I G.M. Subiksa et al.
Tabel 2. Perlakuan amelioran pada demplot ICCTF di Kalteng Dosis Amelioran/Pupuk No. 1. 2.
Perlakuan Kontrol* PUGAM (kg/phn)
3.
Pupuk Kandang (kg/phn) 4. Tanah mineral (kg/phn) Pupuk Dasar: 1. Urea (kg/phn) 2. SP-36 (kg/phn) 3. KCl (kg/phn)
Pertama: Sebelum Perlakuan 2.0
Kedua: 6 bln setelah pemberian pertama 1.0
Ketiga: 12 bulan setelah pemberian pertama 1.0
4.0
2.0
2.0
6.0
3.0
3.0
0.25 0.20 0.25
0.25 0.20 0.25
0.25 0.20 0.25
Keterangan: Perlakuan PUGAM tidak diberikan pupuk SP-36
Pengamatan dilakukan terhadap: 1. Lebar lingkar tajuk dengan mengukur ujung tajuk terluar dari pangkal batang. 2. Lingkar batang 0,5 m dari permukaan tanah. 3. Produksi getah/bulan 3. Provinsi Kalbar Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RCBD) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Tanaman indikator adalah tanaman jagung dan Nenas. Perlakuan amelioran adalah Pugam, Pupuk Kandang, Dolomit, Kontrol dan Cara Petani. Semua perlakuan diberikan pupuk dasar berupa urea, SP-36 dan KCl, kecuali Pugam tidak diberikan SP-36. Komposisi dan dosis perlakuan ditampilkan pada Tabel 4. Perlakuan cara petani adalah cara-cara budidaya jagung oleh petani setempat (spt pembakaran serasah, amelioran dolomit + pupuk kandang dan pupuk urea, SP-36 dan KCl. Petak perlakuan dibatasi dengan saluran drainase dangkal lebar 30 cm dan dalam 30 cm. Lahan untuk bedengan tanaman jagung diratakan dan dibersihkan dari ranting dan serasah tanaman. Pengambilan contoh tanah di setiap petakan dilakukan sebelum aplikasi perlakuan dan pupuk. Lokasi pengabilan contoh juga menjadi tempat pengukuran emisi GRK. Aplikasi perlakuan amelioran dilakukan sebelum tanam dan diaduk merata sedangkan. Pupuk SP-36 dan sebagian urea dan KCl diberikan pada umur 2 minggu dan sebagian urea dan KCl lainnya dilakukan saat tanaman berumur 40 hari sambil dilakukan pembumbunan.
30
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut
Tabel 3. Perlakuan amelioran pada demplot ICCTF dengan tanaman jagung dan Nanas di Kalbar. No
Dosis Amelioran/Pupuk
Perlakuan Musim-1
1 2. 3.
Cara Petani* Kontrol (tanpa amelioran) -1
PUGAM** (kg ha )
4. Pupuk Kandang (kg ha-1) 5. Dolomit*** (kg ha-1) Pupuk Dasar:
Musim-2
Musim-3
-
-
1.000
500
500
5.000 1.000
2.500 500
2.500 500
1.
Urea (kg ha-1)
300
300
300
2.
-1
SP-36 (kg ha )
200
200
200
3. 4. 5.
KCl (kg ha-1) Kiserit (kg ha-1) Pupuk Mikro: CuSO4 (kg ha-1)
150 100
150 100
150 100
15
15
15
Keterangan: *) Cara petani setempat, ; **) Perlakuan PUGAM tidak diberikan pupuk SP-36 dan pupuk mikro; ***) penetapan dosis dilakukan dengan cara inkubasi sampai pH 5.0.
Pengamatan terhadap keragaan tanaman jagung dilakukan dari tanaman 21 hari setelah tanam (HST) meliputi: 1. Tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 21. 28. 35. 42. 49. 56 HST. 2. Umur tanaman setelah 90% keluar bunga jantan. 3. Gejala defisiensi hara yang muncul 4. Berat kering biomas 5. Komponen produksi (jumlah tongkol, berat tongkol, panjang tongkol) 6. Produksi jagung pipilan kering.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tanah Beberapa parameter sifat kimia tanah telah dianalisis di Laboratorium sebagai data kondisi tanah di awal penelitian. Hasil analisis tanah gambut yang diambil di piringan tanaman sawit dari Jambi dan Riau ditampilkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tanah gambut dari Jambi pada umumnya sangat masam dengan kadar C-organik yang tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan hara tanah yang diambil dalam piringan pokok kelapa sawit berkisar antara sedang sampai tinggi untuk hara P, sedangkan hara K statusnya sedang. Hara P dan K yang siap tersedia juga tergolong tinggi. Hara kalsium dan
31
I G.M. Subiksa et al.
magnesium juga tergolong cukup baik. Hal ini menunjukkan ketersediaan hara untuk kelapa sawit pada tanah di piringan pokok tanaman cukup besar. Tabel 4. Karakteristik kimia tanah sebelum perlakuan di lokasi ICCTF Jambi P
K
P-Bray
KMorgan
Ca
Mg
K
Fe
Al
mg/100g
mg/100g
ppm
ppm
cmol/kg
cmol/kg
cmol/kg
%
%
Kontrol
30.5
19.5
109.3
189.5
12.58
3.10
0.37
0.03
0.11
Pugam
32.8
27.0
119.5
265.0
10.13
2.60
0.52
0.03
0.12
Pukan
57.0
29.3
153.1
286.3
10.93
2.73
0.56
0.03
0.14
Tankos
50.5
24.5
176.3
223.5
16.44
2.96
0.44
0.03
0.13
Perlakuan
Tanah gambut dari Riau memiliki tingkat kemasaman dan kadar C-organik yang hampir sama dengan tanah gambut Jambi. Hasil analisis tanah sebelum aplikasi perlakuan disajikan dalam Tabel 3. Tingginya kemasaman tanah gambut antara lain disebabkan oleh kondisi drainase yang buruk dan akumulasi asam-asam organik yang dihasilkan dari proses degradasi bahan organik. Karena gambut di Jambi maupun Riau adalah gambut kayuan, maka diperkirakan asam-asam organik fenolat kadarnya cukup tinggi sehingga bisa mengganggu perkembangan akar tanaman (Stevenson, 1994). Contoh tanah gambut yang diambil dari piringan kelapa sawit mengandung hara P dan K yang cukup tinggi karena secara rutin diberikan pupuk. Walaupun daya simpan gambut sangat lemah terhadap anion, namun residu pemupukan masih terlihat cukup besar. Namun residu hara diperkirakan akan cepat menurun bila tidak ada penambahan baru karena terbatasnya jumlah koloid anorganik dalam tanah (Stevenson, 1994; Tan, 1994). Kadar basa-basa dalam tanah gambut juga menentukan kemampuan tanah gambut menjerap P. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar unsur-unsur basa dalam tanah gambut tergolong rendah (Rachim, 1995). Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Salampak (1999) dan Masganti (2003). Gambut yang oligotrofik biasanya miskin akan unsur-unsur hara, termasuk basa-basa. Tabel 5. Karakteristik kimia tanah sebelum perlakuan di lokasi ICCTF Riau P
K
P-Bray
K-Morgan
Ca
Mg
K
Fe
Al
mg/100g
mg/100g
ppm
ppm
cmol/kg
cmol/kg
cmol/kg
%
%
Kontrol
36.74
46.00
213.12
453.50
10.56
3.22
0.90
0.12
0.17
Pugam
38.61
31.70
212.05
308.75
10.86
2.71
0.61
0.07
0.17
Pukan
38.45
83.23
225.19
816.50
9.73
2.77
1.63
0.09
0.19
Tankos
45.62
36.28
231.79
349.75
9.60
3.52
0.69
0.08
0.17
Perlakuan
32
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut
Tanah gambut di lokasi Kalteng juga tergolong oligotropik dengan tingkat kemasaman sangat tinggi. Kadar C-organik berkisar antara 28 – 46%, bervariasi diantara perlakuan. Kadar P tergolong tinggi untuk perlakuan Pugam dan Pukan yang diperkirakan merupakan residu pupuk dari musim sebelumnya. Sedangkan perlakuan kontrol dan tanah mineral, kadar P tergolong sedang. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kemampuan tanah menahan P, dimana Pugam dan Pukan secara teoritis mampu meningkatkan kapasitas sangga tanah terhadap P. Hara P yang mudah tersedia juga tergolong tinggi sehingga tanaman tidak mengalami defisiensi unsur ini. Potensi kadar hara K tergolong rendah, namun K tersedia tergolong tinggi. Hal ini berarti bahwa hara K akan cepat terkuras akibat lemahnya jerapan K oleh muatan gambut. Kadar basa-basa, khususnya Ca dan Mg, tergolong sedang, namun karena jerapannya lemah, Ca dan Mg juga diperkirakan cepat terkuras karena tercuci. Tabel 6. Karakteristik kimia tanah sebelum perlakuan di lokasi ICCTF Kalteng P
K
P-Bray
K-Morgan
mg/100g
mg/100g
ppm
ppm
Kontrol
36.32
14.25
158.60
136.25
6.72
2.49
Pugam
47.40
12.25
163.84
115.75
5.95
Pukan
43.58
12.00
182.97
115.50
T. Mineral
28.96
13.50
126.73
130.00
Perlakuan
Ca cmol/ kg
Mg cmol/ kg
K cmol/ kg
Fe
Al
%
%
0.27
0.06
0.16
2.12
0.22
0.08
0.17
6.32
2.37
0.22
0.06
0.16
5.79
2.48
0.26
0.06
0.18
Tabel 7. Karakteristik kimia tanah sebelum perlakuan di lokasi ICCTF Kalbar Perlakuan
P
K
P-Bray
Ca
Mg
K
mg/100g
mg/100g
ppm
cmol/kg
cmol/kg
cmol/kg
pH
T1
3.51
15.86
7.60
47.50
4.80
3.03
0.15
T2
3.45
28.21
13.83
79.68
10.37
3.39
0.29
T3
3.55
38.00
5.54
117.22
12.68
3.93
0.24
T4
3.49
27.72
5.57
62.71
10.86
3.65
0.26
T5
3.61
37.35
4.31
92.04
16.93
3.71
0.21
Karakteristik Amelioran Tabel 8. Karakteristik amelioran Parameter
Unit
pH H2O (1:5)
Pugam
Pukan
Tanah mineral
Kompos Tankos
8,6
8.5
4,6
7.0
Kadar Air
%
3,8
70.08
7,6
55.89
As. Humat
%
-
1.37
-
1.43
33
I G.M. Subiksa et al.
Parameter
Unit
Pugam
Pukan
Tanah mineral
Kompos Tankos
As. Fulfat
%
-
1.60
-
2.42
Asam Humat
%
-
4.48
-
6.66
C-Organik
%
-
6.13
0,38
19.23
N-Organik
%
-
0.40
-
1.54
NH4
%
-
0.06
-
0.15
NO3
%
-
0.03
-
0.08
Total
%
-
0.49
0,05
1.77
C/N
%
-
12
7,6
11
P2O5
%
13,15
0.56
-
4.75
K2O
%
0,08
0.49
-
0.45
Ca
%
18,9
0.72
-
1.29
Mg
%
6,53
0.33
-
0.80
S
%
0,56
0.10
-
0.20
Fe
ppm
87200
412
1890
td
Mn
ppm
5608
47
1102
39
Cu
ppm
1008
3
-
17
Zn
ppm
1633
46
-
47
Al
ppm
56100
td
1700
td
B
ppm
686
40
-
3
Pb
ppm
17,3
td
-
td
Cd
ppm
1,6
td
-
td
As
ppm
td
0.7
-
0.8
Mo
ppm
Td
td
-
td
Hg
ppm
td
0.1
-
0.0
Pertumbuhan Tanaman Jambi Parameter pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang diukur antara lain adalah jumlah penambahan pelepah dalam periode tertentu dan lebar tajuk. Kedua parameter ini dijadikan indikator adanya respon tanaman kelapa sawit terhadap perlakuan yang diberikan. Laju pertumbuhan kelapa sawit yang lebih cepat akan menghasilkan jumlah pelepah lebih banyak dan lebar tajuk lebih besar.
34
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut
Jumlah pelepah Data pengamatan rata-rata penambahan jumlah pelepah selama periode pengamatan 6 bulan ditampilkan pada Tabel 9. Pada perlakuan kontrol yang hanya diberikan pupuk sesuai rekomendasi, jumlah penambahan pelepah daun yang mekar sempurna ada 5,31 pelepah. Artinya hanya ada 1 tambahan pelepah daun yang telah terbuka sempurna setiap bulan. Hal ini menunjukkan bahwa proses pertumbuhan tanaman agak terhambat, karena normalnya pelepah daun akan terbuka setiap 12 – 15 hari sekali atau sekitar 30 pelepah per tahun. Perlakuan amelioran berupa Pugam, Pukan dan Kompos Tankos berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan kelapa sawit dan menunjukkan terjadi peningkatan jumlah pelepah daun kelapa sawit dibandingkan dengan kontrol. Pemberian amelioran Pukan 10 kg/pohon dan kompos tankos 15 kg/pohon menghasilkan rata-rata 2 pelepah lebih banyak (41% dan 33%) dibandingkan perlakuan kontrol. Pemberian amelioran Pugam 5 kg/pohon menghasilkan tambahan pelepah paling banyak yaitu sekitar 4 pelepah lebih banyak dibandingkan kontrol (74%). Jumlah penambahan pelepah daun sekitar 3 – 4 pelepah per 2 bulan adalah siklus yang mendekati normal untuk tanaman kelapa sawit yang sehat. Hal ini merupakan indikasi bahwa budidaya kelapa sawit di lahan gambut tidak cukup hanya memberikan pupuk untuk memperoleh tanaman yang sehat, tetapi juga harus diberikan amelioran untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik Tabel 9.
Rata-rata penambahan jumlah pelepah tanaman kelapa sawit selama periode pengamatan 5 bulan
Perlakuan
I
II
III
IV
Rata-2
Kontrol
5.50
5.00
5.50
5.25
5.31 c
Pugam
9.50
8.25
10.50
8.75
9.25 a
Pukan
8.25
7.00
6.75
8.00
7.50 b
Tankos
6.75
5.75
8.50
7.25
7.06 b
Lebar Tajuk Lebar tajuk kelapa sawit merupakan ekspresi dari panjang pelepah daun. Data ratarata lebar tajuk kelapa sawit ditampilkan pada Tabel 10. Tanaman kelapa sawit yang hanya diberikan pupuk lengkap makro dan mikro (kontrol) memiliki lebar tajuk rata-rata 392 cm. Dengan penambahan amelioran Pugam lebar tajuk meningkat nyata menjadi ratarata 446 cm. Sedangkan penambahan amelioran Pukan dan kompos Tankos masingmasing 10 kg dan 15 kg/pohon sedikit meningkat namun tidak nyata. Hal ini juga menunjukkan bahwa amelioran menjadi input produksi yang sangat diperlukan untuk
35
I G.M. Subiksa et al.
memperoleh pertumbuhan kelapa sawit yang optimal di lahan gambut. Dari 2 paramater pertumbuhan ini. amelioran Pugam menunjukkan pengaruh yang paling………di antara 3 amelioran yang digunakan. Tabel 10. Rata-rata lebar tajuk tanaman kelapa sawit Lebar tajuk (cm) Perlakuan I
II
III
IV
Rata-rata
Kontrol
391.5
386.5
403.5
387.3
392.19 b
Pugam
440.3
401.5
501.8
448.8
448.06 a
Pukan
406.3
402.8
418.8
421.0
412.19 ab
Tankos
431.3
408.8
418.3
401.8
415.00 ab
Hasil TBS Tandan buah segar (TBS) dipanen setelah dianggap cukup matang setiap 2 minggu sekali panen. Data hasil panen kumulatif TBS selama 6 bulan pengamatan ditampilkan pada Tabel 11. Hasil kumulatif TBS dari perlakuan kontrol totalnya 33.3 kg selama periode 5 bulan atau 10 kali panen atau sekitar 11,4 ton /ha/tahun. Hasil panen ini masih jauh dari hasil TBS tanaman normal. Pemberian amelioran dapat meningkatkan produksi TBS, baik menggunakan amelioran Pugam, Pukan maupun kompos tankos. Peningkatan produksi TBS paling tinggi diperoleh dari perlakuan pukan (pupuk kandang) yaitu 54.7 kg/5 bulan/pohon atau sekitar 18 ton/ha/tahun, dengan asumsi populasi tanaman 143 pohon/ha. Sementara dengan amelioran Pugam dan kompos Tankos potensi produksinya bisa mencapai 17,4 ton dan 17,7 ton TBS/ha/tahun. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya melakukan perbaikan kondisi media perakaran tanaman. Selain meningkatkan ketersediaan hara yang dibutuhkan, pemberian amelioran langsung di area perakaran akan mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik beracun. Tabel 11. Rata-rata hasil TBS selama periode 5 bulan Total TBS selama 5 bulan (kg/pohon) Perlakuan I
II
III
IV
Kontrol
33.9
37.3
34.4
27.8
33.3 b
Pugam
58.5
48.3
37.8
58.5
50.8 ab
Pukan
61.1
46.0
59.3
52.5
54.7 b
Tankos
41.5
52.0
53.8
58.5
51.4 ab
36
Rata-rata
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut
Tabel 12. Produksi TBS per tahun di lokasi ICCTF Jambi Produksi TBS (ton/ha/th) Perlakuan I
II
III
Kontrol
11.6
12.8
11.8
9.5
11.4 b
Pugam
20.1
16.6
13.0
20.1
17.4 ab
Pukan
21.0
15.8
20.3
18.0
18.8 b
20.1
17.7 ab
Tankos
14.3
17.8
18.4
IV
Rata-rata
Gambar berikut menunjukkan bahwa produksi TBS kelapa sawit sangat berfluktuasi setiap bulannya. Produksi tertinggi untuk semua perlakuan terjadi sekitar bulan Oktober atau sekitar 2 bulan setelah aplikasi amelioran dan turun sampai titik terendah pada bulan Februari 2014. Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi cuaca dan kedalaman muka air tanah. Hasil analisis regresi menunjukkan produksi TBS berkorelasi dengan kedalaman muka air tanah, dimana produksi akan turun bila air tanah lebih dari 50 cm. Kelapa sawit tergolong tanaman yang memiliki kemampuan fiksasi karbon yang besar. Oleh karenanya, untuk memproduksi karbohidrat yang besar maka dibutuhkan air yang cukup. Disamping itu, penyebaran akar tanaman kelapa sawit di lahan gambut pada umumnya sebagian besar di dalam kedalaman 0 – 50 cm.
Gambar 1. Variasi produksi tandan buah segar antar perlakuan amelioran
Gambar 2. Perkembangan produksi TBS bulanan periode September 2013 – Mei 2014
37
I G.M. Subiksa et al.
Gambar 3. Hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan produksi TBS kelapa sawit umur 6 tahun Propinsi Riau Parameter pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang diukur antara lain adalah jumlah penambahan pelepah dalam periode tertentu dan lebar tajuk. Kedua parameter ini dijadikan indikator adanya respon tanaman kelapa sawit terhadap perlakuan yang diberikan. Laju pertumbuhan kelapa sawit yang lebih cepat akan menghasilkan jumlah pelepah lebih banyak dan lebar tajuk lebih besar Pertumbuhan Pelepah Daun Data pengamatan rata-rata penambahan jumlah pelepah selama periode pengamatan 7 bulan ditampilkan pada Tabel 13. Pada perlakuan kontrol yang hanya diberikan pupuk sesuai rekomendasi, jumlah penambahan pelepah daun yang mekar sempurna ada 18.4 pelepah. Artinya ada 2,6 tambahan pelepah daun yang telah terbuka sempurna setiap bulan. Hal ini menunjukkan bahwa proses pertumbuhan tanaman relatif normal, karena normalnya pelepah daun akan terbuka setiap 12 – 15 hari sekali atau sekitar 30 pelepah per tahun. Perlakuan amelioran berupa Pugam, Pukan dan Kompos Tankos tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan kelapa sawit dibandingkan dengan kontrol. Pemberian amelioran Pugam 5 kg/pohon, Pukan 10 kg/pohon dan kompos tankos 15 kg/pohon menghasilkan rata-rata 18.9 pelepah, 18.4 pelepah dan 18.4 pelepah dalam kurun waktu 7 bulan. Jumlah penambahan pelepah daun sekitar 2 - 3 pelepah per bulan adalah siklus yang mendekati normal untuk tanaman kelapa sawit yang sehat. Hal ini merupakan indikasi bahwa budidaya kelapa sawit di lahan gambut di Riau sudah cukup dengan memberikan pupuk makro dan mikro untuk memperoleh tanaman yang sehat. Namun demikian pemberian amelioran penting untuk mengurangi laju degradasi lahan dan emisi GRK.
38
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut
Tabel 13. Pengaruh ameliorasi terhadap pertambahan pelepah dan lebar tajuk kelapa sawit yang ditumpangsari dengan nanas Parameter No.
Perlakuan
Pertambahan Pelepah kumulatif 6 bulan (helai)
Lebar tajuk (cm)
1.
Kontrol
19,2 a
439 a
2.
Pugam
23,6 b
459 a
3.
Pukan
22,1 b
472 a
4
Tankos
22,5 b
465 a
Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT taraf 5%. Sumber: Masganti et al., 2014.
Tabel 14. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap total TBS dan produktivitas kelapa sawit yang ditumpangsari dengan nanas Parameter No.
Perlakuan
Total TBS (buah) 274 a
Produktivitas (kg/ha/bln)
1.
Kontrol
2.
Pugam
322 b
2.196,0 b
1.875,0 a
3.
Pukan
318 b
2.181,1 b
4
Tankos
315 b
2.138,3 b
Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT taraf 5%. Sumber: Masganti et al., 2014.
Kalimantan Tengah Lilit Batang Pertumbuhan tanaman karet ditandai dengan bertambah besarnya lilit batang (keliling lingkaran batang). Lilit batang diukur pada ketinggian 0,5 m dari permukaan tanah. Data hasil pengukuran lilit batang ditampilkan pada Tabel 15, dan rata-rata pertambahan lilit batang ditampilkan pada Tabel 16. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman karet pada perlakuan Pugam paling besar diantara perlakuan lainnya dari awal pengamatan sampai pengamatan bulan November. Pertambahan besar lilit batang mengalami peningkatan dengan penambahan amelioran, baik pupuk kandang, tanah mineral maupun Pugam. Penambahan lilit batang paling besar dihasilkan dari perlakuan amelioran tanah mineral, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan amelioran lainnya.
39
I G.M. Subiksa et al.
Tabel 15. Besar lilit batang karet antar perlakuan amelioran di Kalteng No.
Perlakuan
1 2 3 4
Kontrol Pukan T. Mineral Pugam
Lilit batang (cm) Juli
September
60.88 60.18 60.05
61.00 60.42 60.30
62.08
62.38
November 61.10 60.70 60.60 62.53
Tabel 16. Pertambahan lilit batang karet antar perlakuan amelioran di Kalteng No. 1 2 3 4
Pertambahan lilit batang (cm)
Perlakuan Kontrol Pukan T. Mineral Pugam
3 BSP
6 BSP
0.12 a 0.24 a 0.25 a
0.22 a 0.52ab 0.55 b 0.45 ab
0.30 a
Produksi lump karet Produksi lump (getah) merupakan parameter yang berkorelasi langsung dengan pertumbuhan tanaman karet. Data produksi lump karet selama 3 bulan ditampilkan pada Tabel 17. Tabel 17. Produksi lum (getah) karet selama 5 bulan antar perlakuan amelioran di Kalteng Perlakuan Kontrol Pukan Pugam TM
Produksi Lump Mangkok Karet (kg/ha) Januari 216,75 a 329,25 a 270,75 a 262,50 a
Pebruari 175,88 a 190,13 a 229,13 a 122,63 a
Maret
April
369,75 a 391,50 a 415,50 a 283,50 a
411,75 a 440,25 a 460, 13 a 269,25 a
Mei
Total 5 bln
411,00 a 415,88 a 493,50 a 251,63 a
1585,13 1767,01 1869,01 1189,48
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Gambar 5. Produksi karet bulanan pada berbagai perlakuan amelioran
40
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut
Kalimantan Barat Pertumbuhan Tanaman Jagung Perkembangan tinggi tanaman dari umur 21 HST sampai 49 HST (hari setelah tanam) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara perlakuan amelioran. Perbedaan tinggi yang nyata terlihat pada pengamatan tinggi tanaman umur 56 HST sampai saat panen. Pada umur 34 HST, tanaman jagung menunjukkan gejala defisiensi hara, khususnya magnesium dan serangan beberapa jenis penyakit, sehingga pertumbuhan tanaman kurang optimal. Hal ini terjadi karena pada stadia pertumbuhan awal terjadi periode kering (kemarau) mulai dari umur 15 HST sampai 30 HST, sehingga kelarutan, ketersediaan dan serapan hara oleh tanaman tidak optimal. Tinggi tanaman menunjukkan perbedaan yang nyata di antara perlakuan pemupukan amelioran, tetapi tidak berbeda nyata terhadap tinggi letak tongkol dan jumlah tongkol panen (Tabel 18). Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan Cara petani yaitu 155.44 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan Pukan. Tabel 18. Penampilan tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah tongkol panen, dan tongkol steril jagung varietas jagung Sukmaraga kegiatan demplot ICCTF, Rasau Jaya II, Kab. Kubu Raya, Kalbar, 2013. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi letak tongkol (cm)
Jumlah tongkol panen /m2 (buah)
Pugam
138.60 b
60.84 a
24.60 a
14.14 a
Pukan
152.88 a
64.84 a
25.60 a
18.28 a
Dolomit
135.20 b
57.56 a
24.40 a
10.56 a
Kontrol
135.76 b
61.52 a
25.00 a
16.99 a
Cara Petani
155.44 a
66.56 a
25.00 a
6.73
9.54
Perlakuan
CV
18.42
Jumlah tongkol steril*) (%)
8.72 a 26.10
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0.05 DMRT. *): analisis data ditransformasi dengan log X2.; Cara petani: amelioran: dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 L/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25 t/ha, pupuk dasar urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha.
Panjang tongkol, lingkaran tongkol dan jumlah baris biji tongkol tidak nyata perbedaannya dengan perlakuan pemberian amelioran. Semua parameter yang diamati ini ditentukan oleh ketersediaan dan serapan hara oleh tanaman jagung. Jumlah biji per baris biji tongkol tertinggi diperoleh pada pemberian amelioran Pugam dan Pukan (26.48 butir) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan amelioran lainnya dan kontrol. Bobot biji 1000 butir tertinggi didapatkan pada perlakuan cara petani yaitu 308.32 g, tetapi tidak nyata dengan perlakuan amelioran yang lainnya, kecuali dengan perlakuan kontrol.
41
I G.M. Subiksa et al.
Tabel 19. Penampilan panjang tongkol, lingkaran tongkol, jumlah baris biji, dan jumlah biji/baris tongkol varietas jagung Sukmaraga kegiatan demplot ICCTF, Rasau Jaya II, Kab. Kubu Raya, Kalbar, 2013. Perlakuan
Panjang tongkol (cm)
Lingkaran tongkol (cm)
Jumlah baris biji Jumlah biji/baris biji tongkol (buah) tongkol (butir)
Pugam
14.88 a
13.22 a
13.44 a
26.48 a
Pukan
14.72 a
12.84 a
12.80 a
26.48 a
Dolomit
14.46 a
13.21 a
12.64 a
26.40 a
Kontrol
14.04 a
12.51 a
12.56 a
25.12 a
Cara Petani
14.53 a 13.16 a 12.56 a 24.68 a 10.05 CV 7.14 5.06 6.98 Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0.05 DMRT.
Rendemen dan hasil biji kering tidak nyata perbedaannya di antara perlakuan pemberian amelioran. Hal ini disebabkan karena ketersediaan hara, khususnya P dan K saat dimulai penelitian sudah cukup tinggi yang diperkirakan merupakan residu dari pemupukan sebelumnya. Namun demikian, ada kecenderungan perlakuan dengan amelioran Pugam menunjukkan selisih yang cukup besar dengan perlakuan kontrol tanpa amelioran yaitu 3.76 t ha-1. Tabel 20. Variasi rendemen, bobot 1000 biji dan hasil biji pipilan kering jagung (ka.15%) antar perlakuan amelioran di Kalbar Perlakuan
Produksi (t ha-1)
Rendemen (%)
Bobot 1000 biji (g)
Pugam
83.33 a
267.93 ab
3.76 a
Pukan
80.14 a
278.85 ab
3.03 a
Dolomit
81.65 a
278.99 ab
3.54 a
Kontrol
83.50 a
246.93 b
2.68 a
Cara Petani
82.53 a
308.32 a
3.37 a
CV (%) 4.59 13.48 29.97 Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0.05 DMRT.
42
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut
KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Untuk mengurangi cekaman lingkungan media perakaran tanaman, tambahan amelioran mutlak diperlukan agar akar tanaman dapat tumbuh optimal untuk menyerap air dan hara. 2. Di lahan gambut provinsi Jambi, amelioran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Amelioran Pupuk kandang dan Pugam meningkatkan pembentukan pelepah daun dan meningkatkan produksi tandan buah segar. Fluktuasi produksi TBS sawit juga dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah. 3. Di lahan gambut propinsi Riau, amelioran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi TBS sawit. Amelioran Pugam memberikan pengaruh paling besar, namun tidakberbeda nyata dengan perlakuan amelioran lainnya. 4. Di lahan gambut Kalteng, pemberian amelioran secara umum tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun produksi lum karet, namun ada kecendrungan produksi karet pada perlakuan Pugam lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol maupun amelioran lainnya. 5. Di lahan gambut Kalbar, perlakuan amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman maupun produksi jagung.
Daftar Pustaka Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Masganti. 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 355 halaman. Masganti, IGM. Subiksa, Nurhayati, dan W. Syafitri, 2014. Respon Tanaman Tumpangsari (sawit + nenas) terhadap Ameliorasi dan Pemupukan di Lahan Gambut Terdegradasi. Laporan Bidang Agronomi ICCTF, BPTP Riau. Mukhtar, M.S., M.A. Firmansyah dan W.A. Nugroho, 2014. Aspek agronomis dan analisis finansial tanaman karet dan nenas terhadap berbagai perlakuan amelioran. Laporan Bidang Agronomi ICCTF, BPTP Kalimantan Tengah. Page, S.E., R. Morrison, C. Malli, A. Hooijer, J.O. Rieley and J. Jauhiainen. 2011. Review of peat surface greenhouse gas emissions from oil palm plantation in
43
I G.M. Subiksa et al.
South East Asia. White Paper No. 15. The International Council on Clean Transportation, Washington, D.C. Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-kation Polivalen dalam Kaitannya dengan Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah Gambut. Disertasi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. 268 halaman. Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 171 halaman. Salwati, R. Purnamayani, Firdaus dan Enrizal, 2014. Respon tanaman kelapa sawit di lahan gambut terhadap berbagai amelioran: Studi kasus Desa Arang-arang Jambi. Laporan Bidang Agronomi ICCTF, BPTP Jambi. Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, composition and reaction. Second Edition. John Willey & Sons Inc., New York. 496 halaman. Subiksa, I. G. M. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbangtan, Balitbangtan. Bogor. Halaman: 379-390. Sugiarti, T., Jafry dan C. Kilmanun, 2014. Respon Agronomi Tanaman Jagung Terhadap Beberapa Jenis Amelioran dan Aspek Ekonominya di Lahan Gambut Terdegradasi Kalimantan Barat. Laporan Bidang Agronomi ICCTF, BPTP Kalimantan Barat. Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc., New York. 304 halaman.
44
3
EMISI GAS RUMAH KACA DARI PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT DAN PEMBERIAN BAHAN AMELIORAN: SINTESIS LIMA LOKASI PENELITIAN
GREENHOUSE GASES EMISSIONS FROM PEAT LAND USE AND AMELIORANT APPLICATION: SYNTHESIS OF FIVE RESEARCH SITES Prihasto Setyanto, Titi Sopiawati, Terry Ayu Adriani, Ali Pramono, Anggri Hervani, Sri Wahyuni, A. Wihardjaka Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Jakenan-Jaken Km 5, Jakenan, Pati 59182
Abstrak Konversi lahan gambut menjadi areal pertanian dapat menurunkan kualitas gambut, produktivitas gambut, dan meningkatkan pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Ameliorasi gambut adalah salah satu cara untuk memperbaiki kualitas gambut dan mengendalikan emisi gas rumah kaca. Kegiatan percobaan lapang dilaksanakan di lima lokasi gambut, yaitu Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua pada tahun 2013 dan 2014. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui emisi gas rumah kaca dari pemberian bahan amelioran di lahan gambut. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4-5 ulangan dan perlakuan bahan amelioran. Fluks gas rumah kaca diukur menggunakan alat kromatografi gas. Amelioran tandan kosong sawit hanya efektif menurunkan emisi CO 2 dari lahan gambut Riau pada tanaman sela nenas. Amelioran tandan kosong kelapa sawit paling efektif menurunkan emisi CO2 di gambut Jambi yang digunakan untuk budidaya tumpangsari kelapa sawit dan nenas, yaitu sebesar 35% di piringan dan 13% di tanaman sela nenas. Bahan amelioran dolomit efektif menurunkan fluks CO2 pada tanaman nenas di lahan gambut Kalimantan Barat sebesar 1,03 t CO2 ha-1 musim-1. Bahan amelioran pupuk gambut efektif menurunkan fluk CO 2 sebesar 15% di tanaman sela nenas yang ditumpangsarikan dengan karet di lahan gambut Kalimantan Tengah. Emisi GRK dari gambut dengan pertanaman sagu di Papua terpantau berkisar 4,5-25,5 g CO2-e m-2 hari-1 atau 16-93 t CO2-e ha-1 tahun-1. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan amelioran tidak konsisten menurunkan emisi gas rumah kaca. Kata kunci: Emisi, gas rumah kaca, gambut, amelioran, piringan, tanaman sela Abstract Peat land conversion to agricultural areas could reduce peat quality and productivity, and increase atmospheric greenhouses gases (GHG) emissions. Peat amelioration is one of efforts to improve peat productivity and to mitigate greenhouse gases emissions. The field experiment was conducted in five peat land areas (Riau, Jambi, West Kalimantan, Central Kalimantan, Papua) during 2013-2014. The objective of research was to determine greenhouse gases emission from peat land use and ameliorant application. The experiment was arranged using
45
Prihasto Setyanto et al.
randomized block design with 4-5 replicates and some ameliorant treatments. Gas sampling was taken using closed chamber method and analysed with micro gas chromatography. The ameliorant of empty bunches palm oil only reduced CO2 effectively on intercropping of pinneaple from peat land in Riau. The ameliorant of oil palm bunches decreased effectively CO2 emission in peat land in Jambi on multiple cropping of oil palm and pinneaple as much as 35% in oil palm circular and 13% in pinneaple intercrop.. In peat land of West Kalimantan, dolomite ameliorant reduced effectively CO2 flux on pinneaple crop as much as 1 t CO2 ha-1 season-1. The peat fertilizer decreased effectively CO2 flux as much as 15% in multiple cropping of rubber plant and pinneaple in peat land of Central Kalimantan. Greenhouse gases emission from Papua peatland that be used for sago plantation ranged 4.5-25.5 g CO2-e m-2 day-1 or 16-93 t CO2-e ha-1 year-1. This research demonstrates that the use of ameliorants do not consistently reduce GHG emissions from peat decomposition. Keywords: emission, greenhouse gas, peat land, ameliorant, circular, intercrop
PENDAHULUAN Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem spesifik yang terbentuk akibat laju humifikasi lebih besar daripada laju dekomposisi bahan organik dari sisa-sisa tumbuhan /vegetasi. Pada kondisi anaerob, dekomposisi bahan organik berjalan lambat sehingga penumpukan bahan organik menjadi lebih tebal (Hikmatullah et al., 2013). Luas lahan gambut di Indonesia adalah 14.905.574 ha yang sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Balitbangtan, 2011). Dari luasan gambut tersebut sekitar 33,1% dipertimbangkan layak untuk budidaya tanaman pertanian (Agus dan Subiksa, 2008). Sebagian dari luasan gambut tersebut telah dimanfaatkan untuk budidaya pertanian khususnya karet dan tanaman hortikultura (Subiksa, 2013). Lahan gambut dapat menyimpan karbon sebesar 3.000 t ha -1. Keragaman simpanan karbon dalam gambut ditentukan oleh kedalaman gambut, kematangan gambut, bobot isi, kadar abu, dan vegetasi di atasnya (Dariah et al., 2013). Cadangan karbon dalam gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua masing-masing adalah 22,3 Gt; 11,3 Gt dan 3,6 Gt (Subiksa, 2013). Simpanan karbon bersifat labil, maka konversi gambut alami menjadi areal budidaya tanaman pertanian dapat menurunkan kualitas gambut permasalahan sifat fisik dan kimia gambut, penurunan cadangan karbon, dan pelepasan gas-gas rumah kaca ke atmosfer. Kehilangan karbon rata-rata dari oksidasi gambut secara hayati adalah 4,5 t C ha-1 tahun-1 dari kebakaran gambut dan 7,9 t C ha-1 tahun-1 dari pembukaan hutan (Hooijer et al., 2014). Laju konversi gambut meningkat cepat di beberapa provinsi dengan areal gambut luas seperti di Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Misal di
46
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Riau sekitar 1,83 juta ha atau 57% dari luas total gambut 3,2 juta ha telah terkonversi pada periode 1982-2007 (Agus dan Subiksa, 2008). Karena sifatnya yang rapuh, maka pengelolaan gambut sebagai lahan pertanian yang produktif dan berkelanjutan harus sesuai dengan karakteristik dan sifatnya mempertimbangkan kondisi hidrologinya. Keberadaan asam-asam fenolik dalam gambut mengakibatkan kemasaman gambut sangat tinggi (pH 3-4), produktivitas rendah, dan toksik bagi tanaman. Beberapa asam organik hasil degradasi lignin yang terkandung dalam gambut adalah asam vanilat, ρkumarat, ρ-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, dan asam siringat (Tsutsuki dan Kondo, 1995; Hartatik et al., 2004). Salah satu upaya memperbaiki kualitas dan produktivitas gambut adalah melalui ameliorasi. Ameliorasi gambut bertujuan untuk mengurangi dampak buruk asam-asam organik melalui pemberian bahan-bahan yang mengandung kation polivalen seperti Fe, Cu, Al, Zn yang berfungsi sebagai pengkelat asam-asam organik tersebut (Hartatik, 2013). Kelasi asam-asam organik dengan bahan amelioran diduga dapat menekan pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) dari gambut. Gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari lahan gambut adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Kontribusi gas CO2, CH4, N2O terhadap pemanasan global masing-masing adalah 55%, 15%, 6%. Karbon dioksida (CO2) terbentuk melalui proses respirasi tanaman dan respirasi akar oleh mikroorganisme. CO2 merupakan bahan utama dalam proses fotosintesis, yaitu konversi CO2 menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Metana (CH4) terbentuk melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik dalam tanah dan reduksi CO2 dan H2 yang melibatkan mikroorganisme methanogen (Methanobacterium, Methanosarcina, Methanobrevibacter, Methanoculleus, Methanogenium, Methanosaeta dan Methanospirillum). Dinitrogen oksida (N2O) terbentuk melalui proses mikrobiologis nitrifikasi dan denitrifikasi di dalam tanah. Bahan organik yang telah mati dirombak menjadi CO2 dan H2O, dan sebagian hasil perombakan bahan organik disimpan dalam bentuk C-organik dalam tanah dan direspirasikan dalam bentuk CO2. Proses penyerapan CO2 dari atmosfer ke dalam tanah secara biotik dan pelepasan CO2 dari tanah kembali ke atmosfer terjadi melalui proses difusi dan dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kadar air dalam tanah. Stabilitas gambut dapat ditingkatkan dengan ameliorasi yang dapat menekan laju dekomposisi gambut dan pembentukan gas rumah kaca. Menurut Subiksa (2013), bahan amelioran berperan menurunkan emisi GRK melalui kompleksasi asam-asam organik baik alifatik maupun aromatik. Emisi GRK sebagian besar berasal dari gugus C alifatik akibat hancurnya ikatan karbon oleh aktivitas mikroba. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui emisi gas rumah kaca dari penggunaan lahan gambut yang diberi berbagai bahan amelioran.
47
Prihasto Setyanto et al.
BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan gambut di lima provinsi (Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua) pada bulan April 2013-Juni 2014 (Tabel 1). Percobaan lapang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan perlakuan pemberian bahan amelioran, seperti terlihat dalam Tabel 2. Tabel 1. Lokasi percobaan di lahan gambut terdegradasi di lima provinsi di Indonesia
1
Kab. Pelalawan, Riau
Telok Ogong, Kec. Bandar Sei Kijang
0,691137 LU 102,34488oBT
Sifat/ketebalan Gambut Saprik-Hemik 4-6 m
2
Kab. Muaro Jambi, Jambi
Arang-arang, Kec. Kumpeh
01o40’40,79”LS 97o48’48,56”
Hemik- Saprik 1,5 – 4m
3
Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah
Jabiren, Kec. Jabiren
02o30’30”LS 114o09’30”
Hemik- Saprik 5-7 m
4
Kab. Kuburaya, Kalimantan Barat
Banjarsari,Rasau jaya II, Kec Rasau Jaya
00o14’27,0”LS 109o24’44,7” BT
Saprik/Hemik 3-4m
5
Kab. Mimika, Papua
Kampung Naena Muktipura Distrik Kuala Kencana
04o34,086’ LS 136o43,737’ BT
Hemik-Fibrik 3-4 m
No.
Kabupaten/ Provinsi
Desa/ Kecamatan
Koordinat o
Emisi GRK diukur secara langsung dari lahan gambut dengan metode close chamber technique yang diadopsi dari IAEA (1993). Pengambilan contoh GRK dilakukan secara manual di lapangan menggunakan sungkup yang terbuat dari kaca mika dengan kaki-kaki yang terbuat dari aluminium. Untuk menghindari kebocoran sungkup dilengkapi dengan penampang yang akan dipasang ditanah gambut. Sungkup juga dilengkapi dengan fan dan termometer. Fan berfungsi untuk meng-homogenkan konsentrasi gas dalam sungkup. Termometer dipasang pada lubang yang telah tersedia di bagian atas sungkup digunakan untuk mengukur perubahan suhu di dalam sungkup. Tabel 2. Perlakuan bahan amelioran di lokasi ICCTF Fase II Uraian Perlakuan bahan amelioran
Jumlah ulangan
Riau
Jambi
Kontrol Tandan kosong sawit Pupuk gambut Pupuk kandang dari kotoran sapi Cara petani 4
Pupuk gambut Pupuk kandang dari kotoran ayam Tandan kosong sawit Kontrol 4
Kalimantan Barat Pupuk gambut Pupuk kandang dari kotoran ayam Dolomit Kontrol Cara petani 5
Kalimantan Tengah Kontrol Pupuk gambut Pupuk kandang dari kotoran ayam Tanah mineral 4
Papua -
-
Posisi pengambilan contoh gas disesuaikan dengan agroekologi masing-masing lokasi ICCTF Fase II, yaitu di piringan tanaman utama, tanaman sela, dan di antara tanaman utama. Contoh gas diambil pada pagi dan siang hari dengan menggunakan
48
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
syringe berkatup volume 10 ml dan interval waktu pengambilan tiap 3 menit yaitu menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 setelah pemasangan septum pada sungkup bagian atas (Tabel 3). Syringe dibungkus dengan kertas perak untuk menghindari terjadinya penurunan konsentrasi gas karena pengaruh panas dan diberi label. Ujung syringe ditutup dengan rubber grip setelah penggambilan contoh gas dan sebaiknya dipindahkan ke vial yang vakum. Selama pengambilan contoh gas, perubahan suhu dalam sungkup dan head space selalu dicatat. Tabel 3. Pengambilan contoh gas di lima provinsi lokasi ICCTF Fase II Lokasi Riau
Waktu sampling Pagi (06.00-08.00
Interval waktu
Pagi (06.00-08.00
Piringan dan tanaman sela
Kelapa sawit (utama) dan nenas (sela)
3 menit
Piringan dan tanaman sela
Kelapa sawit (utama) dan nenas (sela)
3 menit
Di antara tanaman
3 menit
Piringan dan tanaman sela
3 menit
Piringan dan di antara tanaman
Siang (12.00-14.00) Kalimantan Barat
Pagi (06.00-08.00
Kalimantan Tengah
Pagi (06.00-08.00
Papua
Pagi (06.00-08.00
Siang (12.00-14.00)
Siang (12.00-14.00)
Siang (12.00-14.00)
Tanaman
3 menit
Siang (12.00-14.00) Jambi
Posisi sampling
Jagung dan nenas
Karet (utama) dan nenas (sela) Sagu
Sebelum analisis gas, instrumen kromatografi gas (GC) dikalibrasi menggunakan gas standar dengan konsentrasi mendekati konsentrasi GRK di atmosfer, yaitu 1,7 ppm untuk CH4, dan 380 ppm untuk CO2. Contoh gas dalam syringe diinjeksikan ke dalam Micro GC CP 4900 yang dilengkapi thermal conductivity detector (TCD). Portable micro GC dapat dioperasikan secara langsung di lapangan. Area gas dari contoh gas yang dianalisis akan keluar secara simultan. Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan adalah helium dengan kategori UHP (ultra high purity) dengan kemurnian gas 99,99%. Hasil analisis berupa kromatograf yang menunjukkan konsentrasi gas (ppm). Laju perubahan konsentrasi gas per satuan waktu tersebut digunakan dalam perhitungan besarnya fluks GRK. Fluk CH4 dapat ditetapkan menggunakan alat kromatografi gas dengan flame ionization detector (FID). Perhitungan fluks CO2 dan CH4 mengikuti persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut:
E
Bm Vm
x
Csp V 273........................................ 2 (1) x x t A T 273.2
49
Prihasto Setyanto et al.
Keterangan : E = emisi CO2 atau CH4 (mg m-2 hari-1) V = volume sungkup (m3) A = luas dasar sungkup (m2) T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC) Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CH4 dan CO2 (ppm menit-1) Bm = berat molekul gas CH4 dan CO2 Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22,41 liter Data dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan analisis beda nyata terkecil taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Riau Gambar 1 terlihat bahwa fluk CO2 sebelum pemberian amelioran tertinggi pada perlakuan praktis petani diikuti pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan), tandan kosong kelapa sawit (tankos). Umumnya fluk CO2 pada petakan yang akan diberi bahan amelioran adalah lebih tinggi daripada petakan tanpa bahan amelioran (kontrol). Fluk CO 2 di piringan tanaman kelapa sawit saat 2-3 minggu setelah pemberian bahan amelioran tertinggi pada perlakuan cara petani, namun saat 2 bulan setelah pemberian amelioran yang tertinggi adalah pada perlakuan pupuk gambut (pugam). Kurva fluk CO 2 setelah pemberian bahan amelioran pertama (awal Agustus 2013) menurun hingga pengukuran fluk tanggal 20 Januari 2014 dan meningkat pada pengukuran fluk tanggal 21 Februari 2014. PIRINGAN KELAPA SAWIT
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1 )
30000 Aplikasi Amelioran I
25000
Aplikasi Amelioran II
20000 15000 10000 5000 0 8-Jun
9-Jul
19-Agt 18-Sep 21-Okt 19-Nov 18-Des 20-Jan 21-Feb 20-Mar 17-Apr 20-Mei 19-Jun 2013
2014 Pengamatan
Pukan
Pugam
Tankos
Kontrol
Praktis petani
Gambar 1. Pola fluk CO2 pada piringan kelapa sawit di lahan gambut di Riau (pukan=pupuk kandang, pugam= pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit)
50
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Fluk CO2 di tanaman sela pada pertanaman kelapa sawit sebelum pemberian amelioran yang tertinggi adalah petakan tanpa bahan amelioran selama pengamatan tahun 2013 (Gambar 2), sedangkan selama pengamatan tahun 2014 pemberian amelioran cara petani relatif menghasilkan fluk CO2 lebih tinggi daripada amelioran lainnya. Pengamatan fluk GRK tahun 2014 menunjukkan bahwa pemberian bahan amelioran cenderung menghasilkan fluk CO2 lebih tinggi daripada tanpa pemberian amelioran (kontrol). Fluk CO2 pada gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit berkisar 6,7 – 26,2 g CO2 m-2 hari-1 atau 24 – 95 t CO2 ha-1 tahun-1 pada piringan kelapa sawit dan 4,5 – 14,4 g CO2 m-2 hari-1 atau 16 – 53 t CO2 ha-1 tahun-1 pada tanaman sela. Tingginya fluk CO2 sebelum pemberian amelioran di piringan tanaman menunjukkan bahwa pelepasan CO2 di piringan berasal dari hasil respirasi akar tanaman, respirasi mikroba dan dekomposisi bahan organik.
TANAMAN SELA
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1 )
30000 Aplikasi Amelioran I
25000
Aplikasi Amelioran II
20000 15000 10000 5000 0 8-Jun
9-Jul
19-Agt 18-Sep 21-Okt 19-Nov 18-Des 20-Jan 21-Feb 20-Mar 17-Apr 20-Mei 19-Jun 2013 2014 Pengamatan Pukan
Pugam
Tankos
Kontrol
Praktis petani
Gambar 2. Pola fluk CO2 pada tanaman sela dari kelapa sawit di lahan gambut di Riau (pukan=pupuk kandang, pugam= pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit) Pemberian bahan amelioran ke dalam gambut dapat menurunkan pelepasan gas rumah kaca terutama CO2. Fluk CO2 setelah pemberian amelioran berkisar 3,6 – 16,7 g CO2 m-2 hari-1 pada piringan kelapa sawit dan 3,3 – 13,5 g CO2 m-2 hari-1 pada tanaman sela nenas. Dibandingkan tanpa amelioran (kontrol), pemberian amelioran meningkatkan fluk CO2 terutama pada piringan kelapa sawit, sebaliknya pada tanaman sela nenas fluk CO2 turun dengan pemberian bahan amelioran terutama pupuk kandang dan tandan kosong sawit (Tabel 4). Bahan amelioran yang efektif menurunkan emisi CO2 di lahan gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit adalah pupuk kandang dari kotoran ayam dan tandan kosong kelapa sawit. Amelioran pupuk gambut justeru meningkatkan emisi CO 2
51
Prihasto Setyanto et al.
(Tabel 4). Demikian juga pemberian amelioran cara petani juga meningkatkan emisi CO 2. Dibandingkan kontrol, pemberian amelioran pupuk kandang dan tandan kosong kelapa sawit menurunkan emisi CO2 masing-masing sebesar 10,7 dan 39,3%. Tabel 4. Fluk CO2 dari lahan gambut di Riau yang diberi perlakuan bahan amelioran Perlakuan amelioran
bahan Piringan
Emisi CO2 (t CO2 ha-1 tahun-1) Tanaman sela Piringan+sela1)
Kontrol 28± 6 28±12 28±9 (n=88) Pupuk kandang 35±13 23± 8 25±9 (n=88) Pupuk gambut 41±12 28± 8 31±7 (n=88) Tandan kosong sawit 29± 4 27± 9 17±8 (n=88) Cara petani 32± 5 33±14 33±9 (n=88) 1) Asumsi proporsi luasan piringan dan sela adalah 20 dan 80%, maka emisi CO 2 total = (0,2 x emisi CO2 piringan) + (0,8 x emisi CO2 tanaman sela); n = jumlah pengukuran
Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Jambi Sebelum pemberian amelioran, fluk CO2 dari lahan gambut yang digunakan untuk budidaya tanaman kelapa sawit berkisar 0,4-3,5 g CO2 m-2 hari-1 di piringan kelapa sawit dan 0,6 – 3,6 g CO2 m-2 hari-1 di tanaman sela. Fluk CO2 di piringan meningkat setelah pemberian amelioran dan besarnya fluk CO2 relatif lebih tinggi dibandingkan sebelum pemberian amelioran (Gambar 3). Pada Gambar 3 terlihat bahwa fluk CO2 piringan pada petakan tanpa amelioran (kontrol) lebih tinggi daripada petakan yang diberi amelioran hingga pengukuran tanggal 2 Januari 2014. Pola fluk CO2 setelah pemberian amelioran ke-2 (Januari 2014) adalah lebih tinggi dengan pemberian bahan amelioran dibandingkan tanpa amelioran (kontrol). Amelioran pupuk gambut menyebabkan fluk CO2 lebih tinggi daripada amelioran pupuk kandang atau tandan kosong kelapa sawit setelah pemberian amelioran yang kedua. Pemberian bahan amelioran efektif menekan fluk CO2 selama ± 6 bulan, dan setelah 6 bulan fluk CO2 piringan yang diberi amelioran lebih rendah daripada kontrol. Gambar 4 terlihat bahwa fluk CO2 pada tanaman sela sebelum diberi amelioran adalah rendah yang berkisar 0,6-3,6 g CO2 m-2 hari-1. Fluk CO2 cenderung naik setelah diberi amelioran dan tampak turun saat pengukuran 2 Januari 2014. Bahan amelioran diberikan lagi setelah bulan Januari 2014 yang meningkatkan fluk CO 2 pada tanaman sela. Fluk CO2 pada tanaman sela nenas di petakan yang diberi amelioran kedua lebih tinggi daripada petakan kontrol.
52
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
PIRINGAN KELAPA SAWIT
Fluk CO 2 (mg m-2 hari-1)
20000 Aplikasi Amelioran I
Aplikasi Amelioran II
16000 12000 8000 4000 0 2-Jul
19-Jul
2-Sep
3-Okt
6-Nov
30-Nov
2-Jan
5-Feb
12-Mar 15-Apr
2013
20-Mei 25-Jun
2014 Pengamatan Kontrol
Pugam
Tankos
Pukan
Gambar 3. Pola fluk CO2 pada piringan kelapa sawit di lahan gambut di Jambi (pugam=pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit, pukan=pupuk kandang)
TANAMAN SELA
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
20000 16000
Aplikasi Amelioran I Aplikasi Amelioran II
12000 8000 4000 0 2-Jul
19-Jul
2-Sep
3-Okt 2013
6-Nov
30-Nov
2-Jan
5-Feb
12-Mar 15-Apr 2014
20-Mei 25-Jun
Pengamatan Kontrol
Pugam
Tankos
Pukan
Gambar 4. Pola fluk CO2 pada tanaman sel dari kelapa sawit di lahan gambut di Jambi (pugam=pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit, pukan=pupuk kandang) Tabel 5 memperlihatkan bahwa pemberian amelioran di piringan kelapa sawit nyata menurunkan emisi CO2 dari lahan gambut di Jambi (p<0,05), namun cenderung meningkatkan emisi di tanaman sela nenas. Di piringan tanaman kelapa sawit, pemberian bahan amelioran menurunkan emisi CO2. Amelioran tandan kosong kelapa sawit adalah paling efektif menurunkan emisi CO2 sebesar 35% diikuti pupuk kandang yang menurunkan emisi CO2 sebesar 29% (Tabel 5). Bahan amelioran dapat menurunkan fluk
53
Prihasto Setyanto et al.
CO2 melalui proses kompleksasi asam-asam organik, baik alifatik maupun aromatik. Sebagian besar emisi karbon berasal dari gugus C alifatik karena hancurnya ikatan karbon oleh aktivitas mikroba menghasilkan gas CO2 dan CH4. Bahan aktif pugam adalah kation polivalen yaitu Fe, Al, Cu dan Zn yang bisa membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik. Kation polivalen akan menjadi inti koordinasi dan mengikat beberapa asam organik monomer membentuk senyawa komplek (Subiksa, 2013). Pemberian amelioran tandan kosong kelapa sawit paling efektif menurunkan emisi CO2 total di lahan gambut di Riau yaitu sebesar 25% dibandingkan tanpa amelioran (Tabel 5). Kandungan kation polivalen dalam pupuk gambut mampu meningkatkan stabilitas gambut yang memperkecil pelepasan CO2 ke atmosfer (Subiksa, 2013). Pemberian amelioran pupuk kandang dan tandan kosong sawit cenderung meningkatkan emisi CO2 di tanaman sela nenas. Tabel 5. Fluk CO2 dari lahan gambut di Jambi yang diberi perlakuan bahan amelioran Perlakuan bahan amelioran
Emisi CO2 (t CO2 ha-1 tahun-1) Piringan
Tanaman sela
Piringan+sela1)
Kontrol 27±9 13± 2 16±1 (n=80) Pupuk gambut 26±5 17± 6 19±4 (n=80) Tandan kosong sawit 18±3 11± 2 12±1 (n=80) Pupuk kandang 19±3 17±11 17±9 (n=80) 1) Asumsi proporsi luasan piringan dan sela adalah 20 dan 80%, maka emisi CO 2 total = (0,2 x emisi CO2 piringan) + (0,8 x emisi CO2 tanaman sela); n = jumlah pengukuran
Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Kalimantan Barat Fluk CO2 dari lahan gambut di Kalimantan Barat pada akhir musim penghujan berkisar 2,6-12,7 g CO2 m-2 hari-1 terutama sebelum diberi bahan amelioran. Pemberian bahan amelioran menurunkan fluk CO2 selama pertumbuhan tanaman jagung dan fluk meningkat setelah panen jagung (Gambar 5). Ini menunjukkan bahwa pemberian bahan amelioran di gambut Kalimantan Barat perlu diberikan setiap musim tanam tanaman pangan atau hortikultura. Pada Gambar 5 terlihat bahwa fluk CO 2 cenderung lebih tinggi selama pertumbuhan nenas dibandingkan selama pertumbuhan tanaman jagung. Pemberian bahan amelioran pugam terlihat menghasilkan fluk CO 2 tinggi terutama saat bera dan selama pertumbuhan tanaman nenas.
54
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
20000 16000
JAGUNG Aplikasi Amelioran I
BERA
NANAS
Aplikasi Amelioran II
12000 8000 4000 0 21-Mar 9-Apr 10-Jun 7-Jul 12-Agt 10-Sep 13-Nov 20-Nov 10-Des 12-Jan 10-Feb 8-Mar 2013
5-Jun
2014 Pengamatan
Pugam
Pukan
Dolomit
Kontrol
Cara Petani
Gambar 5. Pola fluk CO2 pada tanaman jagung dan nenas di lahan gambut di Kalimantan Barat (pugam=pupuk gambut; pukan pupuk kandang) Tabel 6 memperlihatkan bahwa pemberian amelioran ke dalam gambut di Kalimantan Barat menurunkan emisi CO2. Pada tanaman jagung, fluk CO2 pada pemberian bahan amelioran umumnya lebih tinggi daripada tanpa bahan amelioran (kontrol). Emisi CO2 tertinggi pada tanaman jagung terjadi pada petakan yang diberi bahan amelioran pupuk gambut. Pada tanaman nenas, pemberian bahan amelioran berpengaruh positif maupun negatif terhadap emisi CO2. Emisi CO2 pada petakan dengan pupuk kandang kotoran ayam atau petakan dengan pupuk gambut lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan pemberian dolomit atau praktis petani mengemisi CO 2 lebih rendah daripada kontrol (Tabel 6). Bahan amelioran dolomit efektif menurunkan emisi CO2 pada tanaman nenas di gambut sebesar 1 t CO2 ha-1 musim-1 dibandingkan tanpa pemberian bahan amelioran.
Tabel 6. Fluk CO2 dari lahan gambut di Kubu Raya, Kalimantan Barat diberi perlakuan bahan amelioran Perlakuan bahan amelioran
Emisi CO2 (t CO2 ha-1 musim-1) Jagung* Nenas*
Kontrol 2,2±0,6 Pupuk kandang 2,4±0,8 Pupuk gambut 2,7±1,0 Dolomit 2,4±0,5 Cara petani 2,2±0,7 * Umur panen jagung 3 bulan dan umur nenas 8 bulan
11,9±5,0 15,2±4,4 15,3±6,4 10,8±1,9 11,3±1,9
55
Prihasto Setyanto et al.
Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Kalimantan Tengah Gambut di Kalimantan Tengah melepaskan gas rumah kaca CO 2 ke atmosfer ratarata berkisar 8,9-15,9 g CO2 m-2 hari-1 atau 33-58 t CO2 ha-1 tahun-1. Pemberian bahan amelioran menurunkan fluk CO2 hingga pengukuran fluk tanggal 23 November 2013, namun cenderung meningkat setelah pemberian amelioran yang kedua (akhir bulan November 2013) (Gambar 6 dan 7). Pada pengamatan Mei 2014, fluk CO 2 tertinggi di piringan karet terjadi pada perlakuan pugam dan yang terendah pada perlakuan praktis petani diikuti pupuk kandang. Sebaliknya pada pengamatan Mei 2014 di tanaman sela nenas, pemberian amelioran tampak menurunkan fluk CO2. PIRINGAN KARET
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
24000 Aplikasi Amelioran I
Aplikasi Amelioran II
20000 16000 12000 8000 4000 0 11-Jun
31-Jul
11-Sep
23-Nov
4-Mar
2-Apr
2013
15-Mei
2014
Pengamatan Kontrol
Pugam
Pukan
Mineral
Praktis petani
Gambar 6. Pola fluk CO2 pada piringan karet di lahan gambut di Kalimantan Tengah (pugam=pupuk gambut; pukan=pupuk kandang)
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
24000
TANAMAN SELA Aplikasi Amelioran I Aplikasi Amelioran II
20000 16000 12000 8000 4000 0 11-Jun
31-Jul
11-Sep
23-Nov
4-Mar
2-Apr
2013
15-Mei
2014
Pengamatan Kontrol
Pugam
Pukan
Mineral
Gambar 7. Pola fluk CO2 pada tanaman sela dari karet di lahan gambut di Kalimantan Tengah (pugam=pupuk gambut; pukan=pupuk kandang)
56
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Tabel 7 memperlihatkan keragaman pengaruh pemberian bahan amelioran pada gambut yang digunakan untuk budidaya tumpangsari karet dengan nenas. Pemberian pupuk kandang dan pupuk gambut meningkatkan emisi CO 2 di piringan karet. Bahan amelioran yang efektif menurunkan emisi CO2 pada tanaman sela nenas adalah pupuk gambut dan tanah mineral. Amelioran pupuk gambut dan tanah mineral menurunkan emisi CO2 masing-masing sebesar 15 dan 3%. Amelioran pupuk kandang meningkatkan emisi CO2 di tanaman sela. Dibandingkan tanpa pemberian amelioran, pupuk gambut dan tanah mineral efektif menurunkan emisi CO2 pada tumpangsari karet dan nenas di lahan gambut di Jabiren, Kab. Pulang Pisau.
Tabel 7. Fluk CO2 dari lahan gambut di Jabiren Kalimantan Tengah yang diberi perlakuan bahan amelioran Perlakuan bahan amelioran Kontrol Pupuk kandang Pupuk gambut Tanah mineral Cara petani
Emisi CO2 (t CO2 ha-1tahun-1) Piringan
Tanaman sela
Piringan+sela1)
17±5 21±3 21±9 17±8 14±3
21±4 22±5 18±4 20±7
20±4 (n=56) 22±5 (n=56) 19±5 (n=56) 19±7 (n=56)
1) Asumsi proporsi luasan piringan dan sela adalah 20 dan 80%, maka emisi CO2 total = (0,2 x emisi CO2 piringan) + (0,8 x emisi CO2 tanaman sela); n = jumlah pengukuran
Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Papua Gambar 8 memperlihatkan fluktuasi fluk CO2 yang diukur di piringan dan di antara tanaman sagu di Gambut Mimika, Papua Barat. Pada Pengukuran April 2013, fluk CO 2 tinggi dan menurun pada tiga kali pengukuran berikutnya dengan interval 3 bulan. Fluk CO2 pada titik ke-2, ke-3, dan ke-4 relatif lebih tinggi daripada titik-titik lainnya. Ini menunjukkan bahwa lokasi gambut pada bagian pinggiran pertanaman sagu menghasilkan fluk CO2 lebih tinggi daripada bagian yang lebih dalam dari perkebunan sagu. Demikian juga fluk CH4, lokasi yang di daeah pinggiran perkebunan sagu menghasilkan fluk lebih tinggi daripada lokasi yang lebih dalam dalam perkebunan sagu (Gambar 9).
57
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
Prihasto Setyanto et al.
40000
Lok.I
35000
Lok.II Lok.III
30000
Lok.IV
25000
Lok.V
20000
Lok.VI
15000 10000 5000 0 11-Apr-13
17-Jul-13
22-Okt-13
7-Mar-14
Pengamatan
Gambar 8. Fluktuasi fluk CO2 pada tanaman sagu di lahan gambut di Mimika, Papua
Fluks CH4 (mg m-2 hari-1)
Fluk GRK baik CO2 dan CH4 yang diukur pada bulan April 2013 adalah tertinggi dibandingkan pengukuran bulan Juli 2013, Oktober 2013, dan Maret 2014 (Gambar 10). Awal pengukuran fluk GRK tentunya mengusik kondisi gambut, sehingga memacu pelepasan CO2 dan CH4 lebih tinggi dibandingkan saat pengukuran fluk GRK berikutnya.
1000 900 800
Lok.I Lok.II Lok.III
700 600 500 400 300 200 100 0 11-Apr-13
Lok.IV Lok.V Lok.VI
17-Jul-13
22-Okt-13
7-Mar-14
Pengamatan
Gambar 9. Fluktuasi fluk CH4 pada tanaman sagu di lahan gambut di Mimika, Papua
58
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Karbon Dioksida
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 11-Apr-13
17-Jul-13
22-Okt-13
7-Mar-14
Pengamatan
Metana
Fluks CH4 (mg m-2 hari-1 )
400 350 300 250 200 150 100 50 0 11-Apr-13
17-Jul-13
22-Okt-13
7-Mar-14
Pengamatan
Gambar 10. Fluk CO2 dan CH4 di lahan gambut dengan tanaman sagu di Mimika, Papua
Tabel 8 memperlihatkan bahwa CO2 dan CH4 yang dilepaskan ke atmosfer dari lahan gambut pada pertanaman sagu masing-masing berkisar 3,8-19,4 g CO2 m-2 hari-1 dan 35-287 g CH4 m-2 hari-1. Berdasarkan monitoring fluk GRK yang hanya dilakukan empat kali pengukuran, emisi GRK dari gambut di Mimika Papua dapat dihitung yang berkisar 4,5-25,5 g CO2-e m-2 hari-1 atau 16-93 t CO2-e ha-1 tahun-1. Tabel 8. Pemantauan fluk CO2 dan CH4 dari lahan gambut di Mimika, Papua Titik1)
1)
Fluk CO2 (g CO2 m-2 hari-1) Maksimum Minimum
Fluk CH4 (mg CH4 m-2 hari-1) Maksimum Minimum
I II III IV V VI
8,2 24,0 33,3 33,9 10,4 6,9
3,9 3,1 2,3 6,1 3,4 4,6
361 869 98 226 134 36
58 63 20 18 19 33
Rerata
19,4
3,8
287
35
Jarak antar titik adalah 50 m
59
Prihasto Setyanto et al.
KESIMPULAN 1.
Pemberian bahan amelioran di lahan gambut terhadap pelepasan gas rumah kaca terutama CO2 ke atmosfer beragam yang bergantung pada faktor-faktor penentu laju dekomposisi bahan organik, antara lain kemasaman tanah, substrat karbon mudah terdegradasi, kelengasan tanah, dan keberadaan mikroba dalam gambut.
2.
Ameliorasi gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit di Riau cenderung meningkatkan emisi CO2 di piringan tetapi menurunkan emisi CO2 di tanaman sela nenas terutama bahan amelioran tandan kosong kelapa sawit.
3.
Ameliorasi gambut pada tanaman kelapa sawit di Jambi nyata menurunkan emisi CO2 di piringan kelapa sawit. Amelioran tandan kosong kelapa sawit paling efektif menurunkan emisi CO2 di gambut yang digunakan untuk budidaya tumpangsari kelapa sawit nenas dengan laju penurunan sebesar 25%.
4.
Bahan amelioran dolomit efektif menurunkan fluk CO2 sebesar 1,03 t CO2/ha/musim pada tanaman nenas di gambut di Kalimantan Barat.
5.
Bahan amelioran pupuk gambut dan tanah mineral efektif menurunkan fluk CO 2 pada tumpangsari karet dan nenas di lahan gambut Kalimantan Tengah, yaitu masing-masing sebesar 9 dan 3%.
6.
Emisi GRK dari gambut dengan pertanaman sagu di Papua terpantau berkisar 4,525,5 g CO2-e m-2 hari-1 atau 16-93 t CO2-e ha-1 tahun-1.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bappenas yang bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dalam International Climate Change on Trust Funds (ICCTF) yang telah menyediakan pendanaan. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada para peneliti dan teknisi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, dan Papua. DAFTAR PUSTAKA Agus, F., dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara, H. Syahbuddin, I. Las, and M. van Noodwijk. 2009. Carbon dioxide emission in land use transitions to plantation. Jurnal Litbang Pertanian 28(4): 119-126.
60
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Balitbangtan. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Kementerian Pertanian. Edisi Desember 2011. Dariah, A., E. Susanti, A. Mulyani, dan F. Agus. 2013. Faktor penduga simpanan karbon pada tanah gambut. Hal. 213-221 Dalam prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hartatik. W. 2013. Distribusi bentuk-bentuk Fe dan kelarutan ameliorant tanah mineral dalam gambut. Hal. 261-273 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J. Sri Adiningsih. 2004. Peningkatan ikatan P dalam kolom tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral dan beberapa jenis fosfat alam. Jurnal Tanah dan Lingkungan 6(1): 22-30. Herman, F. Agus, dan I. Las. 2009. Analisis finansial dan keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi karbon dioksida pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Litbang Pertanian 28(4): 127-133. Hikmatullah, H. Hidayat, dan U. Suryana. 2013. Pemetaan detail tanah gambut di demplot Jabiren Kalimantan Tengah mendukung penelitian emisi karbon. Hal. 113-127 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hooijer, A. S. Page, P. Navratil, R. Vernimmen, M. Van der Vat, K. Tansey, K. Konecny, F. Siegert, U. Ballhorn and N. Mawdsley. 2014. Carbon emissions from drained and degraded peatland in Indonesia and emission factors for measurement, reporting and verification (MRV) of peatland greenhouse gas emissions ‒ a summary of KFCP research results for practitioners. IAFCP, Jakarta, Indonesia. IAEA.1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agriculture. Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA). Subiksa, I.G.M. 2013. Peran pugam dalam penanggulangan kendala fisik lahan dan mitigasi gas rumah kaca dalam system usahatani lahan gambut. Hal. 333-344 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Tsutsuki, K., and R. Kondo. 1995. Lignin-derived phenolic compounds in different types of peat profiles in Hokkaido. Japan Soil Sci. and Plant Nutr. 41(3): 515-527.
61
4
POTENSI USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI: ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN
FARMING SYSTEM POTENTIAL ON DEGRADED PEATLAND: SOCIAL ECONOMIC AND ENVIRONMENTAL ANALYSES Mamat H.S.1, Neneng L. Nurida2, Irawan2, Sukarman1, Anny Mulyani1, Meli Fitriani1, Arsil Saleh1, Irsal Las1 1
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114.
2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114.
Abstrak. Saat ini terdapat 3,7 juta ha lahan gambut yang belum dimanfaatkan dan dikategorikan sebagai lahan terdegradasi. Sebagian besar dari lahan tersebut sesuai untuk penggunaan pertanian, tetapi harus dikelola secara lestari dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Teknologi ramah lingkungan yang layak secara sosial ekonomi perlu dikembangkan sehingga lahan gambut tersebut tetap bermanfaat untuk generasi mendatang. Analisis sosial ekonomi dan lingkungan dilakukan untuk menilai kelayakan dan keberlanjutan dari aplikasi model usahatani seperti yang dirakit oleh program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di lahan gambut terdegradasi. Metode penelitian melalui survei terstruktur terhadap petani responden di Kalteng, Riau, Jambi, dan Kalbar, yang bertujuan untuk mendapatkan data usahatani dan indeks keberlanjutan model demplot ICCTF. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa dalam satu tahun pengamatan (2013), pendapatan bersih yang diperoleh dari usahatani karet dan kelapa sawit ditambah tanaman sela nenas dan pemberian amelioransekitar Rp. 9,4 juta/ha/th hingga minus Rp 500 ribu/ha/th. Biaya variabel yang diperlukan untuk menurunkan emisi 1 t CO2/ha/th sangat bervariasi antara Rp 338.891–Rp 6.234.809. Nilai opportunity cost semua model pengelolaan berkisar antara 12 sampai 332 $US/t CO2 yang berarti bahwa untuk setiap upaya penurunan emisi 1 ton CO2 akan menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan sebesar US$ 12-332. Nilai tertinggi opportunity cost diperoleh dari pola usahatani karet+nenas yang diberi Pugam di Kalimantan Tengah. Indeks keberlanjutan model usahatani di Kalteng, Jambi, dan Kalbar tergolong cukup yaitu masing-masing 66,69; 60,41; dan 57,40, sedangkan model usahatani di Riau tergolong kurang berkelanjutan dengan nilai indeks 45,61. Berdasarkan analisis kepekaan (leverage analysis) diketahui bahwa faktor yang sensitif terhadap keberlanjutan model usahatani adalah intensitas penyuluhan, cara membuka lahan/mengolah tanah, potensi penerapan teknologi kelestarian lingkungan, persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut, kebersamaan kelompok tani (dimensi sosial), kestabilan harga hasil petani pada saat panen, usahatani yang berorientasi profit, tingkat keuntungan usahatani (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air
63
Mamat H.S. et al.
di lahan petani, dan perubahan tingkat dekomposisi gambut (dimensi lingkungan/ekologi). Kata kunci: Gambut, indeks berkelanjutan, opportunity cost, faktor sensitif Abstract. Currently there is about 3.7 million ha of abandoned peatland and is categorized as degraded land. Most of the lands are suitable for agricultural uses. However, they must be managed in a sustainable manner by taking into account the environmental aspect. It is required to develop environmentally friendly technologies that are socio-economically feasible so that the peatlands remain useful for the next generations. Socioeconomic and environmental analyses were conducted to assess the feasible and sustainable application of degraded peatland farming models such as those developed by the Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) programme. Research, through a structured survey on respondent farmers in Central Kalimantan, Riau, Jambi, and West Kalimantan, was to obtain data on farm activities and assess their sustainability indices. The analysis indicated that in one year observation (2013), net income from farming of rubber and oil palm, intercropped with pineapple and with ameliorants application, ranged from around Rp9.4 million/ha/yr to minus Rp 500 thousand/ha/yr. Variable costs required to reduce emissions of 1 ton CO2/ha/yr varied between Rp 338,891 to Rp6,234,809. The opportunity costs of all management models ranged from US$ 12 to 332 per ton CO2 meaning that the forgone benefits for reduction of every 1 ton CO2 ranged from US$ 12 to 332. The highest value of opportunity cost was obtained from rubber intercropped with pineapple with ‘peat fertilizer’ application in Central Kalimantan. Sustainability indices of farming models in Central Kalimantan, Jambi, and West Kalimantan locations were ‘satisfactory’ with the values of 66.69, 60.41, and 57.40, respectively, while the farm model in Riau location was unsatisfactory with the value of 45.61. Based on the sensitivity analysis (leverage analysis), the sensitive factors to the sustainability of the farm model were social dimension (i.e. extension intensity, method of land clearing and tillage, the potential for implementation of environmental management technologies, public perception on peat management, togetherness of farmers’ groups), economic dimension (i.e. price stability at harvest time, profit-oriented farms, the level of farm profit), and environment/ecology dimension (i.e. fluctuations of water discharge on farmers' fields, and changes in peat decomposition rate). Key words: Peatland, sustainability index, opportunity cost, sensitive factor
PENDAHULUAN Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya pertanian dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif, antara lain : mengganggu potensi karbon yang sangat tinggi tersimpan dalam gambut, kemampuan gambut dalam menimbun karbon (carbon sink),
64
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
keanekaragaman hayati gambut, serta adanya kekhawatiran bahwa perubahan penggunaan lahan gambut tersebut akan mengemisikan gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar. Kondisi aktual di lapangan saat ini memperlihatkan bahwa deforestasi sudah cukup luas terjadi dan selanjutnya dibuka untuk kegiatan pertanian. Sekitar 56 % (8,3 juta ha dari 14,9 juta ha) luas lahan gambut Indonesia masih tertutup oleh hutan alami dan primer, dan 15% (2,2 juta ha) lahan gambut sudah dimanfaatkan untuk pertanian, yakni untuk kelapa sawit (1,5 juta ha) dan pertanian tanaman pangan dan hortikultura (0,7 juta ha). Lahan gambut lainnya (seluas 3,7 juta ha atau 25 %) saat ini berupa lahan gambut terdegradasi yang ditumbuhi semak belukar, dan 0,6 juta ha berupa lahan bekas tambang (Wahyunto et al., 2014). Sebagian dari 3,7 juta ha lahan gambut terdegradasi masih terregistrasi sebagai areal hutan walaupun saat ini hanya ditumbuhi semak belukar. Daripada dibiarkan terlantar, pada umumnya lahan tersebut secara biofisik dapat digunakan untuk lahan pertanian, yang dapat memberikan manfaat lebih baik. Namun demikian, pemanfaatan lahan gambut terdegradasi untuk penggunaan pertanian harus memperhatikan kaidahkaidah kelestarian lingkungan mengingat lahan gambut bersifat sangat fragile (mudah rusak). Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian di tingkat global. Usahatani berkelanjutan di lahan gambut merupakan salah satu model pertanian yang berbasis kelestarian lingkungan. Usahatani akan berkelanjutan jika (dalam jangka panjang bahkan sampai generasi yang akan datang) menguntungkan (aspek ekonomi), kondisi gambut lestari atau kualitasnya tidak menurun (aspek lingkungan), dan model yang dikembangkan dapat diterima atau diadopsi oleh berbagai pihak (aspek sosial). Keraf (2002) mengemukakan bahwa pengelolaan lahan akan berkelanjutan jika dalam implementasinya mengintegrasikan dan memberikan bobot yang sama pada aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dengan mempertimbangan hal-hal tersebut di atas, maka sejak tahun 2010 BBSDLP telah mengaplikasikan model usahatani berkelanjutan pada lahan gambut terdegradasi di 4 lokasi, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, dan Jambi. Penelitian ini bertujuan: (1) melakukan analisis usahatani terhadap efisiensi aplikasi ameliorasi dan opportunity cost, (2)mengetahui indeks dan faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan model usahatani ICCTF, dan (3) menyusun implikasi kebijakan.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di lokasi demplot ICCTF di Desa Jabireun, Kab. Pulangpisau, Kalimantan Tengah; Desa Rasau Jaya 2, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat; Desa Lubuk
65
Mamat H.S. et al.
Ogong, Kab. Pelalawan, Riau; dan Desa Arang-arang, Kab. Muara Jambi, Jambi pada tahun 2012-2014. Data primer (mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan) dikumpulkan melalui survei terstruktur yang dipandu dengan kuisioner. Data sosial ekonomi dikumpulkan pada bulan Mei - Juni tahun 2013 (awal kegiatan ICCTF tahap 2) dan pada bulan Mei – Juni 2014 (akhir kegiatan). Khusus data dimensi lingkungan, sebagian besar diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran para peneliti bidang terkait. Jumlah responden sebanyak 30 orang petani yang terdiri atas petani kooperator dan non-kooperator di masing-masing lokasi demplot ICCTF. Petani kooperator adalah petani pemilik lahan yang dijadikan demplot ICCTF dan petani non-kooperator adalah petani di sekitar lokasi demplot ICCTF yang berinteraksi/berkomunikasi dengan petani kooperator atau petani yang berlokasi satu dusun/desa dengan lokasi demplot ICCTF. Kerangka Analisis Analisis usahatani mengkaji pendapatan usahatani jangka pendek, efisiensi biaya aplikasi teknologi jangka pendek, dan nilai opportunity cost. Pendapatan bersih jangka pendek dianalisis dengan cara menghitung input dan output selama periode 2013. Pada analisis ini diasumsikan bahwa tipe penggunaan lahan awal berupa pola kebiasaan petani, yakni tidak mengembangkan tanaman sela di antara tanaman pokok dan tidak menggunakan bahan amelioran. Efisiensi biaya aplikasi teknologi dianalisis dengan cara menghitung biaya variabel (unit cost) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di lokasi demplot pada periode 2013, yakni membandingkan biaya variable (setelah dikurangi pendapatan bersih) dengan penurunan tingkat emisi CO2 setiap perlakuan pada sebelum dan sesudah atau secara matematis dirumuskan sebagai berikut: TVC – NB Unit cost per satuan emisi = ------------E1 – E2 dimana : TVC
= total variabel cost (Rp)
NB
=net benefit (Rp)
E1
= tingkat emisi CO2 sebelum perlakuan (t CO2/ha/th)
E2
= tingkat emisi CO2 setelah perlakuan (t CO2/ha/th)
Opportunity cost (Herman et al., 2011) adalah suatu pendekatan untuk menilai tingkat emisi yang terjadi akibat perubahan penggunaan lahan atau inovasi teknologi
66
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
dibandingkan dengan pendapatan bersih jangka panjang (NPV), atau secara matematis sebagai berikut: n
NPV t 0
Bt Ct (1 i) t
dimana: NPV
= Net Present Value(US $/t CO2/ha/th),
Bt
= benefit atau penerimaan pada tahun t (US$/ha/th)
Ct
= biaya pada tahun t (US$/ha/th)
i = tingkat diskonto atau bunga bank yang berlaku (%), n = umur ekonomis proyek tanaman (th) Analisis keberlanjutan dilakukan dengan pendekatan multi dimentional scaling (MDS) terhadap model usahatani demplot ICCTF. Data MDS diolah dengan software rapfish (Fisheries Communication, 1999) untuk mendapatkan dua indikator penting, yaitu nilai indeks keberlanjutan (Ikb) dan leverage analysis. Nilai Ikb (skala nilai 0–100) dibagi menjadi 4 kelompok nilai : 0–25 = buruk, >25–50 = kurang, >50–75 = cukup, dan >75– 100 = baik. Leverage analysis menunjukkan atribut atau parameter yang sensitif dapat mempengaruhi tingkat keberlanjutan atau adopsi model usahatani ICCTF. Nilai indeks keberlanjutan (Ikb) merupakan fungsi dari dimensi ekonomi (DE), dimensi sosial (DS), dan dimensi lingkungan (DL), dan secara sederhana dapat diformulasi menjadi :
Ikb = f(DE, DS, DL) Dimensi ekonomi berisi 11 atribut usahatani yang terdiri atas : 1. potensi tenaga kerja, 2. kecukupan tenaga keluarga, 3. penguasaan lahan dan intensitas pengelolaan, 4. minat berusahatani, 5. tujuan berusahatani, 6. keuntungan, 7. kestabilan harga hasil produksi petani, 8. kemudahan pemasaran, 9. ketersediaan material lokal sebagai input, 10. kontribusi terhadap pendapatan petani total, dan 11. produktivitas lahan/keuntungan finansial (R/C ratio). Dimensi sosial berisi 12 atribut usahatani yang terdiri atas : 1. status lahan usaha, 2. pengetahuan dan pengalaman masyarakat tentang perubahan iklim dan lahan gambut, 3. persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut, 4. intensitas dan efektivitas penyuluhan, 5. eksistensi kelompok tani, 6. kebersamaan kelompok tani, 7. langkah petani yang berindikasi melestarikan gambut, 8. cara membuka lahan, 9. potensial menerapkan teknologi melestarikan lahan gambut, 10. kearifan lokal terkait dengan pertanian berkelanjutan, 11 kebijakan pemerintah dalam pengelolaan gambut, dan
67
Mamat H.S. et al.
12. keikutsertaan tenaga kerja wanita dalam pengelolaan usahatani. Dimensi lingkungan berisi 11 atribut pada awal dan akhir observasi yang terdiri atas : 1. perkembangan tingkat emisi GRK di lahan observasi, 2. tingkat subsiden lahan observasi, 3. cadangan karbon lahan observasi, 4. elevasi muka air tanah, 5. fluktuasi debit air di lahan observasi, 6. pH tanah lahan observasi, 7. pH air di lahan observasi, 8. perubahan tingkat dekomposisi, 9. keberadaan tanaman cover crop di areal pertanaman, 10. kejadian kebakaran, dan 11. dominasi vegetasi di lahan demplot. Data ini sebagian besar dikumpulkan dari hasil kegiatan penelitian sebelum dan sesudah perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Usahatani Model usahatani yang diaplikasikan di empat lokasi demplot adalah pengembangan tanaman sela nenas di antara tanaman karet (Kalimantan Tengah), tanaman nenas di antara tanaman kelapa sawit (Riau dan Jambi), dan usahatani tanaman semusim (Kalimantan Barat) yang disertai aplikasi beberapa amelioran pada masing-masing lokasi. Amelioran yang diaplikasikan adalah : pupuk gambut (Pugam), pupuk kandang (Pukan), tandan buah kosong (Tankos) sawit, tanah mineral, dan dolomit. Tabel 1 memperlihatkan bahwa pendapatan bersih usahatani kelapa sawit di Jambi masih relatif rendah dan bahkan ada yang negatif/rugi (amelioran tankos) karena tanaman kelapa sawit baru mulai berproduksi. Model usahatani di Kalimantan Tengah, Riau, dan Kalimantan Barat memberikan pendapatan bersih relatif cukup besar, dan penggunaan pugam pada lahan gambut di lokasi ICCTF Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat memberikan pendapatan bersih usahatani yang cukup tinggi (> Rp 5 juta/ha). Fakta tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pugam pada lahan gambut bersifat spesifik lokasi dan berkaitan dengan kondisi gambut dan jenis komoditas yang dikembangkan. Penggunaan pukan sangat menguntungkan, terutama di lokasi ICCTF Riau (Rp 9,489 juta/ha) dan Kalimantan Tengah (Rp 5,756 juta/ha), namun penelitian di lokasi ICCTF Jambi dan Kalimantan Barat menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penggunaan dolomit sebagai amelioran pada lahan gambut di Kalimantan Barat memberikan hasil yang beragam atau masih belum stabil yang terlihat dari nilai simpangan baku (standard deviation - SD). Penggunaan amelioran lainnya (seperti tankos) masih belum memberikan hasil yang memuaskan di mana pendapatan bersih usahataninya masih kurang dari Rp 1 juta/ha.
68
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
Tabel 1. Pendapatan usahatani jangka pendek (Rp/ha) pada demplot ICCTF, tahun 2013 Perlakuan
Kalimantan Tengah Rataan
Riau
SD
Rataan
Jambi SD
Rataan
Kalimantan Barat SD
Rataan
SD
------------------------------------------------- Rp / ha --------------------------------------------Pugam
6.332.252
619.865
3.418.429
884.140
677.572
123.617
5.210.797
1.937.486
Pukan
5.756.321
1.018.808
9.489.593
898.226
509.990
375.171
755.855
3.056.087
Tanah mineral
308.201
401.648
-
-
-
-
-
-
Tankos
-
-
513.414
507.302
(500.499)
209.341
-
-
Dolomit
-
-
-
-
-
-
4.190.700
3.827.722
Kontrol tanpa dolomite
-
-
-
-
-
-
5.280.730
2.091.886
Kontrol cara petani
-
-
-
-
-
-
3.487.269
3.491.110
6.834.853
619.865
7.297.795
880.976
(1.720.27)
296.437
-
-
Kontrol
SD = simpangan baku (standard deviation)
Efisiensi Aplikasi Teknologi Jangka Pendek Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa biaya yang diperlukan untuk menurunkan 1 ton emisi CO2 bervariasi berkisar antara Rp. 338.891 sampai Rp. 6.234.809. Berdasarkan data tersebut maka model yang paling efisien adalah pola usahatani kelapa sawit di Riau dengan tanaman sela nenas dan aplikasi ameliorasi pupuk kandang. Sedangkan aplikasi amelioran di Jambi ternyata tidak dapat menurunkan emisi CO2. Tabel 2. Biaya variable yang diperlukan untuk menurunkan 1 ton CO2 Biaya yang diperlukan untuk menurunkan emisi pada setiap perlakuan Lokasi
Pugam
Pukan
Tanah mineral
Tankos
Kontrol
Cara petani
Dolomit
---------------------------------------------- Rp / ton CO2 ---------------------------------------------Kalteng Riau Jambi Kalbar
761.102
843.005
-
1.215.274
338.891
1.583.481
Emisi naik Emisi naik Emisi naik 6,15-12,22 @) 6,15-19,35 @) 6,1517,83 @) 3.486.141
6.234.809
624.502
195.296
-
Emisi naik (32,04- 33,31)
-
Emisi naik 6,15– 6,06 @) 1.444.898
-
-
-
2.823.599 2.797.761
Keterangan : @) adalah emisi sebelum perlakuan dan setelah perlakuan di lokasi Jambi.
69
Mamat H.S. et al.
Opportunity Cost Opportunity cost adalah kerugian atau kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan ekonomi dari suatu lahan akibat petani terhambat oleh suatu ketentuan atau peraturan. Opportunity cost didekati dengan perhitungan nilai bersih terkini (net present value, NPV) atau dapat pula disajikan dalam kehilangan mendapatkan keuntungan per penurunan emisi CO2-e. Hasil analisis opportunity cost untuk semua pola usahatani lokasi demplot ICCTF yaitu berkisar antara 12 sampai 332 US$/ton CO2 (Tabel 3). Nilai opportunity cost tersebut mengandung arti bahwa untuk setiap upaya penurunan emisi 1 ton CO2 akan menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan sebesar US$ 12332. Semakin tinggi nilai opportunity cost maka semakin besar kehilangan kesempatan pendapatan dari lahan gambut bila emisi diturunkan 1 tCO 2. Nilai opportunity cost tertinggi diperoleh pada aplikasi Pugam pada usahatani karet+nenas di Kalimantan Tengah (yaitu sebesar US$ 332 /ton CO2), sedangkan nilai terrendah diperoleh dari Jambi pada usahatani kelapa sawit tanpa amelioran. Di Kalimantan Barat, usahatani tanaman jagung memberikan nilai opportunity cost yang masih relatif tinggi, yaitu nilai 218 untuk kontrol cara petani, 175 untuk ameliorasi pupuk gambut, dan 159 untuk pemberian dolomit. Tabel 3. Nilai Opportunity Cost pada demplot ICCTF di 4 provinsi Net present value a) Lokasi
Perlakuan Rp 000/ha/th
Kalteng
Riau
Jambi
Kalbar
US$/ha/th
t CO2/ha/th
Pugam Pukan Tnh mineral Kontrol Pugam Pukan Tankos Kontrol Pugam Pukan Tankos Kontrol Pugam Pukan Dolomit Kontrol
69.452 67.333 17.266 58.165 50.069 25.855 18.092 22.166 9.837 22.106 8.885 2.193 5.211 756 4.191 5.281
6.314 6.121 1.570 5.288 4.552 2.350 1.645 2.015 894 2.010 808 199 474 69 381 480
19,0 22,0 19,0 20,0 31,0 25,0 17,0 28,0 19,0 17,0 12,0 16,0 2,7 2,4 2,4 2,2
Cara petani
3.487
317
2,2
Sumber :a)diolah dari data primer; b)Setyanto et al. (2014)
70
Emisi b)
Nilai Opportunity cost US$/t CO2 332 278 83 264 147 94 97 72 47 118 67 12 175 29 159 218 144
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
Faktor Sensitif yang Mempengaruhi Keberlanjutan Dimensi Sosial Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa intensitas penyuluhan kepada masyarakat mengenai pengelolaan gambut merupakan faktor yang sangat sensitif mempengaruhi keberlanjutan model usahatani demplot, yang ditunjukkan oleh skala > 5 pada Tabel 4. Selain itu cara pembukaan lahan/pengolahan tanah dan langkah petani yang potensial melestarikan usahatani lahan gambut tergolong atribut yang cukup sensitif (skala > 3). Sedangkan untuk Riau, hasil leverage analysis menunjukkan bahwa cara membuka lahan atau mengolah tanah dan potensi menerapkan teknologi untuk melestarikan lingkungan merupakan faktor yang sangat sensitif (skala >5) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani demplot. Membuka lahan atau mengolah tanah dengan cara tidak membakar menjadi faktor penting dalam menjaga kelestarian lahan gambut terdegradasi, terutama terkait dengan tingkat emisi gas rumah kaca dan hilangnya biodiversitas akibat membakar lahan. Demikian juga respon petani untuk mengadopsi teknologi yang diaplikasikan di demplot usahatani ICCTF berpotensi terhadap keberlanjutan usahatani. Selain itu ada beberapa atribut yang tergolong cukup sensitif (skala >3) mempengaruhi tingkat keberlanjutan model usahatani, yakni kebersamaan kelompok tani, eksistensi kelompok tani, langkah petani yang mengindikasikan melestarikan lahan gambut (kearifan lokal), persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lahan gambut, dan penyuluhan tentang pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Tabel 4. Hasil analisis sensitivitas dimensi sosial di 4 lokasi demplot ICCTF No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Atribut Keikutsertaan tenaga kerja wanita dalam pengelolaan usahatani Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan gambut Kearifan lokal terkait dengan pertanian berkelanjutan Potensial menerapkan teknologi melestarikan gambut Cara membuka lahan/mengolah tanah Langkah petani yang berindikasi melestarikan usahatani lahan gambut Kebersamaan kelompok tani Eksistensi kelompok tani Intensitas dan efektifitas penyuluhan kepada masyarakat tentang pengelolaan gambut Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut Pengetahuan dan pengalaman petani tentang perubahan iklim Status lahan usahatani
Kalteng
Riau
Jambi
Kalbar
2,20
1,67
0,51
0,98
2,64 2,89 1,37 3,11
1,80 2,54 5,67 6,49
1,68 1,84 0,38 0,70
0,62 0,42 0,23 2,33
3,12
4,04
0,74
0,17
2,28 2,69
4,42 4,22
2,44 0,65
0,05 2,30
5,11
3,50
1,63
0,21
2,24
3,51
2,72
1,85
2,48
1,73
0,91
0,39
2,52
1,22
1,24
1,14
71
Mamat H.S. et al.
Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di lokasi Jambi menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor yang mempunyai nilai sensitifitas >5 dalam mempengaruhi keberlanjutan model usahatani demplot, tetapi ada dua atribut yang paling sensitif (skala nilai >2) yaitu persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lahan dan kebersamaan kelompok tani. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden ternyata persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lahan gambut sangat menentukan tingkat keberlanjutan usahatani di lahan gambut terdegradasi. Persepsi dimaksud adalah pemahaman masyarakat bahwa lahan gambut adalah satu-satunya andalan untuk bertani dan jika lahan tersebut tidak dikelola dengan mengutamakan kelestarian lingkungan maka lahan tersebut akan rusak dan tidak bisa menopang kehidupan untuk jangka panjang. Demikian juga kebersamaan petani dalam kelompok tani menjadi penting dalam keberlanjutan usahatani, mengingat lahan petani berada dalam satu hamparan atau satu kawasan sehingga kebersamaan kelompok untuk menangani dan mengelola lahan gambut dapat lebih efektif dan efisien. Kebersamaan petani dalam kelompok tani tersebut terutama terkait dengan pemasaran hasil dan penyediaan input untuk usahatani, seperti pupuk yang didatangkan dan dibeli bersama-sama dari luar wilayah akan lebih efisien daripada membeli pupuk secara sendiri-sendiri. Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di lokasi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor dimensi sosial yang bernilai > 5, namun ada dua atribut yang paling dominan (dengan skala nilai >2) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani demplot, yaitu cara mengolah tanah tanpa bakar dan keberadaan kelompok tani. Dimensi Ekonomi Hasil leverage analysis di lokasi Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa kestabilan harga hasil produksi petani pada saat panen dan usahatani yang berorientasi profit merupakan dua atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan usahatani (Tabel 5). Pengamatan di lapangan menunjukkan harga jual produk petani sangat fluktuatif dan cenderung merugikan petani karena nilai tukarnya yang rendah terutama pada saat panen. Selain itu, petani yang berorientasi profit (bukan subsisten) pada umumnya berpikir bagaimana agar usahatani yang dilakukannya dapat menopang kehidupan keluarganya untuk jauh ke depan dan tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saat ini.
72
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
Tabel 5. Hasil analisis sensitivitas dimensi ekonomi di 4 lokasi demplot ICCTF No.
Atribut
1
Produktivitas lahan/keuntungan finansial (RC ratio) usahatani Kontribusi petani terhadap pendapatan total petani Ketersediaan material lokal sebagai input usahatani Kemudahan pemasaran hasil produksi usahatani Kestabilan harga hasil produksi petani pada saat periode panen Keuntungan dari usahatani Orientasi/tujuan berusahatani Minat untuk berusahatani Penguasaan lahan dan intensitas pengelolaan Kecukupan tenaga kerja keluarga untuk usahatani Potensi tenaga kerja keluarga dalam usahatani
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kalteng
Riau
Jambi
Kalbar
1,52
1,36
3,01
3,22
2,32
1,24
1,51
2,38
3,58
3,27
2,43
1,19
4,05
4,17
2,59
0,87
7,37
1,39
8,58
0,79
2,73 6,43 4,22 3,67
5,85 4,04 1,56 3,55
4,63 2,74 2,75 2,31
2,71
2,46
2,19
1,09
1,12
1,53
2,81
2,84
Untuk lokasi Riau, hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) menunjukkan bahwa faktor yang sangat sensitif (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani yaitu tingkat keuntungan usahatani. Tingkat keuntungan usahatani menjadi faktor yang memotivasi petani untuk berkonsentarsi atau tidak dalam usahatani. Jika tingkat keuntungan usahatani tinggi, maka petani cenderung lebih berkonsentrasi memelihara lahan usahataninya secara intensif mengingat bertani adalah andalan kehidupan untuk masa depan. Selain itu, terdapat beberapa atribut lain yang cukup sensitif (skala nilai >3) mempengaruhi tingkat keberlanjutan model usahatani, yakni kemudahan pemasaran hasil usahatani, orientasi berusahatani, penguasaan lahan dan intensitas pengelolaan, dan ketersediaan material lokal sebagai input usahatani. Hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di lokasi Jambi menunjukkan bahwa kestabilan harga pada saat panen merupakan faktor yang sangat sensitif (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Hasil wawancara dengan responden menjelaskan bahwa kestabilan harga dan nilai tukar yang tinggi menjadi faktor penting yang memotivasi petani untuk mengelola lahan gambut dengan intensif. Selama ini petani bekerja juga pada perusahaan sawit yang menjadi perusahaan inti. Namun demikian, harga hasil usahatani yang stabil dan nilai tukar petani yang tinggi akan dapat mendorong petani agar lebih berkonsentrasi mengelola lahan usahataninya dibanding menjadi buruh pada perusahaan inti. Hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor dimensi ekonomi yang berskala > 5, namun ketersediaan alat mekanisasi untuk pertanian (skala nilai 4,31) merupakan faktor yang paling peka di antara 11 atribut. Atribut tersebut sangat penting dalam dimensi ekonomi,
73
Mamat H.S. et al.
khususnya terkait dengan aspek intensitas pengelolaan lahan usahatani pada kondisi tenaga kerja yang sangat terbatas. Oleh karena itu perlu dicari penanggulangan masalah tenaga kerja yang terbatas tersebut melalui mekanisasi pertanian yang adaptif pada kondisi gambut. Dimensi Lingkungan Berdasarkan hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di Kalimantan Tengah, Riau, dan Kalimantan Barat terlihat bahwa fluktuasi debit air di lahan petani dan perubahan tingkat dekomposisi sebagai dua atribut atau faktor yang sangat sensitif (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani (Tabel 6). Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi kelestarian lingkungan, khsususnya terkait dengan emisi gas rumah kaca. Selain itu, di Kalteng dan Riau masih terdapat beberapa atribut lain yang tergolong cukup sensitif (skala nilai >3) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani, yakni cadangan karbon, keberadaan tanaman penutup tanah, dan elevasi muka air tanah. Hasil analisis di lokasi Jambi menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor yang sangat peka (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Akan tetapi perubahan tingkat dekomposisi merupakan faktor yang paling sensitif (skala nilai > 4) di antara 11 atribut yang dianalisis. Tabel 6. Hasil analisis sensitivitas dimensi lingkungan di 4 lokasi demplot ICCTF No
Atribut
Kalteng
Riau
Jambi
Kalbar
1
Dominansi vegetasi
1,07
1,07
0,06
1,53
2
Kejadian kebakaran
2,74
2,74
1,36
2,24
4,08
4,08
2,92
4,01
6,27
6,27
4,18
5,19
0,04
0,04
0,69
0,64
0,80
0,8
1,05
1,19
6,71
6,71
1,19
5,25
3,75
3,75
1,10
1,31
4,22
4,22
0,84
3,7
0,49
0,49
0,53
1,04
0,16
0,16
0,17
1,36
3 4 5 6 7 8 9 10 11
74
Keberadaan cover crop di areal pertanaman Perubahan tingkat dekomposisi pH air lahan observasi pada awal dan akhir pengamatan pH tanah lahan observasi pada awal dan akhir pengamatan Fluktuasi debit air lahan observasi pada awal dan akhir pengamatan Elevasi muka air tanah pada awal dan akhir pengamatan Cadangan karbon lahan observasi pada awal dan akhir pengamatan Tingkat subsiden lahan observasi pada awal dan akhir pengamatan Perkembangan tingkat emisi GRK demplot E1-E2 pada sebelum dan sesudah pengamatan
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
Potensi Keberlanjutan Analisis potensi keberlanjutan merupakan analisis tentang peluang apakah suatu model usahatani yang dikembangkan akan berkelanjutan atau akan diadopsi oleh petani sekitarnya, seberapa besar tingkat keberlanjutan dari model tersebut. Tingkat keberlanjutan dimaksud dapat dijadikan indikator, apakah model usahatani yang dikembangkan di lokasi demplot akan diadopsi oleh petani sekitarnya. Nilai indeks keberlanjutan tersebut merupakan integrasi dari skala nilai dimensi sosial, ekonomi, dan dimensi lingkungan/ekologi. Hasil analisis multidimensi (menggunakan software rapfhis), yang terdiri atas dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan sebanyak 34 atribut atribut atau parameternya, menghasilkan nilai indeks keberlanjutan 66,69 atau dalam skala nilai (rapfhis) tergolong cukup berkelanjutan. Nilai keberlanjutan multidimensi tersebut merupakan kontribusi dari tiga dimensi, yaitu dimensi sosial (72,65), dimensi ekonomi (68,11), dan dimensi ekologi (57,25). Berdasarkan hasil analisis di atas, model usahatani yang dikembangkan di lokasi Kalimantan Tengah berpeluang untuk diadopsi oleh petani sekitar, dengan memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, dan aspek sosial (Tabel 7). Tabel 7. Indeks Keberlanjutan Usahatani Setiap Dimensi Indeks Keberlanjutan Usahatani Lokasi
Multi Dimensi Dimensi Ekonomi
Dimensi Sosial
Dimensi Lingkungan
Kalimantan Tengah
68,11
72,65
57,25
66,69
Riau
65,74
27,81
57,25
45,65
Jambi
80,36
54,27
53,71
60,41
Kalimantan Barat
72,17
53,49
54,94
57,40
Analisis multidimensi terhadap usahatani di lokasi Riau menghasilkan nilai indeks keberlanjutan 45,61 atau tergolong kurang berkelanjutan. Kontribusi dimensi sosial, dimensi ekonomi, dan dimensi ekologi terhadap nilai keberlanjutan multidimensi masingmasing sebesar 27,81; 65,74; dan 57,25. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan atau peluang petani sekitar untuk mengadopsi model usahatani yang dikembangkan di lokasi Pelalawan Riau tergolong kurang, terutama kontribusi dimensi sosial yang relatif paling rendah (yakni 27,81). Hasil analisis multidimensi terhadap usahatani di lokasi Jambi menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan sebesar 60,41 atau tergolong cukup berkelanjutan. Nilai keberlanjutan multidimensi tersebut merupakan kontribusi dari dimensi sosial, dimensi ekonomi, dan dimensi ekologi masing-masing sebesar 54,27; 80,36; dan 53,71. Dimensi ekonomi memberikan kontribusi tertinggi (yakni sebesar 80,36) terhadap indeks keberlanjutan model usahatani di Muaro Jambi.
75
Mamat H.S. et al.
Analisis multidimensi terhadap model usahatani yang dikembangkan di Kalimantan Barat menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 57,40 atau tergolong cukup berkelanjutan. Nilai keberlanjutan multidimensi tersebut merupakan kontribusi dari dimensi sosial, dimensi ekonomi, dan dimensi ekologi masing-masing sebesar 53,49; 72,17; dan 54,94. Implikasi Kebijakan Luas lahan gambut di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Papua) sekitar 14,9 juta ha, di mana sekitar 8,3 juta ha masih berupa hutan primer dan hutan alami. Sisanya seluas 6,6 juta ha merupakan lahan yang sudah dibuka dan terdiri atas 1,5 juta ha sudah dimanfaatkan untuk perkebunan, 0,7 juta ha untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura, 3,7 juta ha merupakan lahan gambut terdegradasi yang ditumbuhi semak belukar, serta 0,6 juta ha lahan bekas tambang. Dengan kondisi lahan gambut seperti tersebut di atas, perlu dibuat kebijakan untuk masing-masing penggunaan lahan. Lahan gambut yang masih berupa hutan primer perlu dipertahankan sebagai hutan dimanapun keberadaannya, baik di kawasan hutan maupun di kawasan non hutan (areal penggunaan lain). Sebaliknya, lahan yang sudah terdegradasi berupa semak belukar dan secara biofisik sesuai untuk pengembangan pertanian, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian di masa yang akan datang, dengan pengelolaan lahan yang berkelanjutan (Las, 2014). Terkait dengan hal tersebut, tim peneliti telah melakukan penelitian sosial ekonomi dan lingkungan untuk melihat keberlanjutan dari kegiatan model usahatani ICCTF dalam pemanfaatan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat. Pendekatan multi dimentional scaling (MDS) digunakan untuk memperoleh informasi tentang nilai keberlanjutan usahatani seperti disajikan pada Tabel 7, sedangkan faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan usahatani di lahan gambut disajikan pada Tabel 8. Hasil analisis menunjukkan bahwa urutan tingkat keberlanjutan usahatani dari paling tinggi sampai terrendah adalah di lokasi Provinsi Kalimantan Tengah, diikuti oleh Provinsi Jambi, Kalimantan Barat, dan Riau dengan nilai keberlanjutan berturut-turut 66,69; 60,41; 57,40; dan 45,65. Tingkat keberlanjutan model usahatani di Provinsi Kalimantan Tengah dipengaruhi oleh dimensi sosial dan ekonomi di mana faktor yang paling sensitif mempengaruhinya adalah intensitas penyuluhan dan stabilitas harga. Artinya tingkat penyuluhan yang intensif serta adanya stabilitas harga untuk komoditas yang diusahakan menjadi titik ungkit dalam keberlanjutan model usahatani dalam pemanfaatan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah. Sebaliknya Provinsi Riau dan Kalbar mempunyai nilai keberlanjutan paling rendah yang dipengaruhi oleh dimensi sosial, terutama kebiasaan petani membakar hutan dalam pembukaan lahan. Artinya,
76
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
masyarakat di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat sudah terbiasa membakar hutan untuk pengembangan lahannya, padahal dari aspek lingkungan pembakaran hutan ini tidak dikehendaki. Oleh karena itu, penyuluhan secara intensif sangat diperlukan untuk mengubah kebiasaan petani dalam membuka lahan tanpa membakar hutan gambut. Namun disadari, sampai saat ini belum ada cara membuka lahan yang paling praktis selain dengan cara membakar, apalagi kedua provinsi tersebut mempunyai keterbatasan tenaga kerja. Oleh karena itu, ke depan diperlukan inovasi teknologi dan alat mekanisasi pertanian yang cocok untuk pembukaan lahan gambut, sehingga pembakaran hutan gambut dapat dihindari. Tabel 8. Faktor Sensitif yang Mempengaruhi Tingkat Keberlanjutan Faktor yang paling sensitif mempengaruhi kelanjutan Lokasi Kalimantan Tengah
Dimensi Ekonomi
Dimensi Sosial
Dimensi Lingkungan
Stabilitas harga +
Penyuluhan +
Fluktuasi debit air +
Riau
Keuntungan usahatani +
Jambi
Stabilitas harga +
Kalimantan Barat
Ketersediaan alat mekanisasi +
Kebiasaan membakar hutan Persepsi terhadap pengelolaan lahan gambut + Kebiasaan membakar hutan & keberadaan kelompok tani
Fluktuasi debit air + Perubahan tingkat dekomposisi
Penggunaan Pugam pada lahan gambut, khususnya di lokasi ICCTF Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, memberikan pendapatan bersih usahatani dalam jangka pendek dan nilai opportunity cost yang cukup tinggi, sedangkan di Riau dalam jangka pendek nilai tertinggi diperoleh dari pemberian amelioran pupuk kandang dan opportunity cost amelioran pugam, walaupun nilai tersebut jauh di bawah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Fakta di atas menunjukkan bahwa penggunaan Pugam pada lahan gambut bersifat spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi tanah gambut dan jenis komoditas yang dikembangkan. Penggunaan pupuk kandang sebagai amelioran pada lahan gambut sangat menguntungkan, terutama di lokasi ICCTF Riau dan Kalimantan Tengah. Sebaliknya penggunaan pupuk kandang di lokasi ICCTF Jambi dan Kalimantan Barat tampak tidak konsisten dengan nilai simpangan baku yang tinggi dan rata-rata pendapatan bersih usahatani yang relatif rendah. Penggunaan dolomit sebagai amelioran pada lahan gambut di Kalimantan Barat masih belum konsisten atau beragam dimana nilai standar deviasi pendapatan bersih usahataninya mencapai 90% lebih tinggi daripada nilai rata-rata. Penggunaan amelioran lainnya, seperti kompos tankos masih belum memberikan hasil yang memuaskan di mana pendapatan bersih usahataninya kurang dari Rp 1 juta/ha.
77
Mamat H.S. et al.
Jika penggunaan amelioran dan pupuk kandang dalam jangka panjang dapat menghasilkan nilai opportunity cost yang tinggi berarti amelioran tersebut memberikan nilai pendapatan yang baik dibandingkan dengan emisi CO 2 yang terjadi. Untuk itu teknologi ini perlu dikembangkan pada tingkat lokal agar dapat memperoleh bahan tersebut dengan mudah dan murah. Untuk kebutuhan pupuk kandang disarankan pengembangan peternakan ayam dan pelatihan pembuatan pupuk kandang. Untuk pupuk gambut disarankan lisensor teknologi pupuk gambut tersebut mengembangkan pabrik pembuatannya di sentra-sentra gambut.
KESIMPULAN Analisis usahatani terkait aplikasi amelioran menunjukkan bahwa pupuk kandang dan pupuk gambut merupakan amelioran dengan nilai pendapatan bersih tertinggi.Dalam upaya menurunkan emisi ternyata semua aplikasi amelioran di Jambi tidak bisa menurunkan emisi, bahkan emsisi CO2 menjadi naik.Sedangkan perlakuan amelioran di Riau menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kandang yang paling efisien menurunkan emisi.Disamping itu aplikasi amelioran di Riau relatif baik dalam menurunkan emisi.Hasil analisis opportunity cost untuk semua model pengelolaan berkisar antara 12-332$US/t CO2. Nilai tertinggi (332) yaitu pola usahatani tanaman karet dengan tanaman sela di Kalimantan Tengah pada perlakuan pupuk gambut, artinya setiap kenaikan emisi 1 ton CO2 akan menghasilkan pendapatan sebesar 332$US, dan seterusnya diikuti oleh perlakuan pupuk kandang. Demikian juga di lokasi lain menunjukkan hasil yang beragam berdasarkan pola usahatani maupun aplikasi ameliorasi. Khusus untuk lokasi Kalimantan Barat dengan mengusahakan tanaman musiman yaitu jagung menunjukkan bahwa perubahan tingkat emisi sebelum dan sesudah perlakuan relatif kecil, yaitu dari sekitar 3,94 ton CO2/ha/th menjadi 2,18 – 2,71 ton CO2/ha/th. Dengan emisi yang relatif rendah tersebut, maka menghasilkan nilai opportunity cost yang relatif tinggi, yaitu masingmasing 218, 175, dan 159 untuk kontrol cara petani, ameliorasi pupuk gambut, dan dolomit. Potensi usahatani berkelanjutan di lahan gambut terdegradasi yang didasarkan pada nilai indeks keberlanjutan MDS di lokasi demplot menunjukkan bahwa lokasi Kalteng cukup berkelanjutan (nilai indeks 66,69) dengan kontribusi 72,65; 68,11; dan 57,25 masing-masing untuk dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan/ekologi. Lokasi Riau kurang berkelanjutan (nilai indeks 45,61) dengan kontribusi 27,81;65,74; dan 57,25 masing-masing untuk dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Lokasi Jambi cukup berkelanjutan (nilai indeks 60,41) dengan kontribusi 54,27;80,36; dan 53,71 masingmasing untuk dimensi social, ekonomi, dan lingkungan/ekologi. Lokasi Kalbar cukup
78
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi
berkelanjutan (nilai indeks 57,40) dengan kontribusi 53,49;72,17; dan 54,94 masingmasing untuk dimensi social, ekonomi, dan lingkungan. Di lokasi demplot Kalteng, terdapat beberapa faktor yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan usahatani di lahan gambut terdegradasi, yaitu intensitas penyuluhan (dimensi sosial), kestabilan harga hasil petani pada saat panen, usahatani yang berorientasi profit (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air di lahan petani, perubahan tingkat dekomposisi (dimensi lingkungan/ekologi). Lokasi Riau : cara membuka lahan/mengolah tanah, potensi menerapkan teknologi pelestarian (dimensi sosial), tingkat keuntungan usahatani (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air, perubahan tingkat dekomposisi (dimensi lingkungan/ekologi).Sedangkan untuk lokasi Jambi adalah persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut, kebersamaan kelompok tani (dimensi sosial), kestabilan harga jual hasil petani pada saat panen (ekonomi).Agar model demplot yang diaplikasikan di lokasi ICCTF diadopsi oleh petani sekitar lokasi demplot, maka atribut atau faktor yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan usahatani di lahan gambut terdegradasi harus direspon dengan upaya-upaya yang diperlukan. Terdapat beberapa opsi untuk memanfaatkan lahan gambut terdegradasi, dengan mempertimbangkan manfaat ekonomi, dampak lingkungan khususnya emisi GRK, pengaruh terhadap keanekaragaman hayati, manfaat sosial, pengaruh terhadap terjadinya kebakaran, biaya investasi yang diperlukan serta jangka waktu yang diperlukan untuk setiap opsi tersebut. Salah satu opsi tersebutadalah mengembangkan lahan gambut terdegradasi menjadi lahan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Herman, F. Agus, I G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, dan I. Las.2011. Analisis Keragaan Usahatani dan Opportunity Cost Emisi CO2 Pertanian Lahan Gambut Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Las, I. 2014. Rekomendasi Kebijakan Umum Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradasi. Laporan Kerjasama Balitbangtan – ICCTF (Unpublished). Setyanto, P., A. Wihardjaka, T. Soepiawati, T.A. Adriyani, A. Pramono, A. Hervani, dan S. Wahyuni. 2014. Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut dan Pemberian Amelioran. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Wahyunto dan K. Nugroho. 2014. Gambaran Umum Lahan Gambut di Indonesia. Makalah Kebijakan ICCTF. BBSDLP, Bogor (Unpublished).
79
5
INDONESIAN PEATLAND MAP: METHOD, CERTAINTY, AND USES
PETA LAHAN GAMBUT INDONESIA: METODE PEMBUATAN, TINGKAT KEYAKINAN, DAN PENGGUNAAN Wahyunto, Kusumo Nugroho, Sofyan Ritung, Yiyi Sulaeman Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Jalan Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.
Abstract. Peatland map has a strategic significance in agricultural development planning, land conservation and calculating green house gas (GHG) emissions. This study aims to improve the accuracy of the Indonesian peatland map at scale 1:250.000 through an overlay of old version peatland map (Wahyunto et al. (2003, 2004, 2006) with legacy soil data and current soilsurveys data. Approximately 2,409 site observations equipped with recording of geographical positioning System (GPS) including peat thickness and peat maturity observations used in this study. The main land cover types on peatland (such as: forest, oil palm, shrubsbush, annual agricultural crops, horticulture crops, tree crops/fruits and paddy fields) were also mapped. The results showed that the latest Indonesian peatlands based on legacy soil data resulted from soil survey up to the year of 2011 was approximately 14.9 Mha, mainly distributed into 3 islands namely Sumatra, Kalimantan and Papua. A lot of decreasing areas from the original estimate total of 20.6 Mha previous peatland area during 9-year period (2002's to 2011), peatlands of Sumatra and Kalimantan islands successively reduced approximately 0.7Mha and 1 Mha. While in Papua island peatland estimated was reduced about 4.4 million ha from the old estimate of 8 million ha, because the previous estimate mostly based on analysis of satellite images with limited ground truth data. By the support of 2,409 observation points the level of confidence is much higher compared to the previous version. From the total peatland area, a 2011 landsat TM imagery analysis showed that 7.8 M ha (50.1%) is covered by forests, 1.56 M ha (10.5%) oil palm plantation, 0.79 M ha (5.7%) annual agricultural crops and 0.3 M ha (2.3%) paddy field. Keywords: Peatland, updating, spatial distribution, accuracy, ground truth Abstrak. Peta lahan gambut mempunyai arti sangat strategis dalam perencanaan pembangunan pertanian, konservasi lahan dan perhitungan emisi gas rumah kaca (GRK). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keakuratan peta lahan gambut nasional Indonesia melalui overlay peta lahan gambut Wahyunto et al., (2003, 2004, 2006) dengan data survei terkini. Sekitar 2.409 titik pengamatan yang dilengkapi dengan posisi geografis (GPS) dengan jenis pengamatan ketebalan dan kematangan
81
Wahyunto et al.
gambut digunakan dalam penelitian ini. Tipe penutupan lahan utama (hutan, kelapa sawit, semak belukar, pertanian tanaman semusim, hortikultura/ kebun campuran dan sawah) juga dipetakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan gambut Indonesia berdasarkan hasil kombinasi analisis landsat TM dan data survei tanah sampai dengan tahun 2011 adalah sekitar 14,9 juta ha, tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas ini turun drastis dari perkiraan semula seluas 20,6 juta ha. Lahan gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan berkurang sekitar 700 ribu sampai 1 juta ha. Sedangkan di Papua luasnya berkurang sekitar 4,4 juta ha dari 8 juta ha karena estimasi luasan yang terdahulu hanya didasarkan hasil analisis citra satelit dan sedikit data verifikasi lapang (ground truth). Peta yang terbaru ini mempunyai tingkat keyakinan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peta versi sebelumnya karena ditunjang oleh 2.409 titik pengamatan. Dari luas total lahan gambut ini, analisis citra Landsat tahun 2011 menunjukkan bahwa sekitar 7,8 juta ha (50,1%) lahan ditutupi oleh hutan, 1,56 juta ha (10,5%) kelapa sawit , 0,79 juta ha (5,7%) pertanian tanaman semusim dan 0,3 juta ha (2,3%) sawah. Kata kunci: Lahan gambut, pemutakhiran, sebaran, akurasi, titik observasi
I. INTRODUCTION Peatland has a multifunctionality including water retention function, a niche for peatland-specific biodiversity, and production of agricultural and forest commodities. Peat stores carbon between 30 to 70 kg C/m3 or equivalent to 300 – 700 t C /ha per one meter depth (Agus et al., 2009). Peatland in Indonesia stocks an average of about 30-40 Giga ton C/ha (Wahyunto et al., 2005). Under natural forest, peat sequesters carbon and grows between 0.5 to 1.0 mm per year, while drained peat emits carbon and subsides at the rate of 1.5 – 3.0 cm per year. About 50% of the subsidence is attributable to oxidation (Wosten et al., 1997). Since the subsidence rate is 15-30 times the rate of growth under the drained, deforested and drained peats become a major source of green house gas emissions (Agus and Subiksa, 2008). Reducing emissions from peatland has been one of the main focus of Indonesian Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Program (REDD+). The closest estimate of peatland area to the existing and real condition is essential as it avoids „hot air‟ of greenhouse gas (GHG) emissions from peat. Spatial distribution of peatland area estimate has varied from 14 to 26 million ha since 1952 until present (Subagjo H, 2002 and Wahyunto et al., 2005). The estimate of 20.8 million ha (Mha) is one of the most widely referred wide since it provide a digital shapefile data (Shp) that can be used for the analysis of land use change trajectories. This peatland map was generated mostly based on satellite data analysis up until 2002 acquisition dates, with limited ground verification and input data is known to vary in quality. Since then updated by a number of field
82
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses
validation (ground truth) have been conducted and the number of observation points of what was considered as peatland as of 2.409 site. These have increased our confidence in the estimate of peatland area and our current best estimate is 14.9 Million ha with overall accuracy 87,9% followed by Kappa coeficient 0,68. The main reduction, reaching 28,3% from the earlier Indonesia Peatland of 20,8 Mha to the current as amount of 14,9 Mha.The eirlier estimates for Papua was 7,8 Mha, to the current estimate as amount of 3,7 Mha, where past soil survey was hindered by location remoteness. We still lack ground truth data in the remote peatland areas and thus further refinement will be made as more soil survey data are accumulated. This current estimate implies that past GHG analyses have been inflated and using this current more robust estimate will form a more logical basis for GHG emission reduction as well as sustainable peatland management plans.
II. MATERIALS AND METHOD 2.1. Soil survey and peatland mapping in Indonesia In Indonesia, soil resources inventories have been conducted since 1905 by ICALRD for various purposes (e.g agricultural planning, erosion hazard assessment, and soil fertility monitoring). This has resulted in numerous soil survey reports and soil maps. Soil survey reports commonly store soil profile descriptions, i.e soil morfology, and selected basic physico-chemical properties (Yiyi Sulaeman et al., 2012).The entire Indonesian land has been covered by a Exploration Soil Map at scale of 1:000.000 (CSAR, 2000). This maps has about 180 soil mapping units with 44 great groups from 8 orders of US Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1975). As of 2014, all of Indonesian soil is covered by a 1:250.000 map (ICALRD Personal communication, 2014). Henceforth, Indonesia has voluminous legacy soil data in form of legacy soil observations ( in the form of soil profile, soil minipit, and/or soil laboratory analysis data) and poligon data including legacy soil map with legends. Legacy soil data based, soil map and field observations data resulted from soil surveys up to now have been used to assess and update peatland distribution for the whole country. Old estimate spatial data of peatland (Wahyunto et al., 2003, 2004 and 2005) were mostly based on satellite images interpretation supported with land unit and soil maps (Center for Soil and Agroclimate Research and Developmnet, 1999), including Land system maps (RePPPRoT, 1999) with very limited ground data/field observations. Especially for Papua, where past soil survey still lack ground truth data, because lack of accessibility. Therefore, field assessments are required to identify and reclassify any sites that may have been misclassified during the desktop analysis. A large number representative soil sampling and ground truth can
83
Wahyunto et al.
provide better estimates of any tipe of peatland, however, collecting field data can be time consuming and costly . Newer estimate of peatland areas was validation of peatland old map based on ground truth (soil survey data) including legacy soil data. Gap still exist on areas with low accessibility, and these areas are subject to further verification. Updating ICALRD peatland map (Ritung et al., 2011), conducted by using the combination the result of more recent soil surveys, legacy soil data and auxiliary information (e.g digital elevation model, geology map, agroclimate map). Overlaying among“existing soil observation maps the result of soil surveys” with “old version of peatmap” and “latest satellite images acquisitions dates” may help in priotizing next soil observations and soil samplings strategy. The next soil (peat) observations can be directed to the site/area that low reliability and no soil observations yet. If planned soil observations cannot be observed due to several reasons, then soil observations may be selected based on priority level. The high priority is site with low or lack information on peat characteristics. Spatial and atribute data were used to generate and upadte peatland maps is presented in Figure 1 and formula to evaluate accuracy assessment peatland mapping are as follows.
Figure 1. Flow chart for generating and updating peatland maps
84
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses
Formula for accuracy assessment of updating peatland map Overall Accuracy = Xii/N Where: Xii = total true classes of site sampel at diagonal of confussion matrix table = total number of site samples in confusion matric I I Kappa Coef = N ∑ Xii - ∑ X i + Xi+i i=1 i=1 ____________________ I N2- ∑ X i + Xi+i I=1
................................................................... (1)
Kappa Coefficient = 0,68 Where: N
= Total number of site samples in confusion matrix
Xii = Total true classes of site sample at diagonal of confussion matrix table Xi+ = Total site sample in the row for all column X+i = Total site sample in the column for all row 2.2. Updating peatland spatial distribution Updated peatland mapping conducted by means a GIS methodology approach that integrates: legacy soil data, satellite images data and field validation (ground truth)to reach more accurately mapping of peatland. This task consisted of four activities: (1) desk study on legacy soil data base and soil mapping (2) search and explore the information from satellite images data, that having relation with spatial distribution of peatland; (3) data integration of selected legacy soil data, existing peatland map, spatial based information of satellite data (4) field validation/ground truth including field data collection and (4) generate updating peatland map. For practical application of the legacy soil profile observations could also be used as a benchmark for soil properties monitoring and assessment purposes. Armed with global positioning system (GPS) receiver, map and assisted by Google Map that informs direction to location from a given landmark. Soil profile observations and soil samples may re-taken at same location. Then, measured soil properties data can be compared with previous one. As a result, the extent of existing peatland, soil properties change (peat thickness, peat maturity etc) can be determined. This technique can be exercised for others
85
Wahyunto et al.
legacy soil profiles data. Hence, existing peatland and soil properties change can be mapped easily by interpolation techniques.
III. RESULTS AND DISCUSSION 3.1. Current soil surveys and mappings and future directions Up to now,conventionally soil surveys and mapping, including peatlands mapping, conducted by exploring and observing of soil properties and the surrounding environment is done with reference to the existing accessibility, where the observations were made through the road that have been there, either by car, boat, bike or on foot. When necessary, making transect along forested and/or bushed land to reach the representitive sampling site for soil observations. Thus surveying and mapping peatlands, for areas that are relatively close to the road assess or river, soil profile information (including peat thickness and its peat maturity) will be available in more detail and a higher level of reliability. In areas away from roads and rivers more over still a natural forest or bushe shrub and there is no access, will be very limited information and low reliability, and mostly based on the results of satellite image analysis and synthesis of ancilary data/maps (ie. soil maps, geology maps, topographic maps, etc). Firstly,soil survey and mapping including peatland inventory, conducted by ground base method with grid system, which make observations of soil properties at each the same distance in a point/particular site, it is called transect line. Mapping peatlands by means ground base methods will take a long time, difficult and costly. However, until now there is no an existing accurate technology yet, for inventory and verify distribution and peatland area. Field observation data (resulted from ground observation) or data derived from the soil profile and accumulated on legacy soil data is absolutely needed. More intensive field observations (ground truth) will be more detailed/accurate information for mapping. Field observation data (ground truth), although costly/expensive and exhausting, do not have a replacement. Without soil observation and ground truth,will produce uncertainly of peatland map with low accuracy. The benefit of new and advances on remote sensing and GIS including geo-spatial technologies by means physiographic approach, the intensity of the field observations (ground truth) can be reduced, limited to representative areas, but it is still absolutely necessary. Thus, the combination of digital technology, geo-spatial and land surveying "ground-based method" is the way forward to be implemented for land resource inventory includes peatland mapping. Center for Agricultural Land Resources Research and Dvelopment (ICALRD) conducted peatland maps of Sumatra, Kalimantan and Papua
86
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses
islands by means of updating peatland maps issue by Wetland International Program (Wahyunto et al., 2003, 2004 and 2005) by means of Remote sensing and GIS approaches supported with ancillary spatial data. Spatial data were used to update spatial information of peatland these are legacy soil data, soil maps results of previous survey and mapping up to 2011. Proposed geo-information based for peatland mapping presented in Figure 2. The results of the extent of peatland, including soil properties development is presenting in the figure 3 and 4.
Figure 2. Flow chart on Peatland mapping In Indonesia.
87
Wahyunto et al.
Figure 3. Peatland change estimation in 2002-2011 resulted form updating peatland mapping for Sumatera Island
Figure 4. Peatland change estimation in 2002-2011 resulted form updating peatland mapping for Kalimantan Islands
88
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses
3.2. The Latest Spatial Data of Peatland in Indonesia The latest spatial data of peatland in Indonesia was about of 14.9 M ha. The most extensive peatland found in 3 islands, namely Sumatra, follo wed by Kalimantan, and Papua (Irian Jaya). Spatial distribution of peatland is presented in Table 1 and Figure 5. In Sumatra, the widest peat are developedalong east coast including Riau, South Sumatra, Jambi and Aceh provinces. In the west coast of Sumatra peatland are situated in West Sumatra province (Pesisir Selatan district) and Bengkulu province (Muko-muko district). In Kalimantan wide spread peat situated along west coast West Kalimantan province, especially in Pontianak/Kubu raya, Ketapang and Sambas District. Inland peat, are found in a swampy area at the upper Kapuas River basin (Kapuas Hulu District). At the south coastal area, peatland situated in the South Kalimantan and Central Kalimantan provinces, there are a vast peat among Sebangau, Kahayan, Kapuas and Barito rivers. In the East Kalimantan province, a quite wide peatland is situated in the backswamp of upper Mahakam river basin, northwest of Samarinda). Most of the coastal plain in the form of peat, spread over the coastal plain west of Tarakan, Bulungan/Nunukan district. In Papua, peatland are widely found along the south coastal plain of Agats, Mappi, Mimika and a part of Fak-fak districts and peatland also found at swampy areas of Nabire and Paniai districts, coastal marshes and plains east of the city of Nabire, Paniai district. Fresh water peatland are found at backswamp of the middle Mamberamo river basin with altitude of about 100 m above sea level. Table 1. The latest spatial data of peatland in Indonesia Province/ Island Aceh North Sumatera West Sumatera Riau Riau islands Jambi Bengkulu South Sumatera Bangka Belitung Lampung SUMATERA West Kalimantan Central Kalimantan South Kalimantan East kalimantan KALIMANTAN Papua
Agreage Hectares 215,704 261,234 100,687 3,867,413 8,186 621,089 8,052 1,262,385 42,568 49,331 6,436,649 1,680,135 2,659,234 106,271 332,265 4,777,905 2,644,438
Percentage 3.35 4.06 1.56 60.08 0.13 9.65 0.13 19.61 0.66 0.77 100.00 35.16 55.66 2.22 6.96 100.00 71,65
89
Wahyunto et al.
Agreage
Province/ Island West Papua PAPUA TOTAL Source: Ritung et al., 2011 (Modified)
Hectares 1,046,483 3,690,921 14,905,475
Percentage 28,35 100,00 100,00
Figure 5. Peatland map of Indonesia (modified from Ritung et al., 2011) 3.3. Existing landuse/land cover on peatland To explore the existing and present landuse/land cover on peatland was conducted by overlaying both map at 1:250.000 scale of latest peatland map (Ritung et al., 2011) and land use (also called land cover map) (Ministry of Forestry, 2011). Landuse map was generated based on satellite images analysis of 2010-2011 acquistion dates. Landuse/on peatland is presented in Table 2. Peatland in three large islands of Indonesia which still covered by: (i) forested areas (mangrove, swamp forest, and plantation forest ) as amounts of 7,7 Mha or 52% of Indonesia peatland, (ii) amounts of 3,23 Mha (21.7%) covered by bushes,(iii) other peatland has been used for agriculture and settlements. In Sumatra, which is still dominated by peatland forest areas and bushes as amounts of 2,352,342 ha (32.6%) and 1,526,825 ha (23.7%) respectively. Peatland was used for plantation, annual crops and vegetables farming, and paddy field are:as amounts of 1,26 Mha (19.6%); 0,499 Mha (7.4%) and 0,212 Mha (3.3%). The other peatland was used for settlements as amounts of 40 199 ha (0.6%). In Kalimantan, peatland which is still dominated forest areas (mangrove, peat forest, forest plantation and bushes as amounts of 2,402,362 ha (49.9%) and 1,373,563 ha
90
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses
(28.6%) repectively. Mangrove forests, peat swamps are generally found on the west coast, the south coast and the east coast (down stream of Mahakam and Sesayap rivers) East Kalimantan. Peatland was used for agriculture these are: plantation, farmland (food and horticulture crops) and paddy field are as amounts of 298 156ha (6.2%), 255 835 ha (5.3%) and 127 781ha (2.7%) respectively. Peatland has been used for settlement as amounts of 20,966 ha (0.6%). In Papua peatlands are still dominated forest (mangrove and swampy forest) and bushes as amounts of 2,98 Mha (81.5%) and 0,33 Mha (9.2%). Papua peatlands, especially on the south coast of Papua and surrounding Mamberamo river basin been used for farming, farmland (food and horticulture) and paddy field both mostly as amounts of 26 933 ha (0.7%). Tabel 2. Landuse/land cover on peatland for Sumatra, Kalimantan and Papua Islands, Indonesia Landuse/ Land cover Primary mangrove Forest Secondary mangrove forest Primary swamp forest Secondary swamp forest Forest plantation Shurbs and bushes Bushes Plantation Settlements Bare lands Mining Cloud cover Savana Water body Swampy areas Annual Agric. Crops Mixed graden (tree crops) Paddy field Fish pond Air port/sea port Transmigration GRAND TOTAL
Sumatera ha
Kalimantan %
ha
Papua
%
Grand Total
ha
%
ha
%
1,147
0.0
1,801
0.0
229,206
6.3
232,154
1.6
29,909
0.5
10,024
0.2
48,868
1.3
88,802
0.6
255,051
4.0
53,254
1.1
2,228,114
60.8
2,536,424
17.0
1,324,743
20.6
2,182,402
48.6
481,091
13.1
4,143,044
27.8
741,499
11.5
148
0.0
453
0.0
742,113
5.0
233,282
3.6
80,566
1.7
88,496
2.4
402,349
2.7
1,293,543
20.1
1,293,097
26.9
249,533
6.8
2,836,221
19.0
1,262,530
19.6
298,156
6.2
1,723
0.0
1,562,436
10.5
40,199
0.6
20,966
0.4
3,586
0.1
64,752
0.4
378,551
5.9
187,447
3.9
13,905
0.4
579,913
3.9
-
0.0
2,065
0.0
495
0.0
2,560
0.0
1,275
0.0
-
-
2,882
0.1
4,157
0.0
89,143
1.4
2
-
66,921
1.8
156,068
1.0
5,043
0.1
5,466
0.1
73,205
2.0
83,714
0.6
50.457
0.8
128,972
2.7
150,793
4.1
330,225
2.2
237,937
3.7
81,045
1.7
4,481
0.1
323,469
2.2
261,882
4.1
174,790
3.6
20,185
0.6
456,864
3.1
212,690
3.3
127,781
2.7
644
0.0
341,122
2.3
14,529
0.2
133
0.0
139
0.0
14,801
0.1
106
0.0
-
-
94
0.0
201
0.0
147,920
2,3
2,253
0.0
2,129
0.1
4,383
0.0
6,551,557
100.0
4,687,075
100.0
3,666,946
100.0
14,905,872
100.0
Sources: Peatland map (Ritung et al., 2011); landusemap (Ministry of Forestry, 2011)
3.4. Accuracy assessment of peatland map and its landuse/land cover Accuracy assessment of peatland map at scale of 1: 250,000 were evaluated to test the accuracy of peatland spatial distribution and its existing land use/landcover. In
91
Wahyunto et al.
conjuction with it, test the accuracy of peatland map was s based on class type of landuse/land cover on peatland. Focus accuracy testing performed on peatland areas with class landuse/land cover these are: forested, shurbs and bushes, plantations, annual agricultural crops, mixed garden/tree crops, and paddy fields. The accuracy or uncertainties include some errors known and unknown, variation or ambiguity in the database and decision-making rules. Dempster-Shaffer Theory (DST) is designed to cope with varying degrees of accuracy in determining the information that there are built using various assumptions. DST also take into account about the "uncertainty" of the system to respond to the information that is less clear. Each source (such as imagery, maps and field data/ground truth) is considered a proof (evidence) the existence of a fact. Confusion matrix was made to compare the class that is considered correct/right with the class the results super-imposed multiple layers of data and analysis are automatically processed in a computer (digital analysis) (Also calculated by the method of approach "discrete multivariate technique called "Kappa analysis" used in the Kappa statistic to measure the suitability/accuracy (agreement) with the reference data are considered true (Cohen, 1960; Curran 1986; Skidmore, 1999). If Kappa coefficient value is 1orclose to 1it is assumed that the level of precision/accuracy is also high between classes of data analysis results with benchmark/reference data (De Wit and Clever, 2004). The data used for reference are considered true in this assessment is the result of field observation data (ground truth). Accuracy assessment of agricultural landuse/land cover detection was performed using ground control points (GCP) of ground truth as a results of Global Positioning System (GPS) measurements during field validations at the site of field validation for each class of landuse/land cover on peatland. Two thousands four hundred and nine (2.409) site observation (ground truth) well scattered validation GCP‟s were randomly selected for validating the accuracy spatial distribution of any tipe landuse/land cover classification on peatland. Determination of overall accuracy using equation1, where the results of the classification results of spatial data processing with the approach of GIS for each class divided into two groups: the producer's accuracy and user‟s accuracy. Producer's accuracy indicate show the training site of a classis classified. While user's accuracy indicates the probability of a training site is classified into a particular class representing the existing class in the field, in other words, is the difference between class results of GIS classification and existing or actual class in the field (Lillesand et al., 2004). Besides the producer's accuracy and user's accuracy, accuracy digital spatial data classification results are also determined and declared by the Kappa Coefficient, whichit presented inequations
92
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses
1 and 2 (Jensen, 1966; Richard and Jia, 2006). Error Matrix showing percentage correspondence of validation points with Geographic Information System (GIS) analysis classified of 2011 peatland map and ground validation during 2012-2014 presented in Table 3. Table 3 shows that estimated overall accuracy for peatland map (Ritung et al., 2011) is 87,96% with Kappa Coefficient 0,68. Table 3. Error Matrix showing percentage correspondence of validation points with Geographic Information System (GIS) analysis classified of 2011 peatland map and ground validation during 2012-2013 Landuse/land cover field verification through Landuse/land cover on peat land Total total Overall AgreeNo. on peatland based 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 site Omission Accura- ment -1 on GIS analysis Rubber an.crop paddy f pineap Tree cr Oilplm Bush Setlm cconut Horti Frspltn Forest shurbs Site cy (%) (%) 1 Rubber 581 31 22 2 8 644 63 90,2 2 Annual crops 2 215 11 9 3 3 243 28 88,5 3 Paddy field 7 52 4 2 1 66 14 78,8 4 Pineapple 41 3 8 52 3 94,2 5 Bushes 11 3 1 363 42 2 2 424 61 85,6 6 Oilpalm 11 4 2 344 12 3 376 29 92,3 7 Tree crops (Fruits) 25 3 6 21 223 1 279 31 88,9 8 Settlements 2 10 86 1 99 13 86,9 9 Coconut 5 45 50 0 100,0 10 Horticulture 7 65 72 0 100,0 11 Forest plantation 8 8 0 100,0 12 Forested areas 42 42 0 100,0 13 Shurbs (Fen) 54 54 0 100,0 Total site 630 241 64 49 446 366 238 136 47 68 8 42 74 2409 242 87,9618 Total Comission (site) 24 19 12 8 78 22 15 50 2 3 0 0 0 233 Agreement-2 (%) 96,2 92,1 81,3 83,7 82,5 94,0 93,7 63,2 95,7 95,6 100,0 100,0 100,0
Note : Agreement-1 (%) = producer‟s accuracy:indicates how the training site of a classis
Classified : Agreement-2 (%) = User‟s accuracy: indicates the probability of a training site is classified into a particular class representing the actual class in the field
Overall Accuracy (%) = 581+215+52+41+363+344+223+86+45+65+8+42+54x 100% (1) 2409 = 87,96%
Kappa Coefficient
=0,68
93
Wahyunto et al.
IV. CONCLUSIONS By applying of remote sensing, GIS technogies and soil survey data up to the year 2011 as well as legacy data, we have updated the peatland map. The latest and most reliable estimate of Indonesian peatland area is about of 14.85 Mha, mainly distributed in Sumatra, Kalimantan and Papua. This is a dynamic the data, especially for the remote areas of Papua where ground truth data are scanty. This newly produced maps have been used for nationally/locally appropriate mitigation actions (RAN/RAD-GRK). This research has shown the benefits of combining soil survey and remote sensing satellite images in the GIS technique for generating and updating peatland maps. Field verification (ground truthing) has no substitute in data accuracy while the remote sensing technique increase the speed of mapping. The estimated overall accuracy of our peatland map is about 88% with Kappa coeffisient of 0,68. Ground survey for areas in Papua will increase the map accuracy.
REFERENCES Agus F., I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Agus, F., E.Runtunuwu, T. June, E.Susanti, H. Komara, H. Syahabudin, I. Las and M.van Noorwijk. 2009. Carbon budget in landuse transitions plantation. Indonesian Agricultural Research and Development Development Journal. 29(4):119-126. Center for Soil and Agroclimate Research. 2000. Indonesian Soil Exploration Maps at scale 1:1.000.000 Maps. Center For Soil and Agroclimate Research. , AARD. Bogor. Cohen,J.1960. A Coefficient of Agreement nominal scales.Educational and psychological measurement, 20 (1), 37-46. Jensen, J.R.1966. Introductory to Digital Image Processing: An Introductory Perspective (second edition). Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River. New Yersey. Kementerian Kehutanan. 2011. Penutupan Lahan di Indonesia. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Lillesand T.M. and R.W.Keifer and J. W. Chipman.2004. Remote Sensing and Image Interpretation (Fifth Edition). John Willey and Sons. New York. Center for Soil and Agroclimate Research and Development (CSARD). 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000. Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian. Bogor. Richard, J.A. and Jia, X. 2006.Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction (Fourth Edition). Springer-Verleg.Berlin.
94
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses
Kementerian Kehutanan. 2011. Penutupan Lahan di Indonesia. Kementerian Kehutanan. Jakarta. LREP-I (Land Resources Evaluation and Planning Project). 1987-1991. Maps and Explanatory Booklet of the Land Unit and Soil map. All Sheet of Sumatra. Center For Soil Research, AARD. Bogor. Regional Physical Planning Project for Transmigration (RePPPRoT). 1989. Land Unit and Land Status Maps at Scale of 1:250.000. All Sheet of Indonesia. Direktorat Bina Program Departemen Transmigrasi. Jakarta. Ritung, S., Wahyunto, Nugroho, K., Sukarman, Hikmatullah, Suparto, Tafakresnanto, C. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 (Indonesian peatland map at the scale 1:250,000). Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Bogor, Indonesia. Skidmore,A.K. 1999. Accuracy Assessment of Spatial Information. In : A.Stein F., van der Meer and B. Gorte (editors), Spatial Statistics for Remote sensing. Kluwer Academic Publisher, Netherlands, 197-209. Soil Survey Staff.1975. Key to Soil Taxonomy. United States Development of Agriculture. Cornel University, USA. Subagyo
H..2002.Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. Prosiding Lokakarya : Kajian dan sebaran gambut di Indonesia. Di Bogor 25 Oktober 2002. Wetland International Program. BogorIndonesia hal 197 -227.
Wahyunto, Suparto, B. Heryanto, ad H. Bekti. 2006. Sebaran lahan gambut, luas dan cadangan C bawah permukaan di Papua (Peatland distribution, area extent, and C stock of peat in Papua). Wetland Int‟l – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia. Wahyunto, Sofyan Ritung, Suparto dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan karbon di Sumatera dan Kalimantan. Wetland International Indonesian Programme. Jalan Ahmad Yani 53. Bogor. Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo.2004. Map of peatland distribution and its C content in Kalimantan. Wetland Int‟l – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia. Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo.2003. Map of peatland distribution and its C content in Sumatera. Wetland Int‟l – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia. Wosten, J.H.M., Ismail, A.B., and van Wijk, A.L.M.1997. Peat subsidence and its prcatical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78:25-36. Yiyi Sulaeman, Any Mulyani, Wahyunto and Muhrizal Sarwani. 2012. Mapping Soil Depth Characteristic Using Digital Soil mapping Technique to Monitor land Degradation. Presented on the Scientific Workshop on Sustainable Management to Enchance Food Production of APEC Members, Chiang mai, Taliand, 28-30 November 2012.
95
Wahyunto et al.
Curran, P.J. and Williamson, H.D. 1986. Sample size for ground and remotely sensed data. Remote Sensing Environment, 20 :31-41. De wit a.j. and Clevers JGPW. 2004. Efficiency and accuracy of per field classification for operational crop mapping. International Journal of Remote Sensing 68 (11): 1155-1161.
96
6
VARIASI TEMPORAL DAN SPASIAL TINGGI MUKA AIR TANAH GAMBUT LOKASI DEMPLOT ICCTF JABIREN, KALIMANTAN TENGAH
TEMPORAL AND SPATIAL VARIATION OF PEAT WATER TABLE AT JABIREN ICCTF DEMONSTRATION PLOT, CENTRAL KALIMANTAN Hendri Sosiawan, Budi Kartiwa, Wahyu Tri Nugroho, Haris Syahbuddin Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Jl. Tentara Pelajar No.1A, PO Box 830, Bogor 16111.
Abstrak. Sebagai ekosistem lahan rawa, keberadaan air pada lahan gambut sangat dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut sungai. Dengan demikian peranan sungai dan atau saluran pada lahan gambut yang dibudidayakan untuk pertanian menjadi sangat penting terutama untuk menjaga fluktuasi muka air lahan gambut yang optimal untuk budidaya tanaman. Demplot ICCTF di Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan lahan gambut yang dibudidayakan masyarakat untuk tanaman karet yang terletak diantara Sungai Jabiren dan saluran tersier. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fuktuasi muka air lahan gambut baik secara temporal maupun spasial. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilakukan serangkaian kegiatan meliputi: survei topografi, instalasi alat pengamatan muka air lahan dan saluran berupa piezometer dan rambu ukur, serta pengamatan elevasi muka. Survey topografi bertujuan untuk memetakan elevasi lahan, posisi dan elevasi alat pengamatan muka air lahan dan saluran, serta posisi bangunan air. Dinamika spasial elevasi muka air pada piezometer diamati melalui pengamatan secara manual, sedangkan dinamika temporal elevasi muka air pada saluran inlet dan outlet diamati secara otomatik menggunakan logger. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara temporal elevasi muka air di lahan mempunyai kecenderungan pergerakan fluktuasi muka air tanah yang relatif sama mengikuti elevasi muka air sungai dan saluran tersier. Variasi spasial elevasi muka air menunjukkan bahwa semakin jauh posisi piezometer dari saluran, elevasi muka air tanah semakin tinggi. Hidrotopografi lahan menunjukkan bahwa pola elevasi muka air tanah membentuk pola seperti kubah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lahan gambut demplot penelitian ICCTF Jabiren yang mulai dibudidayakan untuk tanaman karet pada tahun 2006 belum mengalami pengamblesan (subsidence) yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan juga bahwa dinamika temporal elevasi muka air pada lahan sangat dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi muka air saluran inlet, dan tidak dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi muka air saluran outlet. Untuk mempertahankan kedalaman air tanah pada kisaran optimal maka pintu air pada saluran tersier harus difungsikan dengan baik sehingga ketinggian muka air di saluran tersier tidak fluktuatif. Demikian juga untuk saluran sekunder yang saat ini berfungsi juga sebagai sarana transportasi diupayakan dipasang pintu tabat di bagian hilir terutama pada malam hari sehingga durasi tinggi muka air optimal pada saluran akan
97
Hendri Sosiawan et al.
bertahan lebih lama dan pada akhirnya berpengaruh positif pada muka air di lahan. Kata kunci: Variasi temporal dan spasial, elevasi muka air tanah, lahan gambut. Abstract. As the swamp ecosystem, the presence of water in the peat is strongly influenced by the characteristic of rain and river tide. Thus the role of rivers and canals in cultivated peatlands is especially important to maintain the optimal water level fluctuations for crops. Demplot ICCTF in Jabiren, Pulang Pisau District, Central Kalimantan peat land was cultivated for rubber plant community, located beetwen the river Jabiren (secondary canal) and tertiary canal. The objective is to determine the peatland water level fluctuations both temporally and spatially. To achieve this objective, these activities have been implemented i.e: topographic survey, installation of piezometer and staff gauge, and water level observation. Topographic survey has been carried out to map land elevation, position and elevation of water level observation device and water infrastucture. Observation of the spatial dynamics of ground water level was done manually, and the temporal dynamic of water level in canal inlet and outlet observed automatically using loggers. Results shows that the ground water level fluctuations have a simillar tendency with water level of the river and tertiary canal. Spatial variation of ground water level elevation showsthat the highest ground water level was the farthermost of piezometer from the canal or river. Hydrotopograpy land shows that the pattern of ground water level pattern like a dome. This indicates that the peatland of Jabiren ICCTF research demonstration plot that began to be cultivated for rubber plant in 2006 has not experienced subsidence significantly. Result shows also that temporal fluctuation of ground water level was strongly influenced by pattern fluctuation of water level ofsecondary canal inlet but it was not influenced by secondary canal outlet. The tertiary canals flapegates must be funtioned well in orer to maintain the optimal depth of ground water as water level does not fluctuate. The secondary channel as serves as a transport services must be temporary installed by flapegate at downstream so that the duration of the water level in the channel will last longer and ultimately affect positive on the water level in the cultivated land. Key words: Temporal and spatial variations, ground water surface elevation, peatland
PENDAHULUAN Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 14,9 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal
98
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut
pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut. Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008). Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Selain kesuburan tanah yang rendah, tingkat kemasaman tanah yang tinggi dan sifat gambut yang mengering tidak balik(irreversible) permasalahan lahan gambut yang sangat penting adalah drainase yang buruk, sehingga pengelolaan air terutama untuk menjaga fluktuasi muka air tanah menjadi sangat penting dilakukan pada lahan gambut apabila digunakan untuk pertanian. MenurutGrayson et al. 2010; Faubert et al. 2010 dalam Runtunuwu 2013, ada tidaknya tanaman pada lahan menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap respon tinggi muka air terhadap hujan. Sebagai salah satu jenis lahan rawa, keberadaan air di lahan gambut sangat dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut/luapan air sungai. Tingkah laku dari keduanya akan berpengaruh terhadap tinggi dan lama genangan air di lahan gambut dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan lahan serta pola budidaya tanaman yang akan diterapkan di atasnya. Menurut Widjaja Adhi et al, pengelolaan air di lahan gambut lebih sulit dilakukan, karena gambut memiliki konduktivitas hidrolik horizontal tinggi. Namun demikian pengelolaan air harus tetap dilakukan manakala lahan gambut tersebut digunakan sebagai lahan budidaya. Prinsip pengelolaan air di lahan gambut adalah mengatur permukaan air tanah agar tanah tidak terlalu jenuh air dan tidak terlalu kering untuk menghindari gambut mengering tidak balik. Berkaitan dengan hal tersebut fluktuasi tinggi muka air pada lahan gambut perlu tetap dipertahankan secara optimal disesuaikan dengan jenis tanaman yang
99
Hendri Sosiawan et al.
dibudidayakan. Secara umum tinggi muka air pada lahan gambut sebaiknya untuk budidaya tanaman pangan kecuali padi adalah berkisar 20 cm, sedangkan untuk tanaman tahunan berkisar 40 - 60 cm dari permukaan tanah. Dengan menerapkan teknologi pengelolaan air yang tepat terutama untuk menjaga fluktuasi tinggi muka air tanah yang optimal maka dampak negatif pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dapat direduksi seminimal mungkin. Tulisan ini membahas dinamika tinggi muka air lahan gambut ditinjau dari keragaman antar tempat (spasial) dan keragaman antar waktu (temporal) pada demplot penelitian ICCTF lokasi Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai Januari 2013 sampai dengan Mei2014pada demplot ICCTF Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Lokasi tersebut dipilih sebagai demplot penelitian karena merupakan representasi lahan gambut dalam dengan tingkat kematangan hemik - saprik yang dibudidayakan untuk tanaman tahunan. Tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah karet. Bahan dan Peralatan Data yang digunakan sebagai bahan analisis diperoleh dari data pengamatan tinggi muka air tanah periode bulan Juni – Desember 2013 yang merepresentasikan kondisi tinggi muka air tanah musim kemarau dan musim hujan. Bahan yang digunakan meliputi : data iklim, data tinggi muka air saluran dan lahan, data topografi, data citra satelit, Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000. Peralatan yang digunakan adalah Total Station (TS) untuk pemetaan topografi lahan gambut terutama elevasi titik lokasi instalasi piezometer, inlet, outlet, dan referensi lainya;GlobalPosition System (GPS) Geodetik untuk memetakan posisi geografis dan beda tinggi secara global lokasi demplot dan sungai utama disekitar lokasi yang mempengaruhi fluktuasi muka air tanah pada lahan gambut demplot penelitian; Water Level Logger untuk mengukur dan mencatat secara otomatis fluktuasi muka air tanah antara lahan, inlet dan outlet secara berkala (6 menitan); Piezometer untuk mengamati fluktuasi muka air tanah yang diinstal membentuk pola 8 penjuru mata angin, pada poros utama yang menghubungkan antara 2 saluaran tersier atau kuarter; Rambu ukur (staff gauge) digunakan untuk mengukur flukstuasi tinggi muka air di sungai dan atau
100
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut
parit/saluran inlet dan outlet dan GPS Navigasi untuk menentukan posisi geografis beberapa titik referensi yang diperlukan. Survei Topografi Survei topografi dilakukan untuk memetakan kontur/beda tinggi lahan dan mengidentifikasi elevasi titik referensi yang diperlukan yaitu elevasi inlet saluran/parit dan atau sungai, elevasi pintu air yang dinstal, elevasi rambu ukur, elevasi lahan, elevasi piezometer, serta elevasi titik outlet saluran/parit. Untuk mendukung kegiatan tersebut digunakan Total stationdan GPS Geodetik (Gambar 1).
Gambar 1. Pemetaan kontur lahan menggunakan Total Station dan GPS Geodetik Pengamatan Dinamika Elevasi Muka Air Pengamatan dinamika elevasi muka air antara lahan, titik inlet, titik oulet dan lokasi lain yang mempengaruhi pergerakan muka air dilakukan dengan pemasangan piezo meter dan rambu ukur yang diamati secara periodik dengan penyebaran mengikuti desain pengamatan dinamika elevasi muka air yang mencerminkan karakteristik hidrologi dan kondisi tata air mikro lahan setiap petak percobaan (Gambar 2). Pada petak percobaan seluas 5 ha, dipasang sebanyak 28 piezometer terdiri dari 20 piezometer yang dipasang membentuk pola 8 penjuru mata angin serta 8 piezometer dipasang pada setiap petak perlakuan yang belum terwakili oleh 20 piezometer yang membentuk pola 8 penjuru mata angin tersebut. Untuk piezometer yang membentuk pola 8 penjuru mata angin, pada poros utama yang menghubungkan antara 2 saluaran tersier atau kuarter, terpasang 10 titik piezometer dengan jarak antar piezometer sekitar 30 m. Dari titik pusat jalur utama tersebut, dipasang masing-masing 2 piezometer untuk setiap jalur yang membentuk sudut 45 derajat.
101
Hendri Sosiawan et al.
Sungai/Saluran Primer/Sekunder WATER LEVEL LOGGER
Rambu Ukur
INLET
Piezometer (Pola Mata Angin) OUTLET
Piezometer (Tambahan) Batas Petak Perlakuan
Gambar 2. Desain titik pengamatan dinamika elevasi muka air petak percobaan Untuk memantau elevasi muka air di saluran digunakan rambu ukur (staff gauge)yang dipasang pada tiang penyangga secara permanen pada beberapa titik pengamatan. Sedangkan elevasi muka air lahan diidentifikasi berdasarkan pengukuran kedalaman muka air pada piezometer dari titik permukaan tanah yang memiliki informasi elevasi. Setiap rambu ukur yang terpasang mengacu pada ketinggian referensi yang sama. Sistem pemantau elevasi muka air tersebut merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan seri data elevasi muka air pada beberapa titik pengamatan baik di lahan yang terukur pada piezometer maupun elevasi muka air di saluran. Data rekaman elevasi muka air dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam merancang model pengelolaan air lahan gambut. Untuk memperoleh gambaran dinamika temporal elevasi muka air dengan interval waktu yang pendek (6-60 menit), telah dilakukan pemasangan sistem pemantau otomatis menggunakan water level loggert ipe Hobo U20-001-04 yang dipasang pada inlet dan outlet saluran serta pada satu piezometer pewakil di lahan (Gambar 3).
102
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut
Gambar 3. Water level logger tipe Hobo U20-001-04 Kondisi dinamika elevasi muka air yang mencerminkan kondisi hidrologi lokasi penelitian diamati dalam interval waktu pengamatan yang berbeda. Dinamika elevasi muka air secara temporal pada lahan (1 piezometer pewakil) dan saluran/parit (inlet dan outlet) diamati berdasarkan pemantauan water level logger dengan interval pengamatan jam-jaman, sedangkan dinamika spasial kondisi hidrotopografi lahan diamati secara manual melalui pengukuran elevasi muka air seluruh piezometer dengan interval pengamatan 1 bulanan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Hidrologi Sebagai ekosistem lahan rawa, keberadaan air pada lahan gambut sangat dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut/luapan air sungai. Karakteristik hidrologis DAS yang menjadi sumber pemasok debit pada lahan penelitian sangat mempengaruhi karakterisitik fluktuasi elevasi muka air saluran dan elevasi muka air lahan. Secara ideal data pengamatan tersebut diperoleh dari seri data pengamatan harian
103
Hendri Sosiawan et al.
pada beberapa tahun terutama yang menggambarkan fluktuasi harian sungai yang mempengaruhi fluktuasi tinggi muka air lahan lokasi demplot. Namun demikian karena keterbatasan data, gambaran fluktuasi harian debit sungai dapat menggunakan aplikasi model. Wösten et al., (2008) dalam Runtunuwu, 2013 menggunakan pendekatan pemodelan hydropedological untuk mengetahui dinamika tinggi muka air di lahan gambut yang masih relatif utuh maupun yang telah terdegradasi dengan studi kasus di Kalimantan Tengah. Informasi tersebut digunakan untuk memprediksi wilayah rawan banjir dan kebakaran. Gambaran fluktuasi harian debit sungai yang yang mempengaruhi fluktuasi tinggi muka air lahan gambut di lokasi demplot diilustrasikan berdasarkan hasil simulasi debit bulanan GR2M (Genie’ Rural a deux Parametre Mensuel) yang dikembangkan oleh Perrin, C. et al., 2003. Gambar 4 mengilustrasikan debit bulanan pada outlet DAS lokasi demplotJabiren berdasarkan aplikasi model debit bulanan GR2M. Data hujan sebagai input model diperoleh berdasarkan analisis data curah hujan bulanan Stasiun Mantaren periode 1978-1996. Gambar 4 menunjukkan bahwa debit sungai di lokasi demplot penelitian sangat dipengaruhi oleh kejadian hujan pada periode yang bersamaan, hal ini terlihat pada saat kejadian hujan yang terakumulasi pada bulan Maret menyebabkan sungai di lokasi Jabiren mencapai debit tertinggi sebesar 227.6 mm, atau setara dengan rata-rata debit sebesar 2.54 m3/s, sedangkan debit terendah terjadi di bulan September yaitu sebesar 71.86 mm atau setara dengan rata-rata debit sebesar 0.83 m3/s dimana akumulasi hujan pada bulan Agustus sampai pertengahan September curah hujan terendah dalam tahun tersebut.
DEBIT BULANAN DAS LOKASI DEMPLOT JABIREN KALTENG 0
100
600
200 300
500
Curah Hujan
Debit Simulasi
400 400
500
300
600 700
200
800 100
Curah Hujan (mm/bulan)
Debit (mm/bulan)
700
900
December
November
October
September
Bulan
August
July
June
May
April
March
February
1000
January
0
Gambar 4. Simulasi debit bulanan DAS Pemasok debit masuk demplot Jabiren, Kalimantan Tengah
104
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut
Untuk mendapatkan data fluktuasi tinggi muka air di lokasi Jabiren telah dilakukan pemasangan piezometer sejumlah 47 buah dan 2 rambu ukur di beberapa saluran. Variasi elevasi titik piezometer Hasil rekam jejak pemetaan elevasi, titik pemasangan pizometer dan rambu ukur di setiap demplot disajikan pada Gambar 5.
Gambar5. Peta pengamatan hidrologi demplot Jabiren, Kalimantan Tengah
Variasi Temporal Elevasi Muka Air Lahan dan Saluran Dinamika elevasi muka air tanah, di lokasi Jabiren, Pulang Pisau diperoleh dari data 47 piezometer yang diinstal dalam 5 baris dengan jarak antar titik pengamatan sekitar 50 m. Gambar 6 menunjukkan fluktuasi elevasi muka air tanah yang sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan di lokasi penelitian yang ditunjukkan oleh kecenderungan yang sama dari 47 titik pengamatan yang tersebar di lokasi penelitian.
105
Hendri Sosiawan et al.
Gambar1. Variasi elevasi muka air lahan periode Agustus- Desember 2013 pada petak percobaan Jabiren, Kalimantan Tengah
Gambar 7. Variasi elevasi muka air lahan periode Januari - Mei 2014 pada petak percobaan Jabiren, Kalimantan Tengah Gambar 6 dan7 menunjukkan fluktuasi elevasi muka air tanah antar tempat dan antar waktu yang merepresentasikan semua titik pengamatan yang ada di lokasi demplot Jabiren. Pola yang ditunjukkan oleh grafik tersebut mempunyai kecenderungan pergerakan fluktuasi muka air tanah yang relatif sama. Pada awal instalasi muka air tanah pada ketiga titik tersebut pada posisi elevasi tertinggi dan menurun sampai pertengahan bulan Oktober. Pergerakan muka air tanah tersebut naik kembali sampai puncaknya pada awal Desember dan berfluktuasi dengan gradien yang relatif konstan sampai dengan akhir
106
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut
bulan Januari. Siklus fluktuasi muka air tanah tersebut terulang kembali pada bulan Februari sampai akhir Mei 2014. Berdasarkan data piezometer no. 4 pada gambar 8 yang merupakan representasibagian tengah, pada awal pengamatan elevasi air lahan pada posisi 9,32 m kemudian naik pada tanggal 1 September dan 9 September masing masing menjadi 9,81 m dan10,00 m, kemudian turun pada ketinggian 9,20 m pada tanggal 30 September dan mencapai elevasi muka air tanahterendah pada tanggal 28 Oktober yaitu pada 8,92 m.Apabila dihubungkan dengan data curah harian, kenaikan muka air yang terjadi pada periode 1 dan 9 September 2013 kemungkinan besar dipengaruhi oleh air pasang dan tidak dipengaruhi oleh curah hujan, karena data hujan menunjukkan bahwa pada periode 1 Agustus-9 September sebesar 58 cm yang tidak akan mampu berkonstribusi menaikan tinggi muka air saluran dan lahan di lokasi penelitian. Pengamatan yang dilakukan pada periode Januari – Mei 2014 menunjukkan bahwa tinggi muka air tanah pada lahan yang diwakili oleh piezometer 4 cenderung naik sampai pada level 9,43 m. Piezometer 12 yang berada di daerah Hilir mempunyai elevasi muka air tanah lebih tinggi dibandingkan elevasi muka air yang ada di tengah lahan yaitu berkisar 9,16 m yaitu pada tanggal 28 Oktober sampai 9,67 m pada tanggal 18 Nopember. Piezometer 47 sebagai representasi pencatat tinggi muka air tanah Hulu mempunyai elevasi muka air tanah yang paling tinggi dibandingkan dengan kondisi muka air tanah di lahan maupun di bagian hilir dengan variase elevasi muka air tanah berkisar 10 m pada pengamatan tanggal 9 September dan pada posisi terendah pada tanggal 28 Oktober dan berada pada level 9,24 m. Tingginya elevasi muka air tanah di bagian hulu tersebut lebih disebabkan oleh pengaruh proses pasang dan surut tidak mencapai bagian hulu. Kondisi pergerakan elevasi muka air tanah antar waktu tersebut lebih dipengaruhi oleh pasokan air dari hujan yang jatuh pada rentang waktu antara minggu kedua bulan Oktober sampai dengan awal Nopember yaitu sebesar 97,6 mm yang mampu menaikan elevasi muka air di lahan baik di bagian hulu, tengah dan hilir. Hujan selanjutnya yang terjadi selama bulan Nopember - Desember 2013 dan periode Januari – Mei 2014 mampu menjaga kestabilan elevasi muka air di lahan sehingga fluktuasinya tidak terlalu tajam. Distribusi hujan harian periode bulan Juli 2013- Mei 2014 dari stasiun hujan Pahandut, Palangkaraya disajikan pada Gambar 8.
107
Hendri Sosiawan et al.
Gambar 8. Variasi elevasi muka air tanah bagian hilir, tengah dan hulu di demplot ICCTF Jabiren, Kalimantan Tengah
Gambar 9. Distribusi huja nharian periode Juli 2013 – Mei 2014 dari stasiun hujan Pahandut, Palangkaraya Variasi Spasial Elevasi Muka Air Lahan dan Saluran Transek elevasi muka air tanah yang merepresentasikan posisi antara saluran sekunder, penyebaran di lahan dan saluran tersier menunjukkan bahwa semakin jauh posisi piezometer dari saluran, elevasi muka air tanah semakin tinggi (Gambar10). Berdasarkan data pengamatan antara 9 September dan 28 Oktober menunjukkan penurunan muka air yang terjadi pada saluran sekunder (PS) cukup besar yaitu 120 cm. Kondisi tersebut disebabkan saluran sekunder pada demplot ICCTF Jabiren selain salurannya sangat dalam dengan gradien cukup tinggi juga berfungsi sebagai sarana transportasi sehingga tidak memungkinkan dipasang pintu air sehingga pergerakan air
108
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut
sangat cepat yang menyebabkan penurunan muka air relatif cepat mengikuti pola fluktuasi aliran bebas yang sangat berhubungan erat dengan pola fluktuasi curah hujan. Sedangkan sensitivitas perubahan tinggi muka air saluran tersier dan lahan sangat rendah karena selain kedalaman salurannya relatif dangkal tetapi juga tersekat oleh pintu tabat yang memisahkannya dengan saluran sekunder, sehingga laju fluktuasi muka airnya hanya mengikuti pergerakan air kedalam tanah secara vertikal dan lateral (infiltrasi dan perkolasi) yang relatif lambat. Pengukuran elevasi muka air pada dua periode tersebut menurunkan elevasi muka air sebesar 53 cm.
Gambar 10. Transek elevasi muka air antar saluran Penurunan elevasi muka air pada saluran sekunder sebesar 120 cm pada dua periode pengamatan berpengaruh nyata terhadap elevasi muka air yang ada di lahan terutama pada piezometer yang mempunyai posisi paling dekat dengan saluransekunder(P1) yaitu sebesar 84 cm, sedangkan pada piezometer yang berada ditengah lahan (P4 dan P5) penurunannya sebesar 72 cm. Penurunan elevasi muka air yang terjadi pada saluran tersier (PS) pada dua periode tersebut sebesar 53 cm. Gambar 11 menunjukkan bahwa kecenderungan fluktuasi elevasi muka air tanah pada transek piezometer dan saluran secara temporal (Agustus 2013 – Mei 2014) membentuk pola yang seragam mengikuti fluktuasi elevasi muka air saluran sekunder. Oleh karena elevasi muka air saluran tersier selama periode pengamatan tersebut selalu lebih tinggi dari elevasi muka air saluran sekunder, akibatnya air akan bergerak keluar dan berpotensi menurunkan elevasi air lahan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran pengelolaan elevasi muka air pada saluran tersier sangat penting dalam merencanakan pengelolaan air di blok tersier .
109
Hendri Sosiawan et al.
Gambar 11. Variasi temporal elevasi muka air tanah saluran-lahan di demplot ICCTF Jabiren, Kalimantan Tengah Kedalaman air tanah pada 3 periode waktu pengamatan yang berbeda menunjukkan bahwa ketika puncak musim kemarau yang diwakili oleh data pengamatan tanggal September pada posisi lebih dalam dari 100 cm melebihi jangkauan perakaran tanaman karet yang optimal pada kisaran 50-60 cm. Pengamatan yang sama pada puncak musim hujan (November) posisi kedalaman air tanah di lahan rata-rata kurang dari 60 cm, sedangkan pada bulan Mei yang mempresentasikan akhir musim hujan kedalaman air tanah berkisar 65-80 cm (Tabel 1). Untuk mempertahankan kedalaman air tanah pada kisaran optimal maka pintu air pada saluran tersier yang berfungsi sebagai canal blocking harus difungsikan secara optimal sehingga ketinggian muka air di saluran tersier tidak fluktuatif dan muka air tanah tetap stabil pada kisaran yang dikehendaki. Demikian juga untuk saluran sekunder yang berfungsi juga sebagai saran transportasi diupayakan dipasang pintu tabat di bagian hilir terutama pada malam hari dimana lalu lintas penggunaan saluran sekunder hampir tidak ada, sehingga durasi tinggi muka air optimal pada saluran akan bertahan lebih lama dan pada akhirnya berpengaruh positif pada muka air di lahan. Menurut Agus dan Subiksa, 2008 tanaman tahunan memerlukan saluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda. Tanaman sagu dan nipah tidak memerlukan drainase, tetapi tetap memerlukan sirkulasi air seperti halnya tanaman padi. tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sedalam 20-40 cm, tanaman kelapa dan kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-70 cm. Kondisi tersebut sangat efektif dalam menjaga kestabilan air di lahan, sehingga laju proses dekomposisi dan pemadatan tanah dapat dikurangi yang pada akhirya dapat mengurangi laju pengamblesan lahan( land subsidence).
110
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut
Tabel 1. Kedalaman air tanah di lahan pada periode pengamatan puncak musim kemarau, periode musim hujan dan pucak musim hujan Kedalaman air tanah di lahan (centi meter)
Piezometer September
November
Februari
Mei
P1
143.00
72.00
86.00
86.68
P2
117.00
53.00
65.00
72.00
P3
122.00
59.00
73.00
80.00
P4
110.50
50.00
62.00
68.00
P5
116.00
54.00
65.50
72.00
P6
109.50
49.00
61.00
66.50
P7
113.00
54.00
65.00
71.50
P8
123.00
66.00
78.50
85.00
Hidrotopografi Hidrotopografi lahan adalah perbandingan relatif antara elevasi lahan dengan elevasi muka air sungai atau saluran di sekitarnya. Suryadi, 1996 dalam Ngudiantoro, 2010 menggunakan hidrotopografi lahan sebagai pertimbangan awal dalam menyusun perencanaan pengelolaan air pada lahan pasang surut. Hidrotopografi lahan gambut demplot penelitian ICCTF Jabiren direpresentasikan oleh pola sebaran spasial elevasi muka air lahan yang diolah dari data hasil pengamatan pada 47 piezometer yang terpasang di lokasi Jabiren, Kalimantan Tengah periode 30 September 2013 yang mewakili puncak musim kemarau dan 18 Nopember yang mewakili musim hujan.Berdasarkan pengamatan pola hidrotopografi pada tiga periode yang berbeda, yaitu periode yang dapat merepresentasikan pertengahan musim kemarau, akhir musim kemarau dan awal musim hujan, teridentifikasi bahwa kondisi terkering (akhir musim kemarau) menunjukkan pola hidrotopografi relatif lebih seragam, tidak banyak terdapat titik-titik pusat kedalaman seperti yang terjadi selama periode awal musim kemarau dan awal musim hujan. Pada kondisi terkering, kedalaman air tanah rata-rata dibawah 100 cm. Pada pengamatan transek piezometer arah Timur Laut – Barat Daya yang diwakili oleh piezo meter 1 sampai 8 menunjukkan bawa pola elevasi muka air tanah membentuk pola seperti kubah (dome), walaupun jarak antara saluran sekunder dengan saluran tersier hanya 306,2 m. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lahan gambut demplot penelitian ICCTF Jabiren yang mulai dibudidayakan untuk tanaman karet pada tahun 2006 belum mengalami pengamblesan (subsidence) yang signifikan, artinya saluran yang ada dari aspek dimensi jarak masih mampu menjaga kestabilan muka air di lahan. Menurut
111
Hendri Sosiawan et al.
Novriani dan Abdul Madjid, 2010 lahan gambut yang belum mengalami pengamblesan mempunyai bentuk seperti kubah yang mengindikasikan kondisi yang tergenang atau jenuh seperti kondisi alamiahnya.
Gambar 12. Hidrotopografi periode 30 September (kiri) dan periode 18 Nopember (kanan) transek TimurLaut –Barat Daya Lokasi Demplot ICCTF Jabiren Kalimantan Tengah Hidrotopografi yang mengilustrasikan penyebaran elevasi muka air pada musim hujan menunjukkan bahwa pasokan air hujan yang terjadi pada periode 30 Oktober – 17 Nopember sebesar 244 memberkonstribusi dalam menaikkan elevasi muka air baik di saluran dan lahan. Warna kuning pada Gambar 11 menunjukkan elevasi muka air lahan yang lebih tinggi dari warna hijau tua, hijau muda dan biru. Apabila dibandingkan antara musim hujan dengan musim kemarau penurunan elevasi muka air di lahan rata-rata mencapai 34 cm. Pola hidrotopografi pada dua musim yang berbeda menunjukkan trend penurunan elevasi muka air dari arah Barat menuju Timur, yang mengindikasikan arah yang sama dengan arah aliran pada saluran sekunder. Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa elevasi muka air pada saluran sekunder dan tersier harus tetap dipertahankan pada posisi yang optimal sehingga elevasi muka air di lahan menjadi lebih konstan. Interaksi Elevasi Muka Air pada Saluran Inlet, Lahan dan Saluran Outlet Gambar 13 menyajikan data fluktuasi elevasi tinggi muka air pada saluran inlet, lahan dan saluran outlet hasil pengamatan water level logger dengan interval pengamatan 15 menitan selama periode 4-5 Oktober 2013. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fluktuasi elevasi muka air pada saluran inlet relatif memiliki pola yang sama dengan fluktuasi elevasi muka air lahan.
112
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut
Pola yang berbeda terjadi pada pengamatan elevasi muka air pada saluran outlet. Elevasi muka air saluran outlet sangat dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Kahayan, yang menunjukkan pola sinusoidal yang kerap dengan amplitudo pasang surut yang sangat jelas. Gambar 13 menunjukan bahwa amplitudo perbedaan elevasi minimum dan maksimum yang terjadi pada pengamatan elevasi muka air saluran inlet dan lahan hanya beberapa centimeter sedangkan pada pengamatan fluktuasi elevasi muka air pada saluran outlet menunjukkan nilai perbedaan beberapa puluh centimeter hingga mendekati 1 meter. Hasil ini menegaskan bahwa dinamika elevasi muka air pada lahan sangat dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi muka air saluran inlet.
FLUKTUASI ELEVASI MUKA AIR SALURAN INLET, LAHAN DAN SALURAN OUTLET INTERVAL PENGAMATAN 15 MENITAN, PERIODE 4-5 OKTOBER 2013 8.90
Inlet
Lahan
Outlet
8.70
ELEVASI MUKA AIR (m)
8.50
8.30
8.10
7.90
7.70
10/3/2013 21:07 10/3/2013 22:04 10/3/2013 23:02 10/4/2013 0:00 10/4/2013 0:57 10/4/2013 1:55 10/4/2013 2:52 10/4/2013 3:50 10/4/2013 4:48 10/4/2013 5:45 10/4/2013 6:43 10/4/2013 7:40 10/4/2013 8:38 10/4/2013 9:36 10/4/2013 10:33 10/4/2013 11:31 10/4/2013 12:28 10/4/2013 13:26 10/4/2013 14:24 10/4/2013 15:21 10/4/2013 16:19 10/4/2013 17:16 10/4/2013 18:14 10/4/2013 19:12 10/4/2013 20:09 10/4/2013 21:07 10/4/2013 22:04 10/4/2013 23:02 10/5/2013 0:00 10/5/2013 0:57 10/5/2013 1:55 10/5/2013 2:52 10/5/2013 3:50 10/5/2013 4:48 10/5/2013 5:45 10/5/2013 6:43 10/5/2013 7:40 10/5/2013 8:38 10/5/2013 9:36 10/5/2013 10:33 10/5/2013 11:31 10/5/2013 12:28 10/5/2013 13:26 10/5/2013 14:24 10/5/2013 15:21 10/5/2013 16:19 10/5/2013 17:16 10/5/2013 18:14 10/5/2013 19:12 10/5/2013 20:09 10/5/2013 21:07 10/5/2013 22:04 10/5/2013 23:02 10/6/2013 0:00 10/6/2013 0:57 10/6/2013 1:55 10/6/2013 2:52
7.50
WAKTU
Gambar 13. Fluktuasi elevasi muka air saluran inlet, lahan dan saluran outlet petak percobaan Jabiren, interval pengamatan 15 menitan periode 4-5 Oktober 2013
KESIMPULAN 1. Debit sungai di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh kejadian hujan pada periode yang bersamaan. Kejadian puncak hujan pada bulan Maret menyebabkan debit sungai mencapai debit tertinggi sebesar 2.54 m3/s, sedangkan debit terendah terjadi pada bulan September yaitu sebesar 0.83 m3/s. 2. Variasi temporal elevasi muka air di lahan yang direpresentasikan oleh semua piezometer mempunyai kecenderungan pergerakan fluktuasi muka air tanah yang relatif sama mengikuti elevasi muka air sungai dan saluran tersier. 3. Variasi spasial elevasi muka air menunjukkan bahwa semakin jauh posisi piezometer dari saluran, elevasi muka air tanah semakin tinggi. Penurunan elevasi muka air pada
113
Hendri Sosiawan et al.
saluran sekunder sebesar 120 cm pada dua periode pengamatan berpengaruh nyata terhadap elevasi muka air yang ada di lahan terutama pada piezometer yang mempunyai posisi paling dekat dengan saluran sekunder. 4. Hidrotopografi lahan menunjukkan bahwa pola elevasi muka air tanah membentuk pola seperti kubah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lahan gambut demplot penelitian ICCTF Jabiren yang mulai dibudidayakan untuk tanaman karet pada tahun 2006 belum mengalami pengamblesan (subsidence) yang signifikan. 5. Dinamika temporal elevasi muka air pada lahan sangat dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi muka air saluran inlet, dan tidak dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi muka air saluran outlet. 6. Untuk mempertahankan kedalaman air tanah pada kisaran optimal maka pintu air pada saluran tersier yang berfungsi sebagai canal blocking harus difungsikan secara optimal sehingga ketinggian muka air di saluran tersier tidak fluktuatif dan muka air tanah tetap stabil pada kisaran yang dikehendaki. 7. Saluran sekunder yang berfungsi juga sebagai saran transportasi diupayakan dipasang pintu tabat di bagian hilir terutama pada malam hari dimana lalu lintas penggunaan saluran sekunder hampir tidak ada, sehingga durasi tinggi muka air optimal pada saluran akan bertahan lebih lama dan pada akhirnya berpengaruh positif pada muka air di lahan. Kondisi tersebut sangat efektif dalam menjaga kestabilan air di lahan, sehingga laju proses dekomposisi dan pemadatan tanah dapat dikurangi yang pada akhirya dapat mengurangi laju pengamblesan lahan (land subsidence).
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAFT) Bogor, Indonesia. Llamas, J., 1993. Hydrologie Generale – Principes et Application. Gaetan Morin Editeur. Boucherville. Quebec. Canada. 527p. Ngudiantoro, 2010. Pemodelan Fluktuasi Muka Air Tanah Pada Lahan Pasang Surut Tipe C/D: Kasus di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sains. Volume 13 No. 3 A. 13303. FMIPA. Universitas Sriwijaya. Novriani dan Abdul Majid, 2010. Makalah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Perrin, C., Michel, C., Andréassian, V., 2003. Improvement of a parsimonious model for streamflow simulation. Journal of Hydrology 279(1-4), 275-289.
114
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut
Runtunuwu, E. Et al., 2013.Pengembangan Sistem Pemantauan Elevasi Muka Air Lahan Gambut untuk Pertanian di Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Tanah dan Iklim. Vol 37. No.2 Strahler A. N., 1952. Hypsometric analysis of erosional topography.Bull. Geol. Soc. Am., 63, 117-142 Verstappen, H.Th., 1983, Applied Geomorphology – Geomorphological Surveys for Environmental Development, Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam. Widjaya-Adhi et.al., 2000. Pengelolaan, pemanfaatan, danpengembangan lahan rawa. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 127-164. Wetlands International-Indonesia Programme, 2005. Sistem Pengelolaan tata air di lahan gambut untuk mendukung budidaya pertanian. www.wetlands.or.id/PDF/Flyers Agri03.pdf
115
7
RESPON TANAMAN TUMPANGSARI (KELAPA SAWIT+NENAS) TERHADAP AMELIORASI DAN PEMUPUKAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI
THE RESPONSES OF INTERCROPPING PLANT (PALM + PINEAPPLE) TO AMELIORATION AND FERTILIZATION ON DEGRADED PEATLANDS Masganti1, I G.M. Subiksa2, Nurhayati1, Winda Syafitri1 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210. 2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.
Abstrak. Produktivitas kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut masih tergolong rendah antaranya karena tingkat kesuburan tanah yang rendah, sehingga perlu dilakukan ameliorasi dan pemupukan. Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, Riau. Penelitian bertujuan untuk menentukan pengaruh jenis amelioran terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tumpangsari kelapa sawit + nenas di lahan gambut terdegradasi. Perlakuan yang diuji meliputi (a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi dengan pupuk gambut, (c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit, dan (d) ameliorasi dengan pupuk kandang. Perlakuan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan kelapa sawit meliputi pertambahan jumlah pelepah daun dan panjang daun, pertumbuhan nenas meliputi pertambahan daun dan panjang daun yang diukur setiap 2 (dua) minggu, dan produksi kelapa sawit dan nenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi berpengaruh terhadap pertambahan jumlah pelepah daun dan lebar daun kelapa sawit, pertambahan jumlah daun dan lebar daun nenas, dan produksi nenas, tetapi tidak berpengaruh terhadap produksi sawit yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi. Produksi kelapa sawit tertinggi dihasilkan oleh perlakuan amelioran Tankos (20.057 kg/ha/tahun), sedang produksi nenas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan amelioran Pugam (11 buah/ha). Kata kunci : Tumpangsari, sawit + nenas, ameliorasi, pemupukan, lahan gambut Abstract. The productivity of palm oil on peatlands are relatively low due to low soil fertility, so it needs to be done amelioration and fertilization. The experiment was conducted in Lubuk Ogong village, Langgam Subdistric, Pelalawan District, Riau Province. The treatments included (a) fertilization according to the farmers, (b) amelioration by Pugam, (c) amelioration by empty fruit bunches of oil palm, and (d) amelioration by manure. The treatments were arranged in a randomized block design with four replications. The observations were made on the growth of oil palm comprise number of leaves midrib and canopy width, and growth of
117
Masganti et al.
pineapple i.e : number of leaves, and leaf length which were measured every two weeks, and production of oil palm and pineapple. The results showed that amelioration affect the increasing of leaves midrib and leaf canopy width of oil palm, the increase of the leaves number and leaf length of pineapple, and pineapple production, but there was no effect on the production of oil palms which are cultivated on the degraded peatlands. The highest production of oil palm were produced by amelioration treatment with empty fruit bunches of oil palm (20.057 kg /ha/year), while the highest pineapple production were produced by amelioration treatment with Pugam (11 units/ha). Keywords: Intercropping, oil palm + pineapple, amelioration, fertilization, peatland
PENDAHULUAN Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi dengan luas tanaman kelapa sawit yang terluas di Indonesia. Dari sekitar 7,71 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia, diperkirakan 24,55% atau 1,9 juta hektar terdapat di provinsi ini. Dari total luas perkebunan kelapa sawit, sekitar 1,54 juta hektar atau 20% dibudidayakan di lahan gambut (Indonesian Climate Change Trust Fund, 2012 dalam Wahyunto et al., 2013). Sedangkan di Riau, tanaman sawit yang dibudidayakan di lahan gambut mencapai 788.491 ha atau sekitar 41,5% areal pertanaman. Di Provinsi Riau, kelapa sawit merupakan komoditas unggulan. Menurut laporan Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau (2013), perkebunan kelapa sawit yang telah menghasilkan (TM) banyak diusahakan oleh perkebunan rakyat, yakni sekitar (53,35%), diikuti perkebunan besar swasta (PBS), sekitar 42,55% dan sisanya dari perkebunan besar negara (PBN). Lokasi terluas terdapat di Kabupaten Kampar (165.869 ha), Siak (163.380 ha), Rokan Hilir (145.769 ha), Rokan Hulu (140.135 ha), dan Pelalawan (111.568 ha). Meskipun luas perkebunan sawit rakyat lebih dominan, akan tetapi rata-rata produktivitas sawit yang diusahakan oleh rakyat lebih rendah 17,1% dari produktivitas perkebunan besar negara, dan 21,4% dari perkebunan besar swasta. Hal ini antaralain disebabkan terbatasnya modal petani dan belum optimalnya pemanfaatan teknologi (Disbun Provinsi Riau, 2013). Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut yang diusahakan rakyat tidak lagi diarahkan pada perluasan areal, tetapi ditekankan pada usaha peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas harus mempertimbangkan kelestarian usahatani, dan kualitas lingkungan agar tidak menambah "daftar luas" lahan-lahan suboptimal yang terlantar (Masganti, 2013). Selain itu, peningkatan produktivitas lahan gambut yang ditanami kelapa sawit juga dapat dilakukan melalui tumpangsari dengan tanaman lain seperti nenas.
118
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
Kelapa sawit, khususnya pelepahnya berpotensi besar dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi karena mengandung protein kasar sekitar 15% (Parulian, 2009). Kelapa sawit dalam satu tahun dapat menghasilkan 22 pelepah, dimana satu pelepah beratnya sekitar 7 kg, sehingga jika dalam satu hektar terdapat 138 pohon kelapa sawit, maka dalam satu tahun pelepah daun dapat menyediakan 2.152 kg pelepah atau setara dengan 2,95 ekor sapi dengan berat badan 200 kg. Ameliorasi atau pemberian zat pembenah tanah merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lahan gambut (Masganti, 2013). Akan tetapi pengaruh amelioran terhadap pertumbuhan kelapa sawit berbeda menurut sumber amelioran yang digunakan (Jamil et al., 2012). Pengaruh amelioran terhadap pertumbuhan tanaman di lahan gambut juga ditentukan oleh komposisi amelioran (Masganti, 2004a). Oleh karena itu perlu diuji pengaruh berbagai amelioran dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit + nenas yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juni 2013 sampai Juni 2014 dengan posisi geografis 00020'59,3"-00021'05,8" Lintang Utara dan 101041'15,6"-101041'22,9" Bujur Timur. Penelitian dilaksanakan di lahan petani seluas 5,0 ha. Tanaman utama sebagai indikator adalah kelapa sawit berumur sekitar 6 (enam) tahun. Tanaman nenas ditanam sebagai tanaman sela diantara kelapa sawit. Perlakuan yang diuji meliputi (a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi dengan pupuk gambut (Pugam), (c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit (Tankos), dan (d) ameliorasi dengan pupuk kandang (Pukan). Perlakuan ditata dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 (empat) ulangan. Pemupukan cara petani per pohon menggunakan pupuk 2,0 kg urea; 2,0 kg SP-36; 2,5 kg KCl; 1,2 kg Kiserite; 0,15 kg CuSO4; 0,15 kg ZnSO4; dan 0,3 kg Borax. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan disajikan dalam Tabel 1 dan layout perlakuan disajikan pada Gambar 1.
119
Masganti et al.
Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa sawit Dosis pupuk dan amelioran(kg/pohon) Perlakuan Pugam
Pukan
Tankos
Urea
SP-36
KCl
Kiserite
CuSO4
ZnSO4
Borax
Pugam
5
-
-
2
-
2.5
1.2
-
-
-
Pukan
-
10
-
2
2
2.5
1.2
0.15
0.15
0.3
Tankos
-
-
15
2
2
2.5
1.2
0.15
0.15
0.3
Kontrol
-
-
-
2
2
2.5
1.2
0.15
0.15
0.3
u l a n g a n
J A L A N
Saluran Drainase
I
Pugam
Kontrol
Pukan
Tankos
II
Kontrol
Tankos
Pugam
Pukan
III
Tankos
Pukan
Kontrol
Pugam
IV
Pukan
Pugam
Tankos
Kontrol
*Keterangan: I, II, III, IV adalah ulangan
Gambar 1. Layout aplikasi perlakuan amelioran pada demplot ICCTF Riau Bibit nenas ditanam pada gawangan/jalan mati tanaman kelapa sawit (bukan jalan produksi) dengan jarak tanam 1,75 m x 1,50 m. Setiap plot tanaman nenas terdiri dari 2 (dua) baris dan setiap baris terdapat 4 (empat) tanaman, sehingga terdapat 8 (delapan) tanaman per plot. Penanaman tanaman nenas dilakukan pada tanggal 23 September 2013. Pemupukan tanaman nenas dilakukan satu bulan setelah tanam, hal ini dilakukan karena akar tanaman nenas sudah berkembang di dalam tanah. Pemupukan dengan cara tugal pada tiga lubang di sekitar lubang tanam, dengan membuat sebanyak tiga lubang menggunakan tugal, pupuk dimasukkan ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah. Pemupukan dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2013 dengan dosis seperti dalam tabel di bawah ini :
120
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
Tabel 2. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman nenas Dosis pupuk dan amelioran (g/tanaman)
Perlakuan Pugam
Pukan
Tankos
Urea
SP-36
KCl
Pugam
30
-
-
10
-
10
Pukan
-
120
-
10
10
10
Tankos Kontrol
-
-
120 -
10 10
10 10
10 10
Pengamatan yang dilakukan sebelum ameliorasi dan pemupukan adalah : sifat kimia tanah sebelum pemupukan, sifat bahan amelioran yang digunakan, parameter pertumbuhan kelapa sawit meliputi pertambahan jumlah pelepah, lebar tajuk, pertumbuhan nenas meliputi jumlah daun dan panjang daun. Parameter produksi kelapa sawit meliputi jumlah tandan, dan produktivitas. Sedangkan produksi nenas dihitung melalui penjumlahan jumlah buah nenas yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan 1 (satu) bulan setelah pemupukan dan ameliorasi. Setiap petak pengamatan terdiri dari 4 (empat) tanaman kelapa sawit dan 8 (delapan) tanaman nenas (Gambar 2).
Gambar 2. Plot pengamatan tanaman kelapa sawit dan nenas Jumlah pelepah kelapa sawit dihitung berdasarkan jumlah pelepah yang sudah sempurna, diukur setiap satu bulan sampai pengamatan terakhir. Selisih antara jumlah pelepah pada pengukuran terakhir dan pertama disebut pertambahan jumlah pelepah. Lebar tajuk diukur setiap satu bulan, diwakili oleh tiga pelepah daun yakni pelepah daun dengan panjang paling pendek, menengah dan paling panjang (Gambar 3)
121
Masganti et al.
Gambar 3. Pengukuran lebar tajuk kelapa sawit
Selama satu tahun, setiap dua minggu pada setiap plot pengamatan dilakukan panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, TBS dihitung dan ditimbang untuk selanjutnya dikonversi menjadi rata-rata produktivitas (kg/ha/bln) dan total produksi (kg/ha/thn) yang merupakan penjumlahan produktivitas selama satu tahun. Pengamatan pertumbuhan nenas sebagai tanaman sela meliputi jumlah daun dan panjang daun dilakukan setiap 2 (dua) minggu. Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah daun (helai) setiap tanaman nenas. Daun yang telah dihitung dicat sebagai tanda untuk pengamatan berikutnya. Panjang daun (cm) diukur dengan cara mengukur daun tanaman nenas mulai dari pangkal sampai ujung daun. Daun yang diukur kemudian ditandai dengan cat untuk pengamatan berikutnya. Pengamatan produksi nenas dilakukan melalui penghitungan jumlah buah nenas yang dihasilkan per petak hingga Juli 2014. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam menurut rancangan acak kelompok. Jika hasil analisis memperlihatkan beda nyata, dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (LSD) menurut Gomez dan Gomez (1993).
122
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Kimia Tanah Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum aplikasi amelioran dan pemupukan disajikan dalam Tabel 3. Nilai pH tanah gambut menunjukkan tingkat kemasaman yang tinggi. Media tumbuh dengan tingkat kemasaman demikian menjadi kendala dalam pengembangan tanaman karena terbatasnya daya penyediaan hara. Angka tersebut sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Masganti (2003), Hartatik et al., (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Tingginya kemasaman tanah gambut antaralain disebabkan oleh kondisi drainase yang jelek dan hidrolisis asam-asam organik. Asam-asam organik yang dihasilkan biasanya didominasi oleh asam pulvat dan asam humat (Stevenson, 1994; Spark, 1995). Hasil analisis kadar C-organik dalam tanah gambut berkisar antara 34,79% sampai 38,50%. Angka-angka tersebut sejalan dengan hasil yang dilaporkan Masganti (2003), Hartatik et al. (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Berdasarkan kadar bahan organik dan ketebalan lapisan bahan organiknya, maka tanah gambut Lubuk Ogong tergolong ordo histosol (Soil Survey Staff, 2010). Kadar N-total dalam tanah gambut Lubuk Ogong dengan tingkat dekomposisi hemik lebih rendah dari nilai yang diperoleh Masganti (2003) dalam tanah gambut saprik, tetapi lebih tinggi dari tanah gambut fibrik. Hal ini dapat dimengerti karena kadar N-total dalam tanah gambut berkorelasi dengan tingkat dekomposisi (Sabiham, 2001). Semakin tinggi tingkat dekomposisi tanah gambut, semakin tinggi kadar N dalam tanah gambut. Tanah gambut dilaporkan mempunyai kemampuan yang rendah dalam menyimpan P (Masganti, 2004a). Rendahnya daya simpan P tanah gambut diyakini sebagai penyebab rendahnya daya penyediaan hara, khususnya P tanah gambut (Masganti, 2003; Wiratmoko et al., 2008; Maftuah, 2012). Terbatasnya jumlah koloid anorganik dalam tanah gambut dilaporkan sebagai salah satu penyebab rendahnya daya simpan P (Stevenson, 1994; Tan, 1994). Keadaan ini menyebabkan jumlah P yang dapat diikat atau disimpan oleh tanah gambut menjadi terbatas. Hasil analisis dalam Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar basa dalam tanah gambut tergolong rendah yang dicirikan oleh rendahnya kejenuhan basa (KB), sehingga kemampuan tanah gambut menjerap P menjadi rendah. Kadar basa-basa dalam tanah gambut juga menentukan kemampuan tanah gambut menjerap P. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar unsur-unsur basa dalam tanah gambut tergolong rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Masganti (2003),
123
Masganti et al.
Hartatik et al., (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Gambut yang oligotrofik biasanya miskin akan unsur-unsur hara, termasuk basa-basa. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut umumnya lebih tinggi dari tanah mineral. Hal ini disebabkan pada tanah gambut bahannya disusun oleh komponen yang berukuran koloid, sehingga mempunyai kemampuan mempertukarkan kation lebih tinggi. Hasil pengukuran KTK dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang dilaporkan oleh Masganti (2003), Hartatik et al. (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Tabel 3 menunjukkan bahwa kejenuhan Al tanah gambut yang digunakan tergolong rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan Nuryani (2010) dan Masganti (2012). Kejenuhan Al dalam tanah gambut umumnya relatif rendah, kecuali tanah-tanah gambut dangkal yang pada lapisan bawahnya terdapat tanah sulfat masam. Hasil analisis dalam Tabel 3 juga menunjukkan bahwa H+ merupakan sumber kemasaman yang dominan dalam tanah gambut. Pada setiap perlakuan selalu menunjukkan nilai H+ selalu lebih besar dari nilai Al3+. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Nuryani (2010) dan Masganti (2012). Dalam tanah gambut, banyak gugus fungsional seperti karboksilat dan fenolat yang berfungsi sebagai sumber H+ (Stevenson, 1994; Tan, 1994). Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum perlakuan pada kedalaman 0-20 cm Hasil analisis setiap perlakuan No.
Sifat kimia tanah dan satuan Pugam
Tankos
Pukan
Kontrol
1.
pH H2O
3,16
3,10
3,12
3,12
2.
C-organik (%)
38,01
38,50
34,79
35,88
3.
N-total (%)
1,37
1,80
1,31
1,42
4.
C/N
27,7
21,4
26,6
25,3
5.
P-tersedia (ppm)
174
185
133
234
6.
Ca-tertukar [cmol(+).kg-1]
9,98
8,19
9,04
8,30
7.
-1
2,52
2,86
2,52
2,64
Mg-tertukar [cmol(+).kg ] -1
8.
K-tertukar [cmol(+).kg ]
0,34
0,38
0,33
0,47
9.
-1
0,81
0,52
0,87
1,05
81,82
86,94
80,05
82,81
16,68
13,75
15,74
15,05
3,22
4,11
3,77
4,17
4,70
5,10
4,76
4,91
Na-tertukar [cmol(+).kg ] -1
10.
KTK [cmol(+).kg ]
11.
KB (%)
12. 13.
124
-1
Al-tertukar [cmol(+).kg ] -1
H-tertukar [cmol(+).kg ]
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
Sifat Bahan Amelioran yang Digunakan Tabel 4 menyajikan hasil analisis sifat kimia amelioran yang digunakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa Pugam mempunyai beberapa keunggulan karena kadar haranya paling tinggi yakni kadar P-total, Ca, Mg, S, dan unsur mikro seperti Zn, Cu, B, Pb, dan Cd, kadar abu tinggi dan kadar airnya rendah, tetapi kadar Al paling tinggi. Sedangkan Tankos dan Pukan mempunyai kelebihan kadar K yang tinggi dan Al yang rendah atau bahkan tidak terdeteksi. Tingginya kadar Al dalam Pugam dapat dipahami karena salah satu komponen penyusun amelioran ini adalah terak baja yang mengandung alumunium. Pugam merupakan amelioran yang formulanya dikembangkan untuk pertanian di lahan gambut dengan berbagai keunggulan (Subiksa et al., 2009). Tabel 4. Hasil analisis karakteristik bahan amelioran yang digunakan No.
Karakteristik dan satuan
1. P-total (%) 2. K2O (%) 3. CaO (%) 4. MgO (%) 5. S (%) 6. Fe(%) 7. Al (%) 8. Cu (ppm) 9. Zn (ppm) 10. B (ppm) 11. Pb (ppm) 12. Cd (ppm) 13. Hg (ppm) 14. Kadar abu (%) 15. Kadar air (%) Keterangan : td = tidak dideteksi
Hasil analisis Pugam
Tankos
Pukan
13,15 0,08 26,52 10,88 0,56 9,46 6,29 1.008 1.633 686 54 14 td 97,24 3,07
4,75 0,45 1,29 0,80 0,20 td td 17 47 3 td td 0,00 19,23 55,89
0,56 0,49 0,72 0,33 0,10 0,04 td 3 46 40 td td 0,10 6,13 70,08
Dibandingkan dengan Pukan, Tankos mempunyai keunggulan diantaranya kadar Ca, Mg, S dan kadar abu yang lebih tinggi, tetapi lebih rendah kandungan unsur B. Perbedaan komponen penyusun amelioran akan menyebabkan perbedaan dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Subiksa, 2000; Hartatik dan Nugroho, 2001; Masganti, 2003). Efektivitas amelioran dapat ditingkatkan melalui perbaikan formulasi amelioran (Masganti et al., 2004a) dan mengatur waktu pemberian amelioran dan pemupukan P (Masganti, 2004b). Perbedaan efektivitas penggunaan amelioran juga dipengaruhi oleh daya netralisasi amelioran terhadap kemasaman (Masganti, 2003; Maftuah, 2012).
125
Masganti et al.
Pertumbuhan dan Produksi Kelapa Sawit Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan amelioran dan pemupukan berpengaruh nyata terhadap kemampuan kelapa sawit membentuk pelepah dan tajuk. Hal ini dapat dimaklumi karena perbedaan kandungan dalam setiap amelioran seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 4 (Masganti, 2003; Subiksa et al., 2009; Jamil et al., 2012). Perbedaan kandungan hara tersebut menyebabkan pertumbuhan yang berbeda, diekspresikan dengan kemampuan membentuk pelepah dan lebar tajuk. Semakin baik suplai hara terhadap perakaran tanaman, semakin tinggi kemampuan kelapa sawit membentuk pelepah dan tajuk yang lebih lebar. Dalam penelitian ini terlihat bahwa kelapa sawit yang diameliorasi dengan Pugam memperlihatkan kemampuan membentuk pelepah lebih banyak dan tajuk yang lebih lebar (Tabel 5), meski secara statistik tidak berbeda nyata dengan amelioran lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Pugam mempunyai kelebihan dalam kandungan Ca, Mg, S, unsur-unsur mikro, dan kadar abu. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan Subiksa (2000), Hartatik dan Nugroho (2001), dan Subiksa et al., (2009). Tabel 5. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap pertambahan jumlah pelepah, lebar tajuk, produktivitas dan total produksi kelapa sawit yang ditumpangsari dengan nenas Parameter No.
Perlakuan
1.
Kontrol
Pertambahan Jumlah pelepah (helai) 22,4 a
Lebar tajuk (cm) 95 a
Produktivitas (kg/ha/bln) 1.543 a
Total produksi (kg/ha/thn) 18.513 a
2.
Pugam
30,3 b
114 b
1.611 a
19.326 a
3.
Pukan
27,7 b
110 b
1.634 a
19.613 a
4
Tankos
29,4 b
113 b
1.671 a
20.057 a
Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut LSD taraf 5%.
Kelapa sawit yang diameliorasi dengan amelioran Tankos memperlihatkan performa agronomi lebih baik dari yang diameliorasi dengan Pukan (Tabel 5). Perbedaan ini disebabkan kandungan unsur Ca, Mg, dan S dalam amelioran Tankos lebih tinggi. Amelioran yang mengandung kadar hara lebih tinggi menyebabkan pertumbuhan tanaman lebih baik (Subiksa, 2000; Hartatik dan Nugroho, 2001; Subiksa et al., 2009). Tabel 5 memperlihatkan bahwa kecepatan pembentukan pelepah kelapa sawit yang diameliorasi lebih cepat sekitar 7 (tujuh) helai per tahun. Kelebihan ini merupakan hal yang sangat penting untuk mendukung integrasi sawit-sapi di lahan gambut. Tambahan pelepah tersebut dapat memenuhi kebutuhan bahan pakan satu ekor sapi (Parulian, 2009). Tabel 5 menginformasikan bahwa rata-rata produktivitas kelapa sawit berkisar 1,54-1,67 t/ha/bln. Angka ini lebih tinggi dari angka yang dihasilkan oleh perkebunan
126
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
rakyat di Provinsi Riau (Disbun Provinsi Riau, 2013). Hal ini membuktikan bahwa pemberian amelioran ampuh meningkatkan produktivitas kelapa sawit (Masganti, 2009). Bila rata-rata produktivitas cara petani (kontrol) dibandingkan dengan rata-rata produktivitas perkebunan sawit rakyat di Riau, angka ini lebih tinggi. Hal ini diduga karena dalam penelitian ini juga dilakukan pengaturan air konservasi. Pengaturan air menjadi faktor penentu dalam pertumbuhan dan produksi sawit di lahan gambut karena menentukan efisiensi dan efektivitas pemupukan (Masganti, 2013). Pengaruh ameliorasi tidak menyebabkan perbedaan terhadap rata-rata produktivitas dan total produksi, meski terdapat kecenderungan ameliorasi meningkat-kan kedua parameter tersebut dibanding kontrol (Tabel 5). Hasil ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan Masganti (2009). Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal yakni (1) kontrol yang digunakan pada kedua penelitian tersebut tidak sama, (2) pupuk dasar yang digunakan dalam penelitian ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kelapa sawit, dan (3) adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut Widyanto et al., (2014) pada awal penelitian sekitar 30% areal pertanaman kelapa sawit mengalami serangan hama kumbang tanduk. Hama ini dilaporkan berpotensi menurunkan produktivitas kelapa sawit. Diantara ketiga perlakuan amelioran, plot percobaan yang diberi Tankos menghasilkan total produksi paling tinggi, diikuti Pukan, dan terendah Pugam, meski secara statistik tidak berbeda nyata. Namun demikian, disarankan untuk menggunakan amelioran Tankos dengan beberapa pertimbangan. Pertama, nilai emisi CO2 yang dihasilkan paling rendah. Produksi emisi CO2 menjadi pertimbangan penting dalam menentukan teknologi yang digunakan dalam budidaya kelapa sawit di lahan gambut terdegradasi (Las et al., 2012; Agus et al., 2013; Masganti, 2013). Menurut Wahyuni et al., (2014) Diantara ketiga jenis amelioran yang digunakan jika dibandingkan dengan cara petani, Tankos paling ampuh menurunkan emisi CO2, diikuti Pukan. Sebaliknya Pugam justru meningkatkan nilai emisi CO2. Pertimbangan kedua adalah ketersediaan bahan di lapangan. Salah satu masalah sosial yang dihadapi dalam menerapkan teknologi ameliorasi adalah kurang atau tidak tersedianya bahan amelioran di lapangan. Pugam merupakan amelioran yang paling tidak tersedia di lapangan, sehingga tidak disarankan untuk digunakan. Sementara Pukan meski tersedia, tetapi secara kuantitas tidak mampu memenuhi kebutuhan dan adanya biaya tambahan transportasi dari sentra peternakan ke lokasi perkebunan. Sedangkan Tankos, ketersediaannya melimpah karena produksi kelapa sawit yang tinggi. Hal yang perlu dilakukan adalah melatih petani untuk menghasilkan kompos Tankos. Tapi hal ini harus didukung oleh kebijakan peralatan yang memadai. Pertimbangan lainnya adalah biaya input bahan. Menurut Nurhayati et al., (2014) diantara ketiga perlakuan amelioran,
127
Masganti et al.
Tankos memerlukan biaya input bahan paling rendah, diikuti Pugam dan paling tinggi adalah Pukan. Pertumbuhan dan Produksi Nenas Kemampuan tanaman nenas membentuk daun dan panjang daun dipengaruhi oleh pemberian amelioran, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis amelioran yang diberikan (Tabel 6). Berbeda dengan pertumbuhan kelapa sawit, tanaman nenas tumbuh lebih baik dalam petak kelapa sawit yang pertumbuhannya tertekan (kontrol). Hal ini dapat dimaklumi karena pertumbuhan kelapa sawit yang tertekan memungkinkan adanya ruang yang lebih luas bagi nenas untuk memperoleh sinar matahari, sehingga proses fotosintesisnya berlangsung lebih intensif. Persaingan antar tanaman yang dibudidayakan di lahan gambut mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Najiyati et al., 2008; Lestari et al., 2013). Tabel 6. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap pertambahan jumlah daun,panjang daun, dan produksi nenas yang ditumpangsari dengan kelapa sawit Parameter No.
Perlakuan
1.
Kontrol
Pertambahan Jumlah daun (helai) 34,0 b
Panjang daun (cm) 49,1 b
Produksi (b) 6 ab
2.
Pugam
25,0 a
42,4 a
11 c
3.
Pukan
26,0 a
43,2 b
3a
4
Tankos
25,0 a
42,1 a
8 bc
Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut LSD taraf 5%.
Umur tanaman nenas yang masih relatif muda menyebabkan produksi buah belum maksimal. Akan tetapi dari hasil analisis ragam diketahui bahwa jumlah buah yang dihasilkan dipengaruhi oleh perlakuan. Data dalam Tabel 6 memperlihatkan bahwa produksi buah yang dihasilkan oleh nenas yang diberi amelioran Pugam paling banyak. Hal ini disebabkan keunggulan komparatif amelioran ini yang dapat dimanfaatkan tanaman secara baik. Pertumbuhan vegetatif yang lebih baik pada petak kontrol mungkin menyebabkan energi hasil fotosintesis tidak banyak dimanfaatkan untuk pembentukan buah. Pembentukan buah juga dipengaruhi oleh ketersediaan hara (Rankine dan Fairhust, 2000). Hasil pengamatan lapang juga memperlihatkan bahwa kecepatan munculnya buah nenas lebih cepat pada petak yang diameliorasi dengan Pugam. Rata-rata tanaman nenas yang diberi Pugam, buahnya 7-10 hari muncul lebih awal. Hasil ini juga menjadi bukti bahwa tanaman nenas mampu memanfaatkan kelebihan amelioran Pugam.
128
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
Meskipun produksi nenas yang dihasilkan dari plot percobaan yang diameliorasi dengan Pugam paling tinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan plot yang diameliorasi dengan Tankos. Hasil ini memperkuat alasan penggunaan amelioran Tankos di lahan gambut terdegradasi. Oleh karena itu pemilihan inovasi teknologi tumpangsari sawit+nenas di lahan gambut harus mempertimbangkan (1) emisi CO 2 yang dihasilkan rendah, (2) bahannya mudah didapatkan atau diproduksi sendiri, (3) biaya input bahan rendah, dan (4) produksi tanaman tumpangsari tinggi. Pertimbangan ini dapat meningkatkan pendapatan petani dan menjaga kelestarian lingkungan hidup serta menjamin keberlangsungan usahatani.
KESIMPULAN DAN SARAN Pertumbuhan tumpangsari kelapa sawit + nenas dan produksi nenas di lahan gambut terdegradasi dipengaruhi oleh perlakuan amelioran, tetapi produktivitas dan total produksi tidak dipengaruhi. Produksi kelapa sawit tertinggi (20.057 kg/ha/thn) dihasilkan oleh perlakuan amelioran Tankos, diikuti amelioran Pukan (19.613 kg/ha/thn), amelioran Pugam (19.326 kg/ha/thn), dan terendah perlakuan kontrol (18.513 kg/ha/thn). Sedangkan produksi nenas tertinggi diperoleh dari perlakuan Pugam (11 biji), diikuti Tankos (8 biji), kontrol (6 biji), dan terendah Pukan (3 biji). Peningkatkan pendapatan petani dan upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup serta menjamin keberlangsungan usahatani tumpangsari sawit+nenas di lahan gambut terdegradasi, disarankan untuk menggunakan amelioran Tankos disertai pelatihan petani tentang cara memproduksi amelioran Tankos.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F., A. Dariah, dan A. Jamil. 2013. Kontroversi pengembangan perkebunan sawit pada lahan gambut. Dalam Haryono et al., (Eds.). Politik Pengembangan Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian. IAARD, Jakarta. Halaman:454-473. Disbun Provinsi Riau. 2013. Data Statistik Perkebunan Provinsi Riau. Dinas Perkebunan Provinsi Riau. Pekanbaru. 172 halaman. Gomez, K. A., dan A. A. Gomez. 1993. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2 nd Ed. John Willey & Sons, New York. 680 halaman. Hartatik,W., dan K. Nugroho. 2001. Effect of different ameliorant sources to maize growth in peat soil from Air Sugihan Kiri, South Sumatera. Dalam Rieley, J. O., dan S. E. Page (Eds.). Jakarta Symposium Halaman:103-108. Dalam Proceeding on Peatlands for People: Natural Resources Functions and Sustainable Management.
129
Masganti et al.
Hartatik, W, I.G.M. Subiksa, dan Ai Dariah. 2011. Sifat kimia dan fisika lahan gambut. Dalam Neneng et al., (Eds.). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Halaman:45-56. Jamil, A., Nurhayati, I.N. Istina, Yunizar, dan H. Widyanto. 2012. Penelitian dan Pengembangan teknologi pengelolaan gambut berkelanjutan meningkatkan sekuestrasi karbon dan mitigasi gas rumah kaca di Provinsi Riau. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Riau, Pekanbaru. 49 halaman. Las, I., M. Sarwani, A. Mulyani, dan M.F. Saragih. 2012. Dilema dan rasionalisasi kebijakan pemanfaatan lahan gambut untul areal pertanian. Dalam Husen et al., (Eds.). Halaman:17-29 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian.. Lestari, Y.,Y. Raihana, dan S. Saragih. 2013. Teknologi budidaya hortikultura di Lahan Gambut. Dalam Noor et al., (Eds.). Lahan Gambut: Pemanfaatan dan Pengembangannya untuk Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Halaman:117-148. Maftuah, E. 2012. Ameliorasi Lahan Gambut Terdegradasi dan Pengaruhnya terhadap Produksi Jagung Manis. Disertasi. Program Pascasarjana UGM. Yogjakarta. 251 halaman. Masganti. 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 355 halaman. Masganti. 2004a. Pengaruh macam senyawa penjerap P dan sumber pupuk P terhadap daya penyediaan hara bahan gambut. Dalam Ar-Riza et al., (Eds.). Halaman:347358. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pencemaran Lingkungan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Masganti. 2004b. Pengaruh waktu pemupukan P dan pemberian amelioran, formulasi dan sumber pupuk P terhadap daya penyediaan P bahan gambut. J. AgriPeat 5(2):7685. Masganti, T. Notohadikusumo, A. Maas, dan B. Radjagukguk. 2004. Pengaruh formulasi amelioran terhadap daya penyimpanan dan penyediaan fosfat bahan gambut. Dalam Kurnia et al., (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Buku II. Halaman:179-186. Masganti. 2009. Pemanfaatan limbah kelapa sawit dan produktivitas kelapa sawit di lahan kering Kalimantan Tengah. Agripura 4(2):529-535. Masganti. 2012. Sample preparation for peat material analysis. Dalam Husein et al., (Eds.). Halaman:179-184. Dalam Prosiding Workshop on Sustainable Management Lowland for Rice Production. Masganti. 2013. Teknologi inovatif pengelolaan lahan suboptimal gambut dan sulfat masam untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Pengembangan Inovasi Pertanian 6(4):187-197.
130
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
Najiyati, S., L. Muslihat, dan I. N. N. Suryadiputra. 2008. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest, and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programe dan Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia. Nurhayati, S. Saputra, A. D. Putra, I. N. Istiana, dan A. Jamil. 2014. Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas dan Keuntungan Sistem Tumpangsari (Kelapa Sawit+Nenas di Lahan Gambut Provinsi Riau. 14 halaman (belum diterbitkan). Nuryani, S. H. U. 2010. Pemulihan Gambut Hidrofobik dengan Surfaktan dan Ameliorant, serta Pengaruhnya terhadap Serapan P oleh Jagung. Disertasi. Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. 277 halaman. Parulian, T. S, 2009. Efek Pelepah Daun Kelapa Sawit dan Limbah Industrinya Sebagai Pakan terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Ongole pada Fase Pertumbuhan. (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/7623). 3 April 2014. Rankine, I. R., dan T. H. Fairhurst. 2000. Seri Tanaman Kelapa Sawit Volume 3. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Sabiham, S. 2001. Stability Condition and Processes of Destabilization of the Indonesian Tropical Peats. Directorate Generale of Higher Education, Ministry of National Education. 63 halaman. Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit. Hlm 1-17. Dalam Husen et al., (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian. Bogor, 4 Mei 2012. Spark, D. L. 1995. Enviromental Sil Chemistry. Academic Press Inc. San Diego, Caifornia. 267 halaman. Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. Eleventh Edition. United States Departement of Agriculture. Natural Resources Conservation Services. USDA. Washington D. C. 869 halaman. Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, composition and reaction. Second Edition. John Willey & Sons Inc., New York. 496 halaman. Subiksa, I. G. M. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang berkelanjutan. Halaman:379-390 Dakam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbangtan, Balitbangtan. Bogor.. Subiksa, I. G. M., Husein Suganda dan Joko Purnomo. 2009. Pengembangan formula pupuk untuk lahan gambut sebagai penyedia hara dan menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara Balai Penelitian Tanah dengan Departemen Pendidikan Nasional, 2009. Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc., New York. 304 halaman. Wahyuni, S., Nurhayati, H. Widyanto, A. Wihardjaka, dan P. Setyanto. 2014. Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit (Elaeis guinensis) dan
131
Masganti et al.
nenas (Anenas cumocus) dengan beberapa Perlakuan Amelioran. 12 halaman (belum diterbitkan). Wahyunto, Ai Dariah, Pitono, D., dan M. Sarwani. 2013. Prospek pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perspektif 12(1):11-22. Widyanto, H., S. Saputra, dan Syuryati. 2014. Pengendalian Hama Kumbang Tanduk pada Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Provinsi Riau. 12 halaman (belum diterbitkan). Wiratmoko, D. Winarna, S. Rahutomo dan H. Santoso. 2008. Karakteristik gambut topogen dan ombrogen di Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara untuk budidaya tanaman kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 16(3):119-126.
132
8
PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH, PRODUKTIVITAS, DAN KEUNTUNGAN SISTEM TUMPANGSARI (KELAPA SAWIT + NENAS) DI LAHAN GAMBUT PROVINSI RIAU
SOIL FERTILITY MANAGEMENT, PRODUCTIVITY, AND BENEFIT OF PINEAPPLE-OIL PALM INTERCROPPING ON PEATLAND IN RIAU Nurhayati1, Suhendri Saputra1, Aris Dwi Putra1, Ida Nur Istina1, Ali Jamil2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Km 10. Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210 2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114
Abstrak. Luas lahan gambut di Provinsi Riau mencapai 3,9 juta hektar atau sekitar 26% dari luas lahan gambut di Indonesia (14,9 juta hektar). Tingkat kesuburan tanah umumnya rendah dan memiliki kandungan asam-asam organik beracun, sehingga perlu dilakukan ameliorasi untuk meningkatkan produktivitas lahan. Tujuan dari penelitian ini adalah pemberian amelioran selain menguntungkan secara ekonomi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, juga tidak merusak lahan gambut itu sendiri. Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Perlakuan yang diuji meliputi (a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi dengan Pugam, (c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit, dan (d) ameliorasi dengan pupuk kandang. Perlakuan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap produktivitas dan produksi kelapa sawit serta produksi buah nenas, dan analisis usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi berpengaruh terhadap produksi tanaman tumpangsari kelapa sawit+nenas di lahan gambut terdegradasi. Produktivitas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan amelioran Tankos sebesar 20.057 kg/ha/th. Hasil analisis usahatani, keuntungan terbesar diperoleh pada perlakuan Pugam sebesar Rp. 17.383.475,-. Kata kunci : Tumpangsari, sawit + nenas, ameliorasi, pemupukan, lahan gambut, analisis usahatani
Abstract. Peatlands in Riau Province reached 3.9 million hectares or about 26% of total Indonesia's peatland area (14.9 million hectares). Generally low levels of soil fertility and contains organic acids that are toxic, so needs to improve the productivity with amelioration. The purpose of this research was the ameliorant apart economically advantageous to increase the income of the people, nor damage the peat itself. The experiment was conducted in the village of Lubuk Ogong, Pelalawan, Riau. The treatment include (a) fertilization by farmers, (b) amelioration with Pugam, (c) amelioration with palm empty fruit bunches, and (d) amelioration with manure. The treatments were arranged in a randomized block design with four replications. Observations were made on the productivity and
133
Nurhayati et al.
production of oil palm and pineapple production, and analysis of farming. The results show that the amelioration effect on the growth and yield of oil palm+pineapple intercropping in degraded peatlands. The highest productivity is Tankos with 20.057kg/ha/yr. For the analysis of farming, highest profit is Pugam with Rp. 17.383.475,-. Keywords: Intercropping, palm+pineapple, amelioration, fertilizer, peat, analysis of farming
PENDAHULUAN Luas lahan gambut di Provinsi Riau mencapai 3,9 juta hektar atau sekitar 26% luas lahan gambut di Indonesia (14,9 juta hektar) (Wahyunto et al., 2005). Dalam keadaan alami (belum diganggu), tanah gambut mengalami proses dekomposisi yang menghasilkan gas CO2 secara perlahan, sehingga emisi gas CO2 relatif seimbang dengan penyerapan CO2 oleh vegetasi alami, bahkan dapat berfungsi sebagai net stock (Agus et al., 2009; Subiksa, 2012) Pengelolaan lahan gambut untuk usaha pertanian harus memperhatikan sifat fisika dan kimia tanah gambut. Kendala utama budidaya tanaman di lahan gambut adalah tingkat kemasaman tanah yang tinggi apabila dikaitkan dengan asam-asam organik beracun, rendahnya ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman yang diusahakan, permasalahan kebakaran lahan gambut, dan pengaturan tata air (Agus et al., 2008) Mengatasi masalah kandungan asam-asam organik yang beracun di lahan gambut biasanya dilakukan drainase dan penambahan bahan amelioran. Bahan amelioran (zat pembenah tanah) adalah bahan yang mampu memperbaiki atau membenahi kondisi fisik dan kesuburan tanah. Contoh bahan amelioran yang sering digunakan adalah kapur, tanah mineral, pupuk kandang, kompos, dan abu (Subiksa et al., 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999 dalam Subiksa 2011). Lahan gambut apabila dibuka dan didrainase sebagai lahan budidaya, maka proses dekomposisi bahan organik akan mengalami percepatan. Perbaikan drainase akan menyebabkan air keluar dari gambut, kemudian oksigen masuk ke dalam bahan organik dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme. Akibatnya terjadi dekomposisi bahan organik yang melepas CO2 ke udara dan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence) (Agus and Subiksa, 2008). Pembukaaan lahan gambut untuk penanaman kelapa sawit tanpa memperhatikan teknik konservasi dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya pelepasan karbon yang berdampak pada pemanasan global penyebab terjadinya perubahan iklim. Oleh karena,
134
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari
pengelolaan kesuburan tanah gambut perlu dikelola dengan baik. Sistem tumpangsari nenas dengan kelapa sawit yang mampu meningkatkan sekuestrasi karbon dan menurunkan emisi GRK di lahan gambut serta meningkatkan pendapatan petani. Selain itu, tumpangsari nenas dengan kelapa sawit dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi input produksi. Pemanfaatan lahan gambut diharapkan dapat menguntungkan secara ekonomi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan di satu sisi tidak merusak lahan gambut itu sendiri. Lahan gambut sendiri dikenal rapuh (fragile) sehingga memerlukan teknologi dan input yang tepat dengan dampak terhadap lahan gambut negatif yang minimal. Pengembangan lahan gambut dihadapkan pada kendala biofisik lahan dan lingkungan serta sosial ekonomi. Kesalahan dalam pengelolaan lahan gambut dapat mengakibatkan degradasi lahan, penurunan produktivitas, dan hilangnya mata pencaharian petani (Noor, 2010). Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan alami gambut, juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usahatani yang akan diterapkan. Pengelolaan lahan gambut dengan tingkat manajemen yang berbeda akan memberikan produktivitas berbeda pula. Biasanya tingkat pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani termasuk tingkat rendah (low input) sampai sedang (medium inputs). Penelitian dan demonstrasi plot pengelolaan lahan gambut di Provinsi Riau dilakukan untuk mengembangkan model pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, pada lahan gambut dalam (kedalaman > 5m) yang ditanami kelapa sawit sebagai tanaman utama tumpangsari dengan nenas untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut, cadangan karbon, dan pendapatan petani.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau dari bulan Juni 2013 sampai Juli 2014. Penelitian dilaksanakan di lahan gambut seluas 5,0 ha. Tanaman utama sebagai indikator adalah kelapa sawit berumur sekitar 6 (enam) tahun. Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 00o20’ 59,3’’ - 00o21’ 05,8’’ LU dan 101o41’ 15,6’’ – 101o 41’ 22,9’’ BT. Penelitain menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RCBD) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Lay out perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
135
Nurhayati et al.
J A L A N
Saluran Drainage I
Pugam
Kontrol
Pukan
Tankos
II
Kontrol
Tankos
Pugam
Pukan
III
Tankos
Pukan
Kontrol
Pugam
IV
Pukan
Pugam
Tankos
Kontrol
Keterangan: I, II, III, IV adalah ulangan
Gambar 1. Layout aplikasi amelioran (pugam, tankos, dan pukan) pada demplot Indonesian Climate Change Trus Fund (ICCTF) Riau. Perlakuan yang diuji meliputi penggunaan 3 macam amelioran, yaitu : (a) pugam + pupuk anorganik, (b) kompos tankos + pupuk anorganik, (c) pukan + pupuk anorganik, dan (d) pemupukan menurut cara petani (kontrol). Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa sawit Dosis Pupuk dan Amelioran (Kg/Pohon) Perlakuan Pugam
Pukan
Tankos
Urea
SP-36
KCl
Kiserite
CuSO4
ZnSO4
Borate
Pugam
5
-
-
2
-
2.5
1.2
-
-
-
Pukan
-
10
-
2
2
2.5
1.2
0.15
0.15
0.3
Tankos
-
-
15
2
2
2.5
1.2
0.15
0.15
0.3
Kontrol
-
-
-
2
2
2.5
1.2
0.15
0.15
0.3
Penanaman tanaman nenas dilakukan pada gawangan dengan jarak tanam 1.5 m x 1.5 m. Setiap plot tanaman nenas terdiri dari 2 baris dan setiap baris terdapat sebanyak 4 tanaman (8 tanaman per plot). Penanaman tanaman nenas dilakukan dengan membuat lubang tanam menggunakan dodos sekaligus untuk menggemburkan tanah dalam lubang tanam tersebut, kemudian bibit nenas dimasukkan ke dalam lubang tanam yang telah dibuat dan tanah disekitar tanaman dipadatkan dengan tangan. Pemupukan tanaman nenas dilakukan satu bulan setelah tanam, hal ini dilakukan karena akar tanaman nenas sudah berkembang di dalam tanah. Pemupukan dengan cara tugal pada tiga lobang di sekitar lubang tanam dan ditutup dengan tanah. Dosis pupuk seperti pada Tabel 2 dibawah ini :
136
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari
Tabel 2. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa sawit Dosis Pupuk dan Amelioran (g/tanaman) Perlakuan Pugam
Pukan
Tankos
Urea
SP-36
KCl
Pugam
30
-
-
10
-
10
Pukan
-
120
-
10
10
10
Tankos
-
-
120
10
10
Kontrol
-
-
-
10
10
10 10
Pengamatan dilakukan terhadap sifat kimia tanah sebelum perlakuan, sifat amelioran, parameter produksi kelapa sawit, produksi nenas, dan analisis usahatani. Pengamatan dilakukan pada 16 plot pengamatan (4 perlakuan dan 4 ulangan). Pengamatan produksi pada setiap plot dilakukan masing-masing pada 8 tanaman sawit dan nenas sebagai tanaman sela. Lay out pengamatan tanaman sawit dan nenas pada setiap plot perlakuan disajikan pada Gambar 2.
Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman Nenas
Gambar 2. Lay out Pengamatan tanaman sawit dan nenas pada setiap plot perlakuan Pengamatan produktivitas kelapa sawit dilakukan pada waktu pemanenan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Setiap tanaman dihitung jumlah dan berat TBS yang dipanen. Pengamatan produktivitas (panen) dilakukan dua minggu sekali. Sedangkan produksi nenas merupakan penjumlahan jumlah buah nenas yang dihasilkan. Untuk mempelajari dinamika elevasi muka air tanah, di Lokasi Lubuk OgongRiau, telah dilakukan pemasangan 40 piezometer di lahan. Piezometer dibuat dari pipa paralon berdiameter 2.5 inch dan panjang 200 cm. Penetapan titik-titik pengamatan elevasi muka air tanah dilakukan menyebar diseluruh lokasi penelitian dengan jarak antar piezometer sekitar 25-50 m.
137
Nurhayati et al.
Analisis Input/Output Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan alami gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usahatani yang akan diterapkan. Pengelolaan lahan gambut dengan tingkat manajemen yang berbeda akan memberikan produktivitas berbeda pula. Biasanya tingkat pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani termasuk tingkat rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs). Pengumpulan data analisis output /input dilakukan wawancara petani dan penghitungan sarana produksi pendukung usaha tumpang sari sawit-nenas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani sekitar Demplot ICCTF Hasil diskusi dengan beberapa orang petani di Desa Lubuk Ogong, varietas sawit yang digunakan umumya varietas lokal, dengan harga Rp.1.000/kecambah, atau bibit leles (cabutan sendiri dari perusahaan besar sekitar). Sebagai pembanding saat itu harga bibit unggul Rp. 8.000/kecambah. Jarak tanam yang digunakan umumnya 8 m x 9 m. Dosis pupuk yang biasa diberikan petani adalah Urea, TSP, KCl, Dolomit, dan pupuk kandang dengan dosis berturut-turut 5 kg/pokok/tahun; 1 kg/pokok; 1,5 kg/pokok; 4 kg/pokok; dan 1 karung/pokok/tahun. Perawatan yang dilakukan adalah pembersihan piringan sebelum pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan cara dibenamkan di piringan, dengan selang pemberian pupuk satu minggu, bergantian Dolomit, Urea, TSP, dan KCl. Hasil wawancara dengan petani diperoleh produksi sawit masyarakat seperti pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Produksi kelapa sawit eksisting di Desa Lubuk Gong Kec. Bandar Sei Kijang No
Umur Tanaman kelapa Sawit
Produksi (kg/ha/th)
1
3-4 th
500
2
4-5 th
700
3
5-7 th
1000
Tanaman kelapa sawit menjadi pilihan baru dan berkembang sangat cepat baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Sumber-sumber pendapatan petani selain sawit adalah; usahatani tanaman pangan seperti palawija, sayuran serta peternakan (sapi dan unggas) dalam skala kecil sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
138
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari
Hasil Analisis Tanah Awal Analisis tanah dilakukan pada setiap plot perlakuan (Gambar 1) pada kedalaman 020 cm dari permukaan tanah. Hasil analisis tanah sebelum aplikasi perlakuan amelioran dan pupuk anorganik disajikan dalam Tabel 4 Tabel 4. Hasil analisis tanah awal sebelum perlakuan amelioran dan pupuk anorganik di lokasi Demplot ICCTF Riau No.
Sifat kimia tanah dan satuan
1.
pH H2O
2.
C-organik (%)
3. 4. 5.
Hasil analisis setiap perlakuan Pugam
Tankos
Pukan
Kontrol
3,16
3,10
3,12
3,12
38,01
38,50
34,79
35,88
N-total (%)
1,37
1,80
1,31
1,42
C/N
27,7
21,4
26,6
2,53
P-tersedia (ppm)
174
185
133
234
-1
6.
Ca-tertukar (cmol(+).kg )
9,98
8,19
9,04
8,30
7.
Mg-tertukar (cmol(+).kg-1)
2,52
2,86
2,52
2,64
-1
8.
K-tertukar (cmol(+).kg )
0,34
0,38
0,33
0,47
9.
Na-tertukar (cmol(+).kg-1)
0,81
0,52
0,87
1,05
-1
10.
KTK (cmol(+).kg )
81,82
86,94
80,05
82,81
11.
KB (%)
16,68
13,75
15,74
15,05
12.
-1
Al-tertukar (cmol(+).kg )
3,22
4,11
3,77
4,17
13.
H-tertukar (cmol(+).kg-1)
4,70
5,10
4,76
4,91
Hasil analisis pH tanah di lokasi demplot berkisar 3,10-3,16. Nilai ini menunjukkan tingkat kemasaman yang tinggi. Media tumbuh dengan tingkat kemasaman demikian menjadi kendala dalam pengembangan tanaman karena terbatasnya daya penyediaan hara tanah gambut. Tingginya kemasaman tanah gambut antara lain disebabkan oleh kondisi drainase yang jelek dan hidrolisis asam-asam organik (Agus, 2008). Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya (Agus, 2008). Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 – 5. Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak
139
Nurhayati et al.
dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro (Agus, 2008). Hasil Analisis Amelioran Hasil analisis amelioran yang digunakan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis beberapa amelioran di Lokasi Demplot ICCTF, Riau No.
Karakteristik dan satuan
Hasil analisis Pugam
Tankos
13,15
4,75
0,56
K2O (%)
0,08
0,45
0,49
CaO (%)
26,52
1,29
0,72
4.
MgO (%)
10,88
0,80
0,33
5.
S (%)
0,56
0,20
0,10
6.
Fe(%)
9,46
td
0,04
7.
Al (%)
6,29
td
td
8.
Cu (ppm)
1.008
17
3
1.
P-total (%)
2. 3.
Pukan
9.
Zn (ppm)
1.633
47
46
10.
B (ppm)
686
3
40
11.
Pb (ppm)
54
td
td
12.
Cd (ppm)
14
td
td
13.
Hg (ppm)
td
0,00
0,10
14.
Kadar abu (%)
97,24
19,23
6,13
15.
Kadar air (%)
3,07
70,08
70,08
Keterangan: *) Fe dan Al dalam bentuk oksida Td= tidak terukur
Pugam adalah pupuk anorganik majemuk yang mengandung 13,15% P2O5, 25,6% CaO dan 10,88 MgO. Kandungan unsur penting lainnya adalah Fe 9,46% dan Al 6,29% yang menjadi sumber kation polivalen yang dibutuhkan tanah gambut untuk meningkatkan stabilitasnya dan mengurangi degradasi gambut serta emisi gas rumah kaca. Kandungan unsur mikro Zn, Cu dan B juga cukup tinggi untuk mensuplai kebutuhan tanaman di tanah gambut. Kompos tandan kosong sawit mempunyai keunggulan antaranya kadar Ca, Mg, S dan kadar abu yang lebih tinggi, tetapi lebih rendah kandungan unsur B dibandingkan dengan pupuk kandang. Lahan gambut bersifat sangat masam karena kadar asam-asam organik sangat tinggi dari hasil pelapukan bahan organik. Sebagian dari asam-asam
140
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari
organik tersebut, khususnya golongan asam fenolat, bersifat racun dan menghambat perkembangan akar tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman sangat terganggu. Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam organik beracun, sehingga media perakaran tanaman menjadi lebih baik (Subiksa, 2011). Hasil penelitian Maftuah 2011, menyebutkan amelioran yang direkomendasikan di lahan gambut terdegradasi adalah amelioran yang terdiri dari campuran pupuk kandang ayam, gulma pertanian in situ, purun tikus, tanah mineral dan dolomit. Jenis amelioran lain yang berpotensi untuk memperbaiki sifat-sifat kimia gambut adalah abu terbang, abu serbuk gergaji dan abu sekam. Ramadina (2003) mengatakan bahwa abu terbang mampu memperbaiki sifat-sifat kimia tanah gambut yang ditunjukkan oleh meningkatnya pH, Ptersedia dan KB. Pada lahan gambut, peningkatan pH cukup sampai pH 5,0 karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH terlalu tinggi justru berdampak buruk karena laju dekomposisi gambut menjadi terlalu cepat (Subiksa, 2011). Produksi Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit rata-rata menghasilkan buah 20-22 tandan/tahun. Waktu yang diperlukan mulai dari penyerbukan sampai buah matang dan siap panen kurang lebih 5-6 bulan (Rankine dan Fairhurst. 2000). Hasil penelitian menunjukkan jumlah TBS/plot perbulan bervariasi setiap bulannya disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Jumlah TBS setiap bulan pada lokasi demplot ICCTF Riau
Jika dihubungkan antara produksi TBS dengan tinggi muka air tanah, tidak terlihat adanya pengaruh tinggi permukaan air tanah dengan produksi TBS. Gambar 4 menunjukkan bahwa penurunan produksi cendrung terjadi setelah dua bulan penurunan
141
Nurhayati et al.
permukaan air tanah. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama produksi kelapa sawit. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah (Balitklimat, 2007).
Gambar 4. Variasi tinggi muka air tanah dibandungkan dengan produksi TBS kelapa sawit pada lokasi demplot ICCTF Riau Pengaruh amelioran belum menyebabkan perbedaan terhadap produksi TBS, namun ada kecenderungan pemberian Tankos memberikan produksi TBS tertinggi walaupun tidak berbeda nyata (Tabel 6). Tabel 6. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap produksi TBS kelapa sawit No.
Perlakuan
Total produksi (kg/ha/thn)
1. Kontrol 18.513 a 2. Pugam 19.326 a 3. Pukan 19.613 a 4 Tankos 20.057 a Keterangan: Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT taraf 5%.
Produksi Nenas Tanaman nenas membutuhkan tanah yang gembur dan kaya akan bahan organik, sehingga sesuai ditanam di lahan gambut. Disamping itu, tanaman nenas juga
142
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari
membutuhkan curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan suhu optimum 32°C (Rukmana, 1996) Pada lokasi demplot, umur tanaman nenas yang masih relatif muda menyebabkan produksi buah belum maksimal. Tabel 7 memperlihatkan bahwa produksi buah yang dihasilkan oleh nenas yang diberi Pugam lebih banyak. Hal ini disebabkan keunggulan komparatif amelioran ini. Pugam memiliki kandungan P total (13,15%) yang lebih tinggi dibandingkan amelioran Tankos (4,75%) maupun Pukan (0,56%). Hasil pengamatan lapang juga memperlihatkan bahwa kecepatan munculnya buah nenas lebih cepat pada plot perlakuan Pugam. Rata-rata tanaman nenas yang diberi Pugam, buahnya 7-10 hari muncul lebih awal. Tabel 7. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap produksi buah nenasyang ditumpangsari dengan kelapa sawit No.
Perlakuan
Produksi buah (biji)
1. Kontrol 6b 2. Pugam 11c 3. Pukan 3a 4. Tankos 8bc Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT taraf 5%.
Hasil Analisis Usahatani Demplot ICCTF Berdasarkan hasil analisis usahatani kegiatan Demplot ICCTF di Riau, dari empat (4) perlakuan maka diperoleh hasil yang tertinggi pada perlakuan Pugam yaitu sebesar Rp. 17.383.475,- seperti pada Tabel 8. Pada perlakuan amelioran Pugam, pupuk SP-36 dan beberapa unsur mikro tidak diberikan lagi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Walaupun pendapatan tertinggi, namun ketersediannya di lapangan masih terbatas. Tabel 8. Hasil analisis usahatani di lokasi Demplot ICCTF Riau Kontrol
Pugam
Pukan
Tankos
4.709.375
4.709.375
4.709.375
4.709.375
11.632.670
10.761.350
13.824.670
19.630.045
16.342.045
15.470.725
18.534.045
19.630.045
Biaya usahatani: a. Tenaga kerja (Rp.) b. Sarana produksi (Rp.) Total (Rp.) Penerimaan: Produksi (kg) Penerimaan (Rp.) Laba (Rp.)
18.513
19.326
19.613
20.057
31.471.777
32.854.200
33.342.100
34.096.900
15.129.732
17.383.475
14.808.055
14.466.855
143
Nurhayati et al.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi TBS kelapa sawit tertinggi dihasilkan pada amelioran Tankos yakni sebesar 20.057 kg/ha/th dan untuk nenas, produksi tertinggi pada perlakuan amelioran Pugam yakni 11 (sebelas) buah. Pada perlakuan amelioran Pugam, pupuk SP-36 dan beberapa unsur mikro tidak diberikan lagi, sehingga tingkat pendapatan lebih tinggi dibandingkan amelioran lain. DAFTAR PUSTAKA Agus, F. Dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah. 36p. Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara,H. Syahbuddin, I.Las & M. van Noordwijk. 2009. Carbon budget in land use transitions to plantation. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29: 119−126 Allorerung, D., M. Syakir, Z. Poeloengan, Syafaruddun, W. Rumini. 2010. Budidaya Kelapa Sawit. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 73p. Anonim. 2012. Budidaya Kelapa Sawit. Januari, 2, 2012.http://forester84.blogspot.com Balitklimat (Balai Penelitian Klimatologi. Departemen Pertanian. 2007. Pengelolaan Air untuk peningkatan ketersediaan air tanaman kelapa sawit di PTPN VIII Cimulang. http://balitklimat.litbang.deptan.go.id Berrydhiya. 2012. Tanaman Penutup Tanah (Cover Crop). Januari, 3, 2013. http://berrydhiya.blogspot.com. BPS Provinsi Riau. 2012. Berita Resmi Statistik : Berita Resmi Statistik Provinsi Riau No. 58/12/14/Th. XIII, 3 Desember 2012 Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2009. Statistik Perkebunan Riau. Pekanbaru. Hartatik, W. dan D.A. Suriadikarta. 2006. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut : Karakteristik dan pengelolaan Lahan Rawa hal 151 - 180. Maftuah, E. 2012. Ameliorasi Lahan Gambut Terdegradasi dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Tanaman Jagung Manis. ABSTRAK. Januari, 3, 2013. http://etd.ugm.ac.id Noor, M. 2010. Lahan Gambut : Pengembangan, Konservasi, dan Perubahan Iklim. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta. 212 Hlm. Ramadina, E.F.R. 2003. Potensi Abu Terbang (Fly Ash) Sebagai Bahan Amelioran pada Lahan Gambut dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Januari, 3, 2013. http://repository.ipb.ac.id Rankine, I. R dan T. H. Fairhurst. 2000. Buku Lapangan: Seri Tanaman Kelapa Sawit– Tanaman Menghasilkan. E. S. Sutarta dan W. Darmosarkoro (Penerjemah). Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Bogor.106 hal. Terjemahan dari: Field handbook: Oil
144
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari
Palm Series–MatureRitung, S. dan Wahyunto. 2003. Kandungan karbon Tanah Gambut di Pulau Sumatera. “Workshop on Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices 13 – 14 October 2003”. Bogor. Rukmana, R, 1996. Nenas : Budidaya dan Pascapanen. Kanisus, Yogyakarta. 60 hlm. Subiksa, I.G.M., W.Hartatik dan F. Agus. 2011. Pengelolaan Lahan Gambut Secara Berkelanjutan. Januari, 2, 2012. http://balittanah.litbang.deptan.go.id Subiksa, I.G.M. 2012. Pugam: Pupuk rendah emisi GRK untuk lahan gambut. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 3. No. 2. 2012. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera, 1990 – 2002. Wetlands International Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). Wibowo, A. 2009. Peran Lahan Gambut dalam Perubahan Iklim Global. Jurnal Ttekno Hutan Tanaman Vol. 2, No. 1 April 2009. 19-28.
145
9
RESPON AMELIORASI DAN INOKULASI MIKROBA PELARUT FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN EMISI CO2 PADA PEMBIBITAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT
AMELIORATION AND PHOSPHATE SOLUBILIZING MICROBE INOCULATION EFFECT ON OIL PALM SEEDLING GROWTH AND CO2 EMISSION FROM PEAT NURSERY Ida Nur Istina1 , Benny Joy2, Aisyah D. Suyono2, Happy Widiastuti3, Heri Widianto4 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No.341, Km 10, Padang Marpoyan, Pekanbaru. 2
Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor, Bandung.
3
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Jl. Taman Kencana, Bogor.
4
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor.
Abstrak. Upaya peningkatan produksi kelapa sawit pada lahan gambut dilakukan dengan teknik ameliorasi dan penggunaan mikroba potensial yang mampu meningkatkan kandungan hara tanah dan performansi pertumbuhan tanaman. Di sisi lain penggunaan amelioran dan aktifitas mikroba potensial dapat memicu peningkatan emisi karbon yang apabila melebihi batas dapat merugikan. Penelitian pot ini bertujuan untuk mengevaluasi respon ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat (MPF) terhadap pertumbuhan dan emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit di lahan gambut yang dilakukan di Provinsi Riau. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan dan sepuluh perlakuan yaitu a1 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media ; a 2 = tanpa amelioran; a3 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 25 % pupuk P; a4 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 50 % pupuk P; a5 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 75 % pupuk P; a6 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 100 % pupuk P; a7 = 25 % pupuk P; a8 = 50 % pupuk P; a9 = 75 % pupuk P dan a10 = 100 % sesuai dosis rekomendasi). Parameter pengamatan adalah pertumbuhan bibit kelapa sawit (tinggi tanaman (cm), jumlah daun (lembar), lingkar batang (cm) dan emisi CO2. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS ver. 16. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi menggunakan tandan kosong kelapa sawit dan inokulasi MPF meningkatkan ketersediaan hara untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit yang diindikasikan oleh berat biomassa dan menurunkan emisi CO2. Kata Kunci : Emisi CO2, Gambut, Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit, Mikroba pelarut fosfat, pertumbuhan bibit kelapa sawit,
147
Ida Nur Istina et al.
Abstract. Efforts to improve the palm oil production on peatlands is done with amelioration techniques and use of the potential microbes that improve soil nutrient content and plant growth performance. However, the use of ameliorant may also trigger an increase in carbon emissions. Research aimes are to evaluate the amelioration and phosphate solubilizing microbial inoculation (MPF) response on oil palm growth and CO2 emissions in the oil palm nursery at Riau. We used randomized block design with three replications. Ten treatments were tested, namely a1 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil; a2 = without ameliorant; a3 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 25% P; a4 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 50% P; a5 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 75% P; a6 = 500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 100% P; a7 = 25% P; a8 = 50% P; a9 = 75% P and a10 = 100% P, where 100% P is recomendation dosage of fertilizer. Observations included growth of oil palm seedlings (plant height (cm), leaf (sheets), trunk circumference (cm) and CO2 emissions. Data were analyzed using SPSS software ver. 16th. The results showed that amelioration using oil palm bunches compos (a1) and MPF inoculation increased the availability of palm oil seedlings as indicated by the highamount of biomass and relatively lowr CO2 emissions. Keywords: Peat soil, oil palm empty bunches compost, phosphat solubilizing microbe, the growth of oil palm seedlings, CO 2 Emissions
PENDAHULUAN Lahan gambut merupakan lahan sub optimal yang berpotensi untuk penyediaan produk pertanian ke depan mengingat lahan subur di Indonesia sudah menyempit. Luasan lahan gambut Indonesia mencapai 14,9 juta hektar (Ritung, dkk, 2011) yang tersebar di Indonesia, dimana 4.2 juta diantaranya berpotensi untuk pengembangan komoditas pertanian termasuk komoditas perkebunan. Luasan perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2013 mencapai 10.59 juta hektar dan dengan laju pertumbuhan 2.49 % per tahun 2014 luasan diprediksi akan mencapai 10.85 juta hektar (BPS, 2013). 1.539.579 juta hektar diantaranya tumbuh di lahan gambut (Wahyunto dkk., 2013) dan 40 % diantaranya diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat. Pengembangan pertanian di lahan gambut mengalami banyak kendala berkaitan dengan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang mengindikasikan tingkat kesuburan dan kesehatan lahan. Pemanfaatan lahan gambut dengan pengelolaan yang baik mampu berkontribusi dalam perekonomian masyarakat (Wahyunto et al., 2010); diantaranya dengan pengaturan muka air tanah, ameliorasi dan asupan hara yang diperlukan tanaman. Fosfat merupakan unsur hara terpenting setelah unsur hara N. Fosfat di lahan gambut terkhelat oleh unsur Fe atau Al dalam bentuk fosfolipida dengan kisaran antara 0.17-0.33 mg g-1 (Berg, 2008) sehingga tidak tersedia, akibatnya hanya 30 % yang dapat diserap tanaman. Kurangnya asupan unsur P menyebabkan tidak normalnya pertumbuhan dan produksi tanaman (Sharma et al., 2013).
148
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat
Penggunaan pupuk kimia dalam jumlah besar mahal dan tidak terjangkau khususnya bagi petani. Penggunaannya secara terus menerus juga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan akibat adanya leaching dan kerusakan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompos tandan kosong kelapa sawit mengandung unsur hara makro dan mikro yang diperlukan untuk tumbuh dan kembang tanaman (Darnoko,2006), selain pemberian bahan organik itu dapat meningkatkan pH tanah karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi (Suntoro, 2003). Di alam mikroba tersedia secara melimpah baik dari jenis bakteri, fungi maupun aktinomiset yang mempengaruhi kesehatan tanah. Proses mineralisasi yang dilakukan oleh mikroba melalui mekanisme pengeluaran asam organik akan mengubah fosfat yang sukar larut menjadi tersedia bagi tanaman. Aktivitas mikroba sangat ditentukan oleh pH, temperatur dan kandungan C organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus subtilis, bacterium mycoides dan B. Mesentericus dapat melarutkan P organik (FePO4), Ca3 (PO4)2, glicerofosfat, lesitin dan tepung tulang) secara in vitro berturut-turut 2-7, 3-9, 3-13, 5-21 dan 14 persen (Suriadikarta, 2006). Bacillus sp dan 2 galur B firmus mampu melarutkan masing-masing 0.3, 0.9 dan 0.3 persen senyawa Ca3(PO4)2 tetapi tidak mampu melarutkan AlPO4 dan FePO4. Hasil penelitian Banik dan Dey, (1982) menyebutkan bahwa fungi mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 pada tanah masam bahkan lebih tinggi dibandingkan bakteri (Goenadi dan Saraswati, 1993) dengan kemampuan antara 12– 162 ppm di medium Pikovskaya yang mengandung sumber P AlPO 4 yang relatif lebih sukar larut sebesar 27-47 % (Lestari dan Saraswati, 1997). Ketersediaan fosfat mengakibatkan peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman (El-Yazeid, A.A and H.E. Abou-Aly, 2011), mengurangi penggunaan pupuk (Singh and Reddy, 2011; Zaidi A., 2009) bahkan beberapa mikroba pelarut fosfat mampu berperanan sebagai antagonis. Pengembangan pertanian termasuk kelapa sawit di lahan gambut disinyalir merupakan penyebab tingginya emisi gas rumah kaca terutama CO2 (Agus et al., 2010). Karbondioksida (CO2) merupakan gas tidak berwarna terdiri dari 2 atom oksigen dan satu atom karbon; yang dihasilkan oleh proses dekomposisi, respirasi termasuk organisma aerobik, pembakaran fosil termasuk gambut dan aktivitas industri manusia. CO 2 mempunyai andil dalam siklus karbon pada tanaman, alga dan cyanobakteri yang dengan bantuan energi matahari mengubah CO2 dan air menjadi fotosintat (Kaufman dan Cecilia, 1996). CO2 merupakan sumber utama karbon . Tanaman memerlukan CO2 untuk tumbuh dan berkembang, namun jumlah CO2 yang tidak mencukupi atau kurang dapat menyebabkan tanaman berhenti tumbuh (pada konsentrasi 100 x lebih tinggi), meminimalisir perkembangan kupu dan laba-laba (konsentrasi 1 % atau lebih). Selain itu CO2 dapat dimanfaatkan untuk mengontrol pH. Kandungan CO 2 meningkat seiring waktu
149
Ida Nur Istina et al.
dan suhu. Tingginya CO2 di udara diiringi adanya perubahan iklim seperti temperatur tinggi, peningkatan precipitasi dan penurunan kandungan N dalam tanah menyebabkan penurunan pertumbuhan tanaman (Shwartz, 2014). Emisi dunia diperkirakan sekitar 78 juta ton dan Indonesia rangking ke 21. Sumber emisi diantaranya berasal dari sektor kehutanan yang mampu menyumbang 850 Mt CO 2 (38 % total emisi Indonesia; deforestrasi hutan sebanyak 0.8 – 1 juta ha per tahun memungkinkan 850 Mt emisi CO2 akan berlangsung hingga 2030). Lahan gambut menyumbang 45 % dari total emisi Indonesia. Kegiatan pengeringan, oksidasi dan penggundulan gambut yang dilakukan akan meningkatkan jumlah emisi hingga 1.2 Gt pada 2030. Tingginya emisi dari lahan pertanian/gambut merupakan akibat adanya drainase dan konversi karbon padat rawa gambut (Tribune, 2013). Jenis vegetasi berkontribusi 35-57 %v terutama yang berasal dari respirasi akar, proses yang terjadi pada rizosfir. Mineralisasi oleh eksudat akar menyumbang 14-53 μmol C-CO2/m2/hari tergantung jenis vegetasi dan kelembaban. Vegetasi mempengaruhi lokasi C (Crow and R. Kelman Wieder, 2005). Mengingat pentingnya pengelolaan gambut, maka penelitian yang bertujuan untuk mengetahui respon ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat (MPF) terhadap pertumbuhan dan emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit telah dilakukan di lahan gambut
METODOLOGI Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun bibit petani di Provinsi Riau dari Oktober 2013Mei 2014,. Beberapa sifat kimia tanah disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Sifat kimia tanah gambut yang digunakan dalam penelitian Sifat kimia tanah pH C N (%) C/N P2O5 (Bray II) ppm K tersedia P2O5 HCl 25 % (mg 100 g-1) K2O HCl 25 % (mg 100 g-1) Mg tersedia cmol(+) kg-1
150
Nilai 3 37.35 1.83 20 22.8 175.4 59.22 42.84 3.05
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat
Penempatan Perlakuan dan inokulasi mikroba Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak kelompok dengan 3 kali ulangan terdiri 10 perlakuan yaitu a1= gambut + kompos tankos, a2= gambut (kontrol), a3= gambut + kompos tankos+25%P, a4= gambut + kompos tankos+50%P, a5 = gambut + kompos tankos + 75%, a6= gambut kompos tankos + 100% P, a7= gambut + 25% P, a8= gambut +50% P, a9= gambut + 75% P, dan a10= gambut + 100% P. Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit kelapa sawit varietas AA DP TOPAS 3 umur 4 bulan setelah semai. Inokulan mikroba pelarut fosfat adalah mikroba yang terindikasi sebagai mikroba pelarut fosfat yang diisolasi dari tanah gambut saprik Riau menggunakan media selektif pikovskaya. Media tanam yang digunakan adalah tanah gambut dangkal asal kabupaten Pelalawan yang diambil pada kedalaman 0-20 cm dengan sifat seperti pada Tabel 1, di keringanginkan dan disaring dengan diameter saringan 2 mm, tanah dicampur dengan kompos tankos dengan perbandingan 1:1 sesuai perlakuan dan dimasukkan ke dalam polibag ukuran 40 x 50 cm. Penyiapan inokulan Inokulum diperbanyak dengan menambahkan 10 ml NaCl fisiologis (0,85 %) pada stok isolat murni pada permukaan agar miring sehingga menjadi suspensi mikroba yang kemudian diinkubasikan pada suhu 30 o C hingga mencapai fase eksponensial yang dipercepat. 10 % suspensi dikulturkan dalam 100 ml medium yang mengandung 10 m M asam fitat pada suhu kamar stationer. Pada akhir inkubasi konsentrasi sel mikroba dihitung kepadatannya. Penanaman Masing-masing bibit kelapa sawit umur 4 bulan ditanam pada polibag tidak berlubang berisi media yang telah disiram hingga jenuh dan diberi lubang tanam dengan diameter 14 cm. Sebelum bibit ditanam ke dalam lubang tanam diberikan pupuk dasar 0.569 g N/tan + 0.458 g P /tan + 0.276 K/tan + 0.201 g Mg/tan. Pemupukan Pemupukan bibit dilakukan 2 minggu setelah tanam menggunakan pupuk tunggal secara tabur. Pupuk N diberikan dalam bentuk Urea, P diberikan dalam bentuk TSP, K dalam bentuk KCl dan Mg dalam bentuk kiserit, sesuai dengan perlakuan Tabel 2.
151
Ida Nur Istina et al.
Inokulan diinokulasikan pada sore hari dengan tingkat kerapatan 10 9, sebanyak 15 ml/tanaman dengan menuangkan larutan ke dalam tanah sesuai dosis perlakuan. Pemeliharaan meliputi penyiangan terhadap gulma yang tumbuh, penyemprotan pestisida untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman. Tabel 2. Dosis pupuk anorganik dan waktu pemupukan Minggu ke
N
18 20 22 24 26 28 30 32 34 35
1,594 2,278 2,278 2,278 3,644 3,644 3,644 4,556 4,556 4,556
100% 1,283 1,833 1,833 1,833 2,933 2,933 2,933 3,667 3,667 3,667
75% 0,963 1,375 1,375 1,375 2,2 2,2 2,2 2,75 2,75 2,75
Dosis Pupuk (g/tan) P 50% 25% Kontrol 0,642 0,321 0 0,917 0,458 0 0,917 0,458 0 0,917 0,458 0 1,467 0,733 0 1,467 0,733 0 1,467 0,733 0 1,833 0,917 0 1,833 0,917 0 1,833 0,917 0
K 0,774 1,106 1,106 1,106 6,271 6,271 6,271 7,839 7,839 7,839
Mg 0,563 0,804 0,804 0,804 7,638 7,638 7,638 8,04 8,04 8,04
Pengukuran emisi CO2 Emisi CO2 diukur menggunakan perangkat Infra Red Gas Analyzer (IRGA) type dengan metoda closed chamber. Chamber yang digunakan adalah dark chamber. Light chamber juga digunakan diakhir penelitian. Pengukuran emisi CO 2 menggunakan dark chamber dilakukan setiap bulan sekali sedangkan light chamber digunakansekali saja saat pengamatan terakhir. Parameter pengamatan meliputi: pertumbuhan tinggi tanaman 5 bulan setelah tanam, jumlah daun, lingkar batang, bobot kering akar, batang dan emisi CO 2. 20 minggu setelah perlakuan tanaman dicabut dengan hati-hati dibersihkan dari tanah dan dicuci agar tanah yang menempel pada akar terlepas kemudian ditimbang bobot akar, batang dan daun. Data yang terkumpul ditabulasikan dan dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS versi 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan pertumbuhan bibit kelapa sawit Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan
152
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat
tinggi tanaman bibit kelapa sawit; hal ini kemungkinan disebabkan kebutuhan hara untuk pertumbuhan optimal masih dapat dipenuhi oleh media gambut, namun menunjukkan perbedaan yang nyata pada pertambahan jumlah daun dan lingkar batang. Pertumbuhan vegetatif tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk diantaranya kecukupan hara seperti unsur hara N sebagai penyusun sel yang merangsang pertumbuhan vegetatif yaitu tinggi tanaman sedangkan unsur P berperan dalam pembelahan sel untuk membentuk organ tanaman. Bibit kelapa sawit akan mengalami defisiensi yang menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak normal jika kandungan hara P dalam tanah kurang dari 15 mg P/kg, K kurang dari 0,15 cmol/kg. Tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan inokulasi MPF pada Gambut+75 % P (73.74 cm) dan terendah pada inokulasi MPF pada media gambut (70.72 cm). Artinya bahwa bahwa inokulasi MPF meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit jika dikombinasikan dengan bahan anorganik. Asupan hara P yang ditambahkan pada tanah gambut diperlukan mikroba untuk kegiatan metabolismenya sehingga memacu pertumbuhan dan perkembangan mikroba untuk menghasilkan asam organik yang berperanan dalam mengkhelat unsur P yang terlarut sehingga tersedia bagi tanaman. Pertambahan jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan inokulasi MPF pada gambut + 25 % P (11,22 lembar) tidak berbeda nyata dengan inokulasi mikroba pelarut P pada gambut yang diberi amelioran tandan kosong kelapa sawit baik tanpa penambahan pupuk P maupun dengan penambahan berbagai dosis pupuk P kecuali penambahan 75 % P dan inokulasi mikroba pelarut P pada tanah gambut + 50 % P. Tabel 3. Keragaan rata-rata pertumbuhan bibit kelapa sawit Perlakuan Gambut + tankos Gambut Gambut+ tankos+25% P Gambut+ tankos+50% P Gambut+ tankos+75% P Gambut+ tankos+100%P Gambut+ 25 % P Gambut+ 50 % P Gambut+ 75 % P Gambut+ 100 % P
Tinggi tanaman (cm) 72.57 70.72 72.86 73.40 71.38 71.74 73.54 73.07 73.74 72.24
Σ daun (lbr) 10.50 ab 10.47 a 10.64 ab 10.53 ab 10.36 a 10.92 ab 11.22 b 10.64 ab 10.44 a 10.47 a
Diameter batang(cm) 4.83 b 4.61 ab 4.51 ab 4.67 ab 4.53 ab 4.48 a 4.45 a 4.56 ab 4.45 a 4.44 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf bedanyata 5 %
153
Ida Nur Istina et al.
Jumlah daun terendah pada inokulasi MPF pada media gambut+kompos tankos+75% P (10,36 lembar) tidak berbeda nyata dengan kontrol. Pembentukan organ baru ditentukan oleh unsur hara P . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa MPF bekerja dengan baik pada tanah yang kandungan hara P nya rendah. Pada kondisi hara P tersedia melimpah MPF tidak bekerja. Pada perlakuan dimana gambut memiliki kandungan P tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman sehingga MPF melakukan aktivitas pelarutan dengan baik. Peranan MPF adalah menguraikan unsur hara P dan mencegah P yang terurai dikhelat oleh koloid tanah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Pertambahan diameter batang terbesar terdapat pada perlakuan inokulasi MPF pada tanah gambut (4.83 cm) dan terkecil pada perlakuan inokulasi MPF pada Gambut+100 % P artinya bahwa penambahan P menghambat aktifitas MPF untuk melakukan aktifitas pelarutan hara P, sementara dari 100 % P yang diaplikasikan 80-90% difiksasi komponen tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Berat Biomassa bibit kelapa sawit Berat biomassa tanaman menggambarkan aplikasi MPF pada berbagai media menunjukkan perbedaan yang nyata. Berat brangkasan bibit kelapa sawit tertinggi pada media gambut +75% P, Gambut + 100 % P, Gambut + tankos +100% P dan Gambut + tankos tetapi tidak berbeda nyata dengan aplikasi MPF pada media Gambut+ tankos+50% P, Gambu t+ 75 % P, Gambut + 50 % P namun berbeda nyata dengan aplikasi MPF pada tanah gambut, demikian juga pada berat brangkasan akar (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa berat biomasa tanaman ditentukan oleh penambahan bahan anorganik baik dalam bentuk pupuk kimia yang ditambahkan maupun yang berasal dari kompos tandan kosong kelapa sawit yang merupakan bahan baku untuk proses fotosintesa dan proses metabolisme tanaman lainnya. Hasil dari proses tersebut pada akhirnya didistribusikan kembali pada seluruh bagian tanaman. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa MPF berkontribusi dalam penyediaan hara P melalui mekanisme penguraian unsur P dari P anorganik dan mencegah khelasi oleh asam organik gambut. Unsur hara P diperlukan tanaman untuk pertumbuhan akar, proses fotosintesis dan metabolisme lainnya. Selain itu inokulasi mikroba pelarut fosfat kan meningkatkan lapisan yang sesuai untuk pertumbuhan dan produksi tanaman serta kelestarian kesehatan tanah (Sharma, 2013). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa aplikasi MPF secara tunggal tidak berpengaruh nyata terhadap keragaan berat kering batang (bagian atas tanaman), namun pengaruhnya menjadi nyata pada berbagai media dengan kombinasi kompos tankos dan pupuk P anorganik, meski tidak berbeda nyata pada bagian akar tanaman.
154
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat
Tabel 4. Keragaan berat brangkasan dan berat kering tanaman Perlakuan
Brangkasan (g)
Berat Kering (g)
Gambut+tankos
Batang 321.99 bc
Akar 100.61 abc
Batang 104.79 bc
Akar 21.64 a
Gambut
250.28 a
82.99 a
84.69 ab
18.76 a
Gambut+ tankos+25% P
279.60 ab
89.77 ab
90.19 abc
20.63 a
Gambut+ tankos+50% P
302.70 abc
103.97 bc
97.79 abc
21.75 a
Gambut+ tankos+75% P
281.30 ab
101.89 abc
83.61 a
18.97 a
Gambut+ tankos+100% P
339.71 bc
108.80 bc
106.23 c
23.30 a
Gambut+ 25 % P
290.17 abc
104.79 bc
90.41 abc
19.97 a
Gambut+ 50 % P
289.26 abc
107.54 bc
90.71 abc
19.13 a
Gambut+ 75 % P
348.62 c
108.92 bc
103.46 abc
20.15 a
Gambut+ 100 % P
322.18 bc
113.10 c
97.77 abc
21.00 a
Keterangan : - Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf beda Nyata 5 % - 25-100% P adalah persen pupuk P diaplikasikan dari total rekomendasi pupuk P
Artinya bahwa hara didistribusikan secara merata baik pada bagian atas tanaman maupun bagian bawah tanaman (akar). Berat brangkasan tertinggi terdapat pada perlakuan gambut+ 75 % P tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan lain kecuali perlakuan gambut menunjukkan bahwa kecukupan hara P yang diperlukan tanaman untuk proses metabolisme yang diindikasikan dengan berat brangkasan berasal dari P yang diberikan dan kandungan P asal tandan kosong kelapa sawit. Kompos tandan kosong kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki pH 8.5, sehingga penggunaannya sebagai amelioran berpengaruh pada peningkatan pH tanah yang berdampak baik pada pertumbuhan mikroba maupun ketersediaan hara P bagi tanaman. Pada gambut yang tidak terameliorasi, kecukupan hara P selain dipengaruhi oleh P yang diberikan juga dipengaruhi oleh adanya mikroba pelarut fosfat yang berperanan dalam mencegah P terlarut diikat oleh aluminium tanah sehingga tersedia bagi tanaman. Keragaan Emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit Emisi CO2 dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pH tanah, ketersediaan hara, air, suhu dan faktor lingkungan lainnya. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat pada tanah gambut saprik berpengaruh terhadap respirasi dan emisi CO2 pada 1 bulan setelah perlakuan, namun
155
Ida Nur Istina et al.
tidak berbeda nyata hingga 5 bulan setelah perlakuan dan memiliki kecenderungan menurun (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan lahan gambut menggunakan amelioran tandan kosong kelapa sawit dan inokulasi mikroba pelarut fosfat untuk meningkatkan performansi pertumbuhan tanaman tidak berpengaruh terhadap emisi CO2. Tabel 5. Pengaruh amelioran terhadap emisi CO2 Perlakuan Gambut+tankos Gambut Gambut+ tankos+25% P Gambut+ tankos+50% P Gambut+ tankos+75% P Gambut+ tankos+100% P Gambut+ 25 % P Gambut+ 50 % P Gambut+ 75 % P Gambut+ 100 % P
5.77 ab 4.20 a
16.07ab 14.69ab
38.23 38.77
a a
23.43 27.16
a a
28.62 28.69
a a
Maret Dark Light 20.91 a -4.54 a 19.39 a 2.38 a
5.38 ab
14.89ab
34.71
a
23.66
a
26.83
a
21.03
a
-3.42 a
5.30 ab
16.30ab
38.33
a
29.97
a
28.17
a
20.66
a
-2.28 a
5.80 ab
13.48a
36.67
a
26.56
a
25.95
a
21.98
a
-11.17 a
5.47 ab
17.84b
40.07
a
22.57
a
33.94
a
23.83
a
-2.38 a
6.62 b 5.69 ab 5.13 ab 4.56 ab
16.04ab 14.96ab 13.21a 13.96ab
38.07 40.26 34.52 39.84
a a a a
24.94 26.97 26.56 26.73
a a a a
29.07 28.95 30.01 28.53
a a a a
20.67 21.23 25.30 22.47
a a a a
Respirasi
Nov
Des
Jan
Peb
-3.23 -13.47 -1.15 -14.16
a a a a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf beda nyata 5 %
Tabel 5 menunjukkan bahwa respirasi pada pemupukan 25 % menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Penambahan pupuk pada kompos memberikan indikasi terjadinya respirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa amelioran. Penambahan pupuk P pada gambut yang diameliorasi menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis pupuk P yang diberikan semakin tinggi respirasi, meskipun terjadi penurunan apabila dosis ditingkatkan lebih dari 75 %. Pada tanah gambut yang tidak diberi amelioran memiliki kecenderungan semakin tinggi dosis pupuk P yang diberikan semakin rendah respirasi yang terjadi. Respirasi terjadi pada penambahan dosis pupuk P sebesar 25 %. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh aktifitas mikroba, dimana semakin tinggi dosis pupuk P mikroba pelarut fosfat tdak dapat bekerja dengan baik dan kelebihan pupuk P yang bersifat mobil diikat oleh asam organik tanah sehingga respirasinya berkurang. Sedangkan pada tanah gambut yang diameliorasi kecenderungan respirasi meningkat hingga dosis penambahan pupuk P 75 %, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh perubahan kondisi tanah khususnya pH yang lebih sesuai dengan pertumbuhan mikroba untuk beraktifitas menghambat kehilangan pupuk P maupun aktifitas dekomposisi. Pada awal pengamatan penambahan pupuk P sebanyak 75
156
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat
% pada tanah gambut yang diberi amelioran maupun tidak menunjukkan emisi CO 2 lebih rendah berbeda nyata dengan ameliorasi tanah gambut + 100 % pupuk P. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh penambahan unsur hara P diperlukan mikroba untuk melakukan aktifitas dalam penyusunan sel dan enzim fosfatase yang berperan dalam menstimulir pertumbuhan akar dan mikroba sehingga meningkatkan emisi CO2. Keragaan emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun setelah minggu ke sepuluh setelah perlakuan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh adanya kandungan Fe dalam kompos tandan kosong kelapa sawit yang berinteraksi dengan asam-asam organik membentuk komplek organo Fe yang stabil (Nelvia, 2009) dan sulit didekomposisikan oleh mikroorganisme yang berdampak pada terhambatnya aktifitas dan mengurangi produksi CO2. Hasil analisis laboratorium terhadap kompos kelapa sawit menunjukkan bahwa kandungan Fe pada kompos yang digunakan sebesar 1.22 ppm. Kemungkinan lain adalah adanya reduksi oleh kegiatan fotosintesa bibit kelapa sawit untuk menghasilkan fotosintat bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Kusumaningrum, 2008). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sekuestrasi emisi CO2 terjadi pada semua perlakuan kecuali pada perlakuan kontrol (gambut), hal ini mengindikasikan bahwa ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat berpengaruh positif terhadap gambut yaitu meningkatkan pH tanah, hara tanah dan menyediakan suasana yang baik untuk mikroba potensial dan melakukan aktifitasnya. KESIMPULAN Ameliorasi tandan kosong kelapa sawit pada tanah gambut mampu meningkatkan meningkatkan ketersediaan hara bibit untuk pembibitan kelapa sawit yang diindikasikan pada berat biomassa. Kombinasi inokulasi mikroba pelaruf fosfat dan amelioran yang diaplikasikan juga berpengaruh secara tidak langsung dalam menurunkan emisi CO2. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Litbang Pertanian beserta jajarannya yang sudah memberikan pendanaan dan bantuan sarana prasarana selama penelitian. Bapak Prof. Fahmuddin Agus yang telah memberikan bantuan, saran dan perbaikan. Ibu Nurhayati SP,MP; Jakoni SP.MP dan Aris yang membantu dalam pelaksanaan eksplorasi, pelaksanaan dan pengamatan emisi CO2. DAFTAR PUSTAKA Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, P. Setyanto, I.G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, E. Susanti, and W. Supriatna. 2010. Carbon budget and management strategies for conserving carbon in peat land: Case study in Kubu Raya and Pontianak
157
Ida Nur Istina et al.
Districts, West Kalimantan, Indonesia. pp. 217-233. In, Chen, Z.S. and F. Agus (eds.), Proceedings of Int’l Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration on Asian Countries. Badan Pusat Statistik, 2013. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2013. www.bps.go.id/ publications/publikasi.php. Banik, S. Dan B.K. Dey, 1982.Available fosfate content of an alluvial soil as influenced by inoculation of some isolated fosfate solubilizing micro-organisms. Plant soil 69:353-364. Berg Bjorn dan Charles Mc Claugherty, 2008. Plant litter. Decomposition Humus Formation, Carbon Sequestration. Springer, Verlag Berlin Heisenberg. Crow Susan E., and R. Kelman Wieder, 2005. Sources of CO2 Emission from A Northern Peatland : Root Respiration, Exudation, and Decomposition. Esa Ecology 86:1825–1834. http://dx.doi.org/10.1890/04-1575. Darnoko dan Ady S.S., 2006. Pabrik Kompos di Pabrik Kelapa Sawit. Tabloid Sinar Tani, 9 Agustus 2006. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/129/pdf/Pabrik%20 Kompos%20di%20Pabrik%20Sawit.pdf (4/5/12). El-Yazeid and H.E.Abou-Aly, 2011. Enhanching Growth, Productivity and Qualit of Tomato Plants Using Phosphat Solubilizing Microorganisms. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 5(7):371-379. Goenadi, D.H dan R. Saraswati, 1993. Kemampuan melarutkan fosfat dari beberapa isolat fungi pelarut fosfat. Menara Perkebunan 61 (3): 61-66. Hartono Yuafanda Kholfi, 2013. Indonesia turut menyumbang Emisi Karbon Dunia. Tribune Sabtu 23 Pebruari 2013. www.tribunnews.com › Tribunners. Kaufman Donald G.; Cecilia M. Franz (1996). Biosphere 2000: protecting our global environment. Kendall/Hunt Pub. Co. ISBN 978-0-7872-0460-0. Retrieved 11 October 2011. Kusumaningrum N, 2008. Potensi Tanaman Dalam Menyerap CO2 dan CO untuk Mengurangi Dampak Pemanasan Global. Jurnal Pemukiman Vol. 3 No. 2 Juli 2008. Hal 96-105. http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik 20131119123830.pdf. Lestari, Y. Dan R. Saraswati, 1997. Aktivitas enzim fosfatase jamur pelarut fosfat pada tanah podzolik merah kuning. Dalam prosiding Seminar Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menyongsong Era Globalisasi, Banjarmasin 13-14 Maret 1997 Nelvia, 2009. Kandungan Fosfor dan Emisi Karbon Tanah Gambut yang Diameliorasi. J. Tanah Trop., Vol 14 No. 3 hal. 195-2004 Ritung, Wahyunto, Kusumo Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparo dan Chendy Tafakresnanto, 2011. Peta lahan gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Edisi desember 2011. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. 30 hal.
158
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat
Sharma Seema B, Riyaz Z Sayyed, Mrugesh H.T. and Thivakaran A. Gobi, 2013. Phosphate Solubilizing microbes: Sustainable approach for managing phosphorus deficiency in Agricultural Soils. A Springer Open Journal. Springer Plus. 2013,2:587 doi:10.1186/2193-1801-2-587. http://springerplus.com/content/ 2/1/587 Singh, S.K. and Reddy, K.R. 2011. Regulation of photosynthesis, fluorescence, stomatal conductance and water-use efficiency of cowpea (Vigna unguiculata [L.] Walp.) under drought, Journal of Photochemistry and Photobiology B:Biology, 105:4050. Shwartz Mark, Climate change surprise: High carbon dioxide levels can retard plant growth, study reveals. Stanford News Service: (650) 7239296,
[email protected]. Suntoro, 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Universitas Sebelas Maret. Suriadikarta, R.D.M dan Simanungkalit, D.A. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengem bangan Pertanian. Bogor. Wahyunto, Wahyu Supriatna, and Fahmuddin Agus. 2010. Landuse change and Recommendation for Sustainable development of Peat for agriculture: Case study at Kubu raya and pontianak Districts, West Kalimantan. Indonesian Journal of Agricultiural Science. Vol.11, No.1, April 2010. Page. 32-40. Wahyunto, Ai Dariah, Djoko Pitono dan Muhrizal Sarwani, 2013. Prospek Pemanfaatan lahan gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Perspektif Vol.12 No.1/Juni 2013. Halaman 11-22. Zaidi A, Khan MS, Ahemad M, Oves M, Wani PA, 2009.Recent Advances in Plant Growth Promotion by Phosphate-Solubilizing Microbes. In: Khan MS (ed) Microbial Strategies for Crop Improvement, Berlin Heidelberg: Springer-Verlag. pp 23-50.
159
10
RESPON TANAMAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT TERHADAP BERBAGAI AMELIORAN (STUDI KASUS DESA ARANG-ARANG PROVINSI JAMBI)
RESPONE OF OIL PALM PLANTED ON PEATLAND TO AMELIORANTS : A CASE STUDY IN ARANG-ARANG, JAMBI Salwati, R. Purnamayani, Firdaus, Lutfi Izhar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda Paal V, Kotabaru, Jambi.
Abstak. Tanah gambut yang miskin hara mikro dan makro, selain memerlukan pupuk dalam jumlah cukup tinggi juga memerlukan amelioran. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh amelioran terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit di lahan gambut. Penelitian dilaksanakan di di Desa Arang-Arang, Provinsi Jambi (1o 40’ 40.79” – 1o 41’ 00.85” LS dan 97o 48’ 48.56” – 97o 49’ 33.63’ BT), dilaksanakan dari Oktober 2012 sampai Juni 2014. Ketebalan gambut dominan di demplot 200 – 250 cm, tingkat dekomposisi hemik sampai saprik, ditanami kelapa sawit berumur 6 tahun. Penelitian dengan rancangan acak kelompok, 4 ulangan, dengan perlakuan yaitu : (a) pupuk gambut/pugam, (b) kompos tankos, dan (c) pupuk kandang / pukan ayam. Pengukuran dilakukan terhadap : Jumlah pelepah daun dengan menghitung jumlah penambahan pelepah setiap bulan, panjang pelepah yang diukur dari pangkal sampai ujung pelebah terpanjang, lingkar batang dengan mengukur keliling batang pada ketinggian 1 – 1,5 m dari permukaan tanah, dan tandan buah segar dihitung setiap panen 2 kali sebulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pugam, pukan dan tankos berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah pelepah, lingkar batang dan panjang, namun berpengaruh nyata terhadap Tandan Buah Segar (TBS) dibanding kontrol, masing-masing terjadi peningkatan berturut-turut sebesar 35,3%, 34,9%, 33,9% dibanding kontrol. TBS (kg/ha/tahun) kontrol 11,11 + 0,6, sedangkan pugam, pukan dan tankos berturut-turut adalah 17,18 + 2,1 ; 17,09 + 1,8 dan 16,83 + 1,8. Pemberian amelioran dapat meningkatkan produksi kelapa sawit. Aplikasi pugam dan pupuk kimia sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sawit yang optimal. Kata kunci : Respon, Amelioran, Gambut, Sawit, Jambi Abstract. Peatland has micro and macro nutrients indigent. It requires fairly high amount of fertilizer and ameliorant added. This study aimed to examine the effect of both ameliorant and fertilization on oil palm growth and production in peatland. The experiment was conducted in Arang-arang village, Jambi Province, from October 2012 to June 2014. Thickness of peat is between 200 - 250 cm with a Hemik - Saprik maturity level. Oil palm has planted over 6 years old. Study done with randomized complete block design, 4 replications using 3 ameliorant + basic fertilizer treatments as
161
Salwati et al.
follows: (a) pugam, (b) tankos, (c) chicken manure. Observations and measurements were made from: The number of completely leaf midrib developed by counting it in each month, measured the longest stem from the base to the tip frond, measured trunk cycle at a height of 1 - 1.5 m from soil surface, and calculated fresh fruit bunches (TBS) harvested every twice a month. The results showed that application of pugam, tankos and chicken manure gave no significant effect on the number of midrib, the length of stem and trunk cycled because ameliorant was scarcely affected oil palm vegetative development phase. In contrast, treatments significant effect on fresh fruit bunches (FFB) increased by 35.3% on pugam , 34,9% on tangkos, and 33.9% on manure compared to controls. TBS (kg/ha/year) for control was 11,11 + 0,6, while on pugam, manure and tankos were 17,18 + 2,1 ; 17,09 + 1,8 dan 16,83 + 1,8 respectively. Ameliorant application can increase oil palm production. Application of both pugam and basic fertilizer is needed to obtain optimal oil palm production in peatland. Key words: Response, Ameliorant, Peatland, Oil Palm, Jambi. PENDAHULUAN Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman penghasil minyak yang dikembangkan di berbagai negara tropis termasuk Indonesia. Kelapa sawit merupakan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan cocok diusahakan di iklim tropis seperti Indonesia. Pengembangan perkebunan kelapa sawit terus dilakukan karena merupakan komoditi penghasil minyak yang terdiri dari minyak mentah (CPO atau Crude Palm Oil) dan inti atau kernel (Pahan 2008). Indonesia sebagai salah satu negara agraris, berpeluang untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit secara lebih efektif. Terbukti pada tahun 2005 Indonesia menjadi produsen kelapa sawit terbesar kedua dengan total produksi mencapai 39,18% di bawah produksi Malaysia sekitar 50,68% dari 100% kebutuhan dunia. Padahal, Indonesia memiliki luas lahan 5,16 juta ha lebih luas dibandingkan Malaysia sebagai pemasok CPO terbesar dunia saat itu (LRPI 2007). Hal ini terjadi karena produktivitas tanaman kelapa sawit di Indonesia yang masih rendah rata-rata 3,29 ton CPO/ha/tahun dibanding Malaysia dengan produksi rata-rata 4,24 ton CPO/ha/tahun (Direktorat Tanaman Tahunan 2009). Peningkatan produksi tanaman kelapa sawit dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan/atau perluasan lahan. Salah satu upaya dalam peningkatan produktivitas atau perluasan pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan gambut (Gusmawartati dan Wardati 2012). Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi polemik global dalam dua dekade terakhir ini. Pemanfaatan lahan gambut menjadi dilematis karena terjadi
162
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
pertentangan antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Berdasarkan aspek ekonomi, pemanfaatan lahan gambut telah menjadi sumber pendapatan bagi petani, perkebunan dan pemerintah daerah (Sabiham dan Sukarman 2012). Namun berdasarkan aspek lingkungan, pemanfaatan lahan gambut menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global. Lahan gambut selain menyimpan stok karbon terbesar juga menghasilkan emisi GRK (Subiksa 2012). Upaya peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah dilakukan melalui serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi (Widyati 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan menjadi kunci peningkatan produktivitas lahan. Pengalaman empiris, baik oleh petani maupun lembaga penelitian menunjukkan bahwa pupuk kandang serta bahan amelioran yang kaya dengan kation polivalen menjadi amelioran yang sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas lahan dan stabilitas gambut (Agus et al., 2008). Pemilihan jenis bahan amelioran dalam penelitian ini mengacu kepada hasil-hasil penelitian dan pengalaman empiris serta kearifan lokal yang sudah dilakukan bertahuntahun dengan hasil agronomis yang nyata. Selain meningkatkan produktivitas lahan, amelioran yang dipilih diharapkan mampu meminimalkan emisi karbon (Sabiham dan Sukarman 2012). Tujuan Penelitian untuk mempelajari pengaruh ameliorasi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit di lahan gambut. METODOLOGI Deskripsi lokasi Percobaan Lokasi percobaan terletak pada demplot ICCTF (Indonesian Climate Change Trust Fund) di Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi, berjarak 40 km dari Kota Jambi ibukota Provinsi Jambi. Secara geografis terletak antara 1o 40’ 40.79” – 1o 41’ 00.85” LS dan 97o 48’ 48.56” – 97o 49’ 33.63’ BT. Lokasi percobaan mempunyai tipe iklim basah dengan curah hujan antara 2.000 – 3.000 mm/tahun. Pola curah hujan tergolong III C, yaitu daerah mempunyai curah hujan rata-rata tahunan 2.000 – 3.000 mm, dengan bulan kering (curah hujan rata-rata bulanan < 100/mm) kurang dari 4 bulan dan mempunyai bulan basah (curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 200 mm) antara 6 – 8 bulan dengan pola ganda. Sementara itu, berdasarkan zona agroklimat pulau Sumatera (Oldeman 1978) lokasi demplot tergolong Zone Agroklimat B1 yaitu Zone Agroklimat yang mempunyai bulan basah berturut-turut antara 7 – 9 bulan dan bulan kering berturut-turut kurang dari 2 bulan.
163
Salwati et al.
Tanah gambut di lokasi demplot seluas 5 ha ini termasuk kedalam gambut Oligotropik sampai Mesotrofik, dengan ketebalan 150 – 200 cm (1.08 ha atau 17,87% dari luas demplot), ketebalan 200 – 250 cm (2,79 ha atau 49,80%), ketebalan 250 – 300 cm (1,82 atau 32,34%). Tingkat dekomposisi gambut tergolong hemik sampai saprik dengan nilai bobot isi antara 0,21 – 0,28 g/cm3, reaksi tanah sangat masam, kandungan hara rendah, dan kadar abu rendah sampai sedang. Tanah gambut di lokasi demplot menurut taxonomi tanah USDA (2010) termasuk kedalam Typic Haplosaprists, Hemik Haplosaprists dan Fluvaquentic Haplosaprists. Kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit tergolong sesuai marginal (S3) dengan faktor penghambat utama reaksi tanah sangat masam dan kejenuhan basa sangat rendah. Oleh sebab itu, tindakan pemupukan dan pengapuran sangat diperlukan untuk memperbaiki faktor-faktor tersebut. Pelaksanaan Percobaan Percobaan di lokasi demplot dimulai Oktober tahun 2012 sampai Juli tahun 2014. Tanaman utama sebagai indikator adalah kelapa sawit umur 6 tahun pada tahun 2013. Kebun kelapa sawit ini merupakan kebun plasma dari lokasi transmigrasi Arang-Arang, Provinsi Jambi. Lokasi mulai dibuka untuk perkebunan kelapa sawit pada tahun 2005. Daerah ini sebelumnya berupa hutan sekunder lahan gambut. Sebelum dilakukan percobaan, pengelolaan sawit di lokasi ini belum optimal, saluran drainase yang ada kurang terpelihara, sehingga permukaan air tanah terutama pada saat musim hujan sangat tinggi (5 – 10 cm). Kondisi air tanah yang demikian sangat menganggu pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari: pugam (pupuk gambut), pupuk kandang (pukan) ayam, kompos tandan kosong (tankos) kelapa sawit, pupuk dasar (Urea, SP-36, KCl) dan herbisida (Round Up dan Gramozon). Alat yang digunakan terdiri dari : gerobak dorong, arit, parang, dan cangkul. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL), 4 perlakuan dan 4 ulangan. Tiga perlakuan ameliora yaitu pugam, kompos tankos, dan pukan ayam, serta kontrol (tanpa pemberian amelioran). Pugam adalah pupuk organik yang rendah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk lahan gambut. Selain mampu menekan laju emisi khususnya karbon dioksida, dan meningkatkan stabilitas gambut, pugam juga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan efisiensi pemupukan. Pukan adalah semua produk buangan dari binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik, dan biologi tanah. Pukan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk yang berasal kotoran ayam. Kompos tankos merupakan limbah padat hasil pabrik kelapa sawit yang didekomposisikan menjadi
164
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
pupuk organik. Pemberian kompos tankos ke tanah akan dapat mempengaruhi populasi mikroba tanah yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kualitas tanah. Hasil karakteristik pugam, pukan ayam, dan tankos yang digunakan di demplot disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil karakteristik pugam, pukan, dan tankos yang digunakan pada lokasi demplot. Parameter pH H2O (1:5) Kadar Air As. Humat As. Fulfat Asam Humat C-Organik Organik NH4 NO3 Total C/N P2O5 K2O Ca Mg S
Unit
% % % % % % % % % % % % % % %
Pugam 8,6 3,8 13,15 0,08 18,9 6,53 0,56
Pukan 8.5 70.08 1.37 1.60 4.48 6.13 0.40 0.06 0.03 0.49 12 0.56 0.49 0.72 0.33 0.10
Kompos Tankos 7.0 55.89 1.43 2.42 6.66 19.23 1.54 0.15 0.08 1.77 11 4.75 0.45 1.29 0.80 0.20
Penempatan pugam, pukan, dan tankos pada demplot disesuai dengan rancangan yang digunakan. Pemilihan tanaman sampel mengikuti keseragaman/homogenitas tanaman sawit di lapangan. Empat sampel tanaman sawit digunakan untuk pengamatan pertumbuhan tanaman selama penelitian berlangsung (Gambar 1).
165
Salwati et al.
Gambar 1. Denah pohon sampel di lokasi demplot Komposisi dan dosis perlakuan amelioran dan pemberian pupuk dasar pada semua perlakukan ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Perlakuan amelioran dan pemberian pupuk dasar pada demplot.
Perlakuan
1.
A
2.
Pugam (kg/phn)
3. 4.
Pupuk Kandang Ayam (kg/phn) Kompos Tandan Kosong sawit (kg/phn)
Dosis Amelioran dan Pupuk Dasar Pertama (sesudah Kedua: Enam bulan Ketiga: Enam bulan dua bulan pertama sesudah pemberian sesudah pemberian pengamatan emisi pertama kedua GRK) 5,0
3,0
3,0
10
6,0
6,0
15
9,0
9,0
Pupuk Dasar*) 1.
Urea (kg/phn)
2
2
2
2.
SP-36 (kg/phn)
2
2
2
3. KCl (kg/phn) 2,5 2,5 *) Pupuk dasar diberikan pada semua perlakuan (pugam, pukan, tankos, dan kontrol)
2,5
Sebelum aplikasi amelioran terlebih dahulu dilakukan pengambilan contoh tanah secara acak pada piringan tanaman sampel dan ditandai pohon tempat pengambilan contoh sebelumnya untuk pengambilan contoh tanah berikutnya. Aplikasi dilakukan 2 kali setahun, yaitu pada awal musim hujan (bulan Agustus 2013) dan akhir musim hujan
166
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
(bulan Februari 2014). Piringan sekitar pohon sampel dibersihkan dengan radius 2 - 3 m dari batang pokok dan dibatasi dengan saluran dangkal. Pugam, pukan, dan tankos serta pupuk dasar ditaburkan secara larikan merata pada keliling piringan (Gambar 2). Perlakukan pugam pupuk SP-36 tidak diberikan lagi.
Gambar 2. Aplikasi amelioran dan pupuk dasar di piringan dan diantara empat tanaman sampel Aplikasi amelioran dan pupuk dasar juga dilakukan diantara empat tanaman sampel (Gambar 2). Aplikasi pugam, pukan, dan tankos diantara empat tanaman sampel juga diberikan pada awal dan akhir musim hujan dengan dosis berturut-turut 750 kg/ha, 1500 kg/ha, dan 1500 kg/ha. Pupuk dasar diberikan dengan dosis Urea 2 kg/pohon, SP-36 2 kg/pohon, dan KCl 2,5 kg/pohon. Analisis kimia tanah dilakukan untuk mendukung data pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pengamatan dan pengukuran agronomi tanaman sawit dilakukan setelah aplikasi amelioran dan pemberian pupuk dasar pertama dilakukan. Parameter agronomi yang diamati adalah jumlah pelepah daun yang sudah berkembang, dengan menghitung jumlah penambahan pelepah setiap bulannya, panjang pelepah tanaman kelapa sawit, diukur dari pangkal sampai ujung pelebah yang terpanjang, lilit batang tanaman kelapa sawit, dengan mengukur keliling batang ketinggian dari 1 – 1,5 m dari permukaan tanah. Parameter produksi Tandan Buah Segar (TBS) tanaman sawit dihitung setiap panen 2 kali sebulan pada pohon sampel. Selanjutnya, data pertumbuhan dan produksi tanaman sawit dianalisis statistik dan perbedaan antar perlakuan berdasarkan perbedaan standar deviasi.
167
Salwati et al.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Kimia Lahan Gambut di Demplot Kegiatan Karakteristik kimia tanah gambut di Indonesia sangat beragam dan ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, dan jenis tanaman penyusun gambut, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), serta tingkat dekomposisi gambut. Karakteristik lahan gambut akan sangat bervariasi baik antar lokasi, maupun antar areal dalam satu lokasi. Kasus pada kegiatan ini, karakteristik lahan gambut sangat bervariasi antar areal di dalam demplot. Hal ini karena sifat inherent tanah gambut yang terdiri dari senyawasenyawa organik, sehingga hasil analisis tanah pada demplot I sampai dengan IV karakteristik kimia tanah gambutnya sangat bervariasi (Tabel 3). Kandungan P potensial (P-HCl) pada demplot I lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga demplot lainnya, dimana pada demplot I dikategorikan sangat tinggi sedangkan di lokasi lainnya berkisar sedang. Hal ini sejalan dengan P-tersedia (P-Bray) yaitu demplot I miliki kandungan P tertinggi diikuti dengan demplot III Kandungan Ca dan Mg di keempat demplot termasuk dalam kriteria ‘tinggi’, karena areal kebun tersebut sudah sering mendapatkan aplikasi dolomit/kapur. Kandungan Al dan Fe tidak jauh berbeda di masing-masing lokasi demplot. Secara keseluruhan, kesuburan tanah di demplot penelitian termasuk kategori baik, karena demplot telah mendapatkan aplikasi amelioran dan pupuk anorganik sesuai kebutuhan tanaman sawit, serta sesuai dosis dan waktu pemberian. Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia tanah di lokasi demplot Jenis Analisis
Demplot I
Demplot II
Demplot III
Demplot IV
P-HCl (me/100g)
71,25
31
39,5
29
K-HCl (me/100g)
25,25
17
25,25
32,75
P-Bray (ppm)
199,43
96,98
170,83
90,83
Ca (me/100g)
12,40
11,3
17,78
8,60
Mg (me/100g)
2,41
2,38
3,97
2,64
K (me/100g)
0,49
0,32
0,45
0,63
Al (%)
0,14
0,12
0,15
0,15
Fe (%)
0,03
0,02
0,03
0,03
168
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
Perbedaan kandungan unsur hara pada masing-masing demplot tergantung pada susunan kimia dan tingkat kematangan gambut. Semakin lanjut tingkat kematangan gambut, maka semakin banyak unsur hara yang dilepaskan dan tersedia bagi tanaman. B.
Keragaan Agronomis Tanaman Kelapa Sawit
1.
Jumlah pelepah tanaman
Jumlah pelepah tanaman sawit merupakan salah satu penciri keragaan agronomis tanaman kelapa sawit. Umumnya jumlah pelepah kelapa sawit bertambah 2 pelepah setiap bulannya. Pada Gambar 3 terlihat bahwa setiap perlakuan memiliki kecenderungan peningkatan jumlah pelepah yang sama. Di mana, pada 6 bulan pertama, peningkatan jumlah pelepah cenderung landai, setelah 6 berikutnya terlihat meningkat cukup tajam. Diduga hal ini terjadi karena pengaruh pupuk dasar maupun amelioran baru berpengaruh pada saat 6 bulan setelah pemberian. Kecenderungan peningkatan jumlah pelepah pada kontrol berbeda tidak nyata dengan pemberian amelioran pugam, pukan maupun tankos. Hal ini terlihat dari standar deviasi pada setiap perlakukan (Gambar 3). Fenomena ini memberi gambaran bahwa pemberian pupuk anorganik lebih berpengaruh dibandingkan pemberian amelioran. Menurut Pauli et al., (2014) pemberian pupuk anorganik sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan hasil tanaman sawit terutama yang tumbuh di lahan marjinal seperti lahan gambut karena kemungkinan besar terjadi pencucian dan pengikatan oleh unsur kimia beracun oleh tanaman. Peningkatan yang cukup tajam jumlah pelepah kelapa sawit dari bulan Februari ke bulan Maret diduga juga disebabkan oleh aplikasi pupuk kedua yang dilaksanakan pada akhir awal Februari 2014. Kandungan unsur hara yang cepat tersedia dari pupuk anorganik menyebabkan unsur hara tersebut cepat diserap tanaman dan berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman, salah satunya adalah jumlah pelepah kelapa sawit. Perbandingan dengan tinggi muka air tanah pada bulan Maret, tinggi muka air tanah berada di bawah 1 m. Kondisi ini diduga menyebabkan peningkatan jumlah pelepah di bulan tersebut karena kondisi tanah yang mencapai kapasitas lapang untuk tanaman sawit. Menurut Lim et al., (2012) muka air yang optimum untuk hasil panen kelapa sawit di lahan gambut adalah 50 - 70 cm (saluran draenase) dan 40 – 60 cm (pembacaan piezometer air tanah dari permukaan).
169
Salwati et al.
Kontrol
Pukan
Pugam
Tankos
Gambar 3. Jumlah pelepah tanaman kelapa sawit setelah aplikasi amelioran dan pupuk dasar pemberian pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan tahun 2014.
2.
Lingkar batang
Lingkar batang merupakan salah satu keragaan agronomis tanaman kelapa sawit yang dapat menunjukkan tingkat pertumbuhan tanaman kelapa sawit (Paoli et al., 2013). Kecenderungan pertumbuhan tanaman sawit yang diberi amelioran menujukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Berbeda dengan jumlah pelepah kelapa sawit, lingkar batang pada perlakuan pemberian amelioran justru menurun dari bulan Februari ke bulan Maret. Sedangkan pada kontrol terus meningkat dengan kecenderungan yang landai. Hal ini mungkin terjadi kesalahan pengukuran pada lingkar batang karena pengukuran dipengaruhi oleh tonjolan-tonjolan bekas potongan pelepah. Kontrol
170
Pugam
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
Pukan
Tankos
Gambar 4. Lingkar batang tanaman kelapa sawit setelah aplikasi amelioran dan pupuk dasar pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan tahun 2014. 3.
Panjang pelepah
Panjang pelepah yang diukur adalah pelepah terpanjang pada tanaman contoh. Dari Gambar 5 terlihat bahwa perlakuan tankos memiliki kecenderungan yang sama dengan kontrol. Sedangkan perlakuan pugam memiliki kecenderungan yang sama dengan pukan. Peningkatan panjang pelepah berbeda tidak nyata diantara semua perlakuan, terlihat dari standar deviasi dalam grafik. Standar deviasi pada masing-masing pengukuran sangat besar menunjukkan nilai-nilai yang sangat bervariasi. Penurunan jumlah pelepah pada perlakuan pugam dan pukan diyakini karena terjadi pemotongan pelepah sampel, sehingga pada bulan Maret hasil pengukuran menurun. Peningkatan panjang pelepah tidak dipengaruhi perlakuan diduga karena kandungan dalam amelioran tidak berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif tanaman sawit. Tankos memiliki kandungan unsur hara yang beragam, memiliki kandungan Kalium yang lebih tinggi yaitu 2,05% dibandingkan dengan N (0,22%) dan P (1,20%) (Purnamayani et al., 2011). Kalium lebih berperan terhadap pertumbuhan generatif tanaman diantaranya adalah meningkatkan kualitas buah, meningkatkan kadar karbohidrat dalam buah, dan membuat biji tanaman lebih berisi dan padat. Selain itu Kalium berfungsi untuk memperkuat tegaknya batang, sehingga Kalium lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan generatif dari pada pertumbuhan vegetatif. Sedangkan pugam lebih banyak mengandung unsur mikro yang berfungsi untuk pertumbuhan sel dan jaringan tanaman. Unsur-unsur mikro dalam pugam dapat berfungsi untuk mengikat asam-asam organik yang berbahaya di dalam tanah gambut. Akan tetapi, kelebihan beberapa unsur mikro juga akan menghambat ketersediaan unsur hara makro yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
171
Salwati et al.
Kasus pada tanaman kelapa sawit panjang pelepah tidak merupakan parameter yang digunakan dalam pengukuran agronomis untuk tanaman menghasilkan (TM), tetapi biasanya digunakan pada tanaman belum menghasilkan (TBM).
Gambar 5. Panjang pelepah tanaman kelapa sawit setelah aplikasi amelioran dan pupuk dasar pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan 2014. 4.
Tandan Buah Segar (TBS)
Tandan Buah Segar (TBS) merupakan parameter agronomi perkembangan generatif yang menggambarkan produkvitas tanaman kelapa sawit. TBS pada tanaman kelapa sawit umumnya dipanen setiap dua kali seminggu. Gambar 6 menunjukkan keragaan produksi TBS per bulan dan dikaitkan dengan tinggi muka air tanah yang diukur satu kali sebulan. Gambar 7 menunjukkan total produksi TBS sampai dengan waktu pengamatan terakhir. Produksi TBS kelapa sawit dipengaruhi oleh jenis klon dan faktor lingkungan (Lumbangaol 2012). Produksi kelapa sawit antara kontrol dibandingkan perlakuan amelioran sangat bervariasi, akan tetapi TBS pada perlakuan amelioran jumlahnya berada di atas kontrol. Produksi TBS pada kontrol cenderung turun pada 6 bulan pertama dan kemudian meningkat setelah aplikasi ke-2. Hal ini menunjukkan perlakuan amelioran berpengaruh dalam peningkatan produksi TBS. Perlakuan pugam dan pukan memiliki kecenderungan perkembangan yang sama.
172
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
(a)
(b) Gambar 6. Tandan Buah Segar (kg/tanaman, dengan n=16) setelah aplikasi amelioran dan pupuk dasar pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan 2014 (a) dikaitkan dengan tinggi muka air tanah pada bulan yang sama (b).
173
Salwati et al.
Melihat trend produksi TBS diselaraskan dengan trend tinggi muka air tanah, diduga tinggi muka air tanah berpengaruh terhadap produksi TBS. Mulai bulan Januari sampai dengan Maret tinggi muka air mulai menurun, dan mulai bulan Februari produksi TBS mulai meningkat walaupun tidak setinggi sebelumnya. Kondisi tanah akibat penurunan tinggi muka air tanah menyebabkan tercapainya kondisi kapasitas sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas kelapa sawit. Total produksi TBS selama pengamatan menunjukkan bahwa produksi TBS pada perlakukan amelioran berpengaruh nyata terhadap kontrol masing-masing terjadi peningkatan berturut-turut sebesar 35,3%, 34,9%, 33,9% dibanding kontrol, dan diantara perlakuan pemberian amelioran berpengaruh tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan unsur hara dalam pugam, pukan dan tankos mampu meningkatkan produksi TBS tanaman kelapa sawit. Dari hasil pengukuran berat TBS (ton/ha/tahun) kelapa sawit yang tertinggi adalah pugam sebesar 17,18 + 2,1 diikuti pukan sebesar 17,09 + 1,8 dan tankos sebesar 16,83 + 1,8, serta yang terendah kontrol sebesar 11,11 + 0,6 (Gambar 7).
TBS (ton/ha/tahun) ton/ha ton/ha
ton/ha
Gambar 7. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit (ton/ha/tahun) Tankos memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan beberapa kandungan unsur hara utama yang dibutuhkan oleh tanaman sawit (Darmosarkoro et al., 2007). Pukan diketahui mengandung unsur-unsur organik yang dapat membantu mengikat asam organik beracun dalam tanah. Sedangkan pugam memiliki kelengkapan unsur hara mikro yang dapat mengikat asam organik berbahaya bagi tanaman pada lahan gambut, dapat meningkatkan produktivitas lahan dan effisiensi pemupukan, menekan laju emisi gas rumah kaca dan meningkatkan stabilitas gambut (Subiksa, 2012). Menurut Comte et al., (2013), pemberian pupuk organik dan inorganik yang dilakukan dalam jangka panjang
174
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
dan sesuai kebutuhan pertanaman kelapa sawit akan memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawit maupun lingkungan tempat tumbuhnya.
KESIMPULAN 1. Pemberian pupuk gambut (pugam) dan pupuk dasar menunjukkan pertumbuhan dan hasil tanaman sawit yang paling baik. 2. Pemberian amelioran berupa pugam, pukan dan tankos berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah pelepah, lingkar batang dan panjang pelepah tanaman kelapa sawit. 3. Pemberian amelioran berupa pugam, pukan dan tankos berpengaruh nyata jika dibandingkan dengan kontrol terhadap produksi tandan buah segar. Perlakuan amelioran Pugam memberikan hasil produksi sawit terbaik.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F., dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. http://balittanah.litbang.deptan.go.id. Balai
Penelitian Tanah. 2012. Pugam-A, Pupuk Khusus Lahan Gambut. http://www.litbang.depta.go.id/berita/one/1093/. Diakses tanggal 29 April 2014.
Comte, I., F.Colin, O. Grünberger, S. Follain, J.K. Whalen, and J.P. Caliman. 2013. Landscape-scale assessment of soil response to long-term organic and mineral fertilizer application in an industrial oil palm plantation, Indonesia. Agriculture, Ecosystems and Environment: 169 (2013) 58– 68. Darmosarkoro, W., S.S. Edy, dan Winarna. 2007. Lahan dan Pemupukan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan. Direktorat Tanaman Tahunan. 2009. Pedoman umum sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta. Gusmawartati, dan Wardati. 2012. Pemberian pupuk anorganik dan air pada tanah gambut terhadap pertumbuhan kelapa sawit di pre-nursery. J. Agrotek. Trop. 1 (1): 2326 (2012). Lim, KH., S.S. Lim, F. Parish, dan R. Suharto. 2012. Panduan RSPO untuk Praktik Pengelolaan Terbaik (PPT) bagi Budidaya Kelapa Sawit Sedang Berjalan di Lahan Gambut. RSPO, Kuala Lumpur. Lumbangaol, P. 2012. Kunci sukses pemupukan kelapa sawit. R & D Departemen Musim Mas Group. Medan. [LRPI] Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2007. Warta Penelitian dan pengembangan Pertanian. Vol (29) : 6-7.
175
Salwati et al.
Najiyati, L. Muslihat, dan I.N. Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar swadaya : Jakarta. Pauli, N.C., T. Donough, J.Oberthür, R. Cock, Verdooren, G. Rahmadsyah, K. Abdurrohim, A. Indrasuara, T. Lubis, J.M. Dolong, and Pasuquin. 2014. Changes in soil quality indicators under oil palm plantations following application of ‘best management practices’ in a four-year field trial. Agriculture, Ecosystems and Environment 195 (2014); 98–111. Paoli, G.D., P. Gillespie, P.L. Wells, L. Hovani, A.E. Sileuw, N. Franklin dan J. Schweithelm. 2013. Sawit di Indonesia: Tata kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan. The Nature Conservancy, Jakarta, Indonesia. Purnamayani, R., J. Hendri, E. Salvia, dan D.S. Gusfarina. 2011. Laporan Akhir Pengkajian Efektivitas Dekomposer dalam Dekomposisi Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Pupuk Organik. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Jambi. Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012. Subiksa, I.G.M. 2012. Pugam: Pupuk rendah emisi GRK untuk lahan gambut. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 3. No. 2. 2012. Widyati, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim. Tekno Hutan Tanaman. Vol.4 No.2, Agustus 2011, 57 – 68.
176
11
ASPEK AGRONOMIS DAN ANALISIS FINANSIAL TANAMAN KARET DAN NENAS TERHADAP BERBAGAI PERLAKUAN AMELIORAN DI LAHAN GAMBUT
AGRONOMIC AND FINANCIAL ASPECTS OF RUBBER AND PINEAPPLE RESPONSES TO AMELIORANTS ON PEATLAND M.S. Mokhtar, M. A. Firmansyah, W.A. Nugroho Balai Pengkajian Teknologi Kalimantan Tengah. Jl. G. Obos km 5, Palangkaraya.
Abstrak. Pengembangan karet di lahan gambut belum banyak dikaji. Pemberian amelioran merupakan upaya pengelolaan lahan gambut yang salah satunya bertujuan untuk meningkatkan keragaan tumpangsari tanaman karet dan nenas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek agronomis karet berupa lingkar batang serta produksi baik tanaman sela maupun produksi getah karet berupa lump mangkok dari segi kelayakan finansial usahatani.Perlakuan Pugam diberikan dengan dosis awal 2 kg/pohon, dan setelah 6 dan12 bulan diberikan lagi masing-masing 1 kg/pohon; Pukan diberikan dengan dosis awal 4 kg/pohon, dan setelah 6 dan 12 bulan diberikan lagi masing-masing 2 kg/pohon; tanaman menghasilkan (TM) diberikan dengan dosis awal 6 kg/pohon, dan setelah 6 dan 12 bulan diberikan lagi masing-masing 3 kg/pohon; sedang kontrol tanpa pemberian amelioran. Pupuk dasar yang diaplikasikan pada awal, 6 dan 12 bulan masing-masing untuk Urea 0,25 kg/pohon, SP-36 0,20 kg/pohon, dan KCl 0,25 kg/pohon. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan Pukan, Pugam dan Tanah Mineral belum mampu memberikan pengaruh nyata terhadap lingkar batang karet pada 3 bulan setelah aplikasi maupun lump mangkok yang dihasilkan. Dari segi finansial usahatani, pencapaian BEP untuk usahatani karet dan nenas terjadi pada tahun ke-8 yaitu pada perlakuan kontrol (tanpa amelioran) dan perlakuan Pugam, dengan pendapatan masing-masing sebesar Rp. 7.305.528 dan Rp. 1.130.662. Sebaliknya untuk perlakuan Pukan Ayam dan Tanah Mineral pada tahun ke-8 belum mencapai BEP dengan nilai pendapatan masing-masing Rp. 2.770.620 dan Rp. -20.201.257. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa diperlukan lagi efisiensi bahan amelioran yang lebih murah dan lebih efektif dalam memacu produksi dan keuntungan karet lebih tinggi. Kata Kunci: Hevea brasiliensis, Anenas comosus, gambut, amelioran
Abstract. Rubber development in peatlands has not been much studied. Ameliorant application is a management effort to improve rubber and pineapple intercropping performance on peatland. This study aimed to determine the agronomic aspects of growth and the production of latex and intercropping plant viability. Peat Fertilizer was applied at an initial dose of 2 kg/tree, and after 6 and 12 months, each at dose of 1 kg/tree. Chicken Manure was applied at an initial dose of 4 kg/tree and after 6 and
177
M.S. Mokhtar et al.
12 months 2 kg/tree on each application. Mineral soil was applied at an initial dose of 6 kg/tree and 3 kg/tree after 6 and 12 months. The control plots did not received any ameliorant. Basic fertilizer was applied at at the beginning, 6 and 12 months since this experiment begun, respectively urea, SP-36, and KCl 0.25 kg/tree, 0.20 kg/ tree, and 0.25 kg/tree. Results showed that Peat Fertilizer, Chicken Manure, and Mineral Soil treatments did not significantly increase rubber girth, nor the rubber latex 3 months after application. On financial aspect, the achievement of the Break Event Point (BEP) for rubber and pineapple farming occurs starting in the 8th year for the control treatment(without ameliorant) and treatment Pugam, with the revenue amounting to Rp. 7,305,528 and Rp. 1,130,662, respectively. In contrast, the treatments Chicken Manure and Mineral Soil has not reach the BEP, with the revenues of Rp. -2,770,620 and Rp. 20,201,257. These results indicate that effective and low cost ameliorants are needed in spurring higher production and profitability of rubber. Keywords: Hevea brasiliensis, Anenas comosus, peatland, ameliorant
PENDAHULUAN Karet (Hevea brasiliensis) merupakan komoditas perkebunan yang cukup penting di Provinsi Kalimantan Tengah. Pada tahun 2012 luas perkebunan karet di Provinsi Kalimantan Tengah mencapai 456.272 ha dengan produksi sebesar 283.171 ton (BPS Kalteng, 2013). Pengembangan perkebunan karet pada dekade akhir ini di Kalimantan Tengah mulai banyak dilakukan di lahan-lahan gambut. Upaya peningkatan produktivitas tanaman dan penurunan harga pokok perkebunan karet dikelola secara baik dan efisien. Penerapan paket teknologi yang tepat disesuaikan dengan kondisi agroekosistem baik pada daerah iklim basah maupun kering. Pada daerah iklim basah: penyiapan lahan sebaiknya dilakukan secara sempurna, klon berpotensi produksi tinggi dan tahan terhadap penyakit gugur daun, bahan tanaman yang digunakan berkualitas baik, penyemprotan gulma dilakukan secara menyeluruh pada daerah endemik penyakit gugur daun, pemenggalan tajuk pada umur tiga tahun di daerah jalur angin perlu dilakukan untuk mengurangi kerusakan angin serta penerapan sistem eksploitasi yang tepat termasuk penggunaan sistem sadap beritensitas rendah yang dikombinasikan dengan etefon (Karyudi et al., 2001). Lahan gambut sebagai salah satu tipologi di lahan rawa umumnya memiliki produktivitas rendah, hal ini disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah (pH rendah) serta kelarutan Fe (besi), Al (aluminium), Mn (mangan), dan rendahnya ketersediaan unsur hara P dan K serta rendahnya kejenuhan basa yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pemberian bahan amelioran dan pupuk N, P, K yang sesuai dengan status hara
178
Aspek Agronomis dan Analisis Finansial Tanaman Karet dan Nenas
dan kebutuhan tanaman dapat meningkatkan hasil tanaman secara signifikan (Nursyamsi dan Alwi, 2012). Hendratno (1990) hasil rekayasa usahatani karet rakyat seluas dua hektar layak secara finansial dengan NPV (12%) = Rp. 2.873,056-sd-5.647.587, B/C= 1,364 s/d 1,725, dan IRR=19% s/d 23.8%. Sedangkan tingkat kesesuaian lahan mempengaruhi besarnya BEP harga karet pada perkebunan karet rakyat di Mandailing. Kelas kesesuaian lahan S1 BEP harga sebesar Rp 6.181-Rp.6.803 artinya pada tingkat harga tersebut karet masih layak diusahakan. Kelas kesesuaian lahan S2 BEP harga sebesar Rp. 7.378-Rp.7.573 dan pada S3 BEP harga sebesar Rp. 8.749-Rp. 8.856. Tingginya BEP harga terhadap Cup Lump karena tenaga kerja, harga pupuk (Siregar et al., 2012). Tujuan penulisan ini adalah mengetahui pengaruh berbagai perlakuan amelioran dibandingkan kontrol terhadap paramater agronomis lingkar batang karet dan analisis finansial usahatani tumpang sari karet dan nenas di lahan gambut terdegradasi di Demplot ICCTF Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.
METODOLOGI Lokasi penelitian terletak di Demplot ICCTF (Indonesian Climate Change Trus Fund) di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Lokasi tersebut tepatnya terletak pada koordinat 2o30’53.0” LS dan 114o10’12.3” BT, atau berjarak 55 km dari Palangka Raya ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Curah hujan rata-rata tahunan tahun 1997-2011 mencapai 1.821 mm, dengan bulan kering pada Agustus dan September. Kegiatan penelitian di demplot Jabiren dimulai sejak tahun 2011 hingga tahun 2014. Penelitian tahun pertama pada demplot ICCTF dilakukan penanaman pola intercropping atau tumpangsari tanaman pangan yaitu padi dan jagung di sela tanaman karet yang ditanam dari seedling pada tahun 2006 dengan jarak tanam 3x5 m. Penelitian tahun kedua tanaman sela yang ditanam adalah tanaman hortikultura yaitu nenas jenis madu yang merupakan tanaman relatif tahan naungan. Pemilihan tanaman nenas sebagai tanaman sela karena tajuk pohon karet sudah mulai menutup. Tanaman nenas ditanam pada bagian 5 m diantara sela karet dengan sistim baris ganda 1x2 m. Pengumpulan data dilakukan dalam dua bagian. Pengumpulan data pertama adalah data agronomi akibat pengaruh perlakuan amelioran terhadap tanaman karet, dibatasi pada tahun ke-4 (2014). Pengumpulan data kedua yaitu data analisis finansial, dimulai saat kegiatan ICCTF dilakukan dari tahun kedua hingga tahun ke empat. Pengumpulan data
179
M.S. Mokhtar et al.
kedua juga menyangkut pola tumpang sari antara tanaman karet dan tanaman sela nenas yang telah ditanam sejak tahun ke dua, sehingga terdapat pengumpulan data finansial dua komoditas. Penelitian dilakukan di kebun karet yang telah berumur 7 tahun. Tanaman karet yang berasal dari biji ini ditanam di lahan gambut dengan kedalaman gambut 5-7 m. Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Juli 2013 sampai Juli 2014. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) 4 perlakuan dengan 4 ulangan, Perlakuan menggunakan 3 macam amelioran yaitu : Pugam (Pupuk Gambut) + pupuk dasar, Pukan (Pupuk Kandang Ayam) + pupuk dasar, dan TM (Tanah Mineral) + pupuk dasar, serta satu perlakuan sebagai Kontrol (Tanpa Pemberian Amelioran). Waktu pemberian perlakuan dilakukan pada awal (Juli 2013), 6 bulan kemudian (Februari 2014), dan 12 bulan kemudian (Juli 2014) Pemberian perlakuan amelioran dan pupuk dasar disajikan pada Tabel 1. Guna melihat perbedaan nilai tengah antar perlakuan parameter agronomis dan produksi digunakan Uji DMRT taraf 5%. Setiap satuan percobaan maupun kontrol memiliki luasan 27 m x 50 m yang terdiri dari 90 tanaman karet dengan jarak tanam 3 m x 5 m. Luasan total areal percobaan adalah 108 m x 200 m dengan jumlah pohon karet seluruhnya berjumlah 1.440 pohon. Parameter agronomis yang diamati adalah lingkar batang pohon karet pada ketinggian 50 cm dari permukaan tanah. Contoh tanaman yang diukur pada setiap satuan percobaan adalah sebanyak 10 tanaman. Pengamatan lingkar batang pohon karet dilakukan secara periodik setiap 3 bulan sekali setelah pemberian perlakuan amelioran. Pengukuran lingkar batang pohon karet dilakukan sampai karet sudah mulai disadap. Tabel 1. Perlakuan amelioran di tumpangsari karet dan nenas demplot Perlakuan Kontrol Pukan Ayam Pugam TM Pupuk dasar Urea Sp 36 KCL
0 bulan (kg/ph)
6 bulan (kg/ph)
12 bulan (kg/ph)
4,0 2,0 6,0
2,0 1,0 3,0
2,0 1,0 3,0
0,25 0,20 0,25
0,25 0,20 0,25
0,25 0,20 0,25
Paramater produksi diukur berdasarkan bobot lump mangkok dari pohon karet tanaman contoh yang disadap. Penyadapan dilakukan dengan pola satu hari sadap satu hari libur, data produksi tersebut dikumpulkan setiap bulan. Sebulan sebelum sadap,
180
Aspek Agronomis dan Analisis Finansial Tanaman Karet dan Nenas
petani mempunyai kebiasaan memberikan masa pembelajaran pohon karet untuk memacu pengeluaran getah karet dengan menyayat kulit pohon karet terlebih dahulu. Data analisis finansial dilakukan melalui pencatatan pengeluaran (C) dan penerimaan (R) untuk menetapkan BEP (Break Event Point). Data analisis finansial ini dikumpulkan selama pengelolaan kebun karet, yaitu selama delapan tahun hingga berlangsungnya kegiatan ICCTF pada tiga tahun terakhir di Demplot ICCTF Kalimantan Tengah. HASIL DAN PEMBAHASAN Lingkar Batang Karet Pertumbuhan karet yang direfleksikan dari lingkar batang yang diamati pada saat sebelum perlakuan dan setelah 3 bulan perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh perlakuan amelioran dan pupuk dasar (Kontrol) terhadap lingkar batang karet di demplot ICCTF Kalimantan Tengah Perlakuan Kontrol Pukan Pugam Tanah Mineral
Lingkar Batang Karet (cm) 0 BSP
3 BSP
60,9 a 60,2 a 62,1 a 60,1 a
61,0 a 60,4 a 62,4 a 60,3 a
BSP= Bulan Setelah Perlakuan pemberian Amelioran. Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf nyata 5%.
Produksi Karet Produksi karet pertama kali pada bulan Januari 2014 berupa lump mangkok menunjukkan bahwa kontrol memiliki produksi terendah, namun pada bulan-bulan berikutnya perlakuan TM memberikan hasil terendah (Tabel 3). Perlakuan Pugam memberikan hasil tertinggi pada bulan sadap kedua hingga ke enam, sedangkan amelioran TM terendah. Namun demikian jika dianalisis ragam ternyata perlakuan amelioran tidak memiliki perbedaan secara nyata dengan kontrol.
181
M.S. Mokhtar et al.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan amelioran dan pupuk dasar terhadap produksi lump mangkok di demplot ICCTF Kalimantan Tengah Tahun 2014 Perlakuan
Produksi Lump Mangkok Karet (kg/ha) Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Kontrol
216,78a
175,92a
Pukan
329,33a
190,10a
370,10a
411,8a
411,04a
408,54a
391,86a
440,39a
416,04a
471,07a
Pugam
270,97a
TM
262,63a
229,28a
415,54a
460,23a
493,58a
122,56a
283,48a
269,30a
251,79a
556,11a 319,33a
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Analisis Finansial Suatu teknologi yang diterapkan di tigkat petani umumnya harus memiliki persyaratan layak secara finansial, teknis dan budaya. Jika kelayakan tersebut dimiliki teknologi yang akan dikembangkan maka kemungkinan besar akan diadopsi oleh masyarakat. Investasi pengelolaan tanaman karet nampak hanya pengeluaran selama pohon karet belum berproduksi. Tabel 4 menunjukkan bahwa pengeluaran dilakukan hingga pada tahun ke enam, dengan pengeluaran terbesar pada tahun pertama, karena ada biaya pembelian bibit dan penanaman, selain pemeliharaan lahan. Sedangkan pada tahun ke tujuh dan ke depalan mulai ada pemasukan disebabkan karet mulai berproduksi. Rincian analisis finansial sejak masuknya kegiatan ICCTF di kebun karet lahan gambut Jabiren pada tahun 2011-2014 dapat dilihat pada Tabel 5 sampai 7. Rincian pengeluaran dan pemasukan yang dilakukan dalam pengelolaan kebun karet di lahan gambut selama usahatani sejak masuknya kegiatan ICCTF pada tahun ke enam, tujuh, dan delapan. Berdasarkan kajian di atas nampak bahwa pada tahun ke tujuh seluruh perlakuan dan kontrol belum mencapai BEP. Pada tahun ke delapan telah terjadi pencapaian BEP untuk usahatani karet yaitu pada kontrol dan perlakuan Pugam, masingmasing sebesar Rp. 7.305.528 dan Rp. 1.130.662. Hal itu menunjukkan bahwa pada tahun ke delapan seluruh pembiayaan yang telah dikeluarkan selama investasi usahatani karet telah impas bahkan telah memberikan kelebihan keuntungan. Sebaliknya untuk perlakuan Pukan Ayam dan Tanah Mineral pada tahun ke delapan belum mencapai BEP dengan nilai masing-masing Rp. -2.770.620 dan Rp. -20.201.257.
182
Aspek Agronomis dan Analisis Finansial Tanaman Karet dan Nenas
Tabel 4.
Analisis finansial usahatani karet per hektar hingga tahun ke delapan di demplot ICCTF Kalimantan Tengah
Uraian
Kontrol (Rp)
Amelioran Pukan (Rp) Tahun-1 (2007) 6.100.000 4.300.000 1.800.00
Biaya (C) Tenaga kerja Sarana produksi Penerimaan (R) Lump karet
6.100.000 4.300.000 1.800.00
Biaya (C) Tenaga kerja Sarana produksi Penerimaan (R) Lump karet
2.325.000 1.500.000 825.000
Biaya (C) Tenaga kerja Sarana produksi Penerimaan (R) Lump karet
2.325.000 1.500.000 825.000
Biaya (C) Tenaga kerja Sarana produksi Penerimaan (R) Lump karet
2.325.000 1.500.000 825.000
Biaya (C) Tenaga kerja Sarana produksi Penerimaan (R) Lump karet
2.325.000 1.500.000 825.000
Biaya (C) Tenaga kerja Sarana produksi Penerimaan (R) Nenas Lump karet
12.173.630 6.300.000 5.873.630 -
Biaya (C) Tenaga kerja Sarana produksi Penerimaan (R) Nenas Lump karet Keuntungan (B) Biaya Th1-7 Penerimaan Th 1-7
8.118.120 4.200.000 3.874.880 11.193.000 11.193.000 3.118.120 35.691.750
Tahun 6 (2012) 14.907.630 7.700.000 7.207.630 Tahun 7 (2013) 10.808.880 5.600.000 5.208.800 11.193.000 11.193.000 384.120 41.116.510
11.193.000
11.193.000
-
-
-
-
-
Tahun-2 (2008) 2.325.000 1.500.000 825.000 Tahun-3 (2009) 2.325.000 1.500.000 825.000 Tahun-4 (2010) 2.325.000 1.500.000 825.000 Tahun-5 (2011) 2.325.000 1.500.000 825.000
Pugam (Rp)
TM (Rp)
6.100.000 4.300.000 1.800.00
6.100.000 4.300.000 1.800.00
-
-
2.325.000 1.500.000 825.000
2.325.000 1.500.000 825.000
-
-
2.325.000 1.500.000 825.000
2.325.000 1.500.000 825.000
-
-
2.325.000 1.500.000 825.000
2.325.000 1.500.000 825.000
-
-
2.325.000 1.500.000 825.000
2.325.000 1.500.000 825.000
-
-
14.014.030 7.700.000 6.314.030 -
17.708.630 8.500.000 9.208.630 -
9.915.280 5.600.000 4.315.280 11.193.000 11.19.000 1.277.720 39.329.310
13.609.880 6.400.000 7.209.880 11.193.000 11.193.000 -2.416.880 46.718.510
11.193.000
11.193.000
183
M.S. Mokhtar et al.
Uraian BEP Th 1-7
8.736.050 3.300.000 5.436.050 40.540.328 9.594.000 30.946.328 31.804.278 44.427.800
Amelioran Pukan (Rp) -29.923.510 Tahun 8 ( 2014) 15.538.050 6.100.000 9.438.050 42.690.940 9.594.000 33.096.940 27.152.890 56.654.560
51.733.328
53.883.940
56.398.222
45.656.303
7.305.528
-2.770.620
1.130.662
-20.201.257
Kontrol (Rp) -24.498.750
Biaya (C) Tenaga kerja Sarana produksi Penerimaan (R) Nenas Lump karet Keuntungan (B) Biaya Th 1-8 Penerimaan Th 1-8 BEP Th 1-8
Pugam (Rp) -28.136.310
TM (Rp) -35.525.510
15.938.250 6.100.000 9.838.250 45.205.222 9.594.000 35.611.222 29.266.972 55.267.560
19.139.050 7.700.000 11.439.050 34.463.303 9.594.000 24.869.303 15.324.253 65.857.560
KESIMPULAN 1. Perlakuan amelioran dan pupuk dasar tidak berpengaruh terhadap diameter pohon karet pada 3 bulan setelah pemberian perlakuan, maupun produksi lump mangkok. 2. Analisis finansial usahatani pada tahun ke delapan telah terjadi pencapaian BEP pada kontrol dan perlakuan Pugam, masing-masing sebesar Rp. 7.305.528 dan Rp. 1.130.662. DAFTAR PUSTAKA BPS Provinsi Kalimantan Tengah. 2011. Kalimantan Tengah dalam Angka 2011. Palangka Raya. Karyudi, Thomas, S. Pawirosoemardjo, dan H. Hadi. 2001. Teknologi dan pengelolaan kebun karet berdasarkan agroekosistem. Dalam Pros. Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet. Pusat Penelitian Karet. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Hendratno. 1990. Batas-batas kelayakan finansial usaha perkebunan karet rakyat di Sumatera Selatan. Lateks. 5(2):34-44. Nursyamsi, D. dan M. Alwi. 2012. Ameliorasi dan pemupukan di lahan rawa. Hal:687700 Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan terdegradasi. Bogor, 29-30 Juni 2012. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. . Siregar, H., S.R.P. Sitorus, dan A. Sutadi. 2102. Analisis potensi pengembangan perkebunan karet rakyat di Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara. Forum Pascasarjana. 35(1):1-13.
184
12
RESPON TANAMAN JAGUNG DAN ANALISIS FINANSIAL PENGGUNAAN BEBERAPA JENIS AMELIORAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI KALIMANTAN BARAT
RESPONS OF CORN AND THE FINANCIAL ANALYS OF AMELIORANT APPLICATIONS IN DEGRADED PEATLAND OF WEST KALIMANTAN Tuti Sugiarti, Jafri, Juliana C. Kilmanun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Jl. Budi Utono No. 45, Siantan, Pontianak 78241
Abstrak. Pengembangan lahan gambut terdegradasi sebagai lahan pertanian memerlukan pengetahuan dan ketrampilan khusus dalam pengelolaannya terutama penambahan input amelioran. Penelitian ini bertujuan: 1) melihat respon tanaman jagung terhadap penggunaan jenis amelioran; dan 2) melihat aspek sosial dan ekonomi petani di lahan gambut. Penelitian ini dilaksanakan di lahan gambut terdegradasi desa Rasau Jaya II Kec. Rasau Jaya, Kab. Kubu Raya Kalimantan Barat dari Mei sampai Agustus 2013. Sebanyak 5 (lima) perlakuan amelioran disusun menurut rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 ulangan. Benih jagung varietas Sukmaraga ditanam secara tugal dalam plot berukuran 10 x 10 m dengan jarak tanam 70 x 20 cm. Pengamatan dilakukan terhadap data agronomis, komponen hasil dan hasil tanaman jagung, serta data analisa usahataninya. Data agronomis dan hasil jagung dianalisis secara secara statistik dan data analisa usahatani ditampilkan secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan, secara statistik pemberian beberapa amelioran tidak berbeda nyata terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil jagung, kecuali terhadap tinggi tanaman dan bobot 1000 biji. Penggunaan amelioran dolomit dan cara petani memberikan keuntungan lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya, dengan nilai R/C ratio masing-masing adalah 1.44 dan 1.42. Kata Kunci: Agronomi, jagung, amelioran, lahan gambut Abstract. Development of degraded peatlands for agriculture requires specialized knowledge and skills in management, especially the addition of ameliorant input. The research was conducted in the village of degraded peatlands Rasau Jaya district, Kubu Raya Region of West Kalimantan from Mayl to August 2013. The objectives of research are: 1) to see the response of maize plants to use ameliorant types; and 2) look at the economic aspects in the peatland. A total of 5 (five) treatment ameliorant arranged according to a randomized block design (RBD) with 5 replications. Seed corn varieties (Sukmaraga) was grown drill in plots measuring 10 x 10 m with a spacing of 70 x 20 cm. Data were collected for agronomic, yield components and yield of corn, as well as farming analysis data. Maize agronomic data and results were statistically analyzed and the data of farming is displayed in a descriptive analysis. The results of this study
185
Tuti Sugiarti et al.
showed that administration of multiple ameliorant statistically not significantly different from the components of growth, yield components and yield of corn, except for plant height and weight of 1000 seeds. Use of dolomite ameliorant and how farmers provide higher profits than other treatments, with the value of the R / C ratio is respectively: 1:44 and 1:42. Keywords: Agronomy, corn, ameliorant, peatland
PENDAHULUAN Polemik pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian terus bergulir. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan, baik dari dalam negeri maupun internasional terus melakukan berbagai penolakan. Kontra makin kencang saat banyak pengusaha yang mulai merambah lahan gambut untuk pengembangan usaha kebun sawit. Alasan utama penolakan adalah karena pemanfaatan lahan gambut akan meningkatkan efek emisi gas rumah kaca (GRK). Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 14,9 juta ha terutama terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua (BBSDLP, 2011). Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat lambat (0-3 mm gambut per tahun) atau setara dengan penambatan 0-5,4 ton CO2/ha/tahun (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsidence) apabila hutan gambut terbuka. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi lahan gambut. Pemanfaatan lahan gambut memang menjadi sebuah alternatif pengembangan pertanian di Indonesia. Potensi lahan gambut di Indonesia sangat besar mencapai 14,9 juta hektar (ha). Dari luasan tersebut, diperkirakan 33% atau sekitar 6 juta ha layak untuk usaha pertanian yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BBSDLP, 2011). Pengembangan pertanian khususnya jagung pada lahan gambut mengalami banyak kendala, seperti kondisi fisik, kimia, biologi, dan sosial ekonomi masyarakatnya yang kurang menguntungkan. Untuk itu, pengembangan pertanian pada lahan ini memerlukan usaha konservasi lahan (perbaikan drainase, pemberian amelioran dan pemupukan berimbang), pemilihan varietas yang cocok dan adaptif, dan sistem tanam yang tepat (Jafri et al. 2006).
186
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial
Propinsi Kalimantan Barat merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 146.807 km2 atau setara dengan luas 1,13 kali pulau Jawa. Provinsi Kalimantan Barat memiliki topografi datar bergelombang,berbukit sampai bergunung. Jenis tanahnya sebagian besar adalah podsolik merah kuning, diikuti oleh jenis tanah organosol, grey dan humus, serta jenis tanah alluvial (BPS Kalimantan Barat, 2008). Untuk meningkatkan kesuburan tanah di lahan gambut maka perlu ditambahkan amelioran karena amelioran adalah bahan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik dan kimia. Kriteria amelioran yang baik bagi lahan gambut adalah memiliki kejenuhan basa (KB) yang tinggi, mampu meningkatkan derajat pH secara nyata, mampu memperbaiki struktur tanah, memiliki kandungan unsure hara yang lengkap, dan mampu mengusir senyawa beracun terutama asam-asam organik. Amelioran dapat berupa bahan organik maupun anorganik. Pemanfaatan lahan gambut bagi sebagian petani di desa Rasau Jaya bukan merupakan pilihan namun merupakan tuntutan kehidupan karena mereka sudah hidup di lahan gambut tersebut sejak turun temurun. Mereka menyadari bahwa mengolah lahan gambut butuh biaya, pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk meraih keberhasilan. Untuk itu disadari bahwa pemilihan komoditas dan pengolahan lahan gambut sangat berpengaruh dalam menentukan keberlanjutan dan keberhasilan. Tulisan ini bertujuan untuk melihat respon tanaman jagung terhadap beberapa jenis amelioran dan aspek sosial ekonomi petani di lahan gambut Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di desa Rasau Jaya II, Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya yang merupakan lokasi pelaksanaan kegiatan ICCTF fase II di Kalimantan Barat yang di mulai dari bulan Mei sampai Agustus 2013. Penelitian menggunakan tanaman jagung varietas Sukmaraga. Sebanyak 5 (lima) perlakuan amelioran diuji dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dan diulang sebanyak 5 kali. Petak percobaan dibuat berukuran 10 x 10 meter dengan antar petak perlakuan dan ulangan masing-masing berjarak 1 dan 2 meter. Perlakuan amelioran yang digunakan adalah: (A). Amelioran: pugam 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha; (B). Amelioran: pupuk kandang kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; (C). Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300
187
Tuti Sugiarti et al.
kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO 415 kg/ha; (D). Kontrol: tanpa amelioran, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; dan (E). Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25 t/ha, pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha. Benih jagung varietas Sukmaraga ditanam secara tugal dengan jarak tanam 70 x 20 cm dan dimasukan 2 butir/lubang tanam. Sebelum ditanam, benih dicampur dahulu dengan Metalaksil (Saromyl) sebanyak 5 g/kg benih guna untuk mencegah serangan penyakit bulai. Untuk mencegah serangan lalat bibit dan ulat tanah, ke dalam lobang benih diberikan Furadan 3G dengan takaran 18 kg/ha. Pupuk dasar diberikan sama untuk semua perlakuan kecuali pada perlakuan Pugam, pupuk SP-36 tidak diberikan lagi. Amelioran diberikan sebelum tanam dengan cara menyebarkan secara merata dalam petak perlakuan. Pupuk dasar urea 40% dari dosis, SP-36, dan KCl diberikan setelah tanaman tumbuh 3 daun (umur 10-15 hari) dengan cara ditugal 5 cm dari tanaman. Pemupukan urea susulan dengan dosis 60% dari dosis yang ditetapkan dilakukan saat tanaman jagung berumur 40-45 hari setelah tanam, sekaligus dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, tinggil letak tongkol, jumlah tongkol panen, jumlah tongkol steril, panjang tongkol, data komponen hasil dan hasil biji pipilan kering. tanaman, komponen hasil dan hasil tanaman jagung. Data hasil pengamatan tersebut dianalisis dengan metode varian (anova) dan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%. Kemudian, juga dicatat dan dikumpulkan data output dan input usahataninya yang bertujuan untuk mengetahui analisis usahatani dengan cara menghitung R/C ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN Respon Tanaman Jagung terhadap Beberapa Amelioran di Lahan Gambut Pemberian beberapa jenis amelioran menunjukkan perbedaan nyata terhadap tinggi tanaman, tetapi tidak nyata terhadap tinggi letak tongkol, jumlah tongkol panen /m2 dan prosentase tongkol steril (Tabel 2). Tanaman dan letak tongkol tertinggi diperoleh pada perlakuan E (cara petani) dengan tinggi tanaman dan letak tongkolnya masing-masing adalah 155.44 dan 66.56 cm. Akan tetapi, tidak nyata perbedaannya dengan perlakuan B (amelioran pukan ayam). Tinggi tanaman dan letak tongkol terendah diperoleh pada perlakuan C (tanpa amelioran), masing-masing 135.20 dan 57.56 cm. Jumlah tongkol steril tertinggi diperoleh pada perlakuan D (pemberian pupuk dasar) yaitu 20.67% dan
188
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial
tidak nyata perbedaannya dengan perlakuan lainnya dan yang terendah dimiliki oleh perlakuan E (cara petani) yaitu 8.72%. Tabel 2. Penampilan tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah tongkol panen, dan tongkol steril jagung varietas jagung Sukmaraga kegiatan demplot ICCTF, Rasau Jaya II, Kab. Kubu Raya, Kalbar, 2013. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi letak Tongkol (cm)
Jumlah tongkol panen/m2 (buah)
Jumlah tongkol Steril (%)
A. Pugam+pupuk dasar
138.60 b
60.84 a
24.60 a
14.14 a
B. Pupuk kandang+pupuk dasar
152.88 a
64.84 a
25.60 a
18.28 a
C. Dolomit+pupuk dasar
135.20 b
57.56 a
24.40 a
10.56 a
D. Tanpa amelioran+pupuk dasar
135.76 b
61.52 a
25.00 a
16.99 a
155.44 a 6.73
66.56 a 9.54
25.00 a 18.42
8.72 a 26.10
Perlakuan
E. Dolomit+pukan ayam+pupuk dasar CV
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0.05 DMRT. Keterangan: A. Amelioran: PUGAM 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha; B. Amelioran: pupuk kandang kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; C. Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; D. Kontrol: tanpa amelioran, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; E. Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25 t/ha, pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha.
Tinggi letak tongkol dari varietas Sukmaraga ini cukup ideal yaitu lebih kurang dipertengahan atau lebih rendah dari tinggi tanaman. Menurut Subandi et al (1982), bahwa posisi letak tongkol tanaman jagung yang ideal adalah dipertengahan atau lebih rendah dari tinggi tanaman. Menurut Hosang et al. (2006), tinggi tanaman berkaitan erat dengan kerebahan batang, semakin tinggi suatu individu makin besar peluang individu tanaman tersebut mengalami kerebahan. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman terutama bila ditanam pada suatu daerah atau lokasi yang rentan terhadap kecepatan angin. Panjang tongkol, lingkaran tongkol, jumlah baris biji tongkol dan jumlah biji/baris biji tongkol tidak nyata perbedaannya dengan pemberian beberapa jenis amelioran, tetapi nyata terhadap bobot 1000 biji (Tabel 3). Bobot biji 1000 butir tertinggi didapatkan pada
189
Tuti Sugiarti et al.
perlakuan E (308.32 g) dan tidak nyata perbedaannya dengan perlakuan lainnya, kecuali dengan perlakuan D (tanpa amelioran + pupuk dasar) dan merupakan yang terendah bobot biji 1000 butirnya (246.93 g). Jumlah biji per baris biji tongkol tertinggi diperoleh pada pemberian amelioran Pugam dan Kotoran Ayam (26.48 butir) dan yang terendah perlakuan E (cara petani) yaitu 24.68 butir. Tidak adanya perberbedaan antara karakter komponen hasil dari varetas Sukmaraga di antara perlakuan ameliorant ini disebabkan oleh factor genetik dan sedikit dipengaruhi leh faktor lingkungan. Menurut Allard (1960), penotipe suatu varietas ditentukan oleh adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan. Tabel 3. Penampilan panjang tongkol, lingkaran tongkol, jumlah baris biji, jumlah biji/baris tongkol dan bobot 1000 biji varietas jagung Sukmaraga kegiatan demplot ICCTF, Rasau Jaya II, Kab. Kubu Raya, Kalbar, 2013. Panjang tongkol (cm)
Lingkaran tongkol (cm)
A. Pugam + pupuk dasar
14.88 a
13.22 a
13.44 a
26.48 a
267.93 ab
B. Pukan ayam + pupuk dasar
14.72 a
12.84 a
12.80 a
26.48 a
278.85 ab
C. Dolomit + pupuk dasar D. Tanpa amelioran + pupuk dasar E.Dolomit + pukan ayam + pupuk dasar CV
14.46 a
13.21 a
12.64 a
26.40 a
278.99 ab
14.04 a
12.51 a
12.56 a
25.12 a
246.93 b
14.53 a 7.14
13.16 a 5.06
12.56 a 6.98
24.68 a 10.05
308.32 a 13.48
Perlakuan
Jumlah baris Jumlah biji/baris biji tongkol biji tongkol (buah) (butir)
Bobot 1000 biji (g)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0.05 DNMRT. Keterangan: A. Amelioran: pugam 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha; B. Amelioran: pupuk kandang kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; C. Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; D. Kontrol: tanpa amelioran, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; E. Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25 t/ha, Pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha
Rendemen dan hasil biji kering tidak nyata perbedaannya di antara perlakuan pemberian beberapa jenis amelioran di lahan gambut Rasau Jaya Kalimantana Barat (Tabel 4). Rendemen dan hasil tertinggi masing-masing diberikan oleh perlakuan D (tanpa amelioran) dan perlakuan A (amelioran pugam) yaitu 83.50% dan 3.76 t/ha dengan standar deviasi antara 0.69 sampai 1.02 (Tabel 5 dan Gambar 1). Walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun pemberian amelioran pugam masih
190
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial
memberikan hasil biji tertinggi yaitu 3.76 t/ha dan yang terendah adalah perlakuan tanpa amelioran yaitu 2.68 t/ha. Hal tersebut menunjukkan, bahwa pemanfaatan lahan gambut terdegradasi untuk tanaman pangan sangat diperlukan pemberian amelioran atau bahan organik. Hasil biji pipilan kering varietas Sukmaraga pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian di lahan gambut sebelumnya yang mencapai 4.5 sampai 5.0 t/ha (Jafri, 2011). Tabel 4. Penampilan rendemen dan hasil biji pipilan kering pada kadar air 15% varietas jagung Sukmaraga kegiatan demplot ICCTF, Rasau Jaya II, Kab. Kubu Raya, Kalbar, 2013. Rendemen (%) A. Pugam + pupuk dasar
Hasil (t/ha)
B. Pukan ayam + pupuk dasar
83.33 80.14
a a
3.76 3.03
a a
C. Dolomit + pupuk dasar
81.65
a
3.54
a
D. Tanpa amelioran + pupuk dasar
83.50
a
2.68
a
E. Dolomit + pukan ayam + pupuk dasar
82.53
a
3.37
a
CV 4.59 29.97 Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0.05 DNMRT. Keterangan: A. Amelioran: PUGAM 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha; B. Amelioran: pupuk kandang kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; C. Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; D. Kontrol: tanpa amelioran, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; E. Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25 t/ha, pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha.
Tabel 5.
Respon tanaman jagung dan tanah terhadap beberapa perlakuan amelioran pada tanah gambut di lokasi ICCTF Rasau Jaya II, Kec. Rasau Jaya, Kab. Kubu Raya, Prov. Kalbar, 2013.. Perlakuan
Hasil (t/ha) Mean
+
STDev
A. Pugam + pupuk dasar
3.76
+
0.83
B. Pukan ayam + pupuk dasar
3.03
+
0.85
C. Dolomit + pupuk dasar
3.54
+
1.06
D. Tanpa amelioran + pupuk dasar
2.68
+
0.69
E. Dolomit + pukan ayam + pupuk dasar
3.37
+
1.02
191
Tuti Sugiarti et al.
Gambar 1. Keragaan hasil jagung pada perlakuan pemberian amelioran di lahan gambut Rasau Jaya, Kalbar 2013. Aspek Sosial Ekonomi Pada umumnya penduduk desa Rasau Jaya adalah peserta transmigrasi dari pulau Jawa. Berdasarkan hasil wawancara dikatakan bahwa mengolah lahan gambut sangatlah sulit untuk dilakukan karena selain belum berpengalaman, memerlukan biaya yang besar, juga memerlukan pengetahuan dan ketrampilan. Namun demikian tetap mereka lakukan karena kondisi alam dan tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Upaya keras dari petani terus dilakukan, petani terus mencari berbagai informasi tentang pengetahuan untuk mengolah lahan gambut dan menerapkannya, upaya inipun membuahkan hasil dimana dengan menanam berbagai sayuran dan tanaman lainnya. Tahun 2013 Badan Litbang pertanian bekerja sama dengan Bappenas melakukan kegiatan ICCTF di desa Rasau Jaya. Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari petani setempat karena ini merupakan suatu hal baru, walaupun awalnya masih ada kritikan dari beberapa petani tentang kegiatan ini. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah membuat demontrasi plot untuk tanaman jagung. Pada demplot jagung diberikan perlakuan dengan menggunakan amelioran berupa PUGAM, kotoran ayam dan dolomite yang diharapkan dengan pemberian amelioran ini dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani di lahan gambut Rasau Jaya. Pemberian amelioran dolomit (perlakuan C) nilai R/C ratio dan keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dan penggunaan amelioran lainnya. Kemudian diikuti oleh perlakuan E (cara petani), perlakuan A (amelioran pugam) dan perlakuan D (tanpa amelioran) dengan nilai R/C ratio berturut-turut adalah 1.44; 1.42; 1.22; dan 1.19, Sedangkan, keuntungan dan nilai R/C ratio terendah diperoleh pada perlakuan B (amelioran pukan ayam) yaitu 1.01 (Tabel 6).
192
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial
Dengan nilai R/C lebih dari satu maka dapat disimpulkan bahwa usahatani yang dilakukan adalah layak artinya bahwa teknologi dengan menggunakan amelioran yang dianjurkan dalam pelaksanaan demplot jagung pada kegiatan ICCTF berdampak positif pada usahatani jagung yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga dari usahatani jagung di lahan gambut. Tabel 6. Analisa usahatani per hektar demplot jagung kegiatan ICCTF di Kalbar 2013. No
Perlakuan
Uraian A
B
C
D
E
1
Biaya sarana produksi (Rp)
6,425,000
6,091,667
4,165,000
3,425,000
3,840,667
2
Biaya upah tenaga kerja (Rp)
3,220,000
3,220,000
3,220,000
3,220,000
3,220,000
3
Biaya lain-lain (Rp)
1478750
1478750
1478750
1478750
1478750
4
Pendapatan (Rp)
13,550,400
10,915,200
12,751,200
9,662,400
12,124,800
5
Pengeluaran (Rp)
11,123,750
10,790,417
8,863,750
8,123,750
8,539,417
6
Keuntungan (Rp)
2,426,650
124,783
3,887,450
1,538,650
3,585,383
7
R/C Ratio
1.22
1.01
1.44
1.19
1.42
Keterangan : A. Amelioran: PUGAM 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha; B. Amelioran: pupuk kandang kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; C. Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; D. Kontrol: tanpa amelioran, pupuk dasar urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; E. Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25 t/ha, pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha.
KESIMPULAN 1. Lahan gambut terdegradasi berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan, buahbuahan dan sayuran dan sumber pendapatan utama bagi petani. 2. Pemberian beberapa jenis amelioran di lahan gambut berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan bobot 1000 butir biji jagung varietas Sukmaraga, tidak nyata perbedaannya terhadap hasil biji pipilan kering 3. Penggunaan amelioran dolomit dan cara petani memberikan keuntungan lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya dengan nilai R/C ratio masing-masing adalah 1.44 dan 1.42.
193
Tuti Sugiarti et al.
DAFTAR PUSTAKA Allard,R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. Jhon Wiley and Sonds,Inc. New York 485 p. Agus, F. 2009. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut. Dalam Prosiding seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31 Januari 2009. Universitas Brawidjaya. Malang Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian–BBSDLP. 2011. Peta lahan gambut indonesia skala 1:250.000 (Indonesian peatland map at the scale 1:250,000). Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Bogor, Indonesia. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2008. Kalimantan Barat Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalbar,Pontianak. Hosang E.Y., F. Kasim dan P. Bhuja. 2006. Karakteristik agronomi jagung lokal NTT. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional. Makassar, 29-30 September 2005. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Hal. 196-205. Jafri, S. S. Wibowo, M. Hattta dan T. M. Ibrahim. 2006. Pemanfaatan lahan gambut untuk pengembangan jagung di Kalimantan Barat. Hal. 234-240 Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional. Makassar, 29-30 September 2005. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.. Jafri. 2011. Tanggap pertumbuhan beberapa varietas jagung terhadap sistem tanam lurus dan zigzag di lahan gambut Kalimantan Barat. Hal. 22-30 Dalam Prosiding Seminar Nasional Serealia 2011.. Rina, Y., Norginayuwati dan M. Noor. 2007. Persepsi petani tentang lahan gambut dan pengelolaannya. Badan Litbang Pertanian. Jakarta http://balittra.litbang.deptan.go.id/ lokal/ Kearipan-8%20Yanti.pdf. diakses pada tanggal 4 april2014. Sinar Tani, Edisi 6-12 Maret 2011 No.3400 Tahun XLI. Ameliorasi tanah gambut meningkatkan produksi padi dan menekan emisi gas rumah kaca. Sinar Tani edisi 14-20 Agustus 2013. Optimalisasi lahan gambut. Subandi, A. Sudjana and Sujitno. 1982. Yield measurement in maize yield tests. Contr. CRIA. Bogor. 67: 11-18.
194
13
PENGENDALIAN HAMA KUMBANG TANDUK (ORYCTES RHINOCEROS LINN.) MENGGUNAKAN PERANGKAP FEROMON PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (ELAEIS GUINEENSIS JACQ.) DI LAHAN GAMBUT PROVINSI RIAU
CONTROL OF HORN BEETLE (ORYCTES RHINOCEROS LINN.) USING FEROMON TRAPS FOR OIL PALM (ELAEIS GUINEENSIS JACQ.) ON PEATLAND IN RIAU Hery Widyanto, Suhendri Saputra, Suryati Balai Pengkajian Teknologi (BPTP) Riau. Jl. Kaharuddin Nasution Km. 10 No. 341, Pekanbaru 10210
Abstrak. Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) atau kumbang tanduk merupakan salah satu hama penting pada tanaman kelapa sawit. Hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama menghasilkan hingga 69%, bahkan menyebabkan tanaman muda mati mencapai 25%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari model dan tinggi serta lamanya waktu aplikasi pemasangan perangkap feromon yang efektif. Uuntuk mengendalikan kumbang tanduk. Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan April 2014 sampai Juli 2014. Penelitian meliputi 4 perlakuan dengan 3 ulangan, perlakuan yang diuji yaitu: (a) perangkap dengan 4 sisi penahan dan tidak dicat, (b) perangkap dengan 4 sisi penahan dan dicat kuning, (c) perangkap dengan 2 sisi penahan dan tidak dicat, dan (d) perangkap dengan 2 sisi penahan dan dicat kuning. Perlakuan tinggi pemasangan perangkap dilakukan pada ketinggian 4,5 m; 3 m; dan 1,5 meter dari permukaan tanah dengan 4 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan jumlah kumbang yang terbanyak terperangkap didapatkan pada perlakuan A yaitu sebesar 4,3 ekor/bln, kemudian pada B, D dan C sebesar 3,5 ekor/bln; 3,5 ekor/bln; dan 3,2 ekor/bln. Model perangkap A dan B lebih baik dalam memerangkap kumbang tanduk dibandingkan dengan perangkap C dan D (rata-rata 3,9 ekor/bln berbanding 3,35 ekor/bln) dikarenakan memiliki empat sisi penahan yang dapat menahan datangnya kumbang tanduk dari segala arah. Perangkap dengan tinggi 4,5 meter memerangkap kumbang tanduk terbanyak rata-rata 1,5 ekor/bln, diikuti dengan tinggi 1,5 meter dan 3 meter masing-masing 1 dan 0,5 ekor/bln. Hal ini dikarenakan pada ketinggian tersebut faktor lingkungan seperti kecepatan angin dan suhu udara sesuai untuk mempercepat penyebaran dan penguapan feromon yang dapat merangsang kumbang tanduk untuk datang. Kemampuan perangkap feromon pada bulan ketiga (Juni 2014) menurun secara signifikan yaitu 1 ekor/bln jika dibandingkan pada bulan pertama dan kedua (April dan Mei 2014) yang sebanyak 3,75 dan 3,5 ekor/bln. Penurunan ini disebabkan senyawa kimia dari feromon yang mulai berkurang karena adanya penguapan dan berangsur-angsur habis. Hasil ini menunjukkan model perangkap feromon yang memiliki 4 sisi penahan dan dipasang pada ketinggian 4,5 meter
195
Hery Widyanto et al.
paling efektif untuk memerangkap hama kumbang tanduk dan lamanya waktu yang efektif untuk pemasangan perangkap feromon adalah 3 bulan. Kata kunci: Kumbang tanduk, feromon, kelapa sawit. Abstract. Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) or horn beetle is one of the important oil palm pest. These pest can reduce 69% of fresh fruit bunches (FFB) yield in the first year, even causing 25% death of young plants. The purpose of this research are to study the model, height position, and length of time of pheromone trapping application by which effective in controlling horn beetle prevalence. The experiment was conducted in the village of Lubuk Ogong, Sub District Bandar Sei Kijang, District of Pelalawan, Riau from April 2014 to July 2014. Research trap models includes 4 treatments with 3 replications, treatments were tested, namely: (a) trap with 4 sides retaining and not painted, (b) trap with 4 sides retaining and yellow painting, (c) a trap with 2 side retaining and not in paint, and (d) trap with 2 side retaining and painted with yellow. High treatment trapping conducted at a high of 4.5 m; 3 m; and 1.5 meters from the ground with 4 replications. The results showed that the highest number of beetles found in A treatment was 4.3 beetles/month, then the B, D and C at 3.5 beetles/month ; 3.5 beetles/month and 3.2 beetles/month. Models A and B traps were better than the models C and D in trapping the horn beetle (average value of 3.9 beetles/month versus 3.35 beetles/month) due to having four side barriers that can withstand the arrival of beetle horns from all directions. Traps with 4.5 meter high horn beetle trapeds the highest average of 1.5 beetles/month, followed by 3 meters high and 1.5 respectively 1 and 0.5 beetles/month. This was because with that high, environmental factors such as wind speed and air temperature were deployment well and evaporation pheromone could stimulate the horn beetle to come. The ability of pheromone traps in the third month (June 2014) significantly decreased by 1 beetle/month compared to the first and second months (April and May 2014) that was about 3.75 and 3.5 beetle/month. The decrease was due to pheromone chemical compounds which began to decrease because of evaporation and depleted gradually. These results indicated that pheromone trap models which have 4 sides retaining and mounted at a height of 4.5 meters was the most effective for trapping beetle horns and the effective length of time for pheromone trapping was 3 months. Keywords: Horn beetle, pheromone, palm oil.
PENDAHULUAN Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dari lahan seluas 1.126.677 ha pada tahun 1990 menjadi 4.158.077 ha pada tahun 2000, kemudian meningkat menjadi 7.824.623 ha pada tahun
196
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)
2010 (Ditjenbun, 2010). Dari total luas lahan kelapa sawit di atas, provinsi Riau memiliki luas lahan kelapa sawit terbesar di Indonesia, yaitu sekitar 2.103.175 ha dengan produksi CPO sebesar 6,2 juta ton (Disbun Prov Riau, 2011 dalam Syahza, 2012). Total produksi CPO tersebut di atas, menjadikan kelapa sawit merupakan komoditas non migas yang memiliki nilai ekspor tertinggi di Provinsi Riau, yaitu sekitar 66,6 % dari nilai total ekspor non migas Riau periode Januari – September 2012 (BPS Provinsi Riau, 2012). Tantangan dari peningkatan luas perkebunan kelapa sawit selain keterbatasan lahan yang tersedia juga adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), khususnya hama. Meningkatnya pemakaian lahan secara besar-besaran untuk penanaman kelapa sawit di Indonesia menambah jumlah lahan monokultur yang menguntungkan bagi perkembangan hama. Hal tersebut terjadi karena pakan terus menerus tersedia sehingga menunjang keberlangsungan hidup hama (Siahaan, 2014). Kelapa sawit dapat diserang oleh berbagai hama dan penyakit tanaman sejak di pembibitan hingga di kebun pertanaman. Salah satu hama utama pada kelapa sawit adalah hama kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros). Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) atau kumbang tanduk merupakan salah satu hama penting pada kelapa sawit dan dikenal sebagai hama pengerek pucuk kelapa sawit. Daud (2007) menyatakan bahwa serangan hama ini dapat menyebabkan kematian tanaman apabila menyerang titik tumbuh kelapa sawit. Hama kumbang tanduk ini menyerang tanaman kelapa sawit yang ditanam di lapangan sampai umur 2,5 tahun dengan merusak titik tumbuh sehingga terjadi kerusakan pada daun muda (Darmadi, 2008 dalam Herman, 2012). Kumbang tanduk pada umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda dan menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama menghasilkan hingga 69%, bahkan menyebabkan 25% tanaman muda mati (PPKS, 2008). Pengendalian kumbang tanduk dengan menggunakan perangkap feromon sebagai insektisida alami, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian secara konvensional. Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada pasangan seksualnya, sekaligus mangsa, tanaman inang, dan tempat berkembang biaknya. Komponen utama feromon sintetis ini adalah etil-4 metil oktanoat. Penggunaan feromon cukup murah karena biayanya hanya 20% dari biaya penggunaan insektisida (PPKS, 2008). Penggunaan perangkap feromon di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu alternatif yang sangat baik untuk mengendalikan kumbang tanduk. Tujuan penelitian adalah mempelajari model bentuk dan tinggi pemasangan perangkap feromon yang efektif serta lamanya waktu aplikasi perangkap feromon di perkebunan kelapa sawit yang efektif dalam memerangkap kumbang tanduk.
197
Hery Widyanto et al.
BAHAN DAN METODE Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan April 2014 sampai Juli 2014. Penelitian dilakukan pada lahan petani menggunakan lahan petani yang ditanami kelapa sawit. Perlakuan Model Perangkap Perlakuan model perangkap yang diuji meliputi: (a) model perangkap yang memiliki 4 sisi penahan dan tidak dicat, (b) model perangkap yang memiliki 4 sisi penahan dan dicat kuning, (c) model perangkap yang memiliki 2 sisi penahan dan tidak di cat, dan (d) model perangkap yang memiliki 2 sisi penahan dan dicat kuning (Gambar 1).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. Model perangkap kumbang tanduk yang diuji pada tanaman kelapa sawit. Penelitian dilakukan sebanyak 3 (tiga) ulangan, dimana setiap ulangan diuji cobakan pada lahan seluas masing-masing 3 ha yang telah ditanami kelapa sawit. Tata letak perlakuan dalam setiap ulangan dapat dilihat pada Gambar 2. Pemasangan
198
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)
perangkap dilakukan dengan cara digantungkan pada tiang yang lebih tinggi dari tajuk tanaman kelapa sawit (Gambar 3). Perlakuan Tinggi Perangkap Perlakuan tinggi perangkap dilakukan sebanyak 3 (tiga) perlakuan dengan 4 ulangan. Perlakuan tinggi perangkap yang diuji yaitu: pemasangan perangkap feromon dengan tinggi 4,5; 3; dan 1,5 meter dari permukaan tanah. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali dengan cara menghitung jumlah kumbang yang terperangkap. Seluruh kumbang yang terperangkap kemudian dimusnahkan agar tidak kembali menyerang tanaman kelapa sawit di sekitarnya.
Gambar 2. Layout pemasangan perlakuan perangkap pada setiap ulangan.
199
Hery Widyanto et al.
Gambar 3. Pemasangan perangkap feromon pada ketinggian 4,5 meter.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perlakuan Model Perangkap Hasil pengamatan kumbang tanduk yang terperangkap dapat dilihat pada Gambar 4. Dari pengamatan selama 2 bulan (April s.d. Mei 2014) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata diantara keempat perlakuan yang diuji, jumlah kumbang terperangkap yang terbanyak didapatkan pada perlakuan model perangkap A yaitu sebesar 4,3 ekor/bln, kemudian secara berturut-turut jumlah kumbang yang terperangkap pada perangkap model B, D dan C sebesar 3,5; 3,5 dan 3,2 ekor/bln.
Gambar 4. Jumlah kumbang yang terperangkap pada setiap perlakuan.
200
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)
Model perangkap A dan B yang memiliki empat sisi penahan (lempengan seng) lebih baik dalam memerangkap hama kumbang tanduk dibandingkan dengan perangkap C dan D yang memiliki dua sisi penahan (dengan nilai rata-rata 3,9 berbanding 3,35), hal ini dikarenakan model perangkap yang memiliki empat sisi penahan dapat menahan datangnya kumbang tanduk dari segala arah yang menuju ke dalam perangkap sehingga kumbang yang datang akan membentur lempengan seng dan masuk ke dalam ember penampung, sedangkan perangkap yang hanya memiliki dua sisi penghalang hanya dapat menahan kumbang yang datang dari dua arah yaitu depan dan belakang sisi penghalang. Pemberian warna pada perangkap tidak berpengaruh pada banyaknya kumbang yang terperangkap, hal ini dapat dilihat pada perangkap yang memiliki bentuk yang sama (A dengan B dan C dengan D), pada perangkap A yang tidak di beri warna jumlah kumbang yang terperangkap lebih besar daripada perangkap B yang diberi warna kuning (4,3 berbanding 3,5) sedangkan pada bentuk perangkap yang kedua menunjukkan hasil yang sebaliknya dimana perangkap C yang tidak di beri warna, jumlah kumbang yang terperangkap lebih sedikit dari perangkap D yang diberi warna (3,2 berbanding 3,5). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Santi, et al., (2008) yang menyatakan bahwa warna perangkap tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil tangkapan dan sex ratio O. rhinoceros. Selain itu, sifat dari kumbang yang aktif pada saat senja sampai malam hari menyebabkan tidak ada pengaruhnya pemberian warna terhadap jumlah kumbang yang terperangkap, dimana pada saat itu pantulan dari cahaya matahari sudah tidak efektif dalam memancing kumbang tanduk untuk mendekat. Siahaan (2014) mengatakan kumbang O. rhinoceros terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai agak malam (sampai dengan pkl. 21.00 WIB), dan jarang dijumpai pada waktu larut malam. Perlakuan Tinggi Perangkap Perlakuan tinggi perangkap dilakukan pada bulan Juni 2014. Hasil pengamatan menunjukkan pada perangkap dengan tinggi 4,5 meter dapat memerangkap kumbang tanduk terbanyak rata-rata 1,5 ekor/bln, kemudian diikuti berturut-turut pemasangan perangkap dengan tinggi 1,5 dan 3 meter masing-masing 1 dan 0,5 ekor kumbang tanduk per bulan Gambar 5.
201
Hery Widyanto et al.
Gambar 5. Jumlah kumbang yang terperangkap pada setiap perlakuan tinggi perangkap.
Pemasangan perangkap pada ketinggian 4,5 meter lebih baik dibandingkan pada ketinggian 1,5 dan 3 meter dikarenakan pada ketinggian tersebut didukung oleh faktor lingkungan yang lebih sesuai seperti angin dan suhu udara. Kecepatan angin yang sesuai dan temperatur yang tinggi lebih mempercepat penguapan feromon untuk menyebar sehingga lebih cepat untuk merangsang kumbang tanduk untuk mencari asal sumber feromon tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Herman (2012) yang menyatakan hasil pengamatan pada tinggi perangkap 4 meter dapat memerangkap O. rhinoceros terbanyak dibandingkan dengan tinggi perangkap 2 dan 3 meter, faktor lingkungan pada tinggi perangkap 4 sebaran bau feromon lebih cepat diterima oleh O. rhinoceros karena dibantu oleh angin dan temperatur yang tinggi dapat mempercepat terjadinya penguapan feromon serta cepat tersebar, sehingga merangsang O. rhinoceros untuk mencari asal sumber bau tersebut. Efektifitas feromon dalam mengendalikan hama kumbang tanduk berdasarkan lamanya waktu pemasangan perangkap dapat dilihat pada Gambar 6. di bawah ini.
202
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)
Gambar 6. Jumlah kumbang yang terperangkap pada setiap bulan pengamatan.
Jumlah kumbang yang dapat terperangkap oleh feromon semakin lama semakin berkurang. Pada bulan April yang merupakan bulan pertama pemasangan perangkap feromon dapat memerangkap dengan jumlah tertinggi yaitu 3,75 ekor/bln kemudian diikuti pengamatan pada bulan Mei, Juni, dan Juli masing-masing sebesar 3,5; 1; dan 0,083 ekor/bln. Penurunan jumlah kumbang yang terperangkap dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu dikarenakan populasi kumbang tanduk itu sendiri di areal perkebunan yang sudah berkurang, sering terjadinya hujan pada malam hari yang mengurangi aktivitas kumbang yang memang aktif pada malam hari dan senyawa kimia dari feromon yang mulai berkurang karena adanya penguapan. Penurunan jumlah kumbang yang terperangkap secara signifikan terjadi pada bulan Juni yang merupakan bulan ketiga pengamatan yang mengindikasikan efektifitas aplikasi feromon di lapangan mulai berkurang memasuki pada bulan ke tiga aplikasi, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rahutomo (2008) bahwa senyawa kimia Etil-4 metil oktanoat (feromon agregasi) mampu bertahan selama 3 bulan di lapangan, jika disimpan terlalu lama akan habis menguap.
KESIMPULAN Pemasangan perangkap feromon dengan model perangkap A yang memiliki empat sisi penghalang dan tidak diberi warna kuning memiliki kemampuan memerangkap hama kumbang tanduk tertinggi. Pemasangan perangkap feromon pada ketinggian 4,5 meter lebih baik dalam memerangkap kumbang tanduk (O. rhinoceros) di areal kebun kelapa
203
Hery Widyanto et al.
sawit. Efektifitas aplikasi perangkap feromon di lapangan dalam memerangkap kumbang tanduk (O. rhinoceros) mulai berkurang memasuki bulan ke tiga setelah aplikasi dikarenakan senyawa kimia dari feromon yang semakin berkurang karena adanya penguapan.
DAFTAR PUSTAKA BPS Provinsi Riau. 2012. Berita Resmi Statistik : Berita Resmi Statistik Provinsi Riau No. 58/12/14/Th. XIII. diakses 3 Desember 2012 . Daud, I.T. 2007. Sebaran Serangan Hama Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) di Kecamatan Mattirobulu Kabupaten Pinrang. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel: 306-318. Ditjenbun. 2010. http: // ditjenbun.deptan.go.id. diakses 3 Desember 2012 Herman, J.H. Laoh, dan D. Salbiah. 2012. Uji Tingkat Ketinggian Perangkap Feromon untuk Mengendalikan Kumbang Tanduk Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) pada Tanaman Kelapa Sawit. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2008. Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit pada Kelapa Sawit: Siap Pakai dan Ramah Lingkungan. Diunduh dari http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr271058.pdf. diakses 14 Juli 2014. Rahutomo, S. 2008. Feromonas Ampuh Basmi Hama Kumbang Sawit. Indonesia, mapiptek. E-megazin, edisi 17 April 2008. Jakarta. Diakses 6 Agustus 2014. Santi, I. S. dan B. Sumaryo. 2008. Pengaruh Warna Perangkap Feromon Terhadap Hasil Tangkapan Imago Oryctes rhinoceros Di Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. Vol.14 No. 2:76-79. Siahaan, I.R.T.U dan Syahnen. 2014. Mengapa O. rhinoceros menjadi Hama pada Tanaman Kelapa Sawit. ditjenbun.pertanian.go.id/.../berita-294-. diakses 6 Agustus 2014. Syahza, A. 2012. Potensi Pengembangan Industri Kelapa sawit: Hasil penelitian MP3EI tahun 2012 di Wilayah Riau. Pusat Pengkajian Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Universitas Riau.
204
14
DYNAMIC OF METHANE AND CO2 FLUXES FROM SAGO PALM (METROXYLON SAGU ROTTB.) PLANTATION IN PAPUA PEATLAND, INDONESIA
DINAMIKA FLUKS METANA DAN CO2 DARI PERKEBUNAN SAGU (METROXYLON SAGU ROTTB.) DI LAHAN GAMBUT PAPUA, INDONESIA Anggri Hervania1, Randy Sanjaya1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, Maswar2 1
Indonesian Agricultural Environment Research Institute. Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Jakenan Pati 59182 2
Indonesian Soil Research Institute. JL. Tentara Pelajar, No.12, Bogor 16114
Abstract. Peatland use for sago palm plantation can emit greenhouse gases (CH4, CO2, N2O) to the atmosphere. The aims of the study was to determine the flux dynamics of CH4 and CO2 in sago palm. The study on the dynamic of methane (CH4) and carbondioxide (CO2) fluxes from sago palm plantation in Papua peat land was conducted using a closed chamber technique. Fluxes of CH4 and CO2 were measured every three months, beginning on April 2013 until March 2014. Results, showed annual CO2 emissions at 34,88 t CO2-e ha-1 yr-1 and CH4 emissions at 9,96 t CO2-e ha-1 yr-1. Temporal variation of the measured CO2 was very high suggesting the need for a higher frequency measurement. CO2 and CH4 fluxes were neither influenced by carbon stock nor peat thickness. Keywords: Closed chamber, sago, emission, methane, carbondioxide, peat land.
INTRODUCTION Peat land as a hydrology and ecology function has the particularity that is as biodiversity habitats and important carbon stock. Peat land can store carbon in the form of organic matter accumulated over thousands of years. Indonesia peat land tangible in mixed forest, secondary forest, scrub, and grassland marsh (Istomo, 2005). Extensive peat in Indonesia reached 21 million hectares representing 10,8% Indonesia's land area, 35% were in Sumatra, Kalimantan 32%, 30% and 3% in Papua and Sulawesi (Agus and Subiksa, 2008). On the entire peat land area, 7,97 million hectares in Papua (Wahyunto et al., 2006). The peat area approximately 33,07% considered feasible for cultivation of agricultural crops (Agus and Subiksa, 2008). Sago palm for several years assimilated carbondioxide from on a rainforest system, this makes an important effect and good for environmental remediation. Sago forests as carbon stocks are potentially to carbon sequestration so that greenhouse gas mitigation should be done to reduce the effects of global warming (Flores, 2009). Carbondioxide be
205
Anggri Hervania et al.
used sago palm for photosyntesis and be stored in sago log as carbon biomass was estimated at about 250 kg per log (Craun cit Sulaiman et al., 2008). Emissions from different ecosystems are very dynamic, differences on peat land ecosystem, different signicantly on flux. Cumulative greenhouse gas flux for forest, sago, and oil palm ecosystem are 18,34 mg C m-2 yr-1; 179,54 mg C m-2 yr-1; -15,14 mg C m-2 yr-1, respectively (Melling et al., 2005). The aims of the study was to determine the dynamics flux of methane and carbondioxide in sago palm on peat lands and its correlation with carbon stocks and peat thickness as well as compare emissions from sago palm.
MATERIALS AND METHODS Monitoring of the dynamics of fluxes on sago palm plantations carried out in peat land in Mimika of Papua Province during 2013-2014. Greenhouse gas flux monitoring was done four times, namely April 2013, July 2013, October 2013, and March 2014. Gas samples were taken from six sites with a distance of 20 meters between sites (Figure 1.). Coordinated site of gas sampling was represented in Table 1. Gas samples were taken twice using a closed cylindrical chamber technique with 21 cm in diameter 30 cm in height, in the morning (07.00-09.00 am) and afternoon (12.00-14.00 pm). Gas sample were taken every 3 minutes intervals at minute of 3rd, 6th, 9th, 12th, 15th, 18th, and 21th after closing rubber septum. Gas samples were taken using syringe vol. 10 mL and immediately stored in vials. At the firts time sampling, the area have been disturbed for first time. No water management at this area, growth of sago palm is natural existing.
Figure 1. Scheme of sampling site on Timika Papua.
206
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm
Table 1. Coordinate site of gas sampling, stock carbon, and thickness peat land. Sampling site
S
E
I II III IV V VI
4˚ 34,084’ 4˚ 34,086’ 4˚ 34,075’ 4˚ 34,078’ 4˚ 34,072’ 4˚ 34,067’
136˚ 43,752’ 136˚ 43,737’ 136˚ 43,725’ 136˚ 43,700’ 136˚ 43,687’ 136˚ 43,663’
Gas samples were analyzed in Greenhouse Gases Laboratory of Indonesian Agricultural Environment Research Institute in Central Java. The concentration of CH4 and CO2 was determined by a micro gas cromathography of GC CP 4900. Calculation of CO2 and CH4 fluxes was adapted using equation from IAEA (1993):
E
Bm Vm
x
Csp V 273.2 x x t A T 273.2 ....................................(1)
Information: E = emissions CO2/CH4 (mg m-2 day-1) V = volume of chamber(m3) A = board base lid (m2) T = average temperature in chamber (oC) Csp/t = the change rate concentration of CH4 dan CO2 (ppm/minute) Bm = gas molecular weight CH4 dan CO2 Vm = gas volume in stp (standard temperature of 25 oC and pressure of 1 atm): 22,41 L Peat thickness and carbon stock were measured at the same site with gas sampling. Site of peat thickness observation was presented in Figure 2.
207
Anggri Hervania et al.
Figure 2. Peat land thickness on sago palm in Papua (source: Balitanah, 2014).
RESULTS AND DISCUSSIONS Papua Province has approximately 2.644.438 hectares of peat land dominated shallow peat (50-100 cm) is about 1.506.913 hectares (56,98%) and peat medium (100200 cm) covering an area of 817.651 hectares (30,92%) and peat in (> 200 cm) covering an area of 319.874 hectares (12,10%) (Ritung et al., 2013). Based on the peat land map in Papua (Fig.2), sago palm in sampling area were on shallow until medium peat land thickness. Dynamic of Methane Flux The methane (CH4) flux on April 2013 in sampling site at point 2 showed the highest one (Fig.3) due to high methanogenic activity. Activity of methanogens in peat lands can easily be detected because methanogenic metabolic activity is directly related to the amount of CH4 produced in peat. The quantities of CH 4 emitted from peat lands are, however, not always proportional to the activity of methanogens, since emission rates represent the quantity of CH4 produced in anoxic layers minus the amount of CH4 oxidized by methanotrophs in aerobic layers. Methanogen activity is more precisely correlated to potential methane production (Galand, 2004). Average daily CH4 flux on sago land in Timika is equal to 328,56 mg CH4 m-² d-1 in April 2013, increasing to 67,28 mg CH4 m-² d-1 in July 2013 , 77,72 mg CH4 m-² d-1 in the October 2013, and 46,07 mg CH4 m-² d-1 in March 2014. The first sampling on April 2013 showed the highest flux, early GHG flux measurement must disturb the turf conditions, thus promoting the release of CO2 and CH4 is higher than when the next GHG flux measurements. The deviation on first measuring CH4 fluxes on April 2013 is highest (Fig.3.)
208
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm
Water saturated Water unsaturate d
Water unsaturat ed
Figure 3. Dynamic of CH4 flux. Dynamic of Carbondioxide Flux The carbondioxide (CO2) flux on first sampling, showed the highest one (Fig.4). Early GHG flux measurement must disturb the turf conditions, thus promoting the release of CO2 is higher than when the next GHG flux measurements. Purwanto et al., (2005) suggested that the organic matter accumulated was more aromatic in tropical peats than in boreal peats, which may be derived from the differences in vegetation and rate of decomposition of labile organic compounds and a cause of the small and less-varied CO2 flux. Average daily CO2 fluxes on sago land in Timika is 21.100 mg of CO2 m-² d-1 in April 2013 , declined to 5.240 mg CO2 m-² d-1 in July 2013, 7.503 mg CO2 m-² d-1 in October 2013, and 4.380 mg CO2 m-² d-1 in March 2014. The deviation on first measuring CO2 fluxes on April 2013 is highest (Fig.4.)
Water saturated Water saturated Water saturated
Figure 4. Dynamic of CO2 flux.
209
Anggri Hervania et al.
Emissions CO2 and CH4 Emissions at the first time sampling showed the high emissions compared with the other time sampling (Table 2). Disturbed the location at the first time sampling have been released CO2 and CH4 to the atmosphere. Table 2. Emissions CO2 dan CH4 in Timika Papua. Date
CO2
CH4 -
-
Emission (t CO2-e ha ¹ yr ¹) 11-Apr 2013
77,02
25,18
17-Jul 2013
19,13
5,16
22-Okt 2013
27,39
5,96
05-Mar 2014
15,99
3,53
Mean
34,88
9,96
The annual CO2 emissons from sagu palm plantation in Papua showed 34,88 t ha-1 yr-1 and CH4 emissons is 9,96 t ha-1 yr-1. Total emissions from sago peat land in Papua is 44,84 t CO2-e ha-1 yr-1. The natural sago palm showed the high emissons, not significant compared with oil palm emissions 46 ± 30 t ha-1 yr-1 in Jambi Province (Setiari and Agus, 2013) as well as Melling et al., (2007), found a peat emission rate of 41 t ha-1 yr-1 under a five-year-old oil palm plantation in Sarawak, Malaysia. Water management need on contributing natural ecosystem such as sago palm in Papua to reduce greenhouse gas emissionis, Akira et al., (2009) said that maintaned ground water level at < -45 cm impact on small CH4 fluxs. No significant correlation between CO2 flux and peat land thickness as well as stock carbon based on correlation person test, 0,018 and -0,018 respectively. CO2 was positively correlated with the water table, in the ground water level higher CO 2 emissions, whereas for methane valid otherwise, the difference due to the depth of water table drainage effect on CO2 flux (Batubara 2009), (Handayani 2009), Moore and Dalva (1993). According to research by Handayani (2009), the depth of ground water level due to drainage determine the oxidation and reduction which is strongly associated with the rate of decomposition and determine the value of the CO2 flux. The deeper of water table correlate with that decomposition of organic matter and CO 2 flux high because CO2 is the end product of the decomposition process. Detailed information is required to evaluate the contribution of peat lands thickness and stock carbon to CO2 emission from sago palm.
210
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm
No significant correlation between CH4 flux and peat land thickness as well as stock carbon based on correlation person test, -0,334 and 0,334, respectively. Melling et al., (2005) suggested that in sago ecosystem, the seasonal variation in CH 4 flux was positively correlated with rainfall due to the necessary retention of high water table for the crop which increased its susceptibility to flooding (and anaerobic conditions). CH4 produced by biologically in anaerobic sites, methanogen activity and CH4 oxidixer, such as temperature, reduction-oxidation potential, and the amount of easily decomposable organic matter, as well as the type of vegetation are potential factor affecting temporal and spatial variations in CH4 emissions from peat land (Blodau, 2002; Treat et al., 2007).
CONCLUSIONS In Papua peat land used for sago palm cultivation, the annual CO2 emissions was 34,9 t CO2e ha-1 yr-1 and CH4 emissions was 10,0 t CO2e ha-1 yr-1. CO2 and CH4 fluxes were not influenced by stock carbon and thickness peat land. The possibilities that CO2 and CH4 fluxes from sago palm plantation were influenced by groundwater and biologycal activities.
ACKNOWLEDEMENT This research was supported by ICCTF (Indonesian Climate Change Trust Fund). We thank to Prof Fahmudin Agus for the assistance. We thank to Ali Pramono, Miranti Ariani, Titi Sopiawati, Sri Wahyuni for excellent assistance in the laboratory, and also thank to Jumari, Randy Sanjaya, Susanto for assistance in field. We also wish to thank Dr Maswar Bahar on their assistance in stock carbon and thickness petland.
REFERENCE Agus, F., dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Akira Watanabe, B.H. Purwanto, H. Ando, K. Kakuda, and F. Jong. 2009. Methane and CO2 fluxes from an Indonesian peat land used for sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation: Effects of fertilizer and groundwater level management. Agriculture, Ecosystems and Environment 134: 14–18. Batubara, S.F. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca pada Tanah Gambut Di Hutan dan Semak Belukar yang Telah Didrainase. Tesis. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian IPB.
211
Anggri Hervania et al.
Blodau, C. 2002. Carbon cycling in peat lands: A review of process and controls. Environ. Rev. 10: 111-134. Craun. 2000. In Sulaeman Hj Husaini; Ahmad Suib; Khalid Abdul Rahim; Abu Hasan md. Isa. 2008. Willingness to Pay for Conservation of Sago Peat Swamp Forest in Mukah , Sarawak. Working Paper Series No. 0801. Faculty of Economics and Business, Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS) 94300 Kota Samarahan,Sarawak. Flores, D.M. 2009. The Green potential of sago palm and sago strach. Paper to be presented at the National Biotech Week,Scientific Forum, theme “Bioteknologiya parasa Kalikasan, Kalusugan,Kagandahan, Kabuhayan at Kaunlaran”, at the Events Rm, Nido-Fortified Science Discovery Center, SM Mall of Asia. November 24, 2009. Galand, P.E. 2004. Methanogenic Archaea in boreal peat lands. Academic Dissertation in General Microbiology. General Microbiology Department of Biological and Environmental Sciences Faculty of Biosciences University of Helsinki Academic. Handayani, E.P. 2009. Emisi Karbondioksida (CO2) dan Metan (CH4) Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman Dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. Disertasi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian IPB. IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emissions from Agricultural. Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA). Istomo. 2005. Keseimbangan Hara dan karbon dalam pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan di dalam: Noor YR, Sutaryo D, Hasudungan F, editor. Pemanfaatan lahan gambut secara bijaksana untuk manfaat berkelanjutan. Seri prosiding 08. Bogor: Wetlands International – Indonestian Programme. Hal 133141. Melling, L., R. Hatano, and K.J. Goh. 2005. Methane fluxes from three ecosystem in tropical peat land of Serawak, Malaysia. Soil Biology and Biochemistry 37: 1445-1453. Melling, L., K.J. Goh, and C. Beauvais. 2007.Carbon flow and budget in a youngmature oil palm agroecosystem on deep tropical peat. In: Rieley JO, Banks CJ, Radjagukguk B (eds) Proceedings of the International Symposium and Workshop on Tropical Peat land. Yogyakarta, Indonesia. Moore, T.R and M. Dalva, 1993 The influence of suhue and water table position on carbondioxide and methane emissions from laboratory columns of peat land soils. J. Soil Science 44, Issue 4: 651–664. Purwanto, B.H., Watanabe, A., Jong, F.S., Kakuda, K., Ando, H., 2005. Kinetic parameters of gross N mineralization of peat soils as related to the composition of soil organic matter. Soil Sci. Plant Nutr. 51: 109–115. Ritung. S., Wahyunto, dan K. Nugroho. 2013. Karakeristik dan sebaran lahan gambut di Sumatra, Kalimantan dan Papua. Hal. 47-61 dalam prosiding Seminar Nasional
212
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm
Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Setiari Marwanto and Fahmuddin Agus. 2013. Is CO2 flux from oil palm plantations on peat land controlled by soil moisture and/or soil and air temperatures. Mitig Adapt Strateg Glob Change. Springer Science+Business Media Dordrecht 2013 Treat, C.C., J.L. Bubier, R.K. Varner, and P.M. Crill. 2007. Timescale dependence of environmental and peat-mediate controls on CH4 flux in a temperate fen. J. Geophys. Res. 112, G01014, doi:10.1029/2006JG000210. Wahyunto, Bambang Heryanto, Hasyim Bekti dan Fitri Widiastuti. 2006. Peta-Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Papua / Maps of Peat land Distribution, Area and Carbon Content in Papua, 2000 - 2001. Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).
213
15
EMISI GAS CO2 DARI PERTANAMAN JAGUNG (ZEA MAYS) DAN NENAS (ANANAS COMOSUS) DI LAHAN GAMBUT, KALIMANTAN BARAT
CO2 EMISSION FROM CROPPING OF MAIZE (ZEA MAYS) AND PINEAPPLE (ANANAS COMOSUS) IN PEATLAND AT WEST KALIMANTAN Titi Sopiawati1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, T. Sugiarti2 1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jaken-Jaken Km 05 Pati 59182
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Jl. Budi Utono No. 45, Siantan, Pontianak 78241
Abstrak. Pengelolaan lahan gambut dengan menggunakan bahan amelioran efektif memperbaiki produktivitas tanaman dan menurunkan emisi gas CO 2. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi emisi gas CO2 dari lahan gambut yang ditanami tanaman palawija dan hortikultura melalui penggunaan bahan amelioran. Penelitian dilaksanakan di Rasau Jaya, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat pada tahun 2013-2014. Rancangan yang digunakan adalah acak kelompok dengan lima ulangan dan lima perlakuan yang terdiri atas pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan) dari kotoran ayam, dolomit, kontrol (tanpa amelioran), cara petani. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengelolaan lahan gambut dengan pemberian bahan amelioran dapat menekan emisi CO2 sebesar 34,9%. Pemberian bahan amelioran dolomit menekan emisi CO2 sebesar 8,9% dan perlakuan cara petani (kombinasi dolomit dengan pupuk kandang ayam) menekan emisi CO2 sebesar 7,2 %. Penggunaan bahan amelioran berupa dolomit atau kombinasi dolomit dengan pupuk kandang ayam efektif menurunkan emisi CO2 dari lahan gambut terdegradasi di Kalimantan Barat. Kata kunci: Bahan amelioran, emisi gas CO2, lahan gambut, jagung, nenas Abstract. Peatland management with using ameliorant material is one of effective efforts to improve plant productivity and could reduce greenhouse gas emissions. This study aimed to obtain information of CO2 emissions from cultivated peatland for corn and pineapple crops through ameliorant materials application and to mitigate CO2 emission from peatland by using ameliorant. Research was conducted at Rasau Jaya, Kubu Raya District, West Kalimantan in 2013-2014. The experiment used a randomized block design with five replications and five treatments of ameliorant application that consisted of peat fertilizer (pugam), chicken manure, dolomite, control or without ameliorant, and farmers practices. The results showed that ameliorant application in peatland could decrease CO 2 emissions up to 34.9%. The dolomite ameliorant decreased CO2 emissions up to 8.9% and the farmers practices (dolomite combined with chicken manure) decreased CO2 emissions up to 7.2%. The use of dolomite or its combination with chicken manure is effective to reduce CO2 emission from degradated peatland. Keywords: Ameliorant materials, carbon dioxide emission, peatland, corn, pinneaple.
215
Titi Sopiawati et al.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara keempat yang mempunyai lahan gambut terluas di dunia sehingga merupakan salah satu cadangan karbon terbesar di dunia. Luas lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 14,9 juta hektar (Ritung et al., 2011). Upaya pemanfaatan lahan gambut sering menimbulkan kontroversi karena tidak memperhatikan karakteristik gambut sangat spesifik dan sifatnya yang fragile (mudah rusak) (Wahyunto et al., 2004). Tanah gambut secara alami mengalami proses dekomposisi yang berlangsung secara perlahan dan menghasilkan gas rumah kaca (GRK), namun emisi yang dihasilkannya relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam bentuk CO 2 bahkan seringkali berperan sebagai sink karbon. Dalam tiga dekade terakhir, lahan gambut telah digunakan secara intensif untuk aktivitas pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Alih fungsi lahan gambut untuk budidaya tanaman pertanian akan mengurangi stabilitas dan mempercepat proses dekomposisi. Selain itu, deforestasi dan degradasi lahan gambut memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan emisi GRK nasional. Indonesia dituding sebagai salah satu emitor karbon terbesar di dunia, maka perlu segera ditindaklanjuti melalui berbagai penelitian dan upaya adaptasi dan mitigasi. Sebagai bentuk partisipasi aktif, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% yang telah disampaikan oleh Presiden Indonesia dalam pertemuan G-20 di Copenhagen. Oleh karena itu perlu adanya upaya yang terintegrasi dan sistematis untuk menghambat laju pemanasan global berdasarkan hasil penelitian emisi gas rumah kaca (GRK) secara akurat dan ilmiah. Pemberian bahan amelioran di lahan pertanian secara umum bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara baik makro ataupun mikro, serta memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemberian amelioran di lahan gambut mempunyai fungsi lain untuk memperbaiki kemantapan gambut melalui khelasi asam-asam organik oleh kation polivalen sehingga membentuk rantai karbon yang lebih panjang dengan berat molekul yang lebih tinggi. Khelasi ini menyebabkan tanah gambut tidak mudah terdegradasi sehingga emisi GRK juga dapat ditekan. Hal ini disebabkan karena ikatan polivalen Fe atau Al dengan sisa asam organik sangat kuat sehingga tanah gambut stabil. Bahan amelioran seperti pupuk gambut (pugam) efektif dalam meningkatkan hasil tanaman jagung dan menurunkan emisi GRK di tanah gambut (Subiksa, 2009). Berbagai penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pemberian amelioran berupa tanah mineral, terutama tanah bertekstur berat dan atau berkadar Fe tinggi (Ultisol dan Oxisol) juga efektif meningkatkan produksi pertanian dan menurunkan emisi GRK di tanah gambut.
216
Emisi Gas CO2 dari Pertanaman Jagung
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi emisi karbondioksida (CO2) dari lahan gambut yang ditanami tanaman palawija dan hortikultura (jagung dan nenas) melalui penggunaan bahan amelioran.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di lahan gambut di Rasau Jaya II, Kec. Rasau Jaya, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat pada periode 2013-2014. Lokasi penelitian terletak pada titik koordinat 00o14’27,0”LS dan 109o24’44,7” BT dengan kedalaman gambut + 379 cm. Lokasi penelitian merupakan lahan gambut bekas terbakar yang sebagian kecil dimanfaatkan oleh petani setempat untuk menanam palawija atau hortikultura seperti tanaman jagung, ubi jalar, cabai, dan nenas. Di lokasi tersebut belum tersedia sistem drainase yang baik dan di sekitarnya masih merupakan lahan terlantar dengan vegetasi semak belukar. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan lima ulangan dan lima perlakuan yang terdiri atas pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan) kotoran ayam, dolomit, kontrol (tanpa amelioran), dan cara petani (kombinasi dolomit dan pupuk kandang). Gambar 1 memperlihatkan tata letak perlakuan di lapangan. Aplikasi bahan amelioran dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 20 April 2013 dan 13 September 2013 dengan cara disebar merata. Dosis pemberian bahan amelioran yang kedua hanya setengah dosis dari pemberian pertama (50% dari dosis amelioran). Komoditas yang ditanam adalah tanaman jagung dan nenas. Bahan amelioran dan pupuk dasar diaplikasikan dengan cara disebar, dosis amelioran dan pupuk tertera dalam Tabel 1.
III
E
A
C
D
B
II
B
D
E V
B
D
C
C
A
E
C
B
D
E
I
A
C
B
A
E
IV
A
D
Gambar 1. Tata letak unit percobaan bahan amelioran di Kubu Raya, Kalimantan Barat. (A= Pugam, B= Pukan kotoran ayam C= Dolomit, D= Kontrol (tanpa amelioran),E= Cara petani).
217
Titi Sopiawati et al.
Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk yang diberikan.
Perlakuan
Pemberian amelioran I (30 April 2013) pada tanaman jagung
Pemberian amelioran II (13 Sept. 2013) pada tanaman nenas
……………………. t/ha…………………….. A. B.
Pupuk gambut (pugam) Pupuk kandang (pukan)dari kotoran ayam C. Dolomit D. Kontrol E. Cara petani - Dolomit - Pupuk kandang ayam - Tricoderma (liter) - NPK - SP-36 - Urea Perlakuan (A, B, C, D) - NPK - SP-36 - Urea - CuSO4 - Kiserit
1 5
0,5 2,5
1 0
0,5 0
1,6 1,25 8 0,25 0,2 0,05
0,8 0,6 4 0,15 0,125 0,05
0,25 0,2 0,3 0,015 0,1
0,125 0,1 0,15 0,007 0,05
Pengukuran emisi gas CO2 dilakukan pada bulan 21 Maret 2013 s/d 5 Juni 2014. Pengambilan dan pengukuran gas CO2 dilakukan sebelum dan setelah aplikasi amelioran. Pengambilan contoh gas dilakukan dengan metode sungkup tertutup (close chamber technique) yang diadopsi dari IAEA (1993). Contoh gas diambil setiap bulan sekali pada pagi hari (jam 06.00-08.00) dan siang hari (jam 12.00-14.00), masing-masing 7 contoh gas dengan interval 3 menit yaitu menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 18, dan 21 setelah pemasangan septum. Pengambilan contoh gas CO2 dilakukan secara manual di lapangan menggunakan sungkup. Sungkup dilengkapi dengan termometer dipasang pada lubang yang telah tersedia di bagian atas sungkup digunakan untuk mengukur setiap perubahan suhu di dalam sungkup. Selain itu sungkup juga dilengkapi dengan penampang yang dipasang di permukaan tanah yang fungsinya untuk mengurangi kebocoran saat pengambilan sampel. Pengambilan contoh gas CO2 menggunakan syringe volume 10 ml. Syringe dibungkus dengan kertas perak untuk menghindari terjadinya penurunan konsentrasi gas karena pengaruh panas dan diberi label. Jumlah syringe yang harus disediakan adalah 7
218
Emisi Gas CO2 dari Pertanaman Jagung
buah setiap kali pengambilan contoh gas untuk masing-masing plot. Ujung syringe ditutup dengan rubber grip. Pengukur waktu seperti stopwatch atau jam diperlukan untuk mengetahui keakuratan waktu pengambilan contoh gas. Formulir pengamatan digunakan untuk mencatat perubahan suhu dalam sungkup dan waktu sampling. Perubahan suhu tersebut digunakan dalam proses perhitungan emisi. Pengambilan contoh gas CO2 dilakukan diantara tanaman jagung atau nenas di lahan gambut. Penampang sungkup dipasang paling lambat satu hari sebelum dilakukan sampling. Ukuran penampang menyesuaikan dengan ukuran sungkup yang digunakan. Sungkup diletakan pada penampang yang diletakan pada sela-sela tanaman jagung atau nenas. Sungkup dipasang tegak lurus, untuk menghindari kebocoran bagain bawah bagian atas penampang diisi dengan air. Termometer dipasang pada lubang yang telah tersedia dan kipas dinyalakan. Biarkan sungkup terbuka selama beberapa saat, supaya kondisi dalam sungkup menjadi normal kembali. Setelah sungkup siap, karet sebagai septum ditutup dan waktu perhitungan dimulai. Contoh gas diambil menggunakan syringe kemudian ujung syringe ditutup dengan septum sesegera mungkin untuk menghindari kebocoran. Perubahan suhu dalam sungkup pada setiap interval pengambilan contoh gas dicatat dan digunakan dalam perhitungan fluks. Contoh gas segera dianalisa konsentrasinya. Contoh gas dianalisis menggunakan Micro GC CP-4900 yang dilengkpai dengan detektor TCD (thermal conductivity detector). Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan adalah Helium dengan kategori UHP (ultra high purity) dengan kemurnian gas 99,999%.
Gambar 2. Peralatan yang digunakan untuk mengukur fluks GRK dari lahan gambut.
219
Titi Sopiawati et al.
Hasil analisis berupa konsentrasi gas digunakan untuk menentukan laju perubahan konsentrasi per satuan waktu (c/t). Fluks CO2 dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut yang diadopsi dari IAEA (1993).
F
Bm Csp V 273.2 x x x Vm t A T 273.2
dimana: E = emisi CO2 (mg/m2/hari) V = volume sungkup (m3) A = luas dasar sungkup (m2) T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC) Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CO2 (ppm/menit) Bm = berat molekul gas CO2 dalam kondisi standar (44 g) Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22,41 liter
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Fluks CO2 dari Lahan Gambut Gambar 3. menunjukkan bahwa perbedaan pola fluks CO2 antar perlakuan sampai dengan pengamatan ke 13 (tanggal 1 Juli 2014). Fluk CO2 sebelum aplikasi bahan amelioran digunakan sebagai baseline fluks CO2 menunjukkan bahwa pengukuran CO2 tanggal 21 Maret dan 9 April 2013 lebih tinggi dibandingkan dengan pengamatan tanggal 10 Juni 2013 s/d 1 Juli 2014. Pemberian amelioran dilakukan dua kali, yaitu satu kali dosis pada pemberian pertama tanggal 30 April 2013 dan setengah dosis dari pemberian pertama pada pemberian kedua tanggal 13 September 2013. Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam organik beracun, sehingga media perakaran tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang, dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah (Subiksa et al., 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999). Lahan gambut bersifat sangat masam karena kadar asam-asam organik sangat tinggi dari hasil pelapukan bahan organik. Sebagian dari asam-asam organik tersebut, khususnya golongan asam fenolat, bersifat racun dan menghambat perkembangan akar tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman sangat terganggu. Fluks CO2 tampak turun setelah pemberian amelioran pertama (tanggal 10 Juni 2013) dan ada naik setelah pemberian kedua (tanggal 13 November 2013) meskipun nilai
220
Emisi Gas CO2 dari Pertanaman Jagung
fluksnya masih lebih rendah daripada nilai fluks baseline (Gambar 3) Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut dengan cara pemberian bahan amelioran mampu menurunkan emisi gas CO2.
Gambar 3. Pola fluks CO2 dari lahan gambut sebelum dan sesudah aplikasi amelioran, Kubu Raya, Kalimantan Barat (pugam= pupuk gambut; pukan= pupuk kandang) Total emisi gas CO2 Total emisi gas CO2 pada baseline (sebelum pemberian amelioran) lebih tinggi dibandingkan setelah pemberian amelioran. Emisi gas CO2 dari perlakuan pupuk gambut (pugam) dan pupuk kandang (pukan) ayam lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sedangkan pemberian dolomit dan cara petani menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (Gambar 4).
Gambar 4. Total emisi gas CO2 dari lahan gambut, Kubu Raya, Kalimantan Barat (pugam= pupuk gambut, pukan= pupuk kandang)
221
Titi Sopiawati et al.
Tabel 2. Total emisi gas CO2 pada vegetasi yang berbeda Perlakuan
Emisi CO2 (t/ha/tahun) Baseline*
Jagung
Bera
Nenas
Pupuk gambut
22.75 + 18.2
13.47 + 6.3
8.49 + 3.0
22.10 + 6.1
Pupuk kandang ayam
28.51 + 25.1
11.37 + 9.6
8.32 + 3.0
21.50 + 11.1
Dolomit
21.37 + 16.1
8.07 + 2.2
11.14 + 2.1
15.48 + 6.5
Kontrol
22.98 + 18.2 24.49 + 17.9
9.69 + 1.8 7.73 + 0.8
7.97 + 2.3 10.33 + 0.0
17.85 + 5.5 16.15 + 7.4
Cara Petani
*Hasil pengukuran sebelum aplikasi amelioran
Perbedaan tanaman yang dibudidayakan memberikan emisi gas CO2 yang bervariasi. Emisi gas CO2 sebelum aplikasi amelioran sebagai baseline adalah lebih tinggi dibandingkan setelah ada aplikasi amelioran dan tanaman. Pada pertanaman jagung emisi CO2 terendah dihasilkan dari perlakuan cara petani yaitu 7,73 + 0,8 t CO2/ha/tahun , dan tertinggi dari perlakuan pugam yaitu 13.47 + 6.3 t CO2/ha/tahun (Tabel 2). Emisi CO2 terendah terendah pada kondisi bera (tanpa tanaman) dihasilkan dari perlakuan kontrol (7.97 + 2.3 t CO2/ha/tahun ) dan tertinggi dari perlakuan pukan ayam (11.14 + 2.1 t CO2/ha/tahun). Pada pertanaman nenas, emisi CO2 terendah dihasilkan dari perlakuan dolomit (15.48 + 6.5 t CO2/ha/tahun ) dan tertinggi dari perlakuan pugam (22.10 + 6.1 t CO2/ha/tahun) (Tabel 2). Dolomit (CaCO3.MgCO3 atau CaMg(CO3)2) adalah salah satu bahan kapur yang mengandung 45,6% MgCO3 atau 21,9% MgO dan 54,3% CaCO3 atau 30,4% CaO. Bahan kapur tersebut umum digunakan di lahan marjinal untuk menurunkan kemasaman tanah dan memperbaiki produktivitas tanah. Penurunan kemasaman tanah meningkatkan aktivitas mikroba dalam tanah (Stevenson, 1994) yang dapat menurunkan produksi gas rumah kaca (Dubey, 2006). Tabel 3 menunjukan bahwa rata-rata emisi gas CO2 sebelum pemberian amelioran lebih tinggi dibandingkan setelah pemberian amelioran, masing-masing sebesar 24,02 dan 15,63 t CO2/ha/tahun. Pemberian bahan amelioran dapat menurunkan emisi gas CO 2 sebesar 34,9%. Pemberian amelioran pugam dan pupuk kandang ayam meningkatkan emisi gas CO2 masing-masing sebesar 23,9 % dan 18,7%, sedangkan pemberian amelioran dolomit dan cara petani menurunkan emisi gas CO 2 masing-masing sebesar 8,9 % dan 7,2 %. Cara petani dengan mengkombinasikan dolomit dan pupuk kandang ayam tampak efektif menurunkan emisi CO2 dari gambut yang terdegradasi. Hasil penelitian Susilawati et al., (2009) di Balingtan menunjukan bahwa penggunaan dolomit pada gambut yang disawahkan menurunkan emisi gas CO2 sebesar 23,3%.
222
Emisi Gas CO2 dari Pertanaman Jagung
Tabel 3. Penurunan emisi gas CO2 setelah aplikasi amelioran Emisi CO2 (t/ha/tahun) Perlakuan Baseline
Setelah aplikasi amelioran
% Penurunan emisi (perlakuan terhadap kontrol)*
Pugam
22.75
18.39 + 7,8
-23.9
Pukan Ayam
28.51
17.62 + 11,0
-18.7
Dolomit
21.37
13.52 + 6,1
8.9
Kontrol
22.98
14.85 + 6,4
-
Cara Petani
24.49
13.78 + 6,9
7.2
Rata-rata
24.02
15.63
* % penurunan dihitung berdasarkan nilai emisi kontrol terhadap perlakuan
Fluks CO2 berdasarkan waktu sampling Fluks CO2 pada siang hari tampak lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Hal ini menunjukkan bahwa fluks CO2 dipengaruhi oleh temperatur udara. Temperatur udara pada siang hari lebih tinggi dibandingkan pagi hari sehingga fluks CO 2 pada siang hari menjadi lebih tinggi (Gambar 5). Gas CO2 yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut. Selain itu, dekomposisi gambut juga tergantung pada faktor lingkungan, sifat tanah, dan teknik budidaya pertanian. Pada suhu tinggi, gas CO 2 dan CH4 terbentuk dalam jumlah banyak. Suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor, 2001 cit Yuniastuti, 2011).
Gambar 5. Fluks CO2 berdasarkan waktu pengambilan sampel.
223
Titi Sopiawati et al.
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukan bahwa pengelolaan lahan gambut dengan pemberian bahan amelioran dapat menekan emisi CO2 yaitu sebesar 34,92%. Pemberian bahan amelioran dolomit menekan emisi CO2 sebesar 8,9 % dan perlakuan cara petani (kombinasi dolomit dan pupuk kandang ayam) menekan emisi CO2 sebesar 7,2 %. Untuk menekan emisi gas CO2 pada lahan gambut dengan tanaman musiman disarankan untuk menggunakan bahan amelioran dolomit atau kombinasi dolomit dengan pupuk kandang ayam.
DAFTAR PUSTAKA IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agricultural Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA). Dubey. 2006. Modelling Depletion Of Forestry Resources By Population And Population Pressure Augmented Industrialization. J. Math. Biol. 36 pp 3003-3014 Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut dengan Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya oleh Bahan Berkadar Besi Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto dan C. Tafakresmanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Edisi Desember 2011. ISBN: 878-602-8977-16-6. Salampak, 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions. 2 th ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. Subiksa, I.G.M., K. Nugroho, Sholeh, and I.P.G. Widjaja Adhi, 1997. The effect of ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. pp:321-326. In Rieley and Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Samara Publishing Limited, UK. Subiksa, I.G.M. 2010. Pengembangan Fomula Amelioran dan Pupuk "Pugam" Spesifik Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan Serapan Hara dan Produksi Tanaman > 50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) >30%.http://km.ristek.go.id/index. php/klasifikasi/ detail/20885. Wahyunto, S. Ritung, dan H. Subagjo. 2004. Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Kalimantan / Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Kalimantan, 2000 – 2002. Yuniastuti, P. 2011. Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi Karbondioksisa dan Metan di Lahan Gambut Kebun Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Skripsi Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.
224
16
PENGARUH PEMBERIAN AMELIORAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT PROVINSI JAMBI TERHADAP EMISI CO2
EFFECT OF AMELIORANT APPLICATION ON CO2 EMISSION FROM PEATLAND UNDER OIL PALM PLANTATION IN JAMBI Terry Ayu Adriany1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, Salwati2 1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Jl. Jakenan-Jaken Km. 5 Jakenan, Pati 59182
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi
Abstrak. Pemberian amelioran di lahan gambut diharapkan dapat menekan emisi GRK dan memperbaiki produktivitas tanah gambut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian amelioran terhadap emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di Provinsi Jambi. Penelitian dilakukan di Arang-arang, Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi pada bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Lokasi penelitian merupakan perkebunan rakyat yang ditanami tanaman kelapa sawit dengan jarak tanam 9 m x 7 m dan umur tanaman 6 - 7 tahun. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan amelioran yang diterapkan adalah (1) pemberian pupuk dasar (kontrol), (2) pupuk gambut, (3) tandan kosong kelapa sawit, dan (4) pupuk kandang. Pengambilan contoh gas CO2 dilakukan dengan metode sungkup tertutup setiap bulan sekali. Parameter yang diamati adalah fluks CO2, suhu dan headspace dalam sungkup. Hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di piringan tanaman kelapa sawit memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan emisi CO2. Emisi CO2 tertinggi sampai terendah yang dihasilkan di piringan tanaman terturut-turut yaitu kontrol (24,56 ton ha-1 tahun-1), pupuk gambut (22,51 ton ha-1 tahun-1), pupuk kandang (17,58 ton ha-1 tahun-1), dan tandan kosong kelapa sawit (15,12 ton ha-1 tahun-1). Pengaruh pemberian bahan amelioran di antara tanaman kelapa sawit tidak nyata menurunkan emisi CO2. Pemberian amelioran dapat digunakan sebagai usaha peningkatan produktivitas tanah gambut dan dapat sebagai upaya mitigasi emisi CO2 pada perakaran tanaman kelapa sawit. Kata kunci: Emisi CO2, amelioran, lahan gambut, kelapa sawit. Abstract. Ameliorant application on peatland is aimed to reduce greenhouse gases (GHGs) emissions and to improve peat productivity. The purpose of this study was to determine the effect of ameliorant application on CO2 emissions in peatland planted of oil palm at Jambi province. The experiment was conducted at Arang-arang, Kumpeh Hulu Sub-District, Muara Jambi District, Jambi Province in July 2013 to June 2014. The experiment used farmer's oil palm plantations which be planted with a
225
Terry Ayu Adriany et al.
spacing of 9 m x 7 m and plant age 6 - 7 years. The experiment used a randomized block design (RBD) with 4 treatments and 4 replications. The treatments were (1) base fertilizer application (control), (2) peat fertilizer (pugam), (3) and oil palm empty fruit bunches (tankos) (4) farmyard manure (pukan). Gas samples were taken using closed chamber technique every month in the morning and afternoon. Parameters observed were CO2 flux, temperature and headspace in the chamber. The results showed that ameliorant application on oil palm plantations in peatland significantly reduce CO2 emissions. CO2 emissions sequence from the highest to the lowest around the palm were for base fertilizer application (24.56 ton ha-1 year-1), pugam (22.51 ton ha-1 year-1), pukan (17.58 ton ha-1 year-1), and tankos (15.12 ton ha-1 year-1). However, ameliorant application on area between oil palms was not significantly decreased CO2 emissions. Ameliorant application could be used to increase soil productivity and to reduce CO2 emissions on peatlands. Keywords: CO2 emissions, ameliorant, peatland, oil palm.
PENDAHULUAN Keterbatasan lahan produktif, peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan pangan mendorong pemanfaatan lahan marjinal sebagai perluasan areal pertanian. Lahan gambut merupakan salah satu lahan marjinal yang memiliki potensi untuk perluasan lahan pertanian (ekstensifikasi). Luas lahan gambut di Indonesia yaitu 14,9 juta hektar (Ritung et al., 2011). Pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian memiliki dilema yang harus dihadapi. Kebutuhan akan pangan, pengembangan bioindustri dan pengembangan ekonomi menyebabkan pembukaan lahan gambut. Di sisi lain pembukaan dan pengolahan lahan gambut tanpa memperhatikan aspek lingkungan dapat memberikan ancaman lebih besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan tersebut. Lahan gambut pada kondisi alami merupakan penyimpan (sink) karbon yang stabil dengan laju dekomposisi yang menghasilkan GRK relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam bentuk CO2. Apabila kondisi alami pada lahan gambut terganggu akan mempercepat proses dekomposisi, sehingga karbon yang tersimpan tersebut teremisi membentuk gas rumah kaca (GRK) terutama CO2. Emisi GRK yang berhubungan dengan alih fungsi lahan dan pengelolaan lahan gambut mendekati 50% dari emisi nasional Indonesia (Hooijer et al., 2006). Tanah gambut merupakan penyumbang emisi CO 2 yang tinggi (Langeveld et al., 1997). Perkebunan kelapa sawit diyakini dapat meningkatkan emisi GRK dengan tingkat emisi tertinggi di antara tanaman perkebunan lainnya. Hasil penelitian Marwanto dan Agus (2014) menunjukkan bahwa emisi CO2 di lahan gambut dengan vegetasi tanaman kelapa sawit di Jambi dengan menggunakan Infrared Gas Analyzer (IRGA) adalah 46 ± 30 ton ha-1 tahun-1. Oleh karena itu, diperlukan upaya mitigasi GRK di lahan gambut
226
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
untuk menekan emisi GRK yang dapat menelan laju pemanasan global. Salah satu upaya mitigasi GRK di lahan gambut adalah dengan pemberian bahan amelioran. Bahan amelioran merupakan bahan yang dapat ditambahkan ke dalam tanah sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik, kimia tanah, dan biologi tanah. Pemberian amelioran pada tanah gambut digunakan untuk menekan tingginya kemasaman tanah dan rendahnya kesuburan tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut (Barchia, 2006). Beberapa jenis amelioran yang dapat menekan emisi GRK di lahan gambut adalah pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan), hasil kompos tandan kosong kelapa sawit (tankos), tanah mineral, dan dolomit. Beberapa bahan amelioran mengandung kation polivalen seperti Fe3+, Cu2+, Al3+, Zn2+, dan Mg2+ yang dapat mengkhelat asam organik dalam tanah gambut, sehingga laju dekomposisi gambut dikurangi dan pelepasan gas rumah kaca dapat ditekan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa bahan amelioran terhadap penurunan emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di Provinsi Jambi.
BAHAN DAN METODE Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi pada bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Lokasi penelitian terletak pada titik kordinat S 01o40’55,1” dan E 103o49’07.3” yang merupakan perkebunan rakyat kelapa sawit sejak tahun 2005 dan berasal dari konversi hutan gambut sekunder menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Total luasan petak percobaan yang diperlakukan amelioran adalah 2,4 ha. Gambut di lokasi penelitian mempunyai ketebalan gambut ± 2,24 m dengan tipe kematangan gambut saprik. Tanaman kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian berumur 6 - 7 tahun dengan jarak tanam 9 m x 7 m. Di antara tanaman kelapa sawit dilakukan penanaman nenas pada bulan Sepetember 2013 dengan jarak tanam 1,5 m x 1,75 m. Rancangan Percobaan dan Perlakuan Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan amelioran terdiri atas kontrol, pupuk gambut (pugam), tandan kosong kelapa sawit (tankos) yang dikomposkan, dan pupuk kandang ayam (pukan). Pemberian amelioran dilakukan dua kali yaitu tanggal 25 Juli 2013 dan 21-30 Januari 2014. Dosis pemberian amelioran dan pupuk pada lahan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.
227
Terry Ayu Adriany et al.
Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk yang digunakan dalam penelitian. Dosis pemberian amelioran dan pupuk (kg pohon -1) Perlakuan
Pemberian I (25 Juli 2013)
Amelioran Kontrol Pupuk gambut (pugam) Pupuk kandang (pukan) Tandan kosong kelapa sawit (tankos) Pupuk Dasar Urea SP36 KCl Kieserit (MgSO4.H2O) Pupuk Mikro CuSO4 ZnSO4 Borax (Na2B4O7.10H2O)
Pemberian II (25-30 Januari 2014)
5 10
3 6
15
9
2 2 2.5 1.2
2 2 2.5 -
0.15 0.15 0.30
-
Keterangan: Semua perlakuan diberi pupuk dasar SP-36 kecuali perlakuan pupuk gambut (pugam).
Pengukuran Gas Rumah Kaca (GRK) Secara garis besar pengukuran GRK (CO 2) terdiri atas dua tahapan, yaitu pengambilan contoh gas. Contoh gas dianalisis menggunakan Portabel Mikro GC Varian CP-4900. Contoh gas diambil dengan metode sungkup tertutup (close chamber technique) yang diadopsi dari IAEA (1993). Contoh gas diambil setiap bulan sekali pada pagi hari (jam 06.00-09.00 WIB) dan siang hari (12.00-15.00 WIB) dengan interval pengambilan contoh (3, 6, 9, 12, 15, 18, 21 menit). Sebelum peletakan sungkup, penampang sungkup diletakkan secara permanen di lokasi yang akan diambil contoh gasnya. Sungkup yang digunakan berukuran 50 cm x 50 cm x 30 cm untuk daerah piringan tanaman kelapa sawit dan 50 cm x 15 cm x 30 cm untuk daerah antara tanaman kelapa sawit. Sungkup dilengkapi oleh fan (kipas) untuk menghomogenkan udara, termometer untuk mengetahui suhu di dalam sungkup, dan jarum suntik dengan ukuran 10 ml yang dibungkus dengan kertas perak. Parameter yang diamati adalah fluks dan emisi CO2, suhu dan headspace di dalam sungkup pada saat pengambilan sampel. Contoh gas dianalisis konsentrasinya dengan alat kromatografi gas Portabel Mikro GC CP-4900 yang dilengkapi dengan detektor TCD (thermal conductivity detector). Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan adalah Helium UHP (ultra high purity) degan kemurnian 99,99%. Fluks (F)
228
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
dari gas CO2 yang lepas dari satu luasan tanah gambut dihitung berdasarkan persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut: dc F =
Vch x
dt
x Ach
mW
273,2
x mV
(273,2+T)
Keterangan : F : Fluks gas CO2 (mg m-2 hari-1), emisi gas CO2 (ton ha-1 tahun-1) dc/dt : Perbedaan konsentrasi CO2 per waktu (ppm menit-1) Vch : Volume sungkup (m3) Ach : Luas sungkup (m2) mW : Berat molekul CO2 (g) mV : Volume molekul CO2 (l) T : Temperatur rata-rata di dalam sungkup saat pengambilan contoh gas (oC) Analisis Data Data emisi CO2 dianalisis statistik dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan dan dilanjutkan dengan uji t-Test (LSD) dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis data statistik menggunakan software SAS (system analysis statistic) versi 9.1.3 (SAS, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN Fluks CO2 Harian di Piringan dan Antara Tanaman Kelapa Sawit Gambar 1. memperlihatkan keragaman fluks CO2 antar perlakuan di piringan tanaman dan antara tanaman kelapa sawit dan tinggi muka air pada saat pengambilan contoh gas. Fluks CO2 di piringan tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan di antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas dengan tinggi muka air yang seragam pada setiap pengamatan. Secara umum fluks CO2 akan meningkat seiring dengan kedalaman tinggi muka air tanah. Namun, hasil penelitian Jauhiainen et al., (2008) menyatakan bahwa hubungan antara kedalaman air dengan laju emisi tidak selalu linear.
229
Terry Ayu Adriany et al.
Gambar 1. Rata-rata fluks CO2 di piringan dan antara tanaman kelapa sawit (Pugam = pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang, Garis terputus menunjukkan waktu pemberian amelioran).
Perbedaan fluks CO2 yang dihasilkan di piringan dan antara tanaman kelapa sawit menunjukkan adanya perbedaan laju respirasi perakaran tanaman. Laju respirasi di piringan kelapa sawit melepaskan CO2 lebih tinggi dibandingkan di antara tanaman kelapa sawit. Dariah et al., (2013) melaporkan bahwa perbedaan distribusi perakaran tanaman dan pemberian pupuk di sekitar tanaman mempengaruhi fluks CO 2 yang dihasilkan. Semakin rapat distribusi perakaran tanaman dan pemberian pupuk di daerah sekitar perakaran akan meningkatkan pelepasan CO2 dari hasil respirasi perakaran tanaman dan aktivitas mikroba tanah. Selain adanya pengaruh faktor tinggi muka air tanah dan laju respirasi perakaran tanaman, ketersediaan bahan organik di dalam tanah juga akan mempengaruhi fluks CO2 yang dihasilkan. Rata-rata fluks CO2 pada pemberian amelioran I dan II tampak mengalami peningkatan secara signifikan di piringan tanaman dan antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas. Pemberian bahan amelioran berperan sebagai bahan pembenah tanah sekaligus sumber karbon atau energi bagi mikroorganisme dalam melakukan aktivitasnya, serta dapat menambah ketersediaan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman (Tabel 2). Pemberian amelioran bertujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah gambut juga dapat memacu emisi karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N dan memacu dekomposisi tanah gambut (Widyati, 2011). Kandungan bahan organik di dalam tanah berkorelasi positif dengan emisi CO2 yang dihasilkan dari dalam tanah (Irawan &
230
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
June, 2011). Bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam proses respirasi yang menghasilkan CO2. Selain kandungan bahan organik, peningkatan fluks CO2 dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen pada kondisi aerob di dalam tanah sebagai hasil dari dekomposisi tanah gambut (Kechavarzi et al., 2007). Pembentukan gas CO2 terjadi dalam kondisi aerob, dimana mikroorganisme dekomposer seperti bakteri dan jamur dapat beraktivitas secara optimal. Tabel 2. Hasil analisis bahan amelioran yang digunakan dalam penelitian. Parameter
Unit
pH H2O (1:5)
Pugam
Pukan
Kompos Tankos
8,6
8.5
7.0
Kadar Air
%
3,8
70.08
55.89
As. Humat
%
-
1.37
1.43
As. Fulfat
%
-
1.60
2.42
C-Organik
%
-
6.13
19.23
NH4
%
-
0.06
0.15
NO3
%
-
0.03
0.08
C/N
%
-
12
11
P2O5 K2O
% %
13,15 0,08
0.56 0.49
4.75 0.45
Ca
%
18,9
0.72
1.29
Mg
%
6,53
0.33
0.80
%
0,56
0.10
0.20
S Sumber: BPTP Jambi
Fluks CO2 Harian pada Pagi dan Siang Hari Rata-rata fluks CO2 pada pagi dan siang dari semua perlakuan terlihat pada Gambar 2. Rata-rata fluks CO2 pada pagi hari lebih rendah dibandingkan siang hari. Suhu rata-rata dalam sungkup pada siang hari berkisar 35 – 50oC dan lebih tinggi dibandingkan pada pagi hari yang berkisar 20 – 30oC. Tingginya suhu dalam sungkup merupakan faktor yang mempengaruhi konsentrasi CO2 yang dihasilkan. Makin tinggi suhu tanah menyebabkan makin tinggi fluks CO2 yang dihasilkan. Suhu tanah berpengaruh terhadap reaksi fisiologi mikroba tanah dan karakteristik fisika-kimia tanah, misalnya volume tanah, tekanan, potensi reduksi-oksidasi, difusi, viscositas, struktur tanah, dan tekanan permukaan. Suhu yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya percepatan reaksi metabolisme oleh mikroorganisme seperti aktivitas enzim. Suhu tanah memiliki korelasi positif terhadap fluks CO2 pada tanaman kelapa sawit (Melling et al., 2013).
231
Terry Ayu Adriany et al.
Gambar 2. Rata-rata fluks CO2 pada pagi dan siang hari dengan pemberian amelioran yang berbeda (Pugam = pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang).
Perlakuan tanpa pemberian amelioran (kontrol) menghasilkan rata-rata fluks CO2 tertinggi pada pagi hari yaitu 5.256 mg m-2 hari-1 dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pemberian amelioran selain memperbaiki produktivitas gambut juga dapat menekan emisi GRK. Kandungan kation polivalen dan unsur mikro yang terkandung dalam bahan amelioran berfungsi untuk menetralisasi asam organik beracun dalam gambut. Kation polivalen berfungsi dalam khelasi asam organik sehingga tanah gambut lebih stabil, laju dekomposisi berkurang dan emisi GRK turun (Subiksa, 2010). Namun, berbeda dengan rata-rata fluks CO2 pada siang hari yang tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pupuk gambut (pugam) yaitu 6.486 mg m-2 hari-1. Pugam merupakan bahan amelioran yang banyak mengandung bahan organik serta unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Pemberian pugam yang kaya akan unsur hara dan suhu yang lebih tinggi pada siang hari meningkatkan aktivitas mikroba tanah dan meningkatkan ratarata fluks CO2. Pemberian amelioran tandan kosong kelapa sawit (tankos) menghasilkan rata-rata fluks CO2 terendah baik pada pagi maupun siang hari dengan fluk masingmasing sebesar 3.494 mg m-2 hari-1 dan 3.892 mg m-2 hari-1. Total Emisi CO2 Emisi CO2 yang dihasilkan di piringan tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan di antara tanaman kelapa sawit pada semua perlakuan (Gambar 3). Respirasi pada zona perakaran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menghasilkan emisi CO2 lebih tinggi dibanding di luar zona perakaran, yaitu sekitar 38%
232
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
dari emisi gas CO2 merupakan hasil respirasi akar (Handayani, 2010). Semakin dekat jarak pengukuran GRK dengan tanaman kelapa sawit, semakin tinggi fluks CO 2 yang dihasilkan dari respirasi akar tanaman (Dariah et al., 2014). Emisi CO2 di piringan kelapa sawit dari yang tertinggi sampai terendah secara berurutan adalah kontrol, pugam, pukan, dan tankos, sedangkan di antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas urutan emisi tertinggi sampai terendah adalah pukan, pugam, kontrol, dan tankos.
Gambar 3. Emisi CO2 di piringan dan antara tanaman kelapa sawit (Pugam = pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang). Pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di piringan tanaman memberikan pengaruh nyata terhadap emisi CO2. Sedangkan pemberian amelioran di antara tanaman kelapa sawit menghasilkan emisi CO2 yang tidak berbeda nyata antara perlakuan. Emisi CO2 dari tanah merupakan hasil intergrasi beberapa faktor antara lain aktivitas respirasi mikroorganisme tanah dan hasil respirasi rizosfer tanaman (Ding et al., 2007). Faktor lain yang mempengaruhi besarnya emisi CO 2 dari tanah adalah suhu tanah, kelembaban tanah, kedalaman muka air tanah, pemupukkan, tipe vegetasi dan kualitas tanah, aktivitas dan biomassa mikroba serta pengelolaan tanah. Tabel 3. Persentase penurunan emisi CO2 dari pemberian bahan amelioran di lahan gambut di Jambi. Rata-rata Emisi CO2 (ton ha-1 tahun-1)
Perlakuan
Piringan Kontrol Pupuk gambut (pugam) Tandan kosong kelapa sawit (tankos) Pupuk kandang (pukan)
24,56 22,51 15,12 17,84
a ab c cb
Antara tanaman 12,50 16,88 10,01 15,84
a a a a
% Penurunan Emisi CO2 Piringan 8 38 27
Antara tanaman -35 20 -27
Angka dalam lajur sama diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji t-Test
233
Terry Ayu Adriany et al.
Tanpa pemberian amelioran (kontrol) menghasilkan emisi CO 2 tertinggi di piringan tanaman yaitu sebesar 24,56 ton ha-1 tahun-1. Sedangkan di antara tanaman kelapa sawit pemberian amelioran pupuk gambut (pugam) menghasilkan emisi CO2 tertinggi yang sebesar 16,88 ton ha-1 tahun-1. Emisi CO2 terendah dihasilkan perlakuan amelioran tandan kosong kelapa sawit (tankos) di piringan 15,12 ton ha -1 tahun-1 dengan persentase penurunan emisi CO2 38% dan di antara tanaman kelapa sawit 10,01 ton ha-1 tahun-1 dengan persentase penurunan emisi CO2 20% (Tabel 3). Tankos merupakan bahan amelioran berupa kompos dari tandan kosong kelapa sawit yang dicampur dengan pupuk kandang dan dolomit dengan perbandingan 100 : 30 : 5 yang dikomposkan selama 3 bulan (BPTP Jambi, 2013). Hasil penelitian yang terdahulu di lokasi yang sama dengan umur tanaman kelapa sawit 3 - 5 tahun pada piringan tanaman menunjukkan bahwa pemberian amelioran pukan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 26,6%, tanah mineral 13,5%, tankos 6,5% dan pugam A 5,7% dari perlakuan kontrol (Susilowati et al., 2012). Ketersediaan tandan kosong kelapa sawit yang melimpah di perkebunan sawit sebagai limbah dapat dimanfaatkan secara optimal dengan membuat kompos tankos sebagai bahan amelioran. Kombinasi tandan kosong kelapa sawit, pukan, dan dolomit menjadi kompos tankos diyakini dapat menurunkan emisi CO2 di lahan gambut yang ditanami kelapa sawit.
KESIMPULAN Pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut Jambi nyata menurunkan emisi CO2 di piringan tanaman kelapa sawit. Pemberian amelioran tandan kosong kelapa sawit menghasilkan emisi CO 2 terendah sebesar 15,12 ton ha-1 tahun-1 di piringan tanaman dan 10,01 ton ha-1 tahun-1 di antara tanaman kelapa sawit. Penurunan emisi CO2 dari pemberian amelioran tankos adalah 38% di piringan tanaman dan 20% di antara tanaman kelapa sawit dibandingkan dengan kontrol. Pemberian bahan amelioran di antara tanaman kelapa sawit tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan emisi CO2.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada ICCTF dalam kegiatan kerjasama penelitian antara Badan Litbang Pertanian dengan BAPPENAS atas dukungan biaya penelitian. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada tim kelompok peneliti emisi dan absorbsi gas rumah kaca (EAGRK) Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan tim pengukuran gas rumah kaca di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.
234
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
DAFTAR PUSTAKA Barchia, M.F. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. BPTP Jambi. 2013. Leaflet: Teknologi Pembuatan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Jambi. Dariah, A., F. Agus, E. Susanti, and Jubaedah. 2013. Relationship between distance sampling and carbon dioxide emission under oil palm plantation. Journal Tropica Soils. 18(2). ISSN: 0852-257X. Dariah, A., S. Marwanto, and F. Agus. 2014. Root-and peat-based CO2 emissions from oil palm plantations. Mitigation Adaptation Strategi Global Change 19: 831–843. Ding, W., Lei Meng, Yunfeng Yin, Zucong Cai, and Xunhua Zheng. 2007. CO2 emission in an intensively cultivated lLam as affected by long-term application of organic manure and nitrogen fertilizer. Soil Biology and Biochemistry 3: 669-679. Handayani, E. Meine V. Noowidwijk, K. Idris, S. Sabiham, and S. Djuniwati. 2010. The Effet of various water table depth on CO2 emission at oil palm plantation on West Aceh Peat. J. Trop. Soils. 15(3): 255-260. Hooijer, A., M. Silvius, H. Wosten, and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943. IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agricultural Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA). Irawan, A., dan T. June, 2011. Hubungan iklim mikro dan bahan organik tanah dengan emisi CO2 dari pembukaan tanah di hutan alam Babahaleka Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Jurnal Agricultural Metelorogi 25(1): 1-8. Jauhiainen, J., S. Limin, H. Silvennoinen, and H. Vasander. 2008. Carbon dioxide and methane fluxes in drained tropical peat before and after hydrological restoration. Ecology. 89(12): 3503-3514. Kechavarzi, C., Q. Dawson, P.B. Leeds-Harrison, J. SzatyLowicz, and T. Gnatowski. 2007. Water-table management in lowland UK peat soils and its potential impact on CO2 emission. Soil Use Management 23: 359-367. Langeveld, CA., R. Segers, B.O.M. Dirks, A. Van den Pol-van Dasselar, G.L. Velthof, and A. Hensen, 1997. Emissions of CO2, CH4, and N2O from pasture on drained peat soils in the Netherlands. European Journal of Agronomy 7: 35-47. Marwanto, S., dan F. Agus. 2014. Is CO2 flux from oil palm plantations on peatland controlled by smil Moisture and/or soil and air temperatures?. Mitigation Adaptation Strategi Global Change 19: 809–819. Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, dan C. Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Edisi Desember 2011. ISBN: 978-602-8977-16-6.
235
Terry Ayu Adriany et al.
SAS Institute Inc. 2005. SAS® 9.1.3 Language Reference: Consepts, Third Edition. Cary NC. USA. SAS Institute Inc. Subiksa, I G., Made, 2010. Pengembangan Formula Amelioran dan Pupuk “Pugam” Spesifik Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan Serapan Hara dan Produksi Tanaman >50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) >30%. http://km.ristek.go.id/index.php/klasifikasi/detail/20885. Susilowati., H. L., J. Hendri, D. Nursyamsi, dan P. Setyanto. 2012. Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap fluks CO2 pada pertanaman kelapa sawit tanah gambut di perkebunan rakyat Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional: Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. ISBN: 978-602-8977-42-5. Widyati, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim. Tekno Hutan Tanaman. 4(2) : 57 – 68.
236
17
EMISI GAS CO2 DARI TANAH GAMBUT YANG DITANAMI KELAPA SAWIT (ELAEIS GUINEENSIS) DAN NENAS (ANANAS COMUSUS) DENGAN BEBERAPA PERLAKUAN AMELIORAN
CO2 EMISSION FROM PEATLAND PLANTED MULTIPLE CROPPING OF OIL PALM AND PINNEAPPLE WITH SOME AMELIORANT TREATMENTS Sri Wahyuni1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, Nurhayati2, Hery Widianto3 1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 05 Pati,
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. Jl. Kaharuddin Nasution No. 341, Km. 10 Marpoyan, Pekanbaru 3
Balai Penelitian Tanah. Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114
Abstrak. Pemberian amelioran pada lahan gambut selain dapat meningkatkan produktivitas tanaman, juga dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui emisi gas CO2 dari pemberian bahan amelioran di lahan gambut dengan tanaman tumpangsari kelapa sawit dan nenas. Penelitian dilaksanakan di lahan gambut di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau pada periode Juni 2013 sampai Juni 2014. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan dengan perlakuan (1) kontrol, (2) tandan kosong (tankos) kelapa sawit, (3) pupuk gambut (pugam), (4) pupuk kandang (pukan) kotoran sapi, dan (5) cara petani. Amelioran diberikan di bagian piringan tanaman kelapa sawit. Contoh gas diambil dengan menggunakan sungkup tertutup berukuran 50 cm x 50 cm x 30 cm untuk yang di piringan kelapa sawit dan ukuran 20 cm x 50 cm x 30 cm untuk yang di tanaman sela (nenas). Contoh gas dianalisis dengan menggunakan gas kromatografi model Micro GC CP 4900 untuk menetapkan konsentrasi gas CO2. Pengambilan contoh gas sekali dalam satu bulan. Amelioran pukan efektif menurunkan emisi CO 2 pada tanaman sela nenas sebesar 23% dibandingkan tanpa amelioran. Emisi CO2 dari piringan kelapa sawit rata-rata adalah 35,9 ± 5,6 t CO2/ha/tahun dan dari tanaman sela nenas adalah 27,7 ± 3,3 t CO2/ha/tahun. Pemberian amelioran pada tanaman kelapa sawit cenderung meningkatkan emisi gas CO 2 sebesar 3% dengan pemberian tankos dan 46% dengan pemberian pugam jika dibandingkan dengan tanpa pemberian amelioran (kontrol). Pemberian amelioran di lahan gambut di Riau tidak efektif menurunkan emisi GRK. Kata kunci: Emisi gas CO2, lahan gambut, amelioran, kelapa sawit, nenas. Abstract. Beside improving plant productivity, ameliorant application in peat land could reduce greenhouse gases (GHGs) emissions. The objective of this research was to determine CO2 emission in peat land that was planted with multiple cropping of oil palm and pineapple through applying ameliorant materials. The research was conducted in peat land at Lubuk Ogong, Bandar Sei Kijang subdistrict, Pelalawan district, Riau province
237
Sri Wahyuni et al.
during period of June 2013- June 2014. The research was arranged using randomized block design with four replicates and five treatments (control, oil palm empty bunches, farmyard manure from cattle, peat fertilizer, and farmers practices). Ameliorant materials were applied in surrounding of oil palm. Gas samples were taken using closed chamber with size of 50 cm x 50 cm x 30 cm for surrounding of oil palm and size of 20 cm x 50 cm x 30 cm for intercrop of pinneaple. Gas samples were taken once per month. Gas samples were analyzed using gas chromatography of Micro GC CP 4900 model to determine CO2 concentration. Ameliorant of farmyard manure reduce CO2 emission effectively in intercrop of pinneaple as much as 23% than control. The average of CO2 emission from surrounding of oil palm was 35.9 ± 5.6 t CO2/ha/year and from intercrop of pinneaple was 27.7 ± 3.3 t CO2/ha/year. The ameliorant application on oil palm plantation tends increased CO2 emission as much as 3% with oil palm empty bunches and 46% with peat fertilizer compared with control. Ameliorant application in peatland at Riau did not reduce effectively GHGs emissions. Keywords: CO2 emissions, peatland , ameliorant, oil palm, pineapple.
PENDAHULUAN Luas lahan gambut di Indonesia yaitu 14,9 juta hektar (Ritung et al., 2011) . Lahan rawa gambut tersebut sebagian besar terdapat di tiga pulau besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3%, Papua 30%, dan 3% lainnya tersebar secara parsial pada areal yang sempit (Wahyunto et al., 2005). Luas lahan gambut di provinsi Riau (termasuk tanah mineral bergambut) adalah 4.043.602 hektar dan tersebar di 12 wilayah kabupaten. Urutan luas lahan gambut dimulai dari yang terluas yaitu kabupaten Indragiri Hilir (983 ribu ha, atau 24,3%). Bengkalis (856 ribu ha, atau 21,2%), Pelalawan (680 ribu ha, atau 16,8%), Siak (504 ribu ha, atau 12,5%), Rokan Hilir (454 ribu ha, atau 11,2%), Indragiri Hulu (222 ribu, atau 5,5%), Dumai sekitar 3,95% dan Kepulauan Riau 0,04% (Wahyunto et al., 2005). Lahan gambut potensial dikembangkan untuk budidaya tanaman pertanian baik untuk perkebunan maupun tanaman pangan dengan memperhatikan karakteristik dan hidrologinya. Namun akhir-akhir ini sorotan terhadap pengembangan lahan gambut untuk kegiatan tersebut begitu besar terutama dikaitkan dengan pembukaan lahan, pembakaran, dan perambahan hutan yang menyebabkan emisi CO2 ke atmosfer. Simpanan karbon di lahan gambut yang relatif tinggi menjadi indikator tingginya potensi ekosistem ini menyumbang emisi gas rumah kaca, jika bahan organik yang tersimpan dalam bentuk gambut mengalami dekomposisi atau kebakaran. Meskipun penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia relatif rendah dibanding dengan negara industri, namun emisi dari
238
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit
deforestrasi dan penggunaan lahan gambut diperkirakan menyumbang >50% total emisi di Indonesia. Gas rumah kaca (GRK) utama yang diemisi dari lahan gambut adalah CO2, CH4, dan N2O. Potensi emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 yang dikalikan nilai potensial pemanasan globalnya setinggi 25 kali CO2. Emisi CO2 terjadi dalam kondisi aerob yang memungkinkan mikroorganisme dekomposer beraktivitas secara optimal. Jumlah dan keragaman mikroorganisme pada kondisi aerob umumnya tinggi (Dariah et al., 2011). Pengunaan bahan amelioran merupakan salah satu upaya mitigasi penurunan emisi GRK dari lahan gambut untuk minimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim. Pemberian amelioran di lahan gambut dapat mengkhelasi asam–asam organik oleh kation polivalen yang berperan sebagai inti koordinasi dan mengikat beberapa asam organik monomer membentuk senyawa kompleks (Subiksa, 2013). Khelasi ini menyebabkan tanah gambut tidak mudah terdegradasi sehingga emisi GRK juga dapat ditekan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui emisi CO2 dari penggunaan lahan gambut di Riau yang diberi berbagai bahan amelioran.
BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan gambut di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau pada bulan Juni 2013 – Juni 2014. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan dan lima perlakuan amelioran. Kelima perlakuan amelioran tersebut adalah (1) kontrol, (2) tandan, kosong kelapa sawit (tankos), (3) pupuk gambut (pugam), (4) pupuk kandang (pukan) dari kotoran sapi, dan (5) cara petani. Ukuran demonstrasi plot (demplot) adalah 60 m x 50 m dengan tanaman indikator kelapa sawit umur 5 tahun dan nenas sebagai tanaman sela . Amelioran diberikan bersamaan dengan pemupukan dasar. Dosis amelioran dan pupuk dasar terlihat dalam Tabel 1 untuk di piringan tanaman kelapa sawit dan Tabel 2. untuk di tanaman sela nenas.
239
Sri Wahyuni et al.
Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa sawit. Dosis Pupuk dan Amelioran (kg/Pohon)
Perlakuan Pupuk gambut (pugam) Pupuk kandang sapi (pukan) Tandan kosong kelapa sawit (tankos) Kontrol
Pugam
Pukan
Tankos
Urea
SP-36
KCl
Kiserit
CUSO4
ZNSO4
H3BO3
5
-
-
2
-
2,5
1,2
-
-
-
-
10
-
2
2
2,5
1,2
0,15
0,15
0,3
-
-
15
2
2
2,5
1,2
0,15
0, 15
0,3
-
-
-
2
2
2,5
1,2
0,15
0,15
0,3
Keterangan: untuk perlakuan cara petani diberikan dolomit = 1 kg/pohon .
Tabel 2. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman nenas. Perlakuan Pupuk gambut (pugam) Pupuk kandang sapi (pukan) Tandan kosong kelapa sawit (tankos) Kontrol
Dosis Pupuk dan Amelioran (g/tanaman) Pugam
Pukan
Tankos
Urea
SP-36
KCl
30 -
120 -
120 -
10 10 10 10
10 10 10
10 10 10 10
Kegiatan pengukuran GRK terdiri atas dua tahap yaitu pengambilan contoh gas di lapangan dan analisis konsentrasi gas rumah kaca dengan menggunakan kromatografi gas. Pengambilan contoh gas dilakukan dengan metode sungkup tertutup (close chamber technique) yang diadopsi dari IAEA (1993). Pengambilan contoh gas dilakukan secara manual di lapangan menggunakan sungkup yang terbuat dari kaca mika dengan kaki-kaki yang terbuat dari aluminium. Untuk menghindari kebocoran sungkup dilengkapi dengan penampang yang dipasang di tanah gambut. Sungkup ukuran 50 cm x 50 cm x 30 cm digunakan untuk pengambilan contoh gas di piringan kelapa sawit dan ukuran 20 cm x 50 cm x 30 cm untuk pengambilan contoh gas di tanaman sela (nenas). Sungkup juga dilengkapi dengan kipas dan termometer. Kipas dipasang di sungkup berukuran 50 cm x 50 cm x 30 cm yang berfungsi untuk menghomogenkan konsentrasi gas dalam sungkup. Termometer dipasang pada bagian atas sungkup untuk mengukur perubahan suhu dalam sungkup. Kaki sungkup dibenam sedalam 15 cm ke dalam tanah secara permanen. Bagian kaki sungkup dihubungkan dengan bagian atas menggunakan penampang yang telah diisi oleh air. Pengambilan contoh gas dilakukan setiap satu bulan sekali pada pagi hari (jam 06.00 – 08.00) dan siang hari (jam 12.00 – 14.00). Pengambilan contoh gas menggunakan syringe volume 10 ml melalui septum karet dengan interval waktu 3, 6, 9, 12, 15, 18, dan 21 menit setelah septum dipasang. Selama pengamatan, perubahan suhu dalam sungkup
240
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit
dicatat. Syringe ditutup dengan karet untuk menghindari terjadinya penurunan konsentrasi gas dan dibungkus dengan kertas aluminium (aluminum foil) untuk mengurangi flukstuasi suhu di dalam tabung syringe, dan diberi label. Contoh gas dianalisis konsentrasinya menggunakan Micro GC CP 4900 dengan detektor TCD (thermal conductivity detector). Sebelum analisis gas, GC dikalibrasi menggunakan gas standar dengan konsentrasi 10 ppm CH4 dan 600 ppm CO2. Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan adalah helium UHP (ultra high purity) dengan kemurnian gas 99,99%. Hasil analisis berupa konsentrasi gas (ppm) yang digunakan untuk menentukan laju perubahan konsentrasi gas per satuan waktu yang digunakan dalam perhitungan besarnya fluks GRK. Hanya pengukuran dengan R2 > 0,7 untuk hubungan konsentrasi CO2 dengan waktu digunakan nilai Csp/t (laju perubahan konsentrasi gas CO2 (ppm/menit))-nya. Perhitungan fluks CO2 mengikuti persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut: E
Bm Vm
x
Csp V 273.2 x x t A T 273.2 ........................................ (1)
Keterangan : E = emisi CO2 (mg/m2/hari) V = volume sungkup (m3) A = luas dasar sungkup (m2) T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC)
Csp/t
= laju perubahan konsentrasi gas CO2 (ppm/menit)
Bm
= berat molekul gas CO2 dalam kondisi standar = 44
Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22.41 liter pada 23oK
HASIL PEMBAHASAN Pola Fluks CO2 dari Lahan Gambut Riau Gambar 1 menunjukkan keragaman pola fluks CO2 pada piringan kelapa sawit. Rata - rata fluks CO2 pada perlakuan pemberian amelioran lebih tinggi dibandingkan kontrol, terutama pada perlakuan pupuk gambut (pugam). Sebelum pemberian amelioran,
241
Sri Wahyuni et al.
fluks CO2 tertinggi tampak pada perlakuan cara petani diikuti perlakuan pugam, tankos, pukan, dan yang terendah adalah kontrol. Setelah pemberian amelioran pertama (19 Agustus 2013 – 20 Maret 2014) rata–rata fluks CO2 tertinggi adalah perlakuan pugam diikuti pukan, cara petani, kontrol, dan terendah pada perlakuan tankos. Setelah pemberian amelioran kedua fluks CO2 pada perlakuan pukan, pugam, dan cara petani mengalami peningkatan dibandingkan pada pemberian amelioran pertama. Fluks CO2 pada kontrol dan tankos terjadi penurunan dibandingkan setelah pemberian amelioran pertama.
Gambar 1. Pola fluks CO2 berdasarkan perlakuan amelioran dari titik piringan Tanaman Sawit (Pukan = pupuk kandang dari sapi ; tankos = tandan kosong kelapa sawit ; pugam = pupuk gambut)
Gambar 2 menunjukkan keragaman pola fluks CO2 pada tanaman sela. Rata - rata fluks CO2 pada perlakuan pemberian amelioran lebih rendah dibandingkan kontrol. Fluks CO2 tertinggi pada tanaman sela nenas dari pengamatan tanggal 8 Juni 2013 – 19 Juni 2014 adalah perlakuan cara petani diikuti, kontrol, pugam, tankos, terendah adalah perlakuan pukan. Sebelum pemberian amelioran, fluks CO2 tertinggi tampak pada kontrol diikuti cara petani, pukan, pugam dan terendah adalah pada perlakuan tankos. Setelah pemberian amelioran pertama (19 Agustus 2013 – 20 Maret 2014), fluks CO2 tertinggi tampak pada perlakuan kontrol diikuti cara petani, pugam, tankos dan terendah adalah pukan. Setelah pemberian amelioran kedua ( 17 April – 19 Juni 2014), fluks CO2 pada kontrol adalah paling rendah, dan yang tertinggi adalah perlakuan cara petani diikuti pada perlakuan pugam, pukan dan tankos.
242
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit
Gambar 2. Pola fluks CO2 berdasarkan perlakuan amelioran dari titik Tanaman Sela Nenas ((Pukan = pupuk kandang dari sapi ; tankos = tandan kosong kelapa sawit ; pugam = pupuk gambut)
Fluks CO2 berdasarkan waktu pengambilan sampel Gambar 3 memperlihatkan rata – rata fluks CO2 pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan siang hari. Pengamatan pagi hari dilakukan jam 07.00 – 10.00 dengan suhu rata – rata dalam sungkup antara 26 – 38 0C. sedangkan pada pengamatan siang hari dilakukan pada jam 13.00 – 16.00 dengan suhu rata – rata dalam sungkup 28 – 44 0C. Rentang suhu antara pengamatan pagi hari dan siang hari tidak terlalu berbeda. Fluks CO2 pada pengamatan pagi hari berkisar 4.324 – 14.341 mg CO2/m2/hari sedangkan pada pengamatan siang hari berkisar antara 4.701 – 10.986 mgCO2 /m2 /hari. Tinggi rendahnya fluks CO2 dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban, jenis, dan kerapatan vegetasi yang menutupi lahan gambut. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktivitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor, 2001 cit Yuniastuti, 2011). Mc Inerney dan Bolger (2000); Mielnick dan Dugas (2000); Hui dan Luo (2004) cit Susilowati et al., 2012 menyatakan bahwa terdapat hubungan antara suhu tanah dengan fluks CO2 akan tetapi fluks CO2 tertinggi tidak selalu dihasilkan pada suhu maksimum.
243
Sri Wahyuni et al.
Gambar 3. Fluks CO2 berdasarkan waktu pengambilan sampel.
Fluks CO2 pada pemberian amelioran pugam tampak lebih tinggi dibandingkan pada pemberian amelioran pupuk kandang dan tandan kosong (tankos) kelapa sawit. Pugam merupakan bahan amelioran yang banyak mengandung bahan organik serta unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman (Subiksa et al., 2010). Dengan demikian diduga pemberian pugam yang kaya akan unsur hara menyebabkan peningkatan aktivitas mikroba tanah sehingga meningkatkan rata-rata fluks CO2. Pemberian amelioran tandan kosong (tankos) kelapa sawit menghasilkan rata-rata fluks CO2 terendah pada waktu pengamatan pagi dan siang hari yaitu sebesar 8.402 mg CO2/m2/hari dan 7.128 mg CO2/m2/hari. Kandungan kation polivalen dan unsur mikro yang terkandung di dalam bahan amelioran berfungsi untuk menetralisasi asam organik beracun di dalam tanah. Kation polivalen berfungsi mengikat sisa asam organik menjadi bentuk komplek dan reaksi khelat sehingga tanah gambut lebih stabil, laju dekomposisi akan berkurang dan emisi GRK akan menurun (Subiksa, 2010). Fluks CO2 berdasarkan letak pengambilan sampel Fluks CO2 pada tanaman sela lebih rendah dibandingkan pada piringan kelapa sawit (gambar 4). Fluks CO2 di piringan dan tanaman sela relatif sama pada kontrol. Pemberian amelioran di piringan tanaman kelapa sawit tidak dapat menekan emisi gas CO2 yang diduga disebabkan oleh pengaruh pemupukan. Selain itu, CO2 yang di piringan kelapa sawit dilepaskan akibat respirasi akar tanaman kelapa sawit dan aktivitas metabolisme mikroorganisme. Oleh karena itu fluks CO2 pada piringan lebih tinggi dibandingkan tanaman sela nenas.
244
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit
Emisi CO2 di bawah naungan sangat di pengaruhi oleh adanya respirasi akar pada kelapa sawit dan aktivitas metabolisme dari mikroorganisme di dekat daerah perakaran. Fenomena tersebut menyebabkan emisi CO2 lebih banyak pada daerah di bawah naungan. Pada data juga menunjukkan bahwa jumlah CO2 yang dihasilkan oleh akar akan lebih besar bila ada akar hidup pada tanah yang semakin dalam. Selain itu, akan ada peningkatan jumlah mikroorganisme tanah yang memanfatkan eksudat akar sehingga meningkatkan proses respirasi akar. (Melling et al., 2005 cit Yuniastuti, 2011).
Gambar 4. Fluks CO2 dari berdasarkan letak pengamatan. Emisi CO2 pada pemberian amelioran Berdasarkan hasil pengukuran emisi CO 2 sebanyak 13 kali, emisi CO2 pada piringan lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman sela nenas (Tabel 3). Respirasi pada zona perakaran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menghasilkan emisi CO2 lebih tinggi dibanding di luar zona perakaran, yaitu sekitar 38% dari emisi gas CO2 merupakan hasil respirasi akar (Handayani, 2010). Semakin dekat jarak pengukuran GRK dengan tanaman kelapa sawit, semakin tinggi fluks CO2 yang dihasilkan dari respirasi akar tanaman (Dariah et al., 2014). Pemberian amelioran pada piringan meningkatkan emisi gas CO2 sebesar 46% (pugam), 18% (pukan), dan 3% (tankos) dibandingkan dengan kontrol. Pemberian amelioran pada tanaman sela (nenas) menurunkan emisi CO2 sebesar 23% (pukan), 13% (tankos), dan 10% (pugam) dibandingkan dengan tanpa pemberian amelioran (kontrol).
245
Sri Wahyuni et al.
Tabel 3. Emisi CO2 dari berbagai perlakuan amelioran pada piringan kelapa sawit dan tanaman sela nenas. Perlakuan pemberian amelioran
Piringan kelapa sawit
Tanaman sela nenas
----------------Emisi (t CO2/ha/tahun)------------Pupuk kandang dari kotoran sapi (pukan)
35,8+5,9
23,4+7,1
Pupuk gambut (pugam)
44,3+8,6
27,3+8,4
Tandan kosong kelapa sawit (tankos)
31,3+6,6
26,5+8,4
Kontrol
30,3+6,9
29,2+11,5
Cara Petani
37,9+12,6
32,3+11,0
Rata –rata
35,9+5,6
27,7+3,3
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengukuran emisi CO2 sebanyak 13 kali ( Juni 2013 – Juni 2014) dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Fluks CO2 pada piringan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan pada tanaman sela nenas akibat pengaruh respirasi akar kelapa sawit dan aktivitas metabolisme mikroorganisme di dekat daerah perakaran. Emisi CO2 pada piringan kelapa sawit berkisar 35,9+5,6 t CO2 /ha/tahun dan pada tanaman sela nenas berkisar 27,7+3,3 t CO2/ha/tahun. Pemberian amelioran pada budidaya kelapa sawit cenderung meningkatkan emisi CO2 di piringan tetapi menurunkan emisi CO 2 di tanaman sela nenas. Bahan amelioran pupuk kandang (pukan) dari kotoran sapi menurunkan emisi CO 2 sebesar 23%. Fluks CO2 pada pengamatan siang hari berkisar 4.701 – 10.986 mg CO2/m2/hari sedangkan pada pengamatan pagi hari berkisar 4.324 – 14. 341 mg CO2/m2/hari.
DAFTAR PUSTAKA Dariah, A., E. Susanti, dan F. Agus. 2011. Simpanan karbon dan Emisi CO 2 lahan gambut. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/ind/viewer.php?folder= dokumentasi/lainnya&filename=ai%20dariah&ext=pdf. Dariah, A., E. Susanti, A. Mulyani, dan F. Agus. 2013. Faktor penduga simpanan karbon pada tanah gambut. Hal. 213-221 dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
246
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit
Dariah, A., S. Marwanto, and F. Agus. 2014. Root-and Peat-based CO2 Emissions from Oil Palm Plantations. Mitigation Adaptation Strategi Global Change. 19: 831– 843. Handayani, E. Meine V. Noowidwijk, K. Idris, S. Sabiham and S. Djuniwati. 2010. The Effct of Various Water Table Depth on CO2 Emission at Oil Palm Plantation on West Aceh Peat. J. Trop. Soils. 15,3: 255-260. IAEA 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agricultural Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA). Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto dan C. Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Edisi Desember 2011. ISBN: 978-602-8977-16-6. Subiksa, I.G.M., Suganda, H., Punomo, J. 2010. Pengaruh formula pugam terhadap serapan hara dan pertumbuhan tanaman jagung. http://balittanah.litbang. deptan.go.id/ind/viewer.php?folder=dokumentasi/prosidingsemnas2010&filenam e=igm%20subiksa&ext=pdf. Subiksa, I.G.M. 2010. Pengembangan Formula Amelioran dan Pupuk “Pugam” Spesifik Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan Serapan Hara dan Produksi Tanaman >50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) >30%. http://km.ristek.go.id/index.php/klasifikasi/detail/20885. Subiksa, I.G.M. 2013. Peran pugam dalam penanggulangan kendala fisik lahan dan mitigasi gas rumah kaca dalam system usahatani lahan gambut. Hal. 333-344 dalam prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Susilowati., H. L., J. Hendri, D. Nursyamsi, dan P. Setyanto. 2012. Pengaruh Pemberian Bahan Amelioran Terhadap Fluks CO2 pada Pertanaman Kelapa Sawit Tanah Gambut di Perkebunan Rakyat Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional: Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. ISBN: 978-602-8977-42-5. Wahyunto, Sofyan Ritung, Suparto, dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan.Wetland International Indonesia Programme. Bogor. Yuniastuti, P. 2011. Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi Karbon Dioksisa dan Metan di Lahan Gambut Kebun Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Skripsi Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.
247
18
PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DENGAN AMELIORASI PADA SISTEM TUMPANGSARI KARET DAN NENAS DI LAHAN GAMBUT KALIMANTAN TENGAH
REDUCTION OF GREEN HOUSE GAS EMISSION BY USING AMELIORANTS UNDER RUBBER AND PINEAPPLE INTERCROPPING OF CENTRAL KALIMANTAN PEATLAND Ali Pramono1, W.A. Nugraha2, M.A. Firmansyah2, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1 1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km 5, Pati
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalteng. Jl. G. Obos 5, Palangkaraya
Abstrak. Lahan gambut merupakan lahan marjinal dan mudah terdegradasi. Penggunaan lahan gambut harus memperhatikan aspek lingkungan karena dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Pemberian amelioran pada lahan gambut, selain memperbaiki produktivitas, juga berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi emisi GRK melalui pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dengan sistem tumpangsari dan penggunaan ameliorant. Penelitian dilaksanakan pada demplot seluas 5 hektar di Desa Jabiren, Kalimantan Tengah periode Juni 2013 – Mei 2014. Sistem tumpangsari yang digunakan adalah karet dan nenas. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan dan empat perlakuan bahan amelioran yang meliputi kontrol, pupuk gambut, pupuk kandang ayam, dan bahan tanah mineral. Pengambilan contoh gas menggunakan metode sungkup tertutup dan contoh gas dianalisis dengan kromatografi gas model micro GC CP 4900. Contoh gas diambil di piringan tanaman karet dan di sela tanaman nenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi pupuk kandang ayam dan pupuk gambut menurunkan fluks CO2 di piringan tanaman karet, namun tidak di sela tanaman nenas. Pemberian pupuk gambut paling efektif menurunkan emisi CO2, sedangkan amelioran pupuk kandang ayam paling efektif menurunkan emisi CH4. Pemberian amelioran di lahan gambut dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Kata kunci: Emisi, karbondioksida, metana gambut, tumpangsari karet, dan nenas. Abstract. Peat soils are one of marginal lands which is easily degraded due to its fragile properties. The use of peatland should be estimate the environmental aspect due to resulting green house gas emission in huge amount. Peat amelioration increases the soil productivity and could reduce green house gas (GHGs) emission. The research aimed to monitor GHGs emission from peatland under intercropped rubber and pineapple. The experiment was conducted at Jabiren Village, Central Kalimantan from June 2013 to May 2014. The experiment used the completely randomized block
249
Ali Pramono et al.
design with four replications and four treatments consisted of control, peat fertilizer (pugam), chicken manure (pukan), and mineral soil. Gas samples were taken using closed chamber technique and analyzed using a gas chromatography micro GC CP 4900 model. Gas samples were taken around rubber plants and between pineapple plants. The results showed that chicken manure and peat fertilizer decreased CO2 flux effectively around rubber plant, but not between pineapple plants. Peat fertilizer and chicken manure were the most effective ameliorants for reducing CO2 and CH4 emission of up to 7% and 30%, respectively relative to control treatment. Ameliorants application on peatland could reduce the greenhouse gas emissions. Keywords: Emissions, carbondioxide, methane peat, intercropping of rubber and pineapple plants.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut terluas di dunia, yang luasannya mencapai sekitar 14,9 juta ha (Ritung et al., 2011). Meskipun lahan gambut di Indonesia sangat luas, faktanya pemanfaatan sebagai area budidaya tanaman pertanian masih terbatas karena mempertimbangkan sifat dan perilaku gambut. Bahkan ada anggapan bahwa konversi gambut untuk budidaya pertanian atau perkebunan akan berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Di sisi lain, peningkatan populasi penduduk Indonesia yang telah mencapai 238 juta dengan laju pertumbuhan 1,3% per tahun, sangat membutuhkan lahan pertanian yang lebih luas. Oleh karena itu lahan gambut sebagai lahan marjinal mulai dilirik untuk lahan pertanian yang tetap memperhatikan hidrologi dan kesesuaian lahan. Lahan gambut memiliki fungsi lingkungan yang cukup penting, antara lain sebagai penyimpan C (karbon), penyangga lingkungan dari kebanjiran dan kekeringan, dan kaya akan keanekaragaman hayati. Indonesia mempunyai sekitar 14,9 juta ha lahan gambut (Ritung et al., 2011). Lahan gambut mempunyai cadangan karbon di dalam tanah sekitar 37 Gt (Wahyunto et al., 2004, 2005, 2006). Cadangan karbon tersebut sangat mudah teremisi menjadi CO2 apabila hutan gambut dibuka dan didrainase. Dalam keadaan alami, tanah gambut mengalami proses dekomposisi yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK) secara perlahan, sehingga emisi yang dihasilkannya relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam bentuk CO2 bahkan kadang kala berperan sebagai sink karbon. Dalam tiga dekade terakhir, lahan gambut telah digunakan secara intensif untuk aktivitas pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Alih fungsi lahan gambut untuk budidaya tanaman pertanian akan mengurangi stabilitas dan mempercepat proses dekomposisi. Selain itu, deforestasi dan degradasi lahan gambut memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan emisi GRK nasional.
250
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Lahan gambut dengan kedalaman satu meter dan luas lahan mencapai satu hektar (ha), mengandung karbon 300-700 t C/ha, namun dengan perhitungan minimal rata-rata simpanan karbon di lahan gambut seluas satu hektar bisa mencapai sekitar 600 t C/ha. Aktivitas pertanian di lahan gambut menyebabkan subsidensi permukaan gambut dan kehilangan karbon dalam bentuk emisi CO2 dan CH4. Emisi CO2 dari gambut yang digunakan untuk pertanian di Indonesia diperkirakan mencapai 73 ton CO 2-e/ha/tahun dari wilayah perkebunan, 27 ton CO2-e/ha/tahun dari gambut yang digunakan untuk tanaman semusim, dan 55 ton CO2-e/ha/tahun dari gambut yang terbakar (BBSDLP, 2009). Berdasarkan standar IPCC Tier 2 dengan menggunakan data penggunaan dan tutupan lahan dari tahun 2000-2006, rata-rata emisi gas rumah kaca emisi tahunan dari oksidasi gambut Indonesia adalah 220 Mt CO2/tahun (BAPPENAS, 2009). Meskipun emisi karbon dari gambut sangat besar potensinya, namun ketidakpastian perkiraan itu sangat besar (Sabiham, 2010). Seiring dengan komitmen Indonesia dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011, berbagai upaya perlu dilakukan untuk menghambat laju pemanasan global, antara lain dengan penerapan teknologi ameliorasi. Penggunaan bahan amelioran atau bahan pembenah tanah selain dapat memperbaiki struktur tanah gambut juga dapat menurunkan emisi GRK. Tantangan sektor pertanian adalah bagaimana mengelola lahan gambut sehingga bisa berproduksi dengan baik tanpa merusak lingkungan dengan menghasilkan emisi serendah mungkin, dengan begitu lahan gambut bisa memberikan keuntungan ekonomi yang memuaskan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bahan ameliorasi yang efektif menurunkan emisi CO2 pada sistem tumpangsari tanaman karet dan nenas di lahan gambut Kalimantan Tengah.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di area perkebunan karet seluas 5 ha di Desa Jabiren, Kecamatan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Tataguna lahan di petak demplot Jabiren, Kalimantan Tengah adalah tumpangsari dengan tanaman karet sebagai tanaman pokok dan nenas sebagai tanaman sela. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan perlakuan pemberian amelioran terdiri atas 1 pupuk gambut (pugam), 2) pupuk kandang ayam (pukan), 3) tanah mineral, dan 4) kontrol (tanpa amelioran). Sebagai pembanding juga dilakukan pengambilan contoh gas dari petak petani (praktis petani). Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Ukuran masing-masing plot 50 m x 27 m, dengan umur tanaman karet kira-kira 7 tahun pada awal penelitian ini. Tata letak perlakuan seperti pada Gambar 1.
251
Ali Pramono et al.
Saluran Sekunder
Saluran Tersier Pugam
Kontrol
Pukan
Tanah Mineral
Kontrol
Tanah Mineral
Pugam
Pukan
Tanah Mineral
Pukan
Kontrol
Pugam
Pukan
Pugam
Tanah Mineral
Kontrol
Praktis Petani
Gambar 1. Tata letak perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah. Pemberian amelioran pada plot perlakuan dilakukan sebanyak 2 kali dengan cara disebar. Pemberian amelioran pertama dilakukan pada awal bulan Juli 2013 dan yang kedua pada bulan Februari 2014 (Tabel 1). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali dengan cara tugal. Pemupukan I dilakukan pada pertengahan bulan September 2013. Pemupukan II akan dilakukan pada bulan Juli 2014. Pada petak petani tidak dilakukan pemupukan N, P, dan K. Parameter yang diamati adalah fluks GRK (CO2 dan CH4). Pengambilan sampel gas dari lahan gambut dilakukan sebanyak 7 kali dari bulan Juni 2013 hingga Mei 2014. Pengambilan sampel gas pertama dilakukan pada awal Juni 2013 untuk mengetahui baseline emisi GRK, sebulan kemudian dilakukan pemberian amelioran dan pengamatan GRK. Tabel 1. Pemberian amelioran dan pupuk pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah. No
Uraian
Ameliorasi I (Juli 2013)
Pemupukan I (September 2013)
Ameliorasi II (Pebruari 2014)
1
Kontrol
-
-
2
Pugam (kg/pohon)
2
1
3
Pukan (kg/pohon)
4
2
4
Tanah Mineral (kg/pohon)
6
3
5
Pupuk Dasar (kg/pohon)
Pemupukan II (Juli 2014)
- Urea - SP-36
0,25 0,2
0,25 0,2
- KCl
0,25
0,25
Pengambilan contoh gas pada masing-masing perlakuan dilakukan pada piringan tanaman karet dan sela tanaman nenas (Gambar 2). Sampling gas juga dilakukan pada petak petani, dimana petani tidak melakukan pemupukan pada petak tersebut.
252
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Pengambilan contoh gas dilakukan dengan menggunakan metode sungkup tertutup (closed chamber technique). Ukuran sungkup untuk pengambilan gas pada piringan adalah 50cm x 50cm x 30cm, sedangkan pada sela berukuran 50cm x 15cm x 30cm. Interval waktu pengambilan contoh gas adalah 3, 6, 9, 12, 15, 18, dan 21 menit. Contoh gas dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas model micro GC CP 4900.
Piringan
Sela tanaman
Gambar 2. Pengambilan sampel gas pada piringan tanaman karet dan sela tanaman nenas pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah. Hasil analisis konsentrasi gas dengan interval waktu 3 menit tersebut akan digunakan untuk menentukan laju perubahan/fluks CH4 dan CO2 (c/t). Perhitungan fluks CO2 pada setiap perlakuan menggunakan persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut:
E
Bm Csp V 273,2 x x x Vm t A T 273,2
Di mana: E = emisi CO2 atau CH4 (mg/m2/hari) V = volume sungkup (m3) A = luas dasar sungkup (m2) T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC) Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CH4 atau CO2 (ppm/menit) B = berat molekul gas CH4 atau CO2 dalam kondisi standar Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22,41 liter pada 23oK
253
Ali Pramono et al.
Data fluks CO2 dan CH4 dianalisis statistik dengan sidik ragam (analysis of variance) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil atau uji kisaran ganda Duncan untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan pada taraf 5%. Analisis data menggunakan program SAS.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian merupakan lahan milik petani setempat, dengan tanaman karet sebagai tanaman pokok dan nenas sebagai tanaman sela. Tingkat kematangan gambut di lahan tersebut termasuk golongan saprist, ketebalan gambut sekitar 4-5 meter dan pH berkisar 3-4. Pemberian bahan ameliorasi dan pupuk bertujuan untuk mengurangi kemasaman tanah dan meningkatkan ketersediaan hara yang rendah. Amelioran yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu dianalisis kimianya. Pupuk gambut (pugam) merupakan pupuk majemuk yang mengandung fosfat (P), magnesium (Mg), dan silikat (Si). Ketiga unsur ini sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Selain tiga unsur tersebut, pugam juga mengandung besi (Fe), aluminium (Al), seng (Zn), dan tembaga (Cu), unsur yang selain dibutuhkan tanaman juga penting untuk mengikat asam-asam organik beracun agar tidak mengganggu pertumbuhan akar tanaman. Kelasi asam-asam organik oleh kation polivalen menyebabkan bahan organik lebih stabil dan emisi karbonnya berkurang. Pupuk kandang (pukan) ayam mempunyai nisbah C/N 16%, P2O5 dan K2O sedikit lebih rendah daripada tanah mineral (Tabel 2). Pukan ayam dan pugam merupakan sumber kation polivalen. Kation polivalen dapat menetralkan asam-asam tersebut secara efektif, sehingga penambahan dalam dosis tepat dapat meningkatkan produktivitas lahan gambut secara berkelanjutan. Pugam mengandung kation polivalen dengan konsentrasi tinggi, sehingga takaran amelioran yang diperlukan tidak terlalu besar yaitu hanya 750 kg ha-1 (Subiksa et al., 2009). Lahan gambut sangat miskin hara makro maupun mikro, sehingga perlu ditambahkan apabila dimanfaatkan untuk usahatani tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
254
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Tabel 2. Karakteristik bahan amelioran yang digunakan pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah. Parameter Kadar air (%) pH
Jenis Amelioran Pugam A
Pukan Ayam
Tanah Mineral
4,78
-
-
8,0
8,6
3,9
C-organik(%)
-
16
-
N-total (%)
-
0,98
0,01
Nisbah C/N
-
16
11
P2O5 (%)
13,7
0,47
2
K2O (%)
0,04
1,34
2
CaO (%)
28,27
-
0,27
MgO (%)
8,16
-
0,27
Fe (%)
0,33
0,07
1,08
Al (%)
0,53
-
4,62
Mn (ppm)
202
76
0,3
Cu (ppm)
905
2
0,1
Zn (ppm)
1503
46
0,1
Dinamika Fluks Gas Rumah Kaca Pengamatan fluks GRK pertama dilakukan pada bulan Juni 2013 sebagai data awal (baseline). Setelah itu, pengamatan dilakukan setiap 1-2 bulan sekali selama satu tahun. Pada awal pengukuran, gambut yang belum diberi amelioran menghasilkan fluks CO 2 sebesar 9000-16000 mg/m2/hari (Gambar 3). Setelah dilakukan ameliorasi, fluks CO 2 menurun pada dua kali pengamatan (bulan September dan November 2013). Pemberian amelioran II dilakukan pada bulan Februari 2014 dan pengamatan GRK baru mulai dilakukan lagi pada bulan Maret. Ameliorasi gambut tampak menurunkan fluks pada bulan pertama setelah dilakukan ameliorasi II, hal ini mungkin disebabkan karena dosis ameliorannya lebih rendah dibandingkan pada ameliorasi I.
255
Ali Pramono et al.
Gambar 3. Rata-rata fluks CO2 selama pengamatan pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.
Pemupukan pada bulan September meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan dalam dekomposisi gambut, sehingga amelioran tidak berpengaruh terhadap peningkatan fluks CO2. Emisi CO2 heterotrofik dari gambut dipengaruhi oleh dinamika populasi mikroba, kualitas, dan kuantitas bahan organik yang tersedia untuk dekomposisi (limbah, gambut dan eksudat akar), yang pada gilirannya merupakan fungsi dari masa lalu dan sekarang dari dinamika vegetasi, hubungan aktivitas mikroba dengan hidrologi (kedalaman muka air tanah dan kelembaban tanah), suhu udara dan suhu gambut, dan juga status hara gambut (Brady, 1997; Hirano et al., 2009; Yule dan Gomez, 2009). Setelah 3 bulan pemupukan II, fluks CO2 makin meningkat pada semua perlakuan. Kenaikan fluks CO2 terendah terjadi pada perlakuan pukan dibandingkan perlakuan lainnya. Fluks CO2 dari petak petani menunjukkan nilai terendah hampir semua waktu pengamatan. Rata-rata fluks CO2 dari pengukuran selama satu tahun akibat pemberian amelioran pukan adalah sebesar 6.130 mg/m2/hari, pugam 6.114 mg/m2/hari, 6.412 mg/m2/hari dan kontrol 6.572 mg/m2/hari. Petak petani menghasilkan rata-rata fluks CO2 sebesar 3.038 mg/m2/hari. Terdapat perbedaan fluks GRK pada piringan dan sela tanaman. Fluks tertinggi dihasilkan dalam piringan tanaman karet. Hal ini disebabkan karena pada piringan biasanya diberikan perlakuan pemupukan dan juga terjadi respirasi akar. Ameliorasi pukan dan pugam pada gambut menurunkan fluks CO2 pada piringan tanaman karet, dibandingkan dengan pada sela tanaman nenas (Gambar 4). Dari rata-rata fluks yang dihasilkan masing-masing perlakuan, terlihat bahwa pemberian amelioran pukan ayam dan pugam menyebabkan penurunan fluks CO2 pada siang hari. Meningkatnya suhu akan
256
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
merangsang kegiatan mikroorganisme, mempercepat laju dekomposisi dan memperbesar energi kinetik dan gas. Pada gambut terdrainasi, radiasi matahari yang mencapai permukaan gambut akan meningkatkan suhu gambut, hal ini akan meningkatkan oksidasi gambut (Jauhiainen et al., 2012). Peningkatan suhu gambut dapat menstimulasi kedua proses metanogenesis dan metanotrofi, meskipun metanotrofi nampak lebih sensitif terhadap suhu daripada metanogenesis dan lebih tergantung pada ketersediaan CH 4 (Le Mer and Roger, 2001). Sementara itu, pemberian tanah mineral dan kontrol meningkatkan fluks CO2 pada siang hari (Gambar 5).
Gambar 4. Fluks CO2 pada piringan dan sela tanaman dengan berbagai perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.
Gambar 5. Perbedaan fluks CO2 pada waktu pagi dan siang hari dengan berbagai perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.
257
Ali Pramono et al.
Emisi Gas Rumah Kaca Dari perhitungan emisi CO2, perlakuan pukan menghasilkan emisi CO2 sebesar 26,1 ton/ha/tahun, perlakuan pugam sebesar 26,0 ton/ha/tahun, perlakuan tanah mineral 27,3 ton/ha/tahun. Plot kontrol menghasilkan emisi CO 2 tertinggi, yaitu sebesar 28 ton/ha/tahun, sedangkan plot petani menghasilkan emisi CO2 terendah yaitu sebesar 12,9 ton/ha/tahun (Tabel 3). Persentase penurunan emisi CO2 secara berurutan dari yang tertinggi yaitu ameliorasi pugam (7,1%), pukan (6,7%) dan tanah mineral (2,5%) dibandingkan kontrol. Emisi CO2 dari petak petani paling rendah, yaitu sebesar 12,9 ton/ha/tahun, hal ini mungkin disebabkan karena pada petak tersebut tidak dilakukan pemupukan N, P dan K. Hal yang sama diungkap oleh Maswar (2012) yang menyimpulkan bahwa dengan aplikasi pupuk NPK pada lahan gambut yang telah didrainase nyata meningkatkan kehilangan karbon dari gambut. Pemupukan pada lahan gambut dapat mempengaruhi aktivitas biologi dalam tanah, termasuk aktivitas mikroorganisme perombak sehingga dapat mempercepat kehilangan karbon. Etik (2009) juga melaporkan bahwa penambahan dosis pupuk urea sampai dengan dosis 4 g.100 g-1 gambut nyata meningkatkan fluks CO2 pada berbagai tingkat kematangan gambut. Tabel 3. Persentase penurunan emisi CO2 pada perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah Perlakuan
Emisi CO2 (t/ha/tahun)*)
CV (%)
n data fluks
n data % konsentrasi Penurunan
Pupuk kandang ayam (pukan) Pupuk gambut (pugam)
26,1+ 7,9a 26,0 + 15,2a
30,3 58,5
96 96
672 672
6,7 7,1
Kontrol
28,0 + 16,4a
58,6
96
672
-
Tanah Mineral
27,3 + 10,6a
38,8
96
672
2,5
Praktis Petani
12,9 + 6,6a
51,2
96
672
53,9
Angka dalam lajur sama diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji beda nyata terkecil atau DMRT pada taraf 5%.
258
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Gambar 6. Emisi gas rumah kaca lahan gambut pada sistem tumpangsari karet dan nenas di Jabiren, Kalimantan Tengah.
KESIMPULAN Ameliorasi pupuk kandang ayam (pukan) dan pupuk gambut (pugam) pada gambut menghasilkan fluks CO2 lebih rendah pada piringan tanaman karet dibandingkan pada sela tanaman nenas. Penurunan emisi CO2 paling efektif dengan menggunakan pugam, sedangkan penurunan emisi CH4 paling efektif dengan pukan ayam. Pemberian amelioran pada lahan gambut dapat menurunkan emisi gas rumah kaca.
UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini merupakan kerjasama Badan Litbang Pertanian dan BAPPENAS melalui Proyek Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdr. Titi Sopiawati, SP; Sri Wahyuni, A.Md dan Sdr. Muhaimin yang telah membantu dalam analisis GRK dan pengambilan contoh gas di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA BAPPENAS. 2009. Reducing Carbon Emission from Indonesia’s Peatlands. Interim Report of Multi-Diciplinary Study. Bappenas, The Rebuplic of Indonesia. BBSDLP, Agricultural Land Resource Institute. 2009. Policy brief: Kajian pemanfaatan lahangambut untuk pengembangan perkebunan (Studies on the use of peatlands for plantation development). Agricultural Research and Development Agency, Ministry of Agriculture.
259
Ali Pramono et al.
Brady, M.A. 1997. Organic Matter Dynamics of Coastal Peat Deposits in Sumatra, Indonesia. Doctoral dissertation. Retrieved from the University of British Columbia Library. Etik, P.H. 2009. Emisi karbondioksida (CO 2) dan metan (CH4) pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman. Disertasi S3. Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 158 hal. Hirano, T., Segah, H., Harada, T., Limin, S., June, T., Hirata, R., & Osaki, M. (2007). Carbondioxide balance of a tropical peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia. Global Change Biology 13: 412-425. Hooijer, A., M. Silvius, H. Wösten, and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943. Inubushi, K., S. Otake, Y. Furukawa, N. Shibasaki, M. Ali, A.M. Itang, and H. Tsuruta. 2005. Factors influencing methane emission from peat soils: Comparison of tropical and temperate wetlands. Nutrient Cycling in Agroecosystems 71: 93–99. IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emissions from Agricultural, Vienna, Austria. International Atomic Energy Agency. Jauhiainen, J., A. Jaya, T. Inoue, J. Heikkinen, P. Martikainen, and H. Vasander . 2004. Carbon balance in managed tropical peat in Central Kalimantan. In: Päivänen J (ed.) Proceedings of the 12th International Peat Congress, Tampere 6 11.6.2004. pp. 653-659. Jauhiainen J., A. Hooijer, and S. E. Page. 2012. Carbondioxide emissions from an Acacia plantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences 9: 617–630. Lay DYF. 2009. Methane dynamics in northern peatlands: A review. Pedosphere 19: 409421. Le Mer, J., and P. Roger. 2001. Production, oxidation, emission and consumption of methane by soils: A review. Eur. J. Soil Biol. 37: 25–50. Maswar. 2012. Pengaruh aplikasi pupuk NPK terhadap kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan Terdegradasi. Penyunting: Wigena et al., Bogor, 29-30 Juni 2012. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Hal. 171-178. Ritung, S., Wahyunto, Nugroho, K., Sukarman, Hikmatullah, Suparto & Tafakresnanto, C. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 (Indonesian peat soil map at the scale 1:250,000). Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Bogor, Indonesia. Sabiham S, 2010. Properties of Indonesian peat in relation to the chemistryof carbon emission. Proc. of Int. Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries. Bogor, Indonesia Sept. 28-29, 2010.
260
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Subiksa, I.G.M., H. Suganda, dan J. Purnomo. 2009. Pengembangan Formula Pupuk untuk Lahan Gambut sebagai Penyedia Hara dan Menekan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara balai Penelitian tanah dengan Departemen Pendidikan Nasional. Subiksa, I.G.M., W. Hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Buku Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011. Wahyunto, Ritung S., Suparto, Subagjo H. 2004. Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Kalimantan. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor–Indonesia. Wahyunto, Ritung S., Suparto, and H. Subagjo. 2005. Peat Land Distribution and Carbon Content in Sumatra and Kalimantan. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor –Indonesia. Wahyunto, Suparto, B. Heryanto, dan H. Bekti. 2006. Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan di Papua. Wetland International Indonesia Programme. Bogor – Indonesia. Yule, C.M., and L.N. Gomez. 2009. Leaf litter decomposition in a tropical peat swamp forest in Peninsular Malaysia. Wetlands Ecology and Management 17, 231-241.
261
19
EMISI GAS RUMAH KACA DARI SALURAN DRAINASE DI LAHAN GAMBUT JABIREN, KALIMANTAN TENGAH
GREEN HOUSE GAS EMISSIONS FROM DRAINAGE CANALS IN PEATLAND OF JABIREN CENTRAL KALIMANTAN Prihasto Setyanto1, A. Wihardjaka1, Eni Yulianingsih1, Fahmuddin Agus2 1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 05 Pati.
2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12,Cimanggu, Bogor 16114.
Abstrak. Salah satu sumber emisi gas rumah kaca (GRK) di lahan gambut adalah saluran drainase. Informasi besarnya emisi GRK dari saluran drainase penting dalam pengelolaan gambut keberlanjutan. Tujuan kegiatan adalah untuk mengetahui besarnya pelepasan GRK dari saluran drainase di lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan karet tradisional. Pengambilan contoh gas dilakukan di saluran drainase sekunder dan tersier pada lima titik dengan menggunakan metode sungkup silinder tertutup. Contoh gas dianalisis dengan alat kromatografi yang dilengkapi detektor thermal conductivity detector (TCD) untuk penetapan CO2, flame ionization detector (FID) untuk penetapan CH4, dan electron capture detector (ECD) untuk penetapan N2O. Fluks GRK di saluran bagian utara dengan lebar 5m umumnya lebih tinggi daripada di saluran bagian selatan demplot gambut dengan lebar 3m. Emisi GRK di saluran drainase lebar 5 m adalah 854±58 kg CO2-e musim-1 selama musim penghujan dan 410±16 kg CO2-e musim-1 selama musim kering. Emisi GRK di saluran drainase lebar 3 m adalah 129±39 kg CO2-e musim-1 selama musim penghujan dan 140±12 kg CO2-e musim-1 selama musim kering. Tingginya fluks GRK dari saluran air dipengaruhi oleh rendahnya kemasaman air gambut dan tingginya debit air. Kata kunci: Kabondioksida, metana, dinitrogen oksida, drainase, gambut, emisi. Abstract. Drainage canal is one of sources of greenhouse gases (GHGs) emissions from peat land. Information of GHGs emissions from drainage canal is important in sustainable peat land management. The objective of this research was to determine GHGs emissions from drainage canal in peat land in smallholder rubber plantation area. Gas samples were taken in secondary (5 m wide) and tertiary (3 m wide) drainage canals at five sampling points using closed cylindrical chamber method. Gas samples were analyzed using gas chromatography equipped with thermal conductivity detector (TCD), flame ionization detector (FID) electron capture detector (ECD) to determine CO2, CH4, and N2O, respectively, in 2014. The GHGs fluxes at the secondary drainage canal was higher than at the tertiary one. The GHGs fluxes in the secondary canal was 854±58 kg CO2-e season-1 during the rainy season and 410±16 kg CO2-e season-1 263
Prihasto Setyanto et al.
during the dry season, respectively. The GHGs fluxes from the tertiary canal was 129±39 kg CO2-e season-1 during the rainy season and 140±12 kg CO2-e season-1 during the dry season, respectively. The magnitude of GHGs fluxes from drainage canal was affected by lower peat acidity and higher water flow. Keywords: Carbondioxide, methane, nitrous oxide, drainage canal, peat land, emission.
PENDAHULUAN Luas lahan gambut di Indonesia saat ini mencapai 14,9 juta hektar (Balitbangtan, 2011). Lahan gambut adalah lahan pertanian yang tergolong lahan marjinal, yang prinsipnya lahan gambut tidak begitu cocok untuk pertanian karena tingkat kesuburannya yang rendah dan daya simpan airnya yang tinggi. Oleh karena itu, untuk mengelola lahan gambut agar menghasilkan produksi pertanian yang maksimal, perlu ditingkatkan kesuburannya melalui pemupukan dan ameliorasi (Subiksa, 2013), dan ketinggian airnya dikurangi melalui tata kelola air yang tepat. Tata kelola air yang tidak tepat seperti pengeringan lebih dari 60 cm, dapat menyebabkan lahan gambut terbakar dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Emisi GRK dari lahan gambut diperkirakan mencapai 3 milyar ton per tahun. Emisi GRK dari lahan gambut dipandang lebih besar daripada emisi dari sumber lain seperti energi, industri, pertanian, dan limbah. Beberapa publikasi menyebutkan bahwa emisi GRK dari lahan gambut rata-rata mencapai 95 t CO2 ha-1 tahun-1 (Hoeijer et al., 2006), sedangkan hasil penelitian kerjasama antara Badan Litbang Pertanian dan Bappenas melalui program ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund) tahun 2012 di provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, dan Jambi menunjukkan keragaman emisi CO2 yang berkisar 28-45 t CO2 ha-1 tahun-1. Emisi GRK yang dilaporkan tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik aerobik (emisi heterotropik) yang diukur dari permukaan lahan gambut. Beberapa publikasi menyebutkan bahwa salah satu sumber terbesar emisi GRK di lahan gambut adalah dari saluran drainase gambut. IPCC (2013) menyebutkan bahwa emisi gas metana (CH4) dari saluran drainase dapat mencapai 2259 kg CH 4 ha-1 tahun-1 atau setara dengan 47 ton CO2-e ha-1 tahun-1. Di sisi lain, hasil penelitian ICCTF (2012) menyebutkan bahwa emisi gas CH4 dari permukaan gambut hanya sekitar 10-31 kg CH4 ha-1 tahun-1 atau 210-651 kg CO2-e ha-1 tahun-1) pada pertanaman karet dan kelapa sawit di tiga provinsi (Kalimantan Tengah, Riau, dan Jambi). Disparitas yang lebar antara emisi CH4 dari permukaan gambut dan dari saluran drainase dapat menyebabkan miskalkulasi terhadap hitungan emisi GRK dari lahan
264
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut
gambut. Oleh karena itu, kegiatan penelitian dilakukan untuk memperoleh informasi emisi gas rumah kaca dari saluran drainase di lahan gambut.
BAHAN DAN METODE Contoh gas diambil di saluran-saluran drainase utama pada lokasi ICCTF di Jabiren, Kab. Pulang Pisau, Prov. Kalimantan Tengah. Lokasi tersebut berada di sebelah utara dan selatan demplot ICCTF. Saluran drainase di bagian utara demplot merupakan saluran sekunder, sedangkan di bagian selatan demplot merupakan saluran tersier. Contoh gas diambil pada 5 titik di masing-masing saluran dengan jarak antar titik adalah 20-30 m. Koordinat titik pengambilan disajikan pada Tabel 1. Pengambilan contoh gas dilakukan dengan metode sungkup tertutup. Sungkup terbuat dari paralon berdiameter 6 inci dengan ketinggian sekitar 60 cm. Sungkup diapit oleh gabus agar mengambang dipermukaan air. Permukaan sungkup tertutup rapat dengan penutup paralon, dan dipastikan tidak bocor. Pada tutup sungkup terdapat lubang untuk meletakan septum karet (rubber stopper). Septum karet ini berfungsi untuk mengambil contoh gas dari dalam sungkup. Tabel 1. Titik-titik pengambilan contoh gas di saluran drainase di lahan gambut Jabiren, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Saluran drainase Lebar 5 m Lebar 3 m
Titik I 02o30,894’LS 114o10,188’BT 02o31,045’LS 114o10,199’BT
Titik II 02o 30,891’ LS 114o10,199’BT 02o31,045’LS 114o10,210’BT
Titik III 02o30,886’LS 114o10,208’BT 02o31,044’LS 114o10,228’ BT
Titik IV 02o30,882’LS 114o10,219’BT 02o31,043’LS 114o10,231’BT
Titik V 02o30,879’LS 114o10,228’BT 02o31,043’LS 114o10,246’BT
Syringe berkatup dengan volume 10 ml digunakan untuk mengambil contoh gas. Setelah contoh gas diambil, lalu contoh gas tersebut disimpan di dalam botol hampa udara (vaccum container) bervolume 10 ml. Interval waktu yang digunakan untuk mengambil contoh gas tersebut adalah 15, 30, 45, 60, dan 75 menit. Pada tutup sungkup juga terdapat lubang untuk meletakan termometer. Termometer berfungsi untuk mengukur perubahan suhu di dalam sungkup yang diukur setiap interval pengambilan contoh gas. Pengukuran emisi GRK dari saluran drainase dilakukan selama 6 kali yaitu 3 kali pada musim penghujan dan 3 kali pada musim kemarau. Pengambilan contoh gas dilakukan pada pagi hari (07.00-09.00) dan siang hari (12.00-14.00). Untuk musim penghujan, emisi GRK diukur pada bulan Maret dan April 2014 (minggu ke-2 dan ke-4
265
Prihasto Setyanto et al.
Maret, dan minggu ke-1 April) sedangkan untuk musim kemarau dilakukan pada bulan Juni 2014 (minggu ke-4) – Juli 2014 (minggu ke-2 dan ke-3). Contoh gas dianalisis menggunakan alat kromatografi gas yang dilengkapi dengan thermal conductivity detector (TCD) untuk penetapan CO2, flame ionization detector (FID) untuk penetapan CH4, dan electron capture detector (ECD) untuk penetapan N2O. Perhitungan fluks CO2, CH4, dan N2O mengikuti persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut: E
E V A T
Bm Vm
x
Csp V 273.2 x x t A T 273.2 ................................................................. (1)
Keterangan : = emisi CO2/CH4 /N2O (mg m-2 hari-1) = volume sungkup (m3) = luas dasar sungkup (m2) = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC)
Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CH4, CO2, N2O (ppm menit-1) Bm= berat molekul gas CH4, CO2, dan N2O Vm= volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22,41 liter Emisi GRK (CO2-e) dari saluran drainase dihitung dari penjumlahan fluks CO2 + (25 x fluks CH4) + (310 x fluks N2O). Luas saluran drainase di demplot gambut di Jabiren adalah 8% dari total luasan gambut dipertimbangkan untuk menghitung emisi GRK dari saluran drainase setiap hektar gambut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Fluks Gas Rumah Kaca di Saluran Drainase Gambut Fluks gas rumah kaca di saluran drainase bagian utara demplot kegiatan ICCTF di Jabiren, Kalimantan Tengah umumnya lebih tinggi daripada di saluran drainase bagian selatan, terutama karbondioksida (CO2) dan dinitrogen oksida (N2O) baik pada musim penghujan maupun musim kering (Gambar 1). Lebar saluran drainase bagian utara adalah 5 m, sedangkan di saluran drainase bagian selatan adalah 3 m. Menjelang musim penghujan berakhir, fluks CO2 tertinggi pada pengamatan ke-2 (17 Maret 2014). Fluks CO2 pada musim kering relatif stabil. Fluks CO2 di saluran lebar 5 m berkisar 2,6 – 26,6 g CO2 m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,6 – 7,5 g CO2 m-2 hari-1 di musim kering, sedangkan di saluran lebar 3 m berkisar 1,0 – 3,3 g CO2 m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,5 – 2,5 g CO2 m-2 hari-1 (Gambar 1).
266
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut
Fluk CO2 (g m -2 hari-1)
20
Fluk CO2 (g m -2 hari-1)
20
Musim Penghujan 2014
15 10 5
Musim Kering 2014
15 10 5 0
0 4-Mar
17-Mar Pengamatan Saluran lebar 5 m
25-Jun
1-Apr
7-Jul Pengamatan Saluran lebar 5 m
Saluran lebar 3 m
18-Jul
Saluran lebar 3 m
Gambar 1. Pola fluks CO2 dari saluran drainase di demplot ICCTF di Jabiren, Kalimantan Tengah, tahun 2014. Pola fluks metana pada musim penghujan 2014 di saluran drainase lebar 5 m tampak turun selama tiga kali pengamatan, namun berbeda dengan yang di saluran drainase lebar 3 m dengan pola meningkat. Fluks CH4 yang cenderung naik di saluran lebar 3 m terjadi pula pada musim kering 2014 (Gambar 2). Fluks CH4 di saluran lebar 5 m berkisar 3,8 – 34,4 mg CH4 m-2 hari-1 di musim penghujan dan 4,5 – 24,1 mg CH4 m-2 hari-1 di musim kering, sedangkan di saluran lebar 3 m berkisar 1,3 – 43,5 mg CH4 m-2 hari-1 di musim penghujan dan 1,8 – 267,6 g CH4 m-2 hari-1 (Gambar 2).
140
140
Musim Penghujan 2014 Fluk CH4
100 80 60 40 20
(mg m -2 hari-1)
Fluk CH4
(mg m -2 hari-1)
Musim Kering 2014
120
120
100 80 60 40 20
0
0
4-Mar
17-Mar
1-Apr
25-Jun
7-Jul
18-Jul
Pengamatan Saluran lebar 5 m
Saluran lebar 3 m
Saluran lebar 5 m
Saluran lebar 3 m Pengamatan
Gambar 2. Pola fluks CH4 dari saluran drainase di demplot ICCTF di Jabiren, Kalimantan Tengah, tahun 2014. Pola fluks N2O baik di saluran drainase lebar 5 m ataupun 3 m tampak turun (Gambar 3). Fluks N2O di saluran drainase bagian utara (lebar 5 m) lebih tinggi daripada di saluran drainase bagian selatan (lebar 3 m) pada musim penghujan. Kecenderungan turun fluks N2O dari saluran lebar 5 m terjadi pada musim kering. Fluks N2O di saluran 5 m lebih rendah daripada di saluran 3 m pada musim kering. Fluks N2O di saluran lebar 5 m berkisar 0,1 – 7,7 mg N2O m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,1 – 0,9 mg N2O m-2
267
Prihasto Setyanto et al.
hari-1 di musim kering, sedangkan di saluran lebar 3 m berkisar 0,1 – 1,3 mg N2O m-2 hari1 di musim penghujan dan 0 – 1,8 mg N2O m-2 hari-1 (Gambar 3).
Musim Penghujan 2014
4
Musim Kering 2014
3 Fluk N2O
3 2 1 0 4-Mar
17-Mar
(mg m -2 hari-1)
Fluk N2O
(mg m -2 hari-1)
4
1-Apr
2 1 0 -125-Jun
7-Jul
-2
Pengamatan
Pengamatan Saluran lebar 5 m
Saluran lebar 3 m
18-Jul
Saluran lebar 5 m
Saluran lebar 3 m
Gambar 3. Pola fluks N2O dari saluran drainase di demplot ICCTF di Jabiren, Kalimantan Tengah, tahun 2014.
Fluks gas rumah kaca di saluran lebar 5 m lebih tinggi daripada di saluran lebar 3 m baik pada musim penghujan maupun pada musim kering. Namun pada pengamatan ketiga di musim kering (18 Juli 2014), fluks GRK di saluran lebar 3 m sama dengan di saluran 5 m, dan ada kecenderungan meningkat selama musim kering (Gambar 4). Fluks GRK di saluran lebar 5 m berkisar 3,1 – 27,8 g CO2-e m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,8 – 7,9 g CO2-e m-2 hari-1 di musim kering, sedangkan di saluran lebar 3 m berkisar 1,5 – 3,8 g CO2-e m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,8 – 8,3 g CO2-e m-2 hari-1 (Gambar 4).
Musim Penghujan 2014
25 Fluk GRK (g CO2-e m -2 hari-1)
Fluk GRK (g CO2-e m -2 hari-1)
25 20 15 10 5 0 4-Mar
17-Mar
1-Apr
Musim Kering 2014
20 15 10 5 0 25-Jun -5
7-Jul Pengamatan
Pengamatan Saluran lebar 5 m
Saluran lebar 3 m
Saluran lebar 5 m
Saluran lebar 3 m
Gambar 4. Pola fluks gas rumah kaca di saluran drainase gambut di Jabiren, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, tahun 2014.
268
18-Jul
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase Fluks CO2 di saluran drainase gambut lebar 5 m pada musim penghujan adalah lebih tinggi daripada di saluran drainase lebar 3 m, yaitu 6,7 g CO 2 m-2 hari-1 pada musim penghujan dan 2,9 g CO2 m-2 hari-1 pada musim kering (Table 2). Fluks CH4 di saluran drainase lebar 5 m (bagian utara demplot ICCTF) cenderung lebih tinggi dibandingkan di saluran drainase lebar 3 m pada musim penghujan, yaitu 1,6 mg CH4 m-2 hari-1, namun di musim kering justru fluks CH4 di saluran drainase lebar 3 m lebih tinggi daripada di saluran 5 m yaitu 38,2 mg CH4 m-2 hari-1 (Tabel 2). Tabel 2. Fluks gas rumah kaca di saluran drainase gambut pada musim penghujan 2014 di Jabiren, Kalimantan Tengah. Fluks gas rumah kaca CO2 (g m-2 hari-1) CH4 (mg m-2 hari-1) N2O (mg m-2 hari-1) CO2-e (g m-2 hari-1)
Musim penghujan Utara Selatan (lebar 5 m) (Lebar 3 m)
Musim kering Utara Selatan (lebar 5 m) (Lebar 3 m)
8,6±5,8 13,9±9,0 1,5±1,1 9,4±6,4
4,1±1,7 14,2±1,9 0,5±0,0 4,5±1,8
1,9±0,4 12,3±9,6 0,5±0,2 2,4±0,7
1,2±0,4 52,4±7,9 0,3±0,2 2,6±2,2
Fluks N2O di saluran drainase lebar 5 m cenderung lebih tinggi daripada di saluran drainase lebar 3 m, yaitu 1,0 mg N2O m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,2 mg N2O m-2 hari-1 di musim kering (Tabel 2). N2O terlarut tinggi dalam saluran yang lebih lebar dimungkinkan oleh tingginya nitrat dalam saluran drainase yang terdenitrifikasi menghasilkan N2O. Emisi gas rumah kaca (GRK) di saluran drainase gambut lebar 5 m umumnya lebih tinggi daripada di saluran drainase lebar 3 di lahan gambut dari Jabiren, Kalimantan Tengah, yaitu lebih tinggi 7,0 g CO2-e m-2 hari-1 pada musim penghujan dan 1,9 g CO2-e m-2 hari-1 (Tabel 2). Berdasarkan luasan saluran drainase dalam demplot di lahan gambut Jabairen yang berkisar 8%, maka emisi GRK dari saluran drainase dalam satu tahun dapat dihitung. Bilamana dalam satu hektar luasan gambut 8% digunakan untuk saluran drainase, maka emisi GRK di saluran drainase lebar 5 m adalah 854±58 kg CO 2-e musim-1 selama musim penghujan dan 410±16 kg CO2-e musim-1 selama musim kering; sedangkan emisi GRK di saluran drainase lebar 3 m adalah 129±39 kg CO 2-e musim-1 selama musim penghujan dan 140±12 kg CO 2-e musim-1 selama musim kering. Emisi GRK dari saluran drainase selama satu tahun adalah 1.263±371 kg CO2-e tahun-1 di saluran lebar 5 m dan 269±81 kg CO2-e tahun-1 di saluran lebar 3m. Tingginya fluks GRK kemungkinan disebabkan oleh tingginya pH air gambut dan debit air. Air di saluran drainase lebar 5 m mempunyai pH, kandungan hara kalium, dan
269
Prihasto Setyanto et al.
debit air lebih tinggi daripada di saluran drainase lebar 3 m (Tabel 3). Kemasaman tanah rendah mengiatkan mikroba dalam menghasilkan gas rumah kaca. Aktivitas mikroba metanogen dan nitrifikasi tinggi pada pH mendekati netral di tanah mineral (Neue, 1993; Wang et al., 1993; Granli dan Bockman, 1994). Tabel 3. Debit air dan beberapa sifat kimia air gambut di saluran drainase di lahan gambut Jabiren, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Saluran drainase Lebar 5 m Lebar 3 m
Debit air (cm3 detik-1)
pH
K (ppm)
Ca (ppm)
Na (ppm)
Mg (ppm)
Fe (ppm)
608.974 1.187
4,15 3,89
0,86 0,45
1,20 2,30
1,26 2,16
0,22 0,35
0,54 0,51
KESIMPULAN Fluks gas rumah kaca (GRK) di saluran drainase gambut lebar 5 m relatif lebih tinggi daripada di saluran drainase lebar 3 m di lahan gambut dari Jabiren, Kalimantan Tengah. Saluran drainase dengan debit air tinggi dan kemasaman air lebih rendah cenderung mengemisi gas rumah kaca lebih tinggi daripada saluran dengan debit air rendah dan kemasaman air tinggi. Emisi GRK di saluran lebar 5 m adalah 1.263±371 kg CO2-e tahun-1 dan 269±81 kg CO2-e tahun-1 dari saluran lebar 3 m.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Project ICCTF Fase II yang telah menyediakan dana untuk kegiatan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada para teknisi dan analisis di laboratorium Emisi GRK, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, dan peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah.
DAFTAR PUSTAKA Balitbangtan. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Kementerian Pertanian. Edisi Desember 2011. Granli, T., & O.C. Bockman. 1994. Nitrous Oxide from Agriculture. Norwegian J. Agric. Sci. Suppl. No. 12. p. 1-159. Hooijer, A., M. Silvius, H. Wosten, and S. Page. 2006. Peat CO 2, Assessment of CO2 emission from drained peatlands in SE Asia. Wetland International and Delft Hidraulic s Report Q3943. IAEA.1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agriculture. Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA).
270
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut
Neue, H.U. 1993. Methane Emission from Rice Field : Wetland Rice Fields May Make A Major Contribution to Global Warming. BioScience 43(7) : 466-473. Subiksa, I.G.M. 2013. Peran pugam dalam penanggulangan kendala fisik lahan dan mitigasi gas rumah kaca dalam system usahatani lahan gambut. Hal. 333-344 dalam prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Wang, Z.P., R.D. DeLaune, P.H. Masscheleyn, and W.H. Patrick. 1993. Soil redox and pH effects on methane production in a flooded rice soil. Journal Soil Science Society America 57: 382-385.
271
20
EMISI GAS CO2 PADA LAHAN GAMBUT YANG DIBUKA UNTUK LAHAN BUDIDAYA: STUDI KASUS DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
CO2 EMISSION FROM AGRICULTURAL PEATLAND: A CASE STUDY IN WEST KALIMANTAN Heri Wibowo1, Tuti Sugiyarti2, Setiari Marwanto1, Fahmuddin Agus1 1
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Jl. Budi Utono No. 45, Siantan, Pontianak 78241.
Abstrak Isu lingkungan terkait emisi gas CO2 sering menjadi kendala dalam tata kelola lahan gambut di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat emisi gas CO2 dari gambut yang masih berupa belukar dibandingkan dengan gambut yang dibuka untuk budidaya pertanian (nenas). Lokasi penelitian berada di Provinsi Kalimantan Barat. Lahan gambut belukar terdapat di lokasi yang dekat dengan gambut budidaya pertanian. Pengamatan dilakukan sebanyak dua kali sebulan mulai bulan Februari hingga Juli 2014 dengan total 11 pengamatan (n=11). Laju emisi gas CO2 gambut diukur menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer) LiCOR 802, yang dilakukan bersamaan dengan pengukuran suhu tanah, suhu udara, suhu chamber dan kedalaman muka air tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat emisi gas CO2 lahan gambut belukar (50,33 ± 23,09 ton ha-1 tahun-1) sedangkan lahan gambut pertanian budidaya nenas sebesar (47,01 ± 32,18 ton ha-1 tahun-1) dan tidak berbeda nyata pada galat 5%. Hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi gas CO2 menunjukkan korelasi yang nyata pada taraf 1% korelasi Pearson. Faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat emisi gas CO2 lahan gambut adalah pengelolaan lahan dan kedalaman muka air tanah. Hasil ini menunjukkan bahwa lahan gambut yang dibuka untuk budidaya nenas memiliki tingkat emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan belukar gambut. Pengelolaan lahan gambut dengan budidaya pertanian (nenas) disarankan untuk menekan laju emisi CO2 dari lahan gambut. Kata kunci: Gambut, emisi, gas CO2, gambut budidaya, gambut belukar Abstract Environmental issue concern to the CO2 emission sometime has been a problem in peatland management in Indonesia. This research aims to study the level of CO2 emissions from peatland under shruband pineapple (anenas comosus). The study was conducted in West Kalimantan. The peatland site under shrub location was close (less than 1 km distance) to peat cultivated with pineapple (anenas comosus). Observations were
273
Heri Wibowo et al.
made twice a month from February to July 2014 with total measurement eleven times (n=11). CO2 flux were measured using Infra red Gas Analyzer (IRGA) Li-COR 802. Some parameters included soil temperature, air temperature, chamber temperature and depth of water table were also measured. The results showed that the level of peatshrub CO2 fluxs (50.33 ± 23.09 tons ha-1 year-1) while the pineapple cultivation of peatlands for agriculture (47.01 ± 32.18 tons ha-1 year-1) and not significantly different at (p<0.005) . The correlation between the water table depth with CO2 flux were significant at 1% level of Pearson correlation. In this study, peat management and water table depth were most influenced CO2 emissions. These results indicated that CO2 emission on the peatland under pineapple (anenas comosus) was relatively lower compared to peatland under shrub (non cultivated). Therefore, the cultivation of pineapple (anenas comosus) could be an option to cultivate peatland.
PENDAHULUAN Gambut merupakan hasil pelapukan bahan organik seperti dedaunan, ranting kayu dan semak dalam keadaan jenuh air dan dalam jangka waktu yang sangat lama (ribuan tahun). Di alam, gambut sering bercampur dengan tanah liat. Adapun untuk disebut sebagai tanah gambut harus memenuhi beberapa syarat (Soil Survey Staff, 1996), yaitu apabila dalam keadaan jenuh air mempunyai kandungan C-organik minimal 18% jika kandungan liatnya ≥ 60%. Atau mempunyai kandungan C-organik 12% jika tidak mempunyai liat (0%) atau mempunyai kandungan C-organik lebih dari 12% + % liat x 0,1 jika kandungan liatnya antara 0 - 60%. Apabila dalam kondisi tidak jenuh air, kandungan C-organik minimal 20%. Secara alami gambut akan berada di lapisan atas, dan di bawahnya terdapat tanah aluvial dengan kedalaman yang bervariasi. Lahan dengan lapisan gambut dengan ketebalan di bawah 50 cm disebut lahan atau tanah bergambut, sedangkan lahan dengan ketebalan lapisan gambut lebih dari 50 cm disebut dengan lahan gambut. Berdasarkan kedalamannya, lahan gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu lahan gambut dangkal dengan kedalaman 50-100 cm, lahan gambut sedang dengan kedalaman 100-200 cm, lahan gambut dalam dengan kedalaman 200-300 cm, serta lahan gambut sangat dalam dengan kedalaman lebih dari 300 cm. Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan atas gambut eutrofik yang subur, mesotrofik yang agak subur dan oligotrofik yang tidak subur.Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik (Radjagukguk et al., 1997). Degradasi lahan gambut bisa terjadi bila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan baik, sehingga laju dekomposisi terlalu besar dan atau terjadi kebakaran lahan yang menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) besar. Meniadakan emisi GRK dalam
274
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
pemanfaatan lahan gambut adalah mustahil, karena proses dekomposisi adalah proses alamiah yang juga diperlukan dalam penyediaan hara bagi tanaman (Subiksa et al., 2011). Salah satu fungsi ekologi lahan gambut adalah sebagai simpanan karbon, dimana total karbon lahan gambut di Indonesia sekitar 44,5 GT (Rieley, 2008). Konversi hutan rawa gambut merupakan sumber emisi gas CO2 (Hooijer, 2006 dalam Verwer, 2008). Menurut Pirkko et al.(1990), kontribusi gas CO2 terhadap efek rumah kaca sebesar 48%, kemudian diikuti kontribsi ozon sebesar 26%, metan 8%, NO 2 6%, serta gas lainnya sebesar 2%. Sedangkan menurut IPPC(2001), kontribusi gas CO 2 terhadap pemanasan global sebesar 60%. Sejak tahun 1980, konsentrasi CO2 di atmosfir meningkat sekitar 0,4 % setiap tahun, sekarang konsentrasi CO2 di atmosfir diperkirakan sebesar 367 ppm. Dariah et al., (2011), menyatakan bahwa emisi dari deforestasi dan penggunaan lahan gambut diperkirakan menyumbang >50% total emisi di Indonesia Ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap emisi gas rumah kaca diantaranya adalah proses dekomposisi gambut sendiri, pada prinsipnya, faktor yang berpengaruh terhadap laju emisi GRK identik dengan faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme dekomposer bahan organik (Dariah et al., 2011). Faktor pendorong terjadinya emisi gas rumah kaca yang berlebihan di lahan gambut antara lain adalah kebakaran lahan, pembuatan saluran drainase dan pengelolaan lahan (Subiksa et al., 2011). Faktor lain seperti suhu, kedalaman muka air tanah dan jarak dari drainase bisa sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain terhadap laju emisi gas CO2. Menurut Agus et al. (2010), suhu bukan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap laju emisi, karena perbedaan suhu antar titik pengukuran di lapangan tidak terlalu nyata. Hal ini umum terjadi di daerah tropika, dimana kisaran suhu maksimum dan minimum tidak terlalu lebar. Hasil penelitian Moore et al., (1993) di laboratorium dengan menggunakan kolom menunjukkan bahwa pada kedalaman muka air tanah 0, 10, 20, 40 dan 60 cm, emisi CO2 berkorelasi positif dengan kedalaman muka air tanah. Semakin dalam muka air tanah emisi CO2 makin tinggi, sedangkan untuk methan berlaku sebaliknya. Hasil penelitian Agus et al., (2010) di Kalimantan Tengah juga menunjukkan bahwa tinggi muka air tanah merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap emisi CO2 pada lahan gambut. Penggunaan pupuk juga bisa memicu terjadinya emisi gas CO2, CH4, dan N2O. Karena hal inilah pertanian dinyatakan sebagai kontributor utama gas rumah kaca (IPCC, 2001). Menurut Green et al., (1995), pemupukan dapat meningkatkan dekomposisi residu tanaman dan karbon tanah. Namun demikian pemupukan diperlukan karena secara inheren tanah gambut sangat miskin mineral sehinga memerlukan input unsur hara yang mencukupi (Subiksa et al,. 2011).
275
Heri Wibowo et al.
BAHAN DAN METODE Deksripsi lokasi penelitian Lokasi penelitian adalah di dusun Banjarsari, Desa Rasau Jata II, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Secara Geografis lokasi berada di titik koordinat 00° 14’ 27,0” Lintang Utara, dan 109° 24’ 44,7” Bujur Timur. Kabupaten Kubu Raya terdiri dari 9 kecamatan, 101 desa dan 370 dusun dengan luas keseluruhan 6.985,20 km².
Gambar 1. Peta wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat
Lokasi penelitian mempunyai bentang lahan yang cukup luas, dan merupakan lahan pembukaan hutan dengan kedalaman gambut sekitar 379 cm. Untuk lokasi budidaya nenas, mulai tanam bulan September tahun 2013, dan sebelumnya merupakan bekas tanaman jagung. Luasan lahan untuk usahatani nenas sekitar 1,5 ha dan menyatu dengan lokasi lahan semak untuk penelitian. Sistem drainase di lokasi penelitian cukup bagus dimana di sekeliling lahan telah dikelilingi parit yang akan mengalirkan air keluar masuk lokasi. Lahan semak belukar pengukuran emisi CO2 merupakan bentang lahan dengan tanaman yang memiliki ketinggian antara 30 - 150 cm yang tidak dibudidayakan. Jenis nenas adalah Ratu Raya dengan jarak tanam 120 x 60 cm.
276
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
Perlakuan dan pengukuran emisi gas CO2 Jenis perlakuan pemupukan pada lahan budidaya nenas disajikan pada Tabel 1 di bawah ini. Pengukuran gas CO2 dilakukan menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer) LiCOR 820 dengan metoda closed chamber. Pengukuran dilakukan setiap selang waktu 2 minggu mulai dari bulan Februari sampai bulan Juli tahun 2014. Pengukuran dilakukan pada pagi hari dimulai sekitar pukul 09.00 WIB. Waktu pengukuran pada kedua lahan semak belukar dan lahan budidaya nenas dilakukan secara bersamaan. Tabel 1. Perlakuan pemupukan di lahan budidaya nenas Perlakuan Pupuk Spesifik (ton/ha) A B C D E
Pugam Pukan Ayam Dolomit Tanpa Amelioran Pukan Ayam Dolomit Trichoderma NPK
0,50 2,50 0,25 0,63 0,80 4 l/ha 150
Urea (kg/ha) 300 300 300
SP-36 (kg/ha) 125 125
KCl (kg/ha) 150 150 150
Kieserit (kg/ha) 100 100 100
CuSO4 (kg/ha) 15 15 15
300
125
150
100
15
50
-
-
-
-
Titik-titik pengukuran untuk lahan semak belukar dibuat 5 transek, setiap transek ada 5 titik pengukuran dengan jarak antar titik sekitar 12,5 m serta jarak antar transek sekitar 25 m. Sedangkan untuk budidaya nenas pengukuran emisi gas CO2 dilakukan di petakan perlakuan yang mempunyai ukuran 20 x 20 m, dimana setiap perlakuan diukur 5 titik. Fluks CO2 dihitung dengan mengikuti persamaan berikut (Madsen et al., 2009) :
Dengan: fc = fluks CO2 (µmol m-2 detik-1) P = tekanan udara rata-rata yang terukur IRGA (kPa) h = tinggi chamber (cm) R = konstanta gas ideal (8,314 Pa m3oK-1 mol-1) T = suhu udara chamber (oK) C/ t = perubahan konsentrasi CO2 setiap perubahan waktu, slope persamaan linier konsentrasi dengan waktu (ppm detik-1)
277
Heri Wibowo et al.
Variabel-variabel lain yang diukur adalah suhu udara, suhu tanah, suhu chamber, kedalaman muka air tanah, dan tinggi chamber di keempat sisi chamber (untuk mendapatkan tingi rata-rata chamber). Analisis statistik Data pengamatan dianalisis dengan microsoft excel untuk memperoleh persamaan regresi linier fluks CO2. Fluks gas CO2 dihitung dengan persamaan di atas (Madsen et al., 2009) dengan program excel. Selanjutnya perbandingan antara fluks CO 2 di lahan semak belukar dengan lahan budidaya nenas dianalisis dengan T-test SPSS 16. Begitu juga hubungan antara suhu udara dan kedalaman muka air tanah dengan fluks CO2 dianalisis dengan SPSS 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran emisi gas CO2 disetiap pengamatan sangat fluktuatif. Tingkat emisi gas CO2 di lahan gambut semak belukar Kalbar berkisar antara 30 - 72 ton ha-1 tahun-1, sedangkan emisi gas CO2 pada lahan budidaya nenas berkisar antara 24 - 64 ton ha-1 tahun-1. Rata-rata emisi gas CO2 pada lahan gambut semak belukar di Kalbar sebesar 50,33±23,09 ton ha-1 tahun-1. Sedangkan rata-rata emisi gas CO2 pada lahan gambut yang diusahakan dengan budidaya nenas sebesar 47,01 ± 32,14 ton ha-1 tahun-1. Emisi gas CO2 lahan semak belukar lebih tinggi 7,06% daripada emisi di lahan budidaya nenas, tetapi tidak berbeda nyata pada uji t-test two sample assuming equal varians pada galat 5%. Tutupan lahan semak belukar relatif lebih lebat daripada lahan budidaya nenas, kondisi ini kemungkinan turut mempengaruhi emisi gas CO2 di lahan semak belukar sehingga lebih tinggi daripada lahan budidaya nenas. Dimana respirasi akar berpengaruh besar pada emisi gas CO2. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas perakaran merupakan tempat yang disukai oleh mikroba dibandingkan dengan bulk soil (Petersonet al., 2003). Dengan meningkatnya populasi mikroba, maka aktivitas mikroba di sekitar perakaran juga akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Handayani et al., (2010), pengaruh respirasi akar pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menunjukkan emisi CO2 pada zona perakaran (rhizosphere) lebih tinggi dibanding di luar zona perakaran, sekitar 38% dari emisi gas CO2 merupakan hasil respirasi akar. Menurut Dannoura et al,. (2005), proses respirasi tanah dan respirasi akar di bawah tanah memainkan peran penting dalam siklus karbon biosfer.
278
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
Gambar 2. Grafik emisi gas CO2 dilahan gambut penelitian di Kalbar Hubungan antara suhu udara dengan emisi gas CO2 pada lahan gambut belukar mempunyai korelasi yang tidak nyata pada taraf 5% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar -0,111. Hasil penelitian Agus et al., (2010) menunjukkan bahwa suhu bukan merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap laju emisi. Sedangkan korelasi antara kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 pada lahan gambut belukar nyata pada taraf 1% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar -0,178 dengan standar deviasi kedalaman muka air 18,66. Semakin dalam muka air, terlihat bahwa emisi gas CO2 semakin rendah dan mengikuti persamaan y = -0,220x + 63,38 dengan nilai R2= 0,031 (y = emisi gas CO 2, x = kedalaman muka air). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Moore et al., (1993). Kondisi di lapang bisa dikatakan sangat panas, dan ada kemungkinan tanah gambut menjadi kering. Menurut Dariah et al.,(2011) pada kedalaman air tanah yang lebih dalam, tanahnya terlalu kering, kondisi ini tidak ideal untuk aktivitas mikroba, sehingga proses dekomposisi menjadi terhambat, dan tentunya berdampak paka penurunan emisi gas CO2. Jauhiainen et al., (2008) menyatakan bahwa hubungan antara kedalaman drainase dengan laju emisi tidak selalu linear.
279
Heri Wibowo et al.
Gambar 2. Persamaan regresi antara suhu udara dengan emisi gas CO 2dan kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 lahan belukar di Kalbar
Korelasi antara suhu udara dengan emisi gas CO2 pada lahan budidaya nenas signifikan pada taraf 1% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar 0,252. Semakin tinggi suhu udara menunjukkan bahwa emisi gas CO2 juga semakin tinggi meskipun dengan R² = 0,063. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Moore et al., (1993) pada skala laboratorium yang menunjukkan emisi CO2 dan gas methan dari tanah gambut yang diletakkan dalam kolom suhu 23oC lebih besar 6,6 kali lipat daripada suhu 10 oC.
280
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
Gambar 3. Persamaan regresi antara antara suhu udara dengan emisi gas CO2 dan kedalaman muka air dengan emisi gas CO2 lahan budidaya nenas di Kalbar
Korelasi antara kedalaman muka air dengan emisi gas CO 2 pada lahan budidaya nenas signifikan pada taraf 1% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar 0,220. Semakin dalam muka air menunjukkan bahwa emisi gas CO2 juga semakin tinggi dengan R² = 0,048. Hal ini tentunya karena semakin dalam muka air tanah maka kondisi aerob tanah makin tinggi. Emisi CO2 terjadi dalam kondisi aerob dimana mikroorganisme dekomposer akan bekerja secara optimal, serta jumlah dan keragamanya semakin banyak. Hal ini yang akan memicu meningkatnya emisi gas CO2 (Dariah et al., 2011).
281
Heri Wibowo et al.
Emisi gas CO2 pada lahan budidaya dengan perlakuan amelioran yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pula. Emisi gas CO2 dari perlakuan kontrol (D) lebih tinggi dan berbeda nyata daripada perlakuan Pugam (A), perlakuan dolomit (C) serta perlakuan pukan ayam petani (E), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan pukan ayam (B) (Gambar 4). Bahan amelioran seperti pugam (pupuk gambut) efektif dalam meningkatkan hasil tanaman jagung serta menurunkan emisi GRK di tanah gambut (Subiksa, 2009).
Gambar 4. Emisi gas CO2 pada perlakuan amelioran di lahan budidaya nenas Kalbar
KESIMPULAN Emisi gas CO2 lahan semak belukar di Kalbar sebesar 50,33 ± 23,09 ton ha-1 tahun1 lebih tinggi daripada emisi di lahan budidaya nenas sebesar (47,01 ± 32,18 ton ha-1 tahun-1), tetapi tidak berbeda nyata pada uji t-test two sample assuming equal varians pada galat 5%. Hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi gas CO2 menunjukkan korelasi yang nyata pada taraf 1% korelasi Pearson. Pengelolaan lahan pertanian memberi kontribusi penurunan emisi gas CO2. Budidaya nenas merupakan salah satu pilihan untuk membuka lahan gambut yang memberikan nilai ekonomi tetapi tidak meningkatkan laju emisi gas CO2.
282
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang sebesarnya kepada ICCTF, tim kelompok peneliti Balai Penelitian Tanah dan Tim pengukuran gas rumah kaca di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat atas bantuan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Agus, F., A. Mulyani, Wahyunto, Herman, A. Dariah, E. Susanti, N.L. Nurida, dan Jubaedah. 2010. Penggunaan lahan gambut: Trade off santara emisi CO2 dan keuntungan ekonomi. Program Kegiatan Pengendalian Perubahan Iklim. Kerjasama antara: Asisten Deputy Iptek Pemerintah, Deputy Bidang Pendayagunaan Iptek, Kementrian Riset dan Teknologi dengan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, BadanLitbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Dariah, A., E.Susanti, dan F.Agus. 2011.Simpanan Karbon dan Emisi CO2 Lahan Gambut. Balai Penelitian Tanah. http://balittanah.litbang.deptan.go.id /ind/dokumentasi/lainnya/ai%20 dariah.pdf. Diakses 14 Juli 2014. Dariah, A., Jubaedah, Wahyunto, dan J. Pitono. 2013. Pengaruh Tinggi Muka Air Saluran Drainase, Pupuk, dan Amelioran Terhadap Emisi CO 2 Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut. Jurnal Littri 19(2), Juni 2013. Hlm 66-71. Donnoura, M. And M. Jomura. 2005. Measurement of Root Respiration Before and After Forest Fire-evaluation of The Role of Root in the Soil Respiration. http://www.ars.usda.gov/research/publication.htm. Diakses 14 Juli 2014 Handayani, E. Meine, V. Noowidwijk, K. Idris, S. Sabiham. and S. Djuniwati. 2010. The Effctof VariousWater table Depth on CO2Emission at OilPalmPlantation on West Aceh Peat. J. Trop. Soils. 15,3: 255-260. IPPC-Intergovernmental Panel on Climate Change (2001) Climate Change 2001. The Scientific basis. Contribution of Working Group 1 to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Houghton, J.T., Ding, Y., Griggs, D.J., Noguer, M., van der linden, P.J., Xiaosu, D. Cambridge University Press Cambridge.. Jauhiainen, J., S. Limin, H. Silvennoinen, and H. Vasander. 2008. Carbon Dioxide and Methane Fluxes in Drained Tropical Peat Before and After Hydrological Restoration. Ecology. 89(12): 3503-3514. Jyvaskila, Finland. 149-181.
283
Heri Wibowo et al.
Madsen, R., Xu L, and Claassen B. 2009. Surface Monitoring Method for Carbon Capture and Storage Project. Energy Procedia. 1 :2161-2168. Marwanto, S. and F. Agu. 2013. Is CO2Flux From Oil Palm Plantations on Peatland Controlled by Soil Moisture and/or Soil ang Air Temperarure? Mitig Adapt Strateg Gilob Change. DOI 10.1007/s11027-013-9518-3. Moore, T. M. and M. Dalva. 1993. The Influence The Temperature and Water-Table Position On Carbon-Dioxode and Methane Emissions From Laboratory Columns Of Peatland Soil. J. Soil Sci. 44, 651-664. Peterson, E. 2003. Importance of Rhizodeposition in The Coupling Of Plant and Microbial Productivity. European Journal of Soil Science., 54: 741-750. Pirkko, S. and T. Nyronen. 1990. The Carbon Dioxide Emissions and Peat Production. International Conference On Peat Production and Use. Jivaskyla. Finland. 1:150157. Radjagukguk, B. 1997. Peat Soil of Indonesia: Location, Classification, and Problems for Sustainability. In: Rieley and Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan UK. Rieley, J.O., R.A.J. Wüst, J. Jauhiainen, S.E. Page, H. Wösten, A.Hoijer, F. Siegert, S. Limin, H. Vasander, and M. Stahlhut. 2008. Tropical Peatlands: Carbon Store, Carbon Gas Emissions and Contribution to Climate Change Processes. Dalam: M. Strack (ed.), Peatlands and Climate Change. Publisher International Peat Society, Vapaudenkatu, Soil Survey staff. 1996. Key to Soil Taxonomy. 7 th edition. USDA. Washington DC. Subiksa, IG Made. 2009. Pengembangan formula amelioran dan pupuk “pugam spesifik lahan gambut diperkaya bahan pengkelat untuk meningkatkan serapan hara dan produksi tanaman > 50% dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK)> 30%. Subiksa, I. G. M., W. Hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan Gambut Berkelanjutan: Pengelolaan Lahan Gambut Secara Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, Bogor. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/ind/dokumentasi/lainnya/subiksa2.pdf. Diakses tanggal 16 Juli 2014. Verwer, C., P. Van Der Meer, and G-J. Nabuurs. 2008. Review of Carbon Flux Estimates and Other Greenhouse Gas Emissions from Oil Palm Cultivation on Tropical Peatlands-Identifying the Gaps in Knowledge. Alterra-rapport 1731. Alterra, Wageningen. 44.
284
21
VARIASI TEMPORAL EMISI CO2 DI BAWAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI RIAU
TEMPORAL VARIATION OF CO2 EMISSION UNDER OIL PALM PLANTATION ON PEATLAND IN RIAU Hery Widyanto1, Nurhayati1, Ai Dariah2, Ali Jamil2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210. 2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.
Abstrak Pembukaan areal lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit memiliki tantangan tersendiri dari segi lingkungan hidup, salah satunya adalah tingkat Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi temporal emisi gas CO 2 diperkebunan kelapa sawit di lahan gambut.Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Pengukuran emisi dilakukan menggunakanIRGA (Infrared Gas Analyzer). Jumlah titik yang diukur sebanyak 16 titik yang terbagi menjadi 4 transek. Setiap titik pengukuran terletak diantara tanaman sela di pertanaman kelapa sawit. Emisi gas CO2 bervariasi untuk pengukuran pagi hari berkisar antara 29,7 - 138,8 ton/ha/th dan 36,9 – 115,3 ton/ha/th untuk siang hari. Rata-rata emisi gas CO2 siang hari lebih tinggi (63,1 ± 15,9 ton/ha/th) dibandingkan pagi hari (59,8 ± 24,7 ton/ha/th) dan tidak/berbeda nyata pada taraf 5%. Hal ini erat hubungannya dengan peningkatan suhu udara dan suhu tanah yang tinggi akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat. Korelasi tinggi muka air tanah dengan emisi gas CO2 pada pertanaman kelapa sawit tidak nyata pada taraf 5% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar -0,06489. Emisi pada jarak terjauh dari saluran (108 m) sebesar 83,9 ton/ha/thn, kemudian secara berturut-turut nilai emisi pada jarak 36 , 63 dan 99 meter dari saluran sebesar 51,0 ; 56,6 dan 54,2 ton/ha/th. Hasil ini menunjukkan emisi gas CO2 siang hari lebih tinggi 5.67% dibandingkan pada pagi hari, tidak ada korelasi antara tinggi muka air tanah dengan emisi gas CO2 pada pertanaman kelapa sawit dan tidak ada konsistensi antara jarak dari saluran drainase dengan peningkatan emisi gas CO2. Kata kunci: Variasi emisi, lahan gambut, kelapa sawit Abstract The clearing of peatlands for oil palm plantations has its own challenges in terms of the environment, one of which is the level of greenhouse gas emissions (GHG). The purpose of this study was to determine the temporal variation of CO2 emissions in the oil palm plantations on peatland. The experiment was conducted in the village of
285
Hery Widyanto et al.
Lubuk Ogong, Sub District Bandar Sei Kijang, District of Pelalawan, Riau from July 2013 to June 2014. Emission measurements performed using IRGA (Infrared Gas Analyzer). The number of points measured by 16 points which is divided into 4 transects, each measuring point located between intercrops in oil palm plantations. CO2 emissions were varied for morning measurements ranged from29.7 to 138.8tons/ha/yr and 36.9 to 115.3 tons/ha/yr for the day. Average CO2 emissions in the morning were slightly higher (63.1 ±15.9 tonnes/ha/yr) than the emission at the daytime (59.4 ±23.9 tonnes/ha/yr) and no significantly different at 5% level. It is closely related to the increase in air temperature and high soil temperatures that probably stimulated activity of microorganisms in decomposition process. The correlation between water table depth and CO2 emissions in the oil palm plantations was not significant at 5% level Pearson correlation with a correlation coefficient of-0.06489. Emissions at the farthest distance from the channel (108 m) of 83.9 tonnes/ha/yr, then successively emission values at a distance of 36, 63 and 99 meters from the channel at 51.0; 56.6 and 54.2 tons/ha/yr. These results show the CO2 emissions during the day 5.67% higher than in the morning, there was no correlation between soil water level of CO2 emissions in the oil palm plantations and there is no consistency between the distance from the drainage channel with an increase in CO2 emissions. Keywords: Variationof emissions, peat land, oil palm
PENDAHULUAN Saat ini, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit sudah mulai banyak dilakukan pada lahan gambut. Lahan gambut merupakan lahan marjinal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal perkebunan kelapa sawit karena sudah semakin terbatasnya areal yang ada saat ini. Luas lahan gambut di provinsi Riau merupakan yang terbesar di Indonesia, yaitu 4,04 juta ha atau sekitar 20 % dari total luas lahan gambut Indonesia (20,6 juta ha) (Wahyunto, dkk 2005). Pemanfaatan lahan gambut di Riau untuk perkebunan mencapai 817.593 ha (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2009) sehingga masih sangat terbuka kesempatan untuk perkembangan kelapa sawit di provinsi Riau. Pembukaan areal lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit memiliki tantangan tersendiri, baik dari segi produktivitas lahan maupun dari segi lingkungan hidup. Potensi produktivitas lahan gambut selain ditentukan oleh faktor kesuburan alami gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usahatani yang akan diterapkan. Pada umumnya gambut merupakan lahan sesuai marjinal dengan beberapa faktor pembatas yang dominan, seperti kondisi lahan yang jenuh air, bereaksi masam dan mengandung asam organik yang beracun serta status unsur hara rendah. Manajemen usahatani yang baik juga harus memperhatikan faktor-faktor lingkungan, karena lahan gambut sangat rentan terdegradasi. Degradasi lahan gambut
286
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit
terjadi apabila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan baik, sehingga laju dekomposisi terlalu besar dan atau terjadi kebakaran lahan yang menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) besar. Konsep pengelolaan lahan gambut berkelanjutan harus dilakukan dengan meningkatkan produktivitas secara maksimal dan menekan tingkat emisi yang ditimbulkan seminimal mungkin. Beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam konsep pengelolaan lahan gambut berkelanjutan selain dalam hal pengelolaan air dan pembukaan lahan tanpa bakar adalah pemberian amelioran dan penanaman tanaman penutup tanah (cover crop). Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di lahan gambut terjadi karena pembakaran atau proses dekomposisi sebagai akibat perubahan kondisi anaerob (basah) menjadi aerob (kering). Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi GRK (Agus et al., 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi temporal emisi gas CO2 di perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sehingga dapat memberikan informasi-informasi mengenai besaran emisi CO2 pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut.
BAHAN DAN METODE Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Lokasi penelitian berada pada posisi geografis 00ᴼ20'59,3'' - 00ᴼ21'05,8'' LU dan 101ᴼ41'15,6'' 101ᴼ41'22,9'' BT. Penelitian dilakukan pada lahan petani seluas 5,0 ha yang ditanami kelapa sawit berumur 6 (enam) tahun dan sudah termasuk tanaman menghasilkan (TM) dengan periode panen dua minggu sekali. Di sela tanaman kelapa sawit ditanami tanaman nenas. Tanaman nenas mulai ditanam tanggal 23 September 2013 dengan jarak tanam 1,75 x 1,5 meter di jaluran pembuangan pelepah pada tanaman kelapa sawit, dengan tujuan agar tidak mengganggu kelancaran proses pemanenan tanaman kelapa sawit di jalur produksi. Perlakuan dan Pengukuran Emisi CO2 Perlakuan yang dicobakan adalah: 1) pengukuran emisi pada periode pagi dan siang hari dan 2) pengukuran emisi pada beberapa jarak yang berbeda dari saluran drainase. Jumlah titik yang diukur pada pengukuran emisi periode pagi dan siang hari sebanyak 16 titik yang terbagi menjadi empat transek dan masing-masing transek terdiri dari empat titik pengukuran. Titik pengukuran terletak diantara tanaman nenas yang
287
Hery Widyanto et al.
menjadi tanaman sela di pertanaman kelapa sawit demplot ICCTF Fase 2. Untuk pengukuran emisi dari saluran drainase dilakukan pada titik yang sama dengan pengukuran pagi dan siang hari dengan memperhitungkan jarak titik pengukuran dari saluran drainase, yaitu : 36 meter dari saluran tersier selatan, 99 meter dari saluran tersier selatan, 63 meter dari saluran tersier utara dan 108 meter dari saluran tersier utara. Tata letak titik-titik pengukuran pada setiap transek diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tata letak titik pengukuran emisi Gas CO2 Keterangan : 36 S = Titik pengukuran berjarak 36 meter dari saluran Tersier Selatan 99 S = Titik pengukuran berjarak 99 meter dari saluran Tersier Selatan 108 N = Titik pengukuran berjarak 108 meter dari saluran Tersier Utara 63 N = Titik pengukuran berjarak 63 meter dari saluran Tersier Utara
Pengukuran emisi gas CO2 dilakukan menggunakan Infrared Gas Analyzer (IRGA) model LI-820, LICOR Inc. USA dengan sungkup tertutup. Sungkup yang digunakan terbuat dari pipa PVC dengan diameter 25 cm dan tinggi 25 cm. Posisi sungkup dalam pengukuran emisi gas CO2 dapat dilihat pada gambar 2. Pengukuran emisi dilakukan setiap dua minggu sekali pada pagi dan siang hari. Lamanya waktu pengukuran untuk setiap titik dilakukan ± 150 detik (2,5 menit), namun data yang akan diambil untuk menentukan perubahan konsentrasi CO2 per satuan waktu hanya 120 detik. Selain
288
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit
pengukuran emisi CO2, dilakukan juga pengukuran tinggi sungkup, suhu di dalam sungkup, suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah.
Tanaman Kelapa Sawit
Posisi Sungkup Tanaman Sela/Nenas
Gambar 2. Posisi sungkup dalam setiap titik pengukuran emisi gas CO 2 Penghitungan fluks CO2 ditentukan berdasarkan persamaan di bawah ini:
fc
Ph RT
x
dC dt
Keterangan: fc = fluks CO2 (μmol/m2/ det) P = tekanan atmosfer dari rata-rata cell pressure pembacaan IRGA (Pa) h = tinggi sungkup (m) R = konstanta gas =8,314 Pa m3 / ͦ K / mol dc dt
= perubahan konsentrasi CO2 persatuan waktu (μmol/det)
289
Hery Widyanto et al.
Hasil pengukuran emisi gas CO2 kemudian dikonversi kedalam satuan ton/ha/tahun dan dibandingkan variasinya dari waktu pengukuran, jenis perlakuan amelioran dan jarak dari saluran drainase. Data hasil pengamatan dianalisis ragam menggunakan analisis ragam menurut rancangan acak kelompok.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran emisi gas CO2 sampai dengan bulan Juni 2014 telah dilakukan sebanyak 25 kali . Hasil pengukuran emisi gas CO2 diperlihatkan pada Gambar 3. Waktu pengukuran emisi dibedakan menjadi dua, yaitu pada pagi hari dimulai pukul 09.00 WIB dan siang hari dimulai pukul 14.00 WIB. Tingkat emisi CO2 sangat bervariasi baik pada pengukuran pagi hari maupun siang hari. Emisi pengukuran pagi hari berkisar antara 29,7 - 138,8 ton/ha/th, sedangkan pada pengukuran di siang hari berkisar antara 36,9 – 115,3 ton/ha/th. Rata-rata emisi gas CO2 pada pengukuran pagi hari sebesar 59,8 ± 24,7 ton/ha/th sedangkan pada pengukuran siang hari emisi CO2 sebesar 63,1±15,9 ton/ha/th dan tidak berbeda nyata berdasar uji t pada taraf 5 %.
Gambar 3. Grafik Emisi gas CO2 pada Pertanaman Kelapa Sawit di Riau Emisi gas CO2 pada pengukuran siang hari lebih tinggi 5,67 % dibandingkan pengukuran emisi pada pagi hari. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Husnain, et.al (2014) bahwa ada kecenderungan yang konsisten fluks CO2 pada pagi hari adalah yang terendah dan pada siang hari adalah yang tertinggi. Marwanto,et.al (2013) mengatakan bahwa fluks CO2 pada siang hari memiliki nilai tertinggi karena suhu tanah dan udara pada waktu tersebut tinggi. Sedangkan pengukuran pada pagi hari, dimana suhu
290
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit
udara dan tanah yang minimum juga menunjukkan fluks CO2 yang terendah. Pada suhu tinggi, gas CO2 dan CH4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya. Suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor, 2001 dalam Yuniastuti, 2011). Perbedaan suhu udara dan suhu tanah pada pengukuran pagi dan siang hari tidak terlalu besar sehingga perbedaan emisi CO2 tidak signifikan (Tabel 1). Tabel 1. Emisi gas CO2, suhu tanah dan suhu udara dari pertanaman kelapa sawit di lokasi ICCTF Riau Perlakuan Pagi Hari Siang Hari Rata-rata
Emisi GRK (t CO2-e/ha/th) Mean
+
59.4 63.1 61
+ + +
Suhu Tanah (ᴼC) SD 23.9 16 20
Suhu Udara (ᴼC)
Mean
+
SD
Mean
+
SD
28.3 31.2 29.7
+ + +
2.1 2.6 2.3
31.4 33.0 32.2
+ + +
2.7 2.5 2.6
Keterangan: SD = Standar deviasi
Korelasi tinggi muka air tanah dengan emisi gas CO2 pada pertanaman kelapa sawit tidak nyata pada taraf 5% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar 0,06489 dan standar deviasi tinggi muka air tanah 29.76 serta standar deviasi emisi gas CO2 sebesar 38,92. Hal ini menunjukkan kedalaman muka air tanah tidak berpengaruh terhadap fluks CO2. Hasil penelitian Sarmah et al., (komunikasi pribadi) menunjukkan bahwa pada lahan semak belukar dan kelapa sawit tidak menunjukkan adanya korelasi antara fluks CO2 dan kedalaman muka air tanah. Juhiainen et al., (2012) menyatakan bahwa pengaruh perbedaan kedalaman muka air tanah terhadap emisi rendah.
Gambar 4. Persamaan regresi antara Tinggi Muka Air Tanah dengan emisi gas CO2 Pertanaman Kelapa Sawit di Lokasi ICCTF Riau
291
Hery Widyanto et al.
Hasil rata-rata emisi CO2 pada pertanaman kelapa sawit berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase, besaran emisi yang tertinggi didapatkan pada jarak yang terjauh dari saluran, 108 meter dari saluran yaitu sebesar 83,9 ton/ha/thn, kemudian secara berturut-turut besaran emisi pada jarak 36, 63 dan 99 meter dari saluran yaitu sebesar 51,0 ; 56,6 dan 54,2 ton/ha/thn (Gambar 5).
Gambar 5. Rata-rata Fluks CO2 dan Tinggi Muka Air Berdasarkan Jarak dari Saluran di Pertanaman Kelapa Sawit di Lokasi ICCTF Riau Dari data diatas menunjukkan emisi CO2 pada titik pengamatan dengan jarak terjauh dari saluran drainase (108 meter) memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan titik yang lebih dekat dengan saluran drainase. Kedalaman muka air tanah pada titik tersebut juga memiliki nilai paling tinggi (80.4 cm) dibanding dengan yang lain meskipun nilainya tidak berbeda nyata. Drainase pada lahan gambut bertujuan untuk menurunkan permukaan air tanah. Chimner dan Cooper (2003) dalam Maswar (2011) mengatakan pada keadaan muka air tanah yang dangkal akan menyebabkan lingkungan tanah pada kondisi anaerobik sehingga mengurangi terjadinya proses dekomposisi, sebaliknya jika permukaan air tanah dalam (jauh) akan meningkatkan kondisi aerobik dan juga meningkatkan proses dekomposisi bahan gambut sehingga akan meningkatkan emisi CO2. Meskipun demikian, terlihat adanya inkonsistensi antara nilai emisi CO2 dengan jarak dari saluran drainase, yaitu adanya penurunan nilai emisi pada jarak 99 meter dari saluran drainase. Hasil penelitian Husnain et. al (2014) mengatakan bahwa jarak dari saluran drainase tidak secara signifikan mempengaruhi emisi CO2.
292
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit
KESIMPULAN 1. Emisi gas CO2 pada pertanaman kelapa sawit di lokasi ICCTF Riau, pada pengamatan siang hari lebih tinggi sekitar 5,67 % jika dibandingkan dengan pengukuran pada pagi hari. 2. Tidak ada korelasi antara ketinggian muka air tanah dengan besaran emisi gas CO2. 3. Jarak yang terjauh dari saluran (108 meter) memiliki nilai emisi yang paling besar dibandingkan dengan jarak yang lainnya, tetapi tidak ada hubungan yang konsisten atau signifikan antara jauhnya jarak dari saluran dengan tingkat kenaikan emisi gas CO2.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah. 36p. Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2009. Statistik Perkebunan Riau. Pekanbaru. Husnain, H., I.G.P. Wigena, A. Dariah et al., 2014. CO2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitig Adapt Strateg Glob Change. doi:10.1007/s11027-014-9550-y Jauhiainen, A., A. Hooijer and S.E. Page. 2012. Carbon dioxide emissions from an Acacia plantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences, 9: 617–630 Marwanto, S. and F. Agus. 2013. Is CO2 flux from oil palm plantations on peatland controlled by soil moisture and/or soil and air temperatures?. Mitig Adapt Strateg Glob Change. doi:10.1007/s11027-013-9518-3 Maswar, M., O. Haridjaja, S. Sabiham et al., 2011. Kehilangan Karbon pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Gambut Tropika yang Didrainase. Jurnal Tanah dan Iklim No. 34/2011. Yuniastuti, P. 2011. Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi Karbon Dioksida dan Metan di Lahan Gambut Kebun Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera, 1990 – 2002. Wetlands International Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).
293
22
EMISI CO2 DARI LAHAN GAMBUT BUDIDAYA KELAPA SAWIT (ELAEIS GUINEENSIS) DAN LAHAN SEMAK BELUKAR DI PELALAWAN, RIAU
PEAT CO2 EMISSIONS UNDER PALM OIL (ELAEIS GUINEENSIS) PLANTATION AND SHRUBLAND IN PELALAWAN, RIAU Sarmah1, Nurhayati2, Hery Widyanto2, Ai Dariah1 1
Balai Penelitian Tanah Bogor, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210.
Abstrak Sistem pengelolaan lahan dan jenis tutupan sangat mempengaruhi tingkat emisi gas rumah kaca pada lahan gambut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat emisi CO2 dari gambut yang dibuka untuk lahan budidaya dibandingkan dengan gambut yang belum dibuka yang masih berupa semak belukar. Lokasi penelitian untuk lahan budidaya adalah pada perkebunan kelapa sawit sedangkan untuk lahan gambut yang belum dibudidayakan terletak sekitar 3 km dari lokasi gambut budidaya. Pengamatan yang dilakukan adalah emisi gas CO2, diikuti dengan pengukuran suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah. Pengukuran emisi CO2 dilakukan dengan frekuensi setiap 15 hari mulai bulan Februari hingga Juli 2014. Pengukuran emisi CO 2 dilakukan dengan metoda closed chamber menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer) LiCOR 820. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat emisi CO 2 di lahan gambut pada perkebuan kelapa sawit rata-rata berkisar 66,87±47,53 ton CO2 ha-1 th-1 yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO 2 pada semak belukar yang berkisar 43,73±27,16 ton CO2 ha-1 th-1 (p<0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa gambut yang dibuka untuk lahan budidaya kelapa sawit memiliki tingkat emisi CO2 yang lebih tinggi 52,92% dibandingkan dengan lahan gambut yang belum dibudidayakan. Kata kunci: Lahan gambut, emisi CO2, gambut budidaya, gambut non budidaya Abstract Land management system and the type of cover greatly affect the level of greenhouse gas emissions in peatlands. This research aims to study the level of CO2 emissions from peat lands opened for cultivation compared with unopened peat lands which still in the form of shrubs. Research sites for land cultivation is on the palm oil plantations while uncultivated peatland is located approximately 3 km from the location of peat cultivation. The observations made are CO2 emissions, followed by measurements of soil temperature, air temperature, and water table depth. Measurements performed with a frequency of CO2 emissions every 15 days from February to July 2014. Measurements of CO2 emissions are done by a closed chamber method using IRGA (Infra Red Gas Analyzer) Li-COR 820. The results showed that the level of CO2 emissions in peatlands under palm oil
295
Sarmah et al.
plantations averaging around 66.87 ± 47.53 ton CO2 ha-1 yr-1 were relatively high compared with CO2 emissions of shrubland ranged 43.73 ± 27.16 ton CO2 ha-1 yr-1 (p<0.01). These results indicate that the peat lands are open to oil palm cultivation has a CO2 emission level higher 52.92% than the uncultivated peatlands. Keywords: Peat, CO2 emissions, cultivation peatland, uncultivation peatland
PENDAHULUAN Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis gas rumah kaca yang menyebabkan efek pemanasan global pada atmosfer bumi. Karbon dioksida yang dilepas dari dalam tanah merupakan hasil dari proses respirasi yaitu proses penguraian molekul organik menjadi energi, air dan CO2 di dalam sel. Karbon dioksida yang dihasilkan tersebut dapat bersumber dari hasil proses respirasi akar, respirasi mikrobia di rizosfer, respirasi dari dekomposisi serasah dan organisme, atau respirasi dari oksidasi bahan organik tanah (Luo Zhou, 2006). Emisi CO2 pada lahan gambut baik di daerah subtropis maupun daerah tropis telah banyak dilaporkan (Hooijier et al., 2012; Melling et al., 2013; Marwanto et al., 2013; Husnain et al., 2014; Dariah et al., 2013; Dariah et al., 2013a; Agus et al., 2012). Namun demikian, keragaman emisi CO2 pada berbagai penggunaan lahan belum banyak dilaporkan. Lahan gambut merupakan salah satu penyumbang emisi CO 2 ke udara. Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi (Parish et al., 2007). Pembukaan lahan gambut dan pembuatan drainase menyebabkan cadangan karbon pada lahan gambut menjadi mudah teroksidasi menjadi gas CO2. Penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam (>30 cm) serta pembakaran atau kebakaran gambut menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi (Agus dan Subiksa 2008). Pengelolaan gambut yang keliru, berdampak pada kehilangan karbon dari lahan gambut dengan meningkatnya pelepasan emisi karbon dioksida ke atmosfir. Tingkat emisi akibat pembukaan lahan gambut menurun apabila lahan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan atau pertanian adalah belukar gambut. Hal ini disebabkan biomassa pada belukar gambut relatif lebih sedikit (diasumsikan 15 ton C ha1 ) sehingga menyebabkan emisi CO2 dari kebakaran biomassa dan kebakaran lapisan gambut menjadi sedikit pula. Dengan demikian, apabila lahan yang digunakan untuk
296
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
perkebunan adalah lahan yang sudah berubah menjadi semak belukar, maka emisi yang terjadi sewaktu pembukaan hutan akan jauh berkurang (Agus dan Subiksa 2008). Potensi lahan gambut untuk dijadikan lahan pertanian harus memperhatikan aspek lingkungan seperti tingkat emisi CO2 akibat perubahan tersebut. Agus et al., (2012) menyatakan bahwa lahan semak gambut dengan rata-rata kedalaman muka air tanah atau drainase 40 cm melepaskan 25 ton CO2 ha-1 th-1. Namun jika lahan semak diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, emisinya meningkat menjadi 38 ton CO2 ha-1 th-1. Sementara Salampak et al., (2014) menyatakan bahwa urutan besaran nilai fluks CO2 pada beberapa tipe penggunaan lahan di Kalampangan, Kalimantan Tengah adalah gambut hutan alami > semak > jagung > tumpang sari. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat emisi CO2 dari lahan gambut yang dibuka untuk lahan budidaya kelapa sawit dan dibandingkan dengan lahan gambut non budidaya yang masih berupa semak belukar di Pelalawan, Riau.
BAHAN DAN METODE Deskripsi lokasi penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2014 di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau. Pengukuran emisi CO 2 dilakukan di lahan semak belukar dan lahan budidaya kelapa sawit. Lahan semak belukar masih memiliki tutupan vegetasi yang cukup rapat berupa tanaman pakis, tanaman merambat serta beberapa tanaman kayu dengan ketinggian ±5 meter. Lahan budidaya kelapa sawit yang dijadikan lokasi pengamatan adalah lahan seluas 5 ha dengan umur tanaman kelapa sawit 6 tahun. Jarak tanam kelapa sawit pada lokasi tersebut adalah 8×9 meter. Di antara tanaman kelapa sawit ditanami juga tanaman nenas sebagai tanaman sela. Pemupukan di lahan budidaya kelapa sawit ada 4 perlakuan, yaitu: Kontrol, Pugam (pupuk gambut), Pukan (pupuk kandang), dan Tankos (tandan kosong kelapa sawit). Pemupukan pada tanaman sela (nenas) dilakukan dengan cara ditugal di sekitar pokok tanaman nenas. Pengukuran emisi CO2 dilakukan pada 16 titik untuk setiap tipe penggunaan lahan (Gambar 1). Titik pengukuran di lahan budidaya kelapa sawit terletak di antara tanaman sela (nenas).
Pengukuran emisi CO2 Emisi CO2 pada lahan gambut diukur menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer), Li-COR 820, dengan metode sungkup tertutup (clossed chamber). Sungkup yang digunakan adalah pipa paralon berdiameter 25 cm dengan tinggi 25 cm. Gas dari dalam sungkup akan dialirkan ke dalam IRGA dan pembacaan konsentrasi CO2 yang
297
Sarmah et al.
diemisikan berlangsung selama ±2,5 menit. Pengukuran emisi CO 2 dilakukan bersamaan dengan pengukuran suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah. Pengukuran emisi CO2 di lahan semak belukar dan kelapa sawit dilakukan pada waktu bersamaan menggunakan dua IRGA dengan intensitas pengukuran setiap dua minggu sekali selama 6 bulan. Emisi CO2 dihitung dengan persamaan Madsen et al., (2009):
Keterangan: fc = Fluks CO2 (μmol m-2 det-1) P = Tekanan atmosfer berdasar rata2 pembacaan IRGA (Pa) H = Tinggi sungkup (m) R = Konstanta gas (8,314 Pa m-3 K-1 mol-1) T = Suhu sungkup (K) dC/dt = Perubahan konsentrasi CO2 terhadap waktu (ppm det-1)
~~~~~Saluran drainase~~~~~
♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣
∆ dst
∆ ∆ ∆ ∆
♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣
~~~~~Saluran drainase~~~~~
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
~~~~~Saluran drainase~~~~~ - - - - - - -Jalan- - - - - - -
~~~~~Saluran drainase~~~~~ - - - - - - -Jalan- - - - - - -
a
b
Gambar 1. Layout titik pengamatan di lahan semak belukar (a) dan lahan budidaya kelapa sawit (b)
298
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
Analisis Statistik Data yang diperoleh dari hasil pengukuran diolah dengan menggunakan program excel dan SPSS 18.
HASIL DAN PEMBAHASAN Emisi CO2 pada gambut Fluks CO2 pada lahan semak belukar dan lahan budidaya kelapa sawit di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau pada pengamatan selama 6 bulan disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa fluks CO2 pada lahan gambut budidaya kelapa sawit (66,87±47,53 ton CO2 ha-1 th-1) lebih tinggi dari lahan gambut yang masih berupa semak belukar (43,73±27,16 ton CO2 ha-1 th-1) dan berbeda nyata berdasar uji t pada taraf 1%. Hasil ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil estimasi Hooijer et al., (2012), menggunakan metoda subsiden yaitu sekitar 73 ton CO2 ha-1 th-1. Menurut Agus dan Subiksa (2008) lahan gambut yang telah dibuka menjadi lahan budidaya tingkat emisi CO2-nya akan meningkat. Hal ini disebabkan dekomposisi gambut oleh mikroorganisme berjalan cepat karena menurunnya kedalaman permukaan air tanah akibat pembuatan drainase yang menyebabkan kondisi lingkungan menjadi aerob. Selain itu, pemberian pupuk turut berperan dalam meningkatkan emisi CO2 pada lahan budidaya kelapa sawit. Green et al., (1995) dalam Dariah et al., (2013a) menyatakan bahwa pemupukan dapat meningkatkan dekomposisi residu tanaman dan karbon tanah (microbial respiration) sehingga meningkatkan emisi CO2.
Gambar 2. Grafik fluks CO2 pada lahan semak belukar dan kelapa sawit
299
Sarmah et al.
Fluks CO2 pada lahan budidaya kelapa sawit dengan 4 perlakuan pupuk disajikan pada Gambar 3. Tingkat emisi CO2 di lahan budidaya kelapa sawit tidak berbeda nyata pada taraf 5% antar setiap perlakuan. Emisi CO2 pada lahan budidaya kelapa sawit dengan 4 perlakuan berbeda yaitu pada kontrol sebesar 63,85±37,18 ton CO2 ha-1 th-1, Pugam 64,00±36,08 ton CO2 ha-1 th-1, Pukan 75,34±64,34 ton CO2 ha-1 th-1, dan Tankos 64,27±46,98 ton CO2 ha-1 th-1. Pemberian Pukan pada budidaya kelapa sawit meningkatkan emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan Pugam dan Tankos yaitu sebesar 18,00% dibandingkan dengan kontrol. Dariah et al., (2013a) menyatakan penggunaan pupuk yang mengandung bahan amelioran dengan bahan aktif kation polyvalen seperti pugam berpotensi menekan laju emisi gas rumah kaca dari lahan gambut yang dikelola secara intensif. Bahan aktif tersebut mampu melakukan proses kompleksasi asam-asam organik monomer menjadi senyawa komplek yang lebih tahan terhadap dekomposisi. Dengan demikian aplikasi pupuk dalam pengelolaan lahan gambut perlu diperhatikan jika ingin merubah lahan gambut menjadi lahan budidaya sehingga kenaikan tingkat emisi CO2 yang akibat pembukaan lahan gambut dapat diminimalisir.
Gambar 3. Grafik emisi CO2 di lahan budidaya kelapa sawit pada beberapa perlakuan pupuk Emisi CO2 pada lahan budidaya kelapa sawit lebih dipengaruhi oleh jarak titik pengamatan dari saluran drainase. Emisi CO2 pada titik pengamatan dengan jarak terjauh dari saluran drainase (108 meter) nyata lebih tinggi (99,03±61,46 ton CO2 ha-1 th-1) dibandingkan dengan titik yang lebih dekat dengan saluran drainase (Gambar 4). Kedalaman muka air tanah pada titik tersebut juga paling tinggi (84,44±20,70 cm) dibanding yang lain meskipun tidak berbeda nyata. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Marwanto et al., (2013), yang menyatakan bahwa fluks CO2 menurun dengan bertambahnya jarak dari saluran drainase. Hal ini disebabkan semakin jauh dari saluran
300
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
drainase maka kondisi lingkungan menjadi lebih aerob karena kedalaman muka air tanah semakin turun sehingga proses dekomposisi dan pelepasan CO 2 semakin tinggi. Namun hubungan antara jarak drainase dengan emisi CO2 pada hasil penelitian ini tidak konsisten. Husnain et al., (2014) juga menyatakan di lokasi yang sama bahwa jarak drainase tidak berpengaruh signifikan terhadap fluks CO 2. Sedangkan pada lahan semak belukar emisi CO2 tertinggi ada pada titik yang berjarak 20 dan 130 meter dari saluran drainase dan berbeda nyata pada taraf 5% dibandingkan pada titik yang lain (Gambar 5).
Gambar 4. Grafik emisi CO2 di lahan budidaya kelapa sawit pada beberapa jarak drainase
Gambar 5. Grafik tingkat emisi CO2 di lahan semak belukar pada beberapa jarak drainase
301
Sarmah et al.
Hasil uji korelasi Pearson antara fluks CO2 dengan suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah disajikan pada Tabel 1. Pada lahan semak belukar fluks CO 2 berkorelasi positif (P<0,01) suhu udara. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Marwanto dan Agus (2013) yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara fluks CO 2 dengan suhu udara, tetapi emisi CO2 tertinggi terjadi pada saat suhu udara dan tanah tinggi (siang hari) dan terendah saat suhu udara dan suhu tanah rendah (pagi hari). Sedangkan pada lahan budidaya kelapa sawit fluks CO2 berkorelasi negatif (P<0,01) dengan kedalaman muka air tanah. Artinya semakin dalam muka air tanah maka fluks CO 2 semakin rendah. Namun Dariah et al., (2013) menyatakan bahwa kedalaman muka air tanah berkorelasi positif terhadap fluks CO2 yang berarti bahwa semakin dalam muka air tanah maka semakin tinggi fluks CO2. Hasil penelitian Salampak et al., (2014) menunjukkan bahwa pada lahan semak belukar fluks CO2 dan kedalaman muka air tanah tidak menunjukkan adanya korelasi. Juhiainen et al., (2012) menyatakan bahwa pengaruh perbedaan kedalaman muka air tanah terhadap emisi rendah. Secara keseluruhan fluks CO 2 pada penelitian ini berkorelasi positif (p<0,01) dengan suhu udara. Tabel 1.
Korelasi Pearson antara fluks CO2 dengan suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah pada pengukuran di lahan semak belukar dan kelapa sawit di Riau
Penggunaan Lahan Semak Belukar Kelapa Sawit Semak Belukar dan Kelapa Sawit
Kedalaman Muka Air Tanah -0,043
Suhu Tanah
Suhu Udara
Korelasi Pearson
0,104
0,240*
P-value
0,151
0,001
0,553
Korelasi Pearson
0,129
-0,225*
P-value
0,546
-0,044
0,074
0,002
Korelasi Pearson
0,090
0,246*
-0,064
P-value
0,079
0,000
0,209
*P-value < 0,01 berkorelasi signifikan pada taraf 1%
Hubungan jarak drainase terhadap kedalaman muka air tanah (Gambar 6a) pada lahan semak belukar memenuhi persamaan y = -0,0037x2 + 0,7046x + 43,796 dengan nilai R² = 0,696. Semakin jauh jarak drainase, kedalaman muka air tanah semakin meningkat sampai pada jarak 80 meter, selanjutnya kedalaman muka air tanah kembali menurun sampai pada titik pengamatan ke-16 (jarak 160 meter dari titik drainase acuan). Hal ini dikarenakan di ujung lahan semak belukar yang diamati terdapat drainase lahan budidaya sawit. Sehingga kedalaman muka air tanah pada titik 9 sampai 16 dipengaruhi oleh drainase tersebut. Kondisi ini turut mempengaruhi hubungan antara fluks CO 2 dengan jarak drainase. Hubungan jarak drainase dengan fluks CO 2 memenuhi persamaan y = 0,0018x2 - 0,3733x + 58,471 dengan nilai R² = 0,1753 (Gambar 6b). Pada jarak drainase 10 sampai 80 meter tingkat emisi CO2 cenderung menurun sedangkan pada jarak
302
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
drainase 90 sampai 160 meter tingkat emisi CO2 cenderung meningkat. Marwanto et al., (2013) menyatakan bahwa fluks CO2 semakin menurun dengan bertambahnya jarak titik pengamatan dari saluran drainase.
a
b
Gambar 6. Hubungan antara jarak drainase dengan kedalaman muka air tanah (a) dan fluks CO2 (b) pada lahan semak belukar
303
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
KESIMPULAN Emisi CO2 pada lahan gambut yang telah ditanami kelapa sawit (66,87±47,53 ton CO2 ha-1 th-1) lebih tinggi dibandingkan pada lahan semak belukar (43,73±27,16 ton CO2 ha-1 th-1). Emisi pada lahan budidaya kelapa sawit tertinggi dihasilkan pada lahan yang diberi perlakuan berupa pupuk kandang. Pemberian pupuk yang tepat perlu diperhatikan untuk mengurangi emisi CO2 pada lahan gambut yang telah diubah menjadi lahan budidaya. Untuk lokasi penelitian ini, emisi CO2 pada lahan semak belukar berkorelasi positif dengan suhu udara dan pada lahan kelapa sawit emisi CO 2 berkorelasi negatif dengan kedalaman muka air tanah. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana atas kerjasama penelitian antara Badan Litbang Pertanian dengan Badan Perencanaan Nasional melalui kegiatan ICCTF (Indonesian Climate Change Trust Fund). Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah turut membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Agus F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Agus F., Wahyunto, A. Dariah, E. Runtunuwu, E. Susanti, And W. Supriatna. 2012. Emission Reduction Options for Peatlands in The Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Journal Of Oil Palm Research Vol. 24 p:1378-1387. Dariah A., F. Agus, E. Susanti, and Jubaedah. 2013. Relationship between Distance Sampling and Carbon Dioxide Emission under Oil Palm Plantation. J Trop Soils, Vol. 18, No. 2. http://journal.unila.ac.id/index.php/tropicalsoil DOI: 10.5400/jts.2013.18.2. Dariah A., Jubaedah, Wahyunto, dan J. Pitono. 2013a. Pengaruh Tinggi Muka Air Saluran Drainase, Pupuk, dan Amelioran Terhadap Emisi CO2 pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut. Jurnal Littri 19(2), Juni 2013. Hlm. 66 – 71. Hooijer A, Page S, Jauhiainen J. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences 9:1053–1071. doi:10.5194/bg-9-1053-2012 Husnain, I. G. P. Wigena, A. Dariah, S. Marwanto, P. Setyanto, and F. Agus. 2014. CO2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitig Adapt Strateg Glob Change (2014) 19:845–862. DOI 10.1007/s11027-014-9550-y
304
Indonesian peatland map : method, certainty and uses
Jauhiainen A., A. Hooijer, and S. E. Page. 2012. Carbon Dioxide Emissions From an Acacia Plantation on Peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences, 9, p: 617– 630. Luo Y and Zhou X. 2006. Soil Respiration and the Environment. Academic Press/ Elsevier, San Diego, CA, USA, pp328. Madsen R., Xu L, and Claassen B. 2009. Surface Monitoring Method for Carbon Capture and Storage Project. Energy Procedia. 1 :2161-2168. Marwanto S dan Agus F. 2013. Is CO2 flux from oil palm plantations on peatland controlled by soil moisture and/or soil and air temperatures?. Mitig Adapt Strateg Glob Change. DOI 10.1007/s11027-013-9518-3 Melling L., A. Chaddy, K.J. Goh and R. Hatano.2013. Soil CO 2 Fluxes from Different Ages of Oil Palm in Tropical Peatland of Sarawak, Malaysia as Influenced by Environmental and Soil Properties. Proc. IS on Responsible Peatland Mgt. & Growing Media Production, Ed.: J. Caron, Acta Hort. 982, ISHS 2013 Parish F., A. Sirin, D. Charman, H. Joosten, T. Minayeva, M. Silvius, and L. Stringer (Eds.). 2007. Assessment on Peatlands, Biodiversity and Climate Change: Main Report. Global Environment Centre, Kuala Lumpur and Wetlands International, Wageningen. Salampak, Sustiyah, dan Amelia V. 2014. Fluks Gas Karbondiaksida Pada Tanah Gambut Pedalaman Di Kalampangan, Kalimantan Tengah. Jurnal Agri Peat, Vol.15 No.1, Maret 2014: 24-33.
305
23
DAMPAK AMELIORASI TANAH GAMBUT TERHADAP CADANGAN KARBON TANAMAN KELAPA SAWIT DAN KARET
IMPACT OF PEATSOIL AMELIORATION ON CARBON STOCK OF OIL PALM AND RUBBER PLANTATION Ai Dariah1, Erni Susanti2 1
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Cimanggu, Bogor 16114.
2
Balai Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi, Jl. Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111.
Abstrak Ameliorasi lahan gambut selain ditujukan untuk meningkatkan kualitas tanah dan menekan emisi gas rumah kaca, diharapkan juga dapat berpengaruh positif terhadap sekuestrasi karbon oleh tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh ameliorasi tanah gambut terhadap peningkatan cadangan karbon tanaman kelapa sawit dan karet. Penelitian pada lahan gambut dilakukan di Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi dan Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau (dengan tanaman indikator kelapa sawit), serta di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (dengan tanaman indikator karet). Rancangan percobaan yang digunakan pada masing-masing lokasi adalah acak kelompok, dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan ameliorasi yang diaplikasikan pada tanaman kelapa sawit adalah (1) pupuk gambut (pupuk yang diperkaya kation polyvalen), (2) pupuk kandang, (3) tandan buah kosong sawit, dan (4) kontrol, sedangkan pada tanaman karet adalah (1) pupuk gambut, (2) pupuk kandang, (3) tanah mineral, dan (4) kontrol. Pengukuran cadangan karbon dilakukan dengan menggunakan metode nondestructive. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi tanah gambut tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan cadangan karbon tanaman kelapa sawit umur 6 tahun dan karet umur 7 tahun. Setelah 10 bulan dari aplikasi amelioran, penambahan cadangan karbon tanaman kelapa sawit berkisar antara 2,1-2,4 t/ha, sedangkan tanaman karet sekitar 5-11 t/ha. Kata kunci: Gambut, kelapa sawit, karet, ameliorasi Abstract The objective of peatland amelioration is to improve soil quality, as well as to reduce ghg emissions and to increase Carbon sequestration. The study aim’s was to investigate the effect of peatland amelioration on oil palm and rubber carbon stock improvement. The researches on oil palm were done in Arang-arang village, Kumpeh Subdistrict, Muaro Jambi District; and in Seikijang village, Bandar Seikijang Subdistrict, Pelalawan District. Both the sites are in Jambi and Riau Province. The study on Rubber was done in Jabiren Village, Jabiren Raya Subdistrict, Pulangpisau District, Central Kalimantan Province. The study experiment design was used Completely Randomized Design (CRD), in four treatments and four replications. The treatments were peatland fertilizer (Pugam),
307
Ai Dariah, Erni Susanti
farmyard manure; empty fruit bunch compost, and control (no application). C stock measurement was done used nondestructive method. The result of the study showed that peatland amelioration treatments did not have significant effect to improve C stock on oil palm in 6 years old and 7 years old of rubber. Oil palm and rubber C stocks improvement were 2.1-2.4 t/ha and 5-11 ton/ha respectively, after 10 months of amelioration application. Keywords: Peat, oil palm, rubber, amelioration
PENDAHULUAN Lahan gambut mempunyai sifat mudah rusak (Sabiham dan Sukarman, 2012) dan umumnya tergolong sesuai marjinal untuk pengembangan berbagai jenis komoditas pertanian, dengan faktor pembatas utama media perakaran yang bersifat masam dengan kandungan asam organik yang berada pada tingkat yang meracuni tanaman, miskin unsur hara, dan drainase yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman (Wahyunto et al., 2013, Subiksa et al., 2011, Hartatik et al., 2011), sehingga untuk mencapai suatu tingkat produktivitas yang optimal, selain pemupukan perlu juga dilakukan tindakan ameliorasi. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang, dan abu sisa pembakaran dapat dimanfaatkan sebagai amelioran tanah gambut, yang utamanya ditujukan untuk menurunkan kemasaman tanah dan meningkatkan kadar dan ketersediaan basa-basa tanah (Subiksa et al., 1997; Mario dan Sabiham, 2002; Salampak 1999). Hasil penelitian Salampak (1999) dan Sabiham (1997) juga menunjukkan bahwa ameliorasi tanah gambut dengan menggunakan bahan alami yang mengandung kation polyvalen seperti terak baja, tanah mineral laterit, atau lumpur sungai, efektif dalam menanggulangi efek negatif dari tingginya asam organik. Permasalahan lainnya yang perlu diantisipasi jika lahan gambut diusahakan untuk pengembangan pertanian intensif adalah peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) akibat percepatan pelepasan cadangan karbon (Page et al., 2002; Couwenberg et al., 2010; Hooijer et al.; 2010), baik cadangan karbon yang tersimpan dalam tanaman maupun dalam tanah gambut. Drainse merupakan penyebab utama peningkatan laju emisi pada lahan gambut yang telah diusahakan secara intensif (Hooijer et al. , 2006 dan 2010; Chimner dan Cooper, 2003, Dariah et al., 2013), faktor managemen lainnya seperti pemupukan, pengapuran juga bisa meningkatkan emisi GRK (Dariah et al., 2013; Maswar, 2012; Mikkinen et al., 2007; Silvola et al., 1985, 1996). Peningkatan emisi GRK akibat alih fungsi hutan gambut menjadi lahan pertanian merupakan isu lingkungan yang menjadi kendala pengembangan lahan gambut khususnya gambut tropika untuk pertanian (Hooijer et al. , 2006 dan 2010; Joosten, 2007). Oleh karena itu, perlu berbagai opsi termasuk tindakan ameliorasi pada lahan gambut yang mampu menekan tingkat emisi GRK dan meningkatkan sekuestrasi karbon. Beberapa
308
Dampak Ameliorasi Tanah Gambut Terhadap Cadangan Karbon
hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi tanah gambut dengan menggunakan bahan-bahan yang mengandung kation polyvalen selain mampu menanggulangi efek negatif dari kadar senyawa organik yang tinggi, juga dapat menurunkan tingkat emisi GRK dari tanah gambut (Subiksa et al., 2009, 2012). Dampak lainnya dari aplikasi amelioran yang belum banyak dipelajari adalah dari aspek peningkatan sekuestrasi karbon oleh tanaman, di antaranya ditunjukan oleh tingkat perubahan cadangan karbon dalam tanaman sebagai dampak terjadinya perbaikan kualitas tanah. Peningkatan sekuestrasi karbon oleh tanaman dapat berkontribusi terhadap nilai net emisi dari lahan gambut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh tindakan ameliorasi tanah gambut terhadap cadangan karbon tanaman kelapa sawit dan karet.
METODOLOGI PENELITIAN Karakteristik lokasi penelitian Kegiatan penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2013 sampai dengan bulan Juni 2014. Penelitian pada lahan gambut dengan tanaman pokok kelapa sawit (umur 5-6 tahun) dilakukan di dua lokasi yaitu Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi terletak antara 1040’40.79’’-1041’00.85’’ LS dan 97048’48.56’’-97049’33.63’’BT, dan Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dengan letak koodinat 00020’59,3’’-00021’05,8’’ LS dan 101041’15,6’’-101041’22,9’’ BT. Penelitian ameliorasi pada lahan gambut dengan tanaman pokok karet (umur 6-7 tahun) dilakukan di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dengan letak koodinat 2030’30’’LS dan 114009’30’’ BT. Gambut di Desa Pelelawan, Riau dan Desa Jabiren, Kalimantan Tengah tergolong gambut sangat dalam, dengan kisaran kedalaman gambut berturut-turut 550-647 meter dan 500-698 m; sedangkan gambut di Desa Arang-Arang, Jambi tergolong gambut sedang – dalam dengan kisaran kedalaman gambut 155 – 316 cm (Dariah et al., 2012). Sample tanah diambil pada kedalam 0-15 cm pada piringan sebelum aplikasi perlakuan, sehingga sifat kimia tanah yang dihasilkan merupakan sifat inheren atau alami dari gambut dan/atau akibat pengaruh pengelolaan sebelum perlakuan diaplikasikan. Hasil analisis tanah gambut (Tabel 1) pada lokasi penelitian di Riau menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan hara dalam tanah di piringan pokok tanaman kelapa sawit cukup besar, dicirikan oleh status hara P berkisar sedang sampai tinggi, hara K sedang. Hara P dan K tersedia juga tergolong tinggi, sedangkan hara kalsium dan magnesium tergolong sedang.
309
Ai Dariah, Erni Susanti
Tingkat kesuburan tanah gambut di Jambi relatif lebih baik dibandingkan dengan tanah gambut di Riau, di antaranya dicirikan jumlah basa (Ca dan Mg) pada lahan gambut di Jambi lebih tinggi dibanding Riau. Kandungan P potensial (P2O5 ekstrak HCl 25%) juga lebih tinggi, meskipun kandungan P tersedia (P 2O5 Bray) relatif lebih rendah dibanding tanah gambut pada lokasi penelitian di Riau. Tingkat kesuburan gambut di Jambi yang relatif baik kemungkinan disebabkan ketebalan gambut di Jambi relatif dangkal, sehingga tanah gambut sudah terpengaruh lapisan tanah mineral di bawahnya. Kandungan senyawa humat (yang merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan tanaman di lahan gambut), pada tanah gambut di Jambi relatif lebih rendah dibanding di Riau. Kesuburan tanah gambut di Kalimantan Tengah relatif lebih rendah dibanding gambut di Riau maupun Jambi, khususnya ditinjau dari kandungan unsur P dan K (baik potensial maupun tersedia). Kandungan basa-basa (ditunjukkan oleh kanduang Ca dan Mg) dan kejenuhan basa pada tanah gambut di Kalimantan Tengah juga relatif lebih rendah dibanding gambut di Jambi dan Riau. Berdasarkan nilai CN ratio, kematangan gambut pada lokasi penelitian di Kalimantan Tengah relatif sama dibanding gambut Jambi. Sementara gambut Riau mempunyai CN ratio yang relatif lebih rendah (tingkat kematangan relatif lebih rendah). Tabel 1. Sifat kimia tanah gambut di tiga lokasi penelitian Parameter Ph C organik (%) N total (%) C/N Humat P2O5 HCl 25% (mg/100 g) K2O HCl 25% (mg/100 g) P2O5 Bray (ppm) K2O Morgan (ppm) Ca (Cmolc/kg) Mg (Cmolc/kg) K (Cmolc/kg) Na (Cmolc/kg) Jumlah Nilai Tukar Kation (Cmolc/kg) KTK (Cmolc/kg) KB (%) Al KCl 1N H KCL 1N Fe Dithionit Al Dithionit Sumber: BBSDLP (unpublish)
310
Riau 3,16 38,08 1,55 28 20,82 38,86 49,30 220,5 333,79 9,16 1,7 0,39 1,0 13,2 85,5 18,11 3,75 4,87 0,08 0,17
Jambi 3,70 39,48 0,85 49 10,57 42,2 25,05 139,51 241,06 12,52 2,85 0,47 0,66 16,49 107,09 15,5 0,77 4,53 0,12 0,03
Kalteng 3,38 33,60 1,10 43 11,57 21,07 17,50 58,6 124,38 6,20 2,4 0,2 0,5 9,3 80,6 9,2 1,49 5,73 0,07 0,17
Dampak Ameliorasi Tanah Gambut Terhadap Cadangan Karbon
Metode Penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan dan tiga ulangan, jenis amelioran yang diuji pada lahan gambut dengan tanaman utama kelapa sawit adalah pupuk gambut (Pugam), pupuk kandang (Pukan), tandan buah kosong (Tankos) sawit, dan kontrol (tanpa amelioran) sebagai pembanding. Pada lahan gambut dengan tanaman pokok karet, amelioran yang digunakan sama dengan di kelapa sawit, namun perlakuan tandan buah kosong sawit diganti dengan tanah mineral. Hasil analisis amelioran yang digunakan disajikan pada Tabel 2. Pugam merupakan pupuk yang telah diperkaya kation polyvalen. Hasil analisis menunjukan kandungan kation polyvalen (Fe, Mn, Cu, Zn, Al, B, Pb, dan Cd) pada Pugam jauh lebih tinggi dibanding pada pukan, tankos, dan tanah mineral. Kandungan kation polyvalen pada tankos lebih rendah dibanding pukan. Kandungan P, Ca, Mg, dan S pada pugam juga lebih tinggi dibanding pukan, tankos, dan tanah mineral. Kandungan N pada Pugam lebih rendah dibanding pukan dan tankos. Tabel 2. Hasil analisis amelioran yang digunakan dalam penelitian Parameter pH H2O (1:5) Kadar Air As. Humat As. Fulfat Asam Humat C-Organik N-Organik NH4 NO3 Total C/N P2O5 K2O Ca Mg S Fe Mn Cu Zn Al B Pb Cd As Mo Hg
Unit % % % % % % % % % % % % % % % Ppm Ppm Ppm Ppm Ppm Ppm Ppm Ppm Ppm Ppm Ppm
Pugam 8,6 3,8 13,15 0,08 18,9 6,53 0,56 9460 5608 1008 1633 6920 686 17,3 1,6 Td Td Td
Pukan 8,5 70,08 1,37 1,60 4,48 6,13 0,40 0,06 0,03 0,49 12 0,56 0,49 0,72 0,33 0,10 412 47 3 46 Td 40 Td Td 0,7 Td 0,1
Kompos Tankos 7,0 55,89 1,43 2,42 6,66 19,23 1,54 0,15 0,08 1,77 11 4,75 0,45 1,29 0,80 0,20 Td 39 17 47 Td 3 Td Td 0,8 Td 0,0
Tanah mineral 4,6 7,6
0,38
0,05 7,6 1890 1102 1700 -
Sumber: Subiksa et al. (2013)
311
Ai Dariah, Erni Susanti
Pemberian atau aplikasi amelioran dilakukan setiap enam bulan, bersamaan dengan aplikasi pupuk. Amelioran diaplikasikan dalam piringan selebar tajuk pohon (diameter sekitar dua meter). Dosis amelioran pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3. Pupuk dasar yang diberikan pada tanaman kelapa sawit, selain pupuk NPK (urea, SP36, dan KCl), diberikan juga kieserit dan pupuk mikro Cu, Zn, dan Borak. Pupuk dasar untuk tanaman kelapa sawit diberikan pada semua perlakuan, kecuali perlakuan yang diberi perlakuan Pugam tidak diberi pupuk dasar P dalam bentuk SP-36, karena dalam amelioran Pugam sudah terkandung unsur P yang bersumber dari fosfat alam. Pupuk dasar yang diberikan pada tanaman karet adalah pupuk urea, SP-36, dan KCl, diberikan setiap 6 bulan, sehingga selama penelitian diberikan sebanyak dua kali. Pupuk diaplikasikan dengan cara disebar dalam piringan dan diaduk sampai kedalaman sekitar 10 cm dengan menggunakan garpu kebun. Jenis dan dosis pupuk dasar tanaman kelapa sawit dan karet disajikan Pada Tabel 4. Tabel 3. Dosis amelioran pada masing-masing perlakuan dan per tahap pemberian. Pemberian Amelioran (kg/pohon) Perlakuan Kontrol PUGAM * Pupuk Kandang Tandan kosong sawit Kontrol PUGAM* Pupuk Kandang Tanah mineral
Ameliorasi ke 1 Ameliorasi ke 2** Tanaman kelapa sawit (Gambut Riau dan Jambi) 5 3 10 6 15 9 Tanaman karet (Gambut Kalimantan Tengah) 2.0 1.0 4.0 2.0 6.0 3.0
Keterangan: * tanpa SP 36 dan pupuk mikro, ** 6 bulan setelah ameliorasi ke 1
Tabel 4. Jenis dan dosis pupuk tanaman kelapa sawit Tanaman: Jenis pupuk Kelapa sawit: Urea SP-36* KCl Kiserit CuSO4 ZnSO4 Borax Tanaman Karet: Urea SP-36 * KCl
Pupuk dasar (kg/pohon) Pemupukan ke-1
Pemupukan ke-2**
2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.30
2 2 2.5 -
0.25 0.20 0.25
0.25 0.20 0.25
*Tanaman yang diberi perlakuan Pugam tidak diberi pupuk SP-36, ** 6 bulan setelah pemupukan pertama
312
Dampak Ameliorasi Tanah Gambut Terhadap Cadangan Karbon
Pengamatan cadangan karbon Pengukuran cadangan karbon yang pertama dilakukan sekitar 1-2 minggu sebelum aplikasi amelioran, data hasil pengukuran pertama digunakan sebagai data baseline cadangan karbon tanaman (kondisi cadangan karbon sebelum diberi perlakuan ameliorasi). Pengukuran kedua, yang ditujukan untuk mempelajari efek dari ameliorasi dilakukan sekitar 10 bulan setelah pengukuran pertama, atau sekitar 10 bulan setelah aplikasi amelioran yang pertama dan sekitar 3,5 bulan setelah aplikasi amelioran yang kedua). Pengukuran cadangan karbon tanaman kelapa sawit (di Riau dan Jambi) dilakukan dengan menggunakan metode non destructif (tanpa pengrusakan), parameter yang diukur untuk mengestimasi berat kering biomas tanaman kelapa sawit adalah tinggi tanaman yang diukur dari pangkal pohon bagian bawah (sejajar dengan permukaan tanah) sampai ujung pohon bagian atas (sejajar dengan tandan buah paling bawah). Pengukuran tinggi tanaman kelapa sawit dilakukan pada setiap petak perlakuan (masing-masing plot dipilih secara acak 8 tanaman contoh). Parameter yang diukur untuk mengestimasi berat kering biomas tanaman karet (di Kalimantan Tengah) adalah lingkar batang tanaman setinggi dada (sekitar 1,3 m dari permukaan tanah). Pengukuran lingkar batang tanaman karet dilakukan pada setiap plot perlakuan (masing-masing dipilih secara acak 10 tanaman contoh). Berat kering biomas tanaman kelapa sawit dihitung dengan menggunakan persamaan allometrik yang dikembangkan oleh ICRAF, sebagai hasil kegiatan carbon footprint on Indonesian oil palm production, yaitu sebagai berikut : BK = (0.0976*H)+0.0706, dimana: BK=berat kering tanaman dalam ton/pohon, H=tinggi pohon dalam meter. Berat kering tanaman karet diestimasi dengan menggunakan persamaan allometrik yang khusus dikembangkan untuk pohon bercabang (Ketterings, 2001), yaitu: BK= 0.11ρD2.62 , dimana: BK=;berat kering (kg/pohon); ρ= berat jenis kayu (g/cm 3); dan D=diameter pohon dalam cm. Penghitungan cadangan karbon dalam tanaman dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut: Cadangan karbon tanaman = 0,46*Berat kering biomas, Angka konversi 0,46 menunjukkan bahwa rata-rata kandungan C dalam biomas adalah sekitar 46% (Kurniatun, 2007, Susanti et al., 2010). Analisis data dilakukan secara statistik terhadap variabel yang diamati, menggunakan analysis of variance (ANOVA) atau uji keragaman dengan selang
313
Ai Dariah, Erni Susanti
kepercayaan 95%. Untuk melihat pengaruh beda nyata dari peubah akibat perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan (DMRT= Duncan Multiple Range Test) pada taraf
5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ameliorasi tanah gambut terhadap perubahan cadangan karbon tanaman kelapa sawit Pengukuran cadangan karbon yang dilakukan sebelum perlakuan ameliorasi (Tabel 5) menunjukkan bahwa pada umur yang relatif sama, rata-rata cadangan karbon pada tanaman kelapa sawit di Jambi adalah 10,2-10,7 t/ha, relatif lebih tinggi dibanding cadangan karbon tanaman sawit di Riau (9,1-9,7 t/ha). Umur tanaman sawit di kedua lokasi tersebut relatif sama, yaitu sekitar 6 tahun. Kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh perbedaan tingkat kesuburan tanah gambut di dua lokasi penelitian ini, hasil analisis tanah (Tabel 1) menunjukkan tingkat kesuburan tanah gambut di Jambi relatif lebih baik dibading gambut di Riau. Berdasarkan hasil analisis statistik, rata-rata cadangan karbon antar plot perlakuan sebelum aplikasi bahan Hasil amelioran, baik di Jambi maupun Riau, tidak menunjukan perbedaan nyata (dengan nilai CV<10%), artinya sebelum perlakuan keragaman cadangan karbon antar plot relatif rendah (Tabel 5). Sepuluh bulan setelah perlakuan, data hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap cadangan karbon tanaman kelapa sawit di dua lokasi penelitian (Riau dan Jambi), rata-rata penambahan cadangan karbon di Riau berkisar antara 2,1-2,4 t/ha, dan rata-rata cadangan karbon menjadi berkisar antara 11,2-11,9 t/ha (CV < 10%). Peningkatan cadangan karbon di Jambi berkisar antara 1,6-2,2 t/ha (CV <10%), sehingga rata-rata cadangan karbon di lokasi ini menjadi 12,1-12,8 t/ha (Tabel 5). Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian amelioran belum berkontribusi dalam meningkatkan sekuestrasi karbon oleh tanaman kelapa sawit. Tabel 5. Perubahan cadangan karbon tanaman kelapa sawit sebagai pengaruh perlakuan ameliorasi pada lahan gambut di Riau dan Jambi Perlakuan Lokasi Kontrol Pupuk gambut Pupuk kandang Tandan kosong CV
314
Cadangan karbon (t/ha) 10 bulan Delta selama 9 bulan setelah perlakuan rerata Std dev. Rerata Std dev. Rerata Std dev. Desa Lubuk Ogong, Kec.Bandar Seikijang, Kab. Pelalawan, Riau 9,57a* 1,03 11,79a 1,62 2,22a 0,97 9,17a 0,71 11,59a 0,51 2,42a 0,64 9,59a 0,88 11,59a 1,08 2,00a 0,28 9,67a 1,01 11,21a 1,25 2,14a 1,06 7,7 11,1 34,9 Sebelum perlakuan
Dampak Ameliorasi Tanah Gambut Terhadap Cadangan Karbon
Perlakuan Lokasi Kontrol Pupuk gambut Pupuk kandang Tandan kosong CV
Cadangan karbon (t/ha) 10 bulan Sebelum perlakuan Delta selama 9 bulan setelah perlakuan rerata Std dev. Rerata Std dev. Rerata Std dev. Desa Arang-Arang, Kec. Kumpeh, Kab. Muaro Jambi 10,20a 1,31 12,01a 1,37 1,81a 0,36 10,72a 1,83 12,82a 2,42 2,11a 0,82 10,49a 1,73 12,64a 1,93 2,15a 0,62 10,53a 1,37 12,13a 1,52 1,62a 0,55 7,0 7,9 27,5 -
*Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada
taraf 5% berdasarkan uji DMRT
Pengaruh ameliorasi tanah gambut terhadap perubahan cadangan karbon tanaman karet Hasil baseline cadangan karbon (pengukuran sebelum perlakuan) pada tanaman karet menunjukkan bahwa cadangan karbon tanaman karet umur 7 tahun berkisar antara 31-35 t/ha. Pada umur yang relatif sama, cadangan karbon pada tanaman karet hampir tiga kali lebih besar cadangan karbon tanaman sawit. Berdasarkan hasil pengujian statistik sebelum perlakuan ameliorasi, cadangan karbon tanaman karet antar plot perlakuan tidak berbeda nyata, artinya keragaman cadangan karbon antar plot sebelum perlakuan tergolong rendah (Tabel 6). Aplikasi bahan amelioran ternyata juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan cadangan karbon pada tanaman karet (Tabel 6). Rata-rata cadangan karbon tanaman karet menjadi berkisar antara 37-44 t/ha. Tingkat perbedaan penambahan cadangan karbon sebenarnya cukup tinggi yaitu berkisar berkisar 5,1-10,7 ton/ha. Nilai CV yang relatif tinggi menyebabkan secara statistik menjadi tidak berbeda nyata. Tidak berkontribusinya perlakuan amelioran terhadap cadangan karbon tanaman, juga kemungkinan disebabkan oleh adanya faktor lain yang lebih dominan berpengaruh terhadap cadangan karbon tanaman. Aplikasi pupuk merupakan faktor yang bisa berpengaruh lebih dominan, yang mana dosis pupuk yang digunakan pada semua perlakuan sudah tergolong optimal termasuk pada perlakuan kontrol. Jangka waktu 10 bulan juga kemungkinan terlalu pendek untuk dapat melihat dampak dari ameliorasi gambut terhadap cadangan karbon tanaman. Namun demikian, meskipun dalam hal ini amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap terhadap cadangan karbon, diharapkan fungsi lainnya dari bahan amelioran misal dalam menekan emisi atau meningkatkan produktivitas tanaman (hasil panen) dapat menunjukkan hasil yang signifikan. Hasil penelitian Dariah et al. (2013) di Siak, Riau menunjukkan potensi amelioran dengan bahan aktif kation polyvalen dalam menekan emisi GRK dari lahan gambut yang dikelola secara intensif.
315
Ai Dariah, Erni Susanti
Tabel 6. Perubahan cadangan karbon tanaman Karet sebagai pengaruh perlakuan ameliorasi pada lahan gambut di Jabireun, Kalimantan Tengah Perlakuan Kontrol Pupuk gambut Pupuk kandang Tanah Mineral CV
Sebelum perlakuan Rerata 30,63a* 35,23a 31,31a 34,20a 13,01
Std dev. 3,55 0,88 5,63 5,72 -
Cadangan karbon (t/ha) 10 bulan setelah perlakuan Rerata Std dev. 41,33a 7,04 44,30a 2,70 36,52a 4,28 41,22a 4,47 13,39 -
Delta selama 10 bulan rerata 10,70a 9,08a 5,15a 6,72a 46,47
Std dev. 7,22 2,31 1,39 4,87 -
*Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT
KESIMPULAN Ameliorasi tanah gambut dengan menggunakan pupuk gambut (Pugam), pupuk kandang (Pukan), tandan buah kosong (takos) sawit dan tanah mineral tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat sekuestrasi karbon oleh tanaman karet dan kelapa sawit, ditunjukkan oleh rata-rata cadangan karbon antar perlakuan yang tidak berbeda nyata. Tingkat penambahan cadangan karbon tanaman kelapa sawit 10 bulan dari aplikasi amelioran berkisar antara 2,1-2,4 t/ha, sedangkan perubahan cadangan karbon tanaman karet sekitar 5-11 t/ha. Meskipun tidak berpengaruh terhadap sekuestrasi karbon oleh tanaman, penambahan amelioran diharapkan bisa berdampak posistif terhadap pengurangan emisi dan peningkatan hasil panen.
DAFTAR PUSTAKA Chimner, R. A., and D. J. Cooper. 2003. Influence of water table position on CO 2 emissions in a Colorado subalpine fen: An in situ microcosm study. Soil Biology and Biogeochemistry. 35: 345–351. Couwenberg, J., R. Dommain,and H. Joosten. 2010. Greenhouse gas fluxes from tropical peatswamps in Southeast Asia. Global Change Biology. 16 (6): 1715-1731. DOI: 10.1111/j.1365-2486.2009.02016.x. Dariah, A, E. Susanti, dan F. Agus. 2012. Basele Survey: cadangan karbon pada Lahan gambut di Lokasi Demplot Penelitian ICCTF (Riau, Jammbi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Gambut Berkelankutan, Bogor 4 Mei 2012 Dariah, A., E. Susanti, Jubaedah, Wahyunto. 2013. Relationship between sampling distance on carbon dioxide emission under oil palm plantation. Jurnal Tanah Tropika. Dariah, A., Jubaedah, Wahyunto, dan J. Pitono. 2013. Pengaruh tinggi muka air saluran drainase, pupuk, dan amelioran terhadap emisi CO2 pada perkebunan kelapa
316
Dampak Ameliorasi Tanah Gambut Terhadap Cadangan Karbon
sawit di lahan gambut. Jurnal Penelitian Tanaman Industri (Industrial Crops Research Journal). 19 (2): 66-71. Hartatik, W., I G.M. Subiksa, dan A. Dariah. 2011. Sifat kimia dan fisika lahan gambut . Hlm. 45-57 dalam Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta. Hooijer, A., M, Silvius, H, Wosten and S. Page. 2006. PEAT CO2, Assessment of CO2 Emission from drained peatland in SE Asia. Wetland International and Delft Hydraulics report Q3943. Hooijer,A, S. Page, J.G. Cadadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wostendan, J. Jauhiainen. . 2010. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7: 1505–1514. Joousten, H. 2007. Peatland and carbon. pp. 99-117 in Paris, F., A. Siri, D. Chapman, H. Joosten, T. Minayeva, and M. Silvius (Eds.). Assesment on Peatland, Biodiversity, and Climate Change. Global Environmental Center. Kuala Lumpur and Wetland International. Wageningen. Mario, M.D. dan S. Sabiham. 2002. Penggunaan tanah mineral yang diperkaya bahan berkadar Fe tinggi sebagai amelioran dalam meningkatkan produksi dan stabilitas lahan gambut. J. Agroteknos 2 (1):35-45. Maswar. 2012. Pengaruh aplikasi pupuk NPK terhadap kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. Hlm.171-178. Minkkinen, K., J. Laine, N.J. Shurpali, P. Makiranta, J. Alm.,and T. Pentilla. 2007. Heterotropic soil respiration in forestry-drained peatland. Boreal Environment Research. 12:115-126. Page, S.E, F. Siegert, F, J.O. Rieley, H.D.V. Boehm, A. Jaya dan S.H. Limin. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fire in Indonesia during 1991. Nature 420:61-65. Sabiham, S. T.B. Prasetyo, dan S. Dohong. Phenoloc acid in Indonesia peat. pp. 289-292 in Rieley and Page (Eds). Biodiversity and Suatainability of Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan UK. Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit. Dalam Husen et al. (Eds.). Hlm. 1-17. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian. Bogor, 4 Mei 2012. Salampak. 1999. Peningkatan produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan pemberian bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Silvola, J., J. Valijoki, AndH. Aaltonen. 1985. Effect of draining and fertilization on soil respiration at three ameliorated peatland site. Acta For. Fem. 191:1-32.
317
Ai Dariah, Erni Susanti
Silvola, J., J. Alm, U. Aklholm, H. Nykanen, and P.J. Martikainen. 1996. CO2 fluxes from peat in boreal mires under varying temperature and moisture condition. J. Ecol. 84:219-228. Subiksa, I G.M. dan I P.G. Wijaya-Adhi. 1998. Perbandingan pengaruh amelioran untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut. Hlm 119-132 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, 10-12 Febriari 1998. Subiksa, I G.M., hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Hlm. 73-88 Dalam Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta Wahyunto dan A. Dariah. 2013. Pengelolaan lahan gambut tergedradasi dan terlantar untuk mendukung ketahanan pangan. Dalam Politik Pengembangan Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim (Eds:Haryono et al.). Hlm. 329-348. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
318
24
PERUBAHAN PENGGUNAAN SEMAK BELUKAR PADA LAHAN GAMBUT DITINJAU DARI ASPEK DINAMIKA CADANGAN KARBON TANAMAN
ABOVE GROUND CARBON STOCK DYNAMICS ASSOCIATED WITH THE USE CHANGE OF PEAT SHRUB Erni Susanti1, Ai Dariah2 1
Balai Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi, Jl. Tentara Pelajar No. 1A PO Box. 830, Bogor 16111. 2
Balai Penelitian Tanah Jl. Tentara Pelajar No 12, Bogor 16114.
Abstrak Optimalisasi lahan semak belukar menjadi lahan pertanian selain bisa meningkatkan keuntungan ekonomi, juga berpeluang untuk meningkatkan sekuestrasi karbon oleh tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dinamika perubahan cadangan karbon akibat perubahan penggunaan semak belukar ke komoditas pertanian (khususnya sawit, karet, dan nenas). Penelitian dilakukan pada lahan gambut di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau; Desa Rasau Jaya I, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, dan Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Pengukuran cadangan karbon pada semak belukar dan nenas dilakukan dengan metode destructive, sedangkan pengukuran cadangan karbon pada tanaman kelapa sawit dan karet dilakukan secara non detructive. Hasil penelitian menunjukkan Cadangan karbon dalam semak belukar sangat bervariasi. Cadangan karbon pada semak belukar di Riau adalah 61,4 ± 34,5 t/ha, sedangkan di Kalimantan Barat 6,0 ± 2,0 t/ha t/ha. Hasil simulasi menunjukkan jika semak belukar di Riau dialihfungsikan menjadi kelapa sawit sampai tahun ke 23 masih terjadi defisit cadangan karbon tanaman sebesar 8 t/ha. Namun jika menjadi perkebunan karet pada tahun ke 25 kehilangan cadangan karbon tanaman sudah bisa diganti, bahkan terjadi surplus 4 t/ha. Pada kondisi semak belukar dengan cadangan rendah seperti di lokasi penelitaian di Kalimantan Barat, perubahan penggunaan lahan ke tanaman nenas tidak menyebabkan terjadinya defisit cadangan karbon tanaman, bahkan terjadi sekuestrasi sebanyak 8 t/ha, sedangkan perubahan semak belukar menjadi sawit dan karet menyebabkan terjadinya sekustrasi lebih dari 40 t/ha selama siklus hidup sawit dan karet.
Abstract Optimization of shrub to agriculture in addition can increase the economic benefits, is also likely to increase carbon sequestration by plants. This research purpose to study the dynamics of changes in carbon stocks due to the change of use of agricultural commodities shrubs (oil palm, rubber, and pineapple). The research was conducted on peatland in the Lubuk Ogong Village, Bandar Seikijang District, Pelalawan, Riau; Rasau Jaya I Village
319
Erni Susanti, Ai Dariah
Rasau Jaya District Kubu Raya, West Kalimantan Province, and ArangArang Village, Kumpeh District, Muaro Jambi, Jambi Province. Measurement of carbon stocks of pineapple and shrubs was conducted by destructive method, while the measurement of carbon stocks on plant oil palm and rubber by non destructive method. The results showed carbon stocks vary widely in the shrub. Carbon stocks in the shrub in Riau was 61.4 ± 34.5 t / ha, while in West Kalimantan 6.0 ± 2.0 t / ha t / ha. Simulation results show if the shrubs in Riau converted into palm oil up to 23 years is still a deficit of plant carbon stocks of 8 t / ha. But if it becomes a rubber plantation in the year to 25 loss of carbon stocks of plants may be closed, even the surplus of 4 t / ha. In conditions of low carbon stock of shrubs such as in research in West Kalimantan, the changes of shrub to pineapple plants did not result carbon stocks deficit, even sequestration occurs as much as 8 t / ha, and if it changes into palm and rubber plantation cause sequestration more than 40 t / ha during the life cycle of oil palm and rubber.
PENDAHULUAN Salah satu penyebab perubahan iklim adalah meningkatnya gas rumah kaca (GRK), akibat aktivitas manusia yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, seperti : penggunaan bahan bakar fosil yang terus meningkat, penebangan hutan yang menyebabkan berkurangnya tanaman yang dapat menyerap CO2; peningkatan laju dekomposisi dan pembakaran bahan organik; penggunaan pupuk urea yang menyebabkan emisi N2O, emisi dari kotoran dan sendawa ternak yang menyumbang CH4 ke atmosfer, dan peningkatan pembukaan dan drainase lahan gambut yang tidak menurut aturan . Pengurangan emisi GRK di atmosfer ditempuh melalui berbagai cara mulai dari pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, penambatan karbon ke dalam jaringan tanaman. Suhendang (2002) dalam Roesyane dan Saharjo (2011) memperkirakan bahwa hutan Indonesia yang luasnya sekitar 120,4 juta hektar mampu menyerap karbon dan menyimpan karbon sekitar 15,05 milyar ton karbon. Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi hutan tinggi baik hutan alam maupun hutan tanaman memiliki kemampuan yang besar untuk menyerap atau menyimpan karbon. Oleh karena itu alih fungsi lahan hutan berpotensi menurunkan simpanan karbon, karena cadangan karbon dalam tanaman non hutan relatif lebih rendah . Lahan gambut juga merupakan penyimpan karbon terestrial terbesar di Indonesia cadangan C tanah gambut Indonesia berkisar antara 27-36 Gt (Agus et al. 2013). Karbon yang tersimpan di dalamnya sangat mudah teremisi menjadi CO 2 apabila ekosistem hutan gambut diganggu. Gangguan utama terhadap simpanan karbon pada hutan gambut adalah bila hutannya ditebang dan didrainase (Dariah et al., 2013). Akan tetapi pembukaan dan drainase hutan gambut sulit ditiadakan seiring dengan semakin berkurangnya ketersediaan
320
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
sumberdaya lahan bertanah mineral untuk pengembangan perekonomian. Terlebih pada era di mana belum adanya komitmen berkekuatan hukum (legally binding commitment) negara industri untuk memberikan kompensasi kepada negara yang menyediakan jasa berupa penurunan emisi GRK. Namun terlepas dari ada atau tidaknya pasar karbon (kompensasi terhadap penyedia jasa penurunan emisi), Pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk berperan dalam mitigasi emisi gas rumah kaca, salah satunya dengan menerbitkan Inpres No. 06/2013 tentang jeda atau penundaan ijin baru pembukaan hutan alam/primer dan lahan gambut, serta penyempurnaan tata kelola hutan alam/primer dan lahan gambut. Oleh karena itu, selama Inpres ini berlaku pemanfaatan lahan gambut saat ini diprioritaskan pada optimalisasi lahan gambut yang telah dibuka, salah satunya dengan memanfaatkan lahan gambut terlantar, yaitu gambut yang telah dibuka, namun tidak diusahakan untuk kegiatan produktif dan umumnya hanya ditumbuhi semak belukar. Hasil identifikasi yang dilakukan Wahyunto et al., (2013) menunjukkan luas lahan gambut yang saat ini dalam kondisi terlantar/ditumbuhi semak belukar adalah sekitar 3,74 juta hektar, sekitar 3 juta hektar di antaranya potensial untuk pertanian. Perubahan lahan belukar menjadi lahan pertanian pada lahan gambut, kemungkinan tidak akan merubah tingkat emisi akibat dekomposisi gambut secara signifikan, karena lahan belukar umumnya juga telah dilakukan drainase, namun demikian disamping manfaat ekonomi yang menjadi lebih besar, peluang penurunan emisi masih bisa terjadi jika perubahan lahan terjadi ke arah penggunaan dengan cadangan karbon tanaman lebih tinggi dibanding belukar. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dinamika perubahan cadangan karbon akibat perubahan penggunaan semak belukar ke komoditas pertanian (khususnya sawit, karet, dan nenas).
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Pengukuran cadangan karbon pada tanaman belukar dilakukan di dua lokasi yaitu di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dengan letak koodinat 00020’59,3’’-00021’05,8’’ LS dan 101041’15,6’’-101041’22,9’’ BT dan Desa Rasau Jaya I Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat dengan letak geografi UTM 9973035-9973500 Selatan dan 323100-323425 Timur. Berdasarkan hasil pengamatan lapang, lahan belukar di lokasi penelitian Riau berubah ke arah penggunaan sawit, oleh karena itu pada lasekap yang sama, dilakukan pula pengukuran cadangan karbon pada tanaman kelapa sawit. Sebagai pembanding dilakukan pula pengukuran cadangan sawit di Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi terletak antara 1040’40.79’’-1041’00.85’’ LS dan 97048’48.56’’97049’33.63’’BT.
321
Erni Susanti, Ai Dariah
Di Kalimantan Barat, perubahan penggunaan belukar lebih mengarah ke tanaman semusim yaitu tanaman nenas, tanaman pangan, dan sayuran. Sehingga pada lansekap yang sama dilakukan pula pengukuran cadangan karbon di lokasi ini. Dalam menghitung dinamika perubahan cadangan karbon digunakan juga hasil pengukuran cadangan karbon di lokasi lain, karena di lokasi sulit untuk menemukan hamparan kelapa sawit dengan umur yang berbeda. Karet merupakan tanaman pertanian lainnya yang banyak diusakahan di lahan gambut, oleh karena itu, dilakukan pula pengukuran cadangan karbon tanaman karet pada lahan gambut di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dengan letak koordinat 2030’30’’LS dan 114009’30’’ BT. Metode Pengukuran cadangan karbon tanaman Tanaman semak belukar Pengukuran cadangan karbon pada semak belukar dilakukan secara destructive (dirusak) dan non destructive. Pengukuran cadangan karbon semak belukar dengan diameter > 5 cm dilakukan secara non destruktif, sedangkan pada tanaman dengan diameter <5 cm (termasuk tanaman bawah) dilakukan secara destructive. Pada lahan semak belukar dilakukan pula pengukuran cadangan karbon dalam nekromas dan serasah. Teknik pengukuran cadangan karbon di Riau dilakukan dengan cara membuat plot utama berukuran 5 x 40 m sebanyak 4 ulangan. Pada masing-masing plot utama dibuat 6 buah subplot berukuran 1 m x 1m untuk pengambilan sample tanaman bawah dan serasah. Pada plot utama dilakukan pengukuran diameter setinggi dada pada semua tumbuhan hidup atau pohon berukuran diameter > 5 cm. Estimasi berat kering tanaman dilakukan dengan menggunakan persamaan alometri untuk tanaman bercabang dan tidak bercabang. Persamaan alometri untuk tanaman bercabang adalah sebagai berikut (Kettering, 2001): BK=0,11*ρD2,62 Dimana BK=berat kering (kg/pohon), ρ = berat jenis kayu (g/cm3), D= diameter (cm) Sedangkan persamaan alometri untuk tanaman yang tidak bercabang adalah sebagai berikut (Hairiah 1999): BK=πρ HD2/40 Dimana BK=berat kering (kg/pohon), ρ = berat jenis kayu (g/cm3), D= diameter (cm), H=tinggi pohon (cm)
322
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
Pengukuran tanaman bawah dan serasah pada subplot berukuran 1 m x 1 m dilakukan secara destruktif, seluruh tanaman ditimbang, dan diambil contohnya secara komposit untuk analisis kadar air. Nekromas yang diukur pada plot utama adalah yang berdiameter > 30 cm dan panjang > 0.5 m, sedangan nekromas kayu yang diukur pada subplot adalah nekromas yang berdiamneter 5-30 cm . Nekromas dengan diameter < 5 cm dimasukan dalam kelompok serasah. Konversi berat kering semak belukar/serasah ke hektar dilakukan dengan menggunakan persamaan: Cadangan karbon tanaman= berat kering tanaman x 0.46, (Hairiah, 2007). Tanaman kelapa sawit Pengukuran cadangan karbon pada kelapa sawit dilakukan dengan metode non destructive (tanpa pengrusakan), parameter yang diukur untuk menghitung cadangan karbon adalah tinggi tanaman kelapa sawit yang diukur dari pangkal pohon bagian bawah (permukaan lahan sampai ujung pohon bagian atas, sejajar dengan tandan buah paling bawah). Pengukuran cadangan karbon tanaman sawit di Riau dilakukan pada 4 blok kebun tanaman sawit, pada masing-masing blok dilakukan pengukuran pada 32 tanaman sample, sehingga jumlah tanaman yang diukur sebanyak 128 pohon. Pengukuran cadangan karbon tanaman sawit di Jambi dilakukan pada 8 blok tanaman sawit (karena letaknya lebih terpencar) pada masing-masing blok diukur 32 tanaman sample sehingga total tanaman yang dikur adalah 256 pohon. Berat kering tanaman kelapa sawit diduga dengan menggunakan persamaan allometrik yang dikembangkan oleh ICRAF, sebagai hasil kegiatan carbon footprint on Indonesian oil palm production, dengan persamaan sebagai berikut : BK = (0.0976*H)+0.0706, dimana: BK=berat kering tanaman dalam Mg/pohon, H=tinggi pohon dalam m. Berat kering biomas per hektar tanaman kelapa sawit dihitung berdasarkan jumlah populasi tanaman kelapa sawit per ha dikalikan berat kering biomas per pohon. Jarak tanaman kelapa sawit di lokasi penelitian di Riau adalah 8 m x 9 m, sehingga populasi tanaman sawit per ha adalah 137 pohon. Jarak tanam kelapa sawit di lokasi penelitian di Jambi adalah 9 m x 9 m, sehingga jumlah populasi per ha adalah 123 pohon. Cadangan karbon tanaman sawit juga diperkirakan 46 persen dari berat keringnya. Tanaman karet Pengukuran cadangan karbon tanaman karet juga menggunakan metode non destructive, yaitu dengan mengukur lingkar batang setinggi dada (pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah). Pengukuran dilakukan pada 4 blok pertanaman karet. Jumlah tanaman sample yang diukur pada masing-masing blok adalah 40 tanaman yang dipilih secara acak, sehingga total jumlah tanaman sample yang diukur adalah 160 pohon. Berat
323
Erni Susanti, Ai Dariah
kering tanaman karet diduga dari persamaan allometrik yang khusus dikembangkan untuk pohon bercabang (Ketterings, 2001), yaitu: BK= 0.11ρD2.62 , Dimana: BK=;berat kering (kg/pohon); ρ= berat jenis kayu (g/cm3); dan D=diameter pohon dalam cm. Berat kering biomas per hektar tanaman karet dihitung berdasarkan jumlah populasi tanaman karet per ha dikalikan berat kering biomas per pohon. Jarak tanaman karet di lokasi penelitian di Jabiren Kalimantan Tengah adalah 3 m x 5 m, sehingga populasi tanaman karet per ha adalah 666 pohon. Cadangan karbon tanaman karet juga diperkirakan 46 persen dari berat keringnya. Tanaman Nenas Pengukuran cadangan karbon tanaman nenas dilakukan dengan metode destructive, yaitu dengan langsung mengambil 5 contoh tanaman dalam satu hamparan. Bagian tanaman dipisahkan bagian mahkota, buah dan daun, masing-masing ditimbang berat basahnya dan kemudian diambil contohnya secara komposit untuk analisis kadar air. Jarak tanaman nenas dibawah tegakan karet di lokasi penelitian di Jabiren-Kalteng adalah 8 m x 9 m, sehingga populasi nenas ada 2000 pohon. Konversikan berat kering nenas ke hektar dilakukan dengan menggunakan persamaan : cadangan karbon tanaman= berat kering tanaman x 0.46 (Hairiah, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN Cadangan Karbon Pada Tanaman Belukar Definisi semak belukar menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah tumbuhan perdu yg mempunyai kayu-kayuan kecil dan rendah. Pengertian lain dari semak belukar adalah kebun atau penggunaan lain yg sudah menjadi hutan kecil, karena beberapa lama ditinggalkan; tanah yg pernah diusahakan kemudian berubah menjadi hutan kembali. Pengukuran cadangan karbon pada penelitian ini dilakukan di 2 lokasi dengan kondisi semak belukar yang berbeda. Pada semak belukar di Riau banyak ditemui pohon dengan diameter lebih dari 5 cm sedangkan pada semak belukar di Kalimantan Barat didominasi tanaman bawah khususnya tanaman paku (Gambar 1). Semak belukar di Riau sudah lama tidak diusahan, berdasarkan wawancara dengan pemilik lahan, areal ini sudah tidak diusahakan lebih dari 10 tahun. Sementara semak belukar di Kalimatan Barat, sebelumnya diusahakan untuk tanaman semusim, jika akan diusahakan untuk tanaman semusim biasanya semak belukar dibakar dengan tujuan untuk mempercepat penyiapan lahan.
324
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
Gambar 1. Semak belukar di Riau (kiri) dan semak belukar di Kalbar (kanan) Hasil pengukuran cadangan karbon pada semak belukar Riau menunjukkan ratarata cadangan karbon di lokasi ini adalah 61,4±34,5 t/ha (Tabel 1). Kondisi cadangan karbon di lokasi ini sangat beragam, ditunjukkan nilai standar deviasi yang sangat tinggi, sehingga kisaran cadangan karbon sangat lebar yaitu dari 20 sampai dengan lebih dari 100 t/ha. Tingkat variasi cadangan karbon utamanya disebabkan oleh perbedaan cadangan karbon dalam nekromas berkayu yang sangat beragam antar ulangan plot pengamatan, yakni berkisar antara 0,2-74,5 t/ha. Penebangan pohon di lokasi penelitian kemungkinan belum lama terjadi, ditunjukkan oleh persen bahan organik yang tertinggal masih tergolong tinggi (persen sisa pelapukan 94.8 + 7.7) dan nekromas masih dalam kondisi relatif masih segar. Tabel 1. Cadangan karbon pada semak belukar di Riau dan Kalimantan Barat (Kalbar) Cadangan karbon (t/ha) Standar dev. Maksimum
Lokasi/Bagian Simpanan karbon
Rata-rata
Belukar Riau Pohon Tanaman bawah Nekromas Serasah Total
21.5 2.8 31.9 2.8 61.4
2.3 2.6 31.0 2.5 34.5
24.5 6.5 74.5 5.1 110.6
19.0 0.4 0.2 0.1 19.7
Belukar Kalbar Pohon Tanaman bawah Nekromas Serasah Total
3.7 2.3 6.0
1.4
5.3 3.0 8.3
2.9 1.8 4.7
0.6 2.0
Minimum
Posisi semak belukar di Kalimantan Barat berada disekeling lahan usahatani tanaman semusim. Kebiasaan petani untuk memulai usaha taninya adalah dengan melakukan pembakaran, menyebabkan nekromas berkayu tidak ditemukan lagi di lokasi
325
Erni Susanti, Ai Dariah
ini. Hasil pengukuran pada 4 sub plot pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata cadangan karbon dalam belukar di Kalimatan Barat adalah 6,0 ± 2,0 t/ha. Terdiri dari tanaman bawah dengan rata-rata cadangan karbon 3,7 ± 1,4 t/ha, dan serasan dengan cadangan karbon 2,3 ± 0,6 t/ha. Berdasarkan hasil pengukuran ini menunjukkan cadangan karbon pada lokasi penellitian di Riau dan di Kalimantan Barat sangat berbeda. Oleh karena itu dalam menghitung dampak dinamika perubahan penggunaan lahan terhadap cadangan karbon tanaman, keragaman ini merupakan faktor yang perlu diperhatikan. Cadangan Karbon Tanaman Sawit dan Karet Hasil pengukuran pada empat blok pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata cadangan karbon pada tanaman kelapa sawit umur 5-6 tahun di Jambi adalah sekitar 10,7 ± 0,4 t/ha, sedangkan rata-rata cadangan karbon kelapa sawit dengan umur yang sama di lokasi penelitian di Riau 9,5 ± 0,2 t/ha (Tabel 2). Sebagai pembanding hasil pengukuran cadangan karbon pada kelapa sawit umur 5 tahun yang dilakukan di Bengkalis adalah sekitar 9,6 t/ha (Gambar 1), dan hasil penelitian Yulianti (2009) dengan menggunakan metode destructive di PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara menunjukkan bahwa cadangan karbon tanaman kelapa sawit di lahan gambut pada usia 9 tahun adalah sekitar 11.9 t /ha. Berdasarkan hasil pengukuran pada berbagai umur tanaman kelapa sawit di Bengkalis (Gambar 2), sampai dengan umur 23 tahun, cadangan karbon pada tanaman kelapa sawit masih mengalami penambahan yaitu rata-rata menjadi 53 t/ha (Tabel 2). Rata-rata umur siklus tanaman kelapa sawit adalah 25 tahun. Kemungkinan sampai akhir siklus tanaman, cadangan C tanaman masih bertambah, namun kelapa sawit pada umur >25 tahun umumnya produktivitasnya sudah jauh menurun, sehingga idealnya sudah dilakukan replanting (penanaman kembali). Dalam menghitung emisi akibat perubahan penggunaan lahan, biasanya nilai cadangan pada time average digunakan sebagai faktor emisi. Saat ini nilai faktor emisi cadangan karbon tanaman kelapa sawit menggunakan nilai untuk perkebunan yaitu 63 t/ha (Bappenas, 2013), nilai ini didasarkan pada nilai yang dikemukan oleh Palm et al. (1999) untuk perkebunan karet (89 t/ha); Rogi (2002) untuk kelapa sawit (60t/ha); van Noordwijk (2010) kelapa sawit (40 t/ha). Untuk beberapa tujuan misal dalam evaluasi RAD (rencana aksi daerah) penurunan emisi, seringkali diperlukan per tahapan waktu atau per tahun. Sehingga diperlukan data sekuestrasi tanaman per tahapan waktu. Sehingga dinamika emisi dan sekuestrasi karbon tanaman bisa digambarkan per tahapan waktu.
326
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
Tabel 2.
Cadangan karbon tanaman sawit umur 5-6 tahun di Jambi dan Riau, serta tanaman karet umur 7 tahun di Kalimantan Tengah.
Lokasi/tanaman Jambi / Sawit Riau / Sawit Kalteng / Karet
Rata-rata 10.7 9.5 32.9
Cadangan karbon (t/ha) Standar deviasi Maksimum 0,4 0,2 2,3
11,4 9,7 35,2
Minimum 10,2 9,2 30,6
Gambar 2. Cadangan karbon pada berbagai tahapan umur kelapa sawit di Bengkalis, Riau Sumber: Susanti (unpublish) Hasil pengukuran cadangan karbon di Jambi menunjukkan rata-rata cadangan karbon tanaman kelapa sawit adalah 10,7 ± 0,4 t/ha. Pada umur yang relatif sama, ratarata cadangan karbon tanaman kelapa sawit di Jambi lebih tinggi dibanding Riau, padahal jumlah populasi tanaman sawit di Riau (137 pohon/ha) lebih tinggi dibanding di Jambi (123 pohon/ha). Faktor kesuburan tanah kemungkinan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Hairiah (2007) menyatakan bahwa kesuburan tanah merupakan faktor yang berpengaruh terhadap cadangan karbon dalam tanaman. Jarak tanam yang terlalu rapat juga bisa menimbulkan persaingan hara dan cahaya yang terlalu tinggi, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi tertekan. Pada umur yang relatif sama yaitu sekitar 7 tahun rata-rata cadangan karbon tanaman karet adalah 32.9 ± 2,3 t/ha. Berdasarkan hasil pengukuran ini nampak bahwa karet dapat menyerap atau mengsekuestrasi karbon relatif lebih tinggi dibanding sawit. Hasil penelitian Rasau Jaya (Susanti et al, 2010) menunjukkan cadangan karbon tanaman karet di lahan gambut pada berbagai umur tanaman (Tabel 3). Sampai dengan ukur 25 tahun cadangan karbon pada tanaman karet bisa mencapai 69 t/ha. Nilai time average cadangan karbon yang dikemukakan oleh Palm et al. (1999) adalah 89 t/ha.
327
Erni Susanti, Ai Dariah
Tabel 3. Cadangan karbon pada beberapa umur karet di tanah gambut Rasau Jaya dan Sungai Ambawang Kalimantan Barat Umur Karet (tahun) 3 8
Cadangan karbon (ton C/ha) 8.7 55.5
18 25
52,9 65.8
Sumber: BBSDLP (unpublish)
Cadangan Karbon Tanaman Nenas Cadangan karbon pada tanaman nenas yang tumbuh diantara tanaman karet dengan rata-rata populasi per hektar 2.000 pohon adalah 0,35 ton/ha. Hasil pengukuran yang dilakukan di lokasi yang relatif dekat yaitu Rasau Jaya menunjukkan cadangan karbon tanaman nenas yang diusahakan secara monokultur pada kebun nenas rakyat umur 1-5 tahun 4.8 – 6.7 t/ha, sedangkan pada perkebunan nenas besar (perusahaan) berkisar antara 4.8-14.4 t/ha (Tabel 4). Aspek pengelolaan dalam hal ini sangat menentukan besarnya cadangan karbon pada tanaman nenas. Pemupukan yang dilakukan perkebunan besar relatif intensif, sehingga pertumbuhan nenas relatif lebih cepat, sehingga berdampak terhadap cadangan karbon tanaman. Perkembangan populasi pada perkebunan nenas rakyat dan perusahaan juga relatif berbeda, populasi nenas pada perkebunan rakyat tahun pertama, kedua, ketiga sampai keenam berturut-turut adalah 10.000, 12.000, 14.000, 14,000 dan 14.000 pohon per hektar, sedangkan pada perkebunan perusahaan adalah 10.000, 20.000, 30.000, 30.000 dan 30.000 pohon/ha Tabel 4. Cadangan karbon tanaman nenas pada beberapa tingkatan umur tanaman Jenis pengusahaan
Umur Nenas (tahun)
Rakyat
Perkebunan
0
0
0
1
4.8
4.8
2
5.8
9.6
3
6.7
14.4
4
6.7
14.4
5
6.7
14.4
Sumber: BBSDLP (unpublish)
Perubahan cadangan karbon akibat perubahan penggunaan lahan Pemanfaatan lahan gambut terlantar seperti lahan semak belukar menjadi lahan pertanian kemungkinan tidak terlalu signifikan dalam menurunkan emisi. Namun demikian berpeluang akan lebih menguntungkan secara ekonomi (Agus, 2012).
328
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
Pengurangan emisi berpeluang terjadi jika perubahan penggunaan lahan mengarah ke penggunaan dengan cadangan karbon yang relatif tinggi. Namun demikian, hasil penelitian yang dilakukan di Kalbar dan Riau menunjukkan bahwa variasi cadangan C tanaman belukar sangat bervariasi. Perbedaan rata-rata cadangan karbon semak belukar di Riau dan Kalbar tinggi, yaitu : 61.4 t/ha di Riau dan 6.0 t/ha di Kalbar. Cadangan karbon dalam lokasi yang sama yaitu di Riau juga sangat bervariasi. Oleh karena itu dampak perubahan penggunaan lahan belukar menjadi lahan pertanian misalnya sawit, karet, atau tanaman semusim juga akan sangan bervariasi. Gambar 2 mengilustrasikan dinamika cadangan karbon dalam tanaman jika belukar berubah menjadi sawit. Oleh karena itu peluang terjadinya net emisi positif atau negatif khususnya dari aspek cadangan karbon tanaman diantaranya sangat ditentukan kondisi semak belukar sebelum dialihfungsikan menjadi lahan pertanian. Gambar 3 menunjukkan hasil simulasi dinamika cadangan karbon tanaman jika semak belukar dengan dua kondisi yang berbeda berubah menjadi .lahan sawit Pada tahun pertama, penebangan semak belukar menyebabkan hilanganya cadangan karbon sebesar 61 t/ha. Diasumsikan seluruh biomasa hilang, meskipun biomas umumnya hilang secara bertahap, kecuali jika dilakukan pembakaran lahan, kemungkinan sebagian besar biomas hilang teremisi dalam waktu relatif singkat. Selanjutnya secara bertahap sekuestrasi mulai terjadi, sampai dengan tahun ke 23 masih terjadi selisih antara emisi dan sekuestrasi sebanyak kurang dari 10 t/ha. Sementara jika perubahan terjadi dari kondisi belukar seperti di Kalimantan Barat, maka sekuestrasi akan terjadi dalam waktu yang lebih cepat, pada tahun ke 10 terjadi sekuestrasi sekitar 10 t/ha, dan pada tahun ke 23, terjadi sekuestrasi sebanyak 47 t/ha (Gambar 3).
Gambar 3. Perubahan cadangan karbon jika vegetasi semak belukar berubah ke tanaman sawit
329
Erni Susanti, Ai Dariah
Simulasi dinamika perubahan cadangan karbon jika lahan semak belukar dimanfaatkan untuk tanaman karet disajikan pada Gambat 4. Untuk kondisi semak belukar seperti lokasi penelitian di Riau yang cadangan karbonnya relatif tinggi, pada tahun ke 25 telah terjadi sekuestrasi, artinya tanaman karet sudah mampu mengembalikan cadangan karbon yang hilang akibat berubahnya semak belukar ke perkebunan karet. Sementara jika perubahan terjadi pada semak belukar dengan kondisi seperti di Kalimantan Barat, maka sejak tahun ke tiga sekuestrasi karbon oleh tanaman karet sudah bisa menutup kehilangan karbon dari belukar, dan pada tahun ke 8 sudah terjadi surplus sebanyak 49.5 t/ha, selanjutnya pada tahun ke 25 terjadi net sekustrasi sekitar 60 t/ha.
Gambar 4. Perubahan cadangan karbon jika vegetasi semak belukar berubah ke tanaman karet Simulasi dinamika cadangan karbon tanaman jika semak belukar berubah menjadi usahatani nenas ditunjukkan Gambar 5. Jika kondisi cadangan karbon dalam biomas relatif tinggi seperti pada lokasi penelitian di Riau, maka perubahan penggunaan lahan menyebabkan terjadinya defisit cadangan karbon tanaman. Namun jika perubahan penggunaan lahan dari semak menjadi nenas, maka terjadi penambatan/sekuestrasi karbo
Gambar 5. Perubahan cadangan karbon jika vegetasi semak belukar berubah ke tanaman nenas
330
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut
KESIMPULAN Cadangan karbon dalam semak belukar sangat bervariasi. Cadangan karbon semak belukar pada lokasi penelitian di Riau adalah 61,4 ± 34,5 t/ha, sedangkan di Kalimantan Barat 6,0 ± 2,0 t/ha t/ha. Hasil simulasi menunjukkan jika semak belukar dengan cadangan karbon seperti di Riau dialihfungsikan menjadi kelapa sawit, maka sampai tahun ke 23 masih terjadi defisit cadangan karbon tanaman sebesar 8 t/ha. Namun jika menjadi perkebunan karet pada tahun ke 25 kehilangan cadangan karbon tanaman sudah bisa ditutup, bahkan terjadi surplus sebesar 4 t/ha. Pada kondisi semak belukar dengan cadangan rendah seperti di lokasi penelitaian di Kalimantan Barat, perubahan penggunaan lahan ke tanaman nenas tidak menyebabkan terjadinya defisit cadangan karbon tanaman, bahkan masis mampu menambat karbon sebesar 8 t/ha, dan jika perubahan semak belukar menjadi sawit dan karet menyebabkan terjadinya sekustrasi yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Agus F, I.E. Henson, B.H. Sahardjo, N. Harris, M. van Noordwijk, T.J. Killeen. 2013. Review of emission factors for assessment of CO 2 emission from land use change to oil palm in Southeast Asia. Roundtable on sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur, Malaysia. Dariah, A, E. Susanti, dan F. Agus. 2012. Basele Survey: cadangan karbon pada Lahan gambut di Lokasi Demplot Penelitian ICCTF (Riau, Jammbi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Gambut Berkelankutan, Bogor 4 Mei 2012 Dariah, A., S. Marwanto, and F. Agus. 2013. Peat CO2 emission from oil palm plantations, separating root respirations. Mitigation and Adaptation Strategic for Global Change. Doi. 10. 1007/S110 21/013/95915/6. Hairiah, K. dan S. Rahayu.2007. Petunjuk praktis pengukuran “karbon tersimpan” di berbagai macam penggunaan lahan. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, Bogor, Indonesia. 77 p. ICRAF. Carbon Footprint of Indonesian Palm Oil Production: a Pilot Study (leaflet) IPCC. 2006. IPCC Guideline for National Gas Inventories. IPCC. Genewa. Ketterings, Q.M., Coe,R., Van Noordwijk,M., Ambagau, Y. And Palm, C. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in ixed secondary forest. Forest Ecology and Management146: 199-209 Roesyane, Saharjo. 2011. Potensi Simpanan Karbon Pada Hutan Tanaman Mangium (Acacia mangium WILLD.) di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat
331
Erni Susanti, Ai Dariah
dan Banten. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol 16, No 3 (2011). LPPM Intitut Pertanian Bogor Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit. Dalam Husen et al. (Eds.). HLm. 1-17 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian. Bogor, 4 Mei 2012. Susanti, E. Wahyunto, A. Dariah, J. Pitono. 2010. Cadangan karbon tanaman kelapa sawit pada berbagai umur. dalam Inventarisasi dan Identifikasi Sumberdaya Lahan Gambut dan Sistem Pengelolaan Sawit Rakyat serta Alternatif Teknologi Untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas Lahan >15% dan Penurunan Emisi GRK >15%. laporan Konsorsium Perkebunan, 2010 (un-publish). Yulianti, N. 2009. Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit Ptpn Iv Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Tesis Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Tanah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Wahyunto dan A. Dariah. 2013. Pengelolaan lahan gambut tergedradasi dan terlantar untuk mendukung ketahanan pangan. Dalam Politik Pengembangan Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim (Eds:Haryono et al.). Hlm. 329-348. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
332
25
CADANGAN KARBON DAN LAJU SUBSIDEN PADA BEBERAPA JENIS PENGGUNAAN LAHAN DAN LOKASI LAHAN GAMBUT TROPIKA INDONESIA
PEAT CARBON STOCK AND SUBSIDENCE RATE AT DIFFERENT LANDUSE TYPES AND LOCATIONS OF INDONESIAN TROPICAL PEATLANDS Maswar, Fahmuddin Agus Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Cimanggu, Bogor 16114.
Abstrak, Terjadinya kehilangan simpanan karbon gambut dalam bentuk emisi GRK dan subsidence pada lahan gambut, merupakan dua dari sekian banyak isu-isu negatif terkait dengan lingkungan yang terus berkembang di Indonesia pada saat ini. Satu rangkaian kegiatan penelitian yang bertujuan untuk mengamati cadangan karbon yang tersimpan pada material gambut dan memantau penurunan permukaan gambut telah dilaksanakan pada 5 (lima) provinsi yang memiliki lahan gambut luas yaitu: 1) Kalimantan Barat, dengan jenis penggunaan lahan budidaya tanaman semusim; 2) Kalimantan Tengah dengan jenis penggunaan lahan karet + nenas; 3) Riau dengan jenis penggunaan lahan kelapa sawit + nenas; 4) Jambi dengan jenis penggunaan lahan kelapa sawit + nenas; dan 5) Papua, jenis penggunaan lahan hutan sekunder dengan vegetasi dominan sagu. Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di lingkup Kementrian Pertanian, yang telah dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai dengan bulan Agustus 2014. Simpanan karbon diestimasi dengan mengamati bulk density (BD), ketebalan gambut dan kandungan karbon (%C) material gambut. Penurunan permukaan tanah diamati dengan cara memasang stik/tiang permanen dari pipa besi ukuran 2 inchi yang dibenamkan sampai menembus lapisan tanah mineral.Hasil penelitian menemukan bahwa cadangan karbon pada ke 5 lokasi yang diamati bervariasi yaitu 338; 1451; 2055; 2930; dan 3614 ton C/ha masingmasing untuk provinsi Papua,Jambi, Kalimantan Barat, Riau dan Kalimantan Tengah secara berurutan. Dari hasil uji korelasi dan regresi menemukan bahwa besarnya karbon yang tersimpan pada lahan gambut berkaitan erat dengan ketebalan gambutnya (R2 = 0,89) dengan persamaan regresi Y (=cadangan karbon t/ha) = 5,6 (ketebalan gambut dalam cm) – 38,6. Hasil penelitian juga menemukan bahwa ada korelasi dan hubungan yang sangat erat antara BD dengan kerapatan karbon, dengan persamaan regresi: Y(=kerapatan karbon kg/m3) = 398,48 BD + 6,42; dan R2 = 0,80. Rata-rata kecepatan penurunan permukaan tanah (subsidence rate) selama periode satu tahun adalah 0; 2,7; 3,3; 3,8 dan 5,6 cm/thmasing-masing pada lokasi di Provinsi Papua, Jambi, Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat secara berurutan. Terlihat jelas bahwa adanya usikan/gangguan terhadap kondisi alami lahan gambut seperti konversi hutan gambut dan pembuatan drainase berdampak terhadap terjadinya degradasi yang dicirikan dengan terjadinya penurunan permukaan gambut.
333
Maswar , Fahmuddin Agus
Abstract, The loss of peat carbon stocks in the form of GHG emissions, and peat subsidence are two negative environmental issues facing Indonesia at this time. This study was conducted to quantify the below ground carbon stock and subsidence rate at several landuse type of Indonesian peatlands. The study has been carried out on five provinces that have large areas of peatlands, namely: 1) West Kalimantan (land use: annual crops); 2) Central Kalimantan (land use: rubber + pineapple); 3) Riau ( land use: oil palm + pineapple); 4) Jambi (land use: oil palm + pineapple); and 5) Papua (land use: secondary forest with sago as the dominant vegetation). This study is part of the Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) activity of the Indonesian Ministry of Agriculture, which was conducted in April 2013 until August 2014. The below ground peatlands carbon stock was estimated by mesuring the bulk density (BD), peat thickness, and carbon content (% C) of peat material. The measurement of peat subsidence was done by installing a vertical hollow iron poles of 2 inch diameter embedded to penetrate the mineral soil layer. The mean below ground carbon stocks in Papua, Jambi, West Kalimantan, Riau and Central Kalimantan Province were 338; 1451; 2055; 2930; and 3614 tonnes C/ha respectively. Correlation and regression analyses showed that the amount of below ground carbon stock closely related to the peat thickness (R2 = 0.89), with a regression equation: Y (carbon stocks t / ha) = 5.6 * (peat thickness in cm) - 38.6. The BD is closely related to carbon density (R2 = 0.80), with the regression equation: Y (carbon density kg/m3) = 398.48 * BD + 6.42. The mean subsidence rate in Papua, Jambi, Riau, Central Kalimantan and West Kalimantan Province over one year period were 0; 2.7; 3.3; 3.8 and 5.6 cm/yr respectively. It is clear that undrained peatlands such as that under sago plantation in Papua did not subside. PENDAHULUAN Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Joosten dan Clarke, 2002; Global Peatlands Initiative, 2002)), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer (Alex dan Joosten, 2008; Joosten, 2009). Khusus untuk Indonesia yang mewakili daerah gambut tropika, memiliki luas lahan gambut sekitar 14,9 juta hektar (Ritung et al., 2011), dan berdasarkan data kondisi tahun 2008 gambut Indonesia menyimpan cadangan karbon peringkat tiga terbesar di dunia (setelah Kanada dan Rusia) yakni sekitar 54.016 juta ton (Joosten, 2009). Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% berasal dari vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob atau tergenang air, terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan bahkan sampai ribuan tahun.Landva et al., 1983memberikan kriteria kadar abu (bahan mineral) tanah gambut (peat) adalah < 20%, sedangkan kadar abu antara >20% - < 50% dikelompokan sebagai (peaty organic soils).
334
Cadangan Karbon dan Laju Subsiden pada Beberapa Jenis Penggunaan Lahan
Pada kondisi alami, lahan gambut merupakan penyimpan (net sink) dari karbon. Akan tetapi, apabila lahan gambut dibuka/dikonversi dan/atau didrainase, sebagian besar karbon yang ada pada material gambut dan biomassa tanaman akan hilang atau teroksidasi menjadi CO2, terutama apabila pembukaan lahan disertai dengan pembakaran. Lahan gambut apabila di drainase secara berlebihan akan menjadi kering dan tidak akan dapat menyerap air kembali yang disebut sebagai irreversible drying. Perubahan sifat gambut menjadi kering tidak balik ini disebabkan oleh karena gambut yang awalnya suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik), akibatnya kemampuan lahan gambut menyerap air jadi menurun, hal ini menyebabkan volume gambut menjadi menyusut dan permukaannya menjadi menurun (subsidence).Terjadinya emisi GRK dan subsidence pada lahan gambut, merupakan dua dari sekian banyak isu-isu negatif terkait dengan lingkungan yang terus berkembang di Indonesia pada saat ini. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi cadangan karbon yang tersimpan pada tanah (below ground carbon stock) gambut pada beberapa lokasi gambut dominan di Indonesia, dan sekaligus mengamatikecepatan penurunan permukaan gambut (subsidence) pada lokasi tersebut. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di lingkup Kementrian Pertanian, yang berlokasi di 5 Provinsi yang mempunyai lahan gambut yaitu: 1) Desa Rasau Jaya II, Kecamatan rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat; 2) Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah; 3) Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau; 4) di Desa Arang-arang, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi; dan 5) di Kampung Naena Muktipura, Distrik Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Koordinat geografis lokasi atau titik pengamatan cadangan karbon dan penurunan permukaan tanah (subsidence) gambut pada kajian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Lokasi pengamatan cadangan karbon gambut dan pemasangan stik besi untuk pengamatan penurunan permukaan tanah (subsidence) gambut pada . No 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi/Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Barat Kalimantan Barat Kalimantan Barat Kalimantan Barat Riau Riau
Land Use Tanaman semusim Tanaman semusim Tanaman semusim Tanaman semusim Tanaman semusim Kelapa sawit Kelapa sawit
Koordinat Geografis S E 000 14' 25,6" 1090 24' 45,6" 000 14' 26,3" 1090 24' 45,1" 0 00 14' 27,0" 1090 24' 44,7" 0 00 14' 27,5" 1090 24' 44,3" 0 00 14' 28,4" 1090 24' 43,9" 0 00 21' 00,9" 1010 41' 21,5" 0 00 21' 01,6" 1010 41' 19,2"
335
Maswar , Fahmuddin Agus
No 8 9 10 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 34 35 36 37 38
Lokasi/Provinsi Riau Riau Riau Jambi Jambi Jambi Jambi Jambi Jambi Jambi Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah Papua Papua Papua Papua Papua
Land Use Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Karet Karet Karet Karet Karet Karet Hutan Sagu Hutan Sagu Hutan Sagu Hutan Sagu Hutan Sagu
Koordinat Geografis S E 000 21' 01,9" 1010 41' 17,0" 000 21' 02,5" 1010 41' 15,0" 0 00 21' 02,8" 1010 41' 13,9" 0 01 40' 59,7" 1030 49' 07,4" 0 01 40' 58,3" 1030 49' 07,5" 0 01 40' 57,3" 1030 49' 07,4" 0 01 40' 56,0" 1030 49' 07,5" 0 01 40' 55,1" 1030 49' 07,3" 010 40' 54,4" 1030 49' 07,2" 0 01 40' 56,7" 1030 49' 04,9" 0 02 30' 55,4" 1140 10' 12,1" 0 02 30' 58,1" 1140 10' 11,0" 0 02 30' 54,2" 1140 10' 11,9" 0 02 30' 56,8" 1140 10' 11,3" 0 02 30' 53,4" 1140 10' 14,8" 0 02 30,946' 1140 10,188' 0 42 34' 05,1" 1360 43' 45,2" 420 34' 05,0" 1360 43' 44,5" 0 42 34' 05,1" 1360 43' 44,1" 0 42 34' 04,3" 1360 43' 43,4" 0 42 34' 04,8" 1360 43' 42,5"
Untuk mengidentifikasi jumlah cadangan karbon (carbon stock) tanah gambut pada semua lokasi pengamatan, telah dilakukan pengamatan atau pengumpulan data sifatsifat tanah yaitu bulk density (BD), kadar abu (% mineral) dan kandungan bahan organik (%BO) atau karbon (%C) dari lapisan permukaan tanah sampai lapisan bawah (batas dengan tanah mineral). Sampel tanah gambut diambil menggunakan bor gambut khusus dari Eijkelkamp berbentuk setengah selinder dengan luas penampang 10 cm 2 dan panjang/tinggi 50 cm. Seluruh sampel tanah yang diambil dengan bor gambut dibawa ke laboratorium untuk penentuan BD, kadar bahan organik, dan kadar abunya. Penetapan bulk density (BD) Semua sampel tanah gambut yang dibambil dengan bor gambut dikeringkan dalam oven pada suhu 1000C sampai diperoleh sampel kering air mutlak (± 24 jam). Sampel tanah kering air mutlak tersebut selanjutnya ditimbang sehingga diperoleh data berat kering mutlak gambut. BD dihitung dengan cara membagi berat sampel kering mutlak dengan volume gambut (volume sampel yang terambil oleh bor), atau mengikuti rumus : BD
336
Berat ker ing ( g ) Volume (cm 3 )
Cadangan Karbon dan Laju Subsiden pada Beberapa Jenis Penggunaan Lahan
Penetapan kadar abu (%Abu) dan bahan organik (%BO) Kadar abu dan bahan organik gambut ditentukan dengan metodeLoss-on-Ignition (LOI). Sebanyak lebih kurang 2 gram sampel tanah gambut kering oven 1000C dibakar dalam oven tanur (furnace) pada suhu 5500C - 6000C selama 6 jam. Berat sampel yang hilang selama proses pembakaran adalah merupakan jumlah bahan organik yang terkandung dalam material gambut, yang dihitung dengan rumus:
% BO
B105O B5500 B1050
x100%
yang mana: % BO B1050 B5500
= persentase bahan organik gambut, = berat material gambut kering air (pada suhu 1000C), = berat material gambut yang tersisa setelah pemanasan 5500C - 6000C.
Berat sampel yang tertinggal setelah pembakaran pada suhu 5500C - 6000C adalah merupakan kadar abu dari gambut, untuk penetapan dalam bentuk persen kadar abu (%abu) dihitung dengan rumus:
% Abu
B5500 B1050
x100%
yang mana: % Abu B1050
= persentase bahan mineral yang terkandung dalam material gambut, = berat material gambut pada suhu 1050C,
B5500
= berat material gambut yang tersisa setelah pemanasan 5500C - 6000C.
Sedangkan untuk mengkonversi persentase bahan organik menjadi persentase karbon yang terkandung dalam material gambut dari hasil metode LOI dihitung dengan rumus:
%C
1 x% LOI 1,922
yang mana: %C %LOI 1,922
= Kandungan karbon bahan gambut, = Persentase bahan gambut yang hilang pada proses Loss on Ignition, = Konstanta untuk mengkonversi % bahan organik menjadi % Corganik berdasarkan asumsi bahwa bahan organik gambut tropika mengandung 52% C (Maswar, 2011).
337
Maswar , Fahmuddin Agus
Pemantauan laju penurunan permukaan (subsidence) lahan gambut. Pemasangan tongkat/tiang dari pipa besi ukuran 2 inchi untuk pengukuran laju penurunan permukaan gambut (subsidence) telah dilaksanakan pada semua lokasi kegiatan ICCTF 2011 – 2014 yaitu di Propinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, Jambi dan Papua (Tabel 1). Sebelum stik/tongkat besi dibenamkan ke dalam lapisan tanah gambut, terlebih dahulu ditentukan/diamati kedalaman gambutnya, dengan menggunakan bor gambut. Setelah kedalaman/ketebalan gambut diketahui, disiapkan tiang besi yang ukurannya sekitar 2 meter lebih panjang dari ketebalan gambut(misal: ketebalan gambut 6 m, maka tiang besi yang diperlukan/disiapkan adalah 8 m). Tongkat besi dipasang/dibenamkan ke dalam lapisan tanah gambut mulai dari permukaan lahan sampai ke dasar gambut (lapisan tanah mineral). Bagian tiang besi yang muncul di permukaan gambut pada saat pemasangan diatur sedemikian rupa sehingga jarak dari ujung pipa besi yang muncul di permukaan gambut sampai pada permukaan gambut adalah 100 cm, dan bagian stik yang terbenam pada lapisan tanah mineral juga sekitar 100 cm. Penurunan permukan gambut diamati setiap periode 6 bulan, yaitu dengan cara mengukur tingginya penurunan permukaan gambut dari tanda awal, dan rata-rata penurunan permukaan gambut (subsidence rate) ditetapkan dalam periode 1 tahun (cm/th) yaitu dengan mengkomulatifkan hasil pengamatan 2 kali periode 6 bulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan ketebalan gambut, perhitungan cadangan karbon pada tanah (below ground carbon stock), dan kerapatan karbon pada masing-masing lokasi kegiatan ICCTF disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Ketebalan gambut, cadangan karbon, dan kerapatan karbon pada berbagai lokasi lahan gambut tropika Indonesia Lokasi
Land Use
Papua Kalteng Kalbar Riau Jambi
Hutan Sagu Karet + Nenas Tanaman semusim Kelapa sawit + Nenas Kelapa sawit + Nenas
Ketebalan (cm) RataMak Min rata 136 50 90 700 561 628 395 350 379 645 529 576 181 300 228
Cadangan Karbon (ton/ha) RataMak Min rata 511,5 154,52 338,29 4658,67 3079,33 3613,56 2746,31 1135,22 2055,14 3338,16 2781,24 2929,82 2140,87 1106,74 1451,11
Kerapatan Karbon (kg/m3) 38,17 57,54 54,23 50,88 60,71
Terlihat bahwa lapisan gambut yang paling tebal ditemukan pada lokasi di Kalimantan Tengah dengan jenis penggunaan lahankebun karet + nenas, sebaliknya gambut yang paling tipis ditemukan pada lokasi di Papua jenis penggunaan lahan hutan sagu sekunder (Tabel 1).
338
Cadangan Karbon dan Laju Subsiden pada Beberapa Jenis Penggunaan Lahan
Umumnya kerapatan karbon pada lahan gambut meningkat setelah lahan gambut tersebut didrainase dan/atau dikonversi menjadi penggunaan lainnya. Hal ini terlihat pada lokasi di Kalteng, Kalbar, Riau dan Jambi yang mana lahan telah didrainase kerapatan karbonnya lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut yang belum didrainase di Papua (Tabel 1). Page et al. (2002) menyarankan bahwa nilai 60 kg C m-3 adalah representatif untuk kerapatan karbon (carbon density) gambut di Asia Tenggara. Secara umum dari data Tabel 1 terlihat bahwa kerapatan kabon paling rendah ditemukan pada lokasi di Papua jenis penggunaan lahan hutan. Dari hasil kajian ini mengindikasikan bahwa konversi hutan gambut menjadi penggunaan lain meningkatkan kerapatan karbon. Berkaitan dengan perubahan kerapatan karbon gambut, Minkkinen dan Laine (1998) melaporkan bahwa setelah 60 tahun lahan gambut didrainase, kerapatan karbonnya meningkat sebesar 26 ± 15 kg m-3. Bentuk hubungan antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon berdasarkan data dari lima lokasi kegiatan ICCTF disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon yang tersimpan di tanahnya. Terlihat bahwa berdasarkan hasil analisis regresi antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon menunjukkan bahwa cadangan karbon yang tersimpan pada lahan gambut berkaitan erat dengan ketebalan gambutnya (R2 = 0,89), yang mana semakin tebal lapisan gambut maka cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya juga semakin banyak (Gambar 1).Berdasarkan hasil kajian ini, untuk menmudahkan dalam memperkirakan atau memprediksi karbon tersimpan pada tanah (below ground carbon stock)gambut dapat didekati dengan mengukur atau mengetahui ketebalan gambut.
339
Maswar , Fahmuddin Agus
Karena cadangan karbon dihitung berdasarkan ketersedian data bulk density (BD) dan kandungan/kadar karbon (%C),untuk lebih mengefisienkan penggunaan kedua data tersebut maka perlu diketahui bagaimana keeratan hubungan masing-masing datatersebut dengan nilai cadangan karbon. Untuk itu, telah dilakukan analisis terhadap hubungan antara data BD dan kadar karbon (%C) dengan nilai kerapatan karbon (carbon density) gambut yang disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2. Keterkaitan hubungan antara bulk density (BD) dengan kerapatan karbon gambut
Gambar 3. Keterkaitan hubungan antara kadar karbon (%C) dengan kerapatan karbon gambut Dari Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa, dari dua data sifat gambut yang signifikan berkaitan dengan kerapatan karbon tanah gambut adalah BD (R 2 =0,80), sedangkan kandungan karbon (% C) terlihat tidak nyata hubungannya dengan kerapatan karbon (R2 = 0,0296). Hal ini dapat terjadi karena nilai atau bobot dari data BD lebih
340
Cadangan Karbon dan Laju Subsiden pada Beberapa Jenis Penggunaan Lahan
besar kontribusinya terhadap nilai hasil perhitungan kerapatan karbon atau cadangan karbon gambut dibandingkan nilai data kandungan karbon (%C). Dapat dijelaskan bahwa, setiap 0,1 unit nilai BD akan mempengaruhi atau memberikan perbedaan sebesar 100 kg m-3terhadap berat gambut, sedangkan setiap perubahan 1% unit nilai kandungan karbon (%C) hanya akan memberikan perbedaan 0,01 kali dari kandungan atau kerapatan karbon gambut awal. Sebagai contoh atau ilustrasi: gambut dengan BD = 0,1 gr cm-3dan kandungan karbon (%C) = 52%; maka nilai kerapatan karbonnya adalah 52 kg m -3. Kalau BD berubah menjadi 0,2 gr cm-3 sementara kadar karbon (%C) tetap 52% maka nilai kerapatan karbon merubah dari 52 kg m-3 menjadi 104 kg m-3; sedangkan kalau %C berubah menjadi 53% dan BD tetap 0,1 gr cm-3, maka kerapatan karbon hanya berubah dari 52 kg m-3 menjadi 53 kg m-3. Hasil pengamatan penurunan permukaan lahan gambut (subsidence) pada masingmasing lokasi kegiatan ICCTF disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kecepatan penurunan permukaan tanah (subsidence rate) pada masing-masing lokasi kegiatan ICCTF. Lokasi Papua Kalteng Kalbar Riau Jambi
Penggunaan Lahan Hutan sagu Karet + Nenas Tanaman semusim Kelapa sawit + Nenas Kelapa sawit + Nenas
Mak 0 4,7 6,8 4,0 4,5
Subsidence (cm/th) Min Rata-rata 0 0 2,7 3,8 4,7 5,6 2,5 3,3 2,0 2,7
Rata-rata penurunan permukaan tanah (subsidence) pada kajian ini bervariasi antara 0 – 5,6 cm th-1(Tabel 3). Terlihat bahwa penurunan permukaan tanah tertinggi terjadi pada lokasi kajian di Kalimantan Barat yaitu rata-rata 5,6 cm th-1dengan jenis penggunaan lahan budidaya tanaman semusim, sedangkan yang terendah 0 cm th-1 (tidak terjadi subsidence) pada lokasi kajian di Papua dengan jenis penggunaan lahan hutan sagu. Dari hasil kajian ini diperoleh informasi bahwa apabila lahan gambut tetap dibiarkan pada kondisi alaminya sebagai hutan dan tidak dilakukan drainase penurunan permukaan tanah tidak terjadi. Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman semusim terlihat kecendrungan penurunan permukaan tanahnya lebih cepat dibandingkan digunakan sebagai tanaman tahunan (karet atau kelapa sawit). Hal ini kemungkinan terjadi karena pada penggunaan lahan gambut untuk tanaman semusim usikan atau gangguan fisik (pengolahan tanah) terhadap gambut lebih sering terjadi dibandingkan kalau gambut digunakan untuk budidaya tanaman tahunan. Pengolahan tanah menyebabkan kondisi gambut lebih aerob sehigga kecepatan dekomposisi juga meningkat dibandigkan dengan gambut yang tidak diolah. Pada sisi lain, gambut yang diolah juga relatif mudah hanyut atau tererosi pada saat terjadinya hujan. Sebagai contoh, pada
341
Maswar , Fahmuddin Agus
budidaya tanaman semusim (jenis tanaman sayuran danhortikutura) yang diusahakan petani di Desa Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, selama satu periode musim hujan, pada saluran buntu (saluran penampung gambut yang hanyut) dengan ukuran lebar 30 cm dan dalam 60 cm yang dibuat mengelilingi lahan budidaya seluas 40 m x 40 m sekitar 2/3 bagiannya (ketebalan 40 cm) terisi oleh gambut yang hanyut (Gambar 4).
Gambar 4. Saluran buntu yang dibuat mengelilingi lahan budidaya tanaman semusim di Desa Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, yang bertujuan menampung gambut yang hanyut, ukuran 30 cm lebar dan 60 cm dalam pada kondisi awal (kiri) dan kondisi setelah akhir musim hujan (kanan) (Foto: Maswar) Berkaitan dengan kejadian subsidence pada lahan gambut yang didrainase, menurut hasil penelitian Schipper dan McLeod (2002) rata-rata tingkat subsidence pada lahan gambut yang didrainase adalah sebesar 3,4 cm th-1 (taraf kepercayaan 95% interval of 3,2 – 3,5 cm th-1). Dawson et al. (2004) menyimpulkan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan subsidence diantaranya: a) rata-rata subsidence jangka panjang berkisar antara 1 – 8 cm th-1, b) pengukuran subsidence di Asia Tenggara mengindikasikan bahwa 0,5 – 1 m gambut hilang pada tahun-tahun awal pembuatan drainase dengan rata-rata lebih kurang 6 cm per tahun, c) di gambut Florida subsidence 1,8 m dalam periode 54 tahun (1924 – 1978) dan gambut di California subsidence 1,8 – 2,0 m pada periode waktu kurang dari 30 tahun, d) bagaimanapun beberapa gambut di Belanda hanya terjadi subsidence sebesar 2,0 m dalam periode sekitar 1000 tahun. Rendahnya subsidence di
342
Cadangan Karbon dan Laju Subsiden pada Beberapa Jenis Penggunaan Lahan
Belanda dibandingkan lokasi lainnya, kemungkinan disebabkan oleh karena muka air tanah diatur sepanjang tahun yaitu antara 20 – 50 cm dibawah rata-rata muka air tanah untuk penggunaan lahan padang pengembalaan.Menurut Dawson et al, (2004) pada dua tahun awal setelah pembuatan saluran drainase, proses subsidence sangat cepat, yaitu 44% dari total periode waktu 20 tahun, setelah itu turun sampai konstan sebesar 7 mm per tahun. KESIMPULAN Cadangan karbon pada tanah (below ground Carbon stock) gambut sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, sedangkan kerapatan karbon (carbon density) dipengaruhi bulk density yang juga berhubungan dengan drainase. Pada lahan gambut yang dibiarkan pada kondisi alaminya atau tanpa drainase tidak signifikan terjadinya penurunan permukaan (subsidence). Subsidence terjadi apabila lahan gambut dikonversi dari hutan menjadi penggunaan lain seperti untuk budidaya tanaman semusin dan/atau tanaman tahunan. DAFTAR PUSTAKA Alex, K., H. Joosten. 2008. Global peatland assesment. Factbook for UNFCCC policies on peat carbon emission. Dawson, J.J.C.,M.F. Billett, D. Hope, S.M. Palmer and C.M. Deacon. 2004. Sources and sinks of aquatic carbon linked to a peatland stream continuum. Biogeochemistry 70: 71-92. Global Peatland Initiative. 2002. World Peatland Map. Joosten, H., and Clarke, D. 2002. Wise use of mires and peatlands – Background and principles including a framework for decision-making. International Mire Conservation Group / International Peat Society, 304pp. Joosten, H. 2009. Peatland status and drainage related emissions in all countries of the world. The Global Peatland CO2 Picture. Wetlands International. www.wetlands.org. 35p.
Landva, A.O., E.O.Korpijaakko, and P.E. Pheeney. 1983. Geotechnical classification of peats and organic soils. In: Jarrett, P.M. (Ed.), Testing of Peats and Organic Soils. American Society for Testing and Materials, Philadelphia, pp. 37– 51. Maswar. 2011. Kajian cadangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase untuk tanaman tahunan. Disertasi Program Doktor (S.3). Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Minkkinen, K., and J. Laine. 1998. Long-term effect of forest drainage on the peat carbon stores of pine mires in Finland. Canadian Journal of Forest Research 28: 12671275.
343
Maswar , Fahmuddin Agus
Page, S.E., F. Siegert, J.O. Rieley, H-D.V. Boehm, A. Jaya, and S. Limin. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. NATURE. 420:61-65. Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, dan C. Tafakresnanto. 2011. Peta lahan gambut Indonesia Skala 1 : 250.000.Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 21 hal. Schipper, L.A., andM. McLeod. 2002. Subsidence rates and carbon loss in peat soils following conversion to pasture in the Waikato Region, New Zealand. Soil Use and Management, Volume 18, Number 2, pp. 91-93(3).
344
DAFTAR HADIR SEMINAR NASIONAL PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Hotel Le Meridien, Jakarta 18-19 Agustus 2014 No
Nama
1.
A. Wihardjaka
2.
Achmad Rachman
3.
Ade Sukanto
4.
Agung Hendriadi
5.
Agus Kristiono
6.
Agus S.
7.
Ai Dariah
8.
Ali
9.
Ali Jamil
10. Aliyas 11. Aminuddin 12. Andri 13. Arsil Saleh
Instansi Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Jawa Tengah Balai Penelitian Tanah, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Penelitian Tanah, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Penelitian Tanah, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor
14. Asmadi Saad
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Universitas Jambi, Jambi
15. Azwar Maas
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
16. Bandung Sahari
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Jakarta
17. Didi
Biro Perencanaan, Kementerian Pertanian
18. Edi Husen
20. Endrizal
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi
21. Eni Maftu’ah
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru
22. Eri Ernan
PT Perkebunan Nusantara III, Medan
23. Erni Susanti
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor
24. Fadlullah R.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor
19. Emo Tarma
345
No
Nama
Instansi
25. Fahmuddin Agus
Balai Penelitian Tanah, Bogor
26. Fatchiah
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Jakarta Indonesian Climate Change Trust Fund PREP, Jakarta
27. Fauzan 28. Ferdi
30. Haris Syahbuddin
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor
31. Hasnah
PMU Indonesian Climate Change Trust Fund, Bogor
32. Heri Wibowo
Balai Penelitian Tanah, Bogor
33. Hery Widianto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Riau
34. Herman Subagio
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru
35. Hilman
Balai Penelitian Tanah, Bogor
36. I G.M. Subiksa
Balai Penelitian Tanah, Bogor
37. Ida Nur
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Riau
38. Ikhwan S.
Kompas
39. Iklas B.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor
29. Gries Moulina F.
40. Iman K. 41. Irsal Las 42. Jamal Luki 43. Januar Buzi H. 44. Jubaedah 45. Karmini Gandasasmita 46. Kartika Ratnawati
Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta Balai Penelitian Tanah, Bogor PMU Indonesian Climate Change Trust Fund, Bogor
47. Kasdi Subagyono
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Biro Perencanaan, Kementerian Pertanian
48. Komarudin
PMU Indonesian Climate Change Trust Fund, Bogor
49. Kusumo Nugroho
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru
50. Leli M. 51. M. Noor 52. M. Teddy Sutriadi 53. Mamat H. Suwanda 346
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
No
Nama
Instansi Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor
54. Markus Anda 55. Masganti 56. Mega Yuni H.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Riau
59. Mukti Sarjono
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Jawa Tengah Staff Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan
60. Nana Gartina
PMU Indonesian Climate Change Trust Fund, Bogor
61. Neneng L. Nurida
Balai Penelitian Tanah, Bogor
62. Ni Komang Widiayani
Indonesian Climate Change Trust Fund, Jakarta PREP, Jakarta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Riau
57. Meli Fitriani 58. Miranti Ariani
63. Nurhayati 64. Paidi 65. Pijar Riza A. 66. Prihasto Setyanto 67. Pujo H. 68. Ramelan 69. Randy 70. Ropik Sugrawidjaya 71. Rudi 72. S. Rendasih B.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Majalah Sains Indonesia Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Jawa Tengah PMU Indonesian Climate Change Trust Fund, Bogor Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Jawa Tengah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Penelitian Tanah, Bogor
74. Said
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Jakarta PMU Indonesian Climate Change Trust Fund, Bogor
75. Saleh M.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kalteng
76. Salwati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi
77. Sarmah
Balai Penelitian Tanah, Bogor
78. Setyobudi H.
PMU Indonesian Climate Change Trust Fund, Bogor
79. Sri Rochayati
Balai Penelitian Tanah, Bogor
80. Sri Wahyuni
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Jawa Tengah
73. Sahru Ramadan
347
No
Nama
81. Sukarman 82. Sumarni 83. Supiandi Sabiham 84. Surya 85. Syamsu 86. Teri Ayu A.
Instansi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Institut Pertanian Bogor/ Himpunan Gambut Indonesia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Penelitian Tanah, Bogor
88. Udin S.
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Jawa Tengah Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Jawa Tengah Sekretariat Jenderal, Kementerian Pertanian, Jakarta
89. Vincen
PT. Musim Mas, Medan
90. Wahid Noegroho
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kalteng
87. Titi S.
91. Wahyu Adi N. 92. Wahyunto 93. Widhya Adhy 94. Widias Utari H.Z. 95. Winarna 96. Yani Nurhayani 97. Yudha H.
348
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Pusat Penelitian Kelapa Sawit Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Jakarta
JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI
Hari I, 18 Agustus 2014 Waktu 08.00-08.30
Acara Pendaftaran
08.30-09.00
Arahan dan Pembukaan
Penyaji
Keterangan
Ka Balitbangtan
09.00-12.00
Talkshow temu stakeholder (network Diikuti semua meeting) peserta Topik/Materi dan Nara Sumber: Pengelolaan berkelanjutan lahan gambut (Ka Badan Litbangtan) Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Gambut di Kabupaten Pelalawan (Bupati Pelalawan, Riau) Aspek Keilmuan Pengelolaan Lahan Gambut (Prof. Dr. Supiandi Sabiham-Ketua Himpunan Gambut Indonesia) Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Aspek Lingkungan Pengelolaan Lahan Gambut (Ir. Mukti Sardjono, MS-Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan) 12.00-13.00 Ishoma
Pemandu : dr. Lula Kamal
Sidang Pleno 1 13.00-13.20 Rasionalisasi faktor emisi dari dekomposisi gambut
13.20-13.40
Prof. Dr. Supiandi Sabiham, MSc (IPB/Ketua Himpunan Gambut Indonesia) Sintesis hasil penelitian ICCTF Fase Prof. Dr. II tentang Pengelolaan lahan Gambut Fahmuddin Berkelanjutan Agus, MSc (Kementan)
Ketua sidang Prof. Dr. Azwar Maas, MSc
349
Waktu 13.40-14.00
Acara Dinamika penggunaan dan sifat tanah gambut di provinsi Jambi
14.00-14.30
Diskusi
Penyaji Dr. Asmadi Saad (Universitas Jambi)
Keterangan Sekretaris: Dr. Ai Dariah
14.30-15.00 Coffee Break Sidang Pleno 2 15.00-15.20
Pengelolaan lahan gambut dalam rangka adaptasi terhadap perubahan iklim
15.20-15.40
Kebijakan pengelolaan lahan gambut Prof. Dr. Irsal terdegradasi: Trade off antara Las (FKPR) keuntungan ekonomi dan aspek lingkungan
15.40-16:00 Penerapan mitigasi emisi gas rumah kaca pada perkebunan sawit di lahan gambut 16.00-16.30
Pusat Penelitian Ketua sidang: Kelapa Sawit Ka BBSDLP Sekretaris: Ir. Erni Susanti, MSc
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Diskusi
Hari II, 19 Agustus 2014 : SIDANG KELOMPOK/KOMISI KOMISI 1 (Ruang I) Waktu 08.00-08.20
08.20-08.40
08.40-09.00
09.00-09.20
09.20-09.40
350
Judul makalah Session 1 Peta lahan gambut yang disempurnakan
Penyaji
Drs. Wahyunto, Dr. Harris MSc Syahbuddin/ Sarmah, SP Dr. I G.M. Subiksa
Respon tanaman terhadap perlakuan pemupukan dan ameliorasi pada tanah gambut: Sintesis dari empat lokasi penelitian Variasi temporal dan spasial muka air Dr. Budi tanah gambut yang didrainase Kartiwa/ Ir. Hendri Sosiawan, CESA Diskusi Session 2 Cadangan karbon serta laju subsiden tanah gambut
Ketua/ Sekretaris
Dr. Maswar
Dr. Enrizal/Heri Wibowo, SP
Waktu 09.40-10.00
10.10-10.30
10.30-10.50 10.50-11.00 11.00-11.20
11.20-11.40 11.40-12.00
12.00-12.20 12.20-12.40 12.40-
Judul makalah
Penyaji
Cadangan karbon di atas permukaan tanah beberapa penggunana lahan di lahan gambut Aboveground sequestrasi dan missing CO2 dari lahan budidaya dan lahan semak belukar di lahan gambut Diskusi Rehat Session 3 Variasi temporal emisi CO2 di bawah perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Riau (tentatif).
Dr. Ai Dariah
Emisi metana dari saluran drainase lahan gambut Pengaruh penggunaan lahan dan perlakuan amelioran terhadap emisi CO2: Sintesis dari lima lokasi penelitian Emisi CO2 pada lahan budidaya dan lahan semak belukar di Kalbar Diskusi CLOSING DI RUANG 1+ISHOMA
Dr. Prihasto Setyanto, dkk Dr. Prihasto Setyanto
Ketua/ Sekretaris
Ir. Erni Susanti, MSc
Hery Widyanto dkk
Prof. Dr. Masganti/ Nurhayati, SP, MSi
Heri Wibowo, dkk
KOMISI 2 (RUANG II) Waktu 08.00-08.20
08.20-08.40
08.40-09.00
Judul makalah
Penyaji
Session 4 Respon tanaman tumpangsari sawit Masganti (sawit-nenas) terhadap amelioran dan pemupukan di lahan gambut provinsi Riau Respon tanaman kelapa sawit yang BPTP Jambi ditanam di lahan gambut terhadap Berbagai Amelioran: Studi Kasus di Arang-Arang Provinsi Jambi Respon Ameliorasi dan Inokulasi Ida Nur Istina Mikroba Pelarut Fosfat Terhadap Pertumbuhan dan Emisi CO2 pada Pembibitan Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Ketua/ Sekretaris Dr. Prihasto Setyanto/Ir. Ali Pramono, MS
351
Waktu 09.00-09.20 09.20-09.40
09.40-10.00
10.10-10.30
10.30-10.50 10.50-11.00 11.00-11.20
11.20-11.40
11.40-12.00
12.00-12.20
12.20-12.40 12.40-
352
Judul makalah
Penyaji
Ketua/ Sekretaris
Diskusi Session 5 Emisi CO2 pada lahan budidaya dan lahan semak belukar di Riau
Sarmah, SP dkk Dr. Ai Dariah/ Miranti Ariani, SP MSi Pengendalian hama utama pada Hery Widyanto, tanaman kelapa sawit di lahan gambut dkk provinsi Riau Pengelolaan kesuburan tanah dan exante analisis input-output sistem tumpangsari nenas-kelapa sawit di lahan Gambut di Provinsi Riau Diskusi Rehat Session 6 Aspek social ekonomi dan Respon tanaman karet terhadap berbagai perlakuan di lahan gambut
Nurhayati, SP MSi, Suhendri Saputra, dan Aris Dwiputra
Potensi usahatani berkelanjutan di lahan gambut terdegradasi: analisis sosial ekonomi dan lingkungan Pengaruh penggunaan lahan dan perlakuan amelioran terhadap emisi CO2 menggunakan GC:Riau Pengaruh penggunaan lahan dan perlakuan amelioran terhadap emisi CO2 menggunakan GC: Kalteng
Dr. Mamat H.S., MS
Diskusi CLOSING DI RUANG 1+ISHOMA
Dr. Saleh Mochtar
Sri Wahyuni
Ali Pramono
Dr. Neneng L.N./ Jubaedah, SP MSc
KOMISI 3 (RUANG III) Waktu 08.00-08.20
08.20-08.40
Judul makalah Session 7 The Dynamics of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm (Metroxylon Sagu Rottb.) Plantation on Peatland in Papua, Indonesia Pengaruh penggunaan lahan dan perlakuan amelioran terhadap emisi CO2 menggunakan GC:Kalbar
08.40-09.00
Pengaruh penggunaan lahan dan perlakuan amelioran terhadap emisi CO2 menggunakan GC:Jambi
09.00-09.20 12.40-
Diskusi CLOSING DI RUANG 1+ISHOMA
Penyaji
Ketua/Sekretaris
Anggri Hervani Dr. Ali Jamil/Wahyu Adinugroho (BPTP Kalteng) Titi Sopiawati
Terri Ayu
*) Catatan : - Peserta pada Komisi 3 Sesi 7, setelah Diskusi bergabung di Komisi I atau Komisi II
353