JURNAL IPTEKS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN Merupakan Jurnal Ilmiah Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang diterbitkan dua kali setahun (April dan Oktober). Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya dan tidak sedang dalam proses untuk dipublikasikan di jurnal penerbitan lain. Lingkup naskah yang dapat dimuat adalah: Ilmu dan Teknologi Penangkapan Ikan, Sarana Prasarana Perikanan Tangkap, Rancang Bangun Alat Tangkap dan Kapal Perikanan, Sistem Informasi Perikanan Tangkap (Oseanografi Perikanan, Dinamika Populasi Ikan, Penginderaan Jauh, dan Sistem Informasi Geografis Perikanan), Teknologi Hasil Perikanan, dan Manajemen Perikanan Tangkap. PENANGGUNG JAWAB Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin (Unhas) PEMBINA Ketua Jurusan Perikanan, Unhas. Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Unhas. DEWAN REDAKSI: - Dr. Ir. Alfa F.P. Nelwan, M.Si (Ketua) - Mukti Zainuddin, S.Pi., M.Sc., Ph.D (Sekretaris) - Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M.Si - Muhammad Kurnia, S.Pi., M.Sc., Ph.D - Safruddin, S.Pi., MP., Ph.D - Fahrul, , S.Pi., M.Si. MITRA BESTARI: 1. Prof. Dr. Ir. Achmar Mallawa, DEA 2. Prof. Dr. Ir. Sudirman, MP 3. Prof. Dr. Ir. Najamuddin, M.Sc 4. Prof. Dr. Ir. Metusalach, M.Sc 5. I Nyoman Radiarta, Ph.D
(Sistem Informasi Perikanan Tangkap, Unhas) (Teknologi Penangkapan Ikan, Unhas) (Rancang Bangun Alat Tangkap dan Kapal Perikanan, Unhas) (Teknologi Hasil Perikanan, Unhas) (Sistem Informasi Perikanan, Balai Riset DKP)
ALAMAT REDAKSI: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, Makassar 90245 Telp./Fax: (0411) 586025 E-mail:
[email protected] Website: http//fikp.unhas.ac.id/psp
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10
ISSN: 2355-7298
KARAKTERISTIK DAERAH PENANGKAPAN IKAN CAKALANG PADA MUSIM BARAT DI PERAIRAN TELUK BONE Characterization of Skipjack Tuna Fishing Ground during the West Monsoon in Bone Bay Adi Jufri1), M. Anshar Amran 2), dan Mukti Zainuddin3) 1)
Jurusan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau
2)
Program Studi Ilmu Kelautan, FIKP, Universitas Hasanuddin
3)
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FIKP, Universitas Hasanuddin Diterima: 2 Oktober 2013; Disetujui: 7 Januari 2014
ABSTRACT The purpose of this study was to characterize potential fishing ground for the skipjack tuna using the oceanographic conditions of sea surface temperature and chlorophyll-a concentrations and catch data, and to describe the level of primary productivity around the skipjack fishing grounds in the Bone Bay. This study used a survey method by collecting primary tuna catch and MODIS satellite image data. The data were analyzed using Empirical Cumulative Distribution Function (ECDF). The model outputs were visualized using ArcGIS spatial analyst. The results showed that the potential skipjack tuna fishing grounds during the west monsoon ( December -February ) were well characterized by the environmental conditions of SST and chlorophyll- a concentration ranged from 29.9 to 31.0 °C and from 0.12 to 0.22 mg m3, respectively. The highest catches for skipjack were found in February in the specific areas of 120°E-121°E and 3°S-4°S where the levels of primary production ranged from 5.30 to 11.62 g C/m2/ month during the west monsoon. Key words: Skipjack, fishing ground, west monsoon, Bone Bay
Contact person: Adi Jufri Email :
[email protected]
Jufri dkk.
1
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10 PENDAHULUAN Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) tergolong sumberdaya ikan pelagis ekonomis penting dan merupakan salah satu komoditi ekspor. Penangkapan cakalang di Teluk Bone umumnya dilakukan dengan menggunakan huhate (pole and line), pancing tonda (troll line), pukat cincin (purse seine), jaring insang, dan payang. Peningkatan produksi ikan cakalang di perairan Teluk Bone masih dapat ditingkatkan, apabila operasi penangkapannya dapat dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien. Pada umumnya nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan hanya berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan langsung. Akibatnya waktu operasi penangkapan menjadi tidak efektif dan efisien untuk menentukan daerah penangkapan. Distiribusi ikan cakalang dipengaruhi kondisi oseanografi secara spasial dan temporal. Ketersediaan makanan baik dalam jumlah dan kualitas mempengaruhi tingkat predasi dan merupakan variabel penting bagi populasi cakalang. Ketersediaan makanan berhubungan dengan rantai makanan (food chains). Plankton tumbuhan (phytoplankton) melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan organik (produsen primer), sehingga dapat dilakukan persiapan yang lebih baik untuk melakukan operasi penangkapan yang lebih terarah. Di Indonesia, kandungan klorofil-a di perairan Teluk Bone berkisar antara 0,2 – 0,8 mg m-3 (Suriadi, 2007). Suhu permukaan laut (SPL) dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan (Nontji, 2007). Hal ini karena sebagian besar organisme bersifat poikilotermik. Pengaruh Jufri dkk.
ISSN: 2355-7298
suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut adalah dalam laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksi. Berdasarkan variasi suhu, tinggi rendahnya variasi suhu merupakan faktor penting dalam penentuan migrasi suatu jenis ikan Untuk wilayah Teluk Bone, informasi tentang produktivitas primer kaitannya dengan penangkapan ikan cakalang masih sedikit di investigasi. Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai pemetaan ikan cakalang antara lain Mallawa dkk. (2010) yang melakukan penelitian tentang pemetaan daerah penangkapan ikan tuna (Thunnus sp) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Teluk Bone pada bulan Mei hingga Juli. Jamal dkk. (2011) melakukan penelitian mengenai pemanfaatan data biologi ikan cakalang dalam rangka pengelolaan perikanan bertanggung jawab di perairan Teluk Bone. Selanjutnya, Mallawa dkk. (2013) mengenai Aspek perikanan dan pola distribusi ikan cakalang. Hubungan kelimpahan ikan cakalang dengan parameter SPL dan klorofil-a sebagai studi pendahuluan sudah dikaji pada bulan Mei-Juni (Zainuddin, 2011). Zainuddin dkk. (2013) membahas karakteristik daerah potensial penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus Pelamis) selama musim timur di Teluk Bone dan Laut Flores berbasis data oseanografi penginderaan jauh dan data hasil tangkapan. Beberapa penelitian tersebut menggunakan parameter oseanografi yang terkait dengan distribusi ikan cakalang dan dilakukan analisis regresi dan juga dengan menggunakan Generalized Linear Model. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dibahas tentang analisis produktivitas perairan pada daerah optimal penangkapan ikan cakalang sehingga dapat melihat pengaruh perubahan musim terhadap daerah penangkapan tersebut. 2
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10 Adapun Metode yang dapat digunakan untuk memberikan informasi tersebut adalah dengan melakukan pengolahan data dan analisa daerah penangkapan ikan melalui analisis produktivitas primer, analisis Empirical Cumulative Distribution Function (ECDF), analisis data citra satelit serta data sekunder cakalang. Hasil pengamatan satelit kemudian dipetakan dengan teknik Sistem Informasi Geografis (SIG). sehingga peta daerah penangkapan ikan yang potensial dapat dikarakterisasi.
DATA DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 - Februari 2013 dengan menggunakan data citra satelit Terra/MODIS. Penelitian dilaksanakan di perairan Teluk Bone dengan fishing Base di Kabupaten Luwu. Metode Pengambilan Data Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan dua kelompok data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil pengamatan langsung dilapangan dengan menguikuti operasi penangkapan ikan meliputi jumlah hasil tangkapan dan posisi geografi lokasi penangkapan ikan cakalang. Data sekunder meliputi citra sebaran SPL, dan klorofil-a dari satelit TERRA/MODIS. Data produktifitas primer diperoleh dari hasil model data online (http://orca.science.oregonstate.edu/). Adapun rincian metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Citra Suhu Klorofil-a
Permukaan
Laut
dan
Data citra SPL dan klorofil-a diperoleh dari satelit MODIS dimana informasi yang akan diekstraksi adalah sebaran SPL dan klorofil-a yang bersifat bulanan. Jufri dkk.
ISSN: 2355-7298
b. Hasil Tangkapan Data runtun waktu hasil tangkapan ikan cakalang dominan, jenis alat tangkap yang digunakan. Waktu penangkapan dan daerah penangkapan diperoleh dari mengikuti aktifitas penangkapan dan hasil wawancara nelayan. Analisis Data a. Citra Suhu Permukaan Laut Citra yang dipilih untuk diolah adalah citra yang bebas awan dan merupakan data bulanan standar map resolusi 4 km selama Januari 2012 - Maret 2013. Data sebaran SPL secara horizontal dihitung menggunakan data citra SPL yang telah dikoreksi baik secara atmosferik maupun geometrik, kemudian diinterpretasikan berdasarkan karakteristik variasi menurut kenampakannya. Data citra suhu permukaan laut diperoleh dari database NASA (oceancolor.gsfc.nasa.gov). b. Citra Klorofil-a Citra klorofil-a digunakan untuk mengetahui kesuburan perairan Teluk Bone. Penghitungan kesuburan perairan didasarkan pada analisis konsentrasi klorofil-a yang diukur sensor MODIS. Citra klorofil-a yang dihasilkan belum tervalidasi untuk perairan Indonesia, sehingga nilai kandungan klorofil-a yang tampak pada citra lebih bersifat kuantitatif dari pada kualitatif. Data citra bulanan klorofil-a 4 km juga diperoleh dari database NASA. c. Hasil Tangkapan Data hasil tangkapan antara bulan Agustus 2012 - Maret 2013 dianalisis dengan cara menghitung berat hasil tangkapan per hauling penangkapan yang diikuti sehingga dapat diamati fluktuasi hasil tangkapan berdasarkan waktu (temporal) dan lokasi penangkapan (spasial), selanjutnya hasil analisis hasil 3
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10 tangkapan dianalisis keterkaitannya dengan sebaran SPL dan klorofil-a.
ISSN: 2355-7298 penangkapan t
:
Indeks pengamatan yang berkisar dari nilai terendah ke tertinggi dari variabel oseanografi
yi
:
CPUE yang diperoleh dari setiap trip penangkapan dan rata-rata estimasi CPUE untuk semua trip penangkapan
max
:
Nilai tertentu dari variabel dimana perbedaan antara dua adalah kurva (|g(t)-f(t)|) maksimum.
d. Analisis Empirical Cumulative Distribution Function (ECDF) Penelitian ini menggunakan analisis ECDF untuk mengetahui hubungan yang kuat (karakter) antara semua parameter oseanografi dengan data tangkapan tertinggi CPUE ikan cakalang. Dalam analisis ini menggunakan tiga fungsi (Zainuddin et al., 2008) yaitu:
(1)
e. Analisis Produktivitas Primer
dengan fungsi indikator
k (2)
(3) dimana: f (t)
:
Fungsi distribusi frekuensi komulatif
empiris
g (t)
:
Fungsi distribusi komulatif dari hasil tangkapan terbobot
l (xi)
:
Fungsi indikasi
D (t)
:
Nilai absolut dari perbedaan antara 2 kurva f (t) dan g (t) pada setiap titik t dan berdasarkan nilai standar Kolmogov-Smirnov
n
:
Jumlah trip penangkapan
xi
:
Pengukuran citra satelit yg berasal dari variabel oseanografi dalam setiap trip
Jufri dkk.
Produktivitas primer (PP) untuk musim barat dianalisis untuk bulan Desember 2012 – Februari 2013. Untuk mengetahui produktivitas primer maka digunakan estimasi Vertically Generalized Production Model (VGPM). Dengan model VGPM ini maka dapat diestimasi produktifitas primer euphotic dari hubungan antara sebaran klorofil-a dan kedalaman perairan (Behrenfeld and Falkowski, 1997). Selanjutnya, setelah nilai dari PP diketahui maka kemudian akan di plot dalam bentuk peta spasial dan temporal. Kemudian ditentukan tingkat produktivitas primernya, kategori rendah, sedang atau tinggi. E 0 ×D PP = 0.66125 × P B × Z × C opt opt irr E + 4.1 0
(4) (4)
P B ∗ = 1.2956 + 0.2749 T + 0.0617 T 2 − 2.05 × 10 − 2 T 3 + 2.462 × 10 − 3T 4 opt − 1.348 × 10 − 4 T 5 + 3.4132 × 10 − 6 T 6 − 3.27 × 10 − 8 T 7 (5)
(5)
1.13 if T < − 1.0 B P = 4.0 if T > 28.5 opt B∗ Popt otherwise
dimana: 4
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10 PP : P B opt : Z
:
C opt
:
D irr
:
E0
:
T
:
Produktivitas Primer Tingkat maximum fiksasi karbon dalam kolom air Kedalaman zona euphotic yang menerima 1% dari radiasi permukaan Konsentrasi klorofil dari data satelit Penyinaran (Durasi harian suatu organisme terhadap cahaya) Data harian permukaan laut PAR dari MODIS Suhu (°C).
ISSN: 2355-7298
SPL dan konsentrasi klorofil-a optimumnya yang ditandai dengan warna hijau. Jumlah hasil tangkapan ikan cakalang yang
diperoleh
menunjukkan
bahwa
cenderung lebih banyak pada nilai SPL dan klorofil-a tertentu. Hal tersebut merupakan kriteria yang distribusi
mengindikasikan batasan
ikan cakalang di Teluk Bone.
Hasil analisis menunjukkan
kisaran SPL
optimum pada musim barat adalah 29,9 – 31,0oC.
Kisaran Klorofil-a optimum yaitu
0,12 – 0,22 mg m-3. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Zainuddin (2011),
HASIL DAN PEMBAHASAN
bahwa SPL optimum untuk ikan cakalang
Sebaran SPL dan Klorofil-a Optimum
di Teluk Bone berada pada kisaran 29,0 –
Gambar
1
menunjukkan
bahwa
sebaran SPL dan klorofil –a optimum sesuai
31,5 0C dan konsentrasi klorofil-a optimum pada kisaran 0,15 – 0,40 mg/m3.
dengan data sebaran penangkapan kecuali untuk bulan Desember. Pada bulan Januari, hasil tangkapan tertinggi berada pada bagian utara dan bagian selatan Teluk Bone, yaitu sebanyak 140 – 185 ekor. Hal ini sesuai dengan nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a
optimumnya
yang
ditandai
dengan area warna hijau di peta. Nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a optimum adalah nilai dimana SPL dan konsentrasi klorofil-a yang cocok untuk ikan cakalang. Nilai tersebut
diperoleh
dengan
menggabungkan nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a
bersama-sama
dalam
ArcGIS
sehingga akan diperoleh nilai SPLdan klorofil-a yang optimum. Pada bulan Februari, hasil tangkapan tertinggi berada pada Teluk Bone bagian utara (berada pada 120°BT-121°BT and 3°LS-4°LS) yaitu sebanyak 217 – 335 ekor/hauling. Hal ini sesuai dengan nilai
Jufri dkk.
5
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10
ISSN: 2355-7298
Gambar 1. Distribusi dan kelimpahan ikan cakalang (CPUE) dioverlay di atas SPL dan klorofil-a optimum bulan Desember – Februari di Teluk Bone.
Jufri dkk.
6
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10
ISSN: 2355-7298
Gambar 2. Sebaran produktivitas primer (PP) pada Musim Barat (Desember, Januari, dan Februari) di perairan Teluk Bone.
Jufri dkk.
7
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10 Informasi
mengenai
kisaran
SPL
dan
ISSN: 2355-7298
C/m2/bulan dengan produktivitas tertinggi
klorofil-a optimum untuk penangkapan
berada pada bagian utara
ikan cakalang dapat dijadikan acuan untuk
yakni sekitar 13,25 – 15,90 g C/m2/bulan.
menentukan daerah penangkapan ikan
Hasil tangkapan ikan cakalang
yang produktif yang dikenal dengan zona
tertangkap berada pada nilai produktivitas
optimum
primer 5.,30 – 8,0 g
penangkapan
ikan.
Dengan
mengkombinasikan antara SPL optimum maka
tertinggi
C/m2/bulan dengan
jumlah hasil tangkapan 210 – 391 ekor. Pada bulan Januari nilai produktivitas
dengan klorofil-a optimum dengan cara
overlay pada pemetaan
Teluk Bone
akan
primer di perairan Teluk Bone berkisar 0 –
menunjukkan
lokasi
penangkapan
20,91 g C/m2/bulan. Produktivitas tertinggi
potensial untuk
ikan cakalang di Teluk
berada di bagian utara Teluk Bone yakni sekitar 18,59 – 20,91 g C/m2/bulan. Adapun
Bone. Terbentuknya penangkapan
formasi
dengan
daerah
menggabungkan
kontur SPL dan klorofil-a (Gambar 2)
hasil tangkapan ikan cakalang yang
tertangkap
produktivitas
primer
2
tertinggi
pada 9,29
membuat proses pengambilan keputusan
C/m /bulan
dengan
bagi nelayan dapat berjalan dengan tepat.
tangkapan 140 – 186 ekor.
–
kisaran 11,62
jumlah
g
hasil
Produktivitas primer tertinggi berada
Kisaran optimum dua citra tersebut dapat dua
di Teluk Bone bagian utara yakni sekitar
karakteristik habitat ikan cakalang. Peta
19,34 – 22,12 g C/m2/bulan. Adapun hasil
hasil overlay dua citra tersebut dapat
tangkapan ikan cakalang tertinggi yang
disatukan dan akan terbentuk peta baru
tertangkap di perairan tersebut terjadi
dengan spesifik informasi mengenai daerah
pada bulan Februari dengan kisaran nilai
penangkapan ikan yang produktif yang
produktivitas
dijadikan
dikenal
sebagai
dengan
kombinasi
zona
optimum
primer
2
C/m /bulan
8.29
dengan
–
11.05
jumlah
g
hasil
penangkapan ikan cakalang (Zainuddin,
tangkapan 217 – 335 ekor. Penelitian yang
2011). Meskipun demikian, ada penelitian
dilakukan oleh Jamal (2011) menunjukkan
yang menunjukkan bahwa klorofil-a lebih
bahwa waktu penangkapan ikan cakalang
tepat
daerah
pada ketiga zona berdasarkan ukuran layak
penangkapan ikan cakalang dari pada SPL
tangkap adalah utara dari bulan April
(Silvia, 2009).
hingga Desember, pertengahan tengah
sebagai
indikator
bulan Februari hingga Desember, dan Sebaran Nilai Produktivitas Primer Berdasarkan data citra satelit (Gambar 2) diperoleh bahwa sebaran nilai produktivitas primer pada musim barat (Desember, Januari, dan Februari) berkisar pada kisaran 0 – 20,91 g C/m2/bulan. Untuk bulan Desember nilai produktivitas primer di perairan Teluk Bone berkisar 0 – 21,20 g Jufri dkk.
Selatan bulan Maret hingga Desember. Menurut produktivitas
Putriningsih primer
adalah
(2011), jumlah
material organik yang dihasilkan oleh organisme
autotrof
melalui
fotosintesis. Organisme autotrof
proses utama
adalah plankton jenis fito (tumbuhan) atau dikenal dengan istilah alga dan makrofita. 8
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10
ISSN: 2355-7298
Plankton mempunyai peranan yang cukup
yaitu 29,9 – 31,0 0C, sedangkan untuk grafik
besar dalam menjembatani transfer energi
konsentrasi
ke
kisaran optimum yaitu 0,12- 0,22 mg/m3.
tingkat
tropic
yang
lebih
tinggi.
klorofil-a
Hubungan
berperan
tangkapan dengan variabel lingkungan.
dalam
menentukan
kuat
nilai
Sehingga produktivitas primer ini sangat penting
yang
didapatkan antara
hasil
terjadi pada SPL 30,40C dan untuk klorofil-a
sebaran ikan cakalang. Gambar 3 menunjukkan hubungan yang kuat antara hasil tangkapan dengan
sebesar 0,15 mg/m3. Frekuensi
penangkapan
dalam
variabel-variabel yang lainnya, untuk grafik
hubungannya dengan SPL menunjukkan
SST
bahwa ikan cakalang umumnya tertangkap
diperoleh
nilai
kisaran
SST
pada kisaran konsentrasi klorofil-a 0,15 -
optimum
0,25 mg/m3 (Gambar 4). Sedangkan untuk SPL berada pada kisaran 29,5 - 30,5 oC
Gambar 3.
Analisis ECDF untuk SPL dan klorofil-a pada Musim Barat (Desember, Januari, dan Februari) di Perairan Teluk Bone
Gambar 4. Hubungan antara frekuensi penangkapan ikan cakalang dan parameter oseanografi klorofil-a (atas) dan SPL (bawah).
Jufri dkk.
9
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 1 - 10 KESIMPULAN Daerah potensial penangkapan ikan cakalang mempunyai keterkaitan yang erat dengan parameter lingkungan khususnya SPL optimum pada kisaran 29,9 – 31,0 0C dan klorofil-a optimum pada kisaran 0,120,22 mg m-3. Lokasi dengan tingkat produktifitas tinggi ikan cakalang tersebut berada pada 120°BT-121°BT and 3°LS-4°LS. Sedangkan nilai produktivitas primer selama musim barat (Desember-Februari) pada daerah penangkapan tersebut berkisar 5,30 – 11,62 g C/m2/bulan.
DAFTAR PUSTAKA Behrenfeld, M.J. dan Falkowski P. G. 1997.
Photosynthetic rates derived from satellite-based chlorophyll-a concentration. Limnology and
Oceanography Vol. 42 ( 1): 1-20.
Jamal, M., Fedi Alfiadi Sondita M., Haluan, H. dan Wiryawan, B. 2011. Pemanfaatan
Data Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dalam Rangka Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab di Perairan Teluk Bone. Jurnal
ISSN: 2355-7298 Universitas Udayana. Denpasar. Tidak dipublikasikan.
Silvia. 2009. Analisis Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) Berdasarkan Suhu Permukaan Laut dan Sebaran Klorofil-a di Perairan Mentawai, Sumatera Barat. Thesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 77 hal. Tidak dipublikasikan. Suriadi, M.A. 2004. Sebaran Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Indonesia. Pusat survei sumberdaya Alam Laut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (bakosurtanal). Cibinong. Zainuddin, M. 2011. Skipjack Tuna In Relation
To Sea Surface Temperature and Chlorophyll-a Concentration of Bone Bay Using Remotely Sensed Satellite Data. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3 (1): 82-90.
Zainuddin, M., A.F.P. Nelwan, A. Farhum, M.A.I. Hajar, Najamuddin, M. Kurnia and Sudirman. 2013. Characterizing
Potential Fishing Zone of Skipjack Tuna during the Southeast Monsoon in the Bone Bay-Flores Sea Using Remotely Sensed Oceanographic Data.
International Journal of Geosciences, Vol. 4: 259 - 266.
Natur Indonesia 14(1): 1410 - 9379.
Mallawa, A., Musbir, F. Amir dan A. Marimba. Analisis Tekanan Teknologi 2013.
Penangkapan Ikan Terhadap Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) di Perairan Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Makalah Seminar Perikanan
Tangkap V. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mallawa, A., Safruddin dan M. Palo. 2010.
Aspek perikanan dan pola distribusi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Teluk Bone, Sulawesi Selatan . J. Torani. FIKP Unhas. Vol. 20 (1): 17 – 24.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 356 hal. Putriningsih, A. A. 2011. Estimation of Fish Production Around Indonesia Archipelago Using Satellite Data. Tesis.
Jufri dkk.
10
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 11 - 19
ISSN: 2355-7298
DINAMIKA PERUBAHAN SUHU DAN KLOROFIL-A TERHADAP DISTRIBUSI IKAN TERI (Stelophorus spp) DI PERAIRAN PANTAI SPERMONDE, PANGKEP Dynamics of Temperature and Chlorophyll-a Changes on the Distribution of Anchovies (Stelophorus spp) in Spermonde Coastal Waters, Pangkep Safruddin1), Mukti Zainuddin1) dan Joeharnani Tresnati 2) 1)
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya, FIKP, Unversitas Hasanuddin.
2)
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP, Unversitas Hasanuddin. Diterima: 7 Oktober 2013; Disetujui: 17 Januari 2014
ABSTRACT The distribution of anchovies (Stelophorus spp) in the Spermonde coastal waters, Pangkep, was studied from satellite remotely sensed environment and catch data, using Geographic Information Systems (GIS) and Generalized Additive Model (GAM). The goal of this preliminary study was to investigate the relationship between sea surface temperature (SST) and sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), and anchovies distribution. To describe their relationship, SST and SSC derived from Aqua/MODIS satellite were overlain with the positions of experimental fishing by local fishermen’s lift net (“Bagan perahu”). The experimental lift net operations were conducted in April to May 2008. The findings of this study showed that most of the anchovies distribution occurred in the o coastal area. Anchovies distribution tended to be highest in the specific temperature of 28.8 - 29.3 C
and chlorophyll-a of 1.5 ‒2.5 mg.m-3. Furthermore, the SST and SSC in the coastal waters of Spermonde play a great role in determining the variability of the anchovies quantitative distribution in the study area. The results were supported by GAM prediction. Due to lack of robust data, there is no detailed information on the optimum habitat preference of anchovies. Future work is needed to reveal the preferred habitat of anchovies with the consideration of more oceanographic parameters.
Key words: Anchovies distribution, SST, SSC, GAM, and Spermonde coastal waters
Contact person : Safruddin Email :
[email protected]
Safruddin dkk.
11
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 11 - 19 PENDAHULUAN Sumberdaya ikan merupakan salah satu sumberdaya hayati perairan yang dapat dimanfaatkan bukan hanya sebagai sumber pangan tetapi juga dikembangkan untuk komoditi perdagangan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sumberdaya ikan pelagis merupakan salah satu sumberdaya ikan yang paling melimpah di perairan Indonesia dengan estimasi sekitar 75% dari total stok ikan atau 4,8 juta ton/tahun (Hendiarti et al., 2005). Ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya ikan ekonomis penting dan sebagai komponen utama secara ekologis pada berbagai ekosistem laut (Barange, et al., 2009). Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik karena wilayah penyebarannya dominan ditemukan di sekitar pantai (neritic population). Mangsa utamanya adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairannya (Safruddin dkk., 2005; Safruddin, 2006). Potensi sumberdaya ikan pelagis kecil diperairan Kabupaten Pangkep berdasarkan hasil tangkapan gill net, purse seine, bagan perahu, dan bagan tancap dengan menggunakan standarisasi alat tangkap setara purse seine adalah sekitar 15.844 ton atau tingkat pemanfaatan sebesar 58,61% (Zainuddin dkk., 2008), sehingga masih memungkinkan untuk pengembangan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan. Kaitannya dengan upaya optimalisasi pemanfaatan dan keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis kecil seperti ikan teri (Stelophorus spp), informasi mengenai kondisi lingkungan perairan sangat penting untuk diketahui (Hendiarti et al., 2005; Zorica et al., 2013) karena setiap jenis ikan membutuhkan kondisi Safruddin dkk.
ISSN: 2355-7298
lingkungan yang optimum untuk kehidupan dan pertumbuhannya. Dengan demikian, tuntutan pengetahuan tentang kondisi lingkungan perairan yang memadai sangat diperlukan untuk memprediksi distribusi ikan target tangkapan (target species) di perairan tersebut. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji hal tersebut dalam rangka menyediakan informasi awal tentang keterkaitan dinamika perubahan suhu dan klorofil-a terhadap distribusi ikan teri di perairan. DATA DAN METODE Pengambilan
data
lapangan
dilakukan selama dua bulan yaitu dari April sampai Mei
2008 di perairan pantai
Spermonde,
Kabupaten
Pangkep,
menggunakan bagan perahu (large lift net) dengan posisi fishing base
di pulau
Balanglompo (Gambar 1
dan 2).
Metode pengambilan data Data penelitian
yang ini
digunakan
terdiri
dari
dalam
data
posisi
penangkapan dan total berat ikan teri yang tertangkap/ trip (data primer), dan data sekunder yang meliputi suhu permukaan laut
(SPL)
dan
konsentrasi
klorofil-a
permukaan laut rata-rata bulanan (monthly
average) pada April dan Mei 2008 yang didownload
dari
satelit
Aqua
dengan
sensor MODIS (NASA). Selanjutnya data tersebut dioverlay dan divisualisasi dengan metode Sistem Informasi Geografis (ArcGIS, ESRI, USA) dan Matlab (MathWorks, Natick, MA, USA).
12
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 11 - 19
Gambar 1.
ISSN: 2355-7298
Profil kedalaman di perairan kepulauan Spermonde dan sekitarnya serta posisi pulau Baranglompo sebagai fishing base bagan perahu. Data bathimetri diakses dari AVISO database (NOAA).
Gambar 2. Bagan perahu yang digunakan dalam penelitian ini.
Safruddin dkk.
13
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 11 - 19
ISSN: 2355-7298
Tabel 1. Daftar alat, bahan, dan kegunaan. No. 1.
2.
Alat dan bahan
Alat 1.1 Satu (1) unit bagan perahu 1.2 GPS 1.3 Digital camera 1.4 Timbangan 1.5 Perahu Bahan 2.1 Alat tulis menulis 2.2 Citra satelit Aqua/MODIS 2.3 ArcGIS 10.0 dan Matlab 8.0.0.783 2.4 R program 3.0
statistik
yang
digunakan
adalah Generalized Additive Model (GAM) dengan
R
program
software
(R
Development Core Team, 2013). Detail tentang GAM seperti yang dijelaskan oleh Hastie dan Tibshirani, 1990; dan Wood, 2006. Generalized Additive Model adalah model non-liner, biasanya digunakan untuk memahami
keterkaitan
antara
variabel
yang diamati melalui identifikasi kisaran nilai yang berpengaruh positif, dalam hal ini antara variabel respon μ i (berat hasil tangkapan ikan teri, kg) dan variabel prediktor (SPL dan konsentrasi klorofil-a) yang dapat diformulasikan seperti pada persamaan berikut ini.
g(μ i ) = α 0 +s 1 (SPL) +s 2 (konsentrasi klorofil-a)+ε dimana g adalah spline smooth function,
μi: variabel respon α 0 : koefisien konstanta, sn:
Alat penangkapan ikan teri Penentuan posisi penangkapan ikan Dokumentasi Mengukur berat ikan Transportasi Pencacatan data Akses data SPL dan klorofil-a Visualisasi informasi Analisis hubungan antara variabel. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis data Model
Kegunaan
smoothing function dari variable
prediktor, dan ε: standard error.
Berat ikan teri (Stelophorus spp) Perikanan bagan (lift net fishery) telah berkembang dan banyak digunakan di Indonesia termasuk di perairan Spermonde. Bagan perahu dioperasikan pada malam hari dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan karena ikan pelagis kecil cenderung bermigrasi ke dekat permukaan perairan pada malam hari dengan membentuk kelompok yang relatif kecil (Cutter and Demer, 2008). Target tangkapan alat tangkap ini adalah ikan layang (Decapterus sp), kembung (Restrelliger sp), Tembang (Sardinella sp), dengan tangkapan utama adalah ikan teri (Stelophorus spp) (Safruddin, dkk., 2005). Oleh sebab itu, perikanan bagan lebih dikenal sebagai perikanan teri karena bagan merupakan alat tangkap yang paling produktif digunakan nelayan saat ini untuk pemanfaatan sumberdaya ikan teri. Ada 42 total posisi penangkapan ikan yang didapatkan, terdiri atas 22 fishing
ground pada bulan April dan 20 fishing ground
(Mei).
Total
dan
rata-
rata tangkapan teri masing - masing
Safruddin dkk.
14
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 11 - 19 sebesar 1.268,25 kg dan 58,47 kg (April), dan 705 kg dan 35,25 kg (Mei). Kondisi Oseanografi Informasi kondisi oseanografi di lokasi penelitian dapat diketahui berdasarkan data satelit Aqua dan sensor MODIS seperti SPL dan konsentrasi klorofil-a permukaan laut.
ISSN: 2355-7298
Profil horizontal sebaran SPL dan klorofil-a yang dioverlay dengan distribusi ikan teri secara kuantitatif seperti yang digambarkan secara proporsional pada Gambar 3A‒D. Sebaran SPL di perairan Spermonde dan sekitarnya sedangkan antara 27,015‒30,076 oC konsentrasi klorofil-a berada pada nilai kisaran yang lebih luas antara 0,188‒7,691 mg.m-3. Kondisi lingkungan perairan seperti ini sangat memungkinkan dan mendukung kehidupan
Gambar 3. Kondisi oseanografi di perairan Spermonde dan sekitarnya; (A‒B) suhu permukaan laut; dan (C‒D) konsentrasi klorofil-a permukaan laut rata-rata bulanan (monthly average) pada bulan April sampai Mei 2008 diperoleh dari Citra Satelit Aqua/MODIS dengan resolusi 4 km.
Safruddin dkk.
15
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 11 - 19 dan perkembangan ikan di wilayah tersebut khususnya kelompok ikan pelagis kecil dengan mangsa utama adalah plankton. Di daerah perairan pantai (Gambar 1, 3C, dan 3D) biasanya memiliki produktivitas primer dan sekunder yang tinggi sehingga temukan kelimpahan ikan pada level tropic yang rendah (lower tropic level) sampai pertengahan, middle tropic level (Zwolinski et al., 2012). a. Suhu permukaan laut Kondisi perairan dengan suhu relatif lebih rendah ditemukan pada bulan Mei di hampir seluruh wilayah penelitian (bagian Selatan dari Selat Makassar) yang berada pada kisaran dominan antara 28,434‒29,496 oC (Gambar 3B). Kondisi berbeda pada bulan April, suhu perairan cenderung lebih hangat pada nilai kisaran 29,098‒30,076 oC (Gambar 3A-B). Informasi sebaran suhu permukaan laut adalah sangat penting untuk menentukan daerah potensial penangkapan ikan (Safruddin dan Zainuddin, 2007). Data citra satelit menyediakan informasi secara berkala dan pada cakupan area yang luas tentang sebaran suhu tersebut (Gordon, 2005; Hendiarti et al., 2005). Suhu perairan juga mempengaruhi secara langsung terhadap kondisi fisiologis ikan dan secara tidak langsung mempengaruhi kelimpahan makanan untuk ikan (Royce, 1984; Dimmlich et al., 2009; Zorica et al., 2013). b. Konsentrasi klorofil-a Konsentrasi klorofil-a yang dikenal sebagai pigmen photosintetik dari phytoplankton. Pigmen ini dianggap sebagai indeks terhadap tingkat produktivitas biologis. Di perairan laut, indeks klorofil-a merupakan gambaran biomassa fitoplankton (Gomez et al., 2012), ini dapat dihubungkan dengan produksi Safruddin dkk.
ISSN: 2355-7298
ikan atau lebih tepatnya dapat menggambarkan tingkat produktivitas daerah penangkapan ikan (Polovina et al., 2001). Konsentrasi klorofil-a di lokasi penelitian antara 0,224–1,088 mg.m-3 (April), dan pada bulan Mei berada pada kisaran konsentrasi yang lebih sempit antara 0,299‒0,499 mg.m-3 (Gambar 3C‒D). Keberadaan konsentrasi klorofil-a yang tinggi khususnya di daerah pantai mengindikasikan keberadaan plankton yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan pelagis kecil ekonomis penting (Safruddin dan Zainuddin, 2007). c. Dinamika perubahan suhu dan klorofil -a terhadap distribusi teri Parameter oseanografi mempunyai peran sangat penting dalam mempelajari distribusi
dan
kelimpahan
sumberdaya
ikan. Ikan teri cenderung berkumpul pada kisaran nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a tertentu (Gambar 4A‒D). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan teri cenderung menempati ruang yang relatif lebih hangat pada nilai kisaran SPL 28,8 - 29,3°C (Gambar 5A). Dalam hubungannya dengan konsentrasi klorofil-a, daerah potential penangkapan ikan teri berada pada tingkat klorofil-a sekitar 1,5 – 2,5 mg.m-3 (Gambar 5B). Untuk meningkatkan keandalan hasil model yang terbentuk dengan tujuan memprediksi habitat optimum untuk ikan teri, maka diperlukan data lapangan yang memadai dalam durasi waktu yang relatif lebih lama dengan mempertimbangkan pengaruh perubahan musim terhadap kondisi perairan (Gordon, 2005; Hendiarti et al., 2005).
16
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 11 - 19
ISSN: 2355-7298
Gambar 4. Distribusi ikan teri hubungannya dengan kondisi oseanografi; suhu permukaan laut (A‒C) dan konsentrasi klorofil-a permukaan laut (B‒D).
Gambar 5. Pengaruh parameter oseanografi; (A) suhu permukaan laut dan (B) konsentrasi klorofil-a permukaan laut terhadap distribusi ikan teri di perairan Spermonde.
Deshed lines menunjukan batas tingkat kepercayaan 95%.
Safruddin dkk.
17
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 11 - 19 KESIMPULAN Pada bulan April dan Mei (musim Timur), ikan teri (Stelophorus spp) di perairan Spermonde, Pangkep cenderung berkumpul pada suhu perairan yang relatif hangat dengan konsentrasi klorofil-a sekitar 1,0‒1,8 mg. m-3. Ikan teri cenderung terkonsentrasi pada kondisi suhu perairan dan konsentrasi klorofil-a pada kisaran nilai tersebut. Dalam hasil studi ini juga diketahui bahwa suhu permukaan laut memiliki pengaruh positif terhadap distribusi ikan teri pada kisaran 28,8‒29,3 oC (Gambar 5A) dengan kisaran konsentrasi klorofil-a pada kisaran yang cukup tinggi pada kisaran 1,5 -2,5 mg.m-3 (Gambar 5B). Ikan teri cenderung terdistribusi pada konsentrasi klorofil-a yang tinggi dekat pantai (Gambar 3B dan D) disebabkan karena mangsa utama ikan teri adalah plankton. Hasil ini didukung oleh hasil yang didapatkan berdasarkan investigasi dengan menggunakan model statistik (GAM). Untuk meningkatkan keandalan hasil model yang terbentuk tentang habitat optimum untuk ikan teri, diperlukan data lapangan yang memadai dalam durasi waktu yang lebih lama sehingga mewakili musim penangkapan ikan teri di perairan Spermonde dan sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Barange, M., J. Coetzee, A. Takasuka, K. Hill, M. Gutierrez, Y. Oozeki, C. Lingen and, Vera Agostini. 2009. Habitat expansion and
contraction in anchovy and sardine populations. Progress in Oceanography; 83: 251–260.
Cutter Jr., G. R., and D. A. Demer. 2008.
California current ecosystem survey 2006 . Acoustic cruise reports for NOAA FSV Oscar Dyson and NOAA FRV David
Safruddin dkk.
ISSN: 2355-7298 Starr Jordan. NOAA Tech. Memo. NMFSSWFSC-415: 98 pp.
Dimmlich, W.F., T. M. Ward† and W. G. Breed. 2009. Spawning dynamics and biomass
estimates of an anchovy Engraulis australis population in contrasting gulf and shelf environments. Journal of Fish Biology, 75: 1560–1576.
Gomez, F, A. Montecinos, S. Hormazabal, L.A.Cubillos, M.C. Ramirez, and F.P. Chavez. 2012. Impact of spring
upwelling variability off southerncentral Chile on common sardine (Strangomera bentincki) recruitment . Fish. Oceanogr. 21(6): 405–414.
A.L. 2005. Oceanography of Indonesian Seas and Their Through flow . Oceanography 18 (4): 14–27.
Gordon,
Hendiarti, N., Suwarso, E. Aldrian, K. Amri, R. Andiastuti, S.I. Sachoemar, and I.B. Wahyono. 2005. Seasonal variation of pelagic fish catch around Java. Oceanography 18(4): 112–123. Hastie, T., Tibshirani, R. 1990. Generalized Additive Models. Chapman and Hall, London. 352 pp. R
Development Core Team. 2013. R: a Language and Environmental for Statistical Computing. R Foundation for Statistical Computing. Vienna, Austria. http://www.R-project.org.
Safruddin, D. Ahmad, S. A. Ali. 2005. Keterkaitan
antara Beberapa Faktor Oseanografi dengan Hasil Tangkapan Bagan Rambo di perairan Teluk Bone Kabupaten Luwu . Jurnal Torani, ISSN 0853‒4489. Vol. 15 (3): 192‒200.
Safruddin. 2006. Studi Struktur Level Tropic
Ikan Pelagis di Perairan Teluk Bone Kabupaten Luwu . Jurnal Torani, ISSN 0853‒4489. Vol. 16 (3): 208‒215.
Safruddin dan M. Zainuddin. 2007. Mapping
Scads Fishing Ground Based on the Relationship between Catch Data and Oceanographic Factors in Bone Coastal
18
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 11 - 19
ISSN: 2355-7298
Waters. Torani Jurnal, ISSN 0853-4489. Vol. 17 (5) (special edition : 192‒200. Wood, S.N. 2006. Generalized Additive Models: An Introduction with R. Chapman & Hall, London. 392 pp. Zainuddin, M., Safruddin, dan J. Tresnati. 2008. Penentuan daerah penangkapan ikan di perairan Kabupaten Pangkep. CV. Pratama Consultants. 121 hal. Zorica, B., I. Vilibic, V.I. Kec and J. Epic. 2013.
Environmental conditions conducive to anchovy (Engraulis encrasicolus) spawning in the Adriatic Sea. Fish. Oceanogr. 22 (1): 32–40.
Zwolinski, J.P, D.A., Demer, K.A., Byers, G.R, Cutter,J.S, Renfree,. 2012. Distributions
and abundances of Pacific sardine (Sardinops sagax) and other pelagic fishes in the California Current Ecosystem during spring 2006, 2008, and 2010, estimated from acoustic– trawl surveys. Fish. Bull. NOAA, 110: 110–122.
Safruddin dkk.
19
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 20 - 27
ISSN: 2355-7298
ANALISIS SPASIAL DAN TEMPORAL HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DAN THERMAL FRONT PADA MUSIM PERALIHAN DI PERAIRAN TELUK BONE Spatial and Temporal Analysis of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) Catch and Thermal Front during the Transition Season in the Bone Bay Angraeni1), Nur Indah Rezkyanti2), Safruddin1), dan Mukti Zainuddin1) 1)
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FIKP, Universitas Hasanuddin.
2)
Program Studi Ilmu Perikanan, Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin. Diterima: 21 Oktober 2013; Disetujui: 28 Januari 2014 ABSTRACT
The main problem facing by fishermen for capturing skipjack tuna is limited information of potential skipjack fishing areas such as the frontal locations. The purpose of this study was to analyze the spatial and temporal skipjack tuna distributions and thermal fronts, and to determine the effect of climate change on their distribution and abundance during transitional seasons. We used a survey method, in which catch and fishing position data were collected by following pole and line fishing operations. This study also collected secondary data that consisted of sea surface temperatures (SSTs) and chlorophyll-a derived from Aqua / MODIS. Fronts were determined by calculating SST gradient, SSTs preferences, chlorophyll-a, bathymetry and distance from coastline, whereas SST anomaly was calculated from the difference between monthly SST and mean SST. We mapped satellite and field data using ArcGIS 10.0. The results showed that the highest catch of skipjack tuna with an average of 205 fish/set were found in October 2013, which occurred in the areas of 4o40'S-5o10'S and 120o40'E121oE. The locations had a temperature gradient of 0.4oC and chlorophyll-a density from 0,15 to 0,23 mg m-3. Potential fishing areas may associate with negative SST anomalies of -2.1373 - -0.6469oC, reflecting that skipjack tuna tend to be at thermal fronts with relatively lower SST compared with an average of seven years. Key words: Bone Bay, SST, thermal front, SST anomaly, skipjack tuna
Contact person: Angraeni E-mail:
[email protected]
Angraeni dkk.
20
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 20 - 27
ISSN: 2355-7298 Penelitian
PENDAHULUAN Distribusi cakalang
di
dilakukan
untuk
menganalisis secara spasial dan temporal dan
perairan
kelimpahan Sulawesi
ikan
Selatan
dipengaruhi beberapa faktor lingkungan laut (Safruddin dan Zainuddin, 2008; Mallawa dkk., 2010). Suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a merupakan faktor penting dalam menentukan
ini
daerah
penangkapan
ikan
cakalang di Teluk Bone (Zainuddin dkk., 2013). Daerah front merupakan salah satu proses oseanografi yang juga mempengaruhi kelimpahan dan distribusi ikan, dimana terjadi pertemuan antara dua massa air berbeda yang dapat diidentifikasi dari suhu massa air tersebut. Butler et al. (1988) menyatakan bahwa front penting dalam produktivitas perairan laut karena cenderung membawa air yang relatif dingin dan kaya akan nutrien. Kombinasi dari suhu dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari percampuran ini akan meningkatkan produktivitas plankton. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah ikan cakalang di daerah tersebut (Jufri dkk., 2014). Nelayan tradisional menentukan area gerombolan ikan hanya dengan mengandalkan metode tradisional “melihat burung-burung” yang terbang di atas permukaan laut. Cara tersebut dianggap sudah tidak efisien dan efektif lagi, karena metode tersebut tidak memberikan informasi yang sistematis dan akurat. Teknologi remote sensing yang mampu mendeteksi karakteristik oseanografi seperti lokasi front dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan suatu fishing ground (Laevastu and Hayes, 1981; Butler et al., 1988).
jumlah hasil tangkapan ikan cakalang dan
thermal front pada musim peralihan (musim Barat ke musim Timur dan musim Timur ke musim
Barat),
mempelajari
pengaruh
perubahan iklim terhadap hasil tangkapan ikan cakalang pada alat tangkap pole and
line yang dioperasikan di perairan Teluk Bone, dan mengidentifikasi daerah thermal front pada musim peralihan di perairan Teluk Bone.
Adapun
adalah
Kegunaan
penelitian
ini
menyediakan informasi mengenai
thermal front hubungannya dengan
hasil
tangkapan ikan cakalang di perairan Teluk Bone. DATA DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2013 di perairan Teluk
Bone,
Kabupaten
Luwu,
Sulawesi
Selatan dengan fishing base di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Murante, Kecamatan Suli (Gambar 1 dan dan Tabel 1).
Gambar 1. Lokasi penelitian Angraeni dkk.
21
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 20 - 27
ISSN: 2355-7298
Tabel 1. Alat, bahan, dan kegunaan. No. 1.
2.
Alat dan bahan
Kegunaan
Alat 1.1 Satu (1) unit Pole and line 1.2 Global Positioning System (GPS) 1.3 Digital camera 1.4 Timbangan
Alat penangkapan ikan cakalang Penentuan posisi penangkapan ikan Dokumentasi Mengukur berat ikan
Bahan 2.1 Alat tulis menulis 2.2 Citra satelit Aqua/MODIS 2.3 ArcGIS10 dan ENVI 4.7
Pencacatan data Analisis daerah penangkapan ikan Memetakan daerah penangkapan ikan
pantai> 4 mil, dan kedalaman > 100 m (data
Metode Pengambilan Data Dalam penelitian ini, pengambilan dan pencatatan data lapangan yang dilakukan selama mengikuti operasi penangkapan ikan, meliputi ; posisi penangkapan ikan, hasil tangkapan
ikan
cakalang
(ekor),
suhu
permukaan laut (SPL) secara in-situ dan ex-
situ (citra satelit).
etopo2), maka bisa dikatakan jika daerah ini merupakan daerah front. SPL Anomali (Andrade dan Garcia, 1999) digunakan untuk melihat pengaruh lingkungan terhadap daerah penangkapan ikan
cakalang
dengan
formula
sebagai
berikut: SPL Anomali = SPL BL ke-i – SPL rata-rata
Analisis Data Data
BL ke-i
Citra
Satelit
MODIS
suhu
permukaan laut yang dianalisis merupakan data pada musim peralihan dari Timur ke Barat (September–Oktober) tahun 2006– 2012 untuk melihat anomali suhu permukaan laut, serta data tahun 2013 untuk identifikasi
thermal front. Data hasil tangkapan yang didapatkan pada bulan September–Oktober 2013.
SPL
ditentukan
Gradien jika
o
(Faisal
perairan
dkk.,
2009)
berada
pada
thermal
Analisis
front
dilakukan
dengan menggunakan analisis grafis (peta) secara spasial dan temporal dengan metode
visualisasi kriging IDW dengan empat kriteria yang khusus di Teluk Bone yaitu suhu antara 28-32oC, selisih suhu 0,3oC, berada pada kedalaman >100 m, dan klorofil-a
antara
3
0,15-0,5 mg/m .
o
suhu 24-28 C, dengan selisih SPL > 1 C, garis Angraeni dkk.
22
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 20 - 27 HASIL DAN PEMBAHASAN
ISSN: 2355-7298 Hasil tersebut diatas
sesuai dengan
hasil studi sebelumnya yang telah dilakukan
Hubungan Parameter Oseanografi terhadap Hasil Tangkapan
Zainuddin et al. (2011; 2013) bahwa kisaran suhu optimum ikan cakalang di wilayah
Gambar 2 menunjukkan hubungan
perairan
Teluk
Bone
Sedangkan
terhadap
bahwa suhu yang ideal untuk ikan cakalang
hasil
tangkapan
ikan
cakalang yang didapatkan selama penelitian. SPL untuk penangkapan ikan berada pada kisaran 29,5 -31,9 oC. Tangkapan cakalang tertinggi (3,204 ekor/hauling) berada pada
(1996)
30-32oC.
antara parameter suhu permukaan laut jumlah
Gunarso
sekitar
melaporkan
antara 26oC - 32oC. Suhu Permukaan Laut pada Musim Peralihan 2013 Sebaran SPL di Teluk Bone berkisar
kisaran SPL 31 - 31,4oC dan hasil terendah
28,5-33oC
dimana
pada
bulan
ditemukan pada suhu 31,5 - 31,9 C (349
antara
ekor/hauling).
September dan Oktober terlihat bahwa ikan
o
cakalang
berada
pada
suhu
29-31oC
(Gambar 3), sedangkan anomali SPL (Gambar 4).
Gambar 2. Jumlah Hasil Tangkapan Cakalang Hubungannya dengan Perubahan Suhu Permukalaan Laut (SPL).
Angraeni dkk.
23
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 20 - 27
ISSN: 2355-7298
Gambar 3. Sebaran SPL pada Musim Peralihan (September – Oktober 2013).
Gambar 4. Anomali SPL pada Musim Peralihan (September – Oktober 2013).
Angraeni dkk.
24
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 20 - 27 Anomali
suhu
permukaan
laut
bervariasi dari pengamatan pada Maret – Mei dan
September - November 2013.
Anomali tertinggi berada pada bulan Mei yaitu sekitar 0,8872-1,2479oC sedangkan anomali
terendah
berada
pada
bulan
November yaitu sekitar - 4,6002 sampai - 2,9307oC.
ISSN: 2355-7298
Peta Identifikasi Daerah Thermal Front Pada Musim Peralihan 2013 Berdasarkan 5
kriteria
identifikasi
Thermal Front menurut Faisal et al. (2006) yaitu suhu antara 28-32oC, selisih suhu 0,3oC, berada pada kedalaman >100 m, dan klorofil-a antara 0,15-0,5 mg/m3.
Gambar 5. Peta Identifikasi Thermal Front dengan Suhu dan Klorofil-a pada Bulan September – Pada musim peralihan dari Timur ke Oktober 2013. Barat daerah, thermal front dapat ditemukan Angraeni dkk.
25
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 20 - 27
ISSN: 2355-7298
pada bulan September terdapat di daerah perairan Kabupaten Luwu, Kabupaten Wajo dan Kabupaten Kolaka Utara dengan luas kisaran 3.793,536429 km2 (Gambar 6).
Gambar 6. Peta Identifikasi Thermal Front dengan Suhu dan Klorofil-a pada Bulan September – Oktober 2013 Pada bulan Oktober, Termal Front terdapat di daerah perairan Kabupaten Luwu Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Bone dan perairan Kabupaten Kolaka. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suhu perairan yang disukai untuk ikan cakalang berada pada kisaran 29,5 sampai 31oC dengan hasil tangkapan tertinggi pada kisaran 31 sampai 31,4oC dimana terdapat kecenderungan hubungan antara termal front dengan hasil tangkapan ikan cakalang dimana perairan Angraeni dkk.
Teluk Bone pada bulan September dan Oktober ikan cakalang yang tertangkap sebagian berada pada daerah thermal front yang memiliki kedalaman 300-1.900 m, perkiraan hasil tangkapan 2.290 ekor, kisaran suhu 29-32oC, kisaran klorofil-a 0,15-0,23 mg/m3 dengan selisih suhu 0,4-1,1oC ditemukan di perairan Kabupaten Luwu dan Kabupaten Kolaka utara dengan posisi dan 120O40’BT-121oBT. 4o40’LS-5o10’LS Selain itu Teluk Bone memiliki kecenderungan perubahan iklim yang lebih rendah dari biasanya pada musim peralihan dari Barat ke Timur dan dari Timur ke Barat dimana anomali rata-rata yaitu anomali negatif yang berkisar antara -4,6002 sampai 26
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 20 - 27 -0,0684oC, sedangkan ikan cakalang tertangkap pada anomali negatif yaitu berkisar antara -2,1373 sampai -0,6469oC artinya ikan cakalang menyukai daerah yang suhunya lebih rendah dari biasanya. Sedangkan daerah thermal front pada musim peralihan dari Barat ke Timur dan dari Timur ke Barat di Teluk Bone banyak terjadi di daerah perairan Kabupaten Luwu dan Kabupaten Kolaka Utara. DAFTAR PUSTAKA Andrade and Gracia. 1999. Skipjack tuna fishery
in relation to sea surface temperature off the southern Brazilian coast . Fisheries Oceanography, Vol. 8 (4): 245–252.
Butler, M. J. A., M. C. Mouchot, V. Berale dan C. Leblanc. 1988. The Aplication of The Remote Sensing Technologi to Marine Fisheries, An Introduction Manual. Rome: FAO Fisheries Paper 295. 165 p. Faisal Y., N. Nurdin, M. Sadly. 2006. The
Development and Implementation of Rule Based Expert Systems with GIS based on Remote Sensing Data for Fishing Ground Prediction models: Alternative approaches and methods.
ISSN: 2355-7298
Mallawa, A, Safruddin dan M. Palo. 2010. Aspek
Perikanan dan Pola Distribusi Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) di Perairan Teluk Bone Sulawesi Selatan . Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 21 (1): 17-24.
Safruddin, dan M. Zainuddin. 2008. Prediksi
Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Berdasarkan Kondisi Oseanografi di Perairan Kabupaten Takalar . Jurnal Sains dan Teknologi. Vol. 8 (2): 158-162.
Zainuddin, M. 2011. Skipjack Tuna in Relation
to Sea Surface Temperature and Chlorophyll-a Concentration of Bone Bay Using Remotely Sensed Satellite Data. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. IPB.
Zainuddin. M, A. Nelwan, A. Farhum, Najamuddin, M.I. Hajar, M. Kurnia, Sudirman . 2013.
Characterizing Potential Fishing Zone of Skipjack Tuna during the Southeast Monsoon in the Bone Bay-Flores Sea Using Remotely Sensed Oceanographic Data. International Journal of Geosciences, 2013 (4): 259 – 266.
Proceeding. 601 – 609 pp.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 149 hal. Jufri, A., M. A. Amran, M. Zainuddin. 2014.
Karakteristik Daerah Penangkapan Ikan Cakalang pada Musim Barat di Perairan Teluk bone. Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1(1): 110 (in this issue).
Laevastu, T., Murray L. Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. England: Fishing News Book Ltd. Farnham-Surrey. 199 hal.
Angraeni dkk.
27
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39
ISSN: 2355-7298
KUALITAS STABILITAS KAPAL PAYANG PALABUHANRATU BERDASARKAN DISTRIBUSI MUATAN Quality of Payang Boat and Stability Yopi Novita1), Neni Martiyani2) dan Reni Eva Ariyani3) 1)
Departemen PSP, FPIK, IPB, Bogor.
2)
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
3)
SMKN 2 Indramayu, Jawa Barat. Diterima: 4 Oktober 2013; Disetujui: 4 Februari 2014
ABSTRACT A good stability of a fishing vessel determines the safety and the success of fishing operation. One of the critical factors affecting the quality of fishing boat’s stability is the on board loads arrangement. However, it is generally ignored by traditional fishermen, such as fishermen of payang boat. This condition may increase the possibility of capsizing as a result of less stability. A payang fishing boat should have a good stability. It is because while conducting fishing operation, this fishing boat should be capable of quick manoeuvering. This research aimed to analyse the stability of the boat in an existing loads arrangement and determine the arrangement for the better stability. This research was conducted in two phases. The first phase was conducting a survey which to capture existing condition. The second one was developing a simulation of loads arrangement to gain the better parameter of stability. The results showed that the typical loads arrangement applying by traditional fishermen (existing condition) resulted on poor stability. Better stability was produced by placing more cargos under deck and avoiding overload on the deck.
Key words: Stability, payang boat, loads arrangement.
Contact person : Yopi Novita Email :
[email protected]
Yopi dkk.
28
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39 PENDAHULUAN Stabilitas kapal yang tinggi sangat menentukan keselamatan kapal dan keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan. Salah satu faktor yang menentukan tinggi atau rendahnya kualitas stabilitas suatu kapal adalah penempatan muatan di atas kapal (Hind, 1982). Penempatan muatan di atas kapal akan mempengaruhi keberadaan titik berat (gravity, G) pada kapal. Hind (1982) menyatakan bahwa titik G akan berubah apabila terjadi penambahan, pengurangan ataupun perpindahan muatan di atas kapal. Taylor (1977) menyebutkan bahwa keberadaan titik G terhadap titik Metacentre (M) menentukan kondisi stabilitas suatu kapal. Apabila posisi titik G berada di bawah titik M, maka kapal berada dalam kondisi stable equilibrium. Posisi titik G berada di atas titik M, akan mengakibatkan kapal dalam kondisi unstable equilibrium. Oleh karena itu, semakin tinggi posisi titik G dari titik K (Keel, lunas kapal) atau semakin dekat posisi titik G ke titik M, maka kapal dalam kondisi menuju unstable equilibrium. Kajian terhadap stabilitas kapal dan kaitannya dengan penempatan muatan, umumnya dilakukan pada kondisi berat muatan yang berbeda. Seperti kajian yang telah dilakukan oleh Marjoni dkk. (2010) terhadap kapal purse seine di Nanggroe Aceh Darussalam. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa perubahan berat muatan akan mengakibatkan perubahan jarak KG. Umumnya, nelayan-nelayan tradisional sering mengabaikan masalah penempatan muatan di atas kapal. Seringkali muatan diletakkan di atas lantai dek kapal. Alasan penempatan muatan di atas lantai dek kapal adalah semata-mata dikarenakan kemudahan pada saat bongkar muatan setibanya kapal di pelabuhan. Nelayan kapal payang adalah salah satu nelayan yang seringkali melakukan penempatan muatan di atas lantai dek kapal. Apabila sedang musim puncak dimana hasil Yopi dkk.
ISSN: 2355-7298 tangkapan melimpah, seringkali nelayan kapal payang menempatkan hasil tangkapan melebihi kapasitas muat kapal. Kondisi inipun akan mempengaruhi kualitas stabilitas kapal. Hasil kajian Suwardjo dkk. (2010), menunjukkan bahwa kecelakaan kapal perikanan memberikan dampak terbaliknya kapal. Oleh karena itu, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji kualitas stabilitas kapal payang dalam kondisi eksisting penempatan muatan di atas kapal, dan 2) menentukan posisi penempatan muatan yang menghasilkan kualitas stabilitas kapal yang lebih tinggi. DATA DAN METODE Penelitian dilakukan dengan menjadikan kapal payang di Palabuhanratu sebagai objek penelitian. Penelitian dilakukan selama bulan November 2011 hingga Maret 2012. Penelitian dilakukan dengan dua cara, yaitu mengkaji kondisi eksisting penempatan muatan di atas kapal payang di Palabuhanratu dan simulasi terhadap penempatan muatan di atas kapal payang tersebut. Simulasi dilakukan dengan menggunakan program GZ (PGZ) dan dilakukan di Laboratorium Desain dan Dinamika Kapal, Departemen PSP FPIK IPB. Penelitian dilakukan terhadap penempatan kondisi eksisting penempatan muatan saat kapal dalam perjalanan kembali ke fishing base, dalam dua kondisi eksisting, yaitu saat hasil tangkapan minimal (musim paceklik ikan) (kondisi M 1-1 ) dan saat hasil tangkapan maksimal (musim banyak ikan) (kondisi M 2-1 ). Adapun simulasi penempatan muatan, dilakukan terhadap muatan-muatan yang memang mudah untuk dipindahkan, seperti hasil tangkapandan ABK (anak buah kapal). Kondisi muatan saat kondisi M 1-1 dan M 2-1 serta simulasi dari kedua kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
29
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39 1)
Kondisi M 1-1 : eksisting penempatan muatan saat kapal bermuatan minimal (musim paceklik ikan).
2)
Kondisi M 2-1 : eksisting penempatan muatan saat kapal bermuatan maksimal (musim puncak ikan).
3)
Kondisi M 1-2 : simulasi kondisi M 1-1 dengan memindahkan semua blong berisi ikan ke bawah lantai dek kapal, tepatnya di tengah kapal hingga ke arah haluan kapal.
4)
5)
6)
Kondisi M 1-3 : simulasi kondisi M 1-2 dengan memindahkan blong besar berisi ikan ke tengah kapal hingga ke arah haluan kapal dan menyebarkan blong kecil berisi ikan di buritan dan haluan kapal. Kondisi M 2-2 : simulasi kondisi M 2-1 dengan menurunkan semua awak yang duduk di atas para-para ke lantai dek kapal dan memindahkan blong besar berisi ikan ke arah buritan kapal dan blong kecil berisi ikan ke arah haluan. Kondisi M 2-3 : simulasi kondisi M 2-1 dengan meniadakan blong yang berisi ikan di atas lantai dek dan memposisikan ABK disisi berlawanan dengan keberadaan alat tangkap, dengan kata lain semua hasil tangkapan disimpan di dalam palka.
Jenis data yang akan dikumpulkan terdiri dari nilai selang stabilitas (range of stability), GZ maks , sudut saat GZ maks , dan GM. Keempat data tersebut diperoleh dengan menggunakan program PGZ. Pada Gambar 1 disajikan ilustrasi stabilitas kapal pada sudut kemiringan yang besar.
ISSN: 2355-7298
Gambar 1. Stabilitas pada sudut kemiringan yang besar (Hind, 1982). GZ = BR – BT (dimana BR adalah horizontal transfer of the centre of buoyancy), dan the moment of transfer of the wedges adalah:
v × hh1 = BR × ∇
(1)
dimana: v : volume of wedge; hh 1 : horizontal transfer of wedge ∇ : displacement of volume BR =
v × hh1 ∇
(2)
dimana BT = BG sin θ GZ =
v × hh1 − BG sin θ ∇
(3)
Moment of statical stability =
v × hh1 ∆ − BG sin θ ∇
(4)
Analisis data dilakukan dengan cara antara parameter stabilitas pada keenam kondisi muatan kapal, yaitu: kondisi M 1-1 , M 2-1 , M 1-2 , M 1-3 , M 2-2 , dan M 2-3 .
comparative-numeric
Yopi dkk.
30
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Desain kapal payang Kapal payang yang dikaji memiliki dimensi utama sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Metode pengoperasian alat tangkap payang saat setting adalah dengan cara dilingkarkan dengan menggunakan kapal. Mengacu pada pengelompokkan kapal berdasarkan metode pengoperasian alat tangkap yang dilakukan oleh Fyson (1985), kapal payang termasuk kelompok kapal encircling gear. Tabel 1. Dimensi dan rasio dimensi utama kapal perikanan. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dimensi
LOA LPP Lebar (B) Dalam (D) Draft (d) Rasio L/B, L/D, B/D
Nilai 12,4 m 9,14 m 2,5 m 0,8 m 0,6 m 3,65, 11,42, 3,13
Fyson (1985) menyatakan bahwa nilai masing-masing dapat dijadikan acuan untuk menganalisis tahanan gerak dan kemampuan stabilitas kapal, kekuatan longitudinal dan olah gerak kapal, dan stabilitas dan kemampuan olah gerak kapal. Semakin besar nilai L/B, maka tahanan gerak kapal semakin mengecil akan tetapi stabilitas kapal akan berkurang. Adapun untuk nilai L/D yang semakin besar, maka kekuatan longitudinal kapal akan semakin melemah walaupun olah gerak kapal membaik. Selanjutnya untuk nilai B/D yang semakin besar, maka stabilitas kapal dan olah gerak kapal semakin membaik.Kapal payang yang dikaji memiliki nilai rasio L/B (3,65) yang mendekati nilai 1. Hal ini menunjukkan bahwa kapal tersebut memiliki tahanan gerak yang cukup besar. Adapun nilai L/D kapal payang tersebut adalah sebesar 11,42, nilai tersebut jauh dari nilai 1. Kondisi ini menunjukkan bahwa kapal Yopi dkk.
ISSN: 2355-7298 tersebut memiliki tinggi kapal yang rendah sehingga diduga kekuatan longitudinal kapal kurang baik. Untuk nilai B/D kapal payang yang dikaji, adalah sebesar 3,13 dan mendekati nilai 1. Kondisi ini menunjukkan bahwa kapal tersebut memiliki stabilitas dan olah gerak yang baik. Mengacu pada rasio dimensi utama dapat disimpulkan bahwa kapal payang Palabuhanratu memiliki tahanan gerak, stabilitas dan olah gerak yang cukup baik, walaupun kekuatan longitudinalnya tidak terlalu baik. General arrangement (GA) kapal payang di Palabuhan Ratu disajikan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 terlihat bahwa di atas lantai dek tidak terdapat bangunan. Hanya terdapat meja tempat meletakkan pemberat dan bak kayu tempat menyimpan es selama operasi penangkapan dilakukan. Adapun ruang di bawah lantai dek hanya berupa ruang yang memanjang sepanjang buritan hingga haluan tanpa ada sekat diantaranya. Lines plan kapal payang disajikan pada Gambar 2. Pada Gambar 2 terlihat bahwa bentuk badan kapal cenderung berbentuk round. Bentuk round memiliki keunggulan dalam olah gerak (Rouf dan Novita, 2006). Muatan dan Penempatannya di Kapal Umumnya jenis muatan di atas kapal payang terdiri dari: mesin kapal, alat tangkap, solar, ABK, es curah, dan hasil tangkapan. Jenis dan berat muatan di atas kapal payang Palabuhanratu pada kondisi eksisting disajikan pada Tabel 2. Berat kapal payang itu sendiri adalah sekitar 2 ton. Pada umumnya, semua muatan termasuk ABK berada di atas lantai dek kapal. Perbedaan penempatan muatan pada saat musim paceklik dengan musim puncak adalah pada penempatan hasil tangkapan dan keberadaan ABK. Pada saat musim banyak ikan, hasil tangkapan yang telah dimasukkan ke dalam blong sebagian diletakkan di bawah lantai dek kapal dan sebagian lagi diletakkan di atas lantai dek 31
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39 kapal. Adapun ABK sekitar 4 orang duduk di atas para-para, dan sisanya duduk di atas lantai dek kapal. Lain halnya dengan penempatan hasil tangkapan saat musim paceklik, dimana semua hasil tangkapan yang
ISSN: 2355-7298 telah dimasukkan ke dalam blong, semuanya diletakkan di atas lantai dek kapal. Adapun ABK, hanya seorang yang duduk di atas parapara. Secara rinci, ilustrasi penempatan muatan di atas kapal pada kondisi eksisting baik saat musim puncak maupun paceklik disajikan pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 2. Rancangan umum kapal payang Palabuhanratu.
Gambar 3. Rencana gariskapal payang Palabuhanratu. Yopi dkk.
32
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39
ISSN: 2355-7298
Tabel 2. Jenis, berat dan posisi muatan kondisi eksisting di atas kapal payang Palabuhanratu.
No.
Jenis Muatan
Jumlah
1. 2. 3. 4. 5.
Mesin kapal Alat tangkap payang Nelayan Es Hasil tangkapan di badan kapal
6. 7.
Hasil tangkapan di blong Solar
Berat (kg)
1 unit 1 unit 15 orang 1 unit 10
M 1-1 40 1.000 975 30 -
M 2-1 40 1.000 975 30 2.400
10 1 unit
922 20
922 33
Gambar 4. Ilustrasi penempatan muatan di atas kapal payang saat musim paceklik.
Yopi dkk.
33
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39
ISSN: 2355-7298
Gambar 5. Ilustrasi penempatan muatan di atas kapal payang saat musim puncak. Hasil perhitungan berat muatan di empat posisi kapal, yaitu: ⊗buritan, ⊗haluan, CLkanan, dan CLkiri (ilustrasi pada Gambar 5), disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa pada kedua kondisi eksisting M 1-1 dan M 2-1 , muatan lebih berat berada di posisi (CLkiri) secara melintang dan di posisi ⊗buritan secara longitudinal.Pada kondisi simulasi yaitu M 1-2 ,M 1-3 , M 2-2 , dan M 2-3 dilakukan upaya agar berat muatan secara melintang dan longitudinal seimbang atau mendekati seimbang. Keseimbangan berat muatan di atas kapal secara melintang maupun longitudinal dapat membantu mempertahankan stabilitas kapal.
Yopi dkk.
Stabilitas Kapal Kurva stabilitas kapal payang pada kondisi eksisting mengangkut hasil tangkapan minimum (kondisi M 1-1 ) dan simulasinya (kondisi M 1-2 dan M 1-3 ) disajikan pada Gambar 6. Adapun kurva stabilitas kapal payang pada kondisi eksisting mengangkut hasil tangkapan maksimum (kondisi M 2-1 ) dan simulasinya (kondisi M 2-2 dan M 2-3 ) disajikan pada Gambar 7. Pada Gambar 6 dan 7 terlihat bahwa kondisi kapal hasil simulasi memiliki kurva stabilitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kurva stabilitas kapal pada kondisi eksisting.
34
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39
ISSN: 2355-7298
Tabel 3. Perhitungan berat muatan di ke empat posisi kapal.
Kondisi muatan
Longitudinal (kg) ⊗Buritan ⊗Haluan
Melintang (kg) CLKanan CLKiri
Muatan saat musim paceklik
KG (m)
M1-1 M1-2 M1-3
2.108,0 1.415,0 1.590,0
884,0 1.577,0 1.402,0
1.342,0 1.306,0 1.462,5
1.650,0 1.686,0 1.529,5
0,999 0,864 0,837
M2-1 M2-2 M2-3
3.256,0 3.016,0 2.628,0
2.149,0 2.389,0 1.855,0
2.483,5 2.418,5 2.049,0
2.921,5 2.986,5 2.434,0
0,929 0,869 0,783
Muatan saat musim puncak
Keterangan: KG = jarak titik G secara vertikal dari atas lunas
Gambar 6. Pembagian posisi penghitungan berat muatan di atas kapal.
Yopi dkk.
35
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39 Nilai parameter stabilitas yang terdapat dalam kurva stabilitas, yaitu nilai GZ maksimum sudut oleng kapal saat terbentuknnya GZ maksimum dan besarnya luas area di bawah kurva hingga sudut oleng kapal saat terbentuknya GZ maksimum disajikan pada Tabel 4. Luas area di bawah kurva menunjukkan besarnya energi yang dapat membalikkan kapal kembali ke posisi tegak semula dari kemiringannya. Energi pembalik kapal dihitung dengan mengacu luas area di bawah kurva hingga sudut kemiringan kapal yang menghasilkan GZ maksimum . Pada Tabel 4 terlihat bahwa saat semua blong berisi ikan pada kondisi eksisting kapal payang yang mengangkut muatan minimum (M 1-1 ) dipindahkan ke bawah lantai dek kapal tepatnya di tengah kapal dan disusun hingga ke arah haluan kapal, yaitu kondisi M 1-2 , nilai GZ bertambah hingga sekitar 51 %, sudut kemiringan kapal saat GZ maks bertambah 9,5°, energi pembalik bertambah hingga 65,7% dan jarak KG berkurang hingga 13,5%. Nilai GZ dan energi pembalik semakin bertambah besar, dan jarak KG semakin mengecil saat
ISSN: 2355-7298
beberapa blong berukuran kecil sebagian ditempatkan di bawah lantai dek di buritan kapal dan sebagian lagi di haluan kapal, Perubahan posisi yaitu kondisi M 1-3 . muatan dari kondisi M 1-1 menjadi M 1-3 tersebut, mengakibatkan nilai GZ bertambah hingga sekitar 55,6 %, energi pembalik bertambah hingga 69,2% dan jarak KG berkurang hingga 16,2%. Demikian pula halnya saat blong besar dan blong kecil berisi ikan pada kondisi eksisting kapal payang yang mengangkut muatan maksimum (M 2-1 ) dipindahkan sebagaimana kondisi M 2-2 . Dimana blong besar dipindahkan ke arah buritan kapal dan blong kecil ke arah haluan kapal. Selain itu, ABK yang pada kondisi eksisting duduk di atas para-para kapal, diturunkan dan diposisikan di lantai dek kapal. Perpindahan muatan ini mengakibatkan nilai GZ bertambah hingga sekitar 19,7 %, sudut kemiringan kapal saat GZ maks bertambah 12,5°, energi pembalik bertambah hingga 28,7% dan jarak KG berkurang hingga 6,5%. Akan tetapi, jika kapal hanya mengangkut hasil tangkapan.
Tabel 4. Nilai parameter stabilitas kapal payang kondisi eksisting, dengan kondisi simulasinya. Energi pembalik (m.rad)
Rentang stabilitas
KG (m)
Kondisi
GZmaks (m)
Sudut pada GZmaks (°)
M1-1
0,099
47,5
0,742
0° - 71°
0,999
M1-2
0,202
52,5
2,164
0° - 88°
0,864
M1-3
0,223
52,5
2,406
0° - 91°
0,837
M2-1
0,110
35,0
1,730
0° - 68°
0,929
M2-2
0,137
40,0
2,426
0° - 75°
0,869
M2-3
0,204
45,0
4,327
0° - 94°
0,783
Yopi dkk.
36
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39
ISSN: 2355-7298
Gambar 7. Kurva stabilitas kapal payang kondisi eksisting M1-1, dengan simulasinya M1-2 dan M1-3
Gambar 8. Kurva stabilitas kapal payang kondisi eksisting M2-1, dengan simulasinya M2-2 dan M2-3
Pada Tabel 4 terlihat bahwa saat semua blong berisi ikan pada kondisi eksisting kapal payang yang mengangkut muatan minimum (M 1-1 ) dipindahkan ke bawah lantai dek kapal tepatnya di tengah kapal dan disusun hingga ke arah haluan kapal, yaitu kondisi M 1-2 , nilai GZ bertambah hingga sekitar 51 %, sudut kemiringan kapal saat GZ maks bertambah 9,5°, energi pembalik bertambah hingga 65,7% dan jarak KG berkurang hingga 13,5%. Nilai GZ dan energi pembalik semakin bertambah besar, dan jarak KG semakin mengecil saat beberapa blong berukuran kecil sebagian ditempatkan di bawah lantai dek di buritan kapal dan sebagian lagi di haluan kapal, yaitu kondisi Perubahan posisi muatan dari M 1-3 . kondisi M 1-1 menjadi M 1-3 tersebut, mengakibatkan nilai GZ bertambah hingga sekitar 55,6 %, energi pembalik bertambah hingga 69,2% dan jarak KG berkurang hingga 16,2%. Demikian pula halnya saat blong besar dan blong kecil berisi ikan pada kondisi eksisting kapal payang yang mengangkut muatan maksimum (M 2-1 )
dipindahkan sebagaimana kondisi M 2-2 . Dimana blong besar dipindahkan ke arah buritan kapal dan blong kecil ke arah haluan kapal.Selain itu, ABK yang pada kondisi eksisting duduk di atas para-para kapal, diturunkan dan diposisikan di lantai dek kapal.Perpindahan muatan ini mengakibatkan nilai GZ bertambah hingga sekitar 19,7 %, sudut kemiringan kapal saat GZ maks bertambah 12,5°, energi pembalik bertambah hingga 28,7% dan jarak KG berkurang hingga 6,5%. Akan tetapi, jika kapal hanya mengangkut hasil tangkapan yang terdapat di bawah lantai dek kapal, dengan kata lain tidak ada hasil tangkapan yang dimasukkan ke dalam blong (kondisi M 2-3 ) yang diletakkan di atas lantai dek kapal, nilai GZ dan energi pembalik semakin bertambah besar, dan jarak KG semakin mengecil. Perubahan posisi muatan dari kondisi M 2-1 menjadi M 2-3 tersebut, mengakibatkan nilai GZ bertambah hingga sekitar 46,1 %, energi pembalik bertambah hingga 60% dan jarak KG berkurang hingga 15,7%. Berdasarkan hasil kajian Jin et al. (2002), Wang et al. (2005) dan Ant 𝑎� o
Yopi dkk.
37
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39 (2008), menunjukkan bahwa kecelakaan kapal yang terjadi, lebih sering berupa terbaliknya kapal. Kondisi ini disebabkan karena kapal mengangkut muatan yang melebihi kapasitas muatnya dan penempatan muatan yang berlebihan di atas lantai dek kapal. Hind (1982) menyatakan bahwa penempatan muatan yang cenderung berada jauh di atas lunas, akan mengakibatkan titik gravitasi bergeser menjauhi lunas. Pada kondisi eksisting kapal saat mengangkut muatan minimum (kondisi M 1-1 ) dan kondisi eksisting kapal saat mengangkut muatan maksimum (kondisi M 2-1 ) memiliki titik gravitasi (KG) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi hasil simulasi keduanya. Lebih tingginya titik gravitasi di atas lunas pada kondisi M 1-1 lebih disebabkan karena hampir semua muatan ditempatkan di atas lantai dek kapal. Berdasarkan hasil perhitungan, titik gravitasi kapal pada kondisi tersebut berada pada 0,999 m di atas lunas.Jika dibandingkan dengan tinggi kapal (depth), keberadaan titik gravitasi sekitar 10 cm di atas lantai dek kapal. Lain halnya dengan kondisi M 2-1 , titik gravitasi yang jauh di atas lunas kapal, yaitu 0,929 m, diduga disebabkan karena kelebihan muatan. Pada kondisi tersebut, di bagian bawah lantai dek telah dimuati oleh hasil tangkapan, yaitu sekitar 2.400 kg, adapun di bagian atas lantai dek ditempati oleh sekitar 10 blong ikan dengan total ikan didalamnya sebanyak 922 kg. Selain blong berisi ikan, di atas lantai dek juga terdapat alat tangkap, jirigen berisi bahan bakar dan nelayan. Berdasarkan hasil kajian, diperkirakan kapal payang Palabuhanratu saat berada dalam kondisi M 1-1 dan M 2-1 memiliki peluang terbalik yang cukup besar. Pada kondisi M 1-2 , yaitu semua blong berisi ikan dipindahkan ke bawah lantai dek kapal dan terkonsentrasi di tengah kapal hingga ke arah haluan kapal, terjadi Yopi dkk.
ISSN: 2355-7298
perubahan posisi titik gravitasi. Dimana titik gravitasi bergeser ke bawah sehingga nilai KG mengecil. Mengecilnya nilai KG memberikan dampak terhadap lengan penegak (righting arm) dan energi pembalik kapal ke posisi tegak semula.Lengan penegak dan energi pembalik kapal ke posisi tegak semula semakin bertambah besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas stabilitas kapal menjadi meningkat. Demikian pula halnya pada kondisi M 1-3 , yaitu blong berisi ikan dipindahkan ke bawah lantai dek kapal, dimana blong besar di tempatkandi tengah kapal hingga ke arah haluan kapal dan menyebarkan blong kecil di buritan dan haluan kapal. Pada kondisi M 1-3, terjadi pergeseran titik gravitasi ke bawah (lebih rendah dari kondisi M 1-2 ). Oleh karenaitu, maka penempatan muatan yang berupa hasil tangkapan ke bawah lantai dek kapal dan kemudian memposisikannya dengan cara disebar di bagian buritan, tengah kapal dan haluan kapal (kondisi M 1-3 ) lebih mampu meningkatkan kualitas stabilitas kapal payang dibandingkan dengan kondisi M 1-1 dan M 1-2 . Pada kondisi M 2-2 , yaitu semua awak beradadi lantai dek kapal dan memindahkan blong besar berisi ikan ke arah buritan kapal dan blong kecil berisi ikan ke arah haluan, terjadi pergeseran titik gravitasi ke arah bawah sehingga nilai KG mengecil. Kondisi ini mengakibatkan lengan penegak dan energi pembalik kapal semakin bertambah besar, kualitas stabilitas kapal meningkat. Peningkatan kualitas stabilitas kapal semakin bertambah besar saat simulasi penempatan muatan dilakukan sesuai dengan kondisi M 2-3 , yaitu dengan dengan meniadakan blong yang berisi ikan di atas lantai dek dan memposisikan ABK disisi berlawanan dengan keberadaan alat tangkap. Simulasi ini menuntut nelayan kapal payang tidak 38
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 28 - 39 membawa hasil tangkapan yang melebihi kapasitas simpan di bawah lantai dek kapal. Pada kondisi M 2-3 , titik KG semakin mengecil, lengan penegak dan energi pembalik kapal semakin bertambah besar. Berdasarkan hasil pemaparan di atas, terlihat bahwa apabila beban yang berlebihan di atas lantai dek kapal ditiadakan, maka kualitas stabilitas kapal semakin meningkat. KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian, disimpulkan bahwa: penempatan muatan yang berupa hasil tangkapan dalam jumlah minimal (musim paceklik) dan maksimal (musim puncak ikan) yang selama ini dilakukan oleh nelayan payang di Palabuhanratu menghasilkan kualitas stabilitas kapal yang rendah. Penempatan muatan di bawah lantai dek kapal, dapat meningkatkan kualitas stabilitas kapal. Oleh karena itu, penempatan muatan sebaiknya di bawah lantai dek kapal. Selain itu, kelebihan muatan di atas kapal, dapat mengurangi kualitas stabilitas kapal. Oleh sebab itu, kelebihan muatan di atas kapal sebaiknya dihindari.
ISSN: 2355-7298 Organization Resolution A. 749 (18): 1428.
Jin, D., H.L. Kite-Powell, E. Thunberg, A.R. Solow, W.K. Talley. 2002. A Model of Fishing Vessel Accident Probabilit y. Journal of Safety Research, 33: 497-510. Marjoni, B.H. Iskandar dan M. Imron. 2010.
Stabilitas Statis dan Dinamis Kapal Purse seine di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo Kota Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam . Jurnal Marine Fisheries, 1(2): 113-122.
2006. Studi Tentang Bentuk Kasko Kapal Ikan di Beberapa Daerah di Indonesia. Jurnal
Rouf, A.R.A. dan Y. Novita.
Torani. Vol. 16 (4): 51-62.
Suwardjo, D., I. Jaya, J. Jaluan dan S. Hadipoernomo. 2010. Kajian Tingkat Kecelakaan Fatal, Pencegahan dan Mitigasi Kecelakaan Kapal-kapal Penangkap Ikan yang Berbasis Operasi di PPP Tegal Sari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 10 (1): 61 – 72. Taylor, L.G. 1977. The Principle of Ship Design. Glasgow: Brown and Son Publisher Ltd. Nautical Publisher. 52 Darnley Street. Wang, J., A. Pillay, Y.S. Kwon, A.D. Wall and C.G. Loughran. 2005. An Analysis of Fishing Vessel Accidents. Accident Analysis & Prevention, Vol. 27: 1019-1024.
DAFTAR PUSTAKA Ant𝑎�o, P., T. Almeida, C. Jacinto and C.G. Soares. 2008. Causes of Occupational
Accidents in The Fishing Sector in Portugal . Safety Science, Vol. 46: 885-
899.
Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. England: Fishing News Book: 21 – 53. Hind, J.A. 1982. Stability and Trim of Fishing Vessels. Second edition. Fishing News Books Ltd. Farnham, England. 131 pp. IMO, 1995. Code on Intact Stability for All Types of Ships Covered by IMO Instruments. International Maritime
Yopi dkk.
39
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52
ISSN: 2355-7298
PENGARUH CARA PENANGKAPAN, FASILITAS PENANGAN DAN CARA PENANGANAN IKAN TERHADAP KUALITAS IKAN YANG DIHASILKAN Effect of fishing techniques, handling facilities and methods On quality of the fish Metusalach1), Kasmiati1), Fahrul1), dan Ilham Jaya1) 1)
Staf Pengajar Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FIKP, Universitas Hasanuddin Diterima: 12 November 2013; Disetujui: 10 Maret 2014 ABSTRACT
The research was aimed at determining the effect of fishing techniques, handling facilities and methods on the quality of the catch. The research employed four types of fishing gears, i.e. purse seine, cantrang, gillnet and boat-liftnet with five replicates each. Five species of the dominant catch were taken for quality determination on-board, at landing sites, and after auctioning. The condition of handling facilities and methods were evaluated. Fish transit time (time lapse between the fish lifting and auction process) was also determined. Results indicated that the fish quality decreased as the transit time increased. Nearly all fish caught were subjected to neither good handling nor low temperature despite the availability of good handling facilities. Nevertheles, the fish quality remained fairly good up to the point of soon after auctioning (pH’s<7 and organoleptic scores >7). When alone, none of the quality predictors affected the fish quality. However, when the fishing techniques were compounded the quality predictors significantly affected the fish quality. Regression analysis showed that, when the fishing techniques were uncompounded, 73.96% of the fish quality was determined by fishing with purse seine, cantrang, boat-liftnet and fish transit time. When fishing techniques were compounded, however, the fishing techniques, on-board handling methods, on-board and on landing site handling facilities, and the fish transit time contributed 73.96% effect to the fish quality. The PCA analysis showed that as much as 52.52% and 27.27% the fish quality were determined by the purse seine and cantrang, respectively. Key words: Fishing techniques, facilities, handling, fish, quality, PCA.
Contact person: Metusalach Email :
[email protected]
Metusalach dkk.
40
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52 PENDAHULUAN Kesegaran ikan yang baru saja mati berada dalam tingkat yang maksimum, artinya kesegaran ikan tidak bisa ditingkatkan, hanya dapat dipertahankan melalui penerapan prinsip penaganan yang baik dan benar. Tingkat kesegaran ikan akan menurun drastis seiring dengan waktu jika tidak segera ditangani secara benar. Berbagai macam faktor mempengaruhi tingkat kesegaran dan kecepatan penurunan mutu ikan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain jenis dan kondisi biologis ikan, sedangkan faktor eksternal antara lain proses kematian, waktu, cara penanganan, dan fasilitas penanganan ikan. Penurunan mutu ikan dapat terjadi mulai dari saat penangkapan dan terus berlangsung hingga ke tangan konsumen akhir (Quang, 2005). Secara umum setiap jenis ikan memiliki pola dan kecepatan penurunan mutu yang berbeda dengan jenis ikan yang lain. Kecepatan penurunan mutu ikan yang mengalami luka atau memar lebih cepat dibandingkan dengan ikan dengan kondisi fisik yang utuh. Beberapa jenis alat tangkap dalam satu kali operasi penangkapan dapat menangkap berbagai jenis ikan dalam jumlah banyak yang memungkinkan ikan bertumpuk /saling berhimpitan mengakibatkan memar dan luka dan bahkan ikan menjadi rusak secara fisik. Akande dan Diei-Ouadi (2010) telah melaporkan bahwa alat tangkap jaring insang dan jaring lingkar menyebabkan tingkat kehilangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap pancing dan bubu. Fasilitas dan proses penanganan ikan merupakan dua faktor yang tidak terpisahkan dan keduanya berpengaruh langsung terhadap kualitas ikan. Prosedur penanganan ikan segar meliputi seluruh Metusalach dkk.
ISSN: 2355-7298
kegiatan yang bertujuan untuk mempertahankan mutu ikan mulai dari saat ikan tertangkap sampai ikan tersebut dikonsumsi. Dalam prakteknya, hal ini berarti menghambat atau menghentikan pembusukan, mencegah kontaminasi, dan menghindarkan kerusakan fisik terhadap ikan. Peningkatan produksi perikanan pada kenyataannya tidak serta merta diikuti oleh peningkatan ketersediaan ikan segar baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku bagi industri pengolahan ikan. Hal ini terutama disebabkan oleh masih tingginya tingkat kerusakan ikan pascapanen. Menurut Akande and Diei-Ouadi (2010), kehilangan pascapanen di negara-negara berkembang berkisar antara 20 hingga 40% dari total produksi, dan 70% dari kehilangan tersebut diakibatkan oleh kehilangan kualitas. Ikan adalah komoditas makanan yang sangat cepat membusuk dan juga melewati begitu banyak rantai distribusi sebelum sampai ke tangan konsumen. Penurunan mutu dan tingginya kerusakan pascapanen diakibatkan oleh antara lain cara penangkapan, cara penanganan yang buruk, panjangnya rantai suplai, tidak memadainya fasilitas penanganan. Cara penangkapan (jenis alat tangkap) secara langsung berhubungan dengan cara matinya ikan dan cara matinya ikan berhubungan dengan proses-proses fisik dan kimiawi yang dialami tubuh ikan dimana proses-proses tersebut berpengaruh langsung terhadap mutu ikan pasca tangkap. Hal ini diperparah oleh cara penanganan ikan yang dilakukan tergolong masih buruk karena masih dilakukan seadanya tanpa memperhatikan syaratsyarat yang harus dipenuhi, baik menyangkut fasilitas penanganan maupun cara penanganan, termasuk penggunaan es sebagai bahan pendingin ikan.
41
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52 Sejauh ini belum tersedia data atau informasi yang akurat mengenai bagaimana cara tertangkapnya ikan, cara penanganan, dan fasilitas penanganan mempengaruhi kualitas ikan yang ditangkap. Oleh karena itu, penelitian mengenai bagaimana cara tertangkapnya ikan, cara penanganan, dan fasilitas penanganan mempengaruhi kualitas ikan sangat penting dan mendesak untuk dilakukan sehingga langkah-langkah perbaikan dapat dirumuskan dengan tepat. DATA DAN METODE Bahan yang digunakan adalah masing-masing 5 jenis ikan yang dominan ditangkap oleh setiap jenis alat tangkap yang digunakan dalam penelitian dan akuades. Alat yang digunakan meliputi 4 jenis alat tangkap (purse seine, bagan perahu, gillnet, dan cantrang), portable pH meter, tissu, lembar skor uji organoleptik, kamera digital, dan alat tulis. Metode Pengambilan Data Penelitian ini dilakukan dengan metode survai melalui observasi secara langsung terhadap ikan yang ditangkap menggunakan 4 jenis alat tangkap yaitu purse seine, bagan perahu, cantrang, dan gillnet di Takalar dan Barru. Survei dilakukan untuk mengumpulkan data primer pH dan sifat organoleptik ikan meliputi kondisi mata, insang, bau, dan tekstur. Pengujian pH dan pengamatan sifat organoleptik ikan dilakukan pada 3 titik yaitu: di atas kapal setelah ikan mati, setelah didaratkan di TPI, dan setelah dilelang. Pengamatan juga dilakukan terhadap kondisi fasilitas penanganan ikan di atas kapal dan di TPI, dan cara nelayan menangani ikan diatas kapal, di dermaga, dan di TPI serta lama waktu transit ikan pada setiap titik. Sebanyak 3 ekor ikan Metusalach dkk.
ISSN: 2355-7298
diambil sebagai sampel untuk setiap jenis ikan. Analisa Data Analisa yang dilakukan yaitu penentuan pH dan sifat organoleptik. Prosedur penentuan pH daging ikan segar mengacu pada AOAC (1995) dan sifat organoleptik ikan segar mengacu pada Huss (1995). Nilai pH merupakan salah satu parameter penentu kualitas ikan segar yang dibagi menjadi 2 kategori yaitu: pH<7 dikategorikan sebagai ikan yang masih sangat segar dengan nilai konversi 2; sedangkan pH lebih dari 7 dikategorikan sebagi ikan yang telah mengalami perubahan kesegaran menuju ke arah pembusukan dengan nilai 1. Pengamatan sifat organoleptik dilakukan dengan memberikan penilaian berdasarkan parameter mutu ikan segar (Huss, 1995) dengan rentang nilai 1 – 9 (1 = buruk; 9 = sangat baik) dan nilai organoleptik tersebut dikonversi ke nilai demerit 1 – 4 (4 = sangat baik, 3 = baik, 2 = kurang baik, dan 1 = tidak baik) menurut petunjuk EEC (1976 dengan sedikit modifikasi) dan Larsen et al. (1992). Penilaian pH dan sifat organoleptik yang sama juga dilakukan terhadap ikan setelah tiba di TPI sebelum dan setelah pelelangan. Penilaian fasilitas penanganan ikan diatas kapal dan di TPI difokuskan pada ketersediaan palkah atau peti. Kriteria yang digunakan mengacu pada EEC, 1976 dan Huss, 1995). Jika tersedia palkah/peti berinsulai diberi nilai 3, palkah/peti tidak berinsulasi dengan nilai 2, tidak tersedia palkah/peti dengan nilai 1. Cara penanganan ikan diatas kapal dan di TPI difokuskan pada kualitas es dan cara penggunaan es. Menggunakan es curah dan cara pengesan benar diberi nilai 4, menggunakan es curah tetapi cara pengesan tidak benar dengan nilai 3, 42
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52 menggunakan es kasar dan cara pengesan benar dengan nilai 2, tidak menggunakan es dengan nilai 1. Fasilitas dan cara penanganan ikan di TPI juga dilakukan dengan penilaian yang sama dengan cara diatas kapal (rentang 1-3) yang difokuskan pada penggunaan peti atau styrofoam atau wadah lainnya seperti keranjang. Kualitas es yang digunakan dan cara pengesan di TPI juga dinilai dengan rentang 1-3. Waktu transit pada setiap titik pengamatan dinilai dengan skala 1 jika lebih dari 6 jam, nilai 2 jika waktu transit antara 3-6 jam dan nilai 3 jika kurang dari 3 jam. Penelitian ini merupakan penelitian survey yang melibatkan 2 parameter mutu (pH dan sifat organoleptik) dependen yang diamati pada 3 titik pengamatan (di atas kapal, setelah didaratkan di TPI dan setelah dilelang di TPI). Sebanyak 5 jenis ikan (3 ekor/jenis) diambil sebagai sampel dari 4 jenis alat tangkap (purse seine, bagan perahu, cantrang dan gillnet) pada 2 lokasi yang berbeda (Takalar dan Barru). Ulangan pengamatan sebanyak 5 kali yaitu 5 trip operasi penangkapan ikan untuk setiap jenis alat tangkap. Dengan demikian diperoleh 600 satuan percobaan untuk setiap parameter mutu. Hubungan antara jenis alat tangkap dengan kulaitas ikan dianalisa dengan regresi berganda dan pola hubungannya dianalisa dengan analisa komponen utama (principal component analysis – PCA) dengan bantuan perangkat lunak pengolah data Minitab 13. Pengaruh nyata variabel prediktor mutu ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%. Pembuatan grafik dilakukan dengan bantuan SigmaPlot 2001.
ISSN: 2355-7298
ruselli), cakalang (Katsuwonus pelamis), kembung perempuan (Rastrelliger branchysoma), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), tongkol (Auxis thazard) dan tembang (Sardinella sp). Bagan perahu
dominan menangkap ikan tembang (Sardinella sp), layang (Decapterus ruselli ), teri (Stolephorus sp), peperek (Leiognathus equulus), dan pisang-pisang merah (Caesio sp). Sementara itu, ikan dominan hasil tangkapan cantrang terdiri dari ikan betebete (Leiognathus equules), biji nangka (Upeneus sulphureus), kuwe/kwee (Caranx mata besar/swangi sexfaciatus), tayanus), dan kurisi (Priacanthus (Nemipterus spp), trubuk (Tenualosa kerung-kerung (Terapon macrura), therops), dan kerapu (Epinephelus tauvina). Hasil tangkapan utama gillnet meliputi ikan trubuk (Tenualosa macrura), tembang sp), bulus-bulus (Sillago (Sardinella sihama), selanget (Dorosoma chacunda), dan bulu ayam (Thryssa setirostris). pH daging ikan, waktu transit dan nilai organoleptik Hasil pengukuran pH daging ikan pada 3 titik pengukuran menunjukkan bahwa pH daging, secara konstan meskipun tidak proporsional, mengalami penurunan setidaknya sampai ikan-ikan hasil tangkapan selesai dilelang (Tabel 1). Meskipun terdapat perbedaan pH yang kecil namun perbedaan tersebut bersifat nyata (p<0,05). Penurunan pH daging ikan terjadi akibat dari terbentuk dan meningkatnya asam laktat dalam daging
HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Hasil Tangkapan Dominan Selama penelitian, jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap dengan purse seine adalah ikan layang (Decapterus Metusalach dkk.
43
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52
ISSN: 2355-7298
Tabel 1. Hasil pengukuran pH daging ikan di atas kapal, setelah didaratkan dan setelah dilelang yang ditangkap dengan alat tangkap berbeda. Alat tangkap
Purse seine
Bagan perahu Cantrang
Gillnet
Di atas kapal Mean St. Dev. ax 6,37 0,10 bx 6,49 0,23 cx 6,58 0,16 6,78dx 0,04
Setelah didaratkan Mean St. Dev. ay 5,96 0,21 by 6,30 0,21 cy 6,38 0,12 6,59dy 0,06
Setelah dilelang Mean St. Dev. az 5,80 0,14 bz 6,08 0,15 cz 6,20 0,15 6,07dz 0,13
Superskript yang berbeda (a,b..) dalam kolom yang sama dengan menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) Superskript yang berbeda (x,y..) dalam baris yang sama dengan menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
sebagai hasil dari pemecahan glikogen dalam kondisi anaerob. Menurut Quang (2005), pada saat ikan mati adenosintrifosfat (ATP), yang merupakan bahan organik kaya energi didalam otot/daging, akan disintesa terutama dari glikogen dan sebagian kecil dari keratin fosfat (pada ikan) dan dari arginin fosfat (dari sefalopoda) dalam kondisi anaerob. Proses glikolisis (proses reduksi glikogen) terus berlangsung hingga terbentuk asam laktat sebagai produk akhir. Karena produk akhir dari proses ini adalah asam laktat, maka pH daging akan menurun. Glikolisis menyebabkan akumulasi asam laktat yang pada gilirannya menurunkan pH daging. Huss (1995) melaporkan bahwa pada ikan kod (Gadus morhua), pH menurun dari 6,8 ke pH akhir 6,1-6,5. Pada sejumlah spesies ikan, pH akhir dapat lebih rendah, misalnya pada ikan mackerel besar pH akhir mencapai 5,8-6,0, dan bahkan 5,4-5,6 pada ikan tuna dan halibut. Jumlah asam laktat yang dihasilkan tergantung pada jumlah glikogen dalam daging ikan. Secara umum, daging ikan mengandung glikogen dalam jumlah kecil (<1%) sehingga hanya sedikit asam laktat yang dihasilkan setelah ikan mati. Faktor lain yang berpengaruh adalah kondisi nutrisi dari
Metusalach dkk.
ikan dan besarnya tekanan (stress) dan gerakan (exercise) yang dialami ikan sebelum mati akan berpengaruh besar terhadap cadangan glikogen dan pada akhirnya terhadap nilai pH akhir daging. Chiba et al. (1991) memperlihatkan bahwa hanya beberapa menit stress setelah ditangkap menyebabkan penurunan pH sebesar 0,50 dalam 3 jam dibandingkan dengan ikan yang tidak mengalami stress yang pH-nya menurun hanya sebesar 0,10 untuk periode waktu yang sama. Uji statistik menggunakan onesample t-test menunjukkan bahwa ikan yang ditangkap dengan alat tangkap yang berbeda memiliki pH daging yang bervariasi (p<0,05) pada setiap titik pengukuran. Hal ini membuktikan bahwa cara penangkapan berpengaruh terhadap status mutu ikan karena setiap jenis alat tangkap memberikan proses kematian yang berbeda terhadap ikan. Demikian pula ikan-ikan yang ditangkap dengan alat yang sama memiliki pH daging yang berbeda (p<0,05) pada titik pengamatan yang berbeda.
44
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52
ISSN: 2355-7298
Tabel 2. Lama waktu (jam) sejak seluruh ikan dinaikkan ke atas kapal sampai didaratkan dan selesai dilelang pada jenis alat tangkap berbeda. Jenis alat tangkap
Purse seine
Bagan perahu Cantrang
Gillnet
Di atas kapal sampai ke TPI Mean St. Dev. 3,01 1,32 4,97 1,98 2,81 0,51 2,26 1,13
Hal ini juga membuktikan bahwa mutu ikan secara konstan mengalami perubahan dengan bertambahnya waktu sejak kematian ikan. Quang (2005) menjelaskan bahwa mutu ikan dapat menurun secara terus menerus mulai dari saat penangkapan hingga ikan diterima oleh konsumen akhir. Lama waktu transit ikan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat variasi waktu transit ikan yang ditangkap dengan alat tangkap berbeda, baik selama di kapal, di TPI maupun waktu transit keseluruhan (sejak di atas kapal hingga selesai dilelang). Jika standar deviasi diamati (0,51- 1,98 jam) maka nampak bahwa bahkan dari satu trip ke trip lainnya untuk jenis alat tangkap yang sama juga terdapat variasi waktu transit ikan. Penyebab utamanya adalah jika hasil tangkapan pada operasi pertama kurang maka nelayan akan melakukan operasi penangkapan lebih dari satu kali dan ini berdampak pada lebih lamanya ikan yang ditangkap pada operasi penangkapan pertama berada di kapal. Pada saat tiba di TPI, ikan sering tidak segera dilelang (standar deviasi 0,72 – 1,47 jam)
Metusalach dkk.
Sejak didaratkan sampai dilelang Mean St. Dev. 2,33 1,25 1,42 0,72 4,07 1,44 1,45 1,47
Total waktu transit Mean 5,33 6,40 6,87 3,72
St. Dev. 1,02 2,50 1,80 1,66
karena pemilik ikan menunggu sampai jumlah pembeli banyak untuk mendapatkan penawaran harga yang lebih tinggi karena adanya persaingan antar pembeli. Sering pula terjadi bahwa jumlah pembeli banyak tetapi pemilik ikan telah menentukan harga tertentu yang membuat pembeli menunggu hingga pemilik mau menurunkan harga ikannya. Sebagaimana halnya dengan pH daging, nilai organoleptik ikan juga secara konstan mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu sejak ikan mati. Uji one-sample t-test statistik dengan memperlihatkan adanya perbedaan secara nyata (p<0,05), baik antar ikan yang ditangkap dengan alat berbeda (kecuali pengamatan di atas kapal) maupun antar titik pengamatan pada ikan yang ditangkap dengan alat yang sama (Tabel 3). Penurunan nilai pH daging dan nilai organoleptik memperlihatkan kecenderungan atau pola yang sama meskipun unit nilai penurunan nilai organoleptik lebih besar (Gambar 1). Adanya sinkronisasi penurunan (sensoris) ikan. Skala yang digunakan adalah antara 0 dan 10,
45
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52
ISSN: 2355-7298
Tabel 3. Hasil uji organoleptik ikan di atas kapal, setelah didaratkan, dan setelah dilelang yang ditangkap dengan alat tangkap berbeda. Alat tangkap
Purse seine
Bagan perahu Cantrang
Gillnet
Di atas kapal Mean St. Dev. ax 9,00 0,00 ax 9,00 0,00 ax 9,00 0,00 9,00ax 0,00
Setelah didaratkan Mean St. Dev. ay 8,03 0,24 by 8,18 0,46 cy 7,79 0,42 8,88dy 0,14
Setelah dilelang Mean St. Dev. az 7,57 0,33 az 7,54 0,39 bz 7,11 0,34 8,04cz 0,16
Superskript yang berbeda (a,b..) dalam kolom yang sama dengan menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Superskript yang berbeda (x,y..) dalam baris yang sama dengan menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).
dimana angka 10 menunjukkan kesegaran absolute, 8 bermutu baik dan 6 netral (rasa hambar), sedangkan tingkat penolakan adalah angka 4. Penting diingat bahwa pH daging tidak akan terus menurun karena pada titik tertentu pH sekitar 5), nilai pH akan kembali meningkat (saat glikogen telah habis terurai dan tidak ada lagi pembentukan asam laktat dalam daging) dan terus meningkat sampai melewati nilai 7 dan menuju nilai akhir sekitar 10 - 12. Ikan yang mutunya sudah tidak baik (busuk) biasanya memiliki pH>8. Pada saat pH daging mencapai nilai ≥ 9 maka nilai organoleptik akan mencapai sekitar ≤ 3 pada saat mana ikan sudah mengluarkan bau busuk. Menurut Nielsen et al. (2005), Peavey et al. (1994), Green-Petersen et al. (2009) dan Green-Petersen and Hyldig (2010), waktu dan suhu adalah faktor yang sangat penting untuk mutu organoleptik karena hilangnya kesegaran merupakan contributor utama terhadap mutu organoleptik. Andersen et al. (1995) dan et al. (2002; 2003) Sveinsdottir mendapatkan bahwa nilai organoleptik dan tekstur menurun selama penyimpanan dalam es.
Metusalach dkk.
Green-Petterson et al. (2006), Warm et al. (2000), Rasmussen (2001) dan Farmer et al. (2000) telah melaporkan bahwa tidak hanya spesies tetapi juga perlakuan dan kondisi penyimpanan sangat berpengaruh terhadap karakteristik produk ikan. Hubungan antara Cara Penangkapan, Fasilitas dan Cara Penanganan Ikan dengan Mutu Ikan Hubungan antara cara penangkapan, fasilitas dan cara penanganan ikan dengan kualitas ikan dianalisis menggunakan analisa regresi linier berganda, sedang untuk mengetahui pola hubungan variabel yang diteliti digunakan analisis komponen utama (principal component analysis). Dalam penelitian ini, kualitas ikan dikatakan sangat baik jika nilainya 3 (pH daging 6 – 7), baik jika nilainya 2 (pH < 6) , dan tidak baik jika nilainya 1 (pH > 7). Dari hasil analisa regresi di atas maka dapat dirumuskan persamaan
46
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52
ISSN: 2355-7298
Gambar 3. Pola perubahan pH daging dan nilai organoleptik ikan yang tertangkap dengan purse seine (PS), bagan perahu hubungan (BP), cantrang (Ctr), signifikan dan gill net (p<0,05). (GN) dan yang diukur pada 3 titik pengamatan. Koefisien sebesar 0,7396 determinasi (R2) menunjukkan bahwa cara penangkapan, regresi yang dapat digunakan untuk fasilitas penanganan, cara penanganan, menduga kualitas ikan hasil tangkapan dan waktu transit ikan memberikan berdasarkan kondisi atau sifat dari semua kontribusi sebesar 74% terhadap mutu ikan parameter penelitian yang memberikan yang dihasilkan. Persamaan di atas pengaruh terhadap kualitas ikan sebagai memperlihatkan bahwa sejumlah variabel X berikut: yang diteliti tidak muncul dalam persamaan regresi, seperti alat tangkap gill Y = 2,15 – 0,525X 1 – 0,125X 2 + 0,206X 3 + net (jaring insang), fasilitas penanganan 0,156X 4 ; R = 0,547 ikan di atas kapal, fasilitas penanganan ikan di TPI, cara penanganan ikan di atas kapal, dimana, Y : kualitas ikan dan cara penanganan ikan di TPI. VariabelX 1 : alat tangkap purse seine X 2 : alat tangkap bagan perahu variabel tersebut tidak muncul dalam persamaan regresi akibat dari sifat datanya X 3 : alat tangkap cantrang yang memiliki hubungan sangat erat X 4 : waktu transit ikan mulai dari kapal sampai selesai dilelang. dengan sifat data dari variabel X lainnya yang muncul dalam persamaan regresi, yang dalam analisa regresi harus Meskipun nilai koefisien korelasi dikeluarkan karena terjadi kolinearitas regresi (R) antara kualitas ikan dengan variabel yang diteliti (0,547), namun hasil (mempunyai hubungan linear sempurna atau hampir sempurna) dengan variabel X analisis keragaman (variance) lainnya. Dikeluarkannya sebagian variabel menunjukkan dari analisa regresi didasarkan pada asumsi bahwa pengaruh dari variabel-variabel tersebut sudah terwakili oleh variabelMetusalach dkk.
47
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52 variabel X lainnya sehingga tidak perlu muncul dalam persamaan regresi. Dari tabel analisis regresi di atas terlihat pula bahwa meskipun setiap jenis cara penangkapan dan waktu transit ikan memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p>0,05) terhadap kualitas ikan, namun variabel-variabel tersebut bersinergi dalam memberikan pengaruh signifikan (p<0,05) terhadap kualitas ikan. Hal ini membuktikan bahwa, dalam menganalisis faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi kualitas ikan, tidaklah cukup jika hanya satu atau dua faktor saja yang dianalisis pengaruhnya. Hal ini penting karena ada faktor-faktor yang terkait dengan kualitas ikan dapat memiliki pengaruh yang bersifat sinergis dan ada pula yang mungkin memberikan pengaruh antagonistik. Dari seluruh variabel yang dianalisis, cara penangkapan dengan cantrang memberikan nilai VIF (variance inflation factor) terbesar (2,3) yang diikuti oleh purse seine dan bagan perahu (1,9) dan nilai terkecil oleh waktu transit ikan (1,6). Untuk mengetahui apakah cara penangkapan secara komposit (compounding) berpengaruh terhadap kualitas ikan, maka dilakukan analisis regresi dengan menggunakan variabelvariabel prediktor cara penangkapan, fasilitas penanganan, cara penanganan dan waktu transit ikan sebagai sumber keragaman. Dalam analisis regresi ini terdapat dua variabel X, yaitu fasilitas penanganan di kapal dan cara penanganan di TPI, yang memiliki korelasi sangat kuat dengan variabel X lainnya sehingga dikeluarkan dari persamaan regresi. Berdasarkan analisis ini maka persamaan regresi yang dapat digunakan untuk memprediksi kualitas ikan hasil tangkapan adalah: Y = 2,49 + 1,34X 1 – 0,206X 2 – 0,800X 3 + 0,156X 4 ; R = 0,547 Metusalach dkk.
dimana, Y X1 X2 X3 X4
ISSN: 2355-7298 : kualitas ikan : cara penangkapan : fasilitas penanganan di TPI : cara penanganan di atas kapal : waktu transit ikan mulai dari kapal sampai selesai dilelang
Dari nilai koefisien prediktor terlihat bahwa cara penangkapan (jenis alat tangkap) berpengaruh secara signifikan (p<0,05) terhadap kualitas ikan. Hal ini memperkuat argument sebelumnya bahwa suatu variabel atau faktor bisa saja tidak memberikan pengaruh signifikan ketika berdiri sendiri, tetapi dalam keadaan bersama-sama (compounding) pengaruh yang ditimbulkan dapat bersifat sinergis (saling memperkuat) sehingga menghasilkan pengaruh akhir yang bersifat signifikan. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,7396 menjelaskan bahwa variabelvariabel yang diukur dalam penelitian ini memberikan kontribusi sebesar 74% terhadap kualitas ikan, sedangkan faktor lain yang tidak dimasukkan sebagai variabel penelitian menyumbang sebesar 26%. Nilai variance inflation factor (VIF) terbesar ditunjukkan oleh cara penangkapan (6,1) dan cara penanganan di atas kapal (5,5). Untuk mengatasi masalah adanya kolinearitas dalam analisis regresi linier ehingga variabel-variabel yang tidak muncul dalam analisis regresi dapat diketahui dengan pasti posisi dan perannya terhadap kualitas ikan, maka dilakukan analisa komponen utama (principal component analysis) sehingga diketahui pola hubungan yang terbentuk antara variabel prediktor mutu dengan mutu ikan. Prosedur PCA pada dasarnya bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui 48
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52 transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal
component.
ISSN: 2355-7298
relatif serupa terhadap kualitas ikan sehingga muncul sebagai satu komponen utama (PC1).
Gambar 4. Grafik PCA pola hubungan antara kualitas ikan dengan berbagai faktor yang berpengaruhinya yang diteliti. Setelah beberapa komponen hasil PCA yang bebas multikolinearitas diperoleh, maka komponen-komponen tersebut menjadi variabel bebas baru yang akan diregresikan atau dianalisa pengaruhnya terhadap variabel tak bebas (Y) dengan menggunakan analisis regresi. Hasil analisis PCA pola hubungan antara kualitas ikan dengan berbagai variabel yang mempengaruhinya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut. Grafik hasil analisis PCA di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor cara penangkapan dengan purse seine, bagan perahu, fasilitas penanganan di atas kapal dan di TPI serta cara penanganan di kapal dan di TPI memiliki pola pengaruh yang Metusalach dkk.
Faktor-faktor ini memberikan pengaruh sebesar 58,58% terhadap kualitas ikan. Faktor cara penangkapan dengan cantrang dan waktu transit ikan memiliki pola pengaruh yang serupa dan muncul sebagai komponen utama kedua (PC2), dan memberikan pengaruh terhadap kualitas ikan
49
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52 sebesar 27,27%. Cara penangkapan ikan dengan gillnet dan faktor lainnya yang tidak dimasukkan sebagai variabel penelitian memberikan pengaruh terhadap kualitas ikan sebesar 14,15%. Menurut Hobbs (1982), mutu ikan (laju pembusukan) berbeda-beda tergantung pada kondisi ikan, teknologi penangkapan, alat tangkap, spesies ikan, waktu (musim) penangkapan, cara penanganan dan pengawetan ikan. Akande dan Diei-Ouadi (2010) melaporkan bahwa jenis alat tangkap yang digunakan mempengaruhi timbulnya kerusakan ikan di daerah penangkapan ikan, dan bahwa nelayan yang menggunakan purse seine dan gillnet mengalami tingkat kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan yang dialami nelayan yang menggunakan pancing dan perangkap. Peneliti tersebut berargumen bahwa hal ini mungkin terkait dengan lamanya jarring berada di dalam air sebelum diangkat dan jumlah ikan yang tertangkap. Terchunian et al. (1999) mengatakan bahwa metode/cara penangkapan dan penanganan di atas kapal sangat berpengaruh terhadap mutu dan kesegaran ikan. Huss (1995) menyebutkan bahwa sangat sering ketidakperdulian dan kurangnya ketrampilan dalam menangani ikan menjadi sumber kerusakan ikan.
ISSN: 2355-7298
2. Fasilitas penanganan ikan di atas kapal dan di TPI sudah baik untuk cara penangkapan dengan purse seine dan bagan perahu (tersedia palka dan/atau peti berinsulasi), tetapi masih sangat minim untuk cara penagkapan dengan cantrang dan gillnet (hanya keranjang yang tersedia). Di sisi lain, cara penanganan ikan baik di atas kapal maupun di TPI untuk semua cara penangkapan masih belum baik (tidak menggunakan es). Karena dalam penanganan ikan tidak digunakan es, maka waktu transit ikan relatif masih lama yaitu 3,72 jam pada penangkapan dengan gillnet sampai 6,87 jam pada penangkapan dengan cantrang.
KESIMPULAN
3. Prediktor mutu ikan dalam penelitian ini yang meliputi cara penangkapan ikan, fasilitas penanganan dan cara penanganan serta waktu transit ikan (jumlah waktu sejak ikan dinaikkan ke atas kapal sampai ikan tersebut selesai dilelang) memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p>0,05) terhadap kualitas jika variabel-variabel tersebut berdiri sendiri-sendiri, namun jika tersebut variabel-variabel dikompositkan (compounded) maka terdapat pengaruh yang signifikan (p<0,05) yang merupakan hasil sinergitas ataupun kumulatif dari pengaruh yang diberikan oleh setiap variabel.
1. Nilai pH daging (5,61-6,39) dan nilai organoleptik (6,80-8,13) ikan pada saat selesai pelelangan menunjukkan bahwa ikan hasil tangkapan masih berkualitas baik. pH daging dan nilai organoleptik memiliki pola penurunan yang serupa sampai saat setelah pelelangan, namun tingkat penurunan nilai organoleptik lebih besar.
4. Cara penangkapan dengan purse seine, bagan perahu, fasilitas penanganan dan cara penanganan memberikan kontribusi pengaruh terhadap kualitas ikan sebesar 58,58%, sedangkan cara penangkapan dengan cantrang dan waktu transit ikan memberikan pengaruh sebesar 27,27%. Cara penangkapan dengan gillnet dan faktor lain yang tidak diteliti memberikan
Metusalach dkk.
50
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52 pengaruh sebesar 14,15% terhadap kualitas ikan.
DAFTAR PUSTAKA Akande, G. and Diei-Ouadi, Y. 2010. PostHarvest Losses in Small-scale Fisheries – Case Studies in Five sub-Saharan African Countries. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper No. 550, Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome. Andersen, U.B., Thomassen, M.S. and Rørå, A.M.B., 1995. Texture properties of
farmed Atlantic salmon (Salmo salar): Influence of storage time on ice and smelt age. In Andersen, U.B. Measurements of Texture Quality in Farmed Atlantic Salmon (Salmo salar) and Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss) (III). Doctor Scientiarum Thesis.
Agricultural University of Norway: 1–26.
Andersen, U.B., Thomassen, M.S. and Rørå, A.M.B., 1997. Texture properties of
farmed rainbow trout (Oncorhychus mykiss): Effects of diet, muscle fat content and time of storage on ice. J. Sci. Food Agric. 74: 347–353.
AOAC, 1995. Official Methods of Analysis. Associatiion of Official Analytical Chemists. AOAC Inc. Arlington, Virginia. Chiba, A., Hamaguchi, M., Kosaka, M., Tokuno, T., Asai, T. and Chichibu, S., 1991. Quality evaluation of fish meat by phosphorus-nuclear magnetic resonance. J. Food Sci. 56: 660-664. EEC. 1976. Council Regulation No. 103/76. Freshness ratings. European Community Council. Off. J. Eur. Communities No. L20. Farmer, L. J., McConnell, J. M., and Kilpatrick, D. J. 2000. Sensory characteristics of farmed and wild Atlantic salmon. Aquaculture 187: 105–125. Green-Petersen, D., Nielsen, J. and Hyldig, G., 2006. Sensory profiles of the most
common salmon products on the Danish market . Journal of Sensory
Studies 21: 415-427.
Metusalach dkk.
ISSN: 2355-7298
Green-Petersen, D., Hyldig, G., Sveinsdóttir, K., Schelvis, R. and Martinsdóttir, E., 2009.
Consumer preference and description of salmon in four Northern Atlantic countries and association with sensory characteristics. Journal of Aquatic Food Product Technology 18: 223-244.
Green-Petersen, D.M.B. and Hyldig, G., 2010. Variation in Sensory Profile of Individual Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss) from the Same Production Batch. Journal of Food Science, 75 (9): 499-505. Hobbs, G., 1982. Changes in fish after catching. Fish handling and processing. Torry Research Station: 2027 Huss, H.H., 1995. Quality and quality changes in fresh fish. FAO fisheries technical paper 348: 35-67. Larsen E.P., Heldbo, J., Jespersen, C.M. and Nielsen, J., 1992. Development of a
standard for quality assessment on fish for human consumption .
In: H.H. Huss, M. Jacobsen and J. Liston (eds.) Quality Assurance in the Proceedings of Fish Industry. an International Conference, copenhagen, Denmark, August 1991. Elsevier, Amsterdam: 351-358. Nielsen, D. Hyldig, G., Nielsen, J. and Nielsen, H.H., 2005. Sensory properties of
marinated herring (Clupea harengus) prosessed from raw material from commercial landings. Journal of the Science of Food and Agriculture 85 (1): 127-134.
Peavey, S., Work, T., and Riley, J., 1994.
Consumer attitudes towards fresh and Frozen fish. Journal of Aquatic Food Product Technology 3 (2): 71- 87.
Quang, N.H., 2005. Guidelines for Handling and Preservation of Fresh Fish for Further Processing in Vietnam. The United Nation University Fisheries Training Programme, Iceland. 57 p. Rasmussen, R. S., 2001. Quality of farmed
salmonids
with
emphasis
on
51
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 40 - 52 proximate composition sensory characteristics. Research 32 (10): 767–786.
yield
ISSN: 2355-7298
and
Aquaculture
Sveinsdottir, K., Martinsdottir, E., Hyldig, G., Jørgensen, B. and Kristbergsson, K., 2002.
Application of quality index method (QIM) scheme in shelf-life study of farmed Atlantic salmon (Salmo salar ).
J. Food Sci. 67: 1570–1579.
Sveinsdottir, K., Martinsdottir, E., Hyldig, G., Jørgensen, B. and Kristbergsson, K., 2003.
Quality index method (QIM) scheme developed for farmed Atlantic salmon (Salmo salar ). Food Qual. Prefer. 14:
237–245.
Terchunian, A.V., Kunz, N.A. and O’Dierno, L.J., 1999. Air Shipment of Live and Fresh Fish & Seafood Guidelines. First Edition. Asia-Pacific Economic Cooperation, APEC Fisheries Working Group. Warm, K., Nielsen, J., Hyldig, G., and Martens, M., 2000. Sensory quality criteria for five fish species. Journal of Food Quality 23: 583–601.
Metusalach dkk.
52
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68
ISSN: 2355-7298
PERALATAN KESELAMATAN KERJA PADA PERAHU SLEREK DI PPN PENGAMBENGAN, KABUPATEN JEMBRANA, BALI Safety Equipment on Slerek in Pengambengan Nusantara Fishing Port, Jembrana, Regency, Bali Adi Guna Santara1), Fis Purwangka1), dan Budhi Hascaryo Iskandar1) 1)
Departemen PSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Diterima: 9 Oktober 2013; Disetujui: 14 Maret 2014
ABSTRACT Fishing is one of the most challenging activities in the world. It is about 80% of ship accidents due to human error. The availability and proper use of safety equipment can minimize the risk. This study aims to identify the suitability of safety equipment used on Slerek boat in PPN Pengambengan, Bali in accordance with international and national standards, and describes the role of relevant institutions to increase the fishermen safety. In this study, we used a survey method, in which focussed on three main aspects including the types of safety equipment, numbers of safety equipment, and the suitability of equipment which must be taken. The lack of equipment and awareness about safety, and do not comply with the national standards for boat less than 24 meters length will directly affect the fishermen safety. The lack of regulations on the small boat safety showed that the fishermen safety in fishing activities in Indonesia have not been considered and there is no clear policy from local and central government. Key words: PPN pengambengan, safety equipment, safety work
Contact person : Adi Guna Santara Email :
[email protected]
Santara dkk.
53
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 PENDAHULUAN Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan merupakan pusat kegiatan perikanan rakyat terbesar di Bali dan merupakan salah satu outerring fishing port yang tidak hanya dimanfaatkan oleh nelayan asal Bali tetapi juga oleh nelayan asal Jawa Timur. Diharapkan PPN Pengambengan dapat dimanfaatkan juga oleh nelayan lain di Indonesia yang beroperasi di Selat Bali. PPN Pengambengan terletak di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. PPN Pengambengan berjarak 9 km dari Kota Negara dan 105 km dari Kota Denpasar. Waterfront PPN Pengambengan menghadap ke Wilayah Pengelolaan Perikanan RI (WPP- RI) 573 Samudera Hindia dan Selat Bali dengan posisi 08o 23’ 46” Lintang Selatan dan 114o 34’ 47” Bujur Timur. Nelayan PPN Pengambengan termasuk dalam nelayan tradisional dengan hasil tangkapan utama berupa ikan lemuru yang terkonsentrasi di Selat Bali. Armada kapal penangkapan ikan yang dipakai oleh nelayan pengambengan merupakan perahu tradisional asli Madura dan mempunyai bentuk konstruksi “double pointed” (lambung kiri dan lambung kanan bertemu pada satu titik masing-masing di haluan dan buritan kapal). Jenis alat tangkap dominan yang dipakai oleh nelayan Pengambengan adalah jaring pukat cincin dengan nama lokal “slerek” dimana operasi penangkapan ikan dilakukan dengan metode “two boat system” dan pola kerja harian (one day trip). Jumlah Anak Buah Kapal (ABK) perahu slerek mencapai 20-40 orang dan menimbulkan banyak risiko kecelakaan kerja. Penangkapan ikan di laut merupakan salah satu kegiatan yang paling berbahaya di dunia. Profesi nelayan memiliki karakteristik pekerjaan “3d” yaitu: membahayakan (dangerous), kotor (dirty), dan sulit (difficult) Santara dkk.
ISSN: 2355-7298 (FAO, 2000). Ketiga karakteristik pekerjaan tersebut ditambah faktor ukuran kapal yang umumnya relatif kecil, pada kondisi cuaca dan gelombang laut besar yang tidak menentu akibat adanya pemanasan global maka tingkat kecelakaan kapal penangkap ikan semakin lebih tinggi. Menurut International Maritime Organization (IMO) (2006) 80% kecelakan kapal terjadi karena kesalahan manusia dan untuk industri perikanan tangkap terjadi 7% kecelakaan kerja dari total kecelakaan yang terdata. Kecelakaan dapat terjadi pada kapalkapal baik dalam pelayaran berlabuh atau sedang melakukan kegiatan bongkar muat di pelabuhan meskipun sudah dilakukan usaha untuk menghindarinya. Hal ini memunculkan perhatian dunia melalui organisasi internasional antara lain ILO (International Labour Organization), IMO (International Maritime Organization) dan FAO (Food and Agriculture Organization). Dalam konferensi STCW-F (Standards of Training, Certification
and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel) (1995) yang membahas mengenai
hal keselamatan dan kesehatan kerja pada kapal perikanan berukuran kecil (panjang kapal < 24 m), untuk menyelaraskan peraturan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja pada kapal perikanan merupakan kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dari pengelolaan perikanan. Kecelakaan kerja yang terjadi di kapal meliputi Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di kalangan awak belum terekam dengan baik. Kurangnya kesadaran dan kurang memadainya kualitas serta keterampilan pekerja sehingga banyak awak kapal yang meremehkan tentang risiko bekerja, seperti tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia atau terlatih untuk itu (misalnya, sertifikasi basic safety 53
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68
training for fisheries), sehingga perangkat
keselamatan merupakan salah satu penyebab kecelakaan kerja di kapal. Perangkat keselamatan adalah peralatan yang mempunyai konstruksi atau bahan yang mempunyai spesifikasi dapat membantu melindungi, mencegah dan menghentikan kecelakaan kerja di atas kapal. Keberadaan perangkat keselamatan pada kapal perikanan didasarkan ukuran kapal terutama berkaitan dengan jumlah, ukuran, dan kesesuaian perangkat tersebut. Keberadaan dan penggunaan perlengkapan keselamatan kerja yang sesuai dengan standar dapat memperkecil risiko kecelakaan dini maupun kecelakaan yang telah terjadi, sehingga dapat terhindar dari akibat fatal yang tidak diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian peralatan keselamatan yang digunakan pada perahu slerek di PPN Pengambengan, Kabupaten Jembrana, Bali dengan standar Internasional dan Nasional dan mengetahui keberadaan alat keselamatan minimal yang harus dibawa untuk perahu berukuran < 24 m. DATA DAN METODE Penelitian dan pengambilan data dilakukan pada bulan Januari hingga April 2013 bertempat di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Proses pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Keselamatan Kerja dan Observasi Bawah Air, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan melihat serta mengikuti proses operasi penangkapan ikan secara langsung Santara dkk.
ISSN: 2355-7298 pada kapal perikanan di PPN Pengambengan, Kabupaten Jembrana, Bali. Aspek-aspek yang diteliti adalah jenis–jenis peralatan keselamatan kerja, jumlah perlengkapan keselamatan, dan kesesuaian perlengkapan keselamatan yang harus dibawa menurut peraturan nasional dan internasional. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei melalui wawancara, kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan mengenai ketersedian dan kesesuaian peralatan keselamatan kerja untuk kapal berukuran < 24 m. Metode survei merupakan metode untuk menggali data dan informasi yang diperlukan dari responden contoh atau orang-orang yang berpengalaman (pejabat berkepentingan atau key person) dalam bidang keselamatan dan penangkapan di wilayah lokasi studi. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 30 nelayan slerek dan 30 perahu slerek. Target responden yang digunakan adalah: Nakhoda/Nelayan perahu slerek pada ukuran 12–24 m (30 nelayan dari 30 perahu slerek), Pegawai Pelabuhan Perikanan /Syahbandar perikanan PPN, HNSI di PPN Pengambengan, Penyuluh/pengawas perikanan tangkap yang ada di PPN Pengambengan, Dinas Kelautan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Jembrana, Bali, Polairud, dan Syahbandar PPN Pengambengan. Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi kesesuaian peralatan keselamatan yang digunakan pada perahu slerek di PPN Pengambengan, Kabupaten Jembrana, Bali sesuai dengan standar internasional dan nasional serta
54
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 menggambarkan peranan institusi terkait dalam upaya peningkatan keselamatan nelayan. HASIL DAN PEMBAHASAN Perikanan Slerek Perahu Slerek
ISSN: 2355-7298 dalam (D) secara berurutan yaitu : 19,31 m, 5,14 m, dan 1,72 m. Mesin penggerak perahu slerek yang digunakan adalah mesin merk Yanmar dan terdapat 4-6 buah mesin pada satu perahu. Mesin ini berdaya 26-30 PK yang sebenarnya diperuntukan untuk inboard engine. Akan tetapi mesin tersebut dimodifikasi menjadi outboard engine.
Armada kapal perikanan dominan yang dipakai oleh nelayan Pengambengan
Gambar 1. Perahu slerek PPN Pengambengan, Bali.
adalah perahu tradisional asli madura dengan nama lokal “slerek”. Perahu slerek di PPN Pengambengan berbahan dasar kayu dan memiliki penampang melintang berbentuk double pointed. Dimensi utama perahu slerek di Pengambengan memiliki ukuran rata-rata panjang (LOA), lebar (B) dan Santara dkk.
Mesin perahu slerek diletakan di atas lantai dek perahu, serta dilengkapi oleh poros propeller yang panjang. Mesin tersebut termasuk mesin diesel dengan menggunakan solar sebagai bahan bakarnya. Gambar perahu slerek di PPN Pengambengan Bali disajikan pada Gambar 1. 55
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 Jenis alat tangkap dominan yang digunakan nelayan Pengambengan adalah jaring pukat cincin dengan nama lokal “slerek”. Pukat cincin dilengkapi dengan cincin untuk dilalui tali cincin atau tali kolor. Pukat cincin adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish). Fungsi cincin dan tali kolor sangat penting terutama pada waktu pengoperasian pukat cincin, oleh karena itu dengan adanya tali kolor tersebut jaring yang tadinya tidak berkantong akan membentuk kantong pada akhir penangkapan. Perahu slerek termasuk kelompok kapal dengan metode pengoperasian berdasarkan alat tangkap yaitu encircling gear. Menurut Iskandar dan Pujiati (1995), kelompok kapal yang mengoperasikan alat tangkap dengan cara dilingkarkan, seperti kapal purse seine, payang dan dogol merupakan kelompok encircling gear. Alat tangkap pukat cincin diletakan diatas lantai dek, pada sisi kiri lambung perahu slerek. Sesuai dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Bali, No. 238 Tahun 1992 dan No. 674 Tahun 1992 tanggal 14 November 1992, tentang Pengaturan/Pengendalian Pukat cincin (purse seine) di Selat Bali. Ukuran jaring pukat cincin maksimal memiliki panjang jaring 300 meter, lebar jaring/kedalaman maksimum 60 meter dan ukuran mata jaring kantong pukat cincin dengan mesh size 1 inchi (2,54 cm). Akan tetapi terdapat penyimpangan ukuran alat tangkap dengan peraturan SKB Gubernur Jawa Timur dan Bali, yakni perbedaan ukuran mata jaring pukat cincin. Pada perahu slerek ukuran mata jaring ratarata memakai mesh size 0,5 inchi (1,27 cm) untuk alat tangkap pukat cincin. Desain alat tangkap pukat cincin di PPN Pengambengan Santara dkk.
ISSN: 2355-7298 yang disajikan pada Gambar 2. Perahu slerek memiliki keunikan yaitu memiliki hiasan yang berbeda pada setiap kapal dan memiliki bambu besar yang terdapat pada bagian atas perahu dan menjadikannya sebagai ciri khas perahu di Selat Bali. Bambu besar yang terdapat pada perahu slerek juga tidak hanya dimanfaatkan sebagai hiasan saja, akan tetapi dimanfaatkan juga sebagai tempat meletakan lampu operasi penangkapan. Selain itu perahu slerek di Selat Bali ini tidak dilengkapi dengan alat-alat keselamatan standar, seperti kotak P3K, life jacket dan life ring. Kondisi ini dapat membahayakan keselamatan nelayan, apabila terjadi kecelakaan atau keadaan darurat lainnya. Alat-alat bantu dan lampu navigasi juga tidak terdapat di atas kapal, apalagi radio komunikasi. Perlengkapan navigasi tersebut, selain berguna untuk menginformasikan posisi kapal, menginformasikan pula jenis kegiatan yang sedang dilakukan. Penggunaan lampu-lampu dan peralatan navigasi tersebut merupakan bagian yang penting dalam keamanan dan keselamatan pelayaran. Peraturan pelayaran lainnya juga harus ditaati oleh nelayan untuk menjamin keselamatan pelayaran perahu slerek. Perahu slerek dengan muatan penuh dapat dilihat pada Gambar 3 dan perahu slerek tanpa muatan dapat dilihat pada Gambar 4. Metode Penangkapan Ikan Pengoperasian pukat cincin dilakukan dengan melingkari gerombolan ikan sehingga membentuk sebuah dinding besar yang selanjutnya jaring akan ditarik dari bagian bawah dan membentuk seperti sebuah kolam (Sainsbury, 1996). Kegiatan penangkapan ikan nelayan Pengambengan dilakukan dengan pola “memburu ikan” (gadangan) dan pencahayaan dimana operasi penangkapan 56
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 ikan dilakukan dengan metode “two boat system” dan pola kerja harian (one day trip). Purse seine Two boat system pengoperasiannya menggunakan dua kapal dan memiliki jaring berbentuk empat persegi panjang dengan letak kantong pada bagian tepi. Kapal yang pertama berfungsi sebagai tempat jaring sedangkan kapal yang kedua berfungsi sebagai penarik tali kolor/purse line. Di dalam satu kali trip penangkapan ikan dapat dilakukan 2 sampai 4 kali pengoperasian alat tangkap. Aktivitas pukat cincin dengan metode pencahayaan one day fishing pada saat penelitian, secara urut dapat dilihat pada Tabel 1. Pembagian tugas saat pengoperasian alat tangkap pukat cincin, diantaranya; (1) tekong/fishing master bertugas mengawasi untuk melihat tanda-tanda adanya gerombolan ikan dengan memanfaatkan informasi, dari kondisi alam dan ada pula dengan menggunakan kepercayaan; (2) Tukang renang, yaitu nelayan yang tugasnya melihat/mengamati jaring di dalam perairan apabila jaring tersangkut; (3) Juru bantu, bertugas menguras air di kapal selama melaut dan mempersiapkan segala kelengkapan melaut; (4) Tukang pelang, adalah nelayan yang bertugas untuk mengumpulkan ikan dengan alat bantu lampu di atas sekoci; (5) Juru mudi, bertugas mengemudikan mesin pada kapal slerek lalu mengarahkan kapal, dan (6) ABK lainnya bertugas mempersiapkan alat tangkap, menabur jaring atau melakukan setting dan hauling. Daerah penangkapan ikan yang sering disinggahi adalah sekitar laut Bali/Tanah Lot. Proses penentuan daerah penangkapan umumnya berdasarkan pengalaman nelayan.
Santara dkk.
ISSN: 2355-7298 Menurut data tahun 2012 dari Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana (DKPK), di Kabupaten Jembrana sebanyak 9,462 jiwa penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Sebanyak 46% dari jumlah tersebut merupakan nelayan PPN Pengambengan, tetapi juga banyak nelayan pendatang yang berasal dari Jawa Timur dan Madura. Jumlah kelompok nelayan yang telah memanfaatkan TPI Pengambengan sebanyak lebih kurang 85 kelompok, dimana setiap unit kelompok perahu/kapal penangkap ikan beranggotakan 20-40 orang nelayan tradisional dengan hasil tangkapan utama berupa ikan lemuru yang terkonsentrasi di Selat Bali. Tingkat pendidikan nelayan slerek masih relatif rendah, kebanyakan nelayan mengenyam pendidikan sekolah sampai tingkat SD, bahkan tidak sekolah sama sekali. Usia nelayan slerek berkisar antara 19 tahun sampai 50 tahun, mayoritas berusia antara 30 tahun sampai 40 tahun. Gambar 5 menampilkan salah satu nelayan slerek yang sedang melakukan pengecekan mesin sebelum pergi untuk melaut. Urutan langkah kerja dalam setiap aktivitas operasi penangkapan ikan dengan jaring pukat cincin di PPN Pengambengan, Bali sebagai berikut:
57
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68
ISSN: 2355-7298
Gambar 2. Desain jaring pukat cincin PPN Pengambengan.
Gambar 3. Perahu slerek dengan muatan penuh.
Santara dkk.
Gambar 4. Perahu slerek dengan muatan kosong.
58
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68
ISSN: 2355-7298
1) Persiapan di darat
4) Persiapan alat tangkap
Aktivitas penangkapan ikan dengan jaring pukat cincin yang pertama adalah persiapan di darat, dimana pemilik kapal beserta ABK mempersiapkan kebutuhan melaut. Kebutuhan yang diperlukan adalah jumlah ABK minimal untuk melaut (35-40 orang ABK), persiapan es, ransum, pemeriksaan mesin, alat tangkap, bahan bakar dan genset. Pada umumnya persiapan darat dilaksanakan pada pukul 16.00 WITA.
Setelah sampai di fishing ground, ABK mulai menurunkan jangkar dan menghidupkan lampu-lampu operasi penangkapan ikan yang bertujuan agar ikan berkumpul di sekeliling perahu slerek (metode pencahayaan).
2) Pemuatan (loading) ke atas kapal Proses pemuatan (loading) kebutuhan melaut ke atas perahu slerek pada aktivitas pukat cincin di PPN Pengambengan masih tradisional yaitu dengan proses gotong royong. Pada umumnya kegiatan loading dilakukan pada pukul 17.00 WITA. Alat bantu yang digunakan oleh nelayan slerek adalah sarung tangan dan gancu yang berfungsi untukmembantu memindahkan es ke dalam palka agar tidak licin saat memindahkan es. 3) Berlayar menuju daerah penangkapan ikan (fishing ground) Perahu slerek berangkat dari pelabuhan perikanan menuju fishing ground ketika semua kebutuhan melaut sudah dipersiapkan. Kegiatan yang dilakukan adalah melepaskan tali tambat (jangkar), menyalakan mesin, dan juru mudi mengeluarkan perahu untuk keluar dari pelabuhan. Kegiatan ini dilakukan pada pukul 17.30 WITA. Waktu perjalanan dari pelabuhan menuju fishing ground membutuhkan waktu sekitar 120 menit.
Santara dkk.
5) Pengoperasian alat tangkap, penurunan jaring (setting) Kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah menunggu datangnya gerombolan ikan yang menjadi target tangkapan. Ketika ikan sudah berkumpul di sekeliling kapal, barulah ABK lainnya menurunkan sekoci yang disertai lampu dan genset. Fungsi sekoci yang disertai lampu dan genset adalah sebagai alat bantu dalam metode penangkapan ikan dengan cahaya. Tukang pelang bertugas mengumpulkan ikan, naik di atas sekoci dan menyalakan mesin genset untuk menghidupkan lampu pada sekoci. Saat lampu sekoci dihidupkan, lampu operasi penangkapan pada perahu slerek mulai diredupkan dan dipadamkan, yang tujuannya agar ikan hanya berkumpul pada satu titik yaitu lampu sekoci. Pada saat ikan berkumpul, perahu slerek mulai menjauhi sekoci untuk menghidupkan mesin dan memulai melingkari gerombolan ikan yang sudah terkumpul di sekitar sekoci. Proses melingkari ikan dengan jaring pukat cincin ini disebut tawuran. Kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah penurunan pelampung utama yang perahu terletak pada sisi kiri buritan slerek. Penurunan jaring pukat cincin dengan cara melingkari gerombolan ikan yang terkumpul.
59
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68
ISSN: 2355-7298
Gambar 5. Nelayan slerek PPN Pengambangan, Bali. Tabel 1. Aktivitas pukat cincin di PPN Pengambengan, Bali. No. 1. 2. 3.
Aktivitas Persiapan di darat Pemuatan (loading) ke atas kapal Berlayar menuju daerah penangkapan ikan (fishing ground)
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Persiapan alat penangkapan ikan Pengoperasian alat penangkapan ikan; penurunan jaring (setting) pertama Pengangkatan jaring (hauling) alat penangkapan ikan pertama Penanganan hasil tangkapan pertama Persiapan alat penangkapan ikan dan seterusnya Pengoperasian alat penangkapan ikan, setting ke dua dan seterusnya
10. 11. 12. 13.
Hauling ke dua dan seterusnya
Santara dkk.
Penanganan hasil tangkapan kedua, dan seterusnya Berlayar menuju pelabuhan asal (fishing base) Proses bongkar hasil tangkapan
60
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 6) Pengangkatan tangkap Pada
proses
jaring
(hauling)
pengangkatan
alat
jaring
(hauling), aktivitas yang dilakukan adalah
ISSN: 2355-7298 melakukan kegiatan seperti merapikan alat tangkap, istirahat dan memisahkan hasil tangkapan untuk dibawa pulang. 9)
Proses bongkar hasil tangkapan
menarik tali pelampung utama, kemudian dilakukan proses penarikan tali kolor/tali cincin yang tujuannya agar jaring membentuk kantong dan mencegah ikan untuk meloloskan diri. Pada proses penarikan tali kolor dibantu dengan mesin gardan. Jaring yang telah membentuk kantong kemudian ditarik oleh semua ABK slerek dengan berada pada sisi kiri lambung perahu. Tugas ABK dalam penarikan jaring terbagi-bagi seperti penarik tali pelampung, penarik tali ris, penarik tali kolor, merapikan tali, memberikan air pada mesin gardan agar tidak panas saat proses penarikan tali dan penarik jaring.
Proses bongkar hasil tangkapan dari atas perahu slerek dengan memakai alat bantu berupa wadah penampung (basket). Basket yang telah terisi kemudian di angkut oleh sekoci transportasi untuk di bawa ke tempat pelelangan ikan yang terletak di area PPN Pengambengan. Proses bongkar hasiltangkapan pada perahu slerek disajikan pada Gambar 6. Kecelakaan kerja yang dapat terjadi pada kegiatan penangkapan dengan perahu slerek diantaranya:
7) Penanganan hasil hangkapan
Hasil tangkapan yang diperoleh oleh alat tangkap pukat cincin ini langsung dimasukan kedalam palka yang telah berisi es. Proses penyortiran ikan dilakukan apabila hasil tangkapan yang didapatkan berjumlah sedikit.
8) Berlayar menuju pelabuhan asal (fishing
base)
Operasi
ikan pukat cincin (one day fishing) di PPN Pengambengan berakhir pada pagi hari pukul 07.30 WITA. Jumlah hasil tangkapan yang didapatkan tidak mempengaruhi jam operasi perikanan slerek. Aktivitas dilanjutkan dengan juru mudi mengarahkan perahu menuju pelabuhan berlayar asal (fishing base). Pada saat menuju fishing base seluruh ABK Santara dkk.
penangkapan
Terjatuhnya tukang pelang dan terbaliknya sekoci pada saat mengumpulkan ikan dikarenakan besarnya gelombang laut, Terbelitnya ABK oleh tali temali pada saat proses penarikan tali ris dan tali kolor, Terjatuhnya ABK dari perahu karena seluruh ABK hanya berada di satu sisi lambung perahu pada proses penarikan jaring, Tenggelamnya ABK karena banyak yang tidak mempunyai kemampuan bertahan di air dan minimnya peralatan keselamatan yang tersedia, Tubrukan di laut, karena proses penangkapan dilakukan dengan pola memburu ikan, Terbaliknya kapal, karena muatan yang berlebihan, Ledakan mesin perahu slerek karena diletakan pada tempat yang tidak terlindungi dari air.
61
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 Alat Keselamatan Alat pelindung diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja (Permenaker, 2010). Peraturan–peraturan yang berlaku bertujuan untuk melindungi seseorang dari bahaya, tetapi masyarakat nelayan tidak terlalu mengkhawatirkannya. Hal ini dikarenakan kurangnya pendidikan tentang keselamatan kerja sehingga mereka merasa bahwa keselamatan tidak menjadi prioritas utama dalam pekerjaan di laut. Berdasarkan Undang-undang Keselamatan Kerja N0.1. Tahun 1970, pasal 12b dan pasal 12c, bahwa tenaga kerja diwajibkan:
Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan; Memenuhi atau mentaati semua syaratsyarat keselamatan kerja dan kesehatan yang diwajibkan.
Pada tingkat Internasional IMO/ILO/FAO telah mengatur standar keselamatan kapal yang berukuran ≥ 24 m, sedangkan untuk pengaturan kapal-kapal berukuran < 24 m diberikan sepenuhnya kepada pemerintah setempat. Menurut data yang didapatkan, armada kapal perikanan berukuran kecil (panjang kapal < 24 m ) belum banyak diatur oleh pemerintah sementara jumlah kapal berukuran kecil mendominasi armada industri perikanan tangkap nasional, yakni mencapai 94% dari total armada kapal penangkap ikan (DKP, 2009). Belum adanya peraturan khusus tentang keselamatan kapal-kapal kecil menunjukan bahwa keselamatan Santara dkk.
ISSN: 2355-7298 nelayan dalam kegiatan penangkapan di Indonesia sampai saat ini belum diperhatikan dan belum ada kebijakan yang jelas dari pemerintah daerah dan pusat. Belum diterapkannya pengaturan tentang kepelautan kapal perikanan, serta belum tersedianya standar kapal penangkap ikan, standar alat keselamatan, standar operasi, standar pengawakan kapal dan standar keterampilan awak kapal menjadi masalah utama dalam pengembangan perikanan di Indonesia. Dari studi lapang didapatkan informasi belum adanya bantuan untuk pengadaan perlengkapan keselamatan, sosialisasi tentang keselamatan serta peraturan tentang standar alat keselamatan yang harus di bawa untuk kapal penangkapan ikan dengan ukuran < 24 m di PPN Pengambengan saat akan melakukan operasipenangkapan ikan. Standar kapal penangkap ikan berukuran kecil pada prinsipnya didasarkan pada aspek keselamatan yang mencakup konstruksi, stabilitas, perlengkapan navigasi, perlengkapan keselamatan, peralatan komunikasi, mesin dan pompa–pompa termasuk pompa darurat dan pompa got, serta pintu-pintu kedap air. Peralatan keselamatan kapal penangkap ikan berukuran kecil seharusnya dilengkapi sebagaimana pada Tabel 2 menurut (Danielson 2004). Menurut hasil survei dari 30 perahu slerek di PPN Pengambengan, keberadaan alat keselamatan pada perahu slerek sesuai dengan syarat perahu berukuran kecil dengan nilai Basic (Danielson 2004). Alat keselamatan (life bouy ) digunakan alat keselamatan alternatif yang memiliki fungsi serupa sebagai alat apung berupa ban dalam mobil bekas dengan persentase 63,33%. Jaket penolong (life jacket) digantikan oleh jerigen minyak bekas sebesar 20%, senter 100%, Tali 62
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 pengikat 100%, dayung 100%, kompas untuk menentukan arah tujuan sebesar 43,33% dan keberadaan ember dengan tali sebesar 100%.
ISSN: 2355-7298 Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa masih minimnya kesadaran nelayan tentang keberadaan alat keselamatan terutama pada jaket penolong disajikan pada Gambar 7.
Tabel 2. Daftar alat keselamatan untuk perahu berukuran kecil. Daftar alat keselamatan perahu Pelampung penolong/life bouy Jaket Penolong/Life Jacket Lampu cerlang/Flashlight
Bucket with rope
Tali ikat ke kapal/Rope connected to the vessel Dayung/Paddle Kompas/Compass Peta laut/Sea, chart/Navigation chart FM Radio Pemadam kebakaran/Fire extinguisher Global Positioning System (GPS) Radio VHF/VHF Radio
Basic ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
1
3
✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
Mobile Phone
Untuk perahu bermesin (tambahan) Layar dan tiang layar/ sail and a mast Suku cadang mesin/Spare part of the engine Bahan bakar cadangan/Extra fuel of the engine
2
✓ ✓ ✓
Gambar 7. Keberadaan peralatan keselamatan. Santara dkk.
63
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 Berdasarkan Gambar 7 didapatkan komposisi alat keselamatan yang berbeda, hal tersebut dikarenakan (1) rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan mengakibatkan rendahnya kesadaran terhadap pentingnya alat-alat keselamatan di kapal nelayan PPN Pengambengan (2) harga dari alat keselamatan yang relatif mahal, sehingga tidak semua nelayan mampu membelinya terutama untuk alat life buoy dan kompas (3) prioritas kebutuhan dari masing-masing alat keselamatan yang berbeda menurut nelayan, sehingga tidak semua alat keselamatan tersebut perlu dipenuhi. Peralatan keselamatan yang terdapat pada perahu slerek disajikan pada Gambar 8. tersebut tidak Peralatan alternatif sesuai dengan peraturan nasional yang mengacu kepada peraturan internasional SOLAS (Safety of Life At Sea) 1978 yang mensyaratkan alat apung untuk kapal penangkap ikan yang memiliki panjang < 24 meter sebagaimana pada Tabel 3. Sampai saat ini peralatan alternatif seperti ban dalam mobil bekas dan jerigen bekas minyak yang dipakai oleh nelayan PPN Pengambengan belum ada uji ketahanan untuk diketahui tingkat ketahanannya. Minimnya perlengkapan dan pemikiran mengenai alat keselamatan yang ada dan tidak sesuai dengan standar nasional untuk kapal berukuran panjang < 24 m pada kapal penangkapan ikan di PPN Pengambengan otomatis akan mempengaruhi risiko keselamatan nelayan yang sedang melakukan operasi penangkapan ikan di kapal tersebut ketika terjadi kecelakaan kapal di laut seperti pada saat kapal terbalik, tenggelam, terbawa arus, tabrakan, kebakaran serta kecelakaan kerja. Kemampuan yang dimiliki oleh seorang anak buah kapal (ABK) dalam Santara dkk.
ISSN: 2355-7298 menghadapi bahaya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keselamatan kerja. Hal ini sesuai dengan Suma’mur (1996) yang menjelaskan penyebab kecelakaan kerja dikelompokan menjadi dua, yaitu:
(unsafe yang berbahaya condition), yaitu : kondisi yang tidak
a. Kondisi
aman dari mesin, pesawat, lingkungan, proses, sifat pekerjaan dan cara kerja. b. Perbuatan manusia (unsafe action), yaitu : perbuatan berbahaya dari manusia (human error) yang dalam beberapa hal dapat dilatar belakangi oleh sikap dan tingkah laku yang tidak aman, kurangnya pengetahuan dan keterampilan (lack and knowledge skill), cacat tubuh yang tidak terlihat keletihan dan kelesuhan (fatigue and boredom). Menurut hasil kuisioner dari 30 nelayan slerek tentang pelatihan keselamatan yang pernah didapatkan, sebanyak 13,33% nelayan PPN pernah mendapatkan pelatihan keselamatan dan nelayan yang belum mengikuti pelatihan sebesar 86,67%. Rendahnya persentase nelayan yang mengikuti pelatihan keselamatan dikarenakan masih rendahnya pengetahuan dan pemikiran tentang pentingnya keselamatan yang merupakan hal terpenting dalam pekerjaan di laut sehingga keselamatan tidak menjadi prioritas yang utama. Gambar 9 menyajikan persentase keikutsertaan nelayan dalam pelatihan keselamatan. Pelatihan keselamatan di atas kapal harus diadakan secara periodik. Nakhoda dan awak kapal harus memiliki kemampuan atau kompetensi tentang keselamatan kapal. Perawatan dan perbaikan, penempatan, kesiapan alat untuk diluncurkan ke air, sertifikat alat,
64
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68
ISSN: 2355-7298
Tabel 3. Syarat alat apung menurut SOLAS 1978. No. 1.
Nama Alat Pelampung penolong/ life
bouy
Fungsi
Syarat
Pelampung
yang
Diameter luar 800 mm dan
menyelamatkan
diameter dalam 400 mm,
nyawa
dibuat dari bahan apung
dirancang untuk
dilempar
kepada
yang
menyatu,
dapat
seseorang di dalam air,
mengapung
untuk memberikan daya
tawar dengan beban besi
apung
14.5 kg, diberi warna yang
dan
untuk
mencegah tenggelam
24 jam di air
mencolok, dengan
dilengkapi alat
pemantul
cahaya, diberi nama kapal, satu setiap perahu disimpan pada sisi kanan dek kapal. 2.
Jaket
Melindungi
Penolong/ Life
yang bekerja di atas air
ketinggian
Jacket
atau
harus
agar
pengguna
dipermukaan terhindar
bahaya tenggelam atau
mengatur
apung pengguna berada tenggelam
air dari
apung
dan
daya
daya
(buoyancy) agar pada
Tahan dari lompatan pada minimal
mempunyai
4.5
m, daya
dan stabilitas tinggi, apung
tidak
boleh
berkurang lebih dari 5
%
setelah terendam dalam air
dapat
tawar selama 24 jam, harus
posisi
dilengkapi
(negative
harus
dengan
mampu
peluit,
mengangkat
buoyancy) atau melayang (neutral buoyant) di
muka orang dari dalam air dan
dalam air.
badan terlentang dalam suatu
menahan diatas air dengan sudut miring, harus berwarna mencolok/orange, yang nyaman pada saat pemakaian, dan
satu
life
jacket untuk
tiap orang diatas kapal.
Santara dkk.
65
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68
ISSN: 2355-7298
Gambar 8. Alat keselamatan pada perahu slerek.
Gambar 9. Keterampilan nelayan.
Santara dkk.
66
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 cara penggunaan peralatan keselamatan merupakan bagian penting dalam upaya penurunan angka kecelakaan pada kapal penangkap ikan. Pihak lain yang memiliki peran penting adalah pemilik atau pengelola armada kapal. Pemilik kapal harus memperhatikan usulan dan saran dari awak kapal dan pihak berwenang untuk melengkapi dan memperbaiki peraturan atau ketetapan pemerintah dalam hal pemenuhan atas peraturan kelautan kapal seperti: alat keselamatan, konstruksi kapal, sertifikat awak kapal, jumlah awak kapal, asuransi, surat ijin berlayar dan dokumen-dokumen kapal. Beberapa penelitian menunjukkan penyebab paling besar kecelakaan kapal adalah faktor internal yakni SDM akibat kurang kompetennya awak kapal. Faktor internal lainnya adalah seperti desain dan konstruksi kapal serta kondisi kapal yang sudah tua, dan peralatan keselamatan yang tidak memadai, sedangkan faktor eksternal meliputi cuaca, gelombang laut dan manajemen sumberdaya perikanan. KESIMPULAN 1)
Keberadaan peralatan keselamatan pada kapal perikanan di PPN Pengambengan, masih belum memenuhi standar nasional maupun internasional.
2) Peralatan yang difungsikan sebagai alat keselamatan di perahu slerek adalah ban dalam mobil bekas dan jerigen minyak bekas.
ISSN: 2355-7298 DAFTAR PUSTAKA Departemen Kelautan dan Perikanan dan (JICA) Japan International Cooperation Agency. 2009. Indonesian Fisheries Statistics Index. Dinas
Kelautan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Jembrana 2012. Rencana strategis pembangunan perikanan Kabupaten Jembrana. Bali.
Food and Agriculture Organization.2000. State of World Fisheries Aquaculture.
The and
International Labour Organization. 2000. Safety and Health in the Fishing Industry, Safety and Health Issues in the Fishing Industry. Geneva. International Labour Organization. 2001. Document for Guidance on Training and Certification of Fishing Vessel Personnel. FAO
of United Nations, ILO and IMO, International Labor Organization, and Food Agriculture Organization. 2005. Code of Safety for Fishermen and Fishing Vessels.
International Maritime Organization, International Labor Organization, Food Agriculture Organization. 2005. Code of Safety for Fishermen and Fishing Vessels 2005. Part A. Safety and Health Practice. London. International Maritime Organization. 2006. Code of Safety for Fishermen and Fishing Vessels 2005. Part B. Safety and Health Requirements for The Construction and Equipment of Fishing Vessel. London. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. 2010. Permen Nomor 7 tahun 2010 tentang Alat Pelindungan diri.
Santara dkk.
67
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 53 - 68 SOLAS. 1978. International Safety of Life at Sea.
Convention
ISSN: 2355-7298
the
Danielson Per. 2004. Small Vessel Safety Review. SSPA Report 2002 2798. SSPA Sweden AB. Iskandar, B.H dan Sri Pujiati. 1995. Keragaan Teknis Kapal Perikanan di Beberapa Wilayah Indonesia. Institut Pertanian Bogor. 54 hal. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2000 Pasal 4 tentang Keselamatan Kerja Perikanan. Sainsbury, J.C. 1996. Commercial Fishing Methods. Fishing News (Book). The White Friars Press Ltd. London, Tombridge. Suherman, A. 2008. Dampak Sosial Ekonomi Pembangunan dan Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan Jembrana Bali. Universitas Diponegoro. Semarang. Suma’mur. 1996. Keselamatan Pencegahan Kecelakaan. Masagung. Jakarta.
Santara dkk.
Kerja CV.
dan Haji
68
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80
ISSN: 2355-7298
KARAKTER OSEANOGRAFI PERAIRAN MAKASSAR TERKAIT ZONA POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL PADA MUSIM TIMUR Makassar Water Oceanography Character which connected with Fishing Potential Area of Small Pelagic Fish on East Season Abd. Rasyid J. 1), Nurjannah N. 1), A. Iqbal B. 1), dan Muh. Hatta1) Staf Pengajar Program Studi Ilmu Kelautan, FIKP, Universitas Hasanuddin. Diterima: 26 November 2013; Disetujui: 18 Maret 2014.
ABSTRACT The availability of fish in the fishing area is influenced by oceanography condition. In Makassar coastal waters, potential area of small pelagic fish is the main information for the fisherman. Purpose of this research is to provide information of oceanographic characteristics which connected with fishing potential area on east season. This research was conducted during May-December 2012, using field and secondary data. Potential area determination was analyzed by using polynomial model. Distribution of oceanographic factors was analyzed by SMS and surfer. Makassar has continent as well as island areas (12 islands). Oceanographic conditions indicate tidal current velocity of 0.08 m/s and ebb currents from 0.05 to 0.30 m/s. Sea surface temperatures in the spring waters east of Makassar were in the range of 26 - 31oC. The concentration of chlorophyll-a occurred between 0.0 and 1.0 mg/m3, oceanographic conditions in July and August 2012 are relatively similar. Potential zone for small pelagic fish species in June, July, and August are in the waters around the islands - northern part of the island of Makassar and from the island to Lanyukkang Lumu-Lumu island.
Key words: Oceanography, small pelagic fish, east monsoon, potential zone
Contact person : Abd. Rasyid J. Email :
[email protected]
Rasyid dkk.
69
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80 PENDAHULUAN Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan guna memenuhi permintaan konsumen sebagai salah satu sumber makanan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Adanya permintaan menyebabkan terjadi siklus ekonomi dimana akan terjadi keuntungan dan kerugian, sehingga aktivitas penangkapan akan dilakukan dengan meningkatkan produksi untuk meraih keuntungan yang sebesar-sebesarnya oleh pelaku usaha penangkapan ikan. Namun untuk meningkatkan produksi dari kegiatan penangkapan ikan sangat bergantung pada keadaan lokasi penangkapan, dimana lokasi penangkapan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi. Ketersediaan ikan pada daerah penangkapan ikan secara spasial dan temporal dipengaruhi oleh adanya pola angin musim, yaitu angin musim timur dan barat, serta peralihan antara kedua musim tersebut yang berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun secara periodik. Pola penyebaran ikan pelagis kecil berdasarkan pola musim merupakan informasi utama untuk menentukan lokasi potensi penangkapan ikan pelagis kecil kaitannya dengan perubahan kondisi oseanografi di perairan Kota Makassar. Kota Makassar adalah salah satu kawasan dari gugusan kepulauan merupakan Spermonde (Gambar 1), daerah penangkapan ikan pelagis kecil yang sangat potensial. Keberadaan daerah penangkapan ikan bersifat dinamis, karena secara alamiah ikan pelagis kecil selalu mencari habitat yang sesuai dengan kebutuhan fisiologinya. Ketersediaan ikan pada daerah penangkapan dipengaruhi oleh kondisi oseanografi dan meteorologi yang secara langsung akan mempengaruhi Rasyid dkk.
ISSN: 2355-7298
keberadaan ikan pada suatu wilayah untuk dimanfaatkan. Perubahan kondisi oseanografi secara spasial dan temporal ini terhadap pola penyebaran sumberdaya ikan pada perairan tropis dipengaruhi oleh adanya pola angin musim, yaitu angin musim timur dan barat, serta peralihan antara kedua musim tersebut yang berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun secara periodik. Pola penyebaran ikan pelagis kecil adalah salah satu informasi yang dibutuhkan untuk menunjang kebijakan pemanfaatan ikan pelagis kecil di perairan Kota Makassar. Mengingat distribusi ikan dipengaruhi perubahan kondisi oseanografi, maka penelitian ini analisis pola penyebaran ikan pelagis kecil dikaitkan dengan kondisi oseanografi, yaitu suhu permukaan laut, dan klorofil-a.
Gambar 1. Lokasi penelitian.
70
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80 Tujuan penelitian ini adalah tersedianya informasi tentang perubahan kondisi oseanografi terkait dengan zona potensial penangkapan ikan pelagis kecil pada musim timur di perairan Kota Makassar dengan menggunakan alat tangkap purse seine dan handline. DATA DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan MeiDesember 2012. Lokasi pengambilan data oseanografi dan kegiatan penangkapan dilakukan pada daerah-daerah yang merupakan daerah penangkapan (fishing ground) ikan pelagis kecil di perairan Kota Makassar, khususnya pada alat tangkap purse seine dan handline. Penelitian ini juga menggunakan data citra satelit untuk kurun waktu tahun 2011-2012. Metode Pelaksanaan Alat dan Bahan Pengambilan data lapangan menggunakan peralatan pendukung demikian juga pengolahan data sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data citra satelit dan data pengukuran secara langsung. Data citra satelit yang digunakan adalah citra suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a. Selain data citra satelit juga dilakukan pengukuran langsung di lapangan. Data pengukuran langsung adalah SPL, konsentrasi klorofil-a, arah dan kecepatan arus, dan kedalaman perairan. Data sekunder meliputi data statistik perikanan tangkap tahun 2010-2012, Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), Skala 1 : 50.000 , Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 50.000, dan peta administrasi Kota Makassar. Rasyid dkk.
ISSN: 2355-7298
Metode Pengambilan Data Kondisi fisik oseanografi dibutuhkan untuk menggambarkan keadaan massa air laut di perairan Kota Makassar yang merupakan bagian dari Selat Makassar. Data SPL dari satelit AQUA MODIS Resolution Imaging (Moderate yang digunakan Spectroradiometer) merupakan data mingguan pada Oktober 2011-Oktober 2012. Data citra SPL digunakan untuk mengamati dinamika oseanografi dalam jangkauan yang luas pada perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Pola arus dibutuhkan untuk mengetahui aliran massa air yang mempengaruhi distribusi parameter oseanografi lainnya, sehingga dinamika oseanografi yang terjadi di perairan Kota Makassar pada setiap musim dapat dipetakan. Pengukuran kecapatan arus secara langsung di lapangan dengan menggunakan current meter dan layanglayang arus yang selanjutnya diolah dengan menggunakan analisis Surface Modelling System (SMS). Klorofil-a merupakan parameter yang menunjukkan kesuburan perairan atau produktivitas perairan pada setiap musim. Data citra klorofil-a rekaman satelit AQUA MODIS diperoleh dari NASA Goddard Space Flight Cente berupa data mingguan Oktober 2011 - Oktober 2012. Data citra yang akan diamati adalah yang dapat mewakili musim timur.
71
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80
ISSN: 2355-7298
Tabel 1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Peralatan Perahu motor GPS Garmin 12 XL Current meter Layang-layang arus Stopwatch Kompas Fishfinder Garmin 120 Van Dorn Water Sampler purse seine dan hand line Water Quality Checker Hand anemometer Bendera Tool box Peta lokasi Kamera Komputer Printer Perangkat lunak (software)
Data penangkapan ikan dibutuhkan untuk mengetahui pola produksi alat tangkap yang juga merupakan indikasi dari distribusi ikan pelagis kecil di perairan Kota Makassar. Data yang dibutuhkan dari kegiatan penangkapan ikan, adalah : 1) jumlah trip penangkapan; dan 2) posisi geografi lokasi penangkapan. Analisis Data Parameter oseanografi Sebaran parameter arus, SPL, klorofil-a, dan kedalaman yang merupakan data dari citra satelit dan lapangan digambarkan secara mendatar, dengan menggunakan alat bantu perangkat lunak Surfer versi 10.0.
Rasyid dkk.
Kegunaan Transportasi laut Penentuan posisi Pengukuran kecepatan arus Indikator arah arus Penghitungan waktu Pengukuran arah Pengukuran kedalaman Pengambilan sampel air Alat tangkap ikan pelagis Pengukuran kualitas air Pengukuran kecepatan angin Penentuan arah angin Tempat peralatan Penentuan titik sampling Pengambilan gambar Pengolahan data dan penulisan Print out Pengolahan citra dan hasil penelitian Prediksi pola pergerakan massa air menggunakan program Surface Modelling System versi 8.1. Pemodelan Hidrodinamika Modul RMA-2
dengan
Tujuan simulasi hidrodinamika ini adalah untuk mendapatkan besaran kecepatan dan arah arus. Pemodelan arus menggunakan model numerik RMA2. RMA2 adalah sebuah modul dari SMS berupa model numerik elemen hingga (finite element) yang diintegralkan dalam arah vertikal (kedalaman perairan dapat dianggap konstan relatif terhadap dimensi horisontalnya), sehingga dapat dianggap sebagai masalah dua dimensi (2-D). Keutamaan dari modul RMA2 adalah mampu menghitung perubahan elevasi permukaan (fluktuasi pasut) perairan dan komponen kecepatan arus horisontal untuk 72
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80 aliran permukaan bebas sub-kritis dalam medan aliran 2-dimensi. Pada dasarnya RMA2 menyelesaikan masalah aliran turbulen persamaan Reynolds yang diturunkan dari persamaan Navier-Stokes. Pengaruh kekasaran diperhitungkan dengan koefisien Manning atau Chezy, sebagai persamaan pengatur. RMA2 menggunakan persamaan konservasi massa dan momentum yang diintegrasikan terhadap kedalaman. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Kota Makassar selain memiliki wilayah daratan, juga memiliki wilayah kepulauan yang dapat dilihat sepanjang garis pantai Kota Makassar. Pulau-pulau ini merupakan gugusan pulau-pulau karang sebanyak 12 pulau, bagian dari gugusan pulau-pulau Sangkarang, atau disebut juga pulau-pulau Pabbiring, atau lebih dikenal dengan nama kepulauan Spermonde. Pulau-pulau tersebut adalah pulau Lanjukang (terjauh), pulau Langkai, pulau Lumu-Lumu, pulau Bonetambung, pulau Kodingareng Lompo, pulau Barrang Lompo, pulau Barrang Caddi, pulau Kodingareng Keke, pulau Samalona, pulau Lae-Lae, pulau Lae-Lae kecil (gusung) dan pulau Kayangan (terdekat). Karakter Oseanografi Kondisi oseanografi memiliki peran penting dalam analisis distribusi dan kelimpahan sumberdaya ikan. Hasil penelitian sebelumnya (Zainuddin dkk., 2008), menunjukkan parameter oseanografi SPL, salinitas, kecepatan arus, kedalaman, perairan dan konsentrasi klorofil-a signifikan dalam penentuan daerah penangkapan ikan yang potensial. Pengaruh faktor oseanografi terhadap distribusi ikan pelagis kecil Rasyid dkk.
ISSN: 2355-7298
merupakan indikasi kondisi lingkungan yang sesuai dengan aktivitas pelagis kecil, sehingga faktor oseanografi dapat menjadi acuan untuk menentukan lokasi potensial penangkapan ikan pelagis kecil. Apabila memperhitungkan faktor-faktor lainnya, seperti waktu pemijahan, pola migrasi, pencemaran, faktor teknis yang berhubungan alat tangkap yang tidak menjadi bagian penelitian ini memungkinkan prediksi hasil tangkapan lebih teliti dan waktu penangkapan yang dapat dilakukan sehingga memberikan informasi yang lebih konprehensif berkaitan dengan distribusi ikan. Keberadaan ikan pada suatu perairan daerah tropis berhubungan dengan variasi musim dari lingkungan laut. Pengaruh variasi musim, panjang siang hari dan SPL daerah tropis relatif tidak berpengaruh Pada dibandingkan daerah temperate. daerah tropis variasi musim angin dan curah hujan yang lebih berpengaruh terhadap ekosistim laut, dimana variasi musim akan mempengaruhi ketersediaan jumlah dan jenis makanan yang berdampak langsung terhadap keberadaan ikan di ekosistem laut tropis. Respon sumberdaya ikan terhadap perubahan lingkungan terjadi karena setiap spesies memiliki kebutuhan minimum terhadap berbagai unsur lingkungan. Apabila terdapat unsur lingkungan yang berkurang, misalnya suhu di bawah kebutuhan spesies, maka spesies akan melakukan migrasi (Nybakken, 1992). Respon yang berbeda terhadap perubahan kondisi oseanografi mengindikasikan bahwa ikan pelagis kecil memiliki toleransi yang berbeda terhadap berbagai parameter oseanografi. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kebutuhan dalam beraktivitas, misalnya mencari makanan, karena ikan pelagis kecil dalam setiap aktivitas membutuhkan kondisi oseanografi yang berbeda, baik berdasarkan jenis ikan 73
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80 maupun ukuran ikan. Perairan Kota Makassar dengan karakter perairan yang dangkal dan dekat daratan menyebabkan lingkungan perairan cenderung berfluktuatif, dimana keadaan ini berdampak terhadap distribusi ikan pelagis kecil. Respon ikan terhadap perubahan lingkungan untuk menyesuaikan peran fungsional dalam suatu ekosistem, jika tidak sesuai atau dapat menyesuaikan, maka ikan akan mencari habitat yang sesuai dengan kebutuhan atau peran fungsionalnya (Laevastu dan Hayes, 1981). Musim timur yang berlangsung dari bulan Juni hingga Agustus ditandai dengan curah hujan rendah dan kecepatan angin yang tinggi dari timur laut dan timur dengan kecepatan angin berkisar 0 – 17 knot. Kuatnya angin bertiup mempengaruhi pola arus permukaan yang disebabkan pasang surut. Pola arus permukaan saat air pasang di laut lepas dari selatan dengan kecepatan mencapai 0,08 m/det di dekat pesisir dengan kondisi kecepatan meningkat ke arah laut lepas hingga di bagian selatan Pulau Langkai, dengan kondisi ke arah utara terjadi arus kuat di sebelah barat perairan pulau-pulau terluar Kota Makassar (laut lepas) dengan kecepatan 0,20 – 0,50 m/det. Sementara pola arus di perairan antara pulau umumnya terjadi arus ke utara dan timur laut searah garis pantai dengan kecepatan di bawah 0,2 m/det. (Gambar 2). Pola arus permukaan saat air surut terjadi pola arus yang sebaliknya yakni dari utara ke selatan dengan kecepatan berkisar 0,05 - 0,30 m/det. Dengan karakteristik arus lemah di perairan bagian dalam Kota Makassar pada kecepatan <0,10 m/detik. Sebaran SPL pada setiap bulan selama musim timur menunjukkan perubahan yang signifikan dan semakin menurun hingga pada bulan Agustus, hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. Rasyid dkk.
ISSN: 2355-7298
SPL perairan Kota Makassar pada musim timur terjadi perbedaan. Pada Bulan Juni, berkisar antara 29 - 31oC. Kecendrungan SPL lebih rendah di perairan laut pulau-pulau Kota Makassar, dan meningkat ke arah perairan terbuka di bagian barat laut. Pada bulan Juli, kisaran SPL berada pada 26 - 31oC. Kecendrungan SPL di perairan laut pulau-pulau Kota Makassar berkisar 29 - 30oC, sedangkan di perairan pesisir Kota Makassar cenderung berfluktuasi pada kisaran 26 - 31oC. Pada bulan Agustus SPL berkisar antara 28 - 31oC. Kecendrungan suhu di perairan laut pulau-pulau Kota Makassar berkisar 28 - 29oC, sedangkan di perairan pesisir Kota Makassar cenderung o berfluktuasi pada kisaran 29 - 31 C. Kondisi suhu selama musim timur menunjukkan variasi dengan kecenderungan berfluktuasi di setiap bulan, namun secara umum SPL cenderung lebih rendah dibandingkan dua musim sebelumnya. Adanya penurunan suhu di musim timur meskipun kondisi cuaca umumnya cerah, hal ini terkait dengan posisi matahari terhadap garis ekuator bumi. Pada musim barat, posisi matahari berada di belahan bumi selatan dan saat musim timur berada di belahan bumi utara. Wyrtki (1961) menjelaskan bahwa Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan sehingga suhu berkisar antara 29-30°C dan di bagian utara khatulistiwa suhu berkisar antara 27-28°C. Pada musim timur, SPL di perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi 28-30°C dan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi 27-28°C. Berdasarkan sebaran SPL, kondisi suhu lebih rendah, secara umum dimulai dari selatan perairan Spermonde ke utara. Hal ini disebabkan pola arus musim timur, memperlihatkan gerakan massa air dari Laut Flores dengan SPL yang lebih rendah 74
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80
ISSN: 2355-7298
berbelok ke utara – barat laut memasuki perairan Spermonde. Sedangkan suhu yang lebih tinggi dominan di utara perairan Spermonde cenderung berasal dari massa air Samudera Pasifik melewati Selat Makassar.
Gambar 2. Pola arus pasang dan surut di Musim Timur.
Gambar 3. Peta Sebaran suhu permukaan laut pada bulan Juni, Juli, dan Agustus.
Rasyid dkk.
75
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80 Sebaran klorofil-a pada bulan Juni berada pada kisaran 0,0 – 1,0 mg/m3 dan didominasi pada kisaran dibawah 0,2 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a yang lebih tinggi berada dalam area perairan yang sempit dan terakumulasi di perairan dekat pulau dan pantai yakni pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a yang lebih tinggi yakni 1 mg/m3 berada di perairan bagian utara Kota Makassar. Memasuki bulan Juli, konsentrasi klorofil-a 0,1 mg/m3 semakin menyebar di perairan pulau-pulau Kota Makassar dan konsentrasi 0,2 – 0,3 mg/m3 lebih menyebar di sekitar pesisir dan di dangkalan terumbu dan pulau. Kondisi di bulan Agustus, relatif sama dengan kondisi di bulan Juli yakni perairan didominasi pada konsentrasi klorofil-a <0,1 mg/m3. Konsentrasi yang lebih tinggi pada kisaran 0,2 – 0,3 mg/m3 lebih terakumulasi di perairan sekitar pesisir, dangkalan terumbu dan pulau (Gambar 4).
ISSN: 2355-7298
Berdasarkan variasi sebaran klorofil-a selama musim timur, memperlihatkan klorofil-a dominan pada kisaran dibawah 0,5 mg/m3 dengan pola sebaran yang bervariasi, sedangkan konsentrasi yang lebih tinggi berada dalam area spot kecil di sekitar pulau-pulau dan dangkalan terumbu, serta di perairan pesisir. Perubahan konsentrasi klorofil-a berkaitan dengan ketersediaan zat hara yang dibutuhkan oleh fitoplankton. Kandungan zat hara di perairan laut dangkal, diawali dengan proses perombakan di dasar perairan yang berlangsung terus menerus dan akan terangkat kepermukaan melalui proses percampuran atau pengadukan (turbulensi) secara menegak (Birowo, 1982). Proses tersebut yang menyebabkan konsentrasi klorofil-a di perairan kepulauan Spermonde relatif tidak berfluktuatif, kecuali pada perairan yang dekat pantai, namun konsentrasi klorofil-a sebagaimana umumnya perairan tropik relatif rendah.
Gambar 4. Peta sebaran klorofil-a pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Rasyid dkk.
76
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80 Zona Potensial Pelagis Kecil
Penangkapan
Ikan
bulan Juni
sebesar 121 kg.
Sementara di laut lepas bagian barat hingga selatan pulau Langkai dan pulau
Prediksi penangkapan ikan pelagis kecil pada
ISSN: 2355-7298
cenderung tinggi
Prediksi distribusi ikan
Kodingareng berpotensi penangkapan ikan dapat mencapai hasil maksimal yakni 180 kg (Gambar 5).
pelagis kecil merata di perairan pulau– pulau Kota Makassar dengan pencapaian hasil tangkapan diprediksi mencapai 150 kg.
Gambar 5. Zona potensial penangkapan pada bulan Juni.
Gambar 6. Zona potensial penangkapan pada bulan Juli.
Rasyid dkk.
77
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80
ISSN: 2355-7298
Gambar 7. Zona potensial penangkapan pada bulan Agustus.
Kawasan
potensial
penangkapan
ikan, bergeser ke utara di perairan sekitar pulau – pulau bagian utara Kota Makassar dari pulau Lumu Lumu hingga pulau
KESIMPULAN 1.
Pola arus permukaan saat air pasang dari selatan dengan kecepatan mencapai 0,08 met/det di dekat pesisir. Pola arus permukaan saat air surut terjadi pola arus yang sebaliknya yakni dari utara ke selatan dengan kecepatan hingga 0,05 - 0,30 m/det. Kecepatan arus rendah di perairan bagian dalam Kota Makassar dengan kecepatan <0,10 m/detik.
2.
SPL perairan Kota Makassar pada musim timur menunjukkan ada perbedaan. Pada Bulan Juni, SPL berkisar antara 29 31oC, pada bulan Juli berkisar pada 26 31oC, dan bulan Agustus berkisar antara 28 - 31oC.
3.
Konsentrasi klorofil-a pada bulan Juni berada pada kisaran 0,0 – 1,0 mg/m3 dan didominasi pada kisaran dibawah Memasuki bulan Juli, 0,2 mg/m3. konsentrasi klorofil-a 0,1 mg/m3 semakin menyebar di perairan pulaupulau Kota Makassar dan konsentrasi
Lanyukkang dengan prediksi penangkapan mencapai 180 kg. Sementara di laut lepas, cenderung kurang potensial di sebelah barat daya pulau Langkai hingga sebelah selatan pulau Kodingareng (Gambar 6). Lokasi penangkapan potensial pada bulan
Agustus
cenderung
tidak
berbeda dengan bulan Juli
jauh
yakni di
perairan pulau Lanyukkang hingga pulau Lumu
Lumu.
Prediksi
berkisar 121 – 180 kg.
penangkapan Sementara di
perairan sekitar pulau – pulau dari Barrang lompo, hingga pulau Kodingareng, dan pulau Lae Lae kurang berpotensi untuk operasi penangkapan ikan pelagis kecil (Gambar 7).
Rasyid dkk.
78
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80 0,2 – 0,3 mg/m3 lebih menyebar di sekitar pesisir dan di dangkalan terumbu dan pulau. Sedangkan pada bulan Agustus, relatif sama dengan kondisi di bulan Juli yakni perairan didominasi pada konsentrasi klorofill-a <0,1 mg/m3. Konsentrasi yang lebih tinggi pada kisaran 0,2 – 0,3 mg/m3 lebih terakumulasi di perairan sekitar pesisir, dangkalan terumbu, dan pulau. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan
terima
kasih
dan
penghargaan kepada kepada pemerintah Kota Makassar
dalam penyediaan data
sekunder dan perizinan, seta Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mengalokasikan dana BOPTN. tahun 2012. DAFTAR PUSTAKA Burhanuddin, S. 2004. Wisata Kepulauan Spermonde Badan Riset Kelautan dan Departemen Kelautan dan Jakarta.
Bahari di Makassar. Perikanan Perikanan.
Amri, K. 2008. Analisis Hubungan Kondisi
Oseanografi dengan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Selat Sunda.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 14 (1): 51-61.
Kondisi Hidrologis dan Kaitannya Dengan Hasil Tangkapan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Perairan Teluk Tomini . Jurnal Penelitian Perikan
Amri. K., Suwarso, Awaludin. 2006.
Indonesia 12 (3): 183-193.
Jennings, S.K. 2001. Marine Fisheries Ecology. Oxford. Blackwell Science. 417 p. Laevastu, T and M.I. Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books Ltd. London. 238 p.
Rasyid dkk.
ISSN: 2355-7298
Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer. 1972. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Jogjakarta. Gadjah Mada University Press. 725 hal. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 367 hal.
Penerbit
Nontji. A. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Press. Jakarta. 331 hal. Nybakken, James., 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 549 hal. Rasyid, A. 2011. Dinamika Massa Air Terkait Dengan Lokasi Penangkapan Ikan Pelagis kecil di Perairan Spermonde. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar. Rounsefel, G. A. 1975. Ecology Utilization and Management of Marine Fisheries. The Mosby Company Saint Louis. 516 p. Santoso, S. 2003. Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. 591 Hal. Soegiarto, A, dan S. Birowo. 1975. Atlas Oseanografi Perairan Indonesia dan Sekitarnya. Nomor 1.LON-LIPI. Jakarta. Sprintall, J., A.L. Gordon, R. Murtugudde, and R.D. Susanto.2000. A semiannual Indian
Ocean forced Kelvin wave observed in the Indonesian seas in May 1997 .
Journal of Geophysical Research: 105 (C7): 17217-17230.
Sprintall, J., S. Wijffels, A. L. Gordon, A. Ffield, R. Molcard, R. Dwi Susanto, I. Soesilo, J. Sopaheluwakan, Y. Surachman and H. Van Aken. 2004. INSTANT: A new international array to measure the Indonesian Throughflow. EOS, 85 (39). 369 p. Sudirman dan A. Mallawa. Penangkapan Ikan. Cipta. Jakarta. 168 hal.
2004. Teknik Penerbit Rieka
79
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 69 - 80
ISSN: 2355-7298
Susanto, R.D. and A. L. Gordon. 2005. Velocity
and transport of StraitThroughflow .
Geophysical Research.
the
Makassar
Journal
of
Zainuddin, M., Safruddin dan J. Tresnati. 2008. Penentuan Daerah Penangkapan di Kabupaten Pangkep. Laporan Akhir. CV. Pratama Consultants. 121 hal.
Rasyid dkk.
80
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94
ISSN: 2355-7298
KERAGAMAN JENIS KAPAL PERIKANAN DI KABUPATEN TAKALAR The Variety of Fishing Boat in Takalar Regency St. Nurul Nahdyah1), St. Aisjah Farhum1), dan Ilham Jaya1) 1)
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FIKP, Universitas Hasanuddin. Diterima: 22 Januari 2013; Disetujui: 25 Maret 2014.
ABSTRACT This research aims to study the variety of fishing boats based on several technical aspects. This research was carried out from September of 2013 through January of 2014. This study collected the sampling data (boats at docking condition) in approximately 10 % of existing population along south coast from Takalar regency. The data were analyzed using cluster and PCA (Principal Componen Analysis) to assess the categorization of the boats based on the main dimension size and the mark of the main dimension ratio. The results showed that there are five groups of categorization which have different characteristics on its group. The group I was the boat which has high width and length (L/B), the group II was the boat which has high height and length ratio (L/D), the group III was the boat which has low height and length percentage (L/D), the group IV the boat which had high length, width, height, and the high water loaded (L, BOA, D, and d), and the group V was the boat which had high width and height ratio (B/D).
Key words: Variety, fishing vessel, Takalar
Contact person : St. Nurul Nahdyah Email :
[email protected]
Nahdyah dkk.
81
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94 PENDAHULUAN Kabupaten Takalar merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang menjadikan sektor perikanan sebagai sektor andalan bagi pertumbuhan ekonominya dimana terdapat enam kecamatan dari sembilan kecamatan yang merupakan kawasan pesisir pantai, yakni Kecamatan Galesong Utara, Galesong, Galesong Selatan, Sanrobone, Mappakasunggu, dan Mangarabombang. Tiga Kecamatan diantaranya merupakan wilayah perikanan tangkap yakni Kecamatan Galesong Utara, Galesong, dan Galesong Selatan; satu kecamatan merupakan perpaduan antara wilayah perikanan tangkap dan sentra rumput laut yakni Kecamatan Mangarabombang, sedangkan dua lainnya merupakan sentra budidaya rumput laut yakni Kecamatan Sanrobone dan Kecamatan Mappakasunggu. Zonasi wilayah perikanan tangkap di Kabupaten Takalar terdiri dari dua wilayah yakni wilayah pantai utara dimana terdapat satu kecamatan yakni Kecamatan Galesong Utara dan terdiri dari tiga desa diantaranya Desa Aeng Batu-batu, Desa Tamalate dan Desa Tamasaju dan wilayah pantai selatan dimana terdapat tiga kecamatan yakni Kecamatan Galesong, Kecamatan Galesong Selatan, dan Kecamatan Mangarabombang dan terdiri dari enam desa yakni Desa Boddia, Desa Bontomarannu, Desa Kaluku Bodo, Desa Mangindara, dan Desa Tope Jawa. Kabupaten Takalar memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup besar dan dapat dikelola dengan cara pengembangan potensi sektor perikanan yakni potensi perikanan budidaya dan potensi perikanan tangkap. Adapun jumlah produksi perikanan khususnya perikanan tangkap pada tahun 2009 sebanyak 32.711 ton, pada tahun 2010 sebanyak 35.931 ton, Nahdyah dkk.
ISSN: 2355-7298
pada tahun 2011 sebanyak 25.589 ton dan pada tahun 2012 sebanyak 16.300 ton (DKP, Kabupaten Takalar, 2013). Potensi perikanan tangkap dapat dimanfaatkan melalui eksploitasi yang bertanggungjawab dengan menggunakan sarana kapal perikanan dan alat penangkapan. Kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung yang digunakan untuk penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan tahun 2011 Kabupaten Takalar menempati urutan keempat jumlah kapal perikanan setelah Kabupaten Selayar, Kabupaten Bone, dan Kabupaten Pinrang. Data kapal perikanan di Kabupaten Takalar sebanyak 2.734 unit kapal penangkapan yang terdiri dari perahu tanpa motor sebanyak 730 unit yang terbagi atas 325 perahu jukung dan 405 perahu papan, perahu motor tempel (outboard) sebanyak 1.379 unit dan kapal motor (inboard) sebanyak 625 unit yang terdiri dari 190 unit berukuran 0 - 5 GT, 382 unit berukuran 5 - 10 GT dan 53 unit berukuran 10 - 20 GT. Data tersebut menunjukkan bahwa data yang tersedia mengenai kapal perikanan dan dapat diakses adalah data jumlah unit kapal yang terdiri dari perahu tanpa motor, perahu motor tempel, dan kapal motor juga mengenai ukuran kapasitas (Gross Tonnage, GT) pada kapal motor, tetapi data jenis dan karakteristik teknis kapal belum tersedia. Hal tersebut merupakan informasi yang sangat penting untuk diketahui baik bagi pelaku usaha penangkapan maupun bagi penentu kebijakan. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui variasi jenis kapal perikanan yang beroperasi di Kabupaten Takalar.
82
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94 METODE PENELITIAN a. Waktu dan Lokasi Penelitian
ISSN: 2355-7298
terhadap kapal-kapal yang sedang docking didaratan guna mempermudah proses perolehan data.
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013 sampai Januari 2014 di Desa Aeng Batu-batu, Desa Tamalate, dan Desa Tamasaju yang berada pada Kecamatan Galesong Utara; Desa Boddia yang berada pada Kecamatan Galesong; Desa Bontomarannu, Desa Kaluku Bodo, dan Desa Mangindara yang berada pada Kecamatan Galesong Selatan; dan Desa Tope Jawa yang berada pada Kecamatan Mangarabombang. Seluruh lokasi penelitian ini merupakan wilayah dari Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan.
d. Prosedur Penelitian
b. Alat dan Bahan
• BOA (breadth over all ) atau B, yakni lebar terbesar dari kapal yang diukur dari kulit lambung kapal di samping kiri sampai kulit lambung kapal sebelah kanan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mistar 100 cm untuk mengukur ordinat kapal, meteran untuk mengukur ukuran utama kapal (panjang, lebar, tinggi), waterpass untuk mengetahui ketelitian keseimbangan saat pengukuran, tali nilon yang telah di tandai setiap 10 cm dan dilengkapi dengan pendulum untuk menentukan titik ordinat, kamera untuk dokumentasi, peralatan gambar (flexible curve, penggaris 30 cm, dan pensil) untuk membuat gambar GA (general arrangement) kapal, dan alat tulis untuk mencatat hasil wawancara. Bahan yang menjadi obyek penelitian adalah berbagai jenis kapal perikanan yang akan dijadikan sampel. c. Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dengan mengambil 10% sampel dari total populasi yang terwakili oleh tiga kecamatan yang merupakan wilayah perikanan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak Nahdyah dkk.
Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan dan pengukuran secara langsung terhadap kapal sampel serta melakukan wawancara kepada para nelayan mengenai data teknis lainnya yang berhubungan dengan unit penangkapan kapal sampel. Variabel yang diukur pada kapal sampel: • LOA (length over all) yakni panjang keseluruhan dari kapal yang diukur dari ujung buritan sampai ke ujung haluan.
• D (depth), yakni jarak tegak dari garis dasar sampai garis geladak yang terendah pada bagian tegah kapal. • d (draft), yakni jarak vertikal antara garis air (load water line) atas pada garis air muat dengan garis dasar (base line). Selain melakukan pengukuran juga dilakukan wawancara dengan nelayan setempat mengenai hal-hal berikut ini: • Jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. • Tenaga penggerak meliputi jenis dan kekuatan mesin kapal. •
Jenis alat bantu penangkapan
•
Jenis hasil tangkapan.
e.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 83
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94
ISSN: 2355-7298
1. Spesifikasi Teknis Kapal
2.
Identifikasi dan Klasifikasi
a. Rasio Dimensi Utama
a.
Identifikasi
Rasio ukuran utama kapal yang dianalisis adalah LOA/BOA, LOA/D, BOA/D, D/d yang nantinya akan dijadikan variabel dalam pengelompokan.
Identifikasi kapal-kapal perikanan pada lokasi penelitian dilakukan secara deskriptif numerik dengan menampilkan grafik keragaman jenis kapal berdasarkan dimensi utama dan rasio dimensi utama kapal.
b. Kapasitas Kapal Perhitungan kapasitas (gross tonnage) kapal dilakukan berdasarkan pengukuran tonnage untuk kapal sebagai berikut (Fyson, 1985):
(1)
𝐺𝑇 =
(𝑎+𝑏)
2.8328
= 0.353 (𝑎 + 𝑏)
dimana: a : Volume ruangan tertutup yang berada di bawah dek b : Volume ruangan tertutup yang berada di atas dek
(2)
a = L × B ×T × C b
dimana: L : Panjang bangunan di bawah dek kapal B : Lebar bangunan di bawah dek kapal T : Tinggi bangunan di bawah dek kapal Cb : coefficient block kapal.
dimana:
b =L×B×T
L : Panjang bangunan di atas dek kapal B : Lebar bangunan di atas dek kapal T : Tinggi bangunan di atas dek kapal.
Nahdyah dkk.
(3)
b.
Klasifikasi
Klasifikasi dilakukan dengan dua metode yakni metode analisis faktorial dengan menggunakan analisis komponen utama (prinsipal componen analysis, PCA) dan metode analisis cluster. Analisis PCA dan analisis cluster merupakan analisis untuk mengetahui keterkaitan individu kapal dengan variabel dimensi dan rasio dimensi utama. Matriks data yang digunakan pada analisis ini terdiri atas baris dan kolom. Pada penelitian ini, individu (sampel) kapal digunakan sebagai baris dan variabel dimensi utama dan rasio dimensi utama digunakan sebagai kolom. Analisis PCA menghasilkan grafik bidang yang menjelaskan distribusi setiap individu kapal, distribusi variabel dan hubungan antara variabel. Dari grafik bidang tersebut dapat diinterpretasi individu-individu kapal yang mirip (pengelompokan) dan variabelvariabel yang mencirikan (dimensi utama dan rasio dimensi utama) setiap kelompok yang terbentuk. Adapun proses analisis PCA pada penelitian ini menggunakan bantuan software biplot. Selain menggunakan analisis PCA juga dilakukan analisis dengan menggunakan analisis cluster. Analisis cluster merupakan metode statistik deskriptif yang dipresentasikan dalam bentuk diagram pohon (dendogram) berdasarkan informasi dari suatu matriks data. Matriks data terdiri dari contoh kapal pada delapan desa yang terdapat di 84
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94 Kabupaten Takalar yang dijadikan sebagai individu statistik (baris) dan nilai nilai ukuran utama dan rasio ukuran utama sebagai variabel kuantitatif (kolom). Cluster analysis bertujuan untuk menemukan kelompok kapal berdasarkan kemiripan dari variabel yang dianalisis. Dalam kelompok yang terbentuk, cluster analysis menghitung sumbangan dari setiap variabel dalam pembentukan kelompok sehingga dapat ditentukan variabel yang mencirikan setiap kelompok kapal yang terbentuk. Ordonansi dalam klasifikasi hirarki dihitung berdasarkan jarak euclidean (d) dengan kriteria agregasi yang digunakan adalah keterkaitan rata-rata (average linkage). Jarak euclidean didasarkan pada persamaan (Clifford and Stephenson, 1975 ; Legendre and Legendre, 1983) sebagai berikut: p
d ( x1 , x 2 ) = ∑ ( y i1 − y i 2 ) 2 2
i =1
(4) dimana: x 1 , x 2 adalah dua kapal sampel (baris) y 1 adalah nilai setiap parameter rasio dimensi utama dan coefficient of fineness (kolom; dari i hingga p).
ISSN: 2355-7298
digunakan. Dari hasil penelitian didapatkan 9 (sembilan) jenis kapal yang berada di Kabupaten Takalar dan empat diantaranya merupakan kapal multi purpose. Selain kapal multi purpose juga terdapat kapal purse seine, kapal cantrang, kapal bubu, kapal pancing ulur (hand line), dan kapal gill net. Jenis kapal tersebut berbeda di setiap lokasi/desa dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor kondisi perairan, sosial budaya, dan tingkat ekonomi dari nelayan yang berada di suatu desa. Ada dua wilayah zonasi perikanan tangkap di Kabupaten Takalar. Wilayah pantai utara terdapat tiga desa yakni Desa Aeng Batu-batu, Desa Tamalate, dan Desa Tamasaju. Wlayah pantai selatan terdapat enam desa yakni Desa Boddia, Desa Bontomarannu, Desa Kaluku Bodo, Desa Mangindara dan Desa Tope Jawa. Adapun jenis kapal yang terdapat di pantai utara dan di pantai selatan Kabupaten Takalar terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 menjelaskan mengenai jenis kapal yang terdapat pada dua wilayah zonasi perikanan tangkap, pantai utara dan pantai
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Identifikasi Jenis Kapal Di Kabupaten Takalar terdapat berbagai jenis kapal yang salah satu jenis kapalnya adalah kapal multi purpose. Kapal multi purpose adalah kapal yang mengoperasikan lebih dari 1 (satu) alat penangkapan ikan yang dilengkapi dengan salah satu atau beberapa perlengkapan penangkapan ikan yang sesuai dengan jenis alat penangkapan ikan yang Nahdyah dkk.
85
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94
ISSN: 2355-7298
Tabel 1. Jenis Kapal berdasarkan Zonasi Pembagian Wilayah. No. Lokasi/wilayah 1. Pantai Utara Kabupaten Takalar
2.
Pantai Takalar
Selatan
Kabupaten
-
Jenis Kapal Kapal Multi Purpose A (MPA) Kapal Multi Purpose B (MPB) Kapal Purse Seine (PS) Kapal Cantrang
-
Kapal Multi Purpose B (MPB) Kapal Multi Purpose C (MPC) Kapal Multi Purpose D (MPD) Kapal Gill Net (GN) Kapal Bubu Kapal Hand Line (HL)
Tabel 2. Jenis kapal pada tiap desa. No. 1. 2.
Lokasi/desa Aeng Batu-batu Tamalate
3.
Tamasaju
4.
Boddia
5. 6.
Bonto Marannu Kaluku Bodo
7.
Mangindara
8.
Tope Jawa
selatan Kabupaten Takalar. Pada kedua zonasi wilayah perikanan tangkap tersebut, terdapat berbagai macam jenis kapal pada masing-masing desa. Adapun rincian jenis kapal yang terdapat pada tiap desa di Kabupaten Takalar disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa terdapat 4 (empat) jenis kapal multi purpose di Kabupaten Takalar. Kapal multi purpose A adalah kapal yang membawa alat tangkap pancing cumi dan alat tangkap gill net. Kapal multi purpose A ini terdapat pada Desa Aeng Batu-batu. Kapal multi purpose Nahdyah dkk.
Jenis Kapal Berdasarkan Alat Tangkap
Multi purpose A Purse seine Multi purpose B Cantrang
Multi purpose B Multi purpose C Bubu
Gill net Multi purpose B Multi purpose C Multi purpose B Multi purpose C Pancing ulur (hand line) Bubu
Multi purpose D B yang terdapat di Desa Tamalate, di Desa Tamasaju, di Desa Bonto Marannu, dan di Desa Kaluku Bodo merupakan kapal yang membawa alat tangkap pancing ulur (hand line) dan pancing tonda. Kapal yang membawa alat tangkap pancing tonda dan alat tangkap trap telur ikan terbang digolongkan kedalam kapal multi purpose C yang terdapat di Desa Boddia, di Desa Mangindara, dan Desa Kaluku Bodo. Kelompok kapal multi purpose yang keempat adalah kapal multi purpose D yang membawa alat tangkap pancing ulur (hand line) dan alat tangkap gill net. Kapal 86
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94
ISSN: 2355-7298
multi purpose D ini terdapat di Desa Tope Jawa.
Jenis kapal yang mendominasi di Kabupaten Takalar adalah perahu motor tempel (out board) atau dalam istilah lokal nelayan setempat adalah kapal lepa-lepa, dimana 6 dari 9 jenis kapal semua menggunakan kapal lepa-lepa. Adapun kapal yang menggunakan kapal lepa-lepa yakni kapal multi purpose A, kapal multi purpose B, kapal bubu, kapal gill net, kapal hand line, dan kapal multi purpose D. Pengaturan penempatan alat tangkap, mesin dan tempat hasil tangkapan (deck arrangement) pada semua lepa-lepa yang terdapat di kapal Kabupaten Takalar sama satu sama lain, yakni penempatan alat tangkapnya diletakkan pada dek bagian haluan sedangkan penempatan box hasil tangkapan diletakkan pada dek bagian buritan (Gambar 1a). Jumlah katir (penyeimbang), kapal lepa-lepa yang terdapat di Desa Mangindara berbeda dengan kapal lepa-lepa yang terdapat pada 5 (lima) desa lainnya. Jumlah katir penyeimbang pada kapal lepa-lepa di Desa Mangindara ada dua sedangkan di desa lainnya hanya terdapat pada satu sisi kapal. Hal ini dikarenakan daerah penangkapan (fishing ground) nelayan di Desa Mangindara lebih jauh jarak tempuhnya oleh karena itu kapal yang digunakan juga harus semakin stabil dengan adanya dua kayu penyeimbang (Gambar 1b).
Nahdyah dkk.
Gambar 1. Kapal lepa-lepa; (a) satu penyeimbang, dan (b) dua penyeimbang Kapal multi purpose B yang terdapat di Desa Bontomarannu terdiri dari dua jenis kapal yang berbeda dari segi ukuran akan tetapi dikategorikan dalam satu jenis kapal yang sama karena dilihat dari jenis alat tangkap yang digunakan, yakni menggunakan alat tangkap pancing tonda dan pancing ulur. Kapal yang ukurannya lebih kecil adalah kapal lepa-lepa yang jarak tempuh menuju fishing ground lebih dekat (one day – trip) sedangkan kapal yang ukurannya besar, jarak tempuh ke fishing ground sangat jauh yakni 15-20 hari dalam sekali trip. Selain kapal lepa-lepa, juga terdapat kapal purse seine, kapal cantrang, dan kapal bubu (trap) telur ikan terbang dan pancing tonda. Deck arrangement tiap jenis kapal berbeda-beda. Pada kapal purse seine (Gambar 2a) terdapat 3 (tiga) palka hasil tangkapan dimana ketiga palka tersebut ditempatkan pada pertengahan 87
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94 kapal. Selain itu juga terdapat palka penyimpanan di bagian haluan kapal.
ISSN: 2355-7298
Mangindara (Gambar 3c) memiliki satu palka hasil tangkapan dan juga terdapat gudang yang terletak di bagian haluan kapal sebagai tempat penyimpanan tali dan jangkar. Kapal multi purpose C yang terdapat di tiga desa memiliki pengaturan deck arrangement yang sama yakni ruangan mesin, tempat alat tangkap dan palka hasil tangkapan yang membedakan adalah dari segi model kapal dimana model kapal yang terdapat di Desa Kaluku Bodo memiliki bangunan kapal yang pendek sedangkan kapal yang terdapat di Desa Boddia maupun di Desa Mangindara. Jenis kapal di dua desa tersebut ini tidak dioperasikan secara bersamaan. Alat trap telur ikan terbang tangkap dioperasikan pada bulan Februari sampai September sedangkan alat tangkap pancing tonda dioperasikan pada bulan Oktober sampai Januari setiap tahunnya.
Gambar 2. General arrangement; (a) kapal
purse seine, (b) kapal cantrang
Palka tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan jangkar dan tali. Selain itu, mesin kapal terletak di dalam lambung kapal yang berada di bawah bangunan kapal. Bagunan yang terdapat pada kapal digunakan sebagai tempat penyimpanan alat kemudi dan tempat peristirahatan ABK kapal. Pada kapal cantrang (Gambar 2b) terdapat satu palka hasil tangkapan yang terletak di bagian tengah kapal, selain itu juga terdapat gudang tempat penyimpanan jangkar dan tali jangkar. Selain itu juga terdapat roller yang terletak persis di depan bangunan kapal. Kapal multi purpose C yang terdapat di Desa Boddia (Gambar 3a), di Desa Kaluku bodo (Gambar 3b), dan di Desa Nahdyah dkk.
88
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94
Gambar 3. General arrangement kapal
multi purpose c (a) di desa Boddia, (b) di desa Kaluku
Bodo, (c) di desa Mangindara. 2. Identifikasi Ukuran Kapal Secara geografis Kabupaten Takalar terletak di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 40 km dari Kota Makassar dan terletak antara 5o3’ sampai 5o38’ LS dan 199o22’ sampai 199o39’ BT. Nahdyah dkk.
ISSN: 2355-7298
Adapun pembagian wilayah yang terdapat di Kabupaten Takalar adalah sebagai berikut : (1) sebelah utara yakni Kecamatan Galesong Utara, Kecamatan Galesong, dan Kecamatan Galesong Selatan, (2) sebelah barat yakni Kecamatan Sanrobone dan Kecamatan Mappakasunggu, (3) sebelah selatan yakni Kecamatan Mangarabombang, (4) sebelah timur yakni Kecamatan Polongbangkeng Utara dan Kecamatan Polongbangkeng Selatan (RPJMD, Kabupaten Takalar, 2013). Berdasarkan zonasi wilayah perikanan tangkap hanya terdiri atas dua wilayah yakni pantai utara dan pantai selatan Kabupaten Takalar. Ada tiga desa yang merupakan wilayah pantai utara Kabupaten Takalar yakni Desa Aeng Batu-batu, Desa Tamalate dan Desa Tamasaju, sedangkan yang menjadi wilayah pantai selatan Kabupaten Takalar terdapat enam desa yakni Desa Boddia, Desa Bontomarannu, Desa Kaluku Bodo, Desa Mangindara, dan Desa Tope Jawa. Nilai ukuran utama dan nilai rasio ukuran utama kapal-kapal yang terdapat di pantai utara yakni yang terdapat di Desa Aeng Batu-batu, Desa Tamalate dan Desa Tamasaju dan di pantai selatan yakni yang terdapat di Desa Boddia, Desa Bontomarannu, Desa Kaluku Bodo, Desa Mangindara dan Desa Tope Jawa Kabupaten Takalar disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 diketahui bahwa ukuran panjang kapal yang berada di wilayah pantai utara Kabupaten Takalar adalah berkisar antara 4 sampai 22 meter sedangkan ukuran kapal yang terdapat di wilayah pantai selatan Kabupaten Takalar berkisar antara 5 sampai 16 meter. kelompok yang berwarna biru, dan kelompok V adalah kelompok yang berwarna kuning.
89
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94
ISSN: 2355-7298
Tabel 3. Ukuran kapal berdasarkan zonasi pembagian wilayah. No. 1.
Lokasi/wilayah Pantai Utara Kabupaten Takalar
Nilai Ukuran Utama LOA : 4 – 22 m BOA : 0,5 – 5,2 m Depth : 0,3 – 1,9 m draft : 0,2 – 1,5 m
2.
Pantai Selatan Kabupaten Takalar
LOA : 5 – 16 m BOA : 0,5 – 2,8 Depth : 0,4 – 1,4 draft : 0,3 – 1,1
3. Klasifikasi Di Kabupaten Takalar terdapat jenis kapal yang beragam dimana kapal-kapal tersebut dikelompokkan berdasarkan kesamaan ciri masing-masing dari tiap jenis kapal. Adapun pengelompokan jenis kapal dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. Gambar 4 merupakan hasil dari analisis cluster dengan menggunakan mini tab sehingga didapatkan hasil diagram pohon (dendogram) sedangkan Gambar 5 merupakan hasil analisis PCA dengan menggunakan software biplot. a. Hasil Analisis Cluster Hasil analisis cluster membentuk lima kelompok, dimana tiap kelompok dibedakan berdasarkan warna. Kelompok I adalah kelompok yang berwarna merah, kelompok II adalah kelompok yang berwarna hijau, kelompok III adalah kelompok yang berwarna merah muda, kelompok IV adalah
Nilai Rasio Ukuran Utama L/B : 4 – 13 m L/D : 12 – 21 m B/D : 1,3 – 2,7 m D/d : 1,25 m L/B L/D B/D D/d
: 0,9 – 3 m : 6 -19 m : 4 – 18 m : 1,25 m
7, MPA 9, MPB 1, MPB 4, MPB 2, MPB 3, Bubu 1, MPB 6, GN 1, HL 3, MPB 5, HL 2, MPA 6, MPB 12, MPB 9, GN 2, GN 3, HL 1, MPB 15, MPD 4, MPB 17. Kapal-kapal tersebut tersebar di beberapa desa yang terdapat di Kabupaten Takalar diantaranya Desa Aeng Batu-batu, Desa Tamalate, Desa Tamasaju, Desa Boddia, Desa Bontomarannu, Desa Mangindara, dan Desa Tope Jawa. Semua kapal yang termasuk ke dalam kelompok A adalah kapal lepa-lepa yang memiliki ukuran panjang berkisar antara 4 – 8 meter, lebar berkisar 0,5 – 0,7 meter, tinggi/Depth berkisar antara 0,3 – 0,8 meter, sarat air/draft berkisar antara 0,2 – 0,6 meter. Rasio ukuran utama kapal-kapal tersebut adalah LOA/BOA berkisar antara 7 – 14, LOA/D berkisar antara 9 – 17, BOA/D berkisar antara 0,8 – 1,8 , dan D/d adalah 1,25.
a) Kelompok I (warna merah) Terdapat 36 sampel kapal yang tergolong dalam kelompok I diantaranya MPA 1, Bubu 3, MPA 4, MPA 10, MPB 10, MPD 1, MPD 3, MPB 11, MPD 2, MPA 3, MPB 7, MPA 8, MPA 5, MPB 8, Bubu 2, MPA Nahdyah dkk.
90
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94
ISSN: 2355-7298
Gambar 4. Dendogram Pengelompokan Jenis Kapal. (a) Kelompok II (warna hijau)
(b) Kelompok III (warna merah muda)
Terdapat 2 sampel kapal yang tergolong dalam kelompok II yakni Kapal MPA 2 dan Kapal Bubu 4. Kapal tersebut terdapat di Desa Aeng Batu-batu dan di Desa Mangindara. Kedua kapal ini merupakan kapal lepa-lepa yang memiliki ukuran panjang berkisar antara 8 - 10 meter, ukuran lebar berkisar antara 0,5 – 0,6 meter, ukuran tinggi/Depth berkisar antara 0,4 – 0,6 meter, ukuran sarat air/draft berkisar antara 0,3 – 0,4 meter, rasio ukuran panjang dan lebar (LOA/BOA) berkisar antara 13 – 18 meter. Untuk rasio ukuran utama, kapal sampel memiliki rasio ukuran panjang dan tinggi (LOA/D) berkisar antara 17 – 21, rasio ukuran lebar dan tinggi (BOA/D) berkisar antara 0,9 – 1,5 dan rasio ukuran tinggi kapal dan tinggi sarat air adalah 1,25.
Pada kelompok III hanya terdapat satu sampel yakni kapal MPB 16. Kapal ini terdapat di Desa Bonto Marannu. Kapal ini merupakan kapal lepa-lepa yang memiliki ukuran panjang 4,2 meter, ukuran lebar 0,7 meter, ukuran tinggi/Depth 0,6 meter, ukuran sarat air/draft berkisar antara 0,5 meter. Sedangkan rasio ukuran utamanya adalah: LOA/BOA 5,6; LOA/D 6,8; BOA/D) 1,2; dan d/D 1,25.
Nahdyah dkk.
(c)
Kelompok IV (warna biru)
Terdapat 21 sampel kapal yang termasuk kedalam kelompok IV diantaranya kapal PS 1, PS 2, PS 4, PS 3, Cantrang 3, Cantrang 1, MPC 1, MPC 3, MPC 4, MPC 10, MPB 19, MPC 8, MPC 2, MPC 11, MPC 9, Cantrang 2, MPC 5, MPB 13, MPB 18, MPC 6, MPC 7. Kapal-kapal tersebut tersebar dibeberapa daerah diantaranya di Desa Tamalate, Desa Tamasaju, Desa Boddia, Desa Bonto Marannu, Desa Kaluku Bodo, 91
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94 dan di Desa Mangindara. Kapal-kapal tersebut merupakan kapal dengan ukuran panjangnya berkisar antara 13 meter – 22 meter, ukuran lebar berkisar antara 2 – 5 meter, ukuran tinggi/Depth berkisar antara 0,9 – 1,9 meter, ukuran sarat air/draft berkisar antara 0,7 – 1,5 meter, sedangkan rasio ukuran utamanya masing-masing berkisar antara 4 – 6 untuk LOA/BOA, 9 – 14 untuk LOA/D, 1,5 – 3 untuk BOA/D, dan 1,25 untuk d/D. (d) Kelompok V (warna kuning) Pada kelompok V hanya terdapat satu sampel yakni kapal MPB 14. Kapal ini terdapat di Desa Bonto Marannu dengan ukuran panjang 16,10 meter, ukuran lebar 2,5 meter, ukuran tinggi/Depth 0,8 meter, ukuran sarat air/draft berkisar antara 0,6 meter, rasio ukuran panjang dan lebar (LOA/BOA) 6,3; rasio ukuran panjang dan tinggi (LOA/D) 19 ; rasio ukuran lebar dan tinggi (BOA/D) 3 dan rasio ukuran tinggi kapal dan tinggi sarat air adalah 1,25 meter. Di lihat dari pengelompokan kapal diatas dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yakni kelompok kapal kecil (lepa-lepa) dan kelompok kapal besar. Yang termasuk kedalam kelompok kapal lepa-lepa adalah kelompok I, kelompok II, dan kelompok III. Sedangkan kelompok kapal besar adalah kelompok IV dan kelompok V. Kelompok I, kelompok II, dan kelompok III merupakan tiga kelompok yang didalamnya merupakan satu jenis kapal yakni kapal lepa-lepa yang memiliki ukuran panjang yang hampir sama akan tetapi dibedakan dalam beberapa kelompok dikarenakan spesifikasi teknis dari beberapa kapal lepa-lepa tersebut . Tiap kelompok memiliki ukuran spesifikasi teknis yang berbeda atau dengan kata lain tiap kelompok memiliki ciri masing-masing Nahdyah dkk.
ISSN: 2355-7298
walaupun ukuran panjang, lebar, maupun tinggi yang hampir sama. Contohnya pada kelompok I dan kelompok II dimana terdapat beberapa kapal yang memiliki ukuran panjang, lebar, maupun tinggi yang hampir sama akan tetapi kapal tersebut tidak masuk dalam kelompok yang sama karena terdapat perbedaan dalam rasio L/D, L/B, dan B/D. Selain kapal yang tergolong dalam kelompok I dan kelompok II, kapal yang tergolong dalam kelompok III juga mempunyai beberapa ukuran yang hampir sama dengan kapal yang tergolong dalam kelompok I, dimana ukuran panjang, lebar dan tinggi dari kapal tersebut memiliki ukuran yang hampir sama akan tetapi berbeda kelompok karena terdapat perbedaan pada rasio L/B dan L/D. Selain kapal lepa-lepa, kapal yang tergolong besar yakni kelompok IV dan kelompok V juga mempunyai ukuran yang hampir sama akan tetapi tidak digolongkan dalam kelompok yang sama dikarenakan terdapat perbedaan dalam rasio ukuran L/D dan B/D dimana ukuran rasio L/D dan B/D pada kapal yang tergolong dalam kelompok V memiliki ukuran yang lebih besar daripada ukuran rasio pada kapalkapal yang tergolong pada kelompok IV. b.
Hasil Analisis PCA
Pengelompokan kapal dengan menggunakan analisis PCA menghasilkan lima kelompok. Kapal tersebut dikelompokkan berdasarkan kesamaan ciri
92
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94
ISSN: 2355-7298
Tabel 4. Interpretasi hasil analisis PCA tentang karakterisasi pengelompokan kapal-kapal sampel. No. Kelompok Sampel Kapal Karakteristik/Penciri 1. I MPA 1, Bubu 3, MPA 4, MPA 10, MPB 10, MPD Nilai LOA/BOA kapal 1, MPD 3, MPB 11, MPD 2, MPA 3, MPB 7, tinggi MPA 8, MPA 5, MPB 8, Bubu 2, MPA 7, MPA 9, MPB 1, MPB 4, MPB 2, MPB 3, Bubu 1, MPB 6, GN 1, HL 3, MPB 5, HL 2, MPA 6, MPB 12, MPB 9, GN 2, GN 3, HL 1, MPB 15, MPD 4, MPB 17 2. II MPA 2 dan Kapal Bubu 4 Nilai LOA/D kapal tinggi 3.
III
MPB 16
Nilai LOA/D rendah
4.
IV
PS 1, PS 2, PS 4, PS 3, Cantrang 3, Cantrang 1, MPC 1, MPC 3, MPC 4, MPC 10, MPB 19, MPC 8, MPC 2, MPC 11, MPC 9, Cantrang 2, MPC 5, MPB 13, MPB 18, MPC 6, MPC 7
Nilai panjang (LOA), lebar (BOA), Tinggi (D) dan tinggi sarat air (d) dari kapal tinggi
5.
V
MPB 14
Nilai BOA/D kapal tinggi
dari tiap individu kapal. Adapun parameter yang digunakan dalam menganalisis PCA ini adalah ukuran spesifikasi teknis dari tiap kapal diantaranya ukuran panjang (LOA), lebar (BOA), tinggi/Depth (D), tinggi sarat air/draft (d), ukuran rasio L/B, L/D, B/D, dan D/d. Hasil yang didapatkan dari analisis PCA ini sama dengan hasil yang didapatkan dari hasil analisis cluster yaitu terdapat lima kelompok yang terdiri dari tiga kelompok kapal yang merupakan jenis kapal lepa-lepa dan dua kelompok kapal yang merupakan kapal yang tergolong besar (konfirmasi hasil analisis cluster). Adapun interprestasi dari grafik hasil analisis PCA disajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut dijelaskan mengenai pengelompokan kapal dengan penciri masing-masing, yaitu Kelompok I memiliki nilai LOA/BOA tinggi, Kelompok II dengan
Nahdyah dkk.
kapal
Gambar 5. Grafik hasil analisis PCA. nilai LOA/D kapal tinggi, Kelompok III dengan nilai LOA/D kapal rendah, Kelompok IV dengan nilai panjang (LOA), lebar (BOA), Tinggi (D) dan tinggi sarat air (d) dari kapal 93
Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (1) April 2014: 81 - 94
ISSN: 2355-7298
tinggi dan Kelompok V memiliki Nilai BOA/D kapal tinggi.
Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessel. Fishing News Book Ltd. Farnham. Surrey, England. 320 p.
KESIMPULAN
Legendre, L. and P. Legendre. 1983. Numerical Ecology . Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam-Oxford-New York.
Dari hasil penelitian mengenai identifikasi dan keragaman jenis kapal di Kabupaten Takalar dapat disimpulkan: 1. Terdapat sembilan jenis kapal di Kabupaten Takalar berdasarkan alat tangkap yang digunakan diantaranya Multi Purpose A , kapal Multi Purpose B, kapal Multi Purpose C, kapal Multi Purpose D, kapal Bubu, kapal Handline, kapal Gillnet, kapal Purse Seine dan kapal cantrang.
Pemerintah Kabupaten Takalar. 2012 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMPD) Kabupaten Takalar tahun 2013-2018. 11 hal.
2. Dari hasil analisis cluster dan PCA diperoleh lima kelompok kapal di Kabupaten Takalar. Kelompok I adalah kapal yang mempunyai nilai LOA/BOA yang tinggi, kelompok II adalah kapal yang mempunyai nilai LOA/D yang tinggi, kelompok III adalah kapal mempunyai nilai LOA/D yang rendah, kelompok IV adalah kapal yang mempunyai nilai LOA, BOA, D, dan d yang tinggi, dan kelompok V adalah kapal mempunyai nilai BOA/D yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 2011. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan. Makassar. Clifford, H.T and W. Stepenshon. 1975. An Introduction to Numerical Classification. Academic Press. New York-San Fransisco-London. Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar. 2012. Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Takalar. Sulawesi Selatan. Makassar.
Nahdyah dkk.
94
PERNYATAAN PENULIS Kepada Yth. Dewan Redaksi Jurnal IPTEKS Pemanfaan Sumberdaya Perikanan Di,Makassar
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, mengirim naskah untuk diterbitkan di Jurnal IPTEKS Pemanfaan Sumberdaya Perikanan yang berjudul : …………………………………………………………………………………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………………………………………………………….. Penulis: 1. ……………………………………………………………………………………………………………………………… 2. ………………………………………………………………………………………………………………………………. 3. ………………………………………………………………………………………………………………………………. Instansi: 1. ……………………………………………………………………………………………………………………………… 2. ………………………………………………………………………………………………………………………………. 3. ………………………………………………………………………………………………………………………………. Menyatakan bahwa naskah tersebut belum pernah diterbitkan dan atau sedang ditelaah oleh penerbitan lain. Kami akan mencabut secara resmi dari Jurnal IPTEKS Pemanfaan Sumberdaya Perikanan apabila bermaksud memindahkan ke penerbit lain. Proses korespondensi ditujukan kepada: Nama : …………………………………………………………………………………………………. Alamat Institusi : …………………………………………………………………………………………………. Telp/Hp/email :………………………………………………………………………………………………….. Demikian Surat pernyataan ini, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih. ………………………………………………………………..201.. Penulis,
(
)
BIAYA ADMINISTRASI Penulis yang naskahnya siap dicetak, dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 350.000,dan mendapatkan 1 eksemplar Jurnal IPTEKS Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Biaya administrasi disetor ke rekening Bank BNI Nomor 0260712748 an. St. Aisjah Farhum.
FORMULIR BERLANGGANAN Nama Alamat Pengiriman
Telp/fax/email
: ……………………………………………………………………………… : ………………………………………………………………………….….. ……………………………………………………………..………………. ……………………………………………………………………………… : ………………………………………………………………………………
Biaya berlangganan 1 tahun sebesar Rp. 300.000,-
………………………………………………………………..201.. Pelanggan
(
Nb. : Bukti pembayaran dikirim via email ke alamat Dewan Redaksi.
)
FORMAT PENULISAN Naskah Tulisan Naskah tulisan yang diterima dalam bentuk bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. File naskah dikirim ke dewan redaksi jurnal IPTEKS Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan melalui e-mail:
[email protected]. Naskah tulisan diketik menggunakan MS-Word dalam format kertas A4, jarak 1,5 spasi, huruf Ebrima ukuran 11. Format Naskah Sistimatika naskah tulisan sebagai berikut: 1. Judul naskah ditulis ringkas dan jelas. Judul naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Apabila naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, istilah bahasa Inggris ditulis miring. 2. Identitas penulis (nama, instansi, kontak person dan e-mail). 3. Abstrak maksimum 250 kata, jumlah kata kunci antara 3 – 5 kata. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris. 4. Bagian utama terdiri dari Pendahuluan, Data dan Metode, Hasil, Pembahasan, Kesimpulan. dan Daftar Pustaka. Jika mencantumkan Ucapan Terima Kasih ditempatkan sesudah Kesimpulan sebelum Daftar Pustaka.
Penulisan Daftar Pustaka;
Buku teks Sudirman dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan.
Penerbit Rieka Cipta. Jakarta.
168 hal.
Jurnal Kurnia, M., K. Iida, and T. Mukai. 2012. Characteristics of Three-Dimensional Target
Strength of Swimbladdered Fish. Journal Marine Acoust. Soc. Japan. Vol. 39 (3): 93 – 102.
Prosiding Nelwan, A.F.P. , St. A. Farhum, N. Mayazida . 2013. Produktivitas Penangkapan Alat Tangkap
Pole and Line di Perairan Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Prosiding. Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan IX ISOI 2012. Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia. Hal. 64 – 75.
Disertasi Zainuddin, M. 2006. Predicting potential habitat hot spots for albacore tuna and Migration Pattern for Albacore Tuna, Thunnus alalunga, in the Northwestern North Pacific using Satellite Remote Sensing and GIS. Ph.D Dissertation. Hokkaido University. 108 pp.
JURNAL IPTEKS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN Volume I Nomor 1, April 2014
ISSN 2355-7298
Adi Jufri, M. Anshar Amran dan Mukti Zainuddin
1 - 10
Penentuan Karakteristik Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) Di Perairan Teluk Bone Pada Musim Barat
Safruddin, Mukti Zainuddin, dan Joeharnani Tresnati
11 - 19
Dinamika Perubahan Suhu dan Klorofil-a Terhadap Distribusi Ikan Teri di Perairan Pantai Spermonde, Pangkep
Angraeni, Nur Indah Rezkyanti, Safruddin , dan Mukti Zainuddin
20 - 27
Analisis Spasial dan Temporal Hasil Tangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Thermal Front Pada Musim Peralihan di Perairan Teluk Bone
Yopi Novita, Neni Martiyani, dan Reni Eva Ariyani
28 -39
Kualitas Stabilitas Kapal Payang Palabuhan ratu Berdasarkan Distribusi Muatan
Metusalach, Kasmiati, Fahrul, dan Ilham Jaya
40 - 52
Analisis Hubungan Antara Cara Penangkapan, Fasilitas dan Cara Penanganan Ikan dengan Kualitas Ikan yang Dihasilkan
Adi Guna Santara, Fis Purwangka, dan Budhi Hascaryo Iskandar
53- 68
Peralatan Keselamatan Kerja Pada Perahu Slerek di PPN Pengambengan Kabupaten Jembrana, Bali
Abd. Rasyid J. , Nurjannah N, A. Iqbal Burhanudin , dan Muh. Hatta
69-80
Karakter Oseanografi Perairan Makassar Terkait Zona Potensial Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Pada Musim Timur
St. Nurul Nahdyah, St Aisjah Farhum, dan Ilham Jaya Keragaman Jenis Kapal Perikanan di Kabupaten Takalar
81 -94