4 PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP DI SULAWESI SELATAN 4.1
Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada posisi 00 12o LS dan 1160
48 - 112 36’ BT dan diapit oleg tiga wilayah laut yaitu : Teluk Bone disebelah Timur, Laut Flores di sebelah Selatan dan Selat Makassar di sebelah barat dan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat da Sulawesi Tengah sebelah utara dan Provinsi Sulawesi Tenggara sebelah timur. Kondisi geografis Provinsi Sulawesi Selatan menggambarkan potensi sumberdaya alam yang kaya baik di darat maupun di laut. Panjang garis pantai sekitar 1.973,7 km, Pemerintah daerah Sulawesi Selatan bertanggung jawab mengelola wilayah laut dan pesisir seluas kurang lebih 60.000 km 2 di daerah ini juga dikenal gugusan kepulauan antara lain : Kepulauan Spermonde atau kepulauan Sangkarang, kepulauan Pangkep, dan Atol Takabonerate. Lebih lanjut, Sulawesi Selatan jika ditinjau dari konteks pesisir maka luas sumber daya alami yang dimanfaatkan berupa kegiatan penangkapan ikan dan wisata. Wilayah pesisir Sulawesi selatan diketahui dihuni oleh 19 spesies mangrove dengancakupan vegetasi cukup luas yang pada tahun 1999 sekitar 26.911 ha (Kehutanan Sulawesi Selatan 2002). Propinsi Sulawesi Selatan memiliki sumberdaya yang beragam mulai dari kelompok sumberdaya pelagis besar sampai cumi – cumi, Berdasarkan data Ditjen Tangkap (2005), menunjukkan potensi sumberdaya ikan di Selat Makassar memiliki produksi 655,45 ribu ton dari potensi 929,72 ribu ton. Kondisi tersebut menujukkan pemanfatan perikanan tangkap berupa kelompok sumberdaya pelagis besar sampai cumi-cumi, telah mencapai 70,50%. Lebih lanjut mengacu pada data yang sama, dketahui sejumlah kelompok sumberdaya ikan telah mencapai pemanfaatan yang setara dengan potensi yang dimiliki. Adapun potensi sumberdaya ikan di Selat Makassar dan Laut Flores ditampilkan pada Tabel 6.
46
Tabel 6 Potensi sumberdaya ikan di Selat Makassar dan Laut Flores No 1 2 3 4 5 6 7
Kelompok Sumberdaya Potensi (ribu ton) Pelagis besar 193,64 Pelagis kecil 605,44 Demersal 87,70 Ikan karang konsumsi 34,10 Udang peneaid 4,80 Lobster 0,70 Cumi- cumi 3,88 Total 929,72 Sumber : Ditjen Tangkap DKP, 2005
Produksi (ribu ton) 85,10 333,35 87,20 24,15 4,80 0,65 3,88 655,45
Pemanfaatan 43,96 55,06 > 100 70,70 > 100 92,86 > 100 70,50
Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil memiliki potensi yang terbesar dibandingkan kelompok sumberdaya lainnya, Ikan pelagis kecil adalah kelompok besar ikan yang membentuk schooling di dalam kehidupannya dan mempunyai sifat berenang bebas dengan melakukan migrasi secara vertikal maupun horizontal mendekati permukaan dengan ukuran tubuh relatif kecil (Widodo et al. 1994; Fréon et al. 2005). Penangkapan ikan pelagis di perairan Selat Makassar dan Laut Flores dapat dilakukan sepanjang tahun, namun puncak musim penangkapan terjadi dua kali yaitu pada bulan November dan Februari. Berdasarkan perhitungan catch per unit effort (CPUE) sebagai patokan kelimpahan relatif stok ikan, ikan pelagis melimpah selama 6 bulan dari November sampai April, sedangkan 6 bulan lainnya kelimpahan stok relatif rendah dengan titik terendah pada bulan Juli. Puncak musim ikan pelagis kecil pada bulan Maret dengan musim penangkapan yang baik berlangsung bulan Januari hingga Maret dan paceklik terjadi pada bulan Juni (Gafa et al. 1993). Ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan terdapat pada dua lokasi yang berbeda musim, yaitu pada saat musim timur di perairan Kabupaten Takalar dan Barru, sedangkan peralihan musim timur ke barat di perairan Kabupaten Pinrang, Polmas dan Majene (Yahya et al. 2001). Ikan layang musim puncak penangkapan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan cenderung terjadi pada bulan yang sama, yaitu Agustus hingga November. Musim biasa pada bulan Februari sampai Agustus, sedangkan di perairan Majene terjadi pada bulan November hingga bulan April. Musim paceklik pada bulan November sampai Maret, sedangkan di perairan Majene pada bulan Mei hingga Juli (Najamuddin 2004). Hasil kajian stok sumberdaya ikan mengindikasikan ikan pelagis kecil memiliki potensi dan produksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lainnya di perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Tetapi tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil lebih relatif rendah dibandingkan sumberdaya
47
ikan lainnya. Jika merujuk pada data tingkat pemanfaatan, maka peluang untuk mengembangkan penangkapan ikan pelagis kecil masih terbuka atau masih dapat ditingkatkan untuk perairan Selat Makassar dan Laut Flores, namun tetap harus dilakukan dengan pendekatan ekologi dan biologi agar pemanfaatan dilakukan sesuai dengan kemampuan produksi ikan pelagis kecil Lebih lanjut dijelaskan wilayah Propinsi Sulawesi Selatan masuk dalam wilayah pengembangan perikanan (WPP) 713. meliputi perairan bagian paling utara yaitu perairan laut Tarakan dan Nunukan sampai dengan bagian paling selatan yang terletak di bagian perairan barat Sulawesi Selatan. Kondisi WPP yang meliputi perairan Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali mengalami peningkatan ekspoitasi ikan demersal dan udang sudah berlangsung sejak tahun 1980-an dengan pukat tarik mini dari kelas ukuran di bawah 30 GT. Lokasi penangkapan ikan yang dilakukan secara komersial di perairan Timur Kalimantan, lebih terkonsentrasi di sekitar perairan Bereau, sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan setempat. Di Pantai Timur Kalimantan status pengusahaan udang sudah over exploited karena banyaknya pukat tarik mini yang beroperasi serta maraknya pukat tarik dari negara tetangga yang tumpang tindih sehingga menyebabkan over fishing. Lebih lajut jenis ikan pelagis dalam tahap moderate, kecuali ikan terbang yang sudah fully exploited, sedangkan ikan pelagis besar sangat berfluktuatif (Tabel 7). Tabel 7 Status stok perikanan di perairan Selat Makassar dan Laut Flores No
Kelompok Sumberdaya
U
M
Status Stok F
O
UN
1 Demersal 2 Udang 3 Pelagis kecil 4 Pelagis besar Sumber : Nurhakim, 2007 Keterangan U M F O UN
: : : : :
under exploited moderate fully exploited over fishing uncertain
Berdasarkan fakta diatas diatas kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan Sulawesi Selatan memiliki status stok yang berbeda untuk tiap kelompok sumberdaya perikanan serta berada pada sudah berada pada taraf yang cukup kritis dalam mengembangkan perikanan yang berkelanjutan.
48
4.2 Produksi Perikanan Tangkap Perikanan adalah suatu kegiatan perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam perikanan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan manusia dengan mengoptimalisasikan dan memelihara produktivitas sumber daya perikanan dan kelestarian lingkungan. Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan berperan sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output yang bernilai ekonomi masa kini maupun masa mendatang. Disisi lain, sumber daya perikanan bersifat dinamis, baik dengan ataupun tanpa intervensi manusia. Adanya intervensi manusia dalam bentuk aktivitas penangkapan pada hakekatnya adalah memanfaatkan bagian dari kematian alami, dengan catatan bahwa aktivitas penangkapan yang dilakukan dapat dikendalikan sampai batas kemampuan pemulihan stok ikan secara alami. Berdasarkan laporan KKP (2012) produksi perikanan tangkap di Sulawesi Selatan selama tujuh tahun terakhir 2003 - 2010 mengalami penurunan dari tahun ke tahun (KKP 2012). Gambaran mengenai jumlah produksi perikanan setiap tahun dapat dilihat pada grafik yang terdapat pada Gambar 16.
Gambar 16. Produksi perikanan tangkap Sulawesi Selatan tahun 2003 - 2010
49
Penurunan
produksi
perikanan
tangkap
Sulawesi
Selatan
banyak
disebabkan oleh semakin menipisnya stok alami sumberdaya perikanan dan cuaca buruk. Menipisnya stok alami banyak disebabkan oleh semakin maraknya penggunaan alat penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan pengerusakan ekosistem penting kawasan pesisir Sulawesi Selatan. Tekanan terhadap ekosistem pesisir semakin diperparah dengan menumpuknya nelayan pada satu kawasan penangkapan saja. Jumlah volume produksi perikanan tangkap tertinggi terjadi pada tahun 2003, yaitu sebanyak 376.811 ton, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 2010, yaitu sebanyak 223.258 ton. Apabila dilihat menurut jenis ikan dalam periode tersebut, volume produksi ikan swanggi/mata besar mengalami peningkatan yang tertinggi, yaitu dari 6.203 ton pada tahun 2000 menjadi 41,251 ton pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata sebesar 26,56% per tahun. Volume produksi ikan tetengkek, kerapu karang, terubuk, ikan lidah dan kurisi juga mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu meningkat rata-rata per tahun sebesar 11,40%, 10,20%, 10,03%, 8,57% dan 8,07%. Volume produksi ikan tongkol, cakalang dan tuna mengalami peningkatan rata-rata per tahun masing-masing sebesar 4,35%, 3,68% dan 3,15%. Pada periode yang sama, volume produksi ikan cucut tikus/cucut monyet mengalami penurunan rata-rata terbesar yaitu turun rata-rata sebesar 8,49% per tahun. Sementara produksi golok-golok dan ikan terbang masing-masing turun rata-rata per tahun sebesar 3,08% dan 3,01%. 4.3
Karakteristik Nelayan Sulawesi Selatan Jumlah nelayan pada periode tahun 2003 - 2010 mengalami penurunan
rata-rata sebesar 5 % per tahun, yaitu dari 206.368 orang pada tahun 2003 menjadi 150.000 orang pada tahun 2010. Jumlah nelayan pada tahun 2005 merupakan jumlah terendah yang dicapai pada periode tersebut, yaitu 125.000 orang. Sedangkan jumlah nelayan tertinggi dicapai pada tahun 2003, yaitu sebanyak 206.368 orang
50
Gambar 17. Jumlah nelayan Sulawesi Selatan tahun 2003 - 2010 Selama periode tujuh tahun terakhir jumlah nelayan mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan metode penghitungan jumlah nelayan, yaitu dari penghitungan dengan pendekatan RTP/PP menjadi penghitungan dengan pendekatan jenis alat penangkap ikan utama serta jenis dan ukuran kapal penangkap ikan, mulai tahun 2005. Jumlah nelayan laut pada periode yang sama turun rata-rata sebesar 0,40% per tahun, yaitu dari 206.368 orang pada tahun 2003 menjadi 137.695 orang pada tahun 2010, jumlah nelayan perairan umum juga mengalami penurunan rata-rata sebesar 5 % per tahun. Jumlah nelayan laut pada tahun 2005 merupakan jumlah nelayan terendah yang dicapai dalam periode yang sama yaitu, sebanyak 137.695 orang, sedangkan jumlah nelayan laut tertinggi dicapai pada tahun 2003, yaitu sebanyak 206.368 orang. Sebagian besar nelayan di laut adalah nelayan penuh yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Jumlah nelayan di laut untuk kategori nelayan penuh meningkat rata-rata 0,26% per tahun. Sedangkan jumlah nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan mengalami penurunan masing-masing turun rata-rata sebesar 0,41% per tahun dan 0,47% per tahun Jumlah nelayan perairan umum pada tahun 2003 sebanyak 206.368 orang dan berfluktuasi pada periode tahun 2003 - 2010. Jumlah nelayan pada tahun 2010 menjadi sebanyak 137.695 orang dan ini merupakan jumlah nelayan perairan umum terendah sejak tahun 2000.
51
Sedangkan jumlah nelayan perairan umum tertinggi dicapai pada tahun 2003, yaitu sebanyak 206.368 orang. 4.4
Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yang hanya melakukan
pekerjaan
seperti
membuat
jaring,
mengangkut
alat-alat
perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap ikan dimasukkan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan. Karakteristik nelayan meliputi asal daerah, pendidikan nelayan, jumlah anggota keluarga nelayan, usia nelayan, pengalaman nelayan, dan status nelayan. 4.4.1
Tingkat Pendidikan Nelayan Tingkat pendidikan nelayan di wilayah provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari
19 kabupaten yaitu Kabupaten Selayar, Bulukumba, Bantaeng, Janeponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan, Barru, Bone, Wajo, Pinrang, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Kota Makasar, Kota Pare-Pare, dan Kota Palopo. Karakteristik pendidikan nelayan Sulawesi Selatan berdasarkan pengambilan contoh di 3 kabupaten (Kabupaten Bulukumba 36 orang atau 31.9%, Kabupaten Pangkep 37 orang atau 32.7%, dan Kabupaten Takalar 40 orang atau 35.4%). Pendidikan nelayan adalah jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan nelayan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan
nelayan berdasarkan pengambilan sample, di wilayah perairan sulawasi selatan pada umumnya paling banyak adalah lulusan SD (76.1%) dan peringkat kedua terbanyak adalah tidak tamat SD (14.2%). Karakteristik pendidikan akhir nelayan di wilayah penelitian ditampilkan pada Gambar 18. Tingkat pembangunan
pendidikan perikanan
nelayan
merupakan
yang juga
terkait
salah dengan
satu
permasalahan
rendahnya
kualitas
sumberdaya manusia. Rata-rata tingkat pendidikan nelayan adatah tamat sekolah dasar. Rendahnya tingkat pendidikan merupakan kendala pembangunan perikanan yang akan mengakibatkan keterbatasan dalam proses adopsi teknologi,
penerimaan
dan
penyebaran
informasi,
kesadaran
menjaga
kelestarian [ingkungan dan kualitas kesehatan, dan kemampuan mengakses permodalan. Faktor budaya tampaknya
merupakan alasan yang dapat
52
dikemukakan mengapa nelayan umumnya berpendidikan rendah. Nelayan pada umumnya cendrung memandang pendidikan bukan merupakan kebutuhan pokok untuk mengubah nasib. Pendidikan merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan perkembangan dan kemajuan dari suatu usaha yang dikembangkan oleh nelayan pengolah ikan. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka akan semakin besar pula pengaruh teknologi dalam pengembangan usaha. Tingkat pendidikan nelayan pengolah masih rendah, karena pendidikan yang ditempuh oleh nelayan pengolah hanya hingga tamat SD (sekolah dasar) yaitu sekitar 76.1 % (Gambar 18). Kondisi ini akan menyebabkan nelayan di Sulawesi Selatan tidak mudah dalam menerima pembaruan dan teknologi yang terus berkembang dalam memajukan usaha
Gambar 18. Karakteristik pendidikan akhir nelayan 4.4.2
Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Jumlah
anggota
keluarga
nelayan
dapat
dikategorikan
menjadi:
1) Keluarga kecil terdiri dari (≤ 4 orang anggota keluarga); (2) Keluarga sedang terdiri dari (5 sampai 6 orang anggota keluarga); (3) Keluarga besar terdiri dari (≥ 7 orang anggota keluarga). Gambar 15 menunjukkan sebaran jumlah anggoa keluarga nelayan Sulawesi Selatan, berdasarkan pengambilan data sampling, didominasi oleh keluarga kecil (70,8%), lainnya adalah keluarga sedang (20,40%), dan keluarga besar (8,8%) Mengacu pada kondisi tersebut, nelayan di Sulawesi Selatan umumnya memiliki tanggungan keluarga 4 orang. Tanggungan keluarga adaiah banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, yaitu istri, anak dan anggota keluarga lainnya. Saputra (2009) menjelaskan, jumlah tanggungan
53
keluarga secara langsung tidak mempengaruhi tingkat produksi, namun akan mempengaruhi produksi yang dilakukan..
Gambar 19. Sebaran jumlah anggota keluarga nelayan 4.4.3
Usia Nelayan Usia nelayan dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu dewasa muda
(26-38 tahun), dewasa madya (39-50 tahun), dan dewasa lanjut (≥51 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 42.5% nelayan dengan usia dewasa muda (26-38 tahun), 41.6% dengan usia dewasa madya (39-50 tahun), dan sisanya 15.9% dengan usia dewasa lanjut (≥ 51 tahun). Adapun proporsi sebaran jumlah nelayan berdasarkan kategori usia, ditampilkan pada Gambar 16. Usia akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mempelajari, memahami dan menerima pembaharuan. Selain itu juga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kerja yang akan dilakukan seseorang. Keadaan usia nelayan pengolah berdasarkan kelompok kerja dapat dilihat pada Tabel
20.
Pada tabel terlihat sebagian besar nelayan berada dalam usia produktif yaitu sekitar 42.5%, dan sangat produktif (41.6%). Kondisi ini menunjukkan umur nelayan hampir dihabiskan untuk kegiatan perikanan tangkap. Hal ini nelayan lakukan karena faktor keluarga (keturunan) yang menjadi alasan menjadi nelayan sebagai sumber mata pencaharian sampai umur mereka mencapai 50 tahun keatas. Selain itu terkait keahlian, mereka tidak ingin meninggalkan kegiatan penangkapan ikan.
54
Tabel 8 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan kategori usia Jumlah Orang 48 47 18 113
Kategori 1. Dewasa Muda (26-38 thn) 2. Dewasa Madya (39-50 thn) 3. Dewasa Lanjut (>= 51 thn) Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, 2011
% 42.5 41.6 15.9 100
Gambar 20. Sebaran usia nelayan 4.4.4
Pengalaman Nelayan Pengalaman nelayan dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu
kelompok pertama (4 -16 tahun), kelompok kedua (17 - 28 tahun) dan kelompok ketiga (≥ 29 tahun). Berdasarkan Tabel 9 sebagian besar pengalaman nelayan di seluruh wilayah penelitian berada pada kelompok pertama (4 -16 tahun). Tabel 9 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan kategori pengalaman Jumlah
Kategori
Orang 57 40 16 113
1. 4-16 tahun 2. 17-28 tahun 3. lebih dari 29 tahun Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, 2011
% 50.44 35.40 14.16 100
Pengafaman kerja nelayan pengolah dapat diartikan bahwa lamanya nelayan dalam melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan. Menurut Saputra (2009)
pengalaman
berusaha
akan
mempengaruhi
pengetahuan
dan
kemampuan nelayan dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi serta penerapan teknologi baru. Nelayan di Sulawesi Selatan umumnya sudah memiliki pengalaman kerja lebih dari 4 – 16 tahun.
55
Gambar 21. Sebaran pengalaman nelayan 4.4.5
Status Nelayan Status nelayan dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu anak buah
juragan dan sendiri. Nelayan juragan adalah nelayan pemilik perahu dan alat tangkap ikan yang mampu mengupah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan pekerja adalah nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan modal tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha menangkap ikan di laut. Nelayan pemilik adalah nelayan yang kurang mampu serta hanya memiliki perahu kecil. Masyarakat nelayan di Sulawesi Selatan, jumlah nelayan didominasi oleh nelayan pekerja sebanyak 57.52%, nelayan juragan sebanyak 40.71% dan nelayan pemilik sebanyak 1.77%. Hal ini menunjukkan bahwa pemilik modal yang memiliki peralatan tangkap laut menguasai pemanfaatan sumberdaya ikan di Sulawesi Selatan. Kelompok lainnya yang sangat bergantung sumberdaya ekonominya
maupun
akses
pemasaran
maupun
keperluan
pasokan
perlengkapan tangkapan pada kelompok juragan. Tabel 10 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan status nelayan Kategori 1. Nelayan Pekerja 2. Nelayan Juragan 3. Nelayan Pemilik Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, 2011
Jumlah Orang % 65 57.52 46 40.71 2 1.77 113 100
56
Gambar 22. Sebaran status nelayan 4.5
Karakteristik Alat Tangkap Terdapat tiga jenis perahu yang dipakai nelayan di perairan Sulawesi
Selatan
yaitu
perahu motor, motor tempel dan
kapal motor. Perahu
motor adalah perahu yang memiliki mesin. Sebagian perahu bermotor dipasangi mesin dalam, yang lain memiliki mesin tempel yang dipasang di bagian belakang, memuat mesin pembakaran dalam, kotak gigi dan baling-baling dalam sebuah unit portabel. Mesin dalam/tempel memuat cangkokan pembangkit listrik dan tempel, dan mesin pembakaran dalaman dipasang di dalam perahu, sedangkan kotak gigi dan baling-baling di luar. Kapal motor (motor ship) adalah kapal yang mempunyai mesin pembakaran dalam, biasanya mesin diesel. Penamaan kapal motor (motor ship) dalam istilah internasional biasanya disingkat manjadi MS. Jenis
perahu nelayan
Sulawesi Selatan, sebagian besar 72.57%
menggunakan kapal motor, dan diikuti dengan 16.81% nelayan menggunakan motor tempel, dan 10.62% nelayan menggunakan perahu motor, sebagian besar nelayan Sulawesi Selatan menggunakan kapal motor. Tabel 11 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan jenis perahu yang dimiliki Kategori 1. Perahu motor 2. Motor tempel 3. Kapal motor Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, 2011
Jumlah Orang 12 19 82 113
% 10.62 16.81 72.57 100
57
Bobot perahu yang dimiliki oleh nelayan di Sulawesi Selatan pada umunya kurang dari 5 GT (80.53%). Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan daya jangkau kapal jarak 4 mil dari garis pantai. Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, kapal yang memiliki kapasitas 30 GT (gross tonase), tidak boleh beroperasi di wilayah penangkapan kategori kurang 4 mil dari garis pantai. Demikian pula kapal yang di bawah 30 GT, tidak boleh masuk ke wilayah kategori tiga atau zona ekonomi eksklusif, karena bisa berbahaya. Tabel 12 Sebaran jumlah nelayan berdasarkan bobot perahu yang dimiliki Jumlah
Kategori 1. 2. 3. 4.
< 5 GT 5-9 GT 10-30 GT > 30 GT
Total Sumber : DKP, Provinsi Sulawesi Selatan, 2011
4.6
Orang 91 20 1 1 113
% 80.53 17.7 0.88 0.88 100
Alat Tangkap Perikanan Alat tangkap perikanan yang ditemukan di Provinsi Sulawesi Selatan
berdasarkan jenisnya, terdiri dari 10 (sepuluh) kelompok yaitu : (1) jaring lingkar (surrounding nets); (2) pukat tarik (seine nets), (3) pukat hela (trawls), (4) penggaruk (dredges), (5) jaring angkat (lift nets); (6) alat yang dijatuhkan (falling gears); (7) jaring insang (gillnets and entangling nets); (8) perangkap (traps); (9) pancing (hooks and lines); dan (10) alat penjepit dan melukai (grappling and wounding). Pengaturan tata pengoperasian dari 10 kelompok alat tangkap ikan tersebut diatur sebagai berikut : 1. Jaring lingkar (surrounding nets) Pengoperasian alat penangkapan ikan jaring lingkar dilakukan dengan cara melingkari
gerombolan
ikan
yang
menjadi
sasaran
tangkap
untuk
menghadang arah renang ikan sehingga terkurung di dalam lingkaran jaring. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan sampai dengan kolom perairan yang mempunyai kedalaman yang cukup (kedalaman jaring ≤ 0,75 (kedalaman perairan), umumnya untuk menangkap ikan pelagis. 2. Pukat tarik (seine nets) Pengoperasian alat penangkapan ikan pukat tarik dilakukan dengan cara melingkari
gerombolan
ikan
pelagis
atau
ikan
demersal
dengan
menggunakan kapal atau tanpa kapal. Pukat ditarik kearah kapal yang sedang berhenti atau berlabuh jangkar atau ke darat/pantai melalui tali selambar di kedua bagian sayap. Pengoperasiannya dilakukan pada
58
permukaan, kolom maupun dasar perairan umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis pukat tarik yang digunakan. Pukat tarik pantai dioperasikan di daerah pantai untuk menangkap ikan pelagis dan demersal yang hidup di daerah pantai. Dogol dan lampara dasar dioperasikan pada dasar perairan umumnya menangkap ikan demersal. Payang dioperasikan di kolom perairan umumnya menangkap ikan pelagis. 3. Pukat hela (trawls) Pengoperasian alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dilakukan dengan cara menghela pukat di sisi atau di belakang kapal yang sedang melaju. Pengoperasiannya dilakukan pada kolom maupun dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal termasuk udang dan crustacea lainnya tergantung jenis pukat hela yang digunakan. Pukat hela dasar dioperasikan di dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan demersal,
udang
dan
crustacea
lainnya.
Pukat
hela
pertengahan
dioperasikan di kolom perairan, umumnya menangkap ikan pelagis. 4. Penggaruk (dredges) Pengoperasian alat penangkapan ikan penggaruk dilakukan dengan cara menarik
ataupun
Pengoperasiannya
menghela dilakukan
garuk pada
dengan
dasar
atau
perairan
tanpa umumnya
kapal. untuk
menangkap kerang, teripang, dan biota menetap lainnya. 5. Jaring angkat (lift nets) Pengoperasian alat penangkapan ikan jaring angkat dilakukan dengan cara dibenamkan pada kolom perairan saat setting dan diangkat ke permukaan saat hauling. Pengoperasiannya dapat menggunakan alat bantu pengumpul ikan berupa lampu. Anco dan bagan tancap dioperasikan di daerah pantai sedangkan jaring angkat lainnya dioperasikan di perairan yang lebih jauh dari pantai. 6. Alat yang dijatuhkan atau ditebarkan (falling gears) Pengoperasian alat penangkapan ikan yang dijatuhkan atau ditebarkan dilakukan dengan cara menjatuhkan/menebarkan pada suatu perairan dimana target sasaran tangkapan berada. Ketika jala jatuh berkapal pengoperasian dilanjutkan dengan menarik tali kerut pada bagian bawah jala, sedangkan pada jala tebar bagian bawah jala akan menguncup dengan sendirinya karena pengaruh pemberat rantai. Jala tebar dioperasikan di sekitar pantai yang dangkal untuk menangkap ikan-ikan kecil, sedangkan jala jatuh berkapal dioperasikan di perairan yang lebih jauh dari pantai dengan
59
atau tanpa alat bantu penangkapan berupa lampu umumnya menangkap ikan pelagis bergerombol dan cumi-cumi. 7. Jaring insang (gillnets and entangling nets) Pengoperasian jaring insang dilakukan dengan cara menghadang arah renang gerombolan ikan pelagis atau demersal yang menjadi sasaran tangkap sehingga terjerat pada jaring. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan, pertengahan maupun pada dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis jaring insang. Jaring insang dioperasikan secara menetap, dihanyutkan, melingkar maupun terpancang pada permukaan, pertengahan maupun dasar perairan. Jaring insang ada yang satu lapis maupun berlapis. Jaring insang berlapis umumnya dioperasikan pada dasar perairan umumnya menangkap ikan demersal. 8. Perangkap (traps) Pengoperasian alat penangkapan ikan perangkap dilakukan secara pasif berdasarkan tingkah laku ikan, ditempatkan pada suatu perairan dengan atau tanpa umpan sehingga ikan terperangkap atau terjebak masuk dan tidak dapat keluar dari perangkap. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan maupun dasar perairan umumnya menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis perangkap. Bubu bersayap, togo, ambai, jermal, pengerih dan sero dioperasikan di daerah pantai untuk menangkap ikan yang beruaya dengan mamanfaatkan pasang surut perairan. Set net dioperasikan di wilayah pantai secara menetap untuk menangkap ikan pelagis maupun demersal yang beruaya secara regular atau musiman. Pukat labuh dioperasikan di wilayah pantai dengan memanfaatkan arus perairan, umumnya untuk menangkap ikan ukuran kecil di daerah pasang surut. Bubu dioperasikan di dasar perairan umumnya untuk menangkap ikan demersal dan ikan karang. Alat penangkapan ikan peloncat dioperasikan pada permukaan air mengikuti tingkah laku ikan yang meloncat apabila merasa terhalang. 9. Pancing (hooks and lines) Pengoperasian alat penangkapan ikan pancing dilakukan dengan cara menurunkan tali dan mata pancing dan atau sejenisnya, menggunakan atau tanpa joran yang dilengkapi dengan umpan alami, umpan buatan atau tanpa umpan. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan, kolom maupun dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal
60
tergantung jenis pancing. Huhate dioperasikan di permukaan perairan umumnya menangkap gerombolan ikan pelagis perenang cepat seperti tongkol dan cakalang. Tonda dan pancing layang-layang dioperasikan di permukaan
perairan
dengan
cara
ditarik
secara
horizontal dengan
menggunakan kapal umumnya menangkap ikan pelagis. Squid jigging dioperasikan pada kolom perairan umumnya untuk menangkap cumi-cumi. Rawai hanyut (termasuk rawai tuna dan rawai cucut) dioperasikan di kolom perairan sampai dasar perairan umumnya menangkap ikan pelagis dan demersal. Pancing ulur, pancing berjoran dan rawai dasar dioperasikan di kolom perairan sampai dasar perairan umumnya menangkap ikan pelagis dan demersal. 10. Alat penjepit dan melukai (grappling and wounding) Pengoperasian alat penangkapan ikan penjepit dan melukai dilakukan dengan cara mencengkeram, mengait/menjepit, melukai dan/atau membunuh sasaran tangkap. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan, kolom maupun dasar perairan umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis alatnya.Ladung dioperasikan di daerah pantai untuk menombak ikan-ikan pantai.Tombak dioperasikan di daerah pantai untuk menombak ikan-ikan pantai, dapat pula dioperasiakan di laut lepas (harpoon) umumnya menangkap mamalia besar.Panah dioperasikan pada wilayah berkarang umumnya untuk menangkap ikan yang hidup di karang. 4.7
Pendapatan Nelayan Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh nelayan dari hasil
penangkapan dikurangi dengan biaya-biaya operasional. Pendapatan yang diperoleh oleh nelayan digunakan untuk kepertuan rumah tangga, biaya sekolah anak-anak dan keperluan laian-lain. Apabila pendapatan yang diperoleh nelayan tidak mencukupi seluruh kebutuhan rumah tangga, nelayan pengolah terpaksa meminjamnya kepada tetangga atau pada sanak famili, terutama untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak. Adapun tingkat pendapatan berdasarkan kategori nelayan berdasarkan hasil pengamatan, di tampilkan pada Tabel 13. Buruh nelayan umumnya memperoleh pendapatan Rp. 350.000,-/ melaut atau rata-rata Rp.1.500.000,-/bulan. Lebih lanjut tingkat pendapatan kelompok buruh nelayan tergolong miskin. Nelayan pemilik kapal memperoleh pendapatan Rp.1.500.000,-/melaut atau rata - rata Rp.4.500.000,-/bulan. Berdasarkan tingkat
61
pendapatan ini maka kelompok pemilik kapal tergolong sejahtera. Sedangkan juragan kapal memperoleh pendapatan Rp.3.350.000,-/melaut atau rata-rata Rp.10.500.000,-/bulan. Tabel 13. Tingkat pendapatan berdasarkan kategori nelayan Kategori 1. Buruh nelayan 2. Nelayan pemilik kapal 3. Juragan kapal Sumber : Hasil pengamatan lapang, 2011
Pendapatan (Rupiah) trip bulan 350.000 1.500.000 1.500.000 4.500.000 3.350.000 10.500.000