ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
SEPTIFITRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ANALISIS PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
SEPTIFITRI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup Tanggal 27 Juli 2010: 1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc 2. Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka Tanggal 28 Desember 2010: 1. Prof (R). Dr. Ir. Asikin Djamali, A. Pu 2. Dr. Ir. Yulistyo, M.Sc
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2010
SEPTIFITRI NRP: C561024021
ABSTRACT SEPTIFITRI. Analysis of Capture Fisheries Development in South Sumatera Province. Supervised by DANIEL R. MONINTJA, SUGENG H. WISUDO and SULAEMAN MARTASUGANDA. Marine and fisheries sectors in South Sumatera Province is one of the leading economic sector. The development is expected to improve the welfare of fishermen, to absorb labor and increase revenue and ensure its sustainability in the future. The purpose of this research is to develop design based fishery development of sustainable business in South Sumatera Province. The research method used is survey method with several data analysis tools such as surplus production method, scoring method, multi-criteria analysis, SWOT analysis and Analytical Hierarchy Process (AHP). Kinds and the potential yield commodities of fish in South Sumatera Province are shrimp (Penaeid) of 6297.98 tons; 1955.98 tonnes of blue swimmer crabs (Portunus spp); catfish (Arius thalassinus) amounted to 4488.06 tons and machete (Chirosentrus dorab) at 3718.69 tons. Type of fishing gears that still more likely to be increased are trammel nets, drift gill nets, fixed gill nets and encircling gillnets. The main priority of the alternative strategy of fisheries development policy in South Sumatera Province by improving the facilities and operational infrastructure to support the fishing effort. This is possible considering that the development of fisheries in South Sumatera has a substantial dependence on such facilities and infrastructure problems. Support of infrastructure facilities and good support, activities of both capture fisheries, processing and marketing can be more efficient and become an important point to increase the benefits of fishery products in South Sumatera Province. Keywords: development, policy, South Sumatera, strategy, sustainability
RINGKASAN SEPTIFITRI. Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, SUGENG H. WISUDO dan SULAEMAN MARTASUGANDA. Sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu sektor unggulan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan perikanan diharapkan mampu menyediakan bahan pangan (protein hewani) bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan nelayan, membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah dan devisa negara (Ginting et al. 2002). Tujuan umum dari penelitian ini adalah menyusun rancang bangun pengembangan perikanan tangkap berbasis keberlanjutan usaha di Provinsi Sumatera Selatan. Tujuan umum tersebut dicapai melalui pencapaian tujuan khusus antara lain pertama mengevaluasi potensi sumberdaya perikanan, kedua mengestimasi kebutuhan prasarana penunjang/pendukung, ketiga, menganalisis jumlah unit penangkapan yang optimal, dan keempat memformulasikan alternatif pengembangan perikanan tangkap. Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan.
Pengumpulan data
dilakukan dengan metode survei dan wawancara mendalam baik dengan nelayan maupun stakeholders (pemangku kepentingan) daerah setempat. Analisis potensi sumberdaya ikan dilakukan menggunakan metode surplus produksi, sedangkan analisis Linear Goal Programming digunakan untuk mengalokasikan unit penangkapan yang ada. Pemilihan jenis ikan unggulan dan alat tangkap unggulan dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Multi Kriteria. Untuk mendapatkan prioritas strategi pengembangan perikanan tangkap digunakan metode SWOT dan Proses Hierarki Analitik digunakan untuk menetapkan prioritas kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Jenis sumberdaya ikan unggulan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan adalah udang, rajungan, manyung dan golok-golok. Pemilihan jenis sumberdaya ikan unggulan didasarkan kriteria produksi, harga, dan wilayah pemasaran. Status pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan tersebut dapat dikatakan masih dapat ditingkatkan karena memiliki tingkat pemanfaatan dibawah 70%. Potensi lestari untuk keempat jenis ikan tersebut adalah udang sebesar 6.297,98 ton; rajungan sebesar 1955,98 ton; manyung sebesar 4.488,06 ton dan golok-golok sebesar 3.718,69 ton.
Pemilihan teknologi penangkapan ikan unggulan dilakukan berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Masing-masing aspek dilakukan penghitungan dan penentuan prioritas. Dari penentuan prioritas tersebut diketahui alat tangkap yang sesuai untuk mendapatkan hasil yang optimal, ramah lingkungan dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Alat tangkap
unggulan dipilih dari 8 jenis alat tangkap yang menangkap komoditas unggulan. Hasil analisis dari semua aspek terkait menunjukkan bahwa trammel net menempati urutan prioritas pertama karena memiliki nilai aspek sosial dan aspek ekonomi yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa trammel net memiliki peluang pengembangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Urutan kedua adalah, jaring insang hanyut diikuti bagan tancap, jaring insang tetap, pancing, jaring klitik, perangkap dan jaring insang lingkar. Hasil analisis LGP menunjukkan bahwa tidak semua jenis alat tangkap berpeluang untuk ditambah jumlahnya.
Jenis alat tangkap yang masih
berpeluang untuk dilakukan penambahan adalah trammel net dengan peluang penambahan 53 unit, jaring insang hanyut dengan peluang penambahan 135 unit, perangkap dengan peluang penambahan 173 unit dan jaring klitik dengan peluang penambahan 210 unit. Hasil perhitungan optimasi terhadap tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan sangat mempengaruhi kondisi lainnya baik penyiapan teknologi, sumberdaya manusia serta sarana dan prasarana.
Berdasarkan hasil perhitungan dalam
rangka pengembangan perikanan tangkap yang didasarkan pada optimasi sumberdaya ikan maka Provinsi Sumatera Selatan memerlukan peningkatan sarana dan prasarana perikanan.
Sarana yang perlu ditingkatkan yaitu
penambahan pelabuhan perikanan dari 2 unit (PPI) menjadi 8 unit yang terbagi menjadi 5 unit PPI dan 3 unit PPP dengan luas TPI sebesar 285 m2. Sarana penunjang lain yang diperlukan adalah pabrik pengolahan untuk komoditas crustacea (rajungan dan udang) dan pabrik pengolahan ikan (manyung dan golok-golok). Jumlah ideal kedua jenis pabrik tersebut sekitar 8 unit yang terdiri atas 2 unit pabrik pengolahan komoditas rajungan dengan kapasitas produksi 200 ton/tahun/unit dan 6 unit pabrik lainnya dibangun untuk mengolah udang dan ikan dengan kapasitas produksi 1500 ton/tahun/unit. Selain itu, pengembangan perikanan tangkap juga memerlukan 3 unit galangan kapal baru dan 1 unit pabrik jaring dengan kapasitas produksi 72,5 ton per bulan. Pengembangan perikanan dengan konsep tersebut dapat menyerap tenaga kerja hingga 16.787 orang.
Bidang perikanan diestimasi mampu
menyerap tenaga kerja nelayan hingga 14.827 orang, sedangkan tenaga kerja diluar
sektor
non
perikanan
yang
mampu
terserap
dengan
adanya
pengembangan perikanan tangkap ini mencapai 1.960 orang. Strategi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan hasil analisis SWOT antara lain optimalisasi pemanfaatan komoditas perikanan unggulan dengan meningkatkan produktivitas penangkapan, pengolahan dan pemasaran.
Selain itu peningkatan kualitas sarana dan
prasarana penunjang perikanan tangkap dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kualitas hasil tangkapan yang didaratkan. Perluasan wilayah penangkapan sampai >12 mil juga merupakan strategi yang perlu di pertimbangkan. Prioritas utama alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan yaitu dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendukung operasional usaha perikanan. Dukungan dari fasilitas pendukung dan infrastruktur yang baik akan menunjang kegiatan usaha perikanan baik penangkapan, pengolahan maupun pemasaran menjadi lebih efisien dan menjadi poin penting peningkatan produk perikanan di Provinsi Sumatera Selatan.
Selain itu, pengembangan jumlah unit armada penangkapan akan
menjadi lebih baik dengan tersedianya sarana dan prasarana pendukung di pelabuhan terlebih dahulu. Ketersediaan fasilitas di pelabuhan akan berdampak pada kegiatan operasi penangkapan ikan menjadi lebih optimum. Alternatif kebijakan memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan merupakan prioritas kebijakan terakhir. Kondisi ini dimungkinkan karena unit armada penangkapan ikan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan umumnya memiliki ukuran yang relatif kecil. Sehingga untuk menjangkau daerah penangkapan di atas 12 mil maka diperlukan adanya upgrade armada penangkapan ke dalam kapasitas ukuran yang lebih besar. Hasil estimasi menunjukkan bahwa bila rancang bangun pengembangan perikanan tangkap yang berbasis pada komoditas unggulan ini di terapkan, akan dapat meningkatkan : produksi 1.494,54 ton (10,53%), nilai produksi Rp. 85.369.347.300 (26,20%), penyerapan tenaga kerja perikanan (nelayan) 1.352 orang (10,03%), penyerapan tenaga kerja bidang lain 1.560 orang (390%), pendapatan nelayan Rp. 3.570.000 (22,64%) dan volume ekspor 715,90 ton (22,54%).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul Disertasi
: Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan
Nama
: Septifitri
NIM
: C561024021
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Daniel R.Monintja Ketua
Dr.Ir. Sugeng H. Wisudo, M.Si Anggota
Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof.Dr.Ir.John Haluan, M.Sc
Tanggal Ujian: 28 Desember 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 September 1965 di Padang, Sumatera Barat dari pasangan keluarga bapak Alimuyar (alm) dan ibu Rosmanida, penulis merupakan anak ke dua dari tujuh orang bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar tahun 1971-1977, Sekolah Lanjutan Pertama tahun 1978-1981, Sekolah Lanjutan Atas tahun 1981-1984. selanjutnya tahun 1984-1987 penulis melanjutkan kuliah di Program Diploma III Pendidikan Dan Latihan Ahli Usaha Perikanan (Diklat AUP). Sejak tahun 1987-1989, penulis bekerja sebagai staf Research and Development PT. Bonecom Ujung Pandang, kemudian pada tahun 1990 penulis di terima sebagai pegawai negeri sipil dan ditempatkan di Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Di Instansi tempat kerja, penulis pernah menduduki beberapa jabatan fungsional diantaranya : Pemimpin Bagian Proyek P2RT tahun 1996-1997, Pemimpin Proyek P2SP tahun 1997-1999 dan jabatan struktural sebagai Kepala Seksi Penangkapan Ikan tahun 1999-2003. Penulis menyelesaikan Pendidikan Sarjana pada tahun 1993 di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang. Kesempatan melanjutkan pendidikan Magister, penulis dapatkan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Artha Bodhi Iswara Surabaya pada tahun 1999-2001, dan pada tahun 2003 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Doktoral pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Teknologi Kelautan (TKL). Penulis menikah dengan Mutia Kemala pada tahun 1993 dan telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak. Penulis telah membuat beberapa tulisan diantaranya : Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dan Analisis Kebutuhan Sarana Perikanan Dalam Rangka Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Komoditas Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan yang telah di publikasikan di Jurnal Saintek Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponogoro.
DAFTAR ISTILAH Analisis SWOT
: suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats).
Analitical Hierarchy Process : suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik perbandingan pasangan yang diskrit maupun kontinyu. Armada perikanan
: sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground).
Depleted
: stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan secara drastis, dan upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan. Hal ini berkaitan dengan sumberdaya ikan yang sudah terancam.
Fully exploited
: stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Disini peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan, walaupun hasil tangkapan masih dapat meningkat. Peningkatan upaya penangkapan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, dan hasil tangkapan per unit upaya pasti menurun.
Kapal perikanan
: kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
Kebijakan
: seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik, dan merupakan manivestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan.
Kebijakan privat
: tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain.
Kebijakan publik
: tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat (individu maupun lembaga swasta).
Lightly exploted
: stok sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit (kurang dari 25 persen MSY). Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan hasil tangkapan per unit upaya (Catch Per Unit Effort-CPUE) masih memungkinkan meningkat.
Moderately exploited
: stok sumberdaya ikan sudah terekploitasi setengah dari MSY. Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan masih, dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, akan tetapi hasil tangkapan per unit upaya mungkin mulai menurun.
Nelayan
: orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkapan dikategorikan nelayan meskipun tidak melakukan aktivitas penangkapan.
Nelayan penuh
: nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.
Nelayan sambilan tambahan : nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan utama : nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain. Over exploited
: stok sumberdaya ikan sudah menurun, karena terekploitasi melebihi nilai MSY. Pada kondisi ini, upaya penangkapan harus diturunkan agar kelestarian sumberdaya ikan tidak terganggu.
Pemasaran
: tindakan yang berkaitan dengan pergerakan barangbarang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen.
Pendekatan sistem
: metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu.
Pengelolaan perikanan : semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Pengembangan berkelanjutan : laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tidak melampaui kemampuan pulih dan resultan dampak negatif yang ditimbulkan tidak melebihi kemampuan kawasan pesisir/laut untuk menetralisirnya. Perikanan tangkap
: kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di air laut atau perairan umum secara bebas.
Potensi ekonomi lestari : nilai maksimum hasil tangkapan memberikan keuntungan maksimum.
yang
dapat
Sistem
: seperangkat elemen atau sekumpulan entity yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan.
Unexploited
: stok sumberdaya ikan berada pada posisi belum tereksploitasi, sehingga aktivitas penangkapan ikan sangat dianjurkan di perairan ini guna mendapatkan keuntungan dari produksi.
Unit penangkapan
: kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan.
KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, atas segala limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Disertasi ini
merupakan hasil penelitian dengan judul “Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan”. Pada Kesempatan ini penulis dengan tulus hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja, Dr.Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, dan Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya disertasi ini. 2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan staf, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
atas
segala perhatian dan penyediaan fasilitas selama penulis melaksanakan pendidikan. 3. Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan, Kepala Dinas Kelautan dan rekan-rekan sejawat, di Perikanan Provinsi Sumatera Selatan yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. 4. Ayahanda, Ibunda, Istri dan Anak tercinta, seluruh keluarga serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebut satu persatu atas segala perhatian dan bantuannya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam disertasi ini masih terdapat berbagai kekurangan. Saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
i
penulis harapkan agar lebih memberikan bobot terhadap kesempurnaan tulisan ini. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap pengembangan perikanan khususnya perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.
Bogor, Desember 2010
Septifitri
ii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................... v DAFTAR GAMBAR........................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 1.5 Asumsi ............................................................................................ 1.6 Kerangka Pemikiran ........................................................................
1 1 3 6 6 6 7
2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2.1 Pengelolaan Perikanan Tangkap ..................................................... 2.2 Sumberdaya Ikan ............................................................................. 2.2.1 Sifat sumberdaya ikan ............................................................ 2.2.2 Pengelolaan sumberdaya ikan ............................................... 2.3 Upaya Penangkapan ........................................................................ 2.3.1 Upaya relatif ............................................................................ 2.3.2 Daya tangkap relatif ................................................................ 2.4 Surplus Produksi .............................................................................. 2.5 Komoditas Unggulan ........................................................................ 2.6 Armada Perikanan ............................................................................ 2.6.1 Konsep .................................................................................... 2.6.2 Klasifikasi ................................................................................ 2.6.3 Nelayan ................................................................................... 2.7 Pendekatan Sistem .......................................................................... 2.8 Kebijakan Pembangunan Perikanan ................................................ 2.9 Analisis Kebijakan Pengembangan Berkelanjutan ........................... 2.9.1 Analisis kebijakan pengembangan .......................................... 2.9.2 Pengembangan perikanan berkelanjutan................................ 2.10 Kerangka Kerja Kelembagaan..........................................................
9 9 16 16 18 32 33 33 33 34 36 36 36 37 38 40 42 42 43 45
3 METODOLOGI .......................................................................................... 3.1 Tempat dan Waktu ........................................................................... 3.2 Pengumpulan Data ........................................................................... 3.3 Analisis Data..................................................................................... 3.3.1 Analisis potensi sumberdaya ikan ........................................... 3.3.1.1 Metode produksi surplus ............................................ 3.3.2 Determinasi usaha perikanan tangkap .................................... 3.3.3 Analisis kriteria ekonomi dan finansial .................................. 3.3.3.1 Krieria ekonomi ......................................................... 3.3.3.2 Kriteria investasi ........................................................ 3.3.4 Linear Goal Programming (LGP)............................................. 3.3.5 Analisis SWOT ........................................................................ 3.3.6 Proses Hierarki Analitik (PHA) ................................................
49 49 49 51 51 51 53 55 55 57 59 60 62
iii
3.3.6.1 Langkah-langkah pada proses hirarki analitik ............ 64 3.3.6.2 Ide dasar prinsip kerja PHA ........................................ 66 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 4.1 Administrasi wilayah ......................................................................... 4.2 Perairan Laut Sumatera Selatan ..................................................... 4.3 Perikanan tangkap ............................................................................ 4.3.1 Nelayan ................................................................................... 4.3.2 Kapal penangkapan ikan ........................................................ 4.3.3 Alat tangkap ............................................................................ 4.3.4 Produksi perikanan tangkap ................................................... 4.3.5 Pengolahan hasil perikanan .................................................. 4.3.6 Pemasaran hasil tangkapan ................................................... 4.3.7 Prasarana perikanan .............................................................. 4.4 Sumberdaya Ikan Unggulan ............................................................. 4.5 Status dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Unggulan ................ 4.6 Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan Unggulan .......................... 4.6.1 Aspek biologi ........................................................................... 4.6.2 Aspek teknis ........................................................................... 4.6.3 Aspek sosial ............................................................................ 4.6.4 Aspek ekonomi ........................................................................ 4.6.4.1 Analisis usaha/keuntungan ......................................... 4.6.4.2 Analisis kelayakan usaha ........................................... 4.6.4.3 Pemilihan alat tangkap berdasarkan aspek ekonomi .. 4.6.5 Teknologi penangkapan ikan terpilih ....................................... 4.7 Alokasi Alat Tangkap ........................................................................ 4.7.1 Fungsi kendala ....................................................................... 4.7.2 Fungsi tujuan ......................................................................... 4.7.3 Optimasi jumlah unit penangkapan ikan ................................ 4.8 Alokasi Sarana dan Prasarana ........................................................ 4.8.1 Komponen sarana pelabuhan ................................................ 4.8.2 Komponen unit pemasaran hasil tangkapan ........................... 4.8.3 Komponen unit pengolahan ikan ............................................ 4.8.4 Komponen sarana penunjang ................................................ 4.9 Strategi Pengembangan Perikanan .................................................. 4.9.1 Analisis SWOT ........................................................................ 4.9.2 Analisis hierarki proses ........................................................... 4.10 Rancang Bangun Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ............................................................................. 4.11 Keuntungan Penerapan Rancang Bangun Pengembangan Perikanan ........................................................................................ 4.12 Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Sumatera Selatan .......
69 69 70 73 73 75 77 79 87 87 88 88 90 93 93 95 98 100 100 102 103 105 107 108 111 111 115 115 118 120 121 125 125 130 137 140 142
5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 145 6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 145 6.2 Saran ............................................................................................... 146 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 147 LAMPIRAN ..................................................................................................... 155
iv
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Jenis, sumber dan metode pengumpulan data penelitian .......................... 50
2.
Pembobotan setiap faktor-faktor SWOT ................................................... 61
3.
Diagram matriks SWOT dan kemungkinan strategi yang sesuai. .............. 62
4.
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty .......... 66
5.
Jumlah nelayan berdasarkan RTP menurut kategori usaha di Provinsi Sumatera Selatan ....................................................................................... 74
6.
Jumlah perahu/kapal perikanan menurut jenis atau ukuran perahu di Provinsi Sumatera Selatan sejak tahun 2001-2007 ................................... 76
7.
Perkembangan jumlah alat tangkap perikanan laut (unit) menurut jenis alat tangkap di Provinsi Sumatera Selatan................................................. 78
8.
Produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 .......................................................................... 80
9.
Jumlah trip kapal penangkapan ikan menurut alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007............................................ 82
10. Produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 (Ton/Tahun/Alat penangkap ikan).................... 83 11. Produksi rata-rata per trip alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 (Ton/Trip/Alat penangkap ikan)........................ 84 12. Harga ikan (Rp/kg) menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 ....................................................................................... 85 13. Nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 .................................................................................................. 86 14. Pangkalan Pendaratan Ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 20012007 ........................................................................................................... 88 15. Seleksi komoditas unggulan di perairan Sumatera Selatan dengan metode skoring ........................................................................................... 90 16. Potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan untuk komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan ..................................................... 91 17. Penilaian aspek biologi unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan .. 95 18. Jenis teknologi yang digunakan untuk menangkap ikan jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan ..................................................... 96 19. Matriks pemilihan unit penangkapan unggulan berdasarkan aspek teknis operasional alat tangkap di perairan Sumatera Selatan............................. 98 20. Matriks keragaman aspek sosial dari teknologi penangkapan eksisting untuk komoditi unggulan di perairan Sumatera Selatan ............................. 100 21. Modal investasi usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian ................... 101 22. Analisis usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Sumatera Selatan 102
v
Halaman 23. Matriks keragaman aspek ekonomi kegiatan penangkapan ikan di perairan Sumatera Selatan ......................................................................... 104 24. Matriks keragaman teknologi penangkapan ikan terpilih dari unit penangkap ikan untuk komoditi unggulan di perairan Sumatera Selatan ... 106 25. Variabel keputusan model optimasi jumlah unit alat tangkap ikan eksisting di Provinsi Sumatera Selatan .................................................... 108 26. Jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan potensi 4 jenis sumberdaya ikan unggulan serta nilai produktivitas rata-rata alat tangkap ikan eksisting di Provinsi Sumatera Selatan ..................................................... 111 27. Alokasi jumlah armada penangkapan yang optimum di Provinsi Sumatera Selatan ...................................................................................... 112 28. Perbandingan jumlah optimum dan eksisting pada tahun 2007 dari 8 jenis unit penangkapan ikan terpilih di Provinsi Sumatera Selatan ........... 113 29. Jumlah kebutuhan optimum prasarana pelabuhan di Provinsi Sumatera Selatan........................................................................................................ 117 30. Nilai koefisien ruang daya tampung produksi (k) berdasarkan jenis kelompok ukuran ikan ................................................................................. 119 31. Jumlah kebutuhan total luasan tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibutuhkan di Provinsi Sumatera Selatan ................................................... 119 32. Jumlah kebutuhan luasan tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibutuhkan di Provinsi Sumatera Selatan untuk setiap kelas pelabuhan perikanan ..... 120 33. Jumlah kebutuhan unit pengolahan hasil perikanan Provinsi Sumatera Selatan........................................................................................................ 121 34. Jumlah kebutuhan optimum galangan kapal perikanan di Provinsi Sumatera Selatan ........................................................................................... 122 35. Jumlah kebutuhan optimum jaring untuk armada penangkapan di Sumatera Selatan ....................................................................................... 123 36. Jumlah kebutuhan pabrik jaring di Provinsi Sumtera Selatan .................... 124 37. Kebutuhan jumlah tenaga kerja bidang perikanan terkait dengan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ............. 124 38. Kebutuhan jumlah tenaga kerja lain terkait dengan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ...................................... 125 39. Faktor internal yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ..................................................................... 126 40. Faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan........................................................ 126 41. Matriks SWOT pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan di Provinsi Sumatera Selatan ...................................................... 127 42. Prioritas strategi pengembangan perikanan di Sumatera Selatan ........... 128 43. Bobot nilai hasil pengolahan horisontal antar elemen masalah pada level kedua................................................................................................. 132
vi
44. Susunan bobot dan prioritas hasil pengolahan horisontal elemen alternatif kebijakan pada level ketiga ......................................................... 133 45. Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level kedua ............................. 134 46. Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level ketiga ............................. 136 47. Manfaat penerapan rancang bangun perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ..................................................................................... 141 48. Estimasi kebutuhan armada penangkapan untuk pengembangan perikanan di Laut Cina Selatan ................................................................ 143
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir kerangka pemikiran ................................................................. 8 2. Sistem agribisnis perikanan tangkap ........................................................ 11 3. Model sistem pengelolaan perikanan .......................................................... 19 4. Dinamika stok ikan yang dieksploitasi ........................................................ 21 5. Model pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari) ................................ 22 6. Model ekonomi statis pada perikanan ........................................................ 25 7. Pendekatan dalam penetapan komoditas dan agroindustri unggulan ......... 35 8. Lokasi penelitian .......................................................................................... 49 9. Proses hierarki analisis pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ....................................................................................... 67 10. Kecenderungan jumlah nelayan berdasarkan RTP di Provinsi Sumatera Selatan ........................................................................................................ 75 11. Perkembangan jumlah alat tangkap perikanan laut di Provinsi Sumatera Selatan ........................................................................................................ 78 12. Perkembangan produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 ............................................. 81 13. Diagram hierarki keputusan AHP dalam penentuan kebijakan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ....................................................... 131 14. Rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. ...................................................................................... 139
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perhitungan cash flow alat tangkap jaring insang tetap di lokasi penelitian .................................................................................................... 157 2. Perhitungan cash flow alat tangkap jaring klitik di lokasi penelitian ............ 158 3. Perhitungan cash flow alat tangkap jaring insang lingkar di lokasi penelitian ..................................................................................................... 159 4. Perhitungan cash flow alat tangkap jaring insang hayut di lokasi penelitian ..................................................................................................... 160 5. Perhitungan cash flow alat tangkap trammel net di lokasi penelitian .......... 161 6. Perhitungan cash flow alat tangkap perangkap di lokasi penelitian ............ 162 7. Perhitungan cash flow alat tangkap pancing di lokasi penelitian ................. 163 8. Perhitungan cash flow alat tangkap bagan tancap di lokasi penelitian ....... 164 9. Perhitungan nilai MSY untuk udang ............................................................ 165 10. Perhitungan nilai MSY untuk manyung ....................................................... 166 11. Perhitungan nilai MSY untuk ikan golok-golok ............................................ 167 12. Perhitungan nilai MSY untuk rajungan ........................................................ 168 13. Model persamaan Linear Goal Programming .............................................. 169 14. Hasil optimasi menggunanan LINDO .......................................................... 170 15. Konstruksi umum trammel net .................................................................... 172 16. Contoh uji kesesuaian model untuk komoditi udang ................................. 173 17. Hasil uji kesesuaian model untuk rajunga, golok-golok dan mayung ........ 177 18. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Rajungan) ........... 178 19. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Udang) ............... 179 20. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Golok-golok) ...... 180 21. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Manyung) .......... 181
xi
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu sektor unggulan karena memiliki beberapa keunggulan komparatif dan kompetitif.
Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan
perikanan diharapkan mampu menyediakan bahan pangan (protein hewani) bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan nelayan, membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah dan devisa negara (Ginting et al. 2002). Dalam suasana lingkungan strategis yang berubah dengan cepat serta dalam rangka mengantisipasi perubahan eksternal dan internal, Provinsi Sumatera Selatan kemudian menetapkan bahwa sumberdaya kelautan dan perikanan beserta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya merupakan sumber penghidupan dan pembangunan ekonomi serta sosial budaya yang harus dikelola secara berkelanjutan, guna meningkatkan kemakmuran rakyat menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, maju dan memadai (Ginting et al. 2002). Berdasarkan Visi tersebut, maka Misi pembangunan kelautan dan perikanan dirumuskan sebagai berikut: (1) Pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan serta jasa-jasa lingkungan secara berkelanjutan, (2) Meningkatkan partisipasi masyarakat dan pembudidayaan ikan-nelayan, (3) Mengembangkan dan pelestarian sumberdaya, (4) Penerapan teknologi serbaguna yang ramah lingkungan, (5) Meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan pembudidayaan ikan-nelayan (6) Pengawasan dan perlindungan sumberdaya (7) Meningkatkan mutu produksi perikanan dan hasil olahan, dan (8) Penataan dan pemberdayaan kelembagaan formal dan informal.
Dalam mewujudkan Visi dan Misi pembangunan kelautan dan perikanan, masih terdapat beberapa permasalahan diantaranya: (1) Rendahnya produktivitas pemanfaatan karena tidak meratanya tingkat pemanfaatan, di sebagian wilayah terjadi eksploitasi secara intensif sedangkan di wilayah lain tingkat pemanfaatannya masih rendah,
2 (2) Rendahnya tingkat SDM dan terbatasnya sarana dan prasarana, dan (3) Tingkat pendapatan nelayan yang masih rendah.
Terpisahnya Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dari Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2000 memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini dikarenakan kontribusi sektor perikanan yang sangat besar dari Bangka-Belitung sebelum berpisah dari Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan data statistik perikanan Provinsi Sumatera Selatan tahun 1999 menunjukkan bahwa kontribusi Bangka-Belitung di sektor perikanan seperti Rumah Tangga Perikanan (RTP) sebesar 84,04 %, perahu/kapal 82,83 %, volume produksi 72,28 %, dan nilai produksi 66,36%. Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 1999 memiliki kontribusi di sektor perikanan berupa RTP 15,96 %, perahu/kapal 17,17 %, volume produksi 27,72 %, dan nilai produksi 33,64 %. Bangka-Belitung menjadi provinsi baru pada tahun 2000 memberikan perubahan terhadap luas laut yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk usaha penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan kurang lebih 8.105,97 km2. berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut Tahun 2002 untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Laut Cina Selatan adalah potensi ikan pelagis besar sebanyak 0,32 ton/km2, pelagis kecil 2,26 ton/km2, demersal 1,2 ton/km2, dan udang 0,18 ton/km2. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan sebagai instansi yang diberikan wewenang dan tanggungjawab dalam pengembangan perikanan tangkap hingga saat ini belum menetapkan suatu rancang bangun pengembangan perikanan pasca lepasnya Bangka-Belitung. Padahal, rancang bangun pengembangan perikanan tersebut sangat penting artinya dalam menetapkan kebijakan dan strategi pengoptimalan sumberdaya ikan yang saat ini jumlahnya semakin berkurang. Perubahan wilayah perairan tentunya akan berdampak pada perubahan hasil tangkapan, jenis komiditi unggulan daerah dan alokasi armada penangkapan optimum.
Selain itu, kebutuhan sarana dan
prasarana perikanan untuk melayani armada penangkapan yang berbasis komoditas unggulan di Sumatera Selatan juga belum dianalisis lebih lanjut. Apabila hal tersebut luput dari perhatian pemerintah daerah, maka bukan mustahil kondisi perikanan tangkap di wilayah ini akan semakin terpuruk.
3 Kebutuhan akan rancang bangun pengembangan perikanan yang kian mendesak harus segera dijawab melalui kajian ilmiah.
Pengembangan
perikanan bukan hanya terpusat pada peningkatan produksi, namun juga pada kualitas dan kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menjawab berbagai permasalan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan seperti yang telah diuraikan sebelumnya sehingga nantinya menjadi pedoman
dalam
pengembangan
perikanan
tangkap
yang
lestari
dan
berkelanjutan.
1.2
Perumusan Masalah Salah satu penjelasan pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 31
Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa perikanan mempunyai peran yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian dan ketersediaan sumberdaya ikan. Selanjutnya wilayah pengelolaan perikanan berdasarkan undang-undang tersebut berdasarkan Bab III pasal 5 ayat 1 tentang wilayah pengelolaan perikanan menyebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi : (1) perairan Indonesia, (2) ZEEI, dan (3) sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia memiliki kewenangan sesuai dengan kondisi otonomi daerah yang berkaitan dengan wilayah pengelolaan sumberdaya ikan sejauh 12 mil dari garis pantai. Wilayah pengelolaan tersebut harus dapat dimanfaatkan sebaikbaiknya untuk kemakmuran rakyat dan sebagai pendapatan bagi daerah. Pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum dapat dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan, yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan dan nelayan, produk domestik bruto, devisa negara, pendapatan asli daerah, pemenuhan gizi
4 masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, tanpa menganggu dan merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, ada beberapa permasalahan yang harus diperhatikan saat ini di Provinsi Sumatera Selatan dengan kondisi wilayah yang memiliki potensi perikanan yang cukup besar, namun pemanfaatan dari potensi ini belum optimal. Beberapa permasalahan yang dihadapi adalah : (1) Aspek biologi, estimasi sumberdaya yang ada di sekitar wilayah pengelolaan Provinsi Sumatera Selatan yang belum memadai. Kondisi ini mengakibatkan belum bisa ditentukan jumlah alat tangkap yang boleh beroperasi agar tidak terjadi kerusakan sumberdaya, (2) Aspek teknologi, umumnya armada dan alat tangkap dengan teknologi yang masih sederhana yang beroperasi di sekitar wilayah teritorial
(12 mil)
Provinsi Sumatera Selatan. Kondisi ini mengakibatkan armada penangkapan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan jauh dari daerah teritorial tersebut, (3) Aspek sarana dan prasarana, kurangnya prasarana Pusat Pendaratan Ikan (PPI) dan pabrik es sehingga mutu hasil tangkapan menurun yang berakibat pada menurunnya nilai jual hasil tangkapan dan pendapatan nelayan, dan (4) Aspek ekonomi, rendahnya pendapatan nelayan diantaranya disebabkan oleh (1) tingginya biaya operasional akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), (2) kurangnya modal dalam pengembangan usaha, (3) lemahnya tingkat pemasaran sehingga harga ikan menjadi rendah. Penentuan harga dapat dilakukan sewaktu-waktu oleh para pembeli, hal ini diakibatkan belum adanya badan atau lembaga yang mengatur nilai jual ikan ke pedagang. Permasalahan yang dihadapi saat ini di Provinsi Sumatera Selatan diakibatkan oleh tidak meratanya pelaksanaan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan sewaktu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih berada dalam satu Provinsi dengan Sumatera Selatan. Dimana pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan dengan prosentase yang besar diarahkan ke Bangka Belitung, sehingga pada saat Bangka Belitung menjadi Provinsi sendiri pada tahun 2000, dampak dari sektor perikanan sangat signifikan dimana produksi di sektor perikanan yang dihasilkan oleh Bangka Belitung hampir 2,5 kali dari produksi yang dihasilkan oleh Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan hal tersebut,
perlu dilakukan
pembenahan kembali Kebijakan Pembangunan di sektor kelautan dan perikanan
5 Provinsi Sumatera Selatan. Pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan harus dilakukan secara terkoordinir antara Dinas Kelautan dan Perikanan bersama instansiinstansi terkait lainnya. Bila koordinasi tidak berjalan dengan baik, maka di perkirakan akan memberikan dampak sebagai berikut : (1) Rendahnya pendapatan daerah dari sektor perikanan, (2) Pendapatan nelayan akan tetap pada kondisi memprihatinkan, (3) Terjadinya konflik antar nelayan yang diakibatkan oleh perebutan daerah penangkapan dilihat dari fungsi alat tangkap antara alat tangkap aktif dan pasif, (4) Degradasi sumberdaya perikanan akan lebih besar, dan (5) Pemerintah daerah sulit untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam pengembangan perikanan tangkap. Dalam upaya memberikan masukan dalam penentuan rancang bangun pengembangan perikanan, maka dalam penelitian ini akan dijawab beberapa pertanyaan yang menjadi kunci dan fokus penelitian. Beberapa pertanyaan (research questions) yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah : (1) Apa saja jenis komoditas perikanan unggulan yang berpeluang untuk dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan? (2) Berapa potensi jenis komoditas unggulan yang berpeluang untuk dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan? (3) Apa jenis alat tangkap yang dapat digunakan untuk memanfaatkan jenis komoditas unggulan? (4) Berapa jumlah alokasi alat tangkap optimum yang dapat beroperasi? (5) Apa saja sarana dan prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan perikanan dan berapa jumlahnya? (6) Bagaimana strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan yang dapat diterapkan di Provinsi Sumatera Selatan. Dari hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akar permasalahan yang sangat mendasar dalam pengembangan perikanan tangkap adalah belum adanya rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga Program yang dibuat belum mampu untuk mengatasi berbagai permasalahan
yang
terjadi
dalam
memajukan
perikanan
tangkap.
Untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi saat ini di sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan perlu dilakukan Penelitian untuk menganalisis
6 pengembangan perikanan tangkap dengan beberapa analisis yang mencakup beberapa aspek yaitu aspek biologi, teknologi, sosial, dan ekonomi yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan dalam menunjang pengambilan kebijakan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan secara keseluruhan.
1.3 Tujuan Penelitian (1) Tujuan
umum
penelitian
ini
adalah
menyusun
Rancang
Bangun
Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Komoditas Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan. (2) Tujuan khusus 1) Menentukan jenis komoditas unggulan perikanan, 2) Menganalisis potensi sumberdaya ikan unggulan, 3) Menentukan jenis alat tangkap penangkapan ikan unggulan, 4) Mengestimasi alokasi optimum jumlah alat penangkapan ikan unggulan, 5) Mengestimasi kebutuhan prasarana penunjang atau pendukung,
6) Memformulasikan prioritas kebijakan pengembangan perikanan tangkap.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :
(1) Bahan
masukan
bagi
pemerintah
dalam
mengambil
kebijakan
pengembangan dan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan Provinsi Sumatera Selatan. (2) Sumber informasi bagi investor, masyarakat dan stakeholders terkait tentang potensi sumberdaya ikan unggulan yang dapat dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan. (3) Bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya terkait dengan pengoptimalan potensi perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan Provinsi Sumatera Selatan.
1.5 Asumsi Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : (1) Sumberdaya ikan yang ada di Perairan Sumatera Selatan menyebar merata dan jumlahnya masih cukup banyak untuk dapat dimanfaatkan oleh nelayan;
7 (2) Provinsi Sumatera Selatan memiliki komoditas unggulan perikanan yang dapat dikembangkan dimasa mendatang; (3) Perhitungan nilai MSY masing-masing komoditas unggulan didasarkan pada data hasil ikan yang didaratkan di Provinsi Sumatera Selatan (4) Jumlah armada dan unit penangkapan ikan yang ada saat ini belum optimal sehingga diperlukan analisis optimalisasi untuk mengetahui alokasi unit dan armada optimum di Perairan Sumatera Selatan.
1.6 Kerangka Pemikiran Dalam menyelesaikan permasalahan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan, perlu mengkaji kembali faktor pendukung usaha pengembangan perikanan tangkap. Perubahan kawasan administrasi Provinsi Sumatera Selatan jelas akan merubah strategi pengembangan perikanan tangkap yang ada, sehingga diperlukan suatu pola pengembangan yang baru agar tujuantujuan pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan bisa tercapai dengan optimum. Untuk itu, maka penelitian ini dipandang perlu untuk dilaksanakan, guna memecahkan masalah yang ada. Pengembangan perikanan tangkap tersebut dapat dilakukan dengan menganalisis seluruh komponen yang ada pada perikanan tangkap dengan menggunakan beberapa perangkat analisis yang saat ini banyak digunakan dalam kajian pengembangan perikanan. Pertama menentukan komoditas unggulan dari sumberdaya ikan yang ada dengan mempergunakan metode skoring. Kedua, , penentuan tingkat upaya maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang yaitu MSY (Maximum Sustainable Yield) dengan analisis Schaefer. Ketiga, menentukan urutan prioritas alat tangkap terbaik yang menangkap komoditas unggulan dengan analisis multi kriteria. Keempat, mengoptimalkan produksi, dengan Linear Goal Programming.
Kelima, menyusun strategi-strategi
pengembangan melalui analisis SWOT dan Keenam, penentuan prioritas alternatif strategi terbaik dan terpilih dengan Analytical Hierarchy Process (AHP). Adapun rangkuman keseluruhan proses pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dituangkan dalam sebuah kerangka berpikir yang akan menuntun dalam pencapaian semua tujuan penelitian tersebut. Diagram alir kerangka pemikiran tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.
8
Mulai
Permasalahan : 1. Alokasi jumlah alat tangkap belum jelas 2. Teknologi penangkapan masih tradisional 3. Sarana dan prasarana kurang memadai 4. Pendapatan nelayan rendah
Identifikasi
Potensi perikanan
Sumberdaya Manusia
Potensi Sumberdaya ikan
Potensi Wilayah
Metode scoring
Spesies Unggulan Prasarana Umum
Analisis Schaefer
Prasarana Perikanan CPUE, MSY, f optimum Kelembagaan Identifikasi Teknologi Pemanfaatan
Metode skoring
Ranking Jenis Alat Tangkap Analisis LGP Sarana Produksi Proses Produksi Pengolahan Pasar Pembinaan
Jumlah Alat Tangkap Optimum
SWOT
Alternatif Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap
AHP Prioritas Strategi Terpilih
Rancang Bangun Pengembangan
SELESAI
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Perikanan Tangkap Perikanan
tangkap
adalah
kegiatan
ekonomi
yang
mencakup
penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di air laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen (elemen) atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya disebut dengan agribisnis perikanan. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Menurut UU Perikanan No 31 tahun 2004 bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Dalam kaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap perlu adanya pengelolaan secara arif, bijaksana dan terintegrasi karena kompleksitasnya permasalahan. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen atas elemen atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya disebut dengan bisnis perikanan. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen atas elemen atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lainnya yang disebut dengan bisnis perikanan. Menurut Kesteven (1973) yang diacu oleh Monintja (2000) bahwa komponen-komponen perikanan tangkap terdiri dari (Gambar 2): (1) Sarana produksi Sarana
produksi
merupakan
salah
satu
fasilitas
yang
menunjang
berlangsungnya kegiatan perikanan. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan, instalasi, air tawar, instalasi listrik, dan pendidikan pelatihan tenaga kerja (Kesteven 1973).
10 (2) Usaha penangkapan Usaha penangkapan terdiri dari unit penangkapan, aspek legal dan unit sumber daya. Unit penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Aspek legal menyangkut sistem informasi dan perijinan. Unit sumberdaya terdiri dari spesies, habitat seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun serta musim. (3) Prasarana pelabuhan Pembangunan pelabuhan perikanan di Indonesia merupakan tanggung jawab
pemerintah.
Pelabuhan
perikanan
berfungsi
sebagai
sarana
penunjang untuk meningkatkan produksi. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. (4) Unit pengolahan Unit pengolahan termasuk didalamnya pengawetan yang bertujuan untuk mempertahankan mutu dengan cara penanganan yang tepat agar ikan tetap sempurna segar atau dalam wujud olahan, secara ekonomi nilai tambah produk juga meningkat. Pengolahan tersebut dapat dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern (Moeljanto 1996). (5) Unit pemasaran Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan tindakan yang berkaitan dengan pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. (6) Unit pembinaan Pembinaan merupakan suatu proses untuk peningkatan produksi dan produktivitas perikanan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan sektor perikanan. Pembinaan tersebut terdiri dari pembinaan usaha perikanan dan pembinaan mutu hasil perikanan. Pembinaan usaha perikanan bertujuan untuk pengembangan usaha dibidang perikanan yang merupakan bagian dari dunia usaha pada umumnya. Pembinaan usaha
11 perikanan terdiri dari pembinaan kelembagaan usaha perikanan, perkreditan dan permodalan dan pembinaan perijinan usaha perikanan.
Sistem Informasi
Gambar 2 Sistem agribisnis perikanan tangkap (Kesteven 1973 dimodifikasi oleh Monintja 2001). Monintja (2001) mengemukakan ada beberapa faktor atau alasan mengapa perikanan tangkap perlu dikelola secara benar dan tepat, sebagai berikut : (1) Perikanan
tangkap
diperbaharui
berbasis
(renewable),
pada
namun
sumberdaya dapat
hayati
mengalami
yang
dapat
depresi
atau
kepunahan. Sumberdaya ikan memiliki kelimpahan yang terbatas, sesuai daya dukung (carrying capacity) habitatnya; (2) Sumberdaya ikan dikenal sebagai sumberdaya milik bersama (common property) yang rawan terhadap tangkap lebih (over fishing); (3)
Pemanfaatan sumberdaya ikan dapat merupakan sumber konflik (di daerah penangkapan maupun dalam pemasaran hasil tangkapan);
12 (4) Usaha penangkapan haruslah menguntungkan dan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi para nelayan dan pengusahaannya, jumlah nelayan yang melebihi kapasitas akan menimbulkan kemiskinan para nelayan; (5) Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar nelayan menimbulkan kesenjangan dan konflik; dan (6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan subsektor lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut. FAO
(1995)
diacu
dalam
Monintja
(2001),
menyatakan
bahwa
pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap haruslah menunjukkan karakteristik penangkapan yang berkelanjutan, yaitu : (1) Proses penangkapan yang ramah lingkungan meliputi : 1) selektivitas tinggi; 2) hasil tangkapan yang terbuang minim; 3) tidak membahayakan keanekaragaman hayati; 4) tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi; 5) tidak
membahayakan
habitat;
6)
tidak
membahayakan
kelestarian
sumberdaya ikan target; 7) tidak membahayakan keselamatan nelayan; dan 8) memenuhi ketentuan yang berlaku; (2) Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai tetap) (3) Pasar tetap atau terjamin (4) Usaha penangkapan masih menguntungkan (5) Tidak menimbulkan friksi sosial dan (6) Memenuhi persyaratan legal. Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan per nelayan memadai (Monintja 1987). Selanjutnya menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan
yang memiliki
produktivitas
masih
nelayan
per
tahun
yang
tinggi,
namun
dapat
dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Kaitan pengembangan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh Soemokaryo (2001) bahwa pengembangan sub sektor perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia yang sangat
13 memungkinkan. Hal tersebut didasarkan pada : (1) potensi sumberdaya perikanan tersedia cukup besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan; (2) sebagai bahan baku protein hewani dan bahan baku industri domestik belum sepenuhnya dimanfaatkan; (3) beberapa komoditas perikanan mempunyai daya keunggulan komparatif di pasar Internasional; dan (4) kemampuannya menyerap tenaga kerja, meningkatkan dan meratakan pendapatan masyarakat. Menurut Monintja (2001) sistem agribisnis perikanan tangkap meliputi : (1) Sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, (2) Sub sistem prasarana, (3) Sub sistem usaha penangkapan, (4) Sub sistem pengolahan/agroindustri, (5) Sub sistem pembinaan, dan (6) Sub sistem pemasaran. Adapun tantangan, permasalahan dan solusi pengembangan perikanan tangkap adalah sebagai berikut (Monintja 2001) : (1) Tantangan 1) Permintaan suplai ikan yang semakin meningkat, 2) Penyediaan lapangan kerja, 3) Peningkatan devisa, dan 4) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). (2) Permasalahan 1) Stock sumber daya ikan yang tetap atau menurun, 2) Jumlah nelayan yang banyak, 3) Keterbatasan modal, 4) Kelangkaan informasi, 5) Konflik antar nelayan, dan 6) Konflik nelayan dengan sektor lain (3) Solusi 1) Partisipasi
masyarakat
nelayan
dalam
perencanaan
pengembangan pengelolaan perikanan / pesisir, 2) Profesionalisasi usaha penangkapan ikan, 3) Penyediaan sistem dan substansi informasi perikanan yang tepat waktu dan mudah diakses, dan 4) Penyediaan sistem permodalan khusus perikanan tangkap.
14 Hubungan komponen-komponen dalam suatu kompleks penangkapan ikan yang saling berkaitan antara satu elemen dengan elemen lainnya antara lain (Monintja 2001) : (1) Analisis aspek pemasaran meliputi : 1) Demand masa kini dan lampau (trend volume penjualan, harga dan pembeli), 2) Permintaan pertumbuhan
dan
harga
dimasa
pendapatan,
datang
elastisitas
(pertumbuhan
pendapatan
dan
penduduk, komonitas
substitusi), 3) Persaingan pasar (lokal, nasional dan internasional), dan 4) Rencana kebijakan pemasaran. (2) Analisis sumberdaya ikan (SDI) meliputi : 1) Deskripsi daerah penangkapan ikan, 2) Estimasi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY), 3) Hasil tangkapan spesies terkait selama 5 tahun sampai 10 tahun terakhir, 4) Kecenderungan catch per unit effort, 5) Distribusi (sebaran) ikan menurut daerah penangkapan dan musim, 6) Mobilitas ikan (ruaya dan migrasi), 7) Karakteristik komersial dari ikan (ukuran), 8) Proyeksi hasil tangkapan tahunan dari proyek, dan 9) Peluang pengembangan produksi. (3) Analisis aspek teknis menyangkut operasi penangkapan ikan meliputi : 1) Kapal penangkapan ikan, 2) Alat penangkapan ikan, 3) Tenaga kerja / nelayan, 4) Bahan untuk operasi penangkapan, 5) Kondisi lingkungan fisik daerah penangkapan, 6) Pola operasi (lama 1 trip, hari navigasi, hari operasi, hari darat/pelabuhan, hari dok, jumlah trip per tahun, variasi daerah penangkapan dan variasi musim), 7) Hasil tangkapan (komponen spesies, ukuran, kualitas, HT per hari, HT per trip, HT per tahun), 8) Penanganan hasil tangkapan di kapal, 9) Pengangkutan hasil tangkapan ke pelabuhan, dan
15 10) Fasilitas pendaratan ikan. (4) Analisis finansial meliputi : 1) Biaya investasi, biaya operasional, aliran uang tunai, 2) Pembiayaan proyek, 3) Kriteria investasi (NPV, IRR, B/C Ratio), dan 4) Analisis sensitivitas. (5) Analisis dampak ekonomi meliputi : 1) Analisis ekonomis, 2) Suplai protein, 3) Penyerapan tenaga kerja, 4) Peningkatan pendapatan nelayan, 5) Devisa, 6) Pembangunan daerah, 7) Pendapatan negara / daerah (PAD), dan 8) Manfaat lainnya. (6) Analisis aspek lingkungan dan sosial meliputi : 1) Pengaruh terhadap sumberdaya ikan, 2) Tingkat selektivitas alat penangkapan, 3) Kemungkinan terjadinya friksi sosial, 4) Pengaruh volume produksi terhadap pasar lokal, 5) Pengaruh kegiatan proyek terhadap lingkungan pemukiman, 6) Jenis limbah, volume dan perkiraan akibatnya, dan 7) Pencegahan dan treatment yang direncanakan. (7) Aspek organisasi dan manajemen meliputi : 1) Aspek legal perusahaan, 2) Aspek legal proyek, 3) Struktur organisasi yang ada, 4) Rencana struktur organisasi proyek, 5) Kaitan dengan perusahaan, instansi dan lembaga lain, 6) Struktur manajemen per komponen, 7) Uraian tugas setiap personel, 8) Uraian tanggung jawab dan kewenangan, 9) Pendapatan dan insentif karyawan / personel armada penangkapan ikan,
16 10) Fasilitas dan kemudahan untuk para karyawan, 11) Kualifikasi dan pengalaman personel yang ada, dan 12) Kualifikasi dan sumber personel yang akan direkrut. (8) Analisis kepekaan 1) Penurunan produksi (5–25%) tergantung pada pola musim ikan, kondisi fisik daerah penangkapan dan CPUE), dan 2) Penurunan harga produk (trend harga runtun tahun). Pilihan terhadap alternatif manajemen sangat bergantung pada kekhasan, situasi dan kondisi perikanan yang dikelola serta tujuan pengelolaan atau pembangunan perikanan. Meski demikian, setiap pilihan sebaiknya berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut (Nikijuluw 2002) : 1) Diterima nelayan, 2) Diimplementasi secara gradual, 3) Fleksibilitas, 4) Implementasinya didorong efisiensi dan inovasi, 5) Pengetahun yang sempurna tentang peraturan serta biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti peraturan tersebut, dan 6) Ada implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan.
2.2 Sumberdaya Ikan 2.2.1 Sifat sumberdaya ikan Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih atau dapat memperbaharui diri. Disamping sifat dapat memperbaharui diri, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain : (1) Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employement).
17 (2) Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights). Sifat-sifat sumberdaya seperti di atas menjadikan sumberdaya ikan bersifat
unik,
dan
setiap
orang
seakan-akan
mempunyai
hak
untuk
memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara. Dengan demikian, kondisi ini memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk dan mengambil manfaatnya. Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk, maka akan terjadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masingmasing orang atau perusahaan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut. Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus yang dimiliki oleh sumberdaya yang bersifat milik bersama tersebut. Ketiga sifat khusus tersebut adalah :
(1) Ekskludabilitas Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu. Upaya pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena sifat fisik sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas. Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain otoritas manajemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar. (2) Substraktabilitas Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya yang sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan
18 menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif. (3) Indivisibilitas Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara administratif pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas manajemen.
2.2.2 Pengelolaan sumberdaya ikan Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai
dari
pengumpulan
informasi,
analisis,
perencanaan,
konsultasi,
pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO 1995). Sementara Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk : (1) Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement). (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan. (3) Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut. Pengelolaan
sumberdaya
ikan
sendiri
pada
hakekatnya
mencari
kemungkinan tindakan yang tepat secara biologi disuatu sisi, dan kegiatan penangkapan ikan yang mampu memberikan keuntungan ekonomi disisi lain. Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya ikan haruslah mampu mencegah terjadinya konflik antara kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan untuk tujuan ekonomi termasuk adanya keadilan didalam distribusi manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya ikan tersebut, serta upaya konservasi sumberdaya ikan untuk kepentingan
generasi
mendatang.
Dalam
kaitan
ini,
Lawson
(1984)
mengemukakan adanya 4 (empat) strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu : (1) Mencegah terjadinya lebih tangkap (over exploitation), dengan melakukan pengendalian terhadap kegiatan penangkapan.
19 (2) Memperbaiki kualitas ikan yang akan dijual kepada konsumen, dengan jalan melakukan penanganan yang baik serta mengurangi kerusakan ikan setelah proses penangkapan. (3) Mengembangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan ini, seperti kegiatan budidaya. (4) Mengembangkan sistem pemasaran dengan berorientasi pada spesiesspesies yang dapat diterima oleh konsumen. Sementara Tai (1995) mengembangkan model sistem pengelolaan perikanan yang didasarkan pada 3 (tiga) komponen utama sebagai sub model, yaitu sub model biologi, sub model sosial dan ekonomi serta sub model manajemen. Ketiga komponen tersebut beserta parameter antaranya dapat dilihat melalui Gambar 3.
Gambar 3 Model sistem pengelolaan perikanan (Tai 1995).
20 Pada sub model biologi digambarkan dinamika populasi dalam perikanan, dan
berhubungan
erat
dengan
sub
model
ekonomi
melalui
kegiatan
penangkapan. Sementara sub model sosial-ekonomi menggambarkan adanya manfaat dan biaya didalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal ini, harga memainkan peranan penting didalam menentukan penerimaan dan keuntungan. Pada Gambar 3 juga dapat dilihat adanya hubungan antara sub model sosialekonomi dan manajemen melalui beberapa parameter seperti keuntungan sosial, konsumen surplus, pendapatan individu nelayan serta tenaga kerja yang terserap. Parameter-parameter ini dapat digunakan sebagai alat ukur untuk melihat dampak dari berbagai kebijakan pengelolaan perikanan yang ada. Disamping itu, hubungan juga digambarkan antara sub model manajemen dan biologi yang berkaitan dengan alternatif kebijakan dari upaya penangkapan. Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) disingkat dengan MSY. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Dengan kata lain, pendekatan yang dipergunakan dalam konsep ini hanya mempertimbangkan faktor biologi semata. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu tambahan individu ikan (recruitment), pertumbuhan individu ikan (growth) dan kematian ikan (mortalitas). Kematian ikan sendiri pada stok ikan yang diupayakan atau dieksploitasi, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu kematian ikan karena penangkapan (fishing mortality) dan kematian ikan secara alami (natural mortality).
21
Faktor penentu meningkatnya ukuran stok ikan
Faktor penentu meningkatnya ukuran stok ikan Fishing Mortality
Recruitmen
Growth
Exploited Stock Natural Mortality
feeding
reproduction
Gambar 4 Dinamika stok ikan yang dieksploitasi (Pauly 1984). Berdasarkan Gambar 4, dapat dijelaskan bahwa pada kondisi alami (stok ikan tidak diupayakan), pertumbuhan stok ikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ikan dan rekruitmen, serta dikurangi oleh mortalitas alami. Dalam hal ini, pertumbuhan dan rekruitmen stok ikan akan cenderung ke titik nol, dimana besarnya pertumbuhan dan rekruitmen stok ikan akan sama dengan jumlah ikan yang mati secara alami. Oleh karena itu, stok ikan disuatu perairan akan terkendali secara alami melalui interaksi antara faktor lingkungan dan karakteristik pertumbuhan ikan itu sendiri. Dengan kata lain, stok ikan secara alami akan cenderung stabil pada kondisi lingkungan tertentu, dengan ukuran stok ikan tertentu. Kecenderungan ini dikenal dengan gejala density-dependent process (Muhammad 2002). Perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh terhadap besarnya daya dukung (carrying capacity) perairan bagi sumber daya ikan. Dalam hal ini, perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh pada faktor biologi utama seperti tambahan individu ikan, pertumbuhan dan mortalitas. Secara biologis, pertumbuhan populasi ikan pada periode tertentu di suatu daerah terbatas, adalah merupakan fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Ini artinya perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode. Analisis ini didasarkan pada konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883, dan kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan yang bernama Schaefer pada tahun 1954. Penerapan konsep produksi kuadratik untuk perikanan ini menggambarkan hubungan linier antara produksi (yield) dengan
22 upaya (effort) yang kurvanya berbentuk simetris. Hubungan ini kemudian dikenal dengan Model Pertumbuhan Schaefer (Lawson 1984) atau disebut juga dengan kurva produksi lestari (Fauzi 2004), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Yield
MSY
Produksi lestari
hmsy
0
Emsy
Emax Upaya (effort)
Gambar 5 Model pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari). Gambar 5 menunjukkan bahwa pada kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan (tidak ada upaya), maka produksi ikan juga sama dengan nol. Akan tetapi apabila upaya ditingkatkan sampai mencapai titik E msy , maka akan diperoleh produksi yang maksimum atau lebih dikenal dengan sebutan MSY. Mengingat sifat dari kurva produksi lestari yang berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang dilakukan secara terus-menerus setelah melampaui titik MSY, tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Dengan kata lain, produksi akan turun kembali dan mencapai nol pada titik upaya maksimum (E max ). Pendekatan ini pula yang dipergunakan sebagai kriteria oleh Bailey et al., (1987) dan FAO (1995), didalam menentukan status pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu perairan dengan mengelompokkannya menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu : (1) Unexploited, Stok sumberdaya ikan berada pada posisi belum tereksploitasi, sehingga aktivitas penangkapan ikan sangat dianjurkan di perairan ini guna mendapatkan keuntungan dari produksi.
23 (2) Lightly exploited, Stok sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit (kurang dari 25 persen MSY). Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort-CPUE) masih memungkinkan meningkat. (3) Moderately exploited, Stok sumberdaya ikan sudah terekploitasi setengah dari MSY. Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan masih, dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, akan tetapi hasil tangkapan per unit upaya mungkin mulai menurun. (4) Fully exploited, Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Disini peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan, walaupun hasil tangkapan masih dapat meningkat. Peningkatan upaya penangkapan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, dan hasil tangkapan per unit upaya pasti menurun. (5) Over exploited, Stok sumberdaya ikan sudah menurun, karena terekploitasi melebihi nilai MSY. Pada kondisi ini, upaya penangkapan harus diturunkan agar kelestarian sumberdaya ikan tidak terganggu. (6) Depleted, Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan secara drastis, dan upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan. Hal ini berkaitan dengan sumberdaya ikan yang sudah terancam. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (sosial oriented). Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan MSY telah mendapat
24 tantangan cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan pendapatan dan bukan semata-mata untuk menghasilkan ikan (Widodo dan Nurhakim 2002). Dengan kata lain, pencapaian yield yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah pertambahan yang semakin berkurang (diminishing return) yang menunjukkan bahwa kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan effort (Lawson, 1984). Lebih lanjut Clark (1985) mengemukakan adanya beberapa kelemahan dalam pendekatan MSY antara lain : (1) Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok ikan yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion). (2) Didasarkan pada konsep keseimbangan semata, sehingga pendekatan ini tidak berlaku pada kondisi ketidakseimbangan. (3) Tidak memperhitungkan nilai ekonomis, apabila stok ikan tidak dipanen atau tidak diekploitasi. (4) Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya, dan (5) Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri jenis yang beragam (multi-species). Dengan memperhatikan adanya kelemahan-kelemahan tersebut, maka mulailah dikembangkan pendekatan ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan. Pendekatan ini berangkat dari pemikiran Gordon yang menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open acces, artinya siapa saja dapat berpartisipasi untuk memanfaatkannya tanpa perlu memilikinya. Kondisi ini cenderung menjadi tidak terkontrol, dan akan mengarah pada perikanan lebih tangkap baik secara biologi maupun ekonomi. Dalam pendekatannya, Gordon memanfaatkan kurva produksi lestari, dimana kurva pertumbuhan berada dalam kondisi keseimbangan jangka panjang. Dari sinilah selanjutnya dikenal teori Gordon-Schaefer, yang banyak dipergunakan oleh ahli perikanan didalam melakukan analisis pengelolaan sumberdaya ikan (Fauzi 2004). Pemikiran dengan memasukkan unsur ekonomi di dalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan sebutan MEY. Dalam
25 pendekatan ini dipergunakan beberapa asumsi (Andenson 1977; Lawson 1984; Fauzi 2002), yaitu : (1) Harga per satuan ikan (output) adalah konstan. (2) Biaya per satuan upaya dianggap konstan. (3) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species) (4) Struktur pasar bersifat kompetitif. (5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya). Selanjutnya secara lebih detail, pendekatan konsep ini dapat dilihat melalui Gambar 6.
Rp
Biaya, Penerimaan
MSY MEY
Total cost
π max
Total Revenue
0
Gambar 6
E3
E1
E2
Upaya (effort)
Model ekonomi statis pada perikanan (Lawson 1984; Cunningham SMRD and Whitmarsh D. 1985).
Dari Gambar 6, dapat dilihat bahwa kurva penerimaan total (total revenue) adalah sama dengan kurva produksi lestari, sebab harga ikan diasumsikan konstan dan penerimaan total akan ditentukan langsung oleh hasil tangkapan ikan. Kurva biaya total (total cost) berbentuk garis lurus, yang mengindikasikan bahwa besarnya biaya adalah meningkat secara proporsional dengan meningkatnya effort (Anderson 1977; Lawson 1984). Dengan demikian, keuntungan maksimum dari pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya tercapai sebelum tingkat produksi MSY yaitu pada tingkat penggunaan effort E 3 . Titik E 2 , dikenal dengan tingkat upaya penangkapan pada saat terjadinya
26 keseimbangan open-access (Open-Access Equilibrium). Dengan kata lain pada setiap effort yang lebih rendah dari E 2 , maka penerimaan total (total revenue) akan melebihi biaya total (total cost), sehingga pelaku penangkapan (nelayan) akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan mengakibatkan bertambahnya pelaku masuk ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat effort yang lebih tinggi dari E 2 , maka biaya total akan melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar dari perikanan. Hasil kompromi kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham et al. (1985). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian menjadi dasar didalam menetapkan total allowable catch (TAC). Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY, diantaranya adalah : (1) Berkurangnya resiko terjadinya depresi dari stok ikan. (2) Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar. (3) Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu. Dalam kegiatan perikanan yang bersifat open access dimana didalamnya terjadi persaingan sempurna serta industri perikanan berlangsung dalam jangka panjang (long run), maka keseimbangan open access menggambarkan bahwa seluruh usaha penangkapan ingin memaksimumkan keuntungannya dengan beroperasi pada tingkat dimana biaya marjinal (marginal cost) adalah sama dengan pendapatan rata-rata (average revenue). Ini juga berarti bahwa pada kondisi ini akan lebih banyak upaya penangkapan yang ingin masuk untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada. Disisi lain, tingkat produksi harus dipertahankan pada titik maximum sustainable yield, agar sumberdaya ikan yang ada terpelihara. Sementara titik maximum economic yield adalah perbedaan terbesar antara biaya total (total cost) dan pendapatan total (total revenue) yang diinginkan oleh masing-masingunit penangkapan. Dengan asumsi bahwa pemerintah sepenuhnya dapat mengendalikan kondisi lebih tangkap dan jumlah nelayan (upaya), maka menurut Lawson (1984) pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka
27 pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan dimaksud berkaitan dengan metoda pendekatan sebagai berikut : (1) Pengelolaan langsung Metoda ini pada hakekatnya adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan, dan bentuknya adalah berupa kebijakan-kebijakan sebagai berikut : 1) Pembatasan alat tangkap (restriction on gears) Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien. 2) Penutupan musim (closed season) Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yang umumnya dilakukan di Negara dimana sistem penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi spesies. Beddington and Ratting (1983) yang dikutip Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (i) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak. (ii) Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu, dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa memperbaiki populasinya. 3) Penutupan area (closed area) Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanen, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat
28 beberapa Negara menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu. 4) Kuota penangkapan Kebijakan ini pada dasarnya adalah pemberian hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu di perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada. Berdasarkan ketentuan ini, instansi pemerintah yang berwenang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan mengeluarkan hak kepada perusahaan atau industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (kuota). Hak kuota ini dapat berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (TAC), yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut pada hakekatnya juga dapat dialihkan atau ditransfer kepada nelayan lain. 5) Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umum yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka member kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya
serta kemungkinan
berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap. Penerapan kebijakan ini secara tunggal (tidak diikuti oleh kebijakan lain), akan mengakibatkan tidak terkontrolnya jumlah hasil tangkapan, karena jumlah kapal yang melakukan penangkapan tidak terkontrol. (2) Pengelolaan tidak langsung Disamping metode langsung sebagaimana telah dikemukakan diatas, pemerintah didalam mengelola sumberdaya perikanan dapat pula mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat tidak langsung. Kebijakan ini pada umumnya berkaitan erat dengan biaya dan harga, diantaranya adalah sebagai berikut : (i) Penetapan pajak dan subsidi
29 Penerapan pajak maupun subsidi pada hakekatnya adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah, dan akan berpengaruh pada struktur biaya produksi. Pencabutan atau penurunan pajak serta pemberian subsidi akan memberikan pengaruh pada semakin rendahnya biaya produksi, dan ini tentunya diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan pada tingkat produksi yang sama. Sebaliknya, pengenaan pajak serta pencabutan subsidi ini akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi, dan tentunya kondisi ini tidak menguntungkan bagi kesejahteraan nelayan, termasuk kelestarian sumberdaya perikanan. (ii) Strategi harga dan pemasaran Kebijakan ini adalah bentuk lain dari upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah
untuk
meningkatkan kesejahteraan
para
nelayan.
Sistem
pemasaran serta harga yang baik akan memberikan dampak peningkatan pada kesejahteraan nelayan, dan pada akhirnya diharapkan akan berdampak pula pada semakin ringannya tekanan terhadap sumberdaya ikan yang ada. Hal ini disebabkan oleh karena dengan strategi harga dan pemasaran yang tepat, maka nelayan akan memperoleh harga ikan yang optimal dan pada akhirnya akan memberikan pendapatan yang optimal pula. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, pemerintah mempunyai peranan sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun Undang-Undang No. 9 tahun 1985 tentang perikanan yang telah diamandemen melalui Undang-Undang No. 31 tahun 2004. Intinya adalah memberikan mandat kepada pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam, khususnya sumberdaya ikan untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan ini, menurut Nikijuluw (2002) diwujudkan dalam 3 (tiga) fungsi yaitu : (1) Fungsi alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk mengimbangi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. (2) Fungsi distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.
30 (3) Fungsi stabilisasi, diwujudkan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat. Di Indonesia pada dasarnya pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan masalah manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja atau lebih dikenal dengan sebutan nelayan. Kaiser
dan
Forsberg
(2001)
memberikan
beberapa
hal
yang
harus
dipertimbangkan didalam pengelolaan perikanan yaitu : (1) Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak. (2) Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua stakeholder. (3) Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. (4) Kebijakan harus mempertimbangkan aspek sosial, politik dan ekonomi. Cara pandang pengelolaan sumberdaya perikanan seperti ini pada hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat perikanan Indonesia. Hanya saja pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada pemerintah pusat (Government Based Management), walaupun sejak lahirnya UndangUndang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diperbaharui melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagian kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan telah diserahkan ke pemerintah daerah. Dalam pengelolaan seperti ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan. Sedangkan kelompok masyarakat pengguna hanya menerima informasi tentang produkproduk kebijakan dari pemerintah. Menurut Satria et al. (2002), pengelolaan perikanan seperti ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah : (1) Aturan-aturan
yang
dibuat
menjadi
kurang
terinternalisasi
didalam
masyarakat, sehingga menjadi sulit untuk ditegakkan. (2) Biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan adalah sangat besar, sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
31 Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikan/tahun atau sekitar 63,49% dari potensi lestari (Ditjen Perikanan Tangkap 2004). Ini artinya, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional melalui kegiatan usaha penangkapan ikan. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa wilayah pengelolaan perikanan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing), seperti halnya di perairan Selat Malaka dan perairan Laut Jawa. Di kedua perairan tersebut, terdapat beberapa kelompok ikan (ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil di Selat Malaka serta ikan demersal di Laut Jawa) yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya. Sementara di 7 (tujuh) zona penangkapan lainnya, sekalipun tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya secara keseluruhan masih berada dibawah potensi lestari, akan tetapi untuk beberapa kelompok ikan sudah berada pada posisi over fishing. Sebagai contoh, udang dan lobster di perairan Laut Cina Selatan, ikan demersal; udang dan cumi-cumi di perairan Selat Makasar dan Laut Flores. Oleh karena itu, pada beberapa perairan yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak collapse. Informasi yang berkaitan dengan potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia, telah dipublikasikan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut pada tahun 1998. Dalam publikasi tersebut, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 9 (Sembilan) zona atau wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Selat Malaka; Laut Cina Selatan; Laut Jawa; Selat Makassar dan Laut Flores; Laut Banda; Laut Seram dan Teluk Tomini; Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; Laut Arafura serta Samudera Hindia. Saat ini WPP RI telah mengalami perubahan menjadi 11 WPP meliputi WPP
571 yaitu Selat Malaka danLaut Andaman, WPP 572 yaitu Samudera
Hindia Sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda, WPP 573 yaitu Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa hingga Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat, WPP 711 yaitu Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selayan, WPP 712 yaitu Laut Jawa, WPP 713 yaitu Selat Makassar, Teluk
32 Bone, Laut Flores dan Laut Bali, WPP 714 yaitu Laut Banda, WPP 715 yaitu Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor , WPP 716 yaitu Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram, WPP 717 yaitu Laut Sulawesi dan Laut Halmahera dan WPP 718 yaitu Samudera Pasifik (www.brkp.dkp.go.id).
2.3 Upaya Penangkapan Upaya penangkapan ikan dalam kajian-kajian stok sumberdaya ikan sering diasumsikan mempunyai hubungan yang proporsional dengan mortalitas penangkapan ikan. Asumsi ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan jeli upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linier dengan laju tangkapan (Spare and Venema 1999). Selanjutnya dinyatakan bahwa pengukuran upaya penangkapan ikan di daerah tropis lebih rumit dibandingkan di daerah
temperate.
Banyaknya
jenis
dan
ukuran
alat
tangkap
yang
mengusahakan suatu jenis ikan (multigear) menyebabkan pembakuan suatu alat tangkap lebih rumit dan kompleks. Oleh karena perikanan sumberdaya semua orang bebas-masuk, dimana pengguna boleh masuk secara tak terbatas untuk bersaing yang bisa mengantarkan pada keadaan overfishing atau overeksploitasi dan penggunaan sumberdaya yang tidak efisien (Subade and Abdullah 1993). Oleh karena itu nelayan tidak mampu memaksimumkan keuntungannya sesuai dengan usaha penangkapan ikan yang dilakukannya (Panayotou 1982; Anderson 1977). Menurut Anderson (1977), hal ini disebabkan karena nelayan dalam perikanan yang bersifat akses terbuka akan tetap bertahan selama biaya rataratanya sama dengan pendapatan rata-rata. Secara industri, ini berarti bahwa keseimbangan akses terbuka dicapai dimana biaya total sama dengan penerimaan total. Perilaku industri seperti ini tidak berarti bahwa nelayan secara individu tidak ada yang mengalami keuntungan. Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, tentunya ada faktor lain yang harus diperhatikan yaitu pengendalian upaya penangkapan yang merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkaitan dengan pembatasan kapasitas penangkapan atau jumlah alat tangkap ikan. Tujuannya, meningkatkan hasil ikan yang ditangkap serta meningkatkan kinerja ekonomi
33 industri perikanan melalui pengurangan upaya atau kapasitas penangkapan ikan yang berlebihan (Nikijuluw 2002). Selanjutnya Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa kapasitas upaya penangkapan adalah suatu variabel yang keberadaannya ditentukan beberapa variabel lain; seperti ukuran mesin kapal, ukuran kapal, ukuran alat penangkapan dan teknologi alat bantu untuk mendeteksi, menemukan dan mengumpulkan ikan. Oleh karena itu, membatasi kapasitas upaya penangkapan harus dilakukan secara tidak langsung melalui pembatasan variabel-variabel penentu ini. Jika hanya salah satu variabel yang dibatasi, nelayan mungkin akan menggantinya dengan variabel yang tidak dibatasi. Akibatnya, kapasitas upaya penangkapan justru bertambah. Meskipun yang ideal adalah membatasi semua variabel penentu kapasitas upaya penangkapan, namun pada kenyataannya hal tersebut sulit dilaksanakan.
2.3.1 Upaya relatif Model perhitungan upaya relatif didasarkan pada nilai hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) dari satu jenis alat tangkap. Nilai ini akan digunakan sebagai pembandingan antar alat tangkap. Agar beberapa unit alat tangkap yang berbeda saling bersesuaian maka setiap unit harus dikonversikan ke dalam CPUE yang selanjutnya dikonversikan ke dalam CPUE relatif. Metode ini tidak memerlukan perbandingan langsung dari jenis-jenis kapal yang berbeda.
2.3.2 Daya tangkap relatif Metode yang lebih langsung untuk standardisasi upaya adalah yang diusulkan oleh Robson diacu dalam Gulland (1991). Metode ini bekerja berdasarkan
konsep
daya
tangkap
relatif.
Bila
dua
kapal
melakukan
penangkapan terhadap sumberdaya yang sama dan dalam kondisi yang sama, maka daya tangkap relatif merupakan perbandingan antara CPUE kapal A dan CPUE pada kapal B.
2.4 Surplus Produksi Pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah adalah suatu parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang
34 diproduksi ini diinginkan untuk mengganti biomassa yang hilang akibat kematian, karena faktor alami atau maupun penangkapan. Produksi yang berlebih dari kebutuhan penggantian dianggap sebagai surplus yang selanjutnya dapat di panen. Apabila kuantitas biomassa yang diambil persis sama dengan surplus yang diproduksi, maka perikanan tersebut berada dalam keadaan seimbang (Aziz, 1989). Coppola dan Pascoe (1996) menyatakan bahwa, parameter persamaan surplus produksi tersusun atas beberapa konstanta biologi, lingkungan dan teknologi yang kemudian digunakan untuk menduga konstanta persamaan surplus produksi. Pendugaan parameter tersebut dilakukan melalui model pendekatan yang paling tepat ”the best fit” dari keempat model yaitu Equilibrium Schaefer, Disequilibrium Schaefer, Schnute dan Walter-Hilborn. Untuk menjaga keseimbangan biologis ikan, maka usaha penangkapan ikan adalah menangkap surplus pertumbuhan ikan bukan menangkap populasi ikan. Dengan demikian tujuan penangkapan ikan adalah memaksimumkan pendapatan jangka panjang dengan tetap mempertahankan hasil maksimum lestari (Maksimum Sustainable Yield = MSY) dari perikanan (Schaefer 1954; Schaefer 1957; O’Rourke 1971 vide Soemokaryo (2001).
2.5 Komoditas Unggulan Penetapan komoditas unggulan merupakan langkah penting dalam upaya membangun sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai struktur yang kuat dan tangguh dalam bersaing. Struktur yang kuat dapat diperoleh melalui keterkaitan dengan sektor hulu, sedangkan keunggulan kompetitif harus dikembangkan berdasarkan keunggulan kompetitif. Suatu komoditas unggul mempunyai basis hulu yang kuat dan daya saing pasar tangguh. Dengan demikian
komoditas
unggulan
ditetapkan
berdasarkan
peluang
pasar
(permintaan) dan kemampuan produksi/penawaran (Bantacut et al. 1998). Secara umum, suatu komoditas dianggap unggul jika komoditas tersebut : (1) dapat dihasilkan (diproduksi) secara terus menerus (berkesinambungan) pada tingkat produktivitas dan mutu yang baik serta (2) diminta atau diserap oleh pasar pada jumlah dan tingkat harga yang wajar. Ini terdapat pada dua sisi yang harus dipertimbangkan dalam penetapan komoditas unggulan yaitu sisi
35 permintaan dan sisi penawaran (Sailah 1998). Pendekatan untuk penetapan komoditas dan agroindustri unggulan ditunjukkan pada Gambar 7. Sisi penawaran mencerminkan kemampuan
suatu wilayah untuk
menghasilkan komoditas tersebut. Kemampuan ini meliputi kemampuan SDM, tingkat penerapan teknologi (application of technology), karakteristik biofisik wilayah (competitive commodity characteristic) dan produktivitas (yield). Sedangkan sisi permintaan menggambarkan kemampuan pasar untuk menyerap produk perikanan yang diolah dari komoditas yang ditawarkan. Kemampuan ini meliputi volume permintaan dengan tingkat mutu yang disyaratkan, perkembangan harga, sistem tata niaga dan tingkat persaingan antara pelaku pasar. Hasil kajian dari sisi penawaran dan permintaan akan dihasilkan daftar komoditas unggulan dan daftar produk perikanan unggulan. Hal ini berarti bahwa komoditas dan produk tersebut mempunyai pasar (riil dan potensial) dan dapat dihasilkan
secara
berkesinambungan
pada
tingkat
produktivitas
yang
menguntungkan. Komoditas dari sisi penawaran unggul tetapi tidak diminati oleh pasar dapat dikelompokkan sebagai komoditas potensial. Demikian juga untuk komoditas dan produk yang diminati oleh pasar tetapi tidak dapat dihasilkan jika ditinjau dari karakteristik wilayah.
Sisi Penawaran
Sisi Permintaan
- SDM dan Teknologi - Karakteristik Biofisik Wilayah
Komoditas (Penawaran)
Pasar
Pendekatan Penawaran dan Permintaan
Komoditas (Permintaan)
Komoditas Unggulan
Komoditas Potensial
Agroindustri Potensial
Agroindustri Unggulan
Agroindustri (Penawaran)
Gambar 7
Pendekatan Penawaran dan Permintaan
Agroinduatri (Permintaan)
Pendekatan dalam penetapan komoditas dan agroindustri unggulan (Sailah 1998).
36 2.6 Armada Perikanan
2.6.1 Konsep Suatu armada merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Ditjen Perikanan Tangkap 2002), dengan kata lain armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Monintja (2000) menyatakan armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan, yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Ditjen Perikanan Tangkap (2002) mendefinisikan unit penangkapan merupakan kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang biasa terdiri dari perahu/kapal penangkap dan alat penangkap yang digunakan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan
ikan,
pembudidayaan
ikan,
pengangkutan
ikan,
pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Strategi pengelolaan perikanan yang memperhatikan armada perikanan sebagai faktor input adalah (Cochrane 2002) : (1) Pembatasan jumlah dan ukuran armada perikanan tangkap (fishing capacity controls) (2) Jumlah trip penangkapan ikan (fishing usage controls)
(3) Kapasitas produksi yang digunakan (fishing effort controls)
2.6.2
Klasifikasi Menurut Ditjen Perikanan Tangkap (2002) bahwa secara umum di
Indonesia perahu atau kapal penangkap diklasifikasikan sebagai berikut : (1) Perahu tidak bermotor 1) Jukung 2) Perahu ((kecil (panjangnya kurang dari 7 m), sedang (panjangnya 7-10 m), besar (panjangnya 10 m atau lebih)) (2) Perahu motor tempel (3) Kapal motor Kurang dari 5 GT, 5-10 GT, 10-20 GT, 20-30 GT, 30-50 GT, 50-100 GT, 100200 GT dan 200 GT lebih.
37 Tipe kapal ikan secara umum terdiri dari 2 (dua) kelompok tipe yaitu : (1) Tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap pancing. (2) Tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap jaring/net. Pengklasifikasian perikanan yang selektif di Indonesia terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu (Ditjen Perikanan Tangkap 2002) : (1) Perikanan skala kecil Menggunakan mesin luar < 10 HP atau < 5 GT (daerah operasinya pada zona I atau jalur I yaitu 4 mil dari garis pantai dan yang menggunakan mesin luar < 50 HP atau < 25 GT dengan jalur operasinya pada zona II atau jalur II yaitu 4-8 mil dari garis pantai. (2) Perikanan skala besar Merupakan perikanan skala industri yang menggunakan mesin dalam dengan kekuatan < 200 HP atau 100 GT dan jalur operasinya pada jalur 3 dan 4 (8-12 mil dan atau > 12 mil).
2.6.3
Nelayan Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkapan dikategorikan nelayan meskipun tidak melakukan aktivitas penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap 2002). Dalam Undang-Undang
Perikanan
Nomor
31
Tahun
2004
tentang
Perikanan
mendefinisikan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Pada dasarnya penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang yaitu : (1) Dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan lain), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. (2) Ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan besar merupakan nelayan yang menginvestasikan jumlah modalnya dalam
38 usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. (3) Dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi dalam nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Secara resmi di Indonesia berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasional penangkapan ikan, nelayan diklasifikasikan ke dalam (DJPT 2002) : (1) Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. (2) Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain. (3) Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.
2.7 Pendekatan Sistem Sistem didefinisikan sebagai seperangkat elemen atau sekumpulan entity yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Manetsch and Park 1977). Sistem dapat merupakan suatu proses yang sangat rumit yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat. Menurut Eriyatno (2003) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Pada dasarnya ada dua sifat dari sistem, yaitu berkaitan dengan aspek perilaku dan aspek struktur, sehingga permasalahan yang berkaitan dengan sistem akan menyangkut pada perilaku sistem dan struktur sistem. Perilaku sistem berkaitan dengan input dan output, dan struktur sistem berkaitan dengan susunan dari rangkaian di antara elemen-elemen sistem. Pola pikir kesisteman merupakan pendekatan ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya. Sistem adalah sekumpulan entiti atau komponen yang saling
39 berhubungan dan terorganisasi membentuk satu kesatuan untuk mencapai suatu atau kelompok tujuan (Manetsch and Park 1977). Selanjutnya sistem diartikan sebagai totalitas hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimentional terutama dimensi ruang dan waktu (Eriyatno 1996). Pendekatan sistem adalah metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajian harus memiliki karakteristik : (1) kompleks, (2) dinamis dan (3) probabilistik. Terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu : (1) sibemetik (cybemetic), artinya berorientasi kepada tujuan, dan (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem. Jika diklasifikasikan masalah sistem secara garis besarnya ada tiga (Gaspersz 1992), yaitu : (1) Untuk sistem yang belum ada, strukturnya dirancang untuk merealisasikan rancangan yang memiliki perilaku sesuai dengan yang diharapkan; (2) Untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan atau hanya sebagai suatu rancangan) dan strukturnya diketahui, maka prilaku ditentukan pada basis dari struktur yang diketahui itu (persoalan analisis sistem); dan (3) Untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan) tetapi tidak mengenalnya serta
strukturnya
tidak
dapat
ditentukan
secara
langsung,
maka
permasalahannya adalah mengetahui perilaku dari sistem itu serta strukturnya (persoalan black box/kotak hitam). Menurut Eriyatno (2003) dalam transformasi input menjadi output, perlu dibedakan antara elemen (entity) dari suatu sistem dengan sub sistem dari sistem itu sendiri. Sub sistem dikelompokkan dari bagian sistem yang masih berhubungan satu dengan lainnya pada tingkat resolusi yang tertinggi, sedangkan elemen dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi yang rendah. Masing-masing sub sistem saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antara sub sistem (disebut juga interface) terjadi karena output dari suatu sistem dapat menjadi input dari sistem lain. Jika interface antara sub sistem terganggu maka proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu juga sehingga akan menghasilkan bias pada tujuan yang hendak dicapai.
40 Proses transformasi yang dilakukan oleh suatu elemen dalam sistem dapat berupa fungsi matematik, operasi logik, dan proses operasi yang dalam ilmu sistem dikenal dengan konsep kotak gelap (black box). Kotak gelap adalah sebuah sistem dari rincian tidak terhingga yang mencakup struktur-struktur terkecil paling mikro. Dengan demikian karakter kotak gelap adalah behavioristic (tinjauan sikap). Kotak gelap digunakan untuk mengobservasi apa yang terjadi, bukan mengetahui tentang bagaimana transformasi terjadi. Untuk mengetahui transformasi yang terjadi dalam kotak gelap dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu : (1) spesifikasi; (2) analog, kesepadanan dan modifikasi; dan (3) observasi dan percobaan (Eriyatno 2003).
2.8 Kebijakan Pembangunan Perikanan Pada dasarnya kebijakan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu kebijakan privat dan kebijakan publik (Simatupang, 2001). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat (individu maupun lembaga swasta). Berangkat dari pemahaman di atas, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan ke dalam kebijakan publik, yaitu semua keputusan
dan
tindakan
pemerintah
untuk
mengarahkan,
mendorong,
mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan, guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan perikanan termasuk didalamnya pembangunan perikanan tangkap, merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam pembangunan perikanan, keberadaan sumberdaya ikan menjadi sangat penting, karena sumberdaya lingkungan dan sumberdaya buatan manusia termasuk manusianya merupakan unsur-unsur yang ada dalam sumberdaya perikanan. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan serta pengelolaan kegiatan manusia (Nikijuluw 2002). Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa, upaya mengelola sumberdaya perikanan pada dasarnya secara implisit merupakan tindakan menyusun langkah-langkah untuk membangun perikanan.
41 Hal ini pula yang menyebabkan, sering kali tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan sama dengan tujuan pembangunan perikanan. Tujuan pembangunan perikanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Repubik Indonesia No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, adalah sebagai berikut : (1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. (2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara. (3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja. (4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani. (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan. (6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing. (7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. (8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal. (9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, kebijakan pembangunan perikanan Indonesia ke depan lebih ditekankan pada pengendalian perikanan tangkap, pengembangan budidaya perikanan dan peningkatan nilai tambah melalui perbaikan mutu dan pengembangan produk yang mengarah pada pengembangan industri kelautan dan perikanan yang terpadu berbasis masyarakat. Strategi yang ditempuh adalah melalui peningkatan daya saing komoditas perikanan yang didukung dengan peningkatan sumberdaya manusia serta pemberian akses dan kesempatan yang sama pada seluruh perilaku usaha di bidang perikanan, sehingga mampu menghadapi persaingan global di tengah peningkatan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan berbagai dimensi. Berkaitan dengan uraian diatas, maka telah dirumuskan strategi kebijakan pembangunan perikanan tangkap sebagaimana tercantum dalam dokumen program jangka pendek dan program strategis perikanan tangkap 2006-2009 (DJPT 2006). Adapun kebijakan pembangunan yang dijalankan lebih diarahkan pada upaya-upaya sebagai berikut : (1) Menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri perikanan nasional.
42 (2) Rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap, dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada nelayan lokal dan perusahaan nasional. (3) Penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan. (4) Mendorong Pemerintah Daerah untuk pro aktif mengoptimalkan seluruh potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkesinambungan. (5) Rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah yang terkena bencana alam. Kelima arah kebijakan pembangunan perikanan tangkap tersebut pada hakekatnya mempunyai 4 (empat) tujuan utama, yaitu : (1) Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan, guna menyediakan ikan untuk konsumsi dalam negeri dan bahan baku industri. (2) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. (3) Meningkatkan lapangan kerja. (4) Meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perikanan nasional.
2.9 Analisis Kebijakan Pengembangan Berkelanjutan 2.9.1 Analisis kebijakan pengembangan Analisis pengembangan adalah analisis yang disusun berdasarkan analisis-analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam analisis pengembangan ini akan terlihat sejumlah alternatif yang ditawarkan dan dipilih mana saja yang memungkinkan untuk dikembangkan (Rumajar et al. 2002). Proses pengambilan keputusan atau pemilikan alternatif kebijakan dalam suatu proses pengembangan digunakan metode Analitical Hierarchi Process (AHP). AHP merupakan suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik perbandingan pasangan yang diskrit maupun kontinyu (Mulyono 1996). AHP merupakan suatu metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam perancangan terhadap suatu masalah. Metode menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan pertimbanganpertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. AHP dapat berfungsi
43 dengan baik selama pemakai memiliki pemahaman yang baik mengenai masalah yang dihadapi. Selanjutnya dinyatakan bahwa, kekuatan AHP terletak pada struktur hierarki yang memungkinkan memasukkannya semua faktor penting dan mengaturnya sampai ke tingkat alternatif. Setiap masalah dapat dirumuskan sebagai keputusan berbentuk hierarki, kadang-kadang dengan ketergantungan untuk mewujudkan bahwa beberapa elemen bergantung pada yang lain dan pada saat yang sama elemen yang lain bergantung padanya. Elemen pada setiap tingkat digunakan sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemenelemen yang berada setingkat di bawahnya (Saaty 1993). Selanjutnya Saaty (1993)
menyatakan pula bahwa, AHP memberikan
kerangka yang memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif untuk persoalan yang kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat pengambilan keputusan. Pada dasarnya, metode AHP memecah suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensitesa berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas relatif yang lebih tinggi. Penetapan prioritas berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Langkah pertama untuk menyusun prioritas adalah membandingkan kepentingan relatif dari masing-masing unsur dan menduga prioritas untuk subfaktornya.
Sintesis
prioritas
dilakukan
untuk
mendapatkan
prioritas
menyeluruh subsektor dan langkah berikutnya adalah melakukan perhitungan menyeluruh untuk masing-masing faktor (Mulyono 1996).
2.9.2 Pengembangan perikanan berkelanjutan Pengembangan
berkelanjutan
dapat
juga
diartikan
sebagai
laju
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tidak melampaui kemampuan pulih dan resultan dampak negatif yang ditimbulkan tidak melebihi kemampuan kawasan pesisir/laut untuk menetralisirnya (Dahuri 2000). Pengembangan perikanan tangkap juga tidak terlepas dari lingkungan dan penggunaan teknologi alat tangkap yang berwawasan lingkungan. Menurut Martasuganda (2002) bahwa lingkungan adalah ”lingkungan hidup” dimana arti
44 dari lingkungan hidup itu sendiri adalah ”kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya”, sedangkan yang dimaksud dengan teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap untuk mengelola sumberdaya secara
bijaksana
dalam
pembangunan
yang
berkesinambungan
untuk
meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup. Fauzi dan Anna (2002) menyatakan bahwa pendekatan MSY dalam mengevaluasi
pemanfaatan
sumberdaya
secara
berkelanjutan
masih
menghadapi banyak keterbatasan, namun dapat dipakai sebagai indikator dari status sumberdaya dan signal early warning bagi terlampaunya tingkat ekstraksi dari yang seharusnya. Selanjutnya juga dikatakan bahwa walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan mulai dipahami, namun sampai saat ini masih menghadapi kesulitan dalam
mengevaluasi
keberlanjutan
pembangunan
perikanan
itu
sendiri.
Khususnya ketika kita dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi
dari
keseluruhan
aspek
yang
mempengaruhi
keberlanjutan
sumberdaya perikanan tersebut, baik aspek ekologi, sosial, ekonomi maupun etik secara holistik (Fauzi dan Anna 2002). Suatu kawasan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan serta menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim
antar
sektor
yang
dapat
mengakibatkan
kehancuran
produksi.
Pembangunan perikanan secara ekologis manakala basis ketersediaan stok sumberdayanya dapat dipulihkan secara stabil dan tidak terjadi eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pembangunan perikanan secara sosial berkelanjutan apabila seluruh kebutuhan dasar bagi semua
penduduk
terpenuhi,
terjadi
distribusi
pendapatan,
tumbuhnya
kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender, dan akuntabilitas serta partisipasi politik (Dahuri, 2002). Muhammad (2002) juga menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan didasarkan pada tingkat ekologi (ecological sustainability) dan keberlanjutan sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability).
45 Keberlanjutan ekologi didasarkan pada upaya memelihara keberlanjutan biologi cadangan ikan (biomassa) sehingga tidak melewati daya dukungnya, yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan pada tingkat Total Allowable Catch (TAC) sebesar 80 % dari MSY. Keberlanjutan sosio-ekonomi didasarkan pada keberlanjutan ekonomi dengan memperhatikan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat ekonomi rumah tangga nelayan. Kegiatan produksi untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan memiliki tiga komponen yaitu (1) komponen biologis, (2) pengelolaan sumberdaya dan (3) sosial-ekonomi perikanan. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Komponen biologis menjelaskan dinamika stok ikan, komponen pengelolaan sumberdaya menjelaskan dinamika kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pengaturan armada penangkapan ikan (fishing effort) dan komponen sosial-ekonomi menjelaskan dinamika biaya dan keuntungan juragan pemilik aset dan pendapatan ABK (anak buah kapal) dalam operasi penangkapan ikan. Kalau ketiga komponen tersebut dapat terkontrol dengan baik, maka pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan secara berkelanjutan (Fauzi dan Anna 2002).
2.10 Kerangka Kerja Kelembagaan Lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga mewarnai perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat otonomi, yang terkandung dalam undangundang tersebut melalui desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom. Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut, wilayah otonom dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota memiliki otonomi dalam pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dan 1/3-nya merupakan kewenangan kabupaten/kota (Pasal 3). Kewenangan pengelolaan bagi daerah otonom di wilayah laut tersebut lebih lanjut diuraikan dalam Pasal 10 Ayat 2, yang meliputi (Darmawan 2002) : (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 12 mil laut, (2) Pengaturan kepentingan administratif, (3) Pengaturan tata ruang,
46 (4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) Bantuan penegakkan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut. Implikasi dari UU No. 22 Tahun 1999 terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonom menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumber daya alam pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah
berlomba-lomba
mengeksploitasi
sumberdaya
pesisir
tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (Darmawan 2002). Menurut Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995), Pasal 10-integrasi perikanan ke dalam pengelolaan wilayah pesisir mengenai kerangka kerja kelembagaan terdiri dari : (1) Negara-negara harus menjamin suatu kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan yang tepat, diadopsi untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya
yang
lestari
dan
terpadu
dengan
memperhatikan
kerentanan ekosistem pesisir dan sifat terbatasnya sumber daya alamnya serta keperluan komunitas pesisir, (2) Mengingat sifat multiguna kawasan pesisir, negara harus memastikan bahwa wakil sektor perikanan dan komunitas penangkapan dimintakan pendapat dalam proses pengambilan keputusan dan dilibatkan dalam kegiatan lainnya yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan dan pembangunan kawasan pesisir, (3) Negara-negara harus mengembangkan kerangka kelembagaan dan hukum seperlunya dalam rangka menetapkan pemanfaatan yang mungkin menyangkut sumberdaya pesisir dan mengatur akses ke sumber daya tersebut dengan memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktek turun temurun yang serasi dengan pembangunan yang berkelanjutan,
47 (4) Negara-negara harus memberikan kemudahan pengadopsian praktek perikanan yang menghindari sengketa di antara para pengguna sumberdaya perikanan dan di antara mereka serta para pengguna lainnya dari kawasan pesisir, dan (5) Negara-negara harus menggiatkan penetapan prosedur dan mekanisme pada tingkat administratif yang tepat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam lingkup sektor perikanan dan di antara para pengguna sumberdaya perikanan dengan para pengguna kawasan pesisir lainnya.
3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan tepatnya di Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komiring Ilir pada bulan Februari 2006 s/d Juli 2008. Pengambilan data dilakukan dalam beberapa tahapan sehingga didapatkan data yang lengkap. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8.
Laut Cina Selatan
Sembilang
Sungsang
Sungai Lumpur
Gambar 8 Lokasi penelitian.
3.2 Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan serta wawancara dengan nelayan, pengumpul ikan, perusahan-perusahan, pemerintah sebagai pengambil kebijakan serta pihak terkait lainnya.
Data sekunder
diperoleh dari data-data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan, BPS dan Instansi-instansi terkait lainnya. Jenis dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 1.
50 Tabel 1 Jenis, sumber dan metode pengumpulan data penelitian Sumber /Metode Pengumpulan Data No
Jenis data
1.
Produksi dan upaya perikanan tangkap
2.
Jumlah dan jenis alat tangkap serta armada penangkapan
3.
Pengamatan langsung
Data sekunder
Wawancara
BPS, Statistik Perikanan
Wawancara dengan nelayan dan petugas pangkalan pendaratan ikan
Pengamatan langsung di DPI dan pangkalan pendaratan ikan
BPS, Statistik perikanan
Wawancara dengan nelayan dan petugas pangkalan pendaratan ikan
Jenis komoditi perikanan
Pengamatan di TPI dan pengumpul ikan
BPS, Statistik Perikanan
Wawancara dengan nelayan, pedagang dan pengumpul ikan
4.
Sarana dan prasarana perikanan
Pengamatan di pangkalan pendaratan ikan
Data Dinas Kelautan dan Perikanan
Wawancara dengan nelayan, pedagang, pengumpul ikan,
5.
Faktor internal dan eksternal (SWOT)
Pengamatan di lokasi DPI, ekosistem perairan,
Kajian terkait, laporan dinas, Renstra Sumatera Selatan,
Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, masyarakat
6.
Wawancara terstruktur (AHP)
Wawancara dengan informan kunci (Stakeholders) yang memiliki kemampuan di bidangnya
Data produksi dan upaya penangkapan digunakan untuk menentukan jenis komoditas unggulan dan mengestimasi potensi sumberdaya yang tersedia. Untuk memperoleh data tersebut maka dilakukan telaah pustaka dari berbagai sumber laporan baik BPS maupun Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan secara runut (time series). Selain itu, dilakukan pula wawancara dengan nelayan dan petugas pencatatan data untuk memvalidasi kesahihan data yang diperoleh. Begitu pula dengan jenis dan jumlah armada penangkapan yang saat ini ada di Provinsi Sumatera Selatan.
Data armada perikanan diambil dari berbagai
laporan terkait serta pengukuran langsung untuk dimensi kapal penangkap ikan. Untuk mendapatkan jenis komoditi unggulan perikanan, dilakukan penelaahan data baik dari data sekunder berupa statistik maupun data primer melalui wawancara dengan nelayan.
Sementara itu, kondisi dan kebutuhan
sarana prasarana perikanan diperoleh melalui observasi lapangan dan
51 wawancara mendalam dengan stakeholders terkait baik dari DKP maupun BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, dilakukan pula penjaringan opini dari nelayan dan masyarakat sebagai aktor dalam kegiatan perikanan. Faktor pendukung untuk kebutuhan analisis strategi dan kebijakan perikanan diperoleh melalui observasi lapang, telaah pustaka dan wawancara terstruktur dengan informan ahli. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan mewakili kondisi sebenarnya sehingga strategi dan kebijakan sebagai hasil penelitian ini menjadi rekomendasi yang dapat digunakan oleh instansi terkait dalam merumuskan rencana pengembangan kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan.
3.3 Analisis Data 3.3.1
Analisis potensi sumberdaya ikan
3.3.1.1 Metode produksi surplus Keanekaragaman jenis alat tangkap yang digunakan di suatu perairan memungkinkan suatu spesies ikan tertangkap pada beberapa jenis alat tangkap. Gulland (1983), menyatakan jika di suatu daerah perairan terdapat berbagai jenis alat tangkap yang dipakai, maka salah satu alat tersebut dapat dipakai sebagai alat
tangkap
standar,
sedangkan
alat
tangkap
yang
lainnya
dapat
distandarisasikan terhadap alat tangkap tersebut. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks (FPI) = 1 (Tampubolon dan Sutedjo 1983). Jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung nilai FPI dengan membagi nilai catch per unit effort (CPUE) dengan CPUE alat tangkap standard. Nilai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya standard yaitu dengan mengalikan nilai FPI dengan upaya penangkapan jenis alat tangkap yang dianalisis.
CPUE s =
Cs Fs
CPUEi =
Ci Fi
FPI s =
CPUE s =1 CPUE s
52
FPI i =
CPUEi .............................................................................. (1) CPUE s
Untuk alat tangkap lainnya menggunakan persamaan berikut. Standard Effort = Σ FPI i x Σ E .............................................................. (2) dimana : CPUE s CPUE i E Cs Ci Fs Fi FPI s FPI i
= Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar = Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i = Upaya dengan alat tangkap i = Jumlah tangkapan jenis alat tangkap standar = Jumlah tangkapan jenis alat tangkap i = Jumlah upaya jenis alat tangkap standar = Jumlah upaya jenis alat tangkap i = Faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar = Faktor daya tangkap jenis alat tangkap i
Salah satu metode pendugaan stok ikan adalah metode surplus produksi. Metode ini digunakan dalam perhitungan potensi lestari maksimum (MSY) dan upaya penangkapan optimum dengan cara menganalisis hubungan upaya penangkapan (E) dengan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). Data yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah data hasil tangkapan dan upaya penangkapan dari statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2001 sampai dengan 2007. Analisis data digunakan pendekatan model Schaefer. Berdasarkan parameter-parameter model surplus produksi yang diperoleh, kemudian dilakukan penyusunan fungsi produksi. Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan adalah : C = aE – bE2 ....................................................................................... (3) Hubungan antara Catch Per Unit Effort (CPUE) dengan upaya penangkapan adalah : CPUE = a – bE ................................................................................... (4) Perhitungan upaya penangkapan optimum (Eopt) dilakukan dengan menurunkan persamaan (3) sama dengan 0 (nol).
dC = a − 2 E ......................................................................................... (5) dE 0 = a – 2bE a = 2bE
53 Fopt = a/2b Potensi lestari (MSY) diperoleh dengan memasukan persamaan (5) ke persamaan (3) sehingga kondisi MSY adalah : MSY = a(a/2b) – b(a2/4b2) MSY = a2/2b – ba2/4b2 MSY = 2a2/4b – a2/4b MSY = a2/4b ........................................................................................ (6) dengan : a = konstanta, intersep (titik perpotongan garis regresi dengan sumbu y) b = slope (kemiringan dari garis regresi) c = catch per unit effort MSY = maximum sustainable yield (potensi lestari)
3.3.2
Determinasi usaha perikanan tangkap Tujuan determinasi unit penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan
jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, ekonomi dan sosial sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1988) mengemukakan bahwa untuk melakukan determinasi unit usaha perikanan tangkap digunakan model skoring yang meliputi : (1) Analisis aspek biologi yakni ditetapkan beberapa kriteria : Lama waktu musim penangkapan ikan, lama waktu musim ikan dengan melihat jumlah, bulan musim ikan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan, dan selektifitas alat tangkap. Lama waktu musim ikan dan lama waktu penangkapan ikan diberi nilai prioritas mulai dari 1-4. Alat tangkap yang memiliki waktu musim ikan dan lama waktu penangkapan paling lama diberi skor (nilai) 1, semakin pendek waktunya maka nilai skornya semakin besar (4).
Nilai selektivitas dilihat dari ukuran mesh size yang
digunakan. Nilainya berada pada kisaran 1-4. Semakin besar ukuran mesh size yang digunakan maka skornya semakin tinggi (4). (2) Analisis aspek teknis mencakup : produksi per tahun, produksi per trip, produksi per jam operasi, produksi pertenaga kerja dan produksi pertenaga penggerak kapal. Penilaian terhadap kriteria aspek teknis dilakukan dengan melihat jumlah produksi pada setiap kriteria dari setiap
54 unit penangkapan. Semakin besar nilai produksi untuk masing-masing kriteria, maka nilai skornya semakin besar. (3) Analisis aspek ekonomi dapat dijabarkan menjadi aspek ekonomi dan finansial. Aspek ekonomi meliputi : penerimaan kotor pertahun, penerimaan kotor per trip, penerimaan kotor per jam operasi, penerimaan kotor pertenaga kerja dan penerimaan kotor per tenaga penggerak kapal. Penilaian terhadap kriteria efisiensi usaha dilakukan dengan melihat penerimaan pada setiap kriteria dari setiap unit penangkapan. Kriteria finansial meliputi nilai net present value (NPV), nilai benefit cost ratio (Net B/C) dan nilai internal rate of return (IRR). Untuk kriteria penerimaan, semakin besar penerimaan yang diperoleh maka urutan prioritasnya semakin tinggi.
Begitu pula dengan krietria investasi, semakin besar
nilainya maka urutan prioritasnya semakin tinggi. (4) Analisis aspek sosial meliputi : penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan
atau
jumlah
tenaga
kerja
per
unit
penangkapan,
penerimaan nelayan per unit penangkapan atau penerimaan nelayan yang diperoleh dari hasil perhitungan yaitu hasil bagi antara sistem bagi hasil dengan jumlah nelayan per unit penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit penangkapan ikan oleh nelayan yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun dibagi investasi dari setiap unit penangkapan.
Semakin besar nilainya, maka urutan prioritas sebagai
fungsi nilainya semakin tinggi. Metode skoring dapat digunakan untuk penilaian kriteria yang mempunyai satuan berbeda. Skoring diberikan kepada nilai terendah sampai nilai tertinggi. Untuk menilai semua kriteria atau aspek digunakan nilai tukar, sehingga semua nilai mempunyai standar yang sama. Unit usaha yang memperoleh nilai tertinggi berarti lebih baik daripada yang lain demikian pula sebaliknya. Untuk menghindari pertukaran yang terlalu banyak, maka digunakan fungsi nilai yang menggambarkan preferensi pengambil keputusan dalam menghadapi kriteria majemuk. Standardisasi dengan fungsi nilai dapat dilakukan dengan menggunakan rumus dari Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) sebagai berikut : V (X) =
X − X0 ...................................................................... (7) X1 − X 0
55 n
V (A) =
∑Vi( Xi )
i = 1, 2, 3,…, n .......................................... (8)
i =1
dengan : V (X) X X1 X0 V (A) Vi (Xi)
= Fungsi nilai dari variabel X = Nilai variabel X = Nilai tertinggi pada kriteria X = Nilai terendah pada kriteria X = Fungsi nilai dari alternatif A = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i
Karena V adalah fungsi yang mencerminkan preferensi pengambil keputusan, maka alternatif yang terbaik adalah alternatif yang memberikan nilai V (X) tertinggi merupakan alat tangkap ikan yang terpilih untuk dikembangkan diperairan Sumatera Selatan.
3.3.3
Analisis kriteria ekonomi dan Finansial
3.3.3.1 Kriteria ekonomi 1) Modal Investasi Investasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh investor untuk membeli barang-barang yang diperlukan dalam melaksanakan suatu unit usaha. Modal investasi yang diperlukan untuk melaksanakan usaha penangkapan di Sumatera Selatan dengan menggunakan 8 jenis alat tangkap memiliki nilai yang berbeda. Penentuan prioritas unit penangkapan dengan menggunakan nilai investasi didasarkan pada nilai investasi terendah. Dengan demikian unit penangkapan yang memberikan nilai investasi terendah merupakan unit penangkapan yang terbaik. 2) Biaya Usaha Biaya usaha merupakan pengeluaran usaha yang digunakan untuk keperluan kegiatan penangkapan ikan, umumnya dihitung selama satu tahun. Biaya ini terbagi menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap tidak tergantung pada perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan tingkat pengeluaran atau produk dalam interval waktu tertentu.
Biaya tersebut harus tetap dikeluarkan sekalipun kegiatan operasi
penangkapan tidak dilakukan.
Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang
jumlahnya mengalami perubahan sesuai dengan tingkat produksi yang dilakukan (Soeharto 1999).
56 Kriteria kedua yang digunakan adalah biaya usaha. Sama halnya dengan nilai investasi, penentuan prioritas ditentukan berdasarkan nilai biaya terendah yang dikeluarkan oleh suatu unit penangkapan. 3) Revenue and Cost Rasio (R/C) R/C digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil usaha penangkapan dalam priode waktu tertentu cukup menguntungkan atau tidak. nilai R/C diperoleh dengan cara membandingkan penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan dalam waktu satu tahun, usaha dikatakan untung apabila nilai R/C >1 (Soeharto 1999). Berbeda dengan dua kriteria sebelumnya, nilai prioritas yang didasarkan pada kriteria keuntungan ditentukan berdasarkan nilai keuntungan terbesar. Semakin besar keuntungan maka semakin tinggi prioritas dari suatu alat tangkap. Prioritas usaha penangkapan ikan berdasarkan nilai R/C ditentukan dengan melihat nilai R/C terbesar.
Semakin besar nilai R/C maka prioritas
pengembangan unit penangkapan semakin baik. 4) Payback Periode (PP) Merupakan periode waktu yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran biaya investasi dengan menggunakan aliran kas dalam satu bulan atau satu tahun. Rumus yang digunakan untuk menghitung PP adalah sebagai berikut (Soeharto 1999):
PeriodePengembalian = Cf / A Keterangan : Cf
= Biaya pertama
A
= Aliran kas bersih (netto) per tahun
Nilai payback periode usahan perikanan tangkap di Sumatera Selatan berbeda setiap alat tangkap, semakin besar nilai payback periode semakin besar prioritas unit penangkapan tersebut.
5) Break Event Point (BEP) Merupakan titik dimana usaha mengalami titik impas (tidak untung atau rugi). Dengan asumsi bahwa harga penjualan per unit produksi adalah konstan maka jumlah unit pada titik impas dihitung sebagai berikut (Soeharto 1999):
Qi =
FC P − VC
57 Keterangan : Qi
= Jumlah unit (volume) yang dihasilkan dan terjual pada titik Impas
FC
= Biaya tetap
P
= Harga penjualan per unit
VC
= Biaya tidak tetap per unit
3.3.3.2 Kriteria investasi Analisis kriteria investasi digunakan untuk membuat keputusan apakah suatu kegiatan/proyek dapat atau tidak untuk dijalankan serta digunakan untuk menilai dan mengevaluasi kegiatan tersebut. Analisis
ini
juga digunakan
untuk
mengetahui manfaat secara ekonomi maupun finansial dari suatu kredit. Analisis kriteria investasi usaha unit penangkapan ikan di Sumatera Selatan meliputi Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Internal Rate of Return (IRR). 1) Net Present Value (NPV) Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan jumlah nilai sekarang (present value) dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam satuan rupiah. Rumus persamaan NPV adalah (Soeharto 1999): n
NPV = ∑ t =1
Bt − Ct − K t (1 + i)t
Nilai NPV merupakan nilai tambah yang diperoleh di akhir tahun proyek pada suku bunga tertentu. Semakin besar nilai NPV suatu usaha mengindikasikan besarnya nilai manfaat yang didapatkan oleh unit usaha tersebut. 2) Analisis Rasio Biaya dan Manfaat (B/C Ratio) Analisis Rasio Biaya dan Manfaat merupakan salah satu analisis untuk menilai kelayakan sebuah investasi yang ditanamkan baik secara ekonomi maupun
secara
finansial.
Rasio
Biaya
dan Manfaat
merupakan
perbandingan di mana pembilang terdiri dari nilai manfaat total yang sudah didiskon dengan tingkat diskon (discount rate) tertentu, sedangkan sebagai penyebut adalah total biaya yang sudah didiskon.
Persamaan rasio B/C
tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Soeharto 1999):
58
n
B/C = ∑ t =1
Bt (1 + i)t Ct (1 + i)t
keterangan : B
=
Benefit (Manfaat),
C
=
Cost (Biaya),
t
=
periode proyek
i
=
Discount rate
Dari persamaan tersebut di atas, dapat disusun kriteria kelayakan investasi di mana apabila nilai B/C memberikan nilai lebih besar dari 1 maka
dikatakan
investasi
tersebut
layak
untuk
diteruskan.
Sebaliknya,
apabila nilai B/C tersebut kurang dari 1 maka dikatakan investasi tersebut tidak layak untuk diteruskan. 3) Internal Rate of Return (IRR) Kriteria investasi ini merupakan suku bunga maksimal untuk sampai kepada nilai NPV bernilai sama dengan nol, jadi dalam keadaan batas untung rugi. keuntungan
Oleh karena itu kriteria ini sering dianggap sebagai tingkat atas
investasi
bersih
dalam
suatu
proyek.
Pernyataan ini
memuat suatu implikasi bahwa setiap manfaat yang diwujudkan secara otomatis
ditanam kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat
keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur proyek. Dengan demikian IRR dapat dirumuskan sebagai berikut (Soeharto 1999):
IRR = i ' +
(
NVP ' i '' − i ' ' " NPV − NVP
)
keterangan: i`
= discount rate ketika NVP positif
I”
= discount rate ketika NVP negatif
NPV’
= nilai NVP positif
NPV’’
= nilai NVP negatif
Proyek dikatakan layak bila IRR lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku. Sehingga bila IRR sama dengan tingkat bunga yang berlaku maka NPV dari proyek tersebut sama dengan nol.
Sebaliknya, bila IRR lebih
59 kecil dari tingkat bunga yang berlaku, maka nilai NPV lebih kecil dari nol dan berarti proyek tersebut tidak layak. Semakin tinggi nilai IRR dari suatu unit penangkapan ikan maka kondisi usaha tersebut semakin baik.
3.3.4
Linear Goal Programming (LGP) Model LGP dapat memecahkan masalah aneka ragam tujuan dengan
dimensi atau satuan ukuran yang berbeda, karena yang diminimumkan adalah penyimpangannya, LGP mencari titik yang paling memuaskan. LGP juga dapat memperhitungkan atau mempertimbangkan Prioritas dan Bobot. (1) Terminologi LGP • X j = Variabel keputusan (Decision Variables) j = 1, 2,…,n • Bi = Nilai sisi kanan (Right hand side valves) i = 1, 2,…,m
(RHS)
• Pk = Preemtive priotiy factor (Prioritas) k = 1, 2,…,k
P1 >P2 >>> Pk
• di = Variabel simpangan negatif (Deviational variables) • di = Variabel simpangan positif • Wki = Bobot (Differential weight) • aij = Koefisien teknologi (Technological coefficient) (2) Tujuan utama (Goal)-nya, meminimumkan angka penyimpangan dari suatu nilai sisi kanan (RHS) pada suatu goal constraint tertentu. (3) Goal Constraint (Kendala tujuan), suatu tujuan yang di ekspresikan dalam persamaan matematika dengan memasukkan variabel simpangan. (4) Unsur – unsur LGP : • Fungsi tujuan - Fungsi tujuan tanpa prioritas m
Minimumkan
Z=
∑
di + di+
i =1
- Fungsi tujuan dengan prioritas
60
m
Minimumkan
Z=
∑
Pk (di + di+)
i =1
untuk k = 1, 2,…, k - Fungsi tujuan dengan prioritas dan Bobot m
Minimumkan Z =
∑
Wki Pk (di + di+) ....................................... (9)
i =1
untuk k = 1, 2,…, k • Kendala-kendala tujuan a11x1 + a12x2 + …+ a1nxn+DB1 – DA1 = b1 a21x1 + a22x2 + … a2nxn + DB2 – DA2 = b2 am11x1 + am2x2 +…amxn + DBm – DAm = bm dengan : Z=
Fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan
DBi = Deviasi bawah kendala-i DAi = Deviasi atas kendala ke-i Cj = parameter fungsi tujuan ke-j b1 = kapasitas/ketersediaan kendala ke-i aij =
parameter fungsi kendala ke-i pada variabel keputusan ke-j
kendala ke-i = Target produksi, MSY, keuntungan, penyerapan tenaga kerja, tingkat konsumsi ikan, PAD dan penerimaan devisa negara. Xj = variabel putusan ke-j (jumlah unit penangkapan) Xj, DAi dan DBi > 0, untuk i = 1,2,…,m dan j = 1,2,…,n
3.3.5
Analisis SWOT Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor
secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti 2000). Analisis SWOT mempertimbangkan faktor lingkungan internal strength dan weaknesess serta lingkungan eksternal opportunities dan threats yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan
61 kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi suatu perusahaan. Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi perusahaan / institusi melalui evaluasi nilai faktor internal dan evaluasi nilai faktor eksternal. Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut : (1) Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal, (2) Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT, dan (3) Tahap pengambilan keputusan. Tahap pengambilan data ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi perusahaan dapat
dilakukan
dengan
wawancara
terhadap
ahli
perusahaan
yang
bersangkutan ataupun analisis secara kuantitatif misalkan neraca, laba rugi dan lain-lain. Setelah mengetahui berbagai faktor dalam perusahaan maka tahap selanjutnya adalah membuat matriks internal eksternal. Sebelum melakukan penyusunan matrik analisis SWOT terlebih dilakukan identifikasi faktor-faktor strategi eksternal dan internal dengan pembobotan. Tahapan pembobotan adalah sebagai berikut : 1) Menyusun faktor-faktor strategi internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor strategi eksternal (peluang dan ancaman) sebanyak 5 sampai dengan 10 strategi, dan 2) Memberikan bobot masing-masing faktor strategi internal dan eksternal, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pembobotan setiap faktor-faktor SWOT Faktor-Faktor Internal Kekuatan Bobot Kelemahan Bobot S1 W1 S2 W2 S3 W3 Sn Wn
Faktor-Faktor Eksternal Peluang Bobot Ancaman Bobot O1 T1 O2 T2 O3 T3 On Tn
62 Setelah pembobotan masing-masing faktor strategi dirangking dan dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi dengan menggunakan matrik analisis SWOT (Tabel 3).
Tabel 3 Diagram matriks SWOT dan kemungkinan strategi yang sesuai STRENGHT (S)
WEAKNESS (W)
Strategi SO Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran I Strategi ST Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran II
Strategi WO Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran III Strategi WT Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran IV.
IFA / EFA
OPPORTUNITIES (O)
TREATHS (T)
Matrik analisis
ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki. Strategi yang dihasilkan yaitu : strategi (S-O) menggunakan unsur kekuatan untuk memanfaatkan peluang; strategi (S-T), menggunakan unsur kekuatan untuk menghadapi ancaman; strategi (W-O) memanfaatkan peluang dengan meminimalkan unsur kelemahan dan strategi (W-T) meminimalkan unsur kelemahan dan menghindari ancaman.
3.3.6
Proses Hierarki Analitik (PHA) Proses hierarki analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process
merupakan teknik pengambilan keputusan yang pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang professor di Whartson School of Business pada tahun 1970–an.
PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional
persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu kala preferensi diantara berbagai alternatif.
PHA banyak digunakan pada keputusan untuk banyak
kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategistrategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik.
63 PHA merupakan proses pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem. Pada penyelesaian persoalan dengan PHA terdapat beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain (Saaty 1993): (1) Dekomposisi, setelah permasalahan atau persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsurunsurnya.
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka dilakukan
pemecahan terhadap unsur-unsur tersebut sampai tidak dapat dipecah lagi, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tersebut. (2) Comparative Judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatif diantara dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya.
Penilaian ini merupakan inti dari PHA karena akan
berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen yang disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. (3) Synthesis of Priorrity, yaitu melakukan sintesis prioritas atau mencari nilai eigenvektor-nya dari setiap matrik pairwise comparison untuk mendapatkan prioritas lokal. Matrik pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, oleh karena itu untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. (4) Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, yaitu (1) obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya. (2) tingkat hubungan antara obyek-obyek didasarkan pada kriteria tertentu. Pada dasarnya, metode PHA ini memecah-mecah suatu situasi yang kompleks, tak terstruktur, ke dalam bagian-bagian komponennya; menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; memberi nilai numerik pada pertimbangan
subyektif
tentang
relatif
pentingnya
setiap
variabel;
dan
mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. PHA juga menyediakan suatu struktur efektif untuk pengambilan keputusan secara berkelompok dengan memaksakan disiplin dalam proses pemikiran kelompok itu. Keharusan memberi nilai numerik pada setiap variabel masalah membantu para pengambil keputusan untuk mempertahankan pola-pola pikiran yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Selain itu, adanya konsensus dalam pengambilan keputusan kelompok memperbaiki konsistensi
64 pertimbangan dan meningkatkan keandalan PHA sebagai alat pengambilan keputusan.
3.3.6.1 Langkah–langkah pada proses hierarki analitik Pengkajian Proses Hierarki Analitik dimulai dengan menata elemen suatu persoalan dalam bentuk hierarki. Lalu kita membuat pembandingan berpasangan antar elemen dari suatu tingkat sesuai dengan yang diperlukan oleh kriteriakriteria yang berada setingkat lebih tinggi. Berbagai pembandingan ini menghasilkan prioritas dan akhirnya, melalui sintesis, menghasilkan prioritas menyeluruh. Kita mengukur konsistensi dan menangani interdependensi Semua langkah dasar dari proses ini dapat diringkaskan menjadi suatu ikhtisar yang singkat. Dalam arti yang luas, proses ini stabil, meskipun beberapa langkah tertentu mungkin memperoleh penekanan istimewa dalam berbagai persoalan khusus. Sebagaimana dicatat di bawah ini, biasanya diperlukan pengulangan (Saaty 1993) : (1) Definisikan persoalan dan rinci pemecahan yang diinginkan, (2) Struktur hierarki dari sudut pandang manajerial menyeluruh (dari tingkattingkat puncak sampai ke tingkat di mana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan persoalan itu), (3) Buatlah sebuah matriks banding berpasang untuk kontribusi atau pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh yang berada setingkat di atasnya. Dalam matriks ini, pasangan-pasangan elemen dibandingkan dengan suatu kriteria di tingkat lebih tinggi. Dalam membandingkan dua elemen, kebanyakan orang lebih suka memberi suatu pertimbangan yang menunjukkan dominasi sebagai suatu bilangan bulat. Matriks ini memiliki satu tempat untuk memasukkan bilangan itu dan satu tempat lain untuk memasukkan nilai resiprokalnya, (4) Jadi jika satu elemen tak berkontribusi lebih dari elemen lainnya, elemen yang lainnya ini pasti berkontribusi lebih dari elemen itu. Bilangan ini dimasukkan dalam tempat yang semestinya dalam matriks itu dan nilai kebalikannya dalam tempat yang lain itu. Menurut perjanjian, suatu elemen yang disebelah kiri diperiksa perihal dominasinya atas suatu elemen di puncak matriks,
65 (5) Dapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan perangkat matriks di langkah 3. jika ada banyak orang yang ikut serta, tugas setiap orang dapat dibuat sederhana dengan mengalokasikan upaya secara tepat, yang akan kita jabarkan di bab sebelumnya. Pertimbangan ganda dapat disintesis dengan memakai rata-rata geometriknya, (6) Setelah mengumpulkan semua data banding berpasang itu dan memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta entri bilangan 1 sepanjang diagonal utama, prioritas dicari dan konsistensi diuji, (7) Laksanakan langkah 3, 4 dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hierarki tersebut, (8) Gunakan komposisi secara hierarki (sintesis) untuk membobotkan vektor-vektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria, dan jumlahkan semua entri prioritas terbobot yang bersangkutan dengan entri prioritas dari tingkat bawah berikutnya, dan seterusnya. Hasilnya adalah vektor prioritas menyeluruh untuk tingkat hierarki paling bawah. Jika hasilnya ada beberapa buah, boleh diambil nilai rata-rata aritmetiknya, dan (9) Evaluasi konsistensi untuk seluruh hierarki dengan mengalikan setiap indeks
konsistensi
dengan
prioritas
kriteria
bersangkutan
dan
menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks. Dengan cara yang sama setiap indeks konsistensi acak juga dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Rasio konsistensi hierarki itu harus 10 persen atau kurang. Jika tidak, mutu informasi itu harus diperbaiki,
barangkali
dengan
memperbaiki
cara
menggunakan
pertanyaan ketika membuat perbandingan berpasang. Jika tindakan terstruktur
secara
tepat,
yaitu
elemen-elemen
sejenis
tidak
dikelompokkan di bawah suatu kriteria yang bermakna. Maka kita perlu balik ke langkah 2, meskipun mungkin hanya bagian–bagian persoalan dari hierarki itu yang perlu diperbaiki.
66 3.3.6.2 Ide dasar prinsip kerja PHA PHA memiliki prinsip kerja yang sangat mendasar yaitu : (1) Penyusunan Hierarki, Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki. (2) Penilaian Kriteria dan Alternatif, Kriteria dan alternatif melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada table berikut (Tabel 4) : Tabel 4 Intensitas Pentingnya 1 3
5
7
9
2,4,6,8
Kebalikan nilai-nilai di atas
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty (1993) Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama Dua elemen mempengaruhi sama penting kuat pada sifat itu Elemen yang satu sedikit Pengalaman atau pertimbangan lebih penting dari pada sedikit menyokong satu elemen di yang lain atas yang lain. Elemen yang satu jelas Pengalaman atau pertimbangan lebih penting dengan kuat disokong dan dibandingkan dengan dominasinya terlihat dalam elemen yang lain praktek Satu elemen sangat lebih Satu elemen dengan disokong penting dibandingkan dan dominasinya terlihat dalam elemen yang lain praktek Satu elemen mutlak lebih Sokongan elemen yang satu atas penting dibandingkan yang lain terbukti memiliki tingkat elemen yang lainnya penegasan tertinggi Nilai-nilai diantara dua Kompromi diperlukan diantara pertimbangan yang dua pertimbangan berdekatan Nilai-nilai di atas dianggap membandingkan antara elemen A dan B maka nilai-nilai kebalikan (1/2, 1/3, ¼,…, 1/9) digunakan untuk membandingkan kepentingan B terhadap A
Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A. (3) Penentuan Prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (passive comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif.
67 Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgment yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematika. (4) Konsistensi Logis. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
Level 1: Fokus
Level 2: Masalah
Level 3: Alternatif Kebijakan
Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan
Sarana dan prasarana
Meningkatkan jumlah unit alat tangkap
Aktivitas usaha penangkapan
Menambah unit pengolahan
Pengolahan
Menambah prasarana pelabuhan
Pemasaran
Memperluas jangkauan daerah penangkapan di atas12 mil
Gambar 9 Proses hierarki analisis pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Administrasi wilayah Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak pada 10 LU– 40 LS
dan 102,250 – 108,410 BT, dengan luas mencapai 87.017,42 km2, atau 8.701.742 ha yang terdiri dari daratan dan perairan baik perairan umum maupun perairan laut. Luas perairan umum mencapai 2.705.000 ha dan luas laut mencapai ± 47.000 km2 dengan panjang garis pantai ± 570,14 km.
Secara administrasi
Provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan : •
Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Bangka Belitung
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu
Sebagai suatu pemerintahan, Provinsi Sumatera Selatan terbagi menjadi beberapa kabupaten yaitu Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, Ogan Hilir, Ogan Komering Hilir, Komering Ulu, Komering Ulu Timur, Komering Ulu Selatan, kota Lubuk Linggau, Pagar Alam, Palembang dan kota Prabumulih. Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi produksi berdasarkan jenis perairan yang terbagi atas perairan laut, umum dan tambak. Perairan laut terbagi atas pantai (± 570,14 km) dengan potensi produksi 152.280 ton/tahun dan perairan laut (± 47,000 km2) dengan potensi produksi lebih dari 38.653 ton/tahun. Perairan umum (± 2.505.000 ha) dengan potensi produksi 50 kg/ha/tahun dan perairan tambak (> 200.000 ha) dengan potensi produksi 500 kg/ha/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan 2009). Berdasarkan hasil analisis, luas perairan Provinsi Sumatera Selatan sewaktu Bangka Belitung masih termasuk wilayah Sumatera Selatan adalah seluas 40.183,12 km2, setelah Bangka Belitung menjadi Provinsi baru, luas perairan Provinsi Sumatera Selatan tinggal 8.105,97km2 dengan panjang garis pantai 526,57 km. Penurunan ini berpengaruh terhadap produksi dan pengelolaan perikanan sehingga diperlukan suatu rancang bangun yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.
70 4.2
Perairan Laut Sumatera Selatan Secara geografis, perairan laut Provinsi Sumatera Selatan termasuk
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Cina Selatan, Selat Karimata dan Laut Natuna memiliki arti strategis baik ditinjau dari sumberdaya yang dikandung maupun dari segi lalu lintas pelayaran serta memiliki wilayah perbatasan dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perbatasan melalui berbagai usaha perikanan selain dapat meningkatkan
aspek
kesejahteraan
juga
keamanan.
Dengan
aspek
kesejahteraan, dimaksudkan sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya alam untuk meningkatkan kemakmuran atau kesejahteraan, sedangkan aspek keamanan
adalah
meningkatkan
upaya
pengamanan
wilayah
perairan
perbatasan tersebut. Menurut Cholik et al. 1995, perairan Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dengan rata-rata kedalaman perairan 70 m, pada dasar relatif rata dan produktivitas perairan sangat dipengaruhi oleh musim. Sekitar sepertiga luas perairan termasuk ke dalam perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Luas perairan Laut Cina Selatan yang masuk wilayah Indonesia diestimasi sekitar 595.000 km2 dengan iklim tropis dan curah hujan yang tinggi, maka perairan ini memiliki ekosistem dengan keanekaragaman jenis ikan yang tinggi. Sumberdaya ikan yang melimpah terutama kelompok ikan pelagis kecil, demersal, dan udang penaeid. Kondisi obyektif menunjukkan tingginya tingkat eksploitasi di perairan Laut Cina Selatan baik oleh armada Indonesia maupun asing membawa konsekwensi turunnya sediaan ikan disertai penurunan hasil tangkapan dan perubahan struktur populasi. Oleh karena itu, pengkajian stok ikan melalui estimasi tentang jumlah atau kelimpahan (abundance) sumberdaya, estimasi laju pengurangan stok yang disebabkan oleh penangkapan dan sebab-sebab lain, serta indikator perubahan stok ikan sangat penting diketahui. Di pihak lain, informasi tentang status sumberdaya ini digunakan oleh para penentu kebijakan dan para pengelola perikanan untuk menentukan sejumlah tindakan yang diperlukan dalam meningkatkan pemanfaatan yang terbaik atas sumberdaya ikan. (1) Sumberdaya perikanan pelagis kecil Eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan berkembang sejak tahun 1970-an, di mana penangkapan ikan banyak menggunakan gill net dengan trip harian (one day fishing) terutama oleh nelayan di Kalimantan
71 Barat. Penggunaan pukat cincin (purse seine) berkembang sejak tahun 1986 oleh nelayan yang berpangkalan di Pontianak dan Pemangkat. Dalam perkembangan, banyak kapal pukat cincin dari Pekalongan (Jawa Tengah) yang menangkap ikan pelagis kecil di perairan Laut Cina Selatan bahkan sampai dengan di daerah Natuna terutama pada musim Tenggara (Sadhotomo and Potier, 1995). Penghitungan nilai potensi lestari (maximum sustainable yield) berdasarkan pada data terbaru (tahun 2002 sampai dengan 2004) belum dapat ditentukan. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2001) perairan Laut Cina Selatan yang memiliki luas perairan sekitar 550.000 km2 mempunyai potensi sumberdaya ikan pelagis kecil 621.500 ton dengan tingkat pemanfaatan sekitar 33% dari potensi lestari. Hasil tangkapan ikan pelagis kecil neritik dan kostal dengan alat tangkap bagan di perairan Bangka-Belitung didominasi oleh ikan teri (Stolephorus spp.) dan cumi-cumi (Loligo spp.). Sementara itu, hasil tangkapan payang didominasi oleh ikan siro (Amblygaster sirm) dan tembang (Sardinella gibbosa). Hasil tangkapan pancing di sekitar Tanjung Pandan, Belitung didominasi oleh selar (Selar spp. dan Atule mate) dan banyar (Rastrelliger kanagurta). Daerah penyebaran ikan pelagis kecil oseanik di perairan Laut Cina Selatan meliputi perairan Selat Karimata, perairan Barat Pemangkat dan sekitar Kepulauan Natuna. Perikanan bagan di Bangka terdapat di sepanjang pantai Utara seperti di Sungai Liat, Koba dan Pangkal Pinang, serta sebelah Barat Belitung. Daerah penangkapan ikan dengan payang terdapat di perairan Utara Bangka (kira-kira 5 sampai dengan 10 mil dari pantai), Pulau Tujuh dan Pulau Kelasa di sebelah Timur pada kedalaman 25 m.
(2) Sumberdaya ikan demersal Secara geografis, dimaksud dengan perairan Laut Cina Selatan dalam konteks sumberdaya ikan demersal terletak pada posisi geografis antara 01°40’00” LU–03°00’00” LS dan 104°30’00”–110°00’00” BT. Data dan informasi tentang sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan pada periode kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Republik Federasi Jerman (GTZ) antara tahun 1975 sampai dengan 1978 dapat
72 dikatakan merupakan data awal (benchmark) yang dapat digunakan sebagai salah satu pembanding bagi hasil-hasil penelitian periode sesudah. Setelah diberlakukan sumberdaya
Keppres.39/80 ikan
demersal
tentang
pelarangan
dilakukan
secara
trawl, parsial
penelitian dan
tidak
berkesinambungan. Pelaksanaan lebih dititikberatkan di tempat-tempat pendaratan ikan terpilih di Laut Cina Selatan. Tingginya tingkat pemanfaaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan tampak dari kecenderungan menurunnya angka kepadatan stok sebagai hasil dari survei trawl di Laut Cina Selatan selama beberapa tahun. Survei pada bulan Agustus sampai dengan September 1975 diperoleh kepadatan stok 2,36 ton km-2 diikuti dengan penurunan pada tahun 1978 menjadi 1,8 ton km-2 dan seterusnya pada bulan Agustus 2001 diperoleh nilai 1,04 ton km-2. Survei trawl dengan tipe standar (high opening trawl/Thailand trawl) pada bulan Juni sampai dengan Juli 2005 diperoleh nilai kepadatan stok 1,70 ton km-2 dengan standing stock or biomass 487.000 ton. Mengacu pada luas daerah penangkapan ikan demersal di Laut Cina Selatan seluas 558.000 km2 (Widodo et al. 1998), maka diperoleh nilai potensi lestari 474.300 ton. Dibandingkan dengan potensi tahun 2001 yang besar 334.800 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2001), maka mengalami peningkatan sekitar 41,6%. Perubahan
tersebut
diduga
sebagai
akibat
ada
perubahan
kondisi
oseanografis perairan yang secara langsung mempengaruhi perilaku pengelompokkan ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan. Perubahan musim tersebut berlangsung secara reguler mengikuti pola pergerakkan matahari yang selanjutnya menyebabkan timbul 2 puncak musim (monsoon) yaitu musim Timur dan Barat. Kegiatan survei pada tahun 1975 dilakukan pada bulan Agustus atau September, sedangkan tahun 1978 dan 2005 dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Juli. (3) Sumberdaya perikanan udang Penghapusan trawl di Laut Cina Selatan tampak tidak banyak memberikan dampak penurunan produksi udang, sebaliknya malah cenderung meningkat terutama sejak tahun 1997 sebagaimana tampak di perairan Barat Kalimantan. Peningkatan tersebut terutama untuk jenis udang krosok (dalam statistik perikanan dimasukan kategori udang lain).
73 Peningkatan catch per unit of effort didominasi oleh udang yang berukuran kecil atau krosok (dalam statistik perikanan termasuk kategori udang lain) dan sebagian udang jerbung dan dogol. Peningkatan udang krosok diikuti oleh menurunnya jumlah unit alat tangkap, antara lain jermal, sero, serok, dan perangkap lain yang sebagian besar dioperasikan secara pasif dan mengandalkan proses pasang surut. Sementara itu, jumlah unit gill net, trammel net, dan pukat pantai tahun 1991 sampai dengan 2000 cenderung mendatar atau relatif tetap dari tahun ke tahun.
4.3
Perikanan tangkap Perairan Sumatera Selatan memiliki variasi kondisi perairan yang
berkaitan dengan potensi keberadaan sumberdaya ikan di wilayah perairan Provinsi Sumatera Selatan. Kelimpahan sumberdaya perikanan Sumatera Selatan, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dalam hal ini adalah jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima diperairan Provinsi Sumatera Selatan cukup
tinggi
seperti
wilayah
tropis
lainnya.
Sehingga
faktor
tersebut
mempengaruhi pertumbuhan jasad renik yang merupakan salah satu faktor penting produktivitas perairan salah satu jenis perairan yang kaya akan jasad renik adalah perairan pantai. Menurut Nybaken (1988) perairan pantai merupakan daerah yang memiliki tingkat kesuburan tinggi yang mendukung terhadap kelimpahan sumberdaya ikan. Kondisi perairan yang memiliki pengaruh terhadap kegiatan perikanan, khususnya tangkap adalah panjang pantai. Provinsi Sumatera Selatan memiliki panjang garis pantai mencapai 570,14 km yang tersebar pada 2 wilayah kabupaten/kota di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir 275 km dan Banyuasin 295,14 km ( Dinas Kelautan dan Perikanan Proivinsi Sumatera Selatan 2009 ).
4.3.1
Nelayan Nelayan merupakan orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap
ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar, kolom maupun permukaan perairan. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan nelayan meskipun tidak melakukan
74 aktivitas penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap 2002). Pengertian nelayan disini ditujukan untuk orang-orang yang menangkap ikan di wilayah perairan laut. Berdasarkan data statistik tahun 2001-2007 jumlah rumah tangga perikanan Provinsi Sumatera Selatan secara umum mengalami peningkatan dari tahun 2001-2007 sebesar 3941 menjadi 7159. Berdasarkan kategori usaha terlihat bahwa jenis kapal motor memiliki jumlah RTP tertinggi dibandingkan dengan RTP lainnya. Pada kategori kapal motor terlihat juga bahwa kapal motor < 5GT memiliki jumlah RTP terbanyak pada tahun 2007 yaitu 3957. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan masih berada di bawah garis kemiskinan, hal ini ditunjukkan oleh data RTP yang diperoleh. Beberapa aspek yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut adalah aspek material, pendidikan dan status sosial yag dipengaruhi oleh perubahan kondisi ekonomi. Jumlah nelayan perikanan laut di Provinsi Sumatera Selatan ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan berdasarkan RTP menurut kategori usaha di Provinsi Sumatera Selatan Kategori Usaha Perahu tanpa motor
Kecil Sedang Besar
Motor tempel < 5 GT 5 - 10 GT Kapal motor 10 - 20 GT 20 - 30 GT 30 - 50 GT Jumlah
2001 371 312 185 83 2405 407 46 132 0 3941
2002 380 315 132 86 2412 417 52 135 0 3929
Tahun 2003 2004 413 465 664 744 161 161 221 225 2495 2718 389 420 214 230 45 47 12 12 4614 5022
2005 508 813 176 247 3073 472 263 61 14 5624.5
2006 550 882 191 268 3427 524 295 74 16 6227
2007 580 1050 203 330 3957 604 307 110 18 7159
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Jumlah nelayan di suatu daerah biasanya selalu bertambah.
Hal ini
disebabkan oleh adanya kebiasaan dikalangan nelayan untuk mempekerjakan anak mereka dengan cara mengajak pergi melaut.
Faktor keturunan diduga
merupakan faktor utama yang sangat sulit dikendalikan disamping faktor lainnya seperti kedatangan nelayan dari daerah lain ataupun orang baru yang beralih profesi menjadi nelayan juga dapat menambah jumlah nelayan untuk suatu daerah dan waktu tertentu. Apabila dilihat dari Tabel 5 maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar nelayan di Provinsi Sumatera Selatan adalah nelayan kecil. Hal ini dapat dilihat pada jumlah perahu tanpa motor dan perahu dengan motor tempel yang lebih dominan dibandingkan yang lainnya.
Tabel 5 juga
75 menunjukkan bahwa armada perikanan di Provinsi Sumatera Selatan masih tergolong dalam armada perikanan skala kecil.
Gambar 10
Kecenderungan jumlah nelayan berdasarkan RTP di Provinsi Sumatera Selatan.
Sepanjang tahun 2001 hingga tahun 2007, jumlah RTP mengalami kenaikan secara perlahan-lahan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap masih menjadi salah satu andalan bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan penghasilan.
Meskipun demikian, peningkatan jumlah nelayan
yang tidak disertai dengan manajemen pengelolaan dan pengawasan yang baik justru
mulai
berdampak
negatif
terhadap
produktivitas
dan
kelestarian
sumberdaya ikan.
4.3.2
Kapal penangkap ikan Armada perahu/kapal yang digunakan untuk menangkap ikan di Provinsi
Sumatera Selatan terdiri atas perahu (tanpa motor maupun dengan motor) dan kapal (< 30 GT dan > 30 GT). Kategori perahu/kapal yang paling banyak digunakan di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2007 adalah kapal dengan tonase < 30 GT sebanyak 4797 unit. Selanjutnya perahu/kapal tanpa motor merupakan jumlah armada kedua yang terbanyak yaitu 1769 unit. Secara umum jumlah armada perikanan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan pada kurun waktu tahun 2001-2007 mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2001 sebanyak 4030 unit dan pada tahun 2007 bertambah menjadi 6864 unit. Peningkatan armada perahu/kapal tersebut diharapkan dapat lebih meningkatkan penghasilan
76 nelayan apabila didukung dengan peningkatan alat tangkap dan keahlian nelayan dalam kegiatan penangkapan. Data jumlah armada penangkapan yang beroperasi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6
Jumlah perahu/kapal perikanan menurut jenis atau ukuran perahu di Provinsi Sumatera Selatan sejak tahun 2001-2007
Kategori Perahu/kapal Perahu : a. Tanpa Motor b. Motor Tempel Kapal Motor : a. < 30 GT b. > 30 GT Jumlah
2001
2002
2003
Tahun 2004
903 100
827 86
1240 221
1370 225
1497 247
268 268
1769 279
3027 4030
3016 3929
3362 12 4835
3634 12 5241
3977 14 5734
4320 16 4872
4797 19 6864
2005
2006
2007
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan jenis kapal yang beroperasi di Sumatera Selatan terdiri dari atas kapal yang mengoperasikan gill-net, rawai, perangkap, trammelnet dan bagan. Banyaknya armada yang melakukan kegiatan operasi di kawasan ini didasarkan pada sumberdaya yang masih tersedia di sekitar perairan Sumatera Selatan. Kapal yang digunakan oleh nelayan memiliki karakteristik dan ukuran tertentu
tergantung
penangkapan.
pada
jenis
alat
tangkap
dan
ikan
tujuan
operasi
Adapun karakteristik kapal/perahu yang digunakan adalah
sebagai berikut : 1. Kapal/perahu Gill-Net Ukuran kapal (P x L x D) yaitu 9,5 m x 2,1 m x 0,8 m. Tenaga penggerak yang digunakan yaitu 38 PK (ukuran mesin); Suzuki, Yamaha dan Dongfeng (merek mesin); dan solar (bahan bakar).
Alat tangkap yang digunakan
adalah gillnet dengan dimensi alat tangkap (P x L) yaitu 23 m x 3
m
sejumlah 70 piece. 2. Kapal/perahu Rawai Ukuran kapal (P x L x D) yaitu: 7 m x 1,4 m x 0,6 m. Tenaga penggerak yang digunakan yaitu 40 PK (ukuran mesin), Yamaha (merek mesin) dan solar (bahan bakar). Alat tangkap yang digunakan adalah rawai sejumlah 5000 mata pancing dengan jarak antara mata pancing 4 m.
77 3. Kapal/perahu Trammel-net Ukuran kapal (P x L x D) yaitu 10 m x 2,2 m x 0,8 m. Tenaga penggerak yang digunakan yaitu 45 PK (ukuran mesin), suzuki (merek mesin) dan solar (bahan bakar). Alat tangkap yang digunakan adalah jaring dengan dimensi (P x L) : 20 m x 1,5 m sejumlah 100 piece.
4.3.3
Alat tangkap Alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di perairan Provinsi
Sumatera Selatan, terdiri dari enam kelompok yaitu seine net, gillnet, lift net, rawai, trap, dan alat pengumpul kerang.
Jumlah alat tangkap di perairan
Sumatera Selatan pada tahun 2001-2007 mengalami peningkatan yaitu 4537 unit pada tahun 2001 dan 7801 pada tahun 2007. Peningkatan ini terjadi seiring dengan peningkatan jumlah armada dan volume penangkapan ikan di sekitar perairan Sumatera Selatan setelah berpisah dengan Provinsi Bangka Belitung. Peningkatan alat tangkap ini diharapkan dapat ikut serta meningkatkan jumlah penghasilan nelayan yang beroperasi di kawasan ini. Jenis alat tangkap paling banyak digunakan oleh nelayan di sekitar Sumatera Selatan adalah jenis jaring insang (gill-net, trammel-net, jaring insang tetap dan jaring insang hanyut).
Jenis jaring ini sangat populer digunakan
sampai pada tahun 2007, hal ini disebabkan oleh jenis target spesies yang memungkinkan untuk ditangkap di sekitar perairan Sumatera Selatan adalah dengan menggunakan jenis alat tangkap ini.
Hasil tangkapan dengan
menggunakan alat tangkap sejenis jaring insang ini lebih banyak, namun juga tidak semua ikan tertangkap (yang kecil masih dapat lolos) sehingga dapat melakukan regenerasi populasi. Dengan begitu kondisi populasi ikan di kawasan ini masih dapat dimanfaatkan kembali (tidak habis dalam sekali penangkapan). Data jumlah alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 7.
78 Tabel 7
Perkembangan jumlah alat tangkap perikanan laut (unit) menurut jenis alat tangkap di Provinsi Sumatera Selatan
No.
Alat Tangkap
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Payang Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring insang lingkar Jaring klitik Trammel net Bagan tancap Serok Jaring angkat lainnya Pancing Sero Jermal Alat perangkap lainnya Alat pengumpul kerang Jumlah
2001 98 513 196 101 345 696 570 260 146 777 194 234 535 106 4537
2002 139 1008 202 94 403 712 580 39 395 751 204 238 802 15 5581
2003 179 408 825 86 471 856 648 251 647 1042 356 244 411 282 6706
Tahun 2004 2005 179 208 422 434 854 822 86 91 478 467 870 844 717 724 251 271 658 729 1064 1186 577 619 244 265 688 742 295 173 7383 7572
2006 236 446 789 95 457 818 731 291 800 1308 661 285 795 51 7762
2007 258 480 696 101 407 789 760 398 764 1222 769 293 736 128 7801
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Secara umum, seperti halnya yang terjadi pada perkembangan jumlah nelayan, jumlah alat tangkap pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan pada Gambar 11. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada periode tahun 2001-2004 yaitu dari angka 4537 unit menjadi 7383 unit. Pada periode setelahnya tidak terlalu besar peningkatannya dimana pada tahun 2005 hingga 2007 naik dari jumlah alat tangkap sebesar 7572 unit menjadi 7801 unit.
9000 8000
Jumlah (unit)
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 11
Perkembangan jumlah seluruh alat tangkap menurut jenis alat di Provinsi Sumatera Selatan.
79 4.3.4
Produksi perikanan tangkap Produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan secara
keseluruhan mengalami kenaikan dari tahun 2001-2007. Pada tahun 2001 jumlah produksi perikanan 46191,70 ton dan pada tahun 2007 menurun menjadi 36643,08 ton. Produksi perikanan tangkap secara keseluruhan menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 8. Secara umum terjadi kecenderungan peningkatan produksi perikanan tangkap sepanjang periode 2001-2004 (Gambar 12). Meskipun demikian, pada tahun 2005-2006, terjadi penurunan produksi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini diakibatkan oleh karena adanya kenaikan harga BBM sehingga banyak kapal penangkapan yang tidak melakukan aktifitas-aktifitasnya, hal ini terlihat dari menurunnya jumlah trip penangkapan pada tahun 2004 sebanyak 1.023.260 trip menjadi 929.115 trip pada tahun 2006. Kemudian secara perlahan-lahan naik kembali pada tahun 2007 dengan produksi mencapai 36643,08 ton.
Kenaikan bahan bakar sangat berpengaruh terhadap aktivitas
penangkapan karena bahan bakar merupakan komponen biaya terbesar yang di butuhkan dalam melaksanakan operasional penangkapan. Namun demikian, hal paling penting yang berdampak terhadap fluktuasi hasil tangkapan yang mengarah pada degradasi sumberdaya ikan adalah adanya target peningkatan produksi perikanan yang mengesampingkan aspek kelestariannya yang juga dibarengi dengan semakin tingginya permintaan terhadap ikan baik dari dalam maupun luar negeri. Kualitas perairan yang semakin menurun dan peningkatan jumlah effort memberikan tekanan yang cukup berarti sehingga berdampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan. Produksi perikanan tangkap per jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan seperti yang di tunjukan pada Tabel 8 dan Gambar 12.
80 Tabel 8
Produksi perikanan tangkap per jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 Jenis Ikan
Kategori
Demersal
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Sebelah
483.80
535.30
563.20
579.30
598.20
380.10
486.80
Peperek
1460.40
1572.60
1678.40
1727.30
1512.50
1133.90
1284.80
Manyung Gerotgerot
3316.60
3706.80
3979.10
4481.80
2052.50
2464.30
2161.24
1738.70
1860.00
2035.10
2095.00
1078.90
1375.50
1381.30
Merah
786.30
869.80
862.60
885.70
577.55
581.40
953.30
Kakap
1205.40
1357.40
1415.80
2003.20
2252.00
958.50
1036.60
569.30
707.60
722.40
1123.70
882.20
487.30
519.53
Cucut
2012.80
2187.00
2320.60
2220.80
1872.80
1566.70
1481.27
Pari
2180.70
2326.10
2266.90
2751.70
2001.20
1531.20
1344.10
Kuro
216.60
301.00
351.00
494.90
185.50
236.20
423.93
Layur Bawal Hitam Bawal Putih
549.70
610.90
590.00
657.40
312.40
398.10
623.83
1433.80
1600.90
1714.40
1836.40
1608.20
1357.70
1363.63
805.00
960.40
945.70
1253.40
900.40
637.90
844.40
Selar
1628.80
1718.60
1946.30
1065.00
1031.50
1315.20
1282.07
Belanak
1291.10
1464.00
1529.10
1903.00
1610.10
1032.60
1666.07
Teri
1638.90
1739.20
1391.10
1431.90
1337.40
940.00
1341.93
508.70
578.80
546.90
561.80
289.20
368.60
583.00
2422.00
2671.20
3010.50
3666.80
1230.00
1679.60
1723.07
152.80
208.00
214.60
442.40
458.80
146.20
253.60
Gulamah
Pelagis
Japuh Golokgolok Kembung Tenggiri Papan
Binatang berkulit keras
Binatang berkulit lunak
1002.60
1125.60
1044.90
1075.50
953.90
706.10
820.00
Tenggiri
813.70
892.70
852.10
876.10
651.00
574.80
691.23
Tongkol Ikan lainnya
431.00
514.20
503.70
516.60
466.10
339.20
555.67
13897.30
13748.70
14664.00
11694.70
15280.80
10498.20
8519.67
470.10
700.20
1803.80
2104.50
1008.80
1256.10
1244.27
169.60
199.70
178.90
368.80
194.90
120.80
192.03
1863.60
2101.20
2176.90
2580.20
1153.80
1191.30
1294.30
976.30
1084.90
1104.10
1326.90
1394.10
744.50
882.90
1645.30
1803.30
1504.70
1422.10
1577.70
1092.60
1109.83
520.80
578.10
549.90
893.80
290.10
369.80
578.70
46191.70
49724.20
52466.70
54040.70
44762.55
35484.40
36643.08
Rajungan Udang windu Udang putih Udang dogol Udang lainnya Kerang darah
Jumlah
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
81
60000
Produksi (Ton)
50000 40000 30000 20000 10000 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 12
Perkembangan produksi total perikanan tangkap menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007.
Kapal perikanan yang beroperasi di sekitar perairan Sumatera Selatan, pada umumnya melakukan satu kali trip (one day fishing). Meskipun demikian, masing-masing kapal memiliki durasi dan jumlah trip yang berbeda tergantung pada jenis alat tangkap dan ukuran kapal yang digunakan. Pada tahun 2001, jumlah trip secara keseluruhan mencapai 774.343 dan pada tahun 2007 naik mencapai angka 982.386. Kenaikan jumlah trip ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah armada pada tahun yang sama. Jumlah trip terbesar dalam kurun waktu 7 tahun terakhir terjadi pada alat tangkap pancing tonda dan pancing lainnya, perangkap dan trammel net. Jumlah trip kapal penangkapan ikan menurut alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan seperti yang di tunjukan pada Table 9.
82 Tabel 9
Jumlah trip kapal penangkapan ikan menurut alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
No.
Tahun
Alat Tangkap 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
1.
Payang
6468
9418
12530
12172
15847
16744
15848
2.
Jaring insang hanyut
78489
67167
62424
64566
25146
30888
30883
3.
Jaring insang tetap
39200
40400
165000
134932
116653
112038
94656
4.
Jaring insang lingkar
17170
15895
14620
14620
11390
11900
13940
5.
Jaring klitik
45951
11024
67581
67721
78536
90723
96200
6.
Trammel net
139200
142400
154080
137460
119848
116156
107304
7.
Bagan tancap
85500
87000
97200
107550
78600
79650
82500
8.
Serok
52000
7800
45180
41159
38482
41322
54128
9.
Jaring angkat lainnya
12702
34365
56246
57203
63380
69557
66468
10.
Pancing+Pancing Tonda
132090
144670
177140
180880
150620
154360
156740
11.
Sero
23280
24480
30604
30604
57288
58124
92280
12.
Alat perangkap lainnya
107000
160400
73980
108704
105293
112890
127296
13.
Alat pengumpul kerang
14840
2100
39480
41300
8880
9259
17920
14.
Jenis alat lainnya
20453
21765
2077
24389
2787
25505
26223
774343
768884
1019142
1023260
894750
929115
982386
Jumlah
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Produktivitas alat penangkapan ikan diartikan sebagai ukuran jumlah hasil tangkapan yang diperoleh baik selama setahun atau per trip menurut jenis alat tangkap yang digunakan. Produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan secara umum mengalami fluktuasi antara tahun 20012007. Alat tangkap jaring insang hanyut memiliki produktivitas yang paling tinggi pada tahun 2007 yaitu 16,99 ton. Peningkatan jumlah alat tangkap yang tidak sebanding dengan peningkatan produksi mengakibatkan nilai produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan menjadi menurun seperti ditunjukkan pada Tabel 10.
83 Tabel 10 Produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 (Ton/Tahun/Alat penangkap ikan) Tahun No.
Alat Tangkap
1.
Payang
2001 2,65
2002 2,69
2003 1,07
2004 1,14
2005 0,49
2006 0,54
2007 0,77
2.
Jaring insang hanyut
23,34
12,65
30,26
30,04
26,79
18,58
16,99
3.
Jaring insang tetap
0,68
1,00
8,06
8,04
6,74
5,73
2,57
4.
Jaring insang lingkar
4,68
6,59
8,09
8,22
4,02
4,92
5,81
5.
Jaring klitik
8,96
8,29
7,14
7,23
3,80
4,96
7,03
6.
Trammel net
9,54
9,97
4,89
4,97
2,64
3,49
5,51
7.
Bagan tancap
16,72
17,50
14,33
13,34
11,66
8,53
10,71
8.
Serok
0,25
2,36
0,38
0,42
0,44
0,35
0,29
9.
Jaring angkat lainnya
0,20
0,10
0,06
0,06
0,03
0,03
0,06
10.
Pancing
7,64
8,51
5,81
5,88
5,25
3,14
2,30
11.
Sero
15,88
16,04
8,82
5,62
2,70
3,24
2,73
12.
Jermal
8,13
5,81
9,62
5,92
3,92
3,37
1,35
13.
Alat perangkap lainnya
3,08
24,06
1,95
1,91
1,68
7,25
6,11
14.
Alat pengumpul kerang
0,06
0,07
0,29
0,27
0,46
0,17
0,32
2,65
2,69
1,07
1,14
0,49
0,54
0,77
Rata-rata
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Penurunan produktivitas alat penangkapan dari tahun 2001-2007 juga diikuti dengan mengurangi produksi rata-rata per trip alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 2001 produktivitas rata-rata dari ke-14 alat tangkap yang ada adalah sebesar 0.051 ton/trip dan naik menjadi menjadi 0,082 ton/trip pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2007 kembali menurun sehingga menjadi 0,051 ton/trip pada tahun. Produksi rata-rata per trip alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 11.
84 Tabel 11 Produksi rata-rata per trip alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 (Ton/Trip/Alat penangkap ikan) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Alat Tangkap Payang Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring insang lingkar Jaring klitik Trammel net Bagan tancap Serok Jaring angkat lainnya Pancing Sero Alat perangkap lainnya Alat pengumpul kerang Jenis alat lainnya Rata-rata
2001 0,040 0,153 0,003 0,028 0,067 0,048 0,111 0,001 0,002 0,045 0,132 0,041 0,022
2002 0,040 0,190 0,005 0,039 0,303 0,050 0,117 0,012 0,001 0,044 0,134 0,029 0,172
2003 0,015 0,198 0,040 0,048 0,050 0,027 0,096 0,002 0,001 0,034 0,103 0,053 0,014
Tahun 2004 0,017 0,196 0,051 0,048 0,051 0,031 0,089 0,003 0,001 0,035 0,106 0,037 0,014
0,015 0,051
0,017 0,082
0,024 0,050
0,081 0,054
2005 0,006 0,462 0,047 0,032 0,023 0,019 0,107 0,003 0,000 0,041 0,029 0,028 0,033
2006 0,008 0,268 0,040 0,039 0,025 0,025 0,078 0,002 0,000 0,027 0,037 0,024 0,040
2007 0,012 0,264 0,019 0,042 0,030 0,041 0,103 0,002 0,001 0,021 0,023 0,010 0,044
0,012 0,060
0,051 0,047
0,102 0,051
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Tingkat produktivitas alat penangkapan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di samping tingkat harga ikan hasil tangkapan. Dengan meningkatnya produktivitas maka pendapatan nelayan pun akan meningkat. Harga ikan di Provinsi Sumatera Selatan mengalami fluktuasi. Fluktuasi yang terjadi ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi negara, kebijakan pemerintah dan ketersediaan sumberdaya yang terbatas pada musim-musim tertentu. Harga sumberdaya yang paling tinggi sejak tahun 2001-2007 adalah udang windu yaitu berada pada kisaran Rp 40.000 – Rp 43.000 per Kg, sedangkan kerang darah memiliki harga yang paling rendah yaitu Rp 1.500 – Rp 3.500 per Kg. Harga ikan menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan ditunjukkan pada Tabel 12.
85 Tabel 12 Harga ikan (Rp/kg) menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 Tahun Kategori
Jenis Ikan 2001
Demersal
Pelagis
Binatang berkulit keras
Binatang berkulit lunak
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Sebelah
5.500
6.000
6.000
6.500
7.000
7.000
7.500
Peperek
5.500
5.500
5.500
6.000
6.000
6.000
6.500
Manyung Gerot-gerot
5.000 4.000
5.000 4.000
5.000 4.500
5.000 5.000
5.500 5.500
6.000 6.000
7.500 7.000
Merah
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
9.500
9.500
Kakap
5.000
6.000
7.500
8.000
9.000
9.000
9.000
Gulamah
2.500
2.500
2.500
3.000
4.000
4.500
6.000
Cucut
5.000
5.000
5.000
5.500
6.000
7.000
7.500
Pari
4.000
4.000
4.000
4.500
5.000
6.000
6.500
Kuro
8.000
10.000
13.000
16.000
18.000
18.000
20.000
Layur
4.500
4.500
5.500
6.500
7.500
8.000
8.000
Bawal Hitam
6.500
7.000
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
Bawal Putih
6.500
7.000
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
Selar
4.000
4.000
4.500
5.000
6.000
6.500
7.000
Belanak
4.000
4.000
4.500
4.500
5.500
6.000
6.500
Teri
4.000
4.500
4.500
5.000
5.500
5.500
5.500
Japuh
4.000
4.000
4.500
4.500
5.000
5.000
7.000
Golok-golok
4.000
4.000
4.500
5.000
6.000
6.000
7.000
Kembung
5.000
5.000
5.500
6.500
7.000
7.500
8.000
Tenggiri Papan
7.000
7.500
8.500
9.000
9.500
10.000
11.000
Tenggiri
7.000
7.500
8.500
9.000
9.500
10.000
11.000
Tongkol
4.000
4.000
4.500
5.000
5.500
6.500
7.500
Ikan lainnya
3.000
3.500
4.000
4.500
5.500
6.000
6.000
Rajungan
20.000
20.000
20.500
23.000
23.000
24.000
25.000
Udang windu
40.000
40.000
42.000
42.000
43.000
43.000
43.000
Udang putih
37.000
37.000
38.000
38.000
40.000
42.000
44.000
Udang dogol
25.000
25.000
30.000
30.000
31.000
31.000
32.000
Udang lainnya
10.000
10.000
12.000
15.000
15.000
15.500
16.000
Kerang darah
1.500
1.500
2.000
2.000
2.500
3.000
3.500
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Nilai produksi perikanan tangkap dari jenis demersal, pelagis, binatang bertulang lunak dan binatang bertulang keras di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan Tabel 13 terlihat mengalami kenaikan dari tahun 2001-2007. Pada tahun 2001 nilai produksi perikanan tangkap sebesar Rp. 296.791.000.000- dan Rp. 374.185.200.000,- pada tahun 2007. Nilai produksi perikanan tangkap meningkat seiring dengan meningkatnya hasil tangkapan. Peningkatan hasil tangkapan didukung dengan peningkatan alat penangkapan dan armada perahu/kapal. Secara lebih jelas nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ditunjukkan pada Tabel 13.
86 Tabel 13
Nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 Tahun (Rp. X 1.000.000)
Kategori
Jenis Ikan 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Sebelah
2660,9
3211,8
3379,2
3765,5
4187,4
2660,7
3651,0
Peperek
8032,2
8649,3
9231,2
10363,8
9075,0
6803,4
8351,2
Manyung
16583,0
18534,0
19895,5
22409,0
11288,8
14785,8
16209,3
Gerot-gerot
6954,8
7440,0
9158,0
10475,0
5934,0
8253,0
9669,1
Merah
3931,5
5218,8
6038,2
7085,6
5198,0
5523,3
9056,4
Kakap
6027,0
8144,4
10618,5
16025,6
20268,0
8626,5
9329,4
Gulamah
1423,3
1769,0
1806,0
3371,1
3528,8
2192,9
3117,2
10064,0
10935,0
11603,J0
12214,4
11236,8
10966,9
11109,5
Pari
8722,8
9304,4
9067,6
12382,7
10006,0
9187,2
8736,7
Kuro
1732,8
3010,0
4563,0
7918,4
3339,0
4251,6
8478,7
Layur
2473,7
2749,1
3245,0
4273,1
2343,0
3184,8
4990,7
Bawal Hitam
9319,7
11206,3
12000,8
13773,0
12865,6
11540,5
12272,7
Bawal Putih
5232,5
6722,8
6619,9
9400,5
7203,2
5422,2
7599,6
Selar
6515,2
6874,4
8758,4
5325,0
6189,0
8548,8
8974,5
Belanak
5164,4
5856,0
6881,0
8563,5
8855,6
6195,6
10829,4
Teri
6555,6
7826,4
6260,0
7159,5
7355,7
5170,0
7380,6
Japuh
2034,8
2315,2
2461,1
2528,1
1446,0
1843,0
4081,0
Golok-golok
9688,0
10684,8
13547,3
18334,0
7380,0
10077,6
12061,5
Demersal Cucut
Pelagis
764,0
1040,0
1180,3
2875,6
3211,6
1096,5
2028,8
Tenggiri Papan
7018,2
8442,0
8881,7
9679,5
9062,1
7061,0
9020,0
Tenggiri
5695,9
6695,3
7242,9
7884,9
6184,5
5748,0
7603,6
Kembung
1724,0
2056,8
2266,7
2583,0
2563,6
2204,8
4167,5
41691,9
48120,5
58656,0
52626,2
84044,4
62989,2
51118,0
9402,0
14004,0
36977,9
48403,5
23202,4
30146,4
31106,8
Tongkol Ikan lainnya Rajungan Binatang berkulit keras
Binatang berkulit lunak
Udang windu
6784,0
7988,0
7513,8
15489,6
8380,7
5194,4
8257,4
Udang putih
68953,2
77744,4
82722,2
98047,6
46152,0
50034,6
56949,2
Udang dogol
24407,5
27122,5
33123,0
39807,0
43217,1
23079,5
28252,8
Udang lainnya
16453,0
18033,0
18056,4
21331,5
23665,5
16935,3
17757,3
781,2
867,2
1099,8
1787,6
725,3
1109,4
2025,5
296791,0
342565,2
402854,0
475883,7
388108,8
330832,8
374185,2
Kerang darah Jumlah
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Keberlanjutan perikanan tangkap di suatu daerah tidak terlepas dari volume produksi tahunan.
Angka produksi tersebut menunjukkan seberapa
besar potensi sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan di wilayah tersebut. Meskipun sumberdaya perikanan termasuk dalam jenis sumberdaya yang dapat pulih,
namun
pengeksploitasian
menyebabkan kepunahan ikan.
yang
tidak
bertanggung
jawab
dapat
Menurut Suharso et. al (2006), sumberdaya
perikanan dapat dieksploitasi pada tingkat tertentu tanpa dampak negatif terhadap stok sumberdaya ikan. Oleh karena itu, prinsip yang perlu dipahami
87 adalah bagaimana menggali sumberdaya yang ada di Provinsi Sumatera Selatan untuk kehidupan masyarakat secara lestari dan berkelanjutan. Walaupun sumberdaya perikanan termasuk sumberdaya yang dapat diperbaharui, tetapi jika pengelolaannya salah, maka sumberdaya tersebut akan mengalami kepunahan dan tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh manusia.
4.3.5
Pengolahan hasil perikanan Proses pengolahan hasil perikanan secara umum dapat dibedakan dalam
beberapa jenis. Untuk komoditas ekspor seperti udang dan rajungan, setelah mengalami pengolahan dengan memotong kepala (udang tanpa kepala) dan pemisahan cangkang (rajungan), produk ekspor tersebut langsung dibekukan untuk mempertahankan mutu tetap baik. Pengolahan produk komoditas lokal dilakukan dengan cara pemindangan, pengasapan maupun penjemuran. Jenis olahan lain yang menjadi salah satu makanan khas Provinsi Sumatera Selatan adalah
pempek dan kerupuk ikan.
Makanan yang bahan
utamanya dari ikan ini menjadi oleh-oleh khas bagi wisatawan dan sangat disenangi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan potensi pasar yang besar merupakan salah satu keunggulan hasil olahan perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Melalui koordinasi dan pembinaan yang terpadu, maka usaha pempek dan kerupuk dapat dikembangkan dengan lebih baik dan melibatkan banyak tenaga kerja yang pada akhirnya bukan hanya meningkatkan pendapatan bagi pengusaha tetapi juga mampu menggerakkan ekonomi bagi masyarakat pesisir.
4.3.6
Pemasaran hasil tangkapan Produk perikanan Provinsi Sumatera Selatan telah didistribusikan ke
berbagai wilayah pemasaran baik lokal, nasional maupun internasional. Wilayah pemasaran lokal meliputi kabupaten/kota di seluruh Provinsi Sumatera Selatan hingga ke wilayah lain yang permintaan produk perikanannya tinggi.
Metode
pemasaran dapat dilakukan langsung di tempat pendaratan ikan baik kepada pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan konsumen lainnya. Selain di pasarkan di lingkungan Provinsi Sumatera Selatan, ikan-ikan hasil tangkapan nelayan di daerah ini juga didistribusikan ke provinsi lain baik di wilayah Sumatera maupun ke Jakarta, Batam dan Tanjung Balai Karimun. Komoditi andalannya antara lain udang, rajungan, golok-golok dan manyung.
88 4.3.7
Prasarana perikanan Provinsi Sumatera Selatan belum terdapat pelabuhan perikanan skala
menengah ataupun kecil. Dalam kegiatan jual beli hasil perikanan, terdapat 2 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang masing-masing terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin. Pangkalan Pendaratan Ikan diharapkan dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Adapun lokasi dan kondisi PPI tersebut disajikan pada Tabel 14. Tabel 14
Pangkalan Pendaratan Ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Nama PPI
Lokasi
Kondisi
Ogan Komiring Ilir
Kabupaten. Ogan Komiring Ilir
Masih berfungsi
Banyuasin
Kabupaten. Banyuasin
Masih berfungsi
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Dalam perkembangan ke depan, setelah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi Provinsi sendiri (dulunya masih bergabung dengan Sumatera Selatan) dibutuhkan pelabuhan perikanan yang dapat dijadikan sarana dalam meningkatkan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Adanya pelabuhan perikanan akan membuat kegiatan perikanan berjalan lancar sehingga dapat meningkatkan penghasilan masyarakat.
4.4
Sumberdaya Ikan Unggulan Indonesia termasuk daerah tropis dengan berbagai jenis sumberdaya ikan
baik pelagis maupun demersal.
Jumlah spesies yang beragam tersebut
memberikan 2 hal yang berbeda.
Keberagaman spesies menyebabkan
penentuan jumlah stok sumberdaya ikan memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah subtropis yang umumnya memiliki single spesies. Namun demikian, jumlah spesies yang relatif tinggi memberikan banyak pilihan dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan. Nilai produksi dan usaha perikanan dipengaruhi oleh kegiatan pemasaran. Dalam kegiatan pemasaran perlu memperhatikan upaya pemenuhan kebutuhan akan ikan, baik untuk skala domestik maupun skala ekspor dengan ketentuan
89 harga yang pantas di tingkat nelayan. Kesejahteraan nelayan dapat ditingkatkan dengan adanya kegiatan pemasaran. Perluasan jangkauan pasar, promosi, penyediaan informasi dan peningkatan pengetahuan nelayan merupakan faktorfaktor lainnya yang dapat meningkatkan produksi dengan selalu berorientasi pada permintaan pasar. Untuk mengetahui jenis-jenis komoditas yang memiliki potensi dan nilai jual yang tinggi, dapat dilakukan dengan pendekatan aspek pemasaran. Oleh karena itu, aspek ini digunakan dalam menentukan komoditas unggulan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Aspek pemasaran dilakukan melalui 2 tahapan. Diharapkan dengan melakukan 2 tahapan tersebut akan diperoleh komoditas unggulan yang benarbenar dapat dijadikan basis dalam pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan pada masa yang akan datang. Komoditas unggulan harus selalu ditingkatkan dari tahun ke tahun dengan tetap memperhatikan kelestarian dari sumberdaya tersebut. Tahapan tersebut adalah pertama, semua komoditas yang dianggap memiliki potensi pemasaran yang baik diinventarisasi, komoditas tersebut diperoleh dari para stakeholder perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Inventarisasi dari data sekunder juga dijadikan masukan dalam menentukan komoditas unggulan. Selanjutnya, informasi tersebut di seleksi kembali
dengan
menggunakan
metode
skoring.
Kedua,
menggunakan
pendekatan pada aspek pemasaran. kriteria yang digunakan antara lain nilai produksi, harga, wilayah pemasaran dan nilai tambah.
Hasil analisis dengan
menggunakan metode skoring menunjukkan adanya perbedaan ranking dari 23 jenis ikan yang menjadi target penangkapan nelayan di Provinsi Sumatera Selatan. Jenis ikan yang memiliki ranking tertinggi merupakan komoditas unggulan yang layak untuk dikembangkan. Komoditas unggulan terpilih yang berada pada 4 ranking teratas dipilih sebagai komoditas unggulan berdasarkan fungsi nilai tertinggi. Keempat jenis komoditas unggulan terpilih tersebut adalah udang, rajungan, manyung dan golok-golok. Udang dan rajungan merupakan komoditas utama yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan dengan ikan manyung dan golok-golok. Selain itu, sifat biologis udang yang memiliki kemampuan recovery/pemulihan cukup cepat menyebabkan jenis komoditas ini relatif aman untuk ditangkap.
Namun dalam pelaksanaannya harus tetap
menggunakan cara dan metode yang ramah lingkungan. Selain itu, wilayah cakupan pemasarannya yang mencakup wilayah internasional (ekspor) serta harganya yang tinggi menjadi kekuatan tersendiri yang menyebabkan udang
90 berada pada rangking pertama. Sementara itu, ikan manyung dan golok-golok merupakan 2 jenis komoditas yang banyak terdapat di perairan ini. Pemanfaatan kedua jenis ikan tersebut antara lain sebagai ikan konsumsi , tingkat konsumsi ikan masyarakat yang tinggi diperkirakan akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap keempat komoditas unggulan tersebut. Proses penentuan komoditas unggulan tersebut disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Seleksi komoditas unggulan di perairan Sumatera Selatan dengan metode skoring Nama
Nama
Nilai
Fungsi
Harga
Fungsi
Wilayah
Fungsi
Nilai
Fungsi
Nilai
Rataan
Komoditi
Ilmiah
Produksi
Nilai
(Rp/Kg)
Nilai
Pemasaran
Nilai
Tambah
Nilai
Gabungan
Fungsi
Ikan Sebelah
(Rp) Psettodes erumai
Peperek
Secutor ruconis
Manyung
Arius thalassinus
Gerot-gerot
Johnius sp.
Merah
Priacanthus spp.
Rangking
Nilai
2,253,512
0.028
6,500
0.210
2
0.667
1
0.500
1.405
0.351
18
6,914,591
0.087
5,857
0.189
1
0.333
1
0.500
1.110
0.277
22
27,570,700
0.347
5,571
0.180
2
0.667
2
1.000
2.193
0.548
3
6,348,485
0.080
5,143
0.166
1
0.333
1
0.500
1.079
0.270
21
4,556,332
0.057
7,714
0.249
2
0.667
1
0.500
1.473
0.368
16
Kakap
Lutjanus spp
8,618,891
0.108
7,643
0.247
2
1.000
1
0.500
1.855
0.464
7
Gulamah
Argyrosomus amoyensis
1,739,367
0.022
3,571
0.115
2
0.667
2
1.000
1.804
0.451
10
Cucut
Sphyrhinidae
10,472,008
0.132
5,857
0.189
2
0.667
1
0.500
1.488
0.372
12
Pari
Trigonidae
12,798,688
0.161
4,857
0.157
1
0.333
2
1.000
1.651
0.413
11
Kuro
Eletheronema tetradactylum
20,375,114
0.256
14,714
0.475
3
1.000
1
0.500
2.232
0.558
5
Layur
Trichiurus savala
4,337,045
0.055
6,357
0.205
2
0.667
1
0.500
1.427
0.357
19
Bawal hitam
Formio niger
6,485,262
0.082
7,643
0.247
2
0.667
1
0.500
1.495
0.374
13 17
Selar
Caranx bucculentus
4,672,159
0.059
5,286
0.171
2
0.667
1
0.500
1.396
0.349
Belanak
Mugil sp
5,186,088
0.065
5,000
0.162
2
0.667
2
1.000
1.893
0.473
6
Teri
Thryssa sp
8,862,257
0.111
4,929
0.159
1
0.333
2
1.000
1.604
0.401
14
Japuh
Dussumieria acuta
2,162,512
Golok-golok
Chirocentrus dorab
19,917,307
0.250
5,214
0.168
2
0.667
2
1.000
2.086
0.521
4
Kembung
Rastrelliger k anagurta
1,092,797
0.014
0.027
6,357
4,857
0.205
0.157
2
2
0.667
0.667
2
2
1.000
1.000
1.886
1.851
0.471
0.463
8
9
Tenggiri
Scomberomorus comersonii
6,858,420
0.086
8,929
0.289
2
0.667
1
0.500
1.541
0.385
15
Tongkol
Euthynus sp
1,692,210
0.021
5,286
0.171
2
0.667
1
0.500
1.359
0.340
20
Rajungan
Portunus sp
55,031,000
0.692
22,214
0.718
3
1.000
2
1.000
3.410
0.852
Udang Kerang darah
Penaeid
79,549,572
1.000
30,946
1.000
3
1.000
1
0.500
3.500
0.875
1
1,195,615
0.015
2,286
0.074
1
0.333
1
0.500
0.922
0.231
23
Anadara sp
Keterangan : Untuk wilayah pemasaran Untuk nilai tambah
: :
1 = Lokal 1 = Rendah
2 = Nasional 2 = Tinggi
2
3 = Internasional 3 = Sangat tinggi
Komoditas unggulan hasil seleksi merupakan jenis ikan yang menjadi prioritas pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan jenis komoditi unggulan tersebut maka selanjutnya dilakukan berbagai analisis sehingga dihasilkan strategi pemanfaatan yang tepat dan optimal. Analisis yang dimaksud antara lain status dan tingkat pemanfaatan keempat komoditas unggulan, teknologi penangkapan yang tepat serta alokasi optimum bagi teknologi penangkapan terpilih.
4.5
Status dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Unggulan Di Provinsi Sumatera Selatan terdapat 4 (empat) jenis komoditas
unggulan. Keempat jenis komoditas tersebut diperoleh dari hasil survei, kuisioner, wawancara dengan nelayan dan stakeholder di lokasi studi. Pemanfaatan keempat jenis komoditas unggulan tersebut dapat dioptimalkan
91 dengan melakukan pendugaan terhadap ketersediaan stok dan tingkat pemanfaatan jenis ikan unggulan. Estimasi terhadap keberadaan stok ikan dengan menggunakan metode surplus production. Alasan digunakannya metode tersebut karena metode tersebut relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya. Kesuksesan dalam menggunakan metode ini terletak pada keakuratan sumber data yang digunakan dalam analisis stok sumberdaya ikan nantinya. Metode ini membutuhkan data-data time series seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan pada lokasi penelitian. Penggunaan metode surplus production dengan menerapkan Model Schaefer pada kondisi tertentu, bisa digunakan dalam menghitung dan menentukan batas hasil tangkapan yang diperbolehkan, yaitu untuk memberikan kelonggaran dan keleluasaan bagi nelayan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang ada (Zulkarnain dan Darmawan, 1997). Suatu stok dianggap sebuah gumpalan besar biomasa dan sama sekali tidak berpedoman atas umur dan ukuran panjang ikan (Gulland 1983). Dengan mempertimbangankan bahwa jumlah biomasa stok tetap dan adanya aktivitas usaha perikanan. Dengan demikian dapat diduga bahwa semakin banyak jumlah kapal, maka akan semakin kecil bagian masing-masing kapal. Selain itu, Selanjutnya kejadian tangkap lebih (over fishing) dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah indikator stok, seperti : (i) penurunan hasil tangkapan per unit upaya, (ii) penurunan total hasil tangkapan yang didaratkan, (iii) penurunan rata-rata bobot/ukuran ikan, (iv) perubahan struktur umur/struktur ukuran, dan atau (v) perubahan komposisi spesies dalam populasi (Widodo (2003). Hasil analisis potensi sumberdaya ikan untuk ke empat jenis komoditi unggulan dengan menggunakan metode surplus production dapat ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 16
No.
Potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan untuk komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan
Jenis ikan
Potensi Lestari (ton)
Upaya optimum (trip)
1.
Udang
6.297,98
709.952
2.
Rajungan
1.955,98
3.
Manyung
4.488,06
4.
Golok-golok
3.718,69
Sumber : hasil analisis
Upaya aktual (trip)
Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (ton)
Produksi rata-rata (ton)
Tingkat Pemanfaatan (%)
308.802
5.038,39
4.536,5
66,77
207.849
91.940
1.564,78
1.298,3
63,60
358.268
135.713
3.590,45
3.308,9
65,02
286.413
92.520
2.974,95
2.514,7
58,42
92 Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 16, komoditi unggulan memiliki tingkat pemanfaatan yang beragam. Udang memiliki tingkat pemanfaatan mencapai 66,77% dan masih memiliki peluang pengembangan yang cukup besar. Udang merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi. Wilayah pemasarannya tersebar luas mulai dari pasar domestik hingga manca negara. Harga jualnya yang diatas rata-rata menjadi pemicu penangkapan secara besar-besaran. Udang memiliki sifat biologi reproduksi yang unik, dimana udang memiliki siklus reproduksi relatif singkat (< 1 tahun). Hal ini menyebabkan tingkat pulihnya (recovery) menjadi sangat cepat. Oleh karena itu, pemanfaatan udang yang dilakukan secara bertanggung jawab dan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan akan tetap menjamin kelestarian sumberdaya udang di perairan Sumatera Selatan.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka peluang pengembangan perikanan udang masih sangat besar dengan memperbaiki teknologi penangkapan yang digunakan dan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya penangkapan yang ramah lingkungan. Pemanfaatan rajungan baik sebagai bahan konsumsi penduduk lokal dan nasional juga mulai dilirik sebagai salah satu komoditas ekspor baik dalam bentuk segar maupun olahan.
Harga jualnya yang relatif tinggi juga menjadi
daya tarik tersendiri bagi penangkapan rajungan oleh nelayan. Tingkat pemanfaatan rajungan di perairan Sumatera Selatan mencapai 63,60%. Oleh karena itu, peluang pengembangan perikanan rajungan masih sangat besar. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan introduksi terhadap metode dan alat penangkapan yang digunakan.
Hal ini tentu saja harus
berpedoman pada kaidah-kaidah pemanfaatan yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab. Ikan manyung dan golok-golok juga memiliki peluang pengembangan yang masih tergolong baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai tingkat pemanfaatannya yang masing-masing 65,02% dan 58,42%.
Oleh karena itu, peluang
pengembangan kedua jenis komoditi tersebut masih sangat besar (34,98% dan 41,58%). Potensi perikanan yang masih tersisa hendaknya dapat dimanfaatkan dengan bijak melalui berbagai langkah dalam mewujudkan pembangunan perikanan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Pembangunan perikanan
merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui
93 penerapan teknologi yang lebih baik (Nikijuluw, 2002).
Oleh karena itu,
pemerintah daerah sudah seharusnya memberikan sumbangsih dan peran aktif dalam mengoptimalkan pemanfaatan SDI baik melalui introduksi teknologi penangkapan yang lebih efektif dan selektif, pendampingan nelayan dan penguatan kelembagaan. Melalui penguatan kelembagaan dan pendampingan diharapkan dapat mengangkat derajat kesejahteraan nelayan dan sekaligus menjadikan
sektor
perikanan
tangkap
perekonomian di Sumatera Selatan.
sebagai
leading
sector
dalam
Selain itu, keberadaan sumberdaya
perikanan bagi masyarakat pesisir yang sangat penting hendaknya menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam merancang pola pengelolaan yang rasional. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berlanjut (sustainable) dan memberi nilai ekonomi bagi pengembangan kawasan Sumatera Selatan (Gaffar et al. 2007). Analisis terhadap komodits unggulan telah dilakukan dengan memperoleh jenis komoditasnya dan potensi yang masih memiliki peluang pengembangannya pada masa yang akan datang. Selanjutnya dapat dilakukan analisis terhadap jenis teknologi yang memungkinkan digunakan dalam mendukung pemanfaatan sumberdaya ikan dominan di Provinsi Sumatera Selatan. Menurut Monintja (2000), pemilihan suatu teknologi penangkapan ikan yang tepat untuk diterapkan dalam pengembangan perikanan tangkap perlu mempertimbangkan : (1) teknologi yang ramah lingkungan, (2) teknologi yang secara teknis dan ekonomis menguntungkan, dan (3) teknologi yang berkelanjutan.
4.6
Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan Unggulan Pemilihan teknologi penangkapan ikan unggulan dilakukan menggunakan
metode MCA (multi kriteria analisis). Kriteria yang digunakan untuk menentukan unit penangkapan terbaik adalah biologi, teknis, sosial, dan ekonomi dari pengoperasian unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan.
4.6.1
Aspek biologi Analisis terhadap aspek biologi dilakukan untuk melihat apakah jenis alat
tangkap yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan Sumatera Selatan mengganggu atau tidak terhadap kondisi biologis sumberdaya
94 ikan. Penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan dititik beratkan pada tiga kriteria utama yaitu lama musim ikan, lama waktu musim penangkapan ikan, dan selektivitas masing-masing alat tangkap terhadap sumberdaya yang menjadi target penangkapannya. Dari hasil analisis seperti yang di sajikan seperti pada Tabel 17, unit penangkapan pancing merupakan alat tangkap yang memiliki nilai paling baik berdasarkan kriteria lama musim ikan selama satu tahun, Tingginya penilaian pancing disebabkan unit penangkapan pancing di Sumatera Selatan dapat dioperasikan sepanjang tahun. Kemudian berdasarkan aspek kedua yaitu lama waktu musim penangkapan, unit penangkapan yang memiliki nilai atau prioritas yang tinggi adalah perangkap, jaring klitik, dan jaring insang tetap. Kriteria terakhir yang digunakan untuk menilai aspek biologi adalah selektivitas alat tangkap, dari 8 (delapan) jenis alat tangkap yang digunakan di Perairan Sumatera Selatan, unit penangkapan yang memiliki selektivitas terbaik adalah, pancing. Hal ini disebabkan unit penangkapan pancing hanya menangkap ikanikan ukuran tertentu sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan. Secara
keseluruhan
berdasarkan
penilaian
aspek
biologi
unit
penangkapan yang memiliki nilai terbaik adalah pancing, diikuti oleh jaring kelitik dan jaring insang tetap, kemudian perangkap pada prioritas ketiga, pada prioritas ke 4 adalah jaring insang hanyut dan trammel net, serta urutan kelima hingga terakhir masing-masing adalah bagan tancap dan jaring insang lingkar.
95 Tabel 17 Penilaian aspek biologi unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan No 1 2 3 4 5 6 7 8
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kriteria Penilaian
Unit Penangkapan Ikan Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut Unit Penangkapan Ikan Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut
W1 UP W2 9 4 8 11 2 9 11 2 9 11 2 9 12 1 8 9 4 8 10 3 7 9 4 8 Standardisasi Kriteria Penilaian V(W1) V(W2) V(W3) 0,00 0,50 0,00 0,67 1,00 0,00 0,67 1,00 0,50 0,67 1,00 0,50 1,00 0,50 1,00 0,00 0,50 0,50 0,33 0,00 0,00 0,00 0,50 0,50
UP 2 1 1 1 2 2 3 2
W3 2 2 3 3 4 3 2 3
UP 3 3 2 2 1 2 3 2
V(W)
UP
0,50 1,67 2,17 2,17 2,50 1,00 0,33 1,00
5 3 2 2 1 4 6 4
Sumber : hasil analisis
Keterangan : Wl
= lama waktu musim ikan (bulan)
W2
= lama waktu musim penangkapan ikan (bulan)
W3
= selektivitas alat tangkap
V(Wl)
= lama musim ikan yang distandardisasi
V(W2)
= lama musin ikan penangkapan ikan yang distandardisasi
V(W3)
= selektivitas yang distandardisasi
UP
= urutan prioritas
4.6.2
Aspek teknis Jenis alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di Provinsi
Sumatera Selatan adalah jenis alat tangkap yang umum digunakan seperti gillnet, trammel net, pancing, perangkap, Jaring insang lingkar, jaring insang hanyut dan bagan tancap. Teknologi penangkapan yang ada dan digunakan tersebut masih berskala kecil dan masih menggunakan teknologi yang relatif sederhana. Adapun jenis teknologi penangkapan eksisting yang ada di Provinsi Sumatera Selatan yang digunakan untuk menangkap jenis komoditi unggulan (Udang, manyung, golok-golok dan rajungan) adalah jaring insang hanyut, jaring
96 insang tetap, jaring klitik, pancing, perangkap, trammel net dan bagan tancap. Adapun penggunaan jenis teknologi penangkapan ikan komoditi unggulan disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18
Jenis teknologi yang digunakan untuk menangkap ikan jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan
Komoditi Unggulan
Jenis Teknologi Penangkapan eksisting
Udang
Jaring klitik, trammel net dan jaring insang tetap Jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap, trammel net, bagan tancap dan pancing
Manyung Golok-golok Rajungan
Jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, trammel net, bagan tancap dan jaring klitik Jaring insang tetap, perangkap
Jika dilihat dari jumlah dan penggunaan jenis teknologi penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dikatakan bahwa jenis alat tangkap yang digunakan masih belum optimal. Hal ini terlihat bahwa beberapa jenis alat tangkap menangkap jenis ikan yang sama, sehingga teknologi penangkapan tersebut tidaklah efektif untuk menangkap jenis ikan yang merupakan target dari penangkapan.
Dalam penelitian ini masih
dibutuhkan analisis terhadap
penggunaan teknologi penangkapan yang tepat, efektif dan ramah lingkungan. Keragaman aspek teknis dari teknologi penangkapan yang digunakan di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan dengan menggunakan metode skoring dan fungsi nilai sebagai kriteria dalam menentukan jenis teknologi yang efektif dan tepat digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di sekitar perairan Sumatera Selatan. Urutan prioritas dinilai berdasarkan dari nilai produktivitas alat per
trip
(CPUE),
produktivitas
alat
per
tahun
dan
jarak
jangkauan
penangkapannya. Jaring insang merupakan alat tangkap yang memiliki produktivitas penangkapan per tahun tertinggi bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya, kemudian alat tangkap yang memiliki produktivitas per trip tertinggi adalah unit penangkapan bagan tancap, alat tangkap ini memiliki produksi tinggi karena kondisi jaring yang berukuran kecil mampu menangkap ikan dalam berbagai selang ukuran, selain itu alat tersebut dioperasikan di sekitar pantai yang
97 merupakan daerah asuhan dan berkembangbiaknya sumberdaya ikan. Kriteria ketiga produktivitas per jam operasi yang memiliki nilai terbaik adalah jaring insang hayut, hal ini terjadi karena nelayan hanya memerlukan sedikit waktu untuk seting dan hauling pada proses pengoperasian unit penangkapan jaring insang hanyut, oleh karenanya jumlah jam operasi drift gillnet lebih baik dibandingkan alat tangkap lainnya. Bila dipandang berdasarkan produktivitas per tenaga kerja maka unit penangkapan bagan tancap adalah alat tangkap yang lebih baik karena dengan tenaga kerja berjumlah 2-3 orang unit penangkapan ini menghasilkan produksi lebih baik, hal ini terjadi karena efisiensi dan efektifitas alat tangkap ini dalam menangkap sumberdaya ikan pelagis kecil. Selain kategori-kategori di atas, alat tangkap terbaik juga dapat dilihat dari produktivitas per tenaga penggerak, hal ini penting untuk melihat apakah effort yang dikeluarkan sudah cukup efisien bila dikonversi dengan jumlah hasil tangkapan. Berdasarkan hasil perhitungan unit panangkapan bagan tancap merupakan alat tangkap terbaik dari sisi produktivitas per tenaga penggerak. Hal ini terjadi karena tenaga penggerak unit penangkapan bagan tancap hanya digunakan untuk transportasi baik nelayan maupun hasil tangkapan dari fishing base ke fishing ground, sehingga praktis selama operasi penangkapan berlangsung unit penangkapan ini tidak memerlukan tenaga penggerak lagi. Secara keseluruhan berdasarkan aspek teknis bagan tancap lebih diprioritaskan karena berdasarkan beberapa kriteria teknis pengoperasian seperti produktivitas per trip, per tenaga kerja dan per tenaga penggerak lebih unggul bila dibandingkan dengan 7 jenis alat tangkap lainnya. ditunjukkan
pemilihan
alat
tangkap
terbaik
berdasarkan
Pada Tabel 19 kriteria
teknis
pengoperasian unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan, dimana urutan dari yang tinggi hingga terendah secara berturut-turut adalah bagan tancap, jaring insang hanyut, pancing, trammel net, jaring insang tetap, jaring klitik, jaring insang lingkar dan perangkap.
98 Tabel 19
No 1 2 3 4 5 6 7 8
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Matriks pemilihan unit penangkapan unggulan berdasarkan aspek teknis operasional alat tangkap di perairan Sumatera Selatan
Unit Penangkapan Ikan Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut
Kriteria Penilaian UP X3 UP 1 0,03 2 7 0,00 7 6 0,01 5
X1 8179,43 3773,76 2697,00
UP 2 5 6
X2 0,37 0,0 0,08
2161,90
7
0,11
4
0,01
5261,01 4534,84
3 4
0,18 0,10
3 5
682,88
8
0,08
10402,09
1
0,33
Unit Penangkapan Ikan Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut
X4 0,18 0,00 0,07
UP 1 8 6
X5 0,09 0,00 0,01
UP 1 8 6
6
0,05
4
0,01
5
0,02 0,01
3 4
0,06 0,05
3 5
0,04 0,02
3 4
6
0,01
5
0,01
7
0,01
7
2
0,04
1
0,16
2
0,05
2
Standardisasi Aspek Teknis Kriteria Penilaian V(A)
UP
V(X1) 0,77 0,32 0,21
V2(X2) 1,00 0,00 0,20
V3(X3) 0,77 0,00 0,26
V4(X4) 1,00 0,00 0,13
V5(X5) 1,00 0,00 0,11
4,54 0,32 0,91
1 8 6
0,15
0,28
0,20
0,28
0,15
1,07
5
0,47 0,40
0,48 0,27
0,60 0,39
0,32 0,27
0,38 0,17
2,24 1,50
3 4
0,00
0,20
0,26
0,06
0,07
0,60
7
1,00
0,89
1,00
0,89
0,51
4,29
2
Sumber : hasil analisis
Keterangan
:
X1
: Produksi per tahun
X2
: Produksi per trip
X3
: Produksi per jam operasi
X4
: Produksi per tenaga kerja
X5
: Produksi per tenaga penggerak dan UP : Urutan prioritas
(X1)
: Standardisasi nilai produksi per tahun
V(X2) : Standardisasi nilai produksi per trip V(X3) : Standardisasi nilai produksi per jam operasi V(X4) : Standardisasi nilai produksi per tenaga kerja V(X5) : Standardisasi nilai produksi per tenaga penggerak
4.6.3
Aspek sosial Aspek sosial merupakan salah satu aspek penting yang patut diperhatikan
dalam pemilihan alat tangkap untuk dikembangkan dan digunakan secara masal
99 oleh masyarakat.
Pertimbangan aspek sosial ini sangat diperlukan karena
kebijakan penggunaan suatu alat tangkap akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat baik dari sisi permodalan, penyerapan tenaga kerja, pendapatan usaha dan pada akhirnya tingkat kesejahteraan nelayan sebagai pelaku kegiatan perikanan. Hasil perhitungan kriteria sosial dan standardisasinya disajikan pada Tabel 20. Kriteria yang digunakan untuk mengukur aspek sosial kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah jumlah tenaga kerja, pendapatan nelayan per tahun, dan kemungkinan kepemilikan suatu alat tangkap oleh nelayan. insang
Berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja, unit penangkapan jaring lingkar
merupakan
alat
tangkap
yang
terbaik,
karena
mampu
mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya.
Dari sisi pendapatan nelayan per tahun, unit penangkapan
yang memberikan penghasilan terbesar adalah jaring insang tetap, oleh karena itu unit penangkapan jaring insang tetap memiliki prioritas lebih baik dari sisi pendapatan nelayan.
Kemudian bila dilihat dari sisi kemampuan nelayan
memiliki alat tangkap maka unit penangkapan trammel net merupakan alat tangkap yang sisi kepemilikannya lebih baik bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya.
Hal ini disebabkan tingkat investasi untuk kegiatan
penangkapan dengan menggunakan trammel net lebih murah. Secara keseluruhan, unit penangkapan yang terbaik berdasarkan aspek sosial adalah trammel net.
Munculnya trammel net sebagai alat terbaik
berdasarkan aspek sosial disebabkan unit penangkapan ini mudah dimiliki oleh nelayan dalam arti jumlah investasi yang harus dikeluarkan oleh nelayan untuk memiliki alat tangkap ini relatif lebih murah dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Selain itu, trammel net juga dapat memberikan hasil usaha cukup baik. Secara rinci penilaian aspek sosial disajikan pada Tabel 20.
100 Tabel 20
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Matriks keragaman aspek sosial dari teknologi penangkapan eksisting untuk komoditi unggulan di perairan Sumatera Selatan
Unit Penangkapan Ikan Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut
Kriteria Penilaian X1 2 2 3 2 3 2 6 2
UP 3 3 2 3 2 3 1 3
X2 7.375.500 4.048.200 5.009.500 9.819.300 4.174.756 9.020.812 2.504.750 7.425.000
UP 4 7 5 1 6 2 8 3
X3 0,16 0,13 0,06 0,14 0,09 0,18 0,04 0,14
UP 2 5 7 3 6 1 8 4
Standardisasi No 1 2 3 4 5 6 7 8
Unit Penangkapan Ikan Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut
Kriteria Penilaian V(X1) 0,00 0,00 0,25 0,00 0,25 0,00 1,00 0,00
V(X2) 0,67 0,21 0,34 1,00 0,23 0,89 0,00 0,67
V(X3) 0,86 0,64 0,10 0,71 0,34 1,00 0,00 0,68
V(A)
UP
1,52 0,85 0,70 1,71 0,82 1,89 1,00 1,35
3 6 8 2 7 1 5 4
Sumber : hasil analisis
Keterangan
:
X1
= Jumlah tenaga kerja
X2
= Pendapatan nelayan per tahun
X3
= Kemungkinan pemilikan
V(X1) = Standardisasi Jumlah tenaga kerja V(X2) = Standardisasi Pendapatan nelayan per tahun V(X3) = Standardisasi Kemungkinan pemilikan UP
= Urutan prioritas
4.6.4 Aspek ekonomi 4.6.4.1 Analisis usaha/keuntungan Secara
teoritis,
dalam
upaya
pengembangan
satu
unit
usaha
penangkapan ada baiknya kita mengetahui jumlah dana yang akan dialokasikan untuk kegiatan tersebut, sehingga dengan mengetahui hal tersebut diharapkan usaha tersebut dapat berjalan dengan baik karena keperluan dana telah diperkirakan sebelumnya. Pada penelitian ini, investasi yang dibutuhkan dalam
101 memulai usaha
penangkapan ikan di sekitar perairan Sumatera Selatan
bervariasi berkisar antara Rp 31.200.000 hingga Rp 86.500.000. Adanya perbedaan kebutuhan dana yang diperlukan dalam memulai
kegiatan usaha
penangkapan sebagian besar dipengaruhi oleh perbedaan komponen investasi terutama kapal dan perlengkapan pendukungnya. Rata-rata dari beberapa jenis usaha penangkapan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, komponen biaya investasi yang dikeluarkan oleh nelayan digunakan untuk keperluan pembelian perahu, mesin, dan alat tangkap serta perlengkapan lainnya khusus untuk bagan dan pancing. Adapun rincian biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha bidang perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Modal investasi usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Alat Tangkap Jaring insang tetap Jaring klitik jaring insang lingkar Jaring insang hanyut Trammel net Perangkap Bagan tancap Pancing
Jenis investasi (Rp) Alat Tangkap Lain-lain
Perahu
Mesin
24.000.000
12.000.000
35.000.000
-
71.000.000
22.000.000
12.000.000
52.500.000
-
86.500.000
25.000.000
12.000.000
24.000.000
-
61.000.000
25.000.000
10.000.000
20.000.000
25.000.000 18.000.000 23.000.000 24.000.000
10.000.000 12.000.000 13.000.000 15.000.000
15.750.000 1.200.000 2.500.000 5.560.000
30.000.000 2.000.000
Jumlah
55.000.000 50.750.000 31.200.000 68.500.000 46.560.000
Sumber : hasil analisis
Perhitungan keuntungan juga menjadi perhatian dalam melakukan usaha, berdasarkan perhitungan analisis usaha dilakukan terhadap delapan jenis usaha perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan diketahui bahwa, usaha perikanan jaring klitik memberikan keuntungan tertinggi dari sisi pendapatan kotor. Tingginya keuntungan usaha perikanan jaring klitik disebabkan target species alat tangkap ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu jenis crustacea terutama udang.
Selain tingkat pendapatan yang tinggi, biaya operasional
maupun investasi usaha perikanan jaring klitik juga lebih tinggi dibandingkan dengan jenis usaha perikanan tangkap lainnya.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan di sekitar perairan Sumatera Selatan diketahui bahwa kebutuhan investasi usaha perikanan jaring klitik mencapai Rp 86.500.000 dan biaya operasional yang diperlukan selama satu tahun adalah Rp 121.316.250.
102 Rincian perhitungan analisis usaha kegiatan perikanan tangkap di perairan Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Analisis usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Sumatera Selatan Analisis Usaha No.
Jenis Alat Tangkap
Investasi
Penerimaan
Biaya Nilai
Keuntu-ngan
(Rp)
(Rp)
Gabungan
(Rp)
(Rp) 1.
Jaring insang tetap
71.000.000
142.000.000
109.269.000
32.731.000
Jaring klitik
86.500.000
160.025.000
121.316.250
38.708.750
57.000.000
92.910.000
67.862.500
25.047.500
55.000.000
101.750.000
77.000.000
24.750.000
Trammel net
50.750.000
105.052.500
74.983.125
30.069.375
6.
Perangkap
31.200.000
52.104.000
38.610.000
13.494.000
7.
Bagan tancap
46.500.000
67.425.000
42.840.000
24.585.000
8.
Pancing
44.560.000
62.856.000
41.982.221
20.873.779
2.
jaring ingsang lingkar Jaring insang hanyut
3. 4. 5.
Sumber : hasil analisis
4.6.4.2 Analisis kelayakan usaha Sub bab analisis kelayakan usaha ini akan dibahas perkiraan cash flow dan analisis kriteria investasi. Analisis cash flow penting untuk memperkirakan perputaran kas dalam kegiatan usaha perikanan yang dilakukan selama umur proyek yang ditentukan. Adapun analisis cash flow dan analisis kriteria investasi dapat dilihat sebagai berikut :
(1) Perkiraan cash flow Perhitungan terhadap cash flow usaha perikanan sangat penting diperhitungkan dalam aspek finansial. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis tersebut adalah sebagai berikut : 1) Umur proyek selama 5 tahun 2) Nilai hasil tangkapan pada tahun ke-1 sampai tahun ke-5 diperkirakan tetap 3) Nilai sisa investasi sebesar 10% sesuai dengan umur teknisnya 4) Pajak penghasilan sebesar 15% per tahun 5) Discount rate tetap yaitu sebesar 18% Adapun perhitungan cash flow usaha perikanan di Provinsi Sumatera Selatan di tunjukkan pada Lampiran 1-8.
103
(2) Analisis kriteria investasi Analisis terhadap kriteria investasi merupakan salah satu aspek yang perlu diperhitungkan dalam menilai kelayakan atau kemungkinan pengembangan usaha perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Adapun kriteria investasi tersebut yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate Return (IRR). NPV merupakan jumlah net benefit yang diperoleh selama umur proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini. Net B/C merupakan perbandingan antara nilai gabungan sekarang dari penerimaan yang bersifat positif dengan nilai gabungan sekarang yang dari penerimaan yang bersifat negatif. IRR adalah nilai keuntungan internal dari investasi yang ditanamkan. Perhitungan Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate Return (IRR) di tunjukan pada lampiran 1.
4.6.4.3 Pemilihan alat tangkap berdasarkan aspek ekonomi Penilaian secara menyeluruh terhadap aspek ekonomi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan terhadap kriteria-kriteria finansial dan investasi. Kriteria tersebut adalah Penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per trip, penerimaan kotor per jam operasi, penerimaan per tenaga kerja, biaya investasi, R/C, NPV dan IRR.
Pada Tabel 22 disajikan hasil perhitungan
pemilihan alat tangkap prioritas berdasarkan aspek ekonomi. Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi dengan menggunakan delapan aspek ekonomi yaitu penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per trip, penerimaan kotor per jam operasi, penerimaan per tenaga kerja, biaya investasi, R/C, NPV dan IRR maka kegiatan usaha yang memberikan nilai yang terbaik di Provinsi Sumatera Selatan adalah Trammel net, hal ini disebabkan karena unit penangkapan trammel net memiliki tingkat penerimaan per tenaga kerja, IRR dan Net Present Value lainnya.
lebih baik dibandingkan dengan tujuh jenis alat tangkap
Secara rinci perhitungan penilaian aspek ekonomi kegiatan usaha
perikanan tangkap di perairan Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 23.
104 Tabel 23 Matriks keragaman aspek ekonomi kegiatan penangkapan ikan di perairan Sumatera Selatan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. No.
Unit Penangkapan Ikan Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut Unit Penangkapan Ikan Bagan tancap Perangkap Jaring klitik Jaring insang tetap Pancing Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut Unit Penangkapan Ikan
Kriteria Penilaian X1
UP
X2
UP
X3
UP
X4
UP
67.425.000 52.104.000 160.025.000
6 8 1
578.544 738.497 1.415.322
8 7 1
44.503 49.233 176.915
8 7 1
79.886 57.377 44.306
3 4 7
142.000.000
2
773.183
4
55.227
6
53.466
5
62.856.000 105.052.500
7 3
743.562 1.072.091
6 3
92.945 153.156
5 2
49.386 92.060
6 1
92.910.000
5
747.700
5
93.463
4
20.157
8
101.750.000
4
1.117.661
2
124.185
3
81.559
2
Kriteria Penilaian X5 46.500.000 31.200.000 86.500.000
UP 2 1 8
71.000.000
7
46.560.000 50.750.000
X6 1,57 1,35 1,32
UP 1 5 7
X7 43,64 32,33 34,04
UP 2 8 6
X8 1,25 1,03 1,07
UP 2 8 5
1,30
8
34,47
4
1,06
6
3 4
1,50 1,40
2 3
37,28 50,68
3 1
1,12 1,41
3 1
57.000.000
6
1,37
4
33,04
7
1,05
7
55.000.000
5
1,32
8
34,21
5
1,07
4
V2 (X2) -0,24
Kriteria Penilaian V3 V4 V5 V6 (X3) (X4) (X5) (X6) -0,04 0,83 0,72 1,00
V7 (X7) 0,62
V8 (X8) 0,58
V(A)
UP
3,62
2
1.
Bagan tancap
V1 (X1) 0,14
2.
Perangkap
0,00
0,00
0,00
0,52
1,00
0,18
0,00
0,00
1,70
7
3.
Jaring klitik
1,00
1,00
1,00
0,34
0,00
0,08
0,09
0,10
3,61
3
4.
Jaring insang tetap
0,83
0,05
0,05
0,46
0,28
0,00
0,12
0,06
1,86
6
5.
Pancing
0,10
0,01
0,34
0,41
0,72
0,72
0,27
0,25
2,81
5
6.
Trammel net Jaring insang lingkar Jaring insang hanyut
0,49
0,49
0,81
1,00
0,65
0,37
1,00
1,00
5,81
1
0,38
0,01
0,35
0,00
0,53
0,25
0,04
0,03
1,60
8
0,46
0,56
0,59
0,85
0,57
0,08
0,10
0,11
3,32
4
7. 8.
Sumber : hasil analisis
105 Keterangan : X1 = Penerimaan kotor per tahun
V(X2) = Standardisasi Penerimaan
(Rp)
kotor pertrip(Rp)
X2 = Penerimaan kotor per trip (Rp) X3 = Penerimaan
kotor
per
V(X3) = Standardisasi Penerimaan
jam
operasi (Rp)
kotor per jam operasi (Rp) V(X4) = Standardisasi Penerimaan
X4 = Penerimaan per tenaga kerja (Rp)
per tenaga kerja(Rp) V(X5) = Standardisasi Biaya
X5 = Biaya Investasi
Investasi
X6 = R/C
V(X6) = Standardisasi R/C
X7 = IRR
V(X7) = Standardisasi IRR
X8 = Net Present Value
V(X8) = Standardisasi Net Present
UP = Urutan prioritas
Value
V(X1) = Standardisasi Penerimaan kotor pertahun (Rp)
4.6.5
Teknologi penangkapan ikan terpilih Teknologi penangkapan ikan terpilih dilakukan terhadap aspek biologi,
teknis, sosial dan ekonomi. Masing-masing aspek tersebut sebelumnya telah dilakukan penghitungan dan penentuan prioritas. Dari penentuan prioritas tersebut diketahui alat tangkap yang benar-benar sesuai untuk mendapatkan hasil yang optimal, ramah terhadap lingkungan dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Alat tangkap unggulan dipillih dari 8 jenis alat tangkap yang menangkap komoditas unggulan di perairan Sumatera Selatan. Hasil analisis dari semua aspek terkait menunjukkan bahwa trammel net menempati urutan prioritas pertama karena memiliki nilai aspek sosial dan aspek ekonomi yang paling tinggi dari pada yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa trammel net memiliki peluang pengembangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Urutan kedua adalah, jaring insang hanyut diikuti bagan tancap, jaring insang tetap, pancing, jaring klitik, perangkap dan jaring insang lingkar.
106 Tabel 24 Matriks keragaman teknologi penangkapan ikan terpilih dari unit penangkap ikan untuk komoditi unggulan di perairan Sumatera Selatan Aspek Penilaian X1 UP X2 UP X3 Bagan tancap 0.50 5 4.54 1 1.52 Perangkap 1.67 3 0.32 8 0.85 Jaring klitik 2.17 2 0.91 6 0.70 Jaring insang tetap 2.17 2 1.07 5 1.71 Pancing 2.50 1 2.24 3 0.82 Trammel net 1.00 4 1.50 4 1.89 Jaring lingkar 0.33 6 0.60 7 1.00 Jaring insang hanyut 1.00 4 4.29 2 1.35 min 0.33 0.32 0.70 max 2.50 4.29 1.89 Standardisasi Teknologi Penangkapan Terpilih Kriteria Penilaian Unit Penangkapan Ikan Total V1(X1) V2(X2) V3(X3) V4(X4) No 1 Bagan tancap 0.08 1.00 0.69 0.42 2.19 2 Perangkap 0.62 0.00 0.13 0.02 0.77 3 Jaring klitik 0.85 0.14 0.00 0.48 1.47 4 Jaring insang tetap 0.85 0.18 0.84 0.06 1.93 5 Pancing 1.00 0.45 0.10 0.29 1.84 6 Trammel net 0.31 0.28 1.00 1.00 2.59 7 Jaring lingkar 0.00 0.07 0.25 0.00 0.32 8 Jaring insang hanyut 0.31 0.94 0.55 0.41 2.21 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Unit Penangkapan Ikan
UP 3 6 8 2 7 1 5 4
X4 3.39 1.70 3.61 1.86 2.81 5.81 1.60 3.32 1.60 5.81
UP 2 7 3 6 5 1 8 4
UP 3 7 6 4 5 1 8 2
Sumber : hasil analisis
Keterangan : X1 = Aspek biologi X2 = Aspek teknis X3 = Aspek sosial X4 = Aspek ekonomi UP = Urutan prioritas V1(X1) = Standardisasi aspek biologi V2(X2) = Standardisasi aspek teknis V3(X3) = Standardisasi aspek sosial V4(X4) = Standardisasi aspek ekonomi Berdasarkan tabel diatas, maka prioritas pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan hendaknya memperhatikan urutan jenis alat tangkap yang layak di kembangkan.
Hal ini tentunya sangat berkaitan
dengan peningkatan produksi perikanan sekaligus mempertahankan kelestarian SDI di Provinsi Sumatera Selatan.
Meskipun berdasarkan hasil perhitungan
trammel net menempati urutan pertama, namun tidak menutup kemungkinan alat tangkap lainnya untuk menjadi prioritas pengembangan. Kebijakan pemerintah, kultur budaya nelayan dan kondisi sosial masyarakat setempat hendaknya menjadi perhatian serius dalam menetapkan suatu kebijakan yang menyangkut pada perubahan perilaku dan pemahaman nelayan terkait dengan upaya pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.
107 4.7
Alokasi Alat Tangkap Kegiatan pra produksi (identifikasi dan estimasi sumberdaya ikan;
penyediaan sarana penangkapan ikan; dan prasarana pelabuhan), produksi (operasi penangkapan ikan) dan pasca produksi (pengolahan dan pemasaran produk hasil perikanan) merupakan suatu kegiatan usaha perikanan tangkap yang kompleks. Komponen utama dari sistem perikanan tangkap adalah sumberdaya ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat (nelayan), prasarana pelabuhan, sarana penunjang (galangan kapal, bahan alat tangkap ikan, dan mesin kapal), unit pengolahan dan unit pemasaran (Kesteven (1973) dan Monintja (2001)). Komponen perikanan tangkap tersebut sangat menentukan dalam pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan sebagaimana yang terdapat dalam kode etik perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF) yang dikeluarkan oleh FAO tahun 1995. Apabila dalam pengembangan perikanan tangkap tidak memperhatikan kaidah-kaidah berkelanjutan, maka pembangunan perikanan tangkap akan mengarah ke degradasi lingkungan, tangkapan berlebih dan praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak (Fauzi dan Anna (2005)).
Keinginan untuk
memenuhi kepentingan sesaat atau masa kini yang memicu, sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan diarahkan sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu yang singkat. Kepentingan lingkungan pun diabaikan dan penggunaan teknologi yang menghasilkan secara cepat (quickly yielding) yang sering bersifat merusak dapat terjadi. Pengembangan perikanan tangkap pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Sebagaimana yang terdapat dalam UU Perikanan No.31 tahun 2004 pasal 3, yaitu meningkatkan taraf hidup nelayan, meningkatkan penerimaan dan devisa negara, mendorong perluasan kerja, meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan dan meningkatkan produktivitas. Apabila pengaturan armada penangkapan telah dilakukan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan potensi sumberdaya ikan yang tersedia maka hal tersebut akan tercapai. Pengaturan terhadap armada penangkapan di suatu perairan dilakukan dengan melakukan pendekatan melalui model optimasi.
Model optimasi
digunakan untuk memperkirakan jumlah armada optimum yang dapat beroperasi
108 dengan jenis dan ukuran tertentu sehingga potensi yang ada di perairan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, penggunaan model optimasi juga dapat membantu pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan terkait dengan perizinan dan pengaturan zona penangkapan bagi nelayan. Tujuan model optimasi adalah untuk mengetahui kombinasi jumlah unit usaha penangkapan ikan secara optimal di Provinsi Sumatera Selatan. Perumusan model optimasi dilakukan dengan menggunakan metode linear goal programming. Model optimasi linear goal programming dibentuk dengan cara menentukan variabel-variabel keputusan untuk merumuskan fungsi tujuan dan formulasi kendala dari ketersediaan sumberdaya atau disebut dengan fungsi kendala. Berdasarkan hasil analisis potensi sumberdaya, terdapat 4 jenis ikan yang menjadi komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu udang, rajungan, manyung dan golok-golok. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam optimalisasi pengalokasian jumlah alat tangkap ikan, yaitu mengoptimumkan pemanfaatan komoditi ikan unggulan yang meliputi komoditi udang, rajungan, ikan manyung, dan ikan golok-golok. Variabel keputusan fungsi optimalisasi yaitu semua jenis unit penangkapan ikan eksisting yang digunakan untuk menangkap 4 jenis komoditi unggulan disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
4.7.1
Variabel keputusan model optimasi jumlah unit alat tangkap ikan eksisting di Provinsi Sumatera Selatan Jenis Alat Tangkap ikan Trammel net Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring insang lingkar Pancing Bagan Perangkap Jaring klitik
Variabel (Xj) X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
Fungsi kendala Fungsi
kendala
merupakan
faktor
pembatas
dalam
pengambilan
keputusan yang didasarkan pada keterbatasan sumberdaya yang dimiliki dan kendala pembatas produksi lainnya. Faktor-faktor kendala yang digunakan dalam
109 model optimasi ini meliputi ketersediaan jumlah sumberdaya ikan dari 4 jenis ikan unggulan yaitu udang, rajungan, ikan manyung, dan ikan golok-golok. Secara matematis, tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai dan sekaligus juga merupakan batasan yang harus dipenuhi dalam mengoptimumkan alokasi unit penangkapan ikan terhadap pemanfaatan 4 jenis sumberdaya ikan (SDI) unggulan di perairan Provinsi Sumatera Selatan dapat dijelaskan sebagai berikut : a)
Komoditi Udang Nilai estimasi produksi optimum atau JTB untuk udang di perairan Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebesar 5038,39 ton per tahun. Komoditi udang di perairan ini dapat ditangkap oleh 4 jenis teknologi penangkapan yaitu unit penangkapan trammel net (X1), jaring insang tetap (X3), perangkap (X7) dan jaring klitik (X8). Kemudian, nilai produktivitas rata-rata dari setiap unit alat tangkap terhadap hasil tangkapan udang yaitu alat tangkap trammel net (X1) sebesar 2,265 ton per tahun, jaring insang tetap (X3) sebesar 3,158 ton per tahun, perangkap (X7) sebesar 1,916 ton per tahun dan jaring klitik (X8) sebesar 0,242 ton per tahun. Untuk menyusun persamaan kendala tujuan (goal constrain) maka nilai TAC dikurangi dengan produksi rata-rata, sehingga fungsi kendala pemanfaatan sumberdaya udang secara optimal menjadi sebagai berikut: DB1 - DA1 + 2,265 X1 + 3,158 X3 + 1,916 X7 + 0,242 X8 = 501,89
b)
Komoditi Rajungan Nilai estimasi produksi optimum atau JTB untuk komoditi kepiting di perairan Sumatera Selatan adalah sebesar 1564,78 ton per tahun. Komoditi kepiting di perairan Provinsi Sumatera Selatan dapat ditangkap oleh alat tangkap jaring insang hanyut (X2), jaring insang tetap (X3) dan perangkap (X7). Ratarata produktivitas tangkapan rajungan masing-masing alat tangkap yaitu: jaring insang hanyut (X2) sebesar 0,870 ton per tahun, jaring insang tetap (X3) sebesar 0,716 ton per tahun dan perangkap sebesar 0,866 ton per tahun. Persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan sumberdaya udang secara optimal menggunakan batasan nilai TAC yang dikurangi dengan nilai pemanfaatan eksisting sumberdaya kepiting, sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut:
110 DB2 – DA2 + 0,870 X2 + 0,716 X3 + 0,866 X7 = 266,48 c)
Komoditi Manyung Nilai estimasi produksi optimum atau JTB untuk ikan manyung di perairan Sumatera Selatan adalah sebesar 3590,45 ton per tahun. Komoditi ikan manyung di perairan ini dapat ditangkap oleh alat tangkap trammel net (X1), jaring insang hanyut (X2), jaring insang tetap (X3), pancing (X5) dan bagan (X6). Rata-rata produktivitas penangkapan komoditi ikan manyung menurut masing-masing alat tangkap yaitu Trammel net (X1) sebanyak 0,68 ton per tahun, jaring insang hanyut (X2) sebanyak 1,824 ton per tahun, jaring insang tetap (X3) sebanyak 1,185 ton per tahun, pancing (X5) sebanyak 0,772 ton per tahun dan bagan (X6) sebanyak 0,762 ton per tahun. Nilai TAC kemudian dikurangi dengan nilai pemanfaatan eksisting sumberdaya ikan manyung, sehingga persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan sumberdaya ikan manyung sebagai berikut: DB3 – DA3 + 0,680 X1 + 1,824 X2 + 1,185 X3 + 0,772 X5 + 0,762 X6 = 281,55
d)
Komoditi Golok golok Nilai estimasi produksi optimum atau JTB untuk ikan golok-golok di perairan Sumatera Selatan adalah sebesar 2974,95 ton per tahun. Di perairan ini, komoditi golok-golok dapat ditangkap oleh 7 jenis teknologi penangkapan yaitu: trammel net (X1), jaring insang hanyut (X2), jaring lingkar (X4), pancing (X5), bagan (X6), perangkap (X7) dan jaring klitik (X8). Produktivitas rata-rata masing-masing alat tangkap terhadap hasil tangkapan ikan golok-golok yaitu trammel net (X1) sebanyak 0,617 ton per tahun, jaring insang hanyut (X2) sebanyak 2,003 ton per tahun, jaring lingkar (X4) sebanyak 0,636 ton per tahun, pancing (X5) sebanyak 0,240 ton per tahun, bagan (X6) sebanyak 0,593 ton per tahun, perangkap (X7) sebanyak 0,099 ton per tahun dan jaring klitik (X8) sebanyak 0,672 ton per tahun. Sehingga persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan sumberdaya ikan golok-golok menggunakan nilai TAC yang telah dikurangi dengan nilai produksi eksisting sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut: DB4 – DA4 + 0,617 X1 + 2,003 X2 + 0,636 X4 + 0,240 X5 + 0,593 X6 + 0,099 X7 + 0,672 X8 = 460,25
111 Secara
lebih
ringkas,
data
jumlah
tangkapan
ikan
yang
dapat
diperbolehkan (TAC) dari keempat jenis sumberdaya ikan unggulan, berikut nilai produktivitas penangkapan rata-rata dari 8 jenis alat tangkap eksisting terhadap 4 jenis sumberdaya ikan unggulan di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26
Jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan potensi 4 jenis sumberdaya ikan unggulan serta nilai produktivitas rata-rata alat tangkap ikan eksisting di Provinsi Sumatera Selatan. Alat Tangkap
Komoditas Ikan Unggulan
Trammel net
Jaring Insang hanyut
Jaring Insang Tetap
X1
X2
X3
Udang
2.265
0.000
3.158
0.000
0.000
0.000
1.916
0.205
5038.39
Rajungan
0.000
0.870
0.716
0.000
0.000
0.000
0.866
0.000
1564.78
Manyung
0.680
1.824
1.185
0.000
0.772
0.762
0.000
0.000
3590.45
Golokgolok
0.617
2.003
0.000
0.636
0.240
0.593
0.099
0.620
2974.95
4.7.2
Jaring lingkar
Pancing
Bagan
Perang kap
Jaring Klitik
X4
X5
X6
X7
X8
TAC (ton/th)
Fungsi tujuan Fungsi tujuan yang dirumuskan bertujuan untuk mengetahui kombinasi
optimal dari tiap alat tangkap ikan di Provinsi Sumatera Selatan. fungsi tujuan pada model linier goal programming merupakan fungsi minimal dari batasan masing-masing kendala sumberdaya. Berdasarkan faktor kendala tujuan tersebut di atas maka fungsi tujuan model optimasi linear goal programming pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dapat ditulis sebagai berikut: Min Z = DB1 + DA1 + DB2 + DA2 + DB3 + DA3 + DB4 + DA4
4.7.3
Optimalisasi jumlah unit penangkapan ikan Berdasarkan hasil pengolahan dari input model optimasi yang telah
dirumuskan maka dapat ditentukan jumlah kombinasi unit usaha penangkapan ikan yang optimal dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan software Lindo versi 6.1. Output hasil pengolahan dengan program komputer LINDO ditunjukkan pada Lampiran 13. Jumlah unit usaha penangkapan ikan optimal yang dapat dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 27.
112 Tabel 27
Alokasi jumlah armada penangkapan yang optimum di Provinsi Sumatera Selatan Jumlah (Unit)
Unit penangkapan ikan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Trammel net (X1) Jaring insang hanyut (X2) Jaring insang tetap (X3) Jaring insang lingkar (X4) Pancing (X5) Bagan (X6) Perangkap (X7) Jaring klitik (X8) Jumlah
53 135 0 0 0 0 173 210 571
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas dapat diketahui bahwa terdapat 4 jenis alat tangkap ikan eksisting yang perlu dikembangkan untuk mengelola 4 jenis sumberdaya ikan unggulan di Provinsi Sumatera Selatan yaitu trammel net, jaring insang hanyut, perangkap dan jaring klitik. Alokasi jumlah unit alat tangkap ikan yang dapat dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan seluruhnya berjumlah 571 unit. Unit penangkapan ikan yang paling banyak untuk dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan yaitu alat tangkap jaring klitik (X8) dengan jumlah sebanyak 210 unit. Jenis alat tangkap ikan terbanyak kedua yang dapat dikembangkan yaitu alat tangkap perangkap (X7) sebanyak 173 unit. Selanjutnya secara berurut diikuti oleh alat tangkap jaring insang hanyut (X2) dengan jumlah yang dialokasikan sebanyak 135 unit dan trammel net
(X1)
sebanyak 53 unit. Sementara itu, alat tangkap ikan eksisting tedapat di Provinsi Sumatra Selatan yang perkembangannya perlu dibatasi agar pengelolaan 4 jenis sumberdaya ikan unggulan dapat optimal yaitu alat tangkap jaring insang tetap, jaring insang lingkar, pancing dan bagan. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai optimasi keempat jenis alat tangkap tersebut bernilai nol seperti yang terlihat pada tabel di atas. Alokasi alat tangkap yang bernilai nol berarti alat tangkap tersebut sebaiknya tidak ditambah lagi sehingga pemanfaatan sumberdaya ikannya dapat optimal. Penyesuaian komposisi jumlah dari 8 unit alat tangkap ikan eksisting terdapat
di
Provinsi
Sumatera
Selatan
perlu
dilakukan
bila
dilakukan
perbandingan hasil analisis alokasi dengan jumlah unit penangkapan yang ada. Jenis unit penangkapan yang dapat ditambah atau ditingkatkan sebanyak 4 jenis, yaitu: unit penangkapan trammel net sebanyak 53 unit, jaring insang hanyut
113 sebanyak 135 unit, perangkap sebanyak 175 unit dan jaring klitik sebanyak 210 unit. Sementara itu, untuk 4 jenis alat tangkap ikan berikutnya jumlah yang ada saat ini sedapat mungkin dipertahankan. Secara lebih rinci, perbandingan jumlah optimum dan eksisting dari 8 jenis alat tangkap ikan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 28
Tabel 28 Perbandingan jumlah optimum dan eksisting pada tahun 2007 dari 8 jenis unit penangkapan ikan terpilih di Provinsi Sumatera Selatan
No.
Unit penangkapan ikan
Jumlah yang ada pada tahun 2007 (unit)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Trammel net (X1) Jaring insang hanyut (X2) Jaring insang tetap (X3) Jaring lingkar (X4) Pancing (X5) Bagan (X6) Perangkap (X7) Jaring klitik (X8) Jumlah
789 480 696 101 1422 790 936 407 5621
Estimasi jumlah yang optimum (unit)
Peluang Penambahan
842 615 696 101 1422 790 1109 617 6192
53 135 0 0 0 0 173 210 571
Nilai parameter yang digunakan untuk analisis pengalokasian unit penangkapan mempengaruhi penambahan jumlah alat tangkap, yaitu: jumlah potensi sumberdaya ikan, jumlah tangkapan ikan maksimum yang diperbolehkan (JTB) dan nilai produktivitas dari masing-masing unit penangkapan. Nilai produktivitas yang digunakan pada analisis ini adalah tingkat produktivitas ideal usaha yang menguntungkan, yang nilainya ini nyata lebih tinggi dari nilai produktivitas aktual sekarang, sehingga secara logika jumlah unit penangkapan yang dialokasikan jelas lebih sedikit dari yang ada. Namun, secara komposisi jumlah lima unit penangkapan tersebut ada yang disarankan untuk ditingkatkan dan ada yang disarankan untuk dipertahankan jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh pengalokasian yang memperhitungkan beberapa aspek, yaitu aspek efektivitas dam ketersediaan SDI. Penambahan jumlah unit penangkapan harus dilakukan secara hati-hati dan melalui pengawasan yang terkoordinasi dengan baik untuk mencegah terjadinya konflik di lapangan.
Penambahan unit penangkapan yang tidak
terkendali
kelestarian
dapat
mengancam
sumberdaya
dan
justru
akan
mengurangi nilai ekonomi yang diperoleh. Selain itu, penambahan unit tersebut juga sebaiknya difokuskan pada armada penangkapan dengan ukuran GT yang
114 lebih tinggi. Semakin besar ukuran kapal maka daya jelajahnya menjadi lebih jauh sehingga mampu menangkap dalam jarak tempuh yang lebih ke perairan lepas pantai. Menurut Yulistyo et al. (2006), salah satu upaya pengembangan usaha penangkapan di perairan pantai yang masih potensial adalah melalui motorisasi dan modernisasi unit penangkapan.
Motorisasi tersebut diarahkan
untuk kapal penangkap ikan berukuran antara 5-10 GT, 10-30 GT dan > 30 GT untuk menjangkau wilayah perairan diatas 12 mil yang sebagian besar belum dieksploitasi (under exploited). Perbedaan kemampuan tangkap masing-masing jenis alat tangkap menyebabkan alokasi optimum masing-masing alat tangkap berbeda. Untuk alat tangkap jaring insang tetap, jaring insang lingkar, pancing dan bagan, hasil optimasi menunjukkan bahwa keempat jenis alat tangkap ini sebaiknya dipertahankan jumlahnya.
Namun dalam pelaksanaannya, tingkat kesulitan
mempertahankan jumlah unit alat tangkap tersebut sangat tinggi. Hal ini akan mengakibatkan pertumbuhan unit penangkapan yang melebihi dari jumlah optimumnya. Padahal jumlah unit penangkapan eksisting yang telah melebihi alokasi optimum sebaiknya dikurangi agar sumberdaya yang ada dapat dipertahankan (Syahailatua 2006). Jenis bagan yang ada saat ini adalah bagan tancap yang secara teknis menggangu terhadap alur pelayaran. Oleh karena itu, sebaiknya penggunaan bagan lebih diarahkan kejenis bagan apung karena memiliki keunggulan teknis yang lebih baik. Selain mudah dipindahkan ke daerah penangkapan ikan yang lebih potensial, bagan apung juga tidak mengganggu alur pelayaran serta lebih mudah dalam pemeliharaan. Pertimbangan teknis tersebut menyebabkan bagan apung lebih menguntungkan dibandingkan bagan tancap. Kemampuan armada penangkapan yang relatif beragam antar jenis alat tangkap dapat menimbulkan konflik antar nelayan. Oleh karena itu perlu adanya peraturan dan sanksi yang tegas sehingga potensi konflik akibat perebutan DPI atau hasil tangkapan tertentu dapat diminimalisir.
Selain itu, adanya konsep
pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas yang partisipatif dapat dijadikan solusi maupun masukan yang berharga dalam bidang pemanfaatan perikanan pantai (Murdiyanto 2002).
115 4.8
Alokasi Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana merupakan salah satu komponen yang memiliki
peran penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan dalam hal ini kelangsungan kegiatan penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan.
Sarana dan
prasarana yang diamati dalam mendukung pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan adalah pelabuhan perikanan, unit pemasaran hasil perikanan, komponen unit pengolahan ikan, dan fasilitas pendukung kegiatan penangkapan.
4.8.1
Komponen sarana pelabuhan Prasarana
perikanan
tangkap
yang
memiliki
peran
besar
untuk
keberlangsungan kegiatan penangkapan selain armada adalah pelabuhan perikanan. Keberadaan pelabuhan perikanan ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perekonomian masyarakat di sekitar pelabuhan, beberapa kegiatan perekonomian yang banyak terdapat di sekitar maupun di pelabuhan diantaranya bongkar muat kebutuhan kapal, penjualan ikan, penjualan sarana melaut, dan penjualan komponen pendukung kegiatan perikanan. Pelabuhan perikanan di Indonesia dikelompokkan menjadi 4 macam. Pengelompokkan pelabuhan ini didasarkan atas beberapa kriteria yaitu ukuran kapal (GT), armada penangkapan, daerah penangkapan ikan, panjang darmaga, kedalaman kolam pelabuhan, keberadaan kawasan industri, daya tampung kolam pelabuhan dan daerah tujuan pemasaran hasil perikanan.
Pembagian
pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) (Departemen Kelautan dan Perikanan 2006). Persyaratan teknis pembagian pelabuhan perikanan secara rinci adalah sebagai berikut : 1) Pelabuhan Perikanan Samudera atau PPS, memiliki persyaratan teknis sebagai berikut : melayani kapal ikan > 60 GT, daerah penangkapannya di laut teritorial, ZEE Indonesia dan laut lepas, panjang dermaga minimal 300 m dengan kedalaman kolam minimal minus 3 m, memiliki daya tampung minimal 100 buah kapal atau 6000 GT sekaligus, hasil tangkapannya untuk ekspor, memiliki kawasan industri. 2) Pelabuhan Perikanan Nusantara atau PPN, dicirikan dengan melayani kapal ikan 15-60 GT, daerah penangkapannya di laut teritorial dan ZEE Indonesia, panjang dermaga minimal 150 m dengan kedalaman kolam
116 minimal minus 3 m, memiliki daya tampung minimal 75 buah kapal atau 2250 GT sekaligus, memiliki kawasan industri. 3) Pelabuhan Perikanan Pantai atau PPP, dicirikan dengan melayani kapal ikan 5-15 GT, daerah penangkapannya di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial, panjang dermaga minimal 100 m dengan kedalaman kolam minimal minus 2 m, memiliki daya tampung minimal 30 buah kapal atau 300 GT sekaligus. 4) Pangkalan Pendaratan Ikan atau PPI, dicirikan dengan melayani kapal ikan < 5 GT, daerah penangkapannya di di perairan pedalaman dan perairan kepulauan, panjang dermaga minimal 50 m dengan kedalaman kolam minimal 2 m, memiliki daya tampung minimal 20 buah kapal atau 60 GT sekaligus. Dalam rangka pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan dengan adanya optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan, maka sarana penunjang dalam hal ini pelabuhan perikanan juga perlu dipertimbangkan keberadaannya. Pendugaan jumlah sumberdaya jumlah prasarana pelabuhan di Provinsi Sumatera Selatan diestimasikan berdasarkan jumlah optimum armada penangkapan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan secara optimal (sesuai MSY). Penentuan jenis pelabuhan optimum di Sumatera Selatan dilakukan dengan mengacu pada kriteria-kriteria teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan
dan
Perikanan
RI.
Perhitungan
tersebut
dilakukan
dengan
menggunakan beberapa tahap. Tahap pertama adalah menghitung jumlah GT armada penangkapan yang diperoleh dari data optimal jumlah alat tangkap hasil perhitungan LGP. Tahap kedua adalah menentukan kelas pelabuhan sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan KKP-RI, berdasarkan ukuran kapal atau armada penangkapan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Tahap selanjutnya adalah menghitung perkiraan kebutuhan jumlah pelabuhan dengan membagi jumlah total GT kapal ikan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan dengan daya tampung optimum masing-masing kelas pelabuhan. Berdasarkan pendekatan ini, diperoleh 2 jenis pelabuhan perikanan yang dibutuhkan Provinsi Sumatera Selatan untuk mengembangkan sumberdaya ikan secara optimal.
Dua macam pelabuhan yang dimaksud adalah Pelabuhan
Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI).
Keberadaan
117 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) ini diarahkan untuk menangani dan melayani kapal-kapal trammel net, jaring insang hanyut, jaring klitik, dan jaring insang tetap. Sedangkan Pangkalan Pendaratan Ikan diperuntukkan bagi kapal-kapal berukuran kecil dalam hal ini pancing, perangkap dan bagan. Secara teknis jumlah pelabuhan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan berjumlah 8 unit, dengan rincian 3 unit berupa Pelabuhan Perikanan Pantai dan 5 unit lainnya adalah Pangkalan Pendaratan Ikan. Rincian tahapan perhitungan pelabuhan di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29 Jumlah kebutuhan optimum prasarana pelabuhan di Provinsi Sumatera Selatan No.
Alat Tangkap
Jumlah Optimum (unit)
Ukuran Kapal (GT)
Jumlah GT
1.
Trammel net
842
5
4210
2.
Jaring insang hanyut
615
5
3075
3.
Jaring Klitik
617
5
3085
4.
Jaring insang tetap
696
5
3480
5.
Jaring lingkar
101
2
202
6.
Pancing
1422
2
2844
7.
Perangkap
1109
2
2218
8.
Bagan
790 6192
2
1580 20694
Jumlah
Klasifi kasi
Jumlah PP (Unit)
PPP
3
PPI
5
8
Keterangan : 1. Jumlah PPP diperoleh dari rasio jumlah GT kapal (tramel net, jaring insang hanyut, jaring klitik dan jaring insang) dengan kapasitas optimum PPP (4000 GT). 2. Jumlah PPI diperoleh dari rasio jumlah GT kapal (pancing, perangkap, dan bagan) dengan kapasitas optimum PPI (1300 GT).
Berdasarkan jumlah pelabuhan perikanan yang dibutuhkan (8 unit), Sumatera Selatan sekarang telah memiliki pangkalan pendaratan ikan sebanyak 2 unit maka dibutuhkan penambahan 6 unit lagi degan rincian 3 unit PPP dan 3 unit PPI. Minimnya pelabuhan perikanan di Pulau Sumatera dapat dimaklumi mengingat biasanya nelayan mendaratkan hasil tangkapan pada pelabuhan rakyat yang dikenal dengan istilah “tangkahan”.
Fenomena ini seharusnya
mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah dan mendorong untuk menciptakan suatu pelabuhan perikanan yang mampu mengakomodir seluruh
118 kebutuhan
nelayan
dengan
biaya
yang
terjangkau.
Saridewi
(2006)
menyebutkan bahwa salah satu prioritas dalam pengembangan desa pantai yang berbasis perikanan adalah dengan pengembangan fasilitas pelelangan ikan untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat.
4.8.2
Komponen unit pemasaran hasil tangkapan Komponen pemasaran hasil perikanan juga sangat memegang peran
penting dalam perkembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Secara harfiah pemasaran adalah satu tindakan atau keputusan yang berhubungan dengan pergerakan barang dan jasa dari produsen, pedagang, pengolah sampai konsumen (Hanafiah & Saefudin 1983). Khusus bidang perikanan tangkap sarana unit pemasaran sangat erat kaitannya dengan keberadaan pelabuhan perikanan. Hal ini sangat jelas karena salah satu fungsi pelabuhan adalah sebagai salah satu kawasan perekonomian perikanan yang mempertemukan antara daratan dan lautan dan diharapkan dapat memberikan multiplayer efek bagi perkembangan dan pertumbuhan perekonomian lokal di sekitar pelabuhan. Aktivitas perekonomian di kawasan pelabuhan sangat jelas terlihat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). pasar ikan, kawasan industri pelabuhan. Namun dari sebagian besar pelabuhan, sarana perekonomian yang minimal ada adalah TPI.
TPI bagi nelayan memiliki peran besar dalam menjaga harga dan
pemasaran hasil tangkapan nelayan. Dengan mempertimbangkan peran penting TPI bagi nelayan di Provinsi Sumatera Selatan, maka jumlah optimal TPI yang harus dibangun untuk masing-masing pelabuhan perikanan untuk menampung potensi sumberdaya yang ada perlu dihitung secara cermat. Perhitungan luas tempat pelelangan ikan ideal yang diperlukan oleh Provinsi Sumatera Selatan dapat didekati dengan menggunakan formula baku dalam pokok-pokok desain pelabuhan perikanan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pelabuhan Perikanan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan diacu dalam (Sutisna 2008), yakni:
Keterangan : S = Luas Gedung TPI (M2) P = Jumlah produksi yang didaratkan per hari
119 k = Koefisien daya tampung produksi (m2/ton) R = Frekuensi lelang per hari α = Koefisien perbandingan ruang lelang dengan gedung lelang (0,27-0,394) Khusus untuk konstanta (k) untuk masing-masing komoditas perikanan memiliki nilai yang berbeda, terlebih negara tropis seperti Indonesia.
Nilai (k) untuk masing-
masing komoditas disajikan pada Tabel 30 yang diacu dalam (Sutisna 2008) Tabel 30 Nilai koefisien ruang daya tampung produksi (k) berdasarkan jenis kelompok ukuran ikan Jenis kelompok ukuran ikan Udang Ikan kecil, cumi, lobster Ikan sedang, seperti: tongkol, cakalang, layang. Ikan besar, seperti: tuna, layaran, cucut
Cara Penyusunan Dalam peti disusun 10 lapis
Nilai koefisien ruang (k) 1,56
Dalam keranjang ditumpuk 3 lapis Dijejer/dibereskan di lantai
6,00 15,00
Disusun di lantai
13,00
Berdasarkan persamaan di atas, luasan TPI optimal untuk menampung produksi optimal nelayan Provinsi Sumatera Selatan adalah sebesar 285 m2, dengan rincian di setiap PPP memerlukan luasan TPI minimum sebesar 191 m2, sedangkan luasan di PPI mencapai 94 m2 (Tabel 31 dan Tabel 32). Hasil tersebut diperoleh dengan 3 (tiga) asumsi yaitu: 1. Jumlah hari kerja di setiap unit pelelangan ikan di pelabuhan perikanan setiap tahun adalah 250 hari. 2. Dalam setiap hari kerja dilakukan 2 kali pelelangan. 3. Ratio produksi yang didaratkan pada suatu pelabuhan perikanan adalah berbanding lurus dengan ratio jumlah GT kapal ikan yang dapat dilayaninya. Tabel 31 Jumlah kebutuhan total luasan tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibutuhkan di Provinsi Sumatera Selatan Kategori Udang Rajungan Manyung Golok-Golok Jumlah
Produksi (ton/tahun)
Produksi / hari
Koefisien ruang (m²/ton)
4.536,5 1.298,3 3.308,9 2.514,7 11.658,4
18,1 5,2 13,2 10,1
1,56 6 6 6
Luas Gedung TPI dengan α=0,35 (m²) 40,44 44,51 113,45 86,22 284,62
120 Tabel 32 Jumlah kebutuhan luasan tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibutuhkan di Provinsi Sumatera Selatan untuk setiap kelas pelabuhan perikanan
Kelas Pelabuhan Perikanan
PPP PPI
4.8.3
Jumlah Pelabuhan Perikanan (unit)
Jumlah GT kapal optimum (unit)
Ratio Luasan TPI
Total luasan TPI yang dibutuhkan (m2)
3 5
13.850 6.844
0,67 0,33
285
Luasan TPI rata-rata disetiap kelas Pelabuhan Perikanan (m2) 191 94
Komponen unit pengolah ikan Komponen pasca produksi juga memiliki peran besar bagi pengembangan
perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan khususnya bagi penciptaan lapangan kerja baru dan penyerapan pengangguran di bidang pengolahan hasil perikanan.
Kegiatan pengolahan hasil tangkapan merupakan kegiatan pasca
produksi berperan untuk meningkatkan nilai tambah dan umur komoditas perikanan dalam bentuk yang berbeda dari bahan dasarnya.
Proses
memperpanjang mutu ikan dilakukan dengan berbagai tahapan diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Penerapan sistem rantai dingin untuk penanganan hasil tangkapan sejak ikan ditangkap hingga ke tingkat konsumen atau industri pengolahan. 2) Diversifikasi produk pengolahan dalam rangka meningkatkan nilai tambah. 3) Pengembangan UMKM pengolah hasil perikanan berbasis olahan tradisional dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja bidang kelautan dan perikanan. 4) Pengembangan teknik pengemasan produk perikanan yang berbasiskan teknologi pengolahan untuk menarik minat konsumen sehingga dapat meningkatkan nilai jual produk perikanan. Dengan perkiraan tingkat produksi dan sarana optimum kegiatan penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan, maka unit pengolahan sebagai kegiatan lanjutan dari aktivitas perikanan tangkap juga perlu diestimasi perkiraan sarana optimum yang diperlukan untuk operasional kegiatan pengolahan ikan. Estimasi ini dilakukan dengan asumsi sebagai berikut:
121 (1) Koefisien pengolahan untuk komoditi ikan idealnya 70% dari produksi optimum, sedangkan untuk komoditi rajungan dapat dimanfaatkan sebanyak 30% dari produksi optimum. (2) Jumlah hari kerja unit pengolahan ikan setiap tahun adalah 250 hari. (3) Kapasitas rata-rata ideal unit pengolahan hasil tangkapan untuk komoditi Rajungan sebesar 0,8 ton/hari, sedangkan untuk komoditi udang, manyung dan golok-golok adalah 6 ton/hari Berdasarkan asumsi tersebut dan menggunakan nilai produksi optimum, maka kebutuhan jumlah unit pengolahan ikan yang ideal untuk perairan Sumatera Selatan dapat diestimasi, yaitu sebanyak 8 unit. Secara lengkap hasil perhitungan komponen pengolahan dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33 Jumlah kebutuhan unit pengolahan hasil perikanan Provinsi Sumatera Selatan
Jenis ikan
Produksi (ton/tahun)
koefisien unit pengolahan
Rajungan Udang Manyung Golok-Golok Jumlah
1.298,30 4.536,50 3.308,90 2.514,70 11.658,40
30% 80% 80% 80%
Jumlah Bahan Baku (ton) 389,49 3.629,20 2.647,12 2.011,76 8.288,08
Kapasitas unit pengolahan (ton/tahun/uni t) 200 1500
Jumlah unit pengolah 2 6 8
Keterangan: Estimasi jumlah optimum unit pengolahan ikan =
4.8.4
jumlah produksi optimum × Koef .Pengolahan Kapasitas unit pengolahan
Komponen sarana penunjang Ketersediaan sarana penunjang kegiatan perikanan tangkap dalam
rangka meningkatkan pemanfaatan sumberdaya ikan hingga ke titik optimum mutlak diperlukan.
Beberapa sarana penunjang yang dipandang sangat
dibutuhkan untuk kemajuan kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah keberadaan galangan kapal ikan, ketersediaan bahan/material alat penangkap ikan dan mesin kapal ikan. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan alat tangkap optimum di Provinsi Sumatera Selatan terdapat dikembangkan.
6.192 unit jenis alat tangkap yang perlu
Alat tangkap tersebut adalah, trammel net (842 unit), jaring
122 insang hanyut (615 unit), jarring klitik 617 unit, jaring insang tetap (696 unit), jaring insang lingkar (101 unit), pancing (1422 unit), perangkap (1109 unit) dan bagan (790 unit).
Adanya jumlah alat tangkap optimum tersebut, tentunya
memerlukan galangan, serta kebutuhan bahan/material lainya agar operasional kegiatan penangkapan tetap berlangsung dengan baik.
Untuk mengestimasi
jumlah galangan kapal yang optimum diperlukan 2 asumsi, yaitu: (1) Tingkat produktivitas galangan kapal ikan per hari 3 GT, yang terdiri dari 2,5 GT/hari untuk aktivitas pengerjaan docking kapal ikan dan 0,5 GT untuk aktivitas pembuatan kapal ikan. (2) Jumlah hari kerja galangan kapal ikan setiap tahun adalah 250 hari. Dengan menggunakan asumsi tersebut dan ditambah dengan data umur teknis kapal ikan, maka dapat diestimasi jumlah galangan kapal yang minimum diperlukan untuk menunjang kegiatan produksi pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimum di perairan Provinsi Sumatera Selatan, yaitu sebanyak 3 unit (Tabel 34). Tabel 34 Jumlah kebutuhan optimum galangan kapal perikanan di Provinsi Sumatera Selatan
No.
Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangk apan Optimum
Ukuran Kapal (GT)
Jumlah GT
Umur teknis
Penyu sutan
1.
Trammel net
842
5
4.210
10
421
2.
Jaring insang hanyut
615
5
3.075
10
308
1.
Jaring Klitik
617
5
3.085
10
309
2.
Jaring insang tetap
696
5
3.480
10
348
1.
Jaring lingkar
101
2
202
10
20
2.
Pancing
1.422
2
2.844
10
284
1.
Perangkap
1.109
2
2.218
10
222
2.
Bagan
790
2
1.580
10
158
Jumlah
6.192
13.850
Produktivitas Galangan kapal (GT/tahun/Unit)
Jumlah Galangan
750
3
2.069
Dengan mempertimbangkan keberadaan galangan kapal sebagai tempat perbaikan kapal atau doking kapal, maka dengan asumsi yang sama keberadaan bahan material untuk perbaikan unit penangkapan juga memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan perikanan tangkapan.
Keberadaan
material bahan alat tangkap di wilayah Sumatera Selatan ini akan meningkatkan
123 efisiensi baik biaya maupun waktu bagi nelayan maupun pengusaha perikanan tangkap di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, karena selama ini kebutuhan material khususnya jaring masih di suplai dari Jakarta. Penentuan kebutuhan material unit penangkapan ikan dilakukan dengan mengacu terhadap jumlah optimum unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan hasil perhitungan LGP. Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya, unit penangkapan yang dioperasikan di Provinsi Sumatera Selatan terdiri dai 6 jenis yang menggunakan bahan jaring. Unit penangkapan tersebut membutuhkan jaring sebanyak 40.899.976 m2. Rincian perhitungan kebutuhan jaring ikan disajikan pada Tabel 35. Tabel 35 Jumlah kebutuhan optimum jaring untuk armada penangkapan di Sumatera Selatan
No.
Alat tangkap
Jumlah optimum (unit)
Ukuran jaring (m²)
Kebutuhan jaring (m²)
Umur teknis (tahun)
Penyusutan (m²)
Total kebutuhan jaring (m²)
1.
Trammel net
842
3.000
2.526.000
0,1
20.208.800
22.734.000
2.
Jaring insang hanyut
615
4.830
2.970.450
0,7
4.243.500
7.213.950
3.
Jaring klitik
617
2.300
1.419.100
0,7
2.027.286
3.446.386
4.
Jaring insang tetap
696
900
626.400
1
626.400
1.252.800
5.
Jaring lingkar
101
4.200
424.200
0,7
606.000
1.030.200
6.
Bagan
790
108
85.320
1
85.320
170.640
6.019
15.338
8.051.470
32.848.506
40.899.976
Jumlah
Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan optimum jaring seperti yang disajikan pada Tabel 35, maka dapat diestimasi jumlah kebutuhan pabrik jaring yang diperlukan di Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 1 unit dengan skala pabrik kecil (kapasitas 72,5 ton/bulan). Hal ini diperoleh dengan membandingkan tingkat produktivitas PT. Indoneptune sebesar 200 ton/bulan terhadap kebutuhan jaring di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil estimasi total kebutuhan jaring di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 36.
124 Tabel 36 Jumlah kebutuhan pabrik jaring di Provinsi Sumatera Selatan No.
Kebutuhan jaring per tahun
Alat Tangkap
Penyusutan
Nilai Konversi (m²/ton)
Total Kebutuhan (ton)
1.
Trammel net
2.526.000
25.260.000
39.392
641
2.
Jaring insang hanyut
2.970.450
4.243.500
39.392
108
3.
Jaring klitik
1.419.100
2.027.286
39.392
51
4.
Jaring insang tetap
626.400
626.400
13.089
48
5.
Jaring lingkar
424.200
606.000
39.392
15
6.
Bagan
85.320
85.320
13.089
7
8.051.470
32.848.506
-
Jumlah
Produktivitas 200 ton/bulan
Kebutu han pabrik
2.400
1
870
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap kondisi optimum untuk masingmasing kelompok alokasi optimum bidang perikanan di Provinsi Sumatera Selatan, maka sektor lain yang terpengaruh dari kegiatan pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan ini adalah penyerapan tenaga kerja. Perhitungan tenaga kerja ini dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu tenaga kerja yang terjun langsung dalam kegiatan penangkapan ikan dan tenaga kerja diluar perikanan. Perkiraan jumlah tenaga kerja bidang perikanan diestimasi dengan menggunakan data jumlah armada/kapal perikanan optimal yang dibutuhkan oleh Provinsi Sumatera Selatan dan tentunya dengan mengkonversi jumlah armada dengan
jumlah
tenaga
kerja
yang
terlibat
untuk
masing-masing
unit
penangkapan. Berdasarkan perhitungan diperkirakan jumlah tenaga kerja yang dapat diserap adalah 14.827 orang.
Data perhitungan jumlah tenaga kerja
optimum bidang perikanan tangkap disajikan pada Tabel 37. Tabel 37 Kebutuhan jumlah tenaga kerja bidang perikanan dengan adanya pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan No.
Alat Tangkap
Jumlah Kapal
Trammel net
842
2. 3.
Jaring insang hanyut Jaring klitik
4.
Jaring insang tetap
615 617 696
5.
Jaring lingkar
101
6.
Pancing
1.422
7.
Perangkap
1.109
8.
Bagan
1.
790 Jumlah
6.192
Tenaga Kerja per Kapal
2 2 3 2 6 3 2 2
Jumlah Tenaga Kerja
1.684 1.230 1.851 1.392 606 4.266 2.218 1.580 14.827
125 Selain tenaga kerja yang terjun langsung dalam kegiatan penangkapan ikan, pengembangan perikanan ini juga dapat memperluas tingkat penyerapan tenaga
kerja
di
luar
perikanan.
Berdasarkan
perhitungan
terhadap
pengembangan beberapa sarana sampai titik optimum maka jumlah tenaga kerja yang dapat diserap diluar bidang perikanan adalah 1.960 orang. Rincian lengkap perhitungannya tingkat penyerapan tenaga kerja diluar bidang perikanan dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38 Kebutuhan jumlah tenaga kerja lain terkait dengan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Kapasitas
Jumlah (unit)
Jumlah Tenaga Kerja per unit (orang/unit)
PPP
4000 GT
3
200
Kebutuhan Tenaga Kerja (orang) 600
PPI
1300 GT
5
100
500
Galangan kapal
750 GT/thn
3
20
60
Pabrik Jaring
72,5 ton/bln 200 ton/thn/unit 1500 ton/thn/unit
1
100
100
2
50
100
6
100
600
Sarana/Prasarana
Unit Pengolahan Rajungan Unit Pengolahan ikan dan udang Total Kebutuhan Tenaga Kerja (orang)
1960
4.9
Strategi Pengembangan Perikanan
4.9.1
Analisis SWOT Dalam melakukan pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditi
unggulan di Provinsi Sumatera Selatan maka dilakukan analisis SWOT untuk merumuskan strategi pengembangan perikanan. Dengan analisis SWOT ini maka optimasi pemanfaatan potensi komoditas unggulan yang ada akan lebih baik. Untuk dapat merumuskan strategi berdasarkan faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kegiatan perikanan tangkap, maka terlebih dahulu dilakukan identifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang berpotensi ditemukan di Provinsi Sumatera Selatan. Faktor-faktor inilah yang nantinya
akan
digunakan
sebagai
dasar
dalam
merumuskan
strategi
pengembangan perikanan tangkap dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang dan sekaligus meminimumkan kelemahan dan ancaman yang ada.
126 Faktor internal merupakan faktor-faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap upaya pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Faktor ini terdiri atas kekuatan yang mendukung kegiatan dan faktor kelemahan yang bertolak belakang dengan faktor sebelumnya. Adapun faktor-faktor yang dimaksud ditunjukkan pada Tabel 39. Tabel 39 Faktor internal yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan No.
Kekuatan
1
Potensi perikanan tangkap yang besar
2
Dukungan pemerintah pada sektor perikanan dan kelautan
3
Banyak tersedia tenaga kerja
4
Posisi geografis yang strategis
1
Kelemahan Kurangnya sarana dan prasarana perikanan
2
Kualitas SDM perikanan yang rendah
3
Rendahnya produktivitas penangkapan
4
Kurangnya modal yang dimiliki
Selain faktor internal yang berasal dari dalam, faktor eksternal merupakan faktor dari luar yang juga dapat berdampak terhadap kegiatan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Faktor ini terdiri atas peluang dan ancaman yang mungkin timbul dalam proses pengembangan perikanan. Faktor-faktor tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 40.
Tabel 40 Faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan No. 1
Peluang Otonomi daerah memberikan kewenangan pengelolaan lebih luas pada PEMDA
2
Terbukanya pasar ekspor bagi komoditas perikanan unggulan
3
Pengembangan perikanan berbasis komoditas unggulan perikanan
4
Perluasan DPI ke wilayah perairan > 12 mil
1
Ancaman Rezim pengelolaan perikanan yang masih open access
2 3 4
Padatnya aktivitas perikanan di sekitar pantai Era perdagangan bebas menyebabkan banyak produk perikanan impor masuk ke pasar lokal Penurunan kualitas lingkungan perairan
Dalam rangka mengembangkan perikanan tangkap dengan berbagai faktor internal dan eksternal, maka disusunlah suatu strategi pengembangan dengan
127 memanfaatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan meminimalkan
ancaman
yang
mungkin
terjadi.
Strategi
pengembangan
perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan di Sumatera Selatan disajikan dalam matriks pada Tabel 41. Strategi pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu strategi SO, WO, ST dan WT. Masing-masing strategi memiliki keunggulan dan prioritas yang berbeda. Hal ini tentunya berkaitan dengan faktor internal dan eksternal yang mempunyai pengaruh besar terhadap pengembangan perikanan tangkap. Tabel 41 Matrik SWOT pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Kekuatan
INTERNAL
1. Potensi perikanan tangkap yang besar 2. Dukungan pemerintah pada sektor perikanan dan kelautan 3. Banyak tersedianya tenaga kerja 4. Posisi gegografis yang strategis
EKSTERNAL
Kelemahan 1. Kurangnya sarana dan prasarana perikanan 2. Kualitas SDM perikanan yang rendah 3. Rendahnya produktivitas penangkapan 4. Kurangnya modal yang dimiliki
Peluang
Strategi SO
Strategi WO
1. Otonomi daerah memberikan kewenangan pengelolaan lebih luas pada PEMDA 2. Terbukanya pasar ekspor bagi komoditas perikanan unggulan 3. Pengembangan perikanan berbasis komoditas unggulan perikanan 4. Perluasan DPI ke wilayah perairan > 12 mil
Optimalisasi pemanfaatan komoditas perikanan unggulan Memperluas jaringan kerjasama dalam pengembangan perikanan
Meningkatkan sarana dan prasarana serta SDM perikanan Meningkatkan produktivitas perikanan unggulan
Ancaman 1. Rezim pengelolaan perikanan yang masih open access 2. Padatnya aktivitas perikanan di sekitar pantai 3. Era perdagangan bebas menyebabkan banyak produk perikanan impor masuk ke pasar lokal 4. Penurunan kualitas lingkungan perairan
Strategi ST Meningkatkan upaya penangkapan pada perairan lepas pantai Optimalisasi jumlah armada penangkapan
Strategi WT Meningkatkan peran masyarakat dalam melestarikan SDI dan lingkungan Peningkatan produksi perikanan pada perairan > 12 mil
128 Berdasarkan Tabel 41, maka strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan dapat disajikan dalam Tabel 42. Tabel 42 Strategi pengembangan perikanan di Sumatera Selatan No.
Strategi
1.
Optimalisasi pemanfaatan komoditas perikanan unggulan (S1+S2+O2+O3)
2.
Meningkatkan produktivitas perikanan unggulan (W3+O2+O3) Meningkatkan peran masyarakat dalam melestarikan SDI dan lingkungan (W2+W4+T1+T2) Optimalisasi jumlah armada penangkapan (S3+S4+T2+T3+T4)
3. 4.
7.
Memperluas jaringan kerjasama dalam pengembangan perikanan (S3+S4+O1+O4) Meningkatkan sarana dan prasarana serta SDM perikanan (W1+W2+W4+O1+O4) Meningkatkan upaya penangkapan pada perairan lepas pantai (S1+S2+T1)
8.
Peningkatan produksi perikanan pada perairan > 12 mil (W1+W3+T3+T4)
5. 6.
Masing-masing strategi dapat dijabarkan sebagai berikut: 1)
Optimalisasi pemanfaatan komoditas perikanan unggulan, dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas penangkapan, pengolahan maupun pemasaran.
Komoditas yang dimaksud adalah udang, rajungan, golok-
golok dan manyung. 2)
Untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan, maka produktivitas perikanan komoditas unggulan harus ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui perluasan daerah penangkapan hingga ke perairan > 12 mil yang selama ini cenderung belum dimanfaatkan dengan baik.
3)
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam melestarikan SDI dan lingkungan guna mendukung perikanan tangkap yang berkelanjutan. Hal ini menjadi
salah
satu
upaya
dalam
mewujudkan
perikanan
yang
bertanggungjawab sesuai dengan arah pembangunan perikanan dan kelautan yang diarahkan untuk pelestarian/konservasi sumberdaya. 4)
Optimalisasi
armada
penangkapan,
untuk
memanfaatkan
komoditas
perikanan unggulan maka jumlah armada tertentu harus dioptimalkan sehingga produktivitas tangkapan per armada dapat ditingkatkan. 5)
Memperluas jaringan kerjasama dan pengembangan perikanan dalam memasarkan hasil perikanan terutama untuk jenis komoditas unggulan sehingga mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi baik bagi nelayan maupun daerah.
129 6)
Meningkatan kualitas sarana prasarana serta SDM di bidang perikanan tangkap, hal ini dilakukan untuk memberikan fasilitas pokok dan penunjang dalam upaya pemanfaatan komoditas perikanan unggulan.
Sarana dan
prasarana yang dimaksud dapat berupa penambahan Pelabuhan Perikanan, pembangunan cold storage, pembangunan pabrik es dan lain-lain. Kemampuan SDM nelayan juga harus ditingkatkan terutama dalam hal pengetahuan mengenai cara-cara penangkapan yang ramah lingkungan serta menjaga muitu hasil tangkapan tetap baik. 7)
Meningkatkan upaya penangkapan pada perairan lepas pantai, sehingga produksi perikanan Provinvi Sumatera Selatan dapat ditingkatkan terutama untuk jenis ikan pelagis besar.
8)
Peningkatan produksi perikanan pada perikanan > 12 mil ditujukan untuk memberikan peluang pendapatan yang lebih tinggi bagi nelayan dan peningkatan pendapatan daerah dengan adanya diversifikasi jenis ikan pelagis besar yang selama ini belum banyak dilakukan oleh nelayan.
Usaha pengoptimalan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan dapat dilakukan melalui pengaturan alokasi armada penangkapan dan penambahan sarana-prasarana penunjang.
Sarana penunjang yang dimaksud antara lain
pelabuhan perikanan, pabrik es dan unit-unit pengolahan ikan. Selain itu, sektor kelembagaan perikanan juga perlu mendapat perhatian yang serius sehingga peningkatan produksi perikanan tangkap dapat memberikan nilai tambah bagi nelayan dan bermuara pada peningkatan kualitas hidup nelayan dan masyarakat pesisir. Kondisi sarana dan prasarana perikanan yang kurang mendukung dapat menimbulkan hambatan bagi kemajuan sektor perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini berkaitan dengan karakteristik produk perikanan yang mudah mengalami penurunan mutu. Ikan yang telah rusak akan memiliki nilai jual yang lebih rendah sehingga akan mendatangkan kerugian bagi nelayan. Oleh karena itu, pembangunan pabrik es dan cold storage menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan di daerah ini. Pembangunan
infrastruktur
perikanan
juga
harus
diiringi
dengan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Penerapan sistem rantai dingin pada proses penangkapan ikan hendaknya di sosialisasikan kepada nelayan
130 tradisional sehingga kualitas hasil tangkapan nelayan tradisionalpun tetap terjaga.
Peran serta dinas teknis terkait dalam hal ini Dinas Kelautan dan
Perikanan harus ditingkatkan melalui berbagai program dan pendekatan persuasif. Seluruh stakeholders yang terlibat hendaknya memiliki visi misi yang sama sehingga pembangunan perikanan akan menghasilkan manfaat tambahan bagi semua pihak.
4.9.2 Analisis hierarki proses Penentuan prioritas alternatif kebijakan dalam rangka pengembangan kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan dengan menggunakan analisis AHP (Analytical Hierarchy Process).
Alasan dipilihnya
metode AHP karena metode ini lebih dapat tergambar secara jelas berbagai variabel pengambilan keputusan yang diambil dalam menentukan prioritas alternatif pengembangan kebijakan perikanan tangkap. Dalam menentukan variabel keputusan yang dianalisis menggunakan AHP, pertimbangan yang digunakan adalah dengan mengutamakan strategi yang telah dihasilkan dalam analisis SWOT. Variabel yang digunakan adalah alokasi sarana dan prasarana perikanan, alokasi alat tangkap, memperluasan daerah penangkapan ikan ke perairan > 12 mil dan menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan.
Hal ini sesuai dengan prioritas strategi yang
dihasilkan dari analisis SWOT dan kebutuhan eksisting pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Variabel-variabel keputusan yang digunakan untuk pengembangan kebijakan perikanan tangkap di Sumatera Selatan dapat digambarkan dalam diagram hierarki keputusan AHP seperti yang disajikan pada Gambar 13.
131
Level 1: Fokus
Level 2: Masalah
Level 3: Alternatif Kebijakan
Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan
Sarana dan prasarana 0,483
Meningkatkan jumlah unit alat tangkap 0,350
Aktivitas usaha penangkapan 0,276
Menambah unit pengolahan 0,205
Pengolahan 0,101
Menambah prasarana pelabuhan 0,376
Pemasaran 0,141
Memperluas jangkauan daerah penangkapan di atas12 mil 0,069
Gambar 13 Diagram hierarki keputusan AHP dalam penentuan kebijakan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Diagram
hierarki
pengambilan
keputusan
dalam
pemilihan
pengembangan kebijakan perikanan tangkap disusun dalam tiga level. Level pertama yang menjadi fokus analisis yakni kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Level kedua diagram hierarki yaitu variabel masalah yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan tangkap. Terdapat empat masalah pokok yang terpilih meliputi sarana dan prasarana, aktivitas kegiatan usaha penangkapan ikan, pengolahan serta pemasaran produk hasil perikanan. Berdasarkan pada kriteria masalah tersebut dapat dirumuskan alternatif kebijakan pada level ketiga. Secara garis besar terdapat empat alternatif kebijakan yang dapat dipilih yaitu: 1)
Menambah
alokasi unit
alat
tangkap
untuk
dapat
memanfaatkan
sumberdaya komoditas unggulan secara optimum. 2)
Menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan.
3)
Menambah prasarana pelabuhan yang dilengkapi dengan pabrik es, galang kapal dan stasiun pengisian bahan bakar.
4)
Memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan hingga di atas 12 mil. Tahapan proses pengolahan data pada analisis AHP ada 2, yaitu
pengolahan secara horisontal dan pengolahan secara vertikal. Pengolahan horisontal yaitu membandingkan antar elemen yang menjadi variabel dari setiap
132 variabel elemen di atasnya, dan bobot nilai elemen diatasnya tersebut tidak dihitung.
Sedangkan
pengolahan
secara
vertikal
dihitung
dengan
membandingkan antar semua elemen dalam satu level, dan perhitungan bobot nilai setiap elemen diatasnya akan berpengaruh terhadap nilai setiap elemen pada level berikutnya. Analisis secara vertikal merupakan hasil akhir bobot nilai dari setiap elemen variabel pengambilan keputusan.
1)
Analisis Hasil Pengolahan Horizontal Analisis pengolahan horizontal dilakukan terhadap setiap level yang
dibuat dalam diagram hierarki AHP. Terdapat tiga level hierarki pengambilan keputusan yang telah disusun yaitu pada level pertama sebagai fokus utama; level kedua didasarkan pada masalah; dan level ketiga merupakan alternatif kebijakan. Pada level pertama hanya terdapat satu-satunya elemen fokus yaitu pengembangan kebijakan perikanan tangkap, sehingga elemen tersebut merupakan satu-satunya hasil pengolahan horisontal pada level pertama.
Hasil pengolahan horisontal level kedua (elemen masalah) Pengolahan horisontal pada level kedua dilakukan terhadap berbagai elemen masalah menurut setiap masalah yang ditetapkan sebagai kriteria penilaian dalam kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil analisis pengolahan data pada level kedua dapat dilihat pada Tabel 43.
Tabel 43 Bobot nilai hasil pengolahan horisontal elemen masalah pada level kedua No 1 2 3 4
Masalah Sarana dan prasarana Usaha Penangkapan Pengolahan Pemasaran Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,08
Bobot Nilai 0,483 0,276 0,101 0,141
Berdasarkan pada tabel di atas dapat diketahui bahwa elemen masalah sarana dan prasarana merupakan elemen masalah yang paling penting dengan bobot nilai sebesar 0,483. Selanjutnya diikuti oleh elemen masalah usaha penangkapan dengan bobot nilai 0,276. Elemen masalah pemasaran dan
133 pengolahan memiliki bobot nilai masing-masing sebesar 0,141 dan 0,101. Hasil penilaian responden seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas telah cukup konsisten yang ditandai dengan nilai rasio inkonsistensi (RI) sebesar 0,08, berada dibawah nilai 0,1.
Hasil pengolahan horisontal level ketiga (elemen alternatif kebijakan) Pengolahan horisontal pada level ketiga bertujuan untuk memilih alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan didasarkan pada 4 elemen masalah yang telah ditetapkan pada level ketiga. Secara lebih lengkap hasil analisis pengolahan horisontal pada level ketiga disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44 Susunan bobot dan prioritas hasil pengolahan horisontal elemen alternatif kebijakan pada level ketiga No . 1. 2. 3. 4.
Sub masalah Sarana dan pasarana Usaha penangkapan Pengolahan Pemasaran
Alt.1 0,305 0,548 0,152 0,271
Alternatif Kebijakan Alt2 Alt3 0,094 0,534 0,109 0,274 0,523 0,240 0,544 0,122
Alt4 0,067 0,070 0,085 0,064
RI 0,08 0,05 0,02 0,07
Keterangan : Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif 4
: Menambah alokasi unit alat tangkap untuk dapat memanfaatkan sumberdaya komoditi unggulan secara optimum. : Menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan. : Menambah prasarana pelabuhan .yang di lengkapi dengan pabrik es, galangan kapal dan stasiun pengisian bahan bakar. : Memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan di atas 12 mil.
Berdasarkan analisis pengolahan horisontal AHP seperti yang disajikan pada tabel di atas dapat dilihat bahwa bobot penilaian dari setiap alternatif kebijakan memiliki distribusi bobot yang hampir merata bagi alternatif kebijakan pertama, kedua dan ketiga. Sedangkan bobot nilai untuk alternatif kebijakan keempat memiliki bobot nilai yang paling rendah dipandang dari seluruh elemen masalah yang telah ditetapkan. Alternatif kebijakan ketiga yaitu melengkapi sarana dan prasarana pendukung menjadi prioritas utama berdasarkan penilaian masalah sarana dan prasarana. Bila ditinjau berdasarkan aspek masalah usaha penangkapan maka alternatif
kebijakan
pertama
yakni
menambah
alokasi
jumlah
armada
134 penangkapan yang menjadi prioritas utama. Sedangkan prioritas utama kebijakan yang dipilih berdasarkan aspek pengolahan dan pemasaran yaitu alternatif kebijakan kedua yakni menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan. Hasil penilaian responden seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas telah cukup konsisten yang ditandai dengan semua nilai rasio inkonsistensi (RI) sebesar berada dibawah nilai 0,1.
2)
Analisis Hasil Pengolahan Vertikal Pengolahan vertikal adalah menyusun prioritas pengaruh setiap elemen
pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Pengolahan vertikal dilakukan setelah matriks pendapat diolah secara horisontal dan memenuhi syarat rasio inkonsistensi. Berdasarkan hasil analisis horisontal di atas dapat diketahui bahwa nilai inkonsistensi yang paling besar yang sebesar 0,08 artinya nilai tersebut masih berada dibawah 0,1 sehingga dapat dianggap masih memiliki nilai konsistensi yang baik. Analisis pengolahan vertikal dari model
hierarki
keputusan
pemilihan
alternatif
kebijakan
pengembangan
perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan juga dilakukan pada setiap tingkat seperti pada pengolahan horisontal. Hasil analisis pengolahan vertikal pada level pertama memiliki nilai 1, karena hanya terdapat satu elemen variabel fokus kegiatan yaitu pengembangan kebijakan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.
Hasil pengolahan vertikal level kedua (elemen masalah) Pengolahan vertikal pada level kedua adalah untuk mengetahui permasalahan yang paling berpengaruh terhadap pemilihan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap.
Hasil analisis pengolahan vertikal level
kedua disajikan pada Tabel 45.
Tabel 45 Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level kedua No. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Sarana dan prasarana Usaha Penangkapan Pengolahan Pemasaran
Bobot Nilai 0,483 0,276 0,101 0,141
Ranking 1 2 4 3
Hasil pengolahan vertikal pada level kedua memberikan hasil yang sama dengan hasil pengolahan horisontal pada tingkat yang sama, karena pada tingkat
135 ini langsung berada di bawah tingkat pertama atau fokus dari model hierarki sistem keputusan. Dari Tabel 45 dapat dilihat bahwa permasalahan utama yang paling berpengaruh terhadap penentuan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan yaitu masalah sarana dan prasarana merupakan elemen masalah yang paling penting dengan bobot nilai sebesar 0,483. Selanjutnya secara berurut diikuti oleh elemen masalah usaha penangkapan dengan bobot nilai 0,276. Elemen masalah pemasaran dengan bobot nilai sebesar 0,141, sedangkan elemen masalah pengolahan hasil perikanan memiliki bobot yang paling rendah yaitu sebesar 0,101. Hasil analisis pengolahan vertikal pada level kedua menunjukkan bahwa kegiatan pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan memiliki ketergantung yang relatif besar terhadap kondisi sarana dan prasarana. Dukungan
sarana
dan
prasarana
yang
baik
akan
berdampak
pada
berkembangnya usaha pada sektor perikanan tidak hanya pada on farm yakni usaha penangkapan, tetapi juga akan berdampak pada pengembangan usaha off farm yakni usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Adanya infrastruktur yang baik akan menciptakan kondisi usaha menjadi lebih efisien.
Hasil Pengolahan Vertikal pada Level Ketiga Analisis pengolahan pada level ketiga dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan yang akan dipilih berdasarkan kriteria masalah dan sub masalah yang telah ditetapkan. Hasil analisis pengolahan vertikal pada level ketiga dapat dilihat pada Tabel 46.
136 Tabel 46 Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level ketiga (elemen alternatif) No. 1.
2.
3.
4.
Alternatif Kebijakan Menambah alokasi unit alat tangkap untuk dapat memanfaatkan sumberdaya komoditas unggulan secara optimum Menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan. Menambah prasarana pelabuhan yang dilengkapi dengan pabrik es, galang kapal dan stasiun pengisian bahan bakar.
Bobot Nilai
Ranking
0,350
2
0,205
3
0,376
1
Memperluas jangkauan daerah 0,069 penangkapan ikan diatas 12 mil Rasio Inkonsistensi = 0,08
4
Hasil pengolahan vertikal level keempat menunjukan bahwa prioritas kebijakan utama dalam rangka pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah melengkapi sarana dan prasarana pendukung operasional usaha perikanan dengan bobot nilai mencapai sebesar 0,376. Prioritas alternatif berikutnya yaitu menambah alokasi jumlah unit alat tangkap secara optimum dengan bobot nilai 0,350. Prioritas alternatif yang ketiga yaitu menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan dengan bobot nilai 0,205. Sedangkan alternatif kebijakan memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan di atas 12 mil menjadi prioritas terakhir dengan optimum dengan bobot nilai 0,069 Rasio inkonsistensi yang diperoleh dari pengolahan vertikal pada level keempat sebesar 0,08. Nilai rasio inkonsistensi ini menunjukan bahwa kualitas informasi yang diperoleh dari para stakeholder yang menjadi responden dalam kajian ini sangat baik dan mencerminkan konsistensi responden dalam menilai berbagai kriteria yang berpengaruh dalam penyusunan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Prioritas utama alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan yaitu dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendukung operasional usaha perikanan. Hal ini dimungkinkan mengingat bahwa pengembangan perikanan di Sumatera Selatan memiliki ketergantung yang
137 cukup besar terhadap permasalahan sarana dan prasarana tersebut. Dukungan dari fasilitas pendukung dan infrastruktur yang baik, maka kegiatan usaha perikanan baik penangkapan, pengolahan maupun pemasaran dapat menjadi lebih efisien dan menjadi poin penting meningkatkan keunggulan produk perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, pengembangan jumlah unit armada penangkapan akan menjadi lebih baik dengan tersedianya sarana dan prasarana pendukung di pelabuhan terlebih dahulu. Ketersediaan fasilitas di pelabuhan akan berdampak pada kegiatan operasi penangkapan ikan menjadi lebih optimum. Kebijakan lain yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan sumberdaya ikan pada wilayah perairan > 12 mil, antara lain wilayah Laut Cina Selatan. Untuk dapat memanfaatkan SDI di perairan tersebut maka dibutuhkan dukungan armada yang besar dan keterampilan nelayan yang lebih baik. Laut cina selatan masih memiliki potensi perikanan yang besar sehingga peluang pengembangan perikanan ke daerah ini masih cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian Riddo et al. (2002) bahwa distribusi ikan demersal di Laut Cina Selatan terkonsentrasi pada kedalaman antara 13-75 m, dan konsentrasi paling tinggi berada disekitar estuaria. Sementara itu menurut Masrikat (2003), perairan Laut Cina Selatan memiliki densitas ikan paling tinggi dilapisan pada kedalaman 5-25 m dan terkonsentrasi pada bagian selatan perairan yang dangkal dibandingkan dengan bagian utara yang relatif dalam.
4.10
Rancang Bangun Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Dalam upaya pengembangan perikanan tangkap, maka diperlukan suatu
kerangka pengembangan yang menggambarkan seberapa besar potensi dan berbagai sarana yang diperlukan dalam pemanfaatan potensi tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan arahan dan pedoman dalam menentukan kebijakan yang mendukung pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.
Keragaan komponen perikanan tangkap ini, selanjutnya
dapat menjadi rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan seperti ditunjukkan pada Gambar 16. Keterpaduan antar komponen perikanan tangkap seperti pada Gambar 16, sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya konsep rancang bangun
138 pengembangan tersebut. Oleh karena itu menurut Purwaka dan Sunoto (1999), diperlukan suatu organisasi atau lembaga yang mampu mengatur kerangka dan mekanisme kebijakan baik internal maupun eksternal sehingga kegiatan institusional dapat berjalan serta berhasil guna dan berdaya guna dan memberikan manfaat lebih bagi masyarakat. Kebijakan otonomi daerah memungkinkan daerah mampu dan dapat mengembangkan serta mengelola potensi perikanan yang ada dengan lebih baik. Oleh karena itu, campur tangan berbagai pihah baik dari lembaga pemerintah, swasta
dan
masyarakat
sangat
diperlukan
demi
tercapainya
tujuan
pembangunan perikanan yang telah ditetapkan mengikuti rancang bangun perikanan di Provinsi Sumatera Selatan seperti pada Gambar 14. Secara rinci masing-masing lembaga dan tugas serta perannya adalah sebagai berikut : (1) Lembaga pemerintah, yang terdiri dari: 1) Dinas Perikanan pada setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan, 2) Unit Pelakasana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan, 3) Unit Perekayasaan Teknologi, dan 4) Unit Pelatihan dan Penyuluhan berperan sebagai regulator dan sekaligus pengawas pelaksanaan pengembangan sehingga arah pembangunan perikanan sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan. (2) Lembaga swasta, yaitu asosiasi/organisasi pengusaha unit penangkapan ikan (kapal, alat penangkap ikan, perlengkapan dan alat bantu penangkapan ikan), asosiasi/organisasi pengusaha galangan kapal, asosiasi/organisasi pengolah dan pemasaran hasil perikanan berperan sebagai mitra dan sekaligus pengawas terhadap pelaksanaan pembangunan perikanan. (3) Lembaga masyarakat terdiri asosiasi/organisasi anak buah kapal (ABK), buruh nelayan, pengolah hasil perikanan, dan kelompok pengawas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap berperan sebagai eksekutor dan sekaligus pemberi masukan terhadap kebijakan pembangunan perikanan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
139
- Ekspor - Konsumsi domestik
Potensi Sumberdaya Ikan (TAC) Udang : 5.038,39 ton Rajungan : 1.564,78 ton Manyung : 3.590,45 ton Golok-golok : 2.974,95 ton
Komponen Pemasaran Luas total Tempat Pelelangan ikan sebesar 285 m2
Pasca Produksi 1. UP Rajungan 2 unit kapasitas 200 ton/tahun 2. UP Ikan dan udang 6 unit kapasitas 1.500 ton/tahun
Jumlah dan kelas PP PPP : 3 PPPI: 5
Sarana penunjang 1. Galangan Kapal 3 Unit 2. Pabrik Jaring 1 Unit
Jumlah Unit Penangkapan IKan Trammelnet : 842 unit Pancing : 1422 unit Bagan : 790 unit Drift gillnet : 615 unit Set gillnet : 696 unit J. Lingkar : 101 unit J. Klitik : 617 unit Perangkap : 1109 unit
Jumlah Tenaga Kerja Nelayan Trammelnet Pancing Bagan Drift gillnet Set gillnet J. Lingkar J. Klitik Perangkap
14.827 orang : 1.684 orang : 4.266 orang : 1.580 orang : 1.230 orang : 1.392 orang : 606 orang : 1.851 orang : 2.218 orang
Tenaga Kerja lainnya : 1.960 orang
Gambar 14 Rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Selain kelembagaan yang kuat, pelaksanaan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan juga sangat membutuhkan investasi dan permodalan yang diprioritaskan bagi masyarakat nelayan. Hal ini bertujuan agar terjadi peningkatan laju usaha dari komponen-komponen perikanan tangkap yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Oleh karena itu, peran perbankan dalam mendorong pengembangan perikanan tangkap menjadi sangat penting. Modal yang disalurkan oleh perbankan dapat dimanfaatkan oleh koperasi nelayan dan pengusaha perikanan pasca produksi, maupun pengusaha penyedia alat penunjang kegiatan panangkapan. Selain bagi individual investor juga dapat bekerjasama dengan pemerintah seperti pelabuhan perikanan pantai (PPP) maupun Pangkalan Pendaratan Ikan
140 (PPI). Misalnya investor mendukung sarana dan perasarana doking, air bersih, BBM, transportasi dll, sehingga kawasan pelabuhan dapat berperan sebagai kawasan perekonomian terpadu, seperti di daerah PPS di Indonesia yang telah terintegrasi
antara
produksi
perikanan,
perusahaan
pengolahan
hingga
penyediaan sarana perbekalan melaut. Pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan tentunya akan memincu tumbuhnya kegiatan perekonomian lainnya disekitar kawasan perikanan ini. Oleh karena itu, keberadaan lembaga keuangan yang kuat dan lembaga-lembaga lain menjadi strategis, sebagai penjamin adanya aliran keuangan. Lembaga keuangan yang minimal diperlukan dan harus ada dalam pengembangan sub-sektor perikanan tangkap adalah: 1) perbankan, 2) koperasi, 3) pegadaian, dan 4) lembaga asuransi.
4.11
Keuntungan Penerapan Rancang Bangun Perikanan Komponen dalam rancang bangun perikanan tangkap seperti telah
diuraikan di atas memiliki hubungan yang saling berkaitan dan menunjang satu sama lain. Masing-masing komponen memiliki peran dan fungsi yang secara bersama-sama
menciptakan
kondisi
perikanan
yang
kondusif
dan
menguntungkan baik bagi nelayan sebagai pelaku, pedagang, swasta dan pemerintah sebagai regulator.
Oleh karena itu, penerapan suatu kebijakan
pemerintah akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Estimasi yang diperoleh dari penerapan alokasi armada, penambahan sarana dan prasarana perikanan, dan kebijakan pengembangan perikanan memberikan pengaruh yang signifikan baik terhadap produksi jenis komoditas unggulan, tenaga kerja maupun nilai ekspor perikanan di Sumatera Selatan. Manfaat penerapan rancang bangun tersebut disajikan pada Tabel 47.
141 Tabel 47 No 1
2
Manfaat penerapan rancang bangun pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Kondisi Eksisting
Setelah Pengembangan
Udang
5.861,86
6.356,43
494,56
8,44
Rajungan
1.726,51
1.993,78
267,27
15,48
Manyung
3.936,56
4.218,84
282,28
7,17
Golok-golok
2.667,24
3.117,68
450,43
16,89
14.192,18
15.686,73
1.494,54
10,53
234.474.560.000
292.395.642.000
57.921.082.000
24,70
Rajungan
43.162.800.000
57.321.175.000
14.158.375.000
32,80
Manyung
29.524.230.000
36.387.529.500
6.863.299.500
23,25
Golok-golok
18.670.701.000
25.097.291.800
6.426.590.800
34,42
325.832.291.000 Total Tenaga kerja perikanan
411.201.638.300
85.369.347.300
26,20
1.578
1.684
106
6,72
960
1.230
270
28,13
1.392 606 4.266 1.580 1.872 1.221 13.475
1.392 606 4.266 1.580 2.218 1.851 14.827
0 0 0 0 346 630 1.352
0,00 0,00 0,00 0,00 18,48 51,60 10,03
0 200 0 0
600 500 60 100
600 300 60 100
150 -
0
100
100
-
200
600
400
200
400
1.960
1.560
390
15.770.000
19.340.000
3..570.000
22,64
2.813,69
3.529,59
715,90
22,54
Uraian
Total Nilai Produksi
Trammel net Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring lingkar Pancing Bagan Perangkap Jaring klitik 4
5 6
%
Produksi
Udang
3
Kenaikan
Total Tenaga kerja bidang lain PPP PPI Galangan kapal Pabrik Jaring Unit Pengolahan Rajungan Unit Pengolahan ikan dan udang Total Kebutuhan Tenaga Kerja (orang) Pendapatan nelayan Volume ekspor
Berdasarkan Tabel 47 diperoleh informasi bahwa apabila kebijakan alokasi armada optimum dan peningkatan sarana dan prasarana perikanan di implementasikan maka akan memberikan peningkatan produksi udang sebesar
142 8,44%, rajungan sebesar 15,48%, ikan manyung sebesar 7,17% dan ikan golokgolok sebesar 16,89%. Selain itu, pengaruh yang ditimbulkan lainnya adalah adanya peningkatan pendapatan nelayan sebesar 22,64% dengan asumsi adanya peningkatan harga jual hasil tangkapan ikan sebesar 15% karena perbaikan sistem pemasaran, kualitas ikan tetap baik dengan adanya pabrik es serta penurunan biaya BBM sebesar 10% karena nelayan membeli langsung di stasiun pengisian bahan bakar yang ada di pelabuhan perikanan terdekat. Adanya
penambahan
Pelabuhan
Perikanan
Pantai
dan
Pusat
Pendaratan Ikan memberikan pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Selain itu, adanya pabrik jaring, unit pengolahan ikan, udang dan galangan kapal diprediksi mampu menyerap 1.960 orang. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah yang bekerja sebanyak 1.560 orang dari sebelumnya. Begitu pula dengan jumlah nelayan yang juga mengalami peningkatan sesuai dengan alokasi optimum armada perikanan.
Meskipun demikian, diharapkan melalui
penambahan sarana dan prasarana perikanan tidak terjadi konflik horizontal antar nelayan. Komoditas ekspor yang selama ini menjadi andalan utama Provinsi Sumatera Selatan adalah udang. Setelah penambahan unit pengolaham maka komoditas unggulan lain yang memiliki peluang ekspor tinggi adalah rajungan. Dengan asumsi volume ekspor adalah 60% dari produksi udang dan rajungan yang ada maka terjadi peningkatan volume sebesar 22,54%.
4.12
Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Sumatera Selatan Wilayah perairan Provinsi Sumatera Selatan berbatasan langsung dengan
Laut Cina Selatan yang memiliki potensi perikanan tangkap yang tinggi. Potensi sumberdaya ikan yang masih sangat potensial untuk dikembangkan di Laut Cina Selatan adalah komoditas udang dan pelagis besar. Sementara itu, jenis ikan demersal dan pelagis kecil telah mengalami gejala penangkapan berlebih (over fishing).
Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Sumatera Selatan hendaknya
memanfaatkan potensi yang ada tesebut dengan melakukan berbagai upaya antara lain perbaikan sarana-prasarana dan pengembangan armada perikanan tangkap yang mampu menjangkau kawasan di atas 12 mil yang belum banyak dimanfaatkan oleh nelayan lokal.
143 Untuk dapat memanfaatkan potensi perikanan yang ada di kawasan perairan diatas 12 mil maka kapal penangkap yang digunakan juga harus berukuran besar dan memiliki fasilitas penyimpanan yang memadai. Selain itu, perlu ditunjang pula dengan sarana-prasarana pendukung di bagian hinterland sehingga hasil tangkapan nelayan dapat dimanfaatkan dengan baik dan mutunya tetap terjamin. Kapal penangkap ikan yang mampu beroperasi di kawasan perairan lebih dari 12 mil sebaiknya berukuran 15-30 GT.
Sementara itu, kondisi armada
panangkapan yang ada saat ini masih didominasi oleh kapal penangkap ikan < 30 GT. Kapal yang berukuran 15-30 GT hanya sekitar 1% dari total armada perikanan yang ada. Hal ini cukup ironis bila melihat potensi SDI yang begitu besar. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kapasitas dan ukuran armada penangkapan ikan sehingga optimalisasi pemanfaatan komoditas unggulan pada perairan di atas 12 mil dapat tercapai. Kebutuhan kapal penangkap ikan 15-30 GT dapat didekati dari nilai optimasi jumlah armada optimum pada sub bab alokasi optimum yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sementara itu, jumlah prasarana penunjang berupa
pelabuhan perikanan kelas PPN yang dibutuhkan adalah 1 unit untuk menampung kapal-kapal yang berukuran 15-30 GT. Armada penangkapan yang dikembangkan untuk penangkapan di perairan > 12 mil antara lain fish net, purse seine dan pancing (tuna long line). Estimasi kebutuhan armada penangkapan dan pelabuhan perikanan untuk pengembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 48. Tabel 48
Estimasi kebutuhan armada penangkapan untuk pengembangan perikanan di Laut Cina Selatan Spesifikasi
No. 1. 2. 3. 4.
Jenis kebutuhan Kapal Purse seine Kapal fish net Kapal tuna longline Pelabuhan perikanan
15-30 GT 15-30 GT 15-30 GT PPN
Estimasi jumlah yang optimum (unit) 20 17 20 1
Estimasi jumlah kapal purse seine, fish net dan longline diambil dengan 10% dari total peluang penambahan armada berdasarkan hasil LGP. Peluang penambahan tersebut sebesar 57 unit, dan dibagi dalam 3 jenis kapal tersebut. Dengan pertimbangan produktivitas dan kebiasaan nelayan. Apabila armada tradisional dioperasikan oleh 2-3 orang nelayan, maka kapal dengan ukuran
144 tersebut diharapkan mampu menampung sebanyak 20 orang nelayan. Kapal fish net merupakan jenis armada yang dapat dikatakan baru bagi nelayan sehingga perlu dilakukan transfer teknologi terlebih dahulu.
Selain itu, wilayah
pengoperasian yang relatif jauh membutuhkan waktu untuk beradaptasi bagi nelayan. Oleh karena itu, nilai kebutuhan tersebut belum merupakan nilai mutlak karena masih memerlukan pertimbangan dari aspek kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak. Kebutuhan akan dibangunnya pelabuhan perikanan nusantara (PPN) akan sejalan dengan berkembangnya armada penangkapan berukuran besar yang beroperasi diperairan > 12 mil.
Oleh karena itu maka untuk
mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang ada di kawasan Laut Cina Selatan, kebutuhan armada berukuran besar dan PPN perlu menjadi pertimbangan bagi dinas terkait dalam rencana pengembangan perikanan di masa mendatang.
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil analisis terhadap status sumberdaya ikan, alokasi armada optimum, analisis strategi pengembangan serta analisis hierarki proses dalam upaya pengembangan perikanan tangkap berbasis komoditas ikan unggulan, maka prioritas kebijakan yang sebaiknya dilakukan adalah pertama menambah prasarana pelabuhan yang di lengkapi pabrik es, galang kapal dan stasiun pengisian bahan bakar, kedua menambah alokasi unit alat tangkap untuk dapat memanfaatkan
sumberdaya
komoditi
unggulan
secara
optimum,
ketiga
menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan, keempat memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan di atas 12 mil. Kesimpulan lain yang dapat disarikan dari penelitian ini adalah : (1) Jenis ikan unggulan yang dapat dikembangkan di Provinsi Sumatera Selatan antara lain udang dengan potensi MSY 6.297,98 ton, rajungan dengan potensi MSY 1.995,98 ton, ikan manyung dengan potensi MSY 4.488,06 ton dan ikan golok-golok dengan potensi MSY sebesar 3.718,69 ton. (2) Trammel net merupakan alat tangkap yang terbaik untuk menangkap komoditas unggulan. (3) Alokasi unit penangkapan optimum untuk memanfaatkan sumberdaya ikan unggulan adalah trammel net sebanyak 842 unit, pancing sebanyak 1.422 unit, bagan sebanyak 790 unit, jaring insang hanyut sebanyak 615 unit, perangkap sebanyak 1109 unit, jaring insang tetap 696 unit, jaring lingkar 101 unit dan jaring klitik 617 unit. (4) Kebutuhan sarana dan prasarana penunjang yang paling pokok adalah PPP sebanyak 3 unit, PPI sebanyak 5 unit, pabrik es, galangan kapal, bengkel perbaikan alat tangkap, stasiun pengisian BBM dan cool storage 1 unit. (5) Hasil estimasi menunjukkan bahwa bila rencana pengembangan perikanan tangkap yang berbasis pada komoditas unggulan ini di terapkan, akan dapat meningkatkan : produksi 1.494,54 ton (10,53%), nilai produksi Rp. 85.369.347.300 (26,20%), penyerapan tenaga kerja perikanan (nelayan) 1.352 orang (10,03%), penyerapan tenaga kerja bidang lain 1.560 orang (390%), pendapatan nelayan Rp. 3.570.000 (22,64%) dan volume ekspor 715,90 ton (22,54%).
146 5.2 Saran Kebijakan
pengembangan
perikanan
tangkap
berbasis
komoditas
unggulan harus tetap memperhatikan aspirasi masyarakat dan daya dukung lingkungan perairan setempat sehingga diharapkan akan mengangkat potensi unggulan daerah menjadi komoditas perikanan yang mampu bersaing di pasar lokal, nasional maupun internasional
DAFTAR PUSTAKA Anderson LG. 1977. The Economics of Fisheries Management. The Johns Hopkins University Press, Baltimore. 214 p. Aziz KA. 1989. Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB. Bogor, 89 hal. Bailey C, Dwiponggo A, Marahudin F. 1987. Indonesian Marine Capture Fisheries. ICLRAM. Directorate General Of Fisheries, Ministry of Agriculture Indonesian. 196 p. Bantacut T, Setyowati T, Fauzi AM. 1998. Beberapa Strategi Pengembangan Agroindustri Repelita VII. Paper Jurusan teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Cappola G, Pascoe S. 1996. A Surplus Production Model With a Non Linier Catch-Effort Relationship. Research Paper 103. Univercity of Portsmouth. Choliq A, Rivai W, Suwarna H. 1999. Evaluasi proyek, (Suatu Pengantar). Pioner Jaya. Bandung Jaya. 138 hal. Clark CW. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. New York. 300 p. Cochrane KL. 2002. Fisheries Management. In a Fishery Manager’s Guide Book. Management Measure and Their Aplication. Edited byCochrane KL. 2002 FAO Fisheries Technical Paper No. 424. Rome. pp1-20. Cunningham SMRD, Whitmarsh D. 1985. Fihseries Economics. An Introduction. Mansell Publishing Limited, London. 372 p. Dahuri R. 2000. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan. Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah seminar dan Kongres Kelautan Nasional KTT III. 15 November. Lombok 40 hal. _______. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta. 157 hal. Darmawan. 2002. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu. Modul Pelatihan Bagi Perencana dan Pengambil Keputusan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 116 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Program Pengembangan Pelabuhan Perikanan Tahun 2006. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 56 hal.
148 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2002. Kebijakan dan Program Kerja Ditjen. Perikanan Tangkap. Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional dan Rapat Kerja Teknis Departemen Kelautan dan Perikanan RI pada tanggal 30 Mei s/d 1 Juni. 2002. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2004. Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap. Disampaikan Pada Rapat Koordinasi Relokasi Nelayan Tingkat Nasional Tahun 2004 Tanggal 9 – 10 Desember 2004 Di Hotel Ibis Mangga Dua, Jakarta. Dirjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 4 Hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Program Jangka Pendek dan Program Strategis Perikanan Tangkap 2006-2009. Pokok-Pokok Pemikiran Program Pembangunan Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan Tangkap, Jakarta. Hal : 3-4. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. 2009. Rencana Strategis Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan tahun 2009-2013. Palembang. 55 hal. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. 147 hal. _______. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. 175 hal. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. 41 p. _______________________________. 2002. The state of the world fisheries and aquaculture 2002. FAO, Rome: FAO, 150 p. Fauzi A. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish. Jurnal Pesisir dan Lautan. Edisi Volume 4 Nomor 03 tahun 2002. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal : 43-45. _____. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 259 hal. ______. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis dan Gagasan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 185 hal. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk analisis Kebijakan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 343 hal. Gaffar AK, Fatah K, Rupawan. 2007. Karakteristik Perikanan Tangkap di Estuaria Banyuasin Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian dan Perikanan. Yogyakarta, 28 Juli. TP-12 1- 11. Yogyakarta. Universitas Yogyakarta.
148
149 Gaspersz V. 1992. Analisis Sistem Terapan. Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Tarsito, Bandung. 669 hal. Ginting MI, Muin Z, Setiawan W. 2002. Prossiding Seminar Pemantapan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Hal : 97–104. Gulland JA. 1991. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore. 223 p. Haluan J, Nurani TW. 1988. Penerangan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di suatu Wilayah Perairan. Bulletin Jurusan PSP. Volume II no. 1 Fakultas Perikanan IPB, Bogor. Hal : 3-16. Hanafiah A, Saefuddin AM. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 228 hal. Kaiser M, Forsberg EM. 2001. Assesing Fisheries-using an Ethical Matrix in a Participatory Process. Agricultural an Environmental Ethics. 14:191-200. Kesteven GL. 1973. Manual of Fisheries Science. Part I. An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper. No. 118. Rome. 43 hal. King M. 1995. Fisheries Biology. Assesment and Management. Fishing News Book Ltd, Oxford. 341 p. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Hal 109. Lawson RM. 1984. Economics of Fisheries Development. Fraces Pinter Publisher. London. 281 p. [LIPI-DKP] Lembaga Imu Pengetahuan Indonesia-Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Pengkajian Stok Ikan dan Perairan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan-DKP. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta. 240 hal. Manetsch PGW and Park. 1977. System Analysis and Simulation With Application to Economic and Social Science. Michigan State University. 474 hal. Mangkusubroto K, Trisnadi Cl. 1985. Analisa Keputusan. Pendekatan sistem dalam Manajemen usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. 271 hal. Martasuganda S. 2002. Jaring Insang (gillnet). Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor. 68 hal. Masrikat JAN. 2003. Distribusi dan Densitas Ikan di Laut Cina Selatan. Jurnal Ichthyos Vol 2 No. 2 hal 63-70.
150
Masydzulhak. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kota Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB Vol XI No. 1. Hal : 21-28. Moeljanto. 1996. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta. 189 hal. Monintja DR. 1987. Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut di Indonesia. Buletin Jurusan PSP. Volume 1 no. 1. Fakultas Perikanan, IPB. Hal : 14-25. Monintja DR. 2000. Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Prosiding Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan; Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hal: 156. Monintja DR. 2000. Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tangkap Berbasis Ekonomi Kerakyatan. Seminar Nasional Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis Kerakyatan. Riau 2003. Hal:12. Monintja DR. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal. Muhammad S. 2002. Kajian Ekonomi Rumah Tangga Nelayan: Analisis Simulasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Berkelanjutan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 435 hal. Murdiyanto B. 2002. Analisis Konflik Antara Nelayan Pancing Rawai dan Jaring Kurau di Perairan Bengkalis Riau. Buletin PSP Vol XI No.2 Hal : 56-64. Mulyono S. 1996. Teori Pengambilan Keputusan. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 245 hal. Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. Hal : 254. Nurani TW. 2002. Aspek Teknis dan Ekonomi Pemanfaatan Lobster di Pangandaran Jawa Barat. Bulletin PSP, Vol. XI No.2. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal: 29-46. Panayotou T. 1982. Management Concepts for Smale-Scale Fisheries : Economic and Social Aspects. FAO Fisheries Technical Papers 228 : 53. Pauly D. 1984. Fish Population Dynamics in Tropical Waters. A Manual for Use with Programmable Calculators. ICLARM Contribution No. 143. ICLARM, Manila. 325 p. Purwaka T, Sunoto M. 1999. Coastal and Marine Resources in Indonesia. Legal and Institution Aspect. PRIAP-ICLARM. Working Paper. No.2 Manila, Philiphines. 103 p.
150
151
Rangkuti F. 2000. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 187 hal. Ridho MR, Eidman M, Kaswadji RF, Jaya I, Nurhakim S. 2002. Ditribusi Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Laut Cina Selatan. Buletin PSP Vol XI No. 2 Hal : 17-28. Rumajar T, Haluan J, Mawardi W. 2002. Pendekatan Sistem Untuk Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Karang Dengan Alat Tangkap Bubu di Perairan Tanjung Manimbaya Kab. Donggala, Sulawesi Tengah. MARITEK. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 2. No. 1. Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Hal :69-99. Saila SB, Recksick CW, Pragen MH. 1988. Basic Fisheru Science Program. A Competicion of Microcomputer Programs and Manual of Operation. Elsevier Science Publishing. Newyork. 320 p. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan. Bagi Para Pemimpin PT Pustaka Binaman Pressindi, Jakarta. 270 hal. Sadhotomo, B. Potier M. 1995. Exploratory Scheme for the Recruitment and Migration of the Marine Pelagic Spesies of The Java Sea in Potier M and S. Nurhakim (Eds) Biodynex. Biology, Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fisheries the Java Sea AARD/ORSTON : 155-158 (11).
Sailah I. 1998. Pemodelan Pengembangan Komoditas Unggulan dan Agroindusti Berorientasi Sumberdaya Lokal dan Pasar. Proyek Kerjasama departemen Pertanian-Departemen Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah-IPB. Bogor.
Saridewi TR. 2006. Analisis Kebijakan Pengembangan Ekonomi Desa Pantai Kabupaten Subang. Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 1 No.1 Hal : 77-85. Satria A, Umbari A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, Muchsin I, Muflikhati I, Karim M, Saad S, Oktariza W, Imran Z. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. 210 hal. Schaefer, MB. 1954. Some aspect of the dynamics of population important to the management of commercial Marine fisheries. Bull. Inter. Am. Trop. Tuna Comm. 1 (12) : Hal : 26 - 56. Simatupang P 2001. Konsepsi Teoritis Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Makalah pada Seminar Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
152 Soeharto, I. 1999. Manajemen Proyek (Dari Konseptual Sampai Operasional). Jilid 1. Konsep, Studi Kelayakan dan Jaringan Kerja. Penerbit Erlangga. Jakarta. 356 hal. Soemokaryo S. 2001. Model Ekonometrika Perikanan Indonesia. Analisis & Simulasi Kebijakan Pada Era Liberalisasi Perdagangan. Penerbit Agritek Malang. 392 hal. Sparre P. dan Venema SC 1999. Introduction Tropical Fish Stock Assessment (Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, alih bahasa J. Widodo. I. G. S. merta, S. Nurhakim dan M. Bahrudin) FAO, Jakarta. Hal : 202-234. Subade RF, NMR Abdullah. 1993. “Are Fisher Profit Maximizers? The Case of Gillnetters in Negros Occidental and Iloilo, Philippines”, asean Fisheries Science, 6: Hal : 39-49. Simatupang P 2001. Konsepsi Teoritis Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Makalah pada Seminar Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 4-6. Suharso, Bambang AN, Asriyanto. 2006. Elastisitas produksi perikanan tangkap Kota Tegal. Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.1, Juli 2006 : Hal : 26-36. Syahailatua A. 2006. Perikanan Ikan Terbang di Indonesia : Riset Menuju Pengelolaan. Jurnal Oseana Vol XXXI No. 3. Hal : 21-31. Sutisna DH. 2007. Model Pengembangan Perikanan Tangkap di Pantai Selatan Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 147 hal. Tampubolon GH, Sutedjo P. 1983. Laporan Survei Analisa Potensi Penangkapan Sumberdaya Perikanan di Perairan Selat Malaka. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Ikan. Semarang. 33 hal. Tai SY. 1995. Bio-Socioeconomic Modelling of Management Alternatives: The Small Pelagic Fishery in Northwest Peninsular, Malaysia. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 56 hal. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 76 hal. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 159 hal. Widodo J, Aziz KA, Priyono BE, Tampubolon GH, Naamin N, Djamali A (Eds). 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut di Indonesia. LIPI. 252 hal. Widodo J. 1992. Metode Penelitian Sumberdaya Ikan. Ekonomi Lingkungan. 2: Hal : 44-51.
152
153 Widodo J, Naamin N, Aziz KA. 1998. Metode Pengkajian Stosk (Stock Assessment). Dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Ditjen Perikanan. Hal : 4-10. Widodo J dan. Nurhakim S. 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. Hotel Golde Clarion, Jakarta. 28 Okt s/d 2 Nov 2002. www.brkp.dkp.go.id. 2010. Wilayah Pengelolalaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia. Tanggal 30 Desember 2010. Yulistyo, Baskoro MS, Monintja DR, Iskandar BH. Analisis Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab di Ternate, Maluku Utara. Buletin PSP Vol XV N0.1. Hal : 70-84 Zulkarnain, Darmawan. 1997. Penggunaan Model Schaefer dan Model Fox untuk pendugaan Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus sp) di Perairan Eretan Wetan, Indramayu, Bulletin PSP, Vol. VI No.3. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal : 31-40.
LAMPIRAN
157 Lampiran 1. Cash flow usaha alat tangkap jaring insang tetap di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Jaring Total Biaya Investasi 2. Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel 3. Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN K. NET BENEFIT / COST
0
1 142.000.000 0 0
2 142.000.000
3 142.000.000
4 142.000.000
5
142.000.000
142.000.000
142.000.000
142.000.000
142.000.000 7.100.000 149.100.000
67.227.700 16.390.350 4.047.000 16.365.500 104.030.550
67.899.977 16.390.350 4.047.000 16.365.500 104.702.827
68.578.977 16.390.350 4.047.000 16.365.500 105.381.827
69.264.767 16.390.350 4.047.000 16.365.500 106.067.617
69.957.414 16.390.350 4.047.000 16.365.500 106.760.264
5.238.450 109.269.000 109.269.000 32.731.000 818.275 31.912.725 0,8475 27.044.682
5.264.642 109.967.469 109.967.469 32.032.531 800.813 31.231.717 0,7182 22.430.133
5.290.965 110.672.792 110.672.792 31.327.208 783.180 30.544.028 0,1586 4.843.986
5.317.420 111.385.037 111.385.037 30.614.963 765.374 29.849.589 0,1147 3.424.989
5.344.007 112.104.272 112.104.272 36.995.728 924.893 36.070.835 0,4790 17.278.531
24.000.000 12.000.000 35.000.000 71.000.000
71.000.000 (71.000.000) (71.000.000) 1 (71.000.000) 4.022.321 34,47 1,06
158 Lampiran 2. Cash flow usaha alat tangkap jaring klitik di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Jaring Total Biaya Investasi 2. Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel 3. Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN K. NET BENEFIT / COST
0
1
0 0
2
3
4
5
160.025.000
160.025.000
160.025.000
160.025.000
160.025.000
160.025.000
160.025.000
160.025.000
160.025.000 16.002.500 176.027.500
70.153.600 15.561.350 4.800.750 23.225.250 113.740.950
70.855.136 15.561.350 4.800.750 23.225.250 114.442.486
71.563.687 15.561.350 4.800.750 23.225.250 115.151.037
72.279.324 15.561.350 4.800.750 23.225.250 115.866.674
73.002.117 15.561.350 4.800.750 23.225.250 116.589.467
7.575.300 121.316.250 121.316.250 38.708.751 967.719 37.741.032 0,8475 31.983.925
7.613.177 122.055.662 122.055.662 37.969.338 949.233 37.020.105 0,7182 26.587.263
7.651.242 122.802.279 122.802.279 37.222.721 930.568 36.292.153 0,1586 5.755.582
7.689.499 123.556.172 123.556.172 36.468.828 911.721 35.557.107 0,1147 4.079.879
7.727.946 124.317.413 124.317.413 51.710.087 1.292.752 50.417.335 0,4790 24.150.743
22.000.000 12.000.000 52.500.000 86.500.000
86.500.000 -86.500.000 -86.500.000 1 -86.500.000 6.057.392 34,04 1,070
159 Lampiran 3. Cash flow usaha alat tangkap jaring insang lingkar di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Total Biaya Investasi 2. Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel 3. Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN K. NET BENEFIT / COST
0
1
0 0
2
3
92.910.000
92.910.000
92.910.000
92.910.000
92.910.000
92.910.000
4
5
92.910.000
92.910.000 9.291.000 92.910.000 102.201.000
25.000.000 12.000.000 20.000.000 57.000.000
57.000.000 -57.000.000 -57.000.000 1 -57.000.000 2.600.847 33,04 1,05
40.782.100 7.849.000 2.787.300 15.028.500 66.446.900
41.189.921 7.849.000 2.787.300 15.028.500 66.854.721
41.601.820 7.849.000 2.787.300 15.028.500 67.266.620
42.017.838 7.849.000 2.787.300 15.028.500 67.682.638
42.438.017 7.849.000 2.787.300 15.028.500 68.102.817
1.415.600 67.862.500 67.862.500 25.047.500 626.188 24.421.313 0,8475 20.696.028
1.422.678 68.277.399 68.277.399 24.632.601 615.815 24.016.786 0,7182 17.248.482
1.429.791 68.696.412 68.696.412 24.213.588 605.340 23.608.249 0,1586 3.744.039
1.436.940 69.119.579 69.119.579 23.790.421 594.761 23.195.661 0,1147 2.661.507
1.444.125 69.546.942 69.546.942 32.654.058 816.351 31.837.707 0,4790 15.250.792
160 Lampiran 4. Cash flow usaha alat tangkap jaring insang hayut di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Total Biaya Investasi 2. Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel 3. Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN K. NET BENEFIT / COST
0
1
2
3
4
5
101.750.000 101.750.000 101.750.000 101.750.000 101.750.000 0 10.175.000 0 101.750.000 101.750.000 101.750.000 101.750.000 111.925.000
25.000.000 10.000.000 20.000.000 55.000.000
55.000.000 -55.000.000 -55.000.000 1 -55.000.000 4.017.734 34,21 1,073
46.200.000 11.481.900 3.052.500 14.850.000 75.584.400
46.662.000 11.481.900 3.052.500 14.850.000 76.046.400
47.128.620 11.481.900 3.052.500 14.850.000 76.513.020
47.835.549 11.481.900 3.052.500 14.850.000 77.219.949
48.313.905 11.481.900 3.052.500 14.850.000 77.698.305
1.415.600 77.000.000 77.000.000 24.750.000 618.750 24.131.250 0,8475 20.450.212
1.429.756 77.476.156 77.476.156 24.273.844 606.846 23.666.998 0,7182 16.997.269
1.436.905 77.949.925 77.949.925 23.800.075 595.002 23.205.073 0,1586 3.680.099
1.444.089 78.664.039 78.664.039 23.085.961 577.149 22.508.812 0,1147 2.582.697
1.451.310 79.149.615 79.149.615 32.775.385 819.385 31.956.001 0,4790 15.307.457
161 Lampiran 5. Cash flow usaha alat tangkap trammel net di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Total Biaya Investasi 2. Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel 3. Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN K. NET BENEFIT / COST
0
1
2
3
4
5
105.052.500 105.052.500 105.052.500 105.052.500 105.052.500 0 10.505.250 0 105.052.500 105.052.500 105.052.500 105.052.500 115.557.750
25.000.000 10.000.000 15.750.000 50.750.000
50.750.000 -50.750.000 -50.750.000 1 -50.750.000 20.568.210 50,68 1,41
42.694.619 9.679.706 3.151.575 18.041.625 73.567.525
43.121.565 9.679.706 3.151.575 18.041.625 73.994.471
43.552.781 9.679.706 3.151.575 18.041.625 74.425.687
44.206.073 9.679.706 3.151.575 18.041.625 75.078.979
44.648.133 9.679.706 3.151.575 18.041.625 75.521.040
1.415.600 74.983.125 74.983.125 30.069.375 751.734 29.317.640 0,8475 24.845.458
1.429.756 75.424.227 75.424.227 29.628.273 740.707 28.887.566 0,7182 20.746.600
1.436.905 75.862.592 75.862.592 29.189.908 729.748 28.460.160 0,1586 4.513.505
1.444.089 76.523.068 76.523.068 28.529.432 713.236 27.816.196 0,1147 3.191.675
1.451.310 76.972.349 76.972.349 38.585.401 964.635 37.620.766 0,4790 18.020.973
162 Lampiran 6. Cash flow usaha alat tangkap perangkap di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Total Biaya Investasi 2. Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel 3. Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN K. NET BENEFIT / COST
0
1
0 0
2
3
4
52.104.000
52.104.000
52.104.000
52.104.000
52.104.000
52.104.000
52.104.000
52.104.000
5 52.104.000 5.210.400 57.314.400
18.000.000 12.000.000 1.200.000 31.200.000
31.200.000 -31.200.000 -31.200.000 1 -31.200.000 1.025.735 32,33 1,03
20.466.420 5.988.060 1.563.120 8.096.400 36.114.000
20.671.084 5.988.060 1.563.120 8.096.400 36.318.664
20.877.795 5.988.060 1.563.120 8.096.400 36.525.375
21.086.573 5.988.060 1.563.120 8.096.400 36.734.153
21.297.439 5.988.060 1.563.120 8.096.400 36.945.019
2.496.000 38.610.000 38.610.000 13.494.000 337.350 13.156.650 0,8475 11.149.703
2.508.480 38.827.144 38.827.144 13.276.856 331.921 12.944.934 0,7182 9.296.850
2.521.022 39.046.397 39.046.397 13.057.603 326.440 12.731.162 0,1586 2.019.039
2.533.628 39.267.781 39.267.781 12.836.219 320.905 12.515.314 0,1147 1.436.027
2.546.296 39.491.314 39.491.314 17.823.086 445.577 17.377.508 0,4790 8.324.116
163 Lampiran 7. Cash flow usaha alat tangkap pancing di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Perlengkapan Total Biaya Investasi 2. Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel 3. Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN K. NET BENEFIT / COST
0
1
0 0
2
3
4
62.856.000
62.856.000
62.856.000
62.856.000
62.856.000
62.856.000
62.856.000
62.856.000
5 62.856.000 6.285.600 69.141.600
24.000.000 15.000.000 5.560.000 2.000.000 44.560.000
44.560.000 -44.560.000 -44.560.000 1 -44.560.000 5.538.799 37,28 1,12
20.151.466 7.136.918 1.885.880 10.436.890 39.611.153
20.151.466 7.136.918 1.885.880 10.436.890 39.611.153
20.151.466 7.136.918 1.885.880 10.436.890 39.611.153
20.151.466 7.136.918 1.885.880 10.436.890 39.611.153
20.151.466 7.136.918 1.885.880 10.436.890 39.611.153
2.371.068 41.982.221 41.982.221 20.873.779 521.844 20.351.934 0,8475 17.247.402
2.371.068 41.982.221 41.982.221 20.873.779 521.844 20.351.934 0,7182 14.616.442
2.371.068 41.982.221 41.982.221 20.873.779 521.844 20.351.934 0,1586 3.227.619
2.382.923 41.994.076 41.994.076 20.861.924 521.548 20.340.375 0,1147 2.333.887
2.394.838 42.005.991 42.005.991 27.135.609 678.390 26.457.219 0,4790 12.673.448
164 Lampiran 8. Cash flow usaha alat tangkap bagan tancap di lokasi penelitian Periode A. INFLOW Hasil Penjualan Nilai Sisa Total Inflow B. OUTFLOW 1. Biaya investasi Perahu Mesin Alat tangkap Perlangkapan lainnya Total Biaya Investasi 2. Biaya Variabel Bahan bakar Perbekalan Retribusi Bagi Hasil Total Biaya Variabel 3. Biaya Tetap Pemeliharaan Sub Total C. TOTAL BIAYA D. EARNING BEFORE TAX (EBT) E. PPh (2.5%) F. NET BENEFIT G. DISCOUNT FACTOR 18% PRESENT VALUE NET PRESENT VALUE J. INTERNAL RATE OF RETURN K. NET BENEFIT / COST
0
1
0 0
2
3
4
67.425.000
67.425.000
67.425.000
67.425.000
67.425.000
67.425.000
67.425.000
67.425.000
5 67.425.000 6.742.500 74.167.500
23.000.000 13.000.000 2.500.000 8.000.000 46.500.000
46.500.000 -46.500.000 -46.500.000 1 -46.500.000 11.525.696 43,64 1,25
19.987.950 6.211.800 2.022.750 12.292.500 40.515.000
20.187.830 6.211.800 2.022.750 12.292.500 40.714.880
20.389.708 6.211.800 2.022.750 12.292.500 40.916.758
20.593.605 6.211.800 2.022.750 12.292.500 41.120.655
20.799.541 6.211.800 2.022.750 12.292.500 41.326.591
2.325.000 42.840.000 42.840.000 24.585.000 614.625 23.970.375 0,8475 20.313.877
2.336.625 43.051.505 43.051.505 24.373.496 609.337 23.764.158 0,7182 17.067.048
2.348.308 43.265.066 43.265.066 24.159.934 603.998 23.555.936 0,1586 3.735.742
2.360.050 43.480.705 43.480.705 23.944.295 598.607 23.345.688 0,1147 2.678.721
2.371.850 43.698.441 43.698.441 30.469.059 761.726 29.707.333 0,4790 14.230.307
165 Lampiran 9. Perhitungan nilai MSY untuk udang Tahun
C (ton)
E standar (trip)
CPUE std
2001
4.655
318.058
0,015
2002
5.189
345.568
0,015
2003
4.965
402.900
0,012
2004
5.698
329.248
0,017
2005
4.321
310.951
0,014
2006
3.149
334.276
0,009
2007
3.779
308.802
0,012
Intersep (a) =
0,017742
Slope (b) = ((q2.k)/r)=
-1,24952E-08
Upaya Optimum (Fopt) (-a/2b) =
709.952
2
Potensi Lestari Maksimum (MSY) (-a /4b) =
6.298
TAC=
5038,387303
7000
MSY CPUE
6000
0.020 0.018
Tangkapan (Ton)
0.014 0.012
4000
0.010 3000
0.008 0.006
2000
0.004 1000
0.002
0 0
100 200
300 400 500 600 700
0.000 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500
Effort (ribu trip)
CPUE (Ton/trip)
0.016 5000
166 Lampiran 10. Perhitungan nilai MSY untuk manyung tahun
C (ton)
E standar (trip)
2001
3.317
226.540
0,015
2002
3.707
205.543
0,018
2003
3.979
209.950
0,019
2004
4.482
280.807
0,016
2005
2.053
96.761
0,021
2006
2.464
135.851
0,018
2007
3.161
135.713
0,023
Intersep (a) =
0,025054201
Slope (b) = ((q2.k)/r)
-3,49657E-08
Upaya Optimum (Fopt) (-a/2b) =
358.268
2
Potensi Lestari Maksimum (MSY) (-a /4b) =
4.488,06
TAC
3590,4468
0.030
5000 MSY CPUE
4000 3500
0.025 0.020
3000 2500
0.015
2000 0.010
1500 1000
0.005
500 0 0
50
0.000 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 750 Effort ribu (trip)
CPUE (ton/trip)
4500
Tangkapan (Ton)
CPUE std
167 Lampiran 11. Perhitungan nilai MSY untuk ikan golok-golok Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
C (ton) 2.422,00 2.671,20 3.010,50 3.666,80 1.230,00 1.679,60 2.923,07
E standar (trip) 173.750 151.842 150.078 171.758 76.069 82.611 92.520 Intersep (a)= Slope (b) = ((q2.k)/r)= Upaya Optimum (Fopt) (-a/2b) = Potensi Lestari Maksimum (MSY) (-a2/4b) = TAC=
4000
CPUE std 0,014 0,018 0,020 0,021 0,016 0,020 0,032 0,025967331 -4,5332E-08 286.413 3.718,69 2974,949847
0.030 MSY
3500
CPUE
0.025 0.020
2500 2000
0.015
1500
0.010
1000 0.005
500 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Effort ribu (trip)
400
450
500
550
0.000 600
CPUE (ton/trip)
Tangkapan (Ton)
3000
168 Lampiran 12. Perhitungan nilai MSY untuk rajungan Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
C (ton) 330.10 380.20 1,903.20 2,104.50 1,008.80 1,286.10 2,444.27
E standar (trip) 20,282 3,426 37,650 36,603 148,724 148,240 127,033 Intersep (a)= Slope (b) = ((q2.k)/r)= Upaya Optimum (Fopt) (-a/2b)= Potensi Lestari Maksimum (MSY) (-a2/4b)= TAC=
CPUE std 0.016 0.111 0.051 0.057 0.007 0.009 0.019 0,071065839 -4,35822E-07 81,531 2,897.03 2317.620172
0.080
3500 MSY CPUE
0.070 0.060
2500
0.050 2000 0.040 1500 0.030 1000
0.020
500
0.010
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
0.000 90 100 110 120 130 140 150 160 170
Effort ribu (trip)
CPUE (ton/trip)
Tangkapan (Ton)
3000
169 Lampiran 13. Model Persamaan Fungsi Linier Goal Programming Min DB1 + DA1 + DB2 + DA2 + DB3 + DA3 + DB4 + DA4 SUBJECT TO DB1 - DA1 + 2.265 X1 + 3.158 X3 + 1.916 X7 + 0.242 X8 = 501.89 DB2 - DA2 + 0.870 X2 + 0.716 X3 + 0.866 X7 = 266.48 DB3 - DA3 + 0.680 X1 + 1.824 X2 + 1.185 X3 + 0.772 X5 + 0.762 X6 = 281.55 DB4 - DA4 + 0.617 X1 + 2.003 X2 + 0.636 X4 + 0.240 X5 + 0.593 X6 + 0.099 X7 + 0.672 X8 = 460.25 X1 > 0 X2 > 0 X3 > 0 X4 > 0 X5 > 0 X6 > 0 X7 > 0 X8 > 0 END Keterangan: X1 = Trammel net X2 = Jaring insang hanyut X3 = Jaring insang tetap X4 = Jaring lingkar X5 = Pancing X6 = Bagan X7 = Perangkap X8 = Jaring klitik
170 Lampiran 14. Output model fungsi Linier Goal Programming dengan menggunakan software Lindo LP OPTIMUM FOUND AT STEP
5
OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1)
0.0000000E+00
VARIABLE DB1 DA1 DB2 DA2 DB3 DA3 DB4 DA4 X1 X3 X7 X8 X2 X5 X6 X4
VALUE REDUCED COST 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 53.205730 0.000000 0.000000 0.000000 172.569183 0.000000 209.654724 0.000000 134.523087 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
ROW SLACK OR SURPLUS 2) 0.000000 3) 0.000000 4) 0.000000 5) 0.000000 6) 53.205730 7) 134.523087 8) 0.000000 9) 0.000000 10) 0.000000 11) 0.000000 12) 172.569183 13) 209.654724
DUAL PRICES 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
171 NO. ITERATIONS=
5
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE DB1 DA1 DB2 DA2 DB3 DA3 DB4 DA4 X1 X3 X7 X8 X2 X5 X6 X4
ROW 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
OBJ COEFFICIENT RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 1.000000 INFINITY 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2.692922 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000 0.000000 INFINITY 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES CURRENT ALLOWABLE RHS INCREASE 501.890015 1088.275757 266.480011 73.903358 281.549988 40.938232 460.250000 445.593140 0.000000 53.205730 0.000000 134.523087 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 172.569183 0.000000 209.654724
ALLOWABLE DECREASE 160.466583 194.971985 112.127037 142.464096 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY
172 Lampiran 15. Konstruksi umum trammel net di Provinsi Sumatera Selatan
Panjang jaring = 20 m Lebar = 1,5 m
Inner net Mesh size = 2 inchi
Outter net Mesh size = 3,5-7 inchi
173 Lampiran 16. Contoh uji kesesuaian model untuk komoditi udang Model Equilibrium Schaefer Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
C (ton) 4.655 5.189 4.965 5.698 4.321 3.149 3.779
E standar (trip) 318,058 345.568 402.900 329.248 310.951 334.276 308.802
CPUE Standar 0,015 0,015 0,012 0,017 0,014 0,009 0,012
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.161295574 R Square 0.026016262 Adjusted R Square 0.168780485 Standard Error 0.002714716 Observations 7 ANOVA
Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
df 1 5 6
SS 9.84265E-07 3.68484E-05 3.78327E-05
Coefficients 0.0177
Standard Error 0.0115
-1.24E-08
3.41E-08
MS 9.84265E-07 7.36968E-06
t Stat 1.5396 0.3654
F 0.133556
Significance F 0.729724
Pvalue 0.1842 0.7297
Karena tanda a (+) dan b (-) maka sesuai sehingga dilanjutkan ke langkah validasi. Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
C (ton)
E standar (trip)
4.655 5.189 4.965 5.698 4.321 3.149 3.779 Rata-rata
318.058 345.568 402.900 329.248 310.951 334.276 308.802
CPUE dugaan 4378,96 4638,92 5119,92 4486,98 4308,72 4534,51 4287,24
Validasi 0,0593 0,1060 0,0313 0,2125 0,0027 0,4399 0,1345 0,1409
174 Lanjutan lampiran 16... Model Schnutz Tahun
C (ton)
E standar (trip)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
4,655 5,189 4,965 5,698 4,321 3,149 3,779
318,058 345,568 402,900 329,248 310,951 334,276 308,802
CPUE std 0.015 0.015 0.012 0.017 0.014 0.009 0.012
y= ln(U (t+1) /U t ) 0.0257 -0.1977 0.3397 -0.2196 -0.3886 0.2616
x1 = U (t) +U (u+1) /2 0.0148 0.0137 0.0148 0.0156 0.0117 0.0108
X2 = (E t +E (t+1) /2) 331813.0486 374233.8519 366073.6945 320099.1570 322613.4780 321538.9893
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.238740139 R Square 0.056996854 Adjusted R Square -0.57167191 Standard Error 0.362223198 Observations 6 ANOVA df Regression Residual Total
2 3 5
X Variable 1
Coeff -0.8976 10.3088
X Variable 2
0.0000
Intercept
SS 0.023790935 0.393616936 0.417407872
MS 0.011895468 0.131205645
F 0.090662774
Significance F 0.915735
Standard Error 2.3203
t Stat -0.3869
Pvalue 0.7247
nilai a=r
+
88.3351
-0.1167
0.9145
nilai b1=r/kq
-
0.0000
0.4257
0.6990
nilai b2=q
-
Karena tanda tidak sesuai maka maka model ini tidak digunakan untuk pendugaan MSY udang.
175
Lanjutan lampiran 16.... Model Disequilibrium Schaeffer Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
E standar (trip) 318,058 345,568 402,900 329,248 310,951 334,276 308,802
C (ton) 4,655 5,189 4,965 5,698 4,321 3,149 3,779
CPUE Standar 0.015 0.015 0.012 0.017 0.014 0.009 0.012
y
x 1 = CPUE
-0.0770133 0.0929209 0.0454274 -0.2837513 -0.0879297
-0.1950 0.1326 0.3810 -0.0490 -0.1071
x2 = E 345,568 402,900 329,248 310,951 334,276
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.88385868 R Square 0.781206166 Adjusted R Square 0.562412332 Standard Error 0.09677677 Observations 5 ANOVA df Regression Residual Total
2 2 4
Coeff
Standard Error
SS 0.066881 0.018731 0.085612
MS 0.033441 0.009366
t Stat
Pvalue
F 3.570513
Significance F 0.218794
Intercept X Variable 1
1.0411 0.3131
0.4834 0.2136
-2.1537 1.4657
0.1641 0.2804
nilai a=r nilai b1=r/kq
+ -
X Variable 2
0.0000
0.0000
2.0085
0.1823
nilai b2=q
-
Karena tanda tidak sesuai maka maka model ini tidak digunakan untuk pendugaan MSY udang.
176
Lanjutan lampiran 16.... Model Walter Hilborn Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
E standar (trip) 318,058 345,568 402,900 329,248 310,951 334,276 308,802
C (ton) 4,655 5,189 4,965 5,698 4,321 3,149 3,779
CPUE Standar 0.015 0.015 0.012 0.017 0.014 0.009 0.012
y = (U (t+1) /U t ) - 1 0.0260398 -0.1794056 0.4044706 -0.197133 -0.3219662 0.2989935
x1 = CPUE 0.5620 -0.0837 0.0305 -0.0878 -0.0432 0.0315
x2 = E std 318,058 345,568 402,900 329,248 310,951 334,276
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.794000389 R Square 0.630436617 Adjusted R Square 0.384061029 Standard Error 0.229677307 Observations 6 ANOVA df Regression Residual Total
2 3 5
Coeff
SS 0.269967 0.158255 0.428222
Standard Error
MS 0.134983 0.052752
t Stat
Pvalue
Intercept
2.3795
1.0941
-2.1748
0.1179
X Variable 1
0.4643
0.4252
1.0920
0.3547
X Variable 2
0.0000
0.0000
2.1719
0.1182
F 2.558844
nilai a=r nilai b1=r/kq nilai b2=q
Significance F 0.224664
+ -
Karena tanda tidak sesuai maka maka model ini tidak digunakan untuk pendugaan MSY udang.
177 Lampiran 17. Hasil uji kesesuaian model untuk rajunga, golok-golok dan mayung
MODEL Equilibrium Schaeffer Schnutz Disequilibrium Schaeffer Walter Hilborn1
α ok ok no no
MODEL Equilibrium Schaeffer Schnutz Disequilibrium Schaeffer Walter Hilborn1
α ok no no no
MODEL Equilibrium Schaeffer Schnutz Disequilibrium Schaeffer Walter Hilborn1
α ok no no no
Rajungan Uji Tanda β1 β2 ok ok ok no no
0.5482 0.6597
no no
Equilibrium Schaeffer
Deviasi Hasil 0.1594 Equilibrium Schaeffer
no no
Golok-golok Uji Tanda β1 β2 ok no no no no
Hasil
no no
Manyung Uji Tanda β1 β2 ok no no no no
Deviasi
Deviasi Hasil 0.2253 Equilibrium Schaeffer
178 Lampiran 18. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Rajungan)
179 Lampiran 19. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Udang)
180 Lampiran 20. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Golokgolok)
181 Lampiran 21. Jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan (Manyung)