4
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Perikanan Tangkap
2.1.1 Definisi perikanan tangkap Penangkapan ikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Kegiatan penangkapan ikan tersebut harus merupakan kegiatan yang berkelanjutan. Hal tersebut menunjukan kegiatan perikanan tangkap haruslah mencapai kondisi dimana kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan, pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas tidak hanya berlangsung saat ini namun kedepannya dapat berlangsung seperti saat-saat sebelumnya. 2.1.2 Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia Pengembangan perikanan tangkap di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil.
Masih terdapat permasalahan yang menghambat kegiatan perikanan
tangkap.
Permasalahan perikanan tangkap yang dihadapi Indonesia saat ini
berdasarkan Perpres No. 19 Tahun 2006 adalah: 1) Masih lemahnya sistem pengelolaan usaha perikanan tangkap dan penguasaan teknologi tepat guna, hal ini berdampak pada rendahnya produksi; 2) Kompetisi dalam penggunaan lahan perairan antar daerah sebagai dampak dari semakin banyaknya penduduk di wilayah pesisir; 3) Masih berlangsungnya overfishing di beberapa wilayah; 4) Kenaikan dan kelangkaan BBM sehingga makin membebani nelayan untuk melaut; 5) Tingginya kegiatan illegal fishing yang mengakibatkan kerugian negara dan semakin cepatnya penurunan stok sumberdaya perikanan dan kelautan; 6) Kerusakan ekosistem perairan sebagai dampak dari eksploitasi berlebih dan bencana alam;
5
7) Tumpang tindih kewenangan dalam pemberian izin dan adanya peraturan yang tidak memberikan iklim yang kondusif bagi investasi perikanan; 8) Rendahnya penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan serta pengolahan perikanan yang berakibat pada rendahnya mutu, nilai tambah, dan daya saing produk perikanan; 9) Proses penanganan dan pengolahan hasil yang kurang memperhatikan keamanan produk perikanan; dan 10) Keterbatasan infrastruktur perikanan, permodalan, lemahnya koordinasi, dan kelembagaan perikanan. Menurut Purbayanto (2003) menyatakan bahwa sebagian besar atau sekitar 80% kegiatan perikanan tangkap di Indonesia dilakukan oleh nelayan tradisional. Hanya sekitar 20% sisanya dilakukan oleh usaha penangkapan ikan padat modal atau yang biasa disebut dengan industri penangkapan ikan yang melibatkan nelayan-nelayan terdidik.
Kondisi tersebut telah menyebabkan ketimpangan
ekonomi yang cukup besar antara nelayan industri dan nelayan tradisional. Nelayan tradisional inilah yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. 2.2
Bagan Perahu Bagan perahu (boat lift nets) merupakan salah satu alat tangkap pasif yang
dioperasikan dengan cara diturunkan ke kolom perairan dan diangkat kembali setelah banyak ikan di atasnya, dalam pengoperasiannya menggunakan perahu untuk berpindah-pindah ke lokasi yang diperkirakan banyak ikannya.
Bagan
perahu diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring angkat (lift nets) (Subani dan Barus 1989). Secara umum konstruksi unit penangkapan bagan perahu terdiri atas kerangka kayu, waring atau jaring (dari bahan polyethylene) serta perahu bermotor sebagai alat transportasi di laut. Pada bagan terdapat alat penggulung atau roller yang berfungsi untuk menurunkan atau mengangkat jaring (Subani dan Barus 1989).
Ukuran untuk alat tangkap bagan perahu beragam mulai dari
panjang = 13 m; lebar = 2,5 m; tinggi = 1,2 m hingga panjang = 29 m; lebar = 29 m; tinggi = 17 m.
Mata jaring bagan perahu umumnya berukuran 0,5 cm
(Sudirman 2003). Ukuran mata jaring ini berkaitan erat dengan sasaran utama
6
ikan yang tertangkap, yaitu teri yang berukuran kecil. Jika ukuran mata jaring terlalu besar, maka ikan tersebut tidak tertangkap.
Sumber: Subani dan Barus 1989 Gambar 1 Gambar desain bagan perahu hanyut 2.3
Nelayan Menurut Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air.
Orang yang hanya melakukan
pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Ahli mesin dan juru
7
masak yang bekerja di atas kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan. Berdasarkan waktu kerjanya, nelayan dibedakan menjadi: 1) Nelayan penuh, nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan 2) Nelayan sambilan utama, nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan 3) Nelayan sambilan tambahan, nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan Menurut Masyhuri dan Nadjib (2000), nelayan terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan pola penangkapan ikannya.
Pertama, adalah nelayan
dengan pola penangkapan lebih dari satu hari. Hal tersebut berkenaan dengan penangkapan lepas pantai. Kedua, adalah nelayan dengan pola penangkapan ikan satu hari (one day fishing).
Pola penangkapan nelayan ini termasuk pola
penangkapan ikan lepas pantai. Ketiga, adalah nelayan dengan pola penangkapan ikan tengah hari. Pola penangkapan nelayan ini termasuk pola penangkapan ikan dekat pantai. 2.4
Karakteristik Masyarakat Pesisir atau Nelayan Masyarakat pesisir menurut Kusnadi (2009), adalah masyarakat yang
hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan wilayah laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kekuatan sosial. Mereka juga juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor budaya ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok masyarakat lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kehidupannya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritime Indonesia. Masyarakat pesisir memiliki karakteristik sosial tersendiri yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daratan.
Beberapa kawasan pesisir yang
relatif berkembang pesat, struktur masyarakatnya heterogen, memiliki etos kerja
8
tinggi, solidaritas yang kuat, serta terbuka terhadap perubahan dan interaksi sosial (White 1997 dalam Koenoe 2010).
Hal tersebut berdampak pada rentannya
masyarakat pesisir terhadap berbagai permasalah politik, sosial dan ekonomi yang kompleks.
Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1)
kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat, 2) keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar sehingga mempengaruhi dinamika usaha, 3) kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada, 4) kualitas SDM yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik, 5) degradasi sumberdaya lingkungan, baik di kawasan pesisir, laut maupun di pulau-pulau kecil, dan 6) belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional (Kusnadi 2009) Menurut
Hermawan
(2009)
masyarakat
nelayan
identik
dengan
kemiskinan, perumahan yang kumuh dan pendidikan yang terbelakang. Kondisi masyarakat seperti inilah yang mengakibatkan kerusakan ekosistem akibat kurangnya pengetahuan mengenai pengelolaan ekosistem pesisir dan laut yang baik dan bertanggung jawab.
Menurut Dahuri (2001) menyatakan bahwa
kemiskinan seringkali memaksa manusia untuk mengesploitasi sumberdaya pesisir dengan merusak kelestariannya. 2.5
Struktur Masyarakat Nelayan Nelayan dalam melaksanakan kegiatan penangkapan ikan biasanya sendiri
atau membentuk suatu kelompok. Struktur masyarakat nelayan yang berkelompok berbeda-beda setiap daerah. Tetapi pada umumnya memiliki kesamaan struktur. Menurut Babua (2010) struktur kelompok nelayan terdiri dari: 1) Pemilik kapal, orang yang memiliki kapal dan alat penangkapan ikan 2) Kapten kapal, orang yang bertanggung jawab dalam setiap kelompok nelayan. Kapten kapal tidak otomatis merupakan pemilik kapal 3) Buruh nelayan, orang yang ikut membantu dalam dalam penangkapan ikan. Mereka tidak memiliki perahu maupun alat tangkap sendiri, tetapi mereka hanya mengandalkan pendapatannya dari pekerjaan sebagai buruh nelayan.
9
Menurut Hermanto (1986) dalam Pattiasina (2010) berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan ikan, nelayan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: 1) Juragan darat, orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan 2) Juragan laut, orang yang tidak punya perahu dan alat penangkapan ikan, tetapi bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut 3) Juragan darat-laut, orang yang memiliki perahu dan alat penangkapan ikan sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut menerima bagi hasil sebagai nelayan dan sebagai pemilik unit penangkapan ikan 4) Buruh atau pandega, orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya sebagai anak buah kapal. Umumnya menerima bagi hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian 5) Anggota kelompok, orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan secara berkelompok. Perahu yang digunakan adalah perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota kelompok. 2.6
Kemiskinan Nelayan Permasalahan yang dihadapi nelayan sangat beragam dan permasalah
tersebut umumnya saling terkait satu sama lain. Salah satu permasalah nelayan yang paling pelik adalah kemiskinan. Seseorang dimasukkan ke dalam golongan miskin apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut United Nation Research Institute for Social Development (UNRISD) kebutuhan dasar tersebut dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu: 1) kebutuhan fisik primer berupa kebutuhan gizi, perumahan dan kesehatan; 2) kebutuhan kultural yang terdiri dari pendidikan, rekreasi dan ketenangan hidup; dan 3) kebutuhan lainnya yang lebih tinggi jika kebutuhan primer dan kultural telah terpenuhi dan terdapat kelebihan pendapatan (Babua 2010)
10
Menurut Babua (2010) terdapat beberapa definisi dan
indikator
kemiskinan, antara lain: 1) Kemiskinan absolut: apabila tingkat pendapatannya di bawah “garis kemiskinan”, pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimumnya. Kebutuhan minimum tersebut antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja (DKP-RI dalam Babua, 2010) 2) Bank Dunia menetapkan bahwa garis batas kemiskinan adalah US$ 50 perkapita pertahun untuk pedesaan dan US$ perkapita pertahun untuk perkotaan 3) Prof. Seyogya mengembangkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Golongan paling miskin pendapatannya 240 kg atau kurang beras perkapita pertahunnya. Golongan miskin sekali pendapatannya 240-360 kg beras perkapita pertahunnya. Golongan miskin perndapatannya lebih dari 360 kg beras perkapita pertahunnya. Menurut Konoe (2010) ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung fokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Upaya tersebut sulit untuk menyelesaikan masalah kemiskinan karena sifat bantuan ini yang tidak memberdayakan, tetapi akan menimbulkan ketergantungan. Faktor kedua adalah kurangnya pemahaman tentang penyebab kemiskinan, sehingga program yang ada tidak didasarkan pada isu kemiskinan yang memiliki penyebab berbeda di tiap daerah. 2.7
Faktor-faktor yang Menyebabkan Kemiskinan Nelayan Permasalahan kemiskinan nelayan menurut Koenoe (2010) disebabkan
oleh hubungan-hubungan korelatif antara keterbatasan akses, lembaga ekonomi belum berfungsi, kualitas SDM rendah dan degradasi sumberdaya lingkungan, sehinga persoalan penyelesaian kemiskinan dalam masyarakat pesisir harus bersifat integralistik. Menurut Dahuri (2000) tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat
11
dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah alasan-alasan terjadinya kemiskinan di masyarakat nelayan. Alasan lainnya adalah kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang berakhir pada tumpang tindihnya berbagai sektor disuatu kawasan, dan dampak polusi dari suatu lingkungan. Menurut Kusnadi (2003) menyebutkan bahwa kemiskinan nelayan disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tersebut adalah: 1) keterbatasan kualitas sumberdaya manusia nelayan; 2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; 3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang menguntungkan buruh; 4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; 5) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut; 6) gaya hidup nelayan yang dipandang boros.
Selanjutnya faktor eksternal yang menyebabkan kemiskinan nelayan
adalah: 1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi kepada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; 2) sistem pemasaran hasil tangkapan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; 3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut; 4) pengguanaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan; 5) lemahnya penegakan hukum terhadap perusak lingkungan; 6) terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen; 7) terbatasnya peluang kerja non perikanan yang tersedia di desa nelayan; 8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan untuk melaut sepanjang tahun; 9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia. 2.8 Kesejahteraan Pengertian Kesejahteraan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, sehingga keadaan sejahtera yang dialami oleh seseorang belum tentu sejahtera bagi yang lainnya. Menurut Babua (2010) dalam ekonomi mikro, indikator yang digunakan untuk mengetahui apakah seseorang sejahtera atau tidak adalah melalui tingkat kepuasan. Apabila seseorang mengaku puas dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa, maka orang tersebut dapat dikatakan sejahtera. Menurut Kamus
12
Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke 3) kesejahteraan adalah hal atau keadaan sejahtera baik berdasarkan keamanan, keselamatan maupun ketentraman. Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa, rekreasi, bahan bakar dan perlengkapan rumah tangga.
Pendekatan
pengamatan dilakukan terhadap kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan, dan pola pengeluaran rumah tangga.
Penilaian terhadap kondisi perumahan
didasarkan pada jenis dinding rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemelikan. Pendekatan untuk menilai kondisi kesehatan berdasarkan kondisi sanitasi perumahan serta kondisi perlengkapan air minum, air mandi, cuci dan kakus (Babua 2010). Berdasarkan pada Badan Pusat Statistik (BPS) (2003) dalam mengukur kesejahteraan rumah tangga digunakan indikator-indikator kesejahteraan dari SUSENAS (1991). Indikator-indikator tersebut antara lain ialah: 1) Pendapatan rumah tangga, 2) Konsumsi rumah tangga, 3) Keadaan tempat tinggal, 4) Fasilitas tempat tinggal, 5) Kesehatan anggota rumah tangga, 6) Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga medis/paramedis, termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan memperoleh obat-obatan, 7) Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan, 8) Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi, 9) Kehidupan beragama, 10) Perasaan aman dari gangguan tindak kejahatan, 11) Kemudahan dalam melakukan olahraga.