Edisi 23, Vol. I. Desember 2016
Permasalahan Sektor Perikanan Tangkap dan Kesejahteraan Nelayan
Komoditas Penentu Kinerja Ekspor Perikanan Indonesia
p. 07
p. 02 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685
1
Dewan Redaksi Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Pemimpin Redaksi Slamet Widodo, S.E., M.E. Redaktur Robby Alexander Sirait, S.E., M.E. Dahiri, S.Si., M.Sc Adhi Prasetyo S. W., S.M. Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM. Editor Marihot Nasution, S.E., M.Si. Ade Nurul Aida, S.E.
Daftar Isi
Update APBN.......................................................................................................................p.01 Komoditas Penentu Kinerja Ekspor Perikanan Indonesia.....................................................p.02 Permasalahan Sektor Perikanan Tangkap dan Kesejahteraan Nelayan................................p.07
Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id
Update APBN Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 2017 direncanakan sebesar Rp1.750,28 triliun, lebih kecil jika dibandingkan APBNP tahun lalu sebesar Rp1.786,23 triliun. Anggaran Pendapatan TA 2017 tersebut diperoleh dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp1.498,87, PNBP Rp250,04 triliun dan Penerimaan Hibah Rp1,37 triliun. Sementara untuk Anggaran Belanja Negara direncanakan sebesar Rp2.080,45 atau lebih kecil Rp2,50 triliun dari APBNP tahun 2016. Belanja tersebut terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.315,53 triliun, Transfer ke Daerah Rp704,93 trilun dan Dana Desa sebesar Rp60 triliun. Postur APBN 2017 vs APBN-P 2016
Sumber: Nota Keuangan APBNP 2016 dan UU APBN 2017
2
Komoditas Penentu Kinerja Ekspor Perikanan Indonesia Robby Alexander Sirait1)
P
er September 2016, ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai USD2,09 miliar atau bertumbuh sebesar 8 persen dibandingkan 2015 sebesar USD1,94 miliar. Berdasarkan data transaksi perdagangan dengan kode harmonized system 4 digit, kelompok krustasea2 merupakan jenis hasil perikanan yang menjadi primadona ekspor hasil perikanan Indonesia. Per September 2016, nilai ekspor krustasea mencapai USD1,09 miliar atau 51,95 persen dari total ekspor hasil perikanan Indonesia
Dibandingkan tahun 2012, porsi nilai ekspor krustasea terhadap total ekspor hasil perikanan Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tajam yakni dari 43,83 persen menjadi 51,95 persen (gambar 2). Berangkat dari data tersebut, tulisan ini hendak mengkaji sub jenis apa dari kelompok krustasea yang menjadi penyumbang terbesar, negara apa saja yang menjadi importir terbesarnya serta bagaimana daya saing sub jenis krustasea tersebut di negara importir terbesar.
Gambar 1. Persentase Ekspor Menurut Jenis Hasil Perikanan Per September 2016
Sumber: BPS, diolah
Udang Vanamei dan Udang Windu: Penentu Kinerja Ekspor Perikanan Indonesia3 Dalam kurun waktu tahun 2014-2016, udang vanamei lain-lain (beku), udang vanamei tanpa kepala, dengan ekor (beku), udang windu
(gambar 1). Dengan menggunakan data tahun 2012-2016, krustasea merupakan jenis hasil perikanan yang menjadi penyumbang terbesar ekspor hasil perikanan Indonesia.
Gambar 2. Porsi Ekspor Kelompok Krustase Terhadap Total Ekspor Hasil Perikanan (dalam persen)
Sumber: Comtrade dan BPS, diolah
1) Dewan Redaksi Buletin APBN 2) Yang termasuk dalam kelompok krustasea adalah lobster karang dan udang besar lainnya, lobster (homarussp), kepiting, lobster norwegia, udang kecil dan udang biasa air dingin, udang windu, udang vanamei, udang galah serta jenis krustasea lainnya 3) Menggunakan Harmonized System (HS) 10 digit
1
Gambar 3. Porsi Ekspor Sepuluh Terbesar Jenis Hasil Perikanan Kelompok Krustasea Terhadap Total Ekspor Krustasea Tahun 2014-2016 (dalam persen)
Sumber: BPS, diolah
lain-lain (beku), udang vanamei tanpa kepala dan ekor (beku), udang windu tanpa kepala (beku), udang lainnya (beku), krustasea lainnya (beku), kepiting hidup, udang kecil dan udang biasa air dingin (beku) serta lobster lain-lain selain bibit dalam keadaan hidup (tidak beku) merupakan sepuluh ekspor terbesar jenis hasil perikanan dalam kelompok krustasea (gambar 3). Terhadap total ekspor kelompok krustasea, kesepuluh jenis hasil perikanan tersebut menguasai porsi ekspor sebesar 92,9 persen setiap tahunnya. Sedangkan terhadap total keseluruhan ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai 49,9 persen. Dari gambar 3 tersebut, juga terlihat bahwa jenis udang vanamei dan udang windu merupakan jenis hasil perikanan dengan nilai ekspor terbesar dari kelompok krustasea. Porsi nilai ekspor udang vanamei terhadap total ekspor kelompok krustasea sebesar 60,17 persen dan terhadap nilai total keseluruhan
ekspor hasil perikanan sebesar 32,25 persen setiap tahunnya. Sedangkan porsi nilai ekspor udang windu terhadap nilai total ekspor kelompok krustasea sebesar 20,05 persen dan terhadap total nilai total keseluruhan ekspor hasil perikanan sebesar 10,85 persen. Jika nilai ekspor udang vanamei dan udang windu digabungkan, maka kedua komoditas menguasai 43,10 persen total ekspor hasil perikanan Indonesia setiap tahunnya. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa udang vanamei dan udang windu merupakan komoditas unggulan yang sangat dominan menentukan kinerja ekspor hasil perikanan Indonesia. Amerika Serikat dan Jepang adalah Tujuan Utama Ekspor Udang Vanamei dan Udang Windu Dengan mengunakan data ekspor tahun 2014 (harmonized system-6 digit), komoditas udang kecil dan udang biasa lainnya (beku)4,
Tabel 1. Porsi Nilai Ekspor Komoditas Terhadap Nilai Total Eskpor Kelompok Krustasea (dalam persen)
Sumber: BPS, diolah 4) 99 persen komoditas udang kecil dan udang biasa lainnya adalah udang vanamei dan udang windu.
2
Tabel 2. Negara Utama Tujuan Ekspor Tahun 2014
Sumber: Comtrade, diolah
kepiting (tidak beku) dan krustasea lainnya (beku) merupakan 3 (tiga) komoditas dengan porsi nilai ekspornya terbesar dalam kelompok krustasea yakni 86 persen, 4,2 persen dan 2,4 persen setiap tahunnya (tabel 1). Ketiga komoditas ini juga merupakan komoditas yang sumbangsihnya relatif besar terhadap total keseluruhan ekspor hasil perikanan Indonesia. Selama tiga tahun terakhir, kontribusi nilai ekspor udang kecil dan udang biasa lainnya (beku) terhadap total keseluruhan ekspor hasil perikanan sebesar 46,18 persen. Sedangkan, kepiting (tidak beku) sebesar 2,4 persen dan krustasea lainnya (beku) sebesar 1,3 persen. Dari sisi negara tujuan ekspor, Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor utama terbesar komoditas udang kecil beku dan udang biasa beku lainnya (tabel 2). Artinya, Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor utama udang vanamei dan udang windu. Selain Amerika Serikat, negara tujuan ekspor utama udang vanamei dan udang windu adalah Jepang, Vietnam, Inggris dan Cina. Untuk ekspor komoditas kepiting hidup atau tidak beku, lima negara tujuan utamanya adalah Amerika Serikat, China, Malaysia, Singapura dan Hongkong. Sedangkan untuk komoditas krustasea lainnya (beku), tujuan ekspor utamanya adalah Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Belgia dan Inggris. Udang Vanamei, Udang Windu dan Kepiting Berdaya Saing Tinggi Revealed Comparative Advantage (RCA)5 yang dipopulerkan oleh Ballasa (1965) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas di pasar tertentu. Selain RCA6, alat ukur lainnya adalah Revealed Symetric
Comparative Advantage (RSCA). Dalam bagian ini, daya saing udang kecil dan udang biasa (beku), kepiting dan krustasea lainnya (beku) di negara tujuan utama ekspor menggunakan RCA dan RSCA dengan data perdagangan tahun 2014. Ekspor udang vanamei dan udang windu Indonesia ke Amerika Serikat, Jepang, Vietnam, Inggris dan China memiliki daya saing tinggi, yang terlihat dari nilai RCA > 1 dan RSCA > 0 (tabel 3). Jika melihat penguasaan pasar di Vietnam, Inggris dan China yang masih relatif rendah, komoditas ini perlu didorong untuk meningkatkan penguasaan pasar di negaranegara tersebut. Tabel 3. Udang Kecil dan Udang Biasa Lainnya (Beku) Indonesia Berdaya Saing Tinggi di Negara Tujuan Utama Ekspor
Sumber: Comtrade, diolah
Sama halnya dengan udang, ekspor komoditas kepiting Indonesia ke Amerika Serikat, China, Malaysia, Singapura dan Hongkong juga memiliki daya saing tinggi. Hal ini terlihat dari nilai RCA >1 dan RSCA > 0 (tabel 4). Jika melihat penguasaan pasar Tabel 4. Kepiting Indonesia Berdaya Saing Tinggi di Negara Tujuan Utama Ekspor
Sumber: Comtrade, diolah
5) RCA adalah indeks yang menghitung pangsa nilai ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu negara dibandingkan dengan pangsa nilai produk tersebut dalam perdagangan dunia atau pasar tertentu. Jika nilai RCA suatu produk atau komoditas diatas 1, maka produk atau komoditas tersebut memiliki daya saing di pasar tertentu. 6) Penerapan Revealed Symetric Comparative Advantage (RSCA) yang merupakan penurunan transformasi monoton sederhana dari RCA dikarenakan nilai yang dihasilkan oleh nilai yang dihasilkan tidak simetris (Ashari et,al, 2016). Jika nilai RSCA suatu produk atau komoditas diatas 0, maka produk atau komoditas tersebut memiliki daya saing di pasar tertentu.
3
mendukung kinerja ekspor hasil perikanan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus terus mendorong pelaku usaha di sektor perikanan untuk terus meningkatkan kinerja ekspornya serta melakukan pendalaman penguasaan pasar. Hal ini penting dilakukan agar sektor perikanan semakin besar berkontribusi bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Pendalaman penguasaan pasar dimaksud lebih dikhususkan ke negara-negara tujuan ekspor utama yang penguasaan pasarnya masih rendah, dengan memperhatikan negara pesaing (tabel 6). Selain, pendalaman pangsa pasar, salah satu yang dapat dilakukan adalah perluasan pasar, khususnya udang vanamei dan udang windu (beku) serta kepiting. Perluasan pasar tersebut diarahkan ke negara-negara yang permintaan akan ketiga komoditas tersebut terbesar atau importir terbesar, sebagaimana tergambar pada tabel 7. Nama negara yang tercetak merah merupakan negara yang perlu
Tabel 5. Krustasea Lainnya (Beku) Indonesia Berdaya Saing Tinggi di Negara Tujuan Utama Ekspor
Sumber: Comtrade, diolah
di negara-negara tersebut, pendalaman penguasaan pasar di China dan Hongkong perlu ditingkatkan. Ekspor krustasea lainnya (beku) Indonesia ke Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Belgia dan Inggris juga memiliki daya saing tinggi, yang terlihat dari nilai RCA >1 dan RSCA >0 (tabel 5). Selain di Amerika Serikat, pendalaman pasar komoditas ini perlu didorong di Jepang, Hongkong, Belgia dan Inggris.
Tabel 6. Negara Pesaing di Beberapa Negara Tujuan Ekspor Utama
Sumber: Comtrade, diolah
Catatan Redaksi: Perlu Pendalaman dan Perluasan Pasar Komoditas Unggulan Komoditas udang vanamei (beku), udang windu (beku), kepiting dan krustasea lainnya (beku) merupakan komoditas utama yang
diperluas pangsa pasarnya. Untuk perluasan pasar udang vanamei dan udang windu (beku), negara Spanyol, Prancis, Italia, Belgia, Jerman dan Korea merupakan negara potensial untuk disasar. Sedangkan untuk kepiting, negara potensial yang dapat
4
Tabel 7. Sepuluh Negara Importir Terbesar
Sumber: Comtrade, diolah
disasar adalah Korea Selatan, Jepang. Kanada, Prancis, dan Spanyol. Sebagai catatan terakhir, pendalaman dan perluasan pasar dimaksud dilakukan dengan tetap memperhatikan pemenuhan kebutuhan domestik di dalam negeri. Daftar Pustaka Siggel, Eckhard. (2007). “The Many Dimensions of Competitiveness”. CESifo Venice Summer Institute.
Shohibul, Ana. (2013). Revealed Comparative Advantage Measure: ASEAN-China. Journal of Economics and Sustainable Development. Vol.4, No.7, 136-145. Ashari, Ulfra., Sahara, dan Hartoyo, Sri. (2016). Daya Saing Udang Segar Dan Udang Beku Indonesia Di Negara Tujuan Ekspor Utama. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 13 No. 1, 1-13
5
Permasalahan Sektor Perikanan Tangkap dan Kesejahteraan Nelayan Dahiri1)
Abstrak Pembangunan kemaritiman merupakan salah satu visi Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Ir. Joko Widodo. Salah satu elemen yang mendukung kemaritiman adalah sektor perikanan dan kesejahteraan nelayan. Namun elemen tersebut masih terdapat permasalahan yang perlu perhatian pemerintah. Permasalahan tersebut meliputi terbatasnya pasokan BBM, pendidikan yang masih kurang, pencemaran ekosistem laut, serta masih minimnya kapal motor dan pasokan listrik. Oleh karena itu, pemerintah dengan Inpres No. 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional seharusnya bisa segera meningkatkan sektor perikanan tangkap dan kesejahteraan nelayan dengan bantuan modal penangkapan ikan disertai pemberian pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, peningkatan pembangunan SPBU di pendaratan ikan, penegakan hukum kelestarian lingkungan laut, dan peningkatkan ketersediaan listrik di wilayah Indonesia Timur diprioritaskan.
I
ndonesia merupakan negara yang mempunyai luas laut 2/3 dari luas keseluruhan sehingga bisa dikatakan sebagai negara kelautan. Kelautan memiliki potensi untuk menopang perekonomian negara yaitu meliputi sumber daya alam dan pariwisata kelautan. Sumber daya alam kelautan meliputi hasil penangkapan dan pengolahan ikan maupun sejenisnya, budidaya rumput laut, budidaya udang/lobster, minyak bumi dan gas bumi. Pariwisata kelautan meliputi tempat-tempat wisata kelautan seperti pantaipantai untuk wisata. Selain itu, kelautan juga berfungsi sebagai penghubung antar pulau sehingga kelautan menjadi sarana transportasi. Namun apakah indonesia sudah menjadi negara maritim? Hal ini masih menjadi pertanyaan. Negara kelautan belum tentu merupakan negara kemaritiman. Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Ir. Joko Widodo telah menetapkan kebijakan bahwa isi pembangunan harus didasari kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Dalam pidato pelantikannya, Presiden RI menegaskan bahwa “kita harus bekerja dengan sekeraskerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita.” Hal ini jelas menegaskan bahwa Presiden memiliki harapan untuk bisa mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim. Harapan tersebut telah terangkum dalam RPJMN 20152019, dengan harapan bisa mencapai target kemaritiman pada tahun 2019. Dalam kurun waktu tiga tahun mendatang, harapan untuk mewujudkan negara maritim masih menjadi tantangan bagi pemerintah mengingat masih
banyak problematika terkait kemaritiman. Permasalahan Sektor Perikanan Tangkap Berbicara kemaritiman tidak lepas dari kelautan dan pantai yang berarti tidak lepas dari permasalahan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir lebih cenderung memiliki pekerjaan sebagai nelayan, yang terdiri dari nelayan buruh atau nelayan pemilik modal. Nelayan merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan kemaritiman. Namun, berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan BPS untuk daerah Perdesaan, maka ratarata garis kemiskinan rumah tangga nelayan Indonesia sebesar Rp192.354. di samping itu masih banyak nelayan yang tergolong rentan miskin dan mudah jatuh miskin jika terjadi gejolak atau kenaikan harga-harga barang konsumsi. Kemudian jika rumah tangga nelayan dilihat dari indikator kesejahteraan nelayan atau nilai tukar nelayan (NTN), maka rata-rata NTN hanya sebesar 106 yang berarti surplus yang diterima nelayan masih minim. Selain itu, mereka memiliki proporsi pengeluaran pangan sebesar 66,7 persen lebih besar dari pengeluaran bukan pangan. Dengan demikian kesejahteraan nelayan perlu perhatian pemerintah. Permasalahan dan isu strategis kesejahteraan nelayan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, bahan bakar minyak (BBM) menjadi problematika dalam kehidupan nelayan, harga BBM yang saat ini fluktuatif sehingga biaya untuk penangkapan tidak bisa ditetapkan selalu sama. Hal ini jelas perlu perhatian dari sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) agar mencarikan solusi atas permasalahan ini karena BBM
1) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian DPR RI. e-mail:
[email protected]
6
Gambar 1. Persentase Rumah Tangga Nelayan Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
domainnya ESDM. Akibat fluktuatifnya harga BBM, maka harga penjualan ikan juga akan fluktuatif seiring dengan perubahan harga BBM. Pada saat BBM mengalami kenaikan, biaya operasional penangkapan ikan akan meningkat yang berdampak harga jual yang melambung tinggi. Jika harga jual ikan melambung tinggi, maka volume penjualan ikan cenderung berkurang. Selain itu, pembangunan SPBU di pusat pendaratan ikan juga belum menyeluruh, akibatnya daerah yang belum terdapat SPBU terpaksa membeli BBM secara eceran yang harganya akan lebih mahal dari SPBU atau membeli BBM dengan jarak tempuh yang cukup jauh sehingga akan mengeluarkan biaya lagi atas pembelian BBM tersebut. Kedua, pendidikan nelayan masih kurang menghambat berkembangnya kesejahteraan nelayan. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan peluang kehidupan kesejahteraan yang lebih baik, namun di kehidupan masyarakat pesisir khususnya nelayan masih banyak masyarakat yang pendidikannya belum tamat SMA atau sederajatnya. Persentase pendidikan nelayan disajikan dalam Gambar 1. Dari data di Gambar 1, jelas bahwa masih banyak nelayan yang menyelesaikan pendidikannya hanya sampai SD, hal ini menjadi permasalahan yang sangat mendasar. Lebih lanjut jika nelayan dihadapkan dengan kapal yang memiliki teknologi komputerisasi maka nelayan akan kesulitan dan cenderung nelayan memilih hanya menjadi buruh saja, sehingga posisi tawar nelayan akan lemah. Sebenarnya pemerintah memberikan bantuan kapal kepada nelayan, namun bantuan tersebut belum menjamin akan menjawab permasalahan kurang terampilnya nelayan. Jika nelayan hanya menggunakan kapal penangkapan ikan secara tradisional tanpa memakai teknologi, maka pendapatan nelayan dipastikan akan kurang optimal.
Selain teknologi, kurangnya pengetahuan nelayan terkait jalur penangkapan ikan juga menjadi permasalahan. Akibat kurangnya pengetahuan tersebut, maka sering kali menimbulkan konflik antar nelayan. Seperti yang disampaikan Setyawati (2014) dengan stakeholder perikanan tangkap yang berasal dari beberapa wilayah Pantai Utara Jawa Tengah terungkap bahwa masih ada terdapat konflik antar nelayan terkait dengan penggunaan jalur penangkapan ikan. Nelayan dengan alat tangkap cantrang sering masuk ke jalur I (0-4 mil) yang sebenarnya dilarang. Padahal, menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.02/MEN/2011, seharusnya alat tangkap cantrang beroperasi di jalur II dan III atau di atas 4 mil laut. Nelayan dengan alat tangkap cantrang yang beroperasi masuk jalur I ini beberapa kali merusak alat tangkap lain yang memang beroperasi di jalur I, seperti alat tangkap jaring insang atau gillnet. Akibatnya, seringkali hal tersebut menjadi pemicu konflik antara nelayan jaring insang dengan nelayan cantrang, yang pada akhirnya masalah konflik ini tertentu akan mempengaruhi tingkat penerimaan para nelayan itu sendiri. Ketiga, pencemaran ekosistem laut yang berdampak pada terbatasnya sumber daya ikan. Ekosistem laut Indonesia saat ini cenderung memprihatinkan, banyak pencemaran baik dari rumah tangga maupun industri. Limbah rumah tangga maupun limbah industri yang dibuang ke sungai dan pada akhirnya akan bermuara di laut, sehingga mengakibatkan adanya peningkatan pertumbuhan fitoplankton yang berlebihan dan cenderung cepat membusuk. Hal tersebut akan berdampak pada hasil tangkapan ikan para nelayan menurun, karena pencemaran tersebut akan memusnahkan populasi ikan. Lebih lanjut, jika ikan tersebut sudah tercemar limbah racun, maka akan mengancam kesehatan manusia. Kemudian menurut Slamet Daryoni (2014) dari
7
Gambar 2. Jumlah Perahu/Kapal Menurut Wilayah
Sumber: Biro Pusat Statistik (BPS)
berdasarkan volumenya, UPI skala besarmenengah mengolah 414.735 ton ikan beku pada tahun 2015, dan UPI skala mikro-kecil mengolah 2.028.651 ton ikan asin pada periode yang sama. Terkait dengan cold storage (tempat penyimpanan pendingin), saat ini masih banyak berada di kawasan barat karena dinilai pasokan listrik dan konektivitas di kawasan tersebut lebih memadai dibandingkan dengan Wilayah Indonesia Timur yang masih minim. Upaya Meningkatkan Sektor Perikanan Tangkap Dan Kesejahteraan Nelayan Dalam Mendukung Pembangunan Kemaritiman Mewujudkan negara maritim perlu kerja keras pemerintah dan masyarakat, karena dari zaman orde baru konsep pembangunan Indonesia berada pada pembangunan daratan dan Indonesia mengklaim sebagai negara agraris. Namun, klaim tersebut seolah berubah dengan adanya visi yang dicanangkan oleh pemerintah. Sebagai langkah upaya mewujudkan negara maritim, maka pemerintah harus berfokus dan mengutamakan pada permasalahan kesejahteraan nelayan, karena nelayan merupakan ujung tombak dari konsep negara maritim. Melihat kondisi dan permasalahan dalam kesejahteraan nelayan diperlukan suatu strategi dan kebijakan agar terwujud kesejahteraan nelayan. Strategi dan kebijakan untuk mensejahterakan nelayan tersebut antara lain: pertama, memberikan bantuan modal penangkapan ikan disertai pemberian pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Untuk dapat mengoptimalkan hasil tangkapan nelayan, maka nelayan memerlukan kapal penangkapan ikan yang lebih berteknologi, dan memiliki standar keselamatan pelayaran. Pemberian bantuan kapal merupakan solusi membantu kesejahteraan nelayan, namun jika pemberian kapal tidak didukung
Walhi menyatakan bahwa pencemaran berat terjadi terutama di kawasan laut dekat muara sungai dan kota-kota besar. Selain karena polusi yang berasal dari limbah industri yang berlebihan, pencemaran laut juga disebabkan oleh ekploitasi minyak dan gas bumi di lautan. Namun, yang paling penting adalah akibat kebijakan dan perhatian pemerintah Indonesia yang sangat kurang terhadap kelautan. Keempat, masih minimnya kapal motor untuk wilayah Indonesia Timur menjadi sumber masalah kurangnya pasokan ikan. Wilayah Indonesia Timur masih minim dalam penggunaan kapal motor sebagai alat transportasi penangkapan ikan. Sedangkan wilayah bagian barat, Jawa, dan Kalimantan sudah dominan menggunakan kapal motor. Perbedaan teknologi ini bisa membuat kesenjangan antara nelayan wilayah Indonesia Barat dan Timur. Padahal laut di wilayah Indonesia Timur cenderung lebih luas dan ekosistemnya masih belum terkontaminasi dengan limbah industri atau rumah tangga. Sebenarnya potensi hasil laut wilayah Indonesia Timur tersebut masih banyak. Namun, akibat dari minimnya alat penangkapan ikan tersebut, maka hasilnya kurang optimal. Kelima, masih minimnya pasokan listrik untuk wilayah Indonesia Timur menjadi kendala sektor perikanan ini dalam menyediakan pasokan ikan. Listrik merupakan salah faktor yang mempengaruhi perkembangan industri perikanan khususnya Unit Pengolahan Ikan (UPI). Menurut Nilanto Prabowo Ditjen PDSP KKP, sebanyak 61.603 unit UPI yang ada di Indonesia, hanya sekitar 1,2 persen atau 718 unit yang merupakan UPI skala besar. Berdasarkan jenis olahannya, UPI skala besar dan menengah didominasi 59 persen oleh UPI jenis olahan ikan beku, sedangkan 36 persen UPI skala mikro-kecil adalah UPI jenis olahan ikan asin. Sementara
8
dengan pendidikan dan pengetahuan dalam mengoperasikan kapal tersebut, maka pemberian tersebut akan sia-sia. Oleh karena itu perlu peningkatan pendidikan para nelayan baik pendidikan formal maupun informal terkait pelayaran penangkapan ikan. Pengetahuan terkait sistem perairan, dan zona wilayah juga perlu bagi nelayan sehingga nelayan kita tidak menangkap ikan di luar dari zona negara karena akan merugikan negara lain dan akan berhadapan dengan hukum yang nantinya berdampak pada pendapatan nelayan tersebut. Kedua, meningkatkan pembangunan jumlah SPBU di pendaratan ikan. BBM merupakan nafas dalam pelayaran karena mayoritas saat ini kapal penangkapan ikan sudah menggunakan motor, sebagai pengerak, motor sangat bergantung pada bahan bakar, biaya untuk bahan bakar ini bisa mencapai antara 50-70 persen dari biaya operasional penangkapan ikan. Selain itu, SPBU yang jauh dari pendaratan ikan akan menambah biaya operasi penangkapan ikan karena untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nelayan perlu mengeluarkan biaya lebih besar, namun jika SPBU sudah berada pada pendaratan ikan maka biaya penangkapan ikan lebih efisien. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan koordinasi bidang ESDM ataupun lembaga terkait untuk membantu mempercepat pembangunan SPBU di pendaratan ikan. Ketiga, menegakkan hukum kelestarian lingkungan laut. Kebijakan pemerintah harus pro terhadap lingkungan khususnya lingkungan laut, karena saat ini laut Indonesia sudah banyak tercemari limbah industri maupun rumah tangga khususnya laut wilayah bagian barat. Pencemaran ini akan berdampak pada kematian ikan. Kemungkinan lain, apabila ikan tersebut dikonsumsi oleh manusia, maka akan membahayakan kesehatan manusia itu sendiri. Sebenarnya aturan pemerintah akan standarisasi atas limbah industri sudah ada namun penegakan hukumnya masih lemah. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) diharapkan dapat berperan aktif untuk bisa mengontrol limbah khususnya limbah industri. Keempat, memprioritaskan ketersediaan listrik di wilayah Indonesia Timur. Listrik bagi sektor perikanan tangkap dibutuhkan dalam mensuplai energi gudang pendingin (cold storage). Kebutuhan listrik ini diharapkan dapat diprioritaskan untuk wilayah Indonesia Timur, setidaknya pasokan listrik 7.000 MW setiap tahunnya bisa terealisasi. Jika pasokan listrik untuk cold storage bisa terpenuhi secara merata di Wilayah Indonesia, maka industrilisasi perikanan bisa cepat meningkat. Rekomendasi Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo terus berupaya untuk bisa mewujudkan negara maritim. Untuk bisa mewujudkannya, pemerintah juga telah menerbitkan Inpres No. 7 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional. Dalam Inpres tersebut jelas ditegaskan peran dari masing-masing lembaga kementrian atau non kementrian. Oleh karena itu, dengan Inpres tersebut seharusnya pemerintah dapat segera meningkatkan sektor perikanan tangkap dan kesejahteraan nelayan dengan dibantu dengan kebijakan seperti: 1) memberikan bantuan modal penangkapan ikan disertai pemberian pendidikan, pengetahuan dan keterampilan; 2) peningkatan pembangunan SPBU di pendaratan ikan; 3) mempertegas penegakan hukum kelestarian lingkungan laut; dan 4) memprioritaskan ketersediaan listrik di wilayah Indonesia Timur. Daftar Pustaka Daryoni, Slamet. 2014. Pencemaran Laut “Mengancam Potensi Sumber daya dan Lingkungan Maritim”. Diambil kembali dari http://cintailautkulautmulautkita.blogspot. co.id/2014_01_01_archive.html Dewan Kelautan Indonesia. 2012. Kebijakan Ekonomi Kelautan Dengan Model Ekonomi Biru. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta Setyawati, dkk. 2014. Analisis Pencapaian Nilai Tukar Nelayan. Bappenas. Jakarta.
9
Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id Telp. 021-5715635/5715528, Fax. 021-5715528 e-mail
[email protected]
10