2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 2.1.1 Komponen sistem perikanan tangkap Charles (2001) membagi sistem perikanan kedalam tiga subsistem utama yaitu sistem alam (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan (management system). Masing-masing sub sistem tersebut terdiri atas berbagai macam komponen pendukung yang demikian kompleks. Sistem Manusia Karakteristik masyarakat nelayan dan usahanya sangat berbeda dengan masyarakat pedesaan lainnya dimana corak mata pencahariannya pertanian. Pollnac (1988) mengatakan karakteristik tersebut adalah bahwa para petani menghadapi situasi ekologis yang relatif dapat dikontrol sedangkan nelayan menghadapi situasi ekologis yang sulit dikontrol yang diakibatkan oleh sifat sumberdaya ikan yang berpindah-pindah dan berada di dalam perairan sehingga menyulitkan untuk diketahui dan dipantau. Resiko usaha yang besar dimana faktor kondisi alam sangat menentukan keberhasilan usaha penangkapan. Kondisi alam yang dimaksud adalah keadaan gelombang, hujan, badai dan lain-lain dimana pada kondisi yang ekstrim akan dapat melenyapkan unit penangkapan yang digunakan. Sistem usaha yang bersifat musiman, tergantung dari keberadaan ikan di perairan dan kondisi cuaca yang ada. Dengan kondisi seperti itu, maka nelayan tidak dapat melaut sepanjang tahun. Pada saat tidak melaut dengan sendirinya mereka tidak mempunyai pendapatan dari usaha penangkapan yang mungkin saja merupakan mata pencaharian satusatunya. Nelayan terbiasa dengan kehidupan di laut yang keras sehingga mereka umunya bersikap keras, tegas dan terbuka. Kondisi kerja di laut yang keras membentuk sikap kerjasama dan saling ketergantungan yang kuat diantara nelayan yang melakukan penangkapan. Adanya spesialisasi peran dari setiap awak dan kondisi fisik lingkungan laut, menambah penting sikap kerjasama dan saling ketergantungan antar awak kapal tersebut. Belum lagi kerjasama itu harus
11
dibangun bukan hanya antar awak kapal, tetapi juga antara awak kapal dengan pemilik kapal yang sering kali tidak ikut dalam operasi penangkapan tersebut. Hal ini dapat dipahami karena segala kemungkinan dapat terjadi di tengah laut yang berakibat pada hilangnya armada penangkapan. Bahkan kalau tidak ada kerjasama dan saling kepercayaan, maka bisa saja terjadi moral hazard dari awak kapal dengan memanipulasi produksi hasil tangkapan yang didapatkan ataupun kondisi dan keberadaan unit penangkapannya sendiri. Nelayan juga mempunyai sifat kemandirian yang besar. Anggapan ini berasal dari kondisi lingkungan dan mata pencaharian menangkap ikan. Mereka dipaksa untuk mengambil keputusan secara cepat dan sering berhadapan dengan ketidakpastian – keputusan yang mempunyai efek segera terhadap keselamatan kapal dan waknya ataupun keberhasilan operasi penangkapannya itu sendiri. Lebih dari itu, nelayan di laut jauh dari pertolongan masyarakat banyak di darat. Di laut, mereka melakukan tugas yang rumit secara mandiri, dengan sedikit komunikasi lisan. Charles (2001) membagi perikanan komersial ke dalam dua katagori yaitu perikanan artisanal (perikanan skala kecil) dan perikanan industri (perikanan skala besar). Beberapa ciri dari perikanan tradisional adalah (1) ketergantungan yang tinggi terhadap keluarga, kesempatan bekerja di luar nelayan relatif kecil, kadang pendapatan yang diperoleh relatif kecil, (2) kapal yang digunakan relatif kecil dan biasanya merupakan milik sendiri, (3) sering kali lebih menerapkan sistem bagi hasil antara pemilik kapal, nakhoda dan anak buah kapal daripada menggunakan sistem penggajian, (4) umumnya relatif jauh dari pusat aktifitas ekonomi dan politik seperti di pedesaan dan (5) sering dipandang oleh analis kebijakan dalam satu dari dua yang berbeda : sebagai obyek untuk aktifitas modernisasi dan rasionalisasi atau sebagai orang atau kelompok yang mendapat perlakuan dari kekuatan ekonomi eksternal dan memerlukan perlindungan. Lebih lanjut Orbach dalam Charles (2001) mengatakan bahwa sumberdaya manusia perikanan tidak terbatas pada nelayan saja, tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait dengan penangkapan dari habitat tersebut. Untuk setiap nelayan komersial, terdapat tiga kelompok SDM dalam aktifitas tersebut yaitu keluarga dan masyarakat dalam konteks sosial dan politik, orang-orang yang bekerja di
12
galangan kapal, supplier, fasilitas pelayanan yang secara integral bergantung pada aktifitas penangkapan dan distributor, pedagang dan konsumen yang menciptakan permintaan produk tersebut. Sektor pasca penangkapan juga memiliki peranan yang cukup penting terlebih dikaitkan dengan maksimisasi manfaat/keuntungan dari setiap ikan yang ditangkap secara berkelanjutan.
Pendekatan pembangunan berkelanjutan
mendorong jumlah ikan yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efisien untuk tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan nutrisi, ketenagakerjaan, dan pembangunan sosial ekonomi. Hal tersebut sangat relevan dengan sektor pasca penangkapan, yang dibutuhkan untuk mengurangi limbah dan penyusutan pasca penangkapan, maksimisasi nilai tambah (added value) melalui pengolahan, membangun dan atau memperbaiki sistem distribusi dan pemasaran, dan mengintegrasikan perikanan ke dalam upaya-upaya pembangunan pedesaan secara keseluruhan. Pemasaran merupakan aktifitas penting dalam perikanan. Dalam konteks komersial, suatu tangkapan yang baik hanya bermanfaat apabila hasil tangkapan tersebut dijual. Marketing merupakan aktifitas pengalokasian dan penyusunan suatu pasar (khususnya pembeli) untuk hasil tangkapan yang didapatkan oleh nelayan, koperasi perusahaan atau masyarakat. Sistem Pengelolaan Perikanan Charles (2001) mengatakan bahwa secara ide dasar pembangunan perikanan bertujuan untuk menginisiasi suatu yang baru, memperbaiki kondisi yang ada dari sistem perikanan yang memberikan keuntungan secara berkelanjutan. Secara umum, proses pembangunan perikanan terdiri dari dua tahapan yaitu menduga tingkat pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (menghitung tingkat tangkapan yang berkelanjutan dan hubungannya dengan ukuran armada) dan membangun input sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik supaya mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam yang ada. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses yang penting yang mencakup upaya-upaya meningkatkan manfaat (benefit) secara berkesinambungan tidak hanya melalui pelaksanaan ukuran-ukuran manajemen, tetapi melalui perbaikan-perbaikan (improvement) beberapa hal pada sistem perikanan.
Hal
tersebut dapat berupa (1) pendampingan nelayan untuk meningkatkan kemampuan
13
penangkapannya mulai dari subsidi pembuatan kapal sampai dukungan terhadap motorisasi armada penangkapan artisanal, (2) adaptasi teknologi penangkapan yang sesuai, (3) pelatihan nelayan dalam hal metoda penangkapan maupun penanganan hasil tangkapan, (4) penguatan kelembagaan baik manajemen individu maupun organisasi, (5) fasilitasi pengembangan koperasi dan organisasiorganisasi nelayan lainnya, (6) perbaikan pada tahapan pasca penangkapan termasuk pengembangan pasar, kontrol kualitas pengolahan dan proses distribusi produk, (7) pembangunan inrastruktur yang diperlukan seperti pelabuhan perikanan dan (8) perlindungan lingkungan dan upaya-upaya perbaikan produktivitas stok sumberdaya ikan. Dalam konteks kewilayahan, pembangunan perikanan berkaitan dengan pembangunan masyarakat pantai dan lingkungan sosial ekonomi wilayah pesisir tersebut. Hal ini mengarahkan pada suatu fokus pada pembangunan wilayah pesisir secara terpadu dimana perhatian diberikan pada semua sumberdaya pesisir secara simultan termasuk pada orang dan masyarakat yang ada di wilayah pesisir tersebut (Charles 2001). Budiono dan Sri Atmini (2002) mengatakan bahwa rencana dan strategi pengelolaan perikanan hendaknya mencakup hal hal (1) optimasi manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Hal ini diantaranya dilakukan melalui
pengurangan tekanan penangkapan pada wilayah-wilayah fully dan over exploited dan meningkatkan penangkapan pada wilayah yang under exploited. Didukung oleh pembangunan infrastruktur dan sistem pemasaran, kerjasama antara usaha skala kecil dan skala besar, memperkuat sistem monitoring untuk mendorong kepatuhan terhadap kebijakan pengelolaan, (2) reformulasi perencanaan spasial dari zona penangkapan, (3) memproteksi dan merehabilitasi lingkungan dan ekosistem pesisir termasuk rehabilitasi dan pengelolaan karang, mangrove, kontrol pencemaran air, pengelolaan dan pembangunan pesisir yang terintegrasi dan (4) dukungan program dan strategi untuk peningkatan kepedulian masyarakat, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan dan membuat alternatif-alternatif pembangkitan pendapatan.
Secara substansi yang lebih
kompleks dari sistem perikanan digambarkan Charles (2001) sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
14
Lingk Biofisik
Lingk Sosial Ekonomi
Ekosistem
Rumah tangga dan masyarakat Ikan
Kapal
Dinamika populasi
Nelayan
Dinamika modal
Dinamika tenaga kerja
Penangkapan
Pasca penangkapan
Pasar
Gambar 2
Kondisi pasar
Benefit: Sosial Budaya Ekonomi Biodiversity
Kompleksitas sistem perikanan (Charles, 2001)
2.1.2 Pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perbatasan negara telah diatur dalam aturan internasional yaitu dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982. Khusus mengenai konservasi dan manajemen perikanan laut dalam ZEE Pasal 61 UNCLOS mewajibkan negara pantai seperti Indonesia untuk menentukan jumlah yang dapat ditangkap atau total
15
allowable catch (TAC). Menurut Djalal (2003), dalam penentuan TAC di ZEE, negara pantai berkewajiban, antara lain: (1) memastikan tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya perikanan; (2) bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional yang kompeten; (3) berusaha memulihkan kembali jenis populasi ikan yang ditangkap; (4) menjamin maximum sustainable yield (MSY); dan (5) menjaga agar jangan terjadi akibat yang negatif dari penangkapan tertentu terhadap jenis-jenis kehidupan laut lainnya yang berkaitan atau jenis yang tergantung dari perikanan tersebut. Beberapa tindakan untuk pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan ZEE seperti dikemukakan Hasim DJalal (1995) yang diacu Monintja (1996), di antaranya: (1) Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di ZEE, Indonesia perlu mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang diperkenankan oleh konvensi, seperti izin penangkapan ikan, penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan, penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan negara pantai, dan sebagainya. (2) Mengatur dengan negara/organisasi regional dan internasional tentang pemeliharaan dan pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat di ZEE dua negara atau lebih, highly migratory species dan memperhatikan ketentuan-ketentuan
mengenai
―marine
mammals,
anadromous
dan
catadromous species, serta sedentary species. Pemanfaatan Sumberdaya Alam berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982 dapat disarikan sebagaimana Tabel 1. Pasal 3 UU No. No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia menyatakan apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. Selama persetujuan tersebut belum ada
16
dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Tabel 1
Batas laut, status hukum dan pemanfaatan sumberdaya alam
Bagian laut
Status hukum
Perairan pedalaman Perairan kepulauan
Kedaulatan Kedaulatan
Laut teritorial Zona tambahan
Kedaulatan Yurisdiksi terbatas
ZEE
Hak-hak berdaulat Yurisdiksi
Laut lepas
Kebebasan
Laut kontinen
Hak-hak berdaulat
Kawasan dasar laut Warisan bersama internasional umat manusia Sumber : Agoes, 2003
Pemanfaatan Sumberdaya Alam Hak Kewajiban Pemanfaatan Penuh Konservasi Pemanfaatan Penuh Konservasi Mengakui Hak Perikanan Tradisional Negara Tetangga Pemanfaatan Penuh Konservasi Pengawasan (sepanjang berkaitan) Pemanfaatan ekslusif Konservasi Memberi kesempatan negara lain terhadap surplus perikanan Kebebasan Konservasi Menghormati Hak Negara Lain Pemanfaatan ekslusif Memberi sumbangan dari hasil produksi di luar 200 mil laut Pemanfaatan bersama
Namun demikian, saat ini setelah lebih dari 20 tahun sejak peraturan itu diundangkan, masih terdapat 70 % batas-batas yuridiksi perairan ZEEI tersebut belum disepakati oleh negara-negara tetangga. Perbatasan yang belum disepakati tersebut mencakup perbatasan dengan negara Timor Leste, Filipina, Vietnam, Thailand, dan India (Kompas, 3 Maret 2007).
Masih banyaknya wilayah
perbatasan yang belum disepakati dengan negara berpotensi menimbulkan konflik dengan negara yang bersangkutan yang pada akhirnya akan merugikan kepentingan nasional.
17
2.1.3 Konflik pengelolaan sumberdaya perikanan dan penyelesaiannya Fisher et al. (2000), Rubin et al. (1994), Sarwono (2001) dalam Shaliza (2004) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Dengan perkataan lain terdapat pertentangan antar dua pihak atau lebih. Bahkan Sarwono menegaskan bahwa pertentangan tersebut tidak hanya pada tataran individu tetapi juga dapat terjadi antar kelompok masyarakat bahkan antar bangsa dan negara. Soekanto (1982) dalam Hasyim (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya konflik di dalam suatu masyarakat karena adanya perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan dan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Perbedaan individu/budaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang membentuk kedua belah pihak yang melahirkan prinsip-prinsip nilai kebiasaan atau tatacara yang berbeda. Konflik dapat terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain. Lebih lanjut Fisher et al (2000) mengatakan bahwa pada dasarnya konflik dapat terjadi karena dipicu oleh beberapa hal, yaitu (1)
Polarisasi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat (teori hubungan masyarakat)
(2)
Terdapat posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konlik (teori negosiasi prinsip)
(3)
Adanya usaha untuk menghalang-halangi pemenuhan kebutuhan dasar manusia, baik kebutuhan fisik, mental dan sosial (teori kebutuhan manusia)
(4)
Terancamnya identitas yang sering berakar pada hilangnya sesuatu hal atau karena penderitaan di masa yang lalu yang tidak terselesaikan (teori identitas)
(5)
Ketidakcocokkan dalam cara-cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda (teori kesalahfahaman antar budaya)
(6)
Masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi (teori transformasi konflik) Dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam berpotensi
menimbulkan konflik terutama karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan
18
sumberdaya tersebut.
Bennet dan Neiland (2000) dalam Budiono (2005)
berpendapat bahwa interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan ekosistem juga harus mendapat perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lain secara keseluruhan. Pemanfaatan sumberdaya alam dapat menimbulkan eksternalitas yang terkadang tidak diperhitungkan ke dalam pemanfaatan sumberdaya.
Terdapat tiga jenis
eksternalitas yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yaitu (Schlager et al, 1992 dalam Budiono, 2005) : (1) Appropriation externalities.
Dalam perhitungan ekonomi, ketika seorang
nelayan menangkap ikan dari stok yang tersedia di laut, proses tersebut meningkatkan biaya marjinal dari setiap tambahan ikan yang ditangkapnya sekaligus menurunkan manfaat marjinal dari setiap tambahan upaya penangkapannya. Dengan demikian, peningkatan biaya penangkapan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya berpengaruh pada nelayan yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan lainnya yang ikut memanfaatkan stok ikan tersebut. (2) Technological externalities. Eksternalitas ini muncul ketika nelayan secara fisik saling melakukan intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Ekternalitas ini dapat didefinisikan sebagai terjadinya pelanggaran alat tangkap terhadap alat tangkap lainnya atau bentuk-bentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan melakukan penangkapan ikan sangat berdekatan satu sama lainnya. (3) Assignment problem. Assignment problem muncul ketika nelayan menangkap ikan secara tidak terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri mereka secara efisien pada daerah penangkapan tersebut.
Permasalahan
muncul mengenai siapakah yang memiliki akses ke daerah produktif tersebut dan bagaimana akses tersebut harus ditetapkan/dibagikan. Kegagalan dalam memecahkan
assignment
problems
ini
dapat
memicu
konflik
dan
meningkatkan biaya produksi. Pada pengelolaan perikanan tangkap, terdapat tujuh penyebab konflik (Anonimous, 2002 dalam Budiono, 2005) yaitu (i) persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukan otonomi
19
daerah, (ii) perebutan daerah/lokasi penangkapan, (iii) perbedaan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama, (iv) perbedaan kualitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah yang sama, (v) pelanggaran
batas
wilayah
perairan,
(vi)
operasi
sekelompok
nelayan
merusak/menerjang peralatan tangkap nelayan lain, dan (vii) pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Sedangkan Sari (2010) berdasarkan penelitiannya di Kabupaten Bengkalis menyimpulkan bahwa faktor mendasar pendorong terjadinya konflik perikanan tangkap adalah (i) latar belakang budaya masyarakat nelayan yang berbeda dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan (ii) faktor sosial yang cenderung melakukan perebutan wilayah tangkap dan (iii) faktor yuridis yaitu keberadaan peraturan yang tidak sesuai dengan karakteristik daerah dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat nelayan. Konflik di perikanan tangkap ternyata juga tidak hanya antar nelayan, tetapi juga antara nelayan dengan stakeholder lainnya sebagaimana yang dikaji Hendriwan (2007) yaitu antara nelayan besar dengan nelayan kecil, interaksi petugas keamanan laut dengan nelayan, nelayan besar dan nelayan pendatang, nelayan tradisional dengan pendatang, pemerintah kota dan propinsi, pemerintah kota dengan nelayan dan interaksi dengan KUD. Dalam rangka mengatasi berbagai konflik tersebut, beberapa ahli mengajukan pendapatnya. Leonardo Boff sebagaimana dikutip Chang (2003) mengatakan bahwa perlu ditekankan etika dunia baru yang mencakup (i) etika yang menyerukan umat manusia untuk saling melihat antara satu sama lain dalam pengertian positif, (ii) etika solidaritas yang ditandai dengan sikap solidaritas sosial terhadap siapa yang dililit kesulitan, (iii) etika tanggung jawab yang megutamakan sikap tanggung jawab setiap orang terhadap pemikiran, ucapan, tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, (iv) etika berdialog yang dimulai dengan dialog yang hidup, tulus dan ikhlas dan (v) etika suci yang mencakup dan dapat diterima oleh semua pihak sebab didahului oleh nilai-nilai kebaikan secara universal yang dapat diterima oleh semua orang dalam setiap kondisi. Konflik penangkapan ikan di wilayah perbatasan relatif lebih kompleks lagi. Hal ini disebabkan karena pihak-pihak yang berkonflik terkadang berasal
20
dari negara yang berbeda sehingga tidak dapat diselesaikan di tingkat nelayan tetapi oleh dua pemerintahan yang berkonflik. Bentuk konflik penangkapan yang terjadi antar negara biasanya berupa penangkapan illegal yang dikenal dengan istilah Illegal Unreported, Unregulated (IUU) Fishing. Pengertian Illegal Fishing merujuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh International Plan of Action (IPOA) – Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pengertian Illegal Fishing adalah (i) kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yuridiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki yuridiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu dan (ii) kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasidan pengelolaan perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO. Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional dan (iii) kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO. Sedangkan Unreported Fishing mengacu pada (i) aktifitas penangkapan yang tidak dilaporkan, atau pelaporan yang salah (misreported) kepada otoritas nasional yang bertentangan dengan peraturan nasional (ii) penangkapan dalam wilayah RFMO yang tidak dilaporkan atau pelaporan yang bertentangan dengan prosedur organisasi. Dan Unregulated Fishing mengacu pada (i) penangkapan di wilayah pengelolaan RFMO yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, negara bendera tapi bukan untuk kepentingan RFMO, atau oleh entitas nelayan dengan cara yang tidak konsisten dengan atau bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan organisasi dan (ii) penangkapan di daerah atau untuk stok ikan yang tidak ada konservasi atau tindakan manajemen yang berlaku dan di mana aktivitas penangkapan ikan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak konsisten
21
dengan tanggung jawab negara untuk konservasi sumberdaya hayati laut di bawah hukum internasional. Adhuri (2005) menjelaskan salah satu kasus IUU Fishing di wilayah perbatasan Indonesia-Australia yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Indonesia. Penyebab terjadi pelanggaran tersebut adalah (i) conflicting claims dimana terjadi perbedaan persepsi diantara nelayan dan (ii) pasar internasional sumberdaya ikan yang mendorong nelayan melakukan penangkapan meski terkatagori IUU Fishing. 2.1.4 Potensi sumberdaya ikan Perairan Kabupaten Nunukan termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI 716 yaitu Perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera. Daerah yang termasuk kedalam WPP ini meliputi Kalimantan Timur (Kabupaten Bulungan, Kota Tarakan, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Timur),
Gorontalo, Sulawesi Utara (Kabupaten Bolaang Mengondow,
Kabupaten Minahasa, Kabupaten Sangihe Talaud, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Manado, Kota Bitung), Sulawesi Tengah (Kabupaten Toli-Toli, Kabupaten Buol) dan Maluku Utara (Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara). Berdasarkan DJPT (2011), estimasi potensi sumberdaya ikan yang dominan adalah ikan pelagis kecil (230,9 ribu ton/tahun), pelagis besar (70,1 ribu ton/tahun) dan ikan demersal (24,7 ribu ton/tahun). Sedangkan jenis ikan lain relatif sedikit yaitu ikan karang konsumsi (6,5 ribu ton/tahun), udang penaid (1,1 ribu ton/tahun), lobster dan cumi-cumi masing-masing dengan potensi 0,2 ribu ton/tahun). Sedangkan produksi penangkapan pada tahun 2010 didominasi beberapa jenis ikan diantaranya adalah cakalang (49,2 ribu ton), laying (34,6 ribu ton), albakora dan madidihang masing-masing 15,3 ribu ton dan 14,6 ribu ton). Sedangkan jenis ikan lainnya masih dibawah 10 ribu ton yaitu tongkol abu-abu, teri, tongkol krai, tenggiri, selar dan kembung.
Alat tangkap yang banyak
digunakan khususnya yang mempunyai izin pusat adalah alat tangkap purse seine dan rawai tuna masing-masing 368 unit dan 142 unit. Sedangkan alat tangkap lainnya adalah huhate (35 unit), jarring insang (4 unit), hand line (3) dan pancing rawai (1 unit).
22
2.2 Konsepsi Pembangunan Wilayah 2.2.1 Pengertian pembangunan wilayah Secara tradisional, pembangunan (development) hanya diartikan sebagai kapasitas
dari
sebuah
perekonomian
nasional
untuk
menciptakan
dan
mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto. Pernah juga pembangunan ekonomi hanya diukur berdasarkan tingkat kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumberdaya (employment) yang diupayakan secara terencana. Artinya bahwa pembangunan hanya diartikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun demikian pada perjalanannya, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak secara otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pembangunan
yang
hanya
menyandarkan
pada
satu-satunya
indikator
(pertumbuhan ekonomi) ternyata telah menimbulkan berbagai kelemahan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu World Bank seperti yang dikutip Todaro (1999) menegaskan bahwa : Tantangan utama pembangunan .... adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di negara-negara yang paling miskin, kualitas hidup yang lebih baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang tinggi-namun yang dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang lebih tinggi itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak syarat yang harus dipenuhi. Banyak hal lain yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya. Todaro merumuskan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Paling tidak terdapat tiga nilai inti pembangunan yang harus dipahami yaitu kecukupan (sustenance) yang merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar ; jati diri
23
(self esteem) yaitu kemampuan atau dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa pantas dan layak mengejar atau melakukan sesuatu dan lain-lain ; dan kebebasan (freedom) yaitu kebebasan dari sikap menghamba atau kemampuan untuk memilih.
Tiga tujuan inti pembangunan
adalah : (1) peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan (2) peningkatan standar hidup yang tidak hanya peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, tetapi juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa (3) perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan yakni dengan membebaskan mereka dari belitan-belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara bangsa lain, tetapi juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Pada tahapan berikutnya, terjadi evolusi pemikiran tujuan pembangunan yang
tidak
hanya
memperhatikan
aspek-aspek
pertumbuhan
ekonomi,
peningkatan pembangunan manusia, pengahapusan kemiskinan dan pemenuhan hak-hak dasar tetapi sudah mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan. Evolusi pemikiran pembangunan dengan baik disampaikan oleh Gerald Meier dan Joseph Stiglitz dalam Frontiers of Development Economic (2002) sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Gross Domes tic Product
GDP Per kapita Riil
Gambar 3
Human Develop ment Index
Pengha pusan Kemis kinan
Kebe basan
Evolusi pemikiran pembangunan
Pemba ngunan Berkelan jutan
24
Namun demikian, pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya mencapai tujuan-tujuan diatas. Kesalahan kebijakan pembangunan (misleading policy) di masa lalu seperti yang disampaikan Anwar (2005) yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada prioritas pembangunan wilayah yang lebih menekankan pada wilayah wilayah yang mempunyai potensi menjanjikan (baik dari segi demografi, limpahan sumberdaya alam maupun lokasional). Hal ini memicu terjadinya disparitas tingkat pembangunan ekonomi yang terus melebar.
Padahal pertimbangan dalam pembangunan wilayah memerlukan
pendekatan multidimensional, terutama menyangkut (i) peranan teknologi dalam peningkatan
produktivitas
(ii)
pembangunan
sumberdaya
manusia,
(iii)
pembangunan infrastruktur fisik dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup dan (iv) pembangunan administrasi dan finansial termasuk mendorong partisipasi luas masyarakat dan memperhitungkan aspek politik institusional. Beberapa indikator yang sering digunakan dalam mengukur keberhasilan pembangunan (Rustiadi 2007) adalah: (1) Pendapatan wilayah. Pendapatan masyarakat merupakan indikator penting dalam ekonomi wilayah. Pendapatan masyarakat pada suatu wilayah tidaklah sama dengan nilai total produksi barang dan jasa yang dihasilkan di suatu wilayah. Karena didalam total nilai barang dan jasa terdapat komnponenkomponen dari barang dan jasa yang telah dihitung sebagai hasil produksi di sektor atau wilayah lain. (2) Distribusi pendapatan.
Distribusi pendapatan adalah statu cerminan
bagaimana pendapatan dialokasikan kepada masyarakat. Untuk mengukur distribusi pendapatan ini biasanya menggunakan Kurva Lorenz (3) Penyerapan tenaga kerja.
Indikator penyerapan tenaga kerja dan tingkat
pengangguran dapat dipandang sebagai bentuk operasional dari konsep indikator tujuan ekonomi atau pertumbuhan (produktivitas dan efisiensi). Namun indikator ini juga sering dianggap bagian dari konsep indikator kapasitas sumberdaya manusia. (4) Tingkat kemiskinan.
Kemiskinan merupakan suatu kondisi absolut atau
relatif yang menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya
25
sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di masyarakat karena sebab natural, cultural atau struktural (Nugroho dan Dahuri, 2004). Sesuai dengan definisi tersebut, maka indikator dan kriteria kemiskinan dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu absolut dan relatif. Usuran kemiskinan absolut adalah pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu usuran yang bersifat mutlak yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik atau batas kemiskinan.
Sedangkan usuran relatif adalah pendekatan yang
memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang mempengaruhi ukuranukuran lainnya yang berhubungan dengan proporsi dan distribusi. (5) Keseimbangan wilayah (regional balance).
Indikator ini cukup penting
mengingat bahwa suatu wilayah tidak dapat dikatakan berkembang apabila wilayah-wilayah lain juga tidak berkembang. Oleh karena itu perlu adanya keseimbangan pembangunan wilayah baik keseimbangan spatial (antar wilayah),
keseimbangan
antar
sektor
(sektoral
balance)
maupun
keseimbangan kapital/modal (capital balance). 2.2.2 Interaksi antar wilayah Perkembangan suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh wilayah tersebut saja, namun juga erat kaitannya dengan interaksi wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah di sekitarnya.
Interaksi
tersebut dapat berupa aliran komoditas, migrasi penduduk, mobilitas modal dan aliran gagasan dan inovasi. Teori Heckser Ohlin sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho dan Dahuri (2004) menjelaskan mengenai aliran komoditas. Teori ini mengatakan bahwa aliran komoditas disebabkan adanya perbedaan rasio harga (relative price) antara dua negara yang memproduksi dua komoditas yang sama. Ilustrasi dari Gambar 4 bahwa pada awalnya tingkat konsumsi di negara sendiri berada pada titik E dengan garis anggaran AB yang lerengnya mencerminkan rasio harga pangan terhadap sandang.
Negara tersebut
menghasilkan pakaian yang lebih banyak daripada kebutuhan pangan. Jika negara tersebut mau berdagang dengan negara lain yaitu dengan mengekspor kelebihan sandangnya (sejumlah GE) dan mengimpor pangan (sejumlah FG), maka tingkat konsumsinya akan bergeser dari E ke F. Pada kondisi ini, garis anggaran dan
26
tingkat kepuasannya (indifferent curve) berubah menjadi CD dan y1 menunjukkan bahwa ada kenaikan pendapatan riil di negara tersebut.
C
P
F
U
A
R
Pangan
Pangan
y1 G E
y0
0
Sandang
Gambar 4
D
B
V
x1
T
x0
M
Sandang
Q
S
Segitiga perdagangan yang dinikmati negara sendiri (kiri) dan negera lain (kanan) (Caves and Jones, 1981 dalam Nugroho dan Dahuri, 2004)
Mekanisme yang sama juga terjadi di negara lain. Hanya saja kasusnya terbalik, yaitu negara lain yang mengalami kelebihan produk pangan, Namur kekurangan produk sandang. Negara tersebut kemudian mengekspor pangan dan mengimpor sandang masing-masing sejumlah UV dan VT yang diikuti oleh pergeseran garis anggaran (PQ menjadi RS) dan indifferent curve (xo menjadi x1) sekaligus mencerminkan kenaikan pendapatan riil. Asumsi yang mendasari model Heckscher-Ohlin ini adalah (1) model mengabaikan biaya transportasi, (2) penerapan proteksi untuk melindungi industri lokal akan mengganggu aliran komoditas dan (3) model kurang akurat untuk menjelaskan fenomena jangka pendek karena untuk mencapai keseimbangan mustahil mentransformasi modal dan faktor produksi lainnya dalam waktu yang relatif cepat. Migrasi penduduk Faktor-faktor yang mendasari terjadinya migrasi penduduk adalah (1) faktor sosial termasuk keinginan para imigran untuk melepaskan diri dari kendalakendala tradisional yang terkandung dalam organisasi-organisasi sosial
yang
27
sebelumnya mengungkung mereka, (2) faktor-faktor fisik termasuk pengaruh iklim dan bencana meteorologis seperti banjir dan kekeringan, (3) faktor-faktor demografi termasuk penurunan tingkat kematian yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk, (4) faktor-faktor kultural termasuk pembinaan kelestarian hubungan ―keluarga besar‖ sesampainya di kota dan daya tarik ―lampu kota yang terang benderang‖ dan (5) faktor-faktor komunikasi termasuk kualitas segenap sarana transportasi, sistem pendidikan yang cenderung berorientasi ke kehidupan khas kota dan dampak-dampak modernisasi yang ditimbulkan oleh aneka perangkat hiburan. Aliran gagasan dan inovasi Gagasan dan inovasi merupakan salah satu sumber pertumbuhan wilayah. Aliran gagasan dan innovasi tidak memerlukan biaya dalam proses transfernya (Nugroho dan Dahuri, 2004). Lebih lanjut ditekankan bahwa proses penyebaran inovasi dapat dibagi kedalam tiga cara yaitu (1) inovasi menyebar dalam pola radial ke wilayah yang berdekatan. (2) inovasi menyebar secara lateral ke kotakota yang memiliki tingkat hirarki yang relatif sama dan (3) inovasi menyebar melalui hirarki perkotaan internal (internal urban hierarchy). 2.2.3 Tantangan dan kendala pembangunan wilayah perbatasan Kepentingan percepatan pembangunan wilayah perbatasan ditujukan untuk melindungi segenap penduduk dan kedaulatan seluruh wilayah negara, mengamankan pembangunan wilayah dan memelihara kerjasama dengan negara tetangga guna mewujudkan prinsip hidup berdampingan secara damai, aman, dan sejahtera.
Kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan daerah
perbatasan menghadapi tantangan antara lain yang mencakup delapan aspek sebagai berikut (DJPR 2002) : (1) Aspek geografis, yang meliputi kebutuhan jalan penghubung, landasan pacu (airstrip), dan sarana komunikasi serta sarana perhubungan lainnya yang memadai untuk keperluan pembangunan daerah perbatasan antar negara; (2) Aspek demografis, yang meliputi pengisian dan pemerataan penduduk untuk keperluan Sistem Pertahanan Kemanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)
28
termasuk
kekuatan
cadangannya
melalui
kegiatan
transmigrasi
dan
permukiman kembali (resettlement) penduduk setempat; (3) Aspek sumber daya alam, yang meliputi survei dan pemetaan sumber daya alam guna menunjang pembangunan dan sebagai obyek yang perlu dilindungi pelestarian dan keamanannya; (4) Aspek
politik,
yang
meliputi
pemahaman
sistem
politik
nasional,
terselenggaranya aparat pemerintahan yang berkualitas sebagai mitra aparat hankam dalam pembinaan teritorial setempat; (5) Aspek ekonomi, yang meliputi pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang dapat sinkron dengan kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya; (6) Aspek sosial budaya, yang meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang memadai untuk mengurangi kerawanan di bidang keamanan, serta nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing; (7) Aspek
hankam,
yang
meliputi
pembangunan
pos-pos
perbatasan,
pembentukan sabuk pengamanan (security belt), dan pembentukan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai. Beberapa kendala dan hambatan yang dihadapi dalam upaya pembangunan daerah perbatasan antar negara ini antara lain: (1) Sumber daya manusia, yang ditunjukkan antara lain oleh rendahnya jumlah dan kualitas kesejahteraan penduduk dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan dengan luas wilayah dan garis perbatasan yang panjang, yang berimplikasi pada kegiatan pelintas batas yang ilegal; selain itu banyaknya TKI yang bekerja di negara tetangga sebagai pekerja kasar seperti buruh perkebunan, bangunan, dan pembantu rumah tangga, juga turut menurunkan harkat bangsa; (2) Sumber daya buatan (prasarana), yang tingkat pelayanannya masih sangat terbatas, seperti sistem perhubungan dan telekomunikasi, pelayanan listrik dan air bersih, serta fasilitas lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan pasar, sehingga penduduk daerah perbatasan masih cenderung untuk berorientasi kepada negara tetangga yang tingkat aksesibilitas fisik dan informasinya relatif lebih tinggi;
29
(3) Penataan ruang dan pemanfaatan sumber daya alam, yang ditunjukkan antara lain oleh terjadinya konflik ataupun tumpang tindih pemanfaatan ruang (lahan) baik antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung, maupun antar kawasan budidaya seperti antara kegiatan pertambangan dan kehutanan yang berkaitan dengan ekonomi daerah dan masyarakat. (4) Penegasan status daerah perbatasan, yang berupa penetapan wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, persetujuan lintas batas kedua negara (terutama berkaitan dengan larangan untuk mengelola dan mengembangkan kawasan penyangga sepanjang garis perbatasan); (5) Keterbatasan sumber pendanaan, dimana pembangunan daerah perbatasan kurang diberikan prioritas dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga semakin memperlebar tingkat kesenjangan antardaerah; (6) Terbatasnya kelembagaan dan aparat yang ditugaskan di daerah perbatasan, dengan fasilitas yang kurang mencukupi, sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat setempat relatif kurang memadai. DKP, 2004 dalam Apdilah (2006) mengatakan bahwa beberapa permasalahan yang dihadapi wilayah-wilayah perbatasan adalah (1) belum adanya kepastian garis batas laut dengan negara tetangga, (2) kondisi masyarakat di wilayah terluar masih terisolir dan termarjinalkan sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai kepentingan, (3) maraknya pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan seperti penyelundupan, pencurian ikan, traficking, perompakan, (4) terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengelolaan, khususnya terhadap pulau-pulau yang terpencil sulit dijangkau dan tidak berpenghuni, (5) kondisi pulau di perbatasan umumnya merupakan pulau-pulau kecil yang sangat rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun manusia, (6) belum sinkronnya pengelolaan perbatasan baik yang mencakup program, maupun kejelasan kewenangan, (7) belum adanya peraturan perundang-undangan yang jelas dan menyeluruh dalam pengelolaan pulau-pulau terluar, (8) kurangnya sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau-pulau terluar.
30
Yogaswara (2003) mengkatagorikan permasalahan wilayah perbatasan kedalam 6 kelompok yaitu (1) masalah-masalah yang timbal oleh kondisi geografis dan demografis dimana wilayah perbatasan ini relatif terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang relatif rendah.
Disamping itu tingkat kepadatan
penduduk yang relatif rendah. Kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan yang multidimensi yang dialami oleh sebagian besar masyarakat perbatasan, (2) Masalah-masalah konflik pertanahan yang menyangkut dua dimensi yaitu konflik pertanahan internal masyarakat (intra suku, antar suku, masyarakat adat versus masyarakat pendatang, masyarakat adat versus perusahaan, masyarakat adat versus pemerintah) dan konflik pertanahan karena persoalan garis batas dengan negara lain, (3) masalah-masalah ekonomi dimana aktifitas ekonomi di wilayah ini dapat mencakup aktifitas ekonomi subsisten dan ekonomi komersial, (4) masalah dan kebijakan politik yang dapat berupa sengketa klaim wilayah perbatasan, aktifitas militer, dijadikan basis gerakan separatas, daerah pengungsian, pas lintas batas, repatriasi pelintas batas, perdagangan lintas batas, pencemaran lingkungan dan patok-patok yang digeserkan (5) masalah dan kebijakan aspek budaza dimana di wilayah perbatasan ini sering terjadi kasus ―pembelahan kultural (cultural cleavage) yaitu suatu komunitas yang diasumsikan berasal dari akar budaya yang sama, tetapi oleh kebijakan politik antar negara akhirnya dibagi menjadi dua entitas dan (6) masalah-masalah daerah transit dimana terjadi aliran tenaga kerja ke negara-negara tetangga. Pada
sebagian
besar
wilayah
perbatasan
terdapat
kesenjangan
pembangunan antara wilayah Indonesia dengan negara tetangga dimana pembangunan ekonomi negara tetangga relatif lebih maju. Hamid dan Mukti (2001) memberikan contoh perbandingan antara Indonesia dan Malaysia di wilayah perbatasan Kalimantan dimana kesenjangan tersebut terlihat jelas baik dari aspek infrastruktur, sosial dan ekonomi. Pada aspek inrfastruktur misalnya, kawasan perbatasan Malaysia memiliki aksesibilitas yang baik dimana jalan-jalan sudah di hotmix sampai ke desa-desa perbatasan, fasilitas sosial dan umum untuk tingkat desa dan kecamatan di Malaysia dengan jumlah penduduk yang relatif sama lebih baik sehingga investasi inrastruktur per kapitanya memang lebih baik. Fasilitas komunikasi dan informasi di Malaysia sangat baik, bahkan telah sampai
31
ke
desa-desa.
Kesenjangan-kesenjangan
tersebut
dikhawatirkan
akan
menimbulkan masalah sosial terutama akan melunturkan rasa berbangsa dan bernegara. 2.3 Sistem dan Permodelan Permasalahan yang terjadi di dunia nyata kadang bersifat kompleks. Penyebab timbulnya permasalahan tersebut bisa lebih dari satu faktor yang saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, pemecahan yang dilakukan tentu harus pula mempertimbangan berbagai faktor penyebab dan keterkaitan-keterkaitannya. Pendekatan yang dilakukan dalam pemecahan masalah tersebut bersifat menyeluruh (holistik) yang kemudian dikenal dengan istilah pendekatan sistem. Definisi sistem dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya Hartisari (2007) yang mengatakan bahwa sistem merupakan gugus atau kumpulan dari komponen yang saling berinteraksi dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Hal yang relatif sama dikemukakan oleh Gasperz (1992) yang mengatakan bahwa sistem merupakan sekumpulan elemenelemen yang saling berhubungan melalui berbagai bentuk interaksi dan bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan yang berguna. Immegart (1972) dalam Tunas (2007) mengatakan bahwa sistem dapat dipahami sebagai ‖berbagai bentuk dari struktur atau operasi, konsep atau fungsi yang terdiri dari bagian-bagian yang bersatu dan terintegrasi. Sistem mempunyai tujuan dan merupakan totalitas yang terdiri dari bagian-bagian yang terstruktur dan saling berkaitan dalam wadah transformasi serta berintegrasi secara teratur dan dipengaruhi oleh aspek-aspek lingkungan. Berbagai definisi tersebut menjelaskan beberapa kesamaan yang terkandung dalam definisi sistem yaitu bahwa dalam sistem ada elemen-elemen pembentuknya, ada interaksi, ada keterkaitan dan adanya tujuan bersama yang hendak dicapai. Orientasi dari studi sistem pada hakekatnya adalah kebutuhan untuk menciptakan suatu sistem yang (i) sederhana, (ii) luwes (fleksibel) yaitu bahwa sistem harus mudah beradaptasi dengan perubahan kebutuhan dan lingkungannya (iii) dapat diandalkan (reliability) yaitu suatu sistem harus konsisten dan dapat diandalkan dalam operasi dan outputnya (iv) ekonomis (v) dapat diterima oleh para penggunanya (Tunas, 2007).
32
Sebagaimana dijelaskan bahwa sistem merupakan sesuatu kondisi yang kompleks. Kompleksitas tersebut menyulitkan para peneliti atau pelaku studi sistem untuk menggambarkan keadaan atarjadi dalam sistem. Oleh karena itu, para peneliti membutuhkan prototipe tertentu untuk menggambarkan suatu realita yang ada.
Inilah yang kemudian dinamakan model.
Pada dasarnya model
merupakan abstraksi atau representasi dari statu keadaan di dunia nyata yang memungkinkan permasalahan-permasalahan di dunia nyata dapat lebih mudah untuk dicarikan penyelesaiannya. Secara lebih luas, Tunas (2007) mengatakan bahwa model adalah sesuatu yang mengungkap dan menjelaskan tentang hubungan dari berbagai komponen, aksi dan reaksi serta sebab akibat. Fauzi dan Anna (2005) mengibaratkan bahwa model itu merupakan jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berfikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah.
Oleh karenanya model dibangun melalui suatu
proses berfikir sehingga menghasilkan suatu pengertian dan pemahaman mengenai dunia nyata. Namun demikian pemahaman tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan realitas dunia, artinya bahwa terdapat irisan antara dunia nyata dengan dunia model). Disamping itu, model dirancang bukan untuk memecahkan masalah sekali untuk selamanya atau memecahkan semua masalah.
Hal ini
disebabkan karena sesuatu dapat merubah, mengalir dan tidak tetap.
Tujuan
penyusunan model dijelaskan oleh Hartisari (2007) yaitu (i) pemahaman proses yang terjadi dalam sistem (ii) melakukan prediksi, terutama model-model yang bersifat kuantitatif dan (iii) menunjang pengambilan keputusan. Model-model yang dibangun dapat diilustrasikan dalam berbagai bentuk seperti diagram, gambar, tabel dan matriks, hingga bentuk bentuk hubungan matematis. Pemilihan bentuk model sangat terkait dengan tujuan pembangunan model kemudahan dan keefektifan dalam dalam memecahkan permasalahan yang ada. Fauzi dan Anna (2005) menjelaskan bahwa model dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa katagori yaitu berdasarkan skala waktu yaitu model statik (yang tidak mempertimbangkan waktu) dan model dinamik (yang memperhatikan aspek waktu) ; berdasarkan penggunaan data yaitu model yang bersifat analitik (dibangun tanpa mengandalkan data riil) dan model empirik (dibangun berdasarkan pengamatan empiris data riil) ; berdasarkan ketidakpastian yaitu
33
model deterministik (mempertimbangkan aspek ketidakpastian yang lebih menggambarkan realitas dunia nyata dan model stokastik (jika ketidakpastian dimasukkan ke dalam model). Kajian mengenai model pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap telah banyak dilakukan, diantaranya adalah Sari, (2010), Sultan (2004), Kaleka (2006), Sutisna (2007). Namun demikian masih sangat jarang kajiankajian model pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan. Satu hal yang menarik dan membedakannya dengan model pengelolaan perikanan tangkap secara umum, pengelolaan di wilayah perbatasan sangat terkait dengan dinamika interaksi dengan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang dilakukan oleh negara yang berbatasan.