2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Perikanan Tangkap Perikanan
tangkap
adalah
kegiatan
ekonomi
yang
mencakup
penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di air laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen (elemen) atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya disebut dengan agribisnis perikanan. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Menurut UU Perikanan No 31 tahun 2004 bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Dalam kaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap perlu adanya pengelolaan secara arif, bijaksana dan terintegrasi karena kompleksitasnya permasalahan. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen atas elemen atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya disebut dengan bisnis perikanan. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen atas elemen atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lainnya yang disebut dengan bisnis perikanan. Menurut Kesteven (1973) yang diacu oleh Monintja (2000) bahwa komponen-komponen perikanan tangkap terdiri dari (Gambar 2): (1) Sarana produksi Sarana
produksi
merupakan
salah
satu
fasilitas
yang
menunjang
berlangsungnya kegiatan perikanan. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan, instalasi, air tawar, instalasi listrik, dan pendidikan pelatihan tenaga kerja (Kesteven 1973).
10 (2) Usaha penangkapan Usaha penangkapan terdiri dari unit penangkapan, aspek legal dan unit sumber daya. Unit penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Aspek legal menyangkut sistem informasi dan perijinan. Unit sumberdaya terdiri dari spesies, habitat seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun serta musim. (3) Prasarana pelabuhan Pembangunan pelabuhan perikanan di Indonesia merupakan tanggung jawab
pemerintah.
Pelabuhan
perikanan
berfungsi
sebagai
sarana
penunjang untuk meningkatkan produksi. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. (4) Unit pengolahan Unit pengolahan termasuk didalamnya pengawetan yang bertujuan untuk mempertahankan mutu dengan cara penanganan yang tepat agar ikan tetap sempurna segar atau dalam wujud olahan, secara ekonomi nilai tambah produk juga meningkat. Pengolahan tersebut dapat dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern (Moeljanto 1996). (5) Unit pemasaran Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan tindakan yang berkaitan dengan pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. (6) Unit pembinaan Pembinaan merupakan suatu proses untuk peningkatan produksi dan produktivitas perikanan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan sektor perikanan. Pembinaan tersebut terdiri dari pembinaan usaha perikanan dan pembinaan mutu hasil perikanan. Pembinaan usaha perikanan bertujuan untuk pengembangan usaha dibidang perikanan yang merupakan bagian dari dunia usaha pada umumnya. Pembinaan usaha
11 perikanan terdiri dari pembinaan kelembagaan usaha perikanan, perkreditan dan permodalan dan pembinaan perijinan usaha perikanan.
Sistem Informasi
Gambar 2 Sistem agribisnis perikanan tangkap (Kesteven 1973 dimodifikasi oleh Monintja 2001). Monintja (2001) mengemukakan ada beberapa faktor atau alasan mengapa perikanan tangkap perlu dikelola secara benar dan tepat, sebagai berikut : (1) Perikanan
tangkap
diperbaharui
berbasis
(renewable),
pada
namun
sumberdaya dapat
hayati
mengalami
yang
dapat
depresi
atau
kepunahan. Sumberdaya ikan memiliki kelimpahan yang terbatas, sesuai daya dukung (carrying capacity) habitatnya; (2) Sumberdaya ikan dikenal sebagai sumberdaya milik bersama (common property) yang rawan terhadap tangkap lebih (over fishing); (3)
Pemanfaatan sumberdaya ikan dapat merupakan sumber konflik (di daerah penangkapan maupun dalam pemasaran hasil tangkapan);
12 (4) Usaha penangkapan haruslah menguntungkan dan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi para nelayan dan pengusahaannya, jumlah nelayan yang melebihi kapasitas akan menimbulkan kemiskinan para nelayan; (5) Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar nelayan menimbulkan kesenjangan dan konflik; dan (6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan subsektor lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut. FAO
(1995)
diacu
dalam
Monintja
(2001),
menyatakan
bahwa
pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap haruslah menunjukkan karakteristik penangkapan yang berkelanjutan, yaitu : (1) Proses penangkapan yang ramah lingkungan meliputi : 1) selektivitas tinggi; 2) hasil tangkapan yang terbuang minim; 3) tidak membahayakan keanekaragaman hayati; 4) tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi; 5) tidak
membahayakan
habitat;
6)
tidak
membahayakan
kelestarian
sumberdaya ikan target; 7) tidak membahayakan keselamatan nelayan; dan 8) memenuhi ketentuan yang berlaku; (2) Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai tetap) (3) Pasar tetap atau terjamin (4) Usaha penangkapan masih menguntungkan (5) Tidak menimbulkan friksi sosial dan (6) Memenuhi persyaratan legal. Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan per nelayan memadai (Monintja 1987). Selanjutnya menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan
yang memiliki
produktivitas
masih
nelayan
per
tahun
yang
tinggi,
namun
dapat
dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Kaitan pengembangan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh Soemokaryo (2001) bahwa pengembangan sub sektor perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia yang sangat
13 memungkinkan. Hal tersebut didasarkan pada : (1) potensi sumberdaya perikanan tersedia cukup besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan; (2) sebagai bahan baku protein hewani dan bahan baku industri domestik belum sepenuhnya dimanfaatkan; (3) beberapa komoditas perikanan mempunyai daya keunggulan komparatif di pasar Internasional; dan (4) kemampuannya menyerap tenaga kerja, meningkatkan dan meratakan pendapatan masyarakat. Menurut Monintja (2001) sistem agribisnis perikanan tangkap meliputi : (1) Sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, (2) Sub sistem prasarana, (3) Sub sistem usaha penangkapan, (4) Sub sistem pengolahan/agroindustri, (5) Sub sistem pembinaan, dan (6) Sub sistem pemasaran. Adapun tantangan, permasalahan dan solusi pengembangan perikanan tangkap adalah sebagai berikut (Monintja 2001) : (1) Tantangan 1) Permintaan suplai ikan yang semakin meningkat, 2) Penyediaan lapangan kerja, 3) Peningkatan devisa, dan 4) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). (2) Permasalahan 1) Stock sumber daya ikan yang tetap atau menurun, 2) Jumlah nelayan yang banyak, 3) Keterbatasan modal, 4) Kelangkaan informasi, 5) Konflik antar nelayan, dan 6) Konflik nelayan dengan sektor lain (3) Solusi 1) Partisipasi
masyarakat
nelayan
dalam
perencanaan
pengembangan pengelolaan perikanan / pesisir, 2) Profesionalisasi usaha penangkapan ikan, 3) Penyediaan sistem dan substansi informasi perikanan yang tepat waktu dan mudah diakses, dan 4) Penyediaan sistem permodalan khusus perikanan tangkap.
14 Hubungan komponen-komponen dalam suatu kompleks penangkapan ikan yang saling berkaitan antara satu elemen dengan elemen lainnya antara lain (Monintja 2001) : (1) Analisis aspek pemasaran meliputi : 1) Demand masa kini dan lampau (trend volume penjualan, harga dan pembeli), 2) Permintaan pertumbuhan
dan
harga
dimasa
pendapatan,
datang
elastisitas
(pertumbuhan
pendapatan
dan
penduduk, komonitas
substitusi), 3) Persaingan pasar (lokal, nasional dan internasional), dan 4) Rencana kebijakan pemasaran. (2) Analisis sumberdaya ikan (SDI) meliputi : 1) Deskripsi daerah penangkapan ikan, 2) Estimasi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY), 3) Hasil tangkapan spesies terkait selama 5 tahun sampai 10 tahun terakhir, 4) Kecenderungan catch per unit effort, 5) Distribusi (sebaran) ikan menurut daerah penangkapan dan musim, 6) Mobilitas ikan (ruaya dan migrasi), 7) Karakteristik komersial dari ikan (ukuran), 8) Proyeksi hasil tangkapan tahunan dari proyek, dan 9) Peluang pengembangan produksi. (3) Analisis aspek teknis menyangkut operasi penangkapan ikan meliputi : 1) Kapal penangkapan ikan, 2) Alat penangkapan ikan, 3) Tenaga kerja / nelayan, 4) Bahan untuk operasi penangkapan, 5) Kondisi lingkungan fisik daerah penangkapan, 6) Pola operasi (lama 1 trip, hari navigasi, hari operasi, hari darat/pelabuhan, hari dok, jumlah trip per tahun, variasi daerah penangkapan dan variasi musim), 7) Hasil tangkapan (komponen spesies, ukuran, kualitas, HT per hari, HT per trip, HT per tahun), 8) Penanganan hasil tangkapan di kapal, 9) Pengangkutan hasil tangkapan ke pelabuhan, dan
15 10) Fasilitas pendaratan ikan. (4) Analisis finansial meliputi : 1) Biaya investasi, biaya operasional, aliran uang tunai, 2) Pembiayaan proyek, 3) Kriteria investasi (NPV, IRR, B/C Ratio), dan 4) Analisis sensitivitas. (5) Analisis dampak ekonomi meliputi : 1) Analisis ekonomis, 2) Suplai protein, 3) Penyerapan tenaga kerja, 4) Peningkatan pendapatan nelayan, 5) Devisa, 6) Pembangunan daerah, 7) Pendapatan negara / daerah (PAD), dan 8) Manfaat lainnya. (6) Analisis aspek lingkungan dan sosial meliputi : 1) Pengaruh terhadap sumberdaya ikan, 2) Tingkat selektivitas alat penangkapan, 3) Kemungkinan terjadinya friksi sosial, 4) Pengaruh volume produksi terhadap pasar lokal, 5) Pengaruh kegiatan proyek terhadap lingkungan pemukiman, 6) Jenis limbah, volume dan perkiraan akibatnya, dan 7) Pencegahan dan treatment yang direncanakan. (7) Aspek organisasi dan manajemen meliputi : 1) Aspek legal perusahaan, 2) Aspek legal proyek, 3) Struktur organisasi yang ada, 4) Rencana struktur organisasi proyek, 5) Kaitan dengan perusahaan, instansi dan lembaga lain, 6) Struktur manajemen per komponen, 7) Uraian tugas setiap personel, 8) Uraian tanggung jawab dan kewenangan, 9) Pendapatan dan insentif karyawan / personel armada penangkapan ikan,
16 10) Fasilitas dan kemudahan untuk para karyawan, 11) Kualifikasi dan pengalaman personel yang ada, dan 12) Kualifikasi dan sumber personel yang akan direkrut. (8) Analisis kepekaan 1) Penurunan produksi (5–25%) tergantung pada pola musim ikan, kondisi fisik daerah penangkapan dan CPUE), dan 2) Penurunan harga produk (trend harga runtun tahun). Pilihan terhadap alternatif manajemen sangat bergantung pada kekhasan, situasi dan kondisi perikanan yang dikelola serta tujuan pengelolaan atau pembangunan perikanan. Meski demikian, setiap pilihan sebaiknya berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut (Nikijuluw 2002) : 1) Diterima nelayan, 2) Diimplementasi secara gradual, 3) Fleksibilitas, 4) Implementasinya didorong efisiensi dan inovasi, 5) Pengetahun yang sempurna tentang peraturan serta biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti peraturan tersebut, dan 6) Ada implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan.
2.2 Sumberdaya Ikan 2.2.1 Sifat sumberdaya ikan Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih atau dapat memperbaharui diri. Disamping sifat dapat memperbaharui diri, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain : (1) Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employement).
17 (2) Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights). Sifat-sifat sumberdaya seperti di atas menjadikan sumberdaya ikan bersifat
unik,
dan
setiap
orang
seakan-akan
mempunyai
hak
untuk
memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara. Dengan demikian, kondisi ini memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk dan mengambil manfaatnya. Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk, maka akan terjadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masingmasing orang atau perusahaan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut. Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus yang dimiliki oleh sumberdaya yang bersifat milik bersama tersebut. Ketiga sifat khusus tersebut adalah :
(1) Ekskludabilitas Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu. Upaya pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena sifat fisik sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas. Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain otoritas manajemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar. (2) Substraktabilitas Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya yang sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan
18 menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif. (3) Indivisibilitas Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara administratif pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas manajemen.
2.2.2 Pengelolaan sumberdaya ikan Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai
dari
pengumpulan
informasi,
analisis,
perencanaan,
konsultasi,
pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO 1995). Sementara Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk : (1) Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement). (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan. (3) Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut. Pengelolaan
sumberdaya
ikan
sendiri
pada
hakekatnya
mencari
kemungkinan tindakan yang tepat secara biologi disuatu sisi, dan kegiatan penangkapan ikan yang mampu memberikan keuntungan ekonomi disisi lain. Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya ikan haruslah mampu mencegah terjadinya konflik antara kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan untuk tujuan ekonomi termasuk adanya keadilan didalam distribusi manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya ikan tersebut, serta upaya konservasi sumberdaya ikan untuk kepentingan
generasi
mendatang.
Dalam
kaitan
ini,
Lawson
(1984)
mengemukakan adanya 4 (empat) strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu : (1) Mencegah terjadinya lebih tangkap (over exploitation), dengan melakukan pengendalian terhadap kegiatan penangkapan.
19 (2) Memperbaiki kualitas ikan yang akan dijual kepada konsumen, dengan jalan melakukan penanganan yang baik serta mengurangi kerusakan ikan setelah proses penangkapan. (3) Mengembangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan ini, seperti kegiatan budidaya. (4) Mengembangkan sistem pemasaran dengan berorientasi pada spesiesspesies yang dapat diterima oleh konsumen. Sementara Tai (1995) mengembangkan model sistem pengelolaan perikanan yang didasarkan pada 3 (tiga) komponen utama sebagai sub model, yaitu sub model biologi, sub model sosial dan ekonomi serta sub model manajemen. Ketiga komponen tersebut beserta parameter antaranya dapat dilihat melalui Gambar 3.
Gambar 3 Model sistem pengelolaan perikanan (Tai 1995).
20 Pada sub model biologi digambarkan dinamika populasi dalam perikanan, dan
berhubungan
erat
dengan
sub
model
ekonomi
melalui
kegiatan
penangkapan. Sementara sub model sosial-ekonomi menggambarkan adanya manfaat dan biaya didalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal ini, harga memainkan peranan penting didalam menentukan penerimaan dan keuntungan. Pada Gambar 3 juga dapat dilihat adanya hubungan antara sub model sosialekonomi dan manajemen melalui beberapa parameter seperti keuntungan sosial, konsumen surplus, pendapatan individu nelayan serta tenaga kerja yang terserap. Parameter-parameter ini dapat digunakan sebagai alat ukur untuk melihat dampak dari berbagai kebijakan pengelolaan perikanan yang ada. Disamping itu, hubungan juga digambarkan antara sub model manajemen dan biologi yang berkaitan dengan alternatif kebijakan dari upaya penangkapan. Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) disingkat dengan MSY. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Dengan kata lain, pendekatan yang dipergunakan dalam konsep ini hanya mempertimbangkan faktor biologi semata. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu tambahan individu ikan (recruitment), pertumbuhan individu ikan (growth) dan kematian ikan (mortalitas). Kematian ikan sendiri pada stok ikan yang diupayakan atau dieksploitasi, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu kematian ikan karena penangkapan (fishing mortality) dan kematian ikan secara alami (natural mortality).
21
Faktor penentu meningkatnya ukuran stok ikan
Faktor penentu meningkatnya ukuran stok ikan Fishing Mortality
Recruitmen
Growth
Exploited Stock Natural Mortality
feeding
reproduction
Gambar 4 Dinamika stok ikan yang dieksploitasi (Pauly 1984). Berdasarkan Gambar 4, dapat dijelaskan bahwa pada kondisi alami (stok ikan tidak diupayakan), pertumbuhan stok ikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ikan dan rekruitmen, serta dikurangi oleh mortalitas alami. Dalam hal ini, pertumbuhan dan rekruitmen stok ikan akan cenderung ke titik nol, dimana besarnya pertumbuhan dan rekruitmen stok ikan akan sama dengan jumlah ikan yang mati secara alami. Oleh karena itu, stok ikan disuatu perairan akan terkendali secara alami melalui interaksi antara faktor lingkungan dan karakteristik pertumbuhan ikan itu sendiri. Dengan kata lain, stok ikan secara alami akan cenderung stabil pada kondisi lingkungan tertentu, dengan ukuran stok ikan tertentu. Kecenderungan ini dikenal dengan gejala density-dependent process (Muhammad 2002). Perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh terhadap besarnya daya dukung (carrying capacity) perairan bagi sumber daya ikan. Dalam hal ini, perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh pada faktor biologi utama seperti tambahan individu ikan, pertumbuhan dan mortalitas. Secara biologis, pertumbuhan populasi ikan pada periode tertentu di suatu daerah terbatas, adalah merupakan fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Ini artinya perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode. Analisis ini didasarkan pada konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883, dan kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan yang bernama Schaefer pada tahun 1954. Penerapan konsep produksi kuadratik untuk perikanan ini menggambarkan hubungan linier antara produksi (yield) dengan
22 upaya (effort) yang kurvanya berbentuk simetris. Hubungan ini kemudian dikenal dengan Model Pertumbuhan Schaefer (Lawson 1984) atau disebut juga dengan kurva produksi lestari (Fauzi 2004), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Yield
MSY
Produksi lestari
hmsy
0
Emsy
Emax Upaya (effort)
Gambar 5 Model pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari). Gambar 5 menunjukkan bahwa pada kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan (tidak ada upaya), maka produksi ikan juga sama dengan nol. Akan tetapi apabila upaya ditingkatkan sampai mencapai titik E msy , maka akan diperoleh produksi yang maksimum atau lebih dikenal dengan sebutan MSY. Mengingat sifat dari kurva produksi lestari yang berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang dilakukan secara terus-menerus setelah melampaui titik MSY, tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Dengan kata lain, produksi akan turun kembali dan mencapai nol pada titik upaya maksimum (E max ). Pendekatan ini pula yang dipergunakan sebagai kriteria oleh Bailey et al., (1987) dan FAO (1995), didalam menentukan status pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu perairan dengan mengelompokkannya menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu : (1) Unexploited, Stok sumberdaya ikan berada pada posisi belum tereksploitasi, sehingga aktivitas penangkapan ikan sangat dianjurkan di perairan ini guna mendapatkan keuntungan dari produksi.
23 (2) Lightly exploited, Stok sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit (kurang dari 25 persen MSY). Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort-CPUE) masih memungkinkan meningkat. (3) Moderately exploited, Stok sumberdaya ikan sudah terekploitasi setengah dari MSY. Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan masih, dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, akan tetapi hasil tangkapan per unit upaya mungkin mulai menurun. (4) Fully exploited, Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Disini peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan, walaupun hasil tangkapan masih dapat meningkat. Peningkatan upaya penangkapan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, dan hasil tangkapan per unit upaya pasti menurun. (5) Over exploited, Stok sumberdaya ikan sudah menurun, karena terekploitasi melebihi nilai MSY. Pada kondisi ini, upaya penangkapan harus diturunkan agar kelestarian sumberdaya ikan tidak terganggu. (6) Depleted, Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan secara drastis, dan upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan. Hal ini berkaitan dengan sumberdaya ikan yang sudah terancam. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (sosial oriented). Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan MSY telah mendapat
24 tantangan cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan pendapatan dan bukan semata-mata untuk menghasilkan ikan (Widodo dan Nurhakim 2002). Dengan kata lain, pencapaian yield yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah pertambahan yang semakin berkurang (diminishing return) yang menunjukkan bahwa kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan effort (Lawson, 1984). Lebih lanjut Clark (1985) mengemukakan adanya beberapa kelemahan dalam pendekatan MSY antara lain : (1) Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok ikan yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion). (2) Didasarkan pada konsep keseimbangan semata, sehingga pendekatan ini tidak berlaku pada kondisi ketidakseimbangan. (3) Tidak memperhitungkan nilai ekonomis, apabila stok ikan tidak dipanen atau tidak diekploitasi. (4) Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya, dan (5) Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri jenis yang beragam (multi-species). Dengan memperhatikan adanya kelemahan-kelemahan tersebut, maka mulailah dikembangkan pendekatan ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan. Pendekatan ini berangkat dari pemikiran Gordon yang menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open acces, artinya siapa saja dapat berpartisipasi untuk memanfaatkannya tanpa perlu memilikinya. Kondisi ini cenderung menjadi tidak terkontrol, dan akan mengarah pada perikanan lebih tangkap baik secara biologi maupun ekonomi. Dalam pendekatannya, Gordon memanfaatkan kurva produksi lestari, dimana kurva pertumbuhan berada dalam kondisi keseimbangan jangka panjang. Dari sinilah selanjutnya dikenal teori Gordon-Schaefer, yang banyak dipergunakan oleh ahli perikanan didalam melakukan analisis pengelolaan sumberdaya ikan (Fauzi 2004). Pemikiran dengan memasukkan unsur ekonomi di dalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan sebutan MEY. Dalam
25 pendekatan ini dipergunakan beberapa asumsi (Andenson 1977; Lawson 1984; Fauzi 2002), yaitu : (1) Harga per satuan ikan (output) adalah konstan. (2) Biaya per satuan upaya dianggap konstan. (3) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species) (4) Struktur pasar bersifat kompetitif. (5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya). Selanjutnya secara lebih detail, pendekatan konsep ini dapat dilihat melalui Gambar 6.
Rp
Biaya, Penerimaan
MSY MEY
Total cost
π max
Total Revenue
0
Gambar 6
E3
E1
E2
Upaya (effort)
Model ekonomi statis pada perikanan (Lawson 1984; Cunningham SMRD and Whitmarsh D. 1985).
Dari Gambar 6, dapat dilihat bahwa kurva penerimaan total (total revenue) adalah sama dengan kurva produksi lestari, sebab harga ikan diasumsikan konstan dan penerimaan total akan ditentukan langsung oleh hasil tangkapan ikan. Kurva biaya total (total cost) berbentuk garis lurus, yang mengindikasikan bahwa besarnya biaya adalah meningkat secara proporsional dengan meningkatnya effort (Anderson 1977; Lawson 1984). Dengan demikian, keuntungan maksimum dari pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya tercapai sebelum tingkat produksi MSY yaitu pada tingkat penggunaan effort E 3 . Titik E 2 , dikenal dengan tingkat upaya penangkapan pada saat terjadinya
26 keseimbangan open-access (Open-Access Equilibrium). Dengan kata lain pada setiap effort yang lebih rendah dari E 2 , maka penerimaan total (total revenue) akan melebihi biaya total (total cost), sehingga pelaku penangkapan (nelayan) akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan mengakibatkan bertambahnya pelaku masuk ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat effort yang lebih tinggi dari E 2 , maka biaya total akan melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar dari perikanan. Hasil kompromi kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham et al. (1985). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian menjadi dasar didalam menetapkan total allowable catch (TAC). Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY, diantaranya adalah : (1) Berkurangnya resiko terjadinya depresi dari stok ikan. (2) Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar. (3) Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu. Dalam kegiatan perikanan yang bersifat open access dimana didalamnya terjadi persaingan sempurna serta industri perikanan berlangsung dalam jangka panjang (long run), maka keseimbangan open access menggambarkan bahwa seluruh usaha penangkapan ingin memaksimumkan keuntungannya dengan beroperasi pada tingkat dimana biaya marjinal (marginal cost) adalah sama dengan pendapatan rata-rata (average revenue). Ini juga berarti bahwa pada kondisi ini akan lebih banyak upaya penangkapan yang ingin masuk untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada. Disisi lain, tingkat produksi harus dipertahankan pada titik maximum sustainable yield, agar sumberdaya ikan yang ada terpelihara. Sementara titik maximum economic yield adalah perbedaan terbesar antara biaya total (total cost) dan pendapatan total (total revenue) yang diinginkan oleh masing-masingunit penangkapan. Dengan asumsi bahwa pemerintah sepenuhnya dapat mengendalikan kondisi lebih tangkap dan jumlah nelayan (upaya), maka menurut Lawson (1984) pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka
27 pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan dimaksud berkaitan dengan metoda pendekatan sebagai berikut : (1) Pengelolaan langsung Metoda ini pada hakekatnya adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan, dan bentuknya adalah berupa kebijakan-kebijakan sebagai berikut : 1) Pembatasan alat tangkap (restriction on gears) Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien. 2) Penutupan musim (closed season) Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yang umumnya dilakukan di Negara dimana sistem penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi spesies. Beddington and Ratting (1983) yang dikutip Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (i) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak. (ii) Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu, dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa memperbaiki populasinya. 3) Penutupan area (closed area) Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanen, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat
28 beberapa Negara menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu. 4) Kuota penangkapan Kebijakan ini pada dasarnya adalah pemberian hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu di perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada. Berdasarkan ketentuan ini, instansi pemerintah yang berwenang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan mengeluarkan hak kepada perusahaan atau industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (kuota). Hak kuota ini dapat berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (TAC), yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut pada hakekatnya juga dapat dialihkan atau ditransfer kepada nelayan lain. 5) Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umum yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka member kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya
serta kemungkinan
berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap. Penerapan kebijakan ini secara tunggal (tidak diikuti oleh kebijakan lain), akan mengakibatkan tidak terkontrolnya jumlah hasil tangkapan, karena jumlah kapal yang melakukan penangkapan tidak terkontrol. (2) Pengelolaan tidak langsung Disamping metode langsung sebagaimana telah dikemukakan diatas, pemerintah didalam mengelola sumberdaya perikanan dapat pula mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat tidak langsung. Kebijakan ini pada umumnya berkaitan erat dengan biaya dan harga, diantaranya adalah sebagai berikut : (i) Penetapan pajak dan subsidi
29 Penerapan pajak maupun subsidi pada hakekatnya adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah, dan akan berpengaruh pada struktur biaya produksi. Pencabutan atau penurunan pajak serta pemberian subsidi akan memberikan pengaruh pada semakin rendahnya biaya produksi, dan ini tentunya diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan pada tingkat produksi yang sama. Sebaliknya, pengenaan pajak serta pencabutan subsidi ini akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi, dan tentunya kondisi ini tidak menguntungkan bagi kesejahteraan nelayan, termasuk kelestarian sumberdaya perikanan. (ii) Strategi harga dan pemasaran Kebijakan ini adalah bentuk lain dari upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah
untuk
meningkatkan kesejahteraan
para
nelayan.
Sistem
pemasaran serta harga yang baik akan memberikan dampak peningkatan pada kesejahteraan nelayan, dan pada akhirnya diharapkan akan berdampak pula pada semakin ringannya tekanan terhadap sumberdaya ikan yang ada. Hal ini disebabkan oleh karena dengan strategi harga dan pemasaran yang tepat, maka nelayan akan memperoleh harga ikan yang optimal dan pada akhirnya akan memberikan pendapatan yang optimal pula. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, pemerintah mempunyai peranan sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun Undang-Undang No. 9 tahun 1985 tentang perikanan yang telah diamandemen melalui Undang-Undang No. 31 tahun 2004. Intinya adalah memberikan mandat kepada pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam, khususnya sumberdaya ikan untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan ini, menurut Nikijuluw (2002) diwujudkan dalam 3 (tiga) fungsi yaitu : (1) Fungsi alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk mengimbangi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. (2) Fungsi distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.
30 (3) Fungsi stabilisasi, diwujudkan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat. Di Indonesia pada dasarnya pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan masalah manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja atau lebih dikenal dengan sebutan nelayan. Kaiser
dan
Forsberg
(2001)
memberikan
beberapa
hal
yang
harus
dipertimbangkan didalam pengelolaan perikanan yaitu : (1) Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak. (2) Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua stakeholder. (3) Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. (4) Kebijakan harus mempertimbangkan aspek sosial, politik dan ekonomi. Cara pandang pengelolaan sumberdaya perikanan seperti ini pada hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat perikanan Indonesia. Hanya saja pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada pemerintah pusat (Government Based Management), walaupun sejak lahirnya UndangUndang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diperbaharui melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagian kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan telah diserahkan ke pemerintah daerah. Dalam pengelolaan seperti ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan. Sedangkan kelompok masyarakat pengguna hanya menerima informasi tentang produkproduk kebijakan dari pemerintah. Menurut Satria et al. (2002), pengelolaan perikanan seperti ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah : (1) Aturan-aturan
yang
dibuat
menjadi
kurang
terinternalisasi
didalam
masyarakat, sehingga menjadi sulit untuk ditegakkan. (2) Biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan adalah sangat besar, sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
31 Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikan/tahun atau sekitar 63,49% dari potensi lestari (Ditjen Perikanan Tangkap 2004). Ini artinya, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional melalui kegiatan usaha penangkapan ikan. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa wilayah pengelolaan perikanan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing), seperti halnya di perairan Selat Malaka dan perairan Laut Jawa. Di kedua perairan tersebut, terdapat beberapa kelompok ikan (ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil di Selat Malaka serta ikan demersal di Laut Jawa) yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya. Sementara di 7 (tujuh) zona penangkapan lainnya, sekalipun tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya secara keseluruhan masih berada dibawah potensi lestari, akan tetapi untuk beberapa kelompok ikan sudah berada pada posisi over fishing. Sebagai contoh, udang dan lobster di perairan Laut Cina Selatan, ikan demersal; udang dan cumi-cumi di perairan Selat Makasar dan Laut Flores. Oleh karena itu, pada beberapa perairan yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak collapse. Informasi yang berkaitan dengan potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia, telah dipublikasikan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut pada tahun 1998. Dalam publikasi tersebut, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 9 (Sembilan) zona atau wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Selat Malaka; Laut Cina Selatan; Laut Jawa; Selat Makassar dan Laut Flores; Laut Banda; Laut Seram dan Teluk Tomini; Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; Laut Arafura serta Samudera Hindia. Saat ini WPP RI telah mengalami perubahan menjadi 11 WPP meliputi WPP
571 yaitu Selat Malaka danLaut Andaman, WPP 572 yaitu Samudera
Hindia Sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda, WPP 573 yaitu Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa hingga Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat, WPP 711 yaitu Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selayan, WPP 712 yaitu Laut Jawa, WPP 713 yaitu Selat Makassar, Teluk
32 Bone, Laut Flores dan Laut Bali, WPP 714 yaitu Laut Banda, WPP 715 yaitu Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor , WPP 716 yaitu Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram, WPP 717 yaitu Laut Sulawesi dan Laut Halmahera dan WPP 718 yaitu Samudera Pasifik (www.brkp.dkp.go.id).
2.3 Upaya Penangkapan Upaya penangkapan ikan dalam kajian-kajian stok sumberdaya ikan sering diasumsikan mempunyai hubungan yang proporsional dengan mortalitas penangkapan ikan. Asumsi ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan jeli upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linier dengan laju tangkapan (Spare and Venema 1999). Selanjutnya dinyatakan bahwa pengukuran upaya penangkapan ikan di daerah tropis lebih rumit dibandingkan di daerah
temperate.
Banyaknya
jenis
dan
ukuran
alat
tangkap
yang
mengusahakan suatu jenis ikan (multigear) menyebabkan pembakuan suatu alat tangkap lebih rumit dan kompleks. Oleh karena perikanan sumberdaya semua orang bebas-masuk, dimana pengguna boleh masuk secara tak terbatas untuk bersaing yang bisa mengantarkan pada keadaan overfishing atau overeksploitasi dan penggunaan sumberdaya yang tidak efisien (Subade and Abdullah 1993). Oleh karena itu nelayan tidak mampu memaksimumkan keuntungannya sesuai dengan usaha penangkapan ikan yang dilakukannya (Panayotou 1982; Anderson 1977). Menurut Anderson (1977), hal ini disebabkan karena nelayan dalam perikanan yang bersifat akses terbuka akan tetap bertahan selama biaya rataratanya sama dengan pendapatan rata-rata. Secara industri, ini berarti bahwa keseimbangan akses terbuka dicapai dimana biaya total sama dengan penerimaan total. Perilaku industri seperti ini tidak berarti bahwa nelayan secara individu tidak ada yang mengalami keuntungan. Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, tentunya ada faktor lain yang harus diperhatikan yaitu pengendalian upaya penangkapan yang merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkaitan dengan pembatasan kapasitas penangkapan atau jumlah alat tangkap ikan. Tujuannya, meningkatkan hasil ikan yang ditangkap serta meningkatkan kinerja ekonomi
33 industri perikanan melalui pengurangan upaya atau kapasitas penangkapan ikan yang berlebihan (Nikijuluw 2002). Selanjutnya Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa kapasitas upaya penangkapan adalah suatu variabel yang keberadaannya ditentukan beberapa variabel lain; seperti ukuran mesin kapal, ukuran kapal, ukuran alat penangkapan dan teknologi alat bantu untuk mendeteksi, menemukan dan mengumpulkan ikan. Oleh karena itu, membatasi kapasitas upaya penangkapan harus dilakukan secara tidak langsung melalui pembatasan variabel-variabel penentu ini. Jika hanya salah satu variabel yang dibatasi, nelayan mungkin akan menggantinya dengan variabel yang tidak dibatasi. Akibatnya, kapasitas upaya penangkapan justru bertambah. Meskipun yang ideal adalah membatasi semua variabel penentu kapasitas upaya penangkapan, namun pada kenyataannya hal tersebut sulit dilaksanakan.
2.3.1 Upaya relatif Model perhitungan upaya relatif didasarkan pada nilai hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) dari satu jenis alat tangkap. Nilai ini akan digunakan sebagai pembandingan antar alat tangkap. Agar beberapa unit alat tangkap yang berbeda saling bersesuaian maka setiap unit harus dikonversikan ke dalam CPUE yang selanjutnya dikonversikan ke dalam CPUE relatif. Metode ini tidak memerlukan perbandingan langsung dari jenis-jenis kapal yang berbeda.
2.3.2 Daya tangkap relatif Metode yang lebih langsung untuk standardisasi upaya adalah yang diusulkan oleh Robson diacu dalam Gulland (1991). Metode ini bekerja berdasarkan
konsep
daya
tangkap
relatif.
Bila
dua
kapal
melakukan
penangkapan terhadap sumberdaya yang sama dan dalam kondisi yang sama, maka daya tangkap relatif merupakan perbandingan antara CPUE kapal A dan CPUE pada kapal B.
2.4 Surplus Produksi Pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah adalah suatu parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang
34 diproduksi ini diinginkan untuk mengganti biomassa yang hilang akibat kematian, karena faktor alami atau maupun penangkapan. Produksi yang berlebih dari kebutuhan penggantian dianggap sebagai surplus yang selanjutnya dapat di panen. Apabila kuantitas biomassa yang diambil persis sama dengan surplus yang diproduksi, maka perikanan tersebut berada dalam keadaan seimbang (Aziz, 1989). Coppola dan Pascoe (1996) menyatakan bahwa, parameter persamaan surplus produksi tersusun atas beberapa konstanta biologi, lingkungan dan teknologi yang kemudian digunakan untuk menduga konstanta persamaan surplus produksi. Pendugaan parameter tersebut dilakukan melalui model pendekatan yang paling tepat ”the best fit” dari keempat model yaitu Equilibrium Schaefer, Disequilibrium Schaefer, Schnute dan Walter-Hilborn. Untuk menjaga keseimbangan biologis ikan, maka usaha penangkapan ikan adalah menangkap surplus pertumbuhan ikan bukan menangkap populasi ikan. Dengan demikian tujuan penangkapan ikan adalah memaksimumkan pendapatan jangka panjang dengan tetap mempertahankan hasil maksimum lestari (Maksimum Sustainable Yield = MSY) dari perikanan (Schaefer 1954; Schaefer 1957; O’Rourke 1971 vide Soemokaryo (2001).
2.5 Komoditas Unggulan Penetapan komoditas unggulan merupakan langkah penting dalam upaya membangun sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai struktur yang kuat dan tangguh dalam bersaing. Struktur yang kuat dapat diperoleh melalui keterkaitan dengan sektor hulu, sedangkan keunggulan kompetitif harus dikembangkan berdasarkan keunggulan kompetitif. Suatu komoditas unggul mempunyai basis hulu yang kuat dan daya saing pasar tangguh. Dengan demikian
komoditas
unggulan
ditetapkan
berdasarkan
peluang
pasar
(permintaan) dan kemampuan produksi/penawaran (Bantacut et al. 1998). Secara umum, suatu komoditas dianggap unggul jika komoditas tersebut : (1) dapat dihasilkan (diproduksi) secara terus menerus (berkesinambungan) pada tingkat produktivitas dan mutu yang baik serta (2) diminta atau diserap oleh pasar pada jumlah dan tingkat harga yang wajar. Ini terdapat pada dua sisi yang harus dipertimbangkan dalam penetapan komoditas unggulan yaitu sisi
35 permintaan dan sisi penawaran (Sailah 1998). Pendekatan untuk penetapan komoditas dan agroindustri unggulan ditunjukkan pada Gambar 7. Sisi penawaran mencerminkan kemampuan
suatu wilayah untuk
menghasilkan komoditas tersebut. Kemampuan ini meliputi kemampuan SDM, tingkat penerapan teknologi (application of technology), karakteristik biofisik wilayah (competitive commodity characteristic) dan produktivitas (yield). Sedangkan sisi permintaan menggambarkan kemampuan pasar untuk menyerap produk perikanan yang diolah dari komoditas yang ditawarkan. Kemampuan ini meliputi volume permintaan dengan tingkat mutu yang disyaratkan, perkembangan harga, sistem tata niaga dan tingkat persaingan antara pelaku pasar. Hasil kajian dari sisi penawaran dan permintaan akan dihasilkan daftar komoditas unggulan dan daftar produk perikanan unggulan. Hal ini berarti bahwa komoditas dan produk tersebut mempunyai pasar (riil dan potensial) dan dapat dihasilkan
secara
berkesinambungan
pada
tingkat
produktivitas
yang
menguntungkan. Komoditas dari sisi penawaran unggul tetapi tidak diminati oleh pasar dapat dikelompokkan sebagai komoditas potensial. Demikian juga untuk komoditas dan produk yang diminati oleh pasar tetapi tidak dapat dihasilkan jika ditinjau dari karakteristik wilayah.
Sisi Penawaran
Sisi Permintaan
- SDM dan Teknologi - Karakteristik Biofisik Wilayah
Komoditas (Penawaran)
Pasar
Pendekatan Penawaran dan Permintaan
Komoditas (Permintaan)
Komoditas Unggulan
Komoditas Potensial
Agroindustri Potensial
Agroindustri Unggulan
Agroindustri (Penawaran)
Gambar 7
Pendekatan Penawaran dan Permintaan
Agroinduatri (Permintaan)
Pendekatan dalam penetapan komoditas dan agroindustri unggulan (Sailah 1998).
36 2.6 Armada Perikanan
2.6.1 Konsep Suatu armada merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Ditjen Perikanan Tangkap 2002), dengan kata lain armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Monintja (2000) menyatakan armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan, yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Ditjen Perikanan Tangkap (2002) mendefinisikan unit penangkapan merupakan kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang biasa terdiri dari perahu/kapal penangkap dan alat penangkap yang digunakan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan
ikan,
pembudidayaan
ikan,
pengangkutan
ikan,
pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Strategi pengelolaan perikanan yang memperhatikan armada perikanan sebagai faktor input adalah (Cochrane 2002) : (1) Pembatasan jumlah dan ukuran armada perikanan tangkap (fishing capacity controls) (2) Jumlah trip penangkapan ikan (fishing usage controls)
(3) Kapasitas produksi yang digunakan (fishing effort controls)
2.6.2
Klasifikasi Menurut Ditjen Perikanan Tangkap (2002) bahwa secara umum di
Indonesia perahu atau kapal penangkap diklasifikasikan sebagai berikut : (1) Perahu tidak bermotor 1) Jukung 2) Perahu ((kecil (panjangnya kurang dari 7 m), sedang (panjangnya 7-10 m), besar (panjangnya 10 m atau lebih)) (2) Perahu motor tempel (3) Kapal motor Kurang dari 5 GT, 5-10 GT, 10-20 GT, 20-30 GT, 30-50 GT, 50-100 GT, 100200 GT dan 200 GT lebih.
37 Tipe kapal ikan secara umum terdiri dari 2 (dua) kelompok tipe yaitu : (1) Tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap pancing. (2) Tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap jaring/net. Pengklasifikasian perikanan yang selektif di Indonesia terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu (Ditjen Perikanan Tangkap 2002) : (1) Perikanan skala kecil Menggunakan mesin luar < 10 HP atau < 5 GT (daerah operasinya pada zona I atau jalur I yaitu 4 mil dari garis pantai dan yang menggunakan mesin luar < 50 HP atau < 25 GT dengan jalur operasinya pada zona II atau jalur II yaitu 4-8 mil dari garis pantai. (2) Perikanan skala besar Merupakan perikanan skala industri yang menggunakan mesin dalam dengan kekuatan < 200 HP atau 100 GT dan jalur operasinya pada jalur 3 dan 4 (8-12 mil dan atau > 12 mil).
2.6.3
Nelayan Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkapan dikategorikan nelayan meskipun tidak melakukan aktivitas penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap 2002). Dalam Undang-Undang
Perikanan
Nomor
31
Tahun
2004
tentang
Perikanan
mendefinisikan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Pada dasarnya penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang yaitu : (1) Dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan lain), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. (2) Ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan besar merupakan nelayan yang menginvestasikan jumlah modalnya dalam
38 usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. (3) Dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi dalam nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Secara resmi di Indonesia berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasional penangkapan ikan, nelayan diklasifikasikan ke dalam (DJPT 2002) : (1) Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. (2) Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain. (3) Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.
2.7 Pendekatan Sistem Sistem didefinisikan sebagai seperangkat elemen atau sekumpulan entity yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Manetsch and Park 1977). Sistem dapat merupakan suatu proses yang sangat rumit yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat. Menurut Eriyatno (2003) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Pada dasarnya ada dua sifat dari sistem, yaitu berkaitan dengan aspek perilaku dan aspek struktur, sehingga permasalahan yang berkaitan dengan sistem akan menyangkut pada perilaku sistem dan struktur sistem. Perilaku sistem berkaitan dengan input dan output, dan struktur sistem berkaitan dengan susunan dari rangkaian di antara elemen-elemen sistem. Pola pikir kesisteman merupakan pendekatan ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya. Sistem adalah sekumpulan entiti atau komponen yang saling
39 berhubungan dan terorganisasi membentuk satu kesatuan untuk mencapai suatu atau kelompok tujuan (Manetsch and Park 1977). Selanjutnya sistem diartikan sebagai totalitas hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimentional terutama dimensi ruang dan waktu (Eriyatno 1996). Pendekatan sistem adalah metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajian harus memiliki karakteristik : (1) kompleks, (2) dinamis dan (3) probabilistik. Terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu : (1) sibemetik (cybemetic), artinya berorientasi kepada tujuan, dan (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem. Jika diklasifikasikan masalah sistem secara garis besarnya ada tiga (Gaspersz 1992), yaitu : (1) Untuk sistem yang belum ada, strukturnya dirancang untuk merealisasikan rancangan yang memiliki perilaku sesuai dengan yang diharapkan; (2) Untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan atau hanya sebagai suatu rancangan) dan strukturnya diketahui, maka prilaku ditentukan pada basis dari struktur yang diketahui itu (persoalan analisis sistem); dan (3) Untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan) tetapi tidak mengenalnya serta
strukturnya
tidak
dapat
ditentukan
secara
langsung,
maka
permasalahannya adalah mengetahui perilaku dari sistem itu serta strukturnya (persoalan black box/kotak hitam). Menurut Eriyatno (2003) dalam transformasi input menjadi output, perlu dibedakan antara elemen (entity) dari suatu sistem dengan sub sistem dari sistem itu sendiri. Sub sistem dikelompokkan dari bagian sistem yang masih berhubungan satu dengan lainnya pada tingkat resolusi yang tertinggi, sedangkan elemen dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi yang rendah. Masing-masing sub sistem saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antara sub sistem (disebut juga interface) terjadi karena output dari suatu sistem dapat menjadi input dari sistem lain. Jika interface antara sub sistem terganggu maka proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu juga sehingga akan menghasilkan bias pada tujuan yang hendak dicapai.
40 Proses transformasi yang dilakukan oleh suatu elemen dalam sistem dapat berupa fungsi matematik, operasi logik, dan proses operasi yang dalam ilmu sistem dikenal dengan konsep kotak gelap (black box). Kotak gelap adalah sebuah sistem dari rincian tidak terhingga yang mencakup struktur-struktur terkecil paling mikro. Dengan demikian karakter kotak gelap adalah behavioristic (tinjauan sikap). Kotak gelap digunakan untuk mengobservasi apa yang terjadi, bukan mengetahui tentang bagaimana transformasi terjadi. Untuk mengetahui transformasi yang terjadi dalam kotak gelap dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu : (1) spesifikasi; (2) analog, kesepadanan dan modifikasi; dan (3) observasi dan percobaan (Eriyatno 2003).
2.8 Kebijakan Pembangunan Perikanan Pada dasarnya kebijakan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu kebijakan privat dan kebijakan publik (Simatupang, 2001). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat (individu maupun lembaga swasta). Berangkat dari pemahaman di atas, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan ke dalam kebijakan publik, yaitu semua keputusan
dan
tindakan
pemerintah
untuk
mengarahkan,
mendorong,
mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan, guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan perikanan termasuk didalamnya pembangunan perikanan tangkap, merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam pembangunan perikanan, keberadaan sumberdaya ikan menjadi sangat penting, karena sumberdaya lingkungan dan sumberdaya buatan manusia termasuk manusianya merupakan unsur-unsur yang ada dalam sumberdaya perikanan. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan serta pengelolaan kegiatan manusia (Nikijuluw 2002). Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa, upaya mengelola sumberdaya perikanan pada dasarnya secara implisit merupakan tindakan menyusun langkah-langkah untuk membangun perikanan.
41 Hal ini pula yang menyebabkan, sering kali tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan sama dengan tujuan pembangunan perikanan. Tujuan pembangunan perikanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Repubik Indonesia No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, adalah sebagai berikut : (1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. (2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara. (3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja. (4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani. (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan. (6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing. (7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. (8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal. (9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, kebijakan pembangunan perikanan Indonesia ke depan lebih ditekankan pada pengendalian perikanan tangkap, pengembangan budidaya perikanan dan peningkatan nilai tambah melalui perbaikan mutu dan pengembangan produk yang mengarah pada pengembangan industri kelautan dan perikanan yang terpadu berbasis masyarakat. Strategi yang ditempuh adalah melalui peningkatan daya saing komoditas perikanan yang didukung dengan peningkatan sumberdaya manusia serta pemberian akses dan kesempatan yang sama pada seluruh perilaku usaha di bidang perikanan, sehingga mampu menghadapi persaingan global di tengah peningkatan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan berbagai dimensi. Berkaitan dengan uraian diatas, maka telah dirumuskan strategi kebijakan pembangunan perikanan tangkap sebagaimana tercantum dalam dokumen program jangka pendek dan program strategis perikanan tangkap 2006-2009 (DJPT 2006). Adapun kebijakan pembangunan yang dijalankan lebih diarahkan pada upaya-upaya sebagai berikut : (1) Menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri perikanan nasional.
42 (2) Rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap, dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada nelayan lokal dan perusahaan nasional. (3) Penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan. (4) Mendorong Pemerintah Daerah untuk pro aktif mengoptimalkan seluruh potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkesinambungan. (5) Rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah yang terkena bencana alam. Kelima arah kebijakan pembangunan perikanan tangkap tersebut pada hakekatnya mempunyai 4 (empat) tujuan utama, yaitu : (1) Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan, guna menyediakan ikan untuk konsumsi dalam negeri dan bahan baku industri. (2) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. (3) Meningkatkan lapangan kerja. (4) Meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perikanan nasional.
2.9 Analisis Kebijakan Pengembangan Berkelanjutan 2.9.1 Analisis kebijakan pengembangan Analisis pengembangan adalah analisis yang disusun berdasarkan analisis-analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam analisis pengembangan ini akan terlihat sejumlah alternatif yang ditawarkan dan dipilih mana saja yang memungkinkan untuk dikembangkan (Rumajar et al. 2002). Proses pengambilan keputusan atau pemilikan alternatif kebijakan dalam suatu proses pengembangan digunakan metode Analitical Hierarchi Process (AHP). AHP merupakan suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik perbandingan pasangan yang diskrit maupun kontinyu (Mulyono 1996). AHP merupakan suatu metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam perancangan terhadap suatu masalah. Metode menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan pertimbanganpertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. AHP dapat berfungsi
43 dengan baik selama pemakai memiliki pemahaman yang baik mengenai masalah yang dihadapi. Selanjutnya dinyatakan bahwa, kekuatan AHP terletak pada struktur hierarki yang memungkinkan memasukkannya semua faktor penting dan mengaturnya sampai ke tingkat alternatif. Setiap masalah dapat dirumuskan sebagai keputusan berbentuk hierarki, kadang-kadang dengan ketergantungan untuk mewujudkan bahwa beberapa elemen bergantung pada yang lain dan pada saat yang sama elemen yang lain bergantung padanya. Elemen pada setiap tingkat digunakan sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemenelemen yang berada setingkat di bawahnya (Saaty 1993). Selanjutnya Saaty (1993)
menyatakan pula bahwa, AHP memberikan
kerangka yang memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif untuk persoalan yang kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat pengambilan keputusan. Pada dasarnya, metode AHP memecah suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensitesa berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas relatif yang lebih tinggi. Penetapan prioritas berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Langkah pertama untuk menyusun prioritas adalah membandingkan kepentingan relatif dari masing-masing unsur dan menduga prioritas untuk subfaktornya.
Sintesis
prioritas
dilakukan
untuk
mendapatkan
prioritas
menyeluruh subsektor dan langkah berikutnya adalah melakukan perhitungan menyeluruh untuk masing-masing faktor (Mulyono 1996).
2.9.2 Pengembangan perikanan berkelanjutan Pengembangan
berkelanjutan
dapat
juga
diartikan
sebagai
laju
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tidak melampaui kemampuan pulih dan resultan dampak negatif yang ditimbulkan tidak melebihi kemampuan kawasan pesisir/laut untuk menetralisirnya (Dahuri 2000). Pengembangan perikanan tangkap juga tidak terlepas dari lingkungan dan penggunaan teknologi alat tangkap yang berwawasan lingkungan. Menurut Martasuganda (2002) bahwa lingkungan adalah ”lingkungan hidup” dimana arti
44 dari lingkungan hidup itu sendiri adalah ”kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya”, sedangkan yang dimaksud dengan teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap untuk mengelola sumberdaya secara
bijaksana
dalam
pembangunan
yang
berkesinambungan
untuk
meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup. Fauzi dan Anna (2002) menyatakan bahwa pendekatan MSY dalam mengevaluasi
pemanfaatan
sumberdaya
secara
berkelanjutan
masih
menghadapi banyak keterbatasan, namun dapat dipakai sebagai indikator dari status sumberdaya dan signal early warning bagi terlampaunya tingkat ekstraksi dari yang seharusnya. Selanjutnya juga dikatakan bahwa walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan mulai dipahami, namun sampai saat ini masih menghadapi kesulitan dalam
mengevaluasi
keberlanjutan
pembangunan
perikanan
itu
sendiri.
Khususnya ketika kita dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi
dari
keseluruhan
aspek
yang
mempengaruhi
keberlanjutan
sumberdaya perikanan tersebut, baik aspek ekologi, sosial, ekonomi maupun etik secara holistik (Fauzi dan Anna 2002). Suatu kawasan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan serta menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim
antar
sektor
yang
dapat
mengakibatkan
kehancuran
produksi.
Pembangunan perikanan secara ekologis manakala basis ketersediaan stok sumberdayanya dapat dipulihkan secara stabil dan tidak terjadi eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pembangunan perikanan secara sosial berkelanjutan apabila seluruh kebutuhan dasar bagi semua
penduduk
terpenuhi,
terjadi
distribusi
pendapatan,
tumbuhnya
kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender, dan akuntabilitas serta partisipasi politik (Dahuri, 2002). Muhammad (2002) juga menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan didasarkan pada tingkat ekologi (ecological sustainability) dan keberlanjutan sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability).
45 Keberlanjutan ekologi didasarkan pada upaya memelihara keberlanjutan biologi cadangan ikan (biomassa) sehingga tidak melewati daya dukungnya, yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan pada tingkat Total Allowable Catch (TAC) sebesar 80 % dari MSY. Keberlanjutan sosio-ekonomi didasarkan pada keberlanjutan ekonomi dengan memperhatikan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat ekonomi rumah tangga nelayan. Kegiatan produksi untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan memiliki tiga komponen yaitu (1) komponen biologis, (2) pengelolaan sumberdaya dan (3) sosial-ekonomi perikanan. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Komponen biologis menjelaskan dinamika stok ikan, komponen pengelolaan sumberdaya menjelaskan dinamika kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pengaturan armada penangkapan ikan (fishing effort) dan komponen sosial-ekonomi menjelaskan dinamika biaya dan keuntungan juragan pemilik aset dan pendapatan ABK (anak buah kapal) dalam operasi penangkapan ikan. Kalau ketiga komponen tersebut dapat terkontrol dengan baik, maka pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan secara berkelanjutan (Fauzi dan Anna 2002).
2.10 Kerangka Kerja Kelembagaan Lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga mewarnai perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat otonomi, yang terkandung dalam undangundang tersebut melalui desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom. Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut, wilayah otonom dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota memiliki otonomi dalam pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dan 1/3-nya merupakan kewenangan kabupaten/kota (Pasal 3). Kewenangan pengelolaan bagi daerah otonom di wilayah laut tersebut lebih lanjut diuraikan dalam Pasal 10 Ayat 2, yang meliputi (Darmawan 2002) : (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 12 mil laut, (2) Pengaturan kepentingan administratif, (3) Pengaturan tata ruang,
46 (4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) Bantuan penegakkan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut. Implikasi dari UU No. 22 Tahun 1999 terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonom menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumber daya alam pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah
berlomba-lomba
mengeksploitasi
sumberdaya
pesisir
tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (Darmawan 2002). Menurut Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995), Pasal 10-integrasi perikanan ke dalam pengelolaan wilayah pesisir mengenai kerangka kerja kelembagaan terdiri dari : (1) Negara-negara harus menjamin suatu kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan yang tepat, diadopsi untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya
yang
lestari
dan
terpadu
dengan
memperhatikan
kerentanan ekosistem pesisir dan sifat terbatasnya sumber daya alamnya serta keperluan komunitas pesisir, (2) Mengingat sifat multiguna kawasan pesisir, negara harus memastikan bahwa wakil sektor perikanan dan komunitas penangkapan dimintakan pendapat dalam proses pengambilan keputusan dan dilibatkan dalam kegiatan lainnya yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan dan pembangunan kawasan pesisir, (3) Negara-negara harus mengembangkan kerangka kelembagaan dan hukum seperlunya dalam rangka menetapkan pemanfaatan yang mungkin menyangkut sumberdaya pesisir dan mengatur akses ke sumber daya tersebut dengan memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktek turun temurun yang serasi dengan pembangunan yang berkelanjutan,
47 (4) Negara-negara harus memberikan kemudahan pengadopsian praktek perikanan yang menghindari sengketa di antara para pengguna sumberdaya perikanan dan di antara mereka serta para pengguna lainnya dari kawasan pesisir, dan (5) Negara-negara harus menggiatkan penetapan prosedur dan mekanisme pada tingkat administratif yang tepat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam lingkup sektor perikanan dan di antara para pengguna sumberdaya perikanan dengan para pengguna kawasan pesisir lainnya.