2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Usaha Perikanan Tangkap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan
bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Sistem bisnis perikanan terdiri atas sub-sub sistem yang saling terkait untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Usaha perikanan tangkap adalah semua usaha yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Menurut Barani (2003), mengacu pada Undang-Undang No 31 Tahun 2004, visi pembangunan perikanan tangkap adalah industri perikanan tangkap Indonesia yang lestari, kokoh dan mandiri pada tahun 2010. Adapun misi pembangunan perikanan sebagai berikut: (1) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perikanan; (2) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pengolah hasil perikanan; (3) menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya; (4) membangun industri nasional dan usaha perikanan tangkap yang berdaya saing; dan (5) meningkatkan peran sub-sektor perikanan tangkap dalam pembangunan nasional. Kebijakan pembangunan perikanan tangkap diarahkan untuk: (1) menjadikan perikanan
tangkap
sebagai
salah
satu
andalan
perekonomian
dengan
membangkitkan industri perikanan dalam negeri; (2) merasionalisasi, nasionalisasi dan
modernisasi
armada
penangkapan
secara
bertahap
dalam
rangka
menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; dan (3) menerapkan pengelolaan perikanan secara bertahap berorientasi kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005).
10
2.2
Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Perikanan tangkap di Indonesia masih dicirikan oleh perikanan skala kecil
seperti terlihat pada komposisi armada penangkapan nasional yang masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil sekitar 85%, dan hanya 15% dilakukan oleh perikanan skala besar. Struktur armada perikanan tangkap didominasi oleh perahu tanpa motor sekitar 50%, perahu motor tempel 26% dan kapal motor 24%. Armada kapal motor ini didominasi oleh kapal motor berukuran dibawah 5 GT sekitar 72%, kapal motor berukuran 5 – 10 GT sekitar 14% dan kapal motor berukuran diatas 10 GT berkisar 14% (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Dominasi jumlah armada dibawah 10 GT memperlihatkan perikanan skala kecil sangat berperan dalam perikanan nasional. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penerapan teknologi alat penangkapan ikan yang yang baik (Bahari 1989). Selain itu, pengembangan usaha perikanan tangkap setidaknya harus memperhatikan beberapa faktor sebagai berikut: (1) potensi dan penyebaran sumberdaya ikan; (2) jenis dan jumlah unit penangkapan ikan termasuk fasilitas penanganan dan pendaratan ikan; (3) nelayan dan kelembagaan; (4) pemasaran dan rente ekonomi sumberdaya ikan; dan (5) kelestarian sumberdaya ikan (Kesteven 1973; Charles 2001). Penerapan dan seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek “bio-technico-socio-economi-approach” oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu (1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumber daya, (2) secara teknis efektif digunakan, (3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan dan (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan. Ada lima syarat untuk pengembangan teknologi penangkapan ikan menurut Martasuganda et al. (2002), yaitu: (1) menyediakan kesempatan kerja yang banyak; (2) menjamin pendapatan yang memadai bagi tenaga kerja atau nelayan; (3)
11
menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein; (4) menempatkan jenis ikan komoditas ekspor atau jenis yang bisa di ekspor; dan (5) tidak merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Apabila pengembangan usaha perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada penyerapan tenaga kerja, maka menurut Monintja (1987), teknologi yang perlu dikembangkan adalah unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja yang banyak dengan pendapatan nelayan yang memadai. Selain itu juga unit yang dipilih adalah unit penangkapan yang mempunyai produktivitas tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan aspek biologis dan ekonomisnya. Alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan Halmahera Utara adalah pancing ulur, rawai, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, huhate, bubu dan purse seine (pajeko).
Umumnya tingkat teknologi penangkapan yang
dipergunakan tersebut masih relatif sederhana dan ukuran armadanya tidak berskala besar (menggunakan perahu layar/tanpa motor) kecuali untuk unit penangkapan pajeko (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Utara 2008). Kondisi terbatasnya teknologi dan permodalan usaha perikanan tangkap telah menyebabkan tingkat produktivitas nelayan setempat menjadi rendah. Oleh karena itu, pengembangan skala usaha perikanan tangkap melalui unit penangkapan pajeko diharapkan dapat meningkatkan produktivitas hasil perikanan tangkap dan meningkatkan kesejahteraan nelayan. 2.3
Potensi Sumberdaya Ikan Indonesia memiliki sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil yang
relatif besar. Namun demikian, potensi yang besar ini belum dimanfaatkan dengan optimal. Pemanfaatan sumberdaya tersebut hendaknya dilakukan dengan bijaksana dan tetap menjaga kelestariannya (Dahuri 2000). Kabupaten Halmahera Utara hampir seluruh wilayahnya dikelilingi oleh perairan laut yakni Samudera Pasifik di sebelah utara dan barat laut, Teluk Kao di sebelah barat, dan Laut Maluku disebelah timur. Dengan fakta geografis ini, jelas bahwa wilayah Halmahera Utara memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang masih terjaga kelestariannya sehingga dapat diandalkan untuk mengembangkan
12
kegiatan ekonomi wilayahnya. Hal ini ditunjukkan dengan (1) masih sering terlihatnya, kawanan ikan pelagis yang berenang dan berlompatan di sekitar perairan pantai, (2) ukuran ikan yang tertangkap masih relatif besar, dan (3) banyaknya armada asing yang datang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan ini secara illegal. Potensi sumberdaya ikan laut di perairan ini diperkirakan sebesar 148.473,8 ton/tahun, yang berarti memiliki potensi lestari (MSY) sebesar 86.660,6 ton/tahun, terdiri dari kelompok ikan pelagis sebanyak 48.946,4 ton/tahun dan kelompok ikan demersal sebanyak 32.664,2 ton/tahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut masih rendah, tercatat pada tahun 2007 baru dimanfaatkan sebersar 13,13% atau setara dengan 11.798,83 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Utara, 2008).
Rendahnya pemanfaatan sumberdaya ikan ini diduga disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya adalah teknologi penangkapan ikan yang relatif sederhana dan sangat tergantung dengan kondisi alam/cuaca, tidak adanya akses ke pasar ikan sehingga ikan sulit untuk dijual. Kondisi ini telah mengudang nalayan daerah lain dan nelayan asing (negara tetangga) menangkap ikan di perairan Halmahera Utara secara illegal. 2.4 2.4.1
Unit Penangkapan Pukat Cincin (Purse seine) Kapal pukat cincin Kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang
dipergunakan
untuk
melakukan
penangkapan
ikan,
mendukung
operasi
penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksploitasi perikanan. Berdasarkan fungsinya kapal perikanan, meliputi: kapal penangkapan ikan, kapal pengangkut ikan, kapal pengolah ikan, kapal latih perikanan, kapal penelitian/eksplorasi perikanan, dan kapal operasi penangkapan ikan (UU RI No. 31 Tahun 2004). Dengan mengacu definisi diatas, maka kapal pukat cincin adalah kapal yang secara khusus dirancang atau dibangun untuk digunakan meangkap ikan dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine) dan sekaligus menampung, menyimpan, mendingikan, dan mengangkut hasil tangkapan. Kapal pukat cincin merupakan kapal yang khusus dioperasikan untuk menangkap jenis ikan pealgis yang bersifat
13
bergerombol, seperti: ikan layang, ikan selar, ikan kembung, ikan tongkol dan ikan cakalang.
2.4.2
Alat tangkap pukat cincin Pukat cincin adalah Alat penangkap ikan yang terbuat dari bahan jaring
yang dioperaseikan secara aktif dengan cara dilingkarkan di sekeliling kawanan ikan, kemudian bagian bawahnya dikerutkan dengan cara menarik purse line (disebut tali kolor) sehingga jaring tersebut terbentuk menjadi sebuah ‘mangkok’ (Baskoro dan Effendi 2005). Pukat cincin yang kurang lebih sejenis di Indonesia sudah sejak lama dikenal walaupun dengan nama dan konstruksi yang sedikit berbeda, seperti pukat langgar, pukat senagin, gae dan giob. Pukat cincin pertama kali diperkenalkan di pantai utara Jawa oleh BPPL pada tahun 1970. Kemudian diaplikasikan di Muncar dan berkembang pesat sampai sekarang (Subani dan Barus 1989). Brandt (1984), menyatakan bahwa pukat cincin merupakan alat tangkap yang lebih efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis di sekitar permukaan air. Pukat cincin dibuat dengan dinding jaring yang panjang, terkadang hingga kilo meter dengan panjang jaring bagian bawah sama atau lebih panjang dari bagian atas. Bentuk konstruksi jaring tidak ada kantongnya yang berbentuk permanen pada jaring purse seine (Gambar 2). Pukat cincin dibagi menjadi 5 komponen, yaitu: (1) badan jaring, (2) tali kerut, (3) cincin (ring), (4) pelampung dan pemberat, dan (5) tali selembar.
14
Sumber: Von Brandt (1984)
Gambar 2 Metode penangkapan ikan dengan pukat cincin (purse seine). Ayodhyoa (1981) mengemukakan bahwa tujuan penangkapan purse seine adalah jenis ikan pelagic shoaling species yang berarti ikan-ikan tersebut membentuk suatu gerombolan dan berada dekat permukaan air (sea water). Banyaknya ikan tertangkap dibatasi oleh ukuran dari jaring yang dipergunakan.
2.4.3
Metode operasi penangkapan pajeko (purse seine) Operasi penangkapan perikanan pajeko di Tobelo Kabupaten Halmahera
Utara pada umumnya dilakukan pada pagi hari (sekitar pukul 02.00 wit) hingga menjelang siang yaitu pukul 06.30 wit dan selesai atau kembali ke fishing b base sekitar pukul 07.15 wit. Nelayan pajeko di perairan Halmahera Utara biasanya melakukan kegiatan penangkapan hanya sekali dalam satu kali trip penangkapan (one days fishing). Dalam kegiatan operasi penangkapan biasanya juragang laut melakukan kegiatan penangkapan dengan mengoperasikan kapal Jhonson (slep), menuju ke daerah penangkapan (rumpon) biasanya juru keker (pemantau) memantau keberadaan rumpon dengan berdiri di depan kapal. Kegiatan pemantauan ini, biasanya dilakukan dengan patokan tanda yang ada di darat, yang menjadi garis lurus dengan rumpon. Keberadaan ini terjadi apabila hari terlalu gelap sehingga keberadaan rumpon tidak terlihat dengan jelas. Metode operasi penangkapan pajeko (purse seine) diperairan Halmahera Utara dibagi dalam tiga tahap, yaitu : tahap persiapan, tahap penurunan jarring dan tahap penarikan jarring.
15
(1)
Tahap Persiapan Tahap persiapan merupakan tahap yang harus dilakukan setiap sebelum penangkapan ikan. Tahap persiapan ini kegiatan pemeriksaan mesin baik mesin utama maupun mesin Johnson, pemeriksaan alat tangkap, penyiapan bahan baker (minyak tanah, bensin, oli) serta konsumsi. Persiapan ini dilakukan untuk memperlancar kegiatan penangkapan ikan. Kapal pajeko
berangkat menuju rumpon yang merupakan daerah
penangkapan ikan (fishing ground). Umumnya nelayan membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk menuju daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan ikan yang tepat berdasarkan hasil pemantauan oleh nelayan pemantau yang telah dilakukan pada malam harinya sebelum kapal pajeko berangkat, dan jika kegiatan penangkapan sebelumnya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, maka kegiatan penangkapan berikutnya tidak akan jauh dari daerah penangkapan (rumpon) (2)
Setting Setelah tiba di daerah penangkapan ikan (rumpon), kemudian dilakukan proses setting yang diawali dengan penurunan pukat cincin pada bagian kantong dari kapal utama yang berada di bagian buritan sebelah kiri. Tali selambar pada bagian pajeko dilemparkan pada perahu Johnson untuk dilakukan proses setting. Kapal Johnson menunggu proses setting hingga selesai untuk melakukan proses selanjutnya yaitu penarikan purse seine. Proses pelingkaran gerombolan ikan oleh kapal utama harus dilakukan dengan kekuatan penuh. Proses ini dilakukan agar gerombolan ikan yang menjadi target tidak lolos baik dari arah horizontal maupun vertical. Proses pelingkaran gerombolan ikan membutuhkan waktu sekitar 5 – 10 menit.
(3)
Hauling Setelah proses pelingkaran gerombolah ikan selesai oleh kapal utama maka salah satu nelayan yang berada pada kapal utama melempar purse line pada kapal jhonson untuk dilakukan penarikan purse line dengan
kekukuatan
yang arahnya menjauhi kapal utama. Penarikan purse line oleh kapal Johnson dilakukan oleh nelayan pada kapal utama dimana proses penarikan purse line
16
maka kapal Johnson kembali dan mendekati pajeko, kemudian dilakukan pengangkatan pelampung yang berada di kantong dan selanjutnya pengangkatan hasil tangkapan oleh nelayan. Proses penarikan jarring hingga selesai membutuhkan waktu 40 – 60 menit.
2.4.4
Masyarakat nelayan Undang-Undang
RI
Nomor
31
tahun
2004
tentang
Perikanan
menayatakan bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan diklasifikasikan berdasarkan waktu yang digunakannya untuk melakukan operasi penangkapan ikan, yaitu sebagai berikut: 1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan
pekerjaan
operasi
penangkapan
ikan/binatang
air
lainnya/tanaman air. 2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan
untuk
melakukan
pekerjaan
operasi
penangkapan
ikan/binatang/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan nelayan kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain. 3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Perikanan tangkap di Indonesia masih dicirikan oleh perikanan skala kecil seperti terlihat pada komposisi armada penangkapan nasional yang masih didominasi sekitar 85% nelayan skala kecil dan beroperasi di sekitar perairan pantai (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Begitu pula usaha perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara, sebagian besar usaha perikanan tangkap tergolong skala kecil dengan ukuran perahu/kapal kurang dari 10 GT dan beroperasi di perairan pantai (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara 2008). Nelayan pada perikanan pukat cincin (purse seine) adalah orang yang ikut dalam operasi penangkapan ikan secara lungsung maupun tidak langsung. Jumlah nelayan yang mengoperasikan pukat cincin berkisar antara 18 – 20 orang termasuk kapten kapal. Dalam operasi penangkapan ikan, masing-masing nelayan memiliki
17
tugas tersendiri, sehingga operasi penangkapan berjalan dengan baik. Dalam pembagian tugas, kapten memiliki tanggung jawab paling besar terhadap kelancaran operasi penangkapan ikan. 2.5
Analisis Manfaat dan Kelayakan usaha Investasi adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi dalam proyek
tertentu, baik yang bersifat baru atau perluasan proyek. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh manfaat keuangan dan atau non keuangan yang layak dikemudian hari. Investasi dapat dilakukan oleh perorangan, perusahaan swasta maupun lembaga-lembaga pemerintah (Sutojo 1995). Setiap usulan investasi selalu mempunyai resiko, semakin tinggi resiko suatu investasi maka semakin tinggi keuntungan yang diminta para pemili modal. Hubunganyang positif antara resiko dan tingkat keutungan dipertimbangkan dalam penilaian investasi (Husnan 1994). Menurut Kadariah et al. (1999), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha perlu dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dapat dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi. 2.5.1
Analisis usaha Menurut Hernanto (1989), analisis usaha dimaksudkan untuk mengetahui
kekuatan pengelolaan secara menyeluruh dalam mengelola kekayaan perusahaan. Analisis usaha yang dilakukan antara lain, analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (Revenue Cost Ratio), Payback Period (PP), dan analisis Return of Investment (ROI). 2.5.2
Analisis kriteria investasi Pada analisis ini adalah modal saham yang ditanam dalam proyek. Analisis
ini penting artinya dalam memperhitungkan pengaruh bagi yang turut dalam pelaksanaan proyek. Indikator yang digunakan, yaitu: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Ukuran ini mempersoalkan apa yang akan diperoleh di kemudian hari, beberapa nilai sekarang (present value), dengan kata lain semua aliran biaya (cost) dan manfaat (benefit) selama umur ekonomis diukur dengan nilai sekarang (Gray et al. 1993).
18
Menurut Gray et al. (1993), NPV atau keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapat kotor dikurangi jumlah biaya. NPV suatu proyek adalah selisih PV (present value) arus benefit dengan PV arus biaya. Menurut Suratman (2001), NPV digunakan untuk mengetahui apakah suatu usulan proyek investasi layak dilaksanakan atau tidak dengan cara mengurangkan antara PV dan aliran kas bersih operasional atas proyek investasi selama umur ekonomis termasuk terminal cash flow dengan initial cash flow (initial investment). Jika NPV positif, usulan proyek investasi dinyatakan layak, sedangkan jika NPV negatif dinyatakan tidak layak. Penentukan PV atas aliran kas operasional dan terminal cash flow didasarkan pada cost of capital sebagai cut off rate atau discount factor-nya. Keunggulan metode NPV adalah telah mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam umur ekonomis untuk perhitungannya. Sementara itu jika dibandingkan dengan metode IRR dan PP tidak menunjukkan nilai absolutnya (Suratman 2001). Menurut Suratman (2001), IRR digunakan untuk menentukan apakah suatu usulan proyek investasi layak atau tidak, dengan cara membandingkan antara IRR dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Perhitungan IRR dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari aliran kas dengan PV dari investasi (initial investment). Keunggulan IRR adalah dalam perhitungannya dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari aliran kas dengan PV dari investasi, namun pada prinsipnya menggunakan teknik interpolasi dan mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam umur ekonomis untuk perhitungannya. Dasar perhitungan IRR sama dengan dasar perhitungan NPV, namun karena hasil akhir IRR dalam bentuk tingkat keuntungan dalam % maka hal ini merupakan kelemahan dari metode IRR (Suratman 2001). Menurut Umar (2003), Net B/C merupakan perbandingan antara net benefit yang telah di discount positif (+) dengan net benefit yang telah di discount negatif (-). Menurut Choliq et al. (1993), kriteria investasi hampir sama dengan kriteria investasi Net B/C. Perbedaannya adalah bahwa dalam perhitungan Net B/C biaya tiap tahun dikurangi dari benefit tiap tahun untuk mengetahui benefit netto yang positif dan negatif. Metode Net B/C ini membandingkan nilai discount net benefit
19
positif dengan discount net benefit negative, apabila net B/C > 1 maka proyek dianggap layak untuk dilanjutkan. Jika Net B/C < 1 maka proyek dianggap tidak layak untuk dilanjutkan. Kritera ini menggambarkan seberapa besar bagian biaya proyek per tahun tidak dapat tertutup oleh manfaat proyek (Kadariah et al. 1999).