2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nelayan dan Usaha Perikanan Nelayan dan usaha perikanan meliputi; Eksistensi nelayan dan keluarganya, usaha perikanan tangkap dan kemandirian nelayan, arah transformasi kelompok nelayan, paradigma pengembangan kelompok nelayan dengan penjelasan berikut:
2.1.1 Eksistensi nelayan dan keluarganya Nelayan skala usaha kecil di Indonesia adalah kontributor terbesar dalam produksi perikanan, khususnya perikanan tangkap. Satria (2001), sebagian besar nelayan (85%) masih merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara lain. Salah satu penyebab utama kemiskinan dan ketidakberdayaan nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha. Hal ini juga terjadi karena rendahnya pendidikan dan penguasaan keterampilan di bidang perikanan. Oleh karena itu
pemanfaatan
sumber
daya
ikan
sudah
semestinya
dilakukan
dengan
memperhatikan nelayan, antara lain dengan melakukan pemberdayaan kepada kelompok nelayan kecil agar mereka dapat mengorganisasikan usaha tangkapan ikan. DJPT (2005), memperkirakan sebagian besar nelayan berpendidikan rendah, tidak sekolah dan tidak tamat Sekolah Dasar (70%), tamat Sekolah Dasar (19,6%), dan hanya 0,03% yang memiliki pendidikan sampai jenjang Diploma 3 dan Sarjana. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan, menyebabkan proses alih teknologi dan keterampilan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yang selanjutnya berdampak pada kemampuan pengembangan usahanya. Jika ditelaah lebih cermat, kondisi nelayan yang tradisional dan tertinggal tidak terlepas dari kondisi lingkungan tempat mereka berada. Pada umumnya nelayan berada dan menghuni daerah pantai, dimana prasarana dan sarana sosial yang tersedia seperti pendidikan, kesehatan, perhubungan, dan komunikasi memang masih terbatas. Nelayan selalu diidentikkan dengan kemiskinan. Faktor penyebab utama kemiskinan keluarga nelayan adalah masa kerja yang terbatas dan tidak pasti, nilai produksi dibagi bersama; khususnya buruh nelayan. Selain itu, keluarga nelayan juga memiliki mutu modal manusia yang relatif rendah (Elfindri, 2002).
11
2.1.2 Usaha perikanan tangkap dan kemandirian nelayan DKP (2005), mendefinisikan potensi dan peluang pengembangan sektor kelautan dan perikanan meliputi (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan dan perikanan, (5) pengembangan pulau-pulau kecil, (6) pemanfaatan benda berharga asal muatan kapal tenggelam, (7) deep sea water, (8) industri garam rakyat, (9) pengelolaan pasir laut, (10) industri penunjang, (11) pengembangan kawasan industri perikanan terpadu, dan (12) keanekaragaman hayati laut. Kemandirian nelayan dalam kehidupannya adalah kondisi yang dapat ditumbuhkan melalui proses pemberdayaan (empowerment) nelayan terutama pada usaha perikanan tangkap. Hal ini dilakukan dengan cara pemberian kekuatan atau daya kepada nelayan dan keluarganya (bantuan modal, peralatan tangkap, kapal, dan lain-lain) sehingga mampu mengendalikan masa depannya dalam meningkatkan taraf hidupnya. Bawono (2002) menjelaskan bahwa kemandirian adalah kemampuan seseorang untuk mewujudkan potensi dirinya berusaha bekerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.1.3 Arah transformasi kelompok nelayan Transformasi diambil dari kata transformation yang dapat diartikan sebagai proses perubahan. Berdasarkan definisi tersebut diatas transformation secara filosofis mengandung dua pengertian pokok yaitu perubahan dalam bentuk luar (performance) dan bentuk dalam berupa hakikat atau sifat dasar, fungsi dan struktur atau karakteristik. Transformasi kelompok nelayan dapat diartikan sebagai perubahan bentuk, ciri, struktur dan kemampuan kelompok nelayan dalam menggairahkan, menumbuhkan dan mengembangkan kelompok nelayan, dalam rangka menyehatkan perekonomian masyarakat nelayan. Pada masyarakat perdesaan dan pesisir yang tingkat perkembangan ekonominya masih belum maju dan di dominasi oleh sektor perikanan atau pertanian, transformasi kelompok nelayan sekaligus dapat dipandang sebagai cerminan dari transformasi masyarakat pedesaannya (Dumont, 1971). Dalam pengertian yang lebih luas, dikaitkan dengan pembinaan kelompok nelayan sebagai basis kegiatan ekonomi di wilayah pesisir, transformasi kelompok nelayan dapat dipandang sebagai proses modernisasi atau pembangunan wilayah pesisir. Kelompok nelayan yang di pesisir
12
dapat dikembangkan meenjadi lembaga usaha, sepanjang pemerintah melakukan pembinaan terus menerus. Tabel 1 Perbandingan budaya ekonomi tradisional dan modern No
Penciri
Tradisional
Modern
1
Orientasi Ekonomi
Subsistence
Komersial (Profit)
2
Teknologi
Sederhana
Tinggi (Mutakhir)
3
Tenaga Kerja
Unskilled Labour
Terampil (Skilled)
4
Manajemen
Keluarga
Profesional (Achievement)
Penggerak Ekonomi
Padat Tenaga Kerja (Labour Intensive)
Padat Modal (Capital Intensive)
Sumber Kapital
Kredit Informal (Tengkulak)
Kredit Formal Bank
Spirit Usaha
Risiko Minimum/Keamanan Usaha
Motivasi Prestasi/Wirausaha/Berani
Ciri Produk
Mutu Tidak Baku/Musiman
Mutu Baku/Continue
Pola Hubungan Sosial
Kontak Langsung (Personal Communal)
Tidak Langsung (Impersonal Contact)
Solidaritas Sosial
Mekanik Ditanggung Bersama (Collective Action)
Organik (Individual Action) Ditanggung Individu
11
Sistem Pengambilan Keputusan
Feodalistik/Sentralistik
Demokratik/Desentralistik
12
Interdefendensi Antar Pelaku Ekonomi
Ekstrim
Moderat
13
Kompetisi Dorongan
Longgar/Lemah
Ketat/Kuat
14
Ketegangan Sosial
Rendah
Tinggi
5 6 7 8 9 10
Dalam konteks pembangunan ini,
kelompok nelayan sebagai wadah dari
pelaku bisnis di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai penggeraknya. Sebagai contoh,
menjelaskan tentang transformasi ekonomi pertanian, yaitu perubahan
efektivitasnya dari budaya agribisnis tradisional/subsistence ke yang berciri budaya agribisnis modern/komersial. Dalam contoh ini pelaku agribisnis dalam proses transformasi adalah petani, peternak dan nelayan yang bergabung dalam organisasi kelompok yang berada di pedesaan termasuk wilayah pesisir. Secara singkat transformasi budaya ekonomi tradisional menuju ekonomi pasar dapat dilihat pada Tabel 1. Proses transformasi budaya usaha dicirikan oleh perubahan yang mencakup aspek kaitan pasar dan orientasi ekonomi, jenis (mutu), manajemen, dan spirit usaha yang menggerakannya dan bentuk keorganisasian (kemitraan) usaha dan lainnya.
13
Apabila dilihat secara mendalam proses transformasi dipengaruhi oleh adanya (a) respon terhadap tuntutan hidup yang lebih baik, (b) dinamika pasar global atau keterbukaan pasar (Gambar 1). Deptan (2002), proses transformasi harus dipandang sebagai gejala alamiah dan proses aktif sistem sosial yang berada dibelakang agribisnis dan sejenisnya di pedesaan tersebut. Penetrasi peradaban pasar global merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan, yaitu dicirikan dengan masuknya peradaban ekonomi pasar global dalam kegiatan agribisnis di tingkat pedesaan. Pengaruh ini dapat secara langsung mempercepat transformasi agribisnis dan masyarakat pedesaan melalui pemberdayaan kelompok nelayan. Jika proses transformasi masyarakat pedesaan atau pesisir diserahkan kepada mekanisme dari penetrasi ekonomi pasar saja maka diperkirakan akan memberikan gambaran yang suram bagi pembangunan masyarakat pedesaan dan pesisir, terutama ditinjau dari aspek pemerataan dan penyehatan pengelolaan SDA setempat. 1. Budaya Agribisnis Tradisional/Individu 2. Kolektif Bisnis Sistem
Budaya Agribisnis Modern/Komersial
PROSES TRANSFORMASI - Kaitan Pasar/Orientasi Ekonomi - Teknologi/SDM/Sumber Energi - Kapitas/Manajemen/Spirit Usaha - Bentuk Organisasi (Kemitraan) Agribisnis, dll.
Respon Terhadap Tuntutan Hidup yang Lebih Baik
Globalisasi Pasar
Perubahan Karakteristik Usaha, Produk Perikanan dan Perannya dalam Perekonomian Pedesaan
Energi untuk Peningkatan Kesejahteraan Nelayan dan Masyarakat Pesisir secara Berkelanjutan
Gambar 1
14
Perspektif transformasi (budaya) agribisnis di pedesaan dan wilayah pesisir sebagai pengaruh tuntutan hidup (masyarakat) dan penetrasi ekonomi (globalisasi) pasar (Sumber : Deptan, 2002).
Sebagai akibat adanya proses transformasi tersebut mencakup aspek pemberdayaan kelompok nelayan maka akan terjadi perubahan karakteristik usaha, produk perikanan dan peranannya dalam perekonomian wilayah pesisir. Perubahan karakteristik usaha menyangkut karakteristik sumber daya manusia (nelayan), organisasi (kelompok) usaha produktif setempat, dan karakteristik usaha yang berkaitan dengan pemberdayaan kelompok nelayan yang menggambarkan penguasaan dan penggunaan teknologi, penguasaan modal, aset strategis lainnya, mutu dan organisasi pengelolaan tenaga kerja keluarga (secara organik) dan sumber pendapatan keluarga. Sedangkan yang berkaitan dengan produk perikanan akan menggambarkan posisi produk utama perikanan diantara produk perikanan yang diperdagangkan dan persaingan usaha sejenis, kemampuan mengelola modal perkembangan usaha. Adapun yang berhubungan dengan industri pengelolaan perikanan yaitu kemampuan penyerapan modal, penerapan teknologi pasca panen, manajemen usaha, sumber daya manusia dan pengembangan (kelembagaan) kerjasama usaha. Dalam upaya untuk mencapai tujuan transformasi maka diperlukan suatu daya dan upaya untuk mempercepat proses transformasi yang didukung oleh berbagai komponen tersebut di atas. Bila arah transformasi kelompok nelayan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu, maka akan merupakan faktor penggerak (energi) “abadi” untuk
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
nelayan
secara
berkelanjutan
(sustainable).
2.1.4 Paradigma pengembangan kelompok nelayan Banyak kelompok nelayan yang terbentuk masa lalu, bermula dari inisiatif seorang pemuka masyarakat atau seorang yang memiliki daya pengaruh kuat dalam mengajak para anggota masyarakat lainnya untuk bergabung dalam wadah kelompok. Kelompok nelayan pada umumnya bersifat tidak formal, yaitu tidak ada ikatan secara administrasi, kelompok tidak memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, hubungannya lebih kental hubungan sosial dari pada hubungan usaha semacam koperasi. Kelompok nelayan juga tidak ada batas waktu atau syarat-syarat untuk menjadi anggota kelompok. Kelompok nelayan pada umumnya dipimpin oleh para tokoh adat setempat dan tidak ada batas waktu sebagai ketua kelompok. Secara konsepsi kelompok nelayan merupakan kumpulan nelayan yang terikat secara non formal atas dasar keserasian, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi dan
15
sumber daya), keakraban, kepentingan bersama dan saling percaya mempercayai, serta mempunyai kesadaran “kolektif” untuk mencapai tujuan bersama. Dalam kenyataan yang berlangsung saat ini, kelompok hanya dicirikan bahwa sesama anggota saling mengenal baik, akrab, saling percaya mempercayai, mempunyai pandangan dan kepentingan bersama dalam berusaha serta memilki beberapa persamaan seperti aspek tradisi, pemukiman, kegiatan usaha perikanan, jenis usaha, status ekonomi, status sosial, bahasa, usia, ekologi dan pendidikan. Sedangkan kelompok nelayan masa depan tidak hanya mengacu kepada konsepsi dan kondisi kelompok nelayan yang ada sekarang, akan tetapi pengertian kelompok nelayan yang berdaya saing tinggi yang mampu menghadapi era globalisasi pasar. Upaya pengembangan kelompok nelayan sebagai basis kegiatan ekonomi di pedesaan perlu dilihat secara komprehensif, disesuaikan dengan tujuan pembangunan perikanan dan kelautan secara utuh pada masa yang akan datang. Untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut, kelompok nelayan dipengaruhi oleh perubahan tak terkendali (teknologi, sumber daya alam, prasarana fisik, dan sosial budaya) seperti terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 (paradigma pengembangan kelompok nelayan) dapat di uraikan bahwa, kinerja kelompok nelayan di masa mendatang dalam mencapai tujuan pembangunan dipengaruhi oleh aspek ekonomi dan sosial budaya. Sistem ekonomi dipengaruhi oleh pemberdayaan sumber daya manusia (skill, manajerial dan organisasi), absorbsi kapital dan adopsi teknologi. Sedangkan aspek sosial dipengaruhi oleh tata nilai yang mencakup dua hal yaitu sistem moral (kolektif) dan etos kerja (individu). Pemberdayaan kelompok nelayan akan terlihat pada terbentuknya kesadaran moral untuk lebih mengharmoniskan hubungan antar perilaku usaha, antara manusia dengan sumber daya perikanan dan lingkungan setempat, antar sesama perilaku sosial pada sistem sosial yang berbeda. Sistem moral ini diharapkan dapat memerankan diri dalam penentuan basic need, pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan, partisipasi dalam pengambilan keputusan, mobilitas sosial dan penghargaan masyarakat pesisir (pedesaan pantai) terhadap pemeliharaan daya dukung sumber daya perikanan setempat.
16
SDM - Individu - Kolektif
KAPITAL
EKONOMI
Pemberdayaan - SDM - Skill - Manajerial - Organisasi
Produktivitas Nilai Tambah faktor Produksi
Kinerja Kelompok
Pendapatan
Pemngembangan Potensi SDI (Y10)
Pemerataan - Pendapatan - Pekerjaan
SOSBUD TEKNOLOGI
Pengembangan Network (Y12)
Mobilitas Sosial Vertikal
Sistem Nilai
HARMONIS
Sistem Moral
Gambar 2
PRODUKTIFITAS
Etos Kerja
Partisipasi/ Keputusan Pemeliharaan Daya Dukung Sumber Daya Perikanan
Paradigma pengembangan kelompok nelayan sebagai basis kegiatan ekonomi wilayah pesisir melalui pemberdayaan SDM, kapitalisasi dan adopsi teknologi (Sumber : Deptan, 2000)
2.2 Pemberdayaan Nelayan Deptan (2000), menggerakkan perekonomian nelayan atau wilayah pesisir yang dicirikan oleh peningkatan pendapatan, nilai tambah atas faktor produksi dan peningkatan pendapatan maka kelompok nelayan perlu diarahkan untuk memiliki daya saing yang tinggi. Kelompok nelayan yang berdaya saing tinggi perlu didukung oleh adanya kedinamisan usaha. Disamping itu perlu juga didukung oleh struktur, organisasi, manajemen yang baik, serta adanya dukungan kapital, teknologi dan skill yang merupakan pengaruh keterpaduan faktor internal dan faktor eksternal. Pendinamisan kelompok nelayan merupakan usaha aktif kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Proses pendinamisan suatu kelompok nelayan pada prinsipnya adalah memberi pengertian agar kelompok tersebut sadar tentang situasi dan kondisi yang ada saat ini dan sekaligus mengetahui posisinya dimana kelompok tersebut berada sehingga dapat meresponnya dengan wajar. Dengan demikian dengan 17
proses pendinamisan kelompok nelayan merupakan respon terhadap tuntutan hidup yang lebih baik, globalisasi pasar, dan arah transformasi dari budaya agribisnis nasional ke budaya agribisnis modern, sehingga terjadi perubahan karakteristik usaha, produk perikanan dan peranannya dalam perekonomian wilayah pesisir, kesemuanya itu, pada akhirnya akan memberikan energi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan pesisir secara keseluruhan. Pemberdayaan kelompok nelayan merupakan hal yang penting dalam mencapai ke arah tujuan pembangunan perikanan sebab kelompok nelayan merupakan kelembagaan terdepan di tingkat operasional dan berperan sebagai pelaku utama dalam pengembangan usaha perikanan. Pemberdayaan kelompok nelayan ini merupakan kondisi yang ditumbuhkan melalui penyuluhan perikanan dalam bentuk perubahan perilaku anggotanya. Untuk mampu melaksanakan usaha yang terus berkembang dimasa depan, tentunya diperlukan kualifikasi yang lebih baik bagi pelaku usaha, atau SDM perikanan (khususnya nelayan dan serentetan kelompok yang terkait erat dengannya). Pengembangan agribisnis perikanan oleh pemerintah terkesan sangat top down, sentralistik dan kurang memberikan ruang yang cukup leluasa bagi daerah dan pelaku-pelaku usaha skala menengah untuk mengorganisir diri. Penguatan organisasi usaha hanya terlihat pada masing-masing sub sistem usaha dan tidak pada keseluruhan jaringan usaha (agribisnis). Penguatan terlihat pada subsistem usaha pengolahan dan industri dan pemasaran skala besar dan ekspor, sementara sub sistem usaha nelayan terlihat lemah dalam penguasaan kapital dan teknologi. Hal ini akan menyebabkan lemahnya
keorganisasian
usaha
perikanan
yang
sekaligus
menyebabkan
ketidakefisienan sistem usaha perikanan di Indonesia. Pemberdayaan kelompok nelayan melalui sistem organisasi bisnis ini atau diistilahkan dengan korporatisasi diharapkan bisa menciptakan struktur keorganisasian usaha yang ramping dan tidak timpang.
Kelompok nelayan dapat dikembangkan menjadi lembaga usaha yaitu
sekarang disebut kelompok usaha bersama (KUB). KUB ini dapat diarahkan menjadi lembaga usaha setelah anggotanya berorentasi mengembangkan usaha bersama. Sekarang sudah banyak kelompok usaha bersama yang sudah berkembang dan maju, karena dilakukan latihan-latihan usaha baik secara taknis maupun latihan secara manajemen usaha.
Sehingga kedepan dalam mengembangkan usaha di lokasi
pemukiman nelayan akan lebih mudah melalui kelompok-kelompok nelayan setempat. 18
Dinamika dan Proses Pemberdayaan
SDM Kebijakan Kelembagaan Terkait
- Kapital - Teknologi - Skill
Kelompok Nelayan Berdaya Saing Tinggi
Produktivitas Nilai Tambah Atas Nilai Produksi Pendapatan
Tata Nilai Struktur Organisasi Manajemen
Pemerataan (Pendapatan dan Pekerjaan) Basic Need Mobilitas Sosial Vertikal Partisipasi/ Keputusan Pemeliharaan Daya Dukung Sumber Daya Perikanan Setempat
FEED BACK
Gambar 3
Kerangka pikir pengembangan kelompok nelayan sebagai basis kegiatan ekonomi di wilayah pesisir (Sumber : Deptan, 2000)
Seperti halnya sistem organisasi
bisnis,
sistem manajemen untuk
pengembangan usaha perikanan juga belum mengindahkan aspek yang berkaitan dengan peningkatan daya saing kelompok nelayan. Pada tahap ini ciri manajemen yang tampak masih kurang diterapkan asas transparansi, bersih dan tanggung jawab. Indikasi ini salah satunya terlihat dari organisasi koperasi atau KUD yang masih terkesan sebagai perpanjangan birokrasi pusat, yang dalam hal ini kurang dituntut adanya keterbukaan terhadap anggota. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kinerja KUD yang demikian jauh dari kepantasan untuk menghadapi persaingan yang ketat dalam era globalisasi. Dengan demikian gambaran pemberdayaan kelompok
19
nelayan perlu dilakukan reorientasi dibidang manajemen dengan memperhatikan kaidah-kaidah tadi (transparan, bersih dan bertanggung jawab). Kelompok nelayan yang berdaya saing tinggi ditentukan oleh kualitas atau skill SDM. Samsu (2000) menekankan bahwa masyarakat agribisnis yang didambakan pada masa kini adalah pelaku agribisnis yang mempunyai wawasan agroindustri, yang diwujudkan melalui mekanisme pengembangan SDM perikanan yang berwawasan agribisnis dan pembangunan infrastruktur perikanan yang berwawasan industri. Kedua aspek tersebut harus diusahakan sedemikian rupa agar menjadi bagian dari kultur budaya nelayan Indonesia. Kemampuan nelayan dalam memilih teknologi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan harus ditingkatkan dan diberi kesempatan yang seluas-luasnya, agar teknologi tersebut menjadi efektif dan efisien di dalam mendukung peningkatan produktivitas usaha perikanan. Selain itu nelayan juga harus didorong (encouraged) semaksimal mungkin untuk bisa berinovasi dalam bidang teknologi yang diinginkannya. Dukungan absorbsi kapital perlu mendapatkan perhatian agar kelompok nelayan berdaya saing tinggi. Diharapkan dengan adanya kelancaran dukungan kapital (termasuk sistem pelayanannya) kegiatan usaha perikanan ditingkat nelayan bisa berjalan secara lancar yang pada akhirnya dapat menggerakkan perekonomian di pedesaan pesisir/pantai. Menurut Kadarsan (1992) ada dua macam risiko dalam usaha Agribisnis yaitu pertama risiko perusahaan dimana berhubungan dengan bermacam-macam tingkat pendapatan yang diterima akibat bermacam-macam kegiatan usaha yang dijalankan oleh suatu perusahaan agribisnis. Risiko yang kedua adalah risiko keuangan dimana terjadi kerugian yang lebih besar akibat bertambahnya pemakaian modal pinjaman atau karena bertambah besarnya rasio pemakaian modal pinjaman dan modal sendiri. Dan ada lima sebab utama risiko yaitu ketidakpastian produksi, tingkat harga, perkembangan teknologi, tindakan-tindakan perusahaan dan orang atau pihak lain dan karena sakit atau kecelakaan (kematian). UU RI no 31 tahun 2004; Proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan (Pasal 20, Bab IV). Usaha Perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran (Pasal 25, Bab V). Pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana 20
untuk memberdayakan nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 62, Bab X). Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudidaya ikan kecil dalam kegiatan perikanan (Pasal 63, Bab X). DKP (2006) Bab XII, usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas penanaman modal sebagai berikut : Pasal 46 menjelaskan : (1)
Orang atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha penangkapan ikan harus melakukan investasi usaha pengolahan dengan pola investasi perikanan tangkap terpadu dan.
(2)
Pola investasi perikanan tangkap terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membangun dan/atau memiliki sekurang-kurangnya berupa unit pengolahan ikan.
Pasal 47 menjelaskan : (1)
Orang atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha perikanan tangkap terpadu wajib menggunakan fasilitas penanaman modal asing (PMA) atau fasilitas penanaman modal dalam negeri (PMDN), dengan mendirikan usaha perikanan tangkap terpadu berbadan hukum dan berlokasi di Indonesia.
(2)
Persyaratan dan tatacara permohonan penanaman modal dalam rangka PMA atau PMDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 48 menjelaskan : (1)
Perbandingan antara modal asing dengan modal dalam negeri untuk usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas PMA sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) berasal dari modal dalam negeri, sejak tahun pertama perusahaan didirikan.
(2)
Untuk menilai keberadaan permodalan dan/atau aset dari penanaman modal usaha perikanan tangkap terpadu dilakukan pengecekan aset oleh tim yang ditetapkan Direktur Jenderal
Pasal 49 menjelaskan :
21
(1)
Usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas PMA dapat dilakukan antara orang atau badan hukum asing dengan orang atau badan hukum Indonesia dengan mengajukan permohonan penanaman modal kepada instansi yang berwenang di bidang penanaman modal.
(2)
Pengajuan permohonan PMA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat berupa usulan penanaman modal baru dan/atau perluasan penanaman modal dalam rangka PMA atau PMDN.
(3)
Persyaratan, tatacara dan prosedur investasi dengan fasilitas PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50 menjelaskan : (1)
Orang dan/atau badan hukum asing dapat menanamkan modalnya melalui penyertaan modal pada perusahaan Indonesia yang menggunakan fasilitas PMDN dengan ketentuan maksimum 80% dari modal yang dimiliki perusahaan yang dimaksud, dan status perusahaan berubah menjadi PMA.
(2)
Persyaratan, tatacara dan prosedur investasi dengan fasilitas penyertaan modal orang atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 51 menjelaskan : (1)
Usaha perikanan tangkap terpadu dalam rangka PMA dan/atau PMDN dapat dilakukan melalui penggabungan perusahaan (merger).
(2)
Badan-badan hukum yang melakukan penggabungan perusahaan (merger) dapat menggunakan aset perusahaannya berupa unit pengolahan ikan dan/atau kapal perikanan.
(3)
Penggunaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terlebih dahulu dihitung nilai nominalnya oleh lembaga penilai aset independen yang diakreditasi oleh Pemerintah.
(4)
Persyaratan, tatacara dan prosedur penggabungan perusahaan (merger) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52 menjelaskan :
22
(1) Modal dalam rangka penanaman modal baru, perluasan penanaman modal, penyertaan modal dan penggabungan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 dapat berupa fasilitas pengolahan ikan dan/atau fasilitas pendukungnya dan/atau kapal-kapal penangkap ikan. (2) Fasilitas pengolahan, pendukung serta kapal-kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai barang modal dan harus terlebih dahulu dihitung nilai nominalnya oleh lembaga penilai aset idependen yang diakreditasi oleh Pemerintah.
2.3 Review Terhadap Beberapa Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin Program pemberdayaan sosial ekmonomi masyarakat pesisir dalam rangka penanggulangan kemiskinan mencakup berbagai aspek kehidupan, sehingga pendekatannya pun meski bersifat holistic. Peningkatan akses dan pelibatan dalam ekonomi merupakan ujung tombak dari pendekatan holistik itu. Oleh karena itu upaya perluasan akses dan peningkatan partisipasi masyarakat pesisir dalam kegiatan ekonomi pesisir sangatlah penting. Tentu saja hal tersebut dilakukan dengan iringan perbaikan sistem pendukungnya yang mendorong peningkatan produksi dan pendapatan serta mempercepat proses penanggulangan kemiskinan tersebut. Namun demikian, patut dicatat juga upaya pemberdayaan masyarakat pesisir mesti memperhatikan stratifikasi sosial yang ada. Hal ini mengingat pada umumnya program pemberdayaan masyarakat nelayan bisa kepada nelayan lapisan atas (Satria, 2001). Beberapa kebijakan pemberdayaan yang perlu dikembangkan paling tidak bisa mencakup tiga aspek, yakni aspek usaha, SDM, dan lingkungan. (1)
Pemberdayaan usaha ; merupakan upaya peningkatan kualitas usaha perikanan. Ada beberapa hal yang mencakup dalam aspek usaha. Pertama, inovasi teknologi, peningkatan akses informasi, pasar, bantuan modal dan transfer pengetahuan yang dapat mendorong efisiensi produksi, efektivitas manajemen dan modernisasi alat-alat maupun faktor produksi, menjadi tahapan yang harus ditempuh. Kedua, pemberdayaan usaha juga mesti mencakup pengembangan asuransi perikanan untuk mengurangi tingginya tingkat resiko kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan kecil. Ketiga, perlu program kemitraan yang diarahkan untuk menciptakan hubungan yang paling menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi antara kelompok pelaku 23
usaha besar dengan nelayan kecil. Ketiga hal tersebut merupakan langkah yang mesti terpadu untuk memecahkan kemiskinan struktural. (2)
Pemberdayaan SDM ; merupakan langkah peningkatan kualitas SDM baik dalam konteks pola sikap dan perilaku, keterampilan, kemampuan manajerial, maupun aspek gizi. Salah satu langkah yang perlu dikembangkan dan mesti diteruskan adalah pelatihan kredit mikro sistem grameen bank. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manajemen organisasi masyarakat pesisir serta untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan kelompok dalam penyediaan modal usaha. Diharapkan terjadi peningkatan kualitas nelayan dalam manajemen organisasi nelayan, mengakses modal usaha, serta tumbuhnya kesadaran nelayan tentang pentingnya modal usaha melalui mekanisme tabungan kelompok. Ini merupakan entry point menanggulangai kemiskinan kultural dikalangan nelayan.
(3)
Pemberdayaan lingkungan ; merupakan langkah penting dalam mencegah dan mengatasi terjadinya kemiskinan alamiah sekaligus merupakan pintu bagi terwujudnya perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries). Langkah pemberdayaan lingkungan tersebut mencakup peningkatan kesadaran dan kemampuan nelayan dalam konservasi sumber daya pesisir dan laut. Dalam beberapa tahun terakhir program penanggulangan kemiskinan atau
pemberdayaan yang ditangani oleh berbagai sektor semakin marak dan mendapat momentum yang semakin besar. Program-program dimaksud diantaranya berupa program khusus seperti IDT dan Takesra/Kukesra dan program sektoral lainnya seperti P4K, KUB (Departemen Pertanian), HPH bina desa hutan (Departemen Kehutanan), kelompok usaha bersama/KUB (Departemen Sosial), usaha ekonomi desa/UED (Ditjen PMD-Depdagri), proyek hubungan dan swadaya masyarakat/PHBK (Bank Indonesia) dan proyek sektoral lainnya termasuk kegiatan pemberdayaan yang telah dilakukan oleh LSM/LPSM yang belum terpublikasikan. Secara kuantitatif program atau penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan sulit dihitung karena jenis dan jumlahnya demikian banyak dan beragam. Secara kuantitatif program penanggulangan kemiskinan telah banyak memberikan kontribusi dalam menurunkan angka kemiskinan absolut, dimana pada tahun 1972 jumlah penduduk miskin berjumlah 69 juta orang menjadi 22 juta orang atau 11,3% pada tahun 1997 (Satria, 2001)
24
Problematika terjadi krisis moneter yang dimulai bulan Juli 1997 telah mengubah hasil kerja puluhan tahun yang seolah-olah kembali ke titik nol dan praktis menambah angka kemiskinann. Kontribusi krisis moneter ini bagi pendatang baru mungkin masih memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, tetapi bagi yang miskin sejak dahulu seperti nelayan dan keluarganya, petani kecil di desa dan berbagai kalangan yang kehidupannya serupa akan semakin miskin terpuruk. Berbagai program penanggulangan kemiskinan baik yang dilakukan oleh dinas/instansi pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki elemen-elemen pendekatan yang sama yakni : pertama adanya pendekatan kelompok; kedua adanya pendekatan modal/dana sebagai pemicu kegiatan ekonomi; ketiga adanya pendampingan pada kelompok-kelompok warga binaan; keempat adanya pendayagunaan “resource” setempat. Namun demikian, ada pula kekhawatiran dan keraguan tentang efektivitas sumber daya yang telah kita alokasikan pada program kemiskinan mempunyai dasar, mengingat pembangunan yang begitu besar harus muncul dari masyarakat itu sendiri. Pemerintah hanya mengarahkan, membina dan mengendalikan ke arah yang benar sehingga terwujud perubahan struktur masyarakat yang lebih mandiri. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa peran aparatur negara harus bergeser dari mengendalikan menjadikan, mengarahkan, dari memberi menjadi memberdayakan. Asumsi selama ini bahwa pemerintah pasti senantiasa tahu apa yang terbaik untuk rakyat, sudah harus ditinggalkan. Bila strategi dan arah kemandirian warga binaan menjadi fokus utama bersama, maka menjadi tugas bersama pula untuk mencari dan merumuskan komponen-komponen metodologi penanggulangan kemiskinan yang dapat mengantar warga binaan menjadi mandiri. Kemandirian harus dipahami sebagai kemampuan warga binaan untuk menjangkau fasilitas yang tersedia dan kemampuan mengambil keputusan sendiri, untuk mencapai kesejahteraannya. Kemandirian dengan demikian adanya paham yang proaktif dan bukan reaktif atau detensif. Kemandirian merupakan konsep
dinamis
karena
mengenali
bahwa
kehidupan
dan
kondisi
saling
ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, pertimbangannya maupun nilai-nilai yang mendasarinya dan mempengaruhinya. Berdasarkan pengalaman berbagai proyek/program pemberdayaan atau proyek penanggulangan kemiskinan, meliputi beberapa hal berikut ini.
25
2.3.1 Masalah sumberdaya masyarakat Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbatasan yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas akses pada kegiatan ekonomi sehingga semakin tertinggal jauh dari masyarakat lainnya. Kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, dan pada dasarnya dapat dibedakan dalam beberapa pengertian, antara lain kemiskinan natural (alamiah) dan kemiskinan struktural. Kemiskinan memiliki dimensi yang beragam, masyarakat miskin tidak hanya miskin ekonomi tetapi juga miskin dimensi-dimensi lainnya seperti dalam hal kesehatan, pendidikan, keluarga berencana, dan juga dimensi spiritual keagamaan. Upaya untuk menanggulanginya diperlukan pendekatan yang komprehensif, bukan hanya bersifat ekonomi saja melainkan juga aspek-aspek lainnya. Dengan demikian, program penanggulangan kemiskinan merupakan “Human Development Investment”. Program penanggulangan kemiskinan yang dewasa ini banyak dilakukan kurang memiliki pemahaman mendalam tentang hakekat kemiskinan, orang miskin dipandang sebagai orang tidak berupaya (The Have Not) bahkan dipandang sebagai beban pembangunan. Hal ini yang sering disalah fahami adalah pengembangan sumber daya manusia dalam kaitan dengan masyarakat miskin telah dikacaukan antara Human Development/HD (pengambangan manusia) bukan Human Resource Development. Sebab dengan Human Resources, kita arahkan untuk mendidik tenaga terampil untuk kepentingan pemilik modal dan terjebak pada manusia sebagai obyek. Program penanggulangan kemiskinan harus diarahkan pada pengembangan manusia (Human Development) sejak usia balita. Langkah pengembangan manusia harus diawali dengan penyadaran pengertian, keterampilan, pemanfaatan sumber daya di lingkungan sendiri, pengambilan keputusan, organisasi, manajemen, wirausaha, dan mengenalkan berbagai fasilitas pembangunan yang tersedia. Dengan langkah-langkah ini diharapkan masyarakat miskin dapat menjadi masyarakat yang bertanggung jawab dan dapat berpartisipasi secara penuh dalam proses pembangunan. Masyarakat ini ditandai oleh kumpulan manusia seutuhnya dan manusia yang berkualitas dengan ciricirinya iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, produktif, kreatif, disiplin dan mandiri. Manusia yang mandiri biasanya memeiki kompetensi dimana mempunyai skil, pengetahuan dan sikap yang baik.
26
2.3.2 Masalah kelembagaan Pendekatan kelompok yang selama ini dilakukan oleh berbagai program penanggulangan kemiskinan secara mikro dipandang sebagai suatu pendekatan yang efektif dan dapat menjangkau lebih banyak mereka yang miskin. Di samping itu, pendekatan kelompok dapat menumbuhkan rasa kesetiakawanan, membina budaya gotong royong diantara warga binaan. Lebih dari itu, pendekatan kelompok dapat pula sebagai wahana munculnya kepemimpinan dari mereka sendiri dan sebagai wahana bagi
dinas/instansi
sektoral
pemerintah
dalam
menyampaikan
pesan-pesan
pembangunan sesuai dengan bidangnya. Masalah yang sering dijumpai dalam menerapkan pendekatan kelompok sering berhenti pada kelompok yang bercorak sosial belaka, kegiatan ekonomi hanya berjalan pada saat awal program karena adanya kucuran modal/dana awal. Untuk itu, para pendamping kelompok haruslah dibekali wawasan, agar dalam mendampingi kelompok tidak berhenti pada kegiatan sosial saja, tetapi harus berlanjut dan mandiri menjadi kegiatan ekonomi dengan skala yang lebih besar. Dengan demikian kelompok menjadi modal dasar bagi terbentuknya lembaga ekonomi lainnya. Masalah lain yang terabaikan adalah pengertian kelembagaan sering diartikan sebatas kelompok-kelmpok, pada kelembagaan mencakup pula pengertian sistem dan kebijakan serta kelembagaan sistem itu sendiri. Kelembagaan sektor perikanan saat ini belum sempurna/mapan khususnya yang bernuansa bisnis perikanan dalam suatu sistem agrobisnis yang terintegrasi antara aspek input, penangkapan, pengolahan dan pemasaran ekspor maupun dalam negeri. Tiadanya ikatan institusional antar pelaku dalam agrobisnis perikanan tersebut menyebabkan nelayan yang bersifat lemah, menghadapi kelompok kutub hilir (pedagang/broker ikan) maupun penyuplai faktor produksi pedagang barang-barang untuk keperluan operasional yang sangat kuat yang menyebabkan munculnya masalah transmisi global yang menggambarkan beban risiko pada nelayan.
2.3.3 Masalah permodalan Program penanggulangan kemiskinan yang dewasa ini dilancarkan pada umumnya memberikan dukungan permodalan, pendekatan ini sangat membantu warga binaan meningkatkan pendapatan mereka. Bentuknya dukungan permodalan yang diberikan pada warga binaan dapat diklasifikasikan dalam bentuk : bantuan cuma-cuma, bantuan bergulir/berputar bantuan subsidi, bantuan kredit komersial 27
(dengan kemudahan khususnya). Semua bentuk bantuan diatas bagi warga binaan sendiri merupakan dukungan dalam meningkatkan skala usahanya. Masalahnya adalah bentuk bantuan yang bagaimana yang dapat mendorong dan memotivasi warga binaan mencapai kemandirian. Di samping itu, program penanggulangan kemiskinan memiliki keterbatasan sumber daya baik tenaga, waktu dan dana terlebih lagi dalam situasi semakin langkanya sumber-sumber permodalan warga binaan. Dalam hubungan ini, maka dimasa depan harus mulai diantisipasi bentuk dukungan modal/kredit yang berdimensi pendidikan, bukan bentuk dukungan “charitatif” atau belas kasihan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kredit yang berdimensi pendidikan adalah secara berkelompok maupun perorangan dapat akses kredit secara normal pada lembaga keuangan dalam hal ini di Bank. Untuk mencapai tahap itu, warga binaan harus mulai dikenalkan dengan Financial Intermediary Institutions (Lembaga Keuangan Perantara) di wilayahnya. Disamping akses pada permodalan, warga binaan (kelompok) perlu dibimbing untuk dapat akses warga binaan terhadap sumber data setempat (Sumber Daya Alam), hal ini dapat dilakukan melalui upaya advokasi.
2.3.4 Stakeholder Stakeholder adalah pihak-pihak yang berkepentingan, individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan sama atas kehidupan dan suksesnya organisasi. Pihak-pihak tersebut (stakeholder) antara lain : (1)
Sektor produksi terdiri dari 1) Kelompok penangkapan (nelayan) 2) Kelompok budidaya (petani nelayan)
(2)
Sektor pengolahan 1) Kelompok pengolahan tradisional (home industri) 2) Kelompok pengolahan modern (pabrikan)
(3)
Sektor pemasaran 1) Kelompok pemasar lokal. 2) Kelompok pemasar internasional (import)
(4)
Sektor pengguna 1) Konsumen lokal 2) Konsumen internasional
(5) 28
Sektor pengadaan dan penyalur sarana produksi
1) Kelompok pabrik es 2) Kelompok galangan kapal 3) Kelompok perbaikan perawatan 4) Kelompok suplai perbekalan operasional (6)
Sektor lembaga penunjang 1) Kelompok keuangan 2) Kelompok penelitian 3) Kelompok perguruan tinggi 4) Kelompok NGO (LSM) 5) Instansi pemerintah (bea cukai, pelabuhan, bank, sahbandar, imigrasi)
Pengertian stakeholder Istilah stakeholder sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumber daya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembagalembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan
implementasi keputusan.
Secara sederhana,
stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu atau suatu rencana. Dalam buku Cultivating Peace, Ramizes mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai stakekholder ini. Beberapa defenisi yang penting dikemukakan seperti Williamsson (1999) yang mendefenisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu, atau secara singkat mendefenisikan stekeholder merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagimana dikemukakan Williamsson (1999), yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap isu, dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka. Pandangan-pandangan di atas menunjukkan bahwa pengenalan stakeholder tidak sekedar menjawab pertanyaan siapa stakeholder suatu isu tapi juga sifat hubungan stakeholder dengan isu, sikap, pandangan, dan pengaruh stakeholder itu. Aspek-aspek ini sangat penting dianalisis untuk mengenal stakeholder.
29
Kategori stakeholder Berdasrkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu isu stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok ODA (1995) mengelompokkan stakeholder kedalam yaitu stakeholder primer, sekunder dan stakeholder kunci sebagai gambaran pengelompokan tersebut
pada berbagai
kebijakan, program, dan proyek pemerintah (publik) dapat kemukakan kelompok stakeholder seperti berikut :
Stakeholder utama (primer) Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. (1)
Masyarakat dan tokoh masyarakat : Masyarakat yang terkait dengan proyek, yakni masyarakat yang di identifkasi akan memperoleh manfaat dan yang akan terkena dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari proyek ini. Tokoh masyarakat : Anggota masyarakat yang oleh masyarakat ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat
(2)
Pihak manajer publik : lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan.
Stakeholder pendukung (sekunder) Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (consern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. (1)
Lembaga (Aparat) pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung.
(2)
Clayton (1985) lembaga pemerintah yang terkait dengan isu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan.
(3)
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat : LSM yang bergerak di bidang yang bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki “concern” (termasuk organisasi massa yang terkait).
30
(4)
Perguruan Tinggi : Kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam pengambilan keputusan pemerintah. Oleh Williamsson (1999).
(5)
Pengusaha (Badan usaha) yang terkait.
Stakeholder kunci
Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif, dan instansi. Misalnya, stakeholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten. (1)
Pemerintah Kabupaten
(2)
DPR Kabupaten
(3)
Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan.
Stakeholder VS publik Berdasarkan uraian di atas, pengertian stakeholder dalam pengambilan keputusan publik lebih luas daripada istilah publik itu sendiri. Banyak kasus istilah stakeholder sering digunakan dalam arti yang sama. Misalnya, keputusan ini tidak boleh hanya didominasi oleh pemerintah, tetapi harus melibatkan seluruh stakeholder. Jika yang dimaksud adalah stakeholder non-pemerintah, maka seharusnya dinyatakan sebagai stakeholder publik. Pada kasus lain, pengertian publik lebih luas dari stakeholder. Publik dapat berarti semua warga negara non pemerintah, sementara stakeholder hanya terkait dengan suatu isu/rencana tertentu. Istilah dalam literatur pelibatan publik bahwa yang diidentifikasi sebagai kelompok yang perlu dilibatkan dinyatakan sebagai publik relevan (relevant publik). Istilah publik relevan inilah dapat disamakan dengan stakeholder publik. Clayton (1995) menyatakan bahwa publik relevan terhadap suatu isu adalah semua representasi group atau individu masyarakat baik yang terorganisir maupun tidak teroganisir masyarakat sebagai publik yang dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk penyelesaian, dengan kata lain sumber informasi yang tepat dalam pengumpulan data untuk pengambilan keputusan, atau publik yang dapat mempengaruhi kemampuan mengimplementasikan keputusan. Jadi intinya adalah keterkaitan publik dengan isu-kebijakan, program, dan proyek yang dapat dilihat dari lokasi (manfaat dan resiko) dan ruang kepedulian. Istilah publik relevan dan istilah stakeholder publik penting diketengahkan 31
karena berbagai tulisan dan pernyataan yang bersifat umum mengenai stakeholder sering mempersamakan kata stakeholder dengan publik tanpa melihat keterkaitannya dengan suatu isu. Suatu perencanaan misalnya sering mempersyaratkan adanya keterlibatan stakeholder. Untuk memenuhi syarat ini, pemerkarsa biasanya langsung mendaftar semua institusi sebagai suatu cara pelibatan stakeholder secara luas. Karena tersusunlah daftar panjang instansi-instnasi, LSM-LSM, organisasi masyarakat, para pengusaha, perguruan tinggi tanpa melihat keterkaitan antara institusi dengan isu. Padahal keterkaitan tersebutlah yang sangat penting diperhatikan. Karakteristik Stakeholder Selain pengelompokkan berdasarkan hubungan antara stakeholder dengan isu, stakeholder-stakeholder publik atau apa yang diistilahkan dengan publik relevan dapat dikolompokkan berdasarkan karakteristik pengorganisasiannya, yaitu : (1)
Stakeholder publik yang tidak terorganisir. Stakeholder individu yang tidak dapat diwakili oleh pihak lain. Masyarakat, tokoh masyarakat, pengamat, dan sebagainya.
(2)
Stakeholder publik yang terorganisir, stakeholder yang terhimpun dalam suatu organisasi atau kelompok tertentu, dimana pimpinan atau anggota yang ditunjuk dapat mewakili organisasinya memberi pandangan dan sikap dalam proses pengambilan atau implementasi suatu keputusan.
(3)
Stakeholder yang terorganisir secara semu. Stakeholder yang memiliki organisasi atau kelompok tertentu, tetapi tidak memiliki perwakilan dalam pengambilan keputusan. Pemimpin dan anggota diberi kebebasan bersikap dan berpandangan sehingga biasanya anggotanya tidak bisa bertindak atas nama organisasi. Misalnya, beberapa organisasi informal di masyarakat, LSM-LSM, dan sebagainya. Dalam proses pengambilan keputusan, suatu isu dapat berhubungan dengan
salah satu karakteristik stakeholder atau kombinasi stakeholder tersebut. Maksudnya, suatu keputusan yang akan diambil dapat berhubungan stakeholder publik yang tidak terorganisir atau dapat pula berhubungan dengan beberapa stakeholder terorganisir (multi-stakeholder terorganisir). Paling sederhana, berhadapan dengan hanya satu group stakeholder terorganisir, tetapi adakah? Karena itu, makin luas cakupan wilayah isu dan makin tinggi derajat pengaruh isu terhadap berbagai pihak baik dari segi manfaat maupun resiko makin kompleks stakeholder-nya. Namun demikian tidak berarti luasnya cakupan dan kompleksnya derajat pengaruh isu tersebut menggiring 32
kita justru menyederhanakan identifikasi stakeholder dengan serta merta melibatkan semua unsur yang ada dalam isu bersangkutan tanpa memilah-milah keterkaitannya. Pengelompokan stakeholder dapat dilihat dari kecendrungan posisi dan pandangan, misalnya kelompok yang terdiri LSM, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, dan masyarakat bawah, dan kelompok yang cenderung netral atau selama ini lebih berafiliasi dengan pemerintah, seperti Perguruan Tinggi, organisasi profesi dan konsultan. Secara umum, karakteristik stakeholder yang meliputi kepentingan/ kepedulian, kekuatan pengaruh terhadap keputusan, pengaruh terhadap anggota, cara kerja, social original, dan relasi antar stakeholder. Karakteristik ini sudah meliputi tiga komponen, yaitu kecenderungan sikap, perilaku, dan konteks mereka.
Representasi stakeholder publik Mungkin karena kerumitan pelibatan publik sehingga banyak pihak selalu mempersoalkan sukarnya mengidentifikasi publik yang representatif. Banyak kasus proses pengambilan keputusan yang telah melibatkan unsur non pemerintah tetapi protes atau penolakan dari beberapa pihak masih terjadi. Beberapa pihak menganggap bahwa proses pelibatan publik yang dilakukan hanya formalitas sementara perencana kebijakan merasa telah melibatkan publik secara luas. Ada pula keluhan bahwa pelibatan publik yang lebih luas lagi akan memakan biaya yang sangat besar dan waktu yang sangat lama. Karena itu masalah representasi publik menjadi hal yang sangat penting. Pertanyaannya adalah “siapa mewakili siapa?” “Apakah wakil-wakil memiliki legitimasi yang kuat dari suatu group? Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya sukar dijawab tanpa suatu pengalaman empirik yang memadai. Namun demikian, beberapa pedoman yang penting. (Boks 1). Perlu dicatat, bahwa istilah representasi bukan dalam arti mewakili populasi tetapi mewakili sikap dan pandangan publik. Karena itu pula representasi ini tidak boleh dibatasi oleh wilayah administrasi, publik yang proaktif. Mungkin, kriteria representasi yang paling tepat ditetapkan sendiri melalui perundingan diantara mereka. Mereka yang diajak atau dilibatkan dalam perundingan awal adalah mereka mereka yang diidentifikasi sebagai publik yang pro-aktif.
Identifikasi stakeholder : isu, spasial, dan para pihak Untuk mengidentifikasi stakeholder, terdapat tiga unsur yang saling terkait yaitu, isu yang dapat berupa masalah, manfaat, kerugian, wilayah (border) isu dalam 33
hal ini lokasi/spasial, dan aktor personal dan atau institusi yang terkait dengan isu itu. Aktor inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai stakeholder-stakeholder. Uraian cara-cara mengidentifikasi stakeholder ini akan disajikan dengan menampilkan kasus rencana pembangunan parasarana sumber daya air.
Analisa dilakukan sedini mungkin Analisis stakeholder hendaknya dilakukan sedini mungkin pada awal program untuk mengidentifikasikan berbagai kelompok yang tertarik, berkait dan berminat dengan isu tertentu seperti kesehatan reproduksi, lingkungan dll. Identifikasi pandangan dan karakteristik dari setiap stake holder ini sangat penting, yang merupakan dasar untuk pelaksanaan tahap berikutnya dalam prakarsa advokasi. Identifikasi yang spesifik ini dapat menghasilkan suatu “profil stakeholder”. Semakin spesifik informasi pada setiap stakeholder, maka semakin mudah untuk memastikan ketetapan informasi, pesan, dan investasi yang akan dilakukan.
Katagori Stakeholder Dalam advokasi sesuatu program dapat dibagi dalam empat katagori yaitu : (1)
Penerima advokasi (beneficiaries) atau stakeholder primer Adalah individu atau kelompok yang memperoleh manfaat secara langsung dari hasil suatu kegiatan advokasi. Jika dimobilisasi secara tepat maka penerima advokasi merupakan pendukung yang paling terpercaya dan meyakinkan. Namun sayang memobilisasi penerima advokasi ini susah dilaksanakan bahkan tidak mungkin
(2)
Mitra dan sekutu atau stakeholder sekunder Adalah individu, kelompok maupun organisasi yang mempunyai pandangan atau posisi yang sama dan siap bergabung didalam suatu koalisi untuk mendukung isu tertentu. Membangun kemitraan adalah penting, untuk itu perlu dilakukan identifikasi dan kontribusinya dalam usaha advokasi. Mitra perlu keyakinan dan dorongan terus menerus. Untuk mempererat kemitraan perlu adanya tujuan yang jelas, Pembagian informasi dan pengalaman belajar, komunikasi yang terbuka dan jujur, serta adanya pertemuan rutin.
(1)
Membuat keputusan atau stakeholder kunci Adalah mereka yang berkepentingan dengan kekuasaan atau otoritas untuk
34
bertindak mempengaruhi perubahan atau kebijakan yang diharapkan. Yang termasuk di dalam kelompok ini adalah para pembuat undang-undang, anggota parlemen, anggota kabinet, pemuka masyarakat, pemimpin agama, pemimpin tradisional dsb. Tidak dapat diragukan bahwa keputusan adalah merupakan target yang bermakna dalam suatu program advokasi. Untuk itu kelompok ini mendapat perhatian yang lebih dalam upaya advokasi dibandingkan dengan kelompok lainnya. (2)
Musuh atau penentang Adalah individu atau kelompok yang memiliki sikap yang bertentangan atau berbeda dalam suatu masalah tertentu dengan sikap dimana advokasi itu dilakukan.
Musuh, jangan dilihat sebagai lawan yang harus ditentang,
melainkan sebagai seseorang yang memiliki kayakinan dan sikap yang berbeda terhadap isu tertentu.
Pentingnya identifikasi musuh ini guna menentukan
posisi mereka tentang suatu masalah dan menentukan dasar untuk dialog. Stakeholders adalah pihak-pihak yang berkepentingan, individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan sama atas kehidupan dan suksesnya organisasi. Pihakpihak tersebut antara lain; (1)
Pemilik atau pemegang saham
(2)
Pekerja/karyawan/ABK
(3)
Pemilik kapal
(4)
Nelayan
(5)
Pelaku pasar
(6)
Eksportir dan importir Perikanan
(7)
Koperasi perikanan.
(8)
Instansi pemerintah (Bea cukai, Pelabuhan perikanan, Sahbandar, Imigrasi)
(9)
Investor
2.3.5 Strategi pemasaran hasil perikanan dalam perspektif agribisnis Menurut Soepanto (1995) pilihan strategi yang yang tepat untuk strategi pemasaran hasil perikanan di Indonesia ialah pertama corporate strategy, kedua business strategy dan ketiga functional marketing strategy: (1)
Corporate strategy ialah economics of
scala dibentuk dengan cara
melaksanakan integrasi vertikal dan horizontal antara para pelakuk yaitu input35
supplier, produser, processor dan consumer. Kesemuanya menjadi satu kesatuan dan bekerja sama yang saling membutuhkan dan menguntungkan, dan masing-masing memiliki keunggulan. (2)
Business strategy yaitu value added strategy yang dibentuk lewat inovasi dalam produk maupun dalam proses. Inovasi dalam produk diharapkan menghasilkan kinerja yang lebih baik, sedangkan inovasi dalam proses produksi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi dan kualitas.
(3)
Functional marketing strategy yaitu dengan merumuskan strategi pemasaran dilaksanakan analisis enam fenomena pasar 1). Produk life cycle, 2). Segmentasi, 3). Positioning, 4). Market respones, 5). Keputusan pelanggan, 6). Pola pesaingan. Dari analisis tersebut kemudian ditetapkan keputusan strategis marketing yang
meliputi; (1)
Sasaran/target misalnya : market share, sales, contribution margin, keputusan pelanggan.
(2)
Segmentasi, targeting dan positioning (STP)
(3)
Bauran pasar (4P==6P=====9P); 4P == Product, Pricing, Placement dan Promotion, 6P = 4P + Power, Public relation, 9P = 6P + Visualisasi, Services dan Proses.
2.3.6 Masalah lingkungan hidup Masalah yang sering dilupakan dalam program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya perhatian terhadap masalah lingkungan hidup di mana masyarakat miskin itu berada. Kurangnya dan buruknya sarana prasarana lingkungan seperti jalan, MCK dan tidak ada akses pada air bersih dan penerangan telah memperburuk kesehatan mereka. Untuk itu perbaikan sarana dan prasarana fisik harus dibangun bersamaan dengan upaya penyadaran tentang lingkungan hidup yang baik dan bersih.
2.3.7 Perilaku berwirausaha nelayan Wirausaha adalah individu yang memiliki pengendalian tertentu terhadap alatalat produksi dan menghasilkan lebih banyak daripada yang dapat dikonsumsinya atau dijual atau ditukarkan agar memperoleh pendapatan atau orang yang menghasilkan kombinasi baru dengan cara memperkenalkan produk-produk atau proses-proses atau mengantisipasi pasar ekspor atau mengkreasikan tipe organisasi baru. 36
Seorang wirausaha memimpin suatu industri baru yang bisa menghasilkan perubahan struktural, pertumbuhan ekonomi dan siklus bisnis dengan cara mengkombinasikan ide-ide ekonomi dan psikologi. Selanjutnya mengartikan wirausaha sebagai orang yang menghancurkan orde ekonomi yang sudah ada dengan memperkenalkan produk dan jasa baru, menciptakan bentuk organisasi baru, atau dengan mengekploitasi bahan baku baru. Kemampuan orang tersebut, menurut Meredith et al. (1996), karena danya peluang yang diperoleh dan mampu menciptakan organisasi untuk mengejar peluang tersebut. Menurut Bygrave (1996), para wirausaha mengendalikan revolusi yang mentransformasi
dan
memperbaharui
perekonomian
dunia.
Kewirausahaan
(entrepreneurship) merupakan esensi dari usaha bebas karena kelahiran bisnis baru memberikan vitalitas bagi ekonomi pasar. Kewirausahaan bukanlah sesuatu yang baru dalam ekonomi, istilah kewirausahaan telah digunakan setidaknya 150 tahun, dan konsepnya telah ada selama 200 tahun (Bygrave, 1987). Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang dikarakterisasi oleh kepemilikan swasta, yang digunakan oleh pemiliknya untuk memperoleh laba bagi dirinya. Sekelompok industrialis sukses ini disebut sebagai entrepreneur yang dalam bahasa prancis berarti melaksanakan tugas. Setelah tahun 1979, penelitian penciptaan pekerjaan telah membuat wirausahawan menjadi pahlawan (Bygrave, 1987), dimana wirausaha adalah pencipta kekayaan melalui inovasi, wirausaha adalah pusat pembuatan pekerjaan dan ekonomi, dan wirausaha memberikan mekanisme pembagian kekayaan yang bergantung pada inovasi, kerja keras, dan pengambilan resiko. Jadi wirausaha memberikan metoda redistribusi kekayaan yang wajar dan sama rata. Kewirausahaan merupakan hasil suatu proses pengaplikasian kreativitas dan inovasi secara sistematis dan disiplin dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan menangkap berbagai peluang di pasar (Zimmerer and Scarborough, 1996). Maka dari itu kewirausahaan melibatkan strategi fokus terhadap ide-ide dan pandangan baru untuk menciptakan produk atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan menyelesaikan masalah konsumen. Sedangkan wirausaha adalah orang yang mengkawinkan ide-ide kreatif dengan tindakan yang bertujuan dan berstruktur dari bisnis. Jadi, kewirausahaan yang berhasil adalah proses konstan, dari kreativitas, inovasi, sampai aplikasinya di pasar (Gambar 4).
37
Impres nomor 4 tahun 1995 tentang gerakan nasional memasyakatkan dan membudayakan kewirausahaan (GNMMK) dalam lampirannya menyatakan bahwa kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Aspek pelayanan dan keuntungan merupakan target yang harus diperbaiki dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan yang melibatkan semua pelaku dalam sistem agribisnis, seperti peneliti, penyuluh, lembaga pemerintah, lembaga keuangan dan lainnya.
KREATIVITAS
Memikirkan Sesuatu yang Baru
Gambar 4
INOVASI
KEWIRAUSAHAAN
Melakukan Sesuatu yang Baru
Menciptakan Nilai Pasar
Rantai kewirausahaan
Tujuan yang ingin dicapai dari GNMMK adalah: (1)
Menumbuhkan kesadaran dan orientasi kewirausahaan yang kuat kepada masyarakat.
(2)
Meningkatkan jumlah wirausaha yang berkwalitas, handal, tangguh dan unggul
(3)
Mewujudkan kemampuan dan kemantapan para pengusaha untuk dapat menghasilkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan pengusaha kecil serta koperasi pada khususnya.
(4)
Membudayakan semangat, sikap, perilaku dan kemampuan wirausaha di kalangan masyarakat, terutama kepada generasi muda sehingga berkemampuan menjadi wirausaha handal, tangguh dan unggul. Sasaran GNMMK tidak hanya kelompok pelaku ekonomi tau pengusaha,
tetapi juga kelompok pembina (pemerintah, lembaga profesi, organisasi sosial dan
38
lainnya) dan kelompok-kelompok khusus dalam masyarakat, seperti anak sekolah dan putus sekolah. Menurut Meredith et al. (1996) wirausaha adalah individu-individu yang berorientasi kepada tindakan, dan bermotivasi tinggi, serta berani mengambil resiko dengan mengejar tujuannya. Dengan demikian, wirausaha memiliki karakteristik percaya diri, berorientasi pada tugas dan hasil, pengambil resiko, mandiri, inisiatif, energik dan bekerja keras. Selain itu, wirausahaan juga memiliki kemampuan untuk memimpin, berjiwa inovatif, kreatif dan berorientasi masa depan. Kaitan pengetahuan dan ketermpilan manajemen keuangan, seorang wirausaha juga harus mampu mencari sumber pendanaan bagi pengembangan usahanya (Ratnatunga et al. 1993). Sedangkan dalam rangka meningkatkan usaha penjualannya wirausaha juga harus mampu menjual hasil produksinya melalui penerapan strategi dan teknik pemasaran yang harus dikuasainya (Gerson, 1994). Dalam strategi pemasaran meliputi Produk, harga, lokasi, promosi, kekuatan, hubungan, visualisai, services dan proses. Lebih lanjut Bygrave (1996), menyebutkan sifat-sifat penting dari wirausaha, yaitu yang dikenal dengan Ten-D (Tabel 2). Wirausaha bukan hanya sekedar pengetahuan praktis, tetapi lebih cenderung pada suatu gaya hidup dan prinsip-prinsip tertentu yang akan mempengarui kinerja usaha (Meredith, et al. 1996). Tabel 2 Sifat-sifat penting wirausaha Dream (mimpi)
Memiliki visi masa depan dan kemampuan mencapai visi tersebut
Decisiveness (ketegasan)
Tidak menangguhkan waktu dan membuat kepususan dengan cepat
Doers (pelaku)
Melaksanakan secepat mungkin
Determination (ketegasan hati)
Komitmen total, pantang menyerah
Dedication (Dedicasi)
Berdedikasi total, tak kenal lelah
Devotion (Kesetian)
Mencintai apa yang dikerjakan
Details (terperinci)
Menguasai rincian yang bersifat kritis
Destiny (Nasib)
Bertanggung jawab atas nasib sendiri
Dollars (uang)
Kaya bukan motivator utama, uang lebih berarti sebagai ukuran kesuksesan
Distribute (distribusi)
Mendistribusikan kepemilikan usahanya kepada karyawan kunci yang merupakan faktor penting bagi kesuksesan usahanya
39
Jika ini dimiliki oleh semua nelayan, maka dapat dipastikan perikanan akan lebih berkembang dan tumbuh dengan pesat. Namun bukan berarti bahwa wirausaha tidak bisa diajarkan sebagai ilmu, karena banyak fakta menunjukan bahwa wirausaha yang berhasil juga berasal dari lembaga pendidikan kewirausahaan. Indonesia
cukup
banyak
yang
berjiwa
wirausaha
namun
Untuk di
masih
ditingkatkan/dikembangkan dan diberi kesempatan untuk berusaha
perlu
dan bekal
terutama tentang manajemen, sehingga dapat berhasil usahanya. Ciri-ciri umum wirausaha yang berhasil antara lain: (1)
Tujuan yang berkelanjutan; Seorang wirausaha tidak hanya terhadap pencapaian tujuan, melainkan membuat tujuan baru untuk menantang diri mereka.
(2)
Ketekunan; Ketahanan dalam memncapai suatu tujuan.
(3)
Pengetahuan tentang bisnis; Seorang wirausaha harus mengerti prinsip-prinsip dasar tentang bagaimana suatu bisnis dapat bertahan dan berhasil.
(4)
Mengatasi kegagalan; Kegagalan adalah hambatan-hambatan sementara terhadap pencapaian tujuan.
(5)
Upaya diri; Percaya bahwa anda mengontrol kesuksesan atau kegagalan sehingga upaya yang serius sangat diperlukan untuk mencapai tujuan.
(6)
Mengambil resiko adalah biasa; Kemampuan untuk menilai resiko dan menimbang bahaya; lebih menyukai resiko yang besar namun realistik untuk mencapai tujuan.
(7)
Memecahkan masalah; Kemampuan untuk memecahkan masalah secara efektif dengan banyak akal.
(8)
Inisiatif; Wirausaha adalah individu yang aktif yang ingin melakukan ide mereka sesegera mungkin sehingga mereka dapat segera melihat hasilnya.
(9)
Energi; Stamina yang tinggi diperlukan untuk memenuhi kemampuan menjalankan bisnis
(10) Kemauan untuk berkonsultasi dengan para ahli; Keinginan untuk mencari bantuan orang lain diperlukan untuk mencapai tujuan. (11) Kesehatan fisik; Kesehatan sangat penting untuk mengimbangi tuntutan dan tekanan yang ditimbulkan dari bisnis anda, terutama pada tahun-tahun awal (12) Kesehatan mental dan emosi; Jam kerja yang panjang dan tekanan bisnis menuntut kestabilan emosi mental. (13) Toleransi terhadap ketidakpastian; Ketidakpastian harus diterima sebagai bagian penting dari bisnis. 40
(14) Memanfaatkan masukan; keahlian untuk mencari dan memanfaatkan masukan atas penampilan diri dan tujuan bisnis. (15) Bersaing dengan standar buatan sendiri; kecenderungan untuk membuat standar penampilan yang realistik dan berupaya memenuhi standar tersebut. (16) Mencari tanggung jawab pribadi (17) Percaya diri; Percaya diri yang realistik terhadap diri anda dan kemampuan anda untuk mencapai tujuan bisnis atau tujuan pribadi. (18) Kepandaian; Mampu mengatasi hal atau tugas secara efektif pada saat yang bersamaan. (19) Keinginan untuk tidak tergantung; wirausaha yang berhasil biasanya terlahir bukanlah seorang yang dapat bekerja sama. (20) Memanfaatkan imajinasi positif; kemampuan berimajinasi tentang tujuan adalah ciri khusus dari wirausaha yang sukses. (21) Pencapaian tujuan; Perasaan adanya suatu misi, memotivasi para wirausaha memulai bisnis. (22) Obyektif; Kemampuan untuk berlaku obyektif sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yang realistik. (23) Berorentasi pada tujuan; keinginan untuk menghadapi tentangan dan mencoba batas kemampuan. (24) Fleksibel; Mau menerima perubahan, mampu menyesuaikan persepsi terhadap tujuan dan kegiatan berdasarkan informasi baru. (25) Keinginan untuk mencipta. (26) Keterlibatan jangka panjang; Kesepakatan terhadap proyek jangka panjang dan tujuannya menbutuhkan pengorbanan pribadi. (27) Komitmen; Dedikasi terhadap tujuan tanpa diganggu atau dihalangi; modifikasi terhadap tujuan dapat terjadi, tetapi tujuan utama masih dipertahankan. (28) Inovasi; Kemampuan dan keinginan untuk menemukan hal-hal yang baru. (29) Gambaran jangka panjang; Pemahaman akan tujuan jangka panjang sehingga setiap langkah dalam rencana bisnis dapat dilihat dalam konteks. (30) Pandangan positif. (31) Pengetahuan teknis dan industri; Pengertian menyeluruh tentang industri dan produk atau jasa yang dihasilkan oleh bisnis; akses untuk menghubungi ahli dalam bidang tersebut.
41
(32) Hubungan antar manusia; Kemampuan untuk mengerti dan berinteraksi dengan baik dengan orang lain. (33) Akses pada sumber keuangan; Kemampuan untuk memperoleh dana jika diperlukan. (34) Hasrat terhadap uang; Bagaimana menggenakan uang dengan sebaiknya dan bijaksana. (35) Kemampuan berpikir; Seorang wirausaha harus mempunyai sifat ingin tahu dan berusaha berpikir secara efektif. (36) Kemampuan menjual; Kemampuan untuk meyakinkan orang lain terhadap nilai produk atau jasa yang ditawarkan. (37) Kemampuan untuk berkomunikasi; Kemampuan untuk menggunakan kata-kata yang efektif, mudah dimengerti dan difahami. (38) Keberanian; kemauan untuk bertindak atas pendirian sendiri untuk mengatasi masalah dan hambatan. (39) Umur; Tidak ada umur yang ideal untuk memulai bisnis, meskipun penting untuk memiliki cukup pengalaman hidup, mawas diri dan kepercayaan diri. (40) Latar belakang keluarga; Wirausaha yang sukses sering mempunyai pasangan, orang tua atau keluarga dekat yang menjalankan bisnisnya dan memberikan dukungan. (41) Latar belakang suku; Suku yang suka bermigrasi mempunyai dorongan yang lebih kuat untuk menjadi wirausaha yang berhasil. (42) Latar belakang pekerjaan; kecenderungan kesulitan bekerjasama dengan orang lain dalam jangka waktu tertentu karena kepribadian yang kreatif, frustasi mendapat perintah dari pihak lain, kebosanan atau kebencian terhadap birokrasi yang tidak fleksibel. (43) Latar belakang pendidikan; Pendidikan yang tinggi tidak menjamin seseorang mempunyai jiwa wirausaha yang baik. Meskipun secara langsung tidak ada kaitan antara pendidikan dan semangat wirausaha tetapi dalam menjalankan usahanya, seseorang wirausaha perlu memiliki beberapa pengetahuan dasar yang memadai agar usahanya berhasil. Peneliti di Amerika Serikat menunjukan bahwa 23 persen kegagalan bisnis baru diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan bisnis pelakunya (Megginson et al. 1991). Scarborough dan Zemmerer (1993) menyatakan bahwa keburukan manajemen, kurang pengalaman dan
42
pengawasan keuangan yang buruk merupakan hal-hal yang menjadi kegagalan wirausaha dalam mengembangkan usahanya. Selanjutnya dalam buku yang lain, Zimmerer dan Scarborough (1993) menyebutkan beberapa karakteristik wirausaha yang berhasil dalam usahanya. Karakteristik itu antara lain, memiliki komitmen dan sangat bertanggung jawab dalam mengendalikan bisnisnya, kreatif dan berenergi tinggi, memiliki motivasi yang kuat serta mau belajar dari kegagalan serta tidak mudah menyerah. Berdasarkan klasifikasi umur, Zimmerer dan Scarborough (1993), lebih dari 50 persen wirausaha memulai usahanya antara umur 25 – 40 tahun. Sedangkan cara memulai usaha barunya wirausaha dapat memilih dari tiga cara yaitu (1) memulai usaha sama sekali baru, (2) membeli uasaha yang dijual atau (3) melalui usaha waralaba (franchise) yang ada (Steinhoff dan Burges, 1993). Selanjutnya dikatakan bahwa kalau dalam sebuah masyarakat ada banyak orang yang memiliki sikap kewirausahaan yang tinggi, dapat diharapkan masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pengembangan wirausaha dan kewirausahaan tidak dapat dilepaskan dari peranan suatu negara dalam memilih strategi perekonomian nasionalnya.
Selain
pengembangan wirausaha dan kewirausahaan juga sangat erat dengan kecenderungan perekonomian nasional dan global. Perkembangan dan perubahan yang terjadi baik dalam skala nasional maupun global menyebabkan wirausaha juga harus selalu cepat menanggapinya. Bagi pengusaha perikanan yang ingin mengembangkan usahanya selain perlu memahami aspek kewirausahaan juga harus mampu mengadopsi segala hal yang diperlukan untuk menjadi wirausaha yang tangguh. Kesalahan wirausaha, pada umumnya hanya mampu memenangkan transaksi sesaat, tanpa diikuti kemampuan menciptakan hal-hal inovatif yang menyebabkan usahnya sukses. Suara Jakarta (29 Maret 2006), sifat, sikap yang harus dipunyai oleh segenap komponen bangsa agar menumbuh kembangkan kemandirian masyarakat. Bahwa keterbatasan lapangan kerja oleh pemerintah dan usaha swasta perlu didorong oleh iklim
kewirausahaan
di
masyarakat.
Kewirausahaan
dapat
meningkatkan
produktivitas masyarakat untuk ikut menciptakan kesejahteraan. Kegiatan yang bersifat perorangan : (1)
Membuka wirausaha baru (WUB) perorangan (tidak harus menjadi pegawai).
(2)
Mendukung berbagai usaha dilingkungan kita.
(3)
Bekerja di WUB dan di lembaga ekonomi produktif (LEP). 43
(4)
Pemanfaatan dana bergilir secara bertanggung jawab untuk usaha (tidak ngemplang).
(5)
Mempelajari manajemen, pembukuan dan keuangan.
(6)
Menjalin kemitraan dengan berbagai pihak.
(7)
Menjaga kepercaayaan dan kepuasan konsumen.
Kegitan kolektif : (1)
Pembukaan WUB dan LEP.
(2)
Pemanfaatan dana bergulir secara bertanggung jawab.
(3)
Penyuluhan manjemen, pembukuan dan keuangan.
(4)
Mengembangkan pemasaran dalam negeri dan ekspor untuk peningkatan pendapatan dan devisa.
(5)
Menjaga kepercayaan dan kepuasan konsumen dll.
2.4 Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pantai Model pemberdayaan ekonomi masyarakat pantai yang terkait meliputi; tujuan pemberdayaan ekonomi masyarakat pantai, konsep pemberdayaan masyarakat pantai, kemitraan dan badan usaha, structural equation modeling (SEM), dan analisis keuangan sebagai berikut: 2.4.1 Tujuan pemberdayaan ekonomi masyarakat pantai Tujuan pemberdayaan ekonomi masyarakat
pesisir menurut DKP (2003)
adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumber daya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Menurut Mursidin et al. (2005) bahwa paradigma pemberdayaan mengandung arti berupa pembagian secara adil aset ekonomi dan mengurangi atau menghilangkan bentuk dominasi birokrasi dalam mengatur dan menentukan berbagai bidang kehidupan rakyat.
2.4.2 Konsep pemberdayaan masyarakat Kesejahteraan tidak hanya meliputi aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial, lingkungan dan infrastruktur. Pengembangan aspek ekonomi penting untuk mengembangkan lapangan kerja dan berusaha serta meningkatkan pendapatan. Aspek sosial (pendidikan, kesehatan dan agama) penting untuk meningkatkan kualitas SDM 44
melalui peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), iman dan taqwa (IMTAQ) serta sikap dan perilaku. Aspek lingkungan penting untuk kelestarian sumber daya pesisir dan laut, serta perbaikan pemukiman. Aspek infrastruktur dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas pelaksanaan ekonomi dan sosial. Keempat aspek tersebut harus ditunjang oleh kelembagaan sosial ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang. Mursidin dan Hartono (2006), karakter sosial budaya masyarakat nelayan ada empat faktor yaitu nilai dan norma masyarakat, kepercayaan lokal, pola dan sistem produksi dan reproduksi dan yang terakhir politik lokal. Keberhasilan dalam peningkatan kelembagaan (ekonomi) akan dipengaruhi oleh kegiatan usaha yang dikembangkan, permodalan serta kondisi pasar yang mendukungnya. Keberhasilan kegiatan usaha dipengaruhi oleh kondisi sumber daya laut dan pesisir yang ada, teknologi yang tersedia serta kualitas SDM yang mengelolanya. Kualitas SDM yang dicirikan oleh perilaku, IMTAQ serta wawasan IPTEK, kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya. Dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan ekonomi, peran pemerintah masih sangat dibutuhkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung, termasuk didalamnya kebijakan pemerintah, akses permodalan, Pasar dan tata ruang kawasan pesisir yang kondusif. Kerangka konsepsi pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilihat pada Gambar 5. Konsep pendekatan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan pesisir adalah dengan input pendidikan, kesehatan, agama, lingkungan dan adat-budaya akan sinergi melalui perilaku dan IMTAQ dan wawasan akan menghasilkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkwalitas. Wadah dan aturan, aktivitas/eksistensi, kemitraan dalam proses kelembagaan sosialekonomi,
sedang sumberdaya alam (SDA) pesisir,
teknologi dan suberdaya manusia (SDM) mewujudkan sarana dan prasarana, manajemen
dan
pengembangan
usaha,
permodalan
akan
menghasilkan
ekonomi/pendapatan yang baik. Sumberdaya manusia yang berkwalitas dan ekonomi yang tumbuh dan berkembang akan meningkatkan masyarakat pantai berdaya sehingga akan berdampak kesejahteraan masyarakat akan meningkat, pendapatan akan meningkat, pendidikan akan lebih banyak mendapatkan kesempatan, kesehatan akan membaik, agama akan berjalan sesuai dengan syariat agama yang dianut, adat– 45
budaya akan tumbuh positif, lingkungan dan pemukiman akan tumbuh sehat, infrastruktur akan terbangun merata sesuai kebutuhan perkembangan masyarakat, tentu akan rasa aman dan nyaman hidup di lingkungan masyarakat pantai, dan pembangunan wilayah akan merata diseluruh daerah terutama di luar Jawa karena sumber daya ikan pada umumnya yang masih prospektik adalah di Luar Jawa. Untuk meningkatkan kesejahteraan tentunya usaha harus untung, sedang agar usaha bisa untung harus melalui tahapan optimalisasi pengguanan aset, efisiensi semua kegiatan dalam lingkup usaha perikanan, pengembangan teknologi baik melalui inovasi atau inprovisasi alat-alat yang digunakan dalam produksi. Dengan tahapan tersebut tentu akan meningkatkan margin yang muaranya meningkatnya laba.
Masukan (input) dan Proses
Pendidikan
Keluaran (Output)
Hasil (Outcome)
Kesejahteraan Masyarakat
Perilaku dan IMTAQ
Kesehatan Sosial Kualitas SDM
Agama
Pendapatan
Lingkungan Adab/Budaya
Wawasan IPTEK
Pendidikan
Kesehatan Wadah dan Aturan Aktivasi/ Eksistensi
Masyarakat Pantai yang Berdaya
Kelembagaan Sosial Ekonomi
Agama Adab/Budaya Lingkungan dan Pemukiman
Jaringan (Kemitraan)
Infrastruktur Sumber Daya Pesisir dan Laut
Teknologi
SDM
Gambar 5
46
Sarana dan Prasarana Keamanan dan Kenyamanan Manajemen dan Pengembangan Usaha Pesisir dan Permodalan
Ekonomi Pendapatan Pembangunan Wilayah
Konsep kerangka konsepsi pendekatan pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan pesisir (Sumber : DKP, 2003)
2.4.3 Kemitraan dan badan usaha (1)
Pengertian Perseroan Terbatas (PT) Berdasarkan UU NO. 1 Tahun 1995, definisi Perseroan Terbatas adalah
sebagai berikut: 1) Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. 2) Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris. 3) Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. 4) Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. 5) Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan. 6) Perseroan Terbuka adalah perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(3)
Pengertian kelompok usaha bersama (KUB) (1) Kelompok usaha bersama (KUB) perikanan tangkap adalah badan usaha non badan hukum ataupun yang sudah berbadan hukum yang berupa kelompok
yang
dibentuk
oleh
nelayan
berdasarkan
hasil
kesepakatan/musyawarah seluruh anggota yang dilandasi oleh keinginan bersama untuk berusaha bersama dan dipertanggung jawabkan secara bersama guna meningkatkan pendapatan anggota. 47
(2) Pembentukan KUB dapat dilakukan atas dasar kesamaan jenis usaha maupun bersifat multi usaha yang saling terkait. Sedapat mungkin perlu diupayakan KUB tersebut dapat mengakomodasikan seluruh anggota keluarga nelayan (termasuk wanita dan taruna nelayan), dalam membangun kegiatan usaha yang saling menunjang menuju tercapainya efisiensi usaha serta meningkatnya pendapatan keluarga nelayan. (3) Kelompok usaha bersama (KUB) perikanan tangkap merupakan bentuk kelembagaan perikanan yang bergerak dalam bidang usaha penangkapan ikan, penanganan dan pengolahan produk perikanan, pemasaran hasil perikanan maupun usaha pendukung kegiatan perikanan tangkap. (4) KUB merupakan wadah dan sarana untuk meningkatkan kegiatan perikanan dan sebagai wahana dalam penyerapan teknologi dan informasi yang bermanfaat bagi anggotanya. KUB dapat menjadi motor penggerak tumbuhnya jiwa kewirausahaan (enterpreunership) bagi nelayan yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengelolaan usaha.
(4)
Pengertian koperasi Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1992, definisi koperasi adalah sebagai berikut: 1) Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. 2) Koperasi primer adalah koperasi yang beranggotakan orang seorang, yang dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang. 3) Koperasi sekunder adalah koperasi yang beranggotakan badan-badan hukum koperasi, yang dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) koperasi yang telah berbadan hukum. Kemitraan dan koperasi sangat diperlukan untuk mencapai kesejahteraan
secara lebih merata. Hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi nasional, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pemerataan pertumbuhan (Suara Jakarta, 29 Maret 2006).
Kegiatan yang bersifat perorangan (1) Membayar iuran koperasi secara tepat waktu. 48
(2) Membeli kebutuhan yang ada di koperasi. (3) Mendukung pembangunan institusi usaha disekitar tempat tinggal. (4) Pemanfatan dana bergulir untuk usaha dan menjaga kemitraan. (5) Kemitraan dengan wirausahawan dalam negeri. (6) Menjalin kemitraan dengan wirausahawan luar negeri. (7) Aktif dalam kegiatan pameran dagang dan promosi. (8) Menjaga kepercayaan.
Kegiatan Kolektif ; (1)
Pendirian koperasi.
(2)
Pemanfaatan dana bergulir untuk usaha dan untuk menjaga kemitraan.
(3)
Berpartisipasi aktif penyuluhan dari pemerintah sesuai bidangnya supaya produktivitas dan kualitas meningkat.
(4)
Pembukaan wirausaha baru (WUB) & lembaga ekonomi produktif (LEP) dengan memanfaakan bahan baku dalam negeri.
(5)
Mengadakan pameran dagang dan promosi.
(6)
Penyuluhan dari pemerintah untuk berbagai sektor supaya produktivitas dan kualitas meningkat.
(7)
Bekerja gotong royang dalam berbagai aktivitas, memberikan solusi keterbatasan modal/akses dalam bidang : 1) Penggarapan sawah dan kebun 2) Panen 3) Pembuatan irigasi 4) Membasmi hama 5) Menjaga kebun/sawah
(9)
Menjaga kepercayaan atau jujur.
(10) Adanya kemitraan antar unit usaha (11) Penerapan inti – plasma (12) Kemitraan untuk meningkatkan kinerja.
2.4.4 Analisis keuangan Menurut Munawir (1992) konsep analisis biaya volume laba (BVL) berarti sama dengan konsep titik pulang impas. Menurut Mulyadi (1999a), Abdul hakim (1993) dan Mas!ud (1994) analisis hubungan Biaya – Volume – Laba (BVL) 49
merupakan teknik untuk menghitung dampak harga jual, volume penjualan dan biaya terhadap laba, untuk membantu manajemen dalam perencanaan laba jangka pendek. Ada empat kriteria analisa finansial untuk mengukur posisi keuangan menurut Halimah (1992) yaitu likuiditas, solvabilitas, profitabilitas (rentabilitas) dan produktivitas penanaman modal.
2.4.5 Structural equation modelling (SEM) Menurut Ferdinand (2002), SEM merupakan perangkat analisis yang memungkinkan seorang peneliti untuk menjawab permasalahan kompleks secara struktural dengan cara mengukur dimensi atau konstruk yang ada dan hubungannya menjadi sebuah model terevaluasi yang berarti. SEM lebih difokuskan untuk menguji kelayakan atau kesesuaian sebuah model dibandingkan dengan menghasilkan teori yang baru, sehingga model-model yang dibangun dan terevalusi tersebut dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah. Dalam mengembangkan analisis dengan SEM, ada model yang dikembangkan yaitu model deskriptif dan model prediktif. Model deskriptif berupa model pengukuran
(measurement
model),
yaitu
model
yang
ditujukan
untuk
mendeskripsikan suatu keadaan atau suatu faktor dalam bentuk matematis. Keadaan tersebut di dalam SEM difokuskan pada interaksi atau hubungan yang terjadi pada konstruk (komponen-komponen yang berpengaruh) dengan dimensi konstruk itu sendiri. Sedangkan model prediktif berupa persamaan struktural (equation model) yang ditujukan untuk menggambarkan hubungan atau interaksi diantara konstrukkonstruk yang menghasilkan suatu kausalitas (Ferdinand 2002 dan Solimun 2002). Menurut Ferdinand (2002) ada tujuh tahapan dalam penerapan SEM pada kegiatan penelitian, yaitu : pengembangan model berbasis teori, pembuatan diagram alir (path diagram), konversi path diagram ke dalam struktur model, pemilihan matriks input dan estimasi model, penilaian masalah yang diidentifikasi, evaluasi goodness-of-fit, dan interpretasi serta modifikasi model. Model dapat dimodifikasi sesuai dengan keinginan peneliti, namun modifikasi diutamakan pada tahapan perbaikan (revisi) sebelum model memenuhi kriteria goodness-of-fit yang ditetapkan.
2.5
Lingkup Usaha Perikanan (LUP) Sejak Indonesia memasuki krisis moneter, dengan terjadinya apresiasi mata
uang asing terhadap rupiah terjadi berkali-kali mulai tahun 1996 US$ 1 = Rp. 2.100 50
berakhir tahun 1997/1998 US$ 1 = rupiah mencapai lebih Rp. 12.000,- sedangkan tahun 2004 US$ 1 = Rp. 8.100,- bulan Agustus 2005 dollar merambat naik mencapai lebih besar
Rp. 10.000,- seharusnya usaha kecil dan menengah akan terbantu karena
kandungan komponen biaya suku cadang impor rendah, pada hal produk yang diekspor menerima rupiah relatif tinggi. Pada tahun 2005 Indonesia sedang mengalami krisis BBM, meskipun berbarengan terjadi apresiasi dollar lagi yaitu US $ 1,- menjadi lebih besar Rp. 10.000,- berakibat usaha perikanan kurang mampu menghadapi beban BBM yang diatas 20% – 40% dari biaya industri perikanan khususnya usaha perikanan tangkap yang skala besar. Untuk menghadapi hal tersebut harus ada strategi manajemen industri perikanan. Kekayaan apresiasi dan kecakapan pengusaha serta kondisi geografis, aplikasi teknologi dan sistem pasar yang dihadapi, memungkinkan para pengusaha perikanan tangkap untuk memilih dan menempatkan diri dalam skala usaha yaitu bentuk PT, CV bergabung dalam koperasi dan berdiri sendiri tanpa badan hukum khususnya nelayan bermodal kecil. Dalam kerangka berpikir “pembangunan” koperasi atau nelayan kecil tersebut dapat diupayakan dan diubah secara berencana menjadi usaha maju. Agar perubahan berencana itu dapat dilakukan, maka pemahaman tentang kelompokkelompok dominan yang menjadi indikator perubahan itu menjadi sangat penting. Sebagai titik awal, pemahaman tentang usaha besar, menengah, kecil dan bentuk badan PT, CV, koperasi, individu, industri rumah tangga perlu dipahami. Disamping faktor-faktor internal juga faktor eksternal (kredit, teknologi, pasar) yang kurang bersahabat khususnya untuk usaha skala kecil yang berbadan koperasi dan individu, karena itu fasilitas pembangunan perikanan yang sebenarnya tersedia, tidak dapat dimanfaatkan maksimal yang akibatnya mereka tidak berani beresiko. Lingkungan usaha merupakan lingkungan yang dihadapi organisasi dan harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Aktivitas keseharian organisasi mencakup interaksi lingkungan kerja (Brooks dan Wheatherson, 1997). Hal ini termasuk hubungannya dengan pelanggan, suplier, serikat dagang dan pemilik saham. Porter (1990) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi industri, diantaranya
lingkungan internal industri yang untuk menggali informasi tentang life
internal industri adalah mengenai potensi SDM yang dimiliki industri, teknologi yang digunakan industri dan keuangan serta aset yang dimiliki industri.
51
Pemberdayaan usaha perikanan tangkap dalam skala menengah/kecil merupakan hal yang sangat penting, karena usaha perikanan tangkap akan dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembangunan ekonomi di masyarakat secara nasional. Peningkatan pemberdayaan usaha perikanan ini perlu dilihat secara holostik lingkungan industri perikanan yang meliputi analisa lingkungan internal, lingkungan industri, lingkungan eksternal, kebijakan pemerintah pusat dan daerah dan diamati juga kompetensi strategi SDM, kinerja usaha perikanan dan tujuan pembangunan perikanan dengan melakukan penilaian indikator-indikator lihat Gambar 6.
2.5.1 Lingkungan internal (LINT) Lingkungan internal terdiri dari struktur, budaya, sumber daya (Wheelen and David, 1992). Lingkungan internal perlu dianalisa untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang ada dalam perusahaan. Struktur adalah bagaimana perusahaan diorganisasikan yang berkenaan dengan komunikasi, wewenang dan arus kerja. Struktur sering juga disebut rantai perintah dan digambarkan secara grafis dengan menggunakan bagan organisasi. Budaya merupakan pola keyakinan, pengharapan dan nilai-nilai yang dibagikan oleh anggota organisasi. Norma organisasi secara khusus memunculkan dan mendefinisikan perilaku yang dapat diterima anggota dari manajemen puncak sampai karyawan. Sumber daya adalah aset yang merupakan bahan baku bagi produksi barang dan jasa. Aset ini meliputi keahlian seseorang, kemampuan dan bakat manajerial. Untuk kebutuhan penelitian ini yang dimasukkan variabel indikator yang berpengaruh terhadap lingkungan internal antara lain : teknologi, administrasi, manajemen, modal, sarana dan sumber daya manusia (SDM).
2.5.2 Lingkungan industri (LIND) Menurut Porter (1990) ada lima yang mempengaruhi persaingan dalam suatu industri : (1) ancaman masuknya pendatang baru, (2) intensitas pesaing, (3) kekuatan tawar menawar pemasok, (4) ancaman produk substitusi, (5) kekuatan tawar menawar pembeli. Untuk menyusun rancangan strategi yang baik, agar menduduki posisi yang kompetitif dalam industrinya maka perusahaan harus dapat meminimumkan dampak kelima kekuatan tersebut. Kelima kekuatan itu juga akan menjadi dasar bagi penyusun strategi persahan agar mendapatkan posisi survive.
52
(1)
Ancaman masuknya pendatang baru Besar ancaman masuknya pendatang baru tergantung pada hambatan masuk yang ada dan reaksi dari peserta persaingan yang ada menurut perkiraan calon pendatang baru. Jika hambatan masuk tinggi dan calon pendatang baru memperkirakan akan menghadapi perlawanan keras dari peserta persaingan yang sudah ada, pendatang baru ini jelas tidak merupakan ancaman yang serius. Porter (1980) ada enam sumber utama hambatan masuk : 1) skala ekonomi, 2) diferensiasi produk, 3) kebutuhan modal, 4) hambatan biaya, 5) akses keseluruh distribusi, 6) kebijakan pemerintah
(2)
Intensitas pesaing Persaingan dikalangan anggota industri terjadi karena mereka berebut posisi dengan menggunakan taktik ; persaingan harga, introduksi produksi dan perang iklan. Persaingan tajam seperti ini bersumber pada sejumlah faktor : 1) Jumlah peserta persaingan banyak dan seimbang, 2) Pertumbuhan industri lamban, 3) Produk/jasa tidak terdiferensasi atau tidak membutuhkan biaya pengalihan, 4) Biaya tetap tinggi atau produk mudah cepat rusak, mudah menurunkan harga, 5) Penambahan kapasitas dalam jumlah besar, 6) Hambatan keluar yang tinggi, 7) Taruhan strategis yang besar.
(3)
Kekuatan tawar menawar pemasok Pemasok dapat memanfaatkan kekuatan tawar menawarnya atas para anggota industri dengan menaikan harga atau menurunkan kualitas barang/jasa yang dijualnya. Pemasok yang kuat dapat menekan kemampulabaan industri yang tidak mampu mengimbangi kenaikan biaya dengan menaikan harganya sendiri. Kondisi yang membuat pemasok kuat cenderung serupa dengan kondisi yang membuat pembeli kuat, kelompok pemasok dikatakan kuat jika terdapat hal-hal berikut :
1) didominasi oleh sedikit perusahaan, 2) Produk pemasok bersifat
unik, 3) Pemasok tidak bersaing dengan produk-produk lain dalam industri, 4) Pemasok memiliki kemampuan untuk melakukan integrasi maju ke industri pembelinya, 5) industri bukan merupakan pelanggan penting bagi pemasok. (4)
Ancaman produk substitusi Produk substitusi tidak hanya membatasi laba dalam masa-masa normal, melainkan juga mengurangi ”tambang emas” yang dapat diraih industri dalam masa keemasan. Produk pengganti yang secara strategik layak menjadi pusat
53
perhatian adalah : 1) Kualitasnya mampu menyaingi kualitas produk industri atau 2) dihasilkan oleh industri yang berlaba tinggi. (5)
Kekuatan tawar menawar pembeli Pembeli dapat juga bersaing dalam industri dengan cara menekan harga, menuntut kualitas yang tinggi atau layanan yang lebih memuaskan serta dapat berperan sebagai pesaing satu sama lain yang mana semua dapat menurunkan laba industri. Dengan menyesuaikan kondisi di sektor perikanan, maka ditentukan indikator
penelitian ini sebagai berikut : entry barrier, pesaing, supply, substitusi dan pasar.
2.5.3 Lingkungan eksternal (LEXT) Lingkungan sosial termasuk kekuatan umum yang secara tidak langsung berhubungan dengan aktivitas organisasi jangka pendek tetapi dapat dan sering kali mempengaruhi keputusan jangka panjang sosial yang dimaksud yaitu (Wheelen, 2000) : (1) kekuatan ekonomi, (2) kekuatan teknologi, (3) kekuatan hukum-politik, (4) kekuatan sosial-budaya. Hill et al (1997) membagi unsur-unsur lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan umum dan lingkungan industri. Lingkungan umum dibagi atas kekuatan ekonomi, sosial-budaya, teknologi, politik/hukum dan demografis. Siagian (2001) pengenalan lingkungan eksternal secara tepat semakin penting karena : (1) Jumlah faktor yang berpengaruh tidak pernah konstan melainkan selalu berubah, (2) intensitas dampaknya beraneka ragam, (3) adanya faktor eksternal yang merupakan kejutan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, (4) kondisi eksternal berada diluar kemampuan organisasi untuk mengendalikannya. Untuk penelitian ini indikator yang ditentukan berpengaruh adalah ;
politik,
ekonomi, sosial dan budaya.
2.5.4 Kebijakan pemerintah pusat/daerah (KP/D) Kebijakan adalah kebutuhan, nilai atau kesempatan yang tidak terealisir namun dapat diatasi melalui tindakan publik. Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik dan kebijakan privat. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan
melalui
kewenangan
pemerintah
legitimet
untuk
mendorong,
menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat. Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok yaitu (1) disusun atau dibuat oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintahan, (2) bersifat memaksa atau berpengaruh 54
terhadap tindakan privat/ masyarakat luas (Dunn, 2000). Sebagai contoh kenaikan tarif pajak, harga BBM, tarif jalan tol, biaya tambat labuh. Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorag atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain, dan berlaku internal, bagi lembaga atau individu tersebut, misalnya menaikan harga susu, harga ikan kaleng, harga suku cadang. Kebijakan pembangunan perikanan ialah keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan untuk mewujudkan tujuan pembangunan. Kebijakan pembagunan perikanan dipandang dalam hal pembangunan nasional yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, berarti kebijakan pembangunan perikanan merupakan bentuk kebijakan publik. Dalam mewujudkan penerapan kebijakan perikanan, maka langkah-langkah yang harus ditempuh adalah meningkatkan keterkaitan fungsional antara subsistem sehingga kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan secara berkelanjutan yang optimal dan efisien. Pengembangan agrobisnis harus mampu meningkatkan aktivitas ekonomi pedesaan dengan diarahkannya pada pengembangan kemitraan usaha antara skala besar dan kecil dengan manajemen yang serasi. Indikator yang digunakan untuk mengukur kebijakan pemerintah dalam penelitian ini adalah pusat atau daerah dengan indikator bunga bank/modal, tekologi, prasarana dan SDM 2.5.5 Kompetensi strategi SDM (KSTG) Usaha perikanan dengan adanya kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang konsisten maka akan didapatkan keunggulan indikator ; produksi ;menguasai proses produksi, pemasaran; menguasai pasar, keuangan; menguasai administrasi dan manajemen keuangan, SDM; menguasai
pengaturan SDM, dan research &
development; menguasai penelitihan aplikatif yang dapat meningkatkan kinerja usaha.
2.5.6 Kinerja usaha perikanan (KUP) Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukan dengan hasil kerja. Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Variabel indikator keberhasilan kinerja suatu perusahaan yang dapat diukur antara lain : tingkat laba/rugi, tingkat pengembalian investasi, tingkat return equity, 55
perkembangan industri, informasi pasar, mutu produk, harga produk, volume penjualan, pertumbuhan pelanggan. Dalam penelitian ini pengukuran kinerja industri perikanan digunakan indikator; payback period, rugi/laba, ROI dan growth
Indikator : Teknologi Administrasi Manajemen Modal Sarana SDM
Lingkungan Internal
Indikator : Entry Barrier Pesaing Supply Substitution Produk Pasar
Lingkungan Industri
Indikator : Politik Ekonomi Sosial Budaya
Kompetensi Strategi SDM
Lingkup Usaha Perikanan Kinerja Usaha Perikanan
Kebijakan Pemerintah Pusat atau Daerah
Lingkungan Eksternal
Tujuan Pembangunan Perikanan
Indikator : Produksi Pemasaran Keuangan SDM R&D
Indikator : Payback Period Rugi/Laba ROI Growth
Indikator : Growth Equity Sustainable Daya Saing
Indikator : Bunga Bank Teknologi Prasarana SDM
Gambar 6
Kerangka pikir yang berbasis teori
2.5.7 Tujuan pembangunan perikanan (TPP) Menurut Nikijuluw (2009)
pandangan pembangunan perikanan yang
berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek yaitu biologi, ekonomi dan sosial. Konsep pembanguan perikanan yang berkelanjutan mengandung aspek : (1)
Ecological sustainability ; memelihara keberlanjutan stok/biomas agar tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem.
(2)
Socioeconomic sustainability : membangun perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan.
56
(3)
Community sustainability ; keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat
haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan
yang
berkelanjutan. (4)
Institutional sustainability ; penguatan kelembagaan yang berkelanjutan Fathoni (2008) semakin tinggi daya saingnya suatu negara/bangsa semakin
tinggi tingkat kemakmuran yang diwujudkan. Oleh karena itu negara berkembang selalu berupaya untuk meningkatkan daya saing produk dan jasanya agar tidak jadi obyek pasar negara-negara maju. Dengan demikian ukuran tujuan pembangunan ditentukan oleh nilai tingkat indikator diantaranya : growth, equity, sustainable dan daya saing yang masih relevan penelitian oleh Purnomo et al. (2003).
57