27
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Armada Perikanan Suatu Armada merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Dirjen Perikanan Tangkap, 2002), dengan kata lain armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Monintja (2001) menyatakan armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan, yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Dirjen Perikanan Tangkap (2002), mendefinisikan unit penangkapan merupakan kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang biasa terdiri dari perahu/kapal penangkap dan alat penangkap yang digunakan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Soekarsono (1995) menyatakan bahwa kapal adalah suatu bentuk konstruksi yang dapat terapung (floating) di air dan mempunyai sifat muat berupa penumpang atau barang, yang sifat geraknya dapat menggunakan dayung, angin dan mesin yaitu : (1) Penggerak dayung Kapal yang digerakkan oleh tenaga manusia dengan dayung (oar) disamping kiri/kanan lambung (hull) kapal (2) Pengerak angin Kapal yang konstruksinya menggunakan tiang-tiang layar dan beberapa macam layar (sail) untuk memanfaatkan tenaga hembusan angin pada layar kapal tersebut. (3) Tenaga mesin Kapal yang mempunyai ruang mesin di dalam lambung kapal dimana mesin tersebut mampu menggerakkan baling-baling (propeller) kapal sebagai sarana dorong/gerak kapal. Perahu atau kapal yang digunakan untuk mengangkut nelayan, alat-alat penangkap dan hasil penangkapan dalam rangka penangkapan dengan bagan, sero,
28
kelong dan lain-lain termasuk perahu atau kapal penangkap (Dirjen Perikanan Tangkap DKP, 2002). Kapal-kapal yang dipakai dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hayati perikanan, dikenal dengan nama kapal ikan, mempunyai peranan yang sangat penting dalam tujuan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan tersebut serta jenis dan bentuk yang berbeda sesuai dengan tujuan usaha, keadaan perairan, fishing ground, dan lain sebagainya (Pasaribu, 1985). Menurut Nomura dan Yamazaki (1977), secara garis besar kapal ikan dapat dikelompokkan dalam empat jenis yaitu : (1) Kapal yang khusus digunakan dalam operasi penangkapan ikan. Termasuk dalam kelompok kapal penangkapan ikan adalah kapal yang khusus dipakai dalam usaha menangkap dan mengumpulkan sumberdaya hayati perairan, antara lain kapal pukat udang, perahu pukat cincin, perahu jaring insang, perahu payang, perahu pancing tonda, kapal rawai, kapal huhate dan sampan yang dipakai dalam mengumpul rumput laut, memancing dan lain-lain. (2) Kapal induk adalah kapal yang dipakai sebagai tempat mengumpulkan hasil tangkapannya dan mengolahnya. (3) Kapal pengangkut ikan adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut hasil perikanan dari kapal induk atau kapal penangkap ikan dari fishing ground ke pelabuhan dikatagorikan sebagai kapal pengangkut. Kapal induk juga berfungsi sebagai kapal pengangkut ikan. Hal ini berkaitan dengan pertimbangan efisiensi dan permodalan. (4) Kapal peneliti, pendidikan dan latihan adalah kapal ikan yang digunakan untuk keperluan penelitian, pendidikan dan latihan penangkapan pada umumnya adalah kapal-kapal milik instansi atau dinas. Pasaribu (1985) mengatakan bahwa peningkatan armada perikanan diperlukan : (1) penguasaan teknologi perkapalan, khususnya kapal perikanan; (2) permodalan; (3) man power; dan (4) kebijaksanaan-kebijaksanaan dan operasionalnya yang realistis dan terarah. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkapan dikatagorikan nelayan yang walaupun tidak melakukan aktivitas
29
menangkap (Dirjen Perikanan Tangkap DKP, 2002). Selanjutnya dalam UndangUndang no. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mendefinisikan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Undang-Undang No 9 Tahun 1985 mendefinisikan alat penangkap ikan sebagai sarana dan perlengkapan atau bendabenda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan, dengan melihat dan menyimak definisi yang ada maka dapat disimpulkan bahwa armada perikanan tangkap merupakan kumpulan atau sekelompok unit penangkapan ikan yang melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan pada suatu perairan bersama- sama.
2.2 Klasifikasi Armada Perikanan Secara umum di Indonesia perahu atau kapal penangkap diklasifikasikan sebagai berikut (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2002) : (1) Perahu tidak bermotor
Jukung
Perahu papan -
Kecil (perahu yang terbesar panjangnya kurang dari 7 m)
-
Sedang ( perahu yang terbesar panjangnya dari 7 sampai 10 m)
-
Besar (perahu yang terbesar panjangnya 10 m atau lebih)
(2) Perahu motor tempel (3) Kapal motor
Kurang dari 5 GT
5 – 10 GT
10 – 20 GT
20 – 30 GT
30 – 50 GT
50 – 100 GT
100 – 200 GT
200 GT keatas
Tipe kapal ikan secara umum terdiri dari dua (2) kelompok tipe, yakni : (1) kelompok tipe kapal ikan yang menggunakan alat penangkap pancing dan (2) kelompok tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap jaring /net (Andarto dan Sutedjo, 1993). FAO (1999) mengklasifikasian perikanan yang selektif bagi beberapa negara menggolongkan
30
perikanan di Indonesia pada dua (2) katagori yaitu : perikanan skala kecil (menggunakan mesin luar sebesar < 10 HP atau < 5 GT dan daerah operasinya pada zona I atau jalur 1 (4 mil dari garis pantai) dan yang menggunakan mesin luar sebesar < 50 HP atau < 25 GT dengan jalur operasinya pada zona II atau jalur 2 (4 mil – 8 mil) sedangkan perikanan skala besar merupakan perikanan industri yang menggunakan mesin dalam dengan kekuatan < 200 HP atau 100 GT dan jalur operasinya pada jalur 3 dan 4 (8 mil - 12 mil dan atau > 12 mil). Selanjutnya Soekarsono (1995), yang mengklasifikasikan kapal menurut fungsinya diantaranya kapal perikanan terdiri dari kapal tonda (troller), kapal rawai dasar (bottom long liner), kapal rawai tuna (tuna long liner), kapal pukat cicin (purse seiner), kapal jaring insang (gillnetter), kapal bubu (pot fishing vessel), kapal pukat udang (shrimp trawler), kapal setnet, kapal pengangkut ikan dan jenis kapal lainnya. Secara
umum
di
Indonesia
standar
alat
penangkap
perikanan
diklasifikasikan sebagai berikut (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2002) : (1) Pukat udang (shrimp net) (2) Pukat kantong (seine net) • Payang (termasuk lampara) • Dogol • Pukat pantai (3) Pukat cincin (purse seine) (4) Jaring insang (gillnet) (5) Jaring angkat (lift net) (6) Pancing (hook and lines) (7) Perangkap (traps) (8) Alat pengumpul kerang dan rumput (shell fish and seaweed collection) (9) Muro ami, dll (10) Alat Tangkap lainnya Widodo et al. (1988), mengklasifikasikan alat tangkap ikan sebagai berikut : (1) Pukat udang (shrimp net) (2) Pukat ikan (3) Pukat kantong (seine net) • Payang (termasuk lampara)
laut
31
• Dogol • Pukat pantai (4) Pukat cincin (purse seine) (5) Jaring insang (gillnet) • Jaring insang hanyut • Jaring insang lingkar • Jaring insang tetap • Trammel net (6) Jaring angkat (lift net) •
Bagan perahu/rakit
•
Bagan tancap (termasuk kelong)
•
Serok
•
Jaring insang lainnya
(7) Pancing (hook and lines) •
Rawai tuna
•
Rawai hanyut lainnya selain rawai tuna
•
Rawai tetap
•
Huhate (pole and line)
•
Pancing lain selain huhate
•
Pancing tonda
(8) Perangkap (traps) •
Sero
•
Jermal
•
Bubu
•
Perangkap lainnya
(9) Muro ami dan lain-lain (jala, tombak, dan lain-lain.) Secara resmi di Indonesia nelayan diklasifikasikan sebagai berikut (Dirjen Perikanan Tangkap, DKP, 2002) : (1) Nelayan penuh (2) Nelayan sambilan utama (3) Nelayan sambilan tambahan
32
2.3 Pengertian dan Karakteristik Kapal Perikanan Fyson (1985), mendefinisikan kapal ikan sebagai suatu bangunan yang dimanfaatkan dalam hubungannya dengan aktivitas penangkapan ikan di laut (perikanan) dan memiliki desain konstruksi yang berbeda dengan kapal lainnya (kapasitas muat, ukuran, model dek akomodasi, mesin dan komponen lainnya) disesuaikan dengan fungsi pengoperasian. Pengertian kapal yang disebutkan Iskandar dan Novita (1997) yang diacu Nanda (2004) adalah suatu bentuk bangunan yang dapat terapung dan berfungsi sebagai wadah atau tempat untuk melakukan aktivitas dan merupakan sarana transportasi. Aktivitas yang dilakukan oleh sebuah kapal ikan akan sangat berbeda dengan kapal-kapal lainnya. Fungsi atau peruntukan sebuah kapal ikan akan menunjukkan perbedaan dalam mendesain konstruksi kapal tersebut. Komponen pelengkap suatu kapal ikan juga akan berbeda. Sebuah kapal ikan akan dirancang dengan melihat jangkauan daerah operasinya, jenis ikan yang ditangkap dan tingkah laku ikan target serta ukuran alat tangkap yang digunakan. Nomura dan Yamazaki (1975) dan Fyson (1985) menegaskan bahwa sebuah kapal ikan harus memiliki kapasitas muat yang memadai dan fasilitas yang cukup diantaranya fasilitas penyimpan (palka), ruangan pendingin, pembekuan dan penyimpan es. Komponen inilah yang membedakan kapal ikan dengan kapal lainnya dan komponen ini pula yang akan menentukan dan berpengaruh terhadap suatu desain konstruksi kapal ikan. Komponen ini akan menentukan kualitas suatu hasil tangkapan. Definisi lain tentang kapal ikan adalah kapal yang digunakan untuk usaha mengumpul dan menangkap sumberdaya perairan atau kegiatan yang berhubungan dengan penelitian, kontrol, suvey dan sebagainya (Boxton, 1987). Semua kapal yang beroperasi di Perairan Indonesia harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh Departemen Perhubungan laut, baik itu kapal barang, kapal ikan, kapal penumpang, dll. Persyaratan yang telah ditetapkan bagi setiap kapal yang beroperasi
sesuai
dengan
kegiatannya
masing-masing
digambarkan
dengan
model/disain kapal sesuai kebutuhan. Ada beberapa persyaratan yang harus ditaati oleh kapal ikan yang walaupun penggunaannya tidak sama dengan kapal lainnya, seperti ; kemampuan berlayar yang cukup aman dalam kondisi apapun, memiliki bentuk yang memberikan gambaran kestabilan dan daya apung yang cukup efisien hal ini dapat
33
dilihat dari ukuran, tenaga, biaya, produk dan tujuan penggunaannya. Persyaratan ini semuanya harus dipenuhi sebelum disain dasar dimulai atau ditentukan guna perencanaan kapal yang layak melaut (Brown, 1957). Kekuatan struktur badan kapal, falititas untuk menyimpan dan stabilitas tertinggi minimal harus dimiliki oleh setiap kapal ikan yang hendak melakukan aktivitas menangkap ikan (Nomura dan Yamazaki, 1977), selanjutnya dikatakan kapal ikan akan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan kapal-kapal lainnya, seperti : (1) Kemampuan olah gerak kapal Kemampuan olah gerak kapal ini sangat dibutuhkan bagi kapal ikan pada saat pengoperasian alat tangkap, sangat diperlukan kemampuan steerability yang baik, daya dorong mesin (propulsion engine) guna mempermudah gerak maju mundurnya kapal dan radius putaran (turning circle) yang kecil (2) Kelaik lautan Laik (layak) sangat diperlukan bagi setiap kapal ikan untuk beroperasi dalam menahan dan melawan kondisi yang tidak diharapkan terjadi, seperti kekuatan gelombang dan angin yang kadang-kadang datang secara tiba-tiba dengan tujuan dapat menjamin keslamatan dan kenyamanan, hal ini dibutuhkan stabilitas yang baik dan daya apung yang cukup (3) Kecepatan kapal Dibutuhkan dalam kegiatan pengoperasian yakni dalam melalukan pengejaran terhadap gerombolan ikan dan juga pada saat kembali dengan membawa hasil tangkapan agar hasil tangkapan selalu tetap berada dalam kondisi segar (kecepatan waktu), waktu penangkapan dan waktu penanganan. (4) Konstruksi kasko yang kuat Konstruksi yang baik dan kuat diperlukan dan merupakan hal yang sangat sensitif dalam menghadapi kondisi alam yang selalu berubah-ubah tanpa kompromi, dan terhadap getaran mesin yang bekerja selama beroperasi.. (5) Lingkup area pelayaran Luas area kapal ikan sangat ditentukan oleh jarak fishing ground yang akan di jelajah Jangkauan fishing ground ini ditentukan oleh migrasi ikan berdasarkan musim dan habitnya (sesuai tingkah laku ikan) dari setiap kelompok species ikan.
34
(6) Fasilitas penyimpanan dan pengolahan ikan Sarana ini sangat diperlukan dalam menyimpan dan mengolah ikan, bagi kapal yang melakukan processing secara langsung dilaut, baik ruang pendingin, ruang pembekuan, ruangan pembuat dan penyimpan es bahkan ruangan pengepakan, hal ini dibutuhkan untuk menghindari terjadinya ketidak higenisnya produk dan menjaga sanitasi terhadap produk dari bakteri (terkontaminasi oleh bahan-bahan luar yang mengakibatkan rendahnya kualitas produk). (7) Daya dorong mesin Kemampuan daya dorong mesin akan ditentukan sesuai dengan ukuran kapal yang digunakan dan jangkauan operasi serta alat tangkap yang digunakan. Sebab kemampuan daya dorong mesin dengan volume mesin serta getaran yang dibutukkan harus seimbang. Seperti daya dorong cukup besar, volume mesin dan getarannya harus sekecil mungkin, mesin yang dibutuhkan harus dilengkapi dengan alat Bantu penangkapan demi kelancaran operasi penangkapan.
2.4 Konsep Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Kebijakan berasal dari kata policy yang berupa aturan main atau set of rule of law. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sekalipun pemerintah misalnya tidak membuat kebijakan manun pemerintah mempunyai peranan untuk meligitimasinya. Kebijakan dapat berupa formal law (positive law) dan informal law (written). Kebijakan dapat ditingkatkan dan di sempurnakan dengan melakukan berbagai analisis kebijakan. Terdapat tujuh variasi kegiatan analisis kebijakan ini sekaligus menggambarkan ruang lingkup (scope) analisis kebijakan (Hogwood and gunn, 1986) yakni : (1) Studi-studi isi kebijakan ( studies of policy content). Maksud studi ini adalah menggambarkan dan menjelaskan asal mula serta perkembangan kebijakan. (2) Studi-studi tentang proses kebijakan, yang lebih mengutarakan tahap-tahap yang harus dilalui oleh isu kebijakan pemerintah sebelumnya dengan menilai pengaruh dari usaha-usaha yang dilakukan dari berbagai faktor terhadap perkembangan isu. (3) Studi mengenai out kebijakan (studies of policy outputs) pada umumnya menjelaskan tingkat pengeluaran biaya yang berbeda dari setiap daerah.
35
(4) Studi-studi evaluasi (evaluation studies) batas-batas antara analisis kebijakan, untuk melihat dampak dari suatu kebijakan terhadap kelompok sasaran. (5) Informasi untuk pembuatan kebijakan (information for policy making) maksudnya penyusunan dan pengumpulan data guna membantu pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan (6) Proses nasehat (process advocacy), yakni proses penasehatan yang tercermin dalam pelbagai upaya yang dilakukan untuk menyempurnakan mesin pemerintahan melalui relokasi tupoksi guna menetapkan landasan pemilihan kebijakan. (7) Nasehat kebijakan (policy advocacy) kegiatan yang melibatkan analis dalam pemilihan alternatif yang terdesak dalam proses kebijakan baik secara perorangan maupun kelompok/kerjasama. Kebijakan akan dilakukan dengan bertolak pada dasar hukum dan peraturan yang berlaku. Hukum tidak akan terlepas dengan roda pemerintahan baik dalam menjalankan kebijakan maupun dalam pengambilan keputusan. Hukum adalah seluruh norma-norma hukum yang mengatur hubungan antara seorang, sekelompok orang atau badan hukum, termasuk lembaga pemerintah dengan sumberdaya perikanan tangkapnya. Hubungan ini meliputi hubungan fisik (cara pemanfaatan sumberdaya), hubungan administratif (perizinan) dan hubungan geografis (lokasi penangkapan ikan). Norma-norma hukum ini dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan sesuai tingkatnya dan ditegakkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan suatu keinginan rakyat, suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dan kehidupan masyarakat yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga berakhir dengan penilaian kebijakan (Abidin, 2004). Pengembangan diartikan sebagai suatu upaya untuk selalu maju dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Kemajuan akan dicapai apabila kondisi ekonomi berubah/meningkat pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan mekanisme ekonomi, sosial dan institusional, baik swasta maupun pemerintah untuk dapat menciptakan
36
perbaikan taraf hidup masyarakat dengan luas dan cepat (Tara, 2001 diacu oleh Jusuf, 2005). Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi , pengolahan hingga pemasaran merupakan kegiatan perikanan yang dilakukan dalam suatu bentuk sistem bisnis. Pembangunan nasional diarahkan oleh suatu bentuk kebijakan yang tertuang dalam GBHN 1999 yang pokoknya adalah: 1)
Meningkatkan aktivitas perekonomian rakyat yang berorentasi global sesuai dengan perkembangan teknologi yang dibangun secara komporatif demi kesejateran rakyat yang adil dan merata
2)
Menumbuhkan ekonomi rakyat yang bertumpuh pada mekanisme pasar dengan daya saing yang sehat dan berkualitas serta mampu melindungi hak-hak konsumen dan seluruh rakyat.
3)
Meningkatkan peran pemerintah dalam mengoreksi kondisi pasar yang tidak sehat, mengupayakan kehidupan masyarakat yang lanyak, memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi lebih efisien, dan mengembangkan kebijakan makro dan mikro ekonomi secara sinergis dan terkoordinir. Kebijakan pengelolaan (policy management) mengacu pada upaya yang
merupakan suatu bentuk tindakan yang sedemikian rupa (deliberate way) untuk dapat menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir. De Coning (2004) mengatakan analisis kebijakan adalah bagian dari kebijakan pengelolaan yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan dianggap resmi dan pemerintah merupakan bentuk dari suatu kebijakan yang sah dan mempunyai kewenangan dan dapat memaksa kehendaknya untuk dipatuhi oleh setiap masyarakat. Kebijakan tersebut dibentuk sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat. Hal ini disebabkan agar sumberdaya ikan dapat di kelola dengan baik dan lestari. Nikijuluw (2002), mengatakan bahwa rezim pengelolaan akan selalu berubah sesuai dengan sifat khasnya yang tidak ditemukan pada sumberdaya lain. Kekhasan sifat tersebut dalam pengelolaan terdapat tiga bentuk sifat utama (1) sifat ekskludabilitas, (2) sifat substraktabilitas, dan (3) indivisibilitas. Sifat yang dimiliki pemerintah adalah sifat yang terkait dengan pengendalian dan pengawasan terhadap akses sumberdaya (sifat Ekskludabilitas), oleh karena itu pemerintah harus membuat suatu kebijakan yang mampu mengendalikan dan mengatur serta melakukan pengawasan yang melibatkan masyarakat. Intervensi atau keterlibatan pemerintah dalam suatu kegiatan ekonomi
37
adalah kepentingan umum yang pada akhirnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki proses yang berbeda dan melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda pula dalam implementasinya. Ada empat katagori kebijakan umum menurut (Buck,1996 diacu oleh Nikijuluw, 2002), yakni : 1)
Kebijakan distributif (distributive policy)
2)
Kebijakan pengaturan kompetisi (competitive regulatory policy)
3)
Kebijakan pengaturan perlindungan (protective regulatory policy), dan
4)
Kebijakan redistributif (redistributive policy) Keempat katagori kebijakan tersebut kebijakan ditributif dan redistributif adalah
kebijakan yang sangat kontroversial, dimana kehendak pemerintah akan selalu bertentangan dengan pelaksanaannya kebijakan sejak perencanaan. Kebijakan ini akan lebih efektif jika dilakukan dalam bentuk kebijakan ekonomi dan finansial. Selanjutnya dikatakan Jentoft,1989 yang diacu oleh Nikijuluw, 2002, bahwa pemerintah ikut mengelola sumberdaya perikanan karena alasan efisiensi, keadilan dan administrasi. Disisi lain partisipasi masyarakat dapat mempengaruhi seluruh proses kebijakan mulai dari perumusan, pelaksanaan dan penilaian kebijakan. Thomas Dye diacu oleh Abidin (2004) menyatakan bahwa kebijakan merupakan pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Secara umun kebijakan dibedakan atas tiga tingkatan yakni kebijakan umum diantaranya adalah mengacu pada bentuk Undang-Undang dan Keputusan Presiden, kebijakan pelaksanaan, merupakan kebijakan yang dibentuk berupa peraturan-peraturan pemerintah maupun daerah dan kebijakan teknis, adalah kebijakan operasional yang dibawahi oleh kebijkan pelaksanaan. Setiap kebijakan akan memiliki isi dan tekanan yang berbeda. Kebijakan umum misalnya lebih menekankan pada isu strategi dan sedikit unsur teknis. Kebijakan teknis lebih menekankan pada unsur teknis dan isu strategis sedikit. Berbeda dengan kebijakan pelaksanaan yang lebih melihat pada perimbangan antara teknis dan isu strategis. Weimer dan Vining (1998) mengatakan produk dari analisis kebijakan adalah saran (advice) yang berorentasi pada pengguna yang berkaitan dengan keputusankeputusan publik berdasarkan nilai-nilai sosial.Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan sebagai proses sintesa informasi, termasuk hasil-hasil penelitian untuk menghasilkan
38
suatu rekomendasi opsi disain kebijkan publik. Agar sumberdaya perikanan dapat di kelola dengan dengan baik dan pemanfaatannyapun optimal maka perlu dilakukan dengan membentuk suatu kebijakan yang rasionalisasi, dengan instrumen-instrumen konvensional yang sering digunakan diantaranya adalah pajak baik pajak terhadap input maupun output perikanan, pembatasan entry (limited entry) maupun kuota. Fauzi (2005) menjelaskan kebijakan konvensional yang dibentuk adalah kebijakan dengan tujuan agar pengelolaan perikanan menjadi lebih rasional. Meskipun secara teoritis ketiga kebijakan tersebut sangat elegan dan relatif sederhana, namun dalam kenyataan sering menimbulkan masalah, khususnya pada penerapan perikanan yang multispecies dan multigear. 2.5
Pengembangan Perikanan Tangkap Perikanan
tangkap
merupakan
aktivitas
perekonomian
yang
meliputi
penangkapan atau pengumpulan hewan dan atau tanaman air yang hidup di perairan laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan sama lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, dapat dilihat pada Gambar 2 yakni : (1) Masyarakat; (2) sarana produksi; (3) usaha penangkapan; (4) prasarana pelabuhan; (5) unit pengolahan; (6) unit pemasaran; dan (Kesteven 1973 yang dimodifikasi oleh Monintja, 2001) yang terlihat pada Gambar 2. (1) Sumberdaya Manusia Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikanan tangkap sangat dibutuhkan sumberdaya manusia yang cukup tangguh, handal dan profesional. Untuk memperoleh tenaga-tenaga yang
trampil dalam penguasaan teknologi.
Maka sangat dibutuhkan pembinaan terhadap sumberdaya manusia yang merupakan langkah awal yang harus diperhatikan sehingga dalam pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan dapat berjalan optimal. (2) Sarana Produksi Indikator utama dan merupakan
penunjang kearah berkembangnya usaha
perikanan tangkap sangat bergantung pada fungsi sarana produksi yang tersedia. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan
39
kapal, instalasi air tawar dan listrik serta pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (Kesteven, 1973). (3) Usaha Penangkapan/Proses Produksi Usaha penangkapan terdiri dari kapal, alat dan nelayan, aspek legal yang meliputi sistem informasi dan unit sumberdaya terdiri dari spesies, habitat dan lingkungan fisik.
MASYARAKAT Konsumen Modal Teknologi Pembinaan
Membangun Membuat Menyelenggarakan
EKSPOR Transportasi Devisa
Domestik SARANA PRODUKSI Galangan Kapal Pabrik Alat Diklat Tenaga Kerja
UNIT PEMASARAN Distribusi Penjualan Segmen Pasar
Membayar
PROSES PRODUKSI UNIT PENANGKAPAN Kapal Alat Nelayan ASPEK LEGAL Sisitem Informasi
Dijual
Produk Dijual Oleh
PRASARANA PELABUHAN Diolah
UNIT PENGOLAHAN Handling Processing Packaging
Menangkap
UNIT SUMBERDAYA Spesies Habitat Musim/Lingkungan Fisik
Hasil Tangkapan Didaratkan
Gambar 2. Sistem agribisnis perikanan tangkap (Kesteven, 1973 dimodifikasi oleh Monintja, 2001).
(4) Prasarana Pelabuhan Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) diacu oleh Lubis (2000), pelabuhan perikanan adalah pusat pengembangan ekonomi ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran.
40
Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. Keputusan bersama Mentan dan Menhub (Pasal 1) No. 493/KPTS/IK.410/7/96 dan No. SK.2/AL.106/PNB-96 menyatakan bahwa pelabuhan perikanan sebagai prasarana perikanan adalah tempat pelayanan umum bagi masyarakat nelayan dan usaha perikanan, sebagai pusat pembinaan dan peningkatan kegiatan ekonomi perikanan yang dilengkapi dengan fasilitas di darat dan di perairan sekitarnya, untuk digunakan sebagai pangkalan operasional, tempat berlabuh, bertambat, mendaratkan hasil, penanganan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil perikanan. (5) Unit Pengolahan Unit pengolahan terdiri dari handling atau penanganan, processing dan packaging. Bertujuan untuk mempertahankan kualitas hasil tangkapan dengan melakukan penanganan yang tepat dan mengutamakan produksi selalu dalam keadaan higenis dan terhindar dari sanitasi. Pengolahan tersebut dapat dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern /menggunakan es, atau alat pendingin lainnya (Moeljanto, 1996). (6) Unit Pemasaran Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Dalam proses produksi penangkapan ikan terdapat komponen-komponen yang kompleks demi keberhasilan diantaranya perlu dilakukan analisis terhadap beberapa aspek penting diantaranya adalah sebagai berikut (Monintja, 2001) : (1) Analisis aspek pemasaran meliputi : 1) Demand masa kini dan lampau (trend volume penjualan, harga dan pembeli) 2) Permintaan dan harga dimasa datang (pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan, elastisitas pendapatan dan komonitas substitusi) 3) Persaingan pasar (lokal, nasional dan internasional) 4) Rencana kebijakan pemasaran.
41
(2) Analisis sumberdaya ikan (SDI) meliputi : 1) Deskripsi daerah penangkapan ikan 2) Estimasi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) 3) Hasil tangkapan spesies terkait selama 5 tahun sampai 10 tahun terakhir 4) Kecenderungan catch per unit effort 5) Distribusi (sebaran) ikan menurut daerah penangkapan dan musim 6) Mobilitas ikan (ruaya dan migrasi) 7) Karakteristik komersial dari ikan (ukuran) 8) Proyeksi hasil tangkapan tahunan dari proyek 9) Peluang pengembangan produksi (3) Analisis aspek teknis menyangkut operasi penangkapan ikan meliputi : 1) Kapal penangkapan ikan 2) Alat penangkapan ikan 3) Tenaga kerja / nelayan 4) Bahan untuk operasi penangkapan 5) Kondisi lingkungan fisik daerah penangkapan 6) Pola operasi (lama 1 trip, hari navigasi, hari operasi, hari darat/pelabuhan, hari dok, jumlah trip per tahun, variasi daerah penangkapan dan variasi musim) 7) Hasil tangkapan (komponen spesies, ukuran, kualitas, HT per hari, HT per trip, HT per tahun) 8) Penanganan hasil tangkapan di kapal 9) Pengangkutan hasil tangkapan ke pelabuhan 10) Fasilitas pendaratan ikan (4) Aspek organisasi dan manajemen meliputi : 1) Aspek legal perusahaan 2) Aspek legal proyek 3) Struktur organisasi yang ada 4) Rencana struktur organisasi proyek 5) Kaitan dengan perusahaan, instansi dan lembaga lain 6) Struktur manajemen per komponen 7) Uraian tugas setiap personel 8) Uraian tanggung jawab dan kewenangan
42
9) Pendapatan dan insentif karyawan / personel armada penangkapan ikan 10) Fasilitas dan kemudahan untuk para karyawan 11) Kualifikasi dan pengalaman personel yang ada 12) Kualifikasi dan sumber personel yang akan direkrut. (5) Analisis kepekaan 1) Penurunan produksi (5 – 25 %) tergantung pada pola musim ikan, kondisi fisik daerah penangkapan dan CPUE) 2) Penurunan harga produk (trend harga runtun tahun) Hermawan, 2006 mengatakan perikanan Tangkap adalah suatu kegiatan yang sangat bergantung pada ketersediaan dan daya dukung sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang tepat dan baik dengan mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan akan mampu meningkatkan pertumbuhan industri perikanan yang sehat. 2.6 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Pengembangan usaha perikanan adalah suatu bentuk proses atau kegiatan manusia dalam meningkatkan produksi di bidang perikanan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan nelayan melalui peneratapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Dalam pengembangan perikanan ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh seperti: 1) Aspek biologi, hal ini berkaitan dengan sumberdaya ikan, penyebarannya, komposisi dan jenisnyanya 2) Aspek teknis, hal ini terkait dengan sarana dan prasarana pendukung, seperti unit armada (kapal, alat tangkap dan nelayan), jumlah TPI, PPI dan pelabuhan sebagai tempat pendaratn ikan 3) Aspek sosial, hal ini terkait dengan sistem kemitraan, kelembagaan dan tenaga kerja yang berdampak pada nelayan 4) Aspek ekonomi yang tidak terlepas dengan hasil produksi dan pemasaran yang berdampak pada pendapatan bagi stakeholder. Usaha perikanan tangkap merupakan keterkaitan antar faktor-faktor atau elemen-elemen yang bekerja dalam sebuah sistem yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan hal ini sangatlah kompleks. Monintja (2001) menyatakan
43
apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan
kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit
penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Selain itu untuk menyediakan produksi perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting maka akan lebih baik jika di pilih unit penangkapan yang produktivitasnya tinggi namun ramah terhadap lingkungan. Usaha perikanan tangkap merupakan bentuk dari suatu industri perikanan kompetatif. Industri ini memiliki ciri tersendiri yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga, tepat waktu, tepat tempat dan tepat hukum (Monintja, 2005) Pengembangan jenis teknologi di Indonesia diarahkan sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 2004, tujuan pembangunan perikanan harus disepakati dengan syarat-syarat pengembangan teknologi yang dapat menyediakan kesempatan kerja, menjamin pendapatan nelayan, menjamin stok produksi, menghasilkan produksi yang bermutu dan tidak merusak lingkungan khususnya sumberdaya ikan. Pengelompokan skala usaha perikanan, jenis alat tangkat pancing dan purse seine merupakan alat tangkap yang umum digunakan oleh rakyat yang skalanya sangat kecil, sarana dan prasarananyapun terbatas, hal ini disebabkan karena keterbatasan modal usaha. Kegiatannyapun bersifat tradisional hal ini akan berdampak pada rendahnya produksi sehingga akan mempengaruhi daya saing (Monintja, 2001). Modal yang besar sangat dibutuhkan oleh suatu industri perikanan. Produksi per upaya tangkap tidak dapat diimbangi oleh perikanan rakyat, sarana dan prasarana yang memadai, hasil tangkapan yang lebih baik, penguasaan pasar baik. Namun sangat diharapakan industri perikanan akan mampu membangun perekonomian nasional dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.7
Analisis Pengembangan Analisis pengembangan adalah analisis yang disusun berdasarkan analisis-
analisis yang telah dilakukan sebelumnya, dalam analisis pengembangan ini akan dilihat dari sejumlah alternatif yang ditawarkan, alternatif mana saja yang mungkin untuk dikembangkan (Rumajar et al., 2002). Dalam proses pengambilan keputusan atau pemilihan alternatif kebijakan dalam suatu proses pengembangan digunakan metode Analitical Hierarchi Process (AHP).
44
AHP merupakan suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menentukan skala ratio baik pembandingan pasangan yang diskrit maupun kontinyu (Mulyono, 1991). Saaty (1991) menyatakan bahwa Analitical Hierarchi Process (AHP) merupakan suatu metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam rancangannya terhadap suatu masalah. Metode menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. AHP dapat berfungsi dengan baik selama pemakai memiliki pemahaman yang baik mengenai masalah yang dihadapi. Selanjutnya dinyatakan bahwa, kekuatan AHP terletak pada struktur hierarki yang memungkinkan dimasukkannya semua faktor penting dan mengaturnya sampai ketingkat alternatif. Setiap masalah dapat dirumuskan sebagai keputusan berbentuk hierarki, kadang-kadang dengan ketergantungan untuk menunjukkan bahwa beberapa elemen bergantung pada yang lain dan pada saat yang sama elemen yang lain tergantung padanya. Elemen pada setiap tingkat digunakan sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemen-elemen yang berada setingkat dibawahnya. AHP memberikan kerangka yang memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif untuk persoalan yang kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat pengambilan keputusan. Pada dasarnya metode AHP memecah suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensintesa berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas relatif yang lebih tinggi (Saaty, 1991). Mulyono (1991) menyatakan bahwa, penetapan prioritas berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Langkah pertama untuk menyusun prioritas adalah membandingkan kepentingan relatif dari masing-masing unsur dan menduga prioritas untuk sub faktornya. Sintesis prioritas dilakukan untuk mendapatkan prioritas menyeluruh subsektor dan langkah berikutnya adalah melakukan perhitungan menyeluruh untuk masing-masing faktor.
45
2.8 Ketentuan-ketentuan dalam CCRF FAO yang berkaitan dengan pengelolaan kapal ikan Pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab Code of Conduct for Responsible Fisheries) bertujuan untuk menyiapkan suatu prinsip baik secara biologi, fisik, teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan dan komersial, penerapan secara nasional, untuk dapat memperbaiki dokumen yang belum lengkap, mengeliminir kegiatan secara internasional, mempromosi sumberdaya aquatik, pendayagunaan dan produksi baik jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam mengelola perikanan tangkap dalam hal ini pengelolaan akan kapal ikan diatur dalam pedoman tersebut yang dituangkan dalam Pasal 8.4 tentang operasi penangkapan yang patut ditaati oleh semua negara yang berkepentingan (FAO, 1995) diantaranya : 1. Pedoman untuk semua negara 1.1 Penetapan persyaratan bagi Negara berkepentingan untuk mendorong penangkapan ikan yang bertanggung jawab, meliputi: a) Keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penangkapan ikan yang harus diakui dan dapat menjamin kelestarian sumberdaya perikanan untuk jangka panjang (pasal 8.4.1) b) Mampu meningkatkan pendapatan, memungkinkan langkah konsevasi dalam pengelolaan yang tidak memberikan dampak cost yang relative tinggi (pasal 8.4.4) c) Mampu menjalankan kebijakan–kebijakan yang diturunkan dan menjaga keselamatan dan kesehatan (standar keselamatan dan kesehatan bagi tiap orang yang dipekerjakan /nelayan dan kapal ikan, hal ini megacu pada kode FAO/ILO/IMO) dalam operasi penangkapan. Persyaratan ini harus dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah (penetapan melalui Undang-Undang,
Kepmen atau pemilik kapal wajib memberikan
asuransi kesehatan dan keselamatan jiwa bagi anak buah kapalnya) yang dirumuskan dalam suatu bentuk kebijakan dengan melibatkan berbagai pihak terkait. (pasal 8.2.10) 1.2
Otorisasi menangkap ikan (pasal 8.1.2) a) Untuk perairan yang berada dibawah yurisdiksi kapal penangkap harus memiliki surat izin (seperti Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), surat
46
Izin Usaha Penangkapan (SIUP), Surat Izin Kapal Penangkap dan pengangkut Ikan (SIKPPI)
dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan
(SIKPI) yang menjamin operasi penangkapan ditetapkan dengan Kepmen
No.
805/kpts/IK.120/12/95
tentang
ketentuan
kapal
penggangkut ikan dan PP RI No. 15 tahun 1990 tentang usaha perikanan. b) Otorisasi menangkap ikan harus sah (resmi atau memiliki izin Penangkapan) dan rincian kegiatan (aktivitas penangkapan yang tercatat seperti tempat beroperasi/ daerah penangkapan, alat tangkap yang digunakan, lamanya waktu trip penangkapan jumlah ABK) serta informasi teknis kapal (volume kapal (GT), sistem navigasi, kapasitas kapal (ton) volume palka dsbnya) harus lengkap dan jelas. c) Persyaratan
mengenai daerah penangkapan (daerah tempat operasi
penangkapan bukan daerah yang mengalami over fishing atau kawasan konservasi), species target (jenis/ukuran ikan yang menjadi sasaran penangkapan harus standar) dan quota (jumlah yang dialokasikan) baik itu kapal, nelayan, tipe alat tangkap dan peralatan lainnya harus mendapat izin (yang termasuk/tercatat dalam dokumen izin (SIPI), waktu operasi (lama hari navigasi) dan pembatasan jaminan tercatat (masa berlakunya izin/SIPI). d) Sistem pemantauan, pengendalian dan pegawasan aktivitas penangkapan termasuk didalamnya pelimpahan kekuasaan dan penegakan hukum 1.3 Pendidikan pelatihan dan sertifikat (pasal 8.1.7) a) Semua pihak yang berkepentingan wajib mempekerjakan tenaga yang professional (tenaga kerja yang terampil, terdidik dan terlatih seperti lulusan Sekolah Tinggi Perikanan (STP) dan Sekolah Pembangunan Perikanan (SPP) dan mampu (keahlian dibidang perikanan dan sistem navigasi kapal) menjalankan sistem dan program serta ketentuan yang telah ditetapkan b) Tenaga kerja wajib mendapatkan kesempatan (bagi tenaga kerja/ABK yang belum memiliki sertifikat keahlian wajib mengikuti pelatihan khusus atau bagi tenaga kerja yang sudah memiliki/pernah mengikuti pelatihan keterampilan dalam operasi penangkapan perlu ditingkatkan
47
melalui pelatihan-pelatihan/pendidikan pada level yang lebih tinggi) dalam berbagai pelatihan keterampilan yang dapat menunjang aktivitas penangkapan yang ditandai dengan pemberian sertifikat (tanda kelulusan dalam
pelatihan/pendidikan
yang
sah/resmi
serta
berstandar
Internasional. c) Dokumen wajib disimpan dan dicatat dalam suatu bentuk format berbagai informasi seperti rincian dari otoritas penerbit, sertifikat tentang uraian disiplin ilmu, keabsahannya identitas diri dan status dalam hal ini jabatan/tanggal pengesahannya d) Penyesuaian dokumen distandarkan secara Internasional e) Dalam hal kelalaian atau pelanggaran setiap pihak harus dapat memberikan jaminan atas hak pemcabutan (dalam izin yang dikeluarkan harus tertera sangsi pelanggaran diantaranya izin yang dikeluarkan dicabu/tidak diberlakukan sejak pelanggaran tersebut diproses) bahkan pembekuan izin otorisasi (pemberi izin/yang mengeluarkan izin). f) Harus ada kerjasama diantara pihak yang berkepentingan dalam memberikan informasi. 1.4 Keselamatan Untuk mengintegrasikan operasi penangkapan ikan yang berkelanjutan maka pihak-pihak berkepentingan harus mampu membentuk suatu sistem pencarian dan penyelamatan yang baik (SAR), agar terciptanya suatu keseimbangan maka ukuran dan tipe armada dalam suatu operasi penangkapan harus diperhatikan. Sistem informasinya harus dirancang dengan baik. 2. Pedoman untuk negara bendera a) Alokasi bendera, otorisasi untuk menangkap ikan dan dokumen setiap kapal menangkap ikan harus mendaftarkan kapalnya pada suatu negara sehingga kapal tersebut mempunyai dokumen tentang izin berlayaran dan penangkapan ikan dengan hak mengibarkan bendera (kapal yang melakukan aktivitas penangkapan pada suatu negara atau bukan negaranya dan telah melakukan pendaftaran pada negara tersebut maka kapal tersebut berhak untuk menggunakan bendera negara tempat mendaftar/ negara pemberi izin operasi
48
penangkapan) dari suatu negara. Dokumen tersebut dapat memuat juga tentang informasi kelaikan kapal, pelaporan posisi kapal, hasil tangkapan ikan yang dimuat dan hasil tangkapan yang dibuang b) Pemeliharaan kapal penangkap ikan dan survey yang diwajibkan artinya pemerintah wajib (pemerintah harus melakukan pelayan atas kebutuhan kapal yang membutuhkan bantuan seperti pengisian air, bahan bakar, kebutuhan bahan makanan dan perlengkapan perbengkelan) memberikan pelayanan kepada kapal penangkap ikan dan kapal survey yang memiliki surat izin pelayaran apabila berlabuh ( memasuki perairan suatu negara/pelabuhan). c) Pelaporan posisi penangkapan ikan Dimana semua kapal ikan wajib menyimpan laporan/jurnal penangkapan ikan dalam bentuk log book (jurnal penangkapan ikan dan navigasi) dengan benar dan secara teratur, melaporkan posisi kapal kepada otoritas yang berwenang. d) Penandaan kapal dan alat penangkapan ikan, dimana semua kapal ikan berbendera diberi tanda sesuai spesifikasi standart dan pedoman yang disetujui oleh komite perikanan FAO. Alat tangkap pun demikian sesuai peraturan dan perundang-undangan nasional agar mudah teridentifikasi pemiliknya. e) Keselamatan kapal penangkap ikan Semua negara wajib menetapkan standart keselamatan bagi semua ukuran dan tipe kapal ikan dengan memperhatikan ketentuan konvensi Internasional Teremolinos untuk keselamatan kapal ikan dan protocol 1993, kode FAO yang mengatur tentang perikanan secara umum/ILO yang mengatur tentang tenaga kerja dalam industri perikanan/IMO yang mengatur tentang keslamatan jiwa di laut, kapal dan peralatan, serta perlengkapan diatas laut. tentang disain konstruksi termasuk peralatan kapal ikan yang berukuran kecil.(Unus F., dkk 2005). f) Pelatihan dan sertifikat, dimana setiap awak kapal ikan wajib memiliki keahlian dan sertifikat keahlian yang sah dan diakuai secara internasional. g) Akses ke asuransi, dimana pihak yang berkepentingan dalam operasi penangkapan
ikan
wajib
menanggung
asuransi
jasa
keseimbangan lingkungan perairan dari dampak pencemaran.
pemeliharan
49
h) Pemulangan anak buah kapal, negara bendera wajib menjamin hak untuk pulang/mendarat bagi setiap anak buah kapal. 3. Pedoman untuk Negara Pelabuhan. a) Bantuan kepada negara asing, dimana negara pelabuhan wajib memberikan bantuan pelayanan yang sama kepada setiap kapal berbendera asing/pelayanan yang bersifat internasional. b) Inspeksi oleh suatu negara pelabuhan, dimana negara pelabuhan wajib memeriksa dokumen kapal penangkap ikan dan anak buah kapal serta muatan pada sat memasuki pelabuhan. c) Penahanan, dimaksud negara pelabuhan mempunyai hak untuk menahan kapal ikan yang tidak taat/melanggar aturan yang telah ditetapkan pada pelabuhan tersebut d) Keabsahan sertifikat dan otorisasi menangkap ikan, maksudnya apabila dokumen yang masa berlakunya telah berakhir pada saat berada di laut segera memberitahukan/ menginformasikan ke negara bendera untuk diperpanjang. e) Kapal penangkap ikan tidak berkebangsan artinya apabila ditemukan kapal ikan yang memiliki dua bendera/dokumen maka kapal tersebut dapat ditahan/dijual oleh negara pelabuhan f) Pelatihan
dimaksud
negara-negara
yang
memiliki
pelabuhan
wajib
bekerjasama dengan menggunakan pelatihan standart untuk para inspektur dan surveyor. 4. Pedoman untuk Pengawasan Perikanan a) Kapal pengawas perikanan Kapal pengawas perikanan mempunyai hak untuk menangkap (wewenang untuk menahan petugas pengawas di tunjuk dengan suatu bentuk keputusan direktur perikanan tangkap dalam juknis operasional bagi pengawas kapal ikan No. IK.420/S3.3996/94) kapal ikan dan memeriksa dokumen apabila diketahui melanggar peraturan yang berlaku di negara tersebut dan kapal pengawas perikanan harus memiliki dokumen yang berisi kewenangan untuk melaksanakan tugas pengawasan di ZEE atau lepas pantai b) Petugas pengawas perikanan
50
Mempunyai kewenangan antara lain menghentikan kapal yang melanggar aturan, menahan dan memeriksa kapal yang dicurigai melanggar, menyita setiap alat tangkap ikan dan peralatan lainnya dan kewajiban lainnya adalah berhak memberikan penyuluhan kepada nelayan tentang pengelolan perikanan yang bertanggung jawab c) Kapal penangkap ikan tidak berkebangsaan Kapal yang tidak berkebangsaan atau tidak memiliki dokumen jelas atau pemalsuan dokumen dapat dikawal oleh petugas kapal pengawas ke pelabuhan d) Strategi tanpa kekuatan Maksudnya pengawasan tanpa penegakan hukum dengan menempatkan petugas pegawas pada kapal-kapal penangkap ikan. 5. Pedomam Untuk Kegiatan Penangkapan Ikan a) Alat Penangkap Ikan Pemerintah wajib menetapkan kebijakan tentang alat yang diizinkan dalam penangkapan ikan, pengendalian alat tangkap pasif dan aktif sehingga tidak mengancam kelestarian stok ikan dan ekosistemnya b) Sikap perilaku kapal penangkap ikan Mentaati kaidah-kaidah internasional untuk pencegahan terjadinya tabrakan dilaut dan tidak membuang limbah yang membahayakan biota perairan aquatic c) Catatan tentang kegiatan kapal ikan dimana kapal penangkap ikan harus memiliki log book dan melaporkan kepihak yang berkewenangan d) Pemeliharaan hasil tangkapan artinya mutu hasil tangkapan harus diperhatikan mulai dari processing, handling dan packing yang standart e) Jaminan asuransi, para pemilik kapal ikan wajib menyediakan asuransi perlindungan (kecalakaan/kematian) bagi setiap anak buah kapal f) Pemindahan muatan, dalam hal ini pemindahan hasil tangkapan diatur dan perlu dicacat dalam log book agar mudah dalam pengontrolan dan pengawasan pengelolaan dan konservasi.
51 2.9 Strategi Pengelolaan Perikanan Yang Memperhatikan Armada Perikanan
Sebagai Input Penangkapan ikan merupakan kegiatan yang dapat memberikan sumbangan dalam ketersediaan bahan pangan (sumber protein) yang utama bagi manusia dan sebagai penyedia lapangan pekerjaan serta keuntungan ekonomi. Sumberdaya tersedia secara alami, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam suatu dinamika pembangunan yang membutuhkan sumberdaya akuatik sebagai pendukung, maka sesuai dengan sifat sumberdaya yang dapat diperbaharui namun terbatas, perlu dilakukan pengelolaan secara tepat. Akibat dari pemanfaatan akan sumberdaya yang tidak terbatas dalam menopang pembangunan ekonomi maka FAO menetetapkan sebuah ketentuan pelaksanaan (Code of Conduct) dalam suatu bentuk konferensi Internasional tentang Penangkapan Ikan Yang Bertanggung jawab (International Conference on Responsible Fisheries) pada tahun 1992 di Cancun. Aturan tersebut wajib di ratifikasi oleh setiap negara berkepentingan diantaranya negara berkembang termasuk Indonesia. Bentuk nyata dari kepedulian Indonesia akan pentingnya sumberdaya dimasa yang akan datang maka dibentuklah UU yang mengatur tentang Perikanan, produk terakhir yaitu UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Pengelolaan perikanan dalam UU No. 31 tahun 2004 mendefinisikan bahwa semua upaya, termasuk proses informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang
undangan
dibidang
perikanan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah/otoritas lainnya yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan sesuai tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan tersebut bersifat integrated/terpadu sehingga usaha perikanan dapat berkelanjutan. Implementasi dari UU 31 tahun 2004 ini mengacu pada ketentuan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries, pasal 7.2.1. tentang pengelolaan Perikanan yang harus memperhatikan keberlanjutan sumberdaya (kelestarian sumberdaya hayati laut) sehingga dapat dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang panjang yang dititik beratkan pada konservasi dan pengelolaan dengan memperhatikan faktor lingkungan dan ekonomi yang selalu berada dalam keseimbangan. Pasal 7.2.2. Langkah-langkah yang ditempuh guna mempertahankan ketersediaan
akan
sumberdaya
antara
lain
dengan
melakukan
pengendalian
52
penangkapan yang berlebihan dan pengeksploitasian stock tetap layak secara ekonomi. Kondisi ekonomi yang mendasari beroperasinya industri penangkapan yang bertanggung jawab, kepentingan nelayan diperhatikan perlindungan sumberdaya hayati di kawasan konservasi yang dilindungi, pemulihan stock ikan, dan pencegahan dampak pencemaran yang merusak lingkungan, Selanjutnya dalam pasal 7.6 di sebutkan tentang langkah-langkah pengelolaan yang memastikan dan mengharuskan/mewajibkan setiap negara untuk tingkat penangkapan yang diizinkan sepadan dengan status sumberdaya perikanan, kapal-kapal yang akan melakukan aktivitas penangkapan ikan harus mendapat izin penangkapan dari otoritas yang berwenang dan taat pada peraturan yang ditetapkan otoritas tersebut, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi para nelayan beroperasi dalam mekanisme pemantauan kapasitas armada penangkapan yang bertanggung jawab, penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan dan menjaga konflik antar para nelayan yang menggunakan kapal, alat tangkap dan metode yang berbeda. Implementasi aturan dalam bentuk kebijakan yang disusun dalam suatu perencanaan yang melihat potensi dan peluang serta melibatkan kepedulian semua stakeholder dituangkan dalam program dan strategi pengelolaan yang bertanggung jawab yang merupakan paradigma pengeloaan yang efektif dan efisien. Untuk mengelola perikanan yang baik maka ditemukan teknik pengelolaan perikanan disajikan pada tabel 1. Penutupan area penangkapan
dan penutupan musim penangkapan/ pengaturan
musim penangkapan dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya over fishing, yang pada akhirnya sumberdaya hayati laut menjadi minim bahkan punah. Selain itu untuk memberikan kesempatan bagi species-species dapat bertumbuh dan berkembang kembali. Atau dengan kata lain agar sumberdaya yang ada dapat dilestarikan dan berkelanjutan (pasal 7 ayat 2 poin 1, tentang tujuan pengelolaan yang bermaksud dapat memperbaiki dan mempertahankan stok ). Pembatasan alat tangkap yang beroperasi juga merupakan upaya untuk mengurangi degradasi sumberdaya dan memberikan peluang hidup dari ikan tertentu (mortalitas rendah atau natalitas tinggi)
serta
meminimumkan jumlah by catch dan discart (selektivitas alat tangkap (baik terhadap ukuran dan jenis)) yang diatur dalam CCRF pasal 8.5). Batasan penangkapan yang
53
ditetapkan dengan pengalokasian sumberdaya yang diperbolehkan (JTB/TAC) dengan tujuan ketersediaan sumberdaya (stok) tetap berkesinambungan. Tabel 1. Teknik pengelolaan perikanan. No
pengaruh yang diharapkan
pengaruh yang tidak diharapkan
penutupan perlindungan terhadap waktu area pemijahan ikan, juvenil dan penutupan pencegahan fiksi sosial musim penangkapan
efisiensi penangkapan rendah, intensitas penangkapan ikan diluar daerah dan musim tertutup akan meningkat dan sumberdaya yang mubazir
batasan ukur- peningkatan biomassa stok an minimum ikan (pertumbuhan ikan kecil) pembatasan ukuran mata jaring
peningkatan ukuran dan jumlah alat tangkap dan ikan kecil yang terbuang dan mati (tidak tercatat)
5
pembatasan alat tangkap
peningkatan stok ikan dan pencegahan by catch
6
masa percobaan metode penangkapan
hanya untuk kepentingan kelompok nelayan perikanan tertentu dan menghalangi kegiatan perikanan lainnya
7
aturan penangkapan
penekanan mortalitas penangkapan ikan (peningkatan pemilihan stok)
berlebihnya armada yang sulit diatur dan persaingan tidak sehat karena catching rate berbeda
8
batasan total tangkapan
9
proteksi induk ikan
1 2
3 4
regulasi
10 pembatasan pendaratan ikan
peningkatan produksi
efisiensi penangkapan rendah
pencegahan konsumsi jenis ikan ukuran tertentu
tidak tercatat jumlah produksi IUU fishing
Sumber : Cochrane, 2002. Salah satu strategi pengelolaan perikanan yang memperhatikan armada perikanan sebagai faktor input adalah sebagai berikut (Cochrane, 2002) : (1) Pembatasan jumlah dan ukuran armada perikanan tangkap (fishing capasity controls)
54
Dengan adanya pembatasan jumlah armada maka operasi penangkapan akan optimal, pemanfaatan sumberdaya optimal, pendapatan nelayan akan meningkat dan kemungkinan konflik yang terjadi akan sangat kecil, serta kemungkinan kerusakan akan lingkungan dan sumberdaya sangat rendah. Pembatasan ukuran armada semata hanya untuk memaksimalkan potensi yang ada pada kawasan pantai dan lepas pantai oleh nelayan kecil yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya dengan melakukan penangkapan yang ramah lingkungan (kemampuan alat tangkap yang digunakan dan dampak buangan limbah bahan bakar yang relatif kecil) Implementasi dari pasal 7 ayat 2 poin 2.2.g ; pasal 7 ayat 6 poin 9; pasal 8 ayat 7 dan pasal 8 ayat 8 tentang pencemaran). (2) Pembatasan Jumlah trip penangkapan ikan (fishing usage controls) bertujuan agar tidak terjadi pengurasan sumberdaya dalam jangka waktu yang relatif singkat/jangka waktu yang pendek dan pembatasan terhadap penggunaan jumlah bahan bakar yang diperbolehkan (optimumisasi energi) (implementasi pasal 8.6.1 dan 8.6.2). (3) Dengan membatasi jumlah trip penangkapan berarti dapat mengurangi terjadinya over fishing, dan mampu meminimkan jumlah produksi ikan yang bukan sasaran/ bukan ikan target/by catch dan discart (4) Pembatasan ukuran ikan yang menjadi sasaran operasi penangkapan ikan Pembatasan ukuran ikan target merupakan salah satu langkah yang ditempuh agar ikan-ikan ukuran kecil tidak ikut tertangkap sehingga mendapat peluang untuk bertumbuh menjadi dewasa, dalam hal selektivitas alat tangkap terhadap ukuran sangat diperlukan (5) Pemberlakuan kuota penangkapan yang dialokasikan menurut alat tangkap, kelompok nelayan atau daerah penangkapan ikan. Bertujuan agar ekploitasi sumberdaya ikan tidak berlebihan disesuaikan dengan daya dukung lingkungan. (6) Penegakan hukum (pemberian hukum harus secara tegas) bagi setiap pelanggar ketentuan. Hal ini bertujuan untuk menekan tingkat penyalahgunaan sumberdaya atau kegiatan penangkapan yang merusak lingkungan.
55
2.10 Konsep Kelembagaan Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai hal ikhwal tentang suatu lembaga atau suatu organisasi kelembagaan, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undangundang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Hal ichwal tentang lembaga tersebut meliputi: (1) Landasan hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (2) Keberadaan atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan itu sendiri. (3) Sarana dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (4) Sumber daya manusia sebagai pelaksana kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (5) Sumber daya manusia sebagai the man behind the gun yang memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat keberhasilan dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (6) Mekanisme atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (7) Jejaring kerja antar organisasi kelembagaan. (8) Hasil kerja dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan.
Hal ikhwal tentang lembaga yang pertama sampai dengan yang kelima merupakan aspek statik (static aspects) dari kelembagaan yang disebut tata kelembagaan atau institutional arrangement (ia), sedangkan hal ichwal tentang lembaga yang keenam, ketujuh dan kedelapan merupakan aspek dinamik (dynamic aspects) dari kelembagaan yang disebut sebagai kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan atau institutional framework (if). Dalam kaitan ini, (if) dapat dipahami sebagai (ia) dalam keadaan bergerak atau bekerja (Purwaka, 2003). Struktur kelembagaan (institutional structure) terbentuk oleh komponenkomponen yang menyebabkan suatu lembaga itu ada (exist), dapat berdiri dan
56
berfungsi. Keberadaan suatu organisasi kelembagaan sangat ditentukan ada tidaknya tujuan, dan berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan. tatanan atau aturan yang harus dipatuhi akan menjadi suatu dasar dalam membangun suatu organisasi. Tanpa adanya aturan, suatu lembaga bukanlah suatu organisasi kelembagaan. Oleh karena itu suatu organisasi kelembagaan tidak akan dapat berdiri tanpa aturan. Komponen penggeraknya, yaitu sumber daya manusia, yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Jadi, komponen utama dari suatu organisasi kelembagaan yakni adanya tujuan, aturan, sarana dan prasarana, serta adanya sumber daya manusia yang menjalankan organisasi kelembagaan tersebut. Struktur kelembagaan dari suatu organisasi kelembagaan sebagaimana terdiri dari 2 (dua) sub-struktur utama, yaitu tata kelembagaan (ia) dan kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan (if). Masing-masing sub-struktur kelembagaan tersebut mengandung komponen-komponen kapasitas potensial (potential capacity), daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (absorptive capacity). Lembaga adalah lembaga-lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumberdaya perikanan laut secara terpadu. Dengan dasar hukum yang ada baik nasional maupun internasional akan sangat membantu bentuk pengelolaan yang ada dalam mengembangkan perikanan tangkap. Dengan mengatur jalur dan zona-zona yang diperbolehkan untuk aktivitas penangkapan akan sangat membantu mekanisme pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Menurut Djalal dan Purwaka, (2005), terdapat 8 rejim wilayah yang diatur dalam ketentuan konvensi hukum laut dalam negeri, yakni ; 1) Perairan pedalaman (internal waters) 2) Perairan nusantara (artipelagic waters) 3) Laut teritorial (territorial water) 4) Zona tambahan (continguous zona) 5) Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI) 6) Laut lepas (haig seas) 7) Landasan kontinen (continental margin) 8) Dasar laut Internasional (seabelt authority)
57
Suatu bentuk kelembagaan yang efektif dan efisien akan mendatangkan suatu keberhasilan dalam industri penangkapan ikan. Bentuk kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta akan mampu mengoperasikan kegiatan penangkapan dengan optimal. Pengelolaan yang baik menurut Purwaka, (2003) melakukan pendekatan Triangle Integrated yakni Resources based (RB), Comunity based Management (CBR) dan Market Based (MB) ketiga pendekatan ini harus utuh sehingga interaksi antara hukum dan kelembagaan dapat berjalan dengan baik. Kelembagaan di pandang dari prespektif ekonomi maka kelembagaan akan beroperasi dalam level makro dan mikro. Pada level makro kelembagaan
merupakan rule of the game yang mempengaruhi
perilaku dan keragaan dari pelaku ekonomi dan hal ini menjadi dasar dari suatu aturan mendasar mengenai politik, sosial dan legal yang mendasar dari proses produksi, pertukaran dan distribusi, sedangkan level mikro, kelembagaan merupakan suatu institutional arragement yang lebih mengedepankan aspek institutional of governance, bagaimana proses bersaing dan bekerjasama (Williamson, 2000 yang diacu Fauzi, 2005) Pembagian rejim wilayah ini akan sangat membantu bagi setiap pihak yang ingin melakukan kegiatan eksploitasi pada suatu perairan. Pembagian zona akan sangat membantu
dalam
pengoperasian
kapal-kapal (armada) perikanan.
Pengaturan
besaran/ukuran kapal dengan besaran kekuatan mesin serta besarnya ukuran alat tangkap akan sangat mempengaruhi jumlah produksi yang akan dihasilkan. Dengan jumlah sumberdaya yang terbatas dan kegiatan eksploitasi yang tidak terbatas akan memberikan dampak yang negatif bagi suatu keberlanjutan usaha. Agar dapat optimal maka pelaksanaan operasi penangkapan harus selalu diatur dalam suatu bentuk manejemen yang terkontrol mulai daya daya dukung sumberdaya maupun daya tampungnya. Potensi yang ada akan selalu mendukung kegiatan industri namun tidak terlepas dari hukum yang ada. Oleh sebab itu sangat diperlukan suatu bentuk kerjasama yang baik antara pemerintah dan stakeholder yang ada. Suatu bentuk pendekatan armada yang merupakan suatu klaster manajemen penangkapan ikan dilaut selayaknya dapat dilakukan dengan fleet approach dan bukan pendekatan kapal (vessel approach) artinya nelayan individu dalam suatu perahu (kapal) harus bekerjasama dengan nelayan perahu (kapal) lainnya dalam rangka mencapai efisiensi dan peningkatan produktivitas (Nikijuluw, 2005).
Pendekatan ini juga
bertujuan untuk menyatukan suatu bentuk organisasi penangkapan yang terkoordinir
58
mulai dari pangkalan didarat maupun melalui kapal induk (mother boat) yang berfungsi memasok kebutuhan atau menampung hasil tangkapan. Bentuk pendekatan ini adalah suatu bentuk kemitraan yang harus difasilitasi oleh suatu lembaga, sehingga bentuk pengelolaan dapat optimal.